Misteri Pedang Naga Suci 212
BAB 1
Wakil Ketua melangkah cepat memanggul tubuh Hantu Muka Dua. Setelah melewati sebuah pintu besi, dia hentikan langkah dan berpaling pada Satria Pocong yang berjalan mengikutinya.
“Untung tadi Yang Mulia Ketua tidak sampai menanyakan soal caping milik Kakek Segala Tahu. Kau sempat memeriksa benda itu?“
“Sudah, tapi saya tidak menemukan gulungan kain putih yang kita cari.”
“Apa ucapanmu bisa kupercaya?“ tanya wakil ketua barisan manusia pocong 113 lorong kematian sambil dua matanya menatap lurus dan tajam pada sepasang mata anak buahnya.
“Saya tidak berdusta. Saya tidak punya keperluan apa‐ apa atas benda itu.” Menjawab Satria Pocong.
“Yang Mulia Ketua pernah bilang benda itu luar biasa penting. Menyangkut kelangsungan masa depan seratus tiga belas lorong kematian dan rencana pembentukan sebuah partai yang bakal menguasai seantero rimba persilatan tanah Jawa dan tanah seberang.”
“Saya pernah mendengar hal itu...” ucap Satria Pocong. Lalu dan balik jubah putihnya orang ini keluarkan caping milik Kakek Segala Tahu. “Silahkan Wakil Ketua memeriksa sendiri”
“Simpan saja. Saat ini aku mempercayai semua ucapanmu. Kalau kemudian kau ternyata berdusta, aku akan merajam dirimu tiga hari tiga malam sebelum nyawamu kucabut! Camkan itu baik-baik!”
“Saya mengerti Wakil Ketua.” Satria Pocong masukkan kembali caping bambu ke balik jubahnya.
Wakil Ketua serahkan tubuh Hantu Muka Dua pada anak buahnya. “Tunggu aku di depan Rumah Tanpa Dosa. Jangan melakukan apapun sampai aku datang!”
“Wakil Ketua mau kemana?” tanya Satria Pocong.
“Sesuai perintah Yang Mulia Ketua, aku akan menemui Dewa Tuak di ruangannya. Aku harus memeriksa tua bangka satu itu. Gadis muridnya lenyap dan kamar Yang Mulia Ketua. Mungkin dia yang punya pekerjaan.” Satria Pocong mengangguk. Panggul sosok Hantu Muka Dua di bahu kiri lalu cepat‐cepat tinggalkan tempat itu. Wakil Ketua menyusuri lorong di mana terdapat deretan ruang batu. Di depan sebuah pintu besi dia berhenti. Ada satu jendulan di batu ini. Pintu besi terbuka. Engselnya keluarkan suara berkereketan.
Di sudut kamar, di atas satu tempat tidur terbuat dan batu, duduk seorang kakek berpakaian putih lusuh. Wajah pucat, tubuh kelihatan lemas. Rambut putih acak‐ acakan. Janggut dan kumis putih tidak karuan. Di lantai ruangan, dekat kepala tempat tidur batu, teronggok helai jubah dan kain putih penutup kepala. Orang tua ini yang bukan lain adalah Dewa Tuak adanya pandangi sosok manusia pocong yang masuk lalu berkata,
“Lagi‐lagi kau datang berhampa tangan. Kukira kau membawa tuak kayangan untukku!”
Wakil Ketua tutup pintu besi, perhatikan orang tua di atas tempat tidur batu seraya berucap dalam hati. “Seingatku dia sudah dicekoki lebih dan empat cangkir minuman pelupa diri pelupa ingatan. Nyatanya ingatannya tidak sepenuhnya leleh. Dia masih ingat pada minuman kesayangannya itu. Tidak heran Yang Mulia Ketua masih terus menyekapnya di tempat ini. Manusia satu ini masih berbahaya. Aku akan menyuruh orang untuk memberi minuman tambahan padanya.” Sejurus kemudian Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong berkata,
“Selama kau belum mau mengenakan jubah dan kain putih penutup kepala, jangan harap aku akan memberikan tuak padamu!”
“Aku sudah bilang, jubah dan penutup kepala tidak pantas jadi dandanan tua bangka sepertiku! Para gadis cantik tidak dapat melihat wajahku yang walau sudah keriputan ini tapi masih merangsang! Ha ha ha!”
“Tua bangka edan. Alasan tolol!” bentak Wakil Ketua.
Dewa Tuak menyeringai. Kepala didongakkan. Mulut dibuka. Dua tangan diangkat ke atas seolah memegang sebuah benda panjang. Sikap si kakek seperti seseorang yang meneguk minuman sungguhan. Mata meram melek dan dari tenggorokannya yang bergerak naik turun keluar suara gluk...gluk...gluk!
“Gila! Bagaimana mungkin!” ujar Wakil Ketua dalam hati.
Dewa Tuak tertawa bergelak. Belakang telapak tangan kirinya dipakai mengusap mulut, seperti orang yang barusan benar‐benar habis meneguk minuman enak. “Tuakku terasa tawar. Tapi lumayan. Daripada meneguk air comberan...” Dewa Tuak kembali tertawa sambil mengusap‐usap perutnya yang kempes.
Wakil Ketua hentakkan kaki kanannya ke lantai hingga ruangan batu itu bergetar. “Dewa Tuak! Jangan bertingkah macam‐macam yang membuatku jengkel!”
“Oala! Sampeyan jengkel rupanya. Mana aku tahu! Padahal aku tidak macam‐macam. Cuma satu macam! Ha ha ha!”
“Aku datang untuk menanyakan perihal muridmu!”
“OaIa, kapan aku punya murid? Aku lupa.”
“Muridmu, gadis bernama Anggini lenyap dari kamar Yang Mulia Ketua! Ini pasti kau punya pekerjaan. Kau sembunyikan dimana gadis itu?”
Dewa Tuak pentang lebar‐lebar matanya. “Aku tidak pernah ingat kalau punya murid. Aku tidak kenal siapa gadis bernama Anggini itu. Di tempat ini mana mungkin aku main sembunyi‐sembunyian. Pintu celaka itu selalu dikunci. Bagaimana mungkin aku bisa keluar?”
“Beberapa waktu lalu ketika ada seorang tokoh rimba persilatan dijebloskan kedalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian, kau diberi kebebasan keluar kamar ini. Kesempatan itu pasti kau pergunakan untuk melarikan dan menyembunyikan muridmu!”
Dewa Tuak tertawa. Dia kembali membuat sikap seperti orang tengah meneguk minuman dan dalam sebuah bumbung. “Gluk! Gluk...gluk!”
“Mengurusi diriku saja, aku tak mampu, apalagi mengurusi orang lain! Sudah, pergi sana! Lama‐lama aku muak melihatmu. Aku mau kentut!”
“Kakek jahanam! Jangan kau berani main‐ main padaku!”
“Aku tidak main‐main. Aku memang mau kentut sungguhan!” Habis berkata begitu Dewa Tuak turun dan tempat tidur batu, badannya membungkuk dan pantat disonggengkan. Lalu...
“Buuuttt... Buuutt... buttttttt!”
Dewa Tuak keluarkan kentut, tiga kali berturut‐turut, panjang dan keras. Selagi pantatnya keluar suara kentut, dan mulutnya si kakek keluarkan suara mengekeh. Ruangan batu itu buncah oleh bau kentut luar biasa busuk
“Jahanam kurang ajar!” Wakil Ketua angkat kaki kanannya dan...
"Bukkk!" Satu tendangan mendarat di pantat Dewa Tuak. Suara tawa mengekeh si kakek berubah jadi jeritan keras. Tubuhnya terlempar, kening membentur dinding batu itu hingga benjut besar. Si kakek melingkar tak bergerak di lantai, mata terpejam, mulut meringis kesakitan.
“Kalau aku kembali dan kau masih belum mengenakan jubah serta penutup kepala itu, akan aku patahkan batang lehermu!” Wakil Ketua lalu keluar dan kamar, pintu besi dibanting keras.
Dewa Tuak usap‐usap pantatnya. “Untung tidak remuk tulang bokongku! Edan! Tendangan bangsat itu keras juga! Weleh...!”
Dewa Tuak buka sepasang mata. Pandangannya membentur onggokan jubah dan kain putih penutup kepala. Si kakek mencibir. “Mungkin sudah saatnya aku harus mengenakan pakaian dan penutup kepala sialan ini! Dari pada ditendang lagi, apa lagi kalau sampai dipatahkan leherku. Hik hik hik. Sebelum mengenakan jubah dan penutup kepala itu, aku mau minum tuak dulu ah!” Lalu Dewa Tuak dongakkan kepala, buka mulut dan dua tangan dikeataskan, mata merem melek dan leher naik turun.
“Gluk! Gluk! Gluk!”
********************
Satria Pocong berdiri tak bergerak di hadapan Rumah Tanpa Dosa. Sepasang matanya sesekali melirik ke arah bangunan, menatap ke bagian atas. Setiap berada di dekat rumah itu dia selalu merasa takut. Kini dia berada di situ dengan beban tubuh Hantu Muka Dua di bahu kiri. Yang disebut Rumah Tanpa Dosa ini adalah sebuah rumah panggung terletak di seberang lembah kecil. Di sebelah atas ada sebuah pintu dan delapan jendela dalam keadaan tertutup. Mulai dari atap yang terbuat dan ijuk sampai tiang penyangga bangunan dan tangga berputar menuju ke atas, semua berwarna putih. Di bawah atap, dekat tangga setengah lingkaran, menjulai ke bawah hampir menyentuh tanah seutas tali besar.
Tali ini berhubungan dengan sebuah genta atau lonceng besar yang terletak di depan pintu bangunan. Di dalam rumah panggung putih yang disebut Rumah Tanpa Dosa inilah diam Yang Mulia Sri Paduka Ratu, seorang gadis berambut hitam panjang yang hidup dengan nyawa kedua setelah mendapat satu kekuatan magis aneh dar benda berupa batu yang disebut Aksara Batu Bernyawa. Sang Ratu yang memiliki kesaktian luar biasa ini berada di bawah kekuasaan Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.
Walau cukup lama memanggul tubuh Hantu Muka Dua, Satria Pocong di halaman rumah Tanpa Dosa tetap berdiri tak bergerak. Setiap dua kakinya terasa capai atau bahunya terasa pegal maka cepat‐cepat Ia mengucap,
“Hanya penintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
Satu bayangan putih bekelebat. Satria Pocong lepaskan nafas lega. Wakil Ketua akhirnya muncul dan tegak di sampingnya. “Tidak ada kejadian apa‐apa di tempat ini?” Wakil Ketua bertanya.
“Sepi‐sepi saja.” Jawab Satria Pocong.
Wakil Ketua memperhatikan arah delapan jendela dan pintu rumah pintu. “Saatnya kita minta Yang Mulia Sri Paduka Ratu keluar,” kata Wakil Ketua pula lalu melangkah mendekati tali besar yang menjulai ke permukaan tanah. Ada sedikit debaran di dada manusia pocong ini ketika jari‐jari tangan kanannya menyentuh dan menggenggam tali. Terlebih ketika dia menggerakan tangan menarik tali.
Saat itu juga genta di bawah atap mengeluarkan suara berkumandang. Tanah di halaman Rumah Tanpa Dosa bergetar. Tiang rumah panggung berderak. Satria Pocong merasakan dua kakinya goyah dan tubuhnya sebelah atas gontai seperti ditiup angin. Wakil Ketua letakkan tangan kiri di depan dada lalu mendongak dan berseru,
“Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Kami diutus oleh Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas Lorong Kematian untuk satu permintaan yang harus kau laksanakan!” Wakil Ketua menanik genta sekali lagi. Lalu menunggu.
Sementara itu di selatan bukit batu tak jauh dari jalan masuk ke dalam 113 lorong kematian, Ratu Duyung tercekat ketika mendengar suara menggema dari kejauhan. Tanah yang dipijaknya seperti dialiri getaran aneh. Ratu Duyung berpaling pada Setan Ngompol yang tegak di sampingnya sambil memegangi bagian bawah perut agar tidak membersit air kencingnya.
“Kek, kau dengar suara aneh itu?”
Setan Ngompol anggukkan kepala. “Seperti suara lonceng besar.”
Ratu Duyung segera keluarkan cermin saktinya. Sepasang matanya yang biru memperhatikan tak berkesip. Setan Ngompol ulurkan kepala ikutan melihat. Mula‐mula tampak tebaran asap tipis.
“Jangan‐jangan tak mempan lagi...” Ucap Ratu Duyung dalam hati agak khawatir. Namun perlahan‐lahan asap tipis dalam cermin bulat berangsur lenyap. Kini muncul satu bangunan berwarna putih. Ratu Duyung berpaling pada si kakek. “Rumah putih itu pernah muncul sebelumnya dalam cermin beberapa waktu lalu. Bangunan penuh rahasia menyimpan satu kekuatan dahsyat.”
Baru saja Ratu Duyung berucap begitu tiba‐tiba di sebelah utara kembali terdengar gema suara aneh. Cermin bulat bergetar. Satu hawa aneh berkekuatan hebat tiba‐tiba menghantam Ratu Duyung. Gadis ini terpekik, terjajar beberapa langkah dan jatuh duduk di tanah. Wajahnya tampak pucat. Setan Ngompol sudah lebih dulu terjengkang di tanah dan kucurkan kencing.
“Rumah putih itu…“ desisnya dengan dada turun naik “Aku yakin itu tempatnya markas manusia pocong.”
BAB 2
Setelah berdiam diri sesaat untuk menenangkan hati dan mengatur jalan darahnya, Ratu Duyung berdiri. Sebenarnya melalui cermin sakti dia ingin memantau lagi. Menjajagi dimana beradanya Wiro. Namun khawatir akan diserang kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan. Ratu Duyung simpan cermin saktinya di balik pakaian lalu tinggalkan tempat itu sambil memberi isyarat pada si kakek di sebelahnya untuk mengikuti.
“Kita mau kemana?” tanya Setan Ngompol.
“Aku yakin markas manusia pocong ada di arah utara. Kita menuju ke sana.”
Setan Ngompol raba telinga kanannya yang terbalik, peras celananya yang basah oleh air kencing lalu cepat‐cepat mengikuti Ratu Duyung yang telah jalan duluan.
********************
Kembali ke halaman Rumah Tanpa Dosa. Belum lenyap gema suara genta, belum hilang getaran di tanah, delapan jendela rumah putih terpentang. Ada hembusan angin aneh keluar lewat jendela yang terbuka disertai tebaran asap putih. Sesaat kemudian pintu bangunan ikut terbuka.
“Siapa di luar sana?” Tiba‐tiba suara perempuan bertanya. Keluar dan bagian atas rumah panggung putih.
“Saya Wakil Ketua bersama seorang Satria Pocong. Kami diutus Yang Mulia Ketua untuk satu keperluan yang harus dilaksanakan oleh Yang Mulia Sri Paduka Ratu!” Wakil Ketua memberi jawaban dengan berteriak.
Sunyi beberapa saat ketika pada saat Yang Mulia Sri Paduka Ratu diharapkan keluar, justru dari dalam rumah panggung putih terdengar suara orang bernyanyi.
Kematian datang tidak disangka
Di dalam bukit batu
Ada seratus tiga belas lorong
Siapa masuk akan tersesat
Tidak ada jalan keluar
Sampai kematian datang menjemput
Di dalam lembah
Ada Rumah Tanpa Dosa
Inilah tempatnya…
Di halaman Rumah Tanpa Dosa, Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian berteriak keras. “Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Yang Mulia Ketua telah berulangkali memperingatimu agar tidak menyanyi! Jangan membuat Yang Mulia Ketua gusar dan marah!”
Sunyi lagi. Lalu satu bayangan putih muncul di pintu. Tampak satu sosok tinggi semampai dibalut jubah terbuat dan kain putih lembut dan halus berkilat. Di bawah kain putih penutup kepala menjulai rambut hitam panjang hampir menyentuh pinggul. Pada bagian kening dan kain penutup kepala melingkar sebuah mahkota kecil berwarna hijau memancarkan cahaya berkilau. Di depan pintu sosok ini berhenti sebentar. Dua mata memandang ke bawah. Menatap ke arah Wakil Ketua, lalu ke arah sosok berjubah putih di atas panggulan bahu Satria Pocong.
“Yang Mulia Ketua mengutusmu ke sini untuk satu urusan. Wakil Ketua, harap katakan urusan apa?” Sosok di atas rumah panggung putih yaitu Yang Mulia Sri Paduka Ratu ajukan pertanyaan.
“Kami membawa seorang tawanan. Yang Mulia Ketua meminta agar Yang Mulia Sri Paduka Ratu menyedot semua ilmu kesaktian yang dimiIikinya.”
“Hanya perintah Yang Mulia Ketua harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
“Jangan membuang waktu. Harap Yang Mulia Sri Paduka Ratu segera melaksanakan perintah!” kata Wakil Ketua pula.
Untuk turun ke bawah Sri Paduka Ratu bisa mempergunakan tangga setengah Iingkaran. Tapi dia tidak melakukan hal itu. Dengan satu gerakan enteng tanpa suara sama sekali, seperti seekor burung besar, dalam gerakan yang begitu indah Sri Paduka Ratu melompat, melayang turun ke tanah. Di lain saat dia telah berdiri di hadapan Wakil Ketua dan Satria Pocong.
“Ini manusia yang akan disedot ilmu kesaktiannya?” tanya Sri Paduka Ratu sambil menatap tubuh yang tergeletak di bahu kiri Satria Pocong. “Pakaian dan kain penutup kepalanya hampir sama dengan kalian berdua.”
“Dia bukan anggota Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas Lorong Kematian,” menjelaskan Wakil Ketua. Wakil Ketua memberi isyarat.
Anak buahnya turunkan sosok Hantu Muka Dua dan bahu kiri lalu ditegakkan di tanah. Karena dalam keadaan tertotok tanpa bisa bergerak ataupun berbicara, Hantu Muka Dua tegak kaku seperti patung. Hanya dua matanya yang aneh berbentuk segi tiga menatap angker ke arah Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
“Dari matanya yang aneh aku bisa memaklumi manusia ini memang memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa. Tapi baunya aneh. Dia seperti bukan mahluk alam sini. Beri tahu siapa namanya.”
“Nama aslinya kami tidak tahu. Orang‐orang yang kenal menyebut dia Hantu Muka Dua! Konon dia bukan mahluk alam kita. Tapi berasal dan alam seribu dua ratus tahun silam. Silahkan Yang Mulia Sri Paduka Ratu menyaksikan dan menyelidik sendiri!” Selesai berucap Wakil Ketua tanggalkan kain yang menutupi kepala Hantu Muka Dua.
Orang lain mungkin akan terkesiap kaget bahkan ngeri melihat keadaan kepala Hantu Muka dua. Betapa tidak. Kepala itu memiliki dua wajah. Satu di sebelah depan, satunya di bagian belakang. Wajah sebelah depan berkulit putih kekuningan sedang bagian belakang hitam berkilat. Keduanya mewujudkan wajah seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan.
Di balik kain penutup kepala walau kening mengerenyit dan mata menyipit namun air muka Yang Mulia Sri Paduka Ratu tidak memperlihatkan rasa gentar. Dengan tenang ia melangkah mendekati Hantu Muka Dua. Dari mulutnya keluar ucapan. “Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!”
Di hadapan Yang Mulia Sri Paduka Ratu dua wajah Hantu Muka Dua tiba‐tiba berubah. Warnanya yang tadi hitam dan putih kini sama‐sama menjadi merah. Tampang itu bukan berwujud manusia biasa tapi lebih menyerupai tampang raksasa. Mulut berbibir tebal, taring mencuat. Cambang hijau berubah merah. Sesuai ujud dan sifatnya iniIah satu pertanda bahwa Hantu Muka Dua berada dalam kemarahan luar biasa!
Kalau Wakil Ketua dan Satria Pocong tercekat kaget melihat perubahan dua wajah Hantu Muka Dua, sebaliknya Yang Mulia Sri Paduka Ratu tertawa pendek. “Mungkin ini mahluk jejadian yang kesasar dari rimba belantara. Mungkin kau memang memiliki ilmu kesaktian setinggi langit sedalam samudera! Namun semua kehebatanmu itu berakhir hari ini! Harus kau serahkan padaku! Mulai yang ada di batok kepala sampai yang ada di telapak kakimu!”
Tenggorokan Hantu Muka Dua turun naik. Bola matanya yang berbentuk segi tiga warna hijau pantulkan cahaya bergidik tapi tidak punya kemampuan untuk melancarkan serangan berupa sinar maut. Raja Diraja dari segala Hantu dari Negeri Latanahsilam ini berusaha kerahkan tenaga dan hawa sakti untuk memusnahkan totokan yang menguasai dirinya, namun sia‐sia. Sementara itu bersamaan dengan akhir ucapannya, sosok Yang Mulia Sri Paduka Ratu tiba‐tiba melayang ke atas. Serentak dengan itu tangan kanannya menyambar ke atas batok kepala Hantu Muka Dua. Telapak tangan menempel pada ubun‐ubun mahluk dari Negeri Latanahsilam ini.
“Dess! Dess! Dess!"
Sekujur tubuh Hantu Muka Dua bergetar hebat. Sepasang mata mendelik. Tenggorokan mengeluarkan suara seperti sapi digorok. Untuk kedua kalinya wajahnya depan belakang berubah mengerikan. Tampang raksasa lenyap, berganti dengan wajah kakek keriput pucat pasi. Ini merupakan pertanda bahwa Hantu Muka Dua berada dalam keadaan kaget dan takut besar. Dari batok kepala Hantu Muka Dua mengepui asap kelabu. Lalu ada cahaya biru mengalir dari telapak kaki, menjalar ke atas dan akhirnya keluar dari ubun‐ubun. Cahaya biru itu disedot, melesat masuk ke dalam tangan kanan Yang Mulia Sri Paduka Ratu, terus menjalar ke seluruh jalan darah dalam tubuhnya. Begitu cahaya biru mencapai bagian kepala, kelihatan kain penutup kepala serta mahkota kecil memancarkan sinar biru sangat benderang.
Hantu Muka Dua yang sebelumnya dalam keadaan tertotok tak bisa bergerak tak bisa bersuara, keluarkan suara raungan keras mengerikan. Tubuh seperti benang basah, terkulai iemah. Wajahnya yang tua keriputan, depan belakang semakin putih. Ketika sosoknya hampir roboh ke tanah tiba‐tiba ada suara mengiang di kedua telinganya kiri kanan. Kepala Hantu Muka Dua tersentak. Seperti ada kekuatan aneh yang masuk ke dalam tubuhnya lewat suara mengiang itu mendadak bola matanya yang berwarna hijau dan berbentuk segi tiga pancarkan cahaya berkilat aneh, menatap Sri Paduka Ratu. Malah tangan kirinya yang menunjuk‐nunjuk kini bergerak berusaha hendak memegang tubuh perempuan itu. Dari mulutnya keluhan suara hek-hek-hek berkepanjangan disertai lelehan air liur berwarna biru!
“Sreettt!” Tangan kiri Hantu Muka Dua berhasil menggapai Jubah putih Sri Paduka Ratu.
“Ihh!” Yang Mulia Sri Paduka Ratu cepat mundur satu langkah Lalu hentakkan kaki kanannya. Tanah bergetar hebat. Hantu Muka Dua tergelimpang roboh. Tangan kirinya yang tadi sempat menyentuh pakaian Sri Paduka Ratu kelihatan berwarna putih dan mengepulkan asap.
Satria Pocong cepat memeriksa keadaan Hantu Muka Dua. Tubuh itu dingin sekali. Ketika diraba urat besar di leher terasa denyutan.
“Wakil Ketua, orang ini masih hidup!” Satria Pocong memberi tahu. “Biar saya selesaikan sekalian!” Satria Pocong angkat tangan kanannya siap hendak menggebuk batok kepala Hantu Muka Dua yang tergelimpang tak berdaya.
“Ajalnya hanya tinggal beberapa kejapan mata. Buang dia ke dalam jurang di belakang lorong,” perintah Wakil Ketua. “Biar dia tersiksa lebih dulu sebelum menemui kematian!”
Satria Pocong segera panggul tubuh Hantu Muka Dua. Aneh sosok orang itu kini terasa sangat enteng seolah dia memanggul batangan bambu.
“Wakil Ketua, aku sudah melaksanakan perintah. Aku akan kembali masuk ke dalam Rumah Tanpa Dosa. Harap kau tidak berlama‐lama berada di sekitar tempat ini.”
Wakil Ketua tidak segera berlalu. Mulutnya keluarkan suara berdecak. Dia berkata, “Seorang gadis tawanan, bernama Anggini, lenyap dari kamar Yang Mulia Ketua. Mungkin melarikan diri. Jika Yang Mulia Sri Paduka Ratu melihatnya harap memberi tahu kami Kalau bisa tangkap sekalian dan serahkan padaku!”
Sri Paduka Ratu putar tubuh, melangkah ke arah tangga setengah Iingkaran. Sebelum melesat ke atas rumah panggung ia berhenti sebentar dan berpaling pada Wakil ketua lalu mendongak dan berkata. “Yang barusan kau katakan bukan penintah Yang Muila Ketua. Kau dan anak buahmu berkewajiban mencari tawanan yang kabur itu. Bukan aku!”
“Ck…ck…ck...” Mulut Wakil Ketua berdecak berulang kali. Walaupun telinganya panas mendengar ucapan itu namun dia segera saja angkat kaki dan halaman Rumah Tanpa Dosa. Tapi dalam hati dia berkata, “Lihat saja, Kalau aku punya kesempatan dan berhasil mencuri rahasia dirimu akan aku sedot habis seluruh ilmu kesaktianmu lewat lubang paling bawah di tubuhmu! Setelah itu kau akan jadi budak pemuas nafsuku!”
Begitu menginjakkan kaki di lantai atas rumah panggung, Yang Mulia Sri Paduka Ratu berpaling memperhatikan sosok Hantu Muka Dua yang dilarikan Satria Pocong dari halaman Rumah Tanpa Dosa. Sang Ratu usapkan tangannya dan dada sampai perut. “Aneh,” ucapnya dalam hati. “Mahluk satu itu benar‐ benar luar biasa. Memiliki dua wajah yang bisa berubah‐ ubah. Orang lain pasti sudah leleh tubuhnya kusedot begitu rupa.” Yang Mulia Sri Paduka Ratu kembali mengusap tubuhnya sebelah depan. “Matanya itu... Apa yang dilihatnya, apa yang diperhatikannya?”
Satria Pocong yang memanggul Hantu Muka Dua lenyap di kejauhan. Sri Paduka Ratu putar tubuh lalu masuk kedalam bangunan. Tak ama kemudian sayup‐sayup terdengar suaranya menyanyi.
Kehidupan muncul secara aneh
Kematian datang tidak disangka
Di dalam bukit batu
Ada seratus tiga belas lorong
Siapa masuk akan tersesat
Tidak ada jalan keluar
Sampai kematian datang menjemput...
********************
BAB 3
Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri di pinggir timur jurang batu. Memandang ke bawah tak terlihat dasar jurang karena tertutup pohon‐pohon besar berdaun lebat dan rimbunan pohon bambu. Sayup‐sayup Wiro mendengar suara air mengalir ke bawah berarti di dasar jurang yang tak kelihatan itu ada genangan air atau semacam telaga. Murid Eyang Sinto Gendeng berpaling pada Wulan Srindi yang tegak di sebelahnya.
“Apa kataku. Ini jadinya mengikuti petunjuk nenek bau pesing itu!”
“Wiro, jangan kau berkata begitu. Nenek itu adalah gurumu sendiri!”
“Siapa bilang dia bukan guruku? Tapi Wulan, kau saksikan tak ada jalan masuk lewat bagian belakang bukit‐bukit batu yang jadi markas manusia pocong itu! Kau percaya pada ucapan Eyang Sinto Gedeng. Inilah jadinya! Pakai ilmu bambu. Setiap ada jalan masuk dari depan pasti ada jalan masuk dan belakang. Ilmu bambu... Huh! Di dalam jurang aku lihat banyak pohon bambu. Makan saja bambu itu!”
Sambil tersenyum Wulan Srindi pegang punggung Wiro. “Saat ini kita berada di bagian terpendek dan lebarnya jurang. Bagaimana kalau kita bergerak ke arah barat, menyusuri panjangnya pinggiran jurang. Mungkin kita akan menemukan sesuatu.”
“Sudah setengah nyasar, biar nyasar benaran. Aku mengikuti apa katamu saja,” ucap Wiro masih kesal.
Cukup lama mereka menyusuri pinggiran jurang di belakang bukit batu. Di satu tempat ketinggian Wiro dan Wulan Srindi berhenti. Saat itu mereka berada di deretan pohon‐pohon tinggi berbatang sebesar pemelukan tangan.
“Wiro lihat!” Tiba‐tiba Wulan Srindi keluarkan ucapan sambil menyibakkan semak belukar di depannya.
Wiro sibakkan pula semak belukar di sebelah depan yang menutupi pemandangan. Dua mata terpentang lebar. Di seberang jurang, gundukan batu hitam berjejer bertumpuk‐tumpuk, membentuk dinding hitam kokoh dan tinggi. Di bagian tengah dinding, antara dua buah batu menyerupai tiang hitam tumbuh dua buah pohon berdaun lebat. Di sebelah belakang ada tumbuhan merambat, melekat ke dinding agak terlindung oleh dua pohon berdaun lebat. Di belakang pohon terdapat satu tangga batu seratus undak menuju ke dinding yang ditutupi tumbuhan merambat. Sepasang mata Wiro memperhatikan tak berkesip.
“Kalau ada tangga berarti ada pintu, berarti ada jalan masuk. Tapi aku tidak melihat sebuah pintupun di bagian atas tangga batu...” Ucap Wiro.
“Pintu yang kau cari terhalang daun pohon lebat dan tertutup tumbuhan merambat”
“Bagaimana kau tahu?” tanya Wiro penasaran. Lalu dia hendak mengerahkan ilmu menembus pandang. Tapi tidak jadi. Khawatir kekuatan gaib akan menghantam dirinya lagi seperti yang sudah‐sudah.
“Petunjuk gurumu bukan isapan jempol. Di sebelah depan satu‐satunya jalan masuk ke dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian adalah mulut goa. Siapa masuk lewat goa itu akan tersesat seumur‐umur sampai akhirnya menemui ajal. Di sebelah belakang tenyata ada pintu masuk lain. Terlindung oleh daun dan tumbuhan merambat.”
“Kalau di situ memang ada pintu berarti Eyang Sinto betul,” kata Wiro menyeringai dan sambil garuk kepala. “Yang jadi pertanyaan sekarang apakah pintu itu memang dipergunakan untuk jalan keluar masuk. Kau lihat sendiri. Tangga batu itu menuju pinggiran jurang. Buntu! Lalu apa kegunaan pintu kalau memang di dinding itu ada pintu tersembunyi?”
“Betul, apa kegunaan pintu itu.” Mengulang Wulan Srindi. “Kalau orang membuat pintu, lantas tidak ada kegunaannya, buat apa?”
“Bisa saja sebagai jebakan,” kata Wiro pula.
Wulan Srindi pegang lengan Wiro. Menarik pemuda itu melangkah sepanjang pinggiran jurang dan berhenti tepat di jurusan dinding batu yang ada tangganya. Si gadis memperhatikan ke arah kejauhan. Lalu memperhatikan ke arah kakinya sendiri. Pandangan terus melebar ke arah sekitarnya. Wiro ikuti perbuatan Wulan Srindi. Dua orang ini kemudian sama‐sama melepas nafas tercekat.
“Apa yang ada dalam pikiranmu?” tanya Wiro.
“Apa yang ada dalam benakmu?” balik bertanya Wulan Srindi.
“Aku melihat batu di pinggiran jurang sebelah sini agak kurang lumutnya.” Kata Wiro pula.
“Itu yang pertama. Yang kedua nyaris tidak ada semak belukar di sekitar sini. Berarti ada yang pernah merambasnya. Berarti tempat ini, yang jika ditarik garis lurus berhadap‐hadapan dengan bagian dinding batu yang aku kira ada pintunya itu. Wiro, keras dugaanku tempat ini sering dilalui orang.”
“Wulan, yang jadi pertanyaan jika banyak orang lewat sini, apakah mereka pergi dan datang ke dinding batu? Lalu bagaimana caranya? Tidak mungkin melompat, apa lagi terbang. Siapapun orang sakti dan memiliki ilmu meringankan tubuh hebat sekalipun tak mungkin sanggup melompat dari sini sampai ke sana atau sebaliknya.”
“Apapun kesulitannya kita harus mampu menyeberang dan menyelidik bagian dinding batu yang ditutupi tumbuhan merambat itu.”
“Jarak dua pinggiran jurang terlalu jauh. Kita tidak mungkin melompat atau turun ke bawah lalu naik lagi di sebelah sana. Jurang ini terlalu dalam. Kita tidak tahu ada apa di dasarnya. Mungkin ular atau binatang buas lainnya. Mungkin juga ada dedemit penghuni jurang...”
“Kita harus mencari akal,” kata Wulan sambil menggigit bibir. Pandangannya diarahkan ke berbagai jurusan. Ketika dia memperhatikan ke arah tiga pohon tinggi yang tumbuh tak jauh di sisi kanan, gadis ini tersenyum. “Aku tahu apa yang ada dalam benakmu. Kau ingin menumbangkan salah satu pohon itu untuk dijadikan jembatan dari sini ke dinding seberang sana. Menurut perhitunganku kelebaran jurang paling sedikit lima puluh kaki. Tinggi pohon ini sampai kepucuknya paling banyak empat puluh kaki.”
“Jarak yang terpaut sekitar sepuluh kaki bisa kita atasi dengan melompat.” Setelah memperhatikan akar pohon, Wulan Srindi melanjutkan. “Akar pohon ini dari jenis yang melebar ke samping, bukan menghujam ke dalam tanah. Wiro, keluarkan kapak saktimu. Akar pohon harus diputus baru bisa ditumbangkan.”
“Enak saja kau bicara. Kapak saktiku bukan alat untuk menebang pohon!”
“Kalau begitu kita berdua harus pergunakan kekuatan tenaga dalam. Tunggu apa lagi? Dorong batang pohon yang di tengah. Kalau akarnya terbongkar pasti pohonnya tumbang.”
Wiro dan Wulan mencari bagian batang yang baik untuk tempat meletakkan dua telapak tangan dan selanjutnya mulai mendorong pohon iu. Namun sampai tangan mereka licin oleh keringat walau batang pohon bergerak, akarnya tidak terbongkar dari tanah. Kedua orang itu terus mencoba sambil kerahkan tenaga dalam yang mereka miliki.
“Preettt!”
“Pendekar kurang ajar!” maki Wulan Srindi seraya melompat menjauhi Wiro. “Mendorong pohon saja sampai keluar kentut!”
“Siapa yang kentut?” tukas Wiro dengan mata mendelik. “Kalau bukan kamu apa ada setan yang kentut di tempat itu!” Wulan Srindi semakin marah. “Kalaupun ada setan aku belum pernah mendengar ada setan bisa kentut!”
Wiro gosok‐gosok pantatnya sendiri. Tangannya kemudian ditempelkan ke hidung. “Kalau aku memang kentut pasti bau! Nyatanya tanganku tidak bau! Kau mau cium?”
Wulan Srindi mencibir.
“Ayo kita dorong sekali lagi pohonnya,” kata Wiro.
Wulan Srindi menggeleng. “Percuma, pohon tidak tumbang malah kentutmu yang bermuncratan!”
“Kalau begitu biar aku pergunakan pukulan sakti saja.” Kata Wiro Jadi jengkel mendengar kata‐kata si gadis.
“itu lebih baik. Dan pada kau nanti kentut lagi!” jawab Wulan Srindi.
“Sial! Jangan bicara soal kentut lagi! Pokoknya aku tidak kentut! Sumpah!” Murid Sinto Gendeng mundur menjauhi pohon. Tangan kiri menggaruk kepala, tangan kanan menyiapkan pukulan “Dewa Topan Menggusur Gunung”. Diarahkan ke bagian paling bawah pohon tinggi di depan.
“Wiro, tunggu!” tiba‐tiba Wulan Srindi berseru.
“Ada apa?”
“Lihat!”
Wulan Srindi menunjuk ke seberang jurang.
“Astaga naga...” Wiro mengucap setengah berolok.
Saat itu bagian dinding yang tertutup tumbuhan merambat kelihatan bergeser ke samping hingga membentuk sebuah celah tinggi dan lebar.
“Apa kataku! Kau lihat sendiri! Ternyata memang ada pintu di dinding itu!” kata Wulan Srindi.
“Pintu rahasia,” ucap Wiro.
Sesaat kemudian dan ruang agak gelap di balik pintu yang barusan terbuka keluarlah manusia pocong memanggul sosok besar seorang berjubah tanpa kain putih penutup kepala. Si manusia pocong menuruni tangga batu yang memiliki seratus undakan dan membawanya ke tepi jurang.
“Wiro! Si manusia pocong melemparkan orang yang dipanggulnya ke dalam jurang!” ucap Wulan Srindi. “Aneh!”
“Tidak aneh kalau orang itu memang anggota barisan manusia pocong yang sudah mati,” kata Wiro pula. “Kalau begitu yang jadi pertanyaan mengapa orang itu mati. Dibunuh?”
Manusia pocong yang barusan melemparkan orang berjubah ke dalam jurang untuk beberapa lama masih berdiri di tepi jurang. Dia mengomel sendiri karena orang yang dilempar ternyata menyangsrang di antara kerapatan ranting dan kelebatan daun pohon di dalam jurang, juga tertahan oleh sebuah cabang cukup besar. Sebelum tinggalkan tepian jurang, sepasang matanya melirik ke seberang. Di balik kain penutup kepala mukanya menyeringai. Dalam hati dia berkata, “Yang Mulia Ketua dan Wakil Ketua pasti senang jika kulapori sudah ada dua tokoh rimba persilatan menyelinap ke bagian belakang markas.”
Tak ama kemudian Wiro dan Wulan melihat manusia pocong tadi menaiki tangga, masuk ke dalam pintu. Setelah itu pintu rahasia di dinding batu tertutup kembali.
“Saatnya kita menyeberang ke sana.” Kata Wiro. Dia melangkah mendekati pohon besar yang akan ditumbangkan dan dipergunakan sebagai jembatan untuk menyeberang. Tenaga dalam dialirkan. Hawa sakti disalurkan ke tangan. Wiro lalu hantam bagian bawah pohon dengan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.
“Wuttt! Braakkk! Reeetttttt! Bummmm!”
Pukulan sakti pemberian Tua Gila dan Pulau Andalas itu menghancurkan bagian bawah pohon besar, membongkar akar yang menjalar ke enam bagian tanah lalu masuk dengan suara bergemuruh tumbang melintas di atas jurang. Seperti yang diperhitungkan Wiro, ujung pohon ternyata tidak sampai menyentuh pinggiran jurang batu di seberang sana. Selain itu karena tumbangnya miring, jarak yang terpaut menjadi Lebih jauh dari sepuluh langkah.
“Kau siap?” tanya Wiro.
Wulan Srindi mengangguk. Kedua orang itu kerahkan ilmu meringankan tubuh dan segera meniti batang pohon yang melintang di atas jurang batu. Menjelang akan sampai ke ujung pohon Wiro menyempatkan memandang ke bawah kanan, ke arah orang yang tadi dilempar dan menyangsrang di atas pohon. Jaraknya hanya terpisah sekitar dua jangkauan tangan. Dia bisa melihat sosok dan wajah orang itu. Gerakan kakinya yang tengah meniti batang pohon serta merta terhenti. Wulan Srindi hampir menabrak tubuhnya.
“Apa yang kau lakukan? Mengapa berhenti mendadak? Gila! Kita bisa sama‐sama jatuh!” teriak Si gadis.
“Orang itu.” Ucap Wiro. “Aku... aku mengenalinya. Dia Hantu Muka Dua, mahluk dari negeri seribu dua ratus silam. Coba kau perhatikan kepalanya. Di memiliki dua wajah. Satu di depan satu di belakang. Saat ini wajahnya seperti kakek. itu bukan wajah aslinya. Dia dalam ketakutan luar biasa.”
“Turut keteranganmu, dia adalah musuh besarmu sewaktu berada di alam lain. Dia muncul di alam kita untuk mengejar dan membunuhmu! Aku pernah cerita dan punya dugaan kalau bangsat itu yang hendak memperkosa Bidadari Angin Timur! Lalu dia pula yang menyeranq kita waktu di bukit batu.”
“Wulan, semua yang kau katakan betul adanya.”
“Lalu mengapa kau berhenti? Apa yang hendak kau lakukan?”
“Aku ingin tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Jika manusia pocong melemparkannya ke dalam jurang berarti dia bukan anggota barisan manusia pocong.”
“Belum tentu. Bisa saja dia anggota yang berbuat salah besar lalu dibunuh dan mayatnya dibuang ke dalam jurang.”
“Wulan, manusia itu masih belum jadi mayat. Lihat, tangan kanannya bergerak‐gerak. Dia berusaha mengangkat tangan, berusaha melambai ke arah kita. Mungkin dia ingin minta tolong...”
“Perduli setan! Orang jahat seperti dia kenapa diperdulikan? Biar dia mati nyangsrang di atas pohon itu. Ayo jalan, Wiro! Kalau kita terus‐terusan berdiri di sini lama‐lama batang pohon ini bisa melengkung dan roboh. Kita berdua bakalan mati konyol jatuh ke dalam jurang!”
“Aku tidak tega meninggalkannya. Aku bisa menolongnya.”
“Jangan terlalu berbaik budi dengan seorang musuh besar. Keselamatan kita saja tidak ada yang menjamin. Kau mau‐mauan menolong orang! Sudah gila apa!” Wulan mendorong bahu Wiro. Murid Sinto Gendeng garuk kepala. Sesaat jadi bingung.
“Wulan, Hantu Muka Dua pernah masuk ke dalam lorong kematian. Maksudku kita bisa menanyainya. Mungkin dan dia kita bisa mendapat keterangan yang besar manfaatnya.”
“Aku pernah masuk ke lorong jahanam itu! Aku sudah ceritakan semua yang aku ketahui! Di dalam lorong kematian ada beberapa tokoh yang perlu diselamatkan. Kau akan ke lorong atau mau menolong bangsat satu itu?”
Wiro tidak menjawab. Tiba‐tiba pemuda ini menjatuhkan diri ke bawah, bergayut pada batang pohon.
“Benar‐benar sableng! Apa yang kau lakukan, Wiro?” teriak Wulan Srindi.
“Aku memberi jalan padamu! Lewatlah cepat! Tunggu aku di tangga batu.”
“Pendekar goblok! Seumur hidup baru hari ini aku menyaksikan seorang pendekar mau‐maunya menolong musuh besarnya! Kau akan mati karena ketololanmu sendiri!” Dengan kesal Wulan Srindi tinggalkan Wiro, meniti batang pohon, bergerak hati‐hati di sela‐sela ranting dan begitu sampai di ujung pohon dia lesatkan diri, membuat lompatan sejauh lima belas kaki lebih dan berhasil mendarat di undakan tangga batu ke tiga.
Setelah memperhatikan Wulan Srindi sebentar Wiro putar tubuhnya sedemikian rupa hingga kini dia berada dalam keadaan duduk di cabang pohon. Dengan cepat dia buka baju putihnya. Pakaian ini dibuntal demikian rupa hingga membentuk tali sepanjang lebih sepuluh jengkal. “Hantu Muka Dua!” Wiro berteriak. “Kalau aku lemparkan ujung pakaian padamu, cepat tangkap! Pegang kuat‐kuat. Aku akan menarikmu ke batang pohon ini!”
Hantu Muka Dua tidak menjawab karena jalan suaranya berada dalam keadaan ditotok. Wiro lemparkan pakaian putihnya yang kini berbentuk tali. Ujung pakaiannya jatuh tepat di bahu kiri Hantu Muka Dua
“Hantu Muka Dua! Tunggu apa lagi? Lilitkan ujung pakaian ke lenganmu. Pegang kuat‐kuat! Kau akan aku tarik!”
Hantu Muka Dua dengan wajah masih berupa kakek keriput hanya bisa menatap ke arah Pendekar 212. Dua tangannya terkulai lemah di kedua sisi, sama sekali tidak bisa digerakkan.
“Hantu Muka Dua! Kau mendengar teriakanku! Cepat pegang ujung pakaian!” Wiro kembali berteriak. Tak ada jawaban. Tak ada gerakan.
“Jangan‐jangan mahluk itu sudah jadi mayat,” pikir Wiro. “Tapi tadi salah satu tangannya mampu digerakkan membuat lambaian. Atau mungkin dia sudah pasrah, tak mau ditolong.” Di atas pohon sosok Hantu Muka Dua bergoyang goyang menyangsrang terlentang. Penasaran Wiro tarik pakaiannya. Dalam hati ia berkata. “Lebih baik aku mengikuti ucapan Wulan Srindi. Buat apa susah‐ susah menolong mahluk satu ini.” Perlahan‐lahan Wiro berdiri di atas cabang pohon.
Sebelum beranjak pergi untuk terakhir kalinya dia melihat ke arah Hantu Muka Dua. Saat itu dilihatnya tangan kanan mahluk dan negeri Lahtanahsilam itu bergerak sedikit. Jari terkembang, telapak melambai.
“Edan!” maki murid Sinto Gendeng. Namun rasa kasihan kembali muncul dalam hatinya. Ujung pakaian dibuhul membentuk simpul cukup lebar. Simpul ini menyebabkan kepanjangan tali buatan itu jadi berkurang. Wiro memperhatikan. Bagian tubuh Hantu Muka Dua yang paling dekat adalah kaki kanannya yang terangkat ke atas. Wiro lemparkan ujung tali berbentuk simpul ke arah tangan kiri itu. Meleset. Tali jatuh ke bawah. Sekali lagi dicoba. Ujung tali tepat jatuh di kaki kiri Hantu Muka Dua tapi simpul tidak masuk ke kaki. Wiro goyang‐goyangkan ujung tali yang dipegangnya. Simpul bergerak turun. Begitu mencapai pergelangan kaki kiri, dengan cepat Wiro menyentakkan hingga simpul menjerat keras.
“Mudah‐mudahan saja tali dari baju butut ini cukup kuat untuk menahan tubuh tinggi besar Hantu Muka Dua. Kalau sampai putus tamat riwayatnya.”
“Hantu Muka Dua. Aku akan menarik tubuhmu!” Wiro berteriak memberi tahu. Duduk di atas batang dengan dua kaki disilang merangkul batang pohon kuat‐kuat, Wiro mempergunakan dua tangan untuk menarik Hantu Muka Dua. Jelas bukan pekerjaan mudah melakukan hal itu. Salah‐salah Wiro sendiri bisa terseret oleh beban berat dan amblas jatuh di dalam jurang. Namun herannya murid Sinto Gendeng ini dapatkan ternyata tubuh Hantu Muka Dua yang besar dan tinggi itu enteng sekali. Dia seperti menarik sebatang ranting pohon kering.
Begitu sosok Hantu Muka Dua berada di dekatnya, Wiro sentakkan tangan kanannya hingga Hantu Muka Dua terbetot dan jatuh tepat di atas bahu kanannya. Lagi‐lagi Wiro dibuat heran. Tubuh Hantu Muka Dua yang tinggi besar itu terasa ringan hingga Wiro mampu bergerak dan berdiri di atas batang pohon. Tidak ada waktu untuk mencari tahu keanehan itu Wiro cepat meniti batang pohon yang membelintang di atas jurang. Di ujung pohon dia membuat lompatan, melesat di udara dan melayang turun di samping kin tangga batu seratus undak. Ketika memperhatikan ke arah tangga batu di samping kanan, Wiro tersentak kaget. Wulan Srindi yang tadi dilihatnya berada di undakan tangga batu ketiga kini tidak ada lagi di tempat itu!
“Gadis bengal. Pergi kemana dia?” pikir Wiro. “Wulan!” Wiro berteriak memanggil. Tak ada jawaban. “Wulan!” teriak Wiro lebih keras hingga suaranya menggema ke seantero tempat dan bergaung di dalam jurang.
Tetap tak ada jawaban. Wiro baringkan tubuh Hantu Muka Dua di samping tangga batu. Dia lalu melompat ke atas tangga, memandang berkeliling, mencari‐cari. Sekali lagi dia berteriak memanggil Wulan Srindi. Tak ada jawaban, apalagi kelihatan sosoknya. Selagi Wiro kebingungan tiba‐tiba terdengar suara suitan di kejauhan. Suara suitan ini disahuti oleh suitan lain dan arah yang berbeda.
“Orang‐orang Seratus Tiga Belas Lorong Kematian sudah mengetahui kehadiranku...” ucap Wiro dalam hati.
Dia melompat turun dari tangga batu, menghampiri Hantu Muka Dua. Rasa cemas mulai menggerayangi diri murid Sinto Gendeng ini. “Tidak mungkin Wulan Srindi pergi begitu saja. Kalau orang‐orang lorong membawanya kabur masakan aku tidak melihat. Masakan dia tidak melakukan perlawanan...” Wiro memperhatikan bagian dinding batu yang tertutup tumbuhan rambat. Lalu menyelidik ke tepi jurang di depan tangga batu seratus undak.
“Gila! Apa yang terjadi dengan gadis itu!” pikir Wiro. Sambil garuk‐garuk kepala dia mendekati Hantu Muka Dua kembali.
“Mahluk Latanahsilam Hantu Muka Dua! Kita bertemu pada saat yang tidak karu‐karuan! Apa yang terjadi denganmu?” Wiro ajukan pertanyaan.
Tenggorokan Hantu Muka Dua bergerak turun naik. Namun dan mulutnya tak ada suara yang keluar. Tubuh tergeletak kaku. Wajah depan belakang masih berupa wajah kakek keriput. Pertanda dirinya masih berada dalam ketakutan besar. Mungkin sekali saat itu dia takut kalau Wiro akan menghabisi dirinya. Maklum saja, silang sengketa permusuhan dan dendam kesumat dia dengan Wiro sewaktu masih berada di negeri 1200 tahun silam luar biasa hebatnya. Tambahan lagi beberapa waktu lalu dia sengaja hendak merusak kehormatan Bidadari Angin Timur karena diketahuinya gadis itu adalah kekasih musuh besarnya itu. Perbuatan keji yarg tidak kesampaian itu adalah salah satu cara dia membalaskan dendam kesumat sakit hati terhadap Wiro. Dan kini dalam keadaan dirinya tidak berdaya Wiro muncul di hadapannya. Selain takut amat sangat juga ada tanda tanya besar dalam hati Hantu Muka Dua. Mengapa pemuda musuh besarnya itu mau menyelamatkan dirinya.
BAB 4
Hantu Muka Dua menatap Wiro dengan pandangan kosong. Mukanya depan belakang yang berwujud kakek keriput tetap menunjukkan rasa takut amat sangat.
“Aku bertanya kau tak menjawab. Apa kau tuli atau gagu?!” Wiro kembali membuka mulut.
Hantu Muka Dua masih tidak keluarkan jawaban. Wiro sandarkan mahluk dan negeri 1.200 tahun silam itu ke dinding batu. Karena kesal waktu menyandarkan Wiro sengaja menghempaskan punggung Hantu Muka Dua ke dinding batu. Tetap saja Hantu Muka Dua tidak bersuara tidak bergerak, kecuali tenggorokannya yang turun naik. Wiro lalu perhatikan sekujur tubuh mahluk itu. Periksa bagian leher serta singkapkan jubah putih di bagian dada orang. Tak ada tanda‐tanda bekas totokan.
“Heran, apa yang terjadi dengan mahluk sialan ini!” maki Wiro dalam hati. Lalu dia ingat. Tubuh Hantu Muka Dua selain tinggi juga besar kekar. Namun mengapa keadaannya luar biasa enteng? Untuk beberapa lama Wiro melangkah mundar mandir sambil matanya terus mengawasi Hantu Muka Dua. Karena agak tertutup rambut tanda itu nyaris tidak kelihatan kalau dia tdak memperhatikan dengan teliti. Tanda itu menyerupai bekas telapak tangan dengan jari‐jari yang mengembang.
“Tanda aneh”, ucap Wiro dalam hati. “Kalau ada orang sakti memukul kepalanya pasti kepala ini sudah hancur! Banyak hal ingin aku tanyakan padanya. Bagaimana caraku membuat dia mampu bicara!”
Wiro berlutut di hadapan Hantu Muka Dua. Dua jari tangannya ditusukkan ke beberapa bagian tubuh mahluk dan negeri Latanahsilam itu. Sosok Hantu Muka Dua hanya meliuk sedikit lalu kembali diam. Saking kesalnya Wiro kemudian pukul batok kepala mahluk itu.
“Desss!”
Suara seperti benda gembos terdengar bersamaan dengan mengkeretnya tubuh Hantu Muka Dua. Kepala yang dipukul jatuh ke dada. Dada turun ke perut dan bagian perut melosoh ke pangkal paha. Sesaat kemudian seperti lenturnya karet, kepala, dada dan perut itu naik ke atas dan bentuknya kembali seperti semula. Murid Sinto Gendeng sampai terperangah dan terduduk di tanah saking kagetnya melihat apa yang terjadi.
“Mahluk geblek! Ada yang tak beres dengan dirimu!” ucap Wiro. Lalu dia bangkit berdiri. “Aku tak punya waktu lama‐lama mengurusi dirimu!” Wiro hendak melompat ke alas tangga batu.
“Huk...huk...hukkk...” Tiba‐tiba mulut Hantu Muka Dua keluarkan suara seperti orang mau muntah.
“Nah, nah! Akhirnya kau bersuara juga!”
“Hukkk...huk...hukkk...”
“Apa yang terjadi dengan dirimu. Aku lihat kau dipanggul keluar dan balik dinding balu ini lalu dilempar ke jurang. Apakah kau anggota Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas Lorong Kematian?!”
“Hukk...hukk! Hukkk...”
“Tubuhmu enteng sekali! Apakah...”
“Hukkk...huukkk...hukk!”
“Setan alas! Apa kau tak bisa bicara lain selain hukk...hukk...hukk melulu?!” Saking kesalnya Wiro tampar pipi kanan Hantu Muka Dua.
Saat itu juga wajah Hantu Muka Dua depan belakang mendadak sontak berubah menjadi wajah raksasa lengkap dengan taring mencuat. lnilah kehebatan dan keangkeran mahluk dan negeri 1.200 tahun silam. Dua mukanya depan belakang bisa berubah sesuai dengan perasaan yang menguasai dirinya yaitu muka wajar, muka takut, muka marah dan muka nafsu.
“Nah, nah! Kau ternyata masih punya perasaan! Tampangmu depan belakang berubah jadi muka raksasa tanda kau lagi marah! marah padaku! Ha ha ha!” Wiro tertawa sambil garuk‐garuk kepala.
“Hukkk…hukkkkk!” Lagi‐lagi Hantu Muka Dua keluarkan suara seperti orang mau muntah sementara wajahnya perlahan‐lahan kembali berubah menjadi wajah kakek‐kakek dengan sepasang mata memandang ke depan.
Bersamaan dengan itu Wiro melihat mahluk ini berusaha mengangkat tangan kanannya. Walau tergontai‐gontai, gerakan tangan itu seperti berusaha menggapai sesuatu. Dua mata menatap ke depan, sayu tidak berkesip. Wiro garuk‐garuk kepala. Dia memandang ke belakang, ke samping sambil bertanya‐tanya dalam hati. “Apa yang diperhatikan mahluk ini? Ada sesuatu yang hendak dipegangnya. Apa?”
"Hantu Muka Dua! Kau menghabiskan waktuku saja!” Wiro akhirnya melompat ke atas tangga batu, menaikinya hingga mencapai bagian dinding yang tertutup tumbuhan merambat. Dia meraba kian kemari. “Aneh, jelas di bagian ini aku tadi melihat dinding batu terbuka menyerupai pintu! Mengapa rata semua, tidak ada tanda‐tandanya?”
Dengan jari‐jari tangannya Wiro merenggut tumbuhan merambat dan kini dia berhadapan dengan dinding batu hitam, kotor berlumut. Kalau di sini ada pintu, berarti disini ada jalan masuk! Seberapa tebalnya dinding batu ini. Kalau kuhantam dengan pukulan sakti masakan tidak jebol!” Pendekar 212 alirkan tenaga dalam dan hawa sakti ke tangan kanan. Pukulan sakti yang hendak dikeluarkannya adalah Segulung Ombak Menerpa Karang dengan pengerahan tenaga dalam setengah dan yang dimilikinya. Wiro turun ke anak tangga dua puluh Lima. Dua kaki tegak merenggang. Dua tangan perlahan‐lahan diangkat dan arah pinggang ke atas lalu dihantamkan ke arah dinding batu hitam, tepat pada bagian yang diperkirakannya merupakan pintu rahasia.
“Wutttt! Wuttt! Bummm! Bummm!"
Dinding batu bergetar hebat. Dua pukulan sakti menyebabkan gelegar panjang di dalam jurang. Namun dinding batu tetap berdiri kokoh. Pukulan sakti yang dilepaskan Wiro untuk menjebol dinding malah berbalik menghantam ke arahnya. Pendekar 212 berteriak kaget. Darah menyembur dan mulut. Tubuh mencelat mental ke belakang, ditunggu jurang batu yang dalam!
Lapat‐lapat dikejauhan terdengar suara perempuan bernyanyi.
Didalam lorong ada kesepian
Di dalam kesepian ada kehidupan
Di dalam lorong ada kesunyian
Di dalam kesunyian ada kematian
Belum lagi suara nyanyian sirap mendadak ada suara “Preett!” Suara orang kentut! Dan seperti ada yang mendorong dan belakang, tubuh Pendekar Pendekar 212 yang akan amblas masuk ke dalam jurang batu mental ke depan, jatuh terkapar di undakan tangga batu ke delapan puluh dan delapan puluh satu. Wiro merasa sekujur tubuhnya sebelah depan seperti remuk. Untuk beberapa saat lamanya dia hanya bisa tergeletak tak bergerak. Mulut meringis menahan sakit, mata setengah terpejam. Ketika merasa ada cairan hangat dan asin di dalam mulut, murid Sinto Gendeng ini sadar kalau dirinya telah terluka di dalam!
“Gila! Kekuatan setan apa yang membalikkan pukulanku!” Walau menahan sakit namun otak sang pendekar masih bisa bekerja.
Kekuatan daya pukulan sakti yang dilepaskannya dan berbalik menghantam dirinya itulah yang membuat tubuhnya sebelah depan serasa remuk dan terluka di sebelah dalam. Namun aneh dorongan keras dan arah belakang yang tak kalah hebatnya sama sekali tidak membuatnya cidera.
“Ada kekuatan Jahat dan arah depan menghantam tubuhku. Pasti datangnya dan arah Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Lalu kekuatan dan belakang yang menyelamatkan diriku! Siapa? Orang yang kentut tadi?” Wiro memandang berkeliling. Tak ada siapa‐siapa kecuali Hantu Muka Dua yang masih duduk tersandar ke dinding batu. Masih bisa garuk‐garuk kepala. Wiro semburkan Iudah campur darah. Dengan menahan sakit dia berusaha bendiri dan berteriak.
“Siapa yang barusan kentut?!” Tak ada jawaban. Diperhatikannya Hantu Muka Dua. Mahluk ini masih tetap tak bergerak dan tempatnya semula, tersandar ke dinding batu. “Jelas tadi aku mendengar suara orang kentut! Tak mungkin mahluk sialan satu ini yang keluarkan angin!”
Wiro mendadak sadar. Dia harus melakukan sesuatu untuk meredam luka dalam yang dialaminya. Sang pendekar duduk bersila di tangga. Alirkan hawa sakti ke bagian dada dan tarik nafas dalam lalu dilepaskan lagi. Demikian dilakukan berulang kali. Setelah itu sambil mengusap dada Wiro alihkan pandangan ke dinding batu yang barusan dihantamnya dengan pukulan sakti. Mau tak mau ada rasa bergidik di dalam hatinya. Pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang tidak mampu membobol dinding batu itu. Bahkan membekas sedikitpun tidak!
Kekuatan apa sebenarnya yang tersembunyi di balik dinding? Lalu suara perempuan menyanyi tadi? Wiro berpikir‐pikir akan menghantam dinding batu dengan Pukulan Sinar Matahari namun ada rasa kawatir, kekuatan gaib seperti tadi akan membalikkan pukulan sakti itu lalu menghantam dirinya sendiri! Dia bisa benar‐benar celaka! Malah mungkin mati konyol dengan sekujur tubuh hangus!
“Apa yang harus aku lakukan? Bagaimanapun juga aku harus bisa masuk ke dalam sana! Dewa Tuak ada di sana. Orang tua itu harus kuselamatkan. Kakek Segala Tahu dan juga Wulan Srindi mungkin sekali ada di sana. Jahanam! Siapa sebenarnya penguasa lorong kematian itu? Apakah ilmunya setinggi langit sedalam samudera?! Berbahaya dan sulit dijajagi!”
Wiro garuk‐garuk kepala berulang kali. “Mungkin aku harus menunggu sampai pintu rahasia terbuka dan ada orang keluar dan dalam sana. Tapi sampai berapa lama aku musti menunggu sementara para tokoh dan sahabat di dalam terancam keselamatannya? Gila betul! Wiro meludah lagi. Ludahnya masih merah bercampur darah. “Satu‐satunya cara mungkin aku harus pergunakan ilmu itu. Sebelumnya aku pernah kucoba. Tapi terhalang oleh Wulan Srindi Tak ada jalan lain. Rasanya saat ini aku harus mengeluarkan ilmu itu” Wiro melompat turun dan tangga. Dia memilih berdiri di sebelah kanan sementara Hantu Muka Dua berada di sebelah kiri tangga batu.
Duduk bersila di tanah Wiro pejamkan mata. Dua tangan diletakkan di atas paha kiri kanan. Perlahan‐lahan dia mulai mengosongkan pikiran. Bersamaan dengan itu jalan pendengarannyapun mulai ditutup. Dalam hati Wiro melafal Basmallah tiga kali berturut‐turut. Lalu disusul dengan ucapan Meraga Sukma juga sebanyak tiga kali. Apa yang tengah dilakukan oleh Pendekar 212 saat itu adalah menerapkan imu kesaktian yang disebut Meraga Sukma.
Dengan ilmu kesaktian ini raga atau ujud kasarnya akan tetap tinggal sebagaimana biasa namun roh atau sukmanya akan keluar dan dalam tubuh kasar. Sukma ini selanjutnya akan memiliki kemampuan untuk masuk kemana saja walaupun terhalang dinding tebal. Atau menerobos masuk ke satu tempat melalui lobang atau celah sekecil apapun. Sebelumnya Wiro hendak menerapkan iImu kesaktian ini ketika berada di depan goa yang merupakan jalan masuk ke dalam 113 Lorong Kematian. Namun Wulan Srindi yang tidak sabaran saat itu mengajaknya cepat‐cepat berlalu.
Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng berjudul Meraga Sukma ilmu kesaktian langka ini didapat Pendekar 212 dari seorang sàkti di kawasan samudera selatan yang dikenal dengan nama Nyi Roro Manggut.
Sesaat setelah Wiro mengucapkan kata‐kata Meraga Sukma dalam hati, sekujur tubuhnya terasa bergetar. Tidak seperti yang pernah kejadian sebelumnya, keringat membasahi wajah dan badan. Beberapa saat berlalu. Di bawah tanah yang didudukinya seolah ada bara api membakar. Wiro merasa pening. Ujud gaib atau sukmanya tidak mampu keluar dan dalam tubuh kasar. Beberapa saat berlalu. Saputan angin tencium menebar bau setanggi! Wiro merasa bulu tengkuknya merinding. Akhirnya sang pendekar buka sepasang mata.
“Apa yang terjadi? Aku tidak mampu menerapkan ilmu kesaktian itu. Mungkin ilmu itu sudah lenyap, tak lagi aku miliki? Mengapa tengkukku terasa meninding? Biar kucoba sekali lagi.”
Wiro kembali duduk bersila penuh khidmat, kosongkan pikiran dan pendengaran. Mengucapkan Basmallah dan Meraga Sukma sebanyak tiga kali. Wiro merasa tubuhnya enteng sekali. Mengira ilmu kesaktian itu akan berhasil dikeluarkannya mendadak harumnya bau setanggi membucah seantero tempat. Lalu satu kekuatan dahsyat, Iaksana angin topan datang dan arah dinding batu, menggemuruh melabrak dirinya!
Pendekar 212 berteriak kaget. Jatuhkan diri ke tanah tapi tetap saja kena disapu hantaman angin hingga terguling kencang ke arah jurang. Sesaat lagi dirinya akan tercebur ke dalam jurang, seperti tadi ada satu kekuatan aneh mendorong tubuhnya hingga dia terlempar kembali ke depan dan terhenyak di tanah!
“Apa yang terjadi dengan diriku! Mengapa aku tidak sanggup menerapkan ilmu kesaktian itu. Siapa yang barusan menolongku,” ucap Wiro dengan dada turun naik dan nafas tersengal. Seperti tadi ada rasa asin dalam mulutnya. Ketika dia meludah, ludahnya merah kental bercampur darah. Dia terluka di bagian dalam kembali! Berubahlah paras murid Sinto Gendeng ini. Hantaman kekuatan gaib tadi telah membuat dirinya cidera di sebelah dalam untuk kedua kali!
“Dari pada penasaran biar aku coba sekali lagi!” Kata Wiro dalam hati. Dia sengaja pindah duduk ke bagian depan lain dan dinding batu. Dua tangan diletakkan di ujung lutut. Mata dipejamkan. Pikiran dikosongkan dan jalan pendengaran ditutup. Baru saja dia hendak melafalkan Basmallah, tiba‐tiba di depannya terdengar suara angin menderu, lebih keras dan lebih dahsyat dan yang tadi menghantam dirinya.
“Bocah tolol! Memangnya kau punya nyawa berapa berani mengadu jiwa?!" Tiba‐tiba ada suara perempuan berteriak disusul tawa cekikikan. Bersamaan dengan itu Wiro merasa rambut gondrongnya dijambak. Di lain saat dia sudah pindah duduk di atas tangga batu pada undakan ke dua puluh empat. Ketika jambakan di kepalanya terlepas, Wiro cepat berpaling. Dia tak melihat siapa‐siapa!
Tiba‐tiba dia mendengar suara tawa cekikikan perempuan. Berpaling ke kanan Wiro tersentak kaget ketika melihat siapa yang ada di arah sana. “Nyi Roro Manggut!” Seru Pendekar 212.
Seruan Wiro disambut suara tawa cekikikan. “Hik hik hik! Pemuda sableng! Kau masih mengenali diriku! Heran, kenapa kau kelayapan sampai jauh‐jauh kesini dan berpakaian cuma tinggal sepotong celana?!”
“Bajuku dijadikan tali untuk menolong orang”, jawab Wiro. Lalu dia menimpali “Nek, aku juga heran! Ngapain Nyi Roro sendiri ikutan keluyuran bersamaku sampai di sini!”
Ucapan Wiro disambut orang dengan tawa panjang. “Weleh! Siapa yang ikutan kamu datang kesini”
Walau luka dalamnya cukup parah dan sekujur tubuh sakit bukan main, Wiro yang tidak mau melupakan sopan santun serta peradatan cepat melompat turun dan atas tangga batu, terbungkuk‐bungkuk menjura di hadapan satu sosok nenek bertubuh cebol. Sepasang matanya besar jernih tapi juling. Muka yang berkulit keriput dihias sebuah hidung pesek hampir sama rata dengan pipi.
“Nyi Roro, terima salam hormatku. Apa kau yang tadi menolongku tapi juga sekaligus menebar kentut prat‐ pret prat‐pret?!”
“Enak saja kau bicara! Kentutnya bau apa tidak?” Si nenek bertanya sambil kepalanya termanggut‐manggut.
Wiro garuk kepala lalu mendongak, hidung mengendus‐ endus. “Tidak Nyi Roro. Kentutnya tidak bau,” jawab Wiro pula.
“Kalau kentutku pasti bau! Berarti bukan aku yang kentut!”
“Lalu...?!”
BAB 5
Nenek berambut putih yang disanggul di atas kepala sunggingkan senyum. Kepala mengangguk‐angguk seperti orang kesedakan. Inilah Nyi Roro Manggut. Orang kepercayaan Nyi Roro Agung, penguasa samudera kawasan selatan. Nenek sakti inilah yang memberikan ilmu Iangka Meraga Sukma kepada Wiro dengan Ratu Duyung yang sebelumnya juga adalah penghuni samudera selatan.
“Yang menolongmu memang aku! Tapi soal kentut jangan menuduh diriku!” Si nenek menjawab.
Wiro garuk kepala. “Berarti kakek yang punya dua muka itu yang kentut?!”
Nyi Roro Manggut menoleh ke arah Hantu Muka Dua yang sampai saat itu masih menjelepok di tanah, duduk tersandar ke dinding batu. “Bau mahluk itu terasa aneh. Menyembunyikan banyak rahasia. Aku mencium bahaya besar dibalik dua wajahnya yang menyeramkan. Matanya menatap kosong namun dibalik kekosongan itu dia seolah melihat sesuatu. Jari‐jari tangan kanannya bergetar. Ingin digerakkan, ingin diangkat karena hendak berusaha mengambil sesuatu. Dia orang yang katamu kau tolong dengan mengorbankan baju bututmu?!”
“Kau suka padanya?”
“Bocah geblek!” Nyi Roro Manggut berteriak marah. Matanya sampai mendelik besar.
Wiro tertawa dan seenaknya menggoda lagi. “Dia bukan mahluk sembarangan, Nek. Kalau mukanya dua berarti anunya juga dua. Siapa yang ha‐ha hi‐hi dengan dia pasti puas!”
“Anak kurang ajar! Apa maksudmu dengan kata‐kata ha‐ ha hi‐hi itu?!”
“Maaf Nek,” jawab Wiro sambil nyengir. “Aku hanya bergurau.”
“Benar‐benar sableng! Kau tengah menghadapi urusan besar! Masih bisa bergurau!” Kepala si nenek tersentak‐ sentak, dagunya manggut‐manggut.
Wiro garuk‐garuk kepala. “Nyi Roro, apakah kau tahu kita berada di mana?”
“Kau yang akan menerangkan padaku.” Jawab Nyi Roro Manggut.
“Di balik dinding batu ini ada satu tempat yang disebut Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Lorong ini merupakan sarang dan gerombolan orang yang dikenal sebagai manusia pocong...”
“Manusia ya manusia. Pocong ya pocong! Mana ada manusia sekaligus pocong...”
“Maksudku...”
“Sudahlah, aku lebih tahu dari kamu!” potong Nyi Roro Manggut.
“Kalau begitu kau bisa menolongku”, kata Wiro cepat.
Kepala si nenek menggangguk‐angguk tapi ini bukan merupakan gerakkan tanda dia mengiyakan ucapan Wiro. “Aku muncul di sini bukan untuk menolongmu!”
“Lalu...?” tanya Wiro sambil garuk kepala.
“Aku mencari seseorang.”
“Siapa Nyi Roro?”
“Apa perlumu mencari tahu?!” sentak si nenek.
“Bukan maksudku lancang, Nyi Roro. Tapi... sudahlah. Walau kau tak mau memberi tahu aku sudah bisa menduga siapa orang yang kau cari itu.”
“Siapa?” Kini Nyi Roro Manggut yang balik bertanya.
“Apa perlu aku memberi tahu?!” Wiro menggoda sambil senyum‐senyum.
Dan balik pinggang celananya Wiro mengeluarkan sebuah kaleng butut lalu digoyang hingga mengeluarkan suara berkerontang. Berubahlah paras Nyi Roro Manggut.
“Kau memegang kaleng miliknya. Orangnya dimana?” Suara si nenek agak tercekat ketika mengajukan pertanyaan.
Wiro lalu menuturkan riwayat bagaimana dia mendapatkan kaleng milik Kakek Segala tahu itu. Termasuk penemuan kuburan tak jauh dan sebuah jurang. Air muka Nyi Roro Manggut menunjukkan rasa kawatir. Terlebih setelah Wiro mengatakan dugaan bahwa besar kemungkinan Kakek Segala Tahu telah diculik oleh orang‐orang 113 Lorong Kematian.
“Aku kawatir apakah dia masih hidup. Berikan kaleng itu padaku.” Kata Nyi Roro Manggut pula.
Wiro serahkan kaleng milik Kakek Segala Tahu kepada si nenek dan Nyi Roro Manggut lalu memegang kaleng itu dengan kedua tangan. Mata dipejamkan, kepala yang termanggut‐manggut sedikit diangkat ke atas. Sesaat kemudian mulutnya berucap perlahan.
“Aku merasa ada sedikit hawa hangat. Dia masih hidup. Tapi keadaannya sangat sengsara...” Nyi Roro Manggut tarik nafas panjang lalu buka kedua matanya. Sesaat dia pandangi yang ada di dalam pegangan tangan kanannya. Kaleng berisi batu‐batu kerikil digoyang. Wiro hendak mencegah tapi terlambat. Suara kerontangan kaleng menggema ke suluruh penjuru, menggaung sampai ke dalam jurang. Tanah, dinding dan tangga batu seratus undak bergetar!
Tiba‐tiba Nyi Roro Manggut terpekik. Satu sambaran angin keras membuat kaleng yang dipegangnya mencelat mental dan jatuh ke dalam jurang. Si nenek sendiri ikut tersapu terpental namun dengan jungkir balik di udara sambil dorongkan dua tangan ke depan dia berhasil menahan hantaman angin dahsyat dan melayang turun, injakkan kaki di tanah.
“Luar biasa kekuatan gaib itu”, ucap si nenek bertubuh cebol ini.
“Nyi Roro, kita berdua harus bisa masuk ke dalam lorong...”
Nyi Roro Manggut menggeleng. “Aku terlalu jauh berada dari dalam asalku. Selain itu kekuatan gaib yang ada di dalam lorong tak mungkin kusentuh...”
“Kalau kau saja berkata begitu bagaimana aku?” ujar Wiro pula. “Tadi aku mencoba mengeluarkan ilmu Meraga Sukma untuk bisa menembus masuk ke dalam lorong. Tapi gagal. Aku mencium bau setanggi. Malah ada satu kekuatan dahyat kemudian menghantamku. Apakah aku telah kehilangan ilmu yang kudapat darimu itu Nyi Roro?”
Si nenek menggeleng. “Tidak, kau masih memiliki ilmu kesaktian itu. Namun seperti penjelasanku dulu sewaktu ilmu itu aku berikan. Ada kemungkinan suatu saat kau tidak bisa menerapkan ilmu itu. Ingat, semua apa yang kita miliki, semua kepandaian dan kesaktian yang dipunyai manusia keampuhannya sangat tergantung pada kuasa dan ridhonya Gusti Allah. Selain itu di tempat ini ada satu kekuatan dahsyat dari alam lain yang sulit ditandingi. Kekuatan itu merupakan kekuatan roh! Dan roh paling suka bau setanggi!”
“Kalau begitu tidak ada yang bakal bisa menembus masuk ke dalam lorong kematian untuk menyelamatkan perempuan‐perempuan hamil dan para tokoh yang diculik. Aku kawatir Wulan Srindi saat ini juga menuju ke sini. Aku tidak tahu berada dimana mereka sekarang. Jangan‐jangan...”
Nyi Roro Manggut terdiam sesaat. Kemudian mulutnya berucap perlahan. “Kekuatan roh hanya bisa ditandingi oleh roh pula. Tapi, mungkin ini semua sudah kehendak Gusti Allah...”
“Tidak bisa! Kita tidak bisa berkata seperti itu Nyi Roro! Apapun yang terjadi aku harus bisa masuk ke dalam lorong. Kalau tidak bisa lewat jalan rahasia di tempat ini aku akan kembali ke bagian depan bukit batu dan memasuki lorong dan mulut gua. Tidak perduli aku akan tersesat dan menemui ajal di dalam lorong!”
Melihat Nyi Roro Manggut diam saja Wiro jadi penasaran. “Nyi Roro, kau orang sakti. Mustahil kau tidak bisa memberi pertolongan. Atau mungkin cuma berupa petunjuk. Tadi kau sendiri telah menyelidiki. Kakek Segala Tahu ada dalam lorong. Keadaannya mengawatirkan. Apakah kau tidak ingin menolongnya?”
Bukannya menjawab si nenek malah balik bertanya. “Ketika kau berkunjung ke tempatku di dasar samudera. Setelah aku memberikan Ilmu Meraga Sukma, sebelum kau pergi aku pernah menitipkan sebuah kipas padamu. Dengan pesan agar diserahkan pada Kakek Segala Tahu. Apakah kipas itu sudah kau berikan padanya?” (Baca serial Wiro Sableng berjudul Meraga Sukma)
Wiro terkejut. Dia meraba pinggang celana sebelah kanan. Lalu beralih ke pinggang kiri. Dia menemukan benda yang dicarinya. Sebuah kipas kayu cendana dikeluarkannya dan balik pinggang celana. Wiro garuk‐ garuk kepala. “Anu Nek, kipasnya masih ada padaku. Aku tidak ingat. Tapi kalau tidak keliru sampai saat ini aku belum sempat bertemu dengan Kakek Segala Tahu. Kau ingin mengambil kipas ini kembali?”
Nyi Roro Manggut kelihatan kecewa tapi masih bisa tersenyum. “Kemarikan, biar kupegang sebentar kipas itu,” katanya. Kipas kayu cendana diambil lalu dikembangkan. Di sebelah dalam kipas itu penuh dengan ukiran bagus sekali. Di bagian tengah kipas ada gambar seorang pemuda gagah dan seorang gadis cantik. Nyi Roro letakkan kipas itu di atas kening, mata dipejam dan mulut komat kamit entah merapal apa. Tiga larik sinar biru berpijar lima kali berturut‐turut dari kepala Nyi Roro ke badan kipas. Kipas kemudian diserahkan kembali pada Wiro. “Simpan saja, kalau bertemu berikan pada orangnya.”
“Nyi Roro, maafkan aku karena lalai memenuhi pesanmu...” Wiro masukkan kipas kayu cendana ke balik pinggang celana.
“Huk...huk...huk...huk!” Di dinding batu sebelah sana Hantu Muka Dua keluarkan suara seperti mau muntah. Nyi Roro melirik, Wiro berpaling.
“Nyi Roro, tadi kau berkata. Orang itu melihat sesuatu dan ingin mengambil sesuatu itu. Sebelumnya aku memang melihat sikapnya yang aneh itu. Kalau kau mau menerangkan apakah yang dilihatnya itu.”
“Mengapa tidak kau tanyakan sendiri padanya?”
“Tubuhnya kaku, mulutnya gagu”.
“Dia tidak gagu. Hanya lidahnya kena dikancing orang.”
“Maksud Nyi Roro?”
“Sudahlah...”
“Nyi Roro, maukah Nyi Roro menyempatkan diri memeriksa keadaan orang itu barang sebentar? Nyi Roro saksikan sendiri walau tubuhnya terkulai lemah perawakannya tinggi dan besar. Tapi ketika aku menolong dan memanggulnya, tubuhnya seenteng kertas! Kalau dia bisa dibikin bicara mungkin banyak rahasia di dalam lorong yang bisa kita ketahui...”
“Begitu...?”
Nyi Roro manggut‐manggut lalu melangkah mendekati Hantu Muka Dua. Wiro mengikuti. Di hadapan Hantu Muka Dua nenek cebol itu berdiri memperhatikan. Dia melihat tanda berupa Telapak dan jari‐jari tangan di atas kepala Hantu Muka Dua. Si nenek geleng‐geleng kepala.
“Turut apa yang aku lihat, orang ini bukan mahluk dan alam kita...”
“Kau benar Nyi Roro, dia datang dan negeri seribu dua ratus tahun silam...”
“Dia memiliki ilmu kesaktian luar biasa. Tapi sekarang ilmunya itu sudah lenyap. Dirampas orang dengan cara menyedot lewat kepala. Lihat tanda telapak tangan dan lima jari di kulit kepalanya. Itu menyebabkan sekujur tubuhnya menjadi sangat lemah dan berubah menjadi enteng. Mahluk lain pasti sudah amblas nyawanya disedot begini rupa.”
“Kau tahu siapa yang menyedot ilmu kesaktiannya itu, Nyi Roro?” tanya Wiro.
Si nenek cebol tidak menjawab. Melainkan ulurkan tangan kiri dan cekik tenggorokan Hantu Muka Dua kuat‐ kuat.
“Hueekkkk!” Mulut Hantu Muka Dua terbuka lebar seperti mau muntah. Mata mendelik. Lidahnya terjulur.
Pendekar 212 Wiro Sableng melengak kaget sampai tersurut satu langkah! Lidah yang terjulur panjang itu ternyata berada dalam keadaan terbuhul!
“Itu yang membuat dia tidak bisa bicara!” Menjelaskan Nyi Roro Manggut.
“Bagaimana sampai lidahnya jadi seperti ini?”
“Akibat sedotan dahsyat di kepalanya.” Nyi Roro Manggut cabut jepitan kayu pada rambutnya yang dikonde hingga konde terlepas dan rambutnya yang putih sepinggang tergerai ke bawah. Dengan jepitan kayu itu kemudian mengait lidah Hantu Muka Dua sampai terlepas.
Tenggorokan Hantu Muka Dua turun naik. Mulutnya mengeluarkan suara mendesah panjang berulang kali. Lidahnya terluka. Mukanya depan belakang berubah‐ubah beberapa kali. Sesaat merupakan wajah kakek keriput, dilain kejap berupa muka raksasa bercaling. Nyi Roro buang ke tanah jepitan kayu bernoda darah yang tadi dipakai membuka buhulan lidah Hantu Muka Dua.
“Nyi Roro, kau tahu siapa yang melakukan penyedotan itu?” Wiro ulangi pertanyaannya tadi.
“Roh?”
"Roh!" Wiro mengulang heran sambil garuk kepala.
“Benar. Dan kau akan kawin dengan roh itu!”
Murid Sinto Gendeng tersentak kaget. “Nyi Roro, jangan kau bergurau. Mana ada manusia kawin dengan roh.”
Si nenek cebol tersenyum. “Aku tahu, kau menyimpan secarik kain di dalam kantong hitam yang tergantung di pinggangmu. Kau pernah membacanya...”
“Eh, bagaimana kau tahu perihal kain itu?" Wiro menggaruk kepala. “Kain itu memang ada tulisannya. Aku pernah membacanya...”
“Sudah keluarkan saja dan baca sekali lagi apa yang tertulis disitu.” Kata Nyi Roro dengan kepala terangguk‐ angguk.
BAB 6
Wiro mengeruk kantong kain di pinggang yang dipergunakan sebagal tempat menyimpan batu sakti hitam pasangan Kapak Naga Geni 212. Di kantong itu pula dia menyimpan secarik kain putih yang di dapatnya terselip di bawah caping milik Kakek Segala Tahu.
“Baca yang keras biar aku bisa mendengar,” kata Nyi Roro Manggut pula.
Wiro mulai membaca.
Batas antara kebaikan dan kejahatan adalah kebijaksanaan
Kehidupan yang terjadi tanpa Izin Yang Kuasa
Akan menimbulkan bencana malapetaka dimana‐mana
Jika kehidupan pertama tidak dimusnahkan
Rimba persilatan akan kiamat
Dalam kiamat tangan‐tangan jahat akan menjadi penguasa
Darah mengalir sederas air sungai di musim hujan
Nyawa tiada artinya lagi
Hanya pernikahan dengan mayat yang sanggup menjadi tumbal penyelamat
Jika pemilik pertama nyawa kedua seorang perempuan
Nikahkan dia dengan seorang perjaka
Jika pemilik nyawa kedua seorang laki‐laki
Nikahkah dia dengan seorang perawan
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral
Dalam kesakralan ada kesucian
Dalam kesucian ada jalan untuk selamat
Maka kematian abadi akan menjadi jalan keselamatan
“Bagaimana?” tanya Nyi Roro Manggut.
“Apanya yang bagaimana, Nek?” balik bertanya Wiro.
Nenek cebol tertawa lebar hingga hidungnya yang pesek penyet benar‐benar jadi sama rata dengan pipi kiri kanan. “Kau sudah siap?” Kembali Nyi Roro bertanya yang membuat Wiro tambah heran.
“Siap? Siap apa?”
Nyi Roro tertawa cekikian. “Aku bertanya apa kau sudah siap nikah dengan roh?”
Wiro terperangah. Sambil garuk‐garuk kepala murid Sinto Gendeng ini berkata. “Dengan gadis manusia sungguhan saja aku belum sempat dan belum tentu mau nikah. Apalagi dengan roh!” Lalu sang pendekar tertawa sendiri.
“Kau tahu, tulisan di atas kain putih itu bukan sembarangan tulisan dan dibuat oleh orang yang juga bukan sembarangan. Seseorang telah memberikan kain itu pada Kakek Segala Tahu. Aku tidak tahu siapa orangnya! Tapi semua tujuan adalah untuk memusnahkan mahluk‐mahluk jahat yang gentayangan seperti pocong! Kain itu menjadi rebutan beberapa tokoh, termasuk manusia‐manusia pocong penguasa Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Mereka ingin tahu apa yang tertera di situ lalu mencari penangkalnya. Bocah sableng. Kau tahu, satu‐satunya jalan untuk menghancurkan mereka adalah melalui pernikahanmu dengan roh yang ada di dalam lorong...”
“Roh perempuan...?” tanya Wiro.
“Tentu saja roh perempuan! Apa kau mau kawin dengan laki‐laki sejenismu juga?” tukas Nyi nora Manggut lalu tertawa cekikikan.
Wiro garuk‐garuk kepala. “Maksudku masuk ke dalam lorong adalah untuk menyelamatkan perempuan‐perempuan yang diculik. Termasuk para sahabat dan para tokoh.”
“Kau tidak akan mampu melakukan itu karena kau tidak sanggup menghadapi kekuatan roh. Buktinya kau tidak sanggup menjebol dinding batu yang ada pintu rahasianya itu! Dengar bocah sableng, satu‐satunya cara adalah melumpuhkan roh itu hanya dengan cara menikahinya.”
“Gila! Aku tidak mau!” ucap Wiro sambil mengusap tengkuknya yang mendadak menjadi dingin dan merinding.
“Jadi kau tidak mau masuk ke dalam lorong? Membatalkan semua rencana?”
“Bukan tidak mau masuk ke dalam lorong! Tapi tidak mau nikah dengan roh!”
“Anggap saja nikah dengan gadis sungguhan.”
Wiro tak bisa menjawab lagi. Malah kini dia jadi tertawa gelak‐gelak.
“Syukur“ katanya Nyi Roro Manggut pula.
“Syukur apa Nek?”
“Kau tertawa gelak‐gelak. Tandanya kau senang dan suka nikah dengan roh!”
Wiro mencibir dan keluarkan suara seperti orang kentut dari mulutnya.
“Prett!” Ada yang membalas. Dengan kentut sungguhan!
Wiro kaget, memandang berkeliling. Dia tidak melihat orang lain di tempat itu, Nyi Roro tertawa cekikikan. Wiro pandangi nenek ini. Dia tahu bukan Nyi Roro yang barusan kentut. Lalu siapa?
“Sudah, segala kentut kau urusi.” Kata Nyi Roro pula. “Kau tidak punya waktu banyak. Kau harus segera masuk ke dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Tadi kau bertanya padaku mengenai mahluk bermuka dua itu. Walau tubuhnya sangat lemah, kurasa sekarang dia sudah bisa bicara.”
“Aku memang banyak pertanyaan untuknya,” sahut Wiro lalu mendatangi Hantu Muka Dua. Begitu sampai di hadapan Hantu Muka Dua Wiro bukannya ajukan pertanyaan tapi justru mendamprat mahluk dan negeri latanahsilam itu. “Nenek itu sudah menolong membuka buhul lidahmu! Apakah kau tidak punya adat tidak tahu diri untuk mengucapkan terima kasihmu padanya?”
Hantu Muka Dua batuk‐batuk. Mukanya depan belakang masih berupa muka kakek‐kakek keriput pertanda masih ada rasa takut menghinggapi dirinya. Mendengar kata‐ kata Wiro tadi ia segera menggeser tubuh, lalu masih dalam keadaan duduk dia bungkukkan tubuh ke arah Nyi Roro Manggut dan keluarkan ucapan.
“Nyi Roro, aku Hantu Muka Dua dan negeri Latanahsilam sangat berterima kasih padamu. Kau telah melepaskan siksa diriku dari lidah yang terkancing.” Walau sudah bisa bicara namun suara Hantu Muka Dua perlahan sekali karena tubuhnya sangat lemah.
Nyi Roro Manggut pencongkan mulut lalu melirik pada Wiro. Hantu Muka Dua kemudian putar tubuhnya menghadap ke arah Wiro. Kembali dia membungkukkan badan lalu berkata “Aku juga sangat berterima kasih padamu. Aku sudah tewas kalau bukan kau yang menolongku. Mengingat perseteruan kita di negeri Latanahsilam, aku sungguh tidak mengerti mengapa kau mau mengorbankan nyawa menyelamatkanku.”
“Semua silang sengketa di negerimu sudah berlalu. Kau sekarang berada di alam lain.” Jawab Wiro. “Ketika kau terdesak melawanku, dua manusia pocong muncul menolongmu. Kau dilarikan ke dalam lorong. Apakah kau salah seorang dari mereka? Mungkin juga kau biang kerok pimpinan Barisan Manusia Pocong mahluk celaka itu!”
Hantu Muka Dua gelengkan kepala. Tampang kakek keriputnya tampak tegang. “Aku bukan anggota Barisan Manusia Pocong. Apalagi pimpinannya. Mereka menculik aku...”
“Perlu apa mereka menculik dirimu?” yang bertanya Nyi Roro Manggut.
“Semula aku juga tidak mengerti. Ternyata mereka punya maksud jahat. Mereka membawa aku menemui seseorang yang disebut Yang Mulia Sri Paduka Ratu.”
Wiro dan Nyi Roro saling pandang.
“Jadi Yang Mulia Sri Paduka Ratu itu rupanya yang jadi pimpinan Barisan Manusia Pocong.” Ujar Wiro sambil rangkapkan dua tangan di atas dada sementara Nyi Roro tegak angguk‐anggukkan kepala.
“Turut apa yang aku lihat sang Ratu bukanlah pimpinan Barisan Manusia Pocong. Ilmunya memang luar biasa tapi dia berada di bawah kekuasaan dan perintah yang disebut Yang Mulia Ketua. Selain itu ada lagi yang dipanggil dengan sebutan Wakil Ketua. Dia punya kebiasaan mengeluarkan suara berdecak ck...ck...ck.”
“Kau melihat wajah‐wajah semua orang itu? Tahu siapa mereka?”
Hantu Muka Dua gelengkan kepala. "Semua mahluk yang ada dalam lorong mengenakan jubah putih dan kain penutup kepala putih. Termasuk yang dipanggil dengan sebutan Ratu."
“Kau dibawa menghadap Ratu. Apa yang kemudian terjadi?”
“Ratu menyedot seluruh tenaga dalam dan ilmu kesaktian yang ada ditubuhku” jawab Hantu Muka Dua. Lalu dia tundukkan kepala memperlihatkan bekas telapak tangan dan jari‐jari sang Ratu di kulit kepalanya.
Murid Sinto Gendeng raba tengkuknya sendiri, lalu berbisik pada Nyi Roro. “Kalau yang namanya Ratu itu kerjanya hanya menyedot tenaga dalam dan kesaktian orang, dapat dibayangkan betapa luar biasa tenaga dalam dan ilmu kesaktian yang kini dimilikinya. Sudah berapa orang saja yang kena disedotnya? Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Dia bukan pimpinan Barisan Manusia Pocong. Mengapa disuruh menyedot tenaga dalam dan ilmu kesaktian orang?”
“Aku punya dugaan, di balik semua kejadian ini ada satu rahasia besar. Ada satu kejadian luar biasa yang akan meluluh lantakkan rimba persilatan tanah Jawa. Tokoh Seratus Tiga Belas Lorong Kematian mempergunakan tangan orang untuk melaksanakan hal itu. Mungkin Yang Mulia Sri Paduka Ratu itu. Dan firasatku mengatakan Ratu itulah yang bakal jadi calon jodoh untuk dinikahkan dengan dirimu!”
“Apa Nek?” tanya Wiro dengan mata terbelalak.
Nyi Roro hanya senyum‐senyum. “Turut keteranganmu tadi yang akan nikah dengan aku adalah sebangsa roh. Sekarang ternyata malah muncul seorang Ratu.”
“Bocah tolol. Yang namanya Roh itu bisa saja nyangsrang di pohon, nempel di batu, main air di sungai atau masuk ke dalam tubuh manusia hidup atau yang sudah mati, atau nemplok di pantatmu! Hi hik hik!”
“Aku tidak mengerti...” Wiro garuk‐garuk kepala. Dia mendekati Hantu Muka Dua dan bertanya. “Setelah Ratu menyedot tenaga dalam dan kesaktianmu, apa yang kemudian terjadi?”
“Wakil Ketua memerintah seorang Satria Pocong membuang diriku ke dalam jurang di belakang markas. Masih untung aku tidak amblas jatuh sampai ke dasar jurang. Tubuhku tersangkut menyangsrang di pohon sampai kau muncul menyelamatkan diriku. Sekali lagi aku sangat berterima kasih padamu...”
“Aku sempat melihat kau dipanggul keluar dan pintu rahasia di dinding sana. Apa yang kau ketahui mengenal pintu itu?” tanya Wiro pula.
“Pintu batu penuh rahasia. Hanya bisa dibuka dari dalam lewat satu kekuatan gaib. Tidak ada satu kekuatan lain yang bisa membuka pintu dan menjebol pintu itu dan luar...”
“Selain Ketua, Wakil Ketua dan Ratu ada berapa banyak manusia pocong di dalam lorong?”
“Aku tidak tahu pasti. Mungkin beberapa orang saja. Bolak balik aku hanya melihat Wakil Ketua dan seorang bawahannya.” Jawabnya Hantu Muka Dua.
Wiro garuk‐garuk kepala. “Coba kau ingat‐ingat. Selama kau berada di dalam lorong mungkin ada hal atau peristiwa lain yang terjadi? Atau mungkin kau bertemu orang lain yang jadi tawanan. Mungkin juga melihat perempuan‐perempuan bunting?”
“Waktu aku dibawa dan dijebloskan dalam ruangan batu, aku melihat deretan kamar berpintu besi. Lalu masuk seorang perempuan bunting. Dia mencekoki aku dengan sejenis minuman. Kalau aku tidak salah minuman itu disebut Minuman Selamat Datang. Konon siapa saja yang meneguk minuman itu akan lupa diri dan akan tunduk seperti kerbau dipasung. Dalam setiap hal mereka selalu mengumandangkan ucapan Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai! Ternyata minuman itu tidak mempan padaku. Aku lalu ditotok. Aku berada dalam keadaan kaku ketika Ratu menyedot tenaga dalam dan ilmu kesaktian yang ada dalam diriku”
BAB 7
Wiro geleng‐geleng kepala. Nyi Roro manggut‐manggut. “Sudah? Hanya itu saja yang bisa kau ceritakan? Atau...“
“Ada satu kejadian lain,” kata Hantu Muka Dua pula. “Sewaktu aku dipanggul dalam perjalanan ke tempat Ratu...”
“Tunggu,” memotong Nyi Roro. “Kau bilang dibawa ke tempat Ratu. Apakah tempat itu di dalam markas, di dalam lorong atau Ratu punya tempat tersendiri?”
“Ratu punya kediaman sendiri. Letaknya di seberang sebuah lembah kecil. Berbentuk satu rumah panggung berwarna putih. Di bawah atapnya ada sebuah genta besar...”
“Ah... Suara genta itu rupanya suara aneh yang pernah aku dengar beberapa kali...” Ucap Wiro. “Hantu Muka Dua, teruskan keteranganmu.”
“Sewaktu aku dipanggul menuju tempat kediaman Ratu, di dalam lorong terjadi satu kehebohan. Seorang gadis culikan lenyap dan kamar ketiduran Ketua Barisan Manusia Pocong.”
Air muka murid Sinto Gendeng jadi berubah. “Kau tahu siap adanya gadis itu?”
“Turut ucapan Wakil Ketua dan seorang bawahannya gadis itu adalah murid seorang tokoh silat yang diculik. Tokoh itu kalau aku tidak salah berjuluk Dewa Tuak.”
“Anggini!” seru Wiro. “Gadis itu pasti Anggini! Kurang ajar! Kalau manusia‐manusia pocong itu berani menyentuh Anggini aku bersumpah akan membunuh dan mencincang lumat tubuh mereka semua!”
“Wiro, waktu kita tidak banyak. Ada lagi yang ingin kau tanyakan padanya?”
“Aku memperhatikan gerak gerikmu. Nyi Roro tadi juga menyebutkan. Kau pernah bersikap seperti melihat sesuatu. Tanganmu berusaha menggapai. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Sepasang mata Hantu Muka Dua yang berbentuk segi tiga hijau berputar. Setelah batuk‐batuk beberapa kali dan mukanya menjadi merah, baru mahluk ini keluarkan ucapan. “Keselamatan diriku. Aku melihat sebuah benda yang bisa menyelamatkan diriku dari keadaan seperti sekarang ini.” Suara Hantu Muka Dua perlahan sekali sehingga Wiro terpaksa membungkuk dan dekatkan telinganya ke mulut orang.
“Kau melihat benda yang bisa menyelamatkan dirimu. Benda apa? Dimana kau melihatnya?” Tanya Wiro sementara Nyi Roro Manggut memperhatikan sambil rangkapkan dua tangan di atas dadanya.
“Berbentuk cahaya putih...”
Wiro menggaruk kepala. “Kau tidak tahu benda apa itu?”
“Tidak jelas karena mataku silau terkena cahayanya. Tampaknya seperti... mungkin seperti ikat pinggang dalam keadaan tergulung.”
“Benda putih. Bercahaya. Seperti gulungan ikat pinggang...” Wiro ulangi ucapan Hantu Muka Dua. Sulit dia menduga benda apa yang sebenarnya dilihat Hantu Muka Dua itu. Kalau cuma sebuah ikat pinggang, kesaktian apa yang ada di dalamnya hingga mampu menyelamatkan Hantu Muka Dua dan keadaannya yang sekarang.
“Kau melihat benda itu dimana?” Wiro ajukan pertanyaan.
“Di dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Jangankan memiliki jika aku bisa menyentuh saja benda itu, semua tenaga dalam dan kesaktianku yang hilang akan kembali.”
“Luar biasa,” ucap Wiro. “Katakan di sebelah mana Seratus Tiga Belas Lorong Kematian kau melihat benda bercahaya putih itu? Aku akan masuk ke sana. Aku akan berusaha menemukan benda itu dan memberikan padamu...” Wiro mengiming‐iming agar orang mau bicara terus.
“Benda itu bukan berada di satu ruangan atau di satu tempat. Tapi di... di... di dalam rongga. Aku hanya sempat menggapai. Robek! Lihat jari‐jari tangan kiriku. Cidera. Putih semua...”
“Hantu Muka Dua, keteranganmu tidak jelas. Apa yang kau maksud dengan rongga. Kau menggapai, menggapai apa? Apa yang robek?” tanya Wiro mencecar.
“Yang robek pakaian...”
“Pakaian? Pakaian siapa? Lalu rongga yang kau sebut itu, rongga apa?”
“Di dalam tu...“
Belum sempat Hantu Muka Dua menyelesaikan ucapannya tiba‐tiba tubuhnya tampak menggigil hebat. Lalu tidak terduga, entah dan mana datangnya berkiblat satu cahaya putih, menyambar ke arah mahluk dari negeri 1200 tahun silam itu. Karena Wiro berada dekat sekali dengan Hantu Muka Dua sangat mungkin cahaya putih itu akan melabrak dirinya pula.
“Wiro awas!” teriak Nyi Roro Manggut lalu kebutkan ujung lengan kanan pakaiannya. Selarik sinar biru melesat, memotong jalan cahaya putih.
Wiro berpaling. Dia masih sempat melihat sambaran cahaya putih. Secepat kilat Pendekar 212 jatuhkan diri ke tanah. Pukulan yang memancarkan cahaya biru yang dilepas Nyi Roro Manggut sempat menabrak cahaya putih hingga mengeluarkan suara dentuman keras diserta letupan api. Namun sebagian dari cahaya putih itu masih sempat menghantam Hantu Muka Dua. Mahluk ini menjerit keras. Sosoknya terkapar pucat dekat tangga seratus undak. Bagian kiri jubah putih yang dikenakannya kelihatan hangus dan mengepulkan asap kelabu.
“Ada kekuatan gaib yang tidak ingin mahluk ini membuka mulut memberi keterangan.” Berkata Nyi Roro Manggut.
“Kekuatan roh?” tanya Wiro.
“Bagus kalau kau sudah bisa menduga.” Sahut Nyi Roro Manggut pula. “Sekarang lekas ikuti aku.”
“Kau mau mengajakku kemana, Nyi Roro? Aku masih penasaran tentang benda bercahaya putih yang dilihat Hantu Muka Dua itu. Mungkin di situ letak seluruh kekuatan gaib penguasa Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.”
“Jangan banyak tanya. Ikut saja!”
Wiro akhirnya melangkah mengikuti Nyi Roro Manggut. Tiba‐tiba ada satu bayangan kuning berkelebat dan arah pohon besar yang membentang di tengah jurang disertai suara menegur.
“Nyi Roro sahabatku, tadi kita datang bersama. Apa kau tidak ingin aku bertemu dulu dengan pemuda itu sebelum dia kau ajak pergi?”
Nyi Roro Manggut hentikan langkah. Wiro berpaling dan terkejut bukan alang kepalang. Di hadapan Wiro dan Nyi Roro Manggut saat itu berdiri seorang nenek yang keadaannya serba kuning. Mulai dan rambut, wajah dan juga pakaian. Selain itu si nenek juga mengenakan hiasan tiga tusuk konde, giwang, beberapa untai kalung yang kesemuanya juga berwarna kuning. Salah satu dari gandulan kalung berbentuk aneh yaitu berupa sebuah sendok emas.
“Luhkentut! Pantas aku mendengar suara ang kentut beberapa kali sebelumnya. Ternyata kau! Pasti kau dan nenek satu itu sudah lama di sini!” berseru Pendekar 212 dan segera mendatangi lalu pegang dua Si nenek seperti orang kangen. Diam‐diam Hantu Muka Dua juga terkejut melihat kemunculan nenek serba kuning itu. Hatinya mendadak jadi tidak enak. Karena Luhkentut adalah juga mahluk dan negeri 1200 tahun silam. Dan antara mereka tidak terjalin hubungan baik.
“Prett!” Nenek yang dipanggil dengan sebutan Luhkentut pancarkan kentut keras. Membuat Wiro lepaskan dekapannya dan bersurut dua langkah.
“Penyakit kentutmu masih belum lenyap. Jauh‐jauh kau bawa ke sini. Padahal di negeri Latanahsilam kau sudah makan tujuh puluh kibul ayam!”
Si nenek berujud serba kuning tertawa cekikikan. “Untung kau anjurkan aku menelan kibul ayam itu. Aku sekarang cuma kentut sekali‐sekali saja. Kalau tidak penyakit kentutku tidak akan sembuh‐sembuh. Aku akan terus kentut mulai pagi sampai malam. Dan malam sampai pagi lagi. Hik hik hik...”
“Ya... ya, dalam tidurpun kau masih bisa kentut!” kata Wiro menggoda yang membuat tawa Si nenek semakin panjang. (Mengenai nenek bernama Luhkentut ini harap baca kisah Wiro di negeri Latanahsilam berjudul Hantu Langit Terjungkir).
Luhkentut dikenal juga dengan julukan Nenek Selaksa Kentut atau Nenek Selaksa angin. Sebagai salah seorang tokoh berkepandaian tinggi di Negeri Latanahsilam nenek ini memiliki berbagai ilmu kesaktian Iangka. Kepada Wiro dia telah memberikan ilmu kesaktian yang disebut Menahan Darah Memindah Jazad. Dengan ilmu kesaktian ini seseorang bisa memindahkan bagian tubuh manusia ke tempat mana saja yang disukainya.
“Luhkentut, kau ingat sahabatku bernama Setan Ngompol?”
“Kakek bau pesing itu dimana dia? Apa masih suka kencing di celana?” tanya si nenek muka kuning. “Dia pasti gembira kalau bertemu denganmu. Bukankah dulu kau memindah telinga kanannya. Sewaktu kau kembalikan kembali daun telinga itu kau pasang terbalik! Sampai sekarang keadaannya masih seperti itu!” Luhkentut tertawa gelak‐gelak.
“Luhkentut, bagaimana kau bisa muncul di tempat ini?” Wiro ingin tahu. “Apakah kau punya maksud baik menolongku menumpas manusia‐manusia pocong itu?” “Tak sengaja dalam perjalanan aku bertemu dengan Nyi Roro Manggut. Begitu berkenalan kami saling cocok. Dia mengajak aku ke tempat ini. Aku mau saja karena katanya dia akan menemuimu di sini. Ternyata memang benar.”
“Kau mau ikutan aku mencari jalan masuk ke dalam lorong?”
“Aku sudah kebagian tugas dari Nyi Roro.” Si nenek mendekati Wiro lalu berbisik, “Aku harus menjaga Hantu Muka Dua sampai manusia‐manusia pocong itu dimusnahkan. Ada sesuatu yang dikawatirkan Nyi Roro.”
“Apa?”
“Dia tidak mengatakan padaku,” jawab si nenek.
“Luhkentut, sewaktu di Latanahsilam aku mendapat Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah dari Hantu Santet Laknat. Menurutmu dengan ilmu itu apakah aku bisa membongkar dinding batu ini lalu menerobos masuk ke dalam markas manusia pocong?”
“Jangan mencari penyakit. Dirimu belum berada di tingkat roh. Nyi Roro sudah mengatakan padamu bahwa ada kekuatan roh di dalam lorong sana. Dan roh hanya bisa dilawan dengan roh pula.”
Wiro menggaruk kepala. “Kalau begitu aku akan tanyakan pada Nyi Roro apa maksudnya ucapannya itu.”
“Sahabat Luhkentut, kami berdua akan pergi. Seperti yang sudah kita bicarakan di perjalanan harap kau tetap di sini.” Nyi Roro berkata.
Luhkentut anggukkan kepala. Dia tepuk‐tepuk bahu Wiro dan berkata. “Anak muda, jika semua urusan sudah selesai kita ketemu lagi. Banyak cerita yang bisa kita bicarakan. Dari pagi sampai malam.”
“Sambil kentut!”
Luhkentut alias Nenek Selaksa Kentut tertawa cekikan. Wiro tinggalkan nenek dari negeri Latanahsilam itu. Melangkah mengikuti Nyi Roro Manggut. “Nyi Roro, kau mau bawa aku kemana?”
“Dekat‐dekat sini saja,” jawab Nyi Roro seraya berjalan terus dan baru berhenti begitu sampai di pinggiran jurang. Wiro berdiri di samping si nenek.
“Nyi Roro, aku mohon petunjuk tentang ucapanmu roh harus dilawan roh.”
“Apakah kau pernah kenal dengan seseorang dari alam roh?” Nyi Roro balik bertanya. “Cobalah berhubungan dengan dia.”
Wiro garuk‐garuk kepala. “Aku coba mengingat‐ingat dulu. Rasanya… Tapi Nek, katamu aku bisa menghancurkan kekuatan dahsyat di dalam lorong yang berasal dan roh jika aku nikah dengan roh. Sekarang mengapa kau meminta aku menghubungi seseorang dan alam roh?”
“Karena orang itulah yang mungkin akan jadi juru nikahmu” Jawaban Nyi Roro Manggut membuat Wiro tercengang diam, mulut terbuka.
“Nek,” Wiro garuk‐garuk kepala. “Selain urusan dengan gerombolan manusia pocong ini, aku punya dua perkara atau dua tugas besar dan guruku Eyang Sinto Gendeng.”
“Hemmmm, urusan apa?” tanya Nyi Roro pula.
“Aku harus mencari dua benda pusaka Iangka yang lenyap dicuri orang. Pertama sebilah pedang sakti mandraguna bernama Pedang Naga Suci Dua Satu Dua. Yang kedua sebuah buku keramat bernama Kitab Seribu Pengobatan. Aku harus menemukan kedua benda pusaka itu. Apa kau pernah mendengan dan punya petunjuk?”
Nyi Roro geleng‐geleng kepala. Dipegangnya lengan Wiro. Ditariknya seraya berkata, “Berdiri Lebih dekat ke sini!”
Wiro mengikuti ucapan si nenek. “Coba kau memandang ke dalam jurang. Apa yang kau lihat?”
Wiro memperhatikan ke bawah. Ke dalam jurang. “Aku hanya melihat pepohonan. Selainnya redup gelap.”
“Kau tidak melihat dasar jurang?”
“Tidak, nek.”
“Menurutmu apakah jurang ini dalam?” “Dalam sekali,” jawab Wiro
“Heran, mengapa kau bertanya seperti itu Nyi Roro? Orang gila mana yang mau‐mauan mengukur dalamnya jurang.”
“Kalau begitu aku sarankan agar kau mengukur dalamnya sekarang juga!”
Selagi murid Eyang Sinto Gendeng terheran‐heran karena tidak mengerti semua ucapan si nenek, tiba‐tiba Nyi Roro Manggut dorong punggung Pendekar 212 kuat‐ kuat. Tak ampun lagi Wiro terlempar jatuh ke dalam jurang. “Nyi Roro!” Wiro berteriak keras. Suara teriakannya menggaung di seantero tempat, bergelegar di dalam jurang.
Di pinggir jurang, Nyi Roro Manggut tetawa panjang. Lalu berkelebat lenyap ke arah pohon besar yang membelintang di atas jurang. Dekat dinding batu Luhkentut si nenek muka kuning ikutan tertawa. Hantu Muka Dua menyaksikan apa yang terjadi dengan perasaan tercekat. Jika nenek bernama Nyi Roro Manggut itu tega‐teganya membunuh Wiro berarti dirinya tidak bakal lama akan dihabisi pula!
Belum lama Nyi Roro Manggut lenyap dan tempat itu, belum lama pula suara gaung teriakan Wiro sirna tiba‐ tiba dinding batu di depan anak tangga seratus undak bergeser membuka. Bersamaan dengan itu, dan pintu rahasia yang terbuka melesat keluar sebuah benda aneh berbentuk papan panjang. Papan ini meluncur begitu hingga mencapai dan membelintang pada dua pertiga lebarnya jurang.
Tak selang berapa lama, dua orang manusia pocong berkelebat keluar dan pintu rahasia, langsung meniti sepanjang papan. Diberati dua sosok tubuh papan itu kelihatan bergoyang‐goyang turun naik. Mendekati ujung papan, dua manusia pocong berhenti, memandang berkeliling.
“Aneh, orang‐orang kita memberi tahu ada beberapa orang di tempat ini. Salah satunya adalah Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Nyatanya tak ada satu orangpun di tempat ini.”
“Mereka sudah kabur entah kemana. Lihat pohon yang membellntang di atas jurang! Jelas mereka sebelumnya ada di tempat ini, Wakil Ketua.”
“Tadi aku mendengar suara teriakan. Lalu suara perempuan tertawa. Sepengetahuanku tak ada setan atau dedemit di sekitar sini. Lalu siapa yang berteriak, siapa yang menjerit?” Orang yang bicara ternyata Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian. Dia memandang berkeliling sekali lagi. Pandangannya membentur dua buah batang kayu kering yang tergeletak di tanah, di samping kiri tangga batu. “Mungkin salah aku menduga. tapi seingatku dulu tidak ada dua batang kayu kering di tempat itu,” ucap Wakil Ketua. Dia mengangkat bahu lalu berkata, “Sudah kita kembali saja ke dalam lorong. Banyak urusan yang harus kita lakukan.”
Dua manusia pocong itu berbalik, meniti papan panjang yang melesat masuk kembali ke arah pintu rahasia. Namun sebelum masuk ke dalam pintu Wakil Ketua hentikan larinya. Di balik kain putih penutup kepalanya dia menyeringai. Tangan kanannya melepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi dua kali berturut‐turut. Pohon besar yang melintang di atas jurang patah dua lalu bergemuruh masuk ke dalam jurang.
“Siapapun mahluk yang coba sembunyi mengelabui diriku tak bakal punya jalan keluar. Dia akan mati kelaparan di tempat ini! Ha ha ha...!”
Wakil Ketua dan anak buahnya berkelebat masuk. Pintu rahasia tertutup kembali. Dinding batu itu kembali pada ujudnya semula seolah tak ada apa‐apa di tempat itu. Dua onggok batang kayu kering yang tergeletak di samping kiri tangga batu. Secara aneh perlahan‐lahan berubah bentuk menjadi sosok nenek berpakaian serba kuning serta sosok kakek berjubah putih.
“Luhkentut, terima kasih kau telah menyelamatkan diriku dengan ilmu kesaktianmu hingga kita berdua berubah bentuk jadi batang kayu kering tak berguna. Kalau sampai dua manusia pocong tadi itu sempat melihat kita di sini, Jangan harap saat ini kita masih bisa bernafas.”
Nenek Selaksa Angin alias Luhkentut cuma menyeringai dingin mendengar kata‐kata Hantu Muka Dua itu. “Luhkentut, kalau aku boleh bertanya. Mengapa nenek cebol tadi membunuh pemuda bernama Wiro itu?” Sambil bertanya sepasang mata Hantu Muka Dua yang berbentuk segitiga memperhatikan kalung berbentuk sendok yang tergantung di leher si nenek.
“Siapa yang membunuh?” ujar Luhkentut pula.
“Kau menyaksikan sendiri. Nenek itu mendorong Wiro hingga masuk ke dalam jurang. Kau juga aku lihat tertawa. Rahasia apa yang ada di balik semua kejadian aneh ini?”
Luhkentut kembali menyeringai dingin dan tidak memberikan jawaban apa‐apa. Pandangan Hantu Muka Dua ini tertuju ke arah jurang. Pohon yang tadi membelintang tak tampak Iagi karena sudah dihancurkan oleh Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong. Hatinya merasa cemas. Bagaimana dia bisa tinggalkan tempat itu. Melirik ke samping si nenek dilihatnya tenang‐tenang saja.
BAB 8
Teriak kemarahan Pndekar 212 menggelegar di dalam jurang. “Nenek cebol keparat! Apa salahku! Kau pasti kaki tangan kompiotan manusia pocong!”
Namun rasa marah itu dalam sekejap berubah menjadi rasa takut luar biasa. Tubuhnya yang melayang jatuh dengan deras, sesekali tersangkut cabang pepohonan. Cabang‐cabang pohon berpatahan dan dia kembali amblas ke bawah. Sekujur tubuhnya sebelah atas yang tidak berpakaian penuh goresan luka. Sebuah patahan ranting menancap di punggung. Rasa sakit membuat tubuhnya bergetar. Pipi kiri mengucurkan darah akibat luka sewaktu membentur pohon bambu. Bagaimanapun juga rasa saki dan luka‐luka itu tidak seberapa dibanding rasa takut bahwa di bawah sana batu‐batu besar menunggu kejatuhan tubuhnya di dasar jurang!
Dalam keadaan seperti itu Wiro masih berusaha menyelamatkan diri. Kaki dipentang mencari tahanan, tangan menggapai mencari pegangan. Namun bobot tubuhnya yang berat membuat dia tidak berdaya menahan kejatuhan. Semakin dia berusaha mencari selamat, semakin deras tubuhnya jatuh ke bawah. Akhirnya dia hanya bisa pasrah. Agaknya Tuhan memang sudah menakdirkan dia menemui kematian dengan cara begini. Dia tahu dalam hitungan kejapan mata tubuhnya akan menghantam batu di dasar jurang. Remuk dan hancur!
Kematian baginya bukan apa‐apa dibanding dengan beban tanggung jawab untuk menyelamatkan para tokoh, para gadis serta perempuan‐perempuan hamil yang disekap dalam 113 Lorong Kematian. Pada saat‐saat menunggu ajal itu Pendekar 212 berulang kali memanggil nama Gusti AIlah.
“Byuuurrr!”
“Hik‐hik! Ada dedemit kecebur!”
Wiro merasakan tubuhnya amblas dalam air luar biasa dingin. Saat tubuhnya tenggelam ke dalam air rasa sakit perih mencengkeram wajah dan sekujur tubuhnya yang penuh goresan luka.
“Astaga! Berada dimana aku ini?! Masih hidup atau sudah mati?!”
Wiro kembangkan dua tangan ke samping dan gerakkan sepasang kaki. Perlahan‐lahan kepalanya muncul di permukaan air. Dalam keadaan mengambang yang hampir tak bisa dipercaya. Wiro dapatkan dirinya berada di tengah sebuah telaga besar berair luar biasa dingin, dikelilingi kerimbunan pepohonan dan deretan batu‐batu besar membentuk dinding tinggi seperti Iingkaran. Kabut tipis menggantung di permukaan air. Wiro berenang sejauh lima belas tombak lebih mencapai tepian telaga terdekat. Susah payah dia berhasil menggapai deretan batu berlumut, naik ke atas dan duduk di atas batu.
Wiro alirkan hawa hangat yang berpusat di perut untuk melawan gigilan rasa dingin. Lalu dia memandang berkeliling. Di hadapannya terbentang telaga besar berair biru gelap. Kabut menutupi sebagian pemandangan. di sebelah kanan ada cahaya terang. Ketika diperhatikan ternyata terdapat sebuah celah besar berbentuk goa antara dua dinding batu. Sayup‐sayup dia mendengar suara aliran air.
“Apa yang ada di balik celah itu,” pikir Wiro. Rasa nyeri di punggung membuat dia meraba ke belakang. Tangannya membentur patahan ranting yang menancap di punggung. Sambil gigit bibir Wiro cabut patahan ranting. Darah mengucur dan luka yang menganga. Wiro cepat totok urat besar di bahu kiri. Kucuran darah serta merta berhenti.
“Nyi Roro...“ ucap Wiro begitu dia ingat nenek cebol itu. “Permainan jahat apa yang kau lakukan padaku! Kau sengaja mendorong diriku ke dalam jurang. Maksudmu hendak membunuhku atau bagaimana? Apa kau memang sudah tahu di dasar jurang ini ada telaga hingga kalaupun jatuh aku tidak bakal menemui kematian?” Wiro garuk‐garuk rambutnya yang basah. “Kalau ini hanya siasatmu lalu apa tujuanmu? Mencelakai diriku atau...?“ Wiro usap goresan luka di dada kiri. Sekujur tubuhnya basah, dingin dan sakit. “Nenek itu, tidak mungkin dia berniat jahat terhadapku...“ ucap Wiro dalam hati. Otak diputar. “Nyi Roro, apakah kau hendak menunjukkan sesuatu padaku?”
Wiro memeriksa beberapa benda yang disimpan di balik pinggang celana. Kaleng butut milik Kakek Segala Tahu masih ada. Juga kipas kayu cendana dari Nyi Roro Manggut yang harus diserahkannya pada kakek itu. Batu hitam sakti pasangan Kapak Naga Geni 212 masih ada dalam kantong kain. Begitu juga gulungan kecil kain putih. Lalu sapu tangan biru muda pemberian Wulan Srindi, juga masih ada. Dan tentunya Kapak Naga Geni 212 yang tersembul di atas pinggang celana sebelah kiri. Tiba‐tiba saja Wiro ingat. Waktu dirinya jatuh ke dalam telaga tadi dia sempat mendengar suara tawa cekikikan serta ucapan “Ada dedemit kecebur.” Siapa yang tertawa, siapa yang berucap?
“Suara anak‐anak. Aku yakin betul itu suara anak‐anak,” kata Wiro dalam hati. Dia memandang berkeliling. Tidak melihat apa‐apa, kecuali air telaga, batu‐batu yang mengelilingi dan pepohonan. “Jangan‐jangan ada Setan anak‐anak di sini. Sebangsa tuyul... Tempat apa ini sebenarnya? Telaga apa ini sebenarnya? Tempat mandi mahluk halus?”
Wiro mengusap‐usap tengkuknya. Sekali lagi dia memandang berkeliling. Kali ini ada yang membuatnya jadi tercekat. Tadi permukaan telaga tertutup kabut. Kini ketika kabut naik ke atas, di arah kiri dia melihat sebuah perahu kayu terapung‐apung di tepi telaga, ditambatkan pada sebuah tiang yang menancap di tebing batu. Lalu di sebelah sana kelihatan ada tangga kecil merambat ke atas sepanjang dinding batu yang terjal.
“Nyi Roro,” Wiro kembali menyebut nama nenek cebol itu. “Aku menaruh sangka buruk padamu. Kini aku mengerti kau menceburkan aku ke dalam jurang adalah untuk menemukan tempat dan jalan rahasia ini.” Wiro garuk‐garuk kepala. Dia ingat gurunya dan berucap lagi dalam hati. “Eyang Sinto, sebelumnya aku mengejekmu. Ternyata ucapanmu betul. Pakai ilmu bambu. Ada jalan masuk ada jalan keluar...“
Perlahan‐lahan Wiro bangkit berdiri. Celah terang di samping kanan lebih dekat dari perahu kayu yang tertambat. Wiro benjalan di atas batu‐batu di sepanjang tepi telaga. Dia harus kerahkan ilmu meringankan tubuh agar tidak terpeleset ketika menginjak batu licin berlumut.
Begitu sampai di celah terang dan berdiri di atas batu besar, Wiro melihat sebuah sungai berair jernih kebiruan terbentang di depannya. Di seberang sungai menghadang rimba belantara. Wiro perhatikan batu besar yang dipijaknya. Dia melihat sesuatu. Wiro membungkuk agar bisa memperhatikan lebih dekat. Walau tanda‐tanda sangat samar, dia merasa yakin sebelumnya ada orang di tempat itu. Murid Sinto Gendeng bersikap lebih waspada. Bukan mustahil ada orang saat itu tengah memperhatikan gerak‐geriknya. Dia melingkari telaga. Tak kelihatan bayangan orang, tak tampak gerakan. Kecuali perahu kayu yang terapung dan bergoyang perlahan.
Wiro akhirnya mencebur memasuki telaga dan berenang menuju perahu. Pada saat tangan kanannya menggapai pinggiran perahu, dua kepala bergerak naik dari dalam perahu. Ketika Wiro keluarkan kepala dan tubuh atasnya dan dalam air pada saat itu pula ada dua tangan berkelebat. Satu menjambak rambut gondrong basah sang pendekar, tangan kedua mendorong perutnya.
Wiro berteriak kaget. Jantungnya seperti mau copot! Selagi tubuhnya melayang ke udara Wiro mendengar dua suara tawa bergelak. Satu suara anak lelaki, satu lagi suara tawa perempuan. Setelah jungkir balik di udara Wiro melayang turun dan injakkan kaki di atas batu. Di saat hampir bersamaan dua sosok melesat keluar dan dalam perahu kayu, mengumbar tawa haha‐hihi lalu berkelebat ke hadapan Pendekar 212. Tidak tunggu Lebih lama sebelum dua sosok itu menginjak batu murid Sinto Gendeng segera pukulkan dua tangan ke depan.
“Hai ini aku!” Suara anak kecil berteriak nyaring.
“OaIa! Apa kau tidak mengenali diriku lagi? Hik hik!” Menimpali suara perempuan yang disertai tawa cekikikan!
Wiro terkesiap dan cepat tarik dua tangannya yang sudah diisi kekuatan tenaga dalam tirggi. Mata mendelik dan begitu dia mengenali siapa dua orang yang berdiri di hadapannya Iangsung saja mulutnya memaki.
“Bocah kurang ajar! Kau rupanya. Dan kau nenek jahil!” Dua orang yang dimaki semakin keras gelak tawanya. “Setan keblinger! Kalian masih bisa tertawa! Bagaimana kalian bisa muncul di sini?” Bentak murid Sinto Gendeng. “Kami lagi jalan‐jalan. Saking enaknya jalan‐jalan kesasar sampai ke sini. Kami berdua mau mandi bugil‐bugilan di telaga waktu kau muncul! Takut diintip bugil kami lantas sembunyi di dalam perahu!”
“Bocah sialan! Apa kau dan nenek kekasihmu itu tahu berada dimana saat ini?”
Dua orang di hadapan Wiro tertawa haha‐hihi. Orang pertama anak lelaki berpakaian hitam berambut jabrik bukan lain adalah Naga Kuning bernama asli Gunung. Pada dada pakaiannya tergurat gambar seekor naga bergelung, kulit kuning mata merah. Seperti diketahul ujud asli anak lelaki ini adalah seorang kakek berusia lebih dari seratus tahun, yang dalam rimba persilatan dikenal dengan julukan Kiai Paus Samudera BInu. Di punggung Naga Kuning terikat sebuah bumbung bambu yang sudah pecah.
Di samping Naga Kuning tegak seorang nenek berambut tebal kelabu berwajah angker. Bahkan waktu tertawa atau tersenyum sekalipun tampangnya tetap mengerikan. Lima jari tangan yang menyembul di balik lengan jubah hitam memiliki kuku runcing berwarna hitam pekat. Siapa gerangan nenek ini?
Nama asli semasa mudanya adalah Ning Intan Lestari. Dalam rimba persilatan tanah Jawa dia kemudian dikenal dengan julukan Gondoruwo Patah Hati. Konon si nenek tengah berusaha mendapatkan satu llmu kesaktian yang disebut Ilmu Kuku Api. Namun karena banyak masalah besar yang dihadapi dalam dunia persilatan, ilmu tersebut sampai saat ini masih belum dapat dirampungkan.
Diriwayatkan dalam beberapa Episode serial Wiro Sableng sebelumnya, di masa muda antara Gunung dan Ning Intan Lestari terjalin hubungan tali kasih. Nasib membuat mereka berpisah selama puluhan tahun dan ketika bertemu kembali keduanya sudah berusia sangat lanjut. Namun hubungan cinta yang selama ini seolah terputus kini bersambung kembali dengan segala kehangatannya. Sejak beberapa lama belakangan ini kemana‐mana mereka selalu berduaan.
“Wiro,” kata Naga Kuning menjawab pertanyaan Pendekar 212 tadi. “Kami dua insan yang sedang dimabuk cinta. Mana perduli dimana kami berada saat ini?”
“Cinta gila bisa membuat kalian mati konyol di tempat ini!” tukas Wiro.
“Nyatanya kau juga ada di sini. Apa juga mau ikutan mati konyol? Kalau begitu silahkan mati konyol duluan!” ucap si nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati lalu tertawa gelak‐gelak.
“Kalian berdua sama saja gebleknya!” Wiro mengomel kesal. Sebaliknya Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati malah tertawa haha‐hihi.
Wiro perhatikan bumbung bambu di puggung Naga Kuning. Dia mengenali benda itu adalah bumbung bambu milik Dewa Tuak yang pernah ditemukannya di sebuah pondok di tengah hutan tempat dimana Wulan Srindi hampir jadi korban perkosaan manusia pocong.
“Anak kurang ajar! Bagaimana bumbung bambu itu bisa ada padamu?” Wiro bertanya.
“Kami menemukannya di sebuah gubuk ambruk di tengah hutan,” yang menjawab Gondoruwo Patah Hati. “Melihat bentuk dan bau yang masih menempel di bumbung itu, kami menduga keras bumbung itu adalah milik tokoh silat bernama Dewa Tuak. Kalau bumbung miliknya ditinggal begitu rupa dalam keadaan pecah sedang orangnya tidak kelihatan, kami menaruh curiga sesuatu telah terjadi dengan kakek itu. Apa lagi melihat keadaan gubuk jelas ada tanda‐tanda terjadinya penkelahian hebat di sana. Kami juga melihat percikan darah.”
“Bagaimana pun juga dia adalah sahabat kita semua,” menyambung Naga Kuning. “Pantas saja kami berusaha menyelidik apa yang terjadi dengan kakek itu, dimana dia berada saat ini. Apa lagi kami menyirap kabar bahwa di salah satu bagian kawasan ini terdapat lorong maut yang dikenal dengan nama Seratus Tga Betas Lorong Kematian, markas manusia‐manusia jahat yang menamakan diri Barisan Manusia Pocong. Waktu pertemuan kita terakhir kali tempo hari, kami berdua berniat bergabung dengan kalian di Kotaraja, di gedung kediaman Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan. Tapi kami tidak menemukan dirimu dan tuan rumah. Juga tidak melihat bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini. Terakhir kami sempat melihat Ratu Duyung di sebuah rumah di Jatipurno. Ada manusia pocong yang hendak memperkosa Sutri Kaliangan! Nasibnya jelek. Kemaluannya aku gebuk sampai amblas!”
“Kami juga mendapat kabar bahwa selain menculik perempuan‐perempuan hamil ternyata orang‐orang Seratus Tiga Betas Lorong Kematian juga menculik para tokoh silat serta orang‐orang berkepandaian tinggi. Apa maksud mereka perlu diwaspadai. Di masa muda aku sering berkeliaran di tempat ini. Aku tahu kalau ada sebuah telaga di bawah bukit batu. Aku dan Naga Kuning menyusuri sungai dengan perahu. Beberapa jauh dari sini perahu kami kandas. Kami masih bisa berenang dan berhasil menemukan telaga ini. Ternyata di sini kami menemul kejutan!”
“Kejutan apa?” tanya Wiro pula pada Gondoruwo Patah Hati.
“Di telaga kami menemukan sebuah perahu. Lalu dinding batu ini kini memiliki sebuah tangga menuju ke atas. Berarti ada pintu di atas sana. Paling tidak ujung tangga ini berhubungan dengan sebuah ruangan. Karena telaga berada di bawah bukit batu tempat terletaknya Seratus Tiga Betas Lorong Kematian kami berdua yakin ini semua adalah pekerjaan manusia‐manusia pocong penghuni lorong!”
Wiro garuk‐garuk kepala mendengar semua ucapan Naga Kuning itu. Gondoruwo Patah Hati memandang ke bagian tangga sebelas atas. Lalu berkata, ”Aku dan Naga Kuning tengah memeriksa perahu ketika kau jatuh dan kecemplung masuk ke dalam telaga.”
“Yang aku heran, mengapa kau kini cuma tinggal mengenakan celana. Kemana baju putih bututmu?” bertanya Naga Kuning. Lalu ia meneruskan, “Jangan‐ jangan ada anak gadis orang yang kau kerjakan di atas sana. Gadis itu berontak dan mendorongmu ke dalam jurang! Betul!?”
“Anak Setan bermulut jahil. Enak saja kau menuduh yang bukan‐bukan!” damprat murid Sinto Gendeng. Lalu dia cenitakan yang terjadi dijurang.
“Jadi nenek cebol yang suka manggut‐manggut itu yang melemparkanmu ke dalam jurang?” ujar Naga Kuning.
“Tadinya aku menduga buruk. Ternyata dia sengaja ingin mengirim aku ke tempat ini. Untuk menunjukkan bahwa ada jalan rahasia menuju Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Saat itu aku ingin cepat‐cepat menerobos ke atas. Tapi ingat pada petunjuk Nyi Roro Manggut aku harus berlaku waspada. Di dalam lorong ada satu kekuatan luar biasa. Kekuatan roh!”
“Kau jangan menakut‐nakuti aku!” kata Naga Kuning.
Wiro menyeringai. “Kita akan masuk ke sana. Kau akan lihat sendiri apa aku menakuti dirimu atau tidak. Nyi Roro minta aku berhubungan dengan roh agar bisa menghadapi kekuatan yang ada di dalam lorong. Aku jadi bingung. Mau menghubungi roh siapa? Bagaimana caranya? Salah‐salah aku bisa dipencet roh sampai mati mencelet!”
“Kenapa bingung?” ujar Naga Kuning pula. “Setahuku kau punya kekasih. Seorang gadis dari alam roh!”
“Astaga!” Wiro terkejut. “Anak kurang ajar! Kau betul!” lalu Pendekar 212 sibuk menggeledah sekitar pinggangnya. Semua benda yang disimpan di balik pinggang kecuali Kapak Naga Geni 212 dikeluarkan. Yaitu sapu tangan biru muda pemberian Wulan Srindi, kipas cendana pemberian Nyi Roro Manggut, kaleng rombeng milik Kakek Segala Tahu, batu hitam serta gulungan kain putih kecil. Namun benda yang dicarinya tidak ditemukan. Wiro jadi bingung. Diperiksanya sekali lagi. Pinggang celana ditarik ke depan, di betot ke samping.
“Ada apa? Apa yang kau cari?” tanya Naga Kuning. “Burungmu lenyap?!”
“Hik hik hik.” Gondoruwo Patah Hati tertawa cekikan.
“Jangan bergurau! Aku mencari benda yang sangat menentukan mampu tidaknya kita menghadapi kekuatan roh di dalam lorong! Celaka, jangan‐jangan benda itu ada di saku baju putihku! Itu satu‐satunya benda yang bisa menghubungkan aku dengan gadis dan alam roh!”
Naga Kuning menunjuk ke batu di depan kaki kiri Wiro. Ketika Wiro sibuk mencari‐cari seputar pinggang celananya, anak ini melihat sebuah benda meluncur dari kaki celana kiri Wiro. “Benda itu yang kau cari?”
Wiro memandang ke arah yang ditunjuk Naga Kuning. Mata membesar, mulut menyeringai. Dia menjadi lega dan cepat‐cepat mengambil benda yang ada di atas batu di depan kakinya.
BAB 9
Benda yang dipungut Wiro itu ternyata adalah sekuntum kembang kenanga yang telah mengering dan kini menjadi layu karena kebasahan air telaga. Wiro mengeringkan bunga basah itu dengan kedua tangannya sambil meniup‐niup. Setelah itu Wiro pegang kembang kenanga itu diantara ibu jari dan jari tengah tangan kanan. Mata dipejamkan. Sambil menggosok perlahan bunga di antara dua jarinya Wiro berucap.
“Bunga, datanglah. Aku membutuhkan pertolonganmu. Bunga datanglah...“ Wiro menunggu dengan dada berdebar. Tidak terjadi apa‐apa. dia mengulang Iagi. Kembang kenanga digosok‐ gosok. Mulut berucap, ”Bunga, aku memerlukanmu. Datanglah...“
Naga Kuning dekatkan mulutnya ke telinga Gondroruwo Patah Hati dan berbisik, “Apa yang dilakukannya? Bicara sendiri sambil mengusapusap kembang kenanga...“
Si nenek meilntangkan jari telunjuknya di atas bibir. “Jangan berisik. aku tahu apa yang dilakukannya. Aku tahu siapa yang dipanggilnya.”
Naga Kuning masih bandel. “Maksudmu dia tengah memanggii kekasihnya gadis dan alam roh itu? Mana aku tahu kalau caranya begitu. Aku ....“ Anak lelaki itu baru hentikan bicaranya ketika tiba‐tiba dia mencium harumnya bau kembang kenanga santar sekali. Si nenek juga sudah mencium bau itu dan dalam keadaan tercekat dia sama sekali tidak kedipkan mata.
Tiba‐tiba dan arah batu yang terang terasa ada sambaran angin. Cahaya terang untuk sesaat seperti terhalang. Suasana di sekitar telaga menjadi redup. Ketika cahaya dan luar kembali memasuki telaga terdengar satu suara berucap.
“Wiro, aku di sini.”
Wiro berpaIing ke arah datangnya suara. Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati melakukan hal yang sama. Di situ, di atas perahu tampak segulung asap yang perlahan‐lahan berubah menjadi sosok seorang gadis mengenakan kebaya putih berkancing besar. Dia duduk di lantai perahu. Dua kaki yang disilang terlindung oleh celana putih sebatas betis. Di tangan kanannya dia memegang sehelai baju putih. Wajahnya cantik namun pucat seperti tidak berdarah. Inilah gadis dan alam roh bernama Suci yang oleh Wiro dipanggil dengan sebutan Bunga.
Dalam serial Wiro Sableng benjudul Dewi Bunga Mayat dikisahkan bahwa Suci menemui kematian akibat diracun oleh Sadewo, bekas kekasihnya sendiri atas suruhan Suntini, adik tiri Suci. Antara Wiro dan Suci kemudian terjalin satu hubungan mesra. Suci yang menyadari keadaan dirinya yang berbeda alam dengan Wiro dan tak mungkin hidup berdampingan dengan pemuda itu lebih banyak mengalah dan sengaja menjauhkan diri. Namun dia memberikan sekuntum kembang kenanga pada Wiro. Jika Wiro ingin bertemu dengan dirinya Wiro harus mengusap kembang kenanga itu sambil memanggil namanya.
Dalam girangnya melihat kemunculan Bunga, Pendekar 212 melompat dari atas batu. Di dalam perahu, Bunga bangkit berdiri, kembangkan dua tangan lalu melesat keudara menyambut kedatangan Wiro. Untuk beberapa saat keduanya seperti menghambang dan saling berangkulan di udara.
“Wiro, aku rindu padamu. Rindu sekali” bisik Bunga. Wiro memeluk erat‐erat gadis dan alam roh itu. Bunga menggerakkan kakinya. Dia membawa Wiro melayang turun ke atas batu.
“Aku juga rindu padamu, Bunga. Tapi saat ini ada perkara besar yang tengah aku hadapi. Aku butuh bantuanmu.”
“Dalam alamku, aku sudah tahu kesulitan apa yang tengah kau hadapi. Tapi seperti yang pernah aku jelaskan, aku tidak bisa keluar dan alamku. Kecuali kau mengusap kembang kenanga itu dan menyebut namaku. Untung kau masih menyimpan kembang itu. Dulu kuberi satu pernah kau hilangkan.”
Wiro tersenyum. “Maafkan aku Bunga. Dua orang temanku ada di sini. Mari kuperkenalkan kau pada mereka.” “Biar dulu, aku masih kangen. Aku masih ingin memelukmu,” jawab Bunga dan tidak mau melepaskan pelukannya.
Naga Kuning kembali keluar jahilnya. Dia mendehem berulang kali sampai akhirnya Wiro dan Bunga lepaskan pelukan masing‐masing. Bunga tersenyum manis dan lambaikan tangan pada Naga Kuning. Pada Gondowuro Patah Hati dia anggukkan kepala lalu membungkuk. Si nenek balas penghormatan Bunga dengan kedip‐ kedipkan sepasang matanya.
Bunga angsurkan tangannya yang memegang baju putih. “Di alamku aku melihat kau tidak mengenakan baju. Pakailah ini, mudah‐mudahan cocok.”
Wiro mengambil baju yang diberikan Bunga lalu memakainya dan ternyata cocok dengan besar tubuhnya. “Terima kasih...“ bisik Wiro sambil membelai pipi gadis dan alam roh itu.
“Bunga, seorang nenek sakti bernama Nyi Roro Manggut memberi tahu bahwa kau akan menjadi juru nikahku. Kau akan mengawinkan aku dengan roh yang berada dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Setelah itu baru kekuatan jahat yang ada di lorong dapat dimusnahkan.”
Wiro hendak mengeluarkan gulungan kain putih dari dalam kantong kain yang terikat di pinggangnya. Bunga tersenyum. “Tidak usah dikeluarkan. Tulisan di atas kain putih itu aku yang menulisnya. Dan alam gaib aku kirim ke dalam alammu. Diterima oleh tokoh silat berjuluk Dewa Sedih. Selanjutnya kain itu sampai di tangan Raja Penidur yang kemudian diserahkan pada Kakek Segala Tahu dan akhirnya jatuh ke tanganmu.”
Kaget Wiro bukan olah‐olah. Mulutnya sampai menganga dan sepasang mata terbuka lebar tak berkesiap. “Bunga, kau merencanakan pernikahan bagi diriku,” ucap Wiro perlahan. “Aku...“
Bunga tundukkan kepala. “Aku mengerti apa yang ada dalam hati dan pikiranmu. Perasaan kasihku padamu ingin menolak hal itu. Namun aku merasa punya tanggung jawab untuk menolong dirimu serta rimba persilatan dimana kau berada. Hanya pernikahan itu yang akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang disekap di dalam lorong. Hanya pernikahan itu satu‐satunya jalan yang bisa menyelamatkan rimba persilatan. Kalau saja nasib diriku bukan sebagai mahluk dan alam roh, sudah lama aku ingin bersimpuh di depan kakimu untuk dapat kau terima sebagai teman pendamping hidupmu. Namun...“ Bunga tidak meneruskan katakatanya. “Maafkan aku Wiro. Aku tidak dapat menahan perasaanku. Tidak seharusnya aku mengeluarkan kata‐kata tadi.”
Kalau saja di situ tidak ada Naga Kuning dan Gondowuro Patah hati, ingin sekali Wiro memeluk gadis dari alam roh itu kembali. Masih bingung Wiro kembali ajukan pertanyaan. “Pernikahan itu, apakah memang benaran? Maksudku apakah aku betul‐betul akan terikat dalam satu tali perkawinan? Gila! aku tidak dapat membayangkan!"
“Aku juga tidak dapat membayangkan. Aku hanya menjalankan sesuatu yang tersirat dan tersurat sebagaimana petunjuk yang aku dapat dari alamku.”
Wiro garuk‐garuk kepala. “Bunga sebenarnya apa tujuan manusia pocong penghuni lorong dengan segala perbuatan keji mereka itu?” tanya Wiro pula.
“Mereka ingin menguasai dan menjadi raja diraja rimba persilatan. Caranya dengan menghimpun seluruh kekuatan yang dimiliki para tokoh persilatan melalui satu ilmu sesat. Memanfaatkan kekuatan nyawa kedua atau memperalat kekuatan roh yang saat ini bisa mereka kuasai.”
“Nyawa kedua? Aku tidak mengerti.” Murid Sinto Gendeng lagi‐lagi garuk‐garuk kepala.
“Seseorang yang sudah mati dihidupkan kembali. Rohnya yang mengapung diantara langit dan bumi dimasukkan kembali ke dalam jazadnya lalu dikuasai. Dialah yang disebut dengan panggilan Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Mahluk dengan nyawa kedua dan alam roh ini akan melakukan apa saja segala yang diperintahkan oleh orang yang menguasainya. Dan orang ini adalah penguasa atau pimpinan Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.”
“Kau tahu siapa orangnya?”
Bunga gelengkan kepala. “Sebelum aku masuk ke dalam lorong sulit aku menduga siapa adanya mahluk dengan nyawa kedua dan alam roh itu.”
“Luar biasa. Mengerikan...“ ucap Wiro.
“Wiro, jika sampai di dalam lorong, berlaku hati‐hati. Orang‐orang di dalam lorong telah mengetahui kedatanganmu dan dua sahabatmu itu.”
“Aku sudah menduga hal itu,” jawab Wiro.
“Satu hal lagi, Wiro. Di dalam lorong sahabat bisa menjadi musuh yang dapat membunuhmu.”
“Terima kasih, kau telah mengingatkan aku…“ kata Wiro sambil meremas jari‐jari tangan Bunga. “Sebelum kau pergi, ada satu hal yang ingin aku tanyakan.”
Bunga anggukkan kepala. “Di atas jurang sana ada seorang kakek dari negeri seribu dua ratus tahun silam. Dia menjadi korban keganasan penghuni lorong. Seluruh tenaga dalam dan kesaktiannya disedot oleh mahluk yang disebut Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Menurut Nyi Roro dialah yang akan dinikahkan dengan diriku. Apa yang dikatakan Nyi Roro sama dengan yang kau jelaskan.”
“Lalu?” tanya Binga pula.
“Kakek itu bercerita. Waktu di dalam lorong dia melihat sebuah benda putih bercahaya. Katanya jika saja dia bisa menyentuh benda itu maka seluruh tenaga dalam dan kesaktiannya yang lenyap akan kembali. Bunga, kau tahu benda apa yang dilihat kakek itu?”
Bunga diam sejenak, seperti merenung. “Wiro, aku barusan mendapat petunjuk. Benda itu adalah salah satu dan dua benda pusaka yang lenyap.” Habis keluarkan ucapan itu sekujur tubuh Bunga mendadak bergetar hebat. Mukanya seputih kain kafan. Dua kakinya yang menginjak batu kepulkan asap putih. “Bunga!” seru Wiro kaget dan cepat hendak memeluk gadis alam roh itu sambil alirkan hawa sakti untuk menjaga segala kemungkinan. Wiro merasa ada hawa panas menyengat dirinya. Cepat dia kerahkan tenaga dalam untuk membentengi diri. Hawa panas yang menyengat perlahan‐lahan hilang.
“Tenang Wiro. Aku masih dapat menguasai diri. Kekuatan roh di dalam lorong melancarkan serangan gaib agar aku tidak bicara.”
“Benda itu Bunga, apakah Pedang Naga Suci Dua Satu Dua atau Kitab Seribu Pengobatan?” tanya Wiro.
“Aku tidak dapat memastikan sebelum masuk ke dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Saat ini aku hanya bisa menduga‐duga. Benda yang dilihat kakek itu mungkin Pedang Naga Suci 212.”
“Dess! Dess! Dess!”
Tiga letupan keras menggema di tempat itu. Dua tepat di bawah kaki Bunga hingga gadis alam roh ini terpekik dan terlempar ke udara. Dua kaki celananya kelihatan hangus hitam. Letupan ke tiga terjadi di atas kepala Bunga. Untuk menghindari cidera akibat letupan di atas kepalanya, gadis alam roh hantamkan tangan kanan ke atas.
“Bummmmm!”
Satu ledakan dahsyat menggelegar. Permukaan air telaga sampai muncrat. Perahu kayu bergoyang keras dan terangkat sepuluh jengkal di atas permukaan air telaga. Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati saling berpegangan karena batu yang mereka pijak bergeletar keras. Wiro tegak tergontai‐gontai dengan wajah pucat. Bunga hampir jatuh terduduk. Ketika dia berhasil berdiri, sekujur tubuhnya bergetar dan keringat kebiruan memercik di wajahnya yang pucat pasi. Setelah keadaan gadis dari alam roh itu tenang, Wiro berkata,
“Bunga, boleh aku mengajukan satu pertanyaan lagi?”
Bunga anggukkan kepala.
“Menurut kakek tadi, dia melihat, dia melihat benda itu di dalam rongga. Bunga, mungkin kau tahu rongga apa?” Bunga tersenyum. Gadis alam roh ini kembali merenung. Sesaat kemudian dia gelengkan kepala.
“Maafkan aku Wiro. Aku bisa menjawab pertanyaanmu itu. Tapi jika kuberitahu tempat ini akan runtuh. Aku bisa selamatkan diri. Kau dan tiga temanmu tak mungkin lolos dari maut!”
Wiro garuk kepala lalu berkata, “Aku bisa menduga rongga apa yang dimaksudkan kakek itu”
“Wiro! Jangan kau sebutkan! Kita bisa mati semua!” Bunga cepat memberi ingat sambil menekap mulut Wiro dengan jari‐jari tangan kanannya. Wiro hanya bisa mengangguk‐angguk.
“Maaf, aku masih punya satu pertanyaan,” kata Wiro pula. Bunga tersenyum dan anggukkan kepala. “Aku pernah mengerahkan beberapa ilmu kesaktian bahkan menghantam dinding batu jalan masuk ke dalam lorong. Aku pernah menerapkan Ilmu Meraga Sukma. Tapi semua itu membalik menghantam diriku sendiri...“
“Kau atau siapapun selaku manusia tidak mungkin menghadapi kekuatan roh secara langsung. Justru disitulah letak pantangannya. Roh di dalam lorong memiliki kekuatan luar biasa. Dan roh itu menyedot kekuatan yang kau keluarkan untuk kembali dihantamkan pada dirimu. Pada siapa saja yang berani menghadapinya secara langsung. Apapun yang terjadi, dimanapun, jangan sekali‐kali berani melakukan adu kekuatan secara langsung dalam satu garis lurus dengan roh.”
“Kalau begitu tidak seorangpun, tidak satu kekuatanpun yang bisa menghadapi sang Ratu.”
“Kaulah yang akan menghadapinya Wiro. Dengan pernikahan itu. Dengan menikahi dirinya. Aku hanya bertindak sebagai pembantu.”
Wiro garuk‐garuk kepala sementara tengkuknya terasa merinding.
“Ada satu hal yang perlu aku jelaskan padamu, Wiro,” kata Bunga pula. “Di dalam lorong terdapat sebuah benda berupa batu pipih hitam persegi. Batu inilah yang jadi pangkal sebab segala bencana. Kau harus mendapatkan batu itu dan menghancurkannya. Dan petunjuk yang aku lihat di alam gaib, batu itu berada di tangan pimpinan manusia pocong.”
“Tambah lagi satu pekerjaan...“ ucap Wiro sambil garuk‐ garuk kepala.
“Aku pergi sekarang. Aku akan membukakan pintu rahasia di atas tangga sana untukmu dan teman‐teman. Sebelum pergi aku akan memberikan sesuatu padamu.” Dan balik kebaya putihnya Bunga keluarkan sebuah kantong kecil terbuat dan kain putih. “Ambil, simpan baik‐baik. Dalam keadaan terdesak jika kau harus berhadapan dengan kekuatan roh di dalam lorong usap wajah dan tubuhmu dengan benda ini. Sebagian tebarkan di depannya.”
“Benda apa yang ada di dalam kantong ini?” tanya Wiro. “Serbuk Setanggi.”
“Eh, dimana sebelumnya aku mencium bau Setanggi?” Wiro bertanya‐tanya pada diri sendiri. Lalu dia ingat. “Bunga, sewaktu aku hendak mencoba masuk ke dalam lorong menerapkan Ilmu Meraga Sukma, ada kekuatan dahsyat menghantam diriku disertai menebarnya bau Setanggi.”
“Kekuatan dahsyat itu adalah kekuatan roh. Datang dari dalam lorong bersama tebaran bau setanggi.” Menerangkan Bunga. Gadis dan alam roh ini memegang lengan sang pendekar dan berkata, “Aku pergi sekarang. Hati‐hatilah! Keselamatan semua orang yang diculik dan berada di dalam lorong kematian serta masa depan rimba persilatan berada di tanganmu...“
Wiro menggaruk kepala, “Aku selalu ketiban pulung hal yang tidak enak...“ ucapnya.
Bunga lepaskan pegangannya di lengan Pendekar 212. Sosok gadis alam roh itu melesat ke atas dan lenyap dan pemandangan, meninggalkan bau harum bunga kenanga yang membuat Naga Kuning, Gondoruwo Patah Hati dan Wiro jadi tercekat. Setelah Bunga tinggalkan tempat itu Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati datangi Wiro. Si bocah pegang lengan sahabatnya.
“Wiro, apa aku barusan tidak salah dengar. Gadis alam roh sahabatmu itu bilang kau akan dikawinkan dengan roh yang ada di dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Kawin dengan gadis benaran saja kau belum pernah. Sekarang kau mau kawin dengan roh! Apa otakmu sudah berubah pindah ke dengkul, lalu turun ke pantat?”
Wajah Pendekar 212 tampak memerah. Namun enak saja dia menjawab. “Sahabatku bocah berambut jabrik,” kata Wiro pula. “Kau memang tidak salah dengar. Karena kau belum torek, belum budek. Tapi kau keliru menyebut. Aku bukannya mau dikawinkan. Tapi dinikahkan...“
“Lalu apa bedanya?” tanya Naga Kuning.
“Tentu ada beda. Kalau nikah pakai niat. Kalau kawin pakai urat!” jawab murid Sinto Gendeng lalu tertawa gelak‐gelak dan melompat ke arah tangga batu.
********************
BAB 10
Kembali ke kawasan jurang di sebelah belakang bukit batu dimana terletak 113 Lorong Kematian. Tak lama setelah Pendekar 212 didorong jatuh ke dalam jurang Nyi Roro Manggut tinggalkan tempat itu dengan melintas di atas tumbangan pohon. Tak selang berapa lama ketika setelah Wakil Ketua dan anak buahnya muncul dari pintu rahasia lalu menghancurkan pohon yang melintang di atas jurang dan kembali masuk ke dalam lorong lewat pintu rahasia di dinding batu, dua orang melayang turun dari atas satu pohon besar berdaun rimbun. Rupanya sudah cukup lama mereka sembunyi di atas pohon dan menyaksikan semua kejadian di tempat itu. Kedua orang ini ternyata gadis cantik Bidadari Angin Timur dan Jatilandak, pemuda berkulit kuning dan negeri 1200 tahun silam.
“Aku mengkhawatirkan Wiro. Kalau sampai dia menemui ajal di dasar jurang...“
Bidadari Angin Timur bersikap dingin saja mendengar ucapan Jatilandak. “Kau tidak khawatir?” tanya Jatilandak sewaktu Bidadari Angin Timur dilihatnya hanya berdiam diri.
“Sebelumnya kau sudah tahu, aku tidak ingin ke tempat ini. Tapi kau membujuk...“
“Maksudku baik. Ingin membantu para sahabat yang menghadapi urusan besar,” sahut Jatilandak.
“Umur manusia di tangan Tuhan. Kalau pemuda itu harus menemui kematian di dasar jurang, apa yang perlu dikawatirkan?”
“Sahabatku, kau menyaksikan sendiri nenek itu mendorong Wiro masuk ke dalam jurang. Tidakkah kau ingin tahu mengapa dia melakukan hal itu?”
“Mungkin saja nenek itu punya silang sengketa dengan Wiro. Mungkin pula si nenek adalah kaki tangan orang‐ orang penghuni lorong atau salah seorang dari mereka yang sengaja muncul untuk mencelakai Wiro. Pemuda itu karena tidak tahu gelagat dan tidak waspada akhirnya jadi korban. Dalam rimba persilatan segala sesuatunya bisa terjadi. Kematian bisa berlangsung karena seribu satu macam sebab. Wiro telah menemukan penyebab kematiannya…”
“Kalau Wiro benar‐benar menemui ajal di dasar jurang, apakah kau tidak punya rasa hiba? Bukankah antara kau dan dia...“
Jatilandak tidak teruskan ucapannya. Bidadari Angin Timur sendiri berdiri sambil rangkapkan dua tangan di atas dada dan kepala memandang ke langit yang terlihat di sela‐sela kerimbunan daun pepohonan. Bibirnya digigit‐gigit.
“Jatilandak,” sang dara akhirnya keluarkan ucapan. “Aku tak ingin lagi membicarakan pemuda itu. Aku mengikutimu cukup hanya sampai di sini. Kau silahkan meneruskan perjalanan seorang diri”.
Jatilandak menatap lekat‐lekat ke wajah cantik itu. “Sahabat, aku sedih sekali mendengar semua ucapanmu. Seandainya kau benci pada seseorang akulah orangnya. Karena sebenarnya akulah yang telah berlaku keliru. Kalau Wiro menemui kematian tanpa aku sempat memberi keterangan padanya tentang hubungan kita, aku akan menyesal seumur hidup...“
“Kita tidak punya hubungan apa‐apa. Seandainya dia nanti ditemui dalam keadaan hidup, tidak ada yang perlu diterangkan. Bukankah dia sudah berbahagia dengan sahabat barunya, gadis bernama Wulan Srindi itu?” kata Bidadari Angin Timur pula.
Di dalam hati Jatilandak bertanya‐tanya apa sebenarnya yang membuat gadis berambut pirang itu selalu berubah‐ubah pikiran serta menunjukkan kebencian mendalam terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng. Hanya karena rasa cemburu yang berubah menjadi kebencian semata?
“Aku ingin pergi. Kau mau ikut bersamaku?” Bidadari Angin Timur bertanya. Dia bertanya dengan kepala dipalingkan ke jurusan lain. Untuk menyembunyikan sepasang matanya yang berkaca‐kaca.
“Aku ingin pergi kemana kau pergi. Tapi saat ini kita menghadapi urusan besar. Aku...“
Bidadari Angin Timur angkat tangan kirinya memberi tanda agar Jatilandak hentikan ucapan. “Aku ingin membawamu menemui seorang tokoh rimba persilatan. Namanya Bujang Gila Tapak Sakti. Dia memiliki ilmu yang bisa merubah warna kulitmu yang kuning.”
“Sahabatku Bidadari Angin Timur, terima kasih kau memperhatikan diriku. Soal keadaan kulit tubuhku yang kuning kalaupun tidak bisa disembuhkan bagiku tidak menjadi apa. Saat ini ada hal lain yang lebih penting dari diriku. Yaitu menyelamatkan rimba persilatan dari manusia‐manusia pocong lorong kematian. Kau tahu sendiri banyak perempuan hamil yang diculik. Beberapa tokoh silat yang tersesat ke dalam lorong tidak diketahui bagaimana keadaannya. Kita harus berbuat sesuatu.”
“Kau orang baik. Budimu sangat luhur. Satu saat kau akan mengerti. Kepentingan orang banyak tidak selalu diatas kepentingan diri pribadi. Selamat tinggal Jatilandak. Selamat berbakti pada rimba persilatan.” Habis berkata begitu Bidadari Angin Timur balikkan badan dan tinggalkan tempat itu. Jatilandak memanggil dan hendak mengejar. Namun ragu. Sudah dua kali dengan ini si gadis bersikap seperti itu. Akhirnya pemuda berkepala botak kuning ini duduk di tanah, bersandar ke batang pohon. Menatap ke seberang jurang, di arah mana Luhkentut dan Hantu Muka Dua berada.
Bidadari Angin Timur Iari cukup jauh. Gadis ini baru berhenti berlari ketika sampai di pinggiran rimba belantara. Dia duduk di tanah, bersandar pada tumbangan batang pohon yang telah kering. Wajah dibenamkan di atas telapak tangan. Pundaknya bergetar pertanda dia berusaha menahan isak. Sebelum isakan berubah menjadi tangis, tiba‐tiba dua bayangan berkelebat dan berdiri di kiri kanannya. Sang dana mencium bau pesing santar sekali.
“Sinto Gendeng,” pikir Bidadari Angin Timur. Wajahnya masih dibenamkan di atas dua telapak tangan akhirnya telinganya mendengar suara perempuan menegur.
“Bidadari Angin Timur, sahabatku, apa yang kau buat di sini?”
Bidadari Angin Timur terkejut. Dia mengenali suara itu. Dua tangan yang menutupi wajah diturunkan. Dihadapannya berdiri Ratu Duyung dan kakek berjuluk Setan Ngompol.
“Ah, kalian berdua rupanya. Aku gembira bisa bertemu dengan kalian lagi.”
Ratu Duyung tersenyum, anggukkan kepala lalu bertanya, “Kau seorang diri di tempat ini. Raut wajah dan sinar matamu menunjukkan hati dan perasaanmu sedang tergoncang. Maukah kau berbagi rasa menceritakan padaku apa yang terjadi?”
Bidadari Angin Timur usap kedua matanya, tensenyum lalu tertawa. “Ratu Duyung, terima kasih kau punya perhatian begitu baik terhadapku. Tapi apa perlunya kau mengkawatirkan orang seperti diriku? Urusanmu sendiri begitu banyak.” Dalam hati Bidadari Angin Timur berkata, “Aku tidak punya silang sengketa apa‐apa dengan gadis bermata biru ini. Tapi entah mengapa aku tidak suka padanya. Hubungannya dengan Wiro sangat dekat. Aku heran, mengapa aku masih mencemburui orang lain. Padahal aku sendiri ingin berpaling diri dari pemuda itu. Mana mungkin aku menghargai seorang pemuda yang punya kekasih dimana‐mana. Yang pernah kawin dengan seorang gadis dari alam lain...“
Ratu Duyung pegang bahu Bidadari Angin Timur lalu berkata, “Kau sahabatku, susah senangmu susah senangku juga. Ayo katakan apa yang terjadi?”
Bidadari Angin Timur masih tersenyum. Dia melirik pada Setan Ngompol. Si kakek kedip‐kedipkan mata lalu cepat‐ cepat pegang bagian bawah perutnya agar kencing tidak terpancar. “Di tengah jalan kakek Setan Ngompol ini bilang padaku kau pengi bersama pemuda bernama Jatilandak. Dimana dia sekarang?”
Bidadari Angin Timur sisir rambut pirangnya dengan jari‐ jari tangan.
“Dia pergi ke arah sana. Mungkin tengah menuju bukit batu sarang manusia‐manusia pocong. Untuk sementara aku menunggu di sini”
“Aneh, mengapa mereka tidak pergi sama‐sama?” pikir Ratu Duyung.
“Kau tahu dimana Wiro berada?”
“Itulah…”
“Itulah apa?” tanya Ratu Duyung ketika Bidadari Angin Timur tidak teruskan ucapannya.
“Di belakang bukit batu, ada sebuah jurang. Wiro berada di sana. Seorang nenek cebol mendorongnya masuk ke dalam jurang. Sulit aku menduga apakah pemuda itu masih hidup atau…”
Ratu Duyung menatap wajah Bidadari Angin Timur. Ketika pertama kali berjumpa tadi dia melihat paras gadis berambut pirang itu lesu sedih dan sepasang mata yang balut seperti mau menangis. Tapi agaknya bukan lenyapnya Wiro ini yang menjadi ganjalan kesedihan hatinya. Ratu Duyung tidak rnenunggu Bidadari Angin Timur menyelesai kan kalimatnya. Gadis bermata biru dari samudera selatan ini memberi tanda pada Setan Ngompol, lalu berkelebat pergi tinggalkan tempat itu.
Sambil berlari cepat Ratu Duyung berkata, “Aku melihat sikap aneh Bidadari Angin Timur. Kalau dia tahu Wiro didorong orang masuk jurang mengapa dia masih bisa duduk tenang‐tenang di tempat itu?”
“Aku melihat matanya balut sedih seperti habis menangis. Mungkin meratapi kematian Wiro,” ujar Setan Ngompol.
“Jangan kau bicara seolah Wiro sudah mati. Kita belum tahu kenyataan sebenarnya...“
“Kau bisa pergunakan cermin sakti untuk menyelidiki” “Sebelumnya telah beberapa kali aku mempergunakan cermin itu. Namun satu kekuatan gaib menghantam diriku dengan dahsyat. Aku khawatir... Nanti saja kalau kita sampai di jurang aku akan mencoba...“
“Kau bisa menduga siapa nenek cebol yang disebutkan Bidadari Angin Timur tadi?”
“Mungkin aku bisa menduga. Tapi mustahil dia mau berbuat sejahat itu” jawab Ratu Duyung. Sambil terus berlari Ratu Duyung berkata, “Aku tadi memperhatikan. Ketika Bidadari Angin Timur melirik ke arahmu, ada sesuatu di balik lirikan itu.”
“Maksudmu dia menaruh hati padaku?” ujar Setan Ngompol.
“Tua bangka geblek!” maki Ratu Duyung hingga Setan Ngompol tersentak kaget lalu tertawa mengekeh dan kucurkan air kencing.
“Air mukanya menunjukkan ada sesuatu yang dikhawatirkan...“
“Benar sekali. Dia kawatir kalau aku jatuh cinta pada gadis lain! Ah, kasihan kalau Bidadari Angin Timur sampai patah hati karena ulahku,” sahut Setan Ngompol kembali bergurau dan tertawa gelak‐gelak.
Kedua orang itu sampai di tepi jurang di sebelah belakang bukit batu markas manusia pocong. Mereka tidak menemukan Jatilandak. Namun di seberang jurang, dekat dinding batu mereka melihat seorang kakek dan seonang nenek berwajah angker. Ratu Duyung bertanya perihal kedua orang yang tidak dikenalnya itu. Setan Ngompol yang pernah tersesat ke negeri 1200 tahun silam bersama Naga Kuning dan Wiro segera saja mengenali.
“Si kakek yang memiliki dua muka di kepalanya itu berjuluk Hantu Muka Dua. Jahatnya selangit tembus, si nenek bernama Luhkentut karena kentut melulu. Keduanya memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Mereka sama‐sama berasal dan negeri seribu dua ratus tahun silam. Tapi heran dari sini aku lihat Hantu Muka Dua hanya duduk menjelepok di tanah seperti kakek pikun tiada daya. Mengapa mereka berdua bisa berada di seberang jurang sana? Tak mungkin melompat sejauh ini walau ilmu mereka setinggi langit sekalipun. Nenek jelek itu. Aku benci padanya. Dia yang membaIikkan daun telingaku sebelah kanan! Nanti akan kubalas!” Si kakek pegang daun telinga sebelah kanannya yang lebar tapi terbalik.
“Dan tanda‐tanda di sekitar sini,” ucap Ratu Duyung sambil sepasang matanya yang biru memperhatikan berkeliling. “Memang jelas ada beberapa orang berada di tempat ini sebelumnya. Lalu pada kemana mereka?”
“Bidadari Angin Timur memberi tahu, seorang nenek cebol mendorong pemuda itu ke dalam jurang. Saatnya kau mempergunakan cermin untuk menyelidik.” kata Setan Ngompol sambil menahan kencing.
Ratu Duyung sesaat merasa ragu. “Aku kawatir kejadian itu akan terulang kembali. Saat ini kita justru berada dekat sekali dengan markas manusia pocong.”
“Kalau kau takut, biar aku yang pegang kacanya. Kau yang melihat ke dalam cermin,” kata Setan Ngompol pula sambil seka tangan kanannya yang basah oleh air kencing ke dada.
Ratu Duyung tersenyum. Dan balik pakaiannya yang bagus dia keluarkan cermin sakti bulat. Cermin dipegang di tangan kanan. Untuk menjaga segala kemungkinan Ratu Duyung alirkan tenaga dalam ke kaki hingga dua kaki itu laksana di pantek ke tanah. Sebagian tenaga dalam juga dialirkan ke tangan kiri. Tangan ini kemudian diangkat sebatas dada untuk membentengi diri. Dengan dada berdebar Ratu Duyung kemudian mulai arahkan pandangannya ke dalam cermin.
Pikirannya dipusatkan pada jurang dihadapannya. Tak ada getaran pada tangan kanan dan cermin yang dipegangnya. Tak ada hawa aneh mempengaruhi. Sepasang matanya melihat hamparan kabut muncul di dalam cermin. Sesaat kemudian kabut lenyap. Dalam kejernihan permukaan cermin dia melihat jurang di bawah sana. Mula‐mula yang tampak adalah rimbunan pepohonan dari bebatuan. Lalu genangan air muncul sebuah benda berbentuk perahu.
“Ada sebuah telaga dalam cermin. Hai, apa ini...? Di salah satu dinding ada tangga batu menuju ke atas. Aku melihat seorang anak menaiki tangga. Aku seperti mengenalinya. Pakaian hitam, rambut tegak lurus seperti ijuk”
“Itu pasti Naga Kuning!” seru Setan Ngompol. “Kau tidak melihat yang lain‐lain? Wiro, Anggini, Wulan Srindi, Jatilandak?”
Ratu Duyung gelengkan kepala. “Tunggu. Astaga, apa ini?! Ada seekor binatang melompat‐lompat menaiki tangga mengikuti bocah itu. Seekor tikus besar. Tapi bulunya panjang tebal dan runcing...“
“Gila, apakah Wiro telah berubah menjadi tikus besar?” ujar Setan Ngompol sambil menahan kencing. “Ratu, kalau bocah itu Naga Kuning, bersamanya pasti ada seorang nenek jelek...“
“Aku tak melihat orang lain,” ucap Ratu Duyung. “Kalaupun Wiro sudah menemui ajal di dasar jurang, pasti aku bisa melihat sosoknya lewat cermin ini. Aneh, tidak terjadi apa‐apa. Tidak ada kekuatan gaib menyerangku.”
Perlahan‐lahan dia gerakkan cermin sakti di tangan kanan. Gerakan mi membuat dia mampu melihat bagian atas tangga batu. Namun saat itu tangannya mulai bergetar. “Serangan itu datang kembali...“ membatin Ratu Duyung. Dengan cepat dia turunkan cermin, tegak tak bergerak sambil kerahkan tenaga dalam. Mendadak sontak menggelegar satu dentuman dahsyat. Seantero kawasan bergetar.
Ratu Duyung hampir terjungkal ke dalam jurang. Setan Ngompol masih sempat memegang pinggang pakaiannya. Kedua orang ini terbanting jatuh ke tanah. Setan Ngompol pancarkan air kencing. Sambil pegangi kupingnya yang mengiang dia bertanya. Di seberang jurang nenek Latanahsilam Luhketut terhempas ke tanah. Hantu Muka Dua mencelat ke udara dan jatuh bergedebuk. Di dalam jurang terdengar suara teriakan‐teriakan beberapa orang disusul benda‐benda yang berjatuhan kecebur masuk ke dalam telaga.
“Apa yang terjadi...?“ Setan Ngompol keluarkan suara bergetar.
Ratu Duyung duduk bersila di tanah. dia coba melihat ke dalam cermin kembali. Tak kelihatan apa‐apa kecuali kabut tebal. “Aneh, sewaktu aku memantau ke dalam jurang tidak terjadi apa‐apa. Ketika aku merubah arah cermin pandangan ke dinding batu sebelah kiri letak markas manusia pocong itu tanganku bergetar. Lalu ada letusan keras itu…“ Ratu Duyung geleng‐geleng kepala. “Sesuatu terjadi di bawah sana. Aku kawatir. Kita harus bisa turun ke dasar jurang. Tapi bagaimana caranya?” Ratu Duyung usap keringat yang memericik di kening. Setan Ngompol usap celananya yang kuyup oleh air kencing.
“Ratu, waktu ledakan menggelegar aku mendengar suara teriakan. Coba kau menyelidik lagi lewat cermin. Perhatikan ke arah jurang, jangan melenceng ke arah dinding batu...“
Ratu Duyung ikuti ucapan Setan Ngompol. Dia angkat cermin sakti ke depan wajahnya lalu memperhatikan dengan seksama. Kabut menutupi pandangan di permukaan cermin. Kabut lenyap berganti dengan pohon‐pohon lebat. Lalu muncul telaga di dasar jurang. “Astaga, aku melihat mereka!” seru Ratu Duyung.
“Siapa saja?”
“Wiro, Naga Kuning, nenek berpakaian serba hitam. Lalu tikus besar itu... Mereka berada di telaga. Mereka berenang menuju salah satu tepian. Hai!”
“Ada apa?” Setan Ngompol coba melihat ke dalam cermin. Namun dia tidak melihat apa‐apa. “Aku tidak melihat apa‐apa. Kau melihat apa? Apa yang barusan mengejutkanmu?”
“Setibanya di pinggir telaga di arah tangga batu, tikus besar tadi berubah menjadi kepulan asap. Lalu muncul sosok seorang pemuda berpakaian coklat, berkepala botak dan berkulit kuning.”
“Itu pasti Jatilandak. Pemuda dari negeri Latanahsilam. Ah, aku tahu ilmu yang dipakainya. Untuk turun ke bawah dia merubah diri ke bentuk aslinya. Seekor landak besar!”
Satu suara tercekat terdengar di belakang kedua orang itu. Ratu Duyung dan Setan Ngompol berpaling. Di situ berdiri Bidadari Angin Timur dengan wajah pucat. Dua tangan memegangi pangkal leher. Apa yang diucapkan Setan Ngompol tadi membuatnya sangat terkejut. Ternyata perwujudan asli pemuda bernama Jatilandak itu adalah seekor landak besar.
“Bidadari Angin Timur,” tegur Ratu Duyung. “Kami gembira akhirnya kau mau menyusul ke sini. Kami tengah memikirkan bagaimana cara turun ke dalam jurang. Wiro dan beberapa orang terlihat lewat cermin saktiku. Mereka berada di dasar jurang yang ada telaganya...“
Bidadari Angin Timur tidak menjawab. Hanya sepasang matanya menatapi Ratu Duyung lalu beralih pada Setan Ngompol. Perlahan‐lahan dua butir air bening menggelinding dan kelopak mata sebelah bawah gadis berambut pirang ini. Kepalanya digelengkan. Mulutnya terbuka. Suaranya berucap perlahan. “Nasib diriku buruk sekali...“
“Sahabatku, kau menyesali apa?” tanya Ratu Duyung seraya mendekat.
Bidadari Angin Timur gelengkan kepaa lalu memutar tubuh dan tinggalkan tempat itu.
“Lagi‐lagi dia menunjukkan sitat aneh...“ ucap Ratu Duyung.
********************
BUNGA gadis dari alam roh sampai di anak tangga teratas. Mata manusia biasa tidak akan melihat celah sehalus rambut membentuk bagian empat persegi pada dinding batu. Ada celah. Ternyata mereka tidak sepandai yang aku sangka...“ ucap Bunga dalam hati.
Gadis dan alam roh ini goyangkan kepala. Saat itu juga sosoknya berubah menjadi samar, berubah lagi menjadi asap tipis lalu bergerak menembus celah halus di dinding batu. Sesaat kemudian Bunga telah berada di bagian dalam dinding batu. Ujudnya yang seperti asap kembali membentuk sosok seorang gadis berkebaya putih. Memandang berkeliling dia dapatkan dirinya berada di satu ruangan cukup besar. Di sebelah depan ada satu lorong pendek. Di ujung lorong kelihatan sebuah tangga menuju ke atas. Bunga balikkan tubuh, menatap ke arah dinding yang barusan dilewatinya melalui celah halus. Samar‐samar dia melihat ada cahaya kuning pada bagian dinding batu yang berada dalam celah sehalus rambut.
“Cahaya itu, pertanda satu kekuatan roh dahsyat membentengi batu. Apakah aku sanggup menembusnya? Aku harus bertindak cepat sebelum roh di dalam lorong mengetahui kehadiranku...“
Tiba‐tiba setiup angin berhembus disertai menebarnya bau setanggi.
“Celaka, mahluk penguasa lorong telah mengetahui kehadiranku,” Baru saja Bunga membatin seperti itu tiba‐tiba satu suara halus seolah datang dan kejauhan mengiang di telinga Bunga.
“Roh dari alam gaib. Kau datang membawa bencana. Terima kematianmu sebelum kau menimbulkan malapetaka!”
Mendengar suara halus itu Bunga cepat menyahuti. “Bencana ada dalam hatimu. Malapetaka ada dalam benakmu! Aku datang membawa kebaikan. Aku akan berindak sebagai juru nikahmu. Untuk melepas dirimu kembali bebas alammu. Dunia bukan tempat kediamanmu. Di dalam lorong ada manusia jahat yang memperalatmu!”
“Ahai! Pandai sekali kau mengeluarkan ucapan. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai! Aku mau lihat apakah kau masih bisa berkata‐kata sesudah aku menjatuhkan kematian kedua padamu!”
Dari arah lorong di depan sana kembali bertiup serangkum angin, menyusul munculnya cahaya kuning. Bunga cepat rapatkan dua telapak tangan di atas kepala. Mulut terkancing rapat. Sepasang mata menatap tajam ke arah cahaya kuning yang datang menyambar.
“Roh dari alam gaib, aku mewakili semua roh dari alammu. Berikan kekuatanmu padaku! Hancurkan pintu itu!” Bunga gerakkan tangan kanannya ke depan. Sejenis bubuk menebar di udara. Bubuk setanggi. Bau harum semakin santar di tempat itu. Dan jauh mendadak terdengar suara pekikan. Sosok Bunga Iaksana kilat berubah menjadi asap melesat ke atas. Di ujung lorong kemudian terdengar satu teriakan keras.
“Jangan!” Cahaya kuning berkiblat. Menghantam dinding batu. Tebaran setanggi yang masih melayang di udara berubah menjadi percikan bunga api terang benberang.
“Bummm! Byaaarr!”
Satu letusan dahsyat berdentum mengguncang seantero tempat. Dinding batu di depan sana hancur berantakan. Sebuah lobang berupa pintu empat persegi terpentang. Bunga kembali membentuk ujud nyatanya. Gadis dari alam roh ini berseru, “Terima kasih! Kau telah membuka pintu untuk calon suamimu!”
Satu pekikan panjang terdengar di kejauhan. Begitu suara pekikan sirna, mendadak terdengar suara genta tujuh kali berturut‐turut. Terguncang ke kiri ke kanan. Bunga lari ke arah pintu.
“Wiro, cepat!”
Di bawah sana Wiro, Gondoruwo Patah Hati, Naga Kuning dan Jatilandak baru saja keluar dari dalam telaga. Keempatnya cepat menaiki tangga menuju ke atas.
“Cepat, ikuti aku!” kata Bunga begitu keempat orang itu sampai dihadapannya. Di kejauhan genta terdengar lagi tujuh kali berturut‐turut. Kawasan 113 Lorong Kematian seperti diguncang gempa...
T A M A T