Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
Karya Bastian Tito
Episode Jaka Pesolek Penangkap Petir
Karya Bastian Tito
Episode Jaka Pesolek Penangkap Petir
GADIS BERKUMIS HALUS TATAP ORANG-ORANG YANG ADA DI HADAPANNYA. LALU BERKATA, “NAMAKU JAKA. ORANG MENYEBUTKU JAKA PESOLEK. KARENA AKU MEMANG SUKA BERDANDAN. KALIAN SUDAH MELIHAT DIRIKU. BEGINILAH KEADAANKU.”
“AKU... AKU MASIH BELUM MENGERTI...” KATA MAYAT ANEH KETIGA. “SAHABAT INI SEBENARNYA SEORANG JAKA ATAU SEORANG GADIS?”
JAKA PESOLEK TERSENYUM. DIA KEDIPKAN MATA PADA MAYAT ANEH KETIGA. “KALAU DITANYA AKU INI SEORANG PERJAKA ATAU SEORANG GADIS, MAKA AKU ADALAH KEDUADUANYA...”
PETI mati hitam melesat di udara seolah terbang hendak menembus langit. Di ufuk timur sang surya memancarkan cahaya benderang namun belum mampu meredam kesejukan pagi. Di atas peti mati Empat Mayat Bersaudara atau Empat Mayat Aneh duduk uncang-uncang kaki. Sesekali terdengar mereka tertawa cekikikan,
“Gadis di dalam peti. Tubuhnya molek. Aku yakin dia cantik sekali. Tapi mengapa wajahnya aneh menyeramkan. Hidung berada di pipi! Ihh... bagaimana mau menciumnya! Hik hik hik!” Yang berkata adalah Mayat Aneh Kesatu, bicara sambil meletakkan dua tangan di atas mata.
Mayat Aneh Kedua turunkan dua tangan yang menekap mulut lalu menegur. “Saudaraku, apa kau lupa ujar-ujar. Pelihara Mulut Hanya Bicara Kebaikan?!”
“Walah… Aku salah! Aku memang salah! Tapi sekali-sekali bicara keindahan mahluk ciptaan Yang Maha Kuasa ada bagusnya untuk penyegaran. Apa lagi mayat-mayat seperti kita. Jarang bertemu gadis cantik. Hik hik hik.”
Mayat Aneh Kesatu lalu tampar-tampar mulutnya sendiri.
“Kita diminta membawa gadis itu ke Candi Kalasan. Untuk dipertemukan dengan kakek bernama...”
Ucapan Mayat Aneh Ketiga segera dipotong oleh Mayat Aneh Keempat yang selalu menekap bagian bawah perut. “Husss.." Jangan menyebut nama. Walau siang hari banyak roh jahat gentayangan mendengar segala pembicaraan kita!”
“Betul!” Menyahuti Mayat Aneh Ketiga sambil turunkan dua tangan yang menutup telinga. “Kalau sampai gadis di dalam peti diculik orang, celaka kita. Apa lagi kalau yang diculik cuma hidungnya yang aneh! Oala... dimana mau mencari hidung pengganti!”
Empat Mayat Aneh sama-sama tertawa terpingkal-pingkal. Lalu diam. Mereka rebahkan tubuh masing-masing di atas peti mati hitam besar. Mayat Aneh Kesatu menutup mata dengan dua tangan. Mayat Aneh Kedua menekap mulut. Mayat Aneh Ketiga kembali tutup telinga dengan dua tangan sementara Mayat Aneh Keempat menekap bagian bawah perut sambil sesekali di usap-usap dan mata terpejam meram melek!
Sunyi beberapa lamanya sementara peti terus melayang di udara. Tiba-tiba Mayat Aneh Ketiga bergerak duduk. Tangan kanan menunjuk ke arah muka.
“Apa tidak aneh! Disini terang benderang. Di depan sana mendung nyaris gelap gulita!”
Tiga Mayat Aneh lainnya bergerak bangun lalu palingkan kepala ke arah yang ditunjuk saudara mereka Mayat Aneh Ketiga. Mayat Aneh Pertama letakkan dua tangan di atas alis, menatap tajam ke depan. Lalu berkata.
“Mendung tebal di atas bukit Randu gunting sebelah utara! Memang aneh. Tapi kita tidak menuju ke sana. Candi Kalasan hanya tinggal setengah jalan lagi...”
Baru saja Mayat Aneh Pertama berucap tiba-tiba di depan mereka berpijar terang sambaran kilat diikuti gelegar suara dahsyat. Udara bergetar. Peti mati hitam bergoncang berderak. Empat Mayat Aneh dengan sigap melompat bangkit dan masing-masing melakukan gerakan agar peti mati kembali pada keadaan seimbang.
“Luar biasa! Petir menyambar di depan mata di siang bolong! Pertanda apa ini!” Berseru Mayat Aneh Keempat sambil terbungkuk mengusap bagian bawah perut.
Tiba-tiba untuk kedua kalinya halilintar berkiblat. Kali ini cahaya terang yang menggurat langit menyambar turun ke bumi hanya terpaut satu tombak saja dari bagian depan peti mati. Kalau tadi peti mati hanya bergoncang, kali ini peti itu berputar kencang hingga bagian yang tadi ada di depan berbalik ke kanan. Empat Mayat Aneh berteriak keras lalu sama-sama tertawa terkekeh-kekeh.
“Para Dewa tengah menghibur kita dengan permainan alam yang sungguh cantik!” Berseru Mayat Aneh Ketiga.
“Husss! Jangan bicara sembarangan!” Membentak Mayat Aneh Kedua.
Mayat Aneh Ketiga letakkan dua tangan di belakang daun telinga, lalu digoyang-goyang. “Hai! Apa kalian tidak mendengar suara orang tertawa gelak-gelak di bawah sana?!”
“Kami tidak mendengar apa-apa!”Jawab Mayat Aneh Keempat.
“Sekarang aku malah mendengar suara orang bertepuk tangan dan meneriakkan sesuatu.” Berkata lagi Mayat Aneh Ketiga yang pendengarannya memang jauh lebih tajam dari tiga saudaranya.
“Turunkan peti! Kita menyelidik ke bawah!” Mayat Aneh Pertama akhirnya berkata sambil mata dinyalangkan tajam-tajam berusaha menembus ketebalan mendung hitam di depan sana.
Empat Mayat Aneh menekuk lutut. Pantat disonggengkan. Beginilah cara dan gerakan mereka menurunkan peti. Perlahan lahan peti mati besar bergerak turun ke bawah.
“Hai! Kita kebablasan! Kalasan sudah kelewatan! Sekarang kita berada di bawah gumpalan mendung tebal. Di atas Bukit Randugunting!” Mayat Aneh Kedua yang berada di samping kanan peti mati berteriak.
Hanya sekejapan sesudah itu untuk ketiga kalinya kilat menyabung dari dalam gumpalan mendung. Dan sekali ini ujung kilat mengarah tepat pada peti mati hitam di atas mana Empat Mayat Aneh berada, sementara di dalam peti berada Dewi Kaki Tunggal atau Sakuntaladewi bersama Ni Gatri!
“Celaka! Mati kita semua!” Teriak Mayat Aneh Keempat.
“Turunkan peti cepat! Kita mati lagi bukan masalah! Yang penting bagaimana menyelamatkan gadis berhidung aneh dan anak perempuan yang membawa Bunga Matahari itu!” Mayat Aneh Kedua balas berteriak.
Empat Mayat Bersaudara kembali membungkuk dan sunggingkan pantat. Tenaga dalam dikerahkan ke kaki yang menginjak penutup peti. Peti mati besar laksana terjun dengan cepat bergerak turun kebawah menuju puncak bukit kecil bernama Randugunting.
Namun datangnya sambaran petir tentu saja jauh lebih cepat. Hanya sesaat peti itu akan menyentuh puncak bukit yang banyak ditebari bebatuan dan dikelilingi pohon Randu, seratus tombak di udara ujung petir yang laksana tombak api raksasa dan menghampar hawa luar biasa panas datang menyambar dahsyat.
Empat Mayat Aneh tidak bisa berbuat apa-apa selain melompat berserabutan sambil berteriak kecewa karena tidak mampu menolong Dewi Kaki Tunggal dan Ni Gatri yang terkurung di dalam peti mati!
Namun kenyataannya petir maut tidak sampai menyentuh peti mati besar! Masih lima puluh tombak di udara tiba-tiba ada suara orang berteriak girang.
“Bagus! Petir besar! Ini yang aku mau. Tiga ratus hari menunggu baru muncul! Ha ha ha! Huppp!”
Satu cahaya kemerahan melesat di puncak Bukit Randugunting. Demikian cepat daya lesatnya hingga mampu memotong datangnya sambaran ujung petir. Dan inilah yang sungguh luar biasa. Cahaya merah tadi bukan setan bukan jin melainkan ternyata adalah seorang anak manusia berpakaian merah muda. Dua tangan di kembang seperti seseorang menanggapi benda jatuh. Kepala mendongak sedikit dimiringkan ke kiri.
Ketika Ujung petir menghantam ke bawah, sulit dipercaya dan diterima akal, dua tangan orang yang terkembang membuat gerakan menangkap kepala petir hingga peti mati besar dan Empat Mayat Aneh yang ada di atas peti serta Dewi Kaki Tunggal dan Ni Gatri yang terkurung di dalam peti selamat dari kehancuran yang mengerikan!
“Wuttt…! Blaarr…!”
“Huaa! Ha ha ha! Ini dia yang aku tunggu!” Sosok orang berpakaian merah muda berpijar terang dan mengepulkan asap merah.
Laksana menangkap kepala seekor ular raksasa begitulah orang tadi menangkap ujung petir dengan kedua tangan lalu jatuhkan diri bergelung dan berguling di atas batu sementara mulut tiada henti keluarkan suara tertawa. Kalau tidak menyaksikan sendiri pasti tidak ada orang yang bisa percaya!
“Wah... wah! Mulai panas! Aku bisa leleh! Tubuhku bisa meledak! Hik hik hik!”
Orang di atas batu berteriak lalu tertawa cekikikan. Sambil melompat bangun, dua tangan yang memegang kepala petir didorongkan kuat-kuat ke atas seraya mulut berteriak.
“Pergi!”
Dua tangan berpijar terang! Petir besar bergoyang keras lalu terlempar ke udara. Sekitar tiga tombak dari atas bukit petir meledak dahsyat! Belasan batu besar hancur dalam bentuk ratusan keping menyala! Lusinan pohon Randu rambas tenggelam dalam kobaran api lalu tergelimpang tumbang dalam keadaan gosong.
Di atas bukit Randugunting, berdiri di atas batu besar, sekujur tubuh orang berpakaian merah muda mulai dari kepala sampai ke kaki kecuali wajah dan rambut nampak berpijar merah laksana terbungkus bara menyala. Sementara batu yang dipijaknya ikut membara dan mengepulkan asap. Tapi luar biasanya orang itu kemudian tampak berjingkrak-jingkrak dan bertepuk tepuk tangan. Lalu dia jatuhkan diri, berlutut di atas batu merah panas membara.
“Berhasil! Aku berhasil menangkap petir paling besar! Terima Kasih Para Dewa! Ilmuku rampung sudah! Hik hik hik!”
Habis tertawa cekikikan orang ini melompat girang, menari-nari di atas batu besar. Setiap pijakan kakinya meninggalkan jejak, membuat batu merah panas tenggelam seujung kuku. Sambil menari dengan gerakan yang tampak menggairahkan, orang di atas batu lantunkan nyanyian.
"Rampung ilmu pertanda berkah Dewa. Terima kasih wahai Sang Hyang Jagat Bathara. Punya ilmu bukan berarti sudah jadi orang pandai. Apa lagi hendak berkuasa seolah langit sudah di gapai. Ilmu untuk kepuasan dan keteguhan hati. Karenanya dipakai untuk berbakti menolong sesama insani"
Empat Mayat Aneh yang menyaksikan kejadian itu tampak terheran-heran tak percaya.
“Tidak bisa dipercaya! Tapi mata menyaksikan!” Ucap Mayat Aneh Kesatu sambil usap-usap sepasang mata sementara Mayat Aneh Keempat tegak tertegun sambil pegangi bagian bawah perut.
Mayat Aneh Kesatu kembali usap-usap sepasang mata. “Selama puluhan tahun hidup jadi orang, selama puluhan tahun jadi mayat aku sudah melihat ratusan keanehan! Tapi baru hari ini aku menyaksikan ada orang mampu menangkap petir, menggeluti lalu melemparkannya kembali ke udara seperti anak kecil bermain pita-pitaan! Apa benar dia anak manusia atau Dewa Agung yang menjelma turun ke bumi!”
“Yang jadi perhatianku bukan cuma semua itu. Tapi apakah kalian tidak melihat bagaimana goyangannya tadi ketika menari?” Mayat Aneh Kedua keluarkan ucapan, lalu menyambung. “Dada besar putih menyentak-nyentak, pantat berpinggul besar diogel-ogel. Oala...”
“Huss! Jaga mata hanya melihat kebaikan! Jaga mulut hanya bicara kebaikan!” Mayat Aneh Ketiga membentak.
Diam sesaat lalu Mayat Aneh Kedua berkata. “Hai! Suara, orang yang tubuhnya membara itu aku dengar seperti suara lelaki. Tapi mengapa tawanya menyerupai suara perempuan. Aku mau melihat lebih dekat. Kalian ikut?! Jangan-jangan ada Puteri Jin yang kesasar main-main di bukit Randugunting!”
Habis keluarkan ucapan Mayat Aneh Kedua siap melompat ke arah orang yang masih berdiri di atas batu dalam keadaan tubuh membara merah dan mengepu. Tiga saudaranya segera, pula melakukan hal yang sama. Namun gerakan mereka terhenti ketika tiba-tiba.
“Braakk!”
Serangkum cahaya biru melesat keluar dari dalam peti! Papan penutup peti mati hitam terpentang lebar. Bahkan ada bagian yang berpatahan. Dari dalam peti melesat keluar Dewi Kaki Tunggal diikuti Ni Gatri!
“Oala! Hancur peti kediaman kita!” Teriak Mayat Aneh Ketiga.
“Bagaimana mungkin!” Mayat Aneh Kesatu ikut berteriak. “Seratus setan gentayangan saja tidak mampu membuka penutup peti!”
DI DALAM serial sebelumnya Dewi Kaki Tunggal diceritakan sewaktu Sinuhun Merah Penghisap Arwah hendak membunuh Dewi Kaki Tunggal dengan tendangan maut, tiba-tiba di langit muncul Sepasang Arwah Bisu. Dua kakek nenek dari alam roh ini segera melindungi Dewi Kaki Tunggal yang sebenarnya adalah cucu mereka sendiri dengan ilmu Empat Tonggak Istana Dewa. Empat cahaya putih berkilau yang keluar dari sepasang mata mereka memagari si gadis.
Namun dengan ilmu kesaktiannya yang luar biasa tinggi Sinuhun Merah Penghisap Arwah menjungkirkan empat cahaya putih hingga berbalik menyerang Sepasang Arwah Bisu. Untungnya kakek nenek ini masih bisa selamatkan diri dan menghilang dari pandangan mata, masuk kembali ke dalam alam arwah.
Kemarahan Sinuhun Merah Penghisap Arwah terhadap Dewi kaki Tunggal semakin menjadi-jadi. Dia membuat aliran bara panas di tanah yang siap melumat tubuh gadis berkaki satu itu. Namun niat jahat sang Sinuhun lagi-lagi terhalang dengan kemunculan tidak terduga sebuah peti mati besar. Kepulan asap putih yang keluar dari bagian bawah peti menyumbat aliran cairan bara panas hingga untuk kedua kalinya Dewi Kaki Tunggal yang masih berada dalam keadaan tidak sadarkan diri selamat dari kematian.
Dari dalam peti kemudian melompat keluar empat mahluk yang sekujur tubuhnya kecuali wajah yang putih pucat tertutup oleh gulungan kain putih. Mereka bukan lain adalah Empat Mayat Aneh. Mayat Aneh Pertama dan Mayat Aneh Ketiga dengan cepat memasukkan Dewi Kaki Tunggal ke dalam peti.
Sinuhun Merah Penghisap Arwah berusaha menghalangi dengan melancarkan serangan. Namun gagal. Ni Gatri yang kemudian muncul membawa Bunga Matahari juga dimasukkan ke dalam peti. Sebelum peti ditutup Ni Gatri masih sempat melihat sosok Dewi Kaki Tunggal terbaring di lantai peti. Peti ditutup dari luar. Keadaan di dalam peti selain pengap juga gelap sekali.
“Dewi... Dewi Kaki Tunggal...” Ni Gatri memanggil. Tak ada jawaban. Dewi, saya takut sekali. Ada empat mahluk aneh memasukkan kita ke dalam peti. Sepertinya peti tengah melayang di udara. Kita mau dibawa kemana? saya mencium bau kemenyan. Saya takut. Dewi. Kau masih hidup atau bagaimana...?”
Tetap saja tidak ada jawaban. Ni Gatri beringsut ke kiri hingga tubuhnya bersentuhan dengan tubuh gadis berkaki satu. Tubuh sang Dewi terasa hangat. Dia berharap tubuh itu masih bernyawa. Namun anak yang cerdik ini ingin lebih meyakinkan. Dia meraba ke sebelah atas hingga tangan kirinya menyentuh wajah Sakuntaladewi.
Ketika tangan diletakkan di atas hidung yang berada di sebelah pipi kanan, Ni Gatri dapat merasakan hembusan nafas gadis berkaki satu yang disebutnya sebagai Dewi Kaki Tunggal itu. Anak perempuan ini merasa lega. Dia kemudian ingat pada Bunga Matahari yang ada di tangan kanannya.
Seperti yang diceritakan sebelumnya Dewi Kaki Tunggal telah mengalami cidera dalam yang cukup berat akibat bentrokan pukulan sakti dan tenaga dalam dengan Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari. Ni Gatri yang tidak ingin meninggalkan Dewi Kaki Tunggal seorang diri akhirnya baru mau pergi setelah diperintah oleh si gadis agar dia mencari Ratu Randang dan meminta Bunga Matahari yang diberikan Wiro kepadanya. Menurut Dewi Kaki Tunggal hanya dengan Bunga Matahari yang telah dijampai oleh Patung Nyi Roro Jonggrang luka dalamnya bisa disembuhkan.
“Dewi, saya sudah mendapatkan Bunga Matahari yang kau minta. Apa yang harus saya lakukan untuk menolongmu...?”
Ni Gatri menjadi bingung sendiri karena gadis berkaki satu yang berada dalam keadaan pingsan tidak mungkin membuka mulut memberi jawaban. Dalam gelap Ni Gatri meraba raba kembali dengan tangan kiri.
“Bathara Agung, saya mohon petunjuk-Mu agar saya bisa menolong Dewi Kaki Tunggal...” Ni Gatri berucap perlahan. Tangan kirinya menyentuh kening Sakuntaladewi. Anak perempuan ini lalu letakkan Bunga Matahari di atas kening.
Perlahan-lahan bunga sakti yang tetap dalam keadaan segar itu disapukan ke wajah, melewati dagu turun ke leher lalu turun lagi ke dada. Pada saat menyentuh dada, Bunga Matahari memancar kilatan cahaya putih. Tubuh Sakuntaladewi menggeliat. Mulut mengeluarkan suara mendesah panjang.
“Dewi…?”
Sunyi sesaat lalu ada suara. “Ni Gatri, kaukah ini?”
Ni Gatri terpekik kecil saking gembiranya. “Bathara Agung, terima kasih. Kau telah menolong Dewi Kaki Tunggal,” ucap Ni Gatri pula. Lalu pada Sakuntaladewi anak perempuan ini berkata. “Dewi, saya sudah mendapatkan Bunga Matahari yang kau suruh minta dari Ratu Randang. Sekarang bunganya saya letakkan di dada Dewi...”
“Aku berterima kasih padamu,” jawab Sakuntaladewi. Lalu gadis ini pegang lengan kanan Ni Gatri. Bunga Matahari ditekankan ke dada sambil menarik nafas dalam-dalam. Nafas ditahan seketika lalu perlahan lahan dilepas dihembuskan.
“Ni Gatri, luka dalamku sudah sembuh....” Ucap Sakuntaladewi. Lalu Bunga Matahari diambilnya dari tangan anak perempuan itu dan disimpan di balik pakaian Jingga yang dikenakannya. Gadis, berkaki satu ini kemudian menatap berkeliling. Dia merasa heran.
“Gelap gulita, udara terasa pengap. Aku merasa kita seperti melayang. Ni Gatri, kau tahu kita berada di mana?”
“Dewi, kita berada dalam satu peti mati besar hitam. Ada empat mahluk aneh mengerikan menculik kita. Tubuh mereka memancar bau seperti kemenyan. Tidak tahu kita mau dibawa kemana.” Jawab Ni Gatri. Lalu atas pertanyaan Sakuntaladewi anak perempuan ini menerangkan ciri-ciri empat mahluk aneh yang dilihatnya sebelum dia dimasukkan ke dalam peti mati.
“Turut keteranganmu tidak ada mahluk lain yang menyerupai ujud empat mahluk itu. Aku yakin mereka adalah Empat Mayat Bersaudara atau Empat Mayat Aneh. Mereka mahluk alam roh yang aku tahu bukan mahluk jahat. Tapi aku kawatir...”
“Kawatir bagaimana Dewi” tanya Ni Gatri karena Sakuntaladewi tidak meneruskan ucapan.
“Siapa tahu mereka telah menjadi kaki tangan dan berada dibawah kendali Sinuhun Merah Penghisap Arwah , mereka bisa lebih jahat dari setan neraka!”
“Tapi Dewi,” kata Ni Gatri pula. “Kalau benar mereka kaki tangan Sinuhun jahat itu, pasti kita sudah mereka habisi. Perlu apa susah-susah dimasukkan ke dalam peti.”
“Kau anak cerdik. Ucapanmu betul Ni Gatri. Ada sesuatu yang menjadi rahasia dibalik perbuatan mereka. Selain itu aku pernah menyirap kabar kalau mereka punya pantangan.” Sakuntaladewi usap kepala Ni Gatri.
“Hanya saja, Dewi, sebelum mereka memasukkan saya ke dalam peti saya melihat anjing kecil hitam terkapar di tanah dalam keadaan mati.”
“Apa?!”
“Saya mengira empat mahluk aneh itu yang membunuh. Tapi mereka menyangkal.”
“Seperti kataku tadi, setahuku mereka mungkin punya pantangan. Kalau tidak terpaksa sekali mereka tidak akan membunuh. Termasuk membunuh binatang. Itu sebabnya atas kuasa Para Dewa mereka mendapat rahmat, bisa pergi dan berada dimana-mana serta hidup lagi dalam kematiannya.”
“Dewi, apa yang harus kita lakukan. Saya takut...”
“Tenang saja. Aku pernah berkata kalau Yang Maha Kuasa menolong, maka pertolongan-Nya tidak pernah setengah-setengah. Ni Gatri, aku merasa peti ini tengah melayang ke bawah...”
Baru saja Sakuntaladewi berucap tiba-tiba di luar sana terdengar suara dahsyat disertai kilasan cahaya terang. “Aku mendengar seperti gelegar suara petir. Aku harus melakukan sesuatu. Kita harus keluar dari dalam peti celaka ini! Aku rasa peti sudah menyentuh bumi.”
Sakuntaladewi lalu gerakkan dua tangan, keluarkan ilmu pukulan yang disebut Enam Belas Gerakan Tangan Bisu. Saat itu juga enam belas cahaya biru membersit lalu bergabung jadi satu, selanjutnya melesat ke atas menghantam penutup peti mati !
Penutup peti mati langsung terpentang lebar dan sebagian kayunya ada yang hancur. Sakuntaladewi pegang lengan kiri Ni Gatri lalu melompat keluar dari dalam peti. Empat Mayat Aneh yang siap mendatangi orang di atas batu serta merta batalkan niat. Saat itu Sakuntaladewi sudah berada di hadapan mereka.
“Empat Mayat Aneh, terima kasih kalian sudah mengajak aku dan sahabat kecilku ini jalan-jalan di udara...”
“Ah, dia tahu siapa kita!” Mayat Aneh Kesatu berkata girang setengah berseru. “Tapi sebenarnya kami berdua juga ingin tahu mengapa kalian menculik kami berdua, memasukkan kami ke dalam peti lalu menerbangkan kami ke udara. Sebenarnya apa maksud kalian. Kalian mau membawa kami kemana?” Bertanya Sakuntaladewi.
“Kami tidak bermaksud jahat. Ada seseorang meminta tolong agar kami membawamu menemuinya di satu tempat.” Yang menjawab adalah Mayat Aneh Ketiga.
“Siapa orangnya dan berada dimana?” Tanya Sakuntaladewi.
“Kami dipesan untuk tidak memberi tahu kepada siapapun. Termasuk dirimu. Kami hanya ditugaskan untuk membawamu kepadanya.”'Berkata Mayat Aneh Keempat.
“Dewi, mungkin mereka berdusta. Mereka bisa saja punya maksud jahat.” Berkata Ni Gatri.
Empat Mayat Aneh sama-sama. gelengkan kepala. Mayat Aneh Kedua maju dua langkah mendekati Sakuntaladewi dan Ni Gatri, “Sahabat kecil. Pelihara mulut hanya bicara kebaikan. Kalian berdua dengar baik-baik. Dari pada menuduh kami yang bukan-bukan lebih baik terlebih dulu kalian mendatangi dan mengucapkan terima kasih pada mahluk aneh di atas batu sana.”
Sakuntaladewi kerenyitkan kening. Sebelum dia sempat membuka mulut Ni Gatri sudah bicara duluan. “Mahluk aneh, mengapa kami harus mendatangi dan mengucapkan terima kasih pada orang di atas batu yang tubuhnya diselimuti bara menyala...“
“Dia telah menyelamatkan kalian berdua dan hantaman petir ketika masih berada di dalam peti.”
Sakuntaladewi terkejut tapi dapat menyembunyikan perubahan wajahnya. Dia ingat ketika masih berada di dalam peti telah mendengar suara gelegar dan kilatan petir.
“Menyelamatkan kami dari hantaman petir? Sungguh luar biasa! Apa aku bisa percaya ucapanmu! Katakan apa yang terjadi!” Kata Sakuntaladewi pula.
“Empat Mayat Aneh tidak pernah berdusta!” Kata Mayat Aneh Kedua lalu menceritakan apa yang terjadi.
Setelah mendengar cerita Mayat Aneh Kedua Sakuntaladewi terdiam sejenak lalu berkata. “Sulit dipercaya. Kau berdusta! Kau mengarang cerita. Mana ada manusia yang mampu menangkap petir lalu mempermainkannya, setelah itu melemparkannya kembali ke udara!”
Empat Mayat Aneh gelengkan kepala lalu salah seorang dari mereka berkata. “Kami tidak berdusta. Kami tidak mengarang cerita. Kami juga luar biasa heran. Tapi itu yang kami lihat dan itu yang kami ceritakan pada kalian!”
Mayat Aneh Keempat yang berdiri sambil pegangi bagian bawah perut menyambung ucapan. “Ketika kau keluar dari dalam peti, kami berempat bermaksud mendatangi mahluk hebat itu. Tapi niat kami tertahan karena kau menghadang. Sekarang bagaimana kalau kita sama-sama saja mendatanginya?”
Sakuntaladewi keluarkan suara bergumam. Dia berpaling pada Ni Gatri. Anak perempuan ini anggukkan kepala. Tiba-tiba Sakuntaladewi balikkan tubuh. Sekali melompat membal ke udara dan di lain kejap dia sudah berada di atas batu besar di sebelah belakang orang yang tubuhnya masih membara. Ni Gatri lari menyusul.
Empat Mayat Aneh tentu saja tidak mau ketinggalan. Mereka melesat ke atas batu, berdiri di kiri kanan Sakuntaladewi dan Ni Gatri.
“Hik hik hik!” Orang berpakaian merah muda di atas batu besar tertawa mengikik. Suara tawa perempuan.
“Sahabat hebat, mohon kau mau memutar tubuh. Kami ingin melihat wajahmu. Bersama kami ada dua orang yang telah kau selamatkan dari hantaman petir. Mereka ingin mengucapkan terima kasih. Kami juga mau melakukan hal yang sama karena berkat pertolonganmu menangkap petir peti mati tempat kediaman kami tidak sampai musnah dilabrak petir.”
“Hik hik! Rupanya ada orang yang melihat pekerjaanku! Lalu ada yang hendak berterima kasih. Padahal aku merasa tidak menolong siapa-siapa.”
Kalau tertawanya seperti tawa perempuan maka dalam berucap suaranya jelas laki-laki. Hal ini membuat heran ke enam orang yang berdiri di belakangnya. Rasa heran ke enam orang itu berubah menjadi melengak kaget ketika tiba-tiba si baju merah muda membalikkan badannya yang semampai.
“Hai, bagaimana ini. Tadinya aku mengira...” Mayat Aneh Kedua segera menekap mulut tidak berani meneruskan ucapan.
Mayat Aneh Keempat tekap kencang-kencang bagian bawah perutnya. “Oala cantiknya. Dada tersingkap pula. “rapi mengapa ada kumis-kumis halusnya? Pelihara mata hanya melihat kebaikan. Pelihara kemaluan hanya untuk kebaikan...”
ORANG yang pakaian dan sekujur tubuhnya diselimuti bara menyala itu ternyata adalah gadis cantik belia berdandan sangat apik. Kulit muka licin di lapis bedak halus. Sepasang alis kereng hitam melengkung seperti bulan sabit. Dua bola mata bagus bening menatap bercahaya di hias bulu mata lentik. Hidung kecil mancung. Di atas dagu yang bak lebah bergantung terdapat bibir bagus segar merekah senyum. Rambut yang hitam tergerai sampai ke punggung. Sepasang daun telinga dihias giwang bulat terbuat dari perak.
Orang ini mengenakan pakaian merah muda yang bagian dadanya agak tersingkap hingga belahan dadanya tampak jelas diantara dua payudara yang putih kencang. Namun ada satu hal yang menimbulkan kesan janggal di wajah gadis cantik ini. Hal itu ialah adanya bulu-bulu halus di bagian atas bibir menyerupai kumis halus anak lelaki yang tengah menginjak alam dewasa atau akil baleq. Mayat Aneh Kesatu mendekati saudaranya Mayat Aneh Kedua. Lalu berbisik.
“Sssttt.... Bibirnya saja ada bulunya. Pasti di…”
Mayat Aneh Kedua segera sikut rusuk Mayat Aneh Kesatu. “Pelihara mata hanya melihat kebaikan. Pelihara mulut hanya bicara kebaikan!”
Gadis berbaju maerh muda ini menatap enam orang yang berdiri di hadapannya di atas batu besar, layangkan senyum hingga tampak barisan giginya yang putih rata dan bagus. Dan di pipi kirinya muncul satu lesung pipit. Setelah merapikan rambut yang tergerai gadis ini keluarkan sebuah cermin kecil. Perhatikan wajahnya di dalam cermin lalu keluarkan sebuah kotak berisi bedak. Dengan cepat dia membedaki dan mematut wajah. Setelah menyimpan cermin dan kotak bedak diapun berkata.
“Maafkan, aku telah membuat kalian menunggu sampai aku selesai bersolek Sahabat semua, rasanya kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Apakah kehadiranku di tempat ini membuat kalian merasa terganggu?”
Astaga! Ketika bicara suara si gadis jelas suara lelaki walau terdengar halus dan lembut! Empat Mayat Aneh saling pandang satu sama lain sedang gadis berpakaian merah muda memperhatikan keadaan kaki Sakuntaladewi sementara pancaran bara menyala yang melapisi tubuhnya perlahan lahan mulai meredup dan akhirnya lenyap sama sekali.
“Harap maafkan, aku harus membuang dulu sisa-sisa petir yang masih ada dalam tubuhku... “
Gadis berpakaian merah muda lalu sambil menutup mulutnya dengan tangan kiri keluarkan suara bersendawa. Dari sela-sela jarinya kelihatan berhembus keluar nyala merah menebar hawa panas.
“Ah, rasanya masih belum bersih semua. Masih ada yang menyelinap di bawah kakiku...”
Si gadis berkata lagi. Kaki kiri kanan yang mengenakan kasut kulit halus digeser geser di atas batu dan wuss ... wusss! Dari telapak kaki menyambar keluar dua larikan cahaya merah.
“Mudah-mudahan sudah bersih semua. Nah sekarang kita bisa melanjutkan pembicaraan. ”Sambil bicara si gadis meraba bagian perutnya. Agaknya ada sesuatu yang mengganjal.
“Sahabat, kehadiranmu di sini sama sekali tidak mengganggu. Malah agaknya telah mendatangkan berkah bagi kami.” Menjawab Sakuntaladewi. “Kami sengaja datang menemuimu. Menurut empat sahabat yang aku kenal dengan nama Empat Mayat Aneh ini, kalian telah menyelamatkan aku dan adik kecilku ini dari sambaran petir ketika berada di dalam peti. Kami berdua datang untuk menyampaikan rasa terima kasih atas budi baikmu itu.”
“Kami berempat juga ingin berterima kasih. Karena berkat pertolonganmu peti mati tempat kediaman kami tidak sampai hancur dihantam petir.” Berkata Empat Mayat Kedua mewakili saudara saudaranya.
Gadis cantik bersuara laki-laki tampak tercengang lalu gelengkan kepala. Lalu lagi-lagi mengusap bagian bawah perut sementara kening tampak mengernyit.
“Sahabat, agaknya ada sesuatu yang menimbulkan rasa sakit di bagian bawah tubuhmu?” Sakuntaladewi bertanya.
“Bukan ... bukan sakit. Tapi ada, rasa geli-geli. Hik hik hik. Agaknya ada sisa petir nakal yang menyelinap ke dalam auratku sebelah bawah. Aku mengalami kesulitan mengeluarkannya. Paling tidak harus menunggu satu hari satu malam...” Menjawab gadis berpakaian merah muda.
Sakuntaladewi ingat pada Bunga Matahari yang ada dibalik pakaiannya. Bunga segera dikeluarkan lalu berkata. “Kalau kau tidak keberatan, mudah-mudah aku bisa menolongmu.”
Gadis berkumis halus menatap bunga di tangan Sakuntaladewi. “Bunga Matahari. Indah sekali. Tapi dengan bunga itu?” Dia bertanya.
Sakuntaladewi tersenyum lalu mengangguk.
“Ihhh....!” Gadis yang hendak ditolong undur satu langkah dan tekap bagian bawah tubuhnya.
Sakuntaladewi berpaling pada Mayat Aneh Keempat yang selalu menekap bagian bawah perut. Lalu berkata. “Kau yang melakukan. Usapkan Bunga Matahari ini di bagian bawah tubuh gadis itu.”
“Oala! Mengapa aku?!” Mayat Aneh Keempat ikutan mundur tapi sambil senyum-senyum karena sebenarnya dia ingin sekali melakukan hal itu tapi merasa malu pada tiga saudaranya !
Tiba-tiba Ni Gatri mengambil Bunga Matahari dari tangan Sakuntaladewi. Dengan cepat bunga itu diusapkan ke bagian depan bawah perut gadis berpakaian merah muda.
“Ihhhh!” Si gadis berkumis halus terpekik.
Dari dalam Bunga Matahari memancar cahaya putih. Saat itu juga dari bagian bawah perut si gadis yang terkena usapan bunga memancar cahaya merah dan kepulan asap lalu lenyap.
“Luar biasa, aku merasa lega sekarang!” Berkata si gadis berpakaian merah muda. Dia berpaling pada Ni Gatri yang saat itu tengah mengembalikan Bunga Matahari pada Sakuntaladewi. Dia kedipkan mata dua kali lalu berkata.
“Sahabat cilik, masih kecil begini usapanmu mantap luar biasa. Apa lagi kalau kelak kau sudah gadis. Ah, beruntunglah lelaki yang bisa menjadi suamimu! Hik hik hik!”
Empat Mayat Aneh tertawa ditahan-tahan. Sakuntaladewi tampak bersemu merah wajahnya. Ni Gatri melengos cemberut. Setelah tertawa si gadis berkumis halus menoleh pada Sakuntaladewi.
“Kau telah menolongku dengan Bunga Sakti itu. Aku sangat berterima kasih. Sekarang mari kita lanjutkan bicara. Kalian berkata kalau aku telah menyelamatkan kalian dari hantaman petir. Aku... aku merasa tidak pernah menolong kalian. Kehadiranku di sini.... Ah, aku tidak boleh memberi tahu. Tapi kalian semua agaknya bisa aku percaya.”
“Kami mohon sahabat mau memberitahu apa sebenamya yang terjadi. Apa yang telah kau lakukan. Selain itu aku ingin memperkenalkan diri. Namaku Sakuntaladewi. Aku juga dipanggil dengan nama Dewi Kaki Tunggal. Anak perempuan ini bernama Ni Gatri. Aku ingin tahu siapa gerangan sahabat adanya yang konon aku diberi tahu mampu menahan, menangkap dan mempermainkan petir.”
“Kami Empat Mayat Aneh atau Empat Mayat Bersaudara.” Mayat Aneh Keempat menyambung kata-kata Sakuntaladewi. “Kami berempat juga ingin tahu siapa gerangan sahabat adanya.”
Si gadis berkumis halus menatap orang-orang yang ada di hadapannya lalu berkata. “Namaku Jaka. Orang-orang menyebutku Jaka Pesolek. Karena aku memang suka berdandan. Kalian sudah melihat diriku. Beginilah keadaanku.”
“Aku... aku masih belum mengerti,”kata Mayat Aneh Ketiga. “Sahabat ini sebenarnya seorang jaka atau seorang gadis?”
Mayat Kedua langsung meremas pinggang Mayat Aneh Ketiga. “Kau ini bicara apa? Mulutmu usil kurang ajar!”
“Orang bertanya tidak jadi apa...” Jaka Pesolek berkata sambil tersenyum. Dia kedipkan mata pada Mayat Aneh Ketiga. “Kalau ditanya aku ini seorang perjaka atau seorang gadis maka aku adalah kedua duanya.”
Ucapan orang membuat semua yang ada di situ jadi terdiam, terkesima melongo. Sakuntaladewi cepat memecahkan suasana yang agak mengganjal dengan berkata.
“Sahabat Empat Mayat Aneh menerangkan kau telah menolong diriku dan Ni Gatri dari hantaman petir. Sebaliknya kau tadi mengatakan tidak menolong siapa-siapa. Bagaimana ini? Aku tidak mengerti.”
“Aku akan jelaskan. Aku akan ceritakan pada kalian.” Jawab Jaka Pesolek. “Saat ini aku tengah menuntut satu ilmu aneh yang kedengarannya tidak masuk akal. Ilmu itu adalah ilmu Tangan Dewa Menangkap Petir. Hari ini aku berusaha merampungkan ilmu kesaktian itu. Tapi masih ada yang belum tuntas. Aku masih belum bisa membersihkan diri dari sisa-sisa petir yang masuk ke dalam tubuhku. Kalau kentut pasti aku akan mengeluarkan asap merah meliuk-liuk dari bawah bokongku! Betapa malunya! Hik hik hik!”
Empat Mayat Aneh ikut tertawa gelak-gelak mendengar ucapan orang. “Aku dan saudara-saudaraku telah menyaksikan ilmu itu. Sungguh luar biasa!” Berkata Mayat Aneh Kesatu.
“Aku datang ke Bukit Randugunting ini karena di sini cuaca selalu mendung dan paling banyak sambaran petirnya. Ratusan hari sudah aku lewati. Selama ini aku hanya menangkap petir yang kecil-kecil. Baru tadi muncul petir besar. Walau agak kesulitan tapi aku mampu menahan, menangkap dan mempermainkan petir itu sebentar lalu melemparkannya kembali ke udara. Kalian lihat sendiri tubuhku nyaris telah ditimbun bara menyala yang berasal dari panasnya api petir. Pada saat aku menahan dan menangkap petir besar kebetulan saja kalian lewat bersama peti besar hitam itu. Kalaupun kalian menganggap aku telah menyelamatkan dua nyawa dan peti hitam, semua terjadi secara tak sengaja, secara kebetulan. Mungkin kalau kalian tidak datang petir itu juga tidak muncul. Hik hik hik!”
“Bagaimanapun juga aku dan Ni Gatri tetap berterima kasih dan merasa berhutang budi dan nyawa padamu.” Kata Sakuntaladewi pula.
“Kami juga begitu,” ujar Mayat Aneh Keempat.
“Ah, lupakan segala peradatan. Hidup di dunia ini bukankah harus saling tolong menolong?”
“Kakak Jaka Pesolek...“ Tiba-tiba Ni Gatri berkata. “Mataram telah dilanda malapetaka yang diciptakan oleh orang-orang jahat. Semua orang termasuk Raja kejatuhan demam panas dan menderita lumpuh serta ada benjolan merah di kening. Saya tidak melihat benjolan itu di kening Kakak.”
“Adikku,” jawab Jaka Pesolek. “Terkadang kejahatan memang selalu satu langkah lebih dulu dari kebenaran. Tapi itu bukan berarti kejahatan mampu melakukan segala-galanya. Diatas kekuatan jahat masih ada kekuatan kebenaran dan semua itu berpulang pada kehendak Para Dewa. Kau lihat sendiri, Empat Mayat Aneh dan juga kakakmu Dewi Kaki Tunggal tidak memiliki benjolan di keningnya. Kau juga tidak ketularan penyakit bisul aneh itu. Semua telah diatur sesuai kehendak Yang Maha Kuasa!”
Sakuntaladewi berbisik. “Ni Gatri, apa yang dikatakan sahabat baru kita itu memang betul. Kita bangsa manusia merupakan mahluk penerima takdir sesuai kehendak Yang Maha Kuasa.” Sakuntaladewi kemudian bungkukkan badan memberi hormat pada Jaka Pesolek. “Sahabat, sayang sekali aku dan Ni Gatri harus meninggalkan tempat ini karena ada satu urusan sangat penting. Jika umur sama panjang aku berharap kita bisa bertemu lagi.”
“Dewi Kaki Tunggal, tunggu dulu. Kau mau kemana?!”Tanya Mayat Aneh Kesatu.
“Kami punya tugas membawamu menemui seseorang.”
“Sahabat berempat. Aku berterima kasih kalian telah mengajak aku melayang jalan-jalan di udara walau dari dalam peti yang tertutup aku dan Ni Gatri tidak bisa melihat pemandangan indah di luar sana. Lain kali peti matinya tolong dibuatkan jendela! Hik hik hik! Sahabat berempat, perjalanan dan pertemuan kita cukup sampai disini dulu. Lain kali jika kau mengajak lagi, pasti kami berdua tidak akan menolak. Kerajaan Mataram tengah dilanda bencana. Aku yang tidak memiliki kepandaian apa-apa ini bagaimanapun juga punya kewajiban untuk menyelamatkan Raja dan rakyat Mataram. Aku mohon maaf kalian semua.”
“Tunggu! Jangan pergi dulu! Kami membawamu menemui seseorang justru dalam tujuan untuk membantu menyelamatkan Kerajaan! Kami juga tidak punya kepandaian apa-apa.” Berkata Mayat Aneh Ketiga merendah.
Sakuntaladewi terdiam. Setelah menatap Mayat Aneh Ketiga sesaat dia lalu gelungkan tangan di pinggang Ni Gatri sambil berkata. “Sahabat berempat, kalian lakukan apa yang bisa kalian lakukan. Aku lakukan apa yang aku sanggup.”
Sakuntaladewi hentakkan kakinya yang cuma satu ke tanah. Kejap itu juga tubuhnya melesat membal ke udara. Dalam tiga kali lompatan saja bersama Ni Gatri gadis kaki satu itu telah lenyap di kaki Bukit Randu gunting.
“Urusan jadi kacau! Apa yang harus kita katakan pada...” Ucapan Mayat Aneh Kesatu terputus karena saat itu Mayat Aneh Kedua berseru.
“Astaga! Gadis cantik berkumis itu tak ada lagi disini!” Empat Mayat Aneh sama-sama terduduk lemas di atas batu besar datar. Setelah berdiam diri beberapa lama, Mayat Aneh Keempat keluarkan ucapan.
“Terus terang aku masih penasaran. Terserah kalian mau bilang aku bermulut kotor, tidak bisa memelihara mulut. Tapi aku ingin tahu, orang yang bernama Jaka Pesolek tadi, apa anunya anu lelaki atau anu perempuan. Atau dia punya dua anu! Hik hik!” Mayat Aneh Kedua menyahuti.
“Tadi gadis berkaki satu yang punya hidung di pipi itu menyuruh kau mengusapkan Bunga Matahari ke bagian bahwa perut! Mengapa kau tidak mau melakukan? Padahal jika kau lakukan kau bisa mengusap dan mengetahui dia punya anu apa atau punya anu berapa! Sekarang mengapa bicara segala penasaran?!”
“Ah, memang tololnya diriku!” Kata Mayat Aneh Keempat lalu usap-usap bagian bawah perutnya yang selalu ditekap sementara tiga saudaranya melangkah menghampiri peti mati besar hitam!
BUKIT BATU HANGUS. Pendekar 212 Wiro Sableng mulai melakukan tugas. Dia memilih menolong Tabib Sepuluh Jari Dewa alias Soka Kandawa terlebih dulu karena dilihatnya orang tua bertubuh gemuk berambut merah ini menjelepok di tanah, tersandar di batu dalam keadaan megap-megap nyaris tidak sadarkan diri. Begitu sampai di hadapan sang tabib Wiro segera tempelkan telapak tangan kanan yang sudah dialiri ilmu kesaktian Menahan Darah Memindah Jazad. Wiro mengusap empat benjolan di atas kening.
“Desss!”
Orang banyak yang melihat apa yang terjadi sama-sama keluarkan seruan dan menunjuk ke kening sang tabib. Soka Kandawa yang merasa ada perubahan pada dirinya, letakkan tangan kiri di atas kening. Astaga! Kening yang sebelumnya ada empat benjolan kini licin polos. Berpaling ke kiri dia melihat empat benjolan yang sebelumnya menempel di keningnya tergeletak di atas batu, berdenyut-denyut dan mulai leleh. Dan bukan itu saja! Demam panas yang selama ini membungkus tubuhnya dan membuat dia tiada henti menggigil ikut lenyap!
Lalu ketika dia menggerakkan kaki ternyata dua kakinya yang selama beberapa hari ini berat lumpuh kini bisa diangkat. Tidak tunggu lebih lama sang tabib langsung bangkit berdiri dan berseru gembira menyebut nama Yang Maha Kuasa berulang kali. Ternyata dia bukan hanya mampu berdiri tapi juga sanggup berjalan bahkan melompat! Sekali melompat dia sudah berada di hadapan Pendekar 212.
“Kesatria Panggilan, aku berterima kasih padamu. Aku...”
Wiro ingat pada ucapan Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal bahwa ilmu Menahan Darah Memindah Jazad yang dimilikinya dan dipakai untuk menyembuhkan orang, orang yang sembuh akan mampu menyembuhkan orang lain. Begitu secara berantai hingga pertolongan bagi semua orang di Bhumi Mataram dapat dilakukan secara lebih cepat. Maka diapun berkata.
“Tabib Sepuluh Jari Dewa! Kau sekarang punya kemampuan menyembuhkan orang. Pergunakan tangan kananmu untuk mengusap kening orang lain. Yang sudah sembuh harus segera menolong yang lainnya! Cepat lakukan!”
Mendengar seruan Wiro tabib gemuk berambut dan berpakaian serba merah itu segera menghampiri sahabatnya Eyang Dukun Umbut Watukura. Tangan kanan dengan cepat ditempelkan di kening sang dukun lalu beett! Sekali mengusap empat benjolan lenyap, berpindah ke telapak tangan.
“Weehhh!” Sang Tabib merasa ngeri dan jijik melihat empat benjolan merah yang menempel berdenyut denyut di telapak tangannya. Cepat-cepat dia kibaskan tangan kanan hingga empat benjolan jatuh terbanting ke tanah.
“Umbut Watukura! Kau sudah sembuh! Ayo kita menolong yang lain-lain!” Berteriak Tabib Sepuluh Jari Dewa.
“Hyang Jagat Bathara!” Eyang Dukun Umbut Watukura berseru lalu melompat bangkit. Sekali berkelebat dia sudah ada di hadapan Rauh Kalidathi, nenek sakti bermuka bulat.
Si nenek berdandan menor yang kini sudah awut-awutan dan tidak punya alis ini tertawa, sepasang mata dikedap-kedip. “He he... Terima kasih kau memilih diriku untuk ditolong lebih dulu. Ini bukan berarti karena kau suka padaku? Hik hik!”
Kesal mendengar ucapan si nenek Umbut Watukura bukan cuma mengusap kening, tapi malah mengeplak kening perempuan tua hingga Rauh Kalidathi terjengkang dan terpekik.
“Hai! Kau bernafsu sekali terhadapku atau memang kurang ajar?!” Teriak si nenek namun tertawa gelak-gelak ketika mengetahui benjolan di keningnya lenyap. Demam panas menghilang dan dua kaki sembuh dari kelumpuhan! Sadar kalau dirinya telah lepas dari sengsara azab Malam Jahanam, Rauh Kalidathi segera berteriak.
“Kesatria Panggilan! Cepat tolong Raja Mataram!” Lalu nenek ini berkelebat kian kemari menolong orang-orang yang ada di sekitarnya.
Mendengar teriakan si nenek dengan cepat Wiro mendatangi Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. “Yang Mulia, izinkan saya...” Ucap sang pendekar lalu arahkan tangan kanannya ke kening Sri Baginda. Seperti diketahui, ketika malapetaka Malam Jahanam jatuh menimpa Bhumi Mataram, Raja hanya menderita kemunculan benjolan di keningnya. Dia sama sekali tidak terserang demam panas dan kelumpuhan.
“Kesatria Panggilan. Lakukan tugasmu. Para Dewa memberkatimu. Jika sembuh aku dan semua pembantu akan segera menumpas orang-orang yang telah menimbulkan malapetaka!”
Begitu mendapat izin, Wiro segera tempelkan telapak tangan kanannya ke kening Raja Mataram. Namun hanya tinggal seujung kuku telapak tangan akan bersentuhan dengan kening yang ada empat benjolan, tiba-tiba dari arah utara bukit menggelegar dan berkiblat cahaya merah menyapu lereng Bukit Batu Hangus sebelah barat. Walau matahari pagi telah menerangi lereng bukit namun kilau cahaya merah membuat keadaan tambah benderang.
Melihat bahaya besar ini Wiro cepat menarik Raja Mataram ke balik batu besar lalu dari balik batu dia lepaskan pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari. Dalam waktu hampir bersamaan di langit Wiro melihat ada selarik sinar jingga melesat menghantam bagian tengah larikan cahaya merah angker.
Letusan dahsyat laksana seratus halilintar berkiblat menggoncang lereng Bukit Batu Hangus sebelah barat ketika cahaya merah, sinar putih pukulan sakti yang dilepaskan Wiro serta cahaya jingga saling bentrokan di udara. Wiro mendengar ada suara pekikan perempuan di atas sana. Lalu dia merasakan dadanya mendenyut sakit. Sementara itu puluhan batu-batu besar mengepulkan asap, terbongkar bergemuruh.
Diantara suara gemuruh batu runtuh terdengar banyak suara jeritan. Lalu tampak belasan orang berkaparan di lereng bukit dalam keadaan tubuh merah melepuh, mengepulkan asap! Salah satu korban yang menemui ajal secara mengenaskan itu adalah Klingkit Kuning, tokoh silat Istana Mataram berkepala gundul kuning yang belum sempat ditolong dilenyapkan empat benjolan di keningnya. Temyata hantaman cahaya merah memiliki kekuatan di atas cahaya putih dan jingga!
Dari lereng bukit sebelah atas kemudian terdengar suara tawa bergelak. Semula semua orang yang ada di lereng bukit sebelah barat mengira salah seorang dari dua Sinuhun jahat yang muncul menebar maut dengan serangan ilmu Delapan Arwah Sesat Menembus Langit atau Delapan Sukma Merah.
Namun ketika mereka menatap ke atas lereng bukit yang tampak adalah Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari. Saat itu dia masih mengenakan mantel hitam, namun ikat kepala dan pakaiannya telah berganti dengan warna biru pekat. Dan di tangan kanannya dia memegang sebuah benda yang terlihat aneh bagi semua orang Mataram tapi tidak aneh bagi Pendekar 212 yang sebelumnya pernah melihat benda itu.
Satu langkah di belakang Pangeran Matahari berdiri puluhan mahluk tinggi hitam berperut buncit menebar bau amis! Kepala botak bercula. Setiap mulut terbuka dari dalam mulut terjulur lidah panjang merah. Puluhan mahluk mengerikan ini berdiri sambil pentang dua tangan ke atas. Sepuluh jari tangan memiliki kuku panjang berwarna merah, mencuat laksana cakar elang! Meski dalam keadaan bugil namun tidak diketahui apakah mereka lelaki atau perempuan karena bagian bawah perut berbentuk licin plontos! Seratus Jin Perut Bumi Anak buah Sinuhun Merah Penghisap Arwah!
Di jajaran sebelah depan berdiri mahluk Jin Perut Bumi bertampang paling angker dengan hidung di Canteli sebuah anting-anting terbuat dari batu hitam. Inilah pimpinan Seratus Jin Perut Bumi yang biasa dipanggil dengan sebutan Sang Ketua.
Di dalam episode Dua Nyawa Kembar, diceritakan bagaimana Wiro dihadang oleh Seratus Jin Perut Bumi di dekat sebuah telaga selagi dia berusaha mencari Eyang Sinto Gendeng. Dalam pertarungan mati hidup dengan mempergunakan pukulan-pukulan sakti yang di dapat dari Datuk Rao Basaluang Ameh, Wiro berhasil menumpas musnah dua puluh jin. Kini walau mereka tinggal delapan puluh namun tetap saja bakal mendatangkan bahaya besar bagi Wiro dan semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus.
Tiba-tiba Sang Ketua keluarkan satu suitan keras. Puluhan anak buahnya serta merta melesat menebar dan dalam bilangan kejapan sudah membentuk lingkaran, mengurung lereng Bukit Batu Hangus sebelah barat! Melihat hal ini Wiro segera alirkan tenaga dalam ke tangan kiri kanan, menyiapkan pukulan sakti warisan Datuk Rao BasaWang Ameh yakni Pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari dan Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Dulu ketika dirinya diserbu Seratus Jin Perut Bumi.
(Baca episode sebelumnya berjudul Dua Nyawa Kembar) dengan dua pukulan sakti itulah Wiro membantai dua puluh Jin Perut Bumi.
Sambil memandang pada benda yang dipegang Pangeran Matahari di tangan kanan, Wiro berkata dalam hati. “Lentera lblis! Bagaimana Pangeran keparat itu bisa mendapatkan kembali senjata jahanam yang sudah hancur musnah itu? Pasti Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang melakukan. Aku tidak melihat mahluk terkutuk itu bersama Pangeran Matahari! Tapi aku merasa dia ada di sekitar sini. Memberi bantuan pada Pangeran keparat itu secara sembunyi. Aku harus merampas atau menghancurkan lentera itu. Bagaimana caranya. Aku ingat, ketika Eyang Sinto menghancurkan lentera itu dulu, dia tidak mempergunakan ilmu kesaktian, tendangan atau pukulan. Dia hanya menjepit lentera di antara dua kaki. Ada satu rahasia. Ada satu kelemahan pada Lentera Iblis itu!”
Benda yang berada di tangan kanan Pangeran Matahari memang adalah sebuah lentera yang mempunyai pegangan berbentuk kepala ular naga terbuat dari sejenis perunggu, mempunyai tiga dinding tembus pandang. Setiap dinding menyerupai kaca memiliki warna berbeda yaitu merah, kuning dan hitam.
Seperti diriwayatkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Api Di Puncak Merapi sebelum menemui kematian, Lentera Iblis yang menjadi senjata baru sang Pangeran berhasil dilumpuhkan dan dibuat meledak hancur berkeping keping oleh Sinto Gendeng. Kini bagaimana Pangeran Matahari muncul dengan membawa lentera itu kembali dalam keadaan utuh?
Sebelumnya Sinuhun Merah Penghisap Arwah berhasil menjajagi kalau Pangeran Matahari di masa kehidupannya di alam delapan ratus tahun mendatang memiliki satu senjata sakti hebat luar biasa. Setelah memandikan dan menjumpai-jampai sang Pangeran di Telaga Banyuraden serta memberikan seperangkat pakaian baru, Sinuhun Merah lalu menanyakan pada Pangeran Matahari senjata apa yang pernah dimilikinya, yang menurut penglihatan Sinuhun memancarkan cahaya tiga warna.
Pangeran Matahari ingat pada Lentera liblis yang pernah dimilikinya latu memberi tahu pada Sinuhun Merah. Sinuhun segera melakukan samadi kilat di atas satu pohon besar di pinggir Telaga Banyuraden. Kalau mendatangkan manusia yang sudah mati dan berada di alam arwah Sinuhun Merah mampu melakukan maka mengambil sebuah benda mati seperti Lentera Iblis hanya merupakan satu hal mudah baginya.
“Kesatria Roh Jemputan, aku sudah mendatangkan Lentera Iblis. Ini kesempatan terakhir bagimu. Bunuh Raja Mataram, musnahkan semua orang, yang ada, di Bukit Batu Hangus.”
Pangeran Matahari anggukkan kepala. Dia cepat mengambil Lentera Iblis yang diserahkan Sinuhun Merah. Tidak menunggu lebih lama secara gaib dan cepat Sinuhun Merah lalu membawa Pangeran Matahari bersama senjatanya ke Bukit Batu Hangus. Di tengah jalan melalui ilmu menyampaikan suara dari jarak jauh dia memberi tahu kepada saudara arwah kembarnya Sinuhun Muda agar segera menyusul ke Bukit Batu Hangus. Saat itu Sinuhun Muda berada di satu tempat dalam keadaan marah setelah dipermainkan oleh Empat Mayat Aneh.
Di Bukit Batu Hangus walau Sinuhun Merah Penghisap Arwah berdiri tidak jauh dari sang pangeran dan deretan delapan puluh jin namun tidak ada satu orangpun yang melihat sosoknya karena dia melindungi diri dengan ilmu bernama Insan Berjalan Tanpa Bayangan.
Keadaan bagi Pendekar 212 Wiro Sableng, Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala dan semua orang Mataram yang ada di Bukit Batu Hangus memang sangat mencekam. Selain di kurung oleh Seratus Jin Perut Bumi, mereka harus pula menghadapi Kesatria Roh Jemputan yang kini membawa senjata sakti mandraguna Lentera Iblis. Selain itu ditambah lagi dengan Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang secara licik tidak mau memperlihatkan diri. Belum terhitung Sinuhun Muda Ghama Karadipa yang segera akan muncul. Satu malapetaka besar dan dahsyat akan terjadi setiap saat atas diri Pendekar 212 dan orang-orang yang ada di Bukit Batu Hangus.
Di batik batu besar Raja Mataram yang tengah berusaha berdiri didatangi oleh Tabib Sepuluh Jari Dewa. Pada saat itu Pendekar 212 sendiri tengah mengalirkan hawa sakti ke seluruh tubuhnya yang tadi mengalami goncangan hebat akibat bentrokan pukulan sakti yang dilancarkannya untuk menangkis serangan jurus pertama Lentera Iblis jurus pertama Lentera Iblis yang disebut Api Neraka.
“Yang Mulia, harap tetap duduk dulu di tempatmu. Saya akan melenyapkan benjolan di kening Yang Mulia.”
Dengan cepat tabib gemuk yang sudah diselamatkan Wiro ini ulurkan tangan kanan ke arah kening Raja Mataram. Namun sebelum dia sempat menyentuh kening Rakai Kayuwangi tiba-tiba satu tangan luar biasa besar, hitam berbulu dan memiliki lima kuku mencuat merah mencekal lengannya. Sang tabib merasa tubuhnya seperti dipanggang oleh hawa panas luar biasa yang keluar dari tangan yang mencekal. Tiba-tiba! Sekali puntir saja kraak! Tangan kanan Tabib Sepuluh Jari Dewa berderak tanggal di bagian persendian bahu!
SELAGI Tabib Sepuluh Jari Dewa menjerit kesakitan, satu sosok tinggi besar menebar bau amis membanting tubuhnya ke batu besar. Bagaimanapun tabib ini bukan cuma ahli dalam bidang pengobatan tapi juga menguasai ilmu silat dan kesaktian. Ketika tubuhnya menghunjam ke bawah dia masih sempat memberi perlawanan. Dengan tangan kiri dia melepas Pukulan Tangan Api Menjebol Tembok Berhala. Tangan gemuk pendek sang tabib berubah panjang dan merah membara lalu bukk! Tangan itu menghantam telak dada mahluk tinggi besar yang berdiri di hadapannya yang bukan lain adalah salah satu dari sisa delapan puluh mahluk Seratus Jin Perut Bumi!
“Wusss!”
Dada jin yang kena dihantam pukulan berlobang besar. Dari dalam lobang menggebubu kobaran api. Jeritan keras menggelegar keluar dari mulut Jin Perut Bumi. Sebelum tubuhnya hancur dalam bentuk kepingan yang dikobari api dan amblas masuk ke dalam tanah Jin Perut Bumi masih sempat melanjutkan membanting Tabib Sepuluh Jari Dewa ke atas batu. Malangnya kepala sang tabib sampai lebih dulu. Sekejapan lagi batok kepala Tabib Sepuluh Jari Dewa akan pecah beradu dengan batu besar tiba-tiba satu bayangan jingga melesat dari arah kiri dan satu kaki aneh menyorong di antara kepala dan batu.
“Dess!”
Kepala Tabib Sepuluh Jari Dewa membentur kaki aneh. Dia terkesiap karena merasa kepalanya seolah membentur gumpalan kapas lembut, bukannya gundukan batu keras. Kemudian seperti bola kepala dan tubuh Tabib Sepuluh Jari Dewa membal ke udara. Kepala sang tabib selamat dari kehancuran, nyawanya lolos dari kematian!
Sadar kalau ada yang menolong dirinya Tabib Sepuluh Jari Dewa cepat membuat gerakan jungkir balik. Ketika dia injakkan kaki di tanah, berdiri termiring-miring karena tangan kanan tergontai-gontai lepas dari persendian, di hadapannya di atas batu dia melihat tegak seorang gadis berkaki satu, mengenakan pakaian jingga, memiliki hidung yang terletak di pipi kanan dan menggendong seorang anak perempuan yang bukan lain adalah Ni Gatri.
Ah! Sang tabib terkejut. Dia tidak menyangka kalau yang menolong adalah gadis aneh yang sebelumnya pernah dicurigainya. Sambil membungkuk orang tua bertubuh gemuk ini berkata. “Dewi Kaki Tunggal! Hyang Jagat Bathara! Terima kasih telah menyelamatkan selembar nyawa burukku!”
Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi turunkan Ni Gatri dari dukungan sambil berbisik “Cari tempat berlindung yang aman.” Lalu gadis berkaki satu itu melompat ke samping Pendekar 212. “Wiro, aku yakin sebentar lagi puluhan jin di atas sana akan menyerang kita semua di sini. Pangeran keparat itu akan menggempur dengan lenteranya. Secara sembunyi Sinuhun Merah Penghisap Arwah akan ikut melancarkan serangan licik tapi sangat berbahaya. Raja belum sempat ditolong…”
“Biar aku yang menolong Raja Mataram!” Ada satu suara menyahuti. Satu bayangan biru berkelebat. Rauh Kalidathi! Nenek bermuka bulat tak beralis yang barusan sembuh ditolong Eyang Dukun Umbut Watukura langsung melompat ke hadapan Sri Maharaja Mataram. Tangan kanan dipentang ke arah kening.
“Yang Mulia, maafkan saya karena berani menyentuhmu!” Tidak terduga tiba-tiba...
Wuuutt.... wuuut!
Dua sosok bugil tinggi besar sambil keluarkan suara menggembor mengikuti gerakan Rauh Kalidathi dari belakang. Ternyata tadi bukan hanya satu Jin Perut Bumi yang melesat dari lereng bukit di atas sana, tapi masih ada dua temannya. Keduanya, dalam keadaan marah besar setelah melihat seorang kawan mereka menemui ajal hancur berkeping-keping akibat jotosan Tabib Sepuluh Jari Sakti. Sebenarnya mereka ingin menghabisi sang tabib lebih dulu, namun ketika melihat Rauh Kalidathi hendak menolong Raja maka dengan cepat mereka mengejar si nenek.
“Nek awas di belakangmu!” Ni Gatri yang berada di balik satu batu besar berteriak memperingatkan Rauh Kalidathi.
“Nek! Teruskan menolong Raja! Aku akan melindungimu!” Dewi Kaki Tunggal berteriak lalu melesat ke udara. Kaki tunggalnya laksana kilat berturut turut mengirimkan dua tendangan ke arah kepala dua Jin Perut Bumi.
“Dukk! Dukkk!”
Dua tendangan yang bisa menghancurkan batu sebesar rumah itu menghantam sasaran dengan telak tapi temyata tidak mempan. Walau kepala terdongak keras dan kaki mereka amblas ke dalam tanah sampai pertengahan betis, dua Jin Perut Bumi hanya mengerenyit merasakan sakit yang tidak berarti. Didahului suara menggembor keras dua Jin Perut Bumi membuka mulut lebar-lebar. Dua lidah merah menyala melesat keluar, menyambar Dewi Kaki Tunggal!
“Plaakk!”
Telapak tangan kanan Rauh Kalidathi mendarat di kening Rakai Kayuwangi. Namun saat itu tubuh si nenek secara tidak sengaja terdorong oleh gerakan mengelak yang dilakukan Dewi Kaki Tunggal yaitu ketika di serang dua Jin Perut Bumi. Akibatnya dari empat buah benjolan yang ada di kening Raja Mataram, hanya dua saja yang tersentuh dan mampu dilenyapkan oleh Rauh Kalidathi.
Sadar akan hal ini si nenek kembali pergunakan tangan kanan untuk menyentuh kening Raja. Namun saat itu di belakangnya dia mendengar suara teriakan Dewi Kaki Tunggal. Selain itu dari sekeliling lereng bukit sebelah atas dengan mengeluarkan teriakan hiruk-pikuk puluhan Jin Perut Bumi melompat turun menyerbu. Puluhan lidah merah berkelebat ganas laksana pecut api. Beberapa batu besar yang terkena sambaran lidah api terbelah berkeping keping, berubah seolah menjadi bara menyala!
Di saat bersamaan Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari sentakkan Lentera Iblis yang dipegang di tangan kanan. Didahului suara menggelegar keras laksana petir menyambar cahaya merah berkiblat. Untuk kedua kalinya murid Si Muka Bangkai ini lancarkan serangan Api Neraka yang sebelumnya telah membantai belasan orang Mataram di lereng Bukit Batu Hangus. Hanya saja kali ini serangan Lentera Iblis ditujukan tepat-tepat ke arah Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.
“Dewi!” Wiro berteriak ketika melihat arah kilatan serangan lawan. “Lindungi Raja!” Dia tidak bisa turun tangan sendiri karena walau melihat dua puluh Jin Perut Bumi melesat ke arah Raja Mataram namun puluhan lainnya menyerbu menghadang dirinya!
Wiro sendiri yang saat itu telah berhasil memulihkan keadaan dirinya dengan cepat melesat ke udara sambil lepaskan pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari dan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Dengan dua pukulan sakti pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh inilah dia sebelumnya telah membantai dua puluh Jin Perut Bumi yang menghadangnya di tepi telaga.
Namun Pendekar 212 jadi terkesiap kaget sewaktu menyaksikan sosok belasan Jin Perut Bumi yang ada di hadapannya hanya terpental beberapa langkah, tidak cidera sedikitpun! Padahal dulu dengan dua pukulan sakti itu dia mampu membuat tubuh dua puluh Jin Perut Bumi hancur berkeping keping. Saat itu Wiro telah melayang turun dan berdiri di atas satu batu besar.
“Aneh, apa yang terjadi?!” Ketika puluhan Jin Perut Bumi kembali menyerang Wiro baru melihat, tidak seperti dulu, kini tubuh mahluk alam gaib itu semuanya diselimuti selapis cahaya samar berwarna kuning bersemu merah. “Ada kekuatan hebat melindungi mereka!” Ucap Wiro dalam hati.
Tiba-tiba dari balik batu besar terdengar suara. Yang berkata adalah Tabib Sepuluh Jari Dewa yang saat itu masih cidera berat, karena tangan kanan tanggal dari persendian di bahu akibat dipuntir oleh salah satu Jin Perut Bumi.
“Kesatria Panggilan. Mahluk-mahluk jin itu berasal dari api. Berarti hanya mampu dihabisi dengan ilmu yang berinti pada kekuatan api atau hawa panas. Aku tadi ... Ah, maafkan, aku tidak bisa bicara banyak. Aku harus membantu menyelamatkan Sri Maharaja…”
Sang tabib yang masih dalam keadaan cidera tangan kanannya, bersama Eyang Dukun Umbut Watukura, Dewi Kaki Tunggal dan beberapa orang lainnya yang memiliki kepandaian tinggi segera berkelebat memagari Raja dari serangan dua puluh Jin Perut Bumi. Walau tangan kanan sang tabib cidera namun Jin Perut Bumi merasa jerih mendekati Tabib Sepuluh Jari Dewa karena dengan tangan kirinya orang tua bertubuh gemuk ini masih sanggup melancarkan Pukulan Tangan Api Menjebol Tembok Berhala yang bisa membuat bolong tubuh mereka lalu meledak hancur berkeping keping. Mereka mengincar kelengahan lawan dan siap menyerang dengan semburan lidah merah menyala.
“Terima kasih atas petunjukmu Kek!” Wiro yang mendengar ucapan Tabib Sepuluh Jari Dewa tidak menunggu lebih lama segera pentang tangan kanan. Dia punya dua pilihan ilmu kesaktian yang berdasarkan hawa panas atau inti api. Yang pertama dengan mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu api sakti, yang kedua menghajar lawan dengan Pukulan Sinar Matahari! Wiro memilih yang kedua. Maka tangan kanan sang pendekar mulai dari siku sampai ke lima ujung jari tampak berubah laksana perak, bercahaya menyilaukan dan menghampar hawa luar biasa panas.
Di atas lereng bukit sebelah utara Sinuhun Merah Penghisap Arwah bertanya. “Kesatria Roh Jemputan, kau tahu pukulan sakti apa yang dimiliki jahanam berambut gondrong itu. Aku mencium hawa panas sangat berbahaya. Aku kawatir....” Belum sempat Pangeran Matahari menjawab tiba-tiba!
“Wusssss!”
Sinar putih berkiblat di lereng Bukit Batu Hangus sebelah barat. Udara serta merta berubah luar biasa panas seolah matahari berada hanya satu jengkal di atas kepala! Pukulan Sinar Matahari!
Belasan Jin Perut Bumi yang ada di deretan sebelah depan dan siap hendak melumat Wiro dengan lidah api merah, menggembor keras. Suara gemboran serta merta berubah menjadi raungan setinggi langit begitu mereka merasakan, sambaran hawa panas. Beberapa di antara mereka dengah nekad meneruskan serangan, yang lain-lain cepat menghindar.
Namun semua menjerit keras begitu Pukulan Sinar Matahari menghantam. Cahaya putih berkilau dan panas luar biasa menebar laksana kipas raksasa dikembang. Delapan belas Jin Perut Bumi terangkat ke udara. Lidah panjang merah yang mencuat berputar melintir berubah menjadi pendek dan berwarna hitam mengepulkan asap. Hanya sesaat mengambang di udara tiba-tiba tubuh sekian banyak mahluk gaib ini meletup keras dan hancur berkeping-keping lalu amblas ke dalam tanah di sela-sela bebatuan, meninggalkan tebaran bau amis!
Di atas lereng bukit sebelah utara Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang berdiri di samping Pangeran Matahari tapi tidak terlihat mata biasa karena menerapkan Ilmu Insan Berjalan Tanpa Bayangan tersentak kaget. Sepasang mata mendelik besar, tengkuk merinding dan darah mendidih. Dari batok kepalanya mengepul delapan larik asap merah!
Di sebelahnya pimpinan Seratus Jin Perut Bumi yang biasa disebut Sang Ketua atau Jin Ketua berteriak marah. Cula besar di kepala pancarkan cahaya merah menyala. Sepuluh kuku jari mencuat panjang, merah menggidikkan dan lidah api menyembur bergulung gulung. Sekali dia menghentak kaki kanan ke atas batu tubuh tinggi besarnya melesat ke lereng bukit sebelah barat. Dari sepasang mata menyambar keluar cahaya merah angker.
“Jin Ketua! Jangan nekad mencari mati! Kau tidak akan sanggup menghadapi pukulan bercahaya putih dan panas keparat Kesatria Panggilan!”
Tanpa hentikan gerakan Jin Ketua menjawab teriakan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. “Kalau begitu lindungi diriku dengan Cahaya Arwah Kuning Merah!”
“Tidak ada gunanya! Aku telah melakukan hal itu pada puluhan anak buahmu! Kau saksikan sendiri! Pukulan sakti pemuda gondrong itu menghajar hancur mereka semua!”
Sang Ketua menyahut sengit. “Lalu apa gunanya menghadirkan Kesatria Roh Panggilan kalau hanya menjadi penonton di tempat ini sementara puluhan anak buahku mati berkaparan!”
Mendengar ucapan Sang Ketua Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang berdiri di dekat Pangeran Matahari menyumpah panjang. Rahang menggembung, geraham bergemeletakan. “Kurang ajar! Pemuda keparat itu ternyata memiliki ilmu pukulan inti api mengandung hawa panas! Aku harus menerapkan ilmu Serat Berhala. Tapi apakah kali ini akan berhasil?!”
Ketika Wiro kembali mengangkat tangan siap menghantam dua puluh Jin Perut Bumi yang tengah menyerbu ke arah Raja Mataram, Sinuhun Merah Penghisap Arwah cepat berteriak.
“Kesatria Roh Jemputan! Cepat alihkan arah serangan Lentera Iblis pada pemuda keparat berambut gondrong itu!”
Seperti diketahui sebelumnya Pangeran Matahari dengan mengandalkan Lentera Iblis telah melancarkan serangan Api Neraka ke arah Raja Mataram. Namun mendengar perintah Sinuhun Merah Penghisap Arwah, apa lagi tadi dia menyaksikan sendiri bagaimana Wiro melabrak belasan Jin Perut Bumi dengan pukulan sakti yang dikenalinya sebagai Pukulan Sinar Matahari, dengan cepat dia segera putar pergelangan tangan sambil lipat gandakan tenaga dalam.
Lentera Iblis berubah arah, menukik ke jurusan Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu juga tengah mendapat serbuan dari sisa-sisa Jin Perut Bumi yang kini tinggal sekitar enam puluh termasuk dua puluh yang menyerbu ke arah Raja! Sekali lagi terdengar suara menggelegar laksana petir menyambar. Cahaya merah pekat yang keluar dari Lentera Iblis berkiblat ke arah lereng Bukit Batu Hangus sebelah barat!
Perhatian Wiro jadi terpecah. Yaitu mengawatirkan keadaan Raja Mataram sementara dirinya kembali diserang puluhan Jin Perut Bumi. Dalam pada itu ketika memandang ke arah utara dia melihat kilatan serangan Api Neraka yang keluar dari Lentera Iblis telah berubah arah, kini tertuju tepat ke padanya!
“Celaka! Aku tidak tahu kelemahan Lentera Iblis! Apa Pukulan Sinar Matahari sanggup membendung?!”Wiro geser dua kaki, membuat kuda-kuda yang lebih kokoh pertanda sang pendekar akan melancarkan pukulan sakti dengan tenaga dalam penuh!
Mendadak satu bayangan merah berkelebat dari arah timur. Daya lesatnya luar biasa cepat, tidak kalah dari kecepatan sambaran Api Neraka yang menyembur keluar dari Lentera Iblis. Berbarengan dengan itu ada suara orang berseru.
“Aih! Mengapa aku baru tahu kalau Bukit Batu Hangus ada petirnya!”
“Sialan!” Wiro memaki karena gerakannya hendak melepas pukulan sakti terhalang oleh sosok orang. Meski jengkel namun murid Sinto Gendeng tidak mau kesalahan tangan membunuh orang atau sahabat sendiri. Lelaki itu dia juga merasa heran, siapa gerangan orang yang bertindak nekad menghalangi datangnya serangan Api Neraka Lentera Iblis. Apa dia punya dua raga dua nyawa?!
DEWI KAKI TUNGGAL yang mengenali siapa adanya orang berpakaian merah cepat berteriak. “Jaka Pesolek! Jangan tolol! itu bukan petir. itu serangan senjata maut! Awas! Lekas menghindar!”
Mungkin tidak mendengar seruan gadis berkaki satu, mungkin juga tidak perduli orang berpakaian merah muda yang memang adalah Jaka Pesolek si Penangkap Petir terus saja melesat menyongsong sambaran cahaya merah yang keluar dari Lentera Iblis.
Semua orang di lereng barat Bukit Batu Hangus termasuk Raja Mataram terkesiap membelalak, ada yang berseru kaget tidak percaya ketika melihat bagaimana Jaka Pesolek mengembangkan dua tangan lalu secepat kilat menangkap ujung cahaya merah yang sebenarnya adalah serangan ilmu kesaktian Api Neraka yang keluar dari Lentera Iblis di tangan Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari!
Jaka Pesolek juga keluarkan seruan kaget karena tidak seperti petir yang beberapa kali berhasil ditangkap sebelumnya, petir yang satu ini walau agak mudah ditangkap namun mempunyai daya kekuatan aneh hingga pemuda pesole kini nyaris terbanting ke bukit batu.
“Hebat! Petir Bukit Batu Hangus ternyata Lebih nakal dari petir Bukit Randugunting! Aku suka! Hik hik hik!” Jaka Pesolek lalu perhatikan pakaian, tubuh serta kaki dan mengusap wajah. ”Aneh,”ucapnya perlahan. “Tidak seperti yang sudah-sudah, mengapa pakaian dan tubuhku tidak tertutup bara api? Hik hik hik. Ini lucu! Petir Bukit Batu Hangus ternyata lucu! Hik hik hik!”
Suara yang terdengar suara lelaki tetapi lembut sedang suara tawa cekikikan menyerupai tawa perempuan. Jaka Pesolek kerahkan seluruh ilmu kesaktian pada kedua tangan. Dia berhasil menggulung cahaya merah lalu ditarik ke bawah seperti menarik benang layang-layang kemudian dilibat-libatkan ke kaki, pinggang dan dada! Setelah itu Jaka Pesolek gulingkan tubuh beberapa kali di tanah sambil keluarkan suara tawa gembira seperti anak kecil tengah bermain-main.
“Enak juga panasnya! Tapi tidak seenak panasnya petir di Bukit Randugunting! Pusarku terasa geli! Hik hik!”
Setelah puas bermain main dengan cahaya merah yang sebenarnya merupakan cahaya serangan maut, Jaka Pesolek melompat bangun. Ujung cahaya Api Neraka dilempar keatas dan meledak di lereng bukit pada ketinggian enam tombak!
“Oala! Mengapa meledaknya aneh?!” Jaka Pesolek berucap kaget terheran-heran. Begitu memandang berkeliling barulah dia melihat apa yang terjadi dan langsung bulu kuduknya jadi merinding. “Ihhh..!”
Pangeran Matahari terjengkang akibat tenaga serangan Lentera Iblis yang membalik menghantam dirinya, Sinuhun Merah Penghisap Arwah berteriak kaget dan juga marah. Bukan saja karena serangan Api Neraka musnah namun dari atas bukit mereka melihat bagaimana tebaran cahaya merah melesat ke berbagai arah dan secara liar melabrak Jin Perut Bumi yang saat itu tengah melesat turun untuk menyerang Raja Mataram serta Pendekar 212.
Puluhan Jin Perut Bumi terpanggang hangus, meledak lalu lenyap setelah lebih dulu berubah menjadi kepingan menyala. Raungan dahsyat menggelegar di seantero tempat. Beberapa orang Mataram yang ada di lereng bukit ikut menjadi korban. Yang lain-lain masih bisa selamatkan diri karena cepat bertiarap. Jaka Pesolek menatap ke udara, memandang berkeliling. Dia seolah baru menyadari kalau ada banyak orang di tempat itu. Dua orang diantara mereka dikenalinya yaitu Dewi Kaki Tunggal dan Ni Gatri.
“Aih, di tempat ini ternyata banyak lelaki gagah dan ada pemuda lucu tapi ganteng. Aduh bagaimana wajahku. Jangan-jangan tidak karuan rupa!”
Dari balik pakaiannya Jaka Pesolek keluarkan sebuah cermin. Sambil menatap ke dalam cermin rambut dipatut-patut. Lalu dia mengeluarkan sebuah potongan kayu kecil berwarna merah. Benda ini dipoleskan ke atas bibir hingga bibir itu kini berwarna lebih merah dan tampak lebih segar. Setelah merapikan wajah, rambut dan pakaiannya, Jaka Pesolek simpan kembali cermin dan alat pemerah bibir. Dia memandang ke arah Rakai Kayuwangi sambil hati menduga duga karena seumur hidup dia memang belum pernah bertemu muka dengan Raja Mataram. Lalu gadis berkumis halus ini lontarkan lirikan pada Pendekar 212 Wiro Sableng!
Jin Ketua yang tengah melesat hendak menyerang Wiro menggembor keras sewaktu merasa paha kirinya mendadak panas luar biasa. Ketika diperhatikan ternyata paha itu sudah buntung. Rupanya ada pecahan sinar Lentera iblis yang terpesat menghantam kakinya. Ujung buntungan kaki menyala dikobari api sementara kutungan kaki sebelah bawah tidak diketahui berada dimana! Sebelum tubuhnya meledak Sang Ketua melesat turun ke bukit berusaha mencari air untuk memadamkan api yang mulai naik ke tubuhnya sebelah atas. Dari udara dia melihat satu mata air kecil. Langsung saja dia mengayun tubuh lalu masukkan kaki kirinya yang terbakar ke dalam mata air.
“Cesss!”
Air dan kaki yang terbakar saling bersentuhan menimbulkan suara menggidikkan. Jin Ketua menjerit setinggi langit namun dia selamat dari kematian! Cula di kepala pancarkan cahaya merah terang tapi berkedap-kedip. Lidah di dalam mulut terasa kaku pendek, tak mampu dijulur keluar. Dalam keadaan seperti itu pimpinan Jin Seratus Perut Bumi ini terperangah kaget ketika tiba-tiba dia melihat satu tangan kiri panjang merah menyala dengan jari-jari membentuk tinju hanya berada sejengkal di depan dadanya, siap menjotos! Jika hal itu sampai terjadi maka tak ampun lagi tamatlah riwayatnya dengan dada bolong dan tubuh dilamun api lalu meledak seperti yang terjadi dengan salah seorang anak buahnya begitu pertama kali mereka datang di Bukit Batu Hangus.
“Pukulan Tangan Api Menjebol Tembok Berhala!” ucap Jin Ketua dengan dada bergetar sambil menatap pucat ke arah Tabib Sepuluh Jari Dewa yang tegak di hadapannya.
Kalau saja lidah di dalam mulutnya tidak berubah pendek dan kaku, saat itu juga pasti orang yang berdiri di hadapannya sudah dilibas. Melirik ke samping kiri dia melihat gadis berkaki satu dan Eyang Dukun siap menghantam. Di samping kanan Kesatria Panggilan tegak dengan wajah menyeringai dan tangan kanan masih memancarkan cahaya perak menyilaukan disertai sambaran hawa panas. Lalu masih ada satu lagi orang tua berkepala gundul kuning yakni Klingkit Kuning yang dari penampilannya pasti pula memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tidak ada kesempatan untuk lolos dari lobang jarum!
Satu satunya cara menyelamatkan diri adalah dengan mengamblaskan tubuh masuk ke dalam tanah. Tapi jika gerakannya terlambat dan tangan kanan Tabib Sepuluh Jari Dewa menghajar tubuh atau kepalanya lebih dulu maka celakalah dirinya! Apakah dia berjibaku saja atau mengintai kelengahan orang?! Perlahan-lahan Jin Ketua jatuhkan tubuh dan duduk di tanah setengah bersila. Dengan suara bergetar dia berkata.
“Tabib Sepuluh Jari Dewa. Aku mahluk bersalah! Aku menyesal telah mengkhianati Raja dan Kerajaan Mataram yang memberi peluang hidup padaku, yang dulu pernah aku bela ketika terjadi pemberontakan besar di Bhumi ini. Untuk menebus dosa kesalahanku, aku tidak akan menghindari kematian di tanganmu. Namun, jika kau masih mau berbaik hati dan menaruh belas kasihan, aku mohon kau memberi ampun pada diriku. Aku merasa tidak sanggup kembali ke alam roh untuk selama lamanya. Aku akan berbakti padamu selama bumi terkembang!”
Tiba-tiba dua puluh satu Jin Perut Bumi anak buah Jin Ketua yang masih hidup melompat lalu berlutut di samping kiri kanan Tabib Sepuluh Jari Dewa. Salah seorang dari mereka berkata.
“Tabib sakti, jangan bunuh pemimpin kami. Kami bersedia menjadi tumbal kematian untuk kau bunuh sebagai pengganti nyawa gaib pimpinan kami.” Habis bicara, diikuti teman-temannya jin tadi pentang dada ke arah Tabib Sepuluh Jari Dewa, kepala mendongak, sepasang mata merah dipejamkan. Semua tampak pasrah, siap, menerima kematian.
Sesaat Tabib Sepuluh Jari Dewa jadi terpana. Namun diam-diam orang tua ini berpikir mengapa Ketua Seratus Jin Perut Bumi minta pengampunan padanya, bukan jatuhkan diri berlutut dan memohon pada Raja Mataram. Dalam kebimbangan sang tabib melirik pada Dewi Kaki Tunggal dan Eyang Dukun Watukura yang berdiri di dekatnya. Eyang Dukun diam saja.
Gadis berkaki satu geleng gelengkan kepala sambil memandang ke arah Pendekar 212. Sang pendekar sendiri kemudian menatap ke arah Raja Mataram. Saat itulah dia menyadari bahwa di kening Raja masih terdapat dua benjolan merah. Berarti Raja masih berada dalam keadaan bahaya. Tidak mau membuang waktu Wiro segera melompat ke hadapan Rakai Kayuwangi dan sapukan telapak tangan kanan di atas dua benjolan. Sambil melompat ke arah Raja Wiro berteriak.
“Jangan percaya ucapan mahluk-mahluk alam gaib itu. Mereka semua pandai menipu!”
“Dess!”
Wiro tersentak kaget ketika tangan kanannya terpental begitu bersentuhan dengan kening Raja. Mata mendelik tatkala melihat dua benjolan yang ada di kening Raja masih ada, tidak musnah! Malah tangan kanannya tampak bergetar hebat dan terasa seperti mau lumpuh! Wiro cepat kerahkan hawa sakti yang bersumber pada Kapak Naga Geni 212 yang ada di dalam rongga dada, dibantu yang ada dalam aliran darahnya!
MELIHAT keadaan Pendekar 212 Dewi Kaki Tunggal maklum apa yang terjadi. Cepat dia berteriak. “Wiro! Ada orang coba menyusupkan ilmu jahat ketanganmu! Ingat peristiwa waktu kau berusaha melenyapkan benjolan merah di kening Lemayang dan orang malang itu pecah kepalanya?! Saat ini agaknya kau masih menyimpan kekuatan tenaga dalam dan aji pukulan sakti di tangan kananmu hingga ilmu jahat yang hendak disusupkan tidak bisa tembus dan dirimu serta Raja selamat dari celaka besar!”
Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala tersentak pucat. Murid Sinto Gendeng terperangah. Mata Masih membelalak menatap ke arah Raja Mataram lalu pandangi tangan sendiri yang berwarna putih perak karena masih dialiri aji kesaktian pukulan Sinar Matahari.
“Ilmu Serat Berhata!” Ucap Wiro yang masih ingat dan menyebut nama ilmu hitam yang untuk kedua kali hampir mencelakainya dan Raja Mataram. “Jahanam keji. Pasti Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang punya pekerjaan. Tapi aku tidak melihat dia ada di atas lereng bukit sebelah utara sana!”
“Dia pasti ada disana. Sembunyi dibalik ilmu kesaktian yang menyesat pandangan mata!” Jawab Dewi Kaki Tunggal.
Mendengar ucapan gadis berkaki satu itu serta merta Wiro kembali merapal aji kesaktian. Begitu tangan kanan berubah warna menjadi perak menyilaukan dan menghampar hawa panas, dia segera menghantam ke arah bukit sebelah utara. Namun satu hal tidak terduga mendadak berlangsung di depan mata. Selagi semua orang terbagi perhatiannya pada Raja, Dewi Kaki Tunggal dan Wiro, Jin Ketua pergunakan kesempatan. Laksana kilat tangan kanannya yang besar dan berkuku panjang melesat ke arah kepala Tabib Sepuluh Jari Dewa tanpa sang tabib mampu membuat gerakan selamatkan diri.
“Praakk!”
Tabib Sepuluh Jari Dewa terjengkang di tanah dengan kepala rengkah menggidikkan. Semua orang yang ada di tempat itu berteriak kaget dan marah. Tapi wusss! Dengan mempergunakan ilmu kesaktiannya Jin Ketua amblaskan diri lenyap masuk ke dalam bumi, meninggalkan tanah dan debu serta kepingan batu yang bermuncratan ke udara.
“Akan aku kejar!” Dewi Kaki Tunggal berteriak. Tadi dia telah menyelamatkan tabib sakti itu. Ternyata sekarang tetap saja menemui ajal. Amarah Dewi Kaki Tunggal bukan alang kepalang. Tabib Sepuluh Jari Dewa dibunuh di depan mata kepalanya! Didahului teriakan keras Dewi Kaki Tunggal hunjamkan kakinya yang hanya satu ke dalam tanah lalu tubuhnya berputar laksana gasing. Dalam sekejapan saja sosok Dewi Kaki Tunggal sudah tenggelam sampai ke pinggang. Namun sebelum gadis itu lenyap dari permukaan tanah Raja Mataram cepat melompat memegang bahunya.
“Dewi, kau bisa mengejar. Tapi tidak akan mampu membunuh mahluk celaka itu. Bukan aku merendahkan ilmu kepandaianmu. Namun aku menduga kau tidak memiliki ilmu kesaktian yang berinti pada kekuatan panas atau api! Terlalu berbahaya. Kau bisa celaka dan menemui ajal!”
Menyadari Apa yang dikatakan Raja Mataram benar adanya, Dewi Kaki Tunggal tidak membantah. Dia memutar tubuh ke arah berlawanan dan kejap itu juga mencuat keluar dari dalam tanah. Walau mengenal Tabib Sepuluh Jari Dewa belum lama dan malah pernah mencurigai dirinya namun kematian orang tua bertubuh gemuk yang sangat mengenaskan itu membuat Pendekar 212 Wiro Sableng mendidih amarahnya. Pukulan Sinar Matahari yang tadinya hendak dipakai untuk menyerang musuh di lereng bukit sebelah utara kini dihantamkan ke arah dua puluh Jin Perut Bumi yang masih ada di tempat itu. Dua kali terdengar suara menggelegar dan dua kali pula cahaya putih panas menyapu.
“Gila! Ada petir bisa keluar dari tangan!Dua petir sekaligus!” Tiba-tiba ada suara orang berteriak.
Sementara itu dua puluh Jin Perut Bumi ketika melihat dua serangan sinar putih berkiblat menyambar ke arah mereka menjerit keras, berusaha melesat ke atas dan ada yang meniru pimpinannya, mengamblaskan diri ke dalam tanah. Namun Pukulan Sinar Matahari datang menghantam luar biasa cepat. Dua puluh Jin Perut Bumi mencelat ke udara dengan tubuh dikobari api. Begitu jatuh di atas bukit tubuh mereka tampak gosong hitam lalu meledak berkeping keping, berubah jadi asap dan akhirnya lenyap dari pemandangan, meninggalkan tebaran bau amis. Di lereng bukit sebelah utara terdengar teriakan-teriakan marah dan menyumpah.
Wiro melirik ke arah Raja Mataram ketika dia mendengar Rakai Kayuwangi menghela nafas dalam. Wajah sang Raja tampak redup. Dewi Kaki Tunggal membisikkan sesuatu ke telinga Wiro.
“Yang Mulia, apakah saya telah membuat kesalahan?Membunuh puluhan jin tadi?” Wiro bertanya setelah mendengar bisikan gadis berkaki satu.
“Kejahatan dan mahluk-mahluk jahat memang harus dimusnahkan dari muka bumi. Namun aku merasa hiba. Mahluk-mahluk yang disebut Seratus Jin Perut Bumi itu dulu adalah mahluk gaib yang berbakti pada para sepuh Kerajaan Mataram. Mereka ikut menyelamatkan Kerajaan ketika terjadi pemberontakan besar…”
“Yang Mulia, kalau saya telah berbuat keliru saya mohon maaf. Namun masa lalu adalah sesuatu yang tidak akan pernah datang lagi. Kita harus menghadapi kenyataan yang ada saat ini, Apakah kita akan menjadi korban kejahatan atau kita harus membasmi kejahatan agar kita tidak menjadi korban.”
Raja terdiam lalu pegang bahu Pendekar 212 dan berkata. “Kesatria Panggilan, kau tidak keliru.” katanya kemudian.
Wiro alihkan pandangan ke arah lereng bukit sebelah utara. Raja Mataram dan semua orang yang masih hidup ikut palingkan kepala memandang arah yang sama. Di lereng bukit sebelah utara Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari tidak kelihatan lagi. Namun di atas sana kini ada cahaya samar redup berwarna kuning kemerahan. Sayangnya tidak semua orang yang terlalu memperhatikan hal ini. Kecuali Dewi Kaki Tunggal yang berbisik pada Pendekar 212.
“Wiro, walau tidak kelihatan aku menduga orang-orang jahat itu masih ada di lereng bukit sebelah utara. Mereka sembunyi dibalik ilmu penyesat mata. Selain itu ada cahaya redup aneh diatas bukit sana.”
“Dewi, harap kau terus memperhatikan. Sesuatu yang mencelakakan bisa terjadi secara mendadak,” menjawab Pendekar 212.
Sementara itu Raja memerintahkan beberapa pengawal mengurus jenazah Tabib Sepuluh Jari Dewa dan Klingkit Kuning. "Kita akan menyemayamkan lalu membakar jenazah Tabib dan Klingkit Kuning bersama jenazah semua orang yang ada dibukit ini.”
Pendekar 212 berkata pada Dewi Kaki Tunggal. “Dewi, cepat kau lenyapkan dua benjolan merah yang masih ada di kening Raja Mataram. Aku tidak mau melakukan sendiri, kawatir ilmu setan Serat Berhala masih bersarang dalam tanganku.”
“Tapi aku tidak punya ilmu kesaktian itu karena tidak kejangkitan benjolan merah. Maksudku, aku belum kebagian ilmu Menahan Darah Memindah Jazad yang kau miliki. Bagaimana kalau kita minta Eyang Dukun saja yang melakukan.” Jawab Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal.
Wiro menggaruk kepala. “Tidak, harus kau sendiri yang melakukan. Jangan kawatir, aku akan menolongmu. Bukankah kau yang memberi tahu jika dipakai untuk menolong, dengan kehendak Yang Maha Kuasa ilmu itu bisa dipindahkan pada orang lain.”
Wiro lalu letakkan tangan kanan di punggung si gadis. Sambil merapal aji kesaktian dia mendorong gadis berkaki satu itu mendekati Raja Mataram. Bersamaan dengan itu Wiro kerahkan aliran sakti dan tenaga dalam ke punggung Dewi Kaki Tunggal.
“Sekarang Dewi!” ucap Pendekar 212 begitu Dewi Kaki Tunggal telah berhadapan hadapan dengan Raja.
Begitu mendengar ucapan Wiro, Dewi Kaki Tunggal segera angkat tangan kanan sementara Rakai Kayuwangi yang tahu orang hendak menolongnya maju mendekat sambil rundukkan kepala. Telapak tangan kanan yang halus Dewi Kaki Tunggal menyapu lembut di atas kening Raja Mataram. Kejap itu juga dua benjolan merah di kening Rakai Kayuwangi lenyap tidak berbekas.
Semua orang yang menyaksikan berseru gembira. Dan kegembiraan ini bersambung menjadi seruan-seruan panjang yang riuh sewaktu puluhan orang yang masih belum sempat disembuhkan mendadak sontak ikut lenyap benjolan-benjolan merah yang ada di kening mereka.
“Dewa Jagat Bathara!” berkata Eyang Dukun Umbut Watukura. “Rupanya angkara murka yang menimpa Bhumi Mataram oleh orang-orang jahat dipusatkan pada Sri Baginda Raja. Celaka Raja maka celaka semua yang hidup di Kerajaan ini. Sembuh Raja sembuh pula mereka semua. Aku yakin yang mengalami kesembuhan bukan cuma yang ada di bukit ini, tapi semua orang di seluruh Kerajaan...!”
Raja usap keningnya yang kini licin. Sepasang mata tampak berkaca-kaca. “Kuasa Para Dewa sungguh luar biasa.” ucap Raja Mataram dengan suara bergetar. Lalu dia memimpin semua orang di tempat itu berlutut sambil mengucapkan puji syukur dan terima kasih pada Yang Maha Kuasa. Dalam kekhusukan itu sekonyong-konyong di lereng bukit sebelah utara terdengar teriakan lantang disusul gelegar suara tawa.
“Raja dan rakyat Mataram! Jangan terlalu cepat bergembira dan bersyukur! Lihat apa yang aku bawa! Ha ha ha!”
Semua orang yang ada di lereng bukit sebelah barat sama terkesiap dan serentak dongakkan kepala.
“Astaga! Mereka menangkap Ratu Randang!” Yang berteriak adalah nenek bermuka bulat tak beralis Rauh Kalidathi.
DI LERENG Bukit Batu Hangus sebelah utara, dalam keredupan cahaya kuning kemerahan tampak berdiri seorang perempuan tua, tubuh terbungkuk, kepala menunduk dan muka lebam, mata terpejam bengkak, mulut terkancing. Rambut yang biasa dikuncir lucu ke atas kini lepas awut-awutan. Pakaian yang dikenakan tampak robek besar di beberapa bagian. Bukan cuma, Rauh Kalidathi yang tadi berteriak, semua orang serta merta mengenali kalau perempuan itu memang Ratu Randang adanya. Lereng barat bukit serta merta menjadi gempar.
Di leher Ratu Randang melingkar benda aneh berbentuk tali gelembung panjang sebesar lengan berwarna putih berlumur darah. Tali ini bergerak berdenyut seperti hidup. Di sela bibir perempuan berusia lebih setengah abad ini terlihat lelehan darah tanda dia menderita, luka dalam yang cukup parah.
“Ratu dijirat dengan rantai usus babi! Celaka!Kita tidak bisa membebaskannya kalau tidak menemukan bangkai babi yang punya usus dan membakarnya! Yang berteriak adalah Eyang Dukun Umbut Watukura.
Di samping kiri Ratu Randang, berdiri menyeringai seorang pemuda berpakaian serta mengenakan ikat kepala kain hijau. Wajah tertutup kumis, janggut dan cambang bawuk hitam. Ghama Karadipa alias Sinuhun Muda! Dialah tadi yang mengeluarkan suara teriakan serta tawa bergelak.
Di sebelah Sinuhun Muda berdiri Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari, memegang Lentera Iblis dan dongakkan kepala serta mengulum seringai penuh kecongkakan. Sepasang mata sesekali menatap tajam ke arah Jaka Pesolek. Agaknya ada semacam kebencian, mungkin juga dendam dalam dirinya terhadap gadis ini. Karena Jaka Pesolek-lah yang telah menggagalkan serangan maut Lentera Iblis yang tadi ditujukan untuk membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di sebelah kanan Ratu Randang ada satu sosok aneh. Sosok ini selain terlihat agak samar juga merupakan sosok seorang anak lelaki kecil berpakaian bagus, berusia sekitar dua belas tahun, memiliki sepasang alis mata tebal hitam. Walau wajahnya gagah namun sikapnya tidak kalah pongah dengan Pangeran Matahari. Dia tegak sambil rangkapkan dua tangan di atas dada dan mata menatap dingin sementara mulut menyeringai pencong. Sesekali tangan kirinya bergerak mengusap anting anting emas yang mencantel di telinga kiri.
“Yang Mulia, apa Yang Mulia tahu siapa gerangan anak lelaki samar di sebelah kanan Ratu Randang? Kelihatannya Sinuhun Muda Ghama Karadipa menaruh hormat padanya.” Bertanya Rauh Kalidathi.
Raja Mataram tidak segera menjawab. Dia berusaha berpikir keras. Wiro menggaruk kepala lalu berkata. “Bocah itu mirip dengan Kesatria Lonceng Mataram, Mimba Purana yang pernah saya lihat beberapa waktu lalu.”
“Kau benar,” menyahuti Raja Mataram. “Wajah sangat mirip tapi sikap dan penampilannya tidak seperti Mimba. Yang satu ini tampak congkak. Pakaian mewah sementara Satria Lonceng Dewa selalu mengenakan pakaian kain kasar dan sangat sederhana. Aku coba menduga…” Raja usap dagunya yang ditumbuhi janggut meranggas.
Mendadak wajah Rakai Kayuwangi berubah. “Dengar...” Katanya. “Aku pernah menyirap kabar. Anak lelaki ini pernah muncul sewaktu terjadi pemberontakan besar di Bhumi Mataram. Dia tidak berada di pihak Kerajaan! Hyang Jagat Bathara. Aku ingat sekarang! Dia adalah Dirga Purana, bocah kembaran Mimba Purana.”
Eyang Dukun Umbut Watukara melangkah mendekati Rakai Kayuwangi. Setengah berbisik dia berkata. “Keadaan kita sungguh sulit. Jika bocah itu berpihak pada Sinuhun Merah Penghisap Arwah.”
“Yang aku lebih kawatir,” sahut Raja pula. Dia bukan cuma berpihak pada Sinuhun Merah Penghisap Darah tapi justru dia yang jadi biang keladi semua malapetaka yang terjadi di Bhumi Mataram! Mulai dari Malapetaka Malam jahanam!"
“Yang Mulia, saya pernah mendengar tentang disebut-sebutnya Sang Junjungan oleh kelompok Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Jangan-jangan bocah inilah orangnya.”
(Tentang Dirga Purana harap baca Serial Mimba Purana Kesatria Lonceng Dewa karangan Bastian Tito)
“Bisa jadi,” jawab Raja pula. “Kita harus melakukan sesuatu menyelamatkan Ratu Randang.”
Wiro menatap tak berkesip ke arah lereng bukit sebelah utara lalu berkata. “Yang Mulia setahu saya Ratu Randang punya ilmu kesaktian merubah diri atau menjadikan benda mati atau benda hidup lainnya menyerupai dirinya. Mungkinkah saat ini dia tengah melakukan tipuan dan yang ada di atas lereng sana sebenarnya bukan dirinya yang asli?”
“Jika musuh mempergunakan rantai usus babi, maka semua kesaktian Ratu Randang akan lenyap sampai rantai usus babi itu tersingkir dari lehernya. Untuk menyingkirkan rantai usus babi kita harus mencari dan membakar bangkai babi yang punya usus itu!” Memberitahu Eyang Dukun Umbut Watukura.
Wiro melirik pada gadis berkaki satu. “Sesuatu telah terjadi dengan Ratu Randang sewaktu aku tinggal pergi kebukit ini.”
Dewi Kaki Tunggal berpaling pada Ni Gatri. “Ni Gatri, aku pernah memintamu menemui Ratu Randang untuk mengambil Bunga Matahari sakti. Ketika kau menemuinya bagaimana keadaannya?”
“Saat itu Ratu tampak biasa-biasa saja. Malah setelah memberikan Bunga Matahari Ratu sempat berkata kalau dia akan segera pergi ke Bukit Batu Hangus.” Menerangkan Ni Gatri.
Seperti diketahui ketika Ni Gatri menemui Ratu Randang, nenek berwajah cantik itu baru saja bertarung menghadapi Pangeran Matahari dan Tiga Iblis Menjunjung Dupa. Kakek Kumara Gandamayana yang muncul di tempat kejadian membantu Ratu Randang dan berhasil menghabisi Iblis Kedua. Namun dirinya sendiri dipendam di dalam tanah oleh Sinuhun Muda dan dua Iblis yang masih hidup.
(Baca episode sebelumnya berjudul Dewi Kaki Tunggal)
Mendengar keterangan Ni Gatri, Wiro menggaruk kepala. “Gawat juga! Bagaimana aku harus menyelamatkan Ratu Randang! Aku memilih mengadu jiwa!”
“Pendekar Dua Satu Dua!Tidak ada yang gawat kalau kau mau menerima diriku sebagai sahabat!Apa untungnya mengadu jiwa segala?!”
Di udara mendadak terdengar suara perempuan bicara. Lalu wutt! Sebuah benda hitam panjang melesat dari balik sederetan batu besar dan buuuk! Benda panjang ini jatuh bergulung di hadapan Wiro dan Raja. Keduanya cepat melompat mundur. Ternyata benda itu adalah seekor ular hitam besar berkepala putih. Dengan cepat ular tegakkan kepala. Melihat sikap yang mengancam dari binatang ini Wiro cepat menggeser kaki, berdiri melindungi Raja sambil tangan kanan siap melancarkan pukulan Tangan Dewa, Menghantam Karang. Ular besar miringkan kepala sambil keluarkan ucapan.
“Mau membunuhku? Apa untungnya! Padahal aku berniat memberikan pertolongan pada kalian!”
Habis bicara, wuss! Sosok ularh itam kepulkan asap dari kepala sampai ke ujung ekor. Lalu terdengar suara tawa panjang. Bersamaan dengan itu ular hitam kepala putih menjelma berubah menjadi sosok seorang gadis cantik mengenakan pakaian sutera halus hijau nyaris tembus pandang. Di kepalanya ada satu mahkota terbuat dari perak berkilau berbentuk kepala ular dengan sepasang mata terbuat dari batu permata hijau. Bau harum menebar keluar dari tubuh dan pakaian. Ular hitam kepala putih besar yang tadi lenyap kini kelihatan dalam ukuran lebih kecil, menyembul keluar dari perut si gadis!
“Dewi Ular!” Ucap Wiro tidak senang ketika melihat dan mengenali ujud gadis yang berdiri di hadapannya.
“Dewi Ular! Ah! Itu nama yang hebat tapi yang tidak membawa keberuntungan bagi diriku. Kau tahu nama asliku. Kunti Ambiri. Mengapa tidak memanggil aku dengan nama itu? Apa nanti tidak saru dengan sahabatmu gadis berkaki satu itu?” Ular jejadian yang kini merubah ujud menjadi seorang gadis cantik menjawab. Suara dan sikapnya yang selalu garang dan sombong menghina sekarang berubah lembut.
“Ada apa kau muncul di sini! Jangan berani membuat tambah kalut urusan! Apa kau tidak tahu kalau di sini hadir Sri Baginda Raja Mataram dan kami tengah menghadapi satu perkara besar!”
“Aku tidak bermaksud mengacaukan urusan kalian, apapun adanya. Aku juga mana berani berlaku tidak hormat terhadap Raja Mataram.” Habis berkata begitu Dewi Ular memutar tubuh menghadap Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala lalu membungkuk memberi hormat. Diam-diam matanya melirik ke arah Jaka Pesolek dan membatin.
“Sulit aku menduga apakah dia benar-benar betina atau jantan. Hik.hik.hik!”
“Aneh, kau sekarang kelihatan sopan dan lembut. Malah jelas-jelas berpihak kepada kami. Apa kau sudah tidak laku lagi menjual diri dan tipu muslihat di kalangan mahluk bernama Sinuhun Muda? Tipuan apa yang ada dibalik semua sikapmu ini?!” Tanya Pendekar 212 sambil menatap tajam tepat kearah sepasang mata Dewi Ular.
“Wiro, dengar. Aku tahu rahasia penangkal ilmu rantai usus babi yang menjirat leher Ratu Randang!”
“Siapa percaya Padamu! Semua orang di Bhumi Mataram tahu kalau kau adalah kaki tangan bahkan gendak Sinuhun Muda Gharna Karadipa!”
“Berucap dan menduga. seperti yang kau lakukan apa salahnya?” Jawab Dewi Ular. “Ketahuilah, orang-orang di lereng bukit sana sekarang sudah menjadi musuhku. Mereka menghina dan melecehkan diriku termasuk Pangeran Matahari! Aku diminta melayani beberapa mahluk edan yang jadi kaki tangannya! Termasuk Ketua Jin Seratus Perut Bumi yang tadi kakinya kau buat buntung! Siap asudi!”
“Aku tetap tidak percaya padamu! Aku tahu kau pandai mengarang cerita! Tidak ada yang memintamu datang ke Bhumi Mataram ini! Apa yang terjadi dengan dirimu menjadi urusanmu sendiri! Ular sungguhan saja punya seribu kelicikan. Apalagi ular iblis seperti dirimu!”
Dewi Ular tersenyum. “Wiro, dinegeri delapan ratus tahun mendatang kita bisa merupakan musuh bebuyutan dan saling berbunuhan. Bahkan kau memang telah membunuh diriku di jurang batu pualam. Ingat? Tapi di negeri ini apa salahnya kalau kita saling bersahabat. Bersatu menghadapi musuh Raja dan rakyat Mataram.”
Wiro tetap tidak bisa percaya ucapan Dewi Ular. Perempuan iblis ini mungkin saja tengah menyiapkan satu tipu daya besar. Raja Mataram Rakai Kayuwangi mendekati Wiro dan membisikkan sesuatu. Wiro kemudian menatap ke arah Dewi Ular. Lalu berkata.
“Tadi kau mengatakan kau tahu rahasia penangkal rantai usus babi yang menjirat Ratu Randang. Jangan menipu!Bagaimana kau bisa tahu...?”
Dewi Ular tersenyum. Ujung lidah di ulurkan membasahi bibir yang merah bagus. Mata di kedipkan. “Ketika masih bercinta dengan Sinuhun Muda, banyak rahasia yang aku dapat. Tidak beda ketika Ratu Randang menipu Sinuhun tolol itu!”
“Kalau begitu katakan rahasia itu padaku.”
“Aku malah telah membawa benda penangkal itu,” jawab Dewi Ular.
“Coba perlihatkan,” kata Wiro pula agak tidak sabaran tapi tetap berlaku penuh waspada. Bisa saja gadis iblis ini pura-pura mengeluarkan sebuah benda yang kemudian ternyata bisa meledak, membunuh atau meracuni semua orang yang ada di tempat itu.
Dewi Ular gerakkan tangan kanan ke balik dada pakaian. Gerakannya sengaja dibuat menggairahkan. Wiro jadi curiga. Bisa saja di bawah payudaranya yang putih kencang itu dia menyembunyikan satu benda yang dapat membawa celaka!
“Tunggu!" Wiro berkata dan cepat pegang tangan Dewi Ular. “Bersumpahlah bahwa kau bukan dikirim oleh Sinuhun Muda atau Sinuhun Merah untuk menipu dan mencelakai diriku, Raja atau siapa saja yang ada ditempat ini.”
Dewi Ular tatap sebentar wajah Wiro Pendekar 212 lalu rundukkan kepala mencium tangan sang pendekar penuh khidmat. Dasar gadis nakal, dari hanya mencium dia kemudian menjilat tangan Wiro, dengan ujung lidah, lantas berkata.
“Wiro, mahluk semacamku mana mengenal sumpah. Hidupku adalah gelap atau hitam. Jikalau kau menaruh curiga maka silahkan gebuk dan pecahkan kepalaku saat ini juga!”
Wiro terdiam, menoleh ke arah Raja. Ketika Raja anggukkan kepala, perlahan lahan Wiro tarik tangan kanannya yang masih dicium dan dijilati oleh Dewi Ular lalu berkata. “Kunti Ambiri. Bagaimanapun aku belum bisa percaya padamu. Tapi jika kau memang tidak membekal niat jahat harap kau segera perlihatkan padaku dan Raja benda penangkal itu!”
“Terima kasih kau memanggilku dengan nama itu. Bagiku itu sudah merupakan satu kebahagiaan dan kepercayaan,” kata Dewi Ular pula. Lalu dari balik dada pakaiannya Dewi Ular alias Kunti Ambiri mengeluarkan sebuah kantong kain hitam. Dari dalam kantong kain hitam dia mengambil satu bungkusan daun keladi. Ketika bungkusan dibuka di atas daun terlihat satu benda berbulu putih bergelimang darah menjijikkan.
“Apa itu?” tanya Wiro.
“Potongan kemaluan babi betina.” Jawab Dewi Ular.
“Huekkk!” Raja Mataram semburkan muntah. Wiro cepat menutup mulut karena mendadak sontak perutnya jadi mual dan ingin menyemburkan muntah pula.
Dewi Ular tertawa. “Pendekar, kalau umpamanya yang aku pegang ini bukan potongan kemaluan babi betina, tapi potongan kemaluan perempuan benaran apakah...”
WIRO menggaruk kepala. Walau kemudian membentak, dia berusaha sembunyikan senyum jengkelnya. “Kunti Ambiri!Jaga mulutmu! Kau bicara kotor apa dihadapan Raja!”
Air muka Raja Mataram sendiri tampak berubah merah mendengar ucapan Dewi Ular. Orang-orang yang ada di tempat itu terperangah. Nenek Rauh Kalidathi mesem-mesem. Dewi Kaki Tunggal dan Ni Gatri saling pandang sama-sama rikuh.
“Siapa yang bicara kotor!” jawab Dewi Ular. “Sebentar lagi akan aku buktikan!”
Sementara itu di atas lereng bukit sebelah utara, cahaya merah kekuningan yang sejak tadi tampak redup kini kelihatan lebih jelas. Pertanda ada satu kekuatan dahsyat yang tengah menunggu saat meledaknya. Sinuhun Muda mengusap wajah lalu berkata pada anak lelaki dua belas tahun di sebelahnya.
“Kesatria Junjungan Dirga Purana. Dewi Ular tiba-tiba muncul di lereng bukit sana. Gadis iblis itu menjual diri ke mana-mana.”
“Sinuhun salah seorang pembelinya!” tukas Dirga Purana sambil tersenyum lalu cibirkan mulut.
Tampang Sinuhun Muda menjadi merah kelam membatu. “Kesatria Junjungan, harap tidak terus terusan menyudutkan saya! Saya punya firasat kalau Dewi Ular saat ini tengah melakukan sesuatu yang bisa mencelakai kita. Jika saya dan teman-teman mulai menyerang, harap kau mau memberi perlindungan dengan ilmu Mega Kuning Sujud Ke Bumi!”
“Sinuhun Muda, aku kawatir. Selama bercinta dengan gadis iblis itu kau telah banyak terpedaya. Itu semua karena kelemahanmu. Tidak bisa mengendalikan nafsu syahwat! Ingat, sebelum Malam Jahanam turun ke Bhumi Mataram kau sudah diberi peringatan sebaiknya tidak menyentuh tubuh perempuan selama dua puluh satu hari”
“Kesatria Junjungan saya tidak lupa hal itu. Tapi peringatannya tidak jelas. Didahului dengan kata-kata sebaiknya. Yang berarti kalau dilanggar tidak ada masalah. Lagi pula semua ilmu kesaktian yang saya miliki akan berkurang dayanya jika saya tidak bersentuhan dengan hawa hangat yang ada dalam tubuh perempuan. Hal yang sama juga berlaku atas diri Nyawa Kembaran saya.”
Anak lelaki berusia dua belas tahun yang tampak samar dalam cahaya kuning kemerahan seolah tidak mendengar apa yang dikatakan Sinuhun Muda. Sepasang mata yang tadi menatap dingin kini tampak berkilat ketika pandangannya membentur Ni Gatri, anak perempuan berusia empat belas tahun yang berwajah cantik dan bertubuh sintal, yang sebelumnya berdiri agak terlindung di balik sebuah batu. Tanpa mengalihkan pandangan matanya dari Ni Gatri Kesatria Junjungan Dirga Purana berkata.
“Sinuhun Muda, aku hanya menyayangkan secara tidak sadar kau telah terbujuk menceritakan beberapa ilmu kesaktianmu termasuk penangkalnya. Bukankah begitu yang terjadi? Kau mengacaukan urusan sendiri!”
Sinuhun Muda tidak menjawab. Dia berpaling pada Kesatria Roh Jemputan. “Aku akan bertindak sesuai rencana. Jika gagal kau cepat menyerang Raja Mataram dengan Lentera Iblis. Jika pemuda aneh berpakaian merah muda melakukan sesuatu aku akan menghajarnya dengan Ilmu Delapan Arwah Sesat Menembus Langit. Jika Dewi Ular, Kesatria Panggilan atau siapa saja di lereng bukit barat sana ikut melakukan penyerangan saya harap Kesatria Junjungan mau melakukan sesuatu!”
Bocah lelaki berusia dua belas tahun tersenyum, angguk anggukkan kepala tapi matanya masih terus menatap ke arah Ni Gatri.
Kembali ke lereng bukit sebelah barat. Sambil memegang lengan Wiro Dewi Ular berkata. “Aku akan menyelamatkan Ratu Randang. Kalian semua disini harapmau membantu.” Lalu gadis alam roh itu melirik pada Jaka Pesolek. Setelah melempar senyum dia berpaling pada Dewi Kaki Tunggal dan berkata. “Kau punya sekuntum Bunga Matahari sakti. Mengapa tidak dipergunakan untuk menumpas kejahatan? Bukankah Sinuhun Muda musuh yang harus kau habisi karena dengan tipu daya liciknya dia hampir menghancurkan kehormatanmu? Ketika dia tidak berhasil merampas kegadisanmu dia menebar fitnah. Padahal bukankah dia saudara satu ayahmu sendiri?!”
Dewi Kaki Tunggal terbelalak. Sampai saat itu hidungnya masih berada di pipi kanan. Semua orang yang ada di tempat itu dan mendengar jelas ucapan Dewi Ular tersentak kaget. Dengan wajah berubah pucat gadis berkaki satu itu bertanya. “Dari darimana kau tahu semua itu.”
“Bukan saatnya untuk bicara panjang. Ada urusan lebih besar yang harus segera dilaksanakan!” Jawab Dewi Ular. Habis berkata begitu dia goyangkan dua bahu.
"Wusss!" Saat itu juga tubuhnya berubah menjadi ular hitam raksasa berkepala putih. Potongan kemaluan babi betina dimasukkan ke moncongnya, kepala dinaikkan hingga kini ekornya yang berdiri di atas batu besar. Tiba-tiba dari atas lereng bukit sebelah utara terdengar teriakan lantang.
“Raja Mataram Rakai Kayuwangi!Aku Sinuhun Muda Ghama Karadipa! Jika kau ingin aku menyerahkan nenek mesum orang kepercayaanmu ini dalam keadaan hidup, kau harus menyerahkan nyawa Kesatria Panggilan sebagai imbalan!”
Rahang Raja Mataram tampak menggembung oleh luapan amarah. Pendekar 212 kertakkan sepuluh jari tangan. Saat itu ingin sekali dia menghajar sampai lumat mahluk bernama Sinuhun Muda Ghama Karadipa itu.
“Yang Mulia,” kata Pendekar 212. “Saya tidak perduli!Saya akan menerima tantangan Sinuhun Keparat itu. Ratu Randang mungkin akan tewas. Tapi Sinuhun jahanam harus leleh ditangan saya!”
“Tunggu dulu!” Jawab Raja Mataram. Lalu dia berteriak. “Sinuhun Muda Ghama Karadipa! Kau tidak layak memerintah aku Raja Mataram. Lepaskan Ratu Randang atau kau akan menerima hukuman sangat berat!”
Sebagai jawaban Sinuhun Muda tertawa gelak-gelak. “Rupanya sekarang telah ada hukum berlaku di Bhumi Mataram! Tiga tahun silam ketika terjadi pemberontakan dan dua orang tuaku serta saudara-saudaraku dibantai secara keji dan kejam tanpa salah tanpa dosa saat itu tidak ada hukum! Rakai Kayuwangi tanganmu berlumuran darah dan sampai saat ini darah itu masih belum kering!”
“Siapa ayahmu yang menurutmu tidak berdosa tidak bersalah itu?!” Tanya Raja berteriak.
“AYAHKU Rakai Sedana Dyah Seladu!” Jawabn Sinuhun Muda dengan teriakan sangat keras hingga menggelegar di seantero bukit.
Raja Mataram terkejut. Semua orang Mataram terdiam. Sesaat kemudian Raja Mataram berkata. “Aku tidak pernah mendengar kalau Rakai Sedana Dyah Seladu mempunyai seorang putera bernama Sinuhun Muda Ghama Karadipa!”
“Raja Mataram!Kau bicara apa?!” teriak Sinuhun Muda. “Apa kau lupa kalau Rakai Sedana Dyah Seladu adalah saudara tuamu yang berhak atas tahta Kerajaan Mataram! Yang kau rampas tahtanya secara keji! Apa kau tidak sadar tahta Kerajaan yang kini kau duduki penuh lumuran darah rakyat Mataram yang kau bantai termasuk kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku?! Dan kalau semua orang mau tahu gadis berkaki satu bernama Sakuntaladewi itu adalah satu satunya anak perempuan keturunan Rakai Sedana yang selamat dari kezalimanmu selain diriku!”
“Juga selamat dari kezaliman bejatmu! Hingga dia menerima kutukan! Bukankah kau hendak merusak kehormatannya padahal kau tahu gadis itu ayahnya adalah ayahmu juga!”
Tiba-tiba Dewi Ular yang telah membentuk diri menjadi ular hitam besar dan berdiri lurus di atas ekornya keluarkan ucapan lantang. Sebelum bicara Dewi Ular keluarkan dulu potongan kemaluan babi betina yang ada di moncongnya yang dari jauh tidak terlihat apa adanya oleh Sinuhun Muda. Rahang Sinuhun Muda menggembung. Geraham bergemelatakan.
“Braakk! Bless!”
Gundukan batu yang dipijak Sinuhun Muda terbelah dan amblas ke dalam tanah! “Dewi Ular pelacur iblis! Kau akan segera mendapat bagianmu! Aku bersumpah akan memendam roh bejatmu dilapis tanah ketujuh!” Habis berteriak mengancam Sinuhun Muda berkata pada bocah lelaki di sampingnya.
“Kesatria Junjungan, aku mohon kau menyirap agar semua orang jangan ada yang bergerak dulu, termasuk ular hitam di atas batu sana! Biar kita bikin lumat mereka semua dengan sekali menggempur!”
“Aku mendengar ucapanmu dan akan melakukan apa yang kau minta!” Anak lelaki bernama Dirga Purana menjawab. Dua tangan dikembang ke samping lalu digerakkan ke depan. Saat itu juga cahaya kuning kemerahan yang sejak tadi menyungkup di atas Bukit Batu Hangus bergerak turun sampai seratus jengkal di atas lereng bukit sebelah barat, membuat semua orang Mataram tertegun dalam kejut dart takut!
“Ilmu Pembungkam Bumi.” desis Raja Mataram.
“Sinuhun keparat!” Tiba-tiba Eyang Dukun Umbut Watukura berteriak. “Anak siapapun kau adanya! Aku salah seorang sepuh di Bhumi Mataram yang tahu semua riwayat! Walau usia ayahmu lebih tua dari Raja Mataram Rakai Kayuwangi namun dia hanyalah anak dari seorang selir! Mana mungkin menjadi Raja dan berhak atas tahta Kerajaan Mataram. Rakai Sedana Dyah Seladu adalah tokoh dibalik pemberontakan. Mengajak anak istri serta saudara-saudaranya menghasut para pejabat dari tokoh silat serta rakyat Mataram di wilayah selatan untuk memberontak merebut tahta! Hukuman mati adalah hukuman yang setimpal bagi setiap pemberontak, dimanapun di muka bumi ini! Aku yakin tiga tahun lalu kau juga ikut melakukan pengkhianatan terhadap Kerajaan! Kalau Raja Mataram tidak menangkapmu saat ini, itu sudah satu berkah besar bagimu! Karena itu lekas angkat kaki dari sini dan bebaskan Ratu Randang maka kau akan mendapat pengampunan!”
Sinuhun Muda mendengus lalu meludah ke arah Eyang Dukun Umbut Watukura. “Tua bangka bermulut busuk! Kau adalah kacung penjilat pantat Raja Mataram. Tentu saja bicara yang bagus-bagus tentang Rajamu. Berapa ribu rakyat tak berdosa yang telah kalian bunuh ketika terjadi peperangan di Mataram tiga tahun lalu? Jika kau hendak menangkap diriku, mengapa tidak dilakukan sekarang juga?!”
Habis berteriak begitu Sinuhun Muda sentakan gelungan usus babi yang menjirat leher Ratu Randang hingga kepala perempuan tua ini tersentak, mulut mengeluarkan suara tercekik dan mata sesaat terbuka membeliak. Dari mulut makin banyak darah yang mengucur.
“Rakai Kayuwangi…” Sinuhun Muda berteriak.
“Mahluk kurang ajar! Jangan berani menyebut nama Raja Mataram selancang itu!” Membentak Eyang Dukun Umbut Watukura.
Sinuhun Muda Ghama Karadipa menyeringai lalu meludah. “Bagiku seekor anjing gila budukan adalah lebih mulia dan terhormat dari seorang Raja jahat pembantai rakyat!”
Mendengar dirinya dihina orang secara keterlaluan begitu rupa Rakai Kayuwangi berteriak geram. Walau tahu di lereng bukit sebelah utara bahaya besar mengancam, namun dia segera hendak melompat menyerbu.
“Yang Mulia, harap tetap disini. Biar saya yang merobek mulut mahluk kurang ajar itu!” Kata Pendekar 212 sambil menahan bahu Raja Mataram. Saat itu, melihat kesengsaraan Ratu Randang, amarah murid Sinto Gendeng jadi tambah menggelegak. Namun di sampingnya Eyang Dukun Umbut Watukura sudah lebih dulu berteriak dan bergerak.
“Mahluk jahanam terkutuk!” Eyang Dukun Umbut Watukura melompat ke atas satu batu besar. Kumis dan janggut putihnya sampai berjingkrak mendengar ucapan orang. Dari atas batu orang tua berjubah biru berikat kepala kain kuning ini lepaskan satu pukulan maut ke arah Sinuhun Muda. Selarik cahaya biru melesat ke arah lereng bukit sebelah utara yang hanya terpisah sekitar dua puluh tombak. Cahaya ini berbentuk aneh karena di sebelah ujungnya membuntal dua lingkaran yang berputar seperti gerinda raksasa.
“Astaga Mengapa bisa tembus?!” Anak lelaki yang dipanggil dengan sebutan Kesatria Junjungan dan bernama Dirga Purana berseru kaget ketika melihat Eyang Dukun Umbut Watukura bukan saja mampu bergerak tapi juga lancarkan serangan pukulan sakti yang menembus ilmu Pembungkam Bumi berupa cahaya merah kekuningan yang mengambang di atas lereng bukit. Dua tangan digosokkan ketelinga kiri kanan.
“Sinuhun, apa kau mendengar suara lonceng dikejauhan?” Wajah Dirga Purana tampak berubah dan suaranya bergetar.
Sinuhun Muda mendengus. Dia tidak perduli lagi. “Sepasang Cakra Bumi Langit!” Sinuhun Muda berteriak menyebut nama ilmu kesaktian serangan Eyang Dukun Umbut Watukura. “Ilmu mainan tolol! Bocah ingusanpun tidak akan menaruh takut!”
Sinuhun Muda sentakan kepala. Dari kening yang ada delapan benjolannya serta merta mencuat delapan larik cahaya merah disertai suara gelegar dahsyat' Serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!
“Delapan petir merah!” Jaka Pesolek yang sejak tadi berdiam diri menyaksikan semua kejadian berteriak girang. Gadis berkumis halus ini agaknya tidak dapat membedakan mana petir mana serangan. Dan dalam keadaan seperti itu dia jadi bingung sendiri. Dari delapan petir yang berkiblat, yang mana yang akan ditangkapnya lebih dulu.
Di atas batu besar, ular hitam berkepala putih yang merupakan perujudan Dewi Ular tiba-tiba berteriak marah. Potongan kemaluan babi betina yang barusan dikembalikan ke moncongnya tiba-tiba lepas direnggut orang!
“Kurang ajar! Siapa yang merampas kemaluan babi betina dimulutku!”
“Dewi Ular! Masih untung orang tidak menganbil kemaluannmu sendiri. Kalau kau sampai kecolongan dimana mencari penggantinya?! Hik hik hik!” Tiba-tiba ada orang berteriak disusul suara tawa cekikikan.
“Setan alas! Siapa berani bicara mempermainkanku?!" Teriakan suara laki-laki, cekikikan suara perempuan!Pemuda banci pasti kau!”
Di atas batu besar sosok ular hitam kepala putih semburkan asap hitam beracun ke arah suara orang yang berteriak dan tertawa cekikikan yaitu yang bukan lain adalah Jaka Pesolek.
“Dewi Ular! Hik hik! Aku hanya bercanda. Kita dipihak yang sama mengapa kau menyerang kawan sendiri?!” Jaka Pesolek cepat melompat, mundur hindari serangan asap be racun.
“Siapapun yang berani menghina dan mempermalukan diriku pastia kuhajar!”
“Oala! Jangan begitu. Aku hanya bergurau. Bergurau adalah kembangnya persahabatan. Main hajar adalah tanda kurang belajar! Hik hik hik! Sobatku cantik, nanti saja kita bicara lagi. Aku mau menangkap petir dulu., Ada petir bagus menggelegar diatas bukit!”
Dewi Ular yang masih jengkel berusaha mengejar Jaka Pesolek yang berhasil lolos dari serangan asap hitamnya. Kini dia berusaha mematuk. Namun saat itu dengan gerakan kilat Jaka Pesolek kembali berhasil menghindar. Sebaliknya Dewi Ular yang masih dalam ujud ular besar hitam kepala putih merasakan ada usapan lembut tapi hangat di kepalanya sebelah kiri, membuat dadanya bergetar. Dan aneh usapan ini membuat ujudnya kembali ke bentuk semula, seorang gadis cantik berpakaian sutera hijau tipis.
“Gila!” Dewi Ular merutuk sambil raba pipi kirinya yang tadi diusap Jaka Pesolek.
KETIKA delapan cahaya serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit yang dilancarkan Sinuhun Muda menggelegar ke arah cahaya biru pukulan Sepasang Cakra Bumi Langit yang dilepas Eyang Dukun Umbut Watukura, sewaktu Kesatria Junjungan Dirga Purana mendadak mendengar suara genta lonceng dan berseru kaget melihat Ilmu Mega Kuning Sujud ke Bumi dan Ilmu Pembungkam Bumi miliknya sanggup ditembus serangan sang dukun, pada saat itu seseorang tiba-tiba berkelebat ke udara.
Orang ini bukan lain Jaka Pesolek yang punya gerakan secepat kilat. Pemuda yang berdandan dan bersifat seperti seorang gadis ini sempat bingung sendiri. Ada delapan cahaya merah datang menyambar. Mana yang harus ditangkapnya?!
“Hebat tapi aneh! delapan sekaligus! Apa ini benar-benar petir?!”
Bingung hanya sebentar. Otak Jaka Pesolek cepat bekerja. Seperti yang sudah-sudah dia cepat menangkap salah satu dari sinar merah itu lalu digulungkan pada tujuh sinar merah lainnya. Namun dia hanya berhasil menggulung lima cahaya merah. Dua sisanya lolos menyambar ke arah Eyang Dukun Umbut Watukura yang tengah melakukan serangan Ilmu Sepasang Cakra Bumi Langit.
Begitu berhasil menggulung lima cahaya merah, Jaka Pesolek kerahkan tenaga dalam penuh. Lima cahaya diputar di atas kepala seperti titiran lalu dilempar ke udara. Lima cahaya merah yang digulung ditambah dengan satu cahaya yang menggulung meledak dahsyat antara lereng bukit sebelah utara dan sebelah barat, menghambur kobaran api ke berbagai penjuru, membakar beberapa pohon.
Jaka Pesolek bersorak gembira namun berteriak kaget ketika belum sempat menjejakkan kaki kembali di atas bukit, di bawahnya Eyang Dukun Umbut Watukura menjerit keras. Dua larik cahaya merah sisa dari gempuran Delapan Arwah Sesat Menembus Langit saling bentrok dengan ilmu Sepasang Cakra Bumi Langit yang tadi dipakai untuk menyerang Sinuhun, Muda.
Jaka Pesolek kembali berteriak sambil berusaha menolong Eyang Dukun Umbut Watukura. Namun takdir menentukan lain. Satu letusan dahsyat menggelegar. Cahaya merah dan biru mencuat ke langit menebar hawa panas. Bukit Batu Hangus laksana dihantam gempa. Beberapa batu besar menggelinding longsor. Orang-orang terhuyung, banyak yang jatuh terbanting. Beberapa diantaranya menemui ajal digilas atau terjepit batu. Ketika tebaran cahaya kuning kemerahan dan biru sirna, beberapa orang termasuk Raja Mataram menjerit keras.
Apa yang terjadi?! Di atas sebuah batu besar yang telah rengkah tergeletak mengerikan sosok Eyang Dukun Umbut Watukara dalam keadaan hangus hanya tinggal berupa tulang belulang gosong hitam!
Jaka Pesolek memandang dengan wajah pucat. Setengah sesunggukan dia berkata. “Orang tua, maafkan diriku. Aku tidak mampu menolongmu. Rupanya yang tadi itu memang bukan petir.”
“Sinuhun keparat! Kau harus mengganti nyawa Umbut Watukura dengan nyawa busukmu!” Raja Mataram berteriak marah. Dua tangan dipentang dan mendadak sontak berubah menjadi hijau pertanda dia telah merapal aji kesaktian Dewa Kembar Membalik Gunung.
Namun belum sempat melepas serangan, dari lereng bukit sebelah utara Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari telah menghantam dengan serangan Lentera Iblis! Sinar hitam menggidikkan menyambar panas dan ganas. itulah jurus kedua Lentera Iblis yang disebut Jurus Api Akhirat!
Melihat datangnya serangan, Raja Mataram cepat memutar badan. Pukulan Dewa Kembar Membalik Gunung yang tadi hendak diarahkan pada Sinuhun Muda kini sambil membuat gerakan melompat ke udara dihantamkan ke arah datangnya serangan Api Akhirat.
“Yang Mulia, saya bersamamu!” Dewi Ular beteriak dari atas batu lalu tubuhnya melesat ke arah lereng utara Bukit Batu Hangus. Yang dituju adalah Pangeran Matahari!
“Kakak Kunti Ambiri! Aku ikut kamu!” Dewi Kaki Tunggal yang tidak mau ketinggalan segera menyusul melesat ke udara sambil dua tangan membuat gerakan Enam Belas Gerakan Tangan Bisu. Enam belas larik cahaya biru menggebubu menyongsong serangan Api Akhirat.
“Yang Mulia! Dewi Kaki Tunggal! Kunti Ambiri!Batalkan serangan. Lekas menghindar! Kalian tidak akan mampu menghadapi serangan Lentera Iblis!” Yang berteriak memberi ingat adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun terlambat.
“Wusss!” Cahaya hitam Api Akhirat berkiblat.
“Blaar! Blaar!”
Raja Mataram yang melesat lebih dulu ke udara berseru kaget ketika melihat serangan Lentera Iblis tahu-tahu sudah berada satu tombak di depan mata. Dua tangan yang telah dipentang hendak melepas Pukulan Dewa Kembar Membalik Gunung mendadak terasa kaku! Maut tidak dapat dielakkan lagi!
“Dewa Jagat Bathara! Ketika rakyat saya masih dalam keadaan ditimpa sengsara malapetaka, apakah saya pantas mati lebih dulu!” Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala berteriak seolah putus asa.
Hanya setengah tombak lagi cahaya hitam Api Akhirat Lentera Iblis akan menghabisi Raja Mataram, tiba-tiba sebuah benda meluncur keluar dari lengan kanan Raja yang ternyata sebuah tongkat kayu. Tongkat kayu ini adalah tongkat sakti pemberian Eyang Dhana Padmasutra mahluk dari alam roh.
Seperti diceritakan dalam episode berjudul Empat Mayat Aneh. Eyang Dhana Padmasutra adalah utusan Para Dewa yang membantu Raja Mataram ketika tersesat di satu rimba belantara antara Prambanan dan Kali Dengkeng. Tongkat bukan saja bisa dipergunakan sebagai penunjuk jalan untuk menemukan Sumur Api tapi kesaktiannya juga akan menjadi pelindung Raja. Jika tongkat dipegang terbalik, yaitu ujung yang lebih kecil digenggam sementara gagang tongkat diarahkan ke bawah maka tongkat akan menyelamatkan Raja dari segala marabahaya. Eyang Dhana Padmasutra berpesan jika kelak telah bertemu dengan Kesatria Lonceng Dewa Mimba Purana, maka tongkat harus diserahkan pada anak lelaki itu karena sesungguhnya tongkat sakti adalah pinjaman dari ibu kandung Mimba Purana.
(Mengenai kisah tongkat serta riwayat Mimba Purana harap baca serial Kesatria Lonceng Dewa karangan Bastian Tito)
“Wut!” Tongkat sakti melesat ke udara, berubah ujud menjadi besar laksana batang pohon jati, lalu berputar seperti titiran raksasa! Merupakan tameng dahsyat melindungi Raja Mataram.
“Blaar!” “Traakk... trakkk... traak!”
“Blaaar! Blaaar!”
WALAU tongkat sakti yang membentuk tameng batang pohon jati hancur berantakan, berhambur berkeping keping dikobari nyala api, namun Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala masih bisa selamat. Meski demikian terpaan angin dan hawa panas Api Akhirat membuat Raja terlempar jatuh ke bawah. Pakaian hangus dan mengepulkan asap di beberapa bagian.
Sebelum tubuhnya terbanting di atas sebuah batu besar, satu bayangan merah berkelebat secepat kilat menangkapnya lalu dengan perlahan lahan diturunkan dan dibaringkan di tanah. Si penolong bukan lain adalah Jaka Pesolek yang punya gerakan secepat kilat menyambar!
“Putus, nafasku!” kata Jaka Pesolek terengah-engah. Maklum saja, tubuh Raja yang tadi digendongnya dua kali besar tubuhnya. “Aduh biyung, untung Raja masih selamat.”
“Keparat jahanam!” Di lereng bukit sebelah utara Pangeran Matahari menyumpah marah melihat Raja Selamat dari serangan mautnya. Lentera Iblis kini diarahkan pada Dewi Kaki Tunggal dan Dewi Ular yang tengah melesat ke arahnya. Sekali menggerakkan lentera maka menderulah cahaya kuning pekat. Inilah jurus ketiga Lentera Iblis yang disebut Liang Lahat Menunggu! Yang merupakan jurus paling ganas dari tiga jurus cahaya serangan Lentera Iblis!
Masih terpaut jauh dari cahaya kuning, Dewi Kaki Tunggal dan Dewi Ular sudah merasakan terpaan hawa panas. Seperti juga Raja Mataram tadi, Dewi Kaki Tunggal dan ular besar kepala putih mendadak merasa tubuh mereka kaku. Ada gelombang hawa aneh yang tidak bisa mereka tembus, yang bukan saja membuat keduanya tidak mampu mendekati lawan tapi juga tidak bisa bergerak. Dalam keadaan seperti itu serangan Liang Lahat Menunggu hanya tinggal sekejapan lagi di depan mata.
“Celaka! Ini pasti perbuatan Sinuhun keparat itu! Tadi sudah bisa ditembus mengapa sekarang .... Jangan-jangan.” Dewi Ular berteriak.
Mendadak dua cahaya besar aneh muncul lebih benderang di lereng Bukit Batu Hangus. Cahaya pertama berwarna kuning turun ke bawah dengan cepat disertai suara genta lonceng. Cahaya kedua kuning kemerahan. Udara di atas bukit untuk beberapa ketika menjadi redup. Lalu terdengar ledakan-ledakan dahsyat. Asap kuning dan merah mengepul dimana mana. Hawa panas menebar di udara.
“Kesatria Junjungan!Apa kau tidak memberikan perlindungan padaku! Mana kehebatan Ilmu Pembungkam Bumi dan Ilmu Mega Kuning Sujud Ke Bumi!” Sinuhun Muda berteriak marah.
“Aku sudah melakukan!” Jawab bocah dua belas tahun disampingnya yang tampak berdiri tegang. “Tapi apa kau tidak merasakan saudara kembarku Kesatria Lonceng Dewa berada disekitar sini?”
“Persetan dengan Kesatria Lonceng Dewa. Tiga tahun silam aku sudah minta engkau membunuhnya! Kau tidak melakukan. Sekarang ini akibatnya! Dimana mana dia selalu muncul mengacaukan segala rencana!”
Ketika terjadi ledakan-ledakan keras, selagi hampir semua orang di lereng bukit terhuyung-huyung dan banyak yang jatuh ke tanah, di atas sana sosok Pendekar 212 melesat ke arah Sinuhun Muda yang tegak tergontai-gontai sambil mencekal rantai usus babi yang menjirat leher Ratu Randang. Di tangan kanan Wiro memegang potongan kemaluan babi betina yang dirampasnya dari mulut ular hitam jejadian Dewi Ular.
Seperti yang dikatakan Dewi Ular, potongan kemaluan babi itu merupakan penangkal untuk menyingkirkan rantai usus babi. Karena tidak tahu bagaimana cara mempergunakan benda penangkal itu Wiro langsung saja tempelkan potongan kemaluan babi betina pada rantai usus babi yang melingkar di leher sebelah depan Ratu Randang.
“Dess!”
Wiro merasa tangan kanannya seperti dijalari api dan tubuhnya bergoncang keras. Sinuhun Muda berteriak kaget dan marah luar biasa ketika dalam jarak sedekat itu baru menyadari benda apa yang ada di tangan Wiro dan barusan ditempelkan ke rantai usus babi di leher Ratu Randang!
“Jahanam kurang ajar!Pasti ini pekerjaan gadis iblis Dewi Ular!”
Dengan cepat Sinuhun Muda sentakan tangan kanan yang memegang ujung rantai usus babi. Dengan gerakan ini dia bermaksud untuk menghabisi Ratu Randang saat itu juga. Jika maksud jahatnya itu berhasil maka leher Ratu Randang akan putus dan kepalanya akan buntung!
Namun terlambat. Begitu potongan kemaluan babi betina menyentuh rantai usus babi, berpijar satu sinar hitam. Saat itu juga rantai usus babi putus leleh mengepulkan asap hitam berbau busuk. Sosok Ratu Randang keluarkan suara batuk-batuk beberapa kali, mata yang sejak tadi terpejam mendadak membeliak, tubuh menggeliat Jalu roboh ke tanah.
Sinuhun Muda keluarkan suara meraung seperti srigala terluka. Dua telapak tangan dikembang lalu secepat kilat dihantamkan ke arah Pendekar 212 yang saat itu tengah berusaha mengimbangi diri dari goncangan hebat. Telapak kiri mencari sasaran di kening, telapak kanan melesat ke pertengahan dada. Ketika dua telapak tangan menghantam, jari tengah sengaja ditekuk! Ternyata Sinuhun Muda melancarkan serangan Delapan Sukma Merah yang sangat berbahaya dan paling ditakuti!
Mendapat serangan begitu rupa Wiro tidak tinggal diam. Tangan kanan dikembang lalu ditiup. Di telapak tangan serta merta muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau! Di kejauhan menggelegar suara gerengan harimau. Lereng bukit sebelah utara bergoyang laksana dilamun gempa! Wiro bukan saja mengeluarkan ilmu pukulan yang disebut Pukulan Harimau Dewa pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh dari Pulau Andalas, serangannya itu disertai pula aliran hawa sakti mengandung inti api yang berasal dari Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di dalam tubuhnya.
“Plaa! Plaak!”
“Bukk! Kraak!”
Wiro menjerit keras. Tubuhnya terpental hampir satu tombak lalu terbanting tertelentang di tanah. Kening dan dada kanan terasa panas.
Sehabis memukul Sinuhun Muda mendadak melihat ada seekor harimau besar putih bermata hijau menerkam ke arahnya. Entah harimau sungguhan entah jejadian. Dia tidak bisa menduga duga lebih lama karena saat itu juga Pukulan Harimau Dewa menghantam dadanya dengan telak.
“Bukk! Kraaak!”
Sinuhun Muda terlempar dari lereng bukit sebelah utara. Tubuh mengepulkan asap putih kehijauan. Di balik kepulan asap tampak dada yang hancur nyaris berlubang sebesar kepala. Sebagian isi dada dan perut kelihatan menguak, mengerikan. Namun anehnya tidak ada darah yang mengucur. Sinuhun Muda meraung keras.
“Kesatria Junjungan! Sinuhun Merah Penghisap Arwah kalian dimana?! Hekk!” Teriakan Sinuhun Muda terhenti. Tenggorokannya seperti dicekik sementara tubuhnya terus melayang ke bawah bukit. Tidak ada suara jawaban. Yang terdengar justru suara aneh. Suara kucing mengeong! Lalu!
“Buummm!”
Untuk kesekian kalinya di udara antara lereng barat dan lereng utara Bukit Batu Hangus menggelegar dentuman keras. Cahaya kuning polos dan cahaya kuning kemerahan membungkus udara hingga keadaan di tempat itu untuk beberapa lama menjadi kelam. Begitu perlahan lahan dua cahaya di atas sana sirna dan keadaan menjadi terang kembali, teriakan-teriakan keterkejutan terdengar di lereng Bukit Batu Hangus sebelah barat.
DIDAMPINGI Jaka Pesolek, di atas sebuah batu besar Raja Mataram terbujur tak bergerak. Walau akibat bentrokan Api Akhirat yang menyembur keluar dari Lentera Iblis hanya membuat dirinya cidera ringan, pakaian hangus, namun saat itu Raja juga merasa sekujur tubuhnya laksana luluh-lantak. Nafas mengengah engah dan sepasang mata setengah terpejam.
“Yang Mulia, bagaimana keadaan Yang Mulia. Apa ada yang dirasakan sakit?” Jaka Pesolek bertanya sambil usap kening Raja, agak bingung karena tidak tahu harus menolong bagaimana.
“Aku... aku tidak apa-apa. Bagaimana yang lain-lainnya?” Raja Mataram justru mengawatirkan keadaan orang lain yang ada di lereng bukit.
Rauh Kalidathi satu-satunya orang Kerajaan ditempat berkepandaian tinggi yang masih ada di tempat itu cepat mendatangi Raja Mataram. Nenek bermuka bundar tak punya alis ini memeriksa lalu menotok tubuh Raka Kayuwangi di beberapa bagian.
“Yang Mulia, syukur Dewa melindungi. Yang Mulia tidak apa-apa. Tak ada hawa beracun mengindap dalam tubuh Yang Mulia. Izinkan saya dan gadis ini menggotong Yang Mulia ketempat lebih aman.” Si nenek memberi isyarat pada Jaka Pesolek. Kedua orang ini lalu mengusung tubuh tinggi besar Raja Mataram beberapa belas langkah ke bagian bawah lereng lalu membaringkan di balik sebuah batu hitam.
Di bagian lain lereng barat Bukit Batu Hangus Pendekar 212 terbujur di tanah tak bergerak, mata terpejam dan ada darah meleleh dari sudut kedua mata. Di keningnya ada tanda bekas telapak tangan kiri berjari empat! Di pertengahan dada yang tersingkap juga kelihatan tanda telapak tangan kanan berjari empat. ltulah Pukulan Delapan Sukma Merah yang secara kasat mata dilakukan oleh Sinuhun Muda namun sebenarnya ada roh gaib lain yaitu Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang memberi kekuatan dan merasuk masuk ke dalam tubuh Sinuhun Muda.
“Wiro! Kau! Ohh Sang Hyang Jagat Bathara! Jangan.” Satu jeritan perempuan terdengar lalu ada sosok seseorang meneduhi tubuh Pendekar 212 dan mengusap kening serta dadanya berulang kali. Sambil mengusap dia kerahkan tenaga dalam mengandung hawa sakti memancarkan cahaya biru.
“Wiro, jangan mati! Kau tidak boleh mati!” Orang yang tengah berusaha menolong Wiro adalah gadis berkaki satu Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal. Melihat Wiro masih tetap tidak bergerak Dewi, Kaki Tunggal letakkan telinga kanannya di dada sang pendekar.
“Dewa Bathara Agung!Aku tidak mendengar suara detak jantung!” Wajah Sakuntaladewi berubah pucat. Lalu dia guncang tubuh Wiro keras-keras.
Tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tiada, Wiro buka kedua mata, tidak cukup besar dan pandangannya tidak cukup jelas. Namun hidungnya mencium bau harum. Wiro pejamkan mata beberapa kali lalu memandang lagi. Perlahan lahan dua tangan diangkat memegang wajah orang yang berada di atasnya. Dia melihat ada cahaya biru. Lalu ada wajah cantik samar. Mulut berucap perlahan tapi cukup jelas.
“Bidadari Angin Timur, kau.”
“Wiro, kau menyebut nama siapa? Aku... aku Sakuntaladewi. Aku gadis berkaki satu yang punya kaul. Aku Dewi Kaki Tunggal! Kau calon suamiku! Kau tidak boleh mati!”
Wiro terdiam, mulut ternganga. Mata dibuka lebih lebar. Bola mata membesar. “Dewi... kau,” sang pendekar berkata. “Pikiranku tidak jernih, kepala dan dada terasa panas. Pandangan mata kabur.”
“Kau, kau terkena pukulan Delapan Sukma Merah. Seharusnya kau sudah menemui ajal saat ini! Para Dewa pasti telah menolongmu! Wiro, di kening dan dadamu ada tanda telapak tangan berjari empat. Bekas pukulan Delapan Sukma Merah…”
Wiro mengusap kening lalu memperhatikan dadanya. Walau samar dia masih mampu melihat bekas telapak tangan kanan berjari empat yang tertera di dada. “Kepalaku memang terasa panas. Dadavsakit, nafasku sesak. Aku tidak pernah mengalami seperti ini. Apakah... apakah aku akan mati?”
“Tidak, kau tidak akan mati Wiro! Aku akan...”
Wajah pucat sang pendekar tersenyum datar. “Sebelum mati aku harus melakukan sesuatu. Aku telah membuat wajahmu yang cantik menjadi buruk. Aku akan mengembalikan hidungmu ketempat semula. Maafkan kalau aku...”
“Jangan pikirkan diriku. Yang penting kau harus sembuh lebih dulu. Kau telah memberikan ilmu itu padaku. Aku bisa melakukan sendiri nanti.”
“Tidak, aku yang melakukan, aku yang harus mengembalikan...”
Wiro gerakkan tangan kanan ke hidung Sakuntaladewi yang ada di pipi kanan. Hidung diusap lalu tangan dipindah ke pertengahan wajah. Ketika tangan diangkat hidung gadis itu telah kembali ke tempat semula secara. sempurna. Namun selesai melakukan hal itu, mungkin karena mengerahkan hawa sakti dikala tubuh cidera, dua tangan sang pendekar terkulai, jatuh ke samping. Mulut keluarkan keluhan pendek, mata kembali terkancing!
“Wiro!” Sakuntaladewi terpekik. Dia pegang dua bahu Pendekar 212 lalu digoyang keras-keras. Tubuh itu tidak bergerak, wajah tampak semakin pucat. Seperti tadi Sakuntaladewi letakkan telinga. kanannya di dada Wiro. Dia tidak mendengar suara detak jantung. Sakuntaladewi tempelkan dua telapak tangannya di atas dada Wiro lalu ditekan dihentakkan. Satu kali, dua kali. Sampai beberapa kali Wiro tetap diam tidak bergerak.
“Dewa Agung tolong saya. Tolong saya!” Sakuntaladewi berkata setengah meratap. Lalu gadis ini menotok kening, dada dan urat besar di pangkal leher kiri kanan Wiro. Setelah itu dia rundukkan kepala, jari-jari tangan kanan menekap dua lobang hidung Wiro, jari-jari tangan kiri membuka mulut yang terkatup. Lalu gadis itu tempelkan bibirnya ke bibir sang pendekar. Berulang kali dia menghembuskan nafas hangat ke dalam mulut Wiro. Tiba-tiba ada suara perempuan tertawa dan menegur!
“Hik hik hik! Sahabatku itu belum mati. Mengapa buru-buru memberikan cium perpisahan?!”
Saat itu tiba-tiba saja Wiro sadar dari pingsannya. Sambil terbatuk-batuk dia nyalangkan sepasang mata. Di arah lain ada lagi suara orang perempuan berucap.
“Seharusnya aku yang memberikan puluhan bahkan ratusan ciuman. Apa kalian tidak tahu kalau aku masih berhutang empat ratus enam puluh dua ciuman lagi pada Pendekar Panggilan?!”
Sakuntaladewi angkat kepalanya. Memandang ke kiri dia melihat Kunti Ambiri alias Dewi Ular tergeletak ditanah. Rambut hitam panjang tergerai lepas. Mahkota perak hilang entah kemana. Tubuh bagian pinggang ke bawah termasuk pakaian sutera hijaunya tampak hangus. Kelihatannya gadis alam roh ini hanya mampu menggerakkan dua tangan dan sebagian tubuh sebelah atas saja. Sementara tubuh pinggang ke bawah dalam keadaan lumpuh!
“Oala! Sahabatku muda! Nasibku celaka aku tidak perduli. Tapi kalau dirimu yang sengsara aku sungguh sedih. Tidak ada yang bisa menghilangkan tanda telapak tangan di kening dan dadamu selain dengan ciuman yang harus dilakukan oleh Sinuhun Muda atau Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Oala! Apakah kau mau dicium mahluk keparat itu. Lalu apakah dia maumenciummu? Hik hik!”
Wiro yang baru saja siuman dan mata masih menerawang ke langit mengenali suara itu. “Ratu... Ratu Randang. Kaukah itu!”
SEORANG nenek berambut kusut masai tidak karuan, berdiri di samping Wiro yang masih terbujur di tanah didampingi Sakuntaladewi. Sepasang matanya yang juling menatap hiba memperhatikan Pendekar 212. Ternyata dia memang adalah Ratu Randang si nenek yang sebenarnya berwajah cantik tapi kini dalam keadaan lebam bekas dianiaya orang, salah seorang kepercayaan Sri Baginda Raja Mataram.
“Wiro, aku berterimakasih kau telah menyelamatkan diri dan nyawaku dari tangan jahat Sinuhun Muda. Tapi akibatnya sekarang kau malah yang jadi sengsara. Bagaimana aku ganti menolong membalas budimu. Hutang empat ratus enam puluh dua ciuman saja masih belum lunas!”
Wiro yang masih menahan sakit di kepala dan di dada masih bisa tersenyum mendengar ucapan sinenek, Malah dia kemudian berkata. “Nek, jangan berterima kasih padaku, tapi berterima kasih pada Kunti Ambiri. Dia yang membawa benda penangkal rantai usus babi.”
“Kunti Ambiri? Siapa itu?Aku tidak pernah kenal dengan perempuan bernama seperti itu.” Kata Ratu Randang pula.
“Kunti Ambiri adalah nama sebenarnya dari Dewi Ular. Menerangkan Wiro.
Ratu Randang terkejut. Ini kali kedua si nenek terkejut. Pertama ketika mendengar disebutnya benda penangkal rantai usus babi dan kedua sewaktu mendengar nama Dewi Ular.
“Dewi Ular? Wiro, apa kau tidak salah bicara aku tidak salah mendengar? Bukankah gadis iblis yang sama datang dari alammu itu adalah musuh besarmu dan musuh orang-orang kerajaan? Semua orang tahu dia berpihak bahkan pasti sudah digilir oleh Sinuhun Muda. dan Sinuhun Merah dan beberapa kali hendak membunuhmu!” Si nenek kernyitkan kening.
“Sekarang tidak lagi Nek. Kalau dia memusuhi kita, tidak akan gadis itu muncul membawa benda penangkal.“
Ratu Randang bergumam. Agak senyum-senyum dia berkata. “Benda penangkal, maksudmu potongan kemaluan babi betina?”
“Betul Nek,” jawab Wiro.
“Ah…! Ratu Randang menghela nafas panjang lalu sambil menahan tawa cekikikan dia berkata. “Aku tidak heran. Kalau soal benda-benda semacam yang aku sebut tadi Dewi Ular memang ahlinya. Hik hik! Dimana gadis alam roh itu sekarang?”
“Nenek tua tapi masih cantik dan montok, aku disini. Apakah kau hendak menolong atau mau membunuhku!Aku menunggu apa maumu saja.”
Satu suara menjawab dari depan sebuah batu besar. Tidak tunggu lebih lama Ratu Randang segera melesat ke udara dan melayang turun di depan batu, dimana Kunti Ambiri alias Dewi Ular tergeletak. Walau masih bisa bicara namun tubuhnya sebelah bawah berada dalam keadaan hangus dan lumpuh. Ini bukan lain akibat bentrokan sebelumnya dengan cahaya, serangan Lentera Iblis serta sapuan cahaya kuning kemerahan yang menyambar dari lereng bukit sebelah utara.
“Sahabat, kau mengalami cidera berat! Kulihat tubuhmu pinggang kebawah dalam keadaan lumpuh. Aku kawatir tidak bisa, menolongmu…”
Dewi Ular tersenyum. “Sebenarnya aku tidak minta ditolong. Kau mau memanggil diriku dengan sebutan sahabat sudah merupakan satu hal sangat menggembirakan bagiku.“
“Jangan bicara begitu,” kata Ratu Randang pula sambil coba alirkan tenaga dalam dan hawa, sakti ke tubuh bagian bawah Dewi Ular.
Di saat yang sama dia merapal ilmu kesaktian bernama Tangan Langit Kaki Bumi. Dua larik sinar biru memancar dari dua tangannya. Dua kaki Dewi Ular hanya tersentak sebentar lalu diam lagi. Sampai sekujur tubuh si nenek keringatan tetap saja dia tidak bisa menolong Dewi Ular.
“Aku menyesal.” Ucap Ratu Randang pula. “Aku menduga ada satu kekuatan masih menolongmu sewaktu membantu Raja menggempur Kesatria Roh Jemputan bersenjata lentera.”
“Ah, tidak sangka kau mengetahui hal itu…”
“Ketika masih dijerat rantai usus babi tadi orang melihat dua mataku yang lebam seperti terpejam. Tapi aku masih mampu menyaksikan apa yang terjadi. Hanya saja saat ini aku berpikir-pikir.”
“Apa yang kau pikirkan Nek? Sisa ciuman yang masih empat ratus enam puluh dua itu?”
Ratu Randang terperangah tapi kemudian tertawa gelak-gelak. “Itu memang jadi pikiran dan sangat penting. Tapi yang saat ini aku pikirkan ialah aku heran melihat keadaan gadis berkaki satu yang dipanggil Dewi Kaki Tunggal itu. Dia ikut menyerang orang-orang di lereng bukit utara. Tapi mengapa dia hampir tidak mengalami cidera sedikitpun? Apakah dia memang memiliki kesaktian luar biasa?”
“Yang aku tahu dia masih sedarah dengan Sinuhun Muda. Tapi tidak berada di pihaknya. Lalu gadis kaki satu itu sebenarnya juga adalah cucu dari dua mahluk sakti Sepasang Arwah Bisu. Namun aku... Astaga!Aku ingat sesuatu!” Dewi Ular berucap setengah berseru lalu diam.
“Heh! Kau ingat apa?!” Ratu Randang bertanya tidak sabaran.
“Aku pernah tahu kalau gadis berkaki satu itu membekal sebuah bunga sakti. Sekuntum Bunga Matahari. Sebelum Sinuhun Muda dan Kesatria Roh Jemputan melakukan serangan aku malah sudah memberi tahu dan mengingatkan dirinya kalau bunga itu bisa dijadikan andalan.”
Belum selesai Dewi Ular dengan ucapannya, tidak menunggu lebih lama Ratu Randang segera berkelebat ke atas lereng dimana Wiro dan Sakuntaladewi berada.
“Anak gadis, apakah bunga yang aku kembalikan padamu melalui Ni Gatri sudah kau terima?” Tanya Ratu Randang begitu sampai di hadapan Sakuntaladewi yang tengah menolong Wiro yang saat itu telah mampu duduk bersandar ke sebuah batu besar.
“Mengapa kau menanyakan bunga itu Nek?” Balik bertanya Sakuntaladewi. Lalu tiba-tiba saja gadis ini ingat. “Hyang Jagat Bathara Dewi Ular pernah mengatakan sesuatu!”
Dengan cepat Sakuntaladewi keluarkan Bunga Matahari dari balik pakaiannya. Namun dengan cepat pula segera dirampas oleh si nenek. Dia hendak melesat turun kembali ke tempat Dewi Ular tergeletak namun batal karena ingat akan keadaan Pendekar 212. Bunga yang pernah dijampai oleh patung Nyi Roro Jonggrang di kawasan Candi Prambanan ini segera disapukannya di kening Wiro dimana terdapat tanda telapak tangan empat jari.
“Kalau ampuh disini, maka dengan kehendak Yang Maha Kuasa akan mampu untuk menolong semua orang!” Ucap Ratu Randang lalu.... wuss!
Asap kuning kemerahan mengepul dari kening yang diusap Bunga Matahari. Begitu asap sirna, tanda telapak tangan kiri berjari empat di kening Wiro lenyap tidak berbekas! Ratu Randang dan Sakuntaladewi berseru gembira. Wiro terbengong-bengong sambil meraba kening. Dia tentu saja tidak bisa melihat apa yang terjadi dengan keningnya namun saat itu rasa sakit di kepalanya serta merta lenyap begitu Bunga Matahari diusap di atas kening.
“Nek... Nek, masih ada satu tanda lagi,” kata Wiro pada Ratu Randang sambil membuka bagian dada pakaiannya.
“Kecil!” Jawab si nenek jadi sombong. Sekali menyapukan Bunga Matahari di dada Pendekar 212 maka tanda telapak tangan kanan berjari empat yang tertera di dada itu juga lenyap setelah lebih dulu mengeluarkan asap kuning kemerahan! Rasa sesak dan sakit di dada juga sirna!
“Terimakasih Nek,” kata Wiro sambil mengulurkan tangan. Tiba-tiba saja dia sudah merangkul Ratu Randang. “Sekarang biar aku bantu mengurangi hutang ciumanmu Nek!” Wiro memagut punggung dan belakang kepala si nenek. Lalu cup ... cup ... cup. Dia mengecup bibir si nenek berulang kali sampai si nenek megap-megap tapi tidak mau melepaskan diri seolah memang suka dicium begitu rupa! Tersengal-sengal Wiro hentikan ciuman. Dia melihat wajah si nenek yang bersemu merah. Mata dipejam, bibir diruncingkan tanda masih ingin dan siap dicium. Wiro berkata. “Sudah dulu Nek.”
Ratu Randang buka kedua mata dan usap bibirnya. Dia merasa ada kelainan. “Oala, kenapa bibirku terasa lain?Jadi lebih tebal.”
Wiro memperhatikan. Ternyata bibir si nenek sudah melembung merah! “Kau... kau membuat bibirku jontor!” kata Ratu Randang. Tangan kirinya bergerak menjewer telinga Wiro. Lalu sambil membawa Bunga matahari di tangan kanan nenek ini berkelebat menuruni bukit. Di lereng bukit Wiro berteriak.
“Nek, tadi aku tidak menghitung. Tapi paling tidak ada empat puluh kali aku menciummu. Berarti hutang ciumanmu kini tinggal empat ratus dua puluh dua!”
Si nenek hentikan lari. Memutar tubuh ke arah Wiro sambil kepalkan tinju. Sampai di hadapan Dewi Ular Ratu Randang berkata. “Dengan bunga ini aku berhasil mengobati Wiro. Mudah-mudahan bunga sakti ini juga bisa menyembuhkanmu.“
“Astaga! Setan mana yang menyedot bibirmu Nek?” Tanya Dewi Ular bergurau padahal sebenarnya dia tadi sempat melihat apa yang terjadi.
“Jangan menggoda. Kau mau aku tolong tidak?!” Kata Ratu Randang pula.
“Nek, jangan pikirkan diriku. Sebaiknya kau lekas menolong Raja Mataram. Dia di sana ditemani gadis yang ada kumis halusnya itu.” Dewi Ular menunjuk ke arah satu batu besar di belakang mana Raja berada bersama Jaka Pesolek.
Ratu Randang orangnya memang polos. Karena sudah merasa bersahabat dengan Dewi Ular, sebelum pergi meninggalkan gadis alam roh itu, Bunga Matahari diusapkannya di atas perut, punggung, pantat dan dua kaki Dewi Ular. “Biar aku tambahkan satu usapan lagi sebagai hadiah!” Kata Ratu Randang. Lalu tanpa banyak cerita lagi dia angkat bagian bawah pakaian sutera hijau Dewi Ular dan susupkan Bunga Matahari ke bagian bawah perut gadis itu.
“Hai nek! Kau ini gila apa?!” Teriak Dewi Ular kegelian tapi tidak sempat menghindar.
Ratu Randang tertawa cekikikan. “Kau bilang aku gila!Nanti lihat saja! Pasti banyak lelaki yang tergila-gila padamu! Hik hik hik!” Ratu Randang kembali tertawa panjang.
“Nek, bagaimana kalau nanti karena kualat bunga itu hilang kesaktiannya. Padahal kau belum menolong Raja!”
Walau lari terus ke arah dimana Raja dan Jaka Pesolek berada namun ucapan Dewi Ular membuat Ratu Randang jadi berdebar dan dingin tengkuknya. Dia jadi punya rasa kawatir kalau-kalau apa yang diucapkan Dewi Ular menjadi kenyataan. Bunga Matahari hilang kesaktiannya karena tadi langsung diusapkan ke bagian terlarang. Si nenek dekatkan Bunga Matabari ke hidungnya lalu mencium dalam-dalam.
“Tidak ada bau yang aneh.” ucap si nenek dalam hati. “Tapi tadi aku tidak sempat melihat. Apa Dewi Ular pakai celana dalam atau tidak ya? Gadis seronok itu! Jangan-jangan dia tidak pakai celana dalam!”
Jaka Pesolek terkejut ketika tahu-tahu Ratu Randang sudah berdiri di hadapannya. “Nek, kau datang membawa Bunga Matahari. Kau mau berbuat apa? Apa kau bisa menolong Raja?”
Ditegur begitu Ratu Randang hanya tegak terdiam. Dia masih memikirkan ucapan Dewi Ular tadi. “Kalau perbuatanku tadi memang mendatangkan kualat, berarti Raja memang tidak bisa ditolong. Celaka, bagaimana ini. Apa ada penangkal untuk menghilangkan kualat? Tadi aku usapkan ke anunya Dewi Ular. Mungkin penangkalnya lawan dari yang itu .... Hemmm.”
Lalu tiba-tiba sekali Ratu Randang rundukkan tubuh. Bunga Matahari yang ada di tangan kanan diusapkan ke bagian bawah perut Raja Mataram.
“Ratu Randang! Apa yang kau lakukan?!” Teriak Raja Mataram. Tapi akibat usapan bunga sakti pada bagian bawah perutnya segala rasa sakit yang diderita Raja menjadi lenyap. Malah setelah ada kepulan asap kuning kemerahan Raja langsung melompat bangkit. Dua tangan ditekapkan ke bawah perut. Kepala mendongak sementara sepasang mata berkedap-kedip meram melek dan lidah diulurkan berulang kali membasahi bibir.
Melihat hal ini Jaka Pesolek dekati si nenek dan bertanya. “Nek, apa yang kau lakukan pada Raja. Kelihatannya Yang Mulia seperti orang yang sedang keenakan. Coba aku lihat bunga itu Nek.”
“Jangan! Kau tidak sakit!”
Tapi Jaka Pesolek yang punya gerakan kilat sudah merampas Bunga Matahari dari tangan Ratu Randang lalu dengan cepat bunga sakti itu diusap ditekan-tekan berulang kali ke bawah perutnya sendiri! Tiba-tiba Jaka Pesolek menjerit keras. Bunga Matahari terlepas jatuh dari tangan kanan. Tubuh gadis ini jatuh tertelentang, Mata membeliak, bola mata berputar-putar. Mulut senyum-senyum.
“Gila! Apa yang terjadi?!” Si nenek cepat mengambil Bunga Matahari yang tercampak di tanah dan berpikir pikir sambil menatap ke arah Raja, lalu memandang pada Jaka Pesolek, setelah itu memperhatikan Bunga Matahari.
“Hemmm...” Si nenek bergumam. “Kalau tidak aku lakukan sendiri mana aku tahu apa yang terjadi dan dirasakan dua orang itu.” Tiba-tiba si nenek tekapkan kuat-kuat Bunga Matahari sakti ke bagian bawah perutnya. Sesaat kemudian sepasang mata si nenek tampak terbeliak, mulut menganga mengeluarkan suara erangan dan lidah terjulur.
“Oala Oala!” Ratu Randang berteriak berulang kali. Lututnya goyah, tubuh limbung lalu jatuh tertelentang menggeliat geliat di atas sebuah batu.
“Nek,“ tiba-tiba ada orang mendatangi dan bertanya. Ternyata Jaka Pesolek. “Nek, aku cuma mau tanya. Apa yang kau alami sama dengan yang aku rasakan. Aku merasa geli-geli aneh tapi enak di sebelah bawah tubuhku. Lalu sesekali seperti ada tangan lembut yang mengusap anuku. Hik hik.”
“Kalau sudah tahu mengapa masih bertanya?!” Ratu Randang mendamprat. Lalu kembali berteriak Oala... Oala Mata meram melek!
Jaka Pesolek tertawa panjang lalu jatuhkan tubuh melintang di atas tubuh si nenek!
“Gadis liar! Aku ini perempuan! Jika kau mau senang-senang cari lelaki saja!” Ratu Randang berucap marah karena tubuhnya dihimpit begitu rupa.
“Hikk hik...“ Jaka Pesolek kembali tertawa geli cekikikan. “Apa kau tidak tahu Nek?Aku ini bisa jantan bisa betina?!”
“Huekkk!” Ratu Randang keluarkan suara seperti mau muntah. Lalu dia membentak. “Setan alas!Jangan mengganggu! Jangan membuat aku marah. Aku sedang keenakan tahu!”
“Sama lagi Nek, sammaaa. Aku juga lagi. uhuk… uhuk…ihik ihik!” Jawab Jaka Pesolek dan terus saja menindih tubuh si nenek sementara dua kakinya bergerak melejang-lejang.
Apakah perbuatan Ratu Randang yang tidak sengaja mengusap bagian bawah perut Ratu Ular benar-benar telah mendatangkan kualat?
Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah tidak mau menerima kekalahan di Bukit Batu Hangus begitu saja. Mereka menyusun satu rencana baru antara lain dengan memanfaatkan Arwah Ketua, yang dikenal sebagai Raja segala arwah dan Penguasa Candi Miring di Bhumi Mataram. Bagaimana pula dengan keberadaan Sinto Gendeng yang tidak kunjung tersingkap?
Bagaimana kalau tiba-tiba Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dipergunakan untuk menggenang darah menebar maut? Ikuti cerita selanjutnya berjudul:
“AKU... AKU MASIH BELUM MENGERTI...” KATA MAYAT ANEH KETIGA. “SAHABAT INI SEBENARNYA SEORANG JAKA ATAU SEORANG GADIS?”
JAKA PESOLEK TERSENYUM. DIA KEDIPKAN MATA PADA MAYAT ANEH KETIGA. “KALAU DITANYA AKU INI SEORANG PERJAKA ATAU SEORANG GADIS, MAKA AKU ADALAH KEDUADUANYA...”
SATU
PETI mati hitam melesat di udara seolah terbang hendak menembus langit. Di ufuk timur sang surya memancarkan cahaya benderang namun belum mampu meredam kesejukan pagi. Di atas peti mati Empat Mayat Bersaudara atau Empat Mayat Aneh duduk uncang-uncang kaki. Sesekali terdengar mereka tertawa cekikikan,
“Gadis di dalam peti. Tubuhnya molek. Aku yakin dia cantik sekali. Tapi mengapa wajahnya aneh menyeramkan. Hidung berada di pipi! Ihh... bagaimana mau menciumnya! Hik hik hik!” Yang berkata adalah Mayat Aneh Kesatu, bicara sambil meletakkan dua tangan di atas mata.
Mayat Aneh Kedua turunkan dua tangan yang menekap mulut lalu menegur. “Saudaraku, apa kau lupa ujar-ujar. Pelihara Mulut Hanya Bicara Kebaikan?!”
“Walah… Aku salah! Aku memang salah! Tapi sekali-sekali bicara keindahan mahluk ciptaan Yang Maha Kuasa ada bagusnya untuk penyegaran. Apa lagi mayat-mayat seperti kita. Jarang bertemu gadis cantik. Hik hik hik.”
Mayat Aneh Kesatu lalu tampar-tampar mulutnya sendiri.
“Kita diminta membawa gadis itu ke Candi Kalasan. Untuk dipertemukan dengan kakek bernama...”
Ucapan Mayat Aneh Ketiga segera dipotong oleh Mayat Aneh Keempat yang selalu menekap bagian bawah perut. “Husss.." Jangan menyebut nama. Walau siang hari banyak roh jahat gentayangan mendengar segala pembicaraan kita!”
“Betul!” Menyahuti Mayat Aneh Ketiga sambil turunkan dua tangan yang menutup telinga. “Kalau sampai gadis di dalam peti diculik orang, celaka kita. Apa lagi kalau yang diculik cuma hidungnya yang aneh! Oala... dimana mau mencari hidung pengganti!”
Empat Mayat Aneh sama-sama tertawa terpingkal-pingkal. Lalu diam. Mereka rebahkan tubuh masing-masing di atas peti mati hitam besar. Mayat Aneh Kesatu menutup mata dengan dua tangan. Mayat Aneh Kedua menekap mulut. Mayat Aneh Ketiga kembali tutup telinga dengan dua tangan sementara Mayat Aneh Keempat menekap bagian bawah perut sambil sesekali di usap-usap dan mata terpejam meram melek!
Sunyi beberapa lamanya sementara peti terus melayang di udara. Tiba-tiba Mayat Aneh Ketiga bergerak duduk. Tangan kanan menunjuk ke arah muka.
“Apa tidak aneh! Disini terang benderang. Di depan sana mendung nyaris gelap gulita!”
Tiga Mayat Aneh lainnya bergerak bangun lalu palingkan kepala ke arah yang ditunjuk saudara mereka Mayat Aneh Ketiga. Mayat Aneh Pertama letakkan dua tangan di atas alis, menatap tajam ke depan. Lalu berkata.
“Mendung tebal di atas bukit Randu gunting sebelah utara! Memang aneh. Tapi kita tidak menuju ke sana. Candi Kalasan hanya tinggal setengah jalan lagi...”
Baru saja Mayat Aneh Pertama berucap tiba-tiba di depan mereka berpijar terang sambaran kilat diikuti gelegar suara dahsyat. Udara bergetar. Peti mati hitam bergoncang berderak. Empat Mayat Aneh dengan sigap melompat bangkit dan masing-masing melakukan gerakan agar peti mati kembali pada keadaan seimbang.
“Luar biasa! Petir menyambar di depan mata di siang bolong! Pertanda apa ini!” Berseru Mayat Aneh Keempat sambil terbungkuk mengusap bagian bawah perut.
Tiba-tiba untuk kedua kalinya halilintar berkiblat. Kali ini cahaya terang yang menggurat langit menyambar turun ke bumi hanya terpaut satu tombak saja dari bagian depan peti mati. Kalau tadi peti mati hanya bergoncang, kali ini peti itu berputar kencang hingga bagian yang tadi ada di depan berbalik ke kanan. Empat Mayat Aneh berteriak keras lalu sama-sama tertawa terkekeh-kekeh.
“Para Dewa tengah menghibur kita dengan permainan alam yang sungguh cantik!” Berseru Mayat Aneh Ketiga.
“Husss! Jangan bicara sembarangan!” Membentak Mayat Aneh Kedua.
Mayat Aneh Ketiga letakkan dua tangan di belakang daun telinga, lalu digoyang-goyang. “Hai! Apa kalian tidak mendengar suara orang tertawa gelak-gelak di bawah sana?!”
“Kami tidak mendengar apa-apa!”Jawab Mayat Aneh Keempat.
“Sekarang aku malah mendengar suara orang bertepuk tangan dan meneriakkan sesuatu.” Berkata lagi Mayat Aneh Ketiga yang pendengarannya memang jauh lebih tajam dari tiga saudaranya.
“Turunkan peti! Kita menyelidik ke bawah!” Mayat Aneh Pertama akhirnya berkata sambil mata dinyalangkan tajam-tajam berusaha menembus ketebalan mendung hitam di depan sana.
Empat Mayat Aneh menekuk lutut. Pantat disonggengkan. Beginilah cara dan gerakan mereka menurunkan peti. Perlahan lahan peti mati besar bergerak turun ke bawah.
“Hai! Kita kebablasan! Kalasan sudah kelewatan! Sekarang kita berada di bawah gumpalan mendung tebal. Di atas Bukit Randugunting!” Mayat Aneh Kedua yang berada di samping kanan peti mati berteriak.
Hanya sekejapan sesudah itu untuk ketiga kalinya kilat menyabung dari dalam gumpalan mendung. Dan sekali ini ujung kilat mengarah tepat pada peti mati hitam di atas mana Empat Mayat Aneh berada, sementara di dalam peti berada Dewi Kaki Tunggal atau Sakuntaladewi bersama Ni Gatri!
“Celaka! Mati kita semua!” Teriak Mayat Aneh Keempat.
“Turunkan peti cepat! Kita mati lagi bukan masalah! Yang penting bagaimana menyelamatkan gadis berhidung aneh dan anak perempuan yang membawa Bunga Matahari itu!” Mayat Aneh Kedua balas berteriak.
Empat Mayat Bersaudara kembali membungkuk dan sunggingkan pantat. Tenaga dalam dikerahkan ke kaki yang menginjak penutup peti. Peti mati besar laksana terjun dengan cepat bergerak turun kebawah menuju puncak bukit kecil bernama Randugunting.
Namun datangnya sambaran petir tentu saja jauh lebih cepat. Hanya sesaat peti itu akan menyentuh puncak bukit yang banyak ditebari bebatuan dan dikelilingi pohon Randu, seratus tombak di udara ujung petir yang laksana tombak api raksasa dan menghampar hawa luar biasa panas datang menyambar dahsyat.
Empat Mayat Aneh tidak bisa berbuat apa-apa selain melompat berserabutan sambil berteriak kecewa karena tidak mampu menolong Dewi Kaki Tunggal dan Ni Gatri yang terkurung di dalam peti mati!
Namun kenyataannya petir maut tidak sampai menyentuh peti mati besar! Masih lima puluh tombak di udara tiba-tiba ada suara orang berteriak girang.
“Bagus! Petir besar! Ini yang aku mau. Tiga ratus hari menunggu baru muncul! Ha ha ha! Huppp!”
Satu cahaya kemerahan melesat di puncak Bukit Randugunting. Demikian cepat daya lesatnya hingga mampu memotong datangnya sambaran ujung petir. Dan inilah yang sungguh luar biasa. Cahaya merah tadi bukan setan bukan jin melainkan ternyata adalah seorang anak manusia berpakaian merah muda. Dua tangan di kembang seperti seseorang menanggapi benda jatuh. Kepala mendongak sedikit dimiringkan ke kiri.
Ketika Ujung petir menghantam ke bawah, sulit dipercaya dan diterima akal, dua tangan orang yang terkembang membuat gerakan menangkap kepala petir hingga peti mati besar dan Empat Mayat Aneh yang ada di atas peti serta Dewi Kaki Tunggal dan Ni Gatri yang terkurung di dalam peti selamat dari kehancuran yang mengerikan!
“Wuttt…! Blaarr…!”
“Huaa! Ha ha ha! Ini dia yang aku tunggu!” Sosok orang berpakaian merah muda berpijar terang dan mengepulkan asap merah.
Laksana menangkap kepala seekor ular raksasa begitulah orang tadi menangkap ujung petir dengan kedua tangan lalu jatuhkan diri bergelung dan berguling di atas batu sementara mulut tiada henti keluarkan suara tertawa. Kalau tidak menyaksikan sendiri pasti tidak ada orang yang bisa percaya!
“Wah... wah! Mulai panas! Aku bisa leleh! Tubuhku bisa meledak! Hik hik hik!”
Orang di atas batu berteriak lalu tertawa cekikikan. Sambil melompat bangun, dua tangan yang memegang kepala petir didorongkan kuat-kuat ke atas seraya mulut berteriak.
“Pergi!”
Dua tangan berpijar terang! Petir besar bergoyang keras lalu terlempar ke udara. Sekitar tiga tombak dari atas bukit petir meledak dahsyat! Belasan batu besar hancur dalam bentuk ratusan keping menyala! Lusinan pohon Randu rambas tenggelam dalam kobaran api lalu tergelimpang tumbang dalam keadaan gosong.
Di atas bukit Randugunting, berdiri di atas batu besar, sekujur tubuh orang berpakaian merah muda mulai dari kepala sampai ke kaki kecuali wajah dan rambut nampak berpijar merah laksana terbungkus bara menyala. Sementara batu yang dipijaknya ikut membara dan mengepulkan asap. Tapi luar biasanya orang itu kemudian tampak berjingkrak-jingkrak dan bertepuk tepuk tangan. Lalu dia jatuhkan diri, berlutut di atas batu merah panas membara.
“Berhasil! Aku berhasil menangkap petir paling besar! Terima Kasih Para Dewa! Ilmuku rampung sudah! Hik hik hik!”
Habis tertawa cekikikan orang ini melompat girang, menari-nari di atas batu besar. Setiap pijakan kakinya meninggalkan jejak, membuat batu merah panas tenggelam seujung kuku. Sambil menari dengan gerakan yang tampak menggairahkan, orang di atas batu lantunkan nyanyian.
"Rampung ilmu pertanda berkah Dewa. Terima kasih wahai Sang Hyang Jagat Bathara. Punya ilmu bukan berarti sudah jadi orang pandai. Apa lagi hendak berkuasa seolah langit sudah di gapai. Ilmu untuk kepuasan dan keteguhan hati. Karenanya dipakai untuk berbakti menolong sesama insani"
Empat Mayat Aneh yang menyaksikan kejadian itu tampak terheran-heran tak percaya.
“Tidak bisa dipercaya! Tapi mata menyaksikan!” Ucap Mayat Aneh Kesatu sambil usap-usap sepasang mata sementara Mayat Aneh Keempat tegak tertegun sambil pegangi bagian bawah perut.
Mayat Aneh Kesatu kembali usap-usap sepasang mata. “Selama puluhan tahun hidup jadi orang, selama puluhan tahun jadi mayat aku sudah melihat ratusan keanehan! Tapi baru hari ini aku menyaksikan ada orang mampu menangkap petir, menggeluti lalu melemparkannya kembali ke udara seperti anak kecil bermain pita-pitaan! Apa benar dia anak manusia atau Dewa Agung yang menjelma turun ke bumi!”
“Yang jadi perhatianku bukan cuma semua itu. Tapi apakah kalian tidak melihat bagaimana goyangannya tadi ketika menari?” Mayat Aneh Kedua keluarkan ucapan, lalu menyambung. “Dada besar putih menyentak-nyentak, pantat berpinggul besar diogel-ogel. Oala...”
“Huss! Jaga mata hanya melihat kebaikan! Jaga mulut hanya bicara kebaikan!” Mayat Aneh Ketiga membentak.
Diam sesaat lalu Mayat Aneh Kedua berkata. “Hai! Suara, orang yang tubuhnya membara itu aku dengar seperti suara lelaki. Tapi mengapa tawanya menyerupai suara perempuan. Aku mau melihat lebih dekat. Kalian ikut?! Jangan-jangan ada Puteri Jin yang kesasar main-main di bukit Randugunting!”
Habis keluarkan ucapan Mayat Aneh Kedua siap melompat ke arah orang yang masih berdiri di atas batu dalam keadaan tubuh membara merah dan mengepu. Tiga saudaranya segera, pula melakukan hal yang sama. Namun gerakan mereka terhenti ketika tiba-tiba.
“Braakk!”
Serangkum cahaya biru melesat keluar dari dalam peti! Papan penutup peti mati hitam terpentang lebar. Bahkan ada bagian yang berpatahan. Dari dalam peti melesat keluar Dewi Kaki Tunggal diikuti Ni Gatri!
“Oala! Hancur peti kediaman kita!” Teriak Mayat Aneh Ketiga.
“Bagaimana mungkin!” Mayat Aneh Kesatu ikut berteriak. “Seratus setan gentayangan saja tidak mampu membuka penutup peti!”
********************
DUA
DI DALAM serial sebelumnya Dewi Kaki Tunggal diceritakan sewaktu Sinuhun Merah Penghisap Arwah hendak membunuh Dewi Kaki Tunggal dengan tendangan maut, tiba-tiba di langit muncul Sepasang Arwah Bisu. Dua kakek nenek dari alam roh ini segera melindungi Dewi Kaki Tunggal yang sebenarnya adalah cucu mereka sendiri dengan ilmu Empat Tonggak Istana Dewa. Empat cahaya putih berkilau yang keluar dari sepasang mata mereka memagari si gadis.
Namun dengan ilmu kesaktiannya yang luar biasa tinggi Sinuhun Merah Penghisap Arwah menjungkirkan empat cahaya putih hingga berbalik menyerang Sepasang Arwah Bisu. Untungnya kakek nenek ini masih bisa selamatkan diri dan menghilang dari pandangan mata, masuk kembali ke dalam alam arwah.
Kemarahan Sinuhun Merah Penghisap Arwah terhadap Dewi kaki Tunggal semakin menjadi-jadi. Dia membuat aliran bara panas di tanah yang siap melumat tubuh gadis berkaki satu itu. Namun niat jahat sang Sinuhun lagi-lagi terhalang dengan kemunculan tidak terduga sebuah peti mati besar. Kepulan asap putih yang keluar dari bagian bawah peti menyumbat aliran cairan bara panas hingga untuk kedua kalinya Dewi Kaki Tunggal yang masih berada dalam keadaan tidak sadarkan diri selamat dari kematian.
Dari dalam peti kemudian melompat keluar empat mahluk yang sekujur tubuhnya kecuali wajah yang putih pucat tertutup oleh gulungan kain putih. Mereka bukan lain adalah Empat Mayat Aneh. Mayat Aneh Pertama dan Mayat Aneh Ketiga dengan cepat memasukkan Dewi Kaki Tunggal ke dalam peti.
Sinuhun Merah Penghisap Arwah berusaha menghalangi dengan melancarkan serangan. Namun gagal. Ni Gatri yang kemudian muncul membawa Bunga Matahari juga dimasukkan ke dalam peti. Sebelum peti ditutup Ni Gatri masih sempat melihat sosok Dewi Kaki Tunggal terbaring di lantai peti. Peti ditutup dari luar. Keadaan di dalam peti selain pengap juga gelap sekali.
“Dewi... Dewi Kaki Tunggal...” Ni Gatri memanggil. Tak ada jawaban. Dewi, saya takut sekali. Ada empat mahluk aneh memasukkan kita ke dalam peti. Sepertinya peti tengah melayang di udara. Kita mau dibawa kemana? saya mencium bau kemenyan. Saya takut. Dewi. Kau masih hidup atau bagaimana...?”
Tetap saja tidak ada jawaban. Ni Gatri beringsut ke kiri hingga tubuhnya bersentuhan dengan tubuh gadis berkaki satu. Tubuh sang Dewi terasa hangat. Dia berharap tubuh itu masih bernyawa. Namun anak yang cerdik ini ingin lebih meyakinkan. Dia meraba ke sebelah atas hingga tangan kirinya menyentuh wajah Sakuntaladewi.
Ketika tangan diletakkan di atas hidung yang berada di sebelah pipi kanan, Ni Gatri dapat merasakan hembusan nafas gadis berkaki satu yang disebutnya sebagai Dewi Kaki Tunggal itu. Anak perempuan ini merasa lega. Dia kemudian ingat pada Bunga Matahari yang ada di tangan kanannya.
Seperti yang diceritakan sebelumnya Dewi Kaki Tunggal telah mengalami cidera dalam yang cukup berat akibat bentrokan pukulan sakti dan tenaga dalam dengan Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari. Ni Gatri yang tidak ingin meninggalkan Dewi Kaki Tunggal seorang diri akhirnya baru mau pergi setelah diperintah oleh si gadis agar dia mencari Ratu Randang dan meminta Bunga Matahari yang diberikan Wiro kepadanya. Menurut Dewi Kaki Tunggal hanya dengan Bunga Matahari yang telah dijampai oleh Patung Nyi Roro Jonggrang luka dalamnya bisa disembuhkan.
“Dewi, saya sudah mendapatkan Bunga Matahari yang kau minta. Apa yang harus saya lakukan untuk menolongmu...?”
Ni Gatri menjadi bingung sendiri karena gadis berkaki satu yang berada dalam keadaan pingsan tidak mungkin membuka mulut memberi jawaban. Dalam gelap Ni Gatri meraba raba kembali dengan tangan kiri.
“Bathara Agung, saya mohon petunjuk-Mu agar saya bisa menolong Dewi Kaki Tunggal...” Ni Gatri berucap perlahan. Tangan kirinya menyentuh kening Sakuntaladewi. Anak perempuan ini lalu letakkan Bunga Matahari di atas kening.
Perlahan-lahan bunga sakti yang tetap dalam keadaan segar itu disapukan ke wajah, melewati dagu turun ke leher lalu turun lagi ke dada. Pada saat menyentuh dada, Bunga Matahari memancar kilatan cahaya putih. Tubuh Sakuntaladewi menggeliat. Mulut mengeluarkan suara mendesah panjang.
“Dewi…?”
Sunyi sesaat lalu ada suara. “Ni Gatri, kaukah ini?”
Ni Gatri terpekik kecil saking gembiranya. “Bathara Agung, terima kasih. Kau telah menolong Dewi Kaki Tunggal,” ucap Ni Gatri pula. Lalu pada Sakuntaladewi anak perempuan ini berkata. “Dewi, saya sudah mendapatkan Bunga Matahari yang kau suruh minta dari Ratu Randang. Sekarang bunganya saya letakkan di dada Dewi...”
“Aku berterima kasih padamu,” jawab Sakuntaladewi. Lalu gadis ini pegang lengan kanan Ni Gatri. Bunga Matahari ditekankan ke dada sambil menarik nafas dalam-dalam. Nafas ditahan seketika lalu perlahan lahan dilepas dihembuskan.
“Ni Gatri, luka dalamku sudah sembuh....” Ucap Sakuntaladewi. Lalu Bunga Matahari diambilnya dari tangan anak perempuan itu dan disimpan di balik pakaian Jingga yang dikenakannya. Gadis, berkaki satu ini kemudian menatap berkeliling. Dia merasa heran.
“Gelap gulita, udara terasa pengap. Aku merasa kita seperti melayang. Ni Gatri, kau tahu kita berada di mana?”
“Dewi, kita berada dalam satu peti mati besar hitam. Ada empat mahluk aneh mengerikan menculik kita. Tubuh mereka memancar bau seperti kemenyan. Tidak tahu kita mau dibawa kemana.” Jawab Ni Gatri. Lalu atas pertanyaan Sakuntaladewi anak perempuan ini menerangkan ciri-ciri empat mahluk aneh yang dilihatnya sebelum dia dimasukkan ke dalam peti mati.
“Turut keteranganmu tidak ada mahluk lain yang menyerupai ujud empat mahluk itu. Aku yakin mereka adalah Empat Mayat Bersaudara atau Empat Mayat Aneh. Mereka mahluk alam roh yang aku tahu bukan mahluk jahat. Tapi aku kawatir...”
“Kawatir bagaimana Dewi” tanya Ni Gatri karena Sakuntaladewi tidak meneruskan ucapan.
“Siapa tahu mereka telah menjadi kaki tangan dan berada dibawah kendali Sinuhun Merah Penghisap Arwah , mereka bisa lebih jahat dari setan neraka!”
“Tapi Dewi,” kata Ni Gatri pula. “Kalau benar mereka kaki tangan Sinuhun jahat itu, pasti kita sudah mereka habisi. Perlu apa susah-susah dimasukkan ke dalam peti.”
“Kau anak cerdik. Ucapanmu betul Ni Gatri. Ada sesuatu yang menjadi rahasia dibalik perbuatan mereka. Selain itu aku pernah menyirap kabar kalau mereka punya pantangan.” Sakuntaladewi usap kepala Ni Gatri.
“Hanya saja, Dewi, sebelum mereka memasukkan saya ke dalam peti saya melihat anjing kecil hitam terkapar di tanah dalam keadaan mati.”
“Apa?!”
“Saya mengira empat mahluk aneh itu yang membunuh. Tapi mereka menyangkal.”
“Seperti kataku tadi, setahuku mereka mungkin punya pantangan. Kalau tidak terpaksa sekali mereka tidak akan membunuh. Termasuk membunuh binatang. Itu sebabnya atas kuasa Para Dewa mereka mendapat rahmat, bisa pergi dan berada dimana-mana serta hidup lagi dalam kematiannya.”
“Dewi, apa yang harus kita lakukan. Saya takut...”
“Tenang saja. Aku pernah berkata kalau Yang Maha Kuasa menolong, maka pertolongan-Nya tidak pernah setengah-setengah. Ni Gatri, aku merasa peti ini tengah melayang ke bawah...”
Baru saja Sakuntaladewi berucap tiba-tiba di luar sana terdengar suara dahsyat disertai kilasan cahaya terang. “Aku mendengar seperti gelegar suara petir. Aku harus melakukan sesuatu. Kita harus keluar dari dalam peti celaka ini! Aku rasa peti sudah menyentuh bumi.”
Sakuntaladewi lalu gerakkan dua tangan, keluarkan ilmu pukulan yang disebut Enam Belas Gerakan Tangan Bisu. Saat itu juga enam belas cahaya biru membersit lalu bergabung jadi satu, selanjutnya melesat ke atas menghantam penutup peti mati !
Penutup peti mati langsung terpentang lebar dan sebagian kayunya ada yang hancur. Sakuntaladewi pegang lengan kiri Ni Gatri lalu melompat keluar dari dalam peti. Empat Mayat Aneh yang siap mendatangi orang di atas batu serta merta batalkan niat. Saat itu Sakuntaladewi sudah berada di hadapan mereka.
“Empat Mayat Aneh, terima kasih kalian sudah mengajak aku dan sahabat kecilku ini jalan-jalan di udara...”
“Ah, dia tahu siapa kita!” Mayat Aneh Kesatu berkata girang setengah berseru. “Tapi sebenarnya kami berdua juga ingin tahu mengapa kalian menculik kami berdua, memasukkan kami ke dalam peti lalu menerbangkan kami ke udara. Sebenarnya apa maksud kalian. Kalian mau membawa kami kemana?” Bertanya Sakuntaladewi.
“Kami tidak bermaksud jahat. Ada seseorang meminta tolong agar kami membawamu menemuinya di satu tempat.” Yang menjawab adalah Mayat Aneh Ketiga.
“Siapa orangnya dan berada dimana?” Tanya Sakuntaladewi.
“Kami dipesan untuk tidak memberi tahu kepada siapapun. Termasuk dirimu. Kami hanya ditugaskan untuk membawamu kepadanya.”'Berkata Mayat Aneh Keempat.
“Dewi, mungkin mereka berdusta. Mereka bisa saja punya maksud jahat.” Berkata Ni Gatri.
Empat Mayat Aneh sama-sama. gelengkan kepala. Mayat Aneh Kedua maju dua langkah mendekati Sakuntaladewi dan Ni Gatri, “Sahabat kecil. Pelihara mulut hanya bicara kebaikan. Kalian berdua dengar baik-baik. Dari pada menuduh kami yang bukan-bukan lebih baik terlebih dulu kalian mendatangi dan mengucapkan terima kasih pada mahluk aneh di atas batu sana.”
Sakuntaladewi kerenyitkan kening. Sebelum dia sempat membuka mulut Ni Gatri sudah bicara duluan. “Mahluk aneh, mengapa kami harus mendatangi dan mengucapkan terima kasih pada orang di atas batu yang tubuhnya diselimuti bara menyala...“
“Dia telah menyelamatkan kalian berdua dan hantaman petir ketika masih berada di dalam peti.”
Sakuntaladewi terkejut tapi dapat menyembunyikan perubahan wajahnya. Dia ingat ketika masih berada di dalam peti telah mendengar suara gelegar dan kilatan petir.
“Menyelamatkan kami dari hantaman petir? Sungguh luar biasa! Apa aku bisa percaya ucapanmu! Katakan apa yang terjadi!” Kata Sakuntaladewi pula.
“Empat Mayat Aneh tidak pernah berdusta!” Kata Mayat Aneh Kedua lalu menceritakan apa yang terjadi.
Setelah mendengar cerita Mayat Aneh Kedua Sakuntaladewi terdiam sejenak lalu berkata. “Sulit dipercaya. Kau berdusta! Kau mengarang cerita. Mana ada manusia yang mampu menangkap petir lalu mempermainkannya, setelah itu melemparkannya kembali ke udara!”
Empat Mayat Aneh gelengkan kepala lalu salah seorang dari mereka berkata. “Kami tidak berdusta. Kami tidak mengarang cerita. Kami juga luar biasa heran. Tapi itu yang kami lihat dan itu yang kami ceritakan pada kalian!”
Mayat Aneh Keempat yang berdiri sambil pegangi bagian bawah perut menyambung ucapan. “Ketika kau keluar dari dalam peti, kami berempat bermaksud mendatangi mahluk hebat itu. Tapi niat kami tertahan karena kau menghadang. Sekarang bagaimana kalau kita sama-sama saja mendatanginya?”
Sakuntaladewi keluarkan suara bergumam. Dia berpaling pada Ni Gatri. Anak perempuan ini anggukkan kepala. Tiba-tiba Sakuntaladewi balikkan tubuh. Sekali melompat membal ke udara dan di lain kejap dia sudah berada di atas batu besar di sebelah belakang orang yang tubuhnya masih membara. Ni Gatri lari menyusul.
Empat Mayat Aneh tentu saja tidak mau ketinggalan. Mereka melesat ke atas batu, berdiri di kiri kanan Sakuntaladewi dan Ni Gatri.
“Hik hik hik!” Orang berpakaian merah muda di atas batu besar tertawa mengikik. Suara tawa perempuan.
“Sahabat hebat, mohon kau mau memutar tubuh. Kami ingin melihat wajahmu. Bersama kami ada dua orang yang telah kau selamatkan dari hantaman petir. Mereka ingin mengucapkan terima kasih. Kami juga mau melakukan hal yang sama karena berkat pertolonganmu menangkap petir peti mati tempat kediaman kami tidak sampai musnah dilabrak petir.”
“Hik hik! Rupanya ada orang yang melihat pekerjaanku! Lalu ada yang hendak berterima kasih. Padahal aku merasa tidak menolong siapa-siapa.”
Kalau tertawanya seperti tawa perempuan maka dalam berucap suaranya jelas laki-laki. Hal ini membuat heran ke enam orang yang berdiri di belakangnya. Rasa heran ke enam orang itu berubah menjadi melengak kaget ketika tiba-tiba si baju merah muda membalikkan badannya yang semampai.
“Hai, bagaimana ini. Tadinya aku mengira...” Mayat Aneh Kedua segera menekap mulut tidak berani meneruskan ucapan.
Mayat Aneh Keempat tekap kencang-kencang bagian bawah perutnya. “Oala cantiknya. Dada tersingkap pula. “rapi mengapa ada kumis-kumis halusnya? Pelihara mata hanya melihat kebaikan. Pelihara kemaluan hanya untuk kebaikan...”
TIGA
ORANG yang pakaian dan sekujur tubuhnya diselimuti bara menyala itu ternyata adalah gadis cantik belia berdandan sangat apik. Kulit muka licin di lapis bedak halus. Sepasang alis kereng hitam melengkung seperti bulan sabit. Dua bola mata bagus bening menatap bercahaya di hias bulu mata lentik. Hidung kecil mancung. Di atas dagu yang bak lebah bergantung terdapat bibir bagus segar merekah senyum. Rambut yang hitam tergerai sampai ke punggung. Sepasang daun telinga dihias giwang bulat terbuat dari perak.
Orang ini mengenakan pakaian merah muda yang bagian dadanya agak tersingkap hingga belahan dadanya tampak jelas diantara dua payudara yang putih kencang. Namun ada satu hal yang menimbulkan kesan janggal di wajah gadis cantik ini. Hal itu ialah adanya bulu-bulu halus di bagian atas bibir menyerupai kumis halus anak lelaki yang tengah menginjak alam dewasa atau akil baleq. Mayat Aneh Kesatu mendekati saudaranya Mayat Aneh Kedua. Lalu berbisik.
“Sssttt.... Bibirnya saja ada bulunya. Pasti di…”
Mayat Aneh Kedua segera sikut rusuk Mayat Aneh Kesatu. “Pelihara mata hanya melihat kebaikan. Pelihara mulut hanya bicara kebaikan!”
Gadis berbaju maerh muda ini menatap enam orang yang berdiri di hadapannya di atas batu besar, layangkan senyum hingga tampak barisan giginya yang putih rata dan bagus. Dan di pipi kirinya muncul satu lesung pipit. Setelah merapikan rambut yang tergerai gadis ini keluarkan sebuah cermin kecil. Perhatikan wajahnya di dalam cermin lalu keluarkan sebuah kotak berisi bedak. Dengan cepat dia membedaki dan mematut wajah. Setelah menyimpan cermin dan kotak bedak diapun berkata.
“Maafkan, aku telah membuat kalian menunggu sampai aku selesai bersolek Sahabat semua, rasanya kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Apakah kehadiranku di tempat ini membuat kalian merasa terganggu?”
Astaga! Ketika bicara suara si gadis jelas suara lelaki walau terdengar halus dan lembut! Empat Mayat Aneh saling pandang satu sama lain sedang gadis berpakaian merah muda memperhatikan keadaan kaki Sakuntaladewi sementara pancaran bara menyala yang melapisi tubuhnya perlahan lahan mulai meredup dan akhirnya lenyap sama sekali.
“Harap maafkan, aku harus membuang dulu sisa-sisa petir yang masih ada dalam tubuhku... “
Gadis berpakaian merah muda lalu sambil menutup mulutnya dengan tangan kiri keluarkan suara bersendawa. Dari sela-sela jarinya kelihatan berhembus keluar nyala merah menebar hawa panas.
“Ah, rasanya masih belum bersih semua. Masih ada yang menyelinap di bawah kakiku...”
Si gadis berkata lagi. Kaki kiri kanan yang mengenakan kasut kulit halus digeser geser di atas batu dan wuss ... wusss! Dari telapak kaki menyambar keluar dua larikan cahaya merah.
“Mudah-mudahan sudah bersih semua. Nah sekarang kita bisa melanjutkan pembicaraan. ”Sambil bicara si gadis meraba bagian perutnya. Agaknya ada sesuatu yang mengganjal.
“Sahabat, kehadiranmu di sini sama sekali tidak mengganggu. Malah agaknya telah mendatangkan berkah bagi kami.” Menjawab Sakuntaladewi. “Kami sengaja datang menemuimu. Menurut empat sahabat yang aku kenal dengan nama Empat Mayat Aneh ini, kalian telah menyelamatkan aku dan adik kecilku ini dari sambaran petir ketika berada di dalam peti. Kami berdua datang untuk menyampaikan rasa terima kasih atas budi baikmu itu.”
“Kami berempat juga ingin berterima kasih. Karena berkat pertolonganmu peti mati tempat kediaman kami tidak sampai hancur dihantam petir.” Berkata Empat Mayat Kedua mewakili saudara saudaranya.
Gadis cantik bersuara laki-laki tampak tercengang lalu gelengkan kepala. Lalu lagi-lagi mengusap bagian bawah perut sementara kening tampak mengernyit.
“Sahabat, agaknya ada sesuatu yang menimbulkan rasa sakit di bagian bawah tubuhmu?” Sakuntaladewi bertanya.
“Bukan ... bukan sakit. Tapi ada, rasa geli-geli. Hik hik hik. Agaknya ada sisa petir nakal yang menyelinap ke dalam auratku sebelah bawah. Aku mengalami kesulitan mengeluarkannya. Paling tidak harus menunggu satu hari satu malam...” Menjawab gadis berpakaian merah muda.
Sakuntaladewi ingat pada Bunga Matahari yang ada dibalik pakaiannya. Bunga segera dikeluarkan lalu berkata. “Kalau kau tidak keberatan, mudah-mudah aku bisa menolongmu.”
Gadis berkumis halus menatap bunga di tangan Sakuntaladewi. “Bunga Matahari. Indah sekali. Tapi dengan bunga itu?” Dia bertanya.
Sakuntaladewi tersenyum lalu mengangguk.
“Ihhh....!” Gadis yang hendak ditolong undur satu langkah dan tekap bagian bawah tubuhnya.
Sakuntaladewi berpaling pada Mayat Aneh Keempat yang selalu menekap bagian bawah perut. Lalu berkata. “Kau yang melakukan. Usapkan Bunga Matahari ini di bagian bawah tubuh gadis itu.”
“Oala! Mengapa aku?!” Mayat Aneh Keempat ikutan mundur tapi sambil senyum-senyum karena sebenarnya dia ingin sekali melakukan hal itu tapi merasa malu pada tiga saudaranya !
Tiba-tiba Ni Gatri mengambil Bunga Matahari dari tangan Sakuntaladewi. Dengan cepat bunga itu diusapkan ke bagian depan bawah perut gadis berpakaian merah muda.
“Ihhhh!” Si gadis berkumis halus terpekik.
Dari dalam Bunga Matahari memancar cahaya putih. Saat itu juga dari bagian bawah perut si gadis yang terkena usapan bunga memancar cahaya merah dan kepulan asap lalu lenyap.
“Luar biasa, aku merasa lega sekarang!” Berkata si gadis berpakaian merah muda. Dia berpaling pada Ni Gatri yang saat itu tengah mengembalikan Bunga Matahari pada Sakuntaladewi. Dia kedipkan mata dua kali lalu berkata.
“Sahabat cilik, masih kecil begini usapanmu mantap luar biasa. Apa lagi kalau kelak kau sudah gadis. Ah, beruntunglah lelaki yang bisa menjadi suamimu! Hik hik hik!”
Empat Mayat Aneh tertawa ditahan-tahan. Sakuntaladewi tampak bersemu merah wajahnya. Ni Gatri melengos cemberut. Setelah tertawa si gadis berkumis halus menoleh pada Sakuntaladewi.
“Kau telah menolongku dengan Bunga Sakti itu. Aku sangat berterima kasih. Sekarang mari kita lanjutkan bicara. Kalian berkata kalau aku telah menyelamatkan kalian dari hantaman petir. Aku... aku merasa tidak pernah menolong kalian. Kehadiranku di sini.... Ah, aku tidak boleh memberi tahu. Tapi kalian semua agaknya bisa aku percaya.”
“Kami mohon sahabat mau memberitahu apa sebenamya yang terjadi. Apa yang telah kau lakukan. Selain itu aku ingin memperkenalkan diri. Namaku Sakuntaladewi. Aku juga dipanggil dengan nama Dewi Kaki Tunggal. Anak perempuan ini bernama Ni Gatri. Aku ingin tahu siapa gerangan sahabat adanya yang konon aku diberi tahu mampu menahan, menangkap dan mempermainkan petir.”
“Kami Empat Mayat Aneh atau Empat Mayat Bersaudara.” Mayat Aneh Keempat menyambung kata-kata Sakuntaladewi. “Kami berempat juga ingin tahu siapa gerangan sahabat adanya.”
Si gadis berkumis halus menatap orang-orang yang ada di hadapannya lalu berkata. “Namaku Jaka. Orang-orang menyebutku Jaka Pesolek. Karena aku memang suka berdandan. Kalian sudah melihat diriku. Beginilah keadaanku.”
“Aku... aku masih belum mengerti,”kata Mayat Aneh Ketiga. “Sahabat ini sebenarnya seorang jaka atau seorang gadis?”
Mayat Kedua langsung meremas pinggang Mayat Aneh Ketiga. “Kau ini bicara apa? Mulutmu usil kurang ajar!”
“Orang bertanya tidak jadi apa...” Jaka Pesolek berkata sambil tersenyum. Dia kedipkan mata pada Mayat Aneh Ketiga. “Kalau ditanya aku ini seorang perjaka atau seorang gadis maka aku adalah kedua duanya.”
Ucapan orang membuat semua yang ada di situ jadi terdiam, terkesima melongo. Sakuntaladewi cepat memecahkan suasana yang agak mengganjal dengan berkata.
“Sahabat Empat Mayat Aneh menerangkan kau telah menolong diriku dan Ni Gatri dari hantaman petir. Sebaliknya kau tadi mengatakan tidak menolong siapa-siapa. Bagaimana ini? Aku tidak mengerti.”
“Aku akan jelaskan. Aku akan ceritakan pada kalian.” Jawab Jaka Pesolek. “Saat ini aku tengah menuntut satu ilmu aneh yang kedengarannya tidak masuk akal. Ilmu itu adalah ilmu Tangan Dewa Menangkap Petir. Hari ini aku berusaha merampungkan ilmu kesaktian itu. Tapi masih ada yang belum tuntas. Aku masih belum bisa membersihkan diri dari sisa-sisa petir yang masuk ke dalam tubuhku. Kalau kentut pasti aku akan mengeluarkan asap merah meliuk-liuk dari bawah bokongku! Betapa malunya! Hik hik hik!”
Empat Mayat Aneh ikut tertawa gelak-gelak mendengar ucapan orang. “Aku dan saudara-saudaraku telah menyaksikan ilmu itu. Sungguh luar biasa!” Berkata Mayat Aneh Kesatu.
“Aku datang ke Bukit Randugunting ini karena di sini cuaca selalu mendung dan paling banyak sambaran petirnya. Ratusan hari sudah aku lewati. Selama ini aku hanya menangkap petir yang kecil-kecil. Baru tadi muncul petir besar. Walau agak kesulitan tapi aku mampu menahan, menangkap dan mempermainkan petir itu sebentar lalu melemparkannya kembali ke udara. Kalian lihat sendiri tubuhku nyaris telah ditimbun bara menyala yang berasal dari panasnya api petir. Pada saat aku menahan dan menangkap petir besar kebetulan saja kalian lewat bersama peti besar hitam itu. Kalaupun kalian menganggap aku telah menyelamatkan dua nyawa dan peti hitam, semua terjadi secara tak sengaja, secara kebetulan. Mungkin kalau kalian tidak datang petir itu juga tidak muncul. Hik hik hik!”
“Bagaimanapun juga aku dan Ni Gatri tetap berterima kasih dan merasa berhutang budi dan nyawa padamu.” Kata Sakuntaladewi pula.
“Kami juga begitu,” ujar Mayat Aneh Keempat.
“Ah, lupakan segala peradatan. Hidup di dunia ini bukankah harus saling tolong menolong?”
“Kakak Jaka Pesolek...“ Tiba-tiba Ni Gatri berkata. “Mataram telah dilanda malapetaka yang diciptakan oleh orang-orang jahat. Semua orang termasuk Raja kejatuhan demam panas dan menderita lumpuh serta ada benjolan merah di kening. Saya tidak melihat benjolan itu di kening Kakak.”
“Adikku,” jawab Jaka Pesolek. “Terkadang kejahatan memang selalu satu langkah lebih dulu dari kebenaran. Tapi itu bukan berarti kejahatan mampu melakukan segala-galanya. Diatas kekuatan jahat masih ada kekuatan kebenaran dan semua itu berpulang pada kehendak Para Dewa. Kau lihat sendiri, Empat Mayat Aneh dan juga kakakmu Dewi Kaki Tunggal tidak memiliki benjolan di keningnya. Kau juga tidak ketularan penyakit bisul aneh itu. Semua telah diatur sesuai kehendak Yang Maha Kuasa!”
Sakuntaladewi berbisik. “Ni Gatri, apa yang dikatakan sahabat baru kita itu memang betul. Kita bangsa manusia merupakan mahluk penerima takdir sesuai kehendak Yang Maha Kuasa.” Sakuntaladewi kemudian bungkukkan badan memberi hormat pada Jaka Pesolek. “Sahabat, sayang sekali aku dan Ni Gatri harus meninggalkan tempat ini karena ada satu urusan sangat penting. Jika umur sama panjang aku berharap kita bisa bertemu lagi.”
“Dewi Kaki Tunggal, tunggu dulu. Kau mau kemana?!”Tanya Mayat Aneh Kesatu.
“Kami punya tugas membawamu menemui seseorang.”
“Sahabat berempat. Aku berterima kasih kalian telah mengajak aku melayang jalan-jalan di udara walau dari dalam peti yang tertutup aku dan Ni Gatri tidak bisa melihat pemandangan indah di luar sana. Lain kali peti matinya tolong dibuatkan jendela! Hik hik hik! Sahabat berempat, perjalanan dan pertemuan kita cukup sampai disini dulu. Lain kali jika kau mengajak lagi, pasti kami berdua tidak akan menolak. Kerajaan Mataram tengah dilanda bencana. Aku yang tidak memiliki kepandaian apa-apa ini bagaimanapun juga punya kewajiban untuk menyelamatkan Raja dan rakyat Mataram. Aku mohon maaf kalian semua.”
“Tunggu! Jangan pergi dulu! Kami membawamu menemui seseorang justru dalam tujuan untuk membantu menyelamatkan Kerajaan! Kami juga tidak punya kepandaian apa-apa.” Berkata Mayat Aneh Ketiga merendah.
Sakuntaladewi terdiam. Setelah menatap Mayat Aneh Ketiga sesaat dia lalu gelungkan tangan di pinggang Ni Gatri sambil berkata. “Sahabat berempat, kalian lakukan apa yang bisa kalian lakukan. Aku lakukan apa yang aku sanggup.”
Sakuntaladewi hentakkan kakinya yang cuma satu ke tanah. Kejap itu juga tubuhnya melesat membal ke udara. Dalam tiga kali lompatan saja bersama Ni Gatri gadis kaki satu itu telah lenyap di kaki Bukit Randu gunting.
“Urusan jadi kacau! Apa yang harus kita katakan pada...” Ucapan Mayat Aneh Kesatu terputus karena saat itu Mayat Aneh Kedua berseru.
“Astaga! Gadis cantik berkumis itu tak ada lagi disini!” Empat Mayat Aneh sama-sama terduduk lemas di atas batu besar datar. Setelah berdiam diri beberapa lama, Mayat Aneh Keempat keluarkan ucapan.
“Terus terang aku masih penasaran. Terserah kalian mau bilang aku bermulut kotor, tidak bisa memelihara mulut. Tapi aku ingin tahu, orang yang bernama Jaka Pesolek tadi, apa anunya anu lelaki atau anu perempuan. Atau dia punya dua anu! Hik hik!” Mayat Aneh Kedua menyahuti.
“Tadi gadis berkaki satu yang punya hidung di pipi itu menyuruh kau mengusapkan Bunga Matahari ke bagian bahwa perut! Mengapa kau tidak mau melakukan? Padahal jika kau lakukan kau bisa mengusap dan mengetahui dia punya anu apa atau punya anu berapa! Sekarang mengapa bicara segala penasaran?!”
“Ah, memang tololnya diriku!” Kata Mayat Aneh Keempat lalu usap-usap bagian bawah perutnya yang selalu ditekap sementara tiga saudaranya melangkah menghampiri peti mati besar hitam!
********************
EMPAT
BUKIT BATU HANGUS. Pendekar 212 Wiro Sableng mulai melakukan tugas. Dia memilih menolong Tabib Sepuluh Jari Dewa alias Soka Kandawa terlebih dulu karena dilihatnya orang tua bertubuh gemuk berambut merah ini menjelepok di tanah, tersandar di batu dalam keadaan megap-megap nyaris tidak sadarkan diri. Begitu sampai di hadapan sang tabib Wiro segera tempelkan telapak tangan kanan yang sudah dialiri ilmu kesaktian Menahan Darah Memindah Jazad. Wiro mengusap empat benjolan di atas kening.
“Desss!”
Orang banyak yang melihat apa yang terjadi sama-sama keluarkan seruan dan menunjuk ke kening sang tabib. Soka Kandawa yang merasa ada perubahan pada dirinya, letakkan tangan kiri di atas kening. Astaga! Kening yang sebelumnya ada empat benjolan kini licin polos. Berpaling ke kiri dia melihat empat benjolan yang sebelumnya menempel di keningnya tergeletak di atas batu, berdenyut-denyut dan mulai leleh. Dan bukan itu saja! Demam panas yang selama ini membungkus tubuhnya dan membuat dia tiada henti menggigil ikut lenyap!
Lalu ketika dia menggerakkan kaki ternyata dua kakinya yang selama beberapa hari ini berat lumpuh kini bisa diangkat. Tidak tunggu lebih lama sang tabib langsung bangkit berdiri dan berseru gembira menyebut nama Yang Maha Kuasa berulang kali. Ternyata dia bukan hanya mampu berdiri tapi juga sanggup berjalan bahkan melompat! Sekali melompat dia sudah berada di hadapan Pendekar 212.
“Kesatria Panggilan, aku berterima kasih padamu. Aku...”
Wiro ingat pada ucapan Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal bahwa ilmu Menahan Darah Memindah Jazad yang dimilikinya dan dipakai untuk menyembuhkan orang, orang yang sembuh akan mampu menyembuhkan orang lain. Begitu secara berantai hingga pertolongan bagi semua orang di Bhumi Mataram dapat dilakukan secara lebih cepat. Maka diapun berkata.
“Tabib Sepuluh Jari Dewa! Kau sekarang punya kemampuan menyembuhkan orang. Pergunakan tangan kananmu untuk mengusap kening orang lain. Yang sudah sembuh harus segera menolong yang lainnya! Cepat lakukan!”
Mendengar seruan Wiro tabib gemuk berambut dan berpakaian serba merah itu segera menghampiri sahabatnya Eyang Dukun Umbut Watukura. Tangan kanan dengan cepat ditempelkan di kening sang dukun lalu beett! Sekali mengusap empat benjolan lenyap, berpindah ke telapak tangan.
“Weehhh!” Sang Tabib merasa ngeri dan jijik melihat empat benjolan merah yang menempel berdenyut denyut di telapak tangannya. Cepat-cepat dia kibaskan tangan kanan hingga empat benjolan jatuh terbanting ke tanah.
“Umbut Watukura! Kau sudah sembuh! Ayo kita menolong yang lain-lain!” Berteriak Tabib Sepuluh Jari Dewa.
“Hyang Jagat Bathara!” Eyang Dukun Umbut Watukura berseru lalu melompat bangkit. Sekali berkelebat dia sudah ada di hadapan Rauh Kalidathi, nenek sakti bermuka bulat.
Si nenek berdandan menor yang kini sudah awut-awutan dan tidak punya alis ini tertawa, sepasang mata dikedap-kedip. “He he... Terima kasih kau memilih diriku untuk ditolong lebih dulu. Ini bukan berarti karena kau suka padaku? Hik hik!”
Kesal mendengar ucapan si nenek Umbut Watukura bukan cuma mengusap kening, tapi malah mengeplak kening perempuan tua hingga Rauh Kalidathi terjengkang dan terpekik.
“Hai! Kau bernafsu sekali terhadapku atau memang kurang ajar?!” Teriak si nenek namun tertawa gelak-gelak ketika mengetahui benjolan di keningnya lenyap. Demam panas menghilang dan dua kaki sembuh dari kelumpuhan! Sadar kalau dirinya telah lepas dari sengsara azab Malam Jahanam, Rauh Kalidathi segera berteriak.
“Kesatria Panggilan! Cepat tolong Raja Mataram!” Lalu nenek ini berkelebat kian kemari menolong orang-orang yang ada di sekitarnya.
Mendengar teriakan si nenek dengan cepat Wiro mendatangi Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. “Yang Mulia, izinkan saya...” Ucap sang pendekar lalu arahkan tangan kanannya ke kening Sri Baginda. Seperti diketahui, ketika malapetaka Malam Jahanam jatuh menimpa Bhumi Mataram, Raja hanya menderita kemunculan benjolan di keningnya. Dia sama sekali tidak terserang demam panas dan kelumpuhan.
“Kesatria Panggilan. Lakukan tugasmu. Para Dewa memberkatimu. Jika sembuh aku dan semua pembantu akan segera menumpas orang-orang yang telah menimbulkan malapetaka!”
Begitu mendapat izin, Wiro segera tempelkan telapak tangan kanannya ke kening Raja Mataram. Namun hanya tinggal seujung kuku telapak tangan akan bersentuhan dengan kening yang ada empat benjolan, tiba-tiba dari arah utara bukit menggelegar dan berkiblat cahaya merah menyapu lereng Bukit Batu Hangus sebelah barat. Walau matahari pagi telah menerangi lereng bukit namun kilau cahaya merah membuat keadaan tambah benderang.
Melihat bahaya besar ini Wiro cepat menarik Raja Mataram ke balik batu besar lalu dari balik batu dia lepaskan pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari. Dalam waktu hampir bersamaan di langit Wiro melihat ada selarik sinar jingga melesat menghantam bagian tengah larikan cahaya merah angker.
Letusan dahsyat laksana seratus halilintar berkiblat menggoncang lereng Bukit Batu Hangus sebelah barat ketika cahaya merah, sinar putih pukulan sakti yang dilepaskan Wiro serta cahaya jingga saling bentrokan di udara. Wiro mendengar ada suara pekikan perempuan di atas sana. Lalu dia merasakan dadanya mendenyut sakit. Sementara itu puluhan batu-batu besar mengepulkan asap, terbongkar bergemuruh.
Diantara suara gemuruh batu runtuh terdengar banyak suara jeritan. Lalu tampak belasan orang berkaparan di lereng bukit dalam keadaan tubuh merah melepuh, mengepulkan asap! Salah satu korban yang menemui ajal secara mengenaskan itu adalah Klingkit Kuning, tokoh silat Istana Mataram berkepala gundul kuning yang belum sempat ditolong dilenyapkan empat benjolan di keningnya. Temyata hantaman cahaya merah memiliki kekuatan di atas cahaya putih dan jingga!
Dari lereng bukit sebelah atas kemudian terdengar suara tawa bergelak. Semula semua orang yang ada di lereng bukit sebelah barat mengira salah seorang dari dua Sinuhun jahat yang muncul menebar maut dengan serangan ilmu Delapan Arwah Sesat Menembus Langit atau Delapan Sukma Merah.
Namun ketika mereka menatap ke atas lereng bukit yang tampak adalah Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari. Saat itu dia masih mengenakan mantel hitam, namun ikat kepala dan pakaiannya telah berganti dengan warna biru pekat. Dan di tangan kanannya dia memegang sebuah benda yang terlihat aneh bagi semua orang Mataram tapi tidak aneh bagi Pendekar 212 yang sebelumnya pernah melihat benda itu.
Satu langkah di belakang Pangeran Matahari berdiri puluhan mahluk tinggi hitam berperut buncit menebar bau amis! Kepala botak bercula. Setiap mulut terbuka dari dalam mulut terjulur lidah panjang merah. Puluhan mahluk mengerikan ini berdiri sambil pentang dua tangan ke atas. Sepuluh jari tangan memiliki kuku panjang berwarna merah, mencuat laksana cakar elang! Meski dalam keadaan bugil namun tidak diketahui apakah mereka lelaki atau perempuan karena bagian bawah perut berbentuk licin plontos! Seratus Jin Perut Bumi Anak buah Sinuhun Merah Penghisap Arwah!
Di jajaran sebelah depan berdiri mahluk Jin Perut Bumi bertampang paling angker dengan hidung di Canteli sebuah anting-anting terbuat dari batu hitam. Inilah pimpinan Seratus Jin Perut Bumi yang biasa dipanggil dengan sebutan Sang Ketua.
Di dalam episode Dua Nyawa Kembar, diceritakan bagaimana Wiro dihadang oleh Seratus Jin Perut Bumi di dekat sebuah telaga selagi dia berusaha mencari Eyang Sinto Gendeng. Dalam pertarungan mati hidup dengan mempergunakan pukulan-pukulan sakti yang di dapat dari Datuk Rao Basaluang Ameh, Wiro berhasil menumpas musnah dua puluh jin. Kini walau mereka tinggal delapan puluh namun tetap saja bakal mendatangkan bahaya besar bagi Wiro dan semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus.
Tiba-tiba Sang Ketua keluarkan satu suitan keras. Puluhan anak buahnya serta merta melesat menebar dan dalam bilangan kejapan sudah membentuk lingkaran, mengurung lereng Bukit Batu Hangus sebelah barat! Melihat hal ini Wiro segera alirkan tenaga dalam ke tangan kiri kanan, menyiapkan pukulan sakti warisan Datuk Rao BasaWang Ameh yakni Pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari dan Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Dulu ketika dirinya diserbu Seratus Jin Perut Bumi.
(Baca episode sebelumnya berjudul Dua Nyawa Kembar) dengan dua pukulan sakti itulah Wiro membantai dua puluh Jin Perut Bumi.
Sambil memandang pada benda yang dipegang Pangeran Matahari di tangan kanan, Wiro berkata dalam hati. “Lentera lblis! Bagaimana Pangeran keparat itu bisa mendapatkan kembali senjata jahanam yang sudah hancur musnah itu? Pasti Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang melakukan. Aku tidak melihat mahluk terkutuk itu bersama Pangeran Matahari! Tapi aku merasa dia ada di sekitar sini. Memberi bantuan pada Pangeran keparat itu secara sembunyi. Aku harus merampas atau menghancurkan lentera itu. Bagaimana caranya. Aku ingat, ketika Eyang Sinto menghancurkan lentera itu dulu, dia tidak mempergunakan ilmu kesaktian, tendangan atau pukulan. Dia hanya menjepit lentera di antara dua kaki. Ada satu rahasia. Ada satu kelemahan pada Lentera Iblis itu!”
Benda yang berada di tangan kanan Pangeran Matahari memang adalah sebuah lentera yang mempunyai pegangan berbentuk kepala ular naga terbuat dari sejenis perunggu, mempunyai tiga dinding tembus pandang. Setiap dinding menyerupai kaca memiliki warna berbeda yaitu merah, kuning dan hitam.
Seperti diriwayatkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Api Di Puncak Merapi sebelum menemui kematian, Lentera Iblis yang menjadi senjata baru sang Pangeran berhasil dilumpuhkan dan dibuat meledak hancur berkeping keping oleh Sinto Gendeng. Kini bagaimana Pangeran Matahari muncul dengan membawa lentera itu kembali dalam keadaan utuh?
Sebelumnya Sinuhun Merah Penghisap Arwah berhasil menjajagi kalau Pangeran Matahari di masa kehidupannya di alam delapan ratus tahun mendatang memiliki satu senjata sakti hebat luar biasa. Setelah memandikan dan menjumpai-jampai sang Pangeran di Telaga Banyuraden serta memberikan seperangkat pakaian baru, Sinuhun Merah lalu menanyakan pada Pangeran Matahari senjata apa yang pernah dimilikinya, yang menurut penglihatan Sinuhun memancarkan cahaya tiga warna.
Pangeran Matahari ingat pada Lentera liblis yang pernah dimilikinya latu memberi tahu pada Sinuhun Merah. Sinuhun segera melakukan samadi kilat di atas satu pohon besar di pinggir Telaga Banyuraden. Kalau mendatangkan manusia yang sudah mati dan berada di alam arwah Sinuhun Merah mampu melakukan maka mengambil sebuah benda mati seperti Lentera Iblis hanya merupakan satu hal mudah baginya.
“Kesatria Roh Jemputan, aku sudah mendatangkan Lentera Iblis. Ini kesempatan terakhir bagimu. Bunuh Raja Mataram, musnahkan semua orang, yang ada, di Bukit Batu Hangus.”
Pangeran Matahari anggukkan kepala. Dia cepat mengambil Lentera Iblis yang diserahkan Sinuhun Merah. Tidak menunggu lebih lama secara gaib dan cepat Sinuhun Merah lalu membawa Pangeran Matahari bersama senjatanya ke Bukit Batu Hangus. Di tengah jalan melalui ilmu menyampaikan suara dari jarak jauh dia memberi tahu kepada saudara arwah kembarnya Sinuhun Muda agar segera menyusul ke Bukit Batu Hangus. Saat itu Sinuhun Muda berada di satu tempat dalam keadaan marah setelah dipermainkan oleh Empat Mayat Aneh.
Di Bukit Batu Hangus walau Sinuhun Merah Penghisap Arwah berdiri tidak jauh dari sang pangeran dan deretan delapan puluh jin namun tidak ada satu orangpun yang melihat sosoknya karena dia melindungi diri dengan ilmu bernama Insan Berjalan Tanpa Bayangan.
Keadaan bagi Pendekar 212 Wiro Sableng, Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala dan semua orang Mataram yang ada di Bukit Batu Hangus memang sangat mencekam. Selain di kurung oleh Seratus Jin Perut Bumi, mereka harus pula menghadapi Kesatria Roh Jemputan yang kini membawa senjata sakti mandraguna Lentera Iblis. Selain itu ditambah lagi dengan Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang secara licik tidak mau memperlihatkan diri. Belum terhitung Sinuhun Muda Ghama Karadipa yang segera akan muncul. Satu malapetaka besar dan dahsyat akan terjadi setiap saat atas diri Pendekar 212 dan orang-orang yang ada di Bukit Batu Hangus.
Di batik batu besar Raja Mataram yang tengah berusaha berdiri didatangi oleh Tabib Sepuluh Jari Dewa. Pada saat itu Pendekar 212 sendiri tengah mengalirkan hawa sakti ke seluruh tubuhnya yang tadi mengalami goncangan hebat akibat bentrokan pukulan sakti yang dilancarkannya untuk menangkis serangan jurus pertama Lentera Iblis jurus pertama Lentera Iblis yang disebut Api Neraka.
“Yang Mulia, harap tetap duduk dulu di tempatmu. Saya akan melenyapkan benjolan di kening Yang Mulia.”
Dengan cepat tabib gemuk yang sudah diselamatkan Wiro ini ulurkan tangan kanan ke arah kening Raja Mataram. Namun sebelum dia sempat menyentuh kening Rakai Kayuwangi tiba-tiba satu tangan luar biasa besar, hitam berbulu dan memiliki lima kuku mencuat merah mencekal lengannya. Sang tabib merasa tubuhnya seperti dipanggang oleh hawa panas luar biasa yang keluar dari tangan yang mencekal. Tiba-tiba! Sekali puntir saja kraak! Tangan kanan Tabib Sepuluh Jari Dewa berderak tanggal di bagian persendian bahu!
LIMA
SELAGI Tabib Sepuluh Jari Dewa menjerit kesakitan, satu sosok tinggi besar menebar bau amis membanting tubuhnya ke batu besar. Bagaimanapun tabib ini bukan cuma ahli dalam bidang pengobatan tapi juga menguasai ilmu silat dan kesaktian. Ketika tubuhnya menghunjam ke bawah dia masih sempat memberi perlawanan. Dengan tangan kiri dia melepas Pukulan Tangan Api Menjebol Tembok Berhala. Tangan gemuk pendek sang tabib berubah panjang dan merah membara lalu bukk! Tangan itu menghantam telak dada mahluk tinggi besar yang berdiri di hadapannya yang bukan lain adalah salah satu dari sisa delapan puluh mahluk Seratus Jin Perut Bumi!
“Wusss!”
Dada jin yang kena dihantam pukulan berlobang besar. Dari dalam lobang menggebubu kobaran api. Jeritan keras menggelegar keluar dari mulut Jin Perut Bumi. Sebelum tubuhnya hancur dalam bentuk kepingan yang dikobari api dan amblas masuk ke dalam tanah Jin Perut Bumi masih sempat melanjutkan membanting Tabib Sepuluh Jari Dewa ke atas batu. Malangnya kepala sang tabib sampai lebih dulu. Sekejapan lagi batok kepala Tabib Sepuluh Jari Dewa akan pecah beradu dengan batu besar tiba-tiba satu bayangan jingga melesat dari arah kiri dan satu kaki aneh menyorong di antara kepala dan batu.
“Dess!”
Kepala Tabib Sepuluh Jari Dewa membentur kaki aneh. Dia terkesiap karena merasa kepalanya seolah membentur gumpalan kapas lembut, bukannya gundukan batu keras. Kemudian seperti bola kepala dan tubuh Tabib Sepuluh Jari Dewa membal ke udara. Kepala sang tabib selamat dari kehancuran, nyawanya lolos dari kematian!
Sadar kalau ada yang menolong dirinya Tabib Sepuluh Jari Dewa cepat membuat gerakan jungkir balik. Ketika dia injakkan kaki di tanah, berdiri termiring-miring karena tangan kanan tergontai-gontai lepas dari persendian, di hadapannya di atas batu dia melihat tegak seorang gadis berkaki satu, mengenakan pakaian jingga, memiliki hidung yang terletak di pipi kanan dan menggendong seorang anak perempuan yang bukan lain adalah Ni Gatri.
Ah! Sang tabib terkejut. Dia tidak menyangka kalau yang menolong adalah gadis aneh yang sebelumnya pernah dicurigainya. Sambil membungkuk orang tua bertubuh gemuk ini berkata. “Dewi Kaki Tunggal! Hyang Jagat Bathara! Terima kasih telah menyelamatkan selembar nyawa burukku!”
Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi turunkan Ni Gatri dari dukungan sambil berbisik “Cari tempat berlindung yang aman.” Lalu gadis berkaki satu itu melompat ke samping Pendekar 212. “Wiro, aku yakin sebentar lagi puluhan jin di atas sana akan menyerang kita semua di sini. Pangeran keparat itu akan menggempur dengan lenteranya. Secara sembunyi Sinuhun Merah Penghisap Arwah akan ikut melancarkan serangan licik tapi sangat berbahaya. Raja belum sempat ditolong…”
“Biar aku yang menolong Raja Mataram!” Ada satu suara menyahuti. Satu bayangan biru berkelebat. Rauh Kalidathi! Nenek bermuka bulat tak beralis yang barusan sembuh ditolong Eyang Dukun Umbut Watukura langsung melompat ke hadapan Sri Maharaja Mataram. Tangan kanan dipentang ke arah kening.
“Yang Mulia, maafkan saya karena berani menyentuhmu!” Tidak terduga tiba-tiba...
Wuuutt.... wuuut!
Dua sosok bugil tinggi besar sambil keluarkan suara menggembor mengikuti gerakan Rauh Kalidathi dari belakang. Ternyata tadi bukan hanya satu Jin Perut Bumi yang melesat dari lereng bukit di atas sana, tapi masih ada dua temannya. Keduanya, dalam keadaan marah besar setelah melihat seorang kawan mereka menemui ajal hancur berkeping-keping akibat jotosan Tabib Sepuluh Jari Sakti. Sebenarnya mereka ingin menghabisi sang tabib lebih dulu, namun ketika melihat Rauh Kalidathi hendak menolong Raja maka dengan cepat mereka mengejar si nenek.
“Nek awas di belakangmu!” Ni Gatri yang berada di balik satu batu besar berteriak memperingatkan Rauh Kalidathi.
“Nek! Teruskan menolong Raja! Aku akan melindungimu!” Dewi Kaki Tunggal berteriak lalu melesat ke udara. Kaki tunggalnya laksana kilat berturut turut mengirimkan dua tendangan ke arah kepala dua Jin Perut Bumi.
“Dukk! Dukkk!”
Dua tendangan yang bisa menghancurkan batu sebesar rumah itu menghantam sasaran dengan telak tapi temyata tidak mempan. Walau kepala terdongak keras dan kaki mereka amblas ke dalam tanah sampai pertengahan betis, dua Jin Perut Bumi hanya mengerenyit merasakan sakit yang tidak berarti. Didahului suara menggembor keras dua Jin Perut Bumi membuka mulut lebar-lebar. Dua lidah merah menyala melesat keluar, menyambar Dewi Kaki Tunggal!
“Plaakk!”
Telapak tangan kanan Rauh Kalidathi mendarat di kening Rakai Kayuwangi. Namun saat itu tubuh si nenek secara tidak sengaja terdorong oleh gerakan mengelak yang dilakukan Dewi Kaki Tunggal yaitu ketika di serang dua Jin Perut Bumi. Akibatnya dari empat buah benjolan yang ada di kening Raja Mataram, hanya dua saja yang tersentuh dan mampu dilenyapkan oleh Rauh Kalidathi.
Sadar akan hal ini si nenek kembali pergunakan tangan kanan untuk menyentuh kening Raja. Namun saat itu di belakangnya dia mendengar suara teriakan Dewi Kaki Tunggal. Selain itu dari sekeliling lereng bukit sebelah atas dengan mengeluarkan teriakan hiruk-pikuk puluhan Jin Perut Bumi melompat turun menyerbu. Puluhan lidah merah berkelebat ganas laksana pecut api. Beberapa batu besar yang terkena sambaran lidah api terbelah berkeping keping, berubah seolah menjadi bara menyala!
Di saat bersamaan Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari sentakkan Lentera Iblis yang dipegang di tangan kanan. Didahului suara menggelegar keras laksana petir menyambar cahaya merah berkiblat. Untuk kedua kalinya murid Si Muka Bangkai ini lancarkan serangan Api Neraka yang sebelumnya telah membantai belasan orang Mataram di lereng Bukit Batu Hangus. Hanya saja kali ini serangan Lentera Iblis ditujukan tepat-tepat ke arah Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.
“Dewi!” Wiro berteriak ketika melihat arah kilatan serangan lawan. “Lindungi Raja!” Dia tidak bisa turun tangan sendiri karena walau melihat dua puluh Jin Perut Bumi melesat ke arah Raja Mataram namun puluhan lainnya menyerbu menghadang dirinya!
Wiro sendiri yang saat itu telah berhasil memulihkan keadaan dirinya dengan cepat melesat ke udara sambil lepaskan pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari dan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Dengan dua pukulan sakti pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh inilah dia sebelumnya telah membantai dua puluh Jin Perut Bumi yang menghadangnya di tepi telaga.
Namun Pendekar 212 jadi terkesiap kaget sewaktu menyaksikan sosok belasan Jin Perut Bumi yang ada di hadapannya hanya terpental beberapa langkah, tidak cidera sedikitpun! Padahal dulu dengan dua pukulan sakti itu dia mampu membuat tubuh dua puluh Jin Perut Bumi hancur berkeping keping. Saat itu Wiro telah melayang turun dan berdiri di atas satu batu besar.
“Aneh, apa yang terjadi?!” Ketika puluhan Jin Perut Bumi kembali menyerang Wiro baru melihat, tidak seperti dulu, kini tubuh mahluk alam gaib itu semuanya diselimuti selapis cahaya samar berwarna kuning bersemu merah. “Ada kekuatan hebat melindungi mereka!” Ucap Wiro dalam hati.
Tiba-tiba dari balik batu besar terdengar suara. Yang berkata adalah Tabib Sepuluh Jari Dewa yang saat itu masih cidera berat, karena tangan kanan tanggal dari persendian di bahu akibat dipuntir oleh salah satu Jin Perut Bumi.
“Kesatria Panggilan. Mahluk-mahluk jin itu berasal dari api. Berarti hanya mampu dihabisi dengan ilmu yang berinti pada kekuatan api atau hawa panas. Aku tadi ... Ah, maafkan, aku tidak bisa bicara banyak. Aku harus membantu menyelamatkan Sri Maharaja…”
Sang tabib yang masih dalam keadaan cidera tangan kanannya, bersama Eyang Dukun Umbut Watukura, Dewi Kaki Tunggal dan beberapa orang lainnya yang memiliki kepandaian tinggi segera berkelebat memagari Raja dari serangan dua puluh Jin Perut Bumi. Walau tangan kanan sang tabib cidera namun Jin Perut Bumi merasa jerih mendekati Tabib Sepuluh Jari Dewa karena dengan tangan kirinya orang tua bertubuh gemuk ini masih sanggup melancarkan Pukulan Tangan Api Menjebol Tembok Berhala yang bisa membuat bolong tubuh mereka lalu meledak hancur berkeping keping. Mereka mengincar kelengahan lawan dan siap menyerang dengan semburan lidah merah menyala.
“Terima kasih atas petunjukmu Kek!” Wiro yang mendengar ucapan Tabib Sepuluh Jari Dewa tidak menunggu lebih lama segera pentang tangan kanan. Dia punya dua pilihan ilmu kesaktian yang berdasarkan hawa panas atau inti api. Yang pertama dengan mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu api sakti, yang kedua menghajar lawan dengan Pukulan Sinar Matahari! Wiro memilih yang kedua. Maka tangan kanan sang pendekar mulai dari siku sampai ke lima ujung jari tampak berubah laksana perak, bercahaya menyilaukan dan menghampar hawa luar biasa panas.
Di atas lereng bukit sebelah utara Sinuhun Merah Penghisap Arwah bertanya. “Kesatria Roh Jemputan, kau tahu pukulan sakti apa yang dimiliki jahanam berambut gondrong itu. Aku mencium hawa panas sangat berbahaya. Aku kawatir....” Belum sempat Pangeran Matahari menjawab tiba-tiba!
“Wusssss!”
Sinar putih berkiblat di lereng Bukit Batu Hangus sebelah barat. Udara serta merta berubah luar biasa panas seolah matahari berada hanya satu jengkal di atas kepala! Pukulan Sinar Matahari!
Belasan Jin Perut Bumi yang ada di deretan sebelah depan dan siap hendak melumat Wiro dengan lidah api merah, menggembor keras. Suara gemboran serta merta berubah menjadi raungan setinggi langit begitu mereka merasakan, sambaran hawa panas. Beberapa di antara mereka dengah nekad meneruskan serangan, yang lain-lain cepat menghindar.
Namun semua menjerit keras begitu Pukulan Sinar Matahari menghantam. Cahaya putih berkilau dan panas luar biasa menebar laksana kipas raksasa dikembang. Delapan belas Jin Perut Bumi terangkat ke udara. Lidah panjang merah yang mencuat berputar melintir berubah menjadi pendek dan berwarna hitam mengepulkan asap. Hanya sesaat mengambang di udara tiba-tiba tubuh sekian banyak mahluk gaib ini meletup keras dan hancur berkeping-keping lalu amblas ke dalam tanah di sela-sela bebatuan, meninggalkan tebaran bau amis!
Di atas lereng bukit sebelah utara Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang berdiri di samping Pangeran Matahari tapi tidak terlihat mata biasa karena menerapkan Ilmu Insan Berjalan Tanpa Bayangan tersentak kaget. Sepasang mata mendelik besar, tengkuk merinding dan darah mendidih. Dari batok kepalanya mengepul delapan larik asap merah!
Di sebelahnya pimpinan Seratus Jin Perut Bumi yang biasa disebut Sang Ketua atau Jin Ketua berteriak marah. Cula besar di kepala pancarkan cahaya merah menyala. Sepuluh kuku jari mencuat panjang, merah menggidikkan dan lidah api menyembur bergulung gulung. Sekali dia menghentak kaki kanan ke atas batu tubuh tinggi besarnya melesat ke lereng bukit sebelah barat. Dari sepasang mata menyambar keluar cahaya merah angker.
“Jin Ketua! Jangan nekad mencari mati! Kau tidak akan sanggup menghadapi pukulan bercahaya putih dan panas keparat Kesatria Panggilan!”
Tanpa hentikan gerakan Jin Ketua menjawab teriakan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. “Kalau begitu lindungi diriku dengan Cahaya Arwah Kuning Merah!”
“Tidak ada gunanya! Aku telah melakukan hal itu pada puluhan anak buahmu! Kau saksikan sendiri! Pukulan sakti pemuda gondrong itu menghajar hancur mereka semua!”
Sang Ketua menyahut sengit. “Lalu apa gunanya menghadirkan Kesatria Roh Panggilan kalau hanya menjadi penonton di tempat ini sementara puluhan anak buahku mati berkaparan!”
Mendengar ucapan Sang Ketua Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang berdiri di dekat Pangeran Matahari menyumpah panjang. Rahang menggembung, geraham bergemeletakan. “Kurang ajar! Pemuda keparat itu ternyata memiliki ilmu pukulan inti api mengandung hawa panas! Aku harus menerapkan ilmu Serat Berhala. Tapi apakah kali ini akan berhasil?!”
Ketika Wiro kembali mengangkat tangan siap menghantam dua puluh Jin Perut Bumi yang tengah menyerbu ke arah Raja Mataram, Sinuhun Merah Penghisap Arwah cepat berteriak.
“Kesatria Roh Jemputan! Cepat alihkan arah serangan Lentera Iblis pada pemuda keparat berambut gondrong itu!”
Seperti diketahui sebelumnya Pangeran Matahari dengan mengandalkan Lentera Iblis telah melancarkan serangan Api Neraka ke arah Raja Mataram. Namun mendengar perintah Sinuhun Merah Penghisap Arwah, apa lagi tadi dia menyaksikan sendiri bagaimana Wiro melabrak belasan Jin Perut Bumi dengan pukulan sakti yang dikenalinya sebagai Pukulan Sinar Matahari, dengan cepat dia segera putar pergelangan tangan sambil lipat gandakan tenaga dalam.
Lentera Iblis berubah arah, menukik ke jurusan Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu juga tengah mendapat serbuan dari sisa-sisa Jin Perut Bumi yang kini tinggal sekitar enam puluh termasuk dua puluh yang menyerbu ke arah Raja! Sekali lagi terdengar suara menggelegar laksana petir menyambar. Cahaya merah pekat yang keluar dari Lentera Iblis berkiblat ke arah lereng Bukit Batu Hangus sebelah barat!
Perhatian Wiro jadi terpecah. Yaitu mengawatirkan keadaan Raja Mataram sementara dirinya kembali diserang puluhan Jin Perut Bumi. Dalam pada itu ketika memandang ke arah utara dia melihat kilatan serangan Api Neraka yang keluar dari Lentera Iblis telah berubah arah, kini tertuju tepat ke padanya!
“Celaka! Aku tidak tahu kelemahan Lentera Iblis! Apa Pukulan Sinar Matahari sanggup membendung?!”Wiro geser dua kaki, membuat kuda-kuda yang lebih kokoh pertanda sang pendekar akan melancarkan pukulan sakti dengan tenaga dalam penuh!
Mendadak satu bayangan merah berkelebat dari arah timur. Daya lesatnya luar biasa cepat, tidak kalah dari kecepatan sambaran Api Neraka yang menyembur keluar dari Lentera Iblis. Berbarengan dengan itu ada suara orang berseru.
“Aih! Mengapa aku baru tahu kalau Bukit Batu Hangus ada petirnya!”
“Sialan!” Wiro memaki karena gerakannya hendak melepas pukulan sakti terhalang oleh sosok orang. Meski jengkel namun murid Sinto Gendeng tidak mau kesalahan tangan membunuh orang atau sahabat sendiri. Lelaki itu dia juga merasa heran, siapa gerangan orang yang bertindak nekad menghalangi datangnya serangan Api Neraka Lentera Iblis. Apa dia punya dua raga dua nyawa?!
ENAM
DEWI KAKI TUNGGAL yang mengenali siapa adanya orang berpakaian merah cepat berteriak. “Jaka Pesolek! Jangan tolol! itu bukan petir. itu serangan senjata maut! Awas! Lekas menghindar!”
Mungkin tidak mendengar seruan gadis berkaki satu, mungkin juga tidak perduli orang berpakaian merah muda yang memang adalah Jaka Pesolek si Penangkap Petir terus saja melesat menyongsong sambaran cahaya merah yang keluar dari Lentera Iblis.
Semua orang di lereng barat Bukit Batu Hangus termasuk Raja Mataram terkesiap membelalak, ada yang berseru kaget tidak percaya ketika melihat bagaimana Jaka Pesolek mengembangkan dua tangan lalu secepat kilat menangkap ujung cahaya merah yang sebenarnya adalah serangan ilmu kesaktian Api Neraka yang keluar dari Lentera Iblis di tangan Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari!
Jaka Pesolek juga keluarkan seruan kaget karena tidak seperti petir yang beberapa kali berhasil ditangkap sebelumnya, petir yang satu ini walau agak mudah ditangkap namun mempunyai daya kekuatan aneh hingga pemuda pesole kini nyaris terbanting ke bukit batu.
“Hebat! Petir Bukit Batu Hangus ternyata Lebih nakal dari petir Bukit Randugunting! Aku suka! Hik hik hik!” Jaka Pesolek lalu perhatikan pakaian, tubuh serta kaki dan mengusap wajah. ”Aneh,”ucapnya perlahan. “Tidak seperti yang sudah-sudah, mengapa pakaian dan tubuhku tidak tertutup bara api? Hik hik hik. Ini lucu! Petir Bukit Batu Hangus ternyata lucu! Hik hik hik!”
Suara yang terdengar suara lelaki tetapi lembut sedang suara tawa cekikikan menyerupai tawa perempuan. Jaka Pesolek kerahkan seluruh ilmu kesaktian pada kedua tangan. Dia berhasil menggulung cahaya merah lalu ditarik ke bawah seperti menarik benang layang-layang kemudian dilibat-libatkan ke kaki, pinggang dan dada! Setelah itu Jaka Pesolek gulingkan tubuh beberapa kali di tanah sambil keluarkan suara tawa gembira seperti anak kecil tengah bermain-main.
“Enak juga panasnya! Tapi tidak seenak panasnya petir di Bukit Randugunting! Pusarku terasa geli! Hik hik!”
Setelah puas bermain main dengan cahaya merah yang sebenarnya merupakan cahaya serangan maut, Jaka Pesolek melompat bangun. Ujung cahaya Api Neraka dilempar keatas dan meledak di lereng bukit pada ketinggian enam tombak!
“Oala! Mengapa meledaknya aneh?!” Jaka Pesolek berucap kaget terheran-heran. Begitu memandang berkeliling barulah dia melihat apa yang terjadi dan langsung bulu kuduknya jadi merinding. “Ihhh..!”
Pangeran Matahari terjengkang akibat tenaga serangan Lentera Iblis yang membalik menghantam dirinya, Sinuhun Merah Penghisap Arwah berteriak kaget dan juga marah. Bukan saja karena serangan Api Neraka musnah namun dari atas bukit mereka melihat bagaimana tebaran cahaya merah melesat ke berbagai arah dan secara liar melabrak Jin Perut Bumi yang saat itu tengah melesat turun untuk menyerang Raja Mataram serta Pendekar 212.
Puluhan Jin Perut Bumi terpanggang hangus, meledak lalu lenyap setelah lebih dulu berubah menjadi kepingan menyala. Raungan dahsyat menggelegar di seantero tempat. Beberapa orang Mataram yang ada di lereng bukit ikut menjadi korban. Yang lain-lain masih bisa selamatkan diri karena cepat bertiarap. Jaka Pesolek menatap ke udara, memandang berkeliling. Dia seolah baru menyadari kalau ada banyak orang di tempat itu. Dua orang diantara mereka dikenalinya yaitu Dewi Kaki Tunggal dan Ni Gatri.
“Aih, di tempat ini ternyata banyak lelaki gagah dan ada pemuda lucu tapi ganteng. Aduh bagaimana wajahku. Jangan-jangan tidak karuan rupa!”
Dari balik pakaiannya Jaka Pesolek keluarkan sebuah cermin. Sambil menatap ke dalam cermin rambut dipatut-patut. Lalu dia mengeluarkan sebuah potongan kayu kecil berwarna merah. Benda ini dipoleskan ke atas bibir hingga bibir itu kini berwarna lebih merah dan tampak lebih segar. Setelah merapikan wajah, rambut dan pakaiannya, Jaka Pesolek simpan kembali cermin dan alat pemerah bibir. Dia memandang ke arah Rakai Kayuwangi sambil hati menduga duga karena seumur hidup dia memang belum pernah bertemu muka dengan Raja Mataram. Lalu gadis berkumis halus ini lontarkan lirikan pada Pendekar 212 Wiro Sableng!
Jin Ketua yang tengah melesat hendak menyerang Wiro menggembor keras sewaktu merasa paha kirinya mendadak panas luar biasa. Ketika diperhatikan ternyata paha itu sudah buntung. Rupanya ada pecahan sinar Lentera iblis yang terpesat menghantam kakinya. Ujung buntungan kaki menyala dikobari api sementara kutungan kaki sebelah bawah tidak diketahui berada dimana! Sebelum tubuhnya meledak Sang Ketua melesat turun ke bukit berusaha mencari air untuk memadamkan api yang mulai naik ke tubuhnya sebelah atas. Dari udara dia melihat satu mata air kecil. Langsung saja dia mengayun tubuh lalu masukkan kaki kirinya yang terbakar ke dalam mata air.
“Cesss!”
Air dan kaki yang terbakar saling bersentuhan menimbulkan suara menggidikkan. Jin Ketua menjerit setinggi langit namun dia selamat dari kematian! Cula di kepala pancarkan cahaya merah terang tapi berkedap-kedip. Lidah di dalam mulut terasa kaku pendek, tak mampu dijulur keluar. Dalam keadaan seperti itu pimpinan Jin Seratus Perut Bumi ini terperangah kaget ketika tiba-tiba dia melihat satu tangan kiri panjang merah menyala dengan jari-jari membentuk tinju hanya berada sejengkal di depan dadanya, siap menjotos! Jika hal itu sampai terjadi maka tak ampun lagi tamatlah riwayatnya dengan dada bolong dan tubuh dilamun api lalu meledak seperti yang terjadi dengan salah seorang anak buahnya begitu pertama kali mereka datang di Bukit Batu Hangus.
“Pukulan Tangan Api Menjebol Tembok Berhala!” ucap Jin Ketua dengan dada bergetar sambil menatap pucat ke arah Tabib Sepuluh Jari Dewa yang tegak di hadapannya.
Kalau saja lidah di dalam mulutnya tidak berubah pendek dan kaku, saat itu juga pasti orang yang berdiri di hadapannya sudah dilibas. Melirik ke samping kiri dia melihat gadis berkaki satu dan Eyang Dukun siap menghantam. Di samping kanan Kesatria Panggilan tegak dengan wajah menyeringai dan tangan kanan masih memancarkan cahaya perak menyilaukan disertai sambaran hawa panas. Lalu masih ada satu lagi orang tua berkepala gundul kuning yakni Klingkit Kuning yang dari penampilannya pasti pula memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tidak ada kesempatan untuk lolos dari lobang jarum!
Satu satunya cara menyelamatkan diri adalah dengan mengamblaskan tubuh masuk ke dalam tanah. Tapi jika gerakannya terlambat dan tangan kanan Tabib Sepuluh Jari Dewa menghajar tubuh atau kepalanya lebih dulu maka celakalah dirinya! Apakah dia berjibaku saja atau mengintai kelengahan orang?! Perlahan-lahan Jin Ketua jatuhkan tubuh dan duduk di tanah setengah bersila. Dengan suara bergetar dia berkata.
“Tabib Sepuluh Jari Dewa. Aku mahluk bersalah! Aku menyesal telah mengkhianati Raja dan Kerajaan Mataram yang memberi peluang hidup padaku, yang dulu pernah aku bela ketika terjadi pemberontakan besar di Bhumi ini. Untuk menebus dosa kesalahanku, aku tidak akan menghindari kematian di tanganmu. Namun, jika kau masih mau berbaik hati dan menaruh belas kasihan, aku mohon kau memberi ampun pada diriku. Aku merasa tidak sanggup kembali ke alam roh untuk selama lamanya. Aku akan berbakti padamu selama bumi terkembang!”
Tiba-tiba dua puluh satu Jin Perut Bumi anak buah Jin Ketua yang masih hidup melompat lalu berlutut di samping kiri kanan Tabib Sepuluh Jari Dewa. Salah seorang dari mereka berkata.
“Tabib sakti, jangan bunuh pemimpin kami. Kami bersedia menjadi tumbal kematian untuk kau bunuh sebagai pengganti nyawa gaib pimpinan kami.” Habis bicara, diikuti teman-temannya jin tadi pentang dada ke arah Tabib Sepuluh Jari Dewa, kepala mendongak, sepasang mata merah dipejamkan. Semua tampak pasrah, siap, menerima kematian.
Sesaat Tabib Sepuluh Jari Dewa jadi terpana. Namun diam-diam orang tua ini berpikir mengapa Ketua Seratus Jin Perut Bumi minta pengampunan padanya, bukan jatuhkan diri berlutut dan memohon pada Raja Mataram. Dalam kebimbangan sang tabib melirik pada Dewi Kaki Tunggal dan Eyang Dukun Watukura yang berdiri di dekatnya. Eyang Dukun diam saja.
Gadis berkaki satu geleng gelengkan kepala sambil memandang ke arah Pendekar 212. Sang pendekar sendiri kemudian menatap ke arah Raja Mataram. Saat itulah dia menyadari bahwa di kening Raja masih terdapat dua benjolan merah. Berarti Raja masih berada dalam keadaan bahaya. Tidak mau membuang waktu Wiro segera melompat ke hadapan Rakai Kayuwangi dan sapukan telapak tangan kanan di atas dua benjolan. Sambil melompat ke arah Raja Wiro berteriak.
“Jangan percaya ucapan mahluk-mahluk alam gaib itu. Mereka semua pandai menipu!”
“Dess!”
Wiro tersentak kaget ketika tangan kanannya terpental begitu bersentuhan dengan kening Raja. Mata mendelik tatkala melihat dua benjolan yang ada di kening Raja masih ada, tidak musnah! Malah tangan kanannya tampak bergetar hebat dan terasa seperti mau lumpuh! Wiro cepat kerahkan hawa sakti yang bersumber pada Kapak Naga Geni 212 yang ada di dalam rongga dada, dibantu yang ada dalam aliran darahnya!
TUJUH
MELIHAT keadaan Pendekar 212 Dewi Kaki Tunggal maklum apa yang terjadi. Cepat dia berteriak. “Wiro! Ada orang coba menyusupkan ilmu jahat ketanganmu! Ingat peristiwa waktu kau berusaha melenyapkan benjolan merah di kening Lemayang dan orang malang itu pecah kepalanya?! Saat ini agaknya kau masih menyimpan kekuatan tenaga dalam dan aji pukulan sakti di tangan kananmu hingga ilmu jahat yang hendak disusupkan tidak bisa tembus dan dirimu serta Raja selamat dari celaka besar!”
Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala tersentak pucat. Murid Sinto Gendeng terperangah. Mata Masih membelalak menatap ke arah Raja Mataram lalu pandangi tangan sendiri yang berwarna putih perak karena masih dialiri aji kesaktian pukulan Sinar Matahari.
“Ilmu Serat Berhata!” Ucap Wiro yang masih ingat dan menyebut nama ilmu hitam yang untuk kedua kali hampir mencelakainya dan Raja Mataram. “Jahanam keji. Pasti Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang punya pekerjaan. Tapi aku tidak melihat dia ada di atas lereng bukit sebelah utara sana!”
“Dia pasti ada disana. Sembunyi dibalik ilmu kesaktian yang menyesat pandangan mata!” Jawab Dewi Kaki Tunggal.
Mendengar ucapan gadis berkaki satu itu serta merta Wiro kembali merapal aji kesaktian. Begitu tangan kanan berubah warna menjadi perak menyilaukan dan menghampar hawa panas, dia segera menghantam ke arah bukit sebelah utara. Namun satu hal tidak terduga mendadak berlangsung di depan mata. Selagi semua orang terbagi perhatiannya pada Raja, Dewi Kaki Tunggal dan Wiro, Jin Ketua pergunakan kesempatan. Laksana kilat tangan kanannya yang besar dan berkuku panjang melesat ke arah kepala Tabib Sepuluh Jari Dewa tanpa sang tabib mampu membuat gerakan selamatkan diri.
“Praakk!”
Tabib Sepuluh Jari Dewa terjengkang di tanah dengan kepala rengkah menggidikkan. Semua orang yang ada di tempat itu berteriak kaget dan marah. Tapi wusss! Dengan mempergunakan ilmu kesaktiannya Jin Ketua amblaskan diri lenyap masuk ke dalam bumi, meninggalkan tanah dan debu serta kepingan batu yang bermuncratan ke udara.
“Akan aku kejar!” Dewi Kaki Tunggal berteriak. Tadi dia telah menyelamatkan tabib sakti itu. Ternyata sekarang tetap saja menemui ajal. Amarah Dewi Kaki Tunggal bukan alang kepalang. Tabib Sepuluh Jari Dewa dibunuh di depan mata kepalanya! Didahului teriakan keras Dewi Kaki Tunggal hunjamkan kakinya yang hanya satu ke dalam tanah lalu tubuhnya berputar laksana gasing. Dalam sekejapan saja sosok Dewi Kaki Tunggal sudah tenggelam sampai ke pinggang. Namun sebelum gadis itu lenyap dari permukaan tanah Raja Mataram cepat melompat memegang bahunya.
“Dewi, kau bisa mengejar. Tapi tidak akan mampu membunuh mahluk celaka itu. Bukan aku merendahkan ilmu kepandaianmu. Namun aku menduga kau tidak memiliki ilmu kesaktian yang berinti pada kekuatan panas atau api! Terlalu berbahaya. Kau bisa celaka dan menemui ajal!”
Menyadari Apa yang dikatakan Raja Mataram benar adanya, Dewi Kaki Tunggal tidak membantah. Dia memutar tubuh ke arah berlawanan dan kejap itu juga mencuat keluar dari dalam tanah. Walau mengenal Tabib Sepuluh Jari Dewa belum lama dan malah pernah mencurigai dirinya namun kematian orang tua bertubuh gemuk yang sangat mengenaskan itu membuat Pendekar 212 Wiro Sableng mendidih amarahnya. Pukulan Sinar Matahari yang tadinya hendak dipakai untuk menyerang musuh di lereng bukit sebelah utara kini dihantamkan ke arah dua puluh Jin Perut Bumi yang masih ada di tempat itu. Dua kali terdengar suara menggelegar dan dua kali pula cahaya putih panas menyapu.
“Gila! Ada petir bisa keluar dari tangan!Dua petir sekaligus!” Tiba-tiba ada suara orang berteriak.
Sementara itu dua puluh Jin Perut Bumi ketika melihat dua serangan sinar putih berkiblat menyambar ke arah mereka menjerit keras, berusaha melesat ke atas dan ada yang meniru pimpinannya, mengamblaskan diri ke dalam tanah. Namun Pukulan Sinar Matahari datang menghantam luar biasa cepat. Dua puluh Jin Perut Bumi mencelat ke udara dengan tubuh dikobari api. Begitu jatuh di atas bukit tubuh mereka tampak gosong hitam lalu meledak berkeping keping, berubah jadi asap dan akhirnya lenyap dari pemandangan, meninggalkan tebaran bau amis. Di lereng bukit sebelah utara terdengar teriakan-teriakan marah dan menyumpah.
Wiro melirik ke arah Raja Mataram ketika dia mendengar Rakai Kayuwangi menghela nafas dalam. Wajah sang Raja tampak redup. Dewi Kaki Tunggal membisikkan sesuatu ke telinga Wiro.
“Yang Mulia, apakah saya telah membuat kesalahan?Membunuh puluhan jin tadi?” Wiro bertanya setelah mendengar bisikan gadis berkaki satu.
“Kejahatan dan mahluk-mahluk jahat memang harus dimusnahkan dari muka bumi. Namun aku merasa hiba. Mahluk-mahluk yang disebut Seratus Jin Perut Bumi itu dulu adalah mahluk gaib yang berbakti pada para sepuh Kerajaan Mataram. Mereka ikut menyelamatkan Kerajaan ketika terjadi pemberontakan besar…”
“Yang Mulia, kalau saya telah berbuat keliru saya mohon maaf. Namun masa lalu adalah sesuatu yang tidak akan pernah datang lagi. Kita harus menghadapi kenyataan yang ada saat ini, Apakah kita akan menjadi korban kejahatan atau kita harus membasmi kejahatan agar kita tidak menjadi korban.”
Raja terdiam lalu pegang bahu Pendekar 212 dan berkata. “Kesatria Panggilan, kau tidak keliru.” katanya kemudian.
Wiro alihkan pandangan ke arah lereng bukit sebelah utara. Raja Mataram dan semua orang yang masih hidup ikut palingkan kepala memandang arah yang sama. Di lereng bukit sebelah utara Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari tidak kelihatan lagi. Namun di atas sana kini ada cahaya samar redup berwarna kuning kemerahan. Sayangnya tidak semua orang yang terlalu memperhatikan hal ini. Kecuali Dewi Kaki Tunggal yang berbisik pada Pendekar 212.
“Wiro, walau tidak kelihatan aku menduga orang-orang jahat itu masih ada di lereng bukit sebelah utara. Mereka sembunyi dibalik ilmu penyesat mata. Selain itu ada cahaya redup aneh diatas bukit sana.”
“Dewi, harap kau terus memperhatikan. Sesuatu yang mencelakakan bisa terjadi secara mendadak,” menjawab Pendekar 212.
Sementara itu Raja memerintahkan beberapa pengawal mengurus jenazah Tabib Sepuluh Jari Dewa dan Klingkit Kuning. "Kita akan menyemayamkan lalu membakar jenazah Tabib dan Klingkit Kuning bersama jenazah semua orang yang ada dibukit ini.”
Pendekar 212 berkata pada Dewi Kaki Tunggal. “Dewi, cepat kau lenyapkan dua benjolan merah yang masih ada di kening Raja Mataram. Aku tidak mau melakukan sendiri, kawatir ilmu setan Serat Berhala masih bersarang dalam tanganku.”
“Tapi aku tidak punya ilmu kesaktian itu karena tidak kejangkitan benjolan merah. Maksudku, aku belum kebagian ilmu Menahan Darah Memindah Jazad yang kau miliki. Bagaimana kalau kita minta Eyang Dukun saja yang melakukan.” Jawab Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal.
Wiro menggaruk kepala. “Tidak, harus kau sendiri yang melakukan. Jangan kawatir, aku akan menolongmu. Bukankah kau yang memberi tahu jika dipakai untuk menolong, dengan kehendak Yang Maha Kuasa ilmu itu bisa dipindahkan pada orang lain.”
Wiro lalu letakkan tangan kanan di punggung si gadis. Sambil merapal aji kesaktian dia mendorong gadis berkaki satu itu mendekati Raja Mataram. Bersamaan dengan itu Wiro kerahkan aliran sakti dan tenaga dalam ke punggung Dewi Kaki Tunggal.
“Sekarang Dewi!” ucap Pendekar 212 begitu Dewi Kaki Tunggal telah berhadapan hadapan dengan Raja.
Begitu mendengar ucapan Wiro, Dewi Kaki Tunggal segera angkat tangan kanan sementara Rakai Kayuwangi yang tahu orang hendak menolongnya maju mendekat sambil rundukkan kepala. Telapak tangan kanan yang halus Dewi Kaki Tunggal menyapu lembut di atas kening Raja Mataram. Kejap itu juga dua benjolan merah di kening Rakai Kayuwangi lenyap tidak berbekas.
Semua orang yang menyaksikan berseru gembira. Dan kegembiraan ini bersambung menjadi seruan-seruan panjang yang riuh sewaktu puluhan orang yang masih belum sempat disembuhkan mendadak sontak ikut lenyap benjolan-benjolan merah yang ada di kening mereka.
“Dewa Jagat Bathara!” berkata Eyang Dukun Umbut Watukura. “Rupanya angkara murka yang menimpa Bhumi Mataram oleh orang-orang jahat dipusatkan pada Sri Baginda Raja. Celaka Raja maka celaka semua yang hidup di Kerajaan ini. Sembuh Raja sembuh pula mereka semua. Aku yakin yang mengalami kesembuhan bukan cuma yang ada di bukit ini, tapi semua orang di seluruh Kerajaan...!”
Raja usap keningnya yang kini licin. Sepasang mata tampak berkaca-kaca. “Kuasa Para Dewa sungguh luar biasa.” ucap Raja Mataram dengan suara bergetar. Lalu dia memimpin semua orang di tempat itu berlutut sambil mengucapkan puji syukur dan terima kasih pada Yang Maha Kuasa. Dalam kekhusukan itu sekonyong-konyong di lereng bukit sebelah utara terdengar teriakan lantang disusul gelegar suara tawa.
“Raja dan rakyat Mataram! Jangan terlalu cepat bergembira dan bersyukur! Lihat apa yang aku bawa! Ha ha ha!”
Semua orang yang ada di lereng bukit sebelah barat sama terkesiap dan serentak dongakkan kepala.
“Astaga! Mereka menangkap Ratu Randang!” Yang berteriak adalah nenek bermuka bulat tak beralis Rauh Kalidathi.
********************
DELAPAN
DI LERENG Bukit Batu Hangus sebelah utara, dalam keredupan cahaya kuning kemerahan tampak berdiri seorang perempuan tua, tubuh terbungkuk, kepala menunduk dan muka lebam, mata terpejam bengkak, mulut terkancing. Rambut yang biasa dikuncir lucu ke atas kini lepas awut-awutan. Pakaian yang dikenakan tampak robek besar di beberapa bagian. Bukan cuma, Rauh Kalidathi yang tadi berteriak, semua orang serta merta mengenali kalau perempuan itu memang Ratu Randang adanya. Lereng barat bukit serta merta menjadi gempar.
Di leher Ratu Randang melingkar benda aneh berbentuk tali gelembung panjang sebesar lengan berwarna putih berlumur darah. Tali ini bergerak berdenyut seperti hidup. Di sela bibir perempuan berusia lebih setengah abad ini terlihat lelehan darah tanda dia menderita, luka dalam yang cukup parah.
“Ratu dijirat dengan rantai usus babi! Celaka!Kita tidak bisa membebaskannya kalau tidak menemukan bangkai babi yang punya usus dan membakarnya! Yang berteriak adalah Eyang Dukun Umbut Watukura.
Di samping kiri Ratu Randang, berdiri menyeringai seorang pemuda berpakaian serta mengenakan ikat kepala kain hijau. Wajah tertutup kumis, janggut dan cambang bawuk hitam. Ghama Karadipa alias Sinuhun Muda! Dialah tadi yang mengeluarkan suara teriakan serta tawa bergelak.
Di sebelah Sinuhun Muda berdiri Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari, memegang Lentera Iblis dan dongakkan kepala serta mengulum seringai penuh kecongkakan. Sepasang mata sesekali menatap tajam ke arah Jaka Pesolek. Agaknya ada semacam kebencian, mungkin juga dendam dalam dirinya terhadap gadis ini. Karena Jaka Pesolek-lah yang telah menggagalkan serangan maut Lentera Iblis yang tadi ditujukan untuk membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di sebelah kanan Ratu Randang ada satu sosok aneh. Sosok ini selain terlihat agak samar juga merupakan sosok seorang anak lelaki kecil berpakaian bagus, berusia sekitar dua belas tahun, memiliki sepasang alis mata tebal hitam. Walau wajahnya gagah namun sikapnya tidak kalah pongah dengan Pangeran Matahari. Dia tegak sambil rangkapkan dua tangan di atas dada dan mata menatap dingin sementara mulut menyeringai pencong. Sesekali tangan kirinya bergerak mengusap anting anting emas yang mencantel di telinga kiri.
“Yang Mulia, apa Yang Mulia tahu siapa gerangan anak lelaki samar di sebelah kanan Ratu Randang? Kelihatannya Sinuhun Muda Ghama Karadipa menaruh hormat padanya.” Bertanya Rauh Kalidathi.
Raja Mataram tidak segera menjawab. Dia berusaha berpikir keras. Wiro menggaruk kepala lalu berkata. “Bocah itu mirip dengan Kesatria Lonceng Mataram, Mimba Purana yang pernah saya lihat beberapa waktu lalu.”
“Kau benar,” menyahuti Raja Mataram. “Wajah sangat mirip tapi sikap dan penampilannya tidak seperti Mimba. Yang satu ini tampak congkak. Pakaian mewah sementara Satria Lonceng Dewa selalu mengenakan pakaian kain kasar dan sangat sederhana. Aku coba menduga…” Raja usap dagunya yang ditumbuhi janggut meranggas.
Mendadak wajah Rakai Kayuwangi berubah. “Dengar...” Katanya. “Aku pernah menyirap kabar. Anak lelaki ini pernah muncul sewaktu terjadi pemberontakan besar di Bhumi Mataram. Dia tidak berada di pihak Kerajaan! Hyang Jagat Bathara. Aku ingat sekarang! Dia adalah Dirga Purana, bocah kembaran Mimba Purana.”
Eyang Dukun Umbut Watukara melangkah mendekati Rakai Kayuwangi. Setengah berbisik dia berkata. “Keadaan kita sungguh sulit. Jika bocah itu berpihak pada Sinuhun Merah Penghisap Arwah.”
“Yang aku lebih kawatir,” sahut Raja pula. Dia bukan cuma berpihak pada Sinuhun Merah Penghisap Darah tapi justru dia yang jadi biang keladi semua malapetaka yang terjadi di Bhumi Mataram! Mulai dari Malapetaka Malam jahanam!"
“Yang Mulia, saya pernah mendengar tentang disebut-sebutnya Sang Junjungan oleh kelompok Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Jangan-jangan bocah inilah orangnya.”
(Tentang Dirga Purana harap baca Serial Mimba Purana Kesatria Lonceng Dewa karangan Bastian Tito)
“Bisa jadi,” jawab Raja pula. “Kita harus melakukan sesuatu menyelamatkan Ratu Randang.”
Wiro menatap tak berkesip ke arah lereng bukit sebelah utara lalu berkata. “Yang Mulia setahu saya Ratu Randang punya ilmu kesaktian merubah diri atau menjadikan benda mati atau benda hidup lainnya menyerupai dirinya. Mungkinkah saat ini dia tengah melakukan tipuan dan yang ada di atas lereng sana sebenarnya bukan dirinya yang asli?”
“Jika musuh mempergunakan rantai usus babi, maka semua kesaktian Ratu Randang akan lenyap sampai rantai usus babi itu tersingkir dari lehernya. Untuk menyingkirkan rantai usus babi kita harus mencari dan membakar bangkai babi yang punya usus itu!” Memberitahu Eyang Dukun Umbut Watukura.
Wiro melirik pada gadis berkaki satu. “Sesuatu telah terjadi dengan Ratu Randang sewaktu aku tinggal pergi kebukit ini.”
Dewi Kaki Tunggal berpaling pada Ni Gatri. “Ni Gatri, aku pernah memintamu menemui Ratu Randang untuk mengambil Bunga Matahari sakti. Ketika kau menemuinya bagaimana keadaannya?”
“Saat itu Ratu tampak biasa-biasa saja. Malah setelah memberikan Bunga Matahari Ratu sempat berkata kalau dia akan segera pergi ke Bukit Batu Hangus.” Menerangkan Ni Gatri.
Seperti diketahui ketika Ni Gatri menemui Ratu Randang, nenek berwajah cantik itu baru saja bertarung menghadapi Pangeran Matahari dan Tiga Iblis Menjunjung Dupa. Kakek Kumara Gandamayana yang muncul di tempat kejadian membantu Ratu Randang dan berhasil menghabisi Iblis Kedua. Namun dirinya sendiri dipendam di dalam tanah oleh Sinuhun Muda dan dua Iblis yang masih hidup.
(Baca episode sebelumnya berjudul Dewi Kaki Tunggal)
Mendengar keterangan Ni Gatri, Wiro menggaruk kepala. “Gawat juga! Bagaimana aku harus menyelamatkan Ratu Randang! Aku memilih mengadu jiwa!”
“Pendekar Dua Satu Dua!Tidak ada yang gawat kalau kau mau menerima diriku sebagai sahabat!Apa untungnya mengadu jiwa segala?!”
Di udara mendadak terdengar suara perempuan bicara. Lalu wutt! Sebuah benda hitam panjang melesat dari balik sederetan batu besar dan buuuk! Benda panjang ini jatuh bergulung di hadapan Wiro dan Raja. Keduanya cepat melompat mundur. Ternyata benda itu adalah seekor ular hitam besar berkepala putih. Dengan cepat ular tegakkan kepala. Melihat sikap yang mengancam dari binatang ini Wiro cepat menggeser kaki, berdiri melindungi Raja sambil tangan kanan siap melancarkan pukulan Tangan Dewa, Menghantam Karang. Ular besar miringkan kepala sambil keluarkan ucapan.
“Mau membunuhku? Apa untungnya! Padahal aku berniat memberikan pertolongan pada kalian!”
Habis bicara, wuss! Sosok ularh itam kepulkan asap dari kepala sampai ke ujung ekor. Lalu terdengar suara tawa panjang. Bersamaan dengan itu ular hitam kepala putih menjelma berubah menjadi sosok seorang gadis cantik mengenakan pakaian sutera halus hijau nyaris tembus pandang. Di kepalanya ada satu mahkota terbuat dari perak berkilau berbentuk kepala ular dengan sepasang mata terbuat dari batu permata hijau. Bau harum menebar keluar dari tubuh dan pakaian. Ular hitam kepala putih besar yang tadi lenyap kini kelihatan dalam ukuran lebih kecil, menyembul keluar dari perut si gadis!
“Dewi Ular!” Ucap Wiro tidak senang ketika melihat dan mengenali ujud gadis yang berdiri di hadapannya.
“Dewi Ular! Ah! Itu nama yang hebat tapi yang tidak membawa keberuntungan bagi diriku. Kau tahu nama asliku. Kunti Ambiri. Mengapa tidak memanggil aku dengan nama itu? Apa nanti tidak saru dengan sahabatmu gadis berkaki satu itu?” Ular jejadian yang kini merubah ujud menjadi seorang gadis cantik menjawab. Suara dan sikapnya yang selalu garang dan sombong menghina sekarang berubah lembut.
“Ada apa kau muncul di sini! Jangan berani membuat tambah kalut urusan! Apa kau tidak tahu kalau di sini hadir Sri Baginda Raja Mataram dan kami tengah menghadapi satu perkara besar!”
“Aku tidak bermaksud mengacaukan urusan kalian, apapun adanya. Aku juga mana berani berlaku tidak hormat terhadap Raja Mataram.” Habis berkata begitu Dewi Ular memutar tubuh menghadap Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala lalu membungkuk memberi hormat. Diam-diam matanya melirik ke arah Jaka Pesolek dan membatin.
“Sulit aku menduga apakah dia benar-benar betina atau jantan. Hik.hik.hik!”
“Aneh, kau sekarang kelihatan sopan dan lembut. Malah jelas-jelas berpihak kepada kami. Apa kau sudah tidak laku lagi menjual diri dan tipu muslihat di kalangan mahluk bernama Sinuhun Muda? Tipuan apa yang ada dibalik semua sikapmu ini?!” Tanya Pendekar 212 sambil menatap tajam tepat kearah sepasang mata Dewi Ular.
“Wiro, dengar. Aku tahu rahasia penangkal ilmu rantai usus babi yang menjirat leher Ratu Randang!”
“Siapa percaya Padamu! Semua orang di Bhumi Mataram tahu kalau kau adalah kaki tangan bahkan gendak Sinuhun Muda Gharna Karadipa!”
“Berucap dan menduga. seperti yang kau lakukan apa salahnya?” Jawab Dewi Ular. “Ketahuilah, orang-orang di lereng bukit sana sekarang sudah menjadi musuhku. Mereka menghina dan melecehkan diriku termasuk Pangeran Matahari! Aku diminta melayani beberapa mahluk edan yang jadi kaki tangannya! Termasuk Ketua Jin Seratus Perut Bumi yang tadi kakinya kau buat buntung! Siap asudi!”
“Aku tetap tidak percaya padamu! Aku tahu kau pandai mengarang cerita! Tidak ada yang memintamu datang ke Bhumi Mataram ini! Apa yang terjadi dengan dirimu menjadi urusanmu sendiri! Ular sungguhan saja punya seribu kelicikan. Apalagi ular iblis seperti dirimu!”
Dewi Ular tersenyum. “Wiro, dinegeri delapan ratus tahun mendatang kita bisa merupakan musuh bebuyutan dan saling berbunuhan. Bahkan kau memang telah membunuh diriku di jurang batu pualam. Ingat? Tapi di negeri ini apa salahnya kalau kita saling bersahabat. Bersatu menghadapi musuh Raja dan rakyat Mataram.”
Wiro tetap tidak bisa percaya ucapan Dewi Ular. Perempuan iblis ini mungkin saja tengah menyiapkan satu tipu daya besar. Raja Mataram Rakai Kayuwangi mendekati Wiro dan membisikkan sesuatu. Wiro kemudian menatap ke arah Dewi Ular. Lalu berkata.
“Tadi kau mengatakan kau tahu rahasia penangkal rantai usus babi yang menjirat Ratu Randang. Jangan menipu!Bagaimana kau bisa tahu...?”
Dewi Ular tersenyum. Ujung lidah di ulurkan membasahi bibir yang merah bagus. Mata di kedipkan. “Ketika masih bercinta dengan Sinuhun Muda, banyak rahasia yang aku dapat. Tidak beda ketika Ratu Randang menipu Sinuhun tolol itu!”
“Kalau begitu katakan rahasia itu padaku.”
“Aku malah telah membawa benda penangkal itu,” jawab Dewi Ular.
“Coba perlihatkan,” kata Wiro pula agak tidak sabaran tapi tetap berlaku penuh waspada. Bisa saja gadis iblis ini pura-pura mengeluarkan sebuah benda yang kemudian ternyata bisa meledak, membunuh atau meracuni semua orang yang ada di tempat itu.
Dewi Ular gerakkan tangan kanan ke balik dada pakaian. Gerakannya sengaja dibuat menggairahkan. Wiro jadi curiga. Bisa saja di bawah payudaranya yang putih kencang itu dia menyembunyikan satu benda yang dapat membawa celaka!
“Tunggu!" Wiro berkata dan cepat pegang tangan Dewi Ular. “Bersumpahlah bahwa kau bukan dikirim oleh Sinuhun Muda atau Sinuhun Merah untuk menipu dan mencelakai diriku, Raja atau siapa saja yang ada ditempat ini.”
Dewi Ular tatap sebentar wajah Wiro Pendekar 212 lalu rundukkan kepala mencium tangan sang pendekar penuh khidmat. Dasar gadis nakal, dari hanya mencium dia kemudian menjilat tangan Wiro, dengan ujung lidah, lantas berkata.
“Wiro, mahluk semacamku mana mengenal sumpah. Hidupku adalah gelap atau hitam. Jikalau kau menaruh curiga maka silahkan gebuk dan pecahkan kepalaku saat ini juga!”
Wiro terdiam, menoleh ke arah Raja. Ketika Raja anggukkan kepala, perlahan lahan Wiro tarik tangan kanannya yang masih dicium dan dijilati oleh Dewi Ular lalu berkata. “Kunti Ambiri. Bagaimanapun aku belum bisa percaya padamu. Tapi jika kau memang tidak membekal niat jahat harap kau segera perlihatkan padaku dan Raja benda penangkal itu!”
“Terima kasih kau memanggilku dengan nama itu. Bagiku itu sudah merupakan satu kebahagiaan dan kepercayaan,” kata Dewi Ular pula. Lalu dari balik dada pakaiannya Dewi Ular alias Kunti Ambiri mengeluarkan sebuah kantong kain hitam. Dari dalam kantong kain hitam dia mengambil satu bungkusan daun keladi. Ketika bungkusan dibuka di atas daun terlihat satu benda berbulu putih bergelimang darah menjijikkan.
“Apa itu?” tanya Wiro.
“Potongan kemaluan babi betina.” Jawab Dewi Ular.
“Huekkk!” Raja Mataram semburkan muntah. Wiro cepat menutup mulut karena mendadak sontak perutnya jadi mual dan ingin menyemburkan muntah pula.
Dewi Ular tertawa. “Pendekar, kalau umpamanya yang aku pegang ini bukan potongan kemaluan babi betina, tapi potongan kemaluan perempuan benaran apakah...”
SEMBILAN
WIRO menggaruk kepala. Walau kemudian membentak, dia berusaha sembunyikan senyum jengkelnya. “Kunti Ambiri!Jaga mulutmu! Kau bicara kotor apa dihadapan Raja!”
Air muka Raja Mataram sendiri tampak berubah merah mendengar ucapan Dewi Ular. Orang-orang yang ada di tempat itu terperangah. Nenek Rauh Kalidathi mesem-mesem. Dewi Kaki Tunggal dan Ni Gatri saling pandang sama-sama rikuh.
“Siapa yang bicara kotor!” jawab Dewi Ular. “Sebentar lagi akan aku buktikan!”
Sementara itu di atas lereng bukit sebelah utara, cahaya merah kekuningan yang sejak tadi tampak redup kini kelihatan lebih jelas. Pertanda ada satu kekuatan dahsyat yang tengah menunggu saat meledaknya. Sinuhun Muda mengusap wajah lalu berkata pada anak lelaki dua belas tahun di sebelahnya.
“Kesatria Junjungan Dirga Purana. Dewi Ular tiba-tiba muncul di lereng bukit sana. Gadis iblis itu menjual diri ke mana-mana.”
“Sinuhun salah seorang pembelinya!” tukas Dirga Purana sambil tersenyum lalu cibirkan mulut.
Tampang Sinuhun Muda menjadi merah kelam membatu. “Kesatria Junjungan, harap tidak terus terusan menyudutkan saya! Saya punya firasat kalau Dewi Ular saat ini tengah melakukan sesuatu yang bisa mencelakai kita. Jika saya dan teman-teman mulai menyerang, harap kau mau memberi perlindungan dengan ilmu Mega Kuning Sujud Ke Bumi!”
“Sinuhun Muda, aku kawatir. Selama bercinta dengan gadis iblis itu kau telah banyak terpedaya. Itu semua karena kelemahanmu. Tidak bisa mengendalikan nafsu syahwat! Ingat, sebelum Malam Jahanam turun ke Bhumi Mataram kau sudah diberi peringatan sebaiknya tidak menyentuh tubuh perempuan selama dua puluh satu hari”
“Kesatria Junjungan saya tidak lupa hal itu. Tapi peringatannya tidak jelas. Didahului dengan kata-kata sebaiknya. Yang berarti kalau dilanggar tidak ada masalah. Lagi pula semua ilmu kesaktian yang saya miliki akan berkurang dayanya jika saya tidak bersentuhan dengan hawa hangat yang ada dalam tubuh perempuan. Hal yang sama juga berlaku atas diri Nyawa Kembaran saya.”
Anak lelaki berusia dua belas tahun yang tampak samar dalam cahaya kuning kemerahan seolah tidak mendengar apa yang dikatakan Sinuhun Muda. Sepasang mata yang tadi menatap dingin kini tampak berkilat ketika pandangannya membentur Ni Gatri, anak perempuan berusia empat belas tahun yang berwajah cantik dan bertubuh sintal, yang sebelumnya berdiri agak terlindung di balik sebuah batu. Tanpa mengalihkan pandangan matanya dari Ni Gatri Kesatria Junjungan Dirga Purana berkata.
“Sinuhun Muda, aku hanya menyayangkan secara tidak sadar kau telah terbujuk menceritakan beberapa ilmu kesaktianmu termasuk penangkalnya. Bukankah begitu yang terjadi? Kau mengacaukan urusan sendiri!”
Sinuhun Muda tidak menjawab. Dia berpaling pada Kesatria Roh Jemputan. “Aku akan bertindak sesuai rencana. Jika gagal kau cepat menyerang Raja Mataram dengan Lentera Iblis. Jika pemuda aneh berpakaian merah muda melakukan sesuatu aku akan menghajarnya dengan Ilmu Delapan Arwah Sesat Menembus Langit. Jika Dewi Ular, Kesatria Panggilan atau siapa saja di lereng bukit barat sana ikut melakukan penyerangan saya harap Kesatria Junjungan mau melakukan sesuatu!”
Bocah lelaki berusia dua belas tahun tersenyum, angguk anggukkan kepala tapi matanya masih terus menatap ke arah Ni Gatri.
Kembali ke lereng bukit sebelah barat. Sambil memegang lengan Wiro Dewi Ular berkata. “Aku akan menyelamatkan Ratu Randang. Kalian semua disini harapmau membantu.” Lalu gadis alam roh itu melirik pada Jaka Pesolek. Setelah melempar senyum dia berpaling pada Dewi Kaki Tunggal dan berkata. “Kau punya sekuntum Bunga Matahari sakti. Mengapa tidak dipergunakan untuk menumpas kejahatan? Bukankah Sinuhun Muda musuh yang harus kau habisi karena dengan tipu daya liciknya dia hampir menghancurkan kehormatanmu? Ketika dia tidak berhasil merampas kegadisanmu dia menebar fitnah. Padahal bukankah dia saudara satu ayahmu sendiri?!”
Dewi Kaki Tunggal terbelalak. Sampai saat itu hidungnya masih berada di pipi kanan. Semua orang yang ada di tempat itu dan mendengar jelas ucapan Dewi Ular tersentak kaget. Dengan wajah berubah pucat gadis berkaki satu itu bertanya. “Dari darimana kau tahu semua itu.”
“Bukan saatnya untuk bicara panjang. Ada urusan lebih besar yang harus segera dilaksanakan!” Jawab Dewi Ular. Habis berkata begitu dia goyangkan dua bahu.
"Wusss!" Saat itu juga tubuhnya berubah menjadi ular hitam raksasa berkepala putih. Potongan kemaluan babi betina dimasukkan ke moncongnya, kepala dinaikkan hingga kini ekornya yang berdiri di atas batu besar. Tiba-tiba dari atas lereng bukit sebelah utara terdengar teriakan lantang.
“Raja Mataram Rakai Kayuwangi!Aku Sinuhun Muda Ghama Karadipa! Jika kau ingin aku menyerahkan nenek mesum orang kepercayaanmu ini dalam keadaan hidup, kau harus menyerahkan nyawa Kesatria Panggilan sebagai imbalan!”
Rahang Raja Mataram tampak menggembung oleh luapan amarah. Pendekar 212 kertakkan sepuluh jari tangan. Saat itu ingin sekali dia menghajar sampai lumat mahluk bernama Sinuhun Muda Ghama Karadipa itu.
“Yang Mulia,” kata Pendekar 212. “Saya tidak perduli!Saya akan menerima tantangan Sinuhun Keparat itu. Ratu Randang mungkin akan tewas. Tapi Sinuhun jahanam harus leleh ditangan saya!”
“Tunggu dulu!” Jawab Raja Mataram. Lalu dia berteriak. “Sinuhun Muda Ghama Karadipa! Kau tidak layak memerintah aku Raja Mataram. Lepaskan Ratu Randang atau kau akan menerima hukuman sangat berat!”
Sebagai jawaban Sinuhun Muda tertawa gelak-gelak. “Rupanya sekarang telah ada hukum berlaku di Bhumi Mataram! Tiga tahun silam ketika terjadi pemberontakan dan dua orang tuaku serta saudara-saudaraku dibantai secara keji dan kejam tanpa salah tanpa dosa saat itu tidak ada hukum! Rakai Kayuwangi tanganmu berlumuran darah dan sampai saat ini darah itu masih belum kering!”
“Siapa ayahmu yang menurutmu tidak berdosa tidak bersalah itu?!” Tanya Raja berteriak.
SEPULUH
“AYAHKU Rakai Sedana Dyah Seladu!” Jawabn Sinuhun Muda dengan teriakan sangat keras hingga menggelegar di seantero bukit.
Raja Mataram terkejut. Semua orang Mataram terdiam. Sesaat kemudian Raja Mataram berkata. “Aku tidak pernah mendengar kalau Rakai Sedana Dyah Seladu mempunyai seorang putera bernama Sinuhun Muda Ghama Karadipa!”
“Raja Mataram!Kau bicara apa?!” teriak Sinuhun Muda. “Apa kau lupa kalau Rakai Sedana Dyah Seladu adalah saudara tuamu yang berhak atas tahta Kerajaan Mataram! Yang kau rampas tahtanya secara keji! Apa kau tidak sadar tahta Kerajaan yang kini kau duduki penuh lumuran darah rakyat Mataram yang kau bantai termasuk kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku?! Dan kalau semua orang mau tahu gadis berkaki satu bernama Sakuntaladewi itu adalah satu satunya anak perempuan keturunan Rakai Sedana yang selamat dari kezalimanmu selain diriku!”
“Juga selamat dari kezaliman bejatmu! Hingga dia menerima kutukan! Bukankah kau hendak merusak kehormatannya padahal kau tahu gadis itu ayahnya adalah ayahmu juga!”
Tiba-tiba Dewi Ular yang telah membentuk diri menjadi ular hitam besar dan berdiri lurus di atas ekornya keluarkan ucapan lantang. Sebelum bicara Dewi Ular keluarkan dulu potongan kemaluan babi betina yang ada di moncongnya yang dari jauh tidak terlihat apa adanya oleh Sinuhun Muda. Rahang Sinuhun Muda menggembung. Geraham bergemelatakan.
“Braakk! Bless!”
Gundukan batu yang dipijak Sinuhun Muda terbelah dan amblas ke dalam tanah! “Dewi Ular pelacur iblis! Kau akan segera mendapat bagianmu! Aku bersumpah akan memendam roh bejatmu dilapis tanah ketujuh!” Habis berteriak mengancam Sinuhun Muda berkata pada bocah lelaki di sampingnya.
“Kesatria Junjungan, aku mohon kau menyirap agar semua orang jangan ada yang bergerak dulu, termasuk ular hitam di atas batu sana! Biar kita bikin lumat mereka semua dengan sekali menggempur!”
“Aku mendengar ucapanmu dan akan melakukan apa yang kau minta!” Anak lelaki bernama Dirga Purana menjawab. Dua tangan dikembang ke samping lalu digerakkan ke depan. Saat itu juga cahaya kuning kemerahan yang sejak tadi menyungkup di atas Bukit Batu Hangus bergerak turun sampai seratus jengkal di atas lereng bukit sebelah barat, membuat semua orang Mataram tertegun dalam kejut dart takut!
“Ilmu Pembungkam Bumi.” desis Raja Mataram.
“Sinuhun keparat!” Tiba-tiba Eyang Dukun Umbut Watukura berteriak. “Anak siapapun kau adanya! Aku salah seorang sepuh di Bhumi Mataram yang tahu semua riwayat! Walau usia ayahmu lebih tua dari Raja Mataram Rakai Kayuwangi namun dia hanyalah anak dari seorang selir! Mana mungkin menjadi Raja dan berhak atas tahta Kerajaan Mataram. Rakai Sedana Dyah Seladu adalah tokoh dibalik pemberontakan. Mengajak anak istri serta saudara-saudaranya menghasut para pejabat dari tokoh silat serta rakyat Mataram di wilayah selatan untuk memberontak merebut tahta! Hukuman mati adalah hukuman yang setimpal bagi setiap pemberontak, dimanapun di muka bumi ini! Aku yakin tiga tahun lalu kau juga ikut melakukan pengkhianatan terhadap Kerajaan! Kalau Raja Mataram tidak menangkapmu saat ini, itu sudah satu berkah besar bagimu! Karena itu lekas angkat kaki dari sini dan bebaskan Ratu Randang maka kau akan mendapat pengampunan!”
Sinuhun Muda mendengus lalu meludah ke arah Eyang Dukun Umbut Watukura. “Tua bangka bermulut busuk! Kau adalah kacung penjilat pantat Raja Mataram. Tentu saja bicara yang bagus-bagus tentang Rajamu. Berapa ribu rakyat tak berdosa yang telah kalian bunuh ketika terjadi peperangan di Mataram tiga tahun lalu? Jika kau hendak menangkap diriku, mengapa tidak dilakukan sekarang juga?!”
Habis berteriak begitu Sinuhun Muda sentakan gelungan usus babi yang menjirat leher Ratu Randang hingga kepala perempuan tua ini tersentak, mulut mengeluarkan suara tercekik dan mata sesaat terbuka membeliak. Dari mulut makin banyak darah yang mengucur.
“Rakai Kayuwangi…” Sinuhun Muda berteriak.
“Mahluk kurang ajar! Jangan berani menyebut nama Raja Mataram selancang itu!” Membentak Eyang Dukun Umbut Watukura.
Sinuhun Muda Ghama Karadipa menyeringai lalu meludah. “Bagiku seekor anjing gila budukan adalah lebih mulia dan terhormat dari seorang Raja jahat pembantai rakyat!”
Mendengar dirinya dihina orang secara keterlaluan begitu rupa Rakai Kayuwangi berteriak geram. Walau tahu di lereng bukit sebelah utara bahaya besar mengancam, namun dia segera hendak melompat menyerbu.
“Yang Mulia, harap tetap disini. Biar saya yang merobek mulut mahluk kurang ajar itu!” Kata Pendekar 212 sambil menahan bahu Raja Mataram. Saat itu, melihat kesengsaraan Ratu Randang, amarah murid Sinto Gendeng jadi tambah menggelegak. Namun di sampingnya Eyang Dukun Umbut Watukura sudah lebih dulu berteriak dan bergerak.
“Mahluk jahanam terkutuk!” Eyang Dukun Umbut Watukura melompat ke atas satu batu besar. Kumis dan janggut putihnya sampai berjingkrak mendengar ucapan orang. Dari atas batu orang tua berjubah biru berikat kepala kain kuning ini lepaskan satu pukulan maut ke arah Sinuhun Muda. Selarik cahaya biru melesat ke arah lereng bukit sebelah utara yang hanya terpisah sekitar dua puluh tombak. Cahaya ini berbentuk aneh karena di sebelah ujungnya membuntal dua lingkaran yang berputar seperti gerinda raksasa.
“Astaga Mengapa bisa tembus?!” Anak lelaki yang dipanggil dengan sebutan Kesatria Junjungan dan bernama Dirga Purana berseru kaget ketika melihat Eyang Dukun Umbut Watukura bukan saja mampu bergerak tapi juga lancarkan serangan pukulan sakti yang menembus ilmu Pembungkam Bumi berupa cahaya merah kekuningan yang mengambang di atas lereng bukit. Dua tangan digosokkan ketelinga kiri kanan.
“Sinuhun, apa kau mendengar suara lonceng dikejauhan?” Wajah Dirga Purana tampak berubah dan suaranya bergetar.
Sinuhun Muda mendengus. Dia tidak perduli lagi. “Sepasang Cakra Bumi Langit!” Sinuhun Muda berteriak menyebut nama ilmu kesaktian serangan Eyang Dukun Umbut Watukura. “Ilmu mainan tolol! Bocah ingusanpun tidak akan menaruh takut!”
Sinuhun Muda sentakan kepala. Dari kening yang ada delapan benjolannya serta merta mencuat delapan larik cahaya merah disertai suara gelegar dahsyat' Serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!
“Delapan petir merah!” Jaka Pesolek yang sejak tadi berdiam diri menyaksikan semua kejadian berteriak girang. Gadis berkumis halus ini agaknya tidak dapat membedakan mana petir mana serangan. Dan dalam keadaan seperti itu dia jadi bingung sendiri. Dari delapan petir yang berkiblat, yang mana yang akan ditangkapnya lebih dulu.
Di atas batu besar, ular hitam berkepala putih yang merupakan perujudan Dewi Ular tiba-tiba berteriak marah. Potongan kemaluan babi betina yang barusan dikembalikan ke moncongnya tiba-tiba lepas direnggut orang!
“Kurang ajar! Siapa yang merampas kemaluan babi betina dimulutku!”
“Dewi Ular! Masih untung orang tidak menganbil kemaluannmu sendiri. Kalau kau sampai kecolongan dimana mencari penggantinya?! Hik hik hik!” Tiba-tiba ada orang berteriak disusul suara tawa cekikikan.
“Setan alas! Siapa berani bicara mempermainkanku?!" Teriakan suara laki-laki, cekikikan suara perempuan!Pemuda banci pasti kau!”
Di atas batu besar sosok ular hitam kepala putih semburkan asap hitam beracun ke arah suara orang yang berteriak dan tertawa cekikikan yaitu yang bukan lain adalah Jaka Pesolek.
“Dewi Ular! Hik hik! Aku hanya bercanda. Kita dipihak yang sama mengapa kau menyerang kawan sendiri?!” Jaka Pesolek cepat melompat, mundur hindari serangan asap be racun.
“Siapapun yang berani menghina dan mempermalukan diriku pastia kuhajar!”
“Oala! Jangan begitu. Aku hanya bergurau. Bergurau adalah kembangnya persahabatan. Main hajar adalah tanda kurang belajar! Hik hik hik! Sobatku cantik, nanti saja kita bicara lagi. Aku mau menangkap petir dulu., Ada petir bagus menggelegar diatas bukit!”
Dewi Ular yang masih jengkel berusaha mengejar Jaka Pesolek yang berhasil lolos dari serangan asap hitamnya. Kini dia berusaha mematuk. Namun saat itu dengan gerakan kilat Jaka Pesolek kembali berhasil menghindar. Sebaliknya Dewi Ular yang masih dalam ujud ular besar hitam kepala putih merasakan ada usapan lembut tapi hangat di kepalanya sebelah kiri, membuat dadanya bergetar. Dan aneh usapan ini membuat ujudnya kembali ke bentuk semula, seorang gadis cantik berpakaian sutera hijau tipis.
“Gila!” Dewi Ular merutuk sambil raba pipi kirinya yang tadi diusap Jaka Pesolek.
SEBELAS
KETIKA delapan cahaya serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit yang dilancarkan Sinuhun Muda menggelegar ke arah cahaya biru pukulan Sepasang Cakra Bumi Langit yang dilepas Eyang Dukun Umbut Watukura, sewaktu Kesatria Junjungan Dirga Purana mendadak mendengar suara genta lonceng dan berseru kaget melihat Ilmu Mega Kuning Sujud ke Bumi dan Ilmu Pembungkam Bumi miliknya sanggup ditembus serangan sang dukun, pada saat itu seseorang tiba-tiba berkelebat ke udara.
Orang ini bukan lain Jaka Pesolek yang punya gerakan secepat kilat. Pemuda yang berdandan dan bersifat seperti seorang gadis ini sempat bingung sendiri. Ada delapan cahaya merah datang menyambar. Mana yang harus ditangkapnya?!
“Hebat tapi aneh! delapan sekaligus! Apa ini benar-benar petir?!”
Bingung hanya sebentar. Otak Jaka Pesolek cepat bekerja. Seperti yang sudah-sudah dia cepat menangkap salah satu dari sinar merah itu lalu digulungkan pada tujuh sinar merah lainnya. Namun dia hanya berhasil menggulung lima cahaya merah. Dua sisanya lolos menyambar ke arah Eyang Dukun Umbut Watukura yang tengah melakukan serangan Ilmu Sepasang Cakra Bumi Langit.
Begitu berhasil menggulung lima cahaya merah, Jaka Pesolek kerahkan tenaga dalam penuh. Lima cahaya diputar di atas kepala seperti titiran lalu dilempar ke udara. Lima cahaya merah yang digulung ditambah dengan satu cahaya yang menggulung meledak dahsyat antara lereng bukit sebelah utara dan sebelah barat, menghambur kobaran api ke berbagai penjuru, membakar beberapa pohon.
Jaka Pesolek bersorak gembira namun berteriak kaget ketika belum sempat menjejakkan kaki kembali di atas bukit, di bawahnya Eyang Dukun Umbut Watukura menjerit keras. Dua larik cahaya merah sisa dari gempuran Delapan Arwah Sesat Menembus Langit saling bentrok dengan ilmu Sepasang Cakra Bumi Langit yang tadi dipakai untuk menyerang Sinuhun, Muda.
Jaka Pesolek kembali berteriak sambil berusaha menolong Eyang Dukun Umbut Watukura. Namun takdir menentukan lain. Satu letusan dahsyat menggelegar. Cahaya merah dan biru mencuat ke langit menebar hawa panas. Bukit Batu Hangus laksana dihantam gempa. Beberapa batu besar menggelinding longsor. Orang-orang terhuyung, banyak yang jatuh terbanting. Beberapa diantaranya menemui ajal digilas atau terjepit batu. Ketika tebaran cahaya kuning kemerahan dan biru sirna, beberapa orang termasuk Raja Mataram menjerit keras.
Apa yang terjadi?! Di atas sebuah batu besar yang telah rengkah tergeletak mengerikan sosok Eyang Dukun Umbut Watukara dalam keadaan hangus hanya tinggal berupa tulang belulang gosong hitam!
Jaka Pesolek memandang dengan wajah pucat. Setengah sesunggukan dia berkata. “Orang tua, maafkan diriku. Aku tidak mampu menolongmu. Rupanya yang tadi itu memang bukan petir.”
“Sinuhun keparat! Kau harus mengganti nyawa Umbut Watukura dengan nyawa busukmu!” Raja Mataram berteriak marah. Dua tangan dipentang dan mendadak sontak berubah menjadi hijau pertanda dia telah merapal aji kesaktian Dewa Kembar Membalik Gunung.
Namun belum sempat melepas serangan, dari lereng bukit sebelah utara Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari telah menghantam dengan serangan Lentera Iblis! Sinar hitam menggidikkan menyambar panas dan ganas. itulah jurus kedua Lentera Iblis yang disebut Jurus Api Akhirat!
Melihat datangnya serangan, Raja Mataram cepat memutar badan. Pukulan Dewa Kembar Membalik Gunung yang tadi hendak diarahkan pada Sinuhun Muda kini sambil membuat gerakan melompat ke udara dihantamkan ke arah datangnya serangan Api Akhirat.
“Yang Mulia, saya bersamamu!” Dewi Ular beteriak dari atas batu lalu tubuhnya melesat ke arah lereng utara Bukit Batu Hangus. Yang dituju adalah Pangeran Matahari!
“Kakak Kunti Ambiri! Aku ikut kamu!” Dewi Kaki Tunggal yang tidak mau ketinggalan segera menyusul melesat ke udara sambil dua tangan membuat gerakan Enam Belas Gerakan Tangan Bisu. Enam belas larik cahaya biru menggebubu menyongsong serangan Api Akhirat.
“Yang Mulia! Dewi Kaki Tunggal! Kunti Ambiri!Batalkan serangan. Lekas menghindar! Kalian tidak akan mampu menghadapi serangan Lentera Iblis!” Yang berteriak memberi ingat adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun terlambat.
“Wusss!” Cahaya hitam Api Akhirat berkiblat.
“Blaar! Blaar!”
Raja Mataram yang melesat lebih dulu ke udara berseru kaget ketika melihat serangan Lentera Iblis tahu-tahu sudah berada satu tombak di depan mata. Dua tangan yang telah dipentang hendak melepas Pukulan Dewa Kembar Membalik Gunung mendadak terasa kaku! Maut tidak dapat dielakkan lagi!
“Dewa Jagat Bathara! Ketika rakyat saya masih dalam keadaan ditimpa sengsara malapetaka, apakah saya pantas mati lebih dulu!” Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala berteriak seolah putus asa.
Hanya setengah tombak lagi cahaya hitam Api Akhirat Lentera Iblis akan menghabisi Raja Mataram, tiba-tiba sebuah benda meluncur keluar dari lengan kanan Raja yang ternyata sebuah tongkat kayu. Tongkat kayu ini adalah tongkat sakti pemberian Eyang Dhana Padmasutra mahluk dari alam roh.
Seperti diceritakan dalam episode berjudul Empat Mayat Aneh. Eyang Dhana Padmasutra adalah utusan Para Dewa yang membantu Raja Mataram ketika tersesat di satu rimba belantara antara Prambanan dan Kali Dengkeng. Tongkat bukan saja bisa dipergunakan sebagai penunjuk jalan untuk menemukan Sumur Api tapi kesaktiannya juga akan menjadi pelindung Raja. Jika tongkat dipegang terbalik, yaitu ujung yang lebih kecil digenggam sementara gagang tongkat diarahkan ke bawah maka tongkat akan menyelamatkan Raja dari segala marabahaya. Eyang Dhana Padmasutra berpesan jika kelak telah bertemu dengan Kesatria Lonceng Dewa Mimba Purana, maka tongkat harus diserahkan pada anak lelaki itu karena sesungguhnya tongkat sakti adalah pinjaman dari ibu kandung Mimba Purana.
(Mengenai kisah tongkat serta riwayat Mimba Purana harap baca serial Kesatria Lonceng Dewa karangan Bastian Tito)
“Wut!” Tongkat sakti melesat ke udara, berubah ujud menjadi besar laksana batang pohon jati, lalu berputar seperti titiran raksasa! Merupakan tameng dahsyat melindungi Raja Mataram.
“Blaar!” “Traakk... trakkk... traak!”
“Blaaar! Blaaar!”
DUA BELAS
WALAU tongkat sakti yang membentuk tameng batang pohon jati hancur berantakan, berhambur berkeping keping dikobari nyala api, namun Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala masih bisa selamat. Meski demikian terpaan angin dan hawa panas Api Akhirat membuat Raja terlempar jatuh ke bawah. Pakaian hangus dan mengepulkan asap di beberapa bagian.
Sebelum tubuhnya terbanting di atas sebuah batu besar, satu bayangan merah berkelebat secepat kilat menangkapnya lalu dengan perlahan lahan diturunkan dan dibaringkan di tanah. Si penolong bukan lain adalah Jaka Pesolek yang punya gerakan secepat kilat menyambar!
“Putus, nafasku!” kata Jaka Pesolek terengah-engah. Maklum saja, tubuh Raja yang tadi digendongnya dua kali besar tubuhnya. “Aduh biyung, untung Raja masih selamat.”
“Keparat jahanam!” Di lereng bukit sebelah utara Pangeran Matahari menyumpah marah melihat Raja Selamat dari serangan mautnya. Lentera Iblis kini diarahkan pada Dewi Kaki Tunggal dan Dewi Ular yang tengah melesat ke arahnya. Sekali menggerakkan lentera maka menderulah cahaya kuning pekat. Inilah jurus ketiga Lentera Iblis yang disebut Liang Lahat Menunggu! Yang merupakan jurus paling ganas dari tiga jurus cahaya serangan Lentera Iblis!
Masih terpaut jauh dari cahaya kuning, Dewi Kaki Tunggal dan Dewi Ular sudah merasakan terpaan hawa panas. Seperti juga Raja Mataram tadi, Dewi Kaki Tunggal dan ular besar kepala putih mendadak merasa tubuh mereka kaku. Ada gelombang hawa aneh yang tidak bisa mereka tembus, yang bukan saja membuat keduanya tidak mampu mendekati lawan tapi juga tidak bisa bergerak. Dalam keadaan seperti itu serangan Liang Lahat Menunggu hanya tinggal sekejapan lagi di depan mata.
“Celaka! Ini pasti perbuatan Sinuhun keparat itu! Tadi sudah bisa ditembus mengapa sekarang .... Jangan-jangan.” Dewi Ular berteriak.
Mendadak dua cahaya besar aneh muncul lebih benderang di lereng Bukit Batu Hangus. Cahaya pertama berwarna kuning turun ke bawah dengan cepat disertai suara genta lonceng. Cahaya kedua kuning kemerahan. Udara di atas bukit untuk beberapa ketika menjadi redup. Lalu terdengar ledakan-ledakan dahsyat. Asap kuning dan merah mengepul dimana mana. Hawa panas menebar di udara.
“Kesatria Junjungan!Apa kau tidak memberikan perlindungan padaku! Mana kehebatan Ilmu Pembungkam Bumi dan Ilmu Mega Kuning Sujud Ke Bumi!” Sinuhun Muda berteriak marah.
“Aku sudah melakukan!” Jawab bocah dua belas tahun disampingnya yang tampak berdiri tegang. “Tapi apa kau tidak merasakan saudara kembarku Kesatria Lonceng Dewa berada disekitar sini?”
“Persetan dengan Kesatria Lonceng Dewa. Tiga tahun silam aku sudah minta engkau membunuhnya! Kau tidak melakukan. Sekarang ini akibatnya! Dimana mana dia selalu muncul mengacaukan segala rencana!”
Ketika terjadi ledakan-ledakan keras, selagi hampir semua orang di lereng bukit terhuyung-huyung dan banyak yang jatuh ke tanah, di atas sana sosok Pendekar 212 melesat ke arah Sinuhun Muda yang tegak tergontai-gontai sambil mencekal rantai usus babi yang menjirat leher Ratu Randang. Di tangan kanan Wiro memegang potongan kemaluan babi betina yang dirampasnya dari mulut ular hitam jejadian Dewi Ular.
Seperti yang dikatakan Dewi Ular, potongan kemaluan babi itu merupakan penangkal untuk menyingkirkan rantai usus babi. Karena tidak tahu bagaimana cara mempergunakan benda penangkal itu Wiro langsung saja tempelkan potongan kemaluan babi betina pada rantai usus babi yang melingkar di leher sebelah depan Ratu Randang.
“Dess!”
Wiro merasa tangan kanannya seperti dijalari api dan tubuhnya bergoncang keras. Sinuhun Muda berteriak kaget dan marah luar biasa ketika dalam jarak sedekat itu baru menyadari benda apa yang ada di tangan Wiro dan barusan ditempelkan ke rantai usus babi di leher Ratu Randang!
“Jahanam kurang ajar!Pasti ini pekerjaan gadis iblis Dewi Ular!”
Dengan cepat Sinuhun Muda sentakan tangan kanan yang memegang ujung rantai usus babi. Dengan gerakan ini dia bermaksud untuk menghabisi Ratu Randang saat itu juga. Jika maksud jahatnya itu berhasil maka leher Ratu Randang akan putus dan kepalanya akan buntung!
Namun terlambat. Begitu potongan kemaluan babi betina menyentuh rantai usus babi, berpijar satu sinar hitam. Saat itu juga rantai usus babi putus leleh mengepulkan asap hitam berbau busuk. Sosok Ratu Randang keluarkan suara batuk-batuk beberapa kali, mata yang sejak tadi terpejam mendadak membeliak, tubuh menggeliat Jalu roboh ke tanah.
Sinuhun Muda keluarkan suara meraung seperti srigala terluka. Dua telapak tangan dikembang lalu secepat kilat dihantamkan ke arah Pendekar 212 yang saat itu tengah berusaha mengimbangi diri dari goncangan hebat. Telapak kiri mencari sasaran di kening, telapak kanan melesat ke pertengahan dada. Ketika dua telapak tangan menghantam, jari tengah sengaja ditekuk! Ternyata Sinuhun Muda melancarkan serangan Delapan Sukma Merah yang sangat berbahaya dan paling ditakuti!
Mendapat serangan begitu rupa Wiro tidak tinggal diam. Tangan kanan dikembang lalu ditiup. Di telapak tangan serta merta muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau! Di kejauhan menggelegar suara gerengan harimau. Lereng bukit sebelah utara bergoyang laksana dilamun gempa! Wiro bukan saja mengeluarkan ilmu pukulan yang disebut Pukulan Harimau Dewa pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh dari Pulau Andalas, serangannya itu disertai pula aliran hawa sakti mengandung inti api yang berasal dari Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di dalam tubuhnya.
“Plaa! Plaak!”
“Bukk! Kraak!”
Wiro menjerit keras. Tubuhnya terpental hampir satu tombak lalu terbanting tertelentang di tanah. Kening dan dada kanan terasa panas.
Sehabis memukul Sinuhun Muda mendadak melihat ada seekor harimau besar putih bermata hijau menerkam ke arahnya. Entah harimau sungguhan entah jejadian. Dia tidak bisa menduga duga lebih lama karena saat itu juga Pukulan Harimau Dewa menghantam dadanya dengan telak.
“Bukk! Kraaak!”
Sinuhun Muda terlempar dari lereng bukit sebelah utara. Tubuh mengepulkan asap putih kehijauan. Di balik kepulan asap tampak dada yang hancur nyaris berlubang sebesar kepala. Sebagian isi dada dan perut kelihatan menguak, mengerikan. Namun anehnya tidak ada darah yang mengucur. Sinuhun Muda meraung keras.
“Kesatria Junjungan! Sinuhun Merah Penghisap Arwah kalian dimana?! Hekk!” Teriakan Sinuhun Muda terhenti. Tenggorokannya seperti dicekik sementara tubuhnya terus melayang ke bawah bukit. Tidak ada suara jawaban. Yang terdengar justru suara aneh. Suara kucing mengeong! Lalu!
“Buummm!”
Untuk kesekian kalinya di udara antara lereng barat dan lereng utara Bukit Batu Hangus menggelegar dentuman keras. Cahaya kuning polos dan cahaya kuning kemerahan membungkus udara hingga keadaan di tempat itu untuk beberapa lama menjadi kelam. Begitu perlahan lahan dua cahaya di atas sana sirna dan keadaan menjadi terang kembali, teriakan-teriakan keterkejutan terdengar di lereng Bukit Batu Hangus sebelah barat.
TIGA BELAS
DIDAMPINGI Jaka Pesolek, di atas sebuah batu besar Raja Mataram terbujur tak bergerak. Walau akibat bentrokan Api Akhirat yang menyembur keluar dari Lentera Iblis hanya membuat dirinya cidera ringan, pakaian hangus, namun saat itu Raja juga merasa sekujur tubuhnya laksana luluh-lantak. Nafas mengengah engah dan sepasang mata setengah terpejam.
“Yang Mulia, bagaimana keadaan Yang Mulia. Apa ada yang dirasakan sakit?” Jaka Pesolek bertanya sambil usap kening Raja, agak bingung karena tidak tahu harus menolong bagaimana.
“Aku... aku tidak apa-apa. Bagaimana yang lain-lainnya?” Raja Mataram justru mengawatirkan keadaan orang lain yang ada di lereng bukit.
Rauh Kalidathi satu-satunya orang Kerajaan ditempat berkepandaian tinggi yang masih ada di tempat itu cepat mendatangi Raja Mataram. Nenek bermuka bundar tak punya alis ini memeriksa lalu menotok tubuh Raka Kayuwangi di beberapa bagian.
“Yang Mulia, syukur Dewa melindungi. Yang Mulia tidak apa-apa. Tak ada hawa beracun mengindap dalam tubuh Yang Mulia. Izinkan saya dan gadis ini menggotong Yang Mulia ketempat lebih aman.” Si nenek memberi isyarat pada Jaka Pesolek. Kedua orang ini lalu mengusung tubuh tinggi besar Raja Mataram beberapa belas langkah ke bagian bawah lereng lalu membaringkan di balik sebuah batu hitam.
Di bagian lain lereng barat Bukit Batu Hangus Pendekar 212 terbujur di tanah tak bergerak, mata terpejam dan ada darah meleleh dari sudut kedua mata. Di keningnya ada tanda bekas telapak tangan kiri berjari empat! Di pertengahan dada yang tersingkap juga kelihatan tanda telapak tangan kanan berjari empat. ltulah Pukulan Delapan Sukma Merah yang secara kasat mata dilakukan oleh Sinuhun Muda namun sebenarnya ada roh gaib lain yaitu Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang memberi kekuatan dan merasuk masuk ke dalam tubuh Sinuhun Muda.
“Wiro! Kau! Ohh Sang Hyang Jagat Bathara! Jangan.” Satu jeritan perempuan terdengar lalu ada sosok seseorang meneduhi tubuh Pendekar 212 dan mengusap kening serta dadanya berulang kali. Sambil mengusap dia kerahkan tenaga dalam mengandung hawa sakti memancarkan cahaya biru.
“Wiro, jangan mati! Kau tidak boleh mati!” Orang yang tengah berusaha menolong Wiro adalah gadis berkaki satu Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal. Melihat Wiro masih tetap tidak bergerak Dewi, Kaki Tunggal letakkan telinga kanannya di dada sang pendekar.
“Dewa Bathara Agung!Aku tidak mendengar suara detak jantung!” Wajah Sakuntaladewi berubah pucat. Lalu dia guncang tubuh Wiro keras-keras.
Tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tiada, Wiro buka kedua mata, tidak cukup besar dan pandangannya tidak cukup jelas. Namun hidungnya mencium bau harum. Wiro pejamkan mata beberapa kali lalu memandang lagi. Perlahan lahan dua tangan diangkat memegang wajah orang yang berada di atasnya. Dia melihat ada cahaya biru. Lalu ada wajah cantik samar. Mulut berucap perlahan tapi cukup jelas.
“Bidadari Angin Timur, kau.”
“Wiro, kau menyebut nama siapa? Aku... aku Sakuntaladewi. Aku gadis berkaki satu yang punya kaul. Aku Dewi Kaki Tunggal! Kau calon suamiku! Kau tidak boleh mati!”
Wiro terdiam, mulut ternganga. Mata dibuka lebih lebar. Bola mata membesar. “Dewi... kau,” sang pendekar berkata. “Pikiranku tidak jernih, kepala dan dada terasa panas. Pandangan mata kabur.”
“Kau, kau terkena pukulan Delapan Sukma Merah. Seharusnya kau sudah menemui ajal saat ini! Para Dewa pasti telah menolongmu! Wiro, di kening dan dadamu ada tanda telapak tangan berjari empat. Bekas pukulan Delapan Sukma Merah…”
Wiro mengusap kening lalu memperhatikan dadanya. Walau samar dia masih mampu melihat bekas telapak tangan kanan berjari empat yang tertera di dada. “Kepalaku memang terasa panas. Dadavsakit, nafasku sesak. Aku tidak pernah mengalami seperti ini. Apakah... apakah aku akan mati?”
“Tidak, kau tidak akan mati Wiro! Aku akan...”
Wajah pucat sang pendekar tersenyum datar. “Sebelum mati aku harus melakukan sesuatu. Aku telah membuat wajahmu yang cantik menjadi buruk. Aku akan mengembalikan hidungmu ketempat semula. Maafkan kalau aku...”
“Jangan pikirkan diriku. Yang penting kau harus sembuh lebih dulu. Kau telah memberikan ilmu itu padaku. Aku bisa melakukan sendiri nanti.”
“Tidak, aku yang melakukan, aku yang harus mengembalikan...”
Wiro gerakkan tangan kanan ke hidung Sakuntaladewi yang ada di pipi kanan. Hidung diusap lalu tangan dipindah ke pertengahan wajah. Ketika tangan diangkat hidung gadis itu telah kembali ke tempat semula secara. sempurna. Namun selesai melakukan hal itu, mungkin karena mengerahkan hawa sakti dikala tubuh cidera, dua tangan sang pendekar terkulai, jatuh ke samping. Mulut keluarkan keluhan pendek, mata kembali terkancing!
“Wiro!” Sakuntaladewi terpekik. Dia pegang dua bahu Pendekar 212 lalu digoyang keras-keras. Tubuh itu tidak bergerak, wajah tampak semakin pucat. Seperti tadi Sakuntaladewi letakkan telinga. kanannya di dada Wiro. Dia tidak mendengar suara detak jantung. Sakuntaladewi tempelkan dua telapak tangannya di atas dada Wiro lalu ditekan dihentakkan. Satu kali, dua kali. Sampai beberapa kali Wiro tetap diam tidak bergerak.
“Dewa Agung tolong saya. Tolong saya!” Sakuntaladewi berkata setengah meratap. Lalu gadis ini menotok kening, dada dan urat besar di pangkal leher kiri kanan Wiro. Setelah itu dia rundukkan kepala, jari-jari tangan kanan menekap dua lobang hidung Wiro, jari-jari tangan kiri membuka mulut yang terkatup. Lalu gadis itu tempelkan bibirnya ke bibir sang pendekar. Berulang kali dia menghembuskan nafas hangat ke dalam mulut Wiro. Tiba-tiba ada suara perempuan tertawa dan menegur!
“Hik hik hik! Sahabatku itu belum mati. Mengapa buru-buru memberikan cium perpisahan?!”
Saat itu tiba-tiba saja Wiro sadar dari pingsannya. Sambil terbatuk-batuk dia nyalangkan sepasang mata. Di arah lain ada lagi suara orang perempuan berucap.
“Seharusnya aku yang memberikan puluhan bahkan ratusan ciuman. Apa kalian tidak tahu kalau aku masih berhutang empat ratus enam puluh dua ciuman lagi pada Pendekar Panggilan?!”
Sakuntaladewi angkat kepalanya. Memandang ke kiri dia melihat Kunti Ambiri alias Dewi Ular tergeletak ditanah. Rambut hitam panjang tergerai lepas. Mahkota perak hilang entah kemana. Tubuh bagian pinggang ke bawah termasuk pakaian sutera hijaunya tampak hangus. Kelihatannya gadis alam roh ini hanya mampu menggerakkan dua tangan dan sebagian tubuh sebelah atas saja. Sementara tubuh pinggang ke bawah dalam keadaan lumpuh!
“Oala! Sahabatku muda! Nasibku celaka aku tidak perduli. Tapi kalau dirimu yang sengsara aku sungguh sedih. Tidak ada yang bisa menghilangkan tanda telapak tangan di kening dan dadamu selain dengan ciuman yang harus dilakukan oleh Sinuhun Muda atau Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Oala! Apakah kau mau dicium mahluk keparat itu. Lalu apakah dia maumenciummu? Hik hik!”
Wiro yang baru saja siuman dan mata masih menerawang ke langit mengenali suara itu. “Ratu... Ratu Randang. Kaukah itu!”
EMPAT BELAS
SEORANG nenek berambut kusut masai tidak karuan, berdiri di samping Wiro yang masih terbujur di tanah didampingi Sakuntaladewi. Sepasang matanya yang juling menatap hiba memperhatikan Pendekar 212. Ternyata dia memang adalah Ratu Randang si nenek yang sebenarnya berwajah cantik tapi kini dalam keadaan lebam bekas dianiaya orang, salah seorang kepercayaan Sri Baginda Raja Mataram.
“Wiro, aku berterimakasih kau telah menyelamatkan diri dan nyawaku dari tangan jahat Sinuhun Muda. Tapi akibatnya sekarang kau malah yang jadi sengsara. Bagaimana aku ganti menolong membalas budimu. Hutang empat ratus enam puluh dua ciuman saja masih belum lunas!”
Wiro yang masih menahan sakit di kepala dan di dada masih bisa tersenyum mendengar ucapan sinenek, Malah dia kemudian berkata. “Nek, jangan berterima kasih padaku, tapi berterima kasih pada Kunti Ambiri. Dia yang membawa benda penangkal rantai usus babi.”
“Kunti Ambiri? Siapa itu?Aku tidak pernah kenal dengan perempuan bernama seperti itu.” Kata Ratu Randang pula.
“Kunti Ambiri adalah nama sebenarnya dari Dewi Ular. Menerangkan Wiro.
Ratu Randang terkejut. Ini kali kedua si nenek terkejut. Pertama ketika mendengar disebutnya benda penangkal rantai usus babi dan kedua sewaktu mendengar nama Dewi Ular.
“Dewi Ular? Wiro, apa kau tidak salah bicara aku tidak salah mendengar? Bukankah gadis iblis yang sama datang dari alammu itu adalah musuh besarmu dan musuh orang-orang kerajaan? Semua orang tahu dia berpihak bahkan pasti sudah digilir oleh Sinuhun Muda. dan Sinuhun Merah dan beberapa kali hendak membunuhmu!” Si nenek kernyitkan kening.
“Sekarang tidak lagi Nek. Kalau dia memusuhi kita, tidak akan gadis itu muncul membawa benda penangkal.“
Ratu Randang bergumam. Agak senyum-senyum dia berkata. “Benda penangkal, maksudmu potongan kemaluan babi betina?”
“Betul Nek,” jawab Wiro.
“Ah…! Ratu Randang menghela nafas panjang lalu sambil menahan tawa cekikikan dia berkata. “Aku tidak heran. Kalau soal benda-benda semacam yang aku sebut tadi Dewi Ular memang ahlinya. Hik hik! Dimana gadis alam roh itu sekarang?”
“Nenek tua tapi masih cantik dan montok, aku disini. Apakah kau hendak menolong atau mau membunuhku!Aku menunggu apa maumu saja.”
Satu suara menjawab dari depan sebuah batu besar. Tidak tunggu lebih lama Ratu Randang segera melesat ke udara dan melayang turun di depan batu, dimana Kunti Ambiri alias Dewi Ular tergeletak. Walau masih bisa bicara namun tubuhnya sebelah bawah berada dalam keadaan hangus dan lumpuh. Ini bukan lain akibat bentrokan sebelumnya dengan cahaya, serangan Lentera Iblis serta sapuan cahaya kuning kemerahan yang menyambar dari lereng bukit sebelah utara.
“Sahabat, kau mengalami cidera berat! Kulihat tubuhmu pinggang kebawah dalam keadaan lumpuh. Aku kawatir tidak bisa, menolongmu…”
Dewi Ular tersenyum. “Sebenarnya aku tidak minta ditolong. Kau mau memanggil diriku dengan sebutan sahabat sudah merupakan satu hal sangat menggembirakan bagiku.“
“Jangan bicara begitu,” kata Ratu Randang pula sambil coba alirkan tenaga dalam dan hawa, sakti ke tubuh bagian bawah Dewi Ular.
Di saat yang sama dia merapal ilmu kesaktian bernama Tangan Langit Kaki Bumi. Dua larik sinar biru memancar dari dua tangannya. Dua kaki Dewi Ular hanya tersentak sebentar lalu diam lagi. Sampai sekujur tubuh si nenek keringatan tetap saja dia tidak bisa menolong Dewi Ular.
“Aku menyesal.” Ucap Ratu Randang pula. “Aku menduga ada satu kekuatan masih menolongmu sewaktu membantu Raja menggempur Kesatria Roh Jemputan bersenjata lentera.”
“Ah, tidak sangka kau mengetahui hal itu…”
“Ketika masih dijerat rantai usus babi tadi orang melihat dua mataku yang lebam seperti terpejam. Tapi aku masih mampu menyaksikan apa yang terjadi. Hanya saja saat ini aku berpikir-pikir.”
“Apa yang kau pikirkan Nek? Sisa ciuman yang masih empat ratus enam puluh dua itu?”
Ratu Randang terperangah tapi kemudian tertawa gelak-gelak. “Itu memang jadi pikiran dan sangat penting. Tapi yang saat ini aku pikirkan ialah aku heran melihat keadaan gadis berkaki satu yang dipanggil Dewi Kaki Tunggal itu. Dia ikut menyerang orang-orang di lereng bukit utara. Tapi mengapa dia hampir tidak mengalami cidera sedikitpun? Apakah dia memang memiliki kesaktian luar biasa?”
“Yang aku tahu dia masih sedarah dengan Sinuhun Muda. Tapi tidak berada di pihaknya. Lalu gadis kaki satu itu sebenarnya juga adalah cucu dari dua mahluk sakti Sepasang Arwah Bisu. Namun aku... Astaga!Aku ingat sesuatu!” Dewi Ular berucap setengah berseru lalu diam.
“Heh! Kau ingat apa?!” Ratu Randang bertanya tidak sabaran.
“Aku pernah tahu kalau gadis berkaki satu itu membekal sebuah bunga sakti. Sekuntum Bunga Matahari. Sebelum Sinuhun Muda dan Kesatria Roh Jemputan melakukan serangan aku malah sudah memberi tahu dan mengingatkan dirinya kalau bunga itu bisa dijadikan andalan.”
Belum selesai Dewi Ular dengan ucapannya, tidak menunggu lebih lama Ratu Randang segera berkelebat ke atas lereng dimana Wiro dan Sakuntaladewi berada.
“Anak gadis, apakah bunga yang aku kembalikan padamu melalui Ni Gatri sudah kau terima?” Tanya Ratu Randang begitu sampai di hadapan Sakuntaladewi yang tengah menolong Wiro yang saat itu telah mampu duduk bersandar ke sebuah batu besar.
“Mengapa kau menanyakan bunga itu Nek?” Balik bertanya Sakuntaladewi. Lalu tiba-tiba saja gadis ini ingat. “Hyang Jagat Bathara Dewi Ular pernah mengatakan sesuatu!”
Dengan cepat Sakuntaladewi keluarkan Bunga Matahari dari balik pakaiannya. Namun dengan cepat pula segera dirampas oleh si nenek. Dia hendak melesat turun kembali ke tempat Dewi Ular tergeletak namun batal karena ingat akan keadaan Pendekar 212. Bunga yang pernah dijampai oleh patung Nyi Roro Jonggrang di kawasan Candi Prambanan ini segera disapukannya di kening Wiro dimana terdapat tanda telapak tangan empat jari.
“Kalau ampuh disini, maka dengan kehendak Yang Maha Kuasa akan mampu untuk menolong semua orang!” Ucap Ratu Randang lalu.... wuss!
Asap kuning kemerahan mengepul dari kening yang diusap Bunga Matahari. Begitu asap sirna, tanda telapak tangan kiri berjari empat di kening Wiro lenyap tidak berbekas! Ratu Randang dan Sakuntaladewi berseru gembira. Wiro terbengong-bengong sambil meraba kening. Dia tentu saja tidak bisa melihat apa yang terjadi dengan keningnya namun saat itu rasa sakit di kepalanya serta merta lenyap begitu Bunga Matahari diusap di atas kening.
“Nek... Nek, masih ada satu tanda lagi,” kata Wiro pada Ratu Randang sambil membuka bagian dada pakaiannya.
“Kecil!” Jawab si nenek jadi sombong. Sekali menyapukan Bunga Matahari di dada Pendekar 212 maka tanda telapak tangan kanan berjari empat yang tertera di dada itu juga lenyap setelah lebih dulu mengeluarkan asap kuning kemerahan! Rasa sesak dan sakit di dada juga sirna!
“Terimakasih Nek,” kata Wiro sambil mengulurkan tangan. Tiba-tiba saja dia sudah merangkul Ratu Randang. “Sekarang biar aku bantu mengurangi hutang ciumanmu Nek!” Wiro memagut punggung dan belakang kepala si nenek. Lalu cup ... cup ... cup. Dia mengecup bibir si nenek berulang kali sampai si nenek megap-megap tapi tidak mau melepaskan diri seolah memang suka dicium begitu rupa! Tersengal-sengal Wiro hentikan ciuman. Dia melihat wajah si nenek yang bersemu merah. Mata dipejam, bibir diruncingkan tanda masih ingin dan siap dicium. Wiro berkata. “Sudah dulu Nek.”
Ratu Randang buka kedua mata dan usap bibirnya. Dia merasa ada kelainan. “Oala, kenapa bibirku terasa lain?Jadi lebih tebal.”
Wiro memperhatikan. Ternyata bibir si nenek sudah melembung merah! “Kau... kau membuat bibirku jontor!” kata Ratu Randang. Tangan kirinya bergerak menjewer telinga Wiro. Lalu sambil membawa Bunga matahari di tangan kanan nenek ini berkelebat menuruni bukit. Di lereng bukit Wiro berteriak.
“Nek, tadi aku tidak menghitung. Tapi paling tidak ada empat puluh kali aku menciummu. Berarti hutang ciumanmu kini tinggal empat ratus dua puluh dua!”
Si nenek hentikan lari. Memutar tubuh ke arah Wiro sambil kepalkan tinju. Sampai di hadapan Dewi Ular Ratu Randang berkata. “Dengan bunga ini aku berhasil mengobati Wiro. Mudah-mudahan bunga sakti ini juga bisa menyembuhkanmu.“
“Astaga! Setan mana yang menyedot bibirmu Nek?” Tanya Dewi Ular bergurau padahal sebenarnya dia tadi sempat melihat apa yang terjadi.
“Jangan menggoda. Kau mau aku tolong tidak?!” Kata Ratu Randang pula.
“Nek, jangan pikirkan diriku. Sebaiknya kau lekas menolong Raja Mataram. Dia di sana ditemani gadis yang ada kumis halusnya itu.” Dewi Ular menunjuk ke arah satu batu besar di belakang mana Raja berada bersama Jaka Pesolek.
Ratu Randang orangnya memang polos. Karena sudah merasa bersahabat dengan Dewi Ular, sebelum pergi meninggalkan gadis alam roh itu, Bunga Matahari diusapkannya di atas perut, punggung, pantat dan dua kaki Dewi Ular. “Biar aku tambahkan satu usapan lagi sebagai hadiah!” Kata Ratu Randang. Lalu tanpa banyak cerita lagi dia angkat bagian bawah pakaian sutera hijau Dewi Ular dan susupkan Bunga Matahari ke bagian bawah perut gadis itu.
“Hai nek! Kau ini gila apa?!” Teriak Dewi Ular kegelian tapi tidak sempat menghindar.
Ratu Randang tertawa cekikikan. “Kau bilang aku gila!Nanti lihat saja! Pasti banyak lelaki yang tergila-gila padamu! Hik hik hik!” Ratu Randang kembali tertawa panjang.
“Nek, bagaimana kalau nanti karena kualat bunga itu hilang kesaktiannya. Padahal kau belum menolong Raja!”
Walau lari terus ke arah dimana Raja dan Jaka Pesolek berada namun ucapan Dewi Ular membuat Ratu Randang jadi berdebar dan dingin tengkuknya. Dia jadi punya rasa kawatir kalau-kalau apa yang diucapkan Dewi Ular menjadi kenyataan. Bunga Matahari hilang kesaktiannya karena tadi langsung diusapkan ke bagian terlarang. Si nenek dekatkan Bunga Matabari ke hidungnya lalu mencium dalam-dalam.
“Tidak ada bau yang aneh.” ucap si nenek dalam hati. “Tapi tadi aku tidak sempat melihat. Apa Dewi Ular pakai celana dalam atau tidak ya? Gadis seronok itu! Jangan-jangan dia tidak pakai celana dalam!”
Jaka Pesolek terkejut ketika tahu-tahu Ratu Randang sudah berdiri di hadapannya. “Nek, kau datang membawa Bunga Matahari. Kau mau berbuat apa? Apa kau bisa menolong Raja?”
Ditegur begitu Ratu Randang hanya tegak terdiam. Dia masih memikirkan ucapan Dewi Ular tadi. “Kalau perbuatanku tadi memang mendatangkan kualat, berarti Raja memang tidak bisa ditolong. Celaka, bagaimana ini. Apa ada penangkal untuk menghilangkan kualat? Tadi aku usapkan ke anunya Dewi Ular. Mungkin penangkalnya lawan dari yang itu .... Hemmm.”
Lalu tiba-tiba sekali Ratu Randang rundukkan tubuh. Bunga Matahari yang ada di tangan kanan diusapkan ke bagian bawah perut Raja Mataram.
“Ratu Randang! Apa yang kau lakukan?!” Teriak Raja Mataram. Tapi akibat usapan bunga sakti pada bagian bawah perutnya segala rasa sakit yang diderita Raja menjadi lenyap. Malah setelah ada kepulan asap kuning kemerahan Raja langsung melompat bangkit. Dua tangan ditekapkan ke bawah perut. Kepala mendongak sementara sepasang mata berkedap-kedip meram melek dan lidah diulurkan berulang kali membasahi bibir.
Melihat hal ini Jaka Pesolek dekati si nenek dan bertanya. “Nek, apa yang kau lakukan pada Raja. Kelihatannya Yang Mulia seperti orang yang sedang keenakan. Coba aku lihat bunga itu Nek.”
“Jangan! Kau tidak sakit!”
Tapi Jaka Pesolek yang punya gerakan kilat sudah merampas Bunga Matahari dari tangan Ratu Randang lalu dengan cepat bunga sakti itu diusap ditekan-tekan berulang kali ke bawah perutnya sendiri! Tiba-tiba Jaka Pesolek menjerit keras. Bunga Matahari terlepas jatuh dari tangan kanan. Tubuh gadis ini jatuh tertelentang, Mata membeliak, bola mata berputar-putar. Mulut senyum-senyum.
“Gila! Apa yang terjadi?!” Si nenek cepat mengambil Bunga Matahari yang tercampak di tanah dan berpikir pikir sambil menatap ke arah Raja, lalu memandang pada Jaka Pesolek, setelah itu memperhatikan Bunga Matahari.
“Hemmm...” Si nenek bergumam. “Kalau tidak aku lakukan sendiri mana aku tahu apa yang terjadi dan dirasakan dua orang itu.” Tiba-tiba si nenek tekapkan kuat-kuat Bunga Matahari sakti ke bagian bawah perutnya. Sesaat kemudian sepasang mata si nenek tampak terbeliak, mulut menganga mengeluarkan suara erangan dan lidah terjulur.
“Oala Oala!” Ratu Randang berteriak berulang kali. Lututnya goyah, tubuh limbung lalu jatuh tertelentang menggeliat geliat di atas sebuah batu.
“Nek,“ tiba-tiba ada orang mendatangi dan bertanya. Ternyata Jaka Pesolek. “Nek, aku cuma mau tanya. Apa yang kau alami sama dengan yang aku rasakan. Aku merasa geli-geli aneh tapi enak di sebelah bawah tubuhku. Lalu sesekali seperti ada tangan lembut yang mengusap anuku. Hik hik.”
“Kalau sudah tahu mengapa masih bertanya?!” Ratu Randang mendamprat. Lalu kembali berteriak Oala... Oala Mata meram melek!
Jaka Pesolek tertawa panjang lalu jatuhkan tubuh melintang di atas tubuh si nenek!
“Gadis liar! Aku ini perempuan! Jika kau mau senang-senang cari lelaki saja!” Ratu Randang berucap marah karena tubuhnya dihimpit begitu rupa.
“Hikk hik...“ Jaka Pesolek kembali tertawa geli cekikikan. “Apa kau tidak tahu Nek?Aku ini bisa jantan bisa betina?!”
“Huekkk!” Ratu Randang keluarkan suara seperti mau muntah. Lalu dia membentak. “Setan alas!Jangan mengganggu! Jangan membuat aku marah. Aku sedang keenakan tahu!”
“Sama lagi Nek, sammaaa. Aku juga lagi. uhuk… uhuk…ihik ihik!” Jawab Jaka Pesolek dan terus saja menindih tubuh si nenek sementara dua kakinya bergerak melejang-lejang.
S E L E S A I
Apakah perbuatan Ratu Randang yang tidak sengaja mengusap bagian bawah perut Ratu Ular benar-benar telah mendatangkan kualat?
Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah tidak mau menerima kekalahan di Bukit Batu Hangus begitu saja. Mereka menyusun satu rencana baru antara lain dengan memanfaatkan Arwah Ketua, yang dikenal sebagai Raja segala arwah dan Penguasa Candi Miring di Bhumi Mataram. Bagaimana pula dengan keberadaan Sinto Gendeng yang tidak kunjung tersingkap?
Bagaimana kalau tiba-tiba Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dipergunakan untuk menggenang darah menebar maut? Ikuti cerita selanjutnya berjudul: