Jabrik Sakti Wanara

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng episode Jabrik Sakti Wanara Karya Bastian Tito

Jabrik Sakti Wanara - Bastian Tito

Tubuh bocah cilik tersebut bergetar keras akibat betotan tangan Ki Buyut Pocong Mayit dan Merak Jingga yang saling berebut menarik kedua tangannya. Kedua tokoh tersebut tidak mempedulikan keadaan sang bocah yang mengenaskan. mereka baru tersadar kala satu kekuatan dahsyat yang dibarengi auman harimau dikejauhan melempar keduanya masuk kedalam tegalan sawah!

Mata kedua tokoh hitam ini terbeliak tak percaya kala melihat bocah yang diperebutkan tersebut nampak melayang diudara dengan sepasang mata tampak memutih menakutkan sementara di dada sang bocah yang kurus telanjang tampak bercahaya tiga guratan angka, angka dua satu dua!

“Astaga! Apa tidak salah mataku ini? Apa benar itu Wiro? Tapi kenapa...” seru Setan Ngompol sembari delikkan kedua mata kearah sosok bayangan yang berdiri mengambang di punggung bocah kurus berambut jabrik yang dipanggil dengan sebutan Jabrik Sakti Wanara itu, apa yang dilihat oleh Setan Ngompol juga dilihat oleh Mahesa Edan, Naga Kuning dan Panji Ateleng.

Dibalik sosok melayang Jabrik Sakti Wanara berdiri mengambang satu sosok seorang kakek berbaju dan berdestar putih. Rambut dan janggutnya terlihat melambai berwarna putih keperakan sementara ditangan sang kakek tergenggam sebuah senjata yang amat ditakuti oleh para tokoh golongan hitam. Kapak Maut Naga Geni 212!


Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito
SATU

KUCURAN air dingin perlahan berjatuhan membasahi sepasang tangan renta milik Ki Tanu Mangir. “SubhanAllah...” ucap sang kakek kala merasakan kesegaran yang mengalir dari kucuran air dari bedeng bambu yang terletak di samping Surau.

Suasana subuh yang hening dan senyap terasa demikian damai kala terdengar suara gemericik air yang berbunyi saat kakek penjaga Surau tersebut terlihat mengambil wudhu dan bersuci diri. Setelah selesai bersuci, Ki Tanu Mangir pun berjalan memasuki Surau dengan langkah ringan. Kala itu suasana Surau masih terlihat lengang, tidak terlihat seorang jamaahpun berada di dalam Surau.

Namun saat sang kakek memalingkan wajahnya ke salah satu sudut ruangan, dilihatnya seorang bocah tertidur pulas sembari meringkuk didalam kemulan sehelai kain sarung kumal. Sang kakek mengerutkan kening karena merasa tidak mengenali bocah yang sedang tertidur lelap ini.

Ki Tanu Mangir kemudian memperhatikan si bocah lebih seksama, Yang menjadi perhatian pertama Ki Tanu Mangir adalah Rambut Si Bocah yang panjang dan berdiri kaku keatas serta sebagian besar sudah berwarna putih.

“Anak ini masih kecil namun hampir seluruh rambutnya sudah memutih…” gumam Ki Tanu Mangir masih menatap rambut sang bocah yang nampak diikat secarik kain Lurik.

Tubuh bocah kecil ini terlihat kurus dan ringkih, namun begitu tubuhnya terlihat bersih dan tidak berbau pertanda sang bocah pandai mengurus diri. Bocah cilik ini tidak memakai baju atasan sehingga tulang dada dan rusuknya terlihat dengan jelas. Satu-satunya pakaian yang dikenakan bocah ini selain kain sarung adalah sehelai celana pangsi sebatas lutut.

“Kasihan anak ini…”ucap Ki Tanu Mangir sembari mengusap rambut sang bocah.

Kakek penjaga Surau ini kemudian beranjak bangkit untuk Melaksanakan Shalat Subuh. Setelah menyelesaikan panggilan Illahi, Sang Kakek kemudian berjalan mendekati si bocah yang masih tertidur pulas.

“Bangun nduk... Sudah pagi...” ucap Ki Tanu sambil menepuk bahu si bocah. Bocah yang ditepuk bahunya kemudian terlihat membuka mata lalu perlahan bangkit duduk sembari mengusap-usap wajahnya.

“Assalamualaikum, Kyai... maaf saya numpang tidur di Surau tanpa permisi dulu sama Kyai...” ucap bocah cilik ini sembari mencium tangan Ki Tanu Mangir.

Sang Kakek terlihat tertegun melihat kesopanan dan tutur kata si bocah yang terdengar halus dan terpelajar. “Waalaikumsalam, anak baik. Jangan panggil saya Kyai... Saya hanya penjaga Surau Kecil ini saja. saya malu kalau dipanggil Kyai, saya ini belum pernah naik Haji. Panggil saja saya Ki Tanu Mangir...” ucap Ki Tanu Mangir sembari menatap bocah dihadapannya dengan seksama. “Namamu siapa Nduk? Aki rasanya belum pernah melihat wajahmu di daerah ini...” Tanya sang kakek.

“Saya memang bukan orang asli sini Ki, Nama saya Sakti Wanara, tapi banyak orang sering memanggil saya dengan panggilan Jabrik atau Uban...” ucap sang bocah lugu sembari mengusap-usap rambutnya yang berdiri kaku tegak. “Saya tidak punya tempat tinggal Ki, saya hanya singgah sebentar karena lelah semalaman berjalan. Saat saya melihat surau ini saya langsung memutuskan untuk beristirahat sebentar…” ucap si bocah sembari terpekur menatap lantai surau. “Aki tidak marah kan?” ucap si bocah perlahan.

Ki Tanu Mangir tertawa lepas mendengar pertanyaan si bocah cilik. “Semua orang itu diterima di rumah Allah Nduk, selama beritikad baik dan memiliki hati yang suci bersih…” ucap sang kakek sembari mengusap kepala bocah yang bernama Sakti Wanara ini. “Kau sudah makan Nduk?” lanjut sang kakek.

Bocah cilik ini tidak menjawab pertanyaan si kakek melainkan memandang berkeliling. “Belum ada yang datang Shalat Ki?” ucap si bocah tanpa disangka oleh Ki Tanu Mangir.

Wajah si kakek terlihat berubah sedih. “Belum cah bagus, orang-orang di desa sekitar nampaknya mulai enggan pergi ke surau...“ ucap Ki Tanu Mangir sembari menghela nafas berat.

Tiba-tiba si bocah jabrik bangkit berdiri lalu kembali mencium tangan ki tanu mangir. “saya permisi ambil wudhu dulu Ki...” ucap si bocah sambil berlari menuju keluar Surau.

Ki Tanu Mangir yang melihat tingkah laku si bocah hanya bisa mengelengkan kepala. “Dasar anak-anak…” batin sang kakek sembari berjalan kearah rak buku di sudut Surau.

Beberapa saat kemudian mulai terdengar bunyi gemerisik air mengalir dari tempat wudhu di samping surau. Ki Tanu Mangir baru mulai hendak membaca Kitab Kuning saat tiba-tiba telinga tuanya mendengar alunan suara yang membuatnya terhenyak.

“Astaghfirullah… apakah tidak salah pendengaranku ini…?” ucap Ki Tanu Mangir seraya beranjak bangkit dan berjalan mendekati pintu Surau.

Disana tepat di depan jalan turunan yang mengarah ke perkampungan dilihatnya bocah tak berbaju yang tadi tertidur di dalam Surau nampak berdiri menengadah dengan kedua tangan di telinga sembari mengumandangkan suara Adzan!

“SubhanAllah…! Maha Besar Allah…!” seru sang kakek takjub!

Air mata sang kakek mulai terlihat menitik disudut matanya Apalagi kala dilihatnya beberapa orang mulai nampak di berjalan diujung jalan menuju keatas bukit tempat Surau kecil itu berdiri. Memang sudah sejak lama Kalam Penyejuk Kalbu tersebut tak terdengar di Surau Kecil tersebut semenjak penyakit paru-paru menyerang dan mengerogoti tubuh renta Ki Tanu Mangir.

Sementara itu bocah bernama Jabrik Sakti Wanara tersebut setelah selesai mengumandangkan adzan langsung berjalan kedalam masjid dengan tidak lupa kembali mencium tangan sang kakek. “Saya mau Shalat dulu ya Ki… tapi maaf saya tidak punya pakaian. Apa kira-kira Allah bakalan Marah ya Ki…?” ucap si bocah dengan polos.

Sang Kakek langsung memeluk si bocah erat. “Tidak Nduk… Allah tidak akan marah… Allah tidak pernah memandang rupa maupun apa yang disandang manusia, Allah hanya memandang keikhlasan hati dan amal ibadat kita…” ucap Ki Tanu Mangir sembari mengusap airmatanya. “Shalatlah dulu dan jangan kemana-mana setelah itu, Aki akan carikan baju untukmu di pasar…” ucap sang kakek seraya melepaskan pelukannya.

“Benaran ya Ki? Janji ya?” ucap sang bocah riang.

Ki Tanu Mangir terlihat mengangguk dan tersenyum sembari membelai rambut jabrik sang bocah. Sang bocah pun kemudian terlihat mulai melakukan Shalat Subuh diikuti pandangan takzim Sang Kakek.

“Sungguh besar kuasa Allah… anak sekecil ini sudah bisa menunjukan akidah yang lebih dari pada orang dewasa… sikap ruku dan bacaannya juga benar-benar sempurna… apakah memang Gusti Allah yang mengantarkan sepasang kaki mungilnya ke mari? SubhanAllah…” ucap Ki Tanu Mangir tak henti-hentinya memuji kebesaran Yang Maha Kuasa.

Sementara itu beberapa orang pun mulai terlihat berdatangan untuk menunaikan kewajiban mereka yang seakan mulai terlupakan sampai bergaungnya kembali suara adzan yang keluar dari bibir mungil bocah kecil bernama Jabrik Sakti Wanara!


DUA

Sudah terlalu lama kita meninggalkan dua orang konyol sahabat pendekar kita yaitu Setan Ngompol dan Naga Kuning. Dalam episode Si Pengumpul Bangkai diceritakan mengenai pertemuan Setan Ngompol dan Naga Kuning dengan Dewi Dua Musim. dalam pertemuan singkat tersebut Dewi Dua Musim dan Setan Ngompol serta Naga Kuning berjanji untuk bertemu pada sore harinya di hilir sebelah barat Kaliprogo.

Pada saat yang hampir bersamaan pula, Kedua orang ini juga bertemu dan berkenalan dengan Mahesa Edan Si Pendekar Dari Liang Kubur dan bersama-sama dengan pendekar yang selalu menghisap rokok ini, mereka berhasil menyelamatkan seorang pemuda yang dikejar-kejar oleh beberapa orang prajurit dan seorang tokoh sakti.

Tokoh sakti yang dipanggil dengan sebutan Pangeran Banowo tersebut terus menyerang dengan serangan bertubi-tubi hingga membuat sang pemuda malang tersebut jatuh hanyut di tengah Kaliprogo dan akhirnya ditolong oleh Setan Ngompol. Setan Ngompol sendiri setelah berhasil menenangkan nafasnya yang memburu, perlahan nampak mengusap mukanya yang pucat pasi.

Saat sang kakek memandang ke tepian sungai, dirinya menghembuskan nafas lega karena melihat rombongan prajurit yang dipimpin oleh lelaki yang menghujaninya dengan pukulan sakti tersebut sudah tidak menampakkan diri. Sementara itu terlihat Naga Kuning sedang berlutut di tepi sungai sembari mengurut dada Pemuda yang diselamatkan oleh Setan Ngompol tersebut.

“Bagaimana Keadaannya Ning…?” seru setan ngompol.

“Dia sudah tidak apa-apa kek…! Hanya kebanyakan minum air…” ujar si bocah sembari berusaha mendudukan pemuda yang bukan lain adalah Panji Ateleng ini.

Sementara itu Mahesa Edang sembari mengisap Rokok Kawungnya menatap tajam kearah Panji Ateleng. “siapa namamu Kisanak…? Mengapa orang-orang kerajaan mengejarmu sedemikian rupa?"

Panji Ateleng mengusap wajahnya yang basah kuyup dengan kedua tangannya sebelum membalas pertanyaan Mahesa Edan. “Terima kasih sebelumnya atas pertolongan kalian, kalau kalian tidak menolongku dari kali tersebut aku pasti sudah hanyut terbawa arus air…”

Naga kuning yang berada paling dekat dengan Panji Ateleng kemudian menyahut. “Berterima kasihlah pada kakek bau pesing di sebelah sana itu! Dia yang tadi mati-matian menarikmu keluar dari dalam kali!”

Panji Ateleng palingkan wajah kearah Setan Ngompol lalu memegang tangan si kakek erat. “Kek budi pertolonganmu sungguh tak dapat kubalas… tak dapat kubayangkan apa yang akan terjadi jika kau tadi tidak menarikku keluar dari dalam air…”

Setan ngompol yang tangannya di genggam tersenyum malu. “sudahlah anak muda. Saling tolong menolong di dunia itu sudah jamak lumrah! Jadi jangan berterima kasih padaku, Berterima kasihlah pada Gusti Allah…”

Sementara itu Mahesa Edan nampak kembali menghisap rokoknya dan kali ini dihembuskan kearah Naga Kuning yang sontak mengomel panjang-pendek. “Kau belum menjawab pertanyaanku Kisanak, Siapa namamu dan mengapa orang-orang kerajaan tadi mengejar dan ingin menghabisimu?”

Panji Ateleng menarik nafas berat lalu memandang kearah Mahesa Edan “maafkan ketidak sopananku kisanak, Namaku adalah Panji Ateleng, aku berasal dari satu desa kecil di timur Kuto gede. Orang yang menyerangku tadi adalah Pangeran Banowo, orang yang tidak lain dan tidak bukan adalah kakak iparku sendiri…”

Naga Kuning dan Setan Ngompol saling berpandangan manakala mendengar penuturan Panji Ateleng. “Waladalah…! Bagaimana ceritanya sampai ada kakak ipar yang mau menghabisi nyawa adik iparnya sendiri?” ucap si kakek sambil pelototkan mata jerengnya kearah Panji Ateleng.

Panji ateleng yang ditatap sedemikian rupa hanya bisa menghela nafas berat. “Ceritanya panjang kek, tapi yang jelas pangeran itu sudah bukan lagi kakak iparku. Pangeran keparat itu sudah membunuh kakakku… cemani kakakku satu-satunya…” desis Panji Ateleng dengan rahang menggembung pertanda menahan amarah.

Mahesa Edan yang sedari tadi nampak berdiam diri sembari menghisap rokok kawungnya nampak berjalan mendekat kearah Panji Ateleng dan menepuk pundak si pemuda perlahan. “Tenangkan hatimu sahabat, kami semua yang ada disini punya banyak waktu untuk mendengar ceritamu. Mungkin dengan mendengar ceritamu kami yang ada disini dapat memberikan bantuan atau setidaknya memikirkan pemecahan bagi masalahmu itu…” ucap Mahesa Edan sembari kembali menghembuskan asap rokoknya kearah Naga Kuning yang kembali langsung dibalas dengan umpatan oleh sang bocah!

“Pemecahan sontoloyo...! kalau ngerokok kira-kira dong! Asapnya jangan disemburin ke saya melulu! Tuh semburin ke kakek Setan Ngompol biar baunya komplit…!” sembur si bocah sembari mengebut-ngebutkan asap rokok kawung yang memenuhi wajahnya.

Panji ateleng yang melihat tingkah si bocah mau tak mau akhirnya tersenyum geli. Sang pemuda kemudian terlihat berdiri perlahan lalu sesaat kemudian Panji Ateleng nampak memejamkan mata dan menahan nafasnya.

“Alhamdulilah, akhirnya terlepas juga…” ucap sang pemuda seraya membuka kedua matanya dan menghembuskan nafas panjang. Lalu secara tiba-tiba pemuda murid Eyang Toh Bagus Kamandipa ini terlihat menggetarkan seluruh tubuhnya dengan keras!

Terdengar bunyi berkerotokan dari seluruh ruas tulang di tubuh pemuda ini! Tidak hanya sampai disitu kehebatan yang ditunjukan oleh Panji Ateleng, bersamaan dengan terdengarnya bunyi ruas tulang si pemuda bersamaan itu pula basahan air dan Lumpur yang mengotori tubuhnya mengering dan sirna!

“Wah luar biasa! Kau ternyata orang hebat kak! Tolong ajari aku ilmu mengeringkan badan seperti itu kak… ya kak ya…?” Rengek Naga Kuning sembari menguncang-guncangkan tangan Panji Ateleng.

Setan Ngompol yang melihat ini terlihat mencibirkan bibirnya. “Walaaah…! Kalo itu mah ilmu kacangan ning! Aku juga kalo Cuma yang seperti itu mah kecil…” ucap si Kakek seraya menjentikkan jari kelingkingnya.

Naga Kuning dan Mahesa Edan yang tahu gelagat buruk berusaha untuk mencegah tindakan si kakek. Namun mereka terlambat! Si kakek sudah keburu menggetarkan badan seperti yang dilakukan oleh Panji Ateleng! Alhasil muncratan basahan air kali ditambah air kencing si kakek yang menempel di tubuhnya akhirnya bertebaran kemana-mana!

Ini masih ditambah lagi dengan berhamburannya robekan dedaunan yang menutupi aurat terlarang si kakek! si kakek rupanya lupa kalau dia saat itu hanya mengenakan dedaunan seadanya untuk menutup bagian bawah tubuhnya! Akhirnya bukan hanya tubuh si kakek yang bergetar, perabotan milik si kakek turut bergetar gundal-gandil kemana-mana!

Caci maki dan sumpah serapah terdengar keluar dari mulut naga kuning dan Mahesa Edan yang kecipratan air kencing si kakek. Sementara Panji Ateleng yang juga turut kecipratan hanya mengerutkan kening untuk kemudian akhirnya terlihat tertawa terpingkal-pingkal!

Setan Ngompol yang baru tersadar akan keadaannya buru-buru mendekap bagian bawah tubuhnya dan meloncat kedalam kali. Naga Kuning yang masih jengkel dengan perbuatan si kakek langsung menimpuk kepala botak si kakek yang menyembul di permukaan kali dengan bungkus sisa nasi timbel!

Semua hal ini tentu saja tidak lepas dari amatan Panji Ateleng yang tidak henti-hentinya tertawa melihat tingkah kedua sahabat pendekar dua satu dua ini. Akhirnya setelah beberapa saat berlalu nampak Panji Ateleng duduk diatas sebuah batu kali dikelilingi oleh Mahesa Edan, Naga Kuning dan Setan Ngompol yang kali ini sudah mengenakan pakaian dan celananya yang sebelumnya dijemur di pinggir kali. Panji ateleng nampak menjura hormat kearah ketiga orang yang duduk di sekelilingnya.

“Sungguh aku benar-benar merasa terhormat bisa berkenalan dengan kalian bertiga, khususnya anda saudara Mahesa, Sudah semenjak lama aku mendengar kebesaran nama Pendekar Dari Liang Kubur dari Pegunungan Iyang. Tak disangka hari ini bisa berjumpa disini, Sungguh ini benar-benar merupakan satu kehormatan bagi ku.”

Mahesa Edan yang mulutnya tak henti-hentinya menghisap rokok terlihat terkekeh geli. “Segala nama kosong apalah artinya? Cuma jadi isapan jempol jika tidak dibarengi dengan akhlak dan perbuatan yang baik. Saya ini siapa? Belum pantas dikasih kehormatan segala, kalau dikasih rokok klobot saya sih akur saja!” ucap si pendekar sembari mengebulkan asapnya tinggi-tinggi keudara, “ada baiknya jika kau ceritakan saja kenapa sampai Pangeran yang kau sebut tadi sampai tega membunuh istrinya sendiri dan hendak mencelakakan dirimu...” sambung sang pendekar.

Panji Ateleng menatap langit sejenak sebelum mulai berucap. “seperti yang kubilang tadi, namaku adalah Panji Ateleng. Saat masih kecil aku bersama kakakku yang bernama cemani terpisah dengan adik dan kedua orang tuaku saat terjadi banjir bandang di desa kami. Aku dan kakakku kemudian di tolong oleh Guru yakni Eyang Toh Bagus Kamandipa dan diangkat sebagai murid serta bersama-sama guru menetap di pantai selatan. Waktu berlalu begitu cepat, dan akhirnya tanpa terasa delapan tahun sudah aku dan kakak menimba ilmu di tempat tetirahan guru di pantai selatan. kakakku cemani yang kala itu genap berumur delapan belas tahun akhirnya di beri ijin oleh guru untuk turun ke dunia luas untuk memperdalam pengetahuan dan pengalaman sekaligus mencari kabar mengenai jejak adik dan orang tua kami yang terseret arus banjir delapan tahun yang lalu. Tanpa terasa Waktu kembali berputar, suatu hari setelah mengembara selama dua tahun lamanya kak Cemani akhirnya pulang kembali ke tetirahan guru bersama seorang pria dan diiringi oleh sepasukan prajurit kerajaan. Pria tersebut kemudian diketahui sebagai utusan dari Pangeran Banowo yang masih bertalian darah dengan Baginda raja. Kedatangan utusan pangeran tersebut kemudian diketahui bertujuan untuk menghantar lamaran kepada Guru atas diri Kak Cemani. Kami saat itu benar-benar gembira dan bahagia apalagi saat tiga hari kemudian sang pangeran sendiri datang secara pribadi untuk meminta restu memboyong kak cemani ke tempat kediaman sang Pangeran di Magelang. Hari itu juga kemudian dilaksanakan acara akad nikah yang dilangsungkan secara sederhana di tempat kediaman kami di Pantai selatan. Keesokan harinya dengan alasan banyak tugas dan pekerjaan yang harus diselesaikan Pangeran Banowo langsung memboyong Kak cemani ke tempat kediamannya di magelang...” Panji ateleng sesaat menghentikan ceritanya dengan pandangan mata menerawang.

Sementara itu sembari mendengarkan cerita Panji ateleng, Mahesa Edan nampak sibuk menggulung daun jagung kering berisi tembakau dan batang cengkeh untuk kemudian disulutnya dan dihisap dalam dalam sebelum kembali asyik mendengarkan penuturan Lanjutan Panji Ateleng.

“Beberapa bulan sejak peristiwa perkawinan antara Kak cemani dan pangeran Banowo aku dan guru beberapa kali datang menjenguk kediaman sang pangeran di magelang. Kami pada saat itu mendapat sambutan yang cukup baik oleh sang pangeran dan kak cemani walaupun pada saat itu kami melihat ada sesuatu yang tidak wajar pada raut muka kakakku tersebut. Aku pernah menanyakan perihal tersebut kepada Guru namun guru hanya tertawa dan mengatakan bahwa hal itu kemungkinan besar karena Kakakku cemani saat itu mungkin sedang mengandung sehingga terlihat pucat. Aku saat itu pun berpikiran sama dan tidak pernah lagi memikirkannya. Namun dua bulan setelah kedatangan kami yang terakhir, kami mendapatkan berita yang mengejutkan yang dibawa oleh seorang Prajurit utusan Pangeran Banowo…” Panji ateleng kembali terdiam untuk beberapa saat. “Prajurit itu menyampaikan kabar bahwa kak Cemani meninggal akibat sakit keras… aku dan guru benar-benar terkejut dengan berita itu. Namun yang paling terpukul adalah guru. Beliau sampai menderita sakit dan terpaksa harus beristirahat di pembaringan. Aku pun kemudian diutus guru untuk menemui Pangeran Banowo di tempat kediamannya. Walaupun berat karena harus meninggalkan guru yang sedang sakit, namum aku pun kemudian pergi juga untuk menemui pangeran banowo di magelang namun alih-alih mendapat penjelasan mengenai perihal kematian kak cemani, pangeran keparat tersebut tiba-tiba dengan secara pengecutnya menangkap diriku dan menjebloskan diriku kedalam penjara…” ucap panji ateleng dengan suara bergetar sebelum kemudian kembali melanjutkan ceritanya. “Pada saat diriku berada dalam penjara itulah baru aku mengetahui bahwa kakakku bukanlah meninggal akibat sakit keras melainkan dibunuh oleh pangeran keparat tersebut… Laknat…!” seru sang pemuda dengan tidak dapat mengendalikan amarahnya.

“Maafkan aku memotong penjelasanmu sobat, tapi apa tujuan sebenarnya dari pangeran tersebut dengan membunuh kakak perempuanmu dan menjebloskanmu ke dalam penjara?” Potong Mahesa Edan sembari menatap tajam kearah murid eyang toh bagus kamandipa ini.

“Tujuan pangeran keparat tersebut mendekati dan menikahi kak cemani rupanya hanya untuk mendapatkan sepasang mutiara merah yang tertanam dalam tubuh kami berdua…”

Mendengar apa yang diucapkan Panji Ateleng, Naga Kuning dan Setan Mgompol serta Mahesa Edan nampak saling berpandangan.

“Apa yang kau maksud dengan mutiara merah kak? Dan apa khasiat mutiara tersebut sehingga pangeran itu sampai begitu tega membunuh istrinya sendiri?” kali ini Naga Kuning yang mengajukan pertanyaan.

Panji Ateleng nampak menggelengkan kepala sembari menghembuskan nafas berat. “Aku juga tidak tahu apa kegunaan sepasang mutiara merah tersebut. Guruku eyang toh bagus kamandipa yang menanamnya kedalam tubuh kami masing-masing saat kami berdua masih kecil…” ucap si pemuda.

“Lalu bagaimana kau bisa tahu kalau sepasang mutiara itulah yang menjadi pangkal musabab malapetaka yang menimpa kalian berdua kakak beradik?” Tanya setan ngompol sembari memperbaiki letak duduknya.

“Selama dalam penjara tersebut pangeran gila dengan dua orang anak buahnya yakni Lor Randuwali dan Seno Kalimurti itu tidak henti-hentinya menyiksa diriku baik secara halus maupun dengan cara kasar agar aku mau menyerahkan mutiara merah yang kumiliki kepadanya. Dari situlah aku mengetahui bahwa mustika milik kak cemani pasti telah jatuh ke tangannya… dari bibir mereka berdua juga aku mengetahui bahwa nyawa kakakku cemani dihabisi oleh dua keparat tersebut atas perintah Pangeran Banowo…” tutup sang pemuda.

“Lalu bagaimana dengan mustikamu sendiri kak? Masih adakan? Tidak kau serahkan kepada pangeran itu kan?” Tanya Naga Kuning.

Panji ateleng nampak tersenyum sembari menggeleng kepalanya pelan. “Mutiara itu sudah kuberikan kepada orang lain adik kecil…”

Setan Ngompol yang mendengar apa yang dikatakan oleh panji ateleng sampai terlonjak kaget dan menepuk kedua pahanya. "Walah…! Kamu kasih mutiara itu ke orang lain? Kamu sudah gila? Barang yang jadi penyebab meninggalnya kakak perempuanmu itu kau beri begitu saja kepada orang lain? Alamak! Pasti orang itu gadis cantik..!!! iya toh…? Kalau tidak aku tidak percaya kau mau memberikannya begitu saja…”

Panji Ateleng nampak menundukkan kepalanya dan memandang kearah air yang mengalir di hadapannya. Betapapun kerasnya Panji Ateleng mencoba untuk bertahan untuk tidak tersenyum namun akhirnya sang pemuda tersenyum juga.

“Kau benar kek, orang yang kuberikan mutiara merah itu memang seorang gadis cantik, tapi…” belum sempat panji ateleng meneruskan ucapannya, sang Kakek kembali memotong ucapannya.

“Nah… kan? Betulkan apa yang ku bilang…? Kalau begini, ceritanya jadi lain lagi… betul tidak Ning..?” ucap si kakek sembari terkekeh.

TIGA

Sementara Naga Kuning nampak mengiyakan apa yang diucapkan oleh Sang Kakek.

“Semuanya tidak seperti yang kau bayangkan kek…! Aku memberikan mutiara itu kepada gadis itu karena dia membebaskanku saat seluruh tubuhku dipantek oleh seorang Warok dari Hutan Roban yang ternyata adalah saudara seperguruan Pangeran Banowo…”

Mahesa Edan yang sebelumnya nampak hanya diam mendengarkan tiba-tiba memotong ucapan Panji ateleng. “Apakah yang kau maksud dengan Warok Hutan Roban itu adalah seorang pria tinggi besar bersenjatakan paku dan martil besar dan menyebut dirinya dengan panggilan Suro Gledek…?”

Panji Ateleng nampak terhenyak dan memandang kearah Mahesa Edan. “Apakah kerabat Mahesa mengenal manusia sesat itu…?” Tanya Panji Ateleng.

Namun Mahesa nampak menggeleng lemah. “sejujurnya aku tidak begitu mengenal atau pernah bertemu muka dengan manusia bernama Suro Gledek itu, namun aku sangat mengenal dan punya urusan yang cukup runyam dengan gurunya Si Jenazah Kubur Batu Watu Selirang, Ki Buyut Pocong Mayit…”

Panji Ateleng Nampak terhenyak mendengar penuturan Mahesa Edan “Astaga…! Apakah yang kau maksud dengan ki buyut pocong mayit itu adalah kakek bungkuk berpakaian layaknya pocong dengan kalung tiga buah pocongan kecil dilehernya itu sobat Mahesa…?”

Mahesa Edan nampak mengangguk mengiyakan.

“Orang itu adalah Guru Pangeran Banowo…! Dia adalah orang yang mengunci ilmu dan tenaga dalam ku dengan ilmu tatapannya yang aneh sehingga aku terpaksa harus lari dan dikejar-kejar Pangeran Banowo hingga sampai ke kali ini…! kakek aneh itu Pula yang kemudian kuketahui belakangan secara mati-matian berusaha untuk mendapatkan sepasang mutiara merah pemberian guru…” tutup Panji Ateleng sambil menatap kearah Pendekar dari liang kubur ini.

Mahesa Edan nampak kembali menyalakan api pada rokoknya. “kakek itu adalah seorang yang amat berbahaya…! Aku ditugaskan oleh guruku untuk mengambil kembali suatu barang milik guru yang pernah dicuri oleh makhluk celaka tersebut namun aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi setelah peristiwa pencurian itu sampai pada hari ini…” ucap si pemuda.

“Apakah barang yang kau maksud adalah milik gurumu si Kunti Kendil…?’ Tanya Setan Ngompol.

Mahesa Edan sembari mengebulkan asap rokoknya kembali nampak menggeleng. “Bukan, barang yang dicuri oleh Kakek setan itu adalah milik guruku yang satunya, Suko Ingil…”

Setan Ngompol kembali terlonjak kaget. “Apa yang kau maksud gurumu yang satunya itu Suko Ingil, Si Pendekar Muka Tengkorak…?”

kini gantian Mahesa yang memandang heran kearah Setan Ngompol. “kau juga mengenal guruku yang itu kek?”

Setan Ngompol baru hendak berucap membalas pertanyaan Mahesa Edan manakala mendadak dari seberang sungai nampak berkelebat puluhan bayangan hitam yang secara ganas menyambar kearah mereka!

“Paku Kayu iblis Jati Roban…! Awas…! Semua menghindar…!” teriak Panji Ateleng kala melihat jelas wujud puluhan bayangan yang menderu deras kearah mereka berempat!

Keempat orang yang duduk diatas batu masing-masing bergerak secepat kilat begitu menyadari adanya bahaya yang datang. Satu gerakan yang amat indah ditunjukan oleh Sang Pendekar dari liang kubur manakala menghadapi ratusan pasak kayu yang turun dari langit. Dengan menggunakan jurus silat Diatas Kubur Badai Mengamuk sang pendekar terlihat dengan begitu lincahnya mengelak serangan pasak yang datang bertubi-tubi.

Sembari bergerak kesana-kemari memainkan jurus silat hebat pemberian eyang kunti kendil ini, kedua tangan mahesa juga tidak hanya diam terpaku, tangan kanan sang pendekar yang memegang senjata andalannya yaitu papan nisan kayu hitam ini nampak mengebutkan papan sakti tersebut berulang kali hingga menimbulkan hembusan angin serangan yang menggebubu laksana badai!

Sementara tangan kiri sang pendekar nampak berulang kali mengeluarkan pukulan sakti andalannya yakni Api Geledek Menggusur Makam dan Pukulan Makam Sakti Meletus! Apa yang dilakukan oleh murid pendekar muka tengkorak ini benar-benar mengagumkan! Angin serangan yang keluar dari papan nisan kayu hitam dan jalur-jalur pukulan sakti yang dilepaskannya ini terbukti mampu meluluh lantakkan puluhan pasak kayu yang datang bagaikan hujan tercurah!

Sementara itu Panji Ateleng dan Naga Kuning juga nampak sedang sibuk mengeluarkan pukulan sakti masing-masing untuk menghadapi hujan serangan pasak kayu. Hanya Setan Ngompol yang nampak adem ayem duduk mendekam di balik sebuah batu besar. Memang saat terjadi hujan serangan kebetulan tempat duduk si kakek tepat berada dekat sebuah batu besar yang memiliki cerukan cukup dalam sehingga sang kakek tinggal melompat kedalam cerukan tersebut kala Panji Ateleng berteriak keras.

Namun si kakek tidak bisa lama-lama bersembunyi, satu hempasan angin keras dibarengi lesatan cahaya merah memaksa sang kakek pontang-panting keluar dari persembunyiannya. Dengan nafas terengah-engah setan ngompol berpaling kearah batu besar tempat dimana semula dirinya bersembunyi. Sang kakek langsung menenggak ludahnya manakala melihat batu besar tersebut nampak sudah hancur berkeping-keping!

“Bukan main…! Kalau saja aku lebih lama mendekam di balik batu itu bukan mustahil aku juga bakalan bernasib sama seperti batu itu…” desis Setan Ngompol sembari menyeka keringat didahinya.

Sang kakek kemudian memalingkan wajahnya kearah depan dan melihat dihadapannya telah berdiri seorang pemuda berbaju dan berdestar hitam berdiri dengan angkuhnya sembari berpangku tangan.

“Cepat juga kau kek…” desis sang Pemuda dengan senyum pongah.

“Anak muda…! Siapa kau sebenarnya? Aku merasa tidak memiliki silang sengketa dengan dirimu hingga kau menyerangku sedemikian rupa…?” ucap si kakek sembari mengerutkan kening.

Naga kuning setelah berhasil menyampok jatuh serangan paku yang menyerang dirinya kemudian terlihat melompat kearah Setan Ngompol. “kau kenal pemuda berdestar hitam itu kek? Serangannya sangat mematikan…! Kau pernah apakan dia kek sampai nampaknya dia begitu mendendamnya pada dirimu…?” Tanya naga kuning.

Setan ngompol nampak berpikir serius. “Seingatku aku tidak pernah memiliki silang sengketa dengan anak ini… memang aku punya banyak musuh karena semua perbuatanku dalam menegakkan kebenaran, tapi aku benar-benar tidak ingat kalau pernah berurusan dengan pemuda ini…” ucap si kakek rada-rada sombong!

“Jangan takabur kek…! Coba kau Tanya baik-baik kepada pemuda itu kenapa kau dijadikan sasaran serangannya barusan…”ucap Naga Kuning sembari menepuk pundak si kakek.

“Aku memang tidak punya silang sengketa apa-apa dengan dirimu kek…” ucap si pemuda sembari mengeluarkan sebuah bumbung bambu kecil. Begitu bumbung bambu kecil tersebut dibuka sumbatnya oleh si pemuda maka tersiarlah bau harum luar biasa! “Aku juga tidak punya dendam yang harus kutagih atas dirimu… Aku menyerangmu semata-mata hanya karena dari semua yang ada disini kaulah orang yang paling bau…” ucap santai si pemuda sembari menuangkan isi bambu yang ternyata adalah minyak wangi ini ke seluruh badannya!

Mendengar apa yang di ucapkan oleh sang pemuda, wajah sang kakek langsung berubah merah sementara Naga Kuning tidak bisa lagi menahan ledakan tawanya!

“Akuur..! setuju…! Kau betul kak! Kalau mau bunuh orang, memang harus cari yang paling bau…!” tawa Naga Kuning.

Setan Ngompol dengan muka masam langsung mencoba menjitak kepala naga kuning. “Setan kau ning…! Teman mau di pateni kau malah enak-enakan tertawa…” sungut setan ngompol.

Naga Kuning yang kepalanya hendak dijitak cepat mengelak dan kembali tertawa terbahak-bahak. namun tawa sang bocah tiba-tiba hilang layaknya direnggut setan manakala tiba-tiba satu angin panas bersiur kencang kearah dirinya!

“Naga Kuning…! Awas Serangan…!” teriak setan ngompol kala melihat pemuda yang berada didepannya secara tiba-tiba bergerak dengan kecepatan luar biasa meluruk deras kearah Naga Kuning dengan cakar terpentang!

Kita tinggalkan dahulu Naga Kuning yang saat itu sedang menghadapi bahaya besar, Sementara itu ada baiknya jika kita untuk sejenak menengok keadaan Mahesa Edan dan Panji Ateleng. Bagitu hujan serangan pasak paku mulai mereda, anak murid pendekar wanita Gunung Iyang ini langsung melompat kearah Panji Ateleng. Disitu telah nampak berdiri satu sosok tinggi besar yang menyeramkan yang mengenakan sebuah jubah hitam menutupi hampir sebagian besar tubuhnya. Pria yang nampak memegangi sebuah martil raksasa ini nampak mengeram gusar kearah Panji Ateleng.

“Pemuda keparat…! sekarang kau tidak akan bisa lari lagi…! Cepat serahkan Mutiara merah itu sekarang atau kucabut nyawamu saat ini juga…!” bentak si pria yang memiliki wajah dipenuhi cambang dan kumis yang meranggas ini.

Panji ateleng baru hendak berucap manakala secara tiba-tiba Mahesa Edan menepuk pundaknya dan langsung berdiri menghadapi si tinggi besar yang sedang memegang martil raksasa ini. Sebelum berbicara pemuda edan satu ini masih sempat-sempatnya menyalakan rokok dan menghembuskan asap rokoknya kearah lelaki tinggi besar ini.

“Numpang tanya… apa sampeyan yang tadi melempar paku-paku pedati ini kearah kami…?”

Mendengar pertanyaan Mahesa Edan yang terkesan begitu merendahkannya kemarahan pria inipun meledak tak terhingga! Dengan diiringi teriakan keras pria ini dengan sekuat tenaga menghantamkan martil di tangannya kearah Kepala Mahesa!

“Hati-hati Sobat! Orang inilah Suro Gledek murid Ki Buyut Pocong Mayit orang yang kau cari itu…” teriak Panji Ateleng memperingatkan.

“Sangat menarik…! Aku ingin melihat bagaimana cara Pocong Pencuri itu mengajar muridnya bermain silat…!” ejek Mahesa Edan membuat Suro Gledek semakin bertambah murka!

Kali ini bukan hanya martil besar yang mengayun deras kearah Mahesa Edan, sebuah paku besar yang digenggam di tangan kirinya juga dihujamkan dengan keras kearah tenggorokan murid Eyang Kunti Kendil ini! Benar-benar satu serangan yang amat dahsyat!

Namun tidak percuma pendekar kita ini digodok selama delapan belas tahun lamanya di Pegunungan Iyang, hanya sekejapan mata lagi martil besar dan paku raksasa akan menghujam dan meluluh lantakkan tubuhnya, tiba-tiba pendekar kita ini melakukan satu gerakan aneh, tubuhnya nampak terhuyung kebelakang seakan hendak terjatuh sehingga serangan kedua senjata maut yang dilancarkan oleh warok dari hutan roban ini hanya meleset beberapa jengkal dari kulit muka Sang Pendekar!

Tidak hanya sampai disitu, dalam keadaan terhuyung, Sang pendekar dari liang kubur ini masih sempat melakukan aksi yang mencengangkan! Tangan kirinya dengan cepat bergerak menggapai dan meremas jakun Warok bertubuh tinggi besar ini dan melemparnya kearah belakang! Akibat gaya serangannya sendiri yang teramat dahsyat ditambah cengkraman dan hempasan tiba-tiba yang dilancarkan Mahesa, tubuh tinggi besar Suro Gledek sontak melesat jauh dan jatuh berdebam laksana pohon Rubuh!

Inilah Jurus Si Buta Terjatuh Menggapai Karang dan jurus Si Buta Mencengkram Langit yang merupakan salah Satu dari beberapa jurus dahsyat yang terdapat dalam ilmu Silat Orang Buta yang didapat sang pendekar dari seorang tokoh silat sakti bergelar Gembel Cengeng Sakti Mata Buta!

(untuk lebih mengenal Kisah perjalanan Mahesa Edan dan ilmu-ilmu yang dimilikinya, Silahkan baca Serial Mahesa Edan, Pendekar Dari Liang Kubur karangan Bastian Tito)

Mahesa edan kembali berjalan mendapati Panji Ateleng dengan santainya. “Ternyata Warok satu ini tidak ada apa-apanya… yang hanya bisa dilakukannya hanya melempar paku dan menakuti anak kecil… sayang sekali Pocong Keparat itu ternyata tidak pandai mendidik murid…” ucap Pendekar satu ini sembari menghembuskan asap rokoknya.

“Apa benar begitu…? Kau rupanya benar-benar memandang remeh padaku anak muda…” ucap satu suara berat secara tiba-tiba ditelinga Mahesa!

Sungguh kejut bukan kepalang Pendekar kita satu ini hingga dia dengan refleksnya membalikkan mukanya. “Tidak…! Jangan berbalik…! Bahaya…!” teriak Panji Ateleng mengingatkan namun terlambat! Nampak Mahesa Edan Sang Pendekar Dari Liang kubur terlihat berdiri terpaku dengan mata membeliak dan mulut terbuka lebar memandang satu sosok mengerikan yang berdiri diatas batu tidak jauh dari tempat dirinya berdiri.

“Tu… Tubuhku…! Aku tak mampu menggerakkan tubuhku…!” desis Sang Pendekar panik.

Sementara di depannya nampak berdiri sosok seorang kakek bungkuk yang memakai pakaian layaknya seorang pocong bangkit dari kubur! Kain kafan kotor berselimut debu dan lumpur nampak melilit tubuhnya. Sementara tiga buah kain berbentuk pocongan kecil nampak tergantung di leher kakek yang bahkan di hidungnya ini masih terlihat kapas penyumbat! Bau busuk menghantar keluar dari tubuh sang kakek kala kakek ini berjalan perlahan mendapati Mahesa dan Panji Ateleng yang berdiri kaku akibat tatapan yang dilepas oleh Kakek sesat ini!

EMPAT

Kakek berdandan aneh menyerupai pocong ini sebenarnya merupakan salah satu dari sekian banyak tokoh sesat yang selama ini mengasingkan diri dan tidak pernah keluar untuk membuat kekacauan dalam dunia persilatan. Terakhir kali kakek ini terdengar kabarnya kala Si Kakek yang bertempat tinggal dalam sebuah kubur batu di Watu Selirang ini mencuri sebuah Bokor Emas sakti milik Pendekar Muka Tengkorak yang juga merupakan guru dari Mahesa Edan belasan tahun yang lalu.

Setelah peristiwa itu sang kakek sudah tidak pernah lagi terdengar kabar beritanya. jika hari ini kakek satu ini sampai menampakkan dirinya di tanah jawa tentu akan ada satu kejadian luar biasa yang akan terjadi! Sang kakek berjalan namun tubuh Pendekar Dari liang kubur nampak dilewatinya, Sang kakek berjalan terus dan berhenti dihadapan Panji Ateleng!

“Anak muda, kali ini kau tidak akan bisa lagi lolos dengan mudahnya seperti tempo hari… Ilmu Tatapan Penggetar Sukmaku kali ini tidak akan ada lagi yang akan menghalangi…”

Sang kakek kemudian nampak membuka matanya lebar-lebar menatap kearah Panji Ateleng apa yang dilakukan oleh sang kakek ternyata benar membuat pemuda murid Eyang Toh Bagus Kamandipa ini benar tersiksa! Sekujur tubuhnya yang tak mampu bergerak terasa seakan ditusuk ribuan jarum panas kala sinar mata sang kakek yang memancarkan cahaya biru masuk kedalam mata dan terus menjalar keseluruh sel dalam tubuhnya!

Inilah salah satu ilmu sesat yang hampir punah pada masa itu yakni Ilmu Tatapan Penggetar Sukma! Konon dengan ilmu ini seseorang dapat membunuh orang dengan hanya mengunakan tatapan mata! Benar-benar ilmu yang sangat menakutkan!

“Hemm… ternyata mutiara itu memang sudah tidak berada lagi dalam tubuhmu… “ desis sang kakek seraya memicingkan matanya. “cepat atau lambat dengan bantuan bokor emas sakti milik si keparat Suko Ingil itu aku pasti dapat menemukan mutiara merah satunya itu… kau sudah tidak berguna lagi bagiku… jadi lebih baik kau mati saja…!” ejek sang kakek secara tiba-tiba sembari menghantamkan cakarnya kearah dada si pemuda guna membetot keluar jantung pemuda murid Toh Bagus Kamandipa ini!

Sesaat lagi pemuda ini akan meregang nyawa tanpa berbuat apa-apa, tiba-tiba saja dari dalam dada pemuda bernama panji ateleng ini keluar satu tangan yang dengan cepat dan tidak masuk akal menghantam cakar yang dilepas oleh Ki Buyut Pocong Mayit…!

“AAargh…!” sang Pocong berteriak keras dalam keadaan terjengkang hebat mana kala hempasan tenaga dalam maha kuat menghantam cakar dan seakan meremukkan tangannya dari tangan yang secara ajaib keluar dari dada pemuda dari kuto gede ini!

Berulang kali kakek ini mengibaskan tangannya menahan sakit. Saat sang kakek menengadahkan kepalanya di situ dilihatnya di samping Panji Ateleng berdiri seorang kakek yang memakai sorban hitam yang dililit sehelai kain sutra putih. Wajah si kakek terlihat menyeramkan manakala sepasang kuping yang seharusnya berada di samping kiri kanan kini nampak bertengger di dahi!Dan bukan itu saja, bibir yang seharusnya berada di bawah hidung kini nampak terlihat menempel di leher.

“Iblis Hitam Kepala Putih…!” desis ki buyut pocong mayit kala melihat sosok kakek yang tadi menolong Panji Ateleng dengan cara yang menakjubkan itu.

Kakek yang bukan lain adalah Ajengan Manggala Waneng Pati itu terlihat menggeleng lemah. “kau terus saja berbuat dosa dan tidak mau bertobat Jayengrana… tidak cukupkah kau sesatkan bekas muridku itu hingga kini kau hendak lagi mencabut nyawa pemuda tidak berdosa ini… berbaliklah jayengrana… umur manusia tidaklah abadi… kita sudah sama-sama tua… sudah saatnya buat kita untuk bersiap menghadap Sang Khalik…” ucap Manggala wanengpati seraya mengusap ubun-ubun Panji Ateleng dan Mahesa edan hingga kedua pemuda ini pulih dari sirapan yang dilepas oleh si kakek pocong.

Kakek berpakaian layaknya pocong ini memandang dengan penuh kebencian kearah Ajengan Manggala Wanengpati namun begitu nampak jelas tersirat kalau kakek satu ini sangat jerih memandang Ajengan Manggala Wanengpati.

“sesukamulah Wanengpati…! Anggap saja aku yang sial bertemu denganmu hari ini…” dengus sang kakek sembari berjalan kearah Suro Gledek dan dengan entengnya menaruh pria tinggi besar itu ke pundaknya yang bungkuk. Sebelum berlalu dari tempat itu sang kakek masih sempat berbalik dan mengeluarkan sumpah serapah.

“ingat baik-baik Wanengpati…! Suatu hari akulah yang akan berbalik mencarimu dan membalaskan semua sakit hati yang pernah kau berikan padaku… camkan hal ini baik-baik dan tunggu hari itu tiba…!” ucap sang kakek sembari membuang ludahnya ketanah dan melesat cepat kearah barat.

Panji ateleng yang sudah bisa menggerakkan tubuhnya berjalan mendapati sang kakek dan mengucapkan terima kasih. Sementara Mahesa nampak bersungut-sungut.

“Mengapa kau melepaskan manusia satu itu Kek…? Dia akan menjadi momok yang berbahaya dan menakutkan dalam dunia persilatan, disamping itu aku masih harus merampas bokor emas milik guru yang dirampasnya…”

Ajengan Manggala Wanengpati tersenyum dan menatap Mahesa. “kakek satu itu sangat sakti…! Apakah kau merasa mampu mengalahkan Tatapan Penggetar sukmanya…?”

Mahesa Nampak terdiam sesaat.

“Sudahlah… ayo kita lihat kedua sahabat kalian disana… hemm… nampaknya orang yang kutunggu-tunggu sudah datang di tempat ini membantu kedua temanmu itu…” ucap sang Ajengan membuat Mahesa dan Panji Ateleng Sontak sama memandang kearah jurusan dimana Setan Ngompol dan Naga Kuning berada.

Dan disana tidak jauh dari tempat mereka berdiri terlihat Setan Ngompol dan Naga Kuning berdiri sembari sesekali berjingkrak kegirangan memperhatikan pertarungan yang terjadi antara pemuda berdestar hitam dan seorang gadis berbaju biru.

“Dewi…!” seru Panji Ateleng dengan girang kala melihat siapa yang menjadi lawan pemuda berdestar hitam itu.

Sebenarnya apa yang terjadi? Seperti di ceritakan sebelumnya Naga Kuning yang sedang menertawai Setan Ngompol menjadi tidak waspada dan tidak menyadari manakala pemuda yang sebelumnya berniat membunuh Setan Ngompol secara tiba-tiba menyerangnya dengan ganas dan dengan kecepatan yang luar biasa! Hanya dalam hitungan sepersekian detik cakar panjang sang pemuda yang tidak dikenal ini sudah akan sampai ke leher si bocah!

“Air adalah sumber kehidupan, hapuskan dahaga hilangkan angkara…”

Satu suara merdu tiba-tiba terdengar di barengi hempasan air laksana gelombang yang menghantam dengan tepat tubuh Pemuda yang berkelebat cepat hendak menghantam Naga Kuning ini! Akibatnya sungguh diluar dugaan! Bukan saja serangan berupa hempasan air laksana gelombang ini dapat menyelamatkan Naga Kuning, namun juga hempasan ini mengakibatkan tubuh pemuda berdestar hitam ini terhempas keras menghantam bebatuan yang ada di pinggir kaliprogo!

“Dewi Dua Musim…!” girang Setan Ngompol saat melihat sosok seorang gadis sedang berdiri berpangku tangan diatas sebuah sampan kecil di tengah kali yang mengalir pelan.

Sang gadis nampak tersenyum kearah Setan Ngompol sebelum kemudian melesat dari atas sampan dan berdiri tegak di samping Naga Kuning.

“Kakak cantik…! Terima kasih kau sudah menyelamatkan ku…!” ucap Naga Kuning sembari memegang tangan Dewi Dua Musim dan melompat-lompat kegirangan.

Dewi Dua Musim tertawa kecil melihat tingkah Naga Kuning. “adik kecil kau menyingkirlah dahulu biar kakak bereskan dulu orang dimuka ini…” ucap Dewi dua Musim seraya berjalan perlahan kearah pemuda yang tegak diantara bebatuan dengan mata merah menahan amarah.

“Dasar Wanita keparat…! Lagi-lagi kau menghalangiku! Apa maumu sebenarnya…?” bentak sang pemuda dengan berapi-api.

”Maafkan aku Merak Jingga… aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja menyakiti orang yang tidak berdosa… apalagi kedua orang ini adalah sahabat-sahabatku… tidak…! Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi…!” ucap gadis berbaju biru ini dengan tegas.

“Nampaknya aku memang tidak bisa berpanjang cakap dengan orang seperti dirimu… biarlah hari ini aku melupakan semua budi yang kau tanam atas diriku dan guruku…! Jangan salahkan aku yang akan bertindak kejam…!”

Dewi Dua Musim nampak menghela nafas berat. “Aku menolong dirimu dan gurumu Sang Penyesat Iman bukan karena ingin menanam budi, tapi memang itu merupakan kewajibanku saat itu untuk menolong siapapun yang membutuhkan pertolongan… buat aku budi dan dendam itu sama saja… tidak berarti dan berwujud jadi sudah seharusnya jika kau tidak mengungkit-ungkit masalah itu lagi…”

Mendengar apa yang dikatakan oleh gadis ini pemuda bernama Merak Jingga ini perdengarkan suara tawa keras. “baguslah kalau begitu…! Aku jadi tidak perlu sungkan-sungkan lagi…!” ucap si pemuda sembari melesat dengan sepasang cakar terkembang kearah dada Dewi Dua Musim!

Gadis berbaju biru yang diserang dengan secara kurang ajar ini nampak mengerutkan keningnya. “Nampaknya kau memang jenis orang yang harus diberi pelajaran terlebih dahulu…!” ucap sang gadis sembari menggerakkan tangan kirinya menepis serangan sang pemuda.

Gerakan tangan si gadis sebenarnya hanya biasa saja, namun dari tangan kiri tersebut nampak menyala redup sebuah tanda seperti tanda air mengalir dan begitu tangan itu bergerak maka arus air kali progo seakan bergolak tanpa henti dan satu gelombang kecil nampak melesat kearah Merak Jingga seakan mengikuti gerak tangan si Gadis berbaju biru! Sang Gadis dengan cara yang amat mustahil dan menganggumkan menunjukan kepandaiannya menguasai air dan mengendalikan air sebagai senjatanya!

Namun pemuda yang menyerang gadis ini rupanya juga bukanlah lawan yang enteng. Dengan melesat keatas Sang pemuda berhasil menghindari serangan ombak dan membalas dengan menggunakan serangan jarak jauh berupa lesatan sinar berwarna merah yang keluar dari sepasang cakarnya.

Inilah jurus Sepasang Cakar Mengeruk Bumi yang kekuatan serangannya juga cukup mematikan. Orang yang terkena serangan ini dapat dipastikan akan hancur lebur tak berbentuk. Namun sebagaimana pemuda ini, gadis berbaju biru ini juga bukanlah lawan yang dianggap enteng. Dengan kembali menggerakkan tangan kirinya keatas dan kebawah dengan satu alur yang terlihat sangat indah sang gadis kembali menarik satu gulungan air dari kaliprogo dan menggunakannya sebagai satu perisai dalam menahan arus serangan jarak jauh yang dilepaskan oleh sang pemuda! Satu pertarungan yang dahsyat dan indah benar-benar dipertunjukkan oleh gadis ini membuat semua yang ada sampai berdecak kagum.

“Benar-benar kemampuan yang amat hebat. Mungkin selain dirinya hanya nenek gurunya yaitu Sekar Kedaton Ratu Randang yang mampu menunjukkan kemahiran mempermainkan dan mengendalikan air sedemikian rupa…” ujar Ajengan Manggala Wanengpati yang saat itu sudah bergabung bersama-sama dengan Panji Ateleng dan Mahesa Edan berjalan bersama-sama mendapati Setan Ngompol dan Naga Kuning.

Begitu melihat kedatangan orang tua ini Setan Ngompol dan Naga Kuning nampak melengak Kaget. “Astaga Ning Coba Lihat…! Orang tua ini punya wajah yang aneh…! Lihat kupingnya dua-duanya ada di jidat…!” bisik Setan Ngompol yang langsung dibalas bisikan juga oleh Naga Kuning.

“Iya kek…! Benar…! Dan bukan hanya itu saja… coba lihat kakek itu tidak punya mulut…! eh ada kek… tapi ya ampun…! Mulut si kakek ada tapi adanya dileher…!” ucap Naga Kuning Pelan. Naga Kuning kemudian menjawil pundak si kakek. “apa yang kau pikirkan sama dengan jalan pikiranku kek..?”

Tanya si bocah kepada setan ngompol yang langsung dibalas anggukan sang kakek. “sama ning…! lain kali kita jangan makan lagi di tempatnya yu Pinem, coba lain kali kita ngutangnya ke mbok Tukijem yang pasti nasi timbelnya enak juga…”

Belum selesai si kakek menyerocos Naga Kuning sudah lebih dahulu menendang pantat si kakek.

“sialan kau ning…! Biar begini aku ini orang tua! Hormat sedikit kenapa…?” sungut Setan Ngompol sembari mengusap pantatnya yang kena tendang.

“Pikiranmu cuma makanan melulu kek…! Yang kumaksudkan wajah kakek satu itu jadi begitu jangan-jangan hasil kerjaannya Wiro…! Ingat…! Cuma dia di tanah Jawa ini yang bisa mengacak-acak barang orang seenak udelnya! Ingat apa yang diperbuat pada telingamu kek?” tanya Naga Kuning yang sontak membuat setan ngompol meraba telinganya yang terbalik sebelah.

“Bisa jadi ning… bisa jadi begitu…!” ucap lirih si kakek.

“Kalian tidak usah berbisik-bisik segala. Aku bisa mendengar semua yang kalian ucapkan. Wajahku ini begini sejak lahir jadi bukan pekerjaan siapa-siapa…” ucap Ajengan Manggala Wanengpati membuat wajah Setan Ngompol dan Naga Kuning memerah.

“Maafkan kakek temanku ini kek…! Dia kalo ngomong suka kurang ajar…! Maklum sudah tua jadi agak pikun sedikit…!” ucap Naga Kuning sembari tersenyum malu.

“Sialan kau ning! Kau yang mulai duluan baru kau limpahkan salahnya ke aku…” omel setan ngompol sembari mencucuk pantat si bocah dengan jempol kakinya. Kontan si bocah menyumpah panjang pendek sembari mendekap pantatnya erat-erat.

Sementara itu pertarungan yang berlangsung antara Dewi Dua Musim semakin berjalan seru. Merak Jingga yang terus dicecar oleh serangan air yang tidak berkeputusan oleh sang Dewi akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pertempuran ini lebih lama lagi.

“Sialan…! Perempuan satu ini benar-benar tangguh…! Si pocong keparat itu juga tampaknya sudah duluan merat…! Tidak ada gunanya lagi aku berada disini…” sungut sang pemuda dalam hati. “Dewi...! Pertarungan hari ini kita sudahi saja sampai disini. Lain kali kita lanjutkan lagi…! Tapi ingat! Lain kali aku tidak akan melepaskanmu begitu saja…” ucap si pemuda sembari melompat terjun kedalam kali diikuti pandangan dewi dua musim.

“Pemuda itu sangat kuat…! Entah apa lain kali aku masih bisa mengimbanginya atau tidak…” keluh Dewi Dua Musim dalam hati.

LIMA

Gadis berbaju biru ini kemudian berjalan kearah Setan Ngompol dan kawan-kawan. Sang gadis nampak kemudian menjura hormat kearah Ajengan Manggala Wanengpati.

”Salam hormatku Ajengan…” ucap si gadis seraya menundukan mukanya.

“Hormatmu kuterima Dewi… bagaimana keadaan gurumu…?”

Dewi Dua Musim nampak tersenyum mendengar pertanyaan kakek ini. “guru baik-baik saja Ajengan, beliau juga menitipkan salam kepadamu…”

Ajengan Manggala Wanengpati terlihat menganggukkan kepalanya. “Aku sebelumnya menyangka bahwa kita tidak akan bertemu sesuai perjanjian kita sebelumnya Dewi. Aku bahkan telah terlebih dahulu menyuruh dua muridku yang bodoh itu untuk pulang dahulu ke Sumenep… Aku tidak menyangka kita akhirnya bisa juga bertemu di tempat ini. Dan amat kebetulan disini juga kita bertemu dengan sahabat-sahabat ini. ini benar-benar merupakan satu anugerah…” ucap Ajengan Manggala Wanengpati.

“Maaf kek sebelumnya kalau boleh tahu kakek ini siapa yah? Dan juga mengenai perihal teman kami Pendekar 212 yang sedang kami cari itu yang katanya akan kakak Dewi bicarakan dengan kami itu bagaimana…?” ucap Naga Kuning seraya menatap bolak-balik kearah Dewi Dua Musim dan Ajengan Manggala Wanengpati.

Mendengar pertanyaan ini Dewi Dua Musim nampak tersenyum kecil sementara Ajengan manggala Wanengpati nampak terkekeh. “Hei bocah yang bukan bocah, mengenai siapa diriku sesungguhnya bukanlah merupakan sesuatu yang penting untuk ditanyakan. Namun mengenai perihal Pendekar Dua Satu Dua sahabatmu itulah menjadi alasan kehadiran kami di tempat ini…”

Naga Kuning dan Setan Ngompol saling berpandangan dengan pandangan bingung.

“Maksudmu apa kek? Jangan berputar-putar…!” kami tidak mengerti dengan apa yang kau maksudkan…?” ucap Setan Ngompol yang langsung diiyakan oleh Naga Kuning.

“Apa kalian saat ini sedang mencari keberadaan Pendekar 212...?”

Setan Ngompol dan Naga Kuning nampak mengangguk kompak.

“Dan apa kalian sudah menemukan keberadaan pendekar itu…”

Mereka berdua kembali menggelengkan kepalanya. Ajengan Manggala Wanengpati kemudian saling memandang kearah Dewi Dua musim dan mengeluarkan sebuah benda di tangannya. Dewi Dua Musim juga nampaknya mengeluarkan benda yang nyaris serupa dalam genggaman tangannya.

“Bencana besar sebentar lagi akan turun dan meluluhlantakkan tanah Jawa jika kita tidak mampu menemukan pendekar dua satu dua! Dan satu satunya petunjuk mengenai keberadaan pendekar itu hanya ada pada sepasang batu segitiga ini…” ucap si kakek seraya menunjukkan barang yang dipegangnya yang ternyata adalah sebuah batu putih berbentuk segitiga yang tertuliskan angka dua dan sebuah garis di pinggirnya. Batu yang sama juga nampak ditunjukkan oleh dewi Dua Musim.

“Batu ini merupakan batu amanat yang diturunkan secara turun temurun oleh guru kami…” ucap Dewi Dua Musim yang dibalas dengan anggukan oleh Ajengan Manggala wanengpati.

“Kau bilang tadi bencana besar dan keberadaan Wiro hanya tergantung pada batu ini bagaimana bisa begitu kek?” Tanya Naga Kuning penasaran.

“Baiklah untuk membuktikannya kita coba saja menyatukan batu ini… kau siap Dewi…?” ucap ajengan manggala wanengpati yang langsung dibalas anggukan oleh dewi dua musim.

Ajengan Manggala Wanengpati kemudian bergerak bersama-sama dengan Dewi Dua Musim untuk menyatukan batu putih berbentuk segitiga yang diatas nya terukir deretan angka dua satu dua tersebut. Beberapa saat berlalu namun tidak nampak sesuatu terjadi atas sepasang batu yang dipegang oleh kakek bersorban selendang putih dan gadis berbaju biru yang dipanggil dengan Dewi Dua Musim ini.

Setan Ngompol yang penasaran beranjak mendekat untuk mengamati batu yang dipegang oleh Ajengan Manggala Wanengpati dan Dewi Dua Musim ini, namun baru saja sang kakek hendak pentangkan mata jerengnya dan berkomentar, tiba-tiba dari angka satu yang berada ditengah-tengah batu yang terbelah ini mendadak keluar satu sinar berupa lingkaran putih yang berputar kencang diatas batu!

“Lihat sinar itu berputar dan mengambang diatas batu…!” teriak Naga Kuning sembari menunjuk kearah sinar putih berbentuk lingkaran yang berputar di depan Ajengan Manggala Wanengpati dan Dewi Dua Musim ini.

“Diam sedikit! Kita lihat dulu apa yang akan terjadi…” ucap Mahesa Edan sembari menarik tangan Naga Kuning agar tidak menghalangi pandangannya.

Semua orang kemudian menahan nafas dengan tegang sembari tak lepas memperhatikan putaran sinar yang berputar bergeredepan diatas batu putih berbentuk segitiga ini. Namun setelah beberapa saat menunggu dalam kesunyian, tidak ada lagi sesuatu yang terjadi atas sinar yang masih berputar kencang itu.

“Ini maksudnya apaan? Kok yang ada cuma sinar putih ini melulu…? Sebenarnya kita ini sedang menunggu apa” gerutu Setan Ngompol.

Sementara itu kakek dengan mulut dileher yang sedang memegang batu kini juga nampak menggumam pelan. “Aneh, kenapa jadinya begini? Seharusnya batu ini menjadi satu-satunya petunjuk mengenai keberadaan Pendekar Dua Satu Dua dan perihal bencana dahsyat yang akan melanda Seluruh Negeri! Tidak mungkin Kiai Manding Saroka salah berucap!” ucap Ajengan Manggala Wanengpati dengan kening berkerut.

Sementara itu Mahesa Edan si pendekar dari liang kubur nampak berjalan mendekat kearah Ajengan Manggala Wanengpati dan Dewi Dua Musim yang memegang batu dimana diatasnya berpendar sinar putih yang berputar kencang. Setelah memperhatikan sekilas, Pendekar satu ini nampak menghembuskan asap rokoknya sembari berujar kecewa.

“Tidak ada yang istimewa pada batu dan sinar ini! Mungkin batu ini hanyalah semacam lelucon kurang kerjaan dari orang pandai pada masa lalu…” ucap Sang Pendekar sembari kembali menghembuskan asap rokoknya yang kali ini tanpa disengaja mengarah pada lingkaran sinar yang berputar diatas batu putih dua satu dua.

“Astaga! Coba Lihat! Sesuatu nampak didalam sinar putih itu…! coba Mahesa kau hembuskan lagi asap rokokmu itu…!” ucap Setan Ngompol dengan mata jerengnya sembari terus memperhatikan cahaya bulat yang berputar kencang.

“Matamu kek yang mungkin lamur… salah liat…!” ucap si pemuda asal-asalan sembari kembali menghirup rokok kawung di bibirnya.

“Sudah lakukan saja! Jangan banyak ngomong!” ucap Setan Ngompol sembari delikkan mata jerengnya kearah Mahesa Edan.

“Saudara Mahesa, ada baiknya saudara lakukan saja apa yang dikatakan oleh Kakek Setan Ngompol, aku juga tadi sekilas melihat sesuatu dalam gulungan sinar ini..” ucap Dewi Dua Musim sembari tersenyum kearah Sang Pendekar.

Mahesa Edan kemudian sembari mengangkat bahu kembali mengisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskan kearah lingkaran sinar yang berputar.

“Astaga…! Coba lihat disana…! bukankah itu Wiro yang sedang naik kuda lumping sambil melesat diangkasa! ada seorang anak kecil lagi! dan… Buseet… kenapa Juga Nenek Bau Pesing itu ikut Gelantungan…?” teriak Setan Ngompol kala melihat dalam lingkaran sinar tiba-tiba nampak bayangan berpendar membentuk bayangan jelas Wiro, Ni Gatri dan Sinto Gendeng yang melesat diangkasa dengan menggunakan sebuah Kuda Lumping. (Untuk lebih jelas silahkan baca episode Malam Jahanam di Mataram)

Mendengar apa yang dikatakan oleh Setan Ngompol, semua yang ada di tempat itu sontak maju dan memperhatikan dengan seksama kedalam sinar yang berputar diatas batu dan benar saja! Di dalam sinar yang dihembusi oleh asap rokok oleh Mahesa Edan nampak terbayang sosok orang yang mereka semua sama kenali sebagai Wiro Sableng Sang Pendekar dua satu dua dan gurunya Sinto Gendeng!

Rupanya dalam batu tersebut tersimpan sebuah pesan tersembunyi berupa bayangan yang hanya bisa dilihat jika sinar putih yang keluar dari dalam batu tersebut diberi asap!

“Astaga! Mau kemana Wiro dan Nenek Gendeng itu Pergi? Tapi anak kecil di belakangnya itu cantik montok! Hik hik hik mau aku kalau bisa main kuda lumpingan juga sama dia…!” kekeh naga kuning yang langsung disambut jitakan Setan Ngompol.

“Dasar bocah mesum…! tidak Lihat apa kalau mereka terbang menembus angkasa? Sebenarnya mau kemana mereka pergi?” ucap Setan Ngompol penasaran.

Saat semuanya menjadi tegang karena memperhatikan dengan serius, bayangan didalam sinar tiba-tiba menghilang! Rupanya asap rokok yang dihembuskan oleh Mahesa Edan sudah pupus tertiup angin

“Yaaaa…. Bagaimana sih? Cepat hembuskan lagi asap rokoknya Mahesa…!” ucap Naga Kuning penasaran.

Mahesa Edan buru-buru menyulut kembali rokok Kawungnya sebatang lalu menghembuskan asapnya ke tengah Lingkaran Cahaya diatas Batu. Lalu kemudian nampak bagaimana sebuah bayangan kembali terbentuk dalam lingkaran cahaya. Kali ini terlihat bagaimana nampak banjir air berwarna merah pekat meluluh lantakkan areal persawahan dan pemukiman. Nampak juga mayat-mayat bergelimpangan dan orang-orang yang terbujur merintih dengan benjolan-benjolan besar diatas kepala.

“Astaga! baru seumur-umur ini aku melihat ada yang namanya banjir darah! Benar-benar mengerikan! Dan itu juga apa? Kenapa semua orang punya benjolan diatas keningnya? Apa yang sebenarnya terjadi?” ucap Panji Ateleng dengan kening berkerut.

Naga Kuning yang berada paling dekat dengan Setan Ngompol nampak beringsut kearah telinga si kakek “Kek, mungkin seperti saat kita terpesat ke Latanahsilam tempo hari, Wiro kembali terpesat lagi ke negeri aneh! Ke negeri dimana orang-orang bijinya tumbuh di jidat!” bisik Naga Kuning kurang ajar.

Setan Ngompol langsung menyikut si bocah namun tidak urung terkekeh juga.

“Pendekar sahabatmu itu dikirim ke Tanah Mataram Kuna delapan ratus tahun yang lalu oleh orang-orang sakti atas suruhan Raja Mataram kala itu yakni Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala…” ucap Ajengan Manggala wanengpati tiba-tiba membuat semua orang langsung menatap si kakek dengan pandangan heran.

“Darimana kau tahu semua itu kek?” ucap Naga Kuning penasaran.

Si kakek nampak terkekeh sembari tetap memegang batu bercahaya. “soal itu nanti bisa dijelaskan, sekarang ada baiknya kita perhatikan kembali apa yang akan ditunjukkan oleh batu mustika ini atau mungkin kau mau bijimu itu dipindahkan ke jidat seperti orang-orang yang kau bilang tadi?…” ucap si kakek yang sontak membuat Naga Kuning beringsut mundur ke belakang setan ngompol.

“Kakek itu bisa mendengar bisikanku kek! Pendengarannya sangat tajam…!” bisik Naga Kuning sembari melirik Ajengan Manggala Wanengpati dari balik punggung setan ngompol.

“Makanya jadi orang jangan suka ngomong yang aneh-aneh! Sudah…! Lebih baik kamu diam saja …!” balas setan ngompol.

Semua orang kemudian kembali menatap kearah cahaya putih diatas batu yang kembali berpendar saat Mahesa Edan kembali meniupkan asap rokoknya.

“Astaga Ning, Lihat..! Bukankah pemuda yang bertarung melawan Wiro itu pangeran Matahari! Tapi bukankah bangsat satu itu sudah menemui ajal di tangan Sinto Gendeng tempo hari? Bagaimana bisa dajal satu itu bisa terpesat juga bersama dengan Wiro…?” teriak Setan Ngompol keras membuat asap di tengah sinar terpencar akibat udara yang keluar dari mulut dan hidung si kakek.

“Dasar kakek sialan! Lihat asapnya jadi buyar kan? Bikin susah orang saja…!” umpat Naga Kuning sembari menarik tangan Setan Ngompol agar menjauh.

Mahesa kemudian kembali menghembuskan asap rokoknya. Beberapa saat kemudian nampak bayangan sesosok makhluk berupa jerangkong hitam membara nampak berdiri mencuat keluar dari tubuh satu makhluk tinggi besar yang memiliki mata mencuat dari kedua rongganya! Makhluk ini nampak memberi perintah pada ratusan anak buahnya yang mengendarai satu makhluk berwujud jin putih untuk menyerang Wiro dan beberapa orang yang nampak bertempur mati-matian di samping Wiro!

Semua orang yang menyaksikan nampak terpaku dengan tegang manakala melihat adegan demi adegan yang terpampang di atas batu putih yang bercahaya tersebut.

“Astaga kek! Lihat…! bukankah itu Lakasipo…! Demi Tuhan…! Lihat apa yang dilakukannya terhadap Wiro…!” teriak Naga Kuning keras sembari meremas tangan Setan Ngompol manakala melihat orang yang dikenalinya Sebagai Lakasipo alias Hantu Kaki Batu saudara angkat mereka di latanahsilam ini nampak menikam Wiro dari belakang!

Sementara itu Setan Ngompol yang diremas tangannya oleh si bocah hanya bisa terdiam dengan mata membeliak besar! bulir air mata tanpa disadari menetes dari sudut mata sang kakek!

ENAM

Beberapa saat kemudian bayangan diatas sinar nampak kembali berpendar dan berganti menjadi bayangan dimana Sosok Wiro tiba-tiba terlihat berada di belakang Lakasipo sembari mengarah telapak tangannya kearah pundak hantu kaki batu ini.

“Lihat kek…! Coba kau Lihat…! Wiro tidak mati kek..! kau lihat bukan…!” girang Naga Kuning bukan kepalang.

Sementara Setan Ngompol nampak mengusap air matanya yang tadi nampak menetes di pipi sang kakek. “Dasar Anak Sableng…” ucap sang kakek lirih.

Sementara pemandangan diatas batu kembali berputar silih berganti. disatu saat terlihat bagaimana Wiro nampak bertarung keras melawan sosok tengkorak berapi di dalam lamunan badai di empat penjuru! Gambar bergerak diatas batu kembali berganti, kemudian terlihat bagaimana sebuah cahaya laksana bintang jatuh meluruk dengan dahsyatnya mengantam tubuh manusia jerangkong!

“Bukan main…!” desis mereka yang melihat peristiwa ini dengan berdecak kagum.

Bersamaan dengan desisan mereka asap diatas batu kembali sirna!

“Yaaaa… Mahesa…! Bagaimana ini…? Ini lagi seru-serunya jadi tolong asapnya jangan sampai putus…! Penonton kecewa nih…!” sembur Naga Kuning.

“Ya benar…! Balikin cepat karcisnya…!” sambung Setan Ngompol kumat gilanya.

“Anak setan! Gendeng semuanya! Kalian pikir ini nonton ludruk apa…? Tidak lihat kalau bibir sudah jontor dari tadi! Nih! Bantuin isap! Jangan cuma bisa enak-enakan perintah orang…!” sembur Mahesa Edan sembari mengusap matanya yang merah berair akibat terlalu lama terkena asap rokok.

Sang Pendekar kemudian melemparkan bungkusan Kain Hitam berisi daun jagung kering dan tembakau kearah Setan Ngompol dan Naga Kuning. Setan Ngompol kemudian membuka bungkusan yang berisi lintingan rokok kawung milik sang pendekar dari pegunungan Iyang ini lalu membaginya dengan Naga Kuning dan mulai menyulut rokok kawung pemberian sang pendekar dengan gayanya!

Akan halnya Naga Kuning yang baru hendak menyulut rokok yang baru dilintingnya dikejutkan manakala dengan cepat Panji Ateleng mengambil rokok yang terselip dibibirnya!

“Anak Kecil tidak boleh merokok! Tidak baik untuk kesehatan!” ucap sang pemuda yang langsung menyulut rokok dan bersama-sama dengan Setan Ngompol dan Mahesa Edan bergantian menghembuskan Asap Rokok Kawung yang berbau menyengat tersebut kearah Lingkaran Cahaya Putih.

Setelah asap rokok yang terkumpul cukup banyak maka kemudian kembali terlihat deretan gambar-gambar peristiwa terpampang di atas sinar yang berpendar. Nampak bagaimana sebuah beringin raksasa melayang dan jatuh tepat dimana bintang bercahaya sebelumnya jatuh. Lalu dari dalam pohon beringin tersebut keluar seorang pemuda berpakaian hitam bersulam bunga tanjung.

“Astaga kek! Itu Suma Mahendra…” desis Naga Kuning kepada Setan Ngompol yang sedang sibuk menghirup hembus asap rokok.

“Suma Mahendra siapa…? Aku tidak kenal…!” sambung si kakek.

“Suma Mahendra… Penjaga Pohon beringin di dasar kawah Gunung Bromo… dia, ah sudahlah… di bilangin juga kakek gak bakalan ngerti…”Lanjut si bocah membuat setan ngompol delikkan matanya besar-besar.

(Mengenai perihal Suma Mahendra silahkan baca episode Topan Gurun Tengger)

Gambar kembali berganti, kali ini nampak diatas batu bercahaya bayangan seorang gadis yang bergerak cepat laksana angin membopong tubuh pendekar dua satu dua yang berwarna merah bagaikan bara.

“Kecepatan Gadis itu benar-benar luar biasa…” ujar Dewi Dua Musim memecah kesunyian.

“iya, kecepatan gadis itu memang luar biasa, tapi kenapa dia harus berlari secepat itu? Apa ada seseorang yang mengejarnya? Lalu kenapa anak sableng itu tubuhnya berwarna merah seperti kepiting rebus begitu…?” ucap setan ngompol.

“Aku menduga sahabatmu pendekar dua satu dua itu terkena racun yang amat ganas kek, wanita yang berlari laksana kilat itu tampaknya sedang berusaha untuk menyelamatkan sahabatmu itu kek…” sambung Panji ateleng seraya menyeka matanya yang berair akibat asap rokok.

Setan Ngompol hanya bisa mengangguk mendengar apa yang diucapkan oleh Panji Ateleng. Selayaknya Mahesa dan Panji, mata kakek ini juga bengkak merah berair akibat terkena asap rokok terlalu lama. Namun sang kakek terlihat yang paling parah keadaanya. Mulut berasap sementara mata atas bawah bercucuran!

“Bertahanlah kek…!” ucap Mahesa Edan sembari menepuk punggung sang kakek, Kontan si kakek terbatuk kepayahan!

“Sialan kau Mahesa…! Aku sudah tidak kuat…!” keluh si kakek sembari menyeka air matanya.

“Bersabarlah kek…! Kita harus mengetahui rahasia yang tersimpan dalam batu ini sampai akhir…! Ini aku tambahkan lagi rokoknya…! Satu orang satu batang lagi…” seru Mahesa Edan seraya mengangsurkan tiga batang rokok yang terselip di balik telinganya! Ternyata banyak tempat simpanan juga Pendekar kita yang satu ini!

“Tobaat…! Biyung…!” keluh Setan ngompol namun toh tangannya tetap menerima rokok pemberian Mahesa dan kembali menyulutnya walau dengan kepayahan!

Alhasil kemudian nampak ketiga orang ini kembali dengan masing-masing dua batang rokok kawung dibibir saling bahu membahu mengebulkan asap rokok kearah batu berpendar! walaupun sudah sangat kepayahan namun ketiganya terus berjuang untuk menjaga agar asap rokok yang mengebul tidak jadi padam, Sungguh perjuangan yang benar-benar layak dipuji!

Sementara itu melihat Mahesa Edan, Setan Ngompol dan Panji Ateleng yang nampak begitu tersiksa dengan nafas yang kembang kempis dan mata merah bercucuran akibat asap rokok, Ajengan Manggala Wanengpati beberapa saat kemudian nampak menggunakan tangan kirinya merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan sesuatu dalam genggaman tangannya. Barang dalam genggaman tangannya ternyata adalah segenggam bijih kemenyan dan kulit kering Kayu Gaharu. Begitu sang kakek meremas kemenyan dan kayu gaharu tersebut maka nampaklah asap tebal mengepul dari tangan kakek sakti tersebut.

”Huuh…! Dari tadi Keek…!!!!” sembur Mahesa Edan, Setan Ngompol dan Panji Ateleng Kompak.

Setan Ngompol yang paling kepayahan langsung duduk merosot di tanah. “Kenapa nggak dari kemaren-kemaren saja sekalian Keluarin asapnya? Bibir atas bawah udah jontor kayak gini…! Baru dikeluarin…! Coba dari tadi, kan kita-kita gak harus termonyong-monyong isap rokok bulukan kayak gini…!” omel Setan Ngompol sambil membanting rokok yang terselip di jarinya! Sambil mengomel panjang pendek, 'bibir bawah' sang kakek juga mengucur panjang pendek!

“Kampret sialan…! Bibirmu itu yang bulukan kek! Jangan salahin rokokku…!” sembur Mahesa Edan menimpali ucapan si kakek bau pesing.

Melihat hal ini Naga Kuning dan Dewi Dua Musim nampak terkikik geli.

“kakek ini lucu ya kak? Yang lainnya sudah mau semaput baru turun tangan buat asap… Hik hik hik” tawa geli si bocah sembari memegang perutnya.

Sementara itu Ajengan manggala Wanengpati tanpa merasa salah dan berdosa terlihat meniup kepulan asap yang keluar dari genggaman tangan kirinya kearah batu bersinar ditangan kanannya. Begitu kepulan asap kembali mengenai cahaya diatas batu maka kembali nampak sebuah pemandangan didalam bayang-bayang sinar putih.

“Astaga…! Bukankah yang ada di dalam sinar itu adalah gambar Candi Prambanan…? Kalian semua Lihat…? Ada awan merah berbentuk naga bergulung diatas kepundan candi…!” seru Panji Ateleng membuat semua yang ada terperangah!

“Betul… itu candi prambanan kak! Gadis itu membawa Wiro kedalam Candi Prambanan…!” ujar Naga Kuning menimpali.

“Sesuatu telah terjadi di dalam Candi…” desah Ajengan Manggala Wanengpati dengan kening berkerut membuat sepasang telinga yang menempel di dahi sang kakek nampak bergerak aneh.

Baru saja sang kakek selesai berujar tiba-tiba gambaran diatas batu berubah dan memancarkan cahaya terang! Dengan memicingkan mata semua yang ada berusaha melihat menerobos cahaya untuk melihat apa yang sesungguhnya terjadi, maka kemudian nampaklah bagaimana cahaya diatas batu yang berpendar menampakkan bagaimana sosok Wiro yang duduk bersila diatas lantai candi perlahan berubah menjadi batu manakala tubuhnya dikelilingi oleh sosok melayang seseorang yang memancarkan cahaya putih dan sebuah patung yang juga memancarkan cahaya terang!

“Demi Tuhan…! Apa yang mereka lakukan…? Lihat Ning? Orang dan patung itu merubah Wiro menjadi batu…!”panik Setan Ngompol sambil menjambak dan meremas rambut jabrik Naga Kuning.

Naga Kuning yang juga sebenarnya terkejut akhirnya jengkel juga dan menendang tulang kering si kakek. “Dasar kakek sialan…”sungut si bocah.

Sementara itu empat orang lainnya yang ada disitu nampak menunjukkan raut muka terkejut manakala melihat apa yang terjadi.

“Sabda Pandita Ratu…!” Ujar Ajengan Manggala Wanengpati, Panji Ateleng dan Mahesa Edan secara bersamaan.

“Apa sih yang kalian maksud dengan Sabda Pandita Ratu…? Lalu apa hubungannya dengan Tubuh Wiro yang menjadi batu…?” Tanya setan ngompol sembari meringis memegangi tulang keringnya yang ditendang naga kuning.

Dewi Dua Musim yang kebetulan berada di samping Setan Ngompol nampak tersenyum mendengar pertanyaan si kakek. “Kau pernah mendengar cerita tentang Legenda Patung Loro Jonggrang dan candi prambanan kek?” Tanya si gadis membuat sikakek cengengesan.

“Ya jelas tahu cah ayu… Loro jonggrang itu kan putri cantik yang dikutuk jadi batu oleh Bandung bondowoso kan? He he he kalau cerita itu yang pasti semua orang juga tahu…! Tapi yang paling tahu ya aku ini…!” ucap si kakek sembari membusungkan dada kerempengnya.

“Nah patung yang kau sebutkan itu adalah patung yang tadi terlihat di dalam gambaran tadi kek…! Sementara orang yang satunya pasti adalah Sri Raja Mataram yang sedang mengeluarkan Sabda Pandita Ratu untuk membuat sahabatmu itu menjadi Batu. Sabda yang sama yang juga jatuh atas diri Nyi Loro Jonggrang…” sambung Sang Dewi.

“Jadi…? Maksudnya Wiro sudah…?” Setan Ngompol tak kuasa melanjutkan ucapannya.

“Sabarlah kek… kita perhatikan saja terus perkembangannya seperti apa… “ ucap Mahesa Edan enteng sembari kembali menyalakan rokok kawungnya!

“Semuanya diam…! Lihat sesuatu terjadi pada batu ini…!” ujar Ajengan Manggala Wanengpati tiba-tiba seraya melepaskan pegangannya pada batu itu manakala merasakan batu yang dipegangnya bergetar keras.

Dewi Dua Musim juga nampak melepaskan pegangannya atas batu tersebut manakala merasakan hal yang sama, Satu keanehan kemudian terjadi! Batu yang seharusnya jatuh ke tanah saat dilepaskan dari genggaman kini nampak melayang diudara!

Sinar benderang semakin berputar kencang lalu didalamnya terlihat satu pemandangan yang amat mengerikan! Terlihat bagaimana ratusan bahkan ribuan orang bergelimpangan dimana-mana! Api dan petir menyambar-nyambar dari angkasa sementara gulungan kabut pekat nampak menyebar laksana air bah menghempas semua yang terlihat dalam pandangan mata…!

“Demi Tuhan…! Inikah bencana yang akan menimpa Tanah Jawa seperti yang di sebut oleh Kiai Manding Saroka…?” desis Ajengan Wenengpati dengan suara bergetar manakala melihat pemandangan yang terpampang dihadapan mereka.

“Apakah ini masa depan yang akan terjadi di tanah Jawa Dwipa… Tuhan Beri Hambamu ini Petunjuk…” sambung sang kakek sembari memejamkan mata.

“Hey ning…! Lihat…! Ada seorang bocah yang mirip dengan dirimu dalam pendaran cahaya…” ucap setan ngompol tiba-tiba sembari menunjuk kearah lingkaran cahaya.

Mendengar apa yang dikatakan oleh Setan Ngompol semua kembali memperhatikan dengan seksama kejadian yang terjadi di dalam lingkaran cahaya. Didalam lingkaran cahaya tersebut terlihat seorang bocah bertelanjang dada dengan rambut jabrik berwarna putih sedang menangkupkan kedua tangannya di telinga berdiri gagah didepan sebuah surau dengan gaya layaknya seorang yang sedang mengumandangkan adzan!

”Hei…! Aku kenal surau kecil itu…! Letaknya tidak jauh dari sini…! Aku beberapa hari yang lalu masih sempat singgah sebentar di surau kecil itu untuk Sholat dan melepas lelah…” ucap Mahesa Edan tiba-tiba.

Baru saja sang pendekar hendak kembali membuka suara tiba-tiba saja lingkaran sinar yang berputar diatas batu meredup dan akhirnya hilang sama sekali. Bersamaan dengan hilangnya sinar diatas batu, maka batu yang sebelumnya melayang diudara kontan jatuh terhempas keatas tanah!

Ajengan Manggala Wanengpati kemudian memungut batu yang terjatuh dan memasukkannya kedalam saku bajunya. Sang kakek kemudian langsung memandang kearah Mahesa Edan.

“Anak muda, seperti turut apa yang kau sebutkan barusan, apakah kau benar-benar mengetahui letak surau yang ditunjukan oleh sinar dalam batu tadi?” Tanya sang kakek yang langsung dibalas dengan anggukan oleh sang pendekar.

Ajengan Manggala Wanengpati kemudian nampak menganggukan kepalanya berulangkali. “Turut apa yang disampaikan oleh guruku kiai manding saroka sebelumnya, kekacauan besar dan musibah yang tak terelakkan akan menimpa seluruh tanah Jawa Dwipa hingga jauh keseberang hingga tanah Bali dan pulau Andalas. Masih menurut penuturan sang Kiai, satu-satunya orang yang bisa mencegah semua itu terjadi adalah Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng, oleh karenanya mau tidak mau dan dengan cara apapun! kita harus menemukan pendekar tersebut…!“ ucap sang kakek dengan nafas berat.

“Kalau bencana itu memang benar akan terjadi bagaimana cara si anak sableng itu dalam menghadapinya? Terlebih kita tidak tahu keberadaan anak setan itu dan apa benar dia kini betul-betul menjadi batu seperti yang tadi ditunjukkan dalam lingkaran cahaya tersebut…” ucap Setan Ngompol yang dibalas oleh Dewi Musim.

“Satu-satunya petunjuk yang mungkin bisa kita dapatkan dan kita peroleh mungkin hanya ada di dua tempat…” ucap si gadis sambil mengacungkan dua jarinya sembari tersenyum.

“Yaitu Istana Mataram…” sambung Mahesa Edan. "Dan Candi Prambanan…” sambung pula Panji Ateleng.

“Tepat…!” ucap Dewi Dua Musim sembari melemparkan senyumnya kepada kedua orang tersebut.

“Dan jangan kalian lupakan bocah kecil dan surau diatas bukit…” sambung Setan Ngompol sambil membetulkan letak celananya.

“Tumben hari ini kau pintar kek…?” goda Naga Kuning.

Sementara itu Dewi Dua Musim dan Ajengan Manggala Wanengpati nampak saling pandang dan mengaggukkan kepala.

“Para sahabat, bencana besar sudah ada di depan mata. Aku membutuhkan pertolongan kalian semua untuk menemukan Pendekar Dua Satu Dua dan mencegah sebisa mungkin agar bencana ini jangan sampai terjadi… Aku dan Dewi Dua Musim masih ada satu masalah yang harus diselesaikan di satu tempat. Jikalau tidak keberatan baiklah kita saling berbagi tugas, biarlah urusan mengenai kerajaan Mataram menjadi bagianku dengan Dewi Dua Musim, sementara urusan bocah kecil disurau dan masalah candi prambanan ku serahkan kepada kalian. Apakah kalian setuju…?”

Naga Kuning, Setan Ngompol serta Mahesa Edan saling berpandangan. “kami berdua tidak merasa keberatan untuk menjalankan tugas ini kek disamping kami memang diutus oleh Kiai Gede tapa Pamungkas untuk menemukan Anak sableng itu… entah bagaimana dengan Sobat Mahesa dan Sobat Panji…” ucap Setan Ngompol.

“Aku sih ikut ramenya saja…!” ucap Mahesa Edan sembari memainkan rokok di bibirnya.

Sementara itu Panji Ateleng juga terlihat menganggukkan kepalanya, namun pandangan matanya tak lepas dari sosok Dewi Dua Musim dihadapannya.

”Baiklah kalau begitu. Satu purnama kemudian kita kembali bertemu di tempat ini untuk membahas perkembangan yang terjadi. Selamat jalan…!” ucap Ajengan Manggala Wanengpati sembari melesat kearah utara diikuti oleh Dewi Dua Musim yang sempat melirik dan melepaskan senyumnya kearah Panji Ateleng.

“Ahh…” desis Panji Ateleng sedih.

“Surau yang tadi terlihat dalam penampakan cahaya letaknya tidak terlalu jauh dari sini… bagaimana kalau kita kesana dahulu melihat situasi baru kita beranjak menuju Prambanan?” Tanya Mahesa Edan yang dibalas anggukan oleh yang lainnya.

Maka kemudian keempat orang inipun mulai beranjak meninggalkan kaliprogo dengan pikiran masing-masing. Setan Ngompol dan Naga Kuning memikirkan nasib sahabat mereka Wiro Sableng si pendekar dua Satu dua, Panji Ateleng memikirkan Dewi Dua Musim.

Sementara Mahesa nampak sibuk memikirkan dimana warung terdekat. Tangannya kiri kanan nampak sibuk menggeledah sekujur tubuhnya hingga mengucak-ngucak kedalam rambut gondrongnya. Memeriksa kalau-kalau masih ada sebatang rokok yang terselip! Rupanya persediaan rokok sang pendekar sudah habis!

“Anak setan….!” Maki sang pemuda panjang pendek dengan bibir gatal!

Sementara itu sepeninggalnya mereka, tanpa disadari oleh keempatnya satu bayangan putih dan bayangan hitam nampak melesat kencang mengejar dan kemudian memotong arah menuju ketempat dimana surau kecil yang menjadi tujuan keempat pendekar kita ini melangkah!

TUJUH

Ki Tanu Mangir menyeka lelehan keringat yang bercucuran didahi dengan ujung baju luriknya. Baju lurik tersebut nampak sudah basah dengan keringat dan nampak kotor oleh debu dan Lumpur sawah. Sang kakek kemudian beranjak dari dalam petak sawah dan berjalan menuju ke sebuah bale-bale kecil yang sering dipergunakannya untuk beristirahat sembari memperhatikan petak sawah kecil miliknya tersebut.

Udara sore yang berhembus saat itu cukup menyegarkan tubuh renta yang kala itu baru saja selesai mencangkuli petak sawah kecil yang terletak tidak jauh dari Surau kecil tempat tinggalnya selama ini. Sang kakek terlihat tersenyum, mana kala melihat seorang bocah kecil yang terlihat sedang berlari-lari sembari tertawa di tegalan sawah miliknya.

Bocah ini hanya bertelanjang dada, namun di kepalanya terlihat sebuah mahkota terbuat dari untaian daun jati dan daun pisang yang dijalin sedemikan rupa. Saat itu si bocah tidak sedang sendirian, ada dua orang anak lelaki sebayanya yang juga sedang bermain bersama sama dengan bocah berambut jabrik ini.

“Nah Jenar…! Kau tertangkap…! Giliran kamu sekarang yang jadi kucing ayo…!” ucap si bocah berambut jabrik sembari melepas mahkota daun jatinya dan memasangkan ke kepala bocah bernama jenar yang berhasil di tangkapnya.

“Ah kau curang Jabrik! Tubuhmu kan kecil, sedangkan aku gemuk begini! Ya pasti gampang kamu tangkap! Mana bisa aku menangkap kalian berdua! Tidak mau ah! Aku tidak mau jadi kucing! ” sungut si bocah bernama jenar yang memang bertubuh gempal ini.

Sementara itu seorang lagi bocah nampak berjalan mendekat dan mendorong bahu jenar. “Tidak bisa begitu jenar! Kan aturannya siapa yang tertangkap harus jadi kucing, nah aku dan jabrik kan sudah giliran jadi kucing, sekarang kan giliran kamu apalagi kamu yang duluan tertangkap. Kamu tuh yang curang! Pokoknya sekarang kamu harus jadi kucing! Titik…!” ucap si bocah dengan sengit.

Sementara itu Bocah yang tidak lain adalah Jabrik Sakti Wanara ini nampak mengambil kembali mahkota pelepah daun jati dari kepala jenar. “Sudahlah Wirat, biar saja… tidak mengapa kalau aku jadi kucing lagi, asal kalian jangan berantem ya? Ayo kita mulai, awas ya aku pasti bisa menangkap kalian…!” ucap Si bocah sembari tertawa lepas.

Namun tawa sang bocah mendadak lenyap manakala dilihatnya dua orang temannya tersebut tidak mendengar apa yang diucapkannya melainkan nampak berdiri kaku dengan mata membeliak memandang kearah belakang Jabrik Sakti.

“Wirat…? Jenar…? Ada apa dengan kalian? Ayo kita main lagi… Aku…” sang bocah berucap sembari menyentuh bahu kedua sahabatnya tersebut namun betapa kagetnya manakala begitu kedua tangannya memegang kedua bahu sahabatnya tersebut, tubuh kedua bocah kecil itu langsung jatuh ambruk ketanah!

Tubuh kedua bocah malang tersebut nampak berubah kebiruan sementara darah nampak merembes dari sudut mata, telinga serta hidung dan mulut kedua anak malang tersebut.

“Astaga! Wirat… Jenar…! Kalian kenapa?” ucap Jabrik Sakti seraya mengguncang-guncang kedua pundak kedua sahabatnya tersebut bergantian.

“Kalau mereka berdua tidak mau jadi kucing, bagaimana kalau Aki saja yang jadi kucingnya? He he he dan kau yang jadi tikusnya… he he he…” ucap satu suara berat dari balik punggung Jabrik Sakti yang tentu saja mengagetkan si bocah.

Si bocah kontan berbalik untuk mencari tahu siapa yang berbicara di belakangnya dan itu merupakan satu kesalahan fatal! Begitu sang bocah menatap sosok yang berdiri di belakangnya tubuh sang bocah sontak menegang kaku! Kedua mata si bocah nampak membeliak besar sementara mulutnya terbuka lebar!

Dihadapan Jabrik Sakti Wanara berdiri seorang kakek bungkuk mengerikan yang mengenakan kain berbentuk pocongan! Kain kafan yang dikenakan oleh kakek ini penuh dengan robekan dan kotoran tanah sementara itu nampak seutas tali yang terbuat dari sebangsa usus kering tergantung di lehernya. Di kalung tersebut terlihat tiga buah kain putih yang juga berupa pocongan dan menebar bau busuk yang amat sangat!

Siapa lagi kalau bukan Ki Buyut Pocong Mayit, Guru Pangeran Banowo! kakek sesat ini kala itu Kembali mengeluarkan ilmu Tatapan Penggetar Sukma miliknya yang pernah di keluarkannya pada Panji Ateleng untuk melumpuhkan Jabrik Sakti Wanara dan kedua sahabatnya tersebut sehingga Betapa kerasnya Jabrik Sakti berusaha untuk menggerakkan badannya, tetap saja kedua kaki dan tangan serta seluruh tubuhnya terbujur kaku.

“Orang Jahat…! Lepaskan anak itu…!” teriak ki Tanu Mangir sembari mengangkat cangkulnya tinggi-tinggi dan berlari memburu kearah dimana Jabrik sakti Wanara berdiri terpaku akibat sirapan Ki buyut Pocong Mayit.

Namun baru beberapa langkah berlari tubuh kakek tua ini tiba-tiba tersungkur deras ke tanah berlumpur! Dengan tubuh bergetar kakek tua penjaga surau ini berusaha beranjak bangkit namun tubuh rentanya kembali terbanting rubuh manakala sang kakek malang baru menyadari bahwa dia sudah tidak memiliki sepasang kaki lagi!

“Ki Tanu…!“ seru Jabrik Sakti Wanara kala melihat apa yang menimpa Kakek Penjaga surau yang baik hati ini. Air mata menetes deras di pipi bocah polos ini kala melihat bagaimana seorang Pemuda berpakaian dan berdestar hitam berjalan sembari menyeret sepasang kaki yang di kenali si bocah Sebagai Kaki milik si Penjaga Surau!

Sang pemuda nampak berhenti dan menatap Tubuh Ki Tanu Mangir yang nampak masih terus berusaha merangkak kearah tempat Jabrik Sakti berada.

“Lari ki…! Cepat pergi dari situ…!” teriak si bocah keras dengan air mata berlinang.

Bocah kecil ini seakan-akan tidak menyadari kalau kakek penjaga Surau yang dikasihinya ini sudah tidak lagi memiliki kaki untuk beranjak kemana-mana!

“Kakek keparat…! cepat lepaskan tubuhku…!” teriak Jabrik Sakti dengan kalap sembari memandang dengan penuh kemarahan kearah Ki Buyut Pocong Mayit.

Sementara itu pria yang bukan lain adalah Merak Jingga yang sebelumnya bertarung dengan Dewi Dua Musim ini kemudian dengan secara kejamnya menendang tubuh sang kakek yang kontan terhempas kedalam sawah dengan keadaan mengenaskan dan putus nyawanya saat itu juga!

“Kakek…!” teriak Jabrik Sakti Wanara kencang entah dengan kekuatan apa tiba-tiba si bocah mampu menggerakkan tubuhnya dan berlari kencang kearah tempat Ki Tanu mangir terhempas.

Ki Buyut Pocong Mayit bahkan sampai terkejut dengan apa yang bocah itu lakukan. “Menakjubkan! Anak ini mampu lepas dari belenggu tatapan penggetar sukma…? Benar-benar bocah ajaib!” ucap sang kakek tertegun.

Sementara itu Sang Bocah sudah berdiri di samping jenazah kakek malang penjaga Surau kala satu tangan terasa membetot tangannya.

”Ayo kau ikut aku anak kecil…” ucap Merak Jingga seraya menarik tangan si bocah keras.

Namun si bocah tidak bergerak rupanya di tangan satunya nampak Ki Buyut Pocong Mayit juga sudah menggengam tangan sang bocah keras.

“He he he, Aku menemukan anak ini duluan jadi dia harus ikut aku dulu…” kekeh si kakek.

“kakek keparat…” maki Merak jingga sembari berusaha menarik tangan sang bocah.

Sementara itu hampir bersamaan dengan kedatangan kedua tokoh sesat itu, rombongan naga kuning juga sudah sampai di tempat itu dan melihat apa yang dilakukan oleh kedua tokoh sesat itu.

“Celaka…! Kedua orang jahat itu sudah menemukan bocah itu terlebih dahulu...! Bagaimana mereka bisa tahu…?” ucap naga kuning heran.

“Selamatkan dahulu bocah itu, lihat dia begitu tersiksa atas perlakuan mereka berdua…” ucap Mahesa yang dibalas anggukan oleh yang lainnya.

Namun baru saja hendak bergerak tiba-tiba Ki Buyut Pocong Mayit nampak membentak sembari mendelikkan matanya. ”Jangan ikut campur…!” teriak sang kakek.

“Jangan lihat matanya! Seru Panji Ateleng dan Mahesa bersamaan. Namun mereka terlambat!

“Celaka ning! Aku… aku tidak bisa menggerakkan kakiku…!" keluh setan ngompol.

“Sama kek…! Aku juga tidak bisa kemana-mana…!” panik naga kuning.

Sementara itu tubuh bocah cilik tersebut mulai bergetar keras akibat betotan tangan Ki Buyut Pocong Mayit dan Merak Jingga yang saling berebut menarik kedua tangannya. Kedua tokoh tersebut tidak mempedulikan keadaan sang bocah yang mengenaskan. Mereka baru tersadar kala satu kekuatan dahsyat yang dibarengi auman harimau dikejauhan melempar keduanya masuk kedalam tegalan sawah!

Mata kedua tokoh hitam ini terbeliak tak percaya kala melihat bocah yang diperebutkan tersebut nampak melayang diudara dengan sepasang mata tampak memutih menakutkan sementara di dada sang bocah yang kurus telanjang tampak bercahaya tiga guratan angka, angka dua satu dua!

“Astaga! Apa tidak salah mataku ini? Apa benar itu Wiro? Tapi kenapa…” seru Setan Ngompol sembari delikkan kedua mata kearah sosok bayangan yang berdiri mengambang di punggung bocah kurus berambut jabrik yang dipanggil dengan sebutan Jabrik Sakti Wanara itu.

Apa yang dilihat oleh Setan Ngompol juga dilihat oleh Mahesa Edan, Naga Kuning dan Panji Ateleng. Dibalik sosok melayang Jabrik Sakti Wanara berdiri mengambang satu sosok seorang kakek berbaju dan berdestar putih. Rambut dan janggutnya terlihat melambai berwarna putih keperakan sementara ditangan sang kakek tergenggam sebuah senjata yang amat ditakuti oleh para tokoh golongan hitam. Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua!

“Astaga…! Benar itu kapak milik Wiro…! Tapi kenapa orangnya bisa jadi tua begitu…? Alamak…! Pusing aku! Tidak mungkin…! Aku tak percaya kalau kakek itu benaran Wiro…!” seru setan Ngompol sembari mencengkeram bagian bawah perutnya yang kembali bocor!

Sementara itu Ki Buyut Pocong Mayit yang sebelumnya terlempar jatuh kedalam Tegalan Sawah terlihat merutuk habis-habisan. Kakek satu ini kemudian setelah tersadar dari keterkejutannya akibat hempasan kekuatan dahsyat yang keluar dari dalam tubuh Jabrik sakti lalu kemudian nampak menggenggam seonggok Lumpur sawah dan mengoleskannya ke kedua matanya sembari mengucapkan sebuah rapalan.

Hal yang sama juga nampak dilakukan oleh Merak Jingga. Begitu kedua orang ini membuka matanya maka nampaklah bagaimana sepasang mata kedua tokoh ini telah berubah menjadi merah semerah darah!

Ki Buyut Pocong Mayit dan Merak Jingga sama pentangkan mata lebar-lebar kearah tubuh Jabrik Sakti Wanara, kedua tokoh ini kemudian sama melihat bahwa selain sosok kakek berdestar putih yang memegang kapak nampak pula sosok seorang Nenek yang memakai kain tanjung putih memegang sebuah pedang tipis berkepala naga menyatu dalam diri si bocah!

Namun bukan Nenek dan pedang yang dipegang olehnya yang menjadi perhatian dua orang tokoh sesat ini melainkan sebuah bayangan samar berbentuk sebuah keris berlekuk delapan yang nampak bersemayam di dekat jantung si bocah kecil!

“Ternyata benar apa yang dikatakan Nyai ratu junjungan tempo hari! Bocah berambut jabrik itu kemungkinan besar merupakan perwujudan kasar dari Keris Naga Sanjaya Dua Satu Dua yang ada dalam legenda! Sebuah keris hasil perkawinan sepasang senjata sakti Kapak Maut Naga Geni dan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua! Keparat…! Aku harus merebut Keris itu sebelum kedahuluan yang Lainnya…!”

Sehabis berpikir begitu Kakek berdandan layaknya Pocong ini melesat secepat kilat dengan tangan terpentang mengarah ke dada sang Bocah! Hal yang sama kembali juga dilakukan oleh Merak Jingga, melihat Ki buyut Pocong Mayit bergerak melabrak Jabrik Sakti yang saat itu masih dalam keadaan melayang di udara. Pemuda ini juga bergerak secepat kilat dengan cakar terpentang mengarah kedada sang bocah yang didalam tubuhnya tersimpan tiga buah senjata sakti ini!

“Anak itu dalam bahaya…!” teriak naga kuning yang akhirnya bisa membebaskan diri dari sirapan si kakek pocong sambil melesat sembari melepaskan satu pukulan tangan kosong kearah Merak Jingga yang berada paling dekat dengan dirinya.

Seolah-olah sejalan dengan pemikiran sang bocah, setan ngompol yang saat itu sudah bisa membebaskan diri dari sirapan ilmu Tatapan Penggetar sukma yang sebelumnya dilepas oleh Ki Buyut Pocong Mayit saat itu juga nampak sedang berjibaku melancarkan jurus andalannya yaitu Setan Ngompol Mengencingi Pusara kearah kepala Ki Buyut Pocong Mayit!

Kakek Penghuni Kubur Batu Watu Selirang ini keluarkan suara tercekik kala angin tendangan yang dibarengi titik-titik air berbau pesing menghantam wajahnya.

“Jahanam…!” rutuk sang kakek seraya memutar cakarnya menyambut tendangan dua kaki setan ngompol. Hebatnya sembari membalas serangan Setan Ngompol, kakek ini masih sempat melancarkan serangan jarak jauh berupa satu sinar pukulan berwarna kuning kearah dada Jabrik Sakti Wanara!

Setan ngompol terjengkang keras manakala kibasan cakar Ki Buyut Pocong Mayit melabrak kedua kakinya. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada diri Naga Kuning, serangan tangan kosong si bocah ini di mentahkan dengan begitu mudahnya dengan satu kibasan tangan Merak Jingga yang dilembari aji kesaktian Watu Cadas andalannya.

Kemudian begitu berhasil menjatuhkan Naga Kuning, Merak Jingga kembali melanjutkan serangannya. Kedua telapak tangannya yang berbentuk cakar dihantamkan kedepan kearah tubuh Jabrik Sakti dengan menggunakan salah satu ilmu ajaran gurunya Sang Penyesat Iman yaitu ilmu Sepasang Cakar Mengeruk Samudera. Akhirnya kemudian nampaklah bagaimana Dua jalur ilmu pukulan mematikan yang dilepaskan oleh Ki Buyut Pocong Mayit dan Merak Jingga bergerak dengan kecepatan luar biasa saling berkejaran hendak meluluh lantakkan tubuh Jabrik Sakti!

Panji Ateleng dan Mahesa Edan yang melihat keadaan yang berbahaya ini berseru keras sembari melesat hendak memapaki dua serangan ilmu kesaktian yang berbahaya ini. Nampak Mahesa Edan bergerak hendak memutar Papan Kayu Hitam senjatanya kearah kedua sinar yang hendak melabrak tubuh sang bocah!

Begitu juga dengan Panji Ateleng, sepasang telapaknya yang berwarna kebiruan baru saja hendak melepaskan pukulan Membalik Puncak Menyingkap Mega yang di dapatnya dari Eyang Toh Bagus Kamandipa. Namun kedua pemuda ini akhirnya urung bertindak manakala nampak dua bayangan lain melesat secepat kilat dari balik tubuh sang bocah secara tiba-tiba melabrak langsung serangan Ki Buyut Pocong Mayit dan Merak Jingga!

Bayangan pertama adalah bayangan kakek berbaju putih yang memegang Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua yang sedari tadi berdiri menggantung di balik pungung sang bocah, sementara bayangan lainnya adalah bayangan seorang Nenek berkain tanjung yang juga berwarna Putih. Namun beda dengan kakek yang memegang kapak, nenek satu ini nampak melesat dari dalam dada si bocah kurus sembari mengacungkan sebilah pedang! Pedang Naga Suci Dua Satu Dua!

Suara ledakan keras terdengar membahana manakala pukulan Sepasang Cakar Mengeruk Samudera yang dilepas oleh Merak Jingga dan pukulan Wisa Kuning yang dilepas oleh Ki Buyut Pocong Mayit dipunahkan oleh sepasang senjata sakti Kapak Maut Naga Geni dan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua!

Naga Kuning dan Setan Ngompol yang saat itu sama-sama rebah ditanah akibat hantaman Merak Jingga dan Ki Buyut Pocong Mayit perdengarkan sorak kegirangan mana kala melihat bagaimana dua serangan yang dilancarkan oleh dua orang tokoh sesat ini bisa dipunahkan oleh dua orang kakek dan nenek penjaga bocah aneh berambut jabrik dihadapan mereka dengan menggunakan senjata yang mereka kenali sebagai kapak maut naga geni dan pedang naga suci dua satu dua ini.

Namun kegirangan mereka sontak berubah mana kala tiba-tiba terlihat segulungan asap berbentuk kabut pekat bergulung membuntal secara cepat melibat tubuh dan tangan nenek yang memegang Pedang naga suci dua satu dua! Tidak hanya sampai disitu, kabut tebal yang entah datang dari mana itu dengan kecepatan luar biasa juga melibat dan membungkus erat tubuh semua orang yang ada di tempat itu dengan tidak terkecuali!

“Kakek Setan Ngompol! Tolong aku! Aku tidak bisa bergerak!” teriak Naga Kuning panik seraya berusaha membebaskan diri dari libatan kabut yang mengikat erat tubuhnya.

“Sama ning! Aku juga tak bisa bergerak! Celaka! Kabut apaan nih buset! Pakai masuk dalam celana segala! Aduh… aduuhh” teriak setan ngompol tak kalah paniknya!

“Arya Segoro! selamatkan Jabrik Sakti! Jangan sampai Naga Sanjaya direbut oleh mereka!” teriak sang nenek pemegang pedang naga Suci dua satu dua keras kearah kakek berambut perak yang serta merta meloncat mundur kearah tubuh jabrik sakti wanara manakala melihat hal yang terjadi pada si Nenek.

“Kintani Saraswati…!” seru si kakek yang dipanggil dengan sebutan Arya Segoro ini sembari berusaha menghalau kabut yang hendak menyelimuti dirinya dan jabrik sakti dengan mengebutkan Kapak Maut Naga Geni kearah kabut yang menjalar dengan cepat.

Terdengar suara laksana ribuan tawon mengamuk manakala kapak maut naga geni berputar kencang menyelubungi tubuh sang kakek dan jabrik sakti wanara yang masih dalam keadaan tak sadarkan diri mengambang diudara! Sementara itu dalam keadaan sedemikian rupa mendadak dari langit turun sebuah cahaya kemerahan melesat dengan kecepatan tinggi kearah Tubuh sang Kakek dan Jabrik Sakti Wanara!

“Astagfirullah! Jangan Kau sesat wahai Putera Langit! Yang kau ingin bunuh itu adikmu sendiri Naga Sanjaya!” teriak Si nenek keras kala melihat cahaya merah yang meluncur dengan derasnya dari atas langit tersebut!

Sosok yang meluncur deras tersebut ternyata adalah sosok seorang kakek yang memegang sebuah pedang merah yang bercahaya terang! Pedang tersebut bergetar keras dalam genggaman kakek yang tidak jelas terlihat akibat cahaya silau yang menebar dari dalam badan pedang. Dengan kecepatan yang luar biasa Pedang merah ini menukik dengan derasnya dengan sasaran yaitu bayangan keris berlekuk delapan yang membayang samar di dada Jabrik Sakti Wanara!

“Demi Allah! Naga Geni, Naga Suci! Selamatkan Putera Kalian…!” teriak Nenek yang dipanggil dengan sebutan Kintani Saraswati ini seraya melemparkan pedang naga suci dua satu dua ke udara!

Mendengar teriakan sang nenek, Sang Kakek berdestar putih yang bernama Arya Segoro ini juga langsung melemparkan Kapak yang di genggamnya kearah cahaya merah laksana mega yang datang menyongsong dari langit!

“Astaga…! Ning…! Lihat…! Bukankah kakek yang memegang pedang itu Kiai Gede Tapa Pamungkas…! atau apa mataku yang salah ya…?” teriak setan ngompol dengan pandangan melotot kearah kakek pemegang pedang merah yang menukik deras ke bawah.

“Iya kek…! matamu tidak salah! Biar jereng tapi benar tidak salah! Itu benaran Sang Kiai…! Itu guru kek…!” ucap Naga Kuning dengan mata sama melotot!

Sementara itu kejadian luar biasa kembali terjadi manakala sepasang senjata yang ditakuti di seluruh penjuru negeri ini dilemparkan keudara menyongsong datangnya cahaya merah! Sosok pedang dan kapak tiba-tiba saja sirna berganti wujud menjadi sepasang naga raksasa!

Yang satu adalah seekor naga jantan berwarna putih dengan sebuah batu permata besar berwarna merah melekat dikeningnya sementara satunya lagi adalah seekor naga betina yang juga memiliki sebuah permata berwarna hijau yang melekat diatas kening sang naga.

Dua ekor naga raksasa ini nampak mengaum gusar menyambut datangnya cahaya merah yang mereka kenali sebagai cahaya buah hati mereka. Buah hati tak berdosa yang terlahir akibat cinta terlarang, buah hati yang kini datang dengan dendam membara hendak membunuh adiknya sendiri Keris Naga Sanjaya Dua Satu Dua! Dialah Pedang Naga Merah Dua Satu Dua! Sang Putera Langit!

TAMAT

Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng terhenti di episode Jabrik Sakti Wanara


Cuplikan Keris Naga Sanjaya

Naga Dewantara semakin mempererat dekapan Pedang Naga Merah yang perlahan namun pasti mulai menembus dada bidangnya yang dipenuhi sisik kuning ini. Tubuh pemuda berambut panjang menjulai yang lebih dikenal dengan sebutan Naga Hantu dari Langit Ketujuh ini mulai bergetar keras!

Sepasang matanya yang juga berwarna Kuning nampak membeliak besar kala merasakan bagaimana panasnya hawa pedang yang mulai memasuki tubuhnya sedikit demi sedikit! Sungguh sukar nian dibayangkan penderitaan yang dialami oleh pemuda perwujudan naga pelindung bocah Naga Kuning ini.

Bahkan Kiai Gede Tapa Pamungkas seorang yang dianggap manusia setengah dewa pun sampai meneteskan air matanya melihat penderitaan Sang Naga! Sang Kiai nampak perlahan membisikkan kalimat suci yang dengan susah payah diikuti oleh Sang Pemuda.

Begitu selesai berucap maka menggelegarlah teriakan dari mulut Sang Raja Naga Tanah Jawa. Tubuh sang pemuda mulai dari dada hingga ke ujung rambutnya dilamun kobaran api yang sangat besar!

Inilah akhir hidup dari Tetua Para Naga Tanah Jawa yang selama hidupnya diabdikan untuk menjaga kelangsungan hidup seorang bocah dan harus mengakhiri hidupnya guna melindungi hidup bocah lainnya. Hanya dia seorang yang mampu melakukan semua itu. Dialah Sang Naga Dewantara, alias Naga Hantu Langit ke Tujuh…!

Daftar koleksi,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.