Nyi Bodong

Wiro Sableng. Nyi Bodong
Sonny Ogawa

Nyi Bodong

BAB 1

HUTAN Ngluwer ternyata luas sekali. Setelah matahari menggelintir ke barat, dalam keadaan tangan kanan cidera berat, kepala rampok Surah Nenggolo akhirnya sampai ke tempat yang dituju. Tempat ini terletak dekat sebuah danau kecil, dikelilingi pohon-pohon besar. Bayangan dedaunan pepohonan yang berbagai ragam membuat air danau seperti berwarna ketika sinar matahari memantul di permukaan air.

Di pinggir danau terlihat tiga bangunan beratap rumbia, dua agak kecil dan tertutup dinding. Satunya besar tanpa dinding. Di dalam bangunan besar sembilan orang duduk mengelilingi sebuah meja panjang terbuat dari bambu. Di kepala meja sebelah kanan duduk seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan, berwajah cakap, memiliki kening tinggi dan alis mata tebal. Rambut panjang sebahu. Dibanding semua orang yang ada di tempat itu, dia satu-satunya yang berpakaian dan berpenampilan apik rapi.

Di kiri kanan meja bambu, duduk delapan orang yang rata-rata telah berusia lebih dari setengah abad. Dari raut wajah serta pakaian, jelas menunjukkan sebagai orang rimba persilatan. Satu-satunya perempuan yang hadir di tempat itu adalah seorang nenek berhidung seperti paruh burung kakak tua, bermata dingin kelabu. Di luar bangunan dua puluh orang bertubuh tegap, memakai blangkon dan pakaian serba hitam tegak berjaga-jaga. Di dada kiri baju yang mereka kenakan tertera sulaman kuning rumah joglo dan dua keris bersilang. Lelaki cakap di kepala meja sebelah kanan memandang berkeliling lalu bertanya,

“Keluarga seperjuangan yang hadir, apakah pertemuan bisa dimulai?”

Ada yang menganggukkan kepala, banyak yang berkata mengiyakan.

“Terimakasih. Terimakasih saudara-saudara seperjuangan bisa hadir dalam pertemuan Keraton Kaliningrat yang ke sembilan belas ini. Seperti pertemuan yang sudah-sudah, Ayahanda Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata meminta saya mewakili diri beliau.”

“Pangeran Muda, apakah Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata berada dalam keadaan baik?” seorang peserta pertemuan bertanya.

“Tentu saja.” Lelaki yang dipanggil Pangeran Muda menjawab sambil anggukkan kepala. “Ayahanda berkirim salam untuk semua saudara seperjuangan. Ada beberapa hal penting yang akan kita bicarakan. Pertama perihal madat asal kapal Cina yang sampai saat ini tidak ketahuan di mana beradanya. Dua orang kerabat kita yang diketahui membawa madat itu ditemukan tewas. Kita masih menelusuri siapa pembunuhnya. Dua orang kerabat lainnya kembali dengan tangan hampa, malah salah seorang dari mereka mendapat. Hal kedua...”

Belum sempat Pangeran Muda meneruskan ucapan tiba-tiba di kejauhan terdengar satu jeritan keras. Lalu suara orang berlari. Tak lama kemudian muncullah sosok lelaki pendek berkepala botak, bercambang bawuk lebat. Dia langsung masuk ke dalam bangunan pertemuan. Nafas mengengah, dada turun naik. Muka sepucat kain kafan. Ada luka cukup dalam di mata kanan yang membuat bola matanya yang juling seperti hendak meloncat keluar. Tangan kanannya yang hancur berlumuran darah setengah mengering diletakkan di atas meja. Tubuh terhuyung-huyung. Kalau tidak lekas dipegang orang niscaya akan jatuh terkapar di tanah. Pertemuan menjadi geger. Seorang cepat mendekati si botak, mengurut beberapa bagian tubuhnya sambil alirkan hawa sakti dan tenaga dalam, memberi kekuatan. Si botak ini lalu didudukkan di sebuah kursi.

“Surah Nenggolo! Apa yang terjadi?! Mana anak buahmu!” Lelaki yang dipanggil Pangeran Muda bertanya. Suaranya keras mendesing tajam.

“Delapan orang anggota saya telah menemui ajal. Tiga kabur entah ke mana. Saya mohon maafmu.”

“Jangan dulu bicara soal maaf! Cepat jelaskan apa yang terjadi!” Pangeran Muda di ujung meja membentak.

Ketakutan luar biasa Surah Nenggolo menuturkan apa yang dialaminya. Setelah mendengar keterangan kepala rampok hutan Ngluwer itu Pangeran Muda geleng-geleng kepala lalu berkata, “Sulit dipercaya! Kau yang berkepandaian tinggi dan jadi andalan dipecundangi seorang perempuan muda berotak miring! Membawa minuman keras! Dan kau tidak tahu siapa dia adanya! Keterlaluan! Sangat memalukan!” Pangeran Muda marah sekali. Dia bicara sampai terlonjak berdiri dari kursi. Lelaki ini kemudian berpaling pada nenek berhidung seperti burung kakak tua berpakaian jubah kuning pekat. Walau dia satu-satunya perempuan di tempat itu, namun agaknya dia memiliki wibawa cukup tinggi hingga dijadikan tempat bertanya.

“Ni Serdang Besakih, saya ingin segera mengirimkan orang kita ke perbatasan untuk menyelidik. Mungkin perempuan itu masih berada di sekitar sana. Namun saya perlu pendapatmu lebih dulu.”

Nenek berhidung bengkok bermata kelabu gembungkan pipinya yang kempot lalu menjawab, “Pangeran Muda, kelihatannya kita menemui seekor ikan besar. Aku setuju kita mengirimkan orang. Jika boleh biar aku yang pergi mencari bersama beberapa orang saudara seperjuangan, saudara-saudara yang berpakaian seragam boleh menyusul untuk mengawasi keadaan. Bagaimana pendapatmu?”

“Pendapatku Nek, kau tidak perlu susah-susah mencari! Aku sudah ada di sini!” Tiba-tiba satu suara terdengar menyahuti ucapan si nenek. Semua orang dalam bangunan sama mendongak ke atas atap karena suara orang yang bicara datang dari atas sana. Bersamaan dengan itu mendadak atap bangunan yang terbuat dari rumbia jebol! Satu sosok berwajah putih berpakaian biru disertai suara tawa mengikik melayang turun, berdiri di atas meja dengan tubuh sempoyongan, rambut awut-awutan! Tiga buah kendi kecil tergantung diikat pinggang besar. Satu kendi lagi berada dalam genggaman tangan kiri. Bau minuman keras menghampar menusuk hidung.

“Dia orangnya!” teriak Surah Nenggolo sambil menunjuk dengan tangan kiri. Semua orang yang ada di tempat itu menjadi geger! Lalu untuk sesaat suasana berubah hening seperti di pekuburan!

“Perempuan mabok kesasar! Siapa kau?” Seorang yang duduk di deretan kursi sebelah kanan meja membentak. Dia seorang tokoh silat, yang dikenal dengan julukan Gagak Ireng. Berasal dari pantai utara, mengenakan blangkon dan pakaian warna hitam. Sepuluh kuku jari tangan dan kaki panjang-panjang berwarna hitam.

Perempuan muka putih yang berdiri di atas meja bambu seka minuman keras yang membasahi dagunya, menatap ke arah Gagak Ireng lalu tertawa gelak-gelak. Sementara tubuh masih terus bergoyang huyung. “Siapa bilang aku mabok! siapa bilang aku kesasar!” katanya. “Si botak pendek itu yang menuntun aku ke sini. Aku hanya tinggal mengikuti. Hik hik hik!”

Tampang Surah Nenggolo jadi pucat. Dia sadar kini mengapa perempuan bermuka putih itu tidak membunuhnya, membiarkan dirinya lari masuk ke dalam hutan. Ternyata dia dikuntit! Dengan muka pucat kepala rampok yang jadi anggota dan kaki tangan orang-orang Keraton Kaliningrat ini menatap ke arah Pangeran Muda di ujung meja.

“Pangeran, saya tidak tahu kalau dia mengikuti, saya mohon maaf telah berlaku lalai.”

“Botak tolol!” Gagak Ireng mendamprat. “Kau tak perlu banyak khawatir! Dia tak bakal lama berada di sini dalam keadaan hidup!”

Karuan saja tampang Surah Nenggolo jadi semakin pucat. Perempuan yang berdiri di atas meja berpaling ke arah Gagak Ireng, menatap tajam, mencibir lalu tertawa panjang, “Aku baru tahu. Rupanya ada malaikat maut di tempat ini. Hik hik hik!”

Dari ujung meja Pangeran Muda menegur, “Tamu yang datang tidak diundang. Tahukah kalau kau telah berbuat dua kesalahan besar?”

Perempuan bermuka putih alihkan pandangannya ke ujung meja sebelah kanan. “Ah, Pangeran Muda rupanya yang bicara. Dua kesalahan besar apa yang telah aku perbuat? Mohon petunjuk Pangeran Muda.” Sekali ini nada suaranya begitu lembut dan sikapnya sangat menghormati tapi waktu bicara sepasang matanya dikedap-kedipkan sehingga membuat Pangeran Muda jadi rikuh jengah.

Dia segera menjawab, “Kesalahan pertama kau telah merusak atap bangunan ini. Kesalahan kedua kau berlaku kurang ajar. Berdiri di atas meja padahal kami tengah mengadakan pertemuan dan di sini banyak orang-orang tua yang harus kau hormati.”

Sepasang alis perempuan muka putih mencuat naik, tangan kiri mengusap-usap perut. “Kalau dua hal itu dianggap kesalahan besar, mohon Pangeran Muda mau mendengar penjelasanku. Soal atap yang rusak bukan salahku. Atap itu yang salah. Mengapa dibuat dari rumbia yang lapuk? Lalu perihal aku berdiri di atas meja, kalian semua selaku tuan rumah yang alpa. Mengapa tidak ada yang menyediakan kursi untukku? Pangeran lihat sendiri semua kursi sudah ada yang menduduki. Apa salah besar kalau aku terpaksa berdiri di atas meja? Malah aku rasa ini satu pemandangan bagus yang jarang kalian saksikan. Apakah tubuhku tidak cukup indah untuk kalian nikmati?”

Habis berkata begitu perempuan di atas meja liuk-liukkan tubuhnya sehingga pinggulnya kelihatan melebar, dada membusung bergoyang-goyang, pantat dikedut-kedut songgeng dan wajah mengundang penuh gairah. Semua orang nyaris terpukau hening. Banyak yang diam-diam mencuri pandang. Mereka seperti baru menyadari kalau perempuan di atas meja memiliki tubuh sintal kencang menggairahkan. Dan wajahnya yang putih itu bukannya tidak cantik!

Tiba-tiba salah seorang dari dua puluh orang berseragam hitam di luar bangunan berteriak, “Pangeran Muda, biar kami singkirkan perempuan kurang ajar itu!” Dua puluh orang bertubuh kekar, berpakaian serba hitam dan rata-rata memiliki kepandaian silat cukup tinggi serta-merta mengurung bangunan beratap rumbia.

Pangeran Muda angkat tangan kiri memberi tanda. “Kalian semua kembali ke tempat. Biar urusan ini kami yang menyelesaikan.”

Di atas meja perempuan muka putih sapukan pandangannya pada rombongan orang-orang berpakaian dan berikat kepala hitam itu. Pelipis berdenyut, dada seperti dipanggang. Mulut terkancing menahan geram luar biasa. Seseorang tiba-tiba membentak. Dia adalah si nenek berhidung bengkok Ni Serdang Besakih.

“Perempuan sinting kurang ajar! Lekas turun dari meja! Atau aku patahkan dua kakimu!”

Orang di atas meja bambu acuh saja. Dia sama sekali tidak berpaling ke arah si nenek. Setelah meneguk lahap minuman keras dalam kendi dia tertawa lalu berkata, “Hik hik hik! Siapa tadi yang mau mematahkan dua kakiku!? Aku mau kenal orangnya!”

Perempuan di atas meja memandang berkeliling. Pandangannya kemudian berhenti pada Ni Serdang Besakih. “Hemmm... Nenek peot berhidung bengkok! Kau rupanya orangnya! Mulutmu sombong amat! Agaknya kau merasa jadi jago di tempat ini. Padahal Pangeran Muda yang jadi pimpinan di tempat ini tidak berkata apa-apa! Tapi biarlah, aku menunggu kapan kau mau mematahkan dua kakiku!”

Habis berkata begitu gadis ini tarik kaki kiri celana hitam sampai melewati lutut. Betis sampai ujung pahanya tersingkap putih. Banyak mata jadi melotot. “Kaki begini bagus, tega-teganya mau dipatahkan. Kasihan amat. Hik hik hik! Paling tidak kakiku ini jauh lebih bagus dari kaki nenek peot itu! Hik hik hik!”

Dihina begitu rupa di hadapan sekian banyak orang yang selama ini menyeganinya, Ni Serdang Besakih menggeram marah. Wajahnya gelap merah, hidung yang bengkok mencuat ke depan. Untuk menutupi malu dia pun berkata, “Mematahkan dua kakimu pekerjaan mudah! Sebelum aku sengsarakan dirimu seumur hidup, aku mau tahu siapa namamu, apa kau punya gelar!”

“Tanya nama dan gelarku?! Hik hik hik!” perempuan di atas meja tertawa, tubuh menghuyung ke kiri ke kanan. Perut diusap-usap dengan tangan kiri. “Nenek hidung bengkok! Kalau kau seorang pemuda tampan atau lelaki gagah seperti Pangeran Muda yang duduk di sana, pertanyaanmu pasti kujawab! Malah sekaligus akan kuberi tahu di mana tempat kediamanku! Tapi kalau cuma tua bangka rongsokan macam dirimu yang bertanya, perlu dan untung apa aku memberi tahu! Jangan-jangan kau bangsa perempuan yang doyan sesama jenis! Hik hik hik!”

Wajah keriput Ni Serdang Besakih membesi kaku. Sepasang matanya berkilat-kilat menahan amarah. Namun sebagai tokoh silat yang banyak pengalaman dia tidak mau terpancing dan berlaku sembrono. Matanya cukup tajam. Walau perempuan yang berdiri di atas meja masih muda belia seperti mabuk dan kurang waras namun agaknya dia memiliki tingkat kepandaian yang tidak bisa dibuat main. Nenek ini juga memperhatikan meja panjang yang terbuat dari bambu tanpa ada pengganjal di bagian tengah sama sekali tidak melengkung oleh injakan orang! Selain itu dia juga bisa menduga, minuman keras di dalam kendi yang sesekali diteguknya bisa menjadi senjata sangat berbahaya. Tadi dia sudah memperhatikan tangan kiri Surah Nenggolo yang hancur sementara tangan kiri kelihatan menghitam seperti hangus dan ada bentolan-bentolan kecil.

Di atas meja perempuan muka putih kembali usap-usap perut di bagian pusar dengan tangan kiri. Tangan ini kemudian disusupkan ke balik baju biru lalu kembali dia mengusap. Gerakan tangan ini sejak tadi diperhatikan oleh seorang tokoh rimba persilatan yang hadir di tempat itu, bernama Kecik Turangga, berjuluk Hantu Buta Senja. Orang ini memiliki kebiasaan aneh. Jika siang berganti malam atau senja hari, dia selalu menutupi wajahnya dengan sebuah topeng menampilkan muka seorang bermata bengkak buta. Topeng baru dilepas setelah sang surya terbit di pagi hari. Setelah memperhatikan wajah, sosok dan gerak-gerik perempuan di atas meja beberapa lama, tiba-tiba Kecik Turangga berteriak.

“Saudara-saudara seperjuangan! Aku yakin dia adalah Nyi Bodong!”

Si muka putih di atas meja tersentak, menatap ke arah Kecik Turangga lalu sunggingkan seringai. Semua orang yang hadir di tempat itu jadi melengak geger. Nama Nyi Bodong sejak beberapa waktu belakangan ini muncul secara tiba-tiba dalam rimba persilatan sebagai seorang tokoh misterius. Setiap muncul pasti ada korban yang jatuh. Yang jadi sasaran biasanya adalah orang-orang jahat terutama para pemerkosa. Keadaan di tempat itu hening sesaat. Semua wajah menunjukkan rasa tegang. Beberapa orang tampak berbisik-bisik.

Pangeran Muda berdiri dari kursinya. Matanya memandang lekat-lekat ke arah perempuan di atas meja bambu, dari kepala sampai ke kaki. Lalu sambil mengusap dagu dan tersenyum dia berkata, “Sungguh tidak disangka dan merupakan satu kehormatan besar seorang tokoh terkenal yang baru muncul dalam rimba persilatan rupanya yang menyambangi kami. Nyi Bodong, terima kasih salam hormatku dan semua saudara yang ada di sini. Mohon maaf kalau sikap perlakuan kami ada yang tidak berkenan di hati Nyi Bodong. Saat ini saya sampaikan urusan dengan

Surah Nenggolo kami anggap selesai. Surah Nenggolo kelak akan kami jatuhi hukuman karena telah berani berlaku lancang terhadap Nyi Bodong.”

Perempuan yang dipanggil Nyi Bodong sunggingkan senyum. “Dia telah menerima hukuman. Apa Pangeran Muda tidak melihat tangan kanannya yang hancur dan tangan kiri yang hangus hitam?”

Pangeran Muda ikut tersenyum. “Hukuman dari Nyi Bodong layak diterimanya. Namun hukuman dari kami tetap akan diberlakukan.”

Habis berkata begitu Pangeran Muda memberi tanda dengan jentikan dua jari tangan. Empat orang berseragam hitam di luar bangunan segera masuk meringkus Surah Nenggolo. Tak lama kemudian terdengar raungan kepala rampok itu. Walau siang bolong tetap saja terasa menggidikkan!

Setelah Surah Nenggolo dibawa pergi Pangeran Muda melirik ke arah Ni Serdang Besakih dan anggukkan kepala. Melihat isyarat ini si nenek segera berpaling pada seorang lelaki memakai topi tinggi merah seperti tarbus, memelihara jenggot dan kumis lebat lalu anggukkan pula kepalanya.

Orang memakai tarbus merah segera mengambil sesuatu dari kolong meja. Benda ini kemudian diletakkan di atas meja bambu, hanya dua jengkal dari kedua kaki si muka putih. Ternyata yang diletakkan adalah seperangkat pakaian berwarna hitam. Pada dada kiri baju hitam ada sulaman gambar rumah joglo dan keris bersilang.

Perempuan di atas meja tatap sebentar baju dan celana panjang hitam itu lalu mendongak dan tertawa panjang. Kemudian dia memandang ke arah orang bertarbus merah. “Manusia berkumis dan berjenggot tebal. Apa maksudmu meletakkan pakaian hitam itu di depanku?”

BAB 2

YANG menjawab pertanyaan si muka putih adalah Nyi Serdang Besakih. “Nyi Bodong, kau telah mendapat anugerah dan kehormatan besar dari Pangeran Muda.”

“Ooo... baik sekali Pangeran Muda terhadapku. Tapi anugerah dan kehormatan besar apa yang aku dapatkan?”

“Saat ini Pangeran Muda telah menganggapmu sebagai salah seorang dari saudara seperjuangan. Kau telah menjadi salah seorang anggota penting Keraton Kaliningrat. Kau diberi kehormatan untuk mengenakan pakaian hitam, pakaian kebesaran itu.” Menerangkan Ni Serdang Besakih.

“Begitu?” perempuan di atas meja tersenyum. Pandangannya dilayangkan pada kelompok orang-orang berseragam hitam di luar bangunan pertemuan. Dalam hati dia membatin. “Aku datang ke tempat yang tidak salah. Tapi aku belum melihat dua keparat terkutuk itu.” Palingkan kepala kembali pada Ni Serdang Besakih, dia berkata, “Saudara seperjuangan. Memangnya kalian memperjuangkan apa?”

“Ni Serdang, biar saya yang menerangkan,” kata Pangeran Muda pula dari ujung meja sebelah kanan. “Nyi Bodong, semua kami di sini adalah saudara bersaudara dalam perjuangan. Perjuangan kami adalah menegakkan keadilan dan mendirikan kebenaran. Perjuangan yang kami lakukan saat ini adalah meruntuhkan kekuasaan orang-orang sesat dan rakus, yang berkuasa dengan cara merampas hak orang lain. Kami melihat kau memiliki hati nurani membela keadilan dan menegakkan kebenaran.”

“Aku juga menumpas manusia-manusia jahat terkutuk, seperti tukang perkosa,” menyambung si muka putih di atas meja bambu.

Pangeran Muda tersenyum, anggukkan kepala lalu meneruskan ucapannya. “Kami di sini semua telah bertekad bulat untuk menjadikanmu sebagai seorang saudara baru dalam perjuangan ini.”

“Soal segala macam perjuangan bikin kepalaku pusing. Aku tidak mau tahu apa perjuangan Pangeran Muda dan semua orang yang ada di sini. Yang aku ingin tahu kalian ini semua siapa sebenarnya? Keraton Kaliningrat, hemmm... Kalau memang menegakkan keadilan dan kebenaran, mengapa salah seorang dari kalian menjadi kepala rampok. Aku saksikan sendiri Surah Nenggolo dan anak buahnya membunuh orang asing dari negeri Cina. Malah dia juga hendak membunuhku!”

“Nyi Bodong, soal pembunuhan atas orang-orang Cina itu tidak dapat saya jelaskan sekarang. Kami telah mengakui penyerangan terhadap diri Nyi Bodong sebagai kekeliruan besar. Untuk itu saya mewakili semua saudara di sini meminta maafmu. Mengenai Surah Nenggolo yang telah berbuat kurang ajar berani menyerang Nyi Bodong hukuman mati telah dijatuhkan atas dirinya.”

“Kurasa Pangeran Muda punya alasan lain menghukum mati manusia satu itu. Karena dirinya tidak ada kegunaan lagi. Bukankah begitu?”

Pangeran Muda tersenyum. “Nyi Bodong, kami sangat menjunjung tinggi hukum. Siapa yang bersalah harus diadili. Sekarang ambillah pakaian itu dan kau akan kami ikut sertakan dalam pembicaraan selanjutnya.”

Perempuan di atas meja tatap baju dan celana hitam di dekat kakinya lalu bertanya, “Apa kalian ingin aku mengenakan pakaian itu sekarang juga?”

Karena tak ada yang menjawab perempuan muda itu lalu buka kancing baju birunya sehingga dadanya sebelah atas tersingkap. Pinggul digoyang membuat celana birunya merosot ke bawah hampir mencapai pinggul. Semua orang jadi terperangah. Cuma si nenek Nyi Serdang Besakih yang tampak asam mukanya dan melengos sambil berkali-kali golengkan kepala.

“Nyi Bodong! Tunggu! Kau tak boleh mengenakan pakaian itu di sini. Nanti saja. Sekarang silahkan diambil dan disimpan dulu.” Teriak Kecik Turangga alias Hantu Buta Senja yang tadi mengenali si muka putih sebagai Nyi Bodong.

Si muka putih luruskan badan, teguk minuman dalam kendi. Lalu memandang berkeliling dan berkata, “Jadi saat ini aku berada di tengah-tengah saudara-saudara Keraton Kaliningrat.”

“Betul sekali, Nyi Bodong,” jawab Pangeran Muda sementara Ni Serdang Besakih terus memperhatikan gerak gerik si muka putih.

“Kalau begitu aku betul-betul datang ke tempat yang tidak salah!”

“Terima kasih atas pujian Nyi Bodong,” kata Pangeran Muda pula dengan nada gembira. “Saya akan menyuruh orang menyiapkan kursi. Apakah sekarang Nyi Bodong bersedia turun dari meja?”

Yang ditanya mengangguk, dia bergerak melangkah. Enak saja kedua kakinya menginjak baju dan celana hitam! Tentu saja semua yang hadir di tempat itu jadi terkejut, malah banyak yang menunjukkan wajah tidak senang. Sambil dua kakinya terus menginjak pakaian hitam, dia berkata dengan suara lantang, “Kalian semua dengar baik-baik. Sebelum aku turun dari meja, ada satu hal yang akan aku katakan!”

“Nyi Bodong, jika memang ada hal yang hendak disampaikan mengapa ragu? Silahkan saja,” kata Pangeran Muda masih sabar.

Di tempat duduknya yang bersebelahan dengan Kecik Turangga, si nenek Ni Serdang Besakih berbisik, “Hantu Buta Senja, kau yakin perempuan ini benar Nyi Bodong adanya?”

Hantu Buta Senja usap mukanya. “Aku memang belum pernah melihat langsung orangnya. Tapi dari ciri-ciri yang aku dengar perempuan satu ini cocok dengan ciri-ciri Nyi Bodong. Wajah putih, pakaian biru gelap...”

“Membawa kendi berisi minuman keras segala?” tanya Ni Serdang Besakih.

“Ah... anu... Ini yang...” suara Hantu Buta Senja jadi gagap. Belum sempat dia bicara jelas, di atas meja perempuan yang dipanggil Nyi Bodong berkata dengan suara lantang.

“Orang-orang Keraton Kaliningrat! Ketahuilah! Aku datang ke sini untuk mencari dua orang anggotamu yang telah melakukan perbuatan keji terkutuk atas diriku! Dua orang anggota Keraton Kaliningrat telah memperkosaku! Hari ini aku bersumpah untuk mencabut nyawa mereka! Siapa berani menghalangi akan aku habisi!”

Tempat pertemuan itu serta merta menjadi geger besar. Semua mata memandang mendelik pada perempuan di atas meja. Pangeran Muda berdiri dari kursinya. Gagak Ireng berteriak, “Nyi Bodong, sungguh keterlaluan. Bagaimana enak saja kau mengucapkan tuduhan membuat fitnah begini rupa! Apa kau punya bukti?!”

“Fitnah?!” Si muka putih tertawa panjang lalu membentak, “Siapa membuat fitnah! Aku masih ingat tampang dua bangsat itu. Mereka pasti ada di antara orang-orang berpakaian hitam yang tegak di luar bangunan!”

Pangeran Muda memandang ke arah Ni Serdang Besakih. Si nenek lalu berdiri dan berkata, “Aku akan suruh dua puluh orang berpakaian seragam hitam itu berjejer di hadapanmu. Jika kau mengenali memang ada di antara mereka sebagai orang-orang yang telah memperkosamu, harap langsung kau tuding!”

Si nenek lalu bertepuk dua kali. Dua puluh lelaki berpakaian seragam hitam mengenakan blangkon hitam segera berdiri sejajar di samping meja, di belakang deretan kursi yang diduduki empat tokoh silat anggota Keraton Kaliningrat. Si muka putih layangkan pandangan cepat lalu tertawa panjang sambil tubuhnya terhuyung ke depan dan ke belakang.

“Setan perempuan otak miring! Kau disuruh mengenali pemerkosamu! Malah tertawa! Apa yang lucu?” Yang berteriak marah adalah Gagak Ireng. Rupanya tokoh silat satu ini sudah habis sabarnya.

Di atas meja perempuan muka putih huyung kiri huyung kanan teguk minuman dalam kendi hingga wajahnya berubah merah, dua mata bergerak liar. Selesai menenggak habis minuman keras, dia angkat tangan kanan yang memegang kendi tinggi-tinggi. Lima jari meremas. Praaak! Kendi pecah berantakan. Si muka putih tertawa kembali. Entah kapan tangan kanannya bergerak tahu-tahu sembilan keping pecahkan kendi yang ada di tangan itu melesat laksana bintang berkiblat.

Tokoh silat Gagak Ireng anggota Keraton Kaliningrat berseru kaget ketika dapatkan dirinya diserang sembilan kepingan runcing pecahan kendi. Gagak Ireng bukan tokoh silat sembarangan. Ilmunya tinggi dan nama besarnya cukup dikenal di daratan Jawa Tengah sampai ke perbatasan Jawa Timur. Namun diserang mendadak dan dalam kecepatan kilat seperti itu dia jadi terperangah gugup. Gagak Ireng hantamkan tangan kiri. Gerakannya menangkis masih kurang cepat. Walau empat pecahan kendi mampu dibuat mental, lima lainnya menyusup tembus. Dua kepingan menancap di kening. Satu di mata kiri, satu di pipi dan satu lagi tepat pada urat besar di leher hingga putus dan menyemburkan darah!

Di atas meja perempuan muka putih tertawa panjang. “Dua pemerkosa itu aku tidak melihat mereka! Pasti kalian telah menyembunyikan!”

Teriakan kemarahan menggeledek dari semua tokoh Keraton Kaliningrat yang ada di tempat itu. Mereka tidak perdulikan lagi apa yang diucapkan si muka putih. Beberapa orang langsung menyerbu ke atas meja. Si muka putih putar tubuh sambil mulutnya menyembur.

"Wuuuurrr!"

Minuman keras yang ada di dalam mulut menyambar ke arah tiga orang yang coba menerjangnya. Dua orang yang tahu bahaya cepat menghindar selamatkan diri. Satunya nekad berusaha menyerbu terus namun setengah jalan menjerit keras, terlempar ke ujung meja. menggeletak tepat di depan kaki Pangeran Muda dalam keadaan tak bernyawa. Muka hangus hancur penuh lubang mengerikan!

“Saudara-saudara seperjuangan! Tangkap perempuan celaka itu hidup atau mati!” teriak Pangeran Muda marah sekali.

Ni Serdang Besakih dan Kecik Turangga alias Hantu Buta Senja segera bergerak dari tempat masing-masing. Dua orang ikut menyusul sementara Pangeran Muda tendang dua kaki meja hingga patah berantakan. Meja panjang yang terbuat dari bambu itu serta merta roboh. Perempuan muka putih tertawa panjang, melompat ke tanah. Saat itu juga serbuan laksana air bah datang menggempur.

Ni Serdang Besakih berlaku cerdik. Dia mengarahkan serangannya pada tiga buah kendi yang masih tergantung di pinggang orang karena menganggap kendi dan isinya merupakan senjata luar biasa berbahaya. Dua kendi hancur, isinya berhamburan di tanah. Kendi ke tiga menyusul pecah, ternyata kosong.

Si muka putih menjerit marah. Tubuhnya berkelebat lenyap seolah berubah jadi bayangan. Mengamuk dua jurus tanpa berhasil memukul sekian banyak lawan yang mengurung dia bahkan serangan pada si nenek yang telah menghancurkan tiga buah kendinya. Namun keadaannya kini mulai terdesak. Apalagi dua puluh orang lelaki berseragam hitam bukan hanya mengurung kalangan pertempuran tapi juga merangsak maju. Dari kiri kanan dan sebelah belakang serangan datang sambung menyambung. Belum lagi yang mendera dari depan. Hanya kegesitan yang luar biasa yang masih mampu menyelamatkan perempuan muka putih. Tapi sampai berapa lama dia bisa bertahan??!

Dalam satu gebrakan hebat walau si muka putih sempat menendang seorang penyerang hingga dadanya remuk, Ni Serdang Besakih berhasil mendaratkan satu pukulan. Pukulan itu hanya menyerempet bahu namun daya tolaknya yang keras cukup membuat lawan terpelintir setengah lingkaran. Saat itulah