Misteri Bunga Noda

Wiro Sableng. Misteri Bunga Noda
Sonny Ogawa

Misteri bunga Noda


BAB SATU

DALAM kisah sebelumnya diceritakan bagaimana nenek jejadian kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu berusaha melepas totokan di tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng. Usahanya mengalami kesulitan karena totokan berada di bawah pusar, di dekat anggota rahasia sang pendekar.

Ingat pengalamannya waktu memperbaiki letak anggota rahasia Pengemis Empat Mata Angin dimana saat itu Purnama alias Luhmintari, gadis dan negeri 1200 tahun silam meminjamkan tenaga dalamnya, maka Wiro minta agar si nenek melakukan hal yang sama.

Namun ternyata cara pemindahan tenaga dalam serta hawa sakti hanya bisa dilakukan nenek itu melalui dua puting susunya. Agar tenaga dalam dan hawa sakti itu bisa masuk ke tubuh Wiro maka sang pendekar harus menyedot dua puting susu si nenek sekaligus!

Ketika hal itu dikatakan si nenek. Wiro tertawa gelak-gelak karena menyangka si nenek bergurau mempermainkannya.

"Aku rasa kau punya otak jahil Nek. Kalau apa yang kau bilang aku lakukan, tiba-tiba kau bersalin rupa menjadi seorang gadis cantik jelita berdada putih kencang. Aku bisa kebablasan. Urusan bisa jadi kapiran! Ha ha ha...!"

Murid Sinto Gendeng mungkin belum akan berhenti tertawa kalau tiba-tiba dari dalam candi tidak terdengar suara orang berucap lembut tapi jelas.

"Hidup ini memang satu keanehan. Di dalam susah ada tawa. Di dalam kesulitan ada canda."

Begitu ucapan berakhir di dekat Wiro dan nenek jubah kuning tahu-tahu telah berdiri seorang pemuda cakap berbaju dan bercelana hitam. Kening diikat secarik kain merah. Beberapa bagian baju dan celana serta kain merah di kepala dihias sulaman bergambar bunga tanjung terbuat dari benang perak dipadu benang emas. Pemuda tampan ini berkumis kecil tipis, memelihara janggut serta cambang bawuk rapi.

Belum sempat Wiro dan si nenek menanyakan siapa adanya dia, pemuda tak dikenal itu mendahului berkata. Suaranya lembut.

"Sahabat yang sedang kesusahan. Jika kau bersedia. dengan ilmuku yang bodoh aku mungkin bisa melepas totokan di tubuhmu. Ketika kalian datang aku sudah berada berada didalam candi. Harap dimaafkan kalau aku tak sengaja mendengar semua pembicaraan sahabat dan nenek ini."

Nenek jubah kuning tegakkan kepala Menatap pemuda di hadapannya. "Aku tadi telah mencoba, tapi tak berhasil memusnahkan totokan di tubuh sahabatku ini. Pangeran Sena Wirapala. Keparat tua itu yang menotok. Entah Ilmu totokan celaka apa yang dimilikinya! Eh, kau benaran bisa menolong sahabatku ini?"

Pemuda berbaju hitam mengangguk. "Jika kau mengizinkan dan yang punya diri mau ditolong tentu saja aku akan berusaha. Hidup didunia ini bukankah musti tolong menolong?" Jawab pemuda berkumis kecil.

"Sahabat, kalau kau memang mampu menolong, aku berserah diri." Kata Wiro pula.

"Terima kasih kau mau mempercayaiku..." Pemuda berpakaian hitam lalu membaringkan Wiro menelentang di lantai candi. Si nenek mengawasi. "Harap maafkan, aku harus menyentuh auratmu di bagian yang ditotok."

Pemuda yang hendak menolong lalu susupkan tangan kanannya ke balik celana Pendekar 212. Wiro merasa jari-jari tangan mengusap permukaan kulit tubuhnya kira-kira setengah jengkal di bawah pusar. Terasa dingin. Hawa sejuk aneh menjalar ke seluruh tubuhnya. Pemuda berkumis tipis kemudian menggerakkan kedua tangan Wiro berulang kali. Setelah itu ganti menggerakkan sepasang kaki.

"Sahabat, kau sekarang bisa menggerakkan tangan dan kakimu sendiri. Cobalah..."

Mendengar ucapan orang Wiro gerakkan tangan kiri kanan. Lalu angkat kedua kaki. Seperti yang dikatakan pemuda berpakaian hitam ternyata dia benar-benar mampu melakukan.

"Luar biasa!" Wiro berucap girang. "Sahabat, aku sangat berterima kasih padamu."

"Cobalah bangun dan berdiri." Kata pemuda berpakaian hitam.

Wiro bukan hanya mampu bangun tapi malah sanggup melompat dan di lain saat dia sudah berdiri di hadapan pemuda penolongnya. Wiro membungkuk dalam-dalam, mengucapkan terima kasih berulang kali.

Si nenek tertawa gembira, menepuk-nepuk bahu pemuda tampan itu seraya bertanya. "Pemuda hebat! Kalau kami boleh tahu siapa gerangan kau adanya?"

Yang ditanya tersenyum. Dia menjawab dengan suara lembut merendah. "Aku hanya seorang yang kebetulan lewat di sini Karena kelelahan dan matahari bersinar terik, aku masuk ke dalam candi. Aku gembira totokan di tubuh sahabatku ini sudah musnah. Harap dimaafkan, karena ada keperluan lain aku terpaksa meninggalkan kalian berdua. Di lain waktu mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi."

"Sahabat, tunggu dutu! Kau belum memberi tahu namai" Kata Wiro pula sambil berusaha mengejar.

Namun seperti ditelan bumi pemuda berkumis kecil lenyap di samping candi. Wiro dan si nenek memutari candi, coba mencari. Pemuda itu tak kelihatan lagi.

"Ah sayang, dia pergi begitu saja..." ucap Wiro sambil menggaruk kepala.

"Orang sakti berbudi tinggi selalu merendah diri seperti itu..." kata nenek kembar jejadian.

"Ilmunya luar biasa. Gerakannya cepat sekali. Kalau tidak dia menolong, entah apa jadinya dengan diriku."

Murid Sinto Gendeng ingat sesuatu. Ingin tahu dia berputar membelakangi si nenek lalu turunkan celananya di sebelah depan untuk melihat bagian tubuh di bawah pusar yang tadi d sentuh pemuda yang menolongnya. Dia jadi terkejut ketika melihat di bawah pusarnya menempel sekuntum bunga tanjung, putih kekuningan.

"Dari mana munculnya bunga ini?" Wiro bertanya dalam hati. "Mungkin pemuda tadi yang menempelkan? Sebagai alat untuk memusnahkan totokan di tubuhku?"

Murid Sinto Gendeng berpikir, garuk-garuk kepala. Tiba-tiba saja dia ingat pada puteri Keraton Ambarsari yang tewas mengenaskan itu. Otak berpikir, hati berucap. "Pertama kali aku bertemu gadis itu. ada bunga tanjung di keningnya..." Wiro meraba tengkuknya yang mendadak terasa dingin. "Pemuda berpakaian hitam tadi. Jangan-jangan..."

Wiro susupkan tangan ke balik celana untuk mengambil bunga tanjung yang menempel di bawah perut. Tiba-tiba rasa panas menyengat batok kepalanya. Wajahnya serasa dipanggang api. Sekujur tubuh panas membara. Dalam keadaan seperti tu kembali Wiro ingat pada Ambarsari. Wajah si gadis membayang di pelupuk matanya. Sang pendekar tersentak. Dia sadar, Ingat! Ada sesuatu yang mengejutkannya. Wiro keluarkan seruan tertahan.

"Ada apa?" nenek jubah kuning yang sejak tadi memperhatikan bertanya.

"Orang itu!" Wiro menunjuk ke arah lenyapnya pemuda berpakaian hitam tadi sementara dua kakinya mendadak bergetar. Lututnya goyah tubuh terasa limbung. "Nek, dia... dia orangnya yang mengejar Ambarsari. Dia... dia mengaku bernama Cakra yang..."

Pendekar 212 Wiro Sableng tak sanggup lagi menyelesaikan ucapan. Kini berganti sekujur badan diserang hawa dingin luar biasa. Dari mulut menyembur darah kental. Tubuh Wiro kemudian terhuyung lalu tergelimpang menelungkup di tanah. menggeliat beberapa kali, setelah itu diam tak berkutik lagi.

Nenek kembar jejadian menjerit kaget. Dia cepat mem-balikkan Wiro hingga tertelentang. Wajah sang pendekar tampak merah sekali. Bibir ungu kebiruan.

"Racun jahat!" teriak si nenek. Lalu dua tangannya dengan cepat bergerak monotok dua belas titik di sekujur tubuh Wiro. Ketika memperhatikan bagian celana yang tersibak, dia melihat bunga tanjung yang menempel di bawah pusar. Si nenek segera mengambil bunga itu lalu meremas sampai hancur.

"Seharusnya tadi aku tolong saja dia. Melihat atau menyentuh aurat terlarang demi menolong apa salahnya?" Si nenek sesali diri sendiri. Mudah-mudahan aku masih bisa menolongnya."

Dengan ibu jari tangan kanan dia menekan kuat-kuat bagian bawah pusar dimana sebelumnya menempel bunga tanjung. Dia memperkirakan di bagian inilah jalan masuknya racun jahat ke dalam tubuh Wiro. Tenaga dalam dikerahkan disertai aliran hawa sakti.

“Dess... desss... dess...!"

Terdengar tiga letupan cukup keras disertai membersitnya buntalan asap biru. Si nenek terpekik. Dari bawah pusar Wiro keluar menyambar hawa aneh dan masuk ke bagian bawah perut si nenek hingga mahluk jejadian ini terpental lalu terbanting jatuh di tanah. Mukanya yang keriput tampak merah, bibir membiru.

Di langit muncul awan hitam merubah udara yang tadi panas terik menjadi redup mengelam. Guntur menggemuruh. Sesekali kilat menyambar. Angin bertiup kencang membuat daun-daun pepohonan bergemerisik menggidikkan. Tak selang berapa lama hujan mulai mencurah bumi. Sosok Pendekar 212 dan nenek kembar jejadian tergeletak kuyup tak bergerak di halaman samping candi.

Tiba-tiba terjadi satu keanehan. Dari sosok tubuh nenek berjubah kuning keluar sebentuk tubuh ramping tinggi semampai seorang gadis berkulit putih berwajah cantik rambut hitam pekat tergerai lepas. Pakaian kebaya pendek dan celana panjang ringkas warna kuning. Sesaat gadis ini menatap ke arah tubuh nenek jejadian lalu balikkan diri. Dengan langkah perlahan sosok aneh ini meninggalkan kawasan candi, berjalan ke arah matahari tenggelam.

Walau saat itu hujan turun lebat namun kepala, tubuh dan pakaiannya tidak basah sedikitpun. Pada setiap langkah yang dibuatnya, di sebelah belakang sosok nenek jejadian yang tergeletak di tanah perlahan-lahan berubah samar lalu sirna. Di bekas tempat dia terbujur kini hanya kelihatan sebuah seruling perak. Inilah seruling pemberian paderi Loan Nio yang semula hendak diserahkan si nenek kepada Wiro, tapi belum sempat dilakukan.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito
HUJAN belum juga reda. Udara masih diselimuti kegelapan. Siang hari hampir tidak beda dengan senja. Sesekali angin bertiup keras menimbulkan suara yang membuat keadaan terasa seram. Di bawah curahan hujan samar-samar di arah kaki bukit sebelah timur tampak berjalan terbungkuk-bungkuk seorang lelaki tua berjubah hijau. Sekujur tubuh mulai dari rambut putih sampai ke kaki yang tak berkasut basah kuyup. Sambil berjalan mulutnya meracau.

"Sinto. puluhan hari aku menunggu kedatanganmu. Kau hanya muncul di dalam mimpi..."

Di satu tempat orang ini hentikan langkah. Dia mengusap wajah keriput basah lalu memandang ke arah puncak bukit. Walau sangat samar namun dia masih bisa melihat bangunan itu.

"Bangunan di puncak bukit. Itu candi yang dikatakan Sinto Gendeng di dalam mimpi." Orang tua ini geleng-geleng kepala. "Sinto. kau menyiksaku. Mengapa kau menyuruh aku ke puncak bukit itu. Padahal kau berjanji akan datang ke gubukku di tikungan Kali Progo."

Setelah berdiam diri beberapa ketika, orang tua ini melanjutkan perjalanan. Langkah kaki kini ditujukan ke puncak bukit dimana dia melihat bangunan candi, tanpa mengetahui kalau dibawah bukit di balik sederetan pepohonan, dua pasang mata sejak tadi mengikuti gerak-geriknya.

Orang yang berdiri di sebelah kanan pohon besar mengenakan topi merah menyerupai tarbus. Wajah bulat memelihara kumis dan janggut hitam tebal. Pakaian baju dan celana ringkas warna merah pekat Orang ini adalah Damar Sarka. satu-satunya orang penting yang masih hidup dari kelompok yang menamakan diri orang-orang Keraton Kaliningrat.

Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng episode Perjanjian Dengan Roh sampai dengan episode Api Di Puncak Merapi). Seorang yang menyebut diri Pangeran Muda bernama Sawung Guntur alias Brata Sukmapala punya rencana hendak merebut tahta Kerajaan.

Dalam menjalankan rencananya dia mengumpulkan orang-orang berkepandaian tinggi dan menyebut diri sebagai penguasa Keraton Kaliningrat. Namun usaha jahat itu gagal. Sawung Guntur menemu ajal di tangan Patih Wira Bumi. Para pembantu utamanya dan hampir semua anggota Keraton Kaliningrat terbunuh. Hanya Damar Sarka yang sempat selamatkan diri.

Orang ini pernah menyamar jadi kusir gerobak, membawa Wiro dan Nyi Retno Mantili dalam perjalanan menuju hutan jati di sebuah bukit dekat Plaosan. Sebelum berpisah dia menyerahkan sepucuk surat dari Pangeran Muda yang isinya berusaha membujuk Pendekar 212 Wiro Sableng agar mau bergabung dengan kelompok Keraton Kaliningrat.

Orang kedua di sebelah Damar Sarka adalah lelaki berusia sekitar empat puluh tahun, berpakaian baju dan celana gombrong hitam. Dia bernama Surah Sentono, adalah adik Surah Nenggolo, kepala rampok hutan Ngluwer yang ikut bergabung dengan orang-orang Keraton Kaliningrat. Karena dianggap telah berlaku sembrono kemudian dibunuh atas perintah Pangeran Muda Sawung Guntur.

"Bagaimana kalau orang tua itu kita bekuk di lereng bukit sana sekarang juga?" Surah Sentono keluarkan ucapan.

"Sobatku, bersabarlah. Jangan terburu-buru. Dia pergi ke bukit pasti menemui seseorang yang ada hubungannya dengan madat itu. Kau lihat di atas bukit ada bangunan candi. Aku yakin dia menemui seseorang di candi itu." Menjawab Damar Sarka.

"Aku setuju kita tidak bertindak terburu-buru. Tapi kita harus menjaga jarak sedekat mungkin. Kata Surah Sentono pula. "Ingat, walau ilmu silatnya tidak seberapa tapi dia bukan orang sembarangan. Manusia seperti orang tua itu setiap saat bisa menyelinap lenyap seperti ditelan bumi. Ingat waktu tempat kediamannya digrebek pasukan Kerajaan. Yang ditemukan dan kemudian digantung adalah Djaka Tua, pembantu Tumenggung Wirabumi. Orang tua itu sendiri lenyap tidak diketahui dimana beradanya."

Surah Sentono menatap Damar Sarka sejurus lalu berkata. "Aku tak mau kehilangan madat lima puluh kati itu" katanya, lalu cepat-cepat melangkah ke arah bukit. Damar Sarka mengikuti. Sementara hujan masih terus turun.

BAB DUA

ORANG TUA berjubah hijau sampai di puncak bukit. Hujan mulai mereda sedikit namun keadaan masih gelap. Tiba-tiba kilat menyambar. Langit seperti terbelah. Puncak bukit sekejapan terang benderang. Pada waktu bersamaan ada sebuah benda berkilau memantulkan cahaya terang kilat yang tadi berkiblat. Terbungkuk-bungkuk orang tua itu melangkah mendekati benda ini. Namun baru menindak tiga langkah gerak kakinya tertahan. Pandangan sudut matanya membentur sosok tubuh seorang lelaki terbujur di tanah.

"Manusia atau hantukah yang mau-mauan tidur di bawah hujan lebat begini rupa? Atau mungkin sosok itu mayat yang tersia-sia?" Orang tua berjubah hijau berkata dalam hati. Namun bila dia ingat mimpinya tadi malam, hatinya berkata lagi. "Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan permintaan Sinto Gendeng dalam mimpiku."

Maka orang tua itu lantas melangkah mendekati sosok lelaki yang terbaring di tanah becek hanya mengenakan sehelai celana panjang sementara hujan masih turun walau tidak selebat sebelumnya. Setelah memperhatikan sesaat orang yang tergeletak di tanah di halaman samping candi, si orang tua terkejut, delikkan mata dan keluarkan seruan tertahan.

"Astaga! Apakah aku mengenal orang ini? Bukankah dia murid sobatku Sinto Gendeng pemuda berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua? Aku pernah menolongnya sewaktu tangannya luka parah. Bagaimana dia bisa berada di sini? Apa yang terjadi?"

Orang tua itu berlutut. Memeriksa Pendekar 212 mulai dari kepala sampai ke kaki. Dia melihat dua belas tanda bekas totokan di sekujur tubuh Wiro. Lalu ada tanda kemerah-merahan di bawah pusar. Perlahan-lahan dia ulurkan tangan kanan, letakkan telapak tangan di atas dada sang pendekar. Tubuh itu terasa dingin. Bukan karena kehujanan tapi ada penyebab lain. Kening si orang tua berkerut. Namun dia masih merasa lega sewaktu tangannya merasa detakan jantung walau hanya perlahan.

"Aku ingat betul. Pada pertemuan pertama kali. di dada pemuda ini ada jarahan angka Dua Satu Dua Sekarang mengapa tidak kelihatan lagi?" Orang tua ini usap-usap dada Wiro.

Seperti diceritakan dalam Episode berjudul Lentera Iblis, demi untuk menjaga keselamatan Wiro jarahan angka 212 di dadanya oleh dilenyapkan secara gaib oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas. Sementara Kapak Naga Geni 212 dan batu sakti dimasukkan ke dalam tubuh Wiro.

"Dua belas totokan! Luar biasa! Siapa yang melakukan? Aku menduga ada dua orang yang mengerjai pemuda ini. Orang pertama bermaksud jahat. Mencelakainya melalui jalan darah dan syaraf di bagian bawah pusar. Orang kedua yang membuat dua belas totokan agaknya berusaha menolong. Tapi mengapa murid Sinto Gendeng lantas dibiarkan tergeletak sendirian di sini? Dalam keadaan setengah telanjang begini rupa? Jika ada yang menolong mustahil ditinggal begitu saja. Atau mungkin orangnya pergi untuk mencari obat? Mungkin juga mencari orang lain untuk meminta bantuan? Berarti orang itu akan kembali. Biar kutunggu."

Sementara menunggu, di bawah siraman hujan orang tua ini balikkan tubuh Pendekar 212. Dia meraba punggung sebelah kiri, di arah jantung sambil mengerahkan tenaga dalam. Perlahan-lahan tangan diangkat jari-jari menekuk membentuk tinju. Tiba-tiba tangan itu dipukulkan ke punggung.

"Buukk!"

Dari mulut Pendekar 212 mengalir keluar darah kehitaman. Si orang tua tekan punggung kiri Wiro dengan tangan kiri sementara tangan kanan mengurut dan menotok aliran darah di leher. Darah mengalir terus dari mulut Wiro. Masih berwarna hitam.

"Celaka, darahnya tidak berubah merah. Pemuda ini mengidap racun jahat yang tidak mematikan. Tapi membuat salah satu bagian tubuhnya akan mengalami kelemahan seumur hidup! Sayang semua alat pengobatanku telah dimusnahkan bergundal-bergundal Kerajaan. Sulit bagiku untuk dapat menolong pemuda ini dalam waktu cepat. Aku harus membawanya ke gubuk di Kali Progo. Tapi bagaimana caranya?"

Orang tua itu ingat pada suling perak yang tadi dilihatnya tergeletak di tanah becek. Suling diambil, diperhatikan lalu ditimang-timang.

"Suling perak... Bagus sekali buatannya. Milik siapa? Setahuku murid Sinto Gendeng tidak pernah membekal suling. Mungkin milik orang yang mencelakainya?"

Setelah menunggu cukup lama tak ada orang yang datang, orang tua ini mulai merasa risau. "Aku tak mungkin menggendong atau memanggulnya ke gubuk di Kali Progo. Tempat ini agaknya jarang didatangi orang. Apa lagi cuaca buruk begini. Apa yang harus aku lakukan?"

Orang tua itu memandang berkeliling. Di bagian belakang candi dia melihat beberapa rumpun pohon bambu. Dari balik pinggang jubah dia mengeluarkan sebilah golok. Dengan golok ini dia menebang tiga batang bambu lalu digabung rata jadi satu. Tubuh Wiro diletakkan di atas tiga batang bambu dan diikat. Perlahan-lahan si orang tua mulai menyeret bambu.

Baru beberapa langkah dia berhenti dan gelengkan kepala. Tubuh sang pendekar berat sekali. Jika dipaksakan mungkin dia sanggup membawa Wiro sampai ke kaki bukit. Tapi untuk membawa sampai di gubuknya di Kali Progo jelas dia tidak mampu melakukan. Untuk beberapa lama orang tua ini duduk bersimpuh di tanah becek. Dia ingat pada suling perak yang tadi ditemuinya. Suling dikeluarkan dari balik jubah, dipandangi sambil berkata dalam hati.

"Mudah-mudahan saja suara suling akan menarik perhatian. Membuat ada orang datang ke tempat ini."

Lalu orang tua ini duduk di tangga candi, mulai meniup suling. Karena tiupan disertai aliran tenaga dalam maka suaranya menggema keras di udara, menembus suara hujan dan deru angin di atas bukit.

Apa yang diharapkan orang tua ini menjadi kenyataan beberapa saat kemudian. Dua orang berkelebat muncul mendatangi tempat dimana dia duduk di tangga candi meniup suling. Satu berpakaian hitam gombrong, satunya lagi berbaju dan bercelana merah, mengenakan tarbus.

Si orang tua hentikan meniup suling. Memandang pada dua orang yang barusan datang yang belum pemah dikenalnya sebelumnya lalu membungkuk memberi penghormatan dan berkata.

"Aku bersyukur dan berterima kasih kalian berdua telah mau datang ke sini. Dua orang sahabat, aku butuh pertolongan kalian. Maukah kalian menggotong pemuda di atas bambu itu ke kaki bukit? Mudah-mudahan cuaca segera berubah baik. Mudah-mudahan nanti bertemu dengan orang membawa gerobak. Aku harus membawanya ke tempat kediamanku di Kali Progo."

Dua orang yang barusan datang dan bukan lain adalah Damar Sarka dan Surah Sentono saling pandang satu sama lain lalu menatap ke arah sosok tubuh yang tergeletak di atas bambu. Begitu melihat wajah orang Damar Sarka terkejut dan melangkah cepat mendekati. Setelah memperhatikan sebentar dia berpaling pada si orang tua.

"Ki Tambakpati. Bukankah pemuda ini Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng?"

"Ah, kau tahu namaku. Berarti kau memang benar-benar sahabatku. Dugaanmu juga betul. Pemuda pingsan di atas bambu itu memang Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng, murid sahabatku Sinto Gendeng."

Damar Sarka dekati Surah Sentono. Keduanya bicara berbisik-bisik. Kemudian Damar Sarka berkata pada orang tua berjubah hijau yang ternyata adalah Ki Tambakpati yang dalam rimba persilatan dikenal dengan julukan Si Tangan Penyembuh. seorang ahli pengobatan yang pernah menolong Pangeran Matahari sampai dua kali dan juga mengobati Wiro.

(Baca serial Wiro Sableng berjudul Kitab Seribu Pengobatan dan Nyi Bodong)

"Ki Tambakpati. karena kau menganggap kami sahabatmu. kami pasti akan menolong pendekar itu. Kami akan menggotongnya kemanapun kau meminta."

"Terima kasih... terima kasih." Ki Tambakpati gembira sekali. "Aku mohon sahabat berdua mau membawanya ke gubuk kediamanku di tikungan Kali Progo."

"Cukup jauh dari sini," ucap Surah Sentono dengan mulut dipencongkan. "Tapi kau tak usah kawatir. Kami berdua akan menggotongnya sampai ke sana." Surah Sentono tersenyum dan kedipkan mata pada Damar Sarka.

Damar Sarka sambung ucapan temannya itu. "Namun sebelum kami menolong, kami punya satu permintaan."

"Ah. kalau kalian minta pembayaran terus terang aku tidak punya uang," kata Ki Tambakpati yang salah mengira.

"Tidak, kami tidak butuh uang. Tapi kami butuh keterangan!" kata Damar Sarka. Nada suaranya yang tadi ramah kini berubah kasar.

"Keterangan? Keterangan apa?" tanya Ki Tambakpati sambil menatap air muka dua orang di hadapannya. Entah mengapa secara tiba-tiba hatinya merasa tidak enak.

"Ki Tambak, kau terkenal sebagai tabib sakti rimba persilatan. Beberapa waktu lalu kau peenah mengobati seorang pemuda mengaku sebagai Pangeran. Benar?"

Ki Tambakpati berpikir-pikir lalu anggukkan kepala. "Benar, memang pemah. Dia datang dua kali. Tapi aku tidak akan memberi tahu apa penyakitnya. Lagi pula aku tahu dia bukan pangeran benaran. Beberapa waktu kemudian aku tahu dia ternyata adalah Pangeran Matahari, momok paling jahat dalam rimba persilatan tanah Jawa Belum lama ini aku mendengar kabar dia telah menemui ajal, tewas di puncak Gunung Merapi."

"Kami tidak perduli apa dia masih hidup atau sudah mampus," ucap Damar Sarka. "Pada kedatangannya yang pertama dia menunggang seekor kuda besar. Kau ingat?"

"Ya. aku ingat."

Damar Sarka melanjutkan. "Orang itu membekal sebuah kantong kulit Digantung di leher kuda. Kantong Itu dirampasnya dari kerabat kami. Waktu dia datang, kau sempat melihat kantong kulit itu?"

Ki Tambakpati mengangguk. "Aku malah sempat melihat isinya." Kata si orang tua polos.

Damar Sarka dan Surah Sentono saling pandang. "Kalau kau memang melihat isinya, katakan benda apa yang kau lihat?" Surah Sentono bertanya ingin menguji.

"Madat candu." Jawab Ki Tambakpati. "Aku melihat barang itu pertama kali pada malam hari. Tapi sewaktu aku melihat lagi keesokan paginya, kantong kulit itu sudah lenyap."

"Kau tidak berdusta?" tanya Damar Sarka seraya menatap tajam.

Ki Tambakpati menggeleng. "Madat bisa dipergunakan sebagai bahan pengobatan yang ampuh. Untuk menahan segala macam rasa sakit. Bukan kau yang mengambil madat dalam kantong itu?" Pandangan mata Damar Sarka membeliak menyelidik.

"Aku bukan bangsa pencuri." ucap Ki Tambakpati. “Ucapanmu betul. Madat bisa dipergunakan sebagal obat, Tapi seumur hidup, aku tidak pernah menggunakan madat untuk menolong orang. Walau tahu harganya luar biasa mahal, aku tidak mencuri madat itu."

"Kau berdusta." hardik Damar Sarka.

"Mungkin digebuk dulu baru bicara benar!" kata Surah Sentono pula sambil letakkan tinjunya di kening Ki Tambakpati.

Walau hatinya merasa tidak tenang namun Ki Tambakpati masih bisa tersenyum. "Aku sudah bicara jujur. Sekarang apakah kalian benaran mau menolong menggotong pemuda itu sampai ke Kali Progo?"

Damar Sarka dan Surah Sentono tertawa gelak-gelak.

"Kenapa kalian tertawa. Apa yang lucu?" tanya Ki Tambakpati.

Damar Sarka hentikan tawa dan berkata. "Tentu saja kami akan menolong Pendekar Dua Satu Dua. Bukan untuk menyelamatkan. Tapi justru untuk mempercepat kematiannyal Dia dan gurunya Sinto Gendeng telah banyak menyusahkan kami orang-orang Keraton Kaliningrat..."

"Kami akan menghabisi pendekar sableng itu. Kami akan mendapat nama besar dalam rimba persilatan! Sesudah itu jika kau masih tidak mau memberi tahu dimana madat satu kantong itu kau sembunyikan, kami akan menyiksamu sampai lidahmu mencelet dan mau bicara"

Habis berkala begitu Damar Sarka dan Surah Sentono melompat ke arah Wiro terbaring di atas bambu. Ki Tambakpati berusaha menghalangi.

"Kalau kalian tidak mau menolong tidak jadi apa. Tapi kalau kalian mau membunuh pemuda itu terpaksa aku harus mencegah!"

"Kalau begitu memang baiknya kau duluan yang kami bereskan. Biar kau bisa menjadi penunjuk jalan bagi Pendekar Dua Satu Dua ke neraka!" Kata Damar Sarka. Bekas anggota Keraton Kaliningrat ini berpaling pada sahabat di sampingnya Surah! Habisi tua bangka tak berguna ini!"

Surah Sentono menyeringai. Sekali bergerak dia sudah berada di hadapan Ki Tambakpati. Tangan kanan melesat ke muka orang tua itu. Sebagai seorang ahli ilmu pengobatan Ki Tambakpati juga memiliki kepandaian silat serta tenaga dalam. Namun kalau dipakai bertarung untuk menghadapi lawan seperti Surah Sentono atau Damar Sarka maka kedua orang itu bukanlah tandingannya.

Sambil melompat mundur Ki Tambakpati berusaha menahan jotosan Surah Sentono dengan dua telapak tangan dikembang. Dengan mudah Surah Sentono mencekal lengan kanan Ki Tambakpati lalu dipelintir ke punggung dan didorong ke dinding candi.

"Katakan dlmana kau sembunyikan madat satu kantong itu!" hardik Surah Sentono.

"Aku tidak mengambil madat itu! Tidak menyembunyikan! Lepaskan tanganku!" Ki Tambakpati meringis kesakitan.

Surah Sentono perkencang pelintirannya hingga si orang tua terpekik keras. "Bicara atau aku remukkan tanganmu sampai ke tulang punggungl" ancam Surah Sentono.

"Demi Tuhan, aku bersumpah tidak mengambil dan menyembunyikan madat itu!"

"Bagus! Rasakan ini!"

Ki Tambakpati meraung keras ketika Surah Sentono menyentakkan pelintirannya. "Tunggu, lepaskan tanganku! Aku mau bicara!" teriak Ki Tambakpati dengan nafas panjang pendek.

"Bagus! Bicara yang jelas!" kata Surah Sentono seraya kendurkan cekalan.

"Madat satu kantong itu... Madat itu aku berikan pada setan neraka. Kalau kalian menginginkan pergilah mengambilnya ke neraka!" Habis berkata begitu Ki Tambakpati tertawa gelak-gelak. Dia tahu apa yang bakal terjadi atas dirinya. Namun saat itu dia merasa puas bisa mempermainkan orang.

"Tua bangka kurang ajar!" maki Surah Sentono.

"Surah! Tak perlu banyak bicara lagi dengan tua bangka keparat itu. Pecahkan kepalanya! Nanti kita geledah gubuknya di Kali Progo. Aku tahu letak gubuk itu..." Damar Sarka berteriak jengkel.

Mendengar teriakan itu Surah Sentono angkat tangan kirinya tinggi-tinggi. Surah Sentono adalah seorang kidal. Tangan kirinya jauh lebih kuat dari tangan kanan. Ketika tangan kiri itu dihantamkan ke bawah siap untuk menggebuk hancur batok kepala Ki Tambakpati, tiba-tiba melesat sebuah benda aneh, jatuh tepat menutupi muka Surah Sentono.

Benda ini adalah sepotong kain basah lepek. Bukan basah oleh air hujan tapi oleh cairan menebar bau pesing air kencing. Selagi Surah Sentono kelagapan tiba-tiba satu tendangan menghajar pinggangnya hingga orang ini terpental, berteriak keras marah dan kesakitan.

"Bagaimana rasa air kencingku? Hangat dan sedap? Mau lagi? Ha ha ha!"

Seorang kakek bermata belok, kepala setengah botak dan salah satu daun kuping lebar terbalik berdiri di tempat itu, tertawa gelak-gelak sambil pegangi bagian bawah celananya yang lepek oleh air kencing. Siapa lagi kalau bukan kakek konyol si Setan Ngompol!

Surah Sentono tarik kain basah yang menempel di mukanya dan campakkan ke tanah sambil merutuk panjang pendek dan meludah berulang kali karena ada air kencing yang sempat masuk ke mulutnya. Begitu melihat Setan Ngompol, Surah Sentono menggembor marah. Dia belum tahu siapa sebenarnya kakek aneh ini. Karenanya selain marah juga menganggap enteng. Dengan sekali bergerak dan menggebuk dia mengira bisa membuat Setan Ngompol tergelimpang roboh bahkan menemui ajal!

"Jahanam' Kau minta mampus!" teriak Surah Sentono.

Di bagian lain Damar Sarka yang mengenali siapa adanya kakek berkuping terbalik itu tadinya hendak ikut menyerbu membantu Surah Sentono. Namun dia batalkan niat ketika melihat ada seorang lain muncul berkelebat bersama si kakek. Orang itu ternyata adalah seorang gadis cantik berpakaian serba biru yang bukan lain adalah Liris Biru.

Damar Sarka terpesona, menyeringai, tenggorokan turun naik. "Kakek juling mata jengkol! Betina cantik ini apamu?!"

"Nah, nah! Kau naksir rupanya!" sahut Setan Ngompol lalu tertawa gelak-gelak sambil pegangi bagian bawah perut.

"Dengar, kami ampuni selembar nyawamu asal kau mau menyerahkan betina cantik ini padaku! Bagaimana? Apa jawabmu?!" Damar Sarka berucap sambil kedap-kedipkan sepasang matanya pada Liris Biru, murid mendiang Hantu Malam Bergigi Perak yang menemui kematian mengenaskan di tangan Sinto Gendeng.

Setan Ngompol usap-usap kepala, kembali tertawa bergelak. Lalu dia berpaling pada Liris Biru dan bertanya. "Sobatku muda Cah Ayu, bagaimana menurutmu? Apa kau suka ikut kepompong merah ini? Asal tahu saja, manusia satu ini punya banyak istri dan gendaknya bertebaran dimana-mana." Rupanya Setan Ngompol sudah kenal siapa dan tahu bagaimana adanya Damar Sarka.

Liris Biru tertawa cekikikan mendengar Setan Ngompol menganggap Damar Sarka yang mengenakan tarbus serta pakaian merah itu sebagai kepompong merah. "Siapa sudi Kek. Masih jadi kepompong saja lagaknya sudah memuakkan. Apa iagi nanti kalau sudah keluar jadi ulat benaran!" Liris Biru memang sudah jengkel pada Damar Sarka karena tadi dirinya dipanggil dengan sebutan betina seolah dia seekor binatang saja.

Dikatakan kepompong Damar Sarka jadi naik pitam. Dia berteriak pada temannya. "Surah! Kau bunuh Ki Tambakpati. Aku akan meringkus gadis konyol ini..." Damar Sarka lalu melompat ke hadapan Liris Biru. langsung hendak memeluk gadis itu. Ulurkan kepala hendak mencium.

"Plaakk" Satu tamparan keras melanda pipi kiri Damar Sarka hingga sudut bibirnya pecah berdarah. Tarbus merahnya terpental dari atas kepala, jatuh ke tanah. Kepalanya yang tersingkap ternyata hanya berambut di sebelah bawah, bagian atas botak plontos. Bekas anggota Keraton Kaliningrat yang semula menganggap enteng Liris Biru bersurut mundur sambil pegangi pipinya yang mendenyut sakit. Ketika melihat darah membasahi jari-jari tangannya dia berteriak marah.

"Gadis keparat! Jangan mengira aku tidak tega menghajar dirimu!"

BAB TIGA

Kepompong botak!" ejek Liris Biru. "Apa kau kira aku juga tidak tega menghajar mahluk jelek macammu?! Hik hik hik! Majulah biar sekarang kutampar pipi kananmu!"

Amarah Damar Sarka mendidih. Namun karena mengenali siapa adanya Setan Ngompol, dia tidak mau bertindak gegabah. Dengan membentak dia bertanya. "Gadis sialan! Gembel tua bangka itu apamu?!"

"Hik hik hik! Aku kira kau naksir aku. Tidak tahunya kau suka sama kakek tukang ngompol itu! Hik hik hik! Tidak sangka kepompong botak rupanya doyan mahluk sejenis!"

Meledak amarah Damar Sarka. Nafsu bejatnya yang tadi berkobar melihat kecantikan serta keelokan dan kemulusan tubuh Liris Biru. berubah menjadi hawa pembunuhan. Dua tangan diangkat ke atas.

"Cleekkk!" Terdengar suara berkeclekan. Sepuluh kuku jari mencuat panjang, berwarna merah pekat. Dalam marahnya Damar Sarka mengeluarkan ilmu paling diandalkan yang disebut Cakar Darah. Didahului bentakan garang dia menyerbu Liris Biru. Setiap dua tangannya berkelebat sepuluh larik sinar merah berkiblat di udara terlihat goresan menyerupai darah, berbuntal menyerang murid Hantu Malam Bergigi Perak dari depan dan samping kiri kanan.

Dari tempatnya berdiri Setan Ngompol walau tahu Liris Biru tidak mudah bisa dicelakai Damar Sarka namun si kakek tetap saja merasa kawatir. Ketika dia hendak melompat mendampingi gadis itu, Surah Sentono sudah lebih dulu menerjang ke arahnya.

Untuk menghadapi jurus-jurus berbahaya serangan lawan Liris Biru kerahkan ilmu meringankan tubuh. Berkelebat cepat Menghindari gempuran sambil sesekali susupkan serangan balasan. Tujuh jurus berlalu cepat. Damar Sarka penasaran sekali karena jangankan mencelakai, menyentuh tubuh atau pakaian lawan saja dia tidak mampu. Dia berusaha mencari tahu siapa adanya gadis lawannya itu dengan memperhatikan ilmu silat yang dimainkan Liris Biru.

Memasuki jurus ke sembilan, dengan keluarkan suara menggembor Damar Sarka rubah dan percepat gerak jurus ilmu silatnya. Sosok tubuhnya masih terlihat jelas, namun dua tangan seolah berubah menjadi bayang-bayang, menyerang dalam gerakan-gerakan cepat tak terduga. Sepasang kakinya seperti tidak lagi menginjak tanah. Ternyata orang ini memiliki ilmu meringankan tubuh setingkat lebih tinggi dari yang dimiliki Liris Biru. Jurus kesebelas.

"Breettt!"

Liris Biru terpekik. Bahu kiri baju birunya robek besar hingga sebagian auratnya tersingkap lebar mulai dari bahu sebelah depan sampai ke punggung.

Surah Sentono yang diam-diam rupanya juga tertarik pada Liris Biru. sambil lancarkan serangan ke arah Setan Ngompol berseru. "Damar! Jika kau tidak suka gadis cantik itu, jangan diciderai. Apa lagi sampai kau bunuh! Serahkan padaku...!"

Baru saja berteriak Surah Sentono keluarkan seruan kaget karena tiba-tiba satu sosok menebar dan memuncratkan air kencing berkelebat di atas kepalanya.

"Jahanam setan alas..." Surah Sentono memaki marah. Ini untuk kedua kalinya mukanya kena diselomoti air kencing. Gerak serangan tangannya yang semula hendak dihantamkan ke depan kini dirubah ke atas. Mengarah selangkangan Setan Ngompol yang barusan menyerangnya dengan jurus Setan Ngompol Mengencingi Pusara. Jika serangan ini mengenai sasaran, celaka besar bagi Setan Ngompol.

Tidak mau berlaku ayal. Setan Ngompol hindari serangan Surah Sentono dengan mengembangkan dua kakinya. Begitu jotosan lawan lewat di belakang dia segera kucurkan air kencing sebanyak-banyaknya. Selagi Surah Sentono kelagapan oleh guyuran air kencing. Setan Ngompol hunjamkan tumit kirinya ke punggung orang hingga Surah Sentono terjerembab, setengah menungging jatuh di tanah!

"Hai! Kau belum dapatkan gadis itu! Mengapa sudah menungging duluan?!" seru Setan Ngompol mengejek. Sambil balikkan badan dia kembali lepaskan tendangan menghajar pantat Surah Sentono.

"Duukkk” Surah Sentono menjerit keras karena ada bagian kaki Setan Ngompol yang menyerempet perabotan terlarangnya! Tubuhnya tergeletak di tanah becek, mata mendelik, dada megap-megap dan dua tangan pegangi bagian bawah perut. Setan Ngompol tertawa mengekeh sambil kucurkan air kencing!

Sadar kalau lawan memiliki kepandaian lebih tinggi dari dirinya. Surah Sentono memutuskan lebih baik dia tinggalkan tempat itu. Dia yakin Damar Sarka juga akan mengalami nasib celaka. Namun sebelum kabur dia masih berusaha lancarkan satu serangan ilmu hitam. Sambil berguling ke lereng bukit dia lambaikan tangan kanan. Dari tangan itu tiba-tiba melesat keluar seekor ular besar berwarna hitam berkilat. Binatang jejadian ini meluncur di tanah, langsung menyerang ke arah Setan Ngompol yang masih asyik tertawa dan terkencing tanpa sadar kalau bahaya maut mengancam.

Hanya tinggal satu langkah lagi ular hitam siap mematuk perut Setan Ngompol, Ki Tambakpati berteriak lalu melompat. Kaki kanannya dengan cepat menginjak ekor ular membuat kepala binatang jejadian ini tersentak ke atas. Walau tidak memiliki kepandaian silat namun dalam menghadapi ular Ki Tambakpati adalah pawangnya. Secepat kilat dia sambar leher ular.

"Kreek!" Sekali meremas, leher ular hancur sampai ke tulang belulangnya.

Dess!" Binatang jejadian itu berubah menjadi asap lalu lenyap dari pandangan mata.

Setan Ngompol yang sadar apa yang barusan terjadi hentikan tawa, pegangi bagian bawah perutnya dan kucurkan air kencing. "Ki Tambak, terima kasih kau telah selamatkan jiwaku," ucap Setan Ngompol.

Kita kembali dulu pada pertarungan antara Damar Sarka dan Liris Biru. Didahului teriakan penuh amarah si gadis menerjang lawan di hadapannya. Tanpa perdulikan keadaan tubuh yang tersingkap lebar di sisi kiri gadis ini menyerang dengan jurus Hantu Malam Berbagi Pahala. Jurus serangan ini sebenarnya dilakukan secara berdua. Biasanya Liris Biru melakukan bersama dengan Liris Merah kakaknya. Namun dilakukan sendirian tidak mengurangi kehebatan serangan. Tubuh Liris Biru melesat di udara. Kaki kanan menendang ke arah kepala sedang kaki kiri berkelebat ke perut.

Kejut Damar Sarka bukan alang kepalang melihat serangan cepat dan ganas ini. Terlebih lagi karena dia bisa mengenali jurus serangan yang dilancarkan lawan. "Kau! Apa hubunganmu dengan Hantu Malam Bergigi Perak?!" teriak Damar Sarka. Dia cepat berkelit ke samping untuk menghindari tendangan ke arah perut. Dua tangan serentak diangkat ke atas. Yang kiri untuk menahan gerak tendangan, tangan kanan untuk mencakar kaki kiri Liris Biru!

Liris Biru tidak bodoh. Walau dia mampu menghancurkan kepala lawan dengan tendangan kaki namun cakaran tangan kanan Damar Sarka masih bisa menyusup mencelakai paha kirinya, membuat dia cacat seumur hidup. Sambil berteriak keras gadis ini putar tubuhnya di udara lalu melayang turun. Begitu kaki kiri menyentuh tanah dia langsung menggebrak dengan jurus yang disebut Hantu Malam Menarik Gendewa Tangan kanan dengan kecepatan kilat melesat ke arah dada kiri tepat di arah jantung lawan.

Damar Sarka terbeliak kaget. Dia hampir tidak punya kesempatan untuk selamatkan dada dari serangan mematikan itu. Pikirannya singkat saja. Dia memutuskan berjibaku menyerahkan dada namun bersamaan dengan itu sepuluh kuku jarinya melesat ganas ke arah batok kepala dan wajah Liris Biru.

Dalam keadaan seperti itu, baik Damar Sarka maupun Liris Biru tidak punya kesempatan lagi untuk menarik diri atau hentikan serangan. Keduanya akan akan sama-sama menemui ajal, paling tidak menderita cidera berat dan cacat sengsara selama-lamanya!

Hanya tinggal sepertiga jengkal lagi jotosan maut Hantu Malam Menarik Gendewa akan mendarat telak di dada kiri Damar Sarka dan sambaran Cakar Darah akan mengoyaK rengkah kepala serta muka Liris Biru, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat disertai terdengarnya ucapan lembut.

"Sahabat berpakaian biru. Mengapa ingin mengotorkan tangan menyentuh orang jahat ini. Mengapa menurutkan kemarahan dengan mengorbankan diri. Biar aku mewakili dirimu menjatuhkan hukuman atas dirinya."

Bersamaan dengan terdengarnya suara itu. tubuh Damar Sarka tertarik ke belakang. Jotosan maut Liris Biru mengambang di udara, menembus tempat kosong. Sepuluh kuku jari Damar Sarka hanya menggapai angin.

Apa yang terjadi? Saat itu orang yang tadi berucap dengan suara lembut menarik Damar Sarka dua langkah ke belakang, sekaligus mencekal leher dan menekan kepalanya. Belum sempat Liris Biru melihat jelas siapa adanya orang itu tiba-tiba dua tangan bergerak dan...

"Kraakk!" Leher Damar Sarka patah mengeluarkan suara menggidikkan Nyawanya putus kejapan itu juga.

Ketika tubuh Damar Sarka dilepas dan jatuh ke tanah, baru Liris Biru, Setan Ngompol dan Ki Tambakpati melihat siapa adanya orang yang menghabisi bekas anggota Keraton Kaliningrat itu. Orang ini ternyata pemuda cakap berbaju dan bercelana hitam. Kening diikat kain merah Pada baju serta kain merah dlkening terdapat sulaman bunga dari benang perak dan benang emas. Bibirnya dihias kumis kocil, pipi dan dagu tertutup janggut dan berewok tipis rapi. KI Tambakpati dan Setan Ngompol segera mendatangi sementara Liris Biru untuk beberapa saat hanya tegak memperhatikan.

"Anak muda. terima kasih kau telah menyelamatkan gadis sahabatku ini," ucap Setan Ngompol.

"Ilmu kepandaian Damar Sarka tidak rendah. Tapi kau menghabisinya begitu mudah dan cepat Anak muda. siapa kau adanya? Pasti kau murid seorang sakti ternama." Bertanya Ki Tambakpati.

Pemuda yang disapa tersenyum dan membungkuk memberi hormat pada dua kakek di hadapannya. "Aku hanya seorang pengelana muda yang tengah mencari pengalaman dan kebetulan lewat. Kalau tidak ada aku pasti ada orang lain yang akan memberikan pertolongan. Bukankah semua jalan hidup ini sudah diatur dan ditentukan oleh Yang Maha Kuasa?"

Setan Ngompol ternganga. Ki Tambakpati angguk-anggukkan kepala mendengar ucapan si pemuda. Setan Ngompol kemudian berpaling pada Liris Biru. "Liris Biru, apakah kau tidak ingin mengucapkan terima kasih pada sahabat muda yang telah menyelamatkan dirimu?"

"Aku" Liris Biru tidak melakukan apa yang dikatakan Setan Ngompol, ucapannya malah diputus. Pandangan mata mengarah pada pemuda di depannya, air muka menyatakan seperti ada yang menyekat jalan pikirannya saat itu.

"Liris..." Setan Ngompol menegur.

"Kek..."

Pemuda berpakaian hitam tersenyum. Dia berpaling pada Setan Ngompol dan berkata. "Gadis sahabatku ini masih terpengaruh oleh apa yang barusan terjadi. Ucapan terimakasih yang tidak dikatakan tapi disimpan di dalam hati adalah satu ketulusan abadi. Kakek berdua, aku minta diri karena ada urusan penting yang harus aku lakukan di Kuto Gede."

Habis berkata begitu, tidak menunggu lebih lama pemuda berpakaian hitam segera tinggalkan tempat itu. Sebelum pergi dia melirik sekilas ke arah sosok Pendekar 212 Wiro Sableng yang terbaring pingsan di atas bambu.

Baik Setan Ngompol maupun Ki Tambakpati tidak berusaha mengejar. Keduanya mendatangi Liris Biru. Setan Ngompol menegur. "Aku tidak tahu, apa yang terjadi dengan dirimu. Kau kelihatan seperti orang bingung. Kau tidak mengucapkan terima kasih pada pemuda yang telah menyelamatkan dirimu. Apa kau kesemsem, mendadak jatuh hati padanya?"

Lirus Biru gelengkan kepala lalu memutar tubuh, memandang ke arah lenyapnya pemuda tadi. "Kek, aku ingat kejadian beberapa waktu sebelum kakak Liris Merah dibunuh."

"Kejadian apa?" tanya Setan Ngompol yang saat itu merasa mau kencing lagi. Buru-buru dia pegangi bagian bawah celananya yang basah.

"Waktu itu aku dan Liris Merah berada dalam goa. Lewat lobang pengintai kami melihat kemunculan seorang pemuda tak dikenal. Wajah dan ciri-ciri pemuda itu sangat sama dengan pemuda yang tadi menolong diriku..."

"Kalau begitu kalian sudah saling kenal." kata Ki Tambakpati pula.

Liris Biru menggeleng lalu melanjutkan ucapan. "Kemunculannya mendatangkan tanda tanya kecurigaan. Mungkin sekali dia tengah melakukan penyelidikan..."

"Penyelidikan apa?" tanya Setan Ngompol.

"Kek, saat ini aku tidak bisa mengatakan. Lain waktu pasti aku ceritakan padamu." Jawab Liris Biru yang masih tetap merahasiakan perihal candu 50 kati yang tersimpan di dalam goa. "Kakakku Liris Merah rupanya tertarik pada pemuda Itu. Ketika si pemuda pergi Liris Merah keluar dari goa. Katanya dia mau mengikuti pemuda itu. Namun kemudian nasib malang menimpa diri kakakku. Aku temui dirinya di tepi telaga, di balik sebuah batu besar dalam keadaan tanpa pakaian dan tak bernyawa lagi. Seorang pemuda yang kupergoki berada di tempat itu melarikan diri..."

"Kau sudah menceritakan kisah itu sebelumnya padaku," kata Setan Ngompol.

"Ya dan aku ingat benar Kek. Walau melihat hanya sekilas namun raut muka, ciri-ciri dan warna pakaian orang yang meniduri kakakku lalu membunuhnya dan kemudian kabur melarikan diri, sama dengan pemuda tadi."

Ki Tambakpati meraba dagunya lalu berkata. "Itu sebabnya tadi kau tampak bingung..."

"Dugaanku berat pemuda yang membunuh kakakku sama dengan pemuda yang tadi menolongku. Namun aku tadi merasa bimbang..."

"Kalau dia memang jahat mengapa tadi dia mau susah-susah menolong menyelamatkan dirimu dari Damar Sarka?" tanya Setan Ngompol pula.

"Orang jahat bisa punya seribu wajah seribu akal seribu tipuan. Bukan mustahil dia sengaja menyelamatkan diriku karena kelak aku akan dijadikan korban berikutnya."

Setan Ngompol tahan air kencingnya yang hendak memancar Ki Tambakpati terdiam. Puncak bukit mendadak terasa sunyi. karena saat itu hujan telah berhenti.

"Untuk mengetahui bahwa memang dia yang telah membunuh kakakku, aku harus mengejar manusia satu itu. Dia bilang akan ke Kuto Gede. Aku akan mencarinya di sana. Kakek berdua, harap maafkan aku terpaksa meninggalkan kalian."

"Tunggu dulu! Jangan pergi sendirian," seru Ki Tambakpati. Dia merasa khawatirkan keselamatan si gadis. Selain itu dia butuh Liris Biru untuk membantu membawa Pendekar 212 Wiro Sableng ke gubuknya di tikungan Kali Progo. Namun Liris Biru sudah keburu lenyap di lereng bukit sebelah timur.

Ki Tambakpati menarik dan melepas nafas panjang, berpaling pada Setan Ngompol. "Tinggal kita berdua, tua bangka sial. Apakah kita sanggup membawa murid Sinto Gendeng itu ke gubukku di Kali Progo?"

"Mau dibilang apa? Itu harus kita lakukan berdua." Setan Ngompol pandangi wajah pucat dan sosok tak bergerak tubuh Pendekar 212 beberapa ketika lalu berkata. "Aku melihat, pendekar ini seperti mendekam satu malapetaka yang akan menghancurkan masa depannya."

Ki Tambakpati mengangguk. "Syukur kau sudah bisa menduga. Aku sendiri masih belum jelas apa sebenarnya yang menimpa diri murid Sinto Gendeng ini dan apakah aku mampu mengobati."

Terbungkuk-bungkuk dua kakek itu kemudian mulai sama-sama menyeret potongan bambu di atas mana Pendekar 212 terikat pingsan. Sebentar-sebentar Setan Ngompol pegangi bagian bawah perutnya dengan salah satu tangan, menahan agar tidak pancarkan air kencing.

********************

BAB EMPAT

BEBERAPA ratus tahun silam. Sebelum kemunculan pemuda misterius berpakaian serba hitam membekal patung Kamasutra dan bunga tanjung, melakukan perkosaan atas diri para gadis dan membunuhnya.

Kawah Gunung Bromo. Tepat tengah malam. Udara dingin luar biasa. Keadaan gelap karena di langit tak ada bintang tak ada rembulan. Selain itu kabut tebal menutupi hampir seluruh kawah. Dalam keadaan seperti itu dimana mahluk hidup baik yang namanya manusia atau binatang tidak diharapkan berada di tempat itu, samar-samar di lamping kawah sebelah timur tampak berkelebat satu bayangan putih. Sepintas seperti setan yang terpesat gentayangan.

Namun jika diperhatikan ternyata dia manusia juga adanya yaitu seorang kakak berjubah putih. mengenakan kain hitam tebal untuk menutup kepala sampai ke kuduk dan sepasang telinga Alis janggut dan kumis tebal serta rambut yang tersembul di bawah penutup kepala semua tampak putih. Walau usia paling tidak telah lebih dari tujuh puluh tahun namun gerakannya begitu ringan dan cepat.

Pandangan matanya tajam mencari jalan yang akan di tempuh. Dua kakinya tidak tersandung atau terpeleset dalam melangkah bahkan sesekali dia melompat dari satu bagian kawah ke bagian lainnya. Udara dingin yang sanggup membuat air menjadi beku seperti tidak dirasakannya. Sesekali dia memasukkan tangan kanan ke dalam saku jubah sebelah kanan. Di dalam saku ini terdapat sebuah benda sakti berupa batu sebesar kepalan yang senantiasa memancarkan hawa hangat. Dengan kesaktian batu inilah orang tua itu bisa bertahan dari hawa dingin luar biasa yang bisa membuat air menjadi beku.

Di satu tempat si kakek berhenti. Dia tegak meluruskan tubuh, mendongak menatap ke langit Setiap hembusan nafas yang keluar dari hidungnya membuat kepulan hawa dingin berwarna putih membersit di udara.

"Bulan tidak muncul. Bintang tidak kelihatan. Mudah-mudahan aku tidak salah menghitung hari. Bulan dan tahun. Mudah-mudahan aku segera menemukan batang pohon kayu besi yang aku tancapkan sebagai tanda tiga puluh tahun silam."

Kata-kata itu terucap dalam hati. Dengan sepasang matanya yang kelabu, orang tua berjubah putih kemudian memandang berkeliling Lalu mulutnya berkata perlahan.

"Timur di sebelah kiri, barat di sebelah kanan. Aku harus menuju ke utara. Berarti lurus ke depan."

Begitu selesai berucap orang tua ini melangkah ke depan. Kaki kiri menginjak satu tonjolan batu pada lereng kawah yang terjal. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh dia pergunakan, batu itu untuk menjadi alat pelontar diri, melesat ke udara setinggi dua tombak lalu melayang ke arah utara. Beberapa kali berkelebat akhirnya dia sampai di bagian kawah sebelah utara. Dia memilih satu tempat ketinggian untuk berhenti dan memper-hatikan keadaan sekitarnya. Kabut putih dari dasar kawah masih terlalu tebal. Orang tua ini menunggu dengan sabar.

Tak selang berapa lama kabut mulai naik ke atas. Perlahan-lahan bagian kawah yang tadi tertutup kini terlihat jelas. Dan orang tua ini lepaskan nafas lega ketika sepasang matanya membentur benda hitam batangan pohon kayu besi yang menancap di lereng kawah sekitar dua belas langkah di depannya. Sekali melesat orang tua ini telah berada di depan batangan kayu besi hitam.

Tiga puluh tahun lalu dia menancapkan potongan batang kayu itu di tempat itu. Setelah sekian lama waktu berlalu batang kayu itu masih ada di tempat itu. tidak lapuk bahkan nyaris tidak berubah. Si orang tua mengusap dan mencium batang kayu hitam. Lalu pandangan matanya dialihkan ke arah lamping kawah, tujuh langkah dari tempatnya berdiri. Dia menunggu dengan hati berdebar. Mendongak ke langit. Sepasang mata membesar dan wajah tampak berseri ketika di langit dia melihat samar-samar muncul bulan sabit

"Bulan sabit telah menampakkan diri. Tepat seperti yang diramalkan semula. Sebentar lagi aku akan melihat pemuda itu. Pasti banyak yang berubah dengan dirinya usianya kini lima puluh lima tahun. Lebih dari setengah abad."

Si orang tua bergerak ke depan mendekati lamping kawah di hadapannya. Pada langkah ke enam dia berhenti lalu menduduk diri, bersila di tanah. Dua mata dipejam, dua tangan diletakkan di atas paha. Sikapnya seperti seseorang tengah melakukan samadi.

Tak selang berapa lama orang tua ini mendengar langkah-langkah halus yang tak akan mungkin didengar oleh telinga manusia biasa. Orang tua ini buka kedua matanya. Tepat pada saat itu dinding kawah di hadapannya terasa bergetar lalu mengeluarkan suara berderak. Pada dinding kawah kelihatan retakan dalam, berbentuk setengah lingkaran dengan ketinggian hampir satu setengah tombak. Perlahan-lahan retakan di sebelah atas gugus luruh dan jatuh ke bawah. Sesaat kemudian pada dinding kawah muncul lobang besar menyerupai mulut sebuah goa.

Di langit di atas kawah tiba-tiba terjadi satu keanehan. Kilat berkiblat membuat udara terang benderang seketika sampai ke dasar kawah Dalam kilatan cahaya terang itu di dalam goa si orang tua melihat satu sosok melangkah keluar. Di lain kejap di hadapan mulut goa telah berdiri seorang pemuda tampan mengenakan baju dan celana hitam. Wajahnya segar tertutup kumis, cambang bawuk serta jenggot tipis rapi. Pemuda ini menatap ke arah si orang tua lalu tersenyum.

"Dewa seru sekalian alam. Orang tua itu keluarkan seruan, setengah melompat dia menghambur ke mulut goa, jatuhkan diri di tanah sambil pegangi kaki si pemuda. Pemuda yang dipegangi kedua kakinya balas memegang bahu orang tua itu lalu berkata. Suaranya lembut

"Paman Darmasewara, berdirilah. Mengapa harus berlutut di hadapanku. Aku ini masih keponakanmu, bukan Raja bukan Dewa."

Si orang tua berdiri langsung memeluk dan menciumi pemuda Itu. Sepasang matanya berkaca-kaca. "Suma Mahendra! Sulit aku percayai. Tiga puluh tahun lalu aku meninggalkanmu waktu kau masuk menembus dinding kawah. Kini kau berdiri di hadapanku tanpa perubahan sedikitpun. Kau tetap sebagai seorang pemuda tiga puluh tahun silam. Rambutmu, kumis dan janggut tidak menjadi panjang, tidak berubah warna. Bahkan pakaianmu tidak lusuh sedikitpun. Kau seolah baru kutinggal petang tadi!"

"Kuasa dan kasih para Dewa sungguh besar terhadap diriku, Paman."

"Aku sungguh sangat bersyukur, Mahendra. Eh. lihat diriku! Ketika aku mengantarkan kau ke kawah Gunung Bromo ini usiaku sekitar setengah abad. Kini lihat perubahan yang terjadi! Aku sudah menjadi kakek reot, rambut, kumis dan janggutku putih semua. Separuh gigiku sudah tanggal ompong. Usiaku sekarang delapan puluh tahun, Suma. Dan kau seharusnya saat ini sudah berumur lima puluh lima tahun. Namun yang aku lihat kau tetap pada usiamu dulu, usia dua puluh lima tahun"

Pemuda bernama Suma Mahendra tersenyum. "Paman, seperti yang disebutkan dalam kitab Jagat Pusaka Dewa, aku berhasil memindahkan pohon tanjung yang terletak di alun-alun Singosari. Lihatlah ke belakangmu!"

Saat itu terdengar suara menderu keras, seluruh kawah bergetar, membuat orang tua bernama Darmasewara tercekat dan berpaling ke belakang. Mata terbeliak, mulut ternganga. "Dewa Penguasa Langit dan Bumi! Sungguh luar biasa...!" ucap Darmasewara.

Hanya mulut yang bersuara sementara sekujur tubuh laksana terpaku, diam tak bergerak. Di hadapannya, mengambang di atas kawah Gunung Bromo tegak menjulang sebatang pohon tanjung besar berbunga lebat. Sebelumnya Darmasewara telah melihat ratusan, mungkin ribuan kali pohon tanjung itu yang tumbuh di alun-alun Kerajaan Singosari. Saking seringnya dia melihat, orang tua ini nyaris mengenali setiap sudut batang pohon, setiap cabang dan ranting serta pada saat-saat pohon Itu berbunga.

"Singosari akan geger besar begitu besok pagi semua orang melihat pohon tanjung besar di alun-alun tak ada lagi di tempatnya semula" Darmasewara gelengkan kepala terkagum-kagum.

"Paman..."

Si orang tua palingkan kepala, memandang pada Suma Mahendra.

"Tiga puluh tahun aku mendekam bersamadi di dalam perut kawah Gunung Bromo ternyata tidak semua permintaanku dikabulkan secara langsung oleh para Dewa. Dewa memberiku kekuatan luar biasa hingga aku mampu bertahan hidup, sehat dan tidak menjadi tua. Dewa memberiku kekuatan dan ilmu luar biasa untuk memindahkan pohon tanjung besar ke dalam kawah. Kelak pohon itu nantinya akan muncul di pedataran pasir Tengger. Namun tidak semua mata manusia bisa melihatnya. Aku sedih, tapi jauh dari kecewa. Dewa tidak mengabulkan permintaanku untuk mendapatkan ilmu kesaktian seperti yang tertulis dalam kitab Jagat Pusaka Dewa. Aku tidak diperkenankan untuk membalas dendam kematian Paman Tunggul Ametung. Lebih dari itu aku tidak mendapat restu untuk mengambil alih tahta Kerajaan Singosari. Paman, setelah tiga puluh tahun berlalu, apa yang terjadi dengan Kerajaan dan siapa sekarang yang berkuasa. Apakah masih Ken Arok, Raja yang telah membunuh pamanku dan saudara sepupumu itu?"

Darmasewara menghela nafas panjang lalu gelengkan kepala. "Lima tahun setelah berkuasa, hukum karma berlaku. Ken Arok dibunuh oleh anak tirinya sendiri yaitu Anusapati, putera Ken Dedes dari pamanmu Tunggul Ametung. Anusapati kemudian di bunuh oleh Tohjaya, putera Ken Arok dari istrinya Ken Umang. Tahta berdarah berkelanjutan. Tohjaya dibunuh oleh Ranggawuni, putera Anusapati. Sekarang Ranggawuni yang menduduki tahta Kerajaan Singosari."

"Selama ini apakah Paman mengabdikan diri pada Kerajaan?"

"Sri Baginda Ranggawuni adalah kerabat satu aliran darah kita. Namun sesuai petunjukmu sebelum masuk ke dalam kawah Gunung Bromo ini dulu, selama tiga puluh tahun aku menjauhkan diri dari segala hal dan kegiatan yang berhubungan dengan Kerajaan. Sri Baginda pernah menanyakan keberadaan dirimu dan meminta aku datang ke Istana. Namun sampai hari ini aku belum berani memperlihatkan diri. Kecuali kalau kau memberi petunjuk dan izin untuk melakukan."

"Sebaiknya Paman jangan dulu menemui Ranggawuni. Kita tidak tahu kemelut apa yang akan terjadi. Besok atau lusa bisa saja Ranggawuni dibunuh orang. Lalu Paman akan ikut menjadi korban, paling tidak dijebloskan masuk penjara."

"Suma, aku akan menuruti nasihatmu," kata Darmasewara pula.

Setelah mendengar penuturan pamannya dan merenung beberapa lama Suma Mahendra berkata. "Mungkin sekali karena perselisihan yang membawa dendam, darah dan nyawa berkepanjangan itu yang menyebabkan para Dewa tidak memberikan ilmu kesaktian padaku secara langsung dan juga tidak membenarkan aku mengambil alih tampuk Kerajaan. Ilmu yang aku harapkan itu tadinya akan dipergunakan untuk menghadapi Ken Arok yang sakti mandraguna. Namun sekarang segala sesuatunya telah berlalu. Ken Arok sendiri sudah tak ada lagi di permukaan bumi Ini. Aku sangat berterima kasih, walau tidak memberikan secara langsung padaku namun para Dewa tetap akan menurunkan ilmu kesaktian itu ke muka bumi ini. Seseorang kelak akan mendapat menerimanya mewakili diriku."

"Suma. kau mengatakan para Dewa tidak memberikan ilmu kesaktian padamu secara langsung. Dan ada seseorang yang akan menerimanya mewakili dirimu. Bagaimana maksudnya?" bertanya Darmasewara.

"Paman, ada satu berita sedih bagimu. Aku tidak akan pulang ke Singosari, tapi akan kembali masuk ke dalam goa. Malam ini juga. Tiga hari dari malam ini aku akan menemui akhir dari perjalanan hidupku. Aku akan menghembuskan nafas terakhir..."

"Suma Mahendra! Kau bicara apa?!" ucap sang paman setengah bertenak saking kagetnya.

"Begitu petunjuk yang diberikan para Dewa dalam samadiku."

"Suma, apakah kau telah melakukan satu kesalahan selama kau bersamadi hingga Dewa menjadi marah?"

Pemuda tampan itu menggeleng. "Justru karena Dewa sayang padaku, maka petunjuk itu diberikan dan pasti akan terlaksana. Paman tak usah memikirkan bagaimana nasib jazadku. Aku akan terkubur baik-baik di dasar kawah Gunung Bromo ini."

"Seandainya kau tidak mengikuti petunjuk dalam Kitab Jagat Pusaka Dewa itu dan tidak melakukan samadi. Mungkin kau tidak akan mengalami nasib seperti yang barusan kau katakan"

"Nasib seseorang sudah tertulis di dalam Kitab yang bernama Takdir. Sebagai manusia kita tidak perlu kecewa. Ini adalah satu kenyataan. Kematian adalah kenyataan yang akan dialami semua orang. Apakah dia seorang Raja atau seorang hamba sahaya rakyat jelata. Hanya sayang aku tidak dapat membalaskan sakit hati Kematian paman Tunggul Ametung. Para Dewa tidak ingin tanganku berlumur darah akibat dendam berkepanjangan. Kenyataannya dendam saling bunuh itu telah berlangsung."

Suma Mahendra pandangi wajah tua Darmasewara dengan senyum lembut lalu berkata. "Paman, jika paman suka, paman boleh meninggalkan tempat ini. Aku akan masuk ke dalam goa..." Suma Mahendra pegang bahu pamannya.

Sang paman pegang lengan pemuda itu erat-erat. "Kau belum menjawab pertanyaanku mengenai ilmu kesaktian yang akan diberikan secara tidak langsung. Kau mengatakan ada seseorang yang bakal mendapatkan ilmu kesaktian Ku. Apakah berarti..."

"Setelah aku mati, aku akan menitis pada diri seorang bayi. Namun aku tidak tahu kapan kejadiannya. Mungkin minggu atau bulan dimuka. Mungkin juga puluhan atau ratusan tahun kemudian. Bayi itulah kelak, yang setelah dewasa akan mendapatkan ilmu kesaktian seperti tertulis dalam Kitab Jagat Pusaka Dewa. Namun Paman, ada satu hal yang aku lihat dalam samadiku. Ada satu kekuatan alam roh yang datang dari negeri jauh ingin mengacaukan keadaan. Aku melihat gurun pasir luas sekali. Jauh lebih luas dari gurun pasir Tengger. Aku melihat gunung yang terbuat dari tumpukan jazad perempuan. Di lereng gunung mengalir sebuah sungai yang airnya berwarna merah seperti darah, menebar bau busuk menjijikkan. Aku mendengar raung suara anjing yang seolah sangat ketakutan dan meratapi apa yang bakal terjadi. Lalu aku melihat ratusan bunga tanjung beterbangan, luruh jatuh masuk ke dalam sungai darah. Warnanya yang putih kekuningan berubah menjadi semerah darah. Bunga yang tadinya suci itu kini telah dibungkus noda. Paman, aku mohon kau menjaga Kitab Jagat Pusaka Dewa baik-baik. Jangan sampai jatuh ke tangan siapapun..."

"Aku akan melakukan pesanmu itu Suma." jawab si orang tua. Kedua orang itu kemudian saling berpelukan.

Darmasewara tinggalkan dasar kawah dengan mata berkaca-kaca. Suma Mahendra mengikuti langkah cepat sang paman dengan mulut tersenyum lalu perlahan-lahan balikkan diri, masuk kedalam goa.

Ketika Darmasewara sampai ke ujung kawah sebelah atas tiba-tiba dia mendengar suara deru seperti angin bertiup. Orang tua ini berpaling, memandang ke dalam kawah Dia terheran-heran melihat ratusan bunga tanjung yang ada di pohon besar mengambang di atas kawah, berlesatan masuk ke dalam goa tempat Suma Mahendra bersamadi. Bau harum semerbak bunga menebar dan tercium sampai ke atas kawah. Namun orang tua ini jadi tercekat ketika bau harum itu mendadak berubah menjadi bau anyir busuk, menyengat jalan pernafasan hingga dia tak sanggup menahan muntah. Darmasewara Ingat ucapan Suma Mahendra. Bunga tanjung telah berubah menjadi bunga noda.

********************

Ketika dua hari kemudian Darmasewara kembali ke tempat kediamannya di pinggiran Kotaraja, orang tua ini terkejut mendapatkan lemari jati yang ada dalam kamar terguling roboh di lantai. Bagian dinding kamar yang sebelumnya terlindung di balik lemari hancur berantakan. Pada dinding itu ada sebuah kotak kayu tempat dimana dia menyimpan Kitab Jagat Pusaka Dewa sejak tiga puluh tahun lalu. Kotak itu kini tak ada lagi di tempatnya. Raib bersama kitab yang ada di dalamnya!

Darmasewara jatuh terduduk di lantai kamar. Dia lebih baik mati dari pada menyaksikan kejadian ini. Sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya dia berkata lirih.

"Dewa! Saya mohon dengan segala kerendahan, siapapun yang telah mencuri Kitab Jagat Pusaka Dewa. Jangan jadikan hal ini sebagai pangkal munculnya malapetaka."

Perlahan-lahan Darmasewara turunkan dua tangannya yang menutupi wajah. Ketika pandangannya membentur dinding di hadapannya, dia terkejut. "Astaga, sebelumnya tulisan itu tidak ada disitu!" ucapnya.

Saat itu di dinding kamar entah bagaimana kejadiannya tertera tulisan. "Kitab Jagat Pusaka Dewa tidak dicuri orang. Kitab itu hanya perlu diselamatkan dari orang-orang yang berniat jahat"

Darmasewara bangkit berdiri. Dia memandang seputar kamar. "Siapa yang menulis? Aku tidak melihat orang masuk ke tempat ini!"

Paman Suma Mahendra, saudara sepupu Tunggul Ametung ini melihat jendela terbuka. Secepat kilat dia melompat keluar rumah lewat jendela itu. Berkali-kali dia memutari rumah, menyelidik sampai ke luar halaman namun tak seorangpun yang kelihatan.

********************

BAB LIMA

RATUSAN tahun setelah lenyapnya Suma Mahendra di dasar kawah. Desa Tumpang, di barat Gunung Bromo. Pagi buta hari Jum'at Legi, dingin dan gelap. Aki Jarot memacu gerobak sapi sekencang yang bisa dilakukannya. Tuminah. istrinya yang dukun beranak duduk tergoncang-goncang di sampingnya, berpegang erat pada tiang kayu di pinggiran gerobak. Susur dalam mulutnya dipindah kian kemari.

"Pakne. kalau kau memacu gerobak ini lebih kencang, kita berdua bisa mati terbalik. Maksud hendak menolong orang tidak kesampaian." Tuminah berkata cemas pada suaminya.

Aki Jarot mencambuk punggung sapi dengan cemeti, menjawab. "Tadi kau sendiri yang minta diantar cepat-cepat Sudah diam saja. Aku sudah bertahun-tahun menarik gerobak, sudah belasan tahun kenal jalan ke desa Tumpang. Mau takut apa?"

"Aku tidak takut Pakne, aku ingin sampean berhati-hati," jawab sang istri dengan nada mengalah.

Melewati sebuah tikungan, jalan yang ditempuh agak mendaki. Sapi penarik gerobak tidak mampu berlari sekencang tadi lagi. Tepat di puncak pendakian binatang ini berhenti berlari. Bukan karena keletihan, tapi ada seseorang di depan sana, berdiri di tengah jalan. Orang ini mengenakan jubah hitam dan ikat kepala seperti sorban juga berwarna hitam. Wajahnya yang putih tertutup kumis, janggut dan cambang bawuk hitam pekat, di dalam gelap tampak berkilat. Mungkin diberi minyak.

Tubuhnya menebar bau wangi kembang. Dari raut wajah serta perawakannya yang tinggi besar agaknya orang ini bukanlah penduduk asli setempat. Mungkin sekali dia seorang keturunan Arab atau berdarah India. Di tangan kanannya orang ini memegang sebuah kitab terkembang. Sepertinya dia asyik membaca isi kitab. Aneh. selain tak masuk akal ada orang membaca kitab di malam buta di tengah jalan seperti itu, juga apakah dia bisa melihat di malam segelap itu? Orang asing ini mengangkat tangan kiri ke atas. Telapak terkembang diarahkan ke depan pada sapi ponarik gerobak. Gerak tangan inilah agaknya yang membuat binatang itu berhenti berlari.

"Ki sanak di tengah jalan, menyingkirlah. Kami harus melanjutkan perjalanan. Kami ada urusan penting! Jangan menghadang di tengah jalan" Aki Jarot berteriak.

Orang berjubah hitam terus saja membaca kitab seperti tidak mendengar teriakan itu. Aki Jarot jadi jengkel.

"Pakne. orang itu kelihatannya bukan orang Jawa. Mungkin dia tidak mengerti ucapanmu berkata Tuminah.

"Siapapun dia, kalau berada di tempat ini pasti mengerti bahasa di sini. Hantu sekalipun tahu apa yang aku ucapkan!" jawab Aki Jarot. Lalu kembali dia berteriak. "Jangan salahkan kalau kau diterjang sapiku!"

Lelaki separuh baya ini kemudian cambuk sapinya kuat-kuat, tali kekang disentak berulang kali. Namun jangankan berlari, bergerakpun tidak binatang itu. Malah sesaat kemudian sapi putih ini tekuk dua kaki depannya lalu rundukkan diri bersimpuh di tanah.

"Hai!" Aki Jarot berteriak kaget juga heran. Setelah menyuruh istrinya tetap duduk di atas gerobak dia melompat turun menemui orang berjubah hitam. Namun baru menindak tiga langkah, orang tinggi besar angkat tangan kirinya dan tiba-tiba saja langkah Aki Jarot tertahan. Dua kaki lelaki itu laksana dipantek ke tanah.

"Apa yang terjadi dengan diriku? Kau..." Aki Jarot berteriak kaget.

Tuminah turun dari gerobak menemui suaminya. "Pakne. ada apa?"

"Orang berjubah hitam itu! Dia mengangkat tangan. Kakiku lantas saja tak bisa digerakkan. Pasti dia orang jahat! Mungkin begal!"

"Biar aku menemuinya." kata sang istri. Dalam hal-hal tertentu Tuminah memang perempuan pemberani. Dia turun dari gerobak lalu melangkah ke arah orang tinggi besar berjubah dan bersorban hitam yang masih tegak dengan sikap asyik membaca kitab.

Tuminah keluarkan susur dari dalam mulut lalu menegur orang di tengah jalan dengan suara keras. "Kalau kau memang begal, kami tidak punya apa-apa. Mau merampok apa?!"

Si jubah hitam tinggi besar perlahan-lahan tutup kitab yang dibaca lalu dimasukkan ke balik jubah. Dia menatap perempuan di depannya, tersenyum lalu membungkuk dan berkata. Suaranya berat tapi lembut. Dialeknya terdengar kaku aneh. "Bukankah Ibu ini dukun beranak bernama Tuminah yang tinggal di desa Samber rejo?"

"Sumberrejo. Kami tinggal di Sumberrejo. Bukan Sam-berrejo," jawab Tuminah. "Eh. sampean tahu namaku. Sampean ini siapa? Sampean pasti bukan orang sini. Mengapa menghadang perjalanan kami?"

"Tuminah! Hati-hati! Orang itu pasti punya niat jahat! Jangan bicara padanya! Kembali ke sini!" Aki Jarot berteriak, kawatir akan keselamatan istrinya.

"Aku bukan orang jahat," lelaki berjubah berucap. "Namaku Deewana Khan. Kau dan suamimu bukankah dalam perjalanan menuju desa Tumpang?"

"Benar," jawab Tuminah. Dia hendak masukkan susurnya ke dalam mulut kembali tapi tak jadi. Perempuan ini bertanya. "Sampean pasti bukan penduduk sini. Bagaimana bisa tahu kemana kami mau pergi?"

"Di desa Tumpang ada seorang perempuan muda bernama Sulin, bersuamikan Tajurpambayan. Perempuan muda itu hendak melahirkan. Anak pertama. Dan Ibu ke Tumpang hendak menolongnya. Benar begitu?"

Tuminah tercengang mendengar ucapan orang tinggi besar Jubah hitam yang benar semua adanya. Sampean orang aneh. Tahu kemana kami pergi dan apa yang hendak aku lakukan. Kalau tahu kami mau menolong perempuan yang hendak melahirkan mengapa menghadang?"

"Aku tidak menghadang. Hanya ingin memberi tahu bahwa Ibu tidak perlu bersusah payah jauh-jauh pergi ke Tumpang. Sudah ada orang lain yang akan menolong perempuan yang hendak melahirkan itu."

"Siapa? Mana boleh jadi? Mulai dari Sumbermanjing di selatan sampai Lawangan di utara hanya aku seorang dukun beranak..."

Orang mengaku bernama Deewana Khan tersenyum. “Sudahlah, kau dan suamimu kembali saja ke Sumberrejo. Tak perlu mengawatirkan perempuan muda yang hendak melahirkan itu."

Habis berkata begitu orang berjubah membuat gerakan mengusap di depan wajah dan tubuh Tuminah. Tangan kanan kemudian diusapkan ke wajah dan tubuhnya sendiri. Saat itu juga wajah dan sosok orang ini berubah menjadi wajah dan sosok sama dengan Tuminah si dukun beranak!

Tuminah sampai keluarkan seruan tertahan saking kagetnya. Suaminya Aki Jarot berteriak menyuruhnya menjauhi orang aneh itu. Namun Tuminah seperti tak berkuasa beranjak dari tempatnya.

Dengan tangan kanannya Deewana Khan mengambil susur yang dipegang Tuminah, lalu dimasukkan ke dalam mulut langsung dikunyah-kunyah!

"Ujud kita sama. Aku akan mewakilimu menolong Sulin melahirkan." Lelaki tinggi besar yang berubah menjadi Tuminah itu suaranya kini berubah menjadi suara perempuan, bahkan suara itu sama benar dengan suara si dukun beranak. "Sebelum aku pergi ada satu hal yang harus kalian ingat baik-baik. Kalian suami istri tidak pernah bertemu denganku, tidak akan pernah memberi tahu siapapun apa yang terjadi malam ini di tempat ini. Kalau hal itu kalian langgar, akan ada kutuk penyakit yang membuat kalian berdua menemui ajal secara sengsara. Namun jika kalian mematuhi, berkah besar akan menjadi bagian kalian."

Deewana Khan alias Tuminah palsu memasukkan sesuatu ke dalam genggaman tangan kanan Tuminah. Ketika perempuan ini memperhatikan ternyata benda itu adalah sekeping perak. Sepasang mata Tuminah berkilat-kilat.

"Itu pembayar kebajikan hendak menolong orang." kata Tuminah jejadian.

"Tapi... tapi aku belum melakukan apa-apa. Aku belum menolong Sulin melahirkan."

"Budi baik dan kebajikan tidak selalu diperlihatkan dengan pekerjaan nyata. Niat yang luhur dalam hati sudah merupakan satu pahala besar. Ibu... kau dan suamimu kembalilah ke Sumberejo."

Habis berkata begitu Tuminah palsu angkat tangan kirinya ke atas. Tahu-tahu di tangan itu sudah ada kitab yang tadi dibaca sewaktu ujudnya masih merupakan lelaki tinggi besar. Kitab dikembang, tubuh diputar. Sambil membaca kitab Tuminah palsu melangkah pergi. Hanya sesaat saja tubuhnya kemudian lenyap di telan kegelapan malam.

Saat itu Aki Jarot merasakan ke dua kakinya enteng dan bisa digerakkan lagi. Secara bersamaan sapi yang terduduk di tanah perlahan-lahan bangkit berdiri. Aki Jarot cepat menemui istrinya. "Apa yang tadi diberikan orang itu padamu?" tanya Aki Jarot pada istrinya.

Tuminah buka genggaman tangan kanannya, memperlihatkan kepingan perak yang berkilau di dalam kegelapan. Aki Jarot sampai terbeliak. "Luar biasa. Kita jadi orang kaya Bune! Siapa sebenarnya orang tadi? Dia bisa merubah ujud menyerupai dirimu!"

"Pakne. baiknya kita lekas-lekas tinggalkan tempat ini. Kembali ke Sumberrejo."

"Tunggu dulu." jawab sang suami. "Aku tadi mendengar orang itu mengatakan dia yang hendak menolong Sulin melahirkan. Aku kawatir..."

"Aku juga kawatir. Kawatir kalau mahluk jejadian itu sebenarnya adalah mahluk halus hantu pelayangan..." Tuminah merasa tengkuknya dingin dan memegang tangan suaminya erat-erat.

"Aku menduga orang tadi adalah tukang sihir jahat yang hendak melakukan sesuatu terhadap Sulin. Mungkin dia hendak membunuh perempuan itu atau bayinya Mungkin juga dia hendak menculik bayi yang nanti dilahirkan Sulin..."

"Lalu apa yang kita lakukan sekarang...?"

"Maunya aku kita kembali saja ke Sumberrejo Kita sudah dapat rejeki besar..."

"Kita bisa saja mendapat rejeki lebih besar" jawab Aki Jarot.

"Apa maksudmu Pakne?"

"Kita tidak kembali ke Sumberrejo. Tapi lanjutkan perjalanan ke Tumpang. Kita harus tahu apa yang akan dilakukan orang itu Jika benar dia hendak berbuat jahat kita harus mencegah. Jika kita berbuat begitu pasti kau akan dibujuknya dan diberi lagi tambahan kepingan perak!"

Rupanya perasaan serakah ketamakan sudah menyelinap di hati Aki Jarot. Sang istri yang tidak begitu suka dengan sikap suaminya itu berkata.

"Tapi Pakne, kalau kita ke Tumpang apa nanti tidak akan membuat ricuh?"

"Ricuh? Ricuh bagaimana?"

"Apa kau tadi tidak mendengar? Orang itu berkata agar kita bersikap seolah tidak pernah bertemu dengan dia. Kita dilarang memberi tahu apa yang terjadi di sini pada siapapun. Kalau sampai kita melanggar akan ada kutuk penyakit yang membuat kita sengsara bahkan menemui ajal..."

"Bune... kau percaya orang itu atau padaku suamimu? Lagi pula kita berniat baik! Melindungi bayi Sulin dan Tajur dari kemungkinan hendak diapa-apakan orang asing aneh itu! Sudah, lekas naik ke gerobak. Kita berangkat ke Tumpang sekarang juga"

Tuminah tidak bisa membantah. Setelah memasukkan kepingan perak ke sebuah kantong kecil di balik stagen di pinggangnya perempuan ini naik ke atas gerobak.

********************

BAB ENAM

BERSAMAAN dengan menyingsingnya fajar di ufuk sebelah timur, dari sebuah rumah di desa Tumpang terdengar suara tangis bayi, keras sekali. Itulah suara tangis bayi yang dilahirkan Sulin dengan pertolongan dukun beranak Tuminah palsu.

"Bayimu laki-laki. Den Ayu Sulin," memberi tahu dukun beranak yang disambut senyum bahagia serta perasaan syukur oleh Sulin.

Selesai bayi dibersihkan, diperlihatkan pada sang Ibu lalu dibaringkan di sampingnya. Suami Sulin. Tajur pambayan tidak sabar lagi segera masuk ke dalam kamar. Dibelainya kepala dan diciumnya kedua pipi puteranya itu lalu Tajur mencium kening Sulin. Dengan hati-hati penuh kasih sayang Tajur pambayan kemudian coba menggendong puteranya. Diam-diam Tuminah pejamkan mata sesaat. Pikiran dan pandangan matanya melanglang jauh keluar rumah. Hatinya berucap. "Untuk sementara keadaan aman. Tapi pasti akan ada yang datang. Aku harus berlaku waspada. Terutama menjelang putusnya tali pusar bayi, saat berlangsungnya penirisan..."

"Ibu Tuminah, saya berterima kasih. Kau telah menolong Kelahiran anak kami dengan setamat..." Berkata Tajurpambayan.

Tuminah palsu alias perubahan ujud dari lelaki bernama Deewana Khan tersenyum. "Den Mas. Anakmu laki-laki Apakah kau sudah menyiapkan nama?" tanya Tuminah.

"Kami sudah sepakat kalau anak yang lahir seorang laki-laki maka akan diberi nama Cakra. Karena dia lahir tepat pada saat sang surya terbit maka kami memberikan nama tambahan Mentari. Jadi namanya adalah Cakra Mentari."

"Nama yang sangat bagus." Memuji Tuminah. "Kalian pandai memilih nama Cakra adalah satu senjata ampuh yang direstui para Dewa sebagai pembasmi kejahatan dan pelindung mereka yang lemah. Mentari adalah penerang jagat. Puteramu kelak akan menjadi seorang berkepandaian tinggi bijak yang mampu menerangi hati setiap manusia yang ditemui dan dikenalnya sehingga kedamaian akan tercipta dimuka bumi ini"

Tajurpambayan hanya tersenyum dan mengangguk saja mendengar ucapan dukun beranak Itu Karena dia hanya memberi sekedar nama pada sang putera tanpa mengetahui maknanya. Tiba-tiba di halaman rumah terdengar deru suara roda gerobak disusul suara sapi melenguh Lalu menyusul suara orang berteriak Wajah Tuminah dukun beranak palsu berubah.

"Tajur! Kau ada di dalam rumah? Lekas keluar! Ada yang hendak aku katakan padamu. Cepat! Ini menyangkut keselamatan bayimu!"

Sulin terkejut. Tajurpambayan kaget dan letakkan bayinya di pembaringan. Tuminah palsu cepat mendahului keluar dari rumah, tepat pada saat Aki Jarot melompat turun dari atas gerobak sementara istrinya Tuminah asli tetap duduk di atas gerobak, kelihatan bingung.

"Aki Jarot, kita sudah membuat perjanjian. Kau dan Istrimu seharusnya kembali ke Sumberrejo. Mengapa datang ke sini? Kau merusak semua tugas yang harus aku laksanakan." Tuminah palsu menegur.

"Aku... Aku menduga kau punya maksud tidak baik terhadap Sulin dan bayinya..."

"Maksud tidak baik apa? Jangan kau berprasangka buruk. Bayi itu telah lahir dengan selamat. Aku minta kau segera pergi bersama istrimu sebelum Tajurpambayan keluar dan melihat keanehan ini."

"Jika itu maumu baiklah. Aku akan segera pergi. Tapi aku minta tambahan hadiah." Jawab Aki Jarot.

Tuminah palsu menatap wajah lelaki di hadapannya. Kepalanya digeleng-gelengkan tanda dia tidak senang dengan sikap orang itu. Namun kemudian tangan kanannya diulurkan. Entah dari mana datangnya di tangan itu sudah terpegang sekeping perak lalu diserahkan pada Aki Jarot.

"Cuma satu keping?! Aku minta tambahan satu keping lagi!" kata Aki Jarot dengan serakahnya.

Tuminah palsu kembali menatap muka Aki Jarot. Dalam hati dia berkata bagaimana mungkin ada manusia seperti ini. Namun kemudian untuk kedua kalinya dia mengulurkan tangan menyerahkan tambahan sekeping perak yang diminta.

"Lekas pergi sebelum lelaki itu keluar..." berkata Tuminah palsu.

Tapi terlambat. Saat itu Tajurpambayan telah keluar dari dalam rumah. Begitu sampai di halaman dia terheran-heran melihat ada dua Tuminah. Yang pertama yang berdiri di depan Aki Jarot sedang yang kedua duduk di atas gerobak. Tuminah palsu merasakan sekujur tubuhnya bergetar.

Hatinya berucap. "Pertanda buruk. Agaknya akan terjadi sesuatu di luar rencana. Aku tak bisa merubah ujud sebelum malam tiba. Lebih baik saat ini aku melenyapkan diri saja. Aku harus menjaga bayi itu sampai tali pusarnya putus. Aku harus mengamankan Cakra Mentari sewaktu berlangsungnya titisan Suma Mahendra..."

"Hai!” Tajurpambayan yang tengah terheran-heran terkejut sekali ketika melihat sosok dukun beranak Tuminah yang berdiri di hadapan Aki Jarot lenyap tak berbekas. Dia memandang pada Aki Jarot.

"Tadi jelas-jelas kulihat ada ada dua. Lalu kemana lenyapnya yang satu? Aki, Tuminah istrimu tadi kulihat ada dua. Satu berdiri di sini satunya yang duduk di atas gerobak itu..."

"Tajur, Tuminah istriku cuma satu." menyahuti Aki Jarot Dia segera saja mendapat akal memberikan jawaban. "Kau mungkin hanya melihat bayang-bayang karena keletihan semalaman menunggui istrimu. Mana mungkin ada dua Tuminah! Aku datang menjemput istriku. Lihat, dia sudah duduk di atas gerobak. Aku ucapkan selamat karena sekarang kau sudah punya momongan. Jaga bayimu baik-baik. Kami pergi dulu.." Aki Jarot naik ke atas gerobak.

"Aki, tunggu. Aku belum membayar istrimu...." Tajurpambayan masuk ke dalam rumah. Namun ketika keluar lagi Aki Jarot dan gerobaknya serta Tuminah tak ada lagi di halaman. Tajurpambayan tegak termangu. "Heran," ucapannya sendirian. "Waktu muncul malam tadi dukun beranak itu sendirian. Ketika suaminya datang katanya hendak menjemput tiba-tiba salah satu sosok dukun beranak itu mendadak lenyap. Tadi Aki Jarot berteriak hendak mengatakan sesuatu padaku. Tentang keselamatan bayiku. Aku lupa menanyakan, dia keburu pergi. Aku tak mengerti. Ada apa ini?" Tajurpambayan merasa kawatir lalu cepat-cepat masuk ke dalam rumah.

********************

Setelah sekian lama berdiam diri. sampai di luar desa Tumpang baru Aki Jarot berkata. "Bukne, aku merasa letih. Tubuhku terasa agak panas. Kita perlu mencari tempat yang baik untuk istirahat barang sebentar."

"Aneh, aku juga merasa panas," menyahuti Tuminah. "Jangan-jangan kita ini mau kena demam."

"Aku tahu ada sebuah telaga di satu kaki bukit kecil. Tak jauh dari sini. Kita kesana. Berendam dulu barang beberapa lama biar sejuk..."

Hawa panas aneh yang dirasakan dua suami istri itu semakin lama semakin tak tertahankan. Karenanya begitu sampai di tepi telaga kedua orang ini langsung mencebur masuk ke dalam air, berendam sebatas leher. Sesekali mereka menyelamkan kepala. Ketika terakhir kali menyembulkan kepala dan dalam air, Aki Jarot dan Tuminah sama-sama terkejut Mereka mencium bau wangi. Lalu mereka melihat di atas air telaga sekitar mereka mengambang bertaburan puluhan bunga kecil berwarna putih kekuningan.

"Bunga tanjung..." ucap Aki Jarot.

Tuminah memandang berkeliling. Tak ada pohon tanjung sekitar telaga. "Aneh, dari mana datangnya?"

"Bune, hatiku merasa tidak enak. Ayo kita naik, cepat-cepat pulang ke Sumberrejo."

Ketika suami istri itu sampai di rumah mereka di Sumberrejo, hawa panas terasa semakin hebat. Selain itu mereka dapatkan ada benjolan-benjolan merah di wajah, badan serta anggota tubuh mereka. Gatalnya bukan main. Setiap digaruk benjolan itu pecah mengeluarkan nanah.

"Pakne, apa yang terjadi dengan kita?" Tuminah ketakutan setengah mati.

"Aku tidak tahu Bu" Jawab Aki Jarot. Ketika membuka bajunya dia tiba-tiba ingat pada dua keping perak yang didapat dari Tuminah palsu. Dua keping perak itu dikeluarkannya dari kantong celana. Alangkah terkejutnya lelaki Ini ketika mendapatkan dua keping perak telah berubah jadi batu.

"Aku tak percaya!" seru Aki Jarot sambil menggaruk yang membuat dua benjolan di tubuhnya pecah.

Melihat apa yang terjadi Tuminah keluarkan pula kepingan perak yang disimpannya dibalik setagen. Ternyata kepingan perak inipun sudah berubah menjadi batu.

"Pakne, mungkin ini akibat karena kita melanggar apa yang dikatakan orang tinggi besar berjubah hitam itu. Aduh Pakne, aku tak tahan Rasanya mau leleh. Tubuhku panas. Gatal..." Tuminah gulingkan diri di lantai.

Suaminya melakukan hal yang sama. Karena tidak tahan oleh rasa panas dan gatal, kedua orang ini kemudian lari keluar rumah sambil menjerit-jerit. Tetangga berdatangan. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena Aki Jarot dan Tuminah sudah tergeletak tak bergerak di tanah. Wajah dan tubuh mereka berselomotan darah dan nanah. Perjanjian telah dilanggar. Keserakahan telah diumbar!

********************

HARI ke sebelas setelah kelahiran Cakra Mentari. Sore itu ketika Tajur pulang dan ladang, Sulin memberi tahu bahwa tali pusar putera mereka telah putus. Malam harinya hujan turun lebat Angin cukup kencang membuat udara terasa dingin. Cakra Mentari tidur nyenyak diapit ayah dan ibunya.

Menjelang tengah malam, ketika hujan mulai reda, di halaman samping rumah Tajur berkelebat satu bayangan hitam. Orang Ini bertubuh tinggi besar, mendekam di balik pohon. Tangan dilipat di atas dada, sepasang mata menatap mengawasi rumah kayu di hadapannya, memperhatikan mulai dari atap bangunan sampai ke dinding sebelah bawah yang bersentuhan dengan tanah. Lalu dia sapukan pandangan ke langit lepas.

Telinga di pasang tajam-tajam. Setelah yakin segala sesuatunya berada dalam keadaan aman, orang ini yang bukan lain adalah Deewana Khan pejamkan mata, pusatkan pikiran. Di pelupuk matanya terbayang kawah Gunung Bromo.

“Stt... sstt... sttt...!"

Tiba-tiba di langit kelam berkiblat tiga kali cahaya terang. Deewana Khan buka kedua matanya.

"Titisan datang..."

Hidungnya mencium bau harum bunga. Di langit sebelah timur tampak puluhan bahkan mungkin ratusan bunga tanjung melayang memancarkan cahaya terang seperti kunang-kunang. Di atas atap rumah kediaman Tajurpambayan dan Sulin, bunga tanjung berputar-putar membentuk lingkaran. Lalu satu persatu bunga berkilau itu melesat menembus atap rumah, masuk ke dalam kamar dimana Cakra Mentari tertidur lelap bersama kedua orang tuanya. Bunga tanjung secara aneh menyusup masuk ke dalam tubuh bayi lelaki ini. Satu demi satu, sekuntum demi sekuntum tanpa si bayi terusik dari tidur nyenyaknya.

Saat hal aneh itu berlangsung tiba-tiba dari arah barat ada satu cahaya merah berkelebat. Sesaat kemudian seorang tinggi kurus mengenakan jubah merah bermantel merah, berkepala botak dan memiliki tanduk seperti cula badak muncul di tempat itu. Dia langsung berdiri di atas atap bangunan. Dua tangan dikembang lalu mantel merah dikebutkan.

"Wuuttt!" Sinar merah berkiblat. Ratusan bunga tanjung yang melayang berputar di udara di atas atap bergoyang hebat. Beberapa di antaranya terpental. Sebagian luruh ke tanah sebagian bergabung lagi dengan bunga tanjung lainnya dan kembali melayang berputar, lalu seperti tadi melesat menembus atap.

Orang bertanduk di atas atap kembali hendak mengebutkan mantel merahnya. Saat itu Deewana Khan telah melesat ke atas atap seraya membentak.

"Rajip Kupal. Jin pembawa bahala. Siapa yang memerintahmu datang ke tanah Jawa ini?!"

Orang bermantel yang disebut dengan nama Rajip Kupal dan dicap sebagai jin pembawa bahala keluarkan suara menggembor lalu menyeringai. Lidah terjulur serta barisan gigi besar runcing berwarna merah seperti dilapisi lelehan darah.

"Kau mengenali diriku itu sudah cukup. Kau tak layak bertanya siapa yang memerintahkan aku datang ke sini. Sebaliknya siapa yang mengutusmu hingga berani-beraninya berada di tempat ini?! Kau rupanya sudah mendekam sejak lama, sengaja menghadangku!"

Deewana Khan sunggingkan senyum mengejek. "Bangsa jin berada dibawah telapak kaki manusia. Jadi tidak pantas kau menanyai diriku. Lekas menyingkir dari tempat ini atau dengan izin para Dewa aku akan membenamkanmu ke dasar neraka ke tujuh!"

Rajip Kupal tertawa gelak-gelak. Dengan suara lantang dia membentak. "Deewana Khan! Kaulah yang harus segera angkat kaki dan sini. Atau kulumat tubuhmu sekarang juga...!"

BAB TUJUH

MAHLUK jin Rajip Kupal pegang tanduk di kepalanya dengan tangan kiri lalu mulut keluarkan suara menggembor. Saat itu juga asap merah mengepul dari batok kepala yang botak plontos dan tubuhnya berubah besar serta tinggi tiga kali sebelumnya. Dua tangan menjulai sampai menyentuh tanah. Dua tangan ini tiba-tiba berkelebat ke leher Deewana Khan. Siap mencekik dan mematah hancur leher itu.

Deewana Khan cepat jentikkan Ibu jari dan jari tengah tangan kanannya hingga mengeluarkan suara berkelik. Saat itu pula tubuhnya berubah besar dan tinggi, jauh lebih tinggi dari sosok Rajip Kupal. Kepala menembus awan gelap. Sekali Deewana Khan menggerakkan dua tangan menangkis serangan lawan, benturan keras dua pasang lengan membuat Rajip Kupal terhuyung-huyung. Selagi mahluk jin Ini berusaha mengimbangi diri tendangan kaki kanan Deewana Khan bersarang di perutnya. Rajip Kupal meraung setinggi langit Tubuh terpental belasan tombak. Perut pecah. Isi perut berkelojotan keluar, menjela di tanah.

"Jahanam Deewana Khan! Terima pembalasanku!" Teriak jin pembawa bahala Rajip Kupal. Tangan kanannya bergerak. Selarik sinar merah menyambar luar biasa cepat ke arah langit.

"Cahaya Dewa Langit Ke Tujuh!" teriak Deewana Khan kaget bukan main. "Jin pembawa bahala! Bagaimana kau bisa menguasai ilmu itu. Kau mencuri dari..."

Sambil berteriak Deewana Khan cepat menghindar selamatkan kepalanya dari serangan lawan. Namun terlambat. Gerakannya menjadi lamban karena ada getaran di kaki yang berasal dari hawa aneh yang disebar Rajip Kupal. Sesaat kemudian terdengar jeritan Deewana Khan. Dia tak sempat mengelak. Mata kanannya kena dihantam sinar merah hingga hancur dan meninggalkan lobang besar dikucuri darah.

Deewana Khan totok pelipisnya kiri kanan lalu susutkan tubuh kembali melompat turun ke tanah. Dua tangan dipentang, siap menghantam dengan sepasang pukulan sakti. Tapi Rajip Kupal tak ada lagi. Yang tinggal hanya isi perutnya yang tergeletak di tanah, berbusaian bergerak-gerak mengerikan.

Di atas atap rumah kediaman Tajurdan Sulin ratusan bunga tanjung masih melayang berputar-putar. Seperti tadi kembali melesat masuk ke dalam rumah, terus menyusup ke dalam tubuh Cakra Mentari.

Di bawah pohon besar. Deewana Khan rangkapkan dua tangan di depan dada, mata setengah terpejam dan perlahan-lahan mulutnya berucap. "Mahluk penitisan, datanglah. Para Dewa telah memberkatimu untuk masuk ke dalam tubuh bayi bernama Cakra Mentari. Namanya Cakra Mentari Cakra Mentari..."

Baru saja Deewana Khan selesai berucap dalam hati begitu rupa, tiba-tiba langit menghitam membuat keadaan gelap luar biasa. Angin berhenti bertiup. Kesunyian mencengkam seluruh kawasan. Di dalam kegelapan, dari arah timur tampak seberkas cahaya melayang ke biru-biruan. Sampai di atas atap rumah kelihatan cahaya itu ternyata keluar dari satu sosok mahluk berujud manusia mengenakan pakaian serba hitam.

Deewana Khan letakkan dua telapak tangan di atas dada lalu membungkuk dalam-dalam. Dia baru mengangkat kepala dan luruskan tubuh setelah mahluk di atas atap perlahan-lahan melayang ke bawah, menembus atap rumah dan lenyap dari pemandangan.

Di dalam rumah semua keributan yang terjadi di luar membuat Tajur dan istrinya terbangun. Anehnya sang bayi terus saja tertidur lelap. Begitu membuka mata kedua suami istri itu sama-sama terkejut melihat ada benda-benda kecil putih kekuningan melayang dari atas langit-langit kamar, masuk dan lenyap ke dalam tubuh bayi mereka. Udara di dalam kamar berbau bunga harum mewangi.

Sulin terpekik ketakutan. Dia dan suaminya berusaha melindungi bayi mereka dari benda-benda yang masuk ke dalam tubuh namun dua-duanya sama-sama tidak bisa bergerak. Yang bisa mereka perbuat hanyalah menyaksikan apa yang terjadi dengan mata terbeliak penuh takut. Cukup lama hal itu berlangsung.

Ketika tak ada lagi benda yang melayang masuk ke tubuh Cakra Mentari tiba-tiba dari atas langit-langit kamar melayang turun satu sosok yang dibungkus cahaya aneh terang kebiru-biruan, hingga Tajur dan Sulin dapat melihat jelas wajah dan pakaiannya. Mahluk ini adalah seorang pemuda berambut hitam sebahu, mengenakan pakaian hitam berbunga-bunga. Wajahnya tampan, memelihara kumis kecil, janggut dan cambang bawuk tipis rapi.

Mahluk ini bukan lain adalah perujudan gaib Suma Mahendra yang hidup ratusan tahun silam di masa berdirinya Kerajaan Singosari. Seperti yang pemah diucapkan Suma Mahendra pada pamannya Darmasewara di kawah Gunung Bromo, malam itu roh Suma Mahendra tengah melakukan penitisan, masuk ke dalam bayi Cakra Mentari, putera Tajurpambayan dan Sulin.

Sementara sosok gaib Suma Mahendra perlahan-lahan melayang turun siap untuk memasuki tubuh Cakra Mentari, di luar rumah busaian isi perut jin Rajip Kupal bergulung ke udara, mengepulkan asap hitam. Dan balik asap itu kemudian menyembul sosok sang jin. Deewana Khan yang menyaksikan kejadian itu terkejut sekali. Tidak menyangka kalau dari sisa-sisa isi perutnya jin pembawa bahala bisa muncul memperlihatkan diri kembali.

"Pasti dia hendak menghadang dan menghancurkan roh penitis. Aku harus menyingkirkan mahluk ini untuk selama-lamanya!" Sosok Deewana Khan naik ke udara setengah jengkal hingga dua kakinya tidak lagi menginjak tanah. Dua tangan dipukulkan ke depan. Dua larik sinar biru menyembur lalu bergulung membentuk api biru.

Rajip Kupal berteriak marah. Tangan kiri melepas pukulan menangkis yang mengeluarkan cahaya hitam, tangan kanan mengebut mantel membersitkan cahaya merah.

"Asalmu dari alam roh! Karenanya kau harus kembali ke alam roh. Kau tidak akan keluar lagi ke alam manusia untuk selama-lamanya!" teriak Deewana Khan.

"Wusss...!" Api biru menyambar membakar Rajip Kupal. Dia berusaha memadamkan api yang membuntalnya dengan berbagai cara namun sia-sia. Dalam keadaan terbakar sosoknya melesat ke langit diringi raung panjang menggidikkan.

Di dalam kamar Tajur dan Sulin berpekikan ketika melihat bagaimana sosok pemuda aneh yang melayang dari atas langit-langit kamar berubah seperti selendang bercahaya kebiruan lalu perlahan-lahan masuk ke dalam tubuh bayi mereka.

"Mahluk jahat! Tidak!" teriak Tajur. "Jangan!" pekik Sulin.

Bersamaan dengan lenyapnya cahaya biru masuk ke dalam tubuh Cakra Mentari, Tajur dan Sulin mendadak sontak mampu menggerakkan badan. Sulin cepat menggendong bayinya yang saat itu telah terjaga dan menangis keras. Tubuh sang bayi terasa hangat dan keningnya penuh keringat. Tajur seka keringat di kening puteranya lalu berkata pada istrinya.

"Sulin, kau tunggu di sini. Tadi aku mendengar suara ribut di luar rumah. Aku mau memeriksa. Pasti ada hubungannya dengan peristiwa aneh yang terjadi dengan anak kita."

"Aku takut Mas. Hati-hati. jangan lama-lama..."

Sebelum keluar Tajur pambayan mengambil sebilah golok yang tersisip di dinding dekat tempat tidur. Tajur keluar dari kamar langsung membuka pintu depan. Kegelapan, kesunyian dan hawa dingin menerpa lelaki muda ini. Tiba-tiba entah dari mana munculnya tahu-tahu di hadapannya telah berdiri seorang lelaki tinggi besar. Berjubah dan bersorban hitam. Bercambang bawuk. berjanggut dan berkumis hitam berkilat. Yang membuat Tajur tersurut gemetar dan hendak berteriak adalah ketika dia melihat mata kanan orang itu yang hanya merupakan rongga besar, dipenuhi cucuran darah. Tajur langsung lunglai. Tangan kanan yang memegang golok tidak berdaya seolah lumpuh.

"Hantu. Tolong....!"

Orang di hadapan Tajur cepat menutup mulut lelaki itu. “Tajurpambayan, dengar baik-baik. Namaku Deewana Khan. Aku bukan hantu. Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin menyerahkan sesuatu padamu." Dari balik jubah hitam besar orang ini keluarkan kantong kain. "Di dalam kantong ini ada sebuah kitab. Kitab Jagat Pusaka Dewa. Di dalam kantong juga ada seperangkat pakaian hitam dan ikat kepala kain merah. Jika puteramu telah berusia dua puluh empat tahun berikan kitab ini padanya. Suruh dia membaca dan mempelajari isinya. Kitab Ini berisi ilmu dahsyat yang tidak sembarang orang mampu memilikinya. Puteramu dengan mudah bisa menguasai ilmu yang tersimpan dalam kitab karena dia barusan telah ketitisan seorang sakti mandraguna bernama Suma Mahendra, yang hidup di masa berdirinya Kerajaan Singosari ratusan tahun silam. Serahkan juga seperangkat pakaian ini pada puteramu. Dia harus mengenakan pakaian ini. Selanjutnya ada petunjuk yang bisa diikutinya, tertulis di dalam kitab. Simpan kitab ini baik-baik. Jangan sekali-kali sampai ada satu orangpun mengetahui kalau kau memiliki kitab Jagat Pusaka Dewa ini. Termasuk Istrimu. Puteramu kelak akan menjadi seorang sakti mandraguna yang akan sangat berguna bagi rakyat banyak dan Kerajaan."

Dalam takutnya Tajur tidak menyambuti kantong kain yang diserahkan Deewana Khan. Tak mau menunggu Deewana Khan letakkan kantong kain di tanah di depan kaki Tajur. Lalu sekali berkelebat orang tinggi besar ini lenyap dari pandangan mata Tajur.

Untuk beberapa lamanya Tajurpambayan masih tegak tak beranjak dari tempatnya. Dia baru sadar ketika istrinya memanggil berulang kali. Tajur bingung. Dia hendak masuk ke dalam tapi ingat dan melihat pada kantong kain di depan kakinya Dia membungkuk mengambil kantong namun tak berani membawa masuk ke dalam rumah. Kantong itu kemudian dimasukkannya di bawah atap rumah.

Hanya sesaat setelah Tajur masuk ke dalam, di langit di arah tadi lenyapnya jin pembawa bala Rajip Kupal, tiba-tiba kelihatan cahaya biru. Cahaya biru ini adalah api yang membuntal satu sosok yang bukan lain adalah jin Rajip Kupal yang dalam keadaan sakarat masih bisa turun kembali ke arah rumah Tajur.

Di tangan kiri dia membawa sebuah kitab. Dengan gerakan cepat dia mengambil kantong kain yang disusupkan Tajur di bawah atap. Kitab Jagat Pusaka Dewa diambil dan ditukar dengan kitab yang dibawanya. Rajip Kupal kemudian melesat kembali ke langit membawa Kitab Jagat Pusaka Dewa. Kitab ini kemudian ikut terbakar dan musnah bersama sosok Rajip Kupal.

********************

Dua puluh empat tahun setelah terjadinya peristiwa hebat yang dialami oleh Tajurpambayan bersama istrinya di Tumpang. Hari itu Tajur bangun pagi-pagi sakali. Dia bermaksud hendak menemui dan bicara dengan puteranya Cakra Mentari yang kini telah berusia dua puluh empat tahun.

Setelah sekian tahun berlalu ternyata kedua suami Istri itu hanya dikarunia seorang anak yaitu Cakra Mentari yang kini telah menjadi seorang pemuda remaja. Maksud sang ayah menemui Cakra ada hubungannya dengan bungkusan berisi kitab dan pakaian yang pernah diterimanya dari Deewana Khan.

Sejak kantong disembunyikannya di bawah atap rumah. Tajur tidak pernah menyentuh benda itu. Apa lagi memeriksa isinya apa benar ada kitab serta seperangkat pakaian. Dia merasa takut kalau-kalau saat memeriksa mahluk bermata satu menyeramkan itu bba-tiba muncul di hadapannya. Selain itu sesuai ucapan orang, dia tidak ingin istrinya mengetahui kantong kain itu.

Namun pagi itu dia tidak melihat puteranya. Menurut isterinya Cakra pergi ke Kotaraja malam tadi. Kalau ke Kotaraja biasanya dia selalu menginap di rumah salah seorang sahabatnya.

"Kalau tahu dia pergi ke Kotaraja dan menginap di sana seharusnya aku mencegah. Ada hal penting yang hendak aku bicarakan dengan dia pagi ini." berkata Tajur.

"Mengenai jabatan yang ditawarkan Patih Kerajaan padanya?" tanya sang istri.

Tajur menggeleng. "Cakra sudah memberi tahu dia tidak menginginkan jabatan sebagai Perwira Kerajaan itu. Anak itu aneh. Katanya dia tidak tahu kalau punya ilmu kepandaian silat serta kesaktian. Tapi utusan Patih Kerajaan Ki Demang Surta pernah bicara padaku kalau Cakra punya Ilmu hebat luar biasa. Dibanding dengan Ilmu yang dimiliki Patih Kerajaan, ilmu sang patih ketinggalan jauh. Selain itu aku banyak mendengar kabar kalau Cakra sering membasmi orang-orang jahat termasuk orang-orang yang jadi musuh Kerajaan. Belum lama ini kabarnya dia pernah menangkap seorang tokoh silat istana yang punya niat hendak membunuh Sri Baginda. Sri Baginda berulang kali mengirim orang meminta Cakra menemuinya. Namun anak itu selalu menghindar. Selain itu aku dengar dia juga menjadi pembicaraan belasan gadis cantik. Banyak yang jatuh hati padanya. Tapi anak itu lebih suka berkumpul dengan teman-teman lelaki sebayanya dari pada memperhatikan gadis-gadis cantik itu."

Tajurpambayan yang sudah mulai putih rambutnya melangkah ke sumur untuk menimba air. Pada saat itulah tiba-tiba serombongan penunggang kuda terdiri dari enam orang memasuki halaman depan. Lima orang langsung berlompatan. Masing-masing membekal golok besar di pinggang. Dari pakaian serta tampang kelima orang itu yang kesemuanya ditutupi cambang bawuk, kumis serta Janggut lebat tak terurus Tajurpambayan segera maklum kalau mereka bukan orang baik-baik. Ketika melihat kalung tengkorak kecil berwarna merah terbuat dari kayu yang tergantung di leher ke lima orang itu. Tajur mendadak menjadi dingin tengkuknya.

"Lima Tengkorak Darah..." ucap Tajur dalam hati.

Pada masa itu siapa yang tidak pernah mendengar tentang kelompok lima penjahat yang menamakan diri Lima Tengkorak Darah. Selama bertahun-tahun mereka malang melintang melakukan kejahatan, merampok dan menjarah harta benda rakyat menculik anak gadis atau istri orang. Dalam melakukan kejahatan mereka selalu bertindak cepat. Muncul dan menghilang.

Kabarnya mereka punya banyak tempat persembunyian. Kerajaan telah berulang kali mengirimkan pasukan untuk menghancurkan Lima Tengkorak Darah. Namun selalu mengalami kegagalan. Konon ada orang-orang tertentu yang punya jabatan tinggi di Kerajaan melindungi para penjahat ini. Untuk itu orang-orang tersebut menerima sejumlah upeti yang membuat mereka menjadi kaya raya sementara rakyat banyak menderita dan dilanda ketakutan.

Selain itu diketahui pula disamping mereka berlima yang menamakan diri Lima Tengkorak Darah, Juga memiliki banyak anak buah dan kaki tangan yang bertebaran di wilayah timur terutama sekitar Pegunungan Tengger dan Pegunungan Semeru.

Orang ke enam, satu-satunya yang tidak turun dan tetap duduk di punggung kuda adalah seorang kakek berjubah biru. Seperti pakaiannya, rambut, kumis dan janggut lebatnya juga berwarna biru. Walau sikapnya tenang-tenang saja namun pandangan sepasang matanya tampak dingin. Kakek ini bernama Janger Sawung namun lebih dikenal dengan julukan Si Tangan Gledek.

Julukan ini didapatnya karena dia memiliki ilmu kesaktian di tangan kanan yang sanggup menghancurkan benda sekeras apapun. Setiap kali tangan itu memukul akan terdengar suara berdentum seperti guntur menggelegar. Meski diketahui Janger Sawung sering berhubungan dengan kelompok penjahat Lima Tengkorak Darah, namun pihak Kerajaan sepertinya belum mampu untuk turun tangan menangkapnya. Dikabarkan pula bahwa Janger Sawung punya banyak kerabat di kalangan tokoh rimba persilatan, termasuk yang menjadi pembantu di Istana di Kotaraja.

"Ada apa manusia-manusia jahat ini datang ke sini?" pikir Tajur. Dia tidak mengenali siapa adanya kakek jubah biru. Tajur cepat-cepat hendak masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang untuk memberi tahu istrinya agar Jangan keluar.

Namun salah seorang dari lima orang itu yang bertubuh tinggi besar, bermata belok merah laksana dikobari api dan ada cacat bekas luka di kening berteriak. Agaknya dia adalah pimpinan dari Lima Tengkorak Darah. Anak buahnya memanggilnya dengan nama Kunto Api.

"Manusia itu pasti bapaknya! Seret dia kemari!"

Salah seorang dari empat anak buah Kunto Api melompat ke hadapan Tajurpambayan. Orang ini lebih dulu hantamkan satu jotosan ke muka Tajur hingga lelaki ini jatuh tertelentang. Matanya yang kena dihajar serta merta lebam bengkak dan merah. Rambutnya dijambak lalu diseret ke hadapan si berewok tinggi besar Kunto Api.

Pimpinan Lima Tengkorak Darah ini letakkan tangan kiri di gagang golok lalu kaki kanannya berkelebat menendang dada Tajurpambayan hingga orang ini mengeluh kesakitan.

"Apa salahku? Mengapa..."

"Diaammm!" bentak si tinggi besar. "Kami mencari anakmu Cakra Mentari. Ada dimana dia?"

"Anakku...? Mengapa anakku? Aku tidak tahu dia berada dimana..."

"Setan pendusta! Hanya orang tua gila yang tak tahu dimanatkaknya berada!"

"Duukkk!"

BAB DELAPAN

Untuk kedua kalinya kaki kanan Kunto Api bersarang di tubuh Tajurpambayan. Kali ini menghantam perut Tajur terguling, menjerit namun tercekik karena secara berbarengan dia muntahkan darah segar.

Saat itu Sulin keluar dari dalam rumah. Perempuan ini memekik keras ketika melihat suaminya terkapar meliuk di tanah, mulut bercelemong darah, mata kiri bengkak, Sulin menghambur menghampiri Tajur lalu jatuhkan diri memeluk suaminya.

"Apa salah suamiku! Mengapa kalian menyiksanya?!" teriak Sulin.

"Suamimu tidak bersalah. Anakmu yang berlagak jago tapi kurang ajar. Mungkin bapaknya tidak mendidik. Jadi pantas kalau bapaknya diberi hajaran...!"

Salah seorang anggota Lima Tengkorak Darah menjawab, sementara Kunto Api saat itu tegak sambil usap-usap dagu yang ditumbuhi janggut. Matanya menatap ke arah Sulin. Walau berumur empat puluh tahun lebih namun Sulin masih memiliki kecantikan alami dan tubuh yang sintal. Hal inilah yang menarik perhatian Kunto Api. Apa lagi ketika perempuan itu membungkuk. Kunto Api sempat melihat buah dadanya yang putih membuyut besar dibalik kebaya serta betis bagus yang tersingkap dari balik kain panjang, membuat kepala penjahat ini tersengat nafsu bejatnya.

"Kunto, kami akan menggeledah rumahnya! Bisa saja pemuda keparat itu sembunyi di dalam sana!" Seorang anak buah Kunto Api bernama Jomblang berkata.

Kepala penjahat yang sudah dipagut nafsu mesum itu dan cepat-cepat mau memboyong Sulin menjawab. "Tidak perlu. Bapaknya tadi sudah berkata tidak tahu anaknya ada dimana. Kalau dia berdusta akan tahu rasa sendiri. Jomblang, bawa perempuan itu sebagai jaminan. Kita tunggu di air terjun Cemoro ijo. Jika sampai besok pagi anaknya tidak menyerahkan diri perempuan ini akan jadi imbalan penghibur bagi kita semua!"

Penjahat bernama Jomblang maklum apa arti ucapan pimpinannya. Kunto Api tidak akan menunggu sampai besok pagi. Begitu sampai di air terjun Cemoro Ijo pasti akan langsung menggagahi perempuan itu. Jomblang segera menarik Sulin yang tengah memeluki suaminya. Karena meronta memberikan perlawanan Jomblang jadi tidak sabaran lalu menotok perempuan itu. Dalam keadaan tak bisa bergerak Sulin digeletakkan di atas punggung kuda. Perempuan ini berteriak tiada henti hingga suaranya menjadi serak.

Tajurpambayan dalam menahan sakit coba berdiri dan berusaha menolong istrinya. Namun Kunto Api lagi-lagi menendangnya hingga dia Jatuh terjengkang. Tajur berusaha bangun tapi roboh kembali. Lelaki malang Ini hanya bisa kumpulkan tenaga dan berteriak.

"Jangan bawa istriku! Apa salah anakku! Apa yang telah dilakukannya hingga kalian berbuat sekejam ini! Jika anakku memang salah, aku saja yang kalian bawa. Lepaskan Istriku! Turunkan dia dari kuda itu...!"

Kunto Api menyeringai sambil salah satu kaki menginjak kepala Tajur, dia berkata. "Malam tadi Cakra anakmu membunuh empat orang anak buahku di hutan Klingkit. Dia juga membawa kabur harta rampasan..."

Habis berkata begitu Kunto Api melompat ke atas punggung kuda. Empat anak buahnya mengikuti sementara Janger Sawung alias Si Tangan Gledek senyum-senyum. Dia mendekati Kunto Api lalu berkata.

"Perempuan itu cocok dengan seleraku. Kali ini aku minta bagian paling dulu."

Kunto Api balas menyeringai. "Nanti kita atur di Cemara Ijo," jawabnya.

Janger Sawung tidak percaya ucapan kambratnya itu. Yang sudah-sudah dia selalu kebagian nomor dua setelah Kunto Api. Saat itu dia berpikir-pikir bagaimana caranya menipu Kunto Api, memboyong dan mendapatkan Sulin lebih dulu. Kunto Api memberi tanda. Semua orang menggebrak kuda. Janger Sawung lebih dulu. Disusul Kunto Api. Lalu tiga anggota Lima Tengkorak Darah dan terakhir sekali Jomblang yang membawa Sulin.

"Tolong! Kembalikan istriku!" teriak Tajurpambayan. Dia berusaha mengejar namun jatuh tersungkur di tanah.

Belum sempat semua orang jahat itu keluar dari halaman rumah kediaman Tajurpambayan. Tiba-tiba di sebelah belakang terdengar ringkikan keras sekali. Orang-orang hentikan kuda masing-masing dan menoleh ke belakang. Semua tercekat kaget menyaksikan pemandangan mengerikan yang terpentang di depan mata mereka.

Jomblang yang tadi berkuda membawa Sulin kini mengapung di udara di bawah sebuah pohon besar yang tumbuh dekat pintu halaman. Tubuhnya terombang-ambing setengah berputar. Seutas tali menjirat leher, membuat sepasang matanya terbeliak dan lidah terjulur. Ujung lain dari tali yang menjirat Jomblang terikat di salah satu dahan pohon besar. Mengerikan luar biasa! Siapa yang telah menjirat menggantung Jomblang begitu rupa? Sementara di atas pohon besar tidak terlihat seorangpun mendekam di sana.

Kuda yang tadi ditunggangi Jomblang masih meringkik beberapa kali lalu diam tak bergerak, hanya mengibas-ngibaskan ekornya seolah tak ingin menjatuhkan Sulin dari punggungnya yang bisa mencelakai perempuan yang berada dalam keadaan tertotok itu.

"Bangsat jahanam! Siapa yang punya pekerjaan gila Ini?!" teriak Kunto Api marah sekali. "Jangan sembunyi! Cepat unjukkan tampang"

Janger Sawung berkata setengah berbisik. "Hati-hati Kunto! Agaknya kita berurusan dengan orang berkepandaian tinggi. Tidak sembarang orang bisa menjirat dan menggantung anak buahmu seperti itu!"

"Siapapun adanya manusia keparat itu akan kubelah kepalanya!" sahut Kunto Api lalu cabut golok besar di pinggang.

Tiga anak buahnya segera mengikuti mencabut senjata masing-masing. Janger Sawung usap-usap tangan kanannya yang punya kemampuan mengeluarkan pukulan maut Tangan Gledek! Sampai saat itu tidak seorangpun diantara mereka terpikir untuk melepaskan Jomblang dari jiratan tali yang menggantung lehernya!

"Tangan Gledek. Aku akan memaksa bangsat yang menggantung Jomblang keluar dari persembunyiannya! Kau cepat tinggalkan tempat celaka ini! Bawa perempuan di atas kuda itu! Tunggu aku di air terjun Cemoro Ijo."

Sebenarnya ini kesempatan baik bagi si kakek untuk memboyong Sulin. Namun dia ingin sekali melihat sendiri siapa adanya orang yang telah menggantung Jomblang begitu rupa. Dia punya dugaan bahwa yang melakukan adalah Cakra Mentari, putera Tajurpambayan. Dia sendiri belum pernah melihat pemuda itu. Dia hanya mendengar cerita bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat serta kesaktian tinggi. Sampai sehebat itukah kepandaiannya? Jika Cakra Mentari berhadapan melawan Kunto Api maka ini merupakan pertarungan hebat yang patut disaksikan.

Janger Sawung lalu berkata. "Kunto Api aku tidak menganggap enteng ilmu kepandaianmu. Tapi seperti aku bilang tadi kita berhadapan dengan orang berilmu tinggi. Aku sendiri ingin melihat tampang orang itu. Aku punya dugaan dia adalah orang yang kita cari. Pemuda bernama Cakra Mentari, anak Tajurpambayan!"

Kunto Api tidak perdulikan ucapan orang. Dia memandang ke berbagai jurusan, memperhatikan pohon besar. Tetap saja dia tidak melihat orang yang dicarinya. Dalam gelegak amarah melihat kematian anak buahnya dia melompat ke tempat Tajurpambayan tergeletak. Dengan tangan kiri dia menjambak rambut Tajur lalu disentakkan ke atas hingga orang itu tertegak. Golok di tangan kanan dimelintangkan ditekankan ke leher Tajur lalu dia berteriak.

"Cakra Mentari! Aku tahu kau ada di tempat ini. Jika kau tidak segera unjukkan diri akan kugorok batang leher bapakmu!"

Tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Sepasang mata merah Kunto Api, juga mata tiga anak buahnya serta Janger Sawung memandang berputar. Tidak satu orangpun kelihatan.

"Manusia keparat! Jangan kira aku mengancam kosong! Lihat...!"

Kunto Api gerakkan tangannya yang memegang golok. Kulit leher Tajurpambayan tersayat. Lelaki ini menjerit. Darah mengucur dari goresan luka!

Pada saat itulah tubuh Jomblang yang masih tergantung melayang-layang di udara tiba-tiba laksana ditiup angin dahsyat melesat ke arah Tajur dan Kunto Api yang ada dibelakangnya.

Kedua orang itu sama-sama terjengkang jatuh saling tindih. Tajur di sebelah atas. Marah dan kalap Kunto Api memiting leher lalu bacokkan golok besar ke kepala Tajur. Sulin yang kali ini bisa menyaksikan kejadian itu dari atas kuda menjerit keras.

"Jangan bunuh suamiku!"

Hanya sekejapan lagi kepala Tajurpambayan akan terbelah tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat Satu tendangan keras menghajar lengan yang memegang golok.

"Kraakk!" Jeritan setinggi langit keluar dari mulut Kunto Api. Kepala penjahat ini berguling di tanah lalu bangun, berdiri terbungkuk-bungkuk sambil pegangi lengan kanannya yang remuk. Di hadapannya berdiri seorang pemuda berwajah cakap, mengenakan pakaian dan destar putih. Bibir dihias kumis tipis, pipi tertutup berewok rapi dan dagu berjenggot pendek.

"Cakra anakku!" seru Tajurpambayan. "Lekas pergi dari sini. Orang-orang ini hendak membunuhmu!" Tajur tekap lehernya yang berdarah.

Pemuda di hadapan Kunto Api gembungkan rahang. Pelipis bergerak-gerak. "Kau mencari diriku! Mengapa mencelakai ayah dan ibuku?!" Dalam marahnya si pemuda masih bisa unjukkan sikap tenang.

"Kau... kau Cakra Mentari?" tanya Kunto Api terputus-putus karena menahan sakit.

"Apa maumu?!" balik bertanya si pemuda yang memang adalah Cakra Mentari, putera Tajurpambayan dan Sulin.

"Cakra! Lekas pergi dari sini...!" Tajurpambayan kembali berteriak.

"Ayah, tidak usah kawatir," jawab Cakra Mentari. Pemuda ini melirik ke arah ibunya yang masih tertelungkup di punggung kuda. Untuk sementara ibunya cukup aman. Namun dia harus cepat menolong karena keadaan bisa mendadak berubah. Cakra Mentari berpaling pada Kunto Api. "Aku tadi bertanya. Apa maumu! Apa pasal kau menyiksa ayahku dan mau menculik ibuku! Ayo bicara!"

"Pemuda keparat! Malam tadi kau membunuh empat anak buahku di hutan Klingkit. Kau juga menjarah barang rampasan..."

"Lalu?!" tanya si pemuda sambil berkacak pinggang.

Saat itu rasa sakit hancurnya lengan mencucuk sampai kedada. Kunto Api berteriak. "Jahanam! Kenapa kalian diam saja! Bunuh pemuda keparat ini!” Kepala penjahat itu marah sekali. Karena sampai saat itu tiga orang anak buahnya masih tetap duduk di atas kuda masing-masing, termasuk Janger Sawung alias Si Tapak Geledek.

Ke empat orang ini seolah terpana melihat apa yang terjadi. Mereka tidak bisa percaya pimpinan mereka yang berkepandaian tinggi bisa dihajar dipecundangi begitu rupa hanya dalam satu kali gebrakan saja. Tidak heran kalau ke empat teman mereka malam tadi menemui ajal di tangan pemuda ini.

Mendengar teriakan Kunto Api dua anak buahnya segera menghunus golok dan melompat dari punggung kuda, menghambur ke arah Cakra. Penjahat yang ketiga menggebrak kudanya. Binatang ini dipacu lurus-lurus untuk ditabrakkan pada pemuda berpakaian putih.

Tenang saja tapi dalam ketenangan mampu membuat gerakan secepat kilat. Kuda dan penunggangnya lewat. Cakra sudah berada di samping. Tangan kirinya melesat ke depan menyambar tangan kiri penjahat. Tidak disentakpun penjahat itu akan terlempar ke udara. Apa lagi Cakra Mentari menyentakkan tangan itu.

Tak ampun si penjahat melesat tinggi di udara. Dia coba kerahkan ilmu meringankan tubuh agar bisa jatuh di atas dua kaki. Namun dari tempatnya berdiri Cakra angkat tangan kanan. Tangan diputar lalu ditepukkan ke tanah. Di depan sana tubuh penjahat yang melayang ikut berputar lalu braakk! Sesuai gerakan tangan Cakra orang ini jatuh ke bawah, kepala menghantam tanah lebih dulu hingga rengkah.

Meskipun berada dalam ketakutan namun Tajurpambayan tak habis heran menyaksikan apa yang terjadi. Dari mana puteranya itu memiliki ilmu silat hebat. Dengan siapa dia berguru?

Sementara itu dua orang anggota Lima Tengkorak Darah yang bersenjatakan golok walau tercekat melihat kematian sahabat mereka keduanya terus menyerang. Dua golok besar berkelebat dari kiri dan kanan, sama-sama mengarah bagian atas tubuh Cakra Mentari.

"Tololnya kalian! Mengapa saling bunuh teman sendiri?!" Cakra Mentari berseru sambil kaki bergerak mundur satu langkah, tubuh dirundukkan sedikit dan bersamaan dengan itu dua tangan melesat ke atas.

Dua anggota Lima Tengkorak Darah berteriak kaget ketika tangan kanan mereka dicekal lawan, Lalu kedua tangan itu disentakkan ke samping. Akibatnya golok penjahat yang disebelah kanan membabat ke arah temannya di sebelah kiri, sedang golok penjahat yang di samping kiri menderu ke arah temannya yang berada di sebelah kanan. Kedua orang ini kemudian sama-sama keluarkan jerit kematian. Yang satu nyaris putus lehernya, yang satu lagi hampir terbelah kepalanya! Keduanya ambruk ke tanah bermandikan darah.

Melihat apa yang terjadi Kunto Api yang dalam keadaan remuk lengan kanannya, tidak menunggu lebih lama gerakkan tangan kiri untuk mengeluarkan sesuatu dari balik pinggang. Benda ini ternyata adalah sebilah keris berluk lima, berwarna hitam legam. Sarung keris masih terselip di pinggang.

"Keris Ratu Demit!" seru Cakra Mentari yang rupanya mengenali senjata itu. "Ha ha! Keris curian dipakai untuk kejahatan!" Rupanya si pemuda tahu pula riwayat senjata itu.

Memang benar, Keris Ratu Demit yang tergenggam di tangan kiri Kunto Api adalah senjata curian. Beberapa waktu lalu Kunto Api dan anak buahnya menjebol dan menyusup satu ruangan rahasia di Keraton. Selain menjarah barang-barang pusaka berupa perhiasan dia juga berhasil mengambil senjata sakti mandraguna berupa sebilah keris bernama Keris Ratu Demit.

Pihak Kerajaan beberapa kali mengirim pasukan ke tempat-tempat yang diketahui menjadi sarang Lima Tengkorak Darah. Namun mereka selalu terkecoh dan tak berhasil menemui para penjahat. Selain itu keadaan negeri yang selalu kacau akibat dendam di tahta Kerajaan yang tak kunjung henti membuat mereka yang berkuasa seperti tidak terlalu memusatkan perhatian untuk mendapatkan harta serta benda pusaka yang dijarah. Termasuk Keris Ratu Demit yang kini berada di tangan Kunto Api.

"Bagus! Kau mengenali senjata ini! Berarti kau sadar ajalmu sudah di depan mata!"

“Wuuttt!" Keris Ratu Demit berkiblat. Buntalan sinar hitam menyambar, menutup pandangan disertai suara pekikan aneh, suara perempuan.

Cakra Mentari cepat bersurut mundur sambil dorongkan telapak tangan kirinya. Sinar hitam berhasil dibuyarkan, namun buyaran sinar kemudian membentuk larikan-larikan sinar baru banyak sekali hingga saat itu juga Cakra Mentari berada dalam gulungan sinar. Ini sangat berbahaya karena dia tidak mampu melihat di arah mana beradanya Keris Ratu Demit.

“Breett...”

BAB SEMBILAN

DADA kanan baju putih Cakra Mentari robek besar. Untung tadi dia sempat bergerak mundur hingga hanya pakaiannya yang terkena sambaran ujung keris. Kalau tidak walau tubuhnya hanya tergores pasti akan membawa celaka besar karena Keris Ratu Demit mengandung racun jahat sangat mematikan.

Kunto Api yang berhasil merobek pakaian lawan kini jadi lebih bersemangat. Dia yakin dalam dua tiga jurus di depan dia pasti akan dapat melukai dan membunuh pemuda itu. Sakit tangan kanannya yang remuk seperti tidak dirasakan. Sambil mengeluarkan bentakan-bentakan garang tangan kiri yang memegang keris lancarkan serangan berantai. Senjata sakti itu diputar, ditusukkan dan dibabatkan demikian rupa hingga larikan sinar hitam laksana topan prahara menerpa Cakra Mentari, membuat pemuda ini kelagapan.

Merasa terdesak Cakra Mentari angkat dua tangan ke udara mulut menghembus. Serangkum angin dahsyat menyembur. Ketika larikan sinar hitam terkuak dan dia dapat melihat jelas senjata di tangan lawan. Cakra Mentari pukulkan dua tangan secara berbarengan ke arah tangan kiri Kunto Api.

Dua larik cahaya biru menderu Hawa luar biasa panas mendera seantero tempat hingga beberapa ekor kuda yang masih ada di situ meringkik keras lalu lari keluar halaman termasuk kuda dimana Sulin tergeletak dan juga kuda yang ditunggangi Janger Sawung. Tajurpambayan bergulingan di tanah, menjauh dan ajang pertarungan.

Janger Sawung usap wajahnya berulang kali. Sejak tadi dia memperhatikan jalannya perkelahian nyaris tak berkesip. Sebagai orang berpengalaman luas dalam rimba persilatan dia tidak mengenali jurus-jurus silat yang dimainkan Cakra Mentari. Dia juga tidak tahu pukulan sakti apa yang barusan dilepas pemuda itu.

"Usia begini muda. Ilmu silat dan kesaktian luar biasa. Murid siapa dia gerangan?" membatin Janger Sawung.

"Dess! Desss!"

Keris Ratu Demit bergetar hebat pancarkan cahaya kuning ketika menangkis serangan dua larik sinar biru panas. Sementara sinar hitam masih terus bergulung menelikung Cakra Mentari.

"Taarr... Taaarr!" Dua letusan keras menggelegar.

Kunto Api menjerit. Dia kalah kuat dalam tenaga dalam dan hawa sakti. Tubuhnya mencelat dua tombak. Keris Ratu Demit terlepas mental. Tercampak di tanah namun masih memancarkan larikan sinar hitam. Tangan kiri Kunto Api dilamun api berwarna biru. Bersamaan dengan jeritannya tadi entah dari mana terdengar pula jeritan-jeritan aneh perempuan. Membuat suasana jadi sangat menggidikkan.

Larikan-larikan sinar hitam yang keluar dari Keris Ratu Demit tiba-tiba lenyap, berubah menjadi sosok lima demit rakseksi bertelanjang dada. Rambut hitam berkilat awut-awutan, mata mendelik merah diberi cilak biru di sekelilingnya. Bibir tebal merah mencuatkan taring besar dan runcing. Secarik cawat hitam hanya itu yang menutupi aurat mereka. Payu dara yang lebih besar dari buah kelapa bergoyang-goyang kian kemari. Lima demit rakseksi ini sama-sama keluarkan jeritan keras lalu serentak menyerang Cakra Mentari. Sepuluh tangan berkuku panjang hitam berkelebat Siap untuk membantai si pemuda!

"Cakra! Lari!" teriak Tajurpambayan.

Tapi pemuda itu mana mau lari. Sambil melompat mundur dia lepaskan dua pukulan tangan kosong. Lima mahluk demit perempuan yang kena dihantam hanya bergoyang-goyang seperti asap tertiup angin lalu sambil menjerit-jerit mereka kembali menyerbu.

Sadar kalau dia tidak mungkin menghadapi mahluk jejadian itu dengan dengan ilmu luar atau cara keras Cakra Mentari kembali bersurut mundur beberapa langkah. Dua kaki berjingkat tubuh terangkat ke atas hingga tidak menjejak tanah. Dua tangan diluruskan ke depan, telapak diusapkan satu sama lain. Mulut berucap perlahan.

"Ilmu gaib harus dihadapi dengan ilmu gaib! Ilmu hitam harus dilawan dengan ilmu hitam. Paman Suma Mahendra, melalui rohmu kekuatan Para Dewa di atas segalanya!"

Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara aneh seperti topan berhembus mendatangi. Ranting pepohonan bergoyang-goyang, daun-daun bergemerisik, banyak yang luruh ke tanah. Janger Sawung yang menyaksikan kejadian itu kerenyitkan kening menahan nafas.

Dari sela-sela dua telapak tangan Cakra Mentari mengepul keluar asap merah disertai menebarnya bau setanggi. Lima dedemit perempuan yang hendak menyerbu si pemuda hentikan gerakan, mendongak ke langit. Begitu hidung mereka kemasukan asap berbau setanggi, kelimanya menjerit keras. Mereka bergerak mundur dengan wajah ketakutan ketika kepulan asap merah yang keluar dari sela dua telapak tangan Cakra Mentari berubah membentuk sosok raksasa berambut dan berkulit merah.

Kumis, cambang bawuk dan janggut lebat hitam. Sekujur tubuh mulai dari leher, dada, pinggang sampai ke kaki ditumbuhi bulu lebat warna kelabu. Deretan gigi besar panjang berwarna merah mencuat keluar dari mulut Sepasang mata keseluruhannya juga berwarna merah menatap mendelik garang ke arah lima dedemit perempuan. Yang luar biasanya mahluk ini muncul dalam keadaan bugil telanjang bulat. Berdiri di depan Cakra Mentari.

Lima dedemit perempuan yang hendak membantai pemuda itu serta merta jatuhkan diri, berlutut di tanah, tampak sangat ketakutan dan berbarangan mereka sama-sama berkata.

"Raja Demit! Ampuni kami”

Mahluk telanjang yang dipanggil Raja Demit menyeringai. Lalu keluarkan ucapan. "Jika kalian ingin menemui celaka, bersiaplah menerimanya saat ini juga. Aku akan mengirim kalian ke alam gaib dan kalian akan mendekam di sana untuk selama-lamanya. Tapi jika kalian inginkan kenikmatan, jangan ganggu Cakra Mentari. Tanggalkan pakaian kalian! Ikut bersamaku!"

Habis berkata begitu mahluk raksasa yang dipanggil Raja Demit melangkah tinggalkan tempat itu. Lima dedemit perempuan meraung. Mereka tanggalkan pakaian yang hanya berupa cawat hitam lalu mengejar Raja Demit. Dua diantaranya melompat ke bahu kiri kanan demit raksasa. Satu lagi sambil tertawa-tawa bergelantungan di leher, tubuh ditempelkan dan dua kaki disilang di punggung Raja Demit. Di satu tempat enam mahluk alam gaib itu melesat ke udara dan lenyap dari pemandangan.

Melihat apa yang terjadi nyali Kunto Api si pemimpin Lima Tengkorak Darah menjadi leleh. Tidak tunggu lebih lama dia segera putar badan dan melompat ke punggung seekor kuda lalu menghambur kabur dari tempat itu.

"Manusia jahat! Kau mau lari kemana?!" Teriak Cakra Mentari. Tubuhnya melesat ke udara. Namun maksudnya mengejar Kunto Api terhenti ketika mendadak di samping kanan terdengar satu gelegar dahsyat disertai berkiblatnya selarik sinar putih terang panas, menyambar ke arah Cakra Mentari!

"Pukulan Tangan Gledek!" teriak Cakra Mentari sambil secepat kilat jatuhkan diri ke tanah.

"Wuuuttt!" Sinar putih lewat satu jengkal di atas tubuh Cakra Mentari membuat punggung baju putihnya hangus dan tubuhnya panas laksana dipanggang. Sinar putih itu kemudian melabrak rumah orang tuanya dan...

"Wusss!" Rumah kayu beratap ijuk itu langsung tenggelam dalam kobaran api.

Cakra Mentari berteriak marah. Dia melompat bangun dan melihat ada dua kuda kabur meninggalkan tempat itu. Yang pertama ke arah barat ditunggangi Kunto Api. Satunya menuju ke timur ditunggangi Janger Sawung alias Si Tangan Geledek yang sekaligus memboyong ibunya.

Tidak tunggu lebih lama Cakra Mentari melompat ke atas punggung seekor kuda lalu menggebrak binatang ini mengejar Janger Sawung. Tajurpambayan tidak tinggal diam. Walau sekujur tubuhnya terasa sakit lelaki ini mengambil Keris Ratu Demit dan sarungnya yang tergeletak di tanah lalu naik ke atas seekor kuda milik penjahat lainnya, ikut mengejar Janger Sawung yang melarikan istrinya.

Cakra Mentari kenal betul wilayah kediamannya. Ketika melihat Janger Sawung lari ke arah timur dia segera mengambil jalan pintas. Tak lama kemudian dia muncul di satu jalan mendaki. Di balik serumpunan semak belukar pemuda ini berhenti. Orang yang melarikan ibunya pasti melewati jalan ini. Karena itu satu-satunya jalan ke arah timur. Menunggu tidak terlalu lama Cakra Mentari mendengar suara derap kaki kuda mendatangi.

Ketika kuda itu muncul ternyata tidak membawa penunggang. Tidak ada Janger Sawung, juga tak ada ibunya. Cakra Mentari jengkel sekali karena kena ditipu orang. Dia berlomba dengan waktu sebelum ibunya diapa-apakan si kakek. Tak lama kemudian Tajurpambayan sampai pula di tempat itu. Cakra menerangkan apa yang terjadi.

"Ayah tak usah kawatir. Pulanglah. Saya pasti bisa mengejar dan menangkap tua bangka jahat itu..."

"Tidak, aku ikut bersamamu sampai ibumu kita temukan." Jawab sang ayah. "Aku mendengar para penjahat menyebut satu tempat rahasia di air terjun Cemoro Ijo. Kakek berjubah biru itu pasti membawa ibumu ke sana."

Cakra Mentari menggeleng. "Tua bangka itu tidak akan berlaku sebodoh itu. Kita akan menemukannya. Pasti!" Pemuda ini lalu angkat tangan kanannya ke udara. Mulutnya berucap. "Jambul Ireng. Aku perlu bantuanmu!"

Saat itu juga di langit tampak melayang seekor burung. Sambil menguik keras binatang ini menukik dan melesat turun lalu hinggap di lengan kanan Cakra Mentari. Burung ini ternyata seekor elang berbulu putih yang tidak biasanya memiliki jambul berwarna hitam.

"Seorang tua berjubah biru menculik ibuku. Tunjukkan aku dimana manusia jahat itu berada."

Elang putih berjambul hitam yang disebut Jambul Ireng menguik keras, rentangkan sayap lalu melesat ke atas. Di udara burung ini berputar-putar beberapa kali lalu terbang rendah ke arah timur. Cakra Mentari mengikuti dengan kuda yang ditunggangi. Tajurpambayan terheran-heran melihat ilmu kepandaian puteranya. Banyak yang ingin ditanyanya. Namun saat itu dia hanya bisa berdiam diri dan mengikuti sang anak.

Setelah kedua orang itu mengikuti beberapa lama Jambul Ireng tiba-tiba melayang turun, hinggap di satu cabang pohon jati. Karena rapatnya pepohonan serta lebatnya semak belukar Cakra Mentari tidak mungkin mendekati deretan pohon jati dengan terus menunggang kuda. Pemuda ini melompat turun lalu memberi tanda pada Tajurpambayan agar sang ayah menunggu di tempat itu. Cakra kemudian menyusup cepat dikelebatan semak belukar. Saat dia sampai di deretan pohon jati Jambul Ireng melayang ke bawah, hinggap di ranting kering serumpunan semak belukar lalu terbang ke arah satu gundukan batu hitam yang menyerupai sebuah arca rusak berbentuk gajah berlutut. Burung elang berjambul hitam ini mematuk-matuk arca itu berulang kali lalu terbang ke udara. bertengger di cabang pohon.

Cakra Mentari melangkah mendekati arca gajah duduk. Dia memutari arca itu satu kali sambil menduga-duga. Tiba tiba diiringi teriakan keras pemuda Ini lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.

"Braakk!" Arca gajah hancur berkeping-keping. Di bekas arca itu tadi berdiri kini terlihat satu lobang besar. Di dalam lobang ada tangga batu berundak lima. Di depan undakan terbawah kelihatan mulut sebuah lorong batu.

"Pasti jahanam tua itu membawa ibuku ke lorong batu di bawah tanah fnil" Tidak berpikir panjang lagi Cakra Mentari melompat ke dalam lobang. Baru kakinya menginjak undakan tangga batu paling atas tiba-tiba dan dalam lorong menggelegar suara keras, lalu satu sinar putih menyilaukan dan menghampar hawa panas menderu ganas ke atas lobang.

Cakra Mentari bertenak kaget. Cepat pemuda ini membuang diri ke samping. Walau dia berhasil menghindar namun tak urung bahu kirinya masih kena disapu hawa panas. Untuk kedua kalinya baju putihnya hangus. Kini di sisi kiri. Sambaran angin panas juga membuat pemuda ini terjajar keras lalu jatuh punggung di tanah. Tubuhnya sebelah kiri terasa seolah lumpuh. Sebelum dia sempat bangkit satu kaki telah menginjak dadanya. Satu tangan yang membekal pukulan sakti Tangan Geledek siap dihantamkan ke arahnya.

"Tua bangka keparat! Mana ibuku?" Cakra Mentari berteriak.

Janger Sawung alias Si Tangan Geledek tertawa mengekeh. "Kau anak yang berbakti pada orang tua. Ibumu baik-baik saja di lorong sana. Selagi aku bersenang-senang, aku tidak suka kau mengganggu. Jadi biar kau kuhabisi dulu!"

Tangan kanan Janger Sawung bergerak. Sesaat lagi pukulan Tangan Geledek akan mengakhiri riwayat Cakra Mandiri tiba-tiba satu benda hitam melesat di udara.

BAB SEPULUH

Seharusnya dengan ilmu kepandaian tinggi yang dimilikinya Janger Sawung mampu mengetahui, paling tidak mendengar suara benda yang melesat di belakangnya. Namun karena saat itu dia terlalu mengira akan segera dapat menghabisi Cakra Mentari maka kakek jubah biru ini berlaku lengah. Dia baru sadar dan sudah terlambat ketika sebuah senjata menancap di tengkuknya.

Benda ini bukan lain adalah Keris Ratu Demit. Dan yang melemparkan adalah Tajurpambayan. ayah Cakra Mentari. Seperti diceritakan. sebelum mengejar Janger Sawung bersama puteranya, lelaki ini masih sempat mengambil keris berikut sarungnya yang tergeletak ditinggal begitu saja oleh Kunto Api sewaktu kabur melarikan diri.

Kakek berjuluk Si Tangan Geledek menjerit keras. Mata mendelik, dua tangan terpentang ke atas, dalam kalap melepas pukulan sakti ke udara. Gelegar dahsyat menggetarkan seantero tempat. Janger Sawung menjerit sekati lagi. Busah cairan hitam muncul menyembur dari mulut. Kulit, rambut, kumis serta janggutnya yang berwarna biru berubah menjadi hitam legam.

Perlahan-lahan bagian putih matanya juga berubah hitam. Racun jahat Keris Ratu Demit tidak bekerja hanya sampai disitu. Senjata curian milik Kerajaan itu kepulkan asap hitam. Sekujur tubuh Janger Sawung bergetar, jubah hitamnya mengepul lalu terjadilah hal yang mengerikan. Tubuh itu mulai dari kepala sampai ke kaki leleh laksana lumpur dilanda air.

Tajurpambayan yang melemparkan keris sakti jadi bergidik sendiri menyaksikan apa yang terjadi. Lututnya goyah hingga dia terduduk di tanah dengan muka pucat.

"Ayah!" seru Cakra Mentari seraya melompat menghampiri Tajur lalu memeluk ayahnya.

“Ibumu. Cakra. Cari ibumu. Selamatkan dia lebih dulu..." "Ayah saya berterima kasih padamu. Kau telah menyelamatkan nyawa saya..." Kata Cakra Mentari sambil mencium ayahnya berulang kali.

"Aku tak tahu bagaimana caranya mempergunakan senjata. Aku hanya menurutkan naluri saja. Melempar senjata itu ketika melihat kakek jubah biru hendak menghablsimu..."

"Saya tahu kehebatan senjata itu. Untuk mempergunakan keris sakti tidak perlu ilmu kepandaian. Keris Ratu Demit mampu mencari jalan sendiri. Bagaimanapun juga ayah telah menyelamatkan saya Saya berterima kasih."

Tajurpambayan memegang bahu puteranya lalu berdiri. "Ayah tunggu di sini. Saya akan mencari ibu di dalam lorong batu di bawah tanah sana."

Cakra Mentari masuk ke dalam lobang di bekas hancurnya arca batu lalu menuruni tangga lima undakan yang menuju ke dalam lorong. Tak lama kemudian pemuda ini muncul kembali sambil menggendong ibunya yang telah dilepaskan dari totokan.

"Dewa Mahabesar! Sulin!" teriak Tajur gembira. Lelaki ini menghambur.

Suami istri itu saling berangkulan. Sulin menangis sesenggukan. Cakra Mentari melangkah mendekati mayat leleh Janger Sawung lalu mengambil Keris Ratu Demit yang tergeletak di atas tubuh meleleh nyaris tak berbentuk itu.

"Sulin, kau tidak apa-apa?" tanya Tajur sambil memeluk dan membelai rambut istrinya.

"Pakne, kau dan Cakra datang tepat pada waktunya. Saya tak kurang suatu apa Mas." jawab Sulin.

Setelah ibunya kelihatan lebih tenang sambil memegang Keris Ratu Demit Cakra berkata. "Ayah dan ibu pulanglah lebih dulu. Ada dua kuda yang bisa ditunggangi. Saya akan membawa keris ini ke Kotaraja dan memberikannya pada seorang pejabat untuk diteruskan pada Sri Baginda Raja."

Tajur menyerahkan sarung keris pada puteranya. "Soal menyerahkan senjata sakti ini bisa nanti saja kau lakukan. Aku ingin kau pulang dulu bersama kami. Ada sesuatu yang perlu aku bicarakan denganmu."

"Apakah tidak bisa ditunda sampai dua tiga hari dimuka, Ayah?" tanya Cakra Mentari pula.

"Cakra, aku menunggu dua puluh empat tahun untuk mengatakan hal ini padamu. Apakah kau begitu saja ingin menundanya?"

Tentu saja Cakra Mentari terkejut mendengar keterangan ayahnya itu. Buru-buru dia berkata. "Ah, maafkan saya Ayah. Kalau begitu kita pulang sama-sama," jawab Cakra Mentari Lalu dia menolong ibunya naik ke atas kuda. Tajurpambayan hendak naik dan duduk di belakang istrinya. Tapi Cakra berkata. "Ayah naik saja di kuda yang satu Itu."

"Lalu kau naik apa? Hanya ada dua kuda di sini." Kata Tajurpambayan.

"Tidak apa, saya bisa jalan kaki." Sang ayah kerenyitkan kening lalu tertawa.

"Sampai sore kau baru sampai di rumah. Aku tak mau menunggu selama itu!"

Cakra Mentari hanya tersenyum. Dia memegang tangan ayahnya lalu membantu menaikkan lelaki ini ke atas punggung kuda. Ketika Tajur dan Sulin sampai di rumah mereka yang kini hanya tinggal puing-puing abu karena telah dibakar Janger Sawung dengan pukulan saktinya, suami istri itu melihat anak mereka tengah sibuk mengangkati bagian bangunan yang masih utuh dan bisa dipakai.

Selain itu mereka tidak melihat lagi mayat anggota Lima Tengkorak Darah yang sebelumnya bergelimpangan di tempat itu. Pasti anak itu telah membuangnya ke satu tempat. Dua suami istri itu hentikan kuda masing-masing. Sebenarnya mereka sangat sedih atas musnahnya rumah mereka. Namun saat itu keduanya hanya bisa tercengang-cengang.

“Bagaimana mungkin anak itu bisa sampai lebih dulu dari kita?” ucap Tajurpambayan heran.

“Mas Tajur, agaknya anak kita sudah jadi orang sakti…” berkata Sulin.

Tajur geleng-geleng kepala. “Sulin. Untuk sementara kau tinggal dulu bersama orang tuamu di Pakis. Aku akan antarkan dulu kau ke sana kembali ke sini menemui anak itu.”

“Sebaikya Cakra diajak serta mengantarku. Kalau tidak nanti anak itu pergi lagi. Kalau sudah pergi sulit mencarinya.”

Tajurpambayan tersenyum. “Tentu, tentu. Kedua orang tuamu kurasa juga sudah kangen pada cucunya itu.”

********************

Di tepi sebuah kali kecil dikaki barat pegunungan tengger, ayah dan anak duduk berhadap-hadapan. Saat itu sang surya mulai condong ke barat, udara terasa nyaman dan suasana begitu sunyi. Keadaan seperti inilah yang diinginkan Tajurpambayan.

"Ayah, saya masih tidak mengerti. Kalau mau bicara mengapa membawa saya ke tempat ini. Cukup jauh dari rumah. Kalau ada yang hendak Ayah sampaikan bukankah kita bisa bicara di rumah Kakek sehabis mengantar Ibu?" Cakra Mentari memandang ke arah bungkusan yang ada di pangkuan ayahnya. "Ayah, apa isi bungkusan itu?" Dalam bicara anak ini selalu bersuara lembut.

"Cakra, aku sengaja membawamu ke tempat sunyi ini karena tidak ingin ada orang lain mengetahui apa yang bakal aku sampaikan."

"Termasuk Ibu?" tanya si pemuda.

Tajur mengangguk. "Termasuk ibumu, karena begitu pesan yang aku terima," jawabnya. "Sebaiknya aku mulai saja sekarang. Jika urusan ini selesai aku bisa merasa lega. Dua puluh empat tahun silam, sewaktu kau masih bayi dan baru saja lepas tali pusar. Saat itu malam hari. Entah bagaimana terjadi satu hal aneh. Puluhan bunga tanjung melayang berjatuhan dari atas langit-langit rumah, satu demi satu masuk ke dalam tubuhmu. Saat itu kau sendiri tengah tertidur lelap. Aku dan ibumu memperhatikan kejadian ini penuh heran. Setelah bunga tanjung lenyap, dari atap rumah melayang turun seorang pemuda yang tubuhnya diselimuti cahaya biru. Seperti bunga-bunga tanjung, mahluk ini secara aneh masuk ke dalam tubuhmu. Setelah kau dewasa seperti sekarang ini. baru aku sadari bahwa wajah orang itu sangat menyerupai wajahmu. Berkumis kecil, berjanggut dan bercambang bawuk tipis..."

"Berarti ada mahluk yang menitis masuk ke dalam diri saya." ucap Cakra Mentari. "Siapa?"

"Akan aku katakan nanti. Biar aku melanjutkan cerita dulu..." jawab Tajurpambayan. Lalu dia melanjutkan kisahnya. "Malam itu di luar rumah aku dengar suara ribut-ribut. Ada suara bentakan. Suara seperti letusan. Sesekali aku merasakan rumah bergetar. Beberapa kali aku dan ibumu mendengar suara mahluk meraung. Ada yang berkelahi di luar sana. Aku memberanikan diri keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Begitu pintu kubuka ada seorang tinggi besar berjubah dan bersorban hitam. Dari perawakan serta raut wajahnya dia seperti seseorang berdarah India atau keturunan Arab. Salah satu matanya hanya merupakan rongga mengerikan digenangi darah. Aku menyangka dia bukan manusia tapi hantu pelayangan. Saking takut aku hendak berteriak. Tapi mahluk ini menekap mulutku. Dia memberi tahu namanya..."

"Ayah ingat nama yang dikatakannya?"

"Ya, aku tidak bakal melupakan. Dia mengaku bernama Deewana Khan..."

"Itu nama orang India atau orang Gujarat. Lalu apa yang dilakukannya terhadap Ayah?" tanya Cakra Mentari.

"Dia membawa kantong kain. Bungkusan yang sekarang ada di pangkuanku ini." jawab Tajurpambayan. "Dia mengatakan di dalam kantong ada sebuah kitab bernama Jagat Pusaka alam gaib. Juga ada seperangkat pakaian hitam dan sehelai ikat kepala kain merah. Kata mahluk itu, jika kau sudah berusia dua puluh empat tahun, kitab dan pakaian harus aku serahkan padamu. Kau harus membaca dan mempelajari isi kitab, karena di dalamnya tersimpan ilmu yang dahsyat. Jika kau mempelajarinya maka kau kelak akan menjadi seorang sakti mandraguna. Selama dua puluh tiga tahun bungkusan ini aku sembunyikan di bawah atap rumah. Satu tahun terakhir aku pindahkan ke tempat lain. Aku bersyukur melakukan hal itu. Kalau tidak bungkusan dan isinya pasti sudah ludas sewaktu rumah kita terbakar tadi pagi. Sampai saat ini ibumu tidak tahu perihal bungkusan dan isinya. Aku tidak pernah bercerita."

Tajurpambayan berhenti bicara sejenak untuk menarik nafas dalam Lalu dia melanjutkan. "Cakra, menurut orang berjubah itu kau akan mampu dan mudah mempelajari isi kitab karena sebelumnya malam itu seorang sakti dari jaman Singosari bernama Suma Mahendra telah menitis masuk ke dalam tubuhmu..."

"Suma Mahendra..." Cakra Mentari berdiri dari duduknya. Dia menatap ayahnya beberapa ketika lalu berkata. "Saya memanggilnya Paman. Ayah, orang itulah yang selama ini mengajarkan berbagai ilmu silat dan ilmu kesaktian pada saya. Ayah mungkin tidak percaya..."

"Aku dan ibumu selalu bertanya-tanya. Dari mana kau mendapatkan segala Ilmu kepandaian itu. Tadi kami menyaksikan sendiri waktu kau berkelahi melawan Kunto Api dan anak buahnya. Sulit dipercaya. Kau berguru dengan siapa? Orang bernama Suma Mahendra itu?"

"Ayah mungkin tidak percaya," jawab Cakra Mentari. "Ketika saya menginjak usia dua belas tahun, setiap malam Jum'at ada seorang pemuda gagah yang ciri-cirinya sama dengan orang yang ayah katakan menitis masuk kedalam diri saya. Saya dibawanya ke pedataran pasir Tengger. Tempat itu jauh dari sini. Tapi saya dan dia bisa sampai di sana hanya dalam sekejapan mata saja. Di tempat itu dia mengajarkan pada saya berbagai ilmu kebajikan, ilmu membela diri serta ilmu kesaktian. Pagi hari sebelum ayah dan ibu bangun, saya sudah diantarnya kembali ke rumah. Hal itu berlangsung selama bertahun-tahun..."

"Luar biasa! Kau telah menerima berkah Dewa yang;tidak terkirakan besarnya!" kata Tajurpambayan sambil berdiri. "Cakra, kau ambillah bungkusan ini. Baca dan pelajari isi Kitab Jagat Pusaka Dewa. Jika orang memberikan seperangkat pakaian padamu berarti kau harus mengenakannya. Nah semua itu yang harus aku sampaikan padamu Sekarang aku merasa lega karena menyimpan rahasia ini selama puluhan tahun."

Karena ingin tahu, Cakra keluarkan kitab dari dalam kantong kain. Kitab itu tidak seberapa besar juga tidak tebal, hanya beberapa lembar. Terbuat dari kulit kambing. Di bagian sampul tidak terdapat tulisan apa-apa sedang di sebelah dalam dipenuhi tulisan Jawa Kuna. Ketika anaknya membalik-balikkan halaman kitab Tajurpambayan coba memperhatikan.

"Aneh..." ucap sang ayah.

“Aneh bagaimana Ayah?"

"Aku melihat tak ada tulisan apa-apa dalam kitab itu. Halamannya kosong..."

Cakra heran. "Tapi saya melihat banyak tulisan di dalamnya. Tidak ada halaman yang kosong."

"Ah... Semakin banyak keanehan yang tidak aku mengerti," kata Tajurpambayan pula sambil geleng- geleng kepala.

"Ayah, saya membutuhkan waktu untuk mempelajari isi kitab ini. Juga saya perlu satu tempat yang sunyi tenang untuk melakukan hal itu. Saya ingin menitipkan Keris Ratu Demit pada Ayah. Kalau sampai saatnya akan saya ambil kembali dan serahkan pada Kerajaan."

"Aku rasa..." Ucapan Tajurpambayan terputus.

Cakra Mentari memeluk ayahnya erat-erat lalu mencium tangan lelaki itu. Sekali berkelebat dia sudah lenyap dari tepi sungai.

"Cakra." Tajurpambayan berseru. Namun sang putera tidak kelihatan lagi. Lelaki ini juga tersentak heran ketika melihat tahu-tahu Keris Ratu Demit sudah berada dalam genggaman tangannya. "Aku punya firasat, sekali ini anak itu akan pergi lama sekali. Dewa di Kahyangan, apakah Kau akan mempertemukan aku lagi dengan puteraku itu? Aku mohon Kau melindungi anak itu kemana dia pergi, dimana dia berada, apapun yang dilakukannya." Sepasang mata Tajurpambayan tampak berkaca-kaca.

Baik Tajurpambayan maupun Cakra Mentari atau siapapun tidak seorangpun tahu bahwa Kitab Jagat Pusaka Dewa yang kini berada di tangan pemuda itu adalah kitab palsu. Seperti dituturkan sebelumnya kitab asli telah dicuri dan dimusnahkan oleh mahluk jin Rajip Kupal lalu diganti dengan sebuah kitab lain. Kejahatan pemalsuan ini kelak akan menimbulkan malapetaka besar dan kegegeran hebat di kalangan rimba persilatan tanah Jawa. Antara lain seperti apa yang kini dialami oleh Pendekar 212 Wiro Sobleng seperti dituturkan dalam awal kisah. Dan rentetan peristiwa pemerkosaan serta pembunuhan sebagaimana yang diceritakan sebelumnya dalam serial Wiro Sableng berjudul Petaka Patung Kamasutra.

********************

Sehari setelah Cakra Mentari berpisah dengan ayahnya, pagi-pagi sekali alun-alun Kerajaan dilanda kegemparan. Ratusan orang berkerumun di dekat sebuah pohon besar. Di salah satu cabang pohon itu tergantung kaki ke atas kepala ke bawah sosok Kunto Api pimpinan Lima Tengkorak Darah. Di atas pohon tampak seekor burung elang putih berjambul hitam.

BAB SEBELAS

Sang Surya yang tadi bersinar terik menyilaukan kini perlahan-lahan berubah kekuning-kuningan. Bola penerang jagat ini tengah meluncur menuju titik tenggelamnya. Di sebuah dangau di tepi sawah kering yang sunyi karena telah dipanen, Cakra Mentari duduk bersila, mengeluarkan kitab dari dalam kantong kain.

Ketika pertama kali memegang kitab itu, pada sampulnya tidak tertera tulisan apa-apa. Tapi kini disitu ada tulisan dalam bahasa Jawa Kuna berbunyi 'Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib'. Cakra ingat betul, ayahnya mengatakan kitab itu bernama 'Kitab Jagat Pusaka Dewa'.

"Aneh, apakah Ayah keliru menyebut nama kitab ini? Waktu pertama kali aku keluarkan dari dalam kantong kain aku ingat betul. Tak ada tulisan di bagian sampul." Ucap Cakra Mentari dalam hati.

Pemuda itu kemudian membuka halaman pertama. Disitu tertera rangkaian tulisan dalam bahasa Jawa Kuna berwarna hitam.

KITAB JAGAT PUSAKA ALAM GAIB

Halaman Pertama

Bunga Tanjung Bunga Bertuah.

Saat ini tiada tulisan dapat terbaca.
Kecuali yang tertera di sampul dan halaman pertama.

Wahai anak manusia penerima kitab.
Kenakan baju dan celana hitam.
Ikatkan kain merah di kening.
Pergilah ke puncak Gunung Mahameru.
Bersamadi disana.
Sampai ada satu kekuatan gaib yang muncul dan membawamu Ke gurun pasir Tengger.

Hanya matamu seorang yang akan melihat pohon tanjung di gurun pasir.
Panjatlah, cari dahan yang kokoh yang menghadap ke utara.
Duduk di sana dan kembangkan kitab.
Bacalah halaman berikutnya.
Niscaya kau akan mendapat petunjuk.

Bunga Tanjung Bunga Bertuah.


Cakra Mentari merenung sejurus, mengusap wajah lalu membuka halaman berikutnya dari kitab, halaman kedua. Dia terkejut ketika mendapatkan halaman kedua itu dan halaman selanjutnya benar-benar kosong. Padahal sebelumnya ketika diberikan ayahnya, dia bisa melihat kalau semua halaman dalam kitab itu penuh dengan tulisan. Sementara ayahnya tidak melihat apa-apa.

"Ada apa dibalik semua keanehan ini?" pikir Cakra Mentari. Pemuda ini lalu keluarkan baju dan celana hitam serta sehelai kain merah dari dalam kantong kain. Pakaian itu terbuat dari bahan sangat bagus, hitam pekat berkilat mungkin dari sutera. Pada bagian kelepak baju,bahu, dada, punggung serta ujung lengannya yang panjang tersulam rangkaian bunga tanjung dari benang emas dan benang perak. Sulaman yang sama juga terdapat pada pinggiran celana, memanjang dari pinggang sampai ke ujung kaki. Pada lipatan celana Cakra menemui secarik kain merah yang juga bersulam bunga. Cakra Mentari melirik ke kitab yang masih terbuka.

Wahai anak manusia penerima kitab. Kenakan baju dan celana hitam. Ikatkan kain merah di kening.

"Aku si penerima kitab. Aku harus mengenakan pakaian dan ikat kepala ini..." Cakra berucap pada diri sendiri. Lama dia memandangi pakaian itu. Ada rasa tertarik akan semua apa yang baru dialaminya ini. Akhirnya dia membuka pakaian putih yang dikenakannya lalu diganti dengan pakaian hitam. Ketika dia mengikatkan kain merah di kening tiba-tiba di langit menggelegar suara petir disusul cahaya menyilaukan seperti hendak membelah langit yang disaput cahaya kekuningan.

"Ada kekuatan luar biasa menyambut diriku dalam pakaian ini. Namun mungkin juga merupakan peringatan bahwa ada sesuatu yang tidak baik." Cakra berkata dalam hati. Dia ambil Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib, simpan di balik baju hitam. Nun jauh di timur dia melihat bayangan Gunung Mahameru bergandeng dengan Gunung Kepolo.

********************

Dengan ilmu kesaktian yang didapatnya dari mahluk gaib bernama Suma Mahendra dalam waktu satu hari Cakra Mentari telah sampai di puncak Gunung Mahameru. Saat itu sore hari. Dalam hawa dingin mencucuk tulang dia mencari tempat yang baik untuk bersemedi sesuai dengan apa yang tertulis di kitab. Dia menemukan sebuah batu hitam yang agak datar lalu duduk bersila.

Sesaat pemuda ini ingat pada mahluk bernama Suma Mahendra, dari siapa dia telah menerima banyak ilmu kepandaian. Apakah semua yang kini terjadi dengan dirinya ada sangkut paut dengan orang yang dipanggilnya paman itu? Jika memang ada kaitan mengapa sang paman tidak muncul sekedar memberi petunjuk? Bersamaan dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat pemuda ini mulai bersemedi.

Menjelang pagi Cakra merasa ada hawa panas keluar dari dalam batu hitam tempat dia duduk bcrsia. Lalu perlahan-lahan muncul asap kelabu hangat menebar bau wangi. Pada saat itu langit di sebelah timur tampak terang tanda fajar telah menyingsing. Tiba-tiba satu sosok muncul dan berdiri di hadapan Cakra Mentari. Pemuda ini merasa tidak asing dengan bau mahluk yang muncul. Dia buka kedua mata.

"Paman Suma Mahendra!" Cakra Mentari berseru girang ketika mengenali siapa yang berdiri di hadapannya.

Namun sekali ini dia melihat kelainan pada sosok orang yang telah mendidik dan memberinya berbagai ilmu kepandaian itu. Wajah sang paman tampak pucat. Pakaian hitamnya lusuh. Rambut, kumis, berewok serta janggutnya tampak tidak rapi seperti biasanya. Ketika mulutnya terbuka mengucapkan sesuatu Cakra tidak mendengar apa-apa.

Tiba-tiba di langit kilat menyambar aneh. Samar-samar, seperti melihat bayangan, Cakra Mentari melihat sosok tinggi besar mengenakan pakaian selempang kain putih. Luar biasanya mahluk ini tidak memiliki wajah. Wajah polos licin itu berambut dan berjanggut panjang putih riap-riapan pertanda jika dia manusia maka dia adalah seorang yang telah berusia lanjut.

Di tangan kanan mahluk ini samar-samar memegang sebatang tongkat besi berlapis emas yang ujung sebelah atas berbentuk bulat berhias batu permata berkilauan aneka warna. Mahluk ini pentang tongkatnya ke atas. Saat itu juga dua gelombang angin menderu dahsyat. Gelombang pertama menghantam Suma Mahendra hingga mahluk ini terlempar jauh ke bawah gunung.

"Paman...!" teriak Cakra Mentari. Dia tidak tahu harus menolong bagaimana. Namun saat itu gelombang angin kedua telah menghantam dirinya. Tubuhnya terpental melayang dalam keadaan masih duduk bersila. Bahkan batu hitam tempat sebelumnya dia duduk bersemedi ikut terlempar melayang bersamanya!

Cakra Mentari tidak mampu berbuat apa selain pasrah kemana diri dan batu hitam yang didudukinya hendak diterbangkan angin dahsyat. Dia ingat pada tulisan dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. "Pergilah ke puncak Gunung Mahameru. Bersamadi disana. Sampai ada satu kekuatan gaib Yang muncul dan membawamu ke gurun pasir Tengger.

"Kekuatan gaib ini akan membawaku ke gurun pasir Tengger. Apa yang akan terjadi? Pohon tanjung. Aku akan menemukan pohon tanjung."

Cakra Mentari tahu betul, dari Gunung Mahameru pedataran atau gurun pasir Tengger cukup jauh. Paling tidak jika dia mempergunakan ilmu kesakitan yang dimilikinya akan memakan waktu satu hari satu malam. Namun yang dialaminya, hanya beberapa kejapan mata saja tahu-tahu dia sudah berada di gurun pasir itu. Ketika dia meninggalkan puncak Gunung Mahameru hari masih pagi. sementara saat itu dia dapatkan berada pada siang hari dimana matahari bersinar luar biasa teriknya.

Cakra Mentari turun dari batu hitam Dia memandang berkeliling. Ketika menghadap ke arah timur pemuda ini terkejut, sekitar puluhan langkah di sebelah sana dia melihat sebuah pohon besar. Cakra ingat tulisan dalam kitab.

"Pohon tanjung..." ucapnya dalam hati. Sejauh mata memandang memang hanya itu satu-satunya pohon yang tumbuh di gurun pasir itu. Dan pohon ini dalam keadaan berbunga. Harumnya bunga tanjung itu tercium sampai di tempat si pemuda berdiri. Tak ada pohon atau tumbuhan lainnya. "Aku harus memanjat pohon itu. Duduk di dahan yang menghadap ke utara dan membuka kitab."

Cakra Mentari melangkah cepat di pedataran pasir. Sampai di bawah pohon tanjung dia mencari dahan yang menghadap ke utara. Begitu menemukan, pemuda ini segera melompat ke atas dan duduk di pohon itu. Dari atas pohon dia memandang berkeliling. Tak ada orang atau mahluk lain di gurun pasir itu. Hanya dia dan pohon itu!

Cakra keluarkan Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Tangannya agak bergetar ketika membuka halaman kedua. Dia mulai membaca apa yang tertulis di situ.

KITAB JAGAT PUSAKA ALAM GAIB

Halaman Kedua

Bunga Tanjung Bunga Bertuah.

Wahai anak manusia.
Selamat datang di gurun pasir Tengger
Selamat pula dudukmu di pohon tanjung
Selamat membaca halaman kedua

Pada saat kau mendudukkan diri di cabang pohon
Saat itu pula terputus hubunganmu dengan masa lalu.
Kau tidak ingat apa-apa lagi.
Bahkan kau tak ingat lagi ayah ibumu.
Semua ilmu kepandaian yang selama ini kau miliki akan lenyap.
Seperti setetes air tenggelam dalam lautan pasir.
Namun kelak kau akan mendapatkan ilmu yang lebih hebat.
Kemana kau pergi kau akan menjadi raja diraja rimba persilatan.
Kehidupanmu kini adalah kehidupan masa depan.

Di pohon ini ada 305 bunga bertuah.
Sebanyak itu pula hari yang harus kau habiskan untuk bersamadi di pohon ini.
Setiap hari sekuntum bunga bertuah akan masuk ke dalam tubuhmu.
Itulah makanan yang akan menjadi penguat badanmu.
Pada hari ke 306 kau baru boleh membuka halaman ke tiga kitab ini.
Sekarang simpanlah kitab, mulailah bersamadi.

Bunga Tanjung Bunga Bertuah.


Cakra Mentari menyimpan kitab ke balik baju hitamnya. Tapi dia tidak segera melakukan samadi. Dia berpikir-pikir apa benar ilmu kepandaian yang selama ini dimilikinya, didapat dari Suma Mahendra telah sirna? Dia coba mengerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dia tidak merasa apa-apa. Tak ada aliran darah. Tak ada alur hawa sakti. Masih tak percaya dia hantamkan tangannya ke bawah pohon. Seharusnya tanah tertutup pasir gurun itu akan terbongkar. Namun saat itu yang terjadi, bergerak sedikitpun tidak. Ada kerisauan dalam hati pemuda ini. Namun diam-diam ada rasa tertarik untuk ingin mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.

Mendadak di bawah panas terik sinar matahari Cakra Mentari merasakan tubuhnya kedinginan. Pikirannya terasa kosong. Dia tidak ingat lagi segala sesuatu masa lalu termasuk orang-orang di sekelilingnya. Yang terlintas dalam pikirannya adalah semua apa yang tertulis di halaman ke dua Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Pemuda ini letakkan dua tangan di atas paha. Lalu perlahan-lahan pejamkan kedua mata.

Begitu dua mata Cakra Mentari terpejam, di langit berkelebat satu cahaya aneh. Sosok bayangan tanpa wajah mahluk berselempang kain putih yang pernah muncul di puncak Gunung Mahameru dan menghantam jatuh ke bawah gunung Suma Mahendra kini terlihat lagi di tempat itu. Untuk sesaat dia berdiri di ujung atas pohon tanjung, menatap dengan wajahnya yang licin polos ke bawah ke arah Cakra Mentari yang duduk bersila mulai bersamadi.

"Aku harus mengikuti terus gerak gerik pemuda itu. Jika semua berjalan lancar aku harus menunggu paling sedikit dua tahun untuk benar-benar mendapatkan patung keramat itu. Dua tahun tidak lama. Yang penting aku pasti mendapatkannya..." Mahluk tanpa wajah berambut dan berjanggut putih riap-riapan berucap dalam hati.

Ketika angin panas bertiup dari selatan gurun pasir, sosok aneh misterius itupun lenyap dari pemandangan.

S E L E S A I

Apakah selanjutnya yang akan dialami Cakra Mentari? Bagaimana dengan Pendekar 212 Wiro Sableng, dapatkah dia disembuhkan dari penyakit yang bisa mendatangkan azab sengsara seumur hidup atas dirinya?

Selanjutnya,
INSAN TANPA WAJAH
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.