Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok
"Anak gadis. Mulai saat ini namamu Puti Bungo Sekuntum. Julukanmu Ramo-Ramo Giok Ngarai Sianok atau Kupu-Kupu Giok Ngarai Sianok."
Gadis Cina bernama Chia Swie Kim yang cantik itu tersenyum. "Terima kasih Datuk..."
Ketika Chia Swie Kim hendak menyambung ucapannya Datuk Marajo Sati memberi isyarat seraya berbisik. "Ada manusia jahil mendekam di luar sana. Agaknya sudah sejak tadi dia mencuri dengar pembicaraan kita. Anak gadis, lekas ubah ujudmu menjadi kupu-kupu giok!"
Dengan cepat Chia Swie Kim merubah diri menjadi kupu-kupu batu giok berwarna hijau kebiruan. Datuk Marajo Sati ambil kupu-kupu batu giok itu ialu meletakkannya di dalam sebuah lekukan di dinding goa sebelah kiri.
SENJA itu angin dari arah laut bertiup lebih kencang dari biasanya. Daun-daun pohon kelapa mengeluarkan suara gemerisik berkepanjangan. Di pondok kayu kediamannya di satu lereng bukit Sutan Panduko Alam yang baru saja menyelesaikan shalat Magrib tengah berzikir khidmat ketika hidungnya mencium bau angin yang mengandung garam. Orang tua ini letakkan tasbih batu hitam di atas pangkuan, memandang ke arah pintu pondok yang tertutup sambil mengusap janggut seputih kapas.
"Angin dari laut," ucap Sutan Panduko Alam dalam hati. "Tidak pernah angin dari laut bertiup sampai sejauh ini ke Bukit Melintang. Pertanda apakah yang hendak diberi tahu oleh alam?"
Perlahan-lahan orang tua berusia hampir delapan puluh tahun ini bangkit berdiri. Setelah merapikan letak sorban putih berumbai-rumbai benang emas di kepala, sambi terus mengucapkan zikir dia melangkah ke pintu rumah lalu membukanya. Begitu pintu pondok terbuka, angin kencang datang menerpa. Janggut panjang serta jubah putih melambai-lambai.
Sepasang mata si orang tua yang berwarna kelabu menatap berkeliling. Dia tidak melihat apa-apa selain pepohonan yang menghitam dalam kegelapan serta mendengar deru angin yang tiada henti. Sutan Panduko Alam melangkah mundur. Belum sempat dia menutup pintu pondok, di bawah deru angin yang begitu keras dia mendengar suara kepakan halus. Lalu ada benda melayang dan kemudian hinggap ditangan kanan itu adalah seekor kupu-kupu besar.
“Ramo-ramo... Puluhan tahun aku tinggal di sini tidak pernah bertemu dengan ramo-ramo. Mengapa malam ini tiba-tiba ada seekor ramo-ramo terpesat datang ke pondok ini?" (Ramo-ramo = Kupu-kupu/bahasa Minang kabau) Sutan Panduko Alam angkat tangan kanannya agar bisa memandang kupu-kupu itu lebih jelas. Binatang ini memiliki warna-warni yang luar biasa indah. Kepala bergerak, diangkat sedikit, dua buah mata yang bagus menatap ke arah si orang tua.
Sutan Panduko Alam tersenyum lalu berkata. "Mahluk ilahi. Kau pasti datang dari jauh. Dihempaskan angin ke pondok ini. Kau ingin perlindungan dari angin kencang dan hawa dingin di luar sana. Aku akan memberikan tempat yang hangat bagimu."
Lalu Sutan Panduko Alam pergunakan tangan kiri hendak membuka sorban di atas kepala. Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba dia mendengar suara yang menjawab ucapannya barusan.
"Orang tua berhati mulia, saya memang butuh perlindunganmu. Tapi bukan dari dingin dan kencangnya angin. Melainkan dari serombongan orang yang mengejar dan hendak membunuh saya."
Sutan Panduko Alam sampai terlonjak saking kagetnya. Dia memandang berkeliling. Barusan dia mendengar jelas suara orang berucap. Suara perempuan. Tapi orangnya tidak kelihatan. Dia memandang keluar, lalu memperhatikan seputar bagian dari pondok.
"Suaranya jelas tapi orangnya tidak kelihatan. Gerangan siapakah yang barusan bicara?"
"Orang tua, saya yang bicara. Kupu-kupu besar di tangan kananmu."
Sutan Panduko Alam kembali melengak. Mata yang kelabu semakin besar, tangan kanan didekatkan ke wajah. "Mahluk Ilahi ramo-ramo. Allah Maha Besar. Benar kau yang barusan bicara?"
"Benar, orang tua. Tolong cepat-cepat tutupkan pintu. Rombongan orang yang mengejar saya semakin dekat..."
Kupu-kupu di tangan kanan Sutan Panduko Alam kembali berbicara. Suara perempuan bernada sangat ketakutan. Dalam heran yang tidak terkirakan orang tua itu lakukan apa yang diminta kupu-kupu besar. Setelah menutup pintu pondok dia bersurut mundur, duduk di tepi tempat tidur rotan.
"Allah Maha Kuasa, berbuat sekehendakNya. Tapi baru kali ini aku melihat ada kupu-kupu pandai bicara. Ramo-ramo gadang, katakan kau ini mahluk apa sebenarnya? Mahluk jejadian atau roh yang tersiksa karena sumpah kutukan? Datang dari mana?" (gadang = besar)
"Orang tua. saya berasal dari negeri sangat jauh di seberang lautan. Negeri tanah daratan Cina. Ujud saya sebenarnya adalah kupu-kupu terbuat dari batu Giok berwarna biru kehijauan yang merupakan benda pusaka utama milik Kaisar. Ketika seorang Pangeran Kerajaan Tiongkok hendak membunuh puterinya karena dituduh berzinah..."
Sutan Panduko Aiam memberi isyarat dengan gerakan tangan kiri agar kupu-kupu berhenti bicara. Telinga tajam orang tua ini mendengar suara orang berkelebat di sekeliling halaman pondok. Dia melirik ke atas sewaktu merasakan ada getaran halus di wuwungan.
"Mereka sudah datang. Orang-orang yang hendak membunuh saya..." Kupu-kupu di tangan kanan Sutan Panduko Alam bicara dengan suara berbisik.
Orang tua itu bangkit dari tempat tidur, melangkah ke dinding pondok. Melalui lobang kecil dia mengintai ke luar. Tujuh orang dilihatnya berdiri dihalaman depan rumah. Dua orang yang bertubuh tinggi besar bermata besar merah, berbaju dan bercelana galembong hitam, bertampang buas memelihara kumis melintang, jenggot dan cambang bawuk. Tangan mereka selain ditumbuhi bulu lebat juga berwarna hitam mulai dari atas siku sampai ke ujung sepuluh jari termasuk kuku.
Di kiri kanan berdiri empat orang yang dari bentuk tubuh, raut muka, warna kulit serta pakaian pasukan Kerajaan Cina, menghunus golok besar telanjang. Salah seorang dari mereka memakai topi terbuat dari besi berwarna merah dihias kaca-kaca bulat berkilat (galembong = celana hitam berkaki besar)
Setelah memperhatikan ke enam orang itu dengan cepat Sutan Panduko Alam mengalihkan pandangan pada orang ketujuh yang berdiri di bawah bayang-bayang gelap pohon besar sambil rangkapkan dua tangan di depan dada Kepala agak mendongak. Sutan Panduko Alam maklum betul, sikap berdiri seperti ini adalah sikap orang berkepandaian tinggi yang tengah mementang mata memasang telinga.
Orang ini seorang kakek berjubah hijau mengenakan blangkon yang juga berwarna hijau berbunga-bunga putih. Walau yang bisa dilihatnya hanya tujuh orang namun Sutan Panduko Alam tahu betul, paling tidak ada dua orang di atas atap dan beberapa orang lagi di samping kiri dan kanan dan bagian belakang pondok.
"Duo Hantu Gunung Sago," ucap Sutan Panduko Alam dalam hati menyebut nama dua orang lelaki berpakaian serba hitam bertampang seram. "Kalian masih berkeliaran di nagari alam terkembang membawa orang-orang asing dari Cina, berteman seorang pandai berblangkon hijau dari tanah jawa. Hanya untuk memburu seekor kupu-kupu betina. Gerangan rahasia apa yang ada dibalik semua kejadian ini."
Dari lubang tempat mengintai Sutan Panduko Alam melihat kakek berjubah dan berblangkon hijau mengucapkan sesuatu sambil tangan kanan digerakkan memberi aba-aba. Dua lelaki berpakaian hitam yang disebut Dua Hantu Gunung Sago segera melompat ke depaan rumah. Empat orang asing menebar. Yang memakai topi besi merah melangkah lebih dulu. Kakek berjubah hijau tidak beranjak dari bawah pohon.
Sutan Panduko Alam dengan cepat menanggalkan sorban putih di atas kepala. Kupu-kupu besar dimasukkan ke dalam gulungan sorban seraya berkata. "Ramo-ramo mahluk ilahi. Jika sesuatu terjadi denganku maka sorban ini akan membawamu terbang ke tempat yang aman..." Lalu Sutan Panduko Alam letakkan sorban di atas tempat tidur. Pada saat itu...
"Braaakk!" Pintu pondok terpental jebol. Dua Hantu Gunung Sago melesat masuk disusul empat orang Cina berpakaian pasukan Kerajaan. Atap ijuk amblas. Dua orang melayang turun. Satu membekal pedang, seorang lagi menghunus keris. Sementara itu bagian belakang pondok juga telah didobrak dan dua orang menghambur masuk yang ternyata adalah dua nenek berambut putih panjang tapi jarang dan sama-sama bergigi perak. Yang satu berhidung mancung. Lainnya berhidung pesek.
Walau semua kejadian itu dihadapi dengan tenang, namun melihat dua nenek yang kini berada dalam pondok mau tak mau bergetar juga hati Sutan Panduko Alam. Dua nenek ini di pulau Andalas dikenal dengan julukan Si Kamba Tangan Manjulai yang berarti Si Kembar Tangan Panjang. Seperti julukannya dua nenek kembar ini memang memiliki sepasang tangan luar biasa panjang hingga ujung-ujung jari mereka hampir menyentuh lantai.
"Banyak tamu agung tidak terduga mengunjungiku. Sungguh satu kehormatan besar. Sebagai tuan rumah aku ingin bertanya. Gerangan maksud apa hingga datang malam hari beramai-ramai pula?"
"Sutan Panduko Alam, kami datang dari jauh, membawa empat tamu dari daratan Tiongkok. Kami membawa urusan sangat penting. Kami tidak ingin datang dengan sia-sia..." yang bicara adalah salah seorang dari Duo Hantu Gunung Sago, yang berdiri di hadapan sebelah kanan bernama Si Kalam langit, memiliki muka hitam legam.
"Maksud belum disampaikan sudah menyebut sia-sia. Hantu Gunung Sago, katakan apa keperluanmu dan semua orang yang kau bawa ke tempat ini...?"
"Kami mencari sesuatu. Sesuatu itu kami ketahui masuk ke dalam pondokmu ini." Kali ini yang bicara adalah salah seorang dari Si Kamba Tangan Manjulai. Dia diberi nama tambahan Si Kamba Pesek Tangan Manjulai karena memang memiliki hidung pesek hampir sama rata dengan pipi.
Sutan Panduko Alam tersenyum. "Kalian semua bicara setengah berteka-teki. Sahabat lamaku Si Kamba Tangan Manjulai, katakan apa yang kau maksudkan dengan sesuatu itu. Seekor katak, ular berbisa atau sebangsa mahluk halus jejadian. Atau mungkin juga seorang maling yang telah mencuri barang berharga milik kalian."
Orang Cina berpakaian pasukan Kerajaan yang mengenakan topi besi merah tampaknya tidak sabaran. Dia berteriak mengatakan sesuatu sambil mengacungkan golok besar. Hantu Gunung Sago yang berdiri di samping kiri Sutan Panduko Alam bernama Si Batu Bakilek (Si Batu Berkilat) karena memiliki kepala botak plontos berkilat, mengangkat tangan memberi tanda agar si orang Cina berlaku tenang. Lalu dia melangkah mendekat Sutan Panduko Alam. Tangan kiri diletakkan di atas bahu orang tua itu, dialiri tenaga dalam tinggi hingga memiliki bobot seperti sebuah batu sebesar rumah.
Sadar orang tengah menjajal yang bisa membuat tubuhnya remuk sebelah, Sutan Panduko Alam membalas dengan tenaga dalam yang mengeluarkan hawa lembut. Saat itu juga tangan kiri Hantu Gunung Sago seperti ditepiskan ke samping. Karena mengerahkan tenaga besar tubuhnya nyaris terperosok ke depan.
"Sahabatku Hantu Gunung Sago Batu Bakilek, apakah kau belum makan dari pagi? Kau kelihatan lemah, hampir jatuh tergelimpang," kata Sutan Panduko Alam mempercandai orang.
Diejek seperti itu si tinggi besar berkepala botak ini menggembor marah. Tinju kanannya laksana kilat menyambar ke muka Sutan Panduko Alam. Cahaya hitam membersit dari tangan kanan yang memukul pertanda pukulan mengandung kekuatan yang mematikan. Di saat yang sama orang Cina bertopi merah bacokkan besarnya, Juga mengarah kepala si orang tua.
"Yang dicari belum bertemu. Mengapa mau membunuh orang yang tahu?”
Dua tangan panjang bergerak luar biasa cepat menangkis serangan yang dilancarkan Hantu Gunung Sago Batu Bakilek dan orang Cina bertopi merah hingga membuat kedua orang itu terjajar. Yang menangkis serangan ternyata adalah Si Kamba Tangan Manjulai yang memiliki hidung mancung, dikenal dengan nama julukan Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai (Si Kembar Mancung Tangan Panjang). Dia juga yang tadi keluarkan ucapan sebelum bergerak.
Hantu Gunung Sago kepala botak dan orang Cina berpakaian pasukan Kerajaan Tiongkok berteriak marah. Si nenek mancung tidak perduli dia memutar tubuh menghadap ke arah Sutan Panduko Alam. "Aku orang yang tidak suka bicara berteka teki seperti katamu tadi. Aku bertanya langsung padamu. Seekor kupu-kupu besar masuk ke dalam pondokmu. Sekarang katakan dimana kau sembunyikan binatang itu"
Sutan Panduko Alam unjukkan wajah tercengang lalu gelengkan kepala sambil keluarkan suara berdecak berulang kali.
"Sutan Panduko, jangan berpura-pura. Jika kau tidak memberi tahu, lihat saja apa jadinya. Kau sudah terkurung. Aku tidak akan menyelamatkan nyawamu untuk kedua kalinya!"
"Sahabat lama, terima kasih kau mau berbaik hati menolongku. Jadi kau dan yang lain-lain datang beramai-ramai ini tengah mencari seekor kupu-kupu. Sungguh lucu. Lebih lucu lagi karena aku tidak pernah tahu kalau ada kupu-kupu masuk ke dalam pondokku."
"Urang Siak! Kau berdusta!" Bentak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. (Urang siak = Orang alim)
Sutan Panduko Alam tertawa Dalam hati orang tua ini berkata. "Berdusta untuk menyelamatkan nyawa mahluk ilahi apa dosanya? Berdusta terhadap orang-orang berbusuk niat seperti kalian apa haramnya?"
"Sutan Panduko, lebih baik kau memberi tahu dimana kau sembunyikan ramo-ramo besar itu. Kalau tidak kami akan membakar pondok ini" Yang bicara mengancam adalah seorang lelaki muda berpakaian dan destar merah, memegang kens bertuah.
Sutan Panduko Alam mengenali orang ini adalah tokoh silat yang punya julukan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. (Pendekar Bumi Langit Dari Sumanik) Ilmu silat orang ini luar biasa berbahaya. Bisa memukul remuk kepala atau mencabik muka dan menjebol tubuh lawan dalam sekali gebrakan saja. Konon ilmu silat yang dimiliki sang Pendekar dikenal dengan nama Sitaralak.
“Buruk nian nasibku hari ini. Banyak sahabat lamo yang datang aku harap kita bicara berelok-elok beriang-riang. Ternyata datang membawa ancaman." Sutan Panduko Alam memandang berkeliling. Lalu lanjutkan ucapan. "Agaknya pondok buruk ini terlalu sempit untuk bercakap-cakap. Lebih baik kita melanjutkan bicara di halaman."
Sehabis keluarkan ucapan Sutan Panduko Alam tiup pelita di dalam ruangan lalu melesat ke pintu. Dua Hantu Gunung Sago Si Kalam langit coba menghalangi tapi terpental kena sambaran sikut si orang tua. Selain mencari tempat yang jebih leluasa jika orang sekian banyak menyerang dirinya. Sutan Panduko Alam juga tidak ingin orang-orang itu mengetahui keberadaan kupu-kupu besar yang tergulung dalam sorbannya dan saat itu berada di atas tempat tidur rotan.
Hanya sesaat setelah Sutan Panduko Alam injakkan kaki di halaman depan pondok kediamannya, dua belas orang sudah mengelilinginya termasuk kakek berjubah dan berbelangkon hijau yang sejak tadi tetap berdiri tak bergerak di bawah pohon besar. Kini setelah Sutan Panduko Alam berdiri di halaman, kakek ini melangkah mendatangi.
"Sutan Panduko Alam. namaku Ki Bonang Talang Ijo. aku seorang sahabat datang dari satu tempat bernama Kuto Gede di pulau Jawa. Terima salam hormatku!"
Habis keluarkan ucapan kakek ini usap mukanya hingga saat itu juga berubah menjadi hijau termasuk sepasang mata. Selesai unjukkan kehebatan, dia susul menggerakkan badan membungkuk sambil tangan kanan dilambaikan. Gerak yang dibuat orang menimbulkan angin halus yang menggetarkan tubuh Sutan Panduko Alam dan memerihkan mata. Cepat-cepat orang tua ini membalas penghormatan Ki Bonang Talang Ijo.
"Sahabat yang datang dari tanah Jawa. terima kasih balas salam dan penghormatanku. Sayang kau dan orang-orang ini tidak memberi tahu kedatangan lebih dulu."
Sambil membungkuk Sutan Panduko Alam geserkan sedikit telapak kaki kanannya. Tanah bergetar, gerakan menjalar masuk menyentuh dua kaki Ki Bonang Talang ijo hingga kakek itu sesaat merasa dua kakinya seperti lumpuh. Sambil tersenyum dan batuk-batuk Ki Bonang Talang ijo luruskan tubuh lalu berkata.
"Sutan Panduko Alam. aku tidak menginginkan pondokmu dibakar orang, apalagi melihat dirimu sampai celaka. Aku meminta dengan sangat dan segala hormat agar kau menyerahkan kupu-kupu besar yang terpesat masuk ke dalam pondokmu."
Sutan Panduko Alam menyadari jika pecah pertarungan dia tidak akan mungkin menghadapi sekian banyak musuh. Namun menyerahkan apa yang diminta orang diapun tidak sudi. Melindungi mahluk Ilahi yang datang meminta tolong bagi keselamatan jiwanya adalah kewajiban setiap orang termasuk dirinya. Maka Sutan Panduko Alam lantas menjawab.
"Sahabat, soal bakar membakar memang tidak layak dilakukan. Apa lagi perihal celaka mencelakai sesama insan Ilahi. Aku katakan padamu bahwa tidak ada kupu-kupu yang terpesat masuk ke dalam pondokku. Puluhan tahun aku menetap di sini. Daerah ini tidak pernah ada ramo-ramo atau kupu-kupu yang kau sebut itu."
Ki Bonang Talang Ijo tersenyum. Dia memandang pada orang-orang sekeliling lalu kembali berpaling pada orang tua di hadapannya "Sutan Panduko Alam. Malam yang dingin, kau tidak mengenakan sorban. Sungguh diluar kebiasaan..." Ki Bonang melangkah lebih dekat. Lalu setengah berbisik dia berkata. "Aku tahu dimana kau menyembunyikan kupu-kupu itu!"
Begitu ucapannya selesai Ki Bonang Talang Ijo melompat ke udara melewati Sutan Panduko Alam lalu melesat ke arah pondok. Sutan Panduko Alam berusaha menghalangi namun sebelas orang serentak menyerbu dirinya. Duo Hantu Gunung Sago menyerang di depan sekali, menyusul empat orang Cina dari samping kiri dan kanan. Si Kamba Tangan Manjulai untuk beberapa lama hanya memperhatikan sambil tertawa-tawa sementara Pendeka Langit Bumi Dari Sumanik bersama beberapa orang lainnya menggempur dari arah belakang. Sutan Panduko Alam putar tasbih batu hitam di tangan kanan.
"Traang! Traang!" Dua golok mental ke udara. Salah seorang penyerang berpakaian pasukan Kerajaan Cina terpental lalu tergelimpang pingsan.
"Breettt!" Jubah putih Sutan Panduko Alam robek di bagian punggung dimakan mata keris salah seorang penyerang. Darah mengucur dari luka memanjang.
"Membunuh pantangan orang Muslim. Mempertahankan diri membela kebenaran menghancurkan kemungkaran adalah kewajiban..." Sutan Panduko Alam keluarkan teriakan lantang. Tasbih batu hitam di tangan kanan menderu.
"Wuttt!" Selarik sinar hitam bertabur. Satu jeritan membelah langit malam. Penyerang yang memegang keris dan dikenal dengan nama Datuk Mangkuta Kantih Babegah terkapar di tanah dengan kepala hancur. Sutan Panduko Alam mengamuk laksana banteng terluka. Seorang lagi yakni Duo Hantu Gunung Sago Batu Bakilek menggerung keras ketika tangan kanannya remuk dihajar tasbih batu hitam.
Bagaimanapun kehebatan Sutan Panduko Alam namun menghadapi sekian banyak musuh walau dia memiliki tingkat kepandaian ilmu yang disegani di seluruh Nagari ranah Minang, setengah pertarungan tak seimbang berlangsung empat jurus, Si Kamba Pesek Tangan Manjulai berhasil menelikung tubuh orang tua itu dari belakang dengan kedua tangannya yang panjang, melilit laksana lilitan dua ular besar. Sutan Panduko Alam keluarkan gerak ilmu Burung Balam Mengepak Sayap. Dua sikut terlepas dari tangan yang melilit lalu menghantam ke belakang.
"Kraakk! Kraakk!" Tiga tulang rusuk si Kamba Pesek Tangan Manjulai kiri kanan berderak patah. Nenek ini menjerit setinggi langit. Lepaskan lilitan dua tangannya dari tubuh Sutan Panduko Alam, terhuyung-huyung beberapa langkah lalu roboh terjengkang di tanah dengan mulut membusah darah!
Walau lolos dari telikungan lawan namun keadaan Sutan Panduko Alam tidak tertolong lagi. Orang tua ini menjadi bulan-bulanan jotosan, tendangan, tusukan dan bacokan yang datang dari berbagai jurusan termasuk serangan pengecut dari arah belakang! Orang tua ini akhirnya tergeletak tak bernyawa di tanah, kepala dan wajah tidak berupa lagi, tubuh penuh luka bergelimang darah. Jubah putih telah berubah merah!
KI BONANG Talang Ijo usap kedua matanya dengan telapak tangan kiri. Walau keadaan di dalam pondok gelap gulita usapan tangan tadi membuat dia kini bisa melihat jelas di dalam gelap. Benda yang dicari segera membentur pandangannya. Terletak tergulung di atas tempat tidur rotan.
"Sutan tolol! Hanya untuk seekor kupu-kupu yang tidak ada gunanya bagimu kau sampai mau-mauan mati percuma!"
Sambil menyeringai Ki Bonang melangkah cepat mendekati tempat tidur. "Kupu-kupu Giok. Aku tahu kau ada dalam gulungan sorban putih berumbai-umbai benang emas..."
Hanya satu jengkal lagi tangan kakek ini akan menyentuh sorban, tiba-tiba sorban melesat ke udara. Kaget Ki Bonang bukan kepalang. Dengan cepat dia melompat ke atas, tangan menyambar tapi lagi-lagi luput.
"Sorban keparat! Roh jahanam apa yang membuat kau bisa melesat ke udara! Biar aku hancurkan kau sekalian bersama kupu-kupu itu!"
Tapi Ki Bonang ingat, jangankan membunuh, melukai kupu-kupu itu saja dia tidak boleh melakukan. Itu pesan Teng Sien, Perwira Muda pasukan Kerajaan Cina bertopi besi merah yang jadi pimpinan rombongan pengejar kupu-kupu. Maka dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh kakek ini kembali berkelebat ke atas berusaha menyambar sorban yang melayang. Gerakan Ki Bonang memang luar biasa cepat. Dia berhasil menangkap salah satu ujung sorban yang terjulai. Namun seperti hidup sorban menyentak diri hingga brett! Ujung sorban robek putus.
Ki Bonang Talang Ijo berteriak penasaran. Kembali kakek ini membuat gerakan menyambar. Namun sekali ini sorban yang melayang di udara menyusup ke bawah lalu plaakk! Ujung sorban yang robek mendarat di kening hijau Ki Bonang hingga kakek ini terpental. Kepala terasa sakit, pemandangan berkunang.
"Jahanam kurang ajar!" Dalam marahnya Ki Bonang tidak perduli lagi apakah dia akan melukai atau membunuh kupu-kupu yang dipastikannya berada dalam gulungan sorban. Ketika sorban putih melesat ke atas, melewati lobang jebolan di atap ijuk, Ki Bonang segera melesat mengejar sambil tangan kanan digerakkan dalam melepas jurus pukulan sakti bernama Di Atas Awan Menyergap Rembulan.
Serangkum cahaya hijau berkiblat keluar dan ujung jari tangan kanan Ki Bonang, menebar menjadi lima larikan yang bergulung-gulung lalu dengan cepat menelikung sorban putih yang melesat di udara malam. Walau dalam keadaan terjerat, sorban putih yang seolah hidup tiba-tiba pancarkan cahaya terang menyilaukan.
"Brett!" Untuk kedua kalinya sorban putih Sutan Panduko Alam robek dan putus. Kali ini pada sepertiga panjang. Robekan melayang jatuh ke atas atap, sisanya yang masih setengah tergulung melesat ke udara. Ketika Ki Bonang Talang Ijo sampai di atap pondok sorban telah melesat jauh ke arah timur.
Ki Bonang Talang Ijo hanya bisa kepalkan tangan dan hentakkan kaki hingga atap bangunan berderak roboh. Lalu si kakek melayang turun ke tanah sambil berteriak memberi tahu pada orang-orang yang ada di halaman.
"Lolos! Kupu-kupu batu Giok itu lolos dalam gulungan sorban..."
Teng Sien, orang Cina bertopi besi merah berteriak marah. Lalu memaki-maki sambil bantingkan golok besar hingga amblas masuk ke dalam tanah! "Kita harus cepat mengejar..." Kata Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
"Percuma, tidak akan terkejar," kata Ki Bonang Talang Ijo sambil mengusap wajahnya hingga mukanya yang tadi hijau kini berubah ke warna asal. Keningnya yang bekas dihantam ujung sorban tampak kemerah-merahan.
"Paling tidak kita harus mencari tahu kemana sorban membawa kupu-kupu itu." Ucap Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam langit sambil pegangi sobatnya Si Batu Bakilek yang tangan kanannya hancur dihantam tasbih hitam Sutan Panduko Alam
"Malam ini aku akan batarak," kata Si kamba Mancuang Tangan Manjulai walau sibuk menolong saudaranya Si Pesek yang patah tulang iga kiri kanan. (batarak = bersamadi) "Kita harus mencari tahu kemana sorban itu membawa kupu-kupu giok."
Si Kamba Pesek Tangan Manjulai meludah ke tanah. Ludahnya masih mengandung darah. Tampangnya tampak angker ketika berkata. "Persetan dengan kupu-kupu giok dan sorban jahanam itu. Yang penting kalian harus menolong diriku dulu sampai sembuh..." Lalu dia berpaling pada Teng Sien dan tiga anak buahnya. "Cino cino keparat ini, suruh saja mereka kembali ke negerinya. Gara-gara mereka mencari kupu-kupu setan itu aku jadi sangsaro begini" (sangsaro = sengsara)
"Saudaraku," kata Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai setengah berbisik. "Kita tidak bisa berbuat begitu. Kita semua sudah menerima pembayaran satu peti batangan emas dari mereka. Kita akan memperoleh satu peti lagi jika berhasil mendapatkan kupu-kupu giok itu. Kau sabar dan tenang sajalah. Aku dan para sahabat pasti akan merawatmu. Kau akan sembuh dalam waktu cepat..."
"Kupu-kupu giok, kupu-kupu giok!" cemberut Si Kamba Pesek Tangan manjulai dengan suara meradang. "Mengapa bukan si Giok gapuak anak gadis Taci Lim di Kampung Cino saja yang mereka cari. Kupu-kupu... Bikin aku susah saja..." (gapuak = gemuk) (Taci = bibi)
Si Kamba Mancuang tertawa cekikikan. Ditepuk-tepuknya pipi kempot Si Kamba Pesek. "Kau ini ada-ada saja. Kupu-kupu gaib itu jangan kau samakan dengan nona gendut berwajah tambun di Kampung Cino Hik hik hik."
Tak selang berapa lama semua orang meninggalkan tempat itu turun dari Bukit Malintang. Mereka berjanji akan berkumpul di satu tempat di Muko-Muko sehari kemudian. Ki Bonang Talang Ijo berjalan di sebelah belakang sambil menimang-nimang tasbih batu hitam milik Sutan Panduko Alam yang ditemuinya tercampak di tanah. Kakek sakti dari tanah Jawa ini yang pertama sekali meninggalkan rombongan, melanjutkan perjalanan ke arah timur. Sementara dua nenek Si Kamba Tangan Manjulai mencari dangau untuk bermalam.
Seperti yang dikatakannya setelah mengobati saudaranya Si Kamba Mancuang kemudian melakukan tarak (samadi) di satu tempat yang sunyi tak jauh dari dangau, berusaha mencari petunjuk dimana sekarang beradanya kupu-kupu giok. Dia menemukan sebatang pohon besar lalu melompat ke salah satu cabang dan melakukan tarak (samadi) dengan cara berjuntai yaitu dua kaki digelungkan di cabang pohon, rubuh dan kepala bergantung ke arah tanah. Dua tangan yang panjang melilit seputar badan mulai dari pinggang sampai ke dada.
Suara alunan arus sungai Batang Sianok terdengar lembut sejuk di telinga pada malam yang sunyi itu. Langit di pertengahan malam bersih berhias bintang gumintang. Di tepi ngarai seorang pemuda berpeci hitam mengenakan baju dan celana panjang putih berjalan sambil meniup puput, alat bebunyian sederhana yang ditiup dan mudah dibuat dari batang padi.
Rambut yang panjang menjulai bahu melambai-lambai di tiup angin. Sambil meniup puput matanya tidak lepas dari memperhatikan sungai dan Ngarai Sianok yang tampak sangat indah dibawah terangnya cahaya dari atas langit. Entah lagu apa yang dikumandangkan pemuda itu namun tiba-tiba dia berhenti meniup puput. Matanya melihat sebuah benda putih melayang di udara malam. Dia terus memperhatikan. Benda putih berputar dua kali di atas ngarai lalu melayang ke arah tebing sebelah timur dan lenyap dari pemandangan.
"Benda putih tadi. Apakah ada sangkut pautnya dengan perintah Datuk menyuruhku datang dan berjaga-jaga di sekitar Ngarai Sianok Ini?" Si pemuda berucap dalam hati. "Sayang Datuk tidak terlalu banyak menjelaskan. Beliau mengatakan akan terjadi satu peristiwa besar di ranah Minang dan aku diminta menyelidiki sendiri."
Setelah berpikir sejenak pemuda berpeci hitam segera melompat ke atas satu gundukan batu, berpindah ke gundukan lain lalu melesat ke satu batu tinggi berbentuk tonggak. Dari sini dia terus melompat ke dinding ngarai sebelah timur yang merupakan batu keras berseilmut lumut yaitu ke arah mana tadi lenyapnya benda putih yang melayang di udara malam.
Dari caranya melompat dan melesat laksana terbang jelas pemuda berkopiah hitam ini memiliki ilmu kepandaian yang bukan sembarangan. Di Ranah Minang, terutama daerah luas yang dikenal dengan Lunak Nan Tigo hanya yang disebut kaum Pandeka atau para tuo-tuo Nagari berilmu kesaktian tinggi saja yang mampu melakukan hal itu. (Pandeka = pendekar)
"Dinding batu semua." Ucap si pemuda sambil menyentuh lamping ngarai di depan mana dia berdiri. "Kemana lenyapnya benda putih tadi? Tak mungkin masuk menembus dinding ngarai."
Cukup lama memperhatikan akhirnya pemuda ini memutuskan untuk menerapkan ilmu yang mampu melihat jauh menembus halangan. Begitu ilmu diterapkan mendadak kepalanya tersentak ke belakang. Tubuh bergoncang. Dua kaki hampir terpeleset di lamping ngarai yang terjal dan licin.
"Ada kekuatan aneh menghalangi ilmuku..." ucap si pemuda dalam hati.
Tapi diam-diam dia merasa gembira karena kekuatan itu bersumber pada satu tempat di tebing ngarai dan berarti benda putih yang tadi dilihatnya juga pasti berada di sekitar itu. Perlahan-lahan pemuda ini melangkah sepanjang tebing ngarai hingga akhirnya dia menemukan sebuah lobang besar merupakan mulut sebuah goa. Sesaat hatinya bimbang.
"Tadi ada kekuatan aneh menghalangi. Sekarang kalau aku masuk ke dalam goa lalu ada harimau campa atau ulat besar yang menunggu bisa celaka diriku," pikir si pemuda.
Maka setelah lebih dulu mengerahkan tenaga dalam dan membekal satu pukulan sakti di tangan kanan dia kemudian masuk ke dalam goa. Ternyata goa itu cukup panjang. Lorong di dalamnya berliku liku dan mendaki. Namun ada satu keanehan. Semakin jauh ke dalam keadaan di goa bukan bertambah kelam tapi malah menjadi lebih terang. Di satu bagian goa si pemuda hentikan gerakan kakinya.
Sejarak sepuluh langkah di depan sana dia melihat lantai, dinding dan atap goa membentuk pintu menyerupai pintu sebuah mesjid. Penuh ukiran mengagumkan serta dikelilingi tulisan dari rangkaian huruf Arab yang indah. Dari belakang pintu yang tidak berdaun itu keluar satu cahaya terang. Pemuda berkopiah hitam berpakaian serba putih melangkah mendekati pintu.
Namun gerakannya tertahan ketika lapat-lapat dia mendengar suara orang bercakap-cakap. Satu lelaki lainnya perempuan. Dari pendengarannya yang tajam dia bisa mengetahui suara lelaki adalah suara seorang tua sedang yang perempuan agaknya masih muda belia. Setelah menunggu sebentar, dari tegak berdiri si pemuda kini berjongkok, lalu perlahan-lahan tanpa suara dia menggeser dua kaki, beringsut ke arah pintu berukir.
Seperti yang dikatakan Sutan Panduko Alam pada kupu-kupu besar yang ada di dalam gulungan sorban putih, begitulah kejadiannya. Ketika Ki Bonang Talang Ijo siap hendak mengambil sorban tiba-tiba sorban putih itu melesat ke udara. Walau sampai dua kali sempat disambar oleh si kakek dan dua kali pula mengalami robek namun sorban secara gaib masih bisa lolos dan melesat keluar lewat lobang besar di atap pondok lalu melayang ke arah timur.
Di dalam goa di salah satu dinding Ngarai Sianok, Datuk Marajo Sati baru saja selesai melakukan sembahyang tengah malam, sembahyang Tahajjud dan masih duduk bersila membaca berbagai doa bagi keselamatan diri dan ummat Nagari ketika tiba tiba dia mendengar ada suara berdesing memasuki goa.
"Bukan suara hewan bukan juga burung gerangan apakah yang melayang masuk ke dalam tempat kediamanku ini?"
Datuk Marajo Sati yang berusia enam puluh tahun itu segera hendak meluruskan kaki lalu berdiri. Namun sekonyong-konyong melayang sebuah benda putih dan jatuh tepat di atas pangkuannya. Sang datuk mengucap terkejut mengusap wajah dan janggut putih lalu memperhatikan dengan mata tak berkesip pada benda yang tergulung di pangkuannya. Sebuah sorban putih berumbai-rumbai benang emas yang salah satu ujungnya sobek.
"Atagafirullah, aku seperti mengenali sorban ini." Ucap Datuk Marajo Sati dalam hati.
Ketika dia mengulurkan tangan kanan hendak menyentuh sorban, tangannya jadi tersurut Karena mendadak dari balik gulungan sorban putih bergerak keluar seekor binatang. Semula Datuk Marajo mengira seekor burung. Tapi setelah binatang Ini merentangkan empat sayap ternyata seekor kupu-kupu besar berwarna indah sekali. Binatang ini perlahan-lahan bergerak dan berhenti di atas pangkuan kiri sang Datuk.
"Allah Maha Besar. Sebuah sorban dan seekor ramo-ramo dikirimkan Allah kepadaku. Apa artinya ini?"
Datuk Marajo Sati ambil gulungan sorban di pangkuannya lalu dibuka dan diperhatikan. Mata kemudian dipejam dan kepala ditengadah.
"Ya Allah, mengapa hati saya mendadak tidak enak? Sorban cabik berumbai benang emas seperti ini, hanya ada satu orang yang memiliki yaitu sahabat dan kakak saya Sutan Panduko Alam yang diam di Bukit Malintang di pesisir barat Lunak Agam. Mengapa hanya sorban yang sampai pada saya? Dimana sahabat saya itu? Apa yang terjadi dengan dirinya? Lalu terbungkus di dalam sorban ada seekor ramo-ramo rancak. Apa artinya ini? Ya Allah, beri saya petunjuk." (rancak = bagus, elok)
Datuk Marajo Sati lalu cium sorban putih berulang kali. Kemudian dia ulurkan tangan mengusap kupu-kupu di paha kirinya. Kupu-kupu ini tundukkan kepala beberapa kali lalu terbang ke atas sebuah gundukan batu berbentuk meja di samping kanan goa.
"Orang tua, saya mahluk tidak berdaya. Saya mohon pertolongan dan perlindungan."
"Hai. siapa yang bicara?" Datuk Marajo Sati terkejut. Sorban putih yang dipegangnya sampai terlepas jatuh ke pangkuan. Mata menatap ke atas batu. "Ramo-ramo rancak, kaukah yang barusan berkata-kata?"
"Betul sekali orang tua. Memang saya yang barusan bicara. Maafkan saya kalau membuatmu terkejut" Kupu-kupu di atas batu menjawab, membuat Datuk Marajo Sati terpana beberapa ketika.
"Allah Maha Besar. Kalau tidak dengan kehendakNya tidak mungkin seekor binatang sepertimu pandai bicara. Beri tahu diriku, apakah kau ini binatang benaran, mahluk jejadian atau sebangsa hantu pelayangan. Bagaimana kau bisa berada di dalam gulungan sorban milik Sutan Panduko Alam dan terbang ke sini. Apa yang terjadi dengan Sutan Panduko Alam, dimana saudaraku sekarang?"
"Orang tua, kalau boleh saya bercerita akan saya sampaikan asal muasal keadaan diri saya. Juga akan saya beri tahu apa yang terjadi dengan sahabatmu, lalu bagaimana saya bisa melayang terbang bersama sorban itu ke tempat Ini..."
"Katakan... ceritakan padaku." Kata Datuk Marajo Sati pula.
"Orang tua, saya berasal dari tanah leluhur negeri Cina. Ujud saya sebenarnya adalah sebuah kupu-kupu batu giok berwarna antara biru dan hijau dan merupakan benda pusaka utama milik Kerajaan yang harus berada di tangan Kaisar sebagai salah satu syarat syahnya menduduki tahta Kerajaan..."
"Aku mendengar, tapi ada yang aku tidak mengerti." Datuk Marajo Sati memotong ucapan kupu-kupu giok di atas batu. "Jika kau adalah sebuah batu giok, bagaimana mungkin mungkin bisa bicara. Lalu jika kau berasal dari negeri Cina bagaimana mungkin kau bisa bicara berbahasa anak negeri ini?"
"Orang tua, ada satu kejadian besar di negeri leluhur saya. Seorang puteri Pangeran dituduh telah berbuat zinah dengan kekasih puterinya. Ketika Pangeran hendak membunuh pula puteri darah dagingnya sendiri Yang Maha Kuasa menolong. Puteri pangeran dirubah menjadi angin lalu dimasukkan ke dalam kupu-kupu giok pusaka Kerajaan. Kupu-kupu ini bisa menjelma menjadi kupu-kupu besar seperti yang kau saksikan saat ini..."
"Kalau begitu ceritanya berarti kau adalah puteri Pangeran yang malang itu."
"Benar sekali orang tua..."
Datuk Marajo Sati tercengang. Untuk beberapa lama dia tidak bisa mengeluarkan ucapan. Setelah mengusap janggut pendeknya, Datuk Marajo Sati bertanya. "Lalu bagaimana kau bisa bicara bahasa orang di sini?"
"Akan saya ceritakan. Tapi biar saya lanjutkan kisah nasib diri saya selagi masih di negeri leluhur." Jawab kupu-kupu giok pula. "Setelah tahu diri saya masuk ke dalam kupu-kupu batu giok. Pangeran memerintahkan pasukan mencari dan mengejar saya. Pangeran mau mengeluarkan hadiah besar asal saya bisa ditangkap dan kupu-kupu giok ditemukan kembali. Dalam ujud kupu-kupu saya sampai di ujung daratan, di satu pelabuhan. Karena tidak tahu mau lari kemana lagi saya masuk ke dalam sebuah kapal besar. Kapal itu ternyata berlayar ke negeri beribu pulau di selatan, berlabuh di satu daratan yang disebut tanah Jawa. Ternyata pasukan Kerajaan dibawah pimpinan seorang Perwira Muda bernama Teng Sien berhasil mengetahui kalau saya berada dalam kapal besar. Mereka melakukan pengejaran dengan kapal kecil tapi lebih cepat. Sampai di tanah Jawa saya hampir tertangkap karena Pasukan suruhan Pangeran menyewa beberapa orang sakti berkepandaian tinggi. Salah seorang diantara mereka yang terus mengejar saya sampai ke negeri ini saya ketahui bernama Ki Bonang Talang Ijo."
Kupu-kupu di atas batu diam sejenak seperti mengingat-ingat lalu baru melanjutkan lagi kisahnya.
"Di tanah Jawa saya tidak tahu lagi mau lari kemana. Saya setengah terbang setengah dilayangkan angin hingga akhirnya sampai di sebuah selat besar. Di selat itu saya kembali sembunyi di dalam sebuah kapal yang membawa saya ke arah tanah India. Namun sewaktu kapal singgah sebentar di sebuah pelabuhan kecil di pesisir barat pulau Andalas saya tidak tahan lagi setelah sekian lama terus menerus di dalam kapal. Saya terbang meninggalkan kapal. Ternyata para pengejar saya sudah lebih dulu mendarat di pantai. Jumlah mereka juga bertambah. Ada dua orang nenek berjuluk Si Kamba Tangan Manjulai, Duo Hantu Gunung Sago. Ada juga yang bernama Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Masih ada beberapa orang yang tidak saya ketahui siapa nama atau julukan mereka. Saya dikejar sampai akhirnya saya tiba di sebuah bukit tak jauh dari pantai dan terpesat masuk ke dalam sebuah pondok kayu yang didiami seorang tua yang kemudian saya ketahui bernama Sutan Panduko Alam.."
"Sutan Panduko Alam, dia sahabat dan kakak tuaku." Datuk Marajo Sati dekapkan sorban putih ke dadanya. "Apa yang terjadi dengan sahabatku itu?"
"Saya masuk ke dalam pondok Sutan Panduko Alam. Beliau menolong dan melindungi saya. Sewaktu beliau tahu bahwa orang-orang yang mengejar akan menyerbu pondoknya. Sutan Panduko Alam memasukkan saya ke dalam gulungan sorban sambil berkata kalau sesuatu terjadi dengan diri saya maka sorban akan menerbangkan saya ke tempat yang aman."
"Ternyata sorban yang diisi ilmu kesaktian itu membawamu ke sini. Kau diselamatkan sahabatku, tapi kau tahu apa yang terjadi dengan dirinya?"
"Saya mohon maafmu orang tua, dan saya sangat bersedih. Ketika sorban terbang di udara meninggalkan pondok di atas bukit saya masih sempat melihat orang tua yang telah menolong saya itu terbujur tak bergerak lagi di halaman pondok. Sekujur tubuh serta pakaiannya bersimbah darah..."
"Innalillahi wainna illaihi roji'un..." Datuk Marajo Sati mengucap. Wajah mengetam sedih. Sepasang mata berkaca-kaca. "Tuhan akan memberi azab kepada manusia yang menebar angkara murka."
"Orang tua, saya tahu. Kalau tidak karena saya penyebabnya Sutan Panduko Alam tidak akan bernasib seburuk itu." Kata kupu-kupu giok di atas batu.
"Setiap Kematian seseorang ada penyebabnya. Langkah, pertemuan atau jodoh, rezeki dan maut tidak seorangpun yang tahu. Semua kuasaNya Allah. Kematian seseorang telah diukir di alam takdir, tersurat di alur nasib selagi dirinya masih di dalam rahim. Tidak ada yang bisa menyalahkan dirimu. Malah aku bangga, sahabatku Sutan Panduko Alam menemui kematian dalam berbuat satu kebajikan besar..." Setelah mengusap wajahnya Datuk Marajo Sati bertanya. "Ramo-ramo. apakah kau punya nama?"
"Sebagai kupu-kupu batu giok Kerajaan memberi nama Kupu-Kupu Mata Dewa. Sebagai puteri Pangeran yang malang nama saya adalah Chia Swie Kim."
Datuk Marajo Sati perhatikan sepasang mata kupu-kupu. Dia melihat dua mata binatang ini memancarkan cahaya menyejukkan, namun sesekali ada kilatan yang menggetarkan."Ramo-ramo batu giok, kau belum menerangkan bagaimana kejadiannya kau bisa berbahasa anak nagari di sini."
"Akan saya ceritakan," jawab kupu-kupu giok yang merupakan binatang ketempatan dari puteri Pangeran Cina bernama Chia Swie Kim. "Sebelum saya sampai ke pondok orang tua bernama Sutan Panduko Alam. Saya terlebih dulu terpesat ke rumah satu keluarga di pesisir barat yang tengah berada dalam kedukaan. Seorang anak gadis mereka meninggal dunia. Saat itu malam hari, saya hinggap di atas atap. Ketika orang ramai bertangisan di dalam rumah tanda anak gadis itu telah menghembuskan nafas penghabisan tiba-tiba saya melihat ada satu cahaya putih keluar dari dalam rumah. Cahaya ini berputar beberapa kali di udara malam lalu berpijar terang masuk ke dalam tubuh saya. Saat itu juga saya merasa ada satu keanehan. Saya mengerti apa yang dikatakan orang di dalam rumah. Bahkan ketika saya coba mengeluarkan suara yang terucap bukan lagi bahasa leluhur saya. Tapi bahasa orang di sini. Saya tidak bisa lagi mengucapkan bahasa leluhur saya. Tapi saya masih mengerti jika ada orang yang bicara dalam bahasa itu. Kejadian ini pastilah kehendak Yang Maha Kuasa. Saya merasa beruntung karena waktu bertemu dengan orang tua bernama Sutan Panduko Alam, saya sudah mampu bicara orang di negeri ini."
"Tuhan Maha Besar dan berbuat sekehendakNya," ucap Datuk Marajo Sati.
"Orang tua, apakah saya boleh mengetahui namamu?"
"Orang biasa memanggilku Datuk Marajo Sati. Kau boleh memanggilku dengan sebutan Datuk saja..."
"Terima kasih. Apakah saya bisa berharap Datuk akan menyelamatkan saya dari orang-orang yang mengejar saya? Mereka orang-orang sakti. Mereka akan sangat tega membunuh saya karena sudah dijanjikan dua peti batangan emas. Satu peti telah mereka terima. Cepat atau lambat mereka pasti akan menemukan saya."
"Dengan ridho Allah aku akan menolongmu sebisa yang aku lakukan..."
"Walau mungkin Datuk akan terpaksa mengorbankan nyawa seperti yang dialami sahabat Datuk bernama Sutan Panduko Alam itu?"
Datuk Marajo Sati tersenyum lalu anggukkan kepala. "Seperti kataku tadi maut atau kematian seseorang berada di tangan Tuhan. Sebelum ajal berpantang mati."
"Datuk, izinkan saya menyampaikan rasa terima kasih saya."
Kupu-kupu di atas batu melompat turun kehadapan Datuk Marajo Sati. Tubuhnya tiba-tiba memancarkan cahaya putih lalu perlahan-lahan berubah menjadi hijau kebiruan. Bersamaan dengan itu sosok kupu-kupu besar berubah menjadi sosok seorang anak gadis berpakaian jubah panjang biru bersulam bunga-bunga benang emas. Rambut panjang hitam menjela indah. Wajahnya tidak kelihatan karena dalam keadaan kepala tunduk disujudkan ke lantai goa.
"Anak gadis, bangunlah. Jangan sekali lagi kau ulangi menyembah diriku. Ummat manusia hanya menyembah kepada Yang Maha Kuasa, Allah Seru Sekalian Alam."
"Saya sangat mengucapkan terima kasih Datuk mau memberi perlindungan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas kebaikan Datuk berlipat ganda."
Lalu perlahan-lahan gadis yang bersujud itu bangkit berdiri. Ternyata wajahnya yang putih kemerahan cantik sekali. Alis hitam berkelut, bibir semerah delima merekah dan sepasang mata hitam indah sekali.
"Anak gadis, ujudmu yang aku lihat ini apakah ujud puteri Pangeran Cina atau ujud jejadian roh gadis yang meninggal beberapa waktu lalu dan masuk ke dalam tubuhmu?" Bertanya Datuk Marajo Sati.
"Ujud saya yang Datuk lihat adalah ujud asli puteri Pangeran. Saya adalah Chia Swie Kim."
Untuk beberapa lamanya Datuk Marajo Sati terpesona kagum melihat kecantikan sang puteri dan tak bisa berkata-kata.
"Datuk, apakah Datuk ingin saya tetap berkeadaan seperti ini, atau..."
Datuk Marajo Sati cepat menjawab. "Demi keselamatan dirimu, sebaiknya kau kembali ke dalam ujud ramo ramo batu giok. Tidak seperti ini tidak pula seperti ramo-ramo hidup. Dan aku akan mengganti namamu. Apakah kau bersedia?'
"Datuk tuan penolong saya. Saya akan menurut apa kata Datuk."
"Anak gadis, berapakah usiamu saat ini?" Tanya sang Datuk selanjutnya.
"Semoga saya tidak salah, purnama bulan di muka saya akan berusia delapan belas tahun." Jawab Chia Swie Kim.
Datuk Marajo Sati mengangguk. Sambil mengusap janggut pendeknya yang berwarna hitam bercampur putih dia berkata. "Anak gadis. Mulai saat ini namamu Puti Bungo Sekuntum. Julukanmu Ramo-Ramo Giok Ngarai Sianok atau Kupu-Kupu Giok Ngarai Sianok."
Gadis Cina bernama Chia Swie Kim yang cantik itu tersenyum. "Terima kasih Datuk. Saya tahu. Nama dan julukan itu bagus sekali." ujar Chia Swie Kim pula.
Ketika dia hendak menyambung ucapannya. Datuk Marajo Sati memberi isyarat seraya berbisik. "Ada manusia jahil mendekam di luar sana. Agaknya sudah sejak tadi dia mencuri dengar pembicaraan kita. Anak gadis, lekas ubah ujudmu menjadi kupu-kupu giok!"
Dengan cepat Chia Swie Kim yang kini bernama Puti Bungo Sekuntum merubah diri menjadi kupu-kupu batu giok berwarna hijau kebiruan. Datuk Marajo Sati mengambil kupu-kupu batu giok itu lalu meletakkannya di dalam sebuah lekukan di dinding goa sebelah kiri.
Pemuda berpakaian putih berpeci hitam yang jongkok tak jauh dari pintu goa kediaman Datuk Marajo Sati terperangah ketika dari dalam goa ada suara menegur.
"Orang di luar pintu, yang mencuri dengar pembicaraan orang. Aku harap kau segera datang ke hadapanku atau kau tidak akan keluar dari tempat ini untuk selama-lamanya."
Si pemuda raba kopiah hitam di atas kepala, memandang berkeliling. "Galak sekali. Di tempat ini cuma aku sendirian. Pasti ucapan orang di dalam sana ditujukan padaku."
Perlahan-lahan pemuda itu berdiri tapi tidak segera melangkah ke arah pintu. Sesaat dia merasa bimbang. Selagi dia terdiam seperti itu tiba-tiba... rrreettttttt! Lantai goa di hadapannya bergetar dan menganga terbelah ke arahnya. Dari dalam belahan terasa ada udara menyedot sangat keras.
"Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah!" ucap si pemuda setengah berseru. "Bagaimana mungkin?!"
Namun karena tidak mungkin berpikir lebih lama secepat kilat pemuda itu melompat ke atas selamatkan diri. Kebetulan di atap goa ada batu panjang menggantung maka dengan cepat dia bergayut pada batu itu. Ternyata sedotan dari tanah goa yang terbelah kuat sekali. Khawatir tidak bisa bertahan si pemuda akhirnya melesatkan diri ke depan pintu terus menggelinding masuk dan terhenti berguling sewaktu kepalanya membentur satu gundukan batu hitam berbentuk meja hingga kopiahnya mental.
Sambil usap-usap kepala sebelah belakang yang sakit agak benjut pemuda ini ambil kopiahnya. Terbungkuk-bungkuk dia bangkit berdiri sambil letakkan kembali kopiah hitam di atas kepala. Dia tersurut satu langkah sewaktu melihat di hadapannya duduk seorang bersorban dan berjubah putih. Wajahnya yang klimis dihias janggut pendek hitam bercampur putih. Sepasang mata menatap tak berkesip ke arahnya. Si pemuda merasa pandangan mata yang tajam itu seolah mengunci gerakan tubuhnya. Ternyata benar. Saat itu dia tidak mampu menggerakkan tangan dan kaki!
"Mengunci gerakan dengan pandangan mata," ucap si pemuda dalam hati. "Luar biasa orang tua satu ini" Lalu dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam dari arah pusar. Saat itu juga tangan serta kaki bisa digerakkan kembali. Sepasang alis mata Datuk Marajo Sati mencuat ke atas. Kening mengerenyit.
"Pemuda asing tidak aku kenal. Mempunyai kepandaian tinggi. Datang menyuruak-nyuruak. Maksud baik atau ada niat jahat?" (menyuruak-nyuruak=sembunyi-sembunyi)
"Datuk, Sutan, Mamak! Orang tua siapapun kau adanya, kalau dipikir apakah kesalahan saya begitu besar hingga kau hendak menurunkan tangan keras atas diri saya?!" Pemuda berpeci hitam keluarkan ucapan.
Datuk Marajo Sati tidak segera menjawab. Dia masih terus perhatikan pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Sesaat kemudian baru membuka mulut. "Kopiahmu kekecilan tanda kopiah pinjaman, mungkin juga kopiah curian. Rambutmu menjulai bahu seperti padusi. Bibir tebal dan suaramu bicara macam orang kepedasan pertanda kau bukan orang di sini. Kau pasti orang Jawa. Ulahmu memasuki tempat kediamanku tidak meminta izin tidak pula memberi salam. Kelakuanmu tidak berkenan di hatiku karena kau mencuri dengar pembicaraanku. Anak muda apa tidak cukup pantas kalau aku menghukum kelancanganmu?" (padusi = perempuan)
Si pemuda garuk-garuk dagu lalu menjawab. "Tentu saja. Siapa bersalah wajib dihukum. Tapi harus dilihat juga kadar kesalahannya. Apakah karena kesalahan yang tidak disengaja lantas orang mau menghukum hendak membunuh saya dengan Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah?" Tukas si pemuda pula. "Oala....murah nian harga nyawa manusia di negeri ini."
Wajah Datuk Marajo Sati membesi. Lalu orang tua ini tertawa. Sebenarnya dia memang tiada niat hendak mencelakai apa lagi membunuh si pemuda. Namun tadi dia merasa malu pada diri sendiri. Ilmunya begitu tinggi dan dia merupakan Datuk paling disegani di Tiga Luhak Ranah Minang yaitu Agam, Tanah Datar dan Limapuluh Kota. Bagaimana mungkin dia tidak segera mengetahui kalau ada orang masuk ke dalam goa dan sembunyi mendengar pembicaraannya dengan gadis Cina. Dia baru menyadari ada orang lain di tempat itu setelah orang itu mendekam cukup lama.
"Jangankan tarikan nafasnya, geseran tapak kakinyapun tidak kudengar tidak kurasa. Apakah dia mendengar semua pembicaraanku tadi?"
"Anak muda berambut panjang macam perempuan. Ilmu yang kumiliki bukan bernama Membelah Bumi Menyedot Arwah! Tapi, Bumi Tabalah Azab Manimpo. Bagaimana kau enak saja menyebut ilmuku bernama Membelah Bumi Menyedot Arwah?" (Bumi Tabalah Azab Manimpo - Bumi Terbelah Azab Menimpa)
Si pemuda tidak menjawab tapi geserkan sedikit telapak kaki kanannya. Saat itu juga... rrretttt! Lantai goa terbelah. Belahan menjalar ke tempat Datuk Marajo Sati duduk bersila. Sang Datuk sampai terlompat ke atap goa saking kagetnya. Tubuhnya nyaris tersedot ke dalam belahan tanah kalau dia tidak cepat melambaikan tangan menolak daya sedotan yang cebat dengan mengerahkan hampir seluruh kekuatan tenaga dalam. Jubah putihnya bergerak-gerak. Sorban di kepalanya tiba-tiba seettt! Masuk tersedot ke dalam belahan lantai goa.
"Retttttt!" Belahan tanah menutup kembali begitu si pemuda menggeserkan telapak kaki kanannya.
"Anak muda kurang ajar" Datuk Marajo Sati membentak marah sambil tangan kiri mengusap kepala yang ternyata setengah botak) "Kau menarik korbanku masuk ke dalam belahan tanah..." Sepasang mata sang Datuk membeliak seperti mau melompat dan rongganya.
"Maafkan saya orang tua. Sorbanmu ada di tangan saya." Si pemuda lalu keluarkan tangan kanannya dari balik punggung. Di tangan itu memang terpegang sorban milik Datuk Marajo Sati masih dalam keadaan tergulung rapi. Cepat-cepat si pemuda menyerahkan sorban pada pemiliknya sambil membungkuk dan berulang kali meminta maaf.
"Kau bukan saja kurang ajar tapi juga sombong! Kau mungkin tukang sihir! Aku melihat jelas sorbanku tadi masuk ke dalam belahan tanah goa. Mengapa tahu-tahu ada ditanganmu?! Kau sengaja hendak memamerkan ilmu kesaktian di hadapanku? Apa kau kira aku takut?!" Datuk Marajo Sati cepat mengambil dan mengenakan sorbannya kembali.
"Maafkan saya orang tua. Saya tidak bermaksud kurang ajar dan jauh dari kesombongan. Saya Juga bukan bukan bapak, bukan pula anak tukang sihir. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa kita memiliki ilmu kesaktian yang sama walau namanya berbeda. Bukankah itu satu pertanda bahwa antara kita ada saling keterkaitan?"
"Siapa kau. Dari mana kau dapatkan Ilmu Bumi Tabalah Azab Manimpo?!"
Si pemuda angkat kopiah hitamnya sedikit, menggaruk kepala baru menjawab sambi! senyum-senyum. "Ilmu yang saya miliki bukan bernama Bumi Tabalah Azab Manimpo tapi Membelah Bumi Menyedot Arwah. Ah, tapi keduanya memang sama benar. Apakah itu berarti kita masih satu guru satu ilmu. Yang mungkin pula berarti kita ini masih saling bersaudara?!"
"Benar-benar kurang ajar mantiko langek!" Sang Datuk masih marah, (mantiko langek = konyol kurang ajar) "Anak muda! Katakan dulu siapa dirimu! Apa yang membuatmu berani masuk ke dalam tempat kediamanku tanpa izin. Lalu niat jahat apa yang ada telah kau dengar?!"
"Orang tua, saya mungkin kesalahan dan lancang masuk ke dalam goa ini. Tapi semua tidak saya sengaja dan saya tidak membekal niat jahat. Saya juga tidak punya maksud mendengar pembicaraanmu. Kalau kau memang bicara, tadi kau bicara dengan siapa? Tidak ada orang lain di tempat ini. Tidak mungkin kau bicara seorang diri!"
Si pemuda pura-pura memandang seputar ruangan batu. Padahal sebenarnya dia tahu dan mendengar kalau tadi orang tua itu memang bicara dengan seorang perempuan. Tapi dia merasa heran karena perempuan itu tidak ada di situ. Sekilas pandangannya membentur kupu-kupu batu giok di cegukan dinding kiri. Ketika dia berusaha lebih memperhatikan orang tua di hadapannya cepat berkata dengan suara keras.
"Aku tidak percaya pada ucapanmu! Aku tidak percaya pada orang-orang asing! Datang ke Ranah Minang acap kali membuat keonaran!"
"Orang tua, tidak baik berucap seperti itu. Orang baik ada dimana-mana. Orang jahat juga ada dimana-mana. Tapi saya bukan..."
"Sudah! Katakan siapa namamu! Ada keperluan apa kau menyusup ke dalam goa ini?"
"Nama saya Wiro. Saya memang berasal dari tanah Jawa. Saya tidak menyusup ke sini..."
"Apa hubunganmu dengan seorang kakek Jawa bernama Ki Bonang Talang Ijo?"
Si pemuda yang ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng mengangkat kopiah, menggaruk kepala. Baru sekali ini saya mendengar nama itu. Saya tidak kenal orang itu. Barangkali kau bisa menjelaskan?"
"Dia salah seorang yang telah membunuh sahabatku Sutan Panduko Alam yang tinggal di pesisir barat..."
"Saya turut menyesal mendengar cerita duka itu. Tapi saya tidak ada sangkut paut dengan kematian sahabatmu. Orang tua saya tidak mau mengganggumu lebih lama. Dan saya mohon maaf kalau telah berlaku lancang masuk ke tempatmu."
"Tunggu! Kau tidak bisa pergi begitu saja sebelum menjawab beberapa pertanyaanku!"
Pendekar 212 angkat kopiah hitam, menggaruk kepala lalu berkata. "Orang tua, saya siap menjawab semua pertanyaanmu."
"Pertama, ada keperluan dan niat apa kau masuk ke dalam goa ini?" Tanya Datuk Marajo Sati.
"Malam ini, ketika saya berjalan di tepi Ngarai Sianok, sambil meniup puput batang padi ini..." Wiro unjukkan puput yang sejak tadi dipegangnya di tangan kiri. "Tiba-tiba saya melihat ada benda putih melayang di udara. Benda itu kemudian melesat ke dinding ngarai dan lenyap. Karena ingin tahu saya memeriksa dinding ngarai. Saya menemukan lobang besar yang rupanya mulut goa menuju ke tempat kediamanmu."
"Kau tidak bicara dusta anak muda berambut panjang seperti perempuan?"
Wiro menggeleng. "Saya bicara apa adanya, orang tua."
Datuk Marajo Sati angkat sorban buntung yang terletak di pangkuannya. "Benda putih yang kau lihat itu adalah sorban ini. Milik seorang sahabat yang sudah aku anggap sebagai kakak kandung sedarah sedaging. Dia menemui ajal dibunuh oleh serombongan orang. Salah satu diantaranya adalah kakek dari Jawa bernama Ki Bonang Talang Ijo. Jika aku tahu kakek itu ada sangkut pautnya dengan dirimu maka riwayatmu di negeri ini tidak akan lama."
Wiro terdiam. Dia melihat bayangan rasa sedih mendalam di wajah si orang tua tapi juga ada amarah yang membersit dari sepasang mata.
"Kau bukannya mata-mata yang tengah menyelidiki keberadaan..." Datuk Marajo Sati tidak meneruskan ucapannya. Hampir saja dia ketelepasan menyebut kupu-kupu giok.
"Keberadaan apa. orang tua?" tanya Wiro.
"Aku masih ada pertanyaan lain," sang Datuk alihkan pembicaraan. "Kau datang dari jauh. Apa tujuanmu berada di ranah Minang ini?"
“Saya baru saja menemui seseorang dan ada pesan amanat dari orang itu yang harus saya lakukan."
"Siapa orangnya? Tentu dia ada bernama dan juga bergala. Lalu apa pesan amanat yang diberikannya padamu?" (bergala = bergelar)
“Maaf, saya tidak bisa memberi tahu nama orang itu. Tapi kalau mengenai pesan amanatnya bisa saya katakan. Beliau mengatakan bahwa sesuatu perkara besar akan terjadi di Ranah Minang."
Kening Datuk Marajo Sati mengerenyit. "Perkara besar apa?"
"Beliau tidak memberi tahu. Beliau hanya meminta agar saya menyelidiki sendiri lalu memberi tahu padanya apa-apa yang saya dapat..." Jawab Wiro.
"Aneh..." Datuk Marajo Sati berucap dalam hati. "Ucapannya seolah dia seorang Pandeka Gadang. Seperti tidak ada orang cerdik pandai dan sakti di Ranah Minang ini. "Aku harus mencari tahu siapa manusia satu ini. Jangan-jangan orang gila yang kesasar. Tapi bisa masuk ke dalam goa ini bukan satu pekerjaan mudah. Apakah dia mampu merayap didinding ngarai seperti cacak?" (Pandeka Gadang = Pendekar Besar) (cacak = cecak)
"Orang tua apakah saya boleh meninggalkan tempat ini dan sekali lagi disertai permohonan maaf?"
"Kau tidak kuperbolehkan pergi sebelum menjawab satu pertanyaan lagi." Jawab Datuk Marajo Sati.
"Kalau begitu katamu saya menunggu apa yang hendak kau tanyakan."
"Dari mana kau dapatkan ilmu membelah tanah yang kau sebut Membelah Bumi Menyedot Arwah itu?"
"Maaf orang tua. Soal asal usul ilmu. saya tidak dapat menjelaskan."
"Tadi kau mengatakan ilmu kita sama. Mungkin ada keterkaitan diantara kita. Mungkin kita satu guru satu ilmu. Sekarang mengapa kau berlaku tidak jantan tidak mau memberi tahu?"
Wiro menggaruk rambut di belakang kuduk. "Maafkan saya, orang tua. Tapi apakah kau sendiri mau memberi tahu dari mana kau mendapatkan ilmu kesaktian yang kau sebut dengan nama Bumi Tabalah Azab Manimpo itu?"
"Pemuda culas. Pergilah dari hadapanku. Bilamana dikemudian hari kau kulihat berani berkeliaran di sekitar Ngarai Sianok ini maka aku akan menganggapmu sebagai musuh! Kau tahu apa artinya itu! Ingat hal itu baik-baik."
"Saya akan mengingat baik-baik," jawab Wiro. "Sebaliknya saya tidak akan pernah menganggapmu sebagai musuh. Saya menghormatimu." Wiro membungkuk lalu mengambil tangan orang tua itu, menjabat dan menciumnya, membuat Datuk Marajo Sati terkesiap, geleng-geleng kepala.
Belum sempat Pendekar 212 Wiro Sableng mencapai mulut goa di dinding ngarai Datuk Marajo Sati jentikkan ibu jari dan jari tengah tangan kanan dua kali. Saat itu juga ada kepulan asap di dalam goa. Tak lama kemudian dari dalam kepulan asap muncul seekor burung elang putih jantan besar bermata merah.
"Alang Putih Rajo Di Langit, ikuti pemuda tadi. Cari tahu kemana dia pergi dan siapa saja yang berhubungan dengan dia."
Elang putih menguik panjang lalu sekali mengepakkan sepasang sayap tubuhnya melesat ke arah mulut goa. Di satu tikungan goa yang agak gelap, Wiro yang sejak tadi sengaja mendekam bersembunyi serata tanah serata dinding bergerak berdiri sambil menyeringai.
"Benar dugaanku. Orang tua itu tidak membiarkanku pergi begitu saja. Aneh, aku merasa dia menyembunyikan sesuatu. Katanya ada seorang sahabat menemui ajal malam ini. Pasti seorang berkepandaian tinggi. Apakah ini ada kaitannya dengan amanat yang diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh padaku?"
Bagaimana Pendekar 212 Wiro Sableng bisa berada di tanah Minang? Seperti diceritakan dalam serial sebelumnya berjudul Bayi Titisan dengan bantuan harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau Wiro membawa Ken Permata dan Nyi Retno Mantili ke tanah Jawa untuk menemui Manusia Paku Sandaka. Setelah Sandaka mengalami kesembuhan dari tiga puluh paku baja putih yang menancap di tubuhnya, sementara Nyi Retno Mantili juga sembuh dari penyakit jiwanya.
Atas pesan yang disampaikan sang Datuk melalui isyarat jarak jauh yang diperlihatkan harimau putih, Wiro kemudian kembali ke pulau Andalas menemui gurunya itu di Danau Maninjau. Datuk Rao Basaluang Ameh memberi tahu bahwa akan terjadi satu peristiwa besar di Ranah Minang. Akan ada beberapa tokoh silat berkepandaian tinggi dari tanah Jawa yang akan datang dan terlibat dalam peristiwa itu.
"Selidiki apa yang terjadi. Beritahu padaku. Kalau perlu kau harus langsung bertindak sendiri..."
"Datuk, tanah Minang bukan negeri saya. Apakah nanti saya tidak dikatakan lancang oleh orang-orang di sini? Saya tahu di negeri ini banyak sekali orang cerdik pandai berilmu silat tinggi dan memiliki kesaktian yang sulit dicari tandingannya."
Datuk Rao menggeleng. "Seorang pendekar yang ingin berbuat kebajikan layak berada di mana saja selama mengingat kata-kata sakti Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung. Bahu membahu dalam membuat kebajikan adalah suruhan Yang Maha Kuasa. Lagi pula bukan sekali ini kau berada di tanah Minang. Apa kau lupa?
"Saya tidak lupa Datuk. Kalau begitu kata Datuk, saya mohon doa restu Datuk." Jawab murid Sinto Gendeng.
(Kisah Wiro di tanah Minang sebelumnya dapat di baca antara lain dalam serial Dendam Di Puncak Singgalang dan Harimau Singgalang)
Sesaat setelah elang putih peliharaan Datuk Marajo Sati yang bernama Alang Putih Rajo Di Langit melesat keluar goa dan membubung tinggi di atas langit malam Ngarai Sianok, Wiro segera pula bergerak cepat menuju mulut goa. Tapi baru kepala dan tubuhnya menyembul di depan goa tiba-tiba dua benda bercahaya hitam pekat disertai suara mengiang, menderu menyambar ke arah kepala dan dadanya. Secepat kilat murid Sinto Gendeng jatuhkan diri.
Benda pertama berdesing di samping kiri kepala Wiro membuat telinganya pengang. Benda ini kemudian menghantam amblas dinding goa sebelah dalam. Benda kedua melesat di depan dada. Walau bisa dielakkan tapi masih sempat merobek sedikit dada baju putihnya. Kulit dadanya terasa dingin tanda apapun benda yang menyerang mengandung racun jahat.
Gerakan mengelak membuat kaki kiri Wiro tergelincir di tebing ngarai yang terjal dan berlumut. Tak ampun lagi tubuhnya terjatuh ke bawah. Dia berusaha menggapai satu tonjolan batu di dinding ngarai namun karena licin pegangan terlepas. Tubuhnya kembali melayang ke bawah. Kali ini sungai Batang Sianok yang ditebari batu-batu besar dan runcing siap menunggu.
Di pintu goa saat itu telah berdiri Datuk Marajo Sati dan melihat apa yang terjadi. Dengan cepat orang tua ini tanggalkan sorbannya. Sekali sorban disentakkan maka benda itu berubah menjadi amat panjang. Sorban dengan cepat berhasil melilit kaki kanan Wiro hingga jatuhnya tertahan dan tubuhnya perlahan-lahan masuk ke dalam air Batang Sianok. Ketika merasa tidak ada daya berat yang menggelantungi sorbannya Datuk Marajo Sati segera menarik sorban. Matanya memandang ke bawah, ke arah sungai berbatu-batu.
"Lenyap. Pemuda itu tidak kelihatan. Aku tidak berhasil menolongnya. Saat ini Batang Anai tidak seberapa dalam. Tapi kalau kepalanya membentur batu. Sayang sekali kalau dia menemui ajal sebelum aku tahu siapa dia adanya..."
Datuk Marajo Sati tarik nafas panjang. Perlahan-lahan dia gulung sorbannya Ketika gulungan akhir mencapai ujung sorban, sepasang mata orang tua ini terbelalak. Pada ujung kain sorban terdapat lobang-lobang hitam seperti hangus yang ketika diperhatikan merupakan kata berbunyi: Terima kasih.
"Mantiko langek! Benar-benar mantiko langek! Mantiko cirik. Berarti dia tidak mati. Dia malah mempermainkan diriku! Dengan apa dia membuat tulisan ini?" Datuk Marajo Sati tampak jengkel. (Mantiko langek/Mantiko cirik = konyol kurang ajar)
Di udara malam yang bersih. Alang Putih Rajo Di Langit berputar dua kali di atas ngarai, menguik panjang lalu melesat ke ujung goa. Burung putih bermata merah ini cengkeram kuku-kuku kaki ke dinding goa, paruh mengorek bagian dinding yang tadi dihantam benda yang menyerang Wiro. Benda dijepit diantara dua paruh lalu dibawa masuk ke dalam goa dan diletakkan di lantai hadapan Datuk Marajo Sati. Benda itu ternyata adalah sebuah besi hitam berbentuk bintang bersudut empat. Pada setiap ujung terdapat lobang kecil. Bilamana benda ini dilempar dan melayang di udara maka empat lobang yang bersentuhan dengan udara atau angin akan mengeluarkan suara seperti tiupan seruling yang tidak putus-putus. Datuk Marajo Sati timang-timang benda itu sesaat lalu dekatkan ke hidung.
"Senjata rahasia mengandung racun. Baru sekali ini aku melihat yang seperti ini. Tidak ada tokoh rimba persilatan Ranah Minang memiliki senjata rahasia seperti ini. Berarti pemuda berambut panjang tadi datang ke sini sudah mempunyai musuh. Atau…" Datuk Marajo Sati kembali perhatikan benda berbentuk bintang bersudut empat. "Kalau senjata rahasia ini memang benar bukan milik kerabat anak Nagari berarti pemuda itu datang membawa musuh. Berarti betul dugaanku dia bukan orang baik-baik."
Sang Datuk angkat kepala, memandang pada elang putih. "Rajo Di Langit. Aku berterima kasih kau membawa benda ini padaku. Sekarang kembali lanjutkan apa yang aku tugaskan. Cari dimana pemuda itu. Ikuti kemana dia pergi..."
Wiro mengambangkan tubuh, untuk beberapa lama sengaja mengikuti arus sungai Batang Sianok ke arah hilir. Rasa dingin yang mencucuk membuat dia akhirnya berenang ke tepian. Saat itu di timur sudah mulai tampak cahaya terang tanda sebentar lagi fajar akan menyingsing disusul munculnya sang surya kembali menerangi bumi alam Minangkabau. Sambil merebahkan diri di atas sebuah batu besar di tepi sungai. Ingatan Wiro kembali pada orang tua di dalam goa.
"Orang tua itu, sayang aku lupa menanyakan namanya. Dia orang baik. Tapi ada sesuatu yang agaknya membuat dia curiga padaku. Sebelum bertemu muka dengan dia, aku jelas sekali mendengar suara dia bicara dengan seorang perempuan. Tapi ketika aku masuk ke tempatnya tidak ada orang lain di situ. Apa dia lebih dulu menyembunyikan perempuan itu sebelum memerintahku menemuinya? Kalau benar mengapa? Lalu siapa perempuan Itu? Sayang apa yang mereka bicarakan tidak terlalu Jelas sampai di telingaku."
Wiro kibas-kibaskan kopiah hitamnya yang basah kuyup. "Walau aku jatuh ke dasar ngarai, dia menolongku meski sebenarnya aku masih bisa selamatkan diri. Itu membuktikan dia benar-benar orang baik. Satu kali aku akan menemuinya lagi. Ilmunya tinggi. Jika aku bersahabat mungkin aku bisa mendapatkan ilmu dan pengalaman baru dari orang tua itu. Seperti dia ingin tahu dari mana aku mendapatkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah, aku juga ingin tahu dari mana dia bisa menguasai ilmu yang katanya bernama Bumi Tabalah Azab Manimpo itu. Aku mendapat dari Luh Rembulan di Latanahsilam. Apakah dia juga mendapatkan dari negeri seribu dua ratus tahun silam itu? Juga dari Luh Rembulan? Berarti apa dia juga pernah terpesat ke sana?" Wiro garuk-garuk kepala. "Aku tidak percaya. Mustahil."
Wiro tanggalkan baju putihnya. Setelah diperas baju dikenakan kembali. Pada saat itulah tiba-tiba dia mendengar suara orang berlari diikuti hiruk pikuk teriakan banyak orang di atas dinding ngarai. Bukan cuma suara lelaki tapi juga ada suara perempuan. Laiu menyusul bak-buk bak-buk, suara orang dipukul dan suara orang menjerit-jerit minta ampun.
Karena ingin tahu apa yang terjadi, Wiro melompat ke atas sebuah batu. Dari atas batu ini dia melesat ke atas ngarai. Beberapa belas langkah di hadapannya, di tepi ngarai dia melihat belasan orang tengah menggebuki seorang pemuda berpakaian hitam yang berulang kali berteriak minta ampun. Yang membuat Wiro terkejut adalah karena pemuda ini mengenakan destar putihnya yang hilang sehari sebelumnya.
"Pemuda sialan! Jadi dia yang mencuri destar ikat kepalaku. Mengganti dengan kopiah hitam ini..." Maki murid Sinto Gendeng dalam hati.
Tak jauh dari situ ada serombongan perempuan yang juga berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk. Salah seorang dari perempuan itu berteriak. "Anak itu pantas diberi pelajaran. Kalau tidak, tak akan jera-jera dia berbuat kurang ajar."
"Tajunkan saja dia ke dalam ngarai!" Seorang pemuda yang ikut menggebuki berteriak lalu melayangkan tendangan. (Tajunkan = lemparkan)
Pemuda yang ditendang terkapar di tanah, dengan susah payah berusaha bangun lalu bersujud, pegangi kepala yang mengenakan destar putih milik Wiro sambil kembali berteriak minta ampun. Pukulan dan tendangan kembali menghantam tubuhnya.
"Sudah! Sudah! Hentikan! Cukup sudah kalian menghajarnya!" Seorang lelaki separuh baya berpakaian putih dan menyandang sarung berteriak sambil coba menghalangi orang-orang yang seperti kemasukan setan menggebuki lelaki berpakaian hitam. "Kita bawa saja dia ke Datuk Penghulu! Biar selesai perkara dan hukumannya!"
Pemuda yang digebuki sudah tak karuan rupa lagi. Bengkak lebam, darah mengucur dari hidung dan mulut. Menurut Wiro beberapa pukulan dan tendangan lagi akan membuat orang itu menemui ajal. Ketika seseorang kembali hendak menendang dan kali ini diarahkan ke kepala, Wiro segera melompat dan mendorong orang itu hingga terjatuh.
Melihat ada orang tidak dikenal datang menolong, orang banyak jadi tambah beringas. Sebagian dari mereka segera menyerang Wiro. Yang lain berteriak-teriak memaki dalam bahasa yang tidak dimengerti murid Sinto Gendeng. Dua orang pemuda dilihat Wiro telah menghunus lading. (lading = golok)
"Pemuda aneh berambut macam padusi ini pasti kawan Malin Kapuyuak. Mari sama-sama kita habisi keduanya" Salah seorang pemuda yang memegang golok berteriak, (padusi = perempuan)
Tidak menunggu lebih lama Wiro segera angkat orang yang terkapar di tanah lalu memanggulnya di bahu kiri. Tangan kanan cepat-cepat diangkat sewaktu dua pemuda bersenjata golok diikuti beberapa orang lain hendak menyergap dirinya.
"Jangan, tahan. Sabar!" teriak Wiro. "Orang ini sudah sekarat. Apa dunsanak sekalian mau membunuhnya?" (dunsanak = saudara-saudara, di Jawa = kisanak)
“Sia wa-ang mau membela anak jahanam Itu! Mau minta mati juga rupanya!” Seseorang berteriak. (Sia wa-ang = siapa kau)
Kecuali lelaki berpakaian putih yang menyandang sarung, yang lain-lain tidak satupun mau mendengar. Dua pemuda yang memegang golok menyerbu lebih dulu. Wiro tidak mau berlaku ayal menghadapi orang-orang kalap itu. Pemuda yang hendak ditolongnya itu pasti punya kesalahan besar.
Sambil melompat mundur Wiro dorongkan tangan kanan ke arah dua penyerang. Satu gelombang angin yang hanya mengandalkan tenaga dalam rendah dan tidak berbahaya menderu. Dua pemuda bersenjata golok berteriak kaget ketika tubuh mereka terangkat ke udara dan mengapung beberapa saat lalu terhempas ke tanah. Senjata yang dipegang terlepas jatuh. Selagi semua orang tersentak kaget dan berteriak-teriak, Wiro segera berkelebat tinggalkan tempat itu.
Diatas dangau di tepi sawah yang baru di panen Wiro membaringkan pemuda berpakaian hitam yang dilarikannya dari amukan orang banyak. Saat itu hari mulai terang karena fajar telah menyingsing. Dari atas dangau kelihatan bayangan Gunung Singgalang diarah barat dan Gunung Merapi di sebelah timur. Setelah memperhatikan pemuda yang terbujur di lantai dangau dan menunggu sebentar Wiro kemudian berkata.
"Anak muda sial, aku tahu kau tidak tidur. Juga tidak pingsan. Jangan pura-pura!"
Wiro tepuk keras-keras pipi kiri kanan pemuda itu lalu menyandarkannya ke tiang dangau. Si pemuda menatap Wiro dengan matanya yang sipit sembab. Lalu menyeka darah di mulut yang bibirnya pecah.
"Aden....hukk!" (aden = waden = aku) Si pemuda keluarkan ucapan lalu pegangi dada. Kepala digeleng-geleng, muka mengerenyit menahan sakit yang terasa mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki.
"Kau mencuri destarku! Pasti kau lakukan sewaktu aku mandi di telaga beberapa hari lalu! Sialan!" Wiro mengambil ikat kepala putih miliknya yang ada di atas kepala si pemuda. Ternyata destar itu sudah dikecilkan hingga tidak muat lagi di kepala Wiro. Wiro bantingkan ikat kepala putihnya ke muka si pemuda.
"Kakak, Uda sahabatku. Aku mohon maafmu. Memang aku yang mencuri kopiahmu. Aku sangat tertarik Kopiah seperti itu tidak ada di negeri ini. Tapi aku bukan cuma mencuri. Aku mengganti destarmu dengan kopiah hitam yang kini kau pakai." (Uda = Kakak, Abang)
"Kopiah ini kekecilan. Walau kau mengganti tetap saja namanya kau mencuri!" Wiro jewer telinga si pemuda dan diuntir-untir ke depan ke belakang hingga orang itu menjerit kesakitan.
"Katakan mengapa orang sekampung, lelaki perempuan mengejar dan menggebukmu sampai begini rupa. Masih untung kau tidak sampai meregang nyawa!"
Pemuda yang ditanya hanya meringis sambil usap-usap dada.
"Dengar, aku akan meninggalkan dirimu. Kalau orang-orang itu mengejar sampai ke sini tamat riwayatmu!" Wiro melompat turun dari atas dangau.
"Tunggu, jangan pergi dulu..."
Wiro balikkan badan. "Kau mau bercerita?"
"Duduk di sebelahku, aku akan bercerita."
Wiro lalu naik kembali ke atas dangau dan duduk di samping si pemuda.
"Kau bukan orang di sini..."
"Betul..."
"Kau telah menolongku. Aku berterima kasih."
"Aku tanya sekali lagi. Kau mau bercerita atau tidak?"
Si pemuda usap bibirnya yang bengkak luka. "Uda bakupiah hitam. Siapa nama Uda?" (bakupiah = berkopiah)
"Sialan!" Wiro memaki karena si pemuda masih bicara hal lain bukannya bercerita. "Kau sendiri siapa namamu?!
"Jangan marah.... Aden tahu Uda orang baik. Kau telah menolongku! Orang menyebutku Malin Kapuyuak."
"Aneh namamu. Apa itu nama atau gelar? Patah lidahku menyebut namamu. Kapuyuaaakk..." (Kapuyuak = Kecoak) Wiro pencongkan mulut.
"Namaku sebenarnya Salihin. Orang menyebutku Malin Kapuyuak. Kau bisa mengatakan itu sebagai gelar. Tapi gelar cemooh ejekan. Kau tahu artinya Kapuyuak?" Pemuda berpakaian hitam tertawa.
Wiro menggeleng dan mulai kesal karena orang belum juga bercerita perihal mengapa dia sampai digebuki.
"Kapuyuak binatang yang banyak berkeliaran di kakus. Warnanya coklat, kadang-kadang bisa terbang. Baunya busuk..."
"Sudah, aku sekarang sudah tahu artinya Kapuyuaaakk. Di Jawa disebut kecoak..."
"Ah... Uda ini orang Jawa rupanya." Kata Malin Kapuyuak pula. Wiro meneruskan. "Kecoak biasanya berada di kakus atau jamban. Berarti kau masih saudara dengan taik..."
"Taik, apa itu?" tanya Malin Kapuyuak.
"Taik artinya langek!" jawab Wiro kesal, (langek = kotoran manusia)
Malin Kapuyuak tertawa gelak-gelak. "Kau tahu juga bahasa orang di sini. Uda sahabatku, kalau boleh aku tahu siapa namamu?"
"Wiro..."
"Di Koto Gadang banyak orang Jawa. Di Bukit Nan Tinggi ada Kampung Jawa. Di Pagaruyung "
Wiro menggaruk kepala. Kakinya di turunkan ke tanah. Pemuda mengaku bernama Malin Kapuyuak alias Malin Kecoak cepat memegang bahu Wiro. Mukanya yang lebam sembab dan penuh noda darah menyeruakkan tawa.
"Orang Jawa rupanya lekas pemarah. Aden tahu, kau sudah kesal. Baik. sekarang aku katakan terus terang padamu. Aku dipukuli orang karena ketahuan mengintip kuda kawin..."
Wiro kerenyitkan kening. Mengangkat kopiah basah lalu menggaruk kepala. Setelah menatap muka lebam Malin Kapuyuak. murid Sinto Gendeng tertawa bergelak. "Aneh! Kalau cuma mengintip kuda kawin mengapa kau dihajar orang sampai lebam biru begini rupa?! Jangan-jangan kau yang kawin dengan kuda itu!"
Malin Kapuyuak ganti tertawa terbahak-bahak namun kemudian mengerenyit karena bibirnya yang luka terasa sakit.
Setelah mengusap-usap bibirnya yang pecah Malin Kapuyuak berkata. "Induk masalah sebenarnya, tak jauh dari kandang kuda itu ada jalan menurun. Lalu di kelokan jalan ada pancuran. Nah di pancuran itu ada anak-anak gadis sedang mandi pagi. Mereka memang biasa mandi sebelum hari terang. Kau tahu maksudku...? Mereka mandi dengan menanggalkan seluruh pakaian. Mereka semua putih-putih. Rancak-rancak. Salah seorang di antara anak-anak gadis itu bernama Pandan Dewi. Bunga dusun paling cantik."
"Aku sudah bisa menduga apa yang kemudian terjadi," kata Wiro pula. "Kau bukan hanya mengintip kuda kawin. Tapi kau ketahuan mengintip anak gadis orang sedang mandi. Lalu dikejar dan digebuki orang sekampung!"
"Betul sekali. Ibu serta mamaknya. Kawan-kawan, tetangga orang sekampung. Semua mengejar dan memukuli ku" (mamak = paman)
"Untung kau tidak dilempar ke dalam ngarai."
"Awak memang lagi sial. Aku sudah berulang kali mengintip di banyak tempat. Di pancuran tempat Pandan Dewi mandi, aku sudah mengintai delapan kali"
"Delapan kali? Gila!"
Malin Kapuyuak tertawa. "Sialnya baru sekali ini aecn taparogok ketahuan." Malin Kapuyuak usap keningnya yang benjut lalu berkata (taparogok = tertangkap tangan) "Anak gadis yang namanya Pandan Dewi itu..." Si pemuda acungkan jempol kanan. "Benar-benar rancak. Bak penjelmaan bidadari turun ke bumi. Tubuh tinggi semampai, putih bersih, gigi rata berkilat bak susunan mutiara. Rambut panjang hitam sepinggang. Kalau bicara suaranya seperti bulu perindu masuk ke telinga. Satu minggu masih tergiang-ngiang. Kalau kau mau akan aku beri tahu dimana rumahnya. Kau nanti lihat sendiri. Kalau kau tidak sampai terpikat potong telingaku kiri kanan. Kalau kau mau mengawininya akan aku carikan Tuan Kadi. Ha ha ha!" (Tuan Kadi = penghulu)
Wiro tertawa mendengar ocehan Malin Kapuyuak. "Kau penduduk dari dusun yang sama dengan gadis-gadis yang kau intip itu?"
Malin Kapuyuak menggeleng.
"Setelah digebuki orang hampir mati, apa kau sekarang sudah jera?" tanya Wiro.
Malin Kapuyuak menyeringai. "Jera mungkin ada. Tapi celakanya mataku ini selalu gatal ingin mengintip."
"Masih untung baru matamu yang gatal. Kalau sudah tanganmu ikut gatal, apa lagi anak ketek yang ada di bawah perutmu ikutan gatal, oala... kau bakal celaka besar." (anak ketek = anak kecil. Maksudnya burungnya si Malin Kapuyuak.)
Malin Kapuyuak tertawa gelak-gelak. "Kau senang melawak. Aku suka padamu."
"Malin, aku akan coba menolongmu. Agar pendarahan pada luka di hidungmu berhenti dan rasa sakit di sekujur tubuh berkurang. Tapi kau harus berjanji mau menjawab beberapa pertanyaan."
"Uda sahabatku! Jangankan menjawab pertanyaan, kau suruh aku tajun ke dalam ngaraipun akan ku lakukan. Kau sudah menyelamatkan jiwaku. Obat apa yang mau kau berikan padaku?" (tajun = terjun)
"Aku tidak punya obat. Tapi akan melakukan ini..." Habis berkata Wiro lalu totok tubuh Malin Kapuyuak mulai dari kepala, dada, pinggang dan telapak kaki."
Malin Kapuyuak pejamkan mata menahan sakit. Saking tidak bisa menahan pemuda ini sampai buuuttt... keluarkan kentut!
"Sialan kau! Dasar kapuyuak!" Maki Wiro sambil menjitak kepala si pemuda lalu melompat turun dari atas dangau.
Perlahan-lahan Malin Kapuyuak buka kedua mata. Mulut menyeringai. "Aku tidak bermaksud kurang ajar. Tapi angin itu keluar sendiri. Hai! Kau Ini dukun besar rupanya. Lihat darah di hidungku tidak mengucur lagi. Rasa sakit di muka dan sekujur badan jauh berkurang..."
Wiro pegang bahu si pemuda lalu berkata. "Sekarang jawab pertanyaanku. Apakah kau tahu kalau di salah satu tebing Ngarai Sianok ada sebuah goa. Dan di dalam goa itu diam seorang tua berpakaian dan bersorban putih, memelihara seekor burung elang putih."
Tampang Malin Kapuyuak mendadak berobah. Dia seperti orang ketakutan. "Kau... kau maksudkan Datuk Marajo Sati...?"
"Hemm... Jadi nama orang tua yang tinggal di dalam goa itu Datuk Marajo Sati."
"Kau... kau mau mengadukan perbuatanku padanya? Mati aden...!"
Wiro menyeringai dan gelengkan kepala. "Orang tua itu orang baik..."
"Datuk Marajo adalah Datuk pimpinan dari para Datuk di Luhak Nan Tigo. Adatnya keras. Terutama menyangkut adat Nagari dan keagamaan. Beliau juga bertanggung jawab atas keamanan Luhak Nan Tigo serta keamanan Kerajaan Pagaruyung. Meski paling muda tapi ilmunya paling tinggi diantara semua Datuk. Kalau tidak ada maksud tertentu mengapa kau menanyakan Datuk itu padaku?"
Wiro lalu menceritakan bagaimana dia terpesat masuk ke dalam goa kediaman Datuk Marajo Sati. Tapi belum memberi tahu tentang adanya suara perempuan di goa tempat kediaman sang Datuk.
"Uda Wiro sahabatku. Aku nasihatkan padamu. Lebih baik jangan mencari urusan dengan Datuk Marajo Sati. Nanti kepalamu di pindahkan ke lancirik dan lancirik dipindahkan ke kepalamu!" (lancirik = pantat)
Wiro tertawa. "Kalau ada orang yang mau dibegitukan oleh Datuk maka kaulah manusianya. Aku sudah minta maaf padanya. Dia juga telah menolongku sewaktu aku jatuh dari dinding ngarai..."
"Pasti dia mengaitmu dengan sorban saktinya."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Wiro pula.
"Siapa orang di tanah Minang ini yang tidak tahu kesaktian sorban Datuk Marajo Sati. Sorban itu bisa mencuat tinggi sampai ke langit, mampu melesat sedalam dasar samudera. Bahkan sorban bisa berubah menjadi binatang seperti ular atau naga sebesar bukit. Datuk itu juga biasa disebut Datuk Sorban Saribu Sati." (= Datuk Sorban Seribu Kesaktian)
“Hebat sekali!" memuji kagum Pendekar 212.
"Itu belum seberapa. Kau tahu. Datuk Marajo Sati kalau kemana-mana dia bisa melayang terbang naik sorbannya!"
"Luar biasa!" Kembali Wiro memuji. "Sobatku yang sial. Aku ada satu pertanyaan lagi. Apakah Datuk Marajo Sati punya anak perempuan atau punya seorang istri yang tinggal bersamanya di dalam goa di dinding ngarai itu?"
"Eh, ini pertanyaanmu aneh. Rupanya kau tertarik pada istri Datuk! Ternyata kau lebih galadiah dari aku. Lebih kurang ajar dari aku! Ha ha ha!" (galadiah = brengsek)
"Aku belum gila mau-mauan menyenangi istri orang, apa lagi yang sudah nenek-nenek..."
"Huss! Siapa yang mengatakan istri Datuk Marajo Sati seorang nenek-nenek. Istri pertamanya memang sudah tua dan telah meninggal sepuluh tahun silam. Dari istrinya itu Datuk Marajo Sati tidak dikarunia anak. Setelah istrinya tiada dia kemudian mendapatkan istri pengganti, masih muda. Dikawini Datuk sekitar setahun silam. Baru berusia dua puluh tahun. Cantik jelita. Tinggal di Koto Gadang. Sampai saat ini dari istrinya yang baru dan muda itu Datuk juga belum mendapatkan anak. Setahu orang istri Datuk Marajo Sati tidak pernah datang ke goa di Ngarai Sianok. Sang Datuklah yang selalu mengunjungi istrinya pada waktu-waktu tertentu. Tapi bisa saja istrinya datang ke sana kalau ada kepentingan mendadak. Tapi... rasanya mustahil. Istri Datuk tidak akan mungkin bisa memanjat ngarai, masuk ke dalam goa..."
Mendengar cerita Malin Kapuyuak Wiro baru menerangkan tentang adanya suara perempuan yang didengarnya di dalam goa, bicara dengan Datuk Marajo Sati. "Dari suaranya aku bisa menduga kalau perempuan itu masih sangat muda. Kalau istri Datuk Marajo Sati tidak pernah datang ke goa, lalu suara perempuan siapa yang aku dengar?"
Belum sempat Malin Kapuyuak mengatakan sesuatu tiba-tiba seekor burung besar berwarna putih melesat di atas dangau. Dalam waktu sekejap saja burung itu telah lenyap di arah timur.
"Aku tahu. burung yang barusan melintas di atas dangau adalah elang putih peliharaan Datuk Marajo Sati..." Kata Wiro sambil menatap ke arah lenyapnya burung putih besar.
"Burung itu bukan binatang biasa. Walau tidak bisa bicara tapi dia mampu mengerti ucapan Datuk Marajo Sati. Jika diperintah mencabik atau membunuh orang, burung itu mampu melakukan dengan mudah."
"Malin. Apa kau tahu burung elang itu jantan atau betina?"
"Jantan tentunya! Eh, apa maksud tanyamu itu. Seandainya burung elang itu betina, kau mau menduga-duga bahwa Datuk Marajo Sati..."
"Otakmu kotor. Karena terlalu banyak mengintip" tukas Wiro. "Aku punya firasat burung itu memata-matai diriku."
"Bisa jadi Datuk Marajo Sati sudah berada dekat-dekat ke tempat ini. Sebaiknya kita segera pergi dari sini." Malin Kapuyuak tampak takut dan cepat berdiri. Namun belum sempat tubuhnya diluruskan tiba-tiba tiga orang berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di depan dangau.
"Cilako! Mati aden!" (Celaka! Mati aku!) Ucap Malin Kapuyuak dengan suara gemetar ketika dia mengenali salah satu dari tiga orang yang muncul.
Dalam tarak (samadi) yang dilakukan Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai sejak tengah malam sampai menjelang dini hari, nenek yang menggantungkan diri di cabang pohon kaki ke atas kepala ke bawah ini memang mendapat petunjuk gaib. Namun petunjuk itu tidak menyatakan dimana beradanya kupu-kupu giok melainkan mengarah pada bayangan seorang pemuda asing tidak dikenal yang saat itu berada di sebuah dangau tak jauh dari Ngarai Sianok.
"Aku tidak bisa menjajaki keberadaan kupu-kupu giok. Agaknya mahluk itu memiliki daya penolak yang hebat. Atau mungkin ada kekuatan sakti melindunginya. Mengenai pemuda asing yang aku lihat dalam tarak, dia tidak sendirian. Ada seorang pemuda lain bersamanya." Menerangkan si nenek pada beberapa orang kambratnya yang menunggui.
"Saudaraku," kata Si Kamba Pesek Tangan Manjulai yang berada dalam keadaan cidera. "Kalau kau sudah bisa menduga dimana letaknya dangau itu, segera pergi kesana. Jangan seorang diri. Bawa beberapa sahabat. Bukan mustahil pemuda asing yang kau lihat dalam gaib itu adalah pelindung puteri Pangeran Kerajaan Cina yang jadi kupu-kupu giok."
Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai meminta Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit pergi menemuinya. Karena Perwira Muda Teng Sien bersikeras minta ikut, maka si nenek terpaksa membawanya. Pada saat menjelang fajar menyingsing ke tiga orang Itu segera berangkat kearah timur. Dalam perjalanan, di tengah jalan Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai sempat menyirap kabar perihal kejadian adanya seorang pemuda bernama Malin Kapuyuak yang dihajar orang sedusun karena berani berbuat lancang mengintai anak gadis mandi.
Juga didapat cerita bahwa pemuda kurang ajar itu kemudian dilari diselamatkan oleh seorang pemuda asing berambut panjang seperti perempuan. Si nenek yakin betul, petunjuk yang didapatnya dalam bertarak tidak beda dengan apa yang diceritakan penduduk setempat.
Kembali ke dangau. Melihat Malin Kapuyuak tampak begitu ketakutan. Wiro berbisik. "Kau mengenali orang-orang ini?"
"Aku... aku hanya mengenali nenek berambut jarang bergigi perak itu. Dia Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai, nenek setan berilmu tinggi yang sering menimbulkan kekacauan di tanah Minang.”
"Kurang ajar! Kau berani menyebutku nenek setan penimbul kekacauan! Ku robek mulutmu...!”
Rupanya ucapan Malin Kapuyuak yang walau berbisik-bisik sempat terdengar di telinga Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. Nenek ini berteriak marah lalu sekali berkelebat tangan kanannya yang panjang meluncur lebih panjang, membeset ke arah mulut Malin Kapuyuak. Jika pemuda ini tidak bisa menghindar dari serangan itu maka bukan saja mulutnya tapi separuh kepalanya akan tercabik mengerikan. Dan ternyata Malin Kapuyuak memang tidak mampu selamatkan diri!
Sekejap lagi mulut dan kepala pemuda tukang intip perawan mandi itu akan robek tiba-tiba murid Sinto Gendeng dengan gerakan kilat ulurkan tangan berusaha mencekal lengan si nenek.
"Nek, jangan langsung bertindak keras. Mari kita bicara dulu..." Ucap Pendekar 212.
Tapi si nenek tidak perduli, dia teruskan gerakan tangannya untuk merobek muka Malin Kapuyuak. Mau tak mau Wiro terpaksa hantamkan pinggiran telapak tangan kanannya ke lengan si nenek.
"Bukk!" Lengan dan pinggiran telapak tangan beradu keras. Lengan Si Kamba Tangan Manjulai terpental. Sambaran tangan mautnya luput dari sasaran. Si nenek memekik kesakitan dan marah sekali. Dengan cepat dia membuat gerakan aneh. Tangan yang barusan dipukul berubah laksana seekor ular menggelung tangan kanan Wiro.
Pendekar 212 berseru kaget sewaktu dia tidak mampu melepaskan diri dari lilitan tangan. Sesaat sebelum lengan itu dibelit hancur sampai ke tulang dengan cepat murid Sinto Gendeng merapal aji kesaktian pelicin tubuh bernama Belut Menyusup Tanah. Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai berteriak kaget ketika tangannya yang sudah membelit dan siap meremas hancur tangan Wiro tiba-tiba terlepas, membuat tubuhnya terjengkang.
Sebelum sempat Imbangi diri satu tombak, bergulingan di tanah. Dia berusaha bangkit terbungkuk-bungkuk menahan sakit Untungnya Wiro tidak menyertai tendangannya dengan aliran tenaga dalam. Si nenek tudingkan tangan kiri ke arah Wiro.
"Palasik jahanam! Beraninya kau menyakiti diriku! Kau yang aku lihat dalam samadiku! Kau pasti punya sangkut paut dengan puteri Pangeran yang kabur dari negeri Cina itu! Paling tidak kau merupakan mahluk penghalang berusaha mencegah kami mendapatkan kupu-kupu giok!" (Palasik = semacam mahluk yang suka menghisap darah terutama darah bayi)
"Kamba Mancuang!" teriak Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit. "Kau ini bicara apa!" Lelaki ini membentak keras karena dalam marahnya si nenek tadi telah ketelepasan bicara soal puteri Pangeran Cina dan kupu-kupu giok yang seharusnya dirahasiakan.
Tapi Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai tidak peduli. Habis memaki si nenek buka mulutnya lebar-lebar lalu berteriak keras. Saat itu juga dari barisan gigi peraknya atas bawah melesat dua rangkum cahaya putih berpijar menyilaukan. Menyambar ganas ke arah dua bagian tubuh Wiro. Yang pertama menyambar dari pinggang ke atas, yang lain menghantam dari pinggang ke bawah.
"Nek, kita tidak saling bermusuhan. Mengapa menurunkan tangan jahat terhadapku?!" Teriak murid Sinto Gandeng.
"Siapa yang kurang ajar. Siapa yang menghalangi pekerjaanku adalah musuh bagikul" Jawab si nenek.
"Wusss! Wusss!" Dua larik cahaya putih berpijar menyambar disertai menghamparnya hawa luar biasa panas. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Angin Merapi Merambah Bumi.
"Tua bangka edan" Maki Pendekar 212 sambil melesat ke udara. Selagi tubuh melayang tangan kiri kanan didorong melepas dua pukulan sakti Tangan Dewa Menghantam Batu Karang.
Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai berseru kaget ketika dua angin pukulan lawan keluarkan suara menggemuruh seperti bukit batu roboh. Begitu dia melompat selamatkan diri dihadapannya di menyaksikan bagaimana tiupan angin putih maut yang keluar dari deretan gigi peraknya buyar cerai berai. Sebagian menyambar dangau hingga saat itu juga bangunan itu tengoelam dalam kobaran api. Pemuda bernama Malin Kapuyuak yang masih berada di dalam dangau itu serta merta melompat selamatkan diri lintang pukang.
Si nenek delikkan mata melihat di tanah di depannya kini ada lobang sebesar kubangan kerbau akibat dua pukulan lawan. Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit tadinya hendak menerjang menyerang Pendekar 212. Namun melihat bagaimana pemuda berambut gondrong itu menghancurkan serangan si nenek dan di tanah kini tampak lobang besar, kuduknya jadi merinding. Dia berpikir dua kali untuk melanjutkan serangan.
Sebaliknya lain halnya dengan Perwira Muda Teng Sien. Walau tidak mengerti ucapan orang namun dia menduga Wiro mengetahui dimana beradanya kupu-kupu giok. Maka begitu menghunus golok anggota pasukan Kerajaan Cina ini langsung menyerbu Wiro. Ilmu goloknya memang luar biasa. Sekali menggebrak dia telah kirimkan dua bacokan ke arah kepala, menyilang menjurus dada lalu ditutup dengan tusukan ke bagian perut!
Melihat Wiro tidak bersenjata dan terdesak hebat, Malin Kapuyuak segera mengambil bambu patahan tiang dangau yang masih utuh lalu dilemparkan pada Wiro. Dengan cepat Wiro sambar potongan bambu lalu dipergunakan sebagai senjata menghadapi serangan lawan. Namun bambu bukanlah tandingan golok besar di tangan Teng Sien. Dalam dua kali menggebrak saja Perwira Muda bertopi besi Ini telah membuat bambu itu terpotong-potong dan kini hanya tinggal sepanjang satu setengah jengkal yang masih berada di tangan Wiro.
"Perwira Muda! Habisi orang itu. Bunuh!" teriak Si Kamba Hantu Manjulai.
Tanpa disuruhpun walau tidak mengerti ucapan orang Teng Sien memang ingin mencincang Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia tidak tahu siapa adanya pemuda berambut gondrong Itu dan dia tidak perduli. Dia hanya punya kecurigaan bahwa Wiro merupakan salah satu dari orang-orang yang menghalangi usahanya mendapatkan kembaii kupu-kupu Giok yang membawa tubuh puteri Pangeran Chia Swie Kim.
Sekali melompat golok besar di tangan sang Perwira Muda sudah berdesing di udara. Lancarkan serangan berantai yang sangat ganas. Memperhatikan gerak dan hawa yang keluar dari golok lawan Wiro bisa mengukur kalau serangan Teng Sien tidak disertai tenaga dalam. Namun tenaga luarnya sungguh luar biasa.
Ketika lawan melompat lagi mengirimkan serangan kilat, saat inilah, tiba-tiba dengan cepat Wiro merunduk sedikit lalu lemparkan potongan bambu yang masih ada di tangannya ke arah bawah perut sang perwira. Tepat mengenal kantong menyannya!
Jerit Teng Sien setinggi langit. Tubuhnya langsung ambruk, menjerit, melejang-lejang di tanah sambil tekap bagian bawah perut yang sakitnya laksana disundut bara api. Tidak sanggup menahan sakit akhirnya Perwira Muda ini tergeletak pingsan dengan mata mendelik!
"Manusia tolol. Lain kail jangan hanya kepala atasmu yang pakai topi besi. Kepala bawah harus juga kau lindungi dengan topi besi. Ha ha ha” Wiro mengejek.
"Kurang ajar" Teriak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai marah besar menyangka Teng Sien telah menemui ajal. "Kalam Langit! Kau tangkap hidup-hidup pemuda berdestar putih itu. Aku tak akan memberi ampun pada jahanam berambut seperti perempuan ini!"
Si nenek lalu dahului serangannya dengan mengulur panjang dua tangan ke arah Wiro sementara Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit melompat menyergap Malin Kapuyuak. Sebelum orang mendatanginya pemuda tukang intip ini tendang tumpukan reruntuhan bangunan dangau yang masih diselimuti api dan asap ke arah Si Kalam Langit yang hendak menangkapnya. Lalu secepat kilat dia berputar-putar mengelilingi sebuah pohon besar, memperdayai si tinggi hitam itu sambil mencari kesempatan untuk kabur.
"Kalam Langit!" teriak Wiro yang tahu cepat atau lambat orang itu akan dapat menangkap Malin Kapuyuak. "Berani kau rnencelakal sahabatku itu akan kuubah dirimu menjadi Kalam Lancirik." (Lancirik= Pantat)
"Pemuda jahanam! Biar kau aku pesiangi lebih Dulu." Teriak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. Dua tangannya yang menjadi panjang luar biasa melesat kian kemari lalu melilit sekujur tubuh Pendekar 212 mulai dari pinggul sampai ke dada. Saat itu juga tubuhnya bergerak ke depan hingga hampir bertempelan dengan tubuh Wiro. Seumur hidup baru kali ini murid Sinto Gendang mendapat serangan seperti itu.
"Kreekkk! kreekkk!" Wiro mendengar sendiri tulang-tulang tubuhnya berderak.
"Nenek bergigi perak!" Dari balik pohon Malin Kapuyuak walau dikejar orang masih bisa berteriak. "Kau berpura-pura hendak membunuh sahabatku. Padahal kau Ingin memeluknya! Ha ha... Kau pasti sudah jatuh hati pada pemuda rambut panjang itu. Memang di nagari ini tidak ada pemuda yang seperti Dia. Ayo cium dia kalau berani! Jangan cuma memeluknya saja."
Keadaan si nenek yang saat itu tengah menelikung Wiro dengan dua tangannya, sepintas lalu memang tampak seperti orang yang tengah berpelukan dan bermesraan dengan kekasihnya. "Jahanam bermulut kurang ajar. Lihat apa yang akan aku lakukan pada sahabatmu ini." Teriak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
Lalu dua tangannya yang panjang dan telah membelit sekujur tubuh Wiro digerakkan demikian rupa hingga kreekkkk! Kembali tulang-tulang sang pendekar mengeluarkan suara berkaretekan siap hancur.
Wiro menyeringai kesakitan. Tubuhnya seperti disengat api. Tapi dia masih bisa berucap. Sablengnya keluar. "Nek, kalau kau tidak mau menciumku biar aku saja yang menciummu! Kau cantik. Walau sudah tua tidak rugi rasanya menciummu! Ha ha ha..." Lalu...
"Cuuppp... cuuuppp... cuuuppp. Wiro benar-benar cium wajah si nenek bertubi-tubi.
"Jahanam laknat kurang ajar!" Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai buka mulutnya lebar-lebar. Siap hendak meniupkan ilmu maut Angin Merapi Merambah Bumi.
Namun lebih cepat lagi Wiro mengecup lumat-lumat bibir si nenek hingga Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai terperangah. Tubuhnya bergetar. Nafas mengengah. Dada naik turun. Lalu dia berteriak keras antara marah dan menahan gelora yang tidak pernah dirasakannya selama ini. Tidak sadar telikungan dua tangannya di tubuh Wiro jadi mengendur.
Dengan cepat murid Sinto Gendeng loloskan dua tangannya dari lilitan sepasang tangan panjang si nenek. Lalu sekali dua tangan bergerak dia berhasil membuat empat totokan. Dua di punggung, dua di pinggang. Saat itu juga Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai tertegak kaku tak berkutik, mulut menganga basah, dan sepasang mata mengedap-ngedip!
Wiro cepat lepaskan gelungan dua tangan panjang lalu loloskan diri sambil tertawa-tawa cengengesan. Dia memandang ke arah pohon dan merasa khawatir karena tidak melihat Malin Kapuyuak ataupun orang berpakaian hitam Si Kalam Langit.
"Nek, aku pergi dulu. Sebelum siang totokan di tubuhmu akan lepas sendiri. Kalau kau masih ingin ciumanku, Jangan malu-malu mencari aku ya? Namaku Wiro Nek! Ha ha ha ha!"
"Pemuda kurang ajar! Aku bersumpah akan menghancurkan tubuhmu. Aku masih akan berbaik hati membuatkan papan nisan di atas kuburmu!"
"Kenapa kau mau berbaik hati begitu Nek? Karena ciumanku tadi? Ha ha ha! Aku akan menciummu lagi. Jadi kau buatkan kuburku dua papan nisan sekaligus!"
Lalu enak saja Wiro ciumi dan kecup lagi bibir basah si nenek. Dia berhenti mencium, memandang berkeliling. "Nek... Tak ada orang lain di sini. Serdadu Cina itu tidak sadarkan diri berarti tidak akan melihat. Ssttt... Kau mau kucium lagi?"
"Setan terkutuk. Kau akan jadi puntung neraka!” Teriak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. Wajahnya yang memang masih cantik dan berhidung mancung kelihatan berubah merah.
“Tapi kau suka puntung neraka ini bukan?" Jawab Wiro dan kembali mengecup bibi Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
Dalam gelora dahsyat yang tidak tertahankan, sepasang mata si nenek tampak terbalik, yang kelihatan hanya putihnya saja. Lalu tubuhnya miring ke kiri dan jatuh tergelimpang di tanah. Tapi dia sama sekali tidak pingsan.
"Pemuda kurang ajari Najis. Beraninya dia berbuat kurang ajar terhadap diriku! Kurang ajaarrr...!"
Tiba-tiba si nenek melihat Wiro berdiri di dekatnya. Kepala ditundukkan mendekati wajahnya.
"Najis katamu Nek? Kalau najis sesudah bibirmu kukecup mengapa kau tidak meludah?"
"Manusia setan! Bangsat kurang ajar! Aku bersumpah..."
"Sssttt... Tak baik bersumpah Nek. Jangan menipu diri. Kau suka aku cium. Aku juga suka menciummu. He he! Seumur hidup baru sekali ini aku mencium perempuan yang giginya berlapis perak. Ternyata enak juga... Ha ha ha"
"Setan alas" Maki Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. Lalu nenek ini menjerit keras.
Wiro tertawa gelak-gelak sambil tepuk-tepuk pipi si nenek lalu tinggalkan tempat itu.
Tubuh Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai bergetar. Debaran di dada perempuan ini menyentak kencang dan aliran darahnya terasa panas dan cepat. Lalu dia merasa tubuhnya panas dingin seperti orang diserang demam kura. Bagaimanapun juga seumur hidup baru sekali itu dia diperlakukan lelaki seperti itu. Dipeluk, dicium dan dikecup. Oleh lelaki muda pula.
Malin Kapuyuak lari seperti dikejar hantu benaran. Namun cepat sekali Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit berhasil mengejar dan mencekal kuduknya. Cekalan di tengkuk sampai ke leher sebelah depan begitu kencang membuat pemuda itu tersengal-sengal, sulit bernafas dan tak bisa keluarkan suara.
Saat itu matahari mulai tinggi dan sinarnya terasa terik. Si Kalam Langit lepaskan cekalan. Malin Kapuyuak dibanting ke tanah hingga pemuda ini mengerang kesakitan. Sakit bekas digebuki orang masih belum hilang, kini dibanting seperti itu. Sekujur tubuhnya terasa luluh lantak.
"Kalau nenek tangan panjang itu tidak melarangku membunuhmu, sudah tadi-tadi kau kuhabisi. Kau menyusahkan saja." Kata Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit.
"Apa salahku sampai diperlakukan seperti ini. Aku bukan maling bukan pancilok.” suara Malin Kapuyuak setengah meratap, (pancilok = pencuri)
"Aku dan nenek itu tahu kau orang yang tadi malam dipukuli orang sekampung karena mengintai anak gadis mandi di pancuran..."
"Itu memang benar. Tapi apa sangkut pautnya dengan dirimu. Kau bukan orang sedusun. Bukan pula mamak dan saudara gadis-gadis itu..."
"Plaakkk!" Satu tamparan keras mendarat di pipi kanan Malin Kapuyuak hingga pemuda ini terbanting jatuh dan luka di bibirnya kembali mengucurkan darah.
"Kalau kau mau tahu siapa diriku, aku adalah yang tertua dari Duo Hantu Gunung Sago, bernama Si Kalam Langit"
Mendengar orang menyebut siapa dirinya, lelehlah nyali Malin Kapuyuak. Bahkan dia nyaris terkencing! "Pandeka Besar, ampun beribu ampun. Aku tidak bermaksud berkurang ajar padamu. Aku merasa tidak bersalah dan mohon diriku dilepaskan. Biarkan aku pergi dari sini." Malin Kapuyuak berkata sambil bergerak bangun, lalu duduk di tanah dan susun sepuluh jari di atas kepala.
"Aku tahu siapa namamu. Aku juga tahu semua kelakuan mesummu..."
"Aku sudah mengaku dan minta ampun..."
"Diam" Hardik Si Kalam Langit. "Aku ingin tahu siapa pemuda berambut macam perempuan yang kau panggil Uda dan kau katakan sahabatmu itu! Aku tidak pernah melihat manusia satu itu sebelumnya."
"Dia... dia orang Jawa. Namanya Wiro. Aku bertemu dia baru parak siang tadi ketika dia menolong diriku dari amukan orang karena ketahuan mengintai anak gadis mandi." (parak siang = dini hari)
"Bagus! Walau baru kenal, karena kau ditolongnya, kalian sudah bersahabat! Pasti banyak yang kalian bicarakan. Kau tahu mengapa anak Jawa itu Jauh-jauh datang ke sini..."
Malin Kapuyuak menggeleng. "Aku tidak tahu. Aku tidak pernah menanyakan padanya. Dia tidak pernah bercerita."
"Plaakkk!" Satu tamparan lagi menghajar wajah Malin Kapuyuak membuat pemuda ini kembali tergelimpang di tanah dan meratap minta-minta ampun.
"Bicara jujur. Jangan berdusta atau kupatahkan batang lehermu!" Ancam Si Kalam Langit.
"Ampun Pandeka Besar. Aku bicara jujur. Cincang diriku kalau ketahuan aku bicara dusta."
"Begitu...?" Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit jambak dada pakaian Malin Kapuyuak lalu menyandarkannya ke batang pohon. Sambil injakkan kaki di dada pemuda itu, Si Kalam Langit berkata. "Sekali aku menekan kaki, hancur dadamu sampai ke punggung! Jadi satu dengan batang kayu. Kau mau?!"
"Ampun Pandeka Gadang! Jangan lakukan itu!" Malin Kapuyuak meratap ketakutan. "Aku belum ingin mati! Aku belum kawin. Kalau bisa aku kawin dulu sebelum mati!"
"Hemmm... begitu?" Si Kalam Langit menyeringai. Dia turunkan kaki dari dada Malin Kapuyuak lalu kaki kanan itu kini diinjakkan ke bagian bawah perut si pemuda. "Kalau kau mau bicara, kau akan selamat. Kalau kau bungkam atau berdusta aku tidak akan membunuhmu. Tapi aku akan menghancurkan si buyuang di bawah perutmu! Berarti seumur-umur kau tak akan bisa kawini Ha ha ha!" (si buyuang = di sini berarti barangnya si Malin Kapuyuak)
"Ampun Pandeka Gadang..." Suara Malin Kapuyuak gemetaran karena takut setengah mati.
Si Kalam Langit perkeras injakan di bawah perut Malin Kapuyuak hingga pemuda ini menjerit dan menggeliat kesakitan.
"Ampun. Akan kukatakan padamu apa yang aku tahu..."
"Lekas bicara!" Hardik Si Kalam Langit.
Walau ketakutan setengah mati dan merasa sakit tidak terperihkan, namun Mnlin Kapuyuak tidak mau menerangkan hal sebenarnya. Wiro telah menolongnya maka dia merasa perlu melindungi si gondrong itu.
"Pemuda Jawa itu... Dia... dia tengah dalam perjalanan. Dia tidak memberi tahu dari mana mau kemana. Dia senang melihat keindahan malam di Ngarai Sianok."
"Ceritamu tidak masuk di akal. Melihat keindahan ngarai di malam hari?"
"Kalau langit bersih dan terang, apa lagi sedang ada bulan purnama, bukankah pemandangan di ngarai sangat Indah pada malam hari?" ucap Malin Kapuyuak pula.
Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit menyeringai. "Kau mulai berani bicara dusta. Di salah satu bagian Ngarai Sianok aku tahu Datuk Marajo Sati diam di sebuah goa. Pemuda itu datang ke ngarai pasti ada sangkut paut dengan diri Datuk itu."
"Kalau hal itu aku kurang tahu. Tapi..."
"Tapi apa?!" Sentak Si Kalam Langit mulai tidak sabaran. Walau Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai melarangnya, tapi dia sudah punya niat akan menghabisi pamuda satu Ini.
"Aku menduga..." kata Malin Kapuyuak dengan raut wajah berpura bersungguh-sungguh. "Pemuda Jawa itu agaknya tertarik dengan kecantikan istri Datuk Marajo Sati yang masih muda belia. Mungkin dia berada di ngarai untuk mengintai padusi itu." (padusi = perempuan)
SI Kalam Langit tampak seperti tercengang mendengar ucapan Malin Kapuyuak. Mulutnya ternganga. "Kalau dia tahu Datuk Marajo Sati beristri muda dan cantik, berarti pemuda Jawa itu sudah lama berada di tanah Minang Ini."
Malin Kapuyuak tidak menjawab. Si Kalam Langit perkeras injakan kaki kanannya hingga pemuda itu menjerit kesakitan.
"Jangan dusta mengarang cerita!"
"Aku bersumpah biar dicekik Hantu Haru-Haru" (Hantu Haru-Haru sejenis mahluk halus yang suka menculik orang terutama anak kecil dan membawanya ke atas pohon)
"Kapuyuak jahanam! Siapa percaya sumpah manusia macam wa-ang! Sebelum Hantu Haru-Haru mencekikmu, aku yang akan lebih dulu mematahkan batang lehermu!" Si Kalam Langit putar telapak kakinya yang menginjak bagian bawah perut hingga Malin Kapuyuak kembali berteriak kesakitan. "Mengapa pemuda itu menanyakan Datuk pimpinan Luhak Nan Tigo?" (wa-ang = kamu, kasar)
"Sudah aku katakan, dia tahu Datuk punya istri muda. Mungkin dia suka pada istri Datuk Marajo Sati. Aku beritahu istri Datuk itu ada di dalam goa di Ngarai Sianok."
"Hebat kau Malin Kapuyuak! Kalau benar ceritamu berarti kau menghkhianati Datuk Marajo Sati. Tapi aku tahu kau dusta. Semua orang di Luhak Agam ini tahu kalau Istri Datuk Marajo Sati tinggal di Koto Gadang. Tidak pernah datang atau berada di dalam goa tempat kediaman suaminya..."
"Aku tahu hal itu Pandeka. Itu sebabnya aku berdusta pada pemuda Jawa itu. Tak mungkin aku akan mengkhianati Datuk Marajo Sati. Kalau tidak ingin melindungi Istri Datuk, mengapa tidak aku katakan saja yang sebenarnya kalau parempuan itu tinggal di Koto Gadang!"
"Aku tidak percaya padamu Malin Kapuyuak. Lebih baik kutamatkan riwayatmu saat ini juga. Kau pasti punya cerita lain yang sebenarnya. Kau pasti tahu mengapa pemuda Jawa itu berada di sekitar daerah ini. Aku bosan bicara denganmu. Aku muak melihat tampangmu" Si Kalam Langit kerahkan tenaga dalam lalu kaki kanannya dihunjamkan kuat-kuat.
"Ampuni Jangan..." teriak Malin Kapuyuak. Sekejapan lagi bagian tubuh yang sangat berguna bagi si pemuda itu akan hancur, tapi tiba-tiba ada suara perempuan berseru.
"Barang pusaka barang keramat! Wajib dipelihara wajib dijaga. Mengapa tega hendak memecah?! Hik hik hik..."
Bersamaan dengan kumandang seruan itu mendadak di udara terdengar suara berdesing panjang. Dua benda hitam melesat ke arah Si Kalam Langit tanpa orang tinggi besar ini sempat menyingkir mengelakkan diri.
"Craassa! Crassss!"
Dua benda hitam mendarat telak di kening dan pangkal leher orang tertua dari Duo Hantu Gunung Sago ini. Tak ampun lagi tubuhnya yang besar tergelimpang roboh di tanah. Dari kening dan leher darah mengucur deras. Si Langit Kalam menggeliat dua kali, lalu nyawa lepas. Tubuh diam tak berkutik lagi.
Dari atas sebatang pohon besar, orang bermuka cacat yang barusan melemparkan dua senjata rahasia memaki geram, memandang melotot ke bawah. "Jahanam! Dari mana munculnya betina gendut keparat itu. Apakah dia juga menyelidik perkara yang sama yang tengah aku lakukan?! Aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Dari dandanannya yang aneh agaknya dia bukan orang negeri ini. Gerakannya enteng dan luar biasa cepat! Suaranya terdengar lebih dulu baru ujudnya kelihatan! Sialan, aku tidak bisa bertindak ceroboh. Dia menyelamatkan pemuda itu pasti punya maksud. Saat ini dia tengah mengejar pemuda itu. Apa yang harus aku lakukan?!"
Di udara berkelebat seekor burung besar putih. Di dekat reruntuhan dangau di tepi pesawahan burung yang ternyata adalah seekor elang putih ini melayang rendah lalu melesat kembali ke udara dengan mengeluarkan suara menguik keras. Orang bermuka cacat yang mendekam di atas pohon, seolah berpikir sebentar akhirnya tanpa keluarkan suara akhirnya melesat turun ke tanah lalu berkelebat ke arah timur. Dalam hati dia membatin.
"Para tokoh rimba persilatan itu akan bertemu besok di Muko Muko. Lebih baik aku cepat-cepat menuju ke sana. Tapi mungkin ada gunanya aku mengintai dulu ke goa di Ngarai Sianok. Aku punya kecurigaan. Malam tadi dua orang itu datang dari sana. Bisa saja..."
ELANG putih bermatabmerah melesat terbang di bawah terik cahaya matahari, melayang turun dan bertengger di cabang pohon tak jauh dari dangau yang terbakar, di tepi kawasan persawahan. Tak lama kemudian berkelebat muncul seorang tua bersorban dan berjubah putih yang ternyata adalah Datuk Marajo Sati. Elang putih yang bukan sembarang burung telah menuntun sang Datuk ke tempat itu.
"Alang Putih Rajo Di Langit, aku menyangka kau membawaku menemui pemuda Jawa itu. Ternyata kau menemukan mayat. Sudah lama negeri ini aman tenteram dari berbagai macam kejahatan, apa lagi pembunuhan. Sekarang ada mayat terkapar di hadapanku. Siapa yang jadi korban, siapa yang jadi pelaku pembunuhan?"
Berkata seperti itu Sang Datuk lupa kalau sebelumnya karena tidak dapat menahan hawa amarah ketika berada dalam goa di Ngarai Sianok dia nyaris hendak mencelakai bahkan bisa membunuh Wiro dengan ilmu Bumi Tabalah Azab Manimpo. Datuk Marajo Sati dekati mayat yang tergeletak di tanah. Kening mengerenyit, mata menyipit dan langkah terhenti begitu dia mengenali mayat bersimbah darah itu adalah orang tertua dari Duo Hantu Gunung Sago yang bernama Si Kalam Langit
"Orang hebat berilmu tinggi menemui ajal di tengah hari. Siapa gerangan yang membunuhnya?" Datuk Marajo Sati memandang berkeliling. "Tak ada tanda-tanda perkelahian di tempat ini. Bagaimana dia bisa menemui kematian seperti ini? Orang jahat mana yang gentayangan di negeri ini, melakukan pembunuhan..."
Sang Datuk perhatikan keadaan mayat Dia melihat ada dua luka besar penyebab kematian yaitu di kening dan pangkal leher sebelah kiri. Wajah dan bagian leher yang tidak tertutup darah tampak melepuh. Datuk Marajo Sati tarik nafas dalam lalu perlahan-lahan gerakkan tangan kanan. Telapak dikembang, diarahkan ke kening mayat. Tangan bergetar.
"Wuuttt" Sebuah benda hitam berlumuran darah yang menancap di dalam kening Si Kalam Langit laksana disedot melesat keluar. Dengan cepat Datuk Marajo Sati menangkap benda itu. Ketika diperhatikan ternyata sebuah besi hitam berbentuk bintang segi empat. Pada setiap ujung bintang yang tajam terdapat sebuah lobang kecil. Datuk Marajo Sati sebelumnya malam tadi telah melihat benda yang sama.
"Senjata rahasia seperti ini yang menancap di dinding goa kediamanku malam tadi," ucap Datuk Marajo Sati dalam hati lalu mengeruk saku jubah dan mengeluarkan sebuah benda. Benda ini adalah senjata rahasia yang ditemukan dan dikorek elang putih dari dinding goa. Ternyata kedua benda itu sangat sama satu dengan lainnya.
"Apakah senjata rahasia yang satu ini juga ada hubungannya dengan pemuda dari Jawa mengaku Wiro itu?" Datuk Marajo Sati berpikir keras sambil usap senjata rahasia yang masih berlumuran darah. "Kalau pemuda itu yang dikejar atau dihadang musuh dan jadi sasaran serangan, mengapa manusia satu ini yang jadi korban? Apa hubungan pemuda Jawa itu dengan Duo Hantu Gunung Sago? Sebagai dua orang yang berserikat atau sebagai dua musuh? Berarti apakah pemuda Jawa itu ada di tempat ini sebelumnya?"
Datuk Marajo Sati melangkah ke tepi pematang sawah yang ada genangan air. Senjata rahasia besi bintang segi empat dicelupkan ke dalam air sampai bersih dari darah lalu dimasukkan ke dalam saku jubah. Sambil melangkah mengelilingi mayat orang tua yang merupakan Datuk pimpinan dari para Datuk di Luhak Nan Tigo terus berpikir, bertanya-tanya dalam hati dan mereka-reka. Ingatannya kembali tertuju pada pemuda Jawa yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Waktu di goa ketika kutanya apa tujuannya berada dinegeri ini, pemuda itu menjawab kalau dia baru saja menemui seseorang. Ada pesan amanat dari orang itu yang harus dilakukan. Tapi dia tidak mau mengatakan siapa orang itu adanya. Lalu mengenai amanat dia mengatakan bahwa satu perkara besar akan terjadi di tanah Minang." Datuk Marajo Sati menatap di langit Pejamkan mata dan kembali bicara dalam hati. "Katanya ada perkara besar. Perkara apa? Astaga... Mengapa aku begitu tolol. Kematian Sutan Panduko Alam, kematian Duo Hantu Gunung Sago. Bukankah ini satu Perkara besar? Paling tidak awal dari satu perkara besar. Kalau turut cerita gadis Cina Itu, jangan-jangan ini ada sangkut paut dengan dirinya!"
Memikir dan ingat pada Chia Swie Kim si gadis yang menjelma dalam ujud kupu-kupu batu giok dan kini berada di dalam goa kediamannya Datuk Marajo Sati mendadak merasa khawatir. "Puti Bungo Sekuntum. Aku harus cepat-cepat kembali ke goa. Selain itu aku harus memberi tahu orang di dusun terdekat untuk mengurus mayat Duo Hantu Gunung Sago."
Sebelum pergi Datuk Marajo Sati berkata pada burung elang besar yang masih bertengger di cabang pohon. "Alang Putih Rajo Di Langit. Aku senang kau telah membawaku ke tempat ini. Aku akan kembali ke goa. Lanjutkan apa yang telah aku tugaskan padamu. Temukan pemuda berambut panjang itu. Ikuti kemana dia pergi. Cari tahu dengan siapa saja dia berhubungan."
Elang putih di atas pohon seolah mengerti apa yang diucapkan majikannya menguik lalu melesat terbang ke udara. Untuk berapa lama burung ini melayang berputar-putar di atas kawasan persawahan.
"Chia Swie Kim! Puti Bungo Sekuntum! Dimana kau?" Suara Datuk Marajo Sati menggelegar menggetarkan seantero goa. Tak ada Jawaban. "Kupu-kupu giok!"
Tiba-tiba ada suara kepakan sayap halus. Sesaat kemudian dari balik celah batu di ujung dalam goa melayang seekor kupu-kupu besar lalu turun ke lantai goa di depan kaki Datuk Marajo Sati. Sang Datuk merasa lega.
"Datuk, maafkan saya. Saya tadi terpaksa mengubah diri lalu terbang dan bersembunyi di balik celah batu..."
Kupu-kupu besar keluarkan cahaya berpijar, sesaat kemudian berubah bentuk menjadi gadis cantik puteri Pangeran Cina bernama Chia Swie Kim.
"Anak gadis, katakan apa yang terjadi? Mengapa kau merubah diri dan bersembunyi di ujung goa?"
'Sebelum Datuk sampai di sini ada seseorang masuk kedalam goa. Dia seperti menyelidik. Saya takut..."
Datuk Marajo Sati terkejut besar. "Siapa orangnya? Pemuda Jawa berkopiah hitam berambut panjang itu?" tanya Datuk Marajo Sati dengan wajah berubah.
Gadis puteri Pangeran Cina yang oleh sang Datuk diberi nama Puti Bungo Sekuntum gelengkan kepala. "Bukan, bukan pemuda itu..."
"Salah satu dari orang-orang yang mengejarmu. Pimpinan kakek bernama Ki Bonang Talang Ijo?"
"Juga bukan Datuk. Saya tidak mengenalnya. Orang ini mengenakan jubah biru. Mukanya ada cacat bekas luka. Dia..."
"Sudah, keadaan semakin tidak karuan di tempat ini. Puti, aku akan memindahkan mu ke ruang rahasia di ujung goa. Jika kau ingin keluar, ketuk dinding goa tiga kali. Makanan dan air bersih tersedia banyak di ruangan itu. Tapi ingat satu hal. Kecuali melalui dinding goa yang aku katakan, kau sekali-kali tidak boleh mencari jalan keluar yang lain. Kau mengerti?"
"Saya mengerti Datuk..." Jawab Chia Swie Kim.
Sebenarnya ada sesuatu yang hendak dikatakan gadis ini namun saat itu Datuk Marajo Sati telah mengangkat tangan. Dari ujung jari tengah dan jari telunjuk memancar keluar dua larik cahaya putih. Ketika dua cahaya itu menyentuh dinding goa sebelah dalam maka terdengar suara bersiur. Sesaat kemudian dinding goa bergeser. Di sebelah dalam terlihat satu ruangan besar, terang dan bagus.
"Masuklah. Aku akan meninggalkan goa selama satu atau dua hari. Kau akan aman di dalam sana. Jaga dirimu baik-baik."
Tanpa keluarkan ucapan apa-apa lagi Chia Swie Kim alias Puti Bungo Sekuntum segera masuk ke dalam ruangan. Begitu dinding goa merapat menutup gadis ini jatuhkan diri bersimpuh di lantai.
"Mengapa nasib diriku jadi seperti ini? Datuk telah menolongku. Tapi berapa lama aku bisa bertahan mendekam di ruangan ini. Tidak melihat dunia luar. Tidak tahu siang atau malam." Si gadis tekap wajahnya dengan kedua tangan. "Seharusnya Yang Maha Kuasa tidak menolongku dengan menjadikan diriku masuk ke dalam kupu-kupu giok Kupu Kupu Mata Dewa. Rasanya akan lebih baik jika saat itu aku juga tewas dibunuh. Rohku mungkin akan lebih bahagia bisa bersatu di alam baka dengan roh koko Kui Hoa Seng. Sekarang aku berada jauh di negeri orang. Entah bagaimana caranya bisa kembali ke negeri leluhur... Thian yang Agung, mohon perhatikan dan tolong diri saya..." (koko = kakak) Thian = Tuhan) Gadis malang ini akhirnya sesenggukan tidak mampu menahan tangis.
Siang hari itu puncak Gunung Kerinci tampak jelas tinggi menjulang tidak tersaput awan. Dari kejauhan gunung tertinggi di wilayah selatan ini diapit dan seolah dikawal oleh Gunung Tujuh di sebelah timur dan Gunung Patah Sembilan agak ke barat. Ketika serombongan burung pipit melayang dan utara ke selatan di langit terlihat satu pemandangan luar biasa Siapa saja yang melihat pasti tidak percaya akan pandangan matanya.
Betapa tidak, seorang tua berjubah putih, duduk di atas gulungan sehelai sorban putih yang terbang melayang di udara ke arah Gunung Kerinci. Di lereng barat gunung sorban dan orang yang duduk di atasnya menukik ke bawah menuju kawasan berbatu-batu. Bentuk dan susunan batu-batu itu tampak begitu indah seolah dibuat dan ditata oleh tangan manusia.
Tak lama kemudian orang berjubah putih telah berdiri di atas sebuah batu rata. Wajahnya tampak kusam tanda ada kemelut yang dirasa. Sepasang mata dengan dingin memandang tajam berkeliling hingga akhirnya dia melihat sebuah lobang berbentuk segi empat merupakan jalan masuk atau sebuah pintu.
"Alhamdulillah, Allah telah membawaku dengan selamat sampai di tempat ini. Sekarang apakah orang yang kucari ada di tempat kediamannya ini?"
Tidak menunggu lebih lama Datuk Marajo Sati melompat dari satu batu ke batu lain hingga akhirnya dia sampai di depan pintu batu. Di sini dia memberi salam disusul ucapan.
"Inyiek Sukat Tandika, saya Datuk Marajo Sati ingin bertemu dengan Inyiek. Semoga Inyiek ada baik-baik saja dalam lindungan Yang Maha Kuasa." (Inyiek = Orang sangat tua yang sudah sepuh dan dihormati)
Belum lenyap suara gema ucapan Datuk Marajo Sati, dari arah pintu batu tiba-tiba melesat keluar seorang kakek berpakaian selempang kain putih, berpenampilan dahsyat. Wajah tidak berdaging nyaris seperti tengkorak. Tubuh yang kurus kering hanya tinggal kulit pembalut tulang. Kepala berambut putih setengah sulah, kumis dan janggut putih melambai-lambai ditiup angin gunung. Sepasang rongga mata sangat cekung, angker.
Walau keadaannya sangat sepuh seperti itu namun kakek ini sikapnya tampak masih gagah dan gerakannya gesit. Setelah menatap Datuk Marajo sati seketika, si kakek tertawa gelak-gelak lalu kembangkan tangan. Kedua orang itu saling berangkulan.
"Berpuluh tahun tidak berjumpa. Kau tiba-tiba saja dibawa Tuhan datang ke Gunung Kerinci ini! Ha ha! Pasti kau tidak sembarangan datang. Pasti ada maksud di hati dan tujuan dalam pikiran. Sahabat muda Datuk Marajo Sati, mari kita masuk ke dalam."
"Inyiek, saya lebih suka kita bicara di sini saja. Karena saya tidak ingin mengganggumu berlama-lama. Apakah nenek Sabai Nan Rancak ada di dalam?"
Sabai Nan Rancak adalah istri Tua Gila yang sejak peristiwa Gerhana Di Gajah Mungkur kembali ke Pulau Andalas dari tanah Jawa dan keduanya menetap di Gunung Kerinci. Sukat Tandika tersenyum.
"Kalau hari panas seperti ini, perempuan itu suka pergi menyejukkan diri di telaga. Jika kau ingin bertemu mari kita datangi dia di telaga. Tak jauh dan sini."
"Terima kasih. Sebaiknya lain kali saja saya menemui beliau. Inyiek Sukat Tandika, ada satu hal sangat penting yang membawa saya menemui Inyiek di tempat ini."
Si kakek bermuka seperti tengkorak tersenyum dan anggukkan kepala. "Sampaikan maksudmu. Aku ingin cepat-cepat mendengar."
Siapakah kakek yang diam di goa batu di lereng Gunung Kerinci dan tengah ditemui Datuk Marajo Sati ini? Para penggemar dan pecinta serial cerita silat Wiro Sableng tentu tidak akan lupa. Sukat Tandika adalah nama asli dari Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati alias Iblis Gila Pencabut Nyawa, salah seorang dedengkot rimba persilatan dari Pulau Andalas yang telah mengembara sampai ke tanah Jawa dan merupakan salah seorang dari beberapa guru Pendekar 212 Wiro Sableng.
(Tokoh silat ini muncul pertama kali dalam serial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah Di Tambun Tulang. Bagi pembaca yang ingin mengetahui berbagai kisah riwayat Tua Gila dapat mengikuti dan membaca dalam serial berjudul Tua Gila Dari Andalas, Asmara Darah Tua Gila, Lembah Akhirat, Pedang Naga Suci 212, Jagal Iblis Makam Setan, Utusan Dari Akhirat, Liang Lahat Gajah Mungkur, Rahasia Cinta Tua Gila, Wasiat Malaikat, Dendam Dalam Titisan dan Gerhana Di Gajah Mungkur)
"Inyiek," kata Datuk Marajo Sati pula, "terlebih dulu saya minta maaf kalau kedatangan saya mengganggu ketenteramanmu. Kemudian saya juga mohon maaf kalau apa yang akan saya sampaikan kurang berkenan dihatimu."
"Katakan saja... katakan saja sahabatku muda." Jawab Sukat Tandika alias Tua Gila. Walau Datuk Marajo Sati bicara dengan suara rendah namun Tua Gila maklum seperti ada sesuatu yang siap meledak dari dalam diri Sang Datuk.
"Kalau tidak salah saya mengingat, bukankah Inyiek pernah mempunyai seorang murid berasal dari tanah Jawa. Bernama Wiro."
"Ah... Anak itu yang kau tanyakan! Kau tahu, gurunya si nenek sakti Sinto Gendeng selalu menyebutnya dengan panggilan Anak Setan. Sahabatku muda Datuk Marajo Sati, mengapa kau menanyakan perihal anak itu?"
Datuk Marajo Sati perhatikan wajah menyerupai tengkorak di hadapannya. Ucapan pertanyaan tadi polos-polos saja. Tidak ada kepura-puraan. "Inyiek, apakah Inyiek tahu kalau muridmu itu saat ini berada di tanah Minang?"
Tua Gila gelengkan kepala.
"Jadi sebagai murid dia tidak mengunjungi Inyiek?"
Kembali Tua Gila gelengkan kepala lalu berkata. "Soal dia tidak mengunjungi diriku bukan satu kekecewaan bagiku. Anak muda seperti dia, kalau pergi kemana dia suka. Sebentar ada di timur. Lain waktu ada di barat. Lain kejap muncul di utara atau di selatan atau dibelahan bumi mana saja yang disukainya. Yang lebih penting bagiku adalah kemana dia pergi berbuat kebajikan sesuai dengan ilmu kepandaian yang dimilikinya." Si kakek ucap janggut putihnya. Lalu bertanya. "Apa sahabat muda Datuk Marajo Sati telah bertemu dengan dia?"
"Betul Inyiek. Bukan hanya sekedar bertemu. Ada masalah yang dibawanya di tanah Minang ini."
Kening tak berdaging Tua Gila masih bisa berkerut. Rongga mata tampak semakin cekung. "Masalah? Anak setan itu membawa masalah di tanah Minang? Gila betul kalau dia berani kurang ajar di negeri ini. Coba kau ceritakan padaku sejelas-jelasnya!"
Datuk Marajo Sati lalu menceritakan hal ihwal Pendekar 212 mulai dari penyusupannya ke dalam goa di Ngarai Sianok sampai pada senjata rahasia berbentuk bintang empat. Lalu juga mengenai Kematian Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit.
Tua Gila geleng-gelengkan kepala. "Kalau anak itu berani menyusup ke tempat kediamanmu, benar-benar kurang ajar. Tapi aku yakin kalau dia melakukan hal itu pasti tidak sengaja atau ada sesuatu yang jadi alasannya."
"Saya tidak tahu apa alasannya, Inyiek." Jawab Datuk Marajo Sati tanpa mau memberi tahu perihal kupu-kupu giok. "Ada satu hal lagi. Dia mengatakan bahwa dia berada di tanah Minang karena ada pesan dan amanat dari seseorang. Akan terjadi satu perkara besar di negeri ini. Dia merasa sebagai pendekar besar dan hebat Karena inyiek gurunya, apakah Inyiek yang memberi pesan dan amanat itu?"
"Aku tidak pernah memberi pesan dan amanat. Seperti kataku tadi anak itu tidak pernah mengunjungiku."
"Kalau begitu lalu siapa?" tanya Datuk Marajo Sati dengan nada datar seperti tak percaya. "Apa dia punya guru yang lain di negeri Ini?"
"Onde, mana aku tahu!" jawab Tua Gila. Dia ingat pada Datuk Rao Basaluang Ameh yang diketahuinya juga adalah guru dari Wiro. Namun tidak banyak para tokoh di tanah Minang yang mengetahui hal itu. Mereka mengganggap Datuk Rao Basaluang Ameh sesuai dengan cerita yang tersebar telah meninggal dunia seratus tahunan silam. Tapi Tua gila tidak mau memberi tahu perihal orang sakti yang dianggap setengah Dewa itu pada Datuk Marajo Sati. (Onde = Aduh)
"Saya sempat memberi peringatan pada murid Inyiek itu. Kalau dia masih berani berkeliaran di sekitar Ngarai Sianok maka saya akan mengganggapnya sebagai musuh."
"Ah... walau perangainya terkadang kurang ajar dan sering bertindak seperti orang gila, tapi seharusnya kau tidak perlu mengeluarkan ucapan seperti itu. Aku tetap berpendapat, setiap melakukan sesuatu muridku pasti punya alasan. Datuk Marajo Sati, apakah kau tidak terlupa mengatakan sesuatu?"
"Sesuatu apa Inyiek?" balik bertanya sang Datuk.
"Aku merasa kau menyembunyikan sesuatu..." Jawab Tua Gila.
Datuk Marajo Sati tutup perubahan wajahnya dengan tersenyum. Tua Gila kembali membuka mulut. "Jika muridku mengatakan akan terjadi satu perkara besar di negeri ini, maka itu bukan pandainya dia yang bicara. Tapi pasti ada yang memberi tahu memberi petunjuk. Siapa orangnya tidak perlu dijadikan masalah Yang jelas kelak apa yang dikatakannya akan menjadi kenyataan. Kurasa kau sudah bisa menduga hal itu. Kau sudah memaklumi..."
"Bagaimana kalau dia sendiri yang menimbulkan perkara itu Inyiek? Datuk tahu, sekarang kabarnya dia berteman dengan seorang pemuda tukang intai anak gadis orang mandi..."
"Apa?" Tua Gila tertawa gelak-gelak sampai keluarkan air mata. "Muridku belum segila itu berani berbuat kurang ajar ikut-ikutan mengintip anak perawan mandi. Tapi mengintai anak gadis mandi itu satu pekerjaan asyik! Ha ha ha..."
"Inyiek. waktu saya tidak lama. Bolehkah saya meminta bantuan Inyiek?"
"Dangan senang hati Datuk. Katakan bantuan apa yang akan kau minta dari ku."
"Saya ingin Inyiek mencari murid Inyiek itu. Jika bertemu perintahkan dia untuk meninggalkan negeri ini. Pulang kembali ke tanah Jawa."
Tua Gila terdiam lalu tersenyum. "Itu yang tidak bisa aku lakukan Datuk. Di bumi ciptaan Allah ini setiap insan boleh pergi kemana dia suka. Tapi kalau memang muridku punya pekerjaan salah, tanpa kau mintapun bisa kutanggalkan kepalanya.
"Bagaimana Inyiek bisa berkata begitu kalau Inyiek sendiri tidak beranjak dari sini, tidak mau mencari dan menemuinya?"
"Datuk, begini saja kita bicara. Kau saja yang mencari anak itu. Bawa dia ke hadapanku. Kalau dia memang terbukti bersalah telah membuat keonaran, apa lagi sampai membunuh orang tak berdosa di negeri ini tak usah banyak cakap. Saat itu juga akan kutamatkan riwayatnya."
"Kalau begitu kata Datuk, saya merasa tidak perlu susah-susah membawanya ke hadapan Datuk. Biar saya habisi saja dia pada saat bertemu."
Mulut Tua Gila terbuka ternganga. Lalu tokoh silat Ini tertawa mengekeh. "Datuk Marajo Sati. Jangankan satu kali. Sepuluh kalipun kau boleh membunuh anak itu. Tapi kalau dia mati dalam keadaan tidak bersalah tidak berdosa, apa kau bisa menggadaikan nyawamu sendiri padaku?"
Wajah Datuk Marajo Sati berubah kemerahan.
"Datuk, kau tokoh terpandang di ranah Minang. Jangan sampai kesalahan tangan..."
"Justru karena saya seorang tokoh maka saya merasa bertanggung jawab atas keamanan di negeri ini..."
"Menjaga keamanan bukan berarti bekerja tanpa menyelidiki tanpa otak!" tukas Tua Gila dengan ketus.
Datuk Marajo Sati jadi panas. Dalam hati dia berkata. "Kalau gurunya seperti ini bagaimana muridnya. Tua Gila, apa aku tidak tahu cerita riwayat dirimu di masa lalu. Kau pernah membunuh hampir tiga ratus manusia ketika kau patah hati karena ditinggal Sinto Gendeng..."
Seolah tahu orang merasani dirinya Tua Gila bertanya. "Datuk, apa yang ada di benakmu?"
Datuk Marajo Sati tidak menjawab. Tua Gila bertanya lagi. "Datuk, apa yang ada di hatimu?!"
"Inyiek, cukup sampai di sini kita bicara. Lebih kurangnya kita lihat saja apa kelak yang akan terjadi..."
Ucapan Sang Datuk oleh Tua Gila terasa terlalu berkelebihan kalau tidak mau dikatakan sombong. Sebaliknya dalam hati yang masih panas Datuk Marajo Sati yang sudah lama mendengar berbagai cerita hebat tentang ilmu kesaktian kakek satu ini diam-diam ingin menjajal. Sambil bangkit berdiri dia membungkuk memberi hormat. Tapi dua tangan pura-pura merapikan sorban. Dari dalam sorban itu melesat keluar sambaran angin yang mampu membuat seseorang tidak bisa bergerak selama setengah hari.
Tanpa banyak bicara lagi Datuk Marajo Sati tinggalkan tempat itu. Di atas sebuah batu dia buka sorbannya. Sorban mengapung di udara. Datuk Marajo Sati, melompat dan berdiri di atas sorban. Sesaat kemudian Datuk pimpinan para Datuk Luhak Nan Tigo itu telah melesat terbang di udara.
Tak lama setelah Datuk Marajo Sati lenyap di langit tinggi Tua Gila tertawa mengekeh. "Orang pandai hendak mengerjai diriku dengan sorban sakti. Melancarkan serangan ilmu pembungkam tubuh bernama Meniup Dua Belas Jalan Darah. Hik hik hik. Aku cuma merasa seperti kesemutan!" Sambil terus tertawa kakek yang punya nama besar dalam rimba persilatan ini bangkit berdiri lalu berlari ke arah telaga guna menemui istrinya Sabai Nan Rancak.
Masih jauh dari Ngarai Sianok, Datuk Marajo Sati tidak bisa menahan kencing yang sudah terasa sejak tadi. Ketika melihat ada sungai kecil di bawah sana, dengan cepat Sang Datuk menukikkan sorbannya ke bawah. Setelah mencari tempat yang baik dan terlindung Datuk Marajo Sati singsingkan jubah putihnya ke atas. Tapi alangkah terkejutnya dia ketika mendapatkan tubuhnya mulai dari pinggang sampai ke lutut telah dilibat sejenis benang sangat halus, nyaris tidak terasa dan tidak terlihat mata.
"Benang Kayangan. Kapan dia melakukannya...?" ucap Datuk Marajo Sati dengan suara bergetar.
Benang Kayangan. itulah senjata milik Tua Gila yang merupakan salah satu keajaiban rimba persilatan. Tidak sembarang orang atau benda tajam bisa memutuskan benang sakti itu.
Dalam keadaan kelabakan karena tidak bisa membuka pakaian, tidak mampu memutus benang sakti yang melilit setengah tubuhnya Datuk Marajo Sati akhirnya melompat masuk ke dalam sungai kecil dan pancarkan kencingnya di dalam air sungai. Sang Datuk sadar. Dalam hati dia mengucap.
"Astagafirullah. Aku telah berlaku congkak. Di atas langit masih ada langit lagi...!"
Tepian barat Danau Maninjau tak jauh dari Muko Muko. Angin danau bertiup sejuk. Ki Bonang Talang Ijo tampak gelisah. Dia melangkah mundar mandir di depan sekumpulan Batu Tagak. (Batu Tagak = Batu Berdiri - Batu Prasasti) Sebantar-sebantar orang tua berjubah hijau memandang ke langit. Sang surya semakin tinggi. Siap menggelincir ke ufuk tenggelamnya.
"Kita hanya tinggal menunggu Perwira Muda Teng Sien, dua bersaudara Si Kamba Tangan Manjulai dan Duo Hantu Gunuang Sago Si Kalam Langit. Heran, matahari sudah tinggi begini mereka belum juga muncul.”
Orang-orang yang ada bersama si kakek di tempat itu tampak juga sudah tidak sabar. Mereka adalah Duo Hantu Gunuang Sago Si Batu Bakilek yang tangannya diganjal pelepah daun kelapa dan dibalut akibat cidera berat sewaktu dihajar Datuk Panduko Alam, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, tiga orang anak buah Teng Sien dan seorang lelaki separuh baya membekal pedang dikenal dengan nama Tuanku Laras Muko Balang. Orang ini memiliki wajah aneh, ditumbuhi bulu. Bulu di sebelah kanan wajah berwarna hitam, di sebelah kiri berwarna putih.
Tuanku Laras Muko Balang cabut pedang besar yang terselip di pinggang. Senjata yang terbuat dari perak murni ini memantulkan cahaya menyilaukan begitu tertimpa sinar matahari, konon berasal dari negeri Arab. Setelah merenung sejenak sambil pejamkan mata dia sarungkan pedang perak itu kembali. Sewaktu hendak dimasukkan ke sarung, ujung pedang tampak bergetar.
"Aku mendapat firasat buruk. Sesuatu terjadi dengan beberapa sahabat kita." Berucap Tuanku Laras Muko Balang.
Baru saja ucapan Tuanku Laras berakhir tiba-tiba di kejauhan kelihatan beberapa orang berkelebat. Di depan sekali Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. Nenek ini berlari sambil memanggul saudaranya Si Kamba Pesek Tangan Manjulai. Seperti diketahui nenek satu ini menderita cidera cukup parah, berpatahan tulang-tulang iganya kiri kanan akibat dihantam Datuk Panduko Alam ketika terjadi pertarungan di Bukit Malintang.
Di samping si nenek berlari Perwira Muda Teng Sien. Larinya tak kalah cepat namun dua kaki tampak terhengkang-hengkang seolah ada yang mengganjal di bawah perutnya. Cara lari Teng Sien yang seperti ini tidak lain akibat hantaman potongan bambu yang dilemparkan Pendekar 212 Wiro Sableng ke bagian bawah perutnya.
Ki Bonang Talang Ijo segera menyambut kedatangan orang-orang ini. Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek usap kepala botak berkilatnya dan bertanya mana kakaknya Si Langit Kalam. Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai lebih dulu sandarkan Si Kamba Pesek ke sebuah batu tagak baru menerangkan dengan suara perlahan kalau Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit telah menemui ajal dibunuh orang. Semua orang yang ada di tempat itu melengak kaget Si Batu Bakilek menggerung keras. Lupa dia akan cidera di tangan kanan, orang ini melompat bangkit dan mencekal keras-keras tangan Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
"Siapa yang membunuh saudaraku? Katakan bagaimana kejadiannya? Dimana jenazahnya sekarang?!"
Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai lalu menuturkan apa yang diketahuinya. "Aku, Perwira Teng Sien dan Si Kalam Langit berhasil menemui pemuda asing yang aku lihat dalam tarak. Pemuda itu ternyata berasal dari Jawa. Dia bersama Malin Kapuyuak yang malam sebelumnya dihantami orang sedusun karena ketahuan mengintai anak gadis orang mandi di pancuran. Karena Malin keparat itu mengeluarkan ucapan menghina diriku, maka hendak kucabik mulutnya. Tapi pemuda Jawa yang mengaku bernama Wiro itu menolongnya. Ternyata dia memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Aku tak tahu ilmu setan apa yang dimilikinya. Dua tangannya bergerak dan tiba-tiba saja sekujur tubuhku kaku tak bisa bergerak..." Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai tentu saja tidak mau dan merasa malu besar menceritakan bagaimana Wiro telah memeluk, mencium dan mengecupnya.
"Itu ilmu Mancucuk Raga Membungkam Badan. Berasal dari negeri Cina..." Kata Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
"Di tanah Jawa dikenal dengan nama ilmu totokan." Menjelaskan Ki Bonang Talang Ijo. Lalu kakek ini minta Si Kamba Mancuang meneruskan cerita.
Si nenek lanjutkan keterangan. "Pemuda asing itu menghantam Perwira Teng Sien tepat pada barang terlarangnya dengan potongan bambu hingga jatuh pingsan."
Tahu kalau dirinya tengah dibicarakan Teng Sien lalu berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk bagian bawah perutnya.
"Si Kalam Langit mengejar anak kurang ajar bernama Malin Kapuyuak. Aku baru tahu apa yang kemudian terjadi dengan Si Kalam Langit setelah menjelang siang totokan ditubuhku lepas." Si nenek manatap sebentar ka arah Si Batu Bakilek baru meneruskan ucapan. "Di satu tempat tak jauh dari psaawahan aku menemukan kakakmu Si Kalam Langit telah menemui ajal. Ada dua lobang besar di kening dan di pangkal lehernya. Agaknya dia dihabisi dengan senjata terbang"
Duo Hantu Gunung Sago Batu Bakilek kembali berteriak keras, menendang kian kemari saking marahnya. Sebuah batu tegak hancur berantakan kena tendangan.
"Aku bermaksud mangurus jenazah Si Kalam Langit walau adikku juga dalam keadaan masih cidera. Namun kemudian muncul penduduk dusun terdekat. Mereka membawa keranda mayat. Menurut orang-orang itu mereka tahu ada mayat di tempat itu dari Datuk Marajo Sati. Datuk itu juga meminta agar Jenazah dimakamkan di tempat yang baik satelah lebih dulu dimandikan dan disembahyangi..."
"Datuk Marajo Sati..." ucap Duo Hantu Gunung Sago Batu Bakilek. "Aku menduga, jangan-jangan Datuk itu yang membunuh saudaraku. Aku akan mencarinya. Jika terbukti memang dia pelakunya akan kupecahkan kepalanya! Aku tidak takut. Aku tidak perduli Ilmunya tinggi! Aku tidak perduli dia pimpinan para Datuk Luhak Nan Tigo. Akan kucincang tubuhnya sampai lumat!"
"Hal itu bisa sama-sama kita selidiki, tapi tidak sekarang. Ada urusan yang lebih penting. Mencari kupu-kupu giok pusaka utama Kerajaan Tiongkok yang harus segera berada di tangan Kaisar." Yang berkata adalah Ki Bonang Talang Ijo.
Orang tua berjubah dan berbelangkon hijau ini tidak begitu tertarik untuk menyelidiki dan mencari pembunuh Si Kalam Langit. Urusan lebih penting adalah menemukan kupu-kupu batu giok yang akan memberi tambahan hadiah batangan-batangan emas. Menyelidiki kematian Si Kalam Langit baginya tidak ada guna selain membuang waktu.
Mendengar ucapan Ki Bonang Talang Ijo. amarah Duo Hantu Gunung Sago jadi meledak. Sambil menunjuk tepat-tepat ke muka si kakek, lelaki tinggi besar berkepala botak ini berteriak lantang. "Kau boleh tidak perduli dengan Si Kalam Langit karena dia bukan saudaramu! Bukan darah dagingmu. Kau boleh tidak mau menyelidik dan mencari pembunuh kakakku karena kau lebih suka pada upah besar batangan emas. Aku katakan pada kalian. Soal kupu-kupu giok itu silahkan kalian urus sendiri. Pergi! Lindang hapus kalian semua..." (Lindang hapus = Pergi dan jangan kembali lagi)
Habis berkata begitu Si Batu Bakilek hentakkan kaki hingga tanah bergetar ialu tinggalkan tempat itu. Perwira Muda Teng Sien berteriak-teriak mengatakan sesuatu. Yang mengerti bahasanya hanya Ki Bonang Talang Ijo. Maka kakek ini segera memanggil Si Batu Bakilek.
"Batu Bakilek. Perwira Muda ini tidak suka kau meninggalkan rombongan. Kalau kau memaksa pergi katanya kau harus mengembalikan tiga batangan emas yang sudah kau terima!"
Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek hentikan langkah. Berpaling dan memandang melotot ke arah Ki Bonang Talang Ijo, lalu meludah ke arah Perwira Muda Teng Sien. "Ki Bonang! Katakan pada orang Cino itu. Kalau dia minta kembali tiga batangan emasnya, aku akan kembalikan. Akan aku bungkus baik-baik. Bukan cuma tiga batang yang akan kau kembalikan. Tapi sepuluh. Tapi yang akan aku kembalikan adalah batangan langek". (langek = kotoran manusia) Si Batu Bakilek meludah sekali lagi ke arah Teng Sien lalu lanjutkan langkah.
Melihat ini Teng Sien berteriak pada tiga anak buahnya. Tiga anggota pasukan Kerajaan Tiongkok itu segera mencabut golok dan tanpa banyak bicara langsung menyerang SI Batu Bakilek!
Ki Bonang Talang Ijo berteriak mencegah saling serang di antara anggota rombongan tapi terlambat. Di depan sana walau tangan kanannya cidera, Si Batu Bakilek masih bisa pergunakan tangan kiri. Sekali dia melepas pukulan tangan kosong, dari tangan yang hitam berbulu itu melesat keluar selarik angin berwarna hitam. Dua anak buah Teng Sien terpental, jatuh terduduk muntah darah lalu tergelimpang tak bernyawa lagi. Yang ke tiga masih sempat selamatkan diri walau terjengkang di tanah.
Teng Sien menggembor marah. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan Si Batu Bakilek. Langsung kirimkan tabasan ke leher orang. Si Batu Bakilek cepat menghindar. Golok berbalik kali ini membabat ke arah pinggang.
"Breettt!" Masih untung bukan perutnya yang jebol tapi hanya baju hitam Si Batu Bakilek yang robek besar.
"Hentlkan! Kalian berdua sudah kemasukan setan!" Teriak Ki Bonang Talang Ijo. Kakek ini tanggalkan belangkon hijaunya lalu dikibaskan ke arah dua orang yang sedang bertarung. Saat itu Juga baik Si Batu Bakilek maupun Teng Sien sama-sama merasa tubuh mereka menjadi lemas. Seperti lumpuh keduanya jatuh terduduk di tanah.
Ki Bonang Talang Ijo dekati kedua orang ini. Setelah bahu masing-masing ditepuk keduanya baru bisa bangkit berdiri kembali. Ki Bonang mengatakan sesuatu pada Perwira Muda Teng Sien lalu berpaling pada Si Batu Bakilek.
"Kau memberi malu saja! Menerima hadiah tapi tidak mau bekerja. Kalau kau mau pergi silahkan saja. Aku tidak butuh orang sepertimu. Kau tak usah mengembalikan tiga batang emas yang sudah kau terima. Makan sampai perutmu gembung dipenuhi racun kecurangan!"
Sepasang mata besar Duo Hantu Gunung Sago berkilat-kilat dan tampak membersitkan cahaya merah menyerupai buah sago. "Ki Bonang, kalaupun kau berada di tanah Jawa tidak pantas kau berkata menyumpah seperti itu. Apa lagi saat ini kau berada di negeri orang. Aku tidak akan melupakan semua ucapanmu tadi. Lebih cepat kau meninggalkan tanah Minang ini akan lebih baik. Kalau tidak kelak aku akan mencarimu untuk memberikan sekedar pelajaran bagaimana tata cara bicara yang sopan. Atau kau minta kuberi pelajaran sekarang juga?! Bagiku kematian bukan apa-apa. Tapi kau pasti takut mati karena tidak akan mendapatkan harta. Padahal kalau kau mampus masih untung jika ada yang membungkus jenazahmu dengan kain kafan! Atau kau kira akan mati membawa batangan emas celaka keparat itu?"
Sambil keluarkan ucapan keras Si Batu Bakilek angkat tangan kirinya, dipantang di depan dada. Tangan besar hitam berbulu itu memancarkan cahaya hitam redup pertanda orang kedua dari Duo Hantu Gunung Sago ini siap melancarkan pukulan bernama Pukulan Batu Beracun yang tadi sudah memakan dua korban anak buah Teng Sien. Walau hatinya panas sekali namun Ki Bonang Talang Ijo masih bisa menindih amarahnya yang hampir meledak.
"Aku siap menerima pelajaran sopan santun darimu. Datanglah kapan saja..." ucap si kakek.
Si Batu Bakilek menyerang. "Kau takut menghadapiku saat ini. Ha ha!" Si Batu Bakilek tertawa mengejek. Sambil tudingkan telunjuk tangan kiri ke arah kepala Ki Bonang Talang Ijo dia berkata. "Kakek keparat kau harus ingat satu hal. Dan kami semua orang di ranah Minang ini juga akan mengingat baik-baik dan jelas-jelas Kau yang datang menimbulkan perkara dan malapetaka di negeri ini dengan membawa manusia-manusia asing itu. Kau kelak harus menebus dosa kesalahanmu dengan guyuran darahmu sendiri..."
Selesai bicara lantang Si Batu Bakilek segera memutar tubuh. Sebelum dia sempat melangkah tiba-tiba sebuah benda putih melesat di udara dan menancap di tanah antara Si Batu Bakilek dan Ki Bonang Talang ijo. Kedua orang ini saling pandang seketika. Si Batu Bakilek bergerak lebih dulu mencabut benda yang menancap di tanah. Benda itu ternyata adalah secarik kain putih yang digulung pada sebatang potongan bambu.
Dengan tangan kirinya Si Batu Bakilek buka gulungan kain putih, di atas kain putih ada serangkai tulisan. Walau tulisannya jelek tapi cukup jelas untuk dibaca. Setelah membaca apa yang tertulis di kain putih Si Batu Bakilek menyeringai lalu campakkan kain dan bambu ke tanah. Tanpa banyak bicara ataupun menoleh dia tinggalkan tempat itu.
Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai yang berada agak jauh ulurkan tangan kiri hingga menjadi panjang lalu mengambil kain dan bambu. Kain dikembang. Mulut berkomat kamit terpencong-pencong mulai membaca apa yang tertulis di atas kain putih.
"Kalau mau tahu siapa pembunuh Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit, orangnya adalah pemuda Jawa berambut panjang, bernama Wiro, berjuluk Pendekar 212 Wiro Sableng..."
Siapakah yang telah menyerang Pendekar 212 sewaktu keluar dari goa kediaman Datuk Marajo Sati. Siapa pula yang telah membunuh Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit?
Mampukah Datuk Marajo Sati menyelamatkan Puti Bungo Sekuntum dari kejaran Ki Bonang Talang Ijo dan Perwira Muda Teng Sien?
Siapa perempuan yang telah menghalangi dan membunuh Si Kalam Langit hingga tidak Jadi mengejar Malin Kapuyuak?
Siapa pembuat dan pengirim kain bersurat yang memfitnah Pendekar 212 sebagai pembunuh Si Kalam Langit?
Ikuti episode berikutnya berjudul:
Gadis Cina bernama Chia Swie Kim yang cantik itu tersenyum. "Terima kasih Datuk..."
Ketika Chia Swie Kim hendak menyambung ucapannya Datuk Marajo Sati memberi isyarat seraya berbisik. "Ada manusia jahil mendekam di luar sana. Agaknya sudah sejak tadi dia mencuri dengar pembicaraan kita. Anak gadis, lekas ubah ujudmu menjadi kupu-kupu giok!"
Dengan cepat Chia Swie Kim merubah diri menjadi kupu-kupu batu giok berwarna hijau kebiruan. Datuk Marajo Sati ambil kupu-kupu batu giok itu ialu meletakkannya di dalam sebuah lekukan di dinding goa sebelah kiri.
BAB SATU
SENJA itu angin dari arah laut bertiup lebih kencang dari biasanya. Daun-daun pohon kelapa mengeluarkan suara gemerisik berkepanjangan. Di pondok kayu kediamannya di satu lereng bukit Sutan Panduko Alam yang baru saja menyelesaikan shalat Magrib tengah berzikir khidmat ketika hidungnya mencium bau angin yang mengandung garam. Orang tua ini letakkan tasbih batu hitam di atas pangkuan, memandang ke arah pintu pondok yang tertutup sambil mengusap janggut seputih kapas.
"Angin dari laut," ucap Sutan Panduko Alam dalam hati. "Tidak pernah angin dari laut bertiup sampai sejauh ini ke Bukit Melintang. Pertanda apakah yang hendak diberi tahu oleh alam?"
Perlahan-lahan orang tua berusia hampir delapan puluh tahun ini bangkit berdiri. Setelah merapikan letak sorban putih berumbai-rumbai benang emas di kepala, sambi terus mengucapkan zikir dia melangkah ke pintu rumah lalu membukanya. Begitu pintu pondok terbuka, angin kencang datang menerpa. Janggut panjang serta jubah putih melambai-lambai.
Sepasang mata si orang tua yang berwarna kelabu menatap berkeliling. Dia tidak melihat apa-apa selain pepohonan yang menghitam dalam kegelapan serta mendengar deru angin yang tiada henti. Sutan Panduko Alam melangkah mundur. Belum sempat dia menutup pintu pondok, di bawah deru angin yang begitu keras dia mendengar suara kepakan halus. Lalu ada benda melayang dan kemudian hinggap ditangan kanan itu adalah seekor kupu-kupu besar.
“Ramo-ramo... Puluhan tahun aku tinggal di sini tidak pernah bertemu dengan ramo-ramo. Mengapa malam ini tiba-tiba ada seekor ramo-ramo terpesat datang ke pondok ini?" (Ramo-ramo = Kupu-kupu/bahasa Minang kabau) Sutan Panduko Alam angkat tangan kanannya agar bisa memandang kupu-kupu itu lebih jelas. Binatang ini memiliki warna-warni yang luar biasa indah. Kepala bergerak, diangkat sedikit, dua buah mata yang bagus menatap ke arah si orang tua.
Sutan Panduko Alam tersenyum lalu berkata. "Mahluk ilahi. Kau pasti datang dari jauh. Dihempaskan angin ke pondok ini. Kau ingin perlindungan dari angin kencang dan hawa dingin di luar sana. Aku akan memberikan tempat yang hangat bagimu."
Lalu Sutan Panduko Alam pergunakan tangan kiri hendak membuka sorban di atas kepala. Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba dia mendengar suara yang menjawab ucapannya barusan.
"Orang tua berhati mulia, saya memang butuh perlindunganmu. Tapi bukan dari dingin dan kencangnya angin. Melainkan dari serombongan orang yang mengejar dan hendak membunuh saya."
Sutan Panduko Alam sampai terlonjak saking kagetnya. Dia memandang berkeliling. Barusan dia mendengar jelas suara orang berucap. Suara perempuan. Tapi orangnya tidak kelihatan. Dia memandang keluar, lalu memperhatikan seputar bagian dari pondok.
"Suaranya jelas tapi orangnya tidak kelihatan. Gerangan siapakah yang barusan bicara?"
"Orang tua, saya yang bicara. Kupu-kupu besar di tangan kananmu."
Sutan Panduko Alam kembali melengak. Mata yang kelabu semakin besar, tangan kanan didekatkan ke wajah. "Mahluk Ilahi ramo-ramo. Allah Maha Besar. Benar kau yang barusan bicara?"
"Benar, orang tua. Tolong cepat-cepat tutupkan pintu. Rombongan orang yang mengejar saya semakin dekat..."
Kupu-kupu di tangan kanan Sutan Panduko Alam kembali berbicara. Suara perempuan bernada sangat ketakutan. Dalam heran yang tidak terkirakan orang tua itu lakukan apa yang diminta kupu-kupu besar. Setelah menutup pintu pondok dia bersurut mundur, duduk di tepi tempat tidur rotan.
"Allah Maha Kuasa, berbuat sekehendakNya. Tapi baru kali ini aku melihat ada kupu-kupu pandai bicara. Ramo-ramo gadang, katakan kau ini mahluk apa sebenarnya? Mahluk jejadian atau roh yang tersiksa karena sumpah kutukan? Datang dari mana?" (gadang = besar)
"Orang tua. saya berasal dari negeri sangat jauh di seberang lautan. Negeri tanah daratan Cina. Ujud saya sebenarnya adalah kupu-kupu terbuat dari batu Giok berwarna biru kehijauan yang merupakan benda pusaka utama milik Kaisar. Ketika seorang Pangeran Kerajaan Tiongkok hendak membunuh puterinya karena dituduh berzinah..."
Sutan Panduko Aiam memberi isyarat dengan gerakan tangan kiri agar kupu-kupu berhenti bicara. Telinga tajam orang tua ini mendengar suara orang berkelebat di sekeliling halaman pondok. Dia melirik ke atas sewaktu merasakan ada getaran halus di wuwungan.
"Mereka sudah datang. Orang-orang yang hendak membunuh saya..." Kupu-kupu di tangan kanan Sutan Panduko Alam bicara dengan suara berbisik.
Orang tua itu bangkit dari tempat tidur, melangkah ke dinding pondok. Melalui lobang kecil dia mengintai ke luar. Tujuh orang dilihatnya berdiri dihalaman depan rumah. Dua orang yang bertubuh tinggi besar bermata besar merah, berbaju dan bercelana galembong hitam, bertampang buas memelihara kumis melintang, jenggot dan cambang bawuk. Tangan mereka selain ditumbuhi bulu lebat juga berwarna hitam mulai dari atas siku sampai ke ujung sepuluh jari termasuk kuku.
Di kiri kanan berdiri empat orang yang dari bentuk tubuh, raut muka, warna kulit serta pakaian pasukan Kerajaan Cina, menghunus golok besar telanjang. Salah seorang dari mereka memakai topi terbuat dari besi berwarna merah dihias kaca-kaca bulat berkilat (galembong = celana hitam berkaki besar)
Setelah memperhatikan ke enam orang itu dengan cepat Sutan Panduko Alam mengalihkan pandangan pada orang ketujuh yang berdiri di bawah bayang-bayang gelap pohon besar sambil rangkapkan dua tangan di depan dada Kepala agak mendongak. Sutan Panduko Alam maklum betul, sikap berdiri seperti ini adalah sikap orang berkepandaian tinggi yang tengah mementang mata memasang telinga.
Orang ini seorang kakek berjubah hijau mengenakan blangkon yang juga berwarna hijau berbunga-bunga putih. Walau yang bisa dilihatnya hanya tujuh orang namun Sutan Panduko Alam tahu betul, paling tidak ada dua orang di atas atap dan beberapa orang lagi di samping kiri dan kanan dan bagian belakang pondok.
"Duo Hantu Gunung Sago," ucap Sutan Panduko Alam dalam hati menyebut nama dua orang lelaki berpakaian serba hitam bertampang seram. "Kalian masih berkeliaran di nagari alam terkembang membawa orang-orang asing dari Cina, berteman seorang pandai berblangkon hijau dari tanah jawa. Hanya untuk memburu seekor kupu-kupu betina. Gerangan rahasia apa yang ada dibalik semua kejadian ini."
Dari lubang tempat mengintai Sutan Panduko Alam melihat kakek berjubah dan berblangkon hijau mengucapkan sesuatu sambil tangan kanan digerakkan memberi aba-aba. Dua lelaki berpakaian hitam yang disebut Dua Hantu Gunung Sago segera melompat ke depaan rumah. Empat orang asing menebar. Yang memakai topi besi merah melangkah lebih dulu. Kakek berjubah hijau tidak beranjak dari bawah pohon.
Sutan Panduko Alam dengan cepat menanggalkan sorban putih di atas kepala. Kupu-kupu besar dimasukkan ke dalam gulungan sorban seraya berkata. "Ramo-ramo mahluk ilahi. Jika sesuatu terjadi denganku maka sorban ini akan membawamu terbang ke tempat yang aman..." Lalu Sutan Panduko Alam letakkan sorban di atas tempat tidur. Pada saat itu...
"Braaakk!" Pintu pondok terpental jebol. Dua Hantu Gunung Sago melesat masuk disusul empat orang Cina berpakaian pasukan Kerajaan. Atap ijuk amblas. Dua orang melayang turun. Satu membekal pedang, seorang lagi menghunus keris. Sementara itu bagian belakang pondok juga telah didobrak dan dua orang menghambur masuk yang ternyata adalah dua nenek berambut putih panjang tapi jarang dan sama-sama bergigi perak. Yang satu berhidung mancung. Lainnya berhidung pesek.
Walau semua kejadian itu dihadapi dengan tenang, namun melihat dua nenek yang kini berada dalam pondok mau tak mau bergetar juga hati Sutan Panduko Alam. Dua nenek ini di pulau Andalas dikenal dengan julukan Si Kamba Tangan Manjulai yang berarti Si Kembar Tangan Panjang. Seperti julukannya dua nenek kembar ini memang memiliki sepasang tangan luar biasa panjang hingga ujung-ujung jari mereka hampir menyentuh lantai.
"Banyak tamu agung tidak terduga mengunjungiku. Sungguh satu kehormatan besar. Sebagai tuan rumah aku ingin bertanya. Gerangan maksud apa hingga datang malam hari beramai-ramai pula?"
"Sutan Panduko Alam, kami datang dari jauh, membawa empat tamu dari daratan Tiongkok. Kami membawa urusan sangat penting. Kami tidak ingin datang dengan sia-sia..." yang bicara adalah salah seorang dari Duo Hantu Gunung Sago, yang berdiri di hadapan sebelah kanan bernama Si Kalam langit, memiliki muka hitam legam.
"Maksud belum disampaikan sudah menyebut sia-sia. Hantu Gunung Sago, katakan apa keperluanmu dan semua orang yang kau bawa ke tempat ini...?"
"Kami mencari sesuatu. Sesuatu itu kami ketahui masuk ke dalam pondokmu ini." Kali ini yang bicara adalah salah seorang dari Si Kamba Tangan Manjulai. Dia diberi nama tambahan Si Kamba Pesek Tangan Manjulai karena memang memiliki hidung pesek hampir sama rata dengan pipi.
Sutan Panduko Alam tersenyum. "Kalian semua bicara setengah berteka-teki. Sahabat lamaku Si Kamba Tangan Manjulai, katakan apa yang kau maksudkan dengan sesuatu itu. Seekor katak, ular berbisa atau sebangsa mahluk halus jejadian. Atau mungkin juga seorang maling yang telah mencuri barang berharga milik kalian."
Orang Cina berpakaian pasukan Kerajaan yang mengenakan topi besi merah tampaknya tidak sabaran. Dia berteriak mengatakan sesuatu sambil mengacungkan golok besar. Hantu Gunung Sago yang berdiri di samping kiri Sutan Panduko Alam bernama Si Batu Bakilek (Si Batu Berkilat) karena memiliki kepala botak plontos berkilat, mengangkat tangan memberi tanda agar si orang Cina berlaku tenang. Lalu dia melangkah mendekat Sutan Panduko Alam. Tangan kiri diletakkan di atas bahu orang tua itu, dialiri tenaga dalam tinggi hingga memiliki bobot seperti sebuah batu sebesar rumah.
Sadar orang tengah menjajal yang bisa membuat tubuhnya remuk sebelah, Sutan Panduko Alam membalas dengan tenaga dalam yang mengeluarkan hawa lembut. Saat itu juga tangan kiri Hantu Gunung Sago seperti ditepiskan ke samping. Karena mengerahkan tenaga besar tubuhnya nyaris terperosok ke depan.
"Sahabatku Hantu Gunung Sago Batu Bakilek, apakah kau belum makan dari pagi? Kau kelihatan lemah, hampir jatuh tergelimpang," kata Sutan Panduko Alam mempercandai orang.
Diejek seperti itu si tinggi besar berkepala botak ini menggembor marah. Tinju kanannya laksana kilat menyambar ke muka Sutan Panduko Alam. Cahaya hitam membersit dari tangan kanan yang memukul pertanda pukulan mengandung kekuatan yang mematikan. Di saat yang sama orang Cina bertopi merah bacokkan besarnya, Juga mengarah kepala si orang tua.
"Yang dicari belum bertemu. Mengapa mau membunuh orang yang tahu?”
Dua tangan panjang bergerak luar biasa cepat menangkis serangan yang dilancarkan Hantu Gunung Sago Batu Bakilek dan orang Cina bertopi merah hingga membuat kedua orang itu terjajar. Yang menangkis serangan ternyata adalah Si Kamba Tangan Manjulai yang memiliki hidung mancung, dikenal dengan nama julukan Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai (Si Kembar Mancung Tangan Panjang). Dia juga yang tadi keluarkan ucapan sebelum bergerak.
Hantu Gunung Sago kepala botak dan orang Cina berpakaian pasukan Kerajaan Tiongkok berteriak marah. Si nenek mancung tidak perduli dia memutar tubuh menghadap ke arah Sutan Panduko Alam. "Aku orang yang tidak suka bicara berteka teki seperti katamu tadi. Aku bertanya langsung padamu. Seekor kupu-kupu besar masuk ke dalam pondokmu. Sekarang katakan dimana kau sembunyikan binatang itu"
Sutan Panduko Alam unjukkan wajah tercengang lalu gelengkan kepala sambil keluarkan suara berdecak berulang kali.
"Sutan Panduko, jangan berpura-pura. Jika kau tidak memberi tahu, lihat saja apa jadinya. Kau sudah terkurung. Aku tidak akan menyelamatkan nyawamu untuk kedua kalinya!"
"Sahabat lama, terima kasih kau mau berbaik hati menolongku. Jadi kau dan yang lain-lain datang beramai-ramai ini tengah mencari seekor kupu-kupu. Sungguh lucu. Lebih lucu lagi karena aku tidak pernah tahu kalau ada kupu-kupu masuk ke dalam pondokku."
"Urang Siak! Kau berdusta!" Bentak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. (Urang siak = Orang alim)
Sutan Panduko Alam tertawa Dalam hati orang tua ini berkata. "Berdusta untuk menyelamatkan nyawa mahluk ilahi apa dosanya? Berdusta terhadap orang-orang berbusuk niat seperti kalian apa haramnya?"
"Sutan Panduko, lebih baik kau memberi tahu dimana kau sembunyikan ramo-ramo besar itu. Kalau tidak kami akan membakar pondok ini" Yang bicara mengancam adalah seorang lelaki muda berpakaian dan destar merah, memegang kens bertuah.
Sutan Panduko Alam mengenali orang ini adalah tokoh silat yang punya julukan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. (Pendekar Bumi Langit Dari Sumanik) Ilmu silat orang ini luar biasa berbahaya. Bisa memukul remuk kepala atau mencabik muka dan menjebol tubuh lawan dalam sekali gebrakan saja. Konon ilmu silat yang dimiliki sang Pendekar dikenal dengan nama Sitaralak.
“Buruk nian nasibku hari ini. Banyak sahabat lamo yang datang aku harap kita bicara berelok-elok beriang-riang. Ternyata datang membawa ancaman." Sutan Panduko Alam memandang berkeliling. Lalu lanjutkan ucapan. "Agaknya pondok buruk ini terlalu sempit untuk bercakap-cakap. Lebih baik kita melanjutkan bicara di halaman."
Sehabis keluarkan ucapan Sutan Panduko Alam tiup pelita di dalam ruangan lalu melesat ke pintu. Dua Hantu Gunung Sago Si Kalam langit coba menghalangi tapi terpental kena sambaran sikut si orang tua. Selain mencari tempat yang jebih leluasa jika orang sekian banyak menyerang dirinya. Sutan Panduko Alam juga tidak ingin orang-orang itu mengetahui keberadaan kupu-kupu besar yang tergulung dalam sorbannya dan saat itu berada di atas tempat tidur rotan.
Hanya sesaat setelah Sutan Panduko Alam injakkan kaki di halaman depan pondok kediamannya, dua belas orang sudah mengelilinginya termasuk kakek berjubah dan berbelangkon hijau yang sejak tadi tetap berdiri tak bergerak di bawah pohon besar. Kini setelah Sutan Panduko Alam berdiri di halaman, kakek ini melangkah mendatangi.
"Sutan Panduko Alam. namaku Ki Bonang Talang Ijo. aku seorang sahabat datang dari satu tempat bernama Kuto Gede di pulau Jawa. Terima salam hormatku!"
Habis keluarkan ucapan kakek ini usap mukanya hingga saat itu juga berubah menjadi hijau termasuk sepasang mata. Selesai unjukkan kehebatan, dia susul menggerakkan badan membungkuk sambil tangan kanan dilambaikan. Gerak yang dibuat orang menimbulkan angin halus yang menggetarkan tubuh Sutan Panduko Alam dan memerihkan mata. Cepat-cepat orang tua ini membalas penghormatan Ki Bonang Talang Ijo.
"Sahabat yang datang dari tanah Jawa. terima kasih balas salam dan penghormatanku. Sayang kau dan orang-orang ini tidak memberi tahu kedatangan lebih dulu."
Sambil membungkuk Sutan Panduko Alam geserkan sedikit telapak kaki kanannya. Tanah bergetar, gerakan menjalar masuk menyentuh dua kaki Ki Bonang Talang ijo hingga kakek itu sesaat merasa dua kakinya seperti lumpuh. Sambil tersenyum dan batuk-batuk Ki Bonang Talang ijo luruskan tubuh lalu berkata.
"Sutan Panduko Alam. aku tidak menginginkan pondokmu dibakar orang, apalagi melihat dirimu sampai celaka. Aku meminta dengan sangat dan segala hormat agar kau menyerahkan kupu-kupu besar yang terpesat masuk ke dalam pondokmu."
Sutan Panduko Alam menyadari jika pecah pertarungan dia tidak akan mungkin menghadapi sekian banyak musuh. Namun menyerahkan apa yang diminta orang diapun tidak sudi. Melindungi mahluk Ilahi yang datang meminta tolong bagi keselamatan jiwanya adalah kewajiban setiap orang termasuk dirinya. Maka Sutan Panduko Alam lantas menjawab.
"Sahabat, soal bakar membakar memang tidak layak dilakukan. Apa lagi perihal celaka mencelakai sesama insan Ilahi. Aku katakan padamu bahwa tidak ada kupu-kupu yang terpesat masuk ke dalam pondokku. Puluhan tahun aku menetap di sini. Daerah ini tidak pernah ada ramo-ramo atau kupu-kupu yang kau sebut itu."
Ki Bonang Talang Ijo tersenyum. Dia memandang pada orang-orang sekeliling lalu kembali berpaling pada orang tua di hadapannya "Sutan Panduko Alam. Malam yang dingin, kau tidak mengenakan sorban. Sungguh diluar kebiasaan..." Ki Bonang melangkah lebih dekat. Lalu setengah berbisik dia berkata. "Aku tahu dimana kau menyembunyikan kupu-kupu itu!"
Begitu ucapannya selesai Ki Bonang Talang Ijo melompat ke udara melewati Sutan Panduko Alam lalu melesat ke arah pondok. Sutan Panduko Alam berusaha menghalangi namun sebelas orang serentak menyerbu dirinya. Duo Hantu Gunung Sago menyerang di depan sekali, menyusul empat orang Cina dari samping kiri dan kanan. Si Kamba Tangan Manjulai untuk beberapa lama hanya memperhatikan sambil tertawa-tawa sementara Pendeka Langit Bumi Dari Sumanik bersama beberapa orang lainnya menggempur dari arah belakang. Sutan Panduko Alam putar tasbih batu hitam di tangan kanan.
"Traang! Traang!" Dua golok mental ke udara. Salah seorang penyerang berpakaian pasukan Kerajaan Cina terpental lalu tergelimpang pingsan.
"Breettt!" Jubah putih Sutan Panduko Alam robek di bagian punggung dimakan mata keris salah seorang penyerang. Darah mengucur dari luka memanjang.
"Membunuh pantangan orang Muslim. Mempertahankan diri membela kebenaran menghancurkan kemungkaran adalah kewajiban..." Sutan Panduko Alam keluarkan teriakan lantang. Tasbih batu hitam di tangan kanan menderu.
"Wuttt!" Selarik sinar hitam bertabur. Satu jeritan membelah langit malam. Penyerang yang memegang keris dan dikenal dengan nama Datuk Mangkuta Kantih Babegah terkapar di tanah dengan kepala hancur. Sutan Panduko Alam mengamuk laksana banteng terluka. Seorang lagi yakni Duo Hantu Gunung Sago Batu Bakilek menggerung keras ketika tangan kanannya remuk dihajar tasbih batu hitam.
Bagaimanapun kehebatan Sutan Panduko Alam namun menghadapi sekian banyak musuh walau dia memiliki tingkat kepandaian ilmu yang disegani di seluruh Nagari ranah Minang, setengah pertarungan tak seimbang berlangsung empat jurus, Si Kamba Pesek Tangan Manjulai berhasil menelikung tubuh orang tua itu dari belakang dengan kedua tangannya yang panjang, melilit laksana lilitan dua ular besar. Sutan Panduko Alam keluarkan gerak ilmu Burung Balam Mengepak Sayap. Dua sikut terlepas dari tangan yang melilit lalu menghantam ke belakang.
"Kraakk! Kraakk!" Tiga tulang rusuk si Kamba Pesek Tangan Manjulai kiri kanan berderak patah. Nenek ini menjerit setinggi langit. Lepaskan lilitan dua tangannya dari tubuh Sutan Panduko Alam, terhuyung-huyung beberapa langkah lalu roboh terjengkang di tanah dengan mulut membusah darah!
Walau lolos dari telikungan lawan namun keadaan Sutan Panduko Alam tidak tertolong lagi. Orang tua ini menjadi bulan-bulanan jotosan, tendangan, tusukan dan bacokan yang datang dari berbagai jurusan termasuk serangan pengecut dari arah belakang! Orang tua ini akhirnya tergeletak tak bernyawa di tanah, kepala dan wajah tidak berupa lagi, tubuh penuh luka bergelimang darah. Jubah putih telah berubah merah!
BAB DUA
KI BONANG Talang Ijo usap kedua matanya dengan telapak tangan kiri. Walau keadaan di dalam pondok gelap gulita usapan tangan tadi membuat dia kini bisa melihat jelas di dalam gelap. Benda yang dicari segera membentur pandangannya. Terletak tergulung di atas tempat tidur rotan.
"Sutan tolol! Hanya untuk seekor kupu-kupu yang tidak ada gunanya bagimu kau sampai mau-mauan mati percuma!"
Sambil menyeringai Ki Bonang melangkah cepat mendekati tempat tidur. "Kupu-kupu Giok. Aku tahu kau ada dalam gulungan sorban putih berumbai-umbai benang emas..."
Hanya satu jengkal lagi tangan kakek ini akan menyentuh sorban, tiba-tiba sorban melesat ke udara. Kaget Ki Bonang bukan kepalang. Dengan cepat dia melompat ke atas, tangan menyambar tapi lagi-lagi luput.
"Sorban keparat! Roh jahanam apa yang membuat kau bisa melesat ke udara! Biar aku hancurkan kau sekalian bersama kupu-kupu itu!"
Tapi Ki Bonang ingat, jangankan membunuh, melukai kupu-kupu itu saja dia tidak boleh melakukan. Itu pesan Teng Sien, Perwira Muda pasukan Kerajaan Cina bertopi besi merah yang jadi pimpinan rombongan pengejar kupu-kupu. Maka dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh kakek ini kembali berkelebat ke atas berusaha menyambar sorban yang melayang. Gerakan Ki Bonang memang luar biasa cepat. Dia berhasil menangkap salah satu ujung sorban yang terjulai. Namun seperti hidup sorban menyentak diri hingga brett! Ujung sorban robek putus.
Ki Bonang Talang Ijo berteriak penasaran. Kembali kakek ini membuat gerakan menyambar. Namun sekali ini sorban yang melayang di udara menyusup ke bawah lalu plaakk! Ujung sorban yang robek mendarat di kening hijau Ki Bonang hingga kakek ini terpental. Kepala terasa sakit, pemandangan berkunang.
"Jahanam kurang ajar!" Dalam marahnya Ki Bonang tidak perduli lagi apakah dia akan melukai atau membunuh kupu-kupu yang dipastikannya berada dalam gulungan sorban. Ketika sorban putih melesat ke atas, melewati lobang jebolan di atap ijuk, Ki Bonang segera melesat mengejar sambil tangan kanan digerakkan dalam melepas jurus pukulan sakti bernama Di Atas Awan Menyergap Rembulan.
Serangkum cahaya hijau berkiblat keluar dan ujung jari tangan kanan Ki Bonang, menebar menjadi lima larikan yang bergulung-gulung lalu dengan cepat menelikung sorban putih yang melesat di udara malam. Walau dalam keadaan terjerat, sorban putih yang seolah hidup tiba-tiba pancarkan cahaya terang menyilaukan.
"Brett!" Untuk kedua kalinya sorban putih Sutan Panduko Alam robek dan putus. Kali ini pada sepertiga panjang. Robekan melayang jatuh ke atas atap, sisanya yang masih setengah tergulung melesat ke udara. Ketika Ki Bonang Talang Ijo sampai di atap pondok sorban telah melesat jauh ke arah timur.
Ki Bonang Talang Ijo hanya bisa kepalkan tangan dan hentakkan kaki hingga atap bangunan berderak roboh. Lalu si kakek melayang turun ke tanah sambil berteriak memberi tahu pada orang-orang yang ada di halaman.
"Lolos! Kupu-kupu batu Giok itu lolos dalam gulungan sorban..."
Teng Sien, orang Cina bertopi besi merah berteriak marah. Lalu memaki-maki sambil bantingkan golok besar hingga amblas masuk ke dalam tanah! "Kita harus cepat mengejar..." Kata Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
"Percuma, tidak akan terkejar," kata Ki Bonang Talang Ijo sambil mengusap wajahnya hingga mukanya yang tadi hijau kini berubah ke warna asal. Keningnya yang bekas dihantam ujung sorban tampak kemerah-merahan.
"Paling tidak kita harus mencari tahu kemana sorban membawa kupu-kupu itu." Ucap Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam langit sambil pegangi sobatnya Si Batu Bakilek yang tangan kanannya hancur dihantam tasbih hitam Sutan Panduko Alam
"Malam ini aku akan batarak," kata Si kamba Mancuang Tangan Manjulai walau sibuk menolong saudaranya Si Pesek yang patah tulang iga kiri kanan. (batarak = bersamadi) "Kita harus mencari tahu kemana sorban itu membawa kupu-kupu giok."
Si Kamba Pesek Tangan Manjulai meludah ke tanah. Ludahnya masih mengandung darah. Tampangnya tampak angker ketika berkata. "Persetan dengan kupu-kupu giok dan sorban jahanam itu. Yang penting kalian harus menolong diriku dulu sampai sembuh..." Lalu dia berpaling pada Teng Sien dan tiga anak buahnya. "Cino cino keparat ini, suruh saja mereka kembali ke negerinya. Gara-gara mereka mencari kupu-kupu setan itu aku jadi sangsaro begini" (sangsaro = sengsara)
"Saudaraku," kata Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai setengah berbisik. "Kita tidak bisa berbuat begitu. Kita semua sudah menerima pembayaran satu peti batangan emas dari mereka. Kita akan memperoleh satu peti lagi jika berhasil mendapatkan kupu-kupu giok itu. Kau sabar dan tenang sajalah. Aku dan para sahabat pasti akan merawatmu. Kau akan sembuh dalam waktu cepat..."
"Kupu-kupu giok, kupu-kupu giok!" cemberut Si Kamba Pesek Tangan manjulai dengan suara meradang. "Mengapa bukan si Giok gapuak anak gadis Taci Lim di Kampung Cino saja yang mereka cari. Kupu-kupu... Bikin aku susah saja..." (gapuak = gemuk) (Taci = bibi)
Si Kamba Mancuang tertawa cekikikan. Ditepuk-tepuknya pipi kempot Si Kamba Pesek. "Kau ini ada-ada saja. Kupu-kupu gaib itu jangan kau samakan dengan nona gendut berwajah tambun di Kampung Cino Hik hik hik."
Tak selang berapa lama semua orang meninggalkan tempat itu turun dari Bukit Malintang. Mereka berjanji akan berkumpul di satu tempat di Muko-Muko sehari kemudian. Ki Bonang Talang Ijo berjalan di sebelah belakang sambil menimang-nimang tasbih batu hitam milik Sutan Panduko Alam yang ditemuinya tercampak di tanah. Kakek sakti dari tanah Jawa ini yang pertama sekali meninggalkan rombongan, melanjutkan perjalanan ke arah timur. Sementara dua nenek Si Kamba Tangan Manjulai mencari dangau untuk bermalam.
Seperti yang dikatakannya setelah mengobati saudaranya Si Kamba Mancuang kemudian melakukan tarak (samadi) di satu tempat yang sunyi tak jauh dari dangau, berusaha mencari petunjuk dimana sekarang beradanya kupu-kupu giok. Dia menemukan sebatang pohon besar lalu melompat ke salah satu cabang dan melakukan tarak (samadi) dengan cara berjuntai yaitu dua kaki digelungkan di cabang pohon, rubuh dan kepala bergantung ke arah tanah. Dua tangan yang panjang melilit seputar badan mulai dari pinggang sampai ke dada.
********************
Suara alunan arus sungai Batang Sianok terdengar lembut sejuk di telinga pada malam yang sunyi itu. Langit di pertengahan malam bersih berhias bintang gumintang. Di tepi ngarai seorang pemuda berpeci hitam mengenakan baju dan celana panjang putih berjalan sambil meniup puput, alat bebunyian sederhana yang ditiup dan mudah dibuat dari batang padi.
Rambut yang panjang menjulai bahu melambai-lambai di tiup angin. Sambil meniup puput matanya tidak lepas dari memperhatikan sungai dan Ngarai Sianok yang tampak sangat indah dibawah terangnya cahaya dari atas langit. Entah lagu apa yang dikumandangkan pemuda itu namun tiba-tiba dia berhenti meniup puput. Matanya melihat sebuah benda putih melayang di udara malam. Dia terus memperhatikan. Benda putih berputar dua kali di atas ngarai lalu melayang ke arah tebing sebelah timur dan lenyap dari pemandangan.
"Benda putih tadi. Apakah ada sangkut pautnya dengan perintah Datuk menyuruhku datang dan berjaga-jaga di sekitar Ngarai Sianok Ini?" Si pemuda berucap dalam hati. "Sayang Datuk tidak terlalu banyak menjelaskan. Beliau mengatakan akan terjadi satu peristiwa besar di ranah Minang dan aku diminta menyelidiki sendiri."
Setelah berpikir sejenak pemuda berpeci hitam segera melompat ke atas satu gundukan batu, berpindah ke gundukan lain lalu melesat ke satu batu tinggi berbentuk tonggak. Dari sini dia terus melompat ke dinding ngarai sebelah timur yang merupakan batu keras berseilmut lumut yaitu ke arah mana tadi lenyapnya benda putih yang melayang di udara malam.
Dari caranya melompat dan melesat laksana terbang jelas pemuda berkopiah hitam ini memiliki ilmu kepandaian yang bukan sembarangan. Di Ranah Minang, terutama daerah luas yang dikenal dengan Lunak Nan Tigo hanya yang disebut kaum Pandeka atau para tuo-tuo Nagari berilmu kesaktian tinggi saja yang mampu melakukan hal itu. (Pandeka = pendekar)
"Dinding batu semua." Ucap si pemuda sambil menyentuh lamping ngarai di depan mana dia berdiri. "Kemana lenyapnya benda putih tadi? Tak mungkin masuk menembus dinding ngarai."
Cukup lama memperhatikan akhirnya pemuda ini memutuskan untuk menerapkan ilmu yang mampu melihat jauh menembus halangan. Begitu ilmu diterapkan mendadak kepalanya tersentak ke belakang. Tubuh bergoncang. Dua kaki hampir terpeleset di lamping ngarai yang terjal dan licin.
"Ada kekuatan aneh menghalangi ilmuku..." ucap si pemuda dalam hati.
Tapi diam-diam dia merasa gembira karena kekuatan itu bersumber pada satu tempat di tebing ngarai dan berarti benda putih yang tadi dilihatnya juga pasti berada di sekitar itu. Perlahan-lahan pemuda ini melangkah sepanjang tebing ngarai hingga akhirnya dia menemukan sebuah lobang besar merupakan mulut sebuah goa. Sesaat hatinya bimbang.
"Tadi ada kekuatan aneh menghalangi. Sekarang kalau aku masuk ke dalam goa lalu ada harimau campa atau ulat besar yang menunggu bisa celaka diriku," pikir si pemuda.
Maka setelah lebih dulu mengerahkan tenaga dalam dan membekal satu pukulan sakti di tangan kanan dia kemudian masuk ke dalam goa. Ternyata goa itu cukup panjang. Lorong di dalamnya berliku liku dan mendaki. Namun ada satu keanehan. Semakin jauh ke dalam keadaan di goa bukan bertambah kelam tapi malah menjadi lebih terang. Di satu bagian goa si pemuda hentikan gerakan kakinya.
Sejarak sepuluh langkah di depan sana dia melihat lantai, dinding dan atap goa membentuk pintu menyerupai pintu sebuah mesjid. Penuh ukiran mengagumkan serta dikelilingi tulisan dari rangkaian huruf Arab yang indah. Dari belakang pintu yang tidak berdaun itu keluar satu cahaya terang. Pemuda berkopiah hitam berpakaian serba putih melangkah mendekati pintu.
Namun gerakannya tertahan ketika lapat-lapat dia mendengar suara orang bercakap-cakap. Satu lelaki lainnya perempuan. Dari pendengarannya yang tajam dia bisa mengetahui suara lelaki adalah suara seorang tua sedang yang perempuan agaknya masih muda belia. Setelah menunggu sebentar, dari tegak berdiri si pemuda kini berjongkok, lalu perlahan-lahan tanpa suara dia menggeser dua kaki, beringsut ke arah pintu berukir.
********************
Seperti yang dikatakan Sutan Panduko Alam pada kupu-kupu besar yang ada di dalam gulungan sorban putih, begitulah kejadiannya. Ketika Ki Bonang Talang Ijo siap hendak mengambil sorban tiba-tiba sorban putih itu melesat ke udara. Walau sampai dua kali sempat disambar oleh si kakek dan dua kali pula mengalami robek namun sorban secara gaib masih bisa lolos dan melesat keluar lewat lobang besar di atap pondok lalu melayang ke arah timur.
Di dalam goa di salah satu dinding Ngarai Sianok, Datuk Marajo Sati baru saja selesai melakukan sembahyang tengah malam, sembahyang Tahajjud dan masih duduk bersila membaca berbagai doa bagi keselamatan diri dan ummat Nagari ketika tiba tiba dia mendengar ada suara berdesing memasuki goa.
"Bukan suara hewan bukan juga burung gerangan apakah yang melayang masuk ke dalam tempat kediamanku ini?"
Datuk Marajo Sati yang berusia enam puluh tahun itu segera hendak meluruskan kaki lalu berdiri. Namun sekonyong-konyong melayang sebuah benda putih dan jatuh tepat di atas pangkuannya. Sang datuk mengucap terkejut mengusap wajah dan janggut putih lalu memperhatikan dengan mata tak berkesip pada benda yang tergulung di pangkuannya. Sebuah sorban putih berumbai-rumbai benang emas yang salah satu ujungnya sobek.
"Atagafirullah, aku seperti mengenali sorban ini." Ucap Datuk Marajo Sati dalam hati.
Ketika dia mengulurkan tangan kanan hendak menyentuh sorban, tangannya jadi tersurut Karena mendadak dari balik gulungan sorban putih bergerak keluar seekor binatang. Semula Datuk Marajo mengira seekor burung. Tapi setelah binatang Ini merentangkan empat sayap ternyata seekor kupu-kupu besar berwarna indah sekali. Binatang ini perlahan-lahan bergerak dan berhenti di atas pangkuan kiri sang Datuk.
"Allah Maha Besar. Sebuah sorban dan seekor ramo-ramo dikirimkan Allah kepadaku. Apa artinya ini?"
Datuk Marajo Sati ambil gulungan sorban di pangkuannya lalu dibuka dan diperhatikan. Mata kemudian dipejam dan kepala ditengadah.
"Ya Allah, mengapa hati saya mendadak tidak enak? Sorban cabik berumbai benang emas seperti ini, hanya ada satu orang yang memiliki yaitu sahabat dan kakak saya Sutan Panduko Alam yang diam di Bukit Malintang di pesisir barat Lunak Agam. Mengapa hanya sorban yang sampai pada saya? Dimana sahabat saya itu? Apa yang terjadi dengan dirinya? Lalu terbungkus di dalam sorban ada seekor ramo-ramo rancak. Apa artinya ini? Ya Allah, beri saya petunjuk." (rancak = bagus, elok)
Datuk Marajo Sati lalu cium sorban putih berulang kali. Kemudian dia ulurkan tangan mengusap kupu-kupu di paha kirinya. Kupu-kupu ini tundukkan kepala beberapa kali lalu terbang ke atas sebuah gundukan batu berbentuk meja di samping kanan goa.
"Orang tua, saya mahluk tidak berdaya. Saya mohon pertolongan dan perlindungan."
"Hai. siapa yang bicara?" Datuk Marajo Sati terkejut. Sorban putih yang dipegangnya sampai terlepas jatuh ke pangkuan. Mata menatap ke atas batu. "Ramo-ramo rancak, kaukah yang barusan berkata-kata?"
"Betul sekali orang tua. Memang saya yang barusan bicara. Maafkan saya kalau membuatmu terkejut" Kupu-kupu di atas batu menjawab, membuat Datuk Marajo Sati terpana beberapa ketika.
"Allah Maha Besar. Kalau tidak dengan kehendakNya tidak mungkin seekor binatang sepertimu pandai bicara. Beri tahu diriku, apakah kau ini binatang benaran, mahluk jejadian atau sebangsa hantu pelayangan. Bagaimana kau bisa berada di dalam gulungan sorban milik Sutan Panduko Alam dan terbang ke sini. Apa yang terjadi dengan Sutan Panduko Alam, dimana saudaraku sekarang?"
"Orang tua, kalau boleh saya bercerita akan saya sampaikan asal muasal keadaan diri saya. Juga akan saya beri tahu apa yang terjadi dengan sahabatmu, lalu bagaimana saya bisa melayang terbang bersama sorban itu ke tempat Ini..."
"Katakan... ceritakan padaku." Kata Datuk Marajo Sati pula.
"Orang tua, saya berasal dari tanah leluhur negeri Cina. Ujud saya sebenarnya adalah sebuah kupu-kupu batu giok berwarna antara biru dan hijau dan merupakan benda pusaka utama milik Kerajaan yang harus berada di tangan Kaisar sebagai salah satu syarat syahnya menduduki tahta Kerajaan..."
"Aku mendengar, tapi ada yang aku tidak mengerti." Datuk Marajo Sati memotong ucapan kupu-kupu giok di atas batu. "Jika kau adalah sebuah batu giok, bagaimana mungkin mungkin bisa bicara. Lalu jika kau berasal dari negeri Cina bagaimana mungkin kau bisa bicara berbahasa anak negeri ini?"
"Orang tua, ada satu kejadian besar di negeri leluhur saya. Seorang puteri Pangeran dituduh telah berbuat zinah dengan kekasih puterinya. Ketika Pangeran hendak membunuh pula puteri darah dagingnya sendiri Yang Maha Kuasa menolong. Puteri pangeran dirubah menjadi angin lalu dimasukkan ke dalam kupu-kupu giok pusaka Kerajaan. Kupu-kupu ini bisa menjelma menjadi kupu-kupu besar seperti yang kau saksikan saat ini..."
"Kalau begitu ceritanya berarti kau adalah puteri Pangeran yang malang itu."
"Benar sekali orang tua..."
BAB TIGA
Datuk Marajo Sati tercengang. Untuk beberapa lama dia tidak bisa mengeluarkan ucapan. Setelah mengusap janggut pendeknya, Datuk Marajo Sati bertanya. "Lalu bagaimana kau bisa bicara bahasa orang di sini?"
"Akan saya ceritakan. Tapi biar saya lanjutkan kisah nasib diri saya selagi masih di negeri leluhur." Jawab kupu-kupu giok pula. "Setelah tahu diri saya masuk ke dalam kupu-kupu batu giok. Pangeran memerintahkan pasukan mencari dan mengejar saya. Pangeran mau mengeluarkan hadiah besar asal saya bisa ditangkap dan kupu-kupu giok ditemukan kembali. Dalam ujud kupu-kupu saya sampai di ujung daratan, di satu pelabuhan. Karena tidak tahu mau lari kemana lagi saya masuk ke dalam sebuah kapal besar. Kapal itu ternyata berlayar ke negeri beribu pulau di selatan, berlabuh di satu daratan yang disebut tanah Jawa. Ternyata pasukan Kerajaan dibawah pimpinan seorang Perwira Muda bernama Teng Sien berhasil mengetahui kalau saya berada dalam kapal besar. Mereka melakukan pengejaran dengan kapal kecil tapi lebih cepat. Sampai di tanah Jawa saya hampir tertangkap karena Pasukan suruhan Pangeran menyewa beberapa orang sakti berkepandaian tinggi. Salah seorang diantara mereka yang terus mengejar saya sampai ke negeri ini saya ketahui bernama Ki Bonang Talang Ijo."
Kupu-kupu di atas batu diam sejenak seperti mengingat-ingat lalu baru melanjutkan lagi kisahnya.
"Di tanah Jawa saya tidak tahu lagi mau lari kemana. Saya setengah terbang setengah dilayangkan angin hingga akhirnya sampai di sebuah selat besar. Di selat itu saya kembali sembunyi di dalam sebuah kapal yang membawa saya ke arah tanah India. Namun sewaktu kapal singgah sebentar di sebuah pelabuhan kecil di pesisir barat pulau Andalas saya tidak tahan lagi setelah sekian lama terus menerus di dalam kapal. Saya terbang meninggalkan kapal. Ternyata para pengejar saya sudah lebih dulu mendarat di pantai. Jumlah mereka juga bertambah. Ada dua orang nenek berjuluk Si Kamba Tangan Manjulai, Duo Hantu Gunung Sago. Ada juga yang bernama Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Masih ada beberapa orang yang tidak saya ketahui siapa nama atau julukan mereka. Saya dikejar sampai akhirnya saya tiba di sebuah bukit tak jauh dari pantai dan terpesat masuk ke dalam sebuah pondok kayu yang didiami seorang tua yang kemudian saya ketahui bernama Sutan Panduko Alam.."
"Sutan Panduko Alam, dia sahabat dan kakak tuaku." Datuk Marajo Sati dekapkan sorban putih ke dadanya. "Apa yang terjadi dengan sahabatku itu?"
"Saya masuk ke dalam pondok Sutan Panduko Alam. Beliau menolong dan melindungi saya. Sewaktu beliau tahu bahwa orang-orang yang mengejar akan menyerbu pondoknya. Sutan Panduko Alam memasukkan saya ke dalam gulungan sorban sambil berkata kalau sesuatu terjadi dengan diri saya maka sorban akan menerbangkan saya ke tempat yang aman."
"Ternyata sorban yang diisi ilmu kesaktian itu membawamu ke sini. Kau diselamatkan sahabatku, tapi kau tahu apa yang terjadi dengan dirinya?"
"Saya mohon maafmu orang tua, dan saya sangat bersedih. Ketika sorban terbang di udara meninggalkan pondok di atas bukit saya masih sempat melihat orang tua yang telah menolong saya itu terbujur tak bergerak lagi di halaman pondok. Sekujur tubuh serta pakaiannya bersimbah darah..."
"Innalillahi wainna illaihi roji'un..." Datuk Marajo Sati mengucap. Wajah mengetam sedih. Sepasang mata berkaca-kaca. "Tuhan akan memberi azab kepada manusia yang menebar angkara murka."
"Orang tua, saya tahu. Kalau tidak karena saya penyebabnya Sutan Panduko Alam tidak akan bernasib seburuk itu." Kata kupu-kupu giok di atas batu.
"Setiap Kematian seseorang ada penyebabnya. Langkah, pertemuan atau jodoh, rezeki dan maut tidak seorangpun yang tahu. Semua kuasaNya Allah. Kematian seseorang telah diukir di alam takdir, tersurat di alur nasib selagi dirinya masih di dalam rahim. Tidak ada yang bisa menyalahkan dirimu. Malah aku bangga, sahabatku Sutan Panduko Alam menemui kematian dalam berbuat satu kebajikan besar..." Setelah mengusap wajahnya Datuk Marajo Sati bertanya. "Ramo-ramo. apakah kau punya nama?"
"Sebagai kupu-kupu batu giok Kerajaan memberi nama Kupu-Kupu Mata Dewa. Sebagai puteri Pangeran yang malang nama saya adalah Chia Swie Kim."
Datuk Marajo Sati perhatikan sepasang mata kupu-kupu. Dia melihat dua mata binatang ini memancarkan cahaya menyejukkan, namun sesekali ada kilatan yang menggetarkan."Ramo-ramo batu giok, kau belum menerangkan bagaimana kejadiannya kau bisa berbahasa anak nagari di sini."
"Akan saya ceritakan," jawab kupu-kupu giok yang merupakan binatang ketempatan dari puteri Pangeran Cina bernama Chia Swie Kim. "Sebelum saya sampai ke pondok orang tua bernama Sutan Panduko Alam. Saya terlebih dulu terpesat ke rumah satu keluarga di pesisir barat yang tengah berada dalam kedukaan. Seorang anak gadis mereka meninggal dunia. Saat itu malam hari, saya hinggap di atas atap. Ketika orang ramai bertangisan di dalam rumah tanda anak gadis itu telah menghembuskan nafas penghabisan tiba-tiba saya melihat ada satu cahaya putih keluar dari dalam rumah. Cahaya ini berputar beberapa kali di udara malam lalu berpijar terang masuk ke dalam tubuh saya. Saat itu juga saya merasa ada satu keanehan. Saya mengerti apa yang dikatakan orang di dalam rumah. Bahkan ketika saya coba mengeluarkan suara yang terucap bukan lagi bahasa leluhur saya. Tapi bahasa orang di sini. Saya tidak bisa lagi mengucapkan bahasa leluhur saya. Tapi saya masih mengerti jika ada orang yang bicara dalam bahasa itu. Kejadian ini pastilah kehendak Yang Maha Kuasa. Saya merasa beruntung karena waktu bertemu dengan orang tua bernama Sutan Panduko Alam, saya sudah mampu bicara orang di negeri ini."
"Tuhan Maha Besar dan berbuat sekehendakNya," ucap Datuk Marajo Sati.
"Orang tua, apakah saya boleh mengetahui namamu?"
"Orang biasa memanggilku Datuk Marajo Sati. Kau boleh memanggilku dengan sebutan Datuk saja..."
"Terima kasih. Apakah saya bisa berharap Datuk akan menyelamatkan saya dari orang-orang yang mengejar saya? Mereka orang-orang sakti. Mereka akan sangat tega membunuh saya karena sudah dijanjikan dua peti batangan emas. Satu peti telah mereka terima. Cepat atau lambat mereka pasti akan menemukan saya."
"Dengan ridho Allah aku akan menolongmu sebisa yang aku lakukan..."
"Walau mungkin Datuk akan terpaksa mengorbankan nyawa seperti yang dialami sahabat Datuk bernama Sutan Panduko Alam itu?"
Datuk Marajo Sati tersenyum lalu anggukkan kepala. "Seperti kataku tadi maut atau kematian seseorang berada di tangan Tuhan. Sebelum ajal berpantang mati."
"Datuk, izinkan saya menyampaikan rasa terima kasih saya."
Kupu-kupu di atas batu melompat turun kehadapan Datuk Marajo Sati. Tubuhnya tiba-tiba memancarkan cahaya putih lalu perlahan-lahan berubah menjadi hijau kebiruan. Bersamaan dengan itu sosok kupu-kupu besar berubah menjadi sosok seorang anak gadis berpakaian jubah panjang biru bersulam bunga-bunga benang emas. Rambut panjang hitam menjela indah. Wajahnya tidak kelihatan karena dalam keadaan kepala tunduk disujudkan ke lantai goa.
"Anak gadis, bangunlah. Jangan sekali lagi kau ulangi menyembah diriku. Ummat manusia hanya menyembah kepada Yang Maha Kuasa, Allah Seru Sekalian Alam."
"Saya sangat mengucapkan terima kasih Datuk mau memberi perlindungan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas kebaikan Datuk berlipat ganda."
Lalu perlahan-lahan gadis yang bersujud itu bangkit berdiri. Ternyata wajahnya yang putih kemerahan cantik sekali. Alis hitam berkelut, bibir semerah delima merekah dan sepasang mata hitam indah sekali.
"Anak gadis, ujudmu yang aku lihat ini apakah ujud puteri Pangeran Cina atau ujud jejadian roh gadis yang meninggal beberapa waktu lalu dan masuk ke dalam tubuhmu?" Bertanya Datuk Marajo Sati.
"Ujud saya yang Datuk lihat adalah ujud asli puteri Pangeran. Saya adalah Chia Swie Kim."
Untuk beberapa lamanya Datuk Marajo Sati terpesona kagum melihat kecantikan sang puteri dan tak bisa berkata-kata.
"Datuk, apakah Datuk ingin saya tetap berkeadaan seperti ini, atau..."
Datuk Marajo Sati cepat menjawab. "Demi keselamatan dirimu, sebaiknya kau kembali ke dalam ujud ramo ramo batu giok. Tidak seperti ini tidak pula seperti ramo-ramo hidup. Dan aku akan mengganti namamu. Apakah kau bersedia?'
"Datuk tuan penolong saya. Saya akan menurut apa kata Datuk."
"Anak gadis, berapakah usiamu saat ini?" Tanya sang Datuk selanjutnya.
"Semoga saya tidak salah, purnama bulan di muka saya akan berusia delapan belas tahun." Jawab Chia Swie Kim.
Datuk Marajo Sati mengangguk. Sambil mengusap janggut pendeknya yang berwarna hitam bercampur putih dia berkata. "Anak gadis. Mulai saat ini namamu Puti Bungo Sekuntum. Julukanmu Ramo-Ramo Giok Ngarai Sianok atau Kupu-Kupu Giok Ngarai Sianok."
Gadis Cina bernama Chia Swie Kim yang cantik itu tersenyum. "Terima kasih Datuk. Saya tahu. Nama dan julukan itu bagus sekali." ujar Chia Swie Kim pula.
Ketika dia hendak menyambung ucapannya. Datuk Marajo Sati memberi isyarat seraya berbisik. "Ada manusia jahil mendekam di luar sana. Agaknya sudah sejak tadi dia mencuri dengar pembicaraan kita. Anak gadis, lekas ubah ujudmu menjadi kupu-kupu giok!"
Dengan cepat Chia Swie Kim yang kini bernama Puti Bungo Sekuntum merubah diri menjadi kupu-kupu batu giok berwarna hijau kebiruan. Datuk Marajo Sati mengambil kupu-kupu batu giok itu lalu meletakkannya di dalam sebuah lekukan di dinding goa sebelah kiri.
********************
Pemuda berpakaian putih berpeci hitam yang jongkok tak jauh dari pintu goa kediaman Datuk Marajo Sati terperangah ketika dari dalam goa ada suara menegur.
"Orang di luar pintu, yang mencuri dengar pembicaraan orang. Aku harap kau segera datang ke hadapanku atau kau tidak akan keluar dari tempat ini untuk selama-lamanya."
Si pemuda raba kopiah hitam di atas kepala, memandang berkeliling. "Galak sekali. Di tempat ini cuma aku sendirian. Pasti ucapan orang di dalam sana ditujukan padaku."
Perlahan-lahan pemuda itu berdiri tapi tidak segera melangkah ke arah pintu. Sesaat dia merasa bimbang. Selagi dia terdiam seperti itu tiba-tiba... rrreettttttt! Lantai goa di hadapannya bergetar dan menganga terbelah ke arahnya. Dari dalam belahan terasa ada udara menyedot sangat keras.
"Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah!" ucap si pemuda setengah berseru. "Bagaimana mungkin?!"
Namun karena tidak mungkin berpikir lebih lama secepat kilat pemuda itu melompat ke atas selamatkan diri. Kebetulan di atap goa ada batu panjang menggantung maka dengan cepat dia bergayut pada batu itu. Ternyata sedotan dari tanah goa yang terbelah kuat sekali. Khawatir tidak bisa bertahan si pemuda akhirnya melesatkan diri ke depan pintu terus menggelinding masuk dan terhenti berguling sewaktu kepalanya membentur satu gundukan batu hitam berbentuk meja hingga kopiahnya mental.
Sambil usap-usap kepala sebelah belakang yang sakit agak benjut pemuda ini ambil kopiahnya. Terbungkuk-bungkuk dia bangkit berdiri sambil letakkan kembali kopiah hitam di atas kepala. Dia tersurut satu langkah sewaktu melihat di hadapannya duduk seorang bersorban dan berjubah putih. Wajahnya yang klimis dihias janggut pendek hitam bercampur putih. Sepasang mata menatap tak berkesip ke arahnya. Si pemuda merasa pandangan mata yang tajam itu seolah mengunci gerakan tubuhnya. Ternyata benar. Saat itu dia tidak mampu menggerakkan tangan dan kaki!
"Mengunci gerakan dengan pandangan mata," ucap si pemuda dalam hati. "Luar biasa orang tua satu ini" Lalu dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam dari arah pusar. Saat itu juga tangan serta kaki bisa digerakkan kembali. Sepasang alis mata Datuk Marajo Sati mencuat ke atas. Kening mengerenyit.
"Pemuda asing tidak aku kenal. Mempunyai kepandaian tinggi. Datang menyuruak-nyuruak. Maksud baik atau ada niat jahat?" (menyuruak-nyuruak=sembunyi-sembunyi)
"Datuk, Sutan, Mamak! Orang tua siapapun kau adanya, kalau dipikir apakah kesalahan saya begitu besar hingga kau hendak menurunkan tangan keras atas diri saya?!" Pemuda berpeci hitam keluarkan ucapan.
Datuk Marajo Sati tidak segera menjawab. Dia masih terus perhatikan pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Sesaat kemudian baru membuka mulut. "Kopiahmu kekecilan tanda kopiah pinjaman, mungkin juga kopiah curian. Rambutmu menjulai bahu seperti padusi. Bibir tebal dan suaramu bicara macam orang kepedasan pertanda kau bukan orang di sini. Kau pasti orang Jawa. Ulahmu memasuki tempat kediamanku tidak meminta izin tidak pula memberi salam. Kelakuanmu tidak berkenan di hatiku karena kau mencuri dengar pembicaraanku. Anak muda apa tidak cukup pantas kalau aku menghukum kelancanganmu?" (padusi = perempuan)
Si pemuda garuk-garuk dagu lalu menjawab. "Tentu saja. Siapa bersalah wajib dihukum. Tapi harus dilihat juga kadar kesalahannya. Apakah karena kesalahan yang tidak disengaja lantas orang mau menghukum hendak membunuh saya dengan Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah?" Tukas si pemuda pula. "Oala....murah nian harga nyawa manusia di negeri ini."
Wajah Datuk Marajo Sati membesi. Lalu orang tua ini tertawa. Sebenarnya dia memang tiada niat hendak mencelakai apa lagi membunuh si pemuda. Namun tadi dia merasa malu pada diri sendiri. Ilmunya begitu tinggi dan dia merupakan Datuk paling disegani di Tiga Luhak Ranah Minang yaitu Agam, Tanah Datar dan Limapuluh Kota. Bagaimana mungkin dia tidak segera mengetahui kalau ada orang masuk ke dalam goa dan sembunyi mendengar pembicaraannya dengan gadis Cina. Dia baru menyadari ada orang lain di tempat itu setelah orang itu mendekam cukup lama.
"Jangankan tarikan nafasnya, geseran tapak kakinyapun tidak kudengar tidak kurasa. Apakah dia mendengar semua pembicaraanku tadi?"
"Anak muda berambut panjang macam perempuan. Ilmu yang kumiliki bukan bernama Membelah Bumi Menyedot Arwah! Tapi, Bumi Tabalah Azab Manimpo. Bagaimana kau enak saja menyebut ilmuku bernama Membelah Bumi Menyedot Arwah?" (Bumi Tabalah Azab Manimpo - Bumi Terbelah Azab Menimpa)
Si pemuda tidak menjawab tapi geserkan sedikit telapak kaki kanannya. Saat itu juga... rrretttt! Lantai goa terbelah. Belahan menjalar ke tempat Datuk Marajo Sati duduk bersila. Sang Datuk sampai terlompat ke atap goa saking kagetnya. Tubuhnya nyaris tersedot ke dalam belahan tanah kalau dia tidak cepat melambaikan tangan menolak daya sedotan yang cebat dengan mengerahkan hampir seluruh kekuatan tenaga dalam. Jubah putihnya bergerak-gerak. Sorban di kepalanya tiba-tiba seettt! Masuk tersedot ke dalam belahan lantai goa.
"Retttttt!" Belahan tanah menutup kembali begitu si pemuda menggeserkan telapak kaki kanannya.
"Anak muda kurang ajar" Datuk Marajo Sati membentak marah sambil tangan kiri mengusap kepala yang ternyata setengah botak) "Kau menarik korbanku masuk ke dalam belahan tanah..." Sepasang mata sang Datuk membeliak seperti mau melompat dan rongganya.
"Maafkan saya orang tua. Sorbanmu ada di tangan saya." Si pemuda lalu keluarkan tangan kanannya dari balik punggung. Di tangan itu memang terpegang sorban milik Datuk Marajo Sati masih dalam keadaan tergulung rapi. Cepat-cepat si pemuda menyerahkan sorban pada pemiliknya sambil membungkuk dan berulang kali meminta maaf.
"Kau bukan saja kurang ajar tapi juga sombong! Kau mungkin tukang sihir! Aku melihat jelas sorbanku tadi masuk ke dalam belahan tanah goa. Mengapa tahu-tahu ada ditanganmu?! Kau sengaja hendak memamerkan ilmu kesaktian di hadapanku? Apa kau kira aku takut?!" Datuk Marajo Sati cepat mengambil dan mengenakan sorbannya kembali.
"Maafkan saya orang tua. Saya tidak bermaksud kurang ajar dan jauh dari kesombongan. Saya Juga bukan bukan bapak, bukan pula anak tukang sihir. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa kita memiliki ilmu kesaktian yang sama walau namanya berbeda. Bukankah itu satu pertanda bahwa antara kita ada saling keterkaitan?"
"Siapa kau. Dari mana kau dapatkan Ilmu Bumi Tabalah Azab Manimpo?!"
Si pemuda angkat kopiah hitamnya sedikit, menggaruk kepala baru menjawab sambi! senyum-senyum. "Ilmu yang saya miliki bukan bernama Bumi Tabalah Azab Manimpo tapi Membelah Bumi Menyedot Arwah. Ah, tapi keduanya memang sama benar. Apakah itu berarti kita masih satu guru satu ilmu. Yang mungkin pula berarti kita ini masih saling bersaudara?!"
"Benar-benar kurang ajar mantiko langek!" Sang Datuk masih marah, (mantiko langek = konyol kurang ajar) "Anak muda! Katakan dulu siapa dirimu! Apa yang membuatmu berani masuk ke dalam tempat kediamanku tanpa izin. Lalu niat jahat apa yang ada telah kau dengar?!"
"Orang tua, saya mungkin kesalahan dan lancang masuk ke dalam goa ini. Tapi semua tidak saya sengaja dan saya tidak membekal niat jahat. Saya juga tidak punya maksud mendengar pembicaraanmu. Kalau kau memang bicara, tadi kau bicara dengan siapa? Tidak ada orang lain di tempat ini. Tidak mungkin kau bicara seorang diri!"
Si pemuda pura-pura memandang seputar ruangan batu. Padahal sebenarnya dia tahu dan mendengar kalau tadi orang tua itu memang bicara dengan seorang perempuan. Tapi dia merasa heran karena perempuan itu tidak ada di situ. Sekilas pandangannya membentur kupu-kupu batu giok di cegukan dinding kiri. Ketika dia berusaha lebih memperhatikan orang tua di hadapannya cepat berkata dengan suara keras.
"Aku tidak percaya pada ucapanmu! Aku tidak percaya pada orang-orang asing! Datang ke Ranah Minang acap kali membuat keonaran!"
"Orang tua, tidak baik berucap seperti itu. Orang baik ada dimana-mana. Orang jahat juga ada dimana-mana. Tapi saya bukan..."
"Sudah! Katakan siapa namamu! Ada keperluan apa kau menyusup ke dalam goa ini?"
"Nama saya Wiro. Saya memang berasal dari tanah Jawa. Saya tidak menyusup ke sini..."
"Apa hubunganmu dengan seorang kakek Jawa bernama Ki Bonang Talang Ijo?"
Si pemuda yang ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng mengangkat kopiah, menggaruk kepala. Baru sekali ini saya mendengar nama itu. Saya tidak kenal orang itu. Barangkali kau bisa menjelaskan?"
"Dia salah seorang yang telah membunuh sahabatku Sutan Panduko Alam yang tinggal di pesisir barat..."
"Saya turut menyesal mendengar cerita duka itu. Tapi saya tidak ada sangkut paut dengan kematian sahabatmu. Orang tua saya tidak mau mengganggumu lebih lama. Dan saya mohon maaf kalau telah berlaku lancang masuk ke tempatmu."
"Tunggu! Kau tidak bisa pergi begitu saja sebelum menjawab beberapa pertanyaanku!"
BAB EMPAT
Pendekar 212 angkat kopiah hitam, menggaruk kepala lalu berkata. "Orang tua, saya siap menjawab semua pertanyaanmu."
"Pertama, ada keperluan dan niat apa kau masuk ke dalam goa ini?" Tanya Datuk Marajo Sati.
"Malam ini, ketika saya berjalan di tepi Ngarai Sianok, sambil meniup puput batang padi ini..." Wiro unjukkan puput yang sejak tadi dipegangnya di tangan kiri. "Tiba-tiba saya melihat ada benda putih melayang di udara. Benda itu kemudian melesat ke dinding ngarai dan lenyap. Karena ingin tahu saya memeriksa dinding ngarai. Saya menemukan lobang besar yang rupanya mulut goa menuju ke tempat kediamanmu."
"Kau tidak bicara dusta anak muda berambut panjang seperti perempuan?"
Wiro menggeleng. "Saya bicara apa adanya, orang tua."
Datuk Marajo Sati angkat sorban buntung yang terletak di pangkuannya. "Benda putih yang kau lihat itu adalah sorban ini. Milik seorang sahabat yang sudah aku anggap sebagai kakak kandung sedarah sedaging. Dia menemui ajal dibunuh oleh serombongan orang. Salah satu diantaranya adalah kakek dari Jawa bernama Ki Bonang Talang Ijo. Jika aku tahu kakek itu ada sangkut pautnya dengan dirimu maka riwayatmu di negeri ini tidak akan lama."
Wiro terdiam. Dia melihat bayangan rasa sedih mendalam di wajah si orang tua tapi juga ada amarah yang membersit dari sepasang mata.
"Kau bukannya mata-mata yang tengah menyelidiki keberadaan..." Datuk Marajo Sati tidak meneruskan ucapannya. Hampir saja dia ketelepasan menyebut kupu-kupu giok.
"Keberadaan apa. orang tua?" tanya Wiro.
"Aku masih ada pertanyaan lain," sang Datuk alihkan pembicaraan. "Kau datang dari jauh. Apa tujuanmu berada di ranah Minang ini?"
“Saya baru saja menemui seseorang dan ada pesan amanat dari orang itu yang harus saya lakukan."
"Siapa orangnya? Tentu dia ada bernama dan juga bergala. Lalu apa pesan amanat yang diberikannya padamu?" (bergala = bergelar)
“Maaf, saya tidak bisa memberi tahu nama orang itu. Tapi kalau mengenai pesan amanatnya bisa saya katakan. Beliau mengatakan bahwa sesuatu perkara besar akan terjadi di Ranah Minang."
Kening Datuk Marajo Sati mengerenyit. "Perkara besar apa?"
"Beliau tidak memberi tahu. Beliau hanya meminta agar saya menyelidiki sendiri lalu memberi tahu padanya apa-apa yang saya dapat..." Jawab Wiro.
"Aneh..." Datuk Marajo Sati berucap dalam hati. "Ucapannya seolah dia seorang Pandeka Gadang. Seperti tidak ada orang cerdik pandai dan sakti di Ranah Minang ini. "Aku harus mencari tahu siapa manusia satu ini. Jangan-jangan orang gila yang kesasar. Tapi bisa masuk ke dalam goa ini bukan satu pekerjaan mudah. Apakah dia mampu merayap didinding ngarai seperti cacak?" (Pandeka Gadang = Pendekar Besar) (cacak = cecak)
"Orang tua apakah saya boleh meninggalkan tempat ini dan sekali lagi disertai permohonan maaf?"
"Kau tidak kuperbolehkan pergi sebelum menjawab satu pertanyaan lagi." Jawab Datuk Marajo Sati.
"Kalau begitu katamu saya menunggu apa yang hendak kau tanyakan."
"Dari mana kau dapatkan ilmu membelah tanah yang kau sebut Membelah Bumi Menyedot Arwah itu?"
"Maaf orang tua. Soal asal usul ilmu. saya tidak dapat menjelaskan."
"Tadi kau mengatakan ilmu kita sama. Mungkin ada keterkaitan diantara kita. Mungkin kita satu guru satu ilmu. Sekarang mengapa kau berlaku tidak jantan tidak mau memberi tahu?"
Wiro menggaruk rambut di belakang kuduk. "Maafkan saya, orang tua. Tapi apakah kau sendiri mau memberi tahu dari mana kau mendapatkan ilmu kesaktian yang kau sebut dengan nama Bumi Tabalah Azab Manimpo itu?"
"Pemuda culas. Pergilah dari hadapanku. Bilamana dikemudian hari kau kulihat berani berkeliaran di sekitar Ngarai Sianok ini maka aku akan menganggapmu sebagai musuh! Kau tahu apa artinya itu! Ingat hal itu baik-baik."
"Saya akan mengingat baik-baik," jawab Wiro. "Sebaliknya saya tidak akan pernah menganggapmu sebagai musuh. Saya menghormatimu." Wiro membungkuk lalu mengambil tangan orang tua itu, menjabat dan menciumnya, membuat Datuk Marajo Sati terkesiap, geleng-geleng kepala.
Belum sempat Pendekar 212 Wiro Sableng mencapai mulut goa di dinding ngarai Datuk Marajo Sati jentikkan ibu jari dan jari tengah tangan kanan dua kali. Saat itu juga ada kepulan asap di dalam goa. Tak lama kemudian dari dalam kepulan asap muncul seekor burung elang putih jantan besar bermata merah.
"Alang Putih Rajo Di Langit, ikuti pemuda tadi. Cari tahu kemana dia pergi dan siapa saja yang berhubungan dengan dia."
Elang putih menguik panjang lalu sekali mengepakkan sepasang sayap tubuhnya melesat ke arah mulut goa. Di satu tikungan goa yang agak gelap, Wiro yang sejak tadi sengaja mendekam bersembunyi serata tanah serata dinding bergerak berdiri sambil menyeringai.
"Benar dugaanku. Orang tua itu tidak membiarkanku pergi begitu saja. Aneh, aku merasa dia menyembunyikan sesuatu. Katanya ada seorang sahabat menemui ajal malam ini. Pasti seorang berkepandaian tinggi. Apakah ini ada kaitannya dengan amanat yang diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh padaku?"
********************
Bagaimana Pendekar 212 Wiro Sableng bisa berada di tanah Minang? Seperti diceritakan dalam serial sebelumnya berjudul Bayi Titisan dengan bantuan harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau Wiro membawa Ken Permata dan Nyi Retno Mantili ke tanah Jawa untuk menemui Manusia Paku Sandaka. Setelah Sandaka mengalami kesembuhan dari tiga puluh paku baja putih yang menancap di tubuhnya, sementara Nyi Retno Mantili juga sembuh dari penyakit jiwanya.
Atas pesan yang disampaikan sang Datuk melalui isyarat jarak jauh yang diperlihatkan harimau putih, Wiro kemudian kembali ke pulau Andalas menemui gurunya itu di Danau Maninjau. Datuk Rao Basaluang Ameh memberi tahu bahwa akan terjadi satu peristiwa besar di Ranah Minang. Akan ada beberapa tokoh silat berkepandaian tinggi dari tanah Jawa yang akan datang dan terlibat dalam peristiwa itu.
"Selidiki apa yang terjadi. Beritahu padaku. Kalau perlu kau harus langsung bertindak sendiri..."
"Datuk, tanah Minang bukan negeri saya. Apakah nanti saya tidak dikatakan lancang oleh orang-orang di sini? Saya tahu di negeri ini banyak sekali orang cerdik pandai berilmu silat tinggi dan memiliki kesaktian yang sulit dicari tandingannya."
Datuk Rao menggeleng. "Seorang pendekar yang ingin berbuat kebajikan layak berada di mana saja selama mengingat kata-kata sakti Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung. Bahu membahu dalam membuat kebajikan adalah suruhan Yang Maha Kuasa. Lagi pula bukan sekali ini kau berada di tanah Minang. Apa kau lupa?
"Saya tidak lupa Datuk. Kalau begitu kata Datuk, saya mohon doa restu Datuk." Jawab murid Sinto Gendeng.
(Kisah Wiro di tanah Minang sebelumnya dapat di baca antara lain dalam serial Dendam Di Puncak Singgalang dan Harimau Singgalang)
BAB LIMA
Sesaat setelah elang putih peliharaan Datuk Marajo Sati yang bernama Alang Putih Rajo Di Langit melesat keluar goa dan membubung tinggi di atas langit malam Ngarai Sianok, Wiro segera pula bergerak cepat menuju mulut goa. Tapi baru kepala dan tubuhnya menyembul di depan goa tiba-tiba dua benda bercahaya hitam pekat disertai suara mengiang, menderu menyambar ke arah kepala dan dadanya. Secepat kilat murid Sinto Gendeng jatuhkan diri.
Benda pertama berdesing di samping kiri kepala Wiro membuat telinganya pengang. Benda ini kemudian menghantam amblas dinding goa sebelah dalam. Benda kedua melesat di depan dada. Walau bisa dielakkan tapi masih sempat merobek sedikit dada baju putihnya. Kulit dadanya terasa dingin tanda apapun benda yang menyerang mengandung racun jahat.
Gerakan mengelak membuat kaki kiri Wiro tergelincir di tebing ngarai yang terjal dan berlumut. Tak ampun lagi tubuhnya terjatuh ke bawah. Dia berusaha menggapai satu tonjolan batu di dinding ngarai namun karena licin pegangan terlepas. Tubuhnya kembali melayang ke bawah. Kali ini sungai Batang Sianok yang ditebari batu-batu besar dan runcing siap menunggu.
Di pintu goa saat itu telah berdiri Datuk Marajo Sati dan melihat apa yang terjadi. Dengan cepat orang tua ini tanggalkan sorbannya. Sekali sorban disentakkan maka benda itu berubah menjadi amat panjang. Sorban dengan cepat berhasil melilit kaki kanan Wiro hingga jatuhnya tertahan dan tubuhnya perlahan-lahan masuk ke dalam air Batang Sianok. Ketika merasa tidak ada daya berat yang menggelantungi sorbannya Datuk Marajo Sati segera menarik sorban. Matanya memandang ke bawah, ke arah sungai berbatu-batu.
"Lenyap. Pemuda itu tidak kelihatan. Aku tidak berhasil menolongnya. Saat ini Batang Anai tidak seberapa dalam. Tapi kalau kepalanya membentur batu. Sayang sekali kalau dia menemui ajal sebelum aku tahu siapa dia adanya..."
Datuk Marajo Sati tarik nafas panjang. Perlahan-lahan dia gulung sorbannya Ketika gulungan akhir mencapai ujung sorban, sepasang mata orang tua ini terbelalak. Pada ujung kain sorban terdapat lobang-lobang hitam seperti hangus yang ketika diperhatikan merupakan kata berbunyi: Terima kasih.
"Mantiko langek! Benar-benar mantiko langek! Mantiko cirik. Berarti dia tidak mati. Dia malah mempermainkan diriku! Dengan apa dia membuat tulisan ini?" Datuk Marajo Sati tampak jengkel. (Mantiko langek/Mantiko cirik = konyol kurang ajar)
Di udara malam yang bersih. Alang Putih Rajo Di Langit berputar dua kali di atas ngarai, menguik panjang lalu melesat ke ujung goa. Burung putih bermata merah ini cengkeram kuku-kuku kaki ke dinding goa, paruh mengorek bagian dinding yang tadi dihantam benda yang menyerang Wiro. Benda dijepit diantara dua paruh lalu dibawa masuk ke dalam goa dan diletakkan di lantai hadapan Datuk Marajo Sati. Benda itu ternyata adalah sebuah besi hitam berbentuk bintang bersudut empat. Pada setiap ujung terdapat lobang kecil. Bilamana benda ini dilempar dan melayang di udara maka empat lobang yang bersentuhan dengan udara atau angin akan mengeluarkan suara seperti tiupan seruling yang tidak putus-putus. Datuk Marajo Sati timang-timang benda itu sesaat lalu dekatkan ke hidung.
"Senjata rahasia mengandung racun. Baru sekali ini aku melihat yang seperti ini. Tidak ada tokoh rimba persilatan Ranah Minang memiliki senjata rahasia seperti ini. Berarti pemuda berambut panjang tadi datang ke sini sudah mempunyai musuh. Atau…" Datuk Marajo Sati kembali perhatikan benda berbentuk bintang bersudut empat. "Kalau senjata rahasia ini memang benar bukan milik kerabat anak Nagari berarti pemuda itu datang membawa musuh. Berarti betul dugaanku dia bukan orang baik-baik."
Sang Datuk angkat kepala, memandang pada elang putih. "Rajo Di Langit. Aku berterima kasih kau membawa benda ini padaku. Sekarang kembali lanjutkan apa yang aku tugaskan. Cari dimana pemuda itu. Ikuti kemana dia pergi..."
********************
Wiro mengambangkan tubuh, untuk beberapa lama sengaja mengikuti arus sungai Batang Sianok ke arah hilir. Rasa dingin yang mencucuk membuat dia akhirnya berenang ke tepian. Saat itu di timur sudah mulai tampak cahaya terang tanda sebentar lagi fajar akan menyingsing disusul munculnya sang surya kembali menerangi bumi alam Minangkabau. Sambil merebahkan diri di atas sebuah batu besar di tepi sungai. Ingatan Wiro kembali pada orang tua di dalam goa.
"Orang tua itu, sayang aku lupa menanyakan namanya. Dia orang baik. Tapi ada sesuatu yang agaknya membuat dia curiga padaku. Sebelum bertemu muka dengan dia, aku jelas sekali mendengar suara dia bicara dengan seorang perempuan. Tapi ketika aku masuk ke tempatnya tidak ada orang lain di situ. Apa dia lebih dulu menyembunyikan perempuan itu sebelum memerintahku menemuinya? Kalau benar mengapa? Lalu siapa perempuan Itu? Sayang apa yang mereka bicarakan tidak terlalu Jelas sampai di telingaku."
Wiro kibas-kibaskan kopiah hitamnya yang basah kuyup. "Walau aku jatuh ke dasar ngarai, dia menolongku meski sebenarnya aku masih bisa selamatkan diri. Itu membuktikan dia benar-benar orang baik. Satu kali aku akan menemuinya lagi. Ilmunya tinggi. Jika aku bersahabat mungkin aku bisa mendapatkan ilmu dan pengalaman baru dari orang tua itu. Seperti dia ingin tahu dari mana aku mendapatkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah, aku juga ingin tahu dari mana dia bisa menguasai ilmu yang katanya bernama Bumi Tabalah Azab Manimpo itu. Aku mendapat dari Luh Rembulan di Latanahsilam. Apakah dia juga mendapatkan dari negeri seribu dua ratus tahun silam itu? Juga dari Luh Rembulan? Berarti apa dia juga pernah terpesat ke sana?" Wiro garuk-garuk kepala. "Aku tidak percaya. Mustahil."
Wiro tanggalkan baju putihnya. Setelah diperas baju dikenakan kembali. Pada saat itulah tiba-tiba dia mendengar suara orang berlari diikuti hiruk pikuk teriakan banyak orang di atas dinding ngarai. Bukan cuma suara lelaki tapi juga ada suara perempuan. Laiu menyusul bak-buk bak-buk, suara orang dipukul dan suara orang menjerit-jerit minta ampun.
Karena ingin tahu apa yang terjadi, Wiro melompat ke atas sebuah batu. Dari atas batu ini dia melesat ke atas ngarai. Beberapa belas langkah di hadapannya, di tepi ngarai dia melihat belasan orang tengah menggebuki seorang pemuda berpakaian hitam yang berulang kali berteriak minta ampun. Yang membuat Wiro terkejut adalah karena pemuda ini mengenakan destar putihnya yang hilang sehari sebelumnya.
"Pemuda sialan! Jadi dia yang mencuri destar ikat kepalaku. Mengganti dengan kopiah hitam ini..." Maki murid Sinto Gendeng dalam hati.
Tak jauh dari situ ada serombongan perempuan yang juga berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk. Salah seorang dari perempuan itu berteriak. "Anak itu pantas diberi pelajaran. Kalau tidak, tak akan jera-jera dia berbuat kurang ajar."
"Tajunkan saja dia ke dalam ngarai!" Seorang pemuda yang ikut menggebuki berteriak lalu melayangkan tendangan. (Tajunkan = lemparkan)
Pemuda yang ditendang terkapar di tanah, dengan susah payah berusaha bangun lalu bersujud, pegangi kepala yang mengenakan destar putih milik Wiro sambil kembali berteriak minta ampun. Pukulan dan tendangan kembali menghantam tubuhnya.
"Sudah! Sudah! Hentikan! Cukup sudah kalian menghajarnya!" Seorang lelaki separuh baya berpakaian putih dan menyandang sarung berteriak sambil coba menghalangi orang-orang yang seperti kemasukan setan menggebuki lelaki berpakaian hitam. "Kita bawa saja dia ke Datuk Penghulu! Biar selesai perkara dan hukumannya!"
Pemuda yang digebuki sudah tak karuan rupa lagi. Bengkak lebam, darah mengucur dari hidung dan mulut. Menurut Wiro beberapa pukulan dan tendangan lagi akan membuat orang itu menemui ajal. Ketika seseorang kembali hendak menendang dan kali ini diarahkan ke kepala, Wiro segera melompat dan mendorong orang itu hingga terjatuh.
Melihat ada orang tidak dikenal datang menolong, orang banyak jadi tambah beringas. Sebagian dari mereka segera menyerang Wiro. Yang lain berteriak-teriak memaki dalam bahasa yang tidak dimengerti murid Sinto Gendeng. Dua orang pemuda dilihat Wiro telah menghunus lading. (lading = golok)
"Pemuda aneh berambut macam padusi ini pasti kawan Malin Kapuyuak. Mari sama-sama kita habisi keduanya" Salah seorang pemuda yang memegang golok berteriak, (padusi = perempuan)
Tidak menunggu lebih lama Wiro segera angkat orang yang terkapar di tanah lalu memanggulnya di bahu kiri. Tangan kanan cepat-cepat diangkat sewaktu dua pemuda bersenjata golok diikuti beberapa orang lain hendak menyergap dirinya.
"Jangan, tahan. Sabar!" teriak Wiro. "Orang ini sudah sekarat. Apa dunsanak sekalian mau membunuhnya?" (dunsanak = saudara-saudara, di Jawa = kisanak)
“Sia wa-ang mau membela anak jahanam Itu! Mau minta mati juga rupanya!” Seseorang berteriak. (Sia wa-ang = siapa kau)
Kecuali lelaki berpakaian putih yang menyandang sarung, yang lain-lain tidak satupun mau mendengar. Dua pemuda yang memegang golok menyerbu lebih dulu. Wiro tidak mau berlaku ayal menghadapi orang-orang kalap itu. Pemuda yang hendak ditolongnya itu pasti punya kesalahan besar.
Sambil melompat mundur Wiro dorongkan tangan kanan ke arah dua penyerang. Satu gelombang angin yang hanya mengandalkan tenaga dalam rendah dan tidak berbahaya menderu. Dua pemuda bersenjata golok berteriak kaget ketika tubuh mereka terangkat ke udara dan mengapung beberapa saat lalu terhempas ke tanah. Senjata yang dipegang terlepas jatuh. Selagi semua orang tersentak kaget dan berteriak-teriak, Wiro segera berkelebat tinggalkan tempat itu.
BAB ENAM
Diatas dangau di tepi sawah yang baru di panen Wiro membaringkan pemuda berpakaian hitam yang dilarikannya dari amukan orang banyak. Saat itu hari mulai terang karena fajar telah menyingsing. Dari atas dangau kelihatan bayangan Gunung Singgalang diarah barat dan Gunung Merapi di sebelah timur. Setelah memperhatikan pemuda yang terbujur di lantai dangau dan menunggu sebentar Wiro kemudian berkata.
"Anak muda sial, aku tahu kau tidak tidur. Juga tidak pingsan. Jangan pura-pura!"
Wiro tepuk keras-keras pipi kiri kanan pemuda itu lalu menyandarkannya ke tiang dangau. Si pemuda menatap Wiro dengan matanya yang sipit sembab. Lalu menyeka darah di mulut yang bibirnya pecah.
"Aden....hukk!" (aden = waden = aku) Si pemuda keluarkan ucapan lalu pegangi dada. Kepala digeleng-geleng, muka mengerenyit menahan sakit yang terasa mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki.
"Kau mencuri destarku! Pasti kau lakukan sewaktu aku mandi di telaga beberapa hari lalu! Sialan!" Wiro mengambil ikat kepala putih miliknya yang ada di atas kepala si pemuda. Ternyata destar itu sudah dikecilkan hingga tidak muat lagi di kepala Wiro. Wiro bantingkan ikat kepala putihnya ke muka si pemuda.
"Kakak, Uda sahabatku. Aku mohon maafmu. Memang aku yang mencuri kopiahmu. Aku sangat tertarik Kopiah seperti itu tidak ada di negeri ini. Tapi aku bukan cuma mencuri. Aku mengganti destarmu dengan kopiah hitam yang kini kau pakai." (Uda = Kakak, Abang)
"Kopiah ini kekecilan. Walau kau mengganti tetap saja namanya kau mencuri!" Wiro jewer telinga si pemuda dan diuntir-untir ke depan ke belakang hingga orang itu menjerit kesakitan.
"Katakan mengapa orang sekampung, lelaki perempuan mengejar dan menggebukmu sampai begini rupa. Masih untung kau tidak sampai meregang nyawa!"
Pemuda yang ditanya hanya meringis sambil usap-usap dada.
"Dengar, aku akan meninggalkan dirimu. Kalau orang-orang itu mengejar sampai ke sini tamat riwayatmu!" Wiro melompat turun dari atas dangau.
"Tunggu, jangan pergi dulu..."
Wiro balikkan badan. "Kau mau bercerita?"
"Duduk di sebelahku, aku akan bercerita."
Wiro lalu naik kembali ke atas dangau dan duduk di samping si pemuda.
"Kau bukan orang di sini..."
"Betul..."
"Kau telah menolongku. Aku berterima kasih."
"Aku tanya sekali lagi. Kau mau bercerita atau tidak?"
Si pemuda usap bibirnya yang bengkak luka. "Uda bakupiah hitam. Siapa nama Uda?" (bakupiah = berkopiah)
"Sialan!" Wiro memaki karena si pemuda masih bicara hal lain bukannya bercerita. "Kau sendiri siapa namamu?!
"Jangan marah.... Aden tahu Uda orang baik. Kau telah menolongku! Orang menyebutku Malin Kapuyuak."
"Aneh namamu. Apa itu nama atau gelar? Patah lidahku menyebut namamu. Kapuyuaaakk..." (Kapuyuak = Kecoak) Wiro pencongkan mulut.
"Namaku sebenarnya Salihin. Orang menyebutku Malin Kapuyuak. Kau bisa mengatakan itu sebagai gelar. Tapi gelar cemooh ejekan. Kau tahu artinya Kapuyuak?" Pemuda berpakaian hitam tertawa.
Wiro menggeleng dan mulai kesal karena orang belum juga bercerita perihal mengapa dia sampai digebuki.
"Kapuyuak binatang yang banyak berkeliaran di kakus. Warnanya coklat, kadang-kadang bisa terbang. Baunya busuk..."
"Sudah, aku sekarang sudah tahu artinya Kapuyuaaakk. Di Jawa disebut kecoak..."
"Ah... Uda ini orang Jawa rupanya." Kata Malin Kapuyuak pula. Wiro meneruskan. "Kecoak biasanya berada di kakus atau jamban. Berarti kau masih saudara dengan taik..."
"Taik, apa itu?" tanya Malin Kapuyuak.
"Taik artinya langek!" jawab Wiro kesal, (langek = kotoran manusia)
Malin Kapuyuak tertawa gelak-gelak. "Kau tahu juga bahasa orang di sini. Uda sahabatku, kalau boleh aku tahu siapa namamu?"
"Wiro..."
"Di Koto Gadang banyak orang Jawa. Di Bukit Nan Tinggi ada Kampung Jawa. Di Pagaruyung "
Wiro menggaruk kepala. Kakinya di turunkan ke tanah. Pemuda mengaku bernama Malin Kapuyuak alias Malin Kecoak cepat memegang bahu Wiro. Mukanya yang lebam sembab dan penuh noda darah menyeruakkan tawa.
"Orang Jawa rupanya lekas pemarah. Aden tahu, kau sudah kesal. Baik. sekarang aku katakan terus terang padamu. Aku dipukuli orang karena ketahuan mengintip kuda kawin..."
Wiro kerenyitkan kening. Mengangkat kopiah basah lalu menggaruk kepala. Setelah menatap muka lebam Malin Kapuyuak. murid Sinto Gendeng tertawa bergelak. "Aneh! Kalau cuma mengintip kuda kawin mengapa kau dihajar orang sampai lebam biru begini rupa?! Jangan-jangan kau yang kawin dengan kuda itu!"
Malin Kapuyuak ganti tertawa terbahak-bahak namun kemudian mengerenyit karena bibirnya yang luka terasa sakit.
Setelah mengusap-usap bibirnya yang pecah Malin Kapuyuak berkata. "Induk masalah sebenarnya, tak jauh dari kandang kuda itu ada jalan menurun. Lalu di kelokan jalan ada pancuran. Nah di pancuran itu ada anak-anak gadis sedang mandi pagi. Mereka memang biasa mandi sebelum hari terang. Kau tahu maksudku...? Mereka mandi dengan menanggalkan seluruh pakaian. Mereka semua putih-putih. Rancak-rancak. Salah seorang di antara anak-anak gadis itu bernama Pandan Dewi. Bunga dusun paling cantik."
"Aku sudah bisa menduga apa yang kemudian terjadi," kata Wiro pula. "Kau bukan hanya mengintip kuda kawin. Tapi kau ketahuan mengintip anak gadis orang sedang mandi. Lalu dikejar dan digebuki orang sekampung!"
"Betul sekali. Ibu serta mamaknya. Kawan-kawan, tetangga orang sekampung. Semua mengejar dan memukuli ku" (mamak = paman)
"Untung kau tidak dilempar ke dalam ngarai."
"Awak memang lagi sial. Aku sudah berulang kali mengintip di banyak tempat. Di pancuran tempat Pandan Dewi mandi, aku sudah mengintai delapan kali"
"Delapan kali? Gila!"
Malin Kapuyuak tertawa. "Sialnya baru sekali ini aecn taparogok ketahuan." Malin Kapuyuak usap keningnya yang benjut lalu berkata (taparogok = tertangkap tangan) "Anak gadis yang namanya Pandan Dewi itu..." Si pemuda acungkan jempol kanan. "Benar-benar rancak. Bak penjelmaan bidadari turun ke bumi. Tubuh tinggi semampai, putih bersih, gigi rata berkilat bak susunan mutiara. Rambut panjang hitam sepinggang. Kalau bicara suaranya seperti bulu perindu masuk ke telinga. Satu minggu masih tergiang-ngiang. Kalau kau mau akan aku beri tahu dimana rumahnya. Kau nanti lihat sendiri. Kalau kau tidak sampai terpikat potong telingaku kiri kanan. Kalau kau mau mengawininya akan aku carikan Tuan Kadi. Ha ha ha!" (Tuan Kadi = penghulu)
Wiro tertawa mendengar ocehan Malin Kapuyuak. "Kau penduduk dari dusun yang sama dengan gadis-gadis yang kau intip itu?"
Malin Kapuyuak menggeleng.
"Setelah digebuki orang hampir mati, apa kau sekarang sudah jera?" tanya Wiro.
Malin Kapuyuak menyeringai. "Jera mungkin ada. Tapi celakanya mataku ini selalu gatal ingin mengintip."
"Masih untung baru matamu yang gatal. Kalau sudah tanganmu ikut gatal, apa lagi anak ketek yang ada di bawah perutmu ikutan gatal, oala... kau bakal celaka besar." (anak ketek = anak kecil. Maksudnya burungnya si Malin Kapuyuak.)
Malin Kapuyuak tertawa gelak-gelak. "Kau senang melawak. Aku suka padamu."
"Malin, aku akan coba menolongmu. Agar pendarahan pada luka di hidungmu berhenti dan rasa sakit di sekujur tubuh berkurang. Tapi kau harus berjanji mau menjawab beberapa pertanyaan."
"Uda sahabatku! Jangankan menjawab pertanyaan, kau suruh aku tajun ke dalam ngaraipun akan ku lakukan. Kau sudah menyelamatkan jiwaku. Obat apa yang mau kau berikan padaku?" (tajun = terjun)
"Aku tidak punya obat. Tapi akan melakukan ini..." Habis berkata Wiro lalu totok tubuh Malin Kapuyuak mulai dari kepala, dada, pinggang dan telapak kaki."
Malin Kapuyuak pejamkan mata menahan sakit. Saking tidak bisa menahan pemuda ini sampai buuuttt... keluarkan kentut!
"Sialan kau! Dasar kapuyuak!" Maki Wiro sambil menjitak kepala si pemuda lalu melompat turun dari atas dangau.
Perlahan-lahan Malin Kapuyuak buka kedua mata. Mulut menyeringai. "Aku tidak bermaksud kurang ajar. Tapi angin itu keluar sendiri. Hai! Kau Ini dukun besar rupanya. Lihat darah di hidungku tidak mengucur lagi. Rasa sakit di muka dan sekujur badan jauh berkurang..."
Wiro pegang bahu si pemuda lalu berkata. "Sekarang jawab pertanyaanku. Apakah kau tahu kalau di salah satu tebing Ngarai Sianok ada sebuah goa. Dan di dalam goa itu diam seorang tua berpakaian dan bersorban putih, memelihara seekor burung elang putih."
Tampang Malin Kapuyuak mendadak berobah. Dia seperti orang ketakutan. "Kau... kau maksudkan Datuk Marajo Sati...?"
"Hemm... Jadi nama orang tua yang tinggal di dalam goa itu Datuk Marajo Sati."
"Kau... kau mau mengadukan perbuatanku padanya? Mati aden...!"
Wiro menyeringai dan gelengkan kepala. "Orang tua itu orang baik..."
"Datuk Marajo adalah Datuk pimpinan dari para Datuk di Luhak Nan Tigo. Adatnya keras. Terutama menyangkut adat Nagari dan keagamaan. Beliau juga bertanggung jawab atas keamanan Luhak Nan Tigo serta keamanan Kerajaan Pagaruyung. Meski paling muda tapi ilmunya paling tinggi diantara semua Datuk. Kalau tidak ada maksud tertentu mengapa kau menanyakan Datuk itu padaku?"
Wiro lalu menceritakan bagaimana dia terpesat masuk ke dalam goa kediaman Datuk Marajo Sati. Tapi belum memberi tahu tentang adanya suara perempuan di goa tempat kediaman sang Datuk.
"Uda Wiro sahabatku. Aku nasihatkan padamu. Lebih baik jangan mencari urusan dengan Datuk Marajo Sati. Nanti kepalamu di pindahkan ke lancirik dan lancirik dipindahkan ke kepalamu!" (lancirik = pantat)
Wiro tertawa. "Kalau ada orang yang mau dibegitukan oleh Datuk maka kaulah manusianya. Aku sudah minta maaf padanya. Dia juga telah menolongku sewaktu aku jatuh dari dinding ngarai..."
"Pasti dia mengaitmu dengan sorban saktinya."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Wiro pula.
"Siapa orang di tanah Minang ini yang tidak tahu kesaktian sorban Datuk Marajo Sati. Sorban itu bisa mencuat tinggi sampai ke langit, mampu melesat sedalam dasar samudera. Bahkan sorban bisa berubah menjadi binatang seperti ular atau naga sebesar bukit. Datuk itu juga biasa disebut Datuk Sorban Saribu Sati." (= Datuk Sorban Seribu Kesaktian)
“Hebat sekali!" memuji kagum Pendekar 212.
"Itu belum seberapa. Kau tahu. Datuk Marajo Sati kalau kemana-mana dia bisa melayang terbang naik sorbannya!"
"Luar biasa!" Kembali Wiro memuji. "Sobatku yang sial. Aku ada satu pertanyaan lagi. Apakah Datuk Marajo Sati punya anak perempuan atau punya seorang istri yang tinggal bersamanya di dalam goa di dinding ngarai itu?"
"Eh, ini pertanyaanmu aneh. Rupanya kau tertarik pada istri Datuk! Ternyata kau lebih galadiah dari aku. Lebih kurang ajar dari aku! Ha ha ha!" (galadiah = brengsek)
"Aku belum gila mau-mauan menyenangi istri orang, apa lagi yang sudah nenek-nenek..."
"Huss! Siapa yang mengatakan istri Datuk Marajo Sati seorang nenek-nenek. Istri pertamanya memang sudah tua dan telah meninggal sepuluh tahun silam. Dari istrinya itu Datuk Marajo Sati tidak dikarunia anak. Setelah istrinya tiada dia kemudian mendapatkan istri pengganti, masih muda. Dikawini Datuk sekitar setahun silam. Baru berusia dua puluh tahun. Cantik jelita. Tinggal di Koto Gadang. Sampai saat ini dari istrinya yang baru dan muda itu Datuk juga belum mendapatkan anak. Setahu orang istri Datuk Marajo Sati tidak pernah datang ke goa di Ngarai Sianok. Sang Datuklah yang selalu mengunjungi istrinya pada waktu-waktu tertentu. Tapi bisa saja istrinya datang ke sana kalau ada kepentingan mendadak. Tapi... rasanya mustahil. Istri Datuk tidak akan mungkin bisa memanjat ngarai, masuk ke dalam goa..."
Mendengar cerita Malin Kapuyuak Wiro baru menerangkan tentang adanya suara perempuan yang didengarnya di dalam goa, bicara dengan Datuk Marajo Sati. "Dari suaranya aku bisa menduga kalau perempuan itu masih sangat muda. Kalau istri Datuk Marajo Sati tidak pernah datang ke goa, lalu suara perempuan siapa yang aku dengar?"
Belum sempat Malin Kapuyuak mengatakan sesuatu tiba-tiba seekor burung besar berwarna putih melesat di atas dangau. Dalam waktu sekejap saja burung itu telah lenyap di arah timur.
"Aku tahu. burung yang barusan melintas di atas dangau adalah elang putih peliharaan Datuk Marajo Sati..." Kata Wiro sambil menatap ke arah lenyapnya burung putih besar.
"Burung itu bukan binatang biasa. Walau tidak bisa bicara tapi dia mampu mengerti ucapan Datuk Marajo Sati. Jika diperintah mencabik atau membunuh orang, burung itu mampu melakukan dengan mudah."
"Malin. Apa kau tahu burung elang itu jantan atau betina?"
"Jantan tentunya! Eh, apa maksud tanyamu itu. Seandainya burung elang itu betina, kau mau menduga-duga bahwa Datuk Marajo Sati..."
"Otakmu kotor. Karena terlalu banyak mengintip" tukas Wiro. "Aku punya firasat burung itu memata-matai diriku."
"Bisa jadi Datuk Marajo Sati sudah berada dekat-dekat ke tempat ini. Sebaiknya kita segera pergi dari sini." Malin Kapuyuak tampak takut dan cepat berdiri. Namun belum sempat tubuhnya diluruskan tiba-tiba tiga orang berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di depan dangau.
"Cilako! Mati aden!" (Celaka! Mati aku!) Ucap Malin Kapuyuak dengan suara gemetar ketika dia mengenali salah satu dari tiga orang yang muncul.
********************
BAB TUJUH
Dalam tarak (samadi) yang dilakukan Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai sejak tengah malam sampai menjelang dini hari, nenek yang menggantungkan diri di cabang pohon kaki ke atas kepala ke bawah ini memang mendapat petunjuk gaib. Namun petunjuk itu tidak menyatakan dimana beradanya kupu-kupu giok melainkan mengarah pada bayangan seorang pemuda asing tidak dikenal yang saat itu berada di sebuah dangau tak jauh dari Ngarai Sianok.
"Aku tidak bisa menjajaki keberadaan kupu-kupu giok. Agaknya mahluk itu memiliki daya penolak yang hebat. Atau mungkin ada kekuatan sakti melindunginya. Mengenai pemuda asing yang aku lihat dalam tarak, dia tidak sendirian. Ada seorang pemuda lain bersamanya." Menerangkan si nenek pada beberapa orang kambratnya yang menunggui.
"Saudaraku," kata Si Kamba Pesek Tangan Manjulai yang berada dalam keadaan cidera. "Kalau kau sudah bisa menduga dimana letaknya dangau itu, segera pergi kesana. Jangan seorang diri. Bawa beberapa sahabat. Bukan mustahil pemuda asing yang kau lihat dalam gaib itu adalah pelindung puteri Pangeran Kerajaan Cina yang jadi kupu-kupu giok."
Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai meminta Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit pergi menemuinya. Karena Perwira Muda Teng Sien bersikeras minta ikut, maka si nenek terpaksa membawanya. Pada saat menjelang fajar menyingsing ke tiga orang Itu segera berangkat kearah timur. Dalam perjalanan, di tengah jalan Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai sempat menyirap kabar perihal kejadian adanya seorang pemuda bernama Malin Kapuyuak yang dihajar orang sedusun karena berani berbuat lancang mengintai anak gadis mandi.
Juga didapat cerita bahwa pemuda kurang ajar itu kemudian dilari diselamatkan oleh seorang pemuda asing berambut panjang seperti perempuan. Si nenek yakin betul, petunjuk yang didapatnya dalam bertarak tidak beda dengan apa yang diceritakan penduduk setempat.
Kembali ke dangau. Melihat Malin Kapuyuak tampak begitu ketakutan. Wiro berbisik. "Kau mengenali orang-orang ini?"
"Aku... aku hanya mengenali nenek berambut jarang bergigi perak itu. Dia Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai, nenek setan berilmu tinggi yang sering menimbulkan kekacauan di tanah Minang.”
"Kurang ajar! Kau berani menyebutku nenek setan penimbul kekacauan! Ku robek mulutmu...!”
Rupanya ucapan Malin Kapuyuak yang walau berbisik-bisik sempat terdengar di telinga Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. Nenek ini berteriak marah lalu sekali berkelebat tangan kanannya yang panjang meluncur lebih panjang, membeset ke arah mulut Malin Kapuyuak. Jika pemuda ini tidak bisa menghindar dari serangan itu maka bukan saja mulutnya tapi separuh kepalanya akan tercabik mengerikan. Dan ternyata Malin Kapuyuak memang tidak mampu selamatkan diri!
Sekejap lagi mulut dan kepala pemuda tukang intip perawan mandi itu akan robek tiba-tiba murid Sinto Gendeng dengan gerakan kilat ulurkan tangan berusaha mencekal lengan si nenek.
"Nek, jangan langsung bertindak keras. Mari kita bicara dulu..." Ucap Pendekar 212.
Tapi si nenek tidak perduli, dia teruskan gerakan tangannya untuk merobek muka Malin Kapuyuak. Mau tak mau Wiro terpaksa hantamkan pinggiran telapak tangan kanannya ke lengan si nenek.
"Bukk!" Lengan dan pinggiran telapak tangan beradu keras. Lengan Si Kamba Tangan Manjulai terpental. Sambaran tangan mautnya luput dari sasaran. Si nenek memekik kesakitan dan marah sekali. Dengan cepat dia membuat gerakan aneh. Tangan yang barusan dipukul berubah laksana seekor ular menggelung tangan kanan Wiro.
Pendekar 212 berseru kaget sewaktu dia tidak mampu melepaskan diri dari lilitan tangan. Sesaat sebelum lengan itu dibelit hancur sampai ke tulang dengan cepat murid Sinto Gendeng merapal aji kesaktian pelicin tubuh bernama Belut Menyusup Tanah. Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai berteriak kaget ketika tangannya yang sudah membelit dan siap meremas hancur tangan Wiro tiba-tiba terlepas, membuat tubuhnya terjengkang.
Sebelum sempat Imbangi diri satu tombak, bergulingan di tanah. Dia berusaha bangkit terbungkuk-bungkuk menahan sakit Untungnya Wiro tidak menyertai tendangannya dengan aliran tenaga dalam. Si nenek tudingkan tangan kiri ke arah Wiro.
"Palasik jahanam! Beraninya kau menyakiti diriku! Kau yang aku lihat dalam samadiku! Kau pasti punya sangkut paut dengan puteri Pangeran yang kabur dari negeri Cina itu! Paling tidak kau merupakan mahluk penghalang berusaha mencegah kami mendapatkan kupu-kupu giok!" (Palasik = semacam mahluk yang suka menghisap darah terutama darah bayi)
"Kamba Mancuang!" teriak Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit. "Kau ini bicara apa!" Lelaki ini membentak keras karena dalam marahnya si nenek tadi telah ketelepasan bicara soal puteri Pangeran Cina dan kupu-kupu giok yang seharusnya dirahasiakan.
Tapi Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai tidak peduli. Habis memaki si nenek buka mulutnya lebar-lebar lalu berteriak keras. Saat itu juga dari barisan gigi peraknya atas bawah melesat dua rangkum cahaya putih berpijar menyilaukan. Menyambar ganas ke arah dua bagian tubuh Wiro. Yang pertama menyambar dari pinggang ke atas, yang lain menghantam dari pinggang ke bawah.
"Nek, kita tidak saling bermusuhan. Mengapa menurunkan tangan jahat terhadapku?!" Teriak murid Sinto Gandeng.
"Siapa yang kurang ajar. Siapa yang menghalangi pekerjaanku adalah musuh bagikul" Jawab si nenek.
"Wusss! Wusss!" Dua larik cahaya putih berpijar menyambar disertai menghamparnya hawa luar biasa panas. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Angin Merapi Merambah Bumi.
"Tua bangka edan" Maki Pendekar 212 sambil melesat ke udara. Selagi tubuh melayang tangan kiri kanan didorong melepas dua pukulan sakti Tangan Dewa Menghantam Batu Karang.
Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai berseru kaget ketika dua angin pukulan lawan keluarkan suara menggemuruh seperti bukit batu roboh. Begitu dia melompat selamatkan diri dihadapannya di menyaksikan bagaimana tiupan angin putih maut yang keluar dari deretan gigi peraknya buyar cerai berai. Sebagian menyambar dangau hingga saat itu juga bangunan itu tengoelam dalam kobaran api. Pemuda bernama Malin Kapuyuak yang masih berada di dalam dangau itu serta merta melompat selamatkan diri lintang pukang.
Si nenek delikkan mata melihat di tanah di depannya kini ada lobang sebesar kubangan kerbau akibat dua pukulan lawan. Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit tadinya hendak menerjang menyerang Pendekar 212. Namun melihat bagaimana pemuda berambut gondrong itu menghancurkan serangan si nenek dan di tanah kini tampak lobang besar, kuduknya jadi merinding. Dia berpikir dua kali untuk melanjutkan serangan.
Sebaliknya lain halnya dengan Perwira Muda Teng Sien. Walau tidak mengerti ucapan orang namun dia menduga Wiro mengetahui dimana beradanya kupu-kupu giok. Maka begitu menghunus golok anggota pasukan Kerajaan Cina ini langsung menyerbu Wiro. Ilmu goloknya memang luar biasa. Sekali menggebrak dia telah kirimkan dua bacokan ke arah kepala, menyilang menjurus dada lalu ditutup dengan tusukan ke bagian perut!
Melihat Wiro tidak bersenjata dan terdesak hebat, Malin Kapuyuak segera mengambil bambu patahan tiang dangau yang masih utuh lalu dilemparkan pada Wiro. Dengan cepat Wiro sambar potongan bambu lalu dipergunakan sebagai senjata menghadapi serangan lawan. Namun bambu bukanlah tandingan golok besar di tangan Teng Sien. Dalam dua kali menggebrak saja Perwira Muda bertopi besi Ini telah membuat bambu itu terpotong-potong dan kini hanya tinggal sepanjang satu setengah jengkal yang masih berada di tangan Wiro.
"Perwira Muda! Habisi orang itu. Bunuh!" teriak Si Kamba Hantu Manjulai.
Tanpa disuruhpun walau tidak mengerti ucapan orang Teng Sien memang ingin mencincang Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia tidak tahu siapa adanya pemuda berambut gondrong Itu dan dia tidak perduli. Dia hanya punya kecurigaan bahwa Wiro merupakan salah satu dari orang-orang yang menghalangi usahanya mendapatkan kembaii kupu-kupu Giok yang membawa tubuh puteri Pangeran Chia Swie Kim.
Sekali melompat golok besar di tangan sang Perwira Muda sudah berdesing di udara. Lancarkan serangan berantai yang sangat ganas. Memperhatikan gerak dan hawa yang keluar dari golok lawan Wiro bisa mengukur kalau serangan Teng Sien tidak disertai tenaga dalam. Namun tenaga luarnya sungguh luar biasa.
Ketika lawan melompat lagi mengirimkan serangan kilat, saat inilah, tiba-tiba dengan cepat Wiro merunduk sedikit lalu lemparkan potongan bambu yang masih ada di tangannya ke arah bawah perut sang perwira. Tepat mengenal kantong menyannya!
Jerit Teng Sien setinggi langit. Tubuhnya langsung ambruk, menjerit, melejang-lejang di tanah sambil tekap bagian bawah perut yang sakitnya laksana disundut bara api. Tidak sanggup menahan sakit akhirnya Perwira Muda ini tergeletak pingsan dengan mata mendelik!
"Manusia tolol. Lain kail jangan hanya kepala atasmu yang pakai topi besi. Kepala bawah harus juga kau lindungi dengan topi besi. Ha ha ha” Wiro mengejek.
"Kurang ajar" Teriak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai marah besar menyangka Teng Sien telah menemui ajal. "Kalam Langit! Kau tangkap hidup-hidup pemuda berdestar putih itu. Aku tak akan memberi ampun pada jahanam berambut seperti perempuan ini!"
Si nenek lalu dahului serangannya dengan mengulur panjang dua tangan ke arah Wiro sementara Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit melompat menyergap Malin Kapuyuak. Sebelum orang mendatanginya pemuda tukang intip ini tendang tumpukan reruntuhan bangunan dangau yang masih diselimuti api dan asap ke arah Si Kalam Langit yang hendak menangkapnya. Lalu secepat kilat dia berputar-putar mengelilingi sebuah pohon besar, memperdayai si tinggi hitam itu sambil mencari kesempatan untuk kabur.
"Kalam Langit!" teriak Wiro yang tahu cepat atau lambat orang itu akan dapat menangkap Malin Kapuyuak. "Berani kau rnencelakal sahabatku itu akan kuubah dirimu menjadi Kalam Lancirik." (Lancirik= Pantat)
"Pemuda jahanam! Biar kau aku pesiangi lebih Dulu." Teriak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. Dua tangannya yang menjadi panjang luar biasa melesat kian kemari lalu melilit sekujur tubuh Pendekar 212 mulai dari pinggul sampai ke dada. Saat itu juga tubuhnya bergerak ke depan hingga hampir bertempelan dengan tubuh Wiro. Seumur hidup baru kali ini murid Sinto Gendang mendapat serangan seperti itu.
"Kreekkk! kreekkk!" Wiro mendengar sendiri tulang-tulang tubuhnya berderak.
"Nenek bergigi perak!" Dari balik pohon Malin Kapuyuak walau dikejar orang masih bisa berteriak. "Kau berpura-pura hendak membunuh sahabatku. Padahal kau Ingin memeluknya! Ha ha... Kau pasti sudah jatuh hati pada pemuda rambut panjang itu. Memang di nagari ini tidak ada pemuda yang seperti Dia. Ayo cium dia kalau berani! Jangan cuma memeluknya saja."
Keadaan si nenek yang saat itu tengah menelikung Wiro dengan dua tangannya, sepintas lalu memang tampak seperti orang yang tengah berpelukan dan bermesraan dengan kekasihnya. "Jahanam bermulut kurang ajar. Lihat apa yang akan aku lakukan pada sahabatmu ini." Teriak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
Lalu dua tangannya yang panjang dan telah membelit sekujur tubuh Wiro digerakkan demikian rupa hingga kreekkkk! Kembali tulang-tulang sang pendekar mengeluarkan suara berkaretekan siap hancur.
Wiro menyeringai kesakitan. Tubuhnya seperti disengat api. Tapi dia masih bisa berucap. Sablengnya keluar. "Nek, kalau kau tidak mau menciumku biar aku saja yang menciummu! Kau cantik. Walau sudah tua tidak rugi rasanya menciummu! Ha ha ha..." Lalu...
"Cuuppp... cuuuppp... cuuuppp. Wiro benar-benar cium wajah si nenek bertubi-tubi.
"Jahanam laknat kurang ajar!" Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai buka mulutnya lebar-lebar. Siap hendak meniupkan ilmu maut Angin Merapi Merambah Bumi.
Namun lebih cepat lagi Wiro mengecup lumat-lumat bibir si nenek hingga Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai terperangah. Tubuhnya bergetar. Nafas mengengah. Dada naik turun. Lalu dia berteriak keras antara marah dan menahan gelora yang tidak pernah dirasakannya selama ini. Tidak sadar telikungan dua tangannya di tubuh Wiro jadi mengendur.
Dengan cepat murid Sinto Gendeng loloskan dua tangannya dari lilitan sepasang tangan panjang si nenek. Lalu sekali dua tangan bergerak dia berhasil membuat empat totokan. Dua di punggung, dua di pinggang. Saat itu juga Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai tertegak kaku tak berkutik, mulut menganga basah, dan sepasang mata mengedap-ngedip!
Wiro cepat lepaskan gelungan dua tangan panjang lalu loloskan diri sambil tertawa-tawa cengengesan. Dia memandang ke arah pohon dan merasa khawatir karena tidak melihat Malin Kapuyuak ataupun orang berpakaian hitam Si Kalam Langit.
"Nek, aku pergi dulu. Sebelum siang totokan di tubuhmu akan lepas sendiri. Kalau kau masih ingin ciumanku, Jangan malu-malu mencari aku ya? Namaku Wiro Nek! Ha ha ha ha!"
"Pemuda kurang ajar! Aku bersumpah akan menghancurkan tubuhmu. Aku masih akan berbaik hati membuatkan papan nisan di atas kuburmu!"
"Kenapa kau mau berbaik hati begitu Nek? Karena ciumanku tadi? Ha ha ha! Aku akan menciummu lagi. Jadi kau buatkan kuburku dua papan nisan sekaligus!"
Lalu enak saja Wiro ciumi dan kecup lagi bibir basah si nenek. Dia berhenti mencium, memandang berkeliling. "Nek... Tak ada orang lain di sini. Serdadu Cina itu tidak sadarkan diri berarti tidak akan melihat. Ssttt... Kau mau kucium lagi?"
"Setan terkutuk. Kau akan jadi puntung neraka!” Teriak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. Wajahnya yang memang masih cantik dan berhidung mancung kelihatan berubah merah.
“Tapi kau suka puntung neraka ini bukan?" Jawab Wiro dan kembali mengecup bibi Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
Dalam gelora dahsyat yang tidak tertahankan, sepasang mata si nenek tampak terbalik, yang kelihatan hanya putihnya saja. Lalu tubuhnya miring ke kiri dan jatuh tergelimpang di tanah. Tapi dia sama sekali tidak pingsan.
"Pemuda kurang ajari Najis. Beraninya dia berbuat kurang ajar terhadap diriku! Kurang ajaarrr...!"
Tiba-tiba si nenek melihat Wiro berdiri di dekatnya. Kepala ditundukkan mendekati wajahnya.
"Najis katamu Nek? Kalau najis sesudah bibirmu kukecup mengapa kau tidak meludah?"
"Manusia setan! Bangsat kurang ajar! Aku bersumpah..."
"Sssttt... Tak baik bersumpah Nek. Jangan menipu diri. Kau suka aku cium. Aku juga suka menciummu. He he! Seumur hidup baru sekali ini aku mencium perempuan yang giginya berlapis perak. Ternyata enak juga... Ha ha ha"
"Setan alas" Maki Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. Lalu nenek ini menjerit keras.
Wiro tertawa gelak-gelak sambil tepuk-tepuk pipi si nenek lalu tinggalkan tempat itu.
Tubuh Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai bergetar. Debaran di dada perempuan ini menyentak kencang dan aliran darahnya terasa panas dan cepat. Lalu dia merasa tubuhnya panas dingin seperti orang diserang demam kura. Bagaimanapun juga seumur hidup baru sekali itu dia diperlakukan lelaki seperti itu. Dipeluk, dicium dan dikecup. Oleh lelaki muda pula.
********************
BAB DELAPAN
Malin Kapuyuak lari seperti dikejar hantu benaran. Namun cepat sekali Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit berhasil mengejar dan mencekal kuduknya. Cekalan di tengkuk sampai ke leher sebelah depan begitu kencang membuat pemuda itu tersengal-sengal, sulit bernafas dan tak bisa keluarkan suara.
Saat itu matahari mulai tinggi dan sinarnya terasa terik. Si Kalam Langit lepaskan cekalan. Malin Kapuyuak dibanting ke tanah hingga pemuda ini mengerang kesakitan. Sakit bekas digebuki orang masih belum hilang, kini dibanting seperti itu. Sekujur tubuhnya terasa luluh lantak.
"Kalau nenek tangan panjang itu tidak melarangku membunuhmu, sudah tadi-tadi kau kuhabisi. Kau menyusahkan saja." Kata Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit.
"Apa salahku sampai diperlakukan seperti ini. Aku bukan maling bukan pancilok.” suara Malin Kapuyuak setengah meratap, (pancilok = pencuri)
"Aku dan nenek itu tahu kau orang yang tadi malam dipukuli orang sekampung karena mengintai anak gadis mandi di pancuran..."
"Itu memang benar. Tapi apa sangkut pautnya dengan dirimu. Kau bukan orang sedusun. Bukan pula mamak dan saudara gadis-gadis itu..."
"Plaakkk!" Satu tamparan keras mendarat di pipi kanan Malin Kapuyuak hingga pemuda ini terbanting jatuh dan luka di bibirnya kembali mengucurkan darah.
"Kalau kau mau tahu siapa diriku, aku adalah yang tertua dari Duo Hantu Gunung Sago, bernama Si Kalam Langit"
Mendengar orang menyebut siapa dirinya, lelehlah nyali Malin Kapuyuak. Bahkan dia nyaris terkencing! "Pandeka Besar, ampun beribu ampun. Aku tidak bermaksud berkurang ajar padamu. Aku merasa tidak bersalah dan mohon diriku dilepaskan. Biarkan aku pergi dari sini." Malin Kapuyuak berkata sambil bergerak bangun, lalu duduk di tanah dan susun sepuluh jari di atas kepala.
"Aku tahu siapa namamu. Aku juga tahu semua kelakuan mesummu..."
"Aku sudah mengaku dan minta ampun..."
"Diam" Hardik Si Kalam Langit. "Aku ingin tahu siapa pemuda berambut macam perempuan yang kau panggil Uda dan kau katakan sahabatmu itu! Aku tidak pernah melihat manusia satu itu sebelumnya."
"Dia... dia orang Jawa. Namanya Wiro. Aku bertemu dia baru parak siang tadi ketika dia menolong diriku dari amukan orang karena ketahuan mengintai anak gadis mandi." (parak siang = dini hari)
"Bagus! Walau baru kenal, karena kau ditolongnya, kalian sudah bersahabat! Pasti banyak yang kalian bicarakan. Kau tahu mengapa anak Jawa itu Jauh-jauh datang ke sini..."
Malin Kapuyuak menggeleng. "Aku tidak tahu. Aku tidak pernah menanyakan padanya. Dia tidak pernah bercerita."
"Plaakkk!" Satu tamparan lagi menghajar wajah Malin Kapuyuak membuat pemuda ini kembali tergelimpang di tanah dan meratap minta-minta ampun.
"Bicara jujur. Jangan berdusta atau kupatahkan batang lehermu!" Ancam Si Kalam Langit.
"Ampun Pandeka Besar. Aku bicara jujur. Cincang diriku kalau ketahuan aku bicara dusta."
"Begitu...?" Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit jambak dada pakaian Malin Kapuyuak lalu menyandarkannya ke batang pohon. Sambil injakkan kaki di dada pemuda itu, Si Kalam Langit berkata. "Sekali aku menekan kaki, hancur dadamu sampai ke punggung! Jadi satu dengan batang kayu. Kau mau?!"
"Ampun Pandeka Gadang! Jangan lakukan itu!" Malin Kapuyuak meratap ketakutan. "Aku belum ingin mati! Aku belum kawin. Kalau bisa aku kawin dulu sebelum mati!"
"Hemmm... begitu?" Si Kalam Langit menyeringai. Dia turunkan kaki dari dada Malin Kapuyuak lalu kaki kanan itu kini diinjakkan ke bagian bawah perut si pemuda. "Kalau kau mau bicara, kau akan selamat. Kalau kau bungkam atau berdusta aku tidak akan membunuhmu. Tapi aku akan menghancurkan si buyuang di bawah perutmu! Berarti seumur-umur kau tak akan bisa kawini Ha ha ha!" (si buyuang = di sini berarti barangnya si Malin Kapuyuak)
"Ampun Pandeka Gadang..." Suara Malin Kapuyuak gemetaran karena takut setengah mati.
Si Kalam Langit perkeras injakan di bawah perut Malin Kapuyuak hingga pemuda ini menjerit dan menggeliat kesakitan.
"Ampun. Akan kukatakan padamu apa yang aku tahu..."
"Lekas bicara!" Hardik Si Kalam Langit.
Walau ketakutan setengah mati dan merasa sakit tidak terperihkan, namun Mnlin Kapuyuak tidak mau menerangkan hal sebenarnya. Wiro telah menolongnya maka dia merasa perlu melindungi si gondrong itu.
"Pemuda Jawa itu... Dia... dia tengah dalam perjalanan. Dia tidak memberi tahu dari mana mau kemana. Dia senang melihat keindahan malam di Ngarai Sianok."
"Ceritamu tidak masuk di akal. Melihat keindahan ngarai di malam hari?"
"Kalau langit bersih dan terang, apa lagi sedang ada bulan purnama, bukankah pemandangan di ngarai sangat Indah pada malam hari?" ucap Malin Kapuyuak pula.
Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit menyeringai. "Kau mulai berani bicara dusta. Di salah satu bagian Ngarai Sianok aku tahu Datuk Marajo Sati diam di sebuah goa. Pemuda itu datang ke ngarai pasti ada sangkut paut dengan diri Datuk itu."
"Kalau hal itu aku kurang tahu. Tapi..."
"Tapi apa?!" Sentak Si Kalam Langit mulai tidak sabaran. Walau Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai melarangnya, tapi dia sudah punya niat akan menghabisi pamuda satu Ini.
"Aku menduga..." kata Malin Kapuyuak dengan raut wajah berpura bersungguh-sungguh. "Pemuda Jawa itu agaknya tertarik dengan kecantikan istri Datuk Marajo Sati yang masih muda belia. Mungkin dia berada di ngarai untuk mengintai padusi itu." (padusi = perempuan)
SI Kalam Langit tampak seperti tercengang mendengar ucapan Malin Kapuyuak. Mulutnya ternganga. "Kalau dia tahu Datuk Marajo Sati beristri muda dan cantik, berarti pemuda Jawa itu sudah lama berada di tanah Minang Ini."
Malin Kapuyuak tidak menjawab. Si Kalam Langit perkeras injakan kaki kanannya hingga pemuda itu menjerit kesakitan.
"Jangan dusta mengarang cerita!"
"Aku bersumpah biar dicekik Hantu Haru-Haru" (Hantu Haru-Haru sejenis mahluk halus yang suka menculik orang terutama anak kecil dan membawanya ke atas pohon)
"Kapuyuak jahanam! Siapa percaya sumpah manusia macam wa-ang! Sebelum Hantu Haru-Haru mencekikmu, aku yang akan lebih dulu mematahkan batang lehermu!" Si Kalam Langit putar telapak kakinya yang menginjak bagian bawah perut hingga Malin Kapuyuak kembali berteriak kesakitan. "Mengapa pemuda itu menanyakan Datuk pimpinan Luhak Nan Tigo?" (wa-ang = kamu, kasar)
"Sudah aku katakan, dia tahu Datuk punya istri muda. Mungkin dia suka pada istri Datuk Marajo Sati. Aku beritahu istri Datuk itu ada di dalam goa di Ngarai Sianok."
"Hebat kau Malin Kapuyuak! Kalau benar ceritamu berarti kau menghkhianati Datuk Marajo Sati. Tapi aku tahu kau dusta. Semua orang di Luhak Agam ini tahu kalau Istri Datuk Marajo Sati tinggal di Koto Gadang. Tidak pernah datang atau berada di dalam goa tempat kediaman suaminya..."
"Aku tahu hal itu Pandeka. Itu sebabnya aku berdusta pada pemuda Jawa itu. Tak mungkin aku akan mengkhianati Datuk Marajo Sati. Kalau tidak ingin melindungi Istri Datuk, mengapa tidak aku katakan saja yang sebenarnya kalau parempuan itu tinggal di Koto Gadang!"
"Aku tidak percaya padamu Malin Kapuyuak. Lebih baik kutamatkan riwayatmu saat ini juga. Kau pasti punya cerita lain yang sebenarnya. Kau pasti tahu mengapa pemuda Jawa itu berada di sekitar daerah ini. Aku bosan bicara denganmu. Aku muak melihat tampangmu" Si Kalam Langit kerahkan tenaga dalam lalu kaki kanannya dihunjamkan kuat-kuat.
"Ampuni Jangan..." teriak Malin Kapuyuak. Sekejapan lagi bagian tubuh yang sangat berguna bagi si pemuda itu akan hancur, tapi tiba-tiba ada suara perempuan berseru.
"Barang pusaka barang keramat! Wajib dipelihara wajib dijaga. Mengapa tega hendak memecah?! Hik hik hik..."
Bersamaan dengan kumandang seruan itu mendadak di udara terdengar suara berdesing panjang. Dua benda hitam melesat ke arah Si Kalam Langit tanpa orang tinggi besar ini sempat menyingkir mengelakkan diri.
"Craassa! Crassss!"
Dua benda hitam mendarat telak di kening dan pangkal leher orang tertua dari Duo Hantu Gunung Sago ini. Tak ampun lagi tubuhnya yang besar tergelimpang roboh di tanah. Dari kening dan leher darah mengucur deras. Si Langit Kalam menggeliat dua kali, lalu nyawa lepas. Tubuh diam tak berkutik lagi.
Dari atas sebatang pohon besar, orang bermuka cacat yang barusan melemparkan dua senjata rahasia memaki geram, memandang melotot ke bawah. "Jahanam! Dari mana munculnya betina gendut keparat itu. Apakah dia juga menyelidik perkara yang sama yang tengah aku lakukan?! Aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Dari dandanannya yang aneh agaknya dia bukan orang negeri ini. Gerakannya enteng dan luar biasa cepat! Suaranya terdengar lebih dulu baru ujudnya kelihatan! Sialan, aku tidak bisa bertindak ceroboh. Dia menyelamatkan pemuda itu pasti punya maksud. Saat ini dia tengah mengejar pemuda itu. Apa yang harus aku lakukan?!"
BAB SEMBILAN
Di udara berkelebat seekor burung besar putih. Di dekat reruntuhan dangau di tepi pesawahan burung yang ternyata adalah seekor elang putih ini melayang rendah lalu melesat kembali ke udara dengan mengeluarkan suara menguik keras. Orang bermuka cacat yang mendekam di atas pohon, seolah berpikir sebentar akhirnya tanpa keluarkan suara akhirnya melesat turun ke tanah lalu berkelebat ke arah timur. Dalam hati dia membatin.
"Para tokoh rimba persilatan itu akan bertemu besok di Muko Muko. Lebih baik aku cepat-cepat menuju ke sana. Tapi mungkin ada gunanya aku mengintai dulu ke goa di Ngarai Sianok. Aku punya kecurigaan. Malam tadi dua orang itu datang dari sana. Bisa saja..."
ELANG putih bermatabmerah melesat terbang di bawah terik cahaya matahari, melayang turun dan bertengger di cabang pohon tak jauh dari dangau yang terbakar, di tepi kawasan persawahan. Tak lama kemudian berkelebat muncul seorang tua bersorban dan berjubah putih yang ternyata adalah Datuk Marajo Sati. Elang putih yang bukan sembarang burung telah menuntun sang Datuk ke tempat itu.
"Alang Putih Rajo Di Langit, aku menyangka kau membawaku menemui pemuda Jawa itu. Ternyata kau menemukan mayat. Sudah lama negeri ini aman tenteram dari berbagai macam kejahatan, apa lagi pembunuhan. Sekarang ada mayat terkapar di hadapanku. Siapa yang jadi korban, siapa yang jadi pelaku pembunuhan?"
Berkata seperti itu Sang Datuk lupa kalau sebelumnya karena tidak dapat menahan hawa amarah ketika berada dalam goa di Ngarai Sianok dia nyaris hendak mencelakai bahkan bisa membunuh Wiro dengan ilmu Bumi Tabalah Azab Manimpo. Datuk Marajo Sati dekati mayat yang tergeletak di tanah. Kening mengerenyit, mata menyipit dan langkah terhenti begitu dia mengenali mayat bersimbah darah itu adalah orang tertua dari Duo Hantu Gunung Sago yang bernama Si Kalam Langit
"Orang hebat berilmu tinggi menemui ajal di tengah hari. Siapa gerangan yang membunuhnya?" Datuk Marajo Sati memandang berkeliling. "Tak ada tanda-tanda perkelahian di tempat ini. Bagaimana dia bisa menemui kematian seperti ini? Orang jahat mana yang gentayangan di negeri ini, melakukan pembunuhan..."
Sang Datuk perhatikan keadaan mayat Dia melihat ada dua luka besar penyebab kematian yaitu di kening dan pangkal leher sebelah kiri. Wajah dan bagian leher yang tidak tertutup darah tampak melepuh. Datuk Marajo Sati tarik nafas dalam lalu perlahan-lahan gerakkan tangan kanan. Telapak dikembang, diarahkan ke kening mayat. Tangan bergetar.
"Wuuttt" Sebuah benda hitam berlumuran darah yang menancap di dalam kening Si Kalam Langit laksana disedot melesat keluar. Dengan cepat Datuk Marajo Sati menangkap benda itu. Ketika diperhatikan ternyata sebuah besi hitam berbentuk bintang segi empat. Pada setiap ujung bintang yang tajam terdapat sebuah lobang kecil. Datuk Marajo Sati sebelumnya malam tadi telah melihat benda yang sama.
"Senjata rahasia seperti ini yang menancap di dinding goa kediamanku malam tadi," ucap Datuk Marajo Sati dalam hati lalu mengeruk saku jubah dan mengeluarkan sebuah benda. Benda ini adalah senjata rahasia yang ditemukan dan dikorek elang putih dari dinding goa. Ternyata kedua benda itu sangat sama satu dengan lainnya.
"Apakah senjata rahasia yang satu ini juga ada hubungannya dengan pemuda dari Jawa mengaku Wiro itu?" Datuk Marajo Sati berpikir keras sambil usap senjata rahasia yang masih berlumuran darah. "Kalau pemuda itu yang dikejar atau dihadang musuh dan jadi sasaran serangan, mengapa manusia satu ini yang jadi korban? Apa hubungan pemuda Jawa itu dengan Duo Hantu Gunung Sago? Sebagai dua orang yang berserikat atau sebagai dua musuh? Berarti apakah pemuda Jawa itu ada di tempat ini sebelumnya?"
Datuk Marajo Sati melangkah ke tepi pematang sawah yang ada genangan air. Senjata rahasia besi bintang segi empat dicelupkan ke dalam air sampai bersih dari darah lalu dimasukkan ke dalam saku jubah. Sambil melangkah mengelilingi mayat orang tua yang merupakan Datuk pimpinan dari para Datuk di Luhak Nan Tigo terus berpikir, bertanya-tanya dalam hati dan mereka-reka. Ingatannya kembali tertuju pada pemuda Jawa yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Waktu di goa ketika kutanya apa tujuannya berada dinegeri ini, pemuda itu menjawab kalau dia baru saja menemui seseorang. Ada pesan amanat dari orang itu yang harus dilakukan. Tapi dia tidak mau mengatakan siapa orang itu adanya. Lalu mengenai amanat dia mengatakan bahwa satu perkara besar akan terjadi di tanah Minang." Datuk Marajo Sati menatap di langit Pejamkan mata dan kembali bicara dalam hati. "Katanya ada perkara besar. Perkara apa? Astaga... Mengapa aku begitu tolol. Kematian Sutan Panduko Alam, kematian Duo Hantu Gunung Sago. Bukankah ini satu Perkara besar? Paling tidak awal dari satu perkara besar. Kalau turut cerita gadis Cina Itu, jangan-jangan ini ada sangkut paut dengan dirinya!"
Memikir dan ingat pada Chia Swie Kim si gadis yang menjelma dalam ujud kupu-kupu batu giok dan kini berada di dalam goa kediamannya Datuk Marajo Sati mendadak merasa khawatir. "Puti Bungo Sekuntum. Aku harus cepat-cepat kembali ke goa. Selain itu aku harus memberi tahu orang di dusun terdekat untuk mengurus mayat Duo Hantu Gunung Sago."
Sebelum pergi Datuk Marajo Sati berkata pada burung elang besar yang masih bertengger di cabang pohon. "Alang Putih Rajo Di Langit. Aku senang kau telah membawaku ke tempat ini. Aku akan kembali ke goa. Lanjutkan apa yang telah aku tugaskan padamu. Temukan pemuda berambut panjang itu. Ikuti kemana dia pergi. Cari tahu dengan siapa saja dia berhubungan."
Elang putih di atas pohon seolah mengerti apa yang diucapkan majikannya menguik lalu melesat terbang ke udara. Untuk berapa lama burung ini melayang berputar-putar di atas kawasan persawahan.
********************
Ketika Datuk Marajo Sati sampai di dalam goa, orang tua ini terkejut karena kupu-kupu batu giok yang diletakkannya di dalam cegukan dinding goa lenyap dari tempatnya. Sang Datuk mengucap berulang kali, memandang berkeliling sambil mulutnya berseru."Chia Swie Kim! Puti Bungo Sekuntum! Dimana kau?" Suara Datuk Marajo Sati menggelegar menggetarkan seantero goa. Tak ada Jawaban. "Kupu-kupu giok!"
Tiba-tiba ada suara kepakan sayap halus. Sesaat kemudian dari balik celah batu di ujung dalam goa melayang seekor kupu-kupu besar lalu turun ke lantai goa di depan kaki Datuk Marajo Sati. Sang Datuk merasa lega.
"Datuk, maafkan saya. Saya tadi terpaksa mengubah diri lalu terbang dan bersembunyi di balik celah batu..."
Kupu-kupu besar keluarkan cahaya berpijar, sesaat kemudian berubah bentuk menjadi gadis cantik puteri Pangeran Cina bernama Chia Swie Kim.
"Anak gadis, katakan apa yang terjadi? Mengapa kau merubah diri dan bersembunyi di ujung goa?"
'Sebelum Datuk sampai di sini ada seseorang masuk kedalam goa. Dia seperti menyelidik. Saya takut..."
Datuk Marajo Sati terkejut besar. "Siapa orangnya? Pemuda Jawa berkopiah hitam berambut panjang itu?" tanya Datuk Marajo Sati dengan wajah berubah.
Gadis puteri Pangeran Cina yang oleh sang Datuk diberi nama Puti Bungo Sekuntum gelengkan kepala. "Bukan, bukan pemuda itu..."
"Salah satu dari orang-orang yang mengejarmu. Pimpinan kakek bernama Ki Bonang Talang Ijo?"
"Juga bukan Datuk. Saya tidak mengenalnya. Orang ini mengenakan jubah biru. Mukanya ada cacat bekas luka. Dia..."
"Sudah, keadaan semakin tidak karuan di tempat ini. Puti, aku akan memindahkan mu ke ruang rahasia di ujung goa. Jika kau ingin keluar, ketuk dinding goa tiga kali. Makanan dan air bersih tersedia banyak di ruangan itu. Tapi ingat satu hal. Kecuali melalui dinding goa yang aku katakan, kau sekali-kali tidak boleh mencari jalan keluar yang lain. Kau mengerti?"
"Saya mengerti Datuk..." Jawab Chia Swie Kim.
Sebenarnya ada sesuatu yang hendak dikatakan gadis ini namun saat itu Datuk Marajo Sati telah mengangkat tangan. Dari ujung jari tengah dan jari telunjuk memancar keluar dua larik cahaya putih. Ketika dua cahaya itu menyentuh dinding goa sebelah dalam maka terdengar suara bersiur. Sesaat kemudian dinding goa bergeser. Di sebelah dalam terlihat satu ruangan besar, terang dan bagus.
"Masuklah. Aku akan meninggalkan goa selama satu atau dua hari. Kau akan aman di dalam sana. Jaga dirimu baik-baik."
Tanpa keluarkan ucapan apa-apa lagi Chia Swie Kim alias Puti Bungo Sekuntum segera masuk ke dalam ruangan. Begitu dinding goa merapat menutup gadis ini jatuhkan diri bersimpuh di lantai.
"Mengapa nasib diriku jadi seperti ini? Datuk telah menolongku. Tapi berapa lama aku bisa bertahan mendekam di ruangan ini. Tidak melihat dunia luar. Tidak tahu siang atau malam." Si gadis tekap wajahnya dengan kedua tangan. "Seharusnya Yang Maha Kuasa tidak menolongku dengan menjadikan diriku masuk ke dalam kupu-kupu giok Kupu Kupu Mata Dewa. Rasanya akan lebih baik jika saat itu aku juga tewas dibunuh. Rohku mungkin akan lebih bahagia bisa bersatu di alam baka dengan roh koko Kui Hoa Seng. Sekarang aku berada jauh di negeri orang. Entah bagaimana caranya bisa kembali ke negeri leluhur... Thian yang Agung, mohon perhatikan dan tolong diri saya..." (koko = kakak) Thian = Tuhan) Gadis malang ini akhirnya sesenggukan tidak mampu menahan tangis.
********************
BAB SEPULUH
Siang hari itu puncak Gunung Kerinci tampak jelas tinggi menjulang tidak tersaput awan. Dari kejauhan gunung tertinggi di wilayah selatan ini diapit dan seolah dikawal oleh Gunung Tujuh di sebelah timur dan Gunung Patah Sembilan agak ke barat. Ketika serombongan burung pipit melayang dan utara ke selatan di langit terlihat satu pemandangan luar biasa Siapa saja yang melihat pasti tidak percaya akan pandangan matanya.
Betapa tidak, seorang tua berjubah putih, duduk di atas gulungan sehelai sorban putih yang terbang melayang di udara ke arah Gunung Kerinci. Di lereng barat gunung sorban dan orang yang duduk di atasnya menukik ke bawah menuju kawasan berbatu-batu. Bentuk dan susunan batu-batu itu tampak begitu indah seolah dibuat dan ditata oleh tangan manusia.
Tak lama kemudian orang berjubah putih telah berdiri di atas sebuah batu rata. Wajahnya tampak kusam tanda ada kemelut yang dirasa. Sepasang mata dengan dingin memandang tajam berkeliling hingga akhirnya dia melihat sebuah lobang berbentuk segi empat merupakan jalan masuk atau sebuah pintu.
"Alhamdulillah, Allah telah membawaku dengan selamat sampai di tempat ini. Sekarang apakah orang yang kucari ada di tempat kediamannya ini?"
Tidak menunggu lebih lama Datuk Marajo Sati melompat dari satu batu ke batu lain hingga akhirnya dia sampai di depan pintu batu. Di sini dia memberi salam disusul ucapan.
"Inyiek Sukat Tandika, saya Datuk Marajo Sati ingin bertemu dengan Inyiek. Semoga Inyiek ada baik-baik saja dalam lindungan Yang Maha Kuasa." (Inyiek = Orang sangat tua yang sudah sepuh dan dihormati)
Belum lenyap suara gema ucapan Datuk Marajo Sati, dari arah pintu batu tiba-tiba melesat keluar seorang kakek berpakaian selempang kain putih, berpenampilan dahsyat. Wajah tidak berdaging nyaris seperti tengkorak. Tubuh yang kurus kering hanya tinggal kulit pembalut tulang. Kepala berambut putih setengah sulah, kumis dan janggut putih melambai-lambai ditiup angin gunung. Sepasang rongga mata sangat cekung, angker.
Walau keadaannya sangat sepuh seperti itu namun kakek ini sikapnya tampak masih gagah dan gerakannya gesit. Setelah menatap Datuk Marajo sati seketika, si kakek tertawa gelak-gelak lalu kembangkan tangan. Kedua orang itu saling berangkulan.
"Berpuluh tahun tidak berjumpa. Kau tiba-tiba saja dibawa Tuhan datang ke Gunung Kerinci ini! Ha ha! Pasti kau tidak sembarangan datang. Pasti ada maksud di hati dan tujuan dalam pikiran. Sahabat muda Datuk Marajo Sati, mari kita masuk ke dalam."
"Inyiek, saya lebih suka kita bicara di sini saja. Karena saya tidak ingin mengganggumu berlama-lama. Apakah nenek Sabai Nan Rancak ada di dalam?"
Sabai Nan Rancak adalah istri Tua Gila yang sejak peristiwa Gerhana Di Gajah Mungkur kembali ke Pulau Andalas dari tanah Jawa dan keduanya menetap di Gunung Kerinci. Sukat Tandika tersenyum.
"Kalau hari panas seperti ini, perempuan itu suka pergi menyejukkan diri di telaga. Jika kau ingin bertemu mari kita datangi dia di telaga. Tak jauh dan sini."
"Terima kasih. Sebaiknya lain kali saja saya menemui beliau. Inyiek Sukat Tandika, ada satu hal sangat penting yang membawa saya menemui Inyiek di tempat ini."
Si kakek bermuka seperti tengkorak tersenyum dan anggukkan kepala. "Sampaikan maksudmu. Aku ingin cepat-cepat mendengar."
Siapakah kakek yang diam di goa batu di lereng Gunung Kerinci dan tengah ditemui Datuk Marajo Sati ini? Para penggemar dan pecinta serial cerita silat Wiro Sableng tentu tidak akan lupa. Sukat Tandika adalah nama asli dari Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati alias Iblis Gila Pencabut Nyawa, salah seorang dedengkot rimba persilatan dari Pulau Andalas yang telah mengembara sampai ke tanah Jawa dan merupakan salah seorang dari beberapa guru Pendekar 212 Wiro Sableng.
(Tokoh silat ini muncul pertama kali dalam serial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah Di Tambun Tulang. Bagi pembaca yang ingin mengetahui berbagai kisah riwayat Tua Gila dapat mengikuti dan membaca dalam serial berjudul Tua Gila Dari Andalas, Asmara Darah Tua Gila, Lembah Akhirat, Pedang Naga Suci 212, Jagal Iblis Makam Setan, Utusan Dari Akhirat, Liang Lahat Gajah Mungkur, Rahasia Cinta Tua Gila, Wasiat Malaikat, Dendam Dalam Titisan dan Gerhana Di Gajah Mungkur)
"Inyiek," kata Datuk Marajo Sati pula, "terlebih dulu saya minta maaf kalau kedatangan saya mengganggu ketenteramanmu. Kemudian saya juga mohon maaf kalau apa yang akan saya sampaikan kurang berkenan dihatimu."
"Katakan saja... katakan saja sahabatku muda." Jawab Sukat Tandika alias Tua Gila. Walau Datuk Marajo Sati bicara dengan suara rendah namun Tua Gila maklum seperti ada sesuatu yang siap meledak dari dalam diri Sang Datuk.
"Kalau tidak salah saya mengingat, bukankah Inyiek pernah mempunyai seorang murid berasal dari tanah Jawa. Bernama Wiro."
"Ah... Anak itu yang kau tanyakan! Kau tahu, gurunya si nenek sakti Sinto Gendeng selalu menyebutnya dengan panggilan Anak Setan. Sahabatku muda Datuk Marajo Sati, mengapa kau menanyakan perihal anak itu?"
Datuk Marajo Sati perhatikan wajah menyerupai tengkorak di hadapannya. Ucapan pertanyaan tadi polos-polos saja. Tidak ada kepura-puraan. "Inyiek, apakah Inyiek tahu kalau muridmu itu saat ini berada di tanah Minang?"
Tua Gila gelengkan kepala.
"Jadi sebagai murid dia tidak mengunjungi Inyiek?"
Kembali Tua Gila gelengkan kepala lalu berkata. "Soal dia tidak mengunjungi diriku bukan satu kekecewaan bagiku. Anak muda seperti dia, kalau pergi kemana dia suka. Sebentar ada di timur. Lain waktu ada di barat. Lain kejap muncul di utara atau di selatan atau dibelahan bumi mana saja yang disukainya. Yang lebih penting bagiku adalah kemana dia pergi berbuat kebajikan sesuai dengan ilmu kepandaian yang dimilikinya." Si kakek ucap janggut putihnya. Lalu bertanya. "Apa sahabat muda Datuk Marajo Sati telah bertemu dengan dia?"
"Betul Inyiek. Bukan hanya sekedar bertemu. Ada masalah yang dibawanya di tanah Minang ini."
Kening tak berdaging Tua Gila masih bisa berkerut. Rongga mata tampak semakin cekung. "Masalah? Anak setan itu membawa masalah di tanah Minang? Gila betul kalau dia berani kurang ajar di negeri ini. Coba kau ceritakan padaku sejelas-jelasnya!"
Datuk Marajo Sati lalu menceritakan hal ihwal Pendekar 212 mulai dari penyusupannya ke dalam goa di Ngarai Sianok sampai pada senjata rahasia berbentuk bintang empat. Lalu juga mengenai Kematian Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit.
Tua Gila geleng-gelengkan kepala. "Kalau anak itu berani menyusup ke tempat kediamanmu, benar-benar kurang ajar. Tapi aku yakin kalau dia melakukan hal itu pasti tidak sengaja atau ada sesuatu yang jadi alasannya."
"Saya tidak tahu apa alasannya, Inyiek." Jawab Datuk Marajo Sati tanpa mau memberi tahu perihal kupu-kupu giok. "Ada satu hal lagi. Dia mengatakan bahwa dia berada di tanah Minang karena ada pesan dan amanat dari seseorang. Akan terjadi satu perkara besar di negeri ini. Dia merasa sebagai pendekar besar dan hebat Karena inyiek gurunya, apakah Inyiek yang memberi pesan dan amanat itu?"
"Aku tidak pernah memberi pesan dan amanat. Seperti kataku tadi anak itu tidak pernah mengunjungiku."
"Kalau begitu lalu siapa?" tanya Datuk Marajo Sati dengan nada datar seperti tak percaya. "Apa dia punya guru yang lain di negeri Ini?"
"Onde, mana aku tahu!" jawab Tua Gila. Dia ingat pada Datuk Rao Basaluang Ameh yang diketahuinya juga adalah guru dari Wiro. Namun tidak banyak para tokoh di tanah Minang yang mengetahui hal itu. Mereka mengganggap Datuk Rao Basaluang Ameh sesuai dengan cerita yang tersebar telah meninggal dunia seratus tahunan silam. Tapi Tua gila tidak mau memberi tahu perihal orang sakti yang dianggap setengah Dewa itu pada Datuk Marajo Sati. (Onde = Aduh)
"Saya sempat memberi peringatan pada murid Inyiek itu. Kalau dia masih berani berkeliaran di sekitar Ngarai Sianok maka saya akan mengganggapnya sebagai musuh."
"Ah... walau perangainya terkadang kurang ajar dan sering bertindak seperti orang gila, tapi seharusnya kau tidak perlu mengeluarkan ucapan seperti itu. Aku tetap berpendapat, setiap melakukan sesuatu muridku pasti punya alasan. Datuk Marajo Sati, apakah kau tidak terlupa mengatakan sesuatu?"
"Sesuatu apa Inyiek?" balik bertanya sang Datuk.
"Aku merasa kau menyembunyikan sesuatu..." Jawab Tua Gila.
Datuk Marajo Sati tutup perubahan wajahnya dengan tersenyum. Tua Gila kembali membuka mulut. "Jika muridku mengatakan akan terjadi satu perkara besar di negeri ini, maka itu bukan pandainya dia yang bicara. Tapi pasti ada yang memberi tahu memberi petunjuk. Siapa orangnya tidak perlu dijadikan masalah Yang jelas kelak apa yang dikatakannya akan menjadi kenyataan. Kurasa kau sudah bisa menduga hal itu. Kau sudah memaklumi..."
"Bagaimana kalau dia sendiri yang menimbulkan perkara itu Inyiek? Datuk tahu, sekarang kabarnya dia berteman dengan seorang pemuda tukang intai anak gadis orang mandi..."
"Apa?" Tua Gila tertawa gelak-gelak sampai keluarkan air mata. "Muridku belum segila itu berani berbuat kurang ajar ikut-ikutan mengintip anak perawan mandi. Tapi mengintai anak gadis mandi itu satu pekerjaan asyik! Ha ha ha..."
"Inyiek. waktu saya tidak lama. Bolehkah saya meminta bantuan Inyiek?"
"Dangan senang hati Datuk. Katakan bantuan apa yang akan kau minta dari ku."
"Saya ingin Inyiek mencari murid Inyiek itu. Jika bertemu perintahkan dia untuk meninggalkan negeri ini. Pulang kembali ke tanah Jawa."
Tua Gila terdiam lalu tersenyum. "Itu yang tidak bisa aku lakukan Datuk. Di bumi ciptaan Allah ini setiap insan boleh pergi kemana dia suka. Tapi kalau memang muridku punya pekerjaan salah, tanpa kau mintapun bisa kutanggalkan kepalanya.
"Bagaimana Inyiek bisa berkata begitu kalau Inyiek sendiri tidak beranjak dari sini, tidak mau mencari dan menemuinya?"
"Datuk, begini saja kita bicara. Kau saja yang mencari anak itu. Bawa dia ke hadapanku. Kalau dia memang terbukti bersalah telah membuat keonaran, apa lagi sampai membunuh orang tak berdosa di negeri ini tak usah banyak cakap. Saat itu juga akan kutamatkan riwayatnya."
"Kalau begitu kata Datuk, saya merasa tidak perlu susah-susah membawanya ke hadapan Datuk. Biar saya habisi saja dia pada saat bertemu."
Mulut Tua Gila terbuka ternganga. Lalu tokoh silat Ini tertawa mengekeh. "Datuk Marajo Sati. Jangankan satu kali. Sepuluh kalipun kau boleh membunuh anak itu. Tapi kalau dia mati dalam keadaan tidak bersalah tidak berdosa, apa kau bisa menggadaikan nyawamu sendiri padaku?"
Wajah Datuk Marajo Sati berubah kemerahan.
"Datuk, kau tokoh terpandang di ranah Minang. Jangan sampai kesalahan tangan..."
"Justru karena saya seorang tokoh maka saya merasa bertanggung jawab atas keamanan di negeri ini..."
"Menjaga keamanan bukan berarti bekerja tanpa menyelidiki tanpa otak!" tukas Tua Gila dengan ketus.
Datuk Marajo Sati jadi panas. Dalam hati dia berkata. "Kalau gurunya seperti ini bagaimana muridnya. Tua Gila, apa aku tidak tahu cerita riwayat dirimu di masa lalu. Kau pernah membunuh hampir tiga ratus manusia ketika kau patah hati karena ditinggal Sinto Gendeng..."
Seolah tahu orang merasani dirinya Tua Gila bertanya. "Datuk, apa yang ada di benakmu?"
Datuk Marajo Sati tidak menjawab. Tua Gila bertanya lagi. "Datuk, apa yang ada di hatimu?!"
"Inyiek, cukup sampai di sini kita bicara. Lebih kurangnya kita lihat saja apa kelak yang akan terjadi..."
Ucapan Sang Datuk oleh Tua Gila terasa terlalu berkelebihan kalau tidak mau dikatakan sombong. Sebaliknya dalam hati yang masih panas Datuk Marajo Sati yang sudah lama mendengar berbagai cerita hebat tentang ilmu kesaktian kakek satu ini diam-diam ingin menjajal. Sambil bangkit berdiri dia membungkuk memberi hormat. Tapi dua tangan pura-pura merapikan sorban. Dari dalam sorban itu melesat keluar sambaran angin yang mampu membuat seseorang tidak bisa bergerak selama setengah hari.
Tanpa banyak bicara lagi Datuk Marajo Sati tinggalkan tempat itu. Di atas sebuah batu dia buka sorbannya. Sorban mengapung di udara. Datuk Marajo Sati, melompat dan berdiri di atas sorban. Sesaat kemudian Datuk pimpinan para Datuk Luhak Nan Tigo itu telah melesat terbang di udara.
Tak lama setelah Datuk Marajo Sati lenyap di langit tinggi Tua Gila tertawa mengekeh. "Orang pandai hendak mengerjai diriku dengan sorban sakti. Melancarkan serangan ilmu pembungkam tubuh bernama Meniup Dua Belas Jalan Darah. Hik hik hik. Aku cuma merasa seperti kesemutan!" Sambil terus tertawa kakek yang punya nama besar dalam rimba persilatan ini bangkit berdiri lalu berlari ke arah telaga guna menemui istrinya Sabai Nan Rancak.
********************
Masih jauh dari Ngarai Sianok, Datuk Marajo Sati tidak bisa menahan kencing yang sudah terasa sejak tadi. Ketika melihat ada sungai kecil di bawah sana, dengan cepat Sang Datuk menukikkan sorbannya ke bawah. Setelah mencari tempat yang baik dan terlindung Datuk Marajo Sati singsingkan jubah putihnya ke atas. Tapi alangkah terkejutnya dia ketika mendapatkan tubuhnya mulai dari pinggang sampai ke lutut telah dilibat sejenis benang sangat halus, nyaris tidak terasa dan tidak terlihat mata.
"Benang Kayangan. Kapan dia melakukannya...?" ucap Datuk Marajo Sati dengan suara bergetar.
Benang Kayangan. itulah senjata milik Tua Gila yang merupakan salah satu keajaiban rimba persilatan. Tidak sembarang orang atau benda tajam bisa memutuskan benang sakti itu.
Dalam keadaan kelabakan karena tidak bisa membuka pakaian, tidak mampu memutus benang sakti yang melilit setengah tubuhnya Datuk Marajo Sati akhirnya melompat masuk ke dalam sungai kecil dan pancarkan kencingnya di dalam air sungai. Sang Datuk sadar. Dalam hati dia mengucap.
"Astagafirullah. Aku telah berlaku congkak. Di atas langit masih ada langit lagi...!"
********************
BAB SEBELAS
Tepian barat Danau Maninjau tak jauh dari Muko Muko. Angin danau bertiup sejuk. Ki Bonang Talang Ijo tampak gelisah. Dia melangkah mundar mandir di depan sekumpulan Batu Tagak. (Batu Tagak = Batu Berdiri - Batu Prasasti) Sebantar-sebantar orang tua berjubah hijau memandang ke langit. Sang surya semakin tinggi. Siap menggelincir ke ufuk tenggelamnya.
"Kita hanya tinggal menunggu Perwira Muda Teng Sien, dua bersaudara Si Kamba Tangan Manjulai dan Duo Hantu Gunuang Sago Si Kalam Langit. Heran, matahari sudah tinggi begini mereka belum juga muncul.”
Orang-orang yang ada bersama si kakek di tempat itu tampak juga sudah tidak sabar. Mereka adalah Duo Hantu Gunuang Sago Si Batu Bakilek yang tangannya diganjal pelepah daun kelapa dan dibalut akibat cidera berat sewaktu dihajar Datuk Panduko Alam, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, tiga orang anak buah Teng Sien dan seorang lelaki separuh baya membekal pedang dikenal dengan nama Tuanku Laras Muko Balang. Orang ini memiliki wajah aneh, ditumbuhi bulu. Bulu di sebelah kanan wajah berwarna hitam, di sebelah kiri berwarna putih.
Tuanku Laras Muko Balang cabut pedang besar yang terselip di pinggang. Senjata yang terbuat dari perak murni ini memantulkan cahaya menyilaukan begitu tertimpa sinar matahari, konon berasal dari negeri Arab. Setelah merenung sejenak sambil pejamkan mata dia sarungkan pedang perak itu kembali. Sewaktu hendak dimasukkan ke sarung, ujung pedang tampak bergetar.
"Aku mendapat firasat buruk. Sesuatu terjadi dengan beberapa sahabat kita." Berucap Tuanku Laras Muko Balang.
Baru saja ucapan Tuanku Laras berakhir tiba-tiba di kejauhan kelihatan beberapa orang berkelebat. Di depan sekali Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. Nenek ini berlari sambil memanggul saudaranya Si Kamba Pesek Tangan Manjulai. Seperti diketahui nenek satu ini menderita cidera cukup parah, berpatahan tulang-tulang iganya kiri kanan akibat dihantam Datuk Panduko Alam ketika terjadi pertarungan di Bukit Malintang.
Di samping si nenek berlari Perwira Muda Teng Sien. Larinya tak kalah cepat namun dua kaki tampak terhengkang-hengkang seolah ada yang mengganjal di bawah perutnya. Cara lari Teng Sien yang seperti ini tidak lain akibat hantaman potongan bambu yang dilemparkan Pendekar 212 Wiro Sableng ke bagian bawah perutnya.
Ki Bonang Talang Ijo segera menyambut kedatangan orang-orang ini. Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek usap kepala botak berkilatnya dan bertanya mana kakaknya Si Langit Kalam. Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai lebih dulu sandarkan Si Kamba Pesek ke sebuah batu tagak baru menerangkan dengan suara perlahan kalau Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit telah menemui ajal dibunuh orang. Semua orang yang ada di tempat itu melengak kaget Si Batu Bakilek menggerung keras. Lupa dia akan cidera di tangan kanan, orang ini melompat bangkit dan mencekal keras-keras tangan Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
"Siapa yang membunuh saudaraku? Katakan bagaimana kejadiannya? Dimana jenazahnya sekarang?!"
Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai lalu menuturkan apa yang diketahuinya. "Aku, Perwira Teng Sien dan Si Kalam Langit berhasil menemui pemuda asing yang aku lihat dalam tarak. Pemuda itu ternyata berasal dari Jawa. Dia bersama Malin Kapuyuak yang malam sebelumnya dihantami orang sedusun karena ketahuan mengintai anak gadis orang mandi di pancuran. Karena Malin keparat itu mengeluarkan ucapan menghina diriku, maka hendak kucabik mulutnya. Tapi pemuda Jawa yang mengaku bernama Wiro itu menolongnya. Ternyata dia memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Aku tak tahu ilmu setan apa yang dimilikinya. Dua tangannya bergerak dan tiba-tiba saja sekujur tubuhku kaku tak bisa bergerak..." Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai tentu saja tidak mau dan merasa malu besar menceritakan bagaimana Wiro telah memeluk, mencium dan mengecupnya.
"Itu ilmu Mancucuk Raga Membungkam Badan. Berasal dari negeri Cina..." Kata Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
"Di tanah Jawa dikenal dengan nama ilmu totokan." Menjelaskan Ki Bonang Talang Ijo. Lalu kakek ini minta Si Kamba Mancuang meneruskan cerita.
Si nenek lanjutkan keterangan. "Pemuda asing itu menghantam Perwira Teng Sien tepat pada barang terlarangnya dengan potongan bambu hingga jatuh pingsan."
Tahu kalau dirinya tengah dibicarakan Teng Sien lalu berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk bagian bawah perutnya.
"Si Kalam Langit mengejar anak kurang ajar bernama Malin Kapuyuak. Aku baru tahu apa yang kemudian terjadi dengan Si Kalam Langit setelah menjelang siang totokan ditubuhku lepas." Si nenek manatap sebentar ka arah Si Batu Bakilek baru meneruskan ucapan. "Di satu tempat tak jauh dari psaawahan aku menemukan kakakmu Si Kalam Langit telah menemui ajal. Ada dua lobang besar di kening dan di pangkal lehernya. Agaknya dia dihabisi dengan senjata terbang"
Duo Hantu Gunung Sago Batu Bakilek kembali berteriak keras, menendang kian kemari saking marahnya. Sebuah batu tegak hancur berantakan kena tendangan.
"Aku bermaksud mangurus jenazah Si Kalam Langit walau adikku juga dalam keadaan masih cidera. Namun kemudian muncul penduduk dusun terdekat. Mereka membawa keranda mayat. Menurut orang-orang itu mereka tahu ada mayat di tempat itu dari Datuk Marajo Sati. Datuk itu juga meminta agar Jenazah dimakamkan di tempat yang baik satelah lebih dulu dimandikan dan disembahyangi..."
"Datuk Marajo Sati..." ucap Duo Hantu Gunung Sago Batu Bakilek. "Aku menduga, jangan-jangan Datuk itu yang membunuh saudaraku. Aku akan mencarinya. Jika terbukti memang dia pelakunya akan kupecahkan kepalanya! Aku tidak takut. Aku tidak perduli Ilmunya tinggi! Aku tidak perduli dia pimpinan para Datuk Luhak Nan Tigo. Akan kucincang tubuhnya sampai lumat!"
"Hal itu bisa sama-sama kita selidiki, tapi tidak sekarang. Ada urusan yang lebih penting. Mencari kupu-kupu giok pusaka utama Kerajaan Tiongkok yang harus segera berada di tangan Kaisar." Yang berkata adalah Ki Bonang Talang Ijo.
Orang tua berjubah dan berbelangkon hijau ini tidak begitu tertarik untuk menyelidiki dan mencari pembunuh Si Kalam Langit. Urusan lebih penting adalah menemukan kupu-kupu batu giok yang akan memberi tambahan hadiah batangan-batangan emas. Menyelidiki kematian Si Kalam Langit baginya tidak ada guna selain membuang waktu.
Mendengar ucapan Ki Bonang Talang Ijo. amarah Duo Hantu Gunung Sago jadi meledak. Sambil menunjuk tepat-tepat ke muka si kakek, lelaki tinggi besar berkepala botak ini berteriak lantang. "Kau boleh tidak perduli dengan Si Kalam Langit karena dia bukan saudaramu! Bukan darah dagingmu. Kau boleh tidak mau menyelidik dan mencari pembunuh kakakku karena kau lebih suka pada upah besar batangan emas. Aku katakan pada kalian. Soal kupu-kupu giok itu silahkan kalian urus sendiri. Pergi! Lindang hapus kalian semua..." (Lindang hapus = Pergi dan jangan kembali lagi)
Habis berkata begitu Si Batu Bakilek hentakkan kaki hingga tanah bergetar ialu tinggalkan tempat itu. Perwira Muda Teng Sien berteriak-teriak mengatakan sesuatu. Yang mengerti bahasanya hanya Ki Bonang Talang Ijo. Maka kakek ini segera memanggil Si Batu Bakilek.
"Batu Bakilek. Perwira Muda ini tidak suka kau meninggalkan rombongan. Kalau kau memaksa pergi katanya kau harus mengembalikan tiga batangan emas yang sudah kau terima!"
Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek hentikan langkah. Berpaling dan memandang melotot ke arah Ki Bonang Talang Ijo, lalu meludah ke arah Perwira Muda Teng Sien. "Ki Bonang! Katakan pada orang Cino itu. Kalau dia minta kembali tiga batangan emasnya, aku akan kembalikan. Akan aku bungkus baik-baik. Bukan cuma tiga batang yang akan kau kembalikan. Tapi sepuluh. Tapi yang akan aku kembalikan adalah batangan langek". (langek = kotoran manusia) Si Batu Bakilek meludah sekali lagi ke arah Teng Sien lalu lanjutkan langkah.
Melihat ini Teng Sien berteriak pada tiga anak buahnya. Tiga anggota pasukan Kerajaan Tiongkok itu segera mencabut golok dan tanpa banyak bicara langsung menyerang SI Batu Bakilek!
Ki Bonang Talang Ijo berteriak mencegah saling serang di antara anggota rombongan tapi terlambat. Di depan sana walau tangan kanannya cidera, Si Batu Bakilek masih bisa pergunakan tangan kiri. Sekali dia melepas pukulan tangan kosong, dari tangan yang hitam berbulu itu melesat keluar selarik angin berwarna hitam. Dua anak buah Teng Sien terpental, jatuh terduduk muntah darah lalu tergelimpang tak bernyawa lagi. Yang ke tiga masih sempat selamatkan diri walau terjengkang di tanah.
Teng Sien menggembor marah. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan Si Batu Bakilek. Langsung kirimkan tabasan ke leher orang. Si Batu Bakilek cepat menghindar. Golok berbalik kali ini membabat ke arah pinggang.
"Breettt!" Masih untung bukan perutnya yang jebol tapi hanya baju hitam Si Batu Bakilek yang robek besar.
"Hentlkan! Kalian berdua sudah kemasukan setan!" Teriak Ki Bonang Talang Ijo. Kakek ini tanggalkan belangkon hijaunya lalu dikibaskan ke arah dua orang yang sedang bertarung. Saat itu Juga baik Si Batu Bakilek maupun Teng Sien sama-sama merasa tubuh mereka menjadi lemas. Seperti lumpuh keduanya jatuh terduduk di tanah.
Ki Bonang Talang Ijo dekati kedua orang ini. Setelah bahu masing-masing ditepuk keduanya baru bisa bangkit berdiri kembali. Ki Bonang mengatakan sesuatu pada Perwira Muda Teng Sien lalu berpaling pada Si Batu Bakilek.
"Kau memberi malu saja! Menerima hadiah tapi tidak mau bekerja. Kalau kau mau pergi silahkan saja. Aku tidak butuh orang sepertimu. Kau tak usah mengembalikan tiga batang emas yang sudah kau terima. Makan sampai perutmu gembung dipenuhi racun kecurangan!"
Sepasang mata besar Duo Hantu Gunung Sago berkilat-kilat dan tampak membersitkan cahaya merah menyerupai buah sago. "Ki Bonang, kalaupun kau berada di tanah Jawa tidak pantas kau berkata menyumpah seperti itu. Apa lagi saat ini kau berada di negeri orang. Aku tidak akan melupakan semua ucapanmu tadi. Lebih cepat kau meninggalkan tanah Minang ini akan lebih baik. Kalau tidak kelak aku akan mencarimu untuk memberikan sekedar pelajaran bagaimana tata cara bicara yang sopan. Atau kau minta kuberi pelajaran sekarang juga?! Bagiku kematian bukan apa-apa. Tapi kau pasti takut mati karena tidak akan mendapatkan harta. Padahal kalau kau mampus masih untung jika ada yang membungkus jenazahmu dengan kain kafan! Atau kau kira akan mati membawa batangan emas celaka keparat itu?"
Sambil keluarkan ucapan keras Si Batu Bakilek angkat tangan kirinya, dipantang di depan dada. Tangan besar hitam berbulu itu memancarkan cahaya hitam redup pertanda orang kedua dari Duo Hantu Gunung Sago ini siap melancarkan pukulan bernama Pukulan Batu Beracun yang tadi sudah memakan dua korban anak buah Teng Sien. Walau hatinya panas sekali namun Ki Bonang Talang Ijo masih bisa menindih amarahnya yang hampir meledak.
"Aku siap menerima pelajaran sopan santun darimu. Datanglah kapan saja..." ucap si kakek.
Si Batu Bakilek menyerang. "Kau takut menghadapiku saat ini. Ha ha!" Si Batu Bakilek tertawa mengejek. Sambil tudingkan telunjuk tangan kiri ke arah kepala Ki Bonang Talang Ijo dia berkata. "Kakek keparat kau harus ingat satu hal. Dan kami semua orang di ranah Minang ini juga akan mengingat baik-baik dan jelas-jelas Kau yang datang menimbulkan perkara dan malapetaka di negeri ini dengan membawa manusia-manusia asing itu. Kau kelak harus menebus dosa kesalahanmu dengan guyuran darahmu sendiri..."
Selesai bicara lantang Si Batu Bakilek segera memutar tubuh. Sebelum dia sempat melangkah tiba-tiba sebuah benda putih melesat di udara dan menancap di tanah antara Si Batu Bakilek dan Ki Bonang Talang ijo. Kedua orang ini saling pandang seketika. Si Batu Bakilek bergerak lebih dulu mencabut benda yang menancap di tanah. Benda itu ternyata adalah secarik kain putih yang digulung pada sebatang potongan bambu.
Dengan tangan kirinya Si Batu Bakilek buka gulungan kain putih, di atas kain putih ada serangkai tulisan. Walau tulisannya jelek tapi cukup jelas untuk dibaca. Setelah membaca apa yang tertulis di kain putih Si Batu Bakilek menyeringai lalu campakkan kain dan bambu ke tanah. Tanpa banyak bicara ataupun menoleh dia tinggalkan tempat itu.
Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai yang berada agak jauh ulurkan tangan kiri hingga menjadi panjang lalu mengambil kain dan bambu. Kain dikembang. Mulut berkomat kamit terpencong-pencong mulai membaca apa yang tertulis di atas kain putih.
"Kalau mau tahu siapa pembunuh Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit, orangnya adalah pemuda Jawa berambut panjang, bernama Wiro, berjuluk Pendekar 212 Wiro Sableng..."
S E L E S A I
Siapakah yang telah menyerang Pendekar 212 sewaktu keluar dari goa kediaman Datuk Marajo Sati. Siapa pula yang telah membunuh Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit?
Mampukah Datuk Marajo Sati menyelamatkan Puti Bungo Sekuntum dari kejaran Ki Bonang Talang Ijo dan Perwira Muda Teng Sien?
Siapa perempuan yang telah menghalangi dan membunuh Si Kalam Langit hingga tidak Jadi mengejar Malin Kapuyuak?
Siapa pembuat dan pengirim kain bersurat yang memfitnah Pendekar 212 sebagai pembunuh Si Kalam Langit?
Ikuti episode berikutnya berjudul: