Dendam Mahluk Alam Roh
Melihat Purnama menyerbu dengan kapak sakti, Luhrembulan cepat putar Pedang Naga Suci 212 lalu dengan sebat dibabatkan ke arah lawan. Ternyata serangan Purnama hanya tipuan belaka. Karena begitu dia melihat gerakan tangan Luhrembulan yang memegang pedang. Purnama cepat rundukkan kepala.
Pedang Naga Suci 212 lewat di atas kepala Purnama. sempat membabat putus sejumput rambutnya yang hitam dan membuat gadis ini terpekik. Dalam keadaan sekujur tubuh terasa dingin akibat serangan pedang. Purnama masih mampu lancarkan serangan ke dua berupa babatan kapak membalik ke atas.
"Purnama Jangan!" Teriak Wiro. Namun terlambat.
"Craassss!!" Kapak Naga Geni 212 menyapu lebih dulu di atas dada Luhrembulan. Gadis alam gaib ini terpekik keras.
PULAU Watu Gilang di pantai Parangkusumo. Dua bukit karang menjulang tinggi di kegelapan malam. Pendekar 212 Wiro Sableng yang baru saja menabas putus leher Patih Kerajaan Wira Bumi mengusap kuduk yang terasa dingin mengkirik. Bulu roma merinding. Dia merasa ngeri sendiri.
"Edan, kalau dia tidak mempergunakan ilmu setan, tidak menyamar jadi Nyi Retno Mantili untuk merampas bayi itu, aku mungkin tidak akan membunuhnya! Aku sekarang Jadi pembunuh! Pembunuh Patih Kerajaan! Urusan lagi! Perkara lagi! Geblek! Sial..."
Murid Sinto Gendang menggaruk kepala, memandang sekeliling pulau yang diterangi belasan obor. Di pantai Parangtritis dan Parangkusumo ratusan orang berdatangan untuk merayakan malam Satu Suro. Biasanya mereka Juga menyeberang ke pulau Watu Gilang. Namun karena ombak di laut sedang besar, sampai saat itu belum ada seorangpun yang datang.
"Waktu aku bertemu perempuan itu bersama boneka kayunya di Bantul, dia berjanji akan datang menemuiku di pantai Parangtritis pada malam Satu Suro ini. Yang datang ternyata Wira Bumi, merubah diri Jadi Nyi Retno Mantili. Berarti yang kutemui di Bantul sejak semula memang bukan Nyi Retno Mantili yang asli. Edan! Lalu sekian lama dimana perempuan itu bersembunyi. Ah, aku tidak yakin dia sembunyi. Mungkin pergi ke satu tempat. Apa dia benar-benar marah padaku?" Wiro terdiam sejenak. Dadanya mendadak berdebar oleh rasa kawatir ketika hatinya berucap. "Jangan-jangan Nyi Retno telah dibunuh Wira Bumi atau gendaknya yang bernama Nyai Tumbal Jiwo itu."
Kalau saja saat itu dua nenek sakti yaitu Nyai Roro Manggut dan kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu masih ada bersamanya Wiro mungkin bisa bicara bertukar pendapat dan pikiran. Sayang mereka telah menyeberang ke Parangtritis untuk melihat keramaian malam Satu Suro. Wiro akhirnya pergi ke pantai, ke tempat dimana dia sebelumnya meninggalkan perahu di bagian selatan pulau.
Ketika sampai di perahu dan hendak mengambil kayu pendayung mendadak dia melihat seorang perempuan muda cantik jelita, berpakaian sangat seronok berbaring menelentang di lantai perahu. Dua tangan dan kaki dikembang, diletakkan di atas pinggiran perahu. Tubuhnya nyaris tersingkap di setlap bagian. Betul-betul menggoda! Namun murid sinto gendeng tenang saja. Dia sudah banyak pengalaman dengan hal dan kejadian seperti ini.
Wiro tidak mengenal siapa adanya si cantik ini. "Kau siapa?" tanya Pendekar 212. Dia berpikir jangan-jangan mahluk jejadian lagi.
Yang ditanya tersenyum. Giginya tampak rata dan putih. "Namaku Nyi Wulas Pikan..."
"Nama bagus. Tapi aku tidak mengenalmu. Apakah kau mengenalku sebelumnya?"
"Tentu saja aku mengenalmu," jawab si cantik. "Bahkan mulai malam ini kau telah menjadi kekasihku. Pengganti Wira Bumi yang telah kau bunuh..."
Pendekar 212 undur satu langkah. Memperhatikan lekat-lekat wajah perempuan muda yang berbaring menelentang di atas perahu sambil menggaruk kepala.
"Kepalamu gatal? Apa banyak kutunya? Mau aku carikan kutu, aku bersihkan? Mungkin rambut lain di tubuhmu Juga banyak kutunya! Hik hik hik..." Si cantik tertawa cekikikan.
Wiro menyeringai. Lalu berkata. "Aku ingat, kau... kau adalah perempuan yang berbuat mesum dengan Patih Kerajaan di balik semak belukar di tepi pantai..."
"Waw! Jadi kau mengintip rupanya?! Hlk hik hik? Dengar, mengintip itu cuma bikin pusing kepala. Kau tidak mau melakukannya sendiri?"
Wiro pencongkan mulut lalu menggeleng.
"Ah, aku tahu. Kau tidak mau mendapat yang bekas. Lihat, wajahku bisa berubah-ubah. Kau tinggal mengatakan pilih yang mana."
Diiringi suara tawa panjang rupa perempuan di atas perahu berubah berulang kali. Semua menampilkan wajah-wajah cantik. Wiro sempat terperangah ketika melihat dua di antara wajah-wajah itu sangat menyerupai wajah Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur.
"Kau pasti Jejadian Nyai Tumbal Jiwo!" kata Pendekar 212. "Lebih baik kau kembali ke ujud aslimu!" Lalu Wiro angkat tangan kanan, siap melepas pukulan Tangan Dewa Manghantam Batu Karang. Pukulan sakti ini dipelajari Wiro dari Kitab Putih Wasiat Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Amen.
Namun sebelum pukulan itu melesat sosok perempuan cantik di atas perahu yang mengaku Nyi Wulas Pikan telah lenyap dari pemandangan. Yang terdengar hanya suara tawa cekikikan yang kemudian juga lenyap seolah masuk menghilang ke dalam laut, ditelan gemuruh ombak. Perahu yang terkena pukulan hancur berantakan berkeping-keping.
Wiro berbalik. Dia melengak kaget dan keluarkan seruan tertahan lalu menyumpah panjang pendek, karena begitu berbalik kakinya menendang sesuatu. Ternyata yang tertendang adalah sosok Wira Bumi. Anehnya tubuh dan kepala yang sebelumnya kutung terpisah tergeletak kini dalam keadaan saling berdekatan. Mulut menganga, mata kanan mencelat! Namun di lain kejap sosok itu kemudian lenyap dari pemandangan.
"Edan! Edan!" maki Wiro berulang kali.
"Hik hik hik." Tiba-tiba ada tawa mengiang di telinga Wiro. "Ini aku lagi. Kekasihmu. Nyi Wulas Plkan. Setelah aku mengurus mayat Wira Bumi, apakah malam ini kita bisa bersenang-senang sampai pagi di pulau yang sepi ini? Suara tetabuhan gamelan di pantai seberang akan mengaluni percintaan kita. Bukankah Indah sekali?"
"Hik hik hik!" Saking kesalnya Wiro menirukan tawa mengiang lalu memaki. "Gila! Edan!"
"Gila! Edan! Yang gila dan yang edan itu yang paling enak! Kita akan sama-sama merasakan kelak! Kita berdua pasti cocok. Kalau kau sudah merasakan hemmm... Kau tidak akan meninggalkan diriku seumur-umur! Dan aku akan setia padamu! Hik hik hik!"
"Setan perempuan! Mampuslah!" teriak Wtro.
Lalu tidak kepalang tanggung dia hantamkan tangan kanan melepas pukulan Sinar Matahari ke arah datangnya suara mengiang. Hawa panas menghampar. Cahaya putih menyilaukan berkiblat di Watu Gilang. Membuat terkejut dan heran semua orang yang ada di pantai Parangtritis dan Parangkusumo. Namun yang dihantam pukulan sakti itu hanya udara malam kosong. Dua belas obor hancur berantakan. Keadaan di atas pulau menjadi gelap.
"Sialan! Sialan!" maki Wiro berulang kali.
"Tidak sial! Tidak sial! Kau beruntung mendapatkan diriku! Aku beruntung mendapatkan dirimu!" Suara mengiang kembali terdengar di telinga Wiro.
Masih dalam suasana malam Satu Suro. Menjelang pagi Kota raja yang ramai dengan berbagai perayaan menyambut pergantian tahun berangsur-angsur sepi. Sebelumnya di berbagai tempat terdapat banyak panggung hiburan. Arak-arakan yang membawa obor dan lampion berputar-putar sepanjang Jalan di dalam kota. Berbagai alat bunyi-bunyian seperti gendang, beduk kecil ditabuh. Seruling dan terompet ditiup melengking keras.
Menjelang pagi suasana berangsur sepi. Sewaktu hujan rintik-rintik turun dan hawa dingin mulai membungkus Kotaraja, keadaan jadi benar-benar sunyi. Hanya sesekali terdengar suara lolongan anjing di kejauhan.
Dalam kegelapan malam yang dipagut hawa dingin, dari arah barat tampak sebuah gerobak ditarik seekor kuda hitam bergerak memasuki Kotaraja. Luar biasanya, gerobak ini membawa sebuah peti mati dari kayu kasar, ditutup secarik kain merah. Dan ternyata gerobak ini menuju ke Gedung Kepatihan yang terletak di selatan alun-alun.
Ketika gerobak yang ditarik kuda hitam meluncur ke arah pintu gerbang yang tertutup dua pengawal penjaga pintu gerbang serta merta menghadang sambil melintangkan tombak besi berujung tajam.
Pengawal di sebelah kanan hendak membentak kusir gerobak. Namun begitu melihat sosok dan tampang kusir gerobak, mulutnya langsung terkancing dan wajahnya menjadi pucat. Pengawal yang satu lagi tertegun mendelik, juga tak mampu keluarkan suara.
Kusir gerobak ternyata adalah seorang nenek bermuka seseram setan, berambut merah panjang riap-riapan, mengenakan pakaian merah. Seluruh kulit termasuk kulit wajahnya juga berwarna merah. Sepasang mata yang laksana api Jadi bertambah seram karena dilingkari sepasang alis berwarna merah menjulai! Ketika dia menyeringai tampak daratan gigi yang hanya tinggal beberapa buah serta lidah yang basah merah.
"Buka pintu gerbang!" Si nenek memerintah dengan suara bergaung membuat dua pengawal tambah ketakutan.
Karena yang diperintah tidak bergerak dan tidak bersuara, si nenek tidak sabaran gerakkan tangan kanan. Selarik sinar merah melesat.
"Braaakkk” Pintu gerbang besar yang terbuat dari kayu besi tebal dan kokoh hancur berantakan. Si nenek sentakkan tali kekang kuda. Pada saat gerobak meluncur melewati pintu gerbang baru dua pengawai sadar. Keduanya berteriak keras dan berusaha menghalangi. Salah seorang dari mereka malah melompat naik ke tempat duduk kusir.
"Manusia-manusia kurang ajar! Tidak tahu diri! Apa tidak melihat aku membawa barang keramat?!" Tangan kiri si nenek bergerak.
"Bukk” Pengawal yang melompat ke atas kereta terpental. Tergelimpang di tanah tak berkutik lagi. Tulang dada hancur!
Pengawai satunya melihat apa yang terjadi dengan temannya berteriak marah lalu melemparkan tombak besi ke arah si nenek. Orang yang diserang cuma menyeringai. Sekali tangannya diangkat tombak besi berhasil ditangkap lalu dilempar balik ke arah perajurit yang tadi menyerang. Perajurit pengawal hanya sempat keluarkan suara jeritan pendek lalu roboh ke tanah dengan dada ditambusi tombak.
Pagi harinya Gedung Kepatihan geger besar. Yang pertama sekali melihat gerobak berhenti di depan gedung adalah seorang pembantu lelaki yang setiap pagi biasa menyapu membersihkan halaman.
"Aneh, pagi-pagi begini ada gerobak di depan Kepatihan. Kusirnya tidak kelihatan. Siapa yang membawa?"
Pembantu ini melangkah mendekati. Beberapa langkah di samping gerobak gerakannya terhenti ketika pandangannya membentur peti mati berselubung kain merah. Dia mencium bau aneh.
"Bau busuk...! Seperti bau busuk bangkai..." Ucap tukang sapu dalam hati. Rasa takut mendadak saja menggerayangi diri. Terlebih ketika dia memandang ke arah kiri dan melihat pintu gerbang dalam keadaan hancur berentakan. Lalu ada dua perajurit tergeletak tak bergerak. Salah satu dengan dada ditancapi tombak. Seekor anjing tengah menjilati cairan merah di dada perajurit yang sudah jadi mayat itu. Tengkuk tukang sapu merinding dingin. Dia segera saja berteriak-teriak memanggil pengawal.
Lebih dari selusin pengawal kemudian mendatangi halaman depan Gedung Kepatihan. Empat orang lari ke arah pintu gerbang dimana dua pengawal tergeletak tewas. Sisanya mengerubungi gerobak. Bersama mereka ikut seorang kakek berjubah gombrong hitam berkepala botak yang dicat hitam.
Kakek ini adalah seorang tokoh silat golongan hitam yang menjadi salah seorang pembantu kepercayaan Patih Wira Bumi dikenal dengan nama panggilan Kloneng Hitam. Wajah si orang tua botak tampak berkerut Hatinya membatin. Dia seolah sudah tahu apa yang terjadi dan mayat siapa yang ada dalam peti mati.
"Malapetaka besar akhirnya datang juga. Kepala Pengawal Bantarangin tewas. Juga Perwira Tinggi Suko Daluh. Lalu tokoh silat Ki Wulur Jumena dan Ki Luwak Ireng terbunuh. Sekarang..." Kioneng Hitam tidak teruskan ucapan hati dia berteriak pada para pengawal Kepatihan yang mengerubungi gerobak. "Jangan diam saja! Lekas turunkan peti mati itu!"
Seorang pengawal menarik kain merah yang menyelubungi peti mati. Delapan orang kemudian dengan susah payah menurunkan peti mati ke tanah. Bau busuk semakin santar.
"Buka tutup peti mati!" perintah kakek kepala botak hitam.
Delapan pengawal yang barusan menurunkan peti mati sesaat tertegun. Wajah mereka jelas menunjukkan rasa bimbang dibalut ketakutan.
"Perajurit-perajurit pengecut!" maki Kloneng Hitam.
Kakek botak ini pergunakan kaki kiri menendang pinggiran peti mati hingga papan penutup peti mati terpental, melesat ke udara. Dalam keadaan tanpa penutup, apa yang ada di dalam peti mati terpentang jelas. Semua pengawal yang ada di sekeliling peti bersurat mundur, keluarkan saruan tertahan dan serentak menutup hidung.
Kloneng Hitam walau sudah menduga tak kurang kaget di dalam peti mati tergeletak mayat Patih Wira Bumi. Yang mengerikan kepalanya terpisah dari badan. Mata kiri dibalut kain hitam. Mata kanan melotot mencelet. Mulut menganga. Bagian yang kutung bekas tabasan senjata tajam tampak telah membusuk. Bagian tubuh yang luka inilah yang menebar santar bau busuk.
Kloneng Hitam menyuruh para pengawal menutup peti mati kembali lalu dia masuk ke dalam Gedung Kepatihan menemui Ni Ketut Ragi, perempuan keturunan Bali yang menjadi Kepala Pelayan di Gedung Kepatihan.
"Ni Ketut, beri tahu kedua istri almarhum kanjeng Patih Kerajaan apa yang terjadi. Tapi cegah kalau mereka ingin melihat jenazah."
Begitu tahu kalau majikannya telah meninggal dunia, Ni Ketut Ragi sambil menangis pergi menemui dua orang Istri Patih Wira Bumi yang tinggal di dua bangunan terpisah. Seperti diketahui Wira Bumi memiliki tiga orang istri. Istri ketiga dan yang paling muda adalah Nyi Retno Mantili. Pagi itu Juga seluruh penghuni Gedung Kepatihan dilanda kegegeran. Ratap tangis terdengar dimana-mana.
Kioneng Hitam sendiri kemudian masuk ke dalam sebuah kamar rahasia yang diketahuinya sering dipakai Wira Bumi untuk bersemadi dan bertemu serta bercinta dengan gurunya Nyai Tumbal Jiwa. Cukup lama kakek kepala botak Ini berada dalam kamar. Dia berusaha merenung dan berpikir mencari tahu siapa adanya orang yang telah membunuh Patih Wira Bumi.
"Setahuku Patih Wira Bumi baru saja mendapatkan ilmu dari seorang nenek sakti di pantai selatan. Dengan ilmu yang dimilikinya tidak mudah bagi musuh untuk menghabisinya." Kekek botak ini terus merenung. "Aku Ingat cerita Patih Wira Bumi tentang golok besar miliknya yang pernah hilang. Mungkin dengan menjajagi dimana keberadaan senjata itu aku bisa mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Aku harus menemui seseorang. Aku juga harus mengutus seseorang untuk melapor ke Istana"
Kioneng Hitam keluar dari kamar. Langkahnya tertahan ketika entah dari mana datangnya tahu-tahu di ambang pintu telah berdiri seorang nenek bermuka setan. Wajah, pakaian serta rambut berwarna merah menyala. Walau berkepandaian tinggi dan punya banyak pengalaman namun menghadapi nenek angker ini Kloneng Hitam bergetar juga nyalinya.
"Kakek botak! Kau telah berlaku lancang memasuki kamar rahasia Patih Kerajaan tanpa izin!" si nenek berkata. Suaranya perlahan tapi menimbulkan gaung aneh di dalam kamar.
"Kau siapa? Punya hak apa menegurku?! Balik menjawab Kloneng Hitam.
"Kau tidak layak bertanya. Tapi biar kujawab agar kau tahu diri! Aku Nyai Tumbal Jiwo Guru Patih Kerajaan Wira Bumi!"
Kloneng Hitam tertegun sesaat talu berkata. "Ah, aku tidak menyangka. Terima salam hormatku." Si kakek lalu membungkuk memberi penghormatan. Setelah berdiri lurus-lurus dia berkata. "Aku tidak bermaksud berlancang diri. Aku memasuki kamar dalam menjajagi kalau-kalau ada sesuatu yang bisa aku jadikan bahan untuk mencari tahu siapa pembunuh Patih Kerajaan."
"Kau tidak perlu melakukan hal itu. Semua tanggung jawab ada padaku! Aku yang akan mencari pembunuh Patih Wira Bumi!"
"Aku... aku sangat berterima kasih kalau kau mau melakukan, Nyai." Kata Kloneng Hitam pula walau dalam hati dia merasa tidak enak. Sebagai tokoh silat golongan hitam sedikit banyak dia tahu mahluk macam apa adanya Nyai Tumbal Jiwo.
"Kalau kau sudah mengerti pergilah! Jangan sekali lagi berani berlaku lancang. Apa lagi masuk ke dalam kamar ini!"
"Baik Nyai." Ucapanmu akan aku ingat baik-baik!" Jawab Kloneng Hitam. Lalu cepat-cepat tinggalkan. tempat itu.
Setelah Kloneng Hitam pergi, Nyai Tumbal Jiwo masuk ke dalam kamar, langsung merebahkan diri menelentang di atas ranjang. Mulutnya berucap perlahan.
"Pendekar Dua Satu Dua, kekasihku. Kalau kau ada di sini alangkah bahagianya diriku. Hanya kau seorang yang mampu menjadi pengganti Wira Bumi."
Sambil membayangkan wajah Wiro, Nyai Tumbal Jiwo tanggalkan pakaian merahnya. Bersamaan dengan itu wajah dan tubuhnya berubah menjadi wajah dan tubuh seorang gadis cantik. Nyi Wulas Pikan!
Telaga tiga warna di puncak Gunung Gede sebelah timur tampak begitu indah. Udara terasa nyaman pagi itu. Kicau burung terdengar bersahutan di pepohonan. Di kejauhan ada suara perempuan menyanyi.
Kemuning anakku. Pagi begini Indah. Udara segar melegakan kalbu. Adakah kau mendengar begitu merdu suara kicau burung dipepohon. Ataukah kau masih berduka karena ayahmu tak kunjung jumpa. Kemuning anakku. Jangan kau bersedih
Suara nyanyian tiba-tiba terputus. Penyebabnya adalah kemunculan seorang dara berambut hitam sepinggang, mengenakan pakaian putih berkilat. Berhenti di tepi telaga wajahnya yang Jelita tampak berkerut.
"Jelas tadi aku mendengar suara perempuan menyanyi di arah sini. Mengapa mendadak lenyap?"
Gadis di tepi telaga memandang berkeliling. Hatinya berkata. "Aku yakin perempuan yang menyanyi masih ada di sekitar sini. Aku tidak melihat dia tapi bisa saja dia tengah memperhatikan diriku. Ah sudah, aku tidak ada urusan dengan perempuan Itu. Bisa saja dia pengamen murahan yang kesasar. Tapi, bagaimana kalau yang menyanyi tadi gadis bermata biru Itu? Apa dia sudah datang lebih dulu? Sayang aku tidak mendengar Jelas apa syair nyanyiannya."
Gadis itu akhirnya duduk berjuntai di tepi telaga. Dia tidak perdull ujung celana putihnya masuk ke dalam air. Dan ternyata ujung kaki celana Itu memang tidak basah. Sambil menggoyang-goyang dua kaki perlahan-lahan gadis ini kerahkan tenaga dalam.Tak selang berapa lama air telaga tiga warna tampak mulai bergelombang. Gelombang-gelombang kecil ini bukan gelombang biasa karena menimbulkan getaran aneh yang terasa sampai di dasar telaga.
"Getaran sudah sampai ke dasar telaga, saatnya aku bicara." Membatin gadis yang duduk di tepi telaga. Sepasang mata bening memandang ke permukaan, kepala disentakkan hingga...
"Wuutt...!" Rambut hitam panjang melesat berputar membuat ranting pohon bergoyang dan dedaunan yang luruh jatuh. Lalu mulut berbibir marah bagus berucap. Dia mempergunakan Ilmu yang disebut Menyadap Suara Batin, Ilmu yang mampu menyampaikan suara ke tempat jauh melalui angin. Suara yang disampaikan sanggup menembus tembok, melewati air.
"Kiai Gede Tapa Pamungkas, saya datang dari jauh. Apakah kau sudi menemui diriku?"
Suara yang diucapkan gadis berpakaian putih itu membuat gelombang di permukaan air telaga yang tadinya kecil berubah membesar. Si gadis menunggu. Tidak ada balasan suara kecuali suara tiupan angin yang tiba-tiba mengencang. Tidak ada yang muncul, baik dari sekitar tepi telaga maupun dari dalam telaga.
"Kiai. saya tahu kau ada di dalam telaga. Kalau saja saya bisa masuk menembus batas air saya akan langsung mendatangi dirimu. Kalau kau tidak mau menerima diriku, mungkin kau sedang bersamadi atau tengah berzikir dan memanjatkan doa pada Tuhan. Kalau begitu saya yang tidak tahu diri. Datang menganggu ketenteraman dirimu. Saya mohon maafmu Kiai. Tapi karena saya ada kepentingan, saya akan menunggumu sampai kapanpun hingga kau mau menemui diri saya."
Habis berkata begitu gadis berpakaian putih itu melesat dan duduk ke cabang pohon di tepi telaga. Sambil duduk dia memandang berkeliling, memperhatikan keadaan kalau-kalau dia bisa melihat perempuan yang tadi menyanyi. Namun setelah memperhatikan sekian lama dia tetap tidak melihat seorangpun di sekitar situ.
Tiba-tiba gadis ini mendengar suara sesuatu meluncur dari dasar telaga. Matanya dialihkan, menatap tak berkesip ke permukaan air. Sesaat kemudian air telaga tampak muncrat sampai setlnggl dua tombak. Bersamaan dengan itu muncullah sosok seorang kakek berpakaian selempang kain putih, berambut putih, kumis dan janggut juga putih. Wajah klimis segar dan jernih.
Luar biasanya walau keluar dari dalam telaga, baik tubuh maupun pakaiannya sama sekail tidak tidak basah. Di pertengahan telaga sementara air telaga yang tadi muncrat kembali surut ke bawah, dengan tenang orang tua berpakaian selempang kain putih melangkah di permukaan air seolah dia berjalan di atas tanah.
"Kiai" Gadis yang duduk di cabang pohon berseru gembira lalu melayang turun dan menunggu kakek berpakaian putih di tepi telaga. Begitu orang tua ini sampai di hadapannya, si gadis langsung jatuhkan diri memberi penghormatan.
“Tetamu muda berpakaian putih," sapa si orang tua yang bukan lain adalah Kiai Gede Tapa Pamungkas, "berdirilah." Di dalam hati orang tua ini membatin. "Lain yang ditunggu lain yang datang. Apakah Nyi Retno mengetahui kemunculan gadis ini?"
Gadis berambut hitam panjang cepat berdiri. Setelah menatap sejurus Kiai Gede Tapa Pamungkas bertanya. "Apakah aku mengenal dirimu?"
Si gadis menggeleng. "lni kali pertama kita bertemu Kiai. Saya mohon maaf kalau telah mengganggu dirimu."
"Kau tidak menganggu siapapun di tempat ini. Tadi kau berkata datang dari jauh dan punya satu kepentingan." Sepasang mata Kiai Gede Tapa Pamungkas perhatikan ujung celana putih si gadis yang tidak basah meski tadi dia memasukkan dua kaki ke dalam air telaga.
"Sangat penting Kiai." Jawab si gadis. "Katakan siapa namamu. Lalu ceritakan apa kepentinganmu."
"Kiai," di negeri asal saya, saya dipanggil dengan nama Luhrembulan. Saya datang dari negeri jauh. Saya sebenarnya adalah..."
"Aku sudah tahu, tak perlu diceritakan," potong Kiai Gede Tapa Pamungkas. Ketika dia mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan hawa sakti pada kedua matanya, orang tua ini melihat ujud asli si gadis yang ternyata adalah seorang nenek kurus hitam. Wajah menyerupai burung gagak. Mulut dan hidung jadi satu seperti paruh burung. Sepasang mata kecil tanpa alis.
"Syukurlah kalau Kiai sudah tahu. Saya seorang bernasib malang. Terdampar dari alam seribu dua ratus silam ke tanah Jawa ini..."
Kiai Gede Tapa Pamungkas mengangguk. "Sekarang ceritakan saja maksud kedatanganmu."
"Saya mohon diberi keleluasaan untuk menunggu kedatangan seseorang di tempat ini." Jawab gadis mengaku bernama Luhrembulan.
"Siapa orangnya?" bertanya sang Kiai.
"Saya menyirap kabar orang itu akan datang kesini sebelum bulan purnama besok malam."
"Ya, katakan siapa orangnya," mengulang Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Dia seorang lelaki muda. Namanya Wiro Sableng. Di tanah Jawa dia dijuluki Pendekar Dua Satu Dua. Bukankah dia punya hubungan sangat dekat dengan Kiai? Bukankah benar kabar yang saya sirap bahwa dia akan datang sebelum bulan purnama besok malam?"
"Semua yang kau katakan benar adanya." Jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas. "Yang aku ingin tahu ada kepentingan apa kau mencari Wiro Sableng."
"Dia adalah suami saya." Jawab Luhrembulan yang berasal dari Latanahsilam, negeri seribu dua ratus tahun silam.
Ujung alis putih Kiai Gada Tapa Pamungkas langsung menjungkat ka atas. Sepasang mata memandang tak berkesip pada gadis cantik di hadapannya. "Kuharap aku tidak salah mendengar. Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng adalah suamimu?"
"Benar Kiai. Kami nikah beberapa waktu lalu."
"Nikah...?" Kiai Gede Tapa Pamungkas terdiam sejenak. "Aku memang banyak mendengar cerita macam-macam mengenai pemuda itu. Tapi kalau soal kawin baru kali ini..." Sang Kiai berucap lalu geleng-gelengkan kepala.
"Tidak heran kalau Kiai tidak pernah mendengar perihal perkawinan itu. Karena kami nikah di Latanahsilam. Negeri seribu dua ratus tahun silam..." Kata Luhrembulan pula.
Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap lekat-lekat ke wajah gadis dihadapannya. Seolah ingin menyelami apakah Luhrembulan berucap benar atau dusta belaka. Tiba-tiba dari arah selatan telaga terdengar suara perempuan menyanyi.
Kemuning anakku. Adakah kau mendengar perempuan yang katanya datang dari negeri jauh. Mengaku bersuamikan ayahmu Kemuning anakku. Apa kau merasa bahagia punya dua ibu. Satu kandung satu Ibu tiri. Kemuning anakku. Dunia memang aneh. Tapi tidak ada keanehan begini luar biasa. Selain pempuan yang mengaku telah nikah dengan ayahmu tercinta. Padahal ujudnyapun tidak karuan rupa.
Luhrembulan palingkan kapala ke arah selatan telaga sementara Ki Gede Tapa Pamungkas diam-diam perhatikan wajah Si gadis yang tampak berubah begitu mendengar suara nyanyian.
"Kiai, waktu saya datang ke sini saya juga mendengar perempuan bernyanyi. Suaranya sama dengan suara yang barusan terdengar. Dalam nyanyian perempuan itu selalu menyebut nama Kemuning. Apakah Kiai mengetahui siapa perempuan itu adanya?"
Sebelum menjawab Kiai Gede Tapa Pamungkas bicara sendiri dalam hati. "Gadis ini pandai menyembunyikan amarah ketika dirinya dihina sebagai mahluk yang ujudnya tak karuan. Dia bicara menanyakan hal lain."
"Dia muridku," akhirnya Kiai Gede Tapa Pamungkas menjelaskan pada Luhrembulan.
"Apakah saya boleh tahu siapa nama murid Kiai itu?"
"Namanya Nyi Retno Mantili."
Paras Luhrembulan untuk kesekian kalinya tampak berubah.
"Apakah kau mengenal muridku itu?" bertanya sang Kiai.
Luhrembulan menggeleng. "Saya tidak kenal, tapi saya tahu siapa dia dan bagaimana riwayatnya. Hanya saja saya tidak tahu kalau dia berada di sini bersama Kiai..."
"Dia datang beberapa waktu lalu bersama puterinya bernama Kemuning..."
"Boneka kayu itu?"
"Kau sudah tahu," kata Kiai Gede Tapa Pamungkas sambil tersenyum.
"Kiai..." Luhrembulan berkata tetapi kemudian diam.
"Kau hendak menanyakan sesuatu? Bicara saja terus terang."
"Betul Kiai, apakah benar Pendekar Dua Satu Dua telah kawin dengan Nyi Retno Mantili?"
"Jika kau sudah tahu keadaan perempuan malang itu, apakah aku masih harus menerangkan?" balik bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas yang tidak mau menceritakan keadaan sebenarnya dari Nyi Retno Mantili.
Luhrembulan terdiam. Dalam diam hatinya berucap. "Perempuan bernama Nyi Retno Itu mengatakan diriku mahluk tidak karuan ujud. Dirinya sendiri tidak waras. Mengaku pula bersuamikan Wiro. Dimana dia nikah? Siapa yang menikahkan? Punya anak diberi nama Kemuning tapi berupa boneka kayu."
"Luhrembulan, apakah kau masih ada pertanyaan?" bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Memang ada Kiai. Pertama apakah keberadaan Nyi Retno Mantili di tempat kediaman Kiai juga untuk menunggu kedatangan suami saya Wiro?"
Tiba-tiba melengking suara tawa panjang yang membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas kerahkan tenaga dalam untuk melindungi telinga sementara Luhrembulan tutup dua telinga dengan telapak tangan. Air telaga tiga warna tampak bergelombang.
Belum habis gema tawa tahu-tahu di samping Kiai Gede Tapa Pamungkas telah berdiri seorang perempuan cantik bertubuh kecil, mengenakan pakaian biru gelap. Dia membedong sebuah boneka kayu di atas dadanya.
"Luhrembulan, inilah Nyi Retno Mantili muridku," berkata Kiai Gede Tapa Pamungkas memperkenalkan Nyi Retno Mantili.
"Saya telah menduga," Jawab Luhrembulan sambil coba melayangkan senyum.
Nyi Retno Mantili usap kepala boneka lalu berkata. "Kemuning, lihat dia tersenyum padamu. Apakah kau tidak mau membalas senyumnya? Eh, mengapa kau cemberut Ah, kau tak suka padanya! Aku mengerti. Tapi ah, jangan menangis. Kemuning anak cantik, anak pintar dan cerdik. Kemuning tidak boleh menangis." Nyi Retno keluarkan boneka kayu dari bedongan kain lalu diayun ditimang-timang sambil tiada hentinya membujuk.
"Nyi Retno, tenangkan anakmu. Ajak dia bermain-main ke tempat lain." berkata Kiai Gede Tapa Pamungkas. Orang tua ini sudah maklum kalau dua perempuan itu berlama-lama saling berhadapan maka sesuatu yang tak diingini bisa saja terjadi.
Nyi Retno Mantili gelengkan kepala. "Kiai, saya tidak akan pergi sebelum perempuan lancang ini angkat kaki dari puncak Gunung Gede"
Dikatakan lancang, Luhrembulan jadi marah. "Aku tidak merasa berbuat lancang. Sebaliknya mulutmu yang lebih dulu jahil menghina diriku sebagai mahluk tidak karuan ujud! Apakah begitu sikap seorang murid dari Kiai besar rimba persilatan?"
Dengan ucapannya itu Luhrembulan sekaligus menempelak Nyi Retno Mantili dan menyindir Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Nyi Retno, pergilah bawa anakmu ke tempat lain..."
"Saya tidak akan pergi!" Jawab Nyi Retno Mantili tegas.
Kiai Gede Tapa Pamungkas berpaling pada Luhrembulan. "Kalau begitu sebaiknya kau saja yang meninggalkan tempat ini."
Luhrembulan tatap wajah jernih Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu sunggingkan senyum dan menjawab. "Kiai, saya seorang tamu yang datang dari jauh. Apakah begitu peradatan dirimu, tega-teganya menyuruh tamu pergi? Lagi pula saya datang ke sini adalah untuk mencari suami. Hanya satu kebetulan saja dia punya hubungan dekat denganmu. Kalau tidak menyirap kabar dia akan muncul di sini, perlu apa saya datang ke tempat ini! Seharusnya kiai membantu diriku mempertemukan dengan Wiro. itu yang oleh orang-orang semacam Kiai disebut silaturrahmi. Bukan malah mengusirku."
Wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas tampak berubah. Namun suaranya tetap tenang. "Luhrembulan, jangan kau salah sangka. Aku tidak mengusirmu. Jika kau ingin menunggu kedatangan Wiro, silahkan saja. Tapi cari tempat lain yang lebih baik. Jangan di sini..."
"Begitu?" ucap Luhrembulan yang di negeri Latanahsilam dikenal dengan Julukan Hantu Santet Laknat. "Baik, saya akan menghindar dari sini. Tapi bukan berarti saya akan pergi dari puncak Gunung Gede. Tidak ada satu manusiapun, baik yang punya otak maupun yang tidak waras yang boleh menghina diri saya dan menghalangi saya menemui suami saya sendiri" Habis berkata begitu Luhrembulan guratkan ujung ibu jari kaki kanannya ke tanah.
"Reeetttt!" Terjadilah satu hal yang hebat. Asap mengepul! Tanah seputar telaga terbelah selebar dua langkah. Dari dasar belahan keluar hawa dahsyat yang mampu menyedot benda apa saja yang berada di sekitarnya.
Nyi Retno Mantili terpekik. Tubuhnya hampir tersedot masuk ke dalam belahan tanah kalau tidak lekas ditarik oleh Kiai Gada Tapa Pamungkas.
"Luhrembulan!" teriak Kiai Gede Tapa Pamungkas. "Ternyata kau datang membekal niat tidak baik!" Sang Kiai rupanya mulai marah.
"Kiai" balas Luhrembulan berteriak tak kalah keras. "Kau berlaku tidak adil! itu bukan perilaku seorang Kiai!"
"Kemuning," tiba-tiba Nyi Retno Mantili keluarkan ucapan. "Ada orang kesasar berani menghina Eyang Sepuhmu! Mari kita bungkam mulutnya!" Nyi Retno Mantili angkat ke atas boneka kayu di tangan kanan. Diarahkan pada Luhrembulan. Lima jari tangan memencet pinggang boneka.
"Wusss! Wusss!!"
Dua larik cahaya putih menyilaukan melesat keluar dari sepasang mata boneka, menyambar ke arah Luhrembulan, gadis cantik dari Latanahsilam. Inilah ilmu kesaktian bernama Sepasang Cahaya Batu Kumala yang didapat Nyi Retno Mantili dari Kiai Gede Pamungkas. Selama Ini hampir tidak ada lawan yang bisa selamat. Jika kena leher akan putus laksana dipancung. Kalau mendarat dltubuh maka tubuh akan terbelah seperti ditabas golok raksasa!
Mendapat serangan maut begitu rupa Luhrembulan hanya sunggingkan senyum. Malah mulutnya umbar ucapan mengejek. "Perempuan tidak tahu diri! Aku mau lihat sampai dimana kehebatan Ilmu kesaktianmu!"
"Wuss! Wusss” Dua cahaya putih berkilau melesat di atas tanah yang terbelah.
"Blaaar! Blaar!" Dua cahaya putih memancar terang lalu tersedot masuk ke dalam belahan tanah! Asap mengepul menutup pemandangan.
Nyi Retno Mantili memekik marah. Luhrembulan tertawa mengejek. "Ilmu baik dipakai untuk kejahatan mana mempan! Ilmu kesaktian hebat diberikan pada perempuan berotak miringi Apa tidak akan menimbulkan malapetaka dalam rimba persilatan?! Hik hik hik!"
Ketika asap sirna, kelihatan Nyi Retno Mantili tersandar ke tubuh Kiai Gede Tapa Pamungkas. Wajahnya pucat. Tangan kanan tergontai lemas memegang boneka kayu sementara sang Kiai sendiri tampak berkomat kamit melafalkan sesuatu. Ucapan Luhrembulan benar-benar merupakan tamparan hebat bagi dirinya. Di seberang sana Luhrembulan sendiri tegak sambil berkacak pinggang. Masih belum puas gadis dari negeri 1200 tahun silam ini kembali menyemprot.
"Otak tidak waras! Mulut penuh menghina! Orang lain dianggap sampah! Rasakan sendiri akibatnya! Kiai! Sebaiknya kau jangan cuma memberi pelajaran Ilmu kesaktian pada perempuan sinting itu! Beri juga Ilmu budi bahasa agar tidak sombong dan bicara kurang ajari"
"Luhrembulan, ucapanmu sudah sangat keterlaluan" tegur Kiai Gede Tapa Pamungkas dengan menindih amarah. "Ilmu kesaktian apapun yang kau miliki tidak membuat aku merobah keputusan! Cepat tinggalkan tempat ini! Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng tidak pernah beristrikan perempuan sepertimu!"
Luhrembulan tertawa panjang. "Kiai! Kau akan mendengar dan melihat kenyataan! Jangan sembunyi dibalik ketakutan pada dirimu sendiri!"
"Apa maksudmu?!" bentak Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Namun Luhrembulan sudah lenyap dari tempat itu sementara tanah seputar telaga masih tetap menganga terbelah! Kiai Gede Tapa Pamungkas tarik nafas panjang dan dalam. Matanya memperhatikan tanah yang terbelah di hadapannya.
"Ilmu luar biasa. Kalau aku tidak salah, murid Sinto Gandeng juga memiliki Ilmu kesaktian membelah tanah seperti ini. Dari mana dia mendapatkan? Dari gadis bernama Luhrembulan itu? Berarti mungkinkah mereka memang sudah nikah? Tidak sembarang orang akan mau begitu saja memberikan ilmu kesaktian langka seperti ini." Sang Kiai terdiam sejurus lalu mengusap punggung Nyi Retno Mantili dan berkata. "Nyi Retno menjauhlah sampai ke tepi telaga. Aku harus melakukan sesuatu untuk memulihkan keadaan di tempat ini."
Baru saja Kiai Gede Tapa Pamungkas berucap tiba-tiba dua bayangan berkelebat. Salah seorang diantaranya berseru.
"Kiai! Biar saya yang melakukan hal itu!"
Di hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas sesaat kemudian telah berdiri Ratu Duyung dan Purnama. Walau gembira melihat kemunculan Ratu Duyung yang memang dipesan untuk datang, namun Kiai Gede Tapa Pamungkas agak merasa risih dengan ikut hadirnya Purnama di tempat itu. Dalam hati sang Kiai berkata.
"Yang ditunggu tidak datang. Yang datang orang lain. Untung dia sudah pergi. Yang dipesan memang datang tapi mengapa muncul bersama seseorang yang tidak aku kehendaki? Wiro sendiri, dimana dia? Apakah dia akan datang sebelum bulan purnama muncul esok malam?"
Ratu Duyung dan Purnama memberi salam lalu membungkuk hormat. Dua gadis yang datang ini kemudian sama-sama berpaling ke arah perempuan bertubuh kecil berparas cantik yang tengah mengelus-elus sebuah boneka kayu. Ratu Duyung dan Purnama saling pandang. Tanpa mengeluarkan ucapan keduanya sama-sama maklum kalau perampuan di samping sang Kiai adalah Nyi Retno Mantili yang selama ini menjadi berbagai bahan berita dan punya hubungan dekat dengan Pendekar 212.
Dalam hati Purnama dan Ratu Duyung mempunyai perasaan dan suara batin yang sama. Terakhir sekali bertemu, Wiro menunjukkan kesan segan-seganan datang menghadap Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede. Alasannya dia harus mencari Nyi Retno Mantili untuk menyelamatkan perempuan ini dari bahaya maut yang mengancam. Juga menolong bayinya yang hendak dibunuh orang. Ternyata Nyi Retno Mantili ada di sini. Dalam keadaan aman, ceria menggendong sebuah boneka kayu. Lalu apa sebenarnya alasan Wiro tidak mau datang menemui sang Kiai?
"Takut dijodohkan dengan diriku?" Membatin Ratu Duyung. "Jangan-jangan dia yang menyuruh Purnama untuk mengikuti diriku ke sini. Ingin mematai-mataiku. Aku memang sudah lama tahu kalau sahabatku satu ini sangat mencintai Wiro. Tapi pemuda itu apakah dia membalas cintanya? Sulit aku menduga sejauh mana mereka telah menjalin cinta. Sedalam apa mereka berbagi kasih. Kalau saja aku bisa menarik diri, menjauh darinya, mungkin itu bisa membuat dia hidup lebih tenang dan lebih bahagia. Aku maklum saat ini Wiro memiliki banyak ganjalan hati. Ada Bidadari Angin Timur. Ada Anggini. Lalu ada Bunga. Aku tak tahu siapa lagi. Jangan-jangan Nyi Retno Mantili juga bercinta dengannya. Apakah aku bisa pasrah dan menerima keadaan apa adanya?"
Melihat Ratu Duyung terdiam lama seperti ada yang direnung dipikirkan, Purnama berbisik.v"Sahabatku, ada apa? Apakah kau merasa kurang sehat. Atau ada sesuatu yang menyamaki pikiranmu?"
Ratu Duyung tersenyum. Belum sempat dia menjawab Kiai Gede Tapa Pamungkas sudah berkata.
"Ratu Duyung, aku gembira kau datang tepat sebelum waktu yang dijanjikan. Aku mengira kau datang bersama Wiro. Nyatanya dengan seorang kawan yang aku belum kenal."
Mendengar ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas Purnama cepat-cepat membungkuk. "Kiai, maafkan kalau saya tidak buru-buru memperkenalkan diri. Saya sudah lama bersahabat dengan Ratu Duyung. Nama saya Purnama. Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng yang memberikan nama itu pada saya."
Ratu Duyung palingkan kepala, pura-pura memandang ke arah telaga. Dalam hati dia berkata. "Apa perlunya gadis dari alam gaib ini menceritakan bahwa nama itu diberikan oleh Wiro? Untuk memberi tahu pada Kiai bahwa dia memiliki hubungan sangat dekat dengan Wiro? Aku melihat Kiai kurang berkenan dengan kehadirannya. Mungkin aku telah berlaku keliru. Sebaiknya aku menolak ketika dia mengatakan ingin ikut bersamaku."
"Dia berasal dari negeri aneh. Sama dengan perempuan yang tadi mengaku sebagai suami Wiro!" Tiba-tiba saja Nyi Retno Mantili membuka suara.
Suasana mendadak berubah senyap dan kaku. Purnama dan Ratu Duyung menatap ke arah Nyi Retno Mantili. Ratu Duyung bertanya.
"Kiai, apakah ada orang lain yang datang sebelum kami sampai ke sini?"
"Benar," jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas. "Seorang gadis yang katanya datang dari jauh. Dia mengaku bernama Luhrembulan..."
Purnama keluarkan suara tercekat, wajah langsung berubah. Dua mata menatap sang Kiai dengan pandangan seperti tidak percaya. Purnama pegang lengan Ratu Duyung, bicara setengah berbisik.
"Ratu, ingat peristiwa di Gedung Kadipaten Losari sewaktu kau menyelamatkan diriku dari serangan maut Raja Racun Bumi Langit?"
Ratu Duyung mengangguk. "Luhrembulan, gadis yang dikatakan Kiai itulah yang muncul di sana dan hampir mencelakai diriku. Dia bekerja sama dengan Raja Racun Bumi Langit..."
(Baca serial Wiro Sableng berjudul Sang Pembunuh)
"Aku ingat," Jawab Ratu Duyung. "Kali ini mungkin kita keduluan. Lihat tanah yang terbelah, ini pasti pekerjaan gadis itu."
"Pasti. Hanya dia dan Wiro yang memiliki ilmu itu..." kata Purnama sambil memperhatikan tanah terbelah yang mengelilingi telaga lalu berpaling pada Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kiai, waktu tadi saya melihat tanah terbelah ini, saya hanya berani menduga. Tapi setelah Kiai memberi tahu ternyata dugaan saya tidak keliru."
"Kiai, ada keperluan apa Luhrembulan datang ke sini?" bertanya Ratu Duyung.
"Tidak, tidak ada keperluan apa-apa. Gadis itu hanya tersesat. Kebetulan saja dia lewat di sini." Jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Baik Ratu Duyung maupun Purnama merasa sang Kiai telah bicara tidak sejujurnya. Apa alasan Kiai Gede Tapa Pamungkas berbuat seperti itu?
"Kiai! Kenapa Kiai memberikan jawaban dusta?" Tiba-tiba Nyi Retno Mantili keluarkan ucapan yang membuat semua orang jadi tercengang.
Purnama dan Ratu Duyung berpaling menatap Nyi Retno Mantili lalu memandang ke arah Kiai Gede Tapa Pamungkas. Wajah orang tua itu Jelas tampak berubah. Perlahan-lahan dia coba tarsenyum.
"Ini hanya urusan kecil. Yang tidak perlu dibesar-besarkan..." Kata sang Kiai pula.
"Kiai, kalau sekali lagi Kiai bicara dusta, saya dan Kemuning akan tinggalkan tempat ini!" Lagi-lagi ucapan, kali ini berupa ancaman dari Nyi Retno Mantili membuat suasana di tempat itu menjadi tambah tidak enak.
Kiai Gede Tapa Pamungkas usap janggut putihnya berulang kali. Sambil mengembang senyum di bibir, orang tua ini berkata. "Nyi Retno, tetap di tempatmu. Jangan pergi kemana-mana. Aku tidak bermaksud bicara dusta. Aku tidak mau bicara sebelum apa yang aku katakan jelas adanya. Bagaimana aku bisa percaya ucapan Luhrembulan, seseorang yang aku tidak tahu asal usul dirinya dan baru sekali aku temui!"
Sang Kiai lalu berpaling pada Purnama. "Kau dan gadis bernama Luhrembulan itu berasal dari alam yang sama. Apa kau tahu asal usul dirinya? Dia mengaku datang ke sini untuk mencari dan menunggu Wiro yang dikatakannya sebagai suaminya. Dia mengatakan telah menikah dengan Wiro di negeri Latanah silam."
Purnama tidak segera rnenjawab. Dia memandang pada Ratu Duyung seolah minta pertimbangan. Ratu Duyung berkata. "Ceritakan saja..." Sebelumnya Ratu Duyung memang telah pernah mendengar dari Purnama riwayat perkawinan Wiro dengan Luhrembulan.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul insan Tanpa Wajah)
"Baiklah Kiai, akan saya ceritakan apa yang saya ketahui!" kata Purnama pula. "Di negeri Latanahsilam Luhrembulan dikenal dengan nama Hantu Santet Laknat. Penampilannya berupa seorang nenek berkulit hitam, muka seperti burung gagak. Hidung dan mulut jadi satu seperti paruh burung. Sebenarnya dia adalah seorang gadis berparas cantik. Keadaannya seperti itu disebabkan jatuhnya kutuk atas nenek moyangnya yang merupakan kutuk turunan. Saya tidak tahu kutuk apa. Hanya itu asal usul Luhrembulan yang saya ketahui."
"Perempuan itu mengaku-aku Wiro sebagai suaminya. Kau pasti tahu apa yang terjadi. Kalau tidak dia tidak akan mengejar Wiro sampai ke tanah Jawa ini dan malah berani datang ke tempat Kiai di sini. Enak saja dia mengaku ayah anakku sebagai suaminya!" Yang bicara adalah Nyi Retno Mantili.
"Saya tahu, tapi urusan perkawinannya dengan Wiro bukan urusan saya. Jadi saya rasa..." Menyahuti Purnama yang langsung dipotong oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kalau hanya sekedar menceritakan aku rasa tidak ada salahnya. Agar persoalan bisa dijernihkan. Kami perlu tahu apakah benar Wiro menikah dengan Luhrembulan di negeri Latanahsilam?"
Setelah diam sejenak akhirnya Purnama bercerita juga. "Ketika Wiro tersesat di Latanahsilam dia bertemu dengan Hantu Santet Laknat. Nenek ini jatuh cinta pada Wiro dan merubah diri menjadi seorang gadis cantik jelita. Ada kabar yang mengatakan jika dia menikahi Wiro, seorang lelaki dari alam lain maka kutuk atas dirinya akan lenyap..."
"Jadi pernikahan itu memang benar-benar terjadi?" tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas sementara Nyi Retno Mantili kelihatan mulai sesenggukan sambil menciumi boneka kayu.
"Benar Kiai," Jawab Purnama.
Nyi Retno Mantili terpekik. Ratu Duyung menatap sambil hatinya berkata. "Setahuku pikirannya tidak waras. Tapi mengapa otaknya jadi sangat jernih jika bicara soal pernikahan Wiro?"
"Purnama, teruskan ceritamu," kata Kiai GedeTapa Pamungkas.
"Pernikahan itu memang terjadi Kiai, tapi tidak syah. Saat itu Wiro diberi minuman yang membuat dia lupa pikiran. Dia dibawa ke sebuah bukit bernama Bukit Batu Kawin. Di sana telah menunggu seorang juru kawin bernama Lamahila. Wiro dinikahkan dengan Luhrembulan dalam keadaan tidak sadar. Saat itu muncul badai di puncak bukit. Acara perkawinan kacau. Semua orang yang ada di situ mental berpencaran..."
"Kalau begitu perkawinan atau pernikahan Wiro dengan gadis bernama Luhrembulan itu bisa dikatakan tidak pernah ada karena tidak syah!" kata Kiai GedeTapa Pamungkas pula.
"Kalau tidak pernah ada, kalau tidak syah kenapa Luhrembulan sampai mencari ayah Kemuning sampai ke sini?! Jangan-jangan perempuan itu sudah bunting!"
Nyi Retno Mantili berucap dengan suara lantang lalu menggerung keras. Ketika dia hendak berkekelebat meninggalkan tempat itu, begitu sampai di depan tanah yang terbelah sosoknya nyaris tersedot. Untung Kiai Gede Tapa Pamungkas cepat menarik lengannya dan di seberang sana Ratu Duyung dorongkan dua tangan untuk menahan gerakan Nyi Retno.
"Kiai, lepaskan!" teriak Nyi Retno. "Saya dan Kemuning tidak takut mati disedot tanah celaka ini!"
"Tenang Nyi Retno, jangan turutkan hati yang panas. Tadi Purnama sudah menjelaskan bahwa pernikahan Wiro dengan Luhrembulan di Latanahsilam tidak syah."
"Saya tidak percaya pada perempuan satu ini! Saya tahu dia juga mencintai Wiro. Itu sebabnya dia ikutan datang ke sini. Padahal yang diminta datang hanya gadis bermata biru ini!"
Purnama walau diam saja mendengar ucapan Nyi Retno Mantili namun wajahnya tampak berubah dan dia melihat Ratu Duyung melirik ke arahnya. Dalam hati dia membatin.
"Perempuan tidak waras itu cemburu padaku. Lirikan sahabatku Ratu Duyung Juga menunjukkan rasa cemburu. Apakah aku masih harus berlama-lama di tempat ini?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas peluk Nyi Retno Mantili, membelai rambut perempuan ini dan berusaha membujuk. Dia berbisik. "Mudah-mudahan Wiro datang sebelum esok malam. Dari dia kita bisa mendengar langsung mengenai pernikahan itu hingga kau tidak lagi ada ganjalan."
"Ganjalan akan tetap ada. Bukankah Kiai memanggil gadis bermata biru itu karena hendak membicarakan soal perjodohannya dengan Wiro?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas coba tersenyum. "Nyi Retno, soal Jodoh seseorang ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa..."
"Saya tahu hal itu Kiai. Tapi manusia bisa saja jadi Mak Comblangnya, termasuk Kiai!"
Merah padam wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas. Terus menerus ditempelak dengan kata-kata bagaimanapun juga membuat hati si orang tua menjadi tidak enak.
Purnama memperhatikan tanah yang terbelah melingkari telaga. Untuk menghindari ketegangan yang saat itu terjadi dia berkata mengalihkan pembicaraan. "Kiai, kalau Kiai mengizinkan saya bisa merapatkan kembali tanah yang terbelah ini. Hingga keadaannya seperti semula."
Kiai GedeTapa Pamungkas tatap paras Purnama sejurus lalu anggukkan kepala. "Lakukanlah, kau dan Luhrembulan datang dari alam yang sama. Pasti kau tahu cara penangkal mengembalikan keadaan. Bumi Tuhan begini indah. Mengapa dirusak oleh tangan manusia secara semena-mena?"
Purnama membungkuk meraup segenggam tanah. Tenaga dalam dan hawa sakti dialirkan ke tangan kanan yang menggenggam sementara bibir bergetar tanda dia tengah melafalkan sesuatu di dalam hati. Untuk beberapa lama sekujur tubuhnya diselubungi cahaya dan percikan-percikan menyerupai bunga api berwarna biru.
Setelah cahaya dan percikan biru lenyap dan kini hanya terlihat pada tangan kanan yang menggenggam tanah Purnama berjalan mendekati belahan tanah terdekat. Satu langkah dari tanah yang terbelah, ketika tubuhnya mulai terasa tersedot Purnama lemparkan tanah yang digenggamnya ke dalam belahan tanah.
Tanah merah yang dilempar untuk beberapa lamanya mengambang berputar-putar diselubungi cahaya biru lalu wusss! Tanah tersedot masuk ke dalam belahan. Saat itu juga di perut bumi terdengar suara seperti lahar mendidih. Di langit muncul kilatan-kilatan aneh. Air telaga bergejolak dan bermuncratan di tujuh tempat. Di kejauhan terdengar suara perempuan mengeluarkan kutuk serapah.
"Rrrttttt!" Asap mengepul bercampur tanah dan debu. Tanah yang terbelah melingkari telaga merapat kembali disertai suara letupan-letupan keras. Setelah itu tanah dan debu luruh ke bawah. Air telaga mengalun tenang. Keadaan di tempat itu diselimuti kesunyian.
"Purnama!" Ratu Duyung memekik menyebut nama Purnama ketika dilihatnya gadis dari alam gaib ini terhuyung-huyung sementara darah mengucur di sudut bibirnya. Apa yang terjadi?
Kiai Gede Tapa Pamungkas cepat merangkul tubuh Purnama lalu menotok ubun-ubun gadis alam gaib ini. "Ketika dia menutup tanah yang terbelah, ada yang membarengi dengan serangan membokong." Berucap Kiai GedeTapa Pamungkas.
"Yang berbuat jahat dugaan saya gadis bernama Luhrembulan itu," kata Ratu Duyung lalu memeluk Purnama, membaringkannya di tepi telaga. Ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas dan Ratu Duyung sibuk menolong Purnama, kesempatan. ini dipergunakan Nyi Retno Mantili untuk berkelebat meninggalkan tempat itu.
Menjelang tengah hari mendung tebal menutupi kawasan kaki Gunung Gede. Didahului suara gelegar guntur serta kilat yang sabung menyabung tak selang berapa lama hujan turun dengan lebatnya. Keadaan tidak beda seperti menjelang malam. Dimana-mana kegelapan menyungkup dan hawa dingin menebar.
Di bawah hujan lebat seseorang berlari cepat laksana bayang-bayang menembus hujan lebat diarah timur kaki gunung. Orang ini kemudian melesat masuk ke dalam sebuah pondok bambu yang ditemuinya di tepi sungai kecil. Walaupun tidak berdinding namun karena dikelilingi pepohonan dan cuaca buruk pula, keadaan di dalam pondok agak gelap.
Orang yang barusan masuk ka dalam pondok ternyata adalah seorang gadis mengenakan pakaian ringkas hijau, berwajah cantik, rambut digulung di atas kepala. Setelah mengibas-ngibaskan pakaiannya yang basah, gadis Ini buka gulungan rambut. Kepala digoyang berulang kali. Air hujan yang membasahi rambut menyiprat kemana-mana. Tiba-tiba ada suara memaki.
"Perempuan setan! Enak saja kau menyipratkan air hujan. Apa matamu buta tidak melihat orang lain di dalam gubuk?!"
Gadis berbaju hijau tersentak kaget. Dia hentikan menggoyang kepala. Dia tahu orang yang barusan memaki berada di belakangnya. Tapi dia tidak segera berpaling malah lebih dulu tertawa cekikikan.
"Hik hik! Untung kau cuma terkena cipratan air. Tidak terkena tendanganku! Keadaan gelap, maklum saja kalau aku tidak melihat!"
Lalu perlahan-lahan sambil mengusap kebawah rambutnya yang basah panjang hitam gadis berbaju biru balikkan badan. Di salah satu sudut pondok dia melihat duduk mendekam di atas tumpukan jerami kering seorang gadis berpakaian serba putih.
"Manusia tidak tahu peradatan! Bukannya minta maaf malah tertawa cekikikan macam orang sinting!" Gadis yang duduk di atas jerami kembali memaki.
"Hik hik hik! Kalau cuma minta maaf apa susahnya? Tapi apa parlu? Hik hik! Namaku Nyi Wulas Pikan! Kau siapa?"
"Persetan siapa namamu! Persetan mau tahu namaku! Kau tidak layak berteduh di tempat ini bersamaku! Lekas menyingkir dan sini!" Damprat gadis berpakaian putih.
"Hik hik! Sombong sekali! Apa salahnya kebetulan bertemu kita bisa jadi bersahabat" Kata Nyi Wulas Pikan yang bukan lain jejadian dari Nyai Tumbal Jiwo mahluk alam roh yang memaksa Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi kekasihnya menggantikan Wira Bumi yang telah tewas.
"Siapa sudi bersahabat dengan perempuan jelek den tidak tahu adat seperamu...?" Caci gadis berpakaian serba putih.
"Kalau tidak mau bersahabat ya sudah! Gubuk ini masih cukup luas untuk kita berdua. Kalau kau tak suka aku ada di sini. pergi saja berteduh di bawah pohon dekat comberan sana!"
"Jangan membuatku marah! Kau punya Ilmu kepandaian apa berani menghina diriku?" Gadis berpakaian putih yang tadi duduk, di atas jerami yang bukan lain adalah Luhrembulan bangkit berdiri. Kaki dikembang dua tangan dikepal.
Nyi Wulas Pikan tertawa gelak-gelak. Matanya memperhatikan gadis di hadapannya mulai dari rambut sampai ke kaki. "Masih bau kencur sudah berani menantang diriku! Masih muda mau mencari mati! Apa tidak kasihan kalau nanti kekasihmu nangis gerung-gerungan!"
"Sombong sekali!" kata Luhrembulan sambil berkacak pinggang. "Di puncak Gunung Gede sana ada seorang kakek bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas! Konon kesaktiannya sulit dicari tandingan! Tapi menghadapi diriku dia tidak berdaya! Dan kau cacing tanah yang baru bisa ngulet mau menantangku!Tolol sekali!"
Dikatakan cacing tanah Nyi Wulas Pikan tidak marah malah tertawa cekikikan. "Kalau kau memang mau cari urusan menantang diriku, biar kita selesaikan nanti. Sekarang aku tanya. kau kenal dengan kakek sakti di puncak Gunung Gede? Apa hubunganmu dengan kakek itu! Apa keperluanmu berada di kawasan ini?"
"Sampai lidahmu terjulur, mulutmu kering dan matamu mencolot bertanya aku tidak akan menjawab!" Kata Luhrembulan dengan wajah beringas.
"Begitu? Hik hik hik! Boleh juga kau!Tapi baik, aku tanya satu lagi. Setelah itu kita boleh bertarung sampai mati! Kakek di puncak gunung itu tengah menunggu kedatangan seorang pemuda bemama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Dua Satu Dua. Apa kau berada di kawasan ini ada sangkut pautnya dengan pendekar gagah berambut gondrong itu?"
Sepasang mata Luhrembulan membesar. "Orang ini tengah menyelidik diriku. Aku harus berlaku hati-hati." Maka gadis dari Latanahsilam ini balik bertanya. "Kau juga berada di kawasan ini. Kau menyebut-nyebut Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng! Apa hubunganmu dengan pendekar itu?"
"Dia kekasihku." Jawab Nyi Wulas Pikan terus terang penuh perasaan bangga. "Kau puas dengan jawabanku?"
Luhrembulan pencongkan mulut lalu tertawa. "Cuma seorang kekasih. Baru kekasih! Hik hik! Aku malah adalah istrinya!"
Sepasang mata Nyi Wulas Pikan mendelik. "Jangan berani mengada-ada" bentak mahluk alam roh ini. "Wiro belum pernah nikah, belum pernah kawin. Baik kawin dengan surat maupun dengan urat! Hik hik! Dia masih perjaka!"
"Setan perempuan! Tahu-tahuan kau suamiku masih perjaka! Apa kau pernah berselingkuh dengan dia?!" bentak Luhrembulan penuh cemburu.
"Kami memang sudah punya rencana untuk saling berbagi kebahagiaan! Makan sepiring tidur seranjang! Hik hik hik!" Nyi Wulas Pikan lalu mencibir mencemooh Luhrembulan, membuat gadis dari Latanahsilam ini terbakar oleh amarah.
"Setan perempuan saatnya kau harus kubunuh dari pada nanti kau bergendak dengan suamiku!" Luhrembulan begitu bicara langsung menyerang dengan melancarkan dua pukulan keras. Namun ini hanyalah jurus tipuan belaka. Karena begitu Nyi Wulas Pikan gerakkan tangan menangkis, dari sepasang mata Luhrembulan menyembur dua larik sinar hitam pekat. Larikan pertama menyambar ke arah dada, larikan kedua melesat ke arah kepala! Inilah Ilmu kesaktian dari Latanahsiiam yang disebut Dua Hantu Menembus Raga Menyedot Jiwa!"
"Wuutt! Wuuttt”
Nyi Wulas Pikan menjerit keras. Sambil melompat mundur dua tangan dikibas ke atas dan kebawah seperti kipas terbuka. Dua larik sinar merah menderu disertai suara bergemuruh seperti batu raksasa menggelinding. Pukulan Angin Roh Pengantar Kematian!
"Buumm! Buummm!"
Dua dentuman dahsyat menggelegar di bawah hujan lebat begitu dua larik sinar hitam sakti yang keluar dari mata Luhrembulan bentrokan dengan dua cahaya merah pukulan Nyi Wulas Pikan Sinar hitam dan merah sama-sama buyar berantakan dengan mengeluarkan bunga api yang mencuat ke udara setinggi lima tombak. Untuk sesaat Seantero tempat menjadi terang benderang. Pondok bambu hancur berantakan.
Luhrembulan terbanting ke tanah, terguling sampai sepuluh langkah. Pakaian putihnya selain kotor oleh becekan tanah. Juga tampak berubah kemerah-merahan. Sementara itu Nyi Wulas Pikan terkapar di tanah basah, tersandar ke batang pohon besar sejarak tiga tombak dari pondok bambu yang hancur. Wajahnya kelihatan pucat Di balik penampilan sebagai gadis cantik sesekali muncul bayangan wajah aslinya. Wajah seorang nenek keriput berkulit merah, mata merah, ails merah. Lidah merah setengah terjulur. Mahluk alam roh ini cepat melafal mantera hingga wajahnya dengan cepat kembali menjadi wajah gadis cantik, tidak berubah-rubah.
Selagi dua gadis cantik Itu terkapar tak berdaya di tempat masing-masing tiba-tiba dlbawah hujan lebat berkelebat seorang perempuan berpakaian biru. Sambil lari mulutnya keluarkan ucapan.
"Kemuning, lihat ada dua gadis cantik terkapar tak berdaya. Yang satu aku tidak kenal. Tapi yang satunya aku lebih dari kenal. Dia yang datang ke tempat Kiai tadi pagi. Dia gadis bernama Luhrembulan, mengaku sebagai istri ayahmu! Hik hik! Gadis gila! Apa yang terjadi dengan dirinya!" Yang muncul sudah dapat diterka. Bukan lain Nyi Retno Mantili bersama boneka kayunya.
Melihat kedatangan Nyi Retno Mantili, kejut Nyi Wulas Pikan bukan kepalang. Gadis jejadian dari alam roh yang aslinya adalah Nyai Tumbal Jiwo Ini kerahkan tenaga dalam, alirkan hawa sakti lalu berusaha berdiri dengan cepat.
"Dicari tidak bertemu. Sekarang muncul sendiri. Dia tidak mengenali diriku. Apa aku masih harus membunuh perempuan satu ini!?!" Pikir Nyi Wulas Pikan. "Aku tidak yakin dia sudah kawin dengan Wiro sebagaimana aku tidak yakin perempuan pakaian putih itu bilang Wiro adalah suaminya! Sebaiknya memang aku habisi saja dia sekarang Juga!"
Saat itu Luhrembulan juga sudah berdiri. Sakit hatinya terhadap Nyi Retno masih belum pupus. Kini perempuan berotak tidak waras Itu muncul di hadapannya. "Nyi Retno, apa anakmu boneka kayu butut itu sudah bertemu ayahnya?!" tegur Luhrembulan mengejek.
"Kemuning! Ada perempuan sinting berani menghina dlrimu! Coba kau beri pelajaran ilmu kematian padanya!" Habis berkata begitu Nyi Retno Mantili angkat boneka kayu, arahkan pada Luhrembulan.
Melihat kedua orang itu siap bertarung. Nyi Wulas Pikan berubah pikiran. Dari niat hendak membunuh Nyi Retno Mantili dia memutuskan lebih baik tinggalkan tempat itu, naik ke puncak Gunung Gede untuk mencari Pendekar 212 yang diketahuinya berencana datang menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Biar keduanya berkelahi! Biar keduanya mampus di tempat ini!" Pikir Nyai Tumbal Jiwo alias Nyi Wulas Pikan. Lalu tidak menunggu lebih lama dia berkelebat lenyap dlbawah lebatnya curahan hujan.
Dihina sebagai perempuan sinting, dilecehkan hendak diberi pelajaran ilmu kematian, Luhrembulan mendidih amarahnya. "Perempuan sedeng yang punya anak boneka butut dari kayu! Sebelum kau memberi pelajaran padaku, mari aku ajarkan padamu bagaimana caranya bersopan santun! Betina gila, kau perlu dirajam seumur hidup antara langit dan bumi!" Luhrembulan tutup ucapannya dengan menjentikkan sepuluh jari tangan jari tangan kanan!
"Wuttt! Wuuuuttt!"
Puluhan larik api biru melesat ke udara bersilang-silang, membentuk jaring luar biasa mengerikan. Jaring ini dengan kecepatan kilat kemudian menyambar ke arah Nyi Retno Mantili. Nyi Retno Mantiil sendiri sambil tertawa cekikikan pencet pinggang boneka kayu yang telah diangkat dan diarahkan pada Luhrembulan.
Sesaat lagi Ilmu kesaktian dua perempuan cantik itu siap saling membantai diri masing-rnasing tiba-tiba tiga orang berkelebat. Dua perempuan, satu lelaki. Yang lelaki berteriak keras. Suaranya menggegelar menindih deru suara hujan.
"Luhrembulan! Nyi Retno Mantiii! Tahan serangan! Kalian tidak bermusuhan! Mengapa hendak saling membunuh!"
Gelegar suara teriakan orang yang memberi ingat sama sekali tidak diperdulikan baik oleh Luhrembulan maupun oleh Nyi Retno Mantili!
"Celaka!" Lelaki yang tadi berteriak kini berseru kawatir. "Nenek berdua, cepat halangi Nyi Retno. Aku akan menghadang gadis yang satunya! Hati-hati! Jangan sampai ada yang terluka"
Satu gelombang angin sedahsyat topan prahara melabrak ke arah Luhrembulen, membuat gadis ini hampir terjengkang tapi masih mampu meneruskan melancarkan serangan yang disebut Api Iblis Penjaring Roh. Sekali Nyi Retno sampai terjerat, kalaupun dia bisa lolos dari dalam jaring api, maka tubuhnya akan terkutung-kutung!
Melihat Luhrembulan nekad meneruskan serangan, lelaki yang barusan melepas pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi secepat kilat menubruk gadis dari Latanahsilam itu. Selagi keduanya bergulingan Luhrembulan hendak menusuk dada lelaki itu dengan dua jari yang diluruskan. Serangan yang dilancarkan mengarah dada kiri, bernama Lintah Penyedot Jantung.
Jika mengenai sasaran, korban akan menemui ajal dalam kejapan mata karena jantungnya akan pecah dan berhenti berdetak! Tetapi begitu Luhrembulan melihat wajah orang yang memeluknya, langsung dia berteriak dan balas merangkul kuat-kuat.
"Wiro!"
Ternyata orang yang menubruk Luhrembulan dan berusaha mencegah gadis dari Latanahsilam ini menyerang Nyi Retno Mantili adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di lain bagian, tepat ketika Nyi Retno Mantili menekan pinggang boneka kayu dan dua larik cahaya putih mematikan menyembur ke arah Luhrembulan tiba-tiba dua orang nenek menyerbu. Nenek pertama memukul bagian bawah lengan kanan Nyi Retno hingga lengan Itu terpental ke atas. Nenek kedua dengan cepat merangkul pinggang Nyi Retno, lalu tubuh kecil perempuan cantik ini ditariknya ke bawah. Nyi Retno dan dua nenek Jatuh bergedebukan di tanah!
"Tua bangka kurang ajari. Siapa kalian!"
"Nyi Retno tenang..." nenek yang memukul lengan berkata. Nenek Ini berambut kelabu, mengenakan jubah kuning. Sepasang mata merah dan di telinganya mengenakan anting dari tulang manusia. Dia bukan lain adalah kembaran ketiga mahluk Jejadian Eyang Sepuh Kembar Tilu.
Nenek kedua yaitu Nyi Roro Manggut menyambung!. "Kita sesama sahabat. Kau tak perlu kawatir!" Nenek ini bertubuh cebol berjubah hijau. Rambut putih awut-awutan sampai ke lutut. Sepasang mata juling dan hidung pesek sama rata dengan pipi.
Bagaimana Wiro dan dua nenek itu bisa sampai di kaki Gunung Gede? Seperti dituturkan dalam episode sebelumnya (Bayi Satu Suro) Nyi Roro Manggut dan kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu meninggalkan Wiro sendirian di puiau Watu Gilang untuk menyaksikan keramaian perayaan malam Satu Suro di pantai Parangtritis dan Parangkusumo.
Setelah dua nenek pergi Wiro sempat bertemu dengan gadis cantik jejadian Nyai Tumbal Jiwo yang berniat menggodanya. Ketika hendak dihantam dengan pukulan Sinar Matahari mahluk jejadian itu melenyapkan diri. Wiro memandang ka langit, memperhatikan rembulan yang hampir bulat tersembul dibalik awan. Murid Sinto Gandeng itu ingat kalau besok malam bulan purnama penuh atau purnama empat belas hari dia sudah harus menghadap Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede.
Wiro menggaruk kepala. Bingung sendiri. Kalau dia pergi menemui sang Kiai dan benar orang tua itu hendak membicarakan perjodohannya dengan Ratu Duyung, maka dia akan menemui suasana yang membuat dirinya jadi tidak enak. Sebaliknya kalau dia tidak menemui Kiai itu, apa lagi sudah dipesan sampai dua kali oleh Eyang Sinto Gendeng maka kelak keadaannya nanti lebih tidak enak lagi.
"Nyi Roro Manggut masih membawa Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru. Batu sakti itu bisa kupergunakan untuk pergi ke Gunung Gede secepat kilat. Aku harus mencari dua nenek itu. Mudah-mudahan mereka mau ikut bersamaku..."
Wiro menyeberang dari pulau Watu Gilang ke pantai Parangtritis. Setelah berputar-putar dan berkeliling cukup, lama akhirnya menjelang pagi dia menemui Nyi Roro Manggut dan kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu di pantai Parangkusumo tengah nongkrong di depan panggung para pemain gamelan. Nyi Roro Manggut tidak keberatan memenuhi permintaan Wiro dan nenek satunya juga mau ikutan.
Dengan mengandalkan kesaktian Batu Mustika Angin Laut kencana Biru pinjaman dari Nyi Roro Kidul maka Wiro dan dua nenek berangkat ke Gunung Gede. Menjelang tengah hari ketika berada di kaki Gunung Gede Nyi Roro Manggut memberi tahu kalau dia barusan menerapkan Ilmu Menjajag Nafas Mendengar Detak Jantung.
"Ada dua orang di kaki gunung sebelah timur. Dua-duanya perempuan. Yang satu mahluk dari alam gaib." Berkata Nyi Roro Manggut.
"Bisa Jadi Purnama," ucap Wiro tapi hanya dalam hati.
"Aku punya firasat sesuatu akan terjadi di bawah sana." Kata kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu.
"Kalau begitu tidak ada salahnya kita menyelidik ke kaki gunung sebelah timur," ujar Wiro pula.
Ketika Wiro dan dua nenek sampai di tepi sungai kecil, di bawah hujan yang masih mengguyur lebat dia melihat dua perempuan muda dan cantik tengah berhadap-hadapan siap untuk bertarung dekat sebuah gubuk yang hancur berentakan. Kagetnya Wiro bukan alang kepalang begitu dia mengenali bahwa perempuan cantik berpakaian putih yang menghadap ke arahnya adalah Luhrembulan, gadis dari negeri 1200 tahun silam. Sementara yang jadi lawan dan membelakanginya adalah perampuan muda bertubuh kecil memegang boneka kayu. Nyi Retno Mantili!
Pada saat dua perempuan ini saling menyerang dengan mengerahkan Ilmu kesaktian, pada saat itu pula Wiro berteriak. Karena teriakannya tidak diperdulikan orang maka dia langsung menyergap Luhrembulan sementara dua nenek menghalangi Nyi Retno Mantili.
"Dua nenek Jelek! Siapa kalian! Mengapa menghalangiku! Aku tidak mengenal kalian!" Menghardik Nyi Retno Mantili. Dia coba menendang dan memukul, tapi aneh kaki dan tangannya terasa berat. "Kurang ajar! Apa yang kalian lakukan padaku?!" teriak Nyi Retno Mantili pada dua nenek yang hanya mesem-mesem saja.
Sementara itu di depan sana walau dua cahaya putih yang keluar dari sepasang mata boneka kayu tidak sampai menghantam tubuh Luhrembulan, tapi sewaktu Wiro bergulingan dan berada di atas tubuh si gadis, salah satu dari dua cahaya putih yang melesat keluar dari mata boneka kayu menyambar di atas pantat celananya. Meski Jarak antara celana dan sinar cukup Jauh yaitu sekitar satu Jengkal namun breett! Saking hebatnya kekuatan cahaya putih tersebut pantat celana Wiro robek besar hingga auratnya sebelah bawah tersingkap lebar. Selain merasa kepanasan, Wiro jadi tersentak kaget karena ketika meraba bagian bawah tubuhnya itu dia dapatkan pantatnya tidak tertutup lagi.
"Sialan!" Wiro memaki dan kelagapan sendiri. Dia cepat berdiri namun tak bisa karena tubuhnya masih dipagut kuat-kuat oleh Luhrembulan, malah sambil memeluk gadis itu juga menciuminya dan berulang kali menyebut namanya penuh mesra.
Menyaksikan apa yang dilakukan Luhrembulan terhadap Wiro, dua mata Nyi Retno Mantili terbeliak besar seperti hendak melompat keluar dari rongganya. Sekujur tubuh bergetar. Keadaannya yang tadi tidak bisa bergerak, kini mendadak seperti dapat kekuatan berlipat ganda. Sekali menendang dua nenek yang masih memeganginya terpental.
"Kemuning... lihat! Perempuan gila itu memeluk dan menciumi ayahmu!" Nyi Retno berucap setengah berteriak. Tangan kiri menunjuk-nunjuk, tangan kanan memegang boneka. Perempuan ini kemudian keluarkan suara menggerung panjang. "Akan kuhajar dia! Dia musti mati! Tapi..." Nyi Retno terdiam sejenak. "Bagaimana kalau... jangan-jangan ayahmu memang suaminya. Kemuning, kita... sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Hatiku kecewa, benar-benar sedih. Apakah kau begitu juga anakku?" Sambil menangis keras, tanpa dapat dicegah oleh dua nenek Nyi Retno Mantili menghambur lari.
"Wiro! Nyi Retno kabur!" teriak Nyi Roro Manggut. Wiro terkejut. Dia berusaha melepaskan diri dari pelukan Luhrembulan. Tapi rangkulan gadis ini semakin kencang. Dua kakinya malah ikut disilangkan di pinggang Wiro.
"Kau mau kemana Wiro? Jangan pergi! Aku benar-benar rindu padamu! Tidakkah kau mau memelukku? Membalas ciumanku? Apa kau malu? Bukankah kita sudah jadi suami Istri?"
