Nyawa Titipan
BAB SATU
Tiba-tiba satu benda putih melesat di udara. Cakra Mentari yang tengah mengenakan pakaian dan bersiap-siap tinggalkan tempat itu berteriak kaget. Saat itu juga tubuh pemuda yang masih bertelanjang bulat itu bergetar hebat oleh satu hawa panas yang seperti hendak melelehkan tubuhnya mulai dari batok kepala sampai ke telapak kaki.
Luar biasanya Cakra Mentari mendengar satu suara berucap dari dalam tubuhnya sendiri!
”Anak manusia bernama Cakra Mentari! Aku menitipkan nyawaku di dalam tubuhmu!”
MALAM hari. Gurun pasir Thar di barat laut daratan India di selimuti kegelapan dan kesunyian. Tak ada rembulan tak tampak bintang. Bahkan tiupan angin gurun yang biasanya disertai suara menderu saat itu nyaris tak terdengar sama sekali.
Di dalam sebuah ruang batu hitam terletak di bawah gurun pasir, yang jalan masuk berupa pintu rahasia dijaga sepuluh Resi berpakaian putih, Resi Ketua Khandawa Abitar tengah duduk khidmat bersamadi. Ini adalah malam kedua dia melakukan samadi dan sebegitu jauh, walau ada getaran-getaran halus menjalari sekujur tubuhnya namun dia belum mampu mendapat hubungan bathin dengan alam gaib, belum juga mendapat petunjuk dari Para Dewa.
Beberapa malam sebelumnya Resi Khandawa Abitar bermimpi. Dalam mimpi dia melihat satu cahaya putih sangat terang menyilaukan mata. Saat cahaya muncul terdengar suara bergema penuh wibawa.
“Resi Khandawa Abitar. Bersamadilah. Bersamadilah. Kelak kau akan mendapat petunjuk untuk satu cara menyelamatkan banyak manusia tidak berdosa di satu negeri yang jauh dari sini.”
Suara lenyap, cahaya terang menyilaukan ikut sirna. Kejadian mimpi itu dialami sang Resi sampai tiga malam berturut-turut.
“Mimpi adalah salah satu dari sekian banyak jalur petunjuk Para Dewa…” Sang Resi membathin dalam merenung arti mimpinya.
Karenanya sejak malam kemarin dia mulai melakukan samadi dan terus tetap khusuk sampai malam kedua walau petunjuk belum muncul.
Malam ketiga. Selewatnya tengah malam, menjelang dinihari, di langit gelap sebelah timur mendadak terlihat tujuh titik putih bersinar terang, melayang berarak di atas gurun pasir Thar menuju ke barat laut. Pada saat berada di sekitar lorong batu tempat kediaman Resi Khandawa Abitar berada, tujuh titik putih menukik ke bawah. Lenyap masuk ke dalam gurun pasir, menembus bebatuan tebal. Meninggalkan kabut tipis kelabu memancarkan bau harum kemenyan sejauh ratusan tombak. Suasana menjadi terasa angker sewaktu dikejauhan terdengar suara raung puluhan serigala gurun.
Di dalam goa tempatnya bersamadi, kelopak mata Resi Khandawa Abitar bergetar bergerak-gerak. Walau matanya masih terpicing namun ada tujuh cahaya aneh membuat dia merasa sangat silau. Selain itu hidungnya mencium semerbak bau kemenyan yang terbakar. Sang Resi merasa tengkuknya dingin. Seumur hidup baru kali ini dia mengalami hal seperti ini.
“Dewa Batara, apakah kau datang memberi petunjuk?” ucap sang Resi dalam hati.
Tujuh cahaya terang semakin menyilaukan. Membuat sang Resi gerakkan kepala ke belakang sambil merapal doa. Pada pertengahan doa cahaya silau menghilang. Di ujung doa cahaya tersebut akhirnya lenyap. Resi Khandawa Abitar lepas napas lega dan perlahan-lahan buka kedua matanya. Pandangannya langsung membentur tujuh manusia katai yang berdiri berjajar didepan tembok ruangan samadi.
Tujuh manusia katai ini mengenakan pakaian selempang kain putih. Semua memakai sorban putih dengan wajah tertutup kumis, janggut dan berewok hitam lebat berkilat. Pertanda walau mereka bertubuh kecil tapi usia mereka rata-rata mungkin di atas delapan puluh tahunan. Yang hebatnya, sorban di kepala tujuh manusia katai memancarkan cahaya putih sejuk, indah dipandang.
“Dewa Batara Penuh Kuasa. Bagaimana tujuh manusia katai tak dikenal bisa menyusup masuk ke dalam ruangan ini?” membathin Resi Khandawa Abitar. Ketika lebih diperhatikan baru sang Resi menyadari kalau tujuh manusia katai itu sama sekali tidak menjejakkan kaki di lantai batu. Telapak kaki mereka tergantung dan berada seujung kuku di atas batu goa!
Tujuh manusia katai berselempang kain putih menggerakkan tangan membuka sorban masing-masing lalu membungkuk dalam memberi penghormatan pada Resi Khandawa Abitar. Yang diberi penghormatan cepat-cepat bangkit berdiri lalu balas menghormat dengan membungkuk pula. Tujuh manusia katai kenakan sorban kembali. Setelah meluruskan tubuh, sambil mengulum senyum Resi Khandawa Abitar menyapa dengan suara lembut.
“Sahabat bertujuh. Kalian pastilah orang-orang yang diberkahi Para Dewa hingga bersedia dan mampu datang ketempatku yang buruk ini. Mohon aku diberitahu kalian ini siapa, datang dari mana dan ada keperluan apa menemui diriku?”
Manusia katai disebelah tengah maju dua langkah, malayang satu kuku di atas lantai batu lalu menjawab. Suaranya halus tapi menimbulkan gema di ruang batu itu. Lalu bahasa yang diucapkannya adalah aneh, sama sekali tidak dimengerti oleh Resi Khandawa Abitar.
“Sahabat yang bicara. Harap dimaafkan. Aku tidak mengerti bahasa yang kau bicarakan.”
Si manusia katai tadi masih terus bicara nyerocos kalau tidak diberi tanda oleh teman disamping kanannya dengan sikutan. Teman yang mengingatkan ini lalu maju ke depan, yang tadi bicara kembali ke tempat tegak semula.
“Resi Yang Mulia, mohon maafmu. Sahabat kita tadi bicara dalam bahasa roh. Biar sekarang aku yang mewakili.”
Resi Khandawa Abitar menganggguk-angguk sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangan dengan telapak terkembang sebagai tanda mempersilahkan manusia katai dihadapannya meneruskan ucapan.
“Resi Yang Mulia, kami bertujuh tidak bernama. Datang dari negeri alam gaib, jauh di atas atap langit ketujuh. Kami datang sebagai utusan Sang Kebenaran…”
“Dewa Batara Maha Agung…” Ucap Resi Khandawa Abitar.
Manusia katai tadi lanjutkan ucapan. “Kami datang membawa sebuah benda berupa sebilah pedang sakti mandraguna bernama Pedang Bulan Sabit. Sang Kebenaran meminta kami untuk menyerahkan pedang ini kepada Resi Yang Mulia.”
Habis berkata begitu manusia katai ini luruskan dua tangan ke depan, telapak dikembangkan dan saling dirapatkan. Mulut yang berkumis berkomat-kamit beberapa kali. Tiba-tiba ada sinar putih yang keluar membayang dari dadanya. Sinar ini kemudian bergerak ke atas, memecah jadi dua dan meluncur pada lengan kiri kanan. Begitu sinar mencapai dua telapak tangan yang terbuka, sinar memancar lebih terang. Didahului suara menyeruapai suara genta bertalu tahu-tahu di atas dua telapak tangan itu telah tergeletak melintang sebilah pedang.
Senjata ini panjangnya hanya tiga jengkal. Satu jengkal dalam bentuk gagang terbuat dari gading gajah dan dua jengkal berupa sarung berkeluk yang juga terbuat dari gading dihias tebaran batu permata berlian. Gagang dan sarung pedang ditambah batu-batu berlian memancarkan cahaya putih menakjubkan.
Dengan gerak perlahan dan penuh khidmat manusia katai menarik gagang dan sarung pedang. Sesaat kemudian pedang telah keluar dari sarungnya. Pedang dan sarung diacungkan ke atas. Pedang Bulat Sabit ini bentuknya benar-benar menyerupai bulan sabit, pendek berkeluk, memancarkan cahaya putih terang indah sekali. Laksana bulat sabit dilangit lepas memancarkan cahayanya ke bumi.
Setelah merasa Resi Khandawa Abitar melihat senjata itu dengan seksama, manusia katai masukkan kembali Pedang Bulan Sabit ke dalam sarung lalu dia melangkah kehadapan sang Resi.
“Resi Yang Mulia. Sang Kebenaran meminta agar kami menyerahkan Pedang Bulat Sabit ini pada Yang Mulia.”
“Sahabat, bagaimana mungkin. Mana aku berani berlaku lancang menerima senjata bertuah sakti mandraguna itu.”
“Resi Yang Mulia, jangan menolak karena ini semua adalah atas kehendak Para Dewa.”
Untuk beberapa ketika Resi Khandawa Abitar terdiam mendengar ucapan manusia katai itu. Lalu dia tundukkan kepala dan berkata. “Kalau memang ini kehendak Dewa, aku yang rendah mana berani menampik.”
“Resi Yang Mulia, Sang Kebenaran berpesan. Pedang Bulan Sabit adalah satu-satunya senjata yang mampu menghancurkan mahluk jahat yang selama ini gentayangan di satu negeri jauh. Mahluk ini telah mencuri sebuah kitab bernama Kitab Jagat Pusaka Dewa. Menggantikannya dengan satu kitab jahat dan palsu bernama Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Memperalat dan memperbudak seorang budak yang tak berdosa. Hanya karena ingin menguasai satu ilmu kesaktian sangat dahsyat yang kelak akan disedotnya dari tubuh si pemuda…”
“Aku Resi Khandawa Abitar menjunjung tinggi setiap sabda perintah Para Dewa. Namun apakah keterkaitan diriku dengan kejahatan yang terjadi di negeri orang jauh itu. Dan mengapa aku yang harus menerima pedang. Apa yang harus aku lakukan?”
“Karena Yang Mulia, mahluk jahat itu berasal dari negeri ini.”
Jawaban manusia katai membuat Resi Khandawa Abitar jadi berubah raut mukanya. Dia lantas bertanya. “Siapakah mahluk jahat itu gerangan adanya?”
“Sang Kebenaran tidak memberitahu. Sang Kebenaran hanya berpesan bahwa Resi Yang Mulia satu-satunya orang yang bisa menumpas mahluk jahat tersebut dan menyelamatkan manusia dari kejahatan keji. Karena kalau dia berhasil mendapatkan ilmu kesaktian Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib maka sebagian dunia ini akan tenggelam dalam kejahatan yang dilakukannya. Selain itu Sang Kebenaran juga berpesan. Petunjuk lebih jauh bisa di dapat jika Resi Yang Mulia melakukan samadi mulai pertengahan malam besok dan meletakkan Pedang Bulan Sabit di atas pangkuan Yang Mulia.”
Resi Khandawa Abitar menarik nafas panjang berulang kali. “Aku tidak pernah membayangkan akan mengalami kejadian seperti ini. Aku tunduk kepada Para Dewa. Aku wajib melaksanakan apa yang menjadi pesan Para Dewa, termasuk Sang Kebenaran, siapapun dia adanya.”
Resi Khandawa Abitar ulurkan dua tangan, menyambut Pedang Bulan Sabit yang diangsurkan manusia katai kearahnya. Hawa luar biasa sejuk mengalir dari dalam pedang sakti ke tangan Resi Khandawa Abitar. Hawa ini terus menjalar memasuki sekujur tubuhnya, mulai dari kepala sampai ke kaki.
“Dewa Maha Agung… Dewa Maha Agung…” ucap sang Resi berulang kali. Tengah dia mengucap begitu rupa tiba-tiba ada selarik cahaya putih menebar seperti tirai. Ketika cahaya itu sirna, tujuh manusia katai tak ada lagi dalam ruangan.
“Dewa Maha Agung…” Kata Resi Khandawa Abitar sambil membungkuk berulang kali.
********************
BAB DUA
Tengah malam keesokan harinya Resi Khandawa Abitar sesuai pesan yang diterima dari Sang Kebenaran melalui tujuh manusia katai mulai melakukan samadi. Pedang Bulan Sabit diletakkan di atas pangkuan di alas dengan sehelai permadani kecil berbunga-bunga merah dan hijau. Kalau malam sebelumnya tak ada bintang tak ada rembulan maka malam ini begitu banyak bintang gumintang bertabur indah di langit dan rembulan berbentuk sabit ikut menghias menambah keelokan malam.
Memasuki dini hari, udara dalam goa yang tadinya dingin kini mulai terasa hangat. Pedang Bulan Sabit di atas pangkuan memancarkan cahaya lebih benderang. Pakaian selempang kain biru Resi Khandawa lembab oleh keringat. Wajah dipenuhi butir-butir keringat sementara alis, kumis dan berewoknya yang putih seperti kapas berubah menjadi kaku.
Resi ini berusaha mengatur jalan nafasnya yang tiba-tiba tidak terkendali. Dadanya mulai berdebar. Ada satu kekuatan dari luar yang berusaha memutus samadinya. Saat itulah dari Pedang Bulan Sabit tiba-tiba memancar keluar satu hawa sejuk, melindungi tubuh sang Resi dari kekuatan jahat yang hendak mencelakakan.
Begitu gangguan lenyap, dalam samadinya Resi Khandawa Abitar melihat satu tabir asap keluar dari lantai goa, naik ke atas membentuk dinding putih. Di dinding putih kemudian muncul pemandangan di sebuah ruangan batu di Goa Binaker. Resi Khandawa Abitar mengenali, itu adalah ruangan rahasia dimana sebuah patung kuno bernama patung Kamasutra pernah disimpan kemudian lenyap dicuri orang.
Dalam samadinya saat itu sang Resi melihat di ruangan itu berdiri sosok Resi Kepala Mirpur Patel mengenakan pakaian selempang kain putih tampak kusut. Sosoknya begitu nyata dan ketika dia bicara suaranya begitu jelas.
”Resi Ketua, kalau begitu ucapan Resi Ketua berikan kesempatan pada saya untuk menebus dosa.”
Habis berucap Resi Mirpur Patel melompat ke arah tembok ruangan sebelah kanan. Kepalanya dibenturkan dengan tembok batu, mengeluarkan suara menggidikkan. Kepala itu rengkah. Sosok sang Resi terkapar jatuh.
Tak selang berapa lama di dinding putih muncul kembali perujudan Mirpur Patel tergeletak di lantai goa. Tiba-tiba dari tubuh Resi Kepala keluar sesosok samar laki-laki berpakaian hitam. Di tangan kanan orang ini memegang sebuah patung kecil di batu berwarna abu-abu kehitaman. Patung memancarkan cahaya merah. Sosok samar hitam berkelebat ke arah lobang di atas atap goa dan lenyap.
(Kisah ini dapat diikuti lebih jelas dalam serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul Petaka Patung Kamasutra).
Apa yang terlihat di dinding putih dalam samadi Resi Khandawa ternyata masih berkelanjutan. Kini muncul sebuah titik kuning. Makin lama makin besar dan tambah bercahaya, menyerupai sebuah kepingan logam. Begitu kepingan logam kuning ini berubah sebesar jari kelingking tiba-tiba Pedang Bulan Sabit yang ada di pangkuan Resi Khandawa bergerak keluar dari sarungnya. Senjata sakti mandraguna ini melayang ke atas, bergerak ke arah dinding putih dan menusuk kepingan logam kuning.
Kepingan logam nampak berubah seperti bara api. Di kejauhan saat itu juga terdengar raungan manusia. Kepingan logam kembali ke warna aslinya, melesat ke udara lalu ada satu tangan gadis jelita menjangkau kepingan logam kuning itu dan memasukkannya ke balik pakaian biru yang dikenakannya. Pedang Bulan Sabit melayang turun dari dinding putih lalu masuk kembali ke dalam sarungnya.
Dinding putih berubah lagi menjadi tabir asap, turun ke bawah dan masuk lenyap di lantai ruangan. Tubuh Resi Khandawa Abitar bergoncang keras. Lalu diam tak bergerak, seolah tak bernafas. Hawa sejuk seperti tadi kembali keluar dari Pedang Bulan Sabit yang ada di pangkuan masuk ke dalam tubuh Resi Khandawa Abitar. Sekujur tubuhnya yang tegang berangsur kendur. Rambut, alis serta janggutnya yang tadi kaku kini kembali menjulai lembut. Perlahan-lahan Resi ini buka kedua matanya.
Lama dia memandang tak berkesip ke dinding batu hitam di hadapannya. Dia ingat kejadian lebih setahun silam. Suara hatinya mulai membatin.
”Resi Mirpur Patel kau menipuku. Aku berlaku ayal hingga bisa tertipu. Kau sesungguhnya tidak tewas bunuh diri membenturkan kepala ke dinding batu Goa Binaker. Kau pergunakan ilmu Sembunyi Dalam Lorong Roh untuk menyesatkan pandangan mata. Kau mempergunakan ilmu kesaktian Masuk Ke Dalam Alam Roh Melalui Jazad Kentara yang aku tahu hanya ada di dalam kitab ajaran orang-orang sesat. Ilmu itu kau pergunakan untuk mencuri Patung Kamasutra, memasuk menyembunyikannya dalam tubuhmu. Lalu kau mengirim seseorang secara gaib untuk mengambil patung itu dari dalam tubuhmu. Setelah itu kau kabur melenyapkan diri dari dalam Goa Binaker. Apa maksud tujuan perbuatanmu? Menebar kejahatan keji seperti yang dikatakan manusia katai utusan Sang Kebenaran demi untuk mendapatkan ilmu kesaktian dahsyat yang bakal kau sedot dari tubuh pemuda yang kau perbudak? Aku tiba-tiba saja ingat satu hal. Ketika kau tergeletak di lantai Goa Binaker, tongkat emasmu tidak terlihat. Berarti kau telah memasukkan dan menyembunyikan di dalam tubuhmu. Kepingan logam kuning yang aku lihat di dalam samadi bukankah itu gompalan tongkat saktimu yang terbuat dari emas?”
Resi Khandawa Abitar menarik nafas panjang lalu suara batinnya kembali bicara. "Pedang Bulan Sabit menusuk kepingan logam kuning. Agaknya ini merupakan satu pasan aku harus melakukan hal itu. Gadis berbaju biru. Aku harus menemuimu karena aku perlu bantuanmu. Kau memiliki logam kuning itu. Walau ujudmu seperti manusia biasa namun aku punya firasat kalau dirimu adalah mahluk dari alam gaib. Namun aku tidak mau kesalahan tangan. Aku terpaksa melakukan sesuatu. Mudah-mudahan aku tidak akan menyakiti dirimu.”
Dengan hati-hati Resi Khandawa Abitar lipat permadani kecil untuk membungkus Pedang Bulan Sabit lalu menaruhnya dalam sebuah cegukan batu di dinding kamar tidur, sebuah ruangan batu di sebelah ruangan samadi.
Menjelang fajar menyingsing dia kembali ke ruang semadi membawa dua buah benda. Benda pertama adalah sebuah pendupaan berisi puluhan batu kecil seujung ibu jari. Benda kedua sebuah tongkat berlekuk terbuat dari batu biru. Pendupaan diletakkan di lantai batu. Lalu ujung tongkat didekatkan ke mulut dan ditiup satu kali. Ujung tongkat kemudian dimasukkan ke dalam pendupaan. Satu cahaya biru bergemerlap.
”Wusss!” Kejap itu juga puluhan batu di dalam pendupaan burubah menjadi bara api menyala! Tongkat ditarik sedikit lalu diletakkan di bibir pendupaan. Bau harum setanggi serta merta memenuhi ruangan.
Setelah menaruh tongkat batu biru berkeluk dilantai batu di samping kanannya, Resi Khandawa Abitar mulai malakukan samadi. Biasanya satiap bersamadi dua tangan sang Rasi diletakkan di atas dua paha atau dua telapak tangan ditempelkan di dada. Namun sekali ini dua tangan diulur ke depan setinggi dada dengan telapak terbuka menghadap ke atas. Tidak sampai sepenghisapan rokok dua tangan sang Resi tampak bergetar. Tangan kanan perlahan-lahan naik sedikit ke atas.
”Kraakk...!”
Terdengar suara patahan benda keras. Tak selang berapa lama sebuah benda kuning entah dari mana datangnya melayang jatuh ke atas telapak tangan kanan Resi Khandawa Abitar. Untuk beberapa lamanya tangan itu bergetar dan terbungkus cahaya kuning. Sang Resi hentikan samadi. Langsung memperhatikan telapak tangan kanan. Benda yang ada di atas telapak tangan itu ternyata patahan dari satu keping gompalan emas. Resi Khandawa lepas nafas lega.
”Aku melihat lebih nyata. Kepingan ini memang berasal dari tongkat sakti milik Resi Mirpur Patel. Pertanda dia memang tidak tewas bunuh diri. Dia berkeliaran di dunia sana. Gadis alam gaib, aku harus segera menemuimu.”
Resi Khandawa letakkan ujung tongkat biru di atas pendupaan. Serta merta bara api menyala di dalam pendupaan padam, kembali ke bentuk semula, batu-batu sebesar ujung kuku. Dengan menenteng tongkat biru Resi Khandawa melangkah ke dinding batu sebelah kiri. Ujung tongkat diketukkan ke salah satu bagian dinding. Salah satu bagian batu membuka membentuk pintu. Di luar pintu sepuluh Resi berpakaian putih membungkuk hormat begitu Resi Ketua Khandawa Abitar lewat di depan mereka. Sebelum pergi Resi Ketua ini berkata pada mereka.
”Jaga tempat ini baik-baik. Jangan boleh siapapun masuk ke dalam goa. Jika terjadi apa-apa cepat beri tahu aku melalui Genta Bumi Langit.”
Genta Bumi Langit adalah sebuah lonceng sakti besar tapi sangat tipis terbuat dari emas murni yang disimpan di sebuah lorong rahasia. Bila genta ini ditalu maka suaranya akan sampai ke telinga orang yang dituju sekalipun dia berada sangat jauh. Sepuluh Resi membungkuk sambil merapal doa. Pintu batu kembali menutup.
Di luar goa fajar belum menyingsing. Gurun pasir Thar masih diselimuti kegelapan. Resi Khandawa Abitar acungkan tongkat biru ke udara. Saat itu juga tubuhnya terangkat ke atas lalu melesat laksana terbang ke arah timur. Di tangan kiri dia memegang patahan kepingan emas yang tadi didapatnya secara gaib. Benda ini menjadi kemudi ke arah mana dia harus menuju.
********************
Di Gurun Pasir Tengger, satu tempat yang sangat jauh dari Gurun Pasir Thar, Purnama yang tengah berusaha menyelamatkan diri agar tidak disapu topan. Gadis dari alam gaib Latanahsilam ini sengaja mengeluarkan rohnya dan tubuh kasar. Sementara dia berada di alam roh sosok kasarnya masih terbaring di pedataran pasir.
Selagi dia merasa aman tiba-tiba gadis ini menyaksikan dan mendengar gompalan tongkat mahluk tanpa wajah yang disimpannya di balik pakaian berderak patah menjadi dua potong. Potongan pertama tetap berada di balik pakaian biru sementara potongan kedua dengan kecepatan luar biasa melesat ke udara. Melayang bercahaya ke jurusan barat hingga akhirnya lenyap dari pemandangan.
”Apa yang terjadi?” pikir Purnama. ”Siapa yang mematah dan membawa lari potongan gompalan tongkat emas itu?! Aku harus segera kembali masuk ke dalam jazadku.”
********************
Tak selang berapa lama setelah kepergian Resi Khandawa Abitar, bersamaan dengan menyembulnya mentari di ufuk timur, satu bayangan putih berkelebat masuk ke dalam lorong batu di perut Gurun Thar disertai barkiblatnya satu cahaya kuning.
