Delapan Sukma Merah

Wiro Sableng. Delapan Sukma merah
Sonny Ogawa
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Episode: 
Delapan Sukma Merah
Karya: Bastian Tito
cerita silat online Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut 212 karya Bastian Tito

Kucing putih terkapar di tangga candi. Seperti kesetanan delapan anak kucing merah langsung membantai mencabik-cabik. Dalam waktu singkat sosok kucing putih lenyap, bahkan tulangnyapun tidak bersisa.

Di atas pohon ratu randang yang bersembunyi dibalik kerimbunan dedaunan merasa tengkuk menjadi dingin, bulu kuduk merinding. Mata tak berkesip menyaksikan apa yang terjadi. Dia membayangkan bagaimana nasib dirinya kalau tadi sampai terlambat keluar dad sosok kucing putih itu.

"Delapan anak kucing merah. Binatang apa mereka? Binatang sungguhan atau jejadian? Benjolan merah di kening. Jumlah yang delapan. Mereka pasti ada hubungan dengan dua sinuhun keparat itu…!"


SATU

HUJAN rintik-rintik masih terus turun walau langit tampak cerah. Candi Kalasan menjulang gagah meski banyak bagian candi rusak dan tertutup lumut karena tidak terawat. Konon candi ini dibangun puluhan tahun silam oleh Raja Kedua dalam silsilah Mataram Kuna yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran. Seperti dituturkan dalam episode sebelumnya (Tabir Delapan Mayat) ketika Pendekar 212 Wiro Sableng dan Empat Mayat Aneh berada di halaman candi, tiba-tiba menggelegar suara mengorok keras.

Begitu memandang ke bagian belakang candi, Wiro melihat satu sosok raksasa menyembul, melebihi tingginya candi! Mahluk ini mengenakan jubah biru tak berkancing menyibak dada penuh ditumbuhi bulu. Kepala botak memiliki sebuah tanduk berwarna merah. Kumis dan janggut serta sepasang alis hitam berkilat, mencuat ke atas. Mahluk mengerikan ini memiliki sepasang mata besar menjorok keluar, berwarna putih dengan titik kecil aneh di sebelah tengah. Dari balik candi dia mengangkat tangan kiri, menunjuk ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng sambil hembuskan nafas yang memerihkan mata.

"Arwah Ketua!" Ucap Wiro. Lalu pada Empat Mayat Aneh yang ada di dekatnya, Wiro memberi tahu. "Sebelumnya mahluk ini bermaksud jahat hendak membunuhku. Kali ini kalau dia hendak melakukan kembali, aku tidak perduli larangan Sepasang Arwah Bisu! Aku akan menghabisinya!"

Empat Mayat Aneh saling pandang mendengar ucapan Wiro.

"Pemuda keparat! Lancangnya kau berani menyebut langsung namaku! Semua orang di Bhumi Mataram memanggilku dengan sebutan Kanjeng!" Arwah Ketua memaki marah. Tanduk di kepalanya pancarkan cahaya merah terang.

Wiro pencongkan mulut lalu "prett!" Keluarkan suara seperti orang kentut.

Mayat Aneh Kedua berkata. "Aku mencium bau amis."

"Bau amis itu adalah bau amis sosok Ketua Jin Seratus Perut Bumi yang disusupkan masuk ke dalam tubuh Arwah Ketua. Ini semua perbuatan jahat keji Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Aku menaruh kasihan pada mahluk raksasa ini. Tapi kalau dia memang ingin membunuhku, apa boleh buat. Aku terpaksa menghabisinya lebih dulu!"

"Kalau dalam tubuhnya memang ada roh jahat Ketua Jin Seratus Perut Bumi, lebih baik serahkan pada kami. Biar kami menguliti!" Kata Mayat Aneh Ketiga lalu memberi isyarat pada tiga saudaranya.

"Kalian akan mengulitinya? Seperti menguliti kerbau?!" tanya Wiro sambil menggaruk kepala heran. "Ah, ini satu ilmu baru yang ingin sekali aku menyaksikannya!"

Empat Mayat Aneh saling mendekat lalu tempelkan dua tangan satu sama lain. "Delapan Pahat Pengikis Arwah!" Empat Mayat Aneh serentak sama keluarkan seruan.

"Sreettt!"

Gulungan kain putih yang membungkus sepasang tangan Mayat Aneh bergulung membuka sampai kepergelangan. Delapan tangan tersingkap.

"Dess! Dess! Dess! Desss!"

Ujung tangan yang seharusnya berupa lima jari ternyata berubah berbentuk sebuah pahat besar. Delapan pahat angker terpentang berkilau saking tajamnya. Mahluk raksasa Arwah Ketua kembali keluarkan suara mengorok. Demikian hebatnya hingga tanah bergetar. Mulut menyeringai memperlihatkan gigi dan taring besar tajam mengerikan. Tangan kanan diletakkan di bagian atas candi lalu mencengkeram seolah siap hendak mematah menghancurkan.

Melihat hal ini Mayat Aneh Kesatu usap mata, Mayat Aneh Kedua mengusap mulut sambil menunjuk ke arah candi dan berteriak. "Mahluk raksasa! Siapapun kau adanya! Jika kau berani merusak Candi Kalasan biar kami berempat mewakili kemurkaan Para Dewa!"

"Siapa takut murkanya Dewa!" jawab Arwah Ketua takabur. "Junjunganku adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah!"

"Jelas sudah! Jelas sudah kaki tangan siapa mahluk ini adanya!" Berkata Mayat Aneh Keempat.

Arwah Ketua kembali menyeringai. Tampangnya yang angker tampak kaku membesi. Tangan kanan diturunkan ke partengahan bangunan candi. Lalu sambil keluarkan teriakan menggelegar dia membuat gerakan mendorong.

"Rrreeekkkkkk!"

Candi Kalasan bergoyang keras lalu bergeser ke depan hampir setengah tombak! Empat Mayat Aneh cepat melompat berpencar. Dua ke samping kiri candi, dua lainnya ke sebelah kanan candi. Sementara Wiro sendiri menyaksikan apa yang dilakukan Arwah Ketua terkagum­kagum, sesaat jadi lupa kalau mahluk raksasa ini punya niat hendak membunuhnya.

"Saudara-saudaraku! Saat menguliti sudah tiba! Lakukan sekarang juga!" Berteriak Mayat Aneh Kesatu.

Empat Mayat Aneh kemudian melesat ke udara. Delapan tangan berbentuk pahat menderu ke arah Arwah Ketua.

"Mahluk-mahluk salah ujud! Kalian memang sudah saatnya disingkirkan dari Bhumi Mataram untuk selama­-lamanya!" Membentak Arwah Ketua. Dua tangan dipentang ke udara. Dua telapak tangan dikembang lalu digerakkan dibolak balik! Tidak ada sambaran angin, tidak ada getaran, bahkan tidak ada suara. Namun saat itu juga Empat Mayat Aneh dapatkan diri mereka yang tengah melesat di udara dan hanya tinggal sepejangkauan dari sosok lawan tiba-tiba mengapung tak mampu bergerak. Naik tidak, turunpun tidak!

"Ilmu Menahan Angin Menggantung Arwah!" Teriak Mayat Aneh Kesatu yang mengenali nama ilmu kesaktian yang dikeluarkan Arwah Ketua untuk menyerang diri dan tiga saudaranya.

"Celaka kita semua!" Berteriak Mayat Aneh Ketiga.

"Pelihara mulut hanya bicara kebaikan! Mengapa menyumpahi diri sendiri! Pergunakan akal! Menangkal serangan memakai kesaktian lawan! Lekas kalian menyirap membayangkan Batu Asmasewu yang ada dalam tubuh Arwah Ketua! Pasti tembus!" Yang berteriak adalah Mayat Aneh Kedua.

Batu Asmasewu adalah sebuah batu sakti luar biasa, berukuran seujung ibu jari tangan, berwarna hijau bergemerlap. Batu sakti ini selalu dibawa kemana-mana oleh Arwah Ketua karena berada di dalam rongga dadanya. Setelah berteriak, diikuti oleh tiga saudaranya Mayat Aneh Kedua pejamkan mata membayangkan sosok tubuh Arwah Ketua di bagian dada!

"Celaka!" Mayat Aneh Keempat berteriak.

Menyusul Mayat Aneh Ketiga berseru. "Batu Asmasewu tidak terlihat di dalam tubuh mahluk raksasa itu!"

"Jangan-jangan sudah digasak Sinuhun keparat!" Teriak Mayat Aneh Kesatu.

Arwah Ketua yang masih berada di belakang Candi Kalasan tertawa bergelak. "Ajal kalian sudah di depan mata! Ha…ha…ha!"

Mayat Aneh Keempat gerakkan tangan hendak menekap bagian bawah perut tapi sampai saat itu dia sama sekali tidak mampu menggerakkan tangan ataupun kaki. Namun mahluk ini tidak kehabisan akal.

"Air Dosa Penangkal llmu Gaib!" Teriak Mayat Aneh Keempat. Tiga Mayat aneh lainnya tersentak kaget lalu!

"Rrrrttttt!"

"Edan!" Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak kaget ketika menyaksikan apa yang terjadi. Gulungan kain putih yang membungkus bagian bawah perut Empat Mayat Aneh bergulung membuka. Empat burung lucu tak bersayap mencuat keluar lalu serrrrr! Empat larik air kencing menderu deras ke arah sosok Arwah Ketua.

"Jahanam kurang ajar!" Arwah Ketua memaki marah. Tampangnya yang garang tampak berubah.

Sementara Empat Mayat Aneh tertawa haha-hihi. Arwah Ketua keluarkan suara mengorok keras. Mahluk raksasa ini cepat melompat mundur menghindari siraman empat larik air kencing. Namun serangan aneh berupa semburan air kencing itu tidak semuanya dapat dihindari! Arwah Ketua menggeliat dan berteriak keras ketika ada sebagian curahan air kencing menyiprat mengenai pipi kiri serta membasahi bahu kanan.

"Tembus!" Teriak Mayat Aneh Keempat.

DUA

BEGITU air kencing mengenai kepala dan bahunya, ilmu kesaktian Arwah Ketua Menahan Angin Menggantung Arwah yang menguasai Empat Mayat Aneh sera merta menjadi musnah. Saat itu juga Empat Mayat Aneh mampu menggerakkan lagi dua tangan dan kaki. Sementara gulungan kain putih di bagian bawah perut kembali bertaut, Empat Mayat Aneh melesat dua tombak ke atas, jungkir balik satu kali lalu secepat kilat melayang turun ke arah Arwah Ketua. Delapan tangan berbentuk pahat besar dan luar biasa tajam menderu mengerikan. Arwah Ketua mengorok marah.

Dua tangan dipentang untuk melindungi diri dengan ilmu yang disebut Seribu Arwah Menutup Awan Memagar Langit. Namun delapan tangan berbentuk pahat besar keburu menyusup. Lalu terdengar suara sett…sett berulang kali disertai teriakan kesakitan menggelegar dari mulut Arwah Ketua. Dari tempatnya berdiri Wiro hanya melihat cahaya delapan pahat berkiblat tiada henti. Beberapa kejapan mata berlalu tiba-tiba... braakkk! 

Satu benda aneh terkapar di halaman candi, tepat di depan Pendekar 212 Wiro Sableng membuat murid Sinto Gendeng tersurut kaget dua langkah. Hidung mencium bau amis luar biasa santar. Mata mendelik memperhatikan. Padahal saat itu dia tengah memikirkan sesuatu. Yaitu air kencing Empat Mayat Aneh yang mampu memusnahkan ilmu kesaktian Arwah Ketua. Dia coba mengingat-ingat dan menghubungkan hal yang barusan disaksikan dengan satu kejadian lain di masa lalu.

Namun jalan pikirannya jadi buyar. Ketika dia menatap ke depan, astaga! Satu benda aneh menyerupai kulit binatang teronggok di tanah setinggi pinggang. Bagian yang berasal dari kepala memiliki cula merah, kumis, alis serta janggut hitam. Bagian dada dipenuhi bulu! Lalu ada bagian membentuk dua tangan dan kaki. Wiro merasa tengkuknya merinding dingin.

"Ilmu menguliti mahluk…. Delapan Pahat Pengikis Arwah," ucap Wiro dengan suara bergetar. "Apa ini benar tubuh Arwah Ketua yang telah dikuliti? Lalu mana ujud asalnya? Mana tulang belulangnya? Tidak ada daging, tidak ada darah!"

Wiro melirik ke arah Empat Mayat Aneh. Empat mahluk itu ternyata dalam keadaan tegak mematung. Gulungan kain putih yang menutup kepala, di bagian mulut tampak berwarna merah. Wiro terkejut. "Mereka terluka di dalam…."

Baru saja Wiro keluarkan ucapan tiba-tiba satu benda merah panas menyala laksana ular besar dan panjang melesat ke arah lehernya. Walau belum jelas mengetahui benda apa yang menyerang Wiro cepat jatuhkan diri sambil menghantam dengan pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung. Satu raungan keras menggelegar di tempat itu.

Memandang ke depan Wiro melihat sosok Ketua Jin Seratus Perut Bumi yang kaki kirinya buntung sebatas paha terjajar beberapa langkah ke belakang. Benda merah panas yang bukan lain adalah lidah panjangnya putus di sebelah tengah. Bagian yang terlampar ke udara berubah menjadi kobaran api lalu lenyap. Bagian lidah yang masih berada dalam mulut kepulkan asap merah disertai hamparan bau amis!

"Mahluk jahanam dari alam delapan ratus tahun mendatang! Hari ini aku mengadu nyawa denganmu!" Ketua Seratus Jin Perut Bumi keluarkan ancaman. Suaranya sember karena lidah telah menjadi pendek. Dua tangan dipentang. Didahului teriakan keras mendadak sontak dua lengan menjulur panjang dan sepuluh jari mencuat berubah menjadi cakar elang raksasa!

"Breettt!"

Baju Pendekar 212 robek di bagian dada terkena sambaran cakar tangan kiri Ketua Seratus Jin Perut Bumi. Empat Mayat Aneh yang baru saja selesai mengobati luka dalam mereka dengan cara menghimpun hawa sakti gaib berseru kaget.

"Sahabat! Biar kami habisi mahluk laknat alam roh ini!" Teriak Mayat Aneh Ketiga.

"Yang satu ini bagianku!" Jawab Wiro lalu tidak menunggu lebih lama dia melesat ke udara. Dua kaki menderu mengirimkan tendangan berantai ke arah muka Ketua Seratus Jin Perut Bumi.

"Praakk…. praakk!"

Wajah Ketua Seratus Jin Perut Bumi remuk di bagian dagu dan pipi kiri. Namun sosoknya tetap berdiri malah menggereng garang seperti harimau terluka. Hebatnya, dagu dan pipi yang hancur sesaat kemudian kembali bertaut seperti semula! Tampang menyeringai, mulut terbuka lalu meniup!

"Wusss!"

Satu gelombang angin amis berwarna kehitaman menderu menyambar ke arah Pendekar 212. Bersamaan dengan itu dua tangan Ketua Jin Seratus Perut Bumi berkelebat ke depan. Gerakan yang luar biasa cepat nyaris menelikung tubuh Wiro kalau Empat Mayat Aneh tidak menghalangi dengan serangan delapan tangan yang masih berbentuk pahat besar!

"Crass! Crasss!"

Dua pahat menghunjam lengan kiri kanan. Ketua Jin Seratus Perut Bumi mengerang pendek lalu dukk! Kaki kanannya yang masih utuh berhasil menendang Mayat Aneh Ketiga hingga mencelat mental dan jatuh di atas peti mati. Megap-megap sebentar lalu diam tak berkutik, entah mati entah sudah menemui ajal!

Tiga Mayat Aneh lainnya berteriak marah. Mereka siap menyerbu namun Wiro yang tidak mau membuang waktu segera berteriak.

"Sahabat bertiga lekas menyingkir!"

"Kau mau melakukan apa? Mahluk keparat ini telah membunuh saudara kami Mayat Aneh Ketiga. Biar kami…." Berteriak Mayat Aneh Keempat.

"Kalau begitu kalian lekas menolong Mayat Aneh Ketiga sebelum rohnya minggat!" balas berteriak Wiro.

Tiga Mayat Aneh merasa kurang senang. Ketika mereka memandang ke arah Wiro. Saat itulah mereka melihat satu cahaya putih menyilaukan menderu dahsyat keluar dari tangan kanan pemuda yang mereka kenal dengan sebutan Kesatria Panggilan itu. Mayat Aneh Keempat cepat dorong dua saudaranya hingga terpelanting jatuh lalu dia sendiri jatuhkan diri bergulingan di tanah.

"Wusss!"

Sinar putih menderu dahsyat. Seantero halaman Candi Kalasan mendadak sontak menjadi panas luar biasa. Melihat datangnya serangan dahsyat begitu rupa dan sebelumnya sudah mengetahui sampai dimana kehebatan ilmu kesaktian Wiro, Ketua Jin Seratus Perut Bumi tidak berani membalas serangan dengan serangan pula. Secepat kilat dia amblaskan diri ke dalam tanah. Tapi baru sebatas pinggul masuk ke dalam tanah, Pukulan Sinar Matahari menghajar tubuhnya!

Maka terjadilah satu pemandangan mengerikan. Tubuh sebelah atas Ketua Seratus Jin Perut Bumi hancur lebur menjadi puluhan cabikan gosong! Sosok sebelah bawah yang amblas di dalam tanah kepulkan asap menebar bau amis. Tiga Mayat Aneh tidak memperhatikan apa yang terjadi dengan Ketua Jin Seratus Perut Bumi. Mendengar teriakan Wiro tadi mereka memang jadi kawatir akan keadaan Mayat Aneh Ketiga. Mayat Aneh Kedua berbisik.

"Tugas kita membawa gadis kaki satu itu sudah selesai. Soal orang tua yang dulu menyuruh kita tidak ada di sini itu bukan urusan kita lagi! Lebih baik kita segera menolong Saudara Ketiga dan pergi dari sini!"

Tiga Mayat Aneh lantas belompatan ke arah peti mati. Sesaat kemudian peti itu mengeluarkan suara menderu. Dari bagian dasar peti menyembur cahaya hitam kecoklatan. Di lain kejap peti mati telah melesat tinggi ke udara.

Wiro merasa hanya meminta Tiga Mayat Aneh menolong saudaranya, bukan pergi meninggalkan tempat itu. Ketika dia hendak berteriak memanggil tiba-tiba... wuttt!

Dari dalam tanah melesat kutungan tubuh bagian bawah Ketua Jin Seratus Perut Bumi. Kaki kiri buntung sebatas paha. Ketika Wiro memperhatikan kaki kanan mahluk jin ini kejutnya bukan kepalang. Kaki kanan yang masih utuh sebatas lutut kebawah tampak berwarna putih perak serta mengeluarkan hawa panas.

"Kaki itu seperti tanganku yang menyirap Pukulan Sinar Matahari," pikir Pendekar 212. "Bagaimana mungkin!"

Tiba-tiba kaki kanan menendang ke depan.

"Wuss!"

Selarik sinar putih menyilaukan dan menghampar hawa panas menyerupai Pukulan Sinar Matahari, bedanya yang datang ini berupa tendangan, menderu ke arah Wiro.

"Gila!" Teriak Wiro.

TIGA

KETIKA cahaya putih panas yang menyerang Wiro berkiblat di udara sekonyong-konyong ada orang berseru. "Kalian bermain petir-petiran! Mengapa aku tidak diajak!"

Lalu ada teriakan susulan. "Manusia tolol! Lekas menyingkir! Kau mau mampus! itu bukan petir!"

Seorang mengenakan pakaian merah muda melesat turun dari atas satu pohon besar di halaman Candi Kalasan. Tidak perduli peringatan orang dia tetap saja berkelebat menyongsong datangnya sambaran cahaya putih perak panas menyilaukan yang melesat dari kaki kanan Ketua Seratus Jin Perut Bumi. Lalu dengan kedua tangannya ujung cahaya putih ditangkap, dibuntal sambil berguling-guling di tanah! Tertawa haha-hihi seperti anak kecil yang kegirangan bermain-main!

Siapa lagi yang punya kemampuan aneh, hebat dan gila seperti itu kalau bukan gadis langka Jaka Pesolek yang berjuluk Si Penangkap Petir! Sebelumnya dia juga pernah menangkap serangan Lentera Iblis yang dilancarkan Pangeran Matahari alias Kesatria Roh Jemputan yang disangkanya petir. Saat itu Jaka Pesolek tidak mengalami cidera sebaliknya pecahan serangan Lentera Iblis memusnahkan puluhan Jin Perut Bumi. Sang Ketua sendiri putus paha kirinya (Baca serial sebelumnya berjudul Jaka Pesolek Penangkap Petir)

Selagi Wiro masih terkesiap kaget sekaligus kawatir kalau kali ini Jaka Pesolek akan menemui celaka karena membuntal Sinar Matahari, Ketua Seratus Jin Perut Bumi yang sosoknya hanya berupa buntungan sebatas pinggang ke bawah memutar tubuh ke arah si gadis. Di udara terdengar suara bentakan keras.

"Mahluk jahanam! Banci keparat! Kau membunuh puluhan anak buahku! Kau juga yang membuat kaki kiriku buntung! Kau muncul tanpa kucari! Sekarang kau ikut aku ke neraka alam roh! Tapi nyawamu harus minggat dulu dari tubuhmu yang salah kaprah!"

Kaki kanan yang masih berwarna putih perak dan panas kembali menendang. Kali ini tanpa menyemburkan cahaya. Namun jika sampai menghantam Jaka Pesolek pada bagian dada yang diincar, kejap itu juga gadis itu akan meregang nyawa dengan dada jebol tembus sampai ke punggung, tubuh hangus!

Wiro yang merasa dirinya telah diselamatkan Jaka Pesolek dari serangan balik Sinar Matahari yang dilancarkan Ketua Seratus Jin Perut Bumi melompat satu tombak ke udara lalu dari atas melepas pukulan sakti Tangan Dewa Menghantam Tanah ke arah kutungan tubuh Ketua Seratus in Perut Bumi. Namun dia kalah cepat dengan Jaka Pesolek yang punya gerakan kilat. Marah karena dirinya dimaki banci keparat Jaka Pesolek berteriak.

"Ihhh! Tubuh tinggal sepotong! Mulut saja tidak punya! Masih bisa bicara tak karuan! Ini makan pencarianmu!" Jaka Pesolek kemudian lemparkan buntalan cahaya putih yang ada di kedua tangannya.

"Wusss!"

Cahaya putih yang sebenarnya adalah cahaya Pukulan Sinar Matahari menderu ke depan lalu!

"Blaarr!"

Satu letusan dahsyat menggelegar. Potongan tubuh Ketua Seratus Jin Perut Bumi bertaburan ke udara dalam bentuk ratusan keping tulang dan daging! Asap hitam bau amis mengepul memenuhi halaman Candi Kalasan. Di kejauhan terdengar suara mahluk meraung beberapa kali. Ketika suara raungan lenyap dan asap hitam pupus, lapat­-lapat terdengar suara aneh. Suara kucing mengeong, banyak sekali!

Wiro yang masih mengapung di udara dan tadi hendak melepaskan pukulan sakti untuk menghajar potongan tubuh Ketua Seratus Jin Perut Bumi sesaat merasa tercekat namun kemudian cepat-cepat melayang turun mendatangi Jaka Pesolek yang tertelentang di tanah dengan tubuh mengepul. Wiro ulurkan tangan untuk membantu si gadis bangkit berdiri. Ketika tangannya bersentuhan dengan tangan Jaka Pesolek, Wiro tersentak kaget dan kibas-kibaskan tangannya. Tangan Jaka Pesolek panas laksana api!

"Oala! Aku belum mengeluarkan sisa panas di dalam tubuhku." Kata Jaka Pesolek. Nafas ditahan di bagian perut lalu berlahan-lahan mulut meniup. Kepulan asap putih panas keluar dari dalam mulut, liang hidung dan telinga. Sesaat kemudian tampak gadis ini tersenyum.

"Sobatku hebat! Kau tidak apa-apa?" Tanya Wiro yang saat itu masih dalam keadaan membungkuk.

"Ah, aku senang bertemu kau lagi," jawab Jaka Pesolek lalu enak saja dua tangannya dipagutkan ke leher Wiro. Si gadis berusaha menarik Wiro ke bawah agar wajah mereka saling bersentuhan.

Tiba-tiba ada suara teriakan. "Jaka Pesolek! Awas di belakangmu!"

"Wiro ada serangan cahaya merah di depanmu!"

Wiro yang dalam keadaan membungkuk tersentak kaget. Ketika dia mengangkat kepala di atasnya berkelebat ganas delapan larik cahaya merah pekat.

"Serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!" Kembali ada yang berteriak.

Kedudukan dirinya tidak memungkinkan Wiro untuk menangkis serangan ganas itu. Yang bisa dilakukannya adalah segera menjatuhkan diri, bergulingan di tanah bersama Jaka Pesolek. Sinar merah menyambar. Hampir bersamaan dari sebuah pohon besar melesat dua larik sinar lain. Satu bercahaya biru, satu lagi berwarna hijau. Kelihatannya dua sinar ini berusaha menangkis atau memotong serangan cahaya merah. Namun cahaya merah melesat lebih cepat.

"Bummm!"

Delapan dentuman menggelegar secara bersamaan. Saat itu juga di halaman Candi Kalasan tampak menguak delapan lobang besar dikobari api. Tanah yang atau muncrat ke udara berhamburan ke bawah mengotori tubuh serta pakaian Wiro dan Jaka Pesolek.

"lhhh! Aku takut! Ada orang membuat liang kubur untuk kita! Tapi mengapa sampai delapan?!" Jaka Pesolek keluarkan ucapan sambil kencangkan rangkulannya di tubuh Wiro.

"Gadis konyol! Kau sudah diselamatkan! Sekarang jangan pergunakan kesempatan mau bersuka-sukaan! Pura-pura ketakutan tapi niatmu sebenarnya hanya ingin memeluk pemuda itu!"

Dua orang berkelebat dari atas pohon besar. Salah seorang diantaranya menarik dua tangan dan kaki Jaka Pesolek yang dirangkulkan ke punggung dan pinggang Pendekar 212.

"Hik… hik! Siapa yang mau bersuka-sukaan?! Enak saja bicara!"

Jaka Pesolek terpaksa lepaskan rangkulan lalu melompat bangun sementara Wiro juga sudah berdiri sambil mesem-mesem. Keduanya membersihkan tanah yang menutupi pakaian dan mengotori rambut serta wajah. Memandang berkeliling keduanya melihat di tempat itu kini telah ada Ratu Randang dan Kunti Ambiri alias Dewi Ular. Jaka Pesolek tahu kalau yang tadi bicara adalah Ratu Randang. Setelah mencibir pada si nenek dia berkata.

"Nek, aku tahu kau cemburu. Tapi jangan kelewatan. Aku baru sekali ini memeluknya. Kau sendiri sudah puluhan kali menciumnya! Hik…hik!"

Wajah si nenek cantik bersemu merah. "Gadis bengal! Jaga mulutmu! Jangan sampai kutampar!" Mengancam Ratu Randang.

Jaka Pesolek menyahuti. "Nek, kita sudah senasib. Kita sudah bersahabat, jangan galak-galak padaku."

Wiro garuk-garuk kepala. Sekali memperhatikan dia melihat kalau bulu-bulu halus seperti kumis tipis di atas bibir Jaka Pesolek tidak ada lagi. Lalu dia menoleh ke arah Kunti Ambiri yang berdiri sambil memegang delapan kuntum kecil Bunga Matahari.

"Heran, mengapa wajah gadis alam roh ini tampak jernih ayu tidak galak seperti biasanya? Di tangannya ada delapan Bunga Matahari kecil. Dari mana dia mendapatnya?" Wiro membatin. Ketika dia berpaling pada Ratu Randang, kembali Wiro terheran-heran. Dilihatnya nenek itu lebih cantik dan lebih muda dari sebelumnya. Raut tubuhnyapun tampak lebih molek.

"Nek…"

"Apa?! Barusan matamu kulihat jelalatan memandang. Ayo, ada apa?!"

"Anu Nek… Hemmm, bibirmu kulihat tidak jontor lagi."

"Kalau tidak jontor memangnya kenapa? Apa kau mau membuat jontor lagi?!"

"Nek! Kau sendiri mengundang pemuda ini untuk bersuka-sukaan! Jelas kau mau minta dicium 'kan?!" Jaka Pesolek berteriak yang segera dibentak oleh Ratu Randang.

Wiro berpaling pada Dewi Ular.n"Kunti, kau menyuruhku datang ke Candi Kalasan ini. Ketika aku pertama kali sampai di sini aku menemui Empat Mayat Aneh. Aku sengaja menyelinap masuk ke dalam peti mati. Ternyata peti itu kosong. Sahabat kita Dewi Kaki Tunggal tidak ada di dalam peti. Lalu muncul mahluk raksasa bernama Arwah Ketua…"

"Kami bertiga sempat melihat apa yang terjad di sini. Kami berada di atas pohon besar sana," menjawab Kunti Ambiri. "Cuma mengenai lenyapnya Dewi Kaki Tunggal memang merupakan satu hal yang mengherankan…."

Tiba-tiba Wiro ingat pada sosok Arwah Ketua yang tadi dikuliti Empat Mayat Aneh. Onggokan kulit tubuh, tangan, kaki serta kepala Arwah Ketua masih tidak bergeser dari tempat semula. Puluhan lalat entah dari mana datangnya mengerubungi.

"Apa yang akan kita lakukan dengan onggokan kulit ini?" Wiro minta pendapat.

"Mengapa dipusingkan? Bakar saja!" Berkata Jaka Pesolek.

Tiba-tiba terdengar suara mengorok keras. Seperti orang marah. Siapa yang mengorok tidak ketahuan. Keempat orang itu sama-sama terkejut dan saling pandang. Wiro perhatikan lagi onggokan kulit setinggi pinggang lalu gelengkan kepala.

"Aku melihat onggokan kulit itu seperti hidup. Apa kalian tidak melihat ada gerakan berdenyut-denyut?"

EMPAT

KEMBALI terdengar suara mengorok. Kali ini lebih perlahan dan halus.

"Kita datang kesini bukan untuk mengurusi kulit busuk itu," kata Jaka Pesolek. "Lagi pula bukankah mahluk itu sebelumnya hendak membunuhmu?!"

"Dia bertindak diluar sadar karena dirasuk mahluk jin yang dimasukkan Sinuhun keparat ke dalam tubuh dan otaknya. Jin itu sudah menemui ajal di tanganmu, kita harus menolong Arwah Ketua. Jika dia hidup lagi aku rasa sifatnya kembali seperti semula. Bukan mahluk jahat. Mungkin dia bisa membantu kita," kata Wiro pula. 

"Menolongnya? Oala! Apa yang kini terjadi atas dirinya sudah pantas diterimanya sebagai hukuman dari Para Dewa!" Menyahuti Jaka Pesolek.

"Wiro, bagaimana kita menolongnya? Kau bisa melakukan apa?" Ratu Randang bertanya.

Wiro menggaruk kepala. Dia menatap ke arah candi. Lalu memandang ke langit. "Terus terang aku sendiri memang tidak tahu bagaimana menolong mahluk ini. Mungkin untuk sementara kulitnya kita masukkan saja ke dalam Candi Kalasan biar rohnya tenang dan tidak gentayangan."

Saat itu terdengar lagi suara mengorok halus. Wiro melirik ke arah onggokan kulit tubuh Arwah Ketua. Hatinya bimbang tapi nyata-nyata suara mengorok itu datang dari arah onggokan kulit.

"Candi adalah bangunan suci. Tidak pantas menjadi tempat mahluk busuk dan jahat seperti Arwah Ketua!" Lagi­-lagi Jaka Pesolek mengatakan ketidak senangannya.

Wiro menggaruk kepala kembali. Ketika pandangannya membentur delapan kuntum kecil Bunga Matahari di tangan Dewi Ular maka diapun bertanya. "Kunti, dari mana kau dapat delapan Bunga Matahari kecil itu. Aku ingat bunga yang besar dibawa kabur Jaka Pesolek. Sekarang dimana bunga itu."

Jaka Pesolek mengangkat bahu.

"Bunga Matahari besar telah berubah menjadi delapan Bunga Matahari kecil" Menerangkan Dewi Ular.

"Bagaimana mungkin?"

"Nyi Loro Jonggrang yang melakukan."

Saat itu Wiro lebih memperhatikan raut wajah serta sikap Dewi Ular dari pada mendengarkan apa yang diucapkannya. Raut wajah gadis cantik ini tidak garang seperti yang selama ini dilihatnya. Sikapnya tidak kaku dan sombong. Lalu gerak geriknyapun tampak anggun. Dan kemudian Wiro juga menyadari kalau nada suara si gadis terdengar agak lembut.

"Wiro, apakah kau mendengarkan apa yang barusan dikatakan Kunti Ambiri?" Ratu Randang bertanya, diam-diam merasa tidak suka melihat Wiro memperhatikan si gadis lama-lama dan hampir tidak berkesip.

"Ya, aku mendengar, Nek." Jawab Wiro. Lalu pada Dewi Ular dia bertanya. "Kunti, Nyi Loro Jonggrang itu… maksudmu patung Nyi Loro Jonggrang di Candi Prambanan?"

Dewi Ular mengangguk.

"Patung itu muncul dari dalam telaga. Luar biasa hebat dan hidup. Bisa bergerak bisa bicara." Kata Dewi Ular pula.

Wiro jadi ingat ketika atas permintaan Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal dia membawa Bunga Matahari besar dan Ni Gatri menemui patung Nyi Loro Jonggrang di Candi Siwa yang berada di kawasan Prambanan. (Baca serial Wiro Sableng berjudul Sepasang Arwah Bisu)

"Luar biasa. Bagaimana ceritanya?!" Tanya Wiro pula.

"Kunti sebaiknya segera saja kau beritahu pada Wiro apa yang telah terjadi. Jangan lupa menyampaikan pesan Nyi Loro Jonggrang." Berkata Ratu Randang.

Kunti Ambiri kemudian menceritakan mulai dari saat dia bersama Ratu Randang dan Jaka Pesolek berada di satu telaga lalu tiba-tiba muncul patung Nyi Loro Jonggrang.

"Patung cantik dan sakti itu menolong dan memberi berkah pada kami bertiga. Nyi Loro Jonggrang pula yang merubah Bunga Matahari besar hingga menjadi delapan Bunga Matahari kecil. Nyi Loro kemudian menyuruh kami agar cepat-cepat datang ke Candi Kalasan ini. Ada pesan untukmu dan delapan Bunga Matahari kecil ini harus aku serahkan padamu."

Wiro ingat ucapan kakek sakti Kumbara Gandamayana tentang Candi Kalasan. Dia ingin mengetahui apa ada kaitan antara yang dikatakan Nyi Loro Jonggrang dan yang pernah diucapkan Dewi Ular. "Kunti, tunggu dulu. Sebelumnya kau juga mengatakan akan menungguku di candi ini. Apakah itu ada hubungannya dengan permintaan Nyi Loro Jonggrang."

Dewi Ular menggeleng lalu menerangkan. "Aku minta kau datang ke sini karena ketika masih berhubungan dengan dua Sinuhun, aku pernah mendengar mereka bercakap-cakap dan mengatakan Candi Kalasan akan mereka jadikan sebagai salah satu benteng dan tempat rahasia dari keberadaan satu benda sangat bertuah."

"Benda apa?" tanya Wiro.

"Aku tidak pasti." Jawab Dewi Ular. "Mereka menyebut benda itu Mahkota di atas Mahkota."

"Mahkota Kerajaan masih ada di tangan Sri Maharaja Rakai Kayuwangi." Ratu Randang ikut bicara.

Tiba-tiba Dewi Ular ingat sesuatu. Dia menggerakkan tangan kiri meraba ke atas kepala dimana berada sebuah mahkota kecil terbuat dari perak berbentuk kepala ular, bermata batu mustika hijau. Mahkota perak ini adalah pemberian Sinuhun Merah Penghisap Arwah pengganti mahkota asli yang terbuat dari emas.

Seperti diketahui pada waktu itu baik Sinuhun Merah maupun Sinuhun Muda sama-sama berpantang tidak boleh bersentuhan dengan emas murni. Saat itu Dewi Ular baru menyadari keanehan bahwa mahkota masih ada di atas kepalanya padahal sebelumnya dia bersama mahkota perak telah tercebur ke dalam telaga.

"Aku rasa tidak ada gunanya lagi aku memakai mahkota ini. Nyi Loro mengatakan aku telah berubah secara lahir dan batin. Aku mohon jangan ada lagi pada semua sahabat yang ada di sini memanggilku dengan nama Dewi Ular…"

Wiro terheran-heran mendengar ucapan Dewi Ular. Dalam hati Wiro berkata. "Aneh, tapi kelihatannya gadis ini benar-benar telah mengalami perubahan. Mudah-mudahan saja dia tidak menipu."

Habis keluarkan ucapan Dewi Ular tanggalkan mahkota perak dari atas kepala lalu dilempar ke tanah. Tidak sengaja mahkota yang dilempar jatuh di atas onggokan kulit tubuh Arwah Ketua. Saat itu juga mahkota perak mental ke udara. Lima tombak di atas tanah mahkota meledak. 

Puluhan kepingan berubah menjadi asap kuning bercampur hitam lalu lenyap dari pemandangan. Onggokan kulit tubuh Arwah Ketua tampak bergerak-gerak sementara suara mengorok terdengar berulang kali. Tiba-tiba saja Wiro ingat pada ilmu kesaktian yang dimilikinya yaitu yang didapat dari Ratu Duyung.

Dengan cepat Wiro menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Saat itu juga dia melihat, di dalam onggokan kulit ada sosok Arwah Ketua mengkerut bergelung. Wajah tampak memelas. Sepasang mata menatap sayu ke arah Wiro. Mulut terbuka bergerak-gerak. Lalu sayup-sayup Wiro mendengar ngiangan suara di telinganya.

"Aku mohon, masukkan aku ke Candi Kalasan. Lakukan dengan tendangan kaki kanan. Jangan mempergunakan lebih dari sepertiga tenaga dalammu. Dari Candi Kalasan aku akan mencari jalan sendiri ke tempat kediamanku di Candi Miring. Aku tidak akan melupakan budi baikmu."

"Arwah Ketua… apakah kau yang barusan bicara?" Wiro bertanya ingin meyakinkan.

Tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara mengorok halus.

"Wiro, kau barusan bicara dengan siapa?" Ratu Randang bertanya.

Ketika tadi Arwah Ketua mengeluarkan ucapan, nenek ini dan juga Kunti Ambiri hanya mendengar suara perlahan tidak jelas. Wiro tidak perdulikan pertanyaan Ratu Randang melangkah mendekati onggokan kulit. Sambil melangkah dia melihat ke jurusan pintu depan Candi kalasan yang berada dalam jarak sekitar lima tombak dari onggokan kulit.

"Aku diminta tolong. Aku harus menendang. Aku harus mempergunakan tidak lebih dari sepertiga tenaga dalam. Mengapa?"

Kembali Wiro menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Walau onggokan kulit masih bergerak berdenyut-denyut, namun di dalamnya Wiro tidak melihat lagi sosok Arwah Ketua. Setelah membuang kebimbangan yang ada dalam hatinya Wiro lakukan apa yang dikatakan Arwah Ketua.

"Wuuuuttt!"

Kaki kanan menendang ke arah onggokan kulit. Puluhan lalat yang mengerubung beterbangan lenyap ke udara.

"Dess!"

Wiro merasa seperti menendang tumpukan kapas!

LIMA

GUNDUKAN besar onggokan kulit mencelat ke udara lalu melesat ke arah pintu depan Candi Kalasan. Hanya satu jengkal onggokan kulit itu akan lenyap masuk ke dalam Candi Kalasan mendadak dari langit sebelah timur menyambar delapan larik sinar merah.

"Delapan Arwah Sesat Menembus Langit menyerang lagi! Awas ada cahaya kuning menyertai!" Teriak Ratu Randang.

Si nenek langsung pukulkan dua tangan ke udara. Dua cahaya biru berkiblat. Dewi Ular juga tidak tinggal diam. Sambil sedikit merunduk dia menghantam ke atas. Dua sinar hijau menggebubu.

"Kalian menyingkir saja. Biar aku menangkap serangan gila itu!" Jaka Pesolek berteriak. Tapi sebelum sempat bergerak bahunya telah dipegang Wiro dengan tangan kiri sementara tangan kanan melepas Pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari. Satu cahaya putih menyambar ke udara.

Langit laksana runtuh, tanah bergetar hebat. Candi Kalasan bergoyang-goyang ketika bentrokan beberapa sinar sakti menimbulkan dentuman dahsyat, menggelegar dua kali disertai taburan cahaya api. Wiro dan Jaka Pesolek jatuh terduduk ke tanah. Si gadis langsung terkulai pingsan. Wiro cepat menolong. Di tempat lain Dewi Ular dan Ratu Randang terhempas jatuh, megap-megap beberapa saat sebelum mampu berdiri dengan wajah pucat. Wiro turunkan tangan kanan yang tadi memukul. Di kejauhan tiba-tiba terdengar lagi suara aneh,suara kucing mengeong riuh.

"Nek, Kunti, kalian terluka di dalam…" Wiro berseru.

"Aku baik-baik saja," jawab Ratu Randang.

"Aku juga!" ucap Dewi Ular.

Kedua perempuan yang berpura-pura ini tersenyum lalu sama mengusap pinggiran mulut yang ada lelehan darahnya.

"Ada kekuatan lain menyertai serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit," kata Ratu Randang.

"Aku juga melihat. Ada cahaya kuning agak redup melapisi cahaya merah!" kata Wiro.

Melihat akibat yang ditimbulkan yaitu sampai ketiga orang itu menderita cidera Wiro yakin kalau kekuatan yang menyertai serangan delapan sinar merah tadi bukan cuma berasal dari Sinuhun Muda atau Sinuhun Merah. Tapi ada satu kekuatan lain yang lebih dahsyat.

"Ah, sayang aku tidak bisa menangkap delapan petir itu!" Terdengar ucapan Jaka Pesolek yang baru saja siuman setelah ditolong Wiro.

Ratu Randang dan Dewi Ular cepat-cepat mengobati luka dalam masing-masing dengan cara mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti ke dada. Wiro membantu dengan menempelkan telapak tangan kiri kanan ke punggung kedua orang itu sambil mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. Setelah batuk-batuk beberapa kali baik Ratu Randang maupun Dewi Ular tampak cerah merah kembali wajah mereka.

"Kalian bertiga, apakah tadi juga mendengar suara kucing mengeong?" Wiro bertanya.

Jaka Pesolek menggeleng. "Mana mungkin ada kucing di sekitar sini."

Ratu Randang dan Dewi Ular sama-sama mengatakan bahwa mereka memang mendangar suara kucing mengeong. Dan ini merupakan kali kedua suara aneh itu terdengar. Wiro tiba-tiba ingat pada onggokan kulit Arwah Ketua yang tadi ditendangnya. Apakah berhasil masuk ke dalam Candi Kalasan atau musnah terkena serangan delapan sinar merah. Dengan cepat dia berlari ke arah candi langsung masuk ke dalam. Jaka Pesolek, Ratu Randang dan Dewi Ular sesaat saling pandang lalu menyusul mengikuti Wiro.

Di dalam candi sama sekali tidak ditemukan onggokan kulit Arwah Ketua. Namun pada salah satu dinding dalam candi terlihat guratan membentuk tulisan berbunyi: Jangan tinggalkan candi. Mahkota di atas Mahkota ada di sini. Sesuatu akan terjadi pada saat sang surya berada di titik tertinggi. Arwah Ketua.

"Onggokan kulit Arwah Ketua lenyap. Menurut kalian apakah guratan tulisan ini benar Arwah Ketua yang membuat? Bagaimana kalau ada satu mahluk lain melarikan kulit Arwah Ketua lalu membuat tulisan sebagai jebakan?" Wiro bertanya sambil memandang pada tiga orang di hadapannya.

Jaka Pesolek hendak menjawab tapi Ratu Randang memberi isyarat agar dia menutup mulut.

"Mungkin aku bisa mencari tahu dan membuktikan apa gurat tulisan itu memang Arwah Ketua yang membuat." Kata Ratu Randang lalu melangkah mendekat dinding. Dua telapak tangan dikembang dan diusapkan di atas dinding candi tepat di permukaan guratan tulisan. Dua kaki digeser-geser ke lantai batu. Perlahan-lahan mulutnya berucap menyebut nama ilmu yang akan disirap. "Tangan Langit Kaki Bumi."

Tiba-tiba dess! Gurat tulisan di dinding candi mengepulkan asap kelabu. Bersamaan dengan itu sayup-sayup terdengar suara mengorok.

"Tulisan di dinding memang Arwah Ketua yang membuat." Berkata Ratu Randang sambil menurunkan kedua tangan dan mengusap wajah.

Wiro merasa lega. "Berarti mahluk raksasa itu berada dalam keadaan selamat dan saat ini dia tengah dalam perjalanan ke Candi Miring tempat kediamannya."

"Bagaimana kau tahu kalau Arwah Ketua tinggal di Candi Miring?" tanya Ratu Randang.

"Ketika masih berbentuk onggokan kulit, dia memberi tahu padaku lewat suara mengiang," jawab Pendekar 212. Dia kembali memperhatikan tulisan di dinding. "Kalian mau menunggu sampai tengah hari seperti yang ditulis Arwah Ketua?" Wiro bertanya.

"Sebaiknya memang begitu," jawab Ratu Randang.

"Mahkota di atas Mahkota, aku masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan." Dewi Ular berkata sambil duduk di tangga candi.

"Kalau aku bicara jangan kalian melecehkan," berkata Jaka Pesolek.

"Memangnya kau mau bicara apa?" tanya Dewi Ular.

Dewi Ular bertanya baik-baik, tapi Jaka Pesolek menjawab dengan bergurau mempermainkan. "Sobatku cantik, maksudku aku belum mau bicara soal celana dalam pemberian Nyi Loro Jonggrang. Aku belum akan memberikannya padamu. Selain masih enak dan sejuk, celana ini mantap dipakainya. Hik…hik…hik!"

Tahu dipermainkan Dewi Ular tenang-tenang saja balas mempermainkan Jaka Pesolek. "Silahkan kau pakai dan jangan dicuci-cuci. Apa kau tidak tahu itu bukan celana dalam sembarangan? Anumu bisa berjamur dan gatalan! Anumu bisa ubanan! Hik…hik…hik!" Dewi Ular lalu lalu tertawa cekikikan.

"Jaka Pesolek, apa sebenarnya yang hendak kau katakan?!" Ratu Randang bertanya.

"Ah, kalau kau yang bertanya Nek, aku mau memberi jawaban apa adanya," sahut Jaka Pesolek. Lalu si gadis menyambung. "Menurut pengertianku, yang disebut Mahkota di atas Mahkota itu adalah sebuah benda yang jauh lebih berharga dari Mahkota Raja Mataram. Dan seperti yang ditulis si mahluk raksasa benda itu ada di Candi Kalasan sini."

Wiro perhatikan wajah si gadis dan dalam hati membatin. "Gadis ini bukan cuma pandai menangkap petir tapi otaknya juga jalan." Wiro lalu berkata pada yang lain­-lainnya. "Empat Mayat Aneh membawa Dewi Kaki Tunggal ke tempat ini. Sayang mereka sudah pergi hingga tak bisa ditanyai. Tapi sebelum pergi mereka memberi tahu bahwa ada seseorang yang menyuruh mereka membawa Dewi Kaki Tunggal ke sini. Menurut mereka orang itu adalah seorang Empu bernama Semirang Biru…"

Ratu Randang keluarkan suara tertahan. Wiro berpaling pada si nenek. "Nek Ratu, apa kau kenal Empu itu?"

"Cukup kenal. Dia adalah Empu yang diperintahkan Sri Maharaja Mataram untuk membuat sebuah senjata sakti berupa sebilah keris yang diberi nama Keris Kanjeng Sepuh Pelangi."

"Hal itu memang dijelaskan oleh Empat Mayat Aneh," kata Wiro pula. "Tapi Empat Mayat Aneh tidak sempat meneruskan keterangan karena tiba-tiba muncul Arwah Ketua yang ujudnya telah disusupi Ketua Jin Seribu Perut Bumi."

"Kalau aku boleh bicara lagi," tiba-tiba Jaka Pesolek menyeletuk. Sebelum meneruskan ucapan dia keluarkan cermin pemberian Nyi Loro Jonggrang. Setelah mematut rambut dan wajahnya baru dia berkata. "Kalau aku boleh mengemukakan pendapat, jangan-jangan keris sakti itu yang dikatakan sebagai Mahkota di atas Mahkota oleh dua Sinuhun. Dan senjata itu ada di Candi Kalasan. Tapi di sebelah mana? Di dalam candi, di luar, di halaman, di bawah…."

"Sudah! Jaka Pesolek jangan kau nyerocos terus!" Dewi Ular memotong ucapan Jaka Pesolek sambil layangkan pandangan ke ujung barat halaman luas Candi Kalasan. Parasnya berubah ketika pandangan mata membentur sosok seseorang yang berlari cepat ke arah candi. Saking cepatnya dua kakinya seolah tidak menyentuh tanah sementara debu beterbangan di belakangnya. "Hai! Lihat! Ada orang datang!" Dewi Ular berdiri. "Astaga! Bagaimana mungkin! Sendirian pula!"

Kurang dari sekejapan mata orang itu sudah sampai di depan tangga Candi Kalasan. Sadar berhadapan dengan siapa Dewi Ular cepat-cepat membungkuk memberi hormat walau hatinya bertanya-tanya.

ENAM

RATU RANDANG dan Jaka Pesolek segera menghambur ke pintu depan candi begitu mendengar seruan Dewi Ular. Wiro untuk beberapa lama masih memperhatikan keadaan bagian dalam candi berusaha mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Ketika sampai di ambang pintu candi, Jaka Pesolek dan Ratu Randang sama terkejut. Orang yang tengah diberi penghormatan oleh Dewi Ular dan berdiri di depan tangga candi bukan lain adalah Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.

Ratu Randang buru-buru menuruni tangga. Sampai di hadapan Raja dia juga membungkuk hormat seraya berkata. "Yang Mulia, saya gembira melihat Yang Mulia tidak kurang suatu apa. Tapi kalau saya boleh bertanya bukankah Yang Mulia sebelumnya diantar Rauh Kalidathi melakukan perjalanan ke satu tempat rahasia? Saya merasa heran tiba-tiba Yang Mulia muncul di sini seorang diri, di tempat sejauh ini. Tanpa seorang pengawalpun…"

"Aku memang telah sampai di tempat rahasia itu. Semua dalam keadaan selamat. Keadaan aman. Atas petunjuk seseorang aku perlu segera ke sini." Jawab Raja sambil matanya melirik ke arah delapan Bunga Matahari kecil yang ada di tangan Dewi Ular.

"Yang Mulia, bukan saya hendak berlaku lancang. Kalau boleh bertanya siapa orang yang memberi petunjuk itu dan apa yang akan Yang Mulia lakukan?" Bertanya Ratu Randang.

Raja Mataram usap dagunya yang ditumbuhi janggut kasar hitam. "Aku… aku tidak bisa memberi tahu padamu siapa orang itu Ratu Randang. Tapi aku ke sini untuk menjemput Jaka Pesolek. Gadis berpakaian merah muda itu."

Mendengar Raja datang untuk menjemput dirinya, walau agak heran, senangnya Jaka Pesolek bukan main. Sekali lompat saja dia sudah sampai di hadapan Raja lalu berlutut.

"Saya merasa sangat terhormat kalau Yang Mulia datang ke sini untuk menjemput saya. Menjemput mau dibawa kemana, saya menurut saja…" Jaka Pesolek kedipkan mata dan basahi bibir dengan ujung lidah.

"Jaka Pesolek, berdirilah. Aku ingin kau membawaku ke satu tempat dimana Ni Gatri berada. Gadis yang diculik itu dalam keadaan bahaya. Kau memiliki ilmu gerakan kilat. Kita harus cepat sampai kesana…"

"Yang Mulia, saya senang Yang Mulia mempercayai saya. Perintah Yang Mulia tentu saja akan saya laksanakan. Tapi mohon maaf. Bagaimana mungkin saya mampu membawa diri Yang Mulia yang begini besar dan berat….”

"Kau tak usah kawatir. Aku akan memanggulmu. Kau hanya mengerahkan ilmu kepandaianmu untuk membuat kita bisa melesat laksana kilat. Dan kau tahu, tempat yang bakal kita datangi itu banyak petirnya."

Wajah Jaka Pesolek tampak berseri girang mendengar kata-kata terakhir sang Raja Mataram. "Kalau begitu kata Yang Mulia saya menurut saja." Kata Jaka Pesolek. Lalu gadis itu keluarkan kaca kecil dan kotak hiasnya. Dengan cepat dia membedaki wajah, menebalkan alis dan memerahkan bibir.

"Jaka, simpan peralatanmu. Kita harus segera pergi." Raja Mataram jadi tidak sabaran melihat apa yang dilakukan Jaka Pesolek.

"Maafkan saya Yang Mulia. Tapi saya hendak berjalan bersama Raja Mataram. Rasanya tidak pantas kalau wajah celemongan dan rambut acak-acakan," kata Jaka Pesolek pula sambil tersenyum lalu setelah mematik dan mengatur rambut, cepat-cepat menyimpan cermin dan kotak bedak.

Saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng telah muncul di ambang pintu candi. Jaka Pesolek dilihatnya tengah hendak dipanggul oleh seorang lelaki tinggi besar mengenakan mahkota. Wiro segera mengenali kalau orang itu adalah Raja Mataram. "Jaka Pesolek! Kau mau pergi kemana?!" Wiro berteriak bertanya.

"Tidak usah dijawab, kita harus pergi cepat. Sekarang juga!" Raja berbisik pada Jaka Posolek. Si gadis condongkan tubuh, siap merangkul dan naik ke bahu Raja yang siap memanggulnya.

"Aneh, Raja Mataram muncul seorang diri padahal seharusnya ada di Sumur Api bersama Rauh Kalidhati, mungkin juga sudah ditemani kakek sakti Kumara Gandamayana. Gadis itu mau dibawa kemana? Mengapa dia tidak menjawab pertanyaanku?"

Berpikir sampai di sini dan mendadak muncul rasa syak wasangka dalam hatinya, entah mengapa Pendekar 212 segera saja merapal aji kesaktian. Begitu pandangannya membentur sosok Raja Mataram, kaget Wiro bukan alang kepalang sampai dia berteriak keras. Tidak menunggu lebih lama dia segera melompat ke halaman candi. Sambil melompat Wiro berteriak. "Jaka! Cepat jauhi orang itu!"

"Hai! Ada apa ini? Raja hendak…"

Ucapan Jaka Pesolek terputus karena saat itu dengan tangan kirinya Wiro mendorong si gadis dengan satu pukulan jarak jauh sementara tangan kanan lancarkan jurus pukulan Di Balik Gunung Memukul Halilintar, ditujukan ke arah Raja Mataram.

Ratu Randang dan Dewi Ular tentu saja kaget melihat apa yang dilakukan Wiro. Namun dalam kagetnya untuk beberapa ketika mereka hanya tertegun berdiam diri. Serangan yang dilancarkan Wiro dengan telak menghajar kepala Raja Mataram hingga mahkotanya remuk dan tercampak jatuh sementara sosoknya terjengkang di tanah. Namun kepala sang Raja tetap utuh tanpa cidera sedikitpun!

Sosok Raja yang terkapar di tanah cepat berdiri lalu sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan Jaka Pesolek. Tangan kanan diangkat. Dari ujung ibu jari muncul cahaya merah terang yang dengan cepat berubah membentuk lingkaran besar berupa roda bergigi tajam berkilauan. Dengan suara menderu roda bergigi ini menyambar ke arah Jaka Pesolek. Sekali tubuh si gadis kena dilibas pasti akan hancur terkutung-kutung mengerikan!

"Cakra Dewa Membersih Bumi!" Ucap Ratu Randang kaget. Lalu berkata pada Dewi Ular. "Kunti, setahuku Raja tidak pernah memiliki ilmu aneh seperti itu!"

"Orang hendak mencelakai sahabat Jaka Pesolek! Jangan berdiam diri!" Teriak Dewi Ular yang akhirnya sadar melihat apa yang terjadi dan berteriak keras. Lalu wuuttt! Dari pusarnya melesat keluar sosok besar seekor ular hitam kepala putih. Dengan cepat binatang ini menyusup ke bagian bawah roda merah bergigi dan menyundul tiga kali.

"Tringg…tring…tring!"

Tiga kali bunga api bermuncratan. Roda merah terpental setengah tombak ke atas tapi masih terus menyambar ke arah Jaka Pesolek walau kini lebih tinggi dari sasaran hingga serangannya hanya mengenai udara kosong.

"Jaka! Lekas menyingkir! Sembunyi di balik pohon besar sana!" Teriak Ratu Randang.

"Kau punya ilmu gerakan kilat! Mengapa tidak dipergunakan!" Menyusul berteriak Dewi Ular.

Mendengar teriakan kedua orang itu Jaka Pesolek segera berkelebat ke balik pohon besar. Roda besar bergigi tiba-tiba membuat gerakan berputar lalu, melesat mengejar ke arah Jaka Pesolek.

"Wusss!" Crasss!" "Braakk!"

TUJUH

POHON besar putus di bagian tengah lalu tumbang dengan suara bergemuruh. Terdengar Jaka Pesolek menjerit lalu suara jeritannya lenyap. Raja Mataram gerak-gerakkan ujung ibu jari tangan kanan. Di udara roda merah bergigi berputar-putar di atas tumbangan pohon. Agaknya tengah mencari Jaka Pesolek. Ketika tidak berhasil menemukan gadis itu, roda bergigi berputar dan kini melesat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng sementara Raja Mataram tampak berdiri dengan dua kaki renggang, tubuh tak bergerak dan ibu jari tangan kanan terus diacung ke atas mengendalikan arah gerakan senjata dahsyatnya. 

"Yang Mulia, hentikan serangan!" Dewi Ular berteriak.

Raja Mataram hanya menyeringai. Ibu jari ditudingkan lurus ke arah Wiro. Membuat gerak serangan roda merah menjadi dua kali lebih cepat!

"Celaka Kunti!" teriak Ratu Randang. "Jangan-jangan Raja sudah berada dibawah kuasa dan kendali dua Sinuhun!" Lalu nenek ini coba memotong serangan roda bergigi dengan pukulan sakti bernama Di Dalam Gelap Tangan Penghukum Membelah Jagat. 

Selarik cahaya biru berkiblat. Begitu cahaya biru membentur roda merah satu letusan dahsyat menggelegar. Cahaya merah dan biru saling menyabung di udara. Ratu Randang terpekik, tubuh terbanting ke tanah. Walau sanggup berdiri dengan cepat namun tampak wajahnya pucat pasi. Dewi Ular cepat mendatangi dan memeriksa. 

Ternyata si nenek tidak menderita cidera. Di udara cahaya biru lenyap. Sebaliknya cahaya roda merah kembali menderu dan meneruskan serangan ke arah Wiro. Menyaksikan apa yang terjadi Wiro segera melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Yang diarah adalah roda merah bergigi. Cahaya putih membeset ke udara. Seperti tadi satu letusan keras menggelegar, kali ini lebih dahsyat. Roda merah terpental dua tombak ke udara tapi tetap utuh bahkan kembali melesat turun untuk menyerang Wiro!

Wiro sendiri saat itu walau hanya merasa getaran kecil di dada, namun dapatkan dua kakinya melesak sampai setengah jengkal ke dalam tanah. Ketika melihat roda merah bergigi kembali menderu ke arahnya, sang pendekar kertakkan rahang.

"Pukulan sakti Datuk Rao tidak mempan. Apa aku harus lagi-lagi menghantam dengan Pukulan Sinar Matahari?" Pikir Wiro.

Ketika dia siap merapal aji pukulan sakti itu dan ujung tangan kanannya mulai berubah menjadi seputih perak mendadak dari samping kanan set …set..set melesat sepuluh benda aneh berwarna hitam berbelang merah. Ternyata benda itu adalah sepuluh ekor ular.

"Sepuluh Ular Akhirat Turun Ke Bumi! Pasti Kunti Ambiri!" Wiro berkata dalam hati. Dia pernah melihat dan mengenali ujud sepuluh ular. Dia melirik rucap dalam hati seraya melirik ke arah Dewi Ular. Wiro melihat gadis alam roh ini berdiri dengan dua kaki merenggang, kepala menyondak. Dari sepuluh liang yang ada di kepala dan tubuhnya tampak asap hitam bercampur merah mengepul. Karena memang sepuluh ekor ular ganas itu keluar dari dua liang hidung, dua mata, dua lobang telinga, mulut, pusar, dubur dan kemaluan.

Sambil berdiri Dewi Ular acungkan jari tangan kanan. Ibu jari mencuat ke atas sama seperti yang dilakukan Raja Mataram. Mulut berucap perlahan. "Anak-anak, santapanmu adalah ujung jari Raja Mataram! Itu pangkal bahala!"

Sepuluh ular merah hitam yang melesat di udara kibaskan buntut, kepala mendongak, mulut mendesis.

"Wutttt!”

Sepuluh mulut ular bertaring luar biasa tajam disertai semburan racun sangat jahat menyambar ke arah ibu jari tangan kanan Raja Mataram yang sampai saat itu masih diacungkan ke udara.

"Greeekk!"

Raja Mataram menjerit keras ketika ibu jari tangan kanan sampai setengah bagian telapak lenyap diterkam sepuluh ular. Darah menyembur sementara sepasang kaki Raja tampak goyah dan terhuyung ke belakang. Di langit tiba-tiba ada cahaya kuning kemerahan berkelebat disertai suara riuh kucing mengeong.

"Blaarr!"

Roda merah bergigi meledak. Kepingannya menghunjam masuk ke dalam tanah. Wiro yang tadi hendak menyerang Raja Mataram dengan Pukulan Sinar Matahari kini hantamkan pukulan sakti pada cahaya kuning merah yang menyerang dirinya.

Untuk kesekian kalinya kawasan Candi Kalasan dilanda gelegar suara letusan dahsyat. Halaman bergetar, bangunan candi nampak bergoyang. Tanah dan debu beterbangan ke udara. Dalam keadaan seperti itu Raja Mataram pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Sekali menjejak tanah seharusnya dia sudah mampu melesat ke udara. Namun gerakannya lamban. Dua kaki seperti diganduli batu. Tangan kanan yang putus masih mengucurkan darah hitam pekat.

Itu pertanda racun ular sudah merasuk di seluruh pembuluh darahnya. Raja Mataram keluarkan teriakan keras seolah putus asa. Perlahan-lahan tubuhnya jatuh berlutut di tanah. Ketika ada satu bayangan samar terlihat di dalam tubuhnya, saat itu pula Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke hadapan Raja sambil lancarkan tendangan kaki kanan.

"Praakk!"

Kalau sebelumnya tendangan Wiro tidak mampu menciderai kali ini kepala Raja Mataram remuk mengerikan. Sosok terkapar di tanah tanpa nyawa lagi. Sekujur tubuh tampak hitam berbelang merah. Racun Sepuluh Ular Akhirat Turun Ke Bumi sungguh luar biasa jahat. Kalaupun kepalanya tidak hancur dilanda tendangan Wiro, sang Raja tetap saja tidak akan mampu bertahan hidup dari ganasnya racun ular!

"Celaka! Kita telah membunuh Raja Mataram!" Ratu Randng keluarkan suara tercekat.

Dewi Ular tertegun tak bergerak. Wiro garuk-garuk kepala sambil berkata. "Para sababat, jangan kawatir. Tidak satupun dari kita yang telah membunuh Yang Mulia Raja Mataram."

"Kau… kau bicara apa Wiro? Kau saksikan sendiri…" Ratu Randang hentikan ucapannya sewaktu Wiro menunjuk ke arah tubuh Raja yang tergelimpang di halaman candi.

Belum sempat Wiro mengatakan sesuatu, saat itu terjadi keanehan. Asap kelabu tiba-tiba mengepul keluar dari mayat Raja. Begitu kepulan asap menghilang tertiup angin, sosok mayat Raja ikut lenyap. Di tanah kini tampak tergelimpang sosok mayat seorang tua berpakaian selempang kain putih. Kepala hancur tapi tidak ada darah membasahi wajah ataupun pakaiannya. Ratu Randang keluarkan suara tercekat. Tangan kanan kemudian ditekapkan ke mulut.

Wiro berpaling. "Ratu, kau kenal siapa adanya orang tua ini?" Tanya Wiro pada si nenek. Ratu Randang anggukkan kepala. Turunkan tangan yang menutup mulut, menarik nafas dalam baru bicara.

DELAPAN

KAKEK ini bernama Sedayu Galiwardhana. Menerangkan Ratu Randang. "Menurut Empu Semirang Biru ketika berada di Istana Mataram kakek inilah yang mencuri Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Tapi sebenarnya dia sudah menemui ajal terbunuh beberapa tahun silam…." (Agar lebih jelas mengenai riwayat Sedayu Galiwardhana, harap baca serial Mimba Purana Satria Lonceng Dewa)

"Berarti arwahnya telah dihisap oleh Sinuhun Merah, dimunculkan kembali ke dunia nyata, dikuasai lalu dikendalikan." Berkata Dewi Ular.

"Kau benar Kunti," sahut Ratu Randang. Si nenek berpaling pada Pendekar 212. 

"Wiro, aku menduga kau sebelumnya sudah tahu kalau sosok Raja yang tadi datang kesini bukan Raja Mataram sungguhan. Benar begitu?" Bertanya Ratu Randang. 

"Benar Nek. Ketika aku menerapkan Ilmu Menembus Pandang, aku melihat sosok kakek ini dalam tubuh Raja. Lalu semuanya berlangsung serba cepat. Aku tidak sempat memberitahu." 

"Akan kita apakan mayat kakek ini?" bertanya Dewi Ular. 

"Tidak perlu diapa-apakan. Ujudnya akan segera lenyap kembali ke alam roh…" Berujar Ratu Randang.

Baru saja si nenek selesai berucap tiba-tiba di kejauhan terdengar suara ngeongan kucing. Wiro terapkan Ilmu Menembus Pandang, menatap ke arah datangnya suara mengeong tadi yaitu di udara lepas sebelah barat sana. Walau dia tidak melihat apa-apa namun sepasang matanya terasa agak perih dan denyutan jantung menyentak.

Dewi Ular memandang berkeliling lalu berkata. "Suara kucing mengeong itu. Aku sudah mendengar beberapa kali. Aku punya dugaan jangan-jangan binatang itu ada sangkut paut dengan…."

Tiba-tiba ada suara bergemerisik disusul teriakan seseorang. "Aku terpendam di bawah dedaunan lebat. Mengapa tidak ada sahabat yang menolong?!"

"Astaga! Itu suara Jaka Pesolek!" Ratu Randang lalu lari ke arah pohon besar yang tumbang.

Wiro dan Dewi Ular menyusul. Dari balik daun pohon yang lebat tampak Jaka Pesolek berusaha menyeruak keluar. Meski ikut menolong tapi Dewi Ular tersenyum mesem­-mesem melihat keadaan si gadis. Rambut awut-awutan, wajah kacau balau, pakaian kotor dan ada yang robek di sebelah bahu serta punggung.

"Ihhh! Ada semut rangrang merah!" Pekik Jaka pesolek ketika dilihatnya banyak semut rangrang besar menjalar di bagian perut pakaiannya.

"Tidak apa-apa. Semut itu tidak akan menggigitmu karena kau pakai celana dalam dari Nyi Loro Jonggrang!" Kata Dewi Ular pula. "Kalau kau tidak percaya coba saja masukkan semut-semut itu ke dalam celanamu! Hik…hik…hik!"

Jaka Pesolek julurkan lidahnya.

"Nek, aku punya dugaan Sinuhun Merah sengaja mendatangkan jejadian kakek yang sudah mati itu dalam ujud Raja Mataram sengaja hendak membunuh Jaka Pesolek."

"Jaka, kau punya silang sengketa apa dengan kakek bernama Sedayu Galiwardhana itu?" Bertanya Dewi Ular pada Jaka Pesolek.

"Kenal saja tidak. Kapan matinyapun aku tidak tahu. Bagaimana mungkin aku punya silang sengketa dengan kakek itu," jawab Jaka Pesolek pula.

"Tapi orang hendak membunuhmu, pasti ada alasannya." Ucap Ratu Randang.

Jaka Pesolek hanya mengangkat bahu. Lalu sadar akan keadaan dirinya yang tidak karuan rupa karena barusan keluar dari timbunan lebat daun pohon besar, gadis ini segera ambil kaca dan kotak hiasnya.

"Kalau Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dicuri kakek itu dan dia tahu-tahu muncul di sini, bisa saja senjata sakti milik Raja Mataram itu berada di sekitar sini. Mungkin di dalam Candi Kalasan" Wiro tatap wajah tiga orang di hadapannya. Lalu menyambung ucapannya. "Aku ingat tulisan Arwah Ketua di dinding yang memberi tahu bahwa Mahkota di atas Mahkota ada di dalam candi. Mungkin apa yang aku duga dan apa yang tadi dikatakan Jaka Pesolek benar adanya. Keris sakti yang diumpamakan sebagai Mahkota di atas Mahkota itu ada di Candi Kalasan. Bagaimana kalau kita masuk lagi ke dalam candi untuk menyelidik."

"Tulisan Arwah Ketua di dinding candi. Apakah peristiwa mahluk jejadian hendak membunuh Jaka Pesolek tadi yang dimaksudkannya sebagai sesuatu yang akan terjadi dan kita jangan meninggalkan candi?" Dewi Ular berkata, membuat semua orang memandang ke langit lalu memperhatikan bayang-bayang tubuh mereka di tanah halaman candi.

"Masih ada bayang-bayang walau tinggal pendek. Berarti sang surya belum mencapai titik tertinggi." Kata Wiro.

"Berarti apa yang dikatakan Arwah Ketua masih belum terjadi tapi segera akan terjadi." Jaka Pesolek keluarkan ucapan. Ada bayangan rasa kawatir pada nada suara dan raut wajah gadis ini.

Ratu Randang mendekati Wiro dan berkata setengah berbisik agar tidak terdengar oleh Jaka Pesolek. "Wiro, gadis itu tidak punya ilmu kesaktian apa-apa. Kecuali gerakan kilat serta kehebatannya menangkap petir. Apakah menurutmu orang hendak membunuhnya karena dua kemampuannya yang luar biasa itu? Dia mampu menangkap petir dan pukulan sakti mengandung hawa panas lalu melemparkan buntalan petir atau pukulan sakti pada musuh. Kau saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Ketua serta puluhan anak buah Seratus Jin Perut Bumi."

Untuk beberapa lama Wiro terdiam mendengar ucapan Ratu Randang. "Nek, kalau dugaanmu betul, berarti nyawa gadis itu masih akan terus terancam. Kita harus melindunginya."

Jaka Pesolek menyimpan cermin dan kotak bedaknya. Sambil melirik pada Wiro dan Ratu Randang gadis ini berkata. "Aku tahu kalian berbisik-bisik merasani diriku"

"Kami kawatir akan keselamatanmu," berkata Ratu Randang.

"Kalau begitu baiknya aku pergi saja dari sini. Aku mau mencari tempat yang banyak petirnya." Kata Jaka Pesolek pula.

"Walau kau punya gerakan kilat, tapi berada seorang diri, bahaya dan celaka bisa lebih cepat menimpamu. Apa kejadian tadi tidak membuat dirimu kawatir? Kau jangan pergi kemana-mana."

Setelah berpikir sejurus akhimya Jaka Pesolek berkata. "Kalian semua orang baik. Tapi aku rasa aku memang harus pergi. Nanti kapan-kapan aku menemuimu lagi." Jaka Pesolek berpaling pada Dewi Ular. Kedipkan mata dan bertanya. "Kunti, apa kau masih mau mengambil celana dalam pemberian Nyi Loro Jonggrang? Kalau kau menginginkan akan aku tanggalkan dan berikan padamu sekarang juga."

"Kau boleh memakai celana itu sampai bulukan!" Jawab Dewi Ular lalu pencongkan mulut.

"Ah, kau masih marah padaku. Aku minta maaf. Aku harus pergi sekarang."

Jaka Pesolek seperti hendak melambaikan tangan sebagai tanda berpisah. Di saat yang sama di kejauhan terdengar suara gema lonceng. Di langit sebelah timur ada kilasan cahaya kuning lembut. Laksana kilat cahaya kuning ini melesat ke bawah dan tahu-tahu telah melingkari tanah dimana Jaka Pesolek berdiri.

"Wusss!"

Cahaya kuning menjalar ke atas, membungkus tubuh dan kepala Jaka Pesolek. Lalu... desss….desss! Tubuh Jaka Pesolek amblas masuk dan lenyap ke dalam tanah.

Wiro, Ratu Randang dan Dewi Ular sama-sama berseru kaget. Ketiganya berusaha mengejar tapi terlambat. Jauh dari dalam tanah masih terdengar sayup-sayup suara jeritan Jaka Pesolek lalu hening.

"Ada yang menculik Jaka pesolek. lni pasti pekerjaan dua Sinuhun keparat! Kalian berdua tunggu di sini!" Kata Wiro sambil cepat menerapkan ilmu kesaktian yang diberikan Kumara Gandamayana. Dia hunjamkan dua kaki ke tanah. Saat itu juga sosoknya masuk lenyap ke dalam bumi!

Ratu Randang tersentak kaget. "Oala! Baru tahu aku kalau dia punya ilmu bisa masuk ke dalam tanah!" ucap si nenek sambil berpaling pada Dewi Ular.

Kunti Ambiri sendiri yang juga memiliki sejenis ilmu yang hampir sama dan didapat dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah ketika hubungan mereka masih baik mengangkat tangan kanan yang memegang delapan Bunga Matahari kecil seraya berkata. "Nek, aku mau menyusul Wiro. Aku belum menyampaikan pesan Nyi Loro Jonggrang dan belum menyerahkan delapan Bunga Matahari ini pada Wiro! Kau tunggu di sini! Jangan kemana-mana!"

"Wuttt! Desss!"

Sosok Dewi Ular juga lenyap masuk ke dalam tanah.

"Sialan! Aku ditinggal sendirian!" Si nenek mengomel panjang pendek sambil melangkah mundar mandir. Tiba-tiba dia hentikan langkah, menatap ke tanab. Astaga! Tubuhnya tidak lagi membentuk bayang­-bayang. Dia mendongak ke langit. Sang surya bersinar terik. "Tepat tengah hari. Ini rupanya yang disampaikan Arwah Ketua melalui tulisan di dinding candi. Tapi apa sebenarnya yang terjadi? Apakah aku harus menunggu di sini seorang diri?" 

Ratu Randang kembali melangkah mundar mandir. Tiba-tiba dia hentakkan kaki dan berhenti melangkah. "Benar-benar gila! Mengapa tidak tadi-tadi Kunti Ambiri menyampaikan pesan dan menyerahkan delapan Bunga Matahari kecil pada pemuda itu. Celaka! Jangan-jangan." Sepasang mata juling Ratu Randang membesar. "Oala… Jangan-jangan gadis itu sengaja melakukan karena ingin berdua-dua di dalam tanah dengan Wiro! Edan!"

Saking kesalnya si nenek merasa tubuhnya jadi lemas. Dia memandang berkeliling. Keadaan di sekitar Candi Kalasan tampak sunyi. Silir tiupan angin terasa aneh di jangat. Beberapa pohon kecil tampak bergoyang-goyang ranting dan dedaunannya, namun tidak mengeluarkan suara bergemerisik. Perasaan si nenek tidak enak.

"Aku kawatir bahaya maut bisa saja datang tidak terduga. Lebih baik aku merubah diri menjadi mahluk hidup lain apa saja."

Lalu si nenek merapal ajian kesaktian. Sesaat kemudian sosok Ratu Randang berubah samar lalu lenyap, berganti menjadi seekor kucing putih, duduk menjelepok di depan tangga paling bawah pintu depan Candi Kalasan sambil menjilati kaki dan tubuhnya.

* * *

SEMBILAN

AIR TERJUN mencurah bergemuruh jatuh ke dalam telaga dangkal. Di seberang sana, di atas sebuah batu besar di tepi telaga anak lelaki berambut tebal dan beralis kereng berusia sekitar dua belas tahun duduk setengah berbaring sambil mengelus kening anak perempuan yang tergolek tak bergerak mata terpicing. Sesekali kening itu diciumnya. Anak perempuan ini berwajah ayu, bertubuh sintal, berusia empat belas tahun. 

Perlahan-lahan anak lelaki yang memakai anting-anting emas di telinga kirinya itu dekatkan wajah ke telinga anak perempuan. Setelah mencium lembut pipi kiri anak perempuan itu dia berbisik.

"Ni Gatri, bangunlah. Pagi sudah datang, mentari telah memperlihatkan diri. Tidakkah kau ingin menghirup udara segar serta melihat pemandangan indah sekitar telaga?"

Si anak lelaki lalu kembangkan telapak tangan kanan dan disapukan di atas wajah anak perempuan yang ternyata adalah Ni Gatri. Dua kali menyapukan tangan sepasang mata Ni Gatri masih terpejam dan keadaannya masih seperti tadi seolah tidur nyenyak.

"Aneh, mengapa tidak bangun?" ucap si anak lelaki. Tangan kanannya kembali disapukan di atas wajah Ni Gatri.

Tetap saja anak perempuan itu terus terlelap. Anak lelaki bergerak duduk di atas batu, memandang berkeliling. Matanya menatap ke arah air terjun yang mencurah bergemuruh.

"Ah… mungkin ini sebabnya. Suara deru air terjun membuat pendengaran Ni Gatri terhalang. Aku tahu itu bukan air terjun biasa." Anak lelaki tersenyum. Lalu tangan kanan di angkat sambil mulut berucap. "Air terjun! Berhentilah mencurah barang beberapa lama!"

"Wuttt!”

Selarik sinar kuning kemerahan menyambar keluar dari telapak tangan kanan anak lelaki, melesat ke arah curahan air terjun. Dan astaga! Seolah ada satu kekuatan dahsyat yang menahan, curahan air terjun terbendung sepuluh tombak di atas telaga! Keadaan di tempat itu kini serta merta menjadi senyap.

Dengan tenang si anak lelaki kembali usapkan telapak tangan kanan di atas wajah Ni Gatri. Kali ini, hanya sekali mengusap sepasang mata Ni Gatri langsung terbuka nyalang dan tubuh bergerak bangkit lalu duduk dan memandang berkeliling.

"Ni Gatri, aku senang kau sudah bangun dari tidurmu…" Si anak lelaki tekapkan dua tangannya di pipi Ni Gatri.

Ni Gatri yang saat itu tengah menatap ke arah air terjun pergunakan dua tangan untuk manyibakkan tekapan sepasang tangan si anak lelaki darl wajahnya. "Aku tidak tidur. Aku tahu. Kau telah menyirapku. Kau telah menyihirku!" Tiba-tiba Ni Gatri keluarkan ucapan keras.

Si anak lelaki tertawa. "Adikku sayang, kau ini bicara apa? Aku tidak, menyirapmu. Siapa yang telah menyihirmu? Apa wajahku kau lihat seperti nenek angker tukang sihir?"

"Aku tahu dan ingat semua apa yang telah terjadi. Kau tak perlu berdusta!"

"Kalau begitu, apakah kau masih ingat namaku?" tanya si anak lelaki pula.

"Namamu Dirga Purana. Kau anak jahat yang menculikku!"

"Ha …ha! Aku senang kau masih ingat namaku. Adikku sayang, lihatlah berkeliling. Tidakkah tempat ini indah sekali dan kita berdua bisa bermain bersenang-senang di sini. Aku akan gembira selangit kalau kita bisa mandi berdua-dua di telaga berair jernih dan sejuk ini."

Ni Gatri tertawa sinis. "Katamu umurmu dua belas tahun. Aku empat belas tahun! Bagaimana kau bisa-bisaan memanggil aku adikmu? Aku bukan adikmu! Aku tidak mau bermain denganmu. Apa lagi mandi bersamamu di telaga! Kau anak jahat! Aku ingin pulang!"

"Pulang? Pulang kemana? Rumahmu, rumah kita berdua ada di Bhumi Mataram ini."

Ni Gatri menggeleng. Ketika anak lelaki bernama Dirga Purana itu hendak memegang wajahnya Ni Gatri cepat membentak. "Jangan kau berani menyentuh diriku!"

"Kau adikku sayang. Kau kekasih buah hatiku! Mengapa aku tidak boleh menyentuhmu?!"

"Ihh! Kau bicara seperti orang gila! Mungkin juga kau sudah kemasukan mahluk halus penghuni telaga!"

"Ssshhh, jangan bicara seperti itu. Dengar, aku memang gila. Tergila-gila padamu!" Anak lelaki itu kembali gerakkan tangan hendak memegang wajah Ni Gatri.

"Kalau kau berani menyentuhku lagi…!" Mengancam Ni Gatri.

Dirga Purana tertawa. "Kau anak berani. Aku suka orang berani. Jika aku menyentuh tubuhmu lagi, kau hendak berbuat apa? Menamparku? Memukulku?"

"Aku akan membunuhmu!" Jawab Ni Gatri dan matanya menyorot tajam ke arah mata Dirga Purana.

"Hebat!" Kata Dirga Purana pula. "Aku ingin kau membuktikan ucapanmu!" Lalu anak lelaki ini condongkan tubuh dan ulurkan tangan. Sambil merangkul dia jatuhkan diri diatas tubuh Ni Gatri hingga anak perempuan ini jatuh tertelentang di batu dan di atasnya Dirga Purana menghimpit.

Dalam usia yang masih dua belas tahun anak lelaki itu memperlihatkan sikap seperti orang dewasa. Ciumannya bertubi-tubi jatuh di wajah Ni Gatri. (Mengenai siapa anak lelaki bernama Dirga Purana silahkan pembaca ikuti riwayatnya dalam serial Mimba Purana Satria Lonceng Dewakarangan Bastian Tito)

Ni Gatri berteriak, dua tangan berusaha memukul, dua kaki mencoba menendang. Namun begitu Dirga Purana meniup keningnya, kekuatan anak perempuan ini serta merta hilang. Tubuhnya mendadak lemas hingga tidak mampu bergerak bahkan berteriakpun dia tidak bisa. Ni Gatri hanya tinggal pasrah diperlakukan secara tidak senonoh seperti itu.

Semakin memuncak nafsunya, semakin gila dan kurang ajar perbuatan Dirga Purana. Dalam keadaan diri Ni Gatri dipermalukan seperti itu tiba-tiba satu bayangan merah samar berkelebat dari depan gua yang terletak di balik air terjun. Sosok ini laksana berlari di atas air telaga, bergerak cepat ke arah batu besar dimana Dirga Purana dan Ni Gatri berada.

"Kesatria Junjungan, mohon saya dimaafkan. Saya tidak tidak ingin mengganggu kesenanganmu…."

Dirga Purana angkat kepala. Sebelum menoleh ke arah datangnya suara dia membentak. "Tidak ingin menganggu tapi berani muncul! Siapa yang bicara?!"

"Saya berada di sini. Saya Sinuhun Merah Penghisap Arwah." Terdengar suara jawaban.

Dirga Purana berpaling ke kiri. Di situ dia melihat sosok samar merah yang perlahan-lahan berubah utuh. Sosok itu seorang kakek berpakaian dan mengenakan belangkon merah. Di bagian depan belangkon tersemat sebuah hiasan berbentuk bintang sudut delapan terbuat dari suasa muda atau perunggu.

Delapan benjolan merah yang ada di kening kelihatan memacar terang pertanda ada gejolak hati yang tidak senang kalau tidak mau dikatakan marah. Hal ini juga kelihatan dari kumis, sepasang alis serta janggut merahnya yang berjingkrak. Sepasang mata yang seluruhnya nyaris berwarna merah tampak menyorot menatap ke arah si anak lelaki.

"Sinuhun, aku benar-benar tidak senang dengan kedatanganmu! Aku tidak suka melihat caramu memandangku! Apa harus aku ingatkan dengan siapa kau berhadapan saat ini?!"

Sinuhun Merah Penghisap Arwah merasa tubuhnya bergetar. Cepat dia membungkuk lalu luruskan tubuh dan berkata. "Maafkan saya Kesatria Junjungan. Tapi keadaan di pihak kita saat ini benar-benar buruk. Sejak kau membawa gadis dari alam delapan ratus tahun mendatang itu, kau seperti lupa segala-galanya…"

"Apakah kau berani melarangku berbuat yang aku suka, Sinuhun Merah?!" Dirga Purana membentak seraya bangkit dan berdiri di atas batu sambil berkacak pinggang. Wajah bocahnya tampak berubah tua dan angker.

Sinuhun Merah Penghisap Arwah cepat membungkuk sekali lagi. "Kesatria Junjungan, mohon saya dimaafkan. Mana mungkin saya berani melarang. Namun selama beberapa waktu belakangan ini Junjungan sepertinya tidak tahu lagi apa yang terjadi di pihak kita…"

"Memangnya apa yang terjadi, Sinuhun?"

"Ketua Seratus Jin Perut Bumi dan seluruh anak buahnya musnah! Arwah Ketua yang saya tugaskan mencegat Raja Mataram terpaksa lebih dahulu saya perintahkan pergi membunuh Kesatria Panggilan. Tapi nasibnya nahas. Empat Mayat Aneh menguliti kulit luarnya. Kesatria Panggilan kemudian memasukkannya ke dalam Candi Kalasan. Dari situ dia mampu bertahan hidup dan mencari jalan menyelamatkan diri. Lalu Kumara Gandamayana berhasil keluar dari dalam tanah. Dia ditolong oleh Kesatria Panggilan dengan satu ilmu luar biasa sakti. Kesatria Roh Jemputan tidak tahu ilmu apa yang dimiliki keparat itu! Sekarang Kumara Gandamayana bergabung dengan Rauh Kalidathi mengamankan Raja Mataram…."

"Hanya semua itu saja, apakah kau merasa seolah langit sudah runtuh, bumi sudah terbelah dan air laut menyapu daratan?!" Tanya Dirga Purana ketus.

Sinuhun Merah Penghisap Arwah terdiam seketika. Namun ketika bicara lagi suaranya terdengar keras, tandas walau bergetar. "Bukan itu saja Kesatria Junjungan…."

"Lalu apa?!"

"Karena sibuk dengan anak perempuan itu Kesatria Junjungan sampai lupa memperhatikan sesajen untuk Delapan Sukma Merah!"

Dirga Purana tersentak kaget. Dari kepalanya langsung memancar cahaya kuning kemerahan. Saat itu juga tiba-tiba terdengar suara mengeong riuh. Di udara menyambar keras bau kemenyan membuat orang bisa merinding walau saat itu di siang bolong!

Wajah Dirga Purana berubah. Tiba-tiba seolah terjun dari langit, delapan benda merah melayang turun. Laksana burung, delapan benda itu hinggap di tubuh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Dan mereka ternyata bukan burung! Empat meriung di atas kepala. Dua mengendap di bahu kiri, dua lagi di bahu kanan Sinuhun Merah Penghisap Arwah!

"Rakanda Delapan Sukma Merah!" Ucap Dirga Purana. Anak ini memanggil delapan mahluk dengan sebutan Rakanda seolah mereka adalah kakak-kakaknya! Anak ini kemudian membungkuk sambil kembangkan dua tangan kesamping. Setelah meluruskan tubuh dia berpaling pada Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan membentak. "Sinuhun Merah! Jangan salahkan diriku! Kau yang terlambat memberi tahu mengingatkan!"

Sinuhun Merah Penghisap Arwah diam-diam merasa jengkel karena dirinya dipersalahkan. Namun dengan tenang mahluk alam roh ini menjawab. "Kesatria Junjungan. Tiada ada gunanya kita saling salah menyalahkan. Lebih baik cepat dicari jalan sebelum Delapan Sukma Merah berubah buas dan mencabik-cabik tubuh kita karena haus dan lapar! Saat ini saya merasakan tubuh Delapan Sukma Merah mulai memanas. Jalan bagi saudara kembar senyawaku Sinuhun Muda Ghama Karadipa untuk mendapatkan tahta Kerajaan masih sulit. Jangan Junjungan menambah beban kesusahan…"

Rahang Dirga Purana menggembung. Dia hendak mendamprat namun saat itu suara ngeongan riuh kembali menggelegar.

SEPULUH

"RAKANDA Delapan Sukma Merah, kami tidak berlaku sengaja melupakan sesajen kalian minggu ini. Aku akan menggantikan dengan hidangan yang lebih lezat. Kemarilah!"

Habis berkata anak lelaki bernama Dirga Purana bertepuk tangan tiga kali. Lalu dua tangan diulurkan. Kembali terdengar suara mengeong. Delapan sosok merah kecil yang berada di kepala dan bahu Sinuhun Merah Penghisap Arwah melompat masuk ke dalam gendongan dua tangan Dirga Purana.

Ternyata delapan mahluk itu adalah delapan ekor anak kucing berbulu merah. Binatang-binatang cilik ini memiliki beberapa keanehan kalau tidak mau dibilang menyeramkan. Antaranya sepasang mata yang seluruhnya berwarna merah. Dua telinga lebih besar dari anak kucing biasa, mencuat runcing di bagian atas. Sepasang taring muncul di sela bibir kiri kanan. Ketika mulut terbuka kelihatan lidah merah sepanjang satu jengkal. Lalu pada kening setiap anak kucing ini terdapat satu tonjolan daging seujung jari kelingking berwarna merah pekat.

Jika diperhatikan, kepala delapan anak kucing itu lebih menyerupai kepala kelelawar. Dirga Purana dekatkan delapan ekor anak kucing yang digendongnya ke wajahnya, menciumnya satu persatu lalu berbisik.

"Rakanda Delapan Sukma Merah, aku tahu kalian lapar dan haus. Aku harap Rakanda semua tidak marah. Sebagai ganti sesajen aku akan memberikan santapan yang sangat sedap untuk kalian. Kalian pasti suka. Dari sini aku sudah mencium kelezatannya."

Delapan ekor anak kucing berbulu merah mengeong keras. Lidah panjang merah mencuat keluar. Benjolan merah di kening memancarkan cahaya terang. Delapan anak kucing ulurkan kepala dan dua kaki depan ke arah Ni Gatri. Mulut dibuka lebar sambil keluarkan suara setengah mengeong setengah mengaum! Ni Gatri terpekik ketakutan. Dia hendak melompat turun dari atas batu tapi aneh, tubuhnya terasa berat.

"Ssss! Rakanda semua, jangan ganggu anak perempuan itu. Dia adalah kekasihku."

Delapan anak kucing merah menggeram halus lalu mengeong keras! Dirga Purana tekap delapan anak kucing ke dadanya sambil digoyang-goyang tidak beda seorang ayah menenangkan anaknya yang cerewet. Ketika binatang­binatang itu berhenti mengeong dan tampak tenang Dirga Purana pejamkan mata. Kepala mendongak ke langit. Hidung mencium dalam-dalam. Sesaat kemudian mulutnya tampak menyeringai.

"Rakanda Delapan Sukma Merah, mohon dimaafkan seribu maaf di atas langit dan di dalam bumi. Sekali ini Sesajen Atap Langit tidak dapat kami berikan pada Rakanda berdelapan. Sebagai penggantinya telah tersedia santapan lezat yang saat ini telah menunggu dan berada di Candi Kalasan. Kalian pasti menyukai. Pergilah, tapi ingat dan harap bersabar, jangan menyantap hidangan sebelum sang surya melewati titik tertingginya."

Dirga Purana kembangkan dua tangannya yang sejak tadi menggendong delapan anak kucing berbulu merah. Delapan anak kucing mengeong keras, telinga besar berkibas-kibas. Lalu benar-benar seperti kelelawar, mereka melayang ke udara, mengeong panjang. Berputar-putar delapan kali di atas kepala si anak lelaki kemudian berrr…..! Melesat ke arah timur.

* * *

KUCING putih yang duduk di tangga depan Candi Kalasan yang tengah menjilati sepasang kaki depannya tiba-tiba tersentak dan dongakkan kepala. Dua mata membesar menatap ke arah matahari yang memancarkan cahaya terik menyilaukan.

"Aku mencium bahaya. Tapi belum tahu datangnya dari mana.Mungkin dari arah langit, bisa juga dari dalam tanah."

Binatang itu, yang bukan lain adalah ujud jejadian si nenek sakti Ratu Randang yang tengah melindungi diri dengan ilmu kesaktian langka berucap dalam hati. Sekali lagi sepasang matanya menatap ke arah matahari. Tiba­tiba di balik cahaya yang menyilaukan dia melihat ada delapan titik merah. Walau darah tersirap hati tercekat namun Ratu Randang bersikap tenang.

"Hemmm, aku sudah menduga. Siapa lagi yang punya pekerjaan kalau bukan dua Sinuhun keparat itu. Mereka pasti akan mengirim serangan. Aku harus mencari selamat"

Ratu Randang membatin lalu merapal satu aji kesaktian yang telah beberapa kali diterapkannya antara lain ketika menghadapi dan memperdayai dua Sinuhun, Swara Pancala dan Iblis Menjunjung Dupa Kesatu dan Kedua.

Cepat sekali, laksana kilat menyambar delapan titik merah yang tadi terlihat jauh di langit melesat turun ke bumi dan di lain kejap nyaris tanpa mengeluarkan suara delapan ekor kucing merah Delapan Sukma Merah telah menjejakkan empat kaki di depan tangga Candi Kalasan. Mereka berpencar demikian rupa membentuk lingkaran, mengurung kucing putih di tengah-tengah! Tubuh diangkat, berdiri diatas dua kaki belakang.

Kuku-kuku dua kaki depan mencuat sampai satu jengkal menyerupai pisau pendek berkeluk berwarna merah pekat gelap pertanda ada racun jahatnya. Mulut dipentang lebar memperlihatkan barisan gigi lancip serta sepasang taring runcing dan lidah panjang. Didahului suara mengeong dahsyat, delapan anak kucing berbulu merah menyergap kucing putih. Dari benjolan merah di kening masing-masing menyembur cahaya merah. Tanah di depan tangga candi berhamburan ke udara.

Kucing putih besar yang diserang tidak tinggal diam. Sambil balas mengeong binatang ini melompat ke udara menghindarkan serangan delapan cahaya merah serta sergapan delapan anak kucong. Begitu berhasil selamatkan diri kucing putih mengeong tak kalah keras lalu melesat menyusup ke bawah lancarkan serangan balasan. Namun kedahsyatan serangan delapan anak kucing yang disebut Delapan Sukma Merah itu benar-benar luar biasa dan mengerikan. Selagi kucing putih masih mengambang di udara mereka menerkam.

Kucing putih terkapar di tangga candi. Kaki kanan sebelah depan buntung disambar tebasan cakar berbentuk pisau. Binatang ini terguling menggelepar di tanah sementara seperti kesetanan delapan anak kucing langsung membantai mencabik-cabik. Dalam waktu singkat sosok kucing putih lenyap, bahkan tulangnyapun tidak bersisa. Di udara bulu-bulu putih beterbangan membuat pemandangan bertambah angker. Di halaman candi sesaat masih menggehang darah binatang ini sebelum meresap masuk ke dalam tanah.

Di atas pohon besar tak jauh dari Candi Kalasan, Ratu Randang yang bersembunyi di balik kerimbunan dedaunan merasa tengkuk menjadi dingin dan bulu kuduk merinding. Mata tak berkesip menyaksikan apa yang terjadi. Dia membayangkan bagaimana nasib dirinya kalau tadi sampai terlambat keluar dari sosok kucing putih itu.

"Delapan anak kucing merah. Binatang apa mereka? Binatang sungguhan atau jejadian? Aku merasa dan melihat ada kekuatan luar biasa dahsyat dalam tubuh mereka. Benjolan merah di kening mereka. Jumlah yang delapan, pertanda dugaanku tidak meleset. Mereka pasti ada hubungan dengan dua Sinuhun keparat itu…!"

Belum sempat si nenek berpikir lebih jauh dibawah sana delapan anak kucing mengeong aneh. Delapan kepala mendongak ke langit. Buntut dikibas Kian kemari. Sepasang mata menjorok keluar. Dari mulut keluar darah membusah. Darah kucing putih. Mereka sudah menyantap daging sampai ke tulang, sudah menghirup darah kucing putih. Tapi mereka tetap merasa lapar dan haus! Tiba-tiba serentak delapan binatang ini palingkan kepala ke arah pohon besar dimana Ratu Randang bersembunyi membuat si nenek tercekat pucat.

"Celaka, apa delapan anak kucing keparat itu tahu kalau yang mereka santap tadi bukan kucing benaran? Apa mereka tahu aku sembunyi di sini?"

Tidak tunggu lebih lama si nenek segera merapal lagi aji kesaktian. Kejap itu juga tubuhnya berubah menjadi seekor kadal, menempel di dahan pohon. Tetapi delapan ekor anak kucing yang bukan binatang sembarangan itu tidak dapat ditipu. Delapan pasang mata merah berputar liar. Didahului ngeongan keras mereka melesat ke atas pohon besar.

Ratu Randang cepat keluar dari dalam sosok kadal pohon. Namun sekali ini dia tidak punya kesempatan untuk mengubah diri lagi memperdayai delapan anak kucing! Begitu dua kakinya menjejakkan tanah, delapan anak kucing merah sudah terjun dari atas pohon. Mulut terpentang lebar, empat kaki dengan cakar laksana pisau menyambar ganas!

"Hyang Jagat Bathara! Tamat riwayatku!" Jerit Ratu Randang dalam hati. Saat itu dia melihat satu-satunya tempat untuk cari selamat adalah sebuah batu besar tinggi yang belum selesai dibentuk menjadi sebuah candi kecil. Ratu Randang segera merapal aji kesaktian Menunggang Kabut Menembus Batu. Dia juga membarangi dengan ilmu kesaktian Insan Berjalan Tanpa Bayangan agar tubuhnya tidak kelihatan.

"Wuuttt! Desss!"

Sosok Ratu Randang amblas lenyap masuk ke dalam batu namun delapan anak kucing mampu melihat ke arah mana lari dan lenyapnya si nenek karena ilmu Insan Berjalan Tanpa Bayangan asal muasalnya diperoleh Ratu Randang dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan Sinuhun Muda Ghama Karadipa sewaktu mereka masih berhubungan dekat. Di dalam batu, baru saja merasa sudah aman tiba-tiba braak! Batu besar kokoh bergetar di delapan tempat!

SEBELAS

RATU RANDANG tersentak kaget ketika di dalam batu dia melihat delapan sosok anak kucing berbulu merah muncul dan tahu-tahu sudah mengurungnya! Tidak mau memberi waktu pada si nenek, delapan kucing langsung menyerang! Mulut bertaring siap melumat, kaki berkuku seperti pisau siap mencabik! Didahului suara mengeong dahsyat yang membuat batu bergetar, delapan kucing menyerbu! Ratu Randang berteriak keras. 

"Sang Hyang Widhi! Saya minta perlindungan padaMu!"

Begitu berteriak si nenek gerakkan dua tangan sambil merapal aji kesaktian Di Dalam Gelap Tangan Penghukum Membelah Jagat. Dua larik cahaya biru berkiblat. Batu bergoyang keras lalu blaar! Batu besar runtuh, hancur berkeping-keping. Ratu Randang terpental dua tombak, jatuh terbanting di tanah. Belum sempat bergerak bangun suara ngeongan menggelegar dan delapan anak kucing merah tahu-tahu sudah berada di atasnya! Belasan cakar berbentuk pisau merah pekat berkelebat ganas! 

Ratu Randang coba selamatkan diri dengan melancarkan serangan Tombak Dewa Memancung Berhala. Kehebatan ilmu kesaktian ini adalah jumlah sinar biru yang membentuk tombak akan muncul sesuai jumlah lawan yang diserang. Kalau lawan hanya seorang maka tombak sakti akan melesat satu buah. Jika lawan ada tiga, tombak akan keluar tiga. 

Saat itu cahaya biru yang membentuk tombak berkiblat delapan buah yaitu sesuai dengan jumlah anak kucing merah yang menjadi sasaran. Namun jarak antara si nenek dengan delapan lawan saat itu sudah terlalu dekat. Dia tidak leluasa bergerak melancarkan serangan. Walau delapan cahaya biru menyambar keluar dari tangannya tapi breett!

Si nenek kena serangan lebih dulu. Anak kucing merah yang melesat di sebelah kiri berhasil merobek lengan kanan pakaian dan melukai tangannya. Saat itu juga Ratu Randang merasa sekujur tubuhnya menjadi panas, padahal luka di tangan kanan hanya berupa goresan pendek! Sepasang lutut Ratu Randang goyah, pandangan menjadi buram. Hanya sekejapan lagi.

Delapan Sukma Merah akan mencabik-cabik tubuhnya mendadak ada suara bersiur disertai munculnya sebuah benda aneh menebar cahaya menyilaukan. Cahaya ini adalah pantulan sinar matahari. Walau hanya merupakan pantulan tapi mengandung hawa panas luar biasa. Hingga delapan anak kucing merah mengeong keras lalu bersurut menjauhi sambaran cahaya panas.

Benda aneh itu menyerupai sebuah tabir putih besar. Bagian bawah menancap di tanah menghambat memisahkan delapan anak kucing merah dongan sosok Ratu Randang yang nyaris tidak berdaya. Tabir putih ternyata merupakan sebuah cermin aneh. Delapan anak kucing menggerung keras. Mereka merasa aneh melihat sosok mereka berada di dalam cermin dan berubah buas. Benjolan merah di kening pancarkan sinar terang.

Enam belas kaki depan dipentang lalu berkelebat berusaha mencabik permukaan cermin dengan cakar pisau. Tapi tabir cermin seperti dilindungi lapisan sangat licin, tak mampu dicabik atau dipecahkan, bahkan tergorespun tidak! Delapan anak kucing mengeong keras, melangkah mundur. Serentak mereka menerjang ke depan, menghantamkan kepala ke arah tabir cermin putih. Sebelumnya, delapan anak kucing angker ini mampu menghancurkan batu besar dengan hantaman kepala mereka. Namun kali ini kekuatan kepala mereka yang dahsyat tidak sanggup memecahkan cermin.

"Dukkk! Dukkk!"

Tabir cermin hanya bergetar sedikit. Delapan anak kucing menjadi marah. Didahului suara mengeong mereka kembali menyerang. Kali ini dengan lebih dulu menghantamkan delapan larik sinar merah yang memancar dari delapan benjolan di kening.

"Wusss!" Delapan cahaya merah angker berkiblat.

"Kraakkk… kraakk!"

Tabir kaca putih berlubang di delapon tempat lalu hancur berkeping-keping dan akhirnya musnah. Ketika tabir lenyap dari pemandangan delapan kucing merah melompat ke depan. Mereka menggerung marah karena tidak menemukan Ratu Randang. Padahal mereka tahu sebelumnya si nenek telah terkapar tak berdaya di tanah di balik tabir cermin putih.

Delapan kucing mengeong dahsyat. Empat memandang berkeliling, empat lagi mengeruk-ngeruk tanah. Semuanya mengendus dalam­-dalam. Tapi mereka tidak mencium bau sosok si nenek. Padahal penciuman mereka bisa menjajagi seseorang yang berada lebih dari dua ratus tombak jauhnya!

Delapan ekor kucing berpandang-pandangan satu sama lain seolah saling bicara tanpa suara. Setelah mengeong keras yang kali ini menyerupai suara raungan anjing di malam buta, delapan mahluk itu melesat ke udara ke arah matahari yang bersinar terik.

Hanya beberapa ketika sebelum delapan anak kucing merah menghancurkan tabir cermin putih, di belakang sana entah dari mana datangnya mendadak ada sosok seorang kakek berjubah dan bersorban kelabu berkelebat. Kakek ini langsung mengangkat tubuh Ratu Randang yang tidak berdaya, menggendongnya ke arah sebuah pohon besar. Dalam satu kejapan saja sosok si kakek dan si nenek telah masuk ke dalam batang pohon. Lalu ada cahaya berpijar ke bawah dan di lain saat sosok kedua orang itu lenyap di arah akar pohon.

Ratu Randang yang berada dalam keadaan setengah sadar, buka mata lebar-lebar tapi tetap saja sepasang mata itu setengah terpejam. Dia hanya mampu melihat samar wajah si kakek. Ketika mulutnya berucap, suaranya perlahan parau pertanda daya kekuatannya benar-benar terkuras oleh racun jahat cakar pisau anak kucing berbulu merah.

"Kumara Gandamayana. Kau…" Si nenek merasa gembira dan menyebut nama orang yang menggendongnya.

Seperti diketahui Kumara Gandamayana adalah kakek sakti pembantu utama Raja Mataram yang sebelumnya dituturkan setelah dikeluarkan oleh Wiro dari dalam tanah bergabung dengan Rauh Kalidhati untuk membawa sang Raja ke satu tempat rahasia.

"Aku bukan Kumara Gandamayana." Si kakek menjawab.

Tenggorokan Ratu Randang tercekat. Alis mencuat dan kening mengkeret. "Bagaimana mungkin kau bicara dusta. Apa kau kira aku tidak mengenali lagi dirimu. Sobat tua, walau aku keracunan tapi aku belum buta…"

"Aku bukan Kumara Gandamayana." Kembali si kakek mengulang ucapan.

"Lalu… lalu kau siapa? Setannya, atau jejadiannya atau apanya?" Tanya Ratu Randang heran. Pandangan matanya semakin redup. Suara bertambah perlahan tapi pendengaran masih cukup jelas.

"Aku berpantang memberi tahu nama." Si kakek berikan jawaban.

Mulut Ratu Randang bergerak pencong tanda jengkel mendengar jawaban orang tua berjubah dan bersorban kelabu.

"Sebetulnya kalau kau memang orang baik dan sakti, tidak perlu menolong diriku. Bukankah lebih baik kau memusnahkan delapan anak kucing celaka itu? Pahalamu lebih besar. Aku yang sudah tua rongsokan dan bau tanah ini perlu apa ditolong? Menyelamatkan Kerajaan jauh lebih penting dari menyelamatkan diriku."

"Jalan pikiran dan ucapanmu betul. Tapi mohon maaf. Aku berpantang membunuh mahluk hidup. Sekalipun semut atau anak kucing, apa lagi yang namanya manusia…"

Ratu Randang tertawa tapi tidak bersuara. Hanya mulutnya saja yang kembali tampak pencong. "Orang tua, kau punya banyak pantangan rupanya. Tapi agaknya kau tidak punya pantangan menggendong perempuan sekalipun tua bangka sepertiku! Kurasakan nafasmu mengengah dan detak jantungmu bergemuruh. Aku kawatir sebenarnya kau bukan bermaksud menolongku tapi tengah membawa aku ke satu tempat untuk digerayangi. Hik…hik…hik."

"Desss!"

Si kakek terkejut. Tubuh Ratu Randang sampai terlepas dari gendongannya dan mental ke udara. Sebelum jatuh ke bawah si kakek cepat-cepat menangkap tubuh Ratu Randang lalu digendong kembali. Mulut dikancing tak mau lagi bicara.

"Eh, kita ini berada dimana sebenarnya? Aku melihat semua benda berwarna coklat kehitaman. Mengapa tidak ada matahari, mana pepohonan. Tidak ada angin…"

Si kakek diam saja. Ratu Randang pejamkan kedua matanya, lalu berlaku sama. Dia tidak bergerak. Tak mau bicara. Bahkan nafasnya yang sudah sesakpun sengaja ditahan. Kini si kakek jadi kawatir. Dia berhenti berlari dan pandangi wajah si nenek. Lalu pipi kirinya di dekatkan ke hidung Ratu Randang. Tidak ada hembusan nafas. Ganti telinga kirinya didekapkan ke dada si nenek. Saat itu terdengar tawa Ratu Randang.

"Kau mulai nakal. Kau berbuat apa menyentuh dadaku dengan telinga. Mengapa tidak dengan tangan? Hik…hik…"

"Semakin banyak kau bicara semakin cepat racun Cakar Sukma Merah bekerja di tubuhmu dan tambah cepat kau menemui ajal." Si kakek akhirnya keluarkan ucapan.

"Aku… aku memang sudah mati…" Kata Ratu Randang. Lalu dari tenggorokannya terdengar suara gheekkk!

Kakek berjubah dan bersorban kelabu terkejut. Dia memandang berkeliling sambil dalam hati berucap. "Kurasa aku sudah berada delapan tombak di dalam perut bumi. Mudah-mudahan Para Dewa menolong diriku dan dirinya."

Padahal, walau sakarat si nenek sebenarnya berpura­-pura! Dengan cepat Ratu Randang diturunkan dari gendongan. Dibaringkan lalu dua tangan kanan menotok ubun-ubun si nenek. Luka di tangan kanan diremas demikian rupa hingga darah kehitaman mengucur deras. Begitu darah berhenti mengucur kakek ini totok dada kiri Ratu Randang di arah jantung.

"Huaahh!" Si nenek muntahkan darah kental bercampur sisa racun! Ratu Randang buka sepasang mata. Mulut tertawa. Tubuh tidak terasa lemas lagi. Pemandangannya terang. Si kakek merasa lega. Dengan cepat Ratu Randang bangkit berdiri dan berkata. "Terima kasih kau telah menyelamatkan diriku dari racun Cakar Sukma Merah. Tapi mengapa kau tidak menolongku dari tadi?"

"Ada pantangan…."

"Oala! Lagi-lagi pantangan!"

"Maksudku, racun Cakar Sukma Merah tidak bisa dimusnahkan sebelum masuk ke perut bumi sedalam delapan tombak."

"Astaga! Memangnya saat ini kita berada dimana?" Tanya Ratu Randang sambil memandang berkeliling. "Aku baru sadar, tak ada cahaya terang, tak ada matahari. Tak ada pepohonan atau rimba belantara. Tak ada bebukitan. Juga tak ada sapuan angin. Semua berwarna kecoklatan, kadang-kadang hitam."

"Kita berada di dalam tanah. Di perut bumi…" Menjelaskan si kakek.

"Oala! Pantas… aneh tapi nyata. Aku berada dalam tanah tapi nafas tidak sesak, mata tidak kerurupan tanah, bisa bergerak kemana-mana. Eh Kek, kau mau membawa aku kemana? Mengapa aku dibawa masuk ke dalam tanah padahal di luar sana kalau kau mau ajak aku jalan-jalan pemandangan jauh lebih indah…"

"Seperti kataku tadi, racun Cakar Sukma Merah hanya bisa dimusnahkan kalau kau berada delapan tombak di bawah tanah."

"Oo…begitu?" Ratu Randang manggut-manggut. "Sekarang aku sudah selamat dari racun jahat. Lalu kau mau membawa aku kemana?"

"Aku mau membawamu ke dalam tanah di bawah Candi Plaosan Lor…"

"Lagi-lagi jalan-jalan di dalam tanah." Kata Ratu Randang sambil unjukkan wajah cemberut. "Tapi ya sudah! Sekarang katakan siapa kau sebenarnya?"

Ratu Randang lalu perhatikan si kakek mulai dari ujung sorban sampai ke kaki yang berkasut putih.

"Ada apa?"

"Sorban di kepalamu, wajahmu, jubahmu dan sepasang kasut putih di kedua kakimu. Lalu juga suaramu! Semua menyatakan bahwa kau jelas-jelas adalah Kumara Gandamayana, orang kepercayaan Raja Rakai Kayuwangi, sobatku di Bhumi Mataram. Tapi mengapa kau tidak mau mengaku? Kau tiba-tiba saja menjadi aneh dan sombong!"

"Aku memang aneh tapi tidak sombong. Selain itu aku berpantang untuk mengatakan siapa diriku. Biar nanti kau tahu dari orang lain saja siapa diriku."

"Orang lain siapa?"

"Aku akan membawamu menemui orang itu. Beberapa sahabatmu sudah ada di sana…"

"Maksudmu siapa…?" Ratu Randang bertanya.

Namun tidak terduga orang tua bersorban kelabu tiup wajah si nenek. Saat itu juga Ratu Radang merasa kantuk yang amat sangat Nenek ini menguap satu kali lalu tertidur lelap dalam keadaan berdiri. Si kakek cepat menggendongnya.

* * *

DUA BELAS

SEKARANG mari kita ikuti apa yang terjadi dengan Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi. Diceritakan sebelumnya (baca Tabir Delapan Mayat) bahwa gadis berkaki satu itu telah dibawa oleh Empat Mayat Aneh ke Candi Kalasan. Menurut pengakuan Empat Mayat Aneh kepada Wiro si gadis dibawa atas suruhan seorang kakek bernama Empu Semirang Biru. Sang Empu adalah orang yang atas perintah Raja Mataram membuat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi, tinggal di lereng Gunung Bismo.

Dituturkan dalam serial pertama (Malam Jahanam Di Mataram) menjelang akan datangnya malapetaka Malam Jahanam di Bhumi Mataram, selagi berada di Istana bersama Raja dan para pejabat serta petinggi Kerajaan tiba-tiba saja berkelebat satu bayangan kelabu dan tahu­-tahu Empu Semirang Biru tak ada lagi di tempatnya berdiri. Penculikan di siang bolong, dalam Istana, di tengah sekian orang banyak itu tentu saja sangat menggemparkan. Beberapa orang berkepandaian tinggi berusaha mengejar si penculik. Namun si penculik bersama Sang Empu lenyap laksana ditelan bumi! Semenjak itu Empu Semirang Biru maupun Keris Kanjeng Sepuh Pelangi tidak diketahui lagi dimana rimbanya.

Ketika peti mati hitam besar menjejak halaman Candi Kalasan, Empat Mayat Aneh segera membuka penutup peti mati untuk mengeluarkan Sakuntaladewi. Begitu penutup peti terpentang lebar, Empat Mayat Aneh berseru kaget. Sosok gadis cantik berkaki satu itu tidak ada di dalam peti. Peti dalam keadaan kosong. Sebagian lantai peti mati tampak jebol seperti habis dibongkar! Semula Empat Mayat Aneh mengira Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal berhasil membongkar alas peti mati lalu menyusup keluar, mungkin masuk ke dalam tanah.

Peti mati digeser. Namun di tanah tidak tampak bekas-bekas adanya tanah yang terbongkar atau berlubang! Mayat Aneh Kesatu jitak-jitak keningnya sendiri. Mayat Aneh Kedua menduga si gadis telah diculik oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Mayat Aneh Keempat menyelidik masuk ke dalam Candi Kalasan, namun tak lama kemudian tubuhnya terlempar keluar candi. Gulungan kain putih yang melibat sekujur tubuh sampai kepala berwama hitam mengepulkan asap. Di sudut mulut tampak lelehan darah.

Tiga Mayat Aneh segera mengobati saudara mereka Mayat Aneh Keempat. Saat itu muncul Delapan Tabir Mayat yaitu delapan sosok mayat busuk mengerikan ciptaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Melihat mahluk apa yang muncul dan sadar kalau mereka tidak akan mampu menghadapi, Tiga Mayat Aneh cepat melempar masuk lebih dahulu Mayat Aneh Keempat ke dalam peti mati. Ketika mereka siap hendak melarikan diri, Tabir Delapan Mayat menyerbu dengan ilmu ganas disebut Delapan Telunjuk Arwah Busuk. Sekejap lagi peti mati akan hancur lebur dilanda serangan, tiba-tiba dari dalam peti mati muncul Mayat Aneh Keempat menangkis dengan dua pukulan yang memancarkan sinar putih berkilau dan menghampar hawa panas.

Ternyata dibelakang sosok Mayat Aneh Keempat bersembunyi Pendekar 212. Dialah yang melepas Pukulan Sinar Matahari dengan mempergunakan sosok dan dua tangan Mayat Aneh Keempat sebagai perantara. Sebelumnya secara cepat Wiro juga telah menolong menyembuhkan luka dalam yang dialami Mayat Aneh Keempat. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan di pihaknya, Tabir Delapan Mayat sendiri kemudian diperintahkan Sinuhun Merah Penghisap Arwah lewat suara mengiang agar segera meninggalkan kawasan Candi Kalasan.

Empat Mayat Aneh tidak dapat menerangkan kemana dan bagaimana lenyapnya Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal yang mereka bawa di dalam peti. Kepada Wiro mereka akhirnya memberi tahu bahwa mereka diperintahkan oleh Empu Semirang Biru untuk membawa Sakuntaladewi ke Candi Kalasan. Tapi kakek itu sendiri tidak ditemui. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba muncul sosok raksasa Arwah Ketua. Apa yang terjadi selanjutnya telah diceritakan di permulaan buku ini. Lalu apa sebenarnya yang terjadi dengan Sakuntaladewi? Bagaimana dia bisa lenyap begitu saja?

Sewaktu peti mati hitam hanya tinggal dua jengkal akan menyentuh tanah halaman Candi Kalasan tiba-tiba, tanpa diketahui Empat Mayat Aneh, lebih dari separuh lantai peti mati terkuak. Di dalam peti Sakuntaladewi tersentak kaget ketika sepasang tangan mendadak muncul mencekal pinggangnya. Gadis kaki satu ini berteriak. Tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Dia lalu pergunakan tangan kiri kanan untuk memukul dua tangan yang mencekal pinggangnya. Tapi astaga! Dua tangannya laksana memukul udara kosong! Selagi tidak tahu mau berbuat apa sekonyong-konyong tubuhnya ditarik ke bawah.

"Hai! Bumi dan langit milik Yang Maha Kuasa! Siapa yang hendak berbuat jahat membenam diriku ke dalam tanah!" Gadis berkaki satu itu membentak. Mendadak dia merasa ada angin dingin menyapu wajahnya. Setelah itu gadis ini tak ingat apa-apa lagi.

Ketika sadar dan membuka mata Sakuntaladewi dapatkan dirinya dalam satu tempat bercahaya redup. Gadis ini cepat bangun dan berdiri, menatap berkeliling. Ternyata dia berada dalam satu ruangan berbentuk segitiga. Dia tidak melihat orang atau sepotong bendapun dalam ruangan, tapi dia ingat, sebelumnya dia berada dalam peti mati. Dia sempat melihat peti itu turun di halaman Candi Kalasan. Lalu tiba-tiba lantai peti mati terkuak dan dua tangan menarik tubuhnya ke bawah.

"Siapa yang menarik tubuhku? Manusia atau mahluk alam gaib? Aku berada dimana saat ini?"

Sakuntaladewi menunggu beberapa lama. Lalu gadis ini mulai melangkah dengan kaki tunggalnya mengitari ruangan. Dia mengelus dinding yang ternyata adalah tanah merah keras. Tiba-tiba Sakuntaladewi dikejutkan oleh suara mengiang.

"Anak gadis berkaki satu, kau berada dalam Ruang Segi Tiga Nyawa. Kau tidak akan melihat benda apapun dalam ruangan ini termasuk diriku sebelum kau mengusap wajahmu tiga kali dengan tangan kanan."

Sakuntaladewi memandang berkeliling. Dia tidak bisa mengetahui dari arah mana datangnya suara tadi walau ngiangan terdengar sangat jelas tanda sumber suara berada dekat dengan dirinya. "Siapa yang barusan bicara?" tanya si gadis.

Tak ada jawaban. Tapi ada suara seperti orang menarik nafas. Sakuntaladewi menatap ke atas, ke arah atap ruangan yang berbentuk kerucut. Dalam hati dia berkata. "Suaranya seperti suara orang sudah berusia lanjut…"

Si gadis pejamkan mata. Nafas ditahan seketika lalu dihembuskan. "Hemm… aku merasakan ada dua detakan jantung. Satu berada dalam ruangan ini. Satu lagi di luar ruangan." Lalu kembali gadis ini menegur. "Hai, siapa yang tadi bicara? Mengapa tidak mau unjukkan diri?"

"Lakukan saja apa yang tadi disarankan. Kita tidak punya waktu lama." Suara mengiang menjawab. Kali ini bukan suara orang tua tapi menyerupai suara anak lelaki.

"Penghuni Ruang Segi Tiga Nyawa. Jika kalian bersahabat dengan diriku harap perlihatkan diri."

"Sakuntaladewi, lakukan saja apa yang dikatakan orang. Kita tidak punya waktu banyak." Kembali terdengar suara mengiang anak lelaki mengulang ucapan.

Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal terkejut. "Mahluk yang bicara tahu namaku…" Ucap si gadis dalam hati.

Tiba-tiba ada suara seperti angin berdesir di atap sebelah atas. Lalu sayup-sayup terdengar suara tambur dan tiupan suling. Sakuntaladewi mendongak ke atas atap yang berbentuk kerucut. Astaga! Samar-samar dia melihat sepasang kakek nenek berselempang kain putih di atas sana, mengambang diluar atap.

"Kakek nenek berdua…" Sakantaladewi rundukkan tubuh memberi penghormatan. Dadanya berdebar tapi dia tetap berlaku tenang.

Dua kakek nenek di atap Ruang Segi Tiga Nyawa gerakkan tangan dan jari jemari mereka. Menyampaikan ucapan bahasa orang bisu! Kedua orang tua itu bukan lain adalah Sepasang Arwah Bisu yang merupakan kakek nenek Sakuntaladewi.

TIGA BELAS

SAKUNTALADEWI perhatikan gerakan jari dan tangan sepasang kakek nenek. Namun kedua orang itu masih terlalu samar hingga Sakuntaladewi tidak dapat membaca atau mengartikan apa yang tengah dikatakan Sepasang Arwah Bisu melalui gerakan jari dan tangan mereka. Sakuntaladewi menunggu sebentar. Begitu sosok kakek dan neneknya berubah jelas, gadis ini segera membuat gerakan jari dan tangan bahasa orang bisu tanpa memperdulikan apa yang hendak disampaikan dua kakek nenek di atas sana.

"Kakek nenek berdua, apakah datang untuk mengeluarkan saya dari dalam ruangan ini?"

Kakek berselempang kain putih langsung membalas menjawab dengan gerakan jari dan tangan pula. "Cucuku Sakuntaladewi, kami berdua datang bukan untuk mengeluarkanmu dari tempat dimana saat ini kau berada"

Karuan saja Sakuntaladewi menjadi kaget. Dia adalah cucu darah daging dua kakak sakti. Tapi mereka muncul justru bukan untuk menolongnya!

Nenek berselempang kain putih gerakkan jari dan tangan. "Cucuku, jangan unjukkan air muka kecewa. Se­sungguhnya kau berada dalam satu keberuntungan dan kesempatan besar untuk menolong Raja dan Kerajaan Mataram."

Karena masi belum bisa mengerti Sakuntaladewi diam saja. Si kakek lalu menggerakkan tangan.

"Kami datang untuk meminta agar kau mengikuti apa yang disampaikan orang melalui suara mengiang. Karena itu adalah petunjuk Para Dewa. Kau akan menghadapi satu kejadian besar. Jika kau berbuat bakti maka kau akan menerima pahala besar termasuk penentuan jodoh bagi masa depanmu. Lekas lakukan sebelum orang dan roh jahat muncul membuat kekacauan dan menghalangi tindakanmu."

Sakuntaladewi terkejut. Dia bertanya dengan membuat gerakan tangan bahasa orang bisu. "Kek, apa yang kau maksudkan dengan penentuan jodoh? Apakah…"

Nenek berselempang kain putih memotong gerakan tangan bahasa yang disampaikan Sakuntaladewi. "Cucuku, dari dulu kau selalu banyak bertanya. Padahal keadaan sudah sangat mendesak. Lekas usap wajahmu tiga kali dengan tangan kanan."

Di kejauhan sayup-sayup kembali terdengar suara tambur dan suling. Sosok sepasang kakek nenek perlahan­lahan berubah samar. Sakuntaladewi tersentak.

"Tunggu!" Sakuntaladewi berseru namun Sepasang Arwah bisu raib sudah. Keadaan dalam ruangan terasa sangat sunyi. Keredupan semakin temaram.

Sakuntaladewi angkat tangan kanan. Telapak dikembangkan, dipandangi beberapa lama. Lalu wajah diusap tiga kali berturut-turut. Begitu salesai mengusap di kejauhan terdengar suara dentangan lonceng. Lalu ada cahaya kuning lembut menyapu seantero ruangan. Tempat yang disebut Ruang Segi Tiga Nyawa itu, yang tadinya redup mendadak berubah terang. Ternyata ruangan itu cukup luas dan keseluruhan lantai, dinding serta atap yang berbentuk kerucut merupakan tanah merah keras.

Ketika menatap ke arah depan yang adalah ujung salah satu dari sudut segi tiga dalam ruangan, Sakuntaladewi terkejut. Tadi sewaktu pertama kali ruangan berubah terang dia tidak melihat benda itu. Benda yang dilihat Sakuntaladewi adalah seuntai rantai besar merah, bergulung demikian rupa, mengambang di dalam ruangan seolah melingkari sesuatu.

"Rantai besi aneh. Empat Mayat Aneh membawaku ke Candi Kalasan lalu ada orang menarikku masuk ke dalam ruangan ini. Apakah hanya untuk melihat rantai ini? Empat Mayat Aneh mengatakan ada seseorang yang menyuruh­nya. Di ruangan ini sama sekali tidak ada sepotong ma­nusia pun!"

Dalam keadaan hati tidak enak kembali Sakuntaladewi menatap ke arah rantai besi besar. Tiba-tiba rantai itu memancarkan cahaya merah seolah berubah menjadi bara api walau tidak ada hawa panas terasa menebar. Belum habis kejut si gadis, di dalam gulungan rantai menyala perlahan-lahan muncul sosok seorang kakek bertubuh kurus kering, hanya mengenakan sehelai kain putih sebatas pinggang ke bawah.

Tulang-tulang iga bertonjolan seperti jerangkong. Muka yang tinggal kulit pelapis tulang membuat tampangnya nyaris menyerupai tengkorak hidup namun anehnya tampang itu tidak menyorotkan ke­angkeran atau rasa seram bagi orang yang melihatnya. Selain itu si orang tua memiliki rambut, kumis serta janggut berwarna biru. Kakek itu duduk bersila di lantai tanah merah. Seluruh tubuhnya digulung oleh rantai merah besar menyala.

Setelah terpana beberapa ketika menyaksikan sosok tua dalam libatan rantai merah Sakuntaladewi membungkuk memberi penghormatan. Dia maklum orang tua itu pasti bukan orang sembarangan. Lalu gadis ini beranikan diri menegur.

"Orang tua, saya tersesat masuk ke tempat ini. Mohon­maaf kalau saya mengganggu ketenteramanmu…"

Orang tua di dalam gulungan rantai merah mengangkat kepala sedikit, menatap tapi tidak menjawab.

"Kalau saya boleh tahu kau ini siapa?" Bertanya Sakuntaladewi.

"Aku seorang Empu. Berasal dari Gunung Bismo. Namaku Semirang Biru." Si orang tua dalam gulungan rantai besi keluarkan ucapan untuk pertama kalinya.

"Empu Semirang Biru?" Sakuntaladewi berpikir sejenak. Tiba-tiba dia ingat. "Orang tua, kalau namamu memang itu, saya pernah menyirap cerita. Bukankah kau pembuat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang dikabarkan lenyap diculik orang dari dalam Istana Mataram sebelum bencana Malam Jahanam melanda Bhumi Mataram?”

"Cerita itu memang benar..."

"Empu, maaf kalau saya memotong bicaramu. Empat Mayat Aneh membawa saya ke Candi Kalasan. Katanya atas suruhan seseorang…"

"Akulah orangnya yang menyuruh."

"Ooo…" Sakuntaladewi ternganga. "Tapi saya rasa saat ini saya tidak berada di kawasan Candi Kalasan. Ada orang yang membobol peti mati di mana saya berada, lalu menarik saya masuk ke dalam tanah. Saya berusaha mengetahui orang itu tapi keburu tidak sadarkan diri."

"Anak gadis, ketahuilah saat ini kau berada tepat dibawah Candi Plaosan Lor. Sesungguhnya aku sudah beberapa hari menunggumu."

Untuk kesekian kalinya Sakuntaladewi dibuat tercengang. "Empu, rantai merah yang melingkari tubuhmu, apakah rantai itu milikmu atau…."

"Ada seseorang sakti tapi tidak berhati putih. Karena tidak bisa membunuhku karena aku mendapat perlindungan dari Para Dewa orang sakti itu lalu membelenggu aku dengan rantai merah ini yang disebut Rantai Kepala Arwah Kaki Roh. Rantai ini adalah benda curian milik seorang pertapa sakti dipuncak Gunung Semeru."

“Empu, siapa orang jahat yang mengikat dirimu dengan rantai itu?" Bertanya Sakuntaladewi.

"Seorang anak lelaki sakti bernama Dirga Purana."

Lagi-lagi Sakuntaladewi dibuat terkejut. "Kalau begitu biar aku coba membebaskan dirimu dari rantai itu," kata si gadis pula.

Empu Semirang Biru gelengkan kepala. "Ada hal lain yang lebih penting yang dapat kau lakukan. Jika kau berhasil maka kau akan mampu memutuskan rantai merah ini. Kau sendiri kemungkinan akan bebas dari azab sengsara yang kau derita selama ini."

Sakuntaladewi melangkah mendekati Empu Semirang Biru. Dia pegang rantai merah di bagian bahu kiri kanan si orang tua dan berkata. Walau rantai itu tampak merah menyala namun dua tangannya terasa dingin aneh hingga gadis itu menggigil dan giginya bergemeletukan. Sakuntaladewi tarik kedua tangannya. Menatap Empu Semirang Biru dengan perasaan heran karena orang tua ini sama sekali tidak tampak kedinginan. Padahal sekujur tubuhnya digulung rantai.

"Hal apa Empu? Katakan apa yang harus saya lakukan?"

Empu berambut biru itu dongakkan kepala, memandang ke arah atap runcing Ruang Segi Tiga Nyawa. Sakuntaladewi ikuti pandangan si orang tua. Begitu dia melihat ke atas, dadanya berdebar, darah berdesir dan sepasang bola mata membesar.

"Tadi benda itu tidak ada di sana. Apakah...?"

EMPAT BELAS

DI ATAP ruangan segi tiga yang berbentuk kerucut, menancap sebilah keris. Bagian yang menancap adalah gagang yang masih telanjang sementara bagian badan dan ujung yang runcing menukik ke bawah. Keseluruhan badan keris yang memiliki luk sembilan memancarkan cahaya biru. Anehnya, di sebelah kanan badan keris, mulai dari ujung runcing sampai ke bagian bawah yang melebar lancip, tampak gabungan cahaya tujuh warna, memanjang dan bergelombang mengikuti luk keris yang sembilan.

Inilah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Walau berada jauh di atas atap ruang segi tiga namun Sakuntaladewi bisa merasa dan mencium tebaran bau harum keluar dari badan keris.

"Sakuntaladewi, senjata tak bergagang itu adalah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Kelak senjata itu akan menjadi benda pusaka Kerajaan Mataram. Aku yang membuatnya atas petintah Yang Mulia Rakai Kayuwangi Raja Mataram. Kini aku dan keris bertuah berada dalam perlindungan Para Dewa di Ruang Segi Tiga Nyawa ini! Tapi aku tetap merasa kawatir."

Sakuntaladewi tegak tak bergerak. Mata tak berkedip. Tanpa mengalihkan pandangan gadis ini bertanya. "Empu, bagaimana kejadiannya keris sakti Kerajaan dan dirimu bisa berada di tempat ini?"

"Semua gara-gara perbuatan dua Sinuhun yang berhasil membujuk anak lelaki sakti bemama Kesatria Junjungan itu." Jawab Empu Semirang Biru. "Sakuntaladewi, hanya kau yang mampu menyelamatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Namun kita masih memerlukan bantuan seseorang. Bukankah kau mengenal seorang gadis yang punya kepandaian menangkap petir?"

"Maksud Empu gadis bernama Jaka Pesolek?" Tanya Sakuntaladewi.

"Kalau memang itu namanya maka itulah orangnya."

"Saya tidak tahu dia berada di mana. Terakhir sekali dia masih berada di Bukit Batu Hangus sewaktu Empat Mayat Aneh memasukkan saya ke dalam peti mati."

"Aku punya firasat sebentar lagi gadis itu akan sampai di tempat ini. Biar kita bersabar menunggu. " Kata Empu Semirang Biru pula.

"Empu, di sini tidak ada petir. Lagi pula kalau hanya untuk mengambil dan menyelamatkan keris sakti di atas atap sana, saya bisa melakukan." Habis keluarkan ucapan Sakuntaladewi jejakkan kaki tunggalnya ke lantai tanah merah.

"Desss! Wutt!”

"Hyang Jagat Bathara! Jangan lakukan!" Teriak Empu Semirang Biru.

Tapi terlambat! Tubuh Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal melesat membal ke atas atap berbentuk kerucut dimana Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Tangan dipentang siap untuk menjangkau senjata sakti. Namun baru satu tombak dia berada di atas lantai ruangan tiba-tiba di atas sana Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pancarkan cahaya terang putih menyilaukan. Warna putih ini bukanlah warna atau kekuatan asli yang mengendap dalam tubuh keris.

Kejap itu juga terdengar suara menggelegar. Lalu blaarr! Kilauan cahaya putih panas menyambar keluar dari keris sakti! Ruang Segi Tiga Nyawa bergoncang hebat! Dinding dan atap ruangan yang terbuat dari tanah merah keras berguguran, membuat keadaan dalam ruangan sesaat menjadi redup merah. Empu Semirang Biru kembali berteriak. Mulut menggembung lalu meniup. Satu gelombang angin menderu menerpa ke arah Sakuntaladewi, mendorong tubuh si gadis agar tidak berada di arah lurus datangnya cahaya putih yang laksana petir. Namun sambaran cahaya putih menyilaukan dan panas datang lebih cepat.

Sakuntaladewi sendiri saat itu menjerit ketika melihat kilatan putih panas menggebubu ke arahnya. Untuk melindungi diri gadis ini segera keluarkan jurus Enam Belas Gerakan Tangan Bisu. Selain itu tubuhnya yang telah terdorong ke samping akibat tiupan Empu Semirang Biru segera dibanting ke kiri hingga menghantam dinding ruang segi tiga.

"Wusss!"

Cahaya putih panas menyambar ganas. Kembali terdengar jeritan si gadis. Lalu tubuhnya melayang jatuh ke bawah tapi masih sanggup berdiri di atas kakinya yang cuma satu. Wajah tampak pucat. Pakaiannya yang berwama jingga hangus hitam di sisi sebelah kanan.

"Sakuntaladewi, kau tidak apa-apa?!" Empu Semirang Biru berteriak cemas.

"Berkat pertolongan Empu melepas tiupan sakti tadi, saya selamat. Saya hanya merasa sedikit kehilangan keseimbangan. Pakaian hangus, tubuh sebelah kanan seperti mati rasa…"

Menjawab Sakuntaladewi sambil bersandar ke dinding. Nafas sesak dada turun naik. Selagi dia berusaha mengatur jalan darah dan mengalirkan hawa sakti di dalam tubuh, tiba-tiba kaki tunggalnya merasakan getaran-getaran di tanah.

"Ada orang berjalan cepat. Menuju ke sini…" Ucap si gadis dalam hati. Baru saja membatin begitu tiba-tiba dari arah kanan ruang segi tiga tampak samar-samar cahaya kuning. Cahaya kuning lenyap. Lalu ada suara seperti orang melengak kaget, disusul ucapan.

"Aku takut. Aku mau kencing. Tapi tadi aku mendengar suara petir menggelegar. Senang juga rasanya. Oala… dimana aku ini sebenamya berada! Hai, di depan sana ada cahaya terang kemerahan…"

Sakuntaladewi segera mengenali suara orang. Sesaat kemudian orangnya muncul, mencuat keluar dari dinding tanah merah sebelah kanan, tegak terheran-heran. Ketika pandangannya membentur sosok Sakuntaladewi orang ini langsung berteriak girang!

"Sobatku cantik! Ternyata kau ada di sini!"

"Huss! Jangan berteriak! Beri hormat dulu pada orang tua penghuni ruangan."

"Penghuni ruangan katamu! Hai apakah dia seorang lelaki gagah?!" Jaka pesolek segera saja keluarkan cermin dan kotak bedaknya. Setelah berkaca dan memoles bedak serta pemerah bibir dan merapikan rambut, gadis ini simpan semua benda itu dan berpaling pada Sakuntaladewi.

"Mana? Siapa? Mana orang gagah itu?"

Sakuntaladewi geleng-geleng kepala. Dia menunjuk ke kiri. Jaka Pesolek mula-mula hanya menampak gulungan rantai merah. Sesaat kemudian baru melihat sosok kakek yang ada dalam libatan rantai. Si gadis terperangah karena sebelumnya menyangka yang yang disebut sebagai penghuni ruangan itu adalah seorang lelaki muda dan gagah. Ternyata seorang kakek berwajah tengkorak dan bertubuh seperti jerangkong.

"Gadis berbaju merah, apakah kau masih ingin kencing?" Orang tua di dalam gulungan rantai merah bertanya.

Jaka Pesolek menatap tak berkesip. Tersenyum lalu anggukkan kepala. "Sekarang malah sudah terdesak. Rasanya sudah diujung-ujung…"

Empu Semirang Biru ikutan tersenyum. Dia meniup ke arah tubuh Jaka Pesolek. "Tahan dulu kencingmu sampai nanti."

Jaka Pesolek terperangah. Dia merasa ada hawa dingin menyapu tubuh. Buru-buru gadis ini memegang bagian bawah perutnya. Aneh, rasa terdesak ingin kencingnya telah lenyap. Sambil tersenyum dia berkata. "Kek, ilmu menahan kencingmu boleh juga. Apa ada ilmu lain yang lebih mantap. Misalnya membuat besar…”

"Huss! Jangan bicara sembarangan!" Bentak Sakunta­ladewi. Lalu dia berpaling pada Empu Semirang Biru dan berkata. "Empu, ini gadis bernama Jaka Pesolek yang Empu cari."

Sepasang mata Empu Semirang Biru membesar, kening mengerenyit. "Dewa Maha besar. Akhirnya orang yang ditunggu sudah datang." Kata Empu Semirang Biru pula. "Tapi sungguh aku tidak mengira. Yang namanya Jaka Pesolek itu ternyata adalah seorang gadis cantik."

Jaka Pesolek tersenyum dan terbatuk-batuk. "Kek, terima kasih atas pujianmu," katanya. "Aku ini manusia paling beruntung di dunia. Karena dalam ujudku yang seperti ini sebenarnya aku bisa jantan bisa betina."

Kepala Empu Semirang Biru tertegak. Wajah terheran­-heran.

Sakuntaladewi cepat berkata. "Empu, harap jangan dengarkan ucapannya."

Empu Semirang Biru untuk pertama kalinya keluarkan suara tertawa. Tiba-tiba orang tua ini sadar. "Hyang Jagat Bathara mohon ampunMu. Tidak sepantasnya aku tertawa. Masalah besar masih menggantung…"

"Empu, orang yang Empu tunggu sudah berada di sini. Sekarang apa yang akan kita lakukan?" Bertanya Sakuntaladewi.

Empu Semirang Biru mengangguk. "Aku ingin bertanya dulu. Jaka Pesolek, gadis cantik yang pandai menangkap petir. Bagaimana kau bisa sampai ke tempat ini. Padahal aku baru menyusun rencana bersama Sakuntaladewi untuk mencarimu…"

"Waktu berada di Candi Kalasan, tiba-tiba ada cahaya kuning menyelubungi diriku. Tahu-tahu aku sudah amblas masuk ke dalam tanah. Di dalam tanah anehnya aku seperti berada di alam terbuka saja. Cuma suasananya memang agak gelap. Lalu ada satu cahaya kuning disertai gema suara lonceng di kejauhan. Cahaya kuning itu bergerak ke depan. Aku mengikuti dan akhirnya sampai di tempat ini."

"Cahaya kuning dan suara lonceng?" Ucap Empu Semirang Biru. "Para Dewa telah menolongmu melalui kepanjangan tangan seorang anak sakti bernama Mimba Purana. Aku bersyukur kau bisa selamat sampai di sini. Kau memang sudah sangat ditunggu-tunggu. Sekarang…."

Belum sempat si orang tua menyelesaikan ucapan tiba­-tiba ada suara perempuan berseru.

"Aku mendengar orang bicara! Tadi ada suara seperti petir menyambar. Apakah kedatanganku juga sudah ditunggu?!"

Sesaat kemudian satu bayangan hijau berkelebat memasuki bagian terang merah Ruang Segi Tiga Nyawa disertai menebarnya bau harum.

"Hai! Kalian berdua ada di sini rupanya. Tapi mana sang Kesatria Panggilan?!"

LIMA BELAS

YANG MUNCUL ternyata Kunti Ambiri alias Dewi Ular. Rambut panjang hitam yang tergerai lepas tidak lagi bermahkota membuat wajahnya tambah cantik. Namun wajah yang tadi cerah gembira kini kelihatan kecewa karena tidak melihat Pendekar 212 Wiro Sableng di tempat itu. Ketika memandang ke arah Empu Semirang Biru yang berada dalam gulungan rantai merah, Kunti Ambiri tampak terkejut. Tapi dia tidak lupa membungkuk memberi penghormatan.

"Kek, apa yang terjadi denganmu. Kau ini memang senang nyaman tinggal berada di dalam gulungan rantai atau kau tengah menjalani hukuman?"

"Tak usah memikirkan diriku." Menyahuti Empu Semirang Biru. Lalu dia berpaling pada Sakuntaladewi dan bertanya. "Sahabatmu yang baru datang ini, apa dia juga bisa jantan bisa betina?"

"Weleh! Aku disamakan dengan si pencuri celana dalam ini! Puiiih!" Ucap Kunti Ambiri sambil menunjuk Jaka Pesolek lalu tertawa gelak-gelak.

Empu Semirang Biru yang tidak tahu cerita celana dalam itu tentu saja terheran­-heran sementara Jaka pesolek mesem-mesem jengkel. Kunti Ambiri kembali membungkuk ke arah si orang tua lalu berkata.

"Kek, aku Kunti Ambiri dan aku perempuan betulan." Lalu gadis dari alam roh ini berpaling ke arah Sakuntaladewi.  "Sahabat, aku lihat pakaianmu hangus di sisi kanan. Tadi aku mendengar suara menggelegar disertai kilatan terang seperti petir menyambar. Apa yang terjadi di sini. Tempat apa ini namanya?"

Sakuntaladewi menunjuk ke atas atap ruangan. "Tadi aku mencoba mengambil keris yang menancap di atas sana. Tak terduga senjata itu mengeluarkan cahaya putih panas menggelegar laksana petir. Untung kakek itu menyelamatkan diriku…"

Kunti Ambiri memandang ke atas. Yang lain-lain ikut memperhatikan. "Keris tidak bergagang. Menancap di atap ruangan. Aku yakin senjata sakti ini yang oleh dua Sinuhun disebut sebagai Mahkota di atas Mahkota. Aku mencium hawa aneh dibalik keharuman yang menebar. Senjata itu dihuni kekuatan jahat."

"Kau benar Kunti Ambiri," berkata Empu Semirang Biru. "Mungkin kau belum tahu. Aku membuat keris itu atas perintah Raja Mataram. Keris bernama Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Keris dicuri oleh dua Sinuhun dengan memperalat arwah seorang pertapa sakti bernama Sedayu Galiwardhana yang saat ini telah menemui kematian untuk kedua kalinya. Para Dewa menciptakan Ruang Segi Tiga Nyawa ini untuk melindungi keris. Dua Sinuhun dan kaki tangannya termasuk anak sakti Dirga Purana tidak mampu menembus ruangan ini untuk mengambil keris…"

"Tapi Kek, tadi aku mudah saja masuk ke ruangan ini. Apa ilmu kesaktianku jauh lebih hebat dari dua Sinuhun dan anak bernama Dirga Purana itu? Berkata Kunti Ambiri yang membuat Jaka Pesolek mencibir.

"Para Dewa telah membuat aturan," jawab Empu Semirang Biru. "Siapa saja orang atau mahluk yang memiliki benjolan di keningnya tidak akan bisa menembus ruangan ini. Mereka adalah dua Sinuhun dan para pengikutnya. Tapi mereka tidak tinggal diam. Agar tidak ada orang yang dapat mengambil senjata itu mereka lalu memasukkan satu kekuatan jahat ke dalam keris berupa sambaran petir ganas. Siapa saja yang coba mendekat apa lagi berniat mengambil keris pasti akan dihantam petir yang keluar dari dalam keris. Dewa Agung! Keris itu harus diselamatkan sebelum dua Sinuhun dan lelaki sakti bernama Dirga Purana bisa menemukan cara untuk merampasnya. Tapi kekuatan jahat yang ada dalam keris menjadi penghalang sangat berbahaya. Sakuntaladewi sudah merasakan…"

"Keris Kanjeng Sepuh Pelangi…." Ucap Kunti Ambiri. Dia berpaling kembali memperhatikan Sakuntaladewi. Tiba-tiba gadis kaki satu ini bertanya. "Kek, berapa jumlah luk keris buatanmu itu?"

"Sembilan." Jawab Empu Semirang Biru. "Sakuntaladewi, apa yang ada di dalam pikiranmu?" Si orang tua bertanya.

"Saya merasakan ada sesuatu. Apakah Yang Mulia Raja Mataram yang minta agar Empu menciptakan keris berluk sembilan?"

Empu Semirang Biru terpana mendengar pertanyaan si gadis. "Tidak. Utusan Sri Baginda Raja Mataram hanya menyerahkan logam sakti cikal bakal untuk pembuatan keris. Selagi aku membuat senjata itu seorang kakek aneh muncul. Dia merubah kedua tanganku menjadi bara api hingga aku mampu membuat dan membentuk keris dalam waktu sangat cepat. Ketika keris selesai baru aku sadari kalau senjata itu memiliki sembilan luk. Sakuntaladewi, katakan apa yang ada dalam benakmu."

Gadis berkaki satu usap pakaiannya yang hangus. Dari dalam gulungan rantai besi Empu Semirang Biru berkata. "Semoga Yang Maha Kuasa menolongmu." Lalu orang tua ini meniup ke arah si gadis. Inilah satu-satunya ilmu kesaktian yang dimilikinya. Pakaian jingga itu masih tampak hangus namun mati rasa yang dialaminya pada sisi kanan tubuh lenyap seketika.

"Empu, terima kasih. Lagi-lagi kau menolongku."

"Sakuntaladewi, kau belum menjawab pertanyaanku. Katakan apa yang ada dalam benakmu. Mengapa kau menanyakan jumlah luk Keris Kanjeng Sepuh Pelangi?"

"Saya tidak tahu Empu. Hal itu muncul saja dalam jalan pikiran saya. Saya menaruh dugaan jumlah luk yang sembilan merupakan…"

"Sudahlah, mengapa membicarakan luk keris itu." Kunti Ambiri memotong bicara Sakuntaladewi. Lalu pada sang Empu dia berkata. "Kek, aku ingin sekali menolongmu. Izinkan aku mengambil keris di atap ruangan."

"Kunti Ambiri, aku tahu kau bukan gadis sembarangan. Tapi jangan berani mencoba…"

Sebelum selesai si orang tua berucap Kunti Ambiri telah berdiri dengan dua kaki terkembang. Perut dibusungkan kedepan.

"Desss!"

Dari pusar Kunti Ambiri melesat keluar seekor ular hitam besar berkepala putih.

"Ambil keris di atas atap!" Memerintah Kunti Ambiri.

Sambil keluarkan suara mendesis keras ular hitam kepala putih melesat ke atas atap. Seperti tadi kejadiannya, pada saat sosok binatang jejadian ini baru berada sekitar satu tombak di atas lantai ruangan tiba-tiba Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pancarkan cahaya putih terang. Lalu terdengar suara menggelegar yang menggoncang seantero ruangan. Cahaya putih panas menyilaukan berkiblat.

"Wusss! Blaarr!"

Tubuh ular hitam kepala putih hancur berubah menjadi puluhan kepingan dikobari api. Luruh jatuh ke lantai ruangan bersama runtuhan debu dan tanah merah. Kunti Ambiri terpekik melihat apa yang terjadi. Seperti kalap dia siap melompat ke atas atap. Dua tangan dipentang pertanda akan segera melancarkan dua pukulan sakti.

"Kunti! Jangan! Tetap di tempatmu!" Empu Semirang Biru berteriak.

Sakuntaladewi cepat menghalangi namun Jaka Pesolek bertindak lebih cepat. Dengan gerakan kilat dia menelikung pinggang Kunti Ambiri lalu menjatuhkan diri ke lantai sambil menarik tubuh gadis alam roh itu.

"Tujuh puluh tahun aku memelihara mahluk itu. Sekarang dia mati percuma. Lihat saja pembalasanku!"

"Sssttt, mengapa bicara menyebut bilangan tahun segala. Sama saja kau memberi tahu kalau dirimu sebenarnya sudah tua bangka!" Berkata Jaka Pesolek setengah berbisik.

Kunti Ambiri hendak menyemprot. Tapi Jaka Pesolek mendahului bicara. "Sssshhh, apa kau lupa ucapan Nyi Loro Jonggrang. Kau sudah berubah jadi orang baik. Jangan kesusu bertindak. Kita berada di tempat aneh. Salah bertindak bisa konyol. Biar aku yang akan mengambil keris di atas atap. Tanganku sudah gatal karena sudah lama tidak bermain petir-petiran. Yang satu ini cuma petir kecil. Kalau keris sudah dapat akan aku berikan padamu biar hatimu senang…"

"Sakuntaladewi, Jaka Pesolek, dengar apa apa yang aku katakan." Empu Semirang Biru yang sempat mendengar ucapan Jaka pesolek berkata. "Kalian berdua memang sudah diatur agar bisa datang ke sini. Sebelumnya aku menunggu kalian di Candi Kalasan. Tapi keadaan tidak mengizinkan. Para Dewa memindahkan diriku ke tempat ini dan membuat Ruang Segi Tiga Nyawa untuk melindungi diriku dan keris sakti…"

"Kek, mengapa Para Dewa tidak sekalian menolong memusnahkan rantai besi merah yang melibat sekujur tubuhmu?" Kunti Ambiri bertanya.

"Semua sudah diatur. Rantai besi ini hanya bisa diputus oleh Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Sekarang jangan ada yang bertanya sebelum aku memberi tahu satu petunjuk sesuai apa yang aku terima dari satu mahluk sakti. Sakuntaladewi kau melesatlah ke atap. Seperti tadi keris sakti yang telah diisi kekuatan jahat pasti akan menghan­tamkan cahaya kilat seperti petir. Jaka Pesolek, kau punya kewajiban menangkap petir. Pada saat petir sudah dilumpuhkan kekuatannya kau Sakuntaladewi cepat mengambil keris di atas atap…"

"Oala! Mengapa gadis itu! Aku juga bisa melakukan!" Tiba-tiba satu suara menggema di luar Ruang Segi Tiga Nyawa.

ENAM BELAS

DARI dinding sebelah kiri mencuat masuk ke dalam ruangan seorang perempuan berusia lebih dari setengah abad, rambut hitam agak awut-awutan. Pakaian kotor. Walau sudah berusia lanjut tapi memiliki tubuh molek serta wajah cantik. Melihat Kunti Ambiri, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek, perempuan yang baru datang yang bukan lain adalah Ratu Randang langsung menegur.

"Kalian bertiga ternyata ada di sini."

Lalu perempuan yang biasa dipanggil dengan sebutan Ratu atau Nenek ini berpaling ke arah Empu Semirang Biru, yang terakhir kali dilihatnya di Istana Raja Mataram sebelum diculik oleh seseorang.

"Sahabat lama Empu Semirang Biru, tidak kusangka kau punya tetirahan ditempat ini. Terima salam hormatku." Setelah membungkuk Ratu Randang mendekati sang Empu, meraba rantai merah yang menggelung sekujur tubuh si kakek. "Aku bersedih melihat keadaanmu. Sayang tingkat ilmuku tidak mungkin aku dapat melepaskan rantai ini. Aku bisa menduga apa yang terjadi denganmu. Ini pasti pekerjaan dua Sinuhun jahanam!"

Empu Semirang Biru tersenyum. "Ratu Randang, aku gembira bisa bertemu denganmu lagi. Aku baik-baik saja. Jangan kawatirkan diriku. Ratu, bagaimana kau bisa sampai ke sini?" tanya Empu Semirang Biru pula.

"Ketika berada di depan Candi Kalasan sendirian, menyamar sebagai seekor kucing putih, sekonyong­-konyong ada delapan anak kucing merah melesat dari langit. Langsung menyerangku." Si nenek memperlihatkan pakaiannya yang robek serta bekas luka di tangannya.

"Delapan anak kucing merah!" Kata Empu Semirang Biru pula. "Binatang itu adalah peliharaan anak lelaki jahat bernama Dirga Purana, junjungan dua Sinuhun."

"Aku juga menduga begitu," jawab Ratu Randang. Lalu meneruskan ceritanya. "Ketika aku dibuat tak berdaya dan siap dijadikan mangsa dicabik-cabik tiba-tiba ada orang menarik tubuhku hingga amblas masuk ke dalam tanah. Aku memperhatikan. Ternyata orang itu adalah Kumara Gandamayana, orang kepercayaan Raja Mataram dan juga sahabatku. Tapi anehnya dia tidak mengaku kalau dirinya adalah Kumara Gandamayana. Padahal sorban di kepala dan jubah kelabu serta kasut putih yang dikenakannya sangat aku kenali. Ketika aku memaksa agar dia menerangkan siapa dirinya sebenarnya, orang tua itu malah berkata siapa dirinya bisa ditanyakan pada orang yang akan aku temui. Aku kemudian disirap hingga tertidur. Ketika terbangun aku telah berada beberapa langkah dari tempat ini. Dan ternyata orang yang kutemui adalah dirimu. Nah, cerita apa yang bisa kau berikan padaku Empu Semirang Biru?"

Sambil bertanya Ratu Randang melirik ke atap ruangan dimana masih menancap Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Dia juga memandang berkeliling. Merasa heran tidak melihat Wiro berada di tempat itu. Padahal sebelumnya sewaktu masih berada di Candi Kalasan sang pendekar mengatakan akan menyusul Kunti Ambiri.

"Mengenai kakek bersorban dan berjubah kelabu itu, dia memang mempunyai banyak pantangan. Salah satu diantaranya dia tidak akan mau memberi tahu nama. Aku sendiripun tidak tahu siapa namanya…"

"Oala! Jauh jauh kesini ternyata kau sendiri tidak tahu siapa nama kakek yang menolongku!" Tukas Ratu Randang.

"Soal nama tidak penting." Menyahuti Empu Semirang Biru. "Walau tidak tahu nama tapi aku tahu siapa dia sebenarnya. Dia adalah Embah Buyut dari Kumara Gandamayana."

Ratu Randang terkejut. "Jadi dia adalah kakek dari kakek dari kakeknya Kumara Gandamayana. Pantas wajah kakek itu mirip sekali dengan Kumara Gandamayana. Lalu pakaian, sorban kelabu serta kasut putihnya juga sama."

"Dia juga adalah orangnya yang menculik aku dari Istana Mataram. Aku diselamatkan di tempat yang aman bersama Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang berhasil direbut kembali dari roh jejadian pertapa Sedayu Galiwardhana. Para Dewa kemudian memindahkan aku ke tempat ini karena kawatir dua Sinuhun Muda akan merampas senjata itu kembali dan membunuh aku. Walau diriku belum berhasil mereka habisi tapi mereka membuatku begini rupa. Digulung dengan Rantai Kepala Arwah Kaki Roh. Seorang anak lelaki sakti bernama Dirga Purana ikut membantu mereka…"

"Anak bernama Dirga Purana itu, menurut riwayat dia adalah saudara kembar anak lelaki sakti Mimba Purana, Satria Lonceng Dewa."

"Memang begitu riwayatnya Ratu. Dirga Purana tumbuh sebagai seorang anak jahat, berpihak pada dua Sinuhun. Mimba Purana menjadi anak baik, berpihak pada Raja Mataram." Kata Empu Semirang Biru pula.

Ratu Randang menatap ke atap ruangan. "Empu, senjata sakti yang bakal menjadi Pusaka Istana Mataram itu, mengapa berada di atas sana?"

"Inilah yang menjadi persoalan," jawab Empu Semirang Biru. "Karena tidak dapat menguasai senjata sakti itu dua Sinuhun menyusupkan kekuatan jahat berupa sambaran kilat atau petir. Siapa saja yang mendekat keris pasti akan dihantam hangus bahkan leleh!"

"Ooo, kebetulan aku sudah hampir satu hari tidak bermain petir-petiran. Jika diizinkan biar aku membuntal petir yang keluar dari dalam keris lalu mengambil senjata itu." Jaka Pesolek menyeletuk.

"Jaka Pesolek, aku yakin kau bisa memberangus petir yang keluar dari dalam keris sakti. Itu memang bantuan yang sangat aku harapkan. Tapi tidak ada orang yang bisa menyentuh apa lagi mencabut senjata itu dari atas atap sana kecuali gadis bernama Sakuntaladewi ini."

Semua orang yang berada di ruangan itu sama-sama terkejut. Jaka Pesolek langsung mendekati Sakuntaladewi dan berbisik. "Aku cemburu. Keris sakti itu jenis kelaminnya pasti laki-laki dan ujudnya seorang pemuda gagah. Kalau tidak mengapa cuma kau seorang yang bisa meraba dan mencabutnya? Usapan tanganmu pasti mantap! Dari dulu sebenarnya aku sudah tahu! Hik…hik...hik?"

Tanpa berpaling Sakuntaladewi mencubit perut Jaka Pesolek yang berada di belakangnya sampai gadis ini bergumam kesakitan. Tapi mulutnya masih saja usil.

"Nah, apa kataku. Cubitanmu saja membuat tubuhku glenyer­glenyer. Ayo cubit lagi. Tapi ke sebelah bawah sedikit! Hik… hik… hik."

"Dasar pencuri celana!" Kunti Ambiri mendamprat Jaka Pesolek. "Kau kira ini tempat apa! Orang tengah menghadapi perkara besar bicara sembarangan!"

Jaka Pesolek mencibir lalu menjauhi Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri. Saat itu terdengar Ratu Randang bertanya. "Sahabatku Empu Semirang Biru. Mengapa hanya sobatku muda Sakuntaladewi yang bisa menyentuh dan mencabut keris sakti itu?"

"Inilah kuasa dan petunjuk Para Dewa. Karena keris sakti konon hanya bisa disentuh dan dicabut dari atas ruangan oleh seorang gadis yang memiliki cacat tubuh. Itulah keadilan Yang Maha Kuasa. Setiap insan yang cacat pasti diberi kelebihan."

Semua orang terkejut mendengar jawaban sang Empu dan sama-sama memandang ke arah Sakuntaladewi, gadis yang dua pahanya dempet dan hanya punya satu kaki.

Selagi kesunyian menggantung di dalam Ruang Segi Tiga Nyawa tiba-tiba di atas atap terdengar suara mengeong riuh dan keras. Ketika semua orang menatap ke atas, di luar atap tampak delapan ekor anak kucing berbulu merah membuka mulut memperlihatkan taring sambil mementang, cakar kaki depan yang menyerupai pisau. Tiga dari delapan anak kucing itu bulu merahnya kelihatan lebih pekat bahkan tampak kehitaman.

"Delapan Sukma Merah…" Desis Empu Semirang Biru. "Kalian tidak usah takut. Mereka memiliki benjolan di kening. Mereka tidak akan sanggup menembus masuk ke dalam ruangan ini…"

"Empu, sebaiknya kita cepat saja mengambil keris itu." Kata Kunti Ambiri.

Empu Semirang Biru anggukkan kepala, memandang ke arah Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi. Di atas atap suara ngeongan delapan anak kucing semakin keras hingga ruangan terasa bergetar!

Diam-diam Empu Semirang Biru merasa dadanya berdebar. Orang tua ini membatin. "Bagaimana kalau dua Sinuhun memiliki ilmu penangkal baru lalu sanggup menembus masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa. Dewa Agung, lindungi kami semua di ruangan ini. Selamatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dari tangan mahluk-mahluk jahat."

Baru saja Empu Semirang Biru membatinkan kekawatirannya tiba-tiba brakkk! Satu sosok terkapar di lantai ruangan. Pakaian robek-robek dipenuhi noda darah. Di wajah ada tiga guratan luka.

"Wiro!"

Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri sama-sama berteriak. Jaka Pesolek tidak berteriak tapi melompat lebih dulu menjatuhkan diri di samping sosok yang terbujur di lantai, langsung memeluknya.

S E L E S A I

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.