Wiro tidak perdulikan ucapan Luhrembulan. "Nek! Kejar! Lekas kejar Nyi Retno!" teriak Wiro.
Tapi Nyi Roro Manggut dan nenek kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu justru tertawa haha-hihi asyik memperhatikan celana Wiro yang robek hingga auratnya sebelah bawah belakang terlihat jelas.
"Hik hik! Kantong menyannya berkilat!" kata Nyi Roro Manggut.
"Tapi dari sini aku melihat malah hitam seperti salak! Hik hik hik!" menyahuti nenek kembar jejadian.
"Kalau sampai tersentuh gadis itu. Ihhh... aku juga mau memegang! Pasti kenyal-kenyal! Hik hik hik!" kata Nyi Roro Manggut.
Dua nenek kemudian sama-sama tertawa berkekehan. Lalu kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu berkata,
"Sebaiknya kita berdua pergi saja! Kita bisa mati cemburu melihat pemuda itu dipeluk dan diciumi Luhrembulan! Apa kau tidak cemburu heh? Aku tahu kau suka pada Wiro!"
Nyi Roro Manggut senyum-senyum. Kepala mengangguk-angguk. Lalu dia membalas ucapan orang. "Aku juga tahu kalau kau naksir pada si gondrong itu!"
Dua nenek kembali tertawa cekikikan. "Sudah, tak perlu berdebat. Ayo kita pergi sekarang juga! Kita berpura-pura mengejar Nyi Retno Mantili." Kata nenek jejadian kembaran ke tiga sambil menarik tangan Nyi Roro Manggut. Nenek satu ini ikut saja tapi kemudian dia ingat sesuatu.
"Tunggu, Batu Mustika milik Nyi Roro Kidul ada pada Wiro. Aku harus mengambilnya lebih dulu!"
"Ah, jangan mencari kesempatan. Aku tahu kau bukan mau mengambil batu mustika tapi mau melihat batu kembar antik milik pemuda itu yang gelantungan bergerak lucu kian kemari! Hik hik hik!"
Dengan susah payah akhirnya Wiro bisa melepaskan diri dari pelukan dan ciuman Luhrembulan. Dia langsung duduk menjelepok ditanah untuk menutupi celana yang robek di bagian belakang sebelah bawah.
"Wiro, sekian lama aku mencarimu. Ketika aku menyirap kabar kau akan datang ke puncak Gunung Gede, aku mendahului datang ke sana. Tapi aku bertemu dengan perempuan-perempuan yang menyakitkan hatiku!"
"Luhrembulan, siapa yang kau maksudkan dengan perempuan-perempuan yang menyakitkan hati?" tanya Wiro.
"Yang pertama, si ceking yang kemana-mana membawa boneka kayu itu. Katanya ayah dari boneka itu adalah kau. Berarti kau adalah suami perempuan ceking itu yang menurut Kiai Gede Tapa Pamungkas adalah muridnya, bernama Nyi Retno Mantili! Perempuan tidak tahu diri! Tidak tahu diuntung! Sudah sinting punya anak kayu, mengejek diriku pula!"
"Perempuan malang itu memang tidak waras. Setiap ucapannya tidak perlu kau ambil hati!"
Luhrembulan tersenyum ialu mencibir. "Aku tahu otaknya memang miring sejak dia kehilangan bayi. Bukan begitu ceritanya? Tapi aneh. Orang sinting mengapa bisa bermulut ketus. Mengapa bisa merasa cemburu?! Jangan-jangan sintingnya dibuat-buat! Tapi apa urusannya dengan diriku? Perempuan sinting itu malah menyerang aku dengan dua sinar yang keluar dari sepasang mata boneka kayu. Tapi ilmu kesaktiannya itu tidak bisa melewati tanah terbelah yang telah aku gurat dengan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah. Kalau tidak ditolong Kiai Gede perempuan itu pasti sudah amblas masuk ke dalam belahan tanah."
"Katamu Nyi Retno mengejekmu. Memangnya dia mengejekmu apa? Apakah karena soal mengejek itu kau lantas sampai mengeluarkan Ilmu kesaktian yang dahsyat itu?" tanya Wiro.
"Dia marah ketika aku memberi tahu kalau kau adalah suamiku! Bahwa kita sudah kawin di Latanahsilam."
"Tapi perkawinan itu tidak syah..." tukas Wiro.
"Syah atau tidak yang jelas perkawinan itu telah terjadi! Ada yang menikahkan kita yaitu nenek Lamahila dan ada seorang saksi bernama Laduliu. Apa kau lupa hal itu Wiro? Atau berpura-pura lupa?"
"Aku ingat betul peristiwa di Bukit Batu Kawin itu. Ada orang yang memberikan minuman aneh padaku hingga aku tidak sadar diri. Sudahlah, aku tidak ingin membicarakan hal itu," kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala. Dia hendak berdiri tapi begitu ingat celananya yang robek tidak jadi dan buru-buru duduk menjelepok di tanah kembali. Mengapa tidak jadi berdiri?" tanya Luhrembulan.
"Anu... tidak ada apa-apa. Aku hanya masih ingin duduk."
"Di tanah yang becek oleh air hujan ini?" ujar Luhrembulan. "Aneh! Sementara aku bicara berdiri, kau duduk di tanah. Sudah aku duduk saja di depanmu." Lalu Luhrembulan duduk bersimpuh di depan Wiro. "Wiro, apa selama ini kau tak pernah ingat diriku? Tidak pernah kangen, tidak pernah rindu?"
"Selama di Latanahsilam kau banyak berbuat baik padaku. Kau mengobati diriku ketika cidera berat. Kau memberikan ilmu kesaktian hebat luar biasa padaku. Aku tidak bisa membalas semua hutang budi itu. Tentu saja aku mengingat semua kebaikanmu itu."
"Hanya mengingat kebaikannya, orangnya tidak? Kau tidak ingat diriku, Wiro?" ujar Luhrembulan dengan suara dan wajah menunjukkan rasa sedih.
Wiro tersenyum tapi tidak menjawab.
"Wiro, aku tidak pernah merasa bahwa kau berhutang budi padaku. Aku tidak pernah membangkit minta kau membalas semua itu. Aku hanya ingin satu hal. Yaitu bahwa kau menyadari kalau kita sudah kawin, sudah nikah..."
Wiro masih diam.
"Aku minta dinikahkan denganmu oleh Nenek Lamahila bukan karena apa-apa. Pertama aku memang mencintaimu dengan setulus hati. Kedua aku ingin keluar dari azab sengsara yang terjadi sejak mulai dari nenek moyangku. Wiro, ketika masih di Latanahsiiam aku pernah meratap. Aku masih ingat apa yang aku ratapkan saat itu. 'Wahai mahluk bermuka buruk. Puluhan tahun kau hidup dalam kutuk yang jatuh menimpa dirimu bukan karena maumu dan bukan karena kesalahanmu. Puluhan tahun kau tenggelam dalam kesesalan. Menyantet dan mem-bunuh orang-orang tidak berdosa. Kini ketika sentuhan kasih membuka mata dan menyingkap hatimu, ketika kau mengambil keputusan bahwa kau bisa meninggalkan Jalan sesat dan memilih hidup baik, ternyata tidak ada orang yang mau menolongmu. Wahai mahluk tua berwajah buruk. Sudah takdir dirimu kau akan berada dalam keadaan sengsara begini rupa seumur bumi terbentang, selagi langit terkembang'..."
(Baca serial Wiro Sableng di negeri Latanahsllam berjudul Rahasia Perkawinan Wiro)
Luhrembulan tutup wajahnya dengan dua tangan lalu menangis sesenggukan. "Aku tahu, tidak ada seorangpun yang mau mengerti. Apa lagi mau menolong. Aku akan tetap hidup dalam kutukan. Dalam ujud seorang nenek buruk bernama Hantu Santet Laknat"
"Luhrembulan, kau tidak lagi berada di alammu. Kau saat ini sudah berada di alam lain. Kau berada di tanah Jawa. Kurasa semua kutukan turun temurun itu telah lenyap. Kau benar-benar telah menjadi seorang gadis cantik seperti keadaanmu saat ini." Wiro coba menghibur.
Luhrembulan tersenyum. Dia beringsut mendekati Wiro. Untuk beberapa saat wajahnya diletakkan di dada bidang pemuda itu. Lalu dia mundur menjauh kembali. "Wiro, kau berkata begitu, aku berterima kasih. Tapi coba kau lihat sebentar ke arahku. Kau akan melihat kenyataan..."
Luhrembulan duduk tak bergerak, menatap kearah Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng balas memperhatikan. Dadanya berdebar ketika dia melihat, walaupun sedikit samar, sosok Luhrembulan yang tadi berupa gadis cantik berpakaian putih kini berubah menjadi nenek kurus keriput bermuka buruk seperti burung gagak, mata kecil tak beralis. Pakaian dari jerami kering. Sosok inilah yang pernah dilihatnya sewaktu berada di Latanahsilam dulu ketika tersesat bersama Setan Ngompol dan Naga Kuning.
(baca serial Wiro Sableng di tanah silam mulai dari episode Bola Bola Iblis sampai istana Kebahagiaan)
"Luhrembulan, sebaiknya kau jangan mengingat-ingat lagi keadaan dirimu..."
"Bagaimana aku bisa melupakan hal itu, Wiro? Nasib buruk dan azab diriku mengalir dalam darah, bersatu dengan nafasku."
"Luhrembulan, tadi kau menyebut perempuan-perempuan yang menyakitkan hati. Kau sudah menceritakan tentang Nyi Retno. Lalu siapa perempuan lainnya?" Wiro alihkan pembicaraan.
"Tadi di tempat ini ada gubuk. Tapi sudah hancur berantakan. Ketika aku berteduh datang seorang gadis berpakaian hijau. Dia mengaku bernama Nyi Wulas Pikan..."
"Nyi Wulas Pikan?" Mengulang Wiro dengan suara bernada kaget. Lalu dalam hati dia membatin. "Gila, jadi mahluk alam roh satu itu sudah sampai pula di tempat ini rupanya!"
"Kau mengenalnya?"
"Aku melihatnya pertama kali malam tadi di pantai pulau Watu Gilang," menerangkan Wiro.
"Katanya dia adalah kekasihmu..." ujar Luhrembulan pula.
Wiro menggaruk kepala. "Gadis itu adalah jejadian dari Nyai Tumbal Jiwo. Muridnya kubunuh. Celakanya sang murid yang bernama Wira Bumi itu adalah Patih Kerajaan dan merupakan kekasih si nenek. Dia memaksa aku jadi kekasihnya pengganti Wira Bumi."
"Aku melihat paksaan itu sekaligus merupakan ancaman. Nyai Tumbal Jiwo bisa membuatmu menjadi buronan Kerajaan seumur-umur."
"Kurasa begitu," Jawab Wiro sambil menggaruk kepala.
"Apakah kau akan menerima atau memang sudah menjadi kekasihnya?" tanya Luhrembulan.
Wiro tertawa. "Di balik niat mesumnya itu aku yakin dia punya maksud hendak membunuhku. Rasanya tidak ada jalan lain. Aku harus membunuhnya lebih dulu. Hanya saja apakah aku bisa melakukan hal itu karena dia mahluk dari alam roh. Dia bisa bersalin rupa seratus kali dalam satu hari!"
"Kalau begitu biar aku yang mewakili dirimu membunuh nenek itu!" kata Luhrembulan pula. "Saat ini dia tengah dalam perjalanan menuju puncak Gunung Gede. Menunggu kedatanganmu."
"Aku tidak akan ke sana. Paling tidak untuk kali ini," jawab Pendekar 212.
Untuk beberapa lama kedua orang itu tidak ada yang bicara. Kemudian Wiro bertanya. "Selain Nyi Retno dan Nyi Wulas Pikan, apa masih ada perempuan lain yang menyakiti hatimu?"
"Sebenarnya bukan perempuan. Dia seorang lelaki. Tapi bermulut seperti perempuan. Dia mengusirku dari puncak Gunung Gede!"
"Aku tak mengerti. Siapa lelaki itu?" tanya Wiro pula.
"Kiai Gede Tapa Pamungkas! Kakek yang katanya tokoh bijaksana rimba persilatan. Tapi mulutnya seperti ember. Perilakunya terhadapku sungguh tidak adil. Dia lebih membela perempuan ceking yang punya anak boneka kayu itu. Yang diakuinya sebagai muridnya. Dia mengusirku secara halus. Aku terpaksa meninggalkan telaga tempat kediaman Kiai itu! Wiro, aku tak habis pikir mengapa Kiaimu itu memberi ilmu kesaktian pada seorang perempuan sinting. Orang waras saja terkadang bisa menyalah gunakan Ilmu kepandaian, apa lagi yang tidak waras seperti Nyi Retno Mantili itu."
"Kurasa Kiai hanya memberikan ilmu pada Nyi Retno untuk melindungi dirinya. Sejak dia meninggalkan Gedung Ketemenggungan di Kotaraja, nyawanya terancam. Dia terpisah dengan bayinya..."
Luhrembulan tertawa mendengar kata-kata Wiro itu. "Kenapa kau tertawa? Apa yang lucu?" tanya Pendekar 212.
"Dia hendak membunuhku dengan dengan ilmu kesaktian yang mengeluarkan dua larik cahaya putih dari mata boneka kayu. Pertama kali dilakukannya di tepi telaga. Di depan Kiaimu. Yang kedua kali di tempat Ini. Kau menyaksikan sendiri. Apakah itu yang kau maksudkan Ilmu untuk melindungi diri?"
Wiro mulai resah dan gerah. "Luhrembulan, sebenarnya aku ingin bicara lebih banyak denganmu. Tapi ada yang harus aku lakukan. Aku mungkin berubah pikiran. Mungkin aku akan menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas di tempat kediamannya."
"Aku ikut bersamamu," kata Luhrembulan pula.
Mendengar kata-kata Luhrembulan Ku Wiro cepat memutar otak. "Sebelum menemui Kiai, aku ingin mengejar dua nenek temanku tadi. Mereka tengah berusaha mencari Nyi Retno..."
"Hemmm... begitu? Setahuku rencana pertemuanmu dengan Kiai ember itu baru besok malam..."
"Luhrembulan, tidak baik mencerca Kiai Gede Tapa Pamungkas seperti itu...!" Wiro mengingatkan.
Luhrembulan hanya tersenyum. "Kau ingin pergi mencari dua nenek yang mengejar Nyi Retno. Aku ada di sini. Jangankan memperhatikan diriku, perasaanpun rupanya kau sudah tidak punya lagi. Aku ingin kita hidup bahagia berdua. Tapi kalau kau inginkan perempuan lain, dan aku tidak kuasa melihatnya, aku akan habisi perempuan itu. Aku sudah bersumpah Wiro. Dengar baik-baik sumpahku! Tidak ada seorang perempuan lainpun yang bisa memiliki dirimu, kecuali diriku yang telah menjadi istrimu! Perempuan mana saja yang melakukan hal itu akan kubunuh!"
"Kau tidak boleh bersikap seperti itu, Luhrembulan. Kau harus sadar. Kita sebenarnya tidak pernah nikah."
"Jadi begitu sikapmu terhadapku, Wiro? Kau seorang pendekar yang ingin lari dari kenyataan. Ingin menghindar dari tanggung jawab!"
"Memangnya aku punya tanggung jawab apa atas dirimu?" Wiro mulai kesal.
"Aku pernah mendengar pantun bagus berasal dari negerimu ini. Kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu! Sudah gaharu cendana pula. Sudah tahu bertanya pula!"
Dalam kesalnya Wiro berdiri, lupa akan celananya yang robek besar di belakang sebelah bawah. "Luhrembulan, maafkan aku. Aku harus pergi..."
"Pergilah, rohku akan mengikuti kemana kau pergi. Rohku akan membunuh perempuan siapa saja yang berani mendekatimu!"
Tiba-tiba menggema satu suara perempuan. "Mahluk alam roh tidak tahu malu. Kau sudah tersesat di alam mimpimu! Aku akan mendekati Wiro. Aku mau lihat apakah kau mampu membunuhku!"
Luhrembulan tersentak kaget. Wiro memandang berkeliling.
"Jahanam laknat! Siapa kau! Unjukkan dirimu! Biar kubunuh saat ini juga!" teriak Luhrembulan. Mata mendelik, memandang seputar tempat.
Teriakan Luhrembulan disambut dengan tawa melengking panjang. Saat itu hujan mulai mereda. Namun keadaan masih gelap. Di arah tepi sunga? kecil kelihatan cahaya biru serta kerlap kerlip seperti kembang api. Sesaat kemudian tampak sosok perempuan cantik berambut hitam digeral lepas mendatangi dengan cepat lalu berhenti di samping Pendekar 212 Wiro Sableng. Bukan hanya sekedar berdiri, tapi sambil merangkulkan tangan kiri ke pinggang sementara kepala disandarkan mesra ke bahu sang pendekar! Mulut melontarkan senyum mengejek.
"Kau ingin membunuhku? Silahkan!"
Mahluk keparat! Aku sudah mengira! teriak Luhrembulan lalu dengan cepat melompat bangkit dari duduknya di tanah becek.
"Kau juga keparat!" Jawab perempuan cantik berambut panjang lepas dan mengenakan pakaian biru gelap. Kepala ditegakkan tapi tangan kiri masih merangkul pinggang Wiro membuat Luhrembulan seperti terbakar. "Aku tahu riwayat pernikahanmu! Jangan coba menipu dan menjebak Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng! Pernikahan itu tidak pernah ada! Kalaupun ada tidak syah!"
Wajah Luhrembulan berubah merah. Rahang menggembung. "Perempuan celaka! Apa kau kira aku tidak tahu riwayat dirimu?! Di Latanahsilam kau bernama Luhmintari. Di tanah Jawa ini kau menukar nama dengan Purnama!"
"Wiro yang memberikan nama itu padaku. Apa kau keberatan?" ucap si cantik berbaju biru yang ternyata adalah Purnama.
Seperti diceritakan sebelumnya Purnama bersama Ratu Duyung telah bertemu dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak gunung. Gadis ini mengetahui kalau sang Kiai merasa tidak enak melihat kehadirannya. Hal ini membuat dugaan Purnama semakin kuat bahwa Kiai Gede Tapa Pamungkas memang ingin membicarakan perjodohan Ratu Duyung dengan Wiro.
Selain menimbulkan rasa perih di hatinya, juga agar tidak menjadi sandungan yang tidak enak karena kehadirannya di situ. Purnama mengatakan ingin melihat-lihat keindahan di sekitar puncak gunung. Padahal saat itu awan mendung mulai bertumpuk di langit. Keindahan apa yang mau dilihat?
Purnama menuruni puncak Gunung Gede. Nalurinya mengatakan sesuatu akan terjadi di bawah sana. Apa lagi ketika dia mengerahkan ilmu Nafas Sepanjang Badan. Purnama dapat merasakan bahwa ada seorang dari alam gaib di kaki gunung sana.
"Mungkin Nyai Tumbal Jiwo. Tapi mungkin juga Luhrembulan..." kata Purnama dalam hati. Ketika dia sampai di kaki gunung dalam keadaan hujan lebat, yang ditemuinya memang Luhrembulan, tengah duduk di tanah becek, berhadap-hadapan dengan Wiro. Setelah mendengar cukup lama percakapan kedua orang itu Purnama keluar dari tempat persembunyiannya sambil keluarkan tawa panjang.
Luhrembulan menatap tajam ke arah Purnama. "Aku tidak perduli siapa namamu sekarang! Atau siapa yang memberikan nama itu padamu! Aku cuma tahu namamu adalah Luhmintari! Riwayatmu di Latanahsilam sungguh memalukan, menjijikkan! Bukankah kau kena kutuk hingga melahirkan seorang bayi berbentuk landak?! Hik hik! Di sini lagakmu seperti seorang Ratu saja!"
"Riwayatmu jauh lebih buruk dan menjijikkan dariku!" jawab Purnama. "Kutuk telah menjadi azab nenek moyangmu. Apakah kau pernah berkaca dan melihat keadaan ujud dirimu yang sebenarnya? Banyak orang yang kasihan padamu! Tapi kelakuan perbuatanmu membuat semua orang menjadi sangat membencimu! Kau sendiri sejak tersesat ke tanah Jawa ini bukankah selalu membuntuti diriku dan ingin membunuhku? Terakhir sekali kau bekerja sama dengan Raja Racun Langit Bumi di Gedung Kadipaten Losari untuk melaksanakan niat kejimu!"
(Baca serial Wiro Sanleng berjudul Sang Pembunuh)
"Wahai! Jika ada orang ingin membunuhmu berarti dirimu sebenarnya jelas bukan mahluk baik-baik! Sayangnya kau adalah mahluk tidak tahu diri hingga tidak menyadari hal itu!" Jawab ucapan Luhrembulan tak kalah pedas menyakitkan.
"Kalian berdua," Wiro yang sejak tadi diam saja coba menengahi. "Bukankah kalian datang dari negeri leluhur yang sama? Mengapa sampai di tanah Jawa ini kalian bersilang sengketa? Akan lebih baik kalau kalian berdua akur-akur saja dan saling bersahabat. Banyak kebajikan yang bisa kalian perbuat di negeri ini."
Luhrembulan tertawa melengking. "Aku?! Aku mau akur-akuran dan bersahabat dengan laknat alam roh tidak tahu diri ini!" Luhrembulan meludah lalu menggeleng berulang kali.
Perlahan-lahan Purnama lepaskan rangkulannya di pinggang Pendekar 212. "Selama langit terbentang bumi terkembang, kau adalah mahluk alam roh paling memuakkan di mataku! Sebaiknya kau mencari jalan pulang kembali ke alam gaib. Atau aku harus memberi petunjuk hingga kau tidak lagi menimbulkan bencana di tanah Jawa ini?"
"Sombongnya!" maki Luhrembulan. "Sebelum kau memberi petunjuk, terima dulu yang satu ini!" Didahului pekik penuh amarah Luhrembulan menerjang ke depan. Begitu menginjak tanah kaki kanan langsung diguratkan.
"Rrrrttttt!" Tanah terbelah! Dari dasar belahan menderu daya sedot kencang luar biasa. Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah yang luar biasa ganas. Dalam waktu bersamaan dari sepasang mata menyambar dua larik sinar hitam. Ini adalah ilmu Dua Hantu Menembus Raga Menyedot Jiwa!
"Edan, gadis ini benar-benar kalap. Dia benar-benar hendak menghabisi Purnama!" ucap Wiro dalam hati. Bahkan dirinya juga bisa ikut tersedot ke dalam tanah yang mendadak sontak terbelah itu! Di dahului suara teriakan keras tanpa perdulikan keadaan celananya yang robek Wiro cepat melompat ke kiri.
Sementara Purnama melesat ke kanan. Untuk selamat dari serangan dua larik sinar hitam Purnama segera lindungi diri dengan cahaya biru begemerlap lalu serentak dengan itu dia balas menghantam dengan lepaskan serangan sakti bernama Menggusur Gunung Menjungkir Langit. Dua cahaya biru begemeriap melesat lalu bergabung menjadi satu membentuk bola raksasa.
"Buummm! Breettt...!"
Letusan dahsyat menggelegar. Seantero tempat bergoncang laksana dilanda gempa besar. Tanah yang terbelah merapat kembali. Wiro, Purnama dan Luhrembulan sama-sama terlempar Jauh. Kalau Wiro kemudian terduduk di tanah dengan kuping pengang dan dada mendenyut sakit, maka Luhrembulan dan Purnama tergelimpang di tanah becek, sama-sama mengerang dan kucurkan darah kental di sela bibir.
Wiro tak berani bergerak. Memandang ke bawah matanya jadi mendelik ketika melihat celananya kini robek bukan cuma di bagian belakang tapi akibat terpental tadi robekan menjalar lebar sampai ke bagian depan!
"Celaka! Bagaimana aku menyembunyikan anuku...?!" Wiro Jadi bingung. Namun begitu mendapat akal dia segera buka baju putihnya lalu digelungkan ke bagian celana yang robek. Ternyata baju ini hanya bisa dipakai untuk menutupi salah satu bagian saja. Sobelah depan atau sebelah belakang!
"Gila! Masakan aku harus memilih bagian mana yang mau ditutup!" Wiro masih sempat-sempatnya menggaruk kepala. Tiba-tiba baju yang sudah di ikatkan di pinggang dibuka kembali lalu dimasukkan ke dalam celana sebelah depan, di ulur ke belakang. Dengan cara begitu dia berhasil menutupi aurat depan belakang.
"He he!" Wiro nyengir. Namun cengiran ini serta merta lenyap ketika di depannya Luhrembulan dan Purnama dengan mulut bercelemong darah telah bertarung hebat. Keduanya melancarkan serangan dalam jurus-jurus pukulan serta tendangan mematikan.
"Tahan! Hentikan!" teriak Wiro.
Dua gadis alam roh tidak perdulikan. Keduanya sama-sama berhasil mendaratkan pukulan telak ke dada lawan. Akibatnya mereka sama-sama semburkan darah segar.
"Mahluk alam roh keparat! Kau memang harus aku habiskan sekarang juga!" kertak Purnama dengan wajah pucat. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan satu kantong kain hitam. Luhrembulan dan juga Wiro tampak heran.
"Apa isi kantong itu? Apa yang hendak diperbuat Purnama?" Wiro menduga-duga sementara Luhrembulan mencium satu bahaya besar mengancam dirinya.
Jari-jari tangan Purnama yang memegang kantong hitam bergerak. Sesaat kemudian dari dalam kantong kain menyembul dua buah benda bulat berwarna kuning kehitaman. "Dulu kau hendak membunuhku dengan benda Ini! Sekarang rasakan sendiri neraka kematian saat dua benda ini menembus tubuhmu!" Didahului teriakan keras, Purnama lemparkan dua buah benda yang ada di dalam kantong ke arah Luhrembulan.
Luhrembulan berteriak kaget ketika mengenali dua benda itu. "Buah damar!" teriak gadis alam roh ini. Muka pucat tubuh langsung menggigil. Dia cepat melompat mundur sambil dorongkan dua tangan ke depan melepas angin serangan sehebat badai. Namun dua buah damar masih bisa menembus angin sakti tersebut hingga Luhrembulan kembali berteriak.
Seperti diketahui buah damar adalah buah pantangan bagi semua mahluk alam gaib yang berasal dari Negeri Latanahsilam. Siapa saja yang bersentuhan langsung dengan buah damar akan menemui ajal kematian secara mengenaskan. Rohnya akan kembali ke alam gaib tanpa bisa keluar lagi untuk selama-lamanya!
Sesaat lagi dua buah damar akan menghantam tembus kepala dan dada Luhrembulan, gadis Ini tiba-tiba gerakkan tangan kanan ke pinggang. Di lain kejap satu sinar putih berkiblat menyilaukan menebar udara dingin angker!
"Trang! Trang!" Dua buah damar hancur berkeping-keping. Sinar putih kemudian menyambar ke arah Purnama.
Wiro tersentak kaget. Dia cepat mengenali senjata yang ada di tangan Luhrembulan yang tadi dipakai untuk menangkis menghancurkan dua buah damar maut, kemudian menyerang ke arah Purnama. Membuat gadis ini berseru kaget dan cepat selamatkan diri dengan melompat sampai satu tombak ke udara. Kakinya terasa dingin dan tengkuk merinding ketika sinar putih menyambar ganas hanya setengah jengkal di bawah ke dua kakinya!
"Tidak mungkin! Gila! Bagaimana senjata itu bisa berada di tangannya!" ucap Wiro dalam hati. Lalu murid Sinto Gendeng melompat ke depan sambil berteriak. "Luhrembulan! Tahan serangan!"
Luhrembulan tidak perduli. Dia yakin dengan senjata sakti yang kini berada di tangannya itu dia mampu menghabisi Purnama paling tidak dalam satu jurus di muka. Hal ini tidak disadari Purnama tapi diketahui oleh Wiro. Senjata di tangan Luhrembulan kembali berkiblat.
"Crasss!"
Wiro berteriak kaget sewaktu ujung rambutnya di atas kening putus dibabat senjata di tangan Luhrembulan. "Luhrembulan! Jika kau tidak berhenti menyerang aku terpaksa mengeluarkan Kapak Naga Geni Dua Satu Dua!"teriak Wiro mengancam.
Luhrembulan tidak perdulikan ancaman Wiro. Malah sambil umbar tawa senjata di tangan diputar demikian rupa hingga membeset di depan hidung sang pendekar.
"Hai! Kau kemasukan setan apa?! Kau mau membunuhku?!" teriak Pendekar 212 sambil melompat mundur dan pegang hidungnya yang terasa dingin akibat sambaran senjata di tangan Luhrembulan. Ketika dilihatnya Luhrembulan tetap nekad meneruskan serangan ke arah Purnama, Wiro tidak bisa menunggu lebih lama. Dia berteriak keras sambil tangan kanan di angkat ke atas.
"Kapak Naga Geni Dua Satu Dua!"
Saat itu juga terlihat cahaya putih memancar di dada Wiro disertai munculnya jarahan angka 212 di pertengahan dada. Lalu terdengar suara bergaung keras laksana ribuan tawon mengamuk. Bersamaan dengan itu cahaya putih di dada melesat ke luar dan di lain kejap dalam genggaman tangan kanan Wiro telah berada senjata sakti mandraguna Kapak Naga Geni 212 yang selama ini telah menggegerkan rimba persilatan tanah Jawa.
Kapak sakti ini jarang dipergunakan murid Sinto Gendeng, kecuali dalam menghadapi musuh yang benar-benar luar biasa perkasa atau dalam keadaan jiwanya terancam. Begitu kapak sakti terpegang di tangan, angka 212 yang berkilauan di dada kiri lenyap dengan sendirinya.
Seperti diceritakan sebelumnya dalam serial Wiro Sableng berjudul Lentera Iblis. Kapak Naga Geni 212 bersama Batu Hitam Sakti demi keamanan dan keselamatan sang pendekar oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas dimasukkan secara gaib ke dalam tubuh Wiro. Kini dengan berseru menyebut nama senjata itu maka kapak sakti keluar dari dalam tubuh, muncul di udara terbuka dan langsung berada dalam genggaman Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wiro sadar dan tidak punya cara lain menghadapi Luhrembulan. Jika dia tidak mengeluarkan Kapak Naga Geni 212, dalam nekadnya Luhrembulan bukan saja akan membunuh Purnama, tapi juga bisa menghabisi dirinya!
"Aku tak ingin melukai gadis ini. Tapi aku Juga tidak mau celaka!" ucap Wiro dalam hati.
Keredupan di tempat itu serta merta sirna olah cahaya yang memancar dari dua mata kapak. Udara yang tadi dingin kini menjadi hangat akibat pancaran hawa panas yang keluar dari senjata sakti warisan Eyang Sinto Gendeng yang asal-muasalnya dimiliki oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas, kemudian diberikan pada Sinto Gendeng yang menjadi murid sang Kiai bersama Sukat Tandika alias Tua Gila.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul Pedang Naga Suci 212)
Wiro memperhatikan dengan terperangah dan penuh rasa tidak percaya melihat senjata yang tergenggam di tangan Luhrembulan. "Pedang Naga Suci Dua Satu Dua..." ucap sang pendekar dalam hati. "Luhrembulan, serahkan pedang itu padaku! Bagaimana kau bisa mendapatkan senjata sakti itu?"
"Wiro. Bukan saatnya bertanya jawab! Biar aku membunuh perempuan sesat itu lebih dulu!" Jawab Luhrembulan. Lalu tanpa perdulikan sang pendekar Luhrembulan kembali menyerbu ke arah Purnama.
Wiro maklum, bagaimanapun tingginya ilmu kesaktian Purnama namun menghadapi Pedang Naga Suci 212 sulit baginya untuk bisa menyelamatkan jiwa. Murid Sinto Gendeng saat itu juga memutuskan harus merampas pedang sakti dari tangan Luhrembulan. Ini bukan hal mudah untuk dilakukan! Karena Pedang Naga Suci 212 dan Kapak Naga Geni 212 boleh dikatakan memiliki kesaktian yang setara! Bedanya kalau Pedang Naga Suci 212 mengandalkan kesaktian berdasarkan hawa dingin maka Kapak Naga Geni 212 mengandalkan hawa panas.
Namun sebelum Wiro sempat bergerak, berlangsung satu kejadian tidak terduga. Dengan kecepatan laksana kilat Purnama melompat ke arah Wiro. Sang pendekar tersentak kaget dan berseru keras. Namun terlambat. Kapak Naga Genl 212 yang berada dalam genggamannya lenyap! Berpindah tangan dan kini telah berada dalam genggaman Pumama.
Begitu senjata sakti itu berada di tangan kanannya Purnama langsung menyerbu ke arah Luhrembulan. Gadis alam gaib Latanahsilam ini kerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang dimilikinya hingga Kapak Naga Geni 212 memancarkan cahaya terang benderang. Ketika senjata sakti itu dihantamkan ke arah Luhrembulan, suara dahsyat seperti ribuan tawon mengamuk mengumandang menusuk telinga disertai pancaran cahaya putih menyilaukan mata.
Melihat Purnama menyerbu dengan kapak sakti, Luhrembulan cepat putar Pedang Naga Suci 212 lalu dengan sebat dibabatkan ke arah lawan. Ternyata serangan Purnama hanya tipuan belaka. Karena begitu dia melihat gerakan tangan Luhrembulan yang memegang pedang, Purnama cepat rundukkan kepala. Pedang Naga Suci 212 lewat di atas kepala Purnama, sempat membabat putus sejumput rambutnya yang hitam dan membuat gadis ini terpekik. Dalam keadaan sekujur tubuh terasa dingin akibat serangan pedang, Purnama masih mampu lancarkan serangan kedua berupa babatan kapak membalik ke atas.
"Purnama! Jangan!" teriak Wiro. Dia menendang ke arah Purnama, berusaha mendorong gadis ini namun terlambat.
"Craasss!" Kapak Naga Geni 212 menyapu lebih dulu di atas dada Luhrembulan! Gadis alam gaib ini terpekik keras. Tubuh terhuyung ke belakang. Tangan kiri menekap dada yang luka besar. Darah aneh berwarna hijau mengucur deras. Sepasang mata yang bagus mendelik. Pedang Naga Suci 212 terlepas jatuh dari tangan kanan. Begitu menyentuh tanah pedang sakti ini secara aneh langsung bergulung menyerupai gulungan ikat pinggang.
Purnama tegak diam tertegun sambil menekap mulut dengan tangan kiri. Dia seperti tidak percaya akan apa yang telah dilakukannya. Kapak Naga Geni 212 untuk beberapa lamanya masih tergenggam di tangan kanan. Noda darah hijau pada mata kapak perlahan-lahan sirna secara gaib.
Sesaat lagi sosok Luhrembulan akan jatuh terbanting ke tanah. Pendekar 212 Wiro Sableng cepat memeluknya.
"Wiro suamiku..." suara Luhrembulan pelan dan bergetar. "Aku merasa dingin sekali."
Wiro tak menjawab, malah merasa heran. Setiap orang yang terkena bacokan Kapak Naga Geni 212 akan merasakan sekujur tubuhnya panas luar biasa lalu sosoknya akan berubah gosong hitam atau menjadi bubuk putih, tergantung daya tolak kesaktian yang ada dalam tubuhnya. Anehnya Luhrembulan justru merasa sekujur tubuhnya dingin luar biasa hingga dia menggigil dan gerahamnya bergemeletukkan.
"Wiro, hangatkan tubuhku. Peluk tubuhku wahai suamiku. Jangan biarkan aku pergi. Jangan lepaskan..." Suara Luhrembulan hanya tinggal bisikan halus.
"Luhrembulan, kau tak akan pergi kemana-mana... ucap Wiro sambil memeluk dan menurunkan tubuh Luhrembulan ke tanah.
"Cium aku Wiro. Sebelum aku menutup mata, berikan kehangatan mesra padaku untuk pertama dan terakhir kali..."
"Luhrembulan, kau..." Wiro bimbang sesaat. Wajah pucat putih itu tampak memelas. Wiro tetapkan hati dan perlahan-lahan turunkan kepalanya. Luhrembulan tersenyum menengadah menyambut datangnya bibir sang pendekar di atas bibirnya.
Purnama yang menyaksikan kejadian itu terpekik dalam hati. "Dia menciumnya... Wiro mencium Luhrembulan! Ohhh..." Gadis Ini lepaskan Kapak Naga Geni 212, balikkan tubuh lalu menghambur lari tinggalkan tempat itu.
Begitu sepasang bibir mereka saling bertempelan, sosok Luhrembulan berubah menjadi sosok seorang nenek berpakaian jerami kering, dengan wajah menyerupai burung gagak hitam. Wiro tersentak kaget tarik kepalanya. Sebelumnya dia pernah melihat sosok dan wajah ini di Latanahsilam negeri 1200 tahun lampau.
"Hantu Santet Laknat..." ucap Wiro, mata membesar kuduk terasa dingin. Sesaat kemudian tubuh nenek itu mengepulkan asap lalu perlahan-lahan leleh berubah menjadi cairan putih. Begitu asap lenyap, cairan putih juga sirna tak berbekas di tanah becek.
Selagi perhatian Wiro terpusat atas apa yang terjadi atas diri Luhrembulan, dia tidak menyadari kalau saat itu, setelah melihat bagaimana Wiro memeluk dan mencium Luhrembulan, Purnama merasa dunia seperti terbalik. Hatinya menjerit! Kapak Naga Geni 212 terlepas jatuh dari tangannya. Sebelum menyentuh tanah senjata ini secara gaib melesat dan masuk kembali ke dalam tubuh Wiro. Purnama sendiri telah berkelebat lenyap.
Hanya sesaat setelah Purnama meninggalkan tempat itu diluar pengetahuan Wiro satu bayangan hijau melesat tanpa suara. Sesaat dia menatap ke arah sosok Luhrembulan yang mencair leleh.
"Mahluk alam roh keparat! Jadi kau yang mencuri pedang sakti itu ketika baru kudapat. Sekarang rasakan sendiri akibatnya!" Orang berpakaian hijau menyumpahi dalam hati. Dengan cepat orang ini kemudian mengambil gulungan Pedang Naga Suci 212 yang tergeletak di tanah lalu berkelebat pergi. Namun di satu tempat orang yang melarikan pedang ini berteriak kaget ketika tangannya yang memegang senjata itu seperti memagang bara panas. Telapak tangan dan jari-jarinya melepuh!
"Senjata keparat jahanam! Setan apa yang ada dalam dirimu?! dua kali dengan ini kau membuat tanganku melepuh!" maki orang itu lalu bantingkan gulungan Pedang Naga Suci 212 ke tanah. Senjata sakti menggelinding lalu masuk ke dalam sungai kecil, lenyap dari pemandangan.
Nyi Wulas Pikan, gadis cantik berpakaian ringkas hijau yang tadi hendak mencuri Pedang Naga Suci 212 dan bukan lain adalah samaran Nyai Tumbal Jiwo meniup-niup dan mengusap telapak tangan kanannya yang melepuh. Mulutnya tiada henti memaki panjang pendek.
Bagaimana Pedang Naga Suci 212 bisa berada di tangan Luhrembulan dan apa sangkut pautnya dengan Nyai Tumbal Jiwo alias Nyi Wulas Pikan?
Pagi hari yang mendung, hujan lebat belum lagi turun, di kaki Gunung Gede Nyi Wulas Pikan ingat sesuatu. "Aku pernah menyirap kabar kalau Kiai di puncak gunung itu memiliki satu senjata berupa pedang sakti luar biasa. Pedang Naga Suci Dua Satu Dua. Apakah aku mampu mengambil senjata Itu dengan ilmu kesaktianku?"
Sambil berpikir-pikir Nyi Wulas Pikan mencari tempat yang baik untuk menerapkan ilmu mengambil benda dari jarak jauh. Setelah menemukan tempat yang cocok, dia duduk bersila. Ujudnya sebagai gadis cantik berubah ke bentuk asli yaitu nenek rambut merah bermuka setan. Ujud nenek angker Nyai Tumbal Jiwo!
Mata dipejam dan mulut perot mulai merapal. Si nenek tidak mengetahui kalau saat itu di belakang pohon, di balik rimbunan semak belukar mendekam sosok seorang berpakaian putih, memperhatikan apa yang tengah dilakukannya.
Dalam keadaan mata yang terpejam Nyai Tumbal Jiwo melihat puncak Gunung Gede. Lalu tampak sebuah telaga. Sepasang mata si nenek bergetar, pelipis bergerak-gerak. Pandangan gaib ditembuskan melewati permukaan telaga. Menukik sampai ke dasar dimana terdapat tiga bangunan terbuat dari batu pualam. Dari dalam bangunan di sebelah kanan keluar satu cahaya putih yang berasal dari sebuah benda bergulung tipis dan berada di dalam keranda kaca.
"Senjata sakti Pedang Naga Suci Dua Satu Dua! Aku melihatmu! Kutemui dlrimu! Kita berjodoh? Ikutlah bersamaku!" ucap Nyai Tumbal Jiwo berulang kali. Lalu dia berhenti berucap dan menahan nafas.
Saat itu juga keranda kaca di dalam tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas di dasar telaga berderak pecah. Benda putih bergulung yang memang adalah pedang Sakti Naga Suci 212 melesat keluar keranda, melayang ke arah pintu bangunan batu pualam. Hanya dua kali kejapan mata senjata sakti itu menembus keluar dari dalam telaga, melayang di udara ke arah kaki gunung mengeluarkan suara berdesing.
Tak selang berapa lama di langit awan mendung mulai menggumpal. Kilat beberapa kali menyambar. Nyai Tumbal Jiwo merapal lebih cepat dan lebih keras. Dari batok kepalanya keluar kepulan asap merah pertanda dia tengah mengerahkan seluruh kesaktian yang ada untuk menarik Pedang Naga Suci 212 yang telah berhasil dikeluarkannya dari dasar telaga.
Ternyata senjata sakti itu memberi perlawanan. Si nenek lipat gandakan kekuatan yang dimiliki. Tubuhnya bergetar hebat. Dia mendengar suara berdesing. Lalu di udara tampak satu benda putih melesat, berputar tujuh kali turun naik di atas pohon tak jauh dimana Nyai Tumbal Jiwo duduk bersila. Benda ini sepertinya berusaha bertahan dari kekuatan yang ingin menariknya ke bawah. Namun setelah tujuh kali putaran akhirnya benda melayang ke bawah dan jatuh di pangkuan Nyai Tumbal Jiwo.
"Pedang Naga Suci Dua Satu Dua!" ucap Nyai Tumbal Jiwo seakan tidak percaya kalau dia benar-benar berhasil mendapatkan senjata sakti mandraguna itu. Dua mata yang sejak tadi terpejam dibuka. Dia melihat gulungan benda tipis putih dan bercahaya terang dlpangkuannya. Mulut si nenok menyeringai gembira. Dengan cepat dia ulurkan tangan kanan untuk mengambil senjata sakti itu.
"Luar biasa, senjata aneh..." Si nenek membolak balik gulungan pedang tipis.
Tiba-tiba dia menjerit keras. Gulungan pedang terasa panas seperti bara. Tangannya sampai mengepulkan asap dan melepuh. Sambil memaki si nenek bantingkan senjata itu ke tanah. Mendadak guntur menggelegar membuat Nyai Tumbal Jiwo kaget dan melompat bangkit sambil banting-banting kaki.
Saat itulah tiba-tiba Luhrembulan, yaitu sosok yang sejak tadi sembunyi di balik semak belukar, dengan gerakan kilat melompat keluar, menyambar gulungan Pedang Naga Suci 212 yang tergeletak di tanah lalu berkelebat menghilang tanpa Nyai Tumbal Jiwo sempat melihat.
Seperti diceritakan sebelumnya Nyai Tumbal Jiwo dalam keadaan kembali berubah menjadi Nyi Wulas Pikan berteduh di sebuah gubuk. Sebelumnya di tempat itu telah lebih dulu berteduh Luhrembulan. Gadis dari alam 1200 tahun silam ini segera mengenali si nenek, serta merta berlaku waspada. Sebaliknya si nenek tidak mengenali Luhrembulan apa lagi mengetahui kalau gadis berpakaian putih itu yang telah mencuri Pedang Naga Suci 212. Antara mereka kemudian terjadi perkelahian.
Sewaktu Nyi Retno Mantili muncul Nyi Wulas Pikan walau semula ingin membunuh perempuan tidak waras ini namun akhirnya memilih lebih baik meninggalkan tempat itu dan cepat-cepat naik ke puncak Gunung Gede guna menantikan kedatangan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Tak lama setelah hujan lebat berhenti dan arus di sungai kecil surut, dekat satu tikungan sungai pada bagian yang dangkal berbaring menelentang seorang pemuda bertubuh luar biasa gemuk, bermuka putih tembam. Leher dan dagu jadi satu. Perut menyembul buncit besar. Pemuda ini mengenakan baju terbalik dengan kancing di sebelah punggung. Di kepalanya yang berambut panjang sebahu bertengger sebuah kopiah hitam kupluk kebesaran menutupi alis.
Saat itu walau sebagian tubuhnya berada dalam air dan udara dingin pula karena habis hujan namun anehnya si pemuda merasa kepanasan bahkan sampai keringatan. Tangan kiri yang memegang sebuah kipas kertas tidak henti-henti dikibaskan ke bagian dada dan wajah. Sepasang mata ter pejam-pejam ayam. Dua kaki dikambang lebar-lebar. Pemuda gemuk ini agaknya benar-benar menikmati keberadaannya di dalam sungai dangkal berair jernih dan sejuk itu.
Tiba-tiba ada sebuah benda putih berkilau dihanyutkan air sungai meluncur mengapung diantara dua kaki pemuda gendut yang terkembang. Begitu menyentuh bagian bawah perut, ada rasa dingin menjalar masuk ke dalam tubuh si gendut ini. Mata masih terpejam dan mulut tersenyum-senyum si gendut keluarkan suara "Heh..."
Setiap kali benda itu dipermainkan aliran air sungai dan menyentuh bagian bawah perutnya si pemuda selalu mengeluarkan ucapan heh. Rupanya dia merasa senang. Mata kini meram melek dan lidah terjulur-julur di atas bibir. Selain merasa sejuk pemuda ini juga merasa geli-geli enak bagian bawah perutnya seperti diusap disentuh tangan-tangan halus.
"Dewi Sungai... Oooh, kaukah itu yang yang mengusap anuku. Aahhh, enak... asyik. Ooo nikmatnya. Pelan-pelan Dewi... Jangan sampai anuku lecet..." Si gendut bicara sendiri sambil senyum-senyum.
Dalam rasa senangnya lama-lama si gendut ini ingin tahu juga benda apa sebenarnya yang sejak tadi menyentuh-nyentuh memberi nikmat pada dirinya itu. "Jangan-jangan ikan betina yang mulutnya besar," pikir si gendut lalu ulurkan tangan kiri menjangkau benda di bawah selangkangannya itu. Namun tidak tersentuh karena terhalang oleh perut yang buncit.
"Sreett!" Si gendut lipat kipas kertas di tangan kiri lalu menopang tubuh dengan tangan kanan, berusaha bangkit. Begitu duduk dia melihat sebuah benda aneh, tipis bergulung seperti sebuah ikat pinggang.
"Hah, ini rupanya mahluk yang sejak tadi menyenggol-nyenggol kantong menyanku! Kusangka Dewi Sungai, kukira ikan, tak tahunya benda apa ini?" Ucap pemuda gendut lalu dengan tangan kanan mengambil benda yang terapung itu.
Begitu bersentuhan tangan kanannya terasa dingin. Rasa sejuk menjalar ke seluruh tubuh. Ketika digenggam rasa dingin berkurang dan perlahan-lahan berubah menjadi hangat. Dari hangat berubah lagi menjadi panas! Sekujur tubuh si gendut langsung kucurkan keringat.
"Aneh, mengapa jadi panas? Benda bergulung, apa kau marah padaku? Apa kau tidak mau dipegang tapi maunya dikempit di antara dua pahaku? Ha ha!"
Pemuda gemuk tertawa sendiri lalu benda dioles-oleskan ke bagian bawah perutnya. Dia tertawa haha-hihi ketika kembali rasa sejuk terasa menyentuh dan masuk ke dalam tubuhnya.
"Aneh... aneh!" si gendut berucap berulang kali. Benda putih bergulung kemudian ditimang-timang. Di lempar ke atas ditangkap lagi, dilempar kembali. Pada kali yang ketujuh tiba-tiba terdengar suara berdesir di susul dengan memancarnya hawa dingin. Lalu srett! Benda bergulung membuka. Cahaya putih berkiblat dan...
"Wuuttt! Breett!"
Si gendut terpekik. Matanya yang belok melotot tambah besar. Wajahnya yang pucat putih menjadi tambah putih seperti kain kafan! Kopiah hitam kupluk yang ada di atas kepalanya mencelat mental, jatuh ke dalam sungai. Sebelum dihanyutkan air pemuda ini cepat-cepat mengambilnya. Ketika diperhatikan ternyata bagian pinggir atas kopiah hitam itu telah robek besar.
"Kopiahku satu-satunya kenapa dirusak?! Tapi untung cuma kopiah yang bolong. Kalau sampai jidatku yang robek!" Si gendut letakkan kopiah di atas kepala lalu berbalik mencari benda putih berkilat yang tadi menyerangnya. Dia buru-buru jatuhkan diri ketika benda yang dicarinya itu melayang di udara dan membeset ke arah hidungnya. Hawa dingin menebar.
"Kurang ajar! Mahluk setan apa yang menyerangku?" Si gemuk cepat berdiri, memandang kedepan dan memperhatikan lebih jelas dia melihat benda putih itu ternyata sebilah pedang putih tipis bergagang gading berbentuk kepala naga. Pada badan pedang kiri kanan ada guratan angka 212.
"Dua Satu Dua! Astaga...!" Si gendut berseru. Dia segera ingat pada sobat yang sudah lama tidak bertemu. "Wiro anak geblek. Pasti kau yang punya urusan! Kau yang menyuruh pedang itu menyerangku! Anak Sableng! Lama tidak bertemu mengapa mau membuat aku celaka?! Dimana kau? Jangan sembunyi. Nanti aku..."
Ucapan belum selesai pedang putih yang mengapung di udara bergerak naik ke atas lalu wutt! Meluncur menusuk ke arah pertengahan dada gembrot berlemak si gendut.
"Kau benar-benar mau membunuhku?! Aku tidak Yakin! Ayo silahkan saja tusuk!" kata pemuda gendut sambil pegang koplah kupluk sementara tangan kiri bergerak mengangkat kipas kertas ke atas. Tadinya dia menyangka bahwa luncur tusukan pedang akan berhenti di tengah jalan atau membelok ke samping. Tapi ketika senjata itu terus meluncur ke arahnya si gendut jadi terperangah dan tidak mau mati konyol!
Sambil jatuhkan tubuh yang gembrot besar ke dalam air sungai, tangan kiri mengembangkan kipas untuk menangkis serangan pedang. Kalau dia mempergunakan kipas kertas untuk menghadapi pedang sakti berarti kipas kertas itu merupakan benda bukan sambarangan! Dan memang benar.
Begitu selarik angin dingin menyapu keluar dari kipas kertas, gerak luncur pedang putih tertahan. Si pemuda sentakkan kipas ke kiri. Pedang yang mengapung di udara ikut bergerak ke kiri.
"Kita tidak pernah bermusuhan. Mengapa menyerangku! Bukankah bersahabat lebih baik dari pada berseteru?!" Si gendut berucap sambil perlahan-lahan tangan kirinya yang memegang kipas diturunkan kebawah dan diputar-putar. Pedang putih ikut bergerak turun, berputar beberapa kali lalu srett! Pedang menggulung kembali dan jatuh di dalam sungai yang dangkal. Walau agak takut-takut si pemuda ulurkan tangan kanan mengambil gulungan pedang.
"Wiro! Mengapa masih sembunyi?! Ayo keluar! Kita bisa ngobrol sore Ini sampai pagi! Kalau mau disambung lagi dari pagi sampai sore!" Si gendut lalu tergelak-gelak hingga perut dan dadanya yang gembrot berguncang-guncang.
Satu bayangan berkelebat keluar dari balik pohon besar di tepi sungai kecil. Si gendut mengira yang muncul adalah sobat lamanya Pendekar 212 Wiro Sableng. Tapi dia jadi terperangah dan berbalik terkagum-kagum ketika melihat yang berdiri di tepi sungai adalah seorang gadis memiliki rambut panjang sepinggang. Pakaian hijaunya basah kuyup hingga tubuhnya yang sintal seolah tercetak di bawah pakaian itu.
"Kau mampu menjinakkan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua! Bagaimana kau melakukannya? Mantera apa yang kau baca?!" bertanya gadis berpakaian hijau sambil melirik ke arah kipas kertas di tangan kiri si gendut.
"Ha... he..." pemuda gemuk tertawa. Mata dikedap-kedipkan. "Aku tidak membaca mantera apa-apa. Kipas jelek Ini yang menolongku."
"Hebat! Kipasmu itu pasti sama saktinya dengan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua!"
"He he. Kipasku cuma kipas kertas jelek," Jawab si gendut merendah. "Eh! bagaimana kau tahu kalau pedang ini bernama Pedang Naga Suci Dua Satu Dua...?"
"Aku hanya menduga. Tidakkah kau melihat ada guratan angka Dua Satu Dua pada dua sisi pedang?"
"Ya... ya. He he. Kau pasti gadis dari rimba persilatan. Tidak sembarang orang bisa tahu ini pedang apa He he... Bagaimana kau tahu-tahu bisa muncul di sini?"
"Sewaktu hujan aku tengah berperahu di sungai ini. Lalu hujan turun, arus berubah besar. Perahuku terbalik. Selagi berenang ke tepi aku melihat benda putih bergulung dihanyutkan air. Aku mengikuti sepanjang tepian kali. Ketika melihat benda itu mengarah ke tempatmu berbaring di sungai dangkal aku berhenti mengikuti, sembunyi di balik pohon sana. Waktu benda bergulung terbuka berubah jadi sebilah pedang dan menyerangmu, aku sempat melihat guratan angka Dua Satu Dua di sisi pedang. Tadi aku mendengar kau menyebut nama seseorang. Wiro. Apakah kau kenal pada pendekar itu?"
"Dia sobat lamaku. Tadinya dia yang aku kira bergurau dengan senjata Ini. Heran, mengapa pedang sakti ini bisa tersesat begini rupa? Apa yang telah terjadi?" kata si gendut pula. Matanya yang betok terus saja memperhatikan wajah dan sosok elok si gadis. "Eh, kau belum menerangkan siapa dirimu."
"Namaku Nyi Wulas Pikan."
"Nama bagus. Puji si gendut.
"Kau sendiri siapa?" Balik bertanya si gadis. "Adalah aneh sementara orang kedinginan kau malah merendam diri di sungai." Mengaku bernama Nyi Wulas Pikan berarti dia bukan lain adalah penjelmaan Nyai Tumbal Jiwo.
"Namaku Santiko. Tapi orang-orang menyebutku Bujang Gila Tapak Sakti. Aku memang punya kelainan. Aku tidak tahan hawa panas. Selain itu kata orang, usiaku sekitar dua puluhan. Pada hal aku sebenarnya sudah berumur lebih dari delapan puluh!"
Nyi Wulas Pikan perhatikan dua tangan si pemuda yang tampak putih sampai ke kuku, "Kalau ucapanmu bisa dipercaya maka kau adalah orang paling aneh yang pernah kutemui. Dijuluki seperti itu kau pasti orang hebat" kata Nyi Wulas Pikan. "Apakah kau benar-benar masih bujang seperti namamu?"
Si gendut Bujang Gila Tapak Sakti keluar dari dalam sungai. Duduk di tanah di hadapan si gadis. Tangan kiri memegang kipas, tangan kanan menggenggam gulungan Pedang Naga Suci 212 yang mulai terasa panas. Sambil menyeringai dia bertanya.
"Apa maksudmu dengan pertanyaan itu Nyi Wulas?"
"Maksudku apakah kau masih perjaka? Hik hik..."
Si gendut Bujang Gila Tapak Sakti ikutan tertawa. "Aku tidak ingat apa aku ini masih perjaka. Yang jelas aku belum pernah nikah!"
"Nikah belum kawin sudah! Iya kan? Hik hik hik!"
"Kalau nikah denganmu aku mau!" kata Bujang Gila Tapak Sakti pula yang sejak tadi sudah tertawan dan bergairah melihat kecantikan serta kebagusan tubuh Nyi Wulas Pikan.
"Ihh... Kau sungguhan? Jangan main-main soal nikah."
"Kalau begitu kawin saja!" sahut si gendut.
"Dengar." Nyi Wulas Pikan melangkah mendekati Bujang Gila Tapak Sakti. "Kalau kau sungguhan mau kawin denganku, aku juga mau."
"Eh apa?!" Bujang Gila Tapak Sakti jadi kaget. Walau tertarik pada si cantik ini tapi tadi dia bicara hanya sekadar bergurau.
Nyi Wulas Pikan duduk di samping Bujang Gila Tapak Sakti lalu usap-usap dada gembrot si pemuda. Usapan turun ke perut yang buncit hingga Bujang Gila Tapak Sakti senyum-senyum meram melek. Sambil turunkan lagi usapannya ke bagian pusar, Nyi Wulas Pikan berkata.
"Aku mau kawin denganmu. Tapi ada syaratnya..."
"Ah, pasti kau minta mas kawin seratus sapi seratus kambing seratus..."
"Aku tidak, minta mas kawin apa-apa." Potong Nyi Wulas Pikan.
"Lalu? Sungguh? Ah. mungkin kau minta mas kawin emas atau perhiasan satu karung!"
"Gila! itu juga tidak." jawab Nyi Wulas Pikan sambil tersenyum dan lagi-lagi kedipkan mata menggoda. "Aku hanya ingin kau mengajarkan padaku bagaimana caranya agar aku bisa memegang pedang sakti itu tanpa tanganku menjadi panas dan melepuh."
"Apa kau pemah memegang pedang sakti ini sebelumnya?" tanya si pemuda sambil melirik kearah tangan kanan si gadis dan melihat ada luka melepuh pada tangan itu.
"Waktu berenang di sungai. Aku berusaha mengambil pedang yang masih dalam keadaan tergulung. Tapi tanganku kepanasan bahkan sampai melepuh." Berdusta Nyi Wulas Pikan.
"Terus terang aku tidak tahu bagaimana cara mengajar orang lain agar bisa memegang pedang ini."
"Tapi kau mampu memegangnya tanpa tanganmu cidera. Aku pernah mendengar riwayat senjata ini yang konon keluar dari perut naga di dasar laut."
"Ceritakan padaku..." kata Bujang Gila Tapak Sakti pula.
Nyi Wulas Pikan menggeleng. "Aku tidak mau menceritakan. Takut kesalahan." Kilah si gadis.
"Sebenarnya aku juga kepanasan memegang senjata ini. Tapi tidak sampai melepuh. Mungkin karena aku memiliki kekuatan hawa dingin dalam diriku, itu yang membuat aku bisa memegang senjata ini. Tapi lama-lama kalau panas terus-terusan rasanya aku bisa jadi tidak tahan..."
"Kalau begitu berikan kesaktian hawa dingin yang ada dalam tubuhmu padaku." Kata Nyi Wulas Pikan pula.
"Memberikan hawa dingin dalam tubuhku padamu?" mengulang si gendut.
Nyi Wulas Pikan mengangguk. Mulut mengulum senyum dan mata dikedipkan.
"Bagaimana caranya?" tanya Bujang Gila Tapak Sakti yang kena rayuan dan tambah bergairah melihat sikap si gadis.
Mengenai siapa adanya pemuda gendut berjuluk Bujang Gila Tapak Sakti ada baiknya dituturkan sedikit riwayatnya. Dalam serial Wiro Sableng berjudul Bujang Gila Tapak Sakti, diceritakan, ketika berusia 10 tahun Santiko mencuri perangkat Gamelan berupa dua buah bonang (kentongan besi) milik Keraton.
Dua buah bonang ini kemudian diserahkan Santiko pada seorang janda muda cantik jelita bernama Nyi Bulan Seruni Pitaloka yang memang telah membujuk Santiko untuk mencuri benda pusaka itu. Ketika Dewa Ketawa, tokoh aneh rimba persilatan tanah Jawa yang merupakan paman Santiko mengetahui hal ini maka si bocah dihukum berat. Dibawa ke puncak Gunung Mahameru lalu dipendam dalam sebuah lobang yang disebut lobang inti es selama 7 tahun. Menurut Dewa Ketawa satu tahun di dalam lobang sama dengan sepuluh tahun hidup di dunia luar.
Tujuh tahun kemudian setelah bebas dari hukuman, Santiko berubah menjadi seorang pemuda yang memiliki ilmu kesaktian tidak ada duanya. Semua Ilmu kepandaian dan kesaktiannya itu berdasar dan mengandalkan pada hawa dingin yang didapatnya selama dipendam di puncak Mahameru. Karena bertahun-tahun berada di dalam lobang luar biasa dingin, Santiko kini menjadi tidak tahan akan hawa panas. Kemana pergi selalu membawa kipas kertas. Selain dipakai untuk mengipasi diri, benda ini juga bisa dipergunakan sebagai satu senjata hebat. Sejak turun gunung Santiko dijuluki Bu|ang Gila Tapak Sakti dan selalu mengaku kalau usianya sudah delapan puluh tahun.
Dalam pengembaraannya pendekar gemuk ini bertemu dengan Pendekar 212 Wiro Sableng yaitu ketika murid Sinto Gendang ini membantu mendapatkan dua buah bonang kembali. Dari keterangan Nyi Bulan Seruni Pitaloka diketahui bahwa di dalam dua buah bonang itu terdapat lapisan dua helai kain sutera tipis yang hanya bisa dilepas dengan dua senjata sakti mandraguna. Senjata pertama Keris Nogo Sosro. Tapi senjata milik dan pusaka Keraton ini tidak diketahui dlmana beradanya. Yang kedua adalah Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro.
Setelah berhasil dilepas dari bonang, dua carik kain sutera itu ternyata berisi tulisan kuno mengenai rahasia ilmu sakti mandraguna. Pada kain sutera pertama tertera tulisan mengenal limu kesaktian langka sementara pada kain sutera kedua terdapat tulisan mengenai ilmu pengobatan.
Wiro menyerahkan dua helai kain sutera pada Nyi Bulan Seruni Pitaloka yang memang adalah milik mendiang suaminya. Dua buah bonang kemudian diberikan pada Dewa Ketawa. Antara kakek ini dengan sang keponakan keduanya saling berbaikan kembali. Sebagai balas budi atas bantuan Wiro, Nyi Bulan Seruni Pitaloka dengan Ilmu kesaktian bernama Berjalan Di Dalam Tanah kemudian mengajak sang pendekar jalan-jalan masuk ke dalam perut bumi.
Kembali pada pembicaraan antara Nyi Wulas Pikan dengan Bujang Tapak Sakti.
"Ada satu cara paling ampuh dan cepat untuk memasukkan ilmu kesaktian hawa dinginmu ke tubuhku." Kata Nyi Wulas Pikan pula.
"Katakan bagaimana caranya." Ucap Bujang Gila Tapak Sakti ingin tahu.
Nyi Wulas Pikun dekatkan mulutnya ke telinga kiri Bujang Gila Tapak Sakti. Dia lebih dulu menjilat daun telinga si pemuda hingga si gendut ini menggelinyang kegelian dan tambah berkobar nafsunya. Lalu Nyi Wulas Pikan membisikkan ucapannya ke telinga Bujang Gita Tapak Sakti.
"Heh, kau ini bicara apa?! Kau sungguhan?!" Si pemuda pura-pura terkejut ketika mendengar bisikan Nyi Wulas Pikan, padahal dadanya berdebar gembira. Tubuhnya langsung panas. Keringat memercik.
"Aku tidak main-main."
"Kita... kita mau melakukannya di mana?" tanya Bujang Gila Tapnk Sakti sambing pegang bagian bawah celana seperti orang kebelet kencing!
Nyi Wulas Pikan memandang berkeliling. "Di bawah pohon sana. Tanahnya tidak terlalu basah."
Lalu gadis ini berdiri dan melangkah ke bawah pohon besar. Di sini dia lambaikan tangan memanggil si pemuda, mulut tersenyum, mata dikedip menggoda. Karena Bujang Gila Tapak Sakti masih tidak beranjak dari tempatnya, Nyi Wulas Pikan gerakkan jari-jari tangan ke dada. Satu persatu dia tanggalkan kancing kain pada baju hijau yang dikenakannya.
"He...?!" Bujang Gila Tapak Sakti terperangah. "Kau sungguhan rupanya Nyi Wulas?" Mata mendelik besar tak berkedip.
Ketika di depan sana Nyi Wulas Pikan dilihatnya tidak lagi mengenakan apa-apa di bagian atas tubuhnya bahkan siap hendak menurunkan celana panjangnya pemuda ini perlahan-lahan bangkit berdiri sambil kipas-kipaskan kipas kertas. Tubuhnya panas kelangsangan. Bukan saja karena hawa dari pedang sakti dan udara di sekitarnya, tapi juga karena akibat kobaran nafsu. Hanya beberapa langkah saja Bujang Gila Tapak Sakti akan sampai di hadapan Nyi Wulas Pikan yang tegak berdiri di depan pohon besar tiba-tiba terdengar suara berdesing.
Pedang Naga Suci 212 yang ada di tangan kanan pemuda gendut itu memancarkan sinar terang. Bujang Gila Tapak Sakti berseru kaget ketika hawa sangat panas menghantam tangan kanannya. Pedang sakti berkelebat lepas, gulungan terbuka lalu berkiblat di udara.
"Breett!"
Bujang Gila Tapak Sakti melompat mundur. Lengan kiri baju terbalik yang dikenakannya robek besar Kulit tergores. Hawa dingin luar bisa menyelubungi dirinya. Menyangka pedang sakti akan berbalik menyerang kembali cepat dia buka lipatan kipas kertas. Ternyata Pedang Naga Suci 212 melesat ke arah Nyi Wulas Pikan alias jejadian Nyai Tumbal Jiwo!
Melihat dirinya diserang gadis cantik jejadian yang dalam keadaan polos tubuh sebelah atas tentu saja tidak tinggal diam. Dia cari selamat dengan melompat ke kiri sambil lima jari tangan kanan dijentikkan. Lima larik sinar merah menderu, menghantam Pedang Naga Suci 212 di lima tempat.
"Tring... tring... tring... tring...tring!"
Terdengar suara berdentringan disertai percikan bunga api. Pedang sakti tampak bergetar, sesaat naik turun di udara namun di lain kejap kembali melesat ke arah Nyi Wulas Pikan. Gadis jejadian ini berteriak keras, secepat kilat jatuhkan diri ke tanah.
"Crass!" Pedang Naga Suci 212 menancap sampai sejengkal di depan gagang pada batang pohon besar dibelakang Nyi Wulas Pikan.
Gadis ini sambar bajunya yang tergeletak di tanah, siap untuk menghambur lari. Namun dibatang pohon, Pedang Naga Suci 212 melesat surut lalu kembali menderu ke arah Nyi Wulas 'Pikan. Kali ini yang diserang tidak mampu selamatkan diri lagi. Kalau sampai dirinya dibantai pedang sakti, rohnya akan terlempar ke alam gaib untuk selama-lamanya, tak mungkin lagi akan gentayangan dimuka bumi, Nyi Wulas Pikan menjerit keras.
Sekejap lagi pedang sakti akan menancap di dadanya yang putih polos tiba-tiba mengumandang satu suara. "Pedang sakti Naga Suci Dua Satu Dua! Bukan saatnya kau membunuh! Kembali padaku!"
Luncuran Pedang Naga Suci 212 mendadak tersendat, lalu berhenti. Setelah sesaat mengapung di udara, pedang sakti ini menggulung diri lalu melayang ke arah kakek berambut panjang putih yang wajahnya tertutup janggut serta kumis putih menjulai. Dengan cepat kakek ini menangkap gulungan pedang sakti lalu memasukkan ke balik pakaian. Matanya kemudian ditujukan ke arah Nyi Wulas Pikan yang baru saja mengambil baju hijaunya.
"Gadis jalang! Beraninya kau berbuat mesum di tempat ini!"
Nyi Wulas Pikan menyahuti dengan mencibirkan lidah, tertawa cekikikan lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Jangan pergi!" bentak orang tua berselempang kain putih seraya mengejar dan tusukkan dua jari tangan kanan mengirim totokan jarak jauh. Namun dengan mengeluarkan ilmu Dibalik Asap Roh Mencari Pahala yang merupakan semburan asap hitam penghalang pemandangan Nyi Wulas Pikan berhasil lenyap dari tempat itu. Totokan jarak jauh si orang tua hanya mengenai udara kosong mengeluarkan suara menggelegar.
Di kejauhan terdengar tawa cekikikan Nyi Wulas Pikan disertai ucapan. "Orang tua! Aku tahu kau cuma berpura-pura marah! Aku melihat kau menikmati pemandangan dadaku yang bagus! Hik hik hik!"
Wajah si orang tua berubah merah. Mulutnya berkomat-kamit mengucap. Kini kemarahannya ditumpahkan pada si gendut Bujang Gila Tapak Sakti. Tahu kalau orang marah padanya pemuda ini pegang kopiah kupluknya yang robek besar lalu berkata.
"Kek, kalau aku tidak salah menduga, bukankah kau Kiai Gede Tapa Pamungkas yang diam dipuncak Gunung Gede sana?"
Si kakek tidak menjawab. Untuk beberapa lama dia hanya menatap mendelik pada si gendut. "Kau sudah tahu diriku! Aku juga sudah tahu siapa dirimu! Apakah pantas bagi seorang pendekar rimba persilatan apa lagi yang konon keponakan Dewa Ketawa, berbuat mesum di tempat ini?!"
"Kiai. Aku tidak berbuat mesum. Perempuan itu sendiri yang menanggalkan bajunya. Aku tidak menyuruh!" jawab si gendut sambil menyengir.
"Bujang Gila Tapak Sakti! Jangan bermain kata-kata denganku!"
"Kiai, kau salah menduga. Gadis tadi bermaksud menggodaku. Usiaku sudah delapan puluh tahun. Aku tak mungkin tertipu. Sebenarnya gadis tadi ingin mendapatkan pedang bergulung itu..."
Sang Kiai merasa heran mendengar pemuda gendut di depannya mengaku berusia delapan puluh tahun. "Sudahlah, sulit aku percaya pada ucapanmu." Kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula. "Aku hanya ingin tahu satu hal. Apa kau berkomplot dengan gadis tadi mencuri Pedang Naga Suci Dua Satu Dua dari tempat kediamanku di dasar telaga?"
"Aku tidak mengerti. Kau seperti mau menuduh. Ceritanya aku menemui pedang itu waktu aku lagi berbaring di sungai dangkal. Gadis tadi ingin menguasai pedang tapi tidak bisa karena kalau memegang gulungan pedang tangannya jadi melepuh."
Kiai Gede Tapa Pamungkas perhatikan tangan Bujang Gila Tapak Sakti. Tangan itu tampak agak kemerahan tapi tidak terluka atau melepuh. Berarti pemuda ini memilik kesaktian tinggi untuk mampu memegang Pedang Naga Suci 212.
"Kiai, tadi kau bilang cuma ingin tahu satu hal. Apa kau tidak ingin tahu siapa nama gadis itu?"
"Apa maksudmu? Jangan berani kurang ajar bicara denganku!"
"Kiai, jangan salah paham. Aku tidak bermaksud begitu. Aku..."
"Tutup mulutmu! Kalau kau tidak bersekongkol dengan gadis jejadian tadi, lalu mengapa kau bisa tersesat ke tempat ini?"
Bujang Gila Tapak Sakti jadi kesal karena terus menerus dicurigai. "Kiai, tidak ada hujan tidak ada angin, tidak ada ujung tidak ada pangkal kau mengambil sikap mencurigai diriku. Apakah ada aturan dalam rimba persilatan bahwa seseorang itu tidak boleh pergi kemana dia suka?"
"Memang tidak ada aturan. Tapi lain dengan dirimu!"
Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak. Saking kesalnya maka si gendut ini lantas lontarkan kata-kata mengejek. "Aku memang lain dibanding dirimu. Kau kurus nyaris kerempeng. Aku gendut gembrot! Kau berambut putih. Rambutku masih hitam. Kau punya kumis dan janggut putih. Mukaku tembam tapi klimis. Kau mengenakan pakaian selempang kain putih. Aku mengenakan baju terbalik dan celana komprang. Aku masih tegap, kau sudah reot. Anuku masih kencang berkilat. Anumu pasti sudah seperti terong peot Mungkin juga rada-rada burik. Ha ha ha"
Amarah Kiai Gede Tapa Pamungkas bukan alang kepalang. "Kau layak diberi pelajaran!" bentak orang tua itu dengan wajah merah mengelam. Lalu sekali tangan kanannya digerakkan, tangan itu berubah panjang dan...
"Plaak! Plaak!"
Dua tamparan keras melanda pipi Bujang Gila Tapak Sakti kiri kanan hingga bibirnya pecah dan mengucurkan darah. Sambil menahan sakit, setelah menyeka noda darah di pinggiran mulut dan dagu si gendut ini masih bisa keluarkan ucapan yang membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas merasa menyesal.
"Kiai, kalau aku memang bersalah dan kurang ajar apakah begini cara seorang Kiai memberi pelajaran. Seumur hidup aku akan mengingat pelajaran yang barusan kau berikan padaku. Aku mengucapkan terimakasih atas kebaikanmu mau memberi pelajaran." Terhuyung-huyung Bujang Gila Tapak Sakti memutar tubuh lalu tertatih-tatih tinggalkan tempat itu.
Kiai Gede Tapa Pamungkas hela nafas panjang dan dalam. Dia hendak beranjak pergi dari tempat itu, segera kembali ke puncak Gunung Gede. Namun mendadak dia merasakan udara di sekitarnya berubah dingin. Semakin dia berusaha bertahan semakin dingin tubuhnya. Lalu tanah yang dipijaknya seolah berubah menjadi es!
Dua kaki berubah kaku tak mampu digerakkan. Orang tua ini menggigil, geraham bergemeletukan. Bagaimanapun dia berusaha mengalirkan tenaga dalam mengandung hawa panas tetap saja dia tidak mampu melawan rasa dingin. Perlahan-lahan dari hidung dan telinganya meleleh keluar cairan darah.
"Aku telah bersalah. Menyengsarakan orang yang mungkin tidak berdosa. Sekarang pemuda itu melakukan pembalasan..." Membatin Kiai Gede Tapa Pamungkas. "Ya Tuhan aku mohon ampun padamu. Dan kau pemuda bernama Bujang Gila Tapak Sakti, aku minta maaf padamu atas kekeliruanku."
Baru saja sang Kiai selesai mengeluarkan ucapan batin itu tiba-tiba hawa dingin serta merta lenyap. Dua kakinya yang kaku kini bisa digerakkan. Darah berhenti mengucur dari hidung dan telinga, bahkan lenyap tanpa bekas. Dalam tubuhnya kini mengalir hawa luar biasa sejuk yang membuat dadanya terasa lapang dan hatinya menjadi lega. Sang Kiai geleng-gelengkan kepala.
"Pemuda itu telah memberi pelajaran sangat baik padaku.” Ucap Kiai Gada Tapa Pamungkas. “Bujang Gila Tapak Sakti, aku berterima kasih padamu. Hari ini kau telah memberi pelajaran yang tidak akan aku lupakan seumur hidup.”
Bujang Gila Tapak Sakti kembali ke tepi sungai dimana sebelumnya dia berbaring di bagian yang dangkal. Lama pemuda gendut ini duduk termenung sambil mengusap-usap pipinya yang terasa sakit. Dengan air sungai yang sejuk dan jernih dia membersihkan noda darah yang masih tertinggal dipinggiran mulut dan dagu. Selagi termangu-mangu demikian rupa tiba-tiba si gendut ini mendongar suara seseorang.
"Ssstt... sstt. Gendut. Terong peot rada-rada burik! Hik hik hik! Lagi apa kau di pinggir sungai situ?!"
Bujang Gila Tapak Sakti turunkan dua tangan yang dipakai membasuh muka. Memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa. "Ah. mungkin suara hatiku sendiri yang tadi aku dengar." Ucap si gendut dalam hati. Namun dia merasa kesal juga. "Aku bukan terong peot! Punyaku masih segar mengkilat. Juga tidak rada-rada burik! Punya ku licin mulus! Sialan! Siapa yang barusan ngomong?! Jangan-jangan gadis bernama Nyi Wulas Pikan tadi..." Karena tetap tidak melihat seorangpun Bujang Gua Tapak Sakti kembali meneruskan membasuh muka.
"Ssst Terong peot! Hik hik! Kau tidak dengar ya ditegur orang!"
Bujang Gila Tapak Sakti diam sebentar lalu pura-pura meneruskan membasuh muka. Dia sudah mengetahui dari arah mana suara orang itu. Suara perempuan. "Perempuan sialan! Tunggu saja. Sebentar lagi akan aku labrak kau!"
"Ssst... ssttt! Hai terong peot!" Kembali terdengar suara itu.
Tubuh gemuk ratusan kati Bujang Gila Tapak Sakti tiba-tiba melesat enteng ke udara. Berkelebat ke balik pohon besar di tepi kanan sungai kecil. Kipas di tangan kiri dikembangkan. Begitu si gendut ini sampai di balik pohon, dari tempat itu terdengar suara perempuan terpekik disusul tawa cekikikan.
"Anak kecil! Siapa kau?!" bentak Bujang Gila Tapak Sakti.
"Hik hik hik!" Apa matamu buta! Enak saja mengatakan aku anak kecil! Lihat! Aku sudah punya anak tahu! Ini anakku!”
Dari jengkel Bujang Gila Tapak Sakti jadi terperangah lalu menyeringai. Di hadapannya saat itu berdiri sambil senyum-senyum seorang perempuan cantik bertubuh kecil, membedong sebuah boneka kayu di atas dadanya.
“Sialan! Jelek amat nasibku hari ini. Habis ditampar kakek-kakek kini bertemu perempuan sinting!” Kata Bujang Gila Tapak Sakti dalam hati. “Tapi... apa benar dia gila? Wajahnya dipoles dandanan apik. Rambut rapi. Pakalan biru bagus masih baru...”
“Anak kecil, kau ini siapa? Mengapa menggangguku?”
“Anak kecil, anak kecil! Enak saja kau bicara! Pasti kau memang buta! Juga tuli! Apa tidak melihat dan tidak mendengar ucapanku tadi. Aku sudah punya anak. Ini!”
Perempuan bertubuh kecil yang bukan lain adalah Nyi Retno Mantili keluarkan boneka kayu dari bedongan kain lalu diacungkan ke depan...