Sepuluh Resi berselempang kain putih yang menjaga ruangan batu kediaman Resi Khandawa Abitar melengak kaget ketika melihat siapa yang berdiri di depan mereka.
”Resi Kepala Mirpur Patel...” Sepuluh Resi menyebut nama. Menatap dengan pandangan mata setengah takut setengah tak percaya.
Orang yang dipanggil Resi Kepala Mirpur Patel. Kakek berjanggut, berkumis dan berambut putih balik memandang mendelik. Sambil membolang baling tongkat emas di tangan kanan hingga menimbulkan cahaya berkilauan dan menggetarkan seantero lorong batu, dia membentak.
”Kalian melihat diriku seolah aku ini setan! Mangapa tidak memberi salam dan hormat?!”
Sepuluh Resi segera membungkuk. Gerakan mereka menghormat tampak kaku. Setelah meluruskan badan salah seorang dari mereka memberanikan diri berkata.
”Resi Kepala mohon maafmu. Bukankah... bukankah kau sebenarnya telah meninggal dunia dalam peristiwa di Goa Binaker lewat satu tahun silam?”
BAB TIGA
Sepasang mata Resi Kepala berkilat-kilat, mendelik bertambah besar. ”Kau yang bicara!” ucapnya manyentak sambil menunjuk tepat-tepat dengan ujung tongkat kuning ke hidung arah Resi yang barusan bicara. ”Apakah kau merasa lebih kuasa dan lebih tahu dari Para Dewa?! Dewa belum memanggilku! Bagaimana kau beraninya mengatakan diriku telah meninggal?”
Resi yang dituding dengan ujung tongkat tampak pucat. Sembilan Resi lainnya tak satupun yang berani membuka mulut. Mereka berdiam diri sambil tundukkan kepala.
”Kalau aku memang meninggal di Goa Binaker! Apa jenazahku pernah ditemukan di goa itu?!” Resi Kepala bertanya dengan suara membentak.
”Resi Kepala,” Resi yang tadi bicara cepat-cepat jatuhkan diri. ”Jenazah Resi memang tidak pernah ditemukan di Goa Binaker. Itu pertanda bahwa sebenarnya Resi Kepala memang masih hidup seperti layaknya saat ini. Mohon maafmu kalau saya tadi sudah ketelepasan bicara. Saya menyesal dan mohon maafmu...”
Resi pengawal yang berdiri di samping temannya yang barusan dibentak agak takut-takut memberi tahu. ”Kalau Resi Kepala ingin bertemu Resi Ketua, maka kami memberi tahu Resi Ketua tak ada di dalam gua. Beliau pergi sejak dini hari tadi.”
”Aku sudah tahu...” jawab kakek berselempang kain putih yang adalah Mirpur Patel sang Resi Kepala yang barusan saja dilihat Resi Khandawa Abitar dalam samadinya. Resi Kepala melangkah mundar-mandir dihadapan sepuluh Resi pengawal lalu berhenti dan berkata. ”Justru kedatanganku adalah membawa memberi kabar buruk. Ketahuilah, Resi Ketua Khandawa Abitar telah mati terbunuh oleh satu kekuatan dashyat alam gaib. Aku terlambat menolong. Bahkan jenazahnya tak berhasil aku temukan. Kalau tidak menguap dalam alam gaib pasti masuk lenyap ke dalam bumi atau ditelan gelombang samudera..."
Sepuluh Resi keluarkan saruan tertahan sambil menyebut nama Resi Khandawa Abitar berulang kail. Ada yang merapal doa, ada yang keluarkan suara seperti mau menangis.
”Kalau Resi Ketua memang sudah menemui ajal, dimanapun jenazahnya kami akan berusaha mencari.” Seorang Resi pengawal berkata.
”Jangan berlaku tolol ! Aku saja tidak mampu mengetahui dimana beradanya jenazah Resi Ketua!” Kata Resi Mirpur Patel dengan mata didelikkan.
Resi lain Ikut bicara. ”Bagaimana mungkin bisa terjadi. Para Dewa pasti melindungi Resi Ketua...”
"Ajal manusia hanya Para Dewa yang tahu dan punya kuasa. Aku tengah melakukan penyelidikan. Sementara itu, sampai ada keputusan sidang Resi Sepuluh Ketua akulah yang menjadi pimpinan di tempat ini. Sampaikan itu pada semua Resi yang ada di sini. Katakan bahwa mereka termasuk kalian harus patuh pada apa yang aku katakan. Siapa berani membangkang akan aku usir dari tempat ini. Biar jadi Resi gelandangan di Gurun Pasir Thar sana! Kalian mendengar apa yang aku katakan?”
Sepuluh Resi membungkuk. Namun salah seorang diantara mereka memberanikan diri berkata. ”Resi Kepala, Resi Ketua sebelum pergi berpesan pada kami. Jika terjadi sesuatu maka kami harus menghubunginya melalui Genta Bumi Langit.”
”Resi aku menegurmu dengan keras!” Resi Kepala membentak dengan mata menyala. ”Apa kau tuli?! Tadi sudah kukatakan bahwa Resi Ketua telah tewas. Kau ingin menghina arwahnya dengan menghubungi dirinya melalui Genta Bumi Langit? Bukankah lebih baik kau dan puluhan Resi lain yang ada di tempat ini segera saja memanjatkan doa ke hadapan Para Dewa demi ketenangan roh Resi Ketua di alam baka?!”
Sepuluh Resi membungkuk dalam-dalam tak ada satupun yang bicara. Dari balik pakaiannya Resi Kepala Mirpur Patel keluarkan satu kantong kain putih. Dia lalu melangkah pulang balik di depan pintu lorong sambil menaburkan sejenis bubuk putih dari dalam kantong. Bubuk ini menebar bau harum kembang melati. Begitu menyentuh lantai batu, bubuk putih berubah jadi asap dan menebar ke seluruh ruangan hingga akhirnya lenyap dari pemandangan.
Setelah menyimpan kantong putih Resi Kepala Mirpur Patel berkata. ”Aku akan segera meninggalkan tempat ini. Aku melarang siapapun masuk ke dalam tempat kediaman mendiang Resi Khandawa Abitar. ”Apa kalian mendengar perintahku?!"
”Kami mendengar Resi Kepala.” Jawab sepuluh Resi hampir berbarengan.
Hanya sesaat setelah Resi Kepala Mirpur Patel tinggalkan tempat itu salah seorang Resi mengajak teman-temannya bicara.
”Bubuk putih yang ditebar Resi Kepala tadi bukankah itu Bubuk Penyesat Mata dan Rasa?”
”Aku tahu,” Jawab temannya. ”Tadipun aku sudah menduga.”
”Berarti sebenarnya Resi Ketua Khandawa Abitar masih hidup. Tidak tewas seperti yang dikatakan Resi Kepala Tadi.”
”Betul.” Beberapa orang Resi keluarkan ucapan yang sama hampir berbarangan.
”Resi Kepala sengaja menebar bubuk Penyesat Mata Dan Rasa untuk menangkal agar Resi Ketua tidak bisa kembali ke tempat ini.”
”Ada sesuatu yang tidak beres. Para Resi sekalian, kalian tunggu di sini…” Berkata Resi Kandila.
”Resi Kandila, kau mau kemana? Mau berbuat apa?” bertanya salah seorang Resi pada Resi yang barusan bicara.
”Aku akan masuk ke ruangan Genta Bumi Langit. Aku akan menghubungi Resi Ketua melalui genta itu, sesuai pesan beliau.”
”Kalau begitu aku Resi Mitkapul akan menemanimu.”
Dua orang Resi yakni Resi Kandila dan Resi Mitkapuil membuka pintu rahasia lalu masuk ke dalam lorong. Bangunan batu di bawah perut Gurun Pasir Thar memiliki dua belas lorong.
Setiap lorong mempunyai beberapa ruangan tertentu. Tidak semua lorong pintunya bisa dibuka oleh Resi pengawal. Antaranya lorong menuju kediaman Resi Khandawa Abitar. Dua Resi masuk ke dalam lorong Sebelas. Setelah menekan satu alat rahasia, dua Resi tadi masuk ke dalam ruangan ke Dua.
Begitu pintu terbuka langsung berhadapan dengan tangga batu terdiri dari dua belas undakan. Di sebelah atas tangga terdapat satu ruang batu empat persegi. Di atap ruangan ini tergantung sebuah lonceng besar terbuat dari emas. Anak lonceng tergantung pada ujung rantai yang juga terbuat dari emas murni.
Resi Kandila yang menaiki tangga di sebelah depan sampai lebih dulu ke ruang empat persegi. Resi Mitkapul mendampingi di sebelah belakang. Keduanya membungkuk di hadapan lonceng sakti. Setelah lebih dulu sama-sama merapal doa dan membayangkan wajah Resi Khandawa Abitar, Resi Kandila ulurkan tangan untuk memegang anak lonceng. Siap ditarik. Namun sebelum hal Itu kesampaian tiba-tiba...
"Byaaarrr!" Satu larik sinar kuning berkiblat terang di ruangan itu.
”Bukk!” Rasi Kandila tersungkur di lantai di bawah lonceng. Kepalanya hancur. Tapi tak ada darah yang mengucur. Dia langsung tewas tanpa keluarkan suara sedlkitpun!
Melihat apa yang terjadi Resi Mitkapul berteriak kaget. Menyebut nama Dewa Agung dan berbalik. Namun belum sempat melihat siapa adanya orang yang barusan membunuh temannya, Resi satu ini juga sama menerima nasib malang. Sebuah benda memancarkan cahaya kuning menghantam keningnya. Resi ini terguling sampai di undakan tangga kesepuluh dengan kepala pecah! Tak ada darah yang keluar!
********************
Di satu tempat di gurun pasir Tengger, sementara topan dahsyat masih terus menderu. Pumama gadis alam gaib dari negeri Latanahsilam yang sudah merasa aman siap-siap keluar dari alam roh,masuk kembali ke ujud kasarnya yang masih tergeletak di tanah gurun.
Seperti yang diceritakan dalam episode Topan Di Gurun Tengger, ketika terjebak dalam badai yang menerbangkan jutaan butir pasir dan bisa membuat tubuh berubah jadi saringan gadis ini mendapat serangan gelap dari mahluk gaib yang diperkirakannya adalah mahluk jahat tanpa wajah. Dengan memancing musuh tak terlihat itu dengan gompalan tongkat emas Purnama berhasil selamatkan diri.
Selagi si gadis bersiap-siap untuk pindah dari alam roh dan masuk kembali ke dalam jazadnya yang masih terbaring di atas gurun pasir dekat lobang besar bekas hantaman mahluk tanpa wajah, tiba-tiba dari arah timur tampak satu sinar biru yang begitu luar biasa hingga mampu menembus ketebalan topan pasir. Sinar ini bergerak luar biasa cepat dan dalam waktu singkat telah berada sekitar dua ratus tombak di atas gurun pasir Tengger dimana Purnama saat itu berada. Si gadis batalkan niat untuk masuk ke dalam jazadnya.
Di langit memercik ratusan bunga api disertai suara gelegar berkepanjangan ketika sinar biru menembus terpaan gelombang topan. Daya tembus sinar biru agak tersendat sewaktu dari arah barat tiba-tiba berkiblat cahaya kuning, coba membabat putus sinar biru. Agaknya kekuatan dibalik sinar biru lebih hebat dari sinar kuning yang coba memusnahkannya.
Didahului satu dentuman dahsyat laksana guntur menggelegar, sinar kuning tercabik-cabik di udara. Tiupan topan ikut terpental kian kemari. Sinar kuning akhirnya sirna namun topan masih terus menderu walau kini tidak sedahsyat sebelumnya. Dalam keadaan seperti itu, laksana terbang dan turun dari langit di arah timur tampak melayang sosok seorang kakek bertubuh tinggi besar mengenakan pakaian selempang kain biru dengan kepala dan wajah dihias rambut putih dan Janggut panjang serta kumis menjulai putih seperti kapas.
Dua Jengkal di depan tubuh orang tua ini yang bukan lain Rasi Khandawa Abitar adanya berputar sebuah tongkat biru berkeluk yang bukan saja memancarkan cahaya biru benderang tapi sekaligus melindungi dirinya serta membendung keganasan topan dahsyat yang melanda Gurun Pasir Tengger. Di satu tempat Resi Khandawa berhenti melayang. Tubuhnya mengapung di udara. Sungguh luar biasa ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.
”Topan buatan! Sang pembuat sudah melarikan diri. Hawa sakti kebenaran telah menguasai tempat ini. Mengapa masih menunjukkan digjaya sia-sia? Kombali ke tempat asalmu!”
Resi Khandawa Abitar berucap. Suaranya tidak mombentak tapi perlahan saja. Mulutnya kemudian komat kamit merapal mantera. Anehnya saat itu juga suara deru topan berubah mengendur dan tebaran jutaan pasir gurun yang melayang di udara sedikit demi sedikit luruh ke bawah dan bersatu kembali dengan pedataran gurun tempat asal datangnya. Hanya selang beberapa saat topan yang melanda Gurun Pasir Tengger lenyap walau cuaca agak gelap masih belum surut.
”Tongkat sakti Kuntala Biru. Kau telah menjalankan tugasmu dengan baik. Para Dewa di Swargaloka. Saya Resi Khandawa Abitar berterima kasih atas Kuasa dan pertolonganMu. Mohon perlindungan Para Dewa untuk tindak selanjutnya..."
Habis keluarkan ucapan Resi Khandawa Abitar ulurkan tangan kanan menangkap ujung berkeluk tongkat biru yang masih berputar deras. Tangan manusia biasa yang punya kepandaian dan ilmu, kesaktian yang tidak tinggi, salah-salah menyentuh bisa terbabat putus oleh putaran tongkat.
Resi Khandawa Abitar gerakkan dua kaki. Tubuhnya kembali melayang turun. Matanya yang bening tajam memandang ke seantero pedataran pasir Gurun Tengger. Jauh di bawah sana dia melihat beberapa orang berkaparan di gurun pasir.
Resi dari Gurun Pasir Thar ini memiliki ilmu kesaktian bernama Mengulur Mata Menjerat Pandang. Dengan ilmu ini dia bisa melihat benda di kejauhan menjadi dekat seolah berada di depannya. Di arah kiri gurun pasir saat itu dia melihat seseorang tengah berusaha berdiri.
Begitu dia menerapkan Ilmu Mengulur Mata Menjerat Pandang, serta merta dia melihat orang itu adalah pemuda berambut gondrong. Wajah bercelemong pasir. Rambut dan pakaian Juga penuh ditempeli pasir. Si pemuda kibas-kibas rambut gondrongnya dan tepuk-tepuk pakaian putih untuk membersihkan pasir gurun yang menempel. Lalu dia mengusap muka berulang kali.
Ketika sang Resi memperhatikan bagian tubuh antara dada dan perut pemuda ini, empat kelopak matanya terasa bergetar. Jantung berdetak lebih kencang dan darah mengalir lebih cepat. Resi ini terkesima.
BAB EMPAT
Aku melihat cahaya putih aneh di tubuh sebelah depan pemuda berambut gondrong itu. Hemmm…” Sang Resi bergumam. ”Dia menyimpan satu senjata sakti mandraguna di dekat relung jantung dan hati di dalam tubuhnya. Luar biasa! Kalau kekuatan tongkat Kuntala Biru masuk ke dalam tubuhnya, bergabung dengan kekuatan senjata yang dimilikinya, langit bisa diruntuhkan, samudera bisa dibendung. Tujuh Tonggak Kekuasaan, Keadilan dan Kebenaran bisa dikuasainya. Pemuda itu siapa dia gerangan. Sebelum kembali ke Gurun Thar aku perlu menemui dirinya. Sekarang aku harus mencari gadis berbaju biru yang aku lihat dalam samadiku...”
Sementara tubuhnya terus melayang turun Resi Khandawa Abitar tukikkan pandangan ke bawah. Mendadak di arah depan dia melihat satu pemandangan yang membuat wajah tuanya yang klimis bersemu merah namun kemudian tertawa geli sendirian. Gerangan apa yang telah dilihat dan membuat Resi sakti dari India ini sampai tertawa demikian rupa?
Seperti diceritakan sebelumnya ketika topan prahara membadai di Gurun Pasir Tengger, Naga Kuning telah merubah diri ke dalam ujud aslinya yakni seorang kakek sakti bernama Kiai Paus Samudera Biru. Sambil menindih tubuh Gondoruwo Patah Hati kakek ini berusaha merayu kekasihnya itu. Dia berbisik ke telinga si nenek.
”Intan, lama sekali aku menginginkan kita berdua-dua seperti Ini. Sekarang baru ada kesempatan...”
”Ihhh!” Gondoruwo Patah Hati terpekik. ”Tua bangka kurang ajar! Lekas turun! Kalau tidak...”
”Nek, tidakkah kau ingin merubah dirimu menjadi Intan Ning Lestari agar kita bisa bermesraan lebih mantap? Apa kau tega membiarkan diriku seperti ini?”
Si nenek agak tergagap. Tapi kemudian membentak memaki. ”Kiai edan! Jangan-jangan kau sudah kemasukan roh jahat Cakra Mentari!” Si nenek susupkan tangan kirinya ke balik jubah si kakek.
Kiai Paus Samudera Biru mesem-mesem menikmati sentuhan tangan yang menjalar itu. Ah, ini yang diharapkan. Dia menunggu usapan terakhir di bagian bawah perutnya di tempat yang tak bisa dibayangkan! Namun mendadak sang Kiai menjerit keras. Bukan mendapat usapan, bukan pula merasa kenikmatan tapi kantong menyan perabotannya amblas dipencet si nenek. Sosok si kakek langsung melintir dan terguling ke tanah. Dua kaki melejang-lejang, mulut mengerang dan muka meringis menahan sakit.
”Rasakan! Makan pencarianmu!” Maki Gondoruwo Patah Hati lalu tertawa cekikikan. Namun nenek ini kemudian hentikan tawa dan unjukkan muka kawatir. Sebabnya sosok Kiai Paus Samudera Biru kini tergeletak di pasir tidak bergerak tidak bersuara! Ketika dia memperhatikan muka si kakek kelihatan sepasang mata yang terbuka mendelik tak berkesip!
”Astaga! Jangan-jangan...” Si nenek ketakutan lalu jatuhkan diri dan peluk tubuh si kakek. Dia usap kepala sambil ciumi wajah Kiai Paus Samudera Biru berulang kali. ”Gunung, apakah tadi aku terlalu keras memencet anumu?” Gunung adalah nama asli Naga Kuning.
Si kakek tidak dapat menahan tawanya lagi. Sosoknya berubah menjadi Naga Kuning kembali. Sambil merangkul punggung dengan kedua tangan serta menggelungkan dua kaki di pinggul si nenek bocah berambut jabrik ini tertawa terpingkal-pingkal.
”Anak kurang ajar!” Gondoruwo Patah Hati mendamprat lalu berguling menjauh sambil terus memaki panjang pendek.
Semua apa yang terjadi itulah yang telah disaksikan oleh Resi Khandawa Abitar dari atas gurun pasir dan membuat dia tertawa geli.
”Hidup di muka bumi di luar alamku ternyata banyak keluguan dan kelucuan. Para Dewa sungguh adil. Membagi kebahagiaan pada ummat manusia. Dalam susah maupun senang...”
Sang Resi kemudian memperhatikan ke beberapa jurusan lain sambil tangan kiri yang memegang patahan gompalan tongkat emas di acungkan di depan dada. Agak jauh di sebetah selatan Rasi Khandawa Abitar melihat satu bangunan. Dari bentuknya dia tahu kalau bangunan itu adalah sebuah Kuil Hindu.
Kembali dia mengerahkan Ilmu Mengulur Mata Menjerat Pandang. Bangunan kuil yang tadinya kecil berubah jadi besar. Begitu melihat Kuil yang masih berada dalam keadaan utuh tanpa kerusakan sedikitpun sang Resi segera rundukkan kepala memanjatkan doa dan puji-pujian.
”Dewa Pelindung Agung. Topan badai begitu besar namun kerusakan tidak sampai menyentuh Kuil suci itu. Berkah Mu sangat besar wahai Para Dewa di Swargaloka. Terima kasih Dewa. Terima kasih...”
Masih dalam menerapkan ilmu kesaktiannya, tidak jauh dari bangunan Kuil tampak seorang tua berselempang kain putih, melangkah terseok-seok menuju Kuil. Pakaian putih dan sekujur tubuhnya kotor penuh debu dan pasir gurun. Beberapa bagian lengan dan bahu dalam keadaan luka akibat ditembus pasir.
Orang tua yang dilihat Resi Khandawa Abitar ini adalah Resi Jantika Lamantara yang dengan susah payah berusaha mencapai Kuil. Walau dua kaki goyah, sekujur tubuh sakit bukan kepalang namun melihat keadaan Kuil yang masih utuh memberi semangat padanya untuk meneruskan langkah. Sambil berjalan mulutnya tiada henti mengucap doa puji syukur.
Pada saat Resi Khandawa Abitar akhirnya menjejakkan dua kaki di Gurun Pasir Tengger sudut mata sang Resi tiba-tiba menangkap kilatan cahaya di arah kiri. Ketika berpaling ke kanan, di kejauhan dia melihat seorang gadis cantik memegang sebuah cermin bulat lengah berusaha bangkit berdiri.
”Bukan gadis yang kucari...” ucap Resi Khandawa Abitar. ”Gadis berjubah kelabu, seperti tiga orang tadi agaknya dia juga bukan orang sambarangan. Cermin bulat di tangannya pasti sebuah senjata sakti. Aku melihat cahaya biru di balik dadanya. Heran, bagaimana banyak orang berkepandaian tinggi bertebaran di gurun pasir yang baru dilanda topan ini? Apakah mereka semua punya sangkut paut dengan kejahatan Resi Mirpur Patel? Agaknya aku bakal mendapat banyak sahabat di negeri ini.”
Sambil terus berpikir-pikir Resi Khandawa Abitar memandang berkeliling sampai pandangannya membentur satu sosok berpakaian biru, berambut panjang lepas riap-riapan tertiup angin, terbaring menelungkup. Dada sang Resi berdebar.
”Ada cahaya kuning bersinar di bagian bawah tubuhnya yang menelungkup. Aku harus melihat wajah perempuan ini...”
Resi Khandawa kembali kerahkan Ilmu Mengulur Mata Menjerat Pandang. Begitu sosok orang menjadi besar dan sewaktu dia melihat sebagian wajah yang tertelungkup darahnya berdesir.
”Walau wajahnya cuma terlihat sebagian tapi aku yakin ini gadis yang kulihat dalam samadi. Benda bercahaya di bagian bawah tubuhnya pasti potongan gompalan tongkat emas...”
Tidak menunggu lebih lama Resi Khandawa Abitar segera melesat mendekati sosok tubuh yang tertelungkup di pasir.
”Aneh, topan sudah reda. Mengapa perempuan muda ini masih berbaring menelungkup? Apakah dia masih hidup. Jangan-jangan telah tewas dilanda topan. Tapi tubuhnya terlihat utuh...”
Resi Khandawa maju lagi dua langkah, lebih mendekat. Sambil pandangi sosok perempuan berpakaian biru di depannya dia menarik nafas dan menghirup udara dalam-dalam. Tongkat Kuntala Biru disapukan di punggung perempuan yang terbaring menelungkup. Mendadak saja Resi ini tersurut satu langkah.
”Sosok perempuan ini dalam keadaan kosong. Berarti...” Sang Resi memandang berkeliling. Dia tidak dapat melihat tapi dia mampu merasakan. Maka segera saja dia keluarkan ucapan.
”Mahluk pandai dari alam roh, kau punya tubuh bagus dan wajah cantik. Mengapa ditinggal disia-siakan?”
Roh Purnama yang ada di dekat situ yang tadi sebenarnya memang hendak kembali masuk ke dalam jazadnya namun membatalkan niat karena kedatangan sang Resi, kini setelah mendengar ucapan Resi itu langsung saja dia masuk kembali ke dalam tubuh kasarnya. Kejap itu pula dia bergerak bangkit, berdiri dua langkah di hadapan sang Resi.
”Ah, kini aku melihat wajahmu dengan jelas. Kau memang orang yang ada dalam samadiku. Terima kasih, Dewa telah mempertemukan aku denganmu.” Resi Khandawa Abitar melintangkan tongkat Kuntala Biru lalu membungkuk memberi hormat pada gadis cantik hadapannya.
Purnama perhatikan orang tua di depannya sesaat lalu berkata. ”Orang tua, dari dandananmu saya tahu kau adalah orang asing. Kau pandai bahasa negeri ini.”
”Dewa memberi berkah padaku,” jawab Resi Khandawa Abitar.
”Logat bicaramu seperti seorang yang pernah aku kenal. Namanya Deewana Khan.”
”Dewa Maha Besar!” Resi Khandawa Abitar mengucap menyebut nama Dewa. ”Kau kenal Deewana Khan. Aku akan bertanya banyak tentang dirinya. Namun saat ini ada satu hal penting yang harus didahulukan.”
”Tunggu dulu,” kata Purnama pula. ”Ada satu mahluk tanpa wajah yang juga punya logat bicara sepertimu. Orang tua apa hubunganmu dengan mahluk itu? Kalian agaknya datang dari negeri yang sama.”
Resi Khandawa Abitar tersenyum. Setelah anggukkan kepala beberapa kali dia berkata. ”Kedatanganku kesini justru ada sangkut pautnya dengan semua apa yang kau ketahui. Gadis berbaju biru, izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Khandawa Abitar. Aku Resi Ketua dari Gurun Thar di India. Kalau aku boleh bertanya, siapakah namamu?"
”Purnama...”
”Dewa Maha Agung. Purnama. Bukankah itu juga berarti rembulan? Nama yang sangat bagus. Sahabatku muda, apakah kau mengenali benda ini?" Resi Khandawa Abitar perlihatkan keping gompalan tongkat emas yang sejak tadi digenggamnya. ”Kau mengenali benda ini?”
Purnama memperhatikan dan tampak terkejut. Dia meraba ke balik baju biru yang dikenakannya.
Resi Khandawa Abitar berkata. ”Kau sudah maklum. Kepingan emas ini adalah gompalan dari tongkat milik mahluk tanpa wajah...”
”Saya tidak mengerti. Kepingan itu ada pada saya. Beberapa saat lalu patah secara aneh...”
”Aku yang mematahkan. Keluarkanlah bagian patahan yang ada padamu...”
Purnama keluarkan patahan gompalan tongkat emas yang dimilikinya. Resi Khandawa melangkah mendekat. Dia mengambil patahan kepingan tongkat yang dipegang Purnama. Ketika dua patahan gompalan tongkat emas saling ditempelkan satu sama lain ternyata dua patahan bersambung menyatu sangat tepat.
”Aku benar-benar telah menemui gadis yang aku lihat dalam semadiku. Dewa sungguh Agung. Purnama, aku akan melakukan sesuatu. Harap kau tetap berdiri tenang di tempatmu...”
Selesai berucap Resi Khandawa letakkan dua keping patahan gompalan tongkat di telapak tangan kiri. Lalu dia angkat tongkat Kuntala Biru. Sambil merapal doa Resi ini kemudian tekankan ujung tongkat sakti pada dua patahan gompalan tongkat emas. Satu sinar biru yang amat terang membersit keluar dari tongkat sakti.
”Wusss!”
Saat itu juga dua patahan gompalan tongkat emas tunggelam dalam kobaran api berwarna biru. Satu kekuatan yang tak kelihatan muncul secara aneh, melabrak Khandawa Abitar hingga Resi dari Gurun Thar ini jatuh terduduk. Wajahnya tampak merah. Purnama cepat mendatangi. Maksudnya hendak menolong sang Resi berdiri. Namun Resi Khandawa Abitar cepat mencegah.
”Jangan sentuh!”
”Wusss”
BAB LIMA
Satu kobaran api berwarna biru menggebubu ke udara setinggi hampir dua tombak, membuat tubuh Resi Khandawa Abitar lenyap tak kelihatan lagi. Purnama terpekik. Kalau dia tidak cepat melompat mundur niscaya ikut tersulut api dahsyat itu.
Di saat yang bersamaan di kejauhan di arah selatan terdengar raungan manusia luar biasa keras hingga menggema sampai di permukaan pedataran pasir. Dari dalam kobaran api biru tiba-tiba terdengar suara Resi Khandawa Abitar.
”Resi Mirpur Patel. Saatnya kau datang ke hadapanku untuk meminta maaf dan meminta ampun pada Para Dewa atas semua dosa kesalahan yang telah kau perbuat.”
Di selatan kembali terdengar suara raungan namun kali ini disertai suara ucapan bergumam yang tidak jelas. Di dalam kobaran api biru terdengar lagi suara Resi Khandawa Abitar.
”Apa? Kau menolak datang. Sayang sekali. Apakah kau sudah berpikir baik-baik Resi Mirpur Patel?”
Kembali menggelegar suara raungan dan ucapan bergumam dari arah selatan. Lalu menyusul suara sang Resi yang masih tenggelam dalam kobaran api biru setinggi dua tombak.
”Jika kau mau datang, aku berjanji meminta keringanan hukuman pada Para Dewa. Apa...? Ah, sayang sekali. Kau tetap tak mau datang malah menantang tak takut mati. Resi Mirpur Patel, nyawamu bukan di tanganku. Aku tidak punya kewenangan untuk membunuhmu. Namun jika Para Dewa memberi kuasa bagiku untuk melakukan sesuatu, aku masih tetap ingin kau minta ampun dan bertobat atas semua kesalahanmu. Kita para Resi, apakah tidak ingin melihat dunia ini dan semua ummat di dalamnya hidup dalam bahagia ketenteraman?”
Di selatan menggelegar raungan dahsyat dan gumam aneh.
”Ah, sayang sekali. Benar-benar sayang sekali! Apa yang terjadi dengan dirimu? Mengapa kau begitu keras kepala? Hanya karena ingin mendapatkan ilmu sesat dari kitab palsu yang aku mengira kau sendiri yang membuatnya? Sayang sekali! Kau tak mau datang dengan ikhlas, aku terpaksa menyedotmu datang kemari!” kata Resi Khandawa Abitar. Dia acungkan tongkat Kuntala Biru ke depan setinggi dada. Lalu tongkat disentakkan kebelakang.
”Wuutttt!” Terdengar suara bergemuruh disertai hawa aneh menarik kuat sekali ke arah sang Resi. Purnama cepat-cepat jatuhkan diri ke gurun pasir lalu berguling menjauh. Selagi dia hendak mencoba berdiri tiba-tiba...
"Blukk!" Satu sosok putih jatuh bergedebuk di atas pasir di depannya lalu menggelundung dan berhenti tiga langkah di hadapan Resi Khandawa Abitar. Sosok putih ini seorang tua berambut dan berjanggut putih panjang dengan wajah licin rata tidak berupa. Dalam kepitan tangan kiri ada sebuah tongkat emas besar berbentuk bulat salah satu ujungnya.
”Mahluk tanpa wajah!” ucap Purnama setengah berseru.
”Wusss!” Api biru setinggi dua tombak yang sejak tadi menyelubungi Resi Khandawa Abitar tiba-tiba lenyap. Tak kurang suatu apa Resi ini melangkah mendekati sosok orang tua tanpa wajah yang masih tergeletak di pasir. Agaknya dia memang tak mampu bergerak ataupun bicara. Dari mulutnya hanya keluar suara desah meracau. Resi Khandawa sapukan tongkat sakti Kuntala Biru di wajah licin pada arah letak mulut yang tidak kelihatan dari mahluk tanpa wajah.
”Resi Mirpur Patel, aku sudah membuka jalan suaramu. Sekarang bicaralah.”
Wajah licin tanpa mulut itu secara aneh mengeluarkan suara parau menjawab. ”Resi Khandawa, kau lebih baik membunuhku saat Ini juga. Aku tidak akan pernah mau bicara!”
”Begitu...?” Resi Khandawa tersenyum. ”Memang tidak sopan bicara kalau wajahmu tidak kelihatan.”
Resi Khandawa Abitar kembali sapukan tongkat saktinya. Kini ke kepala dan seluruh wajah Resi Mirpur Patel. Tiba-tiba tiga cahaya berwana merah, biru dan hijau memancar terang dari kepala Resi Mirpur Patel, menyambar ke arah Resi Khandawa Abitar. Dengan cepat Resi ini melompat mundur seraya sapukan tongkat Kuntala Biru. Tiga letusan keras menggeledek di tempat itu.
Resi Mirpur Patel mengerang keras. Tubuhnya melesak masuk ke dalam tanah, setengah terkubur di dalam pasir! Masih tidak punya kemampuan begerak. Tongkat emasnya menancap ke dalam pasir sampai setengahnya. Pada saat itu kepalanya yang tadi polos licin tanpa wajah kini berubah menunjukkan wajah seorang kakek berambut, kumis dan janggut putih. Tampangnya tampak angker memandang penuh geram pada Resi Khandawa Abitar.
Sepasang mata Resi Khandawa Abitar tatap sosok dan wajah Resi Mirpur Patel tak berkesip. Dalam hati dia berkata. ”Resi ini agaknya sudah memiliki ilmu kesaktian jahat dari buku sesat. Pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib. Jika dia berhasil menyedot ilmu yang di dapat pemuda yang jadi budaknya itu, kekuatan ilmu pukulan bisa berubah dahsyat sepuluh kali lipat! Jangankan bumi, Swargaloka pun bisa tergoncang!”
”Resi Mirpur Patel, apakah kau masih tidak mau bicara?”
Dua pipi Resi Mirpur Patel menggembung, pelipisnya begerak-gerak. Tiba-tiba dia meludah. ”Puuhhh!”
Dihina seperti itu Resi Khandawa Abitar hanya tersenyum. ”Hatimu sekeras batu di Gurun Thar. Perasaanmu sebeku salju di puncak Pegunungan Vindhya dan pikiranmu seperti terselubung lumut setebal lumut di dasar sungai Chambal. Resi Mirpur Patel, aku akan memohon pengampunan bagi dirimu pada Para Dewa di Swargaloka. Asal kau mau mengembalikan padaku Patung Kamasutra yang kau curi di Goa Binaker.”
”Patung itu tidak ada padaku.”
”Kalau begitu kau pasti tahu dimana beradanya dan siapa yang memegangnya.”
”Tanyakan saja pada Para Dewa di Swargaloka,” jawab Mirpur Patel alias mahluk tanpa wajah dengan nada mengejek.
Mendengar ucapan Mirpur Patei itu marahlah Resi Khandawa Abitar. Orang boleh menghina dirinya. Tapi jika orang berani menghina Dewa dihadapannya maka dia akan turun tangan lebih dulu! Resi yang biasa bicara lembut ini sekarang berucap dengan suara keras dan bergetar menahan marah.
”Resi Mirpur Patel! Kau tahu tidak ada dosa paling besar selain menghina dan mempermalukan Para Dewa! Aku tidak akan membunuhmu. Tapi aku juga tidak akan membiarkan dirimu hidup gentayangan seenaknya di muka bumi ini. Hukum harus diberlakukan atas dirimu! Dewa memutuskan! Aku melaksanakan!”
”Resi pengecut! Jangan meminjam nama Dewa! Akui saja kau tidak berani membunuhku!”
Sebagai jawab atas ucapan Resi Mirpur Patel, Resi Khandawa Abitar tancapkan tongkat Kuntala Biru ke tanah. Dari balik pakaian birunya dia keluarkan Pedang Bulan Sabit yang didapatnya dari tujuh orang katai yang mengaku sebagai utusan Sang Kebenaran. Perlahan-lahan dia pergunakan tangan kanan untuk menarik gagang pedang. Meskipun saat itu matahari bersinar cerah namun kilau cahaya putih terang dan indah dari Pedang Bulan Sabit yang dicabut dari sarungnya tidak menjadi redup.
Sementara Resi Khandawa Abitar merapal doa di dalam hati, sosok Resi Mirpur Patel alias mahluk tanpa wajah yang tergeletak di tanah berusaha memusnahkan kekuatan yang membuat sekujur tubuhnya kaku. Dia sadar sesuatu akan terjadi atas dirinya. Karena itu dia harus bisa melarikan diri. Namun jangankan membebaskan diri, begerak sedikitpun dia tidak bisa.
”Kurang ajar! Resi itu telah melumpuhkan sekujur auratku dengan ilmu Seribu Titik Tanpa Daya? Resi Mirpur Patel menyumpah geram. ”Khandawa Abitar! Aku bersumpah akan membunuhmu jika kau melakukan sesuatu atas diriku!” Resi Mirpur Patel keluarkan ancaman.
Sepasang matanya tidak lepas dari memperhatikan senjata di tangan Resi Khandawa Abitar. Resi Khandawa sendiri tidak perdulikan ancaman orang. Sambil memegang Pedang Bulan Sabit di tangan kanan dia melangkah mendekati Resi Mirpur Patel.
”Kau mau melakukan apa?!” teriak Mirpur Patel.
”Kebenaran harus ditegakkan. Hukum harus dilaksanakan. Dewa menyampaikan pesan melalui Pedang Bulan Sabit ini!"
Selesai berucap Resi Khandawa Abitar tekankan ujung runcing Pedang Bulan Sabit ke kening Resi Mirpur Patel. Gerakannya perlahan saja, tidak sampai membuat kening Mirpur Patel terluka. Satu kilatan cahaya putih melesat masuk menembus batok kapala Resi Mirpur Patel, menjalar ke seluruh tubuhnya yang kemudian terjengkang di tanah gurun. Bersamaan dengan itu terjadilah hal aneh.
Kegelapan mendadak menyungkup gurun pasir dimana orang-orang itu berada. Ketika kegelapan lenyap dan udara terang benderang kembali sekujur tubuh Resi Mirpur Patel yang kurus jangkung tergelatak berubah menjadi sosok tanpa daging, nyaris menyerupai jerangkong. Sosok itu mengepulkan asap luar biasa panas hingga Purnama menjauh sampai lima langkah. Dari mata, telinga, mulut dan hidung mengucur cairan hitam.
”Mirpur Patel. Darahmu hitam bukan merah. Pertanda Para Dewa telah memperlihatkan kehitaman hatimu. Hari ini riwayatmu telah tamat. Sekarang pergilah untuk selama-lamanya dari muka bumi ini.”
Resi Mirpur Patel keluarkan suara menggembor keras. Cairan hitam bermuncratan dari mulut, mata, hidung dan telinga. Begitu suara menggembor putus, dari mulutnya keluar jeritan keras berkepanjangan. Resi Mirpur Patel yang dalam keadaan hidup tidak matipun tidak merasa sekujur tubuhnya dilanda panas luar biasa.
”Rasi jahanam itu tidak membunuhku! Dia mau menyiksa diriku dengan hawa panas memanggang seumur hidup! Dari mana dia dapatkan ilmu itu? Dari pedang celaka berbentuk bulan sabit Ku? Kurang ajar! Dari mana dia dapatkan pedang keparat itu?” Resi Mirpur Patel menyumpah habis-habisan. Lalu dia merapal segala macam mantera untuk menolak dan memusnahkan hawa panas dalam tubuhnya. Namun sia-sia saja.
Resi Khandawa Abitar masukkan Pedang Bulan Sabit ke dalam sarung. Pedang sakti dipegang dengan tangan kanan. Lalu dengan tangan kiri dia cabut tongkat Kuntala Biru dari tanah gurun. Tongkat disapukan ke arah Resi Mirpur Patel.
”Dess! Dess! Desss!”
Tubuh Resi Mirpur Patel keluarkan letupan sampai tiga kali. Resi Khandawa Abitar berucap setengah membentak seraya kaki kanan dihentakkan ke tanah gurun. ”Pergilah!”
Pedataran Pasir Gurun Tengger bergetar oleh hentakan kaki Resi Khandawa Abitar. Resi Mirpur Patel maklum apa yang akan terjadi. Dia berusaha meronta dan menerjang. Namun tak mampu bergerak.
”Resi Khandawa Abitar! Aku tidak akan mati! Tidak pernah! Aku akan tetap hidup sejuta tahun! Aku akan membalas semua perbuatanmu ini!”
”Resi Mirpur Patel. Kau tidak punya daya, tidak punya kekuatan. Saatnya kau pergi.” Resi Khandawa Abitar goyang dan putar ujung tongkat biru lalu disentakkan ke atas.
Saat itu juga tubuh Resi Mirpur Patel yang setengah terpendam di tanah berpasir melesat ke udara, lenyap seolah menembus langit. Setelah sosoknya hilang dari pemandangan suara jeritannya masih terdengar mengumandang. Resi Khandawa Abitar tarik nafas panjang dan dalam lalu bekata.
”Semua sahabat yang ada disini. Resi jahat itu akan terkatung-katung antara langit dan bumi. Mati tidak hiduppun tidak. Sekujur tubuhnya dijalari hawa panas. Hanya ada satu jalan mencari selamat sementara, itupun kalau dia tahu caranya. Yaitu masuk ke dalam tubuh Cakra Mentari yang telah diperbudaknya dengan ilmu setan.”
Resi Khandawa mendongak menatap ke langit. ”Tujuh manusia katai utusan Sang Kebenaran. Tugasku sudah selesai. Apakah para sahabat bermaksud mengambil kembali Pedang Bulan Sabit?”
Baru saja ucapan berakhir, di langit arah barat kelihatan tujuh titik begemerlap, melayang ke arah Gurun Pasir Tengger dimana Resi Khandawa Abitar berada. Tak selang berapa lama tujuh titik berubah membesar dan sesaat kemudian tujuh manusia katai bersorban yang mengeluarkan cahaya putih sejuk telah berada di tempat itu.
Mereka berdiri berjejer di hadapan Resi Khandawa Abitar. Tujuh pasang kaki mereka sama sekali tidak menginjak pasir gurun. Tergantung di udara seujung kuku jari dari tanah. Ketujuh manusia katai membuka sorban masing-masing. Sorban diletakkan di atas pasir gurun lalu mereka sama-sama membungkuk memberi hormat. Resi Khandawa Abitar membalas hormat kamudian melangkah mendekati manusia katai di sebetah tengah.
”Bukankah sudah saatnya aku harus mengembalikan Pedang Bulan Sabit? Dan kau serta kawan-kawan sudah datang menjemput.”
”Resi Yang Mulia. Apa yang kau katakan tidak keliru. Sebenarnya Sang Kebenaran juga mempunyai pesan. Pedang itu kami ambil lantas kami serahkan pada seseorang yang ada di tempat ini...”
Resi Khandawa Abitar berpaling ke arah Purnama yang tegak di sampingnya. ”Maksud kalian pedang akan diserahkan pada gadis cantik berpakaian biru yang berdiri di sampingku ini?”
”Resi Yang Mulia. Kami mahluk-mahluk yang punya keterbatasan. Di alam lain selain alam kami, kami tidak bisa melihat sosok seorang perempuan...”
Sepasang alis mata Purnama mengerenyit naik ke atas. Resi Khandawa Abitar tersenyum.
”Sayang sekali,” katanya. ”Gadis yang ada di sebelahku bertubuh elok dan berparas sangat cantik. Kalian benaran tidak mau melihatnya?”
Tujuh manusia katai termesem-mesem dan saling sikut-sikutan satu sama lain. Lalu adalah seorang dari mereka menjawab. ”Kalau hal itu kami lakukan, Sang Kebenaran akan murka dan kami tidak bisa kembali lagi ke alam kami.”
”Aku mengerti.” jawab Resi Khandawa Abitar pula. ”Jadi bagaimana dengan Pedang Bulan Sabit ini?”
”Kami akan mengambilnya. Jika Sang Kebenaran kemudian memberikan perintah baru, Resi Yang Mulia pasti akan mengetahui. Paling tidak akan mendapat petunjuk di dalam samadi” Jawab manusia katai di sebelah tengah lalu dia maju mendekat dan ambil Pedang Bulan Sabit dari tangan kanan Resi Khandawa Abitar.
Setelah mengenakan sorban kembali dan membungkuk memberi hormat pada Resi Khandawa Abitar di hadapan tujuh manusia katai keluar tabir asap. Ketika tabir ini lenyap tujuh manusia katai sudah melayang ke langit dan akhirnya lenyap dari pemandangan.
Purnama datang mendekati Resi Khandawa Abitar.
”Gadis baju biru, aku masih ada satu pekerjaan yang harus dilakukan. Menjauhlah dulu.”
Purnama terpaksa bersurut kembali. Sang Resi masukkan ujung tongkat Kuntala Biru ke bagian tongkat emas yang berbentuk bulat milik Resi Mirpur Patel yang saat itu masih menancap di tanah.
”Tombak emas Pusaka Langit Ketiga. Kembalilah ke tempat asalmu di Lembah Godavari!" Resi Khandawa Abitar sentakkan ke atas tongkat Kuntala Biru di tangan kanan.
”Tring!” Terdengar suara berdering ketika dua tongkat sakti saling beradu disertai memerciknya bunga api berwarna kuning dan biru.
”Wuttt!” Tongkat emas milik Resi Mirpur Patel tercabut dari tanah, melesat Ke udara dengan kecepatan luar biasa hingga hanya terlihat berupa satu cahaya kuning terang. Cahaya ini berputar tiga kali di atas Gunung Bromo lalu menderu ke langit dan akhirnya lenyap dari pemandangan.
Resi Khandawa Abitar usap wajahnya sampai tiga kali. Ketika dia berpaling ke arah Purnama ternyata si gadis tidak hanya sendirian di tempat itu. Ada empat orang lain bersamanya. Sang Resi ingat ke empat orang ini adalah orang-orang yang tadi dilihatnya sewaktu melayang turun ke Gurun Pasir Tengger.
BAB ENAM
Yang pertama sekali diperhatikan Resi Khandawa Abitar adalah si bocah berambut jabrik Naga Kuning dan nenek muka setan Gondoruwo Patah Hati. Sang Resi senyum mesem-mesem melihat kedua orang ini terutama Naga Kuning. Lalu dia berpaling pada Ratu Duyung, melirik sekilas pada Purnama seolah ingin membandingkan kecantikan dua gadis ini.
Terakhir sekali matanya dialihkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Berdiri cukup dekat begitu rupa kini Resi sakti ini dapat melihat keadaan Wiro lebih jelas. Seperti yang sudah dilihatnya sebelumnya lewat ilmu Mengulur Mata Menjerat Pandang dia mampu mengetahui keberadaan satu senjata sakti di dalam tubuh murid Sinto Gendeng. Berhadapan begitu dekat Resi Khandawa dapat melihat bentuk senjata yang ada dalam tubuh Wiro.
”Kapak bermata dua...” ucap sang Resi dalam hati.
Lebih dari itu dia juga melihat adanya benda-benda sakti lainnya didalam kantung celana sang pendekar. Lalu dia juga melihat keberadaan dua buah kitab dibalik pakaian Wiro. Bahkan Resi sakti ini juga melihat tanda putih di bawah pusar sang pendekar.
”Dua kitab sakti mandraguna. Satu salinan, satu lagi yang sudah terbakar hangus. Ah kasihan pemuda ini, dia mengindap satu penyakit sangat menakutkan. Siapa yang punya pekerjaan. Resi Mirpur Patel? Apakah aku bisa menolong pemuda ini? Mudah-mudahan Dewa memberi petunjuk.”
Sadar kalau dia terlalu lama memperhatikan orang-orang itu Resi Khandawa Abitar buru-buru membungkuk menghatur hormat.
”Semua sahabat yang ada di sini, maafkan aku sammpai terkesima melihat orang-orang gagah seperti kalian. Terima salam hormatku. Aku Resi Khandawa Abitar dari Gurun Thar di negeri India.”
Resi Khandawa perkenalkan diri dan lagi-lagi unjukkan senyum ketika melihat ke arah Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning. Si bocah karena merasa, mulutnya yang jahil langsung saja bertanya polos.
”Kek, dari tadi kau mesem-mesem saja melihat diriku. Apakah ada yang lucu?”
Resi Khandawa Abitar batuk-batuk beberapa kali. Dia menjawab. ”Sahabatku kecil. Kau tak pantas memanggil diriku Kakek. Karena kalau tidak salah aku menduga, usiamu lebih tua dari diriku.”
Naga Kuning jadi melongo. Gondoruwo Patah Hati cubit pinggang si bocah lalu berbisik. ”Anak konyol! Kau tidak sadar berhadapan dengan siapa? Kalau bukan Resi ini yang menolong, kita semua termasuk kau sudah ditimbun pasir topan!”
”Aku tahu,” menyahuti Naga Kuning. ”Tapi aku juga tahu satu hal lain! Dia pasti melihat waktu kita saling tindihan dan kau mengusap ke bawah perutku. Itu sebabnya dia mesem-mesem terus melihat kita! Hik hik hik!” Ucapan Naga Kuning membuat Gondruwo Patah Hati jadi terdiam.
Wiro maju mendekati dan membungkuk di hadapan Resi Khandawa Abitar. ”Resi Khandawa, terima salam hormatku. Namaku Wiro. Gadis di sebelah kanan ini Purnama...”
”Aku sudah kenal,” menerangkan Resi Khandawa Abitar.
Wiro meneruskan sambil menunjuk pada Naga Kuning. ”Anak ini Naga Kuning, nenek di sebelahnya Gondoruwo Patah Hati dan gadis bermata biru ini Ratu Duyung.”
”Aku maklum, kalian semua adalah orang-orang gagah rimba persilatan negeri ini, berhati baja berkepandaian tinggi.”
”Resi Khandawa, kami semua di sini mengucapkan terimakasih. Kau telah menolong kami hingga selamat dari bencana topan gurun pasirTengger.”
”Semua itu atas kuasa dan kehendak Para Dewa. Harap...”
Saat itu tiba-tiba ada seseorang mendatangi dan begitu sampai di hadapan Resi Khandawa Abitar dia langsung jatuhkan diri. Orang ini ternyata adalah Resi Jantika Lamantara.
”Resi Yang Mulia, apa yang barusan diucapkan pemuda ini benar adanya. Saya Resi Jantika Lamantara dari Kuil Bromo Agung menghaturkan puji syukur dan berterima kasih padamu. Kau telah diutus untuk menyelamatkan kami. Kuil tidak sedikitpun mengalami kerusakan. Semua barang sesajian yang disiapkan penduduk untuk upacara Kasada besok juga berada dalam keadaan utuh...”
Resi Khandawa Abitar pegang bahu Resi Jantika Lamantara dan menolongnya berdiri. ”Semua adalah atas kehendak dan kuasa Para Dewa. Perlindungan itu datang dari Yang Maha Kuasa. Aku sama dan tiada beda dengan dirimu. Kita adaah orang-orang yang hidup untuk mengabdi pada ummat manusia.”
”Resi Khandawa dan para sahabat semua. Kalau saja saya boleh mengundang rasanya lebih baik kita meneruskan pembicaraan di Kuil Bromo Agung tempat kediaman saya...”
”Dengan senang hati aku menerima undanganmu Resi Jantika. Apa aku akan mendapat suguhan teh harum. Aku mendengar kabar teh di sini ini lebih sedap dari teh di daerahku. Apalagi jika dicampur pemanis gula merah.”
Resi Jantika berjalan paling depan mendampingi Resi Khandawa. Wiro dan yang lain-lain mengikuti di belakang. Sang surya yang bersinar cukup terik tidak terasa panas karena hawa gunung yang sangat sejuk mampu membendung keterikan itu.
Sampai di Kuil Bromo Agung tempat kediaman Resi Jantika Lamantara dan Resi Aji Sumabarang, para tamu disuguhi teh manis bergula merah serta singkong dan ubi rebus hangat.
”Buah putih panjang dan merah bulat yang direbus ini.” kata Resi Khandawa Abitar sambil menunjuk pada singkong dan ubi rebus, ”Tak ada di negeriku. Sungguh sedap..." Sang Resi menyeka bibirnya lalu meneruskan ucapan. ”Kailan semua disini tadi menyaksikan bagaimana aku telah mempecundangi Resi Mirpur Patel, yang kalian kenal sebagal insan tanpa wajah Itu. Namun karena dia tidak mati, aku yakin dia akan melakukan pembalasan. Karena itu aku mengingatkan agar kalian semua terus berhati-hati. Sekarang, kalau boleh aku ingin menanyakan beberapa hal pada kalian. Aku mulai dengan sahabat berbaju biru. Purnama, waktu di gurun tadi kau menyebut nama Deewana Khan. Dia salah satu orang kepercayaanku. Tapi aku punya firasat dia sudah lama meninggalkan dunia fana ini. Bagaimana kejadiannya kau mengenal Deewana Khan?”
Purnama lalu menuturkan peristiwa sewaktu Deewana Khan menemuinya dan menyerahkan dua kitab bernama Kitab Jagat Pusaka Dewa. Satu kitab asli tapi dalam keadaan hangus, satunya salinan yang tidak dapat dibaca karena semua halamannya kosong melompong. ”Deewana Khan keadaannya sangat mengerikan. Mukanya berlumuran darah. Mata kanan hanya merupakan rongga besar menggidikkan...”
”Itu pasti pekerjaan Resi Mirpur Patel," kata Resi Khandawa Abitar pula. ”Kau menerangkan Deewana Khan menyerahkan dua buah kitab. Dimana kau simpan dua kitab itu sekarang?” Sebenarnya dari penglihatannya Resi Khandawa Abitar sudah tahu kalau dua kitab itu berada pada pemuda gondrong yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia bertanya sekedar untuk menguji kejujuran sahabat-sahabat barunya itu.
Purnama menjawab. ”Deewana Khan berpesan agar dua buah kitab diserahkan pada sahabat Wiro. Karena katanya hanya Wiro yang sanggup memecahkan rahasia yang ada dalam kitab.” ”Benar Resi, dua buah kitab itu ada padaku. Karena aku yakin dua kitab adalah milikmu maka aku akan menyerahkan padamu.”
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan dua buah kitab dimaksud lalu menyerahkan pada Resi Khandawa Abitar. Sang Resi meletakkan dua buah kitab di atas dadanya. Wiro menjelaskan.
”Berdasarkan petunjuk dalam kitab yang hangus aku dan Purnama mendatangi Gunung Bromo dan bertemu dengan seorang manusia dari alam gaib mengaku bernama Suma Mahendra. Dia banyak membantu memberi penjelasan. Menurut Suma Mahendra ratusan tahun silam dia menitis masuk ke dalam tubuh seorang bayi bernama Cakra Mentari...”
Belum selesai Wiro menutur, Resi Khandawa Abitar mengangkat tangan kanan. ”Cakra Mentari! Itulah pemuda yang menjadi budak ilmu sesat Resi Mirpur Patel. Bukankah dia yang telah mencelakai dirimu?”
Wiro mengangguk. ”Bukankah dia juga yang memperkosa dan membunuh sekian banyak gadis tak berdosa?”
Wiro mengangguk lagi. ”Jika kelak kau berhadapan dengan dirinya, kuraslah tiga ratus lima bunga tanjung yang ada dalam tubuhnya. Niscaya dia tidak akan berdaya.”
”Suma Mahendra juga mengatakan hal itu,” berucap Purnama. ”Namun sayang dia tidak menerangkan bagaimana cara menguras bunga tanjung yang ada dalam tubuh Cakra Mentari. Apakah Resi Khandawa mengetahui sesuatu?”
Resi Khandawa Abitar yang duduk bersila di lantai kuil letakkan dua kitab di pangkuan lalu mengambil Tongkat Kuntala Biru. Dia minta Wiro mengembangkan telapak tangan kanan lalu ujung tongkat ditempelkan ke telapak yang terkembang. Sesaat kemudian tongkat biru tampak bergetar. Satu aliran cahaya biru menjalar dari ujung yang berkeluk ke ujung yang menempel di telapak tangan Wiro.
Ketika cahaya biru menyentuh telapak tangan itu ujung tongkat Kuntala Biru mengepul dan terpental ke atas setinggi setengah jengkal. Wiro sendiri merasakan tubuhnya seperti dihenyak dibenamkan ke lantai kuil, keringat membanjir, pakaiannya sampai kuyup. Pada bagian bawah pusarnya dimana terdapat tanda putih bekas tempelan bunga tanjung terasa mendenyut sakit seperti ditusuk puluhan jarum. Sampai-sampai rahangnya menggembung menahan sakit.
Resi Khandawa Abitar kerenyitkan kening. Dia membungkuk memperhatikan telapak tangan Wiro. Samar-samar dia melihat ada tulisan tiga angka di telapak tangan itu. Angka 212. Seperti yang diriwayatkan, ketika Eyang Sinto Gendeng mewariskan ilmu kesaktian pada Pendekar 212 di puncak Gunung Gede, nenek sakti itu telah membuat jarahan angka 212 dengan jarum di dada sang murid. Angka ini kemudian dilenyapkan oleh Ki Gede Tapa Pamungkas karena menurut guru Sinto Gendeng ini tanda jarahan tiga angka itu hanya akan lebih banyak mendatangkan mudarat ketidakbaikan dari pada manfaat kebaikan. Musuh secara mudah mengenali Wiro.
Selain angka 212 di dada, Eyang Sinto juga memasukkan angka 212 ke dalam telapak tangan Wiro. Telapak tangan yang mengandung racun itu bisa membunuh lawan dengan sekali hantam saja. Ketika pertama kali turun gunung Wiro memang sering mempergunakan ilmu kesaktian ini. Semua orang jahat yang dihajarnya tewas dengan tanda angka 212 hitam gosong di keningnya. Kalaupun orang yang dipukul tidak sampai mati namun seumur hidup angka 212 di keningnya tidak bisa dilenyapkan.
Rimba persilatan di tanah Jawa geger. Banyak yang berpendapat bahwa mati dengan tanda angka 212 di keningnya bagi para penjahat sudah cukup pantas. Namun banyak pula yang menganggap hal itu sebagai tindakan kekejaman. Selanjutnya Wiro jarang mempergunakan ilmu pukulan ini karena selain tidak mau meninggalkan tanda pamer diri, dia juga tidak mau dicap sebagai pendekar muda yang sombong.
Melihat apa yang terjadi Resi Khandawa Abitar berkata. ”Ah… maafkan aku yang tidak tahu. Pintu masuk rupanya sudah ada yang menjaga. Anak muda, mohon ganti tangan kananmu dengan tangan kiri.”
BAB TUJUH
Wiro garukkan dulu tangan kirinya ke kepala baru diulurkan. Telapak tangan dikembang. Seperti tadi kembali Resi Khandawa Abitar letakkan ujung tongkat Kuntala Biru di atas telapak tangan kiri Pendekar 212. Cahaya biru mengalir lagi dari gagang tongkat yang berkeluk sampai ke ujung tongkat dan masuk ke dalam tangan Wiro. Kali ini tidak terjadi apa-apa malah Wiro merasa ada hawa sejuk masuk ke dalam tubuhnya.
Untuk beberapa saat tubuh murid Sinto Gendeng ini dikerlapi cahaya biru. Ketika kerlap cahaya biru lenyap, Wiro memperhatikan ada keanehan dengan lima kuku jari tangan kirinya. Lima kuku itu tampak berwarna biru muda dan kuning keputihan, tergantung dari arah mana seseorang melihatnya.
”Anak muda, ketahuilah saat ini aku telah meminjamkan ilmu kesaktian bernama Menguras Bahala Menyedot Petaka. Ilmu ini hanya bisa dipergunakan satu kali saja. Kalau kau kesalahan memakai, misal bukan ketika berhadapan dengan lawan lain dan bukan Cakra Mentari, maka sewaktu kau bertarung melawan Cakra Mentari kau tidak lagi memiliki ilmu itu dan seumur hidupnya Cakra Mentari akan merajalela menebar kejahatan...”
Resi Khandawa Abitar tarik tongkat saktinya kembali, diletakkan di lantai di samping kanan. Lalu melanjutkan bicara. ”Wiro, bilamana kau berhadapan dengan pemuda bernama Cakra Mentari itu, apapun yang dilakukannya kau hanya tinggal mengangkat tangan kiri dengan mengembangkan telapak tangan. Arahkan telapak tanganmu ke bagian kepala. Maka tiga ratus lima bunga tanjung yang ada dalam tubuhnya dan merupakan sebagian dari kekuatannya akan tersedot keluar lewat ubun-ubun di batok kepalanya. Ingat hal ini. Bunga tanjung akan keluar lewat ubun-ubun di atas kepalanya. Bilamana bunga tanjung tidak keluar dari ubun-ubun di kepala, misal keluar melalui mulut atau telinga, atau dada dan bagian tubuh lainnya, maka orang yang menjadi lawanmu itu sebenarnya bukanlah Cakra Mentari. Tapi bisa saja jejadiannya...”
”Wah repot juga ya Resi!” si bocah berambut jabrik Naga Kuning nyeletuk.
Resi Khandawa Abitar tersenyum. ”Satu hal lagi yang perlu kau ketahui. Dari semua bunga itu hanya tiga ratus empat yang jatuh luruh dan mengering ke tanah. Satu sisanya akan melayang di udara, sampai dia menemui seseorang yang ketitipan bunga tanjung yang mencelakai dirimu...”
Sampai di situ tiba-tiba Naga Kuning tertawa geli. Gondoruwo Patah Hati cepat mencekal kuduk bocah ini. ”Anak konyol! Jangan kau berani macam-macam! Apa yang ada di otakmu! Pasti yang kotor-kotor!”
”Tidak apa,” ucap Resi Khandawa Abitar. ”Sobat kecil Naga Kuning, boleh tahu apa yang membuat kau barusan tertawa geli?”
”Maafkan saya Resi,” jawab Naga Kuning. ”Waktu bertemu orang bernama Suma Mahendara di kawah Gunung Bromo, orang itu mengatakan bahwa untuk mengalahkan pemuda bernama Cakra Mentari lebih dulu harus mengalahkan mahluk pelindung yaitu mahluk tanpa wajah yang ternyata adalah Resi bernama Mirpur Patel itu. Caranya dengan menghancurkan atau merampas tongkat emasnya. Resi tadi telah melakukan hal itu. Mengembalikan tongkat emas ke tempat asalnya...”
”Tak ada yang lucu dengan tongkat itu. Lalu apa yang sampai membuatmu tertawa geli?” tanya Resi Khandawa pula.
”Memang bukan tongkat itu yang membuat saya geli. Tapi ada hal yang lain,” jawab Naga Kuning.
”Gunung! Kau pasti hendak bicara yang bukan-bukan!” bentak Gondoruwo Patah Hati kembali marah melihat tingkah dan ucapan si bocah berambut jabrik yang sebenarnya adalah kekasihnya sendiri.
”Nek, aku bicara kenyataan. Bukan mau usil atau kurang ajar. Kau sendiri mendengar keterangan Suma Mahendra waktu di kawah Gunung Bromo. Menurut orang dari alam gaib itu, bunga tanjung yang dipakai untuk mencelakai sahabat kita Wiro konon berada dalam kemaluan perempuan dari alam gaib yang pernah berusaha menolongnya. Resi Khandawa, karena ingat hal itu membuat saya jadi tertawa geli...!”
Resi Khandawa sendiri akhirnya tidak dapat menahan tawa. Setelah mengusap wajahnya yang kemerahan beberapa kali, dia bertanya pada Wiro. ”Apakah kau ingat siapa perempuan dari alam gaib yang telah menolongmu?”
Wiro menggeleng. ”Saat itu aku berada dalam keadaan pingsan.”
”Tak jadi apa.” Ucap sang Resi. ”Satu bunga tanjung yang keluar dari tubuh pemuda bernama Cakra Mentari yaitu bunga ke tiga ratus lima akan membimbingmu menemukan perempuan itu.”
”Resi Khandawa,” kembali Naga Kuning bersuara. ”Kalau sudah bertemu, lalu bagaimana caranya mengambil bunga tanjung itu dari dalam anunya perempuan itu? Hik hik hik! Apa harus dikorek pakai jari tangan atau pakai lidi atau...”
Naga Kuning tidak dapat meneruskan ucapannya karena rambutnya yang jabrik keburu dijambak oleh Gondoruwo Patah Hati yang sudah sangat geregetan lalu bocah ini dibembengnya keluar dari dalam Kuil Bromo Agung.
Resi Khandawa, Resi Jantika dan Resi Aji Sumabarang tampak senyum-senyum sementara Wiro garuk-garuk kepala sedang Ratu Duyung dan Purnama pura-pura memandang ke jurusan lain. Resi Jantika Lamantara dan Resi Aji Sumabarang tundukkan kepala sambil mempermainkan kalung berbentuk tasbih besar terbuat dari kayu.
”Resi Khandawa,” berkata Wiro. ”Aku rasa, walau terdengar agak kurang ajar apa yang tadi ditanyakan Naga Kuning ada benarnya. Kalau bunga tanjung yang mencelakai diriku ada di dalam anunya perempuan alam gaib itu, siapapun akan kesulitan mengambilnya. Karena menurut petunjuk lebih lanjut dari Suma Mahendra bunga tanjung satu itu harus di tanam di tanah, di bawah pohon tanjung, di antara dua akar yang tumbuh sejajar.”
Resi Khandawa Abitar merenung sejurus. Akhirnya dia berkata. ”Suma Mahendra tidak memberi tahu karena memang sulit memberi petunjuk. Aku sendiri tidak dapat memberi tahu bagaimana caranya. Tapi sementara waku berjalan mudah-mudahan Dewa Agung akan memberi petunjuk padamu atau pada salah seorang sahabat yang ada di sini. Bisa saja petunjuk itu di dapat sahabat kecil bernama Naga Kuning tadi.”
Resi Khandawa senyum-senyum lalu letakkan ujung tongkat saktinya di atas paha kiri Wiro dan berkata. ”Jika kau berhadapan dengan Cakra Mentari, kebenaran harus ditegakkan. Namun harus selalu kau ingat. Di atas kebenaran itu ada akal sehat yang bernama kebijaksanaan. Cakra Mentari sebenarnya bukan manusia jahat. Dia ditipu, dijebak dan tersesat lalu dijadikan alat oleh Resi Mirpur Patel alias insan tanpa wajah. Dijadikan alat untuk mendapatkan ilmu kesaktian luar biasa.”
”Kira-kira ilmu kesaktian apakah itu, Resi Khandawa?” tanya Ratu Duyung yang untuk pertama kalinya bicara.
Resi Khandawa Abitar tatap wajah cantik bermata biru itu sesaat. ”Sahabat bermata biru yang membekali batu ampuh pusaka sakti dari dasar samudera... ” ucap sang Resi yang membuat Ratu Duyung terkesiap karena memang saat itu dia masih membekai Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru pinjaman Nyi Roro Kidul. ”Saat ini Cakra Mentari memiliki satu ilmu pukulan sakti bernama Tiga Cahaya Alam Gaib. Jika ilmu dikeluarkan maka tiga cahaya akan memancar. Merah, biru dan hijau. Kehebatannya hanya beberapa tingkat dibawah tongkat emas milik Resi Mirpur Patel...”
”Kami sudah beberapa kail diserangnya dengan pukulan itu. Ganas sekali...” Menerangkan Purnama.
”Ilmu kesaktian itu didapatnya dari Resi Mirpur Patel melalui kitab sesat yang dibuat sang Resi. Kadar kesaktian dan kekuatan yang ada pada ilmu pukulan yang kini dimiliki Cakra Mentari belum apa-apa. Tidak beda dengan sebuah biji buah kecil yang ditanam di tanah. Kalau sudah tumbuh menjadi pohon besar dan berbuah, Resi Mirpur Patel tinggal memetiknya. Inilah permulaan dari satu bencana besar. Saat itu kadar kesaktian dan kekuatan ilmu bisa melebih seratus kali kekuatan yang ada saat ini. Rasanya tidak akan ada lawan yang bisa menandingi.”
Untuk beberapa saat ruang pendapa Kuil Bromo Agung diselimuti kesunyian karena tak ada yang bicara. Resi Khandawa menatap dua buah kitab yang ada dipangkuannya. Kitab yang hangus diambil dengan tangan kanan, diacungkan di atas kepala sambil mulut berkomat kamit membaca doa. Lalu dia meniup ke arah kitab.
”Wusss!” Serta merta Kitab Jagat Pusaka Dewa asli yang telah hangus itu berubah jadi asap putih. Asap melayang berputar ke atas dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Saat itu juga di dalam Kuil menebar bau harum setanggi.
Kini di pangkuan Resi Khandawa Abitar hanya tinggal salinan asli Kitab Jagat Pusaka Dewa. Untuk beberapa lama sang Resi tatap kitab itu. Lalu kitab diambil. Halaman kosong dibolak balik. Mata kemudian dipejam. Begitu mata dibuka kitab diletakkan kembali di atas pangkuan lalu sang Resi mengambil tongkat Kuntala Biru yang tergeletak di samping kanannya. Tongkat sakti diletakkan melintang di atas kitab. Resi Khandawa berpaling pada dua Resi di kiri kanannya yaitu Resi Jantika Lamantara dan Resi Aji Sumabarang.
”Resi berdua, bantu saya memanjatkan doa Mencapai Kesempurnaan Melalui Kuasa Sang Pencipta.”
”Kami akan melakukan,” jawab dua Resi Kuil Bromo Agung berbarengan.
Ketiga Resi lalu berdoa penuh khidmat sementara Wiro dan yang lain-lainnya memperhatikan sambil bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Resi Khandawa Abitar. Apakah dia juga akan memusnahkan salinan Kitab Jagat Pusaka Dewa yang ada di pangkuannya itu? Sampai saat itu Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati masih berada di luar Kuil.
Tiba-tiba tongkat Kuntala Biru bergetar. Satu cahaya hitam berkiblat di wuwungan Kuil Bromo Agung, menembus atap, masuk ke dalam batang tongkat lalu lenyap di dalam kitab. Resi Khandawa Abitar hentikan berdoa, melepas nafas lega. Buka kedua mata. Hal yang sama dilakukan oleh dua Resi di kiri kanannya.
Dengan hati-hati Resi Khandawa pindahkan tongkat saktinya, kembali diletakkan di lantai di samping kanan. Lalu dia ambil salinan Kitab Jagat Pusaka Dewa yang ada dipangkuan. Halaman di bolak balik. Ternyata halaman yang tadi kosong kini telah ada tulisannya, berwarna hitam. Pada sampul kitab yang agak tebal tertulis besar Kitab Jagat Pusaka Dewa.
”Bagaimana mungkin...?” ucap Purnama dalam hati.
Resi Khandawa Abitar membolak balik sekali lagi kitab yang dipegangnya itu lalu mendekapkan ke dada. Sepasang mata menatap ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. ”Sahabat muda, saya akan menyerahkan kitab ini padamu...”
”Apa Resi?” Murid Sinto Gendeng terkejut.
”Kitab Jagat Pusaka Dewa ini akan saya berikan padamu. Bersediakah kau menerimanya?”
Wiro menggaruk kepala. Tersenyum. Lalu menjawab. ”Anu Resi… Aku, aku tidak berani menerima kitab itu...” jawab Wiro yang membuat Ratu Duyung dan Purnama serta dua orang Resi tidak percaya.
”Wiro, di dalam kitab ini terdapat tiga ilmu kesaktian langka yang tidak sembarang orang bisa menguasai. Aku sendiri hanya memiliki satu dari tiga ilmu itu. Mengapa kau menolak menerimanya?”
Wiro menggaruk kepala kembali. ”Mohon maafmu Resi Khandawa. Aku merasa budi Resi terhadap kami sudah demikian besar. Kalau bukan Resi yang menghentikan topan itu, mungkin kami semua sudah jadi mayat dibawah timbunan pasir. Kalau bukan Resi yang menyelamatkan mungkin bangunan Kuil ini sudah sama rata dengan gurun pasir Tengger. Aku sangat berterimakasih dengan niat Resi. Sekali lagi mohon maafmu...”
Lama Resi Khandawa Abitar memandangi wajah Pendekar 212. Dia sendiri seperti tidak percaya bahwa si pemuda akan menolak pemberian kitab itu. ”Segala budi besar itu hanya alasannya belaka...” ucap sang Resi dalam hati. ”Alasan sebenarnya adalah dia tidak mau serakah dalam memiliki ilmu kepandaian. Padahal... Ah, dia memang seorang pendekar sejati.”
Resi Khandawa Abitar akhirnya tersenyum. ”Saat ini kau tidak mau menerima. Satu hari kelak mungkin hatimu tergerak dan berubah pikiran. Jika itu terjadi, maka datanglah ke sini untuk mengambil kitab. Letakkan telapak tanganmu di lantai Kuil ini, kerahkan tenaga dalam dan Kitab Jagat Pusaka Dewa akan menyembul keluar dari tempat penyimpanannya.”
Selesai berucap Resi Khandawa Abitar letakkan salah satu ujung sudut kitab ke lantai Kuil yang terbuat dari batu pualam. Lalu dia mengerahkan tenaga dalam.
”Seetttt!” Kitab Jagat Pusaka Dewa lenyap dari pandangan mata, amblas masuk ke dalam lantai Kuil. Bersamaan dengan itu, seperti tadi udara di dalam Kuil Bromo Agung dipenuhi harum bau setanggi dibakar.
”Para sahabat, saatnya saya harus pergi.” Resi Khandawa Abitar ambil tongkatnya lalu berdiri.
Saat itu Juga Resi Jantika Lamantara dan Resi Aji Sumabarang cepat-cepat berdiri. ”Resi Khandawa, kami akan sangat berbahagia bila Resi mau menginap barang satu malam di Kuil Bromo Agung ini. Besok adalah hari Kasada, hari besar dan suci ummat Hindu di negeri ini. Kami ingin Resi Khandawa mau merayakan bersama kami.”
Resi Khandawa kempit tongkat Kuntala Biru lalu pegang bahu dua Resi di hadapannya. ”Aku akan berdoa bagi Resi serta seluruh ummat Hindu di negeri ini.” Kata Resi Khandawa Abitar pula.
Tiba-tiba Wiro yang saat itu juga hendak bangkit berdiri terduduk kembali di lantai Kuil. Ratu Duyung mendekati.
”Ada apa?” tanya gadis bermata biru ini.
”Resi Khandawa, jangan pergi dulu. Ada seseorang memberi pesan padamu dari jauh...” Ucap Wiro.
Saat itu murid Sinto Gendeng ini mendengar satu suara mengiang di telinga kirinya. Wiro mengagguk-angguk sambil menggaruk kepala. Matanya melirik pada Ratu Duyung, lalu memperhatikan Resi Khandawa. Setelah suara mengiang lenyap baru Wiro mampu bangkit berdiri.
”Ada apa?” tanya Resi Khandawa pula.
”Seorang sahabat berkirim pesan dari dasar samudera selatan untuk Resi.”
Sepasang alis Ratu Duyung naik ke atas. Nyi Roro Kidul? Pikir gadis cantik yang berasal dari samudera selatan itu.
”Siapa? Pesan apa?” Bertanya Resi Khandawa.
”Yang berpesan namanya Nyi Roro Manggut. Pesannya begini. Jika Resi kembali ke negeri Resi, sejarak seribu tombak sebelum sampai ke tempat kediaman Resi, Resi harus membuka pakaian, memakainya kembali secara terbalik dan selempangnya kalau sekarang dari bahu kiri ke bawah harap diganti dari bahu kanan ke bawah.”
Wajah Resi Khandawa Abitar yang bertubuh tinggi besar itu tampak berubah. Dia mengusap selempang kain biru yang jadi pakaiannya. ”Sahabat muda, aku yakin kau tidak sedang bergurau. Benar?” Sang Resi bertanya dengan pandangan mata tidak berkesip.
”Tidak Resi, aku tidak bergurau.”
”Ada seseorang yang ingin membuatku tersesat, menghalangiku kembali pulang untuk selama-lamanya. Ada seseorang menebar Bubuk Penyesat Mata Dan Rasa. Mirpur Patel! Pasti dia. Kapan dia melakukan? Sebelum kusedot untuk datang kehadapanku tadi?”
Resi Khandawa Abitar pegang bahu Pendekar 212 dan berkata. ”Saya berterima kasih. Sangat berterima kasih. Pesan sahabatmu yang bernama Nyi Roro Manggut itu akan saya lakukan. Saya baru tahu kalau begitu cara menangkal ilmu yang menyesatkan itu. Sampaikan salam dan terima kasih saya pada Nyi Roro Manggut. Suatu ketika saya ingin berkenalan dan bertemu dengannya. Para sahabat, jaga diri kalian baik-baik. Saya pergi sekarang...”
Gema suara sang Resi belum lenyap namun orangnya sudah tidak kelihatan lagi. Di luar Kuil Naga Kuning merasa ada seseorang menepuk bahunya. Bocah ini berpaling. Dia hanya melihat bayangan biru berkelebat. Bocah ini melirik pada Gondoruwo Patah Hati yang mengenakan pakaian jubah biru.
”Nek, kau barusan mencolekku ya?” Naga Kuning bertanya.
”lhh... Apa enaknya mencolokmu?” Jawab si nenek menyemprot.
”Enak mungkin tidak. Tapi mungkin kau ingat-ingat peristiwa tadi waktu kita saling tindih. Jangan-jangan, mungkin saja kau jadi kepingin ditindih lagi. ”Hik hik hik...!”
”Bocah edan! Kau ini tidak kapok-kapoknya bicara jorok !” Gondoruwo Patah Hati hendak menjewer telinga Naga Kuning.
Tapi anak ini cepat-cepat kabur masuk ke dalam Kuli. Saat itulah dia baru tahu kalau Resi Khandawa Abitar yang berpakaian selempang kain biru tak ada lagi di tempat itu. Dia berpaling pada si nenek yang mengikuti di sebelah belakang.
”Nek, aku sudah tahu siapa tadi mencolekku,” kata Naga Kuning pula.
”Siapa?” tanya Gondoruwo Patah Hati.
”Ya sampean!” jawab si bocah lalu tertawa cekikikan sambil lari menjauh.
********************
BAB DELAPAN
Setelah dirinya dilempar ke udara oleh Resi Khandawa Abitar, Resi Mirpur Patel untuk beberapa lama masih melayang beputar-putar di utara Gurun Pasir Tengger. Ketika dia melihat tongkat emas Pusaka Langit Ketiga miliknya melesat di udara, Resi Mirpur Patel berusaha menyambar tongkat sakti itu. Namun kekuatan ilmu Seribu Titik Tanpa Daya yang diterapkan Resi Khandawa Abitar atas dirinya masih berpengaruh besar sehingga sekujur tubuh belum mampu bergerak leluasa.
Selain itu akibat tusukan Pedang Bulan Sabit yang dilakukan Resi Khandawa Abitar di keningnya membuat tubuhnya terasa panas tidak beda seperti bara menyala! Suara jeritan menggidikkan tidak berhenti menyembur keluar dari mulut sang Resi. Sekali sekali disertai kutuk serapah.
”Jahanam Resi Khandawa! Aku tidak akan pernah mati! Kau tidak akan pernah menamatkan riwayatku! Tunggu pembalasanku!”
Menjelang tengah hari kekuatan yang membungkus tubuhnya berkurang, sehingga sulit bergerak mulai lenyap. Namun sebaliknya hawa panas yang menyelubungi dirinya semakin menjadi-jadi. Asap mengepul dari ubun-ubun, mata, telinga, hidung dan mulut. Resi Mirpur Patel yang sosoknya kini tidak berdaging dan nyaris menyerupai jerangkong melesat ke arah barat sambil terus menjerit-jerit.
”Cakra Mentari! Dimana kau?! Cakra Mentari! Dimana kau?!” teriak sang Resi berulang kali.
Kehilangan ilmu kesaktian ditambah hawa panas yang membara membuat Mirpur Patel kini tidak punya kemampuan penuh secara cepat dan tepat untuk menerapkan Ilmu penjajag yang selama ini dimilikinya. Baru menjelang petang setelah mengendus udara berulang kali dia berhasil memperkirakan dimana beradanya pemuda bernama Cakra Mentari. Yaitu di satu tempat di selatan Gunung Merapi di pertengahan pulau Jawa.
”Aku harus keluar dari tubuhku sendiri. Aku harus lenyap dari jazad celaka membara ini! Aku harus dapat mencapai pemuda itu sebelum matahari terbit.”
Mirpur Patel yang juga dikenal sebagai insan atau mahluk tanpa wajah melesat ke arah barat. Gerakannya lamban. Bukan saja karena dia tidak mampu mengerahkan ilmu kesaktian, tapi juga sebagai akibat dari kehilangan tongkat emas sakti. Hawa panas yang memuncak membuat tubuhnya berpijar-pijar dan mengeluarkan suara meletup-letup.
********************
Pembaca masih ingat gadis cantik bernama Banjaratih di Kuto Gede? Yang selamat dari perbuatan jahat Cakra Mentari setelah ditolong oleh Liris Biru, walau akhirnya Liris Biru sendiri menemui ajal di tangan Cakra Mentari.
(Baca serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul Sang Pemikat)
Setelah kehilangan jejak gadis cantik berpakaian kuning bertubuh luar bisa mempesona mengaku bernama Dewi, sementara gairah nafsu bejatnya terus menyala berkobar, Cakra Mentari kembali ingat pada Banjaratih.
”Rumah kediaman gadis itu pasti masih dikawal ketat. Aku harus berlaku nekad. Aku harus dapatkan gadis itu secara mulus. Malam ini juga!” Cakra Mentari membanding-bandingkan kecantikan dan kebagusan tubuh Banjaratih dengan gadis berpakaian kuning bernama Dewi.
”Edan! Aku tergila-gila pada dua gadis itu! Aku harus mendapatkan keduanya! Tapi jika aku berhasil mengagahi mereka berarti aku melebihi hitungan! Menurut petunjuk dalam kitab Jagat Pusaka Alam Gaib aku harus meniduri empat puluh satu gadis. Aku sudah mendapatkan empat puluh gadis. Masih bersisa satu. Yang ada justru dua orang!” Cakra Mentari senyum-senyum sendiri. ”Perduli setan! Agaknya sudah jadi rejekiku. Banjaratih dan Dewi harus aku dapatkan! Banjaratih lebih dulu. Keberadaannya sudah ketahuan. Dia pasti masih berada di sana. Aku harus kembali ke Kuto Gede sebelum matahari terbit.”
Seperti diceritakan dalam serial sebelumnya Sang Pemikat, setelah selamat dari tangan Cakra Mentari dan setelah Setan Ngompol meninggalkan Kuto Gede untuk menyemayamkan Janazah Liris Biru di Cadas Biru, para tokoh di Kuto Gede yang malam itu ikut mengawal dan bantu menyelamatkan Banjaratih saling membagi tugas.
Ki Lawang Bakar guru silat terkenal di Kuto Gede bersama beberapa orang menyusul Setan Ngompol ke Cadas Biru untuk bantu mengurus penguburan Jenazah Liris Biru. Ki Bayu Sleman yang Kepala Desa Kuto Gede pergi ke Kotaraja untuk minta tambahan pasukan. Sementara Ki Bening Surah, pemilik rumah makan di Kuto Gede mengatur tempat persembunyian rahasia yang baru bagi Banjaratih bersama ibunya, Ni Suwita. Semua tugas dilakukan malam itu juga.
Ki Bening Surah memilih rumah makannya untuk menjadi tempat mengungsi menyelamatkan Banjaratih dan ibunya. Karena rumah makan itu siang malam selalu ramai pengunjung maka akan lebih mudah mengamankan si gadis bersama ibunya. Dua perempuan ini dibawa dengan gerobak besar, ditutupi dengan tikar. Di atas tikar diletakkan jerami kering.
Ki Bening Surah menunggang kuda di sebelah depan, di kiri kanan dan belakang gerobak mengiring masing-masing dua orang bersenjata golok. Malangnya, ketika gerobak meluncur ke arah tenggara Kuto Gede dimana terletak rumah makan sekaligus kediaman Ki Bening Surah, pemuda berpakaian serba hitam berikat kepala kain merah Cakra Mentari memasuki Kuto Gede dari arah berlawanan.
Ketika telinganya menangkap suara deru roda gerobak yang dipacu kencang pemuda ini segera melompat ke atas pohon di tepi jalan. Tak lama menunggu dia melihat Ki Bening Surah menunggang kuda di sebelah depan. Di belakangnya mengikuti gerobak membawa tumpukan jerami kering. Otak cerdik Cakra Mentari segera saja bekerja.
”Kalau cuma membawa jerami kering mengapa dikawal begitu banyak orang? Hemm...” Cakra Mentari bergumam.
Menyeringai sambil usap-usap janggut tipisnya. Begitu rombongan lewat dia cepat melayang turun. Langsung mendarat di punggung kuda sebelah belakang salah seorang pengawal paling akhir. Sekali memelintir tulang leher pengawal remuk patah. Si pengawal kemudian di lempar ke tepi jalan setelah lebih dulu melucuti goloknya.
Apa yang terjadi rupanya terlihat oleh seorang pengawal di samping kereta sebelah kiri. Dia hendak berteriak. Namun golok yang dilemparkan Cakra Mentari menancap tepat di dada arah Jantung membuatnya langsung roboh bergelimang darah. Kuda yang ditunggangi meringkik keras. Kehebohan tidak dapat dihindari.
Cakra Mentari menggebrak kuda tunggangannya sejarak dua tombak ke depan lalu melompat ke atas gerobak. Kusir gerobak, seorang lelaki tinggi besar berkepala botak di hantam dengan tendangan hingga terpental jatuh dari gerobak, tergelimpang pingsan di tanah dengan lima tulang iga patah!
Ketika menyaksikan apa yang terjadi dan melihat pemuda berpakaian serba hitam kejut Ki Bening Surah bukan alang kepalang.
”Pemuda terkutuk Cakra Mentari! Dia berani kembali!”
Pemilik rumah makan yang punya kepandaian silat lumayan tinggi ini cabut golok di pinggang sambil berteriak memerintahkan semua orang yang ada di situ naik ke atas gerobak menyerbu Cakra Mentari. Dia sendiri telah lebih dulu memepet gerobak dan menyerang Cakra Mentari yang kini memegang kendali kuda hitam penarik gerobak. Golok besar di tangan kanan Ki Bening Surah berkesiuran menyambar ke pinggang kiri Cakra Mentari.
Bagaimanapun semua orang itu walau berjumlah lebih banyak tidak ada artinya dengan kehebatan Cakra Mentari yang hanya seorang diri. Ki Bening Surah roboh lebih dulu dengan kepala pecah kena keprukan tangan kiri Cakra Mentari setelah gagal membabat pinggang si pemuda. Lalu dua orang lagi menjerit, terbanting roboh ke tanah jalanan. Salah seorang malah tergilas roda gerobak lehernya hingga putus nyawanya saat itu juga!
Melihat apa yang terjadi nyali orang-orang yang masih hidup leleh sudah. Tidak pikir panjang lagi, tidak perduli dengan tugas yang harus mereka laksanakan, semuanya menggebrak kuda masing-masing lalu kabur melarikan diri. Yang penting adalah menyelamatkan nyawa lebih dulu!
Cakra Mentari memacu kuda hitam penarik gerobak menuju luar desa desa Kuto Gede sebelah barat hingga akhirnya sampai di satu daerah pemakaman tua yang tak terpelihara, sunyi dan gelap. Dia melompat ke bagian belakang gerobak. Membongkar tumpukan jerami kering. Menemukan sebuah tikar daun pandan. Ketika tikar disingkap dua perempuan yang berbaring di lantai gerobak sama-sama berpekikan. Ternyata memang Banjaratih dan Ni Suwita disembunyikan di dalam gerobak itu. Ibu dan anak ini ketakutan setengah mati. Terus menjerit-jerit sebelum diancam.
”Kalau kalian berdua masih terus menjerit, aku bunuh saat ini juga!” Walau mengancam namun suara Cakra Mentari terdengar lembut. Golok berdarah dimelintangkan di depan wajah ibu dan anak itu hingga Banjaratih dan Ni Suwita ini menggigil pucat ketakutan setengah mati.
”Dengar...” ucap Ni Suwita dengan suara bergetar. ”Kau boleh bunuh aku, tapi jangan apa-apakan anakku.”
”Aku tidak akan membunuh anakmu, aku hanya ingin menikmati tubuhnya!” Semua kata-kata itu diucapkan Cakra Mentari dengan suara lembut dan sambil tersenyum.
Sepasang mata Ni Suwita terbeliak. Banjaratih sendiri menjerit keras. Ni Suwita berkata. ”Demi Gusti Allah! Jangan lakukan itu! Aku bersedia menyerahkan diriku padamu asal lepaskan anakku! Ratih! Lekas turun dari gerobak! Lari!”
Banjaratih segera melompat bangkit. Kaki kirinya sempat melewati dinding gerobak ketika dia berusaha melarikan diri. Namun Cakra Mentari menarik gadis ini hingga tubuhnya terkapar dan jatuh kembali di lantai gerobak. Sepasang mata Cakra Mentari berkilat-kilat menatap wajah dan tubuh Ni Suwita. Walau sudah separuh baya ternyata wajah dan kemolekan tubuh sang Ibu tidak kalah jauh dari puterinya.
”Kau betulan mau menyerahkan diri padaku?” tanya Cakra Mentari sambil keluarkan patung Kamasutra dari dalam sebuah kantong kain hitam dari balik pakaian.
”Asal kau bersumpah mau membebaskan anakku. Biarkan Banjaratih meninggalkan tempat ini...”
Cakra Mentari tersenyum. ”Anakmu akan kubebaskan. Tapi kalian berdua lihat dulu patung ini. Bukankah patung dua orang ini sangat indah?”
”Patung terkutuk!” teriak Banjaratih yang telah mendengar cerita tentang patung Kamasutra itu.
Namun terlambat. Ni Suwita telah keburu melihat ke arah patung batu yang memancarkan cahaya merah redup. Banjaratih sendiri walau mengingatkan sang ibu tapi tak urung sempat pula melihat ke arah patung. Dua orang perempuan ini langsung saja masuk ke dalam perangkap bejat Patung Kamasutra.
Mereka melihat bagaimana dua patung sepasang lelaki gagah dan perempuan muda cantik berubah membesar, hidup seperti manusia sungguhan, bergerak menari-nari sambil menanggalkan pakaian satu persatu. Dan ternyata wajah patung perempuan itu adalah wajah mereka sendiri. Sedang yang lelaki menyerupai wajah dan sosok pemuda berpakaian serba hitam. Ni Suwita yang telah lama menjanda merasa sekujur tubuhnya bergetar menggigil seperti diserang demam panas dingin. Keadaan Banjaratih tidak berbeda.
Ketika Cakra Mentari menempelkan sekuntum bunga tanjung dikening mereka, ibu dan anak ini tidak sadar diri lagi. Keduanya menanggalkan pakaian masing-masing lalu sama-sama bergayut memeluki tubuh Cakra Mentari penuh gairah. Bola mata membesar, nafas mendesah, darah memanas, terbakar oleh nafsu bejat yang mereka sendiri sebenarnya tidak menyadari.
Di atas pekuburan langit hitam semakin kelam ketika awan gelap menutupi. Angin bersiur lebih kencang dan tak lama kemudian hujan turun rintik-rintik. Suasana malam dan turunnya hujan seolah meratapi malapetaka yang menimpa ibu dan anak yang kini telah menjadi mayat. Bibir berwarna kebiruan, kembang tanjung menempel di kening.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada satu benda putih melesat di udara. Cakra Mentari yang tengah mengenakan pakaian dan bersiap-siap tinggalkan tempat itu berteriak kaget. Benda putih yang melayang di kegelapan malam menukik ke bumi dan masuk ke dalam tubuh Cakra Mentari.
Saat itu juga tubuh pemuda yang masih bertelanjang bulat ini bergetar hebat oleh satu hawa panas yang seperti hendak melelehkan tubuhnya mulai dari batok kepala sampai ke telapak kaki. Lalu luar biasanya Cakra Mentari mendengar satu suara berucap dari dalam tubuhnya sendiri!
”Anak manusia bernama Cakra Mentari! Aku menitipkan nyawaku di dalam tubuhmu!”
BAB SEMBILAN
Cakra Mentari kaget bukan main. Namun pemuda ini tetap tenang. Setelah mengenakan pakaian dia segera tinggalkan kawasan pekuburan. Mayat Banjaratih dan Ni Suwita sama sekali tidak diperdulikannya.
”Cakra Mentari, aku belum selesai bicara! Kau mau kemana?!” Suara di dalam tubuh si pemuda bertanya.
”Mahluk tumpangan! Kau menitipkan nyawa dalam tubuhku! Berarti aku yang menguasai nyawamu! Kemana aku pergi kau tidak layak bertanya apa lagi mengatur!”
Yang disebut mahluk tumpangan si penitip nyawa perdengarkan suara tertawa. ”Cakra Mentari, jangan bicara sombong! Aku masih tetap penguasa yang mengatur diri dan jalan hidupmu! Kau tetap harus tunduk padaku!”
”Hebat! Memangnya kau siapa?!”
”Aku Resi Mirpur Patel. Mahluk yang kau kenal tidak memiliki wajah! Aku yang memberikan Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib padamu! Aku yang menyuruhmu bersamadi di pohon tanjung di Gurun Tengger! Aku yang memberikan ilmu Tiga Cahaya Alam Gaib padamu! Apakah kau masih hendak bicara sombong? Urat pusarmu di sebelah dalam ada di ujung tanganku. Sekali aku plintir nyawamu akan melayang ke langit ketujuh!”
Cakra Mentari hentikan lari saking kagetnya. Dia membungkuk sedikit menyatakan hormat lalu bertanya. ”Apa yang terjadi? Mengapa kau sampai berkeadaan seperti ini? Kehadiranmu dalam tubuhku membuat aku merasa kepanasan.”
”Seorang Resi sakti dari India datang menghakimi diriku. Tapi itu bukan urusanmu dan tidak perlu aku ceritakan lebih rinci. Justru kau yang ada urusan denganku! Kau telah melanggar apa yang telah ditetapkan dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib.”
”Hal apa yang telah aku langgar?” tanya Cakra Mentari walau dia sudah bisa menduga-duga sendiri.
”Dalam kitab ditetapkan kau harus merusak kehormatan dan membunuh empat puluh satu orang gadis. Malam ini kau memperkosa dan membunuh dua orang. Walau yang satu bukan gadis lagi namun jumlah yang diatur telah kau langgar. Kau memperkosa dan membunuh empat puluh dua perempuan!”
”Resi, menurutku jika aku mampu melakukan apa yang melebihi ketetapan, bukankah itu satu hal yang harus mendapat pujian?!”
”Jangan berpikir tolol Cakra Mentari! Ketetapan adalah ketetapan...” Dalam hati sang mahluk tumpangan berpikir. ”Manusia satu ini mulai bicara dan bersikap tidak menyenangkan bahkan seperti membangkang. Aku harus hati-hati.”
”Resi Mirpur. Aku malah masih menginginkan satu gadis lagi,” ucap Cakra Mentari pula.
”Apa?! Pantangan telah dilanggar. Bersiaplah kau menghadapi malapetaka...”
Cakra Mentari tersenyum. ”Kau atasan pelindung diriku. Kau menitipkan nyawa di dalam tubuhku berarti kau membutuhkan aku! Mengapa kau menginginkan aku celaka? Resi Mirpur Patel, kalau aku celaka karena ulahmu, kau akan menerima getahnya. Kau tidak akan dapat mengambil alih ilmu kesaktian yang ada dalam diriku.”
”Pantangan telah kau langgar. Mana mungkin kau masih mengharapkan ilmu kesaktian yang kau samadikan selama tiga ratus lima hari akan berada dalam dirimu?”
”Resi Mirpur Patel, terus terang aku tidak pernah menginginkan semua ilmu kesaktian itu. Kau telah memperalatku. Kau menjadikan diriku sebagai mahluk perantara untuk mendapatkan Ilmu Pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib yang punya bobot kekuatan seratus kali dari yang aku miliki sekarang!”
Suara di dalam tubuh Cakra Mentari untuk beberapa lama tidak menjawab. Tak selang berapa lama baru terdengar kata-katanya penuh dusta. ”Bagaimana kau bisa menduga seperti itu? Ilmu yang kau dapat kelak akan menjadi milikmu untuk selama-lamanya. Karena aku tidak mungkin kembali ke alamku seperti semula.”
”Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib mengajarkan agar aku melupakan masa lalu. Namun kitab itu tidak mengajarkan aku untuk mempelajari hal yang akan datang. Masa depanku kabur dan samar. Resi Mirpur, aku tidak tahu kebenaran ucapanmu. Waktu kelak yang akan membuktikan.”
”Jahanam kurang ajar! Setan apa yang masuk ke dalam benak dan tubuh pemuda ini?!” ucap Mirpur Patel, mahluk si penitip nyawa dalam hati. Dia merasa sangat kawatir. Lalu dia keluarkan suara.
”Cakra Mentari, kau manusia cerdik. Tapi jangan pergunakan kecerdikan mencelakai diri sendiri. Apalagi mencelakai diriku.”
”Aku tidak punya maksud seperti itu. Namun…” Tiba-tiba Cakra Mentari menjerit keras. Perutnya di arah pusar laksana dipendam dengan bara menyala! Tubuhnya sampai jatuh terduduk menahan sakit dan hawa panas luar biasa.
”Kau saksikan dan kau rasakan sendiri Cakra Mentari. Aku masih menguasai dirimu. Jangan lagi berbuat yang aku tidak suka...”
”Mahluk dalam tubuhku. Siapapun kau adanya selanjutnya aku akan berlaku patuh. Kecuali satu hal...”
”Apa...?”
”Aku tetap menginginkan gadis cantik bernama Dewi yang telah amat sangat memikatku.”
”Berarti kau memperkosa dan membunuh empat puluh tiga orang perempuan.”
”Betul. Apa bedanya empat puluh satu dengan empat puluh tiga? Aku justru yakin. Jumlah yang lebih banyak akan lebih memperhebat bobot iimu kesaktian yang akan kudapat”
”Cakra Mentari. Dengar baik-baik. Aku punya firasat. Ada beberapa orang tokoh silat yang akan mendatangimu. Mereka serombongan datang dari Gurun Pasir Tengger. Mereka rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka akan meminta pertanggungjawabanmu atas kejahatan yang telah kau lakukan selama ini. Memperkosa dan membunuh puluhan gadis...”
”Siapapun mereka boleh saja datang menemuiku. Mereka datang untuk minta mati...”
”Itu ucapan yang ingin aku dengar!” kata mahluk dalam diri Cakra Mentari memuji. ”Namun saat ini kau harus segera ikut aku ke puncak Gunung Mahameru. Disana aku akan membaitmu untuk mendapatkan ilmu kesaktian Tiga Cahaya Alam Gaib yang maha dahsyat”
”Resi, kalau kau mau membaitku, disinipun bisa. Mengapa jauh-jauh ke Gunung Mahameru segala? Lagi pula tadi aku sudah mengatakan bahwa aku harus mencari dan mendapatkan gadis bernama Dewi itu lebih dulu. Kalau kau suka, kau juga boleh mengambil bagian.”
”Cakra Mentari, apa aku harus menghajarmu dengan memuntir urat pusarmu seperti tadi?!” mengancam mahluk tumpangan si penitip nyawa walau ucapan Si pemuda membuat dadanya bergetar.
”Resi, saat ini, matipun aku tidak takut,” jawab Cakra Mentari yang benar-benar kini memiliki kepribadian aneh. Mungkin karena begitu tergila-gila pada Dewi?
Mahluk dalam tubuh Cakra Mentari terpaksa bersabar mengurut dada. Namun dia sudah menaruh firasat akan terjadi hal yang tidak diharapkan akibat perbuatan si pemuda yang kelebihan memperkosa dan membunuh perempuan, apa lagi tidak semua korban masih gadis. Kalau saja dia mampu keluar dari tubuh yang menjadi tumpangan nyawanya itu sudah dari tadi-tadi dilakukan. Namun begitu keadaannya. Sekali masuk menitipkan nyawa tidak mungkin keluar lagi!
”Celaka, aku telah kesalahan memilih raga. Kalau begini jadinya aku harus melakukan tindakan penangkal agar bisa tetap mendapatkan ilmu dahsyat itu. Aku harus menghancurkan kemaluannya pada saat dia hendak memperkosa gadis yang ke empat puluh tiga itu!”
”Cakra, kau harus berlaku hati-hati. Orang-orang yang hendak menghadangmu itu telah bertemu dengan Resi Khandawa Abitar. Resi tertua dan Resi paling sakti di India. Aku kawatir Resi keparat itu telah mengatakan banyak hal tentang dirimu. Dia juga yang telah membuat diriku tak karuan seperti ini...”
”Resi Mirpur! Aku sekarang memiliki dua nyawa. Lalu apa yang harus ditakutkan?”
”Aku percaya padamu. Aku ingin beristirahat barang beberapa ketika. Sudah ratusan hari aku tak pernah tidur.”
Tak lama kemudian di dalam tubuh Cakra Mentari terdengar suara orang mengorok. Bersamaan dengan itu hawa panas yang terasa sejak tadi menyelubungi dirinya kini jauh berkurang. Di timur langit mulai tampak terang tanda fajar telah menyingsing.
”Dewi, dimana kau...?” ucap Cakra Mentari dalam hati. Gairahnya kembali berkobar begitu dia ingat lagi gadis cantik berpakaian kuning berdada montok putih bertubuh molek itu. Sambil berjalan pemuda Ini memutar otak. Tiba-tiba dia hentikan langkah. ”Dia menyukai Pangeran yang tinggal di pinggiran Kotaraja. Bukan mustahil dia akan muncul di tempat kediaman Pangeran itu.”
Cakra Mentari menyeringai. ”Pangeran, kau boleh bermimpi seumur hidup mendapatkan Dewi. Karena aku yang akan mendurinya lebih dulu. Kalau kau suka silahkan bermain-main dengan mayatnya. Ha ha ha.”
********************
BAB SEPULUH
Ketika malam keesokannya Cakra Mentari mendatangi rumah kediaman Pangeran Aryo Dipasena di pinggiran Kotaraja, ternyata sudah ada orang lain mendekam di satu tempat tersembunyi, di balik kerapatan pohon bambu di tembok halaman sebelah timur.
”Aku tidak dapat melihat jelas. Tapi rasa-rasanya aku pernah melihat orang ini. Bukankah dia salah seorang Kepala Pengawal dari Kotaraja. Yang waktu terjadi bentrokan antara aku dengan Pangeran itu tempo hari juga berada di tempat ini? Apa yang dilakukannya? Memata-matai sang putera Raja?”
Orang yang mendekam di balik kegelapan pohon bambu itu memang adalah Ki Rorot Keminting, salah satu dari sekian banyak Kepala Pasukan di Kotaraja. Sejak dia melapor kepada Sri Baginda tentang peristiwa di tempat kediaman Pangeran Aryo Dipasena, Raja telah memerintahkan Kepala Pengawal itu untuk terus menyelidik dan mematai-matai gerak-gerik puteranya.
Jika memang Pangeran Aryo telah mempunyai seorang kekasih, seorang gadis cantik jelita, mengapa bersembunyi diri tidak mau memberi tahu sang ayah? Lagi pula hal seperti itu bukanlah sifat Pangeran Aryo. Selama ini memang banyak para gadis cantik dari berbagai tingkat dan kalangan yang tertarik namun sebegitu jauh Pangeran Aryo Dipasena belum menjatuhkan pilihan.
Setelah hampir semalaman suntuk berjaga-jaga akhirnya orang yang ditunggu-tunggu Cakra Mentari dan Ki Rorot Keminting muncul juga. Sewaktu di langit awan kelabu bergerak menutupi bulan setengah lingkaran tiba-tiba berkolobat satu bayangan kuning. Laksana seekor burung b«sar tapi jinak orang ini jejakkan kaki di wuwungan rumah kediaman Pangeran Aryo tanpa mengeluarkan suara, pertanda dia mengusai ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
”Dewi Pemikat... Ah. akhirnya kutemui juga dirimu.” Kata Cakra Mentari penuh gembira. Darah di tubuhnya langsung mengalir cepat dan panas. D ddalam dirinya terdengar suara mahluk tumpangan penitip nyawa Mirpur Patel berucap.
”Jadi ini gadis bernama Dewi yang telah membuatmu tergila-gila? Ah sungguh cantik sekali. Bentuk auratnya begitu mempesona. Harum tubuhnya tercium sampai kesini...”
Cakra Mentari tidak menjawab. Dia merasa ada tambahan hawa panas di dalam tubuhnya. Hawa panas dari rasa gairah yang memancar dari tubuh tumpangan Resi Mirpur Patel! Cakra Mentari terus mengawasi gerak gerik si baju kuning di atas atap sambil sesekali melirik ke arah rumpunan pohon bambu dimana Ki Rorot Keminting berada.
Di atas atap, gadis cantik berpakaian kuning dengan potongan dada sangat rendah hingga menyibakkan sepasang payudara putih dan besar berucap sendirian. ”Heran, mengapa aku tidak bisa melupakan Pangeran ini. Setiap aku mengingat dirinya, rasa gatal dan hawa panas semakin menjadi-jadi di bagian bawah perutku. Ah, Pangeran malam ini biar aku mengantar diri dan berserah tubuh padamu. Aku yakin kaupun suka padaku...”
Sementara itu dari dalam tubuh si pemuda yang menjadi tumpangan jazad dan nyawa Resi Mirpur Patel kembali bersuara. ”Kau tunggu apa lagi? Sergap gadis itu sekarang juga, bawa ke tempat sunyi dan lakukan apa yang harus kau lakukan. Setelah itu aku akan membaitmu dan kau akan memiliki ilmu kesaktian tak ada tandingannnya di dunia ini.”
”Resi Mirpur Patel, aku tahu apa yang harus aku kerjakan. Harap kau tidak terlalu banyak bersuara” Cakra Mentari merasa kesal. Dia melirik lagi ke arah pohon bambu. Ketika dia berpaling kembali ke arah rumah, sosok gadis berbaju kuning di atas atap telah lenyap.
”Dia pasti telah masuk ke dalam rumah lewat atap...” membatin Cakra Mentari. Pemuda ini merasa kesal karena mahluk tumpangan di dalam tubuh membuyarkan perhatiannya.
”Kesempatan pertama telah lewat. Kini agaknya aku harus membunuh Pangeran itu untuk mendapatkan Dewi...”
Cakra Mentari siap keluar dari tampat persembunyian. Namun gerakannya tertahan. Ada seekor burung putih melayang di udara dan hinggap di cabang pohon besar dekat kolam mandi. Bersamaan dengan itu dari balik rerumpunan pohon bambu Ki Rorot Keminting si kepala pengawal keluar dan melangkah cepat ke arah pintu depan rumah kediaman Pangeran Aryo Dipasena.
Cakra Mentari mengerenyit melihat burung putih hitam yang hinggap di cabang pohon. Seperti diketahui burung berjambul hitam ini dulunya adalah peliharaan si pemuda dan diberi nama Jambul Ireng. Namun ketersesatannya dalam mengikuti ilmu yang diajarkan Mirpur Patel, dan sebagaimana tertera dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib maka Cakra Mentari tidak pemah ingat lagi segala sesuatu di masa silamnya. Jangankan burung. Bahkan dia tidak mengenal dirinya sendiri termasuk tidak ingat lagi akan kedua orang tuanya serta dari mana dia berasal.
Cakra Mentari tidak menunggu lebih lama. Dia berkelebat ke arah depan rumah. Tapi lagi-lagi terpaksa menahan langkah. Di pintu depan rumah dia melihat Kepala Pengawal Ki Rorot Keminting berdiri siap hendak mengetuk pintu.
”Manusia satu ini membuang-buang waktuku saja!” kata Cakra Mentari kesal. Lima jari tangan kanan dijentikkan ke depan. Lima larik cahaya hijau melesat. Ini adalah bagian dari Ilmu Tiga Cahaya Alam Gaib yang hanya mengeluarkan satu cahaya, disebut Cahaya Hijau Alam Gaib.
Walau Ki Rorot Keminting melihat serangan berupa cahaya benderang hijau yang datang kearahnya, namun Kepala Pengawal ini tidak cukup cepat untuk berkelit. Cahaya hijau menyambar tengkuk Ki Rorot Keminting. Saat itu juga tubuhnya terbanting ke pintu, tersungkur ke lantai, tenggelam dalam sinar hijau mengepulkan asap, meletup dan tewas dengan tubuh hangus berwarna hijau.
********************
Di dalam rumah. Pangeran Aryo Dipasena tak percaya akan apa yang terjadi. Ketika membuka mata dari ketetapan tidur dia dapatkan gadis cantik yang diberinya nama Dewi Pemikat telah berada di atasnya, menindih tubuhnya. Sang Pangeran seperti tidak percaya.
”Dewi, Dewi Pemikat...? Benar ini dirimu?”
Yang disapa tersenyum, menggeser tubuh panasnya lebih keatas. ”Kalau bukan aku, apakah kau mempunyai seorang kekasih lain?” bisik Dewi Pemikat.
”Dewi! Aku hampir tak bisa percaya. Wajahmu, suaramu!” Pangeran Aryo pagut punggung gadis yang berbaring di atas tubuhnya lalu membalikkan badan kini ganti menindih tubuh si gadis.
”Kau...” ucap Pangeran Aryo. ”Aku sudah putus harapan bahwa kau tidak akan kembali lagi menemuiku...”
”Pangeran...”
”Jangan panggil aku Pangeran...”
”Kekasihku Aryo Dipasena. Aku tak pernah bisa melupakanmu. Aku tak sanggup menahan rindu. Peluk aku erat-erat. Jangan lepaskan. Cium wajahku, tubuhku, seluruh auratku. Ah....”
Dua orang itu saling berpeluk erat dan bercium lumat dan baru berhenti ketika nafas masing-masing mengengah. ”Aryo, rumahmu tidak aman. Ketika aku datang dan naik ke atas atap aku memperkirakan paling tidak ada dua orang berada di tempat gelap sekitar rumah. Kita harus pergi dari sini. Aku tak mau terganggu. Kita bercinta di tempat lain saja. Di alam terbuka biar lebih mesra...”
”Kekasihku, aku menurut saja apa pintamu.” Baru saja Pangeran Aryo berucap tiba-tiba...
"Braakk!" Itu adalah suara tubuh Ki Rorot Keminting yang dihantam cahaya hijau dan jatuh menimpa pintu depan sebelum tewas tergelimpang di langkan rumah.
”Lewat pintu belakang...” Bisik Pangeran Aryo lalu dia memegang lengan Dewi Pemikat.
Keduanya keluar dari dalam rumah lewat pintu belakang. Di sebuah kandang di halaman belakang terdapat seekor kuda besar berbulu putih. Pangeran Aryo keluarkan kuda dari dalam kandang. Lalu bersama Dewi Pemikat naik ke atas punggung binatang ini. Kuda putih digebrak menghambur lewat tembok halaman belakang yang lebih dulu dijebol dengan satu pukulan sakti jarak jauh oleh Pangeran Aryo. Sesaat kemudian kuda putih bersama dua penunggangnya lenyap ditelan kegelapan malam.
Ketika Cakra Mentari masuk ke kamar tidur, dia hanya menemukan ranjang kosong. Dia mengejar ke bagian belakang bangunan dan dapatkan pintu belakang terpentang lebar. Di luar pintu dia hanya melihat kegelapan disertai hembusan angin dingin. Di sebelah sana tampak tembok halaman belakang yang jebol.
”Kurang ajar! Gadis itu melarikan diri bersama Pangeran. Kandang kuda kosong. Mereka pasti kabur menunggang kuda.”
Saking geramnya Cakra Mentari tendang sebuah tempayan besar yang terletak di samping pintu hingga pecah berantakan dan airnya menggenangi serambi belakang rumah.
”Cakra, kau tak usah kawatir. Kita bisa mengejarnya. Aku bisa mencium bau tubuh gadis itu. Kejar ke arah timur! Mereka kabur kesana!” Mahluk tumpangan di dalam tubuh Cakra Mentari bersuara.
Percaya apa yang dikatakan sang penitip nyawa, Cakra Mentari segera hendak berkelebat ke jurusan timur. Namun sesaat dia berbalik. Menghadap ke arah rumah. Tangan kanan membuat gerakan memukul.
”Wuttt!” Tiga larik sinar merah, biru dan hijau berkiblat ke arah bangunan.
”Wusss!” Saat itu juga rumah kediaman Pangeran Aryo Dipasena tenggelam dalam kobaran api!
********************
BAB SEBELAS
Dengan mengandalkan kesaktian Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru pinjaman Nyi Roro Kidul, Ratu Duyung bersama Pendekar 212 Wiro Sableng, Purnama, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati sampai di Kotaraja. Waktunya hampir bersamaan dengan saat Dewi Pemikat menemui Pangeran Aryo Dipasena.
Semula ke empat orang ini hendak mencari Setan Ngompol dan Liris Biru di Kuto Gede. Namun mereka mendapat cerita dari dua orang peronda malam bahwa Liris Biru telah menemui ajal di tangan Cakra Mentari. Setan Ngompol telah membawa jenazah gadis malang itu ke satu tempat di kawasan Cadas Biru.
Wiro ingin menyusul ke Cadas Biru namun Ratu Duyung dan Purnama menyarankan untuk segera saja mencari Cakra Mentari. Ratu Duyung membawa orang-orang itu ke sebuah bukit kecil yang ada goanya di pantai selatan. Dia sengaja ingin mendekatkan diri dengan samudera besar kekuasaan dan kediaman Nyi Roro Kidul agar mendapat bantuan petunjuk dimana beradanya pemuda jahat bernama Cakra Mentari itu.
Di dalam goa yang menghadap ke laut Ratu Duyung keluarkan cermin sakti. Pendekar 212 Wiro Sableng kerahkan Ilmu Menembus Pandang. Purnama masuk ke dalam alam gaib. Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati yang tidak melakukan apa-apa, hanya duduk memperhatikan ke tiga orang itu. Lewat tengah malam Ratu Duyung melihat sesuatu dalam cermin.
Purnama keluar dari alam roh, masuk kembali ke dalam jazad kasarnya Wiro terapkan Ilmu Meraga Sukma yang didapatnya dari Nyi Roro Manggut. Tubuh kasarnya tetap duduk di dalam goa, sementara tubuh halus atau sukmanya melayang ke udara.
Setelah cukup lama mengamati ke dalam cermin, perlahan-lahan Ratu Duyung turunkan cermin bulat yang sejak tadi dipegang, diletakkan di atas pangkuan. Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati mendekati.
”Ratu, kau melihat sesuatu?” tanya si nenek.
Ratu Duyung tak segera menjawab. Gadis cantik ini tampak seperti berpikir-pikir. Naga Kuning berbisik pada Gondoruwo Patah Hati. ”Nek, mungkin dia melihat anunya perempuan dari alam gaib yang kesusupan tanjung itu. Tapi malu mau mengatakan pada kita.”
Si nenek pelototkan mata. Lalu mendamprat. ”Orang sedang kerja keras kau ngomongnya ngacok saja!”
”Nek,” Ratu Duyung akhirnya membuka suara. ”Aku memang melihat sosok lelaki sesuai ciri-ciri Cakra Mentari. Tapi ada keanehan. Wajahnya terkadang menampilkan muka orang lain yang samar dan tak jelas dalam penglihatanku. Selain itu sepertinya dia memiliki dua sosok. Aku tak mengerti...”
”Hai!” tiba-tiba Naga Kuning nyeletuk.
”Apa?!” Gondoruwo Patah Hati langsung membentak. ”Kau mau bicara apa? Mau ngomong jorok lagi?”
”Jangan marah dulu Nek.” jawab bocah berambut jabrik. ”Kalian apa tidak ingat ucapan Resi yang punya tongkat biru berkeluk itu. Resi apa namanya. Aku agak lupa. Oh ya Resi Kajanda...”
Gondoruwo Patah Hati dorong kepala Naga Kuning dengan tangan kiri. ”Kajanda... Kajanda!” Ingatmu cuma janda saja! Khandawa! Itu namanya! Dasar bocah konyol!”
Naga Kuning mesem-mesem. ”Ya, ya! Resi Khandawa. Sebelum pergi aku ingat sekali apa yang dikatakannya. ”Semua sahabat yang ada di sini. Resi jahat itu akan terkatung-katung antara langit dan bumi. Mati tidak hidup juga tidak. Seluruh tubuhnya dijalari hawa panas. Hanya ada satu jalan mencari selamat baginya. Yaitu masuk ke dalam tubuh Cakra Mentari. Itu kalau dia tahu.”
Ratu Duyung menepuk bahu Naga Kuning. ”Sobat kecil! Kali ini kau tidak bicara ngelantur. Apa yang barusan kau ucapkan aku yakin itulah yang terjadi.”
”Kalau memang terjadi seperti itu, berarti Cakra Mentari punya dua tubuh, punya dua nyawa. Ilmu kesaktiannya juga pasti berlipat ganda karena ketumpangan Resi berkepandaian tinggi itu. Kita harus berhati-hati jika menghadapinya.” Berkata Gondoruwo Patah Hati.
Saat itu Wiro dan Purnama muncul berbarangan. ”Apa yang kalian dapatkan?” bertanya si nenek.
Purnama menjawab duluan. ”Alam roh memberi petunjuk padaku. Cakra Mentari saat ini berada di satu tempat, dekat sebuah kali kecil. Lurus di sebelah utara, tak jauh dari Kotaraja...”
Ratu Duyung berpaling pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Tanpa ditanya murid Slnto Gendeng ini menerangkan. ”Ketika aku meraga sukma, daya Ilmuku tertindih kesaktian Purnama yang telah memantau lebih dulu. Ini berarti apa yang dilihat Purnama tidak beda dengan apa yang seharusnya aku lihat.”
”Nek,” Naga Kuning kembali jahil. Sambil menggamit lengan Gondoruwo Patah Hati bocah ini berbisik. ”Untung Ilmunya yang di tindih si gadis. Kalau tubuhnya yang ditindih seperti kejadian di goa Teluk Losari, wah! Pasti dua-duanya tidak muncul-muncul ke tempat ini.”
”Sudah! Diam kamu!" hardik Gondoruwo Patah Hati.
”Kita harus berangkat sekarang juga ke arah utara. Di utara kita menyusuri Kali Opak. Itu satu-satunya kali dekat Kotaraja sebelah selatan. Mudah-mudahan kita bisa menemukan Cakra Mentari secepatnya. Kalau tidak, aku punya firasat dia akan melakukan kejahatan lagi.” Berkata Wiro.
”Tunggu dulu,” kata Purnama. ”Aku ingat sesuatu. Ketika mahluk tanpa wajah yang sekarang kita kenal sebagai Resi jahat bernama Mirpur Patel itu hendak membunuhku. Waktu itu aku sudah dikunci dipendam di dalam tanah. Ketika dia hendak menggebukku dengan tongkat emas, mendadak dia batalkan niat. Dia langsung melesat ke langit ketika melihat kemunculan dua kakek yaitu Ki Tambakpati dan Setan Ngompol. Salah seorang dari kakek itu pasti ada apa-apanya. Mungkin dia takut. Takut pada kakek yang mana? Kalau saja Ki Tambakpati atau Setan Ngompol ada di sini, mungkin kita bisa menanyakan. Pasti ada sesuatu...”
”Para sahabat, aku sudah ada di sini. Apa kalian semua sudah kangen pada bau air kencing di kuyupku? Ha ha ha!”
Semua orang berpaling dan berseru berbarengan. ”Setan Ngompol!”
”Ha ha ha!” Si kakek berkepala setengah sulah, bermata belok yang salah satu daun telinganya terbalik ini tertawa mengekeh dan seerrr! Seperti biasa langsung pancarkan air kencing!
”Najis!” teriak Naga Kuning.
”Najis tapi baunya mantap!” Jawab Setan Ngompol seraya peras celananya yang kuyup oleh air kencing lalu kepretkan tangannya yang basah air kencing ke arah si bocah! Naga Kuning melompat, cepat-cepat menjauh.
Sementara semua orang senyum-senyum melihat kejadian itu Ratu Duyung memutar otak. ”Najis...” Dia mengulang ucapan Naga Kuning. Dia merasakan sesuatu dan berpikir-pikir. Namun otaknya tak mau diajak bicara, buntu. Akhirnya Ratu Duyung berkata.
”Para sahabat, sebaiknya kita berangkat sekarang juga.”
Karena tempat tujuan yang hendak didatangi tidak berapa jauh di utara, Ratu Duyung tidak merasa perlu mengandalkan kesaktian batu mustika yang ada padanya. Semua orang cukup pergunakan Ilmu lari masing-masing. Dengan pengerahan tenaga dalam dan Ilmu meringankan tubuh ke lima orang itu mampu berlari cepat. Di malam buta begitu rupa, jika ada yang melihat pasti orang itu akan menyangka telah melihat serombongan setan sedang berkelebat gentayangan.
Setelah melewati satu desa kecil yang sunyi senyap Ratu Duyung dan kawan-kawan menemui Kali Opak. Mereka mengikuti kali ini ke arah utara. Sementara berlari sesekali Purnama memperhatikan ke udara. Sejak beberapa saat lalu dia melihat seekor burung putih terbang di atas rombongan. Kadang-kadang binatang ini melesat mendahului. Purnama memberi tahu pada rombongan agar menghentikan lari.
”Ada apa?” tanya Ratu Duyung.
Purnama menunjuk ke sebuah pohon. Di atas salah satu cabang tampak seekor burung putih bertengger. ”Burung itu...” kata Purnama pula. ”Sejak tadi terbang di atas kita. Seperti mengikuti. Tapi kadang-kadang terbang mendahului. Ketika kita berhenti, burung itu hinggap di dahan sana. Seperti sengaja menunggu kita. Tidakkah kalian merasa aneh?”
Semua orang memandang ke arah cabang pohon dimana elang putih bertengger. Burung ini bukan lain adalah Jambul Ireng, bekas peliharaan Cakra Mentari yang kini mengelana tak karuan dan terus berusaha mencari tuannya walau pada pertemuan terakhir Cakra Mentari tidak mengenal dan tidak memperdulikannya.
”Memang aneh. Seekor burung terbang di malam hari...” kata Rata Duyung.
Wiro menggaruk kepala. ”Tampaknya seekor elang putih. Berjambul hitam. Rasanya tak pernah ada burung elang memiliki jambul hitam. Selain itu jarang sekali burung yang suka terbang sekitar laut ini berada jauh masuk ke daratan.”
Burung di atas pohon keluarkan suara menguik beberapa kali. Kibaskan sayapnya lalu melayang ke udara. Berputar-putar sebentar di atas rombongan orang-orang itu kemudian melesat ke utara.
”Aku merasakan sesuatu. Kita ikuti burung itu...” kata Gondoruwo Patah Hati.
Lalu nenek ini berkelebat lebih dulu, diikuti Naga Kuning. Ratu Duyung, Wiro dan Purnama. Setan Ngompol kembangkan dua kaki lebih dulu, usap-usap perutnya lalu serrr. Kucurkan air kencing. Setelah beser baru dia mengejar orang-orang yang telah benda jauh di depannya.
”Hai tunggu!” teriak si kakek.
”Beser saja terus Kek! Sampai anumu copot!” balas beteriak Naga Kuning.
Sambil berlari orang-orang itu memperhatikan terus elang putih yang melesat di udara. Seolah dituntun mereka mengikuti ke arah mana sang burung terbang. Tiba-tiba Purnama yang melihat lebih dulu berteriak.
”Tiga cahaya menyerang burung!”
Di langit kelam saat itu mendadak berkiblat cahaya merah, biru dan hijau. Menyambar ke arah elang putih. Melihat bahaya mengancam burung, serentak Purnama, Ratu Duyung dan Wiro melesat ke udara sambil lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi, memapas tiga cahaya maut.
Tiga dentuman menggelegar di kegelapan malam. Sambaran cahaya tiga warna bertabur mental. Elang putih menguik keras. Tubuhnya tampak limbung akibat terpaan angin keras dan hawa panas yang berasal dari tiga dentuman. Binatang ini jatuh tercampak di tanah, tepat di hadapan Naga Kuning.
Wiro sendiri, juga Ratu Duyung dan Purnama begitu terjadi bentrokan pukulan dengan cahaya tiga warna di udara sama-sama jatuh terduduk di tanah dengan wajah tampak agak pucat.
”Ada orang hendak membunuh elang putih!” kata Purnama.
”Kalau yang melakukan adalah mahluk tanpa wajah, melihat kekuatan cahaya tiga warna, besar kemungkinan bobot kekuatan Ilmu kesaktian yang dimilikinya lebih dahsyat dari sebelumnya.” Berucap Ratu Duyung.
”Aku menduga mahluk tanpa wajah telah mengetahui kedatangan kita. Jika dia sengaja membunuh elang putih, berarti burung itu tengah berusaha menunjukkan pada kita dimana beradanya mahluk jahat itu dan si mahluk tanpa wajah berusaha mencegahnya!”
Semua orang mengelilingi Naga Kuning yang tengah memeluk dan mengusap-usap burung elang putih. Di depan Naga Kuning mencangkung Gondoruwo Patah Hati. Nenek ini jongkok agak seronok hingga sebagian jubah birunya melompong tersingkap di sebelah depan bawah. Celakanya si nenek tidak pula pakai celana dalam pelindung auratnya yang paling tersembunyi dan sangat rahasia itu!
Untungnya saat itu tidak ada yang memperhatikan karena semua mata ditujukan pada burung elang putih yang dipeluk Naga Kuning. Sebagian jambulnya yang hitam tampak rontok.
”Burung, kalau aku alirkan hawa sakti ketubuhmu dan kau dapat terbang lagi apakah kau mau menjadi penunjuk jalan kami kembali?” Tanya naga Kuning sambil terus usap-usap kuduk elang putih. Binatang ini hanya mengedipkan sepasang matanya yang merah.
Tanda itu sudah cukup bagi Naga Kuning. Si bocah sambil mengelus kini alirkan tenaga dalam dan hawa sakti ke tubuh elang putih yang tadi kena hantaman angin keras dan hawa panas sewaktu terjadi bentrokan antara cahaya tiga warna dengan pukulan sakti yang dilepaskan.
Begitu hawa sakti masuk ke dalam tubuhnya, Jambul Ireng tegakkan leher. Mata membesar. Setelah menguik panjang burung ini lepaskan diri dari pelukan Naga Kuning, melesat ke depan langsung masuk ke dalam bagian bawah jubah biru Gondoruwo Patah Hati yang sejak tadi tersingkap melompong!
”Hai! Si nenek terpekik kalang kabut! Dia berusaha berdiri. Tapi di dalam jubah Jambul Ireng menggelepar-gelepar lalu mendekam diam seperti anteng keenakan. Gondoruwo Patah Hati sampai jatuh terduduk. Berteriak-teriak kegelian sambil melejang-lejangkan kaki!
********************
BAB DUA BELAS
Kuda putih yang ditunggangi Pangeran Aryo Dipasena dan Dewi Pemikat berlari kencang memasuki hutan jati di selatan Kotaraja. Duduk di sebelah belakang sambil memegang pinggang sang Pangeran, Dewi Pemikat memberi tahu kemana harus mengarahkan lari kuda. Tak lama kemudian di kejauhan tampak sebuah bangunan terbuat dari kayu tanpa dinding.
”Itu pondoknya. Di belakang pondok ada kali kecil berair bening,” kata Dewi Pemikat sambil menunjuk ke arah pondok kayu di tengah hutan.
Aryo Dipasena hentikan kuda di samping pondok. Dewi Pemikat melompat turun lebih dulu, naik ke atas pondok yang dibangun setengah panggung. Berdiri bertolak pinggang menunggu kedatangan Pangeran Aryo. Begitu sang Pangeran menginjakkan kaki di lantai pondok langsung Dewi Pemikat memeluknya.
”Aryo, kita bercinta di tempat ini sampai pagi...” ucap Dewi Pemikat dengan nafas hangat memburu. Jari-jari tangan mencengkeram ke punggung si pemuda, membuat putera Raja ini jadi bergairah dan balas memeluk. Keduanya saling cium lama sekali. Perlahan-lahan Dewi Pemikat menarik turun Pangeran Aryo ke lantai seraya berbisik nakal.
”Aryo Dipasena kekasihku. Apakah aku harus membuka pakaianku sendiri? Apakah kau tidak mau bantu melakukannya...?” Si gadis bicara sambil meliuk-liukkan pinggul.
”Dewi, aku...” Wajah Pangeran Aryo tampak merah dan berkeringat. Walau dirinya sangat terangsang namun pemuda ini tampak gugup. Seumur hidup baru sekali ini dia mengalami hal seperti ini.
Dewi Pemikat memegang ke dua tangannya dan meletakkan di atas dadanya yang busung. Sesaat ketika jari-jari tangan pemuda itu mulai membuka pakaian kuning yang dikenakan Dewi Pemikat gadis cantik ini tidak sabaran lagi. Dia ulurkan dua tangan merobek baju yang dikenakan Pangeran Aryo. Dengan gemas Dewi Pemikat susupkan wajahnya di dada berbulu Pangeran Aryo.
Tiba-tiba kuda putih yang dilepas di samping pondok meringkik keras. Lalu terdengar suara...
"Blukk!"
Pangeran Aryo Dipasena tersentak kaget dan melompat bangun. Matanya terbeliak kaget ketika melihat kuda putih kesayangannya tergeletak tak bergerak di tanah dengan kepala hancur!
”Kencono Putih!” teriak Pangeran Aryo menyebut nama kudanya. ”Siapa yang membunuhmu!” Dia hendak melompat turun dari atas pondok namun pinggangnya keburu dipagut Dewi Pemikat.
”Kekasihku. Mengapa meributkan kuda mati? Nanti saja diurus. Mari kita bersenang-senang dulu.” Dewi Pemikat menarik tubuh pemuda Itu.
Sang Pangeran coba bertahan. Dia terpaksa mengalah ketika si gadis merobek dan menanggalkan celana luarnya.
”Permainan cinta yang sungguh menakjubkan!” Tiba-tiba mengumandang satu suara dari arah kegelapan. Disusul suara tertawa bergolak.
Pangeran Aryo selain terkejut juga merasa heran. Yang dilihatnya muncul hanya satu orang yaitu pemuda berpakaian serba hitam berikat kepala merah. Tapi mengapa yang tertawa ada dua suara? Dewi Pemikat tampak tenang-tenang saja. Dia berdiri di belakang Pangeran Aryo dan berbisik.
”Pangeran, aku tidak membutuhkan dirimu lagi. Cepat tinggalkan tempat ini. Aku tak ingin melihatmu menemui kematian di sini!”
Pangeran Aryo berpaling heran. ”Apa? Apa maksud ucapanmu? Kau... kau mengenal pemuda berkumis berpakaian hitam itu? Aku tahu sekarang! Jadi... jadi kau memperalat diriku untuk memancingnya ke sini? Dewi Pemikat, siapa kau sebenarnya?!”
”Jangan banyak bertanya menghabiskan waktu! cepat pergi!”
”Aku ingat. Rasa-rasanya bukankah pemuda berpakaian hitam itu yang pernah muncul malam hari sewaktu kau mandi dikolam di rumah kediamanku?”
”Pangeran, bukan saatnya kau harus cemburu. Nyawamu lebih penting! Pergi dan jangan kembali ke sini!” Dewi Pemikat cekal lengan Pangeran Aryo. sekali dia menyentak tubuh tinggi besar pemuda itu melesat keluar pondok namun selagi melayang di udara, cahaya tiga warna melesat menyambar dari kegelapan.
Dewi Pemikat berteriak. ”Cakra Mentari! Jika kau inginkan diriku jangan bunuh orang itu!”
Cahaya tiga warna langsung redup dan akhirnya lenyap. Bersamaan dengan itu seorang pemuda gagah berpakaian hitam bersulam kembang perak dan emas telah berdiri di atas pondok di hadapan Dewi Pemikat. Cakra Mentari! Sepasang mata pemuda ini berkilat-kilat memperhatikan dada padat dan sebagian pinggul putih yang tersingkap. Cuping hidung mengembang pertanda nafsu sudah naik membakar darah di kepala. Di dalam tubuhnya pemuda ini juga merasa sosok tumpangan si penitip nyawa berubah panas. Ikut bergairah.
”Dewi, akhirnya kutemui juga dirimu. Kali ini kau tak akan bisa lolos lagi...”
”Apakah kau mengira aku akan mempermainkanmu lagi lalu melarikan diri? Kali ini justru aku memang menunggu kedatanganmu.” Jawab Dewi Pemikat lalu langsung saja dia hendak jatuhkan diri ke dalam pelukan Cakra Mentari.
Pemuda berkumis, janggut dan bercambang bawuk tipis ini tahan dada busung Dewi Pemikat dengan telapak tangan kiri. Dengan tangan kanan dia mengeluarkan patung Kamasutra dari balik pakaiannya.
Dewi Pemikat tertawa. ”Cakra, kau tidak membutuhkan patung mesum itu untuk membangkit gairahku. Lihat...”
8Dewi Pemikat menggerakkan dua tangan, menggoyang bahu dan pinggul. Saat itu juga seluruh pakaian kuning yang masih melekat di tubuhnya jatuh ke lantai pondok. Sosok penitip nyawa dalam tubuh si pemuda menghela nafas berulang kali. Selama ini Cakra Mentari telah melihat dan menikmati keindahan tubuh 42 orang perempuan. Namun dia harus mengakui keindahan tubuh Dewi Pemikat tak dapat dibanding dengan semua perempuan itu.
Cakra Mentari simpan Patung Kamasutra. Di tangan kirinya kini telah tergenggam sekuntum bunga tanjung. Sambil merebahkan Dewi Pemikat lantai pondok, bunga tanjung ditempelkan ke kening si gadis. Dewi Pemikat mengeluarkan desah panjang menggeliat-geliat. Sementara Cakra Mentari sibuk menanggalkan pakaian hitamnya. Di dalam tubuhnya mahluk penitip nyawa Mirpur Patel berulang kali berucap.
”Cepat lakukan Cakra! Cepat!”
Cakra Mentari masukkan Patung Kamasutra ke dalam gulungan baju dan celana hitam lalu dlletakkan di lantai pondok. Ketika pemuda itu meneduhi dirinya. Dewi Pemikat memeluknya rapat dan kuat. Dua tangan kemudian menekap wajah gagah si pemuda, ditarik didekatkan ke wajahnya sendiri lalu diciumi.
Selama ini setelah sekian banyak perempuan yang jadi korbannya belum pernah Cakra Mentari mendapatkan yang bergairah seperti Dewi Pemikat ini. Karuan saja si pemuda jadi lupa diri, ikut tenggelam dalam rangsangan yang luar biasa.
Dalam keadaan seperti itu, ketika wajah mereka saling bersentuhan, tidak sengaja bunga tanjung yang menempel di kening Dewi Pemikat menyentuh keningnya. Karena keningnya bekeringat maka bunga tanjung itu kini berpindah, menempel di kening Cakra Mentari. Mahluk penitip nyawa di dalam tubuh Cakra Mentari keluarkan suara seperti melolong.
”Anak manusia bernama Cakra Mentari! Untuk kedua kalinya kau melanggar apa yang telah ditetapkan. Dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib jelas-jelas tertulis... ada pantangan yang harus kau ingat. Jangan sekali-kali bunga tanjung sampai melekat atau menempel di keningmu... Cakra Mentari kali ini kau tak bisa bertahan lagi! Aku tak mau kehilangan ilmu yang telah aku harapkan selama hampir dua tahun.”
”Hai, aku mendengar suara orang lain. Siapa yang bicara?” Dewi Pemikat bertanya.
Cakra Mentari tidak perdulikan pertanyaan Dewi Pemikat. Gerakannya hendak meneduhi si gadis jadi tertahan. Dengan kesal dia membentak.
”Resi Mirpur Patel, kau mau berbuat apa...?”
”Aku terpaksa melakukan tindakan penangkal agar ilmu itu tidak lenyap! Kau akan kembali ke asalmu semula! Semua ilmu kesaktian yang kau dapat melalui Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib akan berpindah ke tanganku!”
”Tindakan penangkal? Apa maksudmu? Mahluk terkutuk! Sejak semula kau memang telah menipuku! Resi keparat! Keluar kau dari tubuhku! Kalau tidak aku akan mengadu nyawa. Jika aku mati kau juga akan mampus!”
Tak ada jawaban. Yang terdengar kemudian malah jeritan Cakra Mentari. Pemuda ini melompat sambil pegang anggota rahasia di bagian bawah perutnya yang hancur mengucurkan darah. Sebenarnya tanpa Cakra Mentari terkena tempelan bunga tanjung Resi Mirpur Patel memang sudah punya rencana untuk melakukan apa yang disebutnya sebagai tindakan penangkal itu. Karena memang hanya itu satu-satunya cara untuk mengamankan ilmu pukulan sakti dahsyat yang kini telah berada dalam tubuh Cakra Mentari.
Dewi Pemikat menjerit lalu melompat menyambar pakaiannya. Melihat sosok bugil putih bagus si gadis cantik, Naga Kuning mendelik. Setan Ngompol melotot dan langsung pancarkan air kencing. Murid Sinto Gendong walau agak malu-malu tapi sambil menggaruk kepala melirik juga. Purnama dan Ratu Duyung saling pandang, tak barani melihat.
Dewi Pemikat melompat turun dari atas pondok, menyelinap ke balik sebatang pohon. Selesai berpakaian dia kembali ke dalam pondok. Anehnya walaupun tadi dia siap untuk bersenang-senang melakukan hubungan badan dengan Cakra Mentari, namun saat itu dia sama sekali tidak berusaha menolong si pemuda.
Cakra Mentari Jatuh terduduk bersimpuh terbungkuk-bungkuk di tanah sementara darah mengalir terus menggenangi lantai pondok. Dalam keadaan seperti Itu Cakra Mentari masih bisa berpikir untuk cepat-cepat menotok beberapa bagian tubuhnya sebelah bawah hingga darah berhenti mengucur.
Terdengar suara tawa mengekeh disusul ucapan Mirpur Patel. ”Kau tak usah khawatir Cakra Mentari. Kau tidak akan menemui ajal hanya karena anggota rahasiamu kubuat hancur!”
Tiba-tiba seperti ada yang mengangkat tubuh Cakra Mentari naik ke atas lalu dibanting ke lantai pondok. Saat itu juga dari dalam tubuhnya membayang keluar sosok samar Resi Mirpur Patel yang keadaannya nyaris tidak berdaging seperti jerangkong. Kaki kiri menginjak lantai pondok kaki kanan tak berkasut menginjak kepala Cakra Mentari. Melalui injakan kaki itulah dia akan menyedot ilmu kesaktian yang ada dalam tubuh Cakra Mentari.
Ketika Resi Mirpur Patel merapal mantera sambil mengerahkan sisa hawa sakti yang sangat sedikit masih dimilikinya dan siap menyedot ilmu kesaktian yang ada di tubuh Cakra Mentari. Tiba-tiba terdengar suara menguik. Seekor elang putih berjambul hitam menukik dari kegelapan malam. Paruhnya yang tajam menyambar ganas ke arah leher sang Resi.
”Mahluk jahanam! Aku tahu siapa dirimu! Mampuslah!” Sosok samar Resi Mirpur Patel angkat tangan kanan, menangkap leher elang putih lalu...
"Kkreekk!" Sekali meremas burung malang itu menguik keras dan hancur luluh. Sebelum tewas Jambul Hitam malah sempat mencakar lengan kanan Mirpur Patel hingga sama-samar tampak darah hitam mengucur dari robekan luka!
Mahluk tumpangan Mirpur Patel bantingkan elang putih berjambul hitam yang sudah mati itu ke tanah. Namun seorang anak kecil berambut jabrik entah dari mana datangnya dengan cepat menangkap burung itu. Naga Kuning!
”Mahluk samar Resi sesat! Kau rupanya suka sekali meremas burung. Burung orang dan burung benaran! Hik hik hik! Bagaimana kalau gantian aku meremas burungmu! Hik hik hik!”
BAB TIGA BELAS
Anak kurang ajar?! Kau siapa?!” bentak Mirpur Patel marah besar karena maksudnya hendak menyedot ilmu kesaktian lewat kepala Cakra Mentari jadi terhalang.
”Bocah itu adalah sahabat kami dan kekasihku!”
Mirpur Patel terkesiap. Seorang nenek berjubah biru berwajah setan berambut kelabu tahu-tahu berdiri di hadapannya sambil menyeringai kedap-kedipkan mata. Gondoruwo Patah Hati. Ternyata si nenek tidak sendirian. Mirpur Patel segera mengenali Purnama yang pernah dipendamnya dalam tanah. Dalam hati dia menggeram penuh dendam. Gadis inilah yang telah membuat rompal tongkat emasnya dan berdasarkan gompalan tongkat itu menyebabkan Resi Khandawa Abitar berhasil menjajagi keberadaannya dan menjatuhkan hukuman atas dirinya.
Lalu ada pemuda berambut gondrong dan seorang gadis cantik bermata biru. Dia kenal semua orang ini karena beberapa kali pernah menyerang mereka secara membokong dari jarak jauh. Ketika pandangannya membentur Setan Ngompol berubahlah tampang sang Resi.
Hal ini sempat dilihat Ratu Duyung. Dia ingat keterangan Purnama bahwa ada sesuatu yang ditakuti mahluk yang pernah muncul tanpa wajah itu. Pasti ada satu rahasia dibalik kerenyit wajah mahluk tumpangan itu.
Mirpur Patel angkat kakinya yang menginjak kepala Cakra Mentari. Wiro dan kawan-kawan tampak melengak kaget ketika melihat bagaimana sosok samar Resi Mirpur Patel masuk ke dalam tubuh pemuda yang terbujur di lantai pondok. Sebagai penitip nyawa Resi Mirpur Patel memang tidak mungkin dan tidak bisa lepas dari tubuh tumpangannya.
Kesempatan ini serta merta dipergunakan oleh Cakra Mentari yang saat itu masih telanjang bulat untuk berdiri. Semua perempuan yang ada di tempat itu segera palingkan muka. Kecuali si nenek Gondoruwo Patah Hati yang enak-enakan saja memperhatikan dengan wajah menyeringai dan lidah dijulur-julur membasahi bibir.
”Cakra Mentari! Lekas kau kenakan pakaianmu! Keadaanmu seperti ini hanya menambah sial saja!” Mahluk tumpangan berucap.
Cakra Mentari segera mengenakan pakaian. Ketika dia menyimpan patung Kamasutra ke balik pakaiannya semua orang sempat melihat kantong kain hitam yang ditembusi cahaya merah redup.
Wiro berkata dalam hati. ”Aku yakin, di dalam kantong kain warna hitam itu dia menyimpan Patung Kamasutra yang dicari Resi Khandawa Abitar. Selama ini patung itu telah dipakai untuk melaksanakan perbuatan terkutuknya!”
”Cakra, kau harus segera meninggalkan tempat ini. Orang-orang ini sangat berbahaya. Mereka bisa membuat gagal dirimu mendapatkan ilmu kesaktian pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib.”
”Wiro. Aku mendengar suara lain dalam tubuh Cakra Mentari. Mungkin suara Resi yang sudah menitipkan nyawanya seperti keterangan Resi Khandawa Abitar. Cakra Mentari hendak kabur dari sini.” Purnama yang berdiri di samping Wiro berbisik pada sang pendekar.
”Lekas berpencar...” kata Wiro pula sambil memberi tanda. Purnama berkelebat ke bagian kiri pondok. Ratu Duyung melesat ke bagian belakang sambil memegang cermin bulat sakti. Naga Kuning letakkan burung elang putih yang sudah mati di dekat serumpun semak belukar lalu bersama Gondoruwo Patah Hati bocah ini bergerak ke samping kanan bangunan. Sementara Wiro dan Setan Ngompol mendatangi dari sebelah depan.
”Kakek celaka berkuping terbalik itu. Bagiku dia sangat berbahaya Cakra, sebaiknya kita lekas minggat dari sini!” Berkata Mirpur Patel.
”Aku yakin saat ini aku sudah memiliki ilmu pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib yang lebih dahsyat. Buktinya tadi kau hendak mengambilnya lewat injakan kaki. Lalu mengapa aku takut menghadapi orang-orang ini? Saat ini aku mulai berpikir-pikir. Bagaimana caranya mendapatkan dua gadis cantik itu. Yang berpakaian biru dan yang bermata biru!”
”Jangan berlaku tolol!” tukas Mirpur Patel si mahluk penitip nyawa. ”Aku yakin Resi Khandawa Abitar telah membekali orang-orang ini dengan satu atau dua ilmu. Aku akan memuntir urat pusarmu jika kau tidak menurut perintah!”
”Lakukanlah. Aku gembira kalau bisa mati berbarengan di tempat ini,” jawab Cakra Mentari.
”Jahanam kurang ajar!” Rutuk Mirpur Patel. Lalu dengan suara lebih perlahan dia berkata. ”Kalau kau memang ingin menghadapi mereka, bunuh dulu kakek bermata besar yang celananya basah air kencing itu!”
Cakra Mentari tidak perdulikan ucapan Mirpur Patel karena saat itu dilihatnya Wiro melangkah mendekati pondok kayu. Setelah menatap wajah pemuda berpakaian serba hitam berikat kepala kain merah itu Wiro berkata.
”Cakra Mentari. Aku membawa pesan Resi Khandawa Abitar...”
”Ha ha ha! Ternyata kau kacung seorang Resi!” Ujar Cakra Mentari mengejek. Sesaat dia melirik dulu pada Purnama dan membalik ke belakang memperhatikan dan kedipkan mata pada Ratu Duyung. Begitu menghadap ke arah Wiro kembali dia ajukan pertanyaan. ”Apa gerangan pesan majikan besarmu itu?!”
Murid Sinto Gendong menyeringai dan garuk-garuk kepala dengan tangan kanan sementara tangan kiri mengandung ilmu Menguras Bahala Menyedot Petaka yang didapat dari Resi Khandawa Abitar siap digerakkan sesuai untuk menguras tiga ratus lima bunga tanjung yang mendekam dalam tubuh Cakra Mentari.
”Resi Khandawa Abitar berpesan agar kau menyerahkan Patung Kamasutra pada kami,” jawab Wiro kemudian.
Cakra Mentari tertawa gelak-gelak. Mahluk tumpangan Mirpur Patel ikut tertawa mengekeh. ”Kalau aku tidak mau memberikan, kalian semua mau apa?!”
Wiro kembali menggaruk kepala dengan tangan kanan. Lalu menyahuti. ”Berarti aku harus melakukan pesan Resi Khandawa Abitar yang kedua.”
”Apa? Pesan kedua apa?!” hardik Cakra Mentari.
Saat itu juga Pendekar 212 angkat tangan kirinya. Telapak dikembang terbuka ke arah Cakra Mentari. Selarik sinar kebiru-biruan menyambar. Mahluk penitip nyawa meraung keras. Dia mengenali.
”Ilmu Menguras Bahala Menyedot Petaka! Cakra! Lekas menyingkir!”
Cakra Mentari terkesima. Dia merasa tubuhnya bergetar hebat. Pemuda ini cepat melompat turun dari pondok. Tapi terlambat! Begitu kakinya menginjak tanah dari mulutnya melesat suara raungan panjang sementara sekujur tubuhnya menjadi kaku tak mampu digerakkan dan tubuh itu memancarkan cahaya gemerlap. Setelah itu terjadi hal luar biasa.
Seperti yang dikatakan Resi Khandawa Abitar dari ubun-ubun kepala Cakra Mentari melesat keluar 304 bunga tanjung dalam keadaan layu berwarna kecoklatan, luruh ke tanah. Bunga tanjung terakhir yakni yang ke 305 melayang berputar di udara lalu bergerak turun ke arah gadis berpakaian kuning di dalam pondok dan menyusup di sela-sela rambutnya yang panjang hitam tergerai lepas. Dewi Pemikat!
”Dia!” Teriak Naga Kuning.
Ratu Duyung menatap kaget tak berkesip. ”Jadi gadis cantik berpakaian seronok ini ternyata gadis dari alam gaib yang kesusupan bunga tanjung penyembuh Wiro di bagian bawah perutnya. Aneh rasanya. Bagaimana kejadiannya...”
Purnama sendiri terheran-heran. ”Dia rupanya. Kalau dia memang dari alam gaib mengapa aku tidak bisa menjajagi? Siapa dia sebenarnya. Apa hubungannya dengan Cakra Mentari. Salah satu calon korban? Aku meragukan. Karena dia tidak melarikan diri sewaktu pemuda itu jatuh terduduk di tanah. Apakah dia memiliki ilmu luar biasa tinggi hingga aku tidak dapat menembus jati dirinya?”
Tidak menunggu lebih lama, Wiro, Ratu Duyung dan Purnama segera melompat naik ke atas pondok kayu. Naga Kuning menyelinap dan berdiri di depan ke tiga orang itu. Gondoruwo Patah Hati yang khawatir si bocah ini berbuat macam-macam segera pula naik ke atas pondok.
Wiro berpaling pada Ratu Duyung dan berkata. ”Kau saja yang bicara. Katakan apa adanya.”
Saat itu Cakra Mentari terduduk lemas di tanah. Sekujur tubuhnya menggigil seperti dikubur dalam salju. Tiba-tiba dia merasa ada hawa panas memusnahkan rasa dingin. Itu adalah hawa panas yang disalurkan mahluk tumpangan Mirpur Patel.
”Cakra, tenang saja. Kau tak akan mati. Kau tetap akan menguasai Ilmu pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib.”
Tiba-tiba sebagian tubuh samar Mirpur Patel keluar dari sosok Cakra Mentari. Dua tangannya bergerak ke depan hendak mencekik leher si pemuda. Entah bagaimana mahluk tumpangan ini tiba-tiba saja punya keyakinan, cara cepat dan jalan pintas untuk menguasai ilmu kesaktian yang ada dalam diri Cakra Mentari adalah dengan membunuh si pemuda. Jika Cakra Mentari mati, ilmu kesaktiannya akan mengalir masuk ke dalam tubuhnya.
Dia tidak mengetahui, dengan keluarnya tiga ratus lima bunga tanjung dari dalam tubuh Cakra Mentari, maka ilmu Tiga Cahaya Alam Gaib yang sudah di dapat si pemuda serta merta lenyap tak berbekas. Yang masih tertinggal dalam diri Cakra Mentari hanyalah semua ilmu kesaktian yang didapatnya dari guru-gurunya sebelumnya, antara lain Suma Mahendra.
”Lihat!” teriak Naga Kuning. Anak ini langsung mengangkat tangan hendak melepas satu pukulan tangan kosong bernama Naga Murka Menjebol Bumi ke arah mahluk samar. Tapi cepat dicegah oleh Wiro.
”Jangan! Seranganmu bisa meleset mengenai pemuda itu. Kita menginginkannya tetap hidup. Ingat ucapan Resi Khandawa! Dia pemuda yang terjebak oleh tipu daya Resi Mirpur Patel!”
Naga Kuning tarik serangannya. ”Kalau begitu biar aku yang mengamankan kedua orang itu!” Berkata Purnama. Gadis ini goyangkan bahunya. Sinar terang berwarna biru disertai percikan-percikan seperti kembang api memenuhi tempat itu lalu menyungkup sosok Cakra Mentari dan Mirpur Patel.
”Cakra, hantam dengan Pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib!” teriak mahluk tumpangan Mirpur Patel.
Cakra Mentari lakukan apa yang dikatakan orang. Tangan kanan dipukulkan. Tiga cahaya merah, biru dan hijau menderu.
”Dess! Dess! Dess!”
Purnama berseru kaget ketika melihat sinar biru yang menyungkup Cakra Mentari dan Mirpur Patel jebol di tiga tempat. Mirpur Patel tertawa mengekeh. Namun diam-diam dia merasa kawatir. Kekuatan pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib yang tadi dilepaskan Cakra Mentari masih dalam bentuk kekuatan lama.
"Celaka! Pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib yang didapatnya dari samadi di Gurun Tengger mungkin sudah lenyap! Ini akibat pantangan yang dilanggar sampai dua kali!” Mirpur Patel menggembor marah.
”Cakra Mentari! Kau tidak mendapatkan ilmu kesaktian Tiga Cahaya Alam Gaib itu! Aku hanya membuang waktu percuma! Aku bersumpah tidak ada gunanya kau hidup!"
”Kalau kau membunuhku, kau sendiri akan menerima kematian yang sama. Karena nyawamu bertumpangan dengan nyawaku! Nyawamu hanya nyawa titipan!”
”Persetan dengan kematian! Aku sudah mempersiapkan diri untuk hidup di alam gaib!”
Habis berkata begitu mahluk tumpangan Mirpur Patel susupkan dua tangannya ke dalam perut Cakra Mentari, mencekal dan membetot urat di belakang pusar si pemuda.
”Breettt!”
Cakra Mentari menjerit setinggi langit. Perutnya terbongkar jebol. Darah muncrat sampai setengah tombak. Isi perutnya seperti menggelegak. Semua orang yang ada di tempat itu sama keluarkan seruan tertahan dan merasa tengkuk masing-masing menjadi dingin karena bergidik.
Setan Ngompol terkencing-kencing. Ketika dia berusaha menjauh, tanah yang becek oleh darah dan air kencing membuat kakinya terpeleset. Kakek ini coba menggapai tiang pondok. Namun gerakannya malah membuat tubuhnya melintir dan terhuyung ke arah mahluk tumpangan Mirpur Patel yang tengah berusaha mengeluarkan tubuh samarnya dari mayat Cakra Mentari. Ketika melihat si kakek yang celananya basah kuyup air kencing ini hendak jatuh menimpa dirinya Mirpur Patel berteriak keras, berusaha menghindar. Namun terlambat. Paha kiri Setan Ngompol jatuh tepat di pipi kanannya.
”Air najis! Air celaka! Air kematian!” raung Mirpur Patel.
Ratu Duyung dan Purnama saling pandang. Dua gadis cantik itu sekarang mengerti bahwa air kencing Setan Ngompol merupakan hal yang ditakuti Mirpur Patel sejak dia muncul sebagai mahluk tanpa wajah.
Muka mahluk tumpangan yang terkena basahan air kencing Setan Ngompol langsung berubah hitam hangus. Darah hitam meleleh dari telinga kanan, mata kanan, hidung dan mulut. Tubuh menggeliat lalu meletup beberapa kali, berubah jadi asap dan membubung ke udara. Namun baru naik setinggi atap pondok tiba-tiba satu suara menggema di tempat itu. Suara Resi Khandawa Abitar sementara orangnya sendiri tidak kelihatan.
”Mirpur Patel, Para Dewa tidak mengizinkan dirimu hidup di alam gaib. Sudah diputuskan bahwa kau akan dibenam di dasar bumi lapisan ketujuh untuk selama-lamanya!”
”Wuuttt!” Satu cahaya biru menderu. Itulah pukulan tongkat sakti Kuntala Biru milik Resi Khandawa Abitar. Saat itu juga sosok asap Mirpur Patel amblas masuk ke dalam tanah diiringi suara raungan panjang menggidikkan!
********************
BAB EMPAT BELAS
Di dalam pondok, Ratu Duyung dekati Dewi Pemikat yang berdiri tenang-tenang saja seolah tidak ada terjadi apa-apa di tempat itu. Padahal mayat Cakra Mentari dengan perut terbusai masih menggeletak di samping pondok.
”Sahabat berbaju kuning, aku dipanggil orang dengan sebutan Ratu Duyung. Kalau aku boleh bertanya siapakah namamu?”
”Orang-orang memanggilku Dewi Pemikat. Nama itu bukan nama sembarangan karena diberikan oleh seorang Pangeran.”
”Ah, beruntung kau punya kenalan seorang Pangeran yang baik hati,” ucap Purnama.
Wiro kini ganti bertanya. ”Bagaimana ceritanya sampai pemuda berpakaian hitam itu hendak memperkosamu?”
Dewi Pemikat tatap wajah Pendekar 212 sejurus. Wiro balas menatap. Sepasang pandangan saling beradu. Wiro merasakan ada getaran aneh di kelopak matanya. Dia tidak memikirkan hal itu lebih jauh karena tiba-tiba gadis cantik montok di hadapannya tertawa panjang. Wiro hanya bisa memperhatikan sambil garuk-garuk kepala
”Apa? Pemuda berpakaian hitam itu hendak memperkosaku? Hik hik! Bukan dia yang hendak mamperkosaku. Tapi justru aku yang hendak memperkosanya! Eh, apakah kau mau aku perkosa?”
Wiro menyeringai, garuk-garuk kepala, sementara Dewi Pemikat senyum-senyum sambil kedap-kedipkan mata. Murid Sinto Gendeng jadi melongo. Purnama dan Ratu Duyung tampak merah wajah masing-masing. Gondoruwo Patah Hati cemberut. Hanya Naga Kuning seorang yang tertawa gelak-gelak.
”Nah, anak ini tertawa. Berarti dia tahu kalau apa yang kuucapkan benar adanya!” Kata Dewi Pemikat pula.
Karena dipuji begitu rupa, timbul keberanian Naga Kuning. ”Sahabatku cantik. Sobatku si gondrong ini mengidap satu penyakit aneh. Ada yang memberi penjelasan penyakitnya bisa disembuhkan kalau...”
”Tunggu dulu,” memotong Dewi Pemikat. ”Penyakit apa yang diderita sobatmu gondrong ini?”
”Itu, anunya...” Naga Kuning luruskan jari telunjuk tangan kanan. Lalu perlahan-lahan jari itu ditekuk diturunkan kebawah. ”Loyo...” Ucap si bocah pula.
Wiro tak bisa marah, cuma garuk-garuk kepala. Dewi Pemikat tertawa cekikikan. ”Tadi kau bilang ada yang memberi penjelasan penyakitnya bisa disembuhkan kalau... Kalau apa?” Bertanya Dewi Pemikat.
”Menurut yang punya cerita...”
”Siapa yang cerita?” Dewi Pemikat memburu terus.
”Seorang yang diam di kawah Gunung Bromo. Namanya Suma Mahendra...”
”Hemmm begitu? Orang itu cerita apa?”
”Katanya, peyakit sobatku ini bisa sembuh setelah sebuah bunga tanjung yang ada didalam anunya seorang perempuan dari alam gaib dikeluarkan lalu ditanam di bawah pohon tanjung, antara dua akar yang sejajar."
Dewi Pemikat ternganga lalu tertawa gelak-gelak. ”Sekecil ini kau sudah pandai mengarang cerita!”
”Sahabat, anak ini tidak mengarang cerita.” Menyahuti Pumama. "Apa yang dikatakannya betul semua. Petunjuk tentang perempuan dari alam gaib itu telah kami lihat. Yaitu sekuntum bunga tanjung terakhir yang keluar dari tubuh pemuda bernama Cakra Mentari. Bunga tanjung dimaksud adakah bunga tanjung yang saat ini masih terselip di rambutmu.”
Dewi Pemikat terkejut. Dia meraba rambutnya. Dia menemukan bunga tanjung yang terselip. Setelah memperhatikan bunga itu beberapa lama si gadis lalu berkata. ”Kalau bunga yang ini ada di rambutku jelas tak bisa kupungkiri. Tapi bagaimana mungkin ada bunga tanjung dalam anuku! Ihhh. Kalian ini ngacok semua!”
”Kami tidak ngacok. Kami percaya akan keterangan Suma Mahendra karena dia juga seorang yang berasal dari alam gaib.” Kata Gondoruwo Patah Hati.
Naga Kuning lalu menimpali. ”Itu sebabnya, aku sudah bersiap-siap. Jika kau mengizinkan bunga tanjung itu dikeluarkan, aku bersedia membantu. Aku ini anak kecil. Masakan malu sama anak kecil!”
Satu jeweran mampir di telinga Naga Kuning. Lalu suara Gondoruwo Patah Hati mengomel. ”Anak geblek. Kau mulai ngacok lagi!”
Dewi Pemikat tersenyum. Dia berpaling pada Wiro.
”Ah, rupanya kau ingin si sakit langsung yang mengambil bunga tanjung di dalam anumu itu. Ya sudah, aku mengaku kalah ganteng! Biar aku cari gawean yang lain saja! Hik hik hik!” Naga Kuning tertawa cekikikan.
”Sahabat Dewi Pemikat,” Ratu Duyung berkata. ”Selama ini apa kau tidak menyadari ada kelainan dalam tubuhmu di bagian yang rahasia itu?”
Dewi Pemikat terdiam. Lalu dengan suara agak perlahan dia menjawab. ”Aku tidak begitu memperhatikan. Tapi terus terang memang ada satu keanehan. Anuku itu selalu gatal-gatal...”
”Gatal-gatal bukan karena jarang cebok?” celetuk Naga Kuning hingga kembali jeweran Gondoruwo Patah Hati menyambar telinga kirinya.
Dewi Pemikat cuma senyum-senyum. ”Selain merasa gatal, aku memiliki rasa gairah berkelebihan terhadap kaum laki-laki...”
”Kalau bunga tanjung itu memang bisa dikeluarkan, mungkin semua keanehan yang kau alami akan berakhir. Kau bisa kembali hidup wajar...”
Dewi Pemikat tatap Purnama yang barusan bicara. ”Aku tak akan berkata apa-apa lagi. Semua yang terjadi dengan diriku mungkin sudah takdir!”
”Jadi kau tidak mau ditolong agar terlepas dari keanehan yang kau alami. Sekaligus menolong sahabat kami ini?” Tanya Ratu Duyung pula.
Dewi Pemikat pandangi Pendekar 212 sejurus. ”Mungkin... mungkin saja aku mau diobati penyakit gatal-gatal dan gairah aneh itu. Sekalian menolong si gondrong yang suka garuk-garuk kepala seperti orang jarang mandi ini. Tapi yang aku pikirkan, bagaimana caranya mengeluarkan...” Dewi Pemikat tidak teruskan ucapan karena tak bisa menahan tawa.
”Aku sudah siap kerja sukarela,” berkata Naga Kuning sambil mesem-mesem. ”Atau aku ada akal lain. Sobatku baju kuning harus berendam dalam telaga yang airnya sejuk bening.”
”Bocah tolol!” Berkata Setan Ngompol. ”Kalau direndam malah makin sempit jalan keluarnya...”
”Kalau begitu dipanggang saja sama bara menyala biar lebar jalan keluarnya!” Ucap Naga Kuning yang membuat semua orang jadi terkejut tapi tak bisa menahan tawa.
”Bocah, apa kau benar mau kerja sukarela mengeluarkan bunga tanjung itu?”
Pertanyaan Dewi Pemikat itu membuat semua orang jadi terkejut termasuk Naga Kuning sendiri.
”Kau punya alat apa yang mau dipakai...?” Dewi Pemikat bertanya lagi.
Naga Kuning tak bisa menjawab. ”Ha!! Aku bertanya. Kau mau pakai alat apa mengeluarkan bunga tanjung itu dari anuku?” Dewi Pemikat bertanya polos-polosan.
”Anu... Aku, aku cuma punya jari ini.” Jawab Naga Kuning sambil goyang-goyangkan jari tengah tangan kanannya.
”Baik kau boleh mempergunakan jarimu itu! Nah, ayo kau kerjakan!”
Dewi Pemikat tarik lengan Naga Kuning. Keduanya naik ke dalam pondok diikuti oleh Wiro, Purnama, Setan Ngompol dan Ratu Duyung bersama Gondoruwo Patah Hati yang sudah siap-siap hendak menyemprot si bocah.
Di dalam pondok Dewi Pemikat baringkan tubuh di lantai. Dua kaki dilipat sedikit dan dikembangkan lebar-lebar. Melihat orang bersungguh-sungguh seperti itu Naga Kuning malah jadi takut dan bersurut dua langkah.
”Ayo, kau tunggu apa lagi?! Bocah, lekas tarik celanaku!”
”Aku, hemmm...”
”Anak konyol! Tenyata kau cuma besar mulut!” Ejek Dewi Pemikat.
Dikatai seperti itu Naga Kuning jadi jengkel. Dia langsung jongkok di depan sosok Dewi Pemikat yang masih berbaring di lantai.
”Anak gila! Kau mau melakukan apa?!” Bentak Gondoruwo Patah Hati.
”Biar saja Nek. Anak ini mau berbuat baik. Tak usah dilarang.” Berkata Dewi Pemikat.
Naga Kuning pegang ujung dua kaki celana panjang kuning Dewi Pemikat. Ketika kaki celana itu hendak ditariknya, tiba-tiba meledaklah tawa Dewi Pemikat. Saat itu juga wajahnya yang cantik jelita dan tubuhnya yang bagus molek berubah!
Yang terbaring di lantai pondok kini bukan lain adalah seorang nenek keriput berambut kelabu, mengenakan jubah kuning. Daun telinga diganduli anting terbuat dari tulang. Sepasang mata merah. Mulut perot terkempot-kempot! Naga Kuning terlonjak dan cepat-cepat bersurat mundur.
”Kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu!” berseru Pendekar 212 lalu tertawa gelak-gelak.
Saat itu juga pondok kayu di tengah hutan Jati itu seperti mau roboh oleh hebohnya gelak tawa semua orang yang ada di tempat itu.
Si nenek yang memang adalah kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu bangkit berdiri sambil ikutan tertawa haha-hihi. Mulutnya yang kempot tidak henti-hentinya berkata.
”Jangan salahkan diriku! Semua ini bukan aku punya mau! Ketika aku menolong Wiro melepas bunga tanjung yang nempel di bawah parutnya, tiba-tiba ada hawa aneh menyambar ke arah anuku. Lalu aku berubah jadi gadis montok. Hik hik hik. Aku bisa kembali ke bentuk asalku setelah pemuda bernama Cakra Mentari itu menemui ajal.” Si nenek berpaling pada Naga Kuning. ”Bocah, sekarang apa kau masih mau kerja suka rela mengeluarkan bunga tanjung itu?”
”Ampun Nek, tobat Nek!” jawab Naga Kuning sambil pijit hidungnya dengan tangan kiri, melangkah mundur dan goyang-goyangkan tangan kanan.
********************
Setelah jenazah Cakra Mentari dikuburkan di hutan jati, Ratu Duyung membawa kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu ke tempat kediamannya di laut selatan. Sementara Wiro dan yang lain-lainnya menunggu di sebuah goa di dekat Parangtritis.Di Kerajaan bawah laut seorang tabib perempuan memberi si nenek obat dan berhasil mengeluarkan bunga tanjung dari bagian tubuh dibawah perut. Seorang suruhan kemudian menanam bunga tanjung itu di bawah pohon tanjung, diantara dua akar yang muncul sejajar di tanah. Hanya sehari sesudah itu Pendekar 212 Wiro Sableng sembuh dari penyakitnya.
Apa yang terjadi dengan Pangeran Aryo Dipasena? Ketika dirinya dilempar oleh Dewi Pemikat, kepalanya membentur pohon jati hingga putera Raja ini pingsan cukup lama. Dia baru siuman pada siang keesokan harinya. Kembali ke pondok dia hanya menemukan bangkai kuda putih miliknya. Sang Pangeran duduk di lantai pondok. Dia benar-benar merasa kehilangan Dewi Pemikat yang telah sangat mempesona dirinya. Hanya saja, kalau dia tahu siapa sebenarnya asli gadis berwajah cantik bertubuh montok putih itu, mungkin dia bisa pingsan selama tiga hari tiga malam!
Akan halnya Patung Kamasutra yang ditemukan di balik pakaian Cakra Mentari, diambil oleh Ratu Duyung, disimpan di Kerajaan bawah laut sampai ada kesempatan untuk menghubungi dan menyerahkannya pada Resi Khandawa Abitar.
Bagaimana pula dengan Bidadari Angin Timur? Apakah semudah itu gadis cantik berambut pirang ini melupakan Pendekar 212 Wiro Sableng dan mengalihkan cintanya pada Jatilandak yang sekarang menjadi Kepala Pasukan Kesultanan Cirebon dengan nama Tubagus Putrakesuma?
T A M A T
Episode selanjutnya:
Episode selanjutnya: