Insan Tanpa Wajah
BAB SATU
GURUN Tengger siang terik panas membara. Hari itu hari ke 305, merupakan hari terakhir dari tapa samadi yang dilakukan Cakra Mentari di atas pohon tanjung besar yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa. Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai ke kaki memutih tertutup lapisan debu gurun pasir.
Sekian ratus hari dia duduk tidak bergerak, bahkan seolah tanpa bernafas di atas pohon tanjung yang menghadap ke utara. Setiap hari, tepat pada pertengahan siang, sekuntum bunga tanjung melayang jatuh ke arah kepalanya, secara gaib masuk ke dalam tubuh lewat ubun-ubun. Itulah satu-satunya makanan sekaligus minuman yang memberi kehidupan pada Cakra Mentari.
Perlahan-lahan matahari bergerak menuju titik tertingginya. Menjelang bola penerang jagat itu mencapai titik kulminasinya, sekujur tubuh Cakra Mentari tampak ber– getar. Ada hawa dingin aneh menyelimuti, membuat tubuh pemuda itu mengeluarkan asap tipis yang memancarkan cahaya kebiruan. Sekuntum bunga tanjung luruh, melayang jatuh masuk ke dalam kepalanya. Itulah kuntum bunga yang ke 305, merupakan makanan terakhir di penutup tapa samadinya.
Tiba-tiba di arah timur muncul satu titik putih, bergerak ke arah pohon tanjung besar di tengah gurun pasir Teng– ger. Saat demi saat noktah putih ini berubah besar dan ketika hanya tinggal puluhan langkan dari pohon di mana Cakra Mentari berada, benda yang tadi berupa titik itu kini membentuk sosok seorang berpakaian selempang kain putih.
Hebat luar biasanya bahkan boleh dikata mengerikan orang ini tidak memiliki wajah, tidak mempunyai muka, licin polos dan rata tanpa mata dan alis, tanpa hidung maupun mulut. Kepala ditumbuhi rambut putih menjulai panjang. Dagu digantungi janggut putih melambai. Hanya itu yang merupakan satu-satunya pertanda bahwa makhluk aneh ini telah berusia lanjut.
Samar-samar di tangan kanannya si muka rata ini memegang sebuah tongkat emas yang ujung atasnya berbentuk lingkaran dihias berbagai permata aneka warna. Seperti tertulis pada halaman pertama Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib hanya Cakra Mentari seorang yang bisa melihat pohon tanjung di gurun pasir Tengger itu.
Kalau kini ada makhluk lain yang mampu mengetahui keberadaan pohon tanjung tersebut, maka berarti dia adalah seorang yang luar biasa ilmu kesaktiannya. Makhluk ini melesat ke atas pohon. Seolah seringan kapas dia berdiri di pucuk pohon paling atas, tatapkan wajah polos ke arah sosok Cakra Mentari yang duduk di cabang pohon di bawahnya. Tongkat emas dimelintangkan di depan dada.
“Dua belas purnama telah berlalu. Satu tahun pertama telah berakhir. Aku masih harus menunggu dua belas purnama lagi. Setelah itu semua akan berada di tanganku...”
Wajah licin itu pancarkan cahaya merah. Tangan yang memegang tongkat emas diajukan ke bawah, ke arah Cakra Mentari. Saat itu juga melesat sinar kuning, membungkus tubuh pemuda itu beberapa ketika lalu lenyap. Di lain kejap makhluk tanpa wajah tidak kelihatan lagi di atas pohon. Hawa dingin yang sejak tadi menyelimuti tubuh Cakra Mentari kini lenyap, begitu pula cahaya kebiruan yang membungkusnya ikut sirna.
Hanya beberapa saat setelah makhluk tanpa wajah lenyap dari tempat itu, sang surya sampai pada titik tertingginya. Di langit muncul satu lengkungan aneh memancarkan cahaya tiga warna, merah, biru dan hijau. Lalu dari arah barat gurun bertiup angin kencang.
Pohon tanjung besar bergetar keras. Dahan dan rerantingan serta daun-daun dan bunga tanjung bergoyang-goyang. Daun luruh, bunga tanjung berguguran, jatuh ke atas pedataran pasir, lenyap dari pemandangan. Pohon tanjung besar kini tampak gundul. Yang kelihatan hanya batang, cabang serta rerantingan dan tentu saja sosok Cakra Mentari yang masih duduk bersila pejamkan mata di atas dahan.
Tiupan angin yang begitu keras membuat seluruh debu gurun pasir yang menyelimuti sekujur tubuh Cakra Mentari mulai dari rambut sampai ke ujung kaki terkikis pupus. Dan sungguh aneh luar biasa! Keadaan diri pemuda ini tidak berubah sedikitpun. Pakaian hitamnya bersih tidak lusuh. Rambut hitam pekat tidak bertambah panjang. Begitu juga kumis kecil, janggut dan berewok tipisnya sama sekali tidak berubah, rapi seperti dulu dan tidak pula menjadi panjang. Wajah gagah bersih kelimis!
Di langit matahari mencapai titik tertinggi. Desss! Kepulan asap memancarkan cahaya merah, biru dan hijau keluar dan ubun-ubun, liang telinga, hidung serta mata Cakra Mentari yang masih terpejam. Bersamaan dengan itu lengkungan tiga warna yang ada di langit seperti ular raksasa menggeliat bergerak berputar lalu melesat ke arah pohon tanjung dan masuk ke dalam tubuh si pemuda.
Saat itu pula putera Tajurpambayan dan Sulin dari Desa Tumpang di barat Pegunungen Tengger ini perlahan-lahan membuka kedua matanya. Pertama sekali dilihatnya adalah gurun pasir Tengger. Dia menatap ke langit putih bersih, lalu memandang ke atas memperhatikan pohon besar yang kini tinggal dahan dan ranting. Akhirnya pemuda ini perhatikan dirinya sendiri.
“Tubuhku terasa sangat enteng. Pandangan mataku lebih tajam dari yang sudah-sudah. Tiga ratus lima hari telah berlalu. Aneh, diriku tidak mengalami perubahan. Apakah saat ini aku sudah memperolah ilmu baru sesuai petunjuk dalam kitab?”
Ingat akan kitab, Cakra Mentari meraba balik pakaiannya sebelah kiri di mana dia menyimpan Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Kitab masih berada di situ.
“Sesuai petunjuk di dalam kitab, aku baru bisa membaca kitab pada hari yang ke tiga ratus enam. Berarti besok. Sementara menunggu apa yang harus aku lakukan?”
Tiba-tiba Cakra Mentari merasa ada serangkum angin bertiup dari bawah. Dia tukikkan pandangan ke bawah pohon.
“Aneh, bagaimana tahu-tahu orang berjubah hitam itu ada di bawah sana tanpa aku melihat kedatangannya?”
Cakra Mentari berucap dalam hati sewaktu melihat di bawah pohon ada seorang tinggi besar mengenakan jubah dan sorban hitam. Orang ini hanya memiliki satu mata. Mata sebelah kiri tinggal merupakan rongga besar dan dalam mengerikan, masih digenangi darah. Dari bawah pohon dia berusaha melesat ke atas. Namun setiap dia melakukan hal itu ada satu cahaya kuning membendung gerakannya, membuat dia berbalik jatuh ke tanah. Orang di bawah pohon sama sekali tidak bisa melihat pohon tanjung besar tapi mampu melihat sosok Cakra Mentari yang seolah duduk bersila di awang-awang.
“Cakra Mentari, turunlah cepat! Ada satu hal penting yang harus aku sampaikan padamu!” Orang berjubah hitam di bawah pohon yang bukan lain adalah Deewana Khan berteriak.
“Orang itu mengenal diriku. Apakah aku mengenalnya?” Cakra Mentari menduga-duga.
“Aku Deewana Khan. Abdi penolongmu. Cepat turun!” Orang bermata satu kembali berseru.
Sebelumnya Tajurpambayan, ayah Cakra Mentari pernah bercerita pada pemuda itu tentang seorang asing bernama Deewana Khan. Namun saat itu si pemuda tidak ingat apa-apa lagi. Di pedataran pasir Tengger sebelah timur tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih.
“Insan Tanpa Wajah...” ucap Deewana Khan dengan suara bergetar. Wajah seramnya berubah. Rasa cemas mencekam diri. “Cakra Mentari! Cepat turun!” Deewana Khan berteriak.
Seperti diceritakan sebelumnya, Deewana Khan adalah manusia misterius yang telah menolong kelahiran bayi Cakra Mentari dan sekaligus melindungi anak itu ketika terjadi penitisan oleh Suma Mahendra.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul Misteri Bunga Noda)
Merasa orang sangat memerlukan dirinya Cakra Mentari segera hendak melompat turun dari dahan di mana saat itu dia duduk bersila. Namun tubuhnya sebelah bawah tak bisa digerakkan. Seolah menempel dengan dahan pohon! Bagaimanapun pemuda itu berusaha dengan berbagai cara tetap saja tubuhnya tak bisa lepas dari dahan yang didudukinya.
Cakra ingat akan petunjuk dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib halaman kedua, Kelak kau akan mendapatkan ilmu yang lebih hebat. Maka pemuda ini segera kerahkan tenaga dalam. Namun sebelum sesuatu terjadi, tiba-tiba di bawah sana terdengar satu letusan keras disertai berkiblatnya selarik cahaya kuning terang menyilaukan, disusul jeritan.
Pohon tanjung besar bergoyang kencang. Tubuh Deewana Khan terpental tiga tombak, terkapar di pedataran pasir mengepulkan asap kuning. Dia berusaha bangkit sambil menunjuk ke arah orang berselempang kain putih memegang tongkat emas. Mulutnya lelehkan darah kental.
“Insan Tanpa Wajah... Aku tahu siapa kau. Aku tahu siapa dirimu. Manusia culas pengkhianat busuk!”
Orang berselempang kain putih goyangkan tongkat emas di tangan kanan. Selarik sinar kuning kembali melesat ke arah Deewana Khan. Untuk kedua kalinya lelaki bertubuh besar mengenakan jubah hitam itu terpental. Sorban hitam tanggal dari kepalanya. Kali ini dia tak mampu bangkit lagi. Sekujur tubuhnya berubah kuning, lalu menciut dan berubah hitam. Angin gurun bertiup kencang. Pasir gurun beterbangan menutupi sosok mayat Deewana Khan hingga akhirnya tertimbun dan lenyap dari pemandangan.
Di atas pohon Cakra Mentari memperhatikan semua yang terjadi. Entah mengapa dia merasa sedih melihat kematian orang berjubah dan bersorban hitam walau dia tidak tahu siapa adanya orang itu, seperti ada kontak kejiwaan yang tidak dipahaminya. Di bawah pohon, orang berselempang kain putih tanpa wajah arahkan mukanya pada Cakra Mentari. Saat itu pula si pemuda mendengar suara mengiang di kedua telinganya.
“Jangan lakukan apa saja yang tidak diberi petunjuk di dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Jika kau melanggar pantangan dan merusak apa yang sudah direncanakan, maka dirimu akan mengalani kerusakan lebih dulu.”
Cakra Mentari terdiam, namun hatinya berkata. “Siapa yang menyampaikan ucapan padaku? Orang aneh tak berwajah di bawah sana? Apakah aku mengenalnya? Mengapa dia mengancam diriku? Apakah aku berada di bawah kekuasaan makhluk itu? Apakah aku harus tunduk kepadanya? Apa yang terjadi dengan diriku.”
Seperti tertulis dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib halaman kedua. Pada saat kau mendudukkan diri di cabang pohon, saat itu pula terputus hubunganmu dengan masa lalu. Kau tidak ingat apa-apa lagi. Bahkan kau tidak ingat lagi ayah ibumu.
Sebenarnya Cakra Mentari sebelumnya telah melihat makhluk aneh tak berwajah itu. Yakni tatkala makhluk tersebut mencelakai Suma Mahendra sehingga Suma terpental jatuh ke bawah Gunung Mahameru. Namun karena jalan pikirannya dengan masa lalu terputus maka dia tidak mengingat lagi kejadian itu. Hanya ada satu hal saja dari masa lalu yang masih melekat di benaknya. Yaitu namanya. Dia tidak pernah lupa kalau dia bernama Cakra Mentari.
Tiba-tiba untuk kedua kalinya terdengar suara mengiang di telinga Cakra Mentari.
“Anak manusia bernama Cakra Mentari. Jangan menyelidik dengan hatimu. Jangan mencari tahu dengan pikiranmu. Jangan berusaha turun dari pohon karena itu bisa menghancurkan dirimu sendiri. Besok pagi begitu matahari terbit di timur kau berkewajiban melanjutkan membaca Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib pada halaman ke tiga.”
Cakra Mentari memandang ke bawah pohon. Makhluk tanpa wajah itu ternyata tak ada lagi di tempatnya semula.
********************
BAB DUA
Langit di ufuk timur mulai terang pertanda di kejauhan sana fajar telah menyingsing dan tak berapa lama lagi sang surya akan kelihatan memunculkan diri. Di atas dahan pohon tanjung yang menghadap ke utara Cakra Mentari segera ingat. Saat itu adalah saat di mana dia harus segera membuka Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib.
Cakra keluarkan kitab dari balik baju hitamnya. Dia menunggu sesaat sampai keadaan lebih terang baru membuka kitab pada halaman ke tiga dan mulai membacanya. Yang disebut halaman ke tiga ini ternyata terdiri dari empat halaman.
KITAB JAGAT PUSAKA ALAM GAIB
Halaman Ke Tiga
Halaman Ke Tiga
Bunga Tanjung Bunga Bertuah. Wahai anak manusia! 305 hari telah berlalu, tapa samadimu telah selesai. Sekarang kau akan menghadapi masa depan dengan bekal ilmu silat serta kesaktian dari alam gaib yang tidak ada tandingannya. Kau kini memiliki ilmu pukulan sakti bernama Tiga Cahaya Alam Gaib. Tidak manusia tidak jin yang akan sanggup menghadapimu. Tuntunan ilmu silat akan kau dapatkan melalui mimpi di alam tidurmu.
Usapkan tangan kananmu ke kaki kanan, usapkan tangan kirimu ke kaki kiri, maka kau akan mendapatkan sepasang kasut pembungkus kaki. Kasut ini yang akan menuntun setiap langkah perjalananmu. Hal pertama yang harus kau lakukan begitu menginjakkan kaki di tanah, memandanglah ke arah barat laut. Kau akan melihat satu gurun pasir yang puluhan kali lebih luas dari Pedataran Pasir Tengger. Itulah Gurun Pasir Thar di negeri India.
Pejamkan matamu, maka kekuatan gaib akan membawamu memasuki sebuah goa bernama Goa Binaker. Di sana kau akan menemui seorang Resi terkapar di lantai goa. Jazadnya hidup dalam kematian, mati dalam kehidupan. Masuklah ke dalam tubuh Resi ini. Kau akan mampu melakukan, karena kau memiliki kesaktian.
Di dalam tubuh sang Resi kau akan menemukan sebuah patung batu lambang dari lelaki dan perempuan yang tengah melakukan sanggama. Itulah patung Kamasutra. Ambillah patung itu. Selanjutnya kekuatan gaib akan membawamu kembali ke tanah Jawa. Dunia serba fana, demikian juga dengan diri serta ilmu baru yang kau miliki. Namun dalam kefanaan ada kebakaan. Ilmu kesaktian yang ada dalam dirimu akan tetap berada di sana untuk selama-lamanya.
Namun ada petuah yang harus kau ikuti dan tak boleh kau tolak. Kau harus bisa meniduri paling sedikit 41 orang gadis yang masih perawan. Rayulah mereka, perlihatkan Patung Kamasutra. Jika mereka sudah berada di bawah pengaruhmu tempelkan sekuntum bunga tanjung di keningnya. Niscaya dia akan menyerahkan diri padamu. Namun rahasia harus dijaga. Karena itu, setiap gadis yang berhasil kau tiduri harus kau bunuh.
Pada saat kau bercumbu, bunga tanjung akan datang sendiri dan berada dalam genggamanmu. Bunga tanjung juga dapat kau jadikan senjata rahasia yang mematikan. Namun ada pantangan yang harus kau ingat, jangan sekali-kali bunga tanjung sampai melekat atau menempel di keningmu.
Untuk menambah kekuatan ilmu dalam dirimu. Ada tugas lain yang harus kau laksanakan. Kau harus membunuh sebanyak mungkin para pendekar golongan putih rimba persilatan tanah Jawa. Tetapi akan lebih baik jika kau mampu membuat dirinya sengsara seumur-umur dengan melumpuhkan kejantanannya. Letakkan bunga tanjung di bawah pusarnya, maka kekuatan alam gaib akan menyelesaikan perkara.
Tugasmu terakhir setelah semua tugas di atas selesai kau laksanakan adalah menyerahkan Patung Kamasutra pada seseorang yang akan menunggumu di puncak Gunung Mahameru tepat di tempat di mana kau pernah bersamadi pada malam hari Jum’at Legi minggu pertama dua belas purnama dari sekarang.
Wahai anak manusia! Jika kau melaksanakan petunjuk dalam kitab, maka kau kelak akan menjadi seorang tokoh besar. Kau akan menjadi seorang sakti mandraguna. Kau akan menjadi raja diraja rimba persilatan. Namun bila kau menolak melakukan atau sengaja menyesatkan diri, maka kutuk akan jatuh atas dirimu. Azab kesengsaraan akan membuat kau menderita seumur-umur. Jalan nasibmu telah ditentukan oleh apa yang dinamakan takdir.
Wahai anak manusia! Pohon tanjung akan masuk ke dalam tanah, itulah saatnya kau meninggalkan tempat ini. Ingat baik-baik semua yang tertulis di halaman ini. Karena Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib akan lenyap dari alam fana untuk selama-lamanya. Bunga Tanjung Bunga Bertuah.
Setelah bersamadi di atas pohon tanjung di pedataran gurun Tengger, Cakra Mentari memiliki daya ingat luar biasa. Sekali membaca saja dia sanggup mengingat semua yang tertulis dalam halaman ke tiga yang terdiri dari empat lembar. Selain itu perubahan besar terjadi dalam jiwa dan dirinya. Sebelumnya pemuda ini adalah seorang yang memiliki hati mulia, pembela rakyat, penegak keadilan dan menjadi musuh besar kaum penjahat termasuk para tokoh silat penjilat yang berada di istana.
Ketika membaca halaman ke tiga Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib di mana dia harus merusak kehormatan 41 orang gadis dan membunuh para pendekar silat golongan putih, pemuda ini merasa, itu memang satu tugas yang harus dilaksanakannya. Menggauli 41 orang gadis! Bukankah itu satu kenikmatan luar biasa?
Samadi setahun serta ilmu yang kini dimiliki Cakra Mentari serta isi Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib seolah-olah telah mencuci otak pemuda itu. Membuatnya berubah menjadi seorang pemuda berhati dingin dan menghalalkan segala cara demi mempertahankan ilmu kesaktian yang dimilikinya.
Cakra Mentari tutup kitab yang barusan dibaca. Dia bermaksud hendak menyimpan kitab itu kembali ke balik baju hitamnya. Namun seperti yang tertulis di akhir halaman ke tiga kitab, tiba-tiba Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib keluarkan suara meletup. Kejap itu juga kitab dikobari api yang entah dari mana datangnya. Cakra melepas pegangannya pada kitab, kitab jatuh dan musnah sebelum menyentuh tanah berpasir.
Cakra Mentari ingat salah satu kalimat di dalam kitab yang tadi dibacanya, Usapkan tangan kananmu ke kaki kanan, usapkan tangan kirimu ke kaki kiri, maka kau akan mendapatkan, sepasang kasut pembungkus kaki. Kasut ini yang akan menuntun setiap langkah perjalananmu.
Tidak menunggu lebih lama Cakra Mentari usapkan ke dua tangannya secara berbarengan ke kaki kiri dan kaki kanan. Saat itu juga dua kakinya yang tadi telanjang kini telah terbungkus dua kasut kulit berwarna hitam.
“Luar biasa” ucap Cakra Mentari. Belum habis rasa kagumnya atas apa yang terjadi, tiba-tiba pohon tanjung besar di mana dia berada bergerak ke bawah, perlahan-lahan masuk ke dalam tanah. Sebelum dirinya ikut tersedot dan pohon besar itu amblas lenyap dari pemandangan, Cakra Mentari cepat melompat turun. Begitu dua kakinya menginjak tanah berpasir seperti yang tertulis dalam kitab, Cakra Mentari arahkan pandangan ke barat laut.
Memandanglah ke arah barat laut, kau akan melihat satu gurun pasir, yang puluhan kali lebih luas, dari Pedataran Pasir Tengger. Itulah Gurun Pasir Thar di negeri India. Pejamkan matamu, maka kekuatan gaib akan membawamu, memasuki sebuah goa bernama Goa Binaker.
Jauh di arah barat laut ke jurusan mana matanya memandang, Cakra Mentari melihat satu gurun pasir. Belum pernah dia menyaksikan gurun pasir seluas itu.
“Bagaimana hal ini bisa terjadi...?” pikir si pemuda.
Lalu sesuai petunjuk selanjutnya dalam kitab dia pejamkan kedua matanya. Saat itu juga sosoknya lenyap, melesat ke langit. Di lain kejap Cakra Mentari dapatkan dirinya berada di dalam sebuah lorong yang terletak di bawah Gurun Pasir Thar di India. Inilah lorong di dalam Goa Binaker yang membawanya ke satu ruangan rahasia di mana sebelumnya disimpan Patung Kamasutra yang konon telah berusia lebih dari limaribu tahun.
Di kiri kanan lorong berdiri beberapa orang berpakaian dan berpenampilan seperti resi tampaknya sedang berjaga-jaga. Namun mereka seperti tidak melihat Cakra Mentari yang berjalan melewati mereka. Ada enam pintu rahasia yang dilewati dan ditembus Cakra Mentari secara gaib. Pemuda ini sampai ke hadapan pintu ke tujuh. Begitu masuk dia dapatkan sesosok tubuh orang tua berselempang kain putih, berambut dan berjanggut putih tergeletak di lantai ruangan. Kepala rengkah darah menggenangi lantai batu.
Cakra Mentari ingat apa yang dibacanya di dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Di sana kau akan menemui seorang Resi terkapar di lantai Goa. Jazadnya hidup dalam kematian. Mati dalam kehidupan. Masuklah ke dalam tubuh Resi ini. Kau akan mampu melakukan karena kau memiliki kesaktian. Di dalam tubuh sang Resi kau akan menemukan sebuah patung batu lambang dari lelaki dan perempuan yang tengah melakukan sanggama. Itulah Patung Kamasutra. Ambillah patung itu. Selanjutnya kekuatan gaib akan membawamu kembali ke tanah Jawa.
Resi tua yang tergeletak di atas lantai batu seperti yang dituturkan dalam kisah terdahulu, Petaka Patung Kamasutra, bukan lain adalah Resi Kepala Mirpur Patel. Resi ini berlaku nekad melakukan bunuh diri dengan membenturkan kepalanya ke dinding batu. Ini merupakan ungkapan penyesalan serta rasa berdosanya atas kelalaian hingga Patung Kamasutra yang ada di dalam sebuah keranda kaca lenyap dicuri orang.
“Bagaimana caranya aku masuk ke dalam tubuh orang tua malang ini...” pikir Cakra Mentari.
Dia sama sekali tidak merasa jerih bagaimana nanti dia masuk dan berada dalam tubuh mayat itu. Cakra melangkah lebih dekat. Tiba-tiba seolah berubah menjadi bayang-bayang sosok si pemuda masuk ke dalam tubuh sang Resi. Begitu tubuh mereka menyatu, di bagian dada orang tua itu, Cakra Mentari melihat ada cahaya merah redup. Ternyata cahaya itu keluar dari sebuah patung batu abu-abu kehitaman. Berbentuk sepasang lelaki dan perempuan tengah melakukan hubungan badan.
“Patung Kamasutra,” membatin Cakra Mentari. Semua yang tertulis dalam kitab benar-benar merupakan kenyataan. Pemuda ini ulurkan tangan. Begitu dia menyentuh patung batu, tiba-tiba...
"Wuttt...!" Sosok Cakra Mentari melesat keluar dari mayat Resi Mirpur Patel, berkelebat ke arah sebuah lobang di atap ruangan batu dan lenyap dari pemandangan.
Angin gurun bertiup kencang. Pasir gurun masuk ke dalam ruangan. Lima hari kemudian seluruh ruangan rahasia di Goa Binaker itu telah tertimbun tumpukan pasir gurun.
Tujuh hari setelah lenyapnya Patung Kamasutra dan matinya Resi Kepala Mirpur Patel, Resi Ketua Khandawa Abitar memerintahkan orang-orangnya untuk menggali jenazah Mirpur Patel. Namun sampai seluruh pasir yang ada di dalam ruangan batu itu digali dan dibersihkan, jenazah Resi Kepala Mirpur Patel tidak ditemukan.
Seperti yang tertulis dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib, Cakra Mentari secara gaib kembali ke tanah Jawa untuk mengamalkan ajaran sesat yang bersumber dari kitab sesat serta Patung Kamasutra dan bunga tanjung bunga noda. Satu persatu korban berjatuhan. Belasan gadis dirusak kehormatannya lalu dibunuh. Dari kalangan rimba persilatan justru Pendekar 212 Wiro Sableng yang menjadi korban pertamanya.
********************
BAB TIGA
GUBUK di tikungan Kali Progo tampak sepi. Suara arus air kali yang cukup deras mengalun berkepanjangan serta kicau burung di pagi itu seperti tidak dapat mengusik kesunyian. Pintu gubuk yang menghadap ke kali terbuka berkereketan. Seorang kakek berkepala setengah sulah, berdaun telinga lebar yang salah satunya terbalik, keluar melangkah sambil pegangi bagian bawah perutnya. Siapa lagi kalau bukan Setan Ngompol.
Dia pergi duduk di pinggir kali, di atas sebuah batu besar. Wajahnya tampak murung. Sesekali lengan kirinya yang basah diusapkan ke kepala, padahal basahan itu adalah air kencingnya sendiri. Tiga hari lalu dengan susah payah bersama Ki Tambak– pati dia berhasil membawa Pendekar 212 Wiro Sableng dari sebuah bukit ke gubuk itu. Ki Tambakpati yang dikenal dengan julukan Si Tangan Penyembuh berusaha mengobati murid Sinto Gendeng, namun sampai hari itu dia masih belum berhasil. Wiro masih tergeletak tak sadarkan diri di atas ranjang bambu.
Tanpa diketahui Setan Ngompol, di atas cabang sebuah pohon besar berdaun rindang di seberang kali, berdiri sosok samar seorang gadis cantik berwajah pucat, mengenakan kebaya putih panjang, rambut hitam tergerai di punggung. Sepasang matanya yang bening tapi dingin memperhatikan kakek yang duduk di tepi sungai. Dia kenal kakek itu dan cukup bersahabat. Namun dia tak ingin menemuinya saat itu. Pandangannya kemudian dialihkan ke arah gubuk.
Tak lama kemudian dari dalam gubuk keluar pula seorang kakek berjubah hijau. Terbungkuk-bungkuk dia melangkah ke tepi kali, lalu duduk di atas batu besar di samping Setan Ngompol. Setan Ngompol tekap dulu bagian bawah perutnya baru membuka mulut bertanya,
“Sahabatku Ki Tambakpati, bagaimana menurut penglihatanmu sakitnya murid Sinto Gendeng itu?”
Setelah terdiam sejurus dan lebih dulu menarik nafas dalam, Ki Tambakpati menjawab. “Sampai saat ini aku masih menyesali perbuatan orang-orang kerajaan yang menghancurkan rumah dan peralatan pengobatanku. Aku tidak dapat menyelidiki apalagi memberikan kesembuhan tuntas pada pendekar itu. Sakitnya luar biasa aneh. Mungkin aku hanya mampu membuatnya siuman. Itu pun menunggu sampai dua hari lagi. Kau telah meraba sendiri. Tubuhnya diselimuti hawa dingin aneh yang berpusat pada syaraf di bagian bawah pusar. Kita berdua telah sama-sama mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan hawa panas. Namun hawa dingin yang bersarang di tubuh pemuda itu tak bisa dilenyapkan. Sudah dua kali aku memeriksa darahnya dengan menusuk jari tangannya. Ternyata darahnya masih berwarna hitam. Ada racun jahat mendekam dalam tubuh dan aliran darah pemuda itu. Sulit dimusnahkan.”
“Apakah pemuda itu benar-benar tidak dapat disembuhkan? Dengan cara apapun?” tanya Setan Ngompol.
“Aku tidak dapat memastikan. Kalaupun dia bisa disembuhkan, ada satu hal yang akan tetap membawa kesengsaraan bagi dirinya seumur-umur...”
“Aku tahu. Kau sudah mengatakan. Dia akan menjadi lelaki tidak sempurna. Dia kehilangan kejantanannya. Sama saja dia mati dalam hidupnya.”
“Kita hanya tinggal satu harapan. Kalau dia siuman mungkin bisa memberitahu apa yang terjadi dengan dirinya. Mungkin dari situ kita bisa mencari jalan untuk menyembuhkan.”
“Aku punya dugaan...” kata Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perut yang siap mengucur “Siapun orang yang berlaku jahat terhadap pendekar itu, dia memang sengaja tidak membunuhnya. Tapi membuatnya menderita seumur hidup.”
"Seerrr!" Habis keluarkan ucapan akhirnya Setan Ngompol pancarkan juga air kencingnya.
“Aku tidak mau bicara jelek tentang sahabat muda kita itu.” kata Ki Tambakpati pula. “Selama ini aku dengar banyak gadis cantik rimba persilatan yang menaruh hati padanya. Dari sekian banyak gadis itu mungkin ada yang dicintai oleh pemuda lain. Namun bertepuk sebelah tangan karena sang gadis sudah terpikat pada Wiro. Nah, mungkin orang ini yang berbuat jahat terhadap pendekar itu.”
“Jika memang begitu kejadiannya, suatu saat pasti akan ketahuan siapa orangnya,” kata Setan Ngompol pula.
Ki Tambakpati keluarkan suling perak yang ditemuinya di puncak bukit dekat bangunan candi dekat sosok tubuh Pendekar 212 yang tergeletak pingsan. “Suling ini kutemui di halaman candi. Mungkin milik orang jahat yang mencelakai Wiro. Melalui benda ini kita bisa menyelidik. Lalu jika kita bisa mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan mungkin di sana ada petunjuk untuk penyembuhan penyakit yang diderita pemuda itu...” berkata Ki Tambakpati.
Setan Ngompol perhatikan suling perak di tangan Ki Tambakpati. Dia tidak pernah melihat benda ini sebelumnya, tak bisa menduga siapa pemiliknya. “Setahuku kitab itu ada pada Wiro. Tapi waktu kita memeriksa dirinya kita tidak menemukan kitab itu. Mungkin telah diserahkan pada gurunya atau disimpan di satu tempat.”
“Aku tak habis kasihan pada murid Sinto Gendeng itu...” kata Ki Tambakpati pula. “Dia belum pernah menikah. Belum pernah kawin. Sekarang malah kejatuhan penyakit yang menjadikan dia seorang lelaki tidak sempurna. Walau banyak yang menyukai dan mencintainya tapi sekarang gadis mana yang akan bersedia mengambilnya jadi suami?”
Tiba-tiba sebuah perahu meluncur terombang-ambing dipermukaan air Kali Progo. Setan Ngompol memperhatikan lalu berkata. “Ada perahu tanpa penumpang. Datang dari hulu kali. Tidakkah kau merasa aneh?”
“Mungkin saja perahu itu tadinya tertambat di satu tempat. Tambatannya putus lalu dihanyutkan air sampai ke sini...” menduga Ki Tambakpati.
“Sobatku, aku tidak sependapat denganmu. Kau tunggu di sini. Aku mau menyelidik.”
Habis berkata begitu sambil satu tangan masih memegangi bagian bawah celananya yang lepek Setan Ngompol melompat ke atas perahu yang mengapung di kali. Karena ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sudah mencapai tingkat tinggi maka ketika dua kakinya menjejak lantai perahu, perahu itu tidak bergoyang sedikitpun. Si kakek perhatikan keadaan perahu dengan matanya yang belok. Lalu dia membungkuk, mengendus dalam-dalam.
Mula-mula dia mencium bau air pesingnya sendiri. Kemudian dia mencium bau harum. Setan Ngompol luruskan tubuh, memandang sepanjang kali, memperhatikan kiri kanan tepian Kali Progo, namun dia tidak melihat siapapun, termasuk sosok samar gadis bermuka pucat yang berdiri di cabang pohon. Kakek ini segera melesat ke tepi kali, membiarkan perahu meluncur dibawa arus ke hilir.
“Kau menemukan sesuatu?” tanya Ki Tambakpati. Setan Ngompol mengangguk sambil buru-buru tekap bagian bawah perutnya yang kembali hendak berulah. “Ada seseorang di atas perahu itu sebelumnya. Seorang perempuan.” Menjelaskan Setan Ngompol.
“Bagaimana kau bisa tahu ada orang dan perempuan pula!” berkata Ki Tambakpati.
“Aku mencium bau harum bekas tubuh dan pakaiannya di dalam perahu.” Jawab Setan Ngompol. “Aku kenal betul bau harum yang satu itu. Kira-kira bisa menduga siapa orangnya. Tapi aku tidak mau memberi tahu dulu...”
“Aneh, jika ada orang di atas perahu mengapa dia kemudian meninggalkan perahu begitu saja? Pergi kemana? Apa keperluannya melewati daerah ini? Seorang perempuan pula!”
“Ki Tambak,” ucap Setan Ngompol setengah berbisik. “Sebenarnya sejak tadi aku merasa kehadiran seseorang di sekitar tempat ini. Namun aku tidak bisa melihat tubuh kasarnya...”
“Di tikungan kali ini banyak demitnya” kata Ki Tambakpati.
Setan Ngompol terlompat dari duduknya. Dua tangan buru-buru menekap bagian bawah perut. “Kau jangan menakuti. Aku bisa ngocor terus-terusan!”
Karena terlalu asyik bicara, dua kakek ini tidak memperhatikan bagaimana satu bayangan biru melesat di belakang mereka, masuk ke dalam gubuk melalui jendela yang terbuka.
“Aku mencium bau harum santar sekali!” kata Setan Ngompol tiba-tiba.
Ki Tambakpati mendongak dan menghirup udara dalam-dalam, “Eh, aku juga mencium bau wangi itu. Tapi aneh, mengapa wanginya bau kembang kenanga? Kembang mayat? Jangan-jangan asin mulutku. Tadi aku cuma bergurau. Tapi mungkin benaran ada demit di tempat ini!”
"Serrr!" Setan Ngompol memaki panjang pendek dan lagi-lagi pancarkan air kencing.
Dua sahabat ini kemudian terus saja bercakap-cakap membicarakan keadaan Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Aku ingat pada Liris Biru. Gadis itu begitu nekad mencari ke Kuto Gede pemuda berpakaian hitam yang katanya membunuh Liris Merah. Aku khawatir dia akan mengalami celaka seperti kakaknya. Digagahi lalu dibunuh seorang pemuda tak dikenal.”
“Pangeran Matahari sudah mati. Sekarang muncul lagi penjahat terkutuk tukang perkosa. Apakah kejahatan tidak pernah berhenti di muka bumi ini?” ucap Ki Tambakpati sambil menghela nafas panjang.
Sementara itu di bagian lain tepi Kali Progo, tiga orang penunggang kuda berhenti di balik sederetan pohon besar yang tumbuh rapat. Ketiganya adalah gadis-gadis cantik dan mereka menunggangi kuda sama-sama berwarna putih. Gadis paling depan mengenakan pakaian ringkas warna kelabu dihias manik-manik putih dan merah. Rambut hitam digulung di atas kepala. Sepasang bola mata berwarna biru. Gadis berwajah jelita ini memutar kudanya sedikit, berpaling pada dua gadis di belakangnya yang juga berparas cantik lalu berkata,
“Kurasa kita sudah sampai di tempat tujuan. Orang yang aku cari berada di sekitar sini. Kalian berdua cukup mengantarku sampai di sini. Kembalilah ke laut selatan.”
“Ratu Duyung,” salah seorang dari dua gadis menjawab sambil sedikit bungkukkan dada. “Sebenarnya kami masih ingin berlama-lama mendampingimu. Bertahun-tahun hidup di dasar samudera, sekali-sekali berada di alam terbuka seperti ini kami sungguh merasa bahagia. Karena itu kami memohon izin agar terus bisa bersamamu.”
Si jelita berbola mata biru yang rupanya adalah Ratu Duyung tersenyum, “Masih banyak kesempatan di lain waktu. Sekarang ini aku tengah menghadapi beberapa urusan besar. Tapi jika kalian memang ingin mencari kesenangan, kalian boleh menunda kepulangan sampai dua hari. Aku tidak memerlukan tunggangan lagi. Bawa kuda ini bersama kalian.” Ratu Duyung usap tengkuk kuda tunggangannya lalu melompat turun.
“Terima kasih Ratu... Terima kasih,” kata dua gadis penuh gembira. “Kami mohon pamit sekarang juga.”
Ratu Duyung mengangguk. Dua gadis yang bertindak sebagai pengiring Ratu Duyung tundukkan kepala lalu tinggalkan tempat itu. Anehnya walau kuda mereka dipacu kencang namun kaki -kaki binatang itu tidak mengeluarkan suara berderap. Tiga ekor kuda berlari laksana melayang di atas tanah! Itu sebabnya ketika ketiganya datang tadi, baik Ki Tambakpati maupun Setan Ngompol tidak mendengar suara derap kaki binatang-binatang itu.
Setelah dua pengiring pergi, Ratu Duyung gerakkan tangan kanan ke balik baju kelabu. Biasanya gadis cantik bermata biru ini selalu mengenakan pakaian hitam mencolok ketat dengan potongan dada rendah serta belahan tinggi pada pinggul kiri kanan. Namun sejak ditegur oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas beberapa waktu lalu maka dia merubah penampilan dan cara berpakaiannya.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul Misteri Pedang Naga Merah).
Kalau tidak mengenakan jubah dalam, maka dia berpakaian ringkas seperti yang dikenakannya saat itu. Seperangkat perhiasan terbuat dari kerang hijau menghias telinga, leher dan lengan.
“Kurasa sebelum mendatangi gubuk di tikungan kali itu sebaiknya sekali lagi aku memantau keadaan lebih dulu...”
Entah mengapa tergerak saja hati Ratu Duyung untuk bersikap hati-hati. Dari balik baju kelabu dia keluarkan sebuah benda yang ternyata adalah cermin bulat berga– gang biru. Selain merupakan senjata sakti, cermin ini juga mampu dipakai untuk melihat atau memantau keadaan sampai jarak cukup jauh.
Memperhatikan ke dalam cermin, Ratu Duyung melihat dua orang kakek tengah duduk di sebuah batu besar di tepi kali, asyik bercakap-cakap. Dia segera mengenali salah seorang dari dua kakek itu adalah Setan Ngompol. Cermin digerakkan, diarahkan ke atas kali. Di kejauhan masih sempat terlihat sebuah perahu kosong meluncur ke arah hilir. Mendadak kening sang ratu mengerenyit Pinggiran cermin bulat sebelah kanan atas memunculkan sepasang kaki samar tegak di atas cabang pohon di tepi kali.
Ratu Duyung geser cermin saktinya hingga kini dia dapat melihat keseluruhan sosok samar seorang perempuan yang tengah berdiri di atas cabang pohon itu. Cermin sakti digoyang, diusap, namun tetap saja sosok di atas pohon tidak bisa terlihat jelas, tetap berujud bayangan samar.
“Makhluk dari alam lain. Siapa...?” ucap Ratu Duyung dalam hati. Dia coba menerka, “Makhluk itu mungkin Bunga gadis dari alam roh yang telah bersahabat sejak lama dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun mungkin juga gadis dari negeri 1200 tahun silam yang dikenalnya dengan nama Purnama." Gadis ini terakhir sekali ditemuinya sewaktu dia bersama Wiro menyerbu Gedung Kadipaten Losari...
(Baca serial Wiro Sableng berjudul Sang Pembunuh)
Hati sang ratu mendadak merasa tidak enak kalau tidak mau dikatakan cemburu. Ini karena dia tahu kalau Purnama telah jatuh hati dan diam-diam mencintai Pendekar 212. Cinta gadis alam roh 1200 tahun silam ini terhadap Wiro jauh lebih dahsyat dari cinta Bunga yang juga makhluk dari alam roh.
“Aku harus mampu mengetahui siapa yang hadir di sini. Bunga atau Purnama. Jika Purnama lebih baik aku pergi saja dari sini. Tapi bagaimana dengan Wiro yang sedang sakit...?” ucap Ratu Duyung dalam hati. Gadis cantik bermata biru ini selain khawatir juga tampak bingung.
Ratu Duyung geser lagi cermin saktinya. Dia dapat melihat gubuk di tikungan kali itu. Cermin digoyang. Kini Ratu Duyung dapat melihat bagian dalam gubuk. Sepasang bola mata biru gadis cantik ini membesar.
“Aku keduluan. Bagaimana dia bisa berada di sini lebih dulu dariku?” Suara Ratu Duyung perlahan agak lirih. “Apa yang harus aku lakukan? Menerobos masuk ke dalam gubuk? Atau menunggu sampai dia pergi. Tapi mungkin dia akan menunggui Wiro sampai berhari-hari.”
BAB EMPAT
Sementara Ratu Duyung memperhatikan keadaan dalam gubuk melalui cermin saktinya, di dalam gubuk Bidadari Angin Timur tegak di tepi ranjang, tubuh sedikit tertunduk, dua tangan mendekap dada dan sepasang mata memperhatikan Wiro tak berkesip. Perlahan-lahan sepasang mata gadis cantik berambut pirang ini mulai berkaca-kaca. Sesaat kemudian air mata mengucur membasahi pipinya. Jauh di lubuk hatinya dia berucap,
“Gusti Allah mengapa dia selalu mengalami nasib sengsara seperti ini. Apakah benar ucapan yang kudengar tadi. Bahwa dia...”
Satu tangan memegang bahu Bidadari Angin Timur membuat si gadis tersentak kaget. Dia berpaling.
“Kakek Setan Ngompol,” ucap Bidadari Angin Timur begitu tahu siapa yang memegang bahunya.
Di belakang si kakek berdiri Ki Tambakpati. “Aku sudah mengira kau akan muncul di tempat ini. Aku mencium harum bau tubuh dan pakaianmu di perahu. Kau datang langsung masuk ke dalam. Padahal kami berdua ada di luar.” Berkata Setan Ngompol.
“Harap maafkan aku, Kek. Pikiranku sangat kacau. Aku menyirap kabar ditangkapnya Wiro. Lalu ada yang membebaskannya keluar dari penjara kerajaan. Aku mengikuti apa yang terjadi dan berusaha secepat mungkin menuju Kotaraja. Kemudian aku ketahui kakek berdua membawa Wiro ke tempat ini” Bidadari Angin Timur mulai terisak. “Kek, apakah aku tidak keliru mendengar apa yang tadi kalian bicarakan di luar?”
“Memangnya kami bicara apa?” tanya Ki Tambakpati.
“Ketika berada di tepi kali, aku sempat mendengar pembicaraan kakek berdua. Apa betul Wiro telah menjadi seorang lelaki yang tidak sempurna? Apa benar dia telah kehilangan kejantanannya? Apakah dia memang tidak bisa disembuhkan untuk selama-lamanya?”
Setan Ngompol pegangi bagian bawah perutnya. Ki Tambakpati tak bisa menjawab. Tangis Bidadari Angin Timur pecah.
“Sahabatku, mari kita keluar. Kita bicara di luar...” Setan Ngompol membujuk.
Bidadari Angin Timur gigit bibirnya sendiri. Gelengkan kepala dan berkata. “Rasanya tidak ada yang perlu dibicarakan, Kek. Aku sudah sempat mendengar semuanya...” Gadis berambut pirang itu membungkuk, mengusap kening Pendekar 212 yang terasa sangat dingin.
“Kami berdua akan terus berusaha memusnahkan penyakitnya.” Berucap Ki Tambakpati.
Bidadari Angin Timur tidak menjawab. Dia letakkan kepalanya di dada Pendekar 212 lalu menangis keras.
“Hentikan tangismu, sebaiknya kau membantu dengan memanjatkan doa pada Gusti Allah agar Wiro bisa disembuhkan...”
“Akan aku lakukan, Kek. Akan aku lakukan...” jawab Bidadari Angin Timur. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia melangkah ke pintu.
“Bidadari Angin Timur, tunggu dulu!” Setan Ngompol memanggil.
Namun gadis cantik itu telah lenyap dari pemandangan. Dikejar keluar sosoknya tak kelihatan lagi. Ki Tambakpati menghela nafas dalam. Setan Ngompol yang berada di luar gubuk sandarkan punggung ke dinding. Selagi dia berusaha menahan kencing yang hendak mengucur tiba-tiba dari atas pohon besar di seberang kali melayang turun satu sosok putih disertai menebarnya bau harum bunga kenanga, membuat si kakek tersirap kaget dan semburkan air kencing.
“Bau kembang kenanga. Kembang mayat! Jangan-jangan tempat ini memang benar-benar ada demitnya.” Membatin Setan Ngompol dan tekap kuat-kuat bagian bawah perutnya.
Di saat yang hampir bersamaan dari balik semak belukar di tebing kali melesat pula satu sosok kelabu. Kedua sosok ini saling bertemu di halaman gubuk, beberapa langkah di hadapan Setan Ngompol.
“Ratu Duyung!” seru Setan Ngompol ke arah orang yang datang dari balik semak belukar. Aku hampir tak mengenalimu. Caramu berpakaian jauh berbeda dari yang sudah-sudah.” Memandang ke kiri kakek ini agak ragu sebentar. Lalu berkata. “Gadis berkebaya putih, bukankah kau Bunga sahabat Pendekar 212 Wiro Sableng?”
Baik Ratu Duyung dari laut selatan maupun Bunga gadis dari alam roh tidak menyahuti sapaan si kakek. Dua gadis ini saling pandang. Bunga tersenyum. Ratu Duyung membalas dengan membungkukkan badan memberi penghormatan.
“Ah, aku gembira kalian berdua datang ke tempat ini. Apakah kalian telah mengetahui apa yang terjadi dengan Wiro?” Berkata Setan Ngompol.
Bunga mengangguk. Wajahnya yang pucat tampak sedih.
Ratu Duyung bertanya. “Apakah kami berdua boleh menjenguknya ke dalam?”
“Masuklah... Silahkan masuk.” kata Setan Ngompol pula. Lalu dia berseru pada Ki Tambakpati memberitahu kedatangan dua gadis cantik itu.
Kalau tak ada orang lain di dalam gubuk itu baik Bunga maupun Ratu Duyung pasti telah menjatuhkan diri di samping ranjang dan memeluk Pendekar 212.
Bunga perhatikan sosok Pendekar 212 mulai dari rambut sampai ke kaki. Gadis ini memperhatikan bukan dengan mata nyalang tetapi justru dengan mata terpejam. Dalam keadaan mata yang terpejam Bunga melihat Pendekar 212 seperti onggokan tulang belulang, nyaris menyerupai jerangkong. Darah hitam mengalir melewati tulang belulang putih dari ujung kaki sampai ke kepala lalu lenyap. Sesaat kemudian kelihatan lagi darah hitam mengalir, juga mulai dari kaki naik ke atas dan lenyap. Begitu terus menerus. Perlahan-lahan gadis dari alam roh ini angkat dua tangannya, telapak dikembangkan dan diarahkan ke kepala serta tubuh Wiro.
"Wuttt!" Ada satu gelombang kekuatan memukul ke atas, membuat dua tangan Bunga bergetar. Dia coba bertahan namun akhirnya dua tangan itu terpental. Bunga picingkan mata kencang-kencang. Dua kaki bersurut setengah langkah. Sepuluh jari tangan digenggam. Ketika genggaman dilepas tahu-tahu di tangan itu terlihat masing-masing empat dan tiga kuntum kembang kenanga.
Masih dengan mata terpicing Bunga pergunakan tujuh kembang kenanga untuk menotok tubuh Wiro, dua di kepala, tiga di tubuh dan dua lagi di bagian kaki. Saat itu juga terdengar tujuh kali letupan kecil. Bagian tubuh dan kepala yang tadi ditotok kepulkan asap berwarna merah, biru dan hijau. Satu dorongan yang kuat menerpa ke arah Bunga membuat tubuh gadis ini bergetar hebat.
Ratu Duyung yang sejak tadi diam memperhatikan kini tidak mau tinggal diam. Dia kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti pada dua tangannya lalu dengan cepat ditempelkan ke punggung Bunga. Dorongan kuat yang menyerang Bunga terpental, membuat jebol dinding gubuk di sisi kiri ranjang di mana Wiro terbaring. Asap merah, biru dan hijau sirna. Dalam mata yang masih terpicing Bunga melihat sebuah benda kecil putih kekuningan berputar-putar di dalam gubuk lalu melesat menembus atap.
“Bunga tanjung. Aneh...” Bunga berkata perlahan lalu buka kedua matanya. Dia mengucapkan terima kasih pada Ratu Duyung yang telah memberi tambahan kekuatan untuk bertahan bahkan memusnahkan kekuatan gaib yang menyerangnya.
“Apa yang terjadi?” tanya Ratu Duyung setengah berbisik.
“Ada kekuatan aneh menguasai diri Wiro. Kekuatan itu berusaha menggagalkan niatku menolongnya. Untung berkat pertolonganmu untuk sementara kita berhasil mengusir kekuatan gaib itu. Wiro juga mengalami kelainan di dalam tubuhnya. Darahnya mengalir terbalik. Itu yang menyebabkan sekujur tubuhnya dingin. Aku coba menghentikan keanehan ini dengan menotokkan tujuh bunga kenanga. Tapi aliran darahnya tetap terbalik. Totokan hanya menolong membuat dia sadar satu hari lebih cepat.” Bunga berhenti bicara. Lalu dia bertanya pada Ratu Duyung. “Sahabatku, apakah kau tidak merasakan sesuatu pada tubuhmu?”
“Apa...? Astaga!” Ratu Duyung baru sadar kalau cermin sakti yang ada di balik pakaiannya bergetar dan mengeluarkan hawa panas.
“Cermin saktimu! Lihat cermin saktimu!”
Ratu Duyung segera keluarkan cermin bulat dari balik bajunya. Ketika memperhatikan ke dalam cermin, dia melihat sosok seorang lelaki berselempang kain putih, berjanggut dan berambut putih. Orang ini sama sekali tidak memiliki wajah. Licin polos!
“Manusia tanpa wajah!” ucap Ratu Duyung.
Bunga menarik tangan Ratu Duyung, coba melihat ke dalam cermin lalu gadis alam roh ini berteriak, “Dia ada di atas atap!”
Sambil melesat ke atas, Bunga lepaskan pukulan Roh Membelah Langit. Selarik angin dahsyat disertai sambaran sinar putih berkiblat. Atap gubuk hancur berantakan. Di luar sana terdengar suara dentuman keras. Lalu ada kilatan tiga cahaya terang sekali. Merah, biru dan hijau. Bunga melesat keluar gubuk lewat atap yang hancur. Ratu Duyung menyusul. Di atas atap kedua gadis ini memandang berkeliling, lalu melayang turun ke tanah. Sosok makhluk tanpa wajah yang tadi jelas terlihat di cermin tidak mereka temui.
Ratu Duyung melihat sebuah benda kecil putih kekuningan di tanah. Dia mendekati dan membungkuk hendak mengambil. Namun tarik tangannya ketika terdengar Bunga berteriak.
“Jangan sentuh!”
Ratu Duyung merasa tangannya yang tadi dijulurkan seperti disengat hawa panas.
“Itu bunga tanjung yang aku lihat waktu memejamkan mata...” Berkata Bunga. Lalu gadis alam roh ini jentikkan jari telunjuknya ke arah bunga tanjung di tanah. Kejap itu juga bunga tanjung hancur dengan memancarkan cahaya merah, biru dan hijau.
“Sahabatku Ratu Duyung,” berkata Bunga. “Tidakkah kau melihat keanehan?”
Ratu Duyung mengangguk. “Bunga tanjung biasa tidak akan memancarkan tiga cahaya berwarna seperti itu. Benar katamu. Ada satu kekuatan yang berusaha menghalangi maksud kita menolong Pendekar 212.”
“Sahabat, aku ingin berada lebih lama di tempat ini. Ingin sekali melanjutkan menolong Wiro. Tapi waktuku di dunia luar sangat terbatas. Aku harus segera pergi. Aku titip Wiro padamu. Jaga dia baik-baik. Selidiki asal muasal sakit aneh yang dideritanya. Aku tahu kau akan mampu menolongnya. Beritahu kakek pemilik gubuk kalau aku minta maaf telah merusak tempat kediamannya...”
“Tak usah khawatir. Tidak jauh dari sini ada satu bangunan kosong. Dekat aliran Kali Progo juga. Aku akan meminta mereka pindah dan membawa Wiro ke sana.”
Bunga memberikan sekuntum kembang kenanga kuning pada Ratu Duyung. “Simpanlah. Jika sewaktu-waktu kau membutuhkan diriku, cium kembang ini dan sebut namaku. Aku akan muncul”
Habis menyerahkan kembang kenanga dan keluarkan ucapan Bunga berkelebat. Gadis alam roh ini lenyap dari hadapan Ratu Duyung. Saat itu Ki Tambakpati dan Setan Ngompol sudah berada di luar gubuk.
“Apa yang terjadi? Mana Bunga?” tanya Setan Ngompol.
“Dia sudah pergi. Kek, ada sebuah bangunan kosong tak jauh dari sini. Kurasa lebih baik kita memindahkan Wiro ke sana. Namun sebelumnya aku ingin bertanya bagaimana kejadiannya sampai Wiro mengidap penyakit aneh itu...”
“Aku yang pertama kali menemukannya tergeletak di halaman candi di atas sebuah bukit. Aku mendapat petunjuk dalam mimpi. Aku bicara dengan Sinto Gendeng, guru Wiro...” Lalu Ki Tambakpati menuturkan bagaimana dan di mana dia menemui Pendekar 212 di bawah hujan lebat beberapa hari lalu.
Setelah mendengar penuturan Ki Tambakpati, Ratu Duyung bertanya. “Kek, menurut ceritamu kau menemukan sebuah suling perak tak jauh dari tempat Wiro tergeletak di halaman candi. Boleh aku melihat suling itu?”
Ki Tambakpati masuk ke dalam gubuk. Waktu keluar dia membawa sebuah suling perak yang berkilat-kilat terkena sinar matahari. Suling diberikan pada Ratu Duyung. Gadis bermata biru ini memperhatikan dengan seksama sambil berpikir-pikir. Kemudian dia berkata.
“Kalau aku tidak salah menduga, suling ini pernah menjadi milik paderi perempuan dari negeri Cina. Paderi itu bernama Loan Nio. Sebelum kembali ke negerinya dia menyerahkan suling pada seorang nenek rambut kelabu, makhluk jejadian kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu...”
“Bagaimana kau bisa tahu hal itu, Ratu Duyung?” tanya Setan Ngompol.
“Aku menyaksikan sendiri kejadian itu” jawab Ratu Duyung seraya mengembalikan suling perak pada Ki Tambakpati. “Kalau suling itu ditemukan dekat Wiro tergeletak pingsan mungkin sekali makhluk jejadian itu juga ada di sana. Lalu ke mana perginya nenek itu?”
“Kau mencurigai dia yang mencelakai Wiro?” tanya Setan Ngompol.
Ratu Duyung menggeleng. “Dia berhutang budi pada Wiro. Makhluk jejadian tidak seperti manusia. Dia tak mungkin akan membalas budi orang dengan kejahatan. Tapi siapa tahu, keadaan bisa saja membuat makhluk itu berubah. Kita harus mencari nenek itu untuk ditanyai. Tapi menolong Wiro adalah hal paling pertama harus kita lakukan. Sahabat kita Bunga menerangkan apa yang dialami Wiro. Tadi waktu berada di sini, aku sempat mendengar pembicaraan kakek berdua...”
“Syukur kalau kau sudah tahu nasib buruk yang diderita pemuda itu. Kita hanya memohon pada Gusti Allah dan berusaha menyelamatkannya dari penyakit yang menyengsarakan seumur hidup itu. Tadi kami membicarakan Kitab Seribu Pengobatan. Mungkin ada petunjuk penyembuhan dalam kitab itu.”
“Setahuku kitab itu pernah hilang kemudian ditemukan kembali. Terakhir dicuri oleh paderi dari Cina itu. Namun dia sudah mengembalikan pada Wiro.” Menjelaskan Ratu Duyung.
“Justru kami tidak menemukan kitab itu padanya” Kata Ki Tambakpati pula. “Aku berharap kitab itu tidak lenyap lagi untuk ke sekian kalinya.”
“Sementara hari masih pagi, matahari belum bersinar terik, sebaiknya kita membawa Wiro ke bangunan kosong itu.” Berkata Ratu Duyung.
Ketika orang-orang itu sampai di bangunan yang dikatakan Ratu Duyung ternyata bangunan itu sebuah rumah panggung berkolong rendah. Seharusnya keadaan bangunan serba kotor, paling tidak penuh debu dan sarang laba-laba karena sekian lama tidak pernah ditinggali. Namun anehnya ketika mereka sampai di depan tangga mereka dapatkan keadaan bangunan sangat bersih.
Lantai kayu licin berkilat, begitu juga dinding dan langit-langit. Di dalam sebuah kamar terdapat satu ranjang bambu rendah beralaskan tikar yang walaupun sudah robek-robek tapi bersih. Di salah satu sudut kamar terdapat sebuah gentong lumayan besar. Ketika diperiksa ternyata berisi air jernih dan sejuk. Di dinding dekat gentong air ini tergantung sebuah gayung terbuat dari batok kelapa.
Ki Tambakpati dan Setan Ngompol dengan bantuan Ratu Duyung membaringkan Pendekar 212 di atas ranjang bambu.
Sambil memandang berkeliling, lalu berdiri membelakangi jendela yang terbuka Ratu Duyung berkata, “Aneh, siapa yang membersihkan bangunan ini? Siapa yang mengisi tempayan dengan air bersih?”
Tiba-tiba ada suara perempuan menyahuti ucapan Ratu Duyung. “Para sahabat bertiga, saat ini hanya itu bantuan yang bisa aku berikan.”
Tiga orang yang ada di dalam rumah sama-sama terkejut karena tidak menyangka ada orang lain di rumah panggung itu. Namun ketika melihat siapa yang muncul Setan Ngompol unjukkan air muka gembira.
Ki Tambakpati karena tidak mengenal hanya tegak memperhatikan sambil dalam hati bertanya-tanya. Sementara Ratu Duyung yang memang mengenal siapa adanya orang dan tidak menyangka kehadirannya di tempat itu berusaha menyembunyikan perasaan terkejutnya.
BAB LIMA
Setan Ngompol datang menghampiri seraya berkata. “Sahabatku gadis dari negeri seribu duaratus tahun silam, aku gembira melihatmu. Bagaimana kau bisa berada di sini. Kaukah yang membersihkan bangunan ini?”
Gadis yang disapa si kakek ternyata adalah Luhmintari, gadis dari Latanahsilam yang kini dipanggil Purnama, nama pemberian Pendekar 212 Wiro Sableng. Purnama yang mengenakan pakaian biru, rambut hitam digulung di atas kepala, menjura memberi penghormatan pada tiga orang itu, lalu menjawab pertanyaan Setan Ngompol,
“Kek, sebelum ke sini aku datang ke rumah di pinggir Kali Progo. Ketika mendengar kakek bertiga akan mempergunakan bangunan ini, aku buru-buru ke sini menyiapkannya. Maaf kalau aku bertindak lancang mendahului.”
“Siapa yang bilang kau lancang! Perbuatanmu sangat terpuji dan sangat menolong. Daripada aku yang menyapu membersihkan rumah ini, bisa terkencing-kencing. Lantainya bukan jadi bersih malah tambah kotor bau pesing! Ha ha ha!”
Semua orang tertawa geli mendengar ucapan Setan Ngompol itu. Purnama berpaling pada Ratu Duyung membungkuk memberi penghormatan lalu berkata,
“Sahabat, waktu kau menyelamatkan diriku di atas atap Gedung Kadipaten dari tangan jahat Raja Racun Bumi Langit aku belum sempat mengucapkan terima kasih. Saat ini aku...”
Ratu Duyung tersenyum. “Tak usah memakai peradatan segala. Antara sesama sahabat bukankah wajar-wajar saja saling menolong?”
“Walau begitu aku tetap ingin menyampaikan rasa terima kasihku. Aku bukan cuma berhutang budi, tapi juga berhutang nyawa padamu.” Kata Purnama pula.
Sementara dua gadis itu bicara diam-diam Ki Tambakpati memperhatikan dan menimbang-nimbang. Mana yang lebih cantik di antara mereka. Purnama tinggi semampai memiliki wajah anggun sedap dipandang. Sementara Ratu Duyung memiliki sepasang mata biru penuh pesona ditambah bentuk tubuh yang indah. Dia juga ingat pada gadis cantik berambut pirang Bidadari Angin Timur yang sebelumnya muncul di gubuk di Kali Progo. Dalam hati kakek ini berkata.
“Aku menyirap kabar tiga gadis itu ditambah gadis berwajah pucat bertubuh samar, mereka semua mencintai Wiro. Yang mana kelak yang bakal mendapatkan pendekar itu? Apakah tidak akan terjadi saling bentrok di antara mereka?”
“Ada hal yang lebih penting,” kata Ratu Duyung. “Sahabat kita Pendekar 212 tengah menderita sakit parah. Kita harus menolongnya...”
Tiba-tiba Setan Ngompol ingat sesuatu. “Purnama, setahuku kau telah meredam seluruh isi Kitab Seribu Pengobatan. Mungkin kau bisa melakukan sesuatu? Mencari petunjuk untuk menyembuhkan Wiro.”
“Aku akan mencoba, Kek. Mudah-mudahan Gusti Allah menolong kita semua. Namun kalau Kakek bisa menceritakan, aku ingin lebih dulu mengetahui bagaimana asal mula kejadiannya, apa yang diderita Wiro. Lalu tindakan apa saja yang telah dilakukan dalam usaha menyembuhkannya.”
Setan Ngompol meminta Ki Tampakpati memberi penjelasan. Kakek ahli pengobatan ini lalu menceritakan bagaimana pertama kali dia menemui Wiro termasuk kemunculan Damar Sarka dan Surah Sentono. Kakek ini juga memberi tahu apa yang dialami Wiro lalu apa yang telah dilakukannya walau tidak banyak menolong. Setan Ngompol kemudian menambahkan apa yang terjadi sewaktu Bunga berusaha mengobati sang pendekar.
Diantar ke tiga orang itu Purnama kemudian masuk ke dalam kamar di mana Wiro terbaring di atas ranjang bambu. Purnama memperhatikan sosok Wiro sejenak. Lalu mulutnya berucap perlahan, “Ada dua belas bekas totokan di tubuh Wiro. Ada orang yang telah berusaha menolongnya sebelum gadis bernama Bunga menotok tujuh kali dengan kembang kenanga.”
Gadis dari negeri 1200 tahun silam ini kemudian letakkan telapak tangan kirinya di atas kening Pendekar 212. Terasa sangat dingin. Gadis ini lalu berpaling pada Ki Tambakpati.
“Kek, turut penjelasanmu serta keterangan yang diberikan Bunga agaknya Wiro bukan hanya menderita satu penyakit. Pintu pertama yang harus dilalui untuk mengobati semua penyakitnya adalah terlebih dulu memperbaiki jalan darahnya yang terbalik. Sahabat bertiga, aku akan mulai. Bantulah dengan doa.”
Purnama pejamkan mata. Tangan kiri yang menyentuh kening Wiro perlahan-lahan dialiri hawa sakti. Ketika hawa sakti ini bersentuhan dengan kening Wiro, di luar rumah terdengar letusan aneh seperti petir menyambar. Rumah panggung bergetar. Purnama seperti disengat api. Gadis alam gaib ini lipat gandakan tenaga dalam. Mulut mengerang menahan sakit. Tiga cahaya merah, biru dan hijau muncul dalam ruangan.
Ratu Duyung berteriak keras lalu melesat ke luar rumah sambil tarik cermin sakti dari balik baju. Di udara dia melihat jelas satu bayangan putih berkelebat ke arah pohon besar. Cermin sakti diputar. Selarik sinar putih menderu keluar dari dalam cermin. Pohon besar yang dilanda sinar putih langsung dikobari api. Namun bayangan putih lenyap dari pemandangan.
“Manusia tanpa wajah! Pasti dia! Aku mengenali pakaiannya. Makhluk itu memiliki kesaktian sangat tinggi. Dia sepertinya berusaha menghalangi pengobatan atas diri Wiro.”
Ratu Duyung mengawasi keadaan sekeliling, lalu cepat-cepat masuk kembali ke dalam rumah. Masuk ke dalam ruangan didapatnya Wiro masih terbaring seperti tadi. Purnama masih berdiri di samping ranjang. Tangan tetap menempel di kening Wiro namun keadaan gadis dari alam 1200 tahun silam ini mengenaskan. Dua mata yang terpejam tampak membengkak. Sebagian pakaian birunya hangus. Wajah sebelah kiri merah melepuh. Rambut yang sebelumnya digulung di atas kepala kini tergerai kusut riap-riapan. Di sela bibir tampak lelehan darah.
“Purnama, kau terluka di dalam!” teriak Ratu Duyung lalu cepat merangkul gadis itu.
“Sahabat, tak usah khawatir. Aku masih dapat menguasai diri. Aku tahu siapa yang barusan menyerang. Makhluk yang kau lihat dalam cermin. Dia berusaha menghalangi apa yang hendak kita lakukan. Yang penting serangan gaib tadi tidak sampai mencelakai Wiro. Sekarang aku akan berusaha menyembuhkan kelainan darah di tubuh Wiro. Mudah-mudahan aku menemukan petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan.”
Ketika Purnama hentikan ucapannya, keadaan di dalam ruangan itu sehening di pekuburan. Ki Tambakpati tampak pucat. Setan Ngompol bersandar ke dinding sambil pegangi bagian bawah perut. Cukup lama kesunyian mencekam, kemudian Purnama berucap,
“Kitab Seribu Pengobatan... Halaman tujuh puluh dua. Pengobatan ke tiga ratus satu. Barang siapa menderita kelainan darah yang biasanya disertai gangguan aliran darah maka penyembuhannya terdiri dari lima tahap. Pertama, memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh agar orang yang sakit disembuhkan dari penderitaannya. Kedua, si sakit diminumkan tujuh cangkir air tumbukan jahe hangat setiap hari selama tiga hari. Ketiga, jika aliran darahnya terganggu, si sakit harus diurut pembuluh darah utamanya ke arah berlawanan dari aliran darah yang ada mulai dari saat matahari terbit sampai matahari tenggelam. Untuk mengurut harus dipergunakan madu lebah yang dihangatkan. Keempat, si sakit harus diapungkan di atas sungai mulai dari matahari terbit sampai siang hari dengan kepala menghadap ke arah datangnya arus sungai dari hulu. Kelima, tepat pada saat matahari mencapai titik tertinggi, tusuk sepuluh ujung jari tangan dan ujung jari kaki dengan benda apa saja yang runcing dan tajam. Bila darah yang keluar kembali ke asal merah dan segar maka dengan kehendak serta Ridho Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh si sakit akan terhapus dari deritanya.”
Ketika Purnama tarik tangannya yang memegang kening Wiro, Ki Tambakpati mendekati dan bertanya setengah berbisik, “Petunjuk yang kau dapat adalah untuk mengobati jalan darahnya yang terbalik. Bagaimana dengan penyembuhan itunya. Maksudku kemampuannya sebagai laki-laki...”
Purnama tak segera menjawab. Sewaktu mendengar cerita Ki Tambakpati sebelumnya mengenai penyakit yang diidap Wiro bahwa pemuda itu akan mengalami kelumpuhan kejantanan selama-lamanya sebenarnya hatinya merasa perih dan sangat terpukul. Dalam hati dia membatin, siapa yang punya dendam terhadap Wiro hingga memperlakukannya demikian kejam? Makhluk tanpa wajah yang dilihatnya dalam cermin?
“Kek,” akhirnya Purnama berkata. “Kita baru berusaha membuka pintu kesembuhan. Jika kita berhasil mengobati kelainan jalan darah Wiro, mudah-mudahan kita bisa menyembuhkan penyakitnya yang lain. Jangan lupa, Wiro harus sadar lebih dulu. Kalau tidak bagaimana dia bisa meneguk air jahe. Jika Wiro siuman kita perlu meminta keterangan apa yang terjadi dengan dirinya. Baru nanti kita bisa menentukan mau berbuat apa. Aku selalu siap untuk mencari petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan. Sekarang baiknya kita sama-sama berdoa untuk kesembuhan Wiro. Setelah itu masing-masing kita menyiapkan segala sesuatu yang akan dipergunakan untuk alat penyembuhan.”
“Aku akan mencari madu lebah,” berkata Setan Ngompol.
“Aku akan mencari jahe. Nanti biar aku juga yang akan mengurut tubuh pendekar itu.” Berucap Ki Tambakpati.
Purnama dan Ratu Duyung sama-sama tersenyum. Purnama lalu memberi tanda agar semua orang siap untuk sama-sama memanjatkan doa. Selesai berdoa Ki Tambakpati tinggalkan rumah panggung untuk mencari jahe sedang Setan Ngompol pergi ke hutan mencari madu lebah.
Setelah dua kakek itu pergi, Ratu Duyung bertanya pada Purnama. “Sahabat, kau merasa baik-baik saja?”
“Tadi aku memang terluka di dalam. Untung aku bisa bertahan. Mudah-mudahan sekarang aku tak kurang suatu apa. Kau tentu dapat menduga, sakitnya Wiro bukan sakit sembarangan. Ada kekuatan dari alam gaib yang berusaha mencegah penyembuhan dan membuat keadaan jadi lebih buruk.”
“Manusia tanpa wajah yang kita lihat dalam cermin. Siapa dia?” ucap Ratu Duyung.
“Sulit diketahui siapa adanya makhluk itu. Apa sebenarnya kepentingannya. Makhluk itu mengandalkan ilmu kesaktian yang memancarkan tiga warna merah, biru dan hijau. Itu yang dipakainya waktu menyerangku.” Kata Purnama pula.
“Sahabat, luka dalammu mungkin benar sudah sembuh. Tapi apa kau menyadari ada bagian yang terbakar pada wajahmu sebelah kiri...”
“Aku memang merasa sedikit perih. Aku tidak tahu seberapa parahnya.”
Ratu Duyung keluarkan cermin bulat lalu diserahkan pada Purnama. Gadis dari negeri 1200 tahun silam ini dekatkan mukanya ke cermin. Ketika melihat wajahnya dalam cermin, langsung dia terpekik. Kening kiri, pipi sampai ke dagu kiri kelihatan merah kehitaman. Sebagian kulit wajahnya ada yang mengelupas.
“Lukamu akan sembuh. Pasti ada obat untuk menyembuhkan” Ratu Duyung berusaha membujuk sambil mengelus punggung Purnama. “Coba kau lihat petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan. Pasti kau akan menemukan obat dan cara penyembuhannya.”
“Akan kucoba...” kata Purnama lalu pejamkan mata. Setelah cukup lama merenung, sambil menarik nafas dalam gadis ini buka kedua matanya. Perlahan-lahan kepala digelengkan. “Aku tidak menemukan obat dan cara penyembuhan...”
“Mustahil. Ada seribu macam pengobatan dalam kitab itu” ujar Ratu Duyung.
“Semua menyangkut penyakit. Bukan untuk kecantikan.” Jawab Purnama dengan suara lirih.
“Aku tidak yakin. Kalau saja kita bisa mendapatkan kitab yang asli, mungkin ada yang tidak terserap dalam benakmu...”
“Aku sudah menguasai seluruh isi kitab itu. Kitab Seribu Pengobatan bukan untuk menyembuhkan dan membuat kecantikan. Aku akan cacat seumur hidup. Mungkin aku harus kembali ke alamku dan tidak pernah muncul lagi di muka bumi ini untuk selama-lamanya...” Purnama berucap perlahan. Seperlahan ucapannya seperlahan itu pula air mata menetes ke wajahnya yang kini cacat.
“Aku tetap tidak yakin. Kau bukan mencari atau membuat kecantikan. Kau mengobati dirimu yang terluka. Kalau kau mampu menyembuhkan luka parah yang dialami Wiro sewaktu dihantam pukulan Pangeran Muda dari Keraton Kaliningrat, kalau kau mampu menyembuhkan Wiro dari patukan ular gaib Walang Gambir alias Kobra Biru, masakan kau tidak mampu mengobati luka luar dirimu sendiri?”
“Luka yang aku alami bukan luka biasa. Ada kekuatan gaib sangat dahsyat yang melakukannya.”
“Sahabat, aku tahu hatimu sedang tergoncang. Kita semua dalam bingung dan susah. Tapi cobalah sekali lagi. Aku yakin kau akan mendapat petunjuk dari Kitab Seribu Pengobatan yang sudah kau ingat dalam benakmu itu...”
“Kalau begitu baiklah. Akan kucoba sekali lagi.”
Kali ini Purnama pejamkan kedua matanya, pikiran benar-benar dipusatkan. Tak lama kemudian mulutnya berucap. “Kitab Seribu Pengobatan. Halaman...” Ucapan Purnama terputus. “Ada yang tidak beres! Aku melihat kabut hitam. Pikiranku gelap, pemandanganku terhalang. Ada makhluk jahat...”
Tiba-tiba meledak tawa cekikikan di tempat itu. Disusul ucapan nyaring perempuan. “Kau tidak akan mampu mengobati lukamu. Kau akan cacat seumur hidup! Tidak ada lelaki yang mau padamu. Termasuk Pendekar 212! Hik hik hik!”
“Siapa?!” Bentak Ratu Duyung. Dia merasa ada angin berkelebat ke arah serambi rumah panggung. Ratu Duyung mengejar. Sepasang matanya yang biru memancarkan sinar terang. Lalu...
"Wuut... Wuut!" Dua larik sinar biru melesat ke udara. Itulah ilmu kesaktian yang disebut Inti Biru Laut Selatan. Di udara terdengar satu letupan keras disertai kiblatan cahaya ungu terang. Lalu menyusul suara pekikan perempuan.
“Kau berhasil menghajarnya. Mudah-mudahan dia kapok menggangguku,” ucap Purnama yang ikut mengejar dan kini berdiri di halaman rumah panggung di samping Ratu Duyung.
“Lagi-lagi makhluk gaib. Kau tahu siapa atau makhluk apa?”
“Makhluk perempuan dari negeriku. Aku pernah bertarung dan menghajarnya. Tapi dia tak pernah jera. Kurasa tadi kau telah melukainya. Biar kapok!”
Dalam hati Ratu Duyung berkata. “Kalau makhluk gaib perempuan itu berasal dari alam yang sama dengannya. Kalau makhluk itu menyumpahinya tidak ada laki-laki yang mau padanya termasuk Wiro, berarti makhluk itu sebenarnya ingin memiliki Wiro. Apakah dia yang telah mencelakai Wiro?”
“Ratu, kau tengah memikirkan apa?” bertanya Purnama ketika dilihatnya Ratu Duyung tegak terdiam.
“Ah...” Ratu Duyung tersenyum. “Sahabat, sebaiknya kita masuk kembali ke dalam rumah. Kau coba lagi mendapatkan petunjuk dari Kitab Seribu Pengobatan. Kali ini kau pasti berhasil.”
“Tak usah di dalam rumah. Di sini pun bisa kulakukan” jawab Purnama. Lalu gadis alam 1200 tahun silam ini pejamkan mata. Sesaat kemudian dia berseru. “Ratu! Aku berhasil! Aku akan membaca dan mengucapkannya! Kitab Seribu Pengobatan, halaman empat puluh sembilan, pengobatan ke dua ratus dua. Barang siapa yang terluka kulit sampai dagingnya akibat penyakit atau api atau benda panas lainnya, yang berasal dari alam nyata maupun alam gaib maka penyembuhannya adalah sebagai berikut. Pertama, memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh agar si sakit disembuhkan dari sakit dan penderitaannya. Kedua, siapkan satu kendi susu sapi. Campur sedikit dengan tanah merah karena manusia berasal dari tanah dan tubuhnya mengandung unsur tanah. Ketiga, letakkan kendi berisi susu bercampur tanah di tempat ketinggian, jangan ditutup, embunkan di udara terbuka mulai saat malam tiba sampai fajar menyingsing. Di pagi yang sama menghadaplah ke arah matahari tenggelam. Keempat, siramkan air susu dalam kendi ke bagian yang cidera sambil melafatkan kata-kata: Manusia berasal dari tanah. Tanah pula yang akan menjadi pengobat. Manusia memulai hidup dengan air susu. Air susu pula yang akan menjadi pengobat. Tuhan Maha Kuasa Maha Penyembuh... Jika semua sudah dilakukan mudah-mudahan Yang Maha Kuasa akan menyembuhkan si sakit.”
Purnama membuka kedua matanya. Wajahnya yang cacat tampak agak berseri. “Aku berhasil. Terima kasih kau telah meyakinkan diriku...”
“Kau akan mencari susu sapi?”
Purnama menggeleng. “Akan kulakukan kalau Wiro sudah berhasil kita sembuhkan...”
“Kalau begitu biar aku yang mencarikan untukmu.”
Purnama pegang lengan Ratu Duyung. “Terima kasih kau mau berbuat baik. Tapi jangan. Tidak seorang pun dari kita yang boleh meninggalkan tempat ini sebelum Wiro sembuh.”
Ratu Duyung akhirnya mengangguk perlahan. Dalam hati dia membatin, “Kecintaannya terhadap pemuda itu sungguh luar biasa. Dia rela menanggung cacat, asal Wiro bisa disembuhkan. Apakah kecintaannya melebihi kecintaanku?”
Menjelang sang surya tenggelam Ki Tambakpati muncul kembali bertelanjang dada, membawa setumpuk jahe yang dibungkus dalam jubah hijaunya.
“Mana kakek tukang ngompol itu. Kukira dia sampai duluan,” kata Ki Tambakpati sambil letakkan tumpukan jahe di tangga rumah.
Tiba-tiba terdengar suara orang berlari sambil mengaduh-aduh panjang pendek tiada henti.
“Hai! Itu suara kakek Setan Ngompol.” ujar Ratu Duyung.
Tak lama kemudian kakek kepala setengah sulah berkuping lebar itu muncul berlari-lari. Tangan kanan menenteng dua buah kelapa hijau. Tangan kiri menekapi bawah perut yang kelihatan aneh melembung.
“Katanya mencari madu lebah ke hutan. Pulang malah membawa dua butir kelapa. Aneh sobatku satu ini!” Ucap Ki Tambakpati.
Sampai di depan rumah panggung Setan Ngompol jatuhkan diri. Dua buah kelapa diletakkan di tanah. Dia lalu telentangkan badan di tanah sambil dua kaki mencak-mencak kian kemari sementara dari mulutnya terus saja teriakan, “Aduh... aduh... aduh!”
“Kek, ada apa ini?” bertanya Ratu Duyung.
“Kek, apa yang terjadi?” Purnama ikut bertanya.
“Hai! Kenapa celanamu gembung seperti ditiup angin!” Bertanya Ki Tambakpati.
“Lebah sialan!” teriak Setan Ngompol “Aku bukan ditiup angin. Tapi ditiup lebah keparat!”
“Tenang, Kek. Ceritakan apa yang terjadi” kata Purnama pula.
“Lebah sialan! Lebah keparat! Aku disengat ratusan lebah waktu mengambil madunya di hutan!”
“Pasti kau tidak kulo nuwun (minta ijin) dulu!” kata Ki Tambakpati.
“Kulo nuwun, kulo nuwun! Memangnya lebah ngerti bahasa manusia!” gerutu Setan Ngompol. “Lihat anuku! Melembung bengkak seperti semangka mau pecah!” Setan Ngompol enak saja hendak rorotkan celananya yang basah lepek oleh air kencing.
“Hai! Tahan! Tunggu dulu! Jangan main buka sambarangan. Ada gadis di sini! Mending anumu bagus! Ha ha ha!” Ki Tambakpati tertawa gelak-gelak.
“Sudah Kek. Nyebur ke kali sana! Biar adem! Biar cepat kempes anunya!” kata Ratu Duyung kasihan ada geli juga ada.
“Yang penting kau dapatkan madunya apa tidak?” Ki Tambakpati bertanya sambil pegangi perut menahan tawa.
“Itu sudah kumasukkan dalam buah kelapa!” jawab Setan Ngompol lalu sambil kucurkan air kencing dia bergulingan di tanah, menggelinding masuk Kali Progo.
“Pegangan Kek! Kalau kau hanyut kami juga yang susah!” berseru Purnama.
Tiba-tiba dari dalam rumah panggung terdengar jeritan-jeritan keras. Empat orang yang ada di halaman rumah tersentak.
“Wiro!” Ratu Duyung dan Purnama berseru hampir berbarengan.
Setan Ngompol yang baru saja sebentar berendam di dalam kali, mendengar jeritan Wiro segera melompat keluar dari dalam air. Dia seperti melupakan rasa sakit bekas sengatan lebah. Terbeser-beser dia menghampiri Ki Tambakpati.
“Apa yang dikatakan Bunga gadis alam roh itu benar adanya. Wiro sadar satu hari lebih cepat. Tapi mengapa menjerit-jerit?”
“Dia sadar dalam keadaan jalan darah yang masih terbalik. Sakitnya lebih hebat dari sundutan bara api!” jawab Ki Tambakpati.
Lalu dua kakek ini berkelebat menyusul dua gadis masuk ke dalam rumah.
BAB ENAM
Di atas ranjang bambu tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng bergetar hebat, basah oleh keringat dan kepulkan asap tiga warna, merah, biru dan hijau. Mulutnya tiada henti berteriak. Matanya hanya bagian putih saja yang kelihatan.
“Totok jalan suaranya. Kasihan kalau dia berteriak terus-terusan...” kata Ki Tambakpati.
Ratu Duyung bertindak cepat. Sekali menotok urat besar di pangkal leher Wiro maka suara jeritan serta merta lenyap. Pancaran tiga cahaya perlahan-lahan meredup walau tidak hilang sama sekali. Begitu juga getaran yang menjalari sekujur tubuh masih berlangsung.
“Dia menderita sakit luar biasa. Ketika pingsan dia tidak merasakan. Begitu sadar baru berteriak. Tapi dia belum sadar penuh. Baru mati rasanya yang sembuh.” Ki Tambakpati menjelaskan. “Kita harus mempercepat pengobatan..."
Semua orang kemudian sibuk. Jahe ditumbuk, madu untuk mengurut disiapkan. Ki Tambakpati dan Setan Ngompol membuat rakit kecil nanti untuk dipakai mengapungkan tubuh Wiro di dalam kali sebagaimana petunjuk Kitab Seribu Pengobatan yang dilafatkan Purnama.
Ketika jahe hangat selesai dibuat, cukup sulit untuk meminumkan karena walau setengah sadar namun boleh dikatakan murid Sinto Gendeng tidak punya tenaga kekuatan sama sekali. Jangankan mengangkat tangan, untuk menelan air obat saja dia mengalami kesulitan. Sementara itu kedua matanya masih kelihatan memutih. Purnama dan Ratu Duyung dengan susah payah berhasil meminumkan obat jahe ke dalam mulut Wiro.
Setan Ngompol dan Ki Tambakpati berdua mengurut sekujur tubuh Wiro dengan madu. Keempat orang itu bekerja sampai jauh malam. Keesokan paginya Ratu Duyung meminta izin tiga kerabat untuk melepas totokan Wiro.
“Kita tidak mungkin menunggu sampai tiga hari seperti petunjuk kitab sakti. Aku tidak tega melihat tubuhnya terus menerus bergetar berkelojotan. Bagaimana kalau kita coba melepas jalan suaranya. Siapa tahu Wiro sembuh lebih cepat...”
Ki Tambakpati agak bersangsi. Namun Setan Ngompol dan Purnama memberikan tanda persetujuan dengan anggukan kepala. Maka Ratu Duyung segera menotok urat besar di pangkal leher Pendekar 212. Begitu jalan suaranya terlepas dari mulut Wiro langsung melesat keluar suara teriakan. Ratu Duyung tersentak, cepat-cepat dia tutup kembali jalan suara Pendekar 212 dengan menotok lagi urat besar di leher.
“Dia masih berteriak tanda kesakitan. Tapi ada perubahan. Suara teriakannya tidak sekeras sebelumnya.” berucap Ki Tambakpati.
“Kita harus melakukan sesuatu...” kata Ratu Duyung sambil pejamkan mata. Tiba-tiba dia ingat pada Bunga. “Mungkin kita harus memanggil Bunga...”
Seperti diketahui, sebelum pergi gadis berwajah pucat dari alam roh itu memberikan sekuntum kembang kenanga kuning pada Ratu Duyung disertai pesan. Jika sewaktu-waktu dirinya dibutuhkan maka dengan mencium kembang kenanga serta menyebut namanya dia akan muncul.
Sebenarnya Purnama merasa rikuh jika Bunga hadir di tempat itu. Hal ini karena dia mengetahui kalau Bunga lebih bersahabat terhadap Ratu Duyung daripada dirinya. Namun saat itu dia harus membuang jauh-jauh segala perasaan pribadi demi untuk menyelamatkan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Diperhatikan oleh ketiga orang di dalam ruangan Ratu Duyung keluarkan kembang kenanga dari balik baju kelabu lalu mencium kembang ini sambil berkata,
“Bunga, kami memerlukan bantuanmu. Datanglah.”
Begitu kata diucapkan dalam ruangan berpijar cahaya putih menyilaukan disertai menebarnya bau kembang kenanga. Di lain kejap Bunga si gadis alam roh telah berada di tempat itu dalam pakaian kebaya putih ber– kancing besar dan celana panjang putih sebetis.
“Para sahabat. Kesulitan kalian adalah kesulitanku juga. Mari kita sama-sama mencari jalan untuk dapat menolong Wiro.” Gadis alam roh berucap.
“Bunga, kau mampu membuat Wiro sadar lebih cepat? Kami sudah melakukan apa yang kami bisa. Namun kami harus menunggu selama dua hari lagi. Kami tidak tega melihat Wiro tersiksa selama itu. Apakah kau mampu mempercepat kesembuhan kelainan jalan darah yang dideritanya?” Tanya Ratu Duyung.
Bunga pandangi wajah dan sosok Pendekar 212 dengan mata sayu. Dengan suara perlahan dia berkata, “Wiro pernah menyabung nyawa ketika menyelamatkan diriku dari sekapan guci iblis. Sekarang dia dalam kesulitan besar. Bukankah ini saatnya membalas segala budi dan hutang nyawa?”
(Baca serial Wiro Sableng berjudul Si Cantik Dalam Guci)
Bunga berpaling pada Ratu Duyung dan Purnama. Dari dalam genggaman tangannya gadis alam roh ini keluarkan tiga kuntum kembang kenanga yang masih segar. Satu diberikan pada Ratu Duyung, satu pada Purnama.
“Kunyah dan telanlah kembang yang kuberikan.” Kata Bunga lalu dia masukkan kembang kenanga yang dipegangnya ke dalam mulut, langsung dikunyah. Ratu Duyung dan Purnama tanpa ragu melakukan hal yang sama. Bunga kemudian memegang tangan kedua gadis itu hingga tangan kanan mereka bertiga saling berjabatan.
“Perhatikan apa yang aku lakukan,” berkata Bunga lalu letakkan tangan kiri di atas kening Wiro “Letakkan tanganmu di atas tanganku,” kata Bunga pada Ratu Duyung lalu pada Purnama dia berkata, “Letakkan tangan kirimu di atas tangan Ratu Duyung.”
Maka tiga tangan saling berjabatan, tiga lainnya bersusun diletakkan di atas kening Pendekar 212.
“Kalian berdua, jika aku mengedipkan mata cepat alirkan tenaga dalam penuh. Kita berusaha. Selebihnya Tuhan yang akan menolong!” Bunga menunggu sesaat. Lalu mulutnya berucap, “Gusti Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. Kasih sayangMu terlimpah pada kami bertiga. Kekuatan kasih sayangMu lebih dahsyat dari kekuatan gelombang samudera. Kekuatan kasih sayangMu lebih dahsyat dari kekuatan sang surya. Kekuatan kasih sayangMu lebih hebat dari kekuatan topan prahara! Dengan izinMu ya Allah semua kekuatan dalam bungkus kasih sayangMu itu akan menghancurkan kejahatan, akan menyembuhkan penyakit. Kami bertiga yang rendah ini memohon ya Allah. Apa yang Engkau kehendaki terjadilah!”
Habis keluarkan ucapan yang membuat tengkuk semua orang yang ada di tempat itu jadi merinding, Bunga kedipkan kedua matanya. Tiga tenaga dalam tingkat tinggi sama-sama dikerahkan.
"Blaarrr!" Ledakan keras menggoncang rumah panggung. Muka tiga gadis cantik tampak pucat seolah tidak berdarah, terlebih Bunga. Ketiganya jatuh terkapar, tubuh bergetar dada mendenyut sakit. Di sela bibir Ratu Duyung tampak ada lelehan darah pertanda gadis ini menderita luka dalam.
Bunga serahkan sekuntum kembang kenanga pada Ratu Duyung. “Cepat kunyah dan telan!” katanya.
Ratu Duyung mengambil kembang kenanga, memasukkan ke dalam mulut lalu mengunyah dan menelan dengan cepat. Dadanya yang tadi mendenyut sakit, kepalanya yang tadi agak pening kini semua itu serta merta lenyap. Ratu Duyung maklum, sebagai dua orang dari alam lain, Purnama dan Bunga masih mampu bertahan terhadap serangan gaib tadi. Sementara dia walau bisa hidup di darat dan di laut, bagaimanapun juga dia tetap manusia biasa.
Di luar rumah terdengar suara gelombang angin menderu. Daun-daun pepohonan berkesiuran. Ranting-ranting patah berjatuhan. Di dalam rumah panggung tiba-tiba berlangsung keanehan. Sosok Pendekar 212 melayang naik setinggi satu jengkal, lalu ketika turun tagi ke ranjang bambu, dari telinga, mata dan hidungnya serta mulut meleleh darah kental berwarna hitam! Cahaya merah, biru dan hijau masih membayangi tubuhnya.
Semua orang tercekat kaget. Ratu Duyung seperti mau menangis. Purnama pejamkan mata menahan isak. Hanya Bunga yang tetap tenang. Ketiganya kemudian mengeluarkan sehelai sapu tangan dari balik pakaian masing-masing lalu membersihkan darah dari wajah Wiro. Tiga sapu tangan yang basah oleh darah hitam itu kemudian diletakkan di atas selembar papan yang menempel ke dinding di ujung kaki ranjang. Keheningan dipecah oleh suara Ki Tambakpati.
“Darahnya masih hitam! Matanya masih nyalang!”
“Itu darah hitam terakhir yang masih bersisa dalam tubuhnya. Besok jika totokannya dilepas, mudah-mudahan aliran darah dalam tubuh Wiro sudah sembuh dan dia tidak akan berteriak lagi. Bersamaan dengan itu matanya akan terpejam. Bagian hitam bola matanya akan kembali ke keadaan semula.” Menjelaskan Bunga.
“Bagaimana dengan pengobatan sesuai petunjuk Kitab Seribu Pengobatan? Apakah harus dihentikan?” bertanya Purnama.
“Harus diteruskan. Itu akan lebih menolong.” Jawab Bunga.
“Sebenarnya ada yang hendak aku sampaikan pada para sahabat. Hanya saja apakah para sahabat dapat mempercayai ceritaku...”
“Bunga, jika kau mengetahui sesuatu sehubungan dengan penyakit Wiro harap kau menceritakan. Jangan ada yang disembunyikan...” ujar Ratu Duyung.
Setelah berdiam sebentar akhirnya Bunga berkata. “Sewaktu kembali ke alamku aku berusaha mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan Wiro. Aku menemukan tanda bahwa ada manusia titisan yang mencelakainya. Manusia ini berada di bawah satu kekuatan gaib yang sangat dahsyat, berasal dari negeri sangat jauh, di belahan timur bumi...”
“Apakah kau mengetahui sebab musabab mengapa manusia titisan itu mencelakai Wiro?” bertanya Purnama.
“Makhluk titisan hanya bertindak sebagai pelaku. Dia berada di bawah bayang-bayang atau kuasa satu makhluk gaib. Aku menduga makhluk gaib yang muncul tanpa wajah itulah biang keladi semua kejadian ini. Namun mengapa sang makhluk melakukan hal itu masih merupakan satu hal yang kabur bagiku...”
“Manusia yang ketitisan itu, apakah kau sempat melihat ujudnya?” Ratu Duyung bertanya.
“Aku hanya mampu melihat bayangan hitam sangat samar. Manusia itu dilindungi oleh makhluk gaib tadi. Setiap aku memusatkan perhatian pada dirinya, ada sinar merah redup yang melindungi. Agaknya dia membawa sebuah benda sakti bertuah. Para sahabat pernah mendengar peristiwa perkosaan dan pembunuhan atas diri banyak gadis cantik belakangan ini?”
Ratu Duyung tidak menjawab karena memang belum mendengar. Purnama berdiam diri. Ki Tambakpati berpaling pada Setan Ngompol dan membisikkan sesuatu.
“Aku pernah mendengar kejadian terkutuk itu. Kejadiannya sampai beberapa kali.”
“Setiap gadis yang dibunuh ada bunga tanjung menempel di keningnya...” Menjelaskan Bunga.
“Aku jadi ingat cerita sahabat mudaku Liris Biru, murid Hantu Malam Bergigi Perak yang tewas di tangan Sinto Gendeng karena salah paham,” berkata Setan Ngompol. “Kakak perempuannya yang bernama Liris Merah dibunuh seorang pemuda berpakaian hitam, mengenakan ikat kepala merah. Berkumis, ada berewok dan janggut tipis...” Setan Ngompol tekap dulu bagian bawah perutnya yang mau mengucur, baru meneruskan ucapan. “Ketika Liris Biru menemukan mayat kakaknya, di kening Liris Merah menempel sekuntum bunga tanjung. Bibirnya biru. Setelah tadi kau bicara soal pemerkosaan dan pembunuhan gadis-gadis cantik, aku menaruh duga pembunuhnya adalah manusia titisan itu. Karena katamu setiap ada gadis yang dibunuh, selalu ada kembang tanjung menempal di keningnya.”
“Bunga tanjung...” ucap Ratu Duyung dengan suara bergetar.
Dia berpaling pada Bunga. “Ingat bunga tanjung yang kita temui di halaman gubuk di Kali Progo? Yang memancarkan cahaya marah, biru dan hijau?”
Bunga mengangguk. “Aku menduga bunga itu agaknya salah satu kekuatan jahat sekaligus pelindung makhluk tanpa wajah.”
“Saat itu mungkin manusia jahat itu muncul di sekitar gubuk di tikungan kali. Namun karena kesaktiannya kita tidak bisa melihat.”
“Bisa jadi,” ucap Ratu Duyung pula.
“Kalau begitu kita harus mencari pemuda dengan ciri-ciri seperti yang dikatakan Liris Biru itu,” kata Purnama pula.
“Cepat atau lambat, kalau tidak kita pasti ada tokoh persilatan akan menemukan orang itu. Namun sementara itu masih banyak korban lagi akan berjatuhan. Manusia titisan ini, dia memiliki kesaktian luar biasa tinggi. Bersumber pada tiga cahaya. Merah, biru dan hijau. Buktinya tadi kami bertiga masih kalah dalam kekuatan tenaga dalam.”
“Makhluk yang menitis pada manusia itu, apakah sahabat berhasil mencari tahu siapa dia adanya?” tanya Purnama pula.
Bunga menggeleng. “Yang aku tahu hanyalah dia berasal dari masa ratusan tahun silam. Pada masa awal-awal Kerajaan Singosari. Jika para sahabat pernah mendengar cerita tentang lenyapnya pohon tanjung besar di alun-alun Kerajaan, maka makhluk yang menitis itu kira-kira hidup di masa kejadian itu.”
“Ah, riwayat pohon tanjung yang lenyap itu” kata Ki Tambakpati pula. “Aku pernah mendengar dari seorang tua. Orangnya sudah meninggal. Konon seluruh Kerajaan menjadi geger. Semua orang dilanda ketakutan karena menganggap ada kemarahan dewa yang luar biasa. Dan ada dugaan kejadian itu ada hubungannya dengan pertumpahan darah tak kunjung henti karena memperebutkan tahta Kerajaan.”
“Pohon tanjung...” ucap Ratu Duyung. “Kalau kita bisa menyelidik ke mana lenyapnya pohon tanjung di alun-alun Kerajaan Singosari itu, di mana beradanya sekarang, mungkin kita bisa mendapat petunjuk penting.”
Purnama tarik nafas dalam lalu berkata. “Makhluk gaib tanpa wajah, makhluk penitis, manusia yang ketitisan, pohon tanjung, bunga tanjung, pemuda berpakaian hitam... Aku yakin semuanya saling punya hubungan.” Gadis dari Latanahsilam ini seperti lupa keadaan wajahnya yang cacat.
“Sahabat semua” berkata Bunga. “Aku terpaksa harus pergi sekarang. Aku titip Pendekar 212 di tangan kalian...“
“Bunga, kami sangat berterima kasih padamu...” kata Purnama sambil pegang tangan Bunga.
Gadis dari alam roh ini tersenyum dan balas memegang tangan Purnama yang juga gadis dari alam yang sama. Bunga berkata, “Kita semua harus berterima kasih pada Gusti Allah.” Lalu saat itu juga tubuhnya sirna dari pemandangan, meninggalkan harum kembang kenanga.
Tak lama setelah Bunga meninggalkan rumah panggung, selagi Ratu Duyung dan Purnama menyiapkan madu untuk mengurut dan Ki Tambakpati serta Setan Ngompol menebang tiga cabang pohon yang akan dipergunakan untuk mengapungkan tubuh Wiro, tiba-tiba terdengar suara melenguh keras sekali dan berulang-ulang.
Setan Ngompol tersentak kaget, langsung pancarkan air kencing. Dia memandang pada Ki Tambakpati. “Suara apa itu? Suara kerbau atau suara demit?”
"Serrr..." menyebut demit Setan Ngompol kembali pancarkan air kencing.
BAB TUJUH
Tiba-tiba dari balik sederetan pohon tak jauh dari kali muncul seekor sapi putih. Di punggungnya duduk seorang anak gembala. Tangan kiri memegang batang bambu kecil. Tangan kanan memegang leher sapi erat-erat. Wajahnya pucat, sangat ketakutan. Sapi yang muncul adalah sapi betina gemuk. Susunya besar berayun-ayun kian-kemari.
“Sapi ini pasti baru melahirkan. Lihat susunya melar ke mana-mana. Aneh, dari mana datangnya tahu-tahu muncul di sini.” ujar Setan Ngompol.
Lalu dia datangi sapi dan anak penggembala. “Hai bocah! Di sini bukan tempat mengangon sapi. Di dalam rumah ada orang sakit! Lenguh sapimu sangat mengganggu! Ayo pergi sana!”
Si bocah bukan saja ketakutan karena dibentak tapi juga ngeri melihat tampang Setan Ngompol. Untuk beberapa ketika dia tertegun di atas punggung sapi.
“Hai! Kau tidak dengar apa aku bilang! Mau aku peper sama air kencing?!” Setan Ngompol delikkan mata dan masukkan tangan kanan ke balik celananya yang lepek.
Anak lelaki di punggung sapi cepat melompat turun ke tanah. Dengan suara putus-putus dia berkata. “Kek, sa... saya juga ti... tidak tahu bagaimana bisa berada di tempat ini! Kek, sa... saya takut. Saya lagi angon si Ucup ini di desa dekat sawah... La... lalu...”
Rupanya sapi itu bernama si Ucup. “Lalu?” tanya Ki Tambakpati pula.
Si bocah teruskan ceritanya. “Saya me... melihat perempuan can... cantik di atas pohon. Rambutnya hitam sepinggang. Perempuan cantik itu mengangkat du... dua tangannya. Tahu-tahu si Ucup naik ke udara. Tahu-tahu saya sa... sama si Ucup ada di... di sini!”
“Bocah pendusta! Mau kujewer kupingmu?! Mana ada sapi bisa naik ke udara! Siapa perempuan cantik itu? Demit? Kuntilanak?!” Setan Ngompol jadi marah karena merasa dibohongi. Tapi begitu menyebut demit dan kuntilanak kakek ini jadi kucurkan air kencing.
Ki Tambakpati pegang bahu Setan Ngompol. “Sobatku, anak itu tampaknya tidak berdusta. Tidakkah kau melihat ada keanehan?”
Suara ribut lenguh sapi membuat Ratu Duyung dan Purnama keluar dari rumah panggung untuk melihat apa yang terjadi. Dua gadis cantik ini tentu saja terheran-heran melihat di halaman rumah Setan Ngompol tengah memarahi seorang anak lelaki. Lalu di halaman ada pula seekor sapi betina bersusu besar.
Purnama tekap mulutnya dengan tangan kiri, bola mata membesar. Hatinya berdetak. Dia pegang lengan Ratu Duyung lalu menariknya mendekati sapi betina dan anak lelaki. Ketika ditanyai oleh Ratu Duyung si bocah ini menceritakan hal sama seperti yang dikatakannya pada Setan Ngompol.
“Perempuan di atas pohon. Pasti Bunga!” ucap Ratu Duyung. “Dengan kesaktiannya dia mengirimkan sapi ini ke sini. Luar biasa!”
“Jangan-Jangan dia mendengar dari alam gaib apa yang aku bacakan dari Kitab Seribu Pengobatan.” Kata Purnama sambil mengusap punggung sapi. “Tapi siapa yang bisa memeras susu binatang ini?”
“Kek, kau saja yang memeras susu sapi ini,” kata Ratu Duyung pada Setan Ngompol.
"Serrr!" Si kakek langsung pancarkan air kencing. Sambil melangkah mundur Setan Ngompol berkata. “Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi dengan sapi dan bocah ini. Kini kau malah membuat aku tambah bingung! Menyuruh aku memeras susu binatang itu. Susu manusia saja tak pernah aku peras. Sekarang disuruh memeras susu binatang! Ha ha ha!” Setan Ngompol tertawa gelak-gelak sambil tekap bagian bawah perutnya kuat-kuat.
“Kalau tidak ada yang bisa memeras, saya bisa melakukan.” Tiba-tiba bocah yang muncul bersama sapi berkata.
“Ah, kau! Kau bisa melakukan?” tanya Purnama.
“Ayah pernah menyuruh saya beberapa kali,” jawab si bocah sambil perhatikan wajah cacat Purnama.
Gadis dari Latanahsilam ini usap kepala si anak. Lalu berpaling pada Ratu Duyung. “Sesuai petunjuk kitab kita memerlukan kendi tanah untuk menampung susu sapi itu. Bagaimana mungkin di tempat ini bisa mendapatkan kendi?” ujar Purnama.
“Aku bisa meninggalkan tempat ini. Mencari kendi. Mungkin di pasar. Tidak lama. Tapi aku tidak mau pergi sebelum Wiro sembuh. Soal cacat di wajahku bisa disembuhkan kemudian.”
“Susu sapi sudah ada di hadapan kita. Tinggal memeras saja. Untuk menampungnya kurasa tidak usah harus kendi.” Kata Ratu Duyung. “Benda apa saja asal terbuat dari tanah. Kau tunggu di sini.”
“Hai! Kau mau ke mana?” tanya Purnama.
“Ke kali. Di sana pasti ada tanah liat. Aku akan membuat mangkuk dari tanah liat. Selagi matahari terik, mangkuk itu bisa cepat dikeringkan.”
“Aku...” Purnama benar-benar terharu. “Kau baik sekali...” ucapnya. Lalu dia jatuhkan diri, berlutut di tanah. Mulutnya berkata. “Bunga, di manapun kau berada, kau pasti mendengar ucapanku. Aku sangat berterima kasih. Kau memerlukan menolong diriku dengan mengirim sapi itu. Padahal saat ini kita masih menghadapi musibah besar, menyelamatkan Wiro...” Dalam hati Purnama berkata. “Aku merasa berdosa. Sebelumnya aku telah menaruh dugaan yang tidak baik pada gadis alam roh itu. Ternyata hatinya putih dan tulus. Dia menolongku. Juga Ratu Duyung. Mereka baik semua. Ah bagaimana aku harus menyikapi. Kami bertiga sama-sama mengasihi Wiro...”
Tak lama kemudian Ratu Duyung muncul kembali membawa tanah liat yang masih basah dan sudah dibentuk seperti sebuah mangkuk besar. Di dalam mang– kuk tanah yang masih basah lembab ini terdapat beberapa lempengan tanah liat. Purnama cepat-cepat berdiri dan mengusap matanya yang berkaca-kaca.
“Matahari bersinar cukup terik. Biar mangkuk ini aku letakkan di atap rumah. Agar lebih cepat kering.” Kata Ratu Duyung lalu melesat ke udara dan meletakkan mangkuk tanah di atas atap rumah panggung.
“Kalian ini sebenarnya tengah melakukan apa?” tanya Setan Ngompol.
Ki Tambakpati yang menyaksikan hal itu meski terheran-heran tapi diam saja. Sebagai seorang ahli pengobatan dia sudah bisa menduga, dua gadis cantik itu tengah mempersiapkan sesuatu untuk pengobatan.
“Sobat kecil, siapa namamu?” tanya Purnama pada bocah kecil di samping sapi betina.
“Kudin.” Jawab si bocah.
“Kudin, kau mau menunggu sebentar? Kalau mangkuk tanah di atas atap itu sudah kering, kau mau menolong memeras susu sapi itu? Dimasukkan ke dalam mangkuk tanah?”
Kudin mengangguk agak ragu. “Ya, saya mau. Tapi jangan terlalu lama. Saya mau cepat kembali ke desa. Ayah pasti marah kalau sudah sore saya tidak pulang.”
“Jangan takut. Sekarang belum tengah hari. Kalau ayahmu marah biar aku nanti yang bicara padanya.” Kata Ratu Duyung pula.
“Kudin, karena kau mau menolong ini hadiah untukmu.” Kata Purnama lalu dari pakaiannya gadis ini keluarkan secarik kain hitam. Dengan cekatan tangannya bergerak melipat-lipat kain itu. Sesaat kemudian kain hitam telah berubah menjadi topi yang bagus. Topi diletakkan di atas kepala Kudin.
Anak ini tertawa girang sambil pegangi topi di kepalanya. Tiba-tiba tawa Kudin lenyap. Anak ini menunjuk ke langit. “Burung jingga besar!” teriak Kudin.
Ratu Duyung, Purnama, Ki Tambakpati dan Setan Ngompol sama-sama mendongak ke atas. Di atas atap tampak berkelebat satu bayangan ungu.
“Astaga! Itu bukan burung!” ucap Ratu Duyung. Purnama mendongak dan menghirup udara dalam-dalam. Dia segera mencium bau sesuatu yang sudah dikenalnya.
“Itu makhluk perempuan celaka yang selalu menggangguku! Lihat! Dia hendak mengambil mangkuk tanah di atas atap!” teriak Purnama.
“Belum mati dia rupanya! Belum kapok! Kali ini aku tidak akan memberi hati!” kata Ratu Duyung pula. Dua matanya yang biru pancarkan cahaya terang lalu dari kedua mata itu melesat sinar biru. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Inti Biru Laut Selatan.
Sebelumnya ketika makhluk putih itu muncul di gubuk Ki Tambakpati, Ratu Duyung telah menyerangnya dengan imu kesaktian ini. Sang makhluk menjerit keras. Purnama dan Ratu Duyung mengira makhluk tersebut mengalami celaka berat. Ternyata dia muncul lagi.
Bersamaan dengan melancarkan serangan Inti Biru Laut Selatan itu Ratu Dayung tarik keluar cermin bulat dari balik pakaian. Sekali tenaga dalam dikerahkan dan tangan yang memegang cermin digerakkan maka gulungan cahaya putih berbentuk lingkaran berkiblat ke udara, ke arah makhluk putih yang hendak mengambil mangkuk tanah di atas atap rumah panggung.
Gulungan sinar putih yang keluar dari cermin ini disebut Penjerat Raga Pencekal Jiwa, merupakan salah satu ilmu kesaktian yang diwarisi Ratu Duyung dari Nyai Roro Kidul, penguasa laut selatan. Lawan yang masuk dalam lingkaran cahaya jika dia seorang manusia akan menemui kematian dengan tubuh hancur lumat. Jika dia seorang makhluk gaib maka tubuhnya akan terbakar hangus!
Purnama tidak tinggal diam. Dua bahu digoyang. Kejap itu juga cahaya biru bergemerlap melesat ke atas atap rumah. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Menahan Raga Menyerap Tenaga. Siapa saja yang terkena cahaya tersebut akan menjadi rontok kekuatan dirinya hingga dia tidak mampu lagi menggerakkan dua tangan dan dua kaki.
Di udara di atas atap, bayangan putih keluarkan suara tawa panjang seolah mencemooh semua serangan yang diarahkan padanya. Tubuhnya mencelat ke atas setinggi satu tombak. Serangan Inti Biru Laut Selatan menyambar udara kosong di bawah kakinya. Dengan hantaman tangan kanan yang menebar cahaya putih berkilau makhluk itu mentahkan serangan Menahan Raga Menyerap Tenaga yang dilancarkan Purnama.
Selanjutnya dengan membuat gerakan jungkir balik walau tubuhnya sempat terserempet cahaya serangan yang keluar dari cermin sakti, makhluk itu masih bisa lolos dari lobang jarum kehancuran. Malah dengan gerakan kilat dia kemudian melayang turun sambil tangan kanan dihantamkan ke arah atap rumah panggung. Satu sinar ungu menyilaukan berkiblat.
“Makhluk celaka itu hendak menghancurkan mangkuk tanah di atas atap!” teriak Purnama. Dia cepat melesat ke atas.
Ratu Duyung menyusul sambil lancarkan lagi serangan dengan cermin sakti. Namun kedua orang ini agaknya kalah cepat. Sesaat lagi sinar ungu yang dilepaskan makhluk gaib akan menghancurkan mangkuk tanah bahkan seluruh atap rumah kayu, tiba-tiba di udara berdesing tiga cahaya hijau kekuningan disertai menebarnya bau harum kembang kenanga!
BAB DELAPAN
Makhluk jingga yang hendak menghancurkan mangkuk tanah di atas atap menjerit keras. Tubuhnya menggeliat beberapa kali lalu jatuh ke tanah, terkapar menelentang. Sosoknya yang tadi samar untuk beberapa saat kelihatan jelas.
Ternyata dia adalah seorang gadis cantik berkulit putih. Berpakaian ungu yang sisi kanannya tampak hangus. Rambut hitam tergerai di tanah. Di keningnya menancap tiga kuntum kembang kenanga. Anehnya tak ada darah yang mengucur. Sepasang mata gadis cantik ini bergerak berputar lalu menatap ke arah Purnama.
“Luhrembulan! Jadi kau rupanya!” teriak Purnama kaget besar ketika gadis dari negeri 1200 tahun silam ini mengenali siapa adanya sosok berpakaian ungu yang tergeletak di tanah itu.
“Kau mengenalinya?!” tanya Ratu Duyung.
Belum sempat Purnama menjawab, gadis yang tergeletak di tanah keluarkan ucapan, “Kalian berdua manusia-manusia laknat terkutuk! Jangan mengira kalian akan mendapatkan Wiro! Pendekar 212 adalah suamiku! Berani mengambilnya berarti kematian bagi kalian!”
Purnama ternganga, sesaat tak bisa berkata apa-apa. Tapi Ratu Duyung malah membentak. “Jika Pendekar 212 suamimu mengapa kau mencelakai kami! Padahal kami hendak menolongnya!”
Gadis cantik yang disebut dengan nama Luhrembulan masih bisa sunggingkan senyum mengejek. Lalu berkata. “Siapa yang tidak bisa menduga. Di balik maksud kalian menolong tersembunyi hasrat untuk memilikinya!”
Ratu Duyung jadi panas. Kembali dia menghardik. “Aku tidak tahu kau ini manusia atau bangsa setan! Kalau Wiro suamimu, mengapa kau tidak turun tangan sendiri menyelamatkannya! Kau malah gentayangan cekakak-cekikik membuat hal-hal tidak karuan!”
Luhrembulan lagi-lagi tersenyum. Kali ini dia tidak menjawab bentakan Ratu Duyung. Tubuhnya kepulkan asap ungu. Lalu sosoknya berubah menyeramkan. Wajah yang tadi cantik kini berubah menjadi seperti burung gagak hitam. Mulut dan hidung jadi satu berbentuk paruh panjang dan bengkok. Sepasang mata kecil menonjol keluar tanpa alis. Tubuh bagus yang tadi dibalut pakaian ungu kini berubah menjadi sehelai jubah terbuat dari jerami kering. Makhluk ini buka lebar-lebar paruh panjangnya, mengeluarkan suara menguik panjang lalu...
"Desss!" Didahului suara letupan serta kepulan asap hitam tubuhnya lenyap dari pemandangan.
Semua orang yang ada di tempat itu kini sama memandang pada Purnama. Ratu Duyung pegang lengan gadis ini lalu bertanya. “Siapa makhluk tadi?”
“Dia makhluk dari alamku yang selama ini mengikutiku. Berusaha menggagalkan setiap apa yang aku lakukan. Bahkan berniat hendak mencelakai diriku. Aku, aku tidak menyalahkan kalau dia sangat membenci diriku. Kini dia juga membenci dirimu...”
“Mengapa?!” tanya Ratu Duyung. “Karena Wiro? Apa benar Wiro telah menjadi suaminya?”
“Gadis itu bernama Luhrembulan. Ujud aslinya adalah bentuk burung gagak tadi. Nama sebenarnya Hantu Santet Laknat. Dia berada dalam keadaan seperti itu karena ada kutukan turun temurun atas diri moyang dan keturunannya. Di alamku dia merupakan seorang teramat jahat. Ketika Wiro terpesat ke sana, dia jatuh cinta pada Wiro. Dia minta bantuan seorang juru kawin, nenek bernama Lamahila, agar dia dikawinkan dengan Wiro. Perkawinan dengan manusia seperti Wiro merupakan satu-satunya cara untuk membebaskan dirinya dari kutukan itu...”
(Baca serial Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam mulai dari Bola-bola Iblis sampai Istana Kebahagiaan)
“Ah...” Ratu Duyung keluarkan suara tercekat sambil pegangi leher yang putih bagus. Dia ingat akan nasib dirinya. Dia juga pernah mengalami hal seperti itu, menjadi makhluk setengah ikan setengah manusia. Wiro-lah yang menolong melepas dirinya dari kutukan itu hingga dia memiliki ujud manusia sempurna
(Baca serial Wiro Sableng berjudul Wasiat Iblis s/d Kiamat di Pangandaran)
“Ada apa?” tanya Purnama pada Ratu Duyung.
“Tidak... tidak ada apa-apa. Lanjutkan ceritamu.”
Purnama berpaling pada Setan Ngompol. “Kek, kau tahu kejadian kawinnya Wiro dengan Luhrembulan alias Hantu Santet Laknat. Karena kau bersama Naga Kuning ikut terpesat ke Latanahsilam.”
Setan Ngompol manggut-manggut lalu berkata, “Sahabatku muda, lanjutkan saja ceritamu. Biar para sahabat di sini semua tahu.”
“Perkawinan Wiro dengan Luhrembulan tidak sah. Karena Wiro ditipu. Diberi minuman yang membuat dia lupa pikiran. Wiro dibawa ke Bukit Batu Kawin. Dalam keadaan tidak sadar juru kawin Lamahila menikahkan Wiro dengan Luhrembulan.”
“Kalau aku tidak salah menyirap berita...” kata Setan Ngompol pula. “Hanya beberapa saat setelah berlangsungnya perkawinan, Bukit Batu Kawin dilanda badai. Semua orang terpencar. Sebelum Wiro kembali ke tanah Jawa aku tidak tahu apakah Wiro pernah bertemu lagi dengan Luhrembulan di Latanahsilam.”
Purnama yang di Latanahsilam bernama Luhmintari lanjutkan kisahnya. “Waktu Istana Kebahagiaan hancur, hampir semua tokoh di Latanahsilam terpesat ke tanah Jawa, termasuk diriku. Juga Luhrembulan. Dia pasti mencari Wiro. Sekaligus ingin mencelakai diriku karena dia merasa aku hendak merampas pendekar yang dianggapnya sudah jadi suaminya itu...”
Sewaktu Purnama selesai dengan ceritanya keadaan di tempat itu menjadi sunyi. Ki Tambakpati tiba-tiba ingat sesuatu,
“Ketika gadis itu terbujur di tanah, aku melihat tiga kembang kenanga menancap di keningnya.”
“Kembang kematian itu yang melumpuhkannya. Serangan kami berdua nyaris tak berbekas...” kata Purnama pula. Dia menatap ke langit. “Bunga, kau tidak putus-putusnya menolong kami. Aku dan para sahabat sangat berterima kasih.”
“Apakah gadis aneh tadi itu akan muncul lagi mengganggumu?” bertanya Setan Ngompol pada Purnama.
“Pasti Kek, tapi kali ini dia akan tenggelam di alamnya dalam waktu cukup lama. Paling tidak seratus hari lebih...” Menjawab Purnama.
“Apa tidak ada kekuatan yang bisa membuatnya tenggelam selama-lamanya?” bertanya Ki Tambakpati.
“Biji damar,” ucap Purnama. “Itu buah pantangan yang bisa melumpuhkan kami orang-orang perempuan dari Latanahsilam...”
“Ah, kalau bijiku bisa dipakai memoles dan melumpuhkan gadis tadi, pasti aku berikan!” Kata Setan Ngompol pula yang lalu ditepuk punggungnya oleh Ratu Duyung. Kakek ini tertawa gelak-gelak sambil terkencing-kencing. Sementara Purnama tampak senyum-senyum.
“Kantong menyanmu yang disengat tawon masih bengkak. Bau pesing pula! Mana bisa jadi alat pelumpuh!” kata Ki Tambakpati.
Tiba-tiba tempat itu dibisingi oleh suara lenguh sapi. Semua orang terkejut. Setan Ngompol memaki panjang pendek menahan kencingnya yang mau terpancar.
“Hai! Ke mana bocah bernama Kudin itu?” tiba-tiba Ki Tambakpati bertanya. “Kudin!” Si kakek berteriak memanggil.
Dari balik pohon besar Kudin keluar dengan wajah tampak pucat. Rupanya apa yang terjadi di tempat itu membuat anak ini ketakutan dan sembunyi di balik pohon.
“Kudin, kau sudah siap menolong memeras susu sapi itu?” tanya Ratu Duyung.
Si bocah mengangguk. Ratu Duyung menatap ke atas atap rumah panggung. “Kurasa mangkuk tanah itu sudah kering. Sudah bisa dipakai untuk menampung susu.” Lalu Ratu Duyung melesat ke atas atap rumah mengambil mangkuk tanah yang memang ternyata telah kering dan menjadi keras.
“Kakek berdua, kalau madu sudah siap, sebaiknya mulai saja mengurut Wiro,” kata Purnama.
“Pasti akan segera kami lakukan. Tapi kami berdua juga ingin tahu apa yang hendak kalian lakukan dengan susu sapi itu.” Jawab Ki Tambakpati.
“Kalian tidak akan meminum susu sapi itu, bukan? Nanti kalian bisa jadi gembrot! Ha ha ha!” Setan Ngompol tertawa dan mancurkan air kencingnya.
“Kalau kau suka, kau boleh meneguknya langsung dari puting susu sapi betina itu Kek!” kata Ratu Duyung sambil tertawa. Dia tuntun Kudin mendekati sapi lalu letakkan mangkuk tanah di bawah perut binatang itu. “Ayo peras yang banyak. Sampai mangkuk itu penuh dengan susu.” Kata Ratu Duyung sementara Purnama jongkok di samping si bocah.
Cekatan sekali Kudin memeras susu sapi. Tangannya naik turun tiada henti. Susu sapi mengucur deras. Sebentar saja mangkuk tanah sudah penuh.
“Sahabat, kau sekarang tinggal menuruti apa yang ada dalam Kitab Seribu Pengobatan,” kata Ratu Duyung pada Purnama.
“Susu dalam mangkuk ini harus diaduk agar tanah merah di dalamnya leleh menyatu. Lalu susu diembunkan semalam suntuk. Mulai dari matahari tenggelam sampai besok fajar menyingsing. Sekarang biar susu ini disimpan dulu dalam rumah.” Kata Purnama lalu mendahului tiga orang itu masuk ke dalam rumah. Namun di tangga kayu gadis cantik dari negeri 1200 tahun silam ini hentikan langkah dan berbalik, memandang berkeliling. “Bocah itu... Sapi tadi...” ucap Purnama.
Semua orang ikut memutar tubuh. Kudin dan sapi putih ternyata tak ada lagi di tempat itu.
“Sahabat kita Bunga pasti sudah mengembalikan sapi dan anak itu ke tempatnya semula di sawah,” kata Ratu Duyung pula.
“Sahabatku Bunga, aku... kami benar-benar sangat berterima kasih padamu.” Ucap Purnama sambil membungkukkan tubuhnya.
Sampai di dalam rumah Ratu Duyung dan Purnama memasukkan cairan jahe ke dalam mulut Wiro, mengurut bagian dada dan leher sang pendekar hingga air jahe bisa tertelan. Sementara itu Ki Tambakpati dan Setan Ngompol mengurut sekujur tubuh Wiro dengan madu hangat.
Pada saat matahari tenggelam, Purnama mengambil susu dalam mangkuk tanah lalu membawa dan meletakkannya di atas atap rumah.
Malam itu sambil terus mengobati Wiro semua orang bersikap waspada berjaga-jaga. Bukan mustahil akan muncul lagi gangguan dari makhluk-makhluk yang tidak suka melihat kesembuhan Pendekar 212 dan juga kesembuhan Purnama. Sesekali Purnama dan Ratu Duyung naik ke atas atap untuk melihat susu dalam mangkuk tanah serta memperhatikan keadaan sekitar rumah panggung.
“Aku tidak mengawatirkan Luhrembulan alias Hantu Santet Laknat. Dia tidak akan muncul sampai seratus hari di muka. Yang aku takutkan adalah makhluk yang kita lihat dalam cermin. Manusia tak berwajah itu.” Kata Purnama.
“Aku akan berjaga-jaga di sini...” kata Ratu Duyung pula sambil terapkan ilmu Menembus Pandang untuk menjajagi keadaan sekitar rumah panggung. “Kau masuklah ke dalam rumah. Bantu dua kakek itu mengobati Wiro.”
“Biar aku saja yang di sini. Kau yang masuk ke rumah,” jawab Purnama pula.
Ratu Duyung tersenyum. “Kalau begitu biar aku menemanimu dulu di sini. Pertemuan semacam ini jarang bisa kita lakukan. Saat ini kita bisa berbagi cerita dan pengalaman. Aku ingin sekali mendengar cerita tentang negeri asalmu Latanahsilam. Negeri seribu duaratus tahun silam itu.”
“Banyak memang yang bisa aku ceritakan padamu” jawab Purnama. “Tapi setelah itu rasanya sangat penting untuk membicarakan sakitnya Wiro. Kita tahu kalau jalan darahnya bisa disembuhkan masih ada penyakit yang mendekam di tubuhnya. Dia kehilangan kejantanannya...”
Larut malam puas bercakap-cakap kedua gadis itu masuk ke dalam rumah. Mereka tak bisa memicingkan mata. Ki Tambakpati dan Setan Ngompol masih menguruti Wiro walau jelas tampak terkantuk-kantuk. Sampai fajar menyingsing keadaan aman-aman saja, tidak terjadi apa-apa.
Begitu langit di ufuk timur tampak terang, Ratu Duyung memberi isyarat pada Purnama. Kedua gadis cantik ini keluar dari rumah lalu melesat naik ke atas atap rumah. Begitu sampai di atap, mereka terbelalak kaget dan sama-sama keluarkan seruan tertahan. Mangkuk berisi susu sapi tak ada lagi di atas atap!
“Kurang ajar! Siapa yang mencuri mangkuk!” teriak Ratu Duyung marah. “Semalam suntuk kita berjaga-jaga. Kita tidak mendengar suara apa-apa yang mencurigakan.”
Purnama pegang tangan gadis itu, menarik nafas dalam dan berkata. “Mungkin belum saatnya aku mendapat kesembuhan. Aku pasrah...”
Ratu Duyung tetap penasaran. Dia memandang berkeliling. Terapkan ilmu Menembus Pandang. Dia tidak melihat ada orang yang sembunyi sekitar halaman. Dia perhatikan setiap pohon, tidak ada makhluk yang mendekam. Gadis bermata biru ini akhirnya keluarkan cermin saktinya.
“Dengan cermin sakti ini masakan tidak tembus!” kata Ratu Duyung pula.
“Aku khawatir ini lagi-lagi pekerjaan makhluk tanpa wajah!” ujar Purnama.
Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Datangnya dari kolong rumah panggung. Sesaat kemudian melesat satu bayangan hitam. Sosok ini kemudian telah berdiri di atas atap, di hadapan Ratu Duyung dan Purnama.
BAB SEMBILAN
"Sahabat berdua, apa kalian mencari ini?” Sosok hitam bertanya.
“Naga Kuning!” Ratu Duyung berteriak. “Bocah nakal! Apa yang kau lakukan?! Yang kau pegang itu bukan benda sembarangan! Awas tumpah!”
Sementara Purnama berdiri memperhatikan sambil geleng-geleng kepala. Sosok yang berdiri di atas atap di depan dua gadis cantik itu adalah seorang bocah berambut jabrik, mengenakan pakaian hitam bergambar naga bergelung di bagian dada. Dia bukan lain adalah Naga Kuning alias Gunung alias Kiai Paus Samudera Biru.
“Naga Kuning! Lekas serahkan mangkuk itu padaku!” berkata Purnama.
Naga Kuning serahkan mangkuk susu pada Purnama. Ratu Duyung yang masih belum puas bertanya, “Kau menyelinap, kau mengambil mangkuk berisi susu itu. Apa Naga Kuning betulan?! Atau makhluk jejadian yang menyamar diri?!” tanya Ratu Duyung sambil alirkan tenaga dalam ke tangan kanan siap untuk lepaskan pukulan sakti.
“Bocah seperti aku mana ada yang palsu,” jawab Naga Kuning sambil senyum-senyum seenaknya. Lalu dia menerangkan, “Aku mendengar kabar sobatku Pendekar 212 ditangkap orang-orang kerajaan. Aku menyelidik dan sampai ke sini. Kulihat rumah sepi-sepi saja. Di atas atap ada benda ini. Ketika aku ambil ternyata berisi susu dingin sejuk. Kebetulan aku haus...”
“Astaga! Jadi susu itu sudah kau minum?” tanya Purnama tercekat.
“Lancang dan rakus!” hardik Ratu Duyung penuh gemas.
Naga Kuning tertawa sambil usap-usap perutnya. Purnama jadi jengkel. Ratu Duyung tambah kesal. Dia membentak. “Jawab pertanyaan kami! Kau minum susu dalam mangkuk itu? Hai! Kau datang sendirian atau dengan siapa?!”
“Tadinya aku memang mau minum susu ini. Kelihatannya enak sekali. Tapi, tapi tak jadi kulakukan. Sebenarnya aku mau menyelamatkan susu dalam mangkuk ini.”
“Apa maksudmu?” tanya Purnama.
“Aku disuruh untuk mengambil mangkuk ini dan menunggu di sini. Tadi aku sembunyi di kolong rumah. Waktu melihat kalian berdua aku naik ke atap sini.”
“Siapa yang menyuruhmu mengambil dan menunggu di sini? Kau datang dengan siapa?!” bentak Ratu Duyung.
“Gondoruwo Patah Hati...” jawab Naga Kuning. “Hemm... Nenek kekasihmu itu. Mana dia?” tanya Ratu Duyung.
“Ada di kali... Lagi kencing!” jawab si bocah berambut jabrik yang ujud aslinya adalah seorang kakek sakti berusia hampir 120 tahun dan dikenal dengan panggilan Kiai Paus Samudera Biru.
“Mengapa nenek itu menyuruhmu mengambil mangkuk berisi susu ini?” tanya Purnama pula.
Naga Kuning menggeleng. “Aku tidak tahu. Aku hanya menurut perintahnya saja...”
“Serahkan mangkuk berisi susu itu padaku!” kata Purnama. Setelah menerima mangkuk tanah dari Naga Kuning Purnama lalu berkata pada Ratu Duyung. “Hari semakin terang. Kurasa sebaiknya pengobatan aku lakukan sekarang juga sesuai petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan. Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus cepat-cepat menolong Wiro. Biar pengobatan aku lakukan sekarang di atas atap ini!”
Ratu Duyung mengangguk dan kerahkan ilmu Menembus Pandang untuk mengawasi keadaan sekitar rumah. Purnama memutar tubuh, menghadap ke arah matahari tenggelam yaitu sesuai dengan apa yang tertulis dalam Kitab Seribu Pengobatan. Perlahan-lahan dia angkat mangkuk ke atas kepala. Siap untuk diguyurkan ke wajahnya yang terkelupas cacat di bagian kiri. Tiba-tiba satu bayangan biru berkelebat menyusul suara teriakan.
“Tahan! Jangan guyur kepalamu dengan cairan dalam mangkuk!”
Semua orang yang ada di atas atap sama terkejut. Di halaman rumah panggung berdiri sosok seorang nenek berjubah biru, rambut kelabu wajah seram angker. Sepuluh kuku jari tangannya panjang hitam. Nenek ini memberi isyarat dengan lambaian tangan agar semua orang turun ke tanah.
“Nek, ada apa ini?!” teriak Ratu Duyung dari atas atap. Dia telah mengenali nenek di bawah sana yang bukan lain adalah Gondoruwo Patah Hati.
“Turun saja ke sini! Nanti kalian akan lihat sendiri!” jawab si nenek.
Naga Kuning melesat turun lebih dulu. Akhirnya Purnama dan Ratu Duyung ikutan turun ke tanah. Si nenek membungkuk sedikit, melihat dan membaui cairan yang ada dalam mangkuk tanah yang dipegang Purnama. Saat itu mendengar suara orang bicara di halaman dan di atas atap rumah Ki Tambakpati dan Setan Ngompol segera keluar. Mereka terheran-heran melihat si bocah dan si nenek ada di situ. Gondoruwo Patah Hati yang sudah kenal pada Setan Ngompol kedipkan matanya, tersenyum sedikit lalu kembali membungkuk, mencium dan memperhatikan cairan dalam mangkuk.
“Susu sapi...” ucap si nenek perlahan. Dia menatap wajah sebelah kiri Purnama yang tampak merah mengelupas. “Kau akan pergunakan susu itu untuk mengobati luka di wajahmu. Betul?” bertanya Gondoruwo Patah Hati. Purnama mengangguk. “Susu itu mengandung racun!”
Ucapan si nenek membuat Purnama dan Ratu Duyung terkejut. Ki Tambakpati melongo sedang Setan Ngompol cepat-cepat tekap bagian bawah perutnya.
“Racun dari mana? Siapa yang memasukkan ke dalam susu? Bagaimana mungkin! Kami berjaga-jaga semalam suntuk. Tidak ada seorangpun mendekati tempat ini!” Kata Purnama sambil memperhatikan susu dalam mangkuk lalu memandang pada si nenek.
“Racun itu dikirim dari jauh...” kata Gondoruwo Patah Hati pula. “Kalau kalian tidak percaya lihat apa yang akan aku lakukan. Aku akan membersihkan racun dalam susu. Kalau sudah bersih, kau boleh pergunakan susu itu untuk mengobati luka di wajahmu. Pegang kuat-kuat mangkuk itu dan lihat...”
Gondoruwo Patah Hati kembangkan dua telapak tangan, sepuluh jari ditukikkan ke arah susu dalam mangkuk. Mulut berkomat-kamit membaca mantera. Tak lama kemudian susu dalam mangkuk tampak bergejolak seperti mendidih. Lalu mengepul asap hitam. Dengan sepuluh kuku jarinya si nenek sedot asap hitam itu. Ketika gejolak air susu di dalam mangkuk berhenti, Gondoruwo Patah Hati mundur tujuh langkah. Mulut masih berkomat-kamit. Dia berhenti di dekat serumpun semak belukar. Tangan kanan diulurkan. Tangan kiri meremas pergelangan tangan kanan.
Saat itu juga dari lima ujung jari si nenek mengucur keluar cairan hitam pekat berkilat, menebar bau busuk. Ganti tangan kanan meremas tangan kiri. Cairan hitam kembali mengucur. Begitu cairan hitam menyentuh semak belukar, tumbuhan ini serta merta berubah gosong hitam lalu rontok ke tanah disertai kepulan asap dan bau luar biasa busuk, membuat beberapa orang yang ada di tempat itu jadi mual berusaha menahan muntah.
Gondoruwo Patah Hati melangkah mendekati Purnama yang tegak dengan muka pucat. “Sahabatku muda. Kalau susu itu tadi sampai membasahi kepalamu, kulitmu akan jadi gosong seumur hidup, rambut di kepalamu akan rontok. Dicari ke manapun tak ada obat penyembuhnya.”
“Nek, aku sangat berterima kasih. Kalau bukan kau yang menolong hidupku akan celaka seumur-umur. Nek, kau berbuat baik padaku, padahal kita baru sekali bertemu sewaktu kau muncul di Gedung Kadipaten Losari. Kita bahkan tidak sempat saling menyapa.”
Gondoruwo Patah Hati tersenyum mendengar ucapan Purnama. “Siapapun sahabat Pendekar 212 adalah sahabatku juga...” Si nenek pegang bahu gadis dari Latanahsilam ini lalu berkata. “Susu itu sudah bersih. Tak ada lagi racun di dalamnya. Silahkan kau mengobati diri...”
Purnama sekali lagi mengucapkan terima kasih lalu memutar tubuh dan wajah menghadap ke arah matahari tenggelam. Dua tangan yang memegangi mangkuk berisi susu di angkat di atas kepala. Sesuai dengan petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan sambil mengguyurkan susu ke atas kepalanya, Purnama melafatkan kata-kata:
Manusia berasal dari tanah. Tanah pula yang akan menjadi pengobat. Manusia memulai hidup dengan air susu. Air susu pula yang akan menjadi pengobat. Tuhan Maha Kuasa Maha Penyembuh.
Susu putih susu sapi di dalam mangkuk diguyur membasahi kepala, wajah dan sebagian tubuh Purnama sebelah atas. Saat itu juga di langit kelihatan kilatan cahaya tiga warna merah, biru dan hijau. Gondoruwo Patah Hati yang pertama sekali melihat kilatan cahaya itu langsung hantamkan dua tangan ke atas. Sepuluh kuku jari mencuat lebih panjang, berubah dari hitam menjadi merah. Sepuluh larik cahaya merah kemudian melesat ke arah kilatan cahaya tiga warna di langit, Ilmu Kuku Api!
"Blaar... blaarr... blaar!"
Satu kekuatan gaib menerpa si nenek, membuatnya terhuyung dan buru-buru dipegang oleh Ratu Duyung. Di langit cahaya tiga warna lenyap tanpa bekas.
“Luar biasa! Kekuatan gaib itu luar biasa kuat dan jahat!” kata Gondoruwo Patah Hati sambil pegangi dadanya yang berdebar keras.
“Dari cahaya tiga warna itu aku yakin lagi-lagi manusia tanpa wajah itu yang punya pekerjaan!” ucap Ratu Duyung.
Gondoruwo menatap wajah Purnama dan tersenyum. “Cacat di wajahnya lenyap. Kau sudah sembuh!”
Purnama terpekik. Ratu Duyung berseru gembira. Ki Tambakpati mengucap berulang kali sedang Setan Ngompol tertawa girang sambil pegangi bagian bawah celananya.
“Sungguh luar biasa! Kau benar-benar sembuh!” Kata Ratu Duyung lalu ambil cermin sakti dan diberikan pada Purnama.
Gadis dari negeri Latanahsilam ini perhatikan wajahnya di dalam cermin. Matanya langsung berkaca-kaca. Luka cacat di wajahnya sebelah kiri benar-benar telah lenyap.
“Racun yang ada di dalam susu itu adalah racun ular jahat yang cuma hidup di gurun pasir.” Menerangkan si nenek.
Purnama peluk Gondoruwo Patah Hati lalu merangkul Ratu Duyung. Ketiga orang ini larut dalam rasa haru serta gembira.
“Aku tidak kebagian dipeluk?” Naga Kuning keluarkan ucapan.
Gondoruwo Patah Hati jewer telinga kiri anak ini. “Bocah rakus. Untung kau tidak menenggak susu itu. Kalau sampai kau tenggak saat ini tubuhmu sudah gosong menjadi jerangkong hitam!”
“Aduh Nek, ampun. Suaakiittt” Jerit Naga Kuning. Tapi begitu jeweran dilepas anak ini tertawa gelak-gelak.
Purnama kemudian berkata. “Saatnya kita menangani Wiro. Mudah-mudahan dia mendapatkan kesembuhan pagi ini.”
Semua orang masuk ke dalam rumah panggung. Yang pertama sekali bergerak adalah Ratu Duyung. Dengan tangan agak gemetar gadis sakti dari laut selatan ini menotok urat besar di pangkal leher Wiro untuk melepas jalan suara.
"Kleekk!" Tidak seperti biasanya, totokan mengeluarkan suara aneh. Ratu Duyung sendiri merasa dua jari tangan yang dipergunakan untuk menotok panas bergetar. Agaknya masih ada kekuatan gaib berusaha mencegah penyembuhan yang dilakukan atas diri sang pendekar. Semua orang menunggu penuh tegang.
Tiba-tiba dari tenggorokan Pendekar 212 keluar suara mengorok, keras dan panjang. Suara mengorok berhenti. Mulut Wiro terbuka lebar. Semua orang jadi bertambah tegang. Tak ada suara teriakan keluar dari mulut itu. Bahkan mulut yang terbuka lebar perlahan-lahan menutup kembali. Sepasang mata yang sebelumnya terus-terusan nyalang dan hanya kelihatan putih kini mengatup terpejam.
“Dia tidak keluarkan jeritan. Apakah berarti jalan darahnya sudah pulih...?” bisik Ki Tambakpati.
“Mudah-mudahan begitu,” menyahuti Ratu Duyung. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Setan Ngompol, tak lupa menekap perabotannya dengan dua tangan.
“Kita harus mengikuti petunjuk Kitab Seribu Pengobatan berikutnya. Kita harus membawa Wiro ke kali dan mengapungkannya.” Ucap Purnama.
Wiro lalu diangkat dari ranjahg bambu, dipindah ke atas tiga batang kayu yang sudah disiapkan Setan Ngompol dan Ki Tambakpati. Lalu batang kayu itu beramai-ramai digo–tong dan dimasukkan ke dalam Kali Progo dengan kepala menghadap ke arah datangnya arus air kali. Tiga utas tali dipakai untuk mengikat batang kayu ke pepohonan kecil di tepi kali.
Setan Ngompol, Naga Kuning, Ki Tambakpati berendam di dalam air memegangi batang kayu. Gondoruwo Patah Hati, Ratu Duyung dan Purnama berjaga-jaga di tebing kali. Mereka menunggu sampai matahari mencapai titik tertingginya yaitu saat di mana sepuluh jari tangan dan sepuluh jari kaki Wiro harus ditusuk sampai mengeluarkan darah.
Menunggu dari pagi sampai saat sang surya mencapai titik tertingginya terasa sangat lama. Apalagi disertai perasaan tegang. Suasana di kali terasa sunyi. Sesekali kesunyian dipecah oleh suara kicau dan terpaan sayap burung yang terbang dari pohon ke pohon. Air kali yang datang dari hulu membasahi sebagian kepala dan tubuh Wiro. Di dalam kali Setan Ngompol entah sudah berapa kali kucurkan air kencing. Sekujur tubuhnya mulai terasa dingin sementara mata yang belok kelihatan redup terkantuk-kantuk.
“Kek, kau naiklah ke sini. Biar aku yang menggantikan.” Kata Gondoruwo Patah Hati. Lalu tanpa menunggu jawaban orang si nenek masuk ke dalam kali.
Belum sempat Setan Ngompol naik ke darat tiba-tiba dari hilir terdengar suara menderu. Di permukaan kali kelihatan dua benda coklat panjang berjajar meluncur cepat ke arah di mana orang-orang itu berada.
“Buaya!” teriak Naga Kuning.
“Ada dua ekor!” Gondoruwo Patah Hati ikut berteriak.
Ratu Duyung yang duduk di tepi kali melompat bangkit. “Purnama, kau yang kiri aku yang kanan!” Teriak sang ratu.
“Aku mencium sesuatu! Ini bukan buaya sungguhan!” teriak Purnama.
BAB SEPULUH
Semua orang yang ada di dalam dan di pinggir kali menjadi geger. Ratu Duyung dan Purnama bertindak cepat. Keduanya serentak melesat ke tengah kali. Dua tangan lepaskan pukulan sakti.
Ratu Duyung menghantam buaya di sebelah kanan dengan pukulan ganas bernama Pedang Inti Samudera. Dari tangan kanan si gadis mencuat sinar biru sepanjang satu tombak membentuk pedang. Ketika sinar biru menghantam, buaya keluarkan suara lolongan seperti anjing meraung. Kepala binatang ini terbabat putus. Tak ada darah mengalir! Begitu suara raungan lenyap, buaya itu juga ikut sirna!
“Purnama benar! Ini makhluk jejadian!” ucap Ratu Duyung dengan tengkuk dingin.
Sementara itu Purnama yang menghadapi buaya kedua menghajar binatang jejadian ini dengan pukulan yang memancarkan cahaya biru bergemerlap. Tapi buaya jejadian yang satu ini bersikap lebih waspada. Agaknya dia mengetahui apa yang terjadi dengan temannya. Dengan cepat binatang ini menyelinap ke bawah air. Pukulan yang dilepas Purnama hanya mengenai tempat kosong.
Air Kali Progo muncrat setinggi dua tombak. Tanah dan lumpur di dasar kali terbongkar berhamburan ke udara. Di lain saat buaya tadi muncul kembali dan tahu-tahu sudah berada di samping Wiro yang tergeletak di atas tiga batang kayu dengan mulut menganga siap melahap!
Purnama dan Ratu Duyung tersentak kaget. Untuk menolong dengan melancarkan serangan mereka merasa khawatir karena keduanya berada pada kedudukan menghadap ke arah Wiro. Ditambah lagi buaya coklat besar sudah berjarak sangat dekat dengan Wiro hingga setiap pukulan yang dilancarkan bisa saja mengenai Pendekar 212.
Ki Tambakpati dan Setan Ngompol dalam keterkejutan mereka tidak sempat berbuat apa. Naga Kuning cepat kerahkan tenaga dalam untuk melepas pukulan Naga Murka Menjebol Bumi. Namun bocah sakti ini tidak bisa bertindak leluasa karena dia berada di sisi lain kali dan terhalang sosok Wiro sementara di seberang sana ada Ratu Duyung dan Purnama. Sekali serangannya meleset, kalau tidak Wiro, salah satu dari dua gadis itu akan celaka!
Pada saat yang sangat menentukan itu, Gondoruwo Patah Hati yang baru saja mencebur dan berada di dalam kali keluarkan bentakan keras. Tangan kanan menghantam ke arah kepala buaya yang telah membuka mulutnya lebar-lebar untuk melahap tubuh Pendekar 212.
Selarik sinar merah bercampur biru bergulung seperti sebuah batu besar, menghajar kepala buaya jejadian dengan telak. Pukulan Batu Naroko! Seperti buaya tadi binatang yang satu ini keluarkan suara menyerupai anjing meraung. Kepala hancur, tubuh menggelepar-gelepar lalu tenggelam ke dalam air dan lenyap.
“Keji dan jahat sekali!” ucap Purnama setengah menyumpah. “Kekuatan gaib masih terus berusaha menghalangi kita menyelamatkan Wiro!”
“Kurasa aku perlu minta bantuan Nyai Roro Kidul untuk memagari tempat ini,” berkata Ratu Duyung. “Aku khawatir makhluk celaka berkekuatan gaib membawa ilmu hitam kembali berusaha menghalangi. Padahal ini adalah tahapan akhir usaha kita menyelamatkan Wiro. Sekali gagal, bencana besar akan menimpa Wiro!”
Habis berkata begitu Ratu Duyung melompat ke tebing kali di mana terdapat sebuah batang kayu besar tergeletak tumbang. Dia duduk di atas tumbangan pohon ini, pejamkan mata, kaki bersila dan dua tangan diletakkan di atas dada. Tak lama kemudian terdengar Setan Ngompol berseru sambil pegangi bagian bawah perut.
“Hai, mengapa udara mendadak mendung?”
Ki Tambakpati menepuk bahu sahabatnya ini. “Tenang saja. Jangan banyak bicara. Ratu Duyung tengah melakukan sesuatu.”
Saat itu memang udara mendadak agak gelap, langit yang tadi cerah berubah mendung. Arus air kali seolah tak bergerak, angin tidak terasa bertiup. Keadaan sunyi senyap seperti malam hari di pekuburan. Tiba-tiba dari arah timur tampak sepuluh titik bercahaya biru, bergerak ke arah kali di mana orang-orang itu berada. Saat demi saat titik itu membesar dan ternyata adalah sepuluh ujung tombak. Masing-masing tombak dipegang oleh seorang gadis cantik berambut hitam panjang tergerai, mengenakan pakaian hitam ketat dengan potongan rendah di bagian dada serta belahan tinggi sampai ke pangkal paha di bagian sisi kiri kanan.
“Bidadari turun ke bumi...!” ucap Setan Ngompol dengan mata melotot dan pegangi bagian bawah perut yang terasa kedut-kedut. “Pasti mereka hendak menolong Wiro. Ah, aku juga kepingin sakit kalau yang mengobati bidadari cantik seperti itu...”
“Sobatku, kau kakek bangkotan yang masih mata keranjang rupanya,” kata Ki Tambakpati. Saat itu keduanya dan juga Naga Kuning serta Gondoruwo Patah Hati masih berada di dalam kali.
“Jangan bicara sembarangan. Itu adalah pasukannya Nyai Roro Kidul yang akan menjaga tempat ini.”
Sepuluh gadis pembawa tombak bercahaya mengapung di udara mengelilingi Ratu Duyung. Mereka membungkuk memberi penghormatan. Perlahan-lahan Ratu Duyung turunkan dua tangan yang sejak tadi diletakkan di dada. Mulutnya berucap, mata masih terpejam.
“Terima kasih kalian sudah datang. Dua di sudut timur. Dua di sudut barat. Dua di sudut utara. Dua di sudut selatan. Dua di tengah antara empat sudut.”
Dalam gerakan menyamai kecepatan kejapan mata, sepuluh gadis cantik yang membawa tombak bercahaya, sepasang demi sepasang melesat ke lima penjuru yang disebutkan Ratu Duyung. Di lima titik ini mereka melepas pegangan pada tombak. Walau dilepas setiap tombak tetap berdiri lurus, hanya saja perlahan-lahan bentuknya menjadi samar, cahaya meredup dan akhirnya lenyap dari pandangan mata. Sepuluh gadis cantik kembali berkumpul mengelilingi Ratu Duyung.
“Terima kasih kalian sudah melaksanakan tugas dengan baik. Kalian boleh kembali ke laut selatan. Bila tugas sudah selesai sepuluh tombak akan pulang ke tempat asalnya. Kalian tak usah menjemput. Salam hormat dan terima kasihku untuk Junjungan Nyai Roro Kidul.”
Sepuluh gadis membungkuk lalu satu per satu melesat ke langit dan lenyap dari pemandangan. Saat itu juga udara yang tadi mendung kini berubah terang benderang kembali.
“Ah, mereka pergi semua...” kata Setan Ngompol seolah kecewa oleh lenyapnya pemandangan indah tadi.
Di atas tumbangan pohon Ratu Duyung buka kedua matanya. Dia menatap ke arah lima titik lalu bangkit berdiri, mendatangi orang-orang yang ada di kali.
“Para sahabat, tempat ini sudah dipagari. Kita menunggu sampai tengah hari tepat.”
“Apa yang akan terjadi pada tengah hari tepat?” bertanya Gondoruwo Patah Hati yang memang tidak tahu kelanjutan cara pengobatan atas diri Wiro.
Purnama lalu menjelaskan. “Sesuai petunjuk Kitab Seribu Pengobatan, tepat tengah hari nanti sepuluh jari tangan dan sepuluh jari kaki Wiro harus ditusuk dengan benda tajam sampai keluar darah. Jika darah mengucur dan warnanya merah segar berarti dia telah sembuh dari penyakitnya...”
Gondoruwo Patah Hati geleng-geleng kepala. Sambil menggeleng matanya menatap wajah Pendekar 212. Ada rasa iba di wajahnya yang angker. Nenek ini lantas ingat kejadian beberapa waktu lalu, ketika dia ikut dengan Wiro dan para tokoh silat menghancurkan 113 Lorong Kematian yang jadi markas manusia pocong pimpinan Pangeran Matahari.
Saat itu Wiro terlibat bentrokan pukulan sakti dengan Ketua Barisan Pocong 113 Lorong Kematian. Wiro terpental, coba ditolong oleh Gondoruwo Patah Hati. Keduanya jatuh bergulingan di tanah. Secara tak sengaja sewaktu bergulingan, bibir mereka saling bertempelan. Saat itu juga ujud si nenek berubah menjadi sosok seorang gadis cantik, memeluk dan menciumi Wiro. Memang ujud asli Gondoruwo Patah Hati sebenarnya adalah seorang gadis cantik jelita bernama Ning Intan Lestari. Si nenek melarang Wiro menyeka bibirnya. Malah berkata.
“Dengar, ada satu rahasia dalam diriku yang bisa menyesakkan dada jika tidak aku katakan padamu. Kalau saja aku tidak keburu jatuh cinta pada bocah berambut jabrik itu, kaulah jadi penggantinya.”
Celakanya ketika si nenek mencium Pendekar 212, Dewa Tuak yang berada tak jauh dari tempat itu sempat melihat! Gondoruwo Patah Hati tarik nafas panjang dan usap bibirnya.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul Kematian Kedua)
“Siapa yang akan menusuk jari tangan dan kaki Wiro?” Purnama bertanya sambil memandang berkeliling.
“Nek, kau saja yang melakukan,” kata Ratu Duyung. “Kukumu panjang-panjang. Kita tidak perlu mencari alat lagi. Harap kau mau membantu...”
Gondoruwo Patah Hati mengangguk. Dia merasa bersyukur diberi kesempatan menolong pemuda yang diam-diam dicintainya itu. Purnama kemudian menunjukkan bagian mana dari jari tangan dan kaki Wiro yang harus ditusuk. Gondoruwo Patah Hati menusuk sepuluh jari tangan dan sepuluh jari kaki Wiro, semua di bagian ujung jari.
Setelah menunggu cukup lama tidak terjadi apa-apa, yaitu tidak ada darah yang mengucur keluar dari luka kecil bekas tusukan kuku baik pada sepuluh jari tangan maupun sepuluh jari kaki, Purnama menatap ke arah Ratu Duyung. Dua gadis ini sama-sama menunjukkan rasa cemas. Setan Ngompol dan Ki Tambakpati terdiam tegang. Naga Kuning memandang ke langit sebelah timur lalu membisikkan sesuatu pada Gondoruwo Patah Hati sambil menunjuk ke arah timur. Selanjutnya nenek ini pegang lengan Ratu Duyung seraya berkata.
“Aku rasa ada yang menghalangi. Lihat di arah timur ada cahaya biru berkelap-kelip.”
Ratu Duyung cepat menatap ke arah langit sebelah timur. Di arah itu tampak dua cahaya biru berkedap-kedip. “Kau benar Nek. Dua tombak biru pemagar tempat ini di arah timur memberi tanda. Ada yang berusaha masuk! Satu kekuatan gaib! Aku mohon kita semua sama-sama lepaskan pukulan sakti ke arah timur!”
Kecuali Ki Tambakpati yang memang tidak memiliki pukulan sakti, semua orang segera kerahkan tenaga dalam dan siapkan pukulan sakti terhebat yang mereka miliki. Masing-masing mengerahkan tenaga dalam penuh. Jangankan manusia atau makhluk gaib, gunungpun rasa-rasanya jika dihantam bersama-sama seperti itu akan hancur berantakan.
“Kek” kata Ratu Duyung pada Setan Ngompol. “Kau tak usah ikut menyerang. Lindungi Wiro!”
“Tunggu dulu, aku melihat sesuatu di arah timur!” Berkata Purnama. “Ada dua sosok samar sedang berkelahi di atas sana. Satu berpakaian putih, satu mengenakan pakaian hitam. Ratu Duyung coba kau selidiki. Keluarkan cermin saktimu!”
Ratu Duyung cepat keluarkan cermin sakti. Serta-merta di dalam cermin terlihat seorang berselempang kain putih, berambut dan berjanggut panjang putih dengan wajah polos tengah berkelahi hebat melawan seorang pemuda gagah. Si pemuda mengenakan pakaian serba hitam, memelihara kumis, janggut dan cambang bawuk. Dari jalannya perkelahian, kelihatan pemuda ini terdesak dan beberapa kali jatuh tersungkur. Makhluk tidak berwajah mempergunakan sebatang tongkat bercahaya kuning sebagai senjata ampuh. Ratu Duyung menerangkan apa yang dilihatnya dalam cermin.
“Manusia tanpa wajah itu! Dia hendak menembus melewati pagar gaib pengaman. Pemuda berpakaian hitam berusaha mencegah tapi kalah ilmu. Dia akan segera dimusnahkan oleh manusia tanpa wajah. Tapi tunggu dulu... Bunga! Bunga muncul membantu pemuda berpakaian hitam. Puluhan kembang kenanga melesat dari tangannya, membuat manusia tanpa wajah terpaksa mundur. Makhluk jahat ini membalikkan diri, melesat ke langit. Lari!”
Di langit tampak tiga cahaya, merah, biru dan hijau berkiblat lalu lenyap. Purnama dan beberapa orang lainnya yang merasa tidak puas kalau tidak menyaksikan sendiri berusaha melihat ke dalam cermin. Namun saat itu keadaan cermin hanya tinggal bening putih. Pertanda semua makhluk tadi tak ada di langit sebelah timur.
“Hai lihat!” Tiba-tiba Gondoruwo Patah Hati berteriak. Membuat semua orang terkejut namun kemudian bersorak gembira. Dari duapuluh luka kecil di ujung jari tangan dan kaki Wiro membersit keluar darah merah.
“Darahnya merah dan segar!” teriak Ki Tambakpati. “Wiro sembuh!” ucap Ratu Duyung sambil menekap wajah menahan tangis.
“Angkat! Bawa ke dalam rumah!” kata Purnama.
Semua orang, beramai-ramai mengangkat tiga batang kayu ke tepi kali. Lalu mereka menggotong Wiro, membawanya masuk ke dalam rumah panggung dan dibaringkan di atas ranjang bambu. Darah kental, merah dan segar masih mengalir dari dua puluh luka kecil di jari tangan dan jari kaki Wiro. Sesaat kemudian kucuran darah berhenti. Gondoruwo Patah Hati pergunakan ujung jubah birunya untuk membersihkan sisa-sisa darah di tangan dan kaki Wiro. Tiba-tiba...!
"Buuuttt... buuuttt... prett!"
“Kurang ajar! Siapa yang kentut?!” Hardik Setan Ngompol. Mata mendelik dua tangan cepat menekap bagian bawah perut.
Saat itu terdengar suara tawa cekikikan dalam rumah panggung disusul berkelebatnya satu bayangan kuning. Sesaat kemudian di dalam kamar itu telah berdiri seorang nenek serba kuning mulai dari pakaian sampai dandanannya. Nenek ini mengenakan jubah kuning. Rambut kuning digulung di atas kepala, ditancapi lima sunting yang juga berwarna kuning. Lalu di telinga kiri kanan mencantel giwang berbentuk rantai kuning. Di leher menggantung sebuah kalung besar berwarna kuning.
Setan Ngompol, Naga Kuning dan Purnama yang mengenali nenek ini serentak berseru menyebut namanya.
BAB SEBELAS
"Luhkentut...!”
Nenek berjubah kuning yang tegak di ambang pintu ruangan tertawa panjang. Dia tepuk-tepuk pantatnya yang songgeng karena dulunya terlalu banyak kentut lalu berkata,
“Aku kebetulan lewat di sini. Aku mencium bau makhluk dari alamku. Ternyata kau yang berada di sini Luhmintari.” Si nenek berucap dan menyebut nama Purnama yang asli lalu memandang berkeliling. “Ah, sobatku Setan Ngompol dan Naga Kuning, kalian juga ada di sini” Si nenek lantas memandang ke arah ranjang bambu. Kening mengerenyit. “Astaga! Bukankah itu Pendekar 212 Wiro Sableng?”
Purnama anggukkan kepala. Sampai saat itu sepasang matanya terus memperhatikan si nenek. Dia merasa ada kelainan pada diri perempuan tua berjubah kuning ini.
“Apa yang terjadi dengan dirinya?” tanya si nenek.
Siapa nenek ini sebenarnya? Di negeri Latanahsilam dia dikenal dengan nama Luhkentut alias Hantu Selaksa Angin. Sewaktu Wiro bersama Setan Ngompol dan Naga Kuning terpesat ke negeri 1200 tahun silam Wiro menolong dan berhasil menyembuhkan nenek ini dari penyakit kentut yang dideritanya selama puluhan tahun. Sebelumnya si nenek bisa kentut ratusan kali sehari. Setelah ditolong oleh Wiro penyakitnya sembuh. Kalaupun masih terkentut hanya keluar sesekali saja. Sebagai tanda terima kasih si nenek mewariskan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad kepada Wiro.
Sewaktu para tokoh menyerbu 113 Lorong Kematian, Luhkentut ikut ambil bagian dan kemudian ditugasi mencari Hantu Muka Dua. Ternyata Hantu Muka Dua yang juga makhluk dari negeri 1200 tahun silam itu telah menemui ajal di tangan Bidadari Angin Timur (Nyi Bodong).
(Baca serial Wiro Sableng Api Di Puncak Merapi)
“Wiro menderita sakit aneh. Saat ini dalam tahap penyembuhan...” menjelaskan Naga Kuning.
Sepasang mata bocah ini memperhatikan si nenek dari kepala sampai ke kaki yang tersembul di balik ujung jubah kuning. Tidak biasanya, pandangan mata si bocah yang selalu nakal kini kelihatan seolah menyelidik. Seperti diketahui ujud asli Naga Kuning adalah seorang kakek sakti berusia lebih seratus tahun.
Si nenek jubah kuning delikkan mata lalu geleng-geleng kepala. “Di Latanahsilam dia menyembuhkan penyakit kentut-kentutku! Saatnya aku membalas budi. Siapa tahu aku bisa menyembuhkan penyakitnya. Aku perlu memeriksanya.” Lalu nenek ini melangkah mendekati ranjang bambu di mana Wiro terbaring dalam keadaan mata masih terpejam.
Saat itu di sudut ruangan Gondoruwo Patah Hati memberi isyarat dengan gerakan tangan kanan pada Ratu Duyung. Ratu Duyung yang baru saja mengerahkan ilmu Menembus Pandang atas diri Luhkentut anggukkan kepala lalu memberi isyarat pada Purnama. Gadis dari Latanahsilam ini segera menghadang langkah nenek berjubah kuning.
“Nek, tunggu. Sebelum kau memeriksa Wiro, kita bicara dulu di luar rumah.”
“Kau mau membicarakan apa? Mengapa harus di luar rumah, tidak di sini saja?” tanya Luhkentut heran.
Tanpa menjawab, Purnama tarik tangan si nenek, membawanya ke halaman. Ratu Duyung dan Gondoruwo Patah Hati bersama Naga Kuning mengikuti. Sebelum meninggalkan ruangan si nenek berkata pada dua kakek.
“Jaga pemuda ini. Ada yang tidak beres dengan nenek satu itu!”
Sampai di halaman Luhkentut memandang pada Purnama. “Kita sudah di luar rumah. Apa yang hendak kau bicarakan?”
“Nek, aku menaruh curiga pada keadaan dirimu.” Berucap Purnama.
“Bercuriga pada keadaan diriku? Memangnya ada apa dengan diriku? Aku tidak mengerti.”
Gondoruwo Patah Hati melangkah ke hadapan Luhkentut. “Kita tua sama tua. Jangan berani berdusta. Kau datang ke tempat ini bukan secara kebetulan seperti katamu tadi.”
“Aih, aku jadi tambah tidak, mengerti!” Luhkentut alias Hantu Selaksa Angin mulai tampak kesal.
“Kau datang membawa makhluk asing dalam tubuhmu! Kau bersekutu dengan makhluk gaib untuk mencelakai Wiro!” Kini giliran Ratu Duyung yang keluarkan ucapan.
Si nenek menatap Ratu Duyung tak berkesip lalu tertawa mengekeh. “Aku membawa makhluk asing dalam tubuhku katamu! Hik hik hik! Untuk mencelakai Wiro?! Benar-benar gila! Kalian mau aku telanjang? Biar aku buka jubah kuning ini agar kalian melihat apa aku menyem– bunyikan seseorang!”
“Tidak perlu Nek,” jawab Ratu Duyung. “Kalau kau tidak percaya akan aku perlihatkan padamu!” Ratu Duyung ambil cermin bulat sakti.
Purnama memberi tanda agar jangan bertindak dulu. Dia berkata pada si nenek. “Aku melihat ada cahaya samar tiga warna dalam tubuhmu! Kau membawa satu makhluk! Apa hubunganmu dengan manusia tanpa wajah yang belakangan ini selalu hendak mencelakai kami dan Wiro?!”
Dalam bingungnya Luhkentut akhirnya tertawa gelak-gelak. “Manusia tanpa wajah itu siapa? Setan atau manusia yang mukanya tersiram air panas?! Manusia sepertimu atau makhluk alam roh seperti sobatku Luhmintari ini? Lelaki atau perempuan, atau tidak punya kelamin sama sekali. Ikutan polos bagian bawahnya?! Hik hik hik!”
Mendengar ucapan si nenek Ratu Duyung jadi marah. Tangan kanannya yang memegang cermin digoyang tiga kali. Saat itu juga tiga sinar putih berkilau mengandung hawa panas menyambar ke arah Luhkentut.
“Aku datang bersahabat! Kau menyerangku! Sungguh keterlaluan!” teriak Luhkentut marah. Nenek ini kebutkan lengan jubah kuningnya kiri kanan seraya melesat dua tombak ke atas.
Di udara menggema dua letusan dahsyat sewaktu dua larik sinar kuning yang keluar dari lengan jubah si nenek bentrokan dengan dua sinar putih menyilaukan yang melesat dari dalam cermin sementara sinar putih ke tiga berhasil dielakkan oleh Luhkentut dengan cara melompat tadi.
Ketika si nenek melesat ke atas, Purnama ikut berkelebat. Di udara dia lambaikan tangan ke arah punggung si nenek. Selarik sinar biru bergemerlap menyapu. Saat itu juga Luhkentut merasa sekujur tubuh menjadi kaku, tangan dan kaki tak bisa digerakkan. Didahului jeritan keras dia melayang jatuh ke tanah.
“Pengecut! Apa yang telah aku perbuat pada kalian hingga menyerangku beramai-ramai!” Teriak Luhkentut. Meski tubuhnya kaku ternyata nenek ini masih bisa bersuara. Dia berusaha kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti ke tangan kanan untuk melancarkan serangan mematikan namun tidak berhasil.
Sebagai jawaban seolah tidak memberi ampun, Ratu Duyung kembali gerakkan tangan kanannya yang memegang cermin sakti. Dari dalam cermin melesat keluar gulungan cahaya putih panas, langsung menelan si nenek. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Penjerat Raga Pencekal Jiwa. Di saat yang hampir bersamaan Purnama lepaskan satu pukulan sakti memancarkan sinar biru bergemerlap dan Naga Kuning menghantam dengan pukulan Naga Murka Menghancur Tujuh Dinding Gaib.
Semua serangan yang dilakukan ketiga orang itu memiliki kekuatan untuk membakar dan menghancurkan lawan yang mengandalkan kekuatan gaib. Luhkentut menjerit keras mengenaskan. Namun yang membuat semua orang tercekat ada satu raungan keras lain menyertai jeritan si nenek. Tubuh Luhkentut dikobari api berwarna merah dan biru. Perlahan-lahan tubuh itu leleh berubah menjadi cairan putih mengepulkan asap lalu lenyap. Sebelum leleh, satu bayangan putih keluar dari tubuh si nenek. Sekilas kelihatan kepalanya yang tidak memiliki wajah, tertutup rambut dan janggut putih.
Purnama, Ratu Duyung dan Naga Kuning, kini juga Gondoruwo Patah Hati serentak menghantam dengan pukulan sakti. Cepat sekali makhluk tanpa wajah itu melesat ke langit. Salah satu bagian dari pakaian putih yang dikenakannya tampak dikobari api. Sambil melesat makhluk ini menebar cahaya merah, biru dan hijau berbentuk kipas, menyambar ke arah para penyerang.
Ratu Duyung, Naga Kuning, Purnama dan Gondoruwo Patah Hati kalau tidak cepat menjatuhkan diri sama rata dengan tanah pasti akan celaka. Sebagian tanah halaman terbongkar hangus. Dua pohon besar dan beberapa rerumpunan semak belukar gosong menghitam!
Untuk beberapa lamanya tempat itu tenggelam dalam kesunyian. Mendadak terdengar seseorang berucap perlahan tapi cukup jelas.
“Kalian telah membunuh seorang sahabat.”
Semua orang yang ada di halaman sama tersentak kaget dan palingkan kepala ke arah rumah panggung.
“Wiro!”
Empat orang berseru berbarengan menyebut nama Pendekar 212. Di atas rumah panggung, tepat di depan tangga kayu, berdiri murid Sinto Gendeng, dipapah oleh Setan Ngompol di sebelah kanan dan Ki Tambakpati di samping kiri. Wajah tampak pucat dan tubuh agak tertunduk. Walau semua orang gembira melihat sang pendekar mampu berdiri meskipun dipapah namun ucapan yang tadi dikeluarkan Wiro membuat mereka yang semula hendak datang mendekati kini tertegak bimbang meragu dan saling pandang satu sama lain. Wiro palingkan kepala pada dua kakek yang memapahnya lalu balikkan badan, masuk ke dalam rumah.
“Kalian dengar ucapan Wiro tadi...” berkata Gondoruwo Patah Hati. “Ada kesalahpahaman. Sebaiknya kita masuk ke dalam menemui Wiro.”
Keempat orang itu lalu masuk ke dalam rumah dan menemui Wiro sudah berbaring di atas ranjang bambu. Sepasang mata terbuka namun menatap lurus ke atas langit-langit ruangan.
“Wiro, kami bersyukur dan berterima kasih pada Gusti Allah ternyata kau telah disembuhkan...” Gondoruwo Patah Hati membuka pembicaraan.
Wiro diam saja. Matanya masih terus menatap ke atas. Ki Tambakpati membuka mulut.
“Jalan darahnya boleh dikatakan sudah pulih. Namun tubuhnya masih lemah. Aku tadi sempat memeriksa. Dia tidak kehilangan tenaga dalam ataupun hawa sakti yang dimiliki. Hanya saja dia butuh paling sedikit dua hari untuk dapat memulihkan kekuatan, mengalirkan tenaga dalam dan hawa sakti.”
Purnama lebih mendekat ke tepi ranjang. “Wiro, apakah kau bisa bicara? Jika kau cukup kuat untuk bicara kami ingin menanyakan beberapa hal...”
Hening beberapa ketika. Lalu tampak mulut Wiro bergerak dan terdengar suaranya berucap perlahan. Sementara sepasang mata masih tetap melihat ke atas.
“Aku berterima kasih. Sangat-sangat berterima kasih. Semua para tetua dan sahabat di sini telah mau bersusah payah menolongku, menyelamatkan jiwaku...”
“Semua terjadi dengan kuasanya Gusti Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyembuh...” Kata Ratu Duyung pula.
“Hanya ada satu hal sangat aku sesalkan. Keselamatanku ternyata menjadi tumbal kematian bagi seorang sahabat. Mengapa kalian membunuh sahabatku nenek bernama Luhkentut itu?”
Tak ada yang menjawab. Untuk beberapa lama tempat itu diselimuti kesunyian. Ratu Duyung berpaling pada Purnama. Purnama memandang pada Gondoruwo Patah Hati. Akhirnya nenek ini yang bicara.
BAB DUA BELAS
"Wiro, kami perlu menjelaskan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Kami tidak ada niat membunuh Luhkentut. Namun dia datang membawa makhluk gaib berupa makhluk tidak punya wajah. Makhluk ini hendak mencelakaimu, hendak membunuhmu. Kami harus membunuh makhluk itu sebelum dia sempat mencelakai–mu...”
“Apakah makhluk tidak berwajah itu berhasil kalian bunuh?” Wiro.
Tidak ada yang menjawab. Wiro berkata lagi. “Apakah untuk mengusir atau membunuh makhluk tidak berwajah itu harus dengan cara membunuh sahabatku Luhkentut? Apa tidak ada cara lain yang lebih bijaksana?”
Ketika masih tidak ada yang memberikan jawaban Wiro meneruskan ucapannya. “Luhkentut sama sekali tidak bermaksud jahat terhadapku. Dia hanya ketumpangan makhluk gaib. Luhkentut bahkan tidak tahu kalau dirinya ketumpangan.”
“Wiro, kami sangat menyesal apa yang terjadi dengan Luhkentut” kata Gondoruwo Patah Hati. “Namun saat itu kami tidak ingin melihat kau terbunuh.”
“Sahabat semua, sesungguhnya aku saat ini sudah mati dalam hidupku. Ki Tambakpati telah menceritakan apa yang terjadi dengan diriku. Aku kehilangan kejantananku...”
Semua orang tundukkan kepala. Purnama sembunyikan wajah dengan mata berkaca-kaca. Ratu Duyung kemudian menatap ke luar pintu ruangan. Ada yang menyesalkan seharusnya Ki Tambakpati tidak perlu cepat-cepat memberitahu pada Wiro atas apa yang terjadi dengan dirinya menyangkut kejantanannya. Selain itu semua orang yang ada di tempat itu sama bertanya dalam hati. Mengapa dalam kegembiraan sembuhnya Wiro kini terjadi hal seperti ini?
Purnama usap sepasang matanya yang basah lalu berkata, “Wiro, kami... maksudku aku, Ratu Duyung, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati mengaku bersalah. Apakah ada cara untuk menebus dosa kesalahan itu?”
“Aku hanya memberitahu bahwa seorang sahabat telah terbunuh. Soal dosa kesalahan bukan wewenang diriku. Aku yakin semua ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Aku hanya ingin semua ini menjadi pelajaran sangat baik. Aku ingin kalian tahu bahwa di balik setiap kebenaran itu akan selalu ada apa yang dinamakan kebijaksanaan. Seseorang mungkin merasa telah bertindak benar. Padahal jika dia mau berpikir maka selalu ada apa yang namanya kebijaksanaan di atas kebenaran!”
Semua orang jadi terdiam mendengar kata-kata Wiro itu. Gondoruwo Patah Hati, Naga Kuning, Ratu Duyung dan Purnama merasa paling bersalah dengan terbunuhnya Luhkentut. Sementara makhluk tanpa wajah berhasil lolos melarikan diri. Hanya pakaiannya saja yang terbakar.
Selain itu semua orang melihat ada kelainan pada diri Pendekar 212 dan membuat mereka bertanya-tanya. Apakah karena masih belum sempurna kesembuhannya maka Wiro bicara tenang perlahan seperti itu? Lalu tidak seperti biasanya kali ini Wiro bicara seperti orang tua memberi wejangan. Apa telah terjadi satu perubahan dalam diri sang pendekar?
Padahal pada saat dia sadar tadi seharusnya dia ingin mencari tahu di mana dia berada, bagaimana dia bisa sampai di rumah panggung itu dan apa yang telah terjadi atas dirinya. Sebaliknya Ki Tambakpati dan Setan Ngompol yang banyak bicara dan memberi tahu keadaan dirinya.
Sementara semua orang tenggelam dalam alam pikiran masing-masing Ki Tambakpati memecah kesunyian, “Wiro, ketika kami menemui dirimu dan memeriksa keadaanmu, kami tidak menemukan Kitab Seribu Pengobatan. Kami khawatir kitab itu hilang lagi...”
“Aku telah menyimpan kitab itu di satu tempat.” Jawab Wiro.
“Wiro...” kata Ratu Duyung. “Kami semua belum merasa benar-benar lega sebelum kau mendapat kesembuhan sempurna. Kami ingin kau menceritakan bagaimana kejadiannya sampai dirimu ditemui Ki Tambakpati di atas bukit, di halaman sebuah candi dalam keadaan pingsan.”
“Dari ceritamu,” menyambung Purnama. “Kami mungkin bisa menyelidik siapa yang telah berlaku jahat atas dirimu.”
“Mudah-mudahan kami juga bisa mencari petunjuk penyembuhan atas penyakit yang melumpuhkan kejantananmu,” menyambung Gondoruwo Patah Hati.
“Aku sudah di sini, kalian sudah menyelamatkan diriku. Apa masih perlu segala macam cerita dari kejadian yang telah lewat?” bertanya Pendekar 212. Suaranya perlahan dan tenang saja.
“Wiro, kau pendekar besar! Mengapa menunjukkan sikap seperti tidak punya gairah hidup lagi? Kalau kau mau bercerita aku yakin ada jalan untuk menyembuhkan dirimu. Selain itu kami semua ingin sekali mengetahui siapa orang yang telah mencelakai dirimu. Kalau saja Pangeran Matahari masih hidup pasti dia orangnya. Tapi begundal satu itu sudah mati.” Habis berkata Naga Kuning usap-usap dada Pendekar 212.
Setelah berdiam diri beberapa lamanya akhirnya Wiro mau juga menceritakan apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dimulai ketika dia menolong Raden Ayu Ambarsari yang diperkosa oleh seorang pemuda mengaku bernama Cakra. Sewaktu menyeberangi Kali Progo yang arusnya sangat deras, dirinya diserang secara gelap dengan lima senjata rahasia berupa bunga tanjung. Satu dari lima bunga tanjung menancap di lehernya hingga dia jatuh pingsan.
“Ketika sadar diriku berada dalam tahanan Kerajaan atas perintah Pangeran Tua Sena Wirapala. Ternyata Ambarsari adalah cucu Pangeran Tua. Gadis itu ditemui di tepi Kali Progo dalam keadaan tak bernyawa setelah sebelumnya diperkosa. Aku dituduh memperkosa dan membunuh Ambarsari. Aku tak berdaya membebaskan diri karena Pangeran Tua menotok tubuhku dengan totokan luar biasa hebat. Kemudian muncul kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. Dengan menyamar sebagai Eyang Sinto Gendeng nenek itu berhasil mengeluarkan aku dari penjara. Nenek itu membawaku ke sebuah candi di puncak bukit. Dia berusaha melepaskan totokan di tubuhku tapi tak berhasil. Entah dari mana datangnya, muncul seorang pemuda berpakaian hitam, berikat kepala kain merah. Pemuda ini menolong diriku melepas dua belas totokan yang ada di tubuhku. Ketika pemuda itu pergi aku baru sadar. Ciri-cirinya sama dengan pemuda yang menurut Ambarsari hendak memperkosanya. Aku dan si nenek berusaha mencari dan mengejar. Tapi dia lenyap seperti ditelan bumi. Kemudian sesuatu terjadi atas diriku. Sekujur tubuhku panas seolah berubah jadi bara api. Aku muntah darah segar. Si nenek berusaha menolong dengan melakukan beberapa totokan. Kemudian dia menemukan sebuah bunga tanjung di bawah pusarku. Ketika bunga diambil terjadi tiga letusan. Dari bawah perutku melesat keluar satu hawa kekuatan aneh. Menyambar nenek itu hingga dirinya terpental. Sebelum pingsan aku ingat satu hal. Waktu itu hujan turun lebat sekali di puncak bukit.”
Seperti diceritakan sebelumnya Wiro sama sekali tidak mengetahui apa yang kemudian terjadi dengan nenek kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. Di bawah hujan lebat, dari tubuh nenek itu keluar sebentuk tubuh ramping tinggi semampai seorang gadis berkulit putih berwajah cantik jelita, berambut hitam sepinggang.
Gadis ini mengenakan kebaya pendek dan celana panjang ringkas berwarna kuning. Begitu keluar dari tubuh si nenek, di bawah hujan lebat yang tidak membasahi tubuh serta pakaiannya gadis misterius itu melangkah pergi dan lenyap dari pemandangan.
“Di halaman candi, tak jauh dari tubuhmu tergeletak, aku menemukan sebuah seruling...” Ki Tambakpati keluarkan sebuah suling perak dari balik pakaiannya dan memperlihatkan pada Wiro.
“Suling itu milik paderi Cina Loan Nio. Diberikan pada si nenek sebelum dia kembali ke negerinya...” menjelaskan Wiro. “Tolong kau simpan dulu suling itu Kek.”
Kejadian selanjutnya diceritakan oleh Ki Tambakpati, mulai saat dia mencari Sinto Gendeng tapi menemukan Wiro dalam keadaan tak sadar diri di puncak bukit. Lalu kemunculan Damar Sarka dan Surah Sentono yang tengah mencari jejak madat lima puluh kati.
“Ketika mereka menyiksa diriku karena mengira aku menyembunyikan madat itu, paling tidak tahu di mana beradanya, muncul sobatku Setan Ngompol bersama Liris Biru murid mendiang Hantu Malam Bergigi Perak. Pertengkaran disusul perkelahian tidak terelakkan. Ketika Liris Biru dalam keadaan terdesak dan terancam jiwanya oleh Damar Sarka, muncul pemuda berpakaian hitam berikat kepala merah. Pemuda itu membunuh Damar Sarka lalu pergi begitu saja. Liris Biru ingat ciri-ciri pemuda itu sangat sama dengan orang yang membunuh dan memperkosa kakaknya. Karena pemuda itu sebelum pergi mengatakan akan menuju Kuto Gede, Liris Biru mengambil keputusan untuk mengejar ke sana...”
“Aku khawatir akan keselamatan gadis itu. Bisa-bisa dia jadi korban seperti Liris Merah, kakaknya...!” ucap Setan Ngompol.
“Pemuda berpakaian hitam berikat kepala merah itu, apakah dia memelihara kumis, jenggot dan berewokan lebat?” tanya Ratu Duyung sambil memandang pada Wiro.
“Betul, tapi kumisnya cuma tipis, jenggot serta berewokannya juga tipis rapi. Mengapa kau bertanya hal itu. Apakah pernah melihatnya?” Wiro menjelaskan lalu balik bertanya.
“Sejak kau sakit beberapa kali muncul makhluk gaib tak berwajah berusaha mencelakaimu termasuk semua kami yang ada di sini. Malam tadi dia muncul lagi, berusaha menembus pagar pengaman yang dibuat oleh anak buahku. Melalui cermin aku lihat ada seorang pemuda berpakaian hitam berusaha mencegah hingga terjadi perkelahian. Namun pemuda dalam cermin itu tidak mengenakan ikat kepala merah. Kumis, janggut serta berewok cambang bawuknya lebat tidak terpelihara.”
Sampai saat itu meskipun sudah bicara namun Wiro tetap saja mengarahkan pandangannya ke langit-langit ruangan.
“Bunga tanjung...” ucap murid Sinto Gendeng. “Beberapa kali perkosaan dan pembunuhan yang terjadi atas gadis cantik yang aku dengar, korban selalu ditempeli bunga tanjung di keningnya. Aku roboh dihantam bunga tanjung di leherku. Aku jatuh sakit karena ada yang menempelkan bunga tanjung di bawah pusarku. Agaknya bunga tanjung ini merupakan pangkal bahala dari banyak malapetaka yang terjadi belakangan ini. Termasuk yang menimpa diriku. Pemuda berpakaian hitam, berikat kepala kain merah dan berkumis tipis itu, agaknya dia berada di belakang semua ini...”
“Wiro, kau tahu di mana nenek kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu itu sekarang beradanya?” tanya Ratu Duyung.
“Aku tidak tahu,” jawab Wiro. Lalu melanjutkan, “Mungkin Ki Tambakpati bisa memberitahu karena dia yang pertama kali menemukan diriku di dekat candi.”
“Ketika aku sampai di sana, aku hanya menemui dirimu dan suling ini. Tidak ada orang lain...” menjelaskan Ki Tampakpati.
“Jika dia lenyap begitu saja, meninggalkan dirimu yang sedang ditimpa malapetaka, apakah tidak ada kecurigaan mengapa dia berlaku seperti itu?” Yang berkata adalah Gondoruwo Patah Hati.
“Mengingat begitu banyak pertolongannya atas diriku selama ini, aku tidak menaruh syak wasangka terhadap nenek satu itu. Kita tidak tahu apa yang terjadi atas dirinya.” Jawab Wiro pula. Lalu murid Sinto Gendeng ini meneruskan kata-katanya. “Dua hari lagi jika keadaanku sudah pulih, aku akan menemui guruku di puncak Gunung Gede. Setelah itu akan mengucilkan diri, mencari tempat yang baik di puncak gunung itu untuk mulai bertapa. Aku tidak tahu apakah aku akan turun gunung lagi atau akan menjadi pertapa seumur-umur...”
Ucapan ini tentu saja membuat semua orang terkejut. “Wiro, kau jangan berputus asa seperti itu.” Kata Naga Kuning sambil pegang lengan Pendekar 212.
“Kalaupun Tuhan mencabut nyawaku saat ini rasanya aku pasrah.”
Semua orang jadi merinding mendengar kata-kata sang pendekar. Setan Ngompol pancarkan air kencing.
“Wiro, ini hanya satu cobaan saja. Setiap cobaan pasti ada akhirnya,” kata Gondoruwo Patah Hati.
“Rimba persilatan masih membutuhkan pendekar sepertimu. Mengapa kau memilih jadi pertapa?” Ucap Ratu Duyung sambil memperhatikan air muka Wiro. Dia tidak melihat kalau pendekar ini tengah bergurau.
“Makhluk jahat yang mencelakaimu masih gentayangan di alam bebas...” kata Setan Ngompol pula. “Aku belum puas sebelum mengencingi mayatnya!”
“Kalau begitu kalian semua keluarlah dari tempat ini. Aku mau tidur saja...”
Semua orang kini jadi melongo. Naga Kuning pegang lengan Gondoruwo Patah Hati, menarik nenek ini keluar ruangan. Di luar ruangan si bocah bicara berbisik.
“Aku khawatir Wiro kini benar-benar sudah sableng! Pikirannya jadi tidak waras gara-gara tahu kalau dirinya tidak jantan lagi. Memang kasihan. Aku tahu betul, seumur hidup dia belum pernah mempergunakan alat kejantanannya itu...”
“Husss! Orang lagi sakit bicaramu enak saja!” tukas Gondoruwo Patah Hati.
“Aku bicara apa adanya!” jawab Naga Kuning. “Kalau aku jadi dia, akan aku coba dan buktikan dulu. Akan kupergunakan dulu anuku. Apa benar aku kehilangan kejantananku!”
“Anak geblek! Kau yang sudah berubah sableng!” maki Gondoruwo Patah Hati lalu puntir telinga kiri Naga Kuning. Tapi diam-diam si nenek berpikir dan bertanya-tanya dalam hati. Ucapan Naga Kuning bisa juga betul. Bagaimana Ki Tambakpati dan Setan Ngompol tahu kalau Wiro benar-benar telah kehilangan kejantanannya. “Hal itu memang harus dibuktikan. Kejantanan Wiro harus diuji...” kata si nenek dalam hati sambil senyum-senyum.
“Hai, ada apa kau mesem-mesem?” bertanya Naga Kuning sambil usap-usap kupingnya yang barusan dijewer dan masih terasa pedas. “Pasti ada pikiran kotor dalam otakmu!”
“Huss! Diam saja kau!” bentak Gondoruwo Patah Hati.
Malam itu hujan turun lebat sekali mencurah bumi. Udara dingin bukan kepalang. Mungkin karena keletihan, semua orang yang ada di dalam rumah panggung kepu– lasan. Dini hari Gondoruwo Patah Hati terjaga lalu mem– bangunkan Naga Kuning.
“Hatiku terasa tidak enak,” kata si nenek. Ketika keduanya memasuki ruangan di mana Wiro berada, mereka dapatkan pendekar itu tak ada lagi di atas ranjang bambu. Seisi rumah panggung menjadi heboh. Ratu Duyung memandang berkeliling.
“Tidak semua kita berada di tempat ini. Mana Purnama?” Ucapan gadis bermata biru itu membuat sadar semua orang kalau Purnama memang tidak ada di tempat itu.
“Kurang ajar! Gadis alam roh itu melarikan Wiro. Paling tidak membujuknya meninggalkan tempat ini! Jauh sebelumnya aku sudah menduga gadis satu ini berhati culas!” Gondoruwo Patah Hati keluarkan suara keras.
Ratu Duyung ambil cermin sakti. Tenaga dalam dikerahkan ke mata. Dua tangan yang memegang cermin bergetar. “Aku melihat bayangan Wiro. Di arah barat. Samar tanda sudah jauh sekali meninggalkan tempat ini.”
“Kau juga melihat gadis alam roh bernama Purnama itu?” tanya Gondoruwo Patah Hati.
Ratu Duyung goyang-goyangkan cermin sakti. Lalu menggelengkan kepala. “Tidak tampak orang lain. Hanya Wiro...”
“Gadis culas itu pasti menggunakan ilmu kesaktiannya untuk menangkal agar tidak terlihat dalam cermin.”
“Kita harus mengejar Wiro. Mungkin dia dalam perjalanan menuju Gunung Gede menemui gurunya. Kita harus mencegahnya untuk menjadi pertapa. Sebenarnya aku juga harus menuju ke sana karena ada pesan dari Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk menemuinya.”
“Aku khawatir...” Naga Kuning tidak meneruskan uca–pannya, tapi melihat dulu pada Gondoruwo Patah Hati.
“Kau khawatir apa?” sentak si nenek.
“Aku khawatir Wiro diajak pergi oleh Purnama untuk menguji kejantanannya...” ucap Naga Kuning pula.
“Anak edan!” maki Gondoruwo Patah Hati lalu jambak rambut jabrik Naga Kuning.
Sementara anak ini meringis dan mengeluh kesakitan Setan Ngompol kucurkan air kencing habis-habisan! Ki Tambakpati cuma bisa senyum-senyum dan Ratu Duyung kelihatan merah rona wajahnya.
“Bisa jadi, bisa jadi! Bisa jadi apa yang dikatakan Naga Kuning betul.” membatin Gondoruwo Patah Hati dengan tubuh merinding karena cemburu.
“Nek...” ujar Naga Kuning.
“Apa?!” tanya Gondoruwo Patah Hati agak jengkel.
“Kalau kau... apa kau mau menguji keampuhan perabotannya Wiro?”
“Anak setan!” Damprat si nenek sambil mencubit pinggang Naga Kuning hingga anak ini melintir kesakitan.