Pedang Naga Suci 212 lewat di atas kepala Purnama. sempat membabat putus sejumput rambutnya yang hitam dan membuat gadis ini terpekik. Dalam keadaan sekujur tubuh terasa dingin akibat serangan pedang. Purnama masih mampu lancarkan serangan ke dua berupa babatan kapak membalik ke atas.
"Purnama Jangan!" Teriak Wiro. Namun terlambat.
"Craassss!!" Kapak Naga Geni 212 menyapu lebih dulu di atas dada Luhrembulan. Gadis alam gaib ini terpekik keras.
BAB SATU
PULAU Watu Gilang di pantai Parangkusumo. Dua bukit karang menjulang tinggi di kegelapan malam. Pendekar 212 Wiro Sableng yang baru saja menabas putus leher Patih Kerajaan Wira Bumi mengusap kuduk yang terasa dingin mengkirik. Bulu roma merinding. Dia merasa ngeri sendiri.
"Edan, kalau dia tidak mempergunakan ilmu setan, tidak menyamar jadi Nyi Retno Mantili untuk merampas bayi itu, aku mungkin tidak akan membunuhnya! Aku sekarang Jadi pembunuh! Pembunuh Patih Kerajaan! Urusan lagi! Perkara lagi! Geblek! Sial..."
Murid Sinto Gendang menggaruk kepala, memandang sekeliling pulau yang diterangi belasan obor. Di pantai Parangtritis dan Parangkusumo ratusan orang berdatangan untuk merayakan malam Satu Suro. Biasanya mereka Juga menyeberang ke pulau Watu Gilang. Namun karena ombak di laut sedang besar, sampai saat itu belum ada seorangpun yang datang.
"Waktu aku bertemu perempuan itu bersama boneka kayunya di Bantul, dia berjanji akan datang menemuiku di pantai Parangtritis pada malam Satu Suro ini. Yang datang ternyata Wira Bumi, merubah diri Jadi Nyi Retno Mantili. Berarti yang kutemui di Bantul sejak semula memang bukan Nyi Retno Mantili yang asli. Edan! Lalu sekian lama dimana perempuan itu bersembunyi. Ah, aku tidak yakin dia sembunyi. Mungkin pergi ke satu tempat. Apa dia benar-benar marah padaku?" Wiro terdiam sejenak. Dadanya mendadak berdebar oleh rasa kawatir ketika hatinya berucap. "Jangan-jangan Nyi Retno telah dibunuh Wira Bumi atau gendaknya yang bernama Nyai Tumbal Jiwo itu."
Kalau saja saat itu dua nenek sakti yaitu Nyai Roro Manggut dan kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu masih ada bersamanya Wiro mungkin bisa bicara bertukar pendapat dan pikiran. Sayang mereka telah menyeberang ke Parangtritis untuk melihat keramaian malam Satu Suro. Wiro akhirnya pergi ke pantai, ke tempat dimana dia sebelumnya meninggalkan perahu di bagian selatan pulau.
Ketika sampai di perahu dan hendak mengambil kayu pendayung mendadak dia melihat seorang perempuan muda cantik jelita, berpakaian sangat seronok berbaring menelentang di lantai perahu. Dua tangan dan kaki dikembang, diletakkan di atas pinggiran perahu. Tubuhnya nyaris tersingkap di setlap bagian. Betul-betul menggoda! Namun murid sinto gendeng tenang saja. Dia sudah banyak pengalaman dengan hal dan kejadian seperti ini.
Wiro tidak mengenal siapa adanya si cantik ini. "Kau siapa?" tanya Pendekar 212. Dia berpikir jangan-jangan mahluk jejadian lagi.
Yang ditanya tersenyum. Giginya tampak rata dan putih. "Namaku Nyi Wulas Pikan..."
"Nama bagus. Tapi aku tidak mengenalmu. Apakah kau mengenalku sebelumnya?"
"Tentu saja aku mengenalmu," jawab si cantik. "Bahkan mulai malam ini kau telah menjadi kekasihku. Pengganti Wira Bumi yang telah kau bunuh..."
Pendekar 212 undur satu langkah. Memperhatikan lekat-lekat wajah perempuan muda yang berbaring menelentang di atas perahu sambil menggaruk kepala.
"Kepalamu gatal? Apa banyak kutunya? Mau aku carikan kutu, aku bersihkan? Mungkin rambut lain di tubuhmu Juga banyak kutunya! Hik hik hik..." Si cantik tertawa cekikikan.
Wiro menyeringai. Lalu berkata. "Aku ingat, kau... kau adalah perempuan yang berbuat mesum dengan Patih Kerajaan di balik semak belukar di tepi pantai..."
"Waw! Jadi kau mengintip rupanya?! Hlk hik hik? Dengar, mengintip itu cuma bikin pusing kepala. Kau tidak mau melakukannya sendiri?"
Wiro pencongkan mulut lalu menggeleng.
"Ah, aku tahu. Kau tidak mau mendapat yang bekas. Lihat, wajahku bisa berubah-ubah. Kau tinggal mengatakan pilih yang mana."
Diiringi suara tawa panjang rupa perempuan di atas perahu berubah berulang kali. Semua menampilkan wajah-wajah cantik. Wiro sempat terperangah ketika melihat dua di antara wajah-wajah itu sangat menyerupai wajah Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur.
"Kau pasti Jejadian Nyai Tumbal Jiwo!" kata Pendekar 212. "Lebih baik kau kembali ke ujud aslimu!" Lalu Wiro angkat tangan kanan, siap melepas pukulan Tangan Dewa Manghantam Batu Karang. Pukulan sakti ini dipelajari Wiro dari Kitab Putih Wasiat Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Amen.
Namun sebelum pukulan itu melesat sosok perempuan cantik di atas perahu yang mengaku Nyi Wulas Pikan telah lenyap dari pemandangan. Yang terdengar hanya suara tawa cekikikan yang kemudian juga lenyap seolah masuk menghilang ke dalam laut, ditelan gemuruh ombak. Perahu yang terkena pukulan hancur berantakan berkeping-keping.
Wiro berbalik. Dia melengak kaget dan keluarkan seruan tertahan lalu menyumpah panjang pendek, karena begitu berbalik kakinya menendang sesuatu. Ternyata yang tertendang adalah sosok Wira Bumi. Anehnya tubuh dan kepala yang sebelumnya kutung terpisah tergeletak kini dalam keadaan saling berdekatan. Mulut menganga, mata kanan mencelat! Namun di lain kejap sosok itu kemudian lenyap dari pemandangan.
"Edan! Edan!" maki Wiro berulang kali.
"Hik hik hik." Tiba-tiba ada tawa mengiang di telinga Wiro. "Ini aku lagi. Kekasihmu. Nyi Wulas Plkan. Setelah aku mengurus mayat Wira Bumi, apakah malam ini kita bisa bersenang-senang sampai pagi di pulau yang sepi ini? Suara tetabuhan gamelan di pantai seberang akan mengaluni percintaan kita. Bukankah Indah sekali?"
"Hik hik hik!" Saking kesalnya Wiro menirukan tawa mengiang lalu memaki. "Gila! Edan!"
"Gila! Edan! Yang gila dan yang edan itu yang paling enak! Kita akan sama-sama merasakan kelak! Kita berdua pasti cocok. Kalau kau sudah merasakan hemmm... Kau tidak akan meninggalkan diriku seumur-umur! Dan aku akan setia padamu! Hik hik hik!"
"Setan perempuan! Mampuslah!" teriak Wtro.
Lalu tidak kepalang tanggung dia hantamkan tangan kanan melepas pukulan Sinar Matahari ke arah datangnya suara mengiang. Hawa panas menghampar. Cahaya putih menyilaukan berkiblat di Watu Gilang. Membuat terkejut dan heran semua orang yang ada di pantai Parangtritis dan Parangkusumo. Namun yang dihantam pukulan sakti itu hanya udara malam kosong. Dua belas obor hancur berantakan. Keadaan di atas pulau menjadi gelap.
"Sialan! Sialan!" maki Wiro berulang kali.
"Tidak sial! Tidak sial! Kau beruntung mendapatkan diriku! Aku beruntung mendapatkan dirimu!" Suara mengiang kembali terdengar di telinga Wiro.
Masih dalam suasana malam Satu Suro. Menjelang pagi Kota raja yang ramai dengan berbagai perayaan menyambut pergantian tahun berangsur-angsur sepi. Sebelumnya di berbagai tempat terdapat banyak panggung hiburan. Arak-arakan yang membawa obor dan lampion berputar-putar sepanjang Jalan di dalam kota. Berbagai alat bunyi-bunyian seperti gendang, beduk kecil ditabuh. Seruling dan terompet ditiup melengking keras.
Menjelang pagi suasana berangsur sepi. Sewaktu hujan rintik-rintik turun dan hawa dingin mulai membungkus Kotaraja, keadaan jadi benar-benar sunyi. Hanya sesekali terdengar suara lolongan anjing di kejauhan.
Dalam kegelapan malam yang dipagut hawa dingin, dari arah barat tampak sebuah gerobak ditarik seekor kuda hitam bergerak memasuki Kotaraja. Luar biasanya, gerobak ini membawa sebuah peti mati dari kayu kasar, ditutup secarik kain merah. Dan ternyata gerobak ini menuju ke Gedung Kepatihan yang terletak di selatan alun-alun.
Ketika gerobak yang ditarik kuda hitam meluncur ke arah pintu gerbang yang tertutup dua pengawal penjaga pintu gerbang serta merta menghadang sambil melintangkan tombak besi berujung tajam.
Pengawal di sebelah kanan hendak membentak kusir gerobak. Namun begitu melihat sosok dan tampang kusir gerobak, mulutnya langsung terkancing dan wajahnya menjadi pucat. Pengawal yang satu lagi tertegun mendelik, juga tak mampu keluarkan suara.
Kusir gerobak ternyata adalah seorang nenek bermuka seseram setan, berambut merah panjang riap-riapan, mengenakan pakaian merah. Seluruh kulit termasuk kulit wajahnya juga berwarna merah. Sepasang mata yang laksana api Jadi bertambah seram karena dilingkari sepasang alis berwarna merah menjulai! Ketika dia menyeringai tampak daratan gigi yang hanya tinggal beberapa buah serta lidah yang basah merah.
"Buka pintu gerbang!" Si nenek memerintah dengan suara bergaung membuat dua pengawal tambah ketakutan.
Karena yang diperintah tidak bergerak dan tidak bersuara, si nenek tidak sabaran gerakkan tangan kanan. Selarik sinar merah melesat.
"Braaakkk” Pintu gerbang besar yang terbuat dari kayu besi tebal dan kokoh hancur berantakan. Si nenek sentakkan tali kekang kuda. Pada saat gerobak meluncur melewati pintu gerbang baru dua pengawai sadar. Keduanya berteriak keras dan berusaha menghalangi. Salah seorang dari mereka malah melompat naik ke tempat duduk kusir.
"Manusia-manusia kurang ajar! Tidak tahu diri! Apa tidak melihat aku membawa barang keramat?!" Tangan kiri si nenek bergerak.
"Bukk” Pengawal yang melompat ke atas kereta terpental. Tergelimpang di tanah tak berkutik lagi. Tulang dada hancur!
Pengawai satunya melihat apa yang terjadi dengan temannya berteriak marah lalu melemparkan tombak besi ke arah si nenek. Orang yang diserang cuma menyeringai. Sekali tangannya diangkat tombak besi berhasil ditangkap lalu dilempar balik ke arah perajurit yang tadi menyerang. Perajurit pengawal hanya sempat keluarkan suara jeritan pendek lalu roboh ke tanah dengan dada ditambusi tombak.
********************
Pagi harinya Gedung Kepatihan geger besar. Yang pertama sekali melihat gerobak berhenti di depan gedung adalah seorang pembantu lelaki yang setiap pagi biasa menyapu membersihkan halaman.
"Aneh, pagi-pagi begini ada gerobak di depan Kepatihan. Kusirnya tidak kelihatan. Siapa yang membawa?"
Pembantu ini melangkah mendekati. Beberapa langkah di samping gerobak gerakannya terhenti ketika pandangannya membentur peti mati berselubung kain merah. Dia mencium bau aneh.
"Bau busuk...! Seperti bau busuk bangkai..." Ucap tukang sapu dalam hati. Rasa takut mendadak saja menggerayangi diri. Terlebih ketika dia memandang ke arah kiri dan melihat pintu gerbang dalam keadaan hancur berentakan. Lalu ada dua perajurit tergeletak tak bergerak. Salah satu dengan dada ditancapi tombak. Seekor anjing tengah menjilati cairan merah di dada perajurit yang sudah jadi mayat itu. Tengkuk tukang sapu merinding dingin. Dia segera saja berteriak-teriak memanggil pengawal.
Lebih dari selusin pengawal kemudian mendatangi halaman depan Gedung Kepatihan. Empat orang lari ke arah pintu gerbang dimana dua pengawal tergeletak tewas. Sisanya mengerubungi gerobak. Bersama mereka ikut seorang kakek berjubah gombrong hitam berkepala botak yang dicat hitam.
Kakek ini adalah seorang tokoh silat golongan hitam yang menjadi salah seorang pembantu kepercayaan Patih Wira Bumi dikenal dengan nama panggilan Kloneng Hitam. Wajah si orang tua botak tampak berkerut Hatinya membatin. Dia seolah sudah tahu apa yang terjadi dan mayat siapa yang ada dalam peti mati.
"Malapetaka besar akhirnya datang juga. Kepala Pengawal Bantarangin tewas. Juga Perwira Tinggi Suko Daluh. Lalu tokoh silat Ki Wulur Jumena dan Ki Luwak Ireng terbunuh. Sekarang..." Kioneng Hitam tidak teruskan ucapan hati dia berteriak pada para pengawal Kepatihan yang mengerubungi gerobak. "Jangan diam saja! Lekas turunkan peti mati itu!"
Seorang pengawal menarik kain merah yang menyelubungi peti mati. Delapan orang kemudian dengan susah payah menurunkan peti mati ke tanah. Bau busuk semakin santar.
"Buka tutup peti mati!" perintah kakek kepala botak hitam.
Delapan pengawal yang barusan menurunkan peti mati sesaat tertegun. Wajah mereka jelas menunjukkan rasa bimbang dibalut ketakutan.
"Perajurit-perajurit pengecut!" maki Kloneng Hitam.
Kakek botak ini pergunakan kaki kiri menendang pinggiran peti mati hingga papan penutup peti mati terpental, melesat ke udara. Dalam keadaan tanpa penutup, apa yang ada di dalam peti mati terpentang jelas. Semua pengawal yang ada di sekeliling peti bersurat mundur, keluarkan saruan tertahan dan serentak menutup hidung.
Kloneng Hitam walau sudah menduga tak kurang kaget di dalam peti mati tergeletak mayat Patih Wira Bumi. Yang mengerikan kepalanya terpisah dari badan. Mata kiri dibalut kain hitam. Mata kanan melotot mencelet. Mulut menganga. Bagian yang kutung bekas tabasan senjata tajam tampak telah membusuk. Bagian tubuh yang luka inilah yang menebar santar bau busuk.
Kloneng Hitam menyuruh para pengawal menutup peti mati kembali lalu dia masuk ke dalam Gedung Kepatihan menemui Ni Ketut Ragi, perempuan keturunan Bali yang menjadi Kepala Pelayan di Gedung Kepatihan.
"Ni Ketut, beri tahu kedua istri almarhum kanjeng Patih Kerajaan apa yang terjadi. Tapi cegah kalau mereka ingin melihat jenazah."
Begitu tahu kalau majikannya telah meninggal dunia, Ni Ketut Ragi sambil menangis pergi menemui dua orang Istri Patih Wira Bumi yang tinggal di dua bangunan terpisah. Seperti diketahui Wira Bumi memiliki tiga orang istri. Istri ketiga dan yang paling muda adalah Nyi Retno Mantili. Pagi itu Juga seluruh penghuni Gedung Kepatihan dilanda kegegeran. Ratap tangis terdengar dimana-mana.
Kioneng Hitam sendiri kemudian masuk ke dalam sebuah kamar rahasia yang diketahuinya sering dipakai Wira Bumi untuk bersemadi dan bertemu serta bercinta dengan gurunya Nyai Tumbal Jiwa. Cukup lama kakek kepala botak Ini berada dalam kamar. Dia berusaha merenung dan berpikir mencari tahu siapa adanya orang yang telah membunuh Patih Wira Bumi.
"Setahuku Patih Wira Bumi baru saja mendapatkan ilmu dari seorang nenek sakti di pantai selatan. Dengan ilmu yang dimilikinya tidak mudah bagi musuh untuk menghabisinya." Kekek botak ini terus merenung. "Aku Ingat cerita Patih Wira Bumi tentang golok besar miliknya yang pernah hilang. Mungkin dengan menjajagi dimana keberadaan senjata itu aku bisa mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Aku harus menemui seseorang. Aku juga harus mengutus seseorang untuk melapor ke Istana"
Kioneng Hitam keluar dari kamar. Langkahnya tertahan ketika entah dari mana datangnya tahu-tahu di ambang pintu telah berdiri seorang nenek bermuka setan. Wajah, pakaian serta rambut berwarna merah menyala. Walau berkepandaian tinggi dan punya banyak pengalaman namun menghadapi nenek angker ini Kloneng Hitam bergetar juga nyalinya.
"Kakek botak! Kau telah berlaku lancang memasuki kamar rahasia Patih Kerajaan tanpa izin!" si nenek berkata. Suaranya perlahan tapi menimbulkan gaung aneh di dalam kamar.
"Kau siapa? Punya hak apa menegurku?! Balik menjawab Kloneng Hitam.
"Kau tidak layak bertanya. Tapi biar kujawab agar kau tahu diri! Aku Nyai Tumbal Jiwo Guru Patih Kerajaan Wira Bumi!"
Kloneng Hitam tertegun sesaat talu berkata. "Ah, aku tidak menyangka. Terima salam hormatku." Si kakek lalu membungkuk memberi penghormatan. Setelah berdiri lurus-lurus dia berkata. "Aku tidak bermaksud berlancang diri. Aku memasuki kamar dalam menjajagi kalau-kalau ada sesuatu yang bisa aku jadikan bahan untuk mencari tahu siapa pembunuh Patih Kerajaan."
"Kau tidak perlu melakukan hal itu. Semua tanggung jawab ada padaku! Aku yang akan mencari pembunuh Patih Wira Bumi!"
"Aku... aku sangat berterima kasih kalau kau mau melakukan, Nyai." Kata Kloneng Hitam pula walau dalam hati dia merasa tidak enak. Sebagai tokoh silat golongan hitam sedikit banyak dia tahu mahluk macam apa adanya Nyai Tumbal Jiwo.
"Kalau kau sudah mengerti pergilah! Jangan sekali lagi berani berlaku lancang. Apa lagi masuk ke dalam kamar ini!"
"Baik Nyai." Ucapanmu akan aku ingat baik-baik!" Jawab Kloneng Hitam. Lalu cepat-cepat tinggalkan. tempat itu.
Setelah Kloneng Hitam pergi, Nyai Tumbal Jiwo masuk ke dalam kamar, langsung merebahkan diri menelentang di atas ranjang. Mulutnya berucap perlahan.
"Pendekar Dua Satu Dua, kekasihku. Kalau kau ada di sini alangkah bahagianya diriku. Hanya kau seorang yang mampu menjadi pengganti Wira Bumi."
Sambil membayangkan wajah Wiro, Nyai Tumbal Jiwo tanggalkan pakaian merahnya. Bersamaan dengan itu wajah dan tubuhnya berubah menjadi wajah dan tubuh seorang gadis cantik. Nyi Wulas Pikan!
********************
BAB DUA
Telaga tiga warna di puncak Gunung Gede sebelah timur tampak begitu indah. Udara terasa nyaman pagi itu. Kicau burung terdengar bersahutan di pepohonan. Di kejauhan ada suara perempuan menyanyi.
Kemuning anakku. Pagi begini Indah. Udara segar melegakan kalbu. Adakah kau mendengar begitu merdu suara kicau burung dipepohon. Ataukah kau masih berduka karena ayahmu tak kunjung jumpa. Kemuning anakku. Jangan kau bersedih
Suara nyanyian tiba-tiba terputus. Penyebabnya adalah kemunculan seorang dara berambut hitam sepinggang, mengenakan pakaian putih berkilat. Berhenti di tepi telaga wajahnya yang Jelita tampak berkerut.
"Jelas tadi aku mendengar suara perempuan menyanyi di arah sini. Mengapa mendadak lenyap?"
Gadis di tepi telaga memandang berkeliling. Hatinya berkata. "Aku yakin perempuan yang menyanyi masih ada di sekitar sini. Aku tidak melihat dia tapi bisa saja dia tengah memperhatikan diriku. Ah sudah, aku tidak ada urusan dengan perempuan Itu. Bisa saja dia pengamen murahan yang kesasar. Tapi, bagaimana kalau yang menyanyi tadi gadis bermata biru Itu? Apa dia sudah datang lebih dulu? Sayang aku tidak mendengar Jelas apa syair nyanyiannya."
Gadis itu akhirnya duduk berjuntai di tepi telaga. Dia tidak perdull ujung celana putihnya masuk ke dalam air. Dan ternyata ujung kaki celana Itu memang tidak basah. Sambil menggoyang-goyang dua kaki perlahan-lahan gadis ini kerahkan tenaga dalam.Tak selang berapa lama air telaga tiga warna tampak mulai bergelombang. Gelombang-gelombang kecil ini bukan gelombang biasa karena menimbulkan getaran aneh yang terasa sampai di dasar telaga.
"Getaran sudah sampai ke dasar telaga, saatnya aku bicara." Membatin gadis yang duduk di tepi telaga. Sepasang mata bening memandang ke permukaan, kepala disentakkan hingga...
"Wuutt...!" Rambut hitam panjang melesat berputar membuat ranting pohon bergoyang dan dedaunan yang luruh jatuh. Lalu mulut berbibir marah bagus berucap. Dia mempergunakan Ilmu yang disebut Menyadap Suara Batin, Ilmu yang mampu menyampaikan suara ke tempat jauh melalui angin. Suara yang disampaikan sanggup menembus tembok, melewati air.
"Kiai Gede Tapa Pamungkas, saya datang dari jauh. Apakah kau sudi menemui diriku?"
Suara yang diucapkan gadis berpakaian putih itu membuat gelombang di permukaan air telaga yang tadinya kecil berubah membesar. Si gadis menunggu. Tidak ada balasan suara kecuali suara tiupan angin yang tiba-tiba mengencang. Tidak ada yang muncul, baik dari sekitar tepi telaga maupun dari dalam telaga.
"Kiai. saya tahu kau ada di dalam telaga. Kalau saja saya bisa masuk menembus batas air saya akan langsung mendatangi dirimu. Kalau kau tidak mau menerima diriku, mungkin kau sedang bersamadi atau tengah berzikir dan memanjatkan doa pada Tuhan. Kalau begitu saya yang tidak tahu diri. Datang menganggu ketenteraman dirimu. Saya mohon maafmu Kiai. Tapi karena saya ada kepentingan, saya akan menunggumu sampai kapanpun hingga kau mau menemui diri saya."
Habis berkata begitu gadis berpakaian putih itu melesat dan duduk ke cabang pohon di tepi telaga. Sambil duduk dia memandang berkeliling, memperhatikan keadaan kalau-kalau dia bisa melihat perempuan yang tadi menyanyi. Namun setelah memperhatikan sekian lama dia tetap tidak melihat seorangpun di sekitar situ.
Tiba-tiba gadis ini mendengar suara sesuatu meluncur dari dasar telaga. Matanya dialihkan, menatap tak berkesip ke permukaan air. Sesaat kemudian air telaga tampak muncrat sampai setlnggl dua tombak. Bersamaan dengan itu muncullah sosok seorang kakek berpakaian selempang kain putih, berambut putih, kumis dan janggut juga putih. Wajah klimis segar dan jernih.
Luar biasanya walau keluar dari dalam telaga, baik tubuh maupun pakaiannya sama sekail tidak tidak basah. Di pertengahan telaga sementara air telaga yang tadi muncrat kembali surut ke bawah, dengan tenang orang tua berpakaian selempang kain putih melangkah di permukaan air seolah dia berjalan di atas tanah.
"Kiai" Gadis yang duduk di cabang pohon berseru gembira lalu melayang turun dan menunggu kakek berpakaian putih di tepi telaga. Begitu orang tua ini sampai di hadapannya, si gadis langsung jatuhkan diri memberi penghormatan.
“Tetamu muda berpakaian putih," sapa si orang tua yang bukan lain adalah Kiai Gede Tapa Pamungkas, "berdirilah." Di dalam hati orang tua ini membatin. "Lain yang ditunggu lain yang datang. Apakah Nyi Retno mengetahui kemunculan gadis ini?"
Gadis berambut hitam panjang cepat berdiri. Setelah menatap sejurus Kiai Gede Tapa Pamungkas bertanya. "Apakah aku mengenal dirimu?"
Si gadis menggeleng. "lni kali pertama kita bertemu Kiai. Saya mohon maaf kalau telah mengganggu dirimu."
"Kau tidak menganggu siapapun di tempat ini. Tadi kau berkata datang dari jauh dan punya satu kepentingan." Sepasang mata Kiai Gede Tapa Pamungkas perhatikan ujung celana putih si gadis yang tidak basah meski tadi dia memasukkan dua kaki ke dalam air telaga.
"Sangat penting Kiai." Jawab si gadis. "Katakan siapa namamu. Lalu ceritakan apa kepentinganmu."
"Kiai," di negeri asal saya, saya dipanggil dengan nama Luhrembulan. Saya datang dari negeri jauh. Saya sebenarnya adalah..."
"Aku sudah tahu, tak perlu diceritakan," potong Kiai Gede Tapa Pamungkas. Ketika dia mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan hawa sakti pada kedua matanya, orang tua ini melihat ujud asli si gadis yang ternyata adalah seorang nenek kurus hitam. Wajah menyerupai burung gagak. Mulut dan hidung jadi satu seperti paruh burung. Sepasang mata kecil tanpa alis.
"Syukurlah kalau Kiai sudah tahu. Saya seorang bernasib malang. Terdampar dari alam seribu dua ratus silam ke tanah Jawa ini..."
Kiai Gede Tapa Pamungkas mengangguk. "Sekarang ceritakan saja maksud kedatanganmu."
"Saya mohon diberi keleluasaan untuk menunggu kedatangan seseorang di tempat ini." Jawab gadis mengaku bernama Luhrembulan.
"Siapa orangnya?" bertanya sang Kiai.
"Saya menyirap kabar orang itu akan datang kesini sebelum bulan purnama besok malam."
"Ya, katakan siapa orangnya," mengulang Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Dia seorang lelaki muda. Namanya Wiro Sableng. Di tanah Jawa dia dijuluki Pendekar Dua Satu Dua. Bukankah dia punya hubungan sangat dekat dengan Kiai? Bukankah benar kabar yang saya sirap bahwa dia akan datang sebelum bulan purnama besok malam?"
"Semua yang kau katakan benar adanya." Jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas. "Yang aku ingin tahu ada kepentingan apa kau mencari Wiro Sableng."
"Dia adalah suami saya." Jawab Luhrembulan yang berasal dari Latanahsilam, negeri seribu dua ratus tahun silam.
Ujung alis putih Kiai Gada Tapa Pamungkas langsung menjungkat ka atas. Sepasang mata memandang tak berkesip pada gadis cantik di hadapannya. "Kuharap aku tidak salah mendengar. Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng adalah suamimu?"
"Benar Kiai. Kami nikah beberapa waktu lalu."
"Nikah...?" Kiai Gede Tapa Pamungkas terdiam sejenak. "Aku memang banyak mendengar cerita macam-macam mengenai pemuda itu. Tapi kalau soal kawin baru kali ini..." Sang Kiai berucap lalu geleng-gelengkan kepala.
"Tidak heran kalau Kiai tidak pernah mendengar perihal perkawinan itu. Karena kami nikah di Latanahsilam. Negeri seribu dua ratus tahun silam..." Kata Luhrembulan pula.
Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap lekat-lekat ke wajah gadis dihadapannya. Seolah ingin menyelami apakah Luhrembulan berucap benar atau dusta belaka. Tiba-tiba dari arah selatan telaga terdengar suara perempuan menyanyi.
Kemuning anakku. Adakah kau mendengar perempuan yang katanya datang dari negeri jauh. Mengaku bersuamikan ayahmu Kemuning anakku. Apa kau merasa bahagia punya dua ibu. Satu kandung satu Ibu tiri. Kemuning anakku. Dunia memang aneh. Tapi tidak ada keanehan begini luar biasa. Selain pempuan yang mengaku telah nikah dengan ayahmu tercinta. Padahal ujudnyapun tidak karuan rupa.
Luhrembulan palingkan kapala ke arah selatan telaga sementara Ki Gede Tapa Pamungkas diam-diam perhatikan wajah Si gadis yang tampak berubah begitu mendengar suara nyanyian.
"Kiai, waktu saya datang ke sini saya juga mendengar perempuan bernyanyi. Suaranya sama dengan suara yang barusan terdengar. Dalam nyanyian perempuan itu selalu menyebut nama Kemuning. Apakah Kiai mengetahui siapa perempuan itu adanya?"
Sebelum menjawab Kiai Gede Tapa Pamungkas bicara sendiri dalam hati. "Gadis ini pandai menyembunyikan amarah ketika dirinya dihina sebagai mahluk yang ujudnya tak karuan. Dia bicara menanyakan hal lain."
"Dia muridku," akhirnya Kiai Gede Tapa Pamungkas menjelaskan pada Luhrembulan.
"Apakah saya boleh tahu siapa nama murid Kiai itu?"
"Namanya Nyi Retno Mantili."
Paras Luhrembulan untuk kesekian kalinya tampak berubah.
"Apakah kau mengenal muridku itu?" bertanya sang Kiai.
Luhrembulan menggeleng. "Saya tidak kenal, tapi saya tahu siapa dia dan bagaimana riwayatnya. Hanya saja saya tidak tahu kalau dia berada di sini bersama Kiai..."
"Dia datang beberapa waktu lalu bersama puterinya bernama Kemuning..."
"Boneka kayu itu?"
"Kau sudah tahu," kata Kiai Gede Tapa Pamungkas sambil tersenyum.
"Kiai..." Luhrembulan berkata tetapi kemudian diam.
"Kau hendak menanyakan sesuatu? Bicara saja terus terang."
"Betul Kiai, apakah benar Pendekar Dua Satu Dua telah kawin dengan Nyi Retno Mantili?"
"Jika kau sudah tahu keadaan perempuan malang itu, apakah aku masih harus menerangkan?" balik bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas yang tidak mau menceritakan keadaan sebenarnya dari Nyi Retno Mantili.
Luhrembulan terdiam. Dalam diam hatinya berucap. "Perempuan bernama Nyi Retno Itu mengatakan diriku mahluk tidak karuan ujud. Dirinya sendiri tidak waras. Mengaku pula bersuamikan Wiro. Dimana dia nikah? Siapa yang menikahkan? Punya anak diberi nama Kemuning tapi berupa boneka kayu."
"Luhrembulan, apakah kau masih ada pertanyaan?" bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Memang ada Kiai. Pertama apakah keberadaan Nyi Retno Mantili di tempat kediaman Kiai juga untuk menunggu kedatangan suami saya Wiro?"
Tiba-tiba melengking suara tawa panjang yang membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas kerahkan tenaga dalam untuk melindungi telinga sementara Luhrembulan tutup dua telinga dengan telapak tangan. Air telaga tiga warna tampak bergelombang.
Belum habis gema tawa tahu-tahu di samping Kiai Gede Tapa Pamungkas telah berdiri seorang perempuan cantik bertubuh kecil, mengenakan pakaian biru gelap. Dia membedong sebuah boneka kayu di atas dadanya.
"Luhrembulan, inilah Nyi Retno Mantili muridku," berkata Kiai Gede Tapa Pamungkas memperkenalkan Nyi Retno Mantili.
"Saya telah menduga," Jawab Luhrembulan sambil coba melayangkan senyum.
Nyi Retno Mantili usap kepala boneka lalu berkata. "Kemuning, lihat dia tersenyum padamu. Apakah kau tidak mau membalas senyumnya? Eh, mengapa kau cemberut Ah, kau tak suka padanya! Aku mengerti. Tapi ah, jangan menangis. Kemuning anak cantik, anak pintar dan cerdik. Kemuning tidak boleh menangis." Nyi Retno keluarkan boneka kayu dari bedongan kain lalu diayun ditimang-timang sambil tiada hentinya membujuk.
"Nyi Retno, tenangkan anakmu. Ajak dia bermain-main ke tempat lain." berkata Kiai Gede Tapa Pamungkas. Orang tua ini sudah maklum kalau dua perempuan itu berlama-lama saling berhadapan maka sesuatu yang tak diingini bisa saja terjadi.
Nyi Retno Mantili gelengkan kepala. "Kiai, saya tidak akan pergi sebelum perempuan lancang ini angkat kaki dari puncak Gunung Gede"
Dikatakan lancang, Luhrembulan jadi marah. "Aku tidak merasa berbuat lancang. Sebaliknya mulutmu yang lebih dulu jahil menghina diriku sebagai mahluk tidak karuan ujud! Apakah begitu sikap seorang murid dari Kiai besar rimba persilatan?"
Dengan ucapannya itu Luhrembulan sekaligus menempelak Nyi Retno Mantili dan menyindir Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Nyi Retno, pergilah bawa anakmu ke tempat lain..."
"Saya tidak akan pergi!" Jawab Nyi Retno Mantili tegas.
Kiai Gede Tapa Pamungkas berpaling pada Luhrembulan. "Kalau begitu sebaiknya kau saja yang meninggalkan tempat ini."
Luhrembulan tatap wajah jernih Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu sunggingkan senyum dan menjawab. "Kiai, saya seorang tamu yang datang dari jauh. Apakah begitu peradatan dirimu, tega-teganya menyuruh tamu pergi? Lagi pula saya datang ke sini adalah untuk mencari suami. Hanya satu kebetulan saja dia punya hubungan dekat denganmu. Kalau tidak menyirap kabar dia akan muncul di sini, perlu apa saya datang ke tempat ini! Seharusnya kiai membantu diriku mempertemukan dengan Wiro. itu yang oleh orang-orang semacam Kiai disebut silaturrahmi. Bukan malah mengusirku."
Wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas tampak berubah. Namun suaranya tetap tenang. "Luhrembulan, jangan kau salah sangka. Aku tidak mengusirmu. Jika kau ingin menunggu kedatangan Wiro, silahkan saja. Tapi cari tempat lain yang lebih baik. Jangan di sini..."
"Begitu?" ucap Luhrembulan yang di negeri Latanahsilam dikenal dengan Julukan Hantu Santet Laknat. "Baik, saya akan menghindar dari sini. Tapi bukan berarti saya akan pergi dari puncak Gunung Gede. Tidak ada satu manusiapun, baik yang punya otak maupun yang tidak waras yang boleh menghina diri saya dan menghalangi saya menemui suami saya sendiri" Habis berkata begitu Luhrembulan guratkan ujung ibu jari kaki kanannya ke tanah.
"Reeetttt!" Terjadilah satu hal yang hebat. Asap mengepul! Tanah seputar telaga terbelah selebar dua langkah. Dari dasar belahan keluar hawa dahsyat yang mampu menyedot benda apa saja yang berada di sekitarnya.
Nyi Retno Mantili terpekik. Tubuhnya hampir tersedot masuk ke dalam belahan tanah kalau tidak lekas ditarik oleh Kiai Gada Tapa Pamungkas.
"Luhrembulan!" teriak Kiai Gede Tapa Pamungkas. "Ternyata kau datang membekal niat tidak baik!" Sang Kiai rupanya mulai marah.
"Kiai" balas Luhrembulan berteriak tak kalah keras. "Kau berlaku tidak adil! itu bukan perilaku seorang Kiai!"
"Kemuning," tiba-tiba Nyi Retno Mantili keluarkan ucapan. "Ada orang kesasar berani menghina Eyang Sepuhmu! Mari kita bungkam mulutnya!" Nyi Retno Mantili angkat ke atas boneka kayu di tangan kanan. Diarahkan pada Luhrembulan. Lima jari tangan memencet pinggang boneka.
"Wusss! Wusss!!"
Dua larik cahaya putih menyilaukan melesat keluar dari sepasang mata boneka, menyambar ke arah Luhrembulan, gadis cantik dari Latanahsilam. Inilah ilmu kesaktian bernama Sepasang Cahaya Batu Kumala yang didapat Nyi Retno Mantili dari Kiai Gede Pamungkas. Selama Ini hampir tidak ada lawan yang bisa selamat. Jika kena leher akan putus laksana dipancung. Kalau mendarat dltubuh maka tubuh akan terbelah seperti ditabas golok raksasa!
BAB TIGA
Mendapat serangan maut begitu rupa Luhrembulan hanya sunggingkan senyum. Malah mulutnya umbar ucapan mengejek. "Perempuan tidak tahu diri! Aku mau lihat sampai dimana kehebatan Ilmu kesaktianmu!"
"Wuss! Wusss” Dua cahaya putih berkilau melesat di atas tanah yang terbelah.
"Blaaar! Blaar!" Dua cahaya putih memancar terang lalu tersedot masuk ke dalam belahan tanah! Asap mengepul menutup pemandangan.
Nyi Retno Mantili memekik marah. Luhrembulan tertawa mengejek. "Ilmu baik dipakai untuk kejahatan mana mempan! Ilmu kesaktian hebat diberikan pada perempuan berotak miringi Apa tidak akan menimbulkan malapetaka dalam rimba persilatan?! Hik hik hik!"
Ketika asap sirna, kelihatan Nyi Retno Mantili tersandar ke tubuh Kiai Gede Tapa Pamungkas. Wajahnya pucat. Tangan kanan tergontai lemas memegang boneka kayu sementara sang Kiai sendiri tampak berkomat kamit melafalkan sesuatu. Ucapan Luhrembulan benar-benar merupakan tamparan hebat bagi dirinya. Di seberang sana Luhrembulan sendiri tegak sambil berkacak pinggang. Masih belum puas gadis dari negeri 1200 tahun silam ini kembali menyemprot.
"Otak tidak waras! Mulut penuh menghina! Orang lain dianggap sampah! Rasakan sendiri akibatnya! Kiai! Sebaiknya kau jangan cuma memberi pelajaran Ilmu kesaktian pada perempuan sinting itu! Beri juga Ilmu budi bahasa agar tidak sombong dan bicara kurang ajari"
"Luhrembulan, ucapanmu sudah sangat keterlaluan" tegur Kiai Gede Tapa Pamungkas dengan menindih amarah. "Ilmu kesaktian apapun yang kau miliki tidak membuat aku merobah keputusan! Cepat tinggalkan tempat ini! Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng tidak pernah beristrikan perempuan sepertimu!"
Luhrembulan tertawa panjang. "Kiai! Kau akan mendengar dan melihat kenyataan! Jangan sembunyi dibalik ketakutan pada dirimu sendiri!"
"Apa maksudmu?!" bentak Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Namun Luhrembulan sudah lenyap dari tempat itu sementara tanah seputar telaga masih tetap menganga terbelah! Kiai Gede Tapa Pamungkas tarik nafas panjang dan dalam. Matanya memperhatikan tanah yang terbelah di hadapannya.
"Ilmu luar biasa. Kalau aku tidak salah, murid Sinto Gandeng juga memiliki Ilmu kesaktian membelah tanah seperti ini. Dari mana dia mendapatkan? Dari gadis bernama Luhrembulan itu? Berarti mungkinkah mereka memang sudah nikah? Tidak sembarang orang akan mau begitu saja memberikan ilmu kesaktian langka seperti ini." Sang Kiai terdiam sejurus lalu mengusap punggung Nyi Retno Mantili dan berkata. "Nyi Retno menjauhlah sampai ke tepi telaga. Aku harus melakukan sesuatu untuk memulihkan keadaan di tempat ini."
Baru saja Kiai Gede Tapa Pamungkas berucap tiba-tiba dua bayangan berkelebat. Salah seorang diantaranya berseru.
"Kiai! Biar saya yang melakukan hal itu!"
Di hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas sesaat kemudian telah berdiri Ratu Duyung dan Purnama. Walau gembira melihat kemunculan Ratu Duyung yang memang dipesan untuk datang, namun Kiai Gede Tapa Pamungkas agak merasa risih dengan ikut hadirnya Purnama di tempat itu. Dalam hati sang Kiai berkata.
"Yang ditunggu tidak datang. Yang datang orang lain. Untung dia sudah pergi. Yang dipesan memang datang tapi mengapa muncul bersama seseorang yang tidak aku kehendaki? Wiro sendiri, dimana dia? Apakah dia akan datang sebelum bulan purnama muncul esok malam?"
Ratu Duyung dan Purnama memberi salam lalu membungkuk hormat. Dua gadis yang datang ini kemudian sama-sama berpaling ke arah perempuan bertubuh kecil berparas cantik yang tengah mengelus-elus sebuah boneka kayu. Ratu Duyung dan Purnama saling pandang. Tanpa mengeluarkan ucapan keduanya sama-sama maklum kalau perampuan di samping sang Kiai adalah Nyi Retno Mantili yang selama ini menjadi berbagai bahan berita dan punya hubungan dekat dengan Pendekar 212.
Dalam hati Purnama dan Ratu Duyung mempunyai perasaan dan suara batin yang sama. Terakhir sekali bertemu, Wiro menunjukkan kesan segan-seganan datang menghadap Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede. Alasannya dia harus mencari Nyi Retno Mantili untuk menyelamatkan perempuan ini dari bahaya maut yang mengancam. Juga menolong bayinya yang hendak dibunuh orang. Ternyata Nyi Retno Mantili ada di sini. Dalam keadaan aman, ceria menggendong sebuah boneka kayu. Lalu apa sebenarnya alasan Wiro tidak mau datang menemui sang Kiai?
"Takut dijodohkan dengan diriku?" Membatin Ratu Duyung. "Jangan-jangan dia yang menyuruh Purnama untuk mengikuti diriku ke sini. Ingin mematai-mataiku. Aku memang sudah lama tahu kalau sahabatku satu ini sangat mencintai Wiro. Tapi pemuda itu apakah dia membalas cintanya? Sulit aku menduga sejauh mana mereka telah menjalin cinta. Sedalam apa mereka berbagi kasih. Kalau saja aku bisa menarik diri, menjauh darinya, mungkin itu bisa membuat dia hidup lebih tenang dan lebih bahagia. Aku maklum saat ini Wiro memiliki banyak ganjalan hati. Ada Bidadari Angin Timur. Ada Anggini. Lalu ada Bunga. Aku tak tahu siapa lagi. Jangan-jangan Nyi Retno Mantili juga bercinta dengannya. Apakah aku bisa pasrah dan menerima keadaan apa adanya?"
Melihat Ratu Duyung terdiam lama seperti ada yang direnung dipikirkan, Purnama berbisik.v"Sahabatku, ada apa? Apakah kau merasa kurang sehat. Atau ada sesuatu yang menyamaki pikiranmu?"
Ratu Duyung tersenyum. Belum sempat dia menjawab Kiai Gede Tapa Pamungkas sudah berkata.
"Ratu Duyung, aku gembira kau datang tepat sebelum waktu yang dijanjikan. Aku mengira kau datang bersama Wiro. Nyatanya dengan seorang kawan yang aku belum kenal."
Mendengar ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas Purnama cepat-cepat membungkuk. "Kiai, maafkan kalau saya tidak buru-buru memperkenalkan diri. Saya sudah lama bersahabat dengan Ratu Duyung. Nama saya Purnama. Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng yang memberikan nama itu pada saya."
Ratu Duyung palingkan kepala, pura-pura memandang ke arah telaga. Dalam hati dia berkata. "Apa perlunya gadis dari alam gaib ini menceritakan bahwa nama itu diberikan oleh Wiro? Untuk memberi tahu pada Kiai bahwa dia memiliki hubungan sangat dekat dengan Wiro? Aku melihat Kiai kurang berkenan dengan kehadirannya. Mungkin aku telah berlaku keliru. Sebaiknya aku menolak ketika dia mengatakan ingin ikut bersamaku."
"Dia berasal dari negeri aneh. Sama dengan perempuan yang tadi mengaku sebagai suami Wiro!" Tiba-tiba saja Nyi Retno Mantili membuka suara.
Suasana mendadak berubah senyap dan kaku. Purnama dan Ratu Duyung menatap ke arah Nyi Retno Mantili. Ratu Duyung bertanya.
"Kiai, apakah ada orang lain yang datang sebelum kami sampai ke sini?"
"Benar," jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas. "Seorang gadis yang katanya datang dari jauh. Dia mengaku bernama Luhrembulan..."
Purnama keluarkan suara tercekat, wajah langsung berubah. Dua mata menatap sang Kiai dengan pandangan seperti tidak percaya. Purnama pegang lengan Ratu Duyung, bicara setengah berbisik.
"Ratu, ingat peristiwa di Gedung Kadipaten Losari sewaktu kau menyelamatkan diriku dari serangan maut Raja Racun Bumi Langit?"
Ratu Duyung mengangguk. "Luhrembulan, gadis yang dikatakan Kiai itulah yang muncul di sana dan hampir mencelakai diriku. Dia bekerja sama dengan Raja Racun Bumi Langit..."
(Baca serial Wiro Sableng berjudul Sang Pembunuh)
"Aku ingat," Jawab Ratu Duyung. "Kali ini mungkin kita keduluan. Lihat tanah yang terbelah, ini pasti pekerjaan gadis itu."
"Pasti. Hanya dia dan Wiro yang memiliki ilmu itu..." kata Purnama sambil memperhatikan tanah terbelah yang mengelilingi telaga lalu berpaling pada Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kiai, waktu tadi saya melihat tanah terbelah ini, saya hanya berani menduga. Tapi setelah Kiai memberi tahu ternyata dugaan saya tidak keliru."
"Kiai, ada keperluan apa Luhrembulan datang ke sini?" bertanya Ratu Duyung.
"Tidak, tidak ada keperluan apa-apa. Gadis itu hanya tersesat. Kebetulan saja dia lewat di sini." Jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Baik Ratu Duyung maupun Purnama merasa sang Kiai telah bicara tidak sejujurnya. Apa alasan Kiai Gede Tapa Pamungkas berbuat seperti itu?
"Kiai! Kenapa Kiai memberikan jawaban dusta?" Tiba-tiba Nyi Retno Mantili keluarkan ucapan yang membuat semua orang jadi tercengang.
Purnama dan Ratu Duyung berpaling menatap Nyi Retno Mantili lalu memandang ke arah Kiai Gede Tapa Pamungkas. Wajah orang tua itu Jelas tampak berubah. Perlahan-lahan dia coba tarsenyum.
"Ini hanya urusan kecil. Yang tidak perlu dibesar-besarkan..." Kata sang Kiai pula.
"Kiai, kalau sekali lagi Kiai bicara dusta, saya dan Kemuning akan tinggalkan tempat ini!" Lagi-lagi ucapan, kali ini berupa ancaman dari Nyi Retno Mantili membuat suasana di tempat itu menjadi tambah tidak enak.
BAB EMPAT
Kiai Gede Tapa Pamungkas usap janggut putihnya berulang kali. Sambil mengembang senyum di bibir, orang tua ini berkata. "Nyi Retno, tetap di tempatmu. Jangan pergi kemana-mana. Aku tidak bermaksud bicara dusta. Aku tidak mau bicara sebelum apa yang aku katakan jelas adanya. Bagaimana aku bisa percaya ucapan Luhrembulan, seseorang yang aku tidak tahu asal usul dirinya dan baru sekali aku temui!"
Sang Kiai lalu berpaling pada Purnama. "Kau dan gadis bernama Luhrembulan itu berasal dari alam yang sama. Apa kau tahu asal usul dirinya? Dia mengaku datang ke sini untuk mencari dan menunggu Wiro yang dikatakannya sebagai suaminya. Dia mengatakan telah menikah dengan Wiro di negeri Latanah silam."
Purnama tidak segera rnenjawab. Dia memandang pada Ratu Duyung seolah minta pertimbangan. Ratu Duyung berkata. "Ceritakan saja..." Sebelumnya Ratu Duyung memang telah pernah mendengar dari Purnama riwayat perkawinan Wiro dengan Luhrembulan.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul insan Tanpa Wajah)
"Baiklah Kiai, akan saya ceritakan apa yang saya ketahui!" kata Purnama pula. "Di negeri Latanahsilam Luhrembulan dikenal dengan nama Hantu Santet Laknat. Penampilannya berupa seorang nenek berkulit hitam, muka seperti burung gagak. Hidung dan mulut jadi satu seperti paruh burung. Sebenarnya dia adalah seorang gadis berparas cantik. Keadaannya seperti itu disebabkan jatuhnya kutuk atas nenek moyangnya yang merupakan kutuk turunan. Saya tidak tahu kutuk apa. Hanya itu asal usul Luhrembulan yang saya ketahui."
"Perempuan itu mengaku-aku Wiro sebagai suaminya. Kau pasti tahu apa yang terjadi. Kalau tidak dia tidak akan mengejar Wiro sampai ke tanah Jawa ini dan malah berani datang ke tempat Kiai di sini. Enak saja dia mengaku ayah anakku sebagai suaminya!" Yang bicara adalah Nyi Retno Mantili.
"Saya tahu, tapi urusan perkawinannya dengan Wiro bukan urusan saya. Jadi saya rasa..." Menyahuti Purnama yang langsung dipotong oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kalau hanya sekedar menceritakan aku rasa tidak ada salahnya. Agar persoalan bisa dijernihkan. Kami perlu tahu apakah benar Wiro menikah dengan Luhrembulan di negeri Latanahsilam?"
Setelah diam sejenak akhirnya Purnama bercerita juga. "Ketika Wiro tersesat di Latanahsilam dia bertemu dengan Hantu Santet Laknat. Nenek ini jatuh cinta pada Wiro dan merubah diri menjadi seorang gadis cantik jelita. Ada kabar yang mengatakan jika dia menikahi Wiro, seorang lelaki dari alam lain maka kutuk atas dirinya akan lenyap..."
"Jadi pernikahan itu memang benar-benar terjadi?" tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas sementara Nyi Retno Mantili kelihatan mulai sesenggukan sambil menciumi boneka kayu.
"Benar Kiai," Jawab Purnama.
Nyi Retno Mantili terpekik. Ratu Duyung menatap sambil hatinya berkata. "Setahuku pikirannya tidak waras. Tapi mengapa otaknya jadi sangat jernih jika bicara soal pernikahan Wiro?"
"Purnama, teruskan ceritamu," kata Kiai GedeTapa Pamungkas.
"Pernikahan itu memang terjadi Kiai, tapi tidak syah. Saat itu Wiro diberi minuman yang membuat dia lupa pikiran. Dia dibawa ke sebuah bukit bernama Bukit Batu Kawin. Di sana telah menunggu seorang juru kawin bernama Lamahila. Wiro dinikahkan dengan Luhrembulan dalam keadaan tidak sadar. Saat itu muncul badai di puncak bukit. Acara perkawinan kacau. Semua orang yang ada di situ mental berpencaran..."
"Kalau begitu perkawinan atau pernikahan Wiro dengan gadis bernama Luhrembulan itu bisa dikatakan tidak pernah ada karena tidak syah!" kata Kiai GedeTapa Pamungkas pula.
"Kalau tidak pernah ada, kalau tidak syah kenapa Luhrembulan sampai mencari ayah Kemuning sampai ke sini?! Jangan-jangan perempuan itu sudah bunting!"
Nyi Retno Mantili berucap dengan suara lantang lalu menggerung keras. Ketika dia hendak berkekelebat meninggalkan tempat itu, begitu sampai di depan tanah yang terbelah sosoknya nyaris tersedot. Untung Kiai Gede Tapa Pamungkas cepat menarik lengannya dan di seberang sana Ratu Duyung dorongkan dua tangan untuk menahan gerakan Nyi Retno.
"Kiai, lepaskan!" teriak Nyi Retno. "Saya dan Kemuning tidak takut mati disedot tanah celaka ini!"
"Tenang Nyi Retno, jangan turutkan hati yang panas. Tadi Purnama sudah menjelaskan bahwa pernikahan Wiro dengan Luhrembulan di Latanahsilam tidak syah."
"Saya tidak percaya pada perempuan satu ini! Saya tahu dia juga mencintai Wiro. Itu sebabnya dia ikutan datang ke sini. Padahal yang diminta datang hanya gadis bermata biru ini!"
Purnama walau diam saja mendengar ucapan Nyi Retno Mantili namun wajahnya tampak berubah dan dia melihat Ratu Duyung melirik ke arahnya. Dalam hati dia membatin.
"Perempuan tidak waras itu cemburu padaku. Lirikan sahabatku Ratu Duyung Juga menunjukkan rasa cemburu. Apakah aku masih harus berlama-lama di tempat ini?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas peluk Nyi Retno Mantili, membelai rambut perempuan ini dan berusaha membujuk. Dia berbisik. "Mudah-mudahan Wiro datang sebelum esok malam. Dari dia kita bisa mendengar langsung mengenai pernikahan itu hingga kau tidak lagi ada ganjalan."
"Ganjalan akan tetap ada. Bukankah Kiai memanggil gadis bermata biru itu karena hendak membicarakan soal perjodohannya dengan Wiro?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas coba tersenyum. "Nyi Retno, soal Jodoh seseorang ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa..."
"Saya tahu hal itu Kiai. Tapi manusia bisa saja jadi Mak Comblangnya, termasuk Kiai!"
Merah padam wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas. Terus menerus ditempelak dengan kata-kata bagaimanapun juga membuat hati si orang tua menjadi tidak enak.
Purnama memperhatikan tanah yang terbelah melingkari telaga. Untuk menghindari ketegangan yang saat itu terjadi dia berkata mengalihkan pembicaraan. "Kiai, kalau Kiai mengizinkan saya bisa merapatkan kembali tanah yang terbelah ini. Hingga keadaannya seperti semula."
Kiai GedeTapa Pamungkas tatap paras Purnama sejurus lalu anggukkan kepala. "Lakukanlah, kau dan Luhrembulan datang dari alam yang sama. Pasti kau tahu cara penangkal mengembalikan keadaan. Bumi Tuhan begini indah. Mengapa dirusak oleh tangan manusia secara semena-mena?"
Purnama membungkuk meraup segenggam tanah. Tenaga dalam dan hawa sakti dialirkan ke tangan kanan yang menggenggam sementara bibir bergetar tanda dia tengah melafalkan sesuatu di dalam hati. Untuk beberapa lama sekujur tubuhnya diselubungi cahaya dan percikan-percikan menyerupai bunga api berwarna biru.
Setelah cahaya dan percikan biru lenyap dan kini hanya terlihat pada tangan kanan yang menggenggam tanah Purnama berjalan mendekati belahan tanah terdekat. Satu langkah dari tanah yang terbelah, ketika tubuhnya mulai terasa tersedot Purnama lemparkan tanah yang digenggamnya ke dalam belahan tanah.
Tanah merah yang dilempar untuk beberapa lamanya mengambang berputar-putar diselubungi cahaya biru lalu wusss! Tanah tersedot masuk ke dalam belahan. Saat itu juga di perut bumi terdengar suara seperti lahar mendidih. Di langit muncul kilatan-kilatan aneh. Air telaga bergejolak dan bermuncratan di tujuh tempat. Di kejauhan terdengar suara perempuan mengeluarkan kutuk serapah.
"Rrrttttt!" Asap mengepul bercampur tanah dan debu. Tanah yang terbelah melingkari telaga merapat kembali disertai suara letupan-letupan keras. Setelah itu tanah dan debu luruh ke bawah. Air telaga mengalun tenang. Keadaan di tempat itu diselimuti kesunyian.
"Purnama!" Ratu Duyung memekik menyebut nama Purnama ketika dilihatnya gadis dari alam gaib ini terhuyung-huyung sementara darah mengucur di sudut bibirnya. Apa yang terjadi?
Kiai Gede Tapa Pamungkas cepat merangkul tubuh Purnama lalu menotok ubun-ubun gadis alam gaib ini. "Ketika dia menutup tanah yang terbelah, ada yang membarengi dengan serangan membokong." Berucap Kiai GedeTapa Pamungkas.
"Yang berbuat jahat dugaan saya gadis bernama Luhrembulan itu," kata Ratu Duyung lalu memeluk Purnama, membaringkannya di tepi telaga. Ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas dan Ratu Duyung sibuk menolong Purnama, kesempatan. ini dipergunakan Nyi Retno Mantili untuk berkelebat meninggalkan tempat itu.
********************
Menjelang tengah hari mendung tebal menutupi kawasan kaki Gunung Gede. Didahului suara gelegar guntur serta kilat yang sabung menyabung tak selang berapa lama hujan turun dengan lebatnya. Keadaan tidak beda seperti menjelang malam. Dimana-mana kegelapan menyungkup dan hawa dingin menebar.
Di bawah hujan lebat seseorang berlari cepat laksana bayang-bayang menembus hujan lebat diarah timur kaki gunung. Orang ini kemudian melesat masuk ke dalam sebuah pondok bambu yang ditemuinya di tepi sungai kecil. Walaupun tidak berdinding namun karena dikelilingi pepohonan dan cuaca buruk pula, keadaan di dalam pondok agak gelap.
Orang yang barusan masuk ka dalam pondok ternyata adalah seorang gadis mengenakan pakaian ringkas hijau, berwajah cantik, rambut digulung di atas kepala. Setelah mengibas-ngibaskan pakaiannya yang basah, gadis Ini buka gulungan rambut. Kepala digoyang berulang kali. Air hujan yang membasahi rambut menyiprat kemana-mana. Tiba-tiba ada suara memaki.
"Perempuan setan! Enak saja kau menyipratkan air hujan. Apa matamu buta tidak melihat orang lain di dalam gubuk?!"
Gadis berbaju hijau tersentak kaget. Dia hentikan menggoyang kepala. Dia tahu orang yang barusan memaki berada di belakangnya. Tapi dia tidak segera berpaling malah lebih dulu tertawa cekikikan.
"Hik hik! Untung kau cuma terkena cipratan air. Tidak terkena tendanganku! Keadaan gelap, maklum saja kalau aku tidak melihat!"
Lalu perlahan-lahan sambil mengusap kebawah rambutnya yang basah panjang hitam gadis berbaju biru balikkan badan. Di salah satu sudut pondok dia melihat duduk mendekam di atas tumpukan jerami kering seorang gadis berpakaian serba putih.
"Manusia tidak tahu peradatan! Bukannya minta maaf malah tertawa cekikikan macam orang sinting!" Gadis yang duduk di atas jerami kembali memaki.
"Hik hik hik! Kalau cuma minta maaf apa susahnya? Tapi apa parlu? Hik hik! Namaku Nyi Wulas Pikan! Kau siapa?"
"Persetan siapa namamu! Persetan mau tahu namaku! Kau tidak layak berteduh di tempat ini bersamaku! Lekas menyingkir dan sini!" Damprat gadis berpakaian putih.
"Hik hik! Sombong sekali! Apa salahnya kebetulan bertemu kita bisa jadi bersahabat" Kata Nyi Wulas Pikan yang bukan lain jejadian dari Nyai Tumbal Jiwo mahluk alam roh yang memaksa Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi kekasihnya menggantikan Wira Bumi yang telah tewas.
"Siapa sudi bersahabat dengan perempuan jelek den tidak tahu adat seperamu...?" Caci gadis berpakaian serba putih.
"Kalau tidak mau bersahabat ya sudah! Gubuk ini masih cukup luas untuk kita berdua. Kalau kau tak suka aku ada di sini. pergi saja berteduh di bawah pohon dekat comberan sana!"
"Jangan membuatku marah! Kau punya Ilmu kepandaian apa berani menghina diriku?" Gadis berpakaian putih yang tadi duduk, di atas jerami yang bukan lain adalah Luhrembulan bangkit berdiri. Kaki dikembang dua tangan dikepal.
Nyi Wulas Pikan tertawa gelak-gelak. Matanya memperhatikan gadis di hadapannya mulai dari rambut sampai ke kaki. "Masih bau kencur sudah berani menantang diriku! Masih muda mau mencari mati! Apa tidak kasihan kalau nanti kekasihmu nangis gerung-gerungan!"
"Sombong sekali!" kata Luhrembulan sambil berkacak pinggang. "Di puncak Gunung Gede sana ada seorang kakek bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas! Konon kesaktiannya sulit dicari tandingan! Tapi menghadapi diriku dia tidak berdaya! Dan kau cacing tanah yang baru bisa ngulet mau menantangku!Tolol sekali!"
Dikatakan cacing tanah Nyi Wulas Pikan tidak marah malah tertawa cekikikan. "Kalau kau memang mau cari urusan menantang diriku, biar kita selesaikan nanti. Sekarang aku tanya. kau kenal dengan kakek sakti di puncak Gunung Gede? Apa hubunganmu dengan kakek itu! Apa keperluanmu berada di kawasan ini?"
"Sampai lidahmu terjulur, mulutmu kering dan matamu mencolot bertanya aku tidak akan menjawab!" Kata Luhrembulan dengan wajah beringas.
"Begitu? Hik hik hik! Boleh juga kau!Tapi baik, aku tanya satu lagi. Setelah itu kita boleh bertarung sampai mati! Kakek di puncak gunung itu tengah menunggu kedatangan seorang pemuda bemama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Dua Satu Dua. Apa kau berada di kawasan ini ada sangkut pautnya dengan pendekar gagah berambut gondrong itu?"
Sepasang mata Luhrembulan membesar. "Orang ini tengah menyelidik diriku. Aku harus berlaku hati-hati." Maka gadis dari Latanahsilam ini balik bertanya. "Kau juga berada di kawasan ini. Kau menyebut-nyebut Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng! Apa hubunganmu dengan pendekar itu?"
"Dia kekasihku." Jawab Nyi Wulas Pikan terus terang penuh perasaan bangga. "Kau puas dengan jawabanku?"
Luhrembulan pencongkan mulut lalu tertawa. "Cuma seorang kekasih. Baru kekasih! Hik hik! Aku malah adalah istrinya!"
Sepasang mata Nyi Wulas Pikan mendelik. "Jangan berani mengada-ada" bentak mahluk alam roh ini. "Wiro belum pernah nikah, belum pernah kawin. Baik kawin dengan surat maupun dengan urat! Hik hik! Dia masih perjaka!"
"Setan perempuan! Tahu-tahuan kau suamiku masih perjaka! Apa kau pernah berselingkuh dengan dia?!" bentak Luhrembulan penuh cemburu.
"Kami memang sudah punya rencana untuk saling berbagi kebahagiaan! Makan sepiring tidur seranjang! Hik hik hik!" Nyi Wulas Pikan lalu mencibir mencemooh Luhrembulan, membuat gadis dari Latanahsilam ini terbakar oleh amarah.
"Setan perempuan saatnya kau harus kubunuh dari pada nanti kau bergendak dengan suamiku!" Luhrembulan begitu bicara langsung menyerang dengan melancarkan dua pukulan keras. Namun ini hanyalah jurus tipuan belaka. Karena begitu Nyi Wulas Pikan gerakkan tangan menangkis, dari sepasang mata Luhrembulan menyembur dua larik sinar hitam pekat. Larikan pertama menyambar ke arah dada, larikan kedua melesat ke arah kepala! Inilah Ilmu kesaktian dari Latanahsiiam yang disebut Dua Hantu Menembus Raga Menyedot Jiwa!"
"Wuutt! Wuuttt”
Nyi Wulas Pikan menjerit keras. Sambil melompat mundur dua tangan dikibas ke atas dan kebawah seperti kipas terbuka. Dua larik sinar merah menderu disertai suara bergemuruh seperti batu raksasa menggelinding. Pukulan Angin Roh Pengantar Kematian!
"Buumm! Buummm!"
Dua dentuman dahsyat menggelegar di bawah hujan lebat begitu dua larik sinar hitam sakti yang keluar dari mata Luhrembulan bentrokan dengan dua cahaya merah pukulan Nyi Wulas Pikan Sinar hitam dan merah sama-sama buyar berantakan dengan mengeluarkan bunga api yang mencuat ke udara setinggi lima tombak. Untuk sesaat Seantero tempat menjadi terang benderang. Pondok bambu hancur berantakan.
Luhrembulan terbanting ke tanah, terguling sampai sepuluh langkah. Pakaian putihnya selain kotor oleh becekan tanah. Juga tampak berubah kemerah-merahan. Sementara itu Nyi Wulas Pikan terkapar di tanah basah, tersandar ke batang pohon besar sejarak tiga tombak dari pondok bambu yang hancur. Wajahnya kelihatan pucat Di balik penampilan sebagai gadis cantik sesekali muncul bayangan wajah aslinya. Wajah seorang nenek keriput berkulit merah, mata merah, ails merah. Lidah merah setengah terjulur. Mahluk alam roh ini cepat melafal mantera hingga wajahnya dengan cepat kembali menjadi wajah gadis cantik, tidak berubah-rubah.
Selagi dua gadis cantik Itu terkapar tak berdaya di tempat masing-masing tiba-tiba dlbawah hujan lebat berkelebat seorang perempuan berpakaian biru. Sambil lari mulutnya keluarkan ucapan.
"Kemuning, lihat ada dua gadis cantik terkapar tak berdaya. Yang satu aku tidak kenal. Tapi yang satunya aku lebih dari kenal. Dia yang datang ke tempat Kiai tadi pagi. Dia gadis bernama Luhrembulan, mengaku sebagai istri ayahmu! Hik hik! Gadis gila! Apa yang terjadi dengan dirinya!" Yang muncul sudah dapat diterka. Bukan lain Nyi Retno Mantili bersama boneka kayunya.
Melihat kedatangan Nyi Retno Mantili, kejut Nyi Wulas Pikan bukan kepalang. Gadis jejadian dari alam roh yang aslinya adalah Nyai Tumbal Jiwo Ini kerahkan tenaga dalam, alirkan hawa sakti lalu berusaha berdiri dengan cepat.
"Dicari tidak bertemu. Sekarang muncul sendiri. Dia tidak mengenali diriku. Apa aku masih harus membunuh perempuan satu ini!?!" Pikir Nyi Wulas Pikan. "Aku tidak yakin dia sudah kawin dengan Wiro sebagaimana aku tidak yakin perempuan pakaian putih itu bilang Wiro adalah suaminya! Sebaiknya memang aku habisi saja dia sekarang Juga!"
Saat itu Luhrembulan juga sudah berdiri. Sakit hatinya terhadap Nyi Retno masih belum pupus. Kini perempuan berotak tidak waras Itu muncul di hadapannya. "Nyi Retno, apa anakmu boneka kayu butut itu sudah bertemu ayahnya?!" tegur Luhrembulan mengejek.
"Kemuning! Ada perempuan sinting berani menghina dlrimu! Coba kau beri pelajaran ilmu kematian padanya!" Habis berkata begitu Nyi Retno Mantili angkat boneka kayu, arahkan pada Luhrembulan.
Melihat kedua orang itu siap bertarung. Nyi Wulas Pikan berubah pikiran. Dari niat hendak membunuh Nyi Retno Mantili dia memutuskan lebih baik tinggalkan tempat itu, naik ke puncak Gunung Gede untuk mencari Pendekar 212 yang diketahuinya berencana datang menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Biar keduanya berkelahi! Biar keduanya mampus di tempat ini!" Pikir Nyai Tumbal Jiwo alias Nyi Wulas Pikan. Lalu tidak menunggu lebih lama dia berkelebat lenyap dlbawah lebatnya curahan hujan.
Dihina sebagai perempuan sinting, dilecehkan hendak diberi pelajaran ilmu kematian, Luhrembulan mendidih amarahnya. "Perempuan sedeng yang punya anak boneka butut dari kayu! Sebelum kau memberi pelajaran padaku, mari aku ajarkan padamu bagaimana caranya bersopan santun! Betina gila, kau perlu dirajam seumur hidup antara langit dan bumi!" Luhrembulan tutup ucapannya dengan menjentikkan sepuluh jari tangan jari tangan kanan!
"Wuttt! Wuuuuttt!"
Puluhan larik api biru melesat ke udara bersilang-silang, membentuk jaring luar biasa mengerikan. Jaring ini dengan kecepatan kilat kemudian menyambar ke arah Nyi Retno Mantili. Nyi Retno Mantiil sendiri sambil tertawa cekikikan pencet pinggang boneka kayu yang telah diangkat dan diarahkan pada Luhrembulan.
Sesaat lagi Ilmu kesaktian dua perempuan cantik itu siap saling membantai diri masing-rnasing tiba-tiba tiga orang berkelebat. Dua perempuan, satu lelaki. Yang lelaki berteriak keras. Suaranya menggegelar menindih deru suara hujan.
"Luhrembulan! Nyi Retno Mantiii! Tahan serangan! Kalian tidak bermusuhan! Mengapa hendak saling membunuh!"
BAB LIMA
Gelegar suara teriakan orang yang memberi ingat sama sekali tidak diperdulikan baik oleh Luhrembulan maupun oleh Nyi Retno Mantili!
"Celaka!" Lelaki yang tadi berteriak kini berseru kawatir. "Nenek berdua, cepat halangi Nyi Retno. Aku akan menghadang gadis yang satunya! Hati-hati! Jangan sampai ada yang terluka"
Satu gelombang angin sedahsyat topan prahara melabrak ke arah Luhrembulen, membuat gadis ini hampir terjengkang tapi masih mampu meneruskan melancarkan serangan yang disebut Api Iblis Penjaring Roh. Sekali Nyi Retno sampai terjerat, kalaupun dia bisa lolos dari dalam jaring api, maka tubuhnya akan terkutung-kutung!
Melihat Luhrembulan nekad meneruskan serangan, lelaki yang barusan melepas pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi secepat kilat menubruk gadis dari Latanahsilam itu. Selagi keduanya bergulingan Luhrembulan hendak menusuk dada lelaki itu dengan dua jari yang diluruskan. Serangan yang dilancarkan mengarah dada kiri, bernama Lintah Penyedot Jantung.
Jika mengenai sasaran, korban akan menemui ajal dalam kejapan mata karena jantungnya akan pecah dan berhenti berdetak! Tetapi begitu Luhrembulan melihat wajah orang yang memeluknya, langsung dia berteriak dan balas merangkul kuat-kuat.
"Wiro!"
Ternyata orang yang menubruk Luhrembulan dan berusaha mencegah gadis dari Latanahsilam ini menyerang Nyi Retno Mantili adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di lain bagian, tepat ketika Nyi Retno Mantili menekan pinggang boneka kayu dan dua larik cahaya putih mematikan menyembur ke arah Luhrembulan tiba-tiba dua orang nenek menyerbu. Nenek pertama memukul bagian bawah lengan kanan Nyi Retno hingga lengan Itu terpental ke atas. Nenek kedua dengan cepat merangkul pinggang Nyi Retno, lalu tubuh kecil perempuan cantik ini ditariknya ke bawah. Nyi Retno dan dua nenek Jatuh bergedebukan di tanah!
"Tua bangka kurang ajari. Siapa kalian!"
"Nyi Retno tenang..." nenek yang memukul lengan berkata. Nenek Ini berambut kelabu, mengenakan jubah kuning. Sepasang mata merah dan di telinganya mengenakan anting dari tulang manusia. Dia bukan lain adalah kembaran ketiga mahluk Jejadian Eyang Sepuh Kembar Tilu.
Nenek kedua yaitu Nyi Roro Manggut menyambung!. "Kita sesama sahabat. Kau tak perlu kawatir!" Nenek ini bertubuh cebol berjubah hijau. Rambut putih awut-awutan sampai ke lutut. Sepasang mata juling dan hidung pesek sama rata dengan pipi.
********************
Bagaimana Wiro dan dua nenek itu bisa sampai di kaki Gunung Gede? Seperti dituturkan dalam episode sebelumnya (Bayi Satu Suro) Nyi Roro Manggut dan kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu meninggalkan Wiro sendirian di puiau Watu Gilang untuk menyaksikan keramaian perayaan malam Satu Suro di pantai Parangtritis dan Parangkusumo.
Setelah dua nenek pergi Wiro sempat bertemu dengan gadis cantik jejadian Nyai Tumbal Jiwo yang berniat menggodanya. Ketika hendak dihantam dengan pukulan Sinar Matahari mahluk jejadian itu melenyapkan diri. Wiro memandang ka langit, memperhatikan rembulan yang hampir bulat tersembul dibalik awan. Murid Sinto Gandeng itu ingat kalau besok malam bulan purnama penuh atau purnama empat belas hari dia sudah harus menghadap Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede.
Wiro menggaruk kepala. Bingung sendiri. Kalau dia pergi menemui sang Kiai dan benar orang tua itu hendak membicarakan perjodohannya dengan Ratu Duyung, maka dia akan menemui suasana yang membuat dirinya jadi tidak enak. Sebaliknya kalau dia tidak menemui Kiai itu, apa lagi sudah dipesan sampai dua kali oleh Eyang Sinto Gendeng maka kelak keadaannya nanti lebih tidak enak lagi.
"Nyi Roro Manggut masih membawa Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru. Batu sakti itu bisa kupergunakan untuk pergi ke Gunung Gede secepat kilat. Aku harus mencari dua nenek itu. Mudah-mudahan mereka mau ikut bersamaku..."
Wiro menyeberang dari pulau Watu Gilang ke pantai Parangtritis. Setelah berputar-putar dan berkeliling cukup, lama akhirnya menjelang pagi dia menemui Nyi Roro Manggut dan kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu di pantai Parangkusumo tengah nongkrong di depan panggung para pemain gamelan. Nyi Roro Manggut tidak keberatan memenuhi permintaan Wiro dan nenek satunya juga mau ikutan.
Dengan mengandalkan kesaktian Batu Mustika Angin Laut kencana Biru pinjaman dari Nyi Roro Kidul maka Wiro dan dua nenek berangkat ke Gunung Gede. Menjelang tengah hari ketika berada di kaki Gunung Gede Nyi Roro Manggut memberi tahu kalau dia barusan menerapkan Ilmu Menjajag Nafas Mendengar Detak Jantung.
"Ada dua orang di kaki gunung sebelah timur. Dua-duanya perempuan. Yang satu mahluk dari alam gaib." Berkata Nyi Roro Manggut.
"Bisa Jadi Purnama," ucap Wiro tapi hanya dalam hati.
"Aku punya firasat sesuatu akan terjadi di bawah sana." Kata kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu.
"Kalau begitu tidak ada salahnya kita menyelidik ke kaki gunung sebelah timur," ujar Wiro pula.
Ketika Wiro dan dua nenek sampai di tepi sungai kecil, di bawah hujan yang masih mengguyur lebat dia melihat dua perempuan muda dan cantik tengah berhadap-hadapan siap untuk bertarung dekat sebuah gubuk yang hancur berentakan. Kagetnya Wiro bukan alang kepalang begitu dia mengenali bahwa perempuan cantik berpakaian putih yang menghadap ke arahnya adalah Luhrembulan, gadis dari negeri 1200 tahun silam. Sementara yang jadi lawan dan membelakanginya adalah perampuan muda bertubuh kecil memegang boneka kayu. Nyi Retno Mantili!
Pada saat dua perempuan ini saling menyerang dengan mengerahkan Ilmu kesaktian, pada saat itu pula Wiro berteriak. Karena teriakannya tidak diperdulikan orang maka dia langsung menyergap Luhrembulan sementara dua nenek menghalangi Nyi Retno Mantili.
"Dua nenek Jelek! Siapa kalian! Mengapa menghalangiku! Aku tidak mengenal kalian!" Menghardik Nyi Retno Mantili. Dia coba menendang dan memukul, tapi aneh kaki dan tangannya terasa berat. "Kurang ajar! Apa yang kalian lakukan padaku?!" teriak Nyi Retno Mantili pada dua nenek yang hanya mesem-mesem saja.
Sementara itu di depan sana walau dua cahaya putih yang keluar dari sepasang mata boneka kayu tidak sampai menghantam tubuh Luhrembulan, tapi sewaktu Wiro bergulingan dan berada di atas tubuh si gadis, salah satu dari dua cahaya putih yang melesat keluar dari mata boneka kayu menyambar di atas pantat celananya. Meski Jarak antara celana dan sinar cukup Jauh yaitu sekitar satu Jengkal namun breett! Saking hebatnya kekuatan cahaya putih tersebut pantat celana Wiro robek besar hingga auratnya sebelah bawah tersingkap lebar. Selain merasa kepanasan, Wiro jadi tersentak kaget karena ketika meraba bagian bawah tubuhnya itu dia dapatkan pantatnya tidak tertutup lagi.
"Sialan!" Wiro memaki dan kelagapan sendiri. Dia cepat berdiri namun tak bisa karena tubuhnya masih dipagut kuat-kuat oleh Luhrembulan, malah sambil memeluk gadis itu juga menciuminya dan berulang kali menyebut namanya penuh mesra.
Menyaksikan apa yang dilakukan Luhrembulan terhadap Wiro, dua mata Nyi Retno Mantili terbeliak besar seperti hendak melompat keluar dari rongganya. Sekujur tubuh bergetar. Keadaannya yang tadi tidak bisa bergerak, kini mendadak seperti dapat kekuatan berlipat ganda. Sekali menendang dua nenek yang masih memeganginya terpental.
"Kemuning... lihat! Perempuan gila itu memeluk dan menciumi ayahmu!" Nyi Retno berucap setengah berteriak. Tangan kiri menunjuk-nunjuk, tangan kanan memegang boneka. Perempuan ini kemudian keluarkan suara menggerung panjang. "Akan kuhajar dia! Dia musti mati! Tapi..." Nyi Retno terdiam sejenak. "Bagaimana kalau... jangan-jangan ayahmu memang suaminya. Kemuning, kita... sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Hatiku kecewa, benar-benar sedih. Apakah kau begitu juga anakku?" Sambil menangis keras, tanpa dapat dicegah oleh dua nenek Nyi Retno Mantili menghambur lari.
"Wiro! Nyi Retno kabur!" teriak Nyi Roro Manggut. Wiro terkejut. Dia berusaha melepaskan diri dari pelukan Luhrembulan. Tapi rangkulan gadis ini semakin kencang. Dua kakinya malah ikut disilangkan di pinggang Wiro.
"Kau mau kemana Wiro? Jangan pergi! Aku benar-benar rindu padamu! Tidakkah kau mau memelukku? Membalas ciumanku? Apa kau malu? Bukankah kita sudah jadi suami Istri?"
Wiro tidak perdulikan ucapan Luhrembulan. "Nek! Kejar! Lekas kejar Nyi Retno!" teriak Wiro.
Tapi Nyi Roro Manggut dan nenek kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu justru tertawa haha-hihi asyik memperhatikan celana Wiro yang robek hingga auratnya sebelah bawah belakang terlihat jelas.
"Hik hik! Kantong menyannya berkilat!" kata Nyi Roro Manggut.
"Tapi dari sini aku melihat malah hitam seperti salak! Hik hik hik!" menyahuti nenek kembar jejadian.
"Kalau sampai tersentuh gadis itu. Ihhh... aku juga mau memegang! Pasti kenyal-kenyal! Hik hik hik!" kata Nyi Roro Manggut.
Dua nenek kemudian sama-sama tertawa berkekehan. Lalu kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu berkata,
"Sebaiknya kita berdua pergi saja! Kita bisa mati cemburu melihat pemuda itu dipeluk dan diciumi Luhrembulan! Apa kau tidak cemburu heh? Aku tahu kau suka pada Wiro!"
Nyi Roro Manggut senyum-senyum. Kepala mengangguk-angguk. Lalu dia membalas ucapan orang. "Aku juga tahu kalau kau naksir pada si gondrong itu!"
Dua nenek kembali tertawa cekikikan. "Sudah, tak perlu berdebat. Ayo kita pergi sekarang juga! Kita berpura-pura mengejar Nyi Retno Mantili." Kata nenek jejadian kembaran ke tiga sambil menarik tangan Nyi Roro Manggut. Nenek satu ini ikut saja tapi kemudian dia ingat sesuatu.
"Tunggu, Batu Mustika milik Nyi Roro Kidul ada pada Wiro. Aku harus mengambilnya lebih dulu!"
"Ah, jangan mencari kesempatan. Aku tahu kau bukan mau mengambil batu mustika tapi mau melihat batu kembar antik milik pemuda itu yang gelantungan bergerak lucu kian kemari! Hik hik hik!"
BAB ENAM
Dengan susah payah akhirnya Wiro bisa melepaskan diri dari pelukan dan ciuman Luhrembulan. Dia langsung duduk menjelepok ditanah untuk menutupi celana yang robek di bagian belakang sebelah bawah.
"Wiro, sekian lama aku mencarimu. Ketika aku menyirap kabar kau akan datang ke puncak Gunung Gede, aku mendahului datang ke sana. Tapi aku bertemu dengan perempuan-perempuan yang menyakitkan hatiku!"
"Luhrembulan, siapa yang kau maksudkan dengan perempuan-perempuan yang menyakitkan hati?" tanya Wiro.
"Yang pertama, si ceking yang kemana-mana membawa boneka kayu itu. Katanya ayah dari boneka itu adalah kau. Berarti kau adalah suami perempuan ceking itu yang menurut Kiai Gede Tapa Pamungkas adalah muridnya, bernama Nyi Retno Mantili! Perempuan tidak tahu diri! Tidak tahu diuntung! Sudah sinting punya anak kayu, mengejek diriku pula!"
"Perempuan malang itu memang tidak waras. Setiap ucapannya tidak perlu kau ambil hati!"
Luhrembulan tersenyum ialu mencibir. "Aku tahu otaknya memang miring sejak dia kehilangan bayi. Bukan begitu ceritanya? Tapi aneh. Orang sinting mengapa bisa bermulut ketus. Mengapa bisa merasa cemburu?! Jangan-jangan sintingnya dibuat-buat! Tapi apa urusannya dengan diriku? Perempuan sinting itu malah menyerang aku dengan dua sinar yang keluar dari sepasang mata boneka kayu. Tapi ilmu kesaktiannya itu tidak bisa melewati tanah terbelah yang telah aku gurat dengan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah. Kalau tidak ditolong Kiai Gede perempuan itu pasti sudah amblas masuk ke dalam belahan tanah."
"Katamu Nyi Retno mengejekmu. Memangnya dia mengejekmu apa? Apakah karena soal mengejek itu kau lantas sampai mengeluarkan Ilmu kesaktian yang dahsyat itu?" tanya Wiro.
"Dia marah ketika aku memberi tahu kalau kau adalah suamiku! Bahwa kita sudah kawin di Latanahsilam."
"Tapi perkawinan itu tidak syah..." tukas Wiro.
"Syah atau tidak yang jelas perkawinan itu telah terjadi! Ada yang menikahkan kita yaitu nenek Lamahila dan ada seorang saksi bernama Laduliu. Apa kau lupa hal itu Wiro? Atau berpura-pura lupa?"
"Aku ingat betul peristiwa di Bukit Batu Kawin itu. Ada orang yang memberikan minuman aneh padaku hingga aku tidak sadar diri. Sudahlah, aku tidak ingin membicarakan hal itu," kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala. Dia hendak berdiri tapi begitu ingat celananya yang robek tidak jadi dan buru-buru duduk menjelepok di tanah kembali. Mengapa tidak jadi berdiri?" tanya Luhrembulan.
"Anu... tidak ada apa-apa. Aku hanya masih ingin duduk."
"Di tanah yang becek oleh air hujan ini?" ujar Luhrembulan. "Aneh! Sementara aku bicara berdiri, kau duduk di tanah. Sudah aku duduk saja di depanmu." Lalu Luhrembulan duduk bersimpuh di depan Wiro. "Wiro, apa selama ini kau tak pernah ingat diriku? Tidak pernah kangen, tidak pernah rindu?"
"Selama di Latanahsilam kau banyak berbuat baik padaku. Kau mengobati diriku ketika cidera berat. Kau memberikan ilmu kesaktian hebat luar biasa padaku. Aku tidak bisa membalas semua hutang budi itu. Tentu saja aku mengingat semua kebaikanmu itu."
"Hanya mengingat kebaikannya, orangnya tidak? Kau tidak ingat diriku, Wiro?" ujar Luhrembulan dengan suara dan wajah menunjukkan rasa sedih.
Wiro tersenyum tapi tidak menjawab.
"Wiro, aku tidak pernah merasa bahwa kau berhutang budi padaku. Aku tidak pernah membangkit minta kau membalas semua itu. Aku hanya ingin satu hal. Yaitu bahwa kau menyadari kalau kita sudah kawin, sudah nikah..."
Wiro masih diam.
"Aku minta dinikahkan denganmu oleh Nenek Lamahila bukan karena apa-apa. Pertama aku memang mencintaimu dengan setulus hati. Kedua aku ingin keluar dari azab sengsara yang terjadi sejak mulai dari nenek moyangku. Wiro, ketika masih di Latanahsiiam aku pernah meratap. Aku masih ingat apa yang aku ratapkan saat itu. 'Wahai mahluk bermuka buruk. Puluhan tahun kau hidup dalam kutuk yang jatuh menimpa dirimu bukan karena maumu dan bukan karena kesalahanmu. Puluhan tahun kau tenggelam dalam kesesalan. Menyantet dan mem-bunuh orang-orang tidak berdosa. Kini ketika sentuhan kasih membuka mata dan menyingkap hatimu, ketika kau mengambil keputusan bahwa kau bisa meninggalkan Jalan sesat dan memilih hidup baik, ternyata tidak ada orang yang mau menolongmu. Wahai mahluk tua berwajah buruk. Sudah takdir dirimu kau akan berada dalam keadaan sengsara begini rupa seumur bumi terbentang, selagi langit terkembang'..."
(Baca serial Wiro Sableng di negeri Latanahsllam berjudul Rahasia Perkawinan Wiro)
Luhrembulan tutup wajahnya dengan dua tangan lalu menangis sesenggukan. "Aku tahu, tidak ada seorangpun yang mau mengerti. Apa lagi mau menolong. Aku akan tetap hidup dalam kutukan. Dalam ujud seorang nenek buruk bernama Hantu Santet Laknat"
"Luhrembulan, kau tidak lagi berada di alammu. Kau saat ini sudah berada di alam lain. Kau berada di tanah Jawa. Kurasa semua kutukan turun temurun itu telah lenyap. Kau benar-benar telah menjadi seorang gadis cantik seperti keadaanmu saat ini." Wiro coba menghibur.
Luhrembulan tersenyum. Dia beringsut mendekati Wiro. Untuk beberapa saat wajahnya diletakkan di dada bidang pemuda itu. Lalu dia mundur menjauh kembali. "Wiro, kau berkata begitu, aku berterima kasih. Tapi coba kau lihat sebentar ke arahku. Kau akan melihat kenyataan..."
Luhrembulan duduk tak bergerak, menatap kearah Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng balas memperhatikan. Dadanya berdebar ketika dia melihat, walaupun sedikit samar, sosok Luhrembulan yang tadi berupa gadis cantik berpakaian putih kini berubah menjadi nenek kurus keriput bermuka buruk seperti burung gagak, mata kecil tak beralis. Pakaian dari jerami kering. Sosok inilah yang pernah dilihatnya sewaktu berada di Latanahsilam dulu ketika tersesat bersama Setan Ngompol dan Naga Kuning.
(baca serial Wiro Sableng di tanah silam mulai dari episode Bola Bola Iblis sampai istana Kebahagiaan)
"Luhrembulan, sebaiknya kau jangan mengingat-ingat lagi keadaan dirimu..."
"Bagaimana aku bisa melupakan hal itu, Wiro? Nasib buruk dan azab diriku mengalir dalam darah, bersatu dengan nafasku."
"Luhrembulan, tadi kau menyebut perempuan-perempuan yang menyakitkan hati. Kau sudah menceritakan tentang Nyi Retno. Lalu siapa perempuan lainnya?" Wiro alihkan pembicaraan.
"Tadi di tempat ini ada gubuk. Tapi sudah hancur berantakan. Ketika aku berteduh datang seorang gadis berpakaian hijau. Dia mengaku bernama Nyi Wulas Pikan..."
"Nyi Wulas Pikan?" Mengulang Wiro dengan suara bernada kaget. Lalu dalam hati dia membatin. "Gila, jadi mahluk alam roh satu itu sudah sampai pula di tempat ini rupanya!"
"Kau mengenalnya?"
"Aku melihatnya pertama kali malam tadi di pantai pulau Watu Gilang," menerangkan Wiro.
"Katanya dia adalah kekasihmu..." ujar Luhrembulan pula.
Wiro menggaruk kepala. "Gadis itu adalah jejadian dari Nyai Tumbal Jiwo. Muridnya kubunuh. Celakanya sang murid yang bernama Wira Bumi itu adalah Patih Kerajaan dan merupakan kekasih si nenek. Dia memaksa aku jadi kekasihnya pengganti Wira Bumi."
"Aku melihat paksaan itu sekaligus merupakan ancaman. Nyai Tumbal Jiwo bisa membuatmu menjadi buronan Kerajaan seumur-umur."
"Kurasa begitu," Jawab Wiro sambil menggaruk kepala.
"Apakah kau akan menerima atau memang sudah menjadi kekasihnya?" tanya Luhrembulan.
Wiro tertawa. "Di balik niat mesumnya itu aku yakin dia punya maksud hendak membunuhku. Rasanya tidak ada jalan lain. Aku harus membunuhnya lebih dulu. Hanya saja apakah aku bisa melakukan hal itu karena dia mahluk dari alam roh. Dia bisa bersalin rupa seratus kali dalam satu hari!"
"Kalau begitu biar aku yang mewakili dirimu membunuh nenek itu!" kata Luhrembulan pula. "Saat ini dia tengah dalam perjalanan menuju puncak Gunung Gede. Menunggu kedatanganmu."
"Aku tidak akan ke sana. Paling tidak untuk kali ini," jawab Pendekar 212.
Untuk beberapa lama kedua orang itu tidak ada yang bicara. Kemudian Wiro bertanya. "Selain Nyi Retno dan Nyi Wulas Pikan, apa masih ada perempuan lain yang menyakiti hatimu?"
"Sebenarnya bukan perempuan. Dia seorang lelaki. Tapi bermulut seperti perempuan. Dia mengusirku dari puncak Gunung Gede!"
"Aku tak mengerti. Siapa lelaki itu?" tanya Wiro pula.
"Kiai Gede Tapa Pamungkas! Kakek yang katanya tokoh bijaksana rimba persilatan. Tapi mulutnya seperti ember. Perilakunya terhadapku sungguh tidak adil. Dia lebih membela perempuan ceking yang punya anak boneka kayu itu. Yang diakuinya sebagai muridnya. Dia mengusirku secara halus. Aku terpaksa meninggalkan telaga tempat kediaman Kiai itu! Wiro, aku tak habis pikir mengapa Kiaimu itu memberi ilmu kesaktian pada seorang perempuan sinting. Orang waras saja terkadang bisa menyalah gunakan Ilmu kepandaian, apa lagi yang tidak waras seperti Nyi Retno Mantili itu."
"Kurasa Kiai hanya memberikan ilmu pada Nyi Retno untuk melindungi dirinya. Sejak dia meninggalkan Gedung Ketemenggungan di Kotaraja, nyawanya terancam. Dia terpisah dengan bayinya..."
Luhrembulan tertawa mendengar kata-kata Wiro itu. "Kenapa kau tertawa? Apa yang lucu?" tanya Pendekar 212.
"Dia hendak membunuhku dengan dengan ilmu kesaktian yang mengeluarkan dua larik cahaya putih dari mata boneka kayu. Pertama kali dilakukannya di tepi telaga. Di depan Kiaimu. Yang kedua kali di tempat Ini. Kau menyaksikan sendiri. Apakah itu yang kau maksudkan Ilmu untuk melindungi diri?"
Wiro mulai resah dan gerah. "Luhrembulan, sebenarnya aku ingin bicara lebih banyak denganmu. Tapi ada yang harus aku lakukan. Aku mungkin berubah pikiran. Mungkin aku akan menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas di tempat kediamannya."
"Aku ikut bersamamu," kata Luhrembulan pula.
Mendengar kata-kata Luhrembulan Ku Wiro cepat memutar otak. "Sebelum menemui Kiai, aku ingin mengejar dua nenek temanku tadi. Mereka tengah berusaha mencari Nyi Retno..."
"Hemmm... begitu? Setahuku rencana pertemuanmu dengan Kiai ember itu baru besok malam..."
"Luhrembulan, tidak baik mencerca Kiai Gede Tapa Pamungkas seperti itu...!" Wiro mengingatkan.
Luhrembulan hanya tersenyum. "Kau ingin pergi mencari dua nenek yang mengejar Nyi Retno. Aku ada di sini. Jangankan memperhatikan diriku, perasaanpun rupanya kau sudah tidak punya lagi. Aku ingin kita hidup bahagia berdua. Tapi kalau kau inginkan perempuan lain, dan aku tidak kuasa melihatnya, aku akan habisi perempuan itu. Aku sudah bersumpah Wiro. Dengar baik-baik sumpahku! Tidak ada seorang perempuan lainpun yang bisa memiliki dirimu, kecuali diriku yang telah menjadi istrimu! Perempuan mana saja yang melakukan hal itu akan kubunuh!"
"Kau tidak boleh bersikap seperti itu, Luhrembulan. Kau harus sadar. Kita sebenarnya tidak pernah nikah."
"Jadi begitu sikapmu terhadapku, Wiro? Kau seorang pendekar yang ingin lari dari kenyataan. Ingin menghindar dari tanggung jawab!"
"Memangnya aku punya tanggung jawab apa atas dirimu?" Wiro mulai kesal.
"Aku pernah mendengar pantun bagus berasal dari negerimu ini. Kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu! Sudah gaharu cendana pula. Sudah tahu bertanya pula!"
Dalam kesalnya Wiro berdiri, lupa akan celananya yang robek besar di belakang sebelah bawah. "Luhrembulan, maafkan aku. Aku harus pergi..."
"Pergilah, rohku akan mengikuti kemana kau pergi. Rohku akan membunuh perempuan siapa saja yang berani mendekatimu!"
Tiba-tiba menggema satu suara perempuan. "Mahluk alam roh tidak tahu malu. Kau sudah tersesat di alam mimpimu! Aku akan mendekati Wiro. Aku mau lihat apakah kau mampu membunuhku!"
Luhrembulan tersentak kaget. Wiro memandang berkeliling.
"Jahanam laknat! Siapa kau! Unjukkan dirimu! Biar kubunuh saat ini juga!" teriak Luhrembulan. Mata mendelik, memandang seputar tempat.
Teriakan Luhrembulan disambut dengan tawa melengking panjang. Saat itu hujan mulai mereda. Namun keadaan masih gelap. Di arah tepi sunga? kecil kelihatan cahaya biru serta kerlap kerlip seperti kembang api. Sesaat kemudian tampak sosok perempuan cantik berambut hitam digeral lepas mendatangi dengan cepat lalu berhenti di samping Pendekar 212 Wiro Sableng. Bukan hanya sekedar berdiri, tapi sambil merangkulkan tangan kiri ke pinggang sementara kepala disandarkan mesra ke bahu sang pendekar! Mulut melontarkan senyum mengejek.
"Kau ingin membunuhku? Silahkan!"
BAB TUJUH
Mahluk keparat! Aku sudah mengira! teriak Luhrembulan lalu dengan cepat melompat bangkit dari duduknya di tanah becek.
"Kau juga keparat!" Jawab perempuan cantik berambut panjang lepas dan mengenakan pakaian biru gelap. Kepala ditegakkan tapi tangan kiri masih merangkul pinggang Wiro membuat Luhrembulan seperti terbakar. "Aku tahu riwayat pernikahanmu! Jangan coba menipu dan menjebak Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng! Pernikahan itu tidak pernah ada! Kalaupun ada tidak syah!"
Wajah Luhrembulan berubah merah. Rahang menggembung. "Perempuan celaka! Apa kau kira aku tidak tahu riwayat dirimu?! Di Latanahsilam kau bernama Luhmintari. Di tanah Jawa ini kau menukar nama dengan Purnama!"
"Wiro yang memberikan nama itu padaku. Apa kau keberatan?" ucap si cantik berbaju biru yang ternyata adalah Purnama.
Seperti diceritakan sebelumnya Purnama bersama Ratu Duyung telah bertemu dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak gunung. Gadis ini mengetahui kalau sang Kiai merasa tidak enak melihat kehadirannya. Hal ini membuat dugaan Purnama semakin kuat bahwa Kiai Gede Tapa Pamungkas memang ingin membicarakan perjodohan Ratu Duyung dengan Wiro.
Selain menimbulkan rasa perih di hatinya, juga agar tidak menjadi sandungan yang tidak enak karena kehadirannya di situ. Purnama mengatakan ingin melihat-lihat keindahan di sekitar puncak gunung. Padahal saat itu awan mendung mulai bertumpuk di langit. Keindahan apa yang mau dilihat?
Purnama menuruni puncak Gunung Gede. Nalurinya mengatakan sesuatu akan terjadi di bawah sana. Apa lagi ketika dia mengerahkan ilmu Nafas Sepanjang Badan. Purnama dapat merasakan bahwa ada seorang dari alam gaib di kaki gunung sana.
"Mungkin Nyai Tumbal Jiwo. Tapi mungkin juga Luhrembulan..." kata Purnama dalam hati. Ketika dia sampai di kaki gunung dalam keadaan hujan lebat, yang ditemuinya memang Luhrembulan, tengah duduk di tanah becek, berhadap-hadapan dengan Wiro. Setelah mendengar cukup lama percakapan kedua orang itu Purnama keluar dari tempat persembunyiannya sambil keluarkan tawa panjang.
Luhrembulan menatap tajam ke arah Purnama. "Aku tidak perduli siapa namamu sekarang! Atau siapa yang memberikan nama itu padamu! Aku cuma tahu namamu adalah Luhmintari! Riwayatmu di Latanahsilam sungguh memalukan, menjijikkan! Bukankah kau kena kutuk hingga melahirkan seorang bayi berbentuk landak?! Hik hik! Di sini lagakmu seperti seorang Ratu saja!"
"Riwayatmu jauh lebih buruk dan menjijikkan dariku!" jawab Purnama. "Kutuk telah menjadi azab nenek moyangmu. Apakah kau pernah berkaca dan melihat keadaan ujud dirimu yang sebenarnya? Banyak orang yang kasihan padamu! Tapi kelakuan perbuatanmu membuat semua orang menjadi sangat membencimu! Kau sendiri sejak tersesat ke tanah Jawa ini bukankah selalu membuntuti diriku dan ingin membunuhku? Terakhir sekali kau bekerja sama dengan Raja Racun Langit Bumi di Gedung Kadipaten Losari untuk melaksanakan niat kejimu!"
(Baca serial Wiro Sanleng berjudul Sang Pembunuh)
"Wahai! Jika ada orang ingin membunuhmu berarti dirimu sebenarnya jelas bukan mahluk baik-baik! Sayangnya kau adalah mahluk tidak tahu diri hingga tidak menyadari hal itu!" Jawab ucapan Luhrembulan tak kalah pedas menyakitkan.
"Kalian berdua," Wiro yang sejak tadi diam saja coba menengahi. "Bukankah kalian datang dari negeri leluhur yang sama? Mengapa sampai di tanah Jawa ini kalian bersilang sengketa? Akan lebih baik kalau kalian berdua akur-akur saja dan saling bersahabat. Banyak kebajikan yang bisa kalian perbuat di negeri ini."
Luhrembulan tertawa melengking. "Aku?! Aku mau akur-akuran dan bersahabat dengan laknat alam roh tidak tahu diri ini!" Luhrembulan meludah lalu menggeleng berulang kali.
Perlahan-lahan Purnama lepaskan rangkulannya di pinggang Pendekar 212. "Selama langit terbentang bumi terkembang, kau adalah mahluk alam roh paling memuakkan di mataku! Sebaiknya kau mencari jalan pulang kembali ke alam gaib. Atau aku harus memberi petunjuk hingga kau tidak lagi menimbulkan bencana di tanah Jawa ini?"
"Sombongnya!" maki Luhrembulan. "Sebelum kau memberi petunjuk, terima dulu yang satu ini!" Didahului pekik penuh amarah Luhrembulan menerjang ke depan. Begitu menginjak tanah kaki kanan langsung diguratkan.
"Rrrrttttt!" Tanah terbelah! Dari dasar belahan menderu daya sedot kencang luar biasa. Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah yang luar biasa ganas. Dalam waktu bersamaan dari sepasang mata menyambar dua larik sinar hitam. Ini adalah ilmu Dua Hantu Menembus Raga Menyedot Jiwa!
"Edan, gadis ini benar-benar kalap. Dia benar-benar hendak menghabisi Purnama!" ucap Wiro dalam hati. Bahkan dirinya juga bisa ikut tersedot ke dalam tanah yang mendadak sontak terbelah itu! Di dahului suara teriakan keras tanpa perdulikan keadaan celananya yang robek Wiro cepat melompat ke kiri.
Sementara Purnama melesat ke kanan. Untuk selamat dari serangan dua larik sinar hitam Purnama segera lindungi diri dengan cahaya biru begemerlap lalu serentak dengan itu dia balas menghantam dengan lepaskan serangan sakti bernama Menggusur Gunung Menjungkir Langit. Dua cahaya biru begemeriap melesat lalu bergabung menjadi satu membentuk bola raksasa.
"Buummm! Breettt...!"
Letusan dahsyat menggelegar. Seantero tempat bergoncang laksana dilanda gempa besar. Tanah yang terbelah merapat kembali. Wiro, Purnama dan Luhrembulan sama-sama terlempar Jauh. Kalau Wiro kemudian terduduk di tanah dengan kuping pengang dan dada mendenyut sakit, maka Luhrembulan dan Purnama tergelimpang di tanah becek, sama-sama mengerang dan kucurkan darah kental di sela bibir.
Wiro tak berani bergerak. Memandang ke bawah matanya jadi mendelik ketika melihat celananya kini robek bukan cuma di bagian belakang tapi akibat terpental tadi robekan menjalar lebar sampai ke bagian depan!
"Celaka! Bagaimana aku menyembunyikan anuku...?!" Wiro Jadi bingung. Namun begitu mendapat akal dia segera buka baju putihnya lalu digelungkan ke bagian celana yang robek. Ternyata baju ini hanya bisa dipakai untuk menutupi salah satu bagian saja. Sobelah depan atau sebelah belakang!
"Gila! Masakan aku harus memilih bagian mana yang mau ditutup!" Wiro masih sempat-sempatnya menggaruk kepala. Tiba-tiba baju yang sudah di ikatkan di pinggang dibuka kembali lalu dimasukkan ke dalam celana sebelah depan, di ulur ke belakang. Dengan cara begitu dia berhasil menutupi aurat depan belakang.
"He he!" Wiro nyengir. Namun cengiran ini serta merta lenyap ketika di depannya Luhrembulan dan Purnama dengan mulut bercelemong darah telah bertarung hebat. Keduanya melancarkan serangan dalam jurus-jurus pukulan serta tendangan mematikan.
"Tahan! Hentikan!" teriak Wiro.
Dua gadis alam roh tidak perdulikan. Keduanya sama-sama berhasil mendaratkan pukulan telak ke dada lawan. Akibatnya mereka sama-sama semburkan darah segar.
"Mahluk alam roh keparat! Kau memang harus aku habiskan sekarang juga!" kertak Purnama dengan wajah pucat. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan satu kantong kain hitam. Luhrembulan dan juga Wiro tampak heran.
"Apa isi kantong itu? Apa yang hendak diperbuat Purnama?" Wiro menduga-duga sementara Luhrembulan mencium satu bahaya besar mengancam dirinya.
Jari-jari tangan Purnama yang memegang kantong hitam bergerak. Sesaat kemudian dari dalam kantong kain menyembul dua buah benda bulat berwarna kuning kehitaman. "Dulu kau hendak membunuhku dengan benda Ini! Sekarang rasakan sendiri neraka kematian saat dua benda ini menembus tubuhmu!" Didahului teriakan keras, Purnama lemparkan dua buah benda yang ada di dalam kantong ke arah Luhrembulan.
Luhrembulan berteriak kaget ketika mengenali dua benda itu. "Buah damar!" teriak gadis alam roh ini. Muka pucat tubuh langsung menggigil. Dia cepat melompat mundur sambil dorongkan dua tangan ke depan melepas angin serangan sehebat badai. Namun dua buah damar masih bisa menembus angin sakti tersebut hingga Luhrembulan kembali berteriak.
Seperti diketahui buah damar adalah buah pantangan bagi semua mahluk alam gaib yang berasal dari Negeri Latanahsilam. Siapa saja yang bersentuhan langsung dengan buah damar akan menemui ajal kematian secara mengenaskan. Rohnya akan kembali ke alam gaib tanpa bisa keluar lagi untuk selama-lamanya!
Sesaat lagi dua buah damar akan menghantam tembus kepala dan dada Luhrembulan, gadis Ini tiba-tiba gerakkan tangan kanan ke pinggang. Di lain kejap satu sinar putih berkiblat menyilaukan menebar udara dingin angker!
"Trang! Trang!" Dua buah damar hancur berkeping-keping. Sinar putih kemudian menyambar ke arah Purnama.
Wiro tersentak kaget. Dia cepat mengenali senjata yang ada di tangan Luhrembulan yang tadi dipakai untuk menangkis menghancurkan dua buah damar maut, kemudian menyerang ke arah Purnama. Membuat gadis ini berseru kaget dan cepat selamatkan diri dengan melompat sampai satu tombak ke udara. Kakinya terasa dingin dan tengkuk merinding ketika sinar putih menyambar ganas hanya setengah jengkal di bawah ke dua kakinya!
"Tidak mungkin! Gila! Bagaimana senjata itu bisa berada di tangannya!" ucap Wiro dalam hati. Lalu murid Sinto Gendeng melompat ke depan sambil berteriak. "Luhrembulan! Tahan serangan!"
Luhrembulan tidak perduli. Dia yakin dengan senjata sakti yang kini berada di tangannya itu dia mampu menghabisi Purnama paling tidak dalam satu jurus di muka. Hal ini tidak disadari Purnama tapi diketahui oleh Wiro. Senjata di tangan Luhrembulan kembali berkiblat.
"Crasss!"
Wiro berteriak kaget sewaktu ujung rambutnya di atas kening putus dibabat senjata di tangan Luhrembulan. "Luhrembulan! Jika kau tidak berhenti menyerang aku terpaksa mengeluarkan Kapak Naga Geni Dua Satu Dua!"teriak Wiro mengancam.
Luhrembulan tidak perdulikan ancaman Wiro. Malah sambil umbar tawa senjata di tangan diputar demikian rupa hingga membeset di depan hidung sang pendekar.
"Hai! Kau kemasukan setan apa?! Kau mau membunuhku?!" teriak Pendekar 212 sambil melompat mundur dan pegang hidungnya yang terasa dingin akibat sambaran senjata di tangan Luhrembulan. Ketika dilihatnya Luhrembulan tetap nekad meneruskan serangan ke arah Purnama, Wiro tidak bisa menunggu lebih lama. Dia berteriak keras sambil tangan kanan di angkat ke atas.
"Kapak Naga Geni Dua Satu Dua!"
Saat itu juga terlihat cahaya putih memancar di dada Wiro disertai munculnya jarahan angka 212 di pertengahan dada. Lalu terdengar suara bergaung keras laksana ribuan tawon mengamuk. Bersamaan dengan itu cahaya putih di dada melesat ke luar dan di lain kejap dalam genggaman tangan kanan Wiro telah berada senjata sakti mandraguna Kapak Naga Geni 212 yang selama ini telah menggegerkan rimba persilatan tanah Jawa.
Kapak sakti ini jarang dipergunakan murid Sinto Gendeng, kecuali dalam menghadapi musuh yang benar-benar luar biasa perkasa atau dalam keadaan jiwanya terancam. Begitu kapak sakti terpegang di tangan, angka 212 yang berkilauan di dada kiri lenyap dengan sendirinya.
Seperti diceritakan sebelumnya dalam serial Wiro Sableng berjudul Lentera Iblis. Kapak Naga Geni 212 bersama Batu Hitam Sakti demi keamanan dan keselamatan sang pendekar oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas dimasukkan secara gaib ke dalam tubuh Wiro. Kini dengan berseru menyebut nama senjata itu maka kapak sakti keluar dari dalam tubuh, muncul di udara terbuka dan langsung berada dalam genggaman Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wiro sadar dan tidak punya cara lain menghadapi Luhrembulan. Jika dia tidak mengeluarkan Kapak Naga Geni 212, dalam nekadnya Luhrembulan bukan saja akan membunuh Purnama, tapi juga bisa menghabisi dirinya!
"Aku tak ingin melukai gadis ini. Tapi aku Juga tidak mau celaka!" ucap Wiro dalam hati.
BAB DELAPAN
Keredupan di tempat itu serta merta sirna olah cahaya yang memancar dari dua mata kapak. Udara yang tadi dingin kini menjadi hangat akibat pancaran hawa panas yang keluar dari senjata sakti warisan Eyang Sinto Gendeng yang asal-muasalnya dimiliki oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas, kemudian diberikan pada Sinto Gendeng yang menjadi murid sang Kiai bersama Sukat Tandika alias Tua Gila.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul Pedang Naga Suci 212)
Wiro memperhatikan dengan terperangah dan penuh rasa tidak percaya melihat senjata yang tergenggam di tangan Luhrembulan. "Pedang Naga Suci Dua Satu Dua..." ucap sang pendekar dalam hati. "Luhrembulan, serahkan pedang itu padaku! Bagaimana kau bisa mendapatkan senjata sakti itu?"
"Wiro. Bukan saatnya bertanya jawab! Biar aku membunuh perempuan sesat itu lebih dulu!" Jawab Luhrembulan. Lalu tanpa perdulikan sang pendekar Luhrembulan kembali menyerbu ke arah Purnama.
Wiro maklum, bagaimanapun tingginya ilmu kesaktian Purnama namun menghadapi Pedang Naga Suci 212 sulit baginya untuk bisa menyelamatkan jiwa. Murid Sinto Gendeng saat itu juga memutuskan harus merampas pedang sakti dari tangan Luhrembulan. Ini bukan hal mudah untuk dilakukan! Karena Pedang Naga Suci 212 dan Kapak Naga Geni 212 boleh dikatakan memiliki kesaktian yang setara! Bedanya kalau Pedang Naga Suci 212 mengandalkan kesaktian berdasarkan hawa dingin maka Kapak Naga Geni 212 mengandalkan hawa panas.
Namun sebelum Wiro sempat bergerak, berlangsung satu kejadian tidak terduga. Dengan kecepatan laksana kilat Purnama melompat ke arah Wiro. Sang pendekar tersentak kaget dan berseru keras. Namun terlambat. Kapak Naga Genl 212 yang berada dalam genggamannya lenyap! Berpindah tangan dan kini telah berada dalam genggaman Pumama.
Begitu senjata sakti itu berada di tangan kanannya Purnama langsung menyerbu ke arah Luhrembulan. Gadis alam gaib Latanahsilam ini kerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang dimilikinya hingga Kapak Naga Geni 212 memancarkan cahaya terang benderang. Ketika senjata sakti itu dihantamkan ke arah Luhrembulan, suara dahsyat seperti ribuan tawon mengamuk mengumandang menusuk telinga disertai pancaran cahaya putih menyilaukan mata.
Melihat Purnama menyerbu dengan kapak sakti, Luhrembulan cepat putar Pedang Naga Suci 212 lalu dengan sebat dibabatkan ke arah lawan. Ternyata serangan Purnama hanya tipuan belaka. Karena begitu dia melihat gerakan tangan Luhrembulan yang memegang pedang, Purnama cepat rundukkan kepala. Pedang Naga Suci 212 lewat di atas kepala Purnama, sempat membabat putus sejumput rambutnya yang hitam dan membuat gadis ini terpekik. Dalam keadaan sekujur tubuh terasa dingin akibat serangan pedang, Purnama masih mampu lancarkan serangan kedua berupa babatan kapak membalik ke atas.
"Purnama! Jangan!" teriak Wiro. Dia menendang ke arah Purnama, berusaha mendorong gadis ini namun terlambat.
"Craasss!" Kapak Naga Geni 212 menyapu lebih dulu di atas dada Luhrembulan! Gadis alam gaib ini terpekik keras. Tubuh terhuyung ke belakang. Tangan kiri menekap dada yang luka besar. Darah aneh berwarna hijau mengucur deras. Sepasang mata yang bagus mendelik. Pedang Naga Suci 212 terlepas jatuh dari tangan kanan. Begitu menyentuh tanah pedang sakti ini secara aneh langsung bergulung menyerupai gulungan ikat pinggang.
Purnama tegak diam tertegun sambil menekap mulut dengan tangan kiri. Dia seperti tidak percaya akan apa yang telah dilakukannya. Kapak Naga Geni 212 untuk beberapa lamanya masih tergenggam di tangan kanan. Noda darah hijau pada mata kapak perlahan-lahan sirna secara gaib.
Sesaat lagi sosok Luhrembulan akan jatuh terbanting ke tanah. Pendekar 212 Wiro Sableng cepat memeluknya.
"Wiro suamiku..." suara Luhrembulan pelan dan bergetar. "Aku merasa dingin sekali."
Wiro tak menjawab, malah merasa heran. Setiap orang yang terkena bacokan Kapak Naga Geni 212 akan merasakan sekujur tubuhnya panas luar biasa lalu sosoknya akan berubah gosong hitam atau menjadi bubuk putih, tergantung daya tolak kesaktian yang ada dalam tubuhnya. Anehnya Luhrembulan justru merasa sekujur tubuhnya dingin luar biasa hingga dia menggigil dan gerahamnya bergemeletukkan.
"Wiro, hangatkan tubuhku. Peluk tubuhku wahai suamiku. Jangan biarkan aku pergi. Jangan lepaskan..." Suara Luhrembulan hanya tinggal bisikan halus.
"Luhrembulan, kau tak akan pergi kemana-mana... ucap Wiro sambil memeluk dan menurunkan tubuh Luhrembulan ke tanah.
"Cium aku Wiro. Sebelum aku menutup mata, berikan kehangatan mesra padaku untuk pertama dan terakhir kali..."
"Luhrembulan, kau..." Wiro bimbang sesaat. Wajah pucat putih itu tampak memelas. Wiro tetapkan hati dan perlahan-lahan turunkan kepalanya. Luhrembulan tersenyum menengadah menyambut datangnya bibir sang pendekar di atas bibirnya.
Purnama yang menyaksikan kejadian itu terpekik dalam hati. "Dia menciumnya... Wiro mencium Luhrembulan! Ohhh..." Gadis Ini lepaskan Kapak Naga Geni 212, balikkan tubuh lalu menghambur lari tinggalkan tempat itu.
Begitu sepasang bibir mereka saling bertempelan, sosok Luhrembulan berubah menjadi sosok seorang nenek berpakaian jerami kering, dengan wajah menyerupai burung gagak hitam. Wiro tersentak kaget tarik kepalanya. Sebelumnya dia pernah melihat sosok dan wajah ini di Latanahsilam negeri 1200 tahun lampau.
"Hantu Santet Laknat..." ucap Wiro, mata membesar kuduk terasa dingin. Sesaat kemudian tubuh nenek itu mengepulkan asap lalu perlahan-lahan leleh berubah menjadi cairan putih. Begitu asap lenyap, cairan putih juga sirna tak berbekas di tanah becek.
Selagi perhatian Wiro terpusat atas apa yang terjadi atas diri Luhrembulan, dia tidak menyadari kalau saat itu, setelah melihat bagaimana Wiro memeluk dan mencium Luhrembulan, Purnama merasa dunia seperti terbalik. Hatinya menjerit! Kapak Naga Geni 212 terlepas jatuh dari tangannya. Sebelum menyentuh tanah senjata ini secara gaib melesat dan masuk kembali ke dalam tubuh Wiro. Purnama sendiri telah berkelebat lenyap.
Hanya sesaat setelah Purnama meninggalkan tempat itu diluar pengetahuan Wiro satu bayangan hijau melesat tanpa suara. Sesaat dia menatap ke arah sosok Luhrembulan yang mencair leleh.
"Mahluk alam roh keparat! Jadi kau yang mencuri pedang sakti itu ketika baru kudapat. Sekarang rasakan sendiri akibatnya!" Orang berpakaian hijau menyumpahi dalam hati. Dengan cepat orang ini kemudian mengambil gulungan Pedang Naga Suci 212 yang tergeletak di tanah lalu berkelebat pergi. Namun di satu tempat orang yang melarikan pedang ini berteriak kaget ketika tangannya yang memegang senjata itu seperti memagang bara panas. Telapak tangan dan jari-jarinya melepuh!
"Senjata keparat jahanam! Setan apa yang ada dalam dirimu?! dua kali dengan ini kau membuat tanganku melepuh!" maki orang itu lalu bantingkan gulungan Pedang Naga Suci 212 ke tanah. Senjata sakti menggelinding lalu masuk ke dalam sungai kecil, lenyap dari pemandangan.
Nyi Wulas Pikan, gadis cantik berpakaian ringkas hijau yang tadi hendak mencuri Pedang Naga Suci 212 dan bukan lain adalah samaran Nyai Tumbal Jiwo meniup-niup dan mengusap telapak tangan kanannya yang melepuh. Mulutnya tiada henti memaki panjang pendek.
********************
Bagaimana Pedang Naga Suci 212 bisa berada di tangan Luhrembulan dan apa sangkut pautnya dengan Nyai Tumbal Jiwo alias Nyi Wulas Pikan?
Pagi hari yang mendung, hujan lebat belum lagi turun, di kaki Gunung Gede Nyi Wulas Pikan ingat sesuatu. "Aku pernah menyirap kabar kalau Kiai di puncak gunung itu memiliki satu senjata berupa pedang sakti luar biasa. Pedang Naga Suci Dua Satu Dua. Apakah aku mampu mengambil senjata Itu dengan ilmu kesaktianku?"
Sambil berpikir-pikir Nyi Wulas Pikan mencari tempat yang baik untuk menerapkan ilmu mengambil benda dari jarak jauh. Setelah menemukan tempat yang cocok, dia duduk bersila. Ujudnya sebagai gadis cantik berubah ke bentuk asli yaitu nenek rambut merah bermuka setan. Ujud nenek angker Nyai Tumbal Jiwo!
Mata dipejam dan mulut perot mulai merapal. Si nenek tidak mengetahui kalau saat itu di belakang pohon, di balik rimbunan semak belukar mendekam sosok seorang berpakaian putih, memperhatikan apa yang tengah dilakukannya.
Dalam keadaan mata yang terpejam Nyai Tumbal Jiwo melihat puncak Gunung Gede. Lalu tampak sebuah telaga. Sepasang mata si nenek bergetar, pelipis bergerak-gerak. Pandangan gaib ditembuskan melewati permukaan telaga. Menukik sampai ke dasar dimana terdapat tiga bangunan terbuat dari batu pualam. Dari dalam bangunan di sebelah kanan keluar satu cahaya putih yang berasal dari sebuah benda bergulung tipis dan berada di dalam keranda kaca.
"Senjata sakti Pedang Naga Suci Dua Satu Dua! Aku melihatmu! Kutemui dlrimu! Kita berjodoh? Ikutlah bersamaku!" ucap Nyai Tumbal Jiwo berulang kali. Lalu dia berhenti berucap dan menahan nafas.
Saat itu juga keranda kaca di dalam tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas di dasar telaga berderak pecah. Benda putih bergulung yang memang adalah pedang Sakti Naga Suci 212 melesat keluar keranda, melayang ke arah pintu bangunan batu pualam. Hanya dua kali kejapan mata senjata sakti itu menembus keluar dari dalam telaga, melayang di udara ke arah kaki gunung mengeluarkan suara berdesing.
Tak selang berapa lama di langit awan mendung mulai menggumpal. Kilat beberapa kali menyambar. Nyai Tumbal Jiwo merapal lebih cepat dan lebih keras. Dari batok kepalanya keluar kepulan asap merah pertanda dia tengah mengerahkan seluruh kesaktian yang ada untuk menarik Pedang Naga Suci 212 yang telah berhasil dikeluarkannya dari dasar telaga.
Ternyata senjata sakti itu memberi perlawanan. Si nenek lipat gandakan kekuatan yang dimiliki. Tubuhnya bergetar hebat. Dia mendengar suara berdesing. Lalu di udara tampak satu benda putih melesat, berputar tujuh kali turun naik di atas pohon tak jauh dimana Nyai Tumbal Jiwo duduk bersila. Benda ini sepertinya berusaha bertahan dari kekuatan yang ingin menariknya ke bawah. Namun setelah tujuh kali putaran akhirnya benda melayang ke bawah dan jatuh di pangkuan Nyai Tumbal Jiwo.
"Pedang Naga Suci Dua Satu Dua!" ucap Nyai Tumbal Jiwo seakan tidak percaya kalau dia benar-benar berhasil mendapatkan senjata sakti mandraguna itu. Dua mata yang sejak tadi terpejam dibuka. Dia melihat gulungan benda tipis putih dan bercahaya terang dlpangkuannya. Mulut si nenok menyeringai gembira. Dengan cepat dia ulurkan tangan kanan untuk mengambil senjata sakti itu.
"Luar biasa, senjata aneh..." Si nenek membolak balik gulungan pedang tipis.
Tiba-tiba dia menjerit keras. Gulungan pedang terasa panas seperti bara. Tangannya sampai mengepulkan asap dan melepuh. Sambil memaki si nenek bantingkan senjata itu ke tanah. Mendadak guntur menggelegar membuat Nyai Tumbal Jiwo kaget dan melompat bangkit sambil banting-banting kaki.
Saat itulah tiba-tiba Luhrembulan, yaitu sosok yang sejak tadi sembunyi di balik semak belukar, dengan gerakan kilat melompat keluar, menyambar gulungan Pedang Naga Suci 212 yang tergeletak di tanah lalu berkelebat menghilang tanpa Nyai Tumbal Jiwo sempat melihat.
Seperti diceritakan sebelumnya Nyai Tumbal Jiwo dalam keadaan kembali berubah menjadi Nyi Wulas Pikan berteduh di sebuah gubuk. Sebelumnya di tempat itu telah lebih dulu berteduh Luhrembulan. Gadis dari alam 1200 tahun silam ini segera mengenali si nenek, serta merta berlaku waspada. Sebaliknya si nenek tidak mengenali Luhrembulan apa lagi mengetahui kalau gadis berpakaian putih itu yang telah mencuri Pedang Naga Suci 212. Antara mereka kemudian terjadi perkelahian.
Sewaktu Nyi Retno Mantili muncul Nyi Wulas Pikan walau semula ingin membunuh perempuan tidak waras ini namun akhirnya memilih lebih baik meninggalkan tempat itu dan cepat-cepat naik ke puncak Gunung Gede guna menantikan kedatangan Pendekar 212 Wiro Sableng.
********************
BAB SEMBILAN
Tak lama setelah hujan lebat berhenti dan arus di sungai kecil surut, dekat satu tikungan sungai pada bagian yang dangkal berbaring menelentang seorang pemuda bertubuh luar biasa gemuk, bermuka putih tembam. Leher dan dagu jadi satu. Perut menyembul buncit besar. Pemuda ini mengenakan baju terbalik dengan kancing di sebelah punggung. Di kepalanya yang berambut panjang sebahu bertengger sebuah kopiah hitam kupluk kebesaran menutupi alis.
Saat itu walau sebagian tubuhnya berada dalam air dan udara dingin pula karena habis hujan namun anehnya si pemuda merasa kepanasan bahkan sampai keringatan. Tangan kiri yang memegang sebuah kipas kertas tidak henti-henti dikibaskan ke bagian dada dan wajah. Sepasang mata ter pejam-pejam ayam. Dua kaki dikambang lebar-lebar. Pemuda gemuk ini agaknya benar-benar menikmati keberadaannya di dalam sungai dangkal berair jernih dan sejuk itu.
Tiba-tiba ada sebuah benda putih berkilau dihanyutkan air sungai meluncur mengapung diantara dua kaki pemuda gendut yang terkembang. Begitu menyentuh bagian bawah perut, ada rasa dingin menjalar masuk ke dalam tubuh si gendut ini. Mata masih terpejam dan mulut tersenyum-senyum si gendut keluarkan suara "Heh..."
Setiap kali benda itu dipermainkan aliran air sungai dan menyentuh bagian bawah perutnya si pemuda selalu mengeluarkan ucapan heh. Rupanya dia merasa senang. Mata kini meram melek dan lidah terjulur-julur di atas bibir. Selain merasa sejuk pemuda ini juga merasa geli-geli enak bagian bawah perutnya seperti diusap disentuh tangan-tangan halus.
"Dewi Sungai... Oooh, kaukah itu yang yang mengusap anuku. Aahhh, enak... asyik. Ooo nikmatnya. Pelan-pelan Dewi... Jangan sampai anuku lecet..." Si gendut bicara sendiri sambil senyum-senyum.
Dalam rasa senangnya lama-lama si gendut ini ingin tahu juga benda apa sebenarnya yang sejak tadi menyentuh-nyentuh memberi nikmat pada dirinya itu. "Jangan-jangan ikan betina yang mulutnya besar," pikir si gendut lalu ulurkan tangan kiri menjangkau benda di bawah selangkangannya itu. Namun tidak tersentuh karena terhalang oleh perut yang buncit.
"Sreett!" Si gendut lipat kipas kertas di tangan kiri lalu menopang tubuh dengan tangan kanan, berusaha bangkit. Begitu duduk dia melihat sebuah benda aneh, tipis bergulung seperti sebuah ikat pinggang.
"Hah, ini rupanya mahluk yang sejak tadi menyenggol-nyenggol kantong menyanku! Kusangka Dewi Sungai, kukira ikan, tak tahunya benda apa ini?" Ucap pemuda gendut lalu dengan tangan kanan mengambil benda yang terapung itu.
Begitu bersentuhan tangan kanannya terasa dingin. Rasa sejuk menjalar ke seluruh tubuh. Ketika digenggam rasa dingin berkurang dan perlahan-lahan berubah menjadi hangat. Dari hangat berubah lagi menjadi panas! Sekujur tubuh si gendut langsung kucurkan keringat.
"Aneh, mengapa jadi panas? Benda bergulung, apa kau marah padaku? Apa kau tidak mau dipegang tapi maunya dikempit di antara dua pahaku? Ha ha!"
Pemuda gemuk tertawa sendiri lalu benda dioles-oleskan ke bagian bawah perutnya. Dia tertawa haha-hihi ketika kembali rasa sejuk terasa menyentuh dan masuk ke dalam tubuhnya.
"Aneh... aneh!" si gendut berucap berulang kali. Benda putih bergulung kemudian ditimang-timang. Di lempar ke atas ditangkap lagi, dilempar kembali. Pada kali yang ketujuh tiba-tiba terdengar suara berdesir di susul dengan memancarnya hawa dingin. Lalu srett! Benda bergulung membuka. Cahaya putih berkiblat dan...
"Wuuttt! Breett!"
Si gendut terpekik. Matanya yang belok melotot tambah besar. Wajahnya yang pucat putih menjadi tambah putih seperti kain kafan! Kopiah hitam kupluk yang ada di atas kepalanya mencelat mental, jatuh ke dalam sungai. Sebelum dihanyutkan air pemuda ini cepat-cepat mengambilnya. Ketika diperhatikan ternyata bagian pinggir atas kopiah hitam itu telah robek besar.
"Kopiahku satu-satunya kenapa dirusak?! Tapi untung cuma kopiah yang bolong. Kalau sampai jidatku yang robek!" Si gendut letakkan kopiah di atas kepala lalu berbalik mencari benda putih berkilat yang tadi menyerangnya. Dia buru-buru jatuhkan diri ketika benda yang dicarinya itu melayang di udara dan membeset ke arah hidungnya. Hawa dingin menebar.
"Kurang ajar! Mahluk setan apa yang menyerangku?" Si gemuk cepat berdiri, memandang kedepan dan memperhatikan lebih jelas dia melihat benda putih itu ternyata sebilah pedang putih tipis bergagang gading berbentuk kepala naga. Pada badan pedang kiri kanan ada guratan angka 212.
"Dua Satu Dua! Astaga...!" Si gendut berseru. Dia segera ingat pada sobat yang sudah lama tidak bertemu. "Wiro anak geblek. Pasti kau yang punya urusan! Kau yang menyuruh pedang itu menyerangku! Anak Sableng! Lama tidak bertemu mengapa mau membuat aku celaka?! Dimana kau? Jangan sembunyi. Nanti aku..."
Ucapan belum selesai pedang putih yang mengapung di udara bergerak naik ke atas lalu wutt! Meluncur menusuk ke arah pertengahan dada gembrot berlemak si gendut.
"Kau benar-benar mau membunuhku?! Aku tidak Yakin! Ayo silahkan saja tusuk!" kata pemuda gendut sambil pegang koplah kupluk sementara tangan kiri bergerak mengangkat kipas kertas ke atas. Tadinya dia menyangka bahwa luncur tusukan pedang akan berhenti di tengah jalan atau membelok ke samping. Tapi ketika senjata itu terus meluncur ke arahnya si gendut jadi terperangah dan tidak mau mati konyol!
Sambil jatuhkan tubuh yang gembrot besar ke dalam air sungai, tangan kiri mengembangkan kipas untuk menangkis serangan pedang. Kalau dia mempergunakan kipas kertas untuk menghadapi pedang sakti berarti kipas kertas itu merupakan benda bukan sambarangan! Dan memang benar.
Begitu selarik angin dingin menyapu keluar dari kipas kertas, gerak luncur pedang putih tertahan. Si pemuda sentakkan kipas ke kiri. Pedang yang mengapung di udara ikut bergerak ke kiri.
"Kita tidak pernah bermusuhan. Mengapa menyerangku! Bukankah bersahabat lebih baik dari pada berseteru?!" Si gendut berucap sambil perlahan-lahan tangan kirinya yang memegang kipas diturunkan kebawah dan diputar-putar. Pedang putih ikut bergerak turun, berputar beberapa kali lalu srett! Pedang menggulung kembali dan jatuh di dalam sungai yang dangkal. Walau agak takut-takut si pemuda ulurkan tangan kanan mengambil gulungan pedang.
"Wiro! Mengapa masih sembunyi?! Ayo keluar! Kita bisa ngobrol sore Ini sampai pagi! Kalau mau disambung lagi dari pagi sampai sore!" Si gendut lalu tergelak-gelak hingga perut dan dadanya yang gembrot berguncang-guncang.
Satu bayangan berkelebat keluar dari balik pohon besar di tepi sungai kecil. Si gendut mengira yang muncul adalah sobat lamanya Pendekar 212 Wiro Sableng. Tapi dia jadi terperangah dan berbalik terkagum-kagum ketika melihat yang berdiri di tepi sungai adalah seorang gadis memiliki rambut panjang sepinggang. Pakaian hijaunya basah kuyup hingga tubuhnya yang sintal seolah tercetak di bawah pakaian itu.
"Kau mampu menjinakkan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua! Bagaimana kau melakukannya? Mantera apa yang kau baca?!" bertanya gadis berpakaian hijau sambil melirik ke arah kipas kertas di tangan kiri si gendut.
"Ha... he..." pemuda gemuk tertawa. Mata dikedap-kedipkan. "Aku tidak membaca mantera apa-apa. Kipas jelek Ini yang menolongku."
"Hebat! Kipasmu itu pasti sama saktinya dengan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua!"
"He he. Kipasku cuma kipas kertas jelek," Jawab si gendut merendah. "Eh! bagaimana kau tahu kalau pedang ini bernama Pedang Naga Suci Dua Satu Dua...?"
"Aku hanya menduga. Tidakkah kau melihat ada guratan angka Dua Satu Dua pada dua sisi pedang?"
"Ya... ya. He he. Kau pasti gadis dari rimba persilatan. Tidak sembarang orang bisa tahu ini pedang apa He he... Bagaimana kau tahu-tahu bisa muncul di sini?"
"Sewaktu hujan aku tengah berperahu di sungai ini. Lalu hujan turun, arus berubah besar. Perahuku terbalik. Selagi berenang ke tepi aku melihat benda putih bergulung dihanyutkan air. Aku mengikuti sepanjang tepian kali. Ketika melihat benda itu mengarah ke tempatmu berbaring di sungai dangkal aku berhenti mengikuti, sembunyi di balik pohon sana. Waktu benda bergulung terbuka berubah jadi sebilah pedang dan menyerangmu, aku sempat melihat guratan angka Dua Satu Dua di sisi pedang. Tadi aku mendengar kau menyebut nama seseorang. Wiro. Apakah kau kenal pada pendekar itu?"
"Dia sobat lamaku. Tadinya dia yang aku kira bergurau dengan senjata Ini. Heran, mengapa pedang sakti ini bisa tersesat begini rupa? Apa yang telah terjadi?" kata si gendut pula. Matanya yang betok terus saja memperhatikan wajah dan sosok elok si gadis. "Eh, kau belum menerangkan siapa dirimu."
"Namaku Nyi Wulas Pikan."
BAB SEPULUH
"Nama bagus. Puji si gendut.
"Kau sendiri siapa?" Balik bertanya si gadis. "Adalah aneh sementara orang kedinginan kau malah merendam diri di sungai." Mengaku bernama Nyi Wulas Pikan berarti dia bukan lain adalah penjelmaan Nyai Tumbal Jiwo.
"Namaku Santiko. Tapi orang-orang menyebutku Bujang Gila Tapak Sakti. Aku memang punya kelainan. Aku tidak tahan hawa panas. Selain itu kata orang, usiaku sekitar dua puluhan. Pada hal aku sebenarnya sudah berumur lebih dari delapan puluh!"
Nyi Wulas Pikan perhatikan dua tangan si pemuda yang tampak putih sampai ke kuku, "Kalau ucapanmu bisa dipercaya maka kau adalah orang paling aneh yang pernah kutemui. Dijuluki seperti itu kau pasti orang hebat" kata Nyi Wulas Pikan. "Apakah kau benar-benar masih bujang seperti namamu?"
Si gendut Bujang Gila Tapak Sakti keluar dari dalam sungai. Duduk di tanah di hadapan si gadis. Tangan kiri memegang kipas, tangan kanan menggenggam gulungan Pedang Naga Suci 212 yang mulai terasa panas. Sambil menyeringai dia bertanya.
"Apa maksudmu dengan pertanyaan itu Nyi Wulas?"
"Maksudku apakah kau masih perjaka? Hik hik..."
Si gendut Bujang Gila Tapak Sakti ikutan tertawa. "Aku tidak ingat apa aku ini masih perjaka. Yang jelas aku belum pernah nikah!"
"Nikah belum kawin sudah! Iya kan? Hik hik hik!"
"Kalau nikah denganmu aku mau!" kata Bujang Gila Tapak Sakti pula yang sejak tadi sudah tertawan dan bergairah melihat kecantikan serta kebagusan tubuh Nyi Wulas Pikan.
"Ihh... Kau sungguhan? Jangan main-main soal nikah."
"Kalau begitu kawin saja!" sahut si gendut.
"Dengar." Nyi Wulas Pikan melangkah mendekati Bujang Gila Tapak Sakti. "Kalau kau sungguhan mau kawin denganku, aku juga mau."
"Eh apa?!" Bujang Gila Tapak Sakti jadi kaget. Walau tertarik pada si cantik ini tapi tadi dia bicara hanya sekadar bergurau.
Nyi Wulas Pikan duduk di samping Bujang Gila Tapak Sakti lalu usap-usap dada gembrot si pemuda. Usapan turun ke perut yang buncit hingga Bujang Gila Tapak Sakti senyum-senyum meram melek. Sambil turunkan lagi usapannya ke bagian pusar, Nyi Wulas Pikan berkata.
"Aku mau kawin denganmu. Tapi ada syaratnya..."
"Ah, pasti kau minta mas kawin seratus sapi seratus kambing seratus..."
"Aku tidak, minta mas kawin apa-apa." Potong Nyi Wulas Pikan.
"Lalu? Sungguh? Ah. mungkin kau minta mas kawin emas atau perhiasan satu karung!"
"Gila! itu juga tidak." jawab Nyi Wulas Pikan sambil tersenyum dan lagi-lagi kedipkan mata menggoda. "Aku hanya ingin kau mengajarkan padaku bagaimana caranya agar aku bisa memegang pedang sakti itu tanpa tanganku menjadi panas dan melepuh."
"Apa kau pemah memegang pedang sakti ini sebelumnya?" tanya si pemuda sambil melirik kearah tangan kanan si gadis dan melihat ada luka melepuh pada tangan itu.
"Waktu berenang di sungai. Aku berusaha mengambil pedang yang masih dalam keadaan tergulung. Tapi tanganku kepanasan bahkan sampai melepuh." Berdusta Nyi Wulas Pikan.
"Terus terang aku tidak tahu bagaimana cara mengajar orang lain agar bisa memegang pedang ini."
"Tapi kau mampu memegangnya tanpa tanganmu cidera. Aku pernah mendengar riwayat senjata ini yang konon keluar dari perut naga di dasar laut."
"Ceritakan padaku..." kata Bujang Gila Tapak Sakti pula.
Nyi Wulas Pikan menggeleng. "Aku tidak mau menceritakan. Takut kesalahan." Kilah si gadis.
"Sebenarnya aku juga kepanasan memegang senjata ini. Tapi tidak sampai melepuh. Mungkin karena aku memiliki kekuatan hawa dingin dalam diriku, itu yang membuat aku bisa memegang senjata ini. Tapi lama-lama kalau panas terus-terusan rasanya aku bisa jadi tidak tahan..."
"Kalau begitu berikan kesaktian hawa dingin yang ada dalam tubuhmu padaku." Kata Nyi Wulas Pikan pula.
"Memberikan hawa dingin dalam tubuhku padamu?" mengulang si gendut.
Nyi Wulas Pikan mengangguk. Mulut mengulum senyum dan mata dikedipkan.
"Bagaimana caranya?" tanya Bujang Gila Tapak Sakti yang kena rayuan dan tambah bergairah melihat sikap si gadis.
Mengenai siapa adanya pemuda gendut berjuluk Bujang Gila Tapak Sakti ada baiknya dituturkan sedikit riwayatnya. Dalam serial Wiro Sableng berjudul Bujang Gila Tapak Sakti, diceritakan, ketika berusia 10 tahun Santiko mencuri perangkat Gamelan berupa dua buah bonang (kentongan besi) milik Keraton.
Dua buah bonang ini kemudian diserahkan Santiko pada seorang janda muda cantik jelita bernama Nyi Bulan Seruni Pitaloka yang memang telah membujuk Santiko untuk mencuri benda pusaka itu. Ketika Dewa Ketawa, tokoh aneh rimba persilatan tanah Jawa yang merupakan paman Santiko mengetahui hal ini maka si bocah dihukum berat. Dibawa ke puncak Gunung Mahameru lalu dipendam dalam sebuah lobang yang disebut lobang inti es selama 7 tahun. Menurut Dewa Ketawa satu tahun di dalam lobang sama dengan sepuluh tahun hidup di dunia luar.
Tujuh tahun kemudian setelah bebas dari hukuman, Santiko berubah menjadi seorang pemuda yang memiliki ilmu kesaktian tidak ada duanya. Semua Ilmu kepandaian dan kesaktiannya itu berdasar dan mengandalkan pada hawa dingin yang didapatnya selama dipendam di puncak Mahameru. Karena bertahun-tahun berada di dalam lobang luar biasa dingin, Santiko kini menjadi tidak tahan akan hawa panas. Kemana pergi selalu membawa kipas kertas. Selain dipakai untuk mengipasi diri, benda ini juga bisa dipergunakan sebagai satu senjata hebat. Sejak turun gunung Santiko dijuluki Bu|ang Gila Tapak Sakti dan selalu mengaku kalau usianya sudah delapan puluh tahun.
Dalam pengembaraannya pendekar gemuk ini bertemu dengan Pendekar 212 Wiro Sableng yaitu ketika murid Sinto Gendang ini membantu mendapatkan dua buah bonang kembali. Dari keterangan Nyi Bulan Seruni Pitaloka diketahui bahwa di dalam dua buah bonang itu terdapat lapisan dua helai kain sutera tipis yang hanya bisa dilepas dengan dua senjata sakti mandraguna. Senjata pertama Keris Nogo Sosro. Tapi senjata milik dan pusaka Keraton ini tidak diketahui dlmana beradanya. Yang kedua adalah Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro.
Setelah berhasil dilepas dari bonang, dua carik kain sutera itu ternyata berisi tulisan kuno mengenai rahasia ilmu sakti mandraguna. Pada kain sutera pertama tertera tulisan mengenal limu kesaktian langka sementara pada kain sutera kedua terdapat tulisan mengenai ilmu pengobatan.
Wiro menyerahkan dua helai kain sutera pada Nyi Bulan Seruni Pitaloka yang memang adalah milik mendiang suaminya. Dua buah bonang kemudian diberikan pada Dewa Ketawa. Antara kakek ini dengan sang keponakan keduanya saling berbaikan kembali. Sebagai balas budi atas bantuan Wiro, Nyi Bulan Seruni Pitaloka dengan Ilmu kesaktian bernama Berjalan Di Dalam Tanah kemudian mengajak sang pendekar jalan-jalan masuk ke dalam perut bumi.
Kembali pada pembicaraan antara Nyi Wulas Pikan dengan Bujang Tapak Sakti.
"Ada satu cara paling ampuh dan cepat untuk memasukkan ilmu kesaktian hawa dinginmu ke tubuhku." Kata Nyi Wulas Pikan pula.
"Katakan bagaimana caranya." Ucap Bujang Gila Tapak Sakti ingin tahu.
Nyi Wulas Pikun dekatkan mulutnya ke telinga kiri Bujang Gila Tapak Sakti. Dia lebih dulu menjilat daun telinga si pemuda hingga si gendut ini menggelinyang kegelian dan tambah berkobar nafsunya. Lalu Nyi Wulas Pikan membisikkan ucapannya ke telinga Bujang Gita Tapak Sakti.
"Heh, kau ini bicara apa?! Kau sungguhan?!" Si pemuda pura-pura terkejut ketika mendengar bisikan Nyi Wulas Pikan, padahal dadanya berdebar gembira. Tubuhnya langsung panas. Keringat memercik.
"Aku tidak main-main."
"Kita... kita mau melakukannya di mana?" tanya Bujang Gila Tapnk Sakti sambing pegang bagian bawah celana seperti orang kebelet kencing!
Nyi Wulas Pikan memandang berkeliling. "Di bawah pohon sana. Tanahnya tidak terlalu basah."
Lalu gadis ini berdiri dan melangkah ke bawah pohon besar. Di sini dia lambaikan tangan memanggil si pemuda, mulut tersenyum, mata dikedip menggoda. Karena Bujang Gila Tapak Sakti masih tidak beranjak dari tempatnya, Nyi Wulas Pikan gerakkan jari-jari tangan ke dada. Satu persatu dia tanggalkan kancing kain pada baju hijau yang dikenakannya.
"He...?!" Bujang Gila Tapak Sakti terperangah. "Kau sungguhan rupanya Nyi Wulas?" Mata mendelik besar tak berkedip.
Ketika di depan sana Nyi Wulas Pikan dilihatnya tidak lagi mengenakan apa-apa di bagian atas tubuhnya bahkan siap hendak menurunkan celana panjangnya pemuda ini perlahan-lahan bangkit berdiri sambil kipas-kipaskan kipas kertas. Tubuhnya panas kelangsangan. Bukan saja karena hawa dari pedang sakti dan udara di sekitarnya, tapi juga karena akibat kobaran nafsu. Hanya beberapa langkah saja Bujang Gila Tapak Sakti akan sampai di hadapan Nyi Wulas Pikan yang tegak berdiri di depan pohon besar tiba-tiba terdengar suara berdesing.
Pedang Naga Suci 212 yang ada di tangan kanan pemuda gendut itu memancarkan sinar terang. Bujang Gila Tapak Sakti berseru kaget ketika hawa sangat panas menghantam tangan kanannya. Pedang sakti berkelebat lepas, gulungan terbuka lalu berkiblat di udara.
"Breett!"
Bujang Gila Tapak Sakti melompat mundur. Lengan kiri baju terbalik yang dikenakannya robek besar Kulit tergores. Hawa dingin luar bisa menyelubungi dirinya. Menyangka pedang sakti akan berbalik menyerang kembali cepat dia buka lipatan kipas kertas. Ternyata Pedang Naga Suci 212 melesat ke arah Nyi Wulas Pikan alias jejadian Nyai Tumbal Jiwo!
Melihat dirinya diserang gadis cantik jejadian yang dalam keadaan polos tubuh sebelah atas tentu saja tidak tinggal diam. Dia cari selamat dengan melompat ke kiri sambil lima jari tangan kanan dijentikkan. Lima larik sinar merah menderu, menghantam Pedang Naga Suci 212 di lima tempat.
"Tring... tring... tring... tring...tring!"
Terdengar suara berdentringan disertai percikan bunga api. Pedang sakti tampak bergetar, sesaat naik turun di udara namun di lain kejap kembali melesat ke arah Nyi Wulas Pikan. Gadis jejadian ini berteriak keras, secepat kilat jatuhkan diri ke tanah.
"Crass!" Pedang Naga Suci 212 menancap sampai sejengkal di depan gagang pada batang pohon besar dibelakang Nyi Wulas Pikan.
Gadis ini sambar bajunya yang tergeletak di tanah, siap untuk menghambur lari. Namun dibatang pohon, Pedang Naga Suci 212 melesat surut lalu kembali menderu ke arah Nyi Wulas 'Pikan. Kali ini yang diserang tidak mampu selamatkan diri lagi. Kalau sampai dirinya dibantai pedang sakti, rohnya akan terlempar ke alam gaib untuk selama-lamanya, tak mungkin lagi akan gentayangan dimuka bumi, Nyi Wulas Pikan menjerit keras.
Sekejap lagi pedang sakti akan menancap di dadanya yang putih polos tiba-tiba mengumandang satu suara. "Pedang sakti Naga Suci Dua Satu Dua! Bukan saatnya kau membunuh! Kembali padaku!"
BAB SEBELAS
Luncuran Pedang Naga Suci 212 mendadak tersendat, lalu berhenti. Setelah sesaat mengapung di udara, pedang sakti ini menggulung diri lalu melayang ke arah kakek berambut panjang putih yang wajahnya tertutup janggut serta kumis putih menjulai. Dengan cepat kakek ini menangkap gulungan pedang sakti lalu memasukkan ke balik pakaian. Matanya kemudian ditujukan ke arah Nyi Wulas Pikan yang baru saja mengambil baju hijaunya.
"Gadis jalang! Beraninya kau berbuat mesum di tempat ini!"
Nyi Wulas Pikan menyahuti dengan mencibirkan lidah, tertawa cekikikan lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Jangan pergi!" bentak orang tua berselempang kain putih seraya mengejar dan tusukkan dua jari tangan kanan mengirim totokan jarak jauh. Namun dengan mengeluarkan ilmu Dibalik Asap Roh Mencari Pahala yang merupakan semburan asap hitam penghalang pemandangan Nyi Wulas Pikan berhasil lenyap dari tempat itu. Totokan jarak jauh si orang tua hanya mengenai udara kosong mengeluarkan suara menggelegar.
Di kejauhan terdengar tawa cekikikan Nyi Wulas Pikan disertai ucapan. "Orang tua! Aku tahu kau cuma berpura-pura marah! Aku melihat kau menikmati pemandangan dadaku yang bagus! Hik hik hik!"
Wajah si orang tua berubah merah. Mulutnya berkomat-kamit mengucap. Kini kemarahannya ditumpahkan pada si gendut Bujang Gila Tapak Sakti. Tahu kalau orang marah padanya pemuda ini pegang kopiah kupluknya yang robek besar lalu berkata.
"Kek, kalau aku tidak salah menduga, bukankah kau Kiai Gede Tapa Pamungkas yang diam dipuncak Gunung Gede sana?"
Si kakek tidak menjawab. Untuk beberapa lama dia hanya menatap mendelik pada si gendut. "Kau sudah tahu diriku! Aku juga sudah tahu siapa dirimu! Apakah pantas bagi seorang pendekar rimba persilatan apa lagi yang konon keponakan Dewa Ketawa, berbuat mesum di tempat ini?!"
"Kiai. Aku tidak berbuat mesum. Perempuan itu sendiri yang menanggalkan bajunya. Aku tidak menyuruh!" jawab si gendut sambil menyengir.
"Bujang Gila Tapak Sakti! Jangan bermain kata-kata denganku!"
"Kiai, kau salah menduga. Gadis tadi bermaksud menggodaku. Usiaku sudah delapan puluh tahun. Aku tak mungkin tertipu. Sebenarnya gadis tadi ingin mendapatkan pedang bergulung itu..."
Sang Kiai merasa heran mendengar pemuda gendut di depannya mengaku berusia delapan puluh tahun. "Sudahlah, sulit aku percaya pada ucapanmu." Kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula. "Aku hanya ingin tahu satu hal. Apa kau berkomplot dengan gadis tadi mencuri Pedang Naga Suci Dua Satu Dua dari tempat kediamanku di dasar telaga?"
"Aku tidak mengerti. Kau seperti mau menuduh. Ceritanya aku menemui pedang itu waktu aku lagi berbaring di sungai dangkal. Gadis tadi ingin menguasai pedang tapi tidak bisa karena kalau memegang gulungan pedang tangannya jadi melepuh."
Kiai Gede Tapa Pamungkas perhatikan tangan Bujang Gila Tapak Sakti. Tangan itu tampak agak kemerahan tapi tidak terluka atau melepuh. Berarti pemuda ini memilik kesaktian tinggi untuk mampu memegang Pedang Naga Suci 212.
"Kiai, tadi kau bilang cuma ingin tahu satu hal. Apa kau tidak ingin tahu siapa nama gadis itu?"
"Apa maksudmu? Jangan berani kurang ajar bicara denganku!"
"Kiai, jangan salah paham. Aku tidak bermaksud begitu. Aku..."
"Tutup mulutmu! Kalau kau tidak bersekongkol dengan gadis jejadian tadi, lalu mengapa kau bisa tersesat ke tempat ini?"
Bujang Gila Tapak Sakti jadi kesal karena terus menerus dicurigai. "Kiai, tidak ada hujan tidak ada angin, tidak ada ujung tidak ada pangkal kau mengambil sikap mencurigai diriku. Apakah ada aturan dalam rimba persilatan bahwa seseorang itu tidak boleh pergi kemana dia suka?"
"Memang tidak ada aturan. Tapi lain dengan dirimu!"
Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak. Saking kesalnya maka si gendut ini lantas lontarkan kata-kata mengejek. "Aku memang lain dibanding dirimu. Kau kurus nyaris kerempeng. Aku gendut gembrot! Kau berambut putih. Rambutku masih hitam. Kau punya kumis dan janggut putih. Mukaku tembam tapi klimis. Kau mengenakan pakaian selempang kain putih. Aku mengenakan baju terbalik dan celana komprang. Aku masih tegap, kau sudah reot. Anuku masih kencang berkilat. Anumu pasti sudah seperti terong peot Mungkin juga rada-rada burik. Ha ha ha"
Amarah Kiai Gede Tapa Pamungkas bukan alang kepalang. "Kau layak diberi pelajaran!" bentak orang tua itu dengan wajah merah mengelam. Lalu sekali tangan kanannya digerakkan, tangan itu berubah panjang dan...
"Plaak! Plaak!"
Dua tamparan keras melanda pipi Bujang Gila Tapak Sakti kiri kanan hingga bibirnya pecah dan mengucurkan darah. Sambil menahan sakit, setelah menyeka noda darah di pinggiran mulut dan dagu si gendut ini masih bisa keluarkan ucapan yang membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas merasa menyesal.
"Kiai, kalau aku memang bersalah dan kurang ajar apakah begini cara seorang Kiai memberi pelajaran. Seumur hidup aku akan mengingat pelajaran yang barusan kau berikan padaku. Aku mengucapkan terimakasih atas kebaikanmu mau memberi pelajaran." Terhuyung-huyung Bujang Gila Tapak Sakti memutar tubuh lalu tertatih-tatih tinggalkan tempat itu.
Kiai Gede Tapa Pamungkas hela nafas panjang dan dalam. Dia hendak beranjak pergi dari tempat itu, segera kembali ke puncak Gunung Gede. Namun mendadak dia merasakan udara di sekitarnya berubah dingin. Semakin dia berusaha bertahan semakin dingin tubuhnya. Lalu tanah yang dipijaknya seolah berubah menjadi es!
Dua kaki berubah kaku tak mampu digerakkan. Orang tua ini menggigil, geraham bergemeletukan. Bagaimanapun dia berusaha mengalirkan tenaga dalam mengandung hawa panas tetap saja dia tidak mampu melawan rasa dingin. Perlahan-lahan dari hidung dan telinganya meleleh keluar cairan darah.
"Aku telah bersalah. Menyengsarakan orang yang mungkin tidak berdosa. Sekarang pemuda itu melakukan pembalasan..." Membatin Kiai Gede Tapa Pamungkas. "Ya Tuhan aku mohon ampun padamu. Dan kau pemuda bernama Bujang Gila Tapak Sakti, aku minta maaf padamu atas kekeliruanku."
Baru saja sang Kiai selesai mengeluarkan ucapan batin itu tiba-tiba hawa dingin serta merta lenyap. Dua kakinya yang kaku kini bisa digerakkan. Darah berhenti mengucur dari hidung dan telinga, bahkan lenyap tanpa bekas. Dalam tubuhnya kini mengalir hawa luar biasa sejuk yang membuat dadanya terasa lapang dan hatinya menjadi lega. Sang Kiai geleng-gelengkan kepala.
"Pemuda itu telah memberi pelajaran sangat baik padaku.” Ucap Kiai Gada Tapa Pamungkas. “Bujang Gila Tapak Sakti, aku berterima kasih padamu. Hari ini kau telah memberi pelajaran yang tidak akan aku lupakan seumur hidup.”
********************
Bujang Gila Tapak Sakti kembali ke tepi sungai dimana sebelumnya dia berbaring di bagian yang dangkal. Lama pemuda gendut ini duduk termenung sambil mengusap-usap pipinya yang terasa sakit. Dengan air sungai yang sejuk dan jernih dia membersihkan noda darah yang masih tertinggal dipinggiran mulut dan dagu. Selagi termangu-mangu demikian rupa tiba-tiba si gendut ini mendongar suara seseorang.
"Ssstt... sstt. Gendut. Terong peot rada-rada burik! Hik hik hik! Lagi apa kau di pinggir sungai situ?!"
Bujang Gila Tapak Sakti turunkan dua tangan yang dipakai membasuh muka. Memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa. "Ah. mungkin suara hatiku sendiri yang tadi aku dengar." Ucap si gendut dalam hati. Namun dia merasa kesal juga. "Aku bukan terong peot! Punyaku masih segar mengkilat. Juga tidak rada-rada burik! Punya ku licin mulus! Sialan! Siapa yang barusan ngomong?! Jangan-jangan gadis bernama Nyi Wulas Pikan tadi..." Karena tetap tidak melihat seorangpun Bujang Gua Tapak Sakti kembali meneruskan membasuh muka.
"Ssst Terong peot! Hik hik! Kau tidak dengar ya ditegur orang!"
Bujang Gila Tapak Sakti diam sebentar lalu pura-pura meneruskan membasuh muka. Dia sudah mengetahui dari arah mana suara orang itu. Suara perempuan. "Perempuan sialan! Tunggu saja. Sebentar lagi akan aku labrak kau!"
"Ssst... ssttt! Hai terong peot!" Kembali terdengar suara itu.
Tubuh gemuk ratusan kati Bujang Gila Tapak Sakti tiba-tiba melesat enteng ke udara. Berkelebat ke balik pohon besar di tepi kanan sungai kecil. Kipas di tangan kiri dikembangkan. Begitu si gendut ini sampai di balik pohon, dari tempat itu terdengar suara perempuan terpekik disusul tawa cekikikan.
"Anak kecil! Siapa kau?!" bentak Bujang Gila Tapak Sakti.
"Hik hik hik!" Apa matamu buta! Enak saja mengatakan aku anak kecil! Lihat! Aku sudah punya anak tahu! Ini anakku!”
Dari jengkel Bujang Gila Tapak Sakti jadi terperangah lalu menyeringai. Di hadapannya saat itu berdiri sambil senyum-senyum seorang perempuan cantik bertubuh kecil, membedong sebuah boneka kayu di atas dadanya.
“Sialan! Jelek amat nasibku hari ini. Habis ditampar kakek-kakek kini bertemu perempuan sinting!” Kata Bujang Gila Tapak Sakti dalam hati. “Tapi... apa benar dia gila? Wajahnya dipoles dandanan apik. Rambut rapi. Pakalan biru bagus masih baru...”
“Anak kecil, kau ini siapa? Mengapa menggangguku?”
“Anak kecil, anak kecil! Enak saja kau bicara! Pasti kau memang buta! Juga tuli! Apa tidak melihat dan tidak mendengar ucapanku tadi. Aku sudah punya anak. Ini!”
Perempuan bertubuh kecil yang bukan lain adalah Nyi Retno Mantili keluarkan boneka kayu dari bedongan kain lalu diacungkan ke depan...
EPISODE BERIKUTNYA: