Dadu Setan

Wiro Sableng. Dadu Setan
Sonny Ogawa

DADU SETAN

BAB 1

MALAM hari di pantai Losari. Walau angin bertiup cukup kencang dan udara dingin, air laut tampak tenang. Sejak senja sebuah kapal kayu besar berbendera merah bergambar naga hitam telah melego jangkar di perairan Tanjung Losari. Pada saat malam bertambah gelap karena bulan separuh lingkaran tertutup awan, dari pintu dilambung kapal sebelah kanan keluar dua orang bertubuh tinggi tegap, berpakaian dan berikat kepala serba putih.

Orang pertama masih muda, bertampang keren, berkumis kecil. Di sampingnya berdiri seorang lelaki berusia lanjut, kakek memelihara janggut dan kumis menjulai sampai di bawah dagu, berwarna hitam karena dicat. Kedua orang ini sama-sama memiliki alis tinggi mencuat, bermata sipit dan berkulit kuning.

Saat itu sebuah tangga telah terpasang, menghubungi pintu di kapal dengan sebuah sampan yang sejak petang hari telah merapat di perut kapal kayu. Sampan ini ditunggui seorang pendayung berpakaian hitam. Orang tua di pintu kapal berpaling pada lelaki muda di sampingnya.

“Ingat rencana. Begitu sampai di daratan tukang perahu itu harus kau habisi! Kita tidak mau ada seorangpun saksi hidup dalam urusan ini! Kau mengerti Siauw Cie?” Lelaki muda berkumis kecil yang dipanggil dengan nama Siauw Cie anggukkan kepala. Lalu berkata,

“Silahkan Bun enghiong...“ (enghiong = orang gagah/panggilan kehormatan).

Orang tua she Bun mundur satu langkah. “Kau turun duluan,” katanya. Kedua orang ini bicara dalam bahasa Cina.

Siauw Cie kencangkan buhul kain putih ikat kepala lalu tidak menunggu lebih lama tanpa menuruni tangga langsung saja melompat, melayang masuk ke dalam sampan. Ketika dua kakinya menginjak lantai sampan, perahu kecil ini sedikitpun tidak oleng. Satu pertanda bahwa Siauw Cie memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Hal ini diperhatikan oleh pemilik sampan dengan berdecak penuh kagum.

Hanya sesaat setelah Siauw Cie berada di atas sampan, orang tua bernama Bun Pek Cuan melesat pula ke bawah. Ternyata dia memiliki gerakan lebih sebat serta ilmu meringankan tubuh lebih andal dibanding Siauw Cie. Ini terlihat selain sampan tidak bergerak, sampan kayu kecil ini juga tidak diberati dan tidak turun masuk ke dalam air laut. Di atas sampan kedua orang Cina itu tidak duduk melainkan tetap berdiri.

Begitu dua orang berpakaian serba putih sudah berada di atas sampan serta melihat isyarat anggukan kepala dari Siauw Cie, pemilik sampan yang sejak tadi menunggu segera mendayung sampannya. Sambil berdiri rangkapkan dua tangan di depan dada sementara angin laut menerpa dingin, Bun Pek Cuan berkata

“Sampan ini meluncur lamban. Seperti kura-kura merangkak. Kapan kita sampai? Aku tidak sabaran. Kita harus kembali ke kapal dan berangkat sebelum tengah malam. Siauw Cie, lakukan sesuatu...“

“Baik Bun enghiong,” jawab Siauw Cie. Lalu dia jongkok di lantai sampan, tangan kanan dicelupkan ke dalam air laut yang dingin. Sekali tangan itu dikibaskan ke belakang, sampan kayu serta merta meluncur pesat ke depan seolah didayung enam orang. Pemilik sampan yang mendayung dan berada di bagian sampan terheran-heran. Setelah beberapa kali memperhatikan tangan Siauw Cie menyapu air dan sampan melesat kencang, pemilik perahu akhirnya letakkan dayung di atas pangkuan dan hanya duduk tertawa-tawa.

Jauh di tepi pantai terlihat satu nyala api. Sampan diarahkan menuju cahaya itu. Tak lama kemudian mereka memasuki arah timur Tanjung Losari dan akhirnya merapat di daratan. Di situ telah menunggu seorang yang membawa sebuah lentera kecil. Nyala api lentera inilah yang tadi terlihat dari tengah laut. Tak jauh dari situ kelihatan tiga ekor kuda tengah merumput.

Bun Pek Cuan melompat ke darat lebih dulu. Di atas sampan Siauw Cie dekati pemilik perahu sambil tangannya mengeruk saku pakaian. Mengira akan menerima bayaran pemilik perahu langsung ulurkan tangan kanan dengan telapak terkembang. Tapi yang keluar dari dalam saku Siauw Cie bukannya uang bayaran melainkan dua buah jari lurus sekeras besi.

“Bett!” Sekali hantam saja tanpa suara tubuh pemilik sampan terkulai roboh di lantai sampan. Pada kening kelihatan dua buah lobang mengucurkan darah! Siauw Cie angkat orang yang telah jadi mayat itu lalu dicemplungkan ke dalam laut.

Orang yang membawa lentera kecil tidak melihat apa yang terjadi di atas sampan karena selain hal itu berlangsung sangat cepat dan tanpa suara, pandangannya terhalang oleh sosok tinggi besar Bun Pek Cuan. Bun Pek Cuan mendatangi lelaki yang membawa lentera. Lalu berkata.

“Namaku Hantu Putih. Kami orang-orang perjanjian. Kami datang membekal kata sandi Malam Gelap. Beritahu namamu, ucapkan kata sandi. “ ternyata Bun Pek Cuan pandai berbahasa daerah setempat walau tidak begitu lancar.

Lelaki berpakaian hitam yang memegang lentera kecil membungkuk sedikit. “Namaku Hantu Hitam. Kata sandiku Laut Dingin...“

Saat itu Siauw Cie sudah berada di samping Bun Pek Cuan. “Bagaimana, apakah enghiong sudah memeriksa?”

“Nama dan kata sandinya cocok. Dia memang orang kita,” jawab Bun Pek Cuan. Lelaki bernama samaran Hantu Hitam campakkan lentera ke laut lalu melangkah ke arah tiga ekor kuda yang tengah merumput.

********************

Perkuburan Karangsembung terletak di barat daya Tanjung Losari. Selain udara gelap dan dingin, kabut aneh yang tak biasanya muncul kini terlihat mengambang di beberapa sudut tanah pemakaman, membuat suasana terasa menggidikkan. Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara rentak kaki kuda mendatangi. Tak lama kemudian seolah setan di malam buta, dari kegelapan tampak tiga ekor kuda dan tiga penunggang melompat pagar rendah batas timur tanah pekuburan.

Di depan sekali adalah lelaki berpakaian hitam si Hantu Malam. Di belakangnya menyusul Bun Pek Cuan dan Siauw Cie. Setelah berputar-putar beberapa kali di tanah pekuburan yang cukup luas itu, mereka sampai di hadapan sebuah makam. Makam yang mereka datangi masih baru. Ini terlihat dari gundukan tanah yang masih merah dan berbagai macam bunga masih segar bertebaran di atas gundukan tanah makam.

“Kuburan ini tidak ada papan atau batu nisan. Apa kau yakin ini kuburan yang kita tuju?” Siauw Cie bertanya pada Hantu Hitam, mempergunakan bahasa setempat.

“Kubur ini memang sengaja tidak diberi tanda. Tapi sahabat berdua tidak perlu khawatir. Sejak pagi orang-orangku telah mengawasi pekuburan ini...“

“Pasti ini kuburannya Nyi Inten Kameswari?” tanya Bun Pek Cuan. “Kami tidak mau kesalahan membuat urusan,” menimpali Siauw Cie. “Pasti! Seribu pasti!” jawab Hantu Hitam meyakinkan.

“Kapan jenazah Nyi Inten dimakamkan?”

“Menjelang sore tadi...“

“Bisa kita gali sekarang?” tanya Bun Pek Cuan. “Bisa...“ jawab Hantu Hitam.

“Kita butuh tenaga dan peralatan,” berkata Siauw Cie.

“Jangan khawatir. Aku sudah menyiapkan...“

Hantu Hitam lalu keluarkan suara suitan dua kali. Dari kegelapan malam melompat keluar dua lelaki berpakaian hitam-hitam bertubuh kekar. Masing-masing membawa pacul dan obor yang belum dinyalakan. Hantu Hitam memberi isyarat. Dua orang yang barusan datang segera menyalakan obor lalu ditancapkan pada kuburan di kiri kanan makam baru. Tempat itu kini jadi terang benderang.

Selanjutnya ke dua orang ini dengan cepat menggali makam yang menurut Hantu Hitam adalah makam Nyi Inten Kameswari. Cukup lama menggali akhirnya jenazah ditemukan lalu dinaikkan ke atas. Dibaringkan di tanah. Keadaannya masih utuh, terbungkus kain kafan yang dilumuri tanah liat.

“Bun enghiong, jenazah sudah siap...“ berkata Siauw Cie. Orang tua berkumis menjulai anggukkan kepala. Lalu dia jongkok di samping jenazah. Lima jari tangan kanan Bun Pek Cuan mengusap dan meraba bagian pinggang lalu pindah ke arah perut. Lima jari tangan orang tua ini mendadak tampak bergetar.

“Siauw Cie, aku sudah menemukan letaknya yang tepat,” ucap Bun Pek Cuan setengah berbisik.

“Silahkan Bun enghiong melanjutkan. Saya akan memagari tempat ini,” jawab Siauw Cie. Lalu dia dongakkan kepala, sepasang mata dipejamkan dan dua tangan direntang di depan dada dengan telapak mengembang. “Enghiong, keadaan aman...“

“Sett... sett... sett... sett... sett!”

Di bawah nyala dua api obor, di atas kain kafan putih tibatiba satu persatu secara aneh lima jari tangan Bun Pek Cuan melesat panjang, berwarna hitam dengan lima kuku terpentang mencuat seperti ujung-ujung pisau putih berkilat, luar biasa tajam. Hantu Hitam merasa tengkuknya dingin sementara dua orang yang tadi menggali kuburan berdiri dengan muka pucat dan sama tersurut dua langkah. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi!

“Wuttt!” Tiba-tiba tangan kanan Bun Pek Cuan menghunjam ke bawah. Menembus tepat di perut jenazah Nyi Inten Kameswari.

“Brettt!” kain kafan robek.

Di kejauhan terdengar suara raungan anjing. Suasana terasa tambah tegang menggidikkan. Tangan kanan Bun Pek Cuan amblas hampir sebatas siku. Serta merta kain kafan putih kotor dibasahi darah. Pergelangan tangan Bun Pek Cuan membuat putaran ke kiri dan ke kanan. Tak selang berapa lama perlahan-lahan tangan itu diangkat kembali. Keadaannya berlumuran darah. Di dalam genggaman tangan si orang tua kelihatan dua buah benda putih kekuningan berbentuk kubus. Dengan tangan kirinya Bun Pek Cuan mengambil satu kantong kulit kecil warna hitam dari balik pakaian. Dua buah benda putih kekuningan dimasukkan ke dalam kantong lalu kantong kulit hitam dimasukkan kembali ke balik pakaian.

“Sett... sett... sett... sett... sett!”

Satu persatu jari tangan kanan Bun Pek Cuan mengerut ke bentuk asal. Lima benda berbentuk pisau di ujung jari lenyap. Begitu juga darah yang sebelumnya berselepotan di tangan ikut sirna.

“Hantu Hitam” lekas perintahkan dua orang itu mengubur jenazah kembali,” kata Bun Pek Cuan sementara Siauw Cie masih tegak mendongak, mata terpejam dua tangan mengambang.

Tak lama setelah jenazah dimasukkan Kembali ke Hang lahat dan tanah kuburan ditimbun, Bun Pek Cuan membuka mulut. “Padamkan obor! Suruh mereka pergi...“

Setelah memberikan sejumlah uang. Hantu Malam menyuruh dua penggali makam meninggalkan tempat itu. Hantu Hitam ambil dua buah obor yang menancap di atas dua kuburan lalu membantingkan ke tanah hingga apinya padam. Sesaat kemudian Siauw Cie rendahkan kepala, buka dua mata yang terpejam dan turunkan dua tangan yang mengembang. Dia memberi isyarat kedipan mata pada Bun Pek Cuan lalu berkelebat pergi.

“Sahabat muda itu, mengapa dia pergi duluan?” tanya Hantu Hitam pada Bun Pek Cuan.

“Dia hanya memeriksa keadaan sekitar sini. Untuk memastikan semua dalam keadaan aman...“ Jawab Bun Pek Cuan.

“Tugasku sudah selesai. Aku juga ingin pergi. Harap sahabat tua memberikan bayaran...“

“Jangan khawatir. Aku sudah menyiapkan satu bayaran besar untukmu,” jawab Bun Pek Cuan sambil tertawa. Dia memberi isyarat agar Hantu Hitam datang mendekat. Begitu Hantu Hitam maju dua langkah, Bun Pek Cuan bukan memberikan uang, justru tangan kirinya melesat dalam satu jotosan luar biasa cepat dan keras.

“Bukk!” Hantu Hitam menjerit. Suara jeritannya lenyap berbarengan dengan semburan darah dari mulut. Tubuh terjengkang, muka mengkeret dan mata mendelik. Tak lama kemudian Siauw Cie muncul kembali.

“Beres?” tanya Bun Pek Cuan.

Siauw Cie mengangguk. “Dua tukang gali itu sudah ku habisi. Sebaiknya kita segera kembali ke kapal...“

Dua orang berpakaian serba putih melompat ke atas kuda lalu memacu tunggangan masing-masing ke arah Tanjung Losari. Jauh sebelum tengah malam keduanya sudah sampai di tepi pantai, melompat turun dan berjalan cepat ke arah sampan di atas pasir. Di langit bulan setengah lingkaran tersibak dari balik awan gelap, membuat suasana di tepi pantai menjadi lebih terang. Begitu sampai di samping sampan, Bun Pek Cuan dan Siauw Cie sama-sama terkejut. Langkah masing-masing tertahan, dua kaki laksana dipantek.

Di dalam perahu saat itu berbaring melunjur seorang lelaki gemuk berambut putih sebahu, berpakaian jubah bagus warna hijau, lengkap dengan topi tinggi warna merah. Baik topi, rambut, tubuh maupun pakaian si gemuk ini tampak basah kuyup. Satu-satunya benda yang masih dalam keadaan kering adalah sebuah hudtim (kebutan) warna ungu di tangan kanan yang berwarna hitam. Kebutan ini dikipas-kipaskan di depan wajahnya yang bulat. Udara di pantai selain dingin juga ada tiupan angin. Sementara sekujur tubuhnya basah kuyup. Namun si gemuk di dalam perahu kelihatan seperti kepanasan. Ketika menyeringai tampak deretan gigi besar-besar berwarna merah seperti dilumuri darah.

“Hek Chiu Mo!” seru Bun Pek Cuan dan Siauw Cie berbarengan.

Kedua orang ini dalam kejut masing-masing segera saja bersikap waspada penuh. (Hek Chiu Mo = Iblis Tangan Hitam) Mereka bukannya kenal lagi dengan si gemuk bertangan hitam ini. Hek Chiu Mo adalah salah seorang momok golongan hitam dirimba persilatan Tionggoan (Tiongkok) bagian selatan. Dia diketahui memiliki tiga senjata ganas. Pertama hudtim ungu di tangan kanan yang sanggup menghancurkan batu sebesar gajah.

Lalu tangan kanan berwarna hitam yang juga memiliki daya penghancur luar biasa. Dan ketiga adalah semburan ludah berwarna merah yang mampu menembus setiap bagian tubuh lawan. Bagaimana manusia satu ini tahu-tahu berada di tempat ini? Memandang ke tengah lautan Bun Pek Cuan dan Siauw Cie tidak melihat kapal lain selain kapal kayu besar yang sebelumnya mereka tumpangi.

“Siauw Cie,” bisik Bun Pek Cuan. “Ada yang membocorkan rahasia perjalanan kita...“

Orang yang berbaring di dalam sampan menyeringai. Kelihatan deretan gigi-gigi besar berwarna merah seperti dilumuri darah. Mulut terbuka. Suaranya perlahan sekali, tidak sesuai dengan keadaan kepala dan tubuhnya yang besar gemuk.

“Jangan heran. Kita menumpang kapal yang sama. Tapi datang ke pantai ini aku lebih suka berenang dari pada naik perahu seperti kalian...“

Bun Pek Cuan batuk-batuk lalu berkata. “Sungguh satu pertemuan tidak diduga tidak disangka!” ucap Bun Pek Cuan. Si gemuk dalam perahu gelengkan kepala.

“Kau dan temanmu boleh menganggap begitu. Namun bagiku ini satu pertemuan yang sudah aku rencanakan sebelumnya. Sejak kita masih sama-sama berada di Tionggoan...“

Melihat gelagat tidak baik Siauw Cie berkata. “Hek Chiu Mo, kami tak punya waktu banyak. Kami harus segera kembali ke kapal. Kau mau ikut sama-sama?” Siauw Cie berkata sambil memberi isyarat kedipan mata pada Bun Pek Cuan.

Si gemuk dalam perahu perlahan-lahan bangkit dan duduk. Tangan kanannya yang berwarna hitam masih mengipas-ngipaskan hudtim. “Perahu sekecil ini tidak mungkin dimuati kita bertiga. Lagi pula aku tidak punya niat buru-buru kembali ke kapal...“

“Kalau begitu harap kau sudi keluar dari perahu. Kami akan mempergunakan perahu itu untuk kembali ke kapal,” kata Bun Pek Cuan pula.

“Tentu saja... tentu saja,” jawab Hek Chiu Mo.

Lalu sekali bergerak tubuhnya yang gemuk melesat ke udara. Ketika turun ke pasir, kepalanya menjejak. menempel pasir pantai lebih dulu. Dua kaki melejang-lejang, mulut keluarkan suara tertawa. Si gemuk kemudian melesat ke udara, ketika turun kembali, kali ini kakinya dengan enteng menginjak pasir.

“Sudah lama tidak bersalto, aku sampai salah, Kepala turun duluan... Ha ha ha. “ Si gemuk melucu.

Namun bagi Bun Pek Cuan dan Siauw Cie jelas orang ini sengaja memperlihatkan kepandaian. Tanpa banyak menunggu kedua orang ini segera hendak masuk ke dalam perahu.

“Dua sahabat, sebelum pergi ada sesuatu yang ingin kutanyakan...“

Tiba-tiba Hek Chiu Mo berkata, membuat Bun Pek Cuan dan Siauw Cie dengan jengkel terpaksa hentikan langkah. “Kami ingin cepat. Maaf saat ini tidak bisa berjawab tanya denganmu. Nanti saja diteruskan kalau bertemu di Tionggoan...“ kata Bun Pek Cuan.

“Ah, sayang sekali. Kalian ingin cepat, akupun terburu-buru. Agar adil bagaimana kalau aku tidak akan mengizinkan kalian pergi dari sini!”

“Apa maksud orang gagah Hek Chiu Mo?” tanya Bun Pek Cuan. “Maksudku begini!”

Habis berkata begitu Hek Chiu Mo tendangkan kaki kanannya. Sekali menendang sampan kayu di atas pasir pantai mencelat hancur berkeping-keping. “Aku tahu kalian tak bisa berenang. Jadi tak mungkin kembali ke kapal. Ha ha ha!” Hek Chiu Mo tertawa perlahan. Air liurnya yang berwarna merah bercucuran ke dagu.

BAB 2

Melihat perbuatan si gemuk Hek Chiu Mo menghancurkan sampan, marahlah Bun Pek Cuan dan Siauw Cie. “Hek Chiu Mo!” hardik Bun Pek Cuan. “Selama ini tak ada silang sengketa diantara kita! Hari ini jauh dari negeri sendiri, kau sengaja mencari lantai terjungkat!”

Hek Chiu Mo tertawa perlahan. Hudtim di tangan kanan terus dikipas-kipaskan di depan wajahnya yang gemuk berkeringat. “Bun Pek Cuan, kalau kakimu yang pincang, jangan mengatakan lantai yang terjungkat. Ucap kata dan tindak sikapmu sombong sekali. Aku hanya ingin bicara sesuatu, tapi kau menolak seolah kau tengah ditagih hutang saja..."

"Ha ha ha! Dalam soal bicara Iblis Tangan Hitam memang dikenal paling nomor satu di Tionggoan...“

"Hek Chiu Mo, sebaiknya kau berterus terang saja. Katakan apa yang kau inginkan dari kami!” Kata Siauw Cie walau sebenarnya dia dan juga Bun Pek Cuan sudah bisa menduga apa yang diinginkan tokoh silat golongan hitam di hadapannya itu.

“Orang sudah bertanya, wajib aku menjawab,” ucap Hek Chiu Mo. Lalu tangan kirinya ditudingkan ke arah pinggang pakaian Bun Pek Cuan. “Aku inginkan dua buah benda yang kau simpan di balik pakaianmu. Dalam sebuah kantong kulit berwarna hitam. Apa ucapanku sudah jelas?!”

“Aku tidak memiliki kantong kulit hitam di balik pakaianku. Bagaimana mungkin aku memberikan padamu?” ujar Bun Pek Cuan pula.

Mendengar ucapan itu, Hek Chiu Mo tersenyum. “Tidak sangka orang yang punya nama besar sepertimu pandai pula berdusta!” Ucap Hek Chiu Mo.

“Hek Chiu Mo, harap kau tidak, mengada-ada!” Siauw Cie ikut bicara.

“Aku Hek Chiu Mo ini orang sederhana. Bersikap selalu lemah lembut. Dalam setiap urusan tidak suka bertindak keras. Apakah hal itu tidak bisa jadi bahan pertimbangan kalian berdua?”

“Kau membuang waktu kami saja!” Suara Bun Pek Cuan mulai keras.

“Waktuku juga sudah banyak terbuang,” menyahuti Hek Chiu Mo. Suaranya tetap perlahan. Hudtim di tangan kanan terus dikipas-kipas.

“Siauw Cie!” kata Bun Pek Cuan kesal. “Mari kita tinggalkan orang aneh satu ini!” Hek Chiu Mo menyeringai. “Apakah aneh kalau aku meminta barang yang bukan milikmu?!”

“Barang apa?!” bentak Siauw Cie.

Lagi-lagi si gemuk Hek Chiu Mo sunggingkan senyum. “Baiklah, kalau kalian tak mau memberikan biar aku mengambil sendiri!” Habis bekata begitu tubuh gemuk Hek Chiu Mo melangkah ke arah Bun Pek Cuan. Hudtim di tangan kanan dikebut.

“Wutt!” Selarik sinar ungu yang keluar dari kebutan menerpa ganas ke arah wajah Bun Pek Cuan. Tahu akan kedahsyatan senjata di tangan lawan, Bun Pek Cuan cepat menghindar sambil jauhkan kepala sementara kaki kanannya tahu-tahu melesat ke arah perut Hek Chiu Mo. Siauw Cie tak tinggal diam. Dari samping tangan kanannya dengan dua jari terpentang lurus menusuk ke arah leher Iblis Tangan Hitam.

Tubuh gemuk Hek Chiu Mo bergerak lentur menghindari dua serangan lawan. Hudtim ungu kembali dikebutkan. Lingkaran cahaya ungu berbentuk setengah Ijngkaran membeset udara. Bun Pek Cuan berseru kaget dan melompat mundur dengan muka pucat. Kumis kirinya yang menjulai ke bawah dagu terbabat putus kena sambaran kebutan hingga tampangnya jadi lucu dan membuat Hek Chiu Mo tertawa mengekeh.

“Bun Pek Cuan, aku sudah memberi peringatan. Apa kau masih belum mau menyerahkan benda yang aku minta?!”

“Kau bekerja untuk siapa? Siapa yang menyuruhmu mendapatkan benda itu?!” tanya Siauw Cie tanpa menyadari kalau pertanyaannya itu memberi kesan bahwa benda yang dicari dan diingini Hek Chiu Mo memang ada padanya atau pada Bun Pek Cuan.

“Tak ada yang memerintah. Aku bekerja untuk diri sendiri!” jawab Hek Chiu Mo.

“Bagus! Kalau begitu kami tidak akan susah-susah memberi tahu tuanmu bahwa kau sudah menemui ajal di negeri orang” kata Siauw Cie pula.

Lalu orang ini melesat ke depan. Sepuluh jari tangan membeset lurus, lebih keras dari besi. Siauw Cie memiliki ilmu kuntauw yang disebut Sepuluh Jari Besi. Sesuai namanya ke sepuluh jari tangan Siauw Cie bisa berubah lurus dan sekeras besi. Setiap jurus yang dilancarkan sangat ganas mematikan. Bun Pek Cuan tak kalah ganas. Dari balik pakaian putihnya dia hunus sebuah golok yang dalam malam gelap menebar cahaya hijau angker.

Baik Bun Pek Cuan maupun Siauw Cie yang masih muda adalah orang-orang rimba persilatan yang disegani. Tingkat kepandaian mereka telah banyak sekali membuat kegemparan di daratan Cina. Cahaya golok hijau di tangan Bun Pek Cuan bertabur ganas mengeluarkan hawa dingin. Yang diserang adalah bagian tubuh lawan mulai dari leher ke bawah. Sementara sepuluh jari besi Siauw Cie berkelebat mencari sasaran mulai dari leher sampai kepala. Walau dua orang ini punya nama besar karena ilmu silatnya yang tinggi namun Hek Chiu Mo merupakan dedengkot golongan hitam yang sudah dikenal dan ditakuti di delapan penjuru rimba persilatan Tionggoan, terutama di bagian selatan.

Kebutan ungu menderu memapas dan menangkis serangan golok hijau Bun Pek Cuan serta melindungi kepalanya dari tusukan jari-jari besi Siauw Cie. Tiga jurus berlalu cepat dan jelas terlihat dua lawan yang dihadapi Iblis Tangan Hitam mulai kewalahan. Beberapa kali kebutan ungu membentur badan golok di tangan Bun Pek Cuan. Bukan saja golok dan tangan Bun Pek Cuan jadi tergetar hebat, tetapi bagian tajam dari mata golok hijau itu gompal di tiga tempat! Siauw Cie sendiri kalau tidak berlaku sigap dua kali tangan kirinya hampir kena hantaman hudtim. Walau dia mampu selamatkan tangan tetap saja ujung lengan kiri baju putihnya hangus kehitaman dan robek besar.

“Bun Pek Cuan, kau mau serahkan benda itu hidup-hidup atau minta mati lebih dulu?!” Hek Chiu Mo memperingatkan sekaligus mengancam.

Sebagai jawaban Bun Pek Cuan berteriak. “Iblis gendut keparat! Kau rupanya yang sudah bosan hidup! Lihat golok!”

“Wuttt!” Golok di tangan Bun Pek Cuan berkelebat dalam jurus bernama Langit Meratap Bumi Menangis. Sinar hijau bertabur.

“Breett!” Dada jubah hijau yang dikenakan Hek Chiu Mo robek besar. Kulit dadanya ikut tergores sepanjang satu jengkal hingga mengucurkan darah. Ternyata keberhasilan Bun Pek Cuan menciderai lawan harus dibayar mahal. Karena pada saat yang hampir bersamaan hudtim di tangan Hek Chiu Mo menyambar dari samping.

“Praakk!” Kepala bagian kiri Bun Pek Cuan hancur mengerikan. Orang tua ini mengerang satu kali lalu roboh ke pasir pantai tak berkutik lagi!

Melihat kematian sahabat tuanya Siauw Cie berteriak marah dan mengamuk. Dia keluarkan jurus-jurus silat simpanannya hingga beberapa kali Hek Chiu Mo berseru kaget dan bergerak sebat menghindar dari serangan ganas yang selalu mengarah leher dan kepala. Setelah didesak selama hampir empat jurus, kini giliran Iblis Tangan Hitam ganti menggempur. Hudtim ungu bersuit-suit di udara.

Siauw Cie bertahan mati-matian untuk selamatkan diri. Karena serangan lawan semakin ganas, Siauw Cie memutar otak. Dia berpikir lebih baik selamatkan diri sambil berusaha mengambil kantong kulit yang ada di balik pakaian Bun Pek Cuan dari pada menemui ajal percuma di tangan Iblis Tangan Hitam. Didahului satu bentakan keras Siauw Cie lantas kebutkan lengan baju sebelah kanan. Dari bawah jubah melesat tiga senjata rahasia berbentuk pisau terbang beracun.

“Licik sekali!” ucap Hek Chiu Mo lalu kebutkan hudtim ungu.

“Wuttt!” Tiga pisau terbang bermentalan dan luruh ke tanah.

Sewaktu lawan menangkis serangan tiga senjata rahasianya, Siauw Cie pergunakan kesempatan mengambil kantong kulit hitam yang ada di balik pinggang pakaian Bun Pek Cuan. Dengan merobek pinggang baju Bun Pek Cuan, Siauw Cie segera menemukan kantong kulit itu. Namun sebelum dia sempat menyentuh tahu-tahu Hek Chiu Mo sudah ada di hadapannya. Hudtim ungu dikibaskan ke arah tangan kanan Siauw Cie.

“Kraaakk!” Siauw Cie seperti disambar petir, menjerit setinggi langit. Tangan kanannya hancur mulai dari ujung jari sampai ke pergelangan! Nyali Siauw Cie pun putus. Kalau tadi dia berusaha selamatkan kantong kulit, sekarang yang lebih penting adalah selamatkan nyawanya. Tidak pikir lebih lama Siauw Cie jatuhkan diri, berguling di pasir lalu melompat dan berkelebat melarikan diri dari tempat itu.

“Manusia-manusia tolol. Memilih mati secara konyol!” kata Hek Chiu Mo pula seraya melangkah mendekati mayat Bun Pek Cuan.

Pada pinggang pakaian yang robek tersingkap, dia melihat sebuah kantong kulit hitam. Dengan cepat dia ambil kantong itu. Tali pengikat dibuka, isinya dituangkan ke telapak tangan kiri. Benda yang ada di dalam kantong kulit itu ternyata adalah dua buah dadu putih kekuningan, terbuat dari gading, dihias mata dadu berwarna merah. Hek Chiu Mo menyeringai, masukkan dua buah dadu kembali ke dalam kantong kulit hitam. Kantong ini kemudian dimasukkan ke dalam saku di sebelah kiri jubah hijau.

Hek Chiu Mo menatap ke langit. “Aku harus segera kembali ke kapal,” ucapnya dalam hati.

Pada saat hendak melangkah tiba-tiba dia mendengar sambaran angin di samping kiri. Cepat Hek Chiu Mo palingkan diri. Alangkah terkejutnya lelaki gemuk ini ketika melihat seseorang duduk menjelepok di tepi pasir. Orang ini ternyata adalah nenek berambut kelabu, bermulut perot dan memiliki sepasang mata warna merah yang menatap tajam tak berkesip ke arah Hek Chiu Mo. Daun telinga ditindis dengan giwang terbuat dari tulang-tulang jari manusia. Cipratan ombak membuat rambut kelabu serta jubah kuning yang dikenakannya basah kuyup.

“Manusia aneh. Urusan tidak enak. Dia berdiri di jalur berenangku arah ke kapal. Sengaja menghalangi. Dia bukan orang dari Tionggoan...“

Tiba-tiba nenek di atas pasir acungkan tangan kanan ke arah Hek Chiu Mo. Tangan kiri menepuk-nepuk pinggang. Lalu mulutnya berteriak. “Serahkan padaku dua dadu di dalam kantong kulit!“

Celakanya Hek Chiu Mo tidak tahu bahasa setempat. Tapi dari gerak isyarat orang dia tahu kalau si nenek inginkan dua dadu yang ada di kantong kiri jubah hijau. Tokoh silat berbadan gemuk ini gelengkan kepala, goyang-goyang tangan kiri sedang tangan kanan di lambai-lambaikan ke samping memberi tanda agar si nenek pergi dari situ. Nenek yang duduk di atas pasir pantai balas menggeleng. Tangan kanan dilambaikan, memberi isyarat agar Hek Chiu Mo mendatanginya!

Tidak mau mencari urusan membuang waktu Hek Chiu Mo lari sepanjang tepi pasir. Di satu tempat setelah cukup jauh dari nenek aneh itu dia akan mencebur masuk laut dan berenang menuju kapal. Si nenek tidak tinggal diam. Dalam sikap masih duduk tubuhnya naik ke atas sejarak satu jengkal, lalu melayang ke kiri mengikuti arah lari Hek Chiu Mo!

Tokoh silat golongan hitam dari Tionggoan ini hentikan lari. Tubuh si nenek berhenti pula melesat dan turun duduk kembali di atas pasir. Kejut Hek Chiu Mo bukan alang-kepalang. Seumur hidup baru kali ini dia melihat ada orang memiliki kepandaian seperti itu. Sementara Hek Chiu Mo masih diselimuti perasaan heran, seperti tadi nenek berjubah kuning berteriak agar Hek Chiu Mo serahkan benda yang dimintanya.

Setelah diam sejenak, mencari akal akhirnya Hek Chiu Mo keluarkan kantong kulit hitam dari saku jubah sebelah kiri. Benda ini diacungkan tinggi-tinggi ke udara dan digoyang-goyang sambil tangan kanannya yang memegang kebutan memberi tanda agar si nenek mendatangi. Begitu si nenek mendekat akan dihantamnya dengan kebutan serta pukulan tangan kiri.

Nenek mata merah berambut kelabu tidak terpancing. Dia tetap berada di tempatnya duduk dan kembali berteriak agar Hek Chiu Mo menyerahkan kantong kulit. Wajahnya kini tampak garang pertanda dia mulai marah. “Gendut! Berikan kantong kulit itu padaku. Lemparkan kesini! Aku akan memberi jalan bagimu untuk berenangi kembali ke kapal!”

Walau tidak tahu bahasa yang diucapkan orang tapi Hek Chiu Mo cukup mengerti apa kemauan si nenek. “Aku sudah mau memberi. Tapi kau tidak mau mengambil! Perduli setan!”

Tokoh silat dari Tionggoan selatan ini masukkan kantong kulit ke dalam saku jubah kembali. Lalu dengan sangat tiba-tiba tangan kiri yang berwarna hitam itu memukul ke depan. Berbarengan dengan itu kebutan di tangan kanan ikut dihantamkan. Sinar hitam dan cahaya ungu menyambar nenek di tepi laut. Pasir pantai laksana digusur topan berhamburan ke udara, meninggalkan lobang dalam dan panjang. Air laut membentuk ombak besar, muncrat ke udara setinggi tiga tombak!

Nenek di atas pasir menjerit keras. Ketika air laut surut dan pasir luruh ke pantai kembali, perempuan tua itu tak kelihatan lagi. Hek Chiu Mo sunggingkan seringai. Dia menyangka si nenek sudah amblas ke dalam laut dan menemui ajal. Tapi alangkah terkejutnya tokoh golongan hitam daratan Cina selatan ini ketika mendadak terdengar suara tawa cekikikan. Datangnya dari tiga arah sekaligus!

BAB 3

Memandang ke depan Hek Chiu Mo melihat nenek rambut kelabu bermata merah berdiri tegak di atas pasir tidak kurang suatu apa. Malah berdiri sambil berkacak pinggang dan sunggingkan seringai sinis.

“Luar biasa! Ilmu apa yang dimiliki manusia ini hingga jangankan mati, ciderapun dia tidak dihantam dua serangan saktiku!” pikir Iblis Tangan Hitam.

Sebenarnya nenek jubah hitam tidak memiliki kemampuan untuk adu kekuatan dan menangkis langsung dua serangan lawan. Dia bisa selamatkan diri karena memiliki daya gerak yang sangat cepat ditambah ilmu meringankan tubuh luar biasa tinggi. Yang kemudian membuat Hek Chiu Mo terlonjak kaget adalah ketika berpaling ke kanan. Beberapa langkah di arah itu berdiri nenek yang sama, berjubah kuning, rambut kelabu mata merah, beranting-anting tulang jari manusia dan bertolak pinggang sambil menyeringai.

“Gila! Bagaimana bisa jadi dua?!”

Belum habis kejut Hek Chiu Mo sudut mata sebelah kiri menangkap sesuatu. Cepat si gemuk ini berpaling dan! Astaga! Di arah ini lagi-lagi dia melihat seorang nenek berambut kelabu bermata merah berjubah kuning lengkap dengan anting-anting tulang! Jadi ada tiga nenek yang sama! Bagaimana mungkin?

“Aku berhadapan dengan setan perempuan berilmu tinggi, punya kepandaian sihir!” pikir Hek Chiu Mo.

Tiba-tiba nenek di sebelah depan berteriak. Tangan kiri ditepuk-tepukkan ke pinggang. Dua nenek di kiri kanan melakukan hal yang sama! Berteriak sambil menepuk pinggang kiri. “Serahkan dadu!” teriak nenek di sebelah depan. “Serahkan dadu!” Dua nenek lainnya ikutan berteriak.

“Ilmu setan harus dihadapi dengan ilmu setan!”

Hek Chiu Mo rangkapkan dua tangan di depan dada. Tubuh mengeluarkan sekilas sinar. Lalu sosok itu berubah menjadi lebih besar dan lebih tinggi. Hudtim ungu di tangan kanan ikut membesar. Di atas kepalanya yang mengenakan topi merah mencuat sepasang tanduk. Muka yang tadi gemuk polos kini ditumbuhi cambang bawuk dan jenggot serta kumis meranggas. Sepasang matanya mendelik besar berwarna hitam. Ketika menyeringai kelihatan deretan gigi-gigi besar serta lidah basah dengan cairan merah! Sepuluh kuku jari tangan mencuat panjang, memancarkan cahaya redup menggidikkan.

Hek Chiu Mo ternyata punya kepandaian merubah diri menjadi raksasa! Didahului suara menggembor Hek Chiu Mo melompat ke arah nenek rambut kelabu yang ada di sebelah depan. Tangan kanan kebutkan hudtim, tangan kiri lepaskan pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi. Sinar ungu dan lima larik cahaya hitam berkiblat!

Nenek rambut kelabu mata merah di sebelah depan tertawa melengking. “Raksasa jejadian! Siapa takut! Di hutan Roban aku punya selusin mahluk macam beginian! Hik hik hik!” Nenek ini lalu tertawa panjang.

Dua nenek lainnya ikut keluarkan suara tawa yang sama. Tiga nenek kemudian melompat setinggi dua tombak, selamatkan diri dari dua serangan lawan lalu laksana kilat berkelebat lancarkan serangan balasan.

“Bukk! Bukk! Bukkk! Desss!”

Dua jotosan keras mendarat di dada Hek Chiu Mo. Satu tendangan melanda perutnya yang buncit! Hek Chiu Mo hanya geliatkan badan. seperti tidak merasa sakit sedikitpun. Sebaliknya salah seorang dari tiga nenek rambut kelabu yaitu yang sebelah kiri hanya tertawa mengekeh sewaktu hudtim ungu mengemplang kepalanya! Padahal kepala manusia biasa seperti yang terjadi dengan Bun Pek Cuan pasti akan hancur dihantam kebutan itu.

“Gila! tidak mempan! Aku harus bisa menggebuk yang asli! Kalau tidak aku bisa celaka! Tapi yang mana nenek yang asli?!”

Sementara si gemuk dari Tionggoan selatan itu kebingungan, tiga nenek menjerit keras dan serempak kembali menyerang. Hek Chiu Mo kebutkan hudtim. Cahaya ungu setengah lingkaran melindungi dirinya. Sementara tangan kiri siap melancarkan pukulan tangan kosong ke arah depan, dari tanduk di kepalanya mencuat dua larik sinar biru, melesat k arah nenek di sebelah kiri dan kanan!

Dua nenek yang diserang lagi-lagi keluarkan suara jeritan dan teruskan gempuran. Tapi serangan mereka terhalang oleh sambaran hudtim. Kini mereka malah disambar dua larik sinar biru. Nenek di sebelah kanan melesat ke udara selamatkan diri. Yang sebelah kiri hancur tercabik-cabik dan kepulkan asap begitu kena hantaman sinar biru. Namun cabikan tubuh itu menyatu lagi dan kembali ke ujud semula!

“Yang depan atau yang kanan!” pikir Hek Chiu Mo lalu tangan kiri keluarkan cahaya hitam, menyambar ke arah nenek di sebelah depan sementara dari tanduk di atas kepala mencuat kembali dua larik sinar biru yang menggebubu ke arah nenek di sebelah kanan. Tidak terduga nenek sebelah kiri yang tadi telah tercabik-cabik tibatiba melesat sebat dan tahu-tahu telah berada dua langkah dengan tangan kanan melepas satu jotosan dahsyat.

Hek Chiu Mo segera sorongkan kepala. Dua tanduk aneh menusuk dada nenek yang melepas jotosan. Si nenek terpental, keluarkan pekik kesakitan. Tapi keadaannya tidak cidera sedikitpun. Padahal tembok batu setebal dua kaki sanggup dihantam jebol oleh sepasang tanduk itu. Ketika melihat dua sinar biru menderu ke arahnya, nenek sebelah kanan cepat melesat ke udara. Dalam keadaan melayang dia lepas dua pukulan tangan kosong yang memancarkan sinar kemerahan.

Hek Chiu Mo keluarkan suara menggembor lalu menyembur. Cairan merah kental menyambar menangkis dua sinar kemerahan pukulan tangan kosong nenek di sebelah kanan dan terus melabrak ke arah sasaran. Nenek satu ini berteriak keras. Muka dan pakaiannya di sebelah penuh berselomotan cairan merah. Namun yang membuat Hek Chiu Mo jadi kaget ialah nenek ini tidak mengalami cidera sedikitpun. Padahal semburan ludah berdarah yang dilakukannya tadi sanggup membuat patah batang pohon dan menghancurkan gundukan batu besar!

Kini Hek Chiu Mo sadar bahwa makhluk asli berupa nenek rambut kelabu itu adalah yang berada di sebelah depannya dan yang barusan dihantam dengan pukulan tangan kiri. Kalau pukulan dahsyat itu sempat menyambar ke arah lawan, namun si nenek sebelah depan masih bisa menghindar dengan jatuhkan diri ke tanah. Lalu dalam keadaaan tengkurap nenek ini menyeringai, goyangkan kepala.

Saat itu juga dua larik sinar merah berkiblat keluar dari sepasang mata, langsung menyambar ke arah leher dan perut Hek Chiu Mo. Tokoh golongan hitam Tionggoan selatan ini keluarkan pekikan pendek lalu tergelimpang di tanah. Lehernya nyaris putus sementara perut robek besar. Sosoknya yang tadi berbentuk setengah raksasa perlahan-lahan menciut ke bentuk asal.

Menyaksikan Hek Chiu Mo menemui ajal, nenek yang tadi melepaskan dua sinar merah dari matanya cepat mendatangi untuk mengambil kantong kulit hitam yang tersembul di pinggang. Namun mendadak satu bayangan putih menyambar kantong kulit itu lalu kabur ke balik semak belukar.

“Jahanam kurang ajar! Siapa berani mati!” teriak si nenek lalu angkat dua tangan ke atas dan berteriak pada dua nenek di depannya. “Kejar! Bunuh!”

Dua nenek yang diberi perintah serta merta melesat ke arah semak belukar melakukan pengejaran. Tak selang berapa lama dua nenek itu kembali muncul. Yang sebelah kanan melangkah sambil menenteng kepala manusia yang bukan lain adalah kepala Siauw Cie. Nenek di sebelah kiri membawa kantong kulit hitam. Begitu sampai di hadapan nenek pertama, nenek di sebelah kanan campakkan kutungan kepala hingga menggelinding di atas pasir pantai. Nenek pertama angkat kaki, menahan kepala yang menggelinding.

“Eyang Sepuh Kembar Tilu! Dia pencurinya!”

Nenek yang dipanggil dengan sebutan Eyang Sepuh Kembar Tilu menyeringai. “Ternyata orang asing dari kapal. Eh, bukankah dia yang sebelumnya telah dihajar oleh si gendut itu?” Kaki si nenek menendang. Kutungan kepala mencelat masuk ke dalam laut.

“Eyang Sepuh, kantongnya...“ kata nenek di samping kiri seraya mengulurkan kantong hitam yang dipegangnya.

. Sepasang mata Eyang Sepuh berkilat-kilat. Isi kantong diperiksa. Setelah memasukkan kantong kulit ke balik dada pakaian, Eyang Sepuh angkat tangan kanan di atas kepala. Dua mata menatap ke arah dua nenek di hadapannya yang memiliki ujud sama dengan dirinya. Dari ujung-ujung jari tangan Eyang Sepuh Kembar Tilu mengepul asap tipis. Si nenek berucap perlahan.

“Kalian berdua pulanglah!”

Saat itu juga dua nenek yang menyerupai ujud Eyang Sepuh serta merta lenyap laksana ditelan angin malam! Bersamaan dengan menghilangnya dua nenek rambut kelabu tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan disusul ucapan.

“Eyang Sepuh Kembar Tilu! Pertunjukkan yang sangat mengagumkan. Tidak sia-sia aku datang dari jauh untuk menyaksikan!”

“Wehhh!” Si nenek rambut kelabu mata merah dongakkan kepala ke langit, agak heran. Dalam hati dia bekata. “Suaranya sedikit lain. Tapi hanya dia yang tahu...“

“Raden Kumalasakti, aku tidak mengira kalau Raden sudi hadir di tempat ini.“

“Karena barang yang dicari sudah didapat, harap Eyang Sepuh menyerahkan padaku...“

“Tentu, tentu saja...“ kata Eyang Sepuh Kembar Tilu lalu melangkah ke arah datangnya suara.

Dari kegelapan keluar seorang penunggang kuda, berpakaian serba hitam, mengenakan topi kain yang bagian depannya ada cadar tipis hingga wajah orang ini tidak kelihatan. Di sebelah belakang ada dua penunggang kuda lagi, juga berpakaian hitam tapi tidak mengenakan topi, bercadar.

Pada jarak satu langkah di samping nenek rambut kelabu, penunggang kuda bercadar berhenti. Dia mengambil kantong kulit hitam yang dikeluarkan si nenek dari balik dada pakaian. Setelah menimang-nimang kantong itu sebentar dia berkata,

“Hadiah dan bayaran untukmu dapat kau ambil besok pagi di tempat perjanjian di selatan Losari! Kerjamu bagus! Aku akan tambahkan beberapa hadiah! Misalnya anting tulang di dua telingamu itu. Layak diganti dengan anting emas!”

“Terima kasih Raden,” jawab si nenek. Sambil membungkuk dan mengulum senyum dia ikuti kepergian tiga penunggang kuda. Dia menunggu sebentar lalu berkelebat Ke arah lenyapnya ke tiga orang itu.

Selewat tengah malam, Raden Kumalasakti dan dua pengiring sampai di desa kecil bernama Cangkring. Di jalan masuk menuju desa terdapat sebuah kedai minuman yang selalu buka sampai larut malam, walaupun pada masa itu keadaan di kawasan tersebut tidak begitu aman, banyak orang jahat berkeliaran.

Melihat kemunculan tiga orang tak dikenal berpakaian serba hitam dan salah seorang diantara mereka mengenakan cadar, semua pengunjung yang ada di dalam kedai cepat-cepat membayar lalu tinggalkan tempat itu. Mereka menduga ke tiga orang yang barusan masuk ke dalam kedai adalah kawanan begal. Dari pada cari perkara lebih baik cepat-cepat pergi.

Pemilik kedai dan istrinya, yang sudah berpengalaman menghadapi berbagai macam tamu, berusaha tenang saja melayani ke tiga orang yang barusan datang. Dengan cepat mereka menyuguhkan minuman bandrek panas, singkong, ubi dan pisang rebus hangat.

Setelah meneguk minuman, lelaki bercadar keluarkan kantong kulit hitam yang diberikan Eyang Sepuh Kembar Tilu. Dua temannya memperhatikan. Ketika isi kantong digulir di meja, kaget ke tiga orang itu bukan alang kepalang. Dua benda yang tergeletak di atas meja bukannya yang seperti mereka duga. Bukan dua buah dadu putih tetapi dua buah batu hitam!

“Kurang ajar! Kita kena ditipu!” teriak orang bercadar sambil menggebrak meja hingga minuman dan makanan yang ada di atas meja melesat berhamburan!

“Kita kembali! Cari nenek sialan itu! Akan aku gorok batang lehernya!”

Tiba-tiba dari sudut kedai yang agak gelap terdengar suara tawa cekikikan. “Kalian tidak usah jauh-jauh mencari. Aku ada di sini!”

BAB 4

Tiga kepala dipalingkan. Tiga pasang mata memandang mendelik ke arah salah satu sudut kedai yang agak gelap. Disitu memang tampak duduk Eyang Sepuh Kembar Tilu, si nenek berambut kelabu bermata merah. Amarah lelaki bercadar bukan alang kepala. Dia ambil dua buah batu dan kantong kulit hitam yang tercampak di lantai. Lalu melompat ke hadapan si nenek dan bantingkan dua buah batu serta kantong kulit hitam hingga melesak ke dalam kayu meja!

“Ck ck ckkk!”? Si nenek decakkan mulut. “Pertunjukkan hebat! Tapi aku tidak tertarik. Hik hik hik!”

“Tua bangka penipu!” teriak lelaki bercadar. “Lekas berikan dua buah dadu itu padaku! Dan aku akan mengampuni selembar nyawa anjingmu!”

Si nenek ganda tertawa mendengar ucapan orang. “Aku tidak akan menipumu kalau kau tidak menipuku lebih dulu! Kau inginkan dua buah dadu? Silahkan ambil!”

Si nenek ulurkan tangan kiri yang tinggal kulit pembalut tulang lalu usap dua buah batu yang melesak di papan meja. Ketika tangan diangkat dua buah batu hitam telah berubah menjadi dua buah dadu putih bermata merah.

“Nah, nah... Kenapa pada melongo?!” Eyang Sepuh Kembar Tilu tertawa mengekeh melihat Raden Kumalasakti dan dua anak buahnya tegak ternganga menyaksikan apa yang terjadi. Tiba-tiba lelaki bercadar ini jentikan ibu jari dan jari tengah tangan kirinya.

“Klik!” Dua lelaki berpakaian hitam di samping meja langsung gerakkan tangan.

“Srett! Srett!” Dua golok berkilat keluar dari sarungnya, terus dibacokkan ke arah nenek rambut kelabu yang duduk di belakang meja.

“Dua monyet hitam! Kenapa kalian jadi kalap?! Terima bagianmu!”

Sosok nenek rambut kelabu lenyap. Ketika papan meja hancur dilanda bacokan dua golok, dari bawah kolong meja melesat dua tangan. Dua lelaki berpakaian serba hitam menjerit keras. Golok terlepas, tubuh mencelat mental, jatuh malang melintang di atas kursi kayu. Setelah menggelepar-gelepar keduanya terkapar tak berkutik lagi. Tubuh bagian bawah perut hancur. Darah menggenangi lantai kedai!

Lelaki bercadar berteriak marah. Sambil tangannya menghunus golok, kaki kanan menendang hingga meja kayu yang sudah hancur kini mental berkeping-keping. Namun si nenek rambut kelabu tak kelihatan! “Jahanam! Mau lari kemana?!” teriak orang bercadar dan bergerak ke arah pintu.

“Aku masih di sini. Apa matamu sudah buta?! Hik hik hik!”

“Setan alas!”

Orang bercadar babatkan golok besar di tangan kanan ke arah datangnya suara. Namun serangan ini tertahan begitu satu tangan mencekal pergelangan yang memegang golok. Orang bercadar menjerit kesakitan ketika tangannya dipuntir lalu badannya didorong ke tiang kedai hingga tiang itu patah dan membuat atap nyaris roboh.

“Hik hik hik! Beraninya kau menipuku! Kau bukan Raden Kumalasakti!”

“Brett!” Nenek rambut kelabu betot cadar hitam yang menutupi wajah orang. Ketika cadar tersingkap kelihatan satu wajah hitam berhidung lebar pesek dan bopeng! Hidung lebar pesek itu tampak bengkok patah dan mengucurkan darah.

“Pengemis Muka Bopeng dari Karangkoneng!” si nenek berseru. Lalu decakkan lidah. “Ilmu kepandaian baru sedengkul, beraninya kau mempermainkan diriku!”

“Nenek setan! Biar hari ini aku mengadu jiwa denganmu!” Habis berkata begitu lelaki muka bopeng layangkan satu jotosan keras dengan tangan kiri. Yang di arah adalah bagian dada si nenek. Kalaupun tidak bisa menghabisi lawan paling tidak dia harus dapat menghancurkan dua buah dadu yang diketahuinya disimpan si nenek di balik dada pakaian.

Untuk kalangan rimba persilatan di perbatasan Jawa sebelah barat dan Jawa sebelah tengah nama Pengemis Muka Bopeng dari Karangkoneng memang cukup ditakuti. Konon dia memiliki anggota hampir dua ratus orang yang berkeliaran mengemis sambil berbuat kejahatan dan terkadang melakukan hal-hal tak senonoh terhadap kaum perempuan. Walau sudah punya nama besar namun untuk menghadapi Eyang Sepuh Kembar Tilu pengemis bopeng ini belum bisa menandingi.

Sebelum jotosannya mampu menyentuh dada lawan tiba-tiba si nenek tangkap tangan kiri lelaki itu lalu kreek... kreek... kreek. Jari-jari tangan Pengemis Muka Bopeng hancur berpatahan. Pengemis Muka Bopeng menjerit setinggi langit.

“Tanganmu akan aku hancurkan sampai ke bahu...“ ucap si nenek. “Kecuali kau memberi tahu siapa yang menyuruhmu memainkan sandiwara tolol ini!”

“Kreek... kreekkk”

Tangan si nenek naik ke atas, kini mulai menghancurkan telapak tangan Pengemis Bopeng. Untuk kesekian kalinya lelaki ini menjerit kesakitan. Tiba-tiba Pengemis Muka Bopeng tarik kepalanya ke belakang lalu dengan nekat kepala ini dibenturkan ke kepala si nenek. Dua kepala beradu keras.

“Praakk!”

Si nenek terhuyung ke belakang, keluarkan tawa mengikik. Pengemis Muka Bopeng begitu kepalanya beradu langsung terbanting ke belakang lalu roboh ke lantai. Kening rengkah mengerikan. Darah membasahi muka yang bopeng, mata mendelik. Tubuh menggeliat satu kali lalu diam tak berkutik lagi.

Eyang Sepuh Kembar Tilu usap-usap keningnya lalu perhatikan mayat Pengemis Muka Bopeng seketika. Sambil gelengkan kepala nenek berambut kelabu ini berkata. “Aneh, dia lebih suka bunuh diri dari pada membuka rahasia. Agaknya ada seseorang yang ditakutinya dibalik semua perbuatannya...“

Si nenek memandang berkeliling. Ternyata di dalam kedai yang porak poranda itu hanya tinggal dia sendirian. Semua tamu dan juga suami istri pemilik kedai tak kelihatan lagi. Si nenek melangkah ke arah dapur. Dalam sebuah ceret besar dari tanah dia menemukan minuman air jahe yang masih panas karena belum lama diseduh. Enak saja si nenek kucurkan minuman itu ke dalam mulut dan meneguknya dengan lahap. Sebelum pergi dia letakkan sekeping kecil perak di atas meja dapur. Walau ganas tapi rupanya dia masih punya hati nurani untuk mengganti kerusakan di kedai itu.

********************

Di sebuah ruangan di dalam kapal kayu besar yang mengapung di perairan Tanjung Losari. Malam tambah larut, tambah gelap dan tiupan angin laut menjelang pagi terasa semakin dingin. Di pintu ruangan terdengar langkah kaki lalu suara pintu diketuk. Tiga buah lilin besar yang ada dalam ruangan serta merta padam oleh lambaian tangan seorang perempuan bercadar yang duduk di kursi, dekat sebuah jendela.

“Masuk!” perempuan di atas kursi keluarkan ucapan.

Pintu ruangan membuka berderik. Seorang lelaki bertubuh tinggi besar berdiri di ambang pintu. Dia tidak segera masuk, tapi tegak dulu berdiam diri untuk menyesuaikan pandangan matanya dalam kegelapan. Sesaat kemudian baru dia masuk ke dalam ruangan, itupun tidak jauh. Hanya dua langkah dari ambang pintu orang ini berhenti. Setelah terlebih dulu membungkuk baru dia membuka mulut.

“Kiang Loan Nio Nikouw, saya Tek It Hui, nakhoda kapal Naga Hitam. Datang menghadap memberi laporan...“ Tek it Hui tidak meneruskan ucapannya, menunggu tanggapan orang yang duduk di atas kursi.

“Sampaikan laporanmu, nakhoda...“

“Semua orang yang turun ke darat, satupun belum ada yang kembali Saat ini hampir pagi. Saya menunggu, putusan yang akan Kiang Loan Nio Nikouw ambil. Apakah terus menunggu atau kita segera berangkat saja.“ (Nikouw = panggilan terhadap Paderi perempuan)

Perempuan bercadar di atas kursi memandang keluar jendela. Setelah memperhatikan keadaan di luar sana dia berkata. “Kita sudah memberi waktu lebih dari cukup. Seharusnya salah satu dari mereka sudah kembali paling lambat sekitar tengah malam. Sekarang menjelang pagi. Aku punya firasat mereka semua gagal menjalankan tugas.“

“Berarti kita tak perlu menunggu, berangkat sekarang juga. Atau Kiang Loan Nio Nikouw berubah pikiran. Ingin turun sendiri ke darat?”

Kiang Loan Nio Nikouw alihkan kepala dari jendela kapal. Lalu menghela nafas dalam. “Aku pernah mendengar ketinggian ilmu kepandaian serta kehebatan ilmu kesaktian orang-orang di tanah Jawa. Tapi apa mereka begitu perkasanya hingga tokoh kang ouw sehebat Bun Pek Guan, Tong Siauw Chie dan Hek Chiu Mo menemui kegagalan? Mungkin sekali mereka saat ini sudah menemui ajal semua...“ Paderi perempuan itu berpaling pada nakhoda kapal yang tegak dalam kegelapan. (kang-ouw= rimba persilatan Tiongkok)

“Aku ingin sekali menjajaki tanah Jawa. Tapi tidak sekarang. Kita akan datang lagi dalam waktu cepat. Pasti. Nakhoda It Hui, kau ingat nama pendekar tanah Jawa yang pernah diberi tahu oleh Wakil Ketua Siauw Lim pay. sebelum kita berangkat?”

Nakhoda kapal Naga Hitam berpikir sejenak. “Kalau saya tidak salah mengingat namanya Wie Lo Sab Leng...“

“Nama aneh. Terdiri dari empat kata. Apakah Wie itu she nya atau apa?” Nakhoda It Hui tertawa. “Setahu saya orang Jawa tidak pakai she. “

“Kau yakin nama depannya Wie, bukan Lie?”

“Saya yakin sekali Loan Nio Nikouw...“

Paderi perempuan yang wajahnya tertutup cadar mengangguk. “Nakhoda, ada baiknya kita segera berangkat sekarang saja, ingat, jangan meniupkan peluit. Sampai kapal merapat di Tionggoan aku harap tidak seorangpun menggangguku...“

“Saya mengerti Loan Nio Nikouw...“ Nakhoda Tek It Hui membungkuk dalam-dalam. Lalu melangkah ke pintu.



Begitu lelaki itu lenyap di balik pintu dan pintu kembali ditutup, perempuan yang dipanggil sebagai paderi segera berdiri dari kursi. Dari dalam sebuah lemari kecil dia mengeluarkan dua buah benda. Pertama sebuah tas kecil, satunya sebuah papan seluncur. Dengan cepat dia mengeluarkan seperangkat pakaian ringkas warna merah lalu berganti pakaian. Selesai bersalin tas kecil digantungkan di punggung. Masih mengenakan cadar yang menutupi kepala dan wajah dia membuka jendela lalu menyelinap ke luar.

Untuk beberapa lama Loan Nio Nikouw bergelantungan di sanding jendela. Lalu papan seluncur dilempar ke bawah. Begitu papan mengapung di permukaan air laut, paderi perempuan ini lepaskan pegangannya pada sanding jendela. Tubuhnya melayang dalam gelap. Beberapa saat kemudian kaki kanannya telah mendarat di atas papan seluncur. Begitu kaki kiri dimasukkan ke dalam air dan dikibas ke belakang, papan seluncur melesat di permukaan air laut.

********************

Ditemukannya tiga mayat fang Cina dipantai, satu diantaranya tanpa kepala menimbulkan kehebohan besar di Losari dan daerah sekitarnya. Kehebohan itu jadi bertambah hebat setelah penduduk mengetahui pula adanya tiga mayat tak dikenal di pantai Losari serta tiga mayat di kedai minuman Akang Punten. Tiga mayat itu ternyata adalah Pengemis Muka Bopeng Dari Karangkoneng bersama dua anak buahnya.

Sementara itu menjelang siang di tepi pantai terlihat mengapung sesosok mayat yang kemudian diketahui adalah Supri, seorang nelayan. Kehebohan tidak sampai di situ. Penjaga pekuburan di Karangsembung memberitahu terjadinya pembongkaran atas makam Nyi Inten Kameswari.

Setelah mendapat cukup banyak keterangan dari anak buahnya Kepala Pasukan Kadipaten Losari Rayi Jantra menghadap Adipati Raden Seda Wiralaga untuk memberi laporan. Rayi Jantra seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, memelihara kumis dan jenggot tipis.

Sebenarnya Losari hanyalah sebuah kota pantai yang kecil tidak pantas kalau di sana ada seorang Adipati. Namun karena letaknya yang sangat strategis di kawasan perbatasan maka Kerajaan di timur sengaja menempatkan seorang Adipati di sana. Maksudnya tiada lain adalah untuk mengawasi Kerajaan di barat. Sebenarnya Losari masih merupakan daerah di bawah kekuasaan Kerajaan di barat. Namun karena Kerajaan di barat begitu lemah maka wilayah tersebut tidak sempat terjangkau dan diperhatikan sebagaimana mestinya. Akibatnya penduduk di sana merasa lebih dekat pada orang-orang di timur.

Hal ini tidak disia-siakan oleh Kerajaan di timur. Maka mereka menempatkan seorang Adipati di Losari. Dibawah Adipati Seda Wiralaga Losari maju pesat. Baik di bidang pertanian, nelayan maupun perdagangan. Banyak kapal-kapal asing yang berlabuh di tanjung untuk menurunkan barang dagangan sekaligus mengangkut hasil bumi penduduk termasuk beberapa hasil pertambangan.

“Kematian Pengemis Muka Bopeng dan dua anak buahnya, apakah sudah diketahui siapa pembunuhnya?” tanya Adipati Seda Wiralaga.

“Menurut pemilik warung pembunuh adalah seorang nenek berambut kelabu, sepasang mata merah dan berjubah kuning. Akang Punten mengaku baru satu kali itu melihat orang tersebut..“ Menerangkan Kepala Pasukan.

“Dari ciri-ciri itu bisa diduga si pembunuh adalah orang rimba persilatan...“ kata Adipati Losari sambil mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut tipis. “Tujuh orang menemui ajal di hari yang sama. Menurutku semua kejadian ini ada sangkut pautnya dengan kapal Cina yang muncul di perairan Tanjung Losari. Bagaimana pendapatmu Rayi Jantra?”

“Semua orang menduga demikian, Adipati,” jawab Kepala Pasukan.

“Lain kali, jika ada lagi kapal asing muncul di Tanjung Losari, langsung memberi tahu padaku. Jangan baru melapor setelah ada kejadian seperti ini...“

“Mohon maaf atas kelalaian saya ini Adipati...“

“Untuk mencegah terulangnya kejadian serupa, tambah jumlah pasukan di semenanjung...“

“Akan segera saya lakukan Adipati...“

“Mengenai kejadian aneh di pekuburan Karangsembung, apa saja yang kau ketahui?” tanya Adipati Seda Wiralaga.

“Penjaga pekuburan menemukan tanda-tanda makam Nyi Inten Kameswari dibongkar orang lalu ditimbun kembali. Perempuan ini meninggal dan dikubur kemarin sore. Kejadian ini diberi tahu pada Anom Miharja, suami Nyi Inten. Pagi itu Anom Miharja mendatangi pekuburan Karangsembung. Makam Nyi Inten dibongkar. Jenazah ditemukan masih dibungkus kain kafan. Namun perutnya robek besar. Padahal menurut suami Nyi Inten dan disaksikan banyak orang, sewaktu dikubur jenazah dan kain kafan istrinya dalam keadaan utuh!”

“Jika perut jenazah dirobek berarti seseorang mengambil sesuatu dari dalam perut itu...“ ucap Adipati Seda Wiralaga sambil usap tengkuknya yang mendadak terasa dingin.

“Mengambil apa, Adipati?” tanya Rayi Jantra pula.

“Mungkin mengambil jantung, hati atau isi perutnya yang lain...“

“Tapi untuk apa orang tega-teganya melakukan hal itu, Adipati?”

Adipati Losari terdiam sesaat. Lalu berkata memuji. “Itu pertanyaan bagus. Kau tahu Rayi, sekarang ini jaman edan. Banyak orang edan menuntut ilmu edan yang punya syarat-syarat edan!” Sang Adipati terdiam lagi seketika, baru kemudian menyambung ucapannya. “Kau tahu rumah kediaman Anom Miharja. Temui dia. Suruh datang menghadapku. Kita perlu keterangan. Mungkin dia tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan jenazah istrinya. Seumur hidup baru kali ini aku mendengar ada makam dibongkar, jenazah dijarah isi perutnya!”

“Saya minta izin berangkat sekarang juga, Adipati.“ Kepala pasukan membungkuk memberi hormat lalu undur diri dari hadapan sang Adipati.

********************

Rumah kediaman Raden Anom Miharja terletak di desa Babakan, pinggiran selatan Losari, berupa sebuah gedung mewah besar dengan halaman luas. Ketika Kepala Pasukan Rayi Jantra sampai di gedung itu bersama dua orang anak buahnya, kelihatan banyak orang berkerumun di pintu gerbang.

“Ada apa ramai-ramai di sini?” tanya Rayi Jantra.

“Raden Anom Miharja mati gantung diri di kandang kuda,” jawab seseorang.

Mendengar keterangan orang Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini bersama dua perajurit segera masuk ke dalam terus menuju halaman belakang dimana terdapat sebuah kandang kuda besar. Di tempat ini lebih banyak lagi orang yang berkerumun. Melihat siapa yang datang orang banyak segera memberi jalan.

Kandang kuda di belakang gedung mewah itu besar sekali. Terbuat dari kayu dan bangunannya tampak kukuh. Bisa memuat enam kuda sekaligus. Saat itu tidak seekor kuda pun tampak di dalam kandang. Di bagian tengah kandang ada satu balok besar melintang. Pada balok ini terikat seutas tali besar. Ujung lain dari tali menjirat di leher seorang lelaki bertubuh gempal yang hanya mengenakan celana putih tanpa baju. Sepasang mata mencelet seperti hendak melompat keluar dari rongganya, lidah terjulur. Keseluruhan wajah yang mengerikan itu membayangkan satu perasaan takut. Tubuh yang tergantung itu adalah Anom Miharja, suami Nyi Inten Kameswari.

Kepala Pasukan Rayi Jantra memperhatikan. Pada dada kiri Anom Miharja ada satu lebam berwarna merah kebiruan. Di bawah dua kaki Anom Miharja yang tergantung setinggi orang duduk tidak terdapat apa-apa, misal kursi atau meja. Tiga orang pelayan, satu lelaki dua perempuan, duduk menjelepok di tanah, menangis terisak-isak. Rayi Jantra meminjam golok salah seorang anak buahnya lalu menebas putus tali yang menjirat leher Anom Miharja.

Ketika meninggalkan gedung besar, kembali ke tempat mereka menambatkan kuda itu, Rayi Jantra berkata pada dua anak buahnya. “Aku tidak yakin Anom Miharja mati karena bunuh diri. Di dalam kandang tidak kelihatan alat bantu tumpuan kaki yang biasa dipergunakan orang gantung diri. Jika bangsawan kaya raya itu memanjat dulu ke atas atap, mengikat tali ke balok, menjirat leher lalu terjun ke bawah rasanya tak masuk akal. Kalaupun memang itu dilakukannya, lehernya akan tanggal, kepala putus karena balok di atas atap kandang kuda tinggi sekali dudukannya dan bobot tubuh Anom Miharja lebih seratus lima puluh kati beratnya. Yang membuat aku curiga ada tanda merah di dada kirinya. Tepat di arah jantung! Aku punya dugaan, Anom Miharja dibunuh lebih dulu baru digantung. Apa pendapat kalian?”

“Kami berdua perajurit bodoh, tapi jalan pikiran kami kira-kira sama dengan Raden,” jawab perajurit di sebelah kiri.

Perajurit sebelah kanan menimpali. “Saya tidak melihat alasan apa sampai Raden Anom Miharja nekat bunuh diri. Harta kekayaan melimpah, istri cantik”

“Kalian pernah mendengar cerita kalau Anom Miharja tidak pernah kawin secara syah dengan Nyi Inten Kameswari?” tanya Rayi Jantra.

“Ya, kami pernah mendengar itu,” jawab salah seorang dari dua perajurit sambil melepas ikatan tali kekang kuda tunggangan Kepala Pasukan yang ditambat pada sebatang pohon.

“Lalu apa kalian juga pernah mendengar pergunjingan orang, dari mana Anom Miharja mendapatkan semua harta kekayaannya? Dia bukan juragan nelayan, atau pedagang besar...“

“Setahu saya dia punya sawah puluhan bidang.“

“Itu benar. Tapi ada banyak petani di Losari ini yang punya banyak sawah. Sampai saat ini mereka hidup secukupnya kalau tidak mau dikatakan masih saja tetap miskin.“ Kata Kepala Pasukan pula lalu naik ke punggung kudanya. Dia tidak segera menjalankan tunggangannya itu malah bertanya pada dua anak buahnya. “Lalu dari mana sumber semua kekayaan melimpah ruah Anom Miharja?”

“Kami tidak berani menduga, Raden,” jawab dua perajurit hampir berbarengan.

“Kalian punya cerita apa tentang Nyi Inten Kameswari?”

“Banyak cerita yang saya dengar, tapi saya tidak berani menyampaikan,” jawab perajurit bertubuh tinggi langsing bernama Jumena.

“Kalau kau bicara tak ada yang mendengar. Ayo, ceritalah sambil jalan. Aku atasan kalian. Ceritamu tidak akan aku sampaikan pada siapa-siapa jika itu yang kalian khawatirkan...“ Kepala Pasukan Losari lalu menarik tali kekang kuda. Binatang itu tidak lari, hanya melangkah perlahan didampingi dua kuda perajurit di sebelah kiri kanan.

Perajurit Jumena akhirnya bercerita. “Banyak orang tahu kalau Nyi Inten Kameswari sudah berusia lanjut. Lebih dari lima puluhan. Ada dugaan malah dia lebih tua dari Raden Anom. Tapi raut wajah dan keadaan tubuhnya tetap awet muda, bagus dan mulus. Konon dia banyak mengenal dan berhubungan dengan para pejabat Kerajaan di barat maupun di timur. Diantara para pejabat tinggi itu banyak yang tergila-gila padanya. Raden Anom kabarnya sudah tahu kalau istrinya kerap berselingkuh dengan beberapa pejabat terutama yang dari timur. Namun dia seperti acuh tidak perduli. Konon dari hubungan tidak baik itu Nyi Inten banyak menerima hadiah...“

Rayi Jantra tersenyum mendengar cerita anak buahnya itu. Dia ulurkan tangan kiri menepuk-nepuk bahu Jumena. “Kau perajurit baik. Banyak pengetahuan. Aku akan mengusulkan pada Adipati agar pangkatmu dinaikkan satu tingkat...“

“Terima kasih, Raden. Terima kasih...“ Jumena bungkukkan dada berulang kali. Ketiga orang itu kemudian sama menggebrak kuda masing-masing meninggalkan tempat itu.

********************

BAB 5

Penghujung malam menjelang pagi. Pendekar 212 Wiro Sableng yang tertidur lelap di sebuah dangau dikejutkan oleh suara ribut ha-hu ha-hu. Murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini terbangun kaget. Baru saja dia hendak mengusap mata tiba-tiba.

“Braakk!”

Satu tubuh berjubah kuning jatuh tergeletak menelentang di atas lantai dangau terbuat dari bambu. Wiro memperhatikan dengan penuh kejut dan juga kuduk merinding. Si jubah kuning ternyata adalah sosok Seorang nenek berambut kelabu bermata merah. Sepasang telinga ditancapi anting terbuat dari tulang jari manusia. Dua mata merah itu tampak mendelik mengerikan seperti mau melompat dari sarangnya. Pada kening nenek tak dikenal Wiro ini menempel sehelai daun. Ada darah meleleh dari sudut bibir. Dadanya turun naik dan dari mulut serta hidung keluar suara menyengal tak berkeputusan.

“ha-hu ha-hu ha-hu!”

Wiro berpaling ke samping. Astaga! Kaget Pendekar 212 bukan alang kepalang. Di pinggir dangau berdiri dua nenek yang ujudnya sama dengan yang tergeletak di atas lantai dangau. Dari mulut keduanya tiada henti keluar suara ha-hu ha-hu. Sementara sepasang mata dua nenek ini kelihatan basah berkaca-kaca. Tiga nenek dengan pakaian dan wajah yang sama! Manusia sungguhan atau setan kembar tiga, pikir Wiro.

“Siapa kalian?!” tanya Pendekar 212. “ha-hu ha-hu ha-hu!”

Dua nenek kembar kembali keluarkan suara ha-hu ha-hu. Kali ini sembari tangan menunjuk-nunjuk ke arah nenek yang tergeletak di lantai dangau.

“ha-hu ha-hu!” Wiro menirukan sambil garuk kepala. “Kalian ini bicara apa? Mau memberi tahu apa? Kalian berdua gagu?!”

“ha-hu ha-hu...“ Dua nenek usap air mata yang berlelehan di pipi mereka lalu seperti tadi kembali menunjuk dengan tangan kanan ke arah nenek di atas dangau sementara tangan kiri menepuk kening masing-masing.

Mula-mula Wiro masih tidak mengerti apa yang hendak disampaikan oleh dua nenek gagu ini. Setelah berpikir lagi dan menggaruk kepala Wiro menyeringai. Dia memperhatikkan dua nenek menepuk kening sambil menunjuk-nunjuk. Lalu memandang pada nenek satunya yang tergeletak di atas dangau.

“Ah, yang kalian maksudkan daun di kening nenek itu?” “ha-hu ha-hu!”

Dua nenek anggukkan kepala berulang kali. Wiro membungkuk. “Aneh, ada orang sekarat keningnya ditempeli daun. “Wiro ambil daun yang menempel di kening si nenek. Dua nenek di samping dangau buru-buru menjauh, wajah membersitkan ketakutan. Wiro memperhatikan.

“Daun pohon mengkudu. Aneh, mengapa kalian seperti ketakutan melihat daun ini?” tanya Wiro lalu pura-pura hendak menyapukan daun ke tubuh dua nenek.

“ha-hu ha-hu!” Dua nenek menjerit dan mundur menjauh. “Heran, cuma sehelai daun, mengapa pada ketakutan seperti melihat setan kepala tujuh?!”

Pada saat daun mengkudu yang menempel di keningnya diambil Wiro, nenek yang tergeletak di lantai dangau keluarkan suara seperti orang mengorok. Dua mata bergerak liar. Mulut yang penuh darah terbuka. Suaranya serak...“

Aku dikhianati! Aku dikhianati...“

“Nek, siapa yang mengkhianatimu? Kekasihmu?!” tanya Wiro.

“Jangan bergurau! Aku dalam keadaan sekarat!”

Wiro berpaling pada dua nenek berpakaian dan berwajah sama. “Dua nenek gagu itu apamu?”

“Aku dikhianati... Dua buah dadu... Aku dikhianati.“

Wiro menggaruk kepala. “Nek, kau dikhianati dua buah dadu? Aku tidak mengerti. Bagaimana mungkin...?”

“Aku mendengar suara, tidak melihat orangnya. Mendekatlah. Jika kau penolongku, maka seribu berkah akan menjadi bagianmu...“

Wiro geleng-geleng kepala. Tapi dia dekatkan juga kepalanya ke depan wajah si nenek. Dua mata merah berputar sebelum menatap ke arah Pendekar 212. Saat itu di timur fajar telah menyingsing. Keadaan di dalam dangau dan sekitarnya terang-terang tanah. Si nenek memperhatikan wajah Wiro.

“Haa..“ Si nenek tarik nafas panjang. “Aku dikhianati...“

“Siapa yang mengkhianatimu, Nek?”

“Aku tidak tahu. Daun mengkudu... Orang itu tahu kelemahanku. Dengar anak muda. Dari wajahmu aku tahu kau orang baik dan punya kepandaian. Tolong aku mencari pembunuh itu dan dapatkan kembali dua buah dadu yang dirampasnya dariku...“

Wiro tertegun dan jauhkan kepalanya dari wajah si nenek. “Nek, kau ini siapa sebenarnya? Dua nenek yang ha-hu ha-hu itu apamu?” bertanya Wiro.

“Aku Eyang Sepuh Kembar Tilu. Dua nenek itu adalah kembaranku. Daun mengkudu yang kau pegang, lekas musnahkan, kubur dalam tanah. Jangan sampai tersentuh dua nenek kembaranku itu...“

Wiro perhatikan daun mengkudu yang dipegangnya. Lalu memenuhi permintaan si nenek, dia bantingkan daun itu hingga amblas masuk ke dalam tanah di samping dangau.

“Kau orang hebat... Terima kasih kau telah menolongku,” si nenek rambut kelabu berucap. “Jalanku lapang sekarang. Dua kembaranku aku titipkan padamu. Mereka akan muncul jika kau panggil. Mereka akan terbebas dari penyakit gagu jika pembunuhku menemui ajal. Ingat, cari pembunuhku dan dapatkan dua buah dadu. Selain itu jika kau punya kesempatan, carilah seorang gadis bernama Nyai Rara Santang...“

“Nyai Rara Santang? Siapa dia?” tanya Wiro.

“Sudahlah, aku pergi sekarang. Ingat, aku menitipkan dua kembaranku padamu...“

“Jangan Nek. Mengurus diri sendiri saja aku sudah susah. Apa lagi mengurus dua nenek kembaranmu itu...“

“ha-hu ha-hu,” dua nenek kembar maju dua langkah dan jatuhkan diri di hadapan Pendekar 212. Wajah mereka menunjukkan minta welas asih.

“Wah, urusan berabe ini!” ucap Wiro sambil garuk kepala.

Nenek di atas dangau menyeringai. Dari tenggorokannya keluar suara mengorok. “Aku pergi sekarang...“ ucapnya perlahan. Lalu mulutnya terkancing, dua matanya perlahan-lahan menutup.

Dua nenek kembar menggerung keras. “ha-hu ha-hu ha-hu”

Diam-diam Wiro merasa kasihan juga pada dua nenek kembar gagu itu. Seperti diketahui sebelumnya dua nenek kembar jejadian itu bisa bicara dan tidak gagu. Namun akibat malapetaka yang menimpa kakak kembar mereka yaitu Eyang Sepuh Kembar Tilu, maka keduanya secara aneh mendadak menjadi gagu.

“Dua nenek kembar, sebentar lagi hari akan siang. Bawa jenazah kembaranmu ini. Kuburkan di tempat yang baik...“

“ha-hu ha-hu ha-hu” Dua nenek kembar menggangguk-angguk lalu kembali jatuhkan diri. Salah seorang dari mereka tiba-tiba bangkit. Dia menunjuk-nunjuk dengan tangan kirinya ke arah jenazah nenek di atas dangau. Lalu dengan tangan yang sama dia menunjuk-nunjuk ke tangan kanannya sendiri. Hal ini dilakukannya berulang kali sampai akhirnya Wiro mengerti dan memperhatikan tangan kanan Eyang Sepuh Kembar Tilu.

Ternyata lima jari tangan kanan si nenek dalam keadaan tergenggam. Sepertinya ada sesuatu dalam pegangan si nenek. Wiro buka lima jari yang tergenggam. Dia menemukan sebuah benda bulat pipih berwarna hitam, terbuat dari sejenis kayu hitam berbau harum.

“Kancing baju...“ ucap Wiro. Benda itu kemudian disodorkannya pada nenek sebelah kanan. Si nenek gelengkan kepala, goyang-goyangkan tangan kiri sementara tangan kanan menunjuk-nunjuk ke arah Wiro.

“Nek, kau menyuruh aku menyimpan kancing kayu ini. Buat apa?”

“ha-hu ha-hu ha-hu...“ Dua nenek bungkukkan diri berulang kali di hadapan Wiro. Sepasang mata mereka tampak basah. Keduanya terisak-isak.

“Sudah... sudah. Baik, akan kusimpan kancing sialan ini!” kata Wiro pula lalu memasukkannya ke dalam kantong di kiri celana putihnya. “Sekarang lekas kalian bawa jenazah nenek kembaran kalian ini. Aku minta jangan sekali-kali mengikuti kemana aku pergi!”

“ha-hu ha-hu ha-hu!” Dua nenek usap wajah masing-masing. Saat itu juga keduanya berubah menjadi sepasang perempuan muda berwajah cantik.

Wiro terperangah melihat apa yang terjadi namun kemudian dia tertawa bergelak, “Kalian berdua, dengar baik-baik. Aku tidak mau diikuti bukan karena kalian dua nenek jelek. Sekalipun kalian bisa berubah jadi dua gadis cantik, aku tetap tidak mau diganggu. Tidak mau kalian ikuti!”

“ha-hu ha-hu ha-hu”

“Sekarang aku minta kalian pergi.“

“ha-hu ha-hu ha-hu!” Dua nenek kembali membungkuk-bungkuk lalu turunkan jenazah Eyang Sepuh Kembar Tilu dari atas dangau. Salah seorang dari mereka memanggul jenazah kemudian bersama kembarannya dia tinggalkan tempat itu.

Wiro duduk di pinggiran lantai dangau. “Makhluk-makhluk aneh...“ katanya sambil geleng-geleng kepala. “Nenek rambut kelabu menyuruh aku mencari pembunuhnya serta dua buah dadu yang dirampas. Enak saja! Apa urusan dan sangkut pautku? Aku disuruh pula mencari seorang bernama Nyai Rara Santang. Siapa dia itu? Cucu nenek bernama Eyang Sepuh Kembar Tilu itu?”

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Tak jauh di selatan Losari terdapat sebuah bukit batu yang oleh penduduk sekitarnya disebut Bukit Batu Bersuling. Nama ini diberikan karena pada bagian puncak bukit ada dua buah dinding batu berbentuk lurus pipih yang saling terpisah hanya sejarak satu jari. Bila angin dari laut bertiup, celah batu yang sempit itu mengeluarkan suara seperti tiupan seruling. Suara ini oleh penduduk terdengar dan dirasakan aneh hingga lama kelamaan Bukit Batu Bersuling dianggap angker dan hampir tak ada orang yang mendatangi.

Malam itu, dibawah hujan rintik-rintik seorang penunggang kuda memacu tunggangannya menuju Bukit Batu Bersuling. Di kaki bukit sebelah timur terdapat sebuah bangunan luas beratap rumbia tanpa dinding. Keadaan gelap dan sepi. Baru saja orang yang datang menginjakkan kaki di tanah, dari tiga arah kegelapan melompat keluar tiga orang bercelana hitam bertelanjang dada. Masing-masing mencekal golok besar yang walaupun keadaan gelap namun saking tajamnya masih tampak berkilauan. Tiga golok diangkat ke atas, siap untuk membacok dan membabat. Orang bercelana hitam di sebelah tengah membentak. Rambutnya yang panjang dikuncir ke belakang berwarna merah.

“Siapa?!”

“Apa matamu buta tidak mengenali diriku?!” Orang yang dibentak balas menghardik.

Tiga pasang mata membesar memperhatikan. Orang yang datang mengenakan pakaian ringkas warna biru gelap. Kepala dan wajah tertutup caping bambu. Tiga orang bertelanjang dada tidak mengenali orang yang datang dari dandanannya namun mereka rasa-rasa mengenal suara.

“Raden Kumalasakti...?”

“Hemmm...“ Orang bercaping keluarkan suara bergumam dan buka caping diatas kepala.

Melihat wajah orang, tiga lelaki bertelanjang dada segera sarungkan golok masing-masing lalu membungkuk setengah berlutut. Yang tadi membentak cepat-cepat berkata,

“Saya Kuncir Merah. Mewakili Ki Beringin Reksa, Wakil Kepala Pengawal di tempat ini. Saya dan dua teman mohon maaf Raden Kumalasakti. Kami tidak mengenali. Tidak biasanya Raden berdandan seperti ini...“

“Aku tidak marah. Perbuatan kalian pertanda kalian selalu siap siaga. Waspada menjaga segala kemungkinan. Belakangan ini keadaan di luaran agak gawat. Banyak orang-orang pandai menemui ajal. Itu sebabnya aku perlu menyamar, waspada berjaga-jaga. Bagaimana keadaan di sini?”

Kuncir Merah dan dua kawannya luruskan badan kembali. “Semua baik-baik Raden. Hanya saja kami berada dalam keadaan sedikit gelisah. Sejak meninggalnya Bandar Agung dua minggu lalu di tempat ini sama sekali tidak ada kegiatan. Tidak ada yang datang. Dua minggu kami tidak menerima upah. Selain itu para gadis yang biasa menghibur sudah sering mendesak akan meninggalkan tempat ini...“

“Aku mengerti kegelisahan kalian. Itu sebabnya aku datang membawa kabar baik. Kita akan segera mendapatkan Bandar Agung yang baru...“

“Terima kasih Raden. Kami sangat berbesar hati mendengar berita ini. Kalau kami boleh tahu kapan Bandar Agung baru akan datang dan kapan tempat ini akan dibuka kembali?”

“Lusa malam, tepat pada saat bulan empat belas hari memancar.“ jawab orang bernama Raden Kumalasakti. Lalu dia meneruskan ucapan. “Apa kalian sudah mendengar kabar bahwa Pengemis Muka Bopeng Karangkoneng Kepala Pengawal di tempat ini telah menemui ajal? Mati dibunuh orang di warung minuman Akang Punten satu minggu lalu...“

Kuncir Merah dan dua temannya tampak terkejut. Ketiganya gelengkan kepala.

“Kuncir Merah, jika kau bekerja bagus aku akan mengusulkan pada Bandar Agung agar kau mendapat jabatan yang lebih tinggi...“

Kuncir Merah membungkuk sambil mengucapkan terima kasih berulang kali. “Raden Kumalasakti, jika benar tempat ini akan dibuka kembali lusa malam, ijinkan kami memberi tahu teman-teman yang lain serta para gadis penghibur. Kami akan membersihkan semua ruangan. Mematut semua perabotan. Mempersiapkan dan memeriksa peralatan termasuk semua senjata...

Tiba-tiba orang-orang berpakaian dan berikat kepala hitam telah mengurungnya.

“Manusia kesasar dari mana berani mati menyusup ke tempat ini!”

Satu bentakan menggeledek disertai berkelebatnya empat golok besar. Orang yang diserang cepat melompat ke atas sebuah tembok batu. Melihat serangan mereka gagal, secara serentak empat orang berpakaian hitam yang juga adalah para pengawal tempat tersebut kembali menyerbu. Empat golok berkesiuran di udara.

“Traang! Traang! Traang! Traang!”

Empat kali suara berkerontang memecah kesunyian. Empat tangan yang memegang golok tergetar hebat. Empat penyerang sama-sama bersurut satu langkah.

“Lihat pakaiannya!” Tiba-tiba salah seorang empat penyerang berseru. Tiga kawannya memperhatikan. Ternyata orang yang mereka serang dan saat itu masih berdiri di atas tembok batu memegang sebilah tombak pendek, mengenakan pakaian penuh tambalan.

“Katakan apa hubunganmu dengan Pengemis Muka Bopeng Dari Karangkoneng!”

Orang di atas tembok menyeringai. “Aku Pengemis Siang Malam Dari Cisanggarung. Pengemis Muka Bopeng adalah pimpinanku. Kabar kematiannya membuat aku datang kesini untuk melakukan penyelidikan!”

“Beraninya kau menyelidik! Walau Pengemis Muka Bopeng salah seorang pimpinan di tempat ini, tapi itu tidak berarti kau boleh menyusup berbuat lancang!”

Orang berpakaian penuh tambalan dan mengaku Pengemis Siang Malam Dari Cisanggarung mendengus. “Pembunuhan atas diri Pengemis Muka Bopeng ada sangkut pautnya dengan tempat ini! Jangan kalian berani melarangku melakukan penyelidikan. Aku akan menghabisi siapa saja yang coba menghalangi!”

“Anak kucing berani datang ke sarang harimau!” Empat orang berpakaian hitam menyergap. Empat golok kembali berkelebat.

Lagi-lagi terdengar suara berdentangan ketika Pengemis Siang Malam menangkis dengan tombak pendek. Merasa terdesak di atas tembok, sang pengemis melompat turun sambil lancarkan serangan ganas dalam jurus Raja Pengemis Minta Sedekah! Hanya terdengar dua kali suara beradunya senjata karena dua dari empat lelaki berpakaian serba hitam yang tadi menyerang kini kelihatan terhuyung huyung. Yang satu sambil pegangi lehernya yang terluka besar dan kucurkan darah akibat sambaran ujung tombak. Tubuhnya kemudian roboh ke tanah.

Satunya lagi menggerung keras sebelum terbanting tertelentang dengan muka berlumuran darah. Keningnya rengkah dihajar tombak Pengemis Siang Malam! Dua lelaki berpakaian hitam lainnya serta merta jadi ciut nyali mereka dan tak berani lanjutkan serangan. Malah keduanya melangkah mundur menjauhi lawan. Tiba-tiba pintu rahasia di dinding terbuka.

“Ada apa ribut-ribut di tempat ini?" Yang membentak adalah Kuncir Merah yang muncul bersama delapan anak buahnya. Ketika melihat dan mengenali Pengemis Siang Malam berdiri sambil melintangkan tombak berdarah di depan dada langsung Kuncir Merah menghardik.

“Apa kematian pimpinanmu membuat kau jadi orang tolol dan nekad membuat keributan di tempat ini?!”

“Pembunuh pimpinanku adalah orang dalam sini. Aku datang untuk menyelidik dan minta nyawanya!”

“Pengemis kurang ajar! Enak saja kau menuduh! Biar aku robek dulu mulutmu!” teriak Kuncir Merah.

Namun sebelum dia berkelebat menyerang semua anak buahnya sudah mendahului. Sepuluh orang menggempur Pengemis Siang Malam Dari Cisanggarung. Walau dia sanggup bertahan dan sesekali membalas serangan para pengeroyok, namun sang pengemis menyadari tidak ada gunanya berlama-lama melayani orang-orang itu karena dia punya dugaan, pembunuh pimpinannya tidak ada di tempat itu.

Sementara itu sepuluh penyerang walaupun berada di tingkat pengawal biasa namun rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan terus berusaha mengurung serta mendesak lawan. Lima jurus dimuka Kuncir Merah yang melihat anak buahnya masih tidak mampu menghajar lawan yang cuma seorang itu, dengan jengkel, didahului suara bentakan keras melesat masuk dalam kalangan pertempuran.

Gelombang serangan kini bertambah hebat melanda Pengemis Siang Malam. Tapi orang ini tidak punya niat lagi menghadapi lawan yang begitu banyak. Setelah mengirimkan satu serangan kilat yang merobek dada salah seorang lawannya, Pengemis Siang Malam segera berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Pengemis keparat! Kau mau kabur kemana?!” Kuncir Merah mengejar sambil lepas satu pukulan tangan kosong.

Namun orang yang dikejar dan diserang telah lenyap dalam kegelapan malam. Malah mendadak ada serangan balasan berupa angin dahsyat yang membuat Kuncir Merah terhuyung dan cepat menyingkir ke samping. Kuncir Merah geram sekali. Pimpinan di tempat itu pasti akan mendampratnya. “Pengemis Siang Malam jelas-jelas menjadi musuh besar kita. Kita harus mengirim orang untuk mencari dan menghabisinya sebelum dia membuka rahasia apa yang berlangsung di tempat ini! Kalau Ki Beringin Reksa atau Raden Kumalasakti datang, aku akan melaporkan apa yang terjadi” Ucap Kuncir Merah dengan rahang menggembung dan tangan kanan terkepal.

“Aku tahu dimana sarang manusia keparat itu,” kata salah seorang anak buah Kuncir Merah.

“Bagus! Bangsat itu harus mati sebelum tempat ini dibuka kembali!” kata Kuncir Merah pula.

********************

BAB 6

Sang surya hampir tenggelam di ufuk barat ketika sepuluh orang berpakaian hitam berkelebat di tikungan kali Cisanggarung tak jauh dari sebuah desa kecil bernama Luragung. Mereka mendekam di balik semak belukar di tebing kali sambil mata menatap ke arah sebuah rumah panggung berbentuk panjang sepuluh tombak di depan sana. Masing-masing membawa obor yang belum dinyalakan. Sepuluh orang ini adalah para pengawal dari bangunan yang disebut Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga yang terletak di Bukit Batu Bersuling.

Sementara itu di dalam sebuah ruangan besar di atas rumah panggung, seorang lelaki berambut tebal riap-riapan, berjanggut dan berkumis lebat, berpakaian dekil penuh tambalan, duduk bersila di depan sebuah pendupaan yang baranya mulai meredup padam. Di atas pendupaan tergeletak melintang sebuah senjata berupa tombak pendek. Orang ini bukan lain adalah Pengemis Siang Malam, yang malam lalu menyerbu ke Bukit Batu Bersuling untuk menuntut balas kematian pimpinannya yaitu Pengemis Muka Bopeng Dari Karangkoneng.

Di ruangan yang sama agak jauh dan merapat ke dinding, duduk delapan orang perempuan muda beserta lima orang anak-anak berusia antara empat dan enam tahun. Semua memperhatikan tanpa berani bergerak ataupun keluarkan suara atas apa yang tengah dilakukan Pengemis Siang Malam. Tiga dari delapan perempuan adalah istri sang pengemis sedang lima lainnya adalah istri-istri dari anak buahnya yang tinggal bersama di rumah panggung panjang itu. Dua anak perempuan yang ada di situ adalah anak Pengemis Siang Malam dan tiga orang lagi adalah anak dari dua anak buahnya.

Pengemis Siang Malam saat itu tengah bersamadi bagi kesejahteraan roh pimpinannya. Selain itu dia punya firasat akan terjadi sesuatu sebagai akibat penyerbuannya ke Bukit Batu Bersuling. Selesai bersamadi, masih dalam keadaan duduk bersila Pengemis Siang Malam memanggil istrinya yang paling tua.

“Kau dan yang lain-lainnya segera tinggalkan rumah ini lewat pintu dan tangga di sebelah belakang. Pergi ke lembah di seberang telaga. Tunggu di sana. Jika aku tidak datang pergilah ke Lebakwangi ke tempat guruku. “

Istri tertua Pengemis Siang Malam anggukkan kepala lalu menemui perempuan-perempuan yang ada di ruangan dan memberi tahu apa yang harus segera mereka lakukan. Kembali ke tikungan pinggir kali Cisanggarung.

Belum lama sepuluh orang berpakaian serba hitam sembunyi dibalik semak belukar tibatiba beberapa kali suitan nyaring merobek kesunyian senja. Lima orang lelaki berambut gondrong, berkumis dan berjanggut liar serta mengenakan pakaian penuh tambalan melesat keluar dari kolong rumah panggung. Masing-masing mencekal sebilah golok. Mereka adalah anak buah Pengemis Siang Malam. Salah seorang dari mereka, yang bertubuh gempal pendek dan berdiri paling depan berteriak.

“Berani datang berani unjukkan tampang! Bersembunyi adalah sikap orang yang datang membawa niat jahat tapi berlaku pengecut! Apa kalian takut kami mau minta uang receh sedekahan?!”

“Pengemis-pengemis kotor bau! Kalian tidak pantas menyambut kedatangan kami Pergi!” Dari arah kali terdengar suara sahutan. Lalu set... set... set! Di udara berlesatan banyak sekali senjata rahasia berbentuk pisau terbang!

Lima orang berpakaian penuh tambalan berteriak kaget sekaligus marah. Yang bertubuh gempal cepat melompat setinggi satu tombak sambil sapukan golok ke depan. Tiga kawannya mengikuti. Terdengar suara bedentrangan berulang kali ketika sekian banyak pisau terbang beradu dan mental dibabat golok empat anggota Pengemis Siang Malam.

Pengemis ke lima terlambat menangkis, tak sempat cari selamat. Sebuah pisau terbang menancap telak di tenggorokannya. Orang ini keluarkan suara seperti ayam dipotong. Ketika tubuhnya terbanting rebah ke tanah, darah masih mengucur dari lehernya yang ditancapi pisau terbang!

Sepuluh orang berpakaian serba hitam masih tetap tak bergerak di balik semak belukar. Saat itu di halaman rumah panggung telah berdiri tiga orang lelaki. Yang pertama berpakaian hitam, berambut panjang dikuncir. Dia bukan lain adalah si Kuncir Merah, salah seorang pimpinan pengawal di Rumah Seribu Rejeki Seribu Sorga. Orang kedua kurus tinggi, berjubah hijau gombrong memiliki rambut aneh. Rambut ini menyerupai daun pohon beringin berwarna hijau berkilat.

Dia adalah Ki Beringin Reksa, Wakil Kepala Pengawal Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Dialah tadi yang melemparkan belasan pisau terbang dari pinggir kali dan menewaskan. Orang ke tiga adalah Raden Kumalasakti, salah satu orang penting dari Rumah Seribu Rejeki Seribu Sorga. Sikapnya kelihatan agak sombong. Dia berdiri dengan wajah menyeringai dan dua tangan dirangkap di atas dada.

Melihat salah seorang teman mereka tewas, empat orang anggota Pengemis Siang Malam berteriak marah dan langsung menyerbu ke arah tiga orang yang berdiri di depan mereka. Begitu empat pengemis menyerang, Raden Kumalasakti berteriak.

“Bakar!”

“Blepp!” Sepuluh obor yang berada di tangan sepuluh orang di balik semak belukar serentak menyala. Kesepuluh orang ini kemudian melompat keluar dari tempat persembunyian mereka lalu lari ke arah rumah panggung. Lima obor di lempar ke atas atap. Lima lagi dipakai menyulut lantai rumah. Sebentar saja rumah yang terbuat dari kayu itu telah dilamun api.

Di atas rumah, Pengemis Siang Malam mengambil tombak pendek di atas pendupaan lalu melompat.

“Braakk!” Sekali tendang salah satu jendela rumah yang tertutup hancur berantakan. Tubuh sang pengemis melesat Keluar jendela yang jebol. Pada saat dia injakkan kaki di tanah, tibatiba di bagian belakang rumah panggung terdengar pekik perempuan dan jeritan anak-anak. Pengemis Siang Malam tersentak kaget. Setelah api berkobar ternyata anak istrinya serta perempuan-perempuan lain bersama anak-anak mereka baru mencapai tangga!

Tanpa pikir panjang Pengemis Siang Malam segera balikkan diri dan lari ke arah tangga. Namun gerakannya tertahan. Seorang berjubah dan berambut aneh hijau menghadang! Ki Beringin Reksa!

“Aku senang sekali mendengar suara jeritan-jeritan itu! Sebentar lagi aku akan mencium harumnya bau daging manusia terpanggang! Ha ha ha!” Ki Beringin Reksa keluarkan ucapan lalu tertawa bergelak.

“Keparat jahanam!” teriak Pengemis Siang Malam. Tak ada jalan lain. Untuk dapat menolong perempuan dan anak-anak itu dia harus menyingkirkan orang di hadapannya lebih dahulu.

“Wuttt!” Tombak pendek di tangan Pengemis Siang Malam menderu keluarkan hawa dingin, membabat ke arah dada Ki Beringin Reksa. Orang yang diserang ganda tertawa. Dia kebutkan lengan kanan jubah hijaunya. Dari ujung lengan itu menghambur keluar angin deras, menyerang arah lengan kanan Pengemis Siang Malam.

“Desss!” Pengemis Siang Malam menggigit bibir menahan sakit ketika angin pukulan menghantam lengannya. Tombak pendek bergetar keras hampir terlepas. Setelah keluarkan gerungan keras Pengemis Siang Malam kembali menyerang dengan tombak pendeknya. Ki Beringin Reksa tertawa bergelak. Rambutnya yang berbentuk daun beringin berjingkrak mengembang, mengepulkan asap kehijauan, aneh mengerikan. Saking geramnya Pengemis Siang Malam hantamkan senjatanya ke kepala lawan.

“Traangg!” Luar biasa! Tombak pendek itu seperti memukul benda terbuat dari besi atos. Kaget Pengemis Siang Malam bukan olah-olah dan terpaksa bertindak mundur.

Sementara itu di bagian belakang rumah hanya tujuh perempuan dan empat orang anak yang berhasil menuruni tangga dan selamat dari kobaran api, Satu perempuan yaitu istri kedua Pengemis Siang Malam dan seorang anak perempuan yang juga adalah anak Pengemis Siang Malam terkurung di bagian belakang rumah. Jeritan menyayat hati terdengar tidak berkeputusan. Dalam keadaan sesaat lagi kedua orang itu akan dilahap kobaran api tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat di keremangan senja. Tak lama kemudian istri dan anak perempuan Pengemis Siang Malam sudah berada di halaman belakang, berkumpul bersama perempuan dan anak-anak lainnya.

“Mana orang yang menolongku tadi?” istri, kedua Pengemis Siang Malam bertanya memandang berkeliling dengan wajah masih pucat sambil memeluki anak perempuannya yang terus menangis.

“Kami tidak melihat ada orang menolongmu. Kau tahu-tahu sudah ada di sini,” seorang perempuan menyahuti.

“Aneh, jelas-jelas ada orang berpakaian merah mendukung diriku dan anakku...“

“Sudah, tak perlu diributkan. Mari, kita harus cepat-cepat pergi ke telaga!” berkata istri tua Pengemis Siang Malam.

Ketika perempuan dan anak-anak itu hendak meninggalkan tempat tersebut dengan penuh rasa takut, tiba-tiba seorang berambut merah yang dikuncir menangkap anak perempuan istri kedua Pengemis Siang Malam. Si Kuncir Merah!

“Jika kalian berani pergi dari sini aku gorok leher anak ini!” teriak Kuncir Merah membuat semua perempuan jadi mati ketakutan dan tak berani bergerak tak berani bersuara sementara anak-anak mulai bertangisan.

Kembali pada perkelahian antara Ki Beringin Reksa dengan Pengemis Siang Malam. Tiga jurus berlalu sangat cepat dan semua serangan tombak sang pengemis hanya menyambar tempat kosong.

Di bagian lain Raden Kumalasakti dengan tangan kosong hadapi empat orang anak buah Pengemis Siang Malam yang menyerbu dengan golok. Dua kali menggebrak, kaki kanan Raden Kumalasakti berhasil menendang perut salah seorang pengeroyoknya. Orang ini mencelat mental semburkan darah. Golok yang terlepas dan melayang di udara cepat disambar Raden Kumalasakti. Dengan senjata ini dia kemudian menghajar tiga pengeroyoknya satu persatu hingga menemui ajal.

Sambil menyeringai Raden Kumalasakti bantingkan golok ke tanah hingga amblas sampai ke gagang. Lelaki ini perhatikan perkelahian antara Ki Beringin Reksa dengan Pengemis Siang Malam. Untuk beberapa jurus lamanya Ki Beringin Reksa kelihatan agak terdesak. Lawan rupanya mengeluarkan jurus-jurus andalnya. Serangan tombak laksana curahan air hujan. Raden Kumalasakti tahu kalau Ki Beringin Reksa bukanlah lawan Pengemis Siang Malam. Sebentar lagi pengemis itu akan dihajar babak belur sebelum nyawanya dihabisi. Namun Raden Kumalasakti ingin menyelesaikan semua urusan di tempat itu secara cepat.

“Pengemis edan! Semua anak buahmu sudah mampus! Kalau kau tidak segera serahkan diri, orangku akan menggorok leher anak perempuan itu!”

Teriakan Raden Kumalasakti membuat Pengemis Siang Malam terkejut besar. Dia melompat mundur menjauhi Ki Beringin Reksa. Memandang ke arah belakang rumah dia melihat sepuluh orang berpakaian hitam mengurung anak istrinya bersama perempuan dan anak-anak lain. Seorang berambut merah dikuncir menjambak rambut seorang anak perempuan berusia enam tahun dengan tangan kiri sementara tangan kanan membelintangkan sebilah golok di leher si anak. Dan anak perempuan ini adalah anaknya sendiri!

“Jahanam!” teriak Pengemis Siang Malam. Amarahnya mendidih. Dia melompat ke arah Kuncir Merah.

“Cukup sampai di situ! Berani lebih dekat putus leher anakmu!” Kuncir Merah mengancam.

Dua kaki Pengemis Siang Malam goyah. Sekujur tubuhnya lemas. Dia jatuh berlutut di tanah. “Jangan bunuh anakku! Aku bersedia menyerah asal kalian membebaskan semua perempuan dan anak-anak itu!”

Raden Kumalasakti dan Ki Beringin Reksa melangkah dekati Pengemis Siang Malam. Raden Kumalasakti jambak rambut pengemis itu. “Kau telah membunuh orang-orangku. Aku tidak akan mengampuni selembar nyawamu!”

“Aku rela kalian bunuh. Tapi bebaskan perempuan dan anak-anak itu! Mereka tidak punya salah dan dosa apa-apa.“ Jawab Pengemis Siang Malam.

“Siapa mau mendengar ucapanmu! Jika kau memang sudah pasrah mampus aku tak perlu menunggu lebih lama!”

Raden Kumalasakti angka tangan kanannya yang dikepal. Tangan ini tampak bergetar tanda telah dialiri tenaga dalam tinggi. Jangankan kepala manusia, batu besarpun bisa hancur jika kena pukul.

Sadar orang tetap akan membunuh dirinya dan tidak akan mengampunkan anak istrinya, Pengemis Siang Malam mengadu jiwa. Tombak pendek yang masih tergenggam di tangan kanannya ditusukkan ke perut Raden Kumalasakti.

“Praaakk!” Pukulan Raden Kumalasakti menghantam batok kepala Pengemis Siang Malam hingga pecah. Namun sebelum menerima kematian, hampir bersamaan dengan gerakan lawan, pengemis itu masih sempat menancapkan tombak pendeknya ke perut orang lalu merobek perut itu hingga darah muncrat dan isinya berbusaian mengerikan. Raden Kumalasakti menjerit setinggi langit.

“Bunuh semua perempuan dan anak-anak itu!” teriak Raden Kumalasakti. Dia berusaha menahan isi perutnya yang terbongkar namun dirinya keburu limbung, pemandangan berubah gelap. Tubuhnya yang tinggi besar roboh menimpa sosok Pengemis Siang Malam. Kedua orang ini menemui ajal saling bertindihan!

Melihat kematian Raden Kumalasakti, Ki Beringin Reksa berteriak marah. Dia mengangkat tangan ke arah Kuncir Merah. “Bunuh mereka semua!”

Kuncir Merah menggembor. Tangannya yang memegang golok bergerak sebat. Sesaat kemudian lelaki ini keluarkan raungan keras. Tubuhnya terhuyung, golok di tangan kanan terlepas. Dua mata pecah dan di keningnya kelihatan sebuah lobang sebesar. Darah membasahi muka orang ini yang kemudian tergelimpang jatuh di tanah. Tiga batu sebesar telur burung dara telah menghantam kepalanya. Siapa yang melakukan?!

Delapan perempuan berpekikan. Lima anak termasuk yang tadi hendak digorok menjerit menangis. Sepuluh lelaki berpakaian hitam berseru kaget. Ki Beringin Reksa juga terkejut besar. Ada orang pandai telah membunuh Kuncir Merah! Siapa?

Belum habis kejut orang-orang dari Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga itu tiba-tiba dalam udara yang mulai gelap melayang seorang berpakaian serba putih. Di tangan kiri dia memegang sebuah obor menyala sementara tangan kanan berturut-turut melepas dua pukulan tangan kosong. Jeritan riuh memenuhi tempat itu ketika dua orang lelaki berpakaian serba hitam terjungkal dengan kepala pecah sementara enam lainnya melolong kesakitan sambil pegangi muka mereka yang telah hangus disundut obor!

Dua orang yang tidak cidera serta merta menyerbu orang berpakaian putih dengan serangan golok. Namun gerakan lelaki di sebelah kiri tertahan begitu mukanya ditusuk obor sementara temannya mencelat disambar tendangan!

“Bangsat berpakaian putih! Siapa kau!” Teriak Ki Beringin Reksa marah sekali. Dia melompat ke hadapan orang berpakaian putih. Rambutnya yang hijau berbentuk daun beringin berjingkrak dan kepulkan asap hijau. Saat itu walau cuma dia yang masih tertinggal dari rombongan penyerang dari Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga namun dia tidak merasa gentar.

Orang yang dibentak sunggingkan seringai. Mulut dipencongkan, tangan kiri menggaruk kepala. Jelas sudah pemuda ini bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng. Wirolah tadi yang membuat Kuncir Merah mati konyol dengan lemparan tiga buah batu. Wiro campakkan obor ke tanah. Lalu berkata,

“Aku hanya pengelana tolol yang kebetulan lewat dan tak suka melihat kebiadaban terjadi di depan mata! Kalau hanya tua bangka sama tua bangka yang berbunuhan aku tidak perduli. Tapi kalau sampai perempuan dan anak-anak mau dibantai, apa tidak edan?!”

Dua mata Ki Beringin Reksa memandang melotot penuh selidik. Orang yang berdiri di hadapannya adalah seorang pemuda berambut gondrong sebahu, bertubuh kekar, mengenakan pakaian dan ikat kepala putih. Dia belum pernah melihat pemuda ini sebelumnya.

“Kalau cuma pengelana tolol mengapa berani mati mencampuri urusan orang? Bicara dan lagakmu seperti pendekar besar saja! Sudah bosan hidup...!"

Wiro tertawa. Lalu sambil membungkuk seolah merendahkan diri padahal sikapnya mengejek, dia berkata, “Aduh, nyawaku cuma satu. Kalau aku dibunuh dimana kira-kira aku bisa mencari nyawa cadangan?!”

“Jahanam kurang ajar! Kau kira bisa menipu aku? Aku tahu kau berpura-pura tolol! Katakan siap kau sebenarnya. Aku tidak pernah membunuh prang tanpa tahu siapa dirinya!”

“Aku lahir tidak bernama...“ Jawab Wiro.

“Setan alas!” Ki Beringin Reksa marah sekali. Dia maju mendekati si pemuda sambil kebutkan ujung lengan jubah sebelah kanan.

“Wuttt!” Serangkum angin dashyat yang punya daya penghancur ganas menderu ke arah Wiro.

“Oala!” si pemuda tampak seperti kelabakan. Tunggang-langgang dia selamatkan diri. Tapi mulutnya tetap saja menyunggingkan senyum seringai.

Ki Beringin Reksa tidak memberi hati. Dia tahu saat itu tengah berhadapan dengan orang berkepandaian tinggi yang punya kelakuan aneh. Dia susul serangannya dengan menghantamkan dua tangan sekaligus. Dua larik angin memancarkan cahaya hijau berkiblat ke arah Pendekar 212. Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut Sepasang Setan Hijau.

Wiro keluarkan siulan nyaring. Melesat ke udara sambil tangan kiri mematahkan sepotong ranting. Pada saat melayang turun tangan kanan dihantamkan ke bawah dua kali berturut-turut, melepas pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.

“Dess! Dess!”

Dua larik sinar hijau serangan Ki Beringin Reksa musnah. Orang dari Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga yang punya jabatan Wakil Kepala Pengawal ini berseru kaget. Dia tidak bisa percaya dua pukulan saktinya yang selama ini tidak pernah gagal dibuat musnah begitu rupa! Cepat dia kirimkan serangan susulan dengan mengebutkan lengan kiri jubah hijau. Tujuh pisau terbang melesat di udara, mengarah ketujuh bagian tubuh Pendekar 212 mulai dan kepala sampai ke bagian bawah perut!

Wiro berjumpalitan di udara. Ranting kayu di tangan kiri disapukan melindungi tubuh. Terdengar suara berderak enam kali. Enam pisau terbang runtuh ke tanah. Pisau ketujuh lolos.

“Breettt!” Pakaian putih Wiro robek di bagian bahu kanan.

“Sialan!” Maki murid Sinto Gendeng. Tangan kirinya bergerak ke depan luar biasa cepat. Sepasang mata Ki Beringin Reksa mendelik jereng ketika ujung ranting di tangan si pemuda yang kini tinggal pendek akibat berpatahan saat berbenturan dengan pisau terbang tahu-tahu telah menempel di puncak hidungnya. Ki Beringin Reksa merasakan ujung ranting itu bergetar dan memancarkan hawa panas.

“Kau mau membunuhku, lakukan saja!” Ki Beringin Reksa menantang. Di wajahnya sama sekali tidak ada bayangan rasa takut.

Si gondrong tertawa. “Saat ini aku belum mau membunuhmu! Terima ini dulu!” Tangan kiri yang memegang ranting bergerak cepat sekali.

“Breett! Breett...!” Jubah hijau Ki Beringin Reksa robek di dua belas tempat. Jubah itu akhirnya jatuh ke tanah, membuat Ki Beringin berdiri nyaris telanjang.

“Ha ha ha! Walau butut untung kau masih pakai celana kolor! Kalau tidak burung tekukurmu pasti sudah kelihatan! Ha ha ha!” Wiro tertawa gelak-gelak.

Ki Beringin Reksa marah luar biasa. Asap hijau sampai mengepul dari ubun-ubunnya. Tiba-tiba terdengar suara bergemuruh. Dan terjadilah satu hal yang hebat. Sosok tubuh Ki Beringin Reksa berubah menjadi batang kayu besar. Dari kepalanya mencuat dua puluh cabang kayu ditumbuhi lebat daun-daun hijau. Laksana tangan raksasa, dua puluh cabang kayu menyambar kearah pemuda berambut gondrong lalu menjepit dan meremas tubuhnya.

BAB 7

Ilmu yang dikeluarkan Ki Beringin Reksa disebut Hantu Beringin. Selain aneh juga merupakan satu-satunya ilmu kesaktian di rimba persilatan tanah Jawa pada masa itu. Tubuhnya berubah menjadi pohon beringin besar dengan dua puluh cabang merupakan tangan yang bisa melakukan apa saja.

Wiro kaget luar biasa. Seumur hidup baru kali ini dia melihat ilmu kesaktian begini dahsyat. Ketika pohon besar itu bergeser ke arahnya dan dua puluh cabang berdaun lebat laksana tangan setan menyambar, sebelum tubuhnya dicabik-cabik atau diremas hancur Wiro segera lepaskan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang yaitu pukulan sakti yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh.

Namun tangan kanan yang hendak memukul keburu dilibat cabang-cabang pohon sementara lehernya juga sudah terjirat. Dalam keadaan tak berdaya dan sulit bernafas begitu rupa Wiro pergunakan tangan kiri untuk menjebol lawan. Kali ini dengan pukulan Sinar Matahari. Namun lagi-lagi dua cabang pohon menjerat tangan sebelah kiri itu. Sementara belasan cabang melibat tubuhnya mulai dari leher sampai ke dada, pinggang, perut dan kaki!

“Greeekkk!” Libat jerat cabang pohon semakin kencang. Pendekar 212 Wiro Sableng agaknya tidak bakal lolos dari kematian yang sangat mengerikan. Hanya sesaat lagi leher si pemuda akan remuk, dua tangan hancur, dada, perut dan dua kaki ringsek, tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat. Disusul menyambarnya sinar merah yang berkiblat bertubi-tubi, menebar hawa dingin angker disertai suara mendesis aneh.

“Craass! Craasss!”

Luar biasa! Dua puluh cabang pohon yang melibat dan meremas Wiro terbabat putus! Raungan dahsyat menggelegar di tempat itu. Pohon beringin besar dengan dua puluh cabang serta daun-daunnya yang lebat lenyap.

Yang kelihatan kini adalah sosok Ki Beringin Reksa dalam ujud aslinya, hanya mengenakan celana kolor. Dua tangan buntung, leher cabik, dada dan perut penuh robekan luka. Darah menutupi sekujur badan. Tubuh itu terhuyung sebentar lalu limbung dan jatuh tertelungkup, hampir menimpa Wiro kalau dia tidak cepat berguling menjauh. Walau selamat keadaan murid Sinto Gendeng ini tampak babak belur. Baju robek-robek, goresan luka di muka dan di tubuh. Darah mengucur dari telinga kiri yang luka.

“Siapa yang menolongku?” ucap si pemuda. Menoleh ke kiri dia masih sempat melihat satu bayangan merah berkelebat lenyap ke arah kali. Lalu ada suara benda meluncur di permukaan air. Wiro cepat berdiri hendak mengejar. Namun dari arah ujung rumah yang terbakar terdengar teriakan perempuan.

“Jangan tinggalkan kami! Tolong!”

Gerakan Wiro jadi tertahan. Sesaat dia merasa bimbang. Namun akhirnya dia mendatangi kelompok perempuan dan anak-anak yang ketakutan setengah mati. Begitu Wiro sampai di hadapan orang-orang itu, mereka semua jatuhkan diri. Ada yang menangis, ada yang mengucapkan terima kasih terbata-bata.

“Ibu-ibu ini siapa? Orang-orang berpakaian penuh tambalan itu apa kalian?”

Salah seorang dari delapan perempuan memberi tahu bahwa mereka adalah istri-istri dari Pengemis Siang Malam dan lima anak buahnya. “Raden telah menolong kami. Apakah Raden masih mau membantu mengantar kami ke tempat yang aman?”

“Orang-orang yang melakukan penyerangan itu, siapa mereka?”

“Kami tidak tahu. Suami-suami kami memang bukan orang baik-baik, banyak musuh.”

“Tapi hendak membunuh perempuan dan anak-anak sungguh luar biasa keterlaluan. Pasti mereka punya dendam kesumat besar...“

“Pagi tadi, suami kami Pengemis Siang Malam mengatakan dia tengah menyelidiki satu urusan rahasia besar...“

“Rahasia besar? Rahasia apa?”

“Kami tidak tahu. Suami kami tidak menjelaskan...“

“Raden kami mohon Raden mau mengantar kami sampai di desa Luragung. Di desa itu kami mungkin bisa minta bantuan penduduk untuk mengurus jenazah suami-suami kami. Kalau kami tidak mendapatkan pertolongan karena kami dianggap orang-orang jahat maka kami terpaksa meneruskan perjalanan menuju Lebakwangi.“ Yang bicara adalah istri kedua Pengemis Siang Malam.

“Ibu-ibu punya seseorang yang bisa diminta bantuannya di Lebakwangi?”

“Guru tua suami kami tinggal di sana...“

“Siapa, namanya?” Wiro ingin tahu.

“Raja Pengemis Delapan Mata Angin...“

Wiro garuk-garuk kepala. “Ada Pengemis Siang Malam. Sekarang ada Raja Pengemis. Jangan-jangan ada juga Ratu Pengemisnya...“ ucap Wiro dalam hati.

Sebenarnya dia masih penasaran hendak mengejar si pakaian merah yang telah menolongnya tadi. Tapi tak tega meninggalkan delapan perempuan dan lima anak kecil. Setelah meratapi jenazah suami masing-masing delapan perempuan serta lima anak kecil tinggalkan tempat itu. Sambil berjalan Wiro masih juga menduga-duga siapa adanya sang penolong.

“Aku hanya melihat sekelebatan. Dari pakaian dan bau tubuhnya agaknya dia seorang perempuan. Bidadari Angin Timur atau Ratu Duyung jelas bukan. Orang itu berpakaian merah. Bersenjata golok atau pedang. Menolong tapi lantas pergi begitu saja. Aneh. Hemmm... mungkin si penolong orang bernama Rara Santang itu?”

“Kalau kami boleh bertanya Raden yang telah menolong kami ini siapakah adanya?” Perempuan yang berjalan di samping Wiro bertanya. Dia adalah istri tua Pengemis Siang Malam.

Si pemuda tak segera menjawab. Mungkin tengah menimbang-nimbang. Akhirnya dia berkata juga. “Namaku Wiro, jangan panggil aku Raden. Lagi pula bukan aku sendiri yang menolong. Ada orang lain. Cuma heran sehabis menolong dia pergi begitu saja. Kita semua berhutang nyawa padanya...“

Wiro kemudian mengambil dua anak yang paling kecil lalu menggendongnya di tangan kiri kanan. Wiro ingat sesuatu lalu berpaling pada ibu-ibu di sampingnya. “Ada yang tahu atau pernah mendengar seorang bernama Rara Santang?”

Mula-mula tak ada yang menjawab. Kemudian istri pertama Pengemis Siang Malam ajukan pertanyaan. “Mengapa Raden menanyakan orang itu?”

“Seorang sahabat minta aku menemuinya...“

“Rara Santang, lengkapnya Nyai Mas Rara Santang. Dia adalah puteri Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran, jauh di pedalaman sebelah barat...”

“Hemmm...“ Wiro bergumam dan berpikir. “Ada apa nenek Sepuh Kembar Tilu meminta aku mencari puteri raja itu? Apa kehidupan di Jawa sebelah barat ini lebih banyak anehnya dari di timur?”

Menjelang tengah malam rombongan itu sampai di desa Luragung. Mereka menemui kepala desa. Kepala desa yang baik hati walau kemudian tahu siapa adanya perempuan dan anak-anak itu bersedia juga menolong. Sebelum Wiro pergi, delapan orang perempuan loloskan perhiasan yang mereka miliki seperti kalung, gelang, anting-anting serta cincin, dikumpul jadi satu, dibungkus dalam sehelai selendang lalu diberikan pada Wiro.

“Buat apa?” tanya Pendekar 212.

“Buat Raden. Mungkin itu tidak sebanding sebagai balas jasa Raden yang telah menyelamatkan nyawa kami dan anak-anak. Namun hanya itu yang bisa kami berikan...“

Wiro tertawa. “Terima kasih, tapi aku menolong tanpa pamrih. Lagi pula mana mungkin aku seorang lelaki pakai kalung, gelang, cincin dan anting-anting. Ha ha ha!”

“Kalau begitu berikan pada istri atau kekasih Raden...“ Istri pertama Pengemis Siang Malam mendesak.

Wiro kembali tertawa. “Aku tidak punya istri. Kekasihku banyak. Yang mana yang mau dikasih? Dikasih yang satu yang lain cemburu. Ha ha ha!”

“Tapi Raden, kami minta dengan sangat...“ Perempuan yang bicara tidak meneruskan ucapan karena saat itu Pendekar 212 sudah berkelebat lenyap di kegelapan malam.

Berjalan meninggalkan desa Luragung ingatan Wiro kembali pada orang yang telah menolongnya. “Menolong lalu kabur. Benar-benar aneh...“ ucap sang pendekar dalam hati.

Tiba-tiba dia mendengar suara ha-hu. ha-hu ha-hu di belakangnya. Wiro hentikan langkah dan berpaling. Dua nenek kembar rambut kelabu jubah kuning berdiri di hadapannya. Kembaran Eyang Sepuh Kembar Tilu. Keduanya membungkuk lalu salah seorang menyerahkan sebuah bungkusan.

“Kalian mengikutiku! Aku sudah bilang jangan sekali-kali berani mengikutiku!”

“Ha-hu ha-hu...“

“Apa ini?” tanya Wiro sambil memandang pada bungkusan yang disodorkan.

“ha-hu ha-hu!” Dua nenek menepuk-nepuk bahu dan dada. Lalu yang disebelah kanan menunjuk-nunjuk dengan tangan kiri ke arah Wiro sementara tangan kanan digaris-gariskan ke dada, perut dan pantatnya.

“Ya... ya aku mengerti. Kalian mau bilang bajuku kotor, banyak robekan. Lalu kenapa?”

“ha-hu ha-hu...“ Dua nenek gagu kembali menunjuk-nunjuk Wiro. Lalu yang satu menunjuk pantatnya sendiri berulang kali.

Wiro berpaling ke belakang, angsur ke depan celananya di bagian pantat. Astaga. Ternyata disitu ada robekan besar yang membuat tubuhnya sebelah bawah belakang tersingkap lebar. Robekan ini adalah akibat libatan cabang beringin jejadian Ki Beringin Reksa.

“Gendeng! Bagaimana aku bisa tidak tahu kalau pantatku melongo begini?!” ucap Wiro dalam hati mengomel sendiri. “Perempuan-perempuan itu pasti melihat. Tapi tidak memberi tahu!”

“ha-hu ha-hu!” Nenek rambut kelabu sebelah kanan kembali menyodorkan bungkusan.

Wiro mengambil lalu memeriksa isinya. Ternyata sehelai baju dan celana putih. “Ah...“ sang pendekar jadi menyesal kalau tadi membentak-bentak dua nenek. Ternyata mereka berniat baik. Memberikan pakaian pengganti baju dari celananya yang kotor dan penuh robek. Wiro tertawa.

“ha-hu ha-hu...“

“Terima kasih. Kalian berdua ternyata berhati baik. Tapi kalian dapat dari mana pakaian ini? Pasti kalian curi!”

“Hik hik hik!” Dua nenek jejadian tertawa cekikikan.

“Sekali lagi terima kasih. Kalian boleh pergi...“

“ha-hu ha-hu...“ Dua nenek membungkuk dan tertawa girang. Keduanya balikkan badan.

“Tunggu dulu,” tiba-tiba Wiro berkata. “Kalian pasti telah lama mengikutiku. Kalian pasti melihat semua kejadian di tepi kali...“

“Ha-hu ha-hu.“

“Kalian melihat orang yang menolongku?”

“Ha-hu ha-hu...“ Dua nenek mengangguk-angguk.

“Berpakaian merah?”

“Ha-hu ha-hu...“ Dua nenek kembali mengangguk-angguk. Lalu menepuk-nepuk pakaian masing-masing, kemudian acungkan jempol.

“Hemm... Maksud kalian pakaiannya bagus?”

“Ha-hu ha-hu...“

“Perempuan?”

“Ha-hu ha-hu...“

“Bagaimana wajahnya?” tanya Wiro lagi.

Dua nenek gelengkan kepala lalu dua tangan diusapkan ke wajah.

“Ah... Maksud kalian orang itu memakai topeng?”

Dua nenek kembali gelengkan kepala lalu kali ini tangan diusap-usap di depan wajah. “Aku mengerti. Orang itu tidak kelihatan wajahnya karena memakai penutup muka atau cadar”

“Ha-hu ha-hu...“ Dua nenek mengangguk berulang kali

“Orang itu telah menyelamatkan jiwaku. Sehabis menolong pergi begitu saja. Kalian tahu kemana perginya?”

Dua nenek menunjuk ke arah timur. “Terima kasih, kalian sudah banyak menolong. Sekarang kalian silahkan pergi. Aku mau berganti pakaian. Awas, jangan berani mengintip...“

Dua nenek tertawa cekikikan lalu berkelebat pergi. “Ha-hu ha-hu... ha-hu ha-hu...“

********************

Malam bulan purnama empat belas hari. Cahaya rembulan cukup terang jatuh di bumi hingga tiga orang lelaki menunggang kuda dapat memacu tunggangan masing-masing dengan kencang. Di satu tempat mereka berhenti. Kuda ditambat ke pohon lalu ketiganya melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Arah yang dituju adalah kaki Bukit Batu Bersuling sebelah timur. Setelah lari cukup lama mereka sampai di satu bangunan besar tanpa dinding beratap rumbia.

“Raden,” lelaki di samping kiri berbisik. Namanya Meneng. “Di sini biasanya para tamu meninggalkan kuda mereka...“

Orang yang dipanggil Raden yang adalah Rayi Jantra, Kepala Pasukan Kadipaten Losari meneliti, memandang berkeliling. “Sepi, tak ada siapa-siapa. Menurutmu malam ini akan dilakukan pembukaan...“

“Keadaannya memang terasa aneh. Setahu saya seharusnya...“

“Mana gedung dibawah bukit batu yang disebut Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga...“

“Ikuti saya...“ ucap Meneng.

Dipimpin orang yang agaknya banyak tahu keadaan di tempat itu, ketiganya melangkah cepat di sepanjang jalan yang diapit dua dinding batu setinggi dua tombak hingga akhirnya mereka sampai di hadapan sebuah rumah panggung. Meneng memeriksa dinding batu sebentar lalu menekan sebuah alat rahasia. Sebuah pintu membuka. Dia memberi tanda pada dua orang di belakangnya untuk mengikuti.

Ketika pintu rahasia itu menutup kembali, Rayi Jantra berlaku cerdik. Sudut bawah pintu diganjalnya dengan sebuah balok yang ada di lantai ruangan. Bukan saja dia berhasil menahan tertutupnya pintu, tapi sekaligus memungkinkan cahaya masuk ke ruangan dimana dia berada sehingga dia cukup mampu melihat keadaan di tempat itu.

“Sepi, tak ada orang. Ruangan ini kosong. Meneng, kau yakin kita tidak datang ke tempat yang salah?”

Orang bernama Meneng menjawab. “Tidak Raden, saya yakin sekali ini tempatnya. Tapi mengapa keadaan berubah. Sunyi, gelap. Tak ada orang. Padahal malam ini saya mendapat kabar pembukaan malam judi pertama akan dilakukan..."

“Seharusnya kita membawa obor,” kata Rayi Jantra.

“Jangan khawatir, kami akan menerangkan ruangan untuk kalian!”

Mendadak ada suara orang lalu ruangan gelap itu berubah jadi terang benderang. Ternyata ada sepuluh lampu minyak besar di tempat itu. Yang menyala hanya lima yaitu di empat sudut dan di tengah ruangan. Di ruangan yang terang itu terlihat enam orang lelaki berpakaian hitam. Wajah mereka tampak seram karena selain hitam hangus juga ada luka di sekitar mulut, hidung dan sepasang mata. Ke enam orang ini adalah para pengawal Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga yang malam kemarin diselomoti Pendekar 212 Wiro Sableng muka mereka dengan obor di tempat kediaman Pengemis Siang Malam.

Keenam orang ini berdiri dengan golok di tangan. Mereka semua tidak menyebabkan Rayi Jantra merasa gentar. Namun yang membuatnya jadi tercekat adalah sosok kakek berjubah biru gelap yang tegak tak bergerak bersidekap tangan di anak tangga terbawah dari sebuah tangga batu yang menghubungkan ruangan itu dengan ruangan di sebelah atas bangunan. Tengkuknya memiliki bulu seperti bulu pada leher kuda. Dua kaki yang tersembul di balik jubah bukan berbentuk kaki manusia tapi seperti kaki kuda lengkap dengan ladam besinya!

“Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis. Bagaimana tokoh silat istana Kerajaan di timur ini bisa berada di tempat ini?” pikir Rayi Jantra.

“Rayi Jantra! Datang di tempat orang tanpa diundang. Muncul setengah menyusup! Gerangan apa maksudnya? Padahal seorang Kepala Pasukan Kadipaten seharusnya tahu sopan santun peradatan!”

Yang keluarkan suara adalah kakek bernama Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis. Walau hatinya tidak enak namun sebagai salah seorang pemegang kuasa di Losari, dengan tenang Rayi Jantra unjukkan sikap hormat. Dia membungkuk lebih dulu sebelum menjawab.

“Ki Sentot, harap maafkan kalau kedatanganku mengganggu ketenteramanmu, Aku tidak tahu kalau kau ada kepentingan di tempat ini. Aku datang ke sini untuk melakukan penyelidikan sesuai dengan wewenang dan tugasku...“

“Hemm, begitu...?” Ki Sentot Balangnipa menyeringai. Waktu mulutnya terbuka kelihatan deretan gigi serta lidahnya yang menyerupai kuda. “Apakah tugas kedatanganmu ke tempat ini atas sepengetahuan atasanmu, Adipati Seda Wiralaga?”

“Aku memang tidak memberi tahu padanya...“ Jawab Rayi Jantra terlalu polos.

“Luar biasa! Ada bawahan yang bertindak tanpa sepengetahuan atasannya...“ Ki Sentot Balangnipa geleng-geleng kepala. “Rayi Jantra, apa yang hendak kau selidiki secara lancang di tempat orang?!”

“Aku mendapat laporan tempat ini adalah sarang besar perjudian. Semua orang tahu perjudian adalah hal yang terlarang!”

“Hebat luar biasa tugasmu, Rayi Jantra! Lalu saat ini apakah kau melihat ada orang yang berjudi di tempat ini? Apakah kau juga melihat benda-benda alat perjudian?”

“Memang tidak ada orang tidak ada peralatan judi. Aku punya dugaan keras semua sudah disingkirkan sebelum aku datang di tempat ini. Dan kalau aku boleh bertanya, adalah hal sangat mengherankan seorang tokoh silat Istana di timur ada di tempat ini! Apa kau bisa menjelaskan?!”

Ki Sentot Balangnipa menyeringai lagi. “Tetamu tak diundang menanyai perihal tuan rumah! Sungguh tidak sopan! Meneng, kau cepat kemari!”

Lelaki bernama Meneng, yang datang bersama Rayi Jantra serta merta melompat dan berdiri di samping Ki Sentot Balangnipa.

“Jahanam keparat! Meneng! Ternyata kau seekor ular kepala dua! Beraninya kau menipu mengkhianatiku!” teriak Rayi Jantra marah sekali.

Sementara Meneng berdiri cengengesan Ki Sentot Balangnipa berteriak. “Anak-anak. Bunuh dua orang itu!”

BAB 8

Enam lelaki bermuka hangus dan mencekal golok menyerbu ke arah Kepala Pasukan Kadipaten Losari dan anak buahnya. Rayi Jantra sadar, baginya hanya ada satu pilihan. Menghabisi semua orang itu atau menemui ajal di tempat itu. Sejak lama dia pernah mendengar tentang berlangsungnya perjudian besar-besaran di satu tempat rahasia sekitar Bukit Batu Bersuling. Selain sebagai tempat judi, gedung itu juga dipakai untuk tempat berbuat mesum.

Konon gedung tersebut diberi nama Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga dan dikawal kuat oleh sejumlah orang berkepandaian tinggi termasuk para tokoh silat. Selain dipakai sebagai tempat judi dan perbuatan cabul, gedung itu juga diduga keras telah menjadi pusat pertemuan rahasia beberapa pejabat tinggi Kerajaan di timur dalam rangka menguasai Kerajaan di barat.

Sebagai seorang Kepala Pasukan tentu saja Rayi Jantra memiliki kepandaian yang diandalkan. Sekali menggebrak dia berhasil menghantam roboh salah seorang penyerang lalu merampas goloknya. Dengan senjata itu Rayi Jantra kemudian menghajar lima penyerang lainnya. Tiga roboh mandi darah!

Ketika dia hendak menghabisi yang dua orang lagi tiba-tiba satu sosok tubuh melayang dan jatuh tepat di hadapan Rayi Jantra. Begitu diperhatikan ternyata orang itu adalah Meneng. Tergelimpang di lantai ruangan dengan leher patah, lidah setengah menjulur dan mata mendelik. Di seberang sana Ki Sentot Balangnipa keluarkan suara tertawa seperti kuda meringkik.

“Rayi Jantra! Jika kau menyerah dan masuk ke dalam kelompokku, aku akan mengampuni selembar nyawamu!”

Kepala Pasukan Kadipaten Losari itu maklum ucapan lawan hanya merupakan satu tipuan belaka. “Tawaranmu cukup menarik. Boleh aku minta penjelasan kelompok macam apa yang kau pimpin?”

“Kau tidak perlu tahu kelompok macam apa atau apa yang kami lakukan. Yang jelas hanya dengan kerja ringan setiap bulan kau menerima upah besar. Kalau kau ingin hiburan, tinggal memilih perempuan yang kau sukai...“

“Hemm... begitu? Aku bisa menduga. Komplotan yang kau maksudkan itu adalah komplotan perbuatan judi serta perbuatan mesum!”

Ki Sentot Balangnipa tertawa mengekeh. “Mulutmu lancar juga mengeluarkan ocehan. Rasa-rasanya kau jenis manusia yang lebih suka mati konyol dari pada mendapat kesenangan!”

Rayi Jantra berbisik pada anak buah di sampingnya. “Lebak, lekas tinggalkan tempat ini! Kembali ke Losari. Beri tahu Adipati Seda Wiralaga apa yang terjadi di sini!”

Perajurit Kadipaten bernama Lebak tidak tunggu lebih lama segera menghambur ke arah pintu yang terbuka karena diganjal balok. Ki Sentot Balangnipa hantamkan kaki kirinya yang berbentuk kaki kuda ke lantai ruangan. Satu gelombang angin keras menderu ke arah pintu. Balok kayu yang mengganjal hancur berkeping-keping. Pintu rahasia terbuat dari batu itu menutup dengan mengeluarkan suara keras.

“Jangankan manusia, setan sekalipun tak bakal bisa lolos dari tempat ini!”

Didahului umbaran suara ringkikan kuda Ki Sentot Balangnipa melompat ke arah Rayi Jantra. Kaki kanannya menendang mencari sasaran di dada orang. Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini cepat menyingkir ke kiri. Begitu tendangan lewat dia membacok dengan golok besar di tangan kanan. Sementara itu dua orang bermuka hangus telah menyerbu Lebak.

“Traangg!” Golok yang membacok kaki kanan Ki Sentot Balangnipa seperti menghantam besi mengeluarkan suara berdentrangan disertai memerciknya bunga api. Tidak mempan!

Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis kembali tertawa meringkik. Sementara Rayi Jantra terbelalak melihat golok di tangannya gompal besar. Serta merta dia campakkan golok ke lantai lalu dari balik pinggangnya Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini hunus senjata tajam yang mengeluarkan cahaya kuning berkilauan. Senjata ini adalah sebilah kujang berbentuk kepala burung bermata lima terbuat dari emas murni yang dipadu dengan batu keramat dari Gunung Salak dan baja putih dari Banten.

“Ha ha! Kujang Emas Kiai Pasundan, keramat pusaka Kerajaan Pajajaran! Bagaimana bisa berada di tanganmu? Pasti kau curi!” Ki Sentot Balangnipa berseru. Walau dia tidak gentar melihat senjata itu namun wajahnya agak berubah. Dia pernah mendengar kehebatan senjata sakti itu. “Aku harus dapatkan senjata itu! Harus!” Kakek ini menggeram.

“Kiai Pasudan adalah pemberian Pangeran Cakrabuana putera Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran. Dengan senjata ini aku ditugaskan untuk menumpas begundal-begundal dari timur yang hendak mengacau di tanah Pasundan bahkan punya niat jahat hendak merebut kekuasaan. Salah satu begundal itu adalah kau sendiri!”

Ki Sentot Balangnipa tertawa bergelak mendengar ucapan Rayi Jantra. “Usia masih hijau! Tubuh masih bau kencur! Kencingpun belum lempang! Tapi sudah bermimpi mau jadi pahlawan besar! Aku mau lihat sampai dimana kehebatan senjata di tanganmu!”

Habis bekata begitu Si Kuda Iblis kebutkan lengan kanan jubah birunya, lalu menyusul tubuhnya melesat ke depan. Salah satu kaki menendang dahsyat. Rayi Jantra membentak keras. Dia melesat ke atas setinggi satu tombak. Senjata di tangan tanah dikiblatkan. Selarik sinar kuning menderu dahsyat.

“Craass!” Kuda Iblis berteriak keras. Rambut tebal menyerupai rambut kuda di kuduknya terbabat putus dan mengepulkan asap. Kejut tokoh silat dari timur ini bukan alang kepalang. Ternyata Kujang Emas Kiai Pasundan benar-benar merupakan senjata luar biasa yang tidak bisa dibuat main. Kakek ini goyangkan dua bahunya. Tahu-tahu di tangan kanannya sudah terpegang dua buah tali kulit menyerupai tali kekang kuda. Begitu dua tangan menggebrak, tali kekang di tangan kanan melesat ke arah kaki sedang tali kekang di sebelah kiri menyambar ke arah Kujang Emas Kiai Pasundan. Dua gerakan tali kekang ini mengeluarkan suara laksana petir menyambar.

Rayi Jantra berseru kaget ketika kaki kanannya kena dijirat tali kekang. Begitu Ki Sentot Balangnipa menyentakkan tali kekang itu tak ampun lagi. Kepala pasukan Kadipaten Losari itu langsung roboh terbanting jatuh punggung. Dalam keadaan seperti itu tali kekang satunya yang menyambar ke arah tangan kanan Rayi Jantra berhasil melibat Kujang Emas Kiai Pasundan.

“Dess! Craasss!”

Ki Sentot Balangnipa menduga begitu menarik tali kekang dia akan berhasil merampas senjata sakti di tangan lawan. Ternyata tali kekangnya yang putus!

“Kurang ajar!” maki Ki Sentot Balangnipa. “Kalau manusia satu ini tidak dihabisi dan senjata itu tidak dirampas, bisa berbahaya!” Karenanya selagi Rayi Jantra berusaha bangkit si kakek langsung menggebrak. Sekali melompat dia hantamkan tali kekang yang putus sementara kaki kanan menendang mencari sasaran di kepala lawan.

“Blaarrr!”bKarena berusaha menyelamatkan kepalanya dari tendangan kaki lawan, Rayi Jantra tidak sempat menghindari serangan tali kekang. Tali kekang yang berobah menjadi cambuk mendarat di tubuh Rayi Jantra. Pakaiannya robek besar di bagian dada. Luka mengepulkan asap dan mengucurkan darah membelintang di dada. Sementara itu tendangan Si Kuda iblis yang tidak menemui sasaran telah membuat jebol dinding batu di samping Rayi Jantra.

“Manusia iblis keparat! Terima kematianmu!” teriak Rayi Jantra. Kujang di tangan kanan ditusukkan dari jarak jauh ke arah Ki Sentot Balangnipa. Dari ujung senjata sakti itu melesat satu cahaya kuning yang laksana kilat dengan cepat menggulung sekujur tubuh Si Kuda Iblis!

Dalam keadaan hampir tak berdaya Ki Sentot Balangnipa kerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam serta hawa sakti yang dimilikihya. Dua tangan menggapai ke depan. Kepalanya berubah menjadi kepala kuda sungguhan. Didahului suara meringkik dia berteriak keras.

“Bummm...!” Satu ledakan besar menggelegar di ruangan batu di bawah Bukit Batu Bersuling itu.

Rayi Jantra terlempar ke dinding ruangan, semburkan darah dari mulut. Ki Sentot Balangnipa sendiri merasa goncangan hebat melanda tubuhnya. Dengan cepat dia kuasai diri lalu menyergap lawan, lagi-lagi dengan tendangan kaki kanan. Sekali ini dalam keadaan terluka hebat di dalam Rayi Jantra tak sanggup mengelak atau menangkis. Dadanya remuk dimakan tendangan, tubuhnya terpuruk ke sudut ruangan. Dalam keadaan siap meregang nyawa Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini masih sanggup melakukan sesuatu. Dengan sisa-sisa tenaga terakhir dia keluarkan ucapan.

“Kiai... Balaskan sakit hatiku. Lakukan sesuatu Kalau sudah kembalilah ke Pakuan.”

“Tring!” Kujang emas terlepas dari tangan Rayi Jantra. Jatuh ke lantai. Di kejap lain senjata sakti itu tiba-tiba melesat ke arah Ki Sentot Balangnipa yang berdiri hanya beberapa langkah dari sosok Rayi Jantra yang tergelimpang di lantai.

Ki Sentot cepat menangkis dengan kebutkan ujung jubah lengan kiri. Kujang Emas Kiai Pasundan terpental. Namun hebatnya senjata ini membalik, melesat dan crasss! Menancap di mata kanan si kakek! Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis meraung setengah mati.

“Craasss!” Kujang sakti melesat keluar dari mata kanan, berputar-putar dalam ruangan, berusaha mencari jalan keluar. Seolah mempunyai otak untuk berpikir dan mata untuk melihat, senjata sakti ini sadar kalau tak ada sedikit ronggapun dalam ruangan itu yang bisa dilewati. Tiba-tiba gagang kujang mengepulkan asap. Senjata ini kemudian melesat ke arah dinding sebelah kiri. Ruangan batu bergetar hebat sewaktu Kujang Emas Kiai Pasundan menjebol tembus dinding batu, melesat di kegelapan malam dan lenyap dari pemandangan.

Ki Sentot Balangnipa tekap mata kanannya yang hancur dengan tangan kiri. Darah berlelehan. Dengan tangan kanan dia membuat beberapa totokan di sebelah dada dan leher. Darah berhenti mengucur dari luka di mata kanan namun ada rasa panas membuat wajahnya seolah dipanggang. Racun senjata! Untung dia telah membuat beberapa totokan. Mata kiri yang masih utuh mendelik memperhatikan lobang besar di dinding ruangan. Menoleh ke kiri dia melihat dua anak buahnya yang berwajah hangus baru saja menghabisi Lebak. Ki Sentot Balangnipa berteriak.

“Kalian berdua! Singkirkan semua mayat jahanam di ruangan ini. Buang ke dalam jurang!”

********************

Dalam kenyenyakan tidurnya Pangeran Walang Sungsang yang juga dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana tersentak bangun oleh suara desiran halus disusul suara berkerontang. Putera Mahkota Kerajaan Pajajaran ini duduk di tepi tempat tidur. Matanya menangkap selarik cahaya kuning. Berpaling ke samping dia melihat sebuah senjata tergeletak di atas meja kecil terbuat dari batu pualam, memancarkan cahaya kuning.

“Kujang Emas Kiai Pasundan...“ ucap Pangeran Cakrabuana. Cepat senjata sakti itu diambil dan diperhatikan. “Ada noda darah. Sesuatu telah terjadi dengan Raden Rayi Jantra...“

Cepat-cepat Pangeran Cakrabuana mengenakan pakaian lalu memanggil seorang perajurit. “Beritahu pengawal Sang Prabu. Katakan saya ingin menemui Raja saat ini juga. Ada urusan sangat penting...“

Tak lama kemudian Prabu Siliwangi menemui puteranya di sebuah ruangan di dalam Istana Pakuan. “Ada apa anakku?” menyapa Sang Prabu.

Pangeran Cakrabuana terlebih dulu memberi salam takzim sambil membungkuk dalam-dalam. “Ananda mohon maaf karena telah berani berlaku tidak sopan membangunkan Ayahanda. Ada satu hal penting yang hendak Ananda sampaikan...“

Dengan hati-hati Pangeran Cakrabuana keluarkan Kujang Emas Kiai Pasundan dan meletakkannya di atas meja kayu kecil di hadapan sang ayah. Sang Prabu perhatikan senjata itu, menarik nafas panjang, mengusap dagu yang ditumbuhi janggut putih rapi klimis lalu berkata,

“Bukankah ini senjata sakti yang pernah Ananda berikan pada Raden Rayi Jantra, orang kepercayaan kita di perbatasan? Kujang Emas Kiai Pasundan?”

“Betul sekali Ayahanda,” jawab Pangeran Cakrabuana. “Senjata sakti keramat kerajaan ini kembali secara gaib di ruang ketiduran Ananda. Agaknya telah terjadi sesuatu dengan Raden Rayi Jantra...“

Sang Prabu anggukkan kepala. “Kalau tidak dalam perkara besar, Rayi Jantra tidak akan mengeluarkan senjata sakti ini...“ Pangeran Cakrabuana menambahkan.

Sang Prabu angkat tangan kanannya. Telapak tangan dikembang di atas senjata sakti itu. Kujang mengeluarkan cahaya kuning lebih terang, bergerak turun naik antara meja dan telapak tangan. Perlahan-lahan Sang Prabu tarik tangan kanannya. Lalu berkata,

“Noda darah ini bukan darah Rayi Jantra. Namun belum tentu orang kita itu masih dalam keadaan selamat. Ayahanda khawatir, dia sudah tewas. Anakku, apa yang hendak kita lakukan sekarang?”

Pangeran Cakrabuana susun sepuluh jari di atas kepala lalu berkata. “Sudah sejak lama Ananda dan Adinda Nyai Mas Rara Santang ingin menyambangi Guru di Gunung Jati. Mungkin ini saat yang tepat untuk melakukan sekaligus menyelidiki apa yang terjadi dengan Rayi Jantra...“

Prabu Sliwangi terdiam merenung seketika. “Akhir-akhir ini banyak kabar yang Ayahanda terima mengenai kegiatan orang-orang di Kerajaan Timur. Terutama sejak kita tidak mau lagi menyerahkan upeti kepada mereka. Mereka melupakan adat sopan santun, berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Mereka tidak memandang sebelah mata terhadap Pajajaran. Malah punya niat jahat hendak menguasai Kerajaan ini. Ayahanda mengizinkan kalian berdua anak-anak untuk pergi ke Gunung Jati. Tapi ingat. Berlakulah sangat hati-hati. Bawa pengawal sebanyak mungkin...“

“Ayahanda, jika diizinkan seperti yang sudah-sudah Ananda hanya berangkat berdua saja dengan Adinda Rara Santang. Kami berdua berjanji akan berlaku hati-hati...“

“Kalau itu mau Ananda baiklah. Tapi sekali-kali jangan berlaku sombong dan takabur atas kepandaian dan kesaktian yang kalian berdua miliki. Dan jangan lupa, di setiap desa yang kalian lalui berikan sejumlah bantuan. Tekanan orang-orang di timur belakangan ini banyak membuat rakyat menderita.”

“Terima kasih atas izin Ayahanda. Besok Ananda akan menemui Adinda Rara Santang. Paling lambat siang nanti kami berdua sudah meninggalkan Pakuan. Dan seperti sebelumnya tidak ada satu orangpun yang mengetahui kepergian Ananda berdua selain Ayahanda...“

Sang Prabu anggukkan kepala. “Sampaikan salam takzim Ayahanda pada Guru Ananda di Gunung Jati. Dan sebelum pergi Ayahanda ingin saat ini juga Ananda menemui Panembahan Anyar Pandanarum. Beliau sudah uzur. Namun rasanya beliau tidak akan mengalami kesulitan untuk membuatkan sarung baru bagi Kujang Emas Kiai Pasundan. Tidak baik senjata sakti itu dibiarkan dalam keadaan tak bersarung...“

“Ananda akan menemui Panembahan itu,” jawab sang putera. Lalu Pangeran Cakrabuana membungkuk dalam-dalam, mencium tangan Sang Prabu dan tinggalkan ruangan itu.

********************

BAB 9

Dua minggu setelah penyusupan Rayi Jantra, Kepala Pasukan Kadipaten Losari ke Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Bangunan luas tak berdinding beratap rumbia di kaki timur Bukit Batu Bersuling dipenuhi puluhan ekor kuda. Dua puluh orang berpakaian hitam bersenjata golok berseliweran berjaga-jaga. Di atas dua dinding batu yang mengapit sebuah jalan dua orang berjubah biru berdiri tegak mengawasi keadaan sekitarnya. Lalu pada satu cabang pohon besar dan gelap di ujung jalan seorang berpakaian ringkas warna hijau mendekam memegang sebilah gada besi. Sesekali terdengar suara seperti tiupan suling dari celah dua batu pipih di puncak bukit. Terkadang kesunyian ditingkah oleh suara gemboran kuda.

Gedung rahasia yang disebut Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga yang terletak tepat di bawah bukit batu, dari luar keadaannya tersamar dibalik pepohonan lebat dan sepi. Namun di dalam, di bagian bawah yang mewah dan terang benderang puluhan orang tamu yang semuanya mengenakan cadar merah tampak mengelilingi sebuah meja besar empat persegi. Meja ini dilapisi beluderu hijau. Pada setengah bagian dari meja yakni ujung sebelah kanan terdapat garis-garis membentuk dua belas kotak besar berangka 1 sampai 12. Setengah bagian meja ujung kiri berbentuk kotak empat persegi.

Di ujung kiri meja berdiri seorang perempuan cantik berkulit putih. Rambut disanggul rapi mengenakan pakaian berbentuk kemben. Bagian atas dari kemben ini demikian rendahnya hingga dua payudara besar putih menyembul dan bergoyang-goyang setiap si cantik ini membuat gerakan. Di bawah pinggang, kain kemben dipotong kiri kanan demikan rupa hingga menyingkapkan betis indah dan paha putih. Sekitar dua puluh gadis-gadis cantik berdandanan dan berpakaian sama mondar-mandir di ruangan itu, melayani para tamu.

Sementara pada tiga sudut ruangan disediakan berbagai macam minuman serta makanan yang boleh disantap para tamu sesukanya. Di sudut ke empat dua orang pemuda tampan memetik kecapi dan menabuh gendang, mengiringi nyanyian seorang sinden cantik bertubuh montok.

Di ujung meja sebelah kiri, di samping sebelah kanan duduk seorang lelaki bertubuh tinggi besar, mengenakan jubah mewah warna ungu dengan wajah ditutup cadar juga berwarna ungu sementara di atas kepalanya bertengger sebuah destar terbuat dari kain beluderu tebal berwarna merah. Di sebelah depan destar ini tersemat sebuah batu permata berwana hijau dengan ikatan suasa berkilat. Inilah Sang Bandar Agung yang merupakan pucuk pimpinan tertinggi di Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga.

Setelah suasana cukup hangat Bandar Agung bangkit dari kursinya, bertepuk tiga kali. Begitu semua orang berpaling padanya dan suara tetabuhan serta nyanyian sinden berhenti maka diapun siap memberi sambutan. Suaranya besar parau. Pertama sekali dia memperkenalkan diri bahwa dia adalah Bandar Agung yang baru, menggantikan Bandar Agung lama yang telah mengundurkan diri.

Kemudian dia mengucapkan terima kasih atas kedatangan para tamu sekaligus menyampaikan permohonan maaf karena dibukanya kembali tempat itu mundur jauh dari jadwal yang sudah ditentukan. Satu dan lain hal disebutkan karena pihak pengelola Istana ingin memberi pelayanan yang lebih baik termasuk menjamin keselamatan serta kerahasiaan para tamu yang datang.

Bandar Agung juga memberi tahu bahwa seperti di masa lalu, Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga dibuka mulai matahari tenggelam setiap malam Rabu dan malam Sabtu sampai tengah hari keesokannya. Bilamana keadaan memungkinkan jumlah hari akan ditambah menjadi tiga hari.

“Jadikanlah malam pertama ini semeriah mungkin Cari rejeki dan kesenangan sebanyak-banyaknya. Pasang taruhan para kerabat di nomor yang tepat. Seperti ketentuan terdahulu setiap nomor yang menang akan dibayar dua kali jumlah pasangan. Bagi para tamu dan kerabat yang mungkin ingin terlebih dulu menghilangkan rasa haus atau rasa lapar silahkan mereguk minuman dan menyantap makanan. Sementara bagi yang ingin lebih dulu berhibur diri silahkan memilih seorang Kembang Istana dan bersenang-senang di kamar yang telah disediakan di lantai atas. Bagi mereka yang sudah ingin mendapatkan rejeki besar silahkan mendatangi meja. Permainan segera akan kita mulai...“

Habis berkata begitu Bandar Agung kembali ke tempat duduknya di samping kanan meja dadu. Dibagian bawah meja dadu, agak lebih rendah terdapat sebuah meja besar dipenuhi uang perak dan uang emas serta batangan perak dan batangan emas.

Suara petikan kecapi dan tabuhan kembali terdengar. Gadis cantik di ujung kiri meja judi angkat dua tangan ke atas. Ketiaknya tampak putih bersih dan berminyak oleh keringat. Dua tangan itu digoyang-goyang membuat sepasang buah dadanya ikut bergerak turun naik. Lalu tangan diturunkan di atas sanding meja judi. Begitu dua tangan dikembang tampak dua buah dadu putih kekuningan bermata merah. Sesaat kemudian dua buah dadu digenggam kembali, digoyang-goyang dengan gerakan menggairahkan mengikuti alunan kecapi dan gendang.

“Pasang... Pasang taruhan sebanyak-banyaknya!” si gadis berseru sambil liukkan pinggul dan goyangkan dada.

Para tamu yang berada di sekitar meja dadu segera meletakkan taruhan masing-masing di atas nomor yang mereka anggap akan menang. Gadis cantik terus mengguncang dadu dalam dua dekapan tangan.

“Semua sudah memasang? Ayo tambah lagi! Pasti menang!”

Setelah semua nomor di atas meja dipenuhi pasangan para tamu penjudi, gadis cantik turunkan dua tangan. Lalu dua dadu dalam genggaman dilemparkan ke dalam kotak kayu pada ujung kiri meja. Dadu bergulir berkerontangan. Di balik cadar, sepasang mata Bandar Agung dengan cepat memperhatikan pasangan para tamu.

Di dalam kotak di atas meja setelah bergulir dua buah dadu berhenti diam. Dadu pertama berhenti pada mata 3 sedang dadu kedua berhenti pada angka 5. Pemenang adalah yang memasang pada nomor 8. Dan saat itu jelas terlihat nomor 8 adalah nomor yang paling banyak pemasangnya. Para pemenang bersorak gembira. Bandar Agung segera membayar pasangan pemenang yakni dua kali jumlah taruhan yang dipasang.

“Selamat! Selamat!” ucap Bandar Agung berulang kali. Permainan dilanjutkan.

Mereka yang menang dengan bersemangat menambah pasangan taruhan pada angka-angka yang mereka anggap akan memberi keberuntungan. Suara kecapi semakin keras, suara gendang bertalu-talu, nyanyian sang sinden bertambah merdu. Gadis pengocok dadu menggeliat-geliatkan pinggang. Pinggulnya yang lebar melenggak lenggok. Dadanya bergoncang naik turun.

“Pasang lagi! Selamat untuk yang barusan menang! Pasang lebih banyak! Kali ini keberuntungan bagi yang kalah! Pasang, pasang!”

Setelah semua nomor di atas meja dadu diisi taruhan, gadis pengocok dadu angkat dua tangannya tinggi-tinggi. Seorang tamu yang tidak tahan gairah melihat keindahan ketiak si gadis ditambah payudaranya yang montok dan menyembul keluar, turunkan cadarnya sedikit lalu enak saja hidung dan mulutnya menciumi ketiak si gadis. Gadis cantik terpekik tapi tidak marah. Bandar Agung tertawa gelak-gelak. Para tamu bersorak riuh.

Gadis yang mengguncang dadu turunkan dua tangan. Dua buah dadu bergulir di dalam kotak kayu. Masing-masing menunjukkan mata 2 dan 4. Jadi yang menang adalah para pemasang di nomor 6. Salah satu pemenang justru lelaki yang tadi mencium ketiak gadis pengocok dadu.

“Ha ha ha! Ketiak pembawa rejeki!” seorang tamu berteriak.

Lalu ada yang berseru. “Cium lagi! Cium lagi!”

Tamu pemenang mengambil bayaran taruhan yang diserahkan oleh Bandar Agung yaitu berupa delapan uang emas. Satu keping uang emas kemudian dimasukkannya ke balik dada gadis pengocok dadu. Rupanya ciumannya tadi membuat rangsangan besar pada dirinya. Orang ini mendekati Bandar Agung dan berkata,

“Bandar Agung, apakah aku boleh membawa gadis ini untuk beristirahat barang sebentar di lantai atas?”

“Tentu saja! Tentu saja! Bawalah ke atas! Selamat bersenang-senang. Kalau sudah puas jangan lupa kembali ke sini. Seribu Rejeki menunggu di meja dadu. Ha ha ha!”

Tanpa menunggu lebih lama tamu tadi segera menarik lengan gadis pengocok dadu. Si gadis menurut saja malah sambil senyum-senyum. Bandar Agung tepukkan tangan tiga kali. Seorang gadis segera datang menggantikan gadis tadi.

Di dalam kamar di lantai atas tamu yang membawa gadis cantik pengocok dadu begitu menutup pintu langsung memeluk si gadis dan menciumi wajah, leher dan tentu saja ketiaknya sehingga si gadis menggeliat kegelian.

“Aku suka ketiakmu. Bersih putih dan enak baunya. Ha ha ha. Siapa namamu?”

“Saya Ningrum. Saya merasa senang Raden Mas mau membawa saya ke sini. Bolehkan saya menanggalkan pakaian sekarang juga?”

“Biar aku yang membuka pakaianmu...“

“Ahh...“ Gadis cantik itu menggeliat. “Apakah Raden Mas tidak akan membuka cadar merah yang menutupi wajah? Rasanya akan lebih mesra bila kita bisa saling bertatap muka...“

Sang tamu segera tanggalkan cadar kain merah yang menutupi wajahnya. Sepasang mata Ningrum membesar ketika mengenali orang di hadapannya.

“Saya merasa mendapat kehormatan besar. Saya tidak menyangka kalau tamu yang gagah dan dermawan ini adalah Raden Mas Karta Suminta, Adipati dari Brebes...“

Lelaki berkumis dan bercambang bawuk tebal itu tertawa lebar. Tangannya dengan cepat bergerak menanggalkan pakaian yang melekat di tubuh Ningrum. “Dengar, setelah bersenang-senang ada tugas untukmu. Dan kau akan mendapat bayaran berlipat ganda...“

Ningrum membelai cambang bawuk Karta Suminta. “Tugas apa gerangan, Raden Mas? Jangan berikan saya tugas yang sulit-sulit. Berikan tugas yang mudah dan enak-enak. Hik hik hik”

“Seseorang akan menemuimu besok pagi. Dia membawa satu bungkusan berisi racun, Tugasmu adalah menyerahkan racun itu pada seseorang yang akan datang mengambil bungkusan pada sore hari. Kau mengerti, Ningrum?”

“Saya mengerti, Raden Mas. Ternyata tugas yang Raden Mas berikan tidak sulit...“ Jawab Ningrum sambil layangkan senyum genit lalu baringkan diri di atas ranjang sementara Karta Suminta mulai membuka pakaiannya.

Kembali ke lantai bawah. Gadis pengganti pengocok dadu memiliki geliatan dan goyangan tubuh tak kalah merangsang dari tadi yang bernama Ningrum, Saat itu sambil menggoyang-goyangkan pinggul dia mengguncang dua buah dadu. Di atas kursi Bandar Agung memperhatikan pasangan para tamu. Setelah itu tangan kanannya dimasukkan ke dalam saku jubah ungu. Gadis cantik melemparkan dua buah dadu ke dalam kotak kayu di atas meja.

Dua buah dadu bergulir. Lalu berhenti pada mata 3 dan 6. Berarti para pemenang adalah pemasang di angka 9. Ternyata pemasang di nomor itu hanya dua orang dan dalam jumlah kecil. Yaitu hanya dua keping uang emas dan empat keping uang perak. Sementara di nomor yang lain puluhan keping uang emas dan perak jadi taruhan, termasuk dua batangan emas lantak di angka 7 dan 12. Bandar Agung dengan cepat meraup semua pasangan yang kalah dan membayar pasangan di nomor pemenang.

“Pasang... pasang!” seru gadis pengocok dadu. “Selagi masih siang! Selagi pintu rejeki terbuka lebar! Pasang, pasang!” Dua buah dadu dimasukkan ke balik dada. Pakaiannya diusap-usap lalu dua buah dadu dikeluarkan kembali. Para tamu bersorak riuh dan jadi tambah bersemangat.

********************

Lenyapnya Rayi Jantra Kepala Pasukan Kadipaten bersama dua perajurit Lebak dan Meneng menimbulkan kehebohan di Losari. Adipati Seda Wiralaga memerintah seluruh jajarannya untuk menyelidik. Malah dalam dua kali pemberangkatan rombongan penyelidik dia ikut serta turun tangan. Mata-mata disebar ke berbagai pelosok. Namun hampir dua puluh hari dimuka, misteri raibnya ke tiga orang itu tetap tidak terpecahkan. Adipati belum mengambil keputusan guna mencari pengganti Rayi Jantra. Untuk sementara jabatan dan tugas. Kepala Pasukan Kadipaten dirangkap oleh sang Adipati sendiri.

Pada hari ke lima hilangnya Kepala Pasukan dan dua perajurit, dari pintu gerbang selatan Losari seorang lelaki memacu kudanya dengan cepat. Orang ini adalah perajurit Jumena. Perajurit ini benar-benar merasa sangat kehilangan atasannya. Salah satu alasan yang membuat dia sangat berduka adalah karena Rayi Jantra pernah akan menaikkan pangkatnya satu tingkat.

Kini dengan lenyap dan diduga sudah meninggalnya sang atasan, tak ada harapan bagi Jumena untuk mendapat kenaikan pangkat. Sementara penyelidikan dan pencarian terhadap ketiga orang itu boleh dikata sudah dihentikan, namun perajurit Jumena secara sendirian masih terus melakukan pelacakan.

Tanpa arah pasti yang dituju, pagi itu Jumena telah melewati perbatasan ke arah timur. Perajurit ini baru sadar dia telah memasuki wilayah timur setelah perjalanannya terhenti di hadapan Kali Kabuyutan. Jumena turun dari kudanya. Sementara binatang itu menuruni tebing dan minum air kali, Jumena duduk di sebuah batu. Keadaan di tempat itu terasa sejuk nyaman. Sesekali terdengar suara kicau burung.

Jumena turun ke kali. Membasahi wajah dengan air bening sejuk hingga dirinya merasa segar. Duduk kembali di atas batu sambil memperhatikan kudanya. Sadar kalau saat itu dia telah melewati perbatasan dan berada di wilayah sebelah timur, perajurit ini berpikir.

“Selama ini penyelidikan lenyapnya Raden Rayi Jantra hanya dilakukan di daerah barat. Apa salahnya aku menghabiskan waktu sehari dua untuk menyelidik kawasan sebelah timur perbatasan ini.“

Berpikir begitu Jumena tarik tali kekang kuda. Ketika dia hendak menunggangi binatang itu tak sengaja dia memandang ke langit arah timur. Sekumpulan burung hitam tampak berputar-putar di udara lalu sambil menguik melayang turun. Tak lama kemudian muncul lagi membumbung ke udara. Hal ini diperhatikan Jumena terjadi berulang kali.

“Ada sesuatu di arah timur sana yang menarik perhatian puluhan burung hitam itu.”

Akhirnya Jumena memutuskan untuk menyelidik. Dia segera menggebrak tunggangannya. Semakin jauh ke timur semakin jelas Jumena melihat bentuk dan jenis puluhan burung itu.

“Burung hitam pemakan bangkai!” Kuduk sang perajurit mendadak terasa dingin. Kudanya dipacu semakin kencang. Tapi jalan yang ditempuh semakin sulit. Selain mendaki juga terhalang oleh semak belukar dan bebatuan. Di satu tempat Jumena terpaksa hentikan kuda dan turun. Hidungnya mendadak mencium bau sangat busuk. Di pohon-pohon sekitarnya dia melihat banyak lalat menempel dan beterbangan. Jumena melangkah ke arah tanah ketinggian sampai akhirnya dia terpaksa berhenti karena di depannya menghadang sebuah jurang batu.

Jumena menatap ke langit lalu pandangannya mengikuti burung-burung hitam yang menukik ke bawah. Ketika perajurit ini memperhatikan dasar jurang, kejutnya. bukan alang kepalang walau sebelumnya dia sudah menduga-duga. Meski cukup terjal namun jurang batu itu tidak seberapa dalam hingga Jumena bisa melihat cukup jelas lebih dari delapan mayat bergeletak di dasar jurang. Ada yang terpentang di atas batu, ada yang terselip diantara bebatuan. Semua dalam keadaan sangat rusak, menebar bau busuk. Malah ada yang hanya tinggal tulang belulang memutih dibawah terik sinar matahari.

“Aku punya firasat. Jangan-jangan salah satu dari mayat itu adalah mayat Raden Rayi Jantra. Ya Tuhan, mudah-mudahan firasatku salah...“

Setelah menutup hidungnya dengan sehelai sapu tangan, perajurit Jumena dengan hati-hati menuruni jurang terjal. Burung-burung hitam pemakan mayat menguik keras seolah marah keberadaan mereka di sana yang tengah menyantap makanan diganggu oleh kemunculan Jumena. Burung-burung itu melesat ke udara, terbang berputar-putar. Hanya beberapa ekor saja yang masih memberanikan diri melayang turun untuk mencungkil sisa-sisa daging busuk pada sekian banyak mayat di dasar jurang. Jumena sampai di dasar jurang. Dengan perasaan ngeri dan jijik memperhatikan sosok mayat satu persatu. Ada enam mayat yang tidak dikenalnya.

“Mudah-mudahan Raden Rayi tidak menemui nasib malang di tempat ini...“ ucap Jumena. Namun kuduknya jadi merinding dan matanya terpentang lebar ketika memperhatikan sesosok mayat yang terselip di antara dua buah batu besar agak jauh di bawah sana. Dari pakaiannya saja dia sudah bisa menduga bahwa mayat itu adalah mayat Rayi Jantra. Jumena berusaha mencapai mayat tapi sulit.

Jumena naik ke satu batu cadas, jongkok memperhatikan ke arah antara dua buah batu besar. Perhatiannya dipusatkan pada kepala mayat. Walau kepala itu sudah hancur namun dalam bimbangnya Jumena kini bukan cuma menduga, tapi yakin mayat itu adalah mayat atasannya. Jumena merasa kepalanya pusing dan perutnya mual. Dia tidak mungkin mengeluarkan mayat Rayi Jantra yang sudah sangat rusak dari sela batu apa lagi membawanya ke atas jurang.

“Raden, maafkan diriku yang tidak bisa menyelamatkan jenazahmu...“ Habis berkata begitu seperti dikejar setan Jumena kembali naik ke atas jurang. Tubuhnya mandi keringat. Sampai di tepi jalan perajurit ini jatuhkan diri berlutut, menghambur tangis. Keluarkan ratapan.

“Raden Rayi Jantra, dosa apa yang telah kau perbuat sehingga ada orang tega membunuh dan membuang mayatmu ke jurang? Siapa pembunuhnya! Siapa?!” Jumena berteriak-teriak sambil meninju-ninju tanah.

Tiba-tiba ada suara menegur. “Seorang perajurit tidak pantas menangis! Perajurit, apa yang terjadi di sini?” Jumena hentikan tangis, angkat kepala. Dia melihat sosok seorang pemuda berdestar dan berpakaian putih, rambut panjang sebahu, berdiri di hadapannya.

“Jahanam!” Jumena berteriak seperti orang kalap. “Pasti kau pembunuhnya! Paling tidak kau kaki tangan pembunuh!”

Jumena loloskan golok besar di pinggang lalu tanpa pikir panjang lagi dia melompat bangkit dan membacok ke arah kepala orang. Sebelum golok besar mendarat di sasaran, satu tangan kukuh dengan cepat mencekal pergelangan tangan kanan Jumena. Sekali tangan itu memuntir golok terlepas, Jumena terhuyung lalu jatuh terduduk di tanah.

BAB 10

“Aku bertanya baik-baik. Mengapa kau malah hendak membacokku?” Orang yang hendak dibacok yakni pemuda berambut gondrong yang bukan lain adalah Pendekar 212, bertanya.

Jumena terduduk lemas di tanah. Menatap Wiro masih dalam keadaan setengah kalap. Ketika amarahnya mengendur dengan suara perlahan dia berkata, “Aku tidak berniat jahat. Aku kalap karena atasanku dibunuh orang dan mayatnya dibuang ke jurang!”

“Siapakah atasanmu?”

“Raden Rayi Jantra. Kepala Pasukan Kadipaten Losari...“

“Kau adalah perajurit wilayah barat, mengapa berada di wilayah timur?” tanya Wiro.

“Aku dalam mencari atasanku. Sejak lima hari lalu dia raib bersama dua perajurit. Seluruh kawasan di barat telah diselidiki. Raden Rayi tidak ditemukan. Akhirnya aku mencoba masuk ke wilayah ini. Ternyata tidak sia-sia. Mayatnya kutemukan di dasar jurang.”

“Aku lihat di sini mayat di jurang berjumlah lebih dari delapan orang. Mayat siapa yang lainnya?”

“Dua adalah perajurit Lebak dan Meneng. Yang lain aku tidak bisa menduga.” Setelah diam sebentar perajurit Jumena bertanya. “Pemuda Kau sendiri siapakah?”

“Aku dalam perjalanan ke Gunung Gede. Kebetulan saja lewat di tempat ini...“

“Namamu?” tanya Jumena lagi.

Wiro tertawa. Dia balik bertanya. “Kalau sampai Kepala Pasukan Kadipaten dibunuh orang lalu mayatnya dibuang di jurang sana, apakah kau bisa menduga siapa yang berbuat keji. Lalu apa latar belakang kejahatan ini?”

Jumena gelengkan kepala. “Banyak hal yang aku tidak ketahui. Di kawasan barat, terutama di Kadipaten Losari akhir-akhir ini banyak kejadian. Semua berujung pada kematian...“

“Perajurit, ceritamu menarik. Apa kau mau menjelaskan. apa saja yang telah terjadi?” tanya Wiro.

“Aku tidak mau bercerita. Aku tidak kenal siapa dirimu. Bukan mustahil kau adalah mata-mata orang timur...“

Wiro tertawa. “Aku bukan mata-mata. Kalau kau bercerita siapa tahu aku bisa menolong...“

“Tidak, aku tidak akan bercerita.“ Jawab Jumena. “Silahkan kau melanjutkan perjalanan. Gunung Gede masih jauh dari sini...“

“Kau betul, Gunung Gede masih jauh dari sini. Aku melihat seekor kuda besar di sebelah sana. Pasti milikmu. Aku rasa kau mau berbaik hati meminjamkan kuda itu untuk tungganganku ke Gunung Gede...“

“Jadi rupanya kau seorang penjahat! Seorang begal!” Teriak Jumena marah.

Wiro tertawa. “Aku hanya mau meminjam. Jika kau tidak sudi aku tidak memaksa,” jawab Wiro lalu tinggalkan tempat itu. Belum jauh dia berjalan didengarnya perajurit tadi lari mengejarnya dan berseru.

“Tunggu! Jika kau memang ingin penjelasan, aku bersedia menceritakan!”

“Hemm... Begitu? Baiklah. Aku akan mendengarkan...“ Jawab Wiro lalu duduk di tepi jalan.

Perajurit Jumena bercerita mulai dengan kematian Nyi Inten Kameswari yang makamnya kemudian dibongkar orang. Ketika jenazah diperiksa kembali ditemukan perutnya dalam keadaan robek besar. Lalu menyusul kematian Anom Miharja, suami Nyi Inten yang dikabarkan bunuh diri. Jumena tidak lupa menceritakan ditemukannya beberapa mayat orang Cina yang diduga adalah orang-orang rimba persilatan Tiongkok. Lalu kematian Pengemis Muka Bopeng dan seorang tokoh silat bernama Eyang Sepuh Kembar Tilu. Kejadiannya di warung Akang Punten di desa Cangkring. Sebelum mati Eyang Sepuh didengar menyebut-nyebut nama Raden Kumalasakti. Lalu diceritakan pula ditemukannya beberapa mayat penduduk setempat.

“Siapa Raden Kumalasakti itu?” tanya Wiro.

“Seorang masih muda tapi memiliki kepandaian tinggi, Punya banyak hubungan dengan para tokoh di barat dan di timur...“

“Menurutmu, kematian Raden Rayi Jantra ada sangkut pautnya dengan semua pembunuhan yang terjadi?” Bertanya Wiro.

“Aku tidak bisa menduga. Bisa saja begitu. Satu hal kuketahui, sebelum tewas Raden Rayi Jantra tengah menyelidiki asal usul kekayaan keluarga Anom Miharja dan istrinya Nyi Inten...“

“Ceritamu tambah menarik. Kalau Anom Miharja dan Nyi Inten sakit hati karena dirinya diselidiki, tak mungkin mereka yang membunuh Rayi Jantra. Turut ceritamu kedua orang itu telah mati lebih dulu...“

“Kau tadi mengatakan ingin menolong. Bagaimana caramu mau menolong?” Jumena kini yang bertanya.

Wiro keluarkan kancing hitam dari kayu yang didapatnya dari Eyang Sepuh Kembar Tilu lalu memperlihatkan pada Jumena. “Kancing kayu ini. Kau tahu kira-kira siapa punya pakaian memakai kancing seperti ini?”

“Itu kancing baju jas tutup. Semua orang kaya, para bangsawan dan pejabat tinggi jika mereka mempunyai jas tutup pasti kancingnya seperti itu.“ Jawab Jumeha. “Dari mana kau mendapatkan kancing itu?”

“Kutemukan di satu tempat,” jawab Wiro berdusta. Seperti diketahui kancing itu didapatnya tergenggam di tangan Eyang Sepuh Kembar Tilu sewaktu nenek aneh itu menemui kematian dibunuh seseorang yang tidak diketahui siapa adanya. Lalu Wiro berkata, setengah memancing. “Kalau sampai banyak orang asing datang ke Losari pasti ada seseorang atau sesuatu yang sangat penting dan berharga yang mereka cari. Apa lagi mereka sampai menemui ajal begitu rupa. Lalu jika dihubungkan dengan rentetan kematian beberapa tokoh silat seperti Eyang Sepuh Kembar Tilu, Raden Kumalasakti dan Pengemis Muka Bopeng yang menyaru menjadi Raden Kumalasakti. Mungkin banyak lagi tokoh atau orang yang telah menemui kematian tapi tidak kau ketahui. Apakah kau tidak mengira semua itu ada kaitannya satu sama lain?”

“Aku Jumena, seorang perajurit rendah. Akal ku tidak sampai pada menghubung-hubungkan semua hal yang terjadi. Hanya saja sewaktu terjadi perkelahian antara Pengemis Muka Bopeng dan Eyang Sepuh Kembar Tilu di warung Akang Punten, kabarnya Pengemis Muka Bopeng memaksa si nenek menyerahkan sesuatu barang.“

“Barang apa?” tanya Wiro.

“Dua buah dadu...“ Jawab Jumena.

“Dua buah dadu?” Wiro menggaruk kepala. “Hanya gara-gara dua buah dadu saja saling berbunuhan?! Edan betul! Tapi…”

Wiro tidak meneruskan ucapannya. Hidungnya mencium semerbak bau harum. Padahal dari arah jurang masih santar bau busuknya mayat. “Hemmm... Aku pernah mencium bau harum ini sebelumnya. Tapi dimana...“

Murid Sinto Gendeng lagi-lagi menggaruk kepala. Wiro memandang berkeliling. Sunyi, tak ada suara, tak ada orang tak ada gerakan. Wiro perhatikan sebuah dinding batu tak seberapa lebar namun cukup tinggi menjulang ke udara. Kalau ada orang yang sembunyi dan diam-diam melakukan pengintaian, maka balik lamping batu itu adalah tempat yang paling baik.

Tidak menunggu lebih lama, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang andal Pendekar 212 melompat tinggi ke udara, melesat dan di lain saat dua kakinya telah menginjak bagian atas dinding batu yang ternyata cukup lebar dan rata. Wiro memandang ke bawah. Dia melihat satu bayangan merah berkelebat cepat menuruni lereng batu.

“Hai!” Wiro berteriak. Bayangan merah lenyap dari pemandangan. Luar biasa. Tempat dimana dia berada serta lereng batu terjal di bawah sana berjarak hampir dua puluh tombak. Namun si bayangan merah mampu menuruni lereng dengan cepat dan lenyap dalam sekejapan mata. Bukan saja gerakannya cepat sekali tapi ilmu meringankan tubuhnya juga luar biasa. Bidadari Angin Timur yang memiliki kecepatan seperti kilat mungkin kepandaiannya masih satu tingkat di bawah si bayangan merah tadi.

“Pasti dia lagi!” ucap Wiro. Lalu murid Sinto Gendeng ini berteriak. “Dua nenek kembar, apa kau ada di sini?!”

Saat itu juga terdengar suara ha-hu ha-hu. Dua nenek kembar rambut kelabu jubah kuning muncul. Keduanya membungkuk di hadapan Wiro. “Kalian melihat orang yang kabur di bawah sana?” “ha-hu ha-hu!”

“Apa dia orang yang sama. Yang dulu pernah mengintai diriku?!”

“ha-hu ha-hu!”

“Kejar dia sampai dapat. Kalau sudah ditemui beritahu padaku dan antar aku ke tempat dimana dia berada!”

“ha-hu ha-hu!”

Dua nenek kembar membungkuk lalu berkelebat lenyap dari tempat itu, melayang laksana terbang ke jurusan lenyapnya bayangan merah. Wiro berpaling ke arah Jumena.

“Aku harus pergi. Nanti kita bertemu lagi!”

“Katanya. mau menolong. Malah pergi...“ Jumena mengomel.

Tidak seperti si bayangan merah atau dua nenek aneh, untuk sampai ke lereng bukit batu di bawah sana Wiro memerlukan satu lompatan. Berlari cukup jauh malah sampai sang surya tepat di ubun-ubun kepala dia masih belum berhasil mengejar orang berpakaian merah. Sementara dua nenek kembar tak satupun yang muncul. Sambil lari sesekali Wiro kerahkan ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung namun tetap saja dia tidak dapat menjajagi dimana beradanya orang yang dikejar. Menjelang petang Wiro akhirnya capai sendiri dan hentikan pengejaran.

Malam hari Wiro menemukan sebuah candi kecil yang keadaannya sudah sangat rusak. Untung ada bagian atap yang masih cukup baik untuk dipakai berlindung dari embun dingin. Wiro memutuskan untuk bermalam di candi ini. Perutnya terasa lapar. Selagi dia mencari tempat yang baik dan bersih untuk berbaring tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda, keras dan cepat sekali. Wiro memperhatikan dari balik dinding candi.

Dalam kegelapan malam kelihatan dua penunggang kuda coklat memacu tunggangan mereka ke arah candi. Sementara di sebelah belakang mengejar enam orang yang juga menunggang kuda. Begitu sampai di depan candi, dua penunggang kuda coklat yang berpakaian dan berdestar biru segera berhenti. Kuda dilepas dan keduanya cepat menyelinap ke dalam candi.

Wiro memperhatikan, dua orang ini masih sangat muda-muda. Wajah mereka sama-sama tampan. Yang bertubuh kecil halus berkumis tipis rapi. Kelihatannya mereka pemuda baik-baik. Tampang pedagang mereka tidak punya. Mungkin murid atau santri pesantren yang beberapa diantaranya memang terdapat di daerah itu. Mungkin juga mereka dua orang putera ningrat bangsawan yang kemalaman di jalan. Kedua orang ini masing-masing membekal bungkusan besar di punggung.

Enam penunggang kuda pengejar berhenti di samping candi dengan suara menggemuruh. Debu mengepul ke udara. Keenam orang ini mengenakan baju penuh tambalan. Dengan gerakan sebat cepat mereka melompat masuk ke dalam candi.

“Dua tikus putih! Apa kalian lebih suka mencari mati daripada menyerahkan harta benda?!”

Salah seorang dari enam lelaki yaitu yang paling besar tubuhnya berteriak. Golok besar berkilat dimelintangkan di atas dada. Rambut hitam lebat, muka kotor coreng-moreng, kumis melintang, berewok dan janggut meranggas kasar. Satu keanehan pada diri orang ini, sepasang mata lebih banyak putihnya. Bola mata hanya merupakan satu titik kecil berwarna hitam. Lima temannya keadaannya hampir tidak beda. Hanya saja yang lima ini tidak memiliki mata seperti si tinggi besar tadi.

“Meong...“ Tiba-tiba ada suara kucing mengeong. Sesaat kemudian satu sosok berpakaian putih melesat di udara dan berdiri di tembok candi. Sambil bertolak pinggang orang ini berkata,

“Tak ada tikus di sini. Yang ada kucing meong. Aku!”

Enam orang lelaki berpakaian penuh tambalan melengak kaget. Tapi cuma sebentar. Keenamnya menggebor marah. Yang paling depan membentak keras.

“Kalau tidak ada tikus, kucing meongpun jadi!” Lalu orang ini melompat ke depan babatkan golok besarnya ke kaki orang di atas tembok yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Ah kalian pasti pengemis apes. Tidak gablek sedekahan siang tadi, malam hari jadi nekad!”

Sekali melompat Wiro telah berada di udara. Waktu melayang turun dia sengaja injakkan kaki kiri lebih dulu di atas kepala orang yang paling besar baru jejakkan kaki di lantai candi. Marah orang ini diperlakukan seperti itu bukan alang kepalang. Seumur hidup baru kali itu ada orang yang berlaku sangat kurang ajar, berani menginjak kepalanya. Dia berteriak pada anak buahnya yang lima orang.

“Cari dua tikus itu! Jarah harta benda mereka! Bunuh jika melawan! Aku akan mencincang kucing meong satu ini! Tidak ada satu orangpun boleh berlaku kurang ajar terhadap Pengemis Mata Putih!”

Orang yang mengaku Pengemis Mata Putih melompat ke atas tembok. Di saat yang sama sambil tertawa bergelak Wiro melompat ke lantai candi.

“He he he! Bagaimana ini! Kau ke atas, aku ke bawah! Ha ha ha!” Pendekar 212 melirik ke samping lalu berkelebat tinggalkan Pengemis Mata Putih.

“Bukk! Bukk!”

Dua lelaki berpakaian tambalan yang hendak menyergap ke sudut candi dimana beradanya dua pemuda tampan berpakaian biru tadi mencelat mental dan keluarkan jeritan keras. Golok terlepas jatuh. Keduanya terkapar di lantai candi, megap-megap muntah darah. Tiga temannya serta merta berbalik ke arah Wiro dan kiblatkan golok masing-masing dalam jurus luar biasa cepat dan ganas! Pendekar 212 mainkan jurus Benteng Topan Melanda Samudera. Dua tangan dikipas ke depan.

“Wutt! Wuutt!”

“Aahhhhh!” Tiga lelaki baju tambalan mengerang keras. Ketiganya terpental. Satu menghantam dinding candi hingga roboh. Dua lainnya terbanting ke halaman candi! Satu melejang-lejang kesakitan satunya tak berkutik lagi karena patah leher.

“Singgg!” Satu golok besar menyambar ke arah batang leher Pendekar 212. Datangnya dari samping. Wiro cepat merunduk. Sambil jatuhkan diri dan bersitekan dengan dua tangan ke lantai candi, kaki kirinya menendang ke belakang dalam jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung.

“Duukkk!” Gerak serangan seperti kuda menendang itu mendarat di dada Pengemis Mata Putih yang tadi membacok dengan ganas. Tubuhnya yang besar hanya bergontai sebentar lalu mulutnya keluarkan suara tawa bergelak. Sambil pukul-pukul dadanya sendiri dia berkata menantang.

“Pemuda gondrong kau boleh pukul bagian tubuhku yang kau suka! Kau boleh keluarkan senjata! Bacok dan tusuk dimana kau senang!”

“Hemmm... rupanya kau punya ilmu kebal hingga berlaku pongah menantang! Tapi apakah kau merasa lebih hebat dari Pengemis Muka Bopeng dan Pengemis Siang Malam yang telah menemui kematian?!”

Kejut Pengemis Mata Putih bukan alang kepalang. “Kau bicara apa?!” hardik Pengemis Mata Putih. Pengemis Muka Bopeng dan Pengemis Siang Malam adalah dua adik seperguruannya.

“Sebaiknya kau bersama anak buahmu pergi menghadap gurumu Si Raja Pengemis di Lebakwangi. Bertobat minta ampun atas semua perbuatan sesat kalian. Diniati jadi pengemis malah jadi rampok!”

Mendengar kata-kata Wiro, Pengemis Mata Putih menggerung. “Jika dua saudara seperguruanku tewas, berarti kau yang membunuh mereka!” Dengan golok di tangan Pengemis Mata Putih menerjang ke depan. Golok besar berkilat berubah seolah menjadi belasan banyaknya. Membabat, membacok dan menusuk dengan mengeluarkan angin dingin serta suara berdesing. Pengemis Mata Putih keluarkan jurus andalnya yang disebut Pengemis Siang Minta Berkah, Pengemis Malam Minta Sesajen.

"Breett!” Baju Pendekar 212 robek di bagian bahu. Pakaian putih itu tampak kemerahan tanda kulit bahu Wiro ikut terluka. Dari sudut candi terdengar satu suara pekikan. Walau bahunya terasa perih, Pendekar 212 menyeringai sambil tepuk-tepuk bahu yang luka.

“Kucing meong! Baru bahumu yang aku sayat! Sekarang giliran lehermu! Lihat golok!”

Didahului bentakan keras tubuh besar Pengemis Mata Putih melompat. Goloknya bersiuran, menabur tiga serangan sekaligus. Yaitu membabat ke pinggang lalu membacok ke kepala dan terakhir sekali yang merupakan serangan sebenarnya adalah menusuk ke leher!

“Serangan hebat! Jaga kepalamu!” teriak Wiro sambil menghindar.

Pengemis Mata Putih terkesiap. Suara lawan datang dari empat jurusan. Mana yang sungguhan dan mana yang palsu? Belum mampu dia memastikan tiba-tiba buukkk! Batok kepalanya digebuk orang!

Pengemis Mata Putih tersungkur di tanah. Mengerang sebentar, mata terjereng-jereng lalu bangkit lagi! Pendekar 212 melengak kaget setengah mati. Tadi dia berhasil menipu lawan dengan ilmu Empat Penjuru Menebar Suara. Ilmu ini didapatnya dari Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud yang merupakan guru Hantu Selaksa Angin (Baca serial Wiro Sableng di Latanahsilam).

Selagi lawan kebingungan Wiro kemudian menghantam ubun-ubun orang dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah. Pukulan yang bisa menghancurkan batu besar itu ternyata tidak mampu memecahkan kepala Pengemis Mata Putih!

“Gila! Ilmu kebalnya benar-benar luar biasa! Aku harus mencari kelemahannya! Sebaiknya aku lebih dulu mencecar dengan serangan.”

Wiro lalu kerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh. Tubuhnya berkelebat seolah berubah jadi bayang-bayang. Tangan dan kakinya melesat kian kemari, menendang dan menggebuk. Beberapa dari serangannya itu bersarang dengan telak di tubuh lawan. Namun tetap saja Pengemis Mata Putih bergeming, tidak berhasil dirobohkan apa lagi dicederai. Sebaliknya serangan golok sang pengemis semakin bertubi-tubi dan berbahaya. Wiro memutuskan untuk menghantam lawan dengan pukulan Sinar Matahari.

“Kelemahan orang itu adalah pada matanya. Jika kau bisa menciderai satu saja dari dua matanya, sekali pukul saja dia akan ambruk menemui ajal!”

Tiba-tiba Wiro mendengar suara halus di telinga kirinya. Dia tidak berusaha mencari tahu siapa yang mengirimkan ucapan jarak jauh itu namun langsung saja melakukan serangan mengincar dua mata lawan. Setelah mendesak Pengemis Mata Putih tiga jurus berturut-turut Wiro akhirnya berhasil menjotos mata kiri lawannya dengan jurus pukulan Membuka Jendela Memanah Matahari.

“Crooss!” Mata kiri Pengemis Mata Putih hancur! Orang ini langsung melosoh ke tanah, menjerit tiada henti. Wiro jambak rambutnya dengan tangan kanan. Ketika tangan kiri hendak dihantamkan ke muka orang ada orang mencegah dengan mengirimkan suara.

“Jangan bunuh orang itu!”

Wiro lepaskan jambakan. Pengemis Mata Putih jatuh terduduk di tanah, berlutut dan meratap minta ampun. “Aku mengaku kalah! Ampuni selembar nyawaku! Aku siap untuk bertobat!”

“Pergilah! Bawa teman-temanmu yang masih hidup. Awas jika kemudian hari aku menemuimu masih berbuat jahat!”

Pengemis Mata Putih membungkuk-bungkuk berulang kali. Ternyata ada empat orang anak buahnya yang masih hidup walau dua diantaranya luka parah.

Setelah Pengemis Mata Putih dan empat anak buahnya pergi membawa serta mayat seorang teman mereka Wiro berpaling ke sudut kiri candi dimana dua pemuda cakap berpakaian biru berdiri dengan wajah menunjukkan rasa lega, lepas dari malapetaka. Pemuda yang bertubuh lebih besar segera mendatangi Wiro.

“Aku dan adikku menghaturkan banyak terima kasih dan bersyukur pada Yang Maha Kuasa. Kalau sahabat tidak menolong, entah apa jadinya kami. berdua...“

Wiro menggaruk kepala. Sekali lihat saja dia tidak percaya kalau dua pemuda tampan dan halus ini tidak memiliki ilmu kepandaian. Mereka sembunyikan kehebatan dibalik sikap merendah dan lemah lembut. Maka Wiro lalu menjawab,

“Kalau tidak tadi salah satu diantara sahabat yang memberi tahu kelemahan pengemis itu, rasanya saat ini aku sudah jadi mayat terkutung-kutung...“

Pemuda yang bertubuh lebih kecil dan berkumis rapi mendatangi. “Ilmu silat, ilmu meringankan tubuh serta tenaga dalam saudara sungguh mengagumkan. Boleh saya bertanya siapa saudara ini dan murid siapa gerangan adanya?”

Wiro tersenyum. “Sahabat keliwat memuji. Kalau saya boleh bertanya, sahabat berdua datang dari mana dan mau menuju kemana?”

“Kami orang pedalaman. Aku Panjirama, adikku bernama Ariadarma. Kami dalam perjalanan ke utara. Di tengah jalan dihadang dan dikejar oleh Pengemis Mata Putih bersama anak buahnya. Untung kami bertemu dengan sahabat. Sebelum sampai di sini kami tidak henti-hentinya melihat bencana, malah mengalaminya sendiri...“

Ariadarma menyambung ucapan sang kakak. “Sebelumnya kami melewati beberapa desa. Penduduk disana tengah meratapi bencana yang mereka alami. Air sungai yang melalui desa mereka diracuni orang. Ikan mati mengambang. Ternak banyak yang menemui ajal. Bahkan penduduk yang minum air sungai, walau telah dimasak masih mati keracunan. Diperlukan waktu berminggu-minggu sebelum racun larut hanyut ke muara. Penduduk beberapa desa itu sudah lama menderita. Kini malah jadi tambah sengsara...“

“Ini pasti pekerjaan orang-orang di timur. Orang-orang di barat sudah terlalu lama banyak mengalah...“ Kata Panjirama pula.

Wiro perhatikan pemuda berkumis yang berdiri di depannya. Dia garuk-garuk kepala lalu tersenyum dan berkata, “Kalian berdua pasti kecapaian. Kalian perlu istirahat. Perjalanan ke utara masih jauh. Candi rusak ini terlalu sempit untuk kita bertiga. Apa lagi aku tidak ingin menganggu kehadiran kalian berdua. Aku tak berani menduga, namun bukan mustahil kalian adalah sepasang kekasih yang sedang berkelana secara menyamar...“

Kaget dua kakak adik berwajah tampan itu bukan main. “Aku tidak mengerti maksud sahabat,” kata pemuda bernama Panjirama.

Wiro membungkuk lalu masih sambil senyum-senyum dia tinggalkan candi itu.

“Heran,” kata Panjirama. “Bagaimana dia sampai berkata kita adalah sepasang kekasih yang sedang berkelana secara menyamar...“

“Ucapan itu hanya punya satu arti,” sahut Ariadarma, sang adik. “Dia tahu kalau Adinda perempuan. Luar biasa, bagaimana dia bisa tahu?”

“Sayang dia keburu pergi. Padahal pendekar seperti dia yang kita perlukan di kemudian hari...“ Kata Panjirama pula.

Sementara itu Pendekar 212 Wiro Sableng berjalan sambil senyum-senyum. “Berkumis tapi pakai kalung emas dan punya payudara. Ha ha ha...“

Bagaimana Wiro tahu kalau Ariadarma adalah seorang perempuan? Tidak lain karena kejahilannya juga. Dia memperhatikan pemuda berkumis itu sambil mengerahkan ilmu Menembus Pandang. Padahal Ratu Duyung telah berpesan bahwa ilmu tersebut tidak boleh dipergunakan untuk niat nakal atau jahat.

“Ha-hu ha-hu...“

Wiro hentikan langkah. “Nenek kembar?”

Satu bayangan kuning berkelebat dan salah seorang dari dua nenek kembar rambut kelabu jubah kuning muncul berdiri di hadapan Wiro. “ha-hu ha-hu!” si nenek keluarkan suara gagu sambil tangan kiri menunjuk-nunjuk dirinya sedang tangan menunjuk ke arah kejauhan.

“Kau dan kembaranmu sudah menemui orang berpakaian merah itu?” tanya Wiro.

Nenek rambut kelabu mengangguk berulang kali. “Ha hu ha-hu!”

“Kalau begitu antarkan aku ke sana...“

“Ha-hu ha-hu!” ucap si nenek.

“Ha-hu ha-hu!” Wiro menirukan sambil menepuk pantat si nenek.

“Uuuhh...“ Walau hanya mahluk jejadian, namun tepukan di pantatnya membuat si nenek terangsang juga dan tubuhnya mendadak sontak berubah menjadi seorang perempuan muda cantik jelita.

“Jangan coba merayuku! Baru pantat belakang yang aku tepuk sudah mau menggoda. Bagaimana kalau aku tepuk pantatmu yang depan!” kata Pendekar 212 pula sambil senyum-senyum. “Ayo jalan!”

Perempuan cantik itu tertawa lebar. Kedip-kedipkan matanya lalu ujudnya kembali seperti semula yaitu sosok nenek rambut kelabu. “Ha-hu ha-hu...!”

EPISODE SELANJUTNYA: 

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.