Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Karya Bastian Tito
Episode Bidadari Dua Musim
Karya Bastian Tito
Episode Bidadari Dua Musim
PROLOG
Dewi Dua Musim berjongkok di samping kepala pemuda yang dipantek di atas papan.
"Cabut lebih dulu paku kayu yang ada di dalam mulutnya...." Ucapan itu terngiang lagi di telinganya.
Si gadis ulurkan tangan kiri kanan. Gerakan dua tangan membuat mulut si pemuda terbuka. Begitu dia melihat ke dalam mulut, Dewi Dua Musim tercekat. Ternyata di dalam mulut pemuda itu memang ada satu paku kayu, menancap ke bagian dalam tenggorokan yang digenangi darah. Dewi Dua Musim geleng-geleng kepala.
"Jahat sekali!" Katanya dalam hati. Lalu dengan cepat tangan kanan dimasukkan ke dalam mulut. Begitu paku kayu ditarik, darah menyembur.
SETELAH didera musim kemarau lebih dari setengah tahun, ketika akhirnya hujan turun cukup lebat pagi itu penduduk di kawasan kering tanah Jawa terutama di bagian tengah dan timur merasa lega dan gembira. Banyak diantara mereka, yang umumnya para petani pemilik ladang dan sawah memanjatkan puji syukur kepada Sang Pencipta Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang dengan berbagai cara baik dalam upacara adat maupun bentuk keagamaan.
Di laut utara dan selatan para nelayan tidak kalah rasa syukur dan gembira mereka. Karena pada akhir musim kemarau yang memasuki musim penghujan. ikan di laut muncul dalam jumlah lebih banyak dari biasanya dan tentu saja ini merupakan rahmat serta rezeki berlimpah dari Yang Maha Kuasa.
Hari ke lima setelah hujan pertama kali turun, para petani mulai ramai ke sawah untuk menanam bibit padi. Pemilik ladang mulai mencangkul tanah guna persiapan menanam berbagai macam tanaman yang dapat dipanen dalam waktu singkat, anak-anak terlihat riuh di kali dan sungai, berenang dan bermain-main sambil memandikan kerbau.
Pagi itu, di lereng Bukit Menoreh sebelah timur, tak jauh dari kaki Gunung Gajah, seorang gadis belia duduk di bawah sebatang pohon, asyik menatap pemandangan indah yang terhampar di hadapannya.
Di kejauhan Gunung Gajah menjulang biru kehijauan. Di kaki gunung petak-petak sawah yang sebelumnya merupakan tanah gersang kini basah berlumpur, ramai oleh petani. Mereka bekerja penuh semangat sambil sesekali tertawa berseloroh. Ada yang memperbaiki pematang sawah, ada yang membongkar saluran air yang tersumbat. Kerbau-kerbau pembajak tanah terlihat mundar-mandir hampir di setiap petak sawah. Beberapa petani yang mampu bekerja cepat malah sudah mulai menyemai menebar bibit padi.
Di kejauhan diarah timur Kali Progo membelintang biru seolah seekor ular panjang membelah bumi. Sesekali alunan arusnya tampak berkilau oleh pantulan sinar matahari yang tidak terlalu terik.
Hanya beberapa tombak dari lereng bukit di mana gadis berpakaian biru duduk menikmati pemandangan indah, ada satu jalan tanah yang cukup lebar, sejajar dengan Bukit Menoreh. Akibat hujan, tanah yang tadinya keras gersang ini, sekarang berubah menjadi gembur becek.
Jalan tanah ini merupakan salah satu dari jalan utama yang menghubungi Kotaraja dengan kawasan di sebelah barat. Mulai dari Godeyan dan Gamping sampai ke Renteng, terus ke Sibolong dan Girimulyo, terus lagi ke Borobudur. Di sebelah selatan slmpangan jalan tanah menuju ke Sedayu, Argosari dan berakhir di Wates.
Siapakah gerangan gadis yang duduk sendirian di lereng Bukit Menoreh itu? Dari pakaian birunya yang sederhana serta kasut kulit kasar yang menyarungi dua kaki, sulit untuk menduga apakah dia seorang yang berasal dari desa atau penduduk Kotaraja!
Wajahnya sama sekali tidak dipalut dandanan namun kecantikan alami yang dimilikinya mengagumkan untuk dipandang. Sepasang mata bulat jernih. Bagian putih tampak bening, bola mata hitam pekat membuat mata Ku seolah berkilat. Ini menambah pesona pada kecantikan raut wajahnya.
Lalu mengapa dia berada seorang diri di lereng bukit itu? Apa benar hanya untuk menyaksikan keindahan alam yang terpampang di hadapannya?
Terlalu berbahaya bagi seorang gadis sebelia dia berada seorang diri di tempat sunyi seperti itu. Karena sejak beberapa waktu belakangan ini daerah itu merupakan salah satu tempat orang jahat seperti begal dan rampok berkeliaran. Sesekali si gadis memandang ke arah ujung jalan di sebelah selatan, sambil telinga dipasang. Agaknya ada yang tengah ditunggunya.
Sayup-sayup di kejauhan tiba-tiba terdengar suara derap kaki-kaki kuda, sekali-sekali ditingkah suara binatang itu meringkik. Kalau saja tanah jalanan tidak berubah becek derap kaki kuda niscaya akan terdengar lebih keras. Diantara suara derap kaki kuda terdengar suara aneh berkepanjangan. Suara ini seperti sebuah benda yang bergerak menggeser tanah jalanan.
Sepasang mata gadis berpakaian biru membesar tak berkesip. Dua alis hitam lengkung bergerak naik lalu mata itu menatap ke arah kiri lereng bukit. Pandangan ditukik ke bawah, ke arah jalanan tanah. Dari balik kerapatan pepohonan dia bisa melihat ada dua ekor kuda dipacu ke jurusan utara Gunung Gajah.
"Aku bisa melihat dua ekor kuda dan penunggangnya. Tapi aku tidak bisa melihat benda yang mengeluarkan suara berkepanjangan. Apakah orang yang kutunggu sudah datang? Seharusnya ada penunggang kuda ke tiga."
Gadis berpakaian biru membatin dalam hati. Lalu dia berdiri. Gerakannya anggun dan penuh kelembutan. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan satu kotak kayu kecil. Ketika dibuka isi kotak itu ternyata adalah berbagai alat untuk menghias diri. Mulai dari pupur merah muda, kayu penebal alis dan kayu merah berujung lembut untuk pemoles bibir.
Pada bagian belakang penutup kotak menempel sebuah cermin kecil. Sambil memperhatikan ke dalam cermin, gadis itu bukannya mulai menghias wajah, tapi malah tertawa. Ketika mulutnya terbuka tampaklah barisan gigi yang putih berkilau bak mutiara serta lidah merah basah.
"Mengapa aku masih merasa diri seperti gadis desa yang baru menanjak dewasa? Apakah aku masih memerlukan cara berhias kuno mempergunakan segala macam peralatan tolol ini? Aih, sungguh bodohnya diri ini."
Kotak kayu kecil ditutup kembali. Lalu tangan kanan diayun satu kali dan wuttt! Kotak kayu dilempar ke udara! Kotak ini kemudian menyangsrang jatuh di serumpunan semak belukar.
Di jalan tanah di bawah lereng bukit, dua penunggang kuda mulai nampak semakin jelas namun benda yang mengeluarkan suara geseran dengan tanah masih belum diketahui.
Gadis di lereng bukit dongakkan kepala. Sepasang mata yang jernih menatap ke langit. Telapak tangan kanan dikembang. Perlahan-lahan telapak tangan di usap ke wajah. mulai dari kening sampai ke dagu. Begitu tangan diturunkan kelihatanlah wajah si gadis yang tadi cantik alami tidak berdandan kini telah berubah jauh lebih cantik.
Kulit wajah kelihatan merah segar, sepasang alis melengkung bagus lebih hitam dan bibir merah merekah. Dia telah menghias diri secara gaib. Tidak sampai di situ. Sehelai kain biru diikat di kening. rambut diacak lalu digerai lepas. Kini kecantikannya seolah bertambah. Sungguh sangat mempesona.
Di kaki bukit, kembali terdengar suara kuda meringkik. Gadis cantik berpakaian biru tidak menunggu lebih lama. Sekali dia menggerakkan dua kaki, tubuhnya melesat ke udara lalu seperti seekor burung tubuh itu menukik melayang ke bawah. sepasang kaki menjejak enteng di cabang satu pohon besar yang tumbuh di tepi jalan tanah yang akan dilalui dua penunggang kuda.
Semua gerakan yang dilakukan gadis itu sungguh Indah, seolah dia tengah menari di udara cerah. Selain itu jelas sudah, gadis cantik Ini bukan orang sembarangan. Paling tidak dia mempunyai ilmu kesaktian yang membuatnya mampu bergerak cepat dan gesit serta ilmu meringankan tubuh pada tingkatan yang bukan sembarang orang bisa memiliki.
Ketika si gadis alihkan pandangan ke ujung jalan, ke arah dua kuda dan penunggangnya saat itulah untuk pertama kali dia melihat benda apa yang mengeluarkan suara bunyi menggeser tanah berkepanjangan. Sepasang alis mata si gadis langsung berjingkat naik! Bibir yang merah merenggang terperangah. Kepala digeleng beberapa kali.
Penunggang kuda di sebelah depan bertubuh gemuk gempal, mengenakan pakaian dan belangkon hitam. Pada bagian depan belangkon tersemat hiasan bintang dalam lingkaran, terbuat dari kuningan berkilat. Tampang garang tertutup kumis dan berewok meranggas tebal.
Penunggang kuda kedua berpakaian dan mengenakan belangkon yang sama. Walau kumisnya kecil saja dan hanya dagunya yang ditumbuhi jenggot kasar, namun tampangnya tampak angker. Apa lagi di wajah sebelah kiri ada codet bekas luka memanjang mulai dari mata sampai pertengahan pipi. Cacat ini membuat kelopak mata kirinya mencuat merah mengerikan. Sambil menunggang kuda orang ini mencekal seutas tambang yang ujungnya diikat ke leher kuda. Ujung tambang yang lain terikat pada sebatang balok yang menjadi salah satu landasan tiga buah papan.
Di atas papan terkapar sosok seorang lelaki, tubuh dan pakaiannya penuh lumuran darah. Wajah tak jelas karena dipenuhi darah yang mengucur dari luka di kening. Dua tangan orang ini terpentang ke atas. Telapak tangan kiri kanan dipantek ke papan dengan potongan bambu yang dibuat seperti paku besar. Dua kakinya juga dipantek dengan potongan bambu. Darah mengucur dari luka pantekan. Tak dapat dipastikan apakah orang itu masih hidup atau sudah menjadi mayat
"Yang datang bukan orang-orang yang aku tunggu" Gadis cantik di atas pohon berucap perlahan. Walau hatinya kecewa besar namun wajahnya tetap tenang, malah dia sama sekali tidak unjukkan rasa ngeri melihat orang yang dipantek di atas papan yang diseret kuda! Di dalam hati dia berkata.
"Kasihan, dosa kesalahan apa yang dibuat orang itu hingga diperlakukan begitu rupa. Dalam kehidupan yang katanya beradab ini mengapa masih ada kekejaman begini rupa...."
Beberapa tombak lagi dua kuda dan penunggangnya akan sampai di bawah pohon besar, gadis di atas cabang pohon membuat gerakan enteng, melayang turun sambil berseru. "Dua kerabat berblangkon hitami Mohon berhenti barang sebentar. Ada yang akan aku tanyakan!"
DUA ekor kuda yang tengah berlari kencang meringkik keras. Dua penunggang berusaha menghentikan lari kuda masing-masing dengan menarik tali kekang kuat-kuat hingga binatang itu berjingkrak dan sepasang kaki depan naik ke atas. Di atas punggung kuda, dua orang penunggangnya hampir saja mencelat jatuh kalau tidak cepat-cepat memagut leher tunggangan mereka yang larinya akhirnya bisa dihentikan dengan susah payah. Celakanya kuda kedua, walau bisa berhenti namun papan yang ditarik terus meluncur deras di tanah becek lalu menghantam dua kaki belakangnya
"Kraakk! Kraaak!"
Dua kaki belakang kuda patah. Didahului suara meringkik keras binatang ini ambruk ke tanah, melempar penunggangnya. Rupanya sang penunggang orang berilmu juga karena dengan gerakan enteng dia tidak sampai jatuh terbanting di tanah becek. Sepasang kaki menyentuh dan menginjak tanah lebih dulu. Papan di atas mana orang yang dipantek tergeletak melesat satu tombak ke udara lalu jatuh ke tanah, berpatahan di beberapa bagian namun sosok di atasnya tetap terpentang tak bergerak.
Lelaki gemuk bermuka berewokan di sebelah depan hendak mendamprat marah, namun ketika melihat siapa yang berdiri di tengah jalan, amarahnya langsung saja menjadi surut. Sebaliknya kawan di sebelah belakang yang kaki kudanya patah dan masih tergeletak di tanah tidak bisa membendung amarah. Dia membentak garang.
"Perempuan jahanam! Kau mematahkan dua kaki kudaku! Aku akan menghajarmu!" Habis membentak si codet ini melompat ke hadapan gadis berpakaian biru sementara temannya si gendut sudah melompat turun ke tanah.
Si gadis tenang saja, tidak beranjak dari tempatnya. Malah sambil mengangkat tangan dia berkata dengan suara lembut. "Aih! Maafkan, bukan aku yang mematah dua kaki kuda itu. Tapi papan yang kau seret sepanjang jalan. Tapi memang aku mengaku salah karena aku yang membuat gara-gara kuda kalian terkejut ketakutan. Sekarang biar aku perbaiki dua kaki kudamu."
"Memperbaiki dua kaki kudaku? Gelo! Kau kira dua kaki kudaku bisa diperbaiki seperti memperbaiki ladam besi?! Dua kaki kuda itu patah tahu! Bagaimana kau mau memperbaiki? Wong edan" Lelaki bermuka codet, berkumis dan berjanggut kasar berkata setengah berteriak.
"Maksudku, aku akan mengembalikan keadaan dua kaki kudamu seperti semula..." Jawab si gadis sambil tersenyum.
"Apa?!" Lelaki berwajah codet menghardik merasa dipermainkan.
Tanpa perdulikan kemarahan orang si gadis dekati kuda yang tergeletak di tanah. Binatang ini meringkik keras. Kepala dan dua kaki depan berusaha ditegakkan namun tubuhnya kembali roboh. Selanjutnya binatang ini hanya bisa melejang-lejang dan meringkik berulang kali.
"Sahabatku kuda bagus, tak usah takut. Tenang... tenang saja. Memang tadi gara-garaku dua kakimu jadi patah. Sekarang biar aku menyembuhkan." Si gadis usap-usap tengkuk kuda dan bagian kening antara kedua matanya.
Kuda yang tergeletak di tanah becek dan tadi bersikap liar karena rasa sakit luar biasa pada kedua kakinya yang patah, mendadak berubah jinak dan diam. Kepala dijulur lalu ditidurkan di tanah. Sepasang mata setengah terpejam.
"Kudaku mati!' Teriak si codet dengan mata mendelik, tampang beringas.
Gadis cantik tersenyum lalu berkata. "Kudamu tidak mati. Dia mendengar apa yang aku ucapkan dan pasrah untuk mendapat kesembuhan. Semoga Yang Maha Pengasih menolong sahabatku ini."
Sambil berkata si gadis berjongkok di samping kuda yang rebah. Dua tangan diulur. Tangan kiri memegang kaki belakang sebelah kanan lalu tangan kanan mengusap mengurut-urut kaki itu tiga kali berturut-turut sambil mulut meniup. Hal yang sama dilakukan dengan kaki kiri belakang si kuda. Selesai mengurut si gadis tepuk pinggul kuda sambil berseru.
"Kuda bagus! Ayo berdiri! Kau sudah sembuh!"
Ajaib! Begitu ditepuk walau agak terhuyung-huyung tapi kuda yang patah dua kaki belakangnya itu mampu berdiri kembali!
Dua lelaki berpakaian dan berbelangkon hitam sama-sama terkejut dan saling pandang terheran-heran. Walau menyaksikan dengan mata kepala sendiri tapi masih tak bisa percaya. Bagaimana mungkin! Dua kaki kuda yang patah disembuhkan hanya dengan cara mengusap mengurut sambil meniup! Kedua orang ini palingkan kepala, menatap ke arah si gadis. Memperhatikan mulai dari kepala sampai ke kaki.
Sementara itu kuda yang barusan ditolong kini berdiri menggeser-geserkan moncongnya ke bahu si gadis sambil keluarkan suara menggeru perlahan. Agaknya dengan cara itu binatang ini ingin menyampaikan rasa terima kasihnya.
Si gadis tersenyum. Dia balas membelai tengkuk dan kepala kuda sambil berkata. "Kau kuda yang mendapat berkah. Tahu mengucapkan rasa terima kasih walau kau hanyalah seekor binatang. Tapi banyak yang namanya anak manusia tidak tahu berterima kasih setelah menerima berkah dari Yang Maha Kuasa...."
Lelaki codet yang tadi marah besar dekati temannya dan berbisik. "Kita harus hati-hati. Gadis itu bisa saja Lelembut Bukit Menoreh atau seorang penyihir jahat yang tengah berkeliaran mencari mangsa!"
Belum habis kejut ke dua lelaki itu, di depan mereka si gadis membuka mulut berkata.
"Dua kerabat harap lupakan apa yang terjadi. Sekarang apakah aku boleh mengajukan barang satu-dua pertanyaan?"
Dua telaki kembali saling pandang. Si codet yang masih penasaran lalu berkata dengan nada kasar. "Katakan dulu siapa dirimu! Mengapa berani menghadang kami orang-orang Pangeran Banowo yang tengah mengurus satu perkara besar!"
"Aih! Jadi kerabat berdua adalah orang-orang Pangeran Banowo. Bukankah Pangeran itu dikabarkan adalah calon Adipati Magelang? Salam hormatku untuk kalian berdua." Si gadis lalu membungkuk, menjura memberi penghormatan pada kedua orang di hadapannya.
Lelaki gemuk menatap dengan pandangan penuh selidik. Lalu bertanya. "Bagamana kau tahu kalau Pangeran Banowo akan menjadi Adipati Magelang. Hal itu adalah masih merupakan rahasia Kerajaan."
"Maaf kalau aku bicara ceroboh. Tapi kabar rahasia yang disebar angin, mana ada manusia yang bisa menekap mencegahnya."
Si gemuk terdiam tapi temannya si codet sudah membentak lagi. "Kau belum menjawab pertanyaanku! Siapa kau, apa punya nama dan datang dari mana! Mengapa berada di tempat terpencil ini! Apa keperluanmu!"
Lalu pada temannya yang bertubuh gemuk si codet berbisik. "Aku curiga, jangan-jangan gadis tak dikenal ini sebenarnya tengah menghadang kita. Jangan-jangan dia ada sangkut paut dengan orang yang kita pantek di atas papan!"
Si gemuk berewok yang agak lebih sabaran balas berbisik. "Aku malah menduga jangan-jangan dia kaki tangan suruhan Klingkit Jenung. Sudah, kau diam dulu. Gadis secantik ini jangan diperlakukan sembarangan. Apa kau tidak melihat dia punya ilmu kepandaian? Biar aku yang bicara."
"He he!" Si codet menyeringai. "Aku tahu maksud dibalik bicara bagusmu! Kau mulai suka pada gadis itu kan?!"
"Sudah! Diam saja!" Si gendut lalu berkata pada gadis di depannya. "Ning Ayu Cantik," begitu si gendut memanggil si gadis. "Sebelumnya biar kami memperkenalkan diri lebih dulu. Aku bernama Lor Randuwali. Sahabatku ini Seno Kalamurti. Tadi kau memanggil kami dengan sebutan kerabat. Kau juga telah menunjukkan itikad baik menolong kaki kuda yang patah. Sekarang harap kau mau memberi tahu apa yang ditanyakan temanku tadi."
"Hemmm ..." Si gadis bergumam. "Tidak ada sulitnya menjawab pertanyaan sahabatmu itu. Sebagai manusia tentu saja aku punya nama. Tapi aku lupa siapa namaku sebenarnya..."
"Gelo. Mana ada orang lupa sama nama sendiri!" Si codet Seno Kalamurti memotong ucapan si gadis dengan bentakan.
Yang dibentak cuma tersenyum. "Aku tidak berdusta. Sungguhan aku lupa siapa nama yang diberikan kedua orang tuaku ketika aku dilahirkan. Sejak beberapa waktu lalu orang-orang memanggil aku dengan nama Dewi. Nah, itulah namaku Kerabat berdua boleh memanggil aku dengan nama itu."
Pelipis Seno Kalamurti bergerak-gerak. Rahang menggembung. "Dew... Dewi apa! Kau seperti menyembunyikan sesuatu. Di dunia ini ada banyak perempuan bernama Dewi! Kau Dewi apa?! Dewi Lelembut! Dewi Gandaruwo atau Dewi Hantu Laut?!"
Gadis di hadapan kedua lelaki berpakaian dan berbelangkon serba hitam itu masih juga tersenyum. "Aih...." katanya. "Kurasa diriku ini tidak jelek-jelek amat. Masakan tega aku diberi nama Dewi Lelembut, Dewi Gandaruwo, Dewi Hantu Laut"
Seno Kalamurti kembali mau menghardik. Tapi Lor Randuwali cepat memberi isyarat agar si codet itu tidak membuka mulut lagi. Maka diapun berkata. "Harap maafkan sahabatku ini. Dia memang suka berangasan tapi sebenarnya hatinya baik. Hanya saja apa yang dikatakannya tadi betul adanya. Nama Dewi banyak sekali. Apa hanya sesingkat itu nama yang kau miliki? Pasti ada tambahannya."
"Orang-orang memanggilku Dewi Dua Musim."
Lor Randuwali dan Seno Kalamurti terperangah, sama-sama saling pandang. "Terus terang, belum pernah aku mendengar nama seaneh namamu. Apa artinya itu. Mengapa kau disebut Dewi Dua Musim?"
Si gadis mengangkat bahu. "Aku tidak pernah menanyakan pada orang-orang itu mengapa mereka memanggilku Dewi Dua Musim..."
"Randu," Seno Kalamurti berbisik. "Kurasa gadis Ini tengah mempermainkan kita. Sebaiknya kita bereskan saja. Terakhir sekali aku meniduri perempuan empat bulan silam. Masih ada cukup waktu sebelum kita meneruskan perjalanan ke Magelang. Si cantik ini rupanya memang sudah jadi rejeki kita. Tidak mustahil dia memang sengaja mengantar diri. Hemmm..."
LOR RANDUWALI meski memang tertarik pada kecantikan wajah dan kemolekan tubuh Dewi Dua Musim, saat itu tidak acuhkan ucapan temannya. Dia tidak mau bertindak ceroboh karena diam-diam sudah merasa kalau gadis tak dikenal itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pada si gadis dia berkata.
"Sekarang jelaskan mengapa kau berada di tempat sunyi di lereng Bukit Menoreh ini. Dari apa yang telah kau lakukan. Kami menduga kau sepertinya sengaja menghadang perjalanan kami..."
Si gadis gelengkan kepala. "Aku tidak ada niatan jahat. Apa lagi maksud menghadang orang-orang gagah seperti kerabat berdua. Seperti kataku tadi aku hanya ingin mengajukan barang satu-dua pertanyaan."
"Begitu? Apa yang ingin kau tanyakan?" Tanya Lor Randuwali.
"Ketika kerabat berdua dalam perjalanan menuju ke sini, apakah pernah berpapasan atau melewati tiga orang penunggang kuda berpakaian serta berbelangkon hitam seperti kerabat berdua? Bedanya mereka tidak mencantel hiasan bintang dalam lingkaran seperti yang ada pada belangkon kerabat berdua..."
Lor Randuwali mengingat-ingat lalu berpaling pada si codet. Kedua orang Ini kemudian sama gelengkan kepala. "Selama perjalanan sampai ke sini kami tidak berpapasan atau melewati siapapun...."
"Kerabat berdua tidak keliru? Tiga orang yang aku tanyakan itu, dua diantara mereka masih muda-muda. Orang ketiga seorang kakek berwajah aneh. Dua telinganya terletak di kening, mulut berada di leher..."
"Pasti setan, bukan manusiai" Ucap Seno Kalamurti.
"Betul kerabat berdua tidak melihat ke tiga orang itu?" Si gadis ingin meyakinkan.
"Tidak, kami tidak pernah menemui mereka dalam perjalanan." Jawab Lor Randuwali.
"Aku tahu kerabat berdua telah berkata jujur. Untuk itu aku sangat berterima kasih." Si gadis yang mengaku bernama Dewi Dua Musim alihkan pandangan pada sosok yang tergeletak di atas papan. Lalu bertanya. "Siapa orang itu? Dosa kesalahan apa yang telah dilakukannya hingga mengalami nasib seperti itu."
"Siapa orang ini, apa dosa dan kesalahannya adalah urusan kami! Kau tidak layak bertanya!" Yang menjawab adalah Seno Kalamurti.
"Kerabat berdua, apakah... apakah kalian berdua yang memperlakukannya seperti itu?"
"Apa perdulimu!" Bentak Seno Kalamurti.
"Kasihan dia. Aku ingin sekali menolongnya"
"Dewi Dua Musim! Siapapun namamu! Jangan sekali-kali berani berkata seperti itu!" Seno Kalamurti berkata sambil delikkan mata.
"Manusia menolong sesama adalah hal biasa. Memangnya mengapa aku tidak boleh menolong orang itu?"
"Kau mulai berani kurang ajari" Seno Kalamurti melangkah mendekati si gadis. "Sebaiknya kau bersiap-siap ikut bersama kami ke Magelang!" Lalu enak saja tangan kanannya diulurkan menyentuh dagu si gadis.
Dewi Dua Musim tenang-tenang saja diperlakukan seperti itu. Dia sama sekali tidak berusaha menghindar hingga tangan Seno Kalamurti benar-benar menyentuh dan mengusap dagunya. Si codet ini letakkan tangannya yang bekas mengusap di depan hidung lalu menyedot dalam-dalam. Dia mencium bau harum sekali. Melihat orang tidak marah, malah seperti sengaja memasang diri Seno Kalamurti jadi lebih berani dan tambah kurang ajar. Kembali dia ulurkan tangan kanan. Kali ini diarahkan ke dada si gadis.
Hanya seujung kuku tangan itu akan menyentuh dada Dewi Dua Musim tiba-tiba dari samping Lor Randuwali bertindak cepat mencekal tangan temannya itu. Seno Kalamurti berpaling.
"Randu! Apa yang kau lakukan! Lepaskan tanganku! Nanti kau juga bakal dapat bagian!"
"Urusan kita belum selesai Mengapa mencari urusan baru! Lekas ikut aku pergi dari sini. Magelang masih cukup jauh dari sini! Jangan kita sampai kemalaman dijalan."
"Randu... Randu. Rupanya kau mau jadi malaikat penolong!" Seno Kalamurti merasa tidak senang.
"Manusia berhati malaikat itulah berkah Yang Maha Pengasih. Kerabat Seno Kalamurti. sebaiknya kau ikuti kata-kata Lor Randuwali. Cepat pergi dari sini. Teruskan perjalanan kalian ke Magelang. Tapi tinggalkan orang yang tergeletak di atas papan"
"Apa?!" Seno Kalamurti berteriak marah. "Dewi Dua Musim, kau tidak tahu siapa adanya orang yang dipantek di atas papan itu. Siksa dan hukuman yang diterimanya baru sebagian. Kesengsaraannya baru berakhir kalau sebelum matahari tenggelam nanti dia digantung di alun-alun Kadipaten Magelang."
Dewi Dua Musim rangkapkan dua tangan di atas dada. "Kalau begitu mengapa kerabat berdua tidak mau memberi tahu siapa adanya orang itu? Aku sejak tadi bertanya apa dosa dan kesalahannya. Tapi kalian tidak menjawab."
"Saat ini kami tidak bisa memberi tahu. Kalau kau mau tahu riwayatnya silahkan ikut kami ke Magelang. Setelah dia digantung, orang banyak akan memberi tahu semua apa yang kau tanyakan."
"Lor Randuwali, perlu apa susah-susah membawa gadis ini jauh-jauh ke Magelang. Di dekat tikungan sungai dibawah sana ada sebuah pondok. Kita bawa dia ke sana!" Habis berkata begitu Seno Kalamurti gerakkan dua telunjuk tangan kanan hendak menotok urat besar di pangkal leher Dewi Dua Musim.
Totokan mendarat telak di pangkal leher. Seharusnya totokan membuat si gadis saat itu juga menjadi kaku tak bisa bergerak tak mampu bersuara. Namun apa yang terjadi justru kebalikannya. Dua ujung jari Seno Kalamurti yang menotok terus saja menempel di pangkal leher si gadis. Tak bisa digerakkan apa lagi ditarik lepas. Selarik cahaya putih keluar dari pangkal leher yang ditotok, mengalir ke dalam dua jari, menjalar sepanjang tangan kanan, masuk ke dalam tubuh Seno Kalamurti.
Ketika cahaya putih merambas memasuki rongga pernafasan, Seno Kalamurti menjerit keras. Tubuh mencelat mental, mulut menyembur darah segar. Si codet ini kemudian tergeletak tertelentang di tanah becek, megap-megap. Kaki dan tangan melejang-lejang. Belangkon hitam lepas dari kepala berguling jatuh ke tanah. Tangan kanan, kaki kanan dan mata kanan menggembung merah.
Melihat apa yang terjadi dengan temannya itu Lor Randuwali merasa ngeri dan cepat menolong. Namun semua usaha yang dilakukan tidak mampu membuat memulihkan keadaan Seno Kalamurti. Lelaki ini terus saja megap-megap dan kejang-kejang.
"Kerabat Lor Randuwali, bawa sahabatmu pergi dari sini. Begitu sampai di Magelang masukkan benda ini ke dalam mulutnya, suruh dia menelan. Segala cidera di tubuhnya luar dalam akan segera sirma. Semoga pelajaran dariku ada manfaat bagi dirinya."
Lor Randuwali perhatikan benda putih berkilat seujung jari yang ada di telapak tangan kanan Dewi Dua Musim.
"Cepat ambillah dan pergi dari sini."
"Dewi, aku... Mengapa...." Lor Randuwali bingung ada, takut juga ada. Menatap wajah cantik si gadis dia merasa ada sambaran hawa aneh keluar dari sepasang matanya yang berkilat, membuat hatinya bergetar. Namun rasa amarah melihat temannya diperlakukan seperti itu segera muncul menindih rasa bingung dan takut. Sambil berdiri dia berkata.
"Sekarang aku yakin. Kau pasti orangnya Klingkit Jenung Hanya orang itu yang punya ilmu Membalik Hawa Sakti Menembus Jalan Darah?"
"Aih, kerabat Lor Randuwali. kau seharusnya bersyukur pada Yang Maha Kuasa yang telah mendatangkan musim penghujan. Kalau saja saat ini masih musim panas pasti keadaannya akan sangat mengenaskan bagimu dan sahabatmu itu."
"Apa maksudmu?." Hardik Lor Randuwali. "Maksudku sederhana sekali" Jawab Dewi Dua Musim. Lalu kaki kanannya dihentakkan ke tanah becek.
Lor Randuwuli tersentak kaget ketika merasa ada geteran aneh di dalam tanah di bawah kedua kakinya. Belum habis kagetnya tiba-tiba Dewi Dua Musim angkat tangan kiri. Tangan diayun ke udara begitu rupa.
Wuttt!
Tubuh gendut Lor Randuwuli melesat ke udara lalu entah bagaimana tahu-tahu melayang turun dan jatuh duduk di punggung kuda miliknya walau menghadap ke belakang!
Dewi Dua Musim ulurkan tangan menepuk pinggul kuda. Binatang itu meringkik lalu menghambur ke depan. Lor Randuwali berteriak-teriak sambil berusaha berbalik menahan tali kekang menghentikan kuda. Namun apapun yang dilakukannya binatang itu terus saja lari seperti dikejar setan. Kepala lelaki gemuk ini berdenyut pening. Pandangan mata berkunang dan semua tampak seperti terbalik. Seumur hidup baru sekali itu dia menunggang kuda menghadap ke belakang!
"Tolong! Tolong! Kuda jahanam berhenti berlari!" Teriak Lor Randuwali menyumpah-nyumpah. Tapi kuda tunggangannya malah berlari semakin kencang!
DEWI Dua Musim melangkah menghampiri Seno Kalamurti yang sampai saat itu masih megap-megap dan melejang-lejangkan kaki serta tangan. Benda putih berkilat seujung jari dimasukkannya ke dalam mulut si codet yang menganga. Dengan tangan kiri dia memijat tenggorokan orang. Hekkk! benda putih berkilat masuk ke dalam tenggorokan si codet. lalu dengan tangan kiri dia mencekal kerah pakaian orang itu. Sekali tangan mengayun tubuh Seno Kalamurti terlempar jatuh menelungkup di atas punggung kuda miliknya. Si gadis lepaskan tambang yang bergulung di leher kuda.
"Susul sahabatmu! Semoga kau akan mendapat kesembuhan begitu sampai di Magelang. Kau beruntung saat ini musim penghujan!"
Dewi Dua Musim kemudian tepuk pinggul kuda. Seperti halnya dengan kuda Lor Randuwali, binatang ini mengangkat dua kaki ke atas, meringkik satu kali lalu menghambur lari. Sambil memperhatikan, dalam hati Dewi Dua Musim membatin. "Tiga orang yang kutunggu, dimana mereka. Mengapa tidak muncul?"
Ingat pada orang yang tergeletak dalam keadaan dipantek di atas papan, si gadis cepat balikkan tubuh. Dia lebih dulu memotes selembar daun keladi liar di tepi jalan lalu mendekati orang itu Sambil menyibak rambut serta menyeka darah yang mencelemongi wajah orang dia berkata.
"Manusia malang, apakah aku mengenalmu?"
Wajah yang tadi tertutup darah kini terlihat jelas. Ternyata orang ini seorang pemuda berwajah tampan. Di keningnya ada luka.
"Aih. wajahnya tampan sekali. Aku tak mengenali siapa pemuda ini adanya. Mengapa dua orang Pangeran Banowo tega-teganya memperlakukan dia begini kejami"
Dewi Dua Musim tarik nafas dalam. Sepasang mata tampak berkaca-kaca. Dia seolah turut merasakan kesengsaraan orang. Telapak tangan kiri diletakkan di atas kening si pemuda.
"Untung keningmu tidak panas. Berarti tak ada racun mengindap!"
Perlahan-lahan telapak tangan kiri diletakkan di atas dada si pemuda. Si gadis tidak merasakan adanya detak jantung. Hati-hati telinganya sebelah kanan ganti ditaruh di atas dada.
"Aih! Dia masih hidup. Aku dapat mendengar detak jantungnya walau perlahan sekali. Mungkin mulai sekarat. Aku harus melakukan sesuatu agar dia tidak mati!"
Dengan cepat Dewi Dua Musim letakkan dua tangan di atas dada pemuda itu lalu perlahan-lahan alirkan hawa sakti dengan dorongan tenaga dalam tinggi. Sampai wajah dan tubuhnya berkeringat, dia tidak mampu membuat sadar si pemuda.
"Kasihan, apakah aku harus meninggalkannya dalam keadaan sengsara seperti ini? Kalau saja saat ini musim panas aku tak akan perduli."
Sepasang mata Dewi Dua Musim perhatikan empat buah paku kayu yang memantek dua tangan dan dua kaki si pemuda. "Aku harus mencabut paku kayu itu. Mungkin bisa mengurangi penderitaannya disaat sekarat."
Si gadis membungkuk. Dia mulai dengan paku kayu yang memantek telapak tangan kanan si pemuda. Sebenarnya hanya dengan mengandalkan tenaga luar dia akan mampu mencabut paku kayu itu. Tapi sampai dia memaksa dengan mengerahkan tenaga dalam sekalipun, paku kayu tidak dapat dicabut! Si gadis berpindah pada paku kayu yang menancap di tangan kiri. Hal yang sama terjadi. Paku kayu tidak mampu disentak dicabut Begitu juga ketika dicoba menarik paku kayu yang menancap di kedua kaki orang.
"Aih. sungguh aneh. Ilmu jahat apa yang dipakai orang memantek pomuda malang ini. Mengapa aku tidak mampu mencabut satupun dari empat paku kayu itul Bagaimana aku harus menolong pemuda ini." Si gadis melangkah mundar mandlr di jalan becek. Tiba-tiba mengiang satu suara di telinga Dewi Dua Musim.
"Musim hujan telah tiba. Segala kesejukan menaungi diri manusia, mulai dari pikiran sampai ke dalam aliran darah masuk ke dalam kalbu dan menyentuh perasaan hati. Gadis berpakaian biru. kau tidak akan mampu menyelamatkan pemuda itu kalau tidak dapat mencabut empat paku kayu yang memantek bagian tubuhnya ke papan. Jangan mempergunakan kekuatan untuk menghancur papan baru melepas paku karena dengan cara begitu paku tetap akan menancap di dua tangan dan dua kaki. Cabutlah lebih dulu paku kayu yang ada di dalam mulutnya. Kalau itu sudah kau lakukan mudah-mudahan Yang Maha Kuasa menolongmu dan pemuda itu selamat dari kematian."
Dewi Dua Musim terkesiap. Dia memandang berkeliling, mengusap telinga kiri yang tadi mendengar suara mengiang itu lalu keluarkan ucapan, bertanya. "Orang pandai siapa yang bicara?"
Yang menjawab hanya sapuan suara angin yang membuat gemerisik daun-daun pepohonan di tepi jalan tanah. Si gadis bertanya sekali lagi.
"Orang pandai, dengan segala hormatku harap unjukkan diri atau beri tahu siapa kau adanya."
Tetap saja tidak ada jawaban. Tidak ada suara mengiang susulan.
"Orang pandai, rupanya kau tidak mau diganggu. Baiklah, aku akan ikuti petunjukmu. Aku berterima kasih padamu...."
Dewi Dua Musim berjongkok di samping kepala pemuda yang dipantek di atas papan. "Cabut lebih dulu paku kayu yang ada di dalam mulutnya" Ucapan itu terngiang lagi di telinganya. Si gadis ulurkan tangan kiri kanan. Tangan yang satu menarik dagu orang ke bawah, tangan lain mendorong bagian mulut ke atas. Gerakan dua tangan membuat mulut si pemuda terbuka. Melihat ke dalam mulut Dewi Dua Musim tercekat. Ternyata di dalam mulut pemuda itu memang ada satu paku kayu. menancap ke bagian dalam tenggorokan yang digenangi darah. Dewi Dua Musim geleng-geleng kepala.
"Jahat sekali!" Katanya dalam hati.
Lalu dengan cepat tangan kanan dimasukkan ke dalam mulut. Begitu paku kayu ditarik, darah menyembur dari mulut si pemuda. Untung tidak sampai menodai tangan atau pakaian Dewi Dua Musim. Paku Kayu ditancap ke tanah. Kini perhatian Dewi Dua Musim tertuju pada empat buah paku kayu yang memantek dua tangan dan dua kaki si pemuda.
Hatinya agak berdebar ketika tangan diulur untuk menarik paku yang menancap di tangan kanan. Ada rasa kawatir kalau-kalau usahanya kali ini mencabut paku itu akan gagal seperti tadi. Namun kenyataannya paku yang menancap di telapak tangan kanan itu dengan mudah bisa ditarik lepas. Begitu juga dengan tiga paku kayu lainnya.
Begitu empat paku yang memantek dirinya ke papan lepas, sosok pemuda yang sejak tadi diam tak berkutik tiba-tiba keluarkan suara mengerang lalu dua tangan bergerak ke samping, bersitekan ke tanah dan luar biasa sekali. Orang yang disangka sudah akan menemui ajal itu tiba-tiba bergerak bangun, duduk bersila di atas papan. Sepasang mata yang sejak tadi terpejam perlahan-lahan terbuka, menatap tepat dan langsung ke arah wajah cantik di depannya. Tidak pernah sebelumnya dia melihat gadis luar biasa cantik seperti yang berada di hadapannya saat itu.
Perlahan si pemuda berucap. "Seharusnya aku sudah mati. Apakah saat ini aku melihat bidadari alam barzah. Diakah yang telah menyelamatkan diriku....?" Suara si pemuda agak parau sember karena ada luka di dalam mulutnya. Sesekali tampak dia seperti menelan ludah.
Mendengar ucapan si pemuda Dewi Dua Musim hanya tersenyum, tidak berkata apa-apa.
Si pemuda kembali berucap. "Gusti Allah Yang Maha Kuasa Maha Pengasih memberkatimu. Siapapun kau adanya, aku tahu kau adalah orang yang dikirimkan Gusti Allah untuk menolongku." Dalam keadaan masih bersila pemuda itu lalu rundukkan tubuh hingga keningnya menyentuh tanah.
Dewi Dua Musim tersipu-sipu. "Aih, jangan berkata dan bersikap begitu. Jika kau memang tahu kuasaNya Gusti Allah maka berterima kasihlah padaNya. Bukan padaku! Ayo lekas bangkit. Aku bukan mahluk yang pantas untuk disembah!"
Si pemuda luruskan tubuh kembali. "Siapapun kau adanya, aku tidak akan melupakan budi pertolonganmu. Aku berharap kelak dikemudian hari Gusti Allah memberi kesempatan padaku untuk membalas budi besarmu. Kalau sampai tidak bisa membalas budi maka itu merupakan hutang besar yang akan aku bawa sampai ke liang kubur."
"Aih. Di antara kita tidak ada hutang piutang!" Berkata Dewi Dua Musim.
"Kalau begitu mohon aku bertanya, siapa gerangan sahabat ini? Aku sendiri bernama Panji Ateleng. berasal dari satu desa kecil di timur Kuto Gede."
Di dalam hati Dewi Dua Musim berkata. "Pemuda ini baik sekali sikap dan tutur katanya. Padahal aku yakin saat ini dia masih menahan sakit amat sangat akibat luka di dua tangan dan dua kaki serta di dalam mulut. Kalau tidak memiliki ilmu tinggi mana mungkin dia berkeadaan seperti ini."
"Kerabat Panji Ateleng aku tidak tahu siapa namaku. Tapi orang-orang memanggilku dengan sebutan Dewi Dua Musim."
Si pemuda tatap sebentar wajah cantik di depannya. Walau merasa heran mendengar nama itu namun dia unjukkan senyum. "Namamu bagus dan indah didengar. Walau kehadiranmu pastilah atas kehendak Gusti Allah, tapi tetap saja aku ingin mengetahui bagaimana kau sampai berada di tempat sunyi ini."
"Aku tengah menunggu kedatangan tiga orang sahabat. Mereka seharusnya sudah melintas di jalan di kaki bukit ini. Tapi mereka tidak datang. Yang muncul justru dua penunggang kuda yang mengaku bernama Seno Kalamurti dan Lor Randuwali. Yang bernama Seno Kalamurti menyeretmu dengan kudanya dalam keadaan kau dipantek di atas papan."
"Dua manusia biadab itu! Pasti mereka sudah kabur dari sini!" Kata si pemuda pula
"Aku yang memaksa mereka pergi. Ah, apakah aku telah bertindak salah?"
Panji Ateleng terdiam sesaat lalu menjawab. "Tidak, kau tidak salah. Mungkin memang sudah begitu kejadiannya. Lagi pula bagiku kelak tidak sulit mencari mereka. Jika bertemu aku akan membunuh keduanya."
"Aih, manusia adalah ciptaan Gusti Allah. Gusti Allah pula yang memberikan nyawa kepada manusia. Maka tidaklah layak jika ada manusia membunuh manusia lain. Karena nyawa seseorang bukan milik seseorang lainnya."
PANJI Ateleng terpana mendengar ucapan si gadis.
"Aih. maafkan kalau aku bicara seperti seorang juru dakwah saja," si gadis berkata sambil senyum-senyum. Lalu dia mengalihkan pembicaraan. "Kedua orang itu mengaku sebagai orang-orangnya Pangeran Banowo."
"Mereka bicara begitu?" Si pemuda menelan ludah tanda luka di mulutnya kembali terasa mencucuk sakit.
Dewi Dua Musim mengangguk.
"Sombong tapi tolol! Membuka rahasia sendiri! Jika Pangeran Banowo tahu pasti mereka berdua akan digorok habis!"
"Sebenarnya siapakah mereka?"
"Keduanya memang anak buah Pangeran Banowo."
"Lalu mengapa mereka memperlakukanmu sekejam itu. Tangan dan kakimu dipantek ke papan. Mulutmu ditancap dengan paku kayu..."
"Sebenarnya bukan mereka yang memantek diriku diatas papan ini. Ada seorang lain yang punya ilmu hitam. Kedua orang itu hanya jadi bergundal-bergundal suruhan. Mereka ditugaskan membawaku ke alun-alun Kadipaten Magelang. Rencananya aku akan digantung di sana. Selama dalam perjalanan mereka juga sempat menganiaya diriku secara kejam..."
"Aih, kau mau digantung! Memangnya kau salah apa?!" Si gadis berkata sambil geleng-geleng kepala.
"Penderitaan yang aku alami belum seberapa." Panji Atcleng teruskan kisahnya. "Atas perintah Pangeran Banowo mereka juga telah membunuh kakak perempuanku Cemani secara keji. Padahal Cemani adalah istri Pangeran itu sendiri..."
"Luar biasa biadab" Sepasang bola mata hitam Dewi Dua Musim tampak membesar dan berkilat lalu meredup sayu seolah merasakan penderitaan batin si pemuda.
"Musim hujan... seharusnya hati setiap manusia berada dalam kesejukan...."
"Sahabat, apa maksudmu?" Tanya Panji Ateleng ketika mendengar ucapan Dewi Dua Musim.
"Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya tidak mengerti mengapa mereka berbuat kejam padamu dan kakak perempuanmu. Mungkin... mungkin mereka berdua layak menerima hukuman berat.."
"Dewi Dua Musim, kelak akan aku ceritakan padamu asal usul semua kejadian. Sekarang biar aku mengobati luka-luka pada tangan dan kaki serta mulutku lebih dulu. Sakitnya tidak tertahankan lagi..."
"Seharusnya sudah sejak tadi hal itu kau lakukan. Kalau kau mau aku bisa membantu..." Si gadis bergerak mendekati.
"Terima kasih. Biar aku mengobati diriku sendiri," jawab Panji Ateleng pula. Habis berkata begitu pemuda yang masih duduk bersila di atas papan menjumput tanah becek jalanan di sampingnya. Tanah liat itu dipoleskan ke atas lubang luka bekas tancapan kayu pada telapak tangan dan pergelangan kaki.
Setelah merapal sesuatu dia lalu meniup empat kali berturut-turut yaitu ke arah dua telapak tangan dan dua pergelangan kaki. Tanah basah berubah kering. Berubah lagi menjadi debu yang begitu ditiup serta merta berterbangan ke udara.
Wajah cantik Dewi Dua Musim tampak kagum ketika melihat lubang luka bekas tancapan paku kayu di dua tangan dan dua kaki lenyap tak berbekas.
"Ilmu Penyakit Berasal Dari Manusia. Penyembuhan Datang Dari Alam. Kuasa Gusti Allah sungguh luar biasa..." Berucap Dewi Dua Musim menyebut nama ilmu yang dipergunakan Panji Ateleng untuk mengobati luka parahnya.
Seolah tidak mendengar apa yang diucapkan si gadis. Panji Ateleng untuk kelima kalinya menjumput tanah becek. Kali ini tanah jalanan itu dimasukkan ke dalam mulut. Setelah menunggu sesaat si pemuda dongakkan kepala lalu meniup. Dari dalam mulut menyembur keluar debu coklat. Disusul semburan darah merah kehitaman. Setelah debu lenyap di udara Panji Ateleng terbatuk-batuk beberapa kali. Mukanya yang pucat kini tampak berdarah kembali. Ketika bicara suaranya tidak lagi parau sember. Sepasang mata menatap lekat-lekat ke arah gadis di hadapannya.
"Sahabat Dewi Dua Musim, bagaimana kau bisa tahu nama ilmu yang aku pergunakan untuk mengobati luka tancapan paku?"
Dewi Dua Musim tampak agak terkejut mendengar pertanyaan yang tidak disangka itu. Namun dengan tersenyum dia menjawab. "Aku hanya mendengar, tidak pernah melihat sendiri. Ketika kau mempergunakan tanah untuk menyembuhkan luka, aku hanya menduga dan asal bicara. Apakah aku keliru berucap?"
Panji Ateleng hanya diam. Mata masih menatap tak berkesip. Lalu dia berkata. "Kau cantik. Sikap dan bicaramu lembut. Hatimu pasti begitu juga. Penuh welas asih. Aku tahu, kau pasti bukan gadis sembarangan."
"Aih. kau keliwat memuji. Maksudmu apa....?" Dewi Dua Musim tersipu-sipu.
"Melihat dirimu, aku jadi ingat pada adikku. Sikap dan caranya bicara sama sepertimu. Hanya sayang dia meninggal dunia sewaktu berusia enam belas tahun...."
"Kasihan, rupanya kau telah kehilangan banyak orang terdekat dan kau sayangi...."
Panji Ateleng menarik nafas dalam. Dua matanya memperhatikan tangan si gadis kiri kanan. Lalu mata digosok-gosok. Dia seperti melihat sesuatu. Merasa diperhatikan secara berlebihan Dewi Dua Musim bertanya.
"Mengapa, ada apa dengan kedua tanganku?"
"Tidak, tidak apa-apa," jawab Panji Ateleng walau saat itu sebenarnya dia berdusta karena dia tadi memang telah melihat satu keanehan pada tangan kiri kanan si gadis.
Dewi Dua Musim bangkit berdiri. Panji Ateleng juga melakukan hal yang sama. Keduanya sama-sama tegak dan saling pandang dalam jarak hanya terpisah satu langkah. Panji Ateleng dapat mencium bau harum badan dan pakaian si gadis.
"Bau harum yang menyejukkan hati. Seumur hidup aku tidak akan melupakan bau gadis ini...." Panji Ateleng membatin dalam hati.
"Kerabat Panji Ateleng, ada apa. Ada sesuatu dalam benak atau hatimu?" Tiba-tiba Dewi Dua Musim bertanya.
"Tidak...." Si pemuda tampak agak kelagapan karena tidak menyangka orang bisa menduga-duga apa yang barusan diucapkan dalam hati
"Kerabat Panji Ateleng, aku harus mencari tiga orang yang tidak muncul itu. Aku terpaksa meninggalkanmu. Kuharap kau baik-baik saja. Apakah kau akan pergi ke Magelang?"
"Aku akan ke Kotaraja," jawab Panji Ateleng. Lalu pemuda ini bertanya. "Apakah aku masih dapat berjumpa denganmu?"
Dengan tersenyum si gadis menjawab. "Selama langit masih biru dan gunung masih hijau. Selama air sungai masih mengalir ke laut dan selama sang surya masih terbit di timur, suatu ketika kita pasti bertemu lagi."
"Ucapanmu indah dan menyejukkan hati...."
"Itu karena saat ini sudah musim penghujan..."
"Nah. kau lagi-lagi menyebut itu. Bagaimana kalau saat ini bukan musim penghujan. Musim panas misalnya?"
Dewi Dua Musim tertawa. Barisan giginya tampak bagus putih dan rata. Panji Ateleng mendekat dan berkata.
"Sebelum kita berpisah aku akan memberikan sesuatu padamu. Bukan saja sebagai tanda kenang-kenangan tapi juga sebagai tanda terima kasih."
"Aih, kenapa kau mau repot-repot Aku tidak minta segala balas budi. Aih, memangnya kau mau memberikan apa?" Dewi Dua Musim berkata sambil bersurat satu langkah.
Panji Ateleng luruskan dua jari tangan kanannya. Lalu tukkk! Dia menotok tangan di bagian siku kiri sebelah dalam Ketika tangan itu ditarik, diantara dua jari menempel sebuah benda bulat merah sebesar ujung jari kelingking.
"Ini Mutiara Merah, pemberian almarhumah ibuku. Ambil dan simpan baik-baik. Jangan sampai ada orang lain tahu kau memiliki benda ini. Pangeran Banowo sangat menginginkan Mutiara Merah ini. Dia mau mempertaruhkan apa saja untuk mendapatkannya, termasuk membunuh"
"Aih, aku tidak berani menerima pemberianmu. Mutiara Merah, mungkin hanya ini satu-satunya di dunia...." Kata Dewi Dua Musim pula.
"Aku mohon dengan sangat dan segala hormat." Panji Ateleng letakkan Mutiara Merah di atas telapak tangan kanan yang dikembang. "Ambillah..."
Dewi Dua Musim tekap mulutnya yang berbibir merah bagus dengan tangan kanan. Mata berbinar-binar melihat kebaikan hati orang. Namun kemudian kepalanya digelengkan.
"Kerabat Panji Ateleng. Mutiara Merah pasti benda langka. Aku yakin hanya ini satu-satunya di dunia. Pasti bukan benda sembarangan. Aku... aku tidak berani menerima kebaikanmu...."
"Aku memohon, sangat memohon. Harap kau mau menerima. Pemberian dari seorang sahabat yang pernah kau selamatkan nyawanya. Hatiku akan sangat perih jika kau tidak mau mengambilnya."
Dewi Dua Musim agaknya merasa terenyuh mendengar ucapan si pemuda. Akhirnya tangan kanan itu diulurkan juga untuk mengambil Mutiara Merah. Setelah memperhatikan sebentar si gadis berkata. "Kau tadi kulihat menyimpan Mutiara Merah ini di dalam tangan, pada lipatan siku sebelah dalam. Apa aku juga boleh menyimpannya di tempat yang sama?"
Panji Ateleng terkejut mendengar ucapan si gadis. Namun dia bisa sembunyikan perasaan dan raut wajah dengan cepat tersenyum lalu menjawab. "Tentu, tentu saja kau boleh menyimpannya di tempat kau suka. Asal aman."
Dewi Dua Musim luruskan tangan kirinya. Mutiara Merah diletakkan di atas lipatan siku sebetah dalam. Lalu dengan tangan kanan benda itu ditekan.
"Blesss!"
Mutiara Merah masuk ke dalam tangan Dewi Dua Musim. Kejut Panji Ateleng bukan alang-kepalang. Namun dia pandai menyembunyikan perasaan, malah memuji. "Kau gadis hebat. Aku kagum padamu."
"Aih, aku hanya meniru apa yang kau lakukan!" Jawab si gadis lalu tertawa renyah dan sekali memutar tubuh serta menggerakkan kaki dia sudah berada di tikungan jalan tanah di kaki Bukit Menoreh sebelah selatan. Di satu tempat gadis ini hentikan larinya lalu berteriak sambil lambaikan tangan kiri.
"Hai! Terima kasih untuk Mutiara Merah. Aku akan menjaganya baik-baik! Jangan lupa mengobati luka di keningmu!"
Panji Ateleng tersenyum dan balas melambaikan tangan. Untuk beberapa lama dia masih berdiri di tempatnya. Memandang ke arah lenyapnya Dewi Dua Musim sambil meraba luka di keningnya. Dalam hati dia tidak habis pikir, siapa sebenarnya gadis cantik berpakaian biru itu.
PANJl Ateleng memandang ke arah Kali Progo di kejauhan di bawah sana. Pandangan kemudian dialihkan pada pesawahan oimana para petani tampak sibuk bekerja. Dalam hati pemuda ini bicara sendiri.
"Kalau gadis itu seorang dari rimba persilatan, mengapa selama ini aku tidak pernah mendengar namanya. Dia mengaku lupa nama adalah aneh seseorang lupa nama sendiri. Tapi melihat pertemuan dalam keadaan diriku dipantek orang, wajar saja kalau dia sengaja sembunyikan jati diri. Juga masih wajar kalau seandainya dia menaruh curiga. Lalu dia memperkenalkan diri sebagai Dewi Dua Musim. Kalau itu merupakan gelar atau julukan, cukup aneh terdengarnya. Beberapa kali dia menyebut musim penghujan Apa maksudnya....?"
Si pemuda usap-usap tangan kirinya yang sebelumnya ditancap paku kayu. Lalu dia ingat dan membatin kembali. "Gadis itu memasukkan Mutiara Merah yang aku berikan ke dalam tangannya. Setahuku di dunia ini hanya ada dua orang yang mampu melakukan hal itu. Guru dan aku sendiri. Ternyata gadis itu juga bisa melakukan hal yang sama. Dari mana dia belajar ilmu kesaktian itu. Apakah guru pernah memberikan ilmu itu kepadanya atau kepada seorang lain yang kemudian meneruskan pada gadis itu?"
Panji Ateleng perhatikan paku kayu yang menancap dan empat lainnya yang tergeletak di tanah. "Dia mampu mencabut lima paku kayu itu. Walau tidak sadar diri, aku yakin mulutku dalam keadaan terkancing. Bagaimana dia bisa tahu kalau ada paku kayu menancap dalam mulutku? Paku Kayu Pengunci. Tanpa mencabut paku satu itu apapun yang dilakukan empat paku kayu lainnya tak mungkin bisa dicabut! Kalau tidak ada perkara besar di Kotaraja rasanya saat ini aku ingin sekali mengikuti gadis itu."
Di langit sang surya mulai memancarkan sinarnya yang terik. Panji Ateleng masih mengingat-ingat. "Dua tangan gadis itu. Tak sengaja ketika memperhatikan aku melihat samar-samar ada gambar matahari di tangan kanan. Di tangan kiri ada gambar seperti air mengalir. Dewi Dua Musim memiliki beberapa keanehan..."
Panji Ateleng memandang lagi ke arah kejauhan, ke jurusan lenyapnya Dewi Dua Musim. Pemuda ini kemudian tertawa sendiri. "Terus terang belum pernah aku melihat gadis secantik dia. Heh, apakah aku sudah tertarik pada sang Dewi Dua Musim itu?"
Si pemuda membalikkan badan ketika tiba-tiba di belakangnya terdengar suara kaki kuda mendatangi. Di kejauhan tampak tiga ekor kuda berlari cepat ke arahnya. Dua ekor berwarna coklat. yang ketiga berwarna hitam pekat berkilat. Dua ekor kuda coklat masing-masing ditunggangi dua orang lelaki mengenakan pakaian serba hitam, lengkap dengan belangkon yang juga berwarna hitam. Kuda hitam sama sekali tidak ada penunggangnya.
Mengira rombongan tiga kuda itu akan melewatinya, Panji Ateleng segera menepi memberi jalan. Ternyata tiga ekor kuda itu mendadak berhenti beberapa langkah di hadapannya. Dua penunggang kuda yang masih muda-muda, sebaya dengan Panji Ateleng memperhatikan keadaan di lereng Bukit Menoreh, lalu melihat ke jalan tanah becek yang banyak bekas kaki kuda. kaki manusia dan guratan aneh sepanjang jalan becek. Mereka juga melihat lima paku kayu. Satu menancap di tanah, empat lainnya tergeletak di jalan becek.
"Paku kayu itu...." bisik salah seorang penunggang kuda pada temannya. "Bukan paku kayu biasa. Kau lihat papan di sebelah sana? Kau lihat guratan di sepanjang jalan? Ada noda darah di tanah becek. Ada noda darah di wajah dan pakaian pemuda itu. Sesuatu yang hebat agaknya telah terjadi di sini." Sambil bicara si penunggang kuda melirik ke arah Panji Ateleng.
"Aku kawatir sesuatu telah terjadi dengan gadis itu." Menjawab pemuda yang satunya. "Untuk meyakinkan coba kita periksa dulu dengan Ilmu Di Dalam Udara Ada Raga."
Dua orang pemuda ini kemudian mendongak dan menghirup udara dalam-dalam seperti tengah membaui sesuatu. Penunggang di sebelah kanan berkata pada temannya.
"Aku sudah mencium baunya. Kau....?"
"Aku juga sudah. Dia pasti berada di tempat ini sebelumnya." Pandangan dua penunggang kuda kemudian ditujukan pada Panji Ateleng. Mereka tundukkan badan memberi penghormatan. Salah seorang diantaranya berkata.
"Ki Sanak di tepi jalan, maaf kalau kami mengganggu perjalananmu. Kami ada perjanjian dengan seseorang untuk bertemu di tempat ini. Karena ada halangan kami datang terlambat. Tapi kami tahu sebelumnya orang itu berada di tempat ini. Karena Ki Sanak telah lebih dulu berada di tempat ini. apakah Ki Sanak melihat seseorang di sini? Seorang gadis berpakaian biru."
Walau dua orang penunggang kuda yang masih muda-muda itu menunjukkan sikap baik dan sopan, namun Panji Ateleng tidak segera menjawab. Bisa saja keduanya menanyakan orang yang dicari membekal maksud jahat terhadap orang yang mereka tanya yaitu Dewi Dua Musim. Maka dia balik bertanya.
"Kalau boleh tahu keperluan apa Ki Sanak berdua menanyakan orang itu?"
Dibalik bertanya seperti itu. dua penunggang kuda serta merta maklum kalau memang Panji Ateleng telah bertemu atau melihat orang yang mereka cari.
"Kami berdua ada urusan penting. Sayang kami tidak bisa menjelaskan. Dari ucapan Ki Sanak cukup memberi tahu pada kami kalau gadis itu sebelumnya memang berada di sini. Kalau dengan alasan tertentu Ki Sanak tidak mau menerangkan tidak menjadi apa. Kami mencari gadis itu bukan dengan niat tidak baik." Penunggang kuda yang bicara berpaling pada temannya. "Kita melanjutkan perjalanan saja atau menunggu Ajengan Manggala Wanengpati?"
Teman yang ditanya berpikir sejenak lalu menjawab. "Kita terus saja. Kurasa gadis itu masih berada di kawasan ini. Hembusan angin memberi petunjuk padaku dia meninggalkan tempat ini ke arah selatan Bukit Menoreh."
Dua orang pemuda kemudian tundukkan kepala memberi hormat pada Panji Ateleng, siap untuk meninggalkan tempat itu.
Setelah tahu dua pemuda tidak membekal niat jahat, Panji Ateleng cepat berkata. "Ki Sanak berdua tunggu dulu!"
Dua orang pemuda yang siap menarik tali kekang dan menarik kuda ke tiga serta merta hentikan gerakan. Salah seorang dari dua penunggang kuda berkata. Agaknya Ki sanak berubah pikiran. Mau memberi tahu?"
"Gadis yang Ki Sanak cari itu apakah dia bernama Dewi Dua Musim?" Bertanya Panji Ateleng.
"Benar!" Dua penunggang kuda menjawab berbarangan.
"Tadi dia memang ada di sini. Dia menerangkan tengah menunggu kedatangan tiga orang sahabat. Karena yang ditunggu tidak muncul dia kemudian pergi begitu saja..."
"Ahh...." Salah seorang pemuda penunggang kuda tarik nafas panjang. "Ki Sanak tahu dia pergi atau menuju kemana?"
Panji Ateleng menggeleng.
"Mungkin Ki Sanak sempat bercakap-cakap dengan gadis itu. Kalau boleh kami tahu apa saja yang telah dibicarakannya dengan Ki Sanak?"
"Dia tidak banyak bercerita. Hanya memberi tahu tentang tiga orang yang ditunggunya. Dia juga tidak mengatakan siapa orang-orang itu."
"Hanya itu?" Tanya salah seorang penunggang kuda.
"Hanya itu." Jawab Panji Ateleng. Dia tidak mau menceritakan kejadian yang dialaminya termasuk pertolongan yang diberikan Dewi Dua Musim.
Dua penunggang kuda melirik pada papan serta tebaran paku kayu di tanah. Salah seorang kemudian bertanya. "Ki Sanak sendiri apakah kebetulan saja berada di tempat ini?"
"Aku dalam perjalanan ke Kotaraja.' jawab Panji Ateleng.
"Ki Sanak tinggal di Kotaraja?"
"Aku tinggal di desa kecil tak jauh dan Kuto Gede."
"Kami melihat noda darah di wajah dan pakaian Ki Sanak. Apa yang telah Ki Sanak alami?" Penunggang kuda di sampir kanan bertanya. Sementara teman di sebelahnya kemba memperhatikan keadaan di tempat itu.
Panji Ateleng yang merasa didesak orang menjawab dengan tenang tapi suaranya mantap. "Ki Sanak berdua jika kalian menarah curiga telah terjadi sesuatu antara aku dengan gadis yang dicari, kecurigaan kalian tidak beralasan. Dewi Dua Musim gadis baik. Dia memiliki kepandaian tinggi, berhati tulus..."
"Bagaimana Ki Sanak tahu gadis itu berkepandaian tinggi. Apakah Ki Sanak sempat menjajalnya atau bertarung dengan dia?" Memotong pemuda di atas kuda sebelah kiri.
Kawannya menyambung. "Lagi pula yang kami tanyakan bukan apa yang terjadi antara Ki Sanak dengan Dewi Dua Musim. Tapi mengapa ada noda darah di wajah serta pakaian Ki Sanak..."
"Maaf. aku tidak bisa memberi jawaban. Yang pasti aku tidak berbuat satu kejahatan di tempat ini"
"Mungkin di tempat lain?!" Lagi-lagi pemuda berkuda di samping kanan yang bicara menempelak
Panji Ateleng tersenyum. Dia membungkuk memberi penghormatan. "Ki Sanak berdua, aku masih ada kepentingan lain. Aku senang telah bertemu dan berkenalan dengan kalian..."
Pemuda berkuda di sebelah kiri berbisik pada temannya. "Aku merasa curiga. Jangan jangan telah terjadi perkelahian antara dia dengan Dewi Dua Musim. Pemuda ini berhasil mencelakainya. Bukan mustahil membunuh gadis itu!"
"Mencelakai mungkin bisa jadi. Tapi untuk membunuhnya apapun kepandaian yang dimiliki pemuda ini dia tidak akan mampu melakukan hal itu terhadap Dewi Dua Musim." Jawab sang teman.
"Mungkin kita perlu memeriksa dan menahannya agar tidak pergi dulu?"
"Itu yang akan aku lakukan. Sekalian menjajal sampai dimana ilmu kanuragan dan mungkin juga kesaktiannya1" Dua pemuda di atas kuda dengan gerakan enteng melompat turun dari punggung kuda masing-masing. Sesaat kemudian mereka sudah berada di hadapan Panji Ateleng. Satu di sebelah kin satu di samping kanan
"Ki Sanak, kami terpaksa tidak mengizinkanmu meninggalkan tempat ini. Paling tidak sampai ada kejelasan apa yang terjadi dengan Dewi Dua Musim."
"Memangnya apa yang terjadi dengan gadis itu. Sebenarnya kalian ini siapa dan apa yang ada dalam benak serta hati kalian?!" Panji Ateleng mulai bersuara keras walau wajahnya tetap tidak menunjukkan kemarahan.
Pemuda berbelangkon hitam di samping kanan memberi isyarat dengan anggukan kepala pada sang teman. Si teman langsung bergerak. Sekali berkelebat dia sudah kirimkan serangan menotok ke dada kiri Panji Ateleng. Serangan ini sangat berbahaya karena kalau yang diserang hanya memiliki kepandaian sedang-sedang saja. totokan bisa sekaligus merusak jantung!
"Ki Sanak! Kau bertindak keliru! Tidak ada silang sengketa di antara kita. Mengapa menyerangku?!" Panji Ateleng berseru sambil condongkan tubuh ke kanan hingga serangan lewat hanya setengah jengkal di depan dada.
Dapatkan serangan kilatnya tidak mengenal sasaran, pemuda yang menyerang jadi beringas. Sekali berkelebat jotosan tangan kanannya menderu ke arah wajah Panji Ateleng. Panji Ateleng angkat tangan kanan ke atas dengan telapak terkembang. Begitu bukkk! Kepalan lawan menempel di telapak tangan, lima jari dengan cepat mencengkeram.
Sambil menahan sakit pemuda berpakaian hitam coba lepaskan cekalan Panji Ateleng. Tapi semakin dipaksa semakin seolah terasa remuk tangan kanannya!
Panji Ateleng dorongkan tangan kanan. Walau mendorong perlahan namun si pemuda berbelangkon hitam terjajar sampai tiga langkah. Bukannya sadar kalau tenaga luarnya berada di bawah tenaga luar lawan, pemuda itu malah menjadi nekad.
Didahutui bentakan garang dia kembali menerjang. Kali ini dua tangannya menderu bergantian. Menjotos laksana kilat dan kelihatan berubah menjadi banyak sekali. Sambil memukul dua kaki bergerak ke depan mendekati Panji Ateleng. Namun sampai tubuhnya keringatan semua pukulannya mengenai tempat kosong. Kemudian disadarinya Panji Ateleng tidak ada lagi di hadapannya.
"Ki Sanak, aku ada di sini. Apa kau akan terus-terusan memukul angin?!"
Pemuda yang menyerang berhenti memukul, cepat berbalik. Mukanya merah mengetam merasa dipermAihkan. Dia melihat Panji Ateleng telah berdiri di bawah pohon besar di tepi jalan sambil rangkapkan dua tangan di depan dada dan tersenyum. Panas hati si pemuda bukan alang kepalang. Kalau tadi
semua serangan yang dilancarkan hanya mengandalkan tenaga luar maka kini dalam marahnya dia segera keluarkan tenaga dalam dan hawa sakti. Sekali tangan kanan memukul, bukan saja tangan itu berubah panjang, tapi juga mengeluarkan selarik sinar hitam, menyambar ke arah Panji Ateleng!
"Ki Sanak, tahan serangan! Mengapa kau jadi nekad!" Panji Ateleng berseru.
Tapi lawan tidak perduli. Malah lipat gandakan tenaga dalamnya hingga sinar pukulan yang keluar dari tangan kanannya memancar lebih hitam, ganas dan angker!
"Wuuttt!"
WALAU orang menyerang dengan serangan ganas pertanda berniat mencelakainya. Panji Ateleng tetap tenang. Dalam ketenangan dia melesat dua tombak ke udara.
"Wusss! Braaakk!"
Sinar hitam pukulan lawan lewat di bawah kaki Panji Ateleng, menghantam pertengahan batang pohon hingga berderak patah dan tumbang bergemuruhl Jelas orang hendak menghabisi dirinya, sambil melayang turun Panji Ateleng berteriak.
"Ki Sanak! Ilmu kesaktian mu tinggi sekali! Aku mengaku kalah. Katakan apa yang kau inginkan dariku?!"
Di bawah sana pemuda yang diteriaki tidak menjawab malah semakin garang. Selagi lawan dilihatnya masih mengambang di udara, untuk kedua kalinya dia lancarkan pukulan sakti. Kembali larikan sinar hitam pekat dan angker berkiblat menghantam ke arah Panji Ateleng.
Kali ini Panji Ateleng tidak mau lagi mengambil sikap mengalah terus-terusan. Di udara dia membuat gerakan jungkir balik setengah lingkaran. Selagi sinar pukulan lawan menderu ke atas, Panji Ateleng tahu-tahu sudah turun ke tanah dan kirimkan tendangan ke lekukan lutut sebelah belakang kaki kanan pemuda berbelangkon hitam. Lutut tertekuk. Si pemuda terhuyung ke belakang.
Sewaktu dia coba mengimbangi tubuh Panji Ateleng tendang bagian belakang lutut kirinya. Tak ampun lagi pemuda itu langsung jatuh tertelentang di tanah becek. Merasa malu dan sekaligus marah, pemuda itu menyumpah habis dan cepat berusaha berdiri. Namun dua kakinya terasa sangat berat seolah diganduli batu besar.tak mampu digerakkan apa lagi untuk berdiri bangun!
"Manusia keparat! Apa yang kau lakukan!" Teriak pemuda berbetangkon hitam.
"Ki Sanak, tenanglah. Kau tak apa-apa. Mari kutolong bangun!" Kata Panji Ateleng pula. Dia melangkah mendekati pemuda yang tertelentang di tanah sambil mengulurkan tangan. Maksudnya memang hendak menolong.
Namun saat itu melihat kawannya diperlakukan seperti itu, pemuda satunya tidak tunggu lebih lama segera menerjang. Gerakannya luar biasa cepat. Tahu-tahu jotosan tangan kanannya sudah menderu ke arah pipi kanan Panji Ateleng!
Dari suara deru pukulan orang Panji Ateleng maklum kalau pemuda ini memiliki kepandaian lebih tinggi dari yang satunya. Panji Ateleng menghindar dengan mundur satu langkah sambil tarik kepala ke belakang.
"Wuttt!"
Pukulan orang lewat di depan hidung Panji Ateleng. Tapi begitu lewat lima jari yang mengepal tiba-tiba membuka.
"Wusss!"
Kepulan asap kuning menyambar ke arah wajah Panji Ateleng. Bau aneh menerpa. Walau mampu menjauh namun pemuda dari Kuto Gede ini sempat menghirup asap kuning. "Racun Wesi Kuning!" Ucap Panji Ateleng cepat menahan nafas dan meniup kuat-kuat ke depan. Sebagian asap kuning bisa disembur namun sebagian lagi sudah masuk ke jalan pernafasannya. Saat itu juga pemuda ini merasa dadanya sesak, nafas menyengat dan pemandangan berkunang.
Melihat lawan dalam keadaan limbung pemuda berbelangkon hitam yang tadi melancarkan serangan asap beracun cepat menyerbu. Kali ini dia menggempur dengan pukulan berantai yang disebut Sepasang Ular Sondok Keluar Dari Goa. Dari sela-sela jari yang mengepal menyembur asap hijau menebar bau amis mendahului datangnya pukulan. Rupanya pemuda satu ini punya keahlian dalam ilmu pukulan mengandung racun jahat.
Tahu bahaya besar yang dihadapinya, dalam keadaan tubuh menghuyung akibat serangan racun asap pertama, Panji Ateleng rundukkan tubuh, dua tangan di kembang ke depan lalu didorong ke arah lawan.
Asap hijau menerpa membalik ke arah pemuda berbelangkon hitam, membuat orang ini tersentak kaget dan cepat melompat mundur. Begitu selamat dari senjata makan tuan, si pemuda menerjang ke depan sambil lancarkan satu tendangan ke arah kepala Panji Ateleng.
Saat itu Panji Ateleng sendiri terduduk di tanah. Wajah tampak kekuningan dan dua mata terpejam. Mulut komat kamit merapal mantera perlindungan. Dia hendak menggerakkan tangan untuk menotok urat besar di pangkal leher berusaha agar bisa menyemburkan sisa Racun Wesi Kuning yang masih mendekam ketika tendangan kaki kanan pemuda berbelangkon hitam datang laksana geledek!
"Pecah kepalamu!" Teriak si penyerang.
Hanya sekejapan lagi tendangan maut itu akan menghantam hancur kepala Panji Ateleng tiba-tiba tanah di tengah jalan yang becek terbelah. Dari dalam tanah menyusul suara orang berteriak.
"Sora Warangan! Sewaktu aku muda sepertimu saat ini. pasti aku juga ingin membunuh pemuda itu! Tahan seranganmu!"
Pemuda berbelangkon hitam bernama Sora Warangan dan tengah melancarkan tendangan maut ke kepala Panji Ateleng tersentak kaget mengenali suara orang yang berteriak, dia cepat tahan tendangan.
Dari dalam belahan tanah kemudian mencuat keluar satu tubuh manusia yang kemudian jatuh bergedebuk di di tanah becek. Orang ini mengenakan pakaian bagus, seperti pakaian yang biasa dikenakan pejabat tinggi Kerajaan Mataram. Wajahnya yang berkumis tebal tampak benjat benjut, rambut riap-riapan. Di sela bibir mengucur lelehan darah, turun sampai ke dagu yang ditumbuhi janggut tebal. Baik pakaian maupun muka dan kedua tangannya penuh tertutup tanah merah. Dua tangan orang ini menggapai-gapai lalu disusun di atas kepala sambil mulut keluarkan suara mengerang dan meratap.
"Ampun, Ajengan Manggala Wanengpati ampuni selembar nyawaku!" Habis meratap dia semburkan ludah bercampur darah dan tanah.
Panji Ateleng yang berdiri di tepi jalan terkejut ketika mengenali siapa adanya orang berpakaian bagus yang tengah minta-minta ampun. "Perwira Tinggi Kerajaan Cakra Baskara! Apa yang terjadi dengan dirinya? Siapa yang melemparnya keluar dari dalam belahan tanah! Dia meratap minta ampun pada seorang bernama Ajengan Manggala Wanengpati. Mana orangnya?! Manggala Wanengpati. bukankah dia kakek hebat sahabat sekaligus murid Kiai Manding Saroka dari Pulau Madura?"
Saat itu dari dalam belahan tanah melesat orang kedua mengenakan belangkon dan jubah hitam legam. Seperti orang pertama yang meratap minta ampun, orang ini wajah dan pakaian serta tangan dan kakinya juga penuh dengan tanah merah becek. Namun dengan sekali menggoyang aurat, semua tanah yang menempel rontok lenyap seketika membuat ujud orang ini jadi terlihat jelas!
ORANG kedua yang keluar dari dalam tanah adalah seorang kakek tinggi kurus, mengenakan jubah hitam. Di kepala bertengger sebuah belangkon hitam digelung dengan ikatan kain putih berbahan sutera halus. Dari bawah belangkon sebelah belakang menjulai rambut putih sepunggung. Walau tidak memelihara kumis, janggut atau berewok namun wajah kelimis si kakek menampilkan ujud menyeramkan!
Dua daun telinga yang seharusnya berada di samping kepala terletak di kening kiri kanan. Lalu mulut yang semestinya terletak di bawah hidung berada di tenggorokan di bawah dagu! Agaknya kakek berwajah aneh inilah yang telah melempar Perwira Tinggi Kerajaan Cakra Baskara dari dalam tanah dan saat itu tengah meratap meminta ampun.
Siapakah si kakek aneh berjubah dan berbelangkon hitam berikat kepala kain sutera putih? Dulunya sebelum menjadi Ajengan atau pemuka agama dia adalah seorang berkepandaian tinggi baik ilmu silat maupun kesaktian. Diketahui bernama Manggala Wanengpati, dijuluki Iblis Hitam Kepala Putih. Julukan itu diberikan orang karena dia selalu mengenakan jubah hitam sedang di atas kepala yang mengenakan belangkon hitam pada bagian di atas kening selalu melilit kain putih terbuat dari sutera.
Dengan ilmu yang dimilikinya Manggala Wanengpati mengembara ke berbagai penjuru tanah Jawa bahkan sampai ke tanah seberang termasuk pulau Madura, Bali dan Andalas, Sesekali dia pernah pula muncul di negeri Bugis serta tanah Dayak. Dalam pengembaraannya dia banyak mempelajari berbagai ilmu kesaktian langka dari tempat-tempat yang didatangi pada para tokoh yang ditemui.
Namun di masa mudanya Manggala Wanengpati telah berbuat banyak kejahatan. Mulai dari menjadi kepala rampok sampai mempermainkan perempuan termasuk menculik istri dan anak gadis orang. Dalam menjalankan kejahatan, perkara membunuh adalah soal kecil baginya, seenak dan semudah dia membalikkan telapak tangan saja.
Menurut riwayat yang kemudian diketahui banyak tokoh rimba persilatan dan tokoh agama di tanah Jawa dan Madura, ketika memasuki usia hampir tujuh puluh tahun, Manggala Wanengpati yang masih saja terus berbuat maksiat dan kejahatan suatu ketika bertemu dengan seorang Kiai berasal dari Sumenep di Pulau Madura, bernama Kiai Manding Saroka. Seperti biasa, jika bertemu dengan orang berkepandaian tinggi Manggala Wanengpati selalu ingin menjajal.
Saat itu sang Kiai berada di tempat kediamannya di tepi Kali Saroka yang indah pemandangan dan sejuk hawanya. Kedatangan sang tamu disambut Kiai Manding Saroka dengan segala hormat. Niat Manggala Wanengpati menantangnya bertarung saling uji ilmu kepandaian hingga salah satu dari mereka menemui kematian tidak dilayani, ditolak secara halus oleh sang Kiai.
Malah dengan tenang Kiai Manding Saroka mengambil sebuah bantalan dan Kitab Suci Al Qur'an, duduk bersila di lantai panggung rumah kediamannya. Bantal diletakkan di atas pangkuan lalu Kitab Suci ditaruh diatas bantal.Sesaat kemudian terdengar suara sang Kiai mulai membaca melantunkan ayat-ayat suci dengan suara lembut.
Siapa saja yang mendengar suara sang Kiai mengaji pastilah akan merasa kesejukan di dalam kalbu. Namun tidak demikian dengan Manggala Wanengpati yang jahat, sombong, keras kepala keras hati. Dia merasa tersinggung. Sambil borkacak pinggang dia membentak. Mulut aneh yang berada di tenggorokan di bawah bahu terbuka.
"Kiai Manding Saroka! Jika kau tidak segera menghentikan bacaan dan meletakkan Kitab Suci itu, jangan salahkan kalau aku akan segera menyerangmu. Jika kau sanggup menghadapi tiga jurus saja dari seranganku, aku menganggap kau pantas menjadi guruku!"
Kiai Manding Saroka hentikan bacaannya, kepala diangkat sedikit, menatap Manggala Wanengpati lalu mulut berucap. "Bahwasanya jika seorang hamba telah melakukan kejahatan selama umur dikandung badan. Seumpama dosa-dosanya tak terhitung sebanyak busah di lautan. Lalu pada suatu ketika dia meminta ampun dan bertobat, maka Allah Maha Pengasih Maha Penyayang akan menerima tobatnya."
"Kiai kurang ajar! Aku menantangmu menerima tiga jurus seranganku! Bukan mau mendengar dakwah!" Teriak Manggala Wanengpati dongan suara lantang mata mendelik.
Kiai Manding Saroka menjawab bentakan orang dengan tersenyum. Mata dikedip lembut Lalu kembali dia berkata. "Ketika seseorang telah melakukan kejahatan dan berbuat begitu banyak dosa sepanjang hidupnya, lalu dia menghadapi sakratal maut sengsara kematian. Lalu dia memohon ampun dan tobat kepada Allah, maka baginya tobat tidak berlaku lagi. Sesungguhnya dia sudah ditunggu siksaan yang teramat pedih..."
Amarah Manggala Wanengpati meledak. Sekali lompat saja dia sudah lepaskan tendangan kaki kanan dahsyat ke arah kepala Kiai Manding Saroka. Ini adalah jurus pertama dari ilmu silat luar yang dinamakan 'Tiga Iblis Hitam Membuncah Laut Selatan'! Karena tendangan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dan hawa sakti maka serangan itu memancarkan cahaya hitam pekat.
Diserang dengan tendangan maut begitu rupa Kiai Manding Saroka meneruskan bacaannya namun di saat itu dua tangan digerakkan untuk mengangkat Kitab Suci Al Qur'an dari atas bantal. Begitu Kitab Suci naik ke atas, tiba-tiba sekali bantal yang ada di pangkuan sang Kiai melesat ke udara, melindungi kepala Kiai Manding Saroka.
"Desss!"
Tendangan maut Manggala Wanengpati menghantam bantal, menyelamatkan kepala Kiai Manding. Walau kakinya hanya merasa menendang benda lembut seperti kapas namun tak urung kakek berjuluk Iblis Hitam Kepala Putih terhuyung ke belakang, hampir saja jatuh duduk di lantai rumah kalau tidak cepat mengimbangi diri.
Seharusnya apa yang terjadi menyadarkan Manggala Wanengpati. Kiai Manding Saroka hanya mempergunakan sebuah bantal untuk menghadapinya, tidak turun tangan langsung. Tapi karena mata hati dan pikiran jernih sudah tertutup. Manggala Wanengpati malah menggelegak amarahnya. Dia kembali menyerang sang Kiai. Serangannya ternyata bukan hanya tiga jurus tapi sudah tujuh jurus.
Seluruh tujuh jurus, semua serangan itu ditahan oleh bantal milik sang Kiai! Hebatnya setiap serangan yang dilancarkan Manggala Wanengpati dan mampu menghancurkan tubuh besar seekor gajah atau batu, namun bantal yang dihantam sedikitpun tidak rusak, robek apa lagi sampai berbusaian kapuk di dalamnya!
Dengan hidung kembang kempis, tangan dan kaki merah bengkak, pada akhir jurus ke tujuh Manggala Wanengpati hentikan serangan. Dia berdiri tegak dengan mata laksana dikobari api. Tangan kanan diangkat perlahan sejajar dada. Rahang menggembung. Sesaat kemudian tangan kanan itu berubah menjadi hitam legam.
Kiai Manding Saroka maklum kalau orang hendak menghantamnya dengan satu pukulan sakti sangat jahat Maka sambil menutup Kitab Suci dan mendekapnya di dada, orang tua ini berkata. "Saudaraku Manggala Wanengpati, sudah saatnya kau harus dimandikan. Tubuh, otak dan hatimu perlu dibersihkan! Mudah-mudahan kau mendapat pengampunan dari Yang Maha Kuasa juga mau mengembalikan dua telinga serta mulutmu ke tempat semestinya! Yang penting kau bisa insaf dan kembali ke jalan yang benar."
"Kiai keparat! Terima kematianmu!" Manggala Wanengpati hantamkan tangan kanannya yang telah berubah hitam berkilat ke arah Kiai Manding Saroka.
Sang Kiai jentikkan dua jari tangan kanan. Saat itu juga bantal yang mengapung di udara melesat menutupi wajah Manggala Wanengpati. Selagi kakek ini kelagapan, bantal mendorong kepalanya hingga tubuhnya terjajar ke belakang lalu melabrak terali bambu di ujung langkan rumah. Terali roboh, tubuh Manggala Wanengpati tercebur masuk ke dalam kali.
Kiai Manding Saroka berdiri, lalu melangkah ke tepi langkan memperhatikan ke dalam kali. Kepala atau tubuh Manggala Wanengpati tidak muncul padahal dia tahu dorongan bantal tidak membuat kakek itu pingsan dan Manggala juga pandai berenang. Di salah satu bagian kali Kiai Manding melihat ada pusaran air yang terus berputar. Arus air kali tidak mampu melenyapkan pusaran itu. Sang Kiai tersenyum dan angguk-anggukkan kepala.
"Manggala Wanengpati, semoga Gusti Allah memberkatimu."
Tiga hari setelah terceburnya Manggala Wanengpati ke dalam Kali Saroka, suatu malam sambil menunggu kedatangan saat shotat Isya Kiai Manding Saroka mengaji di langkan rumah panggung, diterangi cahaya sebuah obor kecil. Tiba-tiba dia mendengar suara keras kecipuk air di antara suara arus kali. Sesaat kemudian sesosok tubuh melesat dan berdiri di hadapannya dalam keadaan basah kuyup.
Yang muncul bukan lain adalah Manggala Wanengpati. Kakek ini berdiri dengan tubuh menggigil. Belangkon hitam dan ikatan kain putih tak ada lagi di kepala. Jubah hitam masih utuh walau robek kecil di beberapa bagian. Dua telinga masih terletak di kening kiri kanan dan mulut juga masih tetap di tenggorokan di bawah dagu. Yang berubah pada diri kakek ini adalah kulitnya telah menjadi putih bersih dan pandangan matanya walau agak sedikit bengkak tampak jernih.
"Alhamdulillah. Mandi tiga hari tiga malam sahabat Manggala Wanengpati sudah selesai. Gusti Allah benar-benar telah memberkatimu." Berkata Kiai Manding Saroka.
Tidak memberikan jawaban Manggala Wanengpati langsung jatuhkan diri bersujud di lantai rumah panggung. Hening beberapa lamanya. Kemudian terdengar suara kakek itu berucap.
"Kiai Manding Saroka, aku Manggala Wanengpati mengaku salah. Aku mohon ampun atas semua dosa dan segala kesalahanku. Aku juga ingin bertobat pada Gusti Allah atas semua dosa kesalahanku di masa lampau. Di sisa hidupku ini aku ingin menjadi orang baik-baik dan taat beragama. Aku membutuhkan bimbingan Kiai."
Kiai Manding Saroka gembira sekali mendengar ucapan Manggala Wanengpati. Setelah meletakkan bantal dan Kitab Suci di atas sebuah meja kecil, orang tua ini memegang bahu Manggala Wanengpati lalu menyuruhnya berdiri. Sambil memegang bahu Kiai Manding salurkan hawa hangat ke tubuh Manggala hingga kakek ini tidak menggigil lagi kedinginan. Hawa hangat itu memberi kekuatan hingga Manggala mampu mengembalikan tenaga dalam dan mengatur hawa sakti di tubuhnya.
"Saudaraku, tidak ada sesuatu yang teramat indah selain niat baik yang diucapkan dengan segala ketulusan. Tidak ada berkah yang besar dan menyejukkan hati selain berkah dari Yang Maha Kuasa." Kiai Manding Saroka lalu memeluk tubuh basah kuyup itu dengan perasaan penuh haru.
Menurut cerita selanjutnya Manggala Wanengpati menetap di tempat kediaman sang Kiai selama beberapa hari. Di sini dia menerima berbagai amalan. Konon kemudian atas nasihat sang Kiai, Manggala Wanengpati berangkat ke tanah suci Mekkah. Ketika sepuluh bulan kemudian dia kembali ke tanah Jawa, walau penampilannya tidak berubah yaitu tetap mengenakan jubah dan belangkon hitam serta ikat kepala putih namun kakek ini telah menjadi seorang baik dan alim.
Beberapa bulan dia menetap di tempat kediaman Kiai Manding Saroka untuk menimba ilmu keagamaan. Orang kemudian memanggilnya dengan sebutan Ajengan yang berarti seorang pemuka agama. Sewaktu Kiai Manding Saroka menanyakan apakah dia ingin mempelajari beberapa ilmu kesaktian, Manggala menggeleng dan memberi tahu dia lebih membutuhkan ajaran agama dari sang Kiai.
Selama berada di tempat kediamannya di tepi Kali Saroka, Kiai Manding tidak pernah menanyakan pada Manggala Wanengpati apa yang terjadi dengan dirinya hingga dia memiliki sepasang telinga dan mulut yang tidak pada tempatnya. Walau boleh dikatakan Manggala Wanengpati sudah sebagai muridnya namun sang Kiai kawatir, kalau bertanya akan menyinggung perasaan Manggala. Sebaliknya Manggala Wanengpati sendiri tidak pula mengungkapkan hal-hal yang menyangkut dirinya di masa lalu. Dia menaruh kawatir kalau sang Kiai sebenarnya sudah banyak tahu mengenai dirinya atau bisa pula Kiai Manding Saroka tidak suka mendengar riwayat masa lalunya.
Kembali ke kaki Bukit Menoreh. Melihat orang kedua yang muncul dari belahan tanah yang saat itu telah menutup kembali, pemuda bernama Sora Warangan cepat membungkuk dalam dan berkata.
"Guru! Ajengan. Kalau Ajengan tidak muncul niscaya saya telah membuat dosa besar karena membunuh pemuda itu. Maafkan saya karena telah berbuat khilaf!"
Tidak mengacuhkan ucapan orang. Ajengan Manggala Wanengpati melangkah mendekati pemuda satunya yang sampai saat itu masih tergeletak di tanah jalan becek dan dari tadi setengah mati berusaha bangun tapi tidak mampu karena Panji Ateleng telah menggelanduti kedua kakinya dengan Ilmu sepemberat batu!
"Wayan Dekik!" Bentak Ajengan Manggala. "Apa yang kau lakukan di sini?! Mengapa tidur di tengah jalan becek?!"
"Ajengan, Guru, say... saya..."
Sambil gelengkan kepala tapi mata melirik ke arah Panji Ateleng, Ajengan Manggala Wanengpati gebrakkan kaki kanan ke tanah. Tubuh pemuda bernama Wayan Dekik yang tergeletak menggeliat-geliat di tanah terlempar ke udara. Anehnya tubuh pemuda itu kemudian tertegak dan tersandar di sebatang pohon di tepi jalan. Dia tidak jatuh, juga tidak lagi merasa kedua kakinya berat seperti tadi. Malah dia bisa melangkah!
PANJI Ateleng yang memperhatikan apa yang terjadi membatin dalam hati. "Kakek aneh berkuping di kening, bermulut di leher itul Dia bukan saja membuat muridnya sanggup berdiri tapi sekaligus melenyapkan Ilmu Seberat Gunung Mengunci Bumi yang aku terapkan! Pemuda itu tadi memanggilnya dengan sebutan Ajengan. Siapa lagi orang sakti aneh berpakaian hitam, belangkon hitam, ditambah ikat kepala sutera putih, kalau bukan Ajengan Manggala Wanengpati yang dulu menurut guru pernah dijuluki orang-orang rimba persilatan sebagai Hantu Hitam Kepala Putih."
Di bawah pohon Wayan Dekik tampak ketakutan. Buru-buru pemuda ini susun dua tangan di atas kepala. "Guru, Ajengan, saya mohon maafmu. Saya mengaku kalau berbuat salah...."
"Bukan kalau, tapi kau dan Sora Warangan memang telah berbuat kesalahan besar!"
Kembali Wayan Dekik susun dua tangan di atas kepala sementara pemuda bernama Sora Warangan hanya tegak dengan tundukkan kepala.
"Kalian berdua masih ingin membunuh pemuda itu?" Tanya Manggala Wanengpati sambil menunjuk dengan ibu jari tangan kanan ke arah Panji Ateleng.
Dua pemuda berpakaian hitam-hitam saling pandang, gelengkan kepala lalu menunduk. Dalam hati mereka merasa heran kenapa sang guru bertanya begitu. Apakah Ajengan mengenal orang yang tadi hendak mereka bunuh itu?
"Kalian sudah kuberi pelajaran bahwa membunuh sesama manusia tanpa alasan yang benar-benar bisa dipertanggung jawabkan adalah dosa sangat besar di hadapan Gusti Allah..."
"Saya mohon maaf Ajengan, Guru...." kata Wayan Dekik.
"Saya juga." berkata Sora Warangan.
"Kalian tahu siapa pemuda ini?!" Manggala Wanengpati masih membentak.
Dua anak murid yang ditanya menatap ke arah Panji Ateleng lalu sama-sama menggeleng.
"Dia adalah Panji Ateleng! Adik ipar Pangeran Banowo. Orang paling penting di Istana Kerajaan Mataram! Masih sedarah dengan Sri Baginda Raja Mataram!"
Wayan Dekik dan Sora Warangan terkejut. Muka mereka berubah pucat. Buru-buru keduanya melangkah ke hadapan Panji Ateleng, membungkuk dan meminta maaf berulang kali. Panji Ateleng balas tundukkan kepala. Saat itu Panji Ateleng sebenarnya merasa terkejut karena tidak menyangka Ajengan Manggala Wanengpati mengetahui nama dan siapa dirinya berkata.
"Saudara berdua, aku juga minta maaf. Sungguh tidak pantas apa yang telah aku lakukan pada kalian."
Panji Ateleng kemudian menemui Manggala Wanengpati. Tangan si kakek disalami dan dicium. "Ajengan yang saya hormati, sesungguhnya dua murid Ajengan tidak bersalah. Kami bertiga orang-orang muda selalu menuruti kata hati dan aliran darah panas yang tidak pada tempatnya. Lagi pula dua murid Ajengan itu bertindak untuk satu kepentingan yang baik. Dia hanya ingin tahu keselamatan seorang gadis bernama Dewi Dua Musim. Saya minta maaf pada Ajengan..."
Manggala Wanengpati tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Dia pandai menyejukkan hatiku. Seharusnya anak ini cocok jadi muridku." Lalu sambil memegang bahu Panji Ateleng sang Ajengan berkata.
"Anak muda, dalam hidup ini kau harus selalu pertahankan ketulusan hati. Walau aku tahu beban hidupmu sungguh sangat berat"
"Terima kasih Ajengan memperhatikan saya."
Manggala Wanengpati tepuk-tepuk perlahan bahu Panji Ateleng sambil diam-diam kerahkan Ilmu Dua Gunung Menahan Langit. Ilmu ini hampir sama dengan Ilmu Seberat Gunung Mengunci Bumi yang dimiliki Panji Ateleng. Lawan yang kena serangan akan menjadi kaku berat kedua kakinya hingga tak mampu bergerak apa lagi melangkah. Bedanya ilmu yang dimiliki sang Ajengan dikeluarkan melalui tangan sedang ilmu Panji Ateleng keluar dari kaki.
"Dess! Dess!"
Ajengan Manggala Wanengpati merasa seperti memukul bantalan karet. Tangannya yang ditepukkan ke bahu Panji Ateleng terpental lembut ke atas. Kakek ini tersenyum. "Anak baik... anak hebat!" Katanya dalam hati. Lalu dia perhatikan lima buah benda. Satu menancap, empat lainnya tergeletak di tanah.
"Hemmm, rupanya ada sesuatu terjadi di tempat ini." Kata sang Ajengan dalam hati lalu mengambil dan memperhatikan salah satu dari empat benda yang ada di tanah. "Paku Kayu Iblis Jati Roban. Tidak beracun tapi orang yang tertusuk jika tidak memiliki tenaga dalam cukupan, darahnya akan tersedot dan bisa menemui ajal dalam waktu satu hari jika paku tidak segera dicabut"
Manggala Wanengpati kembali menemui Panji Ateleng. "Anak muda, ada darah di paku kayu ini. Apakah ini darahmu?"
"Benar Ajengan..." Jawab Panji Ateleng tak berani berdusta.
"Sesuatu yang hebat telah terjadi atas dirimu?"
"Benar Ajengan..."
"Ada orang memantek tangan dan kakimu dengan paku kayu ini. Satu paku dipantek dalam mulutmu...."
"Itu juga benar Ajengan...."
"Apa Suro Gledek yang melakukan?"
Pertanyaan sang Ajengan kali ini membuat Panji Ateleng terkejut. "Betul sekali Ajengan. Bagaimana Ajengan bisa mengetahui?"
"Karena hanya ada satu orang yang memiliki Paku Iblis seperti ini. Warok hutan Roban yang bernama Suro Gledek" Jawab Ajengan Manggala Wanengpati. "Sudah saatnya aku arus membuat tobat manusia satu itu."
"Ajengan kenal Warok itu?"
"Bukan cuma kenal. Aku juga tahu dimana sarangnya. Karena dulu dia adalah bekas anak buahku...."
"Ah...." Panji Ateleng tercengang tak menyangka. "Ajengan, sebenarnya Warok Suro Gledek hanya suruhan orang...."
"Begitu?" Ajengan Manggala Wanengpati kerenyitkan kening. "Siapa orangnya?"
"Maaf Ajengan. Saat ini saya belum bisa memberi tahu."
Ajengan Manggala Wanengpati terdiam sebentar, kemudian berkata. "Tidak jadi apa kau tidak mau memberi tahu. Di dunia ini memang banyak rahasia. Kalau semua orang tahu namanya bukan rahasia lagi." Lalu sang Ajengan menyambung ucapan. "Soal Warok Suro Gledek biar aku yang mengurusi." Lalu Ajengan Manggala Wanengpati pegang dan perhatikan tangan Panji Ateleng kiri kanan. Mata juga melirik pada kedua kaki pemuda itu. "Hanya ada tanda bintik kecil. Berarti kalau bukan dia sendiri yang melakukan, ada seseorang yang telah menerapkan ilmu kesaktian mengobati luka pantekan tanpa bekas!"
"Anak muda," kata Manggala Wanengpati kemudian sambil memegang bahu Panji Ateleng. Turut keteranganmu tadi. mungkin dugaanku keliru, apakah kau bertemu seorang gadis mengenakan pakaian biru di tempat ini."
"Yang bernama Dewi Dua Musim?"
"Ah, rupanya dia telah memperkenalkan diri padamu."
"Benar Ajengan. Saya memang bertemu dengan dia. Justru dialah yang telah menyelamatkan saya. Dia yang mencabut empat paku yang memantek dua tangan dan dua kaki saya serta satu lagi di dalam mulut...."
Ajengan Manggala Wanengpati angguk-anggukkan kepala. "Apakah dia juga yang menutup dan menyembuhkan luka bekas pantekan di mulut serta dua tangan dan kakimu?"
"Tidak Ajengan. Kalau lima luka itu saya sendiri yang menyembuhkan walau Dewi Dua Musim berniat membantu."
Ajengan Menggala Wanengpati berpaling pada kedua muridnya. "Kalian dengar dan perhatikan baik-baik. Kalian menaruh curiga dan berniat membunuh pemuda ini karena melihat ada noda darah di pakaian dan wajahnya. Kalian menyangka dia telah mencelakai Dewi Dua Musim. Padahal darah yang ada di tubuh, wajah dan pakaiannya adalah darahnya sendiri. Darah yang keluar dan luka akibat siksaan orang!"
Sora Warangan dan Wayan Dekik sama rundukkan kepala. Wayan Dekik berkata. "Kami mengerti Ajengan. Kami berdua minta maaf." Lalu bersama Sora Warangan dia mendatangi Panji Ateleng. Sambil membungkuk keduanya berkata. "Kami minta maaf."
"Kita bertiga sudah jadi sahabat. Malah bisa dikatakan sudah menjadi saudara. Aku juga minta maaf." Jawab Panji Ateleng seraya memegang bahu dua pemuda di hadapannya.
Saat itu Ajengan Manggala Wanengpati kembali perhatikan dua tangan dan kaki Panji Ateleng. "Hemmm...." Ajengan Manggala Wanengpati usap dagunya. "Anak muda, untuk menyembuhkan luka bekas pantekan kau mempergunakan Ilmu Penyakit Datang Dari Manusia. Penyembuhan Datang Dari Alam. Betul?"
Panji Ateleng terkejut mendengar ucap pertanyaan sang Ajengan. Tapi dia juga merasa kagum. Ternyata kakek bertelinga dan bermulut aneh ini bukan cuma memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi tapi juga punya pengetahuan luas tentang segala macam ilmu yang dimiliki orang lain. Satu ilmu yang termasuk langka dalam rimba persilatan pada masa itu. Sebenarnya Panji Ateleng hendak bertanya bagaimana atau dari mana si kakek bisa tahu ilmu yang dipergunakan untuk menyembuhkan dirinya. Namun sang Ajengan dilihatnya tertawa dan lebih dulu berkata.
"Panji Ateleng, di masa muda aku pernah terluka parah akibat tusukan delapan anak panah yang menancap di tubuhku. llmu itu juga yang menyembuhkan diriku."
Mendengar ucapan orang, Panji Ateteng langsung bertanya. "Rupanya Ajengan juga memiliki ilmu itu....?" Panji Ateleng tidak lanjutkan ucapan karena saat itu dilihatnya Ajengan Manggala Wanengpati tertawa lebar.
"Gurumu Toh Bagus Kamandipa adalah sahabatku paling baik tapi paling konyol. Tapi justru kekonyolannnya aku paling suka. Ha ha! Untung kau kulihat tidak konyol seperti dia." Ajengan Manggala Wanengpati tertawa gelak-gelak.
"Gurumu satu-satunya tokoh rimba persilatan yang tidak pernah aku tantang untuk bertarung lalu aku peras ilmu kesaktiannya. Ha ha ha! Dia orang baik. Aku sangat menghormatinya. Cukup lama kami tidak pernah bertemu. Apakah dia baik dan sehat-sehat saja di tempat kediamannya di pantai selatan?"
"Beliau baik-baik dan sehat-sehat saja. Terima kasih Ajengan memperhatikan guru. Hanya saja sejak beberapa waktu lalu beliau tidak lagi menetap di pantai selatan, tapi telah mendirikan sebuah gubuk di salah satu lereng Gunung Merapi"...."
"Si konyol itu rupanya sudah bosan dengan hawa panas, angin dan bau garam air laut. Kini mencari kesejukan di Gunung Merapi. Bagus begitu. Agaknya dia sengaja bersejuk-sejuk agar bisa awet muda! Ha ha ha!"
Panji Ateleng ikut tertawa mendengar seloroh si kakek lalu berkata. "Kalau bertemu guru, nanti akan saya beri tahu pertemuan kita ini."
"Bagus, memang harus begitu. Sampaikan salam hormatku padanya. Sekarang aku masih ada satu pertanyaan. Ketika kau bertemu dengan Dewi Dua Musim, apa saja ceritanya padamu?"
"Dia tidak bicara banyak. Saya ingat dia mengatakan kalau berada di tempat ini karena ada janji bertemu dengan tiga orang. Tapi yang ditunggu tidak datang. Kemudian dia malah bertemu dengan dua penunggang kuda yang menyeret saya di atas papan dalam keadaan dipantek."
"Ketika berpisah, gadis itu tidak mengatakan mau pergi kemana?"
Panji Ateleng menggeleng.
"Yang ditunggu Dewi Dua Musim adalah aku dan dua muridku. Tapi Perwira Tinggi jahanam itu membuat masalah, menimbulkan halangan hingga kami terlambat datang ke sini"
Panji Ateleng sebenarnya ingin bertanya apa yang telah dilakukan Perwira Tinggi itu. Namun hal tersebut tidak dilakukan karena dia paling tidak suka mengetahui atau mencampuri urusan orang lain.
Ajengan Manggala Wanengpati usap bibirnya yang terletak di tenggorokan lalu palingkan tubuh, melangkah mendekati lelaki berpakaian bagus tapi berselomotan tanah yang saat itu masih duduk menjelepok di tanah. Melihat dirinya didatangi langsung orang ini susun sepuluh jari di atas kepala dan seperti tadi kembali meratap.
"Ajengan, mohon ampuni selembar nyawaku. Aku mengaku sangat bersalah. Sangat berdosa...."
"Diam" Bentak Manggala Wanengpati. Dia berpaling pada dua muridnya Sora Warangan dan Wayan Dekik.
"Menurut kalian apakah Perwira Tinggi licik ini perlu dibunuh dihabisi?!"
Dua murid saling pandang karena tak berani menjawab.
"Aku bertanya! Mengapa kalian tiba-tiba jadi gagu!"
"Ajengan, Guru, bukankah tadi menurut Ajengan membunuh adalah satu dosa besar...." Wayan Dekik beranikan membuka mulut.
"Betul! Kecuali ada alasan yang tepat!" Hardik Manggala Wanengpati.
"Kalau begitu biar saya yang membunuh Perwira Tinggi ini!" Sora Warangan berkata seraya melangkah mendekati orang yang duduk di tanah.
Orang ini langsung saja menggerung keras lalu jatuhkan diri, kening sampai menyentuh tanah jalanan yang becek. "Ajengan, saya benar-benar minta ampun. Saya bertobat tidak akan berbuat jahat lagi kepada siapapun. Ajengan..."
Ajengan Manggala Wanengpati memberi isyarat pada Sora Warangan agar tidak melangkah lebih dekat lalu menepuk bahu si Perwira Tinggi. "Cakra Baskara! Berdiri dihadapanku!"
Mendengar bentakan sang Ajengan Perwira Tinggi bernama Cakra Baskara yang masih bersujud di tanah cepat-cepat berdiri.
"Cakra Baskaral Nasib dirimu masih baik! Muridku tidak akan membunuhmu. Aku juga tidak walau kau hampir mencelakai nyawa kami bertiga dan menghalangi urusan besar yang tengah kami jalankan. Tapi hukuman tetap berlaku atas dirimu. Kau tidak kulepas begitu saja!"
Mendengar ucapan sang Ajengan, mengira dia tetap akan mendapat hukuman berat, kembali si Perwira Tinggi menggerung ketakutan dan menyembah-nyembah.
Ajengan Manggala Wanengpati tidak acuhkan Perwira itu. Dia malah tegak membelakangi tapi sepasang mata melirik ke atas satu pohon besar di depannya. Pada salah satu cabang pohon sejak tadi dia sudah melihat ada satu sarang tawon besar. Tanpa membalikkan diri kakek ini cekal leher pakaian si Perwira lalu sekali menyentak Perwira Tinggi Kerajaan Mataram itu melesat ke udara. Kepala membentur sarang tawon hingga sarang tawon menjadi remuk, tubuh jatuh membelintang di atas cabang tepat di bawah sarang tawon.
Dari dalam sarang tawon yang hancur menderu keluar ratusan tawon besar yang langsung menyerang Cakra Baskara! Perwira ini melolong menjerit-jerit. Sebentar saja muka dan tubuhnya sebelah atas telah bengkak matang merah akibat antukan tawon. Karena tidak tahan, dari cabang pohon dia terjun ke tanah. Tapi ratusan tawon tetap mengikuti mengejarnya.
Sambil terus menjerit-jerit kesakitan Cakra Baskara lari lintang pukang menuruni kaki Bukit Menoreh. Walaupun jauh di bawah sana tapi Kali Progo adalah satu-satunya tempat yang dirasakannya bisa dipergunakan untuk menyelamatkan diri. Maka dengan segala sisa tenaga yang ada dia bertari ke arah kali. Begitu sampai di tepi kali langsung menceburkan diri!
Memperhatikan apa yang terjadi dengan sang Perwira, Panji Ateleng kasihan ada, merasa geli juga ada. Ketika dia berpaling dilihatnya Ajeng Manggala Wanengpati dan dua muridnya telah duduk di atas punggung kuda.
"Anak muda, saatnya kita berpisah. Aku harus mencari Dewi Dua Musim. Musim panas lalu aku dan dua murid mengalami kesulitan menemuinya. Sekarang di musim hujan ini harus berhasil. Kalau tidak dapat menemuinya dan nanti datang lagi musim panas, semua urusan bisa tambah tidak karuan."
Mendengar si kakek menyebut musim panas dan musim hujan. Panji Ateleng hendak menanyakan sesuatu namun sang Ajengan mendahului.
"Jika kau bertemu gurumu si orang tua konyol itu. sampaikan salam hormatku padanya."
"Pasti akan saya sampaikan Ajengan," jawab Panji Ateleng. "Kalau saya boleh bertanya...."
Sayang, Ajengan Manggala Wanengpati telah melompat ke atas kuda hitam yang dibawa dua muridnya. Sekali tali kekang kuda disentak, ketiga orang itu berlalu dari hadapan Panji Ateleng.
Di langit matahari telah naik. Sinar teriknya mulai terasa panas. Panji Ateleng perhatikan dirinya sendiri. Baru menyadari betapa kotor tubuh dan pakaiannya.
"Aku harus membersihkan diri." Dia memandang ke arah Kali Progo di kejauhan. "Aku bisa mandi di sungai itu. Siapa tahu ketemu Perwira Tinggi yang menceburkan diri tadi. Lalu bisa bertanya perbuatan apa yang telah dilakukannya hingga Ajengan marah besar dan nyaris membunuhnya."
Panji Ateleng segera berlari menuruni bukit Dalam waktu singkat dia telah sampai di tepi Kali Progo. Ketika tengah mencari tempat yang baik untuk mandi membersihkan tubuh dan pakaian tiba-tiba dia melihat banyak sekali penunggang kuda di jalan tanah becek dimana sebelumnya dia berada. Diantara penunggang kuda ada yang menunjuk-nunjuk ke arahnya. Lalu rombongan yang ternyata adalah satu kelompok pasukan Kerajaan itu bergerak menuruni bukit menuju Kali Progo. Karena merasa tidak ada sesuatu yang salah dengan dirinya. Panji Ateleng tetap saja berdiri di tepi kali.
Tak lama kemudian dua puluh perajurit Kerajaan dipimpin seorang Perwira Muda berkumis tebal melintang yang membekal dua bilah pedang sekaligus di pinggang telah mengurung Panji Ateleng! Tanpa turun dari kudanya, Perwira Muda cabut salah satu pedang di pinggang dengan tangan kanan. Lalu sambil tudingkan pedang ke arah Panji Ateleng dia berteriak memerintah pada anak buahnya.
"Aku Darka Gambilan. Perwira Muda Kerajaan. Aku memerintahkan tangkap orang itu!"
Tentu saja Panji Ateleng jadi terkejut. Dia segera mengambil sikap waspada berjaga diri.
BELASAN perajurit berkuda segera bergerak mempersempit pengurungan. Dua perajurit yang mengenal siapa adanya Panji Ateleng segera mendekati Perwira Muda dan memberi tahu.
"Perwira, pemuda itu adalah adik ipar Pangeran Banowo. Jangan kita sampai kesalahan tangan."
Perwira Muda yang merasa ditegur oleh bawahannya delikkan mata dan membentak marah. "Ngurah! Aku tahu! Lalu apa urusanmu siapa dia. Justru aku mendapat wewenang dari Pangeran Banowo untuk menindak siapa saja, termasuk pemuda itu. Bahkan membunuhnya sekalipun! Kerjakan perintah atau kepalamu yang aku penggal lebih dulu dengan pedang ini!"
Melihat atasan belintangkan pedang di depan hidungnya, perajurit bernama Ngurah yang tadi bicara cepat letakkan dua tangan di atas kepala Seraya berkata. "Perwira, aku telah kesalahan bicara. Mohon maafmu."
Lalu bersama temannya dia segera undurkan kuda. Namun hatinya belum puas. Sambil membawa kudanya ke tepian kali dimana Panji Ateleng berada dia bekata perlahan pada temannya. "Panji Ateleng pemuda baik. Kenapa Perwira Muda hendak menangkap bahkan mau membunuhnya?!"
Sang teman menjawab "Ini semua sudah diatur para pejabat tinggi di Kotaraja. Kita sebagai bawahan hanya tunduk pada perintah atasan."
Saat itu delapan belas perajurit lainnya sudah mengurung Panji Ateleng di tepi kali. Dalam keadaan seperti itu walau terkejut dirinya dikepung pasukan Kerajaan namun Panji Ateleng bersikap tenang dan waspada. Dengan cepat dia mendatangi Perwira Muda namun hanya bisa mendekat sampai beberapa langkah karena dihalangi oleh belasan perajurit Dengan sopan Panji Ateleng bertanya.
"Perwira, ada apa kau memerintah pasukan menangkap diriku? Apa kesalahan yang telah aku lakukan?"
"Seseorang telah menculik Perwira Tinggi Cakra Baskara! Tanda-tanda menunjukkan bahwa dia dibawa ke sekitar tempat ini. Dan kami menemui kau dalam keadaan tubuh serta pakaian penuh darah! Aku punya wewenang untuk menangkap dan memeriksa dirimu!"
"Aku mengerti," jawab Panji Ateleng. "Tapi kalau Perwira Tinggi bernama Cakra Baskara itu yang kau cari dia masih hidupi Tidak ada yang membunuhnya! Tidak juga aku!"
"Kalau dia masih hidup mengapa tidak ada di sini?!" Bentak Perwira Muda di atas punggung kuda.
"Perwira!" Tiba-tiba seorang perajurit berseru. "Kami menemukan lencana yang biasa tersemat di dada pakaian Perwira Tinggi Cakra Baskara!"
Perajurit yang berseru lalu mendekati Perwira Muda dan menyerahkan sebuah benda. Benda ini adalah lencana atau lambang terbuat dari suasa, berupa bola dunia diapit dua ekor naga.
"Sesuatu telah terjadi dengan Perwira Tinggi Kerajaan!" Perwira muda palingkan kepala ke arah Panji Ateleng. Mata membeliak besar. "Kau harus bertanggung jawab! Bisa juga kau adalah pembunuh Perwira Tinggi Cakra Baskara!"
"Aku orang desa. Mana mungkin membunuh seorang Perwira Kerajaan yang pasti memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti Perwira Tinggi Cakra Baskara!"
"Diam! Aku tahu kau berdusta!"
"Perwira Muda Darka Gambilan, aku tahu kau mengada-ada.. Jika kau mencari Perwira Tinggi Cakra Baskara, tadi dia mandi di kali sebelah sana! Perintahkan saja anak buahmu mencari!"
"Kurang ajar! Kau berani berdusta mengelabuiku"
"Aku tidak dusta. Tadi akupun mau mandi di kali ini. Tapi setelah kau dan pasukanmu berada di sini, aku lebih baik mencari tempat lain. Harap kau perintahkan pasukanmu memberi jalan!"
"Benar-benar kurang ajar! Beraninya kau memerintah diriku Perwira Kerajaan! Nyawamu melayang saat ini juga jika berani beranjak dari tempatmu!"
Delapan perajurit segera mengarahkan tombak mereka dan empat lain sudah mencabut pedang. Tiba-tiba dari dalam air kail melesat keluar seseorang seraya berteriak.
"Pemuda itu tidak berdusta! Tapi dia memang layak ditangkap! Kalau perlu dihabisi saja! Dia adalah kaki tangan Ajengan Manggala Wanengpati yang telah menculikku!"
Orang yang berteriak melesat ke tepi kali, berdiri di atas satu gundukan batu. Orang ini ternyata adalah Cakra Baskara si Perwira Tinggi Kerajaan. Rambut, pakaian dan tubuh basah kuyup. Muka bengkak-bengkak merah kebiruan, mata gembung dan bibir jontor bekas diantuk tawon.
"Perwira Tinggi Cakra Baskara" Perwira Muda berkumis melintang melompat turun dari atas kuda dan berlari ke arah atasannya. Dia merasa lega melihat Perwira Tinggi itu dalam keadaan hidup walau wajah dan sebagian tubuh bengkak gembung tak karuan rupa!
Panji Ateleng yang menyaksikan siapa yang muncul dan mendengar ucapan orang ingat apa yang dikatakan Ajengan Manggala Wanengpati yaitu bahwa Perwira Tinggi itu adalah seorang licik.
"Perwira Tinggi Cakra Baskara! Aku tidak ada sangkut paut dalam urusanmu dengan Ajengan Manggala Wanengpati. Mengapa menuduh aku sebagai kaki tangan orang tua baik-baik itu?!"
"Enak saja kau bicara! Kalau orang menculikku, membenamkan dan menyeretku di dalam tanah lalu melempar diriku ke atas pohon. Membuat ratusan tawon menyerangku sementara aku tahu kau punya hubungan dekat dengan si penculik, apa kau masih berani dusta kalau kau tidak ada kaitan dengan penculikan yang dilakukan Ajengan jahat itu terhadapku?! Paling tidak kau adalah kaki tangan pembantunya!"
"Perwira Tinggi, kalau kau tidak membuat satu kesalahan besar tak mungkin Ajengan Manggala Wanengpati memperlakukanmu seperti itu!"
Cakra Baskara meludah ke tanah. "Ajengan Manggala Wanengpati kau bilang orang baik-baik? Huh! Semua orang di Mataram ini tahu siapa dia dulunya!"
"Bagiku orang yang dulu tidak baik tapi sekarang menjadi baik adalah lebih berguna dari pada orang yang dulu baik sekarang menjadi tidak baik alias jahat!"
Tampang Perwira Tinggi Cakra Baskara yang sudah sembab merah jadi bertambah merah seperti kepiting rebus mendengar ucapan Panji Ateleng. "Pemuda keparat! Ucapanmu seperti petinggi agama saja!"
"Perwira Tinggi, waktu Ajengan itu berada di sini, kau dengar sendiri apa yang kami bicarakan. Dia pergi begitu saja. Kalau aku memang pembantunya mengapa tidak ikut saja bersamanya?" Panji Ateleng tidak perdulikan caci maki orang.
"Kau tidak ikut karena dua anak murid Ajengan itu tidak menyukaimu!"
"Perwira Tinggi, maaf aku tidak akan melayani orang sepertimu. Ajengan Manggala Wanengpati telah mengampuni nyawamu! Seharusnya kau bertobat tidak berbuat jahat lagi! Sekarang kau malah hendak berbuat sewenang-wenang dan culas terhadapku!" Panji Ateleng berpaling pada Perwira Muda. "Perwira, aku minta jalani Perintahkan pasukanmu menyingkir!"
Cakra Baskara menyeringai, lalu berteriak. "Aku Perwira Tinggi Cakra Baskara mengambil alih pimpinan! Pasukan! Tangkap pemuda itu! Kalau melawan bunuh!"
Setelah berteriak Cakra Baskara tetap saja berdiri di atas gundukan batu di tepi kali. Agaknya dia tidak mau turun tangan sendiri karena sebelumnya sudah melihat kemampuan silat serta ilmu kesaktian Panji Ateleng. Dia malah memberi isyarat pada Perwira Muda Darka Gambilan agar segera turun tangan memimpin pasukan untuk menangkap Panji Ateleng hidup atau mati!
Seorang Perwira Muda Kerajaan yang menghunus sepasang pedang ditambah dua puluh perajurit bersenjatakan pedang, tombak dan golok langsung menyerbu Panji Ateleng.
"Kalian gila semua!" Teriak Panji Ateleng tapi dengan senyum dikulum. Otaknya yang cerdik bagaimanapun juga tidak akan mau melayani serbuan hebat itu.
"Hantam kepalanya, tangan dan kaki pasti tidak berdaya!"
Sambil dalam hati ucapkan ujar-ujar yang didapatnya dari sang guru Toh Bagus Kamandipa, Panji Ateleng melompat setinggi dua tombak. Didahului dengan gerakan jungkir balik satu kali dan melayang berputar di udara, tiba-tiba dia melesat ke arah Perwira Tinggi Cakra Baskara yang berdiri di atas gundukan batu.
Sebagai seorang Perwira Tinggi Kerajaan, walau ilmunya jauh berada di bawah Ajengan Manggala Wanengpati namun tingkat kepandaian Cakra Baskara cukup dikenal dan disegani. Ketika melihat sosok Panji Ateleng secara cepat dan tidak terduga menyambar ke arahnya, sang Perwira segera membungkuk sambil dua tangan didorong ke atas.
Dua gelombang angin deras menderu memapaki sosok Panji Ateleng yang saat itu masih belum melepas serangan. Mendengar deru angin dahsyat pemuda itu gerakkan tubuh demikian rupa hingga melayang datar satu jengkal di permukaan Kali Progo. Gerakan Panji Ateleng ternyata lebih cepat dari lawan. Selagi gelombang angin lewat di atasnya, dua tangan Panji Ateleng tahu-tahu mencekal sepasang kaki Cakra Baskara yang masih berdiri di atas gundukan batu.
Belum habis kaget Perwira Tinggi Kerajaan itu tiba-tiba tubuhnya terlempar ke udara, melayang ke arah pasukan yang tengah bergerak menyerbu Panji Ateleng.
"Tahan serangan!" Teriak Pewira Muda Darka Gambilan melihat bahaya sekian banyak tombak, pedang dan golok melesat ke depan ke arah tubuh atasannya.
Meski banyak perajurit yang sempat membatalkan serangan namun banyak pula yang sudah terlanjur menggerakkan senjata. Melihat bahaya yang mengancam, dari pada celaka dtbacok golok atau dibabat pedang atau ditusuk tombak, lebih baik menghantam mendahului. Maka Perwira Tinggi Cakra Baskara pukulkan dua tangan sekaligus.
Deru.angin dahsyat kembali menderu di tempat itu. Kali ini menghantam ke arah belasan perajurit yang menyerbu. Celakanya tidak semua perajurit sempat menghindar dengan cara menerjunkan diri ke kali atau jatuhkan tubuh sama rata dengan tanah. Enam orang kelihatan terlempar ke udara begitu kena hantaman dua golombang angin pukulan. Dua jatuh ke dalam air, langsung tenggelam pertanda sebelum masuk ke dalam kali nyawanya sudah putus lebih dulu. Empat perajurit lainnya berkapuran di tepi kali. Dua langsung tewas, dua lainnya menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi!
"Pukulan Gelombang Angin Selatan!" Ucap Darka Gambilan menyebut nama pukulan sakti yang barusan dilepas atasannya. "Jangankan perajurit-perajurit itu. Aku sendiri tidak mungkin menghadapinya!"
Perwira Muda Darka Gambilan bukan memperhatikan anak buahnya yang tewas tapi malah berlari mendatangi Cakra Baskara yang saat itu telah berdiri di tepi kali. "Perwira Tinggi, kau tidak apa-apa?" tanya Darka Gambilan.
Tampang Cakra Baskara tampak mengelam. Sepasang mata memandang berkeliling. Rahang menggembung geram. Panji Ateleng tidak terlihat lagi di pinggir kali. "Pemuda jahanam itu! Dia kabur! Pengecut!" Cakra Baskara merutuk.
"Manusia satu itu tidak usah dihiraukan! Cepat atau lambat kita pasti akan menemukannya. Nasibnya sudah ditentukan! Mati di tiang gantungan." Berkata Darka Gambilan.
"Aku punya firasat. Tidak semudah itu menggantung pemuda bernama Panji Ateleng itu. Terus terang, jika tadi dia bisa menelikung kedua kakiku lalu melemparku ke udara, jika dia mau sebenarnya dia bisa membunuhku! Ilmu silat dan kesaktiannya belum tentu di bawah Ajengan Manggala Wanengpati. Selain itu dia selalu bersikap tenang bahkan terkadang tersenyum. Gila"
Dalam hati Perwira Muda Darka Gambilan membenarkan ucapan atasannya itu. Namun dia segera mengalihkan pembicaraan. "Perwira Tinggi Cakra Baskara. Sebaiknya kita segera kembali ke Kotaraja. Saya membawa pesan dari Pangeran, jika bertemu Perwira Tinggi agar segera menemui beliau di tempat biasa."
Untuk beberapa lama Perwira Tinggi itu masih terdiam dalam kegeramannya. Kemudian dia anggukkan kepala dan berkata. "Aku memang harus menemui Pangeran. Banyak yang harus aku laporkan padanya!" Kata Cakra Baskara pula. Lalu dengan setengah berbisik dia bertanya. "Apakah pasukan tambahan sudah didapat?"
"Sudah, jumlahnya cukup banyak. Mereka berasal dari selatan Gunung Kidul." Jawab Darka Gambilan.
"Bagus, orang-orang Kidul memang dapat dipercaya. Selain itu mereka memiliki kekuatan raga yang dapat diandalkan." Kata Cakra Baskara pula.
"Perwira Tinggi, kalau saya boleh bertanya bukankah pemuda bemama Panji Ateleng itu sebenarnya sudah dibuat tak berdaya dan dibawa ke Magelang?"
"Aku tidak tahu bagaimana kejadiannya dia bisa lolos. Tapi dari pembicaraannya dengan Ajengan Manggala Wanengpati aku mencuri dengar ada seseorang menolongnya."
"Siapa?" Tanya sang Perwira Muda pula.
"Seorang mengaku bernama Dewi Dua Musim." Jawab Perwira Tinggi Cakra Baskara.
Mendengar disebutnya nama itu berubahlah tampang Darka Gambilan. Melihat ha! Ini Cakra Baskara bertanya. "Wajahmu mendadak pucat seperti melihat setan kepala tujuh. Ada apa?!" tanya Cakra Baskara.
“Tiga minggu lalu" Berkata sang Perwira Muda dengan suara bergetar. "Sebelum datang musim penghujan, saya nyaris menemui ajal di tangan gadis itu. Kejadiannya tak jauh dari Candi Ratu Boko."
"Mengapa kau tidak pernah memberi tahu padaku?"
"Mohon maafmu Perwira Tinggi. Nanti dalam perjalanan ke Kotaraja akan saya ceritakan semua apa yang terjadi." "Kalau begitu kita berangkat sekarang juga."
Empat mayat perajurit yang tergeletak di tanah diceburkan ke kali, segera dihanyutkan arus ke hilir. Perwira Muda Darka Gambilan memimpin pasukan menuju Kotaraja. Perwira Tinggi Cakra Baskara memilih menunggang kuda di tengah rombongan. Jika mendadak terjadi sesuatu di depan sana atau di seberlah belakang maka dia punya waktu mempersiapkan diri. Saat itu sebenarnya dia merasa kawatir. Takut kalau Ajengan Manggala Wanengpati mendadak muncul kembali.
MATARAM Kuno, terpaut delapan ratus tahun silam dengan peristiwa kemunculan Dewi Dua Musim di Mataram Baru Ketika malam itu di langit Mataram terlihat bulan purnama bulat penuh berwarna biru, Kumara Gandamayana, satu-satunya pembantu berkepandaian tinggi dan pengikut setia Raja Mataram yang masih ada segera menemui Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Saat itu mereka masih berada di tempat rahasia di dasar Sumur Api. Kumara Gandamayana datang bersama sisa-sisa Abdi Dalem Keraton Mataram Kuno.
Setelah menghatur sembah si kakek berkata. "Yang Mulia, kami datang memberi tahu bahwa satu keajaiban telah terjadi. Saya yakin ini adalah kuasa dan petunjuk Para Dewa. Bulan pumama muncul di langit Mataram sejak sore tadi. Tidak seperti biasanya bulan tampak berwarna biru, memancarkan cahaya sejuk. Ini satu pertanda bahwa penyakit jahat yang selama ini melanda Bhumi Mataram telah lenyap. Orang-orang kepercayaan kita yang ada di luar Sumur Api memberi kesaksian bahwa cairan merah yang selama ini terlihat menggenang dimana-mana telah sirna tidak berbekas. Petaka Malam Jahanam telah berlalu..."
"Berkat Yang Maha Kuasa sungguh luar biasa. Kita harus berterima kasih dan memanjatkan puji syukur." Kata Raja Rakai Kayuwangi. Lalu diikuti semua orang yang ada di situ Raja bersujud di lantai.
"Dari pinggiran pedataran berpasir kuning, kita bisa melihat bulan. Jika Yang Mulia ingin menyaksikan sendiri..." Berkata Kumara Gandamayana.
Diantar oleh si kakek dan diiringi oleh para Abdi Dalem serta Permaisuri Kerajaan, Rakai Kayuwangi pergi ke pedataran pasir berwarna kuning yang berada di dasar Sumur Api. Memang ajaib, walau jelas berada di dalam tanah namun dari tempatnya berdiri orang-orang itu bisa melihat langit di atas Bhumi Mataram. Ketika melihat bulan Biru yang begitu bagus, untuk kedua kalinya Raja Mataram melakukan sujud syukur. Yang lain-lain segera mengikuti apa yang dilakukan Raja.
Selesai bersujud Kumara Gandamayana berkata. "Yang Mulia, saya mendapat kabar ratusan Jin Putih atas perintah Sangkala Darupadha Raja Jin Hutan Roban telah memperbaiki Istana hanya dalam waktu sehari semalam. Pengawalan Istana juga telah diatur oleh beberapa pimpinan perajurit dibantu rakyat. Bilamana kita meninggalkan dasar Sumur Api secepatnya, maka sebelum tengah malam kita sudah sampai di Kotaraja."
"Sangkala Darupadha, walau dia tidak pernah menganggu Kerajaan apa lagi diriku tapi hubungan Mataram dengan dirinya tidak begitu baik. Beberapa waktu lalu diketahui dia memberi perlindungan pada warok dan para penjahat hutan Roban. Jika sekarang dia berbaik hati menolong kita berarti ini adalah lagi-lagi satu berkat dari Yang Maha Kuasa."
"Yang Mulia, setahu saya Sangkala Darupadha Raja Jin Hutan Roban itu adalah sahabat kental Arwah Ketua. Mungkin sekali Arwah ketua yang memintanya monolong memperbaiki Istana."
"Arwah Ketua...." ucap Raja. "Mahluk hebat yang tinggal di Candi Miring itu tidak terdengar lagi kabar beritanya sejak dia bentrokan dongan Satria Panggilan." Setelah menatap penuh kagum ke langit, memandangi bulan biru. Raja Mataram berkata. "Kakek Kumara, segera diatur persiapan untuk berangkat," kata Raja Mataram pula.
Kumara Gandamayana lalu meminta orang-orang yang ada di situ segera mengatur keberangkatan. (Mengenal siapa adanya kakek bernama Kumara Gandamayana ini sudah banyak diketahui dan dapat dibaca dalam serial Wiro Sablong yang telah terbit mulai dari Malam Jahanam Di Mataram sampai Bulan Biru Di Mataram)
Setelah mereka tinggal berdua saja di tepi pedataran pasir kuning Raja Mataram berkata pada si kakek.
"Yang Maha Kuasa telah memberi rahmat luar biasa besar pada Kerajaan Mataram. Besok keadaan pasti semakin membaik. Begitu matahari terbit kita harus mengumpulkan rakyat di alun-alun. Memberi tahu apa yang telah terjadi sekaligus menyampaikan ucapan syukur bersama. Namun terus terang ada beberapa hal yang masih mengganjal di dalam hati saya. Karena belum ada kejelasannya."
"Saya mengerti Yang Mulia. Sayapun dapat merasakan." Jawab Kumara Gandamayana.
"Apakah Embah Buyut Lor Pengging Jumena tidak pernah muncul lagi memberi petunjuk?" Bertanya Raja Mataram.
"Beliau memang jarang menemui saya secara langsung. Namun melalui beberapa orang yang dipercayanya saya yakin beliau telah melakukan sesuatu. Salah satu diantaranya peristiwa yang baru kita alami. Beliau dengan segala kearifan sengaja membawa Empu Semirang Biru kesini. Sepintas lalu jika orang tidak bisa menyelami maksud perbuatannya, muncul dugaan bahwa Emban Buyut saya itu seperti hendak membantu dua Sinuhun Jahat menimbulkan kekacauan, bahkan bisa menyebabkan malapetaka besar berupa kematian bagi Yang Mulia. Karena jelas Empu Semirang Biru yang malang itu telah menjadi kaki tangan dua Smuhun. Namun jika direnungkan apa yang dilakukan Embah Buyut saya justru agar kita mau berpikir dan membuka mata bahwa kejahatan itu bisa muncul secara mendadak, tidak terduga dalam bentuk dan cara yang sebelumnya mungkin tidak pernah terpikir."
"Kek, kita telah bertindak bijaksana menghadapi Empu Semirang Biru. Kita tidak sampai membunuhnya. Tapi siapa yang menaruh kepastian sesuatu yang buruk tidak terjadi dengan dirinya begitu dia keluar dari Sumur Api. Bahaya utama pasti datang dari dua Sinuhun. Begitu tahu Empu Semirang Biru gagal membunuh saya, kakek itu pasti akan dihabisi."
Kumara Gandamayana terdiam. Dalam hati dia membenarkan ucapan Rakai Kayuwangi.
"Saat ini kita tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolongnya. Tapi jika di kemudian hari kita mengetahui Empu itu telah menjadi korban kebiadaban dua Sinuhun, kita harus mencari jenazahnya. Jenazah itu harus kita urus dengan baik lalu kita membuat sebuah candi kecil untuk menghormati jasa besarnya yang telah membuat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi."
"Ucapan Yang Mulia akan saya tindak lanjuti," kata Kumara Gandamayana pula. Kakek sakti ini ingat bagaimana suatu malam atas perintah Raja Mataram dia datang ke puncak Gunung Bismo tempat kediaman Empu Semirang Biru. Dia memberikan ilmu kesaktian yang membuat dua tangan sang Empu berubah menjadi bara api hingga pembuatan keris sakti dapat dilakukan dalam waktu hanya beberapa hari saja. (Baca serial Wiro Sableng di Mataram Kuno berjudul Malam Jahanam Di Mataram)
Seperti diceritakan dalam Bulan Biru Di Mataram. Empu Semirang Biru telah dibunuh oleh dua Sinuhun dengan mempergunakan tangan Satria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari. Sang Pangeran sendiri kemudian menemui ajal untuk kedua kalinya dalam pertarungan hebat melawan Pendekar 212 dibantu oleh Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi atau Dewi Kaki Tunggal. Dalam pertarungan itu diduga Penguasa Atap Langit ikut membantu karena sebelum menemui ajal tubuh Pangeran Matahari dibuat tidak berdaya oleh ilmu yang disebut Lima Jarum Penjahit Raga.
"Kakek Kumara, yang saat ini terpikir oleh saya ialah dimana beradanya keris asli Kanjeng Sepuh Pelangi. Senjata itu telah ditentukan akan menjadi salah satu benda keramat Pusaka Keraton. Walau baru dibuat kesaktian dan pamor wibawanya tidak kalah dengan semua pusaka yang sudah dimiliki Istana Mataram. Saya mendengar, di dalam rimba persilatan orang-orang menyebut senjata itu sebagai Mahkota Di Atas Mahkota..."
"Saya memang mendengar cerita itu, Yang Mulia."
"Namun dimana keberadaannya tidak kita ketahui. Sebelum saya menduduki singgasana Kerajaan Mataram kembali, senjata itu harus sudah ada dalam Istana. Itu ganjalan pertama yang saya rasakan. Ganjalan kedua, kemunculan bulan biru di langit Mataram selain merupakan berkah dari Yang Maha Kuasa juga pertanda bahwa ada orang-orang jahat termasuk mahluk alam roh yang selama ini telah menimbulkan kekacauan dan mencelakai negeri ini telah menemui ajal. Di antara mereka bisa jadi dua Sinuhun jahat itu bahkan mungkin juga anak sakti bernama Dirga Purana. Namun saya minta kita tetap berlaku waspada. Karena selama kita tidak melihat jenazah atau mayat mereka, atau mendengar sendiri dari orang yang menyaksikan kematian mereka, akan selalu ada kemungkinan mereka masih hidup. Atau roh mereka kembali menjelma masuk ke alam fana ini, gentayangan lagi untuk melakukan pembalasan. Dua Sinuhun terutama Sinuhun Merah Penghisap Arwah terkenal dengan ilmu kesaktiannya yang aneh-aneh, culas dan luar biasa jahat"
"Yang Mulia, semua ucapan Yang Mulia akan saya perhatikan. Kita memang harus selalu bersikap waspada. Saya sudah punya rencana untuk mendatangkan beberapa orang pintar dari daerah barat dan timur untuk membantu mengamankan Bhumi Mataram. Tentu saja kalau Yang Mulia mengijinkan."
"Saya dapat mendukung rencana Kakek itu. Tapi tetap saja Keris Kanjeng Sepuh Pelangi harus ditemukan lebih dulu. Jika sampai jatuh ke tangan orang jahat bahaya besar akan tetap mengancam Kerajaan."
"Mengenai senjata sakti itu, saya yakin sudah berada di tangan orang-orang yang berpihak kepada kita. Keris asli ditemukan di satu tempat bernama Ruang Segi Tiga Nyawa dan saat ini berada di tangan Ratu Randang dan kawan-kawannya, termasuk Satria Panggilan."
Kumara Gandamayana lalu menuturkan pertemuannya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. "Satria Panggilan telah menolong saya keluar dari sekapan di dalam tanah...."
"Kek, sebelumnya kau tidak pernah menceritakan hal itu. Siapa yang telah berlaku jahat memendammu di dalam tanah?" Bertanya Raja Mataram.
"Sinuhun Muda Ghama Karadipa. dibantu dua Iblis Menjunjung Dupa." Jawab Kumara Gandamayana. Lalu kakek ini memberi tahu pula bahwa dia telah memberikan ilmu kesaktian hingga Satria Pangggilan mampu masuk dan berjalan di dalam tanah. (Baca Tabir Delapan Mayat)
"Hidup itu memang adalah jalinan budi." Ucap Raja Mataram setelah mendengar cerita pembantunya itu. "Kakek Gumara, kita kembali pada pokok pembicaraan. Sebelum saya melihat dan memegang sendiri Keris Kanjeng Sepuh Pelangi, hati saya tetap tidak tenang. Sekarang yang jadi pertanyaan saya, Kek. Dimana beradanya Satria Panggilan. Jangan-jangan dia telah kembali ke negerinya."
KUMARA Gandamayana maklum kekawatiran Raja Mataram. Maka dia cepat berkata. "Yang Mulia tidak usah merisaukan Satria Panggilan. Walau dimata kita sikap perilakunya aneh, bicara terkadang membuat kita jengkel, tapi sebenarnya dia adalah seorang pemuda baik dan jujur. Dia tidak akan pergi begitu saja tanpa minta diri dan memberi tahu kita. Selain itu dia masih punya beberapa urusan penting yang harus diselesaikan di Bhumi Mataram ini."
"Maksud Kakek Kumara urusan apa?"
"Satria Panggilan harus mencari dan menyelamatkan gurunya yang diculik Sinuhun Merah Penghisap Arwah..."
"Kalau makhluk alam roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah benar telah menemui kematian berarti guru Satria Panggilan dalam keadaan aman. Tapi Sinuhun Merah Penghisap Arwah punya banyak kaki tangan. Mungkin sekarang guru Satria Panggilan berada dalam kekuasaan mereka. Mungkin saja hal itu sebelumnya sudah diatur oleh Sinuhun Merah jika hal terburuk terjadi atas dirinya."
"Apa Yang Mulia katakan terpikir juga oleh saya." Kata Kumara Gandamayana pula. "Selain menemukan dan menyelamatkan gurunya. Satria Panggilan masih harus mencari senjata sakti miliknya berupa sebilah kapak bermata dua. Setahu saya senjata itu juga dicuri oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah dengan memanfaatkan sosok guru Satria Panggilan."
"Kakek Kumara, kita harus membantu Satria Panggilan menemukan guru dan senjata sakti miliknya. Pemuda itu telah menanam budi besar dalam menyelamatkan Kerajaan. Sangat layak kini giliran kita menolongnya."
"Akan saya lakukan Yang Mulia," jawab Kumara Gandamayana.
"Selain itu ada satu rencana yang sudah saya pikirkan sejak lama." berkata Raja Mataram. "Jika saya sudah memegang kendali di singgasana Mataram, kita perlu orang-orang jujur, bisa dipercaya dan berkepandaian tinggi untuk menggantikan para sahabat yang telah tewas mendahului kita. Salah seorang diantaranya adalah Satria Panggilan Wiro Sableng. Saya ingin mengangkatnya menjadi Panglima Balatentara Kerajaan Mataram, mengganti mendiang Garung Parawata."
"Saya sangat setuju hal itu Yang Mulia," kata Kumara Gandamaya pula dengan hati polos namun diam-diam dia merasa bimbang apakah Pendekar 212 Wiro Sableng akan mau menerima tawaran tersebut.
"Selain itu Yang Mulia," Kumara Gandamayana lanjutkan ucapan. "Sakuntaladewi, gadis yang dijuluki Dewi Kaki Tunggal itu pernah diselamatkan Satria Panggilan sewaktu dihimpit batu besar. Sebelumnya gadis itu membuat kaul siapa saja yang menyelamatkan dirinya, jika dia seorang laki-laki akan dijadikan suaminya."
Raja Mataram tersenyum. "Sakuntaladewi gadis cantik. Satria Panggilan pasti tidak menyia-nyiakan kaulan itu. Jika dia punya istri berarti dia akan kerasan tinggal di Bhumi Mataram. Kita akan punya seorang Panglima Balatentara yang benar-benar hebat! Tapi...."
"Tapi apa Yang Mulia?" Tanya Kumara Gandamayana ketika dia melihat bayangan rasa was-was di wajah Raja Mataram.
"Sakuntaladewi, dua kaki gadis itu masih dempet Malah boleh dibilang dia hanya punya satu kaki. Mungkin Satria Panggilan..."
"Saya mengerti apa yang ada dalam pikiran Yang Mulia. Justru menurut riwayat kelak, Satria Panggilanlah yang akan mampu memisahkan kaki yang satu itu hingga jadi dua kembali. Dengan mempergunakan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi!"
"Begitu?" Raja Mataram sampai tercengang mendengar kata-kata orang tua pembantu kepercayaannya itu.
"Saya berharap begitu Yang Mulia." Kata si kakek pula. Bersama si kakek Raja Mataram memeriksa persiapan untuk berangkat ke Kotaraja. Rencana besar itu didahului dengan memanjatkan doa agar Yang Maha Kuasa memberi perlindungan.
ROMBONGAN Raja Mataram keluar dari tempat rahasia di dasar Sumur Api. Mereka berjalan kaki, bergerak secepat yang bisa dilakukan tanpa membawa penerangan atau menyalakan obor. Raja berjalan memimpin di sebelah depan didampingi beberapa Abdi Dalem.
Kumara Gandamayana sengaja berada di sebelah belakang. Seperti yang sudah diatur, rombongan akan mengambil jalan pintas menuju ke arah barat laut melewati satu rimba belantara. Sambil berjalan Kumara Gandamayana terus merapal doa minta keselamatan. Tiba-tiba satu cahaya kuning muncul di langit. Kumara Gandamayana cepat berkelebat ke bagian depan rombongan untuk melindungi Raja dari segala kemungkinan. Dia memberi isyarat agar rombongan berhenti dulu.
"Kakek... tidak ada yang perlu dikawatirkan." Berkata Raja Mataram. "Cahaya kuning tidak disertai alur cahaya merah. Saya juga mendengar suara lonceng dikejauhan. Berarti cahaya kuning itu berasal dari ilmu kesaktian Satria Lonceng Dewa Mimba Purana yang telah banyak menolong kita. Sebaiknya kita tunggu saja. Sebentar lagi anak itu pasti akan segera muncul di tempat ini. Sambil menunggu sebaiknya kita jangan berhenti, jalan terus."
Setelah berjalan cukup jauh, anak sakti yang diharapkan tidak kunjung menampakkan diri. Malah suara lonceng terdengar menjauh dan cahaya kuning di langit tampak meredup. Wajah Kumara Gandamayana berubah. Kakek ini menatap ke arah Raja.
"Kek, saya punya dugaan ada satu kekuatan hebat tapi jahat menghalangi cahaya kuning."
Baru saja Raja Mataram berucap tiba-tiba di kejauhan terdengar suara panjang raungan anjing. Kumara Gandamaya pasang telinga.
"Yang meraung bukan anjing sungguhan. Saya yakin itu suara jejadian yang berasal dari mahluk alam roh."
Raja Mataram anggukkan kepala. Tangan kanan bergerak meraba Keris Widuri Bulan yang tersisip di punggung. Senjata itu digeser ke pinggang sebelah kiri. Tiba-tiba Raja Mataram mendengar suara mengiang.
"Yang Mulia Raja Mataram, ada mahluk hendak berbuat jahat menghabisi rombongan. Berhenti berjalan. Tunggu sampai muncul delapan kunang-kunang. Ikuti kemana mereka terbang. Yang Mulia dan rombongan pasti selamat"
Raja Mataram terkejut. Dia segera mendekati Kumara Gandamayana. "Kek, apa barusan kau mendengar suara mengiang?"
Kumara Gandamayana menggeleng. Raja Mataram lalu mengatakan apa yang didengarnya. Sebelum Kumara Gandamayana sempat mengucapkan sesuatu tiba-tiba di dalam hutan melayang delapan cahaya terang seujung jari kelingking.
"Yang Mulia, kunang-kunangnya sudah muncul. Saya menaruh firasat tidak enak. Mengapa harus berjumlah delapan....?"
Delapan kunang-kunang melayang mendekati rombongan, berputar beberapa kali di hadapan Raja lalu terbang perlahan ke depan.
"Kek, delapan kunang-kunang mengarah ke tujuan yang sebelumnya kita tempuh. Ada orang pandai menolong kita. Rasanya tak perlu kawatir. Ini semua petunjuk Para Dewa."
"Kalau Yang Mulia ingin kita mengikuti delapan kunang-kunang itu, biar saya berjalan di sebelah depan. Yang Mulia harap menjauh agak ke belakang." Kata Kumara Gandamayana pula.
Rombongan lalu bergerak kembali. Kali ini mengikuti arah terbangnya delapan kunang-kunang. Kira-kira berjalan sejauh sepeminuman teh, tiba-tiba Kumara Gandamayana hentikan langkah dan angkat tangan ke atas memberi tanda agar rombongan berhenti. Raja Mataram cepat mendekati si kakek.
"Ada apa?" Tanya Rakai Kayuwangi.
"Yang Mulia, delapan kunang-kunang telah menipu kita. Lihat berkeliling. Bukankah saat ini kita masih berada tak jauh dari Sumur Api?! Berarti sejak tadi kita tidak kemana-mana!"
Raja Mataram dan semua orang yang mendengar ucapan Kumara Gandamayana terkesiap kaget. Mereka memandang berkeliling. Saat itulah tiba-tiba delapan cahaya benderang kuning di tubuh kunang-kunang berubah lalu melesat ke arah depan rombongan dalam bentuk delapan larik cahaya merah menggidikkan.
"Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!" Teriak Kumara Gandamayana. Kakek ini cepat lepaskan sorban kelabu di atas kepala lalu dikebutkan ke depan dalam jurus ilmu sakti Selendang Dewa Menutup Bahala.
Raja yang berada di belakang si kakek tidak tinggal diam. Keris Widuri Bulan dicabut, dibabatkan ke udara memancar cahaya putih kelabu. Sementara tangan kiri melepas pukulan Payung Dewa Mengguncang Badai. Cahaya ungu berkiblat seperti payung mengembang, membentuk benteng pertahanan seluas enam tombak persegi, melindungi rombongan. Semua perempuan dan anak-anak dalam rombongan berpekikan. Para Abdi Dalem menarik mereka hingga jatuh sama rata dengan tanah.
"Wusss!"
Delapan cahaya merah berkiblat ganas, langsung dipapaki cahaya putih kelabu yang keluar dari sorban Kumara Gandamayana, dihantam sambaran cahaya keris sakti di tangan Raja dan larikan sinar ungu pukulan Payung Dewa Mengguncang Badai.
"Blaarr!"
Di udara menggelegar suara dentuman keras. Sosok Kumara Gandamayana terhuyung-huyung. Walau mampu menghantam hancur dua dari delapan cahaya merah yang menghantam namun sorban di tangan kanan tenggelam dalam kobaran api, berubah jadi asap.
Si kakek cepat jatuhkan diri dan berguling di tanah, menyambar pinggang Rakai Kayuwangi lalu ditarik jatuh ke tanah untuk menyelamatkan sang Raja. Kakek ini maklum kalau sorban saktinya tidak mampu menahan serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit, maka pertahanan keris dan pukulan Payung Dewa Mengguncang Badai pasti akan tembus juga!
UNTUK kedua kali di tempat itu menggelegar letusan keras ketika sisa enam cahaya merah melabrak sinar putih kelabu yang keluar dari Keris Wlduri Bulan serta sinar ungu pukulan Payung Dewa Mengguncang Badai!
Kembali dua cahaya merah dapat dilumpuhkan namun sisa yang empat terus menderu. Pancaran cahaya merah tampak lebih terang menyilaukan tanda pengendali serangan melipat gandakan kekuatan tenaga dalamnya!
Melihat empat cahaya merah mampu menembus tangkisan Keris Widuri Bulan serta pukulan sakti yang dilepaskan Raja, Kumara Gandamayana tersentak kaget.
"Hyang Jagat Batara! Kami tiada daya! Lindungi kami semua!" Si kakek berteriak.
Di dalam gelap mendadak ada suara tawa bergelak disusul teriakan lantang. "Bumi boleh kiamat! Tapi yang namanya Delapan Sukma Merah tidak pernah lenyap dari muka bumi ini! Raja Mataraml Jangan mimpi kau bakal menduduki singgasana kembali! Ha ha ha!"
Hanya tiga tombak lagi lagi empat cahaya merah akan menyapu habis seluruh rombongan Raja Mataram yang saat itu berusaha menyelamatkan diri dengan menelungkup di tanah, tiba-tiba dari dalam rimba belantara berkelebat tiga bayangan. Lalu ada suara porempuan berteriak.
"Ilmu pamungkas! Tusukkan delapan jari!"
Salah satu dari tiga bayangan yang kebetulan berada di dekat sebatang pohon segera lipat jari tangan tangan kiri kanan ke telapak sementara delapan jari lainnya dipentang lurus dan keras seperti batangan besi.
"Crass! Kraak"
Delapan jari amblas masuk ke dalam batang pohon. Bayangan kedua yang tidak sempat melipat jari tengah ke telapak tangan begitu jatuhkan diri langsung tusukkan sepuluh jari sekaligus ke tanah!
"Settt! Dessss!"
Bayangan ketiga terkesiap kaget Di dekatnya tidak ada pohon. Gerakannya berkelebat yang begitu kencang tidak mungkin bisa menjatuhkan diri ke tanah dengan cepat.
"Oala. Aku mau menusuk apa?!" Tiba-tiba saja orang ini ingat. Tanpa ragu delapan jari tangannya ditusukkan ke batok kepala sendiri!
"Crasss! Greekk!"
Delapan jari amblas masuk ke dalam kepala. Tidak ada darah yang mengucur, tidak ada rasa sakit. Malah orang itu yang bukan lain adalah si nenek cantik mata juling Ratu Randang tertawa-tawa. Memandang ke depan dilihatnya empat cahaya merah yang menderu ganas mendadak bergetar keras lalu mencuat ke atas.
Di udara empat cahaya merah meledak dahsyat, menebar ratusan cabikan-cabikan api. Sebagian langsung pupus lenyap di udara sebagian lagi membakar pepohonan di dalam rimba belantara hingga kawasan itu kini menjadi terang benderang.
Raja Mataram, Kumara Gandamayana, para Abdi Dalem segera bangkit berdiri sementara para istri Raja duduk bersila di tanah, menenangkan anak-anak yang bertangisan.
"Kakek, ada orang menolong kita!" Berkata Raja Mataram sambil memandang berkeliling.
Belum sempat Kumara Gandamayana menjawab, tiga perempuan tahu-tahu telah membungkuk hormat di depan Raja. Mereka bukan lain adalah Ratu Randang. Kunti Amblri dan Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi!
"Para Dewa memberkati kalian bertiga. Aku senang melihat kalian tidak kurang suatu apa. Malah pasti kalian yang telah menolong menyelamatkan kami semua dari serangan mahluk terkutuk itul" Berkata Raja Mataram sambil menatap ke arah Ratu Randang yang berdiri sambil mesem-mesem.
"Beberapa waktu lalu kami membicarakan kalian semua. Ternyata kalian sudah di sini. Eh, apakah Satria Panggilan dan gadis aneh bernama Jaka Pesolek itu tidak turut bersama kalian?" Yang bertanya adalah Kumara Gandamayana.
"Yang Mulia, kakek sahabatku," menjawab Ratu Randang. "Sebaiknya kita sama-sama segera meninggalkan tempat ini sebelum mahluk alam roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah atau kaki tangannya mencoba lagi menghalangi kita."
"Sesuai kabar yang aku terima, mahluk jahat itu, bukankah dia sudah menemui ajal?" Ujar Kumara Gandamayana pula.
"Benar, tapi dia punya delapan pecahan nyawa. Yang amblas cuma tiga. Pecahan yang lima lagi masih bisa gentayangan. Buktinya tadi dia bisa muncul melakukan serangan." Jawab Ratu Randang. "Mengenal Kesatria Panggilan dan Jaka Pesolek biar nanti aku ceritakan di tengah perjalanan."
Raja Mataram terdiam seperti tengah memikirkan sesuatu. Lalu dia berkata. "Kakek Kumara, sewaktu tadi ada sinar kuning dan terdengar suara lonceng, saya yakin Satria Lonceng Dewa Mimba Purana akan muncul. Namun kehadirannya dihalangi oleh satu kekuatan. Saya menduga ini pekerjaan kakaknya sendiri yang bernama Dirga Purana. Sang adik kemudian mengelah. tidak mau bentrokan dengan saudara sendiri. Dirga Purana lalu menyerang kita dengan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit."
"Yang Mulia Raja Mataram. Yang saya tidak mengerti," berkata Kunti Ambiri. "Mengapa Mimba Purana mau mengalah terhedap Dirga Purana. Padahal dia tahu pasti kakaknya itu jahat dan berserikat dengan dua Sinuhun. Lalu teganya dia mengorbankan Raja Mataram dijadikan bulan-bulanan serangan maut!"
"Bukankah Satria Panggilan pernah mengatakan langsung ketidak senangannya atas sikap Mimba Purana ketika bertemu dengan bocah itu?" Berkata Sakuntaladewi.
Kemudian tak ada yang bicara lagi. Keadaan di tempat itu menjadi sunyi. Sesekali terdengar gemeletak suara kayu pohon yang berderik dimakan api. Akhirnya Raja Mataram memecah kesunyian.
"Sebaiknya kita segera melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan paling lambat lewat sedikit tengah malam kita sudah sampai di Kotaraja."
Baru saja Raja Mataram selesai berucap tiba-tiba dari arah ujung hutan yang gelap terdengar suara bergemuruh. Geletak suara roda dan derap kaki kuda.
"Ada rombongan besar datang ke sini." Ucap Kumara Gandamayana. Kakek ini cepat memberi tanda agar semua orang berlaku waspada.
"Sepertinya gemuruh suara puluhan kereta melucur ke arah sini!" Kata Sakuntaladewi.
"Bahaya apa lagi ini!" Kata Kunti Ambiri sambil kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti pada dua tangannya.
Selagi semua orang tercekat, Ratu Randang tampak tenang-tenang saja. Malah sambil tersenyum dia berkata pada Kunti Ambiri. "Pasti ini pekerjaan Satria Panggilan. Sejak mencium aku bertubi-tubi sore tadi. semangatnya jadi tinggi. Hik...hik!"
Tak lama kemudian muncul sosok sebuah kereta berwarna putih. Raja mengenali kereta putih ini adalah salah satu kereta Kerajaan yang acap kali dipergunakannya. Lalu menyusul kereta lainnya di sebetah belakang. Juga ada gerobak. Semuanya berjumlah lebih dari dua puluh!
Kusir kereta putih yang berada paling depan mengenakan jubah putih dan Ikat kepala putih. Ketika semua orang memperhatikan wajah sang kusir, astaga! Kaget mereka bukan alang kepalang. Kusir itu berwajah putih licin! Tidak bermata ataupun alis, tidak punya hidung dan mulut, tidak pula memiliki telinga!
SEMUA orang kemudian memperhatikan jauh ke belakang kereta putih. Beberapa kusir kereta dan gerobak juga terlihat mengenakan jubah putih ikat kepala putih dan berwajah putih licin. Namun di antara mereka ada juga yang mengenakan pakaian lain serta memiliki muka seperti manusia biasa. Salah seorang diantara kusir berwajah manusia ini melompat turun dari atas kereta lalu berlarian dan jatuhkan diri di hadapan Raja Mataram.
"Abdi Dalem Karta Singgil!" Raja mengenali orang yang berlutut di hadapannya. "Apa yang terjadi? Bagaimana kau dan semua orang berwajah aneh itu bisa sampai di sini membawa kereta dan gerobak begini banyak?! Siapa orang-orang berjubah putih tidak berwajah itu?"
Ratu Randang berbisik pada Kunti Ambiri. "Ini pasti pekerjaannya si gondrong konyol itu. Yang aku tidak mengerti dari mana dia bisa dapat begini banyak kereta dan gerobak. Hik hik!"
Kunti Ambiri tidak menyahut tapi matanya menatap tak berkesip mengawasi keadaan.
"Yang Mulia Sri Paduka Raja Mataram," sahut kusir kereta setelah menghatur sembah. "Saya diperintah oleh seorang pemuda berambut panjang sebahu, mengaku bernama Satria Panggilan, yang tiba-tiba masuk ke dalam Istana membawa serombongan perempuan muda cantik-cantik. Dia menyuruh saya dan teman-teman menjemput Yang Mulia dan rombongan di hutan di dekat Kali Dengkeng ini. Katanya kami pasti akan menemui Yang Mulia dan rombongan. Katanya kami harus secepatnya membawa Yang Mulia ke Istana di Kotaraja. Saya bersyukur benar-benar menemui Yang Mulia di sini."
Raja Mataram tambah tercengang mendengar keterangan Abdi Dalem. Ratu Randang menggamit bahu Kunti Ambiri dan berbisik. "Apa kataku. Pemuda konyol itu sudah sampai di Kotaraja!"
"Kau betul Nek. Dia bertindak cepat penuh semangat. Karena membawa banyak perempuan muda. bertubuh molek dan berwajah cantik-cantik! Tapi anehi Sejak kapan Wiro punya sahabat manusia berjubah tanpa wajah itu!" Menyahuti Kunti Ambiri.
Ratu Randang agak tersentak. Namun kemudian nenek cantik bermata juling ini menyeringai. "Biar saja, siapa tahu dia tengah mencari tenaga baru agar nanti bisa memberikan ciuman lebih banyak padaku. Hik hik. Kau tahu aku sendiri masih punya hutang ciuman lebih dari empat ratus kali pada pemuda itu. Harap kau jangan cemburu. Hik hik!"
"Siapa yang cemburu!" sahut Kunti Ambiri seperti tidak acuh tapi wajah cantiknya tampak cemberut.
Sementara itu karena pertanyaan ada yang tidak dijawab, Raja Mataram berkata dengan suara keras. "Abdi Dalem Karto Singgil! Kau belum menjawab pertanyaanku! Siapa mahluk-mahluk berwajah licin putih itu!"
"Ampun Yang Mulia. Mereka adalah anak buah Raja Jin Hutan Roban."
Kaget Raja Mataram dan Kumara Gandamayana bukan olah-olah. Kedua orang ini saling pandang. Si kakek berbisik. "Ternyata Raja Jin itu bukan saja telah memperbaiki Istana tapi juga mengirim anak buahnya untuk menjemput dan mengamankan kita."
"Yang aku tidak mengerti," kata Raja Mataram pula. "Kereta dan gerobak ini pasti dalam keadaan rusak akibat banjir beberapa waktu lalu. Mengapa sekarang aku lihat utuh semua?"
"Benar Yang Mulia. Pemuda berambut panjang bernama Satria Panggilan itu menyuruh Raja Jin Hutan Roban yang masih ada di sana untuk memperbaiki." Jawab Abdi Oalem Karto Singgil.
"Luar biasa" Ucap Raja Rakai Kayuwangi. "Aneh!"
"Sudah Yang Mulia, apapun yang aneh biar kita bicarakan nanti saja. Kalau sudah sampai di Kotaraja nanti ketahuan apa yang telah terjadi. Sekarang yang penting semua naik kereta dan bergerak cepat menuju Kotaraja." Ratu Randang berkata lalu melompat ke atas kereta putih, duduk di sebelah depan di atas bangku kusir kereta berwajah putih licin.
Kusir kereta aneh ini berpaling pada si nenek. Ratu Randang juga balas memandang walau tengkuknya terasa dingin. Tapi dasar nenek nakal, dia kedipkan sepasang mata julingnya pada kusir tidak berwajah itu. Mahluk yang dikedipi usap wajahnya dengan tangan kiri. Tiba-tiba saja wajah itu jadi utuh seperti wajah manusia biasa. Ada hidung, alis, mulut dan sepasang mata. Sepasang mata ini kemudian balas mengedip membuat Ratu Randang tersentak kaget dan terkencing di celana! Kusir kereta usap mukanya sekali lagi. Tampangnya kembali seperti tadi. Putih licin!
"Oala! Oala!" Ucap Ratu Randang dalam hati. Dia Ingin turun saja dari kereta itu mencari kereta lain. Tapi tiba-tiba saja kaki kirinya diinjak oleh kusir kereta hingga dia tak bisa bergerak! Setengah sadar setengah tidak tubuhnya condong ke kiri lalu tersandar seperti orang tidur di bahu sang kusir!
Abdi Dalem Karto Singgil buru-buru membuka pintu kereta. Setelah Raja dan Permaisuri serta berapa orang putera-puteri masuk ke dalam kereta putih, semua anggota rombongan yang lain juga segera naik ke dalam kereta dan gerobak. Banyak yang lebih suka memilih kereta atau gerobak yang dikusiri orang berwajah utuh. Kumara Gandamayana, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi sengaja memilih gerobak terbuka agar dapat mengawasi keadaan selama perjalanan.
Kebetulan Sakuntaladewi berada di satu gerobak dengan Kumara Gandamayana. Gadis berkaki tunggal ini berbisik. "Kek, bagaimana kalau semua ini jebakan lagi. Kusir-kusir tidak berwajah itu ternyata adalah mahluk susupan kaki tangan dua Sinuhun jahat!
Si kakek tiba-tiba saja menjadi kaget. "Astaga! Apa yang kau katakan itu bisa saja terjadi! Aku harus mengingatkan Ratu Randang!"
Kumara Gandamayana lalu melompat dari atas gerobak, melesat dari gerobak satu ke kereta lainnya. Begitu seterusnya hingga dia sampai di atas kereta putih yang membawa Raja Mataram. Tak lama kemudian dia kembali ke gerobak yang ditumpangi Sakuntaladewi.
"Sudah Kek? Kau sudah memberi tahu nenek itu?" Tampang Kumara Gandamayana tampak cemberut ketika menggeleng.
"Aku tidak jadi bicara. Kulihat dia malah bercinta sandarkan tubuh dengan mesra ke kusir bermuka licin itu!"
"Apa Kek?" Tanya Sakuntaladwewi tidak percaya.
"Dasar nenek genit! Sial!" Kumara Gandamayana mengomel.
Ketika Pendekar 212 Wiro Sableng memasuki Kotaraja bersama tiga belas perempuan muda, keadaan di sana lengang dan gelap. Satu-satunya penerangan adalah cahaya bulan biru di langit bersih. Udara tercium kurang sedap namun Wiro tidak satupun menjumpai mayat manusia atau bangkai binatang.
Sewaktu sampai di alun-alun Wiro tercengang melihat bangunan Keraton atau Istana di seberang sana berdiri megah dalam kesunyian malam dibawah siraman cahaya rembulan. Padahal sebelumnya dia melihat banyak rumah penduduk serta candi-candi kecil dalam keadaan rusak bahkan runtuh. Di halaman samping Istana kelihatan banyak sekali kereta dan gerobak dalam keadaan rusak. Di bagian belakang istana terletak satu kandang besar. Di dalam kandang belasan kuda yang sesekali mengeluarkan suara mendengus keras.
"Aneh istana seperti baru dipugar. Tapi tak ada tanda-tanda ada yang menghuni. Berarti Raja Mataram belum berada di sana."
Ketika mencapai pintu gerbang istana tiba-tiba empat orang berpakaian perajurit lusuh bersenjata tombak muncul menghadang. Dua perajurit berusia lanjut, dua lainnya masih muda. Mereka terlihat letih kurang tidur. Empat perajurit memperhatikan Wiro dari kepala sampai Ke kaki, lalu melirik ke arah tiga belas perempuan yang ikut bersamanya. Salah seorang perajurit muda melangkah maju mendekati Wiro lalu menegur.
"Kami pengawal Keraton Mataram. Kau siapa? Ada keperluan apa hendak memasuki Keraton? Siapa perempuan-perempuan ini?!"
"Aku Satria Panggilan, sahabat Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala." Jawab Wiro. "Perempuan-perempuan ini adalah sahabat-sahabatku yang sebelumnya diculik oleh orang jahat dan ingin minta perlindungan pada Raja Mataram. Aku sendiri ada urusan penting ingin menghadap Raja."
"Kami tidak mengenal dirimu. Juga tidak pernah mendengar namamu! Lalu Yang Mulia Raja Mataram tidak ada dalam Keraton. Kami diperintah untuk tidak memperbolehkan siapapun masuk ke dalam Keraton."
"Begitu?" Wiro menggaruk kepala. "Siapa yang memberi perintah."
"Penguasa Keraton." Jawab si perajurit
"Penguasa Keraton? Yang berkuasa di sini adalah Raja Mataram. Tapi tadi kau bilang Raja tidak ada dalam Keraton. Jangan berani bicara ngacok padaku!"
Tiba-tiba dari dalam istana terdengar suara menggembor keras. Disusul ucapan lantang. "Aku penguasa Keraton Mataram. Karena aku dan anak buahku yang telah memperbaiki Keraton. Aku pula yang memerintahkan para pengawal untuk tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam Keraton!"
Bersamaan dengan selesainya suara ucapan lantang tahu-tahu di hadapan Pendekar 212 telah berdiri satu sosok tinggi besar bertampang angker luar biasa. Mahluk ini memiliki sepasang mata yang bola matanya keluar dari rongga, bergoyang bergundal-gandil kian keman. Daun telinga mencuat melewati batok kepala. Karena tidak memiliki bibir untuk mengatup mulut, barisan gigi atas bawah yang besar-besar mencuat keluar. Mahluk ini mengenakan jubah hitam terbuat dari anyaman ijuk.
Kening diikat tali hitam juga terbuat dari ijuk. Dua telapak tangan selalu diusap-usap satu sama lain. Semua perempuan yang ikut bersama Wiro terutama tiga orang yang masih berusia belasan tahun sembunyi di belakang sang pendekar, ketakutan setengah mati.
Sesaat Wiro terperangah melihat mahluk ini terutama matanya yang keluar dan terus bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan seperti lonceng, mengeluarkan suara klek...klek...klek. Untuk beberapa lama murid Sinto Gendeng hanya bisa tertegun diam memperhatikan. Tiba-tiba mahluk dahsyat itu hembuskan nafas panjang. Wiro merasa hawa panas menyambar membuat dua matanya jadi perih.
"Aku tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam Keraton. Apa kau berani mau memaksa?!" Mahluk yang mengaku penguasa Keraton Mataram itu keluarkan ucapan. Suara keras membahana.
"Hebat! Baru hari ini aku melihat mahluk hebat sepertimu. Malam-malam pula!" Wiro menyeringai. "Harap kau bicara perlahan saja, jangan menghembus hawa panas. Mata jangan digundal-gandil. Orang-orang perempuan yang ada di belakangku bisa mati berdiri karena ketakutan!"
"Pemuda geblek Kau berani memerintah aku Sangkala Darupadha, Raja Jin Hutan Roban?"
"Tadi kau bilang penguasa Keraton Mataram. Sekarang menyebut diri Raja Jin Hutan Roban! Sebentar lagi apa lagi?!"
"Jangan berani kurang ajar padaku! Kau datang membawa begini banyak perempuan muda dan cantik. Jangan-jangan mau berbuat mesum di dalam Istana Raja Mataram yang tidak berpenghuni!"
"Justru aku baru saja menolong perempuan-perempuan ini dari sekapan bocah jahat bernama Dirga Purana!"
"Apa?! Kau menyebut nama Dirga Purana?! Apa aku tidak salah dengar?!"
Wiro tidak segera menjawab. Dia merasa kawatir jangan-jangan mahluk dahsyat ini adalah kambralnya Dirga Purana sekaligus sobat dua Sinuhun!
"Mahluk hebat, jika kau tidak mengijinkan aku masuk ke dalam Keraton tidak apa. Tapi tolong perempuan-perempuan ini. Mereka kecapaian, kedinginan, juga pasti haus dan lapar. Berikan tempat berlindung bagi mereka di dalam sana. Bangsal bekas tempat tidur kusir Istanapun tak jadi apa."
Mahluk dahsyat hentakkan kaki kirinya hingga tanah bergetar dan pintu gerbang berderak. Dua tangan diusap-usap. Tiba-tiba dia membentak. "Aku tanya apa aku tidak salah dengar kau menyebut nama Dirga Purana?!"
"Tidak, kau tidak salah dengar. Aku tadi memang menyebut nama bocah itu. Biar lebih jelas dia juga dipanggil dengan nama Sang Junjungan!"
"Klek...klek...klek!" Sepasang mata Raja Jin Hutan Roban terus bergundal-gandil ke kiri dan ke kanan, kini lebih cepat dan suaranya lebih keras.
Wiro menunjuk ke arah dua mata Raja Jin Hutan Roban. "Sepasang matamu itu. Apa kau tidak dibuat kecapaian karena bergerak terus. Apa kau tidak takut putus kalau jatuh bergelindingan di tanah, masuk ke dalam comberan?!"
Semula Wiro mengira mahluk itu akan membentak marah bahkan mungkin memukulnya. Tapi diluar dugaan Raja Jin Hutan Roban malah tertawa bergelak. "Baru sekali ini ada mahluk hidup berani bicara seperti kau! Katakan siapa kau adanya!"
"Namaku Wiro Sableng...."
"Nama aneh. Apa kau sableng alias gelo benaran?!"
"Aku datang dari negeri delapan ratus tahun mendatang."
"Berarti kau orang gelo yang kesasar ke Bhumi Mataram ini!"
"Orang di sini memanggilku Satria Panggilan."
Kali ini Raja Jin Hutan Roban tidak menyambung lagi ucapan Wiro. Untuk sesaat dua mata yang keluar berhenti bergoyang gundal-gandil lalu diulur, bergerak ke kepala, wajah, turun ke tubuh sampai ke kaki dan naik lagi ke kepala.
"Aku tidak dapat memastikan! Bagaimana aku tahu kau bukan mahluk jejadian bikinan Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Bagaimana kau bisa membuktikan bahwa dirimu adalah benar-benar pendekar yang didatangkan Raja Mataram dari negeri delapan ratus tahun mendatang."
"Aku merasa tidak perlu membuktikan. Kau tunggu saja, sebelum tengah malam Raja Mataram beserta Permaisuri, anak istri dan seorang kakek sakti bernama Kumara Gandamayana akan sampai ke sini."
"Memangnya saat ini Raja berada dimana?" Tanya Raja Jin Hutan Roban.
"Cukup jauh dari sini. Di timur Prambanan, dekat Kali Dengkeng." Jawab Wiro sambil matanya menatap ke halaman samping dimana terdapat banyak kereta dan gerobak rusak.
"Raja Mataram, dibiarkan berjalan kaki sejauh itu. Walau di langit ada bulan purnama menebar cahaya sejuk. Bahaya bisa muncul secara mendadak..."
"Raja Jin Hutan Roban, jika kau sahabat Raja Mataram. jika kau mampu memperbaiki Istana semudah dan secepat membalikkan tangan, mengapa saat ini kau tidak memperbaiki kereta dan gerobak yang ada di halaman sana untuk dipakai menjemput Raja dan rombongan?"
"Aku tidak bersahabat dengan Raja Mataram! Aku tidak bersahabat dengan manusia bernama Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Tapi aku bersahabat dengan seorang kerabat Raja Mataram. Kerabat inilah yang telah meminta aku memperbaiki istana atau Keraton Mataram. Aku mengerahkan ratusan Jin Putih. Setelah Istana selesai diperbaiki dalam waktu satu hari satu malam kerabat ini pula yang minta aku menjaga Istana ini sampai Raja Mataram kembali bersama rombongannya dari satu tempat rahasia. Aku menghormati sang kerabat dan memenuhi permintaannya."
Wiro menggaruk kepala lalu bertanya. "Kau mahluk berbudi. Kalau aku boleh tahu siapa adanya kerabat Raja Mataram yang kau hormati itu?"
"Aku tidak akan menjawab. Aku tidak akan memberi tahu!"
Tiba-tiba tanah halaman Istana bergetar lalu braakk! Tanah terbongkar. Asap kelabu mengepul. Dari tanah yang menganga menyembul keluar satu mahluk luar biasa besar dan tinggi seolah menyondak langit! Saking tingginya, Raja Jin Hutan Roban yang hampir satu setengah kali tinggi Pendeklar 212 ternyata hanya sepinggang mahluk ini! Tanah yang terbongkar menutup kembali!
Suara mengorok keluar dari tenggorokan mahluk yang mengenakan jubah biru ini. Bagian atas pakaian tidak dikancing hingga memperlihatkan dada penuh bulu tebal. Di atas kepalanya yang botak plontos ada sebuah tanduk memancarkan cahaya merah. Sepasang mata menjorok keluar, besar putih sementara lensa mata hanya merupakan satu titik hitam kecil.
Kumis menjulai tebal, janggut hitam lebat berkeluk. Hembusan nafas memerihkan mata. Sambil menyeringai memandang ke arah Wiro, mahluk raksasa ini rangkapkan dua tangan yang penuh bulu di atas dada. Sepuluh jari tangan sebesar pisang tanduk bergerak-gerak mengeluarkan suara berkeretekan. Mahluk ini tertawa bergelak. Di akhir tawanya dia membentak.
"Akulah kerabat yang dimaksud Raja Jin Hutan Roban Sangkala Darupadha! Aku Arwah Ketua penghuni Candi Miring!"
Kejut Pendekar 212 bukan alang kepalang. Di belakangnya tiga belas perempuan kembali berpekikan. Wiro menenangkan dan menyuruh mereka pergi berlindung di dekat sebuah pohon besar. Namun karena takut mereka tidak mau bergerak dari belakang Wiro.
"Arwah Ketua," ucap Wiro dalam hati dengan dada bergetar. "Sebelumnya mahluk ini telah disusupi roh Ketua Jin Seribu Perut Bumi. Dikendalikan oleh Sinuhun Merah untuk membunuhku! Di Candi Kalasan lenyap begitu saja setelah tubuhnya yang dikuliti Empat mayat Aneh aku tendang masuk ke dalam candi. Sekarang apa lagi yang hendak dilakukannya terhadapku. Celaka aku kalau dia masih berada dalam kekuasaan Sinuhun Merah atau Sinuhun Muda. Bisa juga dia dikendalikan oleh Dirga Purana!"
Selagi Pendekar 212 berpikir hendak mengamblaskan diri masuk ke dalam tanah dengan ilmu yang diberikan Kumara Gandamayana tiba-tiba tangan kanan Arwah Ketua bergerak mencekal pinggang Wiro lalu diangkat ke atas, dekat-dekat di depan wajahnya yang menakutkan! Mulut meniup! Wiro menjerit ketika tiupan itu membuat kepalanya terasa seperti mau pecah! Di bawah sana tiga belas perempuan muda berpekikan lalu lari berserabutan.
"Sahabatku Arwah Ketua!" Raja Jin Hutan Roban berkata. "Akan kita apakan manusia satu ini? Aku bisa melahapnya mentah-mentah! Aku juga bisa mencopot bagian tubuhnya satu demi satu, mulai dari kaki berakhir di batang leher! Atau aku suruh anak buahku mencincangnya sampai sehalus bubuk gergaji untuk dicampur dalam sarapan kopi hangat mereka besok pagi? Ha ha ha! Tapi aku lebih suka menusuk tubuhnya mulai dari pantat tembus ke batok kepala dengan besi panas.Lalu mayatnya aku pancang di puncak Candi Miring kediamanmu! Ha ha ha!"
Habis tertawa bergelak Raja Jin Hutan Roban gerakkan dua tangan. Di tangan kanan mahluk ini tahu-tahu sudah tergenggam sebatang besi panas membara yang ujungnya lancip. Besi digoyang-goyang hingga mengeluarkan suara menderu, menebar hawa panas dan tebaran cahaya merah, berubah seolah menjadi puluhan banyaknya!
"Wuttt!"
Tiba-tiba ujung lancip besi diarahkan ke bagian bawah perut Wiro seolah benar-benar hendak ditusukkan ke pantat sang pendekar yang saat itu dalam keadaan tak bergerak karena dicekal oleh Arwah Ketua.
Kalau gerakan tangan kanan Raja Jin Hutan Roban mengeluarkan batangan besi panjang lancip membara, maka gerakan tangan kirinya membersitkan cahaya putih yang kemudian berubah menjadi ratusan sosok mahluk berjubah putih tanpa wajah, mengambang diudara malam. Mengerikannya sepasang tangan mahluk ini tidak berbentuk tangan biasa tapi berupa golok besar tajam berkilat! Jelas inilah barisan pencincang yang dipersiapkan oleh Raja Jin Hutan Roban!
Walau tengkuknya merasa sedingin es di puncak Mahameru Pendekar 212 tidak kehilangan akal. Dia sadar sulit meloloskan diri apa lagi ratusan mahluk tanpa muka dilihatnya mulai menebar membuat lingkaran mengurung! Tidak ada jalan lain. Dia harus berjibaku. Saat itu Wiro telah mengalirkan tenaga dalam penuh dan seluruh hawa sakti yang dimilikinya ke tangan kiri. Dia siap menghancurkan kepala Raja Jin Hutan Roban dengan Pukulan Sinar Matahari. Lalu bersamaan dengan itu tangan kanannya siap mencabut Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang terselip di punggung sebelah belakang. Dengan senjata sakti ini dia akan menusuk dan membabat leher Arwah Ketua!
"Sahabatku Arwah Ketua! Aku masih menunggu. Pilihan kematian mana yang kau inginkan atas diri manusia satu ini!" Raja Jin Hutan Roban berkata pada Arwah Ketua.
Sepasang mata besar Arwah Ketua menatap tak berkesip pada Pendekar 212. Mulut menyeringai. Tanduk merah memancarkan cahaya terang. Rahang menggembung dan terdengar jelas suara geraham bergemeletukan.
"ini saatnya!" Ucap Wiro dalam hati. Begitu dua tangan hendak digerakkan untuk melepas dua pukulan sakti dan mencabut Keris Kanjeng Sepuh Pelangi tiba-tiba terdengar Arwah Ketua berkata.
"Sobatku Sangkala Darupadha, aku tidak punya pilihan apa-apa. Aku malah memintamu agar kau mengabulkan permohonan yang tadi diucapkan pemuda ini."
Raja Jin Hutan Roban dongakkan kepala. Lalu bertanya. "Arwah Ketua, apa aku tidak salah mendengar dan kau tidak keliru berucap?"
"Sobatku, aku tidak keliru berucap dan kau tidak salah mendengar." Jawab Arwah Ketua pula, membuat Raja Jin Hutan Roban semakin heran.
"Katakan, permohonannya yang mana yang harus aku kabulkan?!"
"Tadi dia meminta agar kau memperbaiki semua kereta dan gerobak yang rusak di halaman samping Istana. Lalu aku menambahkan. Kau juga harus memasangkan kuda pada kereta dan gerobak itu untuk dipakai menjemput Raja Mataram dan rombongannya di timur Prambanan tak jauh dari Kali Dengkeng."
"Sahabatku Arwah Ketua! Tidak sulit bagiku melakukan apa yang kau katakan. Aku hanya tinggal memerintah ratusan anak buahku!"
"Aku tahu hal itu. Kau telah membuktikan. Ratusan anak buahmu mampu memperbaiki Istana hanya dalam waktu satu hari satu malam! Kalau begitu mengapa tidak segara kau penuhi permintaan pemuda itu dan permintaanku? Bukankah ini saatnya yang tepat kita berbakti pada Kerajaan, menolong Raja Mataram, Permaisuri, putera-puteri dan para pengikutnya."
"Sahabat Arwah ketua, aku tidak mengerti. Mengapa kita tidak membunuh pemuda itu!"
Perlahan-lahan Arwah Ketua turunkan Pendekar 212 ke tanah lalu menjawab. "Dia sahabatku. Berarti sahabatmu juga! Dia telah menyelamatkan roh dan tubuhku ketika ada orang menguliti diriku di Candi Kalasan. Kalau bukan karena pertolongannya, saat ini aku tidak akan berada di sini dan rohku gentayangan tak karuan di alam gaib."
Mengenal pertistiwa di Candi Kalasan harap baca serial Wiro Sableng berjudul Delapan Sukma Merah
Raja Jin Hutan Roban merenung sejurus. Mata yang bergundal-gandil diulur ke arah Arwah Ketua dan Wiro lalu mulutnya berucap. "Sahabat Arwah Ketua, jika begitu kemauanmu aku mengikut saja! Aku tidak keberatan bersahabat dengan pemuda ini!"
Lalu Raja Jin Hutan Roban mendongak ke udara ke arah ratusan anak buahnya. "Kalian sudah mendengar semua pembicaraan. Perbaiki semua kereta dan gerobak. Pasang kuda penarik. Lalu kalian dibantu Abdi Dalem Istana malam ini juga berangkat ke arah timur Prambanan. Sebelum mencapai Kali Dengkeng aku rasa kalian sudah akan bertemu dengan rombongan Raja Mataram. Bawa mereka dengan selamat sampai ke sini! Sepanjang perjalanan kalian harus merapal aji Tabir Pelindung Delapan Penjuru Angin. Aku kawatir roh-roh jahat masih akan mencoba menimbulkan malapetaka. Dan jangan lupa mengunyah kemenyan! Lakukan sekarang!"
Puluhan tangan yang berbentuk golok besar berkilat berubah menjadi seperti tangan manusia biasa. Masing-masing mahluk kembangkan telapak tangan. Saat itu juga di telapak mereka kelihatan ada sekeping kemenyan. Benda itu lalu didekatkan ke wajah licin, ditekan pada bagian dimana seharusnya terletak mulut
"Clcepp! Cleepp!"
Kepingan kemenyan lenyap masuk ke dalam wajah licin. Sementara wajah aneh itu tampak bergerak-gerak seperti mengunyah, tubuh mereka berubah menjadi samar lalu melesat ke samping Istana. Kemudian terdengar riuh suara orang bekerja, mengetok palu, menggergaji balok. Tak selang berapa lama puluhan kereta dan gerobak yang sebelumnya rusak akibat dilanda banjir air merah pada bencana Malam Jahanam kini utuh kembali.
Lalu ada bayangan mahluk-mahluk berjubah putih berwajah licin mengeluarkan puluhan kuda dari dalam kandang untuk dipasangkan pada kereta dan gerobak. Hanya sesaat setelah rombongan kereta dan gerobak meninggalkan Istana Mataram satu tangan besar memegang bahu Pendekar 212 hingga sang pendekar hampir sempoyongan.
"Anak muda Kesatria Panggilan, apakah kau membekal keris sakti Kanjeng Sepuh Pelangi?"
Yang bertanya adalah Arwah Ketua. Wiro memandang ke atas. Dia tidak segera menjawab. Dalam hati timbul rasa kawatir. Apa maksud Arwah Ketua menanyakan senjata sakti itu? Ingin memintanya? Apakah Arwah Ketua hendak menjebaknya karena dia sebenarnya dia mungkin masih berada di bawah pengaruh kekuatan gaib mahluk alam roh Sinuhun Merah.
"Celaka, kalau dia meminta dan aku tidak memberi bisa saja dia nekad merampas!"
Melihat Wiro tidak menjawab. Arwah Ketua tertawa. "Aku tahu senjata itu ada padamu. Aku juga tahu kalau tadi kau bermaksud mau membunuhku dengan keris itu."
Wiro terkejut mendengar ucapan Arwah Ketua.
"Aku hanya ingin mengatakan agar kau menjaga baik-baik senjata itu karena tak lama lagi akan kau serahkan pada Raja Mataram. Lalu senjata itu juga akan kau pergunakan untuk menolong seorang gadis berkaki tunggal. Waktu antara kau menyerahkan keris ke tangan Raja terpaut cukup lama. Dalam keterpautan itu bisa saja terjadi hal tidak terduga. Kau harus mencegah jangan sampai kecolongan. Bukankah selama ini kau menyisipkan keris itu di punggung belakang dengan ujung lancip mengarah ke bawah, ke arah tanah?"
Wiro menggaruk kepala lalu mengangguk.
"Itu cara yang salah menyimpan keris tak bersarung. Seharusnya keris itu kau sisipkan dengan ujung lancip menghadap ke atas, ke arah langit. Bilamana terjadi sesuatu senjata sakti itu akan lebih mudah melesat untuk menolongmu dan dirinya sendiri."
Wiro terkejut dan buru-buru hendak keluarkan Keris Kanjeng Sepuh pelangi dari balik punggungnya. Arwah Ketua tertawa.
"Tak perlu susah-susah. Aku telah memperbaiki letak senjata itu. Kini ujung runcingnya sudah menghadap ke atas."
Wiro meraba ke punggung. Astaga. Memang betul. Keris yang selama ini tersisip menghadap ke bawah kini ujung lancipnya telah mengarah ke atas!
"Satria Panggilan, kami berdua sudah cukup lama disini. Kau masih menunggu kedatangan Raja dan mengurus perempuan-perempuan muda itu." Arwah Ketua menyeringai dan kedipkan matanya yang aneh. "Semoga Para Dewa melindungi dan memberkatimu!"
Arwah Ketua berpaling pada Raja Jin Hutan Roban. Keduanya saling bergandengan tangan lalu wuss! Dua mahluk alam roh ini sama amblas masuk ke dalam tanah!
Wiro lepas nafas lega lalu berucap perlahan. "Ternyata keduanya mahluk-mahluk baik. Aku hanya kasihan pada Raja Jin Hutan Roban. Seumur-umur matanya menjulur gundal-gandil tak karuan. Mungkin aku bisa menolongnya memasukkan mata itu ke dalam rongganya dengan ilmu Manahan darah Memindah Jazad. Sayang dia keburu pergi."
Baru saja Wiro berucap seperti itu tiba-tiba braakk! Tanah terbongkar. Sosok Raja Jin Hutan Roban melesat keluar dan berdiri dihadapan Wioro. Sambil membungkuk sedikit dia berkata. "Satria Panggilan.Tadi kau berkata apa? Kau mau menolong apa....?"
Kejut Pendekar 212 bukan olah-olah. "Sudah amblas ke dalam tanah bagaimana mungkin dia masih mampu mendengar ucapanku!" Wiro menggaruk kepala.
"Raja Jin, sebenarnya aku hanya berandai-andai. Tapi tidak ada salahnya dicoba. Aku bermaksud menolong memasukkan kedua mata yang terjulur dan selalu gondal gandil itu ke dalam rongganya."
"Hah, apa?! Bagus itu! Kau pasti punya ilmu hebat! Lekas lakukan! Aku sudah bosan dengan mata yang seumur-umur menyiksa ini. Gundal-gandil tak karuan."
Raja Jin Hutan Roban lalu duduk bersila di depan Wiro hingga tinggi sosok mereka menjadi sama Wiro jadi berdebar juga. Kalau gagal mahluk satu in bisa saja menjadi marah. Sambil merapal ilmu Menahan Darah Memindah Jazad dua tangan diulur. Satu mendorong mata kiri, satunya lagi mendorong mata kanan Raja Jin Hutan Roban. Perlahan-lahan dua mata masuk ke dalam rongga. Untuk beberapa lama Wiro masih menekapkan dua telapak tangan, takut melepas karena kawatir usahanya gagal.
"Sudah apa belum?!" Raja Jin Hutan Roban bertanya.
Dengan perasaan tegang Wiro lepas dua tangannya yang menekap. Dia merasa lega ketika melihat dua mata mahluk jin itu masuk sempurna ke dalam rongga. Hanya saja dia menjadi terkesiap ketika melihat dirinya sendiri ada di dalam sepasang mata Raja Jin seolah-olah dia berada di depan cermin. Raja Jin berseru gembira. Mata diusap berulang kali. Memandang berkeliling lalu pandangan diarahkan pada Wiro.
"Ada apa ini? Mengapa aku bisa melihat tubuhmu dalam keadaan telanjang. Weehhh. Badanmu kecil tapi wehhh! itu mu besar sekali! Ha ha ha! Sudah... aku pergi sekarang. Terima kasih! Ha ha ha!"
"Bless!" Raja Jin Hutan Roban amblaskan diri masuk ke dalam tanah.
Wiro tersentak kaget dan tekapkan dua tangan ke bawah perut. "Bagaimana dia bisa melihat. Jangan-jangan Ilmu Menembus Pandang pemberian Ratu Duyung ikut tersedot masuk ke dalam matanya! Celaka!"
"Cabut lebih dulu paku kayu yang ada di dalam mulutnya...." Ucapan itu terngiang lagi di telinganya.
Si gadis ulurkan tangan kiri kanan. Gerakan dua tangan membuat mulut si pemuda terbuka. Begitu dia melihat ke dalam mulut, Dewi Dua Musim tercekat. Ternyata di dalam mulut pemuda itu memang ada satu paku kayu, menancap ke bagian dalam tenggorokan yang digenangi darah. Dewi Dua Musim geleng-geleng kepala.
"Jahat sekali!" Katanya dalam hati. Lalu dengan cepat tangan kanan dimasukkan ke dalam mulut. Begitu paku kayu ditarik, darah menyembur.
******************
SATU
SETELAH didera musim kemarau lebih dari setengah tahun, ketika akhirnya hujan turun cukup lebat pagi itu penduduk di kawasan kering tanah Jawa terutama di bagian tengah dan timur merasa lega dan gembira. Banyak diantara mereka, yang umumnya para petani pemilik ladang dan sawah memanjatkan puji syukur kepada Sang Pencipta Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang dengan berbagai cara baik dalam upacara adat maupun bentuk keagamaan.
Di laut utara dan selatan para nelayan tidak kalah rasa syukur dan gembira mereka. Karena pada akhir musim kemarau yang memasuki musim penghujan. ikan di laut muncul dalam jumlah lebih banyak dari biasanya dan tentu saja ini merupakan rahmat serta rezeki berlimpah dari Yang Maha Kuasa.
Hari ke lima setelah hujan pertama kali turun, para petani mulai ramai ke sawah untuk menanam bibit padi. Pemilik ladang mulai mencangkul tanah guna persiapan menanam berbagai macam tanaman yang dapat dipanen dalam waktu singkat, anak-anak terlihat riuh di kali dan sungai, berenang dan bermain-main sambil memandikan kerbau.
Pagi itu, di lereng Bukit Menoreh sebelah timur, tak jauh dari kaki Gunung Gajah, seorang gadis belia duduk di bawah sebatang pohon, asyik menatap pemandangan indah yang terhampar di hadapannya.
Di kejauhan Gunung Gajah menjulang biru kehijauan. Di kaki gunung petak-petak sawah yang sebelumnya merupakan tanah gersang kini basah berlumpur, ramai oleh petani. Mereka bekerja penuh semangat sambil sesekali tertawa berseloroh. Ada yang memperbaiki pematang sawah, ada yang membongkar saluran air yang tersumbat. Kerbau-kerbau pembajak tanah terlihat mundar-mandir hampir di setiap petak sawah. Beberapa petani yang mampu bekerja cepat malah sudah mulai menyemai menebar bibit padi.
Di kejauhan diarah timur Kali Progo membelintang biru seolah seekor ular panjang membelah bumi. Sesekali alunan arusnya tampak berkilau oleh pantulan sinar matahari yang tidak terlalu terik.
Hanya beberapa tombak dari lereng bukit di mana gadis berpakaian biru duduk menikmati pemandangan indah, ada satu jalan tanah yang cukup lebar, sejajar dengan Bukit Menoreh. Akibat hujan, tanah yang tadinya keras gersang ini, sekarang berubah menjadi gembur becek.
Jalan tanah ini merupakan salah satu dari jalan utama yang menghubungi Kotaraja dengan kawasan di sebelah barat. Mulai dari Godeyan dan Gamping sampai ke Renteng, terus ke Sibolong dan Girimulyo, terus lagi ke Borobudur. Di sebelah selatan slmpangan jalan tanah menuju ke Sedayu, Argosari dan berakhir di Wates.
Siapakah gerangan gadis yang duduk sendirian di lereng Bukit Menoreh itu? Dari pakaian birunya yang sederhana serta kasut kulit kasar yang menyarungi dua kaki, sulit untuk menduga apakah dia seorang yang berasal dari desa atau penduduk Kotaraja!
Wajahnya sama sekali tidak dipalut dandanan namun kecantikan alami yang dimilikinya mengagumkan untuk dipandang. Sepasang mata bulat jernih. Bagian putih tampak bening, bola mata hitam pekat membuat mata Ku seolah berkilat. Ini menambah pesona pada kecantikan raut wajahnya.
Lalu mengapa dia berada seorang diri di lereng bukit itu? Apa benar hanya untuk menyaksikan keindahan alam yang terpampang di hadapannya?
Terlalu berbahaya bagi seorang gadis sebelia dia berada seorang diri di tempat sunyi seperti itu. Karena sejak beberapa waktu belakangan ini daerah itu merupakan salah satu tempat orang jahat seperti begal dan rampok berkeliaran. Sesekali si gadis memandang ke arah ujung jalan di sebelah selatan, sambil telinga dipasang. Agaknya ada yang tengah ditunggunya.
Sayup-sayup di kejauhan tiba-tiba terdengar suara derap kaki-kaki kuda, sekali-sekali ditingkah suara binatang itu meringkik. Kalau saja tanah jalanan tidak berubah becek derap kaki kuda niscaya akan terdengar lebih keras. Diantara suara derap kaki kuda terdengar suara aneh berkepanjangan. Suara ini seperti sebuah benda yang bergerak menggeser tanah jalanan.
Sepasang mata gadis berpakaian biru membesar tak berkesip. Dua alis hitam lengkung bergerak naik lalu mata itu menatap ke arah kiri lereng bukit. Pandangan ditukik ke bawah, ke arah jalanan tanah. Dari balik kerapatan pepohonan dia bisa melihat ada dua ekor kuda dipacu ke jurusan utara Gunung Gajah.
"Aku bisa melihat dua ekor kuda dan penunggangnya. Tapi aku tidak bisa melihat benda yang mengeluarkan suara berkepanjangan. Apakah orang yang kutunggu sudah datang? Seharusnya ada penunggang kuda ke tiga."
Gadis berpakaian biru membatin dalam hati. Lalu dia berdiri. Gerakannya anggun dan penuh kelembutan. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan satu kotak kayu kecil. Ketika dibuka isi kotak itu ternyata adalah berbagai alat untuk menghias diri. Mulai dari pupur merah muda, kayu penebal alis dan kayu merah berujung lembut untuk pemoles bibir.
Pada bagian belakang penutup kotak menempel sebuah cermin kecil. Sambil memperhatikan ke dalam cermin, gadis itu bukannya mulai menghias wajah, tapi malah tertawa. Ketika mulutnya terbuka tampaklah barisan gigi yang putih berkilau bak mutiara serta lidah merah basah.
"Mengapa aku masih merasa diri seperti gadis desa yang baru menanjak dewasa? Apakah aku masih memerlukan cara berhias kuno mempergunakan segala macam peralatan tolol ini? Aih, sungguh bodohnya diri ini."
Kotak kayu kecil ditutup kembali. Lalu tangan kanan diayun satu kali dan wuttt! Kotak kayu dilempar ke udara! Kotak ini kemudian menyangsrang jatuh di serumpunan semak belukar.
Di jalan tanah di bawah lereng bukit, dua penunggang kuda mulai nampak semakin jelas namun benda yang mengeluarkan suara geseran dengan tanah masih belum diketahui.
Gadis di lereng bukit dongakkan kepala. Sepasang mata yang jernih menatap ke langit. Telapak tangan kanan dikembang. Perlahan-lahan telapak tangan di usap ke wajah. mulai dari kening sampai ke dagu. Begitu tangan diturunkan kelihatanlah wajah si gadis yang tadi cantik alami tidak berdandan kini telah berubah jauh lebih cantik.
Kulit wajah kelihatan merah segar, sepasang alis melengkung bagus lebih hitam dan bibir merah merekah. Dia telah menghias diri secara gaib. Tidak sampai di situ. Sehelai kain biru diikat di kening. rambut diacak lalu digerai lepas. Kini kecantikannya seolah bertambah. Sungguh sangat mempesona.
Di kaki bukit, kembali terdengar suara kuda meringkik. Gadis cantik berpakaian biru tidak menunggu lebih lama. Sekali dia menggerakkan dua kaki, tubuhnya melesat ke udara lalu seperti seekor burung tubuh itu menukik melayang ke bawah. sepasang kaki menjejak enteng di cabang satu pohon besar yang tumbuh di tepi jalan tanah yang akan dilalui dua penunggang kuda.
Semua gerakan yang dilakukan gadis itu sungguh Indah, seolah dia tengah menari di udara cerah. Selain itu jelas sudah, gadis cantik Ini bukan orang sembarangan. Paling tidak dia mempunyai ilmu kesaktian yang membuatnya mampu bergerak cepat dan gesit serta ilmu meringankan tubuh pada tingkatan yang bukan sembarang orang bisa memiliki.
Ketika si gadis alihkan pandangan ke ujung jalan, ke arah dua kuda dan penunggangnya saat itulah untuk pertama kali dia melihat benda apa yang mengeluarkan suara bunyi menggeser tanah berkepanjangan. Sepasang alis mata si gadis langsung berjingkat naik! Bibir yang merah merenggang terperangah. Kepala digeleng beberapa kali.
Penunggang kuda di sebelah depan bertubuh gemuk gempal, mengenakan pakaian dan belangkon hitam. Pada bagian depan belangkon tersemat hiasan bintang dalam lingkaran, terbuat dari kuningan berkilat. Tampang garang tertutup kumis dan berewok meranggas tebal.
Penunggang kuda kedua berpakaian dan mengenakan belangkon yang sama. Walau kumisnya kecil saja dan hanya dagunya yang ditumbuhi jenggot kasar, namun tampangnya tampak angker. Apa lagi di wajah sebelah kiri ada codet bekas luka memanjang mulai dari mata sampai pertengahan pipi. Cacat ini membuat kelopak mata kirinya mencuat merah mengerikan. Sambil menunggang kuda orang ini mencekal seutas tambang yang ujungnya diikat ke leher kuda. Ujung tambang yang lain terikat pada sebatang balok yang menjadi salah satu landasan tiga buah papan.
Di atas papan terkapar sosok seorang lelaki, tubuh dan pakaiannya penuh lumuran darah. Wajah tak jelas karena dipenuhi darah yang mengucur dari luka di kening. Dua tangan orang ini terpentang ke atas. Telapak tangan kiri kanan dipantek ke papan dengan potongan bambu yang dibuat seperti paku besar. Dua kakinya juga dipantek dengan potongan bambu. Darah mengucur dari luka pantekan. Tak dapat dipastikan apakah orang itu masih hidup atau sudah menjadi mayat
"Yang datang bukan orang-orang yang aku tunggu" Gadis cantik di atas pohon berucap perlahan. Walau hatinya kecewa besar namun wajahnya tetap tenang, malah dia sama sekali tidak unjukkan rasa ngeri melihat orang yang dipantek di atas papan yang diseret kuda! Di dalam hati dia berkata.
"Kasihan, dosa kesalahan apa yang dibuat orang itu hingga diperlakukan begitu rupa. Dalam kehidupan yang katanya beradab ini mengapa masih ada kekejaman begini rupa...."
Beberapa tombak lagi dua kuda dan penunggangnya akan sampai di bawah pohon besar, gadis di atas cabang pohon membuat gerakan enteng, melayang turun sambil berseru. "Dua kerabat berblangkon hitami Mohon berhenti barang sebentar. Ada yang akan aku tanyakan!"
DUA
DUA ekor kuda yang tengah berlari kencang meringkik keras. Dua penunggang berusaha menghentikan lari kuda masing-masing dengan menarik tali kekang kuat-kuat hingga binatang itu berjingkrak dan sepasang kaki depan naik ke atas. Di atas punggung kuda, dua orang penunggangnya hampir saja mencelat jatuh kalau tidak cepat-cepat memagut leher tunggangan mereka yang larinya akhirnya bisa dihentikan dengan susah payah. Celakanya kuda kedua, walau bisa berhenti namun papan yang ditarik terus meluncur deras di tanah becek lalu menghantam dua kaki belakangnya
"Kraakk! Kraaak!"
Dua kaki belakang kuda patah. Didahului suara meringkik keras binatang ini ambruk ke tanah, melempar penunggangnya. Rupanya sang penunggang orang berilmu juga karena dengan gerakan enteng dia tidak sampai jatuh terbanting di tanah becek. Sepasang kaki menyentuh dan menginjak tanah lebih dulu. Papan di atas mana orang yang dipantek tergeletak melesat satu tombak ke udara lalu jatuh ke tanah, berpatahan di beberapa bagian namun sosok di atasnya tetap terpentang tak bergerak.
Lelaki gemuk bermuka berewokan di sebelah depan hendak mendamprat marah, namun ketika melihat siapa yang berdiri di tengah jalan, amarahnya langsung saja menjadi surut. Sebaliknya kawan di sebelah belakang yang kaki kudanya patah dan masih tergeletak di tanah tidak bisa membendung amarah. Dia membentak garang.
"Perempuan jahanam! Kau mematahkan dua kaki kudaku! Aku akan menghajarmu!" Habis membentak si codet ini melompat ke hadapan gadis berpakaian biru sementara temannya si gendut sudah melompat turun ke tanah.
Si gadis tenang saja, tidak beranjak dari tempatnya. Malah sambil mengangkat tangan dia berkata dengan suara lembut. "Aih! Maafkan, bukan aku yang mematah dua kaki kuda itu. Tapi papan yang kau seret sepanjang jalan. Tapi memang aku mengaku salah karena aku yang membuat gara-gara kuda kalian terkejut ketakutan. Sekarang biar aku perbaiki dua kaki kudamu."
"Memperbaiki dua kaki kudaku? Gelo! Kau kira dua kaki kudaku bisa diperbaiki seperti memperbaiki ladam besi?! Dua kaki kuda itu patah tahu! Bagaimana kau mau memperbaiki? Wong edan" Lelaki bermuka codet, berkumis dan berjanggut kasar berkata setengah berteriak.
"Maksudku, aku akan mengembalikan keadaan dua kaki kudamu seperti semula..." Jawab si gadis sambil tersenyum.
"Apa?!" Lelaki berwajah codet menghardik merasa dipermainkan.
Tanpa perdulikan kemarahan orang si gadis dekati kuda yang tergeletak di tanah. Binatang ini meringkik keras. Kepala dan dua kaki depan berusaha ditegakkan namun tubuhnya kembali roboh. Selanjutnya binatang ini hanya bisa melejang-lejang dan meringkik berulang kali.
"Sahabatku kuda bagus, tak usah takut. Tenang... tenang saja. Memang tadi gara-garaku dua kakimu jadi patah. Sekarang biar aku menyembuhkan." Si gadis usap-usap tengkuk kuda dan bagian kening antara kedua matanya.
Kuda yang tergeletak di tanah becek dan tadi bersikap liar karena rasa sakit luar biasa pada kedua kakinya yang patah, mendadak berubah jinak dan diam. Kepala dijulur lalu ditidurkan di tanah. Sepasang mata setengah terpejam.
"Kudaku mati!' Teriak si codet dengan mata mendelik, tampang beringas.
Gadis cantik tersenyum lalu berkata. "Kudamu tidak mati. Dia mendengar apa yang aku ucapkan dan pasrah untuk mendapat kesembuhan. Semoga Yang Maha Pengasih menolong sahabatku ini."
Sambil berkata si gadis berjongkok di samping kuda yang rebah. Dua tangan diulur. Tangan kiri memegang kaki belakang sebelah kanan lalu tangan kanan mengusap mengurut-urut kaki itu tiga kali berturut-turut sambil mulut meniup. Hal yang sama dilakukan dengan kaki kiri belakang si kuda. Selesai mengurut si gadis tepuk pinggul kuda sambil berseru.
"Kuda bagus! Ayo berdiri! Kau sudah sembuh!"
Ajaib! Begitu ditepuk walau agak terhuyung-huyung tapi kuda yang patah dua kaki belakangnya itu mampu berdiri kembali!
Dua lelaki berpakaian dan berbelangkon hitam sama-sama terkejut dan saling pandang terheran-heran. Walau menyaksikan dengan mata kepala sendiri tapi masih tak bisa percaya. Bagaimana mungkin! Dua kaki kuda yang patah disembuhkan hanya dengan cara mengusap mengurut sambil meniup! Kedua orang ini palingkan kepala, menatap ke arah si gadis. Memperhatikan mulai dari kepala sampai ke kaki.
Sementara itu kuda yang barusan ditolong kini berdiri menggeser-geserkan moncongnya ke bahu si gadis sambil keluarkan suara menggeru perlahan. Agaknya dengan cara itu binatang ini ingin menyampaikan rasa terima kasihnya.
Si gadis tersenyum. Dia balas membelai tengkuk dan kepala kuda sambil berkata. "Kau kuda yang mendapat berkah. Tahu mengucapkan rasa terima kasih walau kau hanyalah seekor binatang. Tapi banyak yang namanya anak manusia tidak tahu berterima kasih setelah menerima berkah dari Yang Maha Kuasa...."
Lelaki codet yang tadi marah besar dekati temannya dan berbisik. "Kita harus hati-hati. Gadis itu bisa saja Lelembut Bukit Menoreh atau seorang penyihir jahat yang tengah berkeliaran mencari mangsa!"
Belum habis kejut ke dua lelaki itu, di depan mereka si gadis membuka mulut berkata.
"Dua kerabat harap lupakan apa yang terjadi. Sekarang apakah aku boleh mengajukan barang satu-dua pertanyaan?"
Dua telaki kembali saling pandang. Si codet yang masih penasaran lalu berkata dengan nada kasar. "Katakan dulu siapa dirimu! Mengapa berani menghadang kami orang-orang Pangeran Banowo yang tengah mengurus satu perkara besar!"
"Aih! Jadi kerabat berdua adalah orang-orang Pangeran Banowo. Bukankah Pangeran itu dikabarkan adalah calon Adipati Magelang? Salam hormatku untuk kalian berdua." Si gadis lalu membungkuk, menjura memberi penghormatan pada kedua orang di hadapannya.
Lelaki gemuk menatap dengan pandangan penuh selidik. Lalu bertanya. "Bagamana kau tahu kalau Pangeran Banowo akan menjadi Adipati Magelang. Hal itu adalah masih merupakan rahasia Kerajaan."
"Maaf kalau aku bicara ceroboh. Tapi kabar rahasia yang disebar angin, mana ada manusia yang bisa menekap mencegahnya."
Si gemuk terdiam tapi temannya si codet sudah membentak lagi. "Kau belum menjawab pertanyaanku! Siapa kau, apa punya nama dan datang dari mana! Mengapa berada di tempat terpencil ini! Apa keperluanmu!"
Lalu pada temannya yang bertubuh gemuk si codet berbisik. "Aku curiga, jangan-jangan gadis tak dikenal ini sebenarnya tengah menghadang kita. Jangan-jangan dia ada sangkut paut dengan orang yang kita pantek di atas papan!"
Si gemuk berewok yang agak lebih sabaran balas berbisik. "Aku malah menduga jangan-jangan dia kaki tangan suruhan Klingkit Jenung. Sudah, kau diam dulu. Gadis secantik ini jangan diperlakukan sembarangan. Apa kau tidak melihat dia punya ilmu kepandaian? Biar aku yang bicara."
"He he!" Si codet menyeringai. "Aku tahu maksud dibalik bicara bagusmu! Kau mulai suka pada gadis itu kan?!"
"Sudah! Diam saja!" Si gendut lalu berkata pada gadis di depannya. "Ning Ayu Cantik," begitu si gendut memanggil si gadis. "Sebelumnya biar kami memperkenalkan diri lebih dulu. Aku bernama Lor Randuwali. Sahabatku ini Seno Kalamurti. Tadi kau memanggil kami dengan sebutan kerabat. Kau juga telah menunjukkan itikad baik menolong kaki kuda yang patah. Sekarang harap kau mau memberi tahu apa yang ditanyakan temanku tadi."
"Hemmm ..." Si gadis bergumam. "Tidak ada sulitnya menjawab pertanyaan sahabatmu itu. Sebagai manusia tentu saja aku punya nama. Tapi aku lupa siapa namaku sebenarnya..."
"Gelo. Mana ada orang lupa sama nama sendiri!" Si codet Seno Kalamurti memotong ucapan si gadis dengan bentakan.
Yang dibentak cuma tersenyum. "Aku tidak berdusta. Sungguhan aku lupa siapa nama yang diberikan kedua orang tuaku ketika aku dilahirkan. Sejak beberapa waktu lalu orang-orang memanggil aku dengan nama Dewi. Nah, itulah namaku Kerabat berdua boleh memanggil aku dengan nama itu."
Pelipis Seno Kalamurti bergerak-gerak. Rahang menggembung. "Dew... Dewi apa! Kau seperti menyembunyikan sesuatu. Di dunia ini ada banyak perempuan bernama Dewi! Kau Dewi apa?! Dewi Lelembut! Dewi Gandaruwo atau Dewi Hantu Laut?!"
Gadis di hadapan kedua lelaki berpakaian dan berbelangkon serba hitam itu masih juga tersenyum. "Aih...." katanya. "Kurasa diriku ini tidak jelek-jelek amat. Masakan tega aku diberi nama Dewi Lelembut, Dewi Gandaruwo, Dewi Hantu Laut"
Seno Kalamurti kembali mau menghardik. Tapi Lor Randuwali cepat memberi isyarat agar si codet itu tidak membuka mulut lagi. Maka diapun berkata. "Harap maafkan sahabatku ini. Dia memang suka berangasan tapi sebenarnya hatinya baik. Hanya saja apa yang dikatakannya tadi betul adanya. Nama Dewi banyak sekali. Apa hanya sesingkat itu nama yang kau miliki? Pasti ada tambahannya."
"Orang-orang memanggilku Dewi Dua Musim."
Lor Randuwali dan Seno Kalamurti terperangah, sama-sama saling pandang. "Terus terang, belum pernah aku mendengar nama seaneh namamu. Apa artinya itu. Mengapa kau disebut Dewi Dua Musim?"
Si gadis mengangkat bahu. "Aku tidak pernah menanyakan pada orang-orang itu mengapa mereka memanggilku Dewi Dua Musim..."
"Randu," Seno Kalamurti berbisik. "Kurasa gadis Ini tengah mempermainkan kita. Sebaiknya kita bereskan saja. Terakhir sekali aku meniduri perempuan empat bulan silam. Masih ada cukup waktu sebelum kita meneruskan perjalanan ke Magelang. Si cantik ini rupanya memang sudah jadi rejeki kita. Tidak mustahil dia memang sengaja mengantar diri. Hemmm..."
TIGA
LOR RANDUWALI meski memang tertarik pada kecantikan wajah dan kemolekan tubuh Dewi Dua Musim, saat itu tidak acuhkan ucapan temannya. Dia tidak mau bertindak ceroboh karena diam-diam sudah merasa kalau gadis tak dikenal itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pada si gadis dia berkata.
"Sekarang jelaskan mengapa kau berada di tempat sunyi di lereng Bukit Menoreh ini. Dari apa yang telah kau lakukan. Kami menduga kau sepertinya sengaja menghadang perjalanan kami..."
Si gadis gelengkan kepala. "Aku tidak ada niatan jahat. Apa lagi maksud menghadang orang-orang gagah seperti kerabat berdua. Seperti kataku tadi aku hanya ingin mengajukan barang satu-dua pertanyaan."
"Begitu? Apa yang ingin kau tanyakan?" Tanya Lor Randuwali.
"Ketika kerabat berdua dalam perjalanan menuju ke sini, apakah pernah berpapasan atau melewati tiga orang penunggang kuda berpakaian serta berbelangkon hitam seperti kerabat berdua? Bedanya mereka tidak mencantel hiasan bintang dalam lingkaran seperti yang ada pada belangkon kerabat berdua..."
Lor Randuwali mengingat-ingat lalu berpaling pada si codet. Kedua orang Ini kemudian sama gelengkan kepala. "Selama perjalanan sampai ke sini kami tidak berpapasan atau melewati siapapun...."
"Kerabat berdua tidak keliru? Tiga orang yang aku tanyakan itu, dua diantara mereka masih muda-muda. Orang ketiga seorang kakek berwajah aneh. Dua telinganya terletak di kening, mulut berada di leher..."
"Pasti setan, bukan manusiai" Ucap Seno Kalamurti.
"Betul kerabat berdua tidak melihat ke tiga orang itu?" Si gadis ingin meyakinkan.
"Tidak, kami tidak pernah menemui mereka dalam perjalanan." Jawab Lor Randuwali.
"Aku tahu kerabat berdua telah berkata jujur. Untuk itu aku sangat berterima kasih." Si gadis yang mengaku bernama Dewi Dua Musim alihkan pandangan pada sosok yang tergeletak di atas papan. Lalu bertanya. "Siapa orang itu? Dosa kesalahan apa yang telah dilakukannya hingga mengalami nasib seperti itu."
"Siapa orang ini, apa dosa dan kesalahannya adalah urusan kami! Kau tidak layak bertanya!" Yang menjawab adalah Seno Kalamurti.
"Kerabat berdua, apakah... apakah kalian berdua yang memperlakukannya seperti itu?"
"Apa perdulimu!" Bentak Seno Kalamurti.
"Kasihan dia. Aku ingin sekali menolongnya"
"Dewi Dua Musim! Siapapun namamu! Jangan sekali-kali berani berkata seperti itu!" Seno Kalamurti berkata sambil delikkan mata.
"Manusia menolong sesama adalah hal biasa. Memangnya mengapa aku tidak boleh menolong orang itu?"
"Kau mulai berani kurang ajari" Seno Kalamurti melangkah mendekati si gadis. "Sebaiknya kau bersiap-siap ikut bersama kami ke Magelang!" Lalu enak saja tangan kanannya diulurkan menyentuh dagu si gadis.
Dewi Dua Musim tenang-tenang saja diperlakukan seperti itu. Dia sama sekali tidak berusaha menghindar hingga tangan Seno Kalamurti benar-benar menyentuh dan mengusap dagunya. Si codet ini letakkan tangannya yang bekas mengusap di depan hidung lalu menyedot dalam-dalam. Dia mencium bau harum sekali. Melihat orang tidak marah, malah seperti sengaja memasang diri Seno Kalamurti jadi lebih berani dan tambah kurang ajar. Kembali dia ulurkan tangan kanan. Kali ini diarahkan ke dada si gadis.
Hanya seujung kuku tangan itu akan menyentuh dada Dewi Dua Musim tiba-tiba dari samping Lor Randuwali bertindak cepat mencekal tangan temannya itu. Seno Kalamurti berpaling.
"Randu! Apa yang kau lakukan! Lepaskan tanganku! Nanti kau juga bakal dapat bagian!"
"Urusan kita belum selesai Mengapa mencari urusan baru! Lekas ikut aku pergi dari sini. Magelang masih cukup jauh dari sini! Jangan kita sampai kemalaman dijalan."
"Randu... Randu. Rupanya kau mau jadi malaikat penolong!" Seno Kalamurti merasa tidak senang.
"Manusia berhati malaikat itulah berkah Yang Maha Pengasih. Kerabat Seno Kalamurti. sebaiknya kau ikuti kata-kata Lor Randuwali. Cepat pergi dari sini. Teruskan perjalanan kalian ke Magelang. Tapi tinggalkan orang yang tergeletak di atas papan"
"Apa?!" Seno Kalamurti berteriak marah. "Dewi Dua Musim, kau tidak tahu siapa adanya orang yang dipantek di atas papan itu. Siksa dan hukuman yang diterimanya baru sebagian. Kesengsaraannya baru berakhir kalau sebelum matahari tenggelam nanti dia digantung di alun-alun Kadipaten Magelang."
Dewi Dua Musim rangkapkan dua tangan di atas dada. "Kalau begitu mengapa kerabat berdua tidak mau memberi tahu siapa adanya orang itu? Aku sejak tadi bertanya apa dosa dan kesalahannya. Tapi kalian tidak menjawab."
"Saat ini kami tidak bisa memberi tahu. Kalau kau mau tahu riwayatnya silahkan ikut kami ke Magelang. Setelah dia digantung, orang banyak akan memberi tahu semua apa yang kau tanyakan."
"Lor Randuwali, perlu apa susah-susah membawa gadis ini jauh-jauh ke Magelang. Di dekat tikungan sungai dibawah sana ada sebuah pondok. Kita bawa dia ke sana!" Habis berkata begitu Seno Kalamurti gerakkan dua telunjuk tangan kanan hendak menotok urat besar di pangkal leher Dewi Dua Musim.
Totokan mendarat telak di pangkal leher. Seharusnya totokan membuat si gadis saat itu juga menjadi kaku tak bisa bergerak tak mampu bersuara. Namun apa yang terjadi justru kebalikannya. Dua ujung jari Seno Kalamurti yang menotok terus saja menempel di pangkal leher si gadis. Tak bisa digerakkan apa lagi ditarik lepas. Selarik cahaya putih keluar dari pangkal leher yang ditotok, mengalir ke dalam dua jari, menjalar sepanjang tangan kanan, masuk ke dalam tubuh Seno Kalamurti.
Ketika cahaya putih merambas memasuki rongga pernafasan, Seno Kalamurti menjerit keras. Tubuh mencelat mental, mulut menyembur darah segar. Si codet ini kemudian tergeletak tertelentang di tanah becek, megap-megap. Kaki dan tangan melejang-lejang. Belangkon hitam lepas dari kepala berguling jatuh ke tanah. Tangan kanan, kaki kanan dan mata kanan menggembung merah.
Melihat apa yang terjadi dengan temannya itu Lor Randuwali merasa ngeri dan cepat menolong. Namun semua usaha yang dilakukan tidak mampu membuat memulihkan keadaan Seno Kalamurti. Lelaki ini terus saja megap-megap dan kejang-kejang.
"Kerabat Lor Randuwali, bawa sahabatmu pergi dari sini. Begitu sampai di Magelang masukkan benda ini ke dalam mulutnya, suruh dia menelan. Segala cidera di tubuhnya luar dalam akan segera sirma. Semoga pelajaran dariku ada manfaat bagi dirinya."
Lor Randuwali perhatikan benda putih berkilat seujung jari yang ada di telapak tangan kanan Dewi Dua Musim.
"Cepat ambillah dan pergi dari sini."
"Dewi, aku... Mengapa...." Lor Randuwali bingung ada, takut juga ada. Menatap wajah cantik si gadis dia merasa ada sambaran hawa aneh keluar dari sepasang matanya yang berkilat, membuat hatinya bergetar. Namun rasa amarah melihat temannya diperlakukan seperti itu segera muncul menindih rasa bingung dan takut. Sambil berdiri dia berkata.
"Sekarang aku yakin. Kau pasti orangnya Klingkit Jenung Hanya orang itu yang punya ilmu Membalik Hawa Sakti Menembus Jalan Darah?"
"Aih, kerabat Lor Randuwali. kau seharusnya bersyukur pada Yang Maha Kuasa yang telah mendatangkan musim penghujan. Kalau saja saat ini masih musim panas pasti keadaannya akan sangat mengenaskan bagimu dan sahabatmu itu."
"Apa maksudmu?." Hardik Lor Randuwali. "Maksudku sederhana sekali" Jawab Dewi Dua Musim. Lalu kaki kanannya dihentakkan ke tanah becek.
Lor Randuwuli tersentak kaget ketika merasa ada geteran aneh di dalam tanah di bawah kedua kakinya. Belum habis kagetnya tiba-tiba Dewi Dua Musim angkat tangan kiri. Tangan diayun ke udara begitu rupa.
Wuttt!
Tubuh gendut Lor Randuwuli melesat ke udara lalu entah bagaimana tahu-tahu melayang turun dan jatuh duduk di punggung kuda miliknya walau menghadap ke belakang!
Dewi Dua Musim ulurkan tangan menepuk pinggul kuda. Binatang itu meringkik lalu menghambur ke depan. Lor Randuwali berteriak-teriak sambil berusaha berbalik menahan tali kekang menghentikan kuda. Namun apapun yang dilakukannya binatang itu terus saja lari seperti dikejar setan. Kepala lelaki gemuk ini berdenyut pening. Pandangan mata berkunang dan semua tampak seperti terbalik. Seumur hidup baru sekali itu dia menunggang kuda menghadap ke belakang!
"Tolong! Tolong! Kuda jahanam berhenti berlari!" Teriak Lor Randuwali menyumpah-nyumpah. Tapi kuda tunggangannya malah berlari semakin kencang!
EMPAT
DEWI Dua Musim melangkah menghampiri Seno Kalamurti yang sampai saat itu masih megap-megap dan melejang-lejangkan kaki serta tangan. Benda putih berkilat seujung jari dimasukkannya ke dalam mulut si codet yang menganga. Dengan tangan kiri dia memijat tenggorokan orang. Hekkk! benda putih berkilat masuk ke dalam tenggorokan si codet. lalu dengan tangan kiri dia mencekal kerah pakaian orang itu. Sekali tangan mengayun tubuh Seno Kalamurti terlempar jatuh menelungkup di atas punggung kuda miliknya. Si gadis lepaskan tambang yang bergulung di leher kuda.
"Susul sahabatmu! Semoga kau akan mendapat kesembuhan begitu sampai di Magelang. Kau beruntung saat ini musim penghujan!"
Dewi Dua Musim kemudian tepuk pinggul kuda. Seperti halnya dengan kuda Lor Randuwali, binatang ini mengangkat dua kaki ke atas, meringkik satu kali lalu menghambur lari. Sambil memperhatikan, dalam hati Dewi Dua Musim membatin. "Tiga orang yang kutunggu, dimana mereka. Mengapa tidak muncul?"
Ingat pada orang yang tergeletak dalam keadaan dipantek di atas papan, si gadis cepat balikkan tubuh. Dia lebih dulu memotes selembar daun keladi liar di tepi jalan lalu mendekati orang itu Sambil menyibak rambut serta menyeka darah yang mencelemongi wajah orang dia berkata.
"Manusia malang, apakah aku mengenalmu?"
Wajah yang tadi tertutup darah kini terlihat jelas. Ternyata orang ini seorang pemuda berwajah tampan. Di keningnya ada luka.
"Aih. wajahnya tampan sekali. Aku tak mengenali siapa pemuda ini adanya. Mengapa dua orang Pangeran Banowo tega-teganya memperlakukan dia begini kejami"
Dewi Dua Musim tarik nafas dalam. Sepasang mata tampak berkaca-kaca. Dia seolah turut merasakan kesengsaraan orang. Telapak tangan kiri diletakkan di atas kening si pemuda.
"Untung keningmu tidak panas. Berarti tak ada racun mengindap!"
Perlahan-lahan telapak tangan kiri diletakkan di atas dada si pemuda. Si gadis tidak merasakan adanya detak jantung. Hati-hati telinganya sebelah kanan ganti ditaruh di atas dada.
"Aih! Dia masih hidup. Aku dapat mendengar detak jantungnya walau perlahan sekali. Mungkin mulai sekarat. Aku harus melakukan sesuatu agar dia tidak mati!"
Dengan cepat Dewi Dua Musim letakkan dua tangan di atas dada pemuda itu lalu perlahan-lahan alirkan hawa sakti dengan dorongan tenaga dalam tinggi. Sampai wajah dan tubuhnya berkeringat, dia tidak mampu membuat sadar si pemuda.
"Kasihan, apakah aku harus meninggalkannya dalam keadaan sengsara seperti ini? Kalau saja saat ini musim panas aku tak akan perduli."
Sepasang mata Dewi Dua Musim perhatikan empat buah paku kayu yang memantek dua tangan dan dua kaki si pemuda. "Aku harus mencabut paku kayu itu. Mungkin bisa mengurangi penderitaannya disaat sekarat."
Si gadis membungkuk. Dia mulai dengan paku kayu yang memantek telapak tangan kanan si pemuda. Sebenarnya hanya dengan mengandalkan tenaga luar dia akan mampu mencabut paku kayu itu. Tapi sampai dia memaksa dengan mengerahkan tenaga dalam sekalipun, paku kayu tidak dapat dicabut! Si gadis berpindah pada paku kayu yang menancap di tangan kiri. Hal yang sama terjadi. Paku kayu tidak mampu disentak dicabut Begitu juga ketika dicoba menarik paku kayu yang menancap di kedua kaki orang.
"Aih. sungguh aneh. Ilmu jahat apa yang dipakai orang memantek pomuda malang ini. Mengapa aku tidak mampu mencabut satupun dari empat paku kayu itul Bagaimana aku harus menolong pemuda ini." Si gadis melangkah mundar mandlr di jalan becek. Tiba-tiba mengiang satu suara di telinga Dewi Dua Musim.
"Musim hujan telah tiba. Segala kesejukan menaungi diri manusia, mulai dari pikiran sampai ke dalam aliran darah masuk ke dalam kalbu dan menyentuh perasaan hati. Gadis berpakaian biru. kau tidak akan mampu menyelamatkan pemuda itu kalau tidak dapat mencabut empat paku kayu yang memantek bagian tubuhnya ke papan. Jangan mempergunakan kekuatan untuk menghancur papan baru melepas paku karena dengan cara begitu paku tetap akan menancap di dua tangan dan dua kaki. Cabutlah lebih dulu paku kayu yang ada di dalam mulutnya. Kalau itu sudah kau lakukan mudah-mudahan Yang Maha Kuasa menolongmu dan pemuda itu selamat dari kematian."
Dewi Dua Musim terkesiap. Dia memandang berkeliling, mengusap telinga kiri yang tadi mendengar suara mengiang itu lalu keluarkan ucapan, bertanya. "Orang pandai siapa yang bicara?"
Yang menjawab hanya sapuan suara angin yang membuat gemerisik daun-daun pepohonan di tepi jalan tanah. Si gadis bertanya sekali lagi.
"Orang pandai, dengan segala hormatku harap unjukkan diri atau beri tahu siapa kau adanya."
Tetap saja tidak ada jawaban. Tidak ada suara mengiang susulan.
"Orang pandai, rupanya kau tidak mau diganggu. Baiklah, aku akan ikuti petunjukmu. Aku berterima kasih padamu...."
Dewi Dua Musim berjongkok di samping kepala pemuda yang dipantek di atas papan. "Cabut lebih dulu paku kayu yang ada di dalam mulutnya" Ucapan itu terngiang lagi di telinganya. Si gadis ulurkan tangan kiri kanan. Tangan yang satu menarik dagu orang ke bawah, tangan lain mendorong bagian mulut ke atas. Gerakan dua tangan membuat mulut si pemuda terbuka. Melihat ke dalam mulut Dewi Dua Musim tercekat. Ternyata di dalam mulut pemuda itu memang ada satu paku kayu. menancap ke bagian dalam tenggorokan yang digenangi darah. Dewi Dua Musim geleng-geleng kepala.
"Jahat sekali!" Katanya dalam hati.
Lalu dengan cepat tangan kanan dimasukkan ke dalam mulut. Begitu paku kayu ditarik, darah menyembur dari mulut si pemuda. Untung tidak sampai menodai tangan atau pakaian Dewi Dua Musim. Paku Kayu ditancap ke tanah. Kini perhatian Dewi Dua Musim tertuju pada empat buah paku kayu yang memantek dua tangan dan dua kaki si pemuda.
Hatinya agak berdebar ketika tangan diulur untuk menarik paku yang menancap di tangan kanan. Ada rasa kawatir kalau-kalau usahanya kali ini mencabut paku itu akan gagal seperti tadi. Namun kenyataannya paku yang menancap di telapak tangan kanan itu dengan mudah bisa ditarik lepas. Begitu juga dengan tiga paku kayu lainnya.
Begitu empat paku yang memantek dirinya ke papan lepas, sosok pemuda yang sejak tadi diam tak berkutik tiba-tiba keluarkan suara mengerang lalu dua tangan bergerak ke samping, bersitekan ke tanah dan luar biasa sekali. Orang yang disangka sudah akan menemui ajal itu tiba-tiba bergerak bangun, duduk bersila di atas papan. Sepasang mata yang sejak tadi terpejam perlahan-lahan terbuka, menatap tepat dan langsung ke arah wajah cantik di depannya. Tidak pernah sebelumnya dia melihat gadis luar biasa cantik seperti yang berada di hadapannya saat itu.
Perlahan si pemuda berucap. "Seharusnya aku sudah mati. Apakah saat ini aku melihat bidadari alam barzah. Diakah yang telah menyelamatkan diriku....?" Suara si pemuda agak parau sember karena ada luka di dalam mulutnya. Sesekali tampak dia seperti menelan ludah.
Mendengar ucapan si pemuda Dewi Dua Musim hanya tersenyum, tidak berkata apa-apa.
Si pemuda kembali berucap. "Gusti Allah Yang Maha Kuasa Maha Pengasih memberkatimu. Siapapun kau adanya, aku tahu kau adalah orang yang dikirimkan Gusti Allah untuk menolongku." Dalam keadaan masih bersila pemuda itu lalu rundukkan tubuh hingga keningnya menyentuh tanah.
Dewi Dua Musim tersipu-sipu. "Aih, jangan berkata dan bersikap begitu. Jika kau memang tahu kuasaNya Gusti Allah maka berterima kasihlah padaNya. Bukan padaku! Ayo lekas bangkit. Aku bukan mahluk yang pantas untuk disembah!"
Si pemuda luruskan tubuh kembali. "Siapapun kau adanya, aku tidak akan melupakan budi pertolonganmu. Aku berharap kelak dikemudian hari Gusti Allah memberi kesempatan padaku untuk membalas budi besarmu. Kalau sampai tidak bisa membalas budi maka itu merupakan hutang besar yang akan aku bawa sampai ke liang kubur."
"Aih. Di antara kita tidak ada hutang piutang!" Berkata Dewi Dua Musim.
"Kalau begitu mohon aku bertanya, siapa gerangan sahabat ini? Aku sendiri bernama Panji Ateleng. berasal dari satu desa kecil di timur Kuto Gede."
Di dalam hati Dewi Dua Musim berkata. "Pemuda ini baik sekali sikap dan tutur katanya. Padahal aku yakin saat ini dia masih menahan sakit amat sangat akibat luka di dua tangan dan dua kaki serta di dalam mulut. Kalau tidak memiliki ilmu tinggi mana mungkin dia berkeadaan seperti ini."
"Kerabat Panji Ateleng aku tidak tahu siapa namaku. Tapi orang-orang memanggilku dengan sebutan Dewi Dua Musim."
Si pemuda tatap sebentar wajah cantik di depannya. Walau merasa heran mendengar nama itu namun dia unjukkan senyum. "Namamu bagus dan indah didengar. Walau kehadiranmu pastilah atas kehendak Gusti Allah, tapi tetap saja aku ingin mengetahui bagaimana kau sampai berada di tempat sunyi ini."
"Aku tengah menunggu kedatangan tiga orang sahabat. Mereka seharusnya sudah melintas di jalan di kaki bukit ini. Tapi mereka tidak datang. Yang muncul justru dua penunggang kuda yang mengaku bernama Seno Kalamurti dan Lor Randuwali. Yang bernama Seno Kalamurti menyeretmu dengan kudanya dalam keadaan kau dipantek di atas papan."
"Dua manusia biadab itu! Pasti mereka sudah kabur dari sini!" Kata si pemuda pula
"Aku yang memaksa mereka pergi. Ah, apakah aku telah bertindak salah?"
Panji Ateleng terdiam sesaat lalu menjawab. "Tidak, kau tidak salah. Mungkin memang sudah begitu kejadiannya. Lagi pula bagiku kelak tidak sulit mencari mereka. Jika bertemu aku akan membunuh keduanya."
"Aih, manusia adalah ciptaan Gusti Allah. Gusti Allah pula yang memberikan nyawa kepada manusia. Maka tidaklah layak jika ada manusia membunuh manusia lain. Karena nyawa seseorang bukan milik seseorang lainnya."
LIMA
PANJI Ateleng terpana mendengar ucapan si gadis.
"Aih. maafkan kalau aku bicara seperti seorang juru dakwah saja," si gadis berkata sambil senyum-senyum. Lalu dia mengalihkan pembicaraan. "Kedua orang itu mengaku sebagai orang-orangnya Pangeran Banowo."
"Mereka bicara begitu?" Si pemuda menelan ludah tanda luka di mulutnya kembali terasa mencucuk sakit.
Dewi Dua Musim mengangguk.
"Sombong tapi tolol! Membuka rahasia sendiri! Jika Pangeran Banowo tahu pasti mereka berdua akan digorok habis!"
"Sebenarnya siapakah mereka?"
"Keduanya memang anak buah Pangeran Banowo."
"Lalu mengapa mereka memperlakukanmu sekejam itu. Tangan dan kakimu dipantek ke papan. Mulutmu ditancap dengan paku kayu..."
"Sebenarnya bukan mereka yang memantek diriku diatas papan ini. Ada seorang lain yang punya ilmu hitam. Kedua orang itu hanya jadi bergundal-bergundal suruhan. Mereka ditugaskan membawaku ke alun-alun Kadipaten Magelang. Rencananya aku akan digantung di sana. Selama dalam perjalanan mereka juga sempat menganiaya diriku secara kejam..."
"Aih, kau mau digantung! Memangnya kau salah apa?!" Si gadis berkata sambil geleng-geleng kepala.
"Penderitaan yang aku alami belum seberapa." Panji Atcleng teruskan kisahnya. "Atas perintah Pangeran Banowo mereka juga telah membunuh kakak perempuanku Cemani secara keji. Padahal Cemani adalah istri Pangeran itu sendiri..."
"Luar biasa biadab" Sepasang bola mata hitam Dewi Dua Musim tampak membesar dan berkilat lalu meredup sayu seolah merasakan penderitaan batin si pemuda.
"Musim hujan... seharusnya hati setiap manusia berada dalam kesejukan...."
"Sahabat, apa maksudmu?" Tanya Panji Ateleng ketika mendengar ucapan Dewi Dua Musim.
"Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya tidak mengerti mengapa mereka berbuat kejam padamu dan kakak perempuanmu. Mungkin... mungkin mereka berdua layak menerima hukuman berat.."
"Dewi Dua Musim, kelak akan aku ceritakan padamu asal usul semua kejadian. Sekarang biar aku mengobati luka-luka pada tangan dan kaki serta mulutku lebih dulu. Sakitnya tidak tertahankan lagi..."
"Seharusnya sudah sejak tadi hal itu kau lakukan. Kalau kau mau aku bisa membantu..." Si gadis bergerak mendekati.
"Terima kasih. Biar aku mengobati diriku sendiri," jawab Panji Ateleng pula. Habis berkata begitu pemuda yang masih duduk bersila di atas papan menjumput tanah becek jalanan di sampingnya. Tanah liat itu dipoleskan ke atas lubang luka bekas tancapan kayu pada telapak tangan dan pergelangan kaki.
Setelah merapal sesuatu dia lalu meniup empat kali berturut-turut yaitu ke arah dua telapak tangan dan dua pergelangan kaki. Tanah basah berubah kering. Berubah lagi menjadi debu yang begitu ditiup serta merta berterbangan ke udara.
Wajah cantik Dewi Dua Musim tampak kagum ketika melihat lubang luka bekas tancapan paku kayu di dua tangan dan dua kaki lenyap tak berbekas.
"Ilmu Penyakit Berasal Dari Manusia. Penyembuhan Datang Dari Alam. Kuasa Gusti Allah sungguh luar biasa..." Berucap Dewi Dua Musim menyebut nama ilmu yang dipergunakan Panji Ateleng untuk mengobati luka parahnya.
Seolah tidak mendengar apa yang diucapkan si gadis. Panji Ateleng untuk kelima kalinya menjumput tanah becek. Kali ini tanah jalanan itu dimasukkan ke dalam mulut. Setelah menunggu sesaat si pemuda dongakkan kepala lalu meniup. Dari dalam mulut menyembur keluar debu coklat. Disusul semburan darah merah kehitaman. Setelah debu lenyap di udara Panji Ateleng terbatuk-batuk beberapa kali. Mukanya yang pucat kini tampak berdarah kembali. Ketika bicara suaranya tidak lagi parau sember. Sepasang mata menatap lekat-lekat ke arah gadis di hadapannya.
"Sahabat Dewi Dua Musim, bagaimana kau bisa tahu nama ilmu yang aku pergunakan untuk mengobati luka tancapan paku?"
Dewi Dua Musim tampak agak terkejut mendengar pertanyaan yang tidak disangka itu. Namun dengan tersenyum dia menjawab. "Aku hanya mendengar, tidak pernah melihat sendiri. Ketika kau mempergunakan tanah untuk menyembuhkan luka, aku hanya menduga dan asal bicara. Apakah aku keliru berucap?"
Panji Ateleng hanya diam. Mata masih menatap tak berkesip. Lalu dia berkata. "Kau cantik. Sikap dan bicaramu lembut. Hatimu pasti begitu juga. Penuh welas asih. Aku tahu, kau pasti bukan gadis sembarangan."
"Aih. kau keliwat memuji. Maksudmu apa....?" Dewi Dua Musim tersipu-sipu.
"Melihat dirimu, aku jadi ingat pada adikku. Sikap dan caranya bicara sama sepertimu. Hanya sayang dia meninggal dunia sewaktu berusia enam belas tahun...."
"Kasihan, rupanya kau telah kehilangan banyak orang terdekat dan kau sayangi...."
Panji Ateleng menarik nafas dalam. Dua matanya memperhatikan tangan si gadis kiri kanan. Lalu mata digosok-gosok. Dia seperti melihat sesuatu. Merasa diperhatikan secara berlebihan Dewi Dua Musim bertanya.
"Mengapa, ada apa dengan kedua tanganku?"
"Tidak, tidak apa-apa," jawab Panji Ateleng walau saat itu sebenarnya dia berdusta karena dia tadi memang telah melihat satu keanehan pada tangan kiri kanan si gadis.
Dewi Dua Musim bangkit berdiri. Panji Ateleng juga melakukan hal yang sama. Keduanya sama-sama tegak dan saling pandang dalam jarak hanya terpisah satu langkah. Panji Ateleng dapat mencium bau harum badan dan pakaian si gadis.
"Bau harum yang menyejukkan hati. Seumur hidup aku tidak akan melupakan bau gadis ini...." Panji Ateleng membatin dalam hati.
"Kerabat Panji Ateleng, ada apa. Ada sesuatu dalam benak atau hatimu?" Tiba-tiba Dewi Dua Musim bertanya.
"Tidak...." Si pemuda tampak agak kelagapan karena tidak menyangka orang bisa menduga-duga apa yang barusan diucapkan dalam hati
"Kerabat Panji Ateleng, aku harus mencari tiga orang yang tidak muncul itu. Aku terpaksa meninggalkanmu. Kuharap kau baik-baik saja. Apakah kau akan pergi ke Magelang?"
"Aku akan ke Kotaraja," jawab Panji Ateleng. Lalu pemuda ini bertanya. "Apakah aku masih dapat berjumpa denganmu?"
Dengan tersenyum si gadis menjawab. "Selama langit masih biru dan gunung masih hijau. Selama air sungai masih mengalir ke laut dan selama sang surya masih terbit di timur, suatu ketika kita pasti bertemu lagi."
"Ucapanmu indah dan menyejukkan hati...."
"Itu karena saat ini sudah musim penghujan..."
"Nah. kau lagi-lagi menyebut itu. Bagaimana kalau saat ini bukan musim penghujan. Musim panas misalnya?"
Dewi Dua Musim tertawa. Barisan giginya tampak bagus putih dan rata. Panji Ateleng mendekat dan berkata.
"Sebelum kita berpisah aku akan memberikan sesuatu padamu. Bukan saja sebagai tanda kenang-kenangan tapi juga sebagai tanda terima kasih."
"Aih, kenapa kau mau repot-repot Aku tidak minta segala balas budi. Aih, memangnya kau mau memberikan apa?" Dewi Dua Musim berkata sambil bersurat satu langkah.
Panji Ateleng luruskan dua jari tangan kanannya. Lalu tukkk! Dia menotok tangan di bagian siku kiri sebelah dalam Ketika tangan itu ditarik, diantara dua jari menempel sebuah benda bulat merah sebesar ujung jari kelingking.
"Ini Mutiara Merah, pemberian almarhumah ibuku. Ambil dan simpan baik-baik. Jangan sampai ada orang lain tahu kau memiliki benda ini. Pangeran Banowo sangat menginginkan Mutiara Merah ini. Dia mau mempertaruhkan apa saja untuk mendapatkannya, termasuk membunuh"
"Aih, aku tidak berani menerima pemberianmu. Mutiara Merah, mungkin hanya ini satu-satunya di dunia...." Kata Dewi Dua Musim pula.
"Aku mohon dengan sangat dan segala hormat." Panji Ateleng letakkan Mutiara Merah di atas telapak tangan kanan yang dikembang. "Ambillah..."
Dewi Dua Musim tekap mulutnya yang berbibir merah bagus dengan tangan kanan. Mata berbinar-binar melihat kebaikan hati orang. Namun kemudian kepalanya digelengkan.
"Kerabat Panji Ateleng. Mutiara Merah pasti benda langka. Aku yakin hanya ini satu-satunya di dunia. Pasti bukan benda sembarangan. Aku... aku tidak berani menerima kebaikanmu...."
"Aku memohon, sangat memohon. Harap kau mau menerima. Pemberian dari seorang sahabat yang pernah kau selamatkan nyawanya. Hatiku akan sangat perih jika kau tidak mau mengambilnya."
Dewi Dua Musim agaknya merasa terenyuh mendengar ucapan si pemuda. Akhirnya tangan kanan itu diulurkan juga untuk mengambil Mutiara Merah. Setelah memperhatikan sebentar si gadis berkata. "Kau tadi kulihat menyimpan Mutiara Merah ini di dalam tangan, pada lipatan siku sebelah dalam. Apa aku juga boleh menyimpannya di tempat yang sama?"
Panji Ateleng terkejut mendengar ucapan si gadis. Namun dia bisa sembunyikan perasaan dan raut wajah dengan cepat tersenyum lalu menjawab. "Tentu, tentu saja kau boleh menyimpannya di tempat kau suka. Asal aman."
Dewi Dua Musim luruskan tangan kirinya. Mutiara Merah diletakkan di atas lipatan siku sebetah dalam. Lalu dengan tangan kanan benda itu ditekan.
"Blesss!"
Mutiara Merah masuk ke dalam tangan Dewi Dua Musim. Kejut Panji Ateleng bukan alang-kepalang. Namun dia pandai menyembunyikan perasaan, malah memuji. "Kau gadis hebat. Aku kagum padamu."
"Aih, aku hanya meniru apa yang kau lakukan!" Jawab si gadis lalu tertawa renyah dan sekali memutar tubuh serta menggerakkan kaki dia sudah berada di tikungan jalan tanah di kaki Bukit Menoreh sebelah selatan. Di satu tempat gadis ini hentikan larinya lalu berteriak sambil lambaikan tangan kiri.
"Hai! Terima kasih untuk Mutiara Merah. Aku akan menjaganya baik-baik! Jangan lupa mengobati luka di keningmu!"
Panji Ateleng tersenyum dan balas melambaikan tangan. Untuk beberapa lama dia masih berdiri di tempatnya. Memandang ke arah lenyapnya Dewi Dua Musim sambil meraba luka di keningnya. Dalam hati dia tidak habis pikir, siapa sebenarnya gadis cantik berpakaian biru itu.
ENAM
PANJl Ateleng memandang ke arah Kali Progo di kejauhan di bawah sana. Pandangan kemudian dialihkan pada pesawahan oimana para petani tampak sibuk bekerja. Dalam hati pemuda ini bicara sendiri.
"Kalau gadis itu seorang dari rimba persilatan, mengapa selama ini aku tidak pernah mendengar namanya. Dia mengaku lupa nama adalah aneh seseorang lupa nama sendiri. Tapi melihat pertemuan dalam keadaan diriku dipantek orang, wajar saja kalau dia sengaja sembunyikan jati diri. Juga masih wajar kalau seandainya dia menaruh curiga. Lalu dia memperkenalkan diri sebagai Dewi Dua Musim. Kalau itu merupakan gelar atau julukan, cukup aneh terdengarnya. Beberapa kali dia menyebut musim penghujan Apa maksudnya....?"
Si pemuda usap-usap tangan kirinya yang sebelumnya ditancap paku kayu. Lalu dia ingat dan membatin kembali. "Gadis itu memasukkan Mutiara Merah yang aku berikan ke dalam tangannya. Setahuku di dunia ini hanya ada dua orang yang mampu melakukan hal itu. Guru dan aku sendiri. Ternyata gadis itu juga bisa melakukan hal yang sama. Dari mana dia belajar ilmu kesaktian itu. Apakah guru pernah memberikan ilmu itu kepadanya atau kepada seorang lain yang kemudian meneruskan pada gadis itu?"
Panji Ateleng perhatikan paku kayu yang menancap dan empat lainnya yang tergeletak di tanah. "Dia mampu mencabut lima paku kayu itu. Walau tidak sadar diri, aku yakin mulutku dalam keadaan terkancing. Bagaimana dia bisa tahu kalau ada paku kayu menancap dalam mulutku? Paku Kayu Pengunci. Tanpa mencabut paku satu itu apapun yang dilakukan empat paku kayu lainnya tak mungkin bisa dicabut! Kalau tidak ada perkara besar di Kotaraja rasanya saat ini aku ingin sekali mengikuti gadis itu."
Di langit sang surya mulai memancarkan sinarnya yang terik. Panji Ateleng masih mengingat-ingat. "Dua tangan gadis itu. Tak sengaja ketika memperhatikan aku melihat samar-samar ada gambar matahari di tangan kanan. Di tangan kiri ada gambar seperti air mengalir. Dewi Dua Musim memiliki beberapa keanehan..."
Panji Ateleng memandang lagi ke arah kejauhan, ke jurusan lenyapnya Dewi Dua Musim. Pemuda ini kemudian tertawa sendiri. "Terus terang belum pernah aku melihat gadis secantik dia. Heh, apakah aku sudah tertarik pada sang Dewi Dua Musim itu?"
Si pemuda membalikkan badan ketika tiba-tiba di belakangnya terdengar suara kaki kuda mendatangi. Di kejauhan tampak tiga ekor kuda berlari cepat ke arahnya. Dua ekor berwarna coklat. yang ketiga berwarna hitam pekat berkilat. Dua ekor kuda coklat masing-masing ditunggangi dua orang lelaki mengenakan pakaian serba hitam, lengkap dengan belangkon yang juga berwarna hitam. Kuda hitam sama sekali tidak ada penunggangnya.
Mengira rombongan tiga kuda itu akan melewatinya, Panji Ateleng segera menepi memberi jalan. Ternyata tiga ekor kuda itu mendadak berhenti beberapa langkah di hadapannya. Dua penunggang kuda yang masih muda-muda, sebaya dengan Panji Ateleng memperhatikan keadaan di lereng Bukit Menoreh, lalu melihat ke jalan tanah becek yang banyak bekas kaki kuda. kaki manusia dan guratan aneh sepanjang jalan becek. Mereka juga melihat lima paku kayu. Satu menancap di tanah, empat lainnya tergeletak di jalan becek.
"Paku kayu itu...." bisik salah seorang penunggang kuda pada temannya. "Bukan paku kayu biasa. Kau lihat papan di sebelah sana? Kau lihat guratan di sepanjang jalan? Ada noda darah di tanah becek. Ada noda darah di wajah dan pakaian pemuda itu. Sesuatu yang hebat agaknya telah terjadi di sini." Sambil bicara si penunggang kuda melirik ke arah Panji Ateleng.
"Aku kawatir sesuatu telah terjadi dengan gadis itu." Menjawab pemuda yang satunya. "Untuk meyakinkan coba kita periksa dulu dengan Ilmu Di Dalam Udara Ada Raga."
Dua orang pemuda ini kemudian mendongak dan menghirup udara dalam-dalam seperti tengah membaui sesuatu. Penunggang di sebelah kanan berkata pada temannya.
"Aku sudah mencium baunya. Kau....?"
"Aku juga sudah. Dia pasti berada di tempat ini sebelumnya." Pandangan dua penunggang kuda kemudian ditujukan pada Panji Ateleng. Mereka tundukkan badan memberi penghormatan. Salah seorang diantaranya berkata.
"Ki Sanak di tepi jalan, maaf kalau kami mengganggu perjalananmu. Kami ada perjanjian dengan seseorang untuk bertemu di tempat ini. Karena ada halangan kami datang terlambat. Tapi kami tahu sebelumnya orang itu berada di tempat ini. Karena Ki Sanak telah lebih dulu berada di tempat ini. apakah Ki Sanak melihat seseorang di sini? Seorang gadis berpakaian biru."
Walau dua orang penunggang kuda yang masih muda-muda itu menunjukkan sikap baik dan sopan, namun Panji Ateleng tidak segera menjawab. Bisa saja keduanya menanyakan orang yang dicari membekal maksud jahat terhadap orang yang mereka tanya yaitu Dewi Dua Musim. Maka dia balik bertanya.
"Kalau boleh tahu keperluan apa Ki Sanak berdua menanyakan orang itu?"
Dibalik bertanya seperti itu. dua penunggang kuda serta merta maklum kalau memang Panji Ateleng telah bertemu atau melihat orang yang mereka cari.
"Kami berdua ada urusan penting. Sayang kami tidak bisa menjelaskan. Dari ucapan Ki Sanak cukup memberi tahu pada kami kalau gadis itu sebelumnya memang berada di sini. Kalau dengan alasan tertentu Ki Sanak tidak mau menerangkan tidak menjadi apa. Kami mencari gadis itu bukan dengan niat tidak baik." Penunggang kuda yang bicara berpaling pada temannya. "Kita melanjutkan perjalanan saja atau menunggu Ajengan Manggala Wanengpati?"
Teman yang ditanya berpikir sejenak lalu menjawab. "Kita terus saja. Kurasa gadis itu masih berada di kawasan ini. Hembusan angin memberi petunjuk padaku dia meninggalkan tempat ini ke arah selatan Bukit Menoreh."
Dua orang pemuda kemudian tundukkan kepala memberi hormat pada Panji Ateleng, siap untuk meninggalkan tempat itu.
Setelah tahu dua pemuda tidak membekal niat jahat, Panji Ateleng cepat berkata. "Ki Sanak berdua tunggu dulu!"
Dua orang pemuda yang siap menarik tali kekang dan menarik kuda ke tiga serta merta hentikan gerakan. Salah seorang dari dua penunggang kuda berkata. Agaknya Ki sanak berubah pikiran. Mau memberi tahu?"
"Gadis yang Ki Sanak cari itu apakah dia bernama Dewi Dua Musim?" Bertanya Panji Ateleng.
"Benar!" Dua penunggang kuda menjawab berbarangan.
"Tadi dia memang ada di sini. Dia menerangkan tengah menunggu kedatangan tiga orang sahabat. Karena yang ditunggu tidak muncul dia kemudian pergi begitu saja..."
"Ahh...." Salah seorang pemuda penunggang kuda tarik nafas panjang. "Ki Sanak tahu dia pergi atau menuju kemana?"
Panji Ateleng menggeleng.
"Mungkin Ki Sanak sempat bercakap-cakap dengan gadis itu. Kalau boleh kami tahu apa saja yang telah dibicarakannya dengan Ki Sanak?"
"Dia tidak banyak bercerita. Hanya memberi tahu tentang tiga orang yang ditunggunya. Dia juga tidak mengatakan siapa orang-orang itu."
"Hanya itu?" Tanya salah seorang penunggang kuda.
"Hanya itu." Jawab Panji Ateleng. Dia tidak mau menceritakan kejadian yang dialaminya termasuk pertolongan yang diberikan Dewi Dua Musim.
Dua penunggang kuda melirik pada papan serta tebaran paku kayu di tanah. Salah seorang kemudian bertanya. "Ki Sanak sendiri apakah kebetulan saja berada di tempat ini?"
"Aku dalam perjalanan ke Kotaraja.' jawab Panji Ateleng.
"Ki Sanak tinggal di Kotaraja?"
"Aku tinggal di desa kecil tak jauh dan Kuto Gede."
"Kami melihat noda darah di wajah dan pakaian Ki Sanak. Apa yang telah Ki Sanak alami?" Penunggang kuda di sampir kanan bertanya. Sementara teman di sebelahnya kemba memperhatikan keadaan di tempat itu.
Panji Ateleng yang merasa didesak orang menjawab dengan tenang tapi suaranya mantap. "Ki Sanak berdua jika kalian menarah curiga telah terjadi sesuatu antara aku dengan gadis yang dicari, kecurigaan kalian tidak beralasan. Dewi Dua Musim gadis baik. Dia memiliki kepandaian tinggi, berhati tulus..."
"Bagaimana Ki Sanak tahu gadis itu berkepandaian tinggi. Apakah Ki Sanak sempat menjajalnya atau bertarung dengan dia?" Memotong pemuda di atas kuda sebelah kiri.
Kawannya menyambung. "Lagi pula yang kami tanyakan bukan apa yang terjadi antara Ki Sanak dengan Dewi Dua Musim. Tapi mengapa ada noda darah di wajah serta pakaian Ki Sanak..."
"Maaf. aku tidak bisa memberi jawaban. Yang pasti aku tidak berbuat satu kejahatan di tempat ini"
"Mungkin di tempat lain?!" Lagi-lagi pemuda berkuda di samping kanan yang bicara menempelak
Panji Ateleng tersenyum. Dia membungkuk memberi penghormatan. "Ki Sanak berdua, aku masih ada kepentingan lain. Aku senang telah bertemu dan berkenalan dengan kalian..."
Pemuda berkuda di sebelah kiri berbisik pada temannya. "Aku merasa curiga. Jangan jangan telah terjadi perkelahian antara dia dengan Dewi Dua Musim. Pemuda ini berhasil mencelakainya. Bukan mustahil membunuh gadis itu!"
"Mencelakai mungkin bisa jadi. Tapi untuk membunuhnya apapun kepandaian yang dimiliki pemuda ini dia tidak akan mampu melakukan hal itu terhadap Dewi Dua Musim." Jawab sang teman.
"Mungkin kita perlu memeriksa dan menahannya agar tidak pergi dulu?"
"Itu yang akan aku lakukan. Sekalian menjajal sampai dimana ilmu kanuragan dan mungkin juga kesaktiannya1" Dua pemuda di atas kuda dengan gerakan enteng melompat turun dari punggung kuda masing-masing. Sesaat kemudian mereka sudah berada di hadapan Panji Ateleng. Satu di sebelah kin satu di samping kanan
"Ki Sanak, kami terpaksa tidak mengizinkanmu meninggalkan tempat ini. Paling tidak sampai ada kejelasan apa yang terjadi dengan Dewi Dua Musim."
"Memangnya apa yang terjadi dengan gadis itu. Sebenarnya kalian ini siapa dan apa yang ada dalam benak serta hati kalian?!" Panji Ateleng mulai bersuara keras walau wajahnya tetap tidak menunjukkan kemarahan.
Pemuda berbelangkon hitam di samping kanan memberi isyarat dengan anggukan kepala pada sang teman. Si teman langsung bergerak. Sekali berkelebat dia sudah kirimkan serangan menotok ke dada kiri Panji Ateleng. Serangan ini sangat berbahaya karena kalau yang diserang hanya memiliki kepandaian sedang-sedang saja. totokan bisa sekaligus merusak jantung!
"Ki Sanak! Kau bertindak keliru! Tidak ada silang sengketa di antara kita. Mengapa menyerangku?!" Panji Ateleng berseru sambil condongkan tubuh ke kanan hingga serangan lewat hanya setengah jengkal di depan dada.
Dapatkan serangan kilatnya tidak mengenal sasaran, pemuda yang menyerang jadi beringas. Sekali berkelebat jotosan tangan kanannya menderu ke arah wajah Panji Ateleng. Panji Ateleng angkat tangan kanan ke atas dengan telapak terkembang. Begitu bukkk! Kepalan lawan menempel di telapak tangan, lima jari dengan cepat mencengkeram.
Sambil menahan sakit pemuda berpakaian hitam coba lepaskan cekalan Panji Ateleng. Tapi semakin dipaksa semakin seolah terasa remuk tangan kanannya!
Panji Ateleng dorongkan tangan kanan. Walau mendorong perlahan namun si pemuda berbelangkon hitam terjajar sampai tiga langkah. Bukannya sadar kalau tenaga luarnya berada di bawah tenaga luar lawan, pemuda itu malah menjadi nekad.
Didahutui bentakan garang dia kembali menerjang. Kali ini dua tangannya menderu bergantian. Menjotos laksana kilat dan kelihatan berubah menjadi banyak sekali. Sambil memukul dua kaki bergerak ke depan mendekati Panji Ateleng. Namun sampai tubuhnya keringatan semua pukulannya mengenai tempat kosong. Kemudian disadarinya Panji Ateleng tidak ada lagi di hadapannya.
"Ki Sanak, aku ada di sini. Apa kau akan terus-terusan memukul angin?!"
Pemuda yang menyerang berhenti memukul, cepat berbalik. Mukanya merah mengetam merasa dipermAihkan. Dia melihat Panji Ateleng telah berdiri di bawah pohon besar di tepi jalan sambil rangkapkan dua tangan di depan dada dan tersenyum. Panas hati si pemuda bukan alang kepalang. Kalau tadi
semua serangan yang dilancarkan hanya mengandalkan tenaga luar maka kini dalam marahnya dia segera keluarkan tenaga dalam dan hawa sakti. Sekali tangan kanan memukul, bukan saja tangan itu berubah panjang, tapi juga mengeluarkan selarik sinar hitam, menyambar ke arah Panji Ateleng!
"Ki Sanak, tahan serangan! Mengapa kau jadi nekad!" Panji Ateleng berseru.
Tapi lawan tidak perduli. Malah lipat gandakan tenaga dalamnya hingga sinar pukulan yang keluar dari tangan kanannya memancar lebih hitam, ganas dan angker!
"Wuuttt!"
TUJUH
WALAU orang menyerang dengan serangan ganas pertanda berniat mencelakainya. Panji Ateleng tetap tenang. Dalam ketenangan dia melesat dua tombak ke udara.
"Wusss! Braaakk!"
Sinar hitam pukulan lawan lewat di bawah kaki Panji Ateleng, menghantam pertengahan batang pohon hingga berderak patah dan tumbang bergemuruhl Jelas orang hendak menghabisi dirinya, sambil melayang turun Panji Ateleng berteriak.
"Ki Sanak! Ilmu kesaktian mu tinggi sekali! Aku mengaku kalah. Katakan apa yang kau inginkan dariku?!"
Di bawah sana pemuda yang diteriaki tidak menjawab malah semakin garang. Selagi lawan dilihatnya masih mengambang di udara, untuk kedua kalinya dia lancarkan pukulan sakti. Kembali larikan sinar hitam pekat dan angker berkiblat menghantam ke arah Panji Ateleng.
Kali ini Panji Ateleng tidak mau lagi mengambil sikap mengalah terus-terusan. Di udara dia membuat gerakan jungkir balik setengah lingkaran. Selagi sinar pukulan lawan menderu ke atas, Panji Ateleng tahu-tahu sudah turun ke tanah dan kirimkan tendangan ke lekukan lutut sebelah belakang kaki kanan pemuda berbelangkon hitam. Lutut tertekuk. Si pemuda terhuyung ke belakang.
Sewaktu dia coba mengimbangi tubuh Panji Ateleng tendang bagian belakang lutut kirinya. Tak ampun lagi pemuda itu langsung jatuh tertelentang di tanah becek. Merasa malu dan sekaligus marah, pemuda itu menyumpah habis dan cepat berusaha berdiri. Namun dua kakinya terasa sangat berat seolah diganduli batu besar.tak mampu digerakkan apa lagi untuk berdiri bangun!
"Manusia keparat! Apa yang kau lakukan!" Teriak pemuda berbetangkon hitam.
"Ki Sanak, tenanglah. Kau tak apa-apa. Mari kutolong bangun!" Kata Panji Ateleng pula. Dia melangkah mendekati pemuda yang tertelentang di tanah sambil mengulurkan tangan. Maksudnya memang hendak menolong.
Namun saat itu melihat kawannya diperlakukan seperti itu, pemuda satunya tidak tunggu lebih lama segera menerjang. Gerakannya luar biasa cepat. Tahu-tahu jotosan tangan kanannya sudah menderu ke arah pipi kanan Panji Ateleng!
Dari suara deru pukulan orang Panji Ateleng maklum kalau pemuda ini memiliki kepandaian lebih tinggi dari yang satunya. Panji Ateleng menghindar dengan mundur satu langkah sambil tarik kepala ke belakang.
"Wuttt!"
Pukulan orang lewat di depan hidung Panji Ateleng. Tapi begitu lewat lima jari yang mengepal tiba-tiba membuka.
"Wusss!"
Kepulan asap kuning menyambar ke arah wajah Panji Ateleng. Bau aneh menerpa. Walau mampu menjauh namun pemuda dari Kuto Gede ini sempat menghirup asap kuning. "Racun Wesi Kuning!" Ucap Panji Ateleng cepat menahan nafas dan meniup kuat-kuat ke depan. Sebagian asap kuning bisa disembur namun sebagian lagi sudah masuk ke jalan pernafasannya. Saat itu juga pemuda ini merasa dadanya sesak, nafas menyengat dan pemandangan berkunang.
Melihat lawan dalam keadaan limbung pemuda berbelangkon hitam yang tadi melancarkan serangan asap beracun cepat menyerbu. Kali ini dia menggempur dengan pukulan berantai yang disebut Sepasang Ular Sondok Keluar Dari Goa. Dari sela-sela jari yang mengepal menyembur asap hijau menebar bau amis mendahului datangnya pukulan. Rupanya pemuda satu ini punya keahlian dalam ilmu pukulan mengandung racun jahat.
Tahu bahaya besar yang dihadapinya, dalam keadaan tubuh menghuyung akibat serangan racun asap pertama, Panji Ateleng rundukkan tubuh, dua tangan di kembang ke depan lalu didorong ke arah lawan.
Asap hijau menerpa membalik ke arah pemuda berbelangkon hitam, membuat orang ini tersentak kaget dan cepat melompat mundur. Begitu selamat dari senjata makan tuan, si pemuda menerjang ke depan sambil lancarkan satu tendangan ke arah kepala Panji Ateleng.
Saat itu Panji Ateleng sendiri terduduk di tanah. Wajah tampak kekuningan dan dua mata terpejam. Mulut komat kamit merapal mantera perlindungan. Dia hendak menggerakkan tangan untuk menotok urat besar di pangkal leher berusaha agar bisa menyemburkan sisa Racun Wesi Kuning yang masih mendekam ketika tendangan kaki kanan pemuda berbelangkon hitam datang laksana geledek!
"Pecah kepalamu!" Teriak si penyerang.
Hanya sekejapan lagi tendangan maut itu akan menghantam hancur kepala Panji Ateleng tiba-tiba tanah di tengah jalan yang becek terbelah. Dari dalam tanah menyusul suara orang berteriak.
"Sora Warangan! Sewaktu aku muda sepertimu saat ini. pasti aku juga ingin membunuh pemuda itu! Tahan seranganmu!"
Pemuda berbelangkon hitam bernama Sora Warangan dan tengah melancarkan tendangan maut ke kepala Panji Ateleng tersentak kaget mengenali suara orang yang berteriak, dia cepat tahan tendangan.
Dari dalam belahan tanah kemudian mencuat keluar satu tubuh manusia yang kemudian jatuh bergedebuk di di tanah becek. Orang ini mengenakan pakaian bagus, seperti pakaian yang biasa dikenakan pejabat tinggi Kerajaan Mataram. Wajahnya yang berkumis tebal tampak benjat benjut, rambut riap-riapan. Di sela bibir mengucur lelehan darah, turun sampai ke dagu yang ditumbuhi janggut tebal. Baik pakaian maupun muka dan kedua tangannya penuh tertutup tanah merah. Dua tangan orang ini menggapai-gapai lalu disusun di atas kepala sambil mulut keluarkan suara mengerang dan meratap.
"Ampun, Ajengan Manggala Wanengpati ampuni selembar nyawaku!" Habis meratap dia semburkan ludah bercampur darah dan tanah.
Panji Ateleng yang berdiri di tepi jalan terkejut ketika mengenali siapa adanya orang berpakaian bagus yang tengah minta-minta ampun. "Perwira Tinggi Kerajaan Cakra Baskara! Apa yang terjadi dengan dirinya? Siapa yang melemparnya keluar dari dalam belahan tanah! Dia meratap minta ampun pada seorang bernama Ajengan Manggala Wanengpati. Mana orangnya?! Manggala Wanengpati. bukankah dia kakek hebat sahabat sekaligus murid Kiai Manding Saroka dari Pulau Madura?"
Saat itu dari dalam belahan tanah melesat orang kedua mengenakan belangkon dan jubah hitam legam. Seperti orang pertama yang meratap minta ampun, orang ini wajah dan pakaian serta tangan dan kakinya juga penuh dengan tanah merah becek. Namun dengan sekali menggoyang aurat, semua tanah yang menempel rontok lenyap seketika membuat ujud orang ini jadi terlihat jelas!
DELAPAN
ORANG kedua yang keluar dari dalam tanah adalah seorang kakek tinggi kurus, mengenakan jubah hitam. Di kepala bertengger sebuah belangkon hitam digelung dengan ikatan kain putih berbahan sutera halus. Dari bawah belangkon sebelah belakang menjulai rambut putih sepunggung. Walau tidak memelihara kumis, janggut atau berewok namun wajah kelimis si kakek menampilkan ujud menyeramkan!
Dua daun telinga yang seharusnya berada di samping kepala terletak di kening kiri kanan. Lalu mulut yang semestinya terletak di bawah hidung berada di tenggorokan di bawah dagu! Agaknya kakek berwajah aneh inilah yang telah melempar Perwira Tinggi Kerajaan Cakra Baskara dari dalam tanah dan saat itu tengah meratap meminta ampun.
******************
Siapakah si kakek aneh berjubah dan berbelangkon hitam berikat kepala kain sutera putih? Dulunya sebelum menjadi Ajengan atau pemuka agama dia adalah seorang berkepandaian tinggi baik ilmu silat maupun kesaktian. Diketahui bernama Manggala Wanengpati, dijuluki Iblis Hitam Kepala Putih. Julukan itu diberikan orang karena dia selalu mengenakan jubah hitam sedang di atas kepala yang mengenakan belangkon hitam pada bagian di atas kening selalu melilit kain putih terbuat dari sutera.
Dengan ilmu yang dimilikinya Manggala Wanengpati mengembara ke berbagai penjuru tanah Jawa bahkan sampai ke tanah seberang termasuk pulau Madura, Bali dan Andalas, Sesekali dia pernah pula muncul di negeri Bugis serta tanah Dayak. Dalam pengembaraannya dia banyak mempelajari berbagai ilmu kesaktian langka dari tempat-tempat yang didatangi pada para tokoh yang ditemui.
Namun di masa mudanya Manggala Wanengpati telah berbuat banyak kejahatan. Mulai dari menjadi kepala rampok sampai mempermainkan perempuan termasuk menculik istri dan anak gadis orang. Dalam menjalankan kejahatan, perkara membunuh adalah soal kecil baginya, seenak dan semudah dia membalikkan telapak tangan saja.
Menurut riwayat yang kemudian diketahui banyak tokoh rimba persilatan dan tokoh agama di tanah Jawa dan Madura, ketika memasuki usia hampir tujuh puluh tahun, Manggala Wanengpati yang masih saja terus berbuat maksiat dan kejahatan suatu ketika bertemu dengan seorang Kiai berasal dari Sumenep di Pulau Madura, bernama Kiai Manding Saroka. Seperti biasa, jika bertemu dengan orang berkepandaian tinggi Manggala Wanengpati selalu ingin menjajal.
Saat itu sang Kiai berada di tempat kediamannya di tepi Kali Saroka yang indah pemandangan dan sejuk hawanya. Kedatangan sang tamu disambut Kiai Manding Saroka dengan segala hormat. Niat Manggala Wanengpati menantangnya bertarung saling uji ilmu kepandaian hingga salah satu dari mereka menemui kematian tidak dilayani, ditolak secara halus oleh sang Kiai.
Malah dengan tenang Kiai Manding Saroka mengambil sebuah bantalan dan Kitab Suci Al Qur'an, duduk bersila di lantai panggung rumah kediamannya. Bantal diletakkan di atas pangkuan lalu Kitab Suci ditaruh diatas bantal.Sesaat kemudian terdengar suara sang Kiai mulai membaca melantunkan ayat-ayat suci dengan suara lembut.
Siapa saja yang mendengar suara sang Kiai mengaji pastilah akan merasa kesejukan di dalam kalbu. Namun tidak demikian dengan Manggala Wanengpati yang jahat, sombong, keras kepala keras hati. Dia merasa tersinggung. Sambil borkacak pinggang dia membentak. Mulut aneh yang berada di tenggorokan di bawah bahu terbuka.
"Kiai Manding Saroka! Jika kau tidak segera menghentikan bacaan dan meletakkan Kitab Suci itu, jangan salahkan kalau aku akan segera menyerangmu. Jika kau sanggup menghadapi tiga jurus saja dari seranganku, aku menganggap kau pantas menjadi guruku!"
Kiai Manding Saroka hentikan bacaannya, kepala diangkat sedikit, menatap Manggala Wanengpati lalu mulut berucap. "Bahwasanya jika seorang hamba telah melakukan kejahatan selama umur dikandung badan. Seumpama dosa-dosanya tak terhitung sebanyak busah di lautan. Lalu pada suatu ketika dia meminta ampun dan bertobat, maka Allah Maha Pengasih Maha Penyayang akan menerima tobatnya."
"Kiai kurang ajar! Aku menantangmu menerima tiga jurus seranganku! Bukan mau mendengar dakwah!" Teriak Manggala Wanengpati dongan suara lantang mata mendelik.
Kiai Manding Saroka menjawab bentakan orang dengan tersenyum. Mata dikedip lembut Lalu kembali dia berkata. "Ketika seseorang telah melakukan kejahatan dan berbuat begitu banyak dosa sepanjang hidupnya, lalu dia menghadapi sakratal maut sengsara kematian. Lalu dia memohon ampun dan tobat kepada Allah, maka baginya tobat tidak berlaku lagi. Sesungguhnya dia sudah ditunggu siksaan yang teramat pedih..."
Amarah Manggala Wanengpati meledak. Sekali lompat saja dia sudah lepaskan tendangan kaki kanan dahsyat ke arah kepala Kiai Manding Saroka. Ini adalah jurus pertama dari ilmu silat luar yang dinamakan 'Tiga Iblis Hitam Membuncah Laut Selatan'! Karena tendangan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dan hawa sakti maka serangan itu memancarkan cahaya hitam pekat.
Diserang dengan tendangan maut begitu rupa Kiai Manding Saroka meneruskan bacaannya namun di saat itu dua tangan digerakkan untuk mengangkat Kitab Suci Al Qur'an dari atas bantal. Begitu Kitab Suci naik ke atas, tiba-tiba sekali bantal yang ada di pangkuan sang Kiai melesat ke udara, melindungi kepala Kiai Manding Saroka.
"Desss!"
Tendangan maut Manggala Wanengpati menghantam bantal, menyelamatkan kepala Kiai Manding. Walau kakinya hanya merasa menendang benda lembut seperti kapas namun tak urung kakek berjuluk Iblis Hitam Kepala Putih terhuyung ke belakang, hampir saja jatuh duduk di lantai rumah kalau tidak cepat mengimbangi diri.
Seharusnya apa yang terjadi menyadarkan Manggala Wanengpati. Kiai Manding Saroka hanya mempergunakan sebuah bantal untuk menghadapinya, tidak turun tangan langsung. Tapi karena mata hati dan pikiran jernih sudah tertutup. Manggala Wanengpati malah menggelegak amarahnya. Dia kembali menyerang sang Kiai. Serangannya ternyata bukan hanya tiga jurus tapi sudah tujuh jurus.
Seluruh tujuh jurus, semua serangan itu ditahan oleh bantal milik sang Kiai! Hebatnya setiap serangan yang dilancarkan Manggala Wanengpati dan mampu menghancurkan tubuh besar seekor gajah atau batu, namun bantal yang dihantam sedikitpun tidak rusak, robek apa lagi sampai berbusaian kapuk di dalamnya!
Dengan hidung kembang kempis, tangan dan kaki merah bengkak, pada akhir jurus ke tujuh Manggala Wanengpati hentikan serangan. Dia berdiri tegak dengan mata laksana dikobari api. Tangan kanan diangkat perlahan sejajar dada. Rahang menggembung. Sesaat kemudian tangan kanan itu berubah menjadi hitam legam.
Kiai Manding Saroka maklum kalau orang hendak menghantamnya dengan satu pukulan sakti sangat jahat Maka sambil menutup Kitab Suci dan mendekapnya di dada, orang tua ini berkata. "Saudaraku Manggala Wanengpati, sudah saatnya kau harus dimandikan. Tubuh, otak dan hatimu perlu dibersihkan! Mudah-mudahan kau mendapat pengampunan dari Yang Maha Kuasa juga mau mengembalikan dua telinga serta mulutmu ke tempat semestinya! Yang penting kau bisa insaf dan kembali ke jalan yang benar."
"Kiai keparat! Terima kematianmu!" Manggala Wanengpati hantamkan tangan kanannya yang telah berubah hitam berkilat ke arah Kiai Manding Saroka.
Sang Kiai jentikkan dua jari tangan kanan. Saat itu juga bantal yang mengapung di udara melesat menutupi wajah Manggala Wanengpati. Selagi kakek ini kelagapan, bantal mendorong kepalanya hingga tubuhnya terjajar ke belakang lalu melabrak terali bambu di ujung langkan rumah. Terali roboh, tubuh Manggala Wanengpati tercebur masuk ke dalam kali.
Kiai Manding Saroka berdiri, lalu melangkah ke tepi langkan memperhatikan ke dalam kali. Kepala atau tubuh Manggala Wanengpati tidak muncul padahal dia tahu dorongan bantal tidak membuat kakek itu pingsan dan Manggala juga pandai berenang. Di salah satu bagian kali Kiai Manding melihat ada pusaran air yang terus berputar. Arus air kali tidak mampu melenyapkan pusaran itu. Sang Kiai tersenyum dan angguk-anggukkan kepala.
"Manggala Wanengpati, semoga Gusti Allah memberkatimu."
Tiga hari setelah terceburnya Manggala Wanengpati ke dalam Kali Saroka, suatu malam sambil menunggu kedatangan saat shotat Isya Kiai Manding Saroka mengaji di langkan rumah panggung, diterangi cahaya sebuah obor kecil. Tiba-tiba dia mendengar suara keras kecipuk air di antara suara arus kali. Sesaat kemudian sesosok tubuh melesat dan berdiri di hadapannya dalam keadaan basah kuyup.
Yang muncul bukan lain adalah Manggala Wanengpati. Kakek ini berdiri dengan tubuh menggigil. Belangkon hitam dan ikatan kain putih tak ada lagi di kepala. Jubah hitam masih utuh walau robek kecil di beberapa bagian. Dua telinga masih terletak di kening kiri kanan dan mulut juga masih tetap di tenggorokan di bawah dagu. Yang berubah pada diri kakek ini adalah kulitnya telah menjadi putih bersih dan pandangan matanya walau agak sedikit bengkak tampak jernih.
"Alhamdulillah. Mandi tiga hari tiga malam sahabat Manggala Wanengpati sudah selesai. Gusti Allah benar-benar telah memberkatimu." Berkata Kiai Manding Saroka.
Tidak memberikan jawaban Manggala Wanengpati langsung jatuhkan diri bersujud di lantai rumah panggung. Hening beberapa lamanya. Kemudian terdengar suara kakek itu berucap.
"Kiai Manding Saroka, aku Manggala Wanengpati mengaku salah. Aku mohon ampun atas semua dosa dan segala kesalahanku. Aku juga ingin bertobat pada Gusti Allah atas semua dosa kesalahanku di masa lampau. Di sisa hidupku ini aku ingin menjadi orang baik-baik dan taat beragama. Aku membutuhkan bimbingan Kiai."
Kiai Manding Saroka gembira sekali mendengar ucapan Manggala Wanengpati. Setelah meletakkan bantal dan Kitab Suci di atas sebuah meja kecil, orang tua ini memegang bahu Manggala Wanengpati lalu menyuruhnya berdiri. Sambil memegang bahu Kiai Manding salurkan hawa hangat ke tubuh Manggala hingga kakek ini tidak menggigil lagi kedinginan. Hawa hangat itu memberi kekuatan hingga Manggala mampu mengembalikan tenaga dalam dan mengatur hawa sakti di tubuhnya.
"Saudaraku, tidak ada sesuatu yang teramat indah selain niat baik yang diucapkan dengan segala ketulusan. Tidak ada berkah yang besar dan menyejukkan hati selain berkah dari Yang Maha Kuasa." Kiai Manding Saroka lalu memeluk tubuh basah kuyup itu dengan perasaan penuh haru.
Menurut cerita selanjutnya Manggala Wanengpati menetap di tempat kediaman sang Kiai selama beberapa hari. Di sini dia menerima berbagai amalan. Konon kemudian atas nasihat sang Kiai, Manggala Wanengpati berangkat ke tanah suci Mekkah. Ketika sepuluh bulan kemudian dia kembali ke tanah Jawa, walau penampilannya tidak berubah yaitu tetap mengenakan jubah dan belangkon hitam serta ikat kepala putih namun kakek ini telah menjadi seorang baik dan alim.
Beberapa bulan dia menetap di tempat kediaman Kiai Manding Saroka untuk menimba ilmu keagamaan. Orang kemudian memanggilnya dengan sebutan Ajengan yang berarti seorang pemuka agama. Sewaktu Kiai Manding Saroka menanyakan apakah dia ingin mempelajari beberapa ilmu kesaktian, Manggala menggeleng dan memberi tahu dia lebih membutuhkan ajaran agama dari sang Kiai.
Selama berada di tempat kediamannya di tepi Kali Saroka, Kiai Manding tidak pernah menanyakan pada Manggala Wanengpati apa yang terjadi dengan dirinya hingga dia memiliki sepasang telinga dan mulut yang tidak pada tempatnya. Walau boleh dikatakan Manggala Wanengpati sudah sebagai muridnya namun sang Kiai kawatir, kalau bertanya akan menyinggung perasaan Manggala. Sebaliknya Manggala Wanengpati sendiri tidak pula mengungkapkan hal-hal yang menyangkut dirinya di masa lalu. Dia menaruh kawatir kalau sang Kiai sebenarnya sudah banyak tahu mengenai dirinya atau bisa pula Kiai Manding Saroka tidak suka mendengar riwayat masa lalunya.
******************
Kembali ke kaki Bukit Menoreh. Melihat orang kedua yang muncul dari belahan tanah yang saat itu telah menutup kembali, pemuda bernama Sora Warangan cepat membungkuk dalam dan berkata.
"Guru! Ajengan. Kalau Ajengan tidak muncul niscaya saya telah membuat dosa besar karena membunuh pemuda itu. Maafkan saya karena telah berbuat khilaf!"
Tidak mengacuhkan ucapan orang. Ajengan Manggala Wanengpati melangkah mendekati pemuda satunya yang sampai saat itu masih tergeletak di tanah jalan becek dan dari tadi setengah mati berusaha bangun tapi tidak mampu karena Panji Ateleng telah menggelanduti kedua kakinya dengan Ilmu sepemberat batu!
"Wayan Dekik!" Bentak Ajengan Manggala. "Apa yang kau lakukan di sini?! Mengapa tidur di tengah jalan becek?!"
"Ajengan, Guru, say... saya..."
Sambil gelengkan kepala tapi mata melirik ke arah Panji Ateleng, Ajengan Manggala Wanengpati gebrakkan kaki kanan ke tanah. Tubuh pemuda bernama Wayan Dekik yang tergeletak menggeliat-geliat di tanah terlempar ke udara. Anehnya tubuh pemuda itu kemudian tertegak dan tersandar di sebatang pohon di tepi jalan. Dia tidak jatuh, juga tidak lagi merasa kedua kakinya berat seperti tadi. Malah dia bisa melangkah!
SEMBILAN
PANJI Ateleng yang memperhatikan apa yang terjadi membatin dalam hati. "Kakek aneh berkuping di kening, bermulut di leher itul Dia bukan saja membuat muridnya sanggup berdiri tapi sekaligus melenyapkan Ilmu Seberat Gunung Mengunci Bumi yang aku terapkan! Pemuda itu tadi memanggilnya dengan sebutan Ajengan. Siapa lagi orang sakti aneh berpakaian hitam, belangkon hitam, ditambah ikat kepala sutera putih, kalau bukan Ajengan Manggala Wanengpati yang dulu menurut guru pernah dijuluki orang-orang rimba persilatan sebagai Hantu Hitam Kepala Putih."
Di bawah pohon Wayan Dekik tampak ketakutan. Buru-buru pemuda ini susun dua tangan di atas kepala. "Guru, Ajengan, saya mohon maafmu. Saya mengaku kalau berbuat salah...."
"Bukan kalau, tapi kau dan Sora Warangan memang telah berbuat kesalahan besar!"
Kembali Wayan Dekik susun dua tangan di atas kepala sementara pemuda bernama Sora Warangan hanya tegak dengan tundukkan kepala.
"Kalian berdua masih ingin membunuh pemuda itu?" Tanya Manggala Wanengpati sambil menunjuk dengan ibu jari tangan kanan ke arah Panji Ateleng.
Dua pemuda berpakaian hitam-hitam saling pandang, gelengkan kepala lalu menunduk. Dalam hati mereka merasa heran kenapa sang guru bertanya begitu. Apakah Ajengan mengenal orang yang tadi hendak mereka bunuh itu?
"Kalian sudah kuberi pelajaran bahwa membunuh sesama manusia tanpa alasan yang benar-benar bisa dipertanggung jawabkan adalah dosa sangat besar di hadapan Gusti Allah..."
"Saya mohon maaf Ajengan, Guru...." kata Wayan Dekik.
"Saya juga." berkata Sora Warangan.
"Kalian tahu siapa pemuda ini?!" Manggala Wanengpati masih membentak.
Dua anak murid yang ditanya menatap ke arah Panji Ateleng lalu sama-sama menggeleng.
"Dia adalah Panji Ateleng! Adik ipar Pangeran Banowo. Orang paling penting di Istana Kerajaan Mataram! Masih sedarah dengan Sri Baginda Raja Mataram!"
Wayan Dekik dan Sora Warangan terkejut. Muka mereka berubah pucat. Buru-buru keduanya melangkah ke hadapan Panji Ateleng, membungkuk dan meminta maaf berulang kali. Panji Ateleng balas tundukkan kepala. Saat itu Panji Ateleng sebenarnya merasa terkejut karena tidak menyangka Ajengan Manggala Wanengpati mengetahui nama dan siapa dirinya berkata.
"Saudara berdua, aku juga minta maaf. Sungguh tidak pantas apa yang telah aku lakukan pada kalian."
Panji Ateleng kemudian menemui Manggala Wanengpati. Tangan si kakek disalami dan dicium. "Ajengan yang saya hormati, sesungguhnya dua murid Ajengan tidak bersalah. Kami bertiga orang-orang muda selalu menuruti kata hati dan aliran darah panas yang tidak pada tempatnya. Lagi pula dua murid Ajengan itu bertindak untuk satu kepentingan yang baik. Dia hanya ingin tahu keselamatan seorang gadis bernama Dewi Dua Musim. Saya minta maaf pada Ajengan..."
Manggala Wanengpati tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Dia pandai menyejukkan hatiku. Seharusnya anak ini cocok jadi muridku." Lalu sambil memegang bahu Panji Ateleng sang Ajengan berkata.
"Anak muda, dalam hidup ini kau harus selalu pertahankan ketulusan hati. Walau aku tahu beban hidupmu sungguh sangat berat"
"Terima kasih Ajengan memperhatikan saya."
Manggala Wanengpati tepuk-tepuk perlahan bahu Panji Ateleng sambil diam-diam kerahkan Ilmu Dua Gunung Menahan Langit. Ilmu ini hampir sama dengan Ilmu Seberat Gunung Mengunci Bumi yang dimiliki Panji Ateleng. Lawan yang kena serangan akan menjadi kaku berat kedua kakinya hingga tak mampu bergerak apa lagi melangkah. Bedanya ilmu yang dimiliki sang Ajengan dikeluarkan melalui tangan sedang ilmu Panji Ateleng keluar dari kaki.
"Dess! Dess!"
Ajengan Manggala Wanengpati merasa seperti memukul bantalan karet. Tangannya yang ditepukkan ke bahu Panji Ateleng terpental lembut ke atas. Kakek ini tersenyum. "Anak baik... anak hebat!" Katanya dalam hati. Lalu dia perhatikan lima buah benda. Satu menancap, empat lainnya tergeletak di tanah.
"Hemmm, rupanya ada sesuatu terjadi di tempat ini." Kata sang Ajengan dalam hati lalu mengambil dan memperhatikan salah satu dari empat benda yang ada di tanah. "Paku Kayu Iblis Jati Roban. Tidak beracun tapi orang yang tertusuk jika tidak memiliki tenaga dalam cukupan, darahnya akan tersedot dan bisa menemui ajal dalam waktu satu hari jika paku tidak segera dicabut"
Manggala Wanengpati kembali menemui Panji Ateleng. "Anak muda, ada darah di paku kayu ini. Apakah ini darahmu?"
"Benar Ajengan..." Jawab Panji Ateleng tak berani berdusta.
"Sesuatu yang hebat telah terjadi atas dirimu?"
"Benar Ajengan..."
"Ada orang memantek tangan dan kakimu dengan paku kayu ini. Satu paku dipantek dalam mulutmu...."
"Itu juga benar Ajengan...."
"Apa Suro Gledek yang melakukan?"
Pertanyaan sang Ajengan kali ini membuat Panji Ateleng terkejut. "Betul sekali Ajengan. Bagaimana Ajengan bisa mengetahui?"
"Karena hanya ada satu orang yang memiliki Paku Iblis seperti ini. Warok hutan Roban yang bernama Suro Gledek" Jawab Ajengan Manggala Wanengpati. "Sudah saatnya aku arus membuat tobat manusia satu itu."
"Ajengan kenal Warok itu?"
"Bukan cuma kenal. Aku juga tahu dimana sarangnya. Karena dulu dia adalah bekas anak buahku...."
"Ah...." Panji Ateleng tercengang tak menyangka. "Ajengan, sebenarnya Warok Suro Gledek hanya suruhan orang...."
"Begitu?" Ajengan Manggala Wanengpati kerenyitkan kening. "Siapa orangnya?"
"Maaf Ajengan. Saat ini saya belum bisa memberi tahu."
Ajengan Manggala Wanengpati terdiam sebentar, kemudian berkata. "Tidak jadi apa kau tidak mau memberi tahu. Di dunia ini memang banyak rahasia. Kalau semua orang tahu namanya bukan rahasia lagi." Lalu sang Ajengan menyambung ucapan. "Soal Warok Suro Gledek biar aku yang mengurusi." Lalu Ajengan Manggala Wanengpati pegang dan perhatikan tangan Panji Ateleng kiri kanan. Mata juga melirik pada kedua kaki pemuda itu. "Hanya ada tanda bintik kecil. Berarti kalau bukan dia sendiri yang melakukan, ada seseorang yang telah menerapkan ilmu kesaktian mengobati luka pantekan tanpa bekas!"
"Anak muda," kata Manggala Wanengpati kemudian sambil memegang bahu Panji Ateleng. Turut keteranganmu tadi. mungkin dugaanku keliru, apakah kau bertemu seorang gadis mengenakan pakaian biru di tempat ini."
"Yang bernama Dewi Dua Musim?"
"Ah, rupanya dia telah memperkenalkan diri padamu."
"Benar Ajengan. Saya memang bertemu dengan dia. Justru dialah yang telah menyelamatkan saya. Dia yang mencabut empat paku yang memantek dua tangan dan dua kaki saya serta satu lagi di dalam mulut...."
Ajengan Manggala Wanengpati angguk-anggukkan kepala. "Apakah dia juga yang menutup dan menyembuhkan luka bekas pantekan di mulut serta dua tangan dan kakimu?"
"Tidak Ajengan. Kalau lima luka itu saya sendiri yang menyembuhkan walau Dewi Dua Musim berniat membantu."
Ajengan Menggala Wanengpati berpaling pada kedua muridnya. "Kalian dengar dan perhatikan baik-baik. Kalian menaruh curiga dan berniat membunuh pemuda ini karena melihat ada noda darah di pakaian dan wajahnya. Kalian menyangka dia telah mencelakai Dewi Dua Musim. Padahal darah yang ada di tubuh, wajah dan pakaiannya adalah darahnya sendiri. Darah yang keluar dan luka akibat siksaan orang!"
Sora Warangan dan Wayan Dekik sama rundukkan kepala. Wayan Dekik berkata. "Kami mengerti Ajengan. Kami berdua minta maaf." Lalu bersama Sora Warangan dia mendatangi Panji Ateleng. Sambil membungkuk keduanya berkata. "Kami minta maaf."
"Kita bertiga sudah jadi sahabat. Malah bisa dikatakan sudah menjadi saudara. Aku juga minta maaf." Jawab Panji Ateleng seraya memegang bahu dua pemuda di hadapannya.
Saat itu Ajengan Manggala Wanengpati kembali perhatikan dua tangan dan kaki Panji Ateleng. "Hemmm...." Ajengan Manggala Wanengpati usap dagunya. "Anak muda, untuk menyembuhkan luka bekas pantekan kau mempergunakan Ilmu Penyakit Datang Dari Manusia. Penyembuhan Datang Dari Alam. Betul?"
Panji Ateleng terkejut mendengar ucap pertanyaan sang Ajengan. Tapi dia juga merasa kagum. Ternyata kakek bertelinga dan bermulut aneh ini bukan cuma memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi tapi juga punya pengetahuan luas tentang segala macam ilmu yang dimiliki orang lain. Satu ilmu yang termasuk langka dalam rimba persilatan pada masa itu. Sebenarnya Panji Ateleng hendak bertanya bagaimana atau dari mana si kakek bisa tahu ilmu yang dipergunakan untuk menyembuhkan dirinya. Namun sang Ajengan dilihatnya tertawa dan lebih dulu berkata.
"Panji Ateleng, di masa muda aku pernah terluka parah akibat tusukan delapan anak panah yang menancap di tubuhku. llmu itu juga yang menyembuhkan diriku."
Mendengar ucapan orang, Panji Ateteng langsung bertanya. "Rupanya Ajengan juga memiliki ilmu itu....?" Panji Ateleng tidak lanjutkan ucapan karena saat itu dilihatnya Ajengan Manggala Wanengpati tertawa lebar.
"Gurumu Toh Bagus Kamandipa adalah sahabatku paling baik tapi paling konyol. Tapi justru kekonyolannnya aku paling suka. Ha ha! Untung kau kulihat tidak konyol seperti dia." Ajengan Manggala Wanengpati tertawa gelak-gelak.
"Gurumu satu-satunya tokoh rimba persilatan yang tidak pernah aku tantang untuk bertarung lalu aku peras ilmu kesaktiannya. Ha ha ha! Dia orang baik. Aku sangat menghormatinya. Cukup lama kami tidak pernah bertemu. Apakah dia baik dan sehat-sehat saja di tempat kediamannya di pantai selatan?"
"Beliau baik-baik dan sehat-sehat saja. Terima kasih Ajengan memperhatikan guru. Hanya saja sejak beberapa waktu lalu beliau tidak lagi menetap di pantai selatan, tapi telah mendirikan sebuah gubuk di salah satu lereng Gunung Merapi"...."
"Si konyol itu rupanya sudah bosan dengan hawa panas, angin dan bau garam air laut. Kini mencari kesejukan di Gunung Merapi. Bagus begitu. Agaknya dia sengaja bersejuk-sejuk agar bisa awet muda! Ha ha ha!"
Panji Ateleng ikut tertawa mendengar seloroh si kakek lalu berkata. "Kalau bertemu guru, nanti akan saya beri tahu pertemuan kita ini."
"Bagus, memang harus begitu. Sampaikan salam hormatku padanya. Sekarang aku masih ada satu pertanyaan. Ketika kau bertemu dengan Dewi Dua Musim, apa saja ceritanya padamu?"
"Dia tidak bicara banyak. Saya ingat dia mengatakan kalau berada di tempat ini karena ada janji bertemu dengan tiga orang. Tapi yang ditunggu tidak datang. Kemudian dia malah bertemu dengan dua penunggang kuda yang menyeret saya di atas papan dalam keadaan dipantek."
"Ketika berpisah, gadis itu tidak mengatakan mau pergi kemana?"
Panji Ateleng menggeleng.
"Yang ditunggu Dewi Dua Musim adalah aku dan dua muridku. Tapi Perwira Tinggi jahanam itu membuat masalah, menimbulkan halangan hingga kami terlambat datang ke sini"
Panji Ateleng sebenarnya ingin bertanya apa yang telah dilakukan Perwira Tinggi itu. Namun hal tersebut tidak dilakukan karena dia paling tidak suka mengetahui atau mencampuri urusan orang lain.
Ajengan Manggala Wanengpati usap bibirnya yang terletak di tenggorokan lalu palingkan tubuh, melangkah mendekati lelaki berpakaian bagus tapi berselomotan tanah yang saat itu masih duduk menjelepok di tanah. Melihat dirinya didatangi langsung orang ini susun sepuluh jari di atas kepala dan seperti tadi kembali meratap.
"Ajengan, mohon ampuni selembar nyawaku. Aku mengaku sangat bersalah. Sangat berdosa...."
"Diam" Bentak Manggala Wanengpati. Dia berpaling pada dua muridnya Sora Warangan dan Wayan Dekik.
"Menurut kalian apakah Perwira Tinggi licik ini perlu dibunuh dihabisi?!"
Dua murid saling pandang karena tak berani menjawab.
"Aku bertanya! Mengapa kalian tiba-tiba jadi gagu!"
"Ajengan, Guru, bukankah tadi menurut Ajengan membunuh adalah satu dosa besar...." Wayan Dekik beranikan membuka mulut.
"Betul! Kecuali ada alasan yang tepat!" Hardik Manggala Wanengpati.
"Kalau begitu biar saya yang membunuh Perwira Tinggi ini!" Sora Warangan berkata seraya melangkah mendekati orang yang duduk di tanah.
Orang ini langsung saja menggerung keras lalu jatuhkan diri, kening sampai menyentuh tanah jalanan yang becek. "Ajengan, saya benar-benar minta ampun. Saya bertobat tidak akan berbuat jahat lagi kepada siapapun. Ajengan..."
Ajengan Manggala Wanengpati memberi isyarat pada Sora Warangan agar tidak melangkah lebih dekat lalu menepuk bahu si Perwira Tinggi. "Cakra Baskara! Berdiri dihadapanku!"
Mendengar bentakan sang Ajengan Perwira Tinggi bernama Cakra Baskara yang masih bersujud di tanah cepat-cepat berdiri.
"Cakra Baskaral Nasib dirimu masih baik! Muridku tidak akan membunuhmu. Aku juga tidak walau kau hampir mencelakai nyawa kami bertiga dan menghalangi urusan besar yang tengah kami jalankan. Tapi hukuman tetap berlaku atas dirimu. Kau tidak kulepas begitu saja!"
Mendengar ucapan sang Ajengan, mengira dia tetap akan mendapat hukuman berat, kembali si Perwira Tinggi menggerung ketakutan dan menyembah-nyembah.
Ajengan Manggala Wanengpati tidak acuhkan Perwira itu. Dia malah tegak membelakangi tapi sepasang mata melirik ke atas satu pohon besar di depannya. Pada salah satu cabang pohon sejak tadi dia sudah melihat ada satu sarang tawon besar. Tanpa membalikkan diri kakek ini cekal leher pakaian si Perwira lalu sekali menyentak Perwira Tinggi Kerajaan Mataram itu melesat ke udara. Kepala membentur sarang tawon hingga sarang tawon menjadi remuk, tubuh jatuh membelintang di atas cabang tepat di bawah sarang tawon.
Dari dalam sarang tawon yang hancur menderu keluar ratusan tawon besar yang langsung menyerang Cakra Baskara! Perwira ini melolong menjerit-jerit. Sebentar saja muka dan tubuhnya sebelah atas telah bengkak matang merah akibat antukan tawon. Karena tidak tahan, dari cabang pohon dia terjun ke tanah. Tapi ratusan tawon tetap mengikuti mengejarnya.
Sambil terus menjerit-jerit kesakitan Cakra Baskara lari lintang pukang menuruni kaki Bukit Menoreh. Walaupun jauh di bawah sana tapi Kali Progo adalah satu-satunya tempat yang dirasakannya bisa dipergunakan untuk menyelamatkan diri. Maka dengan segala sisa tenaga yang ada dia bertari ke arah kali. Begitu sampai di tepi kali langsung menceburkan diri!
Memperhatikan apa yang terjadi dengan sang Perwira, Panji Ateleng kasihan ada, merasa geli juga ada. Ketika dia berpaling dilihatnya Ajeng Manggala Wanengpati dan dua muridnya telah duduk di atas punggung kuda.
"Anak muda, saatnya kita berpisah. Aku harus mencari Dewi Dua Musim. Musim panas lalu aku dan dua murid mengalami kesulitan menemuinya. Sekarang di musim hujan ini harus berhasil. Kalau tidak dapat menemuinya dan nanti datang lagi musim panas, semua urusan bisa tambah tidak karuan."
Mendengar si kakek menyebut musim panas dan musim hujan. Panji Ateleng hendak menanyakan sesuatu namun sang Ajengan mendahului.
"Jika kau bertemu gurumu si orang tua konyol itu. sampaikan salam hormatku padanya."
"Pasti akan saya sampaikan Ajengan," jawab Panji Ateleng. "Kalau saya boleh bertanya...."
Sayang, Ajengan Manggala Wanengpati telah melompat ke atas kuda hitam yang dibawa dua muridnya. Sekali tali kekang kuda disentak, ketiga orang itu berlalu dari hadapan Panji Ateleng.
Di langit matahari telah naik. Sinar teriknya mulai terasa panas. Panji Ateleng perhatikan dirinya sendiri. Baru menyadari betapa kotor tubuh dan pakaiannya.
"Aku harus membersihkan diri." Dia memandang ke arah Kali Progo di kejauhan. "Aku bisa mandi di sungai itu. Siapa tahu ketemu Perwira Tinggi yang menceburkan diri tadi. Lalu bisa bertanya perbuatan apa yang telah dilakukannya hingga Ajengan marah besar dan nyaris membunuhnya."
Panji Ateleng segera berlari menuruni bukit Dalam waktu singkat dia telah sampai di tepi Kali Progo. Ketika tengah mencari tempat yang baik untuk mandi membersihkan tubuh dan pakaian tiba-tiba dia melihat banyak sekali penunggang kuda di jalan tanah becek dimana sebelumnya dia berada. Diantara penunggang kuda ada yang menunjuk-nunjuk ke arahnya. Lalu rombongan yang ternyata adalah satu kelompok pasukan Kerajaan itu bergerak menuruni bukit menuju Kali Progo. Karena merasa tidak ada sesuatu yang salah dengan dirinya. Panji Ateleng tetap saja berdiri di tepi kali.
Tak lama kemudian dua puluh perajurit Kerajaan dipimpin seorang Perwira Muda berkumis tebal melintang yang membekal dua bilah pedang sekaligus di pinggang telah mengurung Panji Ateleng! Tanpa turun dari kudanya, Perwira Muda cabut salah satu pedang di pinggang dengan tangan kanan. Lalu sambil tudingkan pedang ke arah Panji Ateleng dia berteriak memerintah pada anak buahnya.
"Aku Darka Gambilan. Perwira Muda Kerajaan. Aku memerintahkan tangkap orang itu!"
Tentu saja Panji Ateleng jadi terkejut. Dia segera mengambil sikap waspada berjaga diri.
SEPULUH
BELASAN perajurit berkuda segera bergerak mempersempit pengurungan. Dua perajurit yang mengenal siapa adanya Panji Ateleng segera mendekati Perwira Muda dan memberi tahu.
"Perwira, pemuda itu adalah adik ipar Pangeran Banowo. Jangan kita sampai kesalahan tangan."
Perwira Muda yang merasa ditegur oleh bawahannya delikkan mata dan membentak marah. "Ngurah! Aku tahu! Lalu apa urusanmu siapa dia. Justru aku mendapat wewenang dari Pangeran Banowo untuk menindak siapa saja, termasuk pemuda itu. Bahkan membunuhnya sekalipun! Kerjakan perintah atau kepalamu yang aku penggal lebih dulu dengan pedang ini!"
Melihat atasan belintangkan pedang di depan hidungnya, perajurit bernama Ngurah yang tadi bicara cepat letakkan dua tangan di atas kepala Seraya berkata. "Perwira, aku telah kesalahan bicara. Mohon maafmu."
Lalu bersama temannya dia segera undurkan kuda. Namun hatinya belum puas. Sambil membawa kudanya ke tepian kali dimana Panji Ateleng berada dia bekata perlahan pada temannya. "Panji Ateleng pemuda baik. Kenapa Perwira Muda hendak menangkap bahkan mau membunuhnya?!"
Sang teman menjawab "Ini semua sudah diatur para pejabat tinggi di Kotaraja. Kita sebagai bawahan hanya tunduk pada perintah atasan."
Saat itu delapan belas perajurit lainnya sudah mengurung Panji Ateleng di tepi kali. Dalam keadaan seperti itu walau terkejut dirinya dikepung pasukan Kerajaan namun Panji Ateleng bersikap tenang dan waspada. Dengan cepat dia mendatangi Perwira Muda namun hanya bisa mendekat sampai beberapa langkah karena dihalangi oleh belasan perajurit Dengan sopan Panji Ateleng bertanya.
"Perwira, ada apa kau memerintah pasukan menangkap diriku? Apa kesalahan yang telah aku lakukan?"
"Seseorang telah menculik Perwira Tinggi Cakra Baskara! Tanda-tanda menunjukkan bahwa dia dibawa ke sekitar tempat ini. Dan kami menemui kau dalam keadaan tubuh serta pakaian penuh darah! Aku punya wewenang untuk menangkap dan memeriksa dirimu!"
"Aku mengerti," jawab Panji Ateleng. "Tapi kalau Perwira Tinggi bernama Cakra Baskara itu yang kau cari dia masih hidupi Tidak ada yang membunuhnya! Tidak juga aku!"
"Kalau dia masih hidup mengapa tidak ada di sini?!" Bentak Perwira Muda di atas punggung kuda.
"Perwira!" Tiba-tiba seorang perajurit berseru. "Kami menemukan lencana yang biasa tersemat di dada pakaian Perwira Tinggi Cakra Baskara!"
Perajurit yang berseru lalu mendekati Perwira Muda dan menyerahkan sebuah benda. Benda ini adalah lencana atau lambang terbuat dari suasa, berupa bola dunia diapit dua ekor naga.
"Sesuatu telah terjadi dengan Perwira Tinggi Kerajaan!" Perwira muda palingkan kepala ke arah Panji Ateleng. Mata membeliak besar. "Kau harus bertanggung jawab! Bisa juga kau adalah pembunuh Perwira Tinggi Cakra Baskara!"
"Aku orang desa. Mana mungkin membunuh seorang Perwira Kerajaan yang pasti memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti Perwira Tinggi Cakra Baskara!"
"Diam! Aku tahu kau berdusta!"
"Perwira Muda Darka Gambilan, aku tahu kau mengada-ada.. Jika kau mencari Perwira Tinggi Cakra Baskara, tadi dia mandi di kali sebelah sana! Perintahkan saja anak buahmu mencari!"
"Kurang ajar! Kau berani berdusta mengelabuiku"
"Aku tidak dusta. Tadi akupun mau mandi di kali ini. Tapi setelah kau dan pasukanmu berada di sini, aku lebih baik mencari tempat lain. Harap kau perintahkan pasukanmu memberi jalan!"
"Benar-benar kurang ajar! Beraninya kau memerintah diriku Perwira Kerajaan! Nyawamu melayang saat ini juga jika berani beranjak dari tempatmu!"
Delapan perajurit segera mengarahkan tombak mereka dan empat lain sudah mencabut pedang. Tiba-tiba dari dalam air kail melesat keluar seseorang seraya berteriak.
"Pemuda itu tidak berdusta! Tapi dia memang layak ditangkap! Kalau perlu dihabisi saja! Dia adalah kaki tangan Ajengan Manggala Wanengpati yang telah menculikku!"
Orang yang berteriak melesat ke tepi kali, berdiri di atas satu gundukan batu. Orang ini ternyata adalah Cakra Baskara si Perwira Tinggi Kerajaan. Rambut, pakaian dan tubuh basah kuyup. Muka bengkak-bengkak merah kebiruan, mata gembung dan bibir jontor bekas diantuk tawon.
"Perwira Tinggi Cakra Baskara" Perwira Muda berkumis melintang melompat turun dari atas kuda dan berlari ke arah atasannya. Dia merasa lega melihat Perwira Tinggi itu dalam keadaan hidup walau wajah dan sebagian tubuh bengkak gembung tak karuan rupa!
Panji Ateleng yang menyaksikan siapa yang muncul dan mendengar ucapan orang ingat apa yang dikatakan Ajengan Manggala Wanengpati yaitu bahwa Perwira Tinggi itu adalah seorang licik.
"Perwira Tinggi Cakra Baskara! Aku tidak ada sangkut paut dalam urusanmu dengan Ajengan Manggala Wanengpati. Mengapa menuduh aku sebagai kaki tangan orang tua baik-baik itu?!"
"Enak saja kau bicara! Kalau orang menculikku, membenamkan dan menyeretku di dalam tanah lalu melempar diriku ke atas pohon. Membuat ratusan tawon menyerangku sementara aku tahu kau punya hubungan dekat dengan si penculik, apa kau masih berani dusta kalau kau tidak ada kaitan dengan penculikan yang dilakukan Ajengan jahat itu terhadapku?! Paling tidak kau adalah kaki tangan pembantunya!"
"Perwira Tinggi, kalau kau tidak membuat satu kesalahan besar tak mungkin Ajengan Manggala Wanengpati memperlakukanmu seperti itu!"
Cakra Baskara meludah ke tanah. "Ajengan Manggala Wanengpati kau bilang orang baik-baik? Huh! Semua orang di Mataram ini tahu siapa dia dulunya!"
"Bagiku orang yang dulu tidak baik tapi sekarang menjadi baik adalah lebih berguna dari pada orang yang dulu baik sekarang menjadi tidak baik alias jahat!"
Tampang Perwira Tinggi Cakra Baskara yang sudah sembab merah jadi bertambah merah seperti kepiting rebus mendengar ucapan Panji Ateleng. "Pemuda keparat! Ucapanmu seperti petinggi agama saja!"
"Perwira Tinggi, waktu Ajengan itu berada di sini, kau dengar sendiri apa yang kami bicarakan. Dia pergi begitu saja. Kalau aku memang pembantunya mengapa tidak ikut saja bersamanya?" Panji Ateleng tidak perdulikan caci maki orang.
"Kau tidak ikut karena dua anak murid Ajengan itu tidak menyukaimu!"
"Perwira Tinggi, maaf aku tidak akan melayani orang sepertimu. Ajengan Manggala Wanengpati telah mengampuni nyawamu! Seharusnya kau bertobat tidak berbuat jahat lagi! Sekarang kau malah hendak berbuat sewenang-wenang dan culas terhadapku!" Panji Ateleng berpaling pada Perwira Muda. "Perwira, aku minta jalani Perintahkan pasukanmu menyingkir!"
Cakra Baskara menyeringai, lalu berteriak. "Aku Perwira Tinggi Cakra Baskara mengambil alih pimpinan! Pasukan! Tangkap pemuda itu! Kalau melawan bunuh!"
Setelah berteriak Cakra Baskara tetap saja berdiri di atas gundukan batu di tepi kali. Agaknya dia tidak mau turun tangan sendiri karena sebelumnya sudah melihat kemampuan silat serta ilmu kesaktian Panji Ateleng. Dia malah memberi isyarat pada Perwira Muda Darka Gambilan agar segera turun tangan memimpin pasukan untuk menangkap Panji Ateleng hidup atau mati!
Seorang Perwira Muda Kerajaan yang menghunus sepasang pedang ditambah dua puluh perajurit bersenjatakan pedang, tombak dan golok langsung menyerbu Panji Ateleng.
"Kalian gila semua!" Teriak Panji Ateleng tapi dengan senyum dikulum. Otaknya yang cerdik bagaimanapun juga tidak akan mau melayani serbuan hebat itu.
"Hantam kepalanya, tangan dan kaki pasti tidak berdaya!"
Sambil dalam hati ucapkan ujar-ujar yang didapatnya dari sang guru Toh Bagus Kamandipa, Panji Ateleng melompat setinggi dua tombak. Didahului dengan gerakan jungkir balik satu kali dan melayang berputar di udara, tiba-tiba dia melesat ke arah Perwira Tinggi Cakra Baskara yang berdiri di atas gundukan batu.
Sebagai seorang Perwira Tinggi Kerajaan, walau ilmunya jauh berada di bawah Ajengan Manggala Wanengpati namun tingkat kepandaian Cakra Baskara cukup dikenal dan disegani. Ketika melihat sosok Panji Ateleng secara cepat dan tidak terduga menyambar ke arahnya, sang Perwira segera membungkuk sambil dua tangan didorong ke atas.
Dua gelombang angin deras menderu memapaki sosok Panji Ateleng yang saat itu masih belum melepas serangan. Mendengar deru angin dahsyat pemuda itu gerakkan tubuh demikian rupa hingga melayang datar satu jengkal di permukaan Kali Progo. Gerakan Panji Ateleng ternyata lebih cepat dari lawan. Selagi gelombang angin lewat di atasnya, dua tangan Panji Ateleng tahu-tahu mencekal sepasang kaki Cakra Baskara yang masih berdiri di atas gundukan batu.
Belum habis kaget Perwira Tinggi Kerajaan itu tiba-tiba tubuhnya terlempar ke udara, melayang ke arah pasukan yang tengah bergerak menyerbu Panji Ateleng.
"Tahan serangan!" Teriak Pewira Muda Darka Gambilan melihat bahaya sekian banyak tombak, pedang dan golok melesat ke depan ke arah tubuh atasannya.
Meski banyak perajurit yang sempat membatalkan serangan namun banyak pula yang sudah terlanjur menggerakkan senjata. Melihat bahaya yang mengancam, dari pada celaka dtbacok golok atau dibabat pedang atau ditusuk tombak, lebih baik menghantam mendahului. Maka Perwira Tinggi Cakra Baskara pukulkan dua tangan sekaligus.
Deru.angin dahsyat kembali menderu di tempat itu. Kali ini menghantam ke arah belasan perajurit yang menyerbu. Celakanya tidak semua perajurit sempat menghindar dengan cara menerjunkan diri ke kali atau jatuhkan tubuh sama rata dengan tanah. Enam orang kelihatan terlempar ke udara begitu kena hantaman dua golombang angin pukulan. Dua jatuh ke dalam air, langsung tenggelam pertanda sebelum masuk ke dalam kali nyawanya sudah putus lebih dulu. Empat perajurit lainnya berkapuran di tepi kali. Dua langsung tewas, dua lainnya menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi!
"Pukulan Gelombang Angin Selatan!" Ucap Darka Gambilan menyebut nama pukulan sakti yang barusan dilepas atasannya. "Jangankan perajurit-perajurit itu. Aku sendiri tidak mungkin menghadapinya!"
Perwira Muda Darka Gambilan bukan memperhatikan anak buahnya yang tewas tapi malah berlari mendatangi Cakra Baskara yang saat itu telah berdiri di tepi kali. "Perwira Tinggi, kau tidak apa-apa?" tanya Darka Gambilan.
Tampang Cakra Baskara tampak mengelam. Sepasang mata memandang berkeliling. Rahang menggembung geram. Panji Ateleng tidak terlihat lagi di pinggir kali. "Pemuda jahanam itu! Dia kabur! Pengecut!" Cakra Baskara merutuk.
"Manusia satu itu tidak usah dihiraukan! Cepat atau lambat kita pasti akan menemukannya. Nasibnya sudah ditentukan! Mati di tiang gantungan." Berkata Darka Gambilan.
"Aku punya firasat. Tidak semudah itu menggantung pemuda bernama Panji Ateleng itu. Terus terang, jika tadi dia bisa menelikung kedua kakiku lalu melemparku ke udara, jika dia mau sebenarnya dia bisa membunuhku! Ilmu silat dan kesaktiannya belum tentu di bawah Ajengan Manggala Wanengpati. Selain itu dia selalu bersikap tenang bahkan terkadang tersenyum. Gila"
Dalam hati Perwira Muda Darka Gambilan membenarkan ucapan atasannya itu. Namun dia segera mengalihkan pembicaraan. "Perwira Tinggi Cakra Baskara. Sebaiknya kita segera kembali ke Kotaraja. Saya membawa pesan dari Pangeran, jika bertemu Perwira Tinggi agar segera menemui beliau di tempat biasa."
Untuk beberapa lama Perwira Tinggi itu masih terdiam dalam kegeramannya. Kemudian dia anggukkan kepala dan berkata. "Aku memang harus menemui Pangeran. Banyak yang harus aku laporkan padanya!" Kata Cakra Baskara pula. Lalu dengan setengah berbisik dia bertanya. "Apakah pasukan tambahan sudah didapat?"
"Sudah, jumlahnya cukup banyak. Mereka berasal dari selatan Gunung Kidul." Jawab Darka Gambilan.
"Bagus, orang-orang Kidul memang dapat dipercaya. Selain itu mereka memiliki kekuatan raga yang dapat diandalkan." Kata Cakra Baskara pula.
"Perwira Tinggi, kalau saya boleh bertanya bukankah pemuda bemama Panji Ateleng itu sebenarnya sudah dibuat tak berdaya dan dibawa ke Magelang?"
"Aku tidak tahu bagaimana kejadiannya dia bisa lolos. Tapi dari pembicaraannya dengan Ajengan Manggala Wanengpati aku mencuri dengar ada seseorang menolongnya."
"Siapa?" Tanya sang Perwira Muda pula.
"Seorang mengaku bernama Dewi Dua Musim." Jawab Perwira Tinggi Cakra Baskara.
Mendengar disebutnya nama itu berubahlah tampang Darka Gambilan. Melihat ha! Ini Cakra Baskara bertanya. "Wajahmu mendadak pucat seperti melihat setan kepala tujuh. Ada apa?!" tanya Cakra Baskara.
“Tiga minggu lalu" Berkata sang Perwira Muda dengan suara bergetar. "Sebelum datang musim penghujan, saya nyaris menemui ajal di tangan gadis itu. Kejadiannya tak jauh dari Candi Ratu Boko."
"Mengapa kau tidak pernah memberi tahu padaku?"
"Mohon maafmu Perwira Tinggi. Nanti dalam perjalanan ke Kotaraja akan saya ceritakan semua apa yang terjadi." "Kalau begitu kita berangkat sekarang juga."
Empat mayat perajurit yang tergeletak di tanah diceburkan ke kali, segera dihanyutkan arus ke hilir. Perwira Muda Darka Gambilan memimpin pasukan menuju Kotaraja. Perwira Tinggi Cakra Baskara memilih menunggang kuda di tengah rombongan. Jika mendadak terjadi sesuatu di depan sana atau di seberlah belakang maka dia punya waktu mempersiapkan diri. Saat itu sebenarnya dia merasa kawatir. Takut kalau Ajengan Manggala Wanengpati mendadak muncul kembali.
******************
SEBELAS
MATARAM Kuno, terpaut delapan ratus tahun silam dengan peristiwa kemunculan Dewi Dua Musim di Mataram Baru Ketika malam itu di langit Mataram terlihat bulan purnama bulat penuh berwarna biru, Kumara Gandamayana, satu-satunya pembantu berkepandaian tinggi dan pengikut setia Raja Mataram yang masih ada segera menemui Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Saat itu mereka masih berada di tempat rahasia di dasar Sumur Api. Kumara Gandamayana datang bersama sisa-sisa Abdi Dalem Keraton Mataram Kuno.
Setelah menghatur sembah si kakek berkata. "Yang Mulia, kami datang memberi tahu bahwa satu keajaiban telah terjadi. Saya yakin ini adalah kuasa dan petunjuk Para Dewa. Bulan pumama muncul di langit Mataram sejak sore tadi. Tidak seperti biasanya bulan tampak berwarna biru, memancarkan cahaya sejuk. Ini satu pertanda bahwa penyakit jahat yang selama ini melanda Bhumi Mataram telah lenyap. Orang-orang kepercayaan kita yang ada di luar Sumur Api memberi kesaksian bahwa cairan merah yang selama ini terlihat menggenang dimana-mana telah sirna tidak berbekas. Petaka Malam Jahanam telah berlalu..."
"Berkat Yang Maha Kuasa sungguh luar biasa. Kita harus berterima kasih dan memanjatkan puji syukur." Kata Raja Rakai Kayuwangi. Lalu diikuti semua orang yang ada di situ Raja bersujud di lantai.
"Dari pinggiran pedataran berpasir kuning, kita bisa melihat bulan. Jika Yang Mulia ingin menyaksikan sendiri..." Berkata Kumara Gandamayana.
Diantar oleh si kakek dan diiringi oleh para Abdi Dalem serta Permaisuri Kerajaan, Rakai Kayuwangi pergi ke pedataran pasir berwarna kuning yang berada di dasar Sumur Api. Memang ajaib, walau jelas berada di dalam tanah namun dari tempatnya berdiri orang-orang itu bisa melihat langit di atas Bhumi Mataram. Ketika melihat bulan Biru yang begitu bagus, untuk kedua kalinya Raja Mataram melakukan sujud syukur. Yang lain-lain segera mengikuti apa yang dilakukan Raja.
Selesai bersujud Kumara Gandamayana berkata. "Yang Mulia, saya mendapat kabar ratusan Jin Putih atas perintah Sangkala Darupadha Raja Jin Hutan Roban telah memperbaiki Istana hanya dalam waktu sehari semalam. Pengawalan Istana juga telah diatur oleh beberapa pimpinan perajurit dibantu rakyat. Bilamana kita meninggalkan dasar Sumur Api secepatnya, maka sebelum tengah malam kita sudah sampai di Kotaraja."
"Sangkala Darupadha, walau dia tidak pernah menganggu Kerajaan apa lagi diriku tapi hubungan Mataram dengan dirinya tidak begitu baik. Beberapa waktu lalu diketahui dia memberi perlindungan pada warok dan para penjahat hutan Roban. Jika sekarang dia berbaik hati menolong kita berarti ini adalah lagi-lagi satu berkat dari Yang Maha Kuasa."
"Yang Mulia, setahu saya Sangkala Darupadha Raja Jin Hutan Roban itu adalah sahabat kental Arwah Ketua. Mungkin sekali Arwah ketua yang memintanya monolong memperbaiki Istana."
"Arwah Ketua...." ucap Raja. "Mahluk hebat yang tinggal di Candi Miring itu tidak terdengar lagi kabar beritanya sejak dia bentrokan dongan Satria Panggilan." Setelah menatap penuh kagum ke langit, memandangi bulan biru. Raja Mataram berkata. "Kakek Kumara, segera diatur persiapan untuk berangkat," kata Raja Mataram pula.
Kumara Gandamayana lalu meminta orang-orang yang ada di situ segera mengatur keberangkatan. (Mengenal siapa adanya kakek bernama Kumara Gandamayana ini sudah banyak diketahui dan dapat dibaca dalam serial Wiro Sablong yang telah terbit mulai dari Malam Jahanam Di Mataram sampai Bulan Biru Di Mataram)
Setelah mereka tinggal berdua saja di tepi pedataran pasir kuning Raja Mataram berkata pada si kakek.
"Yang Maha Kuasa telah memberi rahmat luar biasa besar pada Kerajaan Mataram. Besok keadaan pasti semakin membaik. Begitu matahari terbit kita harus mengumpulkan rakyat di alun-alun. Memberi tahu apa yang telah terjadi sekaligus menyampaikan ucapan syukur bersama. Namun terus terang ada beberapa hal yang masih mengganjal di dalam hati saya. Karena belum ada kejelasannya."
"Saya mengerti Yang Mulia. Sayapun dapat merasakan." Jawab Kumara Gandamayana.
"Apakah Embah Buyut Lor Pengging Jumena tidak pernah muncul lagi memberi petunjuk?" Bertanya Raja Mataram.
"Beliau memang jarang menemui saya secara langsung. Namun melalui beberapa orang yang dipercayanya saya yakin beliau telah melakukan sesuatu. Salah satu diantaranya peristiwa yang baru kita alami. Beliau dengan segala kearifan sengaja membawa Empu Semirang Biru kesini. Sepintas lalu jika orang tidak bisa menyelami maksud perbuatannya, muncul dugaan bahwa Emban Buyut saya itu seperti hendak membantu dua Sinuhun Jahat menimbulkan kekacauan, bahkan bisa menyebabkan malapetaka besar berupa kematian bagi Yang Mulia. Karena jelas Empu Semirang Biru yang malang itu telah menjadi kaki tangan dua Smuhun. Namun jika direnungkan apa yang dilakukan Embah Buyut saya justru agar kita mau berpikir dan membuka mata bahwa kejahatan itu bisa muncul secara mendadak, tidak terduga dalam bentuk dan cara yang sebelumnya mungkin tidak pernah terpikir."
"Kek, kita telah bertindak bijaksana menghadapi Empu Semirang Biru. Kita tidak sampai membunuhnya. Tapi siapa yang menaruh kepastian sesuatu yang buruk tidak terjadi dengan dirinya begitu dia keluar dari Sumur Api. Bahaya utama pasti datang dari dua Sinuhun. Begitu tahu Empu Semirang Biru gagal membunuh saya, kakek itu pasti akan dihabisi."
Kumara Gandamayana terdiam. Dalam hati dia membenarkan ucapan Rakai Kayuwangi.
"Saat ini kita tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolongnya. Tapi jika di kemudian hari kita mengetahui Empu itu telah menjadi korban kebiadaban dua Sinuhun, kita harus mencari jenazahnya. Jenazah itu harus kita urus dengan baik lalu kita membuat sebuah candi kecil untuk menghormati jasa besarnya yang telah membuat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi."
"Ucapan Yang Mulia akan saya tindak lanjuti," kata Kumara Gandamayana pula. Kakek sakti ini ingat bagaimana suatu malam atas perintah Raja Mataram dia datang ke puncak Gunung Bismo tempat kediaman Empu Semirang Biru. Dia memberikan ilmu kesaktian yang membuat dua tangan sang Empu berubah menjadi bara api hingga pembuatan keris sakti dapat dilakukan dalam waktu hanya beberapa hari saja. (Baca serial Wiro Sableng di Mataram Kuno berjudul Malam Jahanam Di Mataram)
Seperti diceritakan dalam Bulan Biru Di Mataram. Empu Semirang Biru telah dibunuh oleh dua Sinuhun dengan mempergunakan tangan Satria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari. Sang Pangeran sendiri kemudian menemui ajal untuk kedua kalinya dalam pertarungan hebat melawan Pendekar 212 dibantu oleh Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi atau Dewi Kaki Tunggal. Dalam pertarungan itu diduga Penguasa Atap Langit ikut membantu karena sebelum menemui ajal tubuh Pangeran Matahari dibuat tidak berdaya oleh ilmu yang disebut Lima Jarum Penjahit Raga.
"Kakek Kumara, yang saat ini terpikir oleh saya ialah dimana beradanya keris asli Kanjeng Sepuh Pelangi. Senjata itu telah ditentukan akan menjadi salah satu benda keramat Pusaka Keraton. Walau baru dibuat kesaktian dan pamor wibawanya tidak kalah dengan semua pusaka yang sudah dimiliki Istana Mataram. Saya mendengar, di dalam rimba persilatan orang-orang menyebut senjata itu sebagai Mahkota Di Atas Mahkota..."
"Saya memang mendengar cerita itu, Yang Mulia."
"Namun dimana keberadaannya tidak kita ketahui. Sebelum saya menduduki singgasana Kerajaan Mataram kembali, senjata itu harus sudah ada dalam Istana. Itu ganjalan pertama yang saya rasakan. Ganjalan kedua, kemunculan bulan biru di langit Mataram selain merupakan berkah dari Yang Maha Kuasa juga pertanda bahwa ada orang-orang jahat termasuk mahluk alam roh yang selama ini telah menimbulkan kekacauan dan mencelakai negeri ini telah menemui ajal. Di antara mereka bisa jadi dua Sinuhun jahat itu bahkan mungkin juga anak sakti bernama Dirga Purana. Namun saya minta kita tetap berlaku waspada. Karena selama kita tidak melihat jenazah atau mayat mereka, atau mendengar sendiri dari orang yang menyaksikan kematian mereka, akan selalu ada kemungkinan mereka masih hidup. Atau roh mereka kembali menjelma masuk ke alam fana ini, gentayangan lagi untuk melakukan pembalasan. Dua Sinuhun terutama Sinuhun Merah Penghisap Arwah terkenal dengan ilmu kesaktiannya yang aneh-aneh, culas dan luar biasa jahat"
"Yang Mulia, semua ucapan Yang Mulia akan saya perhatikan. Kita memang harus selalu bersikap waspada. Saya sudah punya rencana untuk mendatangkan beberapa orang pintar dari daerah barat dan timur untuk membantu mengamankan Bhumi Mataram. Tentu saja kalau Yang Mulia mengijinkan."
"Saya dapat mendukung rencana Kakek itu. Tapi tetap saja Keris Kanjeng Sepuh Pelangi harus ditemukan lebih dulu. Jika sampai jatuh ke tangan orang jahat bahaya besar akan tetap mengancam Kerajaan."
"Mengenai senjata sakti itu, saya yakin sudah berada di tangan orang-orang yang berpihak kepada kita. Keris asli ditemukan di satu tempat bernama Ruang Segi Tiga Nyawa dan saat ini berada di tangan Ratu Randang dan kawan-kawannya, termasuk Satria Panggilan."
Kumara Gandamayana lalu menuturkan pertemuannya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. "Satria Panggilan telah menolong saya keluar dari sekapan di dalam tanah...."
"Kek, sebelumnya kau tidak pernah menceritakan hal itu. Siapa yang telah berlaku jahat memendammu di dalam tanah?" Bertanya Raja Mataram.
"Sinuhun Muda Ghama Karadipa. dibantu dua Iblis Menjunjung Dupa." Jawab Kumara Gandamayana. Lalu kakek ini memberi tahu pula bahwa dia telah memberikan ilmu kesaktian hingga Satria Pangggilan mampu masuk dan berjalan di dalam tanah. (Baca Tabir Delapan Mayat)
"Hidup itu memang adalah jalinan budi." Ucap Raja Mataram setelah mendengar cerita pembantunya itu. "Kakek Gumara, kita kembali pada pokok pembicaraan. Sebelum saya melihat dan memegang sendiri Keris Kanjeng Sepuh Pelangi, hati saya tetap tidak tenang. Sekarang yang jadi pertanyaan saya, Kek. Dimana beradanya Satria Panggilan. Jangan-jangan dia telah kembali ke negerinya."
DUA BELAS
KUMARA Gandamayana maklum kekawatiran Raja Mataram. Maka dia cepat berkata. "Yang Mulia tidak usah merisaukan Satria Panggilan. Walau dimata kita sikap perilakunya aneh, bicara terkadang membuat kita jengkel, tapi sebenarnya dia adalah seorang pemuda baik dan jujur. Dia tidak akan pergi begitu saja tanpa minta diri dan memberi tahu kita. Selain itu dia masih punya beberapa urusan penting yang harus diselesaikan di Bhumi Mataram ini."
"Maksud Kakek Kumara urusan apa?"
"Satria Panggilan harus mencari dan menyelamatkan gurunya yang diculik Sinuhun Merah Penghisap Arwah..."
"Kalau makhluk alam roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah benar telah menemui kematian berarti guru Satria Panggilan dalam keadaan aman. Tapi Sinuhun Merah Penghisap Arwah punya banyak kaki tangan. Mungkin sekarang guru Satria Panggilan berada dalam kekuasaan mereka. Mungkin saja hal itu sebelumnya sudah diatur oleh Sinuhun Merah jika hal terburuk terjadi atas dirinya."
"Apa Yang Mulia katakan terpikir juga oleh saya." Kata Kumara Gandamayana pula. "Selain menemukan dan menyelamatkan gurunya. Satria Panggilan masih harus mencari senjata sakti miliknya berupa sebilah kapak bermata dua. Setahu saya senjata itu juga dicuri oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah dengan memanfaatkan sosok guru Satria Panggilan."
"Kakek Kumara, kita harus membantu Satria Panggilan menemukan guru dan senjata sakti miliknya. Pemuda itu telah menanam budi besar dalam menyelamatkan Kerajaan. Sangat layak kini giliran kita menolongnya."
"Akan saya lakukan Yang Mulia," jawab Kumara Gandamayana.
"Selain itu ada satu rencana yang sudah saya pikirkan sejak lama." berkata Raja Mataram. "Jika saya sudah memegang kendali di singgasana Mataram, kita perlu orang-orang jujur, bisa dipercaya dan berkepandaian tinggi untuk menggantikan para sahabat yang telah tewas mendahului kita. Salah seorang diantaranya adalah Satria Panggilan Wiro Sableng. Saya ingin mengangkatnya menjadi Panglima Balatentara Kerajaan Mataram, mengganti mendiang Garung Parawata."
"Saya sangat setuju hal itu Yang Mulia," kata Kumara Gandamaya pula dengan hati polos namun diam-diam dia merasa bimbang apakah Pendekar 212 Wiro Sableng akan mau menerima tawaran tersebut.
"Selain itu Yang Mulia," Kumara Gandamayana lanjutkan ucapan. "Sakuntaladewi, gadis yang dijuluki Dewi Kaki Tunggal itu pernah diselamatkan Satria Panggilan sewaktu dihimpit batu besar. Sebelumnya gadis itu membuat kaul siapa saja yang menyelamatkan dirinya, jika dia seorang laki-laki akan dijadikan suaminya."
Raja Mataram tersenyum. "Sakuntaladewi gadis cantik. Satria Panggilan pasti tidak menyia-nyiakan kaulan itu. Jika dia punya istri berarti dia akan kerasan tinggal di Bhumi Mataram. Kita akan punya seorang Panglima Balatentara yang benar-benar hebat! Tapi...."
"Tapi apa Yang Mulia?" Tanya Kumara Gandamayana ketika dia melihat bayangan rasa was-was di wajah Raja Mataram.
"Sakuntaladewi, dua kaki gadis itu masih dempet Malah boleh dibilang dia hanya punya satu kaki. Mungkin Satria Panggilan..."
"Saya mengerti apa yang ada dalam pikiran Yang Mulia. Justru menurut riwayat kelak, Satria Panggilanlah yang akan mampu memisahkan kaki yang satu itu hingga jadi dua kembali. Dengan mempergunakan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi!"
"Begitu?" Raja Mataram sampai tercengang mendengar kata-kata orang tua pembantu kepercayaannya itu.
"Saya berharap begitu Yang Mulia." Kata si kakek pula. Bersama si kakek Raja Mataram memeriksa persiapan untuk berangkat ke Kotaraja. Rencana besar itu didahului dengan memanjatkan doa agar Yang Maha Kuasa memberi perlindungan.
******************
ROMBONGAN Raja Mataram keluar dari tempat rahasia di dasar Sumur Api. Mereka berjalan kaki, bergerak secepat yang bisa dilakukan tanpa membawa penerangan atau menyalakan obor. Raja berjalan memimpin di sebelah depan didampingi beberapa Abdi Dalem.
Kumara Gandamayana sengaja berada di sebelah belakang. Seperti yang sudah diatur, rombongan akan mengambil jalan pintas menuju ke arah barat laut melewati satu rimba belantara. Sambil berjalan Kumara Gandamayana terus merapal doa minta keselamatan. Tiba-tiba satu cahaya kuning muncul di langit. Kumara Gandamayana cepat berkelebat ke bagian depan rombongan untuk melindungi Raja dari segala kemungkinan. Dia memberi isyarat agar rombongan berhenti dulu.
"Kakek... tidak ada yang perlu dikawatirkan." Berkata Raja Mataram. "Cahaya kuning tidak disertai alur cahaya merah. Saya juga mendengar suara lonceng dikejauhan. Berarti cahaya kuning itu berasal dari ilmu kesaktian Satria Lonceng Dewa Mimba Purana yang telah banyak menolong kita. Sebaiknya kita tunggu saja. Sebentar lagi anak itu pasti akan segera muncul di tempat ini. Sambil menunggu sebaiknya kita jangan berhenti, jalan terus."
Setelah berjalan cukup jauh, anak sakti yang diharapkan tidak kunjung menampakkan diri. Malah suara lonceng terdengar menjauh dan cahaya kuning di langit tampak meredup. Wajah Kumara Gandamayana berubah. Kakek ini menatap ke arah Raja.
"Kek, saya punya dugaan ada satu kekuatan hebat tapi jahat menghalangi cahaya kuning."
Baru saja Raja Mataram berucap tiba-tiba di kejauhan terdengar suara panjang raungan anjing. Kumara Gandamaya pasang telinga.
"Yang meraung bukan anjing sungguhan. Saya yakin itu suara jejadian yang berasal dari mahluk alam roh."
Raja Mataram anggukkan kepala. Tangan kanan bergerak meraba Keris Widuri Bulan yang tersisip di punggung. Senjata itu digeser ke pinggang sebelah kiri. Tiba-tiba Raja Mataram mendengar suara mengiang.
"Yang Mulia Raja Mataram, ada mahluk hendak berbuat jahat menghabisi rombongan. Berhenti berjalan. Tunggu sampai muncul delapan kunang-kunang. Ikuti kemana mereka terbang. Yang Mulia dan rombongan pasti selamat"
Raja Mataram terkejut. Dia segera mendekati Kumara Gandamayana. "Kek, apa barusan kau mendengar suara mengiang?"
Kumara Gandamayana menggeleng. Raja Mataram lalu mengatakan apa yang didengarnya. Sebelum Kumara Gandamayana sempat mengucapkan sesuatu tiba-tiba di dalam hutan melayang delapan cahaya terang seujung jari kelingking.
"Yang Mulia, kunang-kunangnya sudah muncul. Saya menaruh firasat tidak enak. Mengapa harus berjumlah delapan....?"
Delapan kunang-kunang melayang mendekati rombongan, berputar beberapa kali di hadapan Raja lalu terbang perlahan ke depan.
"Kek, delapan kunang-kunang mengarah ke tujuan yang sebelumnya kita tempuh. Ada orang pandai menolong kita. Rasanya tak perlu kawatir. Ini semua petunjuk Para Dewa."
"Kalau Yang Mulia ingin kita mengikuti delapan kunang-kunang itu, biar saya berjalan di sebelah depan. Yang Mulia harap menjauh agak ke belakang." Kata Kumara Gandamayana pula.
Rombongan lalu bergerak kembali. Kali ini mengikuti arah terbangnya delapan kunang-kunang. Kira-kira berjalan sejauh sepeminuman teh, tiba-tiba Kumara Gandamayana hentikan langkah dan angkat tangan ke atas memberi tanda agar rombongan berhenti. Raja Mataram cepat mendekati si kakek.
"Ada apa?" Tanya Rakai Kayuwangi.
"Yang Mulia, delapan kunang-kunang telah menipu kita. Lihat berkeliling. Bukankah saat ini kita masih berada tak jauh dari Sumur Api?! Berarti sejak tadi kita tidak kemana-mana!"
Raja Mataram dan semua orang yang mendengar ucapan Kumara Gandamayana terkesiap kaget. Mereka memandang berkeliling. Saat itulah tiba-tiba delapan cahaya benderang kuning di tubuh kunang-kunang berubah lalu melesat ke arah depan rombongan dalam bentuk delapan larik cahaya merah menggidikkan.
"Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!" Teriak Kumara Gandamayana. Kakek ini cepat lepaskan sorban kelabu di atas kepala lalu dikebutkan ke depan dalam jurus ilmu sakti Selendang Dewa Menutup Bahala.
Raja yang berada di belakang si kakek tidak tinggal diam. Keris Widuri Bulan dicabut, dibabatkan ke udara memancar cahaya putih kelabu. Sementara tangan kiri melepas pukulan Payung Dewa Mengguncang Badai. Cahaya ungu berkiblat seperti payung mengembang, membentuk benteng pertahanan seluas enam tombak persegi, melindungi rombongan. Semua perempuan dan anak-anak dalam rombongan berpekikan. Para Abdi Dalem menarik mereka hingga jatuh sama rata dengan tanah.
"Wusss!"
Delapan cahaya merah berkiblat ganas, langsung dipapaki cahaya putih kelabu yang keluar dari sorban Kumara Gandamayana, dihantam sambaran cahaya keris sakti di tangan Raja dan larikan sinar ungu pukulan Payung Dewa Mengguncang Badai.
"Blaarr!"
Di udara menggelegar suara dentuman keras. Sosok Kumara Gandamayana terhuyung-huyung. Walau mampu menghantam hancur dua dari delapan cahaya merah yang menghantam namun sorban di tangan kanan tenggelam dalam kobaran api, berubah jadi asap.
Si kakek cepat jatuhkan diri dan berguling di tanah, menyambar pinggang Rakai Kayuwangi lalu ditarik jatuh ke tanah untuk menyelamatkan sang Raja. Kakek ini maklum kalau sorban saktinya tidak mampu menahan serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit, maka pertahanan keris dan pukulan Payung Dewa Mengguncang Badai pasti akan tembus juga!
DUA BELAS
UNTUK kedua kali di tempat itu menggelegar letusan keras ketika sisa enam cahaya merah melabrak sinar putih kelabu yang keluar dari Keris Wlduri Bulan serta sinar ungu pukulan Payung Dewa Mengguncang Badai!
Kembali dua cahaya merah dapat dilumpuhkan namun sisa yang empat terus menderu. Pancaran cahaya merah tampak lebih terang menyilaukan tanda pengendali serangan melipat gandakan kekuatan tenaga dalamnya!
Melihat empat cahaya merah mampu menembus tangkisan Keris Widuri Bulan serta pukulan sakti yang dilepaskan Raja, Kumara Gandamayana tersentak kaget.
"Hyang Jagat Batara! Kami tiada daya! Lindungi kami semua!" Si kakek berteriak.
Di dalam gelap mendadak ada suara tawa bergelak disusul teriakan lantang. "Bumi boleh kiamat! Tapi yang namanya Delapan Sukma Merah tidak pernah lenyap dari muka bumi ini! Raja Mataraml Jangan mimpi kau bakal menduduki singgasana kembali! Ha ha ha!"
Hanya tiga tombak lagi lagi empat cahaya merah akan menyapu habis seluruh rombongan Raja Mataram yang saat itu berusaha menyelamatkan diri dengan menelungkup di tanah, tiba-tiba dari dalam rimba belantara berkelebat tiga bayangan. Lalu ada suara porempuan berteriak.
"Ilmu pamungkas! Tusukkan delapan jari!"
Salah satu dari tiga bayangan yang kebetulan berada di dekat sebatang pohon segera lipat jari tangan tangan kiri kanan ke telapak sementara delapan jari lainnya dipentang lurus dan keras seperti batangan besi.
"Crass! Kraak"
Delapan jari amblas masuk ke dalam batang pohon. Bayangan kedua yang tidak sempat melipat jari tengah ke telapak tangan begitu jatuhkan diri langsung tusukkan sepuluh jari sekaligus ke tanah!
"Settt! Dessss!"
Bayangan ketiga terkesiap kaget Di dekatnya tidak ada pohon. Gerakannya berkelebat yang begitu kencang tidak mungkin bisa menjatuhkan diri ke tanah dengan cepat.
"Oala. Aku mau menusuk apa?!" Tiba-tiba saja orang ini ingat. Tanpa ragu delapan jari tangannya ditusukkan ke batok kepala sendiri!
"Crasss! Greekk!"
Delapan jari amblas masuk ke dalam kepala. Tidak ada darah yang mengucur, tidak ada rasa sakit. Malah orang itu yang bukan lain adalah si nenek cantik mata juling Ratu Randang tertawa-tawa. Memandang ke depan dilihatnya empat cahaya merah yang menderu ganas mendadak bergetar keras lalu mencuat ke atas.
Di udara empat cahaya merah meledak dahsyat, menebar ratusan cabikan-cabikan api. Sebagian langsung pupus lenyap di udara sebagian lagi membakar pepohonan di dalam rimba belantara hingga kawasan itu kini menjadi terang benderang.
Raja Mataram, Kumara Gandamayana, para Abdi Dalem segera bangkit berdiri sementara para istri Raja duduk bersila di tanah, menenangkan anak-anak yang bertangisan.
"Kakek, ada orang menolong kita!" Berkata Raja Mataram sambil memandang berkeliling.
Belum sempat Kumara Gandamayana menjawab, tiga perempuan tahu-tahu telah membungkuk hormat di depan Raja. Mereka bukan lain adalah Ratu Randang. Kunti Amblri dan Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi!
"Para Dewa memberkati kalian bertiga. Aku senang melihat kalian tidak kurang suatu apa. Malah pasti kalian yang telah menolong menyelamatkan kami semua dari serangan mahluk terkutuk itul" Berkata Raja Mataram sambil menatap ke arah Ratu Randang yang berdiri sambil mesem-mesem.
"Beberapa waktu lalu kami membicarakan kalian semua. Ternyata kalian sudah di sini. Eh, apakah Satria Panggilan dan gadis aneh bernama Jaka Pesolek itu tidak turut bersama kalian?" Yang bertanya adalah Kumara Gandamayana.
"Yang Mulia, kakek sahabatku," menjawab Ratu Randang. "Sebaiknya kita sama-sama segera meninggalkan tempat ini sebelum mahluk alam roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah atau kaki tangannya mencoba lagi menghalangi kita."
"Sesuai kabar yang aku terima, mahluk jahat itu, bukankah dia sudah menemui ajal?" Ujar Kumara Gandamayana pula.
"Benar, tapi dia punya delapan pecahan nyawa. Yang amblas cuma tiga. Pecahan yang lima lagi masih bisa gentayangan. Buktinya tadi dia bisa muncul melakukan serangan." Jawab Ratu Randang. "Mengenal Kesatria Panggilan dan Jaka Pesolek biar nanti aku ceritakan di tengah perjalanan."
Raja Mataram terdiam seperti tengah memikirkan sesuatu. Lalu dia berkata. "Kakek Kumara, sewaktu tadi ada sinar kuning dan terdengar suara lonceng, saya yakin Satria Lonceng Dewa Mimba Purana akan muncul. Namun kehadirannya dihalangi oleh satu kekuatan. Saya menduga ini pekerjaan kakaknya sendiri yang bernama Dirga Purana. Sang adik kemudian mengelah. tidak mau bentrokan dengan saudara sendiri. Dirga Purana lalu menyerang kita dengan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit."
"Yang Mulia Raja Mataram. Yang saya tidak mengerti," berkata Kunti Ambiri. "Mengapa Mimba Purana mau mengalah terhedap Dirga Purana. Padahal dia tahu pasti kakaknya itu jahat dan berserikat dengan dua Sinuhun. Lalu teganya dia mengorbankan Raja Mataram dijadikan bulan-bulanan serangan maut!"
"Bukankah Satria Panggilan pernah mengatakan langsung ketidak senangannya atas sikap Mimba Purana ketika bertemu dengan bocah itu?" Berkata Sakuntaladewi.
Kemudian tak ada yang bicara lagi. Keadaan di tempat itu menjadi sunyi. Sesekali terdengar gemeletak suara kayu pohon yang berderik dimakan api. Akhirnya Raja Mataram memecah kesunyian.
"Sebaiknya kita segera melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan paling lambat lewat sedikit tengah malam kita sudah sampai di Kotaraja."
Baru saja Raja Mataram selesai berucap tiba-tiba dari arah ujung hutan yang gelap terdengar suara bergemuruh. Geletak suara roda dan derap kaki kuda.
"Ada rombongan besar datang ke sini." Ucap Kumara Gandamayana. Kakek ini cepat memberi tanda agar semua orang berlaku waspada.
"Sepertinya gemuruh suara puluhan kereta melucur ke arah sini!" Kata Sakuntaladewi.
"Bahaya apa lagi ini!" Kata Kunti Ambiri sambil kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti pada dua tangannya.
Selagi semua orang tercekat, Ratu Randang tampak tenang-tenang saja. Malah sambil tersenyum dia berkata pada Kunti Ambiri. "Pasti ini pekerjaan Satria Panggilan. Sejak mencium aku bertubi-tubi sore tadi. semangatnya jadi tinggi. Hik...hik!"
Tak lama kemudian muncul sosok sebuah kereta berwarna putih. Raja mengenali kereta putih ini adalah salah satu kereta Kerajaan yang acap kali dipergunakannya. Lalu menyusul kereta lainnya di sebetah belakang. Juga ada gerobak. Semuanya berjumlah lebih dari dua puluh!
Kusir kereta putih yang berada paling depan mengenakan jubah putih dan Ikat kepala putih. Ketika semua orang memperhatikan wajah sang kusir, astaga! Kaget mereka bukan alang kepalang. Kusir itu berwajah putih licin! Tidak bermata ataupun alis, tidak punya hidung dan mulut, tidak pula memiliki telinga!
TIGA BELAS
SEMUA orang kemudian memperhatikan jauh ke belakang kereta putih. Beberapa kusir kereta dan gerobak juga terlihat mengenakan jubah putih ikat kepala putih dan berwajah putih licin. Namun di antara mereka ada juga yang mengenakan pakaian lain serta memiliki muka seperti manusia biasa. Salah seorang diantara kusir berwajah manusia ini melompat turun dari atas kereta lalu berlarian dan jatuhkan diri di hadapan Raja Mataram.
"Abdi Dalem Karta Singgil!" Raja mengenali orang yang berlutut di hadapannya. "Apa yang terjadi? Bagaimana kau dan semua orang berwajah aneh itu bisa sampai di sini membawa kereta dan gerobak begini banyak?! Siapa orang-orang berjubah putih tidak berwajah itu?"
Ratu Randang berbisik pada Kunti Ambiri. "Ini pasti pekerjaannya si gondrong konyol itu. Yang aku tidak mengerti dari mana dia bisa dapat begini banyak kereta dan gerobak. Hik hik!"
Kunti Ambiri tidak menyahut tapi matanya menatap tak berkesip mengawasi keadaan.
"Yang Mulia Sri Paduka Raja Mataram," sahut kusir kereta setelah menghatur sembah. "Saya diperintah oleh seorang pemuda berambut panjang sebahu, mengaku bernama Satria Panggilan, yang tiba-tiba masuk ke dalam Istana membawa serombongan perempuan muda cantik-cantik. Dia menyuruh saya dan teman-teman menjemput Yang Mulia dan rombongan di hutan di dekat Kali Dengkeng ini. Katanya kami pasti akan menemui Yang Mulia dan rombongan. Katanya kami harus secepatnya membawa Yang Mulia ke Istana di Kotaraja. Saya bersyukur benar-benar menemui Yang Mulia di sini."
Raja Mataram tambah tercengang mendengar keterangan Abdi Dalem. Ratu Randang menggamit bahu Kunti Ambiri dan berbisik. "Apa kataku. Pemuda konyol itu sudah sampai di Kotaraja!"
"Kau betul Nek. Dia bertindak cepat penuh semangat. Karena membawa banyak perempuan muda. bertubuh molek dan berwajah cantik-cantik! Tapi anehi Sejak kapan Wiro punya sahabat manusia berjubah tanpa wajah itu!" Menyahuti Kunti Ambiri.
Ratu Randang agak tersentak. Namun kemudian nenek cantik bermata juling ini menyeringai. "Biar saja, siapa tahu dia tengah mencari tenaga baru agar nanti bisa memberikan ciuman lebih banyak padaku. Hik hik. Kau tahu aku sendiri masih punya hutang ciuman lebih dari empat ratus kali pada pemuda itu. Harap kau jangan cemburu. Hik hik!"
"Siapa yang cemburu!" sahut Kunti Ambiri seperti tidak acuh tapi wajah cantiknya tampak cemberut.
Sementara itu karena pertanyaan ada yang tidak dijawab, Raja Mataram berkata dengan suara keras. "Abdi Dalem Karto Singgil! Kau belum menjawab pertanyaanku! Siapa mahluk-mahluk berwajah licin putih itu!"
"Ampun Yang Mulia. Mereka adalah anak buah Raja Jin Hutan Roban."
Kaget Raja Mataram dan Kumara Gandamayana bukan olah-olah. Kedua orang ini saling pandang. Si kakek berbisik. "Ternyata Raja Jin itu bukan saja telah memperbaiki Istana tapi juga mengirim anak buahnya untuk menjemput dan mengamankan kita."
"Yang aku tidak mengerti," kata Raja Mataram pula. "Kereta dan gerobak ini pasti dalam keadaan rusak akibat banjir beberapa waktu lalu. Mengapa sekarang aku lihat utuh semua?"
"Benar Yang Mulia. Pemuda berambut panjang bernama Satria Panggilan itu menyuruh Raja Jin Hutan Roban yang masih ada di sana untuk memperbaiki." Jawab Abdi Oalem Karto Singgil.
"Luar biasa" Ucap Raja Rakai Kayuwangi. "Aneh!"
"Sudah Yang Mulia, apapun yang aneh biar kita bicarakan nanti saja. Kalau sudah sampai di Kotaraja nanti ketahuan apa yang telah terjadi. Sekarang yang penting semua naik kereta dan bergerak cepat menuju Kotaraja." Ratu Randang berkata lalu melompat ke atas kereta putih, duduk di sebelah depan di atas bangku kusir kereta berwajah putih licin.
Kusir kereta aneh ini berpaling pada si nenek. Ratu Randang juga balas memandang walau tengkuknya terasa dingin. Tapi dasar nenek nakal, dia kedipkan sepasang mata julingnya pada kusir tidak berwajah itu. Mahluk yang dikedipi usap wajahnya dengan tangan kiri. Tiba-tiba saja wajah itu jadi utuh seperti wajah manusia biasa. Ada hidung, alis, mulut dan sepasang mata. Sepasang mata ini kemudian balas mengedip membuat Ratu Randang tersentak kaget dan terkencing di celana! Kusir kereta usap mukanya sekali lagi. Tampangnya kembali seperti tadi. Putih licin!
"Oala! Oala!" Ucap Ratu Randang dalam hati. Dia Ingin turun saja dari kereta itu mencari kereta lain. Tapi tiba-tiba saja kaki kirinya diinjak oleh kusir kereta hingga dia tak bisa bergerak! Setengah sadar setengah tidak tubuhnya condong ke kiri lalu tersandar seperti orang tidur di bahu sang kusir!
Abdi Dalem Karto Singgil buru-buru membuka pintu kereta. Setelah Raja dan Permaisuri serta berapa orang putera-puteri masuk ke dalam kereta putih, semua anggota rombongan yang lain juga segera naik ke dalam kereta dan gerobak. Banyak yang lebih suka memilih kereta atau gerobak yang dikusiri orang berwajah utuh. Kumara Gandamayana, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi sengaja memilih gerobak terbuka agar dapat mengawasi keadaan selama perjalanan.
Kebetulan Sakuntaladewi berada di satu gerobak dengan Kumara Gandamayana. Gadis berkaki tunggal ini berbisik. "Kek, bagaimana kalau semua ini jebakan lagi. Kusir-kusir tidak berwajah itu ternyata adalah mahluk susupan kaki tangan dua Sinuhun jahat!
Si kakek tiba-tiba saja menjadi kaget. "Astaga! Apa yang kau katakan itu bisa saja terjadi! Aku harus mengingatkan Ratu Randang!"
Kumara Gandamayana lalu melompat dari atas gerobak, melesat dari gerobak satu ke kereta lainnya. Begitu seterusnya hingga dia sampai di atas kereta putih yang membawa Raja Mataram. Tak lama kemudian dia kembali ke gerobak yang ditumpangi Sakuntaladewi.
"Sudah Kek? Kau sudah memberi tahu nenek itu?" Tampang Kumara Gandamayana tampak cemberut ketika menggeleng.
"Aku tidak jadi bicara. Kulihat dia malah bercinta sandarkan tubuh dengan mesra ke kusir bermuka licin itu!"
"Apa Kek?" Tanya Sakuntaladwewi tidak percaya.
"Dasar nenek genit! Sial!" Kumara Gandamayana mengomel.
Ketika Pendekar 212 Wiro Sableng memasuki Kotaraja bersama tiga belas perempuan muda, keadaan di sana lengang dan gelap. Satu-satunya penerangan adalah cahaya bulan biru di langit bersih. Udara tercium kurang sedap namun Wiro tidak satupun menjumpai mayat manusia atau bangkai binatang.
Sewaktu sampai di alun-alun Wiro tercengang melihat bangunan Keraton atau Istana di seberang sana berdiri megah dalam kesunyian malam dibawah siraman cahaya rembulan. Padahal sebelumnya dia melihat banyak rumah penduduk serta candi-candi kecil dalam keadaan rusak bahkan runtuh. Di halaman samping Istana kelihatan banyak sekali kereta dan gerobak dalam keadaan rusak. Di bagian belakang istana terletak satu kandang besar. Di dalam kandang belasan kuda yang sesekali mengeluarkan suara mendengus keras.
"Aneh istana seperti baru dipugar. Tapi tak ada tanda-tanda ada yang menghuni. Berarti Raja Mataram belum berada di sana."
Ketika mencapai pintu gerbang istana tiba-tiba empat orang berpakaian perajurit lusuh bersenjata tombak muncul menghadang. Dua perajurit berusia lanjut, dua lainnya masih muda. Mereka terlihat letih kurang tidur. Empat perajurit memperhatikan Wiro dari kepala sampai Ke kaki, lalu melirik ke arah tiga belas perempuan yang ikut bersamanya. Salah seorang perajurit muda melangkah maju mendekati Wiro lalu menegur.
"Kami pengawal Keraton Mataram. Kau siapa? Ada keperluan apa hendak memasuki Keraton? Siapa perempuan-perempuan ini?!"
"Aku Satria Panggilan, sahabat Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala." Jawab Wiro. "Perempuan-perempuan ini adalah sahabat-sahabatku yang sebelumnya diculik oleh orang jahat dan ingin minta perlindungan pada Raja Mataram. Aku sendiri ada urusan penting ingin menghadap Raja."
"Kami tidak mengenal dirimu. Juga tidak pernah mendengar namamu! Lalu Yang Mulia Raja Mataram tidak ada dalam Keraton. Kami diperintah untuk tidak memperbolehkan siapapun masuk ke dalam Keraton."
"Begitu?" Wiro menggaruk kepala. "Siapa yang memberi perintah."
"Penguasa Keraton." Jawab si perajurit
"Penguasa Keraton? Yang berkuasa di sini adalah Raja Mataram. Tapi tadi kau bilang Raja tidak ada dalam Keraton. Jangan berani bicara ngacok padaku!"
Tiba-tiba dari dalam istana terdengar suara menggembor keras. Disusul ucapan lantang. "Aku penguasa Keraton Mataram. Karena aku dan anak buahku yang telah memperbaiki Keraton. Aku pula yang memerintahkan para pengawal untuk tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam Keraton!"
Bersamaan dengan selesainya suara ucapan lantang tahu-tahu di hadapan Pendekar 212 telah berdiri satu sosok tinggi besar bertampang angker luar biasa. Mahluk ini memiliki sepasang mata yang bola matanya keluar dari rongga, bergoyang bergundal-gandil kian keman. Daun telinga mencuat melewati batok kepala. Karena tidak memiliki bibir untuk mengatup mulut, barisan gigi atas bawah yang besar-besar mencuat keluar. Mahluk ini mengenakan jubah hitam terbuat dari anyaman ijuk.
Kening diikat tali hitam juga terbuat dari ijuk. Dua telapak tangan selalu diusap-usap satu sama lain. Semua perempuan yang ikut bersama Wiro terutama tiga orang yang masih berusia belasan tahun sembunyi di belakang sang pendekar, ketakutan setengah mati.
EMPAT BELAS
Sesaat Wiro terperangah melihat mahluk ini terutama matanya yang keluar dan terus bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan seperti lonceng, mengeluarkan suara klek...klek...klek. Untuk beberapa lama murid Sinto Gendeng hanya bisa tertegun diam memperhatikan. Tiba-tiba mahluk dahsyat itu hembuskan nafas panjang. Wiro merasa hawa panas menyambar membuat dua matanya jadi perih.
"Aku tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam Keraton. Apa kau berani mau memaksa?!" Mahluk yang mengaku penguasa Keraton Mataram itu keluarkan ucapan. Suara keras membahana.
"Hebat! Baru hari ini aku melihat mahluk hebat sepertimu. Malam-malam pula!" Wiro menyeringai. "Harap kau bicara perlahan saja, jangan menghembus hawa panas. Mata jangan digundal-gandil. Orang-orang perempuan yang ada di belakangku bisa mati berdiri karena ketakutan!"
"Pemuda geblek Kau berani memerintah aku Sangkala Darupadha, Raja Jin Hutan Roban?"
"Tadi kau bilang penguasa Keraton Mataram. Sekarang menyebut diri Raja Jin Hutan Roban! Sebentar lagi apa lagi?!"
"Jangan berani kurang ajar padaku! Kau datang membawa begini banyak perempuan muda dan cantik. Jangan-jangan mau berbuat mesum di dalam Istana Raja Mataram yang tidak berpenghuni!"
"Justru aku baru saja menolong perempuan-perempuan ini dari sekapan bocah jahat bernama Dirga Purana!"
"Apa?! Kau menyebut nama Dirga Purana?! Apa aku tidak salah dengar?!"
Wiro tidak segera menjawab. Dia merasa kawatir jangan-jangan mahluk dahsyat ini adalah kambralnya Dirga Purana sekaligus sobat dua Sinuhun!
"Mahluk hebat, jika kau tidak mengijinkan aku masuk ke dalam Keraton tidak apa. Tapi tolong perempuan-perempuan ini. Mereka kecapaian, kedinginan, juga pasti haus dan lapar. Berikan tempat berlindung bagi mereka di dalam sana. Bangsal bekas tempat tidur kusir Istanapun tak jadi apa."
Mahluk dahsyat hentakkan kaki kirinya hingga tanah bergetar dan pintu gerbang berderak. Dua tangan diusap-usap. Tiba-tiba dia membentak. "Aku tanya apa aku tidak salah dengar kau menyebut nama Dirga Purana?!"
"Tidak, kau tidak salah dengar. Aku tadi memang menyebut nama bocah itu. Biar lebih jelas dia juga dipanggil dengan nama Sang Junjungan!"
"Klek...klek...klek!" Sepasang mata Raja Jin Hutan Roban terus bergundal-gandil ke kiri dan ke kanan, kini lebih cepat dan suaranya lebih keras.
Wiro menunjuk ke arah dua mata Raja Jin Hutan Roban. "Sepasang matamu itu. Apa kau tidak dibuat kecapaian karena bergerak terus. Apa kau tidak takut putus kalau jatuh bergelindingan di tanah, masuk ke dalam comberan?!"
Semula Wiro mengira mahluk itu akan membentak marah bahkan mungkin memukulnya. Tapi diluar dugaan Raja Jin Hutan Roban malah tertawa bergelak. "Baru sekali ini ada mahluk hidup berani bicara seperti kau! Katakan siapa kau adanya!"
"Namaku Wiro Sableng...."
"Nama aneh. Apa kau sableng alias gelo benaran?!"
"Aku datang dari negeri delapan ratus tahun mendatang."
"Berarti kau orang gelo yang kesasar ke Bhumi Mataram ini!"
"Orang di sini memanggilku Satria Panggilan."
Kali ini Raja Jin Hutan Roban tidak menyambung lagi ucapan Wiro. Untuk sesaat dua mata yang keluar berhenti bergoyang gundal-gandil lalu diulur, bergerak ke kepala, wajah, turun ke tubuh sampai ke kaki dan naik lagi ke kepala.
"Aku tidak dapat memastikan! Bagaimana aku tahu kau bukan mahluk jejadian bikinan Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Bagaimana kau bisa membuktikan bahwa dirimu adalah benar-benar pendekar yang didatangkan Raja Mataram dari negeri delapan ratus tahun mendatang."
"Aku merasa tidak perlu membuktikan. Kau tunggu saja, sebelum tengah malam Raja Mataram beserta Permaisuri, anak istri dan seorang kakek sakti bernama Kumara Gandamayana akan sampai ke sini."
"Memangnya saat ini Raja berada dimana?" Tanya Raja Jin Hutan Roban.
"Cukup jauh dari sini. Di timur Prambanan, dekat Kali Dengkeng." Jawab Wiro sambil matanya menatap ke halaman samping dimana terdapat banyak kereta dan gerobak rusak.
"Raja Mataram, dibiarkan berjalan kaki sejauh itu. Walau di langit ada bulan purnama menebar cahaya sejuk. Bahaya bisa muncul secara mendadak..."
"Raja Jin Hutan Roban, jika kau sahabat Raja Mataram. jika kau mampu memperbaiki Istana semudah dan secepat membalikkan tangan, mengapa saat ini kau tidak memperbaiki kereta dan gerobak yang ada di halaman sana untuk dipakai menjemput Raja dan rombongan?"
"Aku tidak bersahabat dengan Raja Mataram! Aku tidak bersahabat dengan manusia bernama Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Tapi aku bersahabat dengan seorang kerabat Raja Mataram. Kerabat inilah yang telah meminta aku memperbaiki istana atau Keraton Mataram. Aku mengerahkan ratusan Jin Putih. Setelah Istana selesai diperbaiki dalam waktu satu hari satu malam kerabat ini pula yang minta aku menjaga Istana ini sampai Raja Mataram kembali bersama rombongannya dari satu tempat rahasia. Aku menghormati sang kerabat dan memenuhi permintaannya."
Wiro menggaruk kepala lalu bertanya. "Kau mahluk berbudi. Kalau aku boleh tahu siapa adanya kerabat Raja Mataram yang kau hormati itu?"
"Aku tidak akan menjawab. Aku tidak akan memberi tahu!"
Tiba-tiba tanah halaman Istana bergetar lalu braakk! Tanah terbongkar. Asap kelabu mengepul. Dari tanah yang menganga menyembul keluar satu mahluk luar biasa besar dan tinggi seolah menyondak langit! Saking tingginya, Raja Jin Hutan Roban yang hampir satu setengah kali tinggi Pendeklar 212 ternyata hanya sepinggang mahluk ini! Tanah yang terbongkar menutup kembali!
Suara mengorok keluar dari tenggorokan mahluk yang mengenakan jubah biru ini. Bagian atas pakaian tidak dikancing hingga memperlihatkan dada penuh bulu tebal. Di atas kepalanya yang botak plontos ada sebuah tanduk memancarkan cahaya merah. Sepasang mata menjorok keluar, besar putih sementara lensa mata hanya merupakan satu titik hitam kecil.
Kumis menjulai tebal, janggut hitam lebat berkeluk. Hembusan nafas memerihkan mata. Sambil menyeringai memandang ke arah Wiro, mahluk raksasa ini rangkapkan dua tangan yang penuh bulu di atas dada. Sepuluh jari tangan sebesar pisang tanduk bergerak-gerak mengeluarkan suara berkeretekan. Mahluk ini tertawa bergelak. Di akhir tawanya dia membentak.
"Akulah kerabat yang dimaksud Raja Jin Hutan Roban Sangkala Darupadha! Aku Arwah Ketua penghuni Candi Miring!"
Kejut Pendekar 212 bukan alang kepalang. Di belakangnya tiga belas perempuan kembali berpekikan. Wiro menenangkan dan menyuruh mereka pergi berlindung di dekat sebuah pohon besar. Namun karena takut mereka tidak mau bergerak dari belakang Wiro.
"Arwah Ketua," ucap Wiro dalam hati dengan dada bergetar. "Sebelumnya mahluk ini telah disusupi roh Ketua Jin Seribu Perut Bumi. Dikendalikan oleh Sinuhun Merah untuk membunuhku! Di Candi Kalasan lenyap begitu saja setelah tubuhnya yang dikuliti Empat mayat Aneh aku tendang masuk ke dalam candi. Sekarang apa lagi yang hendak dilakukannya terhadapku. Celaka aku kalau dia masih berada dalam kekuasaan Sinuhun Merah atau Sinuhun Muda. Bisa juga dia dikendalikan oleh Dirga Purana!"
Selagi Pendekar 212 berpikir hendak mengamblaskan diri masuk ke dalam tanah dengan ilmu yang diberikan Kumara Gandamayana tiba-tiba tangan kanan Arwah Ketua bergerak mencekal pinggang Wiro lalu diangkat ke atas, dekat-dekat di depan wajahnya yang menakutkan! Mulut meniup! Wiro menjerit ketika tiupan itu membuat kepalanya terasa seperti mau pecah! Di bawah sana tiga belas perempuan muda berpekikan lalu lari berserabutan.
"Sahabatku Arwah Ketua!" Raja Jin Hutan Roban berkata. "Akan kita apakan manusia satu ini? Aku bisa melahapnya mentah-mentah! Aku juga bisa mencopot bagian tubuhnya satu demi satu, mulai dari kaki berakhir di batang leher! Atau aku suruh anak buahku mencincangnya sampai sehalus bubuk gergaji untuk dicampur dalam sarapan kopi hangat mereka besok pagi? Ha ha ha! Tapi aku lebih suka menusuk tubuhnya mulai dari pantat tembus ke batok kepala dengan besi panas.Lalu mayatnya aku pancang di puncak Candi Miring kediamanmu! Ha ha ha!"
Habis tertawa bergelak Raja Jin Hutan Roban gerakkan dua tangan. Di tangan kanan mahluk ini tahu-tahu sudah tergenggam sebatang besi panas membara yang ujungnya lancip. Besi digoyang-goyang hingga mengeluarkan suara menderu, menebar hawa panas dan tebaran cahaya merah, berubah seolah menjadi puluhan banyaknya!
"Wuttt!"
Tiba-tiba ujung lancip besi diarahkan ke bagian bawah perut Wiro seolah benar-benar hendak ditusukkan ke pantat sang pendekar yang saat itu dalam keadaan tak bergerak karena dicekal oleh Arwah Ketua.
LIMA BELAS
Kalau gerakan tangan kanan Raja Jin Hutan Roban mengeluarkan batangan besi panjang lancip membara, maka gerakan tangan kirinya membersitkan cahaya putih yang kemudian berubah menjadi ratusan sosok mahluk berjubah putih tanpa wajah, mengambang diudara malam. Mengerikannya sepasang tangan mahluk ini tidak berbentuk tangan biasa tapi berupa golok besar tajam berkilat! Jelas inilah barisan pencincang yang dipersiapkan oleh Raja Jin Hutan Roban!
Walau tengkuknya merasa sedingin es di puncak Mahameru Pendekar 212 tidak kehilangan akal. Dia sadar sulit meloloskan diri apa lagi ratusan mahluk tanpa muka dilihatnya mulai menebar membuat lingkaran mengurung! Tidak ada jalan lain. Dia harus berjibaku. Saat itu Wiro telah mengalirkan tenaga dalam penuh dan seluruh hawa sakti yang dimilikinya ke tangan kiri. Dia siap menghancurkan kepala Raja Jin Hutan Roban dengan Pukulan Sinar Matahari. Lalu bersamaan dengan itu tangan kanannya siap mencabut Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang terselip di punggung sebelah belakang. Dengan senjata sakti ini dia akan menusuk dan membabat leher Arwah Ketua!
"Sahabatku Arwah Ketua! Aku masih menunggu. Pilihan kematian mana yang kau inginkan atas diri manusia satu ini!" Raja Jin Hutan Roban berkata pada Arwah Ketua.
Sepasang mata besar Arwah Ketua menatap tak berkesip pada Pendekar 212. Mulut menyeringai. Tanduk merah memancarkan cahaya terang. Rahang menggembung dan terdengar jelas suara geraham bergemeletukan.
"ini saatnya!" Ucap Wiro dalam hati. Begitu dua tangan hendak digerakkan untuk melepas dua pukulan sakti dan mencabut Keris Kanjeng Sepuh Pelangi tiba-tiba terdengar Arwah Ketua berkata.
"Sobatku Sangkala Darupadha, aku tidak punya pilihan apa-apa. Aku malah memintamu agar kau mengabulkan permohonan yang tadi diucapkan pemuda ini."
Raja Jin Hutan Roban dongakkan kepala. Lalu bertanya. "Arwah Ketua, apa aku tidak salah mendengar dan kau tidak keliru berucap?"
"Sobatku, aku tidak keliru berucap dan kau tidak salah mendengar." Jawab Arwah Ketua pula, membuat Raja Jin Hutan Roban semakin heran.
"Katakan, permohonannya yang mana yang harus aku kabulkan?!"
"Tadi dia meminta agar kau memperbaiki semua kereta dan gerobak yang rusak di halaman samping Istana. Lalu aku menambahkan. Kau juga harus memasangkan kuda pada kereta dan gerobak itu untuk dipakai menjemput Raja Mataram dan rombongannya di timur Prambanan tak jauh dari Kali Dengkeng."
"Sahabatku Arwah Ketua! Tidak sulit bagiku melakukan apa yang kau katakan. Aku hanya tinggal memerintah ratusan anak buahku!"
"Aku tahu hal itu. Kau telah membuktikan. Ratusan anak buahmu mampu memperbaiki Istana hanya dalam waktu satu hari satu malam! Kalau begitu mengapa tidak segara kau penuhi permintaan pemuda itu dan permintaanku? Bukankah ini saatnya yang tepat kita berbakti pada Kerajaan, menolong Raja Mataram, Permaisuri, putera-puteri dan para pengikutnya."
"Sahabat Arwah ketua, aku tidak mengerti. Mengapa kita tidak membunuh pemuda itu!"
Perlahan-lahan Arwah Ketua turunkan Pendekar 212 ke tanah lalu menjawab. "Dia sahabatku. Berarti sahabatmu juga! Dia telah menyelamatkan roh dan tubuhku ketika ada orang menguliti diriku di Candi Kalasan. Kalau bukan karena pertolongannya, saat ini aku tidak akan berada di sini dan rohku gentayangan tak karuan di alam gaib."
Mengenal pertistiwa di Candi Kalasan harap baca serial Wiro Sableng berjudul Delapan Sukma Merah
Raja Jin Hutan Roban merenung sejurus. Mata yang bergundal-gandil diulur ke arah Arwah Ketua dan Wiro lalu mulutnya berucap. "Sahabat Arwah Ketua, jika begitu kemauanmu aku mengikut saja! Aku tidak keberatan bersahabat dengan pemuda ini!"
Lalu Raja Jin Hutan Roban mendongak ke udara ke arah ratusan anak buahnya. "Kalian sudah mendengar semua pembicaraan. Perbaiki semua kereta dan gerobak. Pasang kuda penarik. Lalu kalian dibantu Abdi Dalem Istana malam ini juga berangkat ke arah timur Prambanan. Sebelum mencapai Kali Dengkeng aku rasa kalian sudah akan bertemu dengan rombongan Raja Mataram. Bawa mereka dengan selamat sampai ke sini! Sepanjang perjalanan kalian harus merapal aji Tabir Pelindung Delapan Penjuru Angin. Aku kawatir roh-roh jahat masih akan mencoba menimbulkan malapetaka. Dan jangan lupa mengunyah kemenyan! Lakukan sekarang!"
Puluhan tangan yang berbentuk golok besar berkilat berubah menjadi seperti tangan manusia biasa. Masing-masing mahluk kembangkan telapak tangan. Saat itu juga di telapak mereka kelihatan ada sekeping kemenyan. Benda itu lalu didekatkan ke wajah licin, ditekan pada bagian dimana seharusnya terletak mulut
"Clcepp! Cleepp!"
Kepingan kemenyan lenyap masuk ke dalam wajah licin. Sementara wajah aneh itu tampak bergerak-gerak seperti mengunyah, tubuh mereka berubah menjadi samar lalu melesat ke samping Istana. Kemudian terdengar riuh suara orang bekerja, mengetok palu, menggergaji balok. Tak selang berapa lama puluhan kereta dan gerobak yang sebelumnya rusak akibat dilanda banjir air merah pada bencana Malam Jahanam kini utuh kembali.
Lalu ada bayangan mahluk-mahluk berjubah putih berwajah licin mengeluarkan puluhan kuda dari dalam kandang untuk dipasangkan pada kereta dan gerobak. Hanya sesaat setelah rombongan kereta dan gerobak meninggalkan Istana Mataram satu tangan besar memegang bahu Pendekar 212 hingga sang pendekar hampir sempoyongan.
"Anak muda Kesatria Panggilan, apakah kau membekal keris sakti Kanjeng Sepuh Pelangi?"
Yang bertanya adalah Arwah Ketua. Wiro memandang ke atas. Dia tidak segera menjawab. Dalam hati timbul rasa kawatir. Apa maksud Arwah Ketua menanyakan senjata sakti itu? Ingin memintanya? Apakah Arwah Ketua hendak menjebaknya karena dia sebenarnya dia mungkin masih berada di bawah pengaruh kekuatan gaib mahluk alam roh Sinuhun Merah.
"Celaka, kalau dia meminta dan aku tidak memberi bisa saja dia nekad merampas!"
Melihat Wiro tidak menjawab. Arwah Ketua tertawa. "Aku tahu senjata itu ada padamu. Aku juga tahu kalau tadi kau bermaksud mau membunuhku dengan keris itu."
Wiro terkejut mendengar ucapan Arwah Ketua.
"Aku hanya ingin mengatakan agar kau menjaga baik-baik senjata itu karena tak lama lagi akan kau serahkan pada Raja Mataram. Lalu senjata itu juga akan kau pergunakan untuk menolong seorang gadis berkaki tunggal. Waktu antara kau menyerahkan keris ke tangan Raja terpaut cukup lama. Dalam keterpautan itu bisa saja terjadi hal tidak terduga. Kau harus mencegah jangan sampai kecolongan. Bukankah selama ini kau menyisipkan keris itu di punggung belakang dengan ujung lancip mengarah ke bawah, ke arah tanah?"
Wiro menggaruk kepala lalu mengangguk.
"Itu cara yang salah menyimpan keris tak bersarung. Seharusnya keris itu kau sisipkan dengan ujung lancip menghadap ke atas, ke arah langit. Bilamana terjadi sesuatu senjata sakti itu akan lebih mudah melesat untuk menolongmu dan dirinya sendiri."
Wiro terkejut dan buru-buru hendak keluarkan Keris Kanjeng Sepuh pelangi dari balik punggungnya. Arwah Ketua tertawa.
"Tak perlu susah-susah. Aku telah memperbaiki letak senjata itu. Kini ujung runcingnya sudah menghadap ke atas."
Wiro meraba ke punggung. Astaga. Memang betul. Keris yang selama ini tersisip menghadap ke bawah kini ujung lancipnya telah mengarah ke atas!
"Satria Panggilan, kami berdua sudah cukup lama disini. Kau masih menunggu kedatangan Raja dan mengurus perempuan-perempuan muda itu." Arwah Ketua menyeringai dan kedipkan matanya yang aneh. "Semoga Para Dewa melindungi dan memberkatimu!"
Arwah Ketua berpaling pada Raja Jin Hutan Roban. Keduanya saling bergandengan tangan lalu wuss! Dua mahluk alam roh ini sama amblas masuk ke dalam tanah!
Wiro lepas nafas lega lalu berucap perlahan. "Ternyata keduanya mahluk-mahluk baik. Aku hanya kasihan pada Raja Jin Hutan Roban. Seumur-umur matanya menjulur gundal-gandil tak karuan. Mungkin aku bisa menolongnya memasukkan mata itu ke dalam rongganya dengan ilmu Manahan darah Memindah Jazad. Sayang dia keburu pergi."
Baru saja Wiro berucap seperti itu tiba-tiba braakk! Tanah terbongkar. Sosok Raja Jin Hutan Roban melesat keluar dan berdiri dihadapan Wioro. Sambil membungkuk sedikit dia berkata. "Satria Panggilan.Tadi kau berkata apa? Kau mau menolong apa....?"
Kejut Pendekar 212 bukan olah-olah. "Sudah amblas ke dalam tanah bagaimana mungkin dia masih mampu mendengar ucapanku!" Wiro menggaruk kepala.
"Raja Jin, sebenarnya aku hanya berandai-andai. Tapi tidak ada salahnya dicoba. Aku bermaksud menolong memasukkan kedua mata yang terjulur dan selalu gondal gandil itu ke dalam rongganya."
"Hah, apa?! Bagus itu! Kau pasti punya ilmu hebat! Lekas lakukan! Aku sudah bosan dengan mata yang seumur-umur menyiksa ini. Gundal-gandil tak karuan."
Raja Jin Hutan Roban lalu duduk bersila di depan Wiro hingga tinggi sosok mereka menjadi sama Wiro jadi berdebar juga. Kalau gagal mahluk satu in bisa saja menjadi marah. Sambil merapal ilmu Menahan Darah Memindah Jazad dua tangan diulur. Satu mendorong mata kiri, satunya lagi mendorong mata kanan Raja Jin Hutan Roban. Perlahan-lahan dua mata masuk ke dalam rongga. Untuk beberapa lama Wiro masih menekapkan dua telapak tangan, takut melepas karena kawatir usahanya gagal.
"Sudah apa belum?!" Raja Jin Hutan Roban bertanya.
Dengan perasaan tegang Wiro lepas dua tangannya yang menekap. Dia merasa lega ketika melihat dua mata mahluk jin itu masuk sempurna ke dalam rongga. Hanya saja dia menjadi terkesiap ketika melihat dirinya sendiri ada di dalam sepasang mata Raja Jin seolah-olah dia berada di depan cermin. Raja Jin berseru gembira. Mata diusap berulang kali. Memandang berkeliling lalu pandangan diarahkan pada Wiro.
"Ada apa ini? Mengapa aku bisa melihat tubuhmu dalam keadaan telanjang. Weehhh. Badanmu kecil tapi wehhh! itu mu besar sekali! Ha ha ha! Sudah... aku pergi sekarang. Terima kasih! Ha ha ha!"
"Bless!" Raja Jin Hutan Roban amblaskan diri masuk ke dalam tanah.
Wiro tersentak kaget dan tekapkan dua tangan ke bawah perut. "Bagaimana dia bisa melihat. Jangan-jangan Ilmu Menembus Pandang pemberian Ratu Duyung ikut tersedot masuk ke dalam matanya! Celaka!"
S E L E S A I