Dewi Kaki Tunggal

Wiro Sableng. Dewi kaki tunggal
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Karya Bastian Tito
Episode Dewi Kaki Tunggal
cerita silat online Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut 212 karya Bastian Tito

PROLOG

“GADIS bermuka setan! Apa kau tahu kalau hidungmu tak bakal bisa kembali ke tempatnya semula?! Wajahmu telah sengaja dibuat cacat mengerikan seumur-umur oleh Pendekar Dua Satu Dua!”

Begitu Sakuntaladewi berada di hadapannya Pangeran Matahari langsung keluarkan ucapan menghina dan mentakut-takuti.

“Dewi Kaki Tunggal! Jangan percaya ucapan mahluk gosong itu!” Ni Gatri berteriak.

“Aku tahu, kau tak usah kawatir,” jawab Sakuntaladewi. Lalu dia berpaling pada Pangeran Matahari. “Walau hidungku sudah pindah ke pipi, tapi aku masih mampu mencium bau busuk tubuhmu!”

“Hemm, jangan-jangan kau ini sudah menjadi gendak pendekar mata keranjang itu! Ha ha ha!”

“Manusia bertubuh hangus! Kasihan. Otakmu ikut gosong! Hik hik. Kau salah mengira. Aku bukan gendaknya Pendekar Dua Satu Dua. Aku adalah calon Istrinya!”

Sepasang alis mata Pangeran Matahari berjingkat. Lalu kembali tawa bergelaknya meledak di tempat itu.

********************

SATU

PENDEKAR 212 Wiro Sableng mendapat petunjuk dari Sepasang Arwah Bisu bahwa dirinya memiliki ilmu yang sanggup melenyapkan benjolan merah di kening semua orang yang berada di Mataram, termasuk yang ada di kening Sri Maharaja Rakai Kayuwangi. Dengan mendukung Ni Gatri dan anjing kecil, hitam, bersama Ratu Randang Wiro segera menuju Bukit Batu Hangus.

Dengan ilmu lari tingkat tinggi yang dimiliki sebelum fajar menyingsing mereka akan mampu sampai di bukit itu dimana berada Raja Mataram, keluarga, para pengikut dan ratusan orang lainnya dalam keadaan sengsara mengenaskan, siap menemui kematian jika tidak segera mendapat pertolongan.

Sebenarnya seperti yang telah diceritakan sebelumnya Wiro bermaksud hendak lebih dulu mencari Eyang Sinto Gendeng yang dikhawatirkan telah menemui ajal. Namun Ratu Randang memberi tahu bahwa sang guru berada di satu tempat yang aman. Selain itu Wiro sadar kalau dia tengah berpacu dengan waktu.

Maka murid Sinto Gendeng memutuskan segera pergi ke Bukit Batu Hangus. Dia harus sampai di bukit itu sebelum sang surya muncul. Wiro tidak pula berniat mengikuti dua orang aneh Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik yang menurut Sepasang Arwah Bisu mengetahui mengenal keberadaan sebuah senjata sakti mandraguna.

Sambil berlari laksana anak panah lepas dari busurnya Ratu Randang berkata. “Wiro, aku menduga senjata yang dimaksud Sepasang Arwah Bisu itu adalah Keris pusaka Kerajaan yang baru saja diciptakan oleh Empu Semirang Biru. Sebuah keris yang diberi nama Kanjeng Sepuh Pelangi. Senjata sakti itu lenyap, dicuri orang sesaat setelah sang Empu merampungkan pembuatannya. Raja Mataram hanya memiliki sarungnya...”

“Aku baru tahu riwayat senjata itu darimu. Tapi bagaimanapun juga lebih dahulu menyelamatkan Raja dan semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus jauh lebih penting dari mencari senjata itu, Aku berharap guruku Eyang Sinto benar-benar berada dalam keadaan selamat di tempat aman seperti yang kau katakan. Kalau kau berdusta aku pasti bakal kena kualat besar! Sesuai petunjuk Sepasang Arwah Bisu sesampainya di Bukit Batu Hangus aku harus melakukan sesuatu!”

“Melakukan apa?” Tanya Ratu Randang.

Ketika Wiro tak menjawab Ratu Randang segera pegang lengan kiri sang pendekar. “Wiro, kita harus mempercepat lari. Aku melihat sekilas cahaya terang di arah timur.”

Wiro merasa tubuhnya seperti dibawa terbang melayang menembus temaram kegelapan pagi dan udara dingin. Anjing kecil di bahu kanan menggereng halus, cengkramkan kuku empat kakinya ke pakaian Wiro. Ni Gatri yang ada dalam dukungan picingkan mata saking gamangnya.

Ketika Bukit Batu hangus mulai tampak menghitam di kejauhan mendadak seseorang berkelebat memintas gerak arah lari Pendekar 212 dan Ratu Randang. Di atas bahu kanan Wiro, anak anjing hitam menyalak dua kali lalu diam seolah ketakutan.

“Pertanda tidak baik...” Wiro membatin sambil mengusap tengkuk anjing hitam.

Sepasang mata menatap tak berkesip ke depan. Mula-mula sosok ini terlihat sebagai bayangan saking cepat daya kelebatannya. Namun begitu berhenti, tegak menghadang di tengah jalan, terlihat ujudnya adalah seorang berpakaian dan bermantel hitam. Wajahnya tidak terlihat jelas karena tertutup kabut pagi. Wiro dan Ratu Randang yang telah menghentikan lari melangkah mendekati.

Kini kelihatan ada kain merah terikat di kening orang itu. Sewaktu kabut bergerak sirna tampaklah wajahnya, yang ternyata seorang pemuda memiliki rahang kokoh, tegak dengan kepala setengah mendongak, menebar raut wajah penuh kecongkakan. Dan sepasang mata dan mulut yang terbuka memancar cahaya merah seolah ada nyala kobaran api. Pendekar 212 tersentak kaget. Ratu Randang melirik lalu berbisik.

“Wiro, kau mengenali pemuda bermantel itu? Aku tidak pernah melihatnya di Bhumi Mataram sebelumnya. Aku menduga dia adalah mahluk alam roh yang berasal dari negerimu. Yang disebut sebagai Kesatria Roh Jemputan.”

Untuk beberapa lama Pendekar 212 tidak bisa keluarkan suara. Sepasang mata mendelik mengawasi tidak berkedip, tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Sementara itu di depan sana sambil kacakkan dua tangan di pinggang, pemuda bermantel hitam umbar suara tawa bergelak.

Anjing kecil kembali menyalak sementara Ratu Randang merasa bagaimana suara tawa pemuda bermantel hitam dan berikat kepala kain merah menggetarkan tanah yang dipijak dan membuat gejolak debaran di dadanya! Di dalam dukungan Wiro Ni Gatri memperhatikan penuh kebencian pada pemuda yang tertawa congkak. Lalu anak yang masih dalam keadaan bisu ini meluncur turun dari dukungan Wiro.

“Ratu,” akhirnya Wiro keluarkan ucapan berbisik. “Pemuda bermantel itu, aku memang mengenalnya. Dia adalah musuh besarku di alam delapan ratus tahun silam. Dia dikenal dengan nama Pangeran Matahari. Berjuluk Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala ilmu, Segala Licik, Segala Congkak. Jahatnya sangat luar biasa! Aku dan beberapa orang sahabat telah membunuhnya dalam satu pertarungan hebat, di puncak Gunung Merapi. Dari sikap dan gerak geriknya memang jelas manusia satu ini berada di pihak orang-orang yang telah mencelakai Raja dan rakyat Mataram. Lihat saja, di keningnya, di bawah kain merah ikat, kepala ada delapan benjolan merah. Yang aku tidak mengerti bagaimana mungkin dia bisa muncul di Bhumi Mataram ini?!”

Mengenai riwayat kematian Pangeran Matahari dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul Api Di Puncak Merapi

“Ini pasti pekerjaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah,” jawab Ratu Randang. “Mahluk roh keparat itu memiliki ilmu kesaktian dahsyat. Aku tidak tahu namanya. Dengan ilmu kesaktian itu dia bisa memanggil, mampu menghisap dan mendatangkan roh atau arwah siapa saja yang dikehendakinya. Roh atau arwah itu kemudian dikuasai dan dikendalikan. Itu sebabnya dia dijuluki si Penghisap Arwah! Kedatangan pemuda yang dijuluki Kesatria Roh Jemputan ini agaknya memang sudah direncanakan matang dan dalam waktu sangat cepat. Dibawah sirap ilmu kesaktian Sinuhun Merah dia diperintahkan menghadangmu, menghalangi semua rencana yang hendak kau lakukan untuk menolong Raja dan rakyat Mataram.”

“Caranya cuma satu,” menyahuti Wiro. “Membunuhku!”

“Pasti itu yang hendak dilakukannya. Kau harus berhati-hati,” ucap Ratu Randang pula.

Di depan sana tiba-tiba Pangeran Matahari kembali umbar tawa bergelak. “Pendekar Dua Satu Dua! Walau aku tertawa tapi saat ini sebenarnya aku merasa sedih. Sedih karena sebentar lagi akan menyaksikan kematian dirimu. Ajal sungguh tidak memilih tempat! Siapa menyangka kalau kematianmu akan begitu melarat dan jauh dari alam asalmu! Jauh dari semua kerabat dan puluhan kekasih serta gendakmu! Bahkan gurumu si nenek bau pesing itu tidak diketahui dimana beradanya! Sungguh menyedihkan, sang guru tidak dapat menghadiri saat kematian muridnya!” Pangeran Matahari keluarkan suara meniru orang sesenggukan lalu dia tertawa gelak-gelak.

Wiro mencibir, hidung dipencongkan lalu dipencet dengan jari-jari tangan kiri. Suaranya terdengar sengau ketika berkata. “Guruku memang bau pesing. Tapi kau lebih busuk lagi. Tubuhmu, bau bangkai! Untung tidak ada lalat di sini. Kalau ada pasti sudah berjubal mengerubungimu. Ha ha ha!”

Wiro balas tertawa dengan mengerahkan tenaga dalam penuh hingga mantel hitam Pangeran Matahari berkibar-kibar, telinga berdesing dan dua kaki bergetar seolah menginjak bara panas! Wiro teruskan ucapan mengejeknya.

“Kalau kau merasa sedih, aku justru merasa kasihan melihat dirimu. Jauh-jauh dari alam roh delapan ratus tahun mendatang kau kesasar ke tempat ini! Hanya akan menemui kematian untuk kedua kalinya. Apa arwah gurumu Si Muka Bangkai menyertai kehadiranmu di Bhumi Mataram ini? Hati-hatilah, begitu kau menjadi roh bejat untuk kedua kalinya, roh puluhan orang yang telah kau bunuh secara keji akan datang menghajarmu! Ha ha ha! Pendekar congkak tapi tolol! Kau hanya bakal menyusahkan gurumu saja. Tua bangka itu akan terseok-seok dan terberak-berak memanggul mayatmu kembali ke alam delapan ratus tahun mendatang!”

Sepasang mata Pangeran Matahari pancarkan cahaya merah berkilat. Muka merah dan rahang menggembung. Delapan benjolan merah di bawah ikat kepala kain merah di kening Pangeran Matahari memancar angker. Dia meludah dulu sebelum keluarkan ucapan.

“Di masa Ialu kau hanya mampu membunuhku secara pengecut. Mengeroyok! Saat ini kau hanya berteman seorang pelacur tua bermata juling. Rupanya nasibmu buruk amat, tidak menemui gadis cantik di negeri ini. Hingga nenek-nenek yang tubuhnya sudah alot itu pun kau santap juga! Ha ha ha! Seorang pelacur tua bulukan, seorang anak perempuan gagu dan seekor anak anjing. Ha ha ha! Apa yang mampu mereka lakukan untuk membantumu!”

Wiro menyeringai. Lalu menjawab ejekan Pangeran Matahari. “Jangan menganggap enteng anjing hitam itu. Binatang itu mampu menggeragoti seluruh daging ditubuhmu hingga tinggal jerangkong tulang belulang! Kalau itu terjadi, gurumu Si Muka Bangkai tidak akan terlalu bersusah payah membawa bangkaimu ke alam delapan ratus tahun mendatang! Ha ha ha!”

Sementara Wiro tertawa gelak-gelak, Ratu Randang tidak dapat menahan amarahnya yang menggelegak mendengar dirinya disebut sebagai pelacur tua bulukan yang sudah alot! Dia maju satu langkah. Kaki kanan menginjak di bekas ludah Pangeran Matahari yang jatuh di tanah lalu kaki ditekan dan digilas ke kiri dan ke kanan.

Saat itu juga Pangeran Matahari menjerit keras. Mulutnya tampak pencong ke kiri lalu pindah ke kanan. Bibir menggelembung, lidah terjulur, darah meleleh dari bagian-bagian bibir yang pecah! Sambil memaki menghambur kata-kata kotor Pangeran Matahari lepaskan satu pukulan maut ke arah Ratu Randang. Tiga larik sinar berwarna merah, kuning dan hitam menderu. Itulah Pukulan Gerhana Matahari yang kedahsyatannya ditakuti oleh semua tokoh silat di tanah Jawa pada masa sang Pangeran masih hidup.

“Ratu! Lekas menyingkir!” Teriak Pendekar 212.

DUA

TANPA diperingatkan Wiro pun Ratu Randang sudah lebih dulu membuat gerak menyelamatkan diri. Tubuhnya melesat. ke udara dalam jurus bernama Menunggang Kabut Menembus Batu. Secara aneh tubuh itu di bagian punggung kemudian menempel ke batang pohon besar. Dari atas pohon walau melihat Wiro telah balas melancarkan serangan namun Ratu Randang tidak tinggal diam.

Tangan kanan berkelebat melepas pukulan sakti bernama Di Dalam Gelap Tangan Penghukum Membelah Jagat ilmu pukulan ini bisa dipergunakan dalam pertarungan jarak pendek, bisa juga dipakai untuk menghantam dari jarak jauh. Dengan ilmu inilah beberapa waktu lalu Ratu Randang menghabisi anak buah Sinuhun Muda Jambal Ungu alias Raja Dukun Batu Borlumut. Selarik cahaya biru berkiblat ke arah Pangeran Matahari, siap membelah kepala dan tubuh sang Pangeran!

Sementara itu Pangeran Matahari juga harus menghadapi serangan yang dilancarkan Pendekar 212 Wiro Sableng yaitu pukulan sakti warisan Datuk Rao Basaluang Ameh yang bernama Tangan Dewa Menghantam Batu karang. Walau tengah diancam dua pukulan dahsyat yang bisa membuat dirinya menemui ajal untuk kedua kali dalam keadaan tubuh tidak karuan rupa namun dengan congkaknya Pangeran Matahari malah umbar tawa bergelak. Tangan kanan bertolak pinggang tangan kiri mengusap mulut. Hebat! Saat itu juga mulut dan bibirnya yang gembung cidera serta merta sembuh!

Sesaat lagi dua pukulan sakti akan menghajar Pangeran Matahari, tiba-tiba sosok sang Pangeran dengan mengeluarkan suara menderu melesat masuk ke dalam tanah, lenyap dari pemandangan!

Wiro tersentak kaget melihat kejadian itu. Dia tahu betul Pangeran Matahari semasa hidupnya tidak pernah memiliki ilmu kesaktian cara menyelamatkan diri dengan mengamblaskan tubuh masuk dan lenyap ke dalam tanah!

“Pasti Pangeran keparat itu mendapatkan ilmu baru dari orang-orang yang mendatangkannya ke negeri ini,” pikir murid Sinto Gendeng.

Dua dentuman keras menggelegar begitu pukulan sakti yang dilepaskan Wiro dan Ratu Randang menghantam tanah. Dua lobang besar terlihat di tanah. Debu, tanah dan bongkahan batu berhamburan ke udara, membuat keadaan di sekitar tempat itu menjadi gelap untuk beberapa ketika.

Sementara itu bagian bawah pohon besar ke arah mana Ratu Randang tadi melompat menyelamatkan diri dan melancarkan serangan tampak hancur berkeping-keping dilanda Pukulan Gerhana Matahari. Bagian atas pohon tumbang dilamun kobaran api hingga kini keadaan di sekitar situ menjadi terang benderang.

Ratu Randang dan juga Pendekar 212 Wiro Sableng sama-sama merasakan getaran hebat menghantam tubuh mereka. Bagian dada mendenyut sakit seolah ada tangan yang tak kelihatan meremas. Anjing kecil menyalak tiada henti lalu melompat turun dari bahu Wiro, menghampiri Ni Gatri yang jatuh terduduk di tanah. Wiro dan Ratu Randang sama-sama berteriak, membuat gerakan silat untuk melepas keluar hawa aneh yang menyelubungi diri mereka.

“Braakk!”

Tanah di depan Wiro dan Ratu Randang tiba-tiba terbongkar. Didahului gelak tawa menggelegar sosok Pangeran Matahari melesat keluar dari dalam tanah! Sepasang mata, mulut dan lidah tampak merah laksana dikobari api!

“Wiro! Kau harus segera meninggalkan tempat ini. Lekas pergi ke Bukit Batu Hangus! Bawa Ni Gatri dan anjing kecil itu.”

“Mana mungkin aku meninggalkan kau sendirian di sini. Jahanam bernama Pangeran Matahari itu ilmunya tinggi sekali. Aku kawatir...”

“Jangan pikirkan diriku! Aku berusaha menghadang selama mungkin sampai kau berhasil menolong Raja dan semua orang yang ada di Bukit, Batu Hangus. Lekas pergi atau kau akan kehilangan waktu, tidak dapat menyelamatkan Raja dan rakyat Mataram!”

“Tapi...”

Tiba-tiba Ni Gatri yang sejak tadi terduduk di tanah, bergerak bangun. Sekali dia membuat gerakan aneh sosoknya melesat ke atas satu gundukan batu yang berada di tempat ketinggian. Anak perempuan ini pejamkan mata, wajah diarahkan ke timur dimana cahaya terang tampak lebih jelas tanda sang surya telah memunculkan diri. Di atas batu dengan cepat Ni Gatri menghirup udara dalam-dalam. Hal Ini dilakukannya berulang kali.

Udara pagi yang sejuk dan telah tersentuh cahaya sang surya masuk segar ke dalam tubuhnya. Pada hirupan ke tujuh tiba-tiba tampak satu cahaya kelabu masuk ke dalam tubuh anak perempuan itu. Saat itu juga terjadi perubahan pada diri Ni Gatri. Anak ini yang sebelumnya tak dapat bicara, seperti yang dikatakan patung Loro Jonggrang, Ni Gatri akan pulih kembali dan mampu bicara pada saat matahari terbit.

Dari atas batu Ni Gatri palingkan kepala ke arah Wiro dan dari mulutnya tiba-tiba keluar teriakan keras. “Kakak! Lakukan apa yang dikatakan Nyi Ratu! Lekas pergi ke Bukit Batu Hangus! Saya akan tetap di sini menemani Nyi Ratu!”

Walau yang bicara adalah Ni Gatri, namun suara yang terdengar adalah suara seorang kakek-kakek.

“Itu suara Kumara Gandamayana! Ni Gatri berada dalam perlindungan kakek sakti itu. Wiro kau tidak perlu mengawatirkan Ni Gatri,” ucap Ratu Randang yang mengenal suara kakek sakti pembantu utama Raja Mataram. “Wiro! Waktumu sudah hampir habis!”

Wiro bingung sesaat Menggaruk kepala. Lalu dia keluarkan dua buah benda dari balik pakaiannya. Yaitu potongan kalung emas milik Sri Padmi Kameswari yang diberikan Raja padanya. Benda kedua adalah Bunga Matahari yang didapatnya dari Nyi Loro Jonggrang di dalam Candi Siwa.

“Ratu, aku pergi. Jaga dirimu baik-baik. Kuharap kau juga segera pergi dari sini bersama Ni Gatri. Hindari pertarungan dengan Pangeran Matahari! Terlalu berbahaya! Selain itu aku merasa ada orang lain yang menyertai Pangeran keparat itu. Tapi sampai saat ini sengaja sembunyi.”

“Aku sudah tahu siapa salah seorang diantaranya. Kau tak usah cemas. Aku akan memuntir kepala Pangeran bejat itu. Kepala atas dan kepala bawah!” Jawab Ratu Randang masih bisa bergurau.

“Kalau begitu kau pegang dua benda ini. Mudah-mudahan bisa menolong kalau terjadi apa-apa.”Wiro menyerahkan potongan kalung emas dan Bunga Matahari lalu membalikkan diri.

“Tunggu!” Kata Ratu Randang sambil menarik bahu pakaian Pendekar 212.

Belum sempat Wiro bertanya Ratu Randang sudah mencium pipi dan bibirnya dua kali berturut-turut! “Nah, sekarang pergilah. Tinggal empat ratus sembilan puluh dua ciuman. Hik hik hik!”

Wiro hanya bisa menggaruk kepala lalu lama Pendekar 212 segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Anjing kecil hitam melompat ke atas bahu kanan Wiro.

“Aku sudah mengira hubungan kalian! Dasar manusia-manusia mesum cabul! Pendekar bejat kau mau lari ke mana!” Berteriak Pangeran Matahari. Dia melompat mengejar namun terpaksa melompat mundur ketika Wiro hantamkan satu pukulan sakti ke arahnya. Tanah di depan Pangeran Matahari terbongkar membentuk lobang besar! Pangeran Matahari memaki menyumpah-nyumpah.

“Kesatria Roh Jemputan! Jangan hanya memaki dan menyumpah! Lekas kejar keparat itu! Bunuh sebelum dia mencapai Bukit Batu Hangus!”

Pangeran Matahari yang mengenali suara mengiang itu bungkukkan badan lalu dengan patuh segera berkelebat mengejar. Di saat bersamaan terdengarnya suara mengiang tiba-tiba menyambar delapan larik cahaya merah.

“Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!” berseru Ratu Randang dengan darah tersirap. Dia mengenali ilmu yang melesatkan delapan sinar merah itu. “Mahluk keparat itu rupanya sudah ada di sekitar sini!” Perempuan ini lebih terkejut lagi ketika melihat delapan larik sinar merah melesat ke arah Ni Gatri. “Keji sekali! Ada yang hendak membunuh anak tak berdosa itu!”

Karena jaraknya dengan Ni Gatri terpisah cukup jauh, untuk selamatkan Ni Gatri, dari delapan cahaya maut Ratu Randang terpaksa melepas pukulan bertenaga dalam rendah ke arah anak perempuan itu. Begitu tersambar pukulan Ni Gatri terpental, bergulingan di tanah. Ni Gatri menjerit keras ketakutan ketika delapan cahaya merah melesat menggidikkan di atas tubuhnya. Walau menderita sedikit lecet di kedua sikunya namun anak itu selamat! Tidak berhasil membunuh Ni Gatri, delapan cahaya merah tiba-tiba berbalik dan kini menyerang ke arah Ratu Randang!

“Sinuhun jahanam! Kau kira aku takut mengadu jiwa denganmu!” Kertak Ratu Randang. Tangan kanan segera diangkat dan selarik sinar biru membentuk kipas raksasa terbuka melesat keluar dari tangan kanan Ratu Randang. Sinar biru dan delapan sinar merah bentrokan di udara!

“Biaar...blaarr!”

Delapan letusan dahsyat laksana gelegar suara petir mengguncang seantero tempat. Delapan cahaya merah mental ke langit dan lenyap dari pemandangan. Sebaliknya sinar biru berbentuk kipas didahului suara dentuman dahsyat bertabur tercabik-cabik lalu luruh ke tanah dalam bentuk ribuan kepingan kecil dikobari api!

Di tempatnya berdiri Ratu Randang merasa dada berdenyut sakit sementara dua kaki bergetar hebat disertai adanya kekuatan aneh yang hendak melemparkan tubuhnya ke udara!

“Sett... sett!”

Agar tubuhnya tidak terlempar Ratu Randang tancapkan dua kaki di tanah hingga tenggelam sebatas betis. Dia berusaha bertahan. Getaran malah menjalar ke atas, memasuki tubuh dan kepala! Ratu Randang alirkan hawa sakti yang ada di dalam tubuh untuk memusnahkan kekuatan aneh. Namun sia-sia.

Laksana pohon terbongkar dari akarnya, kedua kaki Ratu Randang terangkat ke atas lalu wuutt! Ratu Randang menjerit keras. Tubuh perempuan ini mencelat tinggi ke udara. Dalam keadaan melayang turun Ratu Randang membuat gerak jungkir balik sampai dua kali. Namun tetap saja dia tidak mampu jatuh dengan dua kaki menginjak tanah lebih dulu.

Ratu Randang terkapar di tanah. Sekujur tubuh terasa seperti luluh lantak. Untuk beberapa saat dia tak mampu bergerak sementara darah tampak mengucur di sela bibir kiri kanan. Jantung berdegup keras. Wajah pucat laksana kain kafan! Memandang ke depan Ratu Randang masih bisa merasa lega ketika melihat Ni Gatri yang tadi terguling di tanah kini berusaha bangkit berdiri.

“Mudah-mudahan kakek Kumara Gandamayana masih ada dalam tubuh anak itu,” ucap Ratu Randang dalam hati.

Walau berada dalam keadaan cidera seperti itu namun Ratu Randang masih mampu berpikir. “Yang melancarkan serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit pasti salah seorang dari Sinuhun keparat itu. Aku membekal potongan kalung emas yang diberikan Wiro. Logam pantangan bagi Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah. Seharusnya Pukulan Delapan Arwah Sesat membalik menghantam pemiliknya sendiri. Tapi bagaimana bisa tembus? Jangan-jangan jahanam itu sudah memiliki ilmu penangkal!”

Ratu Randang keluarkan potongan kalung emas dari balik pakaian. Potongan kalung emas itu ternyata sudah leleh dan mengepulkan asap. “Walau masih bisa melindungi diriku, tapi potongan kalung emas ini leleh! Seharusnya aku sudah menemui ajal saat ini. Ada banda lain turut melindungi diriku.”

Ratu Randang ingat pada Bunga Matahari Pemberian Loro Jonggrang yang diserahkan Wiro padanya. Dia kembali meraba ke balik pakaian. Namun belum sempat mengeluarkan kembang itu sekonyong-konyong dari langit melayang turun seorang berpakaian dan berikat kepala hijau. Sementara tiga rerumpunan semak belukar yang ada di sekitar tempat itu mendadak meletup keras, hancur bermentalan ke udara dan di lain kejap

Wusss... wuss... wuss!

Hancuran tiga semak belukar berubah menjadi tiga mahluk berwajah cekung angker. Mahluk ini sama mengenakan pakaian serba hitam, memiliki mata berwarna kuning, merah den biru. Di atas kepala masing-masing yang tertutup rambut panjang awut-awutan menancap sebuah pendupaan terbuat dari tembaga merah menyala.

Dari dalam pendupaan mengepul keluar asap yang warnanya sesuai dengan warna mata masing-masing mahluk. Orang yang melayang dari langit dan tiga mahluk aneh saling memberi tanda. Rupanya mereka sudah saling kenal. Keempatnya dengan cepat sama-sama bergerak mendatangi Ratu Randang yang masih tergeletak di tanah.

“Sinuhun Muda Ghama Karadipa!” Ratu Randang berucap perlahan dengan suara bergetar. “Dugaanku tidak keliru ! Benar keparat ini rupanya! Dia membawa serta Tiga Iblis Menjunjung Dupa Kematian!” Ratu Randang pegang erat-erat potongan kalung emas yang telah di tangan kanan.

TIGA

HANYA berapa saat setelah Pendekar 212 Wiro, Sableng berkelebat meninggalkan Ratu Randang, Ni Gatri yang tergolek di tanah bergerak bangun. Dari tubuhnya melesat satu cahaya kelabu disusul keluarnya sosok seorang kakek berjubah dan bersorban kelabu, mengenakan sepasang kasut putih. Di pinggangnya melingkar ikat pinggang berbentuk sebuah tasbih besar berwarna coklat terbuat dari kayu yang menebar bau harum.

Kakek ini adalah Kumara Gandamayana orang kepercayaan Sri Maharaja Mataram yang tingkat ilmu kesaktiannya tinggi sekali namun sampai saat itu, seperti juga para tokoh sakti Istana lainnya tidak mempunyai kemampuan untuk menghadapi kelompok orang-orang jahat yang telah menimbulkan bencana Malam Jahanam di Bhumi Mataram. Salah satu adalah karena seperti para tokoh istana lainnya, Kumara Gandamayana telah terkena sirap asap jahat yang di tebar oleh anak buah Raja Dukun Batu Berlumut bernama Tiga Iblis Menjunjung Dupa Kematian yang kini muncul bersama Sinuhun Muda.

Kumara Gandamayana tepuk ikat pinggang dengan tangan kanan sementara tangan kiri menunjuk ke arah lenyapnya Wiro yang kini tengah dikejar oleh Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari.

“Kejar dan bunuh mahluk yang mengejar Kesatria Roh Panggilan!”

“Reettt!”

Ikat pinggang berbentuk tasbih besar yang melilit di pinggang si kakek bergerak membuka lalu melesat ke udara. Sejarak tiga tombak dari si kakek, ikat pinggang ini berubah membentuk ujud menyerupai Kumara Gandamayana yang segera berkelebat ke arah lenyapnya Kesatria Roh Jemputan yang tengah mengejar Kesatria Panggilan alias Pendekar 212 Wiro Sableng! Begitu ujud kembarannya hilang dari pandangan, Kumara Gandamayana yang asli dengan cepat mendekati Ni Gatri.

“Anak baik, satu perkara besar akan terjadi di tempat ini. Kau pergilah dulu menyusul kakakmu di Bukit Batu Hangus. Mungkin ada sesuatu yang bermanfaat bisa kau lakukan di sana!”

Kumara Gandamayana tarik ujung sorban yang melingkar di atas kepala. Sorban yang terkembang itu dilemparkan ke arah Ni Gatri. Begitu sorban bergulung di tubuh anak perempuan itu, secara aneh sosok Ni Gatri terangkat ke udara lalu melesat ke arah Bukit Batu Hangus.

Melihat kejadian ini Sinuhun Muda segera angkat tangan kanan untuk melepas satu pukulan sakti yang bisa membuat tubuh Ni Gatri hancur berkeping keping. Namun sebelum pukulan sempat dilancarkan, Kumara Gandamayana cepat menghalangi. Sekali tangan kanannya melesat, jari-jarinya berhasil mencekal lima jari tangan kanan Sinuhun Muda. Sepuluh jari tangan saling mencengkeram. Asap merah dan putih mengepul pertanda keduanya mengerahkan tenaga dalam penuh. Sinuhun Muda menyeringai, membuat gerakan mendorong hingga Kumara Gandamayana terjajar ke belakang hampir dua langkah.

“Luar biasa! Tenaga dalam dan hawa saktinya hebat sekali. Aku yakin ada mahluk lain yang memberi bantuan padanya,” si kakek membatin sementara kedua kakinya perlahan-lahan terangkat ke udara den di mulut ada rasa asin pertanda saling bentrokan tenaga dalam dan hawa sakti telah membuatnya cidera dalam!

Untuk mempertahankan diri Kumara Gandamayana keluarkan bentakan keras. Mulut merapal aji kesaktian. Saat itu juga tangan kanannya yang masih saling bercengkeraman dengan tangan lawan berubah menjadi merah seperti bara menyala! Inilah ilmu kesaktian yang disebut Tangan Bara Dewa. Dengan ilmu kesaktian inilah dulu si kakek membuat sepuluh jari tangan Empu Semirang Biru berubah menjadi bara menyala hingga sang Empu mampu dengan lebih mudah dan lebih cepat menyelesaikan pembuatan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi.

Baca episode pertama serial ini berjudul Malam Jahanam Di Mataram

“Dess! Desss!”

Sinuhun Muda menjerit keras ketika tangannya melepuh dan ujung lengan panjang baju dikobari api. Dia kerahkan tenaga menarik tangan kanannya dari cengkeraman si kakek.

“Kraakk!”

Tangan kanan Sinuhun Muda remuk dan tanggal di bagian pergelangan! Darah mengucur, tulang menyembul, urat serta otot dan daging berserabutan! Tapi orangnya malah keluarkan tawa bergelak, membuat si kakek jadi terkesima! Sekali Sinuhun Muda, meniup tangan kanannya, maka tangan itu utuh kembali seperti ujud semula!

“Dia pergunakan ilmu Di Dalam Arwah Ada Raga!” Kumara Gandamayana berucap dalam hati. Selagi kakek ini menyaksikan tak percaya, Sinuhun Muda malah tertawa gelak-gelak.

“Kumara Gandamayana! ilmu kesaktianmu boleh setinggi langit sedalam lautan! Tapi tidak ada ceritanya ada manusia atau arwah di Bhumi Mataram ini yang bisa menandingi apa lagi mengalahkan kesaktian Delapan Sukma Merah! Riwayatmu tamat sampai di sini. Tapi kau terlalu hina dan menjijikkan untuk kubunuh dengan tanganku sendiri!

Sinuhun Muda berpaling pada tiga mahluk penjunjung dupa. “Kalian tunggu apa lagi keparat itu mahluk tak berguna seumur hidupnya!”

Kumara Gandamayana bersurut dua langkah. Saat itu dia merasakan tubuhnya mendadak lemas. Orang tua ini Cepat merapal aji kesaktian untuk menenteramkan jiwa dan memberi kekuatan.

Tiga mahluk menjunjung dupa tidak bergerak dari tempatnya. Namun dari masing-masing pendupaan tembaga menyala di atas kepala mereka melesat keluar kepulan asap merah, kuning dan biru. Kali ini kepulan asap disertai bau kemenyan sangat santar. Lalu terjadi satu keanehan. Tiga kepulan asap berubah menjadi tiga jerangkong hitam yang memiliki sepasang mata dipenuhi kobaran api berwarna merah, biru den kuning!

“Tiga Jerangkong Penebar Arwah” ucap Ratu Randang terkejut hebat. “Celaka! Kakek Kumara Gandamayana! Sekali tubuhnya sentuh tangan tiga jerangkong terkutuk itu maka seumur-umur dia akan berubah menjadi jerangkong hidup. Gentayangan kemana-mana dibawah kuasa dan kendali Tiga Iblis Menjunjung Dupa Kematian!”

Kumara Gandamayana sendiri menyadari bahaya luar biasa besar yang tengah dihadapinya. Dia segera merapal aji kesaktian untuk menenteramkan jiwa den menambah kekuatan.

“Greek ... greek ... greek!”

Tiga Jerangkong Penebar arwah melangkah mendekati Kumara Gandamayana. Sekujur sosoknya yang merupakan tulang belulang hitam mengeluarkan suara berkeretakan.

“Kumara Gandamayana!” Tiba-tiba Sinuhun Muda berteriak. “Nasibmu tidak bisa ditolong lagi! Namun aku masih mau memberi satu jalan kehidupan padamu! Bergabung bersamaku!”

Mendengar ucapan orang si kakek sunggingkan seringai mengejek. “Mahluk puntung neraka! Kutuk dan kemurkaan Para Dewa akan jatuh atas diri bejatmu dan semua pengikutmu! Apa kau masih belum melihat kalau pintu neraka telah terbuka lebar dan setan-setan neraka yang haus tulang dan daging manusia tidak sabar menunggu kedatanganmu?!”

Sinuhun Muda tertawa gelak-gelak. “Neraka adalah bagian kalian orang-orang Mataram yang telah membunuh kedua orang tuaku dan ratusan rakyat tidak berdosa! Ingat apa yang terjadi ketika Raja mu membunuh secara keji ratusan bahkan ribuan manusia tidak berdosa yang ingin menuntut keadilan? Yang ingin mengambil tahta yang bukan milik Raja mu si Rakai Kayuwangi itu?!”

“Kalau itu ceritamu maka sungguh tololnya dirimu! Apa kau tidak sadar kalau kedua orang tuamu dan ribuan rakyat Mataram sesat lainnya adalah kaum pemberontak keji?! Yang untuk melaksanakan niat rakus merampas tahta yang bukan haknya tega menjadikan rakyat sebagai budak dan tameng kematian?! Sinuhun keparat! Katakan siapa kau sebenarnya. Aku tahu kau punya nyawa kembar dengan seorang yang dipanggil Sinuhun Merah Penghisap Arwah!”

mengenai asal usul Sinuhun Muda harap baca serial Mimba Purana, Satria Lonceng Dewa karangan Bastian Tito

Sinuhun Muda keluarkan suara menggembor. Dia tidak menjawab pertanyaan si kakek malah menggoyang kepala. Delapan benjolan di kening Sinuhun Muda memancarkan cahaya merah. Hal ini merupakan isyarat pertanda bagi Tiga Jerangkong Menebar Arwah. Dari hanya melangkah ketiganya kini melompat menyergap Kumara Gandamayana.

Jerangkong Kesatu menyapukan tangan ke arah kepala si kakek. Kobaran api berwarna merah ikut menyembur dari rongga matanya. Jerangkong Kedua berusaha mencengkeramkan lima jari tangan ke perut Jerangkong Ketiga datang dari belakang menggebuk punggung! Sementara itu Tiga Iblis Menjunjung Dupa Kematian tegak menyeringai sambil rangkapkan dua tangan di depan dada.

Dalam keadaan diri cidera, melihat apa yang terjadi Ratu Randang tidak mau berlepas tangan. Dia gulingkan diri lalu berusaha. bangun. Dia hanya mampu bergerak duduk di tanah. Tangan kanan melemparkan potongan kalung emas kearah Sinuhun Muda. Tangan kiri berturut-turut melepas tiga pukulan sakti bernama Tombak Dewa Memancung Berhala.

EMPAT

Apa yang terjadi kemudian membuat Ratu Randang tersentak kaget terbelalak besar! Potongan kalung emas besar yang dilemparkan Ratu Randang, bukan saja tidak mampu menimbulkan malapetaka pada Sinuhun Muda, tapi dengan tangan kirinya Sinuhun Muda menangkap benda itu. Sambil tertawa-tawa dia berkata.

“Pagi ini aku memang belum sarapan. Terima kasih telah memberi aku kerupuk garing. Pasti lezat rasanya!”

Lalu enak saja Sinuhun Muda masukkan lempengan emas ke dalam mulut dan krauk... krauk ... krauk! Dia mengunyah potongan kalung emas itu seolah benar-benar menyantap kerupuk garing!

“Celaka! Pasti Sinuhun keparat itu telah memiliki ilmu baru penangkal emas yang selama ini jadi pantangannya!”

Selagi Rau Randang terkesiap, Sinuhun Muda tertawa gelak-gelak. Sementara itu tiga pukulan sakti Tombak Dewa Memancung Berhala yang tadi dihantamkan Ratu Randang dengan telak menghajar Tiga Jerangkong Menebar Arwah. Seperti tombak beneran, cahaya biru pukulan sakti menancap di dada Jerangkong Kesatu, menembus tenggorokan Jerangkong Kedua dan menghunjam di perut Jerangkong Ketiga. Sosok tiga jerangkong serta merta digulung kobaran api berwarna biru! Tiga Jerangkong keluarkan jeritan keras.

Sinuhun Muda berteriak marah. Sekali tangan disapukan kobaran api biru yang membuntal tubuh tiga jerangkong serta merta padam. Didahului suara letupan keras tiga sosok mengerikan itu lenyap dari pemandangan.

Tiga Iblis Menjunjung Dupa Kematian menggerung marah. Baik Sinuhun Muda maupun Tiga Iblis untuk beberapa ketika jadi melupakan si kakek Kumara Gandamayana. Tiga Iblis menyerbu ke arah Ratu Randang. Namun gerakan dua iblis tertahan ketika salah seorang teman mereka yaitu Iblis Menjunjung Dupa Kematian Kedua meraung dahsyat dan tubuhnya tampak memancarkan nyala merah lalu...

Brukkk!

Tubuh menyala itu amblas masuk ke dalam tanah! Apa yang telah terjadi?!

Ketika Sinuhun Muda dan Tiga Iblis Menjunjung Dupa Kematian lengah melupakan Kumara Gandamayana, kakek ini segera menerapkan ilmu kesaktian bernama Menembus Tanah Menarik Petaka. Dengan mengeluarkan suara berkesiuran tubuh si kakek amblas masuk dan lenyap ke dalam tanah. Di lain kejap tiba-tiba dari dalam tanah mencuat dua tangan berjari raksasa merah membara. Dua tangan ini mencekal kaki kiri kanan Tiga Iblis Menjunjung Dupa Kematian, Kedua. Sesaat sekujur tubuh Iblis Kedua berpijar laksana berubah menjadi bara menyala lalu brukk! Sosoknya tenggelam masuk ke dalam tanah!

Dua Iblis menghunjam-hunjamkan sepasang kaki mereka ke tanah hingga terjadi goncangan hebat laksana bumi dilanda gempa. Sinuhun Muda kembangkan dua tangan ke samping. Sepuluh jari dipentang diluruskan. Jari-jari tengah kemudian ditekuk ke arah telapak. Dari delapan jari tangan kemudian memancar cahaya merah. Delapan larik cahaya bergabung menjadi satu lalu bergerak turun menutup tanah di sekitar tempat itu.

“Kumara Gandamayana! Seumur umur jangan harap kau bisa keluar lagi dari dalam tanah!”

“Dukk! Dukk! Dukk!”

Sinuhun Muda hentakkan kaki kanan tiga kali sambil merapal ajian ilmu hitam. Gabungan cahaya merah laksana batu pipih raksasa dengan mengeluarkan suara bergemuruh amblas masuk ke dalam tanah. Debu bercampur asap merah menggebubu ke udara. Sesaat kemudian di kejauhan terdengar suara jerit raungan menyayat hati. Lalu lenyap ketika tiba-tiba di langit ada selarik cahaya kuning menyambar disertai terdengarnya lapat-lapat suara lonceng. Ratu Randang merasa kuduknya dingin merinding.

“Kakek Kumara.... Apa yang terjadi dengan dirimu. Aku melihat cahaya kuning di langit, mendengar bahana lonceng. Dewa Jagat Bathara saya mohon, tolong orang tua itu...“

Ratu Randang tidak bisa berpikir lebih panjang karena saat itu Sinuhun Muda dan Iblis Menjunjung Dupa Kematian Kesatu dan Ketiga telah melompat ke hadapannya yang masih dalam keadaan terduduk di tanah. Ketiga orang ini menatap sangar ke arah Ratu Randang.

“Ratu Randang! Perempuan dajal pengkhianat! Dulu kau masih bisa lolos dari tanganku! Kali ini jangan harap kau bisa lari lagi!”

Ratu Randang tersenyum dan menjawab. “Sinuhun Muda, aku tidak pernah lari darimu. Sebaliknya bukankah kau yang selalu mengejar-ngejar diriku? Ah, rupanya kau tidak pernah melupakan kenangan indah ketika kita berada di dalam goa di balik air terjun! Hik hik hik!”

Tampang Sinuhun Muda menggembung merah. “Manusia terkutuk! Dulu kau masih bisa lolos dari tanganku! Kali ini aku akan membuat dirimu benar-benar sengsara lebih dulu sebelum kuhabisi! Gendakmu Kesatria Panggilan pemuda edan berambut gondrong itu tidak akan bisa menolong. Saat ini dia mungkin sudah mampus dibantai Kesatria Roh Jemputan. Ha ha ha!”

Ratu Randang mengulum senyum genit. “Kau mau melakukan apa silahkan! Kau mau membunuhku, siapa takut?!”

Ratu Randang berusaha bangun dari duduknya. Tapi luka dalam yang dideritanya akibat bentrokan tenaga dalam tadi membuat perempuan ini tak mampu berdiri. Selagi dia terhuyung-huyung Iblis Penjunjung Dupa Kematian Ketiga menyergapnya dengan satu tendangan ke arah kepala. Namun serangan maut ini tertahan karena Sinuhun Muda memegang bahunya dan berkata.

“Wajah masih cantik. Tubuh masih kencang seperti gadis belasan tahun. Walau dia yang telah membunuh guru kalian Raja Dukun Batu Berlumut, tapi apa kau dan sobatmu tidak ingin bersenang-senang lebih dulu? Aku sudah pernah merasakan luar biasa nikmatnya! Ha ha ha!”

Iblis Penjunjung Dupa Kematian Ketiga menatap Sinuhun Muda lalu memandang pada sobatnya Iblis Penjunjung Dupa Kematian Kesatu. Yang dipandang menyeringai, basahi bibir dengan ujung lidah, hidung tampak kembang kempis. Sepasang mata berkilat kilat.

Mendengar ucapan Sinuhun Muda, melihat sikap Iblis Kesatu dan Ketiga, Ratu Randang sadar bahaya besar yang dihadapinya. Namun dia sadar pula kalau dia tidak mungkin melakukan perlawanan dan menghindari perbuatan terkutuk dua Iblis Menjunjung Dupa Kematian. Apa lagi saat itu dilihatnya delapan benjolan merah di kening Sinuhun Muda memancarkan sinar terang. Pertanda orang ini siap berusaha untuk melepas serangan maut jika dia berusaha melarikan diri atau melakukan perlawanan. Sementara itu tubuhnya berada dalam keadaan cidera dan nyaris tiada daya.

“Apa boleh buat. Aku harus melakukannya lagi. Mudah-mudahan Dewa Bathara Agung melindungi diriku...” Ratu Randang berkata dalam hati.

Ketika Iblis Kesatu dan Ketiga mendatangi, diam-diam Ratu Randang segera merapal satu aji kesaktian yang mengandung ilmu sihir. Ketika dua Iblis mendekatinya Ratu Randang lemparkan senyum menggoda. Lidah merah berulang kali diulurkan membasahi bibir. Mata yang juling bagus dikedip-kedip.

“Kalian berdua hendak bersenang-senang? Aku sungguh berbahagia. Tidak pernah aku bertemu dengan orang segagah dan sehebat kalian. Tubuh kalian yang kekar besar pertanda kalian adalah orang-orang yang kuat dan hebat dalam bercinta. Hik hik!”

Ratu Randang berpaling pada Sinuhun Muda. “Sinuhun apa kau tidak ingin ikut serta? Kau mengatakan betapa nikmatnya tubuhku. Kau tahu. Hik hik. Saat ini aku sedang ingin-inginnya. Setiap lekuk di tubuhku bergetar hangat...”

Habis keluarkan ucapan Ratu Randang lalu robek bagian atas bajunya hingga dadanya yang putih besar tersembul keluar. Iblis Kesatu dan Ketiga yang jarang-jarang menyaksikan pemandangan seperti ini tidak dapat lagi mengendalikan nafsu. Keduanya serta merta menanggalkan pakaian.

Sinuhun Muda hanya cengar-cengir melihat apa yang dilakukan kedua anak buahnya. Tiba-tiba ada satu cahaya putih melesat ke udara. Bersamaan dengan itu Sinuhun Muda melengak kaget dan berteriak. “Kurang ajar! Hentikan! Iblis Kesatu! Iblis Ketiga! Perempuan itu menipu kalian!”

Iblis Kesatu den Ketiga yang tidak mengerti maksud kata-kata Sinuhun Muda terus saja dengan pekerjaan mesum mereka. Sampai akhirnya Sinuhun Muda menarik keduanya.

“Sinuhun Muda... Ada apa?!” Bertanya Iblis Kesatu terheran-heran dan agak jengkel karena kenikmatannya diganggu orang. “Sinuhun, katakan saja kalau kau mau gantian. Kami berdua bisa mengalah...”

“Plaakkk!”

Sinuhun Muda tampar Iblis Ketiga yang barusan keluarkan ucapan hingga sudut bibirnya pecah sedang telinga kirinya mendenging tuli!

“Kalian berdua! Lihat! Buka mata kalian lebar-lebar!” Sinuhun Muda menunjuk ke arah sosok tubuh yang tertelentang di tanah tanpa pakaian.

Dua Iblis melihat sosok tubuh itu sebagai sosok telanjang Ratu Randang. Sebaliknya Sinuhun Muda melihatnya sebagai bangkai seekor anjing besar berwarna coklat!

“Sinuhun Muda, apa maksud Sinuhun…”

“Jangan banyak mulut! Lihat!” Sinuhun Muda kembali menunjuk ke tanah di hadapan dua Iblis Menjunjung Dupa Kematian.

Iblis Kesatu dan Ketiga kembali memperhatikan ke arah sosok tubuh Ratu Randang yang tertelentang di tanah. Perlahan-lahan tubuh itu tampak berubah menjadi seperti apa yang dilihat Sinuhun Muda. Sosok anjing betina besar yang sudah jadi bangkai dan dikerubungi lalat!

“Perempuan jahanam! Dia menipu kita!” Teriak Iblis Kesatu sementara iblis Ketiga terbuyung-huyung jatuh berlutut di tanah dan mulai menyemburkan muntah!

“Perempuan kurang ajar itu!” Rutuk Sinuhun Muda. “Ketika dulu aku bercinta dengannya. Jangan-jangan dia juga telah menipuku seperti ini! Hueekkk!” Sinuhun Muda merasa perutnya mual. Tidak sanggup menahan diapun ikutan muntah!

Iblis Ketiga satu satunya orang yang tidak muntah, penuh amarah tendang bangkai anjing dengan kaki kanan. Lalat menghambur beterbangan. Bangkai anjing besar seperti hidup keluarkan raungan keras lalu tubuhnya yang ditendang terlipat demikian rupa, menggapai berbalik dengan moncong terbuka siap menggeragot kaki kanan Iblis Ketiga.

Kali ini Iblis Ketiga tidak kepalang tanggung. Kepala digoyang. Asap kuning di dalam pendupaan di atas kepala meletup ke udara lalu bergelung membentuk tonggak sebesar batang kelapa. Tonggak menghantam anjing besar jejadian dan sama-sama terpuruk amblas kedalam tanah!

********************

LIMA

Kita ikuti sekarang Pendekar 212 Wiro Sableng yang dengan segala kesaktian dimiliki tengah berlari secepat yang bisa dilakukan menuju Bukit Batu Hangus. Anjing kecil hitam berdiri di atas bahu kanannya. Tanpa terlihat, terdengar ataupun terasa oleh sang pendekar tiba-tiba di udara di sebelah belakangnya melesat satu cahaya kuning bercampur merah. Cahaya ini menyusup masuk ke dalam tubuh anjing kecil. Tidak bisa mengatakan seperti manusia, binatang yang merasa adanya sesuatu bahaya itu hanya mampu menyalak berulang kali. Wiro usap tengkuk anjing kecil sambil terus berlari.

“Sobat Kecil,” begitu Wiro memanggil si anak anjing, “tenanglah. Sebentar lagi kita akan melakukan kewajiban besar. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa menolong kita!”

Anjing kecil menyalak tiga kali lalu diam. Pada saat Wiro mengusap kepala anak anjing itu tanpa disadarinya karena sama sekali memang tidak terasa dan tidak melihat selarik cahaya kuning kemerahan keluar dari dalam tubuh binatang itu, menyerap masuk ke dalam jari-jari tangan kanannya sampai sebatas pergelangan. Wiro terus berlari. Anjing kecil tampak gelisah dan kembali menyalak beberapa kali.

Langit di sebelah timur semakin terang. Sri Maharaja Mataram dan semua pengungsi berada pada lereng sebelah barat bukit hingga terlindung dari cahaya fajar yang merambat dari ufuk timur dan keadaan di lereng itu tampak masih di selimuti kegelapan.

Wiro yang merasa kawatir akan terlambat mempercepat larinya. Tak selang berapa lama di depan sana samar-samar dia sudah melihat Bukit Batu Hangus. Tiba-tiba...

Wuuut!

Wiro mendongak ke atas. Sesosok tubuh anak perempuan tergulung dalam kain berwarna kelabu melesat di Udara.

“Ni Gatri! Apa yang terjadi dengan dirimu?!”Wiro berteriak ketika mengenali.

Di udara, Ni Gatri yang diterbangkan oleh sorban sakti Kumara Gandamayana tak sempat menjawab karena sosoknya melesat sangat cepat ke arah Bukit Batu Hangus.

Wiro menggaruk kepala. “Apa yang terjadi dengan anak itu? Benda sakti apa yang menerbangkannya…” Pikir Wiro. Mendadak sang pendekar ingat pada Ratu Randang yang ditinggal sendirian. Dia benar-benar khawatir.

Salakan anak anjing di atas bahu menyadarkan Wiro dan dia kembali melanjutkan perjalanan, berlari menuju Bukit Batu Hangus.

********************

PANGERAN MATAHARI alias Kesatria Roh Jemputan yang tengah mengejar Pendekar 212 atas perintah Sinuhun Muda palingkan kepala ke belakang ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara menderu keras. Dan...

Wuuttt!

Seorang berjubah dan bersorban kelabu melesat di udara melewatinya, jungkir balik dalam gerakan luar biasa enteng lalu jejakkan kaki di tanah, tegak lima langkah dari hadapannya sambil dua tangan dirangkap di depan dada.

Pangeran Matahari segera hentikan lari. Setelah menatap sejurus dan merasa tidak mengenal orang dihadapannya, maka diapun menegur dengan sikap congkak dan kata-kata merendahkan.

“Orang tua bulukan! Apa kau merasa pantas menghalangi perjalananku! Apa kau tidak tahu siapa diriku?!” Sang Pangeran lalu menjawab sendiri pertanyaannya. “Di negeri leluhurku aku dikenal dengan nama Pangeran Matahari. Di negeri ini aku adalah tamu terhormat yang sangat dibutuhkan untuk menumpas orang-orang jahat dan di sini aku disebut Kesatria Roh Jemputan!”

Orang tua berjubah dan bersorban kelabu serta mengenakan sabuk berbentuk tasbih besar di pinggangnya yang merupakan ujud salinan atau jejadian dari kakek sakti Kumara Gandamayana mendengus lalu menjawab. “Siapa dirimu aku sudah lebih dari tahu. ltu sebabnya aku punya seribu alasan untuk menghadang perjalananmu!”

Sepasang alis mata Pangeran Matahari mencuat ke atas. Rahang menggembung, mulut dicibirkan. “Begitu?!” Ucap sang Pangeran lalu tertawa gelak-gelak. “Tua bangka jelek! Kau boleh punya seribu alasan, aku hanya punya satu alasan untuk membunuhmu! Aku tidak suka melihat ujudmu! Ha ha ha! Aku mencium bau busukmu, kau tentunya adalah kaki tangan orang-orang Rakai Kayuwangi keparat! Perampas tahta Kerajaan Mataram!”

“Manusia sesat kesasar! Jangan kau berani menghina Raja Mataram!” Bentak ujud kembaran Kumara Gandamayana.

Pangeran Matahari meludah ke tanah. “Jangankan menghina, membunuhnyapun aku merasa layak! Dan itu memang tugasku! Ha ha ha!”

Si kakek turunkan dua tangan yang sejak tadi dirangkap di atas dada. “Asalmu sebenarnya adalah dari roh busuk! Pantas kalau kau kembali kecomberan!” Habis berkata begitu si kakek mundur beberapa langkah lalu sapukan tangan kanan ke tanah.

“Wuuttt!”

Saat itu juga tanah di antara Pangeran Matahari den si kakek berubah menjadi satu comberan besar busuk luar biasa yang air dan lumpur hitamnya menggelegak!

“Pangeran Matahari, Kesatria Roh Jemputan! Siapapun namamu! Di comberan situ asalmu! Ke situ kau harus masuk sekarang juga! Lakukan sendiri! Ceburkan dirimu! Atau aku yang akan menyumbatkan kepalamu ke dasar comberan!”

Seumur hidup Pangeran Matahari tidak pernah mengalami penghinaan seperti itu. Kini setelah menemui ajal dan berada di dalam roh dia di damprat orang sedemikian rupa!

“Keparat kurang ajar! Ku robek mulutmu!” Teriak Pangeran Matahari. Sekali dia geserkan kedua kaki di tanah maka tubuhnya melayang di atas comberan busuk. Dua tangan dipentang kedepan, sepuluh jari memancarkan cahaya kuning, merah den hitam.

“Sepuluh Jari Iblis!” Pangeran Matahari berteriak sendiri menyebut ilmu dan jurus serangannya!

“Bukk! Bukk!”

Dua lengan bentrokan hebat ketika kembaran jejadian Kumara Gandamayana memukul dua tangan Pangeran Matahari yang hendak merobek mulut dan mata kirinya!

Pangeran Matahari mundur beberapa langkah. Dia tidak mengira lawan memiliki kekuatan tenaga dalam begitu tinggi. Selagi si kakek bergerak mengejarnya sambil lancarkan serangan dua tangan kosong, Pangeran Matahari balas menghantam dengan Pukulan Gerhana Matahari.

“Wuss! Wusss!”

Dua larik sinar gabungan kuning, merah dan hitam menderu ke arah dua larik cahaya putih yang melesat ke luar dari dua tangan si kakek. Di udara empat sinar sakti saling beradu. Tidak ada suara ledakan atau gelegar dahsyat. Empat sinar saling mendorong. Dua orang yang bertarung kerahkan tenaga dalam penuh. Perlahan-lahan jelas terlihat bagaimana dua sinar putih terdorong. Keringat memercik di kening si kakek. Dia sadar kalau dua larik gabungan sinar ilmu kesaktian lawan berhasil menembus dua cahaya putih, tubuhnya akan terpanggang hancur lebur!

Di saat genting seperti itu kembaran jejadian Kumara Gandamayana hentakkan kaki kanan ke tanah sambil merapal aji kesaktian Kekuatan Bhumi Milik Para Dewa. Dengan ilmu kesaktian itu si kakek mampu menyedot kekuatan hawa yang ada di dalam bumi yang kemudian akan disalurkan pada dua tangan untuk menambah kekuatan tenaga dalam yang sedang dipergunakan dalam menggempur lawan!

“Wuss! Wusss!”

Apa yang kemudian terjadi memang dahsyat sekali. Dua cahaya putih yang melesat dari tangan si kakek keluarkan suara, menderu dan pijaran sinar menyilaukan.

Di depan sana Pangeran Matahari berteriak keras ketika dua kakinya terangkat dari tanah dan tubuh terjajar ke belakang. Dia merasa seolah ada gunung batu mendorong tubuhnya! Sang Pangeran berusaha bertahan hingga rahang menggembung geraham bergemeletakan dari ubun-ubun di atas kepala membersit kepulan asap hitam.

Si kakek tidak tinggal diam. Kaki dihentakkan sekali lagi lalu dua tangan didorong. Tak ampun lagi tubuh Pangeran Matahari mencelat tiga tombak ke udara. Baju dan mantel hitamnya mengepulkan asap. Dalam keadaan seperti itu tubuhnya melayang jatuh ke bawah, tepat di arah comberan busuk!

“Jahanam kurang ajar!”

Pangeran Matahari menyumpah keras. Dia berusaha jungkir balik, namun jarak kepalanya den comberan sudah demikian dekat.

“Bangsat!” Sang Pangeran kembali merutuk. Lalu dia kerahkan tenaga dalam ke kening. Delapan benjolan merah pancarkan sinar menggidikkan.

“Wussss!”

Delapan sinar merah pekat melesat luar biasa cepat ke arah si kakek. Delapan Arwah Sesat Menembus Langit! Si kakek tidak keburu mengelak.

“Blaar!”

Didahului suara seperti gelegar petir tubuh jejadian Kumara Gandamayana hancur berkeping-keping lalu jatuh luruh ke tanah, berubah ujud menjadi ikat pinggang kayu coklat berbentuk tasbih besar. Ikat pinggang yang kini dalam keadaan hangus gosong dan mengepulkan asap itu tercampak di tanah.

Di saat bersamaan dengan hancurnya tubuh si kakek, sosok Pangeran Matahari mencebur masuk ke dalam comberan, kepala lebih dulu! Hening sunyi beberapa ketika. Lalu dua tangan muncul mencuat dari dalam comberan, disusul kepala dan tubuh Pangeran Matahari. Sekujur tubuh dan kepala basah kuyup oleh air busuk dan tertutup lumpur hitam comberan!

Satu suara tawa cekikikan menyambut keluarnya Pangeran Matahari dari dalam comberan. Sang Pangeran usap muka lalu membentak marah.

“Jahanam keparat dari mana berani mati mentertawakan diriku!”

“Oala! Pangeran Matahari digebuk orang! Keluar dari comberan busuk seperti seekor anjing buduk! Sungguh menyedihkan! Sungguh memalukan! Untung hanya aku seorang yang menyaksikan kejadian ini! Hik hik hik!”

“Bangsat! Jaga mulutmu!”

Pangeran Matahari menggembor keras. Wajah kembali di usap. Mata memandang mendelik ke arah orang yang berdiri beberapa langkah dari tepi comberan. “Dewi Ular! Perempuan Iblis!”

Orang yang dimaki tertawa mengikik. “Ssshh... jangan mamaki dulu aku mau menolongmu. Tak jauh dari sini ada sebuah telaga kecil. Kau bisa membersihkan diri di sana. Mari kutunjukkan tempatnya. Memalukan kalau sampai orang-orang Mataram melihat seorang yang mereka beri julukan Kesatria Roh Jemputan berada dalam keadaan seperti hantu, busuk menjijikkan! Hik hik hik!”

“Aku tahu letak telaga itu! Aku tidak butuh pertolonganmu! Perempuan sialan!”

“Aku tidak sial. Kau yang sedang ditimpa sial! Hik hik hik!”

Pangeran Matahari melesat keluar dari dalam comberan. Dia sengaja lari ke arah perempuan yang mentertawainya. Niatnya hendak menangkap dan menceburkan Dewi Ular ke dalam comberan. Tapi yang hendak dijahati tidak bodoh dan mengetahui maksud orang. Cepat-cepat Dewi Ular melesat ke cabang pohon besar. Duduk uncang-uncang kaki sambil berucap mengejek setengah bernyanyi.

"Di negeri asal Sang Pangeran bernasib buruk. Di negeri orang nasib Sang Pangeran lebih buruk. Minum air comberan. Makan lumpur busuk. Hik hik hik!"

“Wuuut!”

Tiga larik sinar merah, hitam dan kuning menyambar ke arah cabang pohon dimana Dewi Ular duduk.

“Keterlaluan! Aku mau menolong kau menyerang! Aku menyanyi kau malah hendak membunuhku!”

Pohon besar tenggelam dalam kobaran api lalu roboh melintang di atas comberan dalam keadaan hitam gosong. Dewi Ular sudah lebih dulu melompat turun selamatkan diri. Dikejauhan terdengar suara perempuan itu berteriak.

“Pangeran edan! Tadinya aku datang mau memberi tahu dimana beradanya Sinto Gendeng nenek bau pesing yang telah membunuhmu di puncak Gunung Merapi! Tapi sombong congkakmu membuat aku lebih baik memberi tahu pada orang lain! Aku bukan saja bakal dapat hadiah besar tapi juga hadiah kenikmatan! Darimu aku dapat apa? Comberan! Hik hik hik!”

Pangeran Matahari memaki panjang pendek. Lalu dia lari mencari telaga yang disebutkan Dewi Ular. Namun sampai lama berputar-putar dia tidak berhasil menemukan telaga itu.

“Kurang ajar! Ada yang menyesatkan langkah kakiku! Sebelumnya aku sudah melihat telaga itu. Sekarang mengapa tidak bertemu! Jahanam!”

“Kesatria Roh Jemputan! Kami mendatangkanmu ke Bhumi Mataram untuk membunuh Kesatria Panggilan, menumpas semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus! Mengapa kau hanya membuang waktu berputar-putar di tempat itu dan memaki tidak karuan!”

Satu suara mengiang di telinga kiri Pangeran Matahari. Saking kesalnya sang Pangeran pukul batang pohon di dekatnya hingga pohon berderak patah dan tumbang!

“Pukulanmu bagus dan telak! Aku ingin begitu kira-kira kau menghancurkan kepala Kesatria Panggilan!” Suara mengiang kembali terdengar.

Pangeran Matahari menyumpah dalam hati namun segera meninggalkan tempat itu.

********************

ENAM

UDARA di lereng barat Bukit Batu Hangus masih gelap. Semua orang yang ada di tempat itu kecuali anak-anak berada dalam keadaan menunggu berjaga-jaga. Melalui Ni Gatri mereka mendapat kabar bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng yang mereka sebut sebagai Kesatria Panggilan tengah dalam perjalanan ke bukit.

Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi berdiri di atas satu batu datar. Sambil menatap ke arah timur dengan sepasang mata nyaris tidak berkesip mulutnya tiada henti merapal do’a memohon pertolongan Yang Maha Kuasa.Dikejauhan tiba-tiba terdengar suara anjing menyalak.

Tak lama kemudian Wiro yang ditunggu muncul di lereng bukit dengan anak anjing hitam di bahu kanan. Raja Mataram dan Ni Gatri yang tengah menguruti kaki Rauh Kalidathi nenek muka bulat tak beralis yang pernah menolongnya. (baca Roh Jemputan) segera mendatangi sang pendekar.

Para pengikut Raja, diantaranya Garung Parawata Kepala Pasukan Kerajaan, Eyang Dukun Umbut Watukura, Tabib Sakti Sepuluh Jari Dewa Soka Kandawa, termasuk Rauh Kalidathi dan Klingkit Kuning tokoh silat Istana berkepala gundul kuning serta semua orang yang ada di bukit dan dalam keadaan lumpuh cuma meletakkan dua tangan disusun di atas kepala. Memohon pada Yang Maha Kuasa agar orang yang diharapkan benar-benar mampu memberi pertolongan.

Wiro membungkuk memberi hormat pada Raja Mataram yang berdiri di samping Ni Gatri. “Yang Mulia, ada dua kakek nenek aneh yang dipanggil dengan sebutan Sepasang Arwah Bisu telah memberi tahu kepada saya cara melenyapkan benjolan yang ada di kening semua orang yang ada di bukit ini...”

“Oh mereka....” Rupanya Sri Maharaja Mataram mengetahui juga tentang sepasang kakek nenek aneh itu. “Dewa Bathara Agung, kami sangat berterima kasih pada Sepasang Arwah Bisu. Terlebih kepadamu.” Raja Mataram memandang ke langit seolah dia melihat sepasang kakek nenek Arwah Bisu di atas sana. Lalu Raja berpaling pada Wiro. “Kesatria Panggilan, jika kau memang akan melakukan sesuatu untuk menolong kami segera laksanakan. Sebentar lagi cahaya sang surya dari timur akan menyentuh lereng bukit ini. Tapi aku ingin bertanya lebih dulu. Dimanakah beradanya Ratu Randang?”

Wiro lalu menceritakan peristiwa penghadangan yang dilakukan Kesatria Roh Jemputan. “Saya mengawatirkan keadaannya. Saya terpaksa meninggalkannya seorang diri. Mudah-mudahan seorang kakek sakti Kumara Gandamayana yang sebelumnya masuk ke dalam tubuh Ni Gatri masih ada di sana...”

“Mudah-mudahan Para Dewa melindungi perempuan itu,” ucap Raja Mataram perlahan.

“Kesatria Panggilan,” tiba-tiba Tabib Sakti Sepuluh Jari Dewa menegur. “Waktu kita tinggal sedikit. Sebelum kau melakukan sesuatu, katakan obat apa mujarab apa yang kau bawa untuk mengobati kami. Kulihat kau datang tidak membekal apa-apa.”

“Orang tua, saya memang tidak membawa obat. Tapi membekal satu ilmu kesaktian. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa menolong saya dan kita semua,” jawab Wiro.

Eyang Dukun berjubah biru mengusap janggutnya, yang seputih kapas. Dia berpaling pada sahabatnya Tabib Sakti Sepuluh Jari Dewa. Tabib bertubuh gemuk, bercelana dan mengenakan rompi merah ini mengusap rambutnya yang merah menjuntai beberapa kali. Sepasang mata sipitnya menatap Wiro beberapa lama. Mulut berkomat kamit. Lalu dia ajukan pertanyaan.

“Kesatria Panggilan, ilmu kesaktian apa yang hendak kau pergunakan?” Wiro terdiam sesaat menatap ke arah Raja baru menjawab.

“Ilmu yang saya miliki bernama Menahan Darah Memindah Jasad....”

Semua orang yang mendengar ucapan Wiro termasuk Raja Mataram sama-sama terkesiap dan mengangkat kepala. Ada yang berdecak kagum tapi ada juga yang melongo tidak mengerti. Tabib Sakti Sepuluh Jari Dewa Soka Kandawa angkat kepala ke arah langit, mata sipit dipejamkan. Dia terdiam beberapa ketika lalu mulut berucap.

“Ilmu aneh. Dari namanya agaknya bukan berasal dari negeri leluhurmu”

Wiro terkejut. Bagaimana tabib gemuk ini mengetahui perihal ilmu yang dimilikinya itu. “Orang tua, ucapanmu benar adanya ilmu kesaktian itu diwariskan oleh seorang sahabat di negeri Latanahsilam, negeri seribu dua ratus silam dari negeri asal saya...” Seperti diketahui ilmu Menahan Darah Memindah Jasad didapat Wiro dari Luhkentut alias Hantu Selaksa Angin ketika dia tersesat ke negeri seribu dua ratus tahun silam.

Riwayat Wiro di negeri seribu dua ratus tahun silam harap baca serial Latanahsilam terdiri dari 18 episode mulai dari, Bola-Bola Iblis sampai Istana Kebahagiaan

Tabib Sakti Sepuluh Jari Dewa angguk-anggukkan kepala sementara Eyang Dukun Umbut Watukura mengusap-usap janggut. Sri Maharaja Mataram lantas berkata.

“Kesatria Panggilan, harap kau tidak membuang waktu. Lakukan apa yang bisa kau perbuat sekarang juga.”

“Mohon Yang Mulia jangan memanggil saya dengan sebutan Kesatria Panggilan. Nama saya Wiro...”

Raja mengangguk. Wiro memandang berkeliling sambil merapal aji kesaktian ilmu Menahan Darah Memindah Jasad. Dia jadi bingung sendiri. Sebelumnya dia tidak pernah memikirkan. Siapa diantara ratusan orang yang ada di bukit itu yang akan ditolongnya lebih dulu? Lalu diam-diam sang pendekar juga merasa kawatir. Apakah dia mampu dan punya waktu untuk menolong orang sebanyak itu? Murid Sinto Gendeng jadi tegang sendiri.

Wiro memandang ke arah Raja Mataram. Rakai Kayuwangi bertanya. “Ada sesuatu yang bisa aku bantu?”

Wiro menggaruk kepala. “Yang Mulia, saya tidak dapat menentukan siapa yang perlu ditolong lebih dulu”

"Harap kau mau menolong Raja kami lebih dulu!” Berkata Tabib Sakti Sepuluh Jari Dewa.

Rakai Kayuwangi gelengkan kepala. “Kita harus mencari seseorang yang keadaannya benar-benar parah. ”Sang Raja memandang berkeliling. Dia lalu menunjuk pada seorang lelaki separuh baya yang tersandar di batu dalam keadaan tidak sadar. Wajah pucat putih. Mata terpejam. Nafas tinggal satu-satu. Empat benjolan merah di keningnya berdenyut denyut seperti mau pecah. Dari sela bibirnya tampak darah meleleh.

“Orang itu.” Kata Raja Mataram “Namanya Lemayang. Tolong dia lebih dulu.”

Sekali lompat saja Wiro sudah berada di hadapan Lemayang yang tersandar di batu dalam keadaan sekarat. Anjing kecil yang sejak tadi berada di bahunya melompat turun, berdiri di atas sebuah batu lalu mulai menyalak tiada henti. Ni Gatri segera mendatangi anjing ini, membelai kepala dan mengusap punggungnya. Anjing berhenti menyalak namun dari ekornya yang bergerak-gerak kian kemari tak bisa diam menandakan bahwa binatang ini berada dalam satu kegelisahan!

Wiro berjongkok di depan orang yang hendak ditolong. Tangan kanan dikembang. Perlahan lahan telapak didekatkan ke kening Lemayang yang ada empat benjolan merah. Dengan ilmu kesaktian Menahan Darah Memindah Jasad maka Pendekar 212 dengan mudah akan mengambil atau mencabut empat benjolan dan memindahkannya ke tempat lain, kemana saja yang disukainya. Bila empat benjolan hilang dari kening Lemayang maka orang itu dipastikan akan sembuh dari kelumpuhan serta demam panas yang selama ini menyengsarakannya.

Telapak tangan Wiro hanya tinggal satu jengkal lagi di atas kening yang ada benjolan. Anjing kecil tiba-tiba menyalak lagi. Ni Gatri kembali sibuk menenangkan binatang ini dengan mengusap usap kepala serta punggungnya.

Tabib Sakti Sepuluh Jari Dewa dan Eyang Dukun Umbut Watukura saling pandang. Sang dukun menoleh sesaat pada anjing di atas batu. Raja Mataram tampak tenang sementara orang-orang lain yang ada di tempat itu berada dalam keadaan tegang. Ni Gatri sendiri selesai menenangkan anjing kecil entah mengapa memicingkan kedua matanya.

Telapak tangan Pendekar 212 yang berisi ilmu kesaktian Menahan Darah Memindah Jasad menempel di atas kening Lemayang yang ada empat benjolan merah. Sekali angkat saja keempat benjolan itu pasti tercabut tanggal. Namun apa yang terjadi justru satu kegegeran.

Begitu telapak tangan kanan Wiro menyentuh kening orang yang hendak ditolong, satu ledakan keras menggelegar. Kepala dan sebagian tubuh Lemayang hancur berkeping-keping. Sisa bagian tubuh pinggang ke bawah yang masih utuh terkapar mengerikan di atas sebuah batu. Usus menjela dari perut yang robek besar.

Suara jeritan menggelegar dari mulut hampir semua orang yang ada di lereng bukit. Banyak yang menutup wajah dengan kedua tangan sambil menahan muntah. Dapat dibayangkan kalau hal itu terjadi pada Raja mereka!

Anjing kecil menyalak lagi. Kali ini tiada henti dan Ni Gatri tidak mampu menenangkan binatang ini karena dia jatuh terduduk di tanah, sangat ketakutan dan wajah pucat. Wiro sendiri terjengkang di tanah dengan muka kelam. Menatap pulang balik ke arah bagian tubuh Lemayang yang tergeletak di atas batu dan tangan kanannya yang bergetar mengepulkan asap. Muka dan pakaiannya kotor oleh noda darah dan potongan-potongan tulang serta daging!

Raja Mataram untuk beberapa lama menatapi kutungan tubuh Lemayang dengan mata membeliak tubuh bergetar. Perlahan-lahan dia berpaling pada Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Manusia kurang ajar! Kau telah memperdayai diriku dan rakyat Mataram!”

“Yang Mulia, saya tidak tahu bagaimana bisa jadi begini...”ucap Wiro sambil mengusap muka. “Ada satu kekuatan...”

“Tutup mulutmu!” bentak Rakai Kayuwangi.

“Yang Mulia, kita telah salah memanggil orang! Manusia seperti ini tidak bisa dibiarkan hidup lebih lama! Dia bisa menimbulkan malapetaka baru bagi kita semua!” Yang bicara adalah Eyang Dukun Umbut Watukura.

“Yang Mulia, izinkan saya membunuh keparat ini!” Klingkit Kuning tokoh silat istana berkata sambil angkat tangan kanan yang segera berubah menjadi kuning pekat siap melepas satu pukulan sakti ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

Raja Mataram gelengkan kepala. “Aku sendiri yang akan menebas lehernya!”

“Srett…!”

Sri Maharaja hunus Keris Widuri Bulan yang tersisip di pinggang. Cahaya putih terang keabu-abuan memancar dari senjata sakti itu. Masih terpisah sekitar tiga langkah Wiro sudah merasakan hawa dingin angker senjata ditangan sang Raja.

“Yang Mulia, membunuh saya soal mudah. Tapi biar saya menjelaskan dulu!”

Raja Mataram menyeringai. “Tidak ada yang perlu dijelaskan! Terima kematianmu saat ini juga!”

“Yang Mulia! Saya diminta datang untuk memberi pertolongan...”

“Persetan! Kau bukan menolong! Kau membantu orang-orang jahat untuk mencelakai kami semua! Buktinya masih terkapar di atas batu sana!” Raja menghardik dan menunjuk ke arah batu di atas mana kutungan tubuh sebelah bawah Lemayang terkapar mengerikan!

“Yang Mulia, saya bersumpah tidak punya niat jahat. Saya tidak tahu bagaimana....”

Raja Mataram tidak perdulikan lagi semua ucapan Wiro. Tangan kanan yang memegang keris sakti bergerak. Cahaya putih kelabu benderang menyambar sewaktu keris membabat ke arah leher Pendekar 212. Jangankan leher manusia, batu besar atau batang pohon sebesar pemelukan tanganpun akan bablas!

Anehnya saat itu Wiro yang masih terduduk di tanah sama sekali tidak mampu menggerakkan badan atau kepala untuk menyelamatkan diri. Ada satu kekuatan aneh diluar tubuhnya membuat dia tidak bisa bergerak! Anjing kecil meraung panjang. Ni Gatri berteriak.

“Kakak!” Anak perempuan ini melompat, berusaha menarik tangan Wiro agar tubuhnya menjauh, dan leher terhindar dari sambaran keris. Namun hal itu tidak mampu dilakukan Ni Gatri.

Sekejapan lagi Keris Widuri Bulan akan menggorok batang leher Pendekar 212 tiba-tiba dari langit melesat satu cahaya jingga. Sesaat kemudian satu bayangan berkelebat di lereng barat Bukit Batu Hangus. Sri Maharaja Mataram berseru kaget.

Tangan kanannya yang memegang keris dicekal oleh lima jari putih halus berkuku ungu. Bagaimanapun Rakai Kayuwangi mengerahkan tenaga dia tidak mampu melepaskan cekalan itu. Malah sewaktu lima jari memuntir lembut tahu-tahu Keris Widuri Bulan telah terlepas dari genggamannya!

TUJUH

SRI MAHARAJA Mataram melompat mundur sementara orang banyak yang ada di lereng bukit berseru kaget. Wiro yang tubuhnya dirangkul Ni Gatri dan dibantu berdiri tercengang-cengang tidak mengira.

Di hadapan Rakai Kayuwangi saat itu berdiri seorang gadis tinggi semampai berwajah cantik sekali. Rambut panjang tergerai lepas sepinggang. Gadis ini mengenakan pakaian warna jingga. Tubuh dan pakaian menebar bau semerbak harum bunga melati. Dan yang membuat semua orang terkesiap adalah ketika menyaksikan kalau si gadis hanya memiliki satu kaki

“Kakak, itu gadis yang kejepit di bawah batu. Yang kau tolong malam tadi. Jangan-jangan dia datang menagih janji kaulan. Memintamu jadi suaminya sekarang juga…”

“Sshhh Dia datang menolongku. Kalau tidak saat ini leherku sudah kena digorok Raja! Heran, bagaimana sekarang dia punya pakaian bagus dan berdandan apik.” Wiro menyahuti lalu bangkit berdiri.

“Namanya saja orang mau ketemu calon suami tentu semuanya serba wangi dan rapi…” bisik Ni Gatri sambil tertawa-tawa.

“Saat-saat begini jangan bicara konyol!” Wiro tarik telinga kiri anak perempuan ini. Ni Gatri pencongkan mulut meringik kesakitan.

Gadis berpakaian ungu berkaki satu melempar lirikan ke arah Wiro sebelum melangkah ke hadapan Raja Mataram. Caranya berjalan seperti orang melompat. Sampai dihadapan Raja si gadis membungkuk. Mulut berbibir merah terbuka hendak mengatakan sesuatu namun keburu dibentak oleh Rakai Kayuwangi.

“Gadis berkaki satu! Berani muncul mencampuri urusan orang! Kau siapa?!”

“Yang Mulia Sri Maharaja Mataram. Saya mohon maaf. Bukan maksud mencampuri urusan. Saya yang bodoh ini hanya ingin melakukan sesuatu agar tidak terjadi kekeliruan.”

Rahang Raja Mataram menggembung. Beberapa orang di sekitar tempat itu keluarkan suara bergumam tidak senang. “Kalau menolong penipu yang telah membunuh seorang rakyat tak berdosa dengan ilmu celakanya! Kau malah berani merampas senjataku! Dan kau masih bisa berkata tidak mencampuri urusan!”

“Saya mohon maafmu Yang Mulia!” Kembali gadis berkaki satu meminta maaf sambil membungkukkan badan, yang membuat Raja Mataram tambah marah.

Si gadis melompat satu kali, membungkuk lagi lalu dengan kedua tangannya dia mengulurkan Keris Widuri Bulan yang tadi diambilnya sebelum senjata itu sempat menebas batang leher Pendekar 212.

“Saya minta maaf. Harap Yang Mulia mau mengambil senjata ini. Saya tidak bermaksud...”

“Diam! Kau memperlihatkan kehebatan. Menghinaku di hadapan pengikut dan rakyatku sendiri!”

Raja mengambil senjata itu dengan cepat. Begitu keris dipegang lalu hendak dibabatkan ke arah dada si gadis. Namun gerakan Rakai Kayuwangi terhenti ketika dilihatnya gadis di hadapannya tegak tak bergerak menatap dengan sepasang mata bening dan bagus sambil mulut berucap lirih.

“Setega itukah engkau wahai Yang Mulia Raja Mataram...?”

Rakai Kayuwangi masukkan keris ke dalam sarung. Mata masih mendelik memandang ke arah gadis di hadapannya. “Siapa kau sebenarnya? Kau menolong pemuda itu. Apakah kau mengenalnya? Apa hubunganmu dengannya?!”

“Yang Mulia, kalaupun saya tidak mengenalnya saya tetap akan menghalangi Yang Mulia membunuhnya.”

“Gadis kurang ajar! Lekas katakan siapa kau sebenarnya?! Manusia atau mahluk halus yang tersasar ke bukit ini?!”

“Pasti ada musuh yang mengirimnya ke sini!” Berkata Klingkit Kuning sambil usap kepalanya yang kuning botak sementara sepasang mata membeliak garang.

“Yang Mulia, saya bernama Sakuntaladewi” Berkata gadis berkaki satu.

Ni Gatri memegang lengan Wiro lalu berbisik. “Kak, namanya aneh dan kedengaran seram ya? Lebih bagus kalau dia bernama Dewi Kaki Tunggal saja. Boleh begitu Kak?”

“Ssst, diam dulu…” Ucapan Wiro terputus ketika tiba-tiba Eyang Dukun Umbut Wutukura berteriak.

Gadis kaki satu juga bermaksud hendak mengatakan sesuatu tapi kedahuluan sang Dukun.

“Dewa Jagat Bathara! Yang Mulia! Saya tahu! Saya baru ingat. Saya menyirap kabar sekitar tiga minggu lalu. Dia bukan gadis baik-baik! Dia dikutuk karena berbuat zinah dengan saudara satu ayahnya sendiri! Itu sebabnya Para Dewa merubah tubuhnya, membuatnya hanya punya satu kaki dan menutup jalan kemaluannya!”

Kegegeran besar terjadi di lereng Bukit Batu Hangus. Semua orang tersentak dan banyak yang keluarkan seruan kaget mendengar teriakan sang Dukun. Pendekar 212 Wiro Sableng sendiri ikut terkesiap. Saat itu dilihatnya gadis yang oleh Ni Gatri diberi nama Dewi Kaki Tunggal menatap ke arahnya sambil menggelengkan kepala. Wiro mengerti maksud gelengan kepala itu. Si gadis hendak memberi tahu kalau apa yang dikatakan Eyang Dukun Umbut Watukura adalah tidak betul.

“Yang Mulia, saya datang hanya hendak memberi tahu kalau pemuda ini tidak bermaksud jahat. Ada satu kekuatan....”

“Yang Mulia! Saya sangat curiga!” Garung Parawata, Panglima Balatentara atau Pasukan Kerajaan Mataram memotong ucapan si gadis dengan, suara keras lantang. Orang bertubuh tinggi besar berkumis melintang ini terduduk lumpuh di atas sebuah batu besar. Namun semangat kemarahannya menyala-nyala. “Jangan-jangan gadis kaki satu itu adalah kaki tangan mahluk yang disebut Sinuhun Merah Penghisap Arwah, bergundal Delapan Sukma Merah! Dia berkomplot dengan Kesatria Roh Panggilan untuk mencelakai kita!” Selesai berucap Garung Parawata gerakkan dua tangan ke belakang pinggang dimana tersisip dua buah bilah keris.

“Lebih dari itu!” menyambung Tabib Sepuluh Jari Dewa. “Ingat beberapa waktu lalu dua kakek nenek Sepasang Arwah Bisu muncul di sini? Pasti Sinuhun Merah Penghisap Arwah telah memata-matai kita! Sekarang hanya berani mengirim dua orang ini! Pengecut!”

“Yang Mulia, semua orang yang ada di sini. Saya dan pemuda itu tidak ada sangkut paut dengan Sinuhun Merah Penghisap Arwah,” gadis kaki satu menerangkan.

“Srett! Sret!” Dua keris keluar dari sarungnya!

“Yang Mulia saya harap Yang Mulia segera meringkus clan membunuh pemuda berambut panjang itu. Gadis kaki satu biar saya yang menghabisi!” Garung Parawata berkata dengan suara keras lantang.

Dua bilah keris sakti mengandung racun yang konon masing-masing mampu membunuh seekor gajah raksasa dalam beberapa ketika saja, melesat laksana sepasang anak panah lepas dari busurnya. Konon untuk cara melempar senjata itu Garung Parawata menghabiskan waktu belasan minggu di bukit karang di pantai laut selatan yang deras tiupan anginnya.

Keahlian Kepala Pasukan Kerajaan ini melemparkan berbagai senjata rahasia, senjata tajam termasuk dua buah keris sakti tidak diragukan lagi. Setiap serangan yang dilancarkan pasti mampu mengenai sasaran dengan telak, bagaimanapun sempitnya ruang gerak dan sekalipun sasaran nyaris tersembunyi! Itu sebabnya dia mendapat julukan 'Sepasang Tangan Kilat'

Melihat datangnya dua bilah keris menyambar berdesing ke arahnya, gadis berkaki satu terkejut tidak menyangka. Sepasang alis hitam bagus mencuat ke atas, kening mengerenyit dan mata bening menatap nyalang. Namun sedikitpun si gadis tidak bergerak dari tempatnya!

“Dewi Kaki Tunggal! Awas!” Wiro berteriak luar biasa kawatir karena belum pernah melihat orang melemparkan dua bilah keris sekaligus sehebat itu! Dalam kekawatirannya Wiro sampai menyebut nama orang seperti itu karena terpengaruh oleh ucapan Ni Gatri tadi. Pendekar 212 siap melepas Dewa Topan Menggusur Gunung dengan dua tangan kiri kanan. Si gadis memandang ke arahnya dan tersenyum. Mendadak!

“Tam! Tam! Tam!”

Terdengar suara tambur ditimpal suara suling keras sekali. Membuat jantung berdegup dan telinga mengiang sakit!

“Tam! Tam! Tam! Tam!”

Suara tambur semakin dahsyat. Bukit Batu Hangus bergoyang. Udara bergetar. Dua bilah keris sakti yang hanya tinggal beberapa jengkal dari kepala dan dada gadis kaki satu mental ke udara.

Garung Parawata berteriak marah. Hendak melompat tidak bisa karena dua kaki lumpuh”

“Tam! Tam! Tam!” Suara tambur membahana. “Nguing-nguing-nguing!” Suara seruling menggema nyaring luar biasa!

Dua keris yang melayang ke udara berputar meliuk-liuk lalu melayang turun dengan kecepatan kilat dan kraakk ... kraak! Dua bilah keris menancap di batu besar di atas mana Garung Parawata berada. Satu menancap di sisi kiri, yang lain di sebelah kanan tubuhnya! Kepala Pasukan Kerajaan ini sampai kucurkan keringat dingin. Tampangnya tampak pucat pasi!

“Reekkk!”

Batu yang ditancapi dua bilah keris sakti tiba-tiba berderak retak di dua belas bagian. Di lain saat batu bergetar remuk dan runtuh berkeping-keping ke tanah. Sosok Kepala Pasukan Kerajaan yang tinggi besar tak ampun lagi roboh tergelimpang.

Raja cepat melompat menolong. Ternyata Garung Parawata tidak mengalami cidera sedikitpun. Hanya wajahnya saja yang tampak bertambah pucat laksana kain kafan! Sementara dua kerisnya lenyap entah kemana.

“Maaf, maaf Panglima,” gadis kaki satu membungkuk dan berucap berulang kali. “Bukan saya yang melakukan. Suara tambur dan seruling itu yang membuat mental dua keris Panglima"

Garung Parawata membuka mulut hendak mendamprat. Namun saking marahnya hanya suara menggembor dan air liur yang keluar dari mulutnya. Dada turun naik seperti mau meledak!

“Suara tambur itu! Mana mungkin!” Raja Mataram mana bisa percaya kalau suara tambur dan suling sanggup membuat mental sepasang keris sakti milik Panglima Garung Parawata.

Sementara itu perhatian semua orang serta merta terpecah ketika di langit muncul dua bayangan putih.

DELAPAN

SEMUA orang menatap ke atas Lereng bukit. Termasuk Sri Maharaja Mataram dan Garung Parawata yang sedang dilanda marah besar.

Mengambang di udara di atas lereng Bukit Batu Hangus sebelah barat tampak bayangan dua kakek nenek berselempang kain putih. Keduanya melayang ke bawah lereng. Si kakek mengangkat tangan kanan dan menunjuk ke arah Wiro. Lalu dia membuat gerakan-gerakan dengan ke dua tangannya.

Wiro yang telah diberi ilmu bicara gerak tangan orang bisu oleh patung sakti Loro Jonggrang, sadar kalau si orang tua bisu bicara dengan gerak tangan kepadanya. Serta merta Wiro menjawab pula dengan menggerak-gerakkan kedua tangan. Melihat hal ini kecurigaan Raja dan orang-orang Mataram semakin besar.

“Yang Mulia! Lihat!” Berseru Klingkit Kuning tokoh silat Istana. “Kakek bisu dan pemuda rambut panjang saling berbicara. Berarti mereka sudah kenal satu sama lain!”

Tabib Sepuluh Jari Dewa menghela nafas dan goleng-goleng kepala, “Terus terang saya sudah lama mencurigai tindak tanduk Sepasang Arwah Bisu. Bukankah dua kakek nenek itu agaknya ada sangkut paut dengan pemberontakan besar beberapa tahun silam!”

“Yang Mulia, seperti saya katakan justru dua kakek nenek Sepasang Arwah Bisu yang memberi petunjuk bahwa saya memiliki ilmu yang bisa menolong semua orang di Bukit Batu Hangus ini...” Wiro merasa tidak senang karena dari tadi Sepasang Arwah Bisu dicerca dicurigai.

Di atas sana seperti tidak perduli pergunjingan orang si nenek bisu melambaikan tangan ke arah gadis kaki satu. Lalu dia membuat gerakan tangan yang juga dibalas oleh si gadis dengan cara yang sama. Hal ini semakin menambah kecurigaan orang-orang yang ada di Bukit Batu Hangus. Selesai bicara dengan gerak tangan, dua kakek nenek melayang naik ke udara akhirnya lenyap dari pemandangan.

“Yang Mulia! Tunggu apa lagi! Bunuh kedua orang itu!” Teriak Garung Parawata.

Saat itu Sri Maharaja Mataram memang tidak bisa berbuat lain. Dari kenyataan yang dilihat serta ucapan para pembantunya mau tidak mau dia cenderung mempercayai kalau gadis kaki satu bersama Kesatria Panggilan telah berkomplot dan berserikat dengan Sepasang Arwah Bisu.

Didahului oleh Garung Parawata para pengikut Raja Mataram berkepandaian tinggi segera mengangkat tangan, siap untuk melepas pukulan sakti ke arah kedua orang itu. Kebanyakan dari mereka mengarahkan serangan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Tunggu, aku ingin kepastian dulu!” Raja Mataram berkata lalu bertanya pada Wiro. “Apa yang kau bicarakan melalui gerakan tangan dengan kakek berselempang kain putih tadi?”

“Kakek itu minta agar saya meneruskan menolong orang-orang yang ada di sini.” Jawab Wiro polos walau tidak senang melihat kecurigaan sang Raja atas dirinya.

“Dia pasti dusta Yang Mulia!” Teriak Garung Parawata.

“Aku tahu dia memang berdusta!” Sahut Raja pula.

Gadis kaki satu mengaku bernama Sakuntaladewi dan oleh Ni Gatri diberi nama Dewi Kaki Tunggal melompat satu langkah mendekati Raja dan berkata. “Yang Mulia, apa yang dikatakan pemuda itu memang benar. Dia tidak berdusta. Kakek Arwah Bisu minta agar dia cepat-cepat menolong orang-orang di bukit ini...”

“Bukan menolong tapi membunuh! Bukti sudah ada!” Berseru Garung Parawata yang rupanya jadi sangat benci dan dendam pada Pendekar 212. Apa lagi sampai saat itu dia tidak tahu dan tidak melihat dimana beradanya kedua bilah keris saktinya.

Raja Mataram mendekati Ni Gatri lalu memegang bahu gadis itu. Caranya memegang sengaja diremas hingga Ni Gatri merintih kesakitan. Rupanya ada maksud Raja hendak menakut-nakuti.

“Anak perempuan, kau tahu bahasa gerak tangan orang bisu. Tadi kau menyaksikan mereka bicara. Katakan padaku apa ucapan pemuda dan gadis tadi betul adanya?”

“Yang Mulia! Jika ingin bertanya mengapa harus menyakiti meremas bahu adik saya ?” Wiro menegur.

“Ooh... Aku tidak tahu kalau dia adikmu!” Jawab Raja Mataram dengan sikap dan air muka yang membuat Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi jengkel. Sambil menyeringai Raja lepaskan remasan di bahu Ni Gatri tapi tiba-tiba tangannya ganti menjambak rambut anak itu hingga Ni Gatri terpekik kesakitan.

“Katakan! Apa ucapan dua orang itu tidak dusta...?”

Ni Gatri meringis dulu. Baru menjawab terputus putus. “Ti... tidak Yang Mulia. Me... mereka tidak berdusta...!”

“Mereka bertiga sama dustanya Yang Mulia!” Teriak Garung Parawata.

“Aku tahu...” Sahut Sri Maharaja Mataram. Lalu Raja yang biasanya sabar dan bijaksana ini lepaskan jambakannya secara kasar hingga Ni Gatri jatuh terbanting di tanah!

Melihat kejadian ini Wiro segera menolong Ni Gatri. Anak ini dipanggulnya di atas bahu kanan. Melihat gelagat ini anjing kecil segera pula melompat ke bahu kiri Wiro.

"Ni Gatri, kalau hendak berbuat baik saja kita harus menerima caci maki, perlakuan kasar bahkan siap untuk dihabisi, buat apa kita berada di tempat ini. Di negeri sendiri kita lebih tenteram. Kita tidak mau menanam budi di negeri orang, tapi kita juga tidak mau menuai celaka! Lihat saja apa yang akan terjadi dengan orang-orang Mataram tolol tapi sombong di bukit ini!”

Ni Gatri menjawab dengan suara sesenggukan. Habis berkata begitu Wiro segera memutar tubuh.

Untuk pertama kalinya seolah sadar Sri Maharaja Mataram tertegun. Mulut terbuka tapi belum sempat keluarkan ucapan di sekelilingnya semua pengikutnya, kecuali si nenek muka bulat tak beralis rata Kalidathi, telah sama mengangkat tangan, siap untuk melepas pukulan maut. Melihat hal ini gadis kaki satu Sakuntaladewi cepat melompat untuk melindungi Wiro.

“Gadis mahluk kutukan! Kau boleh melindungi pemuda itu! Apa kau kira kami tidak ragu-ragu membunuhmu sekalian?” Berteriak Garung Parawata.

“Yang Mulia Raja Mataram!” Tiba-tiba Rauh Kaliditahi berseru. “Cegah orang-orangmu melakukan pembunuhan. Ini perbuatan keliru!”

“Rauh Kalidathi! Kalau kau ingin mampus sekalian, cepat bergabung dengan mereka!” Lagi-lagi Garung Parawata yang berteriak.

Mendengar ucapan Kepala Pasukan Kerajaan itu, si nenek keluarkan jeritan keras lalu tanpa ragu dia gulingkan tubuh di atas bebatuan hingga akhirnya terhenti dan terduduk di depan gadis berkaki satu.

“Nek, Para Dewa akan memberkahimu!” Berkata si gadis sambil menyusun dua tangan di depan dada dan membungkuk.

Rauh Kalidhati tertawa. “Cucuku…” ucap si nenek. “Usiaku sudah sangat lanjut. Apa lagi yang aku harapkan kalau bukan kematian? Kebetulan ada yang mau memberi jalan pintas, mati lebih cepat. Ya aku terima saja. Hik hik hik!”

“Siapa lagi yang mau ikutan mampus?!” Teriak Garung Parawata menantang.

Tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Suasana di lereng bukit yang mulai tersentuh rambatan fajar dari arah timur, sunyi senyap laksana di pekuburan. Garung Parawata memandang berkeliling lalu anggukkan kepala sebagai tanda. Belasan tangan bergerak menghantam!

“Tunggu!” Raja Mataram berteriak mencegah. Tapi terlambat. Cahaya sinar pukulan mematikan telah memancar di ujung tangan belasan. Tiba-tiba!

SEMBILAN

“TAM! Tam! Tam!”

“Nguing ... nguing .... nguing!”

Suara tambur dan suling mendadak kembali menggelegar di lereng barat Bukit Batu Hangus, jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. Anjing di bahu Wiro menyalak panjang. Lalu muncul suara menggemuruh. Bukit batu bergoyang, udara bergetar. Semua orang menyangka ada gempa yang hendak merobohkan bukit. Namun betapa terkejutnya mereka ketika menyaksikan ratusan batu besar yang berada di atas bukit melesat ke atas. Menggantung di udara setinggi dua belas tombak, membuat keadaan di lereng bukit menjadi redup seolah malam kembali datang!

Salah satu dari sekian banyak batu yang mengambang di udara berputar tiga kali lalu menderu jatuh, menghantam batu besar yang berada di dekat Raja Mataram dan Garung Parawata. Batu yang jatuh sama sekali tidak hancur. Tetapi batu yang dihantam hancur lebur menjadi ribuan kerikil. Bersama debu, ribuan kerikil pecahan batu mencuat ke udara! Membuat pemandangan di sebagian lereng bukit menjadi tambah gelap untuk beberapa lamanya sebelum debu dan batu-batu kerikil berjatuhan ke tanah.

Semua orang Yang ada di lereng bukit jadi pucat dan sangat ketakutan. Terlebih di udara saat itu sebuah batu lagi tampak melayang berputar-putar. Orang banyak menutupi kepala mereka dengan tangan masing-masing. Ngeri kalau batu kedua itu seperti yang satu tadi melayang turun dan menghantam tubuh mereka! Ingin lari menghindar tapi kaki lumpuh!

Melihat batu yang berputar sambil menekap kepala dengan dua tangan Raja Mataram berteriak. “Wahai Para Dewa di Swargaloka! Penderitaan kami rakyat Mataram sudah tidak tertahankan. Mengapa masih Kau turunkan lagi tambahan azab sengsara kepada kami!”

Nenek Rauh Kalidathi memandang pada gadis kaki satu sama saling pandang. Si nenek, kemudian berbisik. “Kasihan Raja Mataram. Dia berteriak bertanya seperti itu! Seharusnya dia bertanya dulu pada diri sendiri mengapa terjadi hal yang seperti ini. Jelas ada pikiran dan budi luhur yang tidak menginginkan Kesatria Panggilan dicelakai.”

“Kau benar Nek,” jawab si gadis. “Kita berdoa saja agar semua orang terhindar dari marabahaya dan segera mendapat kesembuhan...”

“Bagaimana Mungkin bisa lepas dari marabahaya dan mendapat kesembuhan. Orang yang dipanggil jauh-jauh dan diharapkan bisa menolong sudah kabur karena sakit hati!” Jawab si nenek.

Sakuntaladewi terkejut. Dia memandang berkeliling. Astaga! Ternyata Wiro, Ni Gatri dan anjing kecil memang tak ada lagi di tempat itu! “Aneh, aku tidak tahu kalau pemuda itu sudah pergi. Kenapa kau tidak memberi tahu aku tadi-tadi Nek?”

Si nenek tersenyum lalu berkata. “Kau suka sama pemuda itu ya?”

“Ada yang ingin saya bicarakan. Hal sangat penting...” Jawab Sakuntaladewi.

Si nenek tersenyum lagi dan kali ini sambil kedipkan mata. “Kalau aku masih muda, aku tidak akan memberi kesempatan padamu. Pasti pemuda itu sudah aku serobot. Karena sudah tua biarlah aku terpaksa mengalah padamu. Hik hik hik.” Lalu si nenek sambung ucapan. “Aku bukan mau tahu urusan orang. Tapi apakah ucapan yang dituduhkan dukun tua tadi bahwa kau dikutuk karena melakukan zinah dengan saudara seayahmu sendiri benar adanya?”

Si gadis menggeleng. “Nek, aku memang dikutuk tapi bukan oleh Para Dewa. Apa yang dikatakan dukun Kerajaan tidak benar. Aku sangat menyesalkan tuduhannya yang menyesatkan seperti itu. Aku akan ceritakan padamu kejadian sebenarnya Nek....”

“Sudah... sudah! Aku percaya padamu. Omong-omong soal pemuda yang disebut Kesatria Panggilan itu, aku rasa kau serasi dengan dia...”

Sakuntaladewi menatap wajah si nenek sebentar. “Benar begitu Nek?” tanya Sakuntaladewi.

“Apa aku dusta? Dia tidak akan mendapatkan gadis secantikmu dimanapun dia mencari! Hik hik!”

“Nek, terus terang aku memang punya kaul Nek. Tapi keadaan kakiku yang seperti ini mana mungkin pemuda itu...“

Ucapan si gadis kaki satu terputus karena saat itu Raja Mataram berteriak sambil dua tangan direntang dan kepala menatap ke langit yang masih diselubungi ratusan batu besar!

“Wahai Para Dewa! Kami orang-orang Mataram mengharapkan pertolongan-Mu!”

“Tam! Tam! Tam!”

“Nguing... nguinggg...!”

Di kejauhan lagi-lagi terdengar suara tambur dan suling, membuat semua orang jadi semakin tercekat. Entah memang karena teriakan Raja atau entah karena apa, batu kedua yang melayang di udara ternyata tidak jatuh ke bawah. Setelah berputar-putar beberapa kali batu ini mengambang diam di atas lereng bukit di antara ratusan batu besar lainnya. Tak ada satu orangpun yang bergerak. Sunyi. Bahkan suara anginpun tidak terdengar! Raja dan semua orang yang ada di lereng bukit tetap saja kawatir kalau tiba-tiba batu besar itu seperti tadi melayang jatuh menimbulkan kehancuran.

“Dewa Agung, ada sesuatu yang salah. Saya mohon maaf-Mu,” Raja Mataram berucap perlahan tapi cukup terdengar beberapa orang yang berada di dekatnya.

Di sebelah sana Panglima Pasukan Kerajaan Garung Parawata tundukkan kepala. Dua tangan ditekapkan ke wajah. Dalam keadaan mencekam seperti itu tiba-tiba ada orang tertawa cekikikan.

“Peringatan Dewa sudahlah nyata! Mana mulut bersuara sombong! Mengapa tidak terdengar lagi suara congkak hendak membunuh sesama insan?! Hik hik hik!” Yang tertawa adalah si nenek bermuka bulat tak beralis dan berdandan menor Rauh Kalidathi.

Semua orang melirik ke arah si nenek dan terkejut. Mereka baru menyadari. Pendekar 212 Wiro Sableng, Ni Gatri dan anjing hitam kecil tidak ada lagi di tempat itu. Yang masih ada hanyalah si nenek dan gadis berkaki satu. Mendadak Eyang Dukun Umbut Watukura berseru dan menunjuk ke arah kening Garung Parawata.

“Panglima! Empat benjolan di keningmu tidak ada lagi! Apa yang terjadi?!”

Seruan sang Dukun membuat semua orang termasuk Raja Mataram menoleh ke arah Panglima Pasukan Kerajaan. Mereka jadi terkejut! Memang benar. Saat itu mereka melihat kening sang Panglima dalam keadaan licin. Empat benjolan merah tidak ada lagi di atas jidatnya! Sementara empat benjolan masih terlihat ada di kening semua orang di bukit itu termasuk Raja!

Rakai Kayuwangi menatap ke arah Sakuntaladewi. Gadis itu sejak muncul memang dilihatnya tidak ada empat benjolan di keningnya. Hal ini sebenarnya menimbulkan satu tanda tanya bagi Raja mataram.

SEPULUH

GARUNG PARAWATA Yang tentu saja tidak bisa melihat wajahnya sendiri pergunakan tangan kiri untuk mengusap kening. Astaga! Dia merasa keningnya licin polos. Empat benjolan benar-benar tak ada lagi!

“Panglima, apa yang terjadi dengan dirimu. Agaknya kau mendapatkan berkah Para Dewa!” Berkata Sri Maharaja Mataram.

Saat itu Panglima Garung Parawata masih terduduk di tanah, tersandar pada satu batu besar. “Yang mulia, ketika batu besar hancur dan keadaan menjadi gelap, samar-samar saya melihat ada orang berpakaian putih berkelebat. Saya merasa kening saya seperti diusap…” Garung Parawata memberi tahu. “Saat ini... saya... saya merasa ada kelainan pada diri saya. Yang Mulia! Demam panas ditubuh saya lenyap. Saya juga…”

Panglima Kerajaan itu memandang ke bawah. Sepasang kakinya yang selama ini terasa berat kini berubah enteng. Dua kaki digerakkan. Dan dia mampu melakukan! Dia coba berjalan! Bisa!

“Yang Mulia! Lihat! Saya mampu menggerakkan kaki! Saya bisa berjalan! Saya tidak lumpuh lagi!” Saking girangnya sang Panglima meloncat-loncat berulang kali.

Selagi semua orang geger menyaksikan kejadian itu, sang Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi dan si nenek Rauh Kalidathi hanya senyum-senyum.

Si nenek mencibir. Lalu berkata. “Dasar Panglima goblok! Bukannya bersyukur pada Yang Maha Kuasa malah berjingkrak-jingkrak seperti orang gila!"

Ssstt... Raja tolol itu tengah menuju ke sini.”

Si nenek hentikan bicaranya. Raja berdiri di depan kedua orang itu.

“Sakuntaladewi dan nenek Rauh Kalidathi. Aku merasa bersalah. Sayang sekali Kesatria Panggilan pergi begitu saja. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kalian tahu apa yang terjadi dengan Panglima Garung Parawata? Bagaimana empat benjolan di kepalanya lenyap begitu saja. Dan ia sembuh dari penyakit demam panas serta kelumpuhan. Dia mengatakan ada orang berpakaian putih mengusap keningnya. Kesatria Panggilan berpakaian serba putih. Apakah mungkin...”

“Saya tidak tahu Yang Mulia. Saya tidak melihat! Perlu apa saya memperhatikan orang yang hendak membunuh saya!” Yang menjawab adalah Rauh Kalidathi.

Raja terdiam, anggukkan kepala lalu berkata. “Aku mengerti perasaanmu Nenek Rauh Kalidathi.” Raja berpaling pada Sakuntaladewi, mengharapkan penjelasan.

Maka berucaplah gadis berkaki satu itu. “Yang Mulia, bukannya mungkin. Tapi memang Kesatria Panggilan-lah yang telah menolong Panglima Kerajaan.” Berkata Sakuntaladewi. Dia diam sebentar baru melanjutkan.

“Yang Mulia, kalau saja sebelumnya Yang Mulia mau mendengar penjelasan orang tolol seperti saya maka pemuda itu tidak akan meninggalkan kita begitu saja. Dia kita minta untuk menolong dan dengan segala ketulusan dia memang ingin menolong. Tapi kita telah memperlakukannya dengan segala kecurigaan dan ucapan-ucapan yang menyakitkan hati.”

Garung Parawata tundukkan kepala. Begitu juga Klingkit Kuning, Eyang Dukun dan Tabib Sepuluh Jari Sakti. Diam-diam mereka merasa bersalah.

“Aku menyesal. Tapi aku butuh penjelasan. Yang penting sekarang bagaimana menyelamatkan semua orang yang ada di bukit ini dan juga di Kotaraja serta seluruh pelosok Bhumi Mataram...”

“Yang Mulia, pemuda yang disebut sebagai Kesatria Panggilan itu telah menerangkan bahwa dia memiliki ilmu kesaktian yang mampu menolong semua orang Mataram yang tengah dilanda malapetaka Malam Jahanam. Caranya dengan mengambil benjolan di kening semua orang yang ada di sini lalu memindahkannya ke tempat lain. Lihat apa yang terjadi dengan Panglima Kerajaan...”

Gadis berkaki satu ini kemudian menunjuk ke arah sebuah batu di samping kiri Panglima Pasukan Kerajaan. Semua orang jadi tercekat ketika melihat ada empat daging merah sebesar ujung ibu jari menempel berdenyut-denyut di atas batu. Garung Parawata sendiri jadi merinding dan mengusap tengkuknya berulang kali.

“Dia menyebut ilmu itu. Menahan Darah Memindah Jasad.” Kata Sri Maharaja Mataram pula. “Tetapi mengapa orang bernama Lemayang yang hendak ditolongnya menemui kematian sangat mengerikan.”

"Itulah sebelumnya yang hendak saya jelaskan.” Jawab Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal. “Dari apa yang saya tahu Kesatria Panggilan telah kesusupan ilmu jahat sewaktu dalam perjalanan ke tempat ini. Rahasia ilmu kesaktiannya diketahui oleh mahluk yang disebut Dua Nyawa Kembar yaitu Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan Sinuhun Muda. Saya menaruh duga, rahasia itu dibocorkan oleh mahluk alam roh yang didatangkan dari negeri delapan ratus tahun mendatang yaitu yang disebut Kesatria Roh Jemputan. Berdasarkan keterangan bocoran itu. Dua Nyawa Kembar secara gaib berhasil memasukkan ilmu hitam ke dalam tangan Kesatria Panggilan. Ilmu hitam itu bernama Serat Berhala. Ketika Kesatria Panggilan berusaha menolong orang bernama Lemayang, bukan kesembuhan yang terjadi tapi orang itu malah hancur kepala dan sebagian tubuhnya.”

Raja Mataram terdiam untuk beberapa ketika sementara tidak ada satu seorang lainpun mengeluarkan suara. Tabib Sepuluh Jari Dewa, Soka Kandawa mengusap mukanya yang tembam berkeringat berulang kali. Eyang Dukun Umbut Watukara menghela nafas panjang tiada henti, Klingkit Kuning diam dengan mulut terkancing sedang Garung Parawata menatap ke langit dengan wajah tampak redup. Seperti Raja Mataram, sang Panglima juga merasa penyesalan dalam dirinya.

“Sakuntaladewi,” Raja akhirnya memecah kesunyian. “Aku memang melihat lenyapnya empat benjolan disertai sembuhnya Panglima Garung Parawata. Seperti katamu tadi aku yakin Kesatria Panggilan yang melakukan hal itu. Tapi di bukit ini ada ratusan orang, belum lagi yang berada di Kotaraja dan seluruh negeri. Bagaimana mungkin dia mampu melakukan...”

Sakuntaladewi tersenyum. “Yang Mulia, jika Para Dewa memberi pertolongan, tidak mungkin setengah-setengah. Apa yang ada di benak kita hanya satu titik seujung jarum dibanding dengan kebesaran jalan pikiran Yang Maha Kuasa yang luar biasa luas. Apa yang tidak mungkin bagi-Nya? Ketahuilah, saya mendapat penjelasan, Kesatria Panggilan bisa memindahkan ilmu kesaktiannya pada setiap orang yang disembuhkan. Hingga yang sembuh menolong yang masih sakit. Begitu seterusnya secara berantai. Saya rasa jika itu dilakukan, sebelum matahari pagi tinggi, semua orang di Mataram ini sudah tertolong. Tapi sekarang begini kejadiannya. Kesatria Panggilan lenyap entah kemana. Mungkin dia sudah kembali ke negeri asalnya...”

“Yang aku tahu dia tidak bisa kembali ke negeri asalnya sebelum menemukan Kuda Lumping tunggangannya yang membawanya ke Bhumi Mataram. Lagi pula dia harus menemukan gurunya lebih dulu. Gadis cantik bersunting empat itu. Menurut cerita salah seorang pembantuku, Kuda Lumping itu telah dirampas oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah.”

“Bagaimana kalau Sinuhun Merah Penghisap Arwah sengaja mengembalikan Kuda Lumping itu pada Kesatria Panggilan hingga dia dan gurunya, juga anak perempuan bernama Ni Gatri itu, serta si anjing kecil itu bisa kembali ke negeri asalnya, negeri delapan ratus tahun mendatang. Bukankah itu pekerjaan lebih mudah dari pada menghadapi Kesatria Panggilan secara kekerasan? Setelah itu dua Sinuhun nyawa kembar akan memusatkan perhatian dan segala daya untuk menghancurkan kita semua!”

Berubahlah paras Raja Mataram mendengar ucapan Sakuntaladewi, sementara si nenek Rauh Kalidathi hanya diam manggut-manggut. Semua orang yang mendengar ucapan gadis berkaki satu tak ada satupun yang keluarkan ucapan. Banyak diantara mereka kini memandang marah ke arah Garung Parawata. Mereka menganggap karena ucapan-ucapan jahatnyalah Raja sampai terhasut.

“Aku tidak tahu mau melakukan apa sekarang. Apakah pertolongan Yang Maha Kuasa masih bisa diharapkan...” Raja berucap.

Tiba-tiba terjadi kegaduhan di salah satu bagian bukit.

“Apa yang terjadi?” Raja bertanya.

Sebagai jawaban ada orang berteriak.

“Yang Mulia, tiga orang di sini telah menemui ajal!”

“Di sini ada empat Orang yang tengah sekarat!” Ada suara orang berteriak dari arah lereng bukit yang lain. Raja Mataram tundukkan kepala. Dirinya benar-benar terguncang.

“Dewa Agung, saya mengaku bersalah telah menyakiti hati Kesatria Panggilan. Saya merasa hina apakah saya masih boleh meminta pertolongan-Mu. Jika saya bersalah dan memang berdosa saya rela memberikan nyawa saya. Tapi tolong wahai Yang Maha Kuasa, jangan beri kematian pada rakyat saya. Saya rela menjadi tumbal.” Sepasang mata Sri Maharaja Mataram tampak berkaca-kaca. Perlahan-lahan dia jatuhkan diri, berlutut di tanah.

“Tam! Tam! Tam!”

Suara tambur kembali bergema di lereng Bukit Batu Hangus. Suara suling juga membahana.

Tiba-tiba ratusan batu besar yang mengambang di atas bukit secara perlahan-lahan melayang turun, kembali ke tempatnya semula.

Panglima Garung Parawata memandang berkeliling. Dia menatap ke arah Raja sejurus lalu tanpa berkata apa-apa dia melompat ke atas batu Ialu berkelebat ke arah kaki bukit.

“Panglima! Kau mau kemana?!” Berseru Raja Mataram.

“Yang Mulia! Saya akan mencari Kesatria Panggilan!“ Terdengar jawaban Garung Parawata di kejauhan.

*******************

SEBELAS

“KAKAK, kita mau kemana?”

Pertanyaan Ni Gatri membuat Wiro hentikan lari. Saat itu mereka berada di kaki Bukit Batu Hangus sebelah timur.

“Aku juga bingung mau kemana. Mau mencari Eyang Sinto tidak tahu guruku itu berada dimana. Aku kawatir keadaan nenek itu...”

“Menurut Ratu Randang dan Raja Mataram guru kakak berada di satu tempat yang aman.”

“Bisa saja mereka berkata begitu. Tapi dimana? Kalau belum melihat sendiri aku mana bisa tenang. Kita juga harus menemukan Kuda Lumping agar bisa kembali ke alam delapan ratus tahun mendatang.”

“Kakak sungguhan mau segera kembali ke negeri asal kita?”

“Tentu saja. Maksudku kalau sudah bertemu Eyang Sinto.”

“Lalu bagaimana dengan Dewi Kaki Tunggal”

“Memangnya ada apa dengan gadis itu.”

“Bukankah dia punya kaul akan menjadikan kakak sebagai suaminya…”

“Huss!” Wiro melotot.

“Ni Gatri kasihan sama orang-orang di bukit itu. Seharusnya Kakak jangan keburu marah dan meninggalkan mereka. Sekarang siapa yang akan menolong mereka?”

Wiro menggaruk kepala lalu berkata. “Kau anak baik...”

“Kakak juga baik, Ni Gatri melihat sebelum meninggalkan bukit kakak lebih dulu menyembuhkan Panglima yang mulutnya sebakul seperti perempuan! Ni Gatri tahu, membalas keburukan orang dengan kebaikan bukankah itu satu hal yang sangat terpuji? Tapi kalau Ni Gatri yang dibegitukan pasti Ni Gatri tidak akan menyembuhkan empat benjolan dikepalanya. Malah Ni Gatri tambah menjadi empat ratus benjolan! Bukan cuma di kening tapi di seluruh tubuh. Biar dia tahu rasa!”

Wiro tertawa. “Aku mungkin lagi apes. Mau menolong orang malah mau dibunuh. Sial! Siapa yang menghalangi aku berbuat baik?!” Wiro perhatikan tangan kanan. Tangan diusap berulang kali. “Heran, ada apa dengan tanganku ini? Seharusnya orang bernama Lemayang itu bisa kutolong dengan ilmu Menahan Darah Memindah Jasad. Tapi kepalanya malah meledak! Edan! Jangan-jangan ini pekerjaannya Pangeran Matahari keparat itu!”

“Kakak, jika kakak memang punya ilmu kesaktian tapi ketika dipergunakan malah membuat celaka orang lain, kenapa tidak dicoba lagi. Jangan dengan manusia. Dengan engg…” Ni Gatri menatap ke arah anjing kecil yang barusan melompat dari atas bahu Wiro. Anak perempuan ini kemudian menunjuk ke arah satu pohon besar yang batangnya terdapat beberapa bonggolan.

“Eh, kau benar Ni Gatri. Mari kucoba.” Kata Wiro pula.

Lalu diikuti Ni Gatri dan anjing kecil Wiro melangkah mendekati pohon. Tangan kanan ditempelkan ke salah satu bonggol. Sesaat kemudian ketika tangan itu diangkat bonggol yang barusan ditekap lenyap. Begitu Wiro menempelkan tangan kanannya ke pohon lain yang batangnya licin rata bonggol berpindah ke batang pohon itu!

“Kakak kau bisa!” Berseru Ni Gatri dan si anjing kecil menyalak seolah ikut gembira.

Wiro menggaruk kepala. “Ni Gatri, kalau tangan kananku memang disusupi ilmu hitam jahat, mengapa sekarang aku bisa memindahkan bonggol pohon? Mengapa pohon tidak meledak? Jangan-jangan ilmu hitam itu hanya ditujukan untuk manusia.”

“Atau jangan-jangan memang kekuatannya hanya berlaku satu kali. Orang yang mengirim ilmu jahat mengira Kakak pasti akan menyembuhkan Raja Mataram lebih dulu!”

Wiro sampai ternganga. “Ni Gatri, kuharap kau benar. Lalu sekarang apa yang kita lakukan?”

“Kalau Kakak memang orang-orang baik, kita kembali ke Bukit Batu Hangus sebelum matahari naik semakin tinggi...”

Wiro mengangguk Dia siap mendukung Ni Gatri kembali dan anjing hitam kecil siap pula melompat ke bahu sang pendekar.

Tiba-tiba di kaki bukit meledak tawa bergelak. Anjing kecil berlari liar berputar-putar sambil menyalak berulang kali. Belum lenyap gema tawa itu, satu bayangan hitam berkelebat di hadapan Pendekar 212 dan Ni Gatri. Yang muncul bukan lain ternyata adalah Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari.

Sebagaimana diceritakan sebelumnya Sinuhun Muda kembaran arwah Sinuhun Merah Penghisap Arwah memerintahkan Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari mengejar Wiro dan membunuhnya sebelum sampai di Bukit Batu Hangus.

Kakek sakti Kumara Gandamayana yang melihat hal itu segera keluar dari dalam tubuh Ni Gatri yang selama ini memang telah beberapa kali dijadikannya sebagai perantara. Kakek ini tanggalkan ikat pinggang miliknya berupa sebuah tasbih besar terbuat dari kayu coklat. Dengan kesaktiannya dia merubah ikat pinggang itu menjadi sosok manusia salinan menyerupai dirinya. Lalu kembaran jejadian ini diperintahkan untuk mengejar dan membunuh Kesatria Roh Jemputan yang tengah mengejar Pendekar 212 Wiro Sableng.

Kembaran jejadian Kumara Gandamayana berhasil mengejar Pangeran Matahari. Setelah perang mulut dimana Pangeran Matahari dihina habis-habisan oleh si kakek, pertarungan antara Pangeran Matahari dan mahluk jejadian Kumara Gandamayana tidak dapat dihindarkan lagi.

Meski si kakek memiliki banyak ilmu kesaktian namun pada akhirnya dia tidak mampu menghadapi Pangeran Matahari. Tubuhnya hancur berkeping keping dihantam ilmu Delapan Arwah Sesat Menembus Langit yang keluar dari delapan benjolan di kening sang Pangeran. Ujudnya kembali kepada asal yaitu ikat pinggang berbentuk tasbih besar. Namun ikat pinggang itu kini hanya tinggal berupa benda hangus gosong!

Walau menang sang Pangeran terpaksa harus tercebur masuk comberan. Kejadian ini disaksikan oleh Dewi Ular. Pangeran Matahari berusaha mencari sebuah telaga untuk membersihkan diri namun melalui suara mengiang Sinuhun Merah Penghisap Arwah memerintahkan agar Pangeran Matahari mengejar Wiro walau keadaannya kotor mandi air comberan dan bau.

Melihat sang Pangeran berkeadaan begitu rupa murid Sinto Gendeng langsung tertawa gelak-gelak. “Pangeran... hebat kau barusan habis mandi di tujuh pancuran busuk mana?! Ha ha ha! Apa perempuan bermata juling yang kau hina itu yang menyuruhmu mandi di kubangan bangkai kerbau?! Ha ha hal”

Ni Gatri tertawa cekikikan. Anjing kecil melompat-lompat sambil menyalak.

Rahang Pangeran Matahari langsung menggembung. Pelipis bergerak gerak. Delapan benjolan di kening pancarkan cahaya terang. Sekali dia menghentakkan kaki maka delapan cahaya merah itu melesat ke arah delapan bagian tubuh Pendekar 212, mulai dari kepala sampai ke kaki!

Selama ini Wiro tahu semua ilmu pukulan sakti yang dimiliki Pangeran Matahari. Namun sekali ini Pangeran menyerangnya dengan ilmu aneh yang agaknya baru didapatnya di negeri delapan ratus tahun silam yaitu Delapan Arwah Sesat Menembus Langit.

Pendekar 212 sempat tergetar melihat kedahsyatan serangan delapan cahaya merah. Sambil melompat mundur satu tombak Wiro yang ingin tahu sampai dimana kehebatan serangan lawan menangkis dengan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan di tangan kiri sementara tangan kanan melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari. Pukulan pertama warisan Sinto Gendeng sedang pukulan kedua didapat dari Datuk Rao Basaluang Ameh.

“Buummm! Buummm!”

DUA BELAS

DUA DENTUMAN dahsyat menggelegar di tempat itu. Ni Gatri menjerit. Tubuhnya terpelanting. Anjing kecil meraung. Binatang itu terguling guling sampai beberapa tombak tapi tidak cidera. Dua pohon besar di dekat tempat itu berderak patah lalu tumbang bergemuruh. Sementara di tanah terlihat hampir selusin lobang besar sedalam mata kaki!

Di udara delapan cahaya merah serangan Pangeran Matahari terdorong ke belakang sebelum meledak. Pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan yang dipergunakan Wiro untuk menyongsong serangan lawan walau mampu menahan namun kemudian meledak buyar. Dalam keadaan seperti itu pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari menyusup ke depan. Pangeran Matahari cepat dorongkan tangan kanan melepas Pukulan Merapi Meletus!

Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan dada berdenyut sakit. Kepala seperti dihantam pukulan palu sementara tubuh mendadak menjadi lemas! Dia coba tertahan agar tidak roboh namun isi perutnya serasa dibetot keluar! Tubuh langsung terpelanting jatuh duduk di tanah.

Ni Gatri menjerit. Anjing kecil menyalak lalu menghampiri sang pendekar dan menjilati kaki kanannya. Wiro mengangkat tangan memberi tanda dia tidak apa apa. Padahal saat itu mulutnya terasa asin pertanda ada cidera di dalam dada. Wiro meludah. Ludahnya bercampur darah.

“Aku pernah menghadapi pukulan Pangeran keparat ini sebelumnya. Tidak mungkin dia sehebat ini! Ada kekuatan lain di dalam serangannya!” Pikir Wiro.

Murid Sinto Gendeng tidak bisa berpikir lebih panjang. Sebelum Pukulan Merapi Meletus menyapu tubuhnya tidak tunggu lebih lama Wiro segera tiup tangan kanan. Serta merta di telapak tangan Wiro muncul gambar harimau kepala putih bermata hijau. Datuk Rao Bamato Hijau!

Didahului suara mengaum harimau raksasa yang tak kelihatan ujudnya. Pukulan Harimau Dewa yang dilancarkan Wiro menderu dahsyat melabrak serangan lawan. Pangeran Matahari berteriak keras ketika tubuhnya terangkat satu tombak ke udara lalu mencelat mental. Dari mulut menyembur darah segar.

Tiba-tiba ada cahaya kuning kemerahan menyambar ke arah tubuh sang Pangeran. Masuknya cahaya kuning ini bukan saja memberi kesembuhan pada luka dalam yang diderita Pangeran Matahari tapi sekaligus memberikan kekuatan baru yang dahsyat!

Di lain kejap manusia yang sebenarnya telah menemui kematian di alam delapan ratus tahun mendatang ini membuat gerakan jungkir balik di udara. Begitu dia mampu menguasai diri laksana anak panah dilepas dari tempat ketinggian tubuhnya melesat turun. Dari atas Pangeran Matahari arahkan ke bawah dua tangan begitu rupa hingga sepuluh jari terkembang namun jari tengah kiri kanan ditekuk ke belakang!

"Wussss! Wusss!”

Delapan larik cahaya merah menyembur dari delapan ujung jari. Nyala terangnya laksana menembus langit den menghunjam tanah!

“Pukulan Delapan Sukma Merah! Kesatria Panggilan! Lekas menyingkir!” Ada orang berteriak di belakang Wiro.

Karena tadi dalam keadaan terluka Wiro mengerahkan tenaga dalam penuh untuk melepas Pukulan Harimau Dewa, maka ketika mendapat serangan baru murid Sinto Gendeng tidak mampu bergerak cepat. Tenaganya seolah terkuras. Apa lagi delapan cahaya begitu benderang menyilaukan. Wiro segera merapal aji ilmu kesaktian Pukulan Sinar Matahari.

Namun belum sempat tangannya berubah menjadi warna perak panes berkilau dalam keadaan gawat begitu rupa Wiro merasakan tubuhnya didorong hingga terpental sampai due tombak dan selamat dari hantaman delapan cahaya merah yang lewat setengah tombak di atas kepalanya!

Sebelum terpental, dari arah belakang Wiro mendengar suara berdesing keras menghampar hawa dingin. Selagi jatuh di tanah Wiro melihat dua bilah keris melesat ke arah Pangeran Matahari.

“Breett! Brett!”

Pangeran Matahari berteriak kaget dan marah. Dia terlalu memusatkan perhatian pada usaha untuk menyerang dan membunuh Wiro. Ketika dua keris menyambar ke arahnya dia berlaku agak lengah. Masih untung hanya bahu pakaiannya kiri kanan yang robek oleh sambaran dua senjata. Kalau sampai daging atau kulit tubuhnya tergores salah satu senjata beracun itu, nyawa alam rohnya pasti akan menjerit dan melesat keluar dari dalam tubuh!

Didahului suara menggembor marah Pangeran Matahari melayang turun ke tanah dan sekali berkelebat dia sudah berada di hadapan orang tinggi besar berkumis melintang yang tadi menyerangnya dengan dua bilah keris. Di saat yang sama orang ini. gerakkan dua tangannya ke atas sambil mulut berucap.

“Sepasang Tangan Kilat!”

“Bett! Beett!”

Luar biasa! Dua keris yang melayang di udara kini berkelebat, membalik menyerang Pangeran Matahari dari arah belakang! Saat itu sang Pangeran tidak mau lagi berlaku ayal.

“Ilmu pengecut sialan!” Rutuk Pangeran Matahari. Tanpa berpaling dia pukulkan tangan kiri kanan ke belakang.

“Wuss! Wuss!”

Nyala api berwarna merah, kuning dan hitam menyambar keluar dari telapak tangan Pangeran Matahari. ltulah Pukulan Telapak Matahari! Begitu cahaya pukulan sakti ini menghantam dua bilah keris, tak ampun lagi dua senjata itu berpijar terang lalu tenggelam dalam kobaran api dan dalam keadaan leleh jatuh ke tanah!

Orang tinggi besar berkumis pemilik dua bilah keris, melengak kaget sampai air mukanya menjadi pucat pasi. Mana dia pernah mengira dua bilah keris saktinya yang bernama Mahesa Kembar mengalami nasib seperti itu! Nyalinya benar-benar terguncang.

“Keparat jahanam! Siapa kau?!” Bentak Pangeran Matahari pada orang pemilik dan pelempar dua keris sakti.

Orang yang dibentak tidak menjawab malah berpaling pada Wiro dan berkata. “Kesatria Panggilan! Lekas kembali ke Bukit Batu Hangus. Lupakan apa yang telah terjadi! Raja dan semua orang mengharap pertolonganmu!”

Pendekar 212 terkejut dan segera mengenali. Si tinggi besar berkumis tebal yang barusan menolongnya itu bukan lain adalah Garung Parawata, Panglima Pasukan Kerajaan Mataram!

Tiba-tiba ada suara mengiang di kedua telinga Pangeran Matahari. “Kesatria Roh Jemputan! Orang yang berusaha menghalangimu itu adalah Panglima Pasukan Kerajaan! Bunuh dia lebih dulu! Pergunakan ilmu Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!”

Pangeran Matahari mengenali suara itu. Dalam hati dia memaki. “Sinuhun keparat! Bisanya hanya memberi perintah tapi bersembunyi! Kalau aku mampu melenyapkan kendali delapan benjolan di keningku, orang pertama yang aku bunuh setelah Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng adalah dirimu!”

Walau merutuk tapi tidak tunggu lebih lama Pangeran Matahari segera kerahkan tenaga dalam ke kening yang ada delapan benjolan. Ketika sang Pangeran melancarkan serangan, Panglima Kerajaan tengah bicara pada Wiro.

“Wusss!”

Delapan larik sinar merah ganas menerpa ke arah Garung Parawata. Panglima Kerajaan ini baru sadar kalau dirinya diserang orang sesaat setelah dia merasa ada hawa panas. Dia berpaling, tersentak kaget.

“Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!” Panglima Pasukan Kerajaan Mataram berteriak lalu cepat jatuhkan diri. Dalam kuda-kuda setengah berlutut dia coba menangkis dengan ilmu kesaktian bernama Burung Sakti Merentang Sayap Menembus Langit!

Dari dada kirinya yang tegap berotot dimana terdapat jarahan gambar burung Rajawali berwarna biru bermata merah, melesat cahaya biru yang ketika diperhatikan ternyata berbentuk seekor burung Rajawali raksasa. Kibasan sayap serta gerak dua kaki mengeluarkan deru angin dahsyat hingga rerantingan bergoyang bahkan patah dan daun-daun pepohonan berguguran. Dari tubuh burung memancar cahaya biru, sementara dari sepasang mata menyambar dua larik cahaya merah! Ketika binatang jejadian ini menguik keras, udara di tempat itu mendadak terasa dingin.

Namun tangkisan yang sekaligus serangan burung Rajawali raksasa yang dilancarkan Panglima Kerajaan kalah cepat dengan hantaman serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit. Apa lagi laksana hidup delapan larik cahaya merah mampu menyusup ke bawah. Selain itu dengan tangan kirinya Pangeran Matahari lepaskan Pukulan Gerhana Matahari. Inilah salah satu dari beberapa pukulan maut yang dimiliki sang Pangeran semasa hidupnya. Tiga cahaya merah, kuning dan hitam menderu. Udara sesaat menjadi redup. Lalu...

Blaar!

Rajawali raksasa menguik dahsyat sebelum tubuhnya hancur berkeping keping di udara! Selagi Panglima Pasukan Kerajaan Mataram tersentak kaget cahaya merah Delapan Arwah Sesat Menembus Langit yang menyusup ke bawah menderu ke arahnya!

“Celaka! Aku tidak bisa menghindar!” Panglima Kerajaan sadar apa yang terjadi! Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas!

Hanya sesaat lagi tubuh Garung Parawata akan cerai berai dihantam delapan larik cahaya merah tiba-tiba satu cahaya putih menyilaukan berkiblat. Hawa panas luar biasa menghampar! Di udara menggelegar satu ledakan dahsyat!

TIGA BELAS

DELAPAN larik cahaya merah yang disebut Delapan Arwah Sesat Menembus Langit laksana disapu topan prahara terlempar ke langit lalu bergelung berbuntal-buntal dan akhirnya meletus delapan kali berturut-turut.

Sebaliknya cahaya putih yang menghantamnya didahului suara menggelegar terpental ke kiri, menghantam sederetan pohon besar. Dalam sekejapan mata pepohonan itu berubah menjadi hangus gosong, mulai dari akar sampai ke ujung ranting. Ketika cahaya putih lenyap dengan menghembuskan angin panas, semua pohon yang telah berubah menjadi arang itu serta merta runtuh ke tanah.

Sayup-sayup di kejauhan terdengar suara orang memaki lalu...

Blukk!

Ada tubuh jatuh tergelimpang di tanah. ltulah sosok Pangeran Matahari! Kalau sebelumnya keadaan tubuh dan pakaiannya basah kuyup dan kotor oleh lumpur comberan maka kini seluruh pakaian, mantel, mukanya tampak tertutup hanguskan jelaga hitam serta mengepulkan asap busuk. Hanya sepasang matanya yang tampak merah seperti menyala!.

Pangeran Matahari berteriak marah. Waktu mulutnya terbuka dari dalam mulut itu mengepul asap. Lalu ada cairan hitam menyembur. Dalam keadaan batuk batuk dia berusaha melompat bangun tapi roboh kembali ke tanah. Selain tubuhnya terasa panas laksana digarang api, sang Pangeran juga merasa kekuatan tubuhnya amblas!

“Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku! Bangsat itu melepas Pukulan Sinar Matahari! Sekilas tadi aku melihat ada cahaya biru menyertai cahaya putih. Ada kekuatan lain menyertai pukulan Sinar Matahari. Kalau tidak, mana mungkin aku bisa cidera dalam begini rupa! Kurang ajar!” Saking marahnya Pangeran Matahari pukul kepalanya sendiri.

Tiba-tiba ada satu cahaya merah kekuningan muncul dari langit, menyapu tubuh sang Pangeran. Saat itu juga secara aneh mahluk alam roh ini pulih kekuatannya. Sekali bergerak dia telah melompat bangun. Delapan benjolan di kening siap melancarkan serangan baru, tangan kanan siap melepas pukulan sakti. Tapi memandang berkeliling Pangeran Matahari tidak melihat musuh besarnya Pendekar 212 Wiro Sableng. Anak perempuan dan anjing kecil juga tidak ada lagi di situ. Bahkan Panglima Kerajaan Garung Parawata yang diduganya berada dalam keadaan cidera ikut tenyap!

Pangeran Matahari berteriak keras berulang kali lalu berkelebat ke arah timur. Namun dari balik satu gundukan batu besar melesat keluar dan menghadang seorang bertelanjang dada yang bukan lain adalah Panglima Pasukan Kerajaan Garung Parawata.

“Panglima keparat! Kali ini kau tidak akan lolos dari tangan mautku!”

“Mahluk busuk alam roh! Cukup kau gentayangan sampai di sini!” Bentak Garung Parawata. Dua kaki berjingkat. Tangan kanan dipentang, siap menyerang.

Pangeran Matahari tidak tinggal diam. Tenaga dalam dikerahkan penuh. Lalu tangan kiri kanan bergerak menghantam.

********************

DI BUKIT Batu Hangus. Untuk kedua kalinya Pendekar 212 Wiro Sableng muncul di bukit itu bersama Ni Gatri dan anjing kecil. Raja segera menemui tapi Sakuntaladewi mendahului.

“Wiro, kau harus segera menyembuhkan semua orang di sini sekarang juga! Aku takut cahaya sang surya yang semakin tinggi menghalangi usaha kita. Aku tahu cara cepat bagaimana menolong semua orang yang ada di sini bahkan di seluruh Kotaraja sampai ke pelosok desa...”

“Dewi Kaki Tunggal..."

“Dua kali kau menyebut namaku seperti itu...”

“Ni Gatri yang memberikan nama itu padamu. Kurasa sangat cocok.”

Sakuntaladewi memandang ke arah Ni Gatri. Anak perempuan itu tersenyum.

“Dewi, maksudmu aku tetap mempergunakan ilmu yang sama yang menghancurkan kepala dan tubuh orang bernama Lemayang itu?” Wajah Wiro menunjukkan rasa kawatir.

“Benar. Kau tak usah kawatir. Sebelumnya ada mahluk bermaksud jahat menyusupkan Ilmu hitam ke dalam tanganmu. Namun Ilmu itu hanya untuk sekali pakai. Sekarang kau bisa mempergunakan lagi. Lalu nanti bisa dipindahkan pada orang lain agar orang itu bisa mengobati orang lainnya lagi...”

“Setahuku ilmu itu tidak bisa dipergunakan seperti itu.”

“Mungkin kau tidak menyadari. Tapi...”

“Aku ingat, satu kali ada seorang kakek sahabatku bernama Setan Ngompol mempergunakan ilmu itu. Akibatnya kupingnya yang dipindah ketika dipasang lagi malah terbalik. Sampai sekarang. Dewi, kau tahu dari mana ilmu itu bisa dipindah pindah?”

“Sepasang Arwah Bisu yang memberi tahu padaku.”

“Sepasang Arwah Biru?”Wiro tercengang heran. Kepala digaruk.

“Kakak, kau jangan cuma menggaruk kepala saja. Ikuti apa yang dikatakan Dewi Kaki Tunggal.” Gatri yang ada di samping Wiro berkata.

“Tunggu dulu. Aku musti yakin,” jawab Wiro. Lalu dia bertanya pada Sakuntaladewi. “Dewi, dua Kakek nenek bisu itu memberi tahu padamu. Sebenarnya mereka itu... Mengapa memberitahu padamu, tidak langsung padaku?”

Sakuntaladewi melirik keadaan sekitarnya. Lalu dia mendekati Wiro dan berbisik. “Sepasang Arwah Bisu adalah kakek nenekku. Aku ini cucu mereka. Aku harap kau mau menjaga rahasia ini.”

Kembali murid Sinto Gendeng unjukkan air muka tercengang. Saat itu Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala yang tidak sabaran mendatangi Wiro dan menyapa.

“Kesatria Panggilan, aku dan semua orang yang ada di sini merasa bersyukur kau mau menemui kami lagi. Jika kau ikhlas untuk kembali mau menolong kami, aku sangat berterima kasih.”

“Yang Mulia…” Wiro menunduk memberi penghormatan.

“Yang Mulia, Kesatria Panggilan telah siap memberikan pertolongan.” Menerangkan Sakuntaladewi lalu berpaling pada Pendekar 212 yang saat itu berdiri sambil memperhatikan dan mengusap-usap jari-jari tangan kanannya dengan tangan kiri.

“Kalau begitu sekarang aku minta diriku ditolong pertama kali. ”Ucapan Raja Mataram ini membuat Wiro merasa kalau sang Raja masih memiliki rasa kawatir seandainya dia akan mengalami kegagalan lagi maka tidak ada orang lain yang celaka! Hal ini membuat murid Sinto Gendeng jadi berpikir-pikir lagi.

Melihat Wiro masih diliputi keraguan, Sakuntaladewi ambil tangan kanan sang Pendekar lalu diletakkan di atas hidungnya.

“Wiro, pindahkan hidungku ke pipi. Lakukan agar kau tidak ragu dan semua orang yang ada di sini merasa yakin kau benar-benar bisa menolong mereka. Para Dewa memberkatimu!”

Mendapat semangat begitu rupa Wiro lalu gerakkan sedikit tangannya yang menempel di hidung gadis berkaki satu. Tangan kemudian dipindah ke pipi sebelah kanan. Ketika tangan diangkat hidung si gadis telah berpindah dari tempatnya semula ke pipi itu! Semua orang yang ada di situ termasuk Sri Maharaja Mataram menjadi gempar. Heran tetapi juga ngeri melihat wajah Sakuntaladewi seperti itu!

“Orang-orang Mataram tolol! Mengapa percaya pada ilmu sihir yang akan tambah menyengsarakan kalian semua?!”

Tiba-tiba ada suara orang berteriak lantang. Lalu menyusul sebuah benda melayang di udara yang kemudian jatuh tepat di depan kaki Raja Mataram.

Bukit Batu Hangus kembali dilanda kegemparan karena benda yang jatuh tergelimpang di depan sang Raja adalah sosok Garung Parawata Panglima Pasukan Kerajaan yang sudah jadi mayat! Tubuh dan pakaian mulai dari kepala sampai kaki hangus melepuh, terbungkus warna merah, hitam dan kuning. Sepasang mata mendelik mencelet, lidah terjulur. Leher miring ke kiri pertanda tulang leher dalam keadaan patah!

Semua mata serta merta memandang ke arah lereng tinggi Bukit Batu Hangus sebelah kiri. Di sana berdiri sambil berkacak pinggang dan tertawa gelak-gelak, sosok tinggi besar, tubuh clan pakaiannya tampak hitam gosong. Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari!

“Wiro, kau teruskan menolong orang orang itu. Biar aku yang melayani mahluk alam roh itu!” Berkata Sakuntaladewi.

“Tapi Dewi!” Ujar Wiro. “Aku belum mengembalikan hidungmu ke tempat semula!”

Walau mendengar apa yang dikatakan Pendekar 212 namun Dewi Kaki Tunggal tidak perduli. Dia terus saja berkelebat ke lereng bukit di sebelah atas dimana Pangeran Matahari berdiri berkacak pinggang dengan sikap tetap congkak padahal ujud seluruh tubuh dan pakaian tertutup jelaga akibat Pukulan Sinar Matahari yang dilepas Pendekar 212 Wiro Sableng! Disamping itu tubuhnya masih menebar bau busuk akibat sebelumnya telah tercebur ke dalam comberan!

EMPAT BELAS

GADIS bermuka setan! Apa kau tahu kalau hidungmu tak bakal bisa kembali ke tempatnya semula?! Wajahmu telah sengaja dibuat cacat mengerikan seumur-umur oleh Pendekar Dua Satu Dua!” Begitu Sakuntaladewi berada di hadapannya Pangeran Matahari langsung keluarkan ucapan menghina dan menakut-nakuti.

“Dewi Kaki Tunggal! Jangan percaya ucapan mahluk gosong itu!” Ni Gatri berucap.

“Aku tahu, kau tak usah kawatir,” jawab Sakuntaladewi. Lalu dia berpaling pada Pangeran Matahari. “Walau hidungku sudah pindah ke pipi, tapi aku masih mampu mencium bau busuk tubuhmu!”

“Hemm, jangan-jangan kau ini sudah menjadi gendak pendekar mata keranjang itu! Ha ha ha!”

“Manusia bertubuh hangus! Kasihan. Otakmu pasti ikut gosong! Hik hik. Kau salah mengira. Aku bukan gendaknya Pendekar Dua Satu Dua. Aku adalah calon istrinya!"

Sepasang alis mata Pangeran Matahari berjingkat. Lalu kembali tawa bergelaknya meledak di tempat itu. “Kalian berdua memang cocok. Yang lelaki goblok sableng, yang perempuan tolol sinting! Sama-sama tidak tahu diri! Ha ha ha!”

“Begitu?” Sakuntaladewi merekah senyum di bibir. “Sayang sekali aku tidak bisa mengirim undangan pesta perkawinan kami. Karena sebentar lagi rohmu akan berserabut keluar dan kau akan kembali ke alam roh delapan ratus tahun mendatang!”

“Perempuan jahanam! Aku mau lihat kau punya ilmu kesaktian apa!” Pangeran Matahari menyumpah marah. Dia angkat dua tangannya, siap melepas pukulan Telapak Matahari dan Merapi Meletus.

“Pukulan-pukulan sakti tidak berguna! Mengapa kau tidak menyerangku dengan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit yang ada di keningmu?“

“Kurang ajar! Rupanya kau ingin minta mampus lebih cepat!” Teriak Pangeran Matahari marah. Serta merta delapan benjolan merah di keningnya memancarkan sinar terang angker. Lalu tidak sampai sekejapan, delapan sinar merah menderu ke arah Sakuntaladewi.

Begitu delapan sinar merah menghantam Sakuntaladewi segera angkat dua tangan lalu bett… bett! Dua tangan digerak-gerakkan dengan cepat. Dan dua siku tangan, pergelangan, telapak dan sepuluh ujung jari berkiblat enam belas cahaya biru pekat yang langsung menyongsong datangnya serangan Pangeran Matahari. Cahaya biru dan merah saling beradu pada ketinggian setengah tombak dari atas lereng bukit. Tidak ada suara ledakan atau letusan. Namun seantero bukit terasa bergetar hebat. Beberapa batu besar bergelindingan ke bawah.

Pangeran Matahari kerahkan tenaga dalam ke tangan untuk memusnahkan cahaya biru yang menghadang. Tenaga dalam juga dikerahkan ke kaki agar tubuhnya tidak terpental oleh tekanan enam belas cahaya biru yang luar biasa hebatnya!

“Kesatria Roh Jemputan! Kau menghadapi ilmu Enam Belas Gerakan Tangan Bisu! Jangan dilayani. Lekas melompat tinggi-tinggi ke udara! Biarkan aku yang menghajar gadis keparat itu!” Mendadak ada suara mengiang di telinga Pangeran Matahari.

Di langit muncul sekilas cahaya kuning kemerahan. Tapi sang Pangeran saat itu tidak mampu mengendalikan amarah dan kecongkakannya. Tenaga dalam dilipat gandakan ke kening yang ada delapan benjolan.

“Wusss!”

Cahaya merah Delapan Arwah Sesat Menembus Langit merangsak ke depan, membuat tubuh Sakuntaladewi bergetar dan kaki tunggalnya tersapu ke belakang. Namun begitu gadis ini gerakkan pergelangan dan sepuluh jari tangan disusul dengan hunjaman dua siku yang diarahkan ke depan, di seberang sana Pangeran Matahari meraung keras. Tubuhnya yang gosong hitam dipijari sinar biru lalu...

Braak!

Sang Pangeran roboh ke tanah, terguling di lereng batu dan baru berhenti sewaktu ada sinar kuning kemerahan menyapu tubuhnya. Dengan mengeluarkan suara menggorok serta ada lelehan darah keluar dari mulut Pangeran Matahari bangkit berdiri. Tapi jatuh lagi. Kain merah ikat kepala lenyap entah kemana. Kini rambut yang tebal hitam sebahu jadi awut-awutan. Tampangnya luar biasa mengerikan karena sepasang mata yang merah kini tampak setengah menjorok keluar seolah mau melompat dan rongganya. Dengan mengumpulkan tenaga dan hanya mampu merangkak sang pangeran bergerak ke arah dimana beradanya Sakuntaladewi.

Di lain bagian, walau enam belas cahaya biru ilmu kesaktiannya berhasil meroboh dan menciderai lawan, namun Sakuntaladewi sendiri menjerit keras. Tubuhnya terlipat ke depan lalu terangkat ke atas dan akhirnya jatuh ambruk muntah darah di antara dua batu besar di lereng bukit. Wajah dan sekujur kulit tubuhnya tampak merah seperti melepuh. Dada turun naik mendenyut sakit. Saat itu ada yang berlari mendatangi. Ni Gatri dan anjing kecil hitam.

“Ni Gatri, lekas menjauh dari sini. Bawa anjing itu. Aku kawatir bakal ada serangan susulan!” berkata Sakuntaladewi ketika melihat siapa yang berada di dekatnya.

“Dewi Kaki Tunggal, saya harus menolongmu...”Kata Ni Gatri pula.

“Jangan perdulikan diriku. Aku merasa mungkin aku lebih baik menemui ajal saat ini juga…“

“Dewi, jangan berkata begitu. Yang Maha Kuasa akan menolongmu. Lagi pula Dewi punya kaulan yang masih belum kesampaian terhadap Kakak saya!”

Sakuntaladewi masih bisa tersenyum. “Jika kau mau menolongku, carilah perempuan bernama Ratu Randang. Wiro menyerahkan sekuntum Bunga Matahari padanya. Minta dia meminjamkan barang sebentar. Hanya dengan bunga itu luka dalamku bisa disembuhkan.”

“Dewi, saya akan mencari orang itu. Saya tahu dia berada dimana.” Sebelum Pergi Ni Gatri mengusap kuduk anjing hitam dan berkata. “Hitam, kau tetap disini. Tunggu dan jaga Dewi Kaki Tunggal!”

Seolah mengerti anjing kecil menggeser-geserkan kepalanya ke tangan Ni Gatri lalu kaki tunggal Sakuntaladewi.

Hanya sebentar saja setelah anak perempuan itu pergi meninggalkan dirinya, dari celah dua batu besar Sakuntaladewi metihat seseorang berambut awut-awutan, muka gosong hitam kebiruan, sepasang mata mencelat, merangkak mendekati dirinya.

Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari! Tampang menyeringai, tubuh dirundukkan, tangan kanan diangkat, siap melepas pukulan maut Merapi Meletus!

Anjing hitam menggonggong keras. Secepat kilat binatang ini melompati Pangeran Matahari dan menggigit tangan kanannya. Walau hanya seekor anak anjing namun gigitannya membuat luka cukup lebar dan mengucurkan banyak darah.

“Binatang jahanam!” Rutuk Pangeran Matahari. Dengan tangan kirinya leher anak anjing dicekik. Sekali meremas kraak! Leher binatang itu remuk sampai ke tulang! Anjing kecil menemui ajal dengan mengeluarkan kaingan pendek. Setelah membanting mayat anjing ke tanah Pangeran Matahari menotok urat besar di lengan kanan hingga darah berhenti mengucur. Lalu dia menatap ke arah celah di antara dua buah batu. Kini tangan kiri yang diangkat.

Namun sang Pangeran tersentak kaget ketika melihat gadis berkaki satu tidak ada lagi di tempat itu. Pangeran Matahari merangkak lebih mendekati celah dua batu. Tiba-tiba ada bayangan orang di atas batu besar di sebelah kiri.

Pangeran Matahari berpaling. Dia melihat sosok Sakuntaladewi. Tapi hanya sekilas karena di lain kejap satu tendangan keras melanda dadanya! Dua tubuh terkapar di lereng bukit. Yang pertama Pangeran Matahari antara sadar dan pingsan. Mulut keluarkan erangan disertai kucuran darah. Sepasang mata mendelik menatap ke langit.

Yang kedua adalah sosok Sakuntaladewi. Ketika anak anjing menyerang Pangeran Matahari dengan segala sisa tenaga yang ada dia berhasil keluar dari celah antara dua batu besar. Dia hanya mampu berdiri sesaat untuk melancarkan tendangan setelah itu gadis berkaki satu ini ambruk roboh tidak sadarkan diri lagi.

Satu bayangan merah berkelebat di lereng bukit Begitu menginjakkan kaki di sebuah batu besar dari dalam tubuh orang ini melesat keluar sosok lain berpakaian dan berikat kepala hijau. Orang Pertama ternyata adalah seorang kakek mengenakan pakaian dan belangkon merah.

Pada bagian depan belangkon menempel sebuah bintang sudut delapan terbuat dari suasa. Wajah tertutup kumis, janggut dan cambang bawuk tipis berwarna merah. Di kening berderet delapan benjolan. Sepasang mata keseluruhan berwarna merah. Inilah Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Mahluk terkutuk penimbul malapetaka Malam Jahanam di Bhumi Mataram.

Berdiri di samping si kakek bukan lain adalah nyawa kembarannya yaitu Sinuhun Muda yang dikenal dengan nama Ghama Karadipa, mengenakan pakaian dan ikat kepala hijau. Seperti nyawa kembarannya, pemuda ini memelihara janggut kumis dan cambang bawuk tipis tapi berwarna hitam. Sinuhun Merah Panghisap Arwah menatap ke arah sosok Pangeran Matahari. Lalu berkata pada Sinuhun Muda.

“Ghama Karadipa, aku rasa kita telah salah memilih orang. Dia bukan saja tidak mampu melakukan apa yang kita harapkan malah saat ini dia menjadi beban bagi kita! Aku hanya akan memberi satu kesempatan lagi padanya!”

Habis berkata begitu Sinuhun Merah Penghisap Arwah buka mulutnya lebar-lebar lalu seetttt! Dari dalam mulut menjulur panjang lidah merah yang langsung menggulung tubuh Pangeran Matahari. Sekali si kakek menyentakkan kepala, tubuh Pangeran Matahari melayang jatuh di atas bahu kirinya. Lidah yang panjang kemudian masuk kembali kedalam mulut!

“Ghama Karadipa, lekas kau bunuh gadis berkaki satu itu. Aku akan membawa mahluk satu ini ke telaga Banyuraden. Tubuhnya yang kotor akan selalu membawa kesialan. Aku akan membersihkan terlebih dulu. Tunggu aku di lereng Bukit Batu Hangus sebelah utara. Kita perlu menyusun rencana baru! Apa orang-orangmu telah menemukan dimana beradanya gadis sakti yang memakai empat tusuk konde perak itu?”

“Mereka dalam perjalanan ke sana. Sebentar lagi pasti sudah bergabung dengan kita.”Jawab Sinuhun Muda. Yang dimaksudkan dengan gadis sakti bertusuk konde bukan lain adalah Sinto Gendeng.

“Sinuhun Merah, membunuh gadis ini mampu aku lakukan dalam sekejapan mata. Tapi apa perlunya membawa mahluk tolol itu ke Telaga Banyuraden. Hanya membuang waktu saja. Lebih baik di buang ke Jurang Bedog di kaki bukit ini. Dari sinipun aku sanggup melemparnya!”

“Kita masih memerlukan dirinya. Menurut penglihatanku dia pernah memiliki sebuah senjata dahsyat. Jika dia sudah aku mandikan di Telaga Banyuraden, aku akan berusaha mendatangkan senjata itu dari alam delapan ratus tahun mendatang.”

“Waktu kita sudah habis. Kesatria Panggilan sudah berada di lereng Bukit Batu hangus sebelah barat!” Sinuhun Merah Penghisap Arwah menyeringai.

“Siapa bilang waktu kita sudah habis ke Telaga Banyuraden dan kembali lagi ke bukit sebelum kau sampai di Bukit Batu Hangus sebelah utara! Tugasmu bunuh gadis itu dan tunggu aku di tempat yang aku katakan!”

“Sinuhun Merah, tunggu dulu...”

“Ghama Karadipa!” Sinuhun Merah Penghisap Arwah agaknya jadi jengkel dan membentak. “Atas permintaanmu semua urusan di Bhumi Mataram aku yang memulai. Aku pula yang akan menyelesaikan. Tugasmu hanya mengikuti apa yang aku katakan!”

Habis membentak Sinuhun Merah Penghisap Arwah lalu berkelebat meninggalkan tempat itu. Sinuhun Muda kertakkan rahang merasa jengkel karena dibentak tadi. Dia berbalik lalu melangkah mendekati sosok Sakuntaladewi yang masih tergeletak di tanah dalam keadaan tidak sadarkan diri. Kini seluruh kemarahan Sinuhun Muda tertumpah pada si gadis.

“Gadis celaka! Kau selalu muncul membuat kacau urusan orang! Tidak salah kalau roh orang tuaku mengutuk dirimu! Sejak lama aku memang sudah punya niat menghabisimu!”

LIMA BELAS

DELAPAN benjolan di kening Sinuhun Muda memancar. Dengan ilmu kesaktiannya cahaya merah di pindah ke kaki kanan. Rupanya dia tidak ingin membunuh gadis berkaki satu itu melalui sinar yang keluar dari benjolan. Tapi langsung dengan injakan kaki atau tendangan yang bisa menghancurkan kepala Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal hingga gadis malang ini akan menemui kematian secara mengerikan!

Namun nyawa dan kematian seseorang bukan milik serta ditentukan oleh seorang lain. Ketika Sinuhun Muda mulai mengangkat kaki kanan dan mengambil ancang-ancang untuk menendang batok kepala Sakuntaladewi tiba-tiba!

“Tam! Tam! Tam!”

Suara tambur menggelegar menyentak dada disusul suara tiupan seruling menyumbat sakit liang telinga.

“Jahanam!” Sinuhun Muda memaki marah. Dia tidak mau membuang waktu dan tidak peduli. Kaki kanan yang memancarkan cahaya merah menendang. Di saat bersamaan di langit dua bayangan putih muncul. Empat larik cahaya putih memancar ke atas bukit. Laksana tonggak perak, empat cahaya berkilau itu melindungi tubuh Sakuntaladewi.

Niat Sinuhun Muda Ghama Karadipa meneruskan serangan jadi tertahan. Dari mulutnya keluar seruan setengah kaget setengah takut. “Empat Tonggak Istana Dewa!”

Cepat-cepat Sinuhun Muda tarik kaki kanannya. Dia tidak mungkin lagi meneruskan tendangan kalau tidak mau kakinya leleh begitu bersentuhan dengan salah satu cahaya perak. Sambil mundur dia menatap ke langit dimana tampak dua orang kakek nenek berselempang kain putih melayang mengambang di udara. Dari sepasang mata kakek nenek itulah ternyata muncul dan keluarnya empat cahaya putih perak!

“Kurang ajar ! Lagi-lagi mereka! Sepasang Arwah Bisu! Walau kalian adalah kakek nenekku, aku bersumpah akan menghancurkan makam kalian! Jangan kira aku tidak punya kemampuan menghancurkan ilmu kesaktian kalian!”

Sinuhun Muda buat gerakan dengan kedua tangan seperti orang tengah bermain silat. Tiga kali menggebrak tiba-tiba ujudnya lenyap dan di tempat itu kini berdiri nyawa kembarannya Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Inilah kehebatan ilmu kesaktian yang dimiliki dua nyawa kembar. Salah satu dari mereka bisa berada di dua tempat yang berbeda. Sementara ujud pertama Sinuhun Merah membawa Pangeran Matahari ke Telaga Banyuraden, ujudnya yang kedua yaitu yang berinti penjelmaan dari Sinuhun Muda berada di tempat itu!

Sinuhun Merah rundukkan tubuh sedikit dua lutut ditekuk, dua tangan diputar empat kali lalu di pukulkan ke atas sambil mulut berseru. “Di Bumi Ada Enam Kesesatan! Di Langit Ada Tujuh Kesesatan! Dalam Air Ada Delapan Kesesatan!”

“Wusss!”

Begitu seruan lantang berakhir sesiur aingin menerpa dingin di seantero tempat. Secara aneh Empat Tonggak Istana Dewa tampat bergoyang-goyang dan terangkat ke samping lalu mengarah ke langit. Sebelum empat cahaya putih perak menyambar ke arah Sepasang Arwah Bisu, dua kakek nenek itu telah lenyap dari pemandangan didahului suara tambur dan seruling!

“Mahluk laknat keparat! Hanya sebegitu kehebatanmu! Lain waktu jangan harap kalian akan lolos dari tanganku!” Sinuhun Merah Penghisap Arwah berteriak sambil pukulkan dua tangan ke udara yang mengeluarkan deru angin serta kiblatan sinar merah!

Orang tua berpakaian dan berbelangkon merah ini sekarang alihkan perhatiannya pada sosok Sakuntaladewi yang masih tergeletak di tanah dalam keadaan pingsan. Tidak seperti nyawa kembarannya, dia tidak mau membuang waktu. Kaki kanan dihentakkan ke tanah. Saat itu juga tanah tegurat panjang sedalam satu jengkal. Di dalam guratan mengalir cairan bara panas yang dengan cepat mengarah ke tubuh Sakuntaladewi!

Dalam kecepatan yang sulit diperhatikan mata mendadak sebuah benda besar melayang di udara mengeluarkan suara berkesiuran. Sinuhun Merah angkat kepala dan jadi terkesiap menyaksikan pemandangan luar biasa ini. Benda yang melayang ternyata adalah sebuah peti mati besar terbuat dari kayu hitam. Ketika melayang turun salah satu sudut peti ini hampir saja menghantam kepala Sinuhun Merah kalau dia tidak cepat melompat mundur.

Peti mati besar melayang turun dan berhenti di atas dua batu besar. Dari bagian bawah peti kemudian keluar asap putih. Sebagian mengepul naik ke udara, sebagian lagi meluncur ke bawah, menutup gerak cairan bara panas.

Braak!

Penutup peti terbuka lebar. Dari dalam peti berturut turut terdengar empat orang berucap.

"Pelihara mata hanya melihat kebaikan. Pelihara mulut hanya bicara kebaikan. Pelihara telinga hanya mendengar kebaikan. Pelihara kemaluan hanya untuk kebaikan"

Sesaat kemudian dari dalam peti mati yang terbuka melompat keluar empat sosok aneh. Mereka adalah mayat-mayat hidup yang sekujur tubuh kecuali wajah dibungkus dengan gulungan kain putih. Mayat pertama berdiri sambil dua tangan menutup mata. Mayat kedua tegak dengan dua tangan menutup mulut. Lalu mayat ketiga menekap telinga dan mayat keempat berdiri agak terbungkuk-bungkuk sambil menekap dua tangan ke bagian bawah perut.

“Mahluk-mahluk jahanam! Kalian siapa?!” Sinuhun Merah Penghisap Arwah membentak.

“Sssshhh.... Di alarm roh kita tidak pernah jumpa. Makanya tidak saling mengenal. Hik hik hik!” Mayat yang menutup mata yaitu Mayat Aneh Kesatu menjawab.

Mayat Aneh Kedua yang menutup mulut turunkan dua tangan lalu berucap perlahan, “Ssshhh. Kami Empat Mayat Aneh dikenal dengan nama Empat Mayat Bersaudara. Kami orang-orang yang tinggal di pekuburan. Biasa hidup di alam kesunyian. Tidak biasa mendengar suara keras. Jadi kalau bicara jangan membentak. Harap bicara perlahan dan seperlunya saja. Hik hik hik!”

Sementara Mayat yang satu yaitu Mayat Kedua bicara Mayat Ketiga dan Mayat Pertama yaitu yang menutup telinga dan yang menutup mata melangkah mendekati sosok Sakuntaladewi! Sekali bergerak keduanya dengan cepat mengangkat gadis kaki satu itu lalu memasukkannya ke dalam peti mati.

“Kurang ajar! Apa yang kalian lakukan?!” Sinuhun Merah berteriak marah dan dengan cepat melompat lalu menyerang dua mayat yang barusan menggotong dan memasukkan Sakuntaladewi ke dalam peti mati.

Namun belum sempat menyentuh dua mayat yang diserang Sinuhun Merah merasakan dua kaki dan dua tangannya berat laksana diganduli batu. Dia tidak mampu bergerak sedikitpun. Hanya kepalanya yang masih bisa diputar-putar. Tiba-tiba dia merasa ada orang menepuk bahunya dari belakang. Sinuhun Merah berpaling. Mayat Keempat yang sejak tadi terbungkuk-bungkuk memegangi bagian bawah perut menyeringai lalu tangan kanannya bergerak ke atas, dan...

Bukkk!

Tangan kanan yang membentuk jotosan mendarat telak di rahang kanan Sinuhun Merah hingga orang ini terjengkang den begitu tubuhnya terkapar di tanah ujudnya segera berubah kembali menjadi Sinuhun Muda Ghama Karadipa!

Seperti diketahui Sinuhun Merah atau Sinuhun Muda adalah mahluk-mahluk sakti yang jangankan tinju manusia, batu sebesar kepalapun tidak akan mampu merobohkannya. Namun ternyata Mayat Keempat memiliki ilmu kesaktian yang sanggup membuatnya roboh dan tergelimpang setengah sadar untuk beberapa lamanya.

“Kita semua lekas masuk ke dalam peti!” Mayat Kedua berteriak.

“Tapi bagaimana ini! Ada seorang gadis berwajah aneh di dalam peti! Jaga kemaluan hanya untuk kebaikan!” Mayat Aneh Keempat berkata.

“Jaga mata hanya melihat kebaikan! Kita duduk saja di atas peti!” Berkata Mayat Aneh Pertama.

“Itu lebih baik! Ayo kita pergi sekarang!” Menyahuti Mayat Aneh Ketiga. Mayat Aneh Kedua siap hendak menurunkan penutup peti mati.

Tiba-tiba ada seorang anak perempuan kecil berlari mendatangi sambil berteriak. “Dewi Kaki Tunggal! Saya sudah mendapatkan Bunga Matahari!”

Ni Gatri! Di tangan kanannya ada sekuntum Bunga Matahari besar. Anak perempuan ini hentikan larinya ketika dia tidak melihat Sakuntaladewi di tempat itu. Sebaliknya malah melihat empat mahluk yang membuatnya jadi ketakutan.

“Anak manis, jangan takut. Kami mahluk baik-baik. Bukankah kau gadis kecil yang dulu kami temui di rimba dekat Candi Prambanan? Apa hubunganmu dengan gadis berkaki satu yang sekarang ada di dalam peti yang barusan kau panggil Dewi Kaki Tunggal?”Bertanya Mayat Aneh Kedua.

“Dia... dia calon istri Kakakku,” jawab Ni Gatri.

Empat Mayat Aneh saling pandang lalu Mayat Aneh Kedua berkata. “Kalau begitu bagusnya kau ikut masuk ke dalam peti bersama calon kakak iparmu itu.”

Saat itu tak sengaja Ni Gatri melihat bangkai anak anjing yang tergeletak di tanah. Langsung saja anak ini menjerit. “Kalian membunuh anjing sahabatku!”

“Pelihara mulut hanya bicara kebaikan,” Mayat Aneh Kedua berkata. “Jangan salah bicara. jangan salah menduga. Kami tidak membunuh binatang itu.”

Mayat Aneh Kedua dengan cepat dukung tubuh Ni Gatri lalu dimasukkan ke dalam peti. Ni Gatri menjerit dan meronta tapi tidak sanggup melepaskan diri.

“Braaakk!”

Peti mati ditutup. Empat Mayat Aneh melompat ke atas peti. Asap mengepul kembali dari bawah dan sekitar peti mati hitam. Perlahan-lahan peti bergerak ke atas. Melesat ke udara dan lenyap dari pemandangan.

Sinuhun Muda yang tiba-tiba sadarkan diri masih sempat melihat apa yang terjadi. Dia coba mengejar dan menyerang peti dengan Ilmu Delapan Arwah Sesat menembus langit. Hanya beberapa jengkal lagi delapan cahaya merah serangan akan menyentuh sasaran, Empat Mayat Aneh yang duduk di atas peti mati tertawa cekikikan. Mereka melambai-lambaikan tangan ke arah Sinuhun Muda di bawah sana. Lambaian tangan itu bukan lambaian sembarangan. Karena begitu empat angin lambaian tangan saling bersentuhan dengan serangan Sinuhun Muda, delapan larik cahaya merah serta merta musnah tanpa ledakan atau letupan.

Mayat Aneh Kedua angkat tangan ke atas. Mulut berucap. “Kami orang-orang yang tinggal di pekuburan. Biasa hidup di alam kesunyian. Tidak biasa mendengar suara keras. Adalah wajar kalau kami tidak ingin mendengar suara ledakan atau letupan kecil sekalipun di sekitar sini. Hik hik hik!”

Di atas bukit Sinuhun Muda yang tengah menyumpah-nyumpah panjang pendek tiba-tiba mendengar suara mengiang.

“Saudara nyawa kembarku Sinuhun Muda, aku di Bukit Batu Hangus sebelah utara. Aku berhasil mendatangkan senjata sakti milik kesatria Roh Jemputan yang ada di alam delapan ratus tahun mendatang! Lekas datang kesini!”

S E L E S A I

Senjata sakti apa yang berhasil didatangkan Sinuhun Merah Penghisap Arwah dari alam delapan ratus tahun mendatang?

Mampukah Pendekar 212 menolong Raja dan rakyat Mataram? Bagaimana nasib Dewi Kaki Tunggal dan Ni Gatri? Bagaimana pula nasib Eyang Sinto Gendeng dan Empu Semirang Biru? Berhasilkah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ditemukan kembali? Ikuti kisah selanjutnya dalam serial berjudul:

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.