Kitab 1000 Pengobatan

Wiro Sableng. Kitab 1000 Pengobatan
Sonny Ogawa

Kitab Seribu Pengobatan

SATU

MATAHARI belum lama tenggelam. Kegelapan malam terasa begitu cepat menghantui permukaan bumi. Dalam waktu singkat kawasan bukit batu 113 Lorong Kematian tenggelam dalam kepekatan menghitam. Kesunyian yang menyelimuti tempat itu merubah suasana seperti sunyinya pekuburan. Sebelumnya tempat ini telah menjadi ajang pertempuran antara Pendekar 212 Wiro Sableng dan kawan-kawan melawan kelompok manusia pocong di bawah pimpinan Yang Mulia Ketua. Manusia jahat luar biasa ini kemudian diketahui ternyata Pangeran Matahari adanya. Musuh bebuyutan Pendekar 212 dan para tokoh silat golongan putih.

Ketika angin dari arah utara bertiup agak kencang dan debu yang membumbung ke udara tidak sanggup memecah kesunyian, sekonyong-konyong seperti hantu laiknya, dari reruntuhan pintu rahasia di selatan 113 Lorong Kematian muncul satu sosok lelaki mengerikan. Orang ini nyaris tidak mengenakan pakaian. Kulit wajah dan tubuhnya yang bugil menghitam gosong. Di beberapa bagian kelihatan daging mengelupas kemerahan. Rambut di atas kepala awut-awutan, kotor berdebu dan menebar bau sangit akibat terbakar.

Di tangan kanan, orang ini memegang sebuah bendera besar berbentuk segi tiga, bergagang besi berujung runcing, hampir menyerupai sebatang tombak. Sesekali dari mulutnya keluar suara erangan halus, mungkin tak tahan oleh rasa sakit pada sekujur tubuh yang melepuh. Selain itu setiap menghembuskan nafas, kepulan asap kemerahan keluar dari dua lobang hidung. Siapakah gerangan mahluk mengerikan ini? Dialah Pangeran Matahari!

Seperti diceritakan dalam Episode Kematian Kedua, di dalam rumah panggung beratap ijuk hitam yang terletak di bagian belakang 113 Lorong Kematian, Yang Mulia Sri Paduka Ratu (Puti Andini) hendak diperkosa oleh Wakil Ketua yang sesungguhnya adalah Yang Mulia Ketua dan bukan lain adalah Pangeran Matahari. Dengan menyebadani Sri Paduka Ratu, Pangeran Matahari akan berhasil menyedot seluruh tenaga dalam dan ilmu kesaktian luar biasa yang ada dalam diri Sri Paduka Ratu.

Namun niat keji Pangeran Matahari tidak kesampaian. Karena di saat itu pula Bunga bersama Naga Kuning, Ratu Duyung, dan Gondoruwo Patah Hati datang menyerbu. Pangeran Matahari menyambut serangan keempat orang itu dengan dua pukulan sakti yaitu Gerhana Matahari dan Telapak Matahari. Rumah kayu langsung tenggelam dalam kobaran api lalu meledak hancur luluh. Yang Mulia Sri Paduka Ratu berhasil diselamatkan, namun Pangeran Matahari sendiri tanpa diketahui Wiro dan kawan-kawan melesat loloskan diri dari bangunan yang meledak dalam keadaan hampir keseluruhan tubuh hangus terbakar.

Manusia yang dijuluki Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, dan Segala Congkak ini, begitu berhasil selamatkan diri segera menyelinap masuk ke dalam 113 Lorong Kematian lewat pintu belakang. Dia tahu, kalaupun musuh-musuhnya melihat, mereka tidak akan berani memasuki lorong. Pangeran Matahari yang tidak memikirkan lagi keadaan dirinya, tidak berusaha mencari pakaian untuk menutupi aurat, yang perlu segera didapatkannya saat itu adalah bendera keramat yang ada di Ruang Bendera Darah. Setelah berhasil mendapatkan Bendera Darah, Pangeran Matahari duduk bersila di dalam lorong, mengatur jalan darah untuk mengurangi rasa sakit di sekujur badan. Sekaligus berusaha menguras habis hawa beracun yang ada dalam tubuhnya dengan cara meniupkan nafas panjang-panjang berulang kali.

“Aksara Batu Bernyawa...” Ucap Pangeran Matahari dalam hati. Manusia paling jahat dalam rimba persilatan ini khawatir berat. Ketika Bunga dan tiga tokoh silat lainnya menyerbu, dia tidak sempat mengambil batu mustika yang saat itu masih berada dalam salah satu saku jubah putihnya.

“Aku harus mendapatkan batu itu kembali. Harus! Jahanam betul!”

Aksara Batu Bernyawa memang merupakan sebuah batu sakti luar biasa. Dengan batu itulah Puti Andini yang telah menemui kematian, rohnya dapat dihadirkan kembali, masuk ke dalam tubuh dan membuat gadis yang dalam rimba persilatan dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh itu mampu dihidupkan kembali. Seandainya Puti Andini tidak menemui kematian kedua dan sang Pangeran berhasil menyedot semua ilmu kesaktian yang dimiliki gadis itu, rimba persilatan akan jatuh ke dalam cengkereman Partai Bendera Darah sebagaimana yang telah direncanakan berdirinya oleh Pangeran Matahari.

Cukup lama Pangeran Matahari berada di dalam 113 Lorong Kematian sebelum akhirnya bangkit berdiri lalu sambil membekal Bendera Darah berlari cepat ke arah goa di bagian belakang lorong. Di mulut goa yang porak poranda dia hentikan langkah. Sepasang mata menatap ke arah pedataran berbatu-batu. Sunyi dan gelap. Telinga dipasang tajam-tajam. Mulut menyeringai. Dia menangkap suara banyak orang bicara di ujung pedataran batu.

“Belum pergi. Mereka masih di ujung pedataran sana. Apa yang dilakukan manusia-manusia keparat itu?” pikir Pangeran Matahari. Dia gulung Bendera Darah seputar gagang besi lalu berkelebat ke pedataran berbatu-batu. Bersembunyi di balik sebuah batu besar, Pangeran Matahari memperhatikan Wiro dan kawan-kawan berdiri mengelilingi satu gundukan tanah merah.

“Hemmm... mereka telah menguburkan gadis itu.” Sepasang mata sang Pangeran memancarkan sinar berkilat. Dendamnya terhadap Wiro setinggi langit sedalam lautan. “Kali ini aku gagal. Tapi sebelum rimba persilatan kiamat, aku bersumpah akan menghancurkanmu!”

Rahang Pangeran Matahari menggembung. Selagi semua orang di depan sana masih mengelilingi makam Puti Andini dalam suasana penuh kesedihan, Pangeran Matahari pergunakan kesempatan untuk menyelinap, berkelebat ke arah lorong rahasia di bagian selatan yaitu jalan masuk melewati jurang yang ditempuh Wiro, Bunga dan kawan-kawan waktu menyerbu 113 Lorong Kematian. Dari bagian atas tangga batu yang melingkar di dinding jurang, Pangeran Matahari memandang ke bawah. Gelap. Dia nyaris tidak dapat melihat apa-apa walau ada seberkas cahaya suram masuk ke dasar jurang melalui sebuah lobang di dinding batu.

Meski tubuhnya hangus serta masih ada hawa beracun yang menyekat di jalan pernafasannya namun Pangeran Matahari tidak kehilangan ilmu kesaktian asli yang dimilikinya. Dengan gerakan cepat dan enteng dia berkelebat menuruni tangga di dinding jurang. Begitu sampai di dasar jurang di mana terdapat sebuah telaga, Pangeran Matahari siap menerobos lobang di dinding batu yang akan menghubunginya dengan satu kawasan persawahan. Mendadak sontak sang Pangeran hentikan gerakan. Dua bola matanya membesar, memandang lekat-lekat ke arah tepi telaga di seberang kanan. Di tepi telaga sana, terbujur tak bergerak satu sosok tubuh berwarna kuning.

“Setahuku bangsat aneh satu ini adalah sahabat Pendekar 212. Mengapa berada di tempat ini? Sudah mampus?”

Tidak tunggu lebih lama lagi Pangeran Matahari dengan tiga kali lompatan saja sudah berada di samping sosok yang terbujur di tepi telaga. Mata melotot tak berkesip, dada turun naik, suara nafas menyengal. Orang ini bukan lain adalah Jatilandak, pemuda dari Latanahsilam negeri 1200 tahun silam. Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya, ketika ikut menyerbu ke dalam 113 Lorong Kematian, Jatilandak telah keracunan hawa mengandung belerang yang merupakan pantangan besar bagi dirinya. Dalam keadaan sekarat Pendekar 212 Wiro Sableng memindahkan Jatilandak ke tempat yang lebih aman yakni di dasar jurang di tepi telaga. Sebelum meninggalkan pemuda malang itu Wiro berjanji bila semua urusan di 113 Lorong Kematian selesai dia dan kawan-kawan akan kembali menjemput Jatilandak.

Pangeran Matahari pandangi wajah dan sosok Jatilandak. Mulutnya menyeringai. “Mahluk buruk! Kau korban pertama dendam kesumatku terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng!”

Sepasang mata Jatilandak tetap mendelik tak berkesip. Namun bibirnya tampak bergerak. Mungkin hendak mengucapkan sesuatu namun tidak ada suara yang mampu keluar.

Pangeran Matahari angkat tinggi-tinggi Bendera Darah yang dipegang di tangan kanan. Ujung lancip bendera yang terbuat dari besi diarahkan ke dada kiri, tepat di jurus jantung Jatilandak. Didahului tawa bergelak Pangeran Matahari lalu hunjamkan gagang Bendera Darah!

Hanya satu jengkal lagi ujung lancip besi gagang bendera akan menembus dada kiri Jatilandak, tiba-tiba ada cahaya gemerlap melesat melewati lobang di dinding kiri telaga. Lalu selarik sinar biru menyusul berkiblat ke arah ujung lancip gagang bendera. Bunga api memercik ketika terjadi benturan antara sinar biru dengan ujung lancip gagang bendera. Ada satu kekuatan dahsyat siap membuat mental bendera. Pangeran Matahari kerahkan tenaga dalam untuk bertahan. Dua kakinya goyah, tubuh bergetar keras. Dia pergunakan tangan kiri membantu pegangan tangan kanan agar Bendera Darah tidak terlepas mental. Tapi!

"Desss!" Asap mengepul. Pangeran Matahari berteriak marah ketika melihat sebagian ujung atas Bendera Darah mengepul hangus. Belum sirna gaung teriakannya, satu kekuatan dahsyat yang bersumber pada sinar biru melanda keras, membuat tubuhnya terpental, jungkir balik di udara dan jatuh tercebur ke dalam telaga.

Dinginnya air telaga terasa sebagai sengatan menyakitkan di wajah dan sekujur tubuh Pangeran Matahari yang hangus akibat luka bakar. Sewaktu memunculkan kepala di permukaan air telaga, Pangeran Matahari jadi tersentak kaget ketika melihat satu pemandangan yang sulit dipercaya. Sosok Jatilandak yang tadi hendak dihabisinya kini berada dalam gendongan mahluk aneh berbentuk bayang-bayang dan memancarkan cahaya bergemerlap. Walau berupa bayangan dan cahaya, namun jelas dapat dilihat sosok aneh itu berbentuk seorang perempuan muda berwajah cantik, rambut panjang terurai. Mahluk bayangan itu memandang ke arah Pangeran Matahari sesaat lalu balikkan tubuh siap bergerak ke arah lobang besar di dinding batu sebelah kiri.

“Hantu perempuan!” Bentak Pangeran Matahari. “Mau kau bawa ke mana pemuda itu?”

“Mau aku bawa ke mana apa urusanmu?” Mahluk yang ditanya menjawab. Suaranya perlahan saja dan sikapnya tenang. Lalu dengan sikap tidak perdulikan orang dia melangkah ke tepi telaga menuju lobang di depan sana.

“Bangsat perempuan! Lagakmu congkak sekali! Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa!”

“Siapa dirimu apa untungnya aku mengetahui! Yang kulihat kau adalah sosok gosong tak lebih berharga dari sepotong kayu hangus!”

Dihina begitu rupa marahlah Pangeran Matahari. Serta merta dia berkelebat menghadang si cantik mahluk bayangan. “Mahluk jahanam! Hantu atau apapun kau adanya akan kukembalikan kau ke alam asalmu!” Pangeran Matahari menerjang ke depan sambil tusukkan ujung besi runcing gagang Bendera Darah ke arah leher perempuan bayangan.

Saat itu juga sosok yang diserang pancarkan cahaya bergemerlap berwarna kebiruan disertai munculnya kekuatan memiliki daya dorong kuat. Pangeran Matahari terhuyung-huyung begitu kekuatan aneh itu menerpa ke arahnya. Dia cepat imbangi diri dan kembali menyerang. Kali ini serangannya dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya sehingga ujung runcing gagang Bendera Darah bergetar hebat dan pancarkan sinar kehitaman.

"Wuttt!" Ujung runcing gagang besi menusuk ke arah kepala perempuan bayangan. Namun setengah jalan tak terduga mendadak sontak berubah menyambar ke arah kepala Jatilandak. Mahluk yang menggendong Jatilandak menyeringai.

“Serangan bagus! Tapi licik!” serunya. Bahu kiri kanan digoyang. Cahaya biru bergemerlap, memancar terang benderang seperti percikan ratusan bunga api, menyambar ganas ke arah Pangeran Matahari.

Tersentak kaget, Pangeran Matahari berseru keras, terpaksa tarik pulang serangannya dan melompat mundur sambil putar tangan kanan yang memegang Bendera Darah.

"Bettt! Bettt! Bettt!"

Bendera Darah yang sejak tadi tergulung pada gagang mengembang lebar, membentuk tameng, melindungi diri Sang Pangeran dari serangan ratusan bunga api. Percikan air campur darah bermuncratan. Bau busuk menebar. Bersamaan dengan itu Pangeran Matahari hantamkan tangan kiri melepas pukulan sakti Telapak Matahari. Namun sebelum niatnya terlaksana, satu sambaran angin luar biasa dahsyat datang melabrak hingga tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh tergelimpang. Masih untung tidak kecebur ke dalam telaga untuk kedua kalinya. Ketika Pangeran Matahari bangkit berdiri sosok perempuan bayangan dan Jatilandak tidak ada lagi di tempat itu. Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara panjang tawa perempuan seolah mengejek sang Pangeran!

“Jahanam!” rutuk Pangeran Matahari sambil perhatikan Bendera Darah. Tampang gosong manusia congkak itu langsung berubah. Mata mendelik. Bendera Darah kini penuh dengan puluhan lobang sebesar ujung jari kelingking!

“Keparat setan alas!” kembali Pangeran Matahari memaki. Tangan kiri mengepal, rahang menggembung dan mata seperti dikobari api. Saking marahnya dia tendangkan kaki kanan. Braakk! Sebuah gundukan batu di tepi telaga hancur berantakan. “Siapa adanya mahluk perempuan itu! Jelas dia bukan gadis dari alam roh bernama Bunga, gendak Pendekar 212!”

BAB 2

DI TIKUNGAN sungai yang gelap, di bawah naungan batang-batang bambu, mahluk perempuan berbentuk bayangan turunkan tubuh Jatilandak lalu dibaringkan di atas sebuah batu besar. Tiupan angin membuat daun-daun bambu bergemerisik. Air sungai yang mengalir melewati sela-sela gundukan batu mengeluarkan suara deru panjang tak berkeputusan.

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar kepakan sayap burung disusul suara kicau nya– ring panjang. Perempuan bayangan berpaling. Di atas cabang rendah pohon waru di tepi sungai hinggap seekor burung gagak hitam. Setelah menatap burung itu sesaat, perempuan cantik berupa bayangan membuka mulut. Suaranya begitu halus ketika berkata,

“Sahabat, terima kasih untuk bantuanmu hari ini. Sekarang pulanglah. Jika aku memerlukanmu lagi, aku akan memberi tanda...”

Seolah mengerti akan ucapan perempuan bayangan, gagak hitam di cabang pohon waru angguk- anggukan kepala, menguik dua kali, rentangkan sayap lalu melesat ke udara dan lenyap dalam kegelapan.

Perempuan di atas batu besar duduk bersimpuh. Menatap Jatilandak yang terbaring tak bergerak. Tangan kiri diulurkan meraba kening lalu dipindah dan diletakkan di atas urat besar dipangkal leher sebelah kiri. Ketika dia menarik nafas dalam-dalam, tubuhnya pancarkan cahaya bergemerlapan, dan dari dua lobang hidungnya keluar kepulan tipis asap kuning.

“Racun belerang...” ucap perempuan bayangan. “Dia terkena racun belerang. Apakah aku masih bisa menyelamatkannya?” Mahluk cantik berambut panjang dekatkan mulutnya ke telinga kiri Jatilandak. “Jatilandak, apakah kau bisa mendengar suaraku?”

Orang yang diajak bicara terbujur tak bergerak. Dua mata terpentang lebar menatap ke langit hitam. Mulut terbuka sedikit. Bibir bergetar. “Aku melihat setitik harapan. Mudah-mudahan kekuatan putih dan baik di atas langit mau menolong.”

Habis berkata begitu perempuan bayangan turun ke dalam sungai. Sosoknya mengapung di belakang batu besar tepat di ujung dua kaki Jatilandak. Dua telapak tangan dirapatkan satu sama lain lalu diletakkan di atas kepala. Sesaat kemudian terjadi satu keanehan. Aliran sungai yang melewati tubuh perempuan bayangan bersibak ke samping dan mengeluarkan suara seperti mendidih disertai mengepulnya asap putih. Pada saat suara mendidih terdengar bertambah keras dan kepulan asap putih semakin banyak, perempuan bayangan turunkan dua tangan. Ibu jari kiri. kanan ditempelkan ke telapak kaki kanan kiri Jatilandak.

“Pergi, bersih kembali!” Perempuan bayangan berucap halus. Dua ibu jari ditekan kuat-kuat.

"Dess! Dess!"

Asap putih mengepul. Bersamaan dengan itu tubuh Jatilandak terangkat setengah tombak ke atas lalu melesat di udara. Dalam kegelapan malam, di atas sungai tubuh itu berputar-putar beberapa kali. Setiap berputar, dari lobang hidung, mulut, serta liang telinga menyembur asap kuning menebar bau busuk belerang. Setelah dua belas kali berputar, semburan asap kuning mulai berkurang. Pada saat asap kuning itu lenyap sama sekali, sosok Jatilandak perlahan-lahan melayang turun dan terbaring kembali di atas batu besar. Di dalam sungai, aliran air di sekitar tubuh perempuan bayangan kelihatan berubah kekuning-kuningan.

Perempuan bayangan melesat keluar dari dalam sungai. Tidak ada setetespun air menempel di tubuhnya yang aneh itu. Dia kembali duduk di samping Jatilandak. Setelah memandang pemuda itu beberapa saat. perempuan bayangan berkata. “Jatilandak, kau selamat dari kematian akibat racun belerang. Kau mampu bergerak. Bangkitlah dan duduk menghadap ke arahku.”

Sepasang mata Jatilandak yang sejak tadi membeliak tak berkedip kini mampu bergerak. Perlahan-lahan dia bangkit duduk di atas batu lalu berputar menghadap ke arah orang yang barusan bicara. Jatilandak lalu terkesiap. Dia tidak menyangka kalau orang di hadapannya memiliki tubuh seperti bayang-bayang. Dalam ketidak-percayaannya Jatilandak ulurkan tangan kanan ke arah bahu kiri mahluk yang duduk bersimpuh di depannya. Astaga! Walau sosok itu seperti bayang-bayang, namun Jatilandak merasa tidak beda seperti menyentuh dan memegang tubuh manusia biasa!

Perlahan-lahan Jatilandak tarik tangannya. Mata menatap tak berkesip, mulut lalu berucap. “Walau tadi mata tak dapat melihat namun perasaan memberi tahu bahwa kau telah menyelamatkan diriku. Aku sangat berterima kasih padamu. Kalau aku boleh mengetahui, siapakah engkau adanya? Mengapa ujud keadaanmu seperti ini?”

Perempuan cantik di hadapan Jatilandak usap-usapkan rambutnya yang tergerai panjang. Untuk beberapa lamanya dia pandangi pemuda berkulit kuning itu. Jatilandak melihat ada sekelumit senyum di wajah jelita itu, namun samar-samar ada bayangan kesedihan atau semacam ganjalan.

“Kau tak mau menjawab tak jadi apa,” kata Jatilandak “Aku tidak tahu harus memanggilmu apa. Namun karena kau telah menyelamatkan jiwaku, apa yang harus aku lakukan untuk membalas budi besarmu itu? Aku bersedia berbuat apa saja untukmu.”

Senyum di wajah cantik perempuan bayangan tampak lebih kentara. “Jatilandak...”

“Hai, bagaimana kau bisa tahu namaku?” tanya Jatilandak penuh heran.

Mahluk bayangan hanya tersenyum. Tidak menjawab pertanyaan si pemuda. Jatilandak menarik nafas panjang. “Kau masih belum menerangkan siapa dirimu. Mengapa ujudmu seperti ini?”

Si cantik di hadapan Jatilandak tersenyum. “Aku memang datang dari alam tidak nyata...”

“Maksudmu kau sebangsa roh...”

Perempuan cantik berujud bayangan palingkan wajahnya ketika Jatilandak menatap lekat-lekat ke arahnya. Lalu dia berucap halus. “Terserah kau mau menyebutku aku ini apa. Namun siapa diriku tidak penting. Ada hal lain yang lebih penting.”

“Apa?”

“Aku perlu keterangan.”

“Keterangan? Keterangan apa?”

“Tentang sebuah kitab. Dalam rimba persilatan tanah Jawa kitab itu dikenal dengan nama Kitab Seribu Pengobatan. Kau pernah mendengar? Mungkin juga tahu di mana beradanya? Aku ingin mendapatkan kitab itu. Paling tidak untuk membacanya lalu mengembalikan kepada siapapun yang jadi pemiliknya.”

“Aku pernah mendengar sedikit tentang kitab itu. Kalau tidak salah kitab itu adalah kitab yang harus dicari Pendekar 212 Wiro Sableng. Konon kitab itu telah dicuri orang dari tempat kediaman gurunya di satu puncak gunung.”

“Siapa itu Pendekar 212 Wiro Sableng?” tanya perempuan bayangan.

“Seorang pendekar paling terkenal di tanah Jawa ini.” jawab Jatilandak. Tadinya dia ingin menambahkan bahwa antara dia dengan Wiro terjalin suatu persahabatan, namun belakangan ada ganjalan dan kesalahpahaman di antara mereka.

Perempuan bayangan terdiam sesaat. Tampaknya seperti memikirkan sesuatu. “Apakah aku harus mencari pendekar itu?” ucapnya perlahan.

“Jika mau silahkan saja. Namun kitab itu tidak berada di tangannya...”

“Aku gembira mendapat penjelasan darimu. Berarti benar berita yang aku sirap. Kitab itu berada di tanah Jawa ini. Maukah kau menolong mencarikannya untukku?” kata perempuan bayangan.

“Aku berhutang nyawa padamu. Apapun yang kau pinta akan aku lakukan. Namun kalau aku boleh bertanya, apa perlunya kitab itu bagimu?”

“Bukan untukku, tapi bagi seorang lain,” jawab si cantik bayangan.

“Kalau kelak kitab itu aku temukan, di mana aku harus mencarimu untuk menyerahkan?” Bertanya Jatilandak.

“Kau tak perlu bersusah payah. Aku yang akan mendatangimu. Sekarang aku harus pergi. Jaga dirimu baik-baik...” Perempuan bayangan pegang lengan kanan Jatilandak.

Pemuda ini merasa ada hawa sangat sejuk mengalir ke dalam tubuhnya. Sosok berupa bayangan di hadapannya tiba-tiba memancarkan cahaya biru bergemerlap. Lalu secepat kilat berkiblat, secepat itu pula tubuh itu melesat lenyap. Untuk beberapa saat lamanya Jatilandak duduk termangu di atas batu besar di tikungan sungai yang gelap itu. Kemudian terbayang kembali sosok serta wajah perempuan cantik aneh tadi. Pemuda ini geleng-geleng kepala. Dia berucap perlahan.

“Banyak keanehan di Latanahsilam. Tapi tanah Jawa ini punya segudang keanehan.”

********************

Naga Kuning berjalan paling depan, menuruni tangga batu sambil membawa obor. Di belakangnya menyusul Pendekar 212 Wiro Sableng, Gondoruwo Patah Hati, lalu Anggini yang juga membawa obor, Dewa Tuak, Wulan Srindi, Kakek Segala Tahu, dan Bunga. Di belakang sekali sambil membawa obor, berjalan Luhkentut, nenek sakti dari Negeri Latanahsilam.

Ratu Duyung dan Setan Ngompol tidak bersama rombongan karena kedua orang ini harus mengurusi delapan perempuan hamil yang sebelumnya disekap dalam 113 Lorong Kematian. Dengan pertolongan cermin sakti milik Ratu Duyung mereka berhasil keluar di pintu utara lorong batu. Sebelumnya kesaktian cermin itu tidak mampu mengatasi kehebatan kesaktian penguasa 113 Lorong Kematian. Namun begitu Yang Mulia Sri Paduka Ratu menemui kematian kedua, Wakil Ketua menemui ajal, dan Yang Mulia Ketua babak belur melarikan diri, cermin sakti dengan mudah mampu memantau keadaan di sekitar lorong mana yang harus dilalui hingga akhirnya keluar di mulut lorong sebelah utara.

Sekeluarnya dari 113 Lorong Kematian bukan merupakan hal mudah bagi Ratu Duyung dan Setan Ngompol mengadakan perjalanan membawa delapan perempuan yang sedang hamil, apa lagi malam hari begitu rupa. Jelas tidak mungkin mengantarkan perempuan-perempuan hamil itu satu persatu ke tempat kediaman masing-masing. Karenanya begitu sampai di sebuah desa kecil, Ratu Duyung menemui Kepala Desa untuk dimintai bantuannya mengurusi perempuan-perempuan malang itu. Setelah Ratu Duyung dan Setan Ngompol pergi, Kepala Desa itu masih tertegun-tegun. Tidak percaya malam buta begitu rupa dia bakal mendapat tugas menangani delapan perempuan hamil!

Di jalan kecil yang menuju keluar desa, Ratu Duyung berkata. “Kakek sahabatku, sebentar lagi pagi akan datang. Aku rasa aku tidak perlu kembali ke lorong.”

“Mengapa pikiranmu berubah?” tanya Setan Ngompol sambil mengusap-usap perut. Dia merasa tenang karena sejak tadi belum kucurkan air kencing. “Bukankah kita sudah berjanji dengan para sahabat akan bertemu di telaga?”

“Semua urusan sudah selesai...”

“Siapa bilang semua urusan sudah selesai?” tukas Setan Ngompol dengan mata didelikkan. “Pangeran Matahari kabur dan...”

“Sudahlah, kau saja yang pergi menemui teman-teman.”

“Ah, rasa-rasanya aku tahu mengapa kau tidak mau bergabung dengan para sahabat.” Berkata Setan Ngompol dan kali ini sambil senyum-senyum.

“Apa yang ada dalam benakmu, kakek bau pesing?”

Setan Ngompol usap-usap daun telinganya yang lebar lalu masih sambil senyum-senyum dia berkata. “Menyangkut urusan jodoh. Kau punya banyak saingan berat di sana.”

“Saingan berat? Maksudmu apa?” tanya Ratu Duyung.

“Di sana ada Anggini yang konon adalah kekasih lama Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu ada Wulan Srindi yang mengaku-aku murid Dewa Tuak sekaligus berjodoh dengan Wiro. Kemudian masih ada Bunga, gadis dari alam roh yang semua orang tahu sangat mengasihi pemuda itu. Nah, nah, bukankah kau menghadapi saingan-saingan berat? Masih untung si pirang bernama Bidadari Angin Timur tidak ada di sana!”

“Kakek konyol! Mulut usil tak karuan! Kau pergi saja sana! Aku tidak akan bergabung dengan mereka! Alasan yang kau katakan tadi tidak betul!”

Setan Ngompol pegang lengan Ratu Duyung. “Sahabatku cantik bermata biru. Kita sudah berjanji untuk bergabung dengan teman-teman. Apa yang akan kukatakan pada mereka jika aku kembali tidak bersamamu?”

“Katakan saja penguasa pantai laut selatan memerintahkan aku datang menghadap.”

“Bisa saja aku ngomong begitu. Padahal mereka semua tahu. Bukankah kau sendiri yang jadi penguasa di pantai selatan?”

“Jangan bicara melantur!”

Setan Ngompol geleng-geleng kepala. “Aku tidak memaksa. Mungkin juga kau tidak suka jalan bersamaku. Kakek jelek, bau pesing...”

“Lain kali kita berkumpul lagi dengan para sahabat. Lain kali kita jalan lagi sama-sama,” kata Ratu Duyung. Lalu,... plaak!

Setan Ngompol merasakan satu tepukan di pantatnya. Dia tersentak kaget. Memandang ke depan Ratu Duyung tak ada lagi di tempat itu. Sambil usap-usap pantatnya Setan Ngompol berkata. “Pantatku ditepuk. Aku terkejut. Tapi aneh, mengapa kali ini aku tidak kucurkan air kencing? Ratu Duyung seharusnya kau menepuk pantatku sebelah depan, bukan sebelah belakang! Hik hik hik. Ah...”

Mendadak serrr! Setan Ngompol kucurkan air kencing. “Oala! Muncrat juga kamu! Kukira sudah mampet! Ha ha ha!”

********************

BAB 3

SAMPAI di tepi telaga Naga Kuning angkat obor di tangan kirinya tinggi-tinggi. Bocah berambut jabrik ini memandang sekeliling telaga lalu berpaling pada Wiro. “Katamu Jatilandak kau tinggalkan di tepi telaga sini. Kau lihat sendiri tidak ada mahluk hidup atau mahluk mati di tempat ini, kecuali perahu kayu di tepi telaga sebelah sana.”

Wiro garuk-garuk kepala. “Ini aneh. Aku tidak berdusta. Tubuhnya aku baringkan di tepi telaga sebelah sana. Dia kutinggalkan dalam keadaan hidup.”

“Mungkin dia kecebur, jatuh tenggelam ke dalam telaga,” kata Wulan Srindi.

“Bisa jadi,” ujar Wiro masih garuk-garuk kepala “Musti ada yang menyelidik masuk ke dalam telaga.” Wiro sambung ucapan sambil memandang pada Naga Kuning dan kedipkan mata.

Bocah berambut jabrik ini tertawa. “Aku tahu kau ingin agar aku masuk ke dalam telaga. Malam buta dingin begini. Ih! Enak kamu sial di aku! Bukankah kau punya ilmu menembus pandang? Mengapa tidak pergunakan ilmu itu untuk menyelidiki telaga sampai ke dasarnya?”

“Bocah konyol tapi cerdik. Aku sendiri sampai lupa kalau memiliki ilmu kepandaian itu!” kata Wiro pula. Lalu murid Sinto Gendeng ini menatap ke arah telaga. Hawa sakti dialirkan ke kepala. Mata dikedipkan dua kali. Walau tidak terlalu jelas, saat itu Wiro mampu melihat isi telaga sampai ke dasarnya.

“Kosong, telaga itu kosong. Jangankan manusia, ikan bahkan kodok seekorpun tidak ada di dalamnya.” Wiro memberi tahu.

“Lalu ke mana lenyapnya pemuda itu?” Anggini keluarkan ucapan.

“Mungkin ada seseorang datang lalu menolongnya.” Kata Naga Kuning pula.

“Siapa?” menimpali Gondoruwo Patah Hati.

Naga Kuning berpaling pada Kakek Segala Tahu. “Kek, coba kau selidiki...”

Kakek Segala Tahu dongakkan kepala. Tangannya yang memegang kaleng rombeng yang sebelumnya lenyap dan ditemukan Wiro digoyang hingga menimbulkan suara berisik di seantero telaga sampai ke atas jurang. Setelah diam sejurus kakek bermata putih buta ini berkata, “Kali ini aku tidak bisa memberi keterangan. Mungkin aku masih dipengaruhi minuman setan itu. Aku hanya melihat satu bayangan aneh sosok perempuan seperti asap mengambang.”

Wiro berpaling pada nenek berambut dan berpakaian serba kuning di sampingnya, “Nek, kau dan pemuda itu sama-sama berasal dari Negeri Latanahsilam. Mungkin kau bisa mengira-ngira apa yang terjadi dengan Jatilandak?”

Nenek berambut kuning yaitu Luhkentut alias Nenek Selaksa Angin pencongkan mulutnya. “Aku punya beberapa dugaan,” katanya. “Pertama, pemuda itu mungkin mampu mengatasi racun belerang lalu tinggalkan tempat ini. Kedua, mungkin ada orang yang menemuinya, membunuhnya, lalu membuang mayatnya di tempat lain...”

“Pangeran Matahari!” ucap Gondoruwo Patah Hati.

“Siapa dia? Aku tak kenal manusia itu,” kata Luhkentut. “Dugaan ketiga, dugaanku yang terakhir. Ada seseorang menolongnya membawanya ke suatu tempat.”

“Siapa si penolong itu? Mustahil ada orang lain di tempat ini,” kata Pendekar 212 pula.

“Bidadari Angin Timur,” kata Wulan Srindi.

Beberapa orang berpaling ke arah gadis berkulit hitam manis itu. Kening berkerut mata menatap tak berkesip. Anggini yang sejak pertama kali kenal tidak menyukai gadis ini, langsung menanggapi.

“Kau menyebut nama gadis sahabatku itu. Apakah kau punya bukti bahwa dia yang menolong Jatilandak?”

“Aku memang tidak punya bukti. Juga tidak melihat sendiri kejadiannya memang begitu. Tapi apa salahnya menduga-duga? Lebih baik bicara mengemukakan pendapat daripada cuma diam melongo seperti patung kayu yang sudah lapuk dan busuk! Tapi jeleknya kalau sudah ada orang lain bicara lebih dahulu, langsung mendebat sengit!”

“Beraninya kau menghina aku sebagai patung kayu lapuk busuk!” Anggini marah besar. Wajahnya kelihatan merah. Dia melangkah mendekati Wulan Srindi tapi Bunga cepat memegang tangannya.

Wiro kembali berpaling pada Luhkentut. “Nek, ada sesuatu yang akan kau beri tahu?”

Luhkentut usap rambutnya yang kuning. “Aku membaui sesuatu. Bau manusia dari negeri seribu dua ratus tahun silam...”

“Hantu Muka Dua!” kata Wiro Sableng. “Aku khawatir jangan-jangan dia telah membunuh Jatilandak. Semasa di Negeri Latanahsilam, dia telah punya niat jahat hendak menghabisi pemuda itu di sebuah pulau.” Tiba-tiba Wiro ingat. “Nek, bukankah Hantu Muka Dua bersamamu di tepi jurang. Waktu itu Nyi Roro Manggut yang datang bersamamu meminta agar kau mengawasi manusia satu itu. Apa yang terjadi dengan dirinya? Di mana dia sekarang?”

Luhkentut tak segera menjawab. Mulutnya yang ditutup rapat dipencong-pencong.

“Nek, ada apa? Mengapa kau tidak menjawab?”

“Jangan-jangan nenek ini punya penyakit ayan. Mau kumat...” kata Naga Kuning yang segera terdiam begitu dipelototi Gondoruwo Patah Hati.

“Sebentar. Aku... aku lagi nahan kentut. Nah, sekarang sudah lewat jadi angin. Hik hik hik.” Luhkentut menjawab sambil mesem-mesem. Lalu nenek sakti dari Latanahsilam ini menerangkan. “Tak lama setelah terdengar letusan-letusan dahsyat di dalam lorong, aku melihat terjadi perubahan pada diri Hantu Muka Dua. Tubuhnya yang lunglai seperti mendapatkan kekuatan dan kesaktiannya kembali. Saat itu dia berkata mungkin penguasa lorong telah menemui ajal. Lalu dia berdiri. Aku mengikuti dan bertanya dia mau ke mana. Katanya dia akan mencari orang-orang yang telah menolongnya. Mungkin mereka dalam bahaya. Dia ingin membalas budi dengan ganti menolong. Aku sendiri merasa heran. Apa ucapannya bisa dipercaya. Hantu Muka Dua melompat ke tangga batu. Dia menghancurkan dinding batu di mana terdapat pintu rahasia. Dia berteriak agar aku segera mengikuti. Namun sewaktu aku bergerak masuk, langit-langit lorong di hadapanku runtuh. Aku terhalang. Ketika aku berhasil menerobos. Hantu Muka Dua tidak kelihatan lagi. Aku berteriak berulang kali memanggil, namun tidak ada jawaban. Aku kemudian bertemu dengan rombongan yang masuk ke dalam lorong untuk membebaskan perempuan- perempuan hamil serta gadis bernama Anggini ini.”

Kesunyian menggantung beberapa saat di tempat itu.

“Mungkin dia tersesat di dalam lorong,” kata Wiro.

“Mungkin juga kabur untuk mengatur siasat jahat baru,” kata Anggini.

Wiro garukkan kepala dan berkata. “Jika Hantu Muka Dua masuk ke dalam lorong, berarti bukan dia yang mencelakai atau menolong Jatilandak. Kita akan tetap di sini sampai Setan Ngompol dan Ratu Duyung datang.”

Dewa Tuak yang sejak tadi diam saja keluarkan suara batuk-batuk lalu berucap. “Aku tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Tenggorokanku panas haus! Aku terpaksa meninggalkan kalian untuk mencari tuak!” Habis berkata begitu kakek berambut dan berjanggut putih ini melirik ke arah Wiro, kedipkan mata dan berkata. “Aku mau cari tuak benaran, bukan mencari bibir...” Si kakek tertawa gelak-gelak, membungkuk lalu menepuk permukaan air telaga. Tepukan ini bukan saja menyebabkan air telaga muncrat tinggi ke atas tapi juga membuat perahu kayu yang tertambat di tepi telaga putus tali pengikatnya lalu melesat ke arah lobang besar di dinding batu.

“Ha ha ha... Perahuku sudah menunggu di sungai. Selamat tinggal para sahabat. Kuharap kalian baik-baik saja!”

Dewa Tuak siap melompat ke arah lobang di dinding. Namun tiba-tiba Wulan Srindi mendahului bergerak dan jatuhkan diri di hadapan si kakek. Dengan suara memelas gadis ini berkata. “Guru, sebagai murid perkenankan saya ikut mengantar ke mana guru pergi...”

“Ngaconya kumat lagi!” kata Anggini dengan wajah sebal. Yang lain sama-sama terdiam, menungggu apa jawaban si kakek.

Setelah menatap Wulan Srindi beberapa saat, sambil usap janggut putihnya Dewa Tuak berkata. “Gadis bawel, memang baiknya kau tidak berada di tempat ini. Kau boleh menumpang perahuku tapi nanti harus mau turun di tengah jalan.”

“Murid akan ikuti apa kata guru,” kata Wulan Srindi sambil matanya melirik ke arah Anggini karena merasa menang. Tidak terduga gadis ini kemudian melangkah ke hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng dan berkata. “Selama ikatan jodoh telah terjalin antara kita, perpisahan hanyalah untuk berbagi rindu dan menguji kesetiaan...”

Merah padam wajah Anggini mendengar ucapan Wulan Srindi itu. Yang lain-lain tampak terkesiap sementara Bunga hanya tersenyum simpul. Wiro sendiri tegak melongo sambil golang-golengkan kepala. Dia tidak sempat menarik lengannya sewaktu Wulan Srindi menyalami dan mencium punggung tangannya. Sekali lagi Wulan Srindi melirik ke arah Anggini, sunggingkan senyum penuh arti lalu melesat ke arah perahu di belakang dinding batu!

“Guru! Murid sudah berada di perahu menunggumu!”

Dewa Tuak menghela nafas panjang. Dia melangkah biasa saja namun di lain kejap sudah berada di dalam perahu, duduk di sebelah depan. Sebelum perahu bergerak, Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya lalu melompat ke lobang di dinding batu. Kepala dijulurkan.

“Apa masih ada tempat dalam perahu untuk tubuh rongsokan ini?”

“Kakek Segala Tahu, jika kau sudi jalan bersama kami silahkan masuk ke dalam perahu.” Yang menjawab adalah Wulan Srindi.

Kakek Segala Tahu berpaling ke arah orang-orang yang tegak di tepi telaga. Dia lambaikan tangan. “Selamat tinggal para sahabat. Kalau umur sama panjang kita pasti akan bertemu lagi.”

“Kek, tunggu!” Tiba-tiba Wiro berseru dan melompat ke hadapan Kakek Segala Tahu.

“Kau mau ikutan? Rupanya kau tak mau ditinggal gadis itu. Ha ha ha! Tapi kalau tak salah, mataku yang buta melihat agaknya perahu sudah sempit,” kata Kakek Segala Tahu. Lalu goyangkan kaleng butut di tangan kirinya hingga suara berisik kembali menggema di tempat itu.

“Tidak, aku bukan mau ikut. Ada satu titipan amanat orang yang kelupaan aku serahkan padamu. Aku mohon maafmu.”

Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan kipas kayu cendana yang pernah dititipkan oleh Nyi Roro Manggut dengan pesan agar diserahkan pada Kakek Segala Tahu. Wiro susupkan kipas kayu cendana itu ke dalam pegangan jari-jari tangan kanan Kakek Segala Tahu.

“Eh, benda apa ini?” tanya si kakek. Lalu mencium harumnya bau kayu cendana. Wajah tuanya tampak berubah.

“Kipas, Kek,” kata Wiro setengah berbisik. “Titipan dari Nyi Roro Manggut.”

“Ah...” Kakek Segala Tahu menarik nafas panjang. Dia goyangkan tangan kanan. Sreettt! Kipas kayu cendana terkembang. Si kakek dekatkan kipas ke wajahnya. Walau dia tidak bisa melihat namun dia tahu, pada badan kipas tertera gambar sepasang muda mudi. Kakek buta mata putih itu tempelkan kipas kayu di keningnya. Lalu kipas disimpan baik-baik di balik pakaian rombengnya. “Pendekar 212,” kata Kakek Segala Tahu pula. “Kalau kipas ini kau serahkan sewaktu masih dalam lorong, mungkin kita bisa lebih cepat menghancurkan manusia-manusia pocong durjana itu. Tapi semua berjalan sesuai kehendak Gusti Allah. Terima kasih kau mau bersusah payah menyampaikan kipas ini.” Kakek Segala Tahu berpaling ke arah perahu. “Sobatku Dewa Tuak. Harap maafkan. Aku tak jadi ikut denganmu. Aku harus menemui seseorang...”

Dewa Tuak tertawa gelak-gelak. “Aku tahu riwayat kipas kayu cendana itu. Jika kau bertemu orang yang memberikan sampaikan pesanku padanya...”

“Akan aku lakukan,” jawab Kakek Segala Tahu.

Dewa Tuak tepukkan tangan kirinya ke dalam air sungai. Perahu yang ditumpanginya bersama Wulan Srindi serta merta melesat dan lenyap dalam kegelapan malam.

********************

Ketika pagi tiba, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati pergi ke kawasan persawahan di seberang sungai. Mereka menangkap hampir selusin burung belibis lalu memanggang dan menyantapnya bersama yang lain-lain. Menjelang tengah hari Setan Ngompol muncul. Wiro merasa kecewa karena Ratu Duyung tidak datang bersama kakek itu. Banyak hal yang ingin ditanyakan pada gadis cantik bermata biru itu. Ketika ditanya pada Setan Ngompol, sesuai pesan yang dipesan Ratu Duyung, si kakek memberi tahu bahwa gadis itu diperintahkan penguasa pantai selatan untuk datang menghadap.

“Aku tahu, kau dan juga gadis itu berdusta,” kata Wiro yang membuat kencing Setan Ngompol jadi terpancar. Setelah merenung sejenak, murid Sinto Gendeng lalu berkata, “Para sahabat, aku sangat berterima kasih atas semua bantuan kalian dalam menghancurkan gerombolan manusia sesat 113 Lorong Kematian. Aku akan mencari dan mengejar Pangeran Matahari. Selain itu aku masih punya satu tugas dari Eyang Sinto Gendeng. Mencari dan menemukan Kitab Seribu Pengobatan. Aku tidak tahu para sahabat mau ke mana dan apa yang hendak kalian lakukan. Saat bisa berkumpul bersama seperti ini entah kapan lagi bisa terjadi.”

“Wiro, aku ikut bersamamu,” kata Setan Ngompol.

Wiro tersenyum. “Terima kasih,” katanya perlahan.

“Aku dan Gondoruwo Patah Hati ada sedikit urusan di pantai utara. Jika ada kesempatan aku akan bergabung denganmu,” kata Naga Kuning.

Wiro anggukkan kepala.

“Aku akan mencari Hantu Muka Dua,” berkata Luhkentut yang merasa bersalah atas lenyapnya dedengkot rimba persilatan dari Negeri Lalanahsilam itu.

Wiro memandang ke arah Anggini. Dalam hati dia ingin gadis itu ikut bersamanya karena banyak hal yang akan dibicarakan. Namun murid Sinto Gendong merasa kecewa sekali ketika Anggini berkata.

“Mungkin sudah saatnya aku menjenguk guruku Nyanyuk Amber di Danau Maninjau Pulau Andalas...”

Gadis ini memandang berkeliling. Wajahnya nampak redup. “Para sahabat, aku mohon diri lebih dulu.” Tanpa perhatian atau pandangan khusus, bahkan tanpa satu lirikan pun kepada Wiro, Anggini berkelebat ke arah lobang besar di dinding batu. Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati menyusul pergi. Juga Luhkentut.

Setan Ngompol duduk di tepi telaga, menatap ke arah Wiro. Dia merasa kasihan terhadap pemuda itu. Lalu si kakek berpaling pada Bunga, gadis dari alam roh. “Apakah kau juga akan meninggalkan kami?” Bertanya Setan Ngompol.

Bunga tersenyum. “Apakah kau tidak suka aku berada lama-lama di tempat ini?” Gadis ini lalu melangkah mendekati Wiro. Dipegangnya lengan kiri sang pendekar seraya berkata. “Ingat ujar-ujar yang mengatakan jangan hati mempengaruhi pikiran, jangan pikiran mengacaukan hati. Orang-orang yang barusan pergi itu tidak perlu kau risaukan. Jika umur sama panjang kau pasti akan bertemu dengan mereka. Justru ada seorang lain yang harus mendapat perhatian lebih darimu...”

“Aku mengerti. Aku akan lebih banyak memperhatikan dirimu...”

“Kau tidak mengerti. Orang yang kumaksudkan tidak ada di tempat ini...”

“Maksudmu Bidadari Angin Timur?”

“Kau masih tidak mengerti. Mungkin kau lupa akan ucapanku tempo hari bahwa hanya ada satu orang yang cocok menjadi pendamping dirimu...”

“Kalau yang kau maksudkan Ratu Duyung, rasanya aku banyak membagi perhatian untuknya. Sebaliknya kau ketahui sendiri, dia tidak kembali ke sini...”

“Disitulah letak kebesaran jiwanya. Dia bersedia mengalah walau mungkin hatinya perih. Dia tidak ingin mengganggu pertemuanmu dengan Anggini, atau Wulan Srindi, atau pun diriku...”

Wiro terdiam beberapa lama lalu tertawa lebar. Bunga mengulurkan tangan kanan, menyerahkan sesuatu pada Wiro. “Aku tahu kau tidak memiliki lagi kembang kenanga. Ambil yang sekuntum ini. Seperti yang sudah-sudah, kembang ini satu-satunya alat penghubung antara kita.”

Wiro ambil kembang kenanga kuning yang diserahkan Bunga. “Apakah kau juga berniat pergi?”

“Ada sesuatu yang harus aku lakukan. Selain itu matahari telah tinggi. Sudah terlalu lama aku keluar dari alamku...”

“Apa yang hendak kau lakukan kalau aku boleh tahu?” tanya Wiro.

“113 Lorong Kematian...” jawab Bunga. “Tempat itu harus dimusnahkan. Jangan sampai dipergunakan oleh orang lain untuk berbuat kejahatan. Bukan mustahil Pangeran Matahari akan kembali ke bekas markasnya itu.”

Wiro garuk-garuk kepala. “Otakku tidak berpikir sampai ke sana,” kata murid Sinto Gendeng pula. Lalu dipegangnya bahu gadis alam roh itu. “Terima kasih untuk segala-galanya. Kalau saja aku bisa masuk ke dalam alammu, ikut bersamamu...”

“Aku senang mendengar kata-katamu itu, Wiro. Alammu dan alamku hanya terpisah sebatas cahaya sang surya pada siang hari, sebatas tiupan angin pada malam hari dan sebatas embun sejuk pada pagi hari. Lagi pula dengan kembang kenanga itu, kau bisa memanggilku setiap saat kau memerlukan diriku...”

Wiro mengangguk. Dia membungkukkan kepala mencium kening Bunga lama sekali. Si gadis memeluknya erat-erat. Selagi kedua orang itu berangkulan, Setan Ngompol berdiri mendekati gundukan batu setinggi orang di tepi telaga. Kakek ini lalu memeluk gundukan batu itu.

“Kakek Setan Ngompol, apa enaknya memeluk batu basah dan dingin!” Suara Bunga menggema di tempat itu. “Kau mau perempuan sungguhan? Nah lihat dan peluklah yang kuat!”

Setan Ngompol terkejut. Batu yang dipeluknya tiba-tiba berubah menjadi sosok seorang perempuan muda berwajah cantik, bertubuh montok mengenakan kemben dengan dada membusung putih. Kali ini saking kagetnya si kakek semburkan air kencing. Sosok sintal perempuan muda cantik itu dipagutnya erat-erat. Ketika hidungnya hendak ditempelkan ke dada yang putih besar, mendadak sosok perempuan muda cantik itu kembali ke ujud semula yaitu batu hitam basah dan dingin. Setan Ngompol terduduk jatuh, beser habis-habisan! Di dasar jurang suara tawa Bunga menggema panjang dan akhirnya sirna bersama lenyapnya ujud kasarnya dari tempat itu.

********************

BAB 4

PANGERAN Matahari berlari laksana terbang dalam kegelapan malam. Terpaan angin membuat sekujur permukaan tubuhnya yang gosong sakit seperti dikikis. Di sebelah dalam tulang belulangnya seolah bertanggalan. Namun kesengsaraan badaniah itu tidak berarti apa-apa dibandingkan tumpukan rasa sakit hati dan dendam kesumat akibat semua malapetaka yang dialaminya.

Pertama, tergusurnya dia dari 113 Lorong Kematian yang sekaligus memusnahkan rencana besarnya untuk mendirikan satu partai rimba persilatan bernama Partai Bendera Darah. Dendam kesumat dan sakit hatinya terhadap Wiro dan kawan-kawan bukan alang kepalang.

Kedua, semua ilmu kesaktian luar biasa yang tadinya siap akan didapat dari sosok nyawa kedua Puti Andini alias Yang Mulia Sri Paduka Ratu menemui kegagalan karena gadis yang hidup dengan nyawa tumpangan itu keburu menemui kematian.

Ketiga, Bendera Darah yang dianggap sebagai bendera keramat mengalami kerusakan. Ini dianggap sebagai suatu pertanda tidak baik. Lalu yang keempat ialah sakit hati atas kekalahannya ketika menghadapi mahluk halus berbentuk perempuan cantik yang menolong Jatilandak, Walau dia tidak berhasil menyedot dan mendapatkan ilmu kesaktian yang ada dalam diri Yang Mulia Sri Paduka Ratu namun dia berharap masih memiliki ilmu kesaktian asli yang tidak bisa dibuat main-main.

Seluruh tokoh rimba persilatan tanah Jawa merasa ngeri menghadapinya. Mengapa dengan sosok berbentuk perempuan bayangan itu dia bisa dipecundangi? Apakah dia juga telah kehilangan keampuhan ilmu kesaktian sakti yang didapatnya dari mendiang gurunya, Si Muka Bangkai? Kalau saja ada orang lain di hadapannya saat itu ingin sekali dia membunuh untuk menjajal salah satu pukulan sakti yang dimilikinya.

“Mahluk jahanam itu! Kalau dia bukan gadis alam roh kekasih Pendekar 212, mungkin sekali dia adalah mahluk yang datang dari alam yang sama dengan pemuda kulit kuning itu. Lalu apa hubungannya dengan Jatilandak? Gurunya atau kekasihnya? Ilmu kesaktiannya luar biasa. Edan! Bagaimana aku harus menghadapinya kalau bertemu lagi?”

Sosok tubuh berbentuk bayang-bayang wajah cantik yang samar, muncul di pelupuk mata Pangeran Matahari. Selewat satu bukit kecil, Pangeran Matahari lari ke arah timur memasuki rimba belantara. Keluar dari hutan dia sampai di satu pedataran tinggi ditumbuhi pohon-pohon jati berusia puluhan tahun. Di satu tempat dia hentikan lari. Jatuhkan diri ke tanah, berbaring menelentang menatap langit kelam lalu pejamkan mata. Sakit hati dan dendam kesumat masih menggumpal di rongga dadanya.

Pangeran Matahari bangkit berdiri dan siap untuk tinggalkan tempat itu. Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba hidungnya mencium bau harum lalu telinganya menangkap suara orang menghela nafas berulang kali. Suara itu datang dari bagian tanah rendah di sebelah kiri. Perlahan-lahan, tanpa suara dia, melangkah ke arah sumber suara. Tepat pada bagian tanah yang menurun, Pangeran Matahari menyelinap ke balik satu pohon jati besar. Sepasang mata menyipit, lalu membesar. Mulut sunggingkan seringai.

“Ahh... dia rupanya. Sungguh tidak disangka...” Ucap Pangeran Matahari dalam hati. Dada berdebar, aliran darah mengencang dan memanas. Untuk sesaat rasa sakit yang menjalari sekujur tubuhnya luar dalam tidak terasa. “Hampir tak percaya aku akan penglihatanku sendiri! Pantas sewaktu para jahanam itu menyerbu lorong aku tidak melihat yang satu ini. Ternyata dia ada di sini. Kelihatannya tengah bersedih. Seperti mau menangis. Ha ha ha! Nasibmu tidak akan lebih baik dari saudara kembarmu! Pendekar 212! Saat ini aku punya satu kesempatan untuk membuat dirimu hidup dengan hati sengsara seumur-umur sampai akhirnya aku mengirimmu ke neraka!”

Apa atau siapakah yang telah dilihat Pangeran Matahari saat itu? Sejarak sepuluh langkah dari balik pohon jati tempat dia bersembunyi, ada sebuah gubuk tak berdinding, beratap rumbia berlantai papan. Di sisi kiri gubuk, di pinggiran lantai papan, tangan kiri menopang kening, duduk menyamping seorang dara berpakaian biru. Rambutnya yang pirang tergerai lepas, bergerak perlahan dimainkan hembusan angin malam. Angin malam pula yang menebar bau harum tubuh dan pakaiannya.

Pangeran Matahari sandarkan Bendera Darah ke batang pohon lalu perlahan sekali, tanpa mengeluarkan suara dia melangkah mendekati sang dara. “Bidadari Angin Timur, malam sunyi dan dingin begini rupa, apa yang kau perbuat seorang diri di tempat ini?”

Mendengar suara orang, gadis berambut pirang yang duduk di lantai papan tersentak kaget. Lebih kaget lagi ketika dia melihat sosok nyaris telanjang berwajah gosong luar biasa mengerikan tahu-tahu telah berdiri di hadapannya. Didahului pekikan keras si cantik di dalam gubuk melompat bangkit. Namun, dess... dess!

Dua totokan kilat dengan hebat menusuk pangkal lehernya kiri kanan, membuat gadis ini jatuh terduduk di lantai papan. Tak bisa bicara, tak mampu bergerak, dua mata membeliak! Dia cepat kerahkan tenaga dalam, alirkan hawa sakti ke leher. Walau memiliki kekuatan dahsyat namun si gadis hanya sanggup membuyarkan totokan yang menutup jalan suara. Totokan yang membuat dia tak mampu bergerak, tidak dapat dimusnahkan. Gadis di lantai gubuk yang bukan lain memang Bidadari Angin Timur adanya kembali menjerit keras lalu membentak.

“Setan! Mahluk siapapun kau adanya lepaskan totokan di tubuhku!”

Pangeran Matahari tertawa bergelak. “Nasibku memang buruk,” katanya. “Sekujur tubuh dan wajah hitam gosong. Pakaian penuh robek nyaris telanjang. Tidak heran kalau kau tidak mengenali diriku!”

Pangeran Matahari perlahan-lahan berjongkok di hadapan Bidadari Angin Timur. “Perhatikan kepala dan tubuhku! Gosong terbakar! Lihat wajahku! Lihat! Hidung miring ke kiri. Pipi kiri melesak, rahang amblas. Mata kiri terbenam! Ada cacat luka di kening kiri! Lihat jari kelingking tangan kiriku yang buntung! Apa kau masih belum mengenali diriku, hah?”

Pangeran Matahari ulurkan kepalanya dekat-dekat hingga hampir menyentuh wajah Bidadari Angin Timur. Untuk kesekian kalinya gadis itu menjerit keras. “Mahluk jahanam! Lepaskan totokan di tubuhku!”

“Kau tahu, semua penderitaan ini, semua kesengsaraan ini adalah akibat perbuatan kekasihmu si keparat Pendekar 212 Wiro Sableng!”

Sesaat Bidadari Angin Timur terbeliak kaget “Mahluk terkutuk! Siapa percaya ucapanmu! Jangan kau berani bermulut lancang! Aku bukan kekasih Pendekar 212!”

“Ha ha ha...! Kalau begitu aku benar-benar mendapat peluang! Malam ini aku Pangeran Matahari akan menjadi kekasihmu! Aku Pangeran segala cerdik. segala akal, segala ilmu, segala licik, segala congkak! Ha ha ha!” Habis mengumbar tawa Pangeran Matahari ulurkan tangan kanan membelai wajah sang dara.

“Jangan kau berani menyentuh diriku!” teriak Bidadari Angin Timur sambil matanya membeliak menatap ke arah wajah mengerikan di hadapannya. Sulit dia mempercayai mahluk bugil menyeramkan itu adalah Pangeran Matahari. Tapi suaranya. Dia pernah mendengar suara Pangeran Matahari sebelumnya. Memang ada kesamaan.

Pangeran Matahari tundukkan kepala, mencium pipi Bidadari Angin Timur, menjilat telinga si gadis lalu berbisik. “Saudara kembarmu pernah menjadi kekasihku. Ah, dia gadis hebat. Luar biasa di atas ranjang. Tapi aku rasa kau lebih hebat dari dia walau alas ketiduran kita saat ini hanya lantai papan.”

“Setan! Mahluk terkutuk! Pergi kau!”bBidadari Angin Timur kembali menjerit ketika Pangeran Matahari mendorong tubuhnya hingga terbaring terlentang tak berdaya di lantai gubuk. “Jahanam! Jangan lakukan ini padaku! Demi Tuhan jangan!” teriak Bidadari Angin Timur sewaktu Pangeran Matahari mulai merobek dan melucuti pakaiannya sebelah atas, dilanjutkan dengan merobek dan menyingkap pakaiannya sebelah bawah.

“Jahanam! Lebih baik kau bunuh diriku!”

Pangeran Matahari tertawa bergelak. “Kekasihku, bukankah sejak lama sebenarnya kita saling memendam cinta? Sekarang ada kesempatan kita menikmati hidup ini. Mengapa malah minta dibunuh?”

Bidadari Angin Timur memaki habis-habisan lalu meludahi muka Pangeran Matahari. Yang dimaki dan diludahi cuma menyeringai. Sepasang mata sang Pangeran berkilat-kilat, dikobari api amarah, dendam kesumat dan yang paling hebat adalah kobaran nafsu bejat terkutuk! Apalagi seumur hidup belum pernah dia melihat aurat perempuan semulus dan seindah serta sekencang seperti yang terbaring di hadapannya saat itu. Di puncak gelegak nafsunya, tubuhnya sebelah bawah yang tidak mengenakan apa-apa lagi langsung dirapatkan ke aurat paling terlarang Bidadari Angin Timur.

"Crasss!" Darah menyembur!

Pangeran Matahari keluarkan teriakan dahsyat ketika dari arah kegelapan satu sinar merah melesat ke bagian bawah perutnya. Tubuhnya terjengkang, terguling ke samping, beberapa lama berkelojotan seperti disengat bara api! Darah mengalir di lantai papan. Dia berusaha bangkit. duduk dan memeriksa bagian bawah perutnya. Ketika melihat luka besar yang menyemburkan darah pada kemaluannya langsung dia menjerit setinggi langit berulang kali seperti orang gila! Bagaimana tidak, kemaluan itu nyaris putus!

Tubuh gemetar menahan amarah dan rasa sakit luar biasa, Pangeran Matahari cepat totok urat besar di pangkal paha kiri kanan. Darah dari luka di kemaluan berhenti mengucur namun rasa sakit tidak bisa hilang.

“Pembokong jahanam! Pengecut! Kau hendak menghancurkan hidupku! Aku Pangeran Matahari tidak bisa dihancurkan! Aku Pangeran segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik, segala congkak! Tidak ada yang bisa hancurkan diriku! Perlihatkan dirimu!”

Pangeran Matahari memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa di tempat itu. Bidadari Angin Timur masih tergeletak di lantai papan dalam keadaan nyaris bugil, antara sadar dan tidak. Gilanya, dalam keadaan terluka parah seperti itu nafsu bejat Pangeran Matahari kembali berkobar. Dia segera membungkuk hendak mengangkat tubuh Bidadari Angin Timur. Rencananya gadis itu akan dipanggul dan dibawa lari ke tempat lain di mana dia akan melanjutkan niat terkutuknya. Namun sebelum sempat menyentuh tubuh sang dara untuk kedua kalinya, kembali selarik sinar merah melesat dari kegelapan.

Pangeran Matahari menjerit kesakitan ketika lengan kanannya terluka dan kucurkan darah. Nafsu bejat sang Pangeran serta merta sirna berubah menjadi amarah. Terbungkuk-bungkuk dia keluar dari dalam gubuk, tertatih-tatih ke arah pohon besar di mana dia menduga bersembunyinya orang yang membokong. Sejarak sepuluh langkah dari pohon itu Pangeran Matahari hantamkan tangan kanan, melepas satu pukulan sakti.

Sinar kuning, merah, dan hitam berkelebat dalam kegelapan malam. Itulah pukulan sakti bernama Gerhana Matahari. Di seberang sana, pohon besar yang terkena hantaman berderak hancur, tumbang ke tanah dalam keadaan terbakar. Semak belukar sekitar pohon tenggelam dalam kobaran api, hancur bertaburan, beterbangan ke udara. Bersamaan dengan tumbang dan terbakarnya pohon, melengking satu jeritan keras.

“Rasakan! Mampus kau!” ucap Pangeran Matahari yang menyangka pukulan saktinya tadi telah berhasil mengenai si pembokong. Terhuyung-huyung menahan rasa sakit pada luka besar di kemaluannya dia melangkah ke balik tumbangan pohon. Namun alangkah terkejutnya dia ketika tidak menemukan siapa-siapa. Padahal jelas-jelas tadi ada suara orang menjerit keras sekali di tempat itu. Suara jeritan lelaki!

“Setan dari mana yang tengah mempermainkan diriku?” rutuk Pangeran Matahari. “Mungkinkah mahluk perempuan berujud bayangan di telaga itu? Tapi yang menjerit tadi jelas suara lelaki!”

Mendadak terdengar suara tawa melengking dari arah gubuk beratap rumbia. Kali ini suara tawa perempuan! Membuat Pangeran Matahari melengak kaget, merutuk habis-habisan. Segera dia mengambil Bendera Darah yang tadi disandarkannya di batang pohon lalu secepat langkah yang bisa dilakukannya, sambil terus menahan sakit, dia berjalan menuju gubuk. Setengah jalan langkahnya tertahan. Dia jadi terkejut luar biasa, karena selain tidak melihat siapa orang yang tertawa, sosok Bidadari Angin Timur yang sebelumnya tergeletak di lantai gubuk tak ada lagi di tempat itu!

Pangeran Matahari terdongak kaget ketika mendadak terdengar suara tawa perempuan. Kali ini datangnya dari atas atap gubuk. “Setan perempuan! Kali ini tamat riwayatmu!” bentak Pangeran Matahari. Tangan kanannya bergetar hebat pertanda dia mengerahkan tenaga dalam penuh. Ketika tangan itu dihantamkan ke atas selarik sinar merah menderu dahsyat. Tidak kepalang tanggung karena sang Pangeran berniat benar-benar ingin menghabisi orang yang tertawa di atas atap, dia lepaskan pukulan Merapi Meletus. Bilamana lawan yang terkena hantaman pukulan ini mampu bertahan maka umurnya tidak akan lama. Isi dada dan isi perut laksana dibetot berbusaian keluar. Jalan darah berhenti. Sekujur tubuh hilang kekuatan dan akhirnya leleh!

Atap gubuk yang terbuat dari ijuk tenggelam dalam kobaran api, hancur berantakan. Pangeran Matahari melompat keluar dari dalam gubuk. Untuk beberapa lama kesunyian menggantung di udara.

“Kurang ajar!” Pangeran Matahari merutuk sambil matanya memandang ke arah atas gubuk yang kini tidak beratap, lalu memperhatikan berkeliling. “Lolos lagi!” katanya dengan rahang menggembung. Sulit dipercaya karena selama dia memiliki pukulan sakti itu hanya para tokoh rimba persilatan cabang atas saja yang mampu menyelamatkan diri. “Perempuan yang tertawa itu! Sampai di mana kehebatannya? Apakah dia salah satu tokoh rimba persilatan tanah Jawa?”

Baru saja Pangeran Matahari selesai berucap, mendadak kembali suara tawa perempuan melengking keras. Kali ini hanya beberapa langkah saja di depannya. Dalam kaget dan marahnya Pangeran Matahari tusukkan ujung gagang Bendera Darah yang lancip ke depan.

"Wuttt!" Bendera Darah melesat deras. Tapi karena tak ada siapa-siapa di hadapannya ujung runcing gagang Bendera Darah hanya menembus udara kosong!

Bagaimanapun angkuh congkaknya sang Pangeran namun saat itu nyalinya jadi ciut juga. Tengkuk mulai terasa dingin. Tidak tunggu lebih lama lagi dia segera tinggalkan tempat itu. Semula dia punya niat kembali ke kawasan 113 Lorong Kematian untuk mencari Aksara Batu Bernyawa. Namun saat itu dia lebih mementingkan keselamatan diri dan berusaha mencari seseorang yang bisa mengobati luka parah yang dideritanya pada alat kelaminnya.

Belum jauh Pangeran Matahari meninggalkan hutan jati tiba-tiba di kejauhan terdengar suara bergemuruh dahsyat laksana gunung batu runtuh. Untuk beberapa saat lama tubuhnya tertegun gontai. Kepala dipalingkan ke arah selatan.

“113 Lorong Kematian...” desisnya. Wajah berubah tercekat. “Suara gemuruh itu datang dari arah sana. Apa yang terjadi?” Rasa khawatir muncul dalam hati Pangeran Matahari. Dia ingin sekali menyelidik. Namun keadaan dirinya tidak memungkinkan.

********************

BAB 5

CAHAYA matahari pagi menyeruak di sela-sela dedaunan, sebagian jatuh tepat di permukaan wajah pucat Bidadari Angin Timur. Kehangatan cahaya sang surya membuat sepa9sang mata si gadis yang sekian lama tertutup kini tampak bergetar lalu perlahan-lahan membuka. Yang pertama kali dilihatnya adalah langit biru lepas. Lalu dia mendengar suara kicau burung dan sayup-sayup di kejauhan ada suara menderu tak berkeputusan. Suara air jatuh. Ada air terjun di sekitar situ. Sedikit demi sedikit daya ingatan Bidadari Angin Timur mulai bekerja.

“Di mana aku saat ini? Bagaimana aku bisa berada di tempat ini. Bukankah...?” Gadis berambut pirang ini raba dadanya dengan tangan kanan. Dia sadar, bukankah sebelumnya dia berada dalam keadaan tertotok? Siapa yang melepaskan totokannya?

Di atas tubuh Bidadari Angin Timur dapatkan sehelai kain menutupi. Ini membuat dia tambah tak mengerti. Tiba-tiba satu wajah menyeramkan muncul di pelupuk matanya. Muka lelaki gosong, rambut terbakar, mata dan pipi kiri melesak, hidung miring. Pangeran Matahari! Bidadari Angin Timur menjerit keras. Tubuh tersentak bangkit dan terduduk di tanah. Kain yang menutupi auratnya merosot jatuh ke pangkuan. Saat itulah dia menyadari betapa pakaian birunya robek tak karuan hingga keadaannya nyaris telanjang. Kejadian malam tadi! Ada rasa sakit di bagian bawah perutnya. Sekujur tubuh si gadis menggigil. Mukanya seputih kain kafan. Dengan tangan gemetar dia sibakkan kain yang menutupi tubuhnya sebelah bawah.

Sepasang mata Bidadari Angin Timur terbeliak besar ketika melihat ada noda darah setengah mengering di kedua pangkal pahanya! Untuk kedua kalinya Bidadari Angin Timur menjerit keras. Lalu ratap mengenaskan meluncur keluar dari mulutnya.

“Tuhan! Teganya engkau membiarkan manusia dajal itu merampas kehormatanku! Tak ada gunanya lagi hidup ini! Lebih baik mati daripada hidup bercermin bangkai!”

Didahului satu jeritan panjang, Bidadari Angin Timur bangkit berdiri. Tanpa memperhatikan ke mana dia menuju gadis ini berlari sambil terus menjerit dan menjerit. Mendadak larinya tertahan. Di hadapannya terbentang satu jurang batu luar biasa dalamnya. Di salah satu sisi jurang mengucur deras air terjun. Sang dara tertegun.

Ada bisikan halus dalam lubuk hatinya. “Bida– dari Angin Timur, jangan kau menempuh jalan sesat...”

Si gadis terkesiap. Tapi cuma seketika. Ada bisikan lain dalam dirinya. “Apa kau sanggup bertahan hidup. Hamil karena diperkosa lalu melahirkan seorang anak haram...”

Sekujur tubuh Bidadari Angin Timur bergetar. “Tuhan! Berikan kematian saat ini juga padaku!Aku tak sanggup bertahan hidup dalam keadaan ternoda seperti ini! Tuhan, jika sudah mati aku rela menjadi setan untuk mencari dan membunuh manusia terkutuk Pangeran Matahari!”

Bidadari Angin Timur menjerit lagi satu kali. Suara jeritan itu bergaung panjang menggidikkan ketika dengan segala kenekatan gadis cantik bernasib malang ini menghambur jatuhkan diri ke dalam jurang. Ketika gaung jeritan sirna yang terdengar kini hanya suara curahan air terjun. Langit pagi yang tadi biru bersih tiba-tiba berubah gelap. Mendung menggumpal di mana-mana. Di udara, kilat menyambar disusul gemuruh suara gelegar guntur. Sesaat kemudian hujan turun luar biasa hebatnya. Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara raungan binatang. Alam seolah ikut meratapi nasib malang yang menimpa seorang anak manusia yang terlahir bernama Pandan Wangi dan dalam rimba persilatan tanah Jawa dikenal dengan sebutan Bidadari Angin Timur.

********************

Dua orang berpakaian pasukan Kerajaan memacu kuda masing-masing dalam gelapnya malam. Menempuh jalan mendaki dan berliku-liku. Mereka bukannya memperlambat lari kudanya, malah menggebrak binatang-binatang itu agar berlari lebih kencang. Dari kecekatan mereka menunggang kuda jelas keduanya orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Selewatnya satu tikungan tajam, entah dari mana munculnya, tiba-tiba satu sosok hitam berkelebat jungkir balik satu kali di udara. Ketika berdiri di tengah jalan tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan tancapkan sebatang besi ke tanah. Tampangnya garang walau ada bayangan seperti menahan sakit.

Dua kuda besar meringkik keras. Dua kaki depan naik ke atas Tubuh sebelah belakang terbanting ke samping. Kalau dua penunggangnya tidak cepat merangkul leher kuda masing-masing dengan kuat, niscaya mereka sudah terlempar jatuh!

“Jahanam! Anjing kurap dari mana berani menghadang perjalanan orang!” Penunggang kuda di sebelah kanan membentak marah. Namun kalau tadi dia belum begitu jelas melihat sosok orang yang menghadang di tengah jalan, kini setelah lebih memperhatikan dengan jelas orang di depannya, tengkuknya mendadak menjadi dingin. Penunggang kuda satunya terkesiap tak berkedip.

“Aku tidak dapat memastikan. Apakah mahluk di depanku ini manusia atau setan adanya,” ucapnya dalam hati. Dia rapatkan kuda mendekati temannya. “Surojantra, kalau mahluk ini hantu benaran, aku tidak takut. Tapi kalau dia manusia, berarti kita menghadapi perkara besar. Mungkin rahasia urusan kita telah bocor?”

Sang teman yang tadi membentak menjawab. “Baunya seperti kayu hangus. Ada asap tipis kemerahan keluar dari hidung dan mulutnya. Dia menancapkan besi gulungan bendera ke tanah. Aku yakin dia manusia seperti kita walau tubuh nyaris telanjang. Gosong dari kepala sampai ke kaki. Tampang memang seperti setan. Bukan mustahil dia suruhan orang-orang Keraton Kaliningrat untuk mencegat kita. Jaliteng, aku akan menghadapinya. Jika perkara tidak bisa dielakkan kau harus cepat tinggalkan tempat ini. Selamatkan barang bawaan!”

Habis berkata begitu Surojantra menggerakan kuda mendekati orang yang menghadang di tengah jalan. “Sampeyan siapa? Ada urusan apa menghadang perjalanan kami?”

Orang di tengah jalan yang bukan lain Pangeran Matahari adanya tertawa bergelak. “Aneh, bicaramu sekarang jadi sopan. Sekarang kau memanggil aku sampeyan segala! Ha ha ha! Padahal kau tadi menyebut aku anjing kurap!”

“Maaf kalau tadi aku keterlepasan bicara kasar karena kaget oleh kemunculanmu yang tiba-tiba. Aku tidak punya waktu banyak bicara panjang lebar dengan setan jejadian sepertimu. Lekas menyingkir!”

“Kalau aku tidak mau menyingkir?” tantang Pangeran Matahari sambil dongakkan kepala penuh sombong padahal masih menahan sakit.

“Kaki kudaku akan menghancurkan batok kepalamu! Dan kau akan jadi setan benaran!” kata Surojantra pula.

Pangeran Matahari tertawa bergelak. “Aku mau lihat bagaimana caramu memecahkan batok kepalaku!” Lalu dia sengaja ulurkan kepalanya seolah menantang minta digebuk.

Surojantra jadi berang. Dia tepuk pinggul kanan kuda tunggangannya. Secara bersamaan tangan kiri menyentak tali kekang. Didahului ringkikan keras kuda besar menyepakkan kaki kanan sebelah depan ke arah kepala Pangeran Matahari. Cepat, ganas mematikan! Walau cukup terkesiap melihat datangnya serangan luar biasa itu namun sang Pangeran masih bisa mengumbar tawa mengejek. Kepala dirundukkan. Lutut dilipat. Tiang Bendera Darah yang terbuat dari besi dan saat itu menancap di tanah secepat kilat dicabut.

"Wuuttt! Wuuuttt!"

"Kraakk! Kraak!" Dua kaki depan kuda besar tunggangan Surojantra hancur patah. Binatang ini meringkik dahsyat lalu roboh ke tanah. Sekali lagi tongkat Bendera Darah berkelebat.

"Praakk!" Kali ini gagang bendera menghantam remuk kepala kuda. Binatang ini melosoh ke tanah, melejang dua kali lalu rebah tak berkutik lagi.

Surojantra yang terpental dari punggung kuda, dengan berjumpalitan berhasil selamatkan diri. Namun baru saja dua kakinya menginjak tanah, ujung lancip gagang Bendera Darah melesat dan amblas menancap ke ulu hatinya, tembus sampai ke punggung!

Melihat Surojantra menemui ajal menggidikkan begitu rupa, Jaliteng serta merta memedal kudanya. Namun Pangeran Matahari lebih cepat menggebukkan gagang Bendera Darah ke perut Jaliteng. Tubuh lelaki ini terlipat ke depan lalu terguling-guling di tanah. Darah menyembur dari mulut. Secepat kilat Pangeran Matahari melesat ke atas punggung kuda Jaliteng dan memacu binatang ini ke arah timur.

“Prajurit-prajurit tolol! aku hanya mau minta kuda! Tapi kalian malah sengaja serahkan nyawa!”

********************

Ki Tambakpati bersemedi sejak tengah malam tadi demi untuk mendapat petunjuk Yang Maha Kuasa. Gubuk kecil kediamannya di puncak bukit diterangi obor redup di empat sudut. Di tanah di depan tempat dia duduk bersila terdapat sebuah belanga tanah. Di dalam belanga ada ramuan tulang belulang, daun, kulit dan akar tetumbuhan serta cairan yang menebar kepulan asap sengak serta mengeluarkan suara mendidih. Padahal dibawah belanga sama sekali tidak ada api yang menyala!

Hebatnya, sekaligus menggidikkan, di mana-mana dalam gubuk itu terdapat tulang belulang manusia. Bahkan lima tengkorak kepala manusia yang sudah lumutan tergeletak di lantai tanah. Empat obor di sudut gubuk yang biasanya dibuat dari potongan bambu, terbuat dari tulang kaki manusia. Di salah satu bagian gubuk, merapat ke dinding, terdapat sebuah ketiduran terbuat dari tulang belulang manusia di alas tikar jerami kering. Di samping kiri Ki Tambakpati terbentang sehelai tikar kulit kambing. Tidak terduga, khidmat khusus semedi Ki Tambakpati mendadak terganggu. Bagaimanapun dia berusaha tetap saja dia tidak mampu menutup jalan pendengaran serta menghindari getaran pada kelopak matanya.

“Ada malapetaka menuju ke sini...” ucap Ki Tambakpati dalam hati. Lalu terdengar suara derap kaki kuda di kejauhan. Makin kencang ma– kin keras pertanda mendekat mendatangi ke arah gubuk di puncak bukit itu. Lalu, braak!

BAB 6

PINTU gubuk terpentang jebol. Satu sosok tubuh hitam gosong melesat masuk, tegak tergontai-gontai sambil berpegangan pada besi gagang bendera. Bau sengak dalam gubuk kini bercampur dengan bau amis darah setengah kering.

“Malapetaka telah datang,” kata Ki Tambakpati dalam hati. Perlahan-lahan dia buka kedua matanya yang sejak tadi terpejam. Walau rasa bergidik membuat sekujur tubuh Ki Tambakpati menggigil bergetar, namun orang tua yang berusia lebih tujuh puluh tahun ini berusaha tenangkan diri, menatap sosok mengerikan di hadapannya dengan pandangan mata redup tak berkesip.

Tubuh gosong tanpa pakaian sama sekali. Setiap menghembuskan nafas, dari mulut serta lobang hidung keluar asap tipis kemerahan. Meskipun wajah orang di hadapannya gosong hitam, namun Ki Tambakpati mengetahui bahwa tamu yang muncul menunggang kuda, masuk menjebol rusak pintu gubuknya adalah seorang lelaki berusia muda. Mahluk mengerikan ini berdiri gontai sambil tangan kiri terus-terusan mendekap kemaluannya.

“Welas asih dan kesejahteraan untuk semua orang.” Ki Tambakpati menyalami. “Anak muda, apakah kau tidak keliru terpesat datang kemari?”

“Siapa bilang aku keliru! Aku tidak pernah keliru!” sang tamu menjawab teguran Ki Tambakpati dengan suara keras dan sikap congkak lalu tancapkan gagang besi bendera ke lantai tanah.

“Ah, syukurlah kalau begitu...” kata Ki Tambakpati pula.

“Orang tua, bukankah kau bernama Ki Tambakpati, berjuluk Tangan Penyembuh. Jangan berani berdusta!”

“Anak muda, kau betul. Aku memang Ki Tambakpati. Seumur hidupku yang lebih dari tujuhpuluh tahun, dengan kuasa serta petunjuk Gusti Allah aku belum pernah berdusta. Mengenai julukan, itu hanya sekedar pemberian orang banyak yang aku sendiri sebenarnya risih sekali untuk menerima. Anak muda, katakan...”

“Orang tua!” sang tamu membentak memotong ucapan orang. “Dengar, jangan panggil aku dengan sebutan anak muda!”

Dibentak begitu rupa Ki Tambakpati jadi kaget namun cepat tenang kembali. “Harap maafkan. Aku harus memanggilmu bagaimana?”

“Panggil aku Pangeran! Kau dengar Ki Tambakpati? Pangeran!”

Kening si orang tua berkerut. “Seorang Pangeran muncul dengan berkeadaan seperti ini. Sulit dipercaya. Pangeran dari mana dia gerangan?” kata Ki Tambakpati dalam hati. Kemudian merebak senyumnya. “Ah, aku yang tua ini telah berlaku lancang. Tidak tahu kalau berhadapan dengan seorang Pangeran. Maafkan diriku.” Ki Tambakpati bungkukkan dadanya sampai tiga kali. Ketika kepala diangkat dia bertanya. “Pangeran, ada keperluan apa Pangeran datang ke gubukku yang hina ini?” Mata si orang tua melirik ke bagian bawah perut tamu di hadapannya yang sejak tadi ditekap dan ditutupi dengan tangan kiri. Di antara sela-sela jari tangan itu dia melihat ada lelehan darah.

“Aku ingin kau menolong menyembuhkan luka yang aku derita.”

“Luka? Luka apa, Pangeran?”

Orang di hadapannya perlahan-lahan membuka tekapan tangan kirinya. Melihat aurat yang kini tersingkap itu, merinding bulu tengkuk Ki Tambakpati. Seumur hidup belum pernah dia melihat luka mengerikan seperti itu. Kemaluan orang di hadapannya itu mengalami luka yang amat hebat, nyaris putus!

“Pangeran, apa yang terjadi?” tanya Ki Tambakpati.

“Kau tak layak bertanya! Apa yang terjadi bukan urusanmu! Kewajibanmu adalah menyembuhkan luka ini!”

Ki Tambakpati terdiam sesaat lalu berkata. “Ah, lancangnya diriku dalam bertanya. Tapi Pangeran, kau datang ke tempat yang salah. Aku memang punya sedikit ilmu pengobatan. Namun hanya khusus dalam pengobatan orang-orang yang patah tulang. Aku tak mungkin menyembuhkan luka yang kau derita. Kau harus mencari seorang lain yang mampu mengobati dan memberi kesembuhan.”

“Aku datang dari jauh untuk selamatkan nyawa! Sampai di sini kau berani menolak mengobati lukaku! Kau ingin aku mati berdiri!”

“Pangeran, bukannya aku menolak. Tapi diriku memang tidak punya kemampuan untuk mengobatimu...”

“Kalau aku mati karena luka ini, lebih baik kita mati sama-sama saat ini juga!” Sang Pangeran mengancam. Lalu tangan kirinya yang berlumuran darah bergerak menjangkau tengkorak kepala manusia yang tergeletak di lantai gubuk. Sekali jari-jarinya meremas, kraaakk! Tengkorak kepala itu remuk hancur! Belum cukup sang Pangeran hantamkan tangan kanan, Braaakk!

Dinding gubuk di belakang Ki Tambakpati hancur berantakan. Belasan tulang belulang yang tergantung di dinding itu ikut mental ke dalam kegelapan di luar sana.

“Anak mud... Pangeran. Dengar...” Rasa takut mulai menjalari diri Ki Tambakpati.

“Dukun keparat! Kau yang harus mendengar! Obati lukaku atau aku pecahkan kepalamu saat ini juga!”

Ki Tambakpati geleng-geleng kepala sambil berulang kali menyebut nama Tuhan. “Kalau kau memaksa, aku hanya bisa mencoba. Soal kesembuhan kita serahkan pada Gusti Allah Yang Maha Kuasa.” Orang tua itu bangkit berdiri. “Pangeran, berbaringlah di atas tikar kulit kambing itu.”

Sang Pangeran berdiri. Dia bukannya berjalan ke arah tikar kulit kambing tapi melangkah dan baringkan diri di atas tempat tidur yang terbuat dari tulang belulang beralaskan tikar jerami kering.

“Kau jangan berani menghinaku, Ki Tambakpati. Seorang Pangeran apa layak tidur di tikar rombeng kulit kambing? Di atas tempat tidur inipun sebenarnya sangat tidak layak bagiku!”

“Maafkan aku Pangeran,” kata Ki Tambakpati. Lalu dia melangkah ke salah satu sudut gubuk yang masih utuh. Sepasang mata dipejamkan, dua telapak tangan saling dirapatkan, dua lengan diluruskan ke atas. Saat itu pula perlahan-lahan tubuhnya terangkat ke atas hingga kedua kakinya yang kurus tidak lagi menginjak lantai tanah gubuk.

“Daun sirih pembersih luka.” Ki Tambakpati berucap. Secara aneh dari sela-sela dua telapak tangannya menyembul keluar tiga helai daun sirih. Daun-daun ini kemudian melesat masuk ke dalam belanga tanah. “Kunyit putih perekat luka.” Ki Tambakpati kembali berucap disusul melesatnya tiga butir benda putih. Seperti tiga helai daun sirih tadi, tiga benda putih ini melesat masuk ke dalam belanga. “Alang-alang dewa penyambung otot dan urat” Kembali si orang tua berseru. Tiga lembar alang-alang sepanjang dua jengkal melesat keluar dari sela dua telapak tangan, melayang di udara lalu masuk ke dalam belanga tanah. “Kemenyan pemohon keredohan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih serta Penyayang lagi Maha Penyembuh!”

Untuk kesekian kalinya dari sela telapak tangan Ki Tambakpati melesat keluar benda yang disebutkan. Kali ini berupa serbuk kemenyan kasar berkilauan. Serbuk ini melesat masuk ke dalam belanga tanah. Suara mendidih di dalam belanga terdengar makin keras. Kepulan asap bertambah tebal. Bau harum cendana kini bertukar dengan bau obat aneh.

Memperhatikan semua yang terjadi, orang yang tergeletak di atas ranjang tulang yang tentu saja adalah Pangeran Matahari, berkata dalam hati. “Sulap atau sihir apa yang dilakukan tua bangka ini! Kalau dia menipuku, kupecahkan kepalanya!”

Untuk beberapa lama tubuh Ki Tambakpati masih mengapung di udara. Mulut berkomat-kamit. Mata masih terpejam. Pangeran Matahari memperhatikan dengan tidak sabar. Tak selang berapa lama perlahan-lahan sosok orang tua itu bergerak turun ke tanah. Pada saat kedua kakinya menginjak lantai tanah gubuk, obor yang tinggal dua di sudut ruangan berkelap-kelip. Udara terasa dingin. Belanga tanah bergerak-gerak seolah digoyang oleh tangan yang tidak kelihatan.

Ki Tambakpati dongakkan kepala. Perlahan-lahan mata yang terpejam dibuka, perlahan-lahan kepala ditundukkan kembali. Lalu dari dinding gubuk dia mengambil sebuah gayung terbuat dari tulang. Dengan gayung tulang si orang tua menciduk cairan obat dalam belanga tanah lalu dimasukkan ke dalam cangkir tulang. Di dalam cangkir tulang, cairan itu masih terus mendidih dan kepulkan asap. Ki Tambakpati melangkah mendekati ranjang tulang. Dia membungkuk di samping ranjang, susupkan tangan ke belakang kepala Pangeran Matahari lalu kepala diangkat sedikit.

“Pangeran, harap kau suka meminum obat ini. Teguk perlahan-lahan sampai habis.”

“Orang tua gila! Kau menyuruh aku minum cairan panas mendidih! Kau menipuku! Kau mau membunuhku!” bentak Pangeran Matahari.

Ki Tambakpati tersenyum. “Kalau cairan di dalam cangkir tulang panas, mana mungkin jari-jari tua ini sanggup memegangnya? Kau tak usah khawatir. Minumlah...”

Sesaat Pangeran Matahari terdiam. “Kau benaran Ki Tambakpati?”

“Pangeran, sebelumnya kau berkata tidak pernah keliru. Kau yakin bahwa aku memang Ki Tambakpati. Apa lagi sekarang yang merisaukanmu?” Orang tua itu dekatkan cangkir tulang ke mulut Pangeran Matahari. Walau masih agak ragu namun karena ingin sembuh akhirnya Pangeran Matahari teguk juga obat di dalam cangkir. Anehnya, ternyata cairan obat itu terasa sejuk.

“Bagus, sekarang berbaringlah kembali. Kembangkan paha lebar-lebar.” Ki Tambakpati lemparkan cangkir ke arah tumpukan tulang belulang lalu mengangkat belanga tanah. Ketika dia berdiri di kaki ranjang tulang, orang tua ini berkata. “Pangeran aku akan menyiramkan cairan obat ini ke auratmu sebelah bawah. Rasanya akan sakit sekali. Aku percaya kau sanggup menahannya. Berdoalah pada Gusti Allah agar kau mendapat kesembuhan...”

“Seumur hidup aku tidak pernah berdoa kepada Gusti Allah. Apa perlunya jika kau memang dapat menolong?”

Terkesiap Ki Tambakpati mendengar ucapan itu. “Congkak dan takabur sekali manusia satu ini!” katanya dalam hati. “Semoga Tuhan mengampunimu.” Lalu tanpa banyak menunggu Ki Tambakpati guyurkan cairan obat di dalam belanga ke atas kemaluan Pangeran Matahari yang terluka parah. Seperti besi panas menyala ter– siram air begitulah keadaannya.

"Cesss! Cessss!"

Pangeran Matahari menjerit setinggi langit. “Kau mau membunuhku! Kau mau membunuhku!” teriaknya berulang kali. Kaki kanannya menendang.

"Byaarrr!" Belanga tanah yang dipegang Ki Tambakpati hancur berantakan. Orang tua ini terjajar ke belakang beberapa langkah. Seperti seekor harimau luka, Pangeran Matahari melompat. Dua tangan mencekik leher Ki Tambakpati hingga lidahnya mencelet keluar. Nafas menyengal. Namun sebelum Pangeran Matahari sempat membunuh orang tua ini mendadak sosoknya menjadi lemas. Perlahan-lahan dia melosoh lalu jatuh terguling di lantai tanah.

Ki Tambakpati usap-usap lehernya yang bekas dicekik. Dia menarik nafas panjang berulang kali. Memandang pada sosok Pangeran Matahari, orang tua ahli pengobatan tulang ini geleng-geleng kepala, “Apa yang terjadi dengan orang ini hingga dia mengalami luka begini parah? Siapa dia sebenarnya? Pangeran? Seorang Pangeran sungguhan? Dari keraton mana?”

Ki Tambakpati memandang ke luar gubuk lewat pintu dan dinding yang jebol. Sunyi dan gelap. Lalu dia mendengar suara sesuatu. Ki Tambakpati segera keluar. Di halaman gubuk, tak jauh dari serumpunan semak belukar dia melihat seekor kuda besar tengah merumput dalam kegelapan. Ki Tambakpati dekati binatang ini. Usap-usap tengkuknya. Ada sebuah kantong kulit besar di samping pelana kuda. Ki Tambakpati bukan seorang yang usil suka memeriksa barang yang bukan miliknya.

Namun entah mengapa sekali ini dia merasa begitu ingin melihat apa yang ada di dalam kantong kulit itu. Dia lalu buka buhulan tali penutup kantong. Ketika penutup dibuka, terlihat selapis kain hitam. Kain ini disingkap. Ada tumpukan barang aneh berbentuk lempengan-lempengan dibungkus kertas warna merah gelap. Ki Tambakpati ambil satu lempengan benda berwarna coklat. Ki Tambakpati memeriksa benda itu dengan teliti, lalu dicium. Seperti disengat kalajengking begitulah kagetnya orang tua ini.

“Madat...” ucap Ki Tambakpati mendesis. Orang tua ini berpaling ke arah gubuk. “Dia datang dengan kuda ini. Berarti benda haram dajal ini adalah miliknya. Apa yang harus aku lakukan? Aku tak mau mencari perkara. Dia harus segera pergi dari sini. Tapi dia baru sadar besok. Menjelang tengah hari esok baru pulih. Selain itu pengobatanku masih belum selesai.” Ki Tambakpati menarik nafas panjang berulang kali. Dia merasa serba salah. Setelah menambatkan kuda ke sebatang pohon dia masuk kembali ke dalam gubuk. Langkahnya kali ini agak bergetar terhuyung.

********************

BAB 7

TAK LAMA setelah Pangeran Matahari merampas kuda Jaliteng di jalan mendaki yang berbatu batu, dua orang laksana setan malam berkelebat di kegelapan. Keduanya masih muda-muda dan bertampang sangar, memiliki bobot tubuh sama-sama tinggi dan tegap. Sama-sama mengenakan pakaian ringkas serta blangkon warna hitam. Di dada kiri baju masing- masing ada sulaman kuning rumah berbentuk joglo. Di sebelah bawah ada sulaman lain berupa dua bilah keris telanjang saling bersilangan. Hampir berbarengan, dua orang itu berkelebat sampai di depan kuda milik Surojantra.

“Ini kudanya! Mana orangnya? Aku tidak melihat kantong perbekalan di pelana kuda.” Lelaki di sebelah kiri keluarkan ucapan.

Temannya memandang berkeliling lalu menunjuk ke depan. “Di sana! Ikuti aku!”

Kedua orang itu berkelebat melewati tikungan jalan. Di satu tempat mereka menemukan sosok seorang lelaki berpakaian anggota pasukan Kerajaan yang sudah jadi mayat. Menemui ajal dengan luka terkuak di perutnya.

“Surojantra! Mati. Mengenakan pakaian pasukan Kerajaan. Tidakkah ini aneh? Bagaimana menurutmu Galirenik?”

Orang bernama Galirenik masih perhatikan mayat Surojantra beberapa ketika baru menjawab, “Bangsat ini punya ilmu cukup tinggi. Siapapun orang yang telah membunuhnya berarti punya kepandaian sukar dijajagi. Mengenai pakaian pasukan Kerajaan yang dipakainya aku rasa dia sengaja melakukan penyamaran.”

“Setahu kita dia bersama Jaliteng. Mungkin orang itu jadi musuh dalam selimut. Membunuh Surojantra dan melarikan barang bawaan!”

“Berarti kita harus menemukan bangsat satu itu! Barang yang kita cari pasti ada padanya! Aku...”

Rakadanu, teman Galirenik angkat tangan kiri, memberi tanda agar Galirenik berhenti bicara. Telapak tangan kanan dikembangkan di belakang daun telinga sebelah kanan agar pendengarannya bertambah jelas.

“Aku mendengar sesuatu. Suara orang mengerang...” Rakadanu menunjuk ke depan. Lalu melompat ke arah yang ditunjuknya. Galirenik mengikuti.

Kedua orang berpakaian serba hitam itu menemukan orang yang mereka cari terkapar di tanah jalanan dalam keadaan megap-megap sekarat. Mereka tidak melihat kuda tunggangan milik Jaliteng.

“Muka kelimis, tubuh utuh...” Rakadanu membungkuk lalu sibakkan pakaian Jaliteng. “Perut– nya pecah! Aku tidak dapat memastikan apakah nyawanya masih bisa tertolong!” Rakadanu berbi– sik pada Galirenik lalu cepat menotok beberapa bagian tubuh Jaliteng.

“Seperti Surojantra, dia juga mengenakan pa– kaian pasukan Kerajaan,” kata Galirenik sambil tekapkan telapak tangan kirinya ke dada Jaliteng untuk alirkan hawa sakti.

“Jaliteng, kami akan menyelamatkan nyawamu! Sebagai imbalan, katakan di mana beradanya barang yang kau bawa dalam kantong kulit besar?” Rakadanu ajukan pertanyaan.

Dada Jaliteng turuh naik pertanda dia sulit bernafas. Mukanya mendadak jadi pucat sekali. Namun telinganya masih bisa mendengar. Mata bergerak, menatap dalam gelap. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi mulutnya tak bisa dibuka.

“Percuma, dia tak bisa bicara. Kita cari saja kudanya. Mungkin ada di sekitar sini.”

Galirenik dan Rakadanu menghabiskan waktu cukup lama untuk memeriksa kawasan itu. Namun kuda tunggangan milik Jaliteng tidak ditemukan.

“Kita sudah kedahuluan orang,” ucap Galirenik perlahan tapi penuh geram.

“Bagaimana kita mempertanggung-jawabkan tugas ini kepada penguasa di Keraton Kaliningrat?” kata Rakadanu pula. Nada suara dan raut wajahnya menunjukkan kerisauan hatinya.

“Kita kembali saja. Laporkan apa adanya.” Jawab Galirenik.

Rakadanu gelengkan kepala. “Pengejaran kita sudah sangat jauh. Apapun yang terjadi harus kita lanjutkan. Mudah-mudahan ada tanda-tanda yang bisa kita pakai sebagai pencari jejak. Bagaimana?”

“Kalau kau mau meneruskan pencarian, aku hanya mengikut saja,” jawab Galirenik pula. Kedua orang dari Keraton Kaliningrat ini segera tinggalkan tempat itu.

Sekian lama berdiam diri, satu ketika Galirenik berkata. “Seingatku, masih cukup jauh di depan sana ada satu bukit kecil tempat kediaman seo– rang ahli pengobatan. Dia dijuluki si Tangan Penyembuh. Mungkin ada baiknya kita mampir di sana sekaligus menyelidik. Siapa tahu orang yang mencuri barang itu pernah singgah di sana.” Rakadanu menyetujui ajakan kawannya itu. Keduanya lalu mempercepat lari masing-masing.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Di puncak bukit udara malam terasa luar biasa dingin. Dari kejauhan telah terlihat gubuk kediaman Ki Tambakpati alias Si Tangan Penyembuh. Rakadanu dan Galirenik mendatangi hampir tanpa suara, padahal lari keduanya luar biasa cepat. Galirenik langsung hendak menuju gubuk tapi segera dicegah oleh Rakadanu yang perhatiannya lebih dulu tertuju ke tempat lain. Lelaki ini pegang lengan temannya dan berkata perlahan.

“Di bawah pohon sana ada seekor kuda besar tertambat. Di dekat pelana ada sebuah kantong kulit.”

Galirenik palingkan kepala ke arah yang dikatakan temannya. “Astaga...”

Rakadanu cepat tekap mulut Galirenik seraya berkata. “Jangan bicara keras-keras. Kita tidak tahu siapa yang ada di dalam gubuk. Kalau Surojantra dan Jaliteng yang berilmu tinggi bisa dibuat mati konyol, berarti si pembunuh memiliki kepandaian luar biasa tinggi. Kau pergi ke arah pohon. Ambil kantong kulit, biarkan kuda tetap tertambat. Tunggu aku di sana. Aku akan mengintai ke dalam gubuk.”

“Raka, tunggu dulu.” kata Galirenik. “Apakah kau tidak melihat kejanggalan?”

“Kejanggalan apa?”

“Barang di dalam kantong kulit itu nilainya selangit tembus. Bagaimana mungkin orang yang merampas membiarkannya di luar begitu saja, malam buta begini rupa pula!”

“Kawan, kau benar. Lekas kau ambil kantong kulit itu. Periksa isinya. Aku tetap akan mengintai ke dalam gubuk.” Habis berkata begitu Rakadanu segera melangkah ke gubuk sedang Galirenik cepat-cepat bergerak ke arah kuda yang tertambat.

Dari arahnya datang Rakadanu telah melihat kerusakan pada pintu dan dinding belakang gubuk. Pertanda sebelumnya telah terjadi tindak kekerasan di tempat itu. Lelaki tinggi besar dari Keraton Kaliningrat ini mengintai dari pinggiran pintu. Nyala dua api obor yang walau redup berkelip masih cukup menerangi gubuk kecil itu dan Rakadanu dapat melihat jelas keadaan di dalam gubuk.

Seorang tua duduk bersila di atas sehelai tikar kulit kambing. Dua tangan bersilang di dada. Mata terpejam entah tidur entah tengah bersemedi. Di atas sebuah ranjang yang terletak merapat ke dinding terbaring satu sosok hitam hangus dalam keadaan bugil. Dia tidak dapat melihat wajah orang ini. Dua kakinya terkangkang dan Rakadanu jadi mengerenyit ketika melihat kemaluan orang itu disarungi sebuah benda berwarna putih kekuningan. Merasa tidak ada gunanya dia berada lebih lama di tempat itu Rakadanu segera temui Galirenik yang berdiri di samping kuda memanggu! kantong kulit di bahu kirinya.

“Kau sudah memeriksa isi kantong ini?” tanya Rakadanu pada temannya.

“Isinya utuh!” jawab Galirenik dengan seringai bergumam dan mata bersinar. “Apa yang kau lihat di dalam gubuk?” Galirenik balik bertanya.

“Tidak penting apa atau siapa yang ada dalam gubuk. Barang sudah kita dapat. Kita segera kembali ke Keraton. Banyak keanehan di tempat ini. Kita harus pergi sebelum keanehan itu berubah menjadi bahaya mengancam keselamatan kita!”

Sebagaimana mereka datang tanpa suara. begitu pula ketika menyelinap pergi. Kedua orang berpakaian serba hitam itu raib ditelan kegelapan malam membawa 50 kati madat yang nilainya cukup untuk membangun lima istana besar.

********************

Ketika kokok ayam pertama kali terdengar di kejauhan, Ki Tambakpati hela nafas panjang dan buka kedua matanya yang sejak tadi malam terpicing. Memandahg ke samping dia lihat Sang Pangeran masih terbujur di atas ranjang tulang. Lalu dia ingat pada kantong kulit di luar sana. Cepat-cepat orang tua ini bangkit berdiri, melangkah ke pintu, terus ke halaman menuju kuda yang masih tertambat di pohon. Hanya tinggal dekat akan mencapai binatang itu, langkah Ki Tambakpati mendadak terhenti. Matanya membesar. Dadanya berdebar keras. Kantong kulit besar yang sebelumnya tergantung di samping pelana lenyap, tak ada lagi di tempatnya semula.

“Tak mungkin kantong dan isinya raib kalau tidak ada yang mengambil. Aku mungkin berlaku salah. Seharusnya kantong itu aku bawa masuk ke dalam gubuk. Dia pasti akan mempersalahkan diriku. Bisa-bisa begitu sadar dan mengetahui barang itu tak ada lagi, aku pasti akan dibunuhnya.

********************

Sebelum matahari naik tinggi keesokan paginya ternyata Pangeran Matahari telah siuman dari pingsannya. Dia mencoba duduk di tepi ranjang tulang. Begitu duduk pandangannya langsung ditujukan pada auratnya sebelah bawah. Dia dapatkan kemaluannya telah bersarung sepotong tulang menyerupai pipa.

“Ki Tambakpati!” teriak Pangeran Matahari.

“Aku di sini.” Terdengar jawaban dari samping.

Pangeran Matahari palingkan kepala. Ki Tambakpati berdiri dengan wajah menunjukkan keletihan, memandang kepadanya. “Apa yang kau lakukan padaku? Apa ini?”

“Itu merupakan pengobatan tahap terakhir. Agar luka pada daging dapat bertaut sempurna, lalu agar urat dan otot bisa bersambung aku sengaja menyarungkan alat kelaminmu dengan potongan tulang berbentuk pipa. Antara tujuh puluh sampai seratus hari tulang itu akan hancur dengan sendirinya. Saat itu lukamu sudah bertaut dan kau akan mendapatkan kesembuhan.”

“Begitu...?” Pangeran Matahari berdiri. “Aku perlu pakaian!” katanya kasar.

“Sudah aku siapkan Pangeran,” jawab Ki Tambakpati lalu menunjuk ke kepala ranjang. Di situ terletak seperangkat pakaian terdiri dari baju warna putih dan celana hitam.

“Aku tidak suka baju warna putih!”

“Maaf, Pangeran. Hanya itu baju yang ada.” jawab Ki Tambakpati. Orang tua ini diam-diam mulai merasa jengkel. Sudah ditolong, banyak pinta pula.

Dengan cepat Pangeran Matahari kenakan baju dan celana. Lalu keluar dari gubuk lewat dinding belakang yang jebol. Di pinggir sebuah sumur dilihatnya ada satu gentong besar. Kulit wajahnya terasa perih ketika dia mencuci muka dengan air gentong. Begitu juga bibir serta lidahnya ketika dia minum air gentong beberapa teguk.

“Aku harus pergi. Apakah aku perlu mengucapkan terima kasih padamu karena telah menolong diriku?” Pangeran Matahari bertanya sambil sunggingkan seringai.

Ki Tambakpati balas tersenyum. Dalam hati dia berkata. “Binatang saja jika ditolong masih bisa berterima kasih dengan caranya sendiri. Seorang anak manusia berlaku seperti ini. Sungguh luar biasa. Dosa apa yang telah aku lakukan hingga bertemu dengan orang seperti ini?”

“Kau tidak mau menjawab?” Pangeran Matahari gembungkan rahang.

“Kewajibanku menolong siapa saja sesuai dengan kemampuan. Soal berterima kasih tidak menjadi hal yang penting bagiku. Aku ucapkan selamat jalan padamu. Namun ada satu hal perlu aku sampaikan.”

“Kau minta bayaran Ki Tambakpati?”

Si orang tua menggeleng lalu berkata. “Paling lambat empat puluh hari dari sekarang lukamu akan sembuh. Namun kesembuhan itu adalah kesembuhan luar dan dalam. Yakni bersambungnya bagian luar dan bagian dalam batang kelaminmu. Namun tidak bisa kujamin setelah sembuh kau masih memiliki kejantanan sebagai laki-laki.”

Sepasang mata Pangeran Matahari mendelik besar. Pelipis bergerak-gerak dan dari hidung serta mulutnya keluar asap tipis berwarna kemerahan. “Orang tua! Kau bicara apa?” Menghardik Pangeran Matahari.

“Alat kelaminmu yang hampir putus itu memiliki ratusan atau mungkin ribuan syaraf. Walau kelaminmu dapat disambung kembali namun syaraf-syaraf yang begitu halus itu tidak mungkin bersambung kembali. Ini berarti kau akan kehilangan kejantananmu seumur hidup.”

“Orang tua keparat! Kau sengaja tidak menyembuhkan diriku secara sempurna.”

“Pangeran, aku sudah berusaha sesuai kemampuanku. Kemaluanmu kelak akan bersambung kembali dan lukamu akan sembuh. Tapi soal kerusakan syaraf itu, aku tidak mampu menyembuhkannya.”

“Jahanam! Tidaaakkk!” teriak Pangeran Matahari. Tubuhnya terhuyung ke kiri. Ki Tambakpati cepat menahan bahunya sehingga sang Pangeran tidak sampai roboh ke tanah. “Kalau kau sudah tahu hal itu, mengapa kau menolongku? Lebih baik kau membiarkan aku mati! Matiii!” Pangeran Matahari berteriak lagi sambil memukuli kepala dan dadanya. “Kau harus menyembuhkan aku. Kau harus menolongku!”

“Maafkan aku, Pangeran. Kemampuanku terbatas. Bisa menolong menyembuhkan lukamu saja sudah satu mukjizat bagiku...”

“Kalau kau tidak bisa menolong lalu siapa yang bisa? Katakan! Beritahu aku!”

“Aku tidak bisa memberitahu karena memang tidak tahu siapa orangnya yang ahli dalam penyembuhan syaraf yang rusak. Namun aku pernah menyirap sebuah kabar. Ada satu ilmu pengobatan berdasarkan petunjuk sebuah kitab.”

“Kitab apa?”

“Apa kau pernah mendengar? Dalam rimba persilatan ada sebuah kitab keramat bernama Kitab Seribu Pengobatan. Di dalam kitab itu ada bagian yang menerangkan obat serta cara penyembuhan untuk keadaan atau penyakit yang bakal kau alami.”

“Di mana aku bisa menemukan kitab celaka itu!” tanya Pangeran Matahari pula.

“Konon, kitab itu dimiliki dan disimpan oleh seorang nenek sakti yang diam di puncak Gunung Gede. Namanya Sinto Gendeng...”

“Cukup!” bentak Pangeran Matahari. Lalu tertawa tergelak-gelak.

Ki Tambakpati tegak terheran-heran. Tak ada yang lucu yang barusan diucapkannya. Kalau otaknya tidak miring lantas mengapa manusia ini sampai tertawa gelak-gelak?

“Ki Tambakpati, aku pernah mendengar riwayat kitab itu. Belakangan aku dengar kitab itu lenyap dicuri orang.”

“Ah, sayang sekali. Kurasa kitab itu satu-satunya harapan penyembuhan bagi dirimu.”

“Aku akan mencarinya sampai dapat. Walau harus keluar masuk seribu pintu neraka! Begitu dapat, akan kubawa ke sini agar kau bisa melakukan pengobatan atas diriku!”

Ketika Pangeran Matahari balikkan badan hendak berlalu, Ki Tambakpati cepat berkata. “Ada satu hal lagi, Pangeran.”

Pangeran Matahari tahan langkahnya. “Apa?”

“Dalam tubuhmu mengindap sejenis racun yang membuat dari hidung dan mulutmu selalu keluar asap tipis berwarna kemerahan. Obat yang kau minum tadi malam ternyata tidak bisa melenyapkan racun itu. Aku sarankan agar kau berusaha mengunyah dan menelan daun sirih serta bawang putih sebanyak yang bisa kau lakukan. Itu obat yang paling mudah dicari untuk bisa memusnahkan racun. Selama racun jahat hanya mendekam sebatas leher ke bawah tidak ada bahayanya bagimu. Namun jika sempat naik ke kepala bisa merusak otak. Kau bisa gila.”

Pangeran Matahari pandangi wajah orang tua di depannya sesaat lalu tertawa gelak-gelak. “Aku memang sudah gila! Kau ikutan membuatku gila!” Habis berkata begitu Pangeran Matahari ambil Bendera Darah yang masih menancap di lantai gubuk lalu tinggalkan tempat itu.

Sesaat setelah sang Pangeran lenyap di kejauhan, Ki Tambakpati baru ingat pada kuda yang masih tertambat di pohon halaman depan gubuk. “Aneh, mustahil dia tidak ingat pada binatang itu. Lebih mustahil lagi jika dia tidak ingat pada kantong kulit berisi madat yang tergantung dekat pelana. Apa arti semua ini? Mungkin kuda itu bukan miliknya. Dia merampas di tengah jalan, tanpa sadar ada barang luar biasa berharga di atas kuda itu. Berarti kantong kulit berisi madat itu juga bukan miliknya. Atau seperti katanya mungkin dia sudah benar-benar gila hingga tidak ingat lagi dengan kuda dan kantong kulit?”

********************

BAB 8

WALAU jelas ngorok, namun dalam tidur lelapnya kakek berjuluk Setan Ngompol itu tiada henti usap-usap daun telinga kanannya yang lebar dan terbalik. Tiba-tiba seperti ada sesuatu yang mengejutkan dia tersentak bangun. Duduk di lantai dangau, tangan kanan masih mengusap daun telinga sedang tangan kiri menekap bagian bawah perut yang perlahan-lahan mulai kucurkan air kencing. Gerakan bangun dan duduknya Setan Ngompol membuat lantai yang terbuat dari bambu reyot keluarkan suara berderik. Suara ini menyebabkan Pendekar 212 Wiro Sableng yang juga ada di dangau itu terbangun dari tidurnya.

“Kek, ada apa? Bangun-bangun kau seperti orang bingung?” tegur Wiro.

“Anu, aku mau ke telaga. Mau cuci muka.” Agak jauh dari situ memang ada sebuah telaga di bagian pedataran berbentuk ceguk.

“Masih pagi, dingin dan gelap. Kenapa mau cuci muka?”

“Aku barusan mimpi.” Jawab Setan Ngompol.

“Kalau mimpi basah bukan mukamu yang dicuci tapi perabotanmu yang sudah rongsokan itu!” kata Wiro pula lalu bangkit dan duduk di samping si kakek.

“Sialan. Siapa bilang aku mimpi basah. Aku mimpi tentang orang mati!”

“Siapa yang mati?” tanya Pendekar 212 pula.

“Kau bakalan kaget kalau aku sebutkan nama orangnya.”

Wiro tertawa lebar. “Mungkin aku kaget tapi kau yang bakalan kucurkan air kencing. Siapa yang kau mimpikan mati itu Kek?”

“Bidadari Angin Timur,” jawab Setan Ngompol. Dan benar saja, habis menyebut nama gadis itu si kakek langsung semburkan air kencing.

Wiro terdiam. Tatap wajah Setan Ngompol beberapa lama lalu berkata. “Aku lihat tampangmu tidak bohong. Ceritakan mimpimu itu Kek.”

“Aku berada di tepi sebuah jurang. Udara cerah, langit biru polos. Tiba-tiba keadaan berubah. Mendung tebal di mana-mana. Dalam kegelapan mendadak jauh di depanku ada cahaya terang. Makin lama cahaya itu makin dekat. Ketika kuperhatikan cahaya itu ternyata adalah sosok Bidadari Angin Timur yang mengenakan pakaian dan berdandan seperti pengantin. Dadanya penuh dengan kalungan bunga tujuh warna. Sayup-sayup aku mendengar suara gamelan ditabuh serta suara sinden menyanyi. Bidadari Angin Timur tersenyum padaku. Lambaikan salah satu tangannya. Lalu hujan lebat turun. Bersamaan dengan itu sosok Bidadari Angin Timur melayang menjauh dan akhirnya lenyap.”

Wiro terdiam beberapa ketika lalu berkata. “Kau bermimpi melihat Bidadari Angin Timur berdandan dan berpakaian seperti seorang pengantin. Lalu mengapa kau mengatakan gadis itu mati?”

“Dengar anak muda. Dalam pengertian orang tua-tua, jika kita mimpi melihat seseorang jadi pengantin, lelaki atau perempuan, maka orang itu telah tiada alias mati, atau akan segera menemui kematian.”

“Kau membuat hatiku jadi tidak enak, Kek...”

“Aku mau cuci muka dulu di telaga.”

Wiro tarik bahu pakaian Setan Ngompol hingga kakek ini tidak bisa bergerak turun dari dangau. “Kek, terakhir sekali kau berada bersama gadis itu. Dia tidak pernah muncul sewaktu para sahabat menyerbu 113 Lorong Kematian. Kau masih ingat saat-saat terakhir bersamanya. Mungkin kau juga tahu ke mana perginya gadis itu?”

“Semua kekacauan itu hingga urusan jadi kapiran begini adalah gara-garamu...”

“Enaknya kau menyalahkan diriku...”

“Waktu terakhir kali aku bersamanya yaitu menjelang keberangkatan menuju lorong kematian, Bidadari Angin Timur dapatkan beberapa gadis cantik sudah ada di tempat itu. Dia langsung cemburu. Dia merasa apa perlunya berada di tempat itu dan ikutan ke lorong kematian...”

“Siapapun yang ada di sana waktu itu, termasuk para gadis, mereka adalah sahabatku. Seharusnya Bidadari Angin Timur tidak mengambil sikap seperti itu,” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Lalu kau tahu ke mana dia pergi dari tempat itu? Kau masih tidak mau cerita di mana dan bagaimana terakhir kali kau bertemu dengan Bidadari Angin Timur?”

“Aku dan Ratu Duyung,” kata Setan Ngompol pula. “menemui Bidadari Angin Timur di satu hutan kecil tak jauh dari jurang di bagian belakang bukit batu markas manusia pocong. Dia duduk di tanah, sandarkan diri pada sebatang tumbangan pohon. Sepertinya dia baru habis menangis. Kami menanyakan apa yang terjadi. Namun gadis itu tidak menjawab dan alihkan pembicaraan pada hal lain. Katanya sebelumnya dia bersama Jatilandak. Pemuda itu kemudian pergi seorang diri menuju 113 Lorong Kematian. Dia juga menceritakan melihat dirimu didorong masuk ke dalam jurang oleh seorang nenek cebol. Aku tidak mengada-ada. Tapi di wajahnya yang murung tidak terlihat bayangan rasa khawatir. Aku dan Ratu Duyung justru melihat ada bayangan rasa tidak enak dalam dirinya terhadap kehadiran kami. Aku dan Ratu Duyung lalu tinggalkan gadis itu. Nah, itu kali terakhir aku bertemu dengan Bidadari Angin Timur.”

Lama Wiro terdiam mendengar penuturan Setan Ngompol itu. “Aku ingat, satu kali kami bertemu, Bidadari Angin Timur pernah memberi semacam petunjuk. Katanya dia mungkin bisa menduga di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan. Saat itu aku kurang menaruh perhatian karena tengah menghadapi urusan besar dengan manusia-manusia pocong 113 Lorong Kematian. Agaknya saat ini aku harus mencari gadis itu untuk mendapat keterangan lebih lanjut.”

“Tapi bagaimana kalau dia memang sudah tidak ada lagi di dunia ini. Seperti yang tersirat dalam mimpiku,” kata Setan Ngompol pula.

“Tidak baik berucap seperti itu,” kata Wiro pula sambil pelintir telinga kiri si kakek hingga yang dipelintir meringis kesakitan.

Ketika Setan Ngompol turun dari dangau menuju ke telaga, Wiro tidak lagi mencegah, namun tak selang berapa lama tiba-tiba Setan Ngompol muncul kembali dengan muka pucat nafas terengah. Dia tarik tangan Wiro Sableng, hingga pemuda ini terpaksa turun dari dangau.

“Ada apa? Kau seperti melihat setan!” ucap Wiro.

“Mungkin! Tapi aku berdoa mereka bukan setan benaran. Tapi manusia betulan. Soalnya keduanya cantik-cantik...”

“Kau lagi ngaco atau bagaimana, Kek?”

“Dengar, aku hanya melihat kepala. Aku tidak dapat melihat badan mereka. Apa punya badan atau tidak, aku belum tahu. Aku mengajakmu sama-sama nyebur ke dalam telaga.”

Wiro pegang lagi telinga lebar si kakek, dipelintir sedikit hingga orang tua itu kembali meringis kesakitan dan pancarkan air kencing. “Bicara yang betul. Jangan sepotong-potong membuat aku tidak mengerti!”

Setan Ngompol tekap dulu bagian bawah perutnya. Setelah muncratkan air kencing dua kali berturut-turut dia lalu berkata. “Waktu aku mau mencuci muka di telaga, mendadak aku lihat ada dua kepala mengapung di permukaan air. Semula kukira kepala setan. Ternyata kepala dua perempuan muda cantik-cantik. Rambut dikonde apik di atas kepala, wajah dipoles bedak dan gincu merah di bibir. Sepasang alis hitam kereng. Di dalam air aku lihat keduanya bicara berbisik-bisik. Sebentar-sebentar sepasang mata mereka memandang ke arah pinggiran telaga. Mungkin mereka sudah tahu kehadiranku di tempat itu tapi malu memanggil mengajak mandi bersama. Hik hik hik! Kau mau ikut aku ke telaga? Berkenalan dan mandi sama-sama dua perempuan cantik itu?”

“Kek, pergunakan otak warasmu. Mana ada perempuan cantik malam buta menjelang pagi begini mau mandi berendam dalam air telaga yang dinginnya seperti es. Pasti mereka mahluk jejadian. Kalau kau tidak percaya silahkan pergi sendiri. Masuk ke dalam telaga, dekati keduanya.”

“Ah, kau membuat aku takut saja. Padahal ini satu kesempatan. Kasihan keduanya kedinginan. Kalau bersama kita pasti bisa berhangat-hangat. Hik hik hik.”

Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-tiba ulurkan tangan menutup mulut si kakek hingga suara tawa cekikikannya serta merta berhenti. Wiro lalu tarik kakek ini ke balik semak belukar di samping kiri dangau.

“Ada apa...?” bisik si kakek sambil muncratkan air kencing.

Wiro goyangkan kepalanya ke depan. Setan Ngompol berpaling tepat pada saat dua orang berpakaian serba hitam tiba-tiba muncul berkelebat dan berdiri sepuluh langkah di depan dangau.

“Aku barusan mendengar seperti ada orang tertawa...” lelaki tinggi besar di sebelah kanan berkata sambil memandang berkeliling. Kawannya yang memanggul sebuah kantong kulit ikut pula memperhatikan keadaan sekitarnya.

“Suara angin di tempat sepi begini bisa menyerupai suara orang bahkan suara setan tertawa,” katanya. “Rakadanu, lihat di sana ada dangau. Bagaimana kalau kita istirahat barang sebentar. Bahuku pegal sekali membawa lari beban seberat ini.”

“Sobatku Galirenik, kita tengah menjalani tugas luar biasa penting. Ayal sedikit saja bisa meng– undang bahaya. Jika kau letih biar aku yang ganti membawa barang itu. Yang penting kita harus segera sampai di keraton secepatnya!”

Walau mengkal tapi orang bernama Galirenik terpaksa ikuti ucapan temannya. Namun keduanya hanya sempat melanjutkan lari sekitar duapuluh langkah. Ketika sampai di sisi telaga, sekonyong-konyong air telaga muncrat ke atas. Dua buah benda melesat ke udara menyipratkan air lalu sttt... stttt!

Di lain kejap dua benda itu yang bukan lain dua perempuan muda yang tadi dilihat Setan Ngompol berendam dalam telaga tahu-tahu sudah berdiri di hadapan dua orang lelaki berpakaian dan berblangkon serba hitam yakni Rakadanu dan Galirenik. Tentu saja kedua lelaki bertubuh tinggi besar itu tersentak kaget. Hentikan lari dan mengambil sikap penuh waspada. Namun ketika menyadari yang menghadang mereka ternyata adalah dua orang gadis berwajah cantik, keduanya segera saja menebar senyum. Apa lagi pakaian basah menempel ketat di tubuh mereka membuat liuk liku tubuh dua gadis itu terlihat jelas.

“Sahabatku Raka,” kata Galirenik. “Agaknya kita memang perlu istirahat dulu barang sebentar.”

“Kalau begini urusannya, istirahat sampai pagi pun aku tidak menampik!” jawab Rakadanu. Lalu kedua orang lelaki itu tertawa gelak-gelak.

Ketika mereka hentikan tawa, gadis di sebelah kiri yang mengenakan pakaian merah mengangkat dagu sedikit lalu membuka mulut. “Apakah kalian sudah puas tertawa?”

Ditanya begitu Rakadanu dan Galirenik saling pandang lalu kembali tertawa. Malah lebih keras. Dua orang gadis cantik berpakaian basah tetap tak bergerak di tempat, tenang-tenang saja memperhatikan polah tingkah dua lelaki tinggi besar yang tengah tertawa. Sesaat kemudian suara tawa dua lelaki itu berubah perlahan dan akhirnya sirap sama sekali.

“Hemmm... sudah puas mereka tertawa.” Kini dara berpakaian biru keluarkan ucapan ditujukan pada temannya si baju merah.

“Ketahuilah!” gadis berpakaian merah menyambung ucapan si biru. “Tawa kalian berdua tadi adalah tawa terakhir sebelum kalian menjadi mayat!”

“Oo hebatnya!” teriak Rakadanu.

“Mati barengan satu kubur dengan kalian aku pasrah saja!” kata Galirenik pula. Lalu kembali umbar tawa bergelak.

“Ah, rupanya masih ada tawa tambahan. Tidak apa. Ada satu syarat menguntungkan bagi kalian. Kalian tidak akan jadi mayat malam ini asalkan menyerahkan kantong kulit itu pada kami!”

Kini kagetlah Rakadanu dan Galirenik. Mereka benar-benar tidak percaya kalau ada dua gadis cantik di malam buta inginkan barang sangat berharga yang mereka bawa. Rakadanu berucap cerdik. “Kantong kulit itu hanya berisi pakaian bekas. Apa ada gunanya bagi kalian?”

“Tidak apa. Pakaian baru atau bekas serahkan saja pada kami!”

Dua lelaki dari Keraton Kaliningrat itu mulai mencium ada yang tidak beres. Galirenik yang membawa kantong kulit di bahu kiri berkata keras. “Kau inginkan pakaian? Tanggalkan dulu pakaian kalian! Bertelanjang dulu di hadapan kami! Nanti kami berikan pakaian pengganti yang bagus-bagus! Kalian mau berapa pasang?”

Dua gadis gelengkan kepala sambil leletkan lidah. Si merah berkata, “Kami tidak suka guyonan cabul. Letakkan kantong kain di tanah lalu lekas minggat dari tempat ini. Itu menyelamatkan kalian dari kematian!”

“Gadis-gadis keparat! Kau yang kami bantai lebih dulu! Sudah jadi mayatpun kami tidak kecewa menggauli kalian! Ha ha ha!”

“Ah, sahabatku Galirenik memang suka bicara jorok! Dua gadis cantik harap maafkan kalau kami agak lancang. Mungkin kalian belum tahu siapa kami. Perkenankan kami memperkenalkan diri!” Kata Rakadanu pula.

“Tidak perlu! Dari gambar joglo dan keris bersilang di baju kalian kami sudah tahu siapa kalian berdua!” ucap gadis berpakaian biru. Konde di kepala dilepas. Sekali kepala digoyang rambutnya yang panjang hitam tergerai ke punggung, menambah cantik wajahnya. “Kalian adalah dua monyet kesasar dari Keraton Kaliningrat! Apa salah aku berucap?”

Dua lelaki tinggi besar karuan saja jadi terkejut. Namun mereka pandai sembunyikan keterkejutan masing-masing.

“Rakadanu,” bisik Galirenik. “Aku mencium ada sesuatu yang tidak beres. Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini.”

“Sahabat, jangan jadi pengecut. Dua santapan enak sudah terhidang di depan mata. Kau mau pergi begitu saja?” balas Rakadanu juga berbisik. Lalu dia berpaling pada gadis berpakaian biru. “Dengar,” katanya. “Jika kalian sudah tahu siapa kami, maka dengan segala kerendahan hati kami mengundang kalian berdua untuk ikut ke Keraton Kaliningrat! Kalian akan kami perlakukan lebih terhormat dari sepasang puteri Kerajaan!”

“Apakah undangan untuk kedua muridku juga berlaku bagi diriku?” Tiba-tiba satu suara menggema dalam udara dingin dan gelap.

Di lain saat, dari atas sebuah pohon besar melesat satu bayangan hitam disertai kepulan asap panjang berwarna hitam, biru, dan merah. Ketika sosok itu menjejak tanah dan berdiri tepat di antara dua gadis cantik, Rakadanu dan Galirenik langsung tersurut sampai dua langkah. Tampang masing-masing berubah mengkeret.

Di samping dangau Setan Ngompol pancarkan air kencing sementara Pendekar 212 Wiro Sableng tertegun melongo, mata terbuka tak berkedip. “Kek, kau kenal siapa adanya mahluk dahsyat yang barusan muncul ini?”

Setan Ngompol mana sempat menjawab. Saat itu terbungkuk-bungkuk dia sibuk pancarkan air kencing.

BAB 9

ORANG yang barusan muncul dan berdiri di antara dua gadis jelita ternyata adalah seorang nenek berpakaian baju dan celana panjang hitam ringkas. Kemeja bajunya dihias dengan sulaman bunga warna putih. Meskipun sudah tua, mungkin berusia sekitar tujuh puluh, si nenek berdandan menor. Sepasang alis hitam kereng. Bedak tebal licin dan pipi diberi merah-merah. Bibir yang runcing dilapis pewarna merah mencorong.

Dahsyatnya, diatas batok kepala nenek ini, diantara rambut yang riap-riapan, menancap sepotong bambu kuning setinggi satu setengah jengkal. Dari lobang bambu mengepul keluar asap berwarna hitam, biru, dan merah disertai suara seperti perapian di tungku atau anglo pandai besi. Setiap dia membuka mulut atau menyeringai kelihatan barisan gigi memancarkan warna berkilau.

“Hantu Malam Bergigi Perak!” Rakadanu dan Galirenik keluarkan seruan hampir berbarengan.

Si nenek tertawa cekikikan. Matanya yang belok berputar beberapa kali. “Bagus kalian masih mengenali diriku. Sekarang katakan, cara mati bagaimana yang kalian inginkan setelah berani memperhinakan dua muridku?”

Rakadanu dan Galirenik buru-buru jatuhkan diri berlutut di tanah. Kelihatan kedua orang ini begitu takut terhadap si nenek yang disebut dengan Hantu Malam Bergigi Perak. Rakadanu membungkuk berulang kali lalu berkata. “Hantu Malam Bergigi Perak, kami berdua mohon maaf dan ampun. Kami tidak pernah tahu kalau kedua gadis cantik itu adalah murid-muridmu. Kami berjanji tidak akan mengusik keduanya lagi...”

“Bagus! Kalian berdua mendapat pengampunanku!” kata si nenek pula yang membuat terkejut kedua muridnya.

“Guru, mengapa...” gadis berpakaian biru berkata tapi ucapannya terputus oleh isyarat gerak tangan si nenek.

“Terima kasih Nek, terima kasih...” kata Rakadanu dan Galirenik berulang kali sambil membungkuk-bungkuk.

Si nenek tertawa cekikikan. “Pengampunan itu tidak kalian dapat percuma! Dasar manusia-manusia tolol!”

Rakadanu dan Galirenik tegakkan dada. Muka langsung pucat.

“Dua muridku telah meminta kantong kulit itu. Mengapa kalian tidak mau memberikan?”

Perlahan-lahan dua orang dari Keraton Kaliningrat itu bangkit berdiri. “Gali,” bisik Rakadanu. “Murid dan guru sama saja. Ujung-ujungnya mereka minta barang bawaan kita.”

Galirenik maju satu langkah, membungkuk dalam lalu berkata. “Hantu Malam Bergigi Perak, barang dalam kantong kulit itu bukan milik kami. Kami berdua hanya orang suruhan untuk membawanya.”

“Nah, nah! Kalau barang bukan milik kalian lebih enak lagi kalian memberikannya kepada kami!” ujar si nenek lalu tertawa terkekeh-kekeh.

“Tapi, Nek,” kata Rakadanu pula. “Barang ini sama saja dengan nyawa kami berdua. Mana mungkin kami memberikan?”

Si nenek geleng-geleng kepala. “Jalan pikiran kalian tidak waras! Barang itu kalian anggap sebagai nyawa. Lalu nyawa kalian benaran di mana? Dalam dubur kalian? Hik hik hik...”

“Nek, kami tidak mungkin memberikan barang ini. Kalau saja kau meminta yang lain...”

“Ah... Baik, baik! Sekarang aku minta kalian mencongkel jantung masing-masing dan menyerahkan padaku!” kata si nenek sambil berkacak pinggang dan delikkan mata.

“Tua bangka sinting!” maki Rakadanu tapi cuma dalam hati.

“Hantu Malam Bergigi Perak,” Galirenik yang bicara. “Kalau... kalau kau kelewat mendesak dan tidak memberi jalan lain, kami berdua terpaksa mengadu jiwa.” Kantong kulit diikatkannya erat-erat ke punggung. Rakadanu bersiap-siap.

“Kalian sudah mengambil keputusan!” si nenek angguk-anggukkan kepala. “Murid-muridku, habisi dua kaki tangan pemberontak itu! Jangan ada yang bersisa dari tubuh mereka. Amankan kantong kulit dan isinya.”

Mendengar perintah sang guru, dua gadis cantik segera siap menerjang. Namun tiba-tiba ada satu bayangan melesat ke tengah kalangan disertai mengumbarnya bau pesing. Si nenek dan dua muridnya sampai tersurut beberapa langkah sementara Rakadanu dan Galirenik tak kalah kagetnya.

“Nenek berwajah cantik, biar aku dan temanku mewakili murid-muridmu menangkapi kedua orang ini!”

Hantu Malam Bergigi Perak maju satu langkah. Leher dipanjangkan, mata belok dibuka lebih lebar dan hidung dipencet menutup penciuman. “Kakek bau pesing! Kau mengganggu kesenanganku dan murid-murid. Apa kepentinganmu mencampuri urusan orang lain? Siapa kau?”

“Maaf kalau aku bertindak lancang. Namaku sudah lama tidak kuingat lagi. Orang-orang memanggilku Setan Ngompol. Nama besarmu sejak lama ada dalam ingatanku. Sungguh satu kebahagiaan kalau saat ini aku bisa bertemu denganmu. Sebagai salah seorang pengagummu, apa salahnya aku membantu menyelesaikan urusanmu dengan dua cecunguk ini.”

“Kakek kuping terbalik! Dengar! Aku tidak butuh pengagum. Apa lagi pengagum yang celananya lepek basah oleh air kencing. Menebar bau pesing ke mana-mana. Apa sangkut pautmu dengan si nenek bau pesing bernama Sinto Gendeng?”

“Dia sahabatku. Sama-sama tua bangka,” kata Setan Ngompol pula.

“Oo begitu...?”

“Muridnya ada di sini. Masih malu unjukkan diri!” sambung Setan Ngompol pula.

“Oo... Di mana dia bersembunyi?” tanya Hantu Malam Bergigi Perak sambil layangkan pandangan ke tempat gelap.

Selagi nenek dan kakek itu asyik bicara, Rakadanu dan Galirenik pergunakan kesempatan untuk kabur tinggalkan tempat itu. Tapi belum bergerak sampai dua langkah tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat menghadang. Pendekar 212 Wiro Sableng!

Dalam kaget dan juga marah karena tidak menyangka ada orang lain lagi menghalangi gerakan mereka, Rakadanu dan Galirenik serentak lancarkan serangan. Rakadanu memukul ke arah pangkal leher sebelah kanan sedang Galirenik menghantam ke arah pangkal leher sebelah kiri. Serangan yang dilancarkan dua pentolan Keraton Kaliningrat itu luar biasa berbahayanya yang disebut Keris Silang Memangkas Puncak Gunung. Jangankan leher manusia, batu sekalipun akan buntung pupus dibuatnya!

Murid Sinto Gendeng turunkan bahunya sedikit, dua kaki menekan tanah. Bersamaan dengan itu dua lengan melesat ke atas.

"Bukkk! Bukkkk!"

Rakadanu dan Galirenik walau terjajar tiga langkah namun sama sekali tidak mengalami cidera. Dengan cepat keduanya mengimbangi diri. Didahului teriakan keras keduanya kirimkan tendangan ke arah Wiro yang akibat bentrokan pukulan tadi jatuh terduduk di tanah, lengan kiri kanan laksana dihantam pentungan.

"Wutt! Wutt!"

Dua tendangan sama-sama mencari sasaran di kepala Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro putarkan tubuhnya demikian rupa lalu jatuhkan diri ke tanah. Dua tendangan lawan lewat di samping kepalanya. Tidak disangka oleh Rakadanu dan Galirenik, dalam keadaan berbaring Wiro tendangkan kaki kiri kanan ke belakang.

"Bukkk!" Kaki kiri mendarat di kening Rakadanu.

"Dukkk!" Kaki kanan menghantam telak dada Galirenik. Kedua orang yang kena tendang itu tak ampun lagi terpental dan terguling di tanah. Tapi luar biasanya bukan saja kepala dan dada mereka tidak cidera barang sedikitpun, malah sambil menyeringai keduanya bangkit berdiri lalu sama melangkah mendekati Wiro dengan mata menyala marah.

“Kakek bau pesing!” nenek Hantu Malam Bergigi Perak menegur Setan Ngompol. “Apa pemuda berpakaian putih itu yang kau sebut sebagai murid Sinto Gendeng?”

“Benar!” jawab Setan Ngompol. “Namanya Wiro,” menambahkan si kakek sambil melirik ke arah dua gadis yang saat itu tengah mengerling memperhatikan Wiro.

“Dia akan mati konyol kalau tidak tahu kelemahan ilmu kebal dua lawannya!”

“Kalau begitu saatnya aku membantu!” ucap Setan Ngompol.

“Kaupun akan mereka lumat sampai ke kantong menyanmu!” kata si nenek pula.

"Serrr!" Setan Ngompol tekap bagian bawah perut tapi tak urung air kencingnya terpancar juga. “Nek, kalau begitu tolong beritahu rahasia kelemahan mereka!”

“Puah! Siapa sudi! Enak betul! Cari sendiri!” jawab Hantu Malam Bergigi Perak. Lalu dia berpaling pada kedua muridnya yakni sepasang gadis cantik berpakaian merah dan biru. “Perlihatkan pada dua orang yang katanya tokoh rimba persilatan tanah Jawa ini bagaimana kalian menghabisi dua lawan!”

Dua gadis membungkuk hormat. Lalu didahului teriakan nyaring si merah dan si biru melesat ke udara. Selagi tubuh melayang di udara keduanya hantamkan tendangan ke arah punggung Rakadanu dan Galirenik yang tengah mendekati Wiro. Mendengar ada sambaran angin di belakang, Rakadanu dan Galirenik cepat membalik sambil hantamkan dua tangan sekaligus.

"Duukkk! Duuukkk!"

Dua tendangan yang tadinya akan menghantam punggung, kini lewat sela-sela lengan, mendarat telak di dada Rakadanu dan Galirenik, tepat di arah jantung! Kedua lelaki tinggi besar ini terlontar sampai satu setengah tombak. Mulut semburkan darah segar. Tubuh masing-masing kemudian terbanting ke tanah. Melejang-lejang beberapa kali lalu diam tak bergerak lagi!

Pendekar 212 Wiro Sableng setengah melongo garuk-garuk kepala. Tadi dia jelas-jelas menendang kepala dan dada kedua orang itu. Tapi jangankan mati, cidera sedikitpun tidak!

Setan Ngompol bertindak cepat. Dia gulingkan tubuh Galirenik lalu membetot lepas kantong kulit. Kantong ini kemudian diserahkannya pada Hantu Malam Bergigi Perak.

“Terima kasih,” kata si nenek. “Tapi jangan terlalu dekat. Nanti pakaianku kebasahan air kencingmu!”

Setan Ngompol cuma bisa tersipu-sipu. “Kedua orang berpakaian dan berbelangkon serba hitam itu. Siapa mereka?” bertanya si kakek. Kudengar tadi kau menyebut mereka sebagai kaki tangan pemberontak. Murid-muridmu menyebut mereka orang-orang Keraton Kaliningrat. Aku tidak pernah mendengar nama Keraton itu.”

Si nenek tidak segera menjawab. Dia memandang ke langit memperhatikan gugus bintang-bintang lalu berpaling pada dua muridnya. “Kalian berdua pergilah lebih dulu. Tak lama lagi pagi segera datang.”

“Kami siap pergi,” menyahuti gadis berbaju merah. “Tapi, Nek, kalau kami boleh menunggu barang beberapa ketika, bukankah kita tengah mencari sebuah benda. Di sini ada orang yang punya hubungan dekat dengan pemilik benda itu.” Si baju merah lalu mengerling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Kau betul,” kata si nenek pula. Dia menatap wajah dua muridnya yang cantik itu, lalu tersenyum penuh arti, membuat wajah dua gadis cantik bersemu merah. Si nenek lalu lambaikan tangan ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Anak muda, kemarilah sebentar! Ada yang hendak aku tanyakan padamu.”

Wiro mendekat dan berhenti empat langkah di depan si nenek. Sambil menatap wajah perempuan tua itu hatinya berkata. “Melihat dandanannya yang begini mencorong, nenek satu ini pasti sudah genit dari sejak mudanya.”

“Hai, apa yang kau ucapkan dalam hati?” tiba-tiba Hantu Malam Bergigi Perak membentak, membuat Wiro jadi tergagau dan berpura batuk-batuk.

Sambil senyum dan garuk kepala murid Sinto Gendeng merunduk unjukkan sikap hormat lalu bertanya. “Nek, apa yang hendak kau tanyakan padaku?”

“Apa betul kau murid Sinto Gendeng?”

“Pasti kakek kuping lebar itu yang bilang padamu,” sahut Wiro pula.

“Aku dan dua muridku tengah mencari sebuah kitab. Namanya Kitab Seribu Pengobatan. Menurut kabar yang aku sirap, kitab itu adalah milik gurumu. Kami telah menghabiskan hampir tiga ratus hari dan sempat pergi ke puncak Gunung Gede tapi gurumu tak ada di sana. Kami cari dia di mana-mana tapi dia seperti cacing tanah, amblas tidak kelihatan, sulit dicari.”

“Kitab Seribu Pengobatan itu tak ada lagi padanya.” Menjelaskan Wiro.

“Maksudmu, anak muda?”

“Hilang dicuri orang.”

Si nenek unjukkan wajah risau. Dua muridnya juga nampak gelisah. “Menatap wajahmu dan mendengar nada suaramu aku tahu kau tidak berdusta. Kau tahu siapa pencurinya?” tanya Hantu Malam Bergigi Perak.

Wiro menggeleng. Lalu berkata. “Seseorang pernah bilang kalau dia tahu di mana beradanya kitab itu.”

“Berarti dialah pencurinya!” kata si nenek pula tanpa tedeng aling-aling.

“Tapi orangnya sudah mati.” menyelutuk Setan Ngompol.

Wiro sodokkan sikunya ke perut Setan Ngompol hingga kakek ini mengeluh kesakitan dan pancarkan air kencing. Wiro menyengir. “Nek, sangkaanmu bahwa orang yang memberi tahu itu adalah pencuri kitab tidak mungkin. Selain dia seorang baik, dia juga sahabatku paling dekat.”

Hantu Malam Bergigi Perak rangkapkan dua tangan di depan dada. Suara seperti tungku api yang keluar dari bambu kuning di atas kepalanya mengeras lalu kembali meredup. “Dalam kehidupan ini, suatu kejahatan kerap kali dilakukan oleh orang-orang di dekat kita. Sulit dipercaya, tapi itulah kenyataan! Kalau kau mau memberi tahu siapa orangnya, aku dan muridku akan mencari pencuri itu.”

“Aku tak mau ada yang kesalahan tangan. Biar aku sendiri yang mencari kitab itu. Eyang Sinto Gendeng telah menugaskan hal itu padaku.” Lalu dia bertanya pada si nenek. “Apa pentingnya kitab itu bagi kalian?”

“Namanya saja kitab pengobatan. Apa ada tujuan lain?”

“Siapa di antara kalian yang sakit? Aku lihat kalian bertiga sangat ceria dan sehat-sehat saja,” kata Setan Ngompol.

Si nenek ataupun dua muridnya tidak menjawab. Wiro garuk-garuk kepala. “Nek, tadi sahabatku kakek tukang ngompol ini menanyakan beberapa hal bersangkutan dengan dua orang yang sudah jadi mayat itu. Bahwa mereka kaki tangan pemberontak. Murid-muridmu menyebut mereka orang-orang dari Keraton Kaliningrat. Aku tak pernah mendengar letak Keraton itu. Di mana letaknya?”

“Cerdiknya kau mengalihkan pembicaraan.” Ucap si nenek. Namun dia memberi penjelasan juga. “Yang namanya Keraton Kaliningrat itu hanya merupakan keraton bayangan. Letaknya bisa di mana-mana. Di sana bergabung orang-orang pandai yang hendak menumbangkan tahta Kerajaan, termasuk dua manusia itu. Mereka mengenakan pakaian dan belangkon hitam. Di dada pakaian ada gambar rumah joglo serta sepasang keris bersilang. Mereka memiliki semacam ilmu kebal. Buktinya pukulan dan tendanganmu sama sekali tidak mempan! Sementara dua muridku dengan mudah berhasil menghabisi mereka.”

“Berarti kalian mengetahui cara memusnahkan ilmu kebal mereka,” kata Wiro. “Kau mau memberi tahu pada kami?”

“Aku tidak akan memberi tahu padamu!” jawab si nenek.

Wiro tertawa. “Kalau kau inginkan kitab pengobatan itu, kau harus membantu. Bukan mustahil kitab itu ada di tangan orang-orang Keraton Kaliningrat.”

Sesaat si nenek terdiam berpikir-pikir. Ucapan Wiro ada betulnya. Namun dia tetap tidak mau memberi tahu. “Kau dan kakek itu dua tokoh rimba persilatan. Punya ilmu selangit punya pengalaman seluas samudera. Kurasa jika mau kalian bisa mencari sendiri kelemahan ilmu kebal orang-orang Keraton Kaliningrat.”

“Kalau kau bilang begitu Nek, kalau kitab itu aku temukan, aku tidak akan memberikannya padamu,” ucap Wiro pula.

“Bagaimana dengan kau?” kata si nenek sambil berpaling pada Setan Ngompol dan kedap-kedipkan matanya serta senyum-senyum genit. “Jika kau yang menemukan, apa juga tidak akan mau memberikan padaku?”

Si kakek kesemsem dan tekap dulu bagian bawah perutnya baru menjawab. “Itu bisa kita atur, bisa kita atur.”

Hantu Malam Bergigi Perak tertawa lebar. Nenek ini dekati Setan Ngompol lalu membisikkan sesuatu. Wajah Setan Ngompol tampak mengerenyit lalu kakek ini tertawa-tawa sendiri sambil goleng-goleng kepala. Karena si nenek tidak mau memberi tahu kelemahan ilmu kebal orang-orang Keraton Kaliningrat Wiro alihkan percakapan dengan bertanya.

“Kantong kulit yang ada di punggungmu itu. Apa isinya hingga kau begitu ingin memilikinya?”

“Madat!” jawab si nenek dengan suara keras dan polos.

Setan Ngompol langsung terkencing mendengar jawab si nenek. Wiro melongo garukkan kepala. “Jadi kau merampasnya untuk dipakai sendiri?”

Si nenek tersenyum sementara dua muridnya menutup mulut menahan tawa cekikikan. “Kalau aku pakai sendiri, sampai dua ratus tahun baru madat ini habis! Hik hik hik! Orang-orang Keraton Kaliningrat telah lama memburu madat ini. Asal muasalnya rampasan dari sebuah kapal Cina yang berlabuh di Tuban. Mereka bermaksud menjual barang setan ini. Hasil penjualan untuk membiayai perjuangan sesat mereka merebut tahta Kerajaan.”

“Siapa orang dibalik rencana pemberontakan itu Nek. Biasanya pasti ada pentolan atau dedengkotnya. Kau tahu?”

“Aku tidak tahu namanya. Ada yang menyebut dia seorang pangeran tua yang punya pertalian darah sangat dekat dengan Sri Baginda. Mungkin salah seorang adik tiri Sri Baginda.”

Si nenek untuk kedua kalinya menatap ke langit lalu memberi tanda pada dua muridnya. Sebelum tinggalkan tempat itu pada Wiro dia berkata. “Jika kau dapatkan kitab itu, aku bersedia memberikan madat satu kantong ini padamu!”

“Oala...!” ucap Setan Ngompol setengah berseru sementara Wiro cuma garuk-garuk kepala. Sekali berkelebat si nenek lenyap dalam gelapnya malam. Hanya cahaya kepulan asap yang keluar dari potongan bambu di atas kepalanya yang masih kelihatan di kejauhan. Dua orang gadis cantik murid si nenek untuk beberapa lama masih berada di tempat itu. Menatap ke arah Wiro.

“Hai! Kalian mengapa masih belum bergerak?” Di kejauhan terdengar suara Hantu Malam Bergigi Perak.

“Kami segera menyusul!” jawab gadis berpakaian biru. Dia berpaling pada si merah.

Gadis berpakaian merah dekati Wiro lalu berkata. “Kami berdua sangat mengharapkan kau bisa mendapatkan kitab pengobatan itu secepatnya.”

“Kalau begitu mengapa tidak ikut bersama kami?” ujar Setan Ngompol.

“Kami mempunyai keterbatasan,” jawab si merah pula.

“Keterbatasan apa?” tanya Pendekar 212.

“Kami tidak bisa memberitahu” jawab si merah. Lalu ditariknya lengan gadis berpakaian biru. Setelah dua gadis cantik pergi Wiro dekati Setan Ngompol dan bertanya. “Apa yang tadi dibisikkan nenek ganjen itu padamu?”

Setan Ngompol nyengir. Tekap dulu bagian bawah perutnya baru menjawab. “Dia bilang, kalau aku menyerahkan kitab pengobatan padanya, dia akan memberikan satu gigi perak di mulutnya padaku.”

“Kau mau?” tanya Wiro.

“Mauku dia memberikan gigi di mulut bawah perut, bukan gigi atas!” Habis berkata begitu Setan Ngompol tertawa terkekeh-kekeh dan serrrr. Kencingnya langsung muncrat.

BAB 10

PERLAHAN-LAHAN sang surya menyembul di. ufuk timur. Setan Ngompol baru saja kembali dari telaga. Dilihatnya Wiro sudah bangun dan duduk di pinggiran lantai dangau. Si kakek duduk di samping sang pendekar.

“Aku masih ingat-ingat saja pada dua gadis cantik murid Hantu Malam Bergigi Perak...” kata Setan Ngompol.

“Kau ingat muridnya atau gurunya? Bukankah kau sudah kecantol sama si nenek yang berdandan menor itu? Apa lagi kau dijanjikan mau diberikan gigi! Pasti sedap kalau kau berciuman dengan nenek itu, Kek!”

Setan Ngompol tertawa gelak-gelak hingga kencingnya mengucur banyak. Celananya yang tadi sudah dicuci di telaga kini kembali bau pesing air kencing.

“Aku yang tua bangka ini masih tahu diri. Masakan naksir sama dua gadis yang pantas jadi cicitku. Kalau dapatkan si nenek saja rasanya sudah seabrek-abrek. Hik hik hik! Menurutmu apakah aku cocok menjadi pendamping Hantu Malam Bergigi Perak?”

“Kau tanyakan saja sendiri nanti kalau bertemu dia,” jawab Wiro.

“Menurutku dua gadis cantik itu kelihatannya ingin sekali ikut bersamamu. Demi untuk mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan. Namun si merah mengatakan mereka punya keterbatasan. Keterbatasan apa? Selain itu aku merasa heran. Di mana ada manusia apa lagi dua gadis cantik, merendam diri dalam air telaga malam-malam buta.”

“Kitab Seribu Pengobatan,” ucap Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Ke mana aku harus mencarinya?”

“Menurutmu, apakah ucapan Hantu Malam Bergigi Perak ada benarnya? Bahwa orang yang memberitahumu itu adalah si pencuri kitab?” Setan Ngompol malah balik bertanya.

“Kek, orang yang memberi tahu itu adalah Bidadari Angin Timur. Aku pernah menceritakannya padamu. Semalam mulutmu enak saja nyelonong mengatakan gadis itu sudah mati! Atas dasar itu apakah seseorang lantas bisa menuduhnya begitu saja sebagai pencuri kitab? Apa kepentingannya mencuri kitab itu? Apa lagi mencuri sesuatu yang dia ketahui adalah milik guruku Eyang Sinto Gendeng. Bidadari Angin Timur pernah beberapa kali diselamatkan oleh guruku. Seandainya pun aku dan dia ada permusuhan, kurasa Bidadari Angin Timur tidak akan sejahat itu.”

“Kau pernah mendengar rasa cemburu bisa lebih panas dari bara api? Rasa cemburu bisa lebih jahat dari setan kepala tujuh?”

“Hebat sekali bicaramu. Tapi aku tidak mengerti maksudmu Kek,” kata Wiro pula.

“Satu saat kau akan mengerti. Aku tidak mau bicara banyak. Takut kau salah menduga dan marah...”

“Sudahlah, kita harus melanjutkan perjalanan. Aku tidak tahu kita mau menuju ke mana. Kurasa...” Wiro berhenti bicara. Dari tikungan jalan muncul berlari seseorang.

Begitu mengenali orang ini, Setan Ngompol keluarkan ucapan. “Si centil satu ini. Bukankah sebelumnya dia pergi bersama Dewa Tuak? Mengapa sekarang tahu-tahu bisa muncul di sini?”

Yang datang dan kini berdiri di hadapan Wiro dan Setan Ngompol adalah Wulan Srindi. Seperti dituturkan sebelumnya, sewaktu semua orang mulai meninggalkan jurang batu di 113 Lorong Kematian, gadis ini ikut naik perahu bersama Dewa Tuak. Apa yang terjadi?

Karena Wiro dan Setan Ngompol sama-sama terdiam seperti melongo melihat kehadirannya, Wulan Srindi lantas keluarkan ucapan.

“Ada mayat dua lelaki dekat telaga. Apakah kalian mengetahui?”

Wiro berpaling pada Setan Ngompol sambil kedipkan mata kiri, memandang kembali ke arah Wulan Srindi lalu gelengkan kepala. Setan Ngompol ikutan gelengkan kepala.

“Semalaman kami tidur di dangau. Pagi ini belum ke mana-mana,” kata si kakek pula berdusta.

“Sudahlah, soal dua mayat itu akupun tidak perduli. Ada satu hal lain yang jauh lebih penting.” Kata Wulan Srindi. Dari balik pakaiannya dia keluarkan sehelai kain panjang. “Kalian mengenal pemilik kain ini?”

Wiro menggeleng. Setan Ngompol juga menggeleng. Wulan Srindi campakkan kain panjang ke tanah. Kembali dari balik pakaiannya dia mengeluarkan beberapa carik robekan kain biru halus.

“Kalian mengenali robekan kain ini? Harap diperiksa dan coba cium baunya.”

Si gadis melemparkan dua potongan robekan kain biru itu ke arah Wiro dan satu robekan lagi kepada Setan Ngompol. Wiro perhatikan dua robekan kain biru itu. Tanpa mendekatkan ke hidung, dia sudah dapat mencium bau harum yang tak asing lagi baginya. Air muka Pendekar 212 serta merta berubah. Di sampingnya Setan Ngompol menciumi potongan kain biru berulang kali. Mata kakek yang sudah belok ini bertambah mendelik. Dia berpaling pada Wiro, hendak mengatakan sesuatu tapi tak ada suara yang keluar, hanya bibirnya saja yang kelihatan bergetar.

“Wulan, dari mana kau dapatkan robekan kain itu?” Bertanya Wiro

“Kalian bisa mengenali?” Balik bertanya Wulan Srindi.

“Dari kehalusan kain, warna serta bau harumnya aku merasa yakin ini adalah robekan pakaian Bidadari Angin Timur.” Ucap Wiro.

“Betul,” membenarkan Setan Ngompol.

“Aku sudah menduga. Itulah yang membuat aku khawatir kalau-kalau telah terjadi sesuatu dengan Bidadari Angin Timur,” kata Wulan Srindi pula.

Baik Wiro maupun Setan Ngompol menduga-duga apakah ucapan si gadis keluar dari hati yang tulus. Karena sebelumnya di hadapan Sinto Gendeng Wulan Srindi berani membakar hati dan perasaan para gadis cantik sahabat Wiro.

“Cukup jauh dari sini terdapat sebuah jurang yang ada air terjunnya. Robekan pakaian biru serta kain panjang itu aku temui di sebelah barat jurang. Hatiku merasa tidak enak. Kain dan robekan pakaian aku ambil. Aku cukup kenal kawasan ini dan tahu kalau ada sebuah telaga tak jauh dari jurang. Ketika aku sampai ke telaga, kulihat dua mayat tergeletak di tanah. Ada bekas-bekas perkelahian. Aku coba menyusuri jejak yang datang dari arah sini. Ternyata aku menemui kalian berdua di dangau ini...”

“Tunggu dulu,” Wiro memotong ucapan Wulan Srindi. “Sebelumnya bukankah kau ikut bersama Dewa Tuak? Mengapa tahu-tahu bisa muncul di tempat ini?”

“Wiro, pertanyaanmu terasa mengandung kecurigaan,” kata Wulan Srindi datar tapi dengan mulut tersenyum. “Sesuai perjanjian, Dewa Tuak menurunkan aku di satu tempat. Guruku itu meneruskan perjalanan, aku tak tahu ke mana. Tapi beliau berjanji akan bersedia menemuiku lagi pada hari ke sepuluh bulan muka.”

“Di mana?” tanya Wiro. Dia tidak suka Wulan Srindi selalu menyebut-nyebut Dewa Tuak sebagai gurunya.

“Saat ini aku belum bersedia memberi tahu padamu. Tapi jika kau suka kita bisa pergi sama-sama ke tempat itu,” jawab sang dara.

Wiro tidak perdulikan kata-kata si gadis. “Wulan, antarkan kami ke tempat kau menemukan kain dan potongan pakaian ini.”

“Ikuti aku,” si gadis berkata lalu balikkan badan.

Pada saat matahari sudah mulai meninggi, mereka akhirnya sampai di sekitar jurang yang diceritakan Wulan Srindi. Si gadis kemudian menunjukkan tempat di mana dia menemui kain panjang dan robekan-robekan kain biru. Tempat ini merupakan satu pedataran kecil ditumbuhi rumput liar dan ada sebatang pohon berdaun rindang.

“Jika ini memang benar potongan pakaian Bidadari Angin Timur, sulit aku menduga apa yang terjadi,” kata Wiro sambil memandang berkeliling.

“Ketika kita ramai-ramai memasuki lorong kematian, gadis itu tidak kelihatan, tidak diketahui di mana beradanya.”

Setan Ngompol tekap bagian bawah perutnya. “Kalau binatang buas mencelakai Bidadari Angin Timur, darah akan berceceran di mana-mana. Sisa-sisa tubuhnya pasti ada yang tertinggal di tempat ini. Yang aku takutkan...”

Setengah berlari Wiro mendekati tepi jurang. Wulan dan Setan Ngompol mengikuti. Jurang batu itu ternyata dalam sekali. Di salah satu sisinya menderu air terjun. Jatuhan air terjun pada beba– tuan di dasar jurang membuat air seolah berubah menjadi asap dan membumbung naik ke atas sampai ketinggian satu tombak.

“Jurang ini tak ubahnya seperti satu tabung panjang. Aku tidak melihat ke mana mengalirnya curahan air terjun. Kalau tidak ada tempat meng– alir, pasti sejak lama jurang ini sudah berubah menjadi sebuah danau atau telaga.” Wiro berucap, memberitahu jalan pikirannya kepada Setan Ngompol dan Wulan Srindi. Lalu dia menam– bahkan. “Kalau ada orang jatuh ke dalam jurang, pasti mayatnya akan terapung berputar-putar di dasar sana.”

“Apa yang ada dalam benakmu, Wiro?” tanya Setan Ngompol sambil pegangi perut.

“Tiba-tiba saja aku punya firasat buruk. Aku khawatir, satu malapetaka telah menimpa Bida– dari Angin Timur. Seseorang telah memperkosanya lalu membunuh dan membuang mayatnya ke dalam jurang.”

“Ingat waktu aku menceritakan mimpiku ten– tang Bidadari Angin Timur padamu? Saat itu aku katakan Bidadari Angin Timur telah menemui ajal. Lalu menurutmu jika ada yang berbuat jahat terhadapnya, siapa orangnya? Pangeran Matahari, kurasa bukan...” ujar Setan Ngompol pula.

“Hantu Muka Dua,” kata Wiro. “Dia pernah mencoba merusak kehormatan Bidadari Angin Timur. Untung Jatilandak muncul dan menyelamatkan gadis itu.”

“Waktu di lorong kematian, Luhkentut pernah memberi tahu bahwa ada perubahan pada diri Hantu Muka Dua. Dia bahkan ingin mencarimu karena telah menyelamatkan dirinya...”

“Yang namanya hantu, siapa percaya ucapannya!” jawab Wiro. Lalu dia tegak tak bergerak. Dua tangan disilang di depan dada. Mata diarahkan ke dasar jurang. Dia mulai mengerahkan ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung. Cukup lama Wiro meneliti keadaan dasar jurang yang bisa dilihatnya cukup jelas. Namun dia tidak menemukan sosok manusia. Wiro menghela nafas panjang.

“Kau melihat sesuatu?” tanya Setan Ngompol.

Wiro menggeleng. “Aku harus menyelidik, turun ke dalam jurang. Kalian berdua harap menunggu di sini.”

“Bagaimana caranya kau turun ke bawah?” tanya Wulan Srindi. “Jurang itu dalam sekali. Tak ada tempat untuk menjejak kaki, tak ada pohon untuk bergantung. Kalaupun kau bisa turun ke dasar jurang, apakah kau mampu naik lagi ke sini?”

Murid Sinto Gendeng tidak menjawab. Dia duduk bersila di tepi jurang. Dua tangan diletakkan bersilang di atas dada. Mata dipejamkan dan jalan pendengaran ditutup dengan cara mengalirkan hawa sakti ke liang telinga. Perlahan-lahan Wiro mulai kosongkan pikiran. Lalu hatinya melafalkan kata Basmallah tiga kali berturut-turut disusul dengan ucapan Meraga Sukma.

“Ah... Ilmu Meraga Sukma...” ujar Setan Ngompol sambil berusaha menahan kencing ketika melihat dari tubuh Pendekar 212 bergerak keluar sosok samar. hampir menyerupai bayangan. Perlahan-lahan sosok ini berubah berbentuk utuh dan melangkah ke jurang.

Setan Ngompol tak sanggup menahan pancaran kencingnya, sementara Wulan Srindi memperhatikan semua yang terjadi dengan mata membeliak besar. “Ilmu Meraga Sukma?” ucapnya dalam hati.

Tanpa keraguan sama sekali, sosok sukma Pendekar 212 Wiro Sableng seperti seekor burung besar melayang turun ke dalam jurang batu, lenyap di balik curahan air terjun. Setan Ngompol terduduk di tanah. Masih kucurkan air kencing. Dia sudah lama tahu kalau Wiro memiliki kesaktian yang sangat langka itu. Namun baru sekali ini menyaksikan. Sementara Wulan Srindi yang tidak pernah tahu keberadaan ilmu itu dan bahwa Wiro memilikinya, sampai sekian lama masih saja tegak di tepi jurang, memandang dengan mata tak berkesip mulut ternganga. Ada rasa khawatir dalam diri gadis ini. Apalagi setelah ditunggu sekian lama Wiro tidak kunjung muncul. Hingga dia bertanya pada Setan Ngompol.

“Kek, aku khawatir sesuatu terjadi dengan Wiro di dasar jurang sana. Bagaimana kita menolongnya?”

“Kau tak usah khawatir. Dia pasti akan kembali ke sini.”

“Kek, setahuku Eyang Sinto Gendeng tidak memiliki yang disebut ilmu Meraga Sukma. Dari mana Wiro mewarisinya?”

“Aku sendiri tidak tahu,” jawab Setan Ngompol. “Dia anak baik. Suka menolong orang. Tidak mustahil banyak orang pandai yang berkenan memberikan ilmu kesaktian padanya.”

Baru saja Setan Ngompol berkata begitu tiba-tiba dari dalam jurang melayang naik sosok sukma Pendekar 212 Wiro Sableng. Sosok ini melangkah mendekati Wiro asli yang sejak tadi masih duduk bersila di tanah. Sosok samar perlahan-lahan masuk dan menyatu dengan tubuh yang duduk bersila. Begitu kesadaran memasuki alam pikirannya, Wiro ucapkan Basmallah lalu kata-kata Meraga Sukma Kembali Pulang masing-masing sebanyak tiga kali.

Begitu Wiro buka kedua matanya, Wulan Srindi segera mendekati dan Setan Ngompol bertanya. “Bagaimana?”

“Aku tidak menemukan tanda-tanda adanya orang jatuh ke dalam jurang. Di dinding dasar jurang di hadapan air terjun ada satu celah berbentuk cegukan. Aku menerobos masuk, mengikuti aliran air. Di balik dinding batu ada sebuah kolam kecil. Air kolam yang berasal dari air terjun mengalir deras menuju sebuah anak sungai.”

“Aku berharap segala dugaan kita atas diri Bidadari Angin Timur tidak benar. Mudah-mudahan. gadis itu berada dalam keadaan selamat,” kata Wulan Srindi pula.

Wiro memandang pada Setan Ngompol. “Aku harus mencari gadis itu sampai dapat. Apa lagi kalau kitab yang aku cari memang ada padanya...”

“Wiro, sambil mencari Bidadari Angin Timur, dalam perjalanan kita bisa mampir ke tempat guruku Dewa Tuak berjanji untuk bertemu...”

“Maaf Wulan, aku tidak punya kesempatan memenuhi permintaanmu.”

“Tapi nanti akan ada pembicaraan sangat penting antara aku, kau, dan Dewa Tuak. Menyangkut soal perjodohan kita.”

Wiro tertawa lebar tapi hatinya terasa panas mendengar ucapan si gadis. “Kalau kau memang ingin memaksa dan mau cepat-cepat mencari jodoh, kawin saja dengan Dewa Tuak!” Wiro sampai keluarkan ucapan tidak enak saking kesalnya.

“Tunggu dulu Wiro,” kata Wulan Srindi sambil memegangi lengan pemuda itu ketika dilihatnya Wiro hendak berlalu. “Apakah sapu tangan yang pernah aku berikan padamu masih kau simpan?”

Pendekar 212 jadi sengit dan meraba ke balik pakaiannya. Sesaat kemudian dia keluarkan sehelai sapu tangan biru muda. Seperti diceritakan dalam Episode berjudul Pernikahan Dengan Mayat, karena bicara usil, Sinto Gendeng sampai menampar muka Wiro hingga bibirnya luka dan mengucurkan darah. Wulan Srindi kemudian mengusap darah itu dengan sehelai sapu tangan biru muda. Sapu tangan ini kemudian diselipkannya di pinggang Wiro.

“Kau inginkan sapu tangan ini kembali? Ambil– lah!” kata Wiro pula lalu susupkan sapu tangan biru muda ke dalam genggaman Wulan Srindi. Tanpa banyak bicara lagi Wiro kemudian tinggalkan tempat itu.

Setan Ngompol tampak bingung. “Ah, kenapa urusan jadi tak karuan begini? Aku...” Si kakek tekap bagian bawah perutnya lalu lari terbungkuk-bungkuk tinggalkan si gadis.

Wulan Srindi tampak tenang saja malah gadis cantik berkulit hitam manis ini mengulum senyum. Sambil mengibas-ngibas sapu tangan biru muda dia. berkata seorang diri. “Siapa yang ingin meminta kembali sapu tangan ini. Aku hanya ingin tahu apakah dia masih memegangnya. Ternyata dia masih menyimpannya. Pertanda dia tidak melupakan diriku ...” Gadis ini campakkan sapu tangan biru muda bernoda darah ke dalam jurang lalu masih senyum-senyum dia tinggalkan tempat itu ke arah lenyapnya Wiro dan Setan Ngompol.

Namun baru berlari kurang dari lima puluh langkah tiba-tiba di belakangnya terdengar suara kuda dipacu menyusul bentakan keras. “Perempuan berpakaian hijau! Hentikan larimu! Jangan berani bergerak!”

Dalam kejutnya Wulan Srindi yang memang mengenakan pakaian hijau perlambat larinya. Baru saja dia berhenti di pinggir jalan, dua kuda besar yang ditunggangi dua lelaki berpakaian hitam dan belangkon hitam berhenti di hadapannya. Di atas dua ekor kuda tunggangan mereka kelihatan melintang dua orang yang juga berpakaian hitam. Wulan Srindi segera mengenali, dua sosok itu adalah dua mayat yang ditemuinya tak jauh dari telaga.

“Apa kepentingan kalian memerintahkan aku berhenti?” tanya Wulan Srindi sambil berkacak pinggang.

“Ah, ternyata seorang gadis cantik! Bukan main!” ucap lelaki di sebelah kanan.

“Aku suka gadis galak!” kata lelaki di samping kiri.

Seperti dua mayat, pada dada kiri baju kedua orang itu terdapat sulaman rumah joglo dan dua keris bersilang. Orang-orang dari Keraton Kaliningrat. “Kami lihat kau memiliki ilmu lari cukup tinggi. Dua teman kami mati dibunuh orang. Hanya orang berkepandaian tinggi yang sanggup menghabisi mereka. Kami tidak menuduh kau pembunuhnya. Paling tidak kau mungkin mengetahui siapa si pembunuh!”

“Aku sedang ada urusan! Kalian berdua hanya menghabisi waktuku dengan pertanyaan edan! Siapa pembunuh kedua temanmu mana aku tahu? Mana aku perduli? Tanyakan pada setan di jurang air terjun sana!” Wulan Srindi mencibir lalu berkelebat untuk lanjutkan perjalanan. Namun dalam gerakan cepat salah seorang dari kedua lelaki berhasil mencekal lengannya.

“Dua temanku ini membawa satu kantong kulit. Kau melihat kantong itu?” tanya lelaki yang mencekal lengan Wulan Srindi.

“Tanyakan pada setan air terjun!” jawab Wulan Srindi. Dia berusaha menarik lepas tangannya yang dicekal. Tapi tidak mampu!

BAB 11

WULAN SRINDI kerahkan tenaga dalam lalu sentakkan tangan orang yang mencekal lengannya. Bersamaan dengan itu dengan jurus Membelah Ombak Menembus Gunung anak murid Perguruan Silat Lawu Putih ini sodokkan siku kanannya ke lambung orang.

"Bukkk!" Kuntorandu, orang yang kena hantam, terjajar dua langkah dan terpaksa lepaskan cekalannya. Namun tak ada kerenyit kesakitan di wajahnya.

Pekik Ireng, orang dari Keraton Kaliningrat satunya tertawa mencemoohkan Kuntorandu. “Menghadapi seorang gadis jelita saja kau tak mampu. Memalukan! Atau kau memang sengaja mengalah?”

Melihat lawan kena dihantam Wulan Srindi jadi bersemangat. Dia teruskan serangannya dengan jurus Menyapu Lereng Menjebol Puncak Gunung. Tangan kiri menggebuk ke arah dada, tangan kanan menjotos mencari sasaran di kepala lawan.

"Bukkk! bukkk!"

Dua pukulan Wulan Srindi mendarat telak di dada dan rahang Kuntorandu. Namun lelaki ini hanya menyeringai. Tiba-tiba Kuntorandu kembangkan kedua tangannya. Wulan Srindi tenggelam dalam rangkulan Kuntorandu. Penuh nafsu lelaki ini ciumi wajah, leher, dan dada si gadis. Dia tidak perdulikan sama sekali pukulan yang mendera perut serta punggungnya. Dalam keadaan bergelantungan, dua kaki tidak menginjak tanah, tiba-tiba Wulan Srindi gigit dagu Kuntorandu hingga luka dan mengucurkan darah. Kuntorandu menjerit kesakitan, lepaskan pukulan.

"Plaakk!"

Kuntorandu daratkan tamparan keras ke wajah Wulan Srindi. Selagi gadis ini melintir kesakitan, dari belakang Pekik Ireng memeluk tubuh gadis itu kuat-kuat. Dari arah depan Kuntorandu tusukkan dua jari tangan ke pertengahan dada, tepat di antara dua payudara. Wulan Srindi mengeluh tinggi. Nafasnya sesak. Tubuhnya tak bisa bergerak lagi.

Pekik Ireng tertawa bergelak. “Di situ ada dangau. Kita bawa dia ke sana!”

Kuntorandu segera menggendong Wulan Srindi dan membaringkannya di lantai dangau. “Aku duluan! Kau jauh-jauh dulu dari sini!”

Pekik Ireng tertawa lebar. “Jangan tertalu lama. Jangan dihabisi semua! Ha ha ha!”

Sebelum melangkah pergi, Pekik Ireng mendengar suara pakaian robek dilucuti lalu suara pekik jerit Wulan Srindi tiada henti!

********************

Jatilandak, pemuda dari alam 1200 tahun silam melangkah tanpa tujuan. Dia hanya tahu kalau saat itu malam hari dan dia ada di tepi sungai, berjalan sepembawa kaki menyusuri sungai. Pikiran dan ingatannya tidak pupus dari apa yang baru dialaminya. Perempuan cantik berupa bayang-bayang yang telah menolong dirinya itu, siapa dia sebenarnya? Mengapa dia menginginkan Kitab 1000 Pengobatan? Apakah dia akan bertemu lagi? Apakah dia dapat membalas budi baiknya yang telah menolong dan menyelamatkan jiwanya?

“Aneh, kenapa aku ingin sekali bertemu dengan dia. Mengapa tiba-tiba ada kerinduan dalam hatiku terhadapnya. Kitab Seribu Pengobatan. Dia menginginkan kitab itu. Aku harus berusaha keras untuk mendapatkan dan memberikan pada perempuan muda bayangan itu.”

Jatilandak juga ingat pada Bidadari Angin Timur, Wiro, Naga Kuning, Anggini, serta semua orang yang mendatangi 113 Lorong Kematian. Di mana mereka sekarang?

Ketika malam berganti pagi dan matahari mulai naik, Jatilandak masih saja berjalan menyusuri tepi sungai ke arah hulu. Sampai pada satu ketika langkahnya terhenti karena di depannya menjulang satu dinding bukit batu yang tinggi. Di kiri kanan sungai mengapit rimba belantara.

“Sungai aneh. Airnya seolah keluar dari dalam dinding batu...” kata Jatilandak dalam hati sambil memperhatikan aliran air sungai yang deras. Di balik dinding batu Jatilandak mendengar suara menderu tak berkeputusan.

“Sepertinya ada air mencurah di balik dinding batu. Air terjun...”

Memandang ke depan pemuda dari negeri Latanahsilam ini melihat ada tebing terjal di sebelah kiri dinding batu yang menjulang tinggi. Cukup lama berada di tempat itu Jatilandak tiba-tiba saja merasa hatinya tidak enak. Seperti ada orang yang memperhatikan gerak-geriknya dari tempat tersembunyi. Dia memandang berkeliling. Tak terlihat ada orang di sekitar situ. Tidak tampak hal-hal yang mencurigakan. Kemudian, di antara deru air yang mencurah di balik bukit batu, sayup-sayup Jatilandak mendengar suara sesuatu.

“Seperti suara jeritan orang minta tolong. Atau mungkin salah pendengaranku? Mungkin desau suara angin?”

Jatilandak akhirnya terjun menyeberangi sungai lalu mendaki tebing curam di sebelah kiri dinding batu. Walau dia memiliki kepandaian tinggi serta ilmu meringankan tubuh namun cukup susah juga baginya untuk mencapai bagian mendaki lamping batu yang sangat terjal itu. Di bagian atas dia menemukan sebuah pedataran, lalu sebuah telaga. Ketika berada di tepi telaga inilah kembali dia mendengar suara teriakan orang minta tolong.

Kini dia dapat mengenali. Suara teriakan itu adalah suara teriakan perempuan. Datangnya dari balik tikungan jalan di kiri pendataran. Jatilandak segera berlari ke arah datangnya suara. Cukup jauh setelah melewati tikungan terlihat sebuah dangau. Di atas dangau inilah tampak tergeletak sesosok tubuh perempuan. Perempuan inilah yang berteriak dan kini suara teriakannya terdengar melemah parau.

Begitu sampai di dangau, kejut Jatilandak bukan olah-olah. Dia cepat membuka bajunya dan dipakai menutupi tubuh perempuan yang tergeletak dalam keadaan miring di lantai dangau. Pakaiannya robek serta tersingkap tak karuan, membuatnya nyaris telanjang.

“Tolong... tolong...”

Tubuh itu bisa bersuara tapi tak bisa bergerak. Perlahan-lahan Jatilandak balikkan sosok perempuan itu. Dia melihat satu wajah perempuan muda penuh bengkak dan berdarah bekas pukulan. Dalam keadaan seperti itu Jatilandak masih bisa mengenali siapa adanya perempuan itu.

“Wulan Srindi. Kaukah ini...? Betul...?”

Suara mengerang berhenti. Perempuan muda itu yang memang Wulan Srindi adanya berusaha membuka dua matanya yang sembab namun dia tidak mampu melihat jelas. “Siapapun kau adanya, tolong... Orang telah menganiaya diriku. Aku ditotok di pertengahan dada... Tolong...”

Jatilandak singkapkan sedikit bagian dada yang tertutup pakaian. Dia melihat ada tanda merah di antara dua payudara Wulan Srindi. Jatilandak bertindak cepat. Pemuda dari negeri 1200 tahun silam ini basahi ibu jari tangan kanannya dengan ujung lidah. Lalu ibu jari itu ditempelkan pada bagian dada Wulan Srindi yang berwarna merah bekas totokan. Jatilandak alirkan tenaga dalam serta hawa sakti yang dimilikinya.

"Dess!"

Bagian tubuh yang ditekan keluarkan asap. Beginilah cara Jatilandak memusnahkan totokan di tubuh Wulan Srindi. Begitu dirinya lepas dari totokan, Wulan Srindi menggeliat, menjerit keras lalu gelungkan kedua tangannya ke leher Jatilandak, bergayut di tubuh pemuda itu beberapa lama. Jatilandak cepat pegang tubuh Wulan Srindi agar tidak jatuh.

“Tidak! Jahanam! Jangan sentuh tubuhku!” Teriak Wulan Srindi tiba-tiba. Dalam keadaan nyaris tidak melihat dia melompat dari dangau lalu berlari kencang ke arah timur sambil terus menjerit-jerit.

Jatilandak berusaha mengejar namun dia men– dengar ada suara mencurigakan di balik semak-semak tak jauh di samping kirinya. Dia hentikan larinya dan memperhatikan. Semak-semak itu kelihatan bergoyang. Ketika dia mendekati, Jatilandak tidak menemukan siapa-siapa. Namun matanya yang tajam dapat melihat tanda-tanda kalau sebelumnya ada seseorang bersembunyi ditempat itu.

Jatilandak cepat berbalik dan mengejar ke arah larinya Wulan Srindi. Mudah baginya untuk mengetahui ke arah mana larinya si gadis karena sambil lari Wulan Srindi terus berteriak-teriak. Sekonyong-konyong teriakan itu lenyap. Jatilandak mengejar terus dan baru berhenti ketika dia menyadari telah kehilangan jejak.

“Wulan! Wulan Srindi! Kau di mana?” teriak Jatilandak berulang kali memanggil Wulan Srindi.

Namun tak ada jawaban. “Aneh, tak mungkin dia bisa melenyapkan diri begitu saja. Suara jeritannya lenyap. Di mana dia berada saat ini? Apa yang terjadi?”

Jatilandak akhirnya sandarkan badan ke sebatang pohon sambil menyeka keringat yang bercucuran di kening dan dadanya yang telanjang. “Wulan Srindi... kasihan. Gadis itu agaknya telah diperkosa. Siapa manusia bejat yang tega melakukan? Kalau si pemerkosa menotok Wulan Srindi berarti dia adalah orang dari rimba persilatan. Seingatku ketika aku dan kawan-kawan menerobos masuk ke dalam lorong kematian Wulan Srindi merupakan salah satu gadis yang diculik. Bagaimana dia bisa berada di dangau? Pasti para sahabat membebaskannya atau dia berhasil kabur melarikan diri.”

Saat itu kembali terbayang wajah cantik perempuan muda berbentuk bayangan di pelupuk mata Jatilandak. “Aku telah berjanji padanya untuk mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan itu. Aku harus mencari kitab itu. Mungkin pertama sekali aku harus mencari Wiro lebih dulu. Tapi antara aku dan dia ada ganjalan besar. Apakah dia bersedia menolongku? Bidadari Angin Timur, di mana kau berada saat ini?”

********************

BAB 12

MALAM HARI, dalam sebuah rimba belantara di tenggara Gunung Lawu. Setan Ngompol atur tumpukan kayu perapian. “Ini malam ketiga perjalanan kita. Mencari Bidadari Angin Timur seperti mencari seekor ikan dalam lautan. Petunjuk di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan sedikitpun belum kita dapatkan.”

“Perjalanan ini bisa berminggu-minggu. Bahkan berbulan-bulan. Sebenarnya ada beberapa orang yang bisa kita temui untuk mendapatkan petunjuk. Pertama guruku sendiri Eyang Sinto Gendeng.”

Setan Ngompol pencongkan mulut lalu gelengkan kepala. “Gunung Gede jauh sekali dari sini. Belum tentu nenek itu ada di sana pada saat kita datang. Lagi pula menurutku dia tidak punya petunjuk apa-apa. Kalau tahu di mana kitab itu beradanya pasti sudah diberitahukan kepadamu.”

“Eyang Sinto pernah menyatakan kecurigaannya pada Dewa Tuak. Sebelum kitab hilang, Dewa Tuak pernah mampir di Gunung Gede.”

“Aku tidak percaya kalau kakek itu yang jadi pencuri...”

“Terus terang aku juga tidak percaya,” kata Wiro pula. “Ketika sama-sama di lorong kematian, aku menyesal tidak banyak bertanya pada Kakek Segala Tahu.”

“Kita harus mencari kakek buta itu. Ingat sewaktu kau menyerahkan kipas kayu cendana, dia merubah niatnya naik perahu ikut bersama Dewa Tuak dan Wulan Srindi. Kau bisa menduga ke mana perginya kakek itu?”

“Ke mana lagi kalau bukan menemui si pemberi kipas, Nyi Roro Manggut di pantai selatan. Aku memang punya niat menemui Nyi Roro Manggut. Siapa tahu sekalian bisa menemui Kakek Segala Tahu. Tapi untuk pergi ke sana tidak sembarang waktu dan sulitnya bukan main. Aku harus minta bantuan Ratu Duyung. Gadis itupun lenyap entah ke mana. Pada siapa aku benar-benar bisa mendapatkan pertolongan...?”

“Bagaimana kekasihmu yang dari alam roh itu?” tanya Setan Ngompol pula sambil usap matanya yang belok jereng.

“Maksudmu Bunga?” Wiro tertawa, “Aku harus tahu diri Kek. Baru beberapa hari lalu kita mendapat pertolongan dari dia sewaktu menyerbu 113 Lorong Kematian. Sekarang mau minta tolong lagi...”

Si kakek usap-usap kepalanya yang setengah botak. “Menurutku dalam bercinta, kekasih adalah segala-galanya. Jangankan pertolongan, nyawapun akan diberikan...”

“Ucapanmu mengada-ada. Dari mana kau tahu aku bercinta dengan gadis alam roh itu?”

Setan Ngompol tertawa lebar lalu terbatuk-batuk beberapa kali. “Kalian saling peluk di telaga, saling...”

Wiro julurkan kakinya ke arah bagian bawah perut si kakek, Setan Ngompol cepat- cepat bersurut mundur sambil menahan kencing. “Yang membuat aku khawatir, bukan cuma kita yang menginginkan kitab keramat itu. Ingat Hantu Malam Bergigi Perak dan dua muridnya? Mereka juga menginginkan. Wiro, kita harus berhati-hati dalam bicara dan menebar kabar. Semakin banyak orang yang tahu kitab itu hilang semakin banyak yang ingin mencari dan mendapatkannya.”

Lama Wiro terdiam dan merenung. Akhirnya murid Sinto Gendeng keluarkan Kapak Naga Geni 212 dari balik pinggang. Mata kapak diusap-usap sesaat. Lalu perlahan-lahan kapak diangkat, gagang yang berbentuk kepala naga didekatkan ke bibir. Jari-jari tangan ditempelkan pada lubang-lubang di batang gagang kapak yang menyerupai seruling. Wiro meniup seruling Kapak Naga Geni 212 dengan penuh perasaan dan mata dipejamkan. Mula-mula perlahan saja, kemudian mulai keras namun tetap dalam irama naik turun mengalun lembut. Siapa mendengar tiupan seruling dengan berhiba-hiba itu pasti akan tercenung dan ikut terbawa larut perasaannya.

Pendekar 212 Wiro Sableng sengaja memainkan seruling kapak untuk berusaha membebaskan dirinya dari pikiran serta perasaan yang menghimpit. Kemudian dia juga berharap ada seseorang yang mendengar suara tiupan seruling itu, yakni Bidadari Angin Timur, dan datang menemuinya. Namun lain dengan diharapkan lain pula yang datang. Di bawah nyala perapian yang mulai redup, berkelebat satu bayangan. Di lain kejap bayangan ini telah berdiri di hadapan Wiro dan Setan Ngompol.

“Jatilandak!” ucap Setan Ngompol setengah berseru begitu dia mengenali siapa adanya yang datang dan berdiri di hadapannya tanpa baju. Pemuda dari negeri 1200 tahun silam itu membungkuk sedikit memberi hormat pada si kakek.

“Kek, aku senang bisa bertemu denganmu kembali.”

“Sewaktu di lorong kematian, kami berusaha mencari. Kau lenyap entah ke mana tahu-tahu muncul di sini dalam keadaan cuma pakai celana, tidak mengenakan baju.”

“Aku terpaksa menyerahkan bajuku untuk menolong seseorang,” jawab Jatilandak.

Perlahan-lahan suara tiupan seruling bergema perlahan dan akhirnya lenyap. Pendekar 212 buka sepasang matanya. Pandangannya saling berbenturan dengan tatapan Jatilandak.

“Wiro, aku gembira dapat menemui lebih cepat dari yang aku duga. Ada yang perlu kita bicarakan...”

Wiro susupkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaian lalu berkata. “Saat di lorong kematian, aku meninggalkanmu di tepi telaga. Aku berjanji akan kembali untuk menjemputmu. Tapi ketika aku dan kawan-kawan kembali ke telaga di dasar jurang, kau tak ada lagi di situ.”

“Wiro, sekali lagi terima kasih kau telah menyelamatkan jiwaku. Ada hal lain yang ingin kubicarakan agar lenyap kesalahpahaman antara kita...”

“Jika yang hendak dibicarakan soal hubunganmu dengan Bidadari Angin Timur, kurasa semua sudah jelas. Tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Aku menerima keadaan apa adanya.”

“Kau salah mengerti Wiro...”

Pendekar 212 tersenyum dan gelengkan kepala. Jatilandak akhirnya memutuskan untuk tidak membicarakan hal itu. Maka dia mengalihkan pembicaraan. “Tak lama setelah kau meninggalkan aku di tepi telaga, ada satu mahluk perempuan aneh berbentuk bayang-bayang menolongku keluar. Aku dibawa ke sungai dan racun belerang dalam tubuhku dikuras keluar. Sebelum pergi mahluk itu minta agar aku mencarikan Kitab Seribu Pengobatan. Jika dapat dia ingin meminjamnya barang beberapa lama. Karena aku sudah menerima budi maka permintaannya itu aku luluskan. Aku berjanji akan mencarikan kitab tersebut dan menyerahkannya. Wiro, aku tahu kitab itu adalah milik gurumu. Aku juga tahu kitab itu lenyap dicuri orang. Jika kau punya petunjuk aku akan melakukan apa saja untuk dapatkan kitab itu.”

Wiro diam saja. Yang bersuara adalah Setan Ngompol. “Satu-satunya orang yang punya petunjuk tentang kitab itu adalah Bidadari Angin Timur. Kini gadis itu lenyap seperti ditelan bumi, laksana asap ditelan udara.”

Jatilandak terdiam. Ketika dia hendak mengatakan sesuatu tiba-tiba belasan orang berkelebat dalam kegelapan. Sesaat kemudian dua belas obor besar menyala menerangi rimba belantara itu, membentuk lingkaran lapis luar. Sepuluh orang pada lapis terdepan ikut merangsak maju, juga dalam bentuk lingkaran. Semua bersenjatakan golok telanjang. Orang kesebelas yang tidak mencekal senjata melangkah mendekati Jatilandak. Usianya masih muda, bertubuh tinggi langsing. Keseluruhan ada 23 orang mengurung tempat itu. Semua berseragam pakaian serta ikat kepala berwarna biru tua.

“Jatilandak! Berlututlah agar kepalamu bisa aku penggal dengan cepat!” Habis berkata begitu tahu-tahu sebilah golok sudah tergenggam di tangan kanan pemuda tinggi langsing.

Kejut Jatilandak bukan alang kepalang. Orang tahu namanya sementara dia tidak mengenal satu pun di antara mereka. Setan Ngompol kucurkan air kencing, perlahan-lahan bangkit berdiri sambil pegangi bagian bawah perut.

“Orang tua! Tetap di tempatmu atau kau bakal mampus duluan!” bentak pemuda tinggi langsing.

Si kakek terpaksa duduk menjelepok di tanah kembali. Pendekar 212 Wiro Sableng tenang-tenang saja malah garuk-garuk kepala.

“Ada apa ini? Apa salahku? Siapa kalian?” tanya Jatilandak.

Tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan tudingkan ujung golok ke muka Jatilandak pemuda tinggi langsing keluarkan ucapan. “Aku Yuda Paranglangit. Murid ketiga mewakili mendiang Ketua Perguruan Silat Lawu Putih. Dua hari lalu kau memperkosa kakak seperguruan kami Wulan Srindi di sebuah dangau!”

“Tuduhan palsu! Aku tidak pernah melakukan kejahatan itu. Aku malah...”

“Tutup mulutmu!” teriak Yuda Paranglangit. Golok di tangan kanannya diputar demikian rupa hingga, craass! Rambut kuning di kepala Jatilandak putus ujungnya.

Pemuda dari negeri Latanahsilam ini tersentak kaget dan jadi marah. Sekali melompat tinju kanannya menghantam ke dada Yuda Paranglangit. Namun serangan terpaksa di tahan karena pada saat itu juga tujuh golok malah menempel di kepala, leher, dan tubuhnya.

“Kakang Yuda, perlu apa bicara panjang lebar. Kita cincang saja bangsat ini sekarang juga!”

“Lakukan!” teriak Yuda Paranglangit. Tangannya yang memegang golok bergerak mendahului sepuluh golok lainnya!

“Tunggu!” Tiba-tiba satu bentakan menggelegar. Semua anak murid Perguruan Lawu Putih merasa bagaimana bentakan dahsyat itu menggetarkan tanah yang mereka pijak. Membuat mereka jadi terkesiap dan palingkan kepala.

Pendekar 212 Wiro Sableng yang barusan keluarkan bentakan berdiri di hadapan Yuda Paranglangit. “Sahabat, aku kenal baik dengan kakak seperguruanmu Wulan Srindi. Aku juga kenal baik dengan pemuda berkulit kuning ini. Dia tidak mungkin melakukan perbuatan bejat itu terhadap Wulan Srindi!”

“Gondrong! Kau membela pemuda bejat berkulit kuning ini! Apa kepentinganmu!” Seorang anak murid Perguruan Lawu Putih melintangkan golok di leher Pendekar 212.

Murid Sinto Gendeng menyeringai lalu garuk-garuk kepala. “Jangan main-main dengan senjata tajam. Salah-salah kau bisa terluka!” Sambil bicara, dengan kecepatan yang sulit terlihat mata Wiro pergunakan tangan kiri untuk menotok urat di pinggang pemuda itu. Lalu sekali tangan kanan bergerak, golok yang dipegang orang sudah berpindah tangan.

“Senjata seperti ini sesekali harus disimpan baik-baik karena bisa mencelakai orang!” Wiro lalu hujamkan golok yang dipegangnya ke tanah hingga amblas tak kelihatan.

Kini Yuda Paranglangit dan saudara seperguruannya baru menyadari kalau saat itu mereka berhadapan dengan seorang berkepandaian tinggi. Jelas melebihi tingkat kepandaian kakak seperguruan dan ketua mereka. Namun karena amarah dendam kesumat terjadinya pemerkosaan atas diri kakak seperguruan, semua anak murid Perguruan Lawu Putih tidak unjukkan rasa jerih.

“Kita semua bersahabat. Mengapa tidak bicara baik-baik? Aku yakin kau tidak sembarang tuduh. Bukan menfitnah kawanku ini.” Kata Wiro pula sambil pegang bahu kiri Yuda Paranglangit.

Saat itu juga Yuda Paranglangit merasa seperti ada batu sangat besar menindih tubuhnya hingga dia bergeletar dan kucurkan keringat dingin. “Siapa sembarang tuduh? Siapa melakukan fitnah? Kami punya saksi!” Habis berkata begitu Yuda Paranglangit berteriak. “Warok Jangkrik! Lekas datang kesini!”

Dari arah kegelapan muncul seorang lelaki berkulit hitam berkilat. Kepala menyerupai jangkrik ketiongan. Pakaian dan ikat kepala serba hitam. Janggut dan kumis lebat kasar. Pada telinga dan cuping hidung sebelah kiri mencantel sebuah giwang emas. Tangan kanannya buntung sebatas lengan. Inilah Warok Jangkrik, manusia jahat yang pernah menjadi pimpinan rampok hutan Sarnigalih.

Beberapa waktu sebelumnya sebagaimana diceritakan dalam Episode Bendera Darah, Warok Jangkrik pernah menculik Wulan Srindi. Beruntung Bidadari Angin Timur dan Jatilandak yang melakukan pengejaran berhasil selamatkan gadis itu. Sebagai hukuman dan peringatan agar Warok Jangkrik sadar serta kembali ke jalan yang benar, Bidadari Angin Timur menabas putus lengan kanan gembong rampok ini.

Melihat Warok Jangkrik, Jatilandak jadi geram sekali. Dengan suara lantang dia berkata. “Kau pernah menculik Wulan Srindi. Aku dan Bidadari Angin Timur memergokimu ketika hendak merusak kehormatan gadis itu. Sekarang kau bersaksi bahwa aku memperkosa Wulan Srindi! Jangan berani bersaksi dusta!”

Sebenarnya saat itu nyali Warok Jangkrik agak menciut karena tidak menyangka di tempat itu ada pemuda yang dikenalinya sebagai Pendekar 212. Dia melihat juga seorang kakek bermata belok jereng berkuping lebar yang pasti juga seorang berkepandaian tinggi. Namun Warok Jangkrik juga punya dendam kesumat pada Jatilandak yang mengakibatkan tangan kanannya sampai cacat begitu rupa.

“Warok Jangkrik! Katakan kesaksianmu!” perintah Yuda Paranglangit.

“Siang itu, aku kebetulan lewat dekat sebuah dangau. Aku mendengar ada perempuan berteriak-teriak minta tolong. Dari balik semak belukar aku lihat pemuda berkulit kuning ini baru saja memperkosa seorang gadis yang aku ketahui adalah Wulan Srindi, murid kedua Perguruan Lawu Putih...”

“Fitnah busuk! Jahanam keparat!” Jatilandak berteriak marah. Ketika dia berusaha hendak menggebuk Warok Jangkrik, Yuda Paranglangit tahan dada Jatilandak dengan ujung golok.

“Jatilandak, biarkan dia meneruskan kesaksiannya! Kalau kau memang tidak melakukan perbuatan keji itu mengapa harus takut? Tenang saja!” Wiro yang berdiri di samping Jatilandak keluarkan ucapan.

“Warok! Teruskan keteranganmu!” kata Yuda Paranglangit.

“Selesai memperkosa dia membuka bajunya lalu ditutupkan ke tubuh Wulan Srindi. Waktu dia mau menggendong gadis itu, Wulan Srindi berhasil melarikan diri.”

“Kalian lihat sendiri! Pemuda berkulit kuning ini tidak mengenakan baju! Itu satu bukti bahwa apa yang dikatakan Warok Jangkrik bukan fitnah!”

“Aku bersumpah! Aku tidak pernah memperkosa Wulan Srindi. Aku membuka bajuku untuk dapat menolong menutupi auratnya. Ketika aku sampai di dangau keadaannya nyaris tanpa pakaian. Dia berteriak-teriak. Sekujur tubuhnya tak bisa bergerak karena ditotok...”

“Kalau kau mau bersumpah, bersumpahlah di hadapan setan neraka!” ucap Yuda Paranglangit. Dia berpaling pada Pendekar 212 Wiro Sableng. “Gondrong, kau masih membela manusia bejat ini?”

“Aku juga membelanya. Aku yakin pemuda ini tidak melakukan perbuatan keji itu!” Setan Ngompol yang berikan jawaban.

Yuda Paranglangit menyeringai. Tiba-tiba dia berteriak. “Kawan-kawan! Mari kita berebut pahala menghabisi manusia mesum keparat ini! Siapapun yang ingin membelanya akan menemui ajal di tempat ini.”

Teriakan Yuda Paranglangit disambut dengan teriakan keras oleh semua anak murid Perguruan Lawu Putih. Belasan golok berkelebat. Wiro menghantam. Dua orang penyerang roboh terjungkal. Setan Ngompol menyikut membuat seorang murid Perguruan Lawu Putih mencelat dan menjerit karena patah tulang iganya. Namun serangan datang laksana banjir. Apa lagi dua belas orang yang memegang obor kini cabut senjata masing-masing dan ikut menyerbu.

“Kalau kalian tidak hentikan serangan jangan salahkan banyak yang bakal cidera!” Setan Ngompol memperingatkan sementara Wiro sudah siap untuk menyapu serbuan lawan dengan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.

Namun anak murid Perguruan Lawu Putih yang sudah seperti kemasukan setan karena amarah dendam kesumat itu tidak perdulikan ucapan si kakek. Mereka terus merangsak membabat, menusuk dan membacok dengan senjata masing-masing ke arah Jatilandak.

"Desss! Traang! Traang! Traang!"

Didahului suara berdesis keras, sosok Jatilandak lenyap. Kini berdiri angker binatang berujud seekor landak raksasa. Bacokan, babatan maupun tusukan senjata yang mengenai tubuhnya disambut dengan bulu landak yang berjingkrak sebat. Semua anak murid Perguruan Lawu Putih menjadi geger. Terlebih ketika landak raksasa ini memutar tubuh demikian rupa, mereka serta merta selamatkan diri berhamburan. Ternyata Jatilandak yang telah mengubah diri ke ujud aslinya tidak ingin mencelakai lawan yang rata-rata masih muda belia itu. Yang jadi incarannya adalah Warok Jangkrik. Selagi manusia hitam berkilat ini berusaha kabur, sang landak gelindingkan diri di tanah dan berhasil menangkap kaki tangan Warok Jangkrik. Bekas pentolan rampok ini berteriak kesakitan dan ketakutan setengah mati.

"Kraakkk!"

Sambungan lutut kanan Warok Jangkrik hancur. Tubuhnya kemudian dilempar mental ke udara, jatuh di atas pohon besar dan terkapar melintang di salah satu cabang. Darah menyembur dari lehernya yang koyak kena cakaran landak. Mulut menganga seperti hendak menyuarakan sesuatu namun yang keluar adalah nafasnya yang terakhir. Setan Ngompol terduduk di tanah, tak sanggup menahan pancaran air kencing. Jatilandak yang telah merubah dirinya menjadi pemuda berkulit kuning duduk di samping si kakek sementara Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri memperhatikan ke arah murid-murid Perguruan Lawu Putih yang tinggalkan tempat itu dengan membawa kawan mereka yang cidera.

Sesaat kemudian Jatilandak berdiri lalu mendekati Wiro. “Mungkin kau merasa tidak enak kalau aku terlalu lama di tempat ini. Aku akan berusaha mencari Bidadari Angin Timur untuk dapatkan keterangan tentang kitab yang hilang. Jika aku berhasil menemukan, aku akan meminjamkannya beberapa lama. Aku berjanji akan mengembalikan buku itu padamu...”

“Sebelum kau kembalikan, berikan dulu padaku. Aku juga memerlukan kitab itu!” satu suara perempuan menggema di tempat itu disusul suara cekikikan.

“Hantu Malam Bergigi Perak!” seru Setan Ngompol sambil tekap bagian bawah perutnya. “Ah, jangan-jangan dia mau memberikan giginya!” Setan Ngompol buru-buru tekap bagian bawah pusarnya.

Betul saja, sesaat kemudian dari kegelapan keluar sosok si nenek yang berdandan menor. “Kalian berdua lihat sendiri. Sebelum aku dapatkan kitab itu, aku tidak akan pernah jauh-jauh dari kalian.” ucap si nenek.

“Mana dua muridmu si merah dan si biru?” tanya Setan Ngompol.

“Kau menanyakah orang-orang yang tidak ada. Apakah diriku kurang menarik di matamu yang belok?”

“Ah...” Setan Ngompol tersenyum gembira. Sambil kedip-kedipkan mata dia dekati si nenek.

“Eit! Kalau mau dekat denganku kau harus mandi kembang di tujuh sumur agar bau pesingmu hilang! Hik hik hik!”

Si nenek gerakkan tangan kirinya. Walau tidak menyentuh dada namun Setan Ngompol merasa seperti didorong keras hingga terjajar dan jatuh terduduk di tanah. Walau pantat terasa sakit namun si kakek tertawa terkekeh.

“Disuruh mandi aku mau saja. Siapa takut! Apalagi kalau kau ikut menemani, mandi berbugil ria bersamaku! Ha ha ha...! Dan kau jangan lupa membawa madat satu kantong tempo hari. Sambil menyedot madat pasti mandinya tambah asyiik. Apa lagi sambil usap-usap gigi bawahmu. Ha ha ha!”

Wajah berdandan medok si nenek berubah. “Kakek kurang ajar, apa maksudmu usap-usap gigi bawahku?”

“Maaf, jangan salah mengerti. Aku tidak bicara kurang ajar. Maksudku aku suka mengusap gigi di mulutmu pada deretan sebelah bawah. Aku tidak tahu kalau kau punya gigi lain di sebelah bawah. Ha ha ha!” Habis berkata begitu Setan Ngompol lalu menyelinap ke balik semak belukar, sembunyi di tempat gelap, takut digebuk Hantu Malam Bergigi Perak.

T A M A T

Berhasilkah Pendekar 212 Wiro Sableng dan Jatilandak mencari Bidadari Angin Timur dan mendapatkan Kitab 1000 Pengobatan? Atau mereka akan kedahuluan Hantu Malam Bergigi Perak? Atau lenyapnya kitab keramat ini akan menjadi sebuah misteri yang tak pernah terungkapkan? Bagaimana pula nasib Wulan Srindi? Komplotan pemberontak Keraton Kaliningrat, apakah mereka berhasil merebut tahta Kerajaan...?

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.