Empat Mayat Aneh
BAB SATU
PUNCAK Bukit Batu Hangus, dini hari menjelang pagi. Udara dingin luar biasa karena hujan lebat baru saja berhenti. Tiupan angin seperti sembilu menyayat jangat, menusuk tulang sumsum. Dalam cuaca yang masih gelap kelihatan jelas delapan benda bersinar mengapung di udara, mengelilingi puncak bukit. Itulah delapan jimat yang dilemparkan Eyang Dukun Umbut Watukura bersama Panglima Pasukan Kerajaan Garung Parawata, Soka Kandawa Tabib Sepuluh Jari Dewa, Klingkit Kuning dan empat tokoh silat Istana berkepandaian tinggi lainnya.
Di puncak bukit, diatas batu datar berwarna hitam gosong, Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Uskapala duduk tak bergerak tengah melakukan tapa. Mata terpejam, dua tangan disilang di atas dada. Tubuh yang dibalut hawa sakti panas pelindung raga mengeluarkan asap ketika bersentuhan dengan udara dingin. Delapan jimat melindungi dirinya dari segala kemungkinan datangnya marabahaya. Perlahan-lahan tubuh itu tampak memancarkan cahaya lalu mulai bergetar. Pertanda ada bahaya mengancam! Tiba-tiba...
"Wutt!" Delapan larik cahaya merah entah dari mana datangnya secara bersamaan menyambar ke arah puncak Bukit Batu Hangus, tepat di jurusan beradanya sang Maharaja Mataram yang tengah duduk bertapa memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa, agar dapat menyelamatkan Kerajaan dan rakyat Mataram.
Delapan jimat melesat menghadang sambaran delapan cahaya merah. Delapan letusan keras disertai pijaran nyala api menggelegar di udara malam. Seantero kawasan Bukit Batu Hangus bergoncang hebat. Di lereng bukit terdengar jerit perempuan dan pekik tangis anak-anak. Orang-orang lelaki berseru tegang dan berulangkali menyebut nama Yang Maha Kuasa.
Sosok Raja Mataram tersungkur ke depan, seperti sujud tak bergerak di atas batu yang didudukinya. Mahkota emas bertabur batu permata yang ada di atas kepala terlepas tanggal, jatuh berguling ke lereng bukit. Rambut yang tadi disanggul kini terlepas menutupi wajah.
Dalam keadaan seperti itu hebatnya Raja Mataram ini masih meneruskan tapa, seolah tidak melihat, tidak mendengar letusan dahsyat, tidak merasakan satu bahaya maut hampir melumat dirinya. Delapan jimat para tokoh sakti hancur bertaburan sementara delapan cahaya merah sesaat masih menggantung di udara lalu memudar dan akhirnya lenyap tak berbekas.
Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara binatang meraung membuat bulu roma merinding. Mungkin anjing liar mungkin juga srigala rimba belantara yang kelaparan, atau mungkin pula mahluk halus yang tengah berkeliaran dan terpesat di sekitar kawasan Bukit Batu Hangus.
Tepat ketika fajar menyingsing dan langit di ufuk timur mulai terang dan ada cahaya sang surya menyentuh tubuhnya, perlahan-lahan Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala buka kedua matanya. Tubuh yang bersujud di atas batu hitam bergerak dan duduk lurus. Mata memandang jauh ke selatan, ke arah Kotaraja. Apa yang dilihat membuat air muka Sri Maharaja berubah.
“Dewa Jagat Bathara... Rata... Bhumi Mataram nyaris rata dengan tanah. Genangan air merah di mana-mana. Bau busuk, mayat manusia... bangkai binatang. Kerajaan... rakyatku... keluargaku...”
Raja Mataram pejamkan mata lalu berteriak keras. Tubuhnya seperti hendak meledak. Dia melompat turun dari batu. Lari menuruni puncak Bukit Batu Hangus. Dalam waktu singkat Sri Maharaja Rakai Kayuwangi telah sampai di lereng bukit di mana sebelumnya dia meninggalkan keluarga dan semua orang yang ikut menyelamatkan diri. Kejut Raja Mataram ini bukan alang kepalang ketika dia menemui dan melihat keadaan orang-orang itu. Langsung saja dia jatuhkan diri, berlutut, dua tangan diangkat ke atas dan mulut berteriak.
“Wahai Para Dewa di Swargaloka! Jika memang ada dosa kesalahan setinggi langit sedalam lautan dan sepanas bara menyala yang telah saya lakukan, mohon segala hukuman dijatuhkan hanya pada diri saya. Jangan pada keluarga, para pengikut dan rakyat saya...!”
Setengah meratap Sri Maharaja Rakai Kayuwangi kemudian memeluki istri-istri serta putera puterinya yang bergulingan di tanah, tubuh panas menggigil, dua kaki lumpuh tak bisa digerakkan dan di kening mereka terdapat delapan benjolan merah mengepulkan asap. Hal ini ternyata terjadi juga pada ratusan orang yang ada di bukit termasuk tokoh-tokoh sakti berkepandaian tinggi seperti Eyang Dukun, Panglima Pasukan Kerajaan Garung Parawata, Tabib Sepuluh Jari Dewa, Klingkit Kuning dan banyak lagi yang lainnya.
Sri Maharaja menggigit bibir menahan gejolak di dalam dada. Melihat kening semua orang ditumbuhi delapan benjolan aneh itu Sri Maharaja meraba kening sendiri. Astaga! Ternyata di keningnya juga ada delapan benjolan merah. Bedanya delapan benjolan merah di kening sang Raja tidak mengeluarkan asap dan tubuhnya tidak terserang hawa panas, dua kaki tidak mengalami kelumpuhan.
Terhuyung-huyung Sri Maharaja dekati kakek berjubah biru Umbut Watukura, yang tergolek di tanah berbantalkan batu hitam. Disampingnya tergeletak Panglima Pasukan Kerajaan Garung Parawata. Tak jauh dari situ terkapar sosok gemuk Tabib Soka Kandawa.
“Eyang Dukun, kau bisa bicara...” Sri Maharaja usap kepala Umbut Watukura.
Yang ditanya kedipkan mata. “Yang Mulia Sri Maharaja Mataram, saya bersyukur kepada Dewa, Sri Maharaja berada dalam keadaan selamat. Sri Maharaja tidak sampai celaka seperti kami-kami ini...”
“Jangan pikirkan diriku! Eyang, Panglima katakan apa yang terjadi. Mengapa anak istriku, kalian semua, bergeletakan lumpuh, tubuh panas dan ada delapan benjolan aneh di kening kita semua. Apakah malapetaka ini juga melanda semua orang di Bhumi Mataram?”
Eyang Dukun Umbut Watukura batuk-batuk beberapa kali lalu menjawab. “Tak lama setelah Sri Maharaja naik ke puncak bukit, karena Sri Maharaja telah memberi izin, saya dan Panglima segera menunggangi kuda masing-masing untuk menyelidik turun ke Kotaraja. Namun entah apa sebabnya binatang-binatang itu meringkik roboh tak mampu menggerakkan kaki. Di kening mereka muncul delapan benjolan merah. Kami semua yang ada di sini mengalami hal yang sama. Lumpuh tak mampu berdiri dan di kening ada delapan benjolan berasap...”
“Dari puncak bukit tadi aku melihat Kotaraja. Keadaannya nyaris sama rata dengan tanah. Hanya satu dua pohon yang masih kelihatan menyembul. Satu-satunya bangunan yang masih tinggal adalah sisa-sisa reruntuhan Istana dan beberapa candi. Cairan merah menggenang di mana-mana. Malam Jahanam yang diceritakan Empu Semirang Biru benar-benar menjadi kenyataan. Bhumi Mataram musnah dilanda bencana. Di bukit ini kita semua mengalami kesengsaraan luar biasa. Menderita kelumpuhan dan diserang demam panas. Bilamana dalam waktu dua hari bencana ini tidak bisa dimusnahkan, kita akan menemui kematian. Kalaupun bisa bertahan maka kita akan mati kelaparan karena kita tidak sempat membawa persediaan makanan cukup banyak untuk ratusan orang yang ada di bukit ini. Masih bersyukur ada beberapa mata air kecil di sekitar sini. Tapi karena tak mampu bergerak kalian semua tidak bisa mendatangi air itu.”
Sepasang mata Sri Maharaja tampak berkaca-kaca. Dia menatap ke langit. “Wahai Para Dewa di Swargaloka, mengapa Kau turunkan cobaan begini berat yang tidak sanggup kami semua menghadapi...”
“Yang Mulia, dalam keadaan seperti ini tidak ada yang dapat kita lakukan selain berpasrah diri dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar diberi pertolongan...” Berkata Panglima Garung Parawata.
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi menghela nafas dalam. “Kita nyaris tidak punya daya apa-apa. Memang hanya kepada Para Dewa kita bisa berharap. Kita sudah memanjatkan seribu doa. Kereta Putih, Kereta Kencana Ratu Adil yang diharapkan bisa menjadi penangkal malah hancur lebur. Apa lagi yang bisa kita lakukan...”
Raja Mataram itu memandang ke arah Tabib Soka Kandawa. “Tabib Sepuluh Jari Dewa, di tempat ini hanya aku seorang yang masih bisa berdiri dan berjalan. Yang lain-lain termasuk dirimu lumpuh tak berdaya! Dengan kesaktian yang kau miliki, kau bisa melakukan sesuatu?”
Tabib gemuk bermata sipit itu unjukkan air muka redup, menarik nafas berulang kali lalu gelengkan kepala. “Saya mohon maaf dan ampunan Yang Mulia. Sejak pertemuan di ruang rahasia di Istana beberapa waktu lalu saya sudah menyadari bahwa kemampuan saya tidak dapat menghadapi datangnya bencana...”
“Bencana ini bukan datang dari kemurkaan alam atau peringatan atau hukuman dari Para Dewa. Apa yang dinamakan Malam Jahanam adalah buatan manusia, yang bersekutu dengan roh dan arwah jahat! Kita pasti punya jalan untuk menghancurkannya! Kalau tidak dalam waktu dua hari, keluargaku, kalian semua akan menemui ajal! Aku sendiri tidak tahu berapa lama bisa bertahan. Cepat atau lambat aku merasa giliranku akan datang juga! Oh Dewa Jagat Bathara...”
“Sri Maharaja,” berkata Panglima Garung Parawata. “Dari tapa Yang Mulia di puncak bukit tengah malam sampai pagi ini, apakah yang Mulia berhasil memasuki alam gaib dan bertemu dengan roh pertapa Sedayu Galiwardhana?”
“Aku berhasil masuk ke alam roh. Tapi ada satu kekuatan dahsyat luar biasa menghalangi dan memagari roh Sedayu Galiwardhana hingga aku tidak bisa menemui pertapa itu. Namun tapaku bukan satu kesia-siaan. Dalam tapaku aku mendengar suara genta lonceng. Lalu muncul satu cahaya kuning emas disusul suara berucap. Aku harus mencari seorang anak lelaki berusia dua belas tahun. Menurut petunjuk, anak itu mampu memberi pertolongan dan mengeluarkan kita dari bala bencana ini. Paling tidak melenyapkan kelumpuhan yang kita alami...”
MENDENGAR ucapan sang Maharaja, Eyang Dukun, Panglima Garung Parawata dan Tabib Sepuluh Jari Dewa jadi saling pandang. Untuk beberapa lama ketiganya hanya bisa berdiam diri. Panglima Garung Parawata kemudian memberanikan diri berkata,
“Yang Mulia, mudah-mudahan saya tidak salah mendengar. Seorang, anak lelaki berusia dua belas tahun apa kemampuan yang dimilikinya? Saya mohon maaf kalau saya berkata salah...”
“Kalian pernah mendengar nama Mimba Purana?” Bertanya Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.
Tiga orang di hadapan sang Raja terkejut. “Maksud Yang Mulia, pendekar Satria Lonceng Dewa, Pendekar Bhumi Mataram yang terlahir di dalam Sumur Api, dari seorang perawan abadi pilihan Dewa...” berucap Panglima Garung Parawata.
“Yang pada awal pemerintahan Sri Maharaja telah menyelamatkan Bhumi Mataram dari angkara murka orang-orang jahat dari selatan?” Menyambung Eyang Dukun.
“Namun... bukankah pemuda belia tapi sakti itu kemudian lenyap begitu saja. Sampai hari ini tak ada kabar beritanya...” Berkata Tabib Soka Kandawa.
“Saya ingat,” ikut bicara Tabib Sakti Sepuluh Jari Dewa Soka Kandawa. “Tak lama setelah lenyapnya Kesatria Lonceng Dewa Mimba Purana, kemudian muncul seorang pendekar belia yang konon masih saudara kembar Mimba Purana bernama Dirga Purana. Tapi kesatria yang satu ini agaknya bersilang jalan dengan Mimba Purana...”
“Kau benar Tabib Sakti,” kata sang Raja. “Aku harus mencari dan mendatangi sumur tua yang dikenal dengan nama Sumur Api itu. Letaknya di kawasan rimba belantara antara Candi Prambanan dan Kali Dengkeng. Jika anak lelaki bernama Mimba Purana itu memiliki kesaktian yang dititiskan Para Dewa, maka aku sangat yakin Para Dewa akan mempertemukan aku dengan dia. Mudah-mudahan kita semua mendapat keselamatan...”
“Yang Mulia, petunjuk yang didapat dalam tapa Yang Mulia pastilah datang dari Swargaloka. Kalau saja saya tidak lumpuh, saya akan ikut bersama Yang Mulia mencari Sumur Api itu.” Kata Eyang Dukun.
“Saya juga,” kata Tabib Soka Kandawa dan Panglima Garung Parawata hampir berbarangan.
“Aku pergi sekarang juga,” ucap Sri Maharaja. Dia memandang berkeliling. Tiba-tiba saja dia ingat seseorang. “Dari tadi aku tidak melihat salah seorang pembantu kepercayaanku. Raden Ageng Daksa, di mana dia? Ada dari kalian yang melihat?”
Tiga orang di hadapan Raja baru menyadari. Mereka semua memandang berkeliling, mencari-cari lalu sama-sama menggelengkan kepala.
“Kalau dia memang meninggalkan bukit ini, dia pergi ke mana? Mengapa tidak memberi tahu?” Ujar Panglima Garung Parawata.
“Jika benar dia pergi, berarti dia pergi sebelum malapetaka demam panas dan kelumpuhan menimpa kita semua...” Kata Tabib Soka Kandawa pula. “Mudah-mudahan seperti Sri Maharaja, Raden Ageng Daksa juga tidak mengalami bencana seperti kami. Siapa tahu dia juga tengah berusaha mencari pertolongan...”
“Aku berharap begitu,” kata Sri Maharaja Mataram walau hatinya agak meragu. “Raibnya Empu Semirang Biru masih belum jelas siapa penculiknya dan berada di mana orang tua itu sekarang. Apakah dalam keadaan selamat atau bagaimana. Di mana keberadaan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang dicuri juga masih tidak jelas...” Sri Maharaja menarik nafas panjang.
Lalu lanjutkan ucapan. “Sambil mencari Sumur Api aku akan menyelidik ke mana raibnya Raden Ageng Daksa.” Hati sang Raja benar tidak enak. Perasaan kawatir laksana dua batu besar yang menghimpit batok kepala dan dadanya.
Sebelum meninggalkan Bukit Batu Hangus Sri Maharaja memindahkan istri-istri dan putera puterinya ke dalam cegukan batu yang merupakan goa besar dan banyak terdapat di bukit batu itu. Dia juga melakukan hal yang sama pada orang-orang perempuan dan anak-anak serta lelaki-lelaki tua. Lalu Raja Mataram ini mengangkat puluhan bebatuan yang terdapat banyak di bukit. Batu disebar dan diletakkan di dekat orang banyak.
Batu-batu ini di pukul dengan tangan yang mengandung kekuatan sakti hingga membentuk cegukan dalam. Ke dalam cegukan ini Sri Maharaja kemudian memasukkan air yang diambil dari sumber mata air yang ada di sekitar bukit. Makanan yang sempat dibawa ke bukit juga disebar. Dengan berbuat begitu Sri Maharaja berharap bisa menolong orang-orang lebih mudah menjangkau makanan dan mereguk air, paling tidak memperlambat datangnya kematian. Setelah memeluk anak istrinya, Sri Maharaja Rakai Kayuwangi berkata pada Eyang Dukun Umbut Watukura dan para tokoh lainnya.
“Eyang, aku pergi sekarang. Bertahanlah dan selalu memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa agar kita semua bisa terlepas dari azab bencana ini...”
Raja Mataram ini lalu angkat dua tangannya ke udara. Mulut berucap. “Wahai Para Dewa di Kahyangan. Saya bermohon, lindungi semua orang yang ada di bukit ini, juga mereka yang berada di seluruh Bhumi Mataram, yang saat ini mungkin jauh lebih menderita dari kami di sini. Tolong kami semua. Keluarkan kami dari kesengsaraan ini...”
Suara ucapan lenyap. Sang Raja kini tampak berkomat kamit membaca mantera aji kesaktian. Sesaat kemudian dari ke dua tangannya memancar keluar sinar kuning, merebak membentuk kipas raksasa, menyapu Bukit Batu Hangus mulai dari lereng sampai ke puncak. Itulah ilmu kesaktian yang berintikan doa suci bernama Antara Bumi Dan Langit Hanya Yang Maha Kuasa Yang Jadi Pelindung Dan Tempat Meminta Pertolongan Bagi Semua Insan.
Baru saja Sri Maharaja Rakai Kayuwangi menurunkan kedua tangan dan dua larik sinar kuning lenyap dari pemandangan mendadak dari arah kaki bukit sebelah timur terdengar suara jeritan orang. Semua yang ada di bukit batu terkesiap. Wajah berubah.
“Aku mengenali suara orang yang menjerit itu. Jangan-jangan...” Tanpa meneruskan kata-katanya Sri Maharaja Rakai Kayuwangi segera meninggalkan tempat itu, berlari menuruni bukit secepat yang bisa dilakukan.
Eyang Dukun Umbut Watukura ulurkan tangan memegang bahu Garung Parawata lalu berkata dengan suara perlahan agar tidak terdengar oleh orang lain. “Panglima, aku kawatir. Apakah Raja kita mampu kembali ke bukit ini dengan selamat...?”
Panglima Pasukan Mataram terkesiap sejenak mendengar ucapan itu. Lalu dengan suara lirih dia berkata. “Eyang, jangan bertanya seperti itu. Lebih baik kita doakan dan memohon pada Para Dewa agar Sri Maharaja selamat, berhasil menemui kesatria muda bernama Mimba Purana itu dan kembali tanpa kurang suatu apa menemui kita di bukit ini...”
Eyang Dukun usap-usap tongkat tembaga yang diletakkan di atas pangkuan dua kaki yang lumpuh. “Tadi malam kita masih bisa melindungi dirinya dengan delapan jimat sakti. Kini kita tidak punya daya apapun. Walau Sri Maharaja membekal segudang ilmu kesaktian namun aku tetap merasa kawatir. Ingat kejadian di ruang rahasia ketika kita mengadakan pertemuan. Kekuatan sakti dari luar mampu menembus masuk. Ruangan jebol, cairan merah dan busuk menggenang di mana-mana. Lalu saat itu aku berteriak. Delapan Sukma Merah! Mahluk itu ada di sini! Kau ingat semua kejadian itu Panglima? Apa pendapatmu?”
Panglima Garung Parawata memandang berkeliling. Dia tidak mau menjawab ucapan dan pertanyaan sang dukun lalu memicingkan mata. Sebenarnya kekuatiran juga memadati hati dan pikiran Panglima Pasukan Kerajaan ini.
Belum jauh Sri Maharaja Rakai Kayuwangi meninggalkan kaki Bukit Batu Hangus menuju ke arah timur tiba-tiba di satu pedataran kecil dia melihat ada semak belukar yang terbakar. Karena pedataran ini terletak di tempat yang agak ketinggian maka air banjir yang berwarna merah tidak sampai menggenang ke tempat itu. Dengan cepat Raja Mataram ini berkelebat mendekati. Begitu sampai di balik semak belukar serta merta dia tersentak kaget dan keluarkan seruan tertahan.
“Dewa Jagat Bathara...!”
Di tanah tergeletak sosok Raden Ageng Daksa, orang kepercayaan Sri Maharaja. Pakaian lurik hitam yang melekat di tubuhnya mulai dari pinggang ke bawah tampak hangus mengepulkan asap. Empat kalung emas yang tergantung di leher dan menjulai di dada leleh gosong. Topi tinggi hitam yang selalu ada di atas kepala tercampak jauh, juga dalam keadaan hangus mengepulkan asap.
Walau pakaian tampak hangus namun tubuh orang ini kelihatan tidak terluka sedikitpun. Ini satu pertanda bahwa dengan ilmu kesaktian yang dimiliki Raden Ageng Daksa masih mampu melindungi raga sebelah luar walau Sri Maharaja tahu kalau pembantunya ini mengalami luka parah di sebelah dalam!
“RADEN Ageng Daksa! Apa yang terjadi! Siapa yang mencelakaimu?!” suara Sri Maharaja setengah berteriak. Dia lalu duduk di tanah, memangku kepala orang kepercayaannya itu.
Megap-megap Raden Ageng Daksa membuka mulut. Berusaha menjawab. Namun yang keluar dari mulutnya bukan ucapan melainkan lelehan darah berwarna hitam. Sri Maharaja cepat tempelkan tangan kiri di atas kening dan tangan kanan di dada orang lalu salurkan hawa sakti.
“Bicara Raden, katakan siapa yang melakukan perbuatan keji ini atas dirimu...”
Bantuan tenaga dalam dan aliran hawa sakti membuat Raden Ageng Daksa mampu mengangkat tangan kirinya. Tergontai-gontai tangan ini ditunjukkan ke arah punggung. Lalu terdengar suaranya perlahan dan terputus-putus sementara sepasang mata kini kelihatan hanya tinggal putihnya saja.
“Ma... maafkan saya Yang Mul... Mulia...” Tangan kiri yang menunjuk dada lalu berputar menunjuk ke arah kejauhan, ke jurusan selatan.
Sri Maharaja tahu kalau umur Raden Ageng Daksa tidak akan lama lagi. Maka dia lipat gandakan tenaga dalam dan aliran hawa sakti lalu berbisik ke telinga orang itu. “Jangan bicara banyak. Lekas beritahu siapa yang telah mencelakai Raden...”
Raden Ageng Daksa berusaha membuka mulut memberikan jawaban. Namun sebelum suara keluar, kepala sudah terkulai, nyawa keburu lepas. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi pejamkan mata. Dalam hati menyebut nama Yang Maha Kuasa. Perlahan-lahan dia baringkan tubuh Raden Ageng Daksa di tanah. Mata yang terbuka putih diusap hingga menutup. Raja Mataram berpaling ke arah selatan, arah yang tadi ditunjuk Raden Ageng Daksa. Dengan gerakannya tadi Raden Ageng Daksa ingin memberi tahu siapapun yang membunuhnya orang itu telah melarikan diri ke arah selatan.
Raja Mataram kemudian ingat. Sebelum menunjuk ke arah selatan Raden Ageng Daksa terlebih dulu menunjuk ke arah bagian belakang tubuhnya sendiri. Raden Ageng rupanya hendak memberi tahu sesuatu. Perlahan-lahan Sri Maharaja balikkan badan pembantunya itu. Kejut sang Raja bukan alang kepalang ketika melihat pada punggung Raden Ageng Daksa terdapat tanda dua telapak tangan lengkap dengan jari-jari berwarna merah. Namun masing-masing tangan hanya memiliki empat jari, tanpa jari tengah!
“Hyang Jagat Bathara...” ucap Sri Maharaja Rakai Kayuwangi. Dia lalu ingat pada kejadian di ruang pertemuan rahasia di dalam Istana. Waktu itu Ratu Randang penasihatnya tiba-tiba berteriak bahwa ada orang meraba dadanya. Raden Ageng Daksa menjawab kalau tidak ada orang yang meraba dirinya. Lantas Ratu Randang merobek dada pakaian memperlihatkan aurat. Ternyata pada payu daranya kiri kanan terdapat tanda telapak tangan berjari empat.
“Tanda telapak tangan merah berjari empat yang sama.” Ucap Raja Mataram perlahan. “Ini penyebab kematian Raden Ageng Daksa. Aneh... Mengapa Ratu Randang tidak menemui ajal. Padahal dia mengalami kejadian yang hampir tidak berbeda. Selain itu kesaktian Ratu Randang tidak lebih tinggi dari Raden Ageng Daksa.” (Perihal kejadian aneh yang dialami Ratu Randang harap baca episode sebelumnya Malam Jahanam Di Mataram)
Sri Maharaja balikkan kembali jenazah Raden Ageng Daksa hingga tertelentang. Lalu memandang berkeliling mencari tempat yang baik. Di bagian pedataran yang agak tinggi Raja Mataram ini terapkan ilmu kesaktiannya dengan melancarkan pukulan hingga tanah terbongkar membentuk liang lahat. Jenazah Raden Ageng Daksa dimasukkan ke dalam liang lalu ditimbun dan di atasnya ditancapi semak belukar sebagai tanda. Setelah memanjatkan doa untuk keselamatan arwah pembantunya itu Sri Maharaja segera tinggalkan pedataran.
MATAHARI semakin tinggi. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi yang telah berada cukup lama dalam rimba belantara kecil antara Prambanan dan Kali Dengkeng masih berputar-putar tidak berhasil menemukan Sumur Api. Bahkan tanda-tandanyapun tidak kelihatan. Setiap melangkah sepasang kakinya terasa semakin berat. Bahu seperti dibebani batu besar dan kepala berdenyut sakit. Sesekali dia mendengar suara deru angin namun anehnya tidak ada hembusan angin terasa menyapu tubuhnya. Ranting dan daun-daun pepohonan sama sekali tidak bergerak, tidak mengeluarkan suara bergemerisik.
“Ada kekuatan gaib mencegah diriku menemukan Sumur Api,” pikir Sri Maharaja.
Ketika sang surya mencapai titik tertingginya, dalam keadaan tubuh basah mandi keringat dan terasa sangat letih, dua lutut mendadak goyah, nyaris tak berdaya Raja Mataram itu akhirnya jatuh berlutut di tanah. Sambil letakkan dua tangan di dada dan membungkuk dalam dia berkata dengan suara lirih.
“Wahai Yang Maha Kuasa di Swargaloka. Setengah hari telah saya habiskan secara sia-sia. Saya masih belum menemukan petunjuk di mana beradanya Sumur Api. Apa lagi menemukan Mimba Purana, Kesatria Lonceng Dewa. Jika saya mengalami kegagalan berarti saya tidak mampu menolong semua orang yang ada di bukit, tidak bisa menyelamatkan rakyat yang berada di Kotaraja dan di seluruh pelosok Bhumi Mataram. Wahai Yang Maha Kuasa, jangan berhenti memberi saya petunjuk, berikan saya pertolongan. Jangan biarkan kami semua musnah, jangan biarkan Bhumi Mataram lenyap dari permukaan jagat...”
Tiba-tiba keadaan di tempat itu berubah luar biasa sunyi. Suara tiupan angin aneh lenyap. Saking sunyinya Sri Maharaja mampu mendengar detak jantungnya sendiri. Sri Maharaja luruskan tubuh, menunggu dengan hati berdebar. Dia maklum sesuatu akan terjadi.
Satu cahaya putih berkiblat. Sekejap kemudian di hadapan Sri Maharaja Rakai Kayuwangi berdiri seorang kakek berselempang kain putih. Rambut putih panjang menjulai punggung. Wajah yang jernih dihias kumis dan janggut putih. Di tangan kanannya orang tua ini membawa sebatang tongkat kayu, besar di sebelah gagang, mengecil di bagian ujung. Sadar kalau doanya didengar Yang Maha Kuasa dan tahu kalau yang dihadapannya bukan mahluk biasa maka Sri Maharaja segera membungkuk dalam seraya berkata.
“Orang tua, saya Rakai Kayuwangi Lokapala menghatur sembah dan hormat untukmu...”
“Terima kasih untuk tutur sapa dan penghormatanmu. Tapi bukan dirimu, sayalah yang harus menghatur sembah dan penghormatan padamu. Karena kau adalah Sri Maharaja Mataram sementara saya hanya rakyat biasa...”
Selesai keluarkan ucapan si orang tua lalu berlutut dan membungkuk dalam-dalam hingga kepalanya hampir menyentuh tanah. Raja Mataram cepat memegang bahu orang tua ini, mengangkatnya hingga berdiri kembali.
“Orang tua, saya...”
“Sri Maharaja, saya tahu Yang Mulia tengah berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan keluarga, kerajaan dan rakyat Bhumi Mataram. Doa Yang Mulia telah didengar oleh Para Dewa di Swargaloka. Saya orang tua buruk ini diutus untuk menemui Yang Mulia...”
“Terima kasih Sang Hyang Bathara Agung, terima kasih orang tua... Saya mohon petunjukmu lebih lanjut.”
“Nama saya Dhana Padmasutra. Dulu saya tinggal di Bhumi Mataram ini, tak jauh dari Prambanan. Takdir menentukan bahwa saya harus kembali ke alam baka. Saya datang dari alam roh...”
“Terpujilah Roh Agung...” Sri Maharaja membungkuk berulang kali.
“Para Dewa meminta saya menyerahkan tongkat kayu ini pada Yang Mulia. Tongkat ini selanjutnya akan menuntun Yang Mulia ke Sumur Api menemui orang yang dicari...”
Sebelum mengulurkan tangan mengambil tongkat kembali Sri Maharaja membungkuk hormat dan berulang kali menyebut nama Yang Maha Kuasa. Setelah tongkat kayu dipegang, orang tua mengaku bernama Dhana Padmasutra berkata.
“Ada satu hal perlu saya beritahukan. Bilamana Yang Mulia telah bertemu dengan Kesatria Lonceng Dewa Mimba Purana, berikan tongkat ini kepadanya. Walau dulu tongkat ini adalah milik saya, tapi telah saya berikan kepada ibunya. Jadi saya hanya meminjam. Wajib dikembalikan...”
“Saya mengerti. Apa yang Eyang katakan akan saya lakukan,” kata Sri Maharaja pula. “Saya boleh memanggilmu dengan sebutan Eyang?”
“Itu merupakan satu kehormatan besar bagiku,” jawab Dhana Padmasutra. “Ada satu hal lagi,” sambung si orang tua. “Yang Mulia belum melihat tapi mungkin telah merasakan. Di dalam rimba belantara ini ada bahaya besar mengintai. Bilamana bahaya datang tidak terelakkan, robahlah cara memegang tongkat. Ujung yang menempel di tanah pegang sebagai gagang. Sebaliknya gagang ditukikkan ke bawah hingga menyentuh tanah. Maka Yang Maha Kuasa akan melindungi Yang Mulia... Apakah Yang Mulia sudah mengerti atau ada yang hendak ditanyakan?”
“Saya mengerti Eyang. Sekali lagi saya sangat berterima kasih. Kalau beberapa saat lagi kita akan berpisah, apakah saya akan dapat bertemu lagi dengan Eyang?”
Orang tua berwajah jernih berselempang kain putih tersenyum. “Setiap perpisahan dan pertemuan diatur oleh Yang Maha Kuasa. Apa lagi kita hidup berlainan alam. Serahkan semua pada Yang Maha mengetahui. Jika ada niat baik di dalam dada, masakan Yang Maha Kuasa tidak akan memperhatikan? “
“Terima kasih Eyang.”
Dhana Padmasutra mengangguk. “Kita berpisah sampai di sini. Semoga Yang Maha Kuasa melindungi Yang Mulia dan keluarga serta Bhumi Mataram bersama rakyatnya...”
“Tunggu Eyang, sebagai tanda saya tidak melupakan budi Eyang, terimalah kalung ini sebagai kenang-kenangan...” Raja Mataram tanggalkan kalung emas besar bertabur permata lalu diulurkan pada si orang tua.
Dhana Padmasutra tersenyum. “Yang Mulia, niatmu ingin membalas budi sungguh sangat terpuji. Tapi bukan untuk imbalan itu saya datang menemui Yang Mulia. Selain itu, di alam saya, perhiasan luar biasa mahal seperti itu tidak ada kegunaannya. Maafkan kalau saya menolak...” Sambil bicara Dhana Padmasutra gerakkan tangan kanannya. Kalung yang berada dalam pegangan Sri Maharaja tahu-tahu sudah menggantung kembali di lehernya.
Wajah Rakai Kayuwangi tampak agak berubah. Namun cepat-cepat dia membungkuk hormat. Ketika dia meluruskan tubuh kembali orang tua berwajah jernih itu tidak ada lagi di hadapannya. Sang Raja menarik nafas dalam. Tiba-tiba tongkat kayu yang dipegangnya bergetar lalu bergerak ke samping. Sesuai petunjuk si orang tua Raja Mataram mengikuti gerakan tongkat lalu melangkah ke arah mana tongkat kayu itu membawanya.
Gerakan ke dua kakinya terasa sangat ringan. Walau cuma melangkah biasa namun dalam waktu singkat dia sudah berjalan puluhan langkah. Tongkat kayu menuntunnya masuk kembali ke bagian barat rimba belantara yang sebelumnya telah didatangi dan diselidiki.
Getaran pada tongkat kayu semakin keras. Sepasang kaki Sri Maharaja Rakai Kayuwangi tidak lagi menginjak tanah. Dia seolah terbang. Pandangan mata membesar, dada berdebar ketika tidak berapa jauh di depan sana dia melihat tumpukan batu hitam bersusun rapi membentuk lingkaran mulut sumur setinggi pinggang.
“Aku yakin, inilah sumur keramat yang disebut Sumur Api. Tapi mengapa tidak ada apinya? Heran, aku yakin tadi telah berada di sekitar tempat ini. Tapi mengapa sama sekali tidak melihat sumur itu.” Membatin Sri Maharaja.
Seperti diriwayatkan dalam serial Satria Lonceng Dewa buku pertama berjudul Perawan Sumur Api, pada masa itu sumur batu ini diketahui memancarkan cahaya terang merah karena di dasar sumur ada api besar menyala. Saat itu nyala api tak ada lagi namun Sri Maharaja dapat merasakan hawa angker yang menjalar di udara datang dari arah sumur.
Hanya tinggal beberapa langkah lagi dari samping sumur batu mendadak tanah bergetar. Di langit siang terang benderang ada kilat menyambar lalu menyusul suara gemuruh seperti suara geluduk. Tiba-tiba dari dalam tanah mencuat delapan larik cahaya merah. Mula-mula melesat lurus ke udara lalu bergerak patah menyambar ke arah Sri Maharaja Mataram!
SRI MAHARAJA Mataram ingat akan ucapan Eyang Dhana Padmasutra. Bahaya besar yang dikatakan mengintai kini muncul sudah memperlihatkan ujud. Secepat kilat Rakai Kayuwangi jatuhkan diri ke tanah. Dia tidak berani menangkis atau balas menyerang. Delapan cahaya merah lewat dua jengkal di atas tubuhnya. Namun setengah jalan berbalik dan kembali menyambar ke arah sang Raja yang saat itu tengah berusaha berdiri.
Kali ini Rakai Kayuwangi tidak tinggal diam. Tangan kiri dihantamkan ke depan melepas pukulan sakti bernama Payung Dewa Mengguncang Badai. Seumur hidup ini adalah kali ke dua Raja Mataram mengeluarkan pukulan sakti tersebut. Yang pertama kali ketika dia menghadapi beberapa orang tokoh pemberontak dari selatan yang berhasil menyerbu masuk ke dalam Istana beberapa tahun lalu. Kehebatan ilmu pukulan ini memang bukan alang kepalang. Cahaya ungu berkiblat menyerupai payung raksasa mengembang.
Delapan cahaya merah bermentalan ke udara namun hanya sesaat. Di lain kejap delapan cahaya itu menukik ke bawah, memancarkan pijaran sinar menyilaukan pertanda kekuatan yang ada di dalamnya kini berlipat ganda! Kejut Sri Maharaja Mataram bukan olah-olah. Sulit dia mempercayai pukulan saktinya tadi tidak sanggup memusnahkan delapan cahaya merah. Namun sang Raja tidak bisa berpikir panjang karena saat itu delapan cahaya merah datang menyerbu ke arahnya.
Sadar kalau saat itu dia memegang tongkat kayu pemberian Eyang Dhana Padmasutra maka Raja Mataram alirkan seluruh kekuatan tenaga dalam dan hawa sakti ke dalam tongkat hingga tongkat kayu memancarkan cahaya merah laksana bara menyala! Tidak tunggu lebih lama sang Raja segera sapukan tongkat di tangan kanannya ke udara, ke arah datangnya serangan delapan cahaya merah! Sinar merah raksasa berkelebat ke udara! Menghantam delapan larik sinar merah.
Delapan letusan dahsyat menggelegar dalam rimba belantara. Tumpukan bebatuan yang membentuk mulut sumur mental, banyak yang hancur berkeping-keping. Tanah terbelah di beberapa tempat. Langit seolah hendak runtuh. Beberapa pohon bertumbangan dengan ranting dan dedaunan hangus menghitam. Kabut kelabu entah dari mana datangnya menggantung di tempat itu.
Sosok Raja Mataram jatuh terbanting di tanah. Walau tulang punggung serasa hancur dan dada laksana terpanggang namun dia masih mampu berdiri menyaksikan bagaimana delapan cahaya merah terpental memencar kian kemari lalu menyatu dan laksana tombak raksasa menghunjam lenyap masuk ke dalam tanah. Rakai Kayuwangi menarik nafas lega. Dia menyangka serangan kekuatan jahat telah berhasil dimusnahkan.
“Blaarr!” Mendadak suara letusan dahsyat kembali menggelegar di tempat itu.
Rakai Kayuwangi tersentak kaget dan keluarkan seruan tertahan ketika didahului teriakan-teriakan menggidikkan dari dalam tanah mencuat keluar delapan mahluk dahsyat yang hanya mengenakan cawat hitam Kecil. Mahluk ini mulai dari ujung rambut sampai ke kaki berwarna merah. Sepasang mata membelalak putih semua. Di kening ada satu benjolan besar berwarna merah pekat mengepulkan asap menebar bau busuk. Rakai Kayuwangi memperhatikan mahluk ini hanya mempunyai empat jari tangan. Jari tengah tidak ada sama sekali. Sepuluh kuku jari kaki mencuat panjang merah seperti cakar burung elang.
“Dewa Maha Agung. Apakah ini mahluk yang bernama Delapan Sukma Merah...”
Tiba-tiba delapan mahluk merah keluarkan pekik keras. Lalu sambil tertawa haha-hihi mereka menebar membentuk lingkaran dan mengurung Rakai Kayuwangi di tengah-tengah.
“Rampas tongkat!”
Empat mahluk merah berteriak. Empat mahluk lainnya berseru. “Rampas nyawa!”
“Kreekkk!” Enam belas kuku jari tangan merah keluarkan suara berkeretekan lalu mencuat panjang seperti clurit kecil, memancarkan cahaya merah pekat menggidikkan. Delapan mahluk merah menerjang. Empat pasang tangan berjari empat berusaha merampas tongkat sedang empat pasang tangan lainnya menyambar ke mata, leher, dada dan perut.
Raja Mataram Rakai Kayuwangi sadar, dalam keadaan punggung dan dada masih mendenyut sakit, dia hanya memiliki satu pilihan. Jika ingin menyelamatkan diri maka kemungkinan tongkat kayu yang diberikan Eyang Dhana Padmasutra akan kena dirampas empat mahluk merah. Sebaliknya kalau dia harus menyelamatkan tongkat maka muka atau leher, mungkin juga dada atau perutnya akan jebol disambar cakaran jari-jari berkuku panjang merah.
Sang Raja memilih menyelamatkan tongkat kayu ketimbang selamatkan diri. Tongkat diputar di depan tubuh hingga mengeluarkan suara mengaung lalu set! Selagi delapan mahluk merah mundur dan menunda serangan, Rakai Kayuwangi selipkan tongkat di pinggang sebelah depan lalu dua tangan sekaligus melepas pukulan Dewa Kembar Membalik Gunung!
Dua cahaya hijau kebiruan berkiblat disertai suara menggemuruh seperti gunung runtuh. Delapan mahluk merah terkesiap kaget. Tubuh bergoncang keras. Mereka berteriak keras sambil tusukkan empat jari tangan kanan ke atas. Kabut kelabu yang sejak tadi menggantung di udara bergerak turun menghadang dua cahaya hijau biru dua pukulan sakti yang dilepaskan Raja Mataram.
“Tembus!” Delapan mahluk berteriak berbarengan.
“Blaarr! Blaarr!”
Ternyata dua pukulan Rakai Kayuwangi tidak sanggup menahan hantaman kabut kelabu yang dijadikan senjata oleh delapan mahluk aneh. Begitu dua larik cahaya hijau biru musnah delapan mahluk ini kembali berteriak.
“Rampas tongkat!”
“Rampas nyawa!”
“Breett!” Empat jari tangan berkuku panjang salah satu mahluk merobek dada pakaian Rakai Kayuwangi, menimbulkan luka panjang, memutus kalung besar. Saat itu juga Raja Mataram ini merasakan tubuhnya menggigil diserang hawa luar biasa dingin. Sepasang lutut goyah. Dua kaki terjajar ke belakang.
“Rampas tongkat!”
“Rampas nyawa!”
Dua tangan menyambar ke pinggang sebelah depan di mana terselip tongkat kayu, tiga lainnya melesat ke kepala, wajah dan leher Sri Maharaja Mataram. Hanya beberapa ketika lagi tongkat kayu akan dapat dirampas dan muka serta leher akan hancur jebol mengerikan tiba-tiba di telinga Raja Mataram mengiang suara orang tua alam roh Dhana Padmasutra.
“Bilamana bahaya datang tidak terelakkan, robahlah cara memegang tongkat. Ujung yang menempel di tanah pegang sebagai gagang. Sebaliknya gagang ditukikkan ke bawah hingga menyentuh tanah. Maka Yang Maha Kuasa akan melindungi Yang Mulia...”
Rakai Kayu Wangi tersentak. Mengapa dia tidak ingat dari tadi petunjuk orang tua yang dikirimkan Para Dewa untuk menolongnya itu. Secepat kilat Raja Mataram cabut tongkat yang terselip di pinggang. Ujung yang kecil dipegang sedang ujung yang biasa menjadi gagang pegangan ditusukkan ke tanah. Pada waktu yang bersamaan salah seorang dari empat mahluk merah yang berusaha merampas tongkat berhasil mencekal pertengahan tongkat. Namun di saat itu pula gagang tongkat telah menyentuh tanah.
“Blaarr!” Letusan keras menggelegar. Sosok mahluk merah yang memegang tombak keluarkan jeritan menggidikkan, tubuh mencelat ke udara dalam keadaan tercabik-cabik lalu berubah jadi asap dan lenyap dari pemandangan. Dua temannya menggembor marah. Segera menyerang Rakai Kayuwangi.
Raja Mataram dengan penuh percaya diri gebukkan tongkat. Sekali menghantam kepala mahluk merah di samping kanan. Pukulan kedua menghajar bahu mahluk merah di sebelah kanan. Seperti kawannya tadi dua mahluk merah menjerit setinggi langit. Yang kena gebuk kepalanya meledak dengan mengeluarkan suara menggelegar lalu hancur berkeping-keping, sirna setelah lebih dulu jadi asap. Yang dihantam bahunya meraung dahsyat lalu suara raungan lenyap begitu tubuhnya amblas masuk ke dalam tanah!
Lima mahluk merah yang masih hidup langsung jatuhkan diri duduk bersila di tanah. Lima pasang mata putih membusat keluar. Wajah berubah menjadi kuning. Tapi benjolan besar di kening tetap masih berwarna merah dan mengepulkan asap. Mereka tampak ketakutan begitu melihat Raja Mataram mendatangi sambil melintangkan tongkat kayu di atas kepala. Terjadi keanehan. Tubuh bagian atas masih bisa bergerak sementara pinggang ke bawah berubah lumpuh! Ke limanya membungkuk berulang kali tanda minta diampuni. Walau takut setengah mati tapi mereka tidak mampu melarikan diri!
“Aku akan ampuni kalian berlima. Asal memberi tahu kalian ini siapa sebenarnya. Siapa yang mengirim kalian untuk membunuhku dan merampas tongkatl Apa kalian ikut mendatangkan bencana di Mataram malam tadi!”
Tidak ada satupun dari kelima mahluk merah membuka mulut keluarkan jawaban. Mereka terus saja membungkuk-bungkukkan tubuh.
“Bicara! Atau aku gebuk kalian semua!” Hardik Raja Mataram mengancam. Tongkat di tangan kanan diangkat ke atas, siap mengemplang kepala lima mahluk yang duduk menjelepok di tanah di hadapannya. Tiba-tiba ke lima mahluk merah pukulkan tangan kanan ke kening masing-masing yang ada benjolan merah.
“Praakkk!”
Lima mahluk merah terkapar di tanah dengan kepala rengkah. Kabut kelabu lenyap. Raja Mataram berulang kali mengucap menyebut nama Yang Maha Kuasa. Dia bermaksud hendak memeriksa lima mayat mahluk aneh, namun tiba-tiba lima sosok merah itu terangkat ke atas lalu hancur berkeping-keping, berubah jadi asap dan lenyap!
Raja Mataram berulang kali menyeru nama Yang Maha Kuasa. Tiba-tiba tongkat kayu yang dipegang bergetar keras. Tubuh rakai Kayuwangi terangkat ke udara, melayang sebentar lalu melesat masuk ke dalam sumur batu. Sumur yang pernah dikenal dengan sebutan Sumur Api di mana beberapa tahun silam Ananthawuri perawan suci pilihan Para Dewa ibunda dari Mimba Purana dan Dirga Purana pernah tercebur masuk ketika dikejar oleh anak buah Arwah Muka Hijau yaitu Setunggul Langit dan Setunggul Bumi.
(Baca serial Kesatria Lonceng Dewa buku pertama berjudul Perawan Sumur Api karangan Bastian Tito)
Tanpa diketahui oleh Raja Mataram, begitu tubuhnya lenyap masuk ke dalam Sumur Api yang telah padam, seratus jarum hitam melesat keluar dari dalam tanah lalu menyusul masuk ke dalam sumur! Begitu seratus jarum hitam masuk ke dalam sumur, mendadak dari arah timur rimba belantara bertiup angin kencang. Pada saat angin dan tumpukan batu yang membentuk bibir sumur saling bersentuhan, cahaya putih berpijar.
Saat itu juga sumur batu lenyap. Di tempat itu kini terlihat satu jurang sangat dalam. Di sekelilingnya muncul tujuh lobang sebesar kubangan kerbau. Begitulah keadaan akhir, Sumur Api seperti yang diriwayatkan dalam Mimba Purana Serial Kesatria Lonceng Dewa buku ke empat berjudul Dewi Tangan Jerangkong
SRI MAHARAJA Rakai Kayuwangi Lokapala terheran-heran ketika dapatkan dirinya berada di ujung satu pedataran pasir berwarna kuning. Di kejauhan tampak sang surya memancarkan cahaya terang benderang namun tidak terasa hawa panas menyengat jangat, sebaliknya malah mengantar udara sejuk.
“Dewa Agung, bagaimana mungkin kalau bukan Kau yang punya kuasa...” Berkata Rakai Kayuwangi dalam hati. Dia sadar betul kalau saat itu berada di dasar sumur, mungkin juga di dalam tanah entah pada lapisan ke berapa. Tapi mengapa ada pedataran pasir dan seumur hidup baru sekali itu dia melihat pasir berwarna kuning laksana emas. Lalu bagaimana mungkin ada matahari yang sinarnya terang benderang namun menebar hawa sejuk? Lalu dia melihat lagi beberapa keanehan.
Di kejauhan, di tengah pedataran pasir kuning tampak sebuah pohon sangat tinggi, tidak berdaun tidak beranting dan hanya memiliki satu cabang menghadap ke timur yaitu ke arah sang surya. Angin bertiup ke arah Rakai Kayuwangi. Raja Mataram ini mencium bau harum semerbak berasal dari pohon tinggi bercabang tunggal. Dia menatap kembali ke arah pohon. Saat itulah sang Raja melengak terkejut.
“Tadi aku tidak melihat sosok itu. Bagaimana kini tahu-tahu muncul sejelas aku melihat tangan sendiri?”
Sambil memegang tongkat erat-erat Rakai Kayuwangi melangkah cepat ke arah pohon bercabang tunggal. Pada pertengahan cabang terlihat duduk bersila seorang anak lelaki berusia sekitar dua belas tahun. Anak ini mengenakan pakaian hitam terbuat dari kain kasar sederhana, berkasut kulit. Wajah tampan dihias alis tebal, mata bening dan bibir merah. Samar-samar tampak cahaya kuning aneh menyelubungi tubuh anak itu. Kalau saja Raja Mataram tidak memiliki ilmu kesaktian tinggi, dia tidak akan mampu melihat cahaya kuning ini. Maka sang Raja mempercepat langkah.
“Walau hanya bertemu satu kali beberapa tahun lalu, aku yakin anak di atas cabang pohon adalah Mimba Purana. Kesatria penyelamat Bhumi Mataram berjuluk Kesatria Lonceng Dewa. Terima kasih Dewa Agung. Kau akhirnya mempertemukan saya dengan anak itu. Terima kasih Eyang Dhana Padmasutra...”
Tiba-tiba anak lelaki di atas cabang pohon berdiri. Tangan kanan di angkat, telapak dikembang. Mulut berseru. “Yang Mulia! Berhentilah melangkah. Jangan beranjak sebelum saya memberi tanda. Maafkan saya karena telah berani memerintah Raja Mataram!”
Rakai Kayuwangi hentikan langkah. Saat itulah di atas kepalanya melesat puluhan benda hitam berpijar. Itulah seratus jarum hitam yang menyusul masuk ke dalam sumur. Seratus jarum kemudian berubah menjadi seratus tiang batu yang besarnya sepemeluk tangan dan tinggi mencapai empat tombak, menyamai ketinggian pohon bercabang tunggal. Seratus tiang batu menancap di pedataran mengelilingi pohon. Saat itu Rakai Kayuwangi mendengar suara-suara pekik jerit riuh sekali, aneh menggidikkan. Pedataran pasir bergetar dan telinganya berdenging sakit.
Namun dia sama sekali tidak melihat mahluk apa yang menjerit dan berada di mana. Kalau di pedataran Raja Mataram melihat seratus batu tinggi hitam mengeliling pohon, maka di atas cabang pohon, anak lelaki berusia dua belas tahun bukannya melihat seratus tiang batu tetapi melihat seratus mahluk tinggi hitam bugil berperut buncit mengerikan. Semua berkepala botak, bermata merah besar, di kepala ada sebuah cula. Lidah panjang luar biasa, setiap dijulurkan bisa menyentuh pasir pedataran. Sepuluh jari tangan memiliki kuku berwarna merah.
“Puluhan tiang batu hitam... Apakah ini yang jadi penyebab Mimba Purana melarangku melanjutkan langkah?” pikir Raja Mataram.
Anak di atas cabang pohon gerakkan tangan kanan. Dari telapak yang terkembang keluar sinar kuning menyilaukan, menyambar berputar ke arah seratus tiang batu tinggi hitam. “Seratus Jin Perut Bumi!” Anak di atas pohon beseru lantang. “Aku Mimba Purana tidak akan beranjak dari tempatku berdiri. Kalian tidak akan bergerak dari tempat kalian tegak! Tidak ada di antara kita yang akan mulai melakukan kekerasan!”
Rakai Kayuwangi merasa heran. Tidak tahu pada siapa anak di atas pohon bicara. Seratus Jin Perut Bumi?! Dia tidak melihat mahluk apapun kecuali seratus tiang batu tinggi hitam. Rakai Kayuwangi dikejutkan oleh suara menggemuruh yang menggetarkan pedataran pasir. Lalu terdengar suara membahana diucap seratus mahluk yang tidak mampu dilihatnya.
“Mimba Purana! Kami akan memanggangmu sampai menjadi debu!”
“Seratus Jin Perut Bumi! Kalian tidak memandang sebelah mata pada maksud baikku! Aku tahu kalian diperalat! Aku masih memberi kesempatan!”
Jawaban yang terdengar adalah suara menggembor dahsyat. Rakai Kayuwangi bersurut sampai beberapa langkah ketika melihat ratusan larik sinar merah menyembur dari seratus tiang batu lalu melesat ke arah pohon di mana anak lelaki berusia dua belas tahun berdiri di atas cabang tunggal.
“Wuss! Wusss!” Pohon tinggi besar tenggelam dalam kobaran api berwarna merah bercampur biru. Hawa panasnya membuat Rakai Kayuwangi terpaksa melompat menjauh.
“Satria Lonceng Dewa!” Raja Mataram berteriak karena saat itu dia tidak dapat lagi melihat anak di atas cabang pohon. Dia merasa sangat kawatir kalau terjadi sesuatu dengan anak lelaki bernama Mimba Purana itu. Karena sesuai petunjuk Eyang Dhana Padmasutra anak itu adalah kunci petunjuk selanjutnya bagi keselamatan Mataram.
Seratus Jin Perut Bumi! Di hadapannya ada seratus tiang batu. Apakah ini ujud mahluk gaib itu? Karena merasa punya kewajiban melindungi anak di atas pohon maka tidak pikir panjang lagi Rakai Kayuwangi segera sapukan tongkat di tangan kanan ke arah tiang-tiang batu.
“Wuttt!” Cahaya merah bertabur menebar hawa panas.
“Dess! Dess!” Raja Mataram menjerit keras ketika tubuhnya terpental oleh hantaman hawa panas yang berbaiik menyerangnya. Pakaian mengepulkan asap. Tongkat hampir terlepas. Tiba-tiba suara jerit pekik yang tadi mereda kini kembali menggelegar.
Rakai Kayuwangi melihat ratusan tiang batu hitam yang mengelilingi pohon di tengah pedataran berubah ujud menjadi mahluk mengerikan. Tubuh bugil buncit dan hitam. Kepala botak bercula. Seratus lidah menjulur melesat ke arahnya. Puluhan larik cahaya merah panas datang menggulung.
“Dewa Bathara Agung! Saya pasrah menerima kematian jika ini memang kehendakMu. Permohonan saya yang terakhir, selamatkan keluarga, kerajaan, para pengikut dan rakyat Mataram!”
Sri Maharaja Mataram berseru keras karena sadar tidak mampu menyelamatkan diri lagi. Tubuh terhuyung ke belakang lalu jatuh terduduk di tanah. Tangan kanan masih memegang tongkat namun keadaannya seperti lumpuh tak mampu digerakkan. Rakai Kayuwangi berusaha pergunakan tangan kiri untuk mencabut keris di belakang pinggang. Namun salah satu lidah mahluk hitam bugil menggebuk bahu kirinya hingga sang Raja terbanting ke tanah. Kulit bahu hangus melepuh! Di sebelah dalam daging dan tulang serasa remuk!
Sekejapan lagi sekujur tubuh Raja Mataram akan lumat dan gosong dilanda serangan puluhan lidah dan cahaya merah panas, tiba-tiba terdengar bahana suara lonceng yang agaknya bukan lonceng biasa tetapi merupakan satu lonceng raksasa yang seolah menggantung di udara. Langit di atas kepala sang Raja tertutup cahaya kuning. Lalu cahaya ini menerpa ke bawah. Pedataran laksana disergap badai. Pasir kuning menggebubu ke udara.
Ketika sesaat pandangan mata terhalang tiba-tiba ada seseorang merangkul pinggang Rakai Kayuwangi, lalu laksana terbang membawanya pergi dari tempat itu. Sebelum pedataran lenyap dari pandangan matanya, Rakai Kayuwangi masih bisa melihat bagaimana seratus mahluk seram berubah menjadi tiang batu kembali lalu melesak masuk ke dalam pedataran pasir! Suara jerit pekik menggelegar di Seantero pedataran. Namun lenyap ditelan bahana suara lonceng raksasa yang tidak terlihat ujud dan entah berada di mana.
Raja Mataram berusaha melihat dan mencari tahu siapa orang yang menyelamatkan lalu melarikannya laksana terbang membelakangi sinar sang surya. Namun dia tidak melihat apa-apa kecuali cahaya kuning benderang. Selain itu pemandangan matanya perlahan-lahan berubah pudar. Lalu sang Raja terkulai tak sadarkan diri. Ini adalah akibat cairan dari lidah panjang mahluk hitam bugil yang melukai bahu kirinya. Ternyata cairan itu mengandung racun jahat!
SRI MAHARAJA Rakai Kayuwangi tidak tahu pasti apa yang telah terjadi atas dirinya. Yang masih diingatnya terakhir sekali adalah seseorang membawanya lari laksana terbang dan dia hanya melihat satu cahaya kuning. Ketika perlahan-lahan kesadarannya mulai pulih, memandang berkeliling dia melihat sosok anak lelaki itu, duduk bersila. Rambut hitam menjulai panjang setengkuk. Wajah tampan dan sepasang mata bening dibawah alis tebal hitam menatap ke arahnya.
Walau agak tersuruk tapi Sri Maharaja dapat melihat kalau ada sebentuk anting emas mencantel di daun telinga kanan anak lelaki ini. Kemudian, jika dia menatap dan memusatkan perhatian agak lama maka dia melihat ada bayangan cahaya kuning menyelubungi tubuh si anak. Rakai Kayuwangi merasa jaraknya dengan anak lelaki itu hanya terpaut sepejangkauan tangan, dekat sekali. Namun ketika dia mengulurkan tangan kanan berusaha hendak menjangkau, dia tidak berhasil menyentuh tubuh anak itu. Bocah luar biasa!
“Satria Lonceng Dewa...”
Anak yang disapa tersenyum lalu membungkuk tiga kali lalu berkata. “Sri Maharaja, penghormatan saya untuk Yang Mulia. Nama saya Mimba Purana. Mohon memanggil saya dengan nama itu...”
Suara yang terdengar adalah suara anak lelaki usia dua belas tahun. Namun suara itu begitu jernih dan penuh wibawa. Sadar kalau saat itu dia dalam keadaan tersandar ke dinding, Rakai Kayuwangi cepat luruskan tubuh, lipat kedua kaki dan duduk bersila. Saat itulah dia juga mengetahui kalau ada dua buah benda tergeletak di pangkuannya. Ketika menunduk memperhatikan dia melihat sebilah keris telanjang memancarkan cahaya putih keabu-abuan. Keris Widuri Bulan. Keris miliknya sendiri.
Sesuai dengan namanya senjata bertuah itu konon terbuat dari gumpalan besar batu Widuri Bulan yang secara gaib melayang jatuh ke bumi setelah seorang kakek sakti melakukan tapa selama tujuh purnama. Si kakek kemudian menyerahkan batu itu kepada Sri Maharaja Mataram yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun. Lalu seorang tokoh istana meminta seorang sakti di Jawa sebelah timur untuk menempa batu menjadi sebilah keris setelah dicampur dengan beberapa jenis logam berkekuatan gaib.
Di samping keris, melintang sebatang tongkat kayu. Itulah tongkat pemberian Eyang Dhana Padmasutra. Dia merasa ada sesuatu di bahu kirinya. Ketika diperhatikan di bahu itu menempel sehelai daun keladi yang warna hijaunya telah berubah menjadi hitam. Rakai Kayuwangi mengingat-ingat. Dia berkelahi melawan puluhan mahluk ganas hitam telanjang berkepala botak bercula di satu pedataran pasir.
Dalam keadaan terdesak dia berusaha menyelamatkan diri dengan mencabut keris itu. Lalu lidah salah satu mahluk menggebuk bahu kirinya. Ketika hampir menemui ajal tiba-tiba ada seseorang menyelamatkan dan menerbangkan dirinya ke langit. Sri Maharaja angkat daun keladi yang menempel di bahu kirinya. Kulit bahu itu tampak kemerah-merahan namun tidak lagi hangus melepuh. Sang Raja menatap ke arah anak lelaki di hadapannya. Dalam hati berkata.
“Hanya selembar daun keladi hutan. Sungguh anak pilihan Para Dewa ini sakti luar biasa.”
“Mimba Purana, saya percaya kaulah yang telah menyelamatkan diri saya dari puluhan mahluk seram itu. Saya percaya engkau pula yang membawa saya ke tempat ini dan mengobati luka parah di bahu kiri saya. Untuk itu saya berterima kasih...” Tanpa segan-segan Raja Mataram ini lalu rundukkan tubuh.
Anak lelaki bernama Mimba Purana yang tadi dipanggil dengan julukan Satria Lonceng Dewa tampak jadi kikuk dan beringsut ke belakang. Buru-buru dia berkata. “Yang Mulia, saya tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Semua terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa. Mohon tidak menghormati saya secara berlebihan. Menurut usia, saya seharusnya seumur dengan putera Yang Mulia.”
Raja Mataram anggukkan kepala berulang kali. Berdasarkan riwayat yang diketahuinya dari para cerdik pandai dan para tokoh di Istana, dia mengetahui kalau anak lelaki yang duduk bersila di hadapannya itu sebenarnya baru berusia dua belas bulan. Namun anak keramat yang terlahir dari seorang ibu yang tetap perawan ini, atas kehendak Para Dewa selain memiliki ilmu kesaktian juga memiliki usia yang satu bulan dirinya sama dengan usia satu tahun anak biasa.
(Baca serial Mimba Purana Satria Lonceng Dewa)
“Saya mengerti,” kata Raja Mataram pula. “Mulai saat ini saya akan memanggilmu dengan sebutan Ananda.”
“Yang Mulia, satu kehormatan yang terhingga kalau Yang Mulia memanggil saya sebagai anak...”
“Tapi saya tetap menghaturkan terima kasih pada Ananda. Beberapa tahun lalu kita pernah bertemu. Saat itu Ananda menyelamatkan Kerajaan dari perbuatan jahat orang-orang di selatan. Sekarang kembali Bhumi Mataram digoncang malapetaka. Jauh lebih hebat dari yang terjadi sebelumnya. Banjir besar yang airnya berwarna semerah darah dan menebar bau busuk membuat Bhumi Mataram porak poranda hampir sama rata dengan tanah. Ratusan bahkan ribuan rakyat tidak berdosa termasuk ternak menemui ajal. Yang masih hidup diserang penyakit aneh. Kaki lumpuh, di kepala ada delapan benjolan berwarna merah seperti yang Ananda bisa lihat sendiri di kening saya. Ketika saya bertapa di puncak Bukit Batu Hangus memohon keselamatan bagi para pengikut, keluarga saya dan seluruh rakyat Mataram, saya mendapat petunjuk dari Sang Hyang Bathara Agung bahwa saya harus mencari dan menemui Ananda. Saya tidak tahu di mana harus mencari. Namun saya tahu riwayat Sumur Api. Saya memasuki rimba belantara tak jauh dari Kali Dengkeng. Namun saya tersesat dan terputar-putar di dalam hutan. Ada satu kekuatan gaib menghalangi saya dalam mencari Ananda...”
“Kekuatan penghalang itu ditimbulkan oleh mahluk bernama Delapan Sukma Merah... Kekuatan itu pula yang hendak mencelakai Yang Mulia dengan mempergunakan delapan mahluk merah jejadian...” Berkata Mimba Purana.
“Ananda rupanya sudah tahu peristiwa itu,” kata Sri Maharaja Mataram. Dia tidak merasa heran karena tahu Mimba Purana bukanlah anak sembarangan. “Ananda, saya ingat sekarang. Delapan Sukma Merah. Kata-kata itulah yang pernah diucapkan oleh mahluk roh Sedayu Galiwardhana. Delapan Sukma Merah penguasa tujuh samudera, tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi. Ananda, apakah kau tahu siapa adanya mahluk itu?”
“Yang Mulia, harap teruskan dulu cerita Yang Mulia,” jawab Mimba Purana.
“Para Dewa Maha Pengasih. Seorang kakek bernama Dhana Padmasutra muncul dari alam roh...” Sri Maharaja meneruskan ucapan setelah terdiam sesaat.
Mimba Purana luruskan tubuhnya. Lalu berkata. “Orang tua itu adalah sahabat dan sudah dianggap kakek sendiri oleh Ibunda saya...”
“Sungguh besar rahmat Yang Maha Kuasa...” ucap Sri Maharaja dengan agak tercengang.
“Saya hanya mendengar cerita Ibunda. Saya sendiri belum pernah bertemu dengan kakek itu. Yang Mulia lebih beruntung dari saya, telah menemui kakek Ibunda saya...” Berkata anak lelaki bernama Mimba Purana.
Sri Maharaja terdiam sejurus mendengar ucapan Mimba Purana. Lalu meneruskan penuturan. “Eyang Dhana memberikan tongkat kayu miliknya pada saya. Katanya tongkat ini akan menjadi penuntun untuk mencari dan menemui diri Ananda. Orang tua itu juga berpesan, setelah kita bertemu maka tongkat ini harus saya serahkan pada Ananda karena menurut Eyang Dhana tongkat ini sebenarnya adalah milik Ibunda Ananda yang dipinjam...”
Sri Maharaja beringsut mendekati anak lelaki di hadapannya untuk menyerahkan tongkat kayu. Si anak menatap tongkat itu sebentar lalu berkata. “Yang Mulia, mungkin tongkat itu akan lebih banyak manfaatnya jika tetap berada di tangan Yang Mulia. Mengapa tidak dipegang saja untuk sementara?”
“Ananda Mimba, saya berterima kasih atas kepercayaan dan perhatian Ananda. Namun begitu pesan Eyang Dhana, begitu pula yang harus saya lakukan. Ananda Mimba, terimalah tongkat ini...”
Anak lelaki berusia dua belas tahun itu akhirnya ulurkan tangan menerima tongkat. Sri Maharaja sendiri cepat-cepat mengambil Keris Widuri Bulan dari pangkuannya dan memasukkan ke dalam sarung yang masih terselip di belakang pinggang. Tanpa diketahui, dilihat ataupun disadari oleh Raja Mataram ketika Mimba Purana menerima tongkat, anak ini dengan kesaktiannya menyusupkan tongkat itu ke dalam tubuh Rakai Kayuwangi melalui lengan kanannya sementara yang dilihat sang Raja, tongkat yang diletakkan si anak di lantai di sisi kanannya hanyalah bayangan semata.
“Ananda, saya bersyukur Para Dewa telah mempertemukan saya dengan diri Ananda. Selanjutnya saya mohon petunjuk, apa yang harus saya lakukan.”
“Yang Mulia, apakah Yang Mulia telah menceritakan semua apa yang terjadi di Mataram?” Mimba Purana bertanya.
Sri Maharaja merenung sejenak sambil menatap wajah tampan anak lelaki di hadapannya. “Mungkin saya perlu memberi tahu dari asal muasal kejadian.” Berkata Sri Maharaja.
Lalu dia menceritakan riwayat pembuatan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi oleh Empu Semirang Biru. Keris lenyap dicuri mahluk jejadian yang menampilkan diri sebagai pertapa sakti dari Gunung Merbabu bernama Sedayu Galiwardhana. Raja Mataram juga menceritakan lenyapnya Empu Semirang beberapa waktu sebelum bencana melanda Kerajaan. Lalu perihal Raden Ageng Daksa yang ditemukan sudah menjadi mayat dengan tanda dua telapak tangan berjari empat di punggungnya.
“Ananda Mimba, itu semua yang bisa saya ceritakan padamu.” “Yang Mulia, saya menduga Yang Mulia belum menceritakan semua kejadian penting yang berlangsung di Mataram.” Berkata Mimba Purana.
Raja Mataram berpikir-pikir. Dia merasa telah menuturkan semua kejadian. Namun tiba-tiba dia ingat satu hal. “Ketika saya dan para tokoh Kerajaan mengadakan pertemuan di satu ruang rahasia di Istana, seorang penasehat saya yaitu perempuan berusia sekitar setengah abad bernama Ratu Randang telah kesusupan serangan aneh. Di dadanya tiba-tiba saja ada tanda dua telapak tangan berjari empat tanpa jari tengah...”
“Yang Mulia tahu, di mana sekarang beradanya Ratu Randang?”
“Dia minta izin untuk menemui Arwah Ketua. Mahluk alam gaib yang tinggal di sebuah Candi Miring untuk mencari keterangan serta petunjuk agar dapat menyelamatkan Kerajaan.” Sri Maharaja diam sebentar lalu bertanya. “Ananda, ada apa Ananda menanyakan pembantu saya itu?”
“Saya hanya ingin tahu agar tidak ada yang tertinggal di pikiran dan benak saya,” jawab si bocah yang dijuluki Satria Lonceng Dewa Pendekar Bhumi Mataram. “Yang Mulia, sekarang katakan apa yang bisa sama-sama kita lakukan untuk menyelamatkan Kerajaan dan rakyat Mataram.”
“Dengan Kuasa Yang Maha Kuasa. Saya ingin kami semua bisa keluar dari malapetaka yang mengerikan ini. Yang pertama sekali, bagaimana caranya rakyat dan semua mahluk hidup yang ada di Bhumi Mataram lepas dari kelumpuhan dan demam panas yang menyerang mereka. Lalu delapan benjolan merah agar bisa dilenyapkan dari kening mereka. Kemudian mohon sekali bantuan Ananda agar Keris Kanjeng Sepuh Pelangi bisa ditemukan kembali. Saya berharap Ananda bisa menolong...”
“Yang Mulia, saya bocah yang tidak punya kepandaian apa-apa. Apa lagi yang namanya kekuasaan. Tapi karena saya adalah anak Mataram, Ibunda saya juga orang Mataram maka saya merasa diri yang tidak berdaya ini ikut punya rasa pengabdian terhadap Yang Mulia dan Kerajaan. Jika Yang Mulia mengizinkan saya akan melakukan tapa untuk mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa...”
“Saya mengikut saja. Namun saat ini kita berpacu dengan waktu. Jika Ananda melakukan tapa sampai berhari-hari, semua orang, termasuk yang kini berada di Bukit Batu Hangus akan menemui ajal karena penyakit dan kelaparan...”
“Saya tahu apa Yang Mulia kawatirkan. Tapi satu tahun bagi kita manusia biasa, bisa saja hanya satu hari bagi Yang Maha Kuasa. Satu minggu bagi kita, bagi Yang Maha Kuasa bisa saja hanya sekejapan mata. Apakah Yang Mulia sudi menunggu sementara saya mulai bertapa?”
“Ananda, saya serahkan semuanya padamu. Saya akan membantu dengan doa,” jawab Sri Maharaja Rakai Kayuwangi lalu tanpa memejamkan mata dia susun sepuluh jari di atas kepala dan mulai memanjatkan doa.
Di hadapan Raja Mataram anak lelaki berusia dua belas tahun duduk bersila dengan khidmat. Mata dipejam, dua tangan disilang di atas dada. Bayangan cahaya kuning yang samar-samar membungkus sekujur tubuh Mimba Purana tampak memancar lebih terang. Dari ubun-ubun di kepalanya memancar satu cahaya kuning berbentuk garis lurus, menembus langit-langit batu. Itu garis batin hati nurani yang paling suci yang tengah coba bersentuh dengan kekuatan gaib dari Yang Maha Kuasa.
Tiba-tiba Raja Mataram yang tengah berdoa melihat larikan garis kuning lenyap. Cahaya terang yang membungkus sosok Mimba Purana juga sirna. Anak itu turunkan dua tangan dari atas dada, diletakkan di atas pangkuan, perlahan-lahan mata dibuka.
“Yang Mulia, saya baru saja menyelesaikan tapa dua puluh satu hari.” Berkata Mimba Purana Satria Lonceng Dewa.
“Ananda Mimba, sungguh luar biasa...” Ucap Raja Mataram sambil menurunkan kedua tangan yang tadi disusun di atas kepala.
“Di dalam tapa saya mendapat petunjuk bahwa pertolongan yang kita harapkan itu berada dalam sebuah ruangan keramat yang pintunya terkunci. Kunci pembuka pintu itu ada dua buah. Keduanya ada pada Yang Mulia...”
“Saya...? Saya merasa tidak pernah membawa atau memiliki dua buah kunci...” Kata Raja Mataram pula dengan heran sambil meraba-raba pakaiannya.
Untuk beberapa ketika si anak menatap wajah sang Raja. Air mukanya tampak meredup. Lalu dia berkata dengan suara perlahan. “Kunci yang dimaksudkan itu adalah dua jari tengah kedua tangan Yang Mulia. Dua jari tangan itu harus dipotong tepat pada pangkalnya...”
Kejut Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Lokapala bukan alang kepalang. Wajah berubah. Namun dia cepat menguasai diri lalu bertanya. “Ananda Mimba Purana. Tidak salahkah telinga saya mendengar?”
“Pertunjuk telah didapat. Kata telah diucapkan. Yang Mulia, saya minta maaf. Saya mohon Yang Mulia segera mencabut Keris Widuri Bulan. Yang Mulia harus memotong sendiri dua jari tengah Yang Mulia dengan keris itu...”
SRI MAHARAJA Rakai Kayuwangi terkesiap. Mata menatap lekat-lekat ke wajah anak lelaki dua belas tahun di hadapannya. Kalau tadi dia masih meragu dan bertanya apakah tidak salah mendengar ucapan maka kini keraguan itu serta merta lenyap malah berubah menjadi kecurigaan. Dia diminta si anak untuk memotong kedua jari tangan sebelah tengah dengan mempergunakan Keris Widuri Bulan.
Tentu saja sang Raja ingat akan peristiwa yang sudah-sudah. Raden Ageng Daksa menemui kematian dengan tanda dua telapak tanpa jari tengah di panggungnya. Ratu Randang diserang secara gaib oleh mahluk yang tidak kelihatan dan meninggalkan tanda dua telapak tangan lengkap dengan jari-jari namun tanpa jari tengah. Delapan mahluk merah yang hendak membunuhnya juga tidak memiliki jari tengah. Delapan Sukma Merah.
“Punya hubungan apa bocah ini dengan mahluk bernama Delapan Sukma Merah. Jangan-jangan... Dewa Agung, apakah saat ini saya benar-benar berhadapan dengan anak bernama Mimba Purana, berjuluk Satria Lonceng Dewa? Atau hanya jejadiannya yang hendak mencelakai diri saya? Menjebak hingga saya berubah menjadi mahluk celaka yang tidak punya jari tengah?!”
Selagi sang Raja berpikir menduga-duga penuh curiga seperti itu tiba-tiba ada suara mengiang di telinga kanannya. “Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Lokapala. Bocah jahat hendak menipumu. Dia bukan Satria Lonceng Dewa yang asli! Dialah mahluk biang racun penimbul bencana Malam Jahanam! Cabut keris sakti di pinggangmu sekarang juga! Bunuh dia dengan senjata itu! Jika dia mati maka dirimu, keluargamu, rakyat dan Kerajaan akan selamat dari malapetaka. Bunuh dia sekarang juga!”
“Pertunjuk Dewa Agung! Ini pasti petunjuk Yang Maha Kuasa!” ucap Rakai Kayuwangi dalam hati.
Sekujur tubuh menggeletar di aliri hawa amarah. Tidak menunggu lebih lama Raja Mataram ini segera cabut Keris Widuri Bulan. Sambil melompat keris sakti ditusukkan ke dada anak lelaki yang duduk tak bergeming dihadapannya. Gerakan yang dipergunakan adalah jurus bernama Kilat Menyabung Di Langit Mataram. Gerakannya luar biasa cepat dan disertai tenaga dalam penuh!
“Settt!” Raja Mataram melengak kaget. Keris Widuri Bulan jelas dan telak menusuk masuk ke dalam dada si bocah. Namun dia seperti merasa menusuk kapas yang lembut. Ketika anak yang hendak dibunuhnya itu tampak tersenyum, bergetarlah sekujur tubuh Rakai Kayuwangi, tengkuk serta merta menjadi dingini Dengan cepat Rakai Kayuwangi cabut keris yang menancap didada si anak. Tidak ada lobang bekas tusukan, tidak ada darah yang mengucur. Badan keris sampai ke ujung bersih sama sekali, tidak ada noda darah! Cahaya benderang putihnya sama sekali tidak redup!
Tiba-tiba Raja Mataram melihat ada titik putih muncul di permukaan kening Mimba Purana. Dengan cepat titik ini berubah besar dan astaga! Titik itu dengan cepat membentuk mata berwarna kuning. Mata ketigal Mata Dewal Lalu...
“Wuss!” Selarik sinar kuning melesat keluar dari mata di kening, menyambar ke arah Raja Mataram. Sinar menyilaukan itu lewat hanya satu jengkal di atas kepala. Sesaat kemudian terdengar suara jeritan, disusul suara gedebuk jatuhnya satu sosok ke lantai ruangan. Rakai Kayuwangi cepat memutar tubuh palingkan kepala.
Di lantai, sedikit tertutup oleh kepulan asap tipis hitam tergeletak sosok seorang tua berambut putih panjang mengenakan selempang kain putih. Di keningnya ada delapan benjolan merah. Raja Mataram ingat, dia pernah bertemu orang tua itu satu kali ketika masih berusia enam tahun. Namun dia masih bisa mengenali.
Si orang tua adalah pertapa sakti dari Gunung Merbabu bernama Sedayu Galiwardhana yang diketahuinya telah tewas terbunuh beberapa tahun silam. Tentu saja yang terlihat saat itu bukanlah jazad asli sang pertapa, melainkan ujud roh yang menampakkan diri sebagai manusia biasa.
(Mengenai siapa adanya Sedayu Galiwadhana. harap baca serial Mimba Purana Satria Lonceng Dewa karangan Bastian Tito)
“Eyang Sedayu Galiwardhana, saya tahu kau muncul dari alam roh. Berbuat kejahatan bukan maumu. Karenanya kembalilah ke alam sana dengan segala ketenteraman. Maafkan kalau saya telah berlaku kasar terhadap Eyang.”
Baru saja Mimba Purana selesai mengeluarkan ucapan, kepulan asap hitam lenyap. Bersamaan dengan itu sosok orang tua yang tergeletak di lantai ruangan batu bergerak bangun, duduk di lantai lalu bangkit berdiri. Dia menatap ke arah Sri Maharaja Mataram lalu berpaling pada Mimba Purana. Sepertinya ada yang hendak diucapkan. Namun mulut tetap terkancing sampai akhirnya sosok gaibnya melesat ke atas, menembus atap batu dan lenyap dari pemandangan.
“Ananda Mimba Purana...” Berkata Rakai Kayuwangi. “Orang tua tadi... menurut keterangan yang saya dengar dari Empu Semirang Biru, dialah yang telah mencuri Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Seharusnya tadi kita tanyai dulu dia...”
“Saya tahu Yang Mulia. Seperti kata saya tadi, dia berbuat kejahatan bukan kehendaknya. Ada yang menguasai dan mengendalikan rohnya. Saya tidak bisa berbuat banyak selain membiarkannya kembali ke alamnya. Mungkin saja dia akan kembali muncul melakukan kejahatan. Tapi jika Yang Maha Kuasa berkehendak lain maka hal itu tidak akan terjadi. Yang Mulia perlu menemuinya...”
Raja Mataram sadar. Cepat-cepat dia membungkuk. “Ananda, saya minta maaf. Saya telah tertipu. Ketika Ananda meminta saya memotong kedua jari tengah tangan saya, saya mendapat bisikan kalau...”
“Saya tahu Yang Mulia dan saya mengerti. Sekarang apakah Yang Mulia yakin bahwa diri saya bukan mahluk bocah jahat yang hendak menipu Yang Mulia? Apakah Yang Mulia masih merasa ragu untuk memotong kedua jari tengah Yang Mulia sebagaimana petunjuk yang saya dapat dalam tapa dua puluh satu hari tadi?”
Raja Mataram menatap Keris Widuri Bulan yang masih tergenggam di tangan kanannya. “Ananda, saat ini tidak ada lagi keraguan dalam diri saya. Jangankan memotong jari, demi keselamatan rakyat dan Kerajaan Mataram memenggal leherpun akan saya lakukan. Karena saya tahu semua ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa,” jawab Rakai Kayuwangi.
Lalu Raja Mataram ini letakkan tangan kiri di atas lantai batu. Lima jari dikembang. Keris Widuri Bulan pancarkan sinar terang ketika didekatkan ke pangkal jari tengah tangan kiri. Bibir digigit. Tangan kanan bergerak ke bawah dengan tekanan penuh.
“Crasss!”
DARAH menyembur begitu jari tengah tangan kiri putus habis di bagian pangkal! Potongan jari tengah tergeletak di lantai batu. Rakai Kayuwangi ingin berteriak akibat rasa sakit yang luar biasa. Namun dia kuatkan diri menahan sakit agar tidak sampai mengeluarkan jeritan hingga sekujur tubuh bergetar dan memercikkan keringat.
Dalam keadaan tangan kiri berlumuran dan masih mengucurkan darah dipindahkan Keris Widuri Bulan ke tangan kM. Kini tangan kanan diletakkan dan dikembangkan di lantai. Keris sakti berpijar terang-Bagian ujung yang tajam ditetakkan ke bawah, ditekan ke pangkal jari tengah tangan kanan.
“Crass!” Seperti keadaannya jari tangan kiri, jari tengah tangan kanan putus buntung! Darah mengucur deras. Rakai Kayuwangi menggigit bibir sendiri menahan sakit dan berusaha untuk tidak menjerit. Walau mampu menahan sakit dan tidak menjerit namun sepasang mata Rakai Kayuwangi tampak berkaca-kaca. Inilah satu pertanda bahwa dia memotong putus kedua jari tengahnya dengan segala kepasrahan dan ketegaran.
Sambil membungkukkan tubuh Raja Mataram keluarkan ucapan. “Wahai Yang Maha Kuasa, apa yang menjadi petunjukMu telah saya lakukan. Saya mohon selamatkan rakyat dan Kerajaan...”
“Yang Mulia, apa Yang Mulia ucapkan telah didengar oleh Yang Maha Kuasa. Sesungguhnya Yang Mulia telah berhasil melalui satu ujian yang sangat berat. Luruskan tubuh. Pandanglah baik-baik kedua tangan Yang Mulia. Tidak ada yang putus, tak ada yang berkurang pada diri Yang Mulia. Baik yang berupa daging, tulang ataupun cairan. Sesungguhnya Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan juga Maha Pengasih. Yang Maha Kuasa tidak akan pernah mencelakai ummatNya sendiri. Kecuali jika itu memang maunya sang ummat sendiri...”
Raja Mataram terdiam sesaat mendengar kata-kata Mimba Purana. Dia merasa aneh. Rasa sakit pada kedua tangannya yang seperti hendak meledakkan kepala tiba-tiba lenyap. Malah kini dia merasakan kesejukan di sekujur tubuh! Perlahan-lahan Rakai Kayuwangi luruskan tubuh dan angkat kepala. Pandangan mata diarahkan pada kedua tangan.
“Dewa Agungi Hyang Jagat Bathara!”
Di tangan itu tidak ada lagi noda darah. Tidak ada darah yang menyembur. Tidak ada jari yang putus buntungl Tidak ada daging dan tulang yang putusl Kedua jari tengah tangan kiri kanan masih utuh di tempatnya semula, diantara empat jari lainnya! Lalu buntungan tangan yang tadi jelas-jelas dipotongnya sendiri? Rakai Kayuwangi memandang ke lantai batu. Astaga! Di lantai di mana seharusnya tergeletak dua buntungan jari tengah kedua tangannya kini tergeletak dua potongan kayu!
“Dewa Maha Agung...”
Raja Mataram menatap ke arah anak lelaki yang duduk tenang di hadapannya malah tampak tersenyum. “Yang Mulia, Yang Maha Kuasa menguji kita manusia dengan berbagai cara. Kadang-kadang tidak masuk akal. Yang Maha Kuasa telah mendengar permohonan Yang Mulia. Ketika memohon Yang Mulia tidak mengatakan minta keselamatan bagi diri Yang Mulia ataupun keluarga Yang Mulia. Tapi memohon dan mementingkan keselamatan rakyat dan Kerajaan. Yang Mulia telah membuka dua kunci pintu ruangan keramat. Sekarang baru saya berani mengatakan apa yang harus kita lakukan.”
Raja Mataram rundukkan tubuh dan mengucapkan terima kasih berulang kali pada Yang Maha Kuasa dan pada anak lelaki di depannya. “Yang Mulia, petunjuk dalam tapa mengatakan pada saya bahwa Yang Mulia harus mencari Empat Mayat Aneh yang terkubur dalam sebuah makam. Makam itu terletak di sekitar Candi Gedong Pitu yang dibangun oleh Sri Maharaja Mataram para pendahulu Yang Mulia. Dari Empat Mayat Aneh itulah kelak Yang Mulia akan mampu mengetahui dan mencari jalan bagaimana menyelamatkan rakyat dan Kerajaan. Tentu saja menyelamatkan pula keluarga serta para pengikut yang setia dan Yang Mulia sendiri.”
“Terima kasih Ananda, saya tahu di mana letak Candi Gedong Pitu. Saya pernah satu kali diajak mendiang Ayahanda ke tempat itu. Mudah-mudahan saya masih ingat jalan ke situ.” Rakai Kayuwangi terdiam sejurus. Lalu bertanya. “Ananda, saat ini sebenarnya kita berada di mana?”
(Kawasan Candi Gedong Pitu terletak di desa Candi, kaki selatan Gunung Ungaran. Pada masa itu Raja-Raja Hindu di Jawa membangun tujuh candi agung. Itu sebabnya kawasan candi tersebut dinamakan Candi Gedong Pitu yang berarti Tujuh Bangunan Candi. Kemudian dibangun lagi dua buah candi baru dan sekarang kawasan tersebut dikenal dengan nama Candi Gedong Songo atau Sembilan Bangunan Candi)
“Yang Mulia, kita berada di bawah Pegunungan Dieng, pada lapisan tanah ke tiga...”
Sri Maharaja Mataram sampai ternganga mendengar ucapan Mimba Purana. Si anak tampak tenang-tenang saja. “Yang Mulia, satu hal perlu saya beritahu. Makam Empat Mayat Aneh itu tidak terletak di tanah sekitar Candi Gedong Pitu, di kaki selatan Gunung Ungaran. Tapi tergantung di udara. Yang Mulia harus mampu menurunkannya ke tanah lalu baru bisa menggali. Satu hal lagi, ada kesulitan lain. Makam yang tergantung di udara itu tidak mampu dilihat dengan mata kasat biasa...”
“Ananda, kalau begitu penjelasan Ananda apakah ada petunjuk lain yang bisa membantu saya menemukan makam empat mayat aneh itu. Ananda tahu, waktu yang ada sangat singkat...”
Mimba Purana mengangguk. Dua telapak tangan saling disatukan. Tak selang berapa lama dua tangan tampak memancarkan cahaya kuning. Lalu...
"Wuttt!" Sebuah benda melesat keluar diantara dua telapak tangan, berputar tiga kali di udara lalu melayang turun dan tersandar di dinding ruangan.
Sri Maharaja memperhatikan keberadaan benda itu dengan mata tak berkesip. Seumur hidup baru sekali ini dia melihat benda seperti itu. Berbentuk kuda, lengkap dengan kepala dan buntut tapi tidak berkaki. Kuda-kuda ini terbuat dari kajang bambu yang dianyam halus, berwarna hitam dengan sepasang mata coklat besar. Pada bagian leher melingkar seutas tali kulit. Pada leher itu pula tergantung seuntai giring-giring atau kerincingan perak dan terselip satu cemeti kecil.
“Ananda, benda apa ini? Seumur hidup baru sekali ini saya melihat yang seperti ini. Apa kuda jejadian, tapi mengapa tidak berkaki...”
“Yang Mulia, benda yang tersandar di dinding itu disebut Kuda Lumping. Tidak berasal dari alam kita. Tapi berasal dari alam delapan ratus tahun dimuka kita...”
Rakai Kayuwangi bertambah heran.
“Keberadaan Kuda Lumping itu adalah atas kehendak Yang Maha Kuasa. Kuda Lumping itu akan menjadi tunggangan Yang Mulia menuju Gunung Ungaran dan selanjutnya menjadi penghubung antara Yang Mulia dengan beberapa mahluk tertentu, manusia, bangsa jin dan mahluk dalam alam roh lainnya...”
Kening Sri Maharaja mengerenyit. “Kuda mainan, kuda mati, tidak berkaki. Bagaimana mungkin...”
Mimba Purana si bocah sakti berjuluk Satria Lonceng Dewa tertawa. Lalu berkata. “Bagi Yang Maha Kuasa tidak ada yang tidak mungkin. Tunggangi Kuda Lumping itu. Sangkutkan lingkaran tali di leher Yang Mulia. Dia tidak berkaki karena dia memang tidak berlari seperti kuda biasa. Pergunakan cemeti untuk memecut pinggulnya maka dia akan menerbangkan Yang Mulia secepat kilat menyambar. Bilamana Yang Mulia telah sampai di kawasan Candi Gedong Pitu, akan ada seseorang menemui Yang Mulia. Selanjutnya setelah Yang Mulia menemui Empat Mayat Aneh, tanggalkan giring-giring perak dari leher Kuda Lumping, digoyang-goyang sambil disapukan diatas wajah Empat Mayat Aneh. Maka dengan izin Yang Maha Kuasa ke empat mayat itu akan terbangun dari kelelapan tidur mereka di alam baka. Lalu dari merekalah Yang Mulia akan mendapat petunjuk lebih lanjut.”
Mendengar ucapan Mimba Purana, Raja Mataram mengucap berulang kali menyebut Kebesaran Yang Maha Kuasa. “Ananda, saya akan melakukan apa yang Ananda katakan. Namun sebelum pergi ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan. Ketika saya dihadang oleh puluhan mahluk hitam bugil, Ananda telah menyelamatkan saya. Mengapa Ananda tidak terlebih dulu mengambil tindakan terhadap mereka? Bukankah mahluk seperti itu perlu dibasmi. Apa lagi saya yakin mereka ikut mengambil peranan jahat dalam bencana yang melanda Kerajaan dan rakyat Mataram. Siapa puluhan mahluk itu sebenarnya?”
“Mereka dikenal dengan nama Seratus Jin Perut Bumi. Mereka diam di hutan Mentaok. Walau mereka jahat ganas tapi saya punya kendala. Para Dewa tidak memberi izin saya untuk menghabisi mereka. Saya tidak menerima tanda berupa bunyi suara lonceng di dalam kepala saya. Karena sebenarnya mereka dahulu adalah yang termasuk jin putih dan pernah berbakti pada para sepuh Raja Raja Mataram. Sekarang mereka berada dibawah satu kekuasaan mahluk jahat..”
“Delapan Sukma Merah?” tanya Raja Mataram pula.
“Tidak bisa diduga,” jawab Mimba Purana. “Namun Para Dewa menginginkan agar mereka disadarkan. Itu menjadi tugas saya. Mudah-mudahan Yang Mulia bisa membantu...”
“Ananda, menurutmu apakah Delapan Sukma Merah ini ada sangkut pautnya dengan orang yang menyebut dirinya sebagai Sri Maharaja Ke Delapan yang melakukan pemberontakan beberapa tahun silam?”
“Saya tidak bisa memastikan Yang Mulia. Tapi yang namanya dendam kesumat itu bisa saja muncul dalam berbagai bentuk ketika melakukan pembalasan. Karenanya kita harus waspada dan berhati-hati...”
Rakai Kayuwangi mengusap dagu lalu bertanya. “Mengenai Keris Kanjeng Sepuh Pelangi, apakah saya akan mampu mendapatkannya kembali? Lalu siapa yang telah menculik Empu Semirang Biru dan bagaimana keadaannya...?”
“Saya berharap jika Yang Mulia telah bertemu dengan Empat Mayat Aneh, semua pertanyaan Yang Mulia akan terjawab.”
“Terima kasih Ananda. Rasanya saya harus pergi sekarang juga.” Kata Rakai Kayuwangi.
“Benar Yang Mulia, Yang Mulia harus segera pergi. Namun ada sesuatu yang akan saya berikan pada Yang Mulia.”
Mimba Purana bangkit dari duduknya lalu melangkah mendekati Sri Maharaja Mataram. Tangan kanan menggenggam dan tangan itu tampak mengeluarkan cahaya putih. Ada sesuatu dalam genggaman si bocah sakti. Tangan diulurkan pada Rakai Kayuwangi yang cepat disambut oleh sang Raja dengan mengulurkan tangan kanan dan membuka telapak lebar-lebar. Mimba Purana buka genggaman tangan kanan, letakkan sebuah benda di atas telapak tangan kanan Sri Maharaja Mataram.
Ketika sang Raja memperhatikan benda yang ada di telapak tangannya itu ternyata sebuah batu tipis berwarna putih berbentuk segi tiga. Pada ujung kiri segi tiga terdapat guratan angka dua berwarna biru. Di ujung segi tiga sebelah atas tertera angka satu, juga berwarna biru. Lalu pada ujung segi tiga sebelah kanan ada lagi angka tiga berwarna biru.
“Batu putih berangka Dua Satu Dua. Apa artinya ini, Ananda? Apa kegunaannya?” tanya Raja Mataram.
“Yang Mulia, simpan batu itu baik-baik. Jangan sampai hilang. Kelak batu itu akan menjadi tanda pengenal bagi seseorang yang datang dari negeri delapan ratus tahun mendatang, yang akan menemui Yang Mulia. Yang dengan izin Yang Maha Kuasa akan menolong Yang Mulia, Kerajaan dan rakyat Mataram... Yang Mulia, kita berpisah sampai di sini. Semoga Yang Maha Kuasa melindungi kita semua...”
“Seseorang dari negeri delapan ratus tahun mendatang akan memberi pertolongan. Apakah tidak ada orang di Bhumi Mataram ini yang berkemampuan melakukan hal itu? Bagaimana mungkin orang yang masih belum ada dimintakan pertolongannya? Ananda, maafkan saya. Tapi saya benar-benar tidak mengerti.”
“Yang Mulia,” sahut Mimba Purana, “kekuasaan Yang Maha Kuasa terkadang tidak bisa diterima akal kita bangsa manusia. Tapi siapakah yang berani membantah? Selain Kuasa, Dia juga Maha Mengetahui apa-apa yang ada di dalam hati kita, apa-apa yang telah terjadi di masa lalu dan apa-apa yang akan terjadi sekalipun di masa ribuan tahun mendatang. Yang Mulia boleh merasa ragu akan kemampuan manusia termasuk diri saya. Tapi jangan sekali-kali meragukan kemampuan Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa...”
Seiring dengan berakhirnya ucapan, anak leiaki dua beias tahun itu lenyap dari pemandangan, meninggalkan selubung cahaya kuning yang menebar bau harum untuk beberapa lamanya. Rakai Kayuwangi menghela nafas panjang berulang kali sambil menyebut nama Yang Maha Kuasa. Lalu dia melangkah mendekati Kuda Lumping yang tersandar di dinding ruangan. Setelah memperhatikan dan mengusap-usap benda itu, punggung dan tubuh Kuda Lumping diletakkan di antara kedua kakinya. Lingkaran tali disangkutkan ke leher. Cemeti dicabut lalu dicambukkan ke pinggul Kuda Lumping sebelah kanan.
"Taarrr!” Sri Maharaja Rakai Kayuwangi tercekat. Suara menggeledek membahana dalam ruangan batu. Di kejauhan terdengar suara kuda meringkik. Giring-giring di leher Kuda Lumping berbunyi nyaring.
"Wuttt!" Saat itu juga Kuda Lumping melesat ke udara, menembus atap ruangan bersama Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala yang da di atas punggungnya!
DALAM serial sebelumnya yang berjudul Malam Jahanam Di Mataram diceritakan Pendekar 212 Wiro Sableng bertemu dengan seorang gadis usia empat belas tahun, bernama Ni Gatri anggota pemain rombongan Kuda Lumping Cahaya Utara. Ketika tengah mengadakan pertunjukan di sebuah pasar di Demak Ni Gatri hampir celaka bahkan tewas akibat perbuatan jahat seseorang yang berada di antara para penonton.
Wiro yang ikut berkerumun diantara orang banyak menyaksikan pertunjukan berhasil menyelamatkan si gadis. Di balik kejadian Itu ternyata pembunuhan terhadap Ni Gatri memang sudah direncanakan oleh mahluk alam roh yang telah sejak lama mengikuti si gadis. Di saat yang bersamaan ada roh putih seorang kakek memasuki tubuh si gadis sehingga Ni Gatri berperilaku aneh dan bicara dengan suara mahluk yang ada dalam tubuhnya yaitu suara si kakek.
Saat itu Ni Gatri mengeluarkan ucapan aneh menyangkut diri Wiro. “Kau... Akhirnya kutemui juga dirimu... Ki Sugeng saya memang tidak mengenal pemuda ini. Tapi saya yakin dialah orangnya.”
Di pasar itu ada seorang kakek berdestar merah yang dibentak oleh Ni Gatri dengan suara anehnya. “Kaulah pembawa roh jahat itu! Kau yang hendak memasukkan angkara murka ke dalam tubuhku. Tapi Dewa Penguasa Jagat melindungi diriku, menghancurkan kejahatanmu! Sekarang tinggalkan tempat ini atau kau akan kujadikan mahluk paling hina di muka bumi ini!”
Sewaktu Wiro meninggalkan pasar, Ni Gatri melarikan diri dari rombongan dan pergi mengejar Wiro. Dalam usahanya mencari Wiro gadis ini dikejar oleh seekor anjing buduk jejadian yang memiliki delapan benjolan merah di kepala. Binatang ini jelas hendak membunuh si gadis. Kembali Wiro menyelamatkan Ni Gatri.
Anjing hitam dihajar dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari hingga kepalanya hancur. Sosok anjing berubah menjadi kepulan asap merah yang kemudian melesat lenyap ke udara. Di tempat itu lalu muncul samar sosok seorang lelaki tua berpakaian hitam. Di keningnya ada delapan benjolan merah. Sebelum lenyap orang tua ini berkata pada Wiro.
“Anak. muda, jangan pernah mengira kalau aku sudah menemui ajal! Delapan Sukma Merah tidak pernah mati! Ha hah ha!”
Yang membuat murid Sinto Gendeng jadi bingung adalah ketika Ni Gatri menyatakan bahwa dia ingin ikut ke mana Wiro pergi. Dia tidak mau kembali ke rombongan pemain Kuda Lumping karena takut akan diperlakukan mesum oleh pimpinan rombongan yang bernama Ki Sugeng Jambul. Karena merasa ada sesuatu yang aneh dalam diri Ni Gatri yang berhubungan dengan dirinya Wiro akhirnya mengajak gadis belia itu ke Kotaraja untuk dititipkan pada seorang sahabat. Dia merasa hiba dan sekaligus bertanggung jawab kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk dengan Ni Gatri.
Mereka memasuki pinggiran Kotaraja sebelah barat menjelang senja. Sahabat yang dimaksudkan Wiro adalah sepasang kakek nenek yang dikenal dengan panggilan Kakek dan Nenek Pringkun. Kedua suami istri yang tidak punya anak ini bekerja sebagai abdi dalem di Keraton Sultan. Sekali seminggu mereka pulang ke rumah mereka di pinggiran Kotaraja.
Kakek-nenek Pringkun selain terkejut melihat kedatangan Wiro yang sudah bertahun-tahun tidak pernah ditemui sekaligus merasa gembira mengetahui bahwa Pendekar 212 datang membawa seorang gadis belia ayu. Sambil membelai kepala Ni Gatri Kakek Pringkun berkata.
“Pendekar, kami berdua tentu saja sangat bahagia ketitipan Ni Gatri. Puluhan tahun kawin tidak punya keturunan. Hari ini Dewa Agung mengulurkan tangan Kasih memberikan seorang gadis pada kami. Namun mungkin Ni Gatri belum berjodoh dengan kami...”
“Apa maksud Ki Pringkun?” tanya Wiro yang biasa memanggil si kakek dengan sebutan Ki.
Kakek Pringkun menatap wajah istrinya yang tampak seperti sedih. Baru kemudian dia menjawab pertanyaan Wiro. “Kedatangan Ni Gatri sudah diketahui Raden Mas Jonggrang Pringgo. Beliau sejak sore tadi sudah menunggu. Saat ini beliau berada di halaman belakang. Seperti kami berdua beliau juga tidak punya keturunan...”
Wiro merasa heran. Sementara mendengar kata-kata si kakek, Ni Gatri langsung memegang lengan Wiro.
“Kakak, Gatri suka tinggal di sini bersama kakek-nenek ini. Tapi kalau ikut orang yang bernama Raden Mas Jonggrang Pringgo itu Gatri tidak mau. Gatri mau ikut Kakak saja.”
“Ni Gatri, kau tentu saja belum tahu siapa adanya Raden Mas Jonggrang Pringgo. Nanti kau lihat sendiri. Orangnya baik, istrinya juga baik.” Berkata nenek Pringkun.
Sebagai jawaban Ni Gatri menggelengkan kepala berulang kali sementara kedua matanya mulai merebak berkaca-kaca.
“Ki Pringkun, siapa adanya orang bernama Raden Mas Jonggrang Pringgo itu?” Bertanya murid Sinto Gendeng.
“Beliau seorang bangsawan, tinggal di Kotaraja, tak jauh dari kawasan Keraton. Masih punya pertalian darah dengan salah seorang istri Pangeran Kerajaan. Nasib anak ini benar-benar cemerlang. Dia akan bahagia tinggal bersama Raden Mas Jonggrang Pringgo...”
Wiro memandang pada Ni Gatri. Si anak kembali geleng-gelengkan kepala. Kakek Pringkun lantas berkata. “Karena Raden Mas Jonggrang sudah ada sejak petang tadi berada di rumahku, dan kalian berdua sudah datang, tidak baik membiarkan beliau menunggu berlama-lama. Baiknya aku perkenalkan kalian berdua dengan beliau.”
“Ki Pringkun, tunggu dulu. Bagaimana Raden Mas Jonggrang tahu kalau gadis ini akan datang ke sini hari ini?” Murid Sinto Gendeng kembali ajukan pertanyaan.
“Pendekar, sudahlah. Simpan dulu pertanyaanmu. Mari kita menemui bangsawan yang baik hati itu.” Kakek Pringkun lalu menarik tangan Wiro sementara istrinya menuntun Ni Gatri membawa mereka masuk ke dalam rumah terus menuju ke halaman belakang di mana terdapat sebuah taman kecil.
Di dalam taman kecil dan sederhana di atas sebuah tonggak batu yang dibentuk menyerupai bangku, duduk seorang lelaki berbadan gemuk, berperut buncit. Kumis dan janggut tebal menghias wajah yang berminyak. Pakaian mewah, kalung bersusun sampai tiga. Di atas kepala bertengger topi tinggi hitam bersulam benang emas. Sebilah keris bersarung perak terselip di pinggang.
Sambil setengah membungkuk Kakek Pringkun berkata. “Raden Mas Jonggrang, Raden Mas ternyata betul. Ini gadis bernama Ni Gatri yang Raden Mas katakan itu...”
Orang bernama Raden Mas Jonggrang berdiri dan tersenyum lebar. Namun Wiro melihat senyum itu menjadi berubah pencong ketika pandangan sepasang mata mereka saling beradu.
“Kakak, saya tidak mau ikut orang buncit itu...” Berkata Ni Gatri sambil memegang Wiro kuat-kuat.
“Ni Gatri, jangan bicara seperti itu.” Berkata Nenek Pringkun.
Raden Mas Jonggrang Pringgo tertawa gelak-gelak. Wiro merasa suara tawa itu membuat tanah yang dipijak bergetar. “Hemm... Raden Mas ini agaknya sengaja hendak memperlihatkan kehebatan tenaga dalamnya. Apa maksudnya...?” Membatin Pendekar 212 dalam hati.
“Anak ini takut melihat perut buncitku! Ha ha ha! Tak jadi apa. Ki Pringkun kereta yang akan menjemputku agaknya terlambat datang. Biar aku langsung saja membawa gadis ini...”
Sementara Raden Mas Jonggrong Pringgo bicara Wiro memperhatikan. Dalam hati dia berkata. “Aku merasa ada yang aneh pada orang satu ini. Tapi aku tidak bisa memastikan apa. Topi dan pakaiannya bagus. Kasut juga bagus. Dua kaki menginjak tanah pertanda dia memang manusia benaran adanya. Janggut dan kumis tebal melintang, terpelihara rapi. Tapi...”
Tiba-tiba ada satu cahaya kelabu berkelebat, entah dari mana datangnya masuk ke dalam tubuh Ni Gatri. Pada saat yang bersamaan keanehan yang tadi dirasakan Pendekar 212 kini dilihatnya sebagai satu kenyataan. Sang Raden Mas Jonggrang Pringgo tidak memiliki bandar di bibir bagian atas, yaitu antara kumis kiri kanan yang tebal melintang. Mahluk yang tidak memiliki bandar di bibirnya seperti itu hanyalah sebangsa mahluk halus, jin atau roh jahat!
TIDAK menunggu lebih lama Pendekar 212 Wiro Sableng segera melompat dan mencekal kerah pakaian bagus Raden Mas Jonggrang Pringgo. “Bangsawan keparat! Kau punya niat jahat terhadap Ni Gatri! Perlihatkan ujudmu sebenarnya!” Sambil membentak Wiro alirkan tenaga dalam mengandung hawa sakti panas.
Kakek nenek Pringkun berseru kaget melihat apa yang pakukan Wiro. Meski tubuh mengepulkan asap akibat hawa panas yang menghantamnya namun Raden Mas Jonggrang Pringgo menyeringai lalu tertawa bergolak. Seketika itu juga delapan benjolan merah muncul di keningnya!
“Jahanam!” Wiro ingat anjing dan kakek berpakaian hitam yang pernah hendak mencelakai Ni Gatri. Kedua Mahluk itu sama memiliki delapan benjolan merah di kening. Dan kini benjolan seperti itu ada pula di kening Raden Mas Jonggrang!
Tangan kanan Wiro segera bergerak melepaskan pukulan jarak dekat. Pukulan diarahkan ke kepala Raden Mas Jonggrang. Orang yang diserang masih menyeringai. Padahal pukulan yang dilancarkan murid Sinto Gendeng adalah pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung yang bisa membuat hancur batu sebesar rumah! Apa lagi kepala manusia, bisa hancur lumat dan gosong!
“Anak muda, kau punya tangan yang bisa memukul. Tapi kau tidak pernah menyadari tangan itu adalah seekor ular besar yang akan melilit menghancur remuk tubuhmu sendiri!”
Begitu Raden Mas Jonggrang selesai keluarkan ucapan tiba-tiba tangan kanan Wiro yang mencekal leher bajunya berubah menjadi seekor ular hitam legam yang memiliki delapan benjolan merah kecil di kepalanya. Serta merta gerak serangan sang pendekar menjadi tertahan!
Pendekar 212 berseru kaget ketika ular besar itu tiba-tiba mendesis keras lalu berbalik dan dalam sekejapan mata saja binatang ini telah melilit Wiro mulai dari bahu sampai ke kaki!
“Kreekk! Kreekk!”
Tulang bahu dan pinggul Wiro mengeluarkan suara berderak. Sambil jatuhkan diri Wiro dengan cepat terapkan ilmu Belut Menyusup Tanah. Tubuhnya serta merta menjadi licin seperti belut. Walau cukup susah namun Wiro berhasil lepaskan diri dari lilitan ular hitam.
Tidak mampu melumat Wiro, ular hitam melesat ke arah Ni Gatri. Mulut dibuka lebar. Selarik sinar hitam yang menebar bau sangat busuk menyembur ke sekujur tubuh Ni Gatri mulai dari kepala sampai ke kaki.
“Gadis ayu! Ubah dirimu dan ikut aku! Atau kau kubunuh sekarang juga!” Ular hitam besar keluarkan ucapan suara manusia.
Ni Gatri menjerit. Dari tubuhnya memancar cahaya putih, berusaha membendung datangnya semburan sinar hitam. Namun kekuatan serangan ular hitam setingkat lebih hebat. Walau cahaya putih sanggup bertahan tapi tubuh dari pinggang ke bawah saat itu tampak telah berubah menjadi tubuh ular hitam.
“Ikut aku.” Ular hitam besar kembali keluarkan ucapan.
Ni Gatri tampak menggapai-gapai. Buntut ularnya menjejak-jejak tanah seperti berjalan. Tiba-tiba tubuh gadis ini melayang ke arah ular besar. Dua tangan dikembang seperti hendak minta dirangkul!
“Orang tua, peluk diriku. Aku ikut bersamamu...” Ni Gatri berseru. Dan suara yang terdengar adalah suara aslinya.
Namun ada satu kekuatan di dalam tubuh si gadis yang berusaha menolak dan melindungi dirinya dari kekuatan yang hendak merubah dan membawa melarikannya. Dari mulut Ni Gatri lalu keluar ucapan suara seorang kakek.
“Delapan Sukma Merah! Kau boleh muncul seribu ujud. Kau boleh berada di mana-mana. Tapi kematian bagimu juga ada di mana-mana! Bagi roh jahat tidak ada tempat di alam manapun!”
Ular besar mendesis keras. Ujung ekor yang panjang runcing laksana sebilah pedang menyambar ke arah leher Ni Gatri. Si gadis yang sebagian tubuhnya telah berubah menjadi ular hitam menjerit keras. Saat itulah dari samping kanan tiba-tiba berkiblat cahaya putih menyilaukan disertai suara menggelegar dahsyat dan tebaran panas luar biasa!
Taman kecil di bagian belakang rumah kediaman Ki Pringkun laksana terbongkar. Tanah dan segala macam tanaman termasuk batu dan meja terbuat dari batu bermentalan ke udara. Sebagian dinding halaman belakang roboh hangus. Kakek nenek Pringkun jatuh bergulingan di tanah. Udara panas terasa seperti hendak melelehkan tubuh. Ni Gatri menjerit keras. Anak perempuan ini tergolek dekat sebuah jambangan besar yang telah hancur. Tubuhnya masih berbentuk setengah manusia setengah ular.
Di tanah, dekat reruntuhan tembok halaman sosok ular besar hitam yang telah berubah gosong menggelepar-gelepar mengeluarkan suara desis berkepanjangan. Tak selang berapa lama ujud binatang jejadian ini kepulkan asap busuk. Dalam kegelapan senja memasuki malam, asap berubah membentuk sosok seorang kakek berpakaian hitam yang kemudian melesat ke udara dan lenyap dari pandangan mata. Orang tua ini adalah yang pernah dilihat Wiro secara samar, muncul setelah dia membunuh anjing besar hitam dan buduk yang mengejar Ni Gatri. Tiba-tiba ada suara orang tertawa cekikikan.
“Hik hik... Pukulan Sinar Matahari! Aku kira ilmu kesaktian itu sudah kau jual pada orang lain!”
Wiro terkejut. Memandang berkeliling. “Ada suara tak ada orangnya. Mungkin aku salah mendengar. Tapi rasa-rasanya itu memang suara dia. Atau masih ada mahluk gaib berkeliaran di sekitar sini menyaru suara, mengincar Ni Gatri. Anak itu dirinya selalu diikuti maraba-haya ke mana dia pergi. Bagaimana aku harus menolongnya. Aku tak mungkin membawanya ke mana aku pergi. Dan sekarang sosoknya berbentuk setengah ular setengah manusia. Ketika ular jahanam itu tadi menyemburnya, ada cahaya putih di dalam tubuhnya berusaha menolong namun kalah kuat...”
Wiro melangkah mendekati Ni Gatri.
“Kakak, tolong... Bagaimana ini. Bagaimana tubuh Gatri bisa jadi begini. Gatri takut...” Ni Gatri berucap dengan suara tersendat-sendat. Wajahnya tampak pucat.
Ketika Wiro berjongkok di samping anak perempuan itu, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat. Wiro melihat dua kaki kurus kering tak berkasut berdiri di tanah di hadapannya. Lalu ada kain panjang dan kebaya hitam basah menebar bau pesing. Melihat lebih ke atas Pendekar 212 tersentak kaget. Buru-buru dia melompat lalu membungkuk dan berseru.
“Eyang Sinto!”
“Hik... hik! Anak setan, aku belum ingin bicara denganmu. Aku mau bicara dulu dengan anak perempuan ini. Tidak! Bukan dengan anak perempuan ini, tapi dengan mahluk yang ada di dalam dirinya!”
Orang yang berdiri di hadapan Wiro saat itu adalah nenek tua berkulit hitam bermata cekung. Rambut putih jarang digulung di atas kepala. Kepala itu sendiri ditancapi lima tusuk konde dari perak. Nenek ini bukan lain Sinto Gendeng, tokoh angker rimba persilatan dan adalah guru sang pendekar.
Dengan ujung tongkatnya Sinto Gendeng mengangkat tubuh Ni Gatri hingga terduduk tersandar ke runtuhan tembok. Dengan tongkat itu pula si nenek kemudian mengusap bagian tubuh gadis belia itu mulai dari pinggang ke bawah. Tongkat berpijar biru. Tubuh Ni Gatri tersentak. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara seperti orang menjerit. Ujud tubuh bagian bawah Ni Gatri yang sebelumnya berbentuk ular serta merta berubah, kembali pada keadaan aslinya. Sadar dirinya ditolong orang, walau takut melihat wajah si nenek namun Ni Gatri cepat berlutut.
“Nenek, saya Ni Gatri menghatur ribuan terima kasih kau telah mengembalikan ujud saya...”
“Hemmm...” Sinto Gendeng keluarkan suara bergumam. Tongkat kayu diusap-usapkan di atas kepala Ni Gatri. “Anak baik, anak tahu diri. Sekarang kancing dulu mulutmu. Aku mau bicara dengan mahluk yang ada dalam tubuhmu!”
SINTO GENDENG bungkukkan tubuh sedikit. Wiro melihat tidak biasanya sang guru memberi penghormatan seperti itu. Apa lagi pada orang yang sosoknya tidak terlihat.
“Sahabat di dalam tubuh anak perempuan bernama Ni Gatri, kau telah melindungi anak ini. Berarti kau mahluk putih. Harap kau mau memberi tahu siapa dirimu, kau datang dari mana dan apa maksud keperluanmu. Apakah kehadiranmu dan semua apa yang terjadi di sini sesuai dengan petunjuk Yang Maha Kuasa yang aku terima melalui mimpi...”
Baik Wiro apa lagi nenek Pringkun memperhatikan dengan perasaan mencekam. Mereka sama memandang ke arah Ni Gatri. Ni Gatri membuka mulut. Suara yang keluar dan terdengar bukan suaranya namun suara kakek-kakek. Wiro ingat kejadian di pasar Demak. Ketika memaki kakek jahat berdestar Ni Gatri juga bicara bukan dengan suaranya sendiri.
“Nenek bersunting lima di atas kepala. Saya sangat menaruh hormat padamu. Saya mahluk yang datang dari jauh dari Kerajaan Mataram Kuno, di alam yang berbeda delapan ratus tahun silam dari saat ini. Saya menerima tugas dari Yang Maha Agung untuk melindungi anak perempuan bernama Ni Gatri itu. Ternyata ilmu kepandaian yang saya miliki masih belum memadai. Bersyukur kepada Sang Hyang Bathara Agung kau dan muridmu telah memberikan pertolongan...”
“Oala... Kalau begitu kau adalah salah seorang leluhur kami... Hanya Yang maha Kuasa yang mampu membuat kejadian seperti ini...” Sinto Gendeng membungkuk sampai beberapa kali.
“Nenek berkonde lima, jangan membuat aku sungkan dengan segala pernghormatan...” Berkata mahluk yang ada di dalam tubuh Ni Gatri.
“Sahabat, mengapa kau merasa perlu menyelamatkan anak perempuan itu. Siapa yang berhati jahat menginginkan kematiannya dan apa alasannya...” Bertanya Sinto Gendeng.
“Anak perempuan itu akan menjadi penghubung bagi Raja Mataram Rakai Kayuwangi Lokapala dalam menyelamatkan Kerajaan dan rakyat Mataram yang saat ini tengah ditimpa bala bencana mengerikan. Mahluk-mahluk jahat yang dikendalikan seseorang yang menginginkan agar hubungan tidak terjadi. Itu sebabnya mereka ingin menghabisi anak perempuan itu...”
“Sahabat, apakah kau mempunyai nama. Dapatkah kau memperlihatkan ujudmu...?”
“Nenek berkonde lima. Tidak ada kesulitan bagi saya untuk memberi tahu nama dan memperlihatkan ujud. Namun saya membekal pesan Para Dewa di Swargaloka untuk tidak melakukan hal itu. Penyebabnya karena di alammu dan di alam saya banyak sekali telinga musuh yang bisa mendengar dan mata yang bisa melihat. Kematian bagi saya bukan apa-apa. Tapi jika tugas saya gagal di tengah jalan maka seumur hidup bahkan sampai di liang kubur saya akan dibebani dosa pada Raja dan rakyat Mataram. Saya mohon maaf karena waktu saya sudah habis. Satu hal sangat saya harapkan. Jangan pisahkan Ni Gatri dengan muridmu. Paling tidak sampai tengah malam nanti. Dan mohon diwaspadai, jangan sampai ada kekuatan gaib memisahkan mereka. Saya mohon nenek bersunting bisa membawa mereka ke rimba kecil tak jauh dari candi Prambanan. Tunggulah di sana sampai sesuatu terjadi...”
Kening berkulit tipis Sinto Gendeng mengerenyit lalu berpaling menatap pada sang murid. Wiro garuk-garuk kepala. “Mengapa kau meminta agar muridku dan anak perempuan itu jangan sampai dipisahkan...?” bertanya Sinto Gendeng.
“Karena muridmulah orang yang akan dihubungi oleh Raja Mataram melalui alam gaib dan melalui anak perempuan bernama Ni Gatri.”
Sinto Gendeng kini semakin mengerti mengapa musuh Raja Mataram ingin mencelakai bahkan membunuh Ni Gatri. Supaya hubungan terputus. “Tapi sahabat, kenapa musti muridku?” bertanya lagi Sinto Gendeng.
“Maaf, saya tidak bisa mengatakan. Saat ini saya melihat di sekeliling tempat ini ada bayangan seratus mahluk hitam bugil yang di negeri dan zaman kami disebut Seratus Jin Perut Bumi. Mereka bisa mencelakai diri saya dan juga muridmu...”
“Persetan! Jangankan Jin Perut Bumi. Jin Dari Perut Neraka sekalipun aku tidak takut!” Ucap Sinto Gendeng.
Si nenek lalu memandang sekeliling kegelapan malam. Dia tidak melihat mahluk-mahluk yang dikatakan kakek di dalam tubuh Ni Gatri. Namun si nenek sakti bisa merasakan kehadiran mahluk asing itu. Cuping hidung Sinto Gendeng bahkan bisa mencium bau mereka. Bau amis!
“Wiro, kau mencium bau sesuatu...?” Tanya Sinto Gendeng pada Wiro.
Sang murid menghirup udara malam dalam-dalam. Lalu gelengkan kepala. “Maaf Eyang, saya tidak mencium bau apa-apa. Kecuali...”
“Kecuali apa?!” tanya si nenek dengan pelototkan mata karena sudah merasa.
“Maaf Eyang Guru. Yang tercium oleh saya saat ini hanya bau pesing di tubuh dan pakaianmu...”
“Anak setan! Dasar! Kurang ajar!” Sinto Gendeng memaki panjang pendek.
Ni Gatri tertawa cekikikan. Suara tawanya adalah suaranya sendiri. Pertanda mahluk yang ada di dalam tubuhnya telah meninggalkan dirinya.
“Kalian berdua lekas ikut aku ke rimba belantara dekat candi Prambanan itu...” Berkata Sinto Gendeng. "Kalau sampai tengah malam nanti tidak terjadi apa-apa berarti tak ada yang perlu dicemaskan. Dua malam lalu aku memang bermimpi bahwa ada seseorang dari alam gaib memberikan mahkota padamu. Mahkota dalam artian mimpi adalah tugas sangat berat dan juga satu pertanda bahwa kau akan pergi ke satu alam lain...”
“Nek, apa kau percaya ucapan mahluk yang tadi berada di dalam tubuh Ni Gatri itu? Bagaimana kalau dia menipu hingga kita semua kelak jadi celaka.” Sinto Gendeng gelengkan kepala lalu tersenyum. “Kau tersenyum Nek, memangnya kenapa? Ada yang lucu?” tanya Wiro.
“Tidak ada yang lucu. Aku hanya mengenang...”
“Mengenang? Mengenang apa Nek?”
Senyum sang guru semakin lebar. “Mengenang wajahnya.”
“Heh...? Wajah siapa Nek?” tanya Wiro lagi.
“Wajah kakek gagah yang ada di dalam tubuh Ni Gatri,” jawab Sinto Gendeng.
Wiro tercengang, menggaruk kepala lalu berkata. “Ah... rupanya kau tertarik pada kakek itu. Hemm... pantas tadi aku melihat Eyang Guru kau bulak balik merunduk membungkukkan tubuh. Pasti Eyang Guru bukan cuma tertarik. Tapi sudah kepincut alias jatuh hati padanya...”
“Husss!” Sinto Gendeng membentak.
“Nek, cinta dimasa tua memang lain pula indahnya dibanding dengan cinta orang muda-muda...”
“Anak setan! Jangan macam-macam kau. Aku pelintir pusarmu nanti!” Mengancam Sinto Gendeng. Lalu dia sambumg ucapannya. “Para leluhur kita sedang dalam kesulitan. Lekas kau gendong anak perempuan itu. Kita harus segera berada di hutan yang dikatakan kakek itu.”
“Kakek atau kakak Nek,” ucap Wiro menggoda.
“Anak setan!” Kembali sang guru memaki.
“Anu Nek, mengapa kau tidak minta dipeluk dan dicium sama kakek gagah itu?”
“Heh?!” Sinto Gendeng tertegun sejenak. Lalu kembali mulut perotnya berteriak memaki. “Anak setan! Bego! Gelo! Sinting! Edan! Jangan sampai aku remas kantong menyanmu!”
PEDATARAN kecil di luar desa Candi di kaki Gunung Ungaran. Saat itu matahari bersinar terik-teriknya. Kegersangan agak berkurang dengan kehadiran tujuh buah candi walaupun dari keadaannya jelas kurang terawat. Itulah kelompok Candi Gedong Pitu yang dibangun oleh Raja Raja Mataram pendahulu Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Lokapala.
Di langit setelah utara serombongan burung melayang terbang ke arah barat. DI Ujung pedataran yang sunyi sebelah selatan enam orang anak penggembala menggiring selusin kerbau ke arah kali kecil cabang sungai Wringin. Ketika rombongan burung lenyap di langit sebelah barat dan anak-anak penggembala bersama kerbau-kerbaunya menghilang di lembah yang menurun yang menuju kali.
Di langit sebelah utara tiba-tiba kelihatan satu pemandangan aneh. Ada orang melayang terbang menunggangi benda berbentuk kuda. Orang ini bukan lain Sri Maharaja Mataram yang diterbangkan oleh Kuda Lumping yang menurut Mimba Purana, Satria Lonceng Dewa, berasal dari alam delapan ratus tahun dimasa yang akan datang.
Di pertengahan pedataran di mana kelompok tujuh candi berada, Kuda Lumping melayang turun. Begitu Sri Maharaja Mataram menjejakkan kaki di tanah telinganya mendengar suara orang melafatkan bacaan yang berasal dari Kitab Weda. Demikian indahnya orang itu melafat hingga siapa saja yang mendengar akan merasakan kesejukan dalam jiwa raganya.
Rakai Kayuwangi selipkan cemeti di leher Kuda Lumping, tanggalkan tali kulit yang melingkar di lehernya lalu membuka giring-giring perak yang tergantung di leher, menyimpannya di balik pinggang pakaian. Kuda Lumping kemudian disandarkan pada serumpun semak belukar. Dia memandang berkeliling, mata mencari-cari orang yang tengah melantunkan bacaan Kitab Weda.
Sang Raja kemudian melihat ada seorang tua renta berpakaian dekil penuh tambalan duduk dekat tangga salah satu candi. Rambut putih panjang dan janggut menjela dada melambai-lambai ditiup angin pedataran. Rakai Kayuwangi perhatikan kening si orang tua. Dia merasa lega karena kening itu licin, tidak ada delapan benjolan merah berasap. Di atas kakinya yang bersila terletak sebatang tongkat berlapis daun-daun kering.
Di sebelah depan, di tanah ada sebuah tempurung. Orang tua ini melafalkan isi Kitab Weda di luar kepala sambil jari tangan diacung-acung ke udara dan digoyang-goyang sesuai dengan lantunan irama bacaan. Kepala diangkat menghadap ke langit, mata dipejamkan. Debu pedataran mengotori wajahnya. Berarti dia sudah cukup lama berada di tempat itu.
Rakai Kayuwangi berhenti di hadapan si orang tua. Mengira orang tua ini adalah seorang pengemis maka dia memeriksa saku baju pakaiannya. Ternyata dia tidak memiliki sekeping uangpun. Tidak mau mengecewakan pengemis tua itu Rakai Kayuwangi tanggalkan sebuah gelang emas yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ketika dia membungkuk untuk menaruh gelang itu di dalam tempurung dua hal mengejutkan sang Raja.
Hal pertama karena melihat, di dalam tempurung ada dua potongan kayu. Dua potongan kayu itu sangat sama dengan dua potong kayu yang tahu-tahu muncul di ruangan di bawah Pegunungan Dieng setelah dia memotong ke dua jari tengahnya sesuai dengan permintaan bocah sakti Satria Lonceng Dewa Mimba Purana. Bagaimana mungkin?
Hal kedua. Ketika menatap wajah si pengemis dalam jarak yang begitu dekat, ternyata orang tua ini memiliki sepasang mata yang keseluruhannya putih alias buta! Tidak ada waktu untuk berpikir karena dia harus segera menemukan makam Empat Mayat Aneh maka Rakai Kayuwangi berlalu dari hadapan sang pengemis.
Sang Raja berjalan sambil menatap ke atas. Sesuai keterangan Mimba Purana, Makam Empat Mayat Aneh terletak di udara, tidak bisa terlihat mata biasa. Rakai Kayuwangi jadi bingung. Bagaimana dia bisa menemukan makam itu? Mengapa sebelumnya dia tidak meminta petunjuk pada Mimba Purana?
Baru berjalan sekitar tiga tombak Rakai Kayuwangi hentikan langkah. Di sebelah sana orang tua pengemis berhenti melafatkan bacaan Kitab Weda. Kini terdengar suaranya menyanyi.
Seorang insan berlalu begitu saja
Berhati baik dan pemurah
Namun berpikiran tidak sejernih kaca
Apakah mungkin membuka pintu Tanpa memiliki kunci
Apakah mungkin melihat yang gaib
Dengan mata telanjang
Tanpa terlebih dulu Membuka pintu hati
Sri Maharaja Mataram terpana seketika. Lalu dia ingat ucapan Mimba Purana sewaktu berada di dalam ruangan batu yang terletak di dasar pegunungan Dieng.
“...Bilamana Yang Mulia telah sampai di kawasan Candi Gedong Pitu, akan ada seseorang menemui Yang Mulia...”
“Jangan-jangan pengemis itu orang yang dimaksud anak itu.”
Tidak berpikir lebih lama Rakai Kayuwangi segera berbalik mendatangi si orang tua. Sampai di hadapan sang pengemis, Raja Mataram duduk bersila di tanah. Dia memegang lutut orang. Pengemis tua hentikan nyanyiannya. Raja Mataram segera keluarkan ucapan.
“Orang tua, maafkan kalau saya pergi begitu saja. Apakah kau orang yang dimaksudkan Satria Lonceng Dewa sebagai orang yang akan saya temui di kawasan Candi Gedong Pitu ini?”
Orang tua bermata buta menatap Rakai Kayuwangi lalu berkata. “Aku mengenal anak keramat berjuluk Satria Lonceng Dewa, bernama Mimba Purana. Tapi aku tidak mengenal dirimu. Siapakah kau adanya hingga begitu dermawan memberi aku sebuah gelang emas besar. Padahal aku tidak meminta, tidak pula mengemis...”
Berubahlah paras Raja Mataram. “Orang tua, maafkan diri saya. Saya tidak bermaksud merendahkan dirimu. Tapi di tempat seperti ini, keadaan dirimu, bacaan suci yang kau lafatkan serta tempurung yang ada dihadapanmu memberi kesan... Saya mohon beribu maaf kalau telah mengira dirimu adalah seorang pengemis. Tapi saya tidak akan mengambil kembali apa yang telah saya berikan kepadamu. Itu saya berikan dengan keikhlasan hati saya.”
“Insan, dari bau debu yang melekat di tubuh dan pakaianmu rupanya kau datang dari jauh. Dari suaramu tersirat tanda kau mengidap penyakit, menanggung beban yang maha berat dan sangat keletihan. Siapakah dirimu adanya?”
“Saya Rakai Kayuwangi.”
“Rakai Kayuwangi...!” Mengulang si orang tua bermata putih buta. “Ada banyak orang bernama Rakai Kayuwangi di jagat ini. Kau Rakai Kayuwangi yang mana? Berasal dari mana?”
“Saya Rakai Kayuwangi Lokapala. Berasal dari Bhumi Mataram,” Sang Raja masih belum mau menjelaskan siapa dirinya sebenarnya, kalau dia adalah Sri Maharaja Kerajaan Mataram. Ini disebabkan karena dia masih merasa was-was siapa sebenarnya orang tua bermata putih buta di tempat sepi kawasan tujuh candi ini.
“Aku mengharapkan kedatangan seekor burung elang, yang datang ternyata seekor burung pipit. Insan dalam perjalanan, silahkan berlalu, aku akan meneruskan bacaan melafatkan isi Kitab Weda...”
Rakai Kayuwangi bangkit dari duduknya. Si orang tua ulurkan tangan kanan mengambil gelang emas besar di dalam tempurung dengan maksud hendak mengembalikan pada Rakai Kayuwangi. Ketika jari-jari tangannya memegang gelang, kebetulan menyentuh permukaan yang ada ukiran burung Rajawali mengembangkan sayap. Dia mengusap ukiran berulang kali dengan ujung jari tangan. Ukiran itu adalah gambar atau salah satu lambang-lambang keramat Kerajaan Mataram. Wajah si orang tua berubah. Mata yang buta ditatapkan ke arah Rakai Kayuwangi. Tubuh dibungkukkan. Mulut berucap.
“Sri Maharaja Mataram, Rakai Kayuwangi Lokapala, saya memang menunggu kedatangan Yang Mulia. Mengapa tidak memberi tahu dari tadi siapa Yang Mulia sebenarnya. Mohon maafmu kalau saya telah berlaku tidak sopan bahkan mungkin kurang ajar.”
Raja Mataram usap wajahnya berulang kali lalu menjawab. “Saya juga mohon maaf kalau telah mengambil sikap yang tidak berkenan di hatimu. Orang tua siapakah namamu. Apakah benar kau orang yang dimaksudkan Satria Lonceng Dewa sebagai orang yang akan menemui diri saya?”
“Yang Mulia, apa yang dikatakan anak keramat itu benar adanya. Nama saya adalah Kambara Walanipa. Tapi orang-orang lebih sering menyebut saya Si Tringgiling. Ini disebabkan karena dalam satu tahun, saya hanya dua puluh satu hari berada di alam terbuka. Selebihnya saya berada di dalam tanah. Yang Mulia, silahkan bertanya. Mudah-mudah Yang Maha Kuasa membimbing saya memberi petunjuk yang benar.”
“Orang tua, saya datang ke sini demi mencari jalan untuk menyelamatkan Kerajaan dan rakyat Mataram dari malapetaka yang sedang menimpa. Saya harus menemukan sebuah makam dari Empat Mayat Aneh...”
“Apakah Yang Mulia telah menemukan?” bertanya si Tringgiling.
“Belum. Konon makam itu tergantung di udara. Mata biasa tidak bisa melihatnya. Saya mohon petunjuk...”
“Makam Empat Mayat Aneh masih tertutup dua pintu gaib. Yang Mulia tidak akan menemukan makam itu tanpa membuka kunci dua pintu.”
“Kalau begitu saya mohon petunjuk lebih lanjut.”
“Dua buah kunci pembuka pintu adalah dua potongan kayu yang ada di dalam tempurung.” Menjelaskan Kambara Walanipa.
Rakai Kayuwangi terkejut. Dia memperhatikan dua potongan kayu dalam tempurung sebentar lalu berkata. “Orang tua, tolong saya diberi tahu. Di mana letak dua pintu yang harus dibuka dengan kunci berupa dua potong kayu itu?”
“Dua pintu itu adalah dua mata Yang Mulia sendiri. Ambil dua potong kayu di dalam tempurung. Cucukkan ke mata kiri kanan Yang Mulia lalu diputar ke arah yang berlawanan, masing-masing ke arah samping kepala. Kalau Yang Mulia mendengar suara kreek, maka berarti dua pintu telah terbuka. Yang Mulia akan melihat makam yang mengambang di udara. Yang Mulia hanya tinggal berdoa memohon pertolongan Yang Maha Kuasa maka makam Empat Mayat Aneh akan turun ke tanah...”
Mendengar penjelasan orang tua buta berjuluk Si Tringgiling kali ini kejut Raja Mataram bukan alang kepalang. “Sebelumnya aku diminta harus memotong dua jari tengah. Sekarang menusuk dua mata dengan potongan kayu. Kalau orang tua ini mahluk jahat yang menyaru maka aku akan buta seumur-umur. Kerajaan dan rakyat Mataram tidak akan tertolong...”
Rakai Kayuwangi perhatikan dengan teliti sosok si orang tua mulai dari kepaia sampai ke kaki. Dia tidak melihat adanya tanda-tanda yang mencurigakan. Tahu kalau Raja Mataram berada dalam kebimbangan, si orang tua angkat kepala lalu kembali lantunkan suara nyanyian.
Keraguan sifat setiap insan
Keraguan sifat untuk berhati-hati
Tapi keraguan bisa juga mengandung kecurigaan
Hidup di dunia berserah diri kepada Yang Maha Kuasa
Percaya pada diri sendiri
Adalah pangkal percaya pada orang lain
Mendengar nyanyian Kambara Walanipa keraguan dalam hati Raja Mataram serta merta sirna. Dia segera mengambil dua potong kayu di dalam tempurung yang besar dan panjangnya seukuran jari tangan sebelah tengah. Tidak membuang waktu lagi Raja Mataram ini lalu tancapkan dua potongan kayu ke mata kiri kanan.
“Craasss!” Darah mengucur. Tubuh menggigil menahan rasa sakit yang luar biasa. Dua potongan kayu yang telah menancap di mata diputar ke arah samping wajah.
“Kreek! Keekk!”
SEKONYONG-KONYONG di siang hari yang terang dan panas itu di langit berkiblat kilat empat kali berturut-turut. Suara guntur menggelegar. Lalu awan tebal kelabu muncul hingga udara yang tadinya terang benderang berubah menjadi kelam. Angin bertiup kencang namun tidak setetes air hujanpun yang turun.
Sri Maharaja Mataram tersentak ketika rasa sakit pada kedua matanya mendadak hilang. Dia usapkan tangan ke muka. Dua potongan kayu yang tadi menancap di kedua matanya lenyap! Tidak ada darah yang mengucur. Tidak ada lagi lelehan darah pada wajah dan kedua tangannya! Matanya tidak hancur dan juga tidak buta.
Selagi dia terheran-heran tiba-tiba di langit muncul satu cahaya coklat kehitaman. Rakai Kayuwangi angkat kepala, mendongak ke atas. Dada berdebar dan tubuh bergetar, mulut berucap.
“Makam Empat Mayat Aneh... Hyang Jagat Bathara! Dewa Agung!” Raja Mataram merasakan tengkuk dingin merinding.
Seolah tergantung, saat itu di udara tampak sebuah kuburan luar biasa besar yang tanahnya masih merah, sebagian tertutup tebaran bunga menebar bau harum. Di kepala makam terdapat empat buah batu nisan hitam tanpa teraan nama atau tulisan apapun. Di kejauhan terdengar suara tiupan terompet ditingkah suara tambur.
Perlahan-lahan kuburan atau makam raksasa yang menggantung di udara bergerak turun ke bawah. Ketika bersentuhan dengan tanah pedataran di antara dua buah candi, pedataran terasa bergetar dan debu serta tanah muncrat beterbangan ke udara hingga kedaaan di tempat itu menjadi bertambah gelap.
Rakai Kayuwangi bungkukkan tubuh berulang kali. Dalam keadaaan tercekat matanya yang ternyata tetap utuh tidak buta menatap besar tak berkesip. Dia lalu ingat pada si orang tua buta bernama Kambara Walanipa alias Si Tringgiling. Memandang ke arah tangga candi di mana orang tua itu tadi duduk bersila, ternyata Si Tringgiling tidak ada lagi di tempat itu!
Rakai Kayuwangi rapatkan dua tangan di depan wajah. Saat itulah dia terkejut ketika melihat gelang emas besar yang sebelumnya dimasukkan ke dalam tempurung diberikan pada si orang tua, kini telah melingkar kembali di lengan kirinya!
“Luar biasa! Bathara Agung! KuasaMu sungguh luar biasa!” Dalam keadaan yang penuh keanehan dan keangkeran itu, Raja Mataram melangkah mendekati kuburan besar yang memancarkan cahaya coklat kehitaman. Sementara belum tahu bagaimana dia akan membongkar makam dan menemukan Empat Mayat Aneh, di hadapan kuburan Rakai Kayuwangi perlukan membungkuk memberi penghormatan pada para arwah.
Setelah meragu sebentar, sang Raja duduk bersila, mengheningkan cipta meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa. Ketika petunjuk tidak didapatkan maka Rakai Kayuwangi mulai membaca mantera aji kesaktian bernama Sepasang Tangan Dewa Menebar Pahala.
Dua tangan Rakai Kayuwangi mulai dari bahu sampai ke ujung jari berubah menjadi sepuluh kali lebih besar. Raja Mataram Ini lalu bangkit berdiri, melangkah lebih dekat ke arah kuburan besar, siap untuk melakukan penggalian. Namun darahnya tersirap, wajah berubah dan tubuh bergeletar ketika tiba-tiba ada suara mendesis keras disusul suara kreekkk!
Tanah kuburan besar, terbelah dan menguak lebar tepat di bagian tengah. Dalam udara gelap Rakai Kayu Wangi melihat sebuah peti mati hitam berukuran besar menyembul dari dalam kuburan yang tanahnya telah terkuak. Sementara dua tangannya kembali ke bentuk semula, sang Raja lagi-lagi merasa tengkuknya menjadi dingin merinding.
Dia pandangi peti mati besar itu untuk beberapa lama lalu melangkah mendekati. Tangan kanan bergetar hebat ketika diulurkan untuk menyentuh dan membuka penutup peti mati. Selain sangat berat penutup peti keluarkan suara berkereket angker ketika dibuka. Sedikit demi sedikit penutup peti mati terbuka.
Setengah jalan tiba-tiba penutup peti terpentang membuka sendiri. Dari dalam peti memancar empat cahaya coklat menyilaukan mata hingga Rakai Kayuwangi tersurut mundur. Dari dalam peti terdengar pula suara berucap keras yang membuat Raja Mataram jadi tercekat.
Pelihara mata hanya melihat kebaikan
Pelihara mulut hanya bicara kebaikan
Pelihara telinga hanya mendengar kebaikan
Pelihara kemaluan hanya untuk kebaikan
Untuk beberapa lama Rakai Kayuwangi tidak dapat melihat apa yang ada di dalam peti mati besar karena ada kepulan asap kelabu menutupi pemandangan. Tak selang berapa lama, begitu asap kelabu sirna Rakai Kayuwangi menyaksikan satu pemandangan yang sungguh luar biasa!
Di dalam peti mati besar terbujur empat sosok mayat laki-laki yang sekujur tubuh kecuali wajah dan kepala terbalut gulungan kain putih. Mayat pertama dalam keadaan dua tangan ditutupkan ke mata. Mayat kedua tangan menutupi mulut. Mayat ketiga dua tangan ditutupkan ke telinga kiri kanan. Mayat terakhir yaitu mayat ke empat tekapkan dua tangan di atas kemaluan. Empat Mayat Aneh!
“Hyang Jagat Bathara, bagaimana saya bisa mendapat petunjuk dari Empat Mayat Aneh ini,” membatin Rakai Kayuwangi.
Setelah merenung sejenak, Raja Mataram bergerak lebih mendekati peti mati besar. Tiba-tiba dia melihat mayat ke tiga turunkan dua tangan yang menutup telinga.
“Dia siap mendengarkan apa yang hendak aku sampaikan...” kata Rakai Kayuwangi dalam hati. Lalu setelah lebih dulu membungkuk Raja Mataram ini cepat berkata.
“Empat Mayat Aneh, salam sejahtera bagimu semua. Saya Rakai Kayuwangi Lokapala Raja Mataram datang mengunjungi untuk mohon diberikan petunjuk. Mohon maaf kalau kedatangan saya telah menggangu ketenteraman mu di dalam roh di alam baka...”
Selesai Raja Mataram bicara, mayat ke tiga yang telah mendengar ucapan sang Raja tutup kembali ke dua telinganya dengan dua tangan.
“Hyang Jagat Bathara, apakah saya akan menerima jawaban?” ucap Rakai Kayuwangi dalam hati.
Tak ada suara jawaban. Tak ada satupun dari Empat Mayat Aneh yang bergerak. Kayu penutup peti bergoyang-goyang dan berkereketan ketika angin kembali berdesau bertiup kencang. Rakai Kayuwangi berdoa dalam hati. Meminta pada Yang Maha Kuasa agar sesuatu terjadi. Tiba-tiba Raja Mataram Ingat. Ada sesuatu yang terlupa dilakukannya.
Dari balik pinggang pakaian Rakai Kayuwangi keluarkan giring-giring perak. Sesuai dengan petunjuk yang diberikan Satria Lonceng Dewa Mimba Purana, giring-giring digoyang hingga keluarkan suara bergemerincing keras. Giring-giring lalu disapukan pulang balik di atas wajah Empat Mayat Aneh. Keajaibanpun terjadi!
“Yang Maha Kuasa, terima kasih...” Rakai Kayuwangi membungkuk dalam-dalam sementara sepasang mata tak berkesip memperhatikan mayat kedua yang ada dalam peti mati besar.
Mayat ke dua, yang menutup mulut dengan dua tangan, turunkan dua tangan ke samping. Lalu terdengar suara ucapan penuh kelembutan. “Raja Mataram Rakai Kayuwangi Lokapala, salam sejahtera bersambut dan berbalas untuk dirimu, keluargamu, para pejabat Kerajaan dan rakyat Mataram. Kami berempat merasa masih sangat dihargai karena telah dimintai kehadiran untuk memberi petunjuk. Petunjuk mana yang sebenarnya bukan datang dari kami mahluk tiada guna ini, namun berasal dari Yang Maha Kuasa. Selama kami hidup dan sampai kembali menghadap Yang Maha Kuasa, para sepuh Raja-Raja Mataram telah sangat memperhatikan kami. Kami diberikan tempat beristirahat di alam yang indah dan penuh ketenangan, di udara yang penuh kesegaran. Adalah pada tempatnya kalau kami membalas semua budi kebaikan itu. Namun rasanya sampai kiamat budi baik itu tidak sanggup kami balaskan. Maafkan dan ampuni kekurangan kami ini wahai Para Dewa di Kahyangan. Yang Mulia Raja Mataram, sebelum lanjut bersuara, kami perlu melihat lebih dulu apakah kau sebenar-benarnya Yang Mulia Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Lokapala. Kami perlu berhati-hati karena alam arwah dan alam nyata selalu penuh dengan tipu daya.”
Selesai bicara, mayat kedua tutup kembali mulutnya dengan kedua tangan. Di sebelahnya, mayat pertama lepaskan tekapan dua tangan pada kedua mata. Mata yang nyalang ini kemudian menatap memperhatikan Rakai Kayu Wangi. Hidung menghirup dalam-dalam. Mayat pertama ini kemudian menepuk mayat kedua lalu menutup matanya. Mayat kedua membuka mulut dan berkata.
“Saudaraku bertiga, orang yang ada di hadapan kita memang adalah Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Lokapala, putera dari Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu. Tiada keraguan untuk membantu dirinya, keluarganya, Kerajaan dan rakyat Mataram agar terlepas dari malapetaka yang menimpa...”
Tiga kepala mayat di samping mayat ke dua tampak bergerak menganguk-angguk.
“Sahabatku Empat Mayat Aneh, saya sangat berterima kasih. Saya mohon malapetaka itu dimusnahkan dengan segera...”
Mayat ke empat yang menutupkan kedua tangan di atas kemaluan tiba-tiba angkat dua tangannya ke atas. Mulut keluarkan ucapan lantang.
“Salah satu penyebab kejahatan angkara murka di alam arwah dan dimuka bumi berasal dari kemaluan yang tidak terpelihara secara baik! Hyang Jagat Bathara Dewa, kami Empat Mayat Bersaudara yang tiada daya ini, mohon pertolonganMu. Kirimkan kuasaMu untuk menjemput pemuda pilihan, di negeri dan alam delapan ratus tahun kemudian nun sangat jauh di sana, yang telah tertulis di dalam aksara takdir suciMu, satu-satunya insan yang kau berikan kekuatan dan kemampuan untuk menyelamatkan Raja, Rakyat dan Kerajaan Mataram dari malapetaka yang sedang menimpa!”
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara kuda meringkik. “Wuss!” Kuda Lumping yang disandarkan Raja Mataram di rerumpunan semak belukar berpijar terang lalu melesat ke udara!
Selagi Raja Mataram tercekat melihat apa yang terjadi, mendadak mayat ke empat ulurkan tangan kanan sembari berkata.
“Yang Mulia, serahkan pada saya batu putih segi tiga yang diberikan Satria Lonceng Dewa, Pendekar Bumi Mataram Mimba Purana...”
Raja Mataram tersentak kaget...
Di puncak bukit, diatas batu datar berwarna hitam gosong, Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Uskapala duduk tak bergerak tengah melakukan tapa. Mata terpejam, dua tangan disilang di atas dada. Tubuh yang dibalut hawa sakti panas pelindung raga mengeluarkan asap ketika bersentuhan dengan udara dingin. Delapan jimat melindungi dirinya dari segala kemungkinan datangnya marabahaya. Perlahan-lahan tubuh itu tampak memancarkan cahaya lalu mulai bergetar. Pertanda ada bahaya mengancam! Tiba-tiba...
"Wutt!" Delapan larik cahaya merah entah dari mana datangnya secara bersamaan menyambar ke arah puncak Bukit Batu Hangus, tepat di jurusan beradanya sang Maharaja Mataram yang tengah duduk bertapa memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa, agar dapat menyelamatkan Kerajaan dan rakyat Mataram.
Delapan jimat melesat menghadang sambaran delapan cahaya merah. Delapan letusan keras disertai pijaran nyala api menggelegar di udara malam. Seantero kawasan Bukit Batu Hangus bergoncang hebat. Di lereng bukit terdengar jerit perempuan dan pekik tangis anak-anak. Orang-orang lelaki berseru tegang dan berulangkali menyebut nama Yang Maha Kuasa.
Sosok Raja Mataram tersungkur ke depan, seperti sujud tak bergerak di atas batu yang didudukinya. Mahkota emas bertabur batu permata yang ada di atas kepala terlepas tanggal, jatuh berguling ke lereng bukit. Rambut yang tadi disanggul kini terlepas menutupi wajah.
Dalam keadaan seperti itu hebatnya Raja Mataram ini masih meneruskan tapa, seolah tidak melihat, tidak mendengar letusan dahsyat, tidak merasakan satu bahaya maut hampir melumat dirinya. Delapan jimat para tokoh sakti hancur bertaburan sementara delapan cahaya merah sesaat masih menggantung di udara lalu memudar dan akhirnya lenyap tak berbekas.
Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara binatang meraung membuat bulu roma merinding. Mungkin anjing liar mungkin juga srigala rimba belantara yang kelaparan, atau mungkin pula mahluk halus yang tengah berkeliaran dan terpesat di sekitar kawasan Bukit Batu Hangus.
Tepat ketika fajar menyingsing dan langit di ufuk timur mulai terang dan ada cahaya sang surya menyentuh tubuhnya, perlahan-lahan Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala buka kedua matanya. Tubuh yang bersujud di atas batu hitam bergerak dan duduk lurus. Mata memandang jauh ke selatan, ke arah Kotaraja. Apa yang dilihat membuat air muka Sri Maharaja berubah.
“Dewa Jagat Bathara... Rata... Bhumi Mataram nyaris rata dengan tanah. Genangan air merah di mana-mana. Bau busuk, mayat manusia... bangkai binatang. Kerajaan... rakyatku... keluargaku...”
Raja Mataram pejamkan mata lalu berteriak keras. Tubuhnya seperti hendak meledak. Dia melompat turun dari batu. Lari menuruni puncak Bukit Batu Hangus. Dalam waktu singkat Sri Maharaja Rakai Kayuwangi telah sampai di lereng bukit di mana sebelumnya dia meninggalkan keluarga dan semua orang yang ikut menyelamatkan diri. Kejut Raja Mataram ini bukan alang kepalang ketika dia menemui dan melihat keadaan orang-orang itu. Langsung saja dia jatuhkan diri, berlutut, dua tangan diangkat ke atas dan mulut berteriak.
“Wahai Para Dewa di Swargaloka! Jika memang ada dosa kesalahan setinggi langit sedalam lautan dan sepanas bara menyala yang telah saya lakukan, mohon segala hukuman dijatuhkan hanya pada diri saya. Jangan pada keluarga, para pengikut dan rakyat saya...!”
Setengah meratap Sri Maharaja Rakai Kayuwangi kemudian memeluki istri-istri serta putera puterinya yang bergulingan di tanah, tubuh panas menggigil, dua kaki lumpuh tak bisa digerakkan dan di kening mereka terdapat delapan benjolan merah mengepulkan asap. Hal ini ternyata terjadi juga pada ratusan orang yang ada di bukit termasuk tokoh-tokoh sakti berkepandaian tinggi seperti Eyang Dukun, Panglima Pasukan Kerajaan Garung Parawata, Tabib Sepuluh Jari Dewa, Klingkit Kuning dan banyak lagi yang lainnya.
Sri Maharaja menggigit bibir menahan gejolak di dalam dada. Melihat kening semua orang ditumbuhi delapan benjolan aneh itu Sri Maharaja meraba kening sendiri. Astaga! Ternyata di keningnya juga ada delapan benjolan merah. Bedanya delapan benjolan merah di kening sang Raja tidak mengeluarkan asap dan tubuhnya tidak terserang hawa panas, dua kaki tidak mengalami kelumpuhan.
Terhuyung-huyung Sri Maharaja dekati kakek berjubah biru Umbut Watukura, yang tergolek di tanah berbantalkan batu hitam. Disampingnya tergeletak Panglima Pasukan Kerajaan Garung Parawata. Tak jauh dari situ terkapar sosok gemuk Tabib Soka Kandawa.
“Eyang Dukun, kau bisa bicara...” Sri Maharaja usap kepala Umbut Watukura.
Yang ditanya kedipkan mata. “Yang Mulia Sri Maharaja Mataram, saya bersyukur kepada Dewa, Sri Maharaja berada dalam keadaan selamat. Sri Maharaja tidak sampai celaka seperti kami-kami ini...”
“Jangan pikirkan diriku! Eyang, Panglima katakan apa yang terjadi. Mengapa anak istriku, kalian semua, bergeletakan lumpuh, tubuh panas dan ada delapan benjolan aneh di kening kita semua. Apakah malapetaka ini juga melanda semua orang di Bhumi Mataram?”
Eyang Dukun Umbut Watukura batuk-batuk beberapa kali lalu menjawab. “Tak lama setelah Sri Maharaja naik ke puncak bukit, karena Sri Maharaja telah memberi izin, saya dan Panglima segera menunggangi kuda masing-masing untuk menyelidik turun ke Kotaraja. Namun entah apa sebabnya binatang-binatang itu meringkik roboh tak mampu menggerakkan kaki. Di kening mereka muncul delapan benjolan merah. Kami semua yang ada di sini mengalami hal yang sama. Lumpuh tak mampu berdiri dan di kening ada delapan benjolan berasap...”
“Dari puncak bukit tadi aku melihat Kotaraja. Keadaannya nyaris sama rata dengan tanah. Hanya satu dua pohon yang masih kelihatan menyembul. Satu-satunya bangunan yang masih tinggal adalah sisa-sisa reruntuhan Istana dan beberapa candi. Cairan merah menggenang di mana-mana. Malam Jahanam yang diceritakan Empu Semirang Biru benar-benar menjadi kenyataan. Bhumi Mataram musnah dilanda bencana. Di bukit ini kita semua mengalami kesengsaraan luar biasa. Menderita kelumpuhan dan diserang demam panas. Bilamana dalam waktu dua hari bencana ini tidak bisa dimusnahkan, kita akan menemui kematian. Kalaupun bisa bertahan maka kita akan mati kelaparan karena kita tidak sempat membawa persediaan makanan cukup banyak untuk ratusan orang yang ada di bukit ini. Masih bersyukur ada beberapa mata air kecil di sekitar sini. Tapi karena tak mampu bergerak kalian semua tidak bisa mendatangi air itu.”
Sepasang mata Sri Maharaja tampak berkaca-kaca. Dia menatap ke langit. “Wahai Para Dewa di Swargaloka, mengapa Kau turunkan cobaan begini berat yang tidak sanggup kami semua menghadapi...”
“Yang Mulia, dalam keadaan seperti ini tidak ada yang dapat kita lakukan selain berpasrah diri dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar diberi pertolongan...” Berkata Panglima Garung Parawata.
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi menghela nafas dalam. “Kita nyaris tidak punya daya apa-apa. Memang hanya kepada Para Dewa kita bisa berharap. Kita sudah memanjatkan seribu doa. Kereta Putih, Kereta Kencana Ratu Adil yang diharapkan bisa menjadi penangkal malah hancur lebur. Apa lagi yang bisa kita lakukan...”
Raja Mataram itu memandang ke arah Tabib Soka Kandawa. “Tabib Sepuluh Jari Dewa, di tempat ini hanya aku seorang yang masih bisa berdiri dan berjalan. Yang lain-lain termasuk dirimu lumpuh tak berdaya! Dengan kesaktian yang kau miliki, kau bisa melakukan sesuatu?”
Tabib gemuk bermata sipit itu unjukkan air muka redup, menarik nafas berulang kali lalu gelengkan kepala. “Saya mohon maaf dan ampunan Yang Mulia. Sejak pertemuan di ruang rahasia di Istana beberapa waktu lalu saya sudah menyadari bahwa kemampuan saya tidak dapat menghadapi datangnya bencana...”
“Bencana ini bukan datang dari kemurkaan alam atau peringatan atau hukuman dari Para Dewa. Apa yang dinamakan Malam Jahanam adalah buatan manusia, yang bersekutu dengan roh dan arwah jahat! Kita pasti punya jalan untuk menghancurkannya! Kalau tidak dalam waktu dua hari, keluargaku, kalian semua akan menemui ajal! Aku sendiri tidak tahu berapa lama bisa bertahan. Cepat atau lambat aku merasa giliranku akan datang juga! Oh Dewa Jagat Bathara...”
“Sri Maharaja,” berkata Panglima Garung Parawata. “Dari tapa Yang Mulia di puncak bukit tengah malam sampai pagi ini, apakah yang Mulia berhasil memasuki alam gaib dan bertemu dengan roh pertapa Sedayu Galiwardhana?”
“Aku berhasil masuk ke alam roh. Tapi ada satu kekuatan dahsyat luar biasa menghalangi dan memagari roh Sedayu Galiwardhana hingga aku tidak bisa menemui pertapa itu. Namun tapaku bukan satu kesia-siaan. Dalam tapaku aku mendengar suara genta lonceng. Lalu muncul satu cahaya kuning emas disusul suara berucap. Aku harus mencari seorang anak lelaki berusia dua belas tahun. Menurut petunjuk, anak itu mampu memberi pertolongan dan mengeluarkan kita dari bala bencana ini. Paling tidak melenyapkan kelumpuhan yang kita alami...”
BAB DUA
MENDENGAR ucapan sang Maharaja, Eyang Dukun, Panglima Garung Parawata dan Tabib Sepuluh Jari Dewa jadi saling pandang. Untuk beberapa lama ketiganya hanya bisa berdiam diri. Panglima Garung Parawata kemudian memberanikan diri berkata,
“Yang Mulia, mudah-mudahan saya tidak salah mendengar. Seorang, anak lelaki berusia dua belas tahun apa kemampuan yang dimilikinya? Saya mohon maaf kalau saya berkata salah...”
“Kalian pernah mendengar nama Mimba Purana?” Bertanya Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.
Tiga orang di hadapan sang Raja terkejut. “Maksud Yang Mulia, pendekar Satria Lonceng Dewa, Pendekar Bhumi Mataram yang terlahir di dalam Sumur Api, dari seorang perawan abadi pilihan Dewa...” berucap Panglima Garung Parawata.
“Yang pada awal pemerintahan Sri Maharaja telah menyelamatkan Bhumi Mataram dari angkara murka orang-orang jahat dari selatan?” Menyambung Eyang Dukun.
“Namun... bukankah pemuda belia tapi sakti itu kemudian lenyap begitu saja. Sampai hari ini tak ada kabar beritanya...” Berkata Tabib Soka Kandawa.
“Saya ingat,” ikut bicara Tabib Sakti Sepuluh Jari Dewa Soka Kandawa. “Tak lama setelah lenyapnya Kesatria Lonceng Dewa Mimba Purana, kemudian muncul seorang pendekar belia yang konon masih saudara kembar Mimba Purana bernama Dirga Purana. Tapi kesatria yang satu ini agaknya bersilang jalan dengan Mimba Purana...”
“Kau benar Tabib Sakti,” kata sang Raja. “Aku harus mencari dan mendatangi sumur tua yang dikenal dengan nama Sumur Api itu. Letaknya di kawasan rimba belantara antara Candi Prambanan dan Kali Dengkeng. Jika anak lelaki bernama Mimba Purana itu memiliki kesaktian yang dititiskan Para Dewa, maka aku sangat yakin Para Dewa akan mempertemukan aku dengan dia. Mudah-mudahan kita semua mendapat keselamatan...”
“Yang Mulia, petunjuk yang didapat dalam tapa Yang Mulia pastilah datang dari Swargaloka. Kalau saja saya tidak lumpuh, saya akan ikut bersama Yang Mulia mencari Sumur Api itu.” Kata Eyang Dukun.
“Saya juga,” kata Tabib Soka Kandawa dan Panglima Garung Parawata hampir berbarangan.
“Aku pergi sekarang juga,” ucap Sri Maharaja. Dia memandang berkeliling. Tiba-tiba saja dia ingat seseorang. “Dari tadi aku tidak melihat salah seorang pembantu kepercayaanku. Raden Ageng Daksa, di mana dia? Ada dari kalian yang melihat?”
Tiga orang di hadapan Raja baru menyadari. Mereka semua memandang berkeliling, mencari-cari lalu sama-sama menggelengkan kepala.
“Kalau dia memang meninggalkan bukit ini, dia pergi ke mana? Mengapa tidak memberi tahu?” Ujar Panglima Garung Parawata.
“Jika benar dia pergi, berarti dia pergi sebelum malapetaka demam panas dan kelumpuhan menimpa kita semua...” Kata Tabib Soka Kandawa pula. “Mudah-mudahan seperti Sri Maharaja, Raden Ageng Daksa juga tidak mengalami bencana seperti kami. Siapa tahu dia juga tengah berusaha mencari pertolongan...”
“Aku berharap begitu,” kata Sri Maharaja Mataram walau hatinya agak meragu. “Raibnya Empu Semirang Biru masih belum jelas siapa penculiknya dan berada di mana orang tua itu sekarang. Apakah dalam keadaan selamat atau bagaimana. Di mana keberadaan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang dicuri juga masih tidak jelas...” Sri Maharaja menarik nafas panjang.
Lalu lanjutkan ucapan. “Sambil mencari Sumur Api aku akan menyelidik ke mana raibnya Raden Ageng Daksa.” Hati sang Raja benar tidak enak. Perasaan kawatir laksana dua batu besar yang menghimpit batok kepala dan dadanya.
Sebelum meninggalkan Bukit Batu Hangus Sri Maharaja memindahkan istri-istri dan putera puterinya ke dalam cegukan batu yang merupakan goa besar dan banyak terdapat di bukit batu itu. Dia juga melakukan hal yang sama pada orang-orang perempuan dan anak-anak serta lelaki-lelaki tua. Lalu Raja Mataram ini mengangkat puluhan bebatuan yang terdapat banyak di bukit. Batu disebar dan diletakkan di dekat orang banyak.
Batu-batu ini di pukul dengan tangan yang mengandung kekuatan sakti hingga membentuk cegukan dalam. Ke dalam cegukan ini Sri Maharaja kemudian memasukkan air yang diambil dari sumber mata air yang ada di sekitar bukit. Makanan yang sempat dibawa ke bukit juga disebar. Dengan berbuat begitu Sri Maharaja berharap bisa menolong orang-orang lebih mudah menjangkau makanan dan mereguk air, paling tidak memperlambat datangnya kematian. Setelah memeluk anak istrinya, Sri Maharaja Rakai Kayuwangi berkata pada Eyang Dukun Umbut Watukura dan para tokoh lainnya.
“Eyang, aku pergi sekarang. Bertahanlah dan selalu memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa agar kita semua bisa terlepas dari azab bencana ini...”
Raja Mataram ini lalu angkat dua tangannya ke udara. Mulut berucap. “Wahai Para Dewa di Kahyangan. Saya bermohon, lindungi semua orang yang ada di bukit ini, juga mereka yang berada di seluruh Bhumi Mataram, yang saat ini mungkin jauh lebih menderita dari kami di sini. Tolong kami semua. Keluarkan kami dari kesengsaraan ini...”
Suara ucapan lenyap. Sang Raja kini tampak berkomat kamit membaca mantera aji kesaktian. Sesaat kemudian dari ke dua tangannya memancar keluar sinar kuning, merebak membentuk kipas raksasa, menyapu Bukit Batu Hangus mulai dari lereng sampai ke puncak. Itulah ilmu kesaktian yang berintikan doa suci bernama Antara Bumi Dan Langit Hanya Yang Maha Kuasa Yang Jadi Pelindung Dan Tempat Meminta Pertolongan Bagi Semua Insan.
Baru saja Sri Maharaja Rakai Kayuwangi menurunkan kedua tangan dan dua larik sinar kuning lenyap dari pemandangan mendadak dari arah kaki bukit sebelah timur terdengar suara jeritan orang. Semua yang ada di bukit batu terkesiap. Wajah berubah.
“Aku mengenali suara orang yang menjerit itu. Jangan-jangan...” Tanpa meneruskan kata-katanya Sri Maharaja Rakai Kayuwangi segera meninggalkan tempat itu, berlari menuruni bukit secepat yang bisa dilakukan.
Eyang Dukun Umbut Watukura ulurkan tangan memegang bahu Garung Parawata lalu berkata dengan suara perlahan agar tidak terdengar oleh orang lain. “Panglima, aku kawatir. Apakah Raja kita mampu kembali ke bukit ini dengan selamat...?”
Panglima Pasukan Mataram terkesiap sejenak mendengar ucapan itu. Lalu dengan suara lirih dia berkata. “Eyang, jangan bertanya seperti itu. Lebih baik kita doakan dan memohon pada Para Dewa agar Sri Maharaja selamat, berhasil menemui kesatria muda bernama Mimba Purana itu dan kembali tanpa kurang suatu apa menemui kita di bukit ini...”
Eyang Dukun usap-usap tongkat tembaga yang diletakkan di atas pangkuan dua kaki yang lumpuh. “Tadi malam kita masih bisa melindungi dirinya dengan delapan jimat sakti. Kini kita tidak punya daya apapun. Walau Sri Maharaja membekal segudang ilmu kesaktian namun aku tetap merasa kawatir. Ingat kejadian di ruang rahasia ketika kita mengadakan pertemuan. Kekuatan sakti dari luar mampu menembus masuk. Ruangan jebol, cairan merah dan busuk menggenang di mana-mana. Lalu saat itu aku berteriak. Delapan Sukma Merah! Mahluk itu ada di sini! Kau ingat semua kejadian itu Panglima? Apa pendapatmu?”
Panglima Garung Parawata memandang berkeliling. Dia tidak mau menjawab ucapan dan pertanyaan sang dukun lalu memicingkan mata. Sebenarnya kekuatiran juga memadati hati dan pikiran Panglima Pasukan Kerajaan ini.
********************
Belum jauh Sri Maharaja Rakai Kayuwangi meninggalkan kaki Bukit Batu Hangus menuju ke arah timur tiba-tiba di satu pedataran kecil dia melihat ada semak belukar yang terbakar. Karena pedataran ini terletak di tempat yang agak ketinggian maka air banjir yang berwarna merah tidak sampai menggenang ke tempat itu. Dengan cepat Raja Mataram ini berkelebat mendekati. Begitu sampai di balik semak belukar serta merta dia tersentak kaget dan keluarkan seruan tertahan.
“Dewa Jagat Bathara...!”
Di tanah tergeletak sosok Raden Ageng Daksa, orang kepercayaan Sri Maharaja. Pakaian lurik hitam yang melekat di tubuhnya mulai dari pinggang ke bawah tampak hangus mengepulkan asap. Empat kalung emas yang tergantung di leher dan menjulai di dada leleh gosong. Topi tinggi hitam yang selalu ada di atas kepala tercampak jauh, juga dalam keadaan hangus mengepulkan asap.
Walau pakaian tampak hangus namun tubuh orang ini kelihatan tidak terluka sedikitpun. Ini satu pertanda bahwa dengan ilmu kesaktian yang dimiliki Raden Ageng Daksa masih mampu melindungi raga sebelah luar walau Sri Maharaja tahu kalau pembantunya ini mengalami luka parah di sebelah dalam!
BAB TIGA
“RADEN Ageng Daksa! Apa yang terjadi! Siapa yang mencelakaimu?!” suara Sri Maharaja setengah berteriak. Dia lalu duduk di tanah, memangku kepala orang kepercayaannya itu.
Megap-megap Raden Ageng Daksa membuka mulut. Berusaha menjawab. Namun yang keluar dari mulutnya bukan ucapan melainkan lelehan darah berwarna hitam. Sri Maharaja cepat tempelkan tangan kiri di atas kening dan tangan kanan di dada orang lalu salurkan hawa sakti.
“Bicara Raden, katakan siapa yang melakukan perbuatan keji ini atas dirimu...”
Bantuan tenaga dalam dan aliran hawa sakti membuat Raden Ageng Daksa mampu mengangkat tangan kirinya. Tergontai-gontai tangan ini ditunjukkan ke arah punggung. Lalu terdengar suaranya perlahan dan terputus-putus sementara sepasang mata kini kelihatan hanya tinggal putihnya saja.
“Ma... maafkan saya Yang Mul... Mulia...” Tangan kiri yang menunjuk dada lalu berputar menunjuk ke arah kejauhan, ke jurusan selatan.
Sri Maharaja tahu kalau umur Raden Ageng Daksa tidak akan lama lagi. Maka dia lipat gandakan tenaga dalam dan aliran hawa sakti lalu berbisik ke telinga orang itu. “Jangan bicara banyak. Lekas beritahu siapa yang telah mencelakai Raden...”
Raden Ageng Daksa berusaha membuka mulut memberikan jawaban. Namun sebelum suara keluar, kepala sudah terkulai, nyawa keburu lepas. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi pejamkan mata. Dalam hati menyebut nama Yang Maha Kuasa. Perlahan-lahan dia baringkan tubuh Raden Ageng Daksa di tanah. Mata yang terbuka putih diusap hingga menutup. Raja Mataram berpaling ke arah selatan, arah yang tadi ditunjuk Raden Ageng Daksa. Dengan gerakannya tadi Raden Ageng Daksa ingin memberi tahu siapapun yang membunuhnya orang itu telah melarikan diri ke arah selatan.
Raja Mataram kemudian ingat. Sebelum menunjuk ke arah selatan Raden Ageng Daksa terlebih dulu menunjuk ke arah bagian belakang tubuhnya sendiri. Raden Ageng rupanya hendak memberi tahu sesuatu. Perlahan-lahan Sri Maharaja balikkan badan pembantunya itu. Kejut sang Raja bukan alang kepalang ketika melihat pada punggung Raden Ageng Daksa terdapat tanda dua telapak tangan lengkap dengan jari-jari berwarna merah. Namun masing-masing tangan hanya memiliki empat jari, tanpa jari tengah!
“Hyang Jagat Bathara...” ucap Sri Maharaja Rakai Kayuwangi. Dia lalu ingat pada kejadian di ruang pertemuan rahasia di dalam Istana. Waktu itu Ratu Randang penasihatnya tiba-tiba berteriak bahwa ada orang meraba dadanya. Raden Ageng Daksa menjawab kalau tidak ada orang yang meraba dirinya. Lantas Ratu Randang merobek dada pakaian memperlihatkan aurat. Ternyata pada payu daranya kiri kanan terdapat tanda telapak tangan berjari empat.
“Tanda telapak tangan merah berjari empat yang sama.” Ucap Raja Mataram perlahan. “Ini penyebab kematian Raden Ageng Daksa. Aneh... Mengapa Ratu Randang tidak menemui ajal. Padahal dia mengalami kejadian yang hampir tidak berbeda. Selain itu kesaktian Ratu Randang tidak lebih tinggi dari Raden Ageng Daksa.” (Perihal kejadian aneh yang dialami Ratu Randang harap baca episode sebelumnya Malam Jahanam Di Mataram)
Sri Maharaja balikkan kembali jenazah Raden Ageng Daksa hingga tertelentang. Lalu memandang berkeliling mencari tempat yang baik. Di bagian pedataran yang agak tinggi Raja Mataram ini terapkan ilmu kesaktiannya dengan melancarkan pukulan hingga tanah terbongkar membentuk liang lahat. Jenazah Raden Ageng Daksa dimasukkan ke dalam liang lalu ditimbun dan di atasnya ditancapi semak belukar sebagai tanda. Setelah memanjatkan doa untuk keselamatan arwah pembantunya itu Sri Maharaja segera tinggalkan pedataran.
********************
MATAHARI semakin tinggi. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi yang telah berada cukup lama dalam rimba belantara kecil antara Prambanan dan Kali Dengkeng masih berputar-putar tidak berhasil menemukan Sumur Api. Bahkan tanda-tandanyapun tidak kelihatan. Setiap melangkah sepasang kakinya terasa semakin berat. Bahu seperti dibebani batu besar dan kepala berdenyut sakit. Sesekali dia mendengar suara deru angin namun anehnya tidak ada hembusan angin terasa menyapu tubuhnya. Ranting dan daun-daun pepohonan sama sekali tidak bergerak, tidak mengeluarkan suara bergemerisik.
“Ada kekuatan gaib mencegah diriku menemukan Sumur Api,” pikir Sri Maharaja.
Ketika sang surya mencapai titik tertingginya, dalam keadaan tubuh basah mandi keringat dan terasa sangat letih, dua lutut mendadak goyah, nyaris tak berdaya Raja Mataram itu akhirnya jatuh berlutut di tanah. Sambil letakkan dua tangan di dada dan membungkuk dalam dia berkata dengan suara lirih.
“Wahai Yang Maha Kuasa di Swargaloka. Setengah hari telah saya habiskan secara sia-sia. Saya masih belum menemukan petunjuk di mana beradanya Sumur Api. Apa lagi menemukan Mimba Purana, Kesatria Lonceng Dewa. Jika saya mengalami kegagalan berarti saya tidak mampu menolong semua orang yang ada di bukit, tidak bisa menyelamatkan rakyat yang berada di Kotaraja dan di seluruh pelosok Bhumi Mataram. Wahai Yang Maha Kuasa, jangan berhenti memberi saya petunjuk, berikan saya pertolongan. Jangan biarkan kami semua musnah, jangan biarkan Bhumi Mataram lenyap dari permukaan jagat...”
Tiba-tiba keadaan di tempat itu berubah luar biasa sunyi. Suara tiupan angin aneh lenyap. Saking sunyinya Sri Maharaja mampu mendengar detak jantungnya sendiri. Sri Maharaja luruskan tubuh, menunggu dengan hati berdebar. Dia maklum sesuatu akan terjadi.
Satu cahaya putih berkiblat. Sekejap kemudian di hadapan Sri Maharaja Rakai Kayuwangi berdiri seorang kakek berselempang kain putih. Rambut putih panjang menjulai punggung. Wajah yang jernih dihias kumis dan janggut putih. Di tangan kanannya orang tua ini membawa sebatang tongkat kayu, besar di sebelah gagang, mengecil di bagian ujung. Sadar kalau doanya didengar Yang Maha Kuasa dan tahu kalau yang dihadapannya bukan mahluk biasa maka Sri Maharaja segera membungkuk dalam seraya berkata.
“Orang tua, saya Rakai Kayuwangi Lokapala menghatur sembah dan hormat untukmu...”
“Terima kasih untuk tutur sapa dan penghormatanmu. Tapi bukan dirimu, sayalah yang harus menghatur sembah dan penghormatan padamu. Karena kau adalah Sri Maharaja Mataram sementara saya hanya rakyat biasa...”
Selesai keluarkan ucapan si orang tua lalu berlutut dan membungkuk dalam-dalam hingga kepalanya hampir menyentuh tanah. Raja Mataram cepat memegang bahu orang tua ini, mengangkatnya hingga berdiri kembali.
“Orang tua, saya...”
“Sri Maharaja, saya tahu Yang Mulia tengah berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan keluarga, kerajaan dan rakyat Bhumi Mataram. Doa Yang Mulia telah didengar oleh Para Dewa di Swargaloka. Saya orang tua buruk ini diutus untuk menemui Yang Mulia...”
“Terima kasih Sang Hyang Bathara Agung, terima kasih orang tua... Saya mohon petunjukmu lebih lanjut.”
“Nama saya Dhana Padmasutra. Dulu saya tinggal di Bhumi Mataram ini, tak jauh dari Prambanan. Takdir menentukan bahwa saya harus kembali ke alam baka. Saya datang dari alam roh...”
“Terpujilah Roh Agung...” Sri Maharaja membungkuk berulang kali.
“Para Dewa meminta saya menyerahkan tongkat kayu ini pada Yang Mulia. Tongkat ini selanjutnya akan menuntun Yang Mulia ke Sumur Api menemui orang yang dicari...”
Sebelum mengulurkan tangan mengambil tongkat kembali Sri Maharaja membungkuk hormat dan berulang kali menyebut nama Yang Maha Kuasa. Setelah tongkat kayu dipegang, orang tua mengaku bernama Dhana Padmasutra berkata.
“Ada satu hal perlu saya beritahukan. Bilamana Yang Mulia telah bertemu dengan Kesatria Lonceng Dewa Mimba Purana, berikan tongkat ini kepadanya. Walau dulu tongkat ini adalah milik saya, tapi telah saya berikan kepada ibunya. Jadi saya hanya meminjam. Wajib dikembalikan...”
“Saya mengerti. Apa yang Eyang katakan akan saya lakukan,” kata Sri Maharaja pula. “Saya boleh memanggilmu dengan sebutan Eyang?”
“Itu merupakan satu kehormatan besar bagiku,” jawab Dhana Padmasutra. “Ada satu hal lagi,” sambung si orang tua. “Yang Mulia belum melihat tapi mungkin telah merasakan. Di dalam rimba belantara ini ada bahaya besar mengintai. Bilamana bahaya datang tidak terelakkan, robahlah cara memegang tongkat. Ujung yang menempel di tanah pegang sebagai gagang. Sebaliknya gagang ditukikkan ke bawah hingga menyentuh tanah. Maka Yang Maha Kuasa akan melindungi Yang Mulia... Apakah Yang Mulia sudah mengerti atau ada yang hendak ditanyakan?”
“Saya mengerti Eyang. Sekali lagi saya sangat berterima kasih. Kalau beberapa saat lagi kita akan berpisah, apakah saya akan dapat bertemu lagi dengan Eyang?”
Orang tua berwajah jernih berselempang kain putih tersenyum. “Setiap perpisahan dan pertemuan diatur oleh Yang Maha Kuasa. Apa lagi kita hidup berlainan alam. Serahkan semua pada Yang Maha mengetahui. Jika ada niat baik di dalam dada, masakan Yang Maha Kuasa tidak akan memperhatikan? “
“Terima kasih Eyang.”
Dhana Padmasutra mengangguk. “Kita berpisah sampai di sini. Semoga Yang Maha Kuasa melindungi Yang Mulia dan keluarga serta Bhumi Mataram bersama rakyatnya...”
“Tunggu Eyang, sebagai tanda saya tidak melupakan budi Eyang, terimalah kalung ini sebagai kenang-kenangan...” Raja Mataram tanggalkan kalung emas besar bertabur permata lalu diulurkan pada si orang tua.
Dhana Padmasutra tersenyum. “Yang Mulia, niatmu ingin membalas budi sungguh sangat terpuji. Tapi bukan untuk imbalan itu saya datang menemui Yang Mulia. Selain itu, di alam saya, perhiasan luar biasa mahal seperti itu tidak ada kegunaannya. Maafkan kalau saya menolak...” Sambil bicara Dhana Padmasutra gerakkan tangan kanannya. Kalung yang berada dalam pegangan Sri Maharaja tahu-tahu sudah menggantung kembali di lehernya.
Wajah Rakai Kayuwangi tampak agak berubah. Namun cepat-cepat dia membungkuk hormat. Ketika dia meluruskan tubuh kembali orang tua berwajah jernih itu tidak ada lagi di hadapannya. Sang Raja menarik nafas dalam. Tiba-tiba tongkat kayu yang dipegangnya bergetar lalu bergerak ke samping. Sesuai petunjuk si orang tua Raja Mataram mengikuti gerakan tongkat lalu melangkah ke arah mana tongkat kayu itu membawanya.
Gerakan ke dua kakinya terasa sangat ringan. Walau cuma melangkah biasa namun dalam waktu singkat dia sudah berjalan puluhan langkah. Tongkat kayu menuntunnya masuk kembali ke bagian barat rimba belantara yang sebelumnya telah didatangi dan diselidiki.
Getaran pada tongkat kayu semakin keras. Sepasang kaki Sri Maharaja Rakai Kayuwangi tidak lagi menginjak tanah. Dia seolah terbang. Pandangan mata membesar, dada berdebar ketika tidak berapa jauh di depan sana dia melihat tumpukan batu hitam bersusun rapi membentuk lingkaran mulut sumur setinggi pinggang.
“Aku yakin, inilah sumur keramat yang disebut Sumur Api. Tapi mengapa tidak ada apinya? Heran, aku yakin tadi telah berada di sekitar tempat ini. Tapi mengapa sama sekali tidak melihat sumur itu.” Membatin Sri Maharaja.
Seperti diriwayatkan dalam serial Satria Lonceng Dewa buku pertama berjudul Perawan Sumur Api, pada masa itu sumur batu ini diketahui memancarkan cahaya terang merah karena di dasar sumur ada api besar menyala. Saat itu nyala api tak ada lagi namun Sri Maharaja dapat merasakan hawa angker yang menjalar di udara datang dari arah sumur.
Hanya tinggal beberapa langkah lagi dari samping sumur batu mendadak tanah bergetar. Di langit siang terang benderang ada kilat menyambar lalu menyusul suara gemuruh seperti suara geluduk. Tiba-tiba dari dalam tanah mencuat delapan larik cahaya merah. Mula-mula melesat lurus ke udara lalu bergerak patah menyambar ke arah Sri Maharaja Mataram!
BAB EMPAT
SRI MAHARAJA Mataram ingat akan ucapan Eyang Dhana Padmasutra. Bahaya besar yang dikatakan mengintai kini muncul sudah memperlihatkan ujud. Secepat kilat Rakai Kayuwangi jatuhkan diri ke tanah. Dia tidak berani menangkis atau balas menyerang. Delapan cahaya merah lewat dua jengkal di atas tubuhnya. Namun setengah jalan berbalik dan kembali menyambar ke arah sang Raja yang saat itu tengah berusaha berdiri.
Kali ini Rakai Kayuwangi tidak tinggal diam. Tangan kiri dihantamkan ke depan melepas pukulan sakti bernama Payung Dewa Mengguncang Badai. Seumur hidup ini adalah kali ke dua Raja Mataram mengeluarkan pukulan sakti tersebut. Yang pertama kali ketika dia menghadapi beberapa orang tokoh pemberontak dari selatan yang berhasil menyerbu masuk ke dalam Istana beberapa tahun lalu. Kehebatan ilmu pukulan ini memang bukan alang kepalang. Cahaya ungu berkiblat menyerupai payung raksasa mengembang.
Delapan cahaya merah bermentalan ke udara namun hanya sesaat. Di lain kejap delapan cahaya itu menukik ke bawah, memancarkan pijaran sinar menyilaukan pertanda kekuatan yang ada di dalamnya kini berlipat ganda! Kejut Sri Maharaja Mataram bukan olah-olah. Sulit dia mempercayai pukulan saktinya tadi tidak sanggup memusnahkan delapan cahaya merah. Namun sang Raja tidak bisa berpikir panjang karena saat itu delapan cahaya merah datang menyerbu ke arahnya.
Sadar kalau saat itu dia memegang tongkat kayu pemberian Eyang Dhana Padmasutra maka Raja Mataram alirkan seluruh kekuatan tenaga dalam dan hawa sakti ke dalam tongkat hingga tongkat kayu memancarkan cahaya merah laksana bara menyala! Tidak tunggu lebih lama sang Raja segera sapukan tongkat di tangan kanannya ke udara, ke arah datangnya serangan delapan cahaya merah! Sinar merah raksasa berkelebat ke udara! Menghantam delapan larik sinar merah.
Delapan letusan dahsyat menggelegar dalam rimba belantara. Tumpukan bebatuan yang membentuk mulut sumur mental, banyak yang hancur berkeping-keping. Tanah terbelah di beberapa tempat. Langit seolah hendak runtuh. Beberapa pohon bertumbangan dengan ranting dan dedaunan hangus menghitam. Kabut kelabu entah dari mana datangnya menggantung di tempat itu.
Sosok Raja Mataram jatuh terbanting di tanah. Walau tulang punggung serasa hancur dan dada laksana terpanggang namun dia masih mampu berdiri menyaksikan bagaimana delapan cahaya merah terpental memencar kian kemari lalu menyatu dan laksana tombak raksasa menghunjam lenyap masuk ke dalam tanah. Rakai Kayuwangi menarik nafas lega. Dia menyangka serangan kekuatan jahat telah berhasil dimusnahkan.
“Blaarr!” Mendadak suara letusan dahsyat kembali menggelegar di tempat itu.
Rakai Kayuwangi tersentak kaget dan keluarkan seruan tertahan ketika didahului teriakan-teriakan menggidikkan dari dalam tanah mencuat keluar delapan mahluk dahsyat yang hanya mengenakan cawat hitam Kecil. Mahluk ini mulai dari ujung rambut sampai ke kaki berwarna merah. Sepasang mata membelalak putih semua. Di kening ada satu benjolan besar berwarna merah pekat mengepulkan asap menebar bau busuk. Rakai Kayuwangi memperhatikan mahluk ini hanya mempunyai empat jari tangan. Jari tengah tidak ada sama sekali. Sepuluh kuku jari kaki mencuat panjang merah seperti cakar burung elang.
“Dewa Maha Agung. Apakah ini mahluk yang bernama Delapan Sukma Merah...”
Tiba-tiba delapan mahluk merah keluarkan pekik keras. Lalu sambil tertawa haha-hihi mereka menebar membentuk lingkaran dan mengurung Rakai Kayuwangi di tengah-tengah.
“Rampas tongkat!”
Empat mahluk merah berteriak. Empat mahluk lainnya berseru. “Rampas nyawa!”
“Kreekkk!” Enam belas kuku jari tangan merah keluarkan suara berkeretekan lalu mencuat panjang seperti clurit kecil, memancarkan cahaya merah pekat menggidikkan. Delapan mahluk merah menerjang. Empat pasang tangan berjari empat berusaha merampas tongkat sedang empat pasang tangan lainnya menyambar ke mata, leher, dada dan perut.
Raja Mataram Rakai Kayuwangi sadar, dalam keadaan punggung dan dada masih mendenyut sakit, dia hanya memiliki satu pilihan. Jika ingin menyelamatkan diri maka kemungkinan tongkat kayu yang diberikan Eyang Dhana Padmasutra akan kena dirampas empat mahluk merah. Sebaliknya kalau dia harus menyelamatkan tongkat maka muka atau leher, mungkin juga dada atau perutnya akan jebol disambar cakaran jari-jari berkuku panjang merah.
Sang Raja memilih menyelamatkan tongkat kayu ketimbang selamatkan diri. Tongkat diputar di depan tubuh hingga mengeluarkan suara mengaung lalu set! Selagi delapan mahluk merah mundur dan menunda serangan, Rakai Kayuwangi selipkan tongkat di pinggang sebelah depan lalu dua tangan sekaligus melepas pukulan Dewa Kembar Membalik Gunung!
Dua cahaya hijau kebiruan berkiblat disertai suara menggemuruh seperti gunung runtuh. Delapan mahluk merah terkesiap kaget. Tubuh bergoncang keras. Mereka berteriak keras sambil tusukkan empat jari tangan kanan ke atas. Kabut kelabu yang sejak tadi menggantung di udara bergerak turun menghadang dua cahaya hijau biru dua pukulan sakti yang dilepaskan Raja Mataram.
“Tembus!” Delapan mahluk berteriak berbarengan.
“Blaarr! Blaarr!”
Ternyata dua pukulan Rakai Kayuwangi tidak sanggup menahan hantaman kabut kelabu yang dijadikan senjata oleh delapan mahluk aneh. Begitu dua larik cahaya hijau biru musnah delapan mahluk ini kembali berteriak.
“Rampas tongkat!”
“Rampas nyawa!”
“Breett!” Empat jari tangan berkuku panjang salah satu mahluk merobek dada pakaian Rakai Kayuwangi, menimbulkan luka panjang, memutus kalung besar. Saat itu juga Raja Mataram ini merasakan tubuhnya menggigil diserang hawa luar biasa dingin. Sepasang lutut goyah. Dua kaki terjajar ke belakang.
“Rampas tongkat!”
“Rampas nyawa!”
Dua tangan menyambar ke pinggang sebelah depan di mana terselip tongkat kayu, tiga lainnya melesat ke kepala, wajah dan leher Sri Maharaja Mataram. Hanya beberapa ketika lagi tongkat kayu akan dapat dirampas dan muka serta leher akan hancur jebol mengerikan tiba-tiba di telinga Raja Mataram mengiang suara orang tua alam roh Dhana Padmasutra.
“Bilamana bahaya datang tidak terelakkan, robahlah cara memegang tongkat. Ujung yang menempel di tanah pegang sebagai gagang. Sebaliknya gagang ditukikkan ke bawah hingga menyentuh tanah. Maka Yang Maha Kuasa akan melindungi Yang Mulia...”
Rakai Kayu Wangi tersentak. Mengapa dia tidak ingat dari tadi petunjuk orang tua yang dikirimkan Para Dewa untuk menolongnya itu. Secepat kilat Raja Mataram cabut tongkat yang terselip di pinggang. Ujung yang kecil dipegang sedang ujung yang biasa menjadi gagang pegangan ditusukkan ke tanah. Pada waktu yang bersamaan salah seorang dari empat mahluk merah yang berusaha merampas tongkat berhasil mencekal pertengahan tongkat. Namun di saat itu pula gagang tongkat telah menyentuh tanah.
“Blaarr!” Letusan keras menggelegar. Sosok mahluk merah yang memegang tombak keluarkan jeritan menggidikkan, tubuh mencelat ke udara dalam keadaan tercabik-cabik lalu berubah jadi asap dan lenyap dari pemandangan. Dua temannya menggembor marah. Segera menyerang Rakai Kayuwangi.
Raja Mataram dengan penuh percaya diri gebukkan tongkat. Sekali menghantam kepala mahluk merah di samping kanan. Pukulan kedua menghajar bahu mahluk merah di sebelah kanan. Seperti kawannya tadi dua mahluk merah menjerit setinggi langit. Yang kena gebuk kepalanya meledak dengan mengeluarkan suara menggelegar lalu hancur berkeping-keping, sirna setelah lebih dulu jadi asap. Yang dihantam bahunya meraung dahsyat lalu suara raungan lenyap begitu tubuhnya amblas masuk ke dalam tanah!
Lima mahluk merah yang masih hidup langsung jatuhkan diri duduk bersila di tanah. Lima pasang mata putih membusat keluar. Wajah berubah menjadi kuning. Tapi benjolan besar di kening tetap masih berwarna merah dan mengepulkan asap. Mereka tampak ketakutan begitu melihat Raja Mataram mendatangi sambil melintangkan tongkat kayu di atas kepala. Terjadi keanehan. Tubuh bagian atas masih bisa bergerak sementara pinggang ke bawah berubah lumpuh! Ke limanya membungkuk berulang kali tanda minta diampuni. Walau takut setengah mati tapi mereka tidak mampu melarikan diri!
“Aku akan ampuni kalian berlima. Asal memberi tahu kalian ini siapa sebenarnya. Siapa yang mengirim kalian untuk membunuhku dan merampas tongkatl Apa kalian ikut mendatangkan bencana di Mataram malam tadi!”
Tidak ada satupun dari kelima mahluk merah membuka mulut keluarkan jawaban. Mereka terus saja membungkuk-bungkukkan tubuh.
“Bicara! Atau aku gebuk kalian semua!” Hardik Raja Mataram mengancam. Tongkat di tangan kanan diangkat ke atas, siap mengemplang kepala lima mahluk yang duduk menjelepok di tanah di hadapannya. Tiba-tiba ke lima mahluk merah pukulkan tangan kanan ke kening masing-masing yang ada benjolan merah.
“Praakkk!”
Lima mahluk merah terkapar di tanah dengan kepala rengkah. Kabut kelabu lenyap. Raja Mataram berulang kali mengucap menyebut nama Yang Maha Kuasa. Dia bermaksud hendak memeriksa lima mayat mahluk aneh, namun tiba-tiba lima sosok merah itu terangkat ke atas lalu hancur berkeping-keping, berubah jadi asap dan lenyap!
Raja Mataram berulang kali menyeru nama Yang Maha Kuasa. Tiba-tiba tongkat kayu yang dipegang bergetar keras. Tubuh rakai Kayuwangi terangkat ke udara, melayang sebentar lalu melesat masuk ke dalam sumur batu. Sumur yang pernah dikenal dengan sebutan Sumur Api di mana beberapa tahun silam Ananthawuri perawan suci pilihan Para Dewa ibunda dari Mimba Purana dan Dirga Purana pernah tercebur masuk ketika dikejar oleh anak buah Arwah Muka Hijau yaitu Setunggul Langit dan Setunggul Bumi.
(Baca serial Kesatria Lonceng Dewa buku pertama berjudul Perawan Sumur Api karangan Bastian Tito)
Tanpa diketahui oleh Raja Mataram, begitu tubuhnya lenyap masuk ke dalam Sumur Api yang telah padam, seratus jarum hitam melesat keluar dari dalam tanah lalu menyusul masuk ke dalam sumur! Begitu seratus jarum hitam masuk ke dalam sumur, mendadak dari arah timur rimba belantara bertiup angin kencang. Pada saat angin dan tumpukan batu yang membentuk bibir sumur saling bersentuhan, cahaya putih berpijar.
Saat itu juga sumur batu lenyap. Di tempat itu kini terlihat satu jurang sangat dalam. Di sekelilingnya muncul tujuh lobang sebesar kubangan kerbau. Begitulah keadaan akhir, Sumur Api seperti yang diriwayatkan dalam Mimba Purana Serial Kesatria Lonceng Dewa buku ke empat berjudul Dewi Tangan Jerangkong
BAB LIMA
SRI MAHARAJA Rakai Kayuwangi Lokapala terheran-heran ketika dapatkan dirinya berada di ujung satu pedataran pasir berwarna kuning. Di kejauhan tampak sang surya memancarkan cahaya terang benderang namun tidak terasa hawa panas menyengat jangat, sebaliknya malah mengantar udara sejuk.
“Dewa Agung, bagaimana mungkin kalau bukan Kau yang punya kuasa...” Berkata Rakai Kayuwangi dalam hati. Dia sadar betul kalau saat itu berada di dasar sumur, mungkin juga di dalam tanah entah pada lapisan ke berapa. Tapi mengapa ada pedataran pasir dan seumur hidup baru sekali itu dia melihat pasir berwarna kuning laksana emas. Lalu bagaimana mungkin ada matahari yang sinarnya terang benderang namun menebar hawa sejuk? Lalu dia melihat lagi beberapa keanehan.
Di kejauhan, di tengah pedataran pasir kuning tampak sebuah pohon sangat tinggi, tidak berdaun tidak beranting dan hanya memiliki satu cabang menghadap ke timur yaitu ke arah sang surya. Angin bertiup ke arah Rakai Kayuwangi. Raja Mataram ini mencium bau harum semerbak berasal dari pohon tinggi bercabang tunggal. Dia menatap kembali ke arah pohon. Saat itulah sang Raja melengak terkejut.
“Tadi aku tidak melihat sosok itu. Bagaimana kini tahu-tahu muncul sejelas aku melihat tangan sendiri?”
Sambil memegang tongkat erat-erat Rakai Kayuwangi melangkah cepat ke arah pohon bercabang tunggal. Pada pertengahan cabang terlihat duduk bersila seorang anak lelaki berusia sekitar dua belas tahun. Anak ini mengenakan pakaian hitam terbuat dari kain kasar sederhana, berkasut kulit. Wajah tampan dihias alis tebal, mata bening dan bibir merah. Samar-samar tampak cahaya kuning aneh menyelubungi tubuh anak itu. Kalau saja Raja Mataram tidak memiliki ilmu kesaktian tinggi, dia tidak akan mampu melihat cahaya kuning ini. Maka sang Raja mempercepat langkah.
“Walau hanya bertemu satu kali beberapa tahun lalu, aku yakin anak di atas cabang pohon adalah Mimba Purana. Kesatria penyelamat Bhumi Mataram berjuluk Kesatria Lonceng Dewa. Terima kasih Dewa Agung. Kau akhirnya mempertemukan saya dengan anak itu. Terima kasih Eyang Dhana Padmasutra...”
Tiba-tiba anak lelaki di atas cabang pohon berdiri. Tangan kanan di angkat, telapak dikembang. Mulut berseru. “Yang Mulia! Berhentilah melangkah. Jangan beranjak sebelum saya memberi tanda. Maafkan saya karena telah berani memerintah Raja Mataram!”
Rakai Kayuwangi hentikan langkah. Saat itulah di atas kepalanya melesat puluhan benda hitam berpijar. Itulah seratus jarum hitam yang menyusul masuk ke dalam sumur. Seratus jarum kemudian berubah menjadi seratus tiang batu yang besarnya sepemeluk tangan dan tinggi mencapai empat tombak, menyamai ketinggian pohon bercabang tunggal. Seratus tiang batu menancap di pedataran mengelilingi pohon. Saat itu Rakai Kayuwangi mendengar suara-suara pekik jerit riuh sekali, aneh menggidikkan. Pedataran pasir bergetar dan telinganya berdenging sakit.
Namun dia sama sekali tidak melihat mahluk apa yang menjerit dan berada di mana. Kalau di pedataran Raja Mataram melihat seratus batu tinggi hitam mengeliling pohon, maka di atas cabang pohon, anak lelaki berusia dua belas tahun bukannya melihat seratus tiang batu tetapi melihat seratus mahluk tinggi hitam bugil berperut buncit mengerikan. Semua berkepala botak, bermata merah besar, di kepala ada sebuah cula. Lidah panjang luar biasa, setiap dijulurkan bisa menyentuh pasir pedataran. Sepuluh jari tangan memiliki kuku berwarna merah.
“Puluhan tiang batu hitam... Apakah ini yang jadi penyebab Mimba Purana melarangku melanjutkan langkah?” pikir Raja Mataram.
Anak di atas cabang pohon gerakkan tangan kanan. Dari telapak yang terkembang keluar sinar kuning menyilaukan, menyambar berputar ke arah seratus tiang batu tinggi hitam. “Seratus Jin Perut Bumi!” Anak di atas pohon beseru lantang. “Aku Mimba Purana tidak akan beranjak dari tempatku berdiri. Kalian tidak akan bergerak dari tempat kalian tegak! Tidak ada di antara kita yang akan mulai melakukan kekerasan!”
Rakai Kayuwangi merasa heran. Tidak tahu pada siapa anak di atas pohon bicara. Seratus Jin Perut Bumi?! Dia tidak melihat mahluk apapun kecuali seratus tiang batu tinggi hitam. Rakai Kayuwangi dikejutkan oleh suara menggemuruh yang menggetarkan pedataran pasir. Lalu terdengar suara membahana diucap seratus mahluk yang tidak mampu dilihatnya.
“Mimba Purana! Kami akan memanggangmu sampai menjadi debu!”
“Seratus Jin Perut Bumi! Kalian tidak memandang sebelah mata pada maksud baikku! Aku tahu kalian diperalat! Aku masih memberi kesempatan!”
Jawaban yang terdengar adalah suara menggembor dahsyat. Rakai Kayuwangi bersurut sampai beberapa langkah ketika melihat ratusan larik sinar merah menyembur dari seratus tiang batu lalu melesat ke arah pohon di mana anak lelaki berusia dua belas tahun berdiri di atas cabang tunggal.
“Wuss! Wusss!” Pohon tinggi besar tenggelam dalam kobaran api berwarna merah bercampur biru. Hawa panasnya membuat Rakai Kayuwangi terpaksa melompat menjauh.
“Satria Lonceng Dewa!” Raja Mataram berteriak karena saat itu dia tidak dapat lagi melihat anak di atas cabang pohon. Dia merasa sangat kawatir kalau terjadi sesuatu dengan anak lelaki bernama Mimba Purana itu. Karena sesuai petunjuk Eyang Dhana Padmasutra anak itu adalah kunci petunjuk selanjutnya bagi keselamatan Mataram.
Seratus Jin Perut Bumi! Di hadapannya ada seratus tiang batu. Apakah ini ujud mahluk gaib itu? Karena merasa punya kewajiban melindungi anak di atas pohon maka tidak pikir panjang lagi Rakai Kayuwangi segera sapukan tongkat di tangan kanan ke arah tiang-tiang batu.
“Wuttt!” Cahaya merah bertabur menebar hawa panas.
“Dess! Dess!” Raja Mataram menjerit keras ketika tubuhnya terpental oleh hantaman hawa panas yang berbaiik menyerangnya. Pakaian mengepulkan asap. Tongkat hampir terlepas. Tiba-tiba suara jerit pekik yang tadi mereda kini kembali menggelegar.
Rakai Kayuwangi melihat ratusan tiang batu hitam yang mengelilingi pohon di tengah pedataran berubah ujud menjadi mahluk mengerikan. Tubuh bugil buncit dan hitam. Kepala botak bercula. Seratus lidah menjulur melesat ke arahnya. Puluhan larik cahaya merah panas datang menggulung.
“Dewa Bathara Agung! Saya pasrah menerima kematian jika ini memang kehendakMu. Permohonan saya yang terakhir, selamatkan keluarga, kerajaan, para pengikut dan rakyat Mataram!”
Sri Maharaja Mataram berseru keras karena sadar tidak mampu menyelamatkan diri lagi. Tubuh terhuyung ke belakang lalu jatuh terduduk di tanah. Tangan kanan masih memegang tongkat namun keadaannya seperti lumpuh tak mampu digerakkan. Rakai Kayuwangi berusaha pergunakan tangan kiri untuk mencabut keris di belakang pinggang. Namun salah satu lidah mahluk hitam bugil menggebuk bahu kirinya hingga sang Raja terbanting ke tanah. Kulit bahu hangus melepuh! Di sebelah dalam daging dan tulang serasa remuk!
Sekejapan lagi sekujur tubuh Raja Mataram akan lumat dan gosong dilanda serangan puluhan lidah dan cahaya merah panas, tiba-tiba terdengar bahana suara lonceng yang agaknya bukan lonceng biasa tetapi merupakan satu lonceng raksasa yang seolah menggantung di udara. Langit di atas kepala sang Raja tertutup cahaya kuning. Lalu cahaya ini menerpa ke bawah. Pedataran laksana disergap badai. Pasir kuning menggebubu ke udara.
Ketika sesaat pandangan mata terhalang tiba-tiba ada seseorang merangkul pinggang Rakai Kayuwangi, lalu laksana terbang membawanya pergi dari tempat itu. Sebelum pedataran lenyap dari pandangan matanya, Rakai Kayuwangi masih bisa melihat bagaimana seratus mahluk seram berubah menjadi tiang batu kembali lalu melesak masuk ke dalam pedataran pasir! Suara jerit pekik menggelegar di Seantero pedataran. Namun lenyap ditelan bahana suara lonceng raksasa yang tidak terlihat ujud dan entah berada di mana.
Raja Mataram berusaha melihat dan mencari tahu siapa orang yang menyelamatkan lalu melarikannya laksana terbang membelakangi sinar sang surya. Namun dia tidak melihat apa-apa kecuali cahaya kuning benderang. Selain itu pemandangan matanya perlahan-lahan berubah pudar. Lalu sang Raja terkulai tak sadarkan diri. Ini adalah akibat cairan dari lidah panjang mahluk hitam bugil yang melukai bahu kirinya. Ternyata cairan itu mengandung racun jahat!
BAB ENAM
SRI MAHARAJA Rakai Kayuwangi tidak tahu pasti apa yang telah terjadi atas dirinya. Yang masih diingatnya terakhir sekali adalah seseorang membawanya lari laksana terbang dan dia hanya melihat satu cahaya kuning. Ketika perlahan-lahan kesadarannya mulai pulih, memandang berkeliling dia melihat sosok anak lelaki itu, duduk bersila. Rambut hitam menjulai panjang setengkuk. Wajah tampan dan sepasang mata bening dibawah alis tebal hitam menatap ke arahnya.
Walau agak tersuruk tapi Sri Maharaja dapat melihat kalau ada sebentuk anting emas mencantel di daun telinga kanan anak lelaki ini. Kemudian, jika dia menatap dan memusatkan perhatian agak lama maka dia melihat ada bayangan cahaya kuning menyelubungi tubuh si anak. Rakai Kayuwangi merasa jaraknya dengan anak lelaki itu hanya terpaut sepejangkauan tangan, dekat sekali. Namun ketika dia mengulurkan tangan kanan berusaha hendak menjangkau, dia tidak berhasil menyentuh tubuh anak itu. Bocah luar biasa!
“Satria Lonceng Dewa...”
Anak yang disapa tersenyum lalu membungkuk tiga kali lalu berkata. “Sri Maharaja, penghormatan saya untuk Yang Mulia. Nama saya Mimba Purana. Mohon memanggil saya dengan nama itu...”
Suara yang terdengar adalah suara anak lelaki usia dua belas tahun. Namun suara itu begitu jernih dan penuh wibawa. Sadar kalau saat itu dia dalam keadaan tersandar ke dinding, Rakai Kayuwangi cepat luruskan tubuh, lipat kedua kaki dan duduk bersila. Saat itulah dia juga mengetahui kalau ada dua buah benda tergeletak di pangkuannya. Ketika menunduk memperhatikan dia melihat sebilah keris telanjang memancarkan cahaya putih keabu-abuan. Keris Widuri Bulan. Keris miliknya sendiri.
Sesuai dengan namanya senjata bertuah itu konon terbuat dari gumpalan besar batu Widuri Bulan yang secara gaib melayang jatuh ke bumi setelah seorang kakek sakti melakukan tapa selama tujuh purnama. Si kakek kemudian menyerahkan batu itu kepada Sri Maharaja Mataram yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun. Lalu seorang tokoh istana meminta seorang sakti di Jawa sebelah timur untuk menempa batu menjadi sebilah keris setelah dicampur dengan beberapa jenis logam berkekuatan gaib.
Di samping keris, melintang sebatang tongkat kayu. Itulah tongkat pemberian Eyang Dhana Padmasutra. Dia merasa ada sesuatu di bahu kirinya. Ketika diperhatikan di bahu itu menempel sehelai daun keladi yang warna hijaunya telah berubah menjadi hitam. Rakai Kayuwangi mengingat-ingat. Dia berkelahi melawan puluhan mahluk ganas hitam telanjang berkepala botak bercula di satu pedataran pasir.
Dalam keadaan terdesak dia berusaha menyelamatkan diri dengan mencabut keris itu. Lalu lidah salah satu mahluk menggebuk bahu kirinya. Ketika hampir menemui ajal tiba-tiba ada seseorang menyelamatkan dan menerbangkan dirinya ke langit. Sri Maharaja angkat daun keladi yang menempel di bahu kirinya. Kulit bahu itu tampak kemerah-merahan namun tidak lagi hangus melepuh. Sang Raja menatap ke arah anak lelaki di hadapannya. Dalam hati berkata.
“Hanya selembar daun keladi hutan. Sungguh anak pilihan Para Dewa ini sakti luar biasa.”
“Mimba Purana, saya percaya kaulah yang telah menyelamatkan diri saya dari puluhan mahluk seram itu. Saya percaya engkau pula yang membawa saya ke tempat ini dan mengobati luka parah di bahu kiri saya. Untuk itu saya berterima kasih...” Tanpa segan-segan Raja Mataram ini lalu rundukkan tubuh.
Anak lelaki bernama Mimba Purana yang tadi dipanggil dengan julukan Satria Lonceng Dewa tampak jadi kikuk dan beringsut ke belakang. Buru-buru dia berkata. “Yang Mulia, saya tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Semua terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa. Mohon tidak menghormati saya secara berlebihan. Menurut usia, saya seharusnya seumur dengan putera Yang Mulia.”
Raja Mataram anggukkan kepala berulang kali. Berdasarkan riwayat yang diketahuinya dari para cerdik pandai dan para tokoh di Istana, dia mengetahui kalau anak lelaki yang duduk bersila di hadapannya itu sebenarnya baru berusia dua belas bulan. Namun anak keramat yang terlahir dari seorang ibu yang tetap perawan ini, atas kehendak Para Dewa selain memiliki ilmu kesaktian juga memiliki usia yang satu bulan dirinya sama dengan usia satu tahun anak biasa.
(Baca serial Mimba Purana Satria Lonceng Dewa)
“Saya mengerti,” kata Raja Mataram pula. “Mulai saat ini saya akan memanggilmu dengan sebutan Ananda.”
“Yang Mulia, satu kehormatan yang terhingga kalau Yang Mulia memanggil saya sebagai anak...”
“Tapi saya tetap menghaturkan terima kasih pada Ananda. Beberapa tahun lalu kita pernah bertemu. Saat itu Ananda menyelamatkan Kerajaan dari perbuatan jahat orang-orang di selatan. Sekarang kembali Bhumi Mataram digoncang malapetaka. Jauh lebih hebat dari yang terjadi sebelumnya. Banjir besar yang airnya berwarna semerah darah dan menebar bau busuk membuat Bhumi Mataram porak poranda hampir sama rata dengan tanah. Ratusan bahkan ribuan rakyat tidak berdosa termasuk ternak menemui ajal. Yang masih hidup diserang penyakit aneh. Kaki lumpuh, di kepala ada delapan benjolan berwarna merah seperti yang Ananda bisa lihat sendiri di kening saya. Ketika saya bertapa di puncak Bukit Batu Hangus memohon keselamatan bagi para pengikut, keluarga saya dan seluruh rakyat Mataram, saya mendapat petunjuk dari Sang Hyang Bathara Agung bahwa saya harus mencari dan menemui Ananda. Saya tidak tahu di mana harus mencari. Namun saya tahu riwayat Sumur Api. Saya memasuki rimba belantara tak jauh dari Kali Dengkeng. Namun saya tersesat dan terputar-putar di dalam hutan. Ada satu kekuatan gaib menghalangi saya dalam mencari Ananda...”
“Kekuatan penghalang itu ditimbulkan oleh mahluk bernama Delapan Sukma Merah... Kekuatan itu pula yang hendak mencelakai Yang Mulia dengan mempergunakan delapan mahluk merah jejadian...” Berkata Mimba Purana.
“Ananda rupanya sudah tahu peristiwa itu,” kata Sri Maharaja Mataram. Dia tidak merasa heran karena tahu Mimba Purana bukanlah anak sembarangan. “Ananda, saya ingat sekarang. Delapan Sukma Merah. Kata-kata itulah yang pernah diucapkan oleh mahluk roh Sedayu Galiwardhana. Delapan Sukma Merah penguasa tujuh samudera, tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi. Ananda, apakah kau tahu siapa adanya mahluk itu?”
“Yang Mulia, harap teruskan dulu cerita Yang Mulia,” jawab Mimba Purana.
“Para Dewa Maha Pengasih. Seorang kakek bernama Dhana Padmasutra muncul dari alam roh...” Sri Maharaja meneruskan ucapan setelah terdiam sesaat.
Mimba Purana luruskan tubuhnya. Lalu berkata. “Orang tua itu adalah sahabat dan sudah dianggap kakek sendiri oleh Ibunda saya...”
“Sungguh besar rahmat Yang Maha Kuasa...” ucap Sri Maharaja dengan agak tercengang.
“Saya hanya mendengar cerita Ibunda. Saya sendiri belum pernah bertemu dengan kakek itu. Yang Mulia lebih beruntung dari saya, telah menemui kakek Ibunda saya...” Berkata anak lelaki bernama Mimba Purana.
Sri Maharaja terdiam sejurus mendengar ucapan Mimba Purana. Lalu meneruskan penuturan. “Eyang Dhana memberikan tongkat kayu miliknya pada saya. Katanya tongkat ini akan menjadi penuntun untuk mencari dan menemui diri Ananda. Orang tua itu juga berpesan, setelah kita bertemu maka tongkat ini harus saya serahkan pada Ananda karena menurut Eyang Dhana tongkat ini sebenarnya adalah milik Ibunda Ananda yang dipinjam...”
Sri Maharaja beringsut mendekati anak lelaki di hadapannya untuk menyerahkan tongkat kayu. Si anak menatap tongkat itu sebentar lalu berkata. “Yang Mulia, mungkin tongkat itu akan lebih banyak manfaatnya jika tetap berada di tangan Yang Mulia. Mengapa tidak dipegang saja untuk sementara?”
“Ananda Mimba, saya berterima kasih atas kepercayaan dan perhatian Ananda. Namun begitu pesan Eyang Dhana, begitu pula yang harus saya lakukan. Ananda Mimba, terimalah tongkat ini...”
Anak lelaki berusia dua belas tahun itu akhirnya ulurkan tangan menerima tongkat. Sri Maharaja sendiri cepat-cepat mengambil Keris Widuri Bulan dari pangkuannya dan memasukkan ke dalam sarung yang masih terselip di belakang pinggang. Tanpa diketahui, dilihat ataupun disadari oleh Raja Mataram ketika Mimba Purana menerima tongkat, anak ini dengan kesaktiannya menyusupkan tongkat itu ke dalam tubuh Rakai Kayuwangi melalui lengan kanannya sementara yang dilihat sang Raja, tongkat yang diletakkan si anak di lantai di sisi kanannya hanyalah bayangan semata.
“Ananda, saya bersyukur Para Dewa telah mempertemukan saya dengan diri Ananda. Selanjutnya saya mohon petunjuk, apa yang harus saya lakukan.”
“Yang Mulia, apakah Yang Mulia telah menceritakan semua apa yang terjadi di Mataram?” Mimba Purana bertanya.
Sri Maharaja merenung sejenak sambil menatap wajah tampan anak lelaki di hadapannya. “Mungkin saya perlu memberi tahu dari asal muasal kejadian.” Berkata Sri Maharaja.
Lalu dia menceritakan riwayat pembuatan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi oleh Empu Semirang Biru. Keris lenyap dicuri mahluk jejadian yang menampilkan diri sebagai pertapa sakti dari Gunung Merbabu bernama Sedayu Galiwardhana. Raja Mataram juga menceritakan lenyapnya Empu Semirang beberapa waktu sebelum bencana melanda Kerajaan. Lalu perihal Raden Ageng Daksa yang ditemukan sudah menjadi mayat dengan tanda dua telapak tangan berjari empat di punggungnya.
“Ananda Mimba, itu semua yang bisa saya ceritakan padamu.” “Yang Mulia, saya menduga Yang Mulia belum menceritakan semua kejadian penting yang berlangsung di Mataram.” Berkata Mimba Purana.
Raja Mataram berpikir-pikir. Dia merasa telah menuturkan semua kejadian. Namun tiba-tiba dia ingat satu hal. “Ketika saya dan para tokoh Kerajaan mengadakan pertemuan di satu ruang rahasia di Istana, seorang penasehat saya yaitu perempuan berusia sekitar setengah abad bernama Ratu Randang telah kesusupan serangan aneh. Di dadanya tiba-tiba saja ada tanda dua telapak tangan berjari empat tanpa jari tengah...”
“Yang Mulia tahu, di mana sekarang beradanya Ratu Randang?”
“Dia minta izin untuk menemui Arwah Ketua. Mahluk alam gaib yang tinggal di sebuah Candi Miring untuk mencari keterangan serta petunjuk agar dapat menyelamatkan Kerajaan.” Sri Maharaja diam sebentar lalu bertanya. “Ananda, ada apa Ananda menanyakan pembantu saya itu?”
“Saya hanya ingin tahu agar tidak ada yang tertinggal di pikiran dan benak saya,” jawab si bocah yang dijuluki Satria Lonceng Dewa Pendekar Bhumi Mataram. “Yang Mulia, sekarang katakan apa yang bisa sama-sama kita lakukan untuk menyelamatkan Kerajaan dan rakyat Mataram.”
“Dengan Kuasa Yang Maha Kuasa. Saya ingin kami semua bisa keluar dari malapetaka yang mengerikan ini. Yang pertama sekali, bagaimana caranya rakyat dan semua mahluk hidup yang ada di Bhumi Mataram lepas dari kelumpuhan dan demam panas yang menyerang mereka. Lalu delapan benjolan merah agar bisa dilenyapkan dari kening mereka. Kemudian mohon sekali bantuan Ananda agar Keris Kanjeng Sepuh Pelangi bisa ditemukan kembali. Saya berharap Ananda bisa menolong...”
“Yang Mulia, saya bocah yang tidak punya kepandaian apa-apa. Apa lagi yang namanya kekuasaan. Tapi karena saya adalah anak Mataram, Ibunda saya juga orang Mataram maka saya merasa diri yang tidak berdaya ini ikut punya rasa pengabdian terhadap Yang Mulia dan Kerajaan. Jika Yang Mulia mengizinkan saya akan melakukan tapa untuk mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa...”
“Saya mengikut saja. Namun saat ini kita berpacu dengan waktu. Jika Ananda melakukan tapa sampai berhari-hari, semua orang, termasuk yang kini berada di Bukit Batu Hangus akan menemui ajal karena penyakit dan kelaparan...”
“Saya tahu apa Yang Mulia kawatirkan. Tapi satu tahun bagi kita manusia biasa, bisa saja hanya satu hari bagi Yang Maha Kuasa. Satu minggu bagi kita, bagi Yang Maha Kuasa bisa saja hanya sekejapan mata. Apakah Yang Mulia sudi menunggu sementara saya mulai bertapa?”
“Ananda, saya serahkan semuanya padamu. Saya akan membantu dengan doa,” jawab Sri Maharaja Rakai Kayuwangi lalu tanpa memejamkan mata dia susun sepuluh jari di atas kepala dan mulai memanjatkan doa.
Di hadapan Raja Mataram anak lelaki berusia dua belas tahun duduk bersila dengan khidmat. Mata dipejam, dua tangan disilang di atas dada. Bayangan cahaya kuning yang samar-samar membungkus sekujur tubuh Mimba Purana tampak memancar lebih terang. Dari ubun-ubun di kepalanya memancar satu cahaya kuning berbentuk garis lurus, menembus langit-langit batu. Itu garis batin hati nurani yang paling suci yang tengah coba bersentuh dengan kekuatan gaib dari Yang Maha Kuasa.
Tiba-tiba Raja Mataram yang tengah berdoa melihat larikan garis kuning lenyap. Cahaya terang yang membungkus sosok Mimba Purana juga sirna. Anak itu turunkan dua tangan dari atas dada, diletakkan di atas pangkuan, perlahan-lahan mata dibuka.
“Yang Mulia, saya baru saja menyelesaikan tapa dua puluh satu hari.” Berkata Mimba Purana Satria Lonceng Dewa.
“Ananda Mimba, sungguh luar biasa...” Ucap Raja Mataram sambil menurunkan kedua tangan yang tadi disusun di atas kepala.
“Di dalam tapa saya mendapat petunjuk bahwa pertolongan yang kita harapkan itu berada dalam sebuah ruangan keramat yang pintunya terkunci. Kunci pembuka pintu itu ada dua buah. Keduanya ada pada Yang Mulia...”
“Saya...? Saya merasa tidak pernah membawa atau memiliki dua buah kunci...” Kata Raja Mataram pula dengan heran sambil meraba-raba pakaiannya.
Untuk beberapa ketika si anak menatap wajah sang Raja. Air mukanya tampak meredup. Lalu dia berkata dengan suara perlahan. “Kunci yang dimaksudkan itu adalah dua jari tengah kedua tangan Yang Mulia. Dua jari tangan itu harus dipotong tepat pada pangkalnya...”
Kejut Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Lokapala bukan alang kepalang. Wajah berubah. Namun dia cepat menguasai diri lalu bertanya. “Ananda Mimba Purana. Tidak salahkah telinga saya mendengar?”
“Pertunjuk telah didapat. Kata telah diucapkan. Yang Mulia, saya minta maaf. Saya mohon Yang Mulia segera mencabut Keris Widuri Bulan. Yang Mulia harus memotong sendiri dua jari tengah Yang Mulia dengan keris itu...”
BAB TUJUH
SRI MAHARAJA Rakai Kayuwangi terkesiap. Mata menatap lekat-lekat ke wajah anak lelaki dua belas tahun di hadapannya. Kalau tadi dia masih meragu dan bertanya apakah tidak salah mendengar ucapan maka kini keraguan itu serta merta lenyap malah berubah menjadi kecurigaan. Dia diminta si anak untuk memotong kedua jari tangan sebelah tengah dengan mempergunakan Keris Widuri Bulan.
Tentu saja sang Raja ingat akan peristiwa yang sudah-sudah. Raden Ageng Daksa menemui kematian dengan tanda dua telapak tanpa jari tengah di panggungnya. Ratu Randang diserang secara gaib oleh mahluk yang tidak kelihatan dan meninggalkan tanda dua telapak tangan lengkap dengan jari-jari namun tanpa jari tengah. Delapan mahluk merah yang hendak membunuhnya juga tidak memiliki jari tengah. Delapan Sukma Merah.
“Punya hubungan apa bocah ini dengan mahluk bernama Delapan Sukma Merah. Jangan-jangan... Dewa Agung, apakah saat ini saya benar-benar berhadapan dengan anak bernama Mimba Purana, berjuluk Satria Lonceng Dewa? Atau hanya jejadiannya yang hendak mencelakai diri saya? Menjebak hingga saya berubah menjadi mahluk celaka yang tidak punya jari tengah?!”
Selagi sang Raja berpikir menduga-duga penuh curiga seperti itu tiba-tiba ada suara mengiang di telinga kanannya. “Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Lokapala. Bocah jahat hendak menipumu. Dia bukan Satria Lonceng Dewa yang asli! Dialah mahluk biang racun penimbul bencana Malam Jahanam! Cabut keris sakti di pinggangmu sekarang juga! Bunuh dia dengan senjata itu! Jika dia mati maka dirimu, keluargamu, rakyat dan Kerajaan akan selamat dari malapetaka. Bunuh dia sekarang juga!”
“Pertunjuk Dewa Agung! Ini pasti petunjuk Yang Maha Kuasa!” ucap Rakai Kayuwangi dalam hati.
Sekujur tubuh menggeletar di aliri hawa amarah. Tidak menunggu lebih lama Raja Mataram ini segera cabut Keris Widuri Bulan. Sambil melompat keris sakti ditusukkan ke dada anak lelaki yang duduk tak bergeming dihadapannya. Gerakan yang dipergunakan adalah jurus bernama Kilat Menyabung Di Langit Mataram. Gerakannya luar biasa cepat dan disertai tenaga dalam penuh!
“Settt!” Raja Mataram melengak kaget. Keris Widuri Bulan jelas dan telak menusuk masuk ke dalam dada si bocah. Namun dia seperti merasa menusuk kapas yang lembut. Ketika anak yang hendak dibunuhnya itu tampak tersenyum, bergetarlah sekujur tubuh Rakai Kayuwangi, tengkuk serta merta menjadi dingini Dengan cepat Rakai Kayuwangi cabut keris yang menancap didada si anak. Tidak ada lobang bekas tusukan, tidak ada darah yang mengucur. Badan keris sampai ke ujung bersih sama sekali, tidak ada noda darah! Cahaya benderang putihnya sama sekali tidak redup!
Tiba-tiba Raja Mataram melihat ada titik putih muncul di permukaan kening Mimba Purana. Dengan cepat titik ini berubah besar dan astaga! Titik itu dengan cepat membentuk mata berwarna kuning. Mata ketigal Mata Dewal Lalu...
“Wuss!” Selarik sinar kuning melesat keluar dari mata di kening, menyambar ke arah Raja Mataram. Sinar menyilaukan itu lewat hanya satu jengkal di atas kepala. Sesaat kemudian terdengar suara jeritan, disusul suara gedebuk jatuhnya satu sosok ke lantai ruangan. Rakai Kayuwangi cepat memutar tubuh palingkan kepala.
Di lantai, sedikit tertutup oleh kepulan asap tipis hitam tergeletak sosok seorang tua berambut putih panjang mengenakan selempang kain putih. Di keningnya ada delapan benjolan merah. Raja Mataram ingat, dia pernah bertemu orang tua itu satu kali ketika masih berusia enam tahun. Namun dia masih bisa mengenali.
Si orang tua adalah pertapa sakti dari Gunung Merbabu bernama Sedayu Galiwardhana yang diketahuinya telah tewas terbunuh beberapa tahun silam. Tentu saja yang terlihat saat itu bukanlah jazad asli sang pertapa, melainkan ujud roh yang menampakkan diri sebagai manusia biasa.
(Mengenai siapa adanya Sedayu Galiwadhana. harap baca serial Mimba Purana Satria Lonceng Dewa karangan Bastian Tito)
“Eyang Sedayu Galiwardhana, saya tahu kau muncul dari alam roh. Berbuat kejahatan bukan maumu. Karenanya kembalilah ke alam sana dengan segala ketenteraman. Maafkan kalau saya telah berlaku kasar terhadap Eyang.”
Baru saja Mimba Purana selesai mengeluarkan ucapan, kepulan asap hitam lenyap. Bersamaan dengan itu sosok orang tua yang tergeletak di lantai ruangan batu bergerak bangun, duduk di lantai lalu bangkit berdiri. Dia menatap ke arah Sri Maharaja Mataram lalu berpaling pada Mimba Purana. Sepertinya ada yang hendak diucapkan. Namun mulut tetap terkancing sampai akhirnya sosok gaibnya melesat ke atas, menembus atap batu dan lenyap dari pemandangan.
“Ananda Mimba Purana...” Berkata Rakai Kayuwangi. “Orang tua tadi... menurut keterangan yang saya dengar dari Empu Semirang Biru, dialah yang telah mencuri Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Seharusnya tadi kita tanyai dulu dia...”
“Saya tahu Yang Mulia. Seperti kata saya tadi, dia berbuat kejahatan bukan kehendaknya. Ada yang menguasai dan mengendalikan rohnya. Saya tidak bisa berbuat banyak selain membiarkannya kembali ke alamnya. Mungkin saja dia akan kembali muncul melakukan kejahatan. Tapi jika Yang Maha Kuasa berkehendak lain maka hal itu tidak akan terjadi. Yang Mulia perlu menemuinya...”
Raja Mataram sadar. Cepat-cepat dia membungkuk. “Ananda, saya minta maaf. Saya telah tertipu. Ketika Ananda meminta saya memotong kedua jari tengah tangan saya, saya mendapat bisikan kalau...”
“Saya tahu Yang Mulia dan saya mengerti. Sekarang apakah Yang Mulia yakin bahwa diri saya bukan mahluk bocah jahat yang hendak menipu Yang Mulia? Apakah Yang Mulia masih merasa ragu untuk memotong kedua jari tengah Yang Mulia sebagaimana petunjuk yang saya dapat dalam tapa dua puluh satu hari tadi?”
Raja Mataram menatap Keris Widuri Bulan yang masih tergenggam di tangan kanannya. “Ananda, saat ini tidak ada lagi keraguan dalam diri saya. Jangankan memotong jari, demi keselamatan rakyat dan Kerajaan Mataram memenggal leherpun akan saya lakukan. Karena saya tahu semua ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa,” jawab Rakai Kayuwangi.
Lalu Raja Mataram ini letakkan tangan kiri di atas lantai batu. Lima jari dikembang. Keris Widuri Bulan pancarkan sinar terang ketika didekatkan ke pangkal jari tengah tangan kiri. Bibir digigit. Tangan kanan bergerak ke bawah dengan tekanan penuh.
“Crasss!”
BAB DELAPAN
DARAH menyembur begitu jari tengah tangan kiri putus habis di bagian pangkal! Potongan jari tengah tergeletak di lantai batu. Rakai Kayuwangi ingin berteriak akibat rasa sakit yang luar biasa. Namun dia kuatkan diri menahan sakit agar tidak sampai mengeluarkan jeritan hingga sekujur tubuh bergetar dan memercikkan keringat.
Dalam keadaan tangan kiri berlumuran dan masih mengucurkan darah dipindahkan Keris Widuri Bulan ke tangan kM. Kini tangan kanan diletakkan dan dikembangkan di lantai. Keris sakti berpijar terang-Bagian ujung yang tajam ditetakkan ke bawah, ditekan ke pangkal jari tengah tangan kanan.
“Crass!” Seperti keadaannya jari tangan kiri, jari tengah tangan kanan putus buntung! Darah mengucur deras. Rakai Kayuwangi menggigit bibir sendiri menahan sakit dan berusaha untuk tidak menjerit. Walau mampu menahan sakit dan tidak menjerit namun sepasang mata Rakai Kayuwangi tampak berkaca-kaca. Inilah satu pertanda bahwa dia memotong putus kedua jari tengahnya dengan segala kepasrahan dan ketegaran.
Sambil membungkukkan tubuh Raja Mataram keluarkan ucapan. “Wahai Yang Maha Kuasa, apa yang menjadi petunjukMu telah saya lakukan. Saya mohon selamatkan rakyat dan Kerajaan...”
“Yang Mulia, apa Yang Mulia ucapkan telah didengar oleh Yang Maha Kuasa. Sesungguhnya Yang Mulia telah berhasil melalui satu ujian yang sangat berat. Luruskan tubuh. Pandanglah baik-baik kedua tangan Yang Mulia. Tidak ada yang putus, tak ada yang berkurang pada diri Yang Mulia. Baik yang berupa daging, tulang ataupun cairan. Sesungguhnya Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan juga Maha Pengasih. Yang Maha Kuasa tidak akan pernah mencelakai ummatNya sendiri. Kecuali jika itu memang maunya sang ummat sendiri...”
Raja Mataram terdiam sesaat mendengar kata-kata Mimba Purana. Dia merasa aneh. Rasa sakit pada kedua tangannya yang seperti hendak meledakkan kepala tiba-tiba lenyap. Malah kini dia merasakan kesejukan di sekujur tubuh! Perlahan-lahan Rakai Kayuwangi luruskan tubuh dan angkat kepala. Pandangan mata diarahkan pada kedua tangan.
“Dewa Agungi Hyang Jagat Bathara!”
Di tangan itu tidak ada lagi noda darah. Tidak ada darah yang menyembur. Tidak ada jari yang putus buntungl Tidak ada daging dan tulang yang putusl Kedua jari tengah tangan kiri kanan masih utuh di tempatnya semula, diantara empat jari lainnya! Lalu buntungan tangan yang tadi jelas-jelas dipotongnya sendiri? Rakai Kayuwangi memandang ke lantai batu. Astaga! Di lantai di mana seharusnya tergeletak dua buntungan jari tengah kedua tangannya kini tergeletak dua potongan kayu!
“Dewa Maha Agung...”
Raja Mataram menatap ke arah anak lelaki yang duduk tenang di hadapannya malah tampak tersenyum. “Yang Mulia, Yang Maha Kuasa menguji kita manusia dengan berbagai cara. Kadang-kadang tidak masuk akal. Yang Maha Kuasa telah mendengar permohonan Yang Mulia. Ketika memohon Yang Mulia tidak mengatakan minta keselamatan bagi diri Yang Mulia ataupun keluarga Yang Mulia. Tapi memohon dan mementingkan keselamatan rakyat dan Kerajaan. Yang Mulia telah membuka dua kunci pintu ruangan keramat. Sekarang baru saya berani mengatakan apa yang harus kita lakukan.”
Raja Mataram rundukkan tubuh dan mengucapkan terima kasih berulang kali pada Yang Maha Kuasa dan pada anak lelaki di depannya. “Yang Mulia, petunjuk dalam tapa mengatakan pada saya bahwa Yang Mulia harus mencari Empat Mayat Aneh yang terkubur dalam sebuah makam. Makam itu terletak di sekitar Candi Gedong Pitu yang dibangun oleh Sri Maharaja Mataram para pendahulu Yang Mulia. Dari Empat Mayat Aneh itulah kelak Yang Mulia akan mampu mengetahui dan mencari jalan bagaimana menyelamatkan rakyat dan Kerajaan. Tentu saja menyelamatkan pula keluarga serta para pengikut yang setia dan Yang Mulia sendiri.”
“Terima kasih Ananda, saya tahu di mana letak Candi Gedong Pitu. Saya pernah satu kali diajak mendiang Ayahanda ke tempat itu. Mudah-mudahan saya masih ingat jalan ke situ.” Rakai Kayuwangi terdiam sejurus. Lalu bertanya. “Ananda, saat ini sebenarnya kita berada di mana?”
(Kawasan Candi Gedong Pitu terletak di desa Candi, kaki selatan Gunung Ungaran. Pada masa itu Raja-Raja Hindu di Jawa membangun tujuh candi agung. Itu sebabnya kawasan candi tersebut dinamakan Candi Gedong Pitu yang berarti Tujuh Bangunan Candi. Kemudian dibangun lagi dua buah candi baru dan sekarang kawasan tersebut dikenal dengan nama Candi Gedong Songo atau Sembilan Bangunan Candi)
“Yang Mulia, kita berada di bawah Pegunungan Dieng, pada lapisan tanah ke tiga...”
Sri Maharaja Mataram sampai ternganga mendengar ucapan Mimba Purana. Si anak tampak tenang-tenang saja. “Yang Mulia, satu hal perlu saya beritahu. Makam Empat Mayat Aneh itu tidak terletak di tanah sekitar Candi Gedong Pitu, di kaki selatan Gunung Ungaran. Tapi tergantung di udara. Yang Mulia harus mampu menurunkannya ke tanah lalu baru bisa menggali. Satu hal lagi, ada kesulitan lain. Makam yang tergantung di udara itu tidak mampu dilihat dengan mata kasat biasa...”
“Ananda, kalau begitu penjelasan Ananda apakah ada petunjuk lain yang bisa membantu saya menemukan makam empat mayat aneh itu. Ananda tahu, waktu yang ada sangat singkat...”
Mimba Purana mengangguk. Dua telapak tangan saling disatukan. Tak selang berapa lama dua tangan tampak memancarkan cahaya kuning. Lalu...
"Wuttt!" Sebuah benda melesat keluar diantara dua telapak tangan, berputar tiga kali di udara lalu melayang turun dan tersandar di dinding ruangan.
Sri Maharaja memperhatikan keberadaan benda itu dengan mata tak berkesip. Seumur hidup baru sekali ini dia melihat benda seperti itu. Berbentuk kuda, lengkap dengan kepala dan buntut tapi tidak berkaki. Kuda-kuda ini terbuat dari kajang bambu yang dianyam halus, berwarna hitam dengan sepasang mata coklat besar. Pada bagian leher melingkar seutas tali kulit. Pada leher itu pula tergantung seuntai giring-giring atau kerincingan perak dan terselip satu cemeti kecil.
“Ananda, benda apa ini? Seumur hidup baru sekali ini saya melihat yang seperti ini. Apa kuda jejadian, tapi mengapa tidak berkaki...”
“Yang Mulia, benda yang tersandar di dinding itu disebut Kuda Lumping. Tidak berasal dari alam kita. Tapi berasal dari alam delapan ratus tahun dimuka kita...”
Rakai Kayuwangi bertambah heran.
“Keberadaan Kuda Lumping itu adalah atas kehendak Yang Maha Kuasa. Kuda Lumping itu akan menjadi tunggangan Yang Mulia menuju Gunung Ungaran dan selanjutnya menjadi penghubung antara Yang Mulia dengan beberapa mahluk tertentu, manusia, bangsa jin dan mahluk dalam alam roh lainnya...”
Kening Sri Maharaja mengerenyit. “Kuda mainan, kuda mati, tidak berkaki. Bagaimana mungkin...”
Mimba Purana si bocah sakti berjuluk Satria Lonceng Dewa tertawa. Lalu berkata. “Bagi Yang Maha Kuasa tidak ada yang tidak mungkin. Tunggangi Kuda Lumping itu. Sangkutkan lingkaran tali di leher Yang Mulia. Dia tidak berkaki karena dia memang tidak berlari seperti kuda biasa. Pergunakan cemeti untuk memecut pinggulnya maka dia akan menerbangkan Yang Mulia secepat kilat menyambar. Bilamana Yang Mulia telah sampai di kawasan Candi Gedong Pitu, akan ada seseorang menemui Yang Mulia. Selanjutnya setelah Yang Mulia menemui Empat Mayat Aneh, tanggalkan giring-giring perak dari leher Kuda Lumping, digoyang-goyang sambil disapukan diatas wajah Empat Mayat Aneh. Maka dengan izin Yang Maha Kuasa ke empat mayat itu akan terbangun dari kelelapan tidur mereka di alam baka. Lalu dari merekalah Yang Mulia akan mendapat petunjuk lebih lanjut.”
Mendengar ucapan Mimba Purana, Raja Mataram mengucap berulang kali menyebut Kebesaran Yang Maha Kuasa. “Ananda, saya akan melakukan apa yang Ananda katakan. Namun sebelum pergi ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan. Ketika saya dihadang oleh puluhan mahluk hitam bugil, Ananda telah menyelamatkan saya. Mengapa Ananda tidak terlebih dulu mengambil tindakan terhadap mereka? Bukankah mahluk seperti itu perlu dibasmi. Apa lagi saya yakin mereka ikut mengambil peranan jahat dalam bencana yang melanda Kerajaan dan rakyat Mataram. Siapa puluhan mahluk itu sebenarnya?”
“Mereka dikenal dengan nama Seratus Jin Perut Bumi. Mereka diam di hutan Mentaok. Walau mereka jahat ganas tapi saya punya kendala. Para Dewa tidak memberi izin saya untuk menghabisi mereka. Saya tidak menerima tanda berupa bunyi suara lonceng di dalam kepala saya. Karena sebenarnya mereka dahulu adalah yang termasuk jin putih dan pernah berbakti pada para sepuh Raja Raja Mataram. Sekarang mereka berada dibawah satu kekuasaan mahluk jahat..”
“Delapan Sukma Merah?” tanya Raja Mataram pula.
“Tidak bisa diduga,” jawab Mimba Purana. “Namun Para Dewa menginginkan agar mereka disadarkan. Itu menjadi tugas saya. Mudah-mudahan Yang Mulia bisa membantu...”
“Ananda, menurutmu apakah Delapan Sukma Merah ini ada sangkut pautnya dengan orang yang menyebut dirinya sebagai Sri Maharaja Ke Delapan yang melakukan pemberontakan beberapa tahun silam?”
“Saya tidak bisa memastikan Yang Mulia. Tapi yang namanya dendam kesumat itu bisa saja muncul dalam berbagai bentuk ketika melakukan pembalasan. Karenanya kita harus waspada dan berhati-hati...”
Rakai Kayuwangi mengusap dagu lalu bertanya. “Mengenai Keris Kanjeng Sepuh Pelangi, apakah saya akan mampu mendapatkannya kembali? Lalu siapa yang telah menculik Empu Semirang Biru dan bagaimana keadaannya...?”
“Saya berharap jika Yang Mulia telah bertemu dengan Empat Mayat Aneh, semua pertanyaan Yang Mulia akan terjawab.”
“Terima kasih Ananda. Rasanya saya harus pergi sekarang juga.” Kata Rakai Kayuwangi.
“Benar Yang Mulia, Yang Mulia harus segera pergi. Namun ada sesuatu yang akan saya berikan pada Yang Mulia.”
Mimba Purana bangkit dari duduknya lalu melangkah mendekati Sri Maharaja Mataram. Tangan kanan menggenggam dan tangan itu tampak mengeluarkan cahaya putih. Ada sesuatu dalam genggaman si bocah sakti. Tangan diulurkan pada Rakai Kayuwangi yang cepat disambut oleh sang Raja dengan mengulurkan tangan kanan dan membuka telapak lebar-lebar. Mimba Purana buka genggaman tangan kanan, letakkan sebuah benda di atas telapak tangan kanan Sri Maharaja Mataram.
Ketika sang Raja memperhatikan benda yang ada di telapak tangannya itu ternyata sebuah batu tipis berwarna putih berbentuk segi tiga. Pada ujung kiri segi tiga terdapat guratan angka dua berwarna biru. Di ujung segi tiga sebelah atas tertera angka satu, juga berwarna biru. Lalu pada ujung segi tiga sebelah kanan ada lagi angka tiga berwarna biru.
“Batu putih berangka Dua Satu Dua. Apa artinya ini, Ananda? Apa kegunaannya?” tanya Raja Mataram.
“Yang Mulia, simpan batu itu baik-baik. Jangan sampai hilang. Kelak batu itu akan menjadi tanda pengenal bagi seseorang yang datang dari negeri delapan ratus tahun mendatang, yang akan menemui Yang Mulia. Yang dengan izin Yang Maha Kuasa akan menolong Yang Mulia, Kerajaan dan rakyat Mataram... Yang Mulia, kita berpisah sampai di sini. Semoga Yang Maha Kuasa melindungi kita semua...”
“Seseorang dari negeri delapan ratus tahun mendatang akan memberi pertolongan. Apakah tidak ada orang di Bhumi Mataram ini yang berkemampuan melakukan hal itu? Bagaimana mungkin orang yang masih belum ada dimintakan pertolongannya? Ananda, maafkan saya. Tapi saya benar-benar tidak mengerti.”
“Yang Mulia,” sahut Mimba Purana, “kekuasaan Yang Maha Kuasa terkadang tidak bisa diterima akal kita bangsa manusia. Tapi siapakah yang berani membantah? Selain Kuasa, Dia juga Maha Mengetahui apa-apa yang ada di dalam hati kita, apa-apa yang telah terjadi di masa lalu dan apa-apa yang akan terjadi sekalipun di masa ribuan tahun mendatang. Yang Mulia boleh merasa ragu akan kemampuan manusia termasuk diri saya. Tapi jangan sekali-kali meragukan kemampuan Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa...”
Seiring dengan berakhirnya ucapan, anak leiaki dua beias tahun itu lenyap dari pemandangan, meninggalkan selubung cahaya kuning yang menebar bau harum untuk beberapa lamanya. Rakai Kayuwangi menghela nafas panjang berulang kali sambil menyebut nama Yang Maha Kuasa. Lalu dia melangkah mendekati Kuda Lumping yang tersandar di dinding ruangan. Setelah memperhatikan dan mengusap-usap benda itu, punggung dan tubuh Kuda Lumping diletakkan di antara kedua kakinya. Lingkaran tali disangkutkan ke leher. Cemeti dicabut lalu dicambukkan ke pinggul Kuda Lumping sebelah kanan.
"Taarrr!” Sri Maharaja Rakai Kayuwangi tercekat. Suara menggeledek membahana dalam ruangan batu. Di kejauhan terdengar suara kuda meringkik. Giring-giring di leher Kuda Lumping berbunyi nyaring.
"Wuttt!" Saat itu juga Kuda Lumping melesat ke udara, menembus atap ruangan bersama Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala yang da di atas punggungnya!
********************
BAB SEMBILAN
DALAM serial sebelumnya yang berjudul Malam Jahanam Di Mataram diceritakan Pendekar 212 Wiro Sableng bertemu dengan seorang gadis usia empat belas tahun, bernama Ni Gatri anggota pemain rombongan Kuda Lumping Cahaya Utara. Ketika tengah mengadakan pertunjukan di sebuah pasar di Demak Ni Gatri hampir celaka bahkan tewas akibat perbuatan jahat seseorang yang berada di antara para penonton.
Wiro yang ikut berkerumun diantara orang banyak menyaksikan pertunjukan berhasil menyelamatkan si gadis. Di balik kejadian Itu ternyata pembunuhan terhadap Ni Gatri memang sudah direncanakan oleh mahluk alam roh yang telah sejak lama mengikuti si gadis. Di saat yang bersamaan ada roh putih seorang kakek memasuki tubuh si gadis sehingga Ni Gatri berperilaku aneh dan bicara dengan suara mahluk yang ada dalam tubuhnya yaitu suara si kakek.
Saat itu Ni Gatri mengeluarkan ucapan aneh menyangkut diri Wiro. “Kau... Akhirnya kutemui juga dirimu... Ki Sugeng saya memang tidak mengenal pemuda ini. Tapi saya yakin dialah orangnya.”
Di pasar itu ada seorang kakek berdestar merah yang dibentak oleh Ni Gatri dengan suara anehnya. “Kaulah pembawa roh jahat itu! Kau yang hendak memasukkan angkara murka ke dalam tubuhku. Tapi Dewa Penguasa Jagat melindungi diriku, menghancurkan kejahatanmu! Sekarang tinggalkan tempat ini atau kau akan kujadikan mahluk paling hina di muka bumi ini!”
Sewaktu Wiro meninggalkan pasar, Ni Gatri melarikan diri dari rombongan dan pergi mengejar Wiro. Dalam usahanya mencari Wiro gadis ini dikejar oleh seekor anjing buduk jejadian yang memiliki delapan benjolan merah di kepala. Binatang ini jelas hendak membunuh si gadis. Kembali Wiro menyelamatkan Ni Gatri.
Anjing hitam dihajar dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari hingga kepalanya hancur. Sosok anjing berubah menjadi kepulan asap merah yang kemudian melesat lenyap ke udara. Di tempat itu lalu muncul samar sosok seorang lelaki tua berpakaian hitam. Di keningnya ada delapan benjolan merah. Sebelum lenyap orang tua ini berkata pada Wiro.
“Anak. muda, jangan pernah mengira kalau aku sudah menemui ajal! Delapan Sukma Merah tidak pernah mati! Ha hah ha!”
Yang membuat murid Sinto Gendeng jadi bingung adalah ketika Ni Gatri menyatakan bahwa dia ingin ikut ke mana Wiro pergi. Dia tidak mau kembali ke rombongan pemain Kuda Lumping karena takut akan diperlakukan mesum oleh pimpinan rombongan yang bernama Ki Sugeng Jambul. Karena merasa ada sesuatu yang aneh dalam diri Ni Gatri yang berhubungan dengan dirinya Wiro akhirnya mengajak gadis belia itu ke Kotaraja untuk dititipkan pada seorang sahabat. Dia merasa hiba dan sekaligus bertanggung jawab kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk dengan Ni Gatri.
Mereka memasuki pinggiran Kotaraja sebelah barat menjelang senja. Sahabat yang dimaksudkan Wiro adalah sepasang kakek nenek yang dikenal dengan panggilan Kakek dan Nenek Pringkun. Kedua suami istri yang tidak punya anak ini bekerja sebagai abdi dalem di Keraton Sultan. Sekali seminggu mereka pulang ke rumah mereka di pinggiran Kotaraja.
Kakek-nenek Pringkun selain terkejut melihat kedatangan Wiro yang sudah bertahun-tahun tidak pernah ditemui sekaligus merasa gembira mengetahui bahwa Pendekar 212 datang membawa seorang gadis belia ayu. Sambil membelai kepala Ni Gatri Kakek Pringkun berkata.
“Pendekar, kami berdua tentu saja sangat bahagia ketitipan Ni Gatri. Puluhan tahun kawin tidak punya keturunan. Hari ini Dewa Agung mengulurkan tangan Kasih memberikan seorang gadis pada kami. Namun mungkin Ni Gatri belum berjodoh dengan kami...”
“Apa maksud Ki Pringkun?” tanya Wiro yang biasa memanggil si kakek dengan sebutan Ki.
Kakek Pringkun menatap wajah istrinya yang tampak seperti sedih. Baru kemudian dia menjawab pertanyaan Wiro. “Kedatangan Ni Gatri sudah diketahui Raden Mas Jonggrang Pringgo. Beliau sejak sore tadi sudah menunggu. Saat ini beliau berada di halaman belakang. Seperti kami berdua beliau juga tidak punya keturunan...”
Wiro merasa heran. Sementara mendengar kata-kata si kakek, Ni Gatri langsung memegang lengan Wiro.
“Kakak, Gatri suka tinggal di sini bersama kakek-nenek ini. Tapi kalau ikut orang yang bernama Raden Mas Jonggrang Pringgo itu Gatri tidak mau. Gatri mau ikut Kakak saja.”
“Ni Gatri, kau tentu saja belum tahu siapa adanya Raden Mas Jonggrang Pringgo. Nanti kau lihat sendiri. Orangnya baik, istrinya juga baik.” Berkata nenek Pringkun.
Sebagai jawaban Ni Gatri menggelengkan kepala berulang kali sementara kedua matanya mulai merebak berkaca-kaca.
“Ki Pringkun, siapa adanya orang bernama Raden Mas Jonggrang Pringgo itu?” Bertanya murid Sinto Gendeng.
“Beliau seorang bangsawan, tinggal di Kotaraja, tak jauh dari kawasan Keraton. Masih punya pertalian darah dengan salah seorang istri Pangeran Kerajaan. Nasib anak ini benar-benar cemerlang. Dia akan bahagia tinggal bersama Raden Mas Jonggrang Pringgo...”
Wiro memandang pada Ni Gatri. Si anak kembali geleng-gelengkan kepala. Kakek Pringkun lantas berkata. “Karena Raden Mas Jonggrang sudah ada sejak petang tadi berada di rumahku, dan kalian berdua sudah datang, tidak baik membiarkan beliau menunggu berlama-lama. Baiknya aku perkenalkan kalian berdua dengan beliau.”
“Ki Pringkun, tunggu dulu. Bagaimana Raden Mas Jonggrang tahu kalau gadis ini akan datang ke sini hari ini?” Murid Sinto Gendeng kembali ajukan pertanyaan.
“Pendekar, sudahlah. Simpan dulu pertanyaanmu. Mari kita menemui bangsawan yang baik hati itu.” Kakek Pringkun lalu menarik tangan Wiro sementara istrinya menuntun Ni Gatri membawa mereka masuk ke dalam rumah terus menuju ke halaman belakang di mana terdapat sebuah taman kecil.
Di dalam taman kecil dan sederhana di atas sebuah tonggak batu yang dibentuk menyerupai bangku, duduk seorang lelaki berbadan gemuk, berperut buncit. Kumis dan janggut tebal menghias wajah yang berminyak. Pakaian mewah, kalung bersusun sampai tiga. Di atas kepala bertengger topi tinggi hitam bersulam benang emas. Sebilah keris bersarung perak terselip di pinggang.
Sambil setengah membungkuk Kakek Pringkun berkata. “Raden Mas Jonggrang, Raden Mas ternyata betul. Ini gadis bernama Ni Gatri yang Raden Mas katakan itu...”
Orang bernama Raden Mas Jonggrang berdiri dan tersenyum lebar. Namun Wiro melihat senyum itu menjadi berubah pencong ketika pandangan sepasang mata mereka saling beradu.
“Kakak, saya tidak mau ikut orang buncit itu...” Berkata Ni Gatri sambil memegang Wiro kuat-kuat.
“Ni Gatri, jangan bicara seperti itu.” Berkata Nenek Pringkun.
Raden Mas Jonggrang Pringgo tertawa gelak-gelak. Wiro merasa suara tawa itu membuat tanah yang dipijak bergetar. “Hemm... Raden Mas ini agaknya sengaja hendak memperlihatkan kehebatan tenaga dalamnya. Apa maksudnya...?” Membatin Pendekar 212 dalam hati.
“Anak ini takut melihat perut buncitku! Ha ha ha! Tak jadi apa. Ki Pringkun kereta yang akan menjemputku agaknya terlambat datang. Biar aku langsung saja membawa gadis ini...”
Sementara Raden Mas Jonggrong Pringgo bicara Wiro memperhatikan. Dalam hati dia berkata. “Aku merasa ada yang aneh pada orang satu ini. Tapi aku tidak bisa memastikan apa. Topi dan pakaiannya bagus. Kasut juga bagus. Dua kaki menginjak tanah pertanda dia memang manusia benaran adanya. Janggut dan kumis tebal melintang, terpelihara rapi. Tapi...”
Tiba-tiba ada satu cahaya kelabu berkelebat, entah dari mana datangnya masuk ke dalam tubuh Ni Gatri. Pada saat yang bersamaan keanehan yang tadi dirasakan Pendekar 212 kini dilihatnya sebagai satu kenyataan. Sang Raden Mas Jonggrang Pringgo tidak memiliki bandar di bibir bagian atas, yaitu antara kumis kiri kanan yang tebal melintang. Mahluk yang tidak memiliki bandar di bibirnya seperti itu hanyalah sebangsa mahluk halus, jin atau roh jahat!
BAB SEPULUH
TIDAK menunggu lebih lama Pendekar 212 Wiro Sableng segera melompat dan mencekal kerah pakaian bagus Raden Mas Jonggrang Pringgo. “Bangsawan keparat! Kau punya niat jahat terhadap Ni Gatri! Perlihatkan ujudmu sebenarnya!” Sambil membentak Wiro alirkan tenaga dalam mengandung hawa sakti panas.
Kakek nenek Pringkun berseru kaget melihat apa yang pakukan Wiro. Meski tubuh mengepulkan asap akibat hawa panas yang menghantamnya namun Raden Mas Jonggrang Pringgo menyeringai lalu tertawa bergolak. Seketika itu juga delapan benjolan merah muncul di keningnya!
“Jahanam!” Wiro ingat anjing dan kakek berpakaian hitam yang pernah hendak mencelakai Ni Gatri. Kedua Mahluk itu sama memiliki delapan benjolan merah di kening. Dan kini benjolan seperti itu ada pula di kening Raden Mas Jonggrang!
Tangan kanan Wiro segera bergerak melepaskan pukulan jarak dekat. Pukulan diarahkan ke kepala Raden Mas Jonggrang. Orang yang diserang masih menyeringai. Padahal pukulan yang dilancarkan murid Sinto Gendeng adalah pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung yang bisa membuat hancur batu sebesar rumah! Apa lagi kepala manusia, bisa hancur lumat dan gosong!
“Anak muda, kau punya tangan yang bisa memukul. Tapi kau tidak pernah menyadari tangan itu adalah seekor ular besar yang akan melilit menghancur remuk tubuhmu sendiri!”
Begitu Raden Mas Jonggrang selesai keluarkan ucapan tiba-tiba tangan kanan Wiro yang mencekal leher bajunya berubah menjadi seekor ular hitam legam yang memiliki delapan benjolan merah kecil di kepalanya. Serta merta gerak serangan sang pendekar menjadi tertahan!
Pendekar 212 berseru kaget ketika ular besar itu tiba-tiba mendesis keras lalu berbalik dan dalam sekejapan mata saja binatang ini telah melilit Wiro mulai dari bahu sampai ke kaki!
“Kreekk! Kreekk!”
Tulang bahu dan pinggul Wiro mengeluarkan suara berderak. Sambil jatuhkan diri Wiro dengan cepat terapkan ilmu Belut Menyusup Tanah. Tubuhnya serta merta menjadi licin seperti belut. Walau cukup susah namun Wiro berhasil lepaskan diri dari lilitan ular hitam.
Tidak mampu melumat Wiro, ular hitam melesat ke arah Ni Gatri. Mulut dibuka lebar. Selarik sinar hitam yang menebar bau sangat busuk menyembur ke sekujur tubuh Ni Gatri mulai dari kepala sampai ke kaki.
“Gadis ayu! Ubah dirimu dan ikut aku! Atau kau kubunuh sekarang juga!” Ular hitam besar keluarkan ucapan suara manusia.
Ni Gatri menjerit. Dari tubuhnya memancar cahaya putih, berusaha membendung datangnya semburan sinar hitam. Namun kekuatan serangan ular hitam setingkat lebih hebat. Walau cahaya putih sanggup bertahan tapi tubuh dari pinggang ke bawah saat itu tampak telah berubah menjadi tubuh ular hitam.
“Ikut aku.” Ular hitam besar kembali keluarkan ucapan.
Ni Gatri tampak menggapai-gapai. Buntut ularnya menjejak-jejak tanah seperti berjalan. Tiba-tiba tubuh gadis ini melayang ke arah ular besar. Dua tangan dikembang seperti hendak minta dirangkul!
“Orang tua, peluk diriku. Aku ikut bersamamu...” Ni Gatri berseru. Dan suara yang terdengar adalah suara aslinya.
Namun ada satu kekuatan di dalam tubuh si gadis yang berusaha menolak dan melindungi dirinya dari kekuatan yang hendak merubah dan membawa melarikannya. Dari mulut Ni Gatri lalu keluar ucapan suara seorang kakek.
“Delapan Sukma Merah! Kau boleh muncul seribu ujud. Kau boleh berada di mana-mana. Tapi kematian bagimu juga ada di mana-mana! Bagi roh jahat tidak ada tempat di alam manapun!”
Ular besar mendesis keras. Ujung ekor yang panjang runcing laksana sebilah pedang menyambar ke arah leher Ni Gatri. Si gadis yang sebagian tubuhnya telah berubah menjadi ular hitam menjerit keras. Saat itulah dari samping kanan tiba-tiba berkiblat cahaya putih menyilaukan disertai suara menggelegar dahsyat dan tebaran panas luar biasa!
Taman kecil di bagian belakang rumah kediaman Ki Pringkun laksana terbongkar. Tanah dan segala macam tanaman termasuk batu dan meja terbuat dari batu bermentalan ke udara. Sebagian dinding halaman belakang roboh hangus. Kakek nenek Pringkun jatuh bergulingan di tanah. Udara panas terasa seperti hendak melelehkan tubuh. Ni Gatri menjerit keras. Anak perempuan ini tergolek dekat sebuah jambangan besar yang telah hancur. Tubuhnya masih berbentuk setengah manusia setengah ular.
Di tanah, dekat reruntuhan tembok halaman sosok ular besar hitam yang telah berubah gosong menggelepar-gelepar mengeluarkan suara desis berkepanjangan. Tak selang berapa lama ujud binatang jejadian ini kepulkan asap busuk. Dalam kegelapan senja memasuki malam, asap berubah membentuk sosok seorang kakek berpakaian hitam yang kemudian melesat ke udara dan lenyap dari pandangan mata. Orang tua ini adalah yang pernah dilihat Wiro secara samar, muncul setelah dia membunuh anjing besar hitam dan buduk yang mengejar Ni Gatri. Tiba-tiba ada suara orang tertawa cekikikan.
“Hik hik... Pukulan Sinar Matahari! Aku kira ilmu kesaktian itu sudah kau jual pada orang lain!”
Wiro terkejut. Memandang berkeliling. “Ada suara tak ada orangnya. Mungkin aku salah mendengar. Tapi rasa-rasanya itu memang suara dia. Atau masih ada mahluk gaib berkeliaran di sekitar sini menyaru suara, mengincar Ni Gatri. Anak itu dirinya selalu diikuti maraba-haya ke mana dia pergi. Bagaimana aku harus menolongnya. Aku tak mungkin membawanya ke mana aku pergi. Dan sekarang sosoknya berbentuk setengah ular setengah manusia. Ketika ular jahanam itu tadi menyemburnya, ada cahaya putih di dalam tubuhnya berusaha menolong namun kalah kuat...”
Wiro melangkah mendekati Ni Gatri.
“Kakak, tolong... Bagaimana ini. Bagaimana tubuh Gatri bisa jadi begini. Gatri takut...” Ni Gatri berucap dengan suara tersendat-sendat. Wajahnya tampak pucat.
Ketika Wiro berjongkok di samping anak perempuan itu, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat. Wiro melihat dua kaki kurus kering tak berkasut berdiri di tanah di hadapannya. Lalu ada kain panjang dan kebaya hitam basah menebar bau pesing. Melihat lebih ke atas Pendekar 212 tersentak kaget. Buru-buru dia melompat lalu membungkuk dan berseru.
“Eyang Sinto!”
“Hik... hik! Anak setan, aku belum ingin bicara denganmu. Aku mau bicara dulu dengan anak perempuan ini. Tidak! Bukan dengan anak perempuan ini, tapi dengan mahluk yang ada di dalam dirinya!”
Orang yang berdiri di hadapan Wiro saat itu adalah nenek tua berkulit hitam bermata cekung. Rambut putih jarang digulung di atas kepala. Kepala itu sendiri ditancapi lima tusuk konde dari perak. Nenek ini bukan lain Sinto Gendeng, tokoh angker rimba persilatan dan adalah guru sang pendekar.
Dengan ujung tongkatnya Sinto Gendeng mengangkat tubuh Ni Gatri hingga terduduk tersandar ke runtuhan tembok. Dengan tongkat itu pula si nenek kemudian mengusap bagian tubuh gadis belia itu mulai dari pinggang ke bawah. Tongkat berpijar biru. Tubuh Ni Gatri tersentak. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara seperti orang menjerit. Ujud tubuh bagian bawah Ni Gatri yang sebelumnya berbentuk ular serta merta berubah, kembali pada keadaan aslinya. Sadar dirinya ditolong orang, walau takut melihat wajah si nenek namun Ni Gatri cepat berlutut.
“Nenek, saya Ni Gatri menghatur ribuan terima kasih kau telah mengembalikan ujud saya...”
“Hemmm...” Sinto Gendeng keluarkan suara bergumam. Tongkat kayu diusap-usapkan di atas kepala Ni Gatri. “Anak baik, anak tahu diri. Sekarang kancing dulu mulutmu. Aku mau bicara dengan mahluk yang ada dalam tubuhmu!”
BAB SEBELAS
SINTO GENDENG bungkukkan tubuh sedikit. Wiro melihat tidak biasanya sang guru memberi penghormatan seperti itu. Apa lagi pada orang yang sosoknya tidak terlihat.
“Sahabat di dalam tubuh anak perempuan bernama Ni Gatri, kau telah melindungi anak ini. Berarti kau mahluk putih. Harap kau mau memberi tahu siapa dirimu, kau datang dari mana dan apa maksud keperluanmu. Apakah kehadiranmu dan semua apa yang terjadi di sini sesuai dengan petunjuk Yang Maha Kuasa yang aku terima melalui mimpi...”
Baik Wiro apa lagi nenek Pringkun memperhatikan dengan perasaan mencekam. Mereka sama memandang ke arah Ni Gatri. Ni Gatri membuka mulut. Suara yang keluar dan terdengar bukan suaranya namun suara kakek-kakek. Wiro ingat kejadian di pasar Demak. Ketika memaki kakek jahat berdestar Ni Gatri juga bicara bukan dengan suaranya sendiri.
“Nenek bersunting lima di atas kepala. Saya sangat menaruh hormat padamu. Saya mahluk yang datang dari jauh dari Kerajaan Mataram Kuno, di alam yang berbeda delapan ratus tahun silam dari saat ini. Saya menerima tugas dari Yang Maha Agung untuk melindungi anak perempuan bernama Ni Gatri itu. Ternyata ilmu kepandaian yang saya miliki masih belum memadai. Bersyukur kepada Sang Hyang Bathara Agung kau dan muridmu telah memberikan pertolongan...”
“Oala... Kalau begitu kau adalah salah seorang leluhur kami... Hanya Yang maha Kuasa yang mampu membuat kejadian seperti ini...” Sinto Gendeng membungkuk sampai beberapa kali.
“Nenek berkonde lima, jangan membuat aku sungkan dengan segala pernghormatan...” Berkata mahluk yang ada di dalam tubuh Ni Gatri.
“Sahabat, mengapa kau merasa perlu menyelamatkan anak perempuan itu. Siapa yang berhati jahat menginginkan kematiannya dan apa alasannya...” Bertanya Sinto Gendeng.
“Anak perempuan itu akan menjadi penghubung bagi Raja Mataram Rakai Kayuwangi Lokapala dalam menyelamatkan Kerajaan dan rakyat Mataram yang saat ini tengah ditimpa bala bencana mengerikan. Mahluk-mahluk jahat yang dikendalikan seseorang yang menginginkan agar hubungan tidak terjadi. Itu sebabnya mereka ingin menghabisi anak perempuan itu...”
“Sahabat, apakah kau mempunyai nama. Dapatkah kau memperlihatkan ujudmu...?”
“Nenek berkonde lima. Tidak ada kesulitan bagi saya untuk memberi tahu nama dan memperlihatkan ujud. Namun saya membekal pesan Para Dewa di Swargaloka untuk tidak melakukan hal itu. Penyebabnya karena di alammu dan di alam saya banyak sekali telinga musuh yang bisa mendengar dan mata yang bisa melihat. Kematian bagi saya bukan apa-apa. Tapi jika tugas saya gagal di tengah jalan maka seumur hidup bahkan sampai di liang kubur saya akan dibebani dosa pada Raja dan rakyat Mataram. Saya mohon maaf karena waktu saya sudah habis. Satu hal sangat saya harapkan. Jangan pisahkan Ni Gatri dengan muridmu. Paling tidak sampai tengah malam nanti. Dan mohon diwaspadai, jangan sampai ada kekuatan gaib memisahkan mereka. Saya mohon nenek bersunting bisa membawa mereka ke rimba kecil tak jauh dari candi Prambanan. Tunggulah di sana sampai sesuatu terjadi...”
Kening berkulit tipis Sinto Gendeng mengerenyit lalu berpaling menatap pada sang murid. Wiro garuk-garuk kepala. “Mengapa kau meminta agar muridku dan anak perempuan itu jangan sampai dipisahkan...?” bertanya Sinto Gendeng.
“Karena muridmulah orang yang akan dihubungi oleh Raja Mataram melalui alam gaib dan melalui anak perempuan bernama Ni Gatri.”
Sinto Gendeng kini semakin mengerti mengapa musuh Raja Mataram ingin mencelakai bahkan membunuh Ni Gatri. Supaya hubungan terputus. “Tapi sahabat, kenapa musti muridku?” bertanya lagi Sinto Gendeng.
“Maaf, saya tidak bisa mengatakan. Saat ini saya melihat di sekeliling tempat ini ada bayangan seratus mahluk hitam bugil yang di negeri dan zaman kami disebut Seratus Jin Perut Bumi. Mereka bisa mencelakai diri saya dan juga muridmu...”
“Persetan! Jangankan Jin Perut Bumi. Jin Dari Perut Neraka sekalipun aku tidak takut!” Ucap Sinto Gendeng.
Si nenek lalu memandang sekeliling kegelapan malam. Dia tidak melihat mahluk-mahluk yang dikatakan kakek di dalam tubuh Ni Gatri. Namun si nenek sakti bisa merasakan kehadiran mahluk asing itu. Cuping hidung Sinto Gendeng bahkan bisa mencium bau mereka. Bau amis!
“Wiro, kau mencium bau sesuatu...?” Tanya Sinto Gendeng pada Wiro.
Sang murid menghirup udara malam dalam-dalam. Lalu gelengkan kepala. “Maaf Eyang, saya tidak mencium bau apa-apa. Kecuali...”
“Kecuali apa?!” tanya si nenek dengan pelototkan mata karena sudah merasa.
“Maaf Eyang Guru. Yang tercium oleh saya saat ini hanya bau pesing di tubuh dan pakaianmu...”
“Anak setan! Dasar! Kurang ajar!” Sinto Gendeng memaki panjang pendek.
Ni Gatri tertawa cekikikan. Suara tawanya adalah suaranya sendiri. Pertanda mahluk yang ada di dalam tubuhnya telah meninggalkan dirinya.
“Kalian berdua lekas ikut aku ke rimba belantara dekat candi Prambanan itu...” Berkata Sinto Gendeng. "Kalau sampai tengah malam nanti tidak terjadi apa-apa berarti tak ada yang perlu dicemaskan. Dua malam lalu aku memang bermimpi bahwa ada seseorang dari alam gaib memberikan mahkota padamu. Mahkota dalam artian mimpi adalah tugas sangat berat dan juga satu pertanda bahwa kau akan pergi ke satu alam lain...”
“Nek, apa kau percaya ucapan mahluk yang tadi berada di dalam tubuh Ni Gatri itu? Bagaimana kalau dia menipu hingga kita semua kelak jadi celaka.” Sinto Gendeng gelengkan kepala lalu tersenyum. “Kau tersenyum Nek, memangnya kenapa? Ada yang lucu?” tanya Wiro.
“Tidak ada yang lucu. Aku hanya mengenang...”
“Mengenang? Mengenang apa Nek?”
Senyum sang guru semakin lebar. “Mengenang wajahnya.”
“Heh...? Wajah siapa Nek?” tanya Wiro lagi.
“Wajah kakek gagah yang ada di dalam tubuh Ni Gatri,” jawab Sinto Gendeng.
Wiro tercengang, menggaruk kepala lalu berkata. “Ah... rupanya kau tertarik pada kakek itu. Hemm... pantas tadi aku melihat Eyang Guru kau bulak balik merunduk membungkukkan tubuh. Pasti Eyang Guru bukan cuma tertarik. Tapi sudah kepincut alias jatuh hati padanya...”
“Husss!” Sinto Gendeng membentak.
“Nek, cinta dimasa tua memang lain pula indahnya dibanding dengan cinta orang muda-muda...”
“Anak setan! Jangan macam-macam kau. Aku pelintir pusarmu nanti!” Mengancam Sinto Gendeng. Lalu dia sambumg ucapannya. “Para leluhur kita sedang dalam kesulitan. Lekas kau gendong anak perempuan itu. Kita harus segera berada di hutan yang dikatakan kakek itu.”
“Kakek atau kakak Nek,” ucap Wiro menggoda.
“Anak setan!” Kembali sang guru memaki.
“Anu Nek, mengapa kau tidak minta dipeluk dan dicium sama kakek gagah itu?”
“Heh?!” Sinto Gendeng tertegun sejenak. Lalu kembali mulut perotnya berteriak memaki. “Anak setan! Bego! Gelo! Sinting! Edan! Jangan sampai aku remas kantong menyanmu!”
********************
BAB DUA BELAS
PEDATARAN kecil di luar desa Candi di kaki Gunung Ungaran. Saat itu matahari bersinar terik-teriknya. Kegersangan agak berkurang dengan kehadiran tujuh buah candi walaupun dari keadaannya jelas kurang terawat. Itulah kelompok Candi Gedong Pitu yang dibangun oleh Raja Raja Mataram pendahulu Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Lokapala.
Di langit setelah utara serombongan burung melayang terbang ke arah barat. DI Ujung pedataran yang sunyi sebelah selatan enam orang anak penggembala menggiring selusin kerbau ke arah kali kecil cabang sungai Wringin. Ketika rombongan burung lenyap di langit sebelah barat dan anak-anak penggembala bersama kerbau-kerbaunya menghilang di lembah yang menurun yang menuju kali.
Di langit sebelah utara tiba-tiba kelihatan satu pemandangan aneh. Ada orang melayang terbang menunggangi benda berbentuk kuda. Orang ini bukan lain Sri Maharaja Mataram yang diterbangkan oleh Kuda Lumping yang menurut Mimba Purana, Satria Lonceng Dewa, berasal dari alam delapan ratus tahun dimasa yang akan datang.
Di pertengahan pedataran di mana kelompok tujuh candi berada, Kuda Lumping melayang turun. Begitu Sri Maharaja Mataram menjejakkan kaki di tanah telinganya mendengar suara orang melafatkan bacaan yang berasal dari Kitab Weda. Demikian indahnya orang itu melafat hingga siapa saja yang mendengar akan merasakan kesejukan dalam jiwa raganya.
Rakai Kayuwangi selipkan cemeti di leher Kuda Lumping, tanggalkan tali kulit yang melingkar di lehernya lalu membuka giring-giring perak yang tergantung di leher, menyimpannya di balik pinggang pakaian. Kuda Lumping kemudian disandarkan pada serumpun semak belukar. Dia memandang berkeliling, mata mencari-cari orang yang tengah melantunkan bacaan Kitab Weda.
Sang Raja kemudian melihat ada seorang tua renta berpakaian dekil penuh tambalan duduk dekat tangga salah satu candi. Rambut putih panjang dan janggut menjela dada melambai-lambai ditiup angin pedataran. Rakai Kayuwangi perhatikan kening si orang tua. Dia merasa lega karena kening itu licin, tidak ada delapan benjolan merah berasap. Di atas kakinya yang bersila terletak sebatang tongkat berlapis daun-daun kering.
Di sebelah depan, di tanah ada sebuah tempurung. Orang tua ini melafalkan isi Kitab Weda di luar kepala sambil jari tangan diacung-acung ke udara dan digoyang-goyang sesuai dengan lantunan irama bacaan. Kepala diangkat menghadap ke langit, mata dipejamkan. Debu pedataran mengotori wajahnya. Berarti dia sudah cukup lama berada di tempat itu.
Rakai Kayuwangi berhenti di hadapan si orang tua. Mengira orang tua ini adalah seorang pengemis maka dia memeriksa saku baju pakaiannya. Ternyata dia tidak memiliki sekeping uangpun. Tidak mau mengecewakan pengemis tua itu Rakai Kayuwangi tanggalkan sebuah gelang emas yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ketika dia membungkuk untuk menaruh gelang itu di dalam tempurung dua hal mengejutkan sang Raja.
Hal pertama karena melihat, di dalam tempurung ada dua potongan kayu. Dua potongan kayu itu sangat sama dengan dua potong kayu yang tahu-tahu muncul di ruangan di bawah Pegunungan Dieng setelah dia memotong ke dua jari tengahnya sesuai dengan permintaan bocah sakti Satria Lonceng Dewa Mimba Purana. Bagaimana mungkin?
Hal kedua. Ketika menatap wajah si pengemis dalam jarak yang begitu dekat, ternyata orang tua ini memiliki sepasang mata yang keseluruhannya putih alias buta! Tidak ada waktu untuk berpikir karena dia harus segera menemukan makam Empat Mayat Aneh maka Rakai Kayuwangi berlalu dari hadapan sang pengemis.
Sang Raja berjalan sambil menatap ke atas. Sesuai keterangan Mimba Purana, Makam Empat Mayat Aneh terletak di udara, tidak bisa terlihat mata biasa. Rakai Kayuwangi jadi bingung. Bagaimana dia bisa menemukan makam itu? Mengapa sebelumnya dia tidak meminta petunjuk pada Mimba Purana?
Baru berjalan sekitar tiga tombak Rakai Kayuwangi hentikan langkah. Di sebelah sana orang tua pengemis berhenti melafatkan bacaan Kitab Weda. Kini terdengar suaranya menyanyi.
Seorang insan berlalu begitu saja
Berhati baik dan pemurah
Namun berpikiran tidak sejernih kaca
Apakah mungkin membuka pintu Tanpa memiliki kunci
Apakah mungkin melihat yang gaib
Dengan mata telanjang
Tanpa terlebih dulu Membuka pintu hati
Sri Maharaja Mataram terpana seketika. Lalu dia ingat ucapan Mimba Purana sewaktu berada di dalam ruangan batu yang terletak di dasar pegunungan Dieng.
“...Bilamana Yang Mulia telah sampai di kawasan Candi Gedong Pitu, akan ada seseorang menemui Yang Mulia...”
“Jangan-jangan pengemis itu orang yang dimaksud anak itu.”
Tidak berpikir lebih lama Rakai Kayuwangi segera berbalik mendatangi si orang tua. Sampai di hadapan sang pengemis, Raja Mataram duduk bersila di tanah. Dia memegang lutut orang. Pengemis tua hentikan nyanyiannya. Raja Mataram segera keluarkan ucapan.
“Orang tua, maafkan kalau saya pergi begitu saja. Apakah kau orang yang dimaksudkan Satria Lonceng Dewa sebagai orang yang akan saya temui di kawasan Candi Gedong Pitu ini?”
Orang tua bermata buta menatap Rakai Kayuwangi lalu berkata. “Aku mengenal anak keramat berjuluk Satria Lonceng Dewa, bernama Mimba Purana. Tapi aku tidak mengenal dirimu. Siapakah kau adanya hingga begitu dermawan memberi aku sebuah gelang emas besar. Padahal aku tidak meminta, tidak pula mengemis...”
Berubahlah paras Raja Mataram. “Orang tua, maafkan diri saya. Saya tidak bermaksud merendahkan dirimu. Tapi di tempat seperti ini, keadaan dirimu, bacaan suci yang kau lafatkan serta tempurung yang ada dihadapanmu memberi kesan... Saya mohon beribu maaf kalau telah mengira dirimu adalah seorang pengemis. Tapi saya tidak akan mengambil kembali apa yang telah saya berikan kepadamu. Itu saya berikan dengan keikhlasan hati saya.”
“Insan, dari bau debu yang melekat di tubuh dan pakaianmu rupanya kau datang dari jauh. Dari suaramu tersirat tanda kau mengidap penyakit, menanggung beban yang maha berat dan sangat keletihan. Siapakah dirimu adanya?”
“Saya Rakai Kayuwangi.”
“Rakai Kayuwangi...!” Mengulang si orang tua bermata putih buta. “Ada banyak orang bernama Rakai Kayuwangi di jagat ini. Kau Rakai Kayuwangi yang mana? Berasal dari mana?”
“Saya Rakai Kayuwangi Lokapala. Berasal dari Bhumi Mataram,” Sang Raja masih belum mau menjelaskan siapa dirinya sebenarnya, kalau dia adalah Sri Maharaja Kerajaan Mataram. Ini disebabkan karena dia masih merasa was-was siapa sebenarnya orang tua bermata putih buta di tempat sepi kawasan tujuh candi ini.
“Aku mengharapkan kedatangan seekor burung elang, yang datang ternyata seekor burung pipit. Insan dalam perjalanan, silahkan berlalu, aku akan meneruskan bacaan melafatkan isi Kitab Weda...”
Rakai Kayuwangi bangkit dari duduknya. Si orang tua ulurkan tangan kanan mengambil gelang emas besar di dalam tempurung dengan maksud hendak mengembalikan pada Rakai Kayuwangi. Ketika jari-jari tangannya memegang gelang, kebetulan menyentuh permukaan yang ada ukiran burung Rajawali mengembangkan sayap. Dia mengusap ukiran berulang kali dengan ujung jari tangan. Ukiran itu adalah gambar atau salah satu lambang-lambang keramat Kerajaan Mataram. Wajah si orang tua berubah. Mata yang buta ditatapkan ke arah Rakai Kayuwangi. Tubuh dibungkukkan. Mulut berucap.
“Sri Maharaja Mataram, Rakai Kayuwangi Lokapala, saya memang menunggu kedatangan Yang Mulia. Mengapa tidak memberi tahu dari tadi siapa Yang Mulia sebenarnya. Mohon maafmu kalau saya telah berlaku tidak sopan bahkan mungkin kurang ajar.”
Raja Mataram usap wajahnya berulang kali lalu menjawab. “Saya juga mohon maaf kalau telah mengambil sikap yang tidak berkenan di hatimu. Orang tua siapakah namamu. Apakah benar kau orang yang dimaksudkan Satria Lonceng Dewa sebagai orang yang akan menemui diri saya?”
“Yang Mulia, apa yang dikatakan anak keramat itu benar adanya. Nama saya adalah Kambara Walanipa. Tapi orang-orang lebih sering menyebut saya Si Tringgiling. Ini disebabkan karena dalam satu tahun, saya hanya dua puluh satu hari berada di alam terbuka. Selebihnya saya berada di dalam tanah. Yang Mulia, silahkan bertanya. Mudah-mudah Yang Maha Kuasa membimbing saya memberi petunjuk yang benar.”
“Orang tua, saya datang ke sini demi mencari jalan untuk menyelamatkan Kerajaan dan rakyat Mataram dari malapetaka yang sedang menimpa. Saya harus menemukan sebuah makam dari Empat Mayat Aneh...”
“Apakah Yang Mulia telah menemukan?” bertanya si Tringgiling.
“Belum. Konon makam itu tergantung di udara. Mata biasa tidak bisa melihatnya. Saya mohon petunjuk...”
“Makam Empat Mayat Aneh masih tertutup dua pintu gaib. Yang Mulia tidak akan menemukan makam itu tanpa membuka kunci dua pintu.”
“Kalau begitu saya mohon petunjuk lebih lanjut.”
“Dua buah kunci pembuka pintu adalah dua potongan kayu yang ada di dalam tempurung.” Menjelaskan Kambara Walanipa.
Rakai Kayuwangi terkejut. Dia memperhatikan dua potongan kayu dalam tempurung sebentar lalu berkata. “Orang tua, tolong saya diberi tahu. Di mana letak dua pintu yang harus dibuka dengan kunci berupa dua potong kayu itu?”
“Dua pintu itu adalah dua mata Yang Mulia sendiri. Ambil dua potong kayu di dalam tempurung. Cucukkan ke mata kiri kanan Yang Mulia lalu diputar ke arah yang berlawanan, masing-masing ke arah samping kepala. Kalau Yang Mulia mendengar suara kreek, maka berarti dua pintu telah terbuka. Yang Mulia akan melihat makam yang mengambang di udara. Yang Mulia hanya tinggal berdoa memohon pertolongan Yang Maha Kuasa maka makam Empat Mayat Aneh akan turun ke tanah...”
Mendengar penjelasan orang tua buta berjuluk Si Tringgiling kali ini kejut Raja Mataram bukan alang kepalang. “Sebelumnya aku diminta harus memotong dua jari tengah. Sekarang menusuk dua mata dengan potongan kayu. Kalau orang tua ini mahluk jahat yang menyaru maka aku akan buta seumur-umur. Kerajaan dan rakyat Mataram tidak akan tertolong...”
Rakai Kayuwangi perhatikan dengan teliti sosok si orang tua mulai dari kepaia sampai ke kaki. Dia tidak melihat adanya tanda-tanda yang mencurigakan. Tahu kalau Raja Mataram berada dalam kebimbangan, si orang tua angkat kepala lalu kembali lantunkan suara nyanyian.
Keraguan sifat setiap insan
Keraguan sifat untuk berhati-hati
Tapi keraguan bisa juga mengandung kecurigaan
Hidup di dunia berserah diri kepada Yang Maha Kuasa
Percaya pada diri sendiri
Adalah pangkal percaya pada orang lain
Mendengar nyanyian Kambara Walanipa keraguan dalam hati Raja Mataram serta merta sirna. Dia segera mengambil dua potong kayu di dalam tempurung yang besar dan panjangnya seukuran jari tangan sebelah tengah. Tidak membuang waktu lagi Raja Mataram ini lalu tancapkan dua potongan kayu ke mata kiri kanan.
“Craasss!” Darah mengucur. Tubuh menggigil menahan rasa sakit yang luar biasa. Dua potongan kayu yang telah menancap di mata diputar ke arah samping wajah.
“Kreek! Keekk!”
BAB TIGA BELAS
SEKONYONG-KONYONG di siang hari yang terang dan panas itu di langit berkiblat kilat empat kali berturut-turut. Suara guntur menggelegar. Lalu awan tebal kelabu muncul hingga udara yang tadinya terang benderang berubah menjadi kelam. Angin bertiup kencang namun tidak setetes air hujanpun yang turun.
Sri Maharaja Mataram tersentak ketika rasa sakit pada kedua matanya mendadak hilang. Dia usapkan tangan ke muka. Dua potongan kayu yang tadi menancap di kedua matanya lenyap! Tidak ada darah yang mengucur. Tidak ada lagi lelehan darah pada wajah dan kedua tangannya! Matanya tidak hancur dan juga tidak buta.
Selagi dia terheran-heran tiba-tiba di langit muncul satu cahaya coklat kehitaman. Rakai Kayuwangi angkat kepala, mendongak ke atas. Dada berdebar dan tubuh bergetar, mulut berucap.
“Makam Empat Mayat Aneh... Hyang Jagat Bathara! Dewa Agung!” Raja Mataram merasakan tengkuk dingin merinding.
Seolah tergantung, saat itu di udara tampak sebuah kuburan luar biasa besar yang tanahnya masih merah, sebagian tertutup tebaran bunga menebar bau harum. Di kepala makam terdapat empat buah batu nisan hitam tanpa teraan nama atau tulisan apapun. Di kejauhan terdengar suara tiupan terompet ditingkah suara tambur.
Perlahan-lahan kuburan atau makam raksasa yang menggantung di udara bergerak turun ke bawah. Ketika bersentuhan dengan tanah pedataran di antara dua buah candi, pedataran terasa bergetar dan debu serta tanah muncrat beterbangan ke udara hingga kedaaan di tempat itu menjadi bertambah gelap.
Rakai Kayuwangi bungkukkan tubuh berulang kali. Dalam keadaaan tercekat matanya yang ternyata tetap utuh tidak buta menatap besar tak berkesip. Dia lalu ingat pada si orang tua buta bernama Kambara Walanipa alias Si Tringgiling. Memandang ke arah tangga candi di mana orang tua itu tadi duduk bersila, ternyata Si Tringgiling tidak ada lagi di tempat itu!
Rakai Kayuwangi rapatkan dua tangan di depan wajah. Saat itulah dia terkejut ketika melihat gelang emas besar yang sebelumnya dimasukkan ke dalam tempurung diberikan pada si orang tua, kini telah melingkar kembali di lengan kirinya!
“Luar biasa! Bathara Agung! KuasaMu sungguh luar biasa!” Dalam keadaan yang penuh keanehan dan keangkeran itu, Raja Mataram melangkah mendekati kuburan besar yang memancarkan cahaya coklat kehitaman. Sementara belum tahu bagaimana dia akan membongkar makam dan menemukan Empat Mayat Aneh, di hadapan kuburan Rakai Kayuwangi perlukan membungkuk memberi penghormatan pada para arwah.
Setelah meragu sebentar, sang Raja duduk bersila, mengheningkan cipta meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa. Ketika petunjuk tidak didapatkan maka Rakai Kayuwangi mulai membaca mantera aji kesaktian bernama Sepasang Tangan Dewa Menebar Pahala.
Dua tangan Rakai Kayuwangi mulai dari bahu sampai ke ujung jari berubah menjadi sepuluh kali lebih besar. Raja Mataram Ini lalu bangkit berdiri, melangkah lebih dekat ke arah kuburan besar, siap untuk melakukan penggalian. Namun darahnya tersirap, wajah berubah dan tubuh bergeletar ketika tiba-tiba ada suara mendesis keras disusul suara kreekkk!
Tanah kuburan besar, terbelah dan menguak lebar tepat di bagian tengah. Dalam udara gelap Rakai Kayu Wangi melihat sebuah peti mati hitam berukuran besar menyembul dari dalam kuburan yang tanahnya telah terkuak. Sementara dua tangannya kembali ke bentuk semula, sang Raja lagi-lagi merasa tengkuknya menjadi dingin merinding.
Dia pandangi peti mati besar itu untuk beberapa lama lalu melangkah mendekati. Tangan kanan bergetar hebat ketika diulurkan untuk menyentuh dan membuka penutup peti mati. Selain sangat berat penutup peti keluarkan suara berkereket angker ketika dibuka. Sedikit demi sedikit penutup peti mati terbuka.
Setengah jalan tiba-tiba penutup peti terpentang membuka sendiri. Dari dalam peti memancar empat cahaya coklat menyilaukan mata hingga Rakai Kayuwangi tersurut mundur. Dari dalam peti terdengar pula suara berucap keras yang membuat Raja Mataram jadi tercekat.
Pelihara mata hanya melihat kebaikan
Pelihara mulut hanya bicara kebaikan
Pelihara telinga hanya mendengar kebaikan
Pelihara kemaluan hanya untuk kebaikan
Untuk beberapa lama Rakai Kayuwangi tidak dapat melihat apa yang ada di dalam peti mati besar karena ada kepulan asap kelabu menutupi pemandangan. Tak selang berapa lama, begitu asap kelabu sirna Rakai Kayuwangi menyaksikan satu pemandangan yang sungguh luar biasa!
Di dalam peti mati besar terbujur empat sosok mayat laki-laki yang sekujur tubuh kecuali wajah dan kepala terbalut gulungan kain putih. Mayat pertama dalam keadaan dua tangan ditutupkan ke mata. Mayat kedua tangan menutupi mulut. Mayat ketiga dua tangan ditutupkan ke telinga kiri kanan. Mayat terakhir yaitu mayat ke empat tekapkan dua tangan di atas kemaluan. Empat Mayat Aneh!
“Hyang Jagat Bathara, bagaimana saya bisa mendapat petunjuk dari Empat Mayat Aneh ini,” membatin Rakai Kayuwangi.
Setelah merenung sejenak, Raja Mataram bergerak lebih mendekati peti mati besar. Tiba-tiba dia melihat mayat ke tiga turunkan dua tangan yang menutup telinga.
“Dia siap mendengarkan apa yang hendak aku sampaikan...” kata Rakai Kayuwangi dalam hati. Lalu setelah lebih dulu membungkuk Raja Mataram ini cepat berkata.
“Empat Mayat Aneh, salam sejahtera bagimu semua. Saya Rakai Kayuwangi Lokapala Raja Mataram datang mengunjungi untuk mohon diberikan petunjuk. Mohon maaf kalau kedatangan saya telah menggangu ketenteraman mu di dalam roh di alam baka...”
Selesai Raja Mataram bicara, mayat ke tiga yang telah mendengar ucapan sang Raja tutup kembali ke dua telinganya dengan dua tangan.
“Hyang Jagat Bathara, apakah saya akan menerima jawaban?” ucap Rakai Kayuwangi dalam hati.
Tak ada suara jawaban. Tak ada satupun dari Empat Mayat Aneh yang bergerak. Kayu penutup peti bergoyang-goyang dan berkereketan ketika angin kembali berdesau bertiup kencang. Rakai Kayuwangi berdoa dalam hati. Meminta pada Yang Maha Kuasa agar sesuatu terjadi. Tiba-tiba Raja Mataram Ingat. Ada sesuatu yang terlupa dilakukannya.
Dari balik pinggang pakaian Rakai Kayuwangi keluarkan giring-giring perak. Sesuai dengan petunjuk yang diberikan Satria Lonceng Dewa Mimba Purana, giring-giring digoyang hingga keluarkan suara bergemerincing keras. Giring-giring lalu disapukan pulang balik di atas wajah Empat Mayat Aneh. Keajaibanpun terjadi!
“Yang Maha Kuasa, terima kasih...” Rakai Kayuwangi membungkuk dalam-dalam sementara sepasang mata tak berkesip memperhatikan mayat kedua yang ada dalam peti mati besar.
Mayat ke dua, yang menutup mulut dengan dua tangan, turunkan dua tangan ke samping. Lalu terdengar suara ucapan penuh kelembutan. “Raja Mataram Rakai Kayuwangi Lokapala, salam sejahtera bersambut dan berbalas untuk dirimu, keluargamu, para pejabat Kerajaan dan rakyat Mataram. Kami berempat merasa masih sangat dihargai karena telah dimintai kehadiran untuk memberi petunjuk. Petunjuk mana yang sebenarnya bukan datang dari kami mahluk tiada guna ini, namun berasal dari Yang Maha Kuasa. Selama kami hidup dan sampai kembali menghadap Yang Maha Kuasa, para sepuh Raja-Raja Mataram telah sangat memperhatikan kami. Kami diberikan tempat beristirahat di alam yang indah dan penuh ketenangan, di udara yang penuh kesegaran. Adalah pada tempatnya kalau kami membalas semua budi kebaikan itu. Namun rasanya sampai kiamat budi baik itu tidak sanggup kami balaskan. Maafkan dan ampuni kekurangan kami ini wahai Para Dewa di Kahyangan. Yang Mulia Raja Mataram, sebelum lanjut bersuara, kami perlu melihat lebih dulu apakah kau sebenar-benarnya Yang Mulia Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Lokapala. Kami perlu berhati-hati karena alam arwah dan alam nyata selalu penuh dengan tipu daya.”
Selesai bicara, mayat kedua tutup kembali mulutnya dengan kedua tangan. Di sebelahnya, mayat pertama lepaskan tekapan dua tangan pada kedua mata. Mata yang nyalang ini kemudian menatap memperhatikan Rakai Kayu Wangi. Hidung menghirup dalam-dalam. Mayat pertama ini kemudian menepuk mayat kedua lalu menutup matanya. Mayat kedua membuka mulut dan berkata.
“Saudaraku bertiga, orang yang ada di hadapan kita memang adalah Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Lokapala, putera dari Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu. Tiada keraguan untuk membantu dirinya, keluarganya, Kerajaan dan rakyat Mataram agar terlepas dari malapetaka yang menimpa...”
Tiga kepala mayat di samping mayat ke dua tampak bergerak menganguk-angguk.
“Sahabatku Empat Mayat Aneh, saya sangat berterima kasih. Saya mohon malapetaka itu dimusnahkan dengan segera...”
Mayat ke empat yang menutupkan kedua tangan di atas kemaluan tiba-tiba angkat dua tangannya ke atas. Mulut keluarkan ucapan lantang.
“Salah satu penyebab kejahatan angkara murka di alam arwah dan dimuka bumi berasal dari kemaluan yang tidak terpelihara secara baik! Hyang Jagat Bathara Dewa, kami Empat Mayat Bersaudara yang tiada daya ini, mohon pertolonganMu. Kirimkan kuasaMu untuk menjemput pemuda pilihan, di negeri dan alam delapan ratus tahun kemudian nun sangat jauh di sana, yang telah tertulis di dalam aksara takdir suciMu, satu-satunya insan yang kau berikan kekuatan dan kemampuan untuk menyelamatkan Raja, Rakyat dan Kerajaan Mataram dari malapetaka yang sedang menimpa!”
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara kuda meringkik. “Wuss!” Kuda Lumping yang disandarkan Raja Mataram di rerumpunan semak belukar berpijar terang lalu melesat ke udara!
Selagi Raja Mataram tercekat melihat apa yang terjadi, mendadak mayat ke empat ulurkan tangan kanan sembari berkata.
“Yang Mulia, serahkan pada saya batu putih segi tiga yang diberikan Satria Lonceng Dewa, Pendekar Bumi Mataram Mimba Purana...”
Raja Mataram tersentak kaget...
S E L E S A I
Mengapa mayat ke empat meminta batu segitiga putih bertuliskan angka 212 pemberian Mimba Purana? Benarkah Raja Mataram akan mendapatkan pertolongan dari empat mayat aneh. Karena kekuatan gaib jahat penimbul bencana memperalat Seratus Jin Perut Bumi untuk berusaha menjemput roh dari manusia paling jahanam yang pernah menjadi musuh besar Pendekar 212 Wiro Sableng?
Ikutilah Episode Berikutnya: