LENTERA IBLIS
BAB 1
PAGI itu Patih Kerajaan Sawung Giring Bradjanata baru saja selesai sarapan. Dia akan segera berangkat menuju Keraton untuk menemui Sri Baginda. Banyak hal penting yang akan dibicarakan. Salah satu diantaranya menyangkut gerakan orang-orang yang menamakan diri dan mengaku berasal dari Keraton Kaliningrat. Saat keluar dari ruang makan seorang pengawal datang memberi tahu bahwa Danang Kaliwarda, kepala pengawal Gedung Bendahara ingin menghadap.
“Danang Kaliwarda...” Patih Kerajaan menyebut nama itu. “Aku pernah melihatnya beberapa kali. Tapi tak pernah bertegur sapa. Pengawal, apa kau tanyakan maksud kedatangannya?”
“Memang ada saya tanyakan. Katanya ada hal sangat penting ingin disampaikan. Namun dia hanya mau bicara langsung dengan Kanjeng Patih,” menerangkan pengawal Gedung Kepatihan.
Setelah berpikir sebentar Patih Kerajaan akhirnya berkata pada pengawal. “Aneh juga. Kalau ada sesuatu urusan penting seharusnya Bendahara Wira Bumi yang datang menghadap. Kepala Pengawal itu datang seorang diri atau ada yang menemani?”
“Dia datang seorang diri, Kanjeng Patih.”
“Baiklah, suruh dia menunggu di pendopo sebelah timur. Suguhkan kopi jika dia belum sarapan. Aku akan segera menemuinya.”
Gedung Kepatihan memiliki dua buah pendopo. Pendopo besar di sebelah barat, pendopo ke dua di sebelah timur, lebih kecil dan memiliki dua dinding penutup terbuat dari papan jati berukir pemandangan gunung Merapi. Di tempat ini Patih Kerajaan biasanya menemui tamu-tamu tertentu. Danang Kaliwarda yang duduk bersila di lantai batu pualam bersih dan licin berkilat cepat-cepat berdiri begitu Patih Sawung Giring Bradjanata muncul, melangkah menaiki anak tangga pendopo timur.
“Hormat untuk Patih Kerajaan. Saya Danang Kaliwarda, Kepala Pengawal Gedung Bendahara.” Danana Kaliwarda berucap lalu membungkuk dalam-dalam.
Patih Kerajaan menyilahkan tamunya duduk kembali. Keduanya kemudian bersila berhadap-hadapan. Seorang pelayan datang menating secangkir kopi hangat, diletakkan di depan Danang Kaliwarda.
“Danang Kaliwarda, waktuku tidak banyak karena harus segera menghadap Sri Baginda. Ceritakan apa maksud kedatanganmu. Apakah Bendahara Wira Bumi yang mengutusmu datang menghadapku? Sebelum kau menjawab silahkan meneguk kopi lebih dulu.”
“Terima kasih Kanjeng Patih. Saya minum.” Selesai meneguk kopi hangat Kepala Pengawal Gedung Bendahara itu meluruskan duduknya lalu berkata. “Kanjeng Patih, saya mohon maaf kalau kedatangan saya begini mendadak, apa lagi sampai mengganggu dan menyita waktu Kanjeng Patih. Saya datang dengan kemauan sendiri. Tidak diutus oleh Raden Mas Wira Bumi.”
Sawung Giring Brajanata mengangguk. “Langsung saja pada maksud kedatanganmu.”
“Saya datang untuk menyampaikan satu hal yang sangat rahasia, Kanjeng Patih.”
Patih Kerajaan angkat kepala sedikit, dua mata menatap lekat-lekat ke wajah tamunya. “Satu hal yang sangat rahasia katamu. Bagiku ini agak mengejutkan. Hal sangat rahasia macam apa? Menyangkut pribadi atau ada hubungannya dengan Kerajaan?”
“Dua-duanya, Kanjeng Patih,” jawab Danang Kaliwarda. “Terlebih dulu saya mohon maaf. Kejadiannya berlangsung kemarin malam. Terjadi di halaman belakang gedung kediaman Kanjeng Bendahara. Semula saya merasa bimbang apakah akan memberitahu hal ini pada Kanjeng Patih atau tidak. Kalau saya memberi tahu berarti saya melangkahi atasan saya Raden Mas Wira Bumi. Kalau saya tidak memberi tahu sebagai seorang prajurit saya merasa berdosa pada Kanjeng Patih dan Kerajaan...”
Patih Kerajaan berusia enam puluh tahun tapi masih berwajah segar dan klimis usap dagunya yang ditumbuhi janggut halus dan rapi. “Teruskan ceritamu, Danang Kaliwarda.”
“Malam itu gedung kediaman Bendahara kedatangan tamu seorang lelaki tinggi kurus dengan penampilan serba merah mulai dari rambut sampai ke kaki. Walau dia tidak menyebut nama namun Saya tahu siapa dia karena sebelumnya sudah pernah datang menemui Raden Mas Wira Bumi. Orang itu saya kenal dengan nama Eyang Tuba Sejagat. Pada kedatangannya yang kedua kali ini saya lihat ada sesuatu yang terjadi dengan tubuhnya sebelah luar dan sebelah dalam. Agaknya dia menderita luka dalam parah. Seperti mengalami keracunan yang sangat hebat. Mungkin saya menyalahi adat, namun entah mengapa saya begitu ingin mengetahui apa yang dibicarakan sang tamu dengan Raden Mas Wira Bumi. Ternyata kecurigaan saya ada hikmahnya. Rupanya, sebelumnya Raden Mas Wira Bumi telah memberi tugas pada Eyang Tuba Sejagat untuk membunuh dengan cara meracuni seorang Kiai yang diam di puncak Gunung Gede bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas....”
Sikap dan air muka Patih Kerajaan langsung berubah mendengar ucapan Danang Kaliwarda itu. “Kiai Gede Tapa Pamungkas adalah seorang suci berilmu tinggi yang dianggap setengah Dewa. Dia banyak membantu Kerajaan. Kalau ada orang jahat ingin membunuhnya pasti ada satu masalah besar dibalik perbuatan keji itu. Danang, teruskan keteranganmu.”
“Ternyata Eyang Tuba Sejagat gagal melaksanakan tugas. Dua pembantunya tewas. Dia malah dicekoki Racun Akar Bumi miliknya sendiri oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas. Untuk mengobati dirinya yang keracunan dia harus membeli obat dari seorang tabib. Obat itu mahal sekali. Eyang Tuba Sejagat minta agar Raden Mas Wira Bumi mau memberikan sejumlah uang. Dia berjanji kalau sudah sembuh akan segera melaksanakan tugas berikutnya.” Sampai di situ Danang Kaliwarda tidak meneruskan ucapan, dia menatap sang patih dengan bayangan rasa takut pada wajahnya.
“Kepala Pengawal, kau kelihatan seperti bimbang atau takut meneruskan ucapan...”
“Maafkan saya Kanjeng Patih. Terus terang saya memang merasa takut karena apa yang hendak saya katakan menyangkut langsung diri Kanjeng Patih.”
“Katakan saja. Mengapa harus takut?”
“Tugas berikut yang dikatakan oleh Eyang Tuba Sejagat itu adalah membunuh Kanjeng Patih.” Walau suaranya agak bergetar meluncur juga ucapan itu dari mulut Danang Kaliwarda.
Sosok Patih Kerajaan seolah berubah menjadi patung, diam tak bergerak. Air mukanya berubah. Namun sesaat kemudian seringai muncul di wajahnya. “Apakah ucapanmu bisa aku percaya Danang Kaliwarda?”
“Demi Gusti Allah saya bersumpah saya tidak berdusta.”
“Kalau begitu lanjutkan ceritamu. Apa yang terjadi kemudian?”
“Raden Mas Wira Bumi tidak memberi uang yang diminta. Malah Eyang Tuba Sejagat dibunuh. Kepalanya dipukul hingga rengkah!”
“Dengan tangan kosong?”
“Betul Kanjeng Patih. Raden Mas Wira Bumi menghabisi Eyang Tuba Sejagat dengan pukulan tangan kosong. Tangan kanan.” Jawab Danang Kaliwarda sambil mengepal dan mengangkat tangan kanannya sendiri.
“Ceritamu hebat! Luar biasa! Tapi tunggu dulu. Setahuku Bendahara Wira Bumi tidak memiliki ilmu pukulan tangan kosong yang sanggup membuat rengkah kepala orang. Kau berdusta padaku, Danang Kaliwarda!” Patih Kerajaan berkata dengan mata menatap tak berkesip ke mata orang di hadapannya.
Danang Kaliwarda susun sepuluh jari di atas kepala. “Saya mana berani berdusta Kanjeng Patih. Saya sudah mengucapkan sumpah. Mungkin Kanjeng Patih tidak tahu kalau beberapa waktu belakangan ini Raden Mas Wira Bumi telah menuntut ilmu kesaktian pada seorang sakti di pantai selatan.”
“Yang aku tahu Wira Bumi pernah minta waktu istirahat cukup lama. Katanya untuk mengobati penyakit yang diidapnya. Rupanya dia berguru pada seseorang. Kau tahu siapa orang sakti yang jadi gurunya itu?”
“Saya tidak tahu. Ada seorang pembantu yang dulu pernah bekerja pada Raden Mas Wira Bumi sewaktu dia masih menjadi Tumenggung. Pembantu itu bernama Djaka Tua. Kabarnya dia yang tahu siapa adanya guru Raden Mas Wira Bumi. Hanya sayang dia telah lenyap melarikan diri...”
“lstri ke tiga Wira Bumi bernama Nyi Retno Mantili juga lenyap dan sampai saat ini tidak pernah ditemukan.”
“Kanjeng Patih, saya yakin lenyapnya pembantu serta istri Raden Mas Wira Bumi saling punya kaitan. Maaf, ijinkan saya melanjutkan keterangan. Setelah Eyang Tuba Sejagat tewas, saya diperintahkan membuang mayatnya. Mayat saya buang malam itu juga ke dalam sebuah jurang di pinggir selatan Kotaraja.”
“Aku tidak percaya dan merasa sangat aneh. Wira Bumi ingin membunuhku lewat tangan Eyang Tuba Sejagat. Aku tidak ada permusuhan dengan dirinya. Ketika istrinya lenyap aku memerintahkan pasukan besar untuk mencari. Jabatannya yang baru sebagai Bendahara Kerajaan juga aku yang mengusulkan kepada Sri Baginda. Lalu dia ingln membunuhku. Apa dia sudah gila. Wira Bumi bukan saja membalas air susu kebaikanku dengan air tuba, tapi malah dengan darah!” Patih Kerajaan gelengkan kepala berulang kali.
“Ada dua kejadian lagi malam itu yang perlu saya beri tahu pada Kanjeng Patih.” Kata Danang Kaliwarda pula.
“Apa?” Tanya sang Patih. Dia seolah melupakan waktunya yang sangat terbatas serta rencana menemui Sri Baginda pagi itu.
“Selesai saya membuang mayat Eyang Tuba Sejagat saya kembali ke Gedung Bendahara. Tak sengaja saya lihat jendela kamar tidur Raden Mas Wira Bumi dalam keadaan sedikit terbuka dan lampu di dalam kamar menyala terang benderang. Mungkin Raden Mas Wira Bumi sudah tertidur dan lupa menutup jendela. Saya bermaksud hendak menutup jendela itu namun di dalam kamar saya lihat Raden Mas Wira Bumi tengah menggeluti seorang perempuan cantik di atas ranjang. Keduanya dalam keadaan bugil...”
“Semua orang tahu Raden Mas Wira Bumi punya tiga orang istri termasuk Nyi Retno Mantili. Apakah perempuan yang bersamanya saat itu bukan salah satu dari dua istrinya yang lain?”
Danang Kaliwarda gelengkan kepala. “Tidak Kanjeng Patih. Perempuan yang digauli Raden Mas Wira Bumi itu bukan salah satu dari dua istrinya. Saya tidak pernah melihat perempuan itu sebelumnya. Ada keanehan dengan auratnya. Salah satu buah dadanya, yang sebelah kiri sangat besar.”
“Apa perempuan itu terus berada di Gedung Bendahara sampai pagi? Menginap?”
“Tidak Kanjeng Patih. Saya bersembunyi di satu tempat setelah lebih dulu memberi perintah pada anak buah yang bertugas malam itu agar jangan sekali-kali melewati atau berada di dekat jendela. Menjelang pagi jendela terbuka. Saya lihat perempuan itu melesat keluar kamar, masih dalam keadaan bugil, menenteng pakaian lalu lenyap di arah timur. Gerakannya luar biasa cepat pertanda dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tak selang berapa lama saya lihat Raden Mas Wira Bumi keluar pula dari gedung, berjalan cepat menuju bagian luar tembok sebelah selatan. Saya mengikuti. Raden Mas Wira Bumi berjalan menuju satu rumpunan pohon bambu. Ternyata di situ ada sosok seorang lelaki, terjepit tak berdaya di antara empat batang bambu. Ketika saya perhatikan ternyata orang itu adalah Djaka Tua, bekas pembantu di Gedung Tumenggung dulu. Saya dengar Raden Mas Wira Bumi menanyakan bayinya dan sebilah golok. Dia menuduh Djaka Tua telah menculik bayi itu dan mencuri golok. Menurut pengakuan Djaka Tua bayi dan golok diambil oleh seorang kakek tinggi putih. Dia tidak tahu siapa adanya kakek itu dan berada dimana. Raden Mas Wira Bumi kemudian mencekik leher Djaka Tua. Hampir pembantu itu menemui ajal tiba-tiba ada suara perempuan tertawa. Dia mengatakan sesuatu tapi tak jelas saya dengar. Kemudian ada dua larik sinar putih menderu disertai dua letusan dahsyat dan menebarnya kabut aneh. Raden Mas Wia Bumi selamat dari serangan dua larik sinar putih. Namun saat itu Djaka Tua tak ada lagi di tempat itu. Saya segera mendekati Raden Mas Wira Bumi dan menanyakan apa yang terjadi. Dia menjawab tidak terjadi apa-apa di tempat itu dan mengatakan saya bermimpi lalu...”
Entah apa yang terjadi mendadak udara di pendopo sebelah timur Gedung Kepatihan itu berubah redup seolah siang telah berganti malam. Satu bayangan merah berkelebat disertai membahananya bentakan perempuan.
“Danang Kaliwarda, manusia busuk pengkhianat atasan! Kau memang tidak dalam alam mimpi tapi tengah menuju alam kematian!”
Dua orang yang duduk di lantai pendopo sama terkejut. Patih Kerajaan merasa sambaran angin menerpa di samping kanan. Di lain kejap seorang nenek kurus bungkuk tahu-tahu telah berdiri di depannya. Muka keriput, rambut riap-riapan serta pakaiannya yang berupa selempang kain, semua berwarna merah. Patih Kerajaan bahkan melihat bagaimana sepasang mata termasuk alis, lidah dan gigi nenek ini juga berwarna merah menggidikkan.
Danang Kaliwarda tidak tahu siapa adanya nenek serba merah ini. Namun dari ucapannya tadi dia bisa menduga jangan-jangan perempuan tua ini adalah orang sakti guru Wira Bumi. Dadanya berdebar, muka pucat. Sementara Patih Kerajaan maklum siapapun adanya nenek serba merah ini dia adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sang Patih mencium adanya bahaya. Serta merta dia berdiri dan menegur dengan suara datar.
“Nenek muka merah, antara kita tidak saling kenal. Mengapa berani masuk ke Gedung Kepatihan tanpa ijinku”
Si nenek yang bukan lain adalah Nyai Tumbal Jiwo, guru Raden Mas Wira Bumi hamburkan suara tawa bergelak. “Aku datang dan pergi kemana aku suka! Siapa berani melarang!”
Walau merasa dianggap enteng namun Patih Sawung Giring Bradjanata masih bicara dengan suara rendah. Malah dengan seringai tersungging di mulut. “Rupanya aku berhadapan dengan seorang perempuan tua kurang ajar. Nenek muka merah, dengar. Aku masih memberi pengampunan padamu jika kau mau angkat kaki dari tempat ini sekarang juga!”
“Kalau aku tak mau minggat?!” Nyai Tumbal Jiwo menantang.
Habislah kesabaran sang patih. Dia berteriak memanggil pengawal. Tiga pengawal segera muncul. Sesaat mereka terheran-heran menyaksikan udara di pendopo redup seperti itu.
“Ringkus perempuan tua muka merah itu. Bawa dia keluar dari Gedung Kepatihan. Jika berani masuk lagi tangkap!”
Tiga pengawal bertubuh kekar segera lakukan perintah Patih Kerajaan. Namun apa yang terjadi kemudian membuat Patih Sawung Giring Bradjanata terkejut luar biasa, juga merinding. Ketika hendak disergap, nenek muka merah berkelebat. Lalu tiga larik sinar merah berkiblat. Tiga pengawal menjerit. Ketiganya terpental sejauh dua tombak. Terguling di lantai pendopo dalam keadaan sekujur tubuh melepuh serta kepulkan asap!
Selagi Patih Kerajaan terkesiap begitu rupa si nenek kembali berkelebat dan tahu-tahu keris milik sang Patih telah berada di tangan sl nenek sementara sarungnya masih tersisip di pinggang Patih Sawung Giring. Selaku Patih Kerajaan Sawung Giring Bradjanata tentu saja memiliki kepandaian tinggi. Namun kalau senjata di pinggangnya dapat dirampas orang, berarti si perampas memiliki kehebatan melebihi dirinya.
“Tua bangka kurang ajar! Kembalikan kerisku!” teriak Patih Kerajaan marah besar. Lalu tubuhnya melesat ke depan. Tidak sungkan lagi dia langsung kirimkan pukulan kilat ke arah kepala nenek muka merah.
Nyai Tumbal Jiwo merunduk. Tertawa cekikikan. Perkelahian hebat segera terjadi. Seolah melecehkan, si nenek hanya pergunakan tangan kanan untuk melayani lawan sementara tangan kiri memegang keris tanpa sarung. Setiap terjadi bentrokan lengan Nyai Tumbal Jiwo terjajar dua langkah ke belakang sebaliknya Patih Kerajaan merasa kesakitan amat sangat seolah tangannya membentur pentungan besi.
Dalam jurus ke empat setelah menggempur habis-habisan dengan mengeluarkan jurus bernama Menusuk Bumi Menikam Langit Patih Sawung Giring Bradjanata berhasil mendaratkan jotosan tangan kanannya ke dada kiri lawan. Nyai Tumbal Jiwo meraung setinggi langit. Asap merah mengepul dari ubun-ubunnya. Bagian yang barusan kena dipukul adalah tepat payudara sebelah kiri yang bengkak besar.
Walau dasarnya adalah mahluk dari alam roh, namun tetap saja dia mengalami luka dalam yang hebat. Nyai Tumbal Jiwo semburkan ludah campur darah dari mulutnya. Sepasang mata laksana memancarkan kilatan api. Dari ubun-ubun mengepul asap merah tipis.
“Patih jahanam! Terbanglah ke akhirat!” Mulut berucap lima jari tangan kanan menjentik!
“Wuutt… wuutt… wuutt… wuutt… wuuttt!”
Lima Jari Akhirat! Lima larik sinar merah berkiblat. Patih Kerajaan berusaha menghindar sambil dua tangan melepas pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi, namun tetap jebol! Seperti diketahui terhadap serangan Lima Jari Akhirat jarang lawan bisa lolos. Kalaupun sanggup bertahan maka sekujur tubuhnya akan melepuh cacat dan menderita kesakitan seumur hidup.
Patih Sawung Giring menjerit keras ketika empat dari lima sinar merah menyapu dirinya. Tubuhnya terpental menghantam salah satu tiang pendopo. Tiang patah, sosok Sawung Giring Bradjanata terkapar di lantai dalam keadaan hangus mengerikan!
“Anjing pengkhianat! Kau mau lari kemana?!” bentak Nyai Tumbal Jiwo ketika Danang Kaliwarda dilihatnya berusaha hendak kabur.
“Aku tidak punya dosa kesalahan apa-apa terhadapmu...”
“Manusia anjing kurap! Tutup mulutmu! Siapa bilang kau tidak punya dosa kesalahan terhadapku! Aku Nyai Tumbal Jiwo adalah guru dan kekasih Wira Bumi yang kau khianati! Aku tahu malam itu kau mengintip dibalik jendela sewaktu aku bercinta dengan Wira Bumi. Apa kau tergiur? Apakah kau ingin melakukannya padaku? Hik hik hik! Kau belum pantas melayaniku! Kau lebih cocok kalau aku kirim keakhirat seperti majikan besarmu itu! Hik hik hik!”
Nyai Tumbal Jiwo menyergap.Keris di tangan kanan menderu ke arah dada Danang Kaliwarda. Kepala Pengawal Gedung Bendahara ini cepat melompat mundur sambil menghunus golok besar.
“Kau punya nyali juga! Aku mau tahu sampai dimana kehebatanmu!” Tangan kanan Nyai Tumbal Jiwo yang memegang keris berkelebat laksana kilat.
Serangan ganasnya membuat Danang Kaliwarda kelabakan. Dalam waktu beberapa kejapan saja dia telah menghunjamkan empat tusukan dan tiga babatan keris ke tubuh Kepala Pengawal Gedung Bendahara Kerajaan itu. Danang Kaliwarda hanya sempat menangkis satu kali. Lalu tubuhnya roboh. Darah bersimbah dari luka-luka di sekujur tubuh dan tenggorokan.
Dengan tenang sambil menyeringai Nyai Tumbal Jiwo melangkah mendekati mayat Sawung Giring Bradjanata. Keris yang dipegangnya digenggamkan ke dalam jari-jari tangan Patih Kerajaan itu. Sebelum meninggalkan pendopo timur nenek muka merah ini hampiri sosok Danang Kaliwarda yang tengah sakarat. Enak saja dan kurang ajar sekali, tangan kanannya disusupkan, meraba-raba ke balik celana Kepala Pengawal itu, kepala mendongak, wajah menyeringai.
“Aaahh, menyesal aku membunuhnya terlalu cepat. Seharusnya aku coba dulu yang satu ini. Hik hik hik.” Sesaat setelah Nyai Tumbal Jiwo tinggalkan tempat itu, udara di pendopo kembali cerah.
Hari itu juga Kotaraja dilanda geger besar. Tersiar kabar bahwa telah terjadi perkelahian antara Patih Kerajaan dengan Kepala Pengawal Gedung Bendahara. Kedua-duanya tewas. Di duga kedua orang ini telah mengadu jiwa akibat satu dendam atau perkara yang tidak diketahui apa adanya. Hanya saja tidak ada yang bermata jeli dan menyelidik lebih jauh akan keadaan mayat Patih Sawung Giring. Danang Kaliwarda tidak memiliki ilmu kesaktian yang mampu membuat dia membunuh lawannya sampai sekujur tubuh sang Patih melepuh hangus!
Dua puluh hari setelah peristiwa berdarah itu, Raden Mas Wira Bumi dipercayakan Sri Baginda untuk menduduki jabatan Patih Kerajaan. Malam harinya Nyai Tumbal Jiwo datang menemui Wira Bumi, minta dihibur sampai pagi. Dan Wira Bumi melayani sepenuh hati karena dia menyadari jabatan Patih Kerajaan itu didapatnya dari hasil pekerjaan licik dan keji si nenek dari alam roh itu.
********************
BAB 2
HUJAN luar biasa lebat mengguyur puncak Gunung Merapi. Walau saat itu siang hari namun keadaan tidak beda seperti malam. Setiap angin bertiup kencang ranting-ranting serta daun pepohonan bergoyang dan bergesek mengeluarkan suara bersiur panjang menggidikkan.
Dalam cuaca buruk begitu rupa Pangeran Matahari berlari ke arah utara puncak gunung. Seperti dikisahkan dalam Episode sebelumnya (Nyi Bodong) setelah ditimpa malapetaka berulang kali, Pangeran Matahari menemui gurunya Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat melalui tapa Aras Bumi Aras Langit.
Sesuai petunjuk sang guru saat itu dia tengah menuju sebuah goa yang puluhan tahun silam pernah menjadi tempat kediaman Si Muka Bangkai. Karena sudah sekian lama, ditambah keadaan cuaca yang gelap, di bawah hujan lebat pula, meski pernah tinggal di situ, cukup sulit bagi Pangeran Matahari untuk mencari goa tersebut. Sementara berlari dia ingat semua ucapan Si Muka Bangkai.
“Kau pergilah ke puncak Gunung Merapi sebelah utara, ke bekas goa tempat kediamanku. Di sana kau akan menemukan seperangkat pakaian yang harus kau pakai begitu turun gunung. Di dalam goa kau akan menemukan pula sebuah lentera yang hanya bisa menyala jika kau isi dengan minyak kasturi ini. Pada dinding goa kau akan melihat guratan tulisan yang aku buat sebagai petunjuk penggunaan dan kegunaan benda itu. Untuk sementara sampai keadaan aman bagimu, kau hanya boleh menampakkan diri pada malam hari. Demi keselamatanmu kau harus membawa dan menyalakan lentera itu, kemanapun kau pergi. Kau harus sadar musuhmu kini bukan hanya murid Sinto Gendeng keparat itu. Banyak orang lain yang menginginkan nyawamu! Sebelum aku lupa, ada satu hal yang harus kau ingat baik-baik. Lentera yang aku katakan tadi sekali-kali tidak boleh terkena atau bersentuhan dengan cairan atau air yang keluar dari tubuh manusia. Misal air mata, air keringat, air kencing bahkan air mani! Ha ha ha! Pokoknya semua air yang berasal dari tubuh manusia! Kalau larangan itu sampai dilanggar kau akan ditimpa malapetaka besar! Pergilah ke goa di puncak Merapi. Kau akan mengetahui apa yang harus kau lakukan. Satu hal harus kau ingat. Selesai membaca dan memahami guratan tulisanku di dinding goa, tulisan itu harus kau kikis habis. Harus kau lenyapkan!”
Hujan bertambah lebat dan udara semakin gelap. Sesekali kilat menyambar. Puncak gunung Merapi sesaat jadi terang benderang. Walau sangat singkat namun cukup memberi petunjuk pada Pangeran Matahari kemana dimana dia berada saat itu dan kemana dia harus meneruskan larinya. Karena hujan tak kunjung berhenti dan udara semakin gelap, kawatir akan kesasar, Pangeran Matahari akhirnya memutuskan untuk mencari tempat berteduh. Kalau cuaca sudah baik baru dia melanjutkan perjalanan.
Ketika kilat kembali menyambar dan keadaan terang benderang sekilas, mata tajam sang Pangeran sempat melihat satu lamping bukit ditumbuhi sederetan pohon-pohon besar. Pada bagian bawah deretan pohon sebelah tengah ada satu cekungan tanah cukup dalam. Tanpa pikir panjang Pangeran Matahari segera berlari memasuki cekungan tanah itu. Cukup lama dia duduk berteduh di situ sampai akhirnya hujan mulai reda dan langit perlahan-lahan bersih benderang.
Sekitar sepenanakan nasi akhirnya Pangeran Matahari berhasil menemukan goa yang pernah menjadi kediaman guru dan dirinya sendiri. Goa ini terletak di lamping sebuah kali kecil yang saat itu airnya meluber banjir kemana-mana. Begitu sampai di depan goa Pangeran Matahari mencium bau tengik menyesakkan pernafasan.
Melangkah masuk ke dalam goa sejauh tujuh langkah bau tengik itu semakin keras dan seolah mencekik jalan nafas. Dadanya berdebar, dua lutut terasa goyah. Langkah tertahan. Pangeran Matahari segera kerahkan tenaga dalam, tutup saluran pernafasan untuk beberapa lama sampai perasaannya tenang kembali dan getaran di kedua lutut lenyap. Hati-hati, penuhwaspada dia melanjutkan langkah.
“Aneh, seharusnya goa ini berada dalam keadaan gelap gulita. Mengapa seperti ada cahaya datang dari sebelah dalam? Mungkin lenteranya sudah menyala?” membatin Pangeran Matahari lalu dia meraba bagian pakaian di balik mana dia menyimpan tabung berisi minyak kasturi yang diberikan Si Muka Bangkai. Dia ingat, lentera yang ada di dalam goa hanya bisa dinyalakan dengan minyak kasturi itu.
Setelah lewat tujuh langkah lagi memasuki goa bau tengik yang menyesakkan dada mendadak lenyap, kini berganti dengan bau wangi kulit pohon kayu manis, yang menebar rasa segar. Di sisi kanan goa ada satu gundukan batu. Di atas batu ini terletak seperangkat pakaian berupa jubah hitam panjang selutut, serta celana hitam dan gulungan kain ikat kepala berwarna merah. Ketika Pangeran Matahari mengembangkan jubah hitam, pada bagian dada terpampang gambar matahari bulat besar berwarna merah lengkap dengan sinar yang juga berwarna merah. Pangeran Matahari terdiam sejurus.
Dia ingat, baju dan celana hitam serta ikat kepala merah adalah perangkat pakaian yang dikenakannya pertama kali sewaktu turun gunung. Hanya kali ini baju ditukar menjadi jubah dan bentuk gambar matahari berbeda dari yang dulu. Dia juga ingat pesan gurunya bahwa pakaian itu baru boleh dikenakan jika dia siap turun gunung. Apakah pakaian dan ikat kepala itu merupakan tanda bahwa dia akan turun gunung untuk kedua kalinya, membuka lembaran baru dalam rimba persilatan?
Sang Pangeran lanjutkan langkah. Baru menindak dua langkah mendadak telinganya mendengar suara orang mengorok. Suara ini datang dari bagian dalam goa. Membuat Pangeran Matahari menjadi penuh tanda tanya.
“Ada orang tidur di dalam sana. Siapa? Mungkin guru? Tapi dia sudah meninggalkan pesan baru akan kembali lagi tiga ratus hari yang akan datang.”
Pangeran Matahari usap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut liar lalu kembali teruskan langkah. Kali ini lebih perlahan sambil tangan kanan siap sedia membekal dan melepas pukulan sakti jika mendadak ada bahaya tak terduga mengancam. Semakin jauh masuk ke dalam goa semakin terang cahaya yang datang dari sebelah dalam dan bertambah keras suara mendengkur. Tiga langkah di depan sana goa membelok ke kiri. Tujuh langkah dari kelokan, goa itu sampai pada ujungnya.
Pangeran Matahari masih belum melihat, lentera yang dikatakan Si Muka Bangkai. Mungkin berada di bagian ujung goa, dibalik kelokan. Mau tak mau berdebar juga dada sang Pangeran ketika dia melangkah memasuki kelokan. Suara tertahan keluar dan mulutnya begitu melewati kelokan dan memandang ke depan. Tujuh langkah di seberang sana, goa berakhir pada satu dinding batu. Ujung goa terlihat rata, membentuk sebuah ruangan batu berukuran dua kali tiga tombak. Ruangan ini bersih sekali seperti ada yang barusan menyapunya. Di sinilah dulu dia pernah tinggal bersama Si Muka Bangkai selama bertahun-tahun.
Kenangan akan masa lalu serta merta buyar, berubah dengan rasa kaget luar biasa ketika Pangeran Matahari melihat bagaimana di salah satu sudut ruangan bergelung sosok besar seekor ular hitam berkilat, kepala menjulai ke lantai goa, mata terpejam, mulut sedikit terbuka. Dan dari mulut inilah keluar suara mendengkur keras seperti dengkur manusia! Tubuh ular yang berkilat itulah yang memancarkan cahaya menerangi sepanjang goa. Untuk beberapa lama Pangeran Matahari tegak setengah memicingkan mata karena kesilauan.
“Ular mendengkur seperti manusia…” Ucap Pangeran Matahari dalam hati. Keanehan ini membuat dia berlaku waspada dan pentang mata lebar-lebar. Dia masih belum melihat lentera yang dikatakan sang guru. Dia juga tidak melihat guratan-guratan tulisan seperti yang dikatakan Si Muka Bangkai. Pangeran Matahari memandang berkeliling. Matanya kembali memperhatikan sosok ular hitam di sudut ruangan. Ah! Kali itulah dia baru melihat.
Di dalam lingkar sebelah dalam gelungan tubuh ular hitam besar terdapat satu benda yang bukan lain adalah sebuah lentera. Bagian atas lentera terbuat dari bahan tembus pandang semacam kaca tebal berwarna merah, kuning dan hitam, diikat oleh sejenis logam berwarna hilam, lengkap dengan pegangan berbentuk kepala naga. Bagian bawah lentera tidak terlihat karena tentutup gelungan tubuh ular hitam.
“Gila. bagaimana aku mau mengambil lentera? Ular besar itu menggelung seperti menjaganya. Si Muka Bangkai, dia hanya membuat diriku susah saja. Di dinding goa aku sama sekali tidak melihat guratan tulisan seperti yang dikatakannya! Guru tidak pernah menyebut perihal binatang ini. Apakah ular ini datang begitu saja, kesasar di dalam goa karena hujan lebat di luar sana? Atau apakah Si Muka Bangkai menipuku. Sebenarnya dia sengaja memasang perangkap, ingin membunuhku di tempat ini?!”
Baru saja Pangeran Matahari berkata dalam hati begitu rupa, tiba-tiba ular hitam besar di sudut ruangan keluarkan suara mengorok lebih keras hingga lantai goa terasa bergetar. Kepala binatang ini terangkat dan sepasang mata terbuka sedikit, berputar melirik ke arah Pangeran Matahari. Sang Pangeran tercekat sewaktu menyaksikan bagaimana dari sepasang mata ular hitam besar ada cahaya menyambar. Cahaya kematian! Kemudian ular ini kembali lunjurkan kepala di lantal dan lanjutkan tidur mendengkurnya!
“Aku harus dapatkan lentera itu. Bagaimana caranya? Apakah aku harus membunuh ular hitam itu terlebih dulu?”
Pangeran Matahari berdiri tak bergerak. Sepasang mata menatap ke arah ular hitam sementara otak mulai bekerja. Cukup lama dia bersikap seperti itu, perlahan-lahan Pangeran Matahari turunkan badan, duduk bersila di sudut yang berlawanan dengan ular besar hitam yang menggelung lentera. Dua telapak tangan dikembangkan, lalu diletak ditekankan ke lantai goa. Bersamaan dengan itu murid Si Muka Bangkai ini kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti mengandung kekuatan dahsyat, disalurkan ke lantai goa dan diarahkan ke sudut ruangan di seberangnya.
Lantai goa yang dialiri tenaga dalam dan hawa sakti yang keluar dari tubuh Pangeran Matahari tampak retak mengepulkan asap kemerahan. Retakan dan kepulan asap ini bergerak ke arah sudut ruangan dimana ular hitam besar bergelung. Lentera di dalam gelungan bergoyang-goyang. Sesaat kemudian tubuh ular ini kelihatan ikut mengepulkan asap. Suara dengkuran serta merta lenyap. Sepasang mata membuka. Kepala tersentak naik ke atas dan mulut yang tertutup kini menganga. Lidah terjulur memancarkan cahaya biru menyilaukan. Dari mulut binatang ini kemudian mendadak keluar suara tawa panjang. Suara tawa perempuan!
Jelas sudah binatang ini adalah mahluk jejadian! Yang membuat Pangeran Matahari jadi melengak kaget bukan hanya karena menyadari bahwa binatang itu bukan ular sungguhan, atau mendengar tawanya yang menggidikkan, tetapi juga karena merasakan bagaimana tenaga dalam dan hawa sakti panas yang dikirimkannya ke arah ular hitam itu kini membalik mengarah dirinya dengan kekuatan berlipat ganda. Retakan di lantai batu tampak merah membara saking panasnya. Kepulan asap bukan lagi berwarna merah tapi berubah biru pertanda panasnya sangat luar biasa! Yang sangat dikawatirkan Pangeran Matahari adalah rusaknya lentera akibat hawa panas luar biasa.
“Plaakk!”
Tiba-tiba ular hitam sentakkan ekor, menghantam lantai goa. Saat itu juga hawa panas dan kepulan asap biru menyambar dahsyat. Pangeran Matahari berteriak keras. Dua tangan dipukulkan. Satu menghantam ke depan ke arah ular hitam, satunya lagi untuk membuyarkan serangan hawa panas dan kepulan asap biru.
“Buumm! Buumm!”
Dua letusan dahsyat menggelegar. Goa batu laksana digoncang gempa. Pangeran Matahari terpental sampai ke tikungan goa. Dia merasa tubuhnya seperti hancur lebur. Rasa sakit menjalar dari ubun-ubun sampai ke jari kaki. Namun ternyata dia masih hidup dan mampu berdiri. Hanya saja ketika memperhatikan keadaan dirinya, tengkuknya langsung dingin. Jubah kelabu yang dikenakannya kini telah berubah hitam hangus dan mengepulkan asap! Di dalam goa sana terdengar suara tawa sang ular, suara tawa perempuan!
“Aneh, kalau pakaianku hangus seharusnya aku mengalami cidera berat. Bahkan bisa mati! Ada satu kekuatan melindungi diriku...” Pangeran Matahari berucap dan bertanya-tanya dalam hati. Rasa jerihnya perlahan-lahan lenyap, berganti dengan rasa percaya diri.
“Pangeran Matahari, aku tahu kedatanganmu kemari adalah untuk mengambil lentera. Aku akan memberikan padamu asal kau mau menukar dengan sesuatu!”
Ada orang bicara di dalam goa! Suara perempuan! Ular itukah yang mengeluarkan ucapan?! Belum lenyap gema suara ucapan di dalam goa, Pangeran Matahari telah melompat melewati tikungan dan berdiri lima langkah di hadapan ular hitam.
“Mahluk jahanam! Jejadian siapa kau adanya?! Apa maksudmu menukar lentera itu dengan sesuatu?!”
Pangeran Matahari membentak sambil tangan kiri menyiapkan Pukulan Telapak Matahari yang diwarisinya dari Si Muka Bangkai sementara tangan kanan siap melepas Pukulan Menahan Bumi Memutar Matahari. Ini adalah jurus pertahanan sekaligus menyerang yang didapatnya dari seorang sakti bernama Singo Abang. (Baca Episode berjudul Kembali Ke Tanah Jawa)
Ular hitam angkat kepala lebih tinggi. Dua mata memandang berkilat. Lidah menjulur lalu mulutnya berucap. “Pangeran Matahari. Walau banyak lawan telah menggebukmu, walau mukamu sudah menjadi cacat buruk, sikap dan ucapanmu masih saja sombong pongah seperti dulu! Pasang telingamu baik-baik.Yang aku minta sebagai pengganti lentera adalah nyawamu!”
Sepasang mata Pangeran Matahari mendelik berkilat. Rahang menggembung dan pelipis bergerakgerak. Kepala mendongak lalu dia tertawa bergelak. “Mahluk jejadian! Ketololan akan membawa celaka bagimu! Kau tidak berada di alammu, mengapa berani bicara congkak?! Lekas menyingkir dari goa ini atau kau akan menerima azab yang akan membuat rohmu tergantung lumpuh antara langit dan bumi!”
Ular di sudut ruangan kembali tertawa panjang. “Kau tidak tahu indahnya hidup di alam roh. Sebaliknya apakah kau pernah merasakan hidup sengsara dipendam dua puluh satu tombak di dalam tanah? Hik hik hik! ltulah nasib yang bakal kau alami!”
Saat itu Pangeran Matahari sudah siap untuk menyerang ular di sudut ruangan. Namun dia kawatir serangannya akan merusak lentera. Dia harus mencari akal. Paling tidak mengulur waktu.
“Ular betina jejadian! Apakah kekasihmu yang menyuruh datang mencari celaka ke tempat ini?!”
Mendengar ucapan Pangeran Matahari sang ular malah tertawa. “Kau tidak tahu! Kekasihku adalah dirimu sendiri!”
Pangeran Matahari melengak kaget dan memaki dalam hati. “Siapa kau sebenarnya?!” Bentak murid Si Muka Bangkai.
“Aku adalah titisan seseorang.”
“Seseorang siapa?!”
“Seorang gadis yang pernah kau permainkan, kau jadikan budak nafsu sehingga hamil. Lalu kau bunuh!”
Kening Pangeran Matahari mengerenyit. Mulut ternganga. “Binatang keparat! Katakan kau ini titisan siapa?!”
“Aku adalah Pandan Arum. lngat peristiwa di Pangandaran? Di sana kau membunuh aku!” (Baca Episode berjudul Kiamat di Pangandaran)
Pangeran Matahari jadi tertegun. Apakah binatang jejadian ini tidak menipunya? Benarkah dia titisan Pandan Arum, adik Bidadari Angin Timur yang hendak menuntut balas melampiaskan dendam kesumat?!
“Akal... akal, cerdik... cerdik! Aku harus punya segala daya, akal dan kecerdikan...” Pangeran Matahari berkata dalam hati. Lalu dia mendengus dan berkata. “Terlalu banyak manusia yang aku bunuh! Aku tidak ingat satu persatu! Aku tidak tahu kau ini Pandam Arum yang mana! Jika mampu harap perlihatkan ujud dirimu yang sebenarnya!”
“Dajal busuk! Tumpukan dosa keji membuat matamu buta dan hatimu menjadi batu! Buka mata lebar-lebar! Apa kau masih bisa melihat!”
Ular di sudut ruangan membuka gelungan, tubuhnya naik ke atas. Kepala dan tubuh digoyang tiga kali. Wusss! Asap putih mengepul. Saat itu juga sosok ular berubah menjadi ujud seorang gadis berpakaian hitam, rambut hitam, wajah cantik tapi pucat. Sepasang mata berwarna merah membara pertanda ada pancaran dendam kesumat, menatap tak berkedip ke arah Pangeran Matahari.
“Pandan Arum, memang dia...” Ucap Pangeran Matahari dalam hati. Lalu tidak membuang waktu lagi karena memang ini kesempatan yang ditunggu, Pangeran Matahari hantamkan tangan kiri kanan. Tangan kanan melepas Pukulan Tapak Merapi. Tangan kiri melepas Pukulan Merapi Meletus.
Menghadapi dua serangan maut yang bisa menghancurkan dirinya dan mampu meruntuh goa perempuan di dalam ruangan rangkapkan dua tangan didepan dada lalu sepasang mata dikedipkan.
“Wuss! wusss!”
Dua larik sinar merah menderu dahsyat. Dua pukulan sakti yang dilepas Pangeran Matahari musnah berubah menjadi asap tiga warna. Pangeran Matahari sendiri terpental jauh, terkapar di lantai goa, mulut kucurkan darah.
“Setan alas, kenapa tidak mampus?! Aku melihat ada cahaya aneh keluar dari pinggang manusia jahanam itu! Kekuatan pelindung apa yang dimilikinya?!”
Cahaya aneh berwarna kehijauan yang dilihat perempuan itu juga sempat dilihat Pangeran Matahari. Dia yakin cahaya itulah yang telah menyelamatkan dirinya walau mengalami luka dalam yang cukup parah. Pangeran Matahari meraba pinggang kiri. Jari-jarinya menyentuh sebuah benda. Dia ingat benda itu adalah tabung bambu berisi minyak kasturi yang diberikan gurunya Si Muka Bangkai.
Berarti inilah benda yang memberikan kekuatan pelindung maha dahsyat padanya. Tidak pikir panjang lagi Pangeran Matahari segera keluarkan tabung bambu dari balik jubahnya yang hangus. Sepasang mata perempuan di depan sana mengerenyit. Dua kaki rnelangkah mundur ketika melihat benda yang ada di tangan Pangeran Matahari.
“Minyak larangan alam roh! Bagaimana bisa berada di tangan manusia jahanam itu?!”
Perempuan dalam ujud gadis bernama Pandan Arum tiba-tiba berkelebat ke sudut ruangan, berusaha menyambar lentera. Namun Pangeran Matahari bertindak lebih cepat. Dia melompat menghadang sambil membuka kayu penutup tabung bambu. Tabung di dekatkan ke wajah Pandan Arum. Bau harum minyak kasturi serta merta memenuhi ruangan. Pandan Arum meraung panjang dan keras. Sosoknya memudar lalu berubah jadi asap dan bergelung panjang melayang ke arah mulut goa.
Pangeran Matahari terduduk di lantai. Muka pucat, dada berdebar keras. Tabung bambu ditutupnya kembali lalu dia beringsut mendekati lentera. Lentera diperhatikan dengan seksama, dibolak balik beberapa kali. Pada bagian samping bawah yang merupakan dudukan lentera terdapat sebuah lobang kecil. Di samping lobang menempel sebongkah benda lembut yang ketika diperhatikan lebih teliti ternyata adalah lilin.
Pangeran Matahari buka kayu penutup tabung bambu. Minyak kasturi yang ada dalam tabung itu dimasukkan ke dalam lentera lewat lobang kecil. Lobang kecil kemudian ditutup dengan lilin yang menempel di bagian bawah lentera. Begitu lobang tertutup terjadilah satu keanehan. Perlahan-lahan lentera menyala sendiri, mengeluarkan cahaya terang tiga warna. Hitam, kuning dan merah. Keadaan di dalam goa menjadi terang benderang.
“Luar biasa, menyala sendiri tanpa disulut api...” ucap Pangeran Matahari penuh kagum. Namun dia masih ingin tahu sampai dimana kehebatan lentera ini. Ketika dia hendak menyentuh pegangan lentera mendadak lentera mengiblatkan tiga sinar ke dinding ruangan. Sinar hitam, kuning dan merah. Saat itu juga pada tiga dinding ruangan terdapat serangkaian tulisan, tergurat dalam warna hitam, kuning dan merah. Pada dinding sebelah kanan, terpampang rangkaian tulisan merah.
Jurus pertama Lentera Iblis. Di dalam hidup ada kematian. Di dalam kematian masih ada kehidupan. Dua kaki merenggang ke depan dan ke belakang. Salurkan tenaga dalam. Lentera diputar ke kanan. Cahaya merah akan berkiblat mencari korban. Itulah jurus Api Neraka.
Pangeran Matahari baca sekali lagi tulisan yang tergurat di dinding goa sebelah kanan itu. Lalu alihkan padangan ke dinding sebelah kiri. Di situ terpampang rangkaian tulisan ke dua, berwarna hitam.
Jurus ke dua Lentera iblis. Di dalam hidup ada kematian. Di dalam kematian masih ada kehidupan. Dua kaki merenggang ke depan dan ke belakang. Salurkan tenaga dalam. Lentera diputar ke kiri. Cahaya hitam akan berkiblat mencari korban. Itulah jurus Api Akhirat.
Pangeran Matahani menatap lurus ke arah dinding ruangan sebelah depan. Di sini tergurat jurus ketiga Lentera Iblis dalam warna kuning.
Jurus ke tiga Lentera Iblis. Di dalam hidup ada kematian. Di dalam kematian masih ada kehidupan. Dua kaki merenggang ke depan dan ke belakang. Salurkan tenaga dalam. Lentera didorong ke depan. Cahaya kuning akan berkiblat mencari korban. Itulah jurus Liang Lahat Menunggu.
Pangeran Matahari usap wajahnya. Dia memandang seputar ruangan batu. Ketika hendak melangkah mengambil lentera baru dia menyadari bahwa di lantai ruangan ternyata ada pula serangkaian tulisan, tergurat dalam selang seling tiga warna.
Lentera hanya akan menyala dalam ruangan dan malam hari serta ketika bahaya mengancam. Berjalan dan mencari mangsa di malam hari. Istirahat di siang hari. Lentera Iblis akan menjaga keselamatan diri. Ingat pantangan niscaya kuasa rimba persilatan akan berada dalam tangan.
Pangeran Matahari meneliti lagi seputar ruangan. Tak ada tulisan atau petunjuk lain. Dia lalu melangkah mengambil lentera. Ketika pegangan lentera berada dalam genggamannya dia merasa ada hawa aneh menjalar memasuki tubuhnya, mendekam di bagian perut lalu mengalir ke arah kepala dan ke kaki.
Sebelum meninggalkan goa, Pangeran Matahari membuka jubah kelabunya yang telah hangus lalu dirobek. Sebagian robekan digulung dan dibalutkan pada pegangan lentera. Ini untuk menjaga agar keringat dari tangannya tidak menyentuh pegangan lentera. Selesai mengenakan jubah dan celana hitam serta ikat kepala merah Pangeran Matahari keluar dan dalam goa. Di luar goa nyala lentera langsung meredup lalu padam. Tanpa disadari satu kealpaan besar telah dilakukan manusia segala akal segala cerdik ini. Dia lupa menghapus semua tulisan pada dinding dan lantai goa! Padahal gurunya Si Muka Bangkai telah sangat memesan dan mengingatkan hal itu.
********************
Selang setengah hari setelah Pangeran Matahari meninggalkan goa di puncak utara Gunung Merapi, menjelang matahari menggelincir memasuki ufuk tenggelamnya, seorang perempuan tua berpakaian biru gelap berambut panjang awut-awutan berkelebat di depan mulut goa. Mukanya yang putih menjadi pertanda bahwa dia adalah Nyi Bodong pendatang baru rimba persilatan yang belakangan ini tengah mengejar manusia keji berjuluk Hantu Pemerkosa yang diyakininya adalah Pangeran Matahari. Bagian dalam goa tampak gelap. Namun tanpa ragu Nyi Bodong terus saja melangkah masuk.
“Untung Kiai memberiku ilmu melihat didalam gelap.” Nyi Bodong membatin.
Memasuki goa Nyi Bodong melihat jejak-jejak kaki yang masih basah di lantai. Dada si nenek berdebar. Di satu tempat dia menemukan sisa sobekan jubah kelabu teronggok di lantai goa.
“Aku terlambat lagi. Dia memang ada di tempat ini sebelumnya.”
Nyi Bodong kecewa besar. Begitu melewati tikungan dalam goa, walau penglihatannya agak redup namun Nyi Bodong mampu melihat empat rangkaian guratan tulisan pada tiga dinding serta lantai goa. Sementara hidungnya mencium wangi minyak kasturi.
“Lentera lblis...” ucap Nyi Bodong perlahan. “Di dinding ada petunjuk tiga jurus kematian mengandalkan lentera. Aku punya dugaan ada bahaya baru dalam rimba persilatan. Kemana aku harus mengejar?“
Nyi Bodong jongkok di lantai goa. Telapak tangan kanannya diletakkan di atas jejak kaki yang ada dilantai. Ketika dia mengalirkan hawa sakti ke atas jejak kaki, di lereng gunung sebelah selatan. Pangeran Matahari yang tengah berlari cepat merasa sesuatu menyengat telapak kaki kanannya hingga dia nyaris tersungkur di tanah. Bersamaan dengan itu Lentera lblis yang ada dalam buntalan jubah kelabu mendadak menyala terang. Di dalam goa kini Nyi Bodong merasakan datangnya serangan balik. Lantai yang masih ditempeli tangan kanannya mengepulkan asap. Tangan terpental, tubuh terdorong keras, tersandar ke dinding goa.
“Bahaya besar! Apakah aku perlu memberi tahu Kiai sebelum melakukan pengejaran?”
Nyi Bodong berdiri agak terhuyung. Lalu nenek muka putih ini dengan cepat tinggalkan tempat itu. Di satu tempat ketinggian dimana dia dapat melihat jelas goa bekas kediaman Si Muka Bangkai itu, Nyi Bodong berhenti. Dua kaki dikembang. Tangan kiri di angkat sebatas kepala, telapak di arahkan ke goa. Dari mulut melesat keluar suara raungan seperti lolong srigala. Sunyi sesaat lalu terdengar suara tawa cekikikan. Tangan kanan Nyi Bodong bergerak menyingkap bagian perut pakaian birunya. Pusar bodong tersembul.
“Wuss! Wusss!”
Dua sinar biru berkiblat. Hanya dalam satu kejapan mata, goa di bawah sana runtuh dan hancur. Longsoran tanah-serta tumbangan pepohonan bergemuruh menimbun. Goa yang punya peran penting dalam rimba persilatan tanah Jawa itu kini lenyap untuk selama-lamanya.
********************
BAB 3
SANG SURYA masih belum menyembul di ufuk timur namun di hutan jati itu cuaca sudah terang-terang tanah. Di bawah sebuah pohon besar Djaka Tua sibuk membelah batangan-batangan bambu. Hujan besar yang turun malam tadi membuat gubuk beratap rumbia yang dihuninya bersama Nyi Retno Mantili dan Kemuning mengalami bocor di beberapa tempat. Kawatir hujan akan turun lagi, pagi-pagi sekali dia sudah bangun, mencari bambu dan dedaunan besar untuk memperbaiki atap yang bocor.
Sementara bekerja kicau burung terdengar bersahut-sahutan. Membelah bambu mengingatkan bekas pembantu Tumenggung Wira Bumi itu pada kejadian ketika dirinya ditangkap oleh Nyai Tumbal Jiwo. Ditotok lalu dijepit di rerumpunan bambu di tembok selatan gedung kediaman Wira Bumi yang waktu itu telah menjabat sebagai Bendahara Kerajaan. Untung dirinya diselamatkan Nyi Retno. Itu sebabnya pembantu ini mengangkat sumpah dalam hati, kemanapun Nyi Retno pergi dia akan selalu mengikuti. Apapun yang terjadi dia akan membela walau harus menumpah darah menyerahkan nyawa.
Terdengar suara berkereketan. Pintu gubuk terbuka. Nyi Retno Mantili keluar sambil menggendong Kemuning, boneka kayu yang dianggapnya sebagai anaknya yang hilang. “Sepagi ini kau sudah sibuk. Apa yang kau kerjakan?” bertanya Nyi Retno.
“Hujan malam tadi lebat sekali.Atap gubuk kita banyak yang bocor. Harus cepat diperbaiki. Saya kawatir hujan turun lagi. Kasihan si kecil Kemuning kalau sampai terkena tirisan air hujan. Dia bisa sakit.”
Nyi Retno tersenyum. Walau sampai saat itu pikirannya masih tidak waras namun ada kalanya ucapan yang menyentuh hati membuatnya larut walaupun hanya untuk beberapa saat. Djaka Tua tahu, sudah beberapa hari Nyi Retno tidak pergi mandi ke telaga kecil tak jauh dari situ. Maka diapun bertanya.
“Den Ayu, apa pagi ini Den Ayu akan mandi di telaga bersama Kemuning?” Djaka Tua selalu memanggil majikannya itu Den Ayu karena kalau dipanggil dengan nama Nyi Retno Mantili, perempuan muda yang terganggu jalan pikirannya itu selalu marah karena katanya namanya bukan Nyi Retno Mantili.
“Uh, mandi di udara sedingin begini? Bisa sakit anakku. Entah kalau siangan nanti.” Nyi Retno Mantili menggeliat, mendekap boneka kayu lalu berkata. “Sebetulnya atap itu tidak dibetulkanpun tidak jadi apa. Bukankah kita selalu berpindah-pindah tempat tinggal? Katamu untuk menjaga keamanan dan keselamatan. Padahal aku tidak takut pada siapapun! Selama ini aku hanya mengikuti kemauanmu. Sebenarnya mengapa kita selalu berpindah-pindah? Aku sudah betah tinggal di gubuk itu. Udara di sini bagus. Ada telaga. Dan selama ini tidak ada mahluk yang mengusik kita.”
“Saya mengerti Den Ayu. Tapi belakangan ini di luaran banyak orang jahat berkeliaran,” jawab Djaka Tua. Dia menatap perempuan malang itu seketika lalu menyambung ucapannya. “Den Ayu, terakhir kali saya kepasar tiga hari lalu, saya mendengar kabar. Tumenggung Wira Bumi yang belum lama menjadi Bendahara Kerajaan sekarang telah diangkat menjadi Patih Kerajaan...”
“Ceritamu itu tidak ada artinya bagiku. Siapa Wira Bumi? Apa itu Tumenggung? Apa itu Bendahara Kerajaan? Apa pula itu Patih Kerajaan?”
Djaka Tua terdiam. Kembali hatinya merasa sedih karena sampai saat itu jalan pikiran Nyi Retno masih belum jernih. Gangguan jiwanya terlalu dalam dan parah. lngin dia menerangkan bahwa Raden Mas Wira Bumi yang sekarang menjadi Patih Kerajaan itu adalah suaminya. Namun pembantu ini takut akan didamprat Nyi Retno. Yang paling dikawatirkannya kalau-kalau keterangannya nanti akan membuat perempuan malang itu bertambah parah sakit jiwanya. Kalau saja Raden Mas Wira Bumi tidak menuntut ilmu sesat pada Nyai Tumbal Jiwo, tidak akan begini nasib perempuan muda yang masih belum sampai berusia tujuh belas tahun itu. Sedikit demi sedikit sang surya menyembul di ufuk terbitnya. Cuaca perlahan-lahan menjadi terang.
“Den Ayu, selesai membetulkan atap saya bermaksud pergi ke pasar. Persediaan makanan kita hanya cukup untuk satu hari.”
“Ya, pergilah. Jangan lupa membeli pisang untuk Kemuning. Aku akan mengambil uang...”
Setiap ke pasar Djaka Tua memang membeli pisang. Pisang yang katanya untuk Kemuning tentu saja tidak pernah dimakan boneka kayu itu hingga akhirnya selalu tinggal membusuk.
“Tidak usah Den Ayu. Sisa uang belanja tempo hari masih ada,” jawab Djaka Tua.
“Kalau begitu, sebelum kau pergi ke pasar ada baiknya aku dan Kemuning mandi dulu di telaga.”
Habis berkata begitu sambil bernyanyi-nyanyi menggendong boneka kayu Nyi Retno Mantili melangkah pergi. Tapi dia bukannya menuju telaga. Ketika melewati satu pohon besar yang salah satu cabangnya meliuk rendah, perempuan ini enak saja melesat ke atas dan sesaat kemudian dia sudah duduk berjuntai di atas cabang pohon, boneka kayu digendong diayun-ayun. Inilah kehebatan yang dimiliki Nyi Retno berkat ilmu yang diberikan Kiai Gede Tapa Pamungkas padanya. Walau pikirannya tidak waras namun dengan kuasa Tuhan dia memiliki kemampuan untuk menyerap beberapa ilmu kepandaian yang dimasukkan sang Kiai kedalam tubuhnya.
Sambil duduk uncang-uncang kaki Nyi Retno Mantili mulai menyanyi. Sebenarnva Djaka Tua selalu merasa kawatir setiap kali Nyi Retno menyanyi. Dia takut ada orang mendengar, mendatangi lalu menyelidiki atau berbuat jahat. Bagaimanapun juga meski pikiran terganggu, keadaan tidak terawat, namun kecantikan Nyi Retno Mantili tidak pupus. Sekali melihat wajahnya orang pasti akan tertarik. Apa lagi yang namanya mata lelaki!
********************
WALAU cuaca buruk, hujan gerimis turun dan pasar becek namun tetap saja Pasar lmogiri ramai dikunjungi orang. Selesai membeli barang belanjaan, untuk melepas haus dan mengurangi rasa lelah serta dingin Djaka Tua menyempatkan diri minum air serbat di salah satu sudut pasar. Minuman hangat itu membuat tubuhnya segar keringatan. Caping bambu yang sejak tadi menempel di kepala dibuka sebentar untuk mengusap rambut serta keningnya yang basah oleh keringat.
Hanya terpisah beberapa belas langkah dari tempat Djaka Tua minum serbat ada sebuah kedai makanan yang selalu ramai pengunjung. Dua orang di antara para tamu yang sarapan di tempat itu adalah perajurit Keraton yang pernah bertugas di gedung kediaman Wira Bumi semasa masih menjadi Tumenggung. Saat itu keduanya sedang bebas tugas satu hari dan tidak mengenakan pakaian keperajuritan. Salah seorang dari mereka sejak tadi memperhatikan Djaka Tua yang asyik menikmati serbat hangat. Saat itu Djaka Tua telah membuka caping bambunya sehingga wajahnya terlihat lebih jelas. Perajurit yang satu ini kemudian menyikut rusuk temannya dan berkata.
“Gondo, coba kau perhatikan lelaki yang sedang minum serbat itu. Aku sangat mengenali wajahnya. Bukankah dia Djaka Tua pembantu di gedung Tumenggung tempat kita pernah bertugas dulu?”
Perajurit bernama Gondo memandang ke arah yang ditunjuk kawannya, memperhatikan lelaki berusia sekitar setengah abad yang duduk di bangku panjang tengah minum serbat. Sebuah caping terletak di pangkuan. Di alas bangku di sebelahnya ada sebuah keranjang berisi barang belanjaan.
“Supat, tampang dan potongan badannya memang sama dengan Si Djaka Tua,” berkata Gondo. “Tapi orang ini tidak memiliki punuk di punggungnya”
“Walau ini memang aneh.” kata perajurit bernama Supat. “Tapi aku tetap yakin dia Djaka Tua pembantu di Gedung Tumenggung dulu. Bagaimana kalau kita menyelidiki. Jika dia memang Djaka Tua dan kita bisa menangkapnya, pasti akan mendapat hadiah besar dari Raden Mas Wira Bumi. Apa lagi beliau sudah menjadi Patih Kerajaan. Bagaimana kalau kita tangkap dia sekarang juga?”
“Tunggu dulu, jangan kesusu. Menangkapnya soal gampang. Dia dikabarkan telah mencuri bayi Nyi Retno Mantili, istri Raden Mas Wira Bumi. Kalau diam-diam kita mengikutinya, besar kemungkinan dia akan membawa kita ke tempat dimana bayi itu disembunyikan. Kalau kita mendapatkan bayi itu hadiah dari Raden Mas Wira Bumi akan berlipat ganda. Malah tidak mustahil kita akan mendapat kenaikan pangkat istimewa.”
“Aku setuju jalan pikiranmu,” kata Supat. “Lihat, dia sudah membayar tukang serbat. Ayo kita ikuti.”
********************
DJAKA TUA bukan tidak tahu kalau ada dua orang berbadan tegap mengikutinya sejak dia meninggalkan Pasar Imogiri. Dia tidak mau berpaling ke belakang untuk memperhatikan wajah. Namun dari potongan tubuh dua penguntit dia yakin mereka adalah perajurit Kerajaan. Jika orang menguntit dirinya pasti ada yang diincar atau hendak diselidiki. Pembantu ini cukup cerdik. Kalau hutan jati tempat beradanya gubuk kediaman Nyi Retno Mantili terletak di sebelah timur maka saat itu dia sengaja berjalan ke arah barat. Setelah sekian lama dan jauh mengikuti, orang yang dikuntit tidak sampai-sampai ke tempat tujuan, Gondo dan Supat mulai curiga. Dua perajurit Keraton ini langsung saja mengejar dan menghadang jalan Djaka Tua.
Djaka Tua pura-pura terkejut. “Kalian ini begal atau apa? Aku tidak punya barang berharga untuk dirampok.” Ucap Djaka Tua.
“Setan alas! Kami bukan begal bukan perampok!” bentak Gondo. “Kami ingin menyelidik siapa kau adanya!”
“Dulu kau punya punuk di punggungmu! Sekarang tidak ada lagi. Apa yang terjadi dengan dirimu?!” Menyambung Supat dengan bentakan pula.
“Ada-ada saja kalian. Aku tidak pernah punya punuk di punggung.” Jawab Djaka Tua. “Kalau kalian mau mencari orang berpunuk pergilah ke desa Getas di kaki selatan Gunung Merbabu. Kabarnya di sana banyak lelaki perempuan yang punya punuk di punggungnya.”
Supat dan Gondo menyeringai. “Kau pandai bicara!” ucap Gondo lalu merampas keranjang di tangan kiri Djaka Tua, memeriksa isinya. “lni belanjaan dapur. Untuk siapa kau membeli?!” Bentak Gondo.
“Aku yang belanja. Tentu saja untuk keperluanku sendiri di rumah!”
“Jadi kau punya rumah! Nanti tunjukkan pada kami dimana rumahmu!” Berkata Supat sambil tepuk-tepuk bahu Djaka Tua.
“Di dalam keranjang ada pisang. Untuk siapa? Makanan bayi?” Gondo menanyai dengan pandangan mata garang.
“Aku tidak punya bayi.”
“Tentu saja karena kami tahu kau adalah perjaka tua!” hardik Gondo. “Jangan bersandiwara. Kau kira kami tidak tahu siapa dirimu! Kau adalah Djaka Tua, dulu pembantu di Gedung Tumenggung Wira Bumi. Kami mengenalimu karena pernah bertugas beberapa hari di sana.”
Walau dadanya berdebar karena orang sudah tahu pasti siapa dirinya namun Djaka Tua pura-pura tersenyum dan gelengkan kepala berulang kali. “Keliru. Keliru sekali. Namaku Lor Arta bukan Djaka Tua. Aku tidak pernah bekerja di Gedung Tumenggung.”
“Dusta! Kau kira bisa mempermainkan kami?! Kau tengah menuju ke satu tempat. Tapi sengaja berputar-putar untuk menipu kami! Sekarang juga bawa kami ke tempat kediamanmu. Kau mencuri bayi Raden Mas Wira Bumi! Pisang dalam keranjang itu pasti untuk makanan bayi! Dimana bayi itu kau sembunyikan hah!”
“Makin bingung aku mendengar ucapan kalian berdua. Bayi? Bayi apa? Siapa Raden Mas Wira Bumi aku juga tidak tahu. Aku ingin melanjutkan perjalanan. Harap jangan membuat susah orang desa seperti aku ini.”
Supat dan Gondo tertawa gelak-gelak. “Pandainya kau bersandiwara, Djaka Tua. Apa aku copot dulu salah satu tanganmu baru kau mau bicara betul?!” Supat mengancam sambil menghampiri Djaka Tua lalu menyambar tangan kiri pembantu itu dan memelintirnya ke punggung hingga Djaka Tua merintih kesakitan.
“Kau bakal tambah sengsara kalau terus menipu kami. Sekarang juga tunjukkan di mana tempat kediamanmu! Kalau kau berani menipu atau melarikan diri akan kami tanggalkan anggota badanmu satu persatu!”
“Aku tidak punya salah apa- apa. Tuduhan kalian dibuat-buat! Dari pada menganiaya diriku mengapa tidak membunuhku sekarang juga?!”
Djaka Tua sudah nekad. Dia lebih baik mati dibunuh orang dari pada memberi tahu dimana tempat kediamannya yang berarti sama dengan membuka rahasia dimana beradanya Nyi Retno Mantili.
“Hebat! Berani menantang! Rasakan dulu ini!”
Tangan kanan Gondo berkelebat. Satu jotosan keras mendarat di ulu hati Djaka Tua. Caping di kepala Djaka Tua terlempar. Tubuhnya yang kecil terlipat ke depan. Dari mulutnya keluar suara jeritan keras lalu muntahkan darah segar!
“Manusia-manusia jahat! Mengapa tidak membunuhku saja...” ucap Djaka Tua dengan suara parau, muka pucat dan darah berselomotan di mulut dan dagu.
Supat jambak rambut Djaka Tua lalu menyentakkannya ke atas hingga lelaki berusia setengah abad ini tertegak terhuyung.
“Gondo! Hajar mulut dustanya biar dia tahu rasa!” Mendengar ucapan kawannya, Gondo segera layangkan satu jotosan keras ke muka Djaka Tua, tepat di arah mulut dan hidung.
“Praakk!”
Djaka Tuak menjerit keras. Tulang hidung patah, bibir atas pecah. Darah mengucur. Supat lepaskan jambakannya, Djaka Tua langsung roboh ke tanah, mengerang tersengal-sengal, menahan rasa sakit luar biasa. Jeritan keras Djaka Tua tadi sempat terdengar oleh dua orang yang kebetulan lewat di tempat itu. Gondo jongkok di samping Djaka Tua.
“Bagaimana rasanya? Kau akan lebih sengsara kalau tanganmu ini aku tanggalkan dari persendian. Mau memberi tahu dimana tempat kediamanmu atau tidak? Dimana kau sembunyikan bayi itu?!” Gondo cekal pergelangan tangan kanan Djaka Tua erat-erat.
“Aku mau kau membunuhku saat ini juga...” jawab Djaka Tua. Suaranya parau karena ada ludah campur darah di mulutnya. Pembantu ini memilih mati dari pada membuka rahasia.
“Manusia tolol! Kau memilih sengsara!” Gondo pelintir pergelangan tangan Djaka Tua. Ketika dia hendak membetot tangan itu tiba-tiba sepotong patahan ranting melesat di udara lalu menancap di punggung kanan Gondo. Perajurit Keraton ini menjerit setinggi langit. Kaget dan sakit. Tubuh terhuyung, cekalannya terlepas dari pergelangan tangan Djaka Tua.
Supat berteriak marah. Berpaling ke belakang dia melihat dua orang melangkah mendatangi sambil cengar cengir. Yang di sebelah kanan seorang kakek berkepala setengah gundul, mata dan kuping lebar, mengenakan celana gombrong basah kuyup di sebelah bawah. Orang kedua seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian serba putih, berjalan cengar cengir sambil garuk-garuk kepala!
“Kurang ajar! Siapa diantara kalian yang barusan melempar ranting melukai temanku!” bentak Supat sementara Gondo terduduk di tanah. Darah membasahi bagian belakang bajunya setelah tadi dengan paksa dia mencabut patahan ranting yang menancap di punggungnya.
“Aku orangnya!” menjawab si kakek yang bukan lain adalah Setan Ngompol sambil angkat tangan kiri lalu telapak diulap-ulapkan. “Memangnya kau mau juga? Aku masih ada sepotong ranting lagi!” Setan Ngompol goyangkan patahan ranting yang ada di tangan kanan lalu tertawa mengekeh.
Dijawab dan disikapi begitu rupa Supat jadi berang. Dia melompat menyerbu si kakek. Tinjunya menderu deras ke muka Setan Ngompol.
“Bukkk!”
"Huuwee!” Setan Ngompol meledek sambil julurkan lidah. Tinju Supat tenggelam ke dalam telapak tangan kiri yang dipakai menangkis oleh Setan Ngompol. Lima jari tangan si kakek mencengkeram lalu berputar.
“Terbang!” Setan Ngompol berteriak keras. Kencing terpancar.
Supat merasa tangan dan tubuhnya disentak keras. Saat itu juga tubuh tinggi besar perajurit Keraton ini benar-benar terbang melesat ke udara sampai setinggi dua tombak. Walau memiliki dasar ilmu silat yana cukup baik namun seumur hidup baru sekali itu Supat mengalami dilempar lawan ke udara. Akibatnya dia jadi kelagapan tunggang langgang dan tak mampu mencari selamat. Supat terbanting bergedebuk, jatuh punggung di tanah!
Pemuda yang muncul bersama Setan Ngompol, si rambut gondrong berpakaian serba putih yang tentunya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa gelak-gelak sambil menunjuk-nunjuk ke arah Supat yang tergeletak di tanah. Rupanya perajurit ini cukup kuat juga.
Setelah nanar terdiam beberapa lama dia mulai bergerak lalu bangkit berdiri. Muka kelam membesi, tubuh bergetar tanda hawa amarah yang menggelegak. Sementara itu dalam keadaan hidung dan mulut cidera berat serta menahan sakit Djaka Tua masih sempat memperhatikan apa yang terjadi. Dalam hati dia bertanya-tanya siapa adanya kakek dan pemuda yang telah menyelamatkan dirinya itu.
“Tua bangka jahanam! Kau dan kawanmu mencari mati! Kalian tidak tahu siapa kami! Kami adalah perajurit-perajurit Keraton di Kotaraja!” Supat berteriak keras.
“Aha! Jadi kalian ini aparat Kerajaan rupanya. Lalu mengapa enak saja menyiksa orang?!“ tanya Setan Ngompol sambil dua tangan berkacak pinggang.
“Apa yang kami lakukan adalah urusan kami! jangan berani ikut campur! Kalian berdua lekas minggat dari tempat ini!” Gondo membentak. Perajurit yang terluka pada punggungnya ini sudah mampu berdiri walau terhuyung-huyung dan muka pucat.
“Dua keparat tidak tahu juntrungan! Manusia yang kami hajar itu adalah penculik bayi Patih Kerajaan! Kalian hendak melindunginya? Kalian berdua akan kami buat busuk dalam penjara!” teriak Supat.
“Seorang bertubuh kecil, bertampang tolol begini rupa dituduh menculik bayi Patih Kerajaan. Dihajar habis-habisan. Luar biasa! Bagaimana menurutmu, Wiro?” Setan Ngompol delikkan mata pada Supat yang barusan bicara lalu berpaling pada Pendekar 212.
Murid Sinto Gendeng pencongkan mulut, menggaruk kepala lalu menjawab. “Luar biasa! Aku tidak percaya dia penculik!”
“Manusia-manusia sinting! Kepala kalian pantas dipisahkan dari badan!” teriak Supat. Lalu dari balik pakaian gombrongnya dia menghunus sebilah golok pendek. Senjata ini tampak angker karena warnanya tidak berkilat tapi hitam penuh karatan. Menurut orang yang tahu warna hitam serta karatan itu adalah bekas darah orang yang pernah dibunuh Supat, tidak diseka dibiarkan kering sendiri.
Selain memiliki ilmu silat tangan kosong, Supat juga menguasai ilmu memainkan golok yang disebut “Tiga Jurus Rajawali Terbang”. Selama ini telah banyak lawan yang roboh dihajar goloknya. Namun dia tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa ketika dia menyerbu ke arah Setan Ngompol. Seharusnya ketika tadi dirinya dibuat terbang oleh si kakek dia sudah tahu diri. Namun amarah membuat dia tidak mampu berpikir jernih, juga temannya yang bernama Gondo.
“Tabas lehernya Supat! Cincang tubuhnya!” teriak Gondo memberi semangat.
Golok di tangan kanan Supat berkelebat ganas. Menderu deras mengarah kepala Setan Ngompol dalam kecepatan luar biasa. Perajurit Keraton ini terperangah ketika Tiga Jurus Rajawali Terbang yang diandalkannya lewat begitu saja tanpa senjatanya mampu menyentuh lawan, apa lagi menabas leher dan mencincang! Untuk beberapa saat lamanya dia tegak tertegun, memandang ke arah golok lalu ke arah Setan Ngompol. Akan halnya Gondo, menyaksikan apa yang terjadi otaknya mulai bekerja dan tengkuknya serta merta menjadi dingin.
“Kek, kita tidak punya waktu lama di tempat ini. Bagaimana kalau perajurit yang barusan menyerangmu dengan golok kita beri hadiah minuman kehormatan?”
Mendengar ucapan Wiro, Setan Ngompol tertawa bergelak. “Aku setuju saja. Memang sudah lama aku tidak berbuat kebajikan memberikan hadiah. Silahkan kau yang mengatur!” kata si kakek pula.
Ketika Wiro melangkah cepat ke arahnya, Supat serta merta menyambut dengan serangan golok. Orang yang diserang bergerak kian kemari. Senjata Supat hanya menyambar udara kosong. Ketika Supat nekad melanjutkan serangan tiba-tiba satu totokan mendarat di paha kirinya. Lutut kiri perajurit ini goyah. Sesaat kemudian dia roboh ke tanah. Tubuhnya sebelah kiri mulai dari bahu sampai ke kaki mendadak sontak lumpuh tak mampu digerakkan. Wiro angkat kaki kiri lalu diinjakkan ke leher Supat. Tidak keras tapi cukup membuat mulut Supat terbuka lebar.
“Mana minumannya Kek?” tanya Wiro sambil senyum-senyum.
“Jahanam! Kalian mau apakan diriku?!” teriak Supat.
“Tenang saja sobat! Kau bakal dapat minuman paling sedap di dunia!” kata Wiro pula. “Kek?!”
“Siap! Tinggal dikucurkan!” jawab Setan Ngompol. Lalu kakek ini melangkah mendekati Supat. Kaki kiri di angkat di arah atas kepala, ujung celana yang basah lepek tepat berada di atas mulut perajurit itu. Pantat digoyang diogel-ogel. Mata dikedap-kedip. Mulut mengedan-edan. Sesaat kemudian
"Serrr... serrr... serrr! Air kencing si kakek mengucur kebawah, melewati kaki celana kiri lalu... serr... gluk-gluk-gluk masuk ke dalam mulut Supat.
Perajurit Keraton itu memaki habis-habisan. Namun semakin keras dia berteriak semakin banyak air kencing Setan Ngompol yang masuk ke dalam mulutnya hingga dia tercekik-cekik! Sementara Supat tersiksa setengah mati Wiro dan Setan Ngompol tertawa gelak-gelak.
Gondo yang menyaksikan apa yang terjadi dengan temannya karuan saja jadi ketakutan setengah mati. Dirinya mungkin akan jadi korban ke dua. Lebih baik digebuk babak belur dari pada dicekok diminumi air kencing begitu rupa. Perutnya mendadak merasa mual, seperti mau muntah. Tidak menunggu lebih lama dia segera kabur meninggalkan tempat itu secepat yang bisa dilakukannya. Sementara itu Djaka Tua yang menyaksikan hal itu walau dirinya berada dalam keadaan cidera dan sakit mau tak mau selain heran juga merasa geli.
“Cukup Kek?” tanya Wiro.
“Tunggu, masih ada yang kental,” jawab Setan Ngompol.
Suara caci maki Supat tidak terdengar lagi. Berganti dengan suara seperti orang mengorok. Lalu perajurit ini semburkan muntah. lsi perutnya serasa mau terbongkar. Wiro turunkan kaki dari atas leher Supat. Setan Ngompol juga turunkan kaki kirinya ke tanah.
“Bagaimana? Enak?!” tanya Wiro.
“Mau lagi?!” tanya Setan Ngompol seraya melirik ke arah Gondo. Melihat orang memperhatikan dirinya, Gondo tidak menunggu lebih lama. Serta merta perajurit Keraton satu ini putar tubuh dan lari lintang pukang dari tempat itu.
“Hak... huk... hak... huk... Hueekkk!”
Supat kembali semburkan muntah. Kelumpuhan pada tubuhnya sebelah kiri lenyap. Setelah menungging-nungging dia berusaha berdiri walau terhuyung-huyung. Melihat temannya kabur dia akhirnya melakukan hal yang sama. Ambil langkah seribu meski larinya tersaruk-saruk.
Djaka Tua menyeka darah yang membasahi muka sekitar hidung dan mulut lalu berdiri. Sambil memegangi perutnya yang bekas dijotos pembantu yang malang ini melangkah mendekati Wiro dan Setan Ngompol lalu jatuhkan diri di hadapan kedua orang itu.
BAB 4
“KAKEK dan Raden berdua, saya Djaka Tua, sangat berterima kasih atas pertolongannya. Kalau tidak diselamatkan niscaya saat ini saya sudah menemui ajal ditangan dua orang perajurit Keraton tadi.”
Suara Diaka Tua tersengal bindeng akibat cidera di hidungnya. Begitu terhenti bicara darah mengucur dari hidung. Dia berusaha membungkuk. Tapi tubuhnya menghuyung, hampir terjerambab ke tanah kalau tidak bahunya cepat ditahan Setan Ngompol.
“Duduk saja di tanah. Tidak perlu berlutut di hadapan kami,” kata Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu dia menotok jalan darah di pelipis dan leher Djaka Tua. Darah yang tadi mengucur di hidung serta merta berhenti. Rasa sakit akibat cidera pada hidung serta mulut perlahan-lahan terasa jauh berkurang.
“Terima kasih... Saya benar-benar berhutang budi besar pada Raden...” Setelah ditotok suara Djaka Tua tidak bindeng lagi.
“Namaku Wiro. Tidak usah memanggil dengan sebutan Raden segala. Kakek ini biasa dipanggil Setan Ngompol.”
“Saya sangat berterima kasih...” Djaka Tua angguk-anggukkan kepala. Dua matanya tampak berkaca-kaca.
“Mengapa dua orang perajurit Keraton itu hendak membunuhmu?” bertanya Setan Ngompol. “Betul kau menculik bayi Patih Kerajaan?”
Djaka Tua duduk bersila di tanah, tak segera menjawab. Walau dua orang itu telah menyelamatkannya namun dia masih belum tahu siapa mereka adanya. Rasa kawatir membuat dia tidak mau membalas budi baik orang dan hutang nyawa dengan menjawab secara jujur.
“Jika dia tidak mau bicara kita pergi saja dari sini. lngat Kek, kita masih banyak urusan yang harus dikerjakan.” Kata Wiro.
“Ra... Wiro, tunggu. Jangan tinggalkan saya di tempat ini. Mengingat budi pertolongan yang sudah saya terima tentu saja saya akan akan menceritakan. Tapi saya ingin tahu lebih dulu siapa adanya sahabat berdua. Apa yang akan saya ceritakan merupakan taruhan nyawa. Taruhan nyawa saya sendiri dan seorang lain yang harus saya lindungi keselamatannya.”
“Kalau kau ingin tahu, kami berdua adalah orang. orang gila rimba persilatan. Apakah keterangan itu cukup membuat kau mau bicara?!” Ucap murid Sinto Gendeng pula.
Djaka Tua terdiam. Dia sering mendengar bahwa orang-orang rimba persilatan berkepandaian tinggi ada kalanya menunjukkan sikap serta penampilan aneh. Dengan suara perlahan Djaka Tua berkata,
“Saya memang menculik bayi Raden Mas Wira Bumi. Waktu itu beliau masih menjabat sebagai Tumenggung. Sekarang kabarnya sudah menjadi Patih Kerajaan. Semua masalah yang saya hadapi bermula ketika saya datang ke Goa Girijati untuk memberi tahu bahwa istri Raden Mas Wira Bumi sudah melahirkan seorang bayi perempuan...”
“Wong edan! Ternyata kau lebih gila dari kami! Mengapa berani-beranian menculik bayi seorang pejabat tinggi Kerajaan?” tanya Setan Ngompol pula sambil usap-usap perut.
“Bapak tua...”
“Panggil saya Djaka Tua,” kata Djaka Tua pada Wiro.
“Djaka Tua, ada orang yang menyuruhmu menculik bayi itu?” tanya Wiro. “Kau mendapat bayaran besar? Benar?”
Djaka Tua usap darah di dagunya lalu gelengkan kepala. “Tidak ada yang menyuruh saya. Saya menculik justru untuk menyelamatkannya. Seseorang memerintahkan Saya untuk membunuh bayi itu dengan sebilah golok besar milik Raden Mas Wira Bumi.”
“Siapa yang menyuruh?” Tanya Setan Ngompol.
“Satu mahluk dari alam roh. Perintah diberikan pada Raden Mas Wira Bumi. Karena beliau telah menyalahi sumpah perjanjian. Tapi Raden Mas lalu menyuruh saya melaksanakan tugas itu...” menerangkan Djaka Tua.
“Mahluk dari alam roh itu apakah dia sebangsa hantu, setan, dedemit atau apa?!” tanya Setan Ngompol sambil menahan kencing yang mau muncrat.
“Saya tidak tahu. Ujudnya seorang nenek angker serba merah, mulai dari rambut sampai kaki. Pertama kali saya melihat sewaktu malam hari dibawa paksa oleh Raden Mas Wira Bumi ke pekuburan Kebonagung...”
“ltu pekuburan besar di luar Kotaraja,” ujar Setan Ngompol.
Djaka Tua mengangguk. “Dari dalam sebuah makam yang dijaga oleh seorang kuncen saya lihat sendiri ada semburan asap. Lalu muncul sosok seorang nenek sangat mengerikan. Rambut, muka, pakaian, tubuh, semua serba merah. Raden Mas Wira Bumi memanggil mahluk ini Nyai Tumbal Jiwo...”
Setan Ngompol berpaling pada Wiro. “Kek aku belum pernah mendengar nama itu. Apa lagi kenal orangnya.” Kata Wiro yang mengerti maksud pandangan Setan Ngompol.
“Aku juga tidak tahu siapa adanya mahluk itu,” ucap Setan Ngompol pula.
“Mahluk itu adalah guru Raden Mas Wira Bumi dalam mendapatkan ilmu kesaktian.” Menerangkan Djaka Tua.
“Begitu? Lalu bayi yang kau culik, kau kemanakan? Berada dimana sekarang?” tanya Wiro.
“ltulah yang menjadi pikiran saya. Di tengah jalan, waktu itu hujan turun lebat sekali. Saya masuk ke dalam goa. Bayi yang saya bedung dalam sehelai kain menangis terus-terusan. Tiba-tiba di mulut goa saya lihat ada kabut tipis. Di dalam kabut muncul seorang kakek pakaian selempang kain putih. Tubuhnya tinggi, kepala hampir menyondak bagian atas goa. Di tangan kiri dia memegang sebuah tongkat kayu putih. Orang tua itu memanggil saya sahabat. Dia minta agar saya menyerahkan bayi karena katanya saya tidak akan bisa merawat. Katanya lagi bayi itu berjodoh dengan dirinya. Kalau sampai terlambat bayi itu akan mati. Saya jadi bingung, juga takut. Akhirnya bayi saya serahkan saja. Si orang tua lalu memberi nama bayi itu Ken Permata. Orang tua ini juga tahu kalau saya membekal golok besar milik Raden Mas Wira Bumi yang sebenarnya akan dipakai untuk menggorok bayi malang itu. Dia minta golok, saya serahkan. Sebelum pergi orang tua itu melenyapkan punuk yang selama lima puluh tahun ada di punggung saya...”
“Sakti luar biasa, “ kata Wiro sambil garuk kepala. “Djaka Tua kau tahu siapa adanya orang tua itu?” tanya Wiro.
Djaka Tua menggeleng. “Saya juga tidak tahu dibawa kemana bayi itu...”
“Tololnya! Kau menyerahkan anak orang seperti menyerahkan kucing!” kata Setan Ngompol.
“Saat itu saya bingung sekali. Saya percaya pada kuasa dan jalan Tuhan. Kalau tindakan saya salah biarlah saya menerima hukuman dunia akhirat. Orang tua itu adalah seorang sakti berhati mulia. Dia pasti akan menjaga bayi itu baik-baik. Saya berharap satu ketika, kalau sudah besar dia akan datang menyerahkan bayi itu pada ibunya. Cuma sayang...”
“Cuma sayang apa?” tanya Wiro.
“Ibu bayi itu saat ini berada dalam keadaan tidak waras. Pikirannya terganggu. Dia melarikan diri dari Gedung Tumenggung...”
“Mendengar bicaramu agaknya kau tahu dimana ibu bayi itu berada.”
Djaka Tua menatap wajah Pendekar 212 Wiro Sableng lalu menoleh pada Setan Ngompol. “Waktu dua perajurit itu menyiksa saya agar memberi tahu dimana tempat kediaman saya, saya memilih lebih baik dibunuh...”
“Kami tidak akan membunuhmu sekalipun kau tidak mau memberi tahu,” kata Setan Ngompol pula.
“Saya percaya. Saya akan membawa para sahabat kesana...” kata Djaka Tua lalu berdiri dan melangkah.
Melihat langkah Djaka Tua yang tertatih dan terhuyung Setan Ngompol hilang sabarnya. “Kalau kami mengikutimu. sedang kau berjalan seperti siput seperti itu, hampir kiamat rasanya baru sampai ke tempat tujuan! Biar kugendong. Kau tinggal menunjukkan jalan!”
Habis berkata begitu Setan Ngompol lalu dukung Djaka Tua di bahu kirinya. Celakanya tubuh Djaka Tua digendong melintang dengan bagian kepala menghadap ke depan sebelah bawah hingga mukanya bersentuhan dengan celana gombrong Setan Ngompol yang basah lepek oleh air kencing dan menebar bau pesing!
********************
KETIKA sampai di gubuk di hutan jati, ke tiga orang itu dapatkan pintu terbuka dan gubuk dalam keadaan kosong. Djaka Tua yang masuk ke dalam keluar kembali. Wajahnya menunjukkan rasa kawatir.
“Den Ayu...?!” Djaka Tua memanggil. Mula-mula dengan suara perlahan lalu bertambah keras. Tidak ada sahutan.
“Den Ayu! Kemuning!” Djaka Tua kembali berseru, tetap tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara semilir tiupan angin dan daun-daun pohon jati yang saling bergesekan.
“Siapa Kemuning?” tanya Wiro pada Djaka Tua.
“Anak Nyi Retno Mantili...”
“Kau bilang anak itu telah kau serahkan pada seorang kakek sakti. Namanya Ken Permata, bukan Kemuning.” Kata Setan Ngompol pula.
“Bayi asli memang saya serahkan pada kakek sakti waktu di dalam goa. Yang bernama Kemuning ini adalah sebuah boneka kayu yang oleh Den Ayu dianggap sebagai bayinya yang hilang.”
Mendengar keterangan Djaka Tua Setan Ngompol dan Wiro jadi saling pandang. Si kakek tersenyum. Si pemuda garuk-garuk kepala tapi otaknya berpikir-pikir.
“Den Ayu! Kau berada dimana? Ini aku Djaka Tua sudah kembali dari pasar. Aku membeli pisang untuk Kemuning!” Untuk kesekian kalinya Djaka Tua berseru.
Tiba-tiba ada suara tawa perempuan melengking. Setan Ngompol langsung pancarkan air kencing. Pendekar 212 Wiro Sableng berpaling. Mencari siapa yang barusan tertawa. Namun suara tawa itu seolah datang dari berbagai arah.
Djaka tua tampak tegang. “Den Ayu...?!”
“Wiro awas!” Setan Ngompol berteriak. Secepat kilat dia mendorong tubuh Wiro ke belakang, merangkul pinggangnya lalu bergulingan di tanah. Saat itu dari atas sebatang pohon jati berkiblat dua larik sinar putih menyilaukan. Di lain kejap...
"Buumm! Buuumm!"
Dua letusan keras menggelegar. Tanah terbongkar. Asap mengepul. Dua lobang terpentang lebar dan dalam di bekas tempat Setan Ngompol dan Wiro tadi berdiri. Kencing si kakek muncrat tak karuan. Wiro sendiri terduduk setengah berlutut dengan wajah pucat.
“Gila! Setan dari mana mau membunuh kita?!” ucap Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perutnya.
Saat itu dari atas salah satu pohon jati besar melayang turun sosok seorang perempuan berpakaian kumal, rambut tergerai kusut masai. Di tangan kirinya dia memegang sebuah boneka perempuan terbuat dari kayu. Boneka diarahkan pada Wiro dan Setan Ngompol. Jari-jari tangan siap memencet pinggang boneka. Jika pinggang boneka ditekan, dari sepasang mata boneka akan melesat keluar dua larik sinar putih. Sinar-sinar itulah yang tadi menyerang Wiro dan Setan Ngompol. Melihat serangannya gagal kini si pemegang boneka yaitu Nyi Retno Mantili kembali hendak melepas serangan kedua.
“Den Ayu! Jangan!”
Nyi Retno Mantili menjadi ragu meneruskan serangan ketika didengarnya seruan Djaka Tua. Perempuan ini membuat gerakan jungkir balik di udara, begitu turun dia sudah berdiri di hadapan Djaka Tua. Tangan kanan berkacak pinggang, tangan kiri masih memegang boneka dan tetap diarahkan pada Wiro serta Setan Ngompol.
“Dua orang itu telah menganiayamu! Mereka memaksamu datang kesini. Ternyata kau telah berkhianat!” Suara Nyi Retno Mantili keras sekali dan dua matanya memandang mendelik. “Kalian bertiga akan aku habisi saat ini juga!”
“Den Ayu, kau keliru. Justru kedua orang itu telah menyelamatkan diriku,” kata Djaka Tua. Lalu dengan cepat dia menerangkan apa yang telah terjadi.
Sementara Djaka Tua memberi keterangan. Wiro dan Setan Ngompol saling bicara berbisik. “Kek, aku ingat sekali. Bukankah perempuan membawa boneka ini yang dulu kita temui di hutan belantara? Yang hendak diperkosa oleh seorang lelaki berperawakan dan punya ilmu pukulan seperti Pangeran Matahari?!”
“Perempuan kecil halus. Wajah dekil rambut kusut awut-awutan. Tapi cantik!” menyahuti Setan Ngompol sambil matanya menatap ke arah Nyi Retno Mantili. Si kakek rupanya hanya ingat cantiknya orang saja. “Kau betul Wiro. Perempuan inilah yang menghajar Pangeran Matahari dengan dua cahaya sakti yang keluar dari sepasang mata boneka kayu. Lalu sosoknya lenyap dan berganti muncul seorang nenek muka putih yang menuduh Pangeran Matahari sebagai Hantu Pemerkosa. Nenek muka putih itu kemudian membuntungi tangan kiri Pangeran Matahari.”
“Jadi inilah Nyi Retno Mantili, istri Raden Mas Wira Bumi. Sang suami jadi Patih Kerajaan. Dia sendiri dalam keadaan begini rupa. Kasihan sekali...”
“Kasihan satu langkah menuju naksir” ucap Setan Ngompol lalu tertawa cengar cengir.
Di depan sana tiba-tiba perempuan muda yang memegang boneka keluarkan ucapan. “Aku dengar kalian menyebut-nyebut nama Nyi Retno Mantill. Siapa itu? Perempuan mana dia?!”
Setan Ngompol bengong. Wiro garuk-garuk kepala. “Betul keterangan Djaka Tua. Perempuan muda lni benar-benar sudah rusak ingatannya.” Kata Wiro dalam hati.
“Begini... Nyi Retno adalah seorang sahabat kami yang sudah lama tidak pernah ketemu. Wajahnya menyerupai Den Ayu. Tapi Den Ayu jauh lebih cantik...”
Nyi Retno Mantili tertawa keras dan panjang. “Laki-laki dimana-mana sama saja. Mulut mudah mengumbar rayuan. Aku tidak cantik. Pakaianku kumuh, tubuhku dekil. Hik hik hik.” Nyi Retno berpaling pada Setan Ngompol. “Kakek yang kupingnya terbalik, temanmu ini matanya pasti sudah terbalik!”
“Tidak Den Ayu, kau memang cantik,” jawab Setan Ngompol.
Nyi Retno Mantili kembali tertawa. “Yang muda yang tua sama saja belangnya!” Setelah memperhatikan Pendekar 212 sejenak, perempuan muda ini berkata. ”Menurut pengasuh anakku, kalian mengaku sebagai orang-orang gila rimba persilatan! Apa betul?!”
“Betul sekali Den Ayu,” jawab Setan Ngompol.
“Walau gila tentunya punya julukan” kata Nyi Retno Mantili pula.
“Ah kami cuma orang-orang gila pinggiran, orang-orang rimba persilatan kelas teri. Mana punya julukan...”
“Lalu apa kalian juga tidak punya nama?!”
Setan Ngompol batuk-batuk, usap-usap perut. “Namaku jelek. Orang-orang menyebut aku Setan Ngompol...”
Nyi Retno Mantili tertawa cekikikan. “Pantas dari tadi aku mencium bau pesing. Rupanya kau yang ngompol di celana.” Nyi Retno berpaling pada Wiro. “Kau tidak punya nama?”
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. “Sobat mudaku ini orangnya pemalu. Biar aku yang memberi tahu. Namanya Wiro. Wiro Sableng.”
Wiro tersenyum. “Nyatanya dia bisa tersenyum. Berarti tidak pemalu tapi mata keranjang. Hik hik hik! Ada orang namanya pakai sableng segala! Sableng benaran apa?!”
“Den Ayu, jangan mempermainkan orang yang telah menolong kita.” Djaka Tua berkata.
Nyi Retno Mantili cuma tertawa panjang sambil matanya melirik ke arah murid Sinto Gendeng. Melihat sikap Nyi Retno Mantili ini Setan Ngompol membatin. “Perempuan sinting ini sepertinya tertarik pada anak setan itu. Urusan bisa jadi panjang. Harus cepat-cepat pergi dari sini.”
“Den Ayu, apa saya boleh bertanya?”
“Nah, apa kataku. Dia mau bicara padaku. Silahkan saja kalau mau bertanya. Aku siap memberi jawaban terlebih dulu. Anakku ini namanya Kemuning. Aku bukan Nyi Retno Mantili. Aku tidak punya suami. Aku tidak kenal Raden Mas Wira Bumi...”
“Maaf Den Ayu, saya tidak menanyakan semua itu. Saya ingin tahu. Waktu kejadian di hutan, ketika Den Ayu diserang lelaki tinggi besar berjubah kelabu dan Den Ayu menghajarnya dengan satu pukulan sakti. Den Ayu tiba-tiba lenyap. Lalu muncul seorang nenek muka putih. Pertanyaan saya, apakah nenek muka putih itu perubahan ujud dari Den Ayu...?”
Nyi Retno Mantili tertawa cekikikan. Djaka Tua memperhatikan. Tidak pernah dilihatnya Nyi Retno banyak tertawa seperti saat itu. Kehadiran dua orang yang menolongnya itu rupanya mendatangkan kegembiraan pada diri Nyi Retno. Djaka Tua ikut merasa senang.
“Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Dari dulu aku seperti ini, tidak pernah berubah ujud. Apa kau kira aku ini mahluk gaib atau setan jejadian? Hik hik hik!”
Wiro garuk-garuk kepala. “Menurut Djaka Tua...”
Nyi Retno memotong ucapan Setan Ngompol dengan pertanyaan. “Djaka Tua, siapa itu Djaka Tua?!”
Si kakek menunjuk ke arah Djaka Tua. “Dia. pengasuh anak Den Ayu.”
“Oh dia. Baru tahu aku kalau namanya Djaka Tua.” Nyi Retno Mantili kembali tertawa cekikikan. Djaka Tua sendiri hanya tegak berdiam diri.
“Menurut Djaka Tua, anakmu itu bernama Kemuning. Nama bagus.” Setan Ngompol meneruskan ucapannya yang tadi terpotong.
“Kau suka anakku? Mau menggendongnya?” Nyi Retno melangkah mendekati Setan Ngompol hendak menyerahkan boneka kayu pada si kakek. Tapi tiba-tiba boneka yang sudah diulurkan ditarik kembali. “Tidak mungkin aku bisa percaya pada orang yang punya nama Setan sepertimu. Hik hik! Nanti anakku dibawa kabur! Apalagi kau bau pesing! lihhh!”
Nyi Retno Mantili lalu berpaling pada Wiro. “Kau mau menggendong Kemuning? Mungkin dia suka padamu.”
Wiro tidak menjawab. Bergerak pun tidak. Nyi Retno lalu mendatanginya dan mengulurkan boneka kayu. Mau tak mau Wiro mengambil boneka itu. Dengan kikuk dia menirukan cara orang menggendong bayi. Setan Ngompol memperhatikan dengan tertawa-tawa. Djaka Tua mengulum senyum.
“Nah, nah! Kemuning suka padamu. Anak itu tidak menangis.” Ucap Nyi Retno Mantili pula.
Ketika Wiro hendak menyerahkan boneka kayu kembali Nyi Retno berkata. “Gendong saja biar lama. Kemuning anteng sekali dalam gendonganmu. Apa kau takut dikencingi? Hik hik hik...?"
Wiro jadi serba salah. Terlebih ketika melihat Setan Ngompol memberi isyarat agar mereka segera tinggalkan tempat itu. “Den Ayu, kami senang mengenalmu. Kami juga suka pada anakmu, Kemuning. Cuma, kami tidak bisa lama-lama di sini. Kami terpaksa minta diri...” Wiro ulurkan boneka kayu.
“Tunggu dulu,” jawab Nyi Retno. Dia tidak mau mengambil boneka yang diulurkan.
Wiro tidak kehabisan akal. Boneka diserahkan pada Djaka Tua. “Maaf Den Ayu, saya ingin buang air kecil. Tadi kebanyakan minum air tebu...” Setelah menyerahkan Kemuning pada Djaka Tua, Wiro segera putar tubuh tinggalkan tempat itu.
“Aduh, perutku juga mendadak mulas. Den Ayu, Djaka Tua aku pergi dulu.” Setan Ngompol ikut-ikutan ngacir dari tempat itu.
Nyi Rento Mantili tampak gusar. Dia ambil boneka kayu dari tangan Djaka Tua lalu diarahkan pada kedua orang yang berada di depan sana. Jari-jari tangannya siap menekan pinggang boneka.
“Jangan Den Ayu. Mereka orang-orang baik. Saya yakin mereka terpaksa pergi karena ada kepentingan ain yang tak bisa menunggu...”
“Kalau begitu mari kita ikuti kemana mereka pergi!” kata Nyi Retno pula. “Aku ingin tahu orang-orang gila bagaimana mereka sebenarnya!”
Ketika Nyi Retno Mantili berkelebat ke arah dua orang yang telah pergi itu mau tak mau Djaka Tua terpaksa mengikuti. Lagi pula dia punya firasat bahwa keberadaannya yang telah diketahui dua perajurit Keraton cepat atau lambat akan mendatangkan bahaya bagi Nyi Retno.
********************
MASlH dalam keadaan cidera, Gondo dan Supat sesampainya di Kotaraja langsung menghadap Patih Kerajaan. Setelah menunggu cukup lama akhirnya ke dua orang ini dipersilahkan menunggu di pendopo timur. Begitu Patih Kerajaan datang dua perajurit segera menceritakan pertemuan mereka dengan Djaka Tua. Tentu saja tidak lupa mereka menerangkan munculnya dua orang aneh, satu kakek bermata besar berkuping lebar bau pesing dan seorang pemuda berikat kepala putih berambut panjang sebahu.
“Dua perajurit, jika aku bisa menangkap Djaka Tua dan menemukan bayi, kalian berdua akan aku beri hadiah besar dan kenaikan pangkat satu tingkat.” Kata Raden Mas Wira Bumi.
Supat dan Gondo merasa girang dan membungkuk dalam-dalam sambil mengucupkan terima kasih. Patih Kerajaan kemudian menyambung ucapannya. “Namun ingat baik-baik. Mulai saat ini kalian harus melupakan apa yang telah terjadi di hutan jati itu. Kalian tidak pernah bertemu Diaka Tua serta dua orang aneh itu. Kalian juga tidak tahu menahu tentang bayi. Kalian mengerti?”
“Kami mengerti Kanjeng Patih,” jawab Supat dan Gondo sambil membungkuk.
Tak lama setelah kedua perajurit itu pergi, Raden Mas Wira Bumi menemui seorang tokoh silat Keraton bernama Cagak Lenting berjuluk Si Mata Elang. Orang ini sebenarnya tidak memiliki ilmu silat atau kesaktian tinggi. Namun dia disegani karena punya kemampuan luar biasa dalam mencari jejak, mengejar dan menemukan seseorang. Siang itu juga secara diam-diam Raden Mas Wira Bumi bersama Cagak Lenting meninggalkan Gedung Kepatihan dengan menunggang kuda keduanya menuju tempat dimana Supat dan Gondo menghadang dan menghajar Djaka Tua.
Cukup lama Cagak Lenting memperhatikan keadaan di tempat itu dengan sepasang mata elangnya. Terakhir sekali dia jongkok, letakkan telapak tangan kiri kanan di tanah. digeser-geser beberapa kali lalu tegak berdiri dongakkan kepala. menghirup udara dalam-dalam.
“Bagaimana?” tanya Patih Wira Bumi tidak sabaran.
“Saya mendapat petunjuk ada dua orang pergi kearah selatan. Arah Kotaraja. Mereka pasti dua perajurit yang datang melapor. Lalu ada tiga orang bergerak ke arah barat. Djaka Tua dan dua orang aneh itu.”
Wira Bumi memandang ke langit. Matahari telah menggelincir ke barat. “Kita ke barat. Kau di sebelah depan.” Kata Wira Bumi.
Cukup lama memacu kuda ke arah barat akhirnya ke dua orang itu sampai di pinggiran hutan jati. Si Mata Elang hentikan kudanya sejenak. Mata memandang tajam berkeliling lalu memberi tanda pada Patih Kerajaan untuk mengikutinya. Tak selang berapa lama Cagak Lenting hentikan kudanya di depan sebuah gubuk. Bersama Wira Bumi dia masuk memeriksa.
“Kita terlambat...” kata Patih Kerajaan sambil memperhatikan isi gubuk. Dia mengambil sebuah keranjang dan menemukan sesisir pisang. “Bayi itu ada di sini! Lihat, ini pisang makanan bayi.”
Cagak Lenting alias Si Mata Elang menggeleng. “Petunjuk yang saya dapat hanya ada dua orang pernah berada di tempat ini. Tidak ada bayi . Dan kedua orang itu agaknya telah pergi dari sini.”
“Aku harus tahu mereka menuju kemana.” Kata Wira Bumi pula. Si Mata Elang keluar dari gubuk. Memperhatikan jejak-jejak di tanah. Lalu memandang ke jurusan sebelah kanan. Menghirup udara dalam-dalam. “Kanjeng Patih, mereka pergi ke arah utara. Ada empat orang...”
“Aku sudah bisa menduga. Nyi Retno, Djaka Tua dan dua orang aneh itu. Kita kejar mereka.”
“Jarak kita terlalu jauh Kanjeng Patih. Belum tentu kita bisa mengejar mereka sebelum malam tiba. Selain itu bukankah petang ini ada pertemuan penting dengan Sri Baginda?”
“Cagak Lenting. kau teruskan mengejar ke arah utara. Aku kembali ke Kotaraja. Mampir di Kaliurang. Cari Kepala Desa. Jika kau menemui orang-orang itu jangan mengambil tindakan dulu. Awasi saja jangan sampai lolos. Kita berhadapan dengan tokoh-tokoh aneh rimba persilatan. Usahakan mencari tahu siapa mereka. Kemudian perintahkan Kepala Desa segera menemuiku di Gedung Kepatihan.”
“Perintah Kanjeng Patih akan saya laksanakan. Saya mohon diri.” Cagak Lenting naik ke atas kudanya lalu memacu binatang itu menuju utara.
********************
BAB 5
PENDEKAR 212 Wiro Sableng perlambat lari. berpaling pada Setan Ngompol di sampingnya. “Kek, kau tahu kalau kita ada yang mengikuti?”
“Sudah tahu dari tadi. Juga sudah tahu siapa orangnya. Justru aku tengah mencari akal bagaimana caranya bisa menyelinap dari kejaran mereka.”
“Kita bisa menghilang dari kejaran Djaka Tua. Tapi dari perempuan muda berotak tidak waras itu rasanya sulit. Dia hanya sekitar dua puluh tombak di belakang kita. Turut keterangan Djaka Tua, Nyi Retno Mantili dulu tak punya ilmu kepandaian apa-apa. Jika sekarang ia memiliki ilmu silat, kesaktian serta ilmu lari yang begitu hebat, sungguh luar biasa. Siapa gerangan gurunya?”
“Bagaimana kalau kita tunggu saja dua orang itu. Kita tanyakan pada Nyi Retno apa maunya.”
“Urusan bisa berabe Kek. Jelas dia mau ikut kemana kita pergi...”
“Wiro, jika mereka masih mengejar seharusnya Nyi Retno sudah sampai lebih dulu di sini,” kata Setan Ngompol pula sambil putar-putar daun telinga sebelah kiri dan memandang ke jurusan yang barusan mereka lalui.
“Aku mendengar suara derap kaki kuda...” Baru saja Wiro selesai berucap tiba-tiba ada suara kuda meringkik disusul bentakan-bentakan keras.
“ltu teriakan Nyi Retno!” ujar Setan Ngompol sambil menahan kencing.
Tidak menunggu lebih lama kedua orang itu segera menghambur ke arah datangnya suara kuda meringkik serta bentakan-bentakan. Di satu kelokan jalan mereka temui seekor kuda tergeletak di tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Kepalanya hancur. Di samping binatang ini, terduduk di tanah seorang lelaki berpakaian dan berikat kepala hijau, rambut menjulai sebahu. Wajah sangat pucat, mata memandang membeliak penuh takut pada Nyi Retno Mantili yang saat itu berdiri hanya terpisah beberapa langkah. Tangan kiri memegang boneka kayu, dia arahkan pada orang yana terduduk di tanah yaitu Cagak Lenting alias Si Mata Elang.
“Den Ayu! Jangan!” teriak Setan Ngompol. Kencingnya terpancar. Selain ingin mencegah serangan maut yang hendak dilancarkan Nyi Retno dengan bonekanya, kakek ini juga mengenali siapa adanya orang yang hendak jadi korban itu.
“Tua bangka bau pesing! Apa urusanmu!” Bentak Nyi Retno dengan suara lantang wajah garang. Dia turunkan tangan kirinya sedikit, kemudian diangkat lagi, kembali di arahkan pada Cagak Lenting.
“Den Ayu, saya mohon jangan bunuh orang itu!” Kini Wiro yang berucap. Beberapa waktu lalu bersama Setan Ngompol dia telah melihat Nyi Retno menghantam Pangeran Matahari dengan sinar sakti yang melesat keluar dari sepasang mata boneka kayu. Akibatnya luar biasa. Sang Pangeran yang memiliki kepandaian tinggi itu terpental muntah darah!
Gerakan Nyi Retno langsung terhenti ketika mendengar ucapan Wiro. Perempuan muda ini terdiam sesaat. Perlahan-lahan dia palingkan kepala. Ada secercah senyum di sudut bibirnya. “Wiro. jika kau yang melarang aku menurut saja...” Keluar ucapan itu dari mulut Nyi Retno Mantili. Tangan kirinya yang memegang boneka diturunkan lalu boneka didekap ke dada. “Tapi manusia jahat ini telah membunuh pengasuh Kemuning...”
“A... aku tidak membunuhnya. Dia hanya pingsan...”
“Mana pengasuh anakku?!” bentak Nyi Retno. “Dia tergeletak di ujung jalan sana.”
Wiro segera lari ke arah yang ditunjuk Cagak Lenting, diikuti Nyi Retno sementara Setan Ngompol cepat menghampiri Cagak Lenting, membantu orang ini bangkit berdiri. “Sobatku Cagak Lenting, apa kau masih ingat diriku?” sapa Setan Ngompol.
“Ah... mana ada tokoh sakti lelaki bau pesing di dunia ini selain dirimu? Setan Ngompol, lama tidak bertemu tahu-tahu kau muncul menyelamatkan diriku. Aku bersyukur pada Tuhan dan berterima kasih padamu.”
“Apa yang terjadi? Mengapa perempuan itu hendak membunuh sahabatku yang berjuluk Si Mata Elang ini?” tanya Setan Ngompol.
“Sobatku, tugas seringkali mendatangkan kesulitan. Aku diperintahkan oleh Patih Kerajaan untuk mengejar Djaka Tua dan Nyi Retno. Juga dua orang seperti yang dilaporkan dua perajurit Keraton. Siapa menyangka dua orang itu salah satu diantaranya adalah engkau. Pemuda berambut gondrong itu, siapakah dia?”
“Dia adalah Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede.”
“Ternyata rejekiku besar sekali hari ini. Selain diselamatkan aku juga bisa bertemu dengan dua tokoh silat tanah Jawa. Aku sudah lama mendengar nama hebat sobat mudamu itu. Baru sekali ini bertemu muka. Setahuku guru dan murid itu banyak sekali membantu Kerajaan di masa yang sudah-sudah.”
Lalu Cagak Lenting ceritakan tugas yang diberikan Patih Kerajaan padanya. “Ketika sampai di kawasan ini sebenarnya aku berdua dengan Kepala Desa Kaliurang Ki Sentot Bayu. Setelah melihat Djaka Tua, aku suruh dia kembali ke Kotaraja untuk melapor pada Patih Kerajaan. Di tempat ini aku temui Djaka Tua, bekas pembantu Patih Kerajaan sewaktu masih jadi Tumenggung dulu. Dia berlari sendirian. Aku cekal dia. Djaka Tua berteriak. Aku tidak menduga kalau Nyi Retno Mantili juga ada di dekat situ. Tadinya mengira mungkin dia sudah berada di satu tempat tersembunyi. Dan aku sama sekali tidak menyangka perempuan muda itu memiliki ilmu kesaktian. Dia muncul langsung menyerangku. Aku selamat tapi kudaku menemui ajal. Luar biasa. Boneka kayu miliknya itu benar-benar merupakan senjata maut…”
Saat itu Wiro, Nyi Retno dan Djaka Tua muncul. Cagak Lenting cepat membungkuk. ”Pendekar Dua Satu Dua, saya Cagak Lenting menghaturkan terima kasih kau telah menyelamatkan selembar nyawaku.” Cagak Lenting berpaling pada Nyi Retno. Dia membungkuk sekali lagi dan berkata. “Maafkan kalau saya telah berlaku lancang. Saya sangat berterima kasih Den Ayu telah mengampuni selembar nyawa saya. Saya yang tolol ini hanya melakukan perintah atasan, perintah Patih Kerajaan. Sekali lagi saya minta maaf.”
Nyi Retno Mantili tertawa sinis dan acuh. Dia memandang pada boneka kayu dan berkata. “Kemuning, kau dengar ucapan orang itu. Seringkali ketololan mencelakakan diri sendiri. Hik hik hik!”
“Para sahabat, silahkan semua melanjutkan perjalanan. Saya kawatir Patih Kerajaan akan muncul di sini bersama orang-orangnya. Sebelumnya saya sudah meminta seorang Kepala Desa untuk memberi tahu...”
“Apa yang akan kau katakan pada Patih Kerajaan karena tidak berhasil menangkap dua orang itu?” tanya Setan Ngompol. “Biar itu menjadi urusanku. Kalian pergilah...”
Setan ngompol masih belum puas. Dia ajukan satu pertanyaan lagi. “Cagak Lenting, kau tahu siapa adanya perempuan muda itu?”
Lebih dari tahu, sobatku. Yang aku masih tidak mengerti adalah cerita tentang seorang bayi...”
“Justru perihal bayi itulah yang membuat Nyi Retno jadi tidak waras. Di lain kesempatan, kalau kita bertemu lagi aku akan ceritakan kisahnya padamu. Sobatku, kita berpisah di sini...”
Cagak Lenting membungkuk dalam-dalam. Sebelum ke empat orang itu bergerak pergi, dia telah beranjak lebih dulu. Wiro dan Setan Ngompol saling pandang. “Bagaimana sekarang?” tanya si kakek.
“Apanya yang bagaimana?” tanya Nyi Retno Mantili sambil ayun-ayun boneka di tangan kiri. Tiba-tiba boneka itu diserahkan pada Wiro. “Anakku senang padamu, gendonglah.”
Wiro garuk-garuk kepala. Agaknya sekali ini sulit untuk meninggalkan Nyi Retno begitu saja. “Den Ayu. kau tidak mungkin ikutan dengan kami,” kata Setan Ngompol.
“Siapa mau ikut kamu. Aku mau ikut dia...” Nyi Retno menunjuk ke arah Wiro.
“Celaka!” ucap Pendekar 212 dalam hati dan kembali garuk-garuk kepala.
“Wiro, kalau Kemuning suka padamu, apakah aku tidak boleh suka padamu? Apakah aku tidak boleh ikut bersamamu?”
“Ooalaa. Perempuan sinting ini suka pada Wiro. Kenapa bisa jadi begini?!” Ucap Setan Ngompol dalam hati.
“Kemuning anak baik. Semua orang tentu suka padanya. Cuma saat ini saya dan kakek itu ada beberapa tugas yang harus dilakukan. Saya harap Den Ayu dan Djaka Tua mau bersabar untuk tidak ikut dulu. Nanti selesai urusan kami berdua pasti akan menemui Den Ayu...”
“Omongan lelaki siapa percaya. Kalau kau sudah pergi pasti tak ingat Kemuning, tak ingat diriku. Aku mengerti, orang seperti diriku ini siapa yang mau diajak jalan bersama? Dan Kemuning, hanya sebuah boneka kayu buruk...”
Djaka Tua tercengang mendengar ucapan Nyi Retno itu. “Tuhan,” ucap lelaki ini dalam hati. “Dalam ketidak warasannya apakah Engkau telah memberikan secercah kejernihan hati dan pikiran?”
Sepasang mata Nyi Retno tampak berkaca-kaca. Djaka Tua tundukkan kepala. Setan Ngompol pegangi bagian bawah perut. Pendekar 212 Wiro Sableng tegak terdiam. Nyi Retno melangkah mendekati Wiro. “Tolong kembalikan anakku,” pintanya dengan suara lirih.
Wiro jadi sedih dan kasihan melihat Nyi Retno Mantili. Hal ini membuat dia tidak segera menyerahkan boneka perempuan yang terbuat dari kayu itu. Dalam keadaan semua orang terdiam seperti itu dan kesunyian menggantung tidak enak, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat disusul suara bentakan dan menghamparnya bau pesing.
“Anak setan! Apa yang kau buat di tempat ini?!”
Wiro tergagau. Setan Ngompol tersentak kaget langsung muncratkan air kencing. Djaka Tua terheran-heran. Hanya Nyi Retno Mantili yang kelihatan tenang saja walau wajahnya masih menunjukkan kemurungan. Di tempat itu kini berdiri seorang nenek hitam, kurus tinggi agak bungkuk. Pipi dan mata cekung, rambut putih jarang. Tangan kiri membolang baling sebatang tongkat kayu butut hingga mengeluarkan suara bersiuran. Mata yang cekung itu menatap lekat-lekat ke wajah Pendekar 212, melirik pada boneka kayu yang dipegang Wiro, melirik lagi ke arah Nyi Retno Mantili. Tongkat ditancap di tanah.
“Anak setan! Jadi ini pekerjaanmu! Kuberi tugas malah berleha-leha enak-enakan. Siapa perempuan muda berpakaian dekil tak karuan rupa ini! Gendakmu yang baru?! Pantas... pantas!” Si nenek berpaling pada Setan Ngompol. “Tua bangka jelek! Pasti kau yang jadi mak comblangnya!”
“Sinto kau ini...” Setan Ngompol pegangi perut.
“Diam!” teriak Sinto Gendeng memotong ucapan Setan Ngompol lalu kembali memandang pada Wiro. “Anak setan! Apa yang kau pegang itu?!”
“Bayi Nek...” Karena gugup Wiro ketelepasan menjawab.
Tampang Sinto Gendeng jadi kelam mengkeret. Rahang menggembung, mulut perot komat kamit! Susur dalam mulut dikunyah gemas. Dia meludah ke tanah. “Bayi?!”
“Maksud saya, boneka Nek. Namanya Kemuning...”
“Setan! Jelas itu boneka. Bukan bayj! Apa kau kira aku buta, tak bisa melihat?! Aku juga tidak tanya namanya! Belum lama bertemu kau masih waras. Sekarang apa otakmu sudah berubah sinting? Eh, kau sudah sableng beneran ya?! Kau kawin sama perempuan hantu gembel ini sampai punya anak bayi berbentuk kayu? Hik hik hik!” Suara tawa Sinto Gendeng tiba-tiba dibarengi tawa Nyi Retno Mantili tak kalah nyaringnya.
“Setan perempuan! Jangan kau berani melecehkan tawaku! Jika saat ini aku tertawa, di lain kejap aku bisa berteriak dan membunuhmu!” Sepasang mata Sinto Gendeng yang cekung tampak berkilat-kilat.
“Nenek jelek! Sudah bau tanah mulutmu masih kotor! Kalau aku mau ketawa siapa berani melarang?! Kalau kau mau berteriak dan membunuhku mengapa tidak melakukan sekarang?!”
“Perempuan kurang ajar! Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa! Kurobek mulutmu!” Sinto Gendeng cabut tongkat yang menancap di tanah.
“Wuuttt!”
BAB 6
UJUNG tongkat di tangan kanan Sinto Gendeng melesat ke arah muka Nyi Retno Mantili.
“Eyang! Jangan!” teriak Wiro.
Si nenek tidak bergeming, terus lancarkan serangan. Sedang Nyi Retno Mantili tidak berusaha selamatkan diri. Tetap saja tegak di tempatnya.
“Kemuning, ada nenek jahat bau mau mencelakai ibumu, apa kita diam saja?!” Nyi Retno tiba-tiba berseru. Tangan kiri yang memegang boneka diangkat, diarahkan pada Sinto Gendeng. Jari-jari menekan.
“Den Ayu, tahan!” teriak Wiro. Dia cepat melompat dan berdiri menghalang di antara Sinto Gendeng dan Nyi Retno Mantili.
“Wiro, jika kau yang melarang aku menurut saja...” Nyi Retno mundur dua langkah. Tangan yang memegang boneka diturunkan.
“Breettt!” Ujung tongkat Sinto Gendeng menyambar punggung Wiro. Bukan saja merobek baju putihnya tapi juga menggurat dalam daging di bagian punggung hingga mengucurkan darah. Wiro menggigit bibir menahan sakit, melompat ke samping. Nyi Retno Mantili menjerit keras ketika melihat luka melintang panjang mengucurkan darah di punggung Wiro.
“Nenek jahat! Kau apakan Wiro! Aku tidak rela!” Nyi Retno menerjang ke arah Sinto Gendeng. Tangan kanan diangkat. Wajah boneka dipentang ke arah si nenek. Kali ini dia benar-benar ingin membunuh Sinto Gendeng.
Wiro cepat merangkul Nyi Retno seraya berkata. “Nyi Retno Mantili! Jangan! Dia guru saya. Dia berhak menghukum saya jika saya salah.”
“Tapi apa salahmu?!” teriak Nyi Retno. Matanya berkaca-kaca. Tangan kiri memagut punggung Wiro, mengusap darah yang mengucur. Perempuan tidak waras ini menjerit keras ketika tangannya basah oleh lumuran darah. “Wiro... Darahmu...” Nyi Retno menjerit lalu merangkul Pendekar 212 erat-erat.
Setan Ngompol terkencing habis-habisan. Tidak percaya dia melihat apa yang terjadi. Djaka Tua ingin mendekati Nyi Retno tapi tak berani. “Kalian manusia-manusia konyol sinting semua!” Sinto Gendeng memaki. “Anak setan! Kau dengar baik-baik ucapanku! Saat ini juga kau harus berangkat ke Gunung Gede. Temui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Ada hal sangat penting yang ingin dibicarakannya denganmu! Ini adalah perintah Kiai dan perintahku yang tidak boleh kau tolak! Soal Kitab Seribu Pengobatan kau tak perlu mencarinya lagi!”
Sinto Gendeng memandang garang ke arah Nyi Retno Mantili. Yang dipandang membalas dengan seringai mengejek. Membuat Sinto Gendeng tambah terbakar dada dan darah amarahnya. “Anak Setan! Sebelum aku minggat ada satu hal yang harus kau pertanggung jawabkan! Kau sudah membuat bunting seorang gadis bernama Wulan Srindi! Dia merampas satu dari lima tusuk kondeku. Mengatakan bahwa tusuk konde itu adalah sebagai Mas Kawin tanda perkawinan kalian! Cari setan perempuan itu! Kau harus dapat mengambil tusuk kondeku kembali! Soal nanti Wulan Srindi melahirkan bayimu, apa lahir berupa boneka kayu atau boneka batu aku tidak mau tahu!”
Wiro melengak kaget mendengar caci maki sang guru. “Eyang, saya tidak pernah berbuat serong seperti itu. Saya tidak pernah menggauli Wulan Srindi...”
“Lalu bagaimana dia bisa hamil?! Hantu yang membuntinginya?!” bentak Sinto Gendeng.
“Eyang, memang ada satu kejadian buruk menimpa diri Wulan Srindi. Malah seorang sahabat saya sampai dituduh melakukan kekejian itu. Namanya Jatilandak...”
“Anak Setan! Kau pandai bicara, pandai berkilah. Pandainya kau mencari kambing hitam. Tapi jangan mengira bisa mendustai tua bangka seperti aku ini! Aku hidup jauh lebih lama darimu! Aku pernah memeliharamu! Jadi tahu betul sifat serta sikapmu! Murid kurang ajar! Manusia tidak berbudi! Kau membuat malu diriku. Kau mencelemongi mukaku dengan kotoranmu! Jangan harap aku akan memberikan Ilmu Sepasang Inti Roh yang pernah kau minta!” (Baca serial Wiro Sableng berjudul Munculnya Sinto Gendeng)
Dalam diamnya Wiro merasa sekujur tubuh bergetar. Pelipis bergerak-gerak dan dada terasa sesak. Mulutnya terbuka tapi tidak sepotong suarapun yang bisa keluar. Luar biasa, guru yang dihormat dan dicintainya tega mengeluarkan ucapan begitu keras di hadapan sekian banyak orang. Soal ilmu kesaktian dia dulu memang pernah meminta ilmu Sepasang Inti Roh itu. Namun kemudian tidak pernah mengingat-ingatnya lagi. Dalam keadaan seperti sekarang ini dia tambah tidak berminat untuk memintanya. Apa lagi dia sudah memiliki ilmu yang hampir sama keampuhannya yaitu “Sepasang Pedang Dewa” yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh. Hanya saja ilmu ini cuma bisa dikeluarkan dua kali dalam waktu 360 hari.
Di tempatnya berdiri Wiro merasa punggungnya yang cidera sakit dan panas bukan main. Dua lutut mulai goyah. Getaran ditubuh semakin keras. Dia menggigil seperti diserang demam panas. Perlahan-lahan Pendekar 212 jatuh berlutut. Nyi Retno Mantili menjerit, jatuhkan diri dan terus merangkul Wiro. Luka panjang di punggung Wiro mengepulkan asap. Nyi Retno kembali menjerit.
Setan Ngompol cepat mendekati Wiro. Sinto Gendeng tak kelihatan lagi. Melihat keadaan luka di punggung Wiro yang mengepulkan asap, si kakek tusukkan tiga totokan. Darah serta merta berhenti mengucur dan kepulan asap perlahan-lahan sirna. Setan Ngompol sendiri habis menotok lalu kucurkan air kencing habis-habisan.
“Terima kasih Kek,” ucap Pendekar 212. Matanya menatap sayu pada Setan Ngompol. “Kek, mungkinkah aku telah berbuat dosa kesalahan? Aku tidak mengerti mengapa Eyang Sinto tega melukaiku. Aku yakin tadi dia masih bisa menarik pulang serangan tongkatnya. Tapi dia sengaja tidak melakukan. Soal Wulan Srindi itu, kau tahu aku tidak pernah berbuat sekeji itu. Hatiku sedih sekali Kek. Aku merasa sangat terpukul...”
Setan Ngompol hanya bisa angguk-anggukan kepala sambil pegangi bagian bawah perut. “Kek, mungkin dimatanya aku ini merupakan seorang murid murtad? Kalau aku salah memang pantas dihukum. Dibunuhpun aku ikhlas. Aku menghormati Eyang Sinto, juga menyayanginya. Tapi rasanya... Ah, aku ini memang murid kurang ajar!” Wiro akhirnya menyalahi diri sendiri. Sepasang matanya berkaca-kaca.
“Wiro, siapa berani membunuhmu akan aku bunuh juga!” tiba-tiba Nyi Retno berkata sambil tangan kanan mendekapkan boneka kayu ke dadanya.
Wiro menatap wajah Nyi Retno. Perempuan itu tersenyum padanya. Wiro hanya bisa balas tersenyum.
“Wiro, gurumu sedang kacau pikiran,” kata Setan Ngompol. “Wulan Srindi muncul memberi tahu bahwa dia sudah kawin denganmu dan hamil. Satu dari lima tusuk kondenya dirampas...”
“Aku kira nenek itu pikirannya lebih semrawut dari diriku!” lagi-lagi Nyi Retno keluarkan ucapan. “Kalau ada seribu gadis mengaku hamil, apa itu semua pekerjaan Wiro? Seharusnya dia menyelidik dulu. Uh! Baru kehilangan satu tusuk konde kelakuannya seperti setan kebakaran pantat! Murid sendiri dilukai! Dicaci maki! Bagaimana kalau tusuk kondenya hilang semua?! Mungkin manusia sejagat ini dibunuhinya!”
Djaka Tua sampai tertegun mendengar kata-kata Nyi Retno Mantili itu yang jelas-jelas membela Wiro. Dalam keadaan tidak waras bagaimana dia bisa bicara begitu. “Luar biasa sekali perubahannya setelah pertemuan dengan pemuda ini.”
Wiro berdiri. “Kek, tadi kau dengar sendiri Eyang Sinto mengatakan aku tidak perlu lagi mencari Kitab Seribu Pengobatan. Aku senang saja terbebas dari satu tugas berat. Tapi menurutmu apa yang telah terjadi?”
Setan Ngompol usap-usap perutnya. “Aku menduga, jangan-jangan dia sudah menemukan kitab itu. Jadi tidak memerlukan lagi bantuanmu.”
“Dugaanmu kurasa benar Kek. Tadi aku menyelidiki dirinya dengan Ilmu Menembus Pandang. Sebenarnya hal itu tidak boleh aku lakukan. Samar-samar aku melihat ada sebuah benda berbentuk kitab di balik pakaiannya sebelah kiri. Kalau kitab itu memang sudah ditemui dan berada di tangan Eyang Sinto aku merasa bersyukur. Tapi bagaimana kini caranya aku membantu dua murid Hantu Malam Bergigi Perak? Mereka membutuhkan petunjuk pengobatan yang ada dalam kitab itu. Kau tahu sendiri, kita sudah kepalang berjanji mau menolong.”
“Wiro, terus terang aku jadi bingung. Semakin lanjut usianya semakin aneh-aneh saja perilaku gurumu. Apa gunanya kitab itu dimilikinya sendirian. Padahal kitab bisa memberi pertolongan pada banyak orang. Apa dia ingin mengangkanginya sampai mati?!”
“Mungkin dia khawatir kitab itu akan dicuri orang lagi.”
“Bisa jadi. Tapi aku tahu. Sinto Gendeng itu perempuan culas!” kata Setan Ngompol pula.
“Mengenai perintahnya agar aku menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas, bagaimana menurutmu Kek?”
“Kau harus melaksanakan. Perintah itu bersumber dari sang Kiai.”
“Selama ini aku tidak dekat dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas.” Ucap Wiro sambil memandang pada Nyi Retno. Perempuan ini menatapnya dengan pandangan mata sayu. Suaranya terdengar lirih ketika berkata. “Kalau kau pergi ke Gunung Gede, aku ikut bersamamu. Aku mohon kau jangan meninggalkan diriku dan Kemuning...”
“Saya tak mungkin membawamu ke sana Nyi Retno Mantili. Perjalanan jauh dan sulit...”
Perempuan muda yang terganggu jalan pikirannya itu tersenyum. “Sudah beberapa kali kau memanggilku Nyi Retno Mantili. Biasanya aku marah dipanggil dengan nama itu. Tapi karena kau yang menyebut, sekarang aku jadi berpikir. Apakah itu memang namaku?”
Wiro memandang pada Djaka Tua. Pembantu ini tersenyum. Wiro berpaling lagi pada Nyi Retno lalu anggukkan kepala. “Retno Mantili, itu memang namamu. Nama bagus...” kata murid Sinto Gendeng pula.
Nyi Retno tertawa panjang dan lepas. Wajahnya tampak merah segar. “Wiro,” katanya. “Menurut perhitunganmu berapa lama waktu kau butuhkan untuk sampai ke puncak Gunung Gede?”
“Mengapa kau bertanya begitu Nyi Retno?”
“Jika berkuda mungkin delapan sampai sepuluh hari. Aku tahu jalan memintas. Aku hanya butuh waktu lima hari.”
“Sebaiknya kau tidak kesana. Tunggu saja di tempat kediaman Ki Tambakpati seorang juru pengobatan sahabat kami. Setan Ngompol akan mengantarkanmu kesana.”
Nyi Retno tertawa. “Wiro, aku dan Kemuning menunggumu di tepi telaga.”
Pendekar 212 tercengang. “Nyi Retno, bagaimana kau tahu kalau di puncak Gunung Gede ada telaga? Kau pernah...”
Nyi Retno tertawa panjang dan kedipkan sepasang matanya. Mata yang selama ini selalu sayu kuyu oleh penderitaan batin kali ini tampak begitu bagus bening bercahaya. Djaka Tua sampai mengucap nama Tuhan berulang kali melihat kejadian ini. Diam-diam dia merasa bahagia.
“Nyi Retno...” panggil Wiro.
Namun perempuan itu sudah berkelebat pergi. Dikejauhan terdengar suara nyanyiannya. Kemuning anakku sayang Ada seorang sahabat baik hati Membawa kita ke puncak Gunung Gede Dia berlari cepat seperti angin. Tapi kita akan sampai lebih dahulu Menunggunya di tepi telaga. Lagi-lagi Djaka Tua tertegun heran. Dalam hati dia berkata,
“Den Ayu jarang-jarang menyanyi di depan orang lain. Juga aneh, bagaimana Nyi Retno tahu jalan ke Gunung Gede. Bagaimana dia tahu di sana ada telaga?” Pembantu setia ini lalu memandang pada Pendekar 212.
“Wiro, saya melihat banyak perubahan pada diri Nyi Retno sejak dia mengenalmu. Jika saja kau bisa berada lebih lama bersamanya mungkin keadaannya akan tambah baik. Apakah kau sudi menolongnya?”
“Dia suka dan percaya padamu,” menambahkan Setan Ngompol. “Dua hal itu bisa kau jadikan sebagai dasar menolong dirinya...”
“Kalian berdua ikut aku ke Gunung Gede?” bertanya Wiro.
Setan Ngompol menggeleng. “Kami akan menunggumu di pondok Ki Tambakpati.” Kata si kakek pula.
Wiro garuk-garuk kepala. Belum sempat dia tinggalkan ke dua orang itu mendadak seorang nenek dengan dandanan tebal mencolok tahu-tahu telah tegak berdiri berkacak pinggang di hadapan tiga orang itu. Di atas kepalanya ada sebuah tabung bambu kuning setinggi satu setengah jengkal, mengepulkan asap tiga warna.
“Hantu Malam Bergigi Perak, kau rupanya...” Setan Ngompol yang pertama sekali membuka suara.
“Ah, kau tidak melupakan diriku. Tapi aku tidak berurusan denganmu. Aku mau bicara dengan pemuda ini.” Kata nenek berpakaian serba hitam guru dua gadis cantik Liris Merah dan Liris Biru. Dia memandang ke arah Wiro. “Jika aku tanya tentang kitab itu pasti jawabanmu kau masih belum tahu berada dimana. Betul begitu?”
“Nek, kalau kitab itu ada padaku, pasti akan kuminta izin Eyang Sinto agar dipinjamkan padamu untuk mengobati kelainan pada dua muridmu.” Kata Wiro pula.
Si nenek kerenyitkan kening. “Aku tidak pernah memberi tahu bahwa dua muridku punya kelainan. Dari mana kau tahu? Siapa yang memberi tahu?!” Dua mata si nenek mendelik, memperhatikan penuh curiga.
Wiro sadar kalau sudah ketelepasan bicara. Dulu dua kakak beradik Liris Merah dan Liris Biru sendiri yang memberi tahu penyakit yang mereka idap. “Aku cuma menduga Nek. Kalau tidak dirimu tentu dua muridmu yang memerlukan pengobatan. Melihat kau cantik dan sehat-sehat saja maka aku mengira dua muridmulah yang membutuhkan pertolongan.”
“Hemmm, kau pandai bicara. Hidungku tidak besar oleh pujianmu! Pemuda mata keranjang, awas kalau kau ada hubungan yang tidak-tidak dengan dua muridku, kupecahkan batok kepalamu! Sekarang katakan apa kau sudah mendapatkan kitab itu?”
Wiro menggeleng. “Tahu dimana beradanya?”
Wiro menggeleng kembali. Hantu Malam Bergigi Perak tertawa bergelak. Deretan giginya atas bawah tampak berkilauan. “Anak muda, kau berdusta. Apa kau kira aku tidak tahu gurumu yang bau pesing itu tadi ada di sini. Kau dicuci maki habis-habisan seperti mencuci kesetan kaki! Hik hik hik! Aku juga mendengar dia berkata agar kau tidak perlu mencari kitab itu lagi. Berarti kitab itu sudah ditemukan dan ada di tangannya. Aku tahu ke arah mana dia pergi. Aku akan minta pinjam kitab itu secara baik-baik. Kalau dia tidak memberikan akan kubunuh! Apa katamu?!”
“Aku tidak akan berkata apa-apa Nek,” jawab Wiro.
Si nenek tertawa panjang. “Bagus, kau mau berpihak padaku. Berarti dalam hatimu ada rasa dendam terhadap gurumu yang telah melukai dirimu. Benar?! Kalau aku jadi dirimu, perlu apa punya guru seperti itu. Sudah jelek, bau pesing, bicara tak karuan, hatinya jahat pula.”
“Ucapanmu hanya menunjukkan bahwa hatimu juga tidak seputih dan selembut kapas...” tukas Wiro. Bagaimanapun juga telinganya jadi panas mendengar ucapan si nenek.
Sebaliknya Hantu Malam Bergigi Perak tertawa panjang mendengar kata-kata Pendekar 212 itu. “Wiro, diriku bisa saja lebih jahat dari Sinto Gendeng. Tapi aku tidak pernah menganiaya murid sendiri seperti yang dilakukannya padamu!”
Air muka Wiro tampak merah. Sebelum dia menjawab ucapan Hantu Malam Bergigi Perak Setan Ngompol cepat mendahului mengalihkan pembicaraan. “Sobatku Hantu Malam Bergigi Perak, Wiro pasti akan memberikan kitab itu padamu begitu dia mendapatkan. Kalau kau tidak percaya padanya, kau boleh menyandera diriku. Kau boleh membawaku kemana saja sampai dia menyerahkan kitab...”
“Tua bangka kuping terbalik. Kau kira aku tidak tahu akal bulusmu?! Siapa sudi berada dekat-dekat dengan orang bau pesing sepertimu. Sekalipun kau mandi di tujuh telaga bau pesingmu tak akan hilang. Lebih baik kau ikut membantu mencari kitab itu. Siapa tahu di dalamnya ada petunjuk obat yang dapat menghilangkan penyakit kencingmu!”
“Oaallaaa. Aku tak pernah memikirkan hal itu!” kata Setan Ngompol pula sambil pegangi bagian bawah perutnya. “Terima kasih kau mengingatkan. Sekarang apakah aku boleh ikut bersamamu?!”
Si nenek mencibir lalu tinggalkan tempat itu. Setan Ngompol berpaling pada Wiro. “Aku berubah pikiran. Tak jadi ke gubuknya Ki Tambakpati. Tapi mau mengejar nenek bergigi perak itu. Dia benar! Tidak mustahil dalam Kitab Seribu Pengobatan ada petunjuk obat serta cara menghilangkan penyakit kencing-kencingku!”
“Kek. tunggu dulu!”
“Kau ini. apa lagi. Nanti nenek itu keburu lari jauh!” Setan Ngompol mengomel.
“Eyang Sinto menyuruh aku mendapatkan tusuk kondenya yang dirampas Wulan Srindi. Menurutmu bagaimana?”
“Kalau aku jadi kau aku tidak akan melakukan. Itu urusannya dengan Wulan Srindi. Mengapa kau yang jadi repot? Sudah, aku mau mengejar nenek menor itu...”
Setan Ngompol segera saja lari ke arah lenyapnya Hantu Malam Bergigi Perak. Pendekar 212 Wiro Sableng tak bisa berbuat apa. Dia bertanya pada Djaka Tua. “Bagaimana denganmu. Aku terpaksa rneninggalkan kau sendirian.”
“Tidak jadi apa. Saya pernah mendengar nama Ki Tambakpati. Saya akan mencari pondok tempat kediamannya. Kalau tidak keliru di sebuah bukit dekat Plaosan. Saya hanya mohon agar kau bisa menolong Nyi Retno Mantili. Yang penting dia bisa disembuhkan serta diselamatkan dari tangan jahat Raden Mas Wira Bumi yang bertekad hendak membunuhnya.”
Wiro pegang bahu Djaka Tua. “Kau orang baik. Menurutku kesembuhan atas diri Nyi Retno hanya bisa terjadi jika bayinya yang hilang ditemukan kembali. Coba kau ingat-ingat mengenai orang tua serba putih kepada siapa bayi itu kau serahkan. Aku ingin kau menceritakan sekali lagi apa yang terjadi di goa. Jangan ada satu halpun yang terlupa...”
Djaka Tua lalu bercerita. “Malam itu. lebih satu tahun lalu. Saya membawa lari bayi Nyi Retno dari Gedung Tumenggung. Bayi saya bungkus dengan sarung. Malam itu hujan turun lebat sekali. Untung ada sebuah goa. Belum lama berteduh di situ muncul kabut aneh. Lalu kelihatan sosok seorang tua. Tubuhnya tinggi sekali. Kepala hampir menyentuh bagian atas goa. Orang tua ini mengenakan pakian sebentuk selempang kain putih. Rambutnya putih. Ada sebatang tongkat putih di tangan kirinya...”
“Apa kau memperhatikan sepasang mata orang tua itu?" tanya Wiro.
“Wajah orang tua itu berada di bagian yang agak gelap. Tapi saya ingat... Bagian putih matanya hanya sedikit. Selebihnya mungkin hitam, mungkin coklat. Sulit saya mengetahui karena gelap. Orang tua itu memanggil saya sahabat. Dia minta saya menyerahkan bayi...”
“Orang tua itu, apakah dia membawa sebuah suling emas disisipkan di pinggangnya?”
“Tidak dapat saya pastikan. Karena bagian pinggang ke bawah tubuhnya tertutup kabut tipis. Ada satu hal yang ingin saya beritahu. Dibalik kabut, di belakang orang tua itu saya merasa ada satu mahluk. Entah orang entah binatang. Nafasnya menghembus berat. Saya tidak bisa melihat sosoknya tapi saya melihat ada dua buah titik hijau. Titik ini sesekali tampak bergerak-gerak...”
“Djaka Tua, kau bicara cukup lama dengan orang tua itu. Kau ingat logat bicaranya? Logat Jawa, Pasundan, Madura...?”
Djaka Tua berpikir. “Bukan logat Jawa. Bukan Sunda. Juga bukan logat Madura. Bahasanya halus. Kata-katanya lembut. Saya kira dia orang dari tanah seberang. Tapi seberang daerah mana saya tidak tahu...”
Wiro pegang bahu Djaka Tua. “Keteranganmu sangat berharga. Mudah-mudahan aku bisa menduga siapa adanya orang itu.”
“Kalau begitu kita cari sekarang juga.” kata Djaka Tua bersemangat.
Wiro tertawa. “Biar aku yang melakukan tugas satu itu. Kau pergilah ke tempat kediaman Ki Tambakpati. Katakan aku dan Setan Ngompol yang menyuruh kau kesana.”
“Saya akan berdoa siang malam semoga bayi itu bisa ditemukan. Karena hanya pertemuan dengan bayi itulah Nyi Retno bisa disembuhkan dari sakitnya. Saat ini paling tidak bayi itu sudah berusia satu tahun lebih. Dibalik ketidak warasannya kau dapat membayang kan derita duka Nyi Retno. Kasihan sekali. Seharusnya dia tinggal di satu gedung mewah. Dikelilingi para pelayan. Berpakaian bagus berdandan apik. Dihormati orang dimana-mana...”
“Djaka Tua, tidak banyak di dunia ini orang yang begitu setia pada atasannya sepertimu. Aku merasa bahagia bisa mengenalmu. Kau pergilah sekarang juga. Jangan lewat dijalan biasa. Aku menduga Patih Kerajaan akan mengirim orang-orangnya atau datang sendiri menyelidik ke tempat ini.”
Djaka Tua mengangguk. Pembantu ini membungkuk dalam-dalam lalu tinggalkan tempat itu sementara langit mulai kelihatan redup di akhir rembang sore itu.
Wiro menunggu sampai Djaka Tua lenyap di kejauhan. Lalu dia mencari tempat yang agak lapang dan duduk bersila di tanah. Dua mata dipejam, hati dan pikiran dipusatkan pada membayangkan sosok seekor harimau putih bermata hijau.
“Sahabat Datuk Rao Bamato Hijau. Saya Wiro Sableng. Saya perlu bantuanmu. Datanglah.” Wiro hanya menunggu satu kejapan mata.
Kabut putih entah dari mana datangnya tahu-tahu menutupi tempat itu seluas lima tombak persegi. Di dalam kabut kelihatan dua titik hijau. Tanah bergetar. Ada suara hembusan nafas berat. Perlahan-lahan masih di dalam kabut, kelihatan sosok seekor harimau putih memiliki sepasang mata hijau.
“Datuk. terima kasih kau mau datang...”
Terdengar suara gerengan halus seolah menyahut memberi salam. Harimau putih keluar dari dalam kabut, melangkah ke hadapan Wiro, menjilati tangan kanan sang pendekar. Wiro usap-usap kepala binatang itu dengan tangan kirinya. Terasa ada hawa hangat yang menjalar masuk ke dalam tubuhnya. Mernbuat rasa sakit luka di punggung serta merta menjadi lenyap.
“Datuk, saya buluh pertolonganmu. Mohon disampaikan pada Datuk Rao Basaluang Ameh. Saya ingin petunjuk tentang seorang bayi perernpuan yang pernah diserahkan kepadanya oleh seorang lelaki berpunuk di sebuah goa sekitar satu tahun silam...”
Harimau putih kedipkan dua mata lalu menggereng halus. Ekornya menjentik ke atas tiga kali berturut-turut, memancarkan bunya api berwarna hijau. Kabut masih menggantung di udara. Perlahan-lahan sosok harimau putih bermata hijau lenyap dari pemandangan. Kabutpun ikut sirna.
Seperti dikisahkan dalam Episode berjudul Delapan Sabda Dewa harimau putih bernama Datuk Rao Bamato Hijau ini adalah peliharaan seorang sakti di Pulau Andalas bernama Datuk Rao Basaluang Ameh. Dari Sang Datuk Wiro telah menerima banyak ilmu kesaktian. Harimau bermata hijau itu oleh Datuk Rao Basaluang Ameh dijadikan sebagai pelindung Wiro.
Namun sebegitu jauh dalam menghadapi berbagai kesulitan terutama menghadapi musuh berkepandaian tinggi hampir tak pernah Wiro meminta bantuan si mata hijau ini. Segala kesulitan yang ditemui jika masih bisa dihadapi selalu ditangani sendiri. Tidak lebih dari dua kejapan mata berlalu tiba-tiba tanah kembali bergetar.
Di kejauhan terdengar suara saluang (semacam suling khas Minangkabau) disusul munculnya kabut. Lalu di dalam kabut kelihatan kembali harimau putih besar Datuk Rao Bamato Hijau. Ternyata harimau ini tidak datang sendiri. Di atas punggungnya duduk seorang anak perempuan bertubuh gemuk montok, berkulit putih. Rambutnya yang hitam tebal di kuncir dua di atas kepala. Wajah segar dengan dua pipi merah. Mulut selalu mengulum senyum sementara sepasang matanya tampak bening bagus dihias alis tebal dan bulu mata lentik. Anak perempuan seusia satu tahun ini adalah bayi Nyi Retno Mantili yana dulu diserahkan Djaka Tua pada seorang kakek. Dan kakek itu kini berdiri di samping harimau putih bermata hijau.
Sang kakek mengenakan selempang kain putih. Sepasang matanyanya berwarna biru. Meski usia sangat lanjut namun masih tampak gagah. Di tangan kiri dia memegang sebatang tongkat putih sedang di pinggang terselip sebuah seruling terbuat dari emas. lnilah Datuk Rao Basaluang Ameh, orang sakti dari Pulau Andalas yanq menjadi salah satu dari guru Pendekar 212 karena dia pernah mewariskan ilmu silat dan kesaktian pada Wiro melalui kitab “Delapan Sabda Dewa”.
Perlahan-lahan kabut menipis dan suara alunan saluang lenyap dari pendengaran. Wiro cepat berdiri, melangkah kehadapan Datuk Rao Basaluang Ameh. membungkuk, menyalami dan mencium tangannya.
“Datuk, salam hormat saya untuk Datuk. Maafkan saya karena telah berani merepotkan dan menyita waktu Datuk. Saya terpaksa melakukan karena ada seorang ibu kehilangan bayi perempuannya. Saat ini dia berada dalam keadaan tidak waras. Sakit dan derita sengsaranya ini mungkin sekali bisa disembuhkan jika dia bertemu dengan anaknya kembali.”
“Anak muda bernama Wiro, kau sendiri apakah tidak mempunyai banyak kesulitan hingga mementingkan orang lain dari pada diri sendiri?” Datuk Rao Basaluang Ameh bertanya. Suaranya halus lembut.
Wiro tahu kalau sang guru tengah menjajal dirinya. “Datuk Rao, sudah menjadi garis nasib saya bahwa dalam hidup ini saya akan selalu menemui kesulitan serta bebagai macam bahaya. Namun jika saya masih bisa menolong orang lain, mengapa tidak saya lakukan. Lagi pula dari keterangan orang yang menyerahkan bayi saya coba menduga-duga bahwa yang membawa bayi itu mungkin adalah Datuk Rao Basaluang Ameh. Maafkan kalau salah keliru...”
Datuk Rao tersenyum. “Dugaanmu tidak keliru Wiro. Anak di atas punggung Datuk Rao Bamato Hijau itulah bayi yang kau maksudkan. Aku memberinya nama Ken Permata.”
“Saya merasa lega mengetahui bahwa bayi itu memang ada di dalam perawatan Datuk. Saya sendiri senang melihatnya, apa lagi ibunya...” Wiro dekati anak perempuan di atas punggung harimau putih, membelai kepalanya. mengusap pipinya yang merah. Si anak tertawa-tawa. mulutnya mengucapkan sesuatu dan kedua tangannya diulurkan ke arah Wiro.
“Anak itu suka padamu. Dukunglah barang sebentar.” kata Datuk Rao Basaluang Ameh pula sementara harimau putih keluarkan suara gerengan halus.
Wiro segera menggendong anak perempuan itu. Ken Permata tertawa tawa dan tepuk-tepuk wajah Pendekar 212. “Wiro. Ketahuilah bahwa saat sekarang ini masih belum waktunya Ken Perrnata ditemukan dengan ibu kandungnya. Sang ibu masih menghadapi berbagai macam kesulitan. Keselamatan mereka sama-sama terancam...”
“Saya hanya menuruti apa yang baik kata Datuk.”
“Waktu yang tepat adalah sekitar tujuh bulan dimuka. Pada malam Satu Suro tahun depan kita bertemu lagi. Saat itulah Ken Permata akan aku serahkan padamu. Akan lebih baik kalau saat itu ibunya ada bersamamu. Sementara itu dari sekarang sampai saat pertemuan nanti kuharap kau mau menjaga keselamatan ibu anak ini.”
“Terima kasih atas petunjuk Datuk. Perintah Datuk akan saya lakukan Saya tidak akan menganggu Datuk lebih lama. Saya hanya mohon nasihat. Pesan wejangan atau mungkin juga teguran. Agar saya bisa lebih lega dalam menghadapi berbagai tantangan di masa yang skan datang.”
Datuk Rao Basaluang Ameh tersenyum. “Wiro. ketahuilah segala nasihat, pesan wejangan maupun teguran sesungguhnya dimiliki dan berada dalam diri manusia itu sendiri. Semua yang datang dari orang lain tidak akan ada gunanya jika tidak dituruti. Suara hati nurani sendiri, yang datang dari lubuk terdalam hati tulus dan bersih adalah mata telinga bagi diri seseorang untuk melangkah di jalan yang baik dan diredhohi Allah, Tuhan Seru Sekalian Alam. Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui”
Wiro membungkuk dalam-dalam. “Terima kasih Datuk. Ucapan Datuk akan saya perhatikan sungguh-sungguh.”
Datuk Rao Basaluang Ameh tersenyum. Dia usap kepala Pendekar 212. Wiro turunkan Ken Permata dari gendongan. Ketika hendak didudukan kembali di atas punggung harimau putih, anak ini menangis tak mau pisah dengan Wiro. Datuk Rao Bamato Hijau menggereng halus ketika Wiro mengusap tengkuknya dan mencium keningnya. Wiro tak lupa mencium tangan kanan Datuk Rao Basaluang Ameh sekali lagi.
“Wiro, sebelum pergi biar aku sembuhkan luka di punggungmu.”
“Terima kasih Datuk memperhatikan saya. Saya ingin biar luka di punggung saya akan menjadi cacat yang mengingatkan diri saya betapa pahitnya hidup ini. Membuat saya bisa berbuat lebih baik dan lebih bijaksana. Karena betapapun buruknya diri saya ini. saya masih tetap seorang anak manusia. Bukan anak setan...”
Lama Datuk Rao Basaluang Ameh tegak terdiam mendengar ucapan Pendekar 212 itu. Akhirnya si kakek mengulum senyum luruh, membelai kepala sang pendekar dan berkata. “Kau anak baik. Namun sebagai manusia kita tidak pernah lepas dari perasaan hati dan jalan pikiran. Jaga dirimu baik-baik, Wiro...”
Sosok si orang tua, harimau putih dan Ken Permata berubah samar. Kabut menipis. Di kejauhan terdengar suara seruling. Tak lama kemudian ketiga mahluk itupun lenyap dari pandangan. Pendekar 212 menghela nafas. Hatinya membatin.
“Turut akal sehat otak manusia, siapa bisa percaya akan semua yang barusan terjadi di tempat ini. Di balik semua keanehan, tangan dan kuasa Tuhan bergerak memberikan segala rakhmatNya.”
Wiro usapkan dua telapak tangan ke wajah. Sang surya masih menyisakan cahaya terakhirnya di ufuk barat. Sebentar lagi petang akan memasuki malam. Terbayang wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas “Apa yang ingin dibicarakan orang sakti itu hingga dia menyuruhku datang menemuinya?” Pertanyaan itu muncul dalam hati sang pendekar.
********************
BAB 7
PUNCAK Gunung Gede. Sang surya belum lama tenggelam namun kepekatan malam telah muncul memagut hingga segala sesuatunya kelihatan gelap dan hitam. Sosok yang datang berkelebat dari arah timur untuk beberapa lama tegak diam tertegun. Mata memandang berkeliling, wajah putih membayangkan perasaan heran sekaligus keterkejutan.
“Walau cuma satu kali datang ke sini, rasanya tak mungkin aku datang di tempat yang salah. Pohon besar itu masih berdiri di sebelah sana. Sumur tua di sebelah situ. Tapi mana gubuknya? Semua tinggal tanah rata.”
Orang yang barusan datang, seorang nenek berwajah putih memandang berkeliling lalu melangkah kian kemari seputar tanah datar dimana sebelumnya berdiri gubuk kediaman Sinto Gendeng. “Sesuatu telah terjadi di sini. Aku melihat pecahan-pecahan kayu. Kepingan tempayan tanah...” Di satu tempat si nenek berdiri agak lama. Kaki digeser beberapa kali. Dada berdebar. “lni tempatnya. Apakah aku harus...”
Dalam membatin si muka putih ini merasa ragu. Dia melangkah kembali. Di pinggir sebuah sumur tua, si nenek berhenti. Pandangan diarahkan ke berbagai penjuru, telinga dipasang. “Tak ada tanda-tanda manusia terkutuk itu telah muncul di tempat ini. Apakah aku datang lebih cepat, lebih dahulu? Atau mungkin ditengah jalan dia merubah pikiran. membatalkan niat datang ke tempat ini?” Suara hatinya itu dibantah sendiri. “Tidak mungkin. Turut keterangan Ki Tambakpati dia menanyakan Kitab Seribu Pengobatan. Dia mesti ke sini. Aku akan menunggu. Sekali ini dia tidak bakal lolos dari tanganku! Manusia keji jahanam! Kau akan jadi bangkai di tempat ini!”
Baru saja si nenek berkata dalam hati seperti itu mendadak ada kilasan satu cahaya di sebelah barat dan telinganya menangkap suara orang berlari cepat sekali. “Pasti jahanam terkutuk itu!”
Secepat kilat nenek muka putih yang bukan lain Nyi Bodong adanya melesat ke atas sebatang pohon besar. Mendekam di situ, mata memperhatikan tak berkesip ke arah datangnya suara orang yang berkelebat datang. Hanya satu kejapan mata saja, seorang mengenakan jubah hitam dengan gambar matahari bulat merah di bagian dada, bermuka cacat. Tegak di pinggiran sumur, tepat dimana si nenek tadi berdiri.
Keningnya diikat secarik kain warna merah. Di tangan kanan orang ini menenteng satu benda aneh, yakni sebuah lentera yang cahayanya menerangi tempat terbuka sampai seluas tiga tombak persegi. Tidak seperti lentera biasa, lentera ini memancarkan cahaya tiga warna yaitu merah di sebelah atas, hitam di sebelah tengah dan kuning di sebelah bawah.
Di atas pohon besar Nyi Bodong bergerak hati-hati, masuk menyelinap ke balik kelebatan daun pepohonan, melindungi diri dari cahaya terang lentera. “Lentera lblis...” ucap Nyi Bodong dalam hati. Dia ingat pada guratan tulisan yang dilihat dan dibacanya dalam goa kediaman Si Muka Bangkai. “Jahanam itu mengenakan pakaian baru berlambang gambar matahari. Dia berani unjuk tampang tanpa mengenakan topeng setan. Berarti ada kekuatan yang diandalkannya. Lentera itu...? Mahluk jahanam! Hantu Pemerkosa alias Pangeran Matahari! Kau datang ke sini mencari kitab keramat. Kalau kau mendapatkan kau akan menyerahkannya padaku bersama nyawamu! Apapun penyakitmu kau tidak akan pernah tersembuhkan! Mungkin ada hikmahnya Kiai mengembalikan kitab itu. Kalau tidak, aku tidak akan memergokinya di tempat ini!”
Orang yang memegang lentera yang memang Pangeran Matahari adanya memperhatikan keadaan sekitar. “Tak ada pondok! Tak ada gubuk! Tapi Si Muka Bangkai menyuruhku datang kesini. Sekali ini mungkin dia benar-benar hendak menipuku!”
Hati-hati Pangeran Matahari letakkan lentera di tanah. Mata tak berkesip memperhatikan keadaan tanah, yang diterangi lentera. Sesungging seringai menyeruak di mulut, hidung yang pencong patah mendongak seperti binatang mencium sesuatu. Perlahan-lahan dia berjalan ke bagian kanan lentera, berhenti sejarak tiga langkah. Kaki digeser. Seringai kembali muncul di wajahnya.
“Pasti di sini tempatnya.” Tiba-tiba Pangeran Matahari membungkuk. Bersamaan dengan itu tangan kanan dihantamkan ke tanah.
“Bruukkk!” Tangan menembus tanah sedalam tiga jengkal.
“Kraaak!” Ada satu benda berderak pecah dilanda hantaman tangan kanan. Ketika Pangeran Matahari mengangkat tangannya keluar dari tanah yang terbongkar, di pergelangan tangan itu menggelantung sebuah peti kayu warna hitam. Pangeran Matahari menggeprak peti kayu dengan tangan kiri hingga pecah berantakan. Dari dalam peti yang hancur jatuh ke bawah satu benda yang bukan lain adalah sebuah kitab tebal terbuat dari daun lontar. Sang Pangeran cepat sambuti kitab daun lontar itu dengan tangan kiri.
Di atas pohon besar Nyi Bodong tegang sesaat. “Kau tidak akan dapatkan kitab itu Pangeran jahanam! Aku akan membunuhmu!”
Saking girangnya Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa berteriak keras. Tangan kanan dipukulkan ke dada. “Kitab Seribu Pengobatan! Aku akan sembuh! Akan sembuh! Aku akan menguasai rimba persilatan tanah Jawa! Guru, terima kasih atas semua petunjukmu!”
Pangeran Matahari masukkan kitab daun lontar ke dalam saku besar di kanan jubah hitam. Lalu dia melangkah untuk mengambil Lentera Iblis. Namun sebelum tangannya menyentuh gagang lentera, ada satu perasaan yang membuat dia mengeluarkan kembali Kitab Seribu Pengobatan dari saku jubah. Kitab didekatkan ke lentera. Di bawah penerangan cahaya tiga warna lentera Pangeran Matahari membuka halaman pertama. Halaman itu kosong! Dibuka halaman kedua! Kosong polos! Begitu seterusnya. Sampai halaman terakhir. Kitab daun lontar itu tidak satu halamanpun ada tulisannya! Pangeran Matahari berteriak keras! Marah sekali kitab dibanting hingga menancap amblas dan lenyap di dalam tanah.
Di atas pohon wajah putih Nyi Bodong unjukkan rasa heran. “Bagaimana mungkin,” katanya dalam hati. “Apakah Kiai sengaja melakukan? Lalu dimana kitab yang asli?”
“Keparat kurang ajar! Siapa menipuku! Jahanam mana yang punya pekerjaan begini rupa! Muka Bangkai! Kau yang jadi biang kerok menipuku?!” Pangeran Matahari menyalahi gurunya lalu memaki panjang pendek.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba menggelegar suara tawa cekikikan dari salah satu pohon besar. “Pangeran Matahari! Hantu Pemerkosa! Kasihan sekali kau ditipu guru sendiri. Kalau kau diperlakukan seperti itu berarti baginya kau tidak lebih baik dari cacing dalam comberan! Hik hik hik!”
“Jahanam keparat! Siapa berani bicara menghina diriku!” Pangeran Matahari hantamkan tangan kanannya ke arah pohon. Udara mendadak bertambah kelam.
Dari atas pohon saat itu tiba-tiba menggelegar suara seperti raungan srigala, disusul suara tawa bergelak dan di lain kejap berkiblatlah selarik sinar biru pekat.
“Wusss! Buuummm!”
Tiga larik sinar pukulan sakti Gerhana Matahari yang dilepaskan Pangeran Matahari berdentum keras, buyar tercabik-cabik. Sang Pangeran terpental ke arah sumur tua, mulut muntahkan darah segar. Dia cepat gulingkan diri dan menyambar Lentera Iblis. Ketika dia berdiri di hadapannya telah tegak sosok nenek muka putih berpakaian biru gelap.
“Tua bangka jahanam Nyi Bodong! Kau berani mengikutiku! Kau mencari mati mencari mampus!” teriak Pangeran Matahari. Lentera ditangan kanan diangkat ke atas.
Nyi Bodong menyeringai. “Kau kira Lentera lblis itu bisa menyelamatkan dirimu? Benda butut itu hanya pantas dipakai ronda pamong desa! Hik hik hik!”
Kejut Pangeran Matahari bukan olah-olah. “Dari mana hantu perempuan ini tahu yang kupegang adalah Lentera Iblis!” ucap Pangeran Matahari dalam hati.
Seperti dapat membaca apa yang ada dalam hati lawan, Nyi Bodong berkata. “Goa di puncak Merapi! Tiga jurus ilmu Lentera Iblis! Hanya sayang, goa itu sudah aku hancurkan menjadi timbunan tanah tak berguna! Hik hik hik...”
Pangeran Matahari berteriak keras. Kaki kanan maju ke depan. Tenaga dalam disalurkan ke tangan kanan. Lentera lblis didorong ke arah Nyi Bodong. Cahaya kuning memancar lebih terang dan angker dibanding dua warna cahaya lainnya.
“Jurus ketiga Lentera Iblis! Jurus Liang Lahat Menunggu! Hik hik hik!” Nyi Bodong sebut nama jurus serangan maut yang hendak dilancarkan Pangeran Matahari.
Walau kaget bukan kepalang namun sang Pangeran terus dorongkan Lentera Iblis. Cahaya kuning berkiblat dari dalam lentera. Bersamaan dengan itu Nyi Bodong singkapkan pakaian birunya di bagian perut. Kaki kanan dihentakkan ke tanah, tangan kiri meremas. Selarik sinar biru menggidikkan menderu memapaki cahaya kuning serangan Lentera Iblis! Nyi Bodong menjerit keras! Pohon besar dibelakangnya tenggelam dalam kobaran api dan dalam sekejapan telah berubah menjadi gosong kuning!
Puncak Gunung Gede sebelah utara bergoncang hebat ketika dua cahaya sakti saling hantam di udara. Dentuman dahsyat menggelegar. Tubuh Pangeran Matahari bergoyang-goyang. Darah mengucur di sela bibir. Muka pucat namun dia masih mampu berdiri di atas ke dua kakinya.
Nyi Bodong sendiri mencelat mental. Terguling ke bagian gunung yang terjal dan lenyap dari pemandangan. Pangeran Matahari mengejar. Lentera diangkat tinggi-tinggi hingga tempat di sekitarnya menjadi terang. Namun dia tidak menemukan sosok Nyi Bodong.
“Mampus! Mungkin sudah lumat jadi tanah!” Pangeran Matahari seka darah di sudut bibir. Tertatih-tatih sambil pegangi dada dia melangkah tinggalkan puncak Gunung Gede, menuruni lereng gunung ke arah tenggara. Hatinya masih penasaran hendak mencari Nyi Bodong untuk memastikan apakah nenek muka putih itu benar-benar sudah menemui kematian. Namun rasa kesal karena Kitab Seribu Pengobatan palsu itu, akhirnya dia memutuskan untuk cepat-cepat tinggalkan Gunung Gede.
Kini dia memiliki senjata luar biasa. Lentera lblis yang mampu menandingi kehebatan Nyi Bodong. Begitu turun gunung tekadnya bulat untuk segera mencari dan menghabisi Pendekar 212 Wiro Sableng. Setelah itu satu persatu para tokoh persilatan tanah Jawa akan dihabisinya.
********************
TERPISAH hampir tiga hari dari kemunculan Pangeran Matahari dipuncak utara Gunung Gede, pada satu siang yang cerah Pendekar 212 Wiro Sableng sampai di tepi telaga tiga warna di puncak gunung sebelah timur. Keanehan pada telaga ini, airnya selalu membentuk riak dan mengeluarkan suara halus seperti air mendidih. Pertama sekali yang jadi perhatiannya ialah dia tidak melihat sawung yang pernah ada di tepi telaga itu. Kemudian dia tersentak kaget dan melongo ketika di balik serumpunan pohon bunga di tepi telaga duduk seorang perempuan muda bewajah cantik, rambut hitam tergerai, pakaian kembang-kembang kuning dan biru. Sepasang alisnya yang tebal hitam naik ke atas, bibir yang mungil mengulum senyum. Dua kakinya yang mulus putih berada dalam air telaga sampai sebatas ujung lutut. Di atas pangkuannya ada sebuah boneka kayu perempuan.
“Den Ayu... Nyi Retno Mantili, kaukah ini?” tanya Pendekar 212.
“Hik hik hik. Apakah kau tidak mengenali diriku lagi?” tanya perempuan muda yang memang Nyi Retno Mantili adanya. Saat itu tubuh, wajah dan rambutnya dalam keadaan bersih. Pakaian bagus, apik dan rapi. Alis hitam kereng, pipi kemerahan dan bibir segar. Selain cantik dirinya tampak anggun sekali.
“Ah, maafkan. Saya hampir tidak mengenali,” jawab Wiro terkagum-kagum. Sebelumnya dia melihat Nyi Retno dalam keadaan dekil kumal baik tubuh, rambut maupun pakaian.
“Guru menyuruhku membersihkan diri, memberi pakaian baru, berdandan. Kalau dulu aku tidak mau. Tapi sekarang mau. Karena menyambut kedatanganmu. Boleh kan? Kau suka Wiro? Hik hik hik.”
Pendekar 212 jadi rikuh mau menjawab pertanyaan Nyi Retno. Dia malah balik bertanya. “Guru? Maksud Nyi Retno guru siapa?”
“Nanti kau tahu sendiri.”
“Aku lupa menanyakan perihal anakmu. Apakah Kemuning baik-baik saja?” Wiro mengambil boneka kayu dari pangkuan Nyi Retno dan menimang-nimangnya.
“Dia selalu rewel. Selalu menanyakan kapan kau datang. Kapan kau datang. Sekarang lihat. Dia tersenyum-senyum. Gembira kau sudah datang. Terbukti sekarang...”
Wiro tertawa. “Terbukti apa Nyi Retno?.”
“Aku lebih dulu sampai darimu.”
“Ya. kau orang hebat. Aku kagum padamu. Aku mengaku kalah.”
Nyi Retno tertawa panjang. “Hai, apakah gurumu si nenek bawel itu tidak mengikuti...?”
Wiro tertawa lebar. “Dia guru baik. Semua nenek di dunia ini sama saja bawelnya. Nyi Retno, yang masih jadi tanda tanya besar bagi saya, bagaimana Nyi Retno tahu jalan ke puncak ini. Lalu tahu telaga ini?"
“Tanyakan saja pada Kemuning,” jawab Nyi Retno lalu tertawa
“Kemuning. katakan pada saya bagaimana Kau tahu jalan ke sini. Juga tahu telaga ini?” Wiro bertanya pada boneka lalu tertawa.
Nyi Retno ikut tertawa. Habis tertawa dia berkata. “Tidak ada yang mengherankan. Rumahku di sini”
Wiro terkejut. Tiba-tiba di bagian pertengahan telaga air membentuk gelombang-gelombang kecil. Bersamaan dengan itu kabut tipis turun menutupi permukaan air. Tak selang berapa lama satu sosok putih melesat keluar. Air telaga muncrat sampai beberapa tombak. Di pertengahan telaga kemudian kelihatan seorang tua berselempang kain putih, rambut. janggut dan kumis putih melambai-lambai tertiup angin. Seperti berjalan di tanah datar begitulah dia melangkah di atas air menuju tepi telaga dimana Wiro. Nyi Retno dan Kemuning berada. Sekujur tubuh dan pakaiannya sama sekali tidak basah sedikitpun!
“Kiai Gede Tapa Pamungkas, terima hormat saya. Saya Wiro menghadap Kiai sesuai dengan pesan Eyang Sinto Gendeng.” Wiro membungkuk dalam, menjabat tangan si kakek lalu menciumnya.
Yang membuat Pendekar 212 terkejut ialah ketika Nyi Retno Mantili melompat, tertawa panjang lalu membungkuk dihadapan si kakek. Seraya berkata. “Guru…”
Wiro perhatikan Nyi Retno dengan pandangan heran yang dibalas pandang ditambah senyuman. Wiro menatap pada Kiai Gede Tapa Pamungkas yang adalah guru dari Sinto Gendeng dan Tua Gila. (Kisahnya harap baca serial Wiro Sableng berjudul Pedang Naga Suci 212. Juga dapat dibaca kisah muda kedua orang tokoh silat itu dalam CERMIN berjudul “Selingkuh Rimba Persilatan”)
Masih berdiri di atas air di tepi telaga. Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata. “Wiro, dia memang muridku.”
“Saya tidak mengira. Kalau saya boleh bertanya, bagaimana kejadiannya Kiai?”
“Sewaktu lari dari Gedung Tumenggung di Kotaraja. Nyi Retno Mantili hampir dihabisi seorang nenek dari alam roh bernama Nyi Tumbal Jiwo. Mahluk jejadian ini adalah guru dari Wira Bumi, suami Nyi Retno yang waktu itu masih menjabat sebagai Tumenggung di Kotaraja. Aku menyirap kabar sekarang dia sudah jadi Patih Kerajaan...”
“Guru saya tidak mengenal siapa itu Wira Bumi. Saya tidak pernah punya suami. Kalau saya mencari suami saya ingin orangnya yang seperti dia!” Tiba-tiba Nyi Retno berkata sambil menunjuk pada Pendekar 212 membuat Wiro jadi merah mukanya dan garuk-garuk kepala!
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Dia melanjutkan ceritanya. “Nyi Retno aku bawa kesini. Aku beri beberapa ilmu kesaktian dan sedikit pelajaran silat. Tujuanku adalah agar dia mampu menjaga diri karena aku tahu tidak akan bisa menahannya lama-lama di tempat ini. Kenyataannya satu tahun di sini dia menghilang. Tahu-tahu beberapa hari lalu muncul bersama Kemuning. Aku gembira melihat kalian semua. Wiro, sesuai dengan pesanku pada gurumu, pembicaraan kita lanjutkan di dalam telaga.”
“Kiai saya tak punya kemampuan masuk dan tinggal lama di dalam telaga.” Ucap Wiro terus terang.
“Tak usah kawatir. Kau dan juga Nyi Retno serta Kemuning tinggal mengikutiku saja.”
Wiro hanya bisa menggaruk kepala. Tiba-tiba selintas pikiran muncul di benak Wiro. “Jangan-jangan orang tua ini mempertemukan aku dengan Nyi Retno di sini untuk maksud perjodohan. Tapi mana mungkin. Nyi Retno masih istri Wira Bumi. Ah, aku mungkin sudah gila berpikir sampai ke situ...”
Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap wajah Pendekar 212 sesaat lalu bertanya. “Pendekar, apa yang ada dalam hati dan benakmu?”
“Ah, agaknya Kiai tahu apa yang barusan aku pikirkan,” membatin Wiro. Dia cepat-cepat membungkuk. “Harap maafkan kalau saya berpikiran sangat dangkal dan tolol.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum.
“Kiai, sebelum kesini saya singgah di puncak gunung sebelah utara. Saya tidak melihat gubuk kediaman Eyang Sinto. Sepertinya telah terjadi sesuatu...”
“Ketika gurumu bertemu denganmu saat menyampaikan pesan, apakah dia tidak menceritakan apa-apa?”
“Banyak Kiai. tapi sama sekali tidak ada cerita tentang keadaan di tempat kediaman Eyang.”
“Kalau kau bertemu lagi, tanyakan langsung padanya,” kata sang Kiai pula.
Dipegangnya tangan Wiro dan Nyi Retno. Lalu seperti diajak terbang dia mengangkat tubuh ke dua orang itu ke udara. Kemudian perlahan-lahan diturunkan di pertengahan telaga dan plaaass! Ketiga orang itu lenyap masuk ke dalam air!
BAB 8
MASUK ke dalam telaga di puncak timur Gunung Gede itu mengingatkan Wiro pada kejadian sewaktu dia dibawa masuk oleh Ratu Duyung ke dalam samudera pantai selatan (baca serial Wiro Sableng berjudul Kiamat Di Pangandaran) Ternyata di dasar telaga terdapat tiga buah bangunan batu pualam yang indah sekali bentuknya. Dua bangunan berukuran kecil, mengapit sebuah bangunan besar yang atapnya menyerupai mesjid.
"Nyi Retno. masuklah ke dalam bangunan di samping kiri. Tunggu sampai kami berdua datang.”
“Guru. jangan suruh saya menunggu terlalu lama. Nanti saya lari lagi seperti dulu...”
Kiai Gede Tapa Pamungkas membelai rambut hitam Nyi Retno. mencubit pipi boneka kayu. Setelah perempuan muda itu masuk ke dalam Bangunan batu di sebelah kiri Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata. “Aku tidak tahu apa yang terjadi. Kulihat keadaan Nyi Retno banyak berubah. Pikirannya masih belum jernih tapi untuk hal-hal tertentu dia tampak secerdas orang biasa. Mudah-mudahan Tuhan menolong dan memberkatinya.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas melangkah kebangunan batu di sebelah kanan. Sambil berjalan dia berkata. “Kita nanti bicara di bangunan besar. Itu tempat kediamanku. Sebelum kesana aku membawamu terlebih dulu ke bangunan ini karena ada yang perlu aku perlihatkan.
Penuh tanda tanya Wiro mengikuti langkah sang Kiai. Bagian dalam bangunan walau segala sesuatunya terbuat dar batu keadaannya tidak beda dengan bangunan-bangunan kecil sekitar Istana di Kotaraja yang pernah dilihatnya. Di hadapan sebuah pintu berwarna hijau muda. Kiai Gede Tapa Pamungkas berhenti. Pintu yang juga terbuat dari batu secara aneh bergeser ke samping. Setelah keduanya masuk, pintu bergeser menutup. Ruangan dimana Wiro berada ternyata adalah sebuah ruang ketiduran yang bagus sekali. Udara di sini nyaman dan sejuk. Nanya ada beberapa perabotan. Sebuah pembaringan batu beralas seperai tebal berwarna biru muda lalu sebuah meja batu diapit dua buah kursi.
Begitu masuk pandangan Wiro langsung tertuju pada satu sosok perempuan tua berwajah putih yang terbujur di atas pembaringan. Rambutnya yang panjang hitam menjulai sampai menyentuh lantai ruangan. Tubuh sebatas pinggang ke bawah tentutup sehelai selimut tebal.
“Nyi Bodong…” Ucap Wiro begitu melihat orang yang ada di atas pembaringan.
“Kau mengenal nenek ini?” tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Kiai. saya sempat bertemu nenek ini beberapa kali. Ilmunya tinggi. Terakhir sekali saya ketahui dia memburu seorang berjuluk Hantu Pemerkosa yang bukan lain adalah Pangeran Matahari. musuh saya dan musuh para tokoh rimba persilatan.” Wiro diam sebentar, memperhatikan. Dia hampir tidak melihat gerakan nafas di tubuh si nenek. “Kiai, bagaimana orang ini bisa berada di sini. Apakah dia masih dalam keadaan hidup?”
“Nyi Bodong menderita luka dalam yang sangat parah. Dua hari dia dalam keadaan sengsara dan nyaris sakarat. Ketika dalam perjalanan ke sini, Nyi Retno yang melewati jalan memintas di arah timur menemuinya di satu lekukan lereng. Nyi Retno membawanya kemari. Kau tahu sendiri Wiro. Nyi Retno bertubuh kecil tapi mampu memanggul Nyi Bodong yang tinggi dan lebih besar. Lalu, jika otaknya kita anggap tidak waras, dia tidak akan memperdulikan nenek ini. Perlu apa menolong? Ternyata Tuhan memberikan perasaan welas asih padanya hingga dia mau membawa Nyi Bodong. Aku tidak tahu, berapa lama lagi dia sadar dari pingsan. Mudah-mudahan Tuhan memperpanjang umurnya. Selama dia disini, kau tahu siapa yang merawatnya?”
“Saya bisa memperkirakan Kiai. Tentu Nyi Retno Mantili.” Jawab Wiro pula.
Kiai Gede Tapa Pamungkas mengangguk. Lalu berkata. “Selama di sini, Nyi Retno banyak bicara tentang dirimu. Dia yang memberi tahu bahwa kau akan datang.”
“Nyi Retno orang baik. Punya niat baik untuk rimba persilatan. Hanya saja nasibnya yang buruk...” Wiro lalu melangkah mendekati tempat tidur dan berdiri dekat kepala Nyi Bodong.
“Kiai, apakah Kiai atau Nyi Retno tahu siapa yang mencelakai Nyi Bodong?”
“Kenapa kau bertanya begitu?”
“Setahu saya Nyi Bodong memiliki ilmu kesaktian langka. Dia bisa mengeluarkan sinar biru sangat mematikan dari pusarnya.”
“Setiap ada ilmu yang tinggi dan hebat. pasti ada lagi ilmu lain yang lebih tinggi dan lebih hebat. Jangan kau pernah melupakan hal itu. Yang berarti seorang pendekar tidak boleh sombong, tidak boleh takabur. Aku tidak tahu siapa orang yang mencelakai Nyi Bodong. Keadaannya agak aneh. Pertama kali ditemui sekujur tubuhnya berwarna kuning. Beberapa urat besar serta syarafnya mengalami pembengkakan. Seperti dipanggang. Kalau dia siuman dan sembuh pasti akan aku tanyakan. Aku menyempatkan diri pergi ke tempat dimana Nyi Retno menemui Nyi Bodong. Kelihatannya ada pertempuran hebat disana. Satu pohon besar berubah menjadi arang tapu berwana kuning. Kalau tidak dilindungi kekuatan hebat, rasanya nasib Nyi Bodong tidak beda dengan pohon itu.”
“Syukur Tuhan masih menyelamatkannya,” kata Wiro. “Rimba persilatan memerlukan orang seperti Nyi Bodong.”
“Wiro, saatnya pergi ke tempat kediamanku dan bicara.”
“Baik Kiai.”
Sebelum meninggalkan ruangan Wiro pandangi dekat-dekat wajah Nyi Bodong. Sebenarnya dia ingin menyingkap selimut yang menutupi bagian kaki nenek muka putih itu. Namun dia tidak berani melakukan. Takut dianggap berlaku lancang dan ditegur Kiai Gede Tapa Pamungkas. Akhirnya Wiro hanya usapkan tangan kirinya di kening si nenek. Mulutnya berkata perlahan.
“Nyi Bodong, kau orang baik. Tuhan akan menolong menyembuhkanmu. Jika kau sembuh aku ingin bertemu dan bicara banyak denganmu.”
Namun seperti disentak. Wiro cepat-cepat menarik tangannya. Entah karena sentuhan tangan atau karena memang sudah saatnya siuman. sepasang mata Nyi Bodong yang sekian lama terpejam tiba-tiba membuka. Mata itu mula-mula tampak sayu kuyu. Namun begitu pandangannya membentur wajah Pendekar 212, sepasang mata jadi membesar, bersinar dan air muka si nenek berubah.
“Dia mengenalimu, Wiro…” kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
“Saya..."
“Kau mempunyai daya penyembuh pada tanganmu?”
“Tidak kiai. Saya tidak punya ilmu apa-apa…”
“Kalau begitu mari kita keluar dari sini.” kata sang Kiai.
Wiro mundur selangkah. Dia merasa berdebar ketika melihat sepasang mata Nyi Bodong masih memperhatikan. Sebelum pintu batu bergeser menutup. Wiro sempat melihat mata itu masih terus memandang ke arahnya. Bahkan mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu.
“Kiai. saya mohon pintu jangan ditutup dulu. Nyi Bodong seperti hendak mengatakan sesuatu. Mungkin dia hendak memberi tahu siapa orang yang telah mencelakainya”
Mendengar ucapan Wiro Kiai Gede Tapa Pamungkas berdiri di hadapan pintu batu. Pintu terbuka. Nyi Bodong masih dalam keadaan seperti tadi. Mata memandang mulut terbuka.
“Nyi Bodong. kau hendak rnengatakan sesuatu?” tanya Wiro. Tangannya kembali hendak mengusap kening si nenek.
Mulut si nenek terbuka. Suaranya serak parau tapi jelas. “Jangan kau berani menyentuh diriku. Pergilah,”
Wiro tersurut mundur. Memandang pada Kiai Gede Tapa Pamungkas yang tegak di sampingnya lalu cepat-cepat keluar dari ruangan itu. Sambil berjalan mengikuti sang Kiai. Wiro membatin.
“Dia dalam keadaan cidera berat. Pingsan. Siuman secara tiba-tiba. Bicara seperti itu padaku. Aneh. Rasanya aku ini sebagai seorang penjahat.”
Di dalam bangunan batu yang atapnya berbentuk mesjid Kiai Gede Tapa Pamungkas dan Wiro duduk di satu ruangan tak seberapa besar, beralaskan permadani tebal. Untuk beberapa lama Wiro hanya berdiam diri. Seolah menunggu apa yang akan dikatakan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Namun sebenernya pikirannya masih tertuju pada kejadian di kamar tempat Nyi Bodong terbaring tadi. “Dia tidak senang padaku. Mengapa? Karena pertengkaran di pondok Ki Tambakpati dulu atau…”
“Wiro, sebelum kita memulai pembicaraan ada satu hal yang ingin kutanyakan. Kau datang dengan baju putih robek besar di sebelah belakang. Di punggungmu ada guratan luka. panjang dan cukup dalam. Apa yang terjadi?”
“Saya tersangkut di ranting pohon sewaktu melayang turun.” jawab Wiro berdusta. tidak mau menceritakan hal sebenarnya.
“Begitu?”
Wiro tidak berani mengangguk, tidak berani mengiyakan. Hanya berdiam diri saja.
“Hanya ada satu manusia yang bisa melakukan hal seperti itu terhadapmu. Gurumu Sinto Gendeng. Betul?”
“Eyang Sinto bermaksud baik, Kiai. Sementara saya murid kurang ajar yang sesekali memang perlu diberi peringatan.”
Alis kanan Kiai Gede Tapa Pamungkas naik ke atas lalu orang sakti ini berkata. “Membaliklah. Biar aku sembuhkan cacat luka di punggungmu itu.”
“Terima kasih Kiai. Saya memilih memiliki cacat ini. Agar saya selalu ingat untuk berlaku baik.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas tertawa lebar. “Mengingati diri sendiri untuk berbuat baik bukan dari cacat luka yang ada di tubuh. Tapi dari lubuk hati. Sudahlah. jika kau ingin membawa cacat itu kemana-mana aku tidak bisa melarang. Sekarang kita lanjutkan pembicaraan.”
“Ba... baik Kiai. Saya menunggu. Sebelumnya saya menghaturkan terima kasih karena Kiai mau meminta saya datang ke sini. Saya siap menerima nasihat maupun teguran...”
“Rimba persilatan...” Kata sang Kiai memulai ucapannya. “Sekarang ini telah jauh berbeda dengan saat ketika dulu kau dilahirkan, ketika kau pertama kali turun gunung. Perubahan bukan saja terjadi pada sifat manusia dan para tokoh yang ada. Tapi juga pada berbagai ilmu yang dimiliki orang-orang rimba persilatan sendiri. Dendam kebencian, keserakahan, kejahatan membuat banyak orang menciptakan berbagai ilmu baru yang luar biasa dahsyatnya. Lebih mengerikan lagi kalau manusia biasa berilmu tinggi berserikat dengan mahluk alam roh, menciptakan ilmu yang bisa membuat rimba persilatan mengalami kiamat! Contoh ketika Pangeran Matahari hendak mendirikan Partai Bendera Darah yang bermarkas di Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Orang-orang rimba persilatan golongan putih tidak mampu menghancurkan komplotan manusia pocong itu secara seorang diri. Termasuk kau. Berapa tokoh yang bergabung untuk menghancurkannya? Itu telah terjadi. Yang bakal terjadi mungkin jauh lebih dahsyat. Apa lagi Pangeran Matahari masih hidup dan berkeliaran. Dendam kesumatnya terhadap dirimu selangit tembus sedalam lautan. Satu hal harus kau ingat Wiro, manusia-manusia jahat itu mudah sekali berserikat dalam kejahatan. Sebaliknya manusia yang katanya orang baik-baik kerap kali tidak saling akur. Itu sebabnya kejahatan terlihat selangkah lebih cepat dari kebaikan.
“Aku tahu kau memiliki banyak ilmu kesaktian untuk menghadapi musuh-musuhmu. Tapi kau harus memahami bahwa setiap manusia itu punya hari sial. Hari apes. Satu kali kau akan mengalami hal itu dan dirimu akan mendapat celaka besar bahkan mati di tangan musuh-musuhmu. Itu garis nasib setiap orang. Kau tidak terlepas dari garis itu. Seperti penyakit, mengapa kita tidak berusah mencegahnya sebelum kena?
“Seorang pendekar tidak harus memperlihatkan jati dirinya dengan tanda-tanda tertentu yang bisa membahayakan jiwanya. Contoh nyata adalah dirimu. Ada rajah angka Dua Satu Dua di dadamu. Melihat rajahan itu setiap orang akan akan mengenali siapa dirimu. Hal ini mengandung bahaya besar yang mungkin tidak kau sadari. Juga tidak disadari oleh Sinto Gendeng ketika belasan tahun silam dia membuat rajah itu di tubuhmu dengan jarum sakti. Sudah saatnya rajah itu dilenyapkan. Kau memiliki senjata sakti mandraguna pemberian gurumu berupa Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan batu hitam pasangannya. Senjata sebesar itu apakah kau tidak rikuh membawanya kemana-mana?”
Ucapan Kiai Gede Tapak Pamungkas itu mengingatkan Wiro akan apa yang belum lama terjadi antara dia dengan Eyang Sinto Gendeng. Jangan-jangan ada pesan tertentu dari si nenek.
“Kiai, apakah Eyang Sinto berpesan minta saya mengembalikan kapak dan batu sakti itu?”
Kiai Gede Tapa Pamungkas menggeleng. “Aku ingin senjata dan batu sakti itu tetap ada padamu. Tetapi tidak terlihat secara kasat mata.”
“Saya tidak mengerti maksud ucapan Kiai.” Kata Wiro. “Kiai, terus terang saya merasa lega kalau kapak dan batu sakti saya kembalikan pada Eyang Sinto. Kalau diizinkan, saya juga ingin mengembalikan semua ilmu silat dan kesaktian yang pernah saya dapatkan dari beliau. Sehingga antara kami tidak ada lagi ganjalan.”
“Ucapanmu memberi kesan kau membenci gurumu.”
“Tidak Kiai, saya tidak membenci Eyang Sinto.”
“Kau menaruh dendam atas apa yang telah dilakukannya padamu?”
“Saya tetep menghormati Eyang Sinto,” jawab Wiro dengan tenang walau hatinya terasa perih.
“Mulutmu berucap begitu, tapi aku tidak tau apa yang ada di lubuk hatimu. Sinar matamu terlihat lain…”
“Kiai, saya ingin melupakan apa yang telah terjadi. Saya ingin melupakan masa lalu dengan segala perbuatan buruk dan baik saya. Saat ini saya punya keinginan meninggalkan rimba persilatan untuk selama-lamanya. Saya rasa tanpa menjadi seorang pendekar sekalipun seseorang bisa berbuat baik.”
Kalau saja sang Kiai tidak dapat menekan keterkejutannya pastilah saat itu dia sudah terlonjak dari duduknya. “Anak muda, kau ini bicara apa? Selagi rimba persilatan dilanda kekacauan seperti ini, selagi rimba persilatan digentayangi manusia-manusia jahat kau bermaksud meninggalkan rimba persilatan. Apakah kau hanya mengikuti perasaan hati hingga mengorbankan akal sehat?”
“Kiai, mungkin perasaan hati terkadang menyesatkan. Namun bagaimanapun juga perasaan hati adalah satu kejujuran yang tidak pernah berkata dusta. Murni dan bersih separti tetesan-tetesan embun di pagi hari.”
Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan Kapak Naga Geni 212 dan batu hitam sakti. Dua senjata mustika ini diletakkan di atas permadani di hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas. “Dengan segala hormat dan mohon maaf, kapak dan batu sakti saya serahkan pada Kiai.”
“Wiro, jangan membuat aku bingung. Aku tidak bisa menerima perbuatanmu ini!” Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas cepat angkat tangan kanan, telapak dikembang diarahkan ke dada Wiro.
“Kiai, kau mau berbuat apa? Membunuhku?!” seru Wiro.
BAB 9
SANG KIAI tak menjawab. Mukanya berubah merah. Tangan kanan mulai bergetar. Lalu muncul satu cahaya putih melingkari tangan. Ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas mendorongkan tangan itu ke depan, satu cahaya menyilaukan berkiblat ke arah dada Pendekar 212. Wiro menjerit keras. Tubuhnya terpental kedinding.
Rasa panas seperti ada bara di dalam dada membuat sekujur tubuhnya berkelojotan. Dada itu dipenuhi kilatan ribuan bunga api. Sesaat kemudian perlahan-lahan bunga api dan rasa panas lenyap, berubah menjadi hawa sangat sejuk hingga kini Wiro jadi menggigil kedinginan dan giginya bergemeletukan.
Wiro menatap ke depan. Kiai Gede Tapa Pamungkas menatapnya tenang-tenang saja. Ketika Wiro memperhatikan ke arah dirinya sendiri ternyata baju putihnya dalam keadaan terbuka, dada tersingkap telanjang. Dan rajah tiga angka 212 yang selama ini ada di dada itu kini telah lenyap!
“Kiai...” ucap Wiro. “Saya...”
Belum sempat Wiro menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas angkat dua tangan sekaligus. Mulutnya berseru. “Wiro! Kapak Naga Geni Dua Satu Dua! Batu hitam sakti! Aku kembalikan padamu!” Dua tangan ditepukkan satu sama lain.
“Blaar! Blaar!”
Dua cahaya sangat terang berkiblat. Kapak Naga Geni 212 dan batu hitam sakti berubah menjadi dua benda sangat menyilaukan. Melesat ke udara lalu menukik turun dan...
"Sett... sett! Sulit dipercaya. Dua senjata mustika sakti itu melesat masuk ke dalam tubuh Pendekar 212 sebelah depan. Asap putih mengepul dari telinga, hidung, mata serta ubun-ubun Wiro!
Untuk beberapa lamanya tubuh Wiro tampak kaku tak bergerak. Keringat memercik dimana-mana. Tiba-tiba satu jeritan keras menggeledek dari mulut sang pendekar. Sepasang matanya berubah merah laksana bara menyala. Tubuh bergoncang keras lalu terkulai lemas, tersandar ke dinding. Kiai Gede Tapa Pamungkas berdiri. Melangkah mendekati Wiro. Telapak tangan kanan diletakkan di atas kepala Pendekar 212, mulut komat kamit merapal sesuatu.
“Dess! Dess!” Asap mengepul dari kepala Wiro.
“Rampung sudah. Tugasku sudah selesai. Semoga Tuhan melindungi dan mernberkatimu...”
“Kiai, apa yang terjadi? Apa yang telah Kiai lakukan?” tanya Wiro seperti orang baru sadar dari siuman.
“Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan batuk hitam sakti telah menyatu dalam tubuhmu. Kemana kau pergi dua senjata mustika itu akan selalu bersamamu. Bilamana kau memerlukan mereka kau hanya berseru menyebut Kapak Naga Geni Dua Satu Dua atau Batu Sakti! Maka secepat kilat kapak akan berada di tangan kanan dan batu sakti di tangan kirimu.”
Wiro terdiam. Bukan terpana kagum akan kehebatan yang telah dilakukan Kiai Gede Tapa Pamungkas tapi justru terbalut oleh rasa penyesalan. Mengapa sang Kiai tidak memberi tahu lebih dulu apa yang akan dilakukannya. Padahal tadi dia jelas-jelas mengatakan ingin mengembalikan dua senjata mustika sakti itu.
“Mengenai rajah tiga angka Dua Satu Dua di dadamu. Angka-angka tersebut akan muncul di dada kirimu dengan sendirinya jika kau sengaja menyibakkan baju dihadapan lawan.”
“Kiai, apakah saya boleh minta diri sekarang?” Bertanya Wiro.
“Aku tahu kau tidak suka atas apa yang telah aku lakukan. Namun dikemudian hari kau akan menyadari bahwa yang aku lakukan ini adalah untuk kebaikanmu.”
“Saya sangat berterima kasih. Kiai, saya mohon diri. Sebelum pergi izinkan saya menemui Nyi Retno” Wiro berdiri.
Melihat air muka dan sikap Pendekar 212 Wiro Sableng, sang Kiai tak punya niat untuk mencegah walau sebenarnya masih banyak yang ingin dibicarakannya dengan pemuda itu.
Di bangunan batu sebelah kiri Nyi Retno Mantili telah resah menunggu. Bersama Wiro dia ingin cepat-cepat keluar dari dasar telaga. Ketika Wiro muncul dia menyambut dengan tertawa lega. Sambil menimang boneka kayu dan bertanya pada Kiai Gede Tapa Pamungkas yang berada di samping Wiro.
“Guru, apakah kami boleh minta diri sekarang?”
Sang Kiai anggukkan kepala. “Wiro, jaga Nyi Retno dan Kemuning baik-baik.” Lalu orang sakti ini pegang lengan Wiro dan Nyi Retno. “Selamat jalan. Harap kalian selalu berhati-hati.” Dua lengan disentakkan. Wiro dan Nyi Retno melesat ke atas permukaan air terlaga.
Beberapa lama setelah Wiro dan Nyi Retno Mantili lenyap dari hadapannya Kiai Gede Tapa Pamungkas masih tegak di depan bangunan besar yang atapnya berbentuk mesjid. Orang tua ini menarik nafas panjang. Membalikkan badan seraya mulutnya berucap perlahan.
“Sinto, dari dulu kau tak pernah berubah. Kau akan menerima azab akibat perbuatan semena-mena mu terhadap murid sendiri. Sayang... sayang sekali. Padahal rimba persilatan sangat memerlukan orang-orang seperti kalian.”
Wiro dan Nyi Retno hampir tidak menyadari kapan mereka melesat keluar dari dalam telaga. Tahu-tahu keduanya sudah ada di tepi telaga tiga warna sebelah timur.
“Aneh, tubuh dan pakaianku tidak basah!” kata Wiro sambil menggaruk kepala.
“Aku juga. Kemuning juga tidak basah! Kesaktian guruku pasti yang membuat kita tetap kering begini! Hik hik hik. Aku suka pada Kiai itu. Tapi aku tidak senang akan semua ucapan dan apa yang dilakukannya padamu waktu di gedung besar di dasar telaga tadi.”
Wiro berpaling heran. “Bagaimana kau bisa tahu segala pembicaraan dan apa yang terjadi di bangunan besar?” tanya murid Sinto Gendeng pula.
“Aku ada di dalam ruangan.”
Wiro menggaruk kepala tak percaya. “Kiai memberikan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri padaku. Aku pergunakan ilmu itu. Tubuhku lenyap dari pemandangan mata. Aku masuk ke dalam ruangan. Kau tidak tahu, tidak melihat. Kiai juga tidak tahu tidak melihat. Tapi aku kira dia tahu. Cuma sengaja berpura-pura Hik hik hik. Aku kira dia menyesal memberikan ilmu itu padaku.”
“Kiai Gede Tapa Pamungkas orang baik dan sangat bijaksana. Dia tahu apa yang dilakukannya.”
“Kau juga orang baik. Kau baik padaku. Kau baik pada Kemuning...” kata Nyi Retno. Sambil melangkah pelan di samping Wiro, dia sandarkan kepalanya ke bahu kiri sang pendekar. “Wiro, kita akan pergi kemana sekarang?“ Nyi Retno bertanya.
“Nyi Retno, saya rasa saya harus mengantarkanmu ke pondok Ki Tambakpati…”
“Terserah kau mau bawa kemana. Aku dan Kemuning ikut...”
Wiro menggaruk kepala. “Kau tidak suka aku dan Kemuning ikut?”
“Tentu saja saya suka. Tapi...”
“Tapi apa?”
Wiro memandang berkeliling. Dia melihat ada satu pohon rindang. “Ada yang hendak saya ceritakan pada Nyi Retno. Mari kita bicara di bawah pohon sana.”
Mendengar kata-kata Wiro itu Nyi Retno Mantili langsung mendahului lari dan duduk di bawah pohon. Begitu Wiro sampai dia berkata. “Senangnya hendak diceritakan sesuatu. Kau mau cerita sekarang?” Nyi Retno menarik tangan Wiro. Keduanya duduk di tanah berhadap-hadapan.
“Nyi Retno, beberapa hari lalu dari keterangan Djaka Tua saya berhasil mencari tahu dimana bayimu berada...”
“Tunggu dulu, ceritamu tidak lucu Wiro. Bayiku ada di sini. Lihat, ini Kemuning! Bayiku, anakku, puteriku.” Nyi Retno mengangkat boneka kayu yang ada di pangkuannya lalu tertawa panjang.
Wiro garuk-garuk kepala. Dia tidak tahu musti bicara bagaimana. Setelah berpikir-pikir, dia mendapat akal. “Kau betul Nyi Retno. Kemuning ini memang puterimu yang manis. Semua orang suka padanya. Tapi apa kau lupa kalau Kemuning punya kakak?”
Kening Nyi Retno mengerenyit, mulut dipencongkan, mata menatap lebar. “Kau mempermainkanku. Kau jahat...”
“Tidak Nyi Retno. Kakak Kemuning juga seorang anak perempuan. Sama cantiknya dengan Kemuning. Namanya Ken Permata. Usianya satu tahun...”
“Kemuning juga berusia satu tahun. Kalau Kemuning punya kakak paling tidak usianya dua tahun!”
“Celaka, katanya otaknya tidak waras, tapi ternyata tahu menghitung. Dia lebih dari waras!” Ucap Wiro dalam hati. Wiro usap-usap kepala boneka. “Sudahlah, nanti saja kita bicara lagi. Saya akan mengantarkan Nyi Retno ke pondok Ki Tambakpati. Perjalanan kita jauh kali. Berhari-hari. Saya tahu tempat dimana kita bisa mencari tumpangan gerobak kuda.”
“Tadi malam saya bermimpi,” kata Nyi Retno sambil berdiri. Untuk pertama kalinya Wiro mendengar dia menyebut dirinya dengan kata saya, bukan aku. “Mimpinya buruk. Dalam mimpi saya melihat Djaka Tua digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Saya kawatir.”
“Tak ada yang perlu dikawatirkan Nyi Retno. Mimpi adalah mimpi. Djaka Tua berada di tempat kediaman Ki Tambakpati, tempat yang aman.”
Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara derap kaki kuda. Perjalanan menuju puncak Gunung Gede cukup sulit. Seseorang hanya bisa menunggangi kuda paling jauh sampai dua pertiga ketinggian gunung. Jika sekarang ada yang mampu naik sampai ke puncak, niscaya dia adalah seorang berkepandaian tinggi dan memiliki kuda tunggangan yang cekatan luar biasa. Wiro cepat menarik Nyi Retno ke balik pohon besar dan memberi tanda agar perempuan itu tidak mengeluarkan suara. Tapi tetap saja Nyi Retno membuka mulut.
“Pasti yang lewat manusia setan dan kuda setan. Hik hik hik.”
Wiro cepat tekap mulut Nyi Retno. Celakanya walau cuma main-main Nyi Retno gigit jari tangan Wiro hingga hampir saja Wiro mengaduh kesakitan.
Derap kaki kuda semakin keras. Sesaat kemudian seekor kuda putih muncul bersama penunggangnya seorang mengenakan sorban dan jubah putih berkilat. Yang membuat Wiro terkejut kuda putih itu terus saja lari ke arah telaga, melompat tinggi dan jauh, lalu perlahan-lahan seperti dikendalikan, didahului satu ringkikan keras binatang dan penunggangnya masuk ke dalam telaga, tanpa membuat air telaga bermuncratan, hanya menimbulkan riak gelombang kecil.
“Luar biasa...” Ucap Pendekar 212 sambil lepaskan tekapannya dari mulut Nyi Retno Mantili.
“Apa yang saya bilang terbukti. Yang naik kuda itu setan, kuda yang ditunggangi juga setan.”
“Kiai Gede Tapa Pamungkas kedatangan tamu hebat. Nyi Retno, bisakah kita menunggu sampai orang berkuda tadi keluar dari telaga. Saya ingin melihat lebih tegas, siapa dia adanya. Rasanya saya pernah...” Wiro menggaruk kepala mengingat-ingat.
Nyi Retno gelengkan kepala berulang kali lalu tarik lengan Wiro.
********************
KITA kembali pada Hantu Malam Bergigi Perak yang tengah berusaha mengejar Sinto Gendeng yang dicurigainya telah mendapatkan kembali Kitab Seribu Pengobatan. Si nenek merasa jengkel karena dia tahu, di sebelah belakang kakek bermata belok berkuping lebar bernama Setan Ngompol itu ternyata mengikuti. Namun rasa kesal itu jadi hilang ketika otaknva berpikir mungkin orang itu bisa dimanfaatkannya. Setelah berlari cukup jauh sementara matahari mulai memasuki ufuk tenggelamnya mendadak Hantu Malam Bergigi Perak kehilangan jejak Sinto Gendeng.
“Kurang ajar! Tidak mungkin dia lenyap begitu saja. Aku masih mencium bau pesingnya. Pasti dia sembunyi di sekitar sini.”
Nenek berusia 70 tahun ini memperhatikan keadaan sekeliling. Tempat dimana dia berada adalah kawasan hutan bambu. Pohon-pohon bambu itu tumbuh berjejer rapat seolah membentuk dinding panjang dan tinggi. Perlahan-lahan Hantu Malam Bergigi Perak langkahkan kaki, bergerak ke tempat yang mulai diselimuti kegelapan. Asap hitam. merah dan biru yang keluar dari potongan bambu yang ada di atas kepalanya kelihatan mengepul lebih tebal.
“Tua bangka itu tidak mungkin sembunyi karena takut,” membatin Hantu Malam Bergigi Perak. “Dia tidak punya ilmu melenyapkan diri. Dia bersiasat mau membokongku! Aku harus waspada.”
Benar saja. Baru si nenek selesai mengucap dalam hati tiba-tiba didahului suara lengking jerit keras berkiblat selarik sinar putih perak menyilaukan disertai berhembusnya angin luar biasa panas!
“Pukulan Sinar Matahari!” teriak Hantu Malam Bergigi Perak kaget sekali. “Jahanam itu inginkan nyawaku!”
Sambil berguling selamatkan diri si nenek angkat dua tangan di atas kepala. Ketika dua tangan didorong terdengar suara bergemuruh. Dari potongan batang bambu di atas kepala kepulan asap tiga warna keluarkan suara mendesis lalu membuntal dan bergulung ke arah cahaya putih perak yang menyerang dirinya, ltulah tangkisan dalam jurus yang disebut Hantu Malam Menyanggah Bumi.
“Buummm!”
Letusan dahsyat menggelegar. Tanah bergetar. Pepohonan berderak-derak. Salah satu diantaranya amblas dalam kobaran api. Walau selamat dari serangan mematikan, Hantu Malam Bergigi Perak merasakan dadanya berdenyut keras. Dia cepat berdiri ketika terdengar suara tertawa panjang. Di depan sana, terpisah dua belas langkah, berdiri angker seorang nenek tinggi kurus, berkulit hitam dengan mata dan pipi cekung serta kepala ditancapi empat tusuk konde. Tangan kiri melintangkan tongkat kayu di depan dada dan dari mulutnya mengumbar suara tertawa. Sinto Gendeng!
Hantu Malam Bergigi Perak mendengus. “Tua bangka edan! Kita sama-sama orang rimba hijau! Apa kau tidak punya peradatan? Sengaja membokong diriku! Nama besar Sinto Gendeng ternyata hanya menampilkan seorang nenek jelek berjiwa pengecut!”
Sinto Gendeng semburkan ludah susurnya ketanah. Lalu menjawab. “Apa kau sendiri punya peradatan? Mengejar orang padahal aku tidak punya urusan? Kau bukan cuma tua bangka tidak tahu peradatan tapi pasti juga punya niat jahat! Untung tubuhmu masih utuh! Kalau kau tidak lekas menyingkir dari hadapanku saat ini juga kau akan aku buat lumat!”
“Tidak heran kau bicara sombong!” sahut Hantu Malam sambil berkacak pinggang. “Sepertinya cuma kau seorang yang punya ilmu kesaktian di dunia ini! Tidak heran kau mau melumat diriku! Muridmu sendiri kau aniaya sampai cacat! Hik hik hik! Aku mau lihat apa benar kau mampu melumat diriku?!”
Tubuh bungkuk Sinto Gendeng tersentak ke atas. Sepasang matanya memandang mencorong, penuh kilatan hawa amarah. “Kepentingan apa kau ikut campur aku punya urusan dengan muridku!”
“Sinto Gendeng, sudahlah. Aku tidak mau bicara panjang lebar, apa lagi yang aneh-aneh. Aku langsung saja pada tujuanku. Aku butuh Kitab Seribu Pengobatan yang ada padamu. Dalam waktu tiga puluh hari akan kukembalikan. Jika kau mau meminjamkan kita akan menjadi sahabat malah mungkin jadi saudara dunia akhirat. Tapi kalau kau tidak berbaik hati untuk meminjamkan, aku akan merampas kitab itu. Kalau kau tetap keras kepala aku akan mengambil kitab berikut nyawamu! Harap kau pikirkan ucapanku dengan otak sehat pikiran jernih!”
Sinto Gendeng balas berkacak pinggang lalu tertawa mengekeh. “Ucapanmu seperti pemain sandiwara keliling. Dengar, aku masih mau mengampuni selembar nyawa rombengmu kalau kau lekas minggat dari hadapanku. Aku tahu diriku buruk jelek. Tapi melihat tampangmu aku seperti mau muntah! Hueek! Siapa sudi jadi saudaramu dunia akhirat! Hik hik hik!”
“Sinto, setahuku kitab itu bukan milikmu. Tapi milik Wiro muridmu! Mengapa kau serakah mengangkangi?! Kalau kau pinjamkan pada orang yang membutuhkan kesembuhan dari penyakit, kau bukan saja akan mendapat nama harum tapi juga pahala besar.”
“Jangan bicara soal pahala di hadapanku! Dosaku sudah setinggi gunung sedalam lautan. Apa masih perlu aku mencari pahala?!”
“Kalau begitu kau akan mampus dalam kesesatan! Kasihan sekali! Coba kau mendongak ke langit! Apa kau tidak melihat pintu neraka sudah terbuka menantimu? Hik hik hik!”
Sinto Gendeng berteriak marah. Hantu Malam Bergigi Perak sendiri saat itu sudah melompat ke hadapan Sinto Gendeng. Dari tabung bambu di atas kepalanya menyembur asap hitam, kuning dan merah membuat pemandangan Sinto Gendeng jadi terhalang dan matanya terasa agak perih. Bersamaan dengan itu Hantu Malam lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam sangat tinggi.
Sinto Gendeng menyeringai. Dia melompat ke samping untuk selamatkan diri dari pukulan sakti sambil kepala dan tubuh dirundukkan untuk menghindari halangan asap. Lalu secepat kilat tangan kirinya yang memegang tongkat bergerak.
“Wuuut! Breett! Dukkk!”
Leher baju hitam berenda putih yang dikenakan Hantu Malam Bergigi Perak robek besar disambar ujung tongkat Sinto Gendeng. Mukanya yang tertutup dandanan tebal seolah kehilangan darah, pucat pasi seperti kertas.
Sebaliknya saat itu Sinto Gendeng sendiri tampak meringis dengan tubuh setengah terlipat. Walau tidak telak satu tendangan lawan berhasil mendarat di perutnya. Rupanya tadi pukulan tangan kosong yang dilancarkan Hantu Malam Bergigi Perak hanya tipuan belaka karena sebenarnya kaki kanannyalah yang benar-benar melakukan serangan dalam jurus bernama Hantu Malam Menusuk Rembulan Menikam Matahari.
“Manusia jahanam, kau akan mampus tak berbentuk!” teriak Sinto Gendeng marah sekali. Dua matanya memandang membeliak dan bagian putihnya perlahan-lahan berubah membiru. Nenek ini jelas-jelas hendak mengeluarkan ilmu dahsyat Sepasang Sinar Inti Roh. Dari matanya akan melesat dua larik sinar biru mematikan yang selama ini sulit lawan bisa menghindar cari selamat. Ilmu inilah konon yang pernah diminta Wiro tapi tidak diberikan oleh sang guru.
Hantu Malam Bergigi Perak cukup banyak pengalaman dan segera maklum ilmu kesaktian apa yang hendak dikeluarkan lawan. Secepat kilat dia melompat mundur sambil dua tangan disilangkan di depan dada. Mulut bergumam merapal mantera. Sekujur tubuh bergetar. Asap tiga warna yang keluar dari tabung bambu di atas kepala menderu keras lalu bergerak menyelubungi sekujur tubuh, mulai dari kepala sampai ke kaki. Sosok si nenek lenyap dari pemandangan, hanya sepasang matanya yang masih terlihat seolah mengintip melalui dua buah lobang.
Ilmu yang dikeluarkan Hantu Malam Bergigi Perak ini bernama Membungkus Jazad Melindung Jiwa. Dari namanya sudah dapat diketahui ini merupakan ilmu pelindung diri. Konon si nenek telah menghabiskan waktu tiga puluh tahun untuk mendapatkan dan meyakini kesaktian ini. Selain mempersiapkan diri dalam bertahan, dua tangan Hantu Malam Bergigi Perak yang bersilang di depan dada kelihatan berubah menjadi hitam. Lima kuku jari mencuat panjang juga berubah warna hitam dan pekat.
Ilmu pertahanan yang telah disiapkannya rupanya sekaligus mampu dibarengi dengan jurus menyerang yang disebut Limbah Neraka Menghujat Bumi. Ini merupakan ilmu yang jahat sekali. Dari lima kuku jari akan menyembur keluar cairan hitam berbau sangat busuk. mengepulkan asap hitam serta menebar hawa luar biasa panas.
“Mampus!” teriak Sinto Gendeng. Sepasang mata dikedipkan.
“Balas kematian dengan kematian!” Hantu Malam Bergigi Perak balas berteriak tak kalah garang. Dua tangan yang disilang di depan dada dikibas ke depan. Gerakan ini sama sekali tidak terlihat oleh Sinto Gendeng karena kecuali sepasang mata sampai saat itu tubuh lawannya masih tertutup dan terlindung rapat oleh ilmu Membungkus Jazad Melindung Jiwa.
Dua nenek sakti itu rupanya sudah sama-sama nekad mengadu jiwa. Di saat yang luar biasa menegangkan itu Setan Ngompol sampai di tempat itu. Kakek ini langsung berteriak.
“Tahan serangan! Kalian berdua akan sama-sama mati konyol!”
Setan Ngompol pegangi bagian bawah perut. Tak urung kencingya tetap memancur. Dua nenek sama sekali tidak perdulikan peringatan Setan Ngompol. Malah masing-masing melipat gandakan hawa sakti dan kekuatan tenaga dalam.
“Celaka!” teriak Setan Ngompol. Dia segera melompat menjauhi. Dia sudah dapat memastikan jika dua nenek tetap meneruskan serangan, mereka akan sama-sama menemui ajal. Selain itu bentrokan tenaga dalam dan hawa sakti akan melanda tempat itu, bisa-bisa merenggut nyawanya sendiri. Itu sebabnya si kakek buru-buru melompat jauh mencari selamat. Tentu saja dalam keadaan air kencing muncrat kemana-mana.
Dentuman dahsyat menggelegar di tempat itu. Langit laksana runtuh, tanah seperti terbalik. Sinar biru, kuning, hitam dan merah mencuat tinggi ke langit, membeset ke seantero tempat. Hantu Malam Bergigi Perak terpekik. Tubuhnya mental sampai tujuh tombak, bergulingan di tanah. Walau tubuh masih terbungkus asap pelindung tiga warna namun pada bahu kirinya kelihatan satu luka menganga. Darah mengucur deras mengerikan.
Di bagian lain jeritan Sinto Gendeng seperti merobek langit. Nenek ini tidak terpental, hanya jatuh duduk dengan tubuh mengepulkan asap hitam menebar bau busuk. Mata kirinya tampak lebam merah biru. Empat tusuk konde di atas kepala bergoyang-goyang memancarkan sinar redup.
Saat itu entah dari mana datangnya mendadak muncul cahaya gemerlap. Sinto Gendeng yang hanya mampu melihat dengan satu mata, terkesiap kaget ketika di hadapannya melayang mahluk aneh berbentuk bayang-bayang berupa perempuan cantik sekali dengan rambut tergerai lepas. Mahluk ini melayang ke arahnya. Tangan kanan menyambar ke pinggang. Sinto Gendeng merasa ada sesuatu yang lenyap dari tubuhnya. Dia berteriak. Lalu nenek ini tersungkur roboh, tergeletak di tanah dalam keadaan pingsan!
Setan Ngompol yang berada lebih dari sepuluh tombak dari pusat dentuman dahsyat terlempar dan menyangsrang di atas serumpunan semak belukar. Muka pucat, mata setengah mendelik. Dada berdenyut sakit sementara kencing kembali awur-awuran. Untuk berapa lamanya kakek ini terpentang tak mampu bergerak. Dirinya seolah lumpuh! Mahluk bayangan berkelebat ke arah Hantu Malam Bergigi Perak. Si nenek menatap dengan mata melotot, tubuh terhuyung lemas dan pandangan sedikit demi sedikit menjadi kabur.
“Nek. aku tahu kau inginkan Kitab Seribu Pengobatan. Kitab itu ada padaku. Kalau sudah kupergunakan, aku akan mencarimu dan menyerahkan padamu...”
“Kau siapa...?” Tanya Hantu Malam Bergigi Perak dengan suara parau dada sesak. Nafas tinggal satu-satu.
“Aku seorang sahabat...”
Si nenek menggeleng. “Kita tidak mungkin bertemu lagi. Luka dibahuku mengandung racun jahat. Selain itu aku kehabisan darah. Umurku tidak lama. Jika aku mati serahkan kitab itu pada Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Dia tahu masalah yang dihadapi dua muridku yang sangat memerlukan pertolongan. Hanya petunjuk dalam kitab yang bisa menyembuhkan. Jika Pendekar itu inginkan salah satu dari dua muridku, dia tinggal memilih. Aku tahu dia sebenarnya pemuda baik. Mudah-mudahan mereka berjodoh dan bahagia.”
“Nek. kau tidak akan mati. Aku akan... menolong.” Mahluk bayangan siap menotok urat besar di leher dan dada Hantu Malam Bergigi Perak.
Namun kepala si nenek terkulai. Nyawanya lepas. Dia menemui ajal dengan sepasang mata nyalang terbuka. Mahluk bayangan usap dua mata si nenek hingga tertutup lalu melesat ke udara dan lenyap dari pemandangan.
Tak selang berapa lama Sinto Gendeng mulai sadarkan diri. Dia ingat apa yang terjadi lalu bergerak duduk di tanah. Meraba seputar pinggang. Kagetnya seperti disambar petir. “Jahanam kurang ajar! Siapa yang telah mencuri kitab?!”
Nenek ini melompat dari duduknya. Berdiri terhuyung-huyung. Pandangannya membentur sosok Hantu Malam Bergigi Perak. Dia dapatkan si nenek sudah tak bernyawa lagi. Sinto Gendeng memeriksa seluruh tubuh Hantu Malam dan tidak menemukan Kitab Seribu Pengobatan. Saking kesalnya Sinto Gendeng tendang tubuh orang hingga terpental sampai beberapa tombak. Sinto Gendeng putar tubuh. Pandangannya kini tertuju pada Setan Ngompol yang tergeletak menyangsrang tak berdaya di atas rumpunan semak belukar.
“Setan tua keparat! Semua terjadi gara-gara kau! Mana kitab itu? Kau pasti yang mengambil!”
“Sinto, aku...”
Plaakk! Satu tamparan mendarat di pipi Setan Ngompol membuat pecah bibir si kakek.
“Sinto! Kenapa kau jadi kalap begini! Kau menghajarku teman sendiri! Apa sudah gila?!”
“Siapa bilang kita berteman?! Aku memang sudah gila! Aku bukan cuma ingin menghajarmu tapi membunuhmu! Kau dengar? Aku ingin membunuhmu!” Habis berteriak begitu Sinto Gendeng lalu hunjamkan satu jotosan ke dada Setan Ngompol.
“Kraaakk!”
Setan Ngompol menjerit. Tiga tulang iganya berderak patah. Kakek ini megap-megap beberapa kali lalu tak berkutik lagi...
T A M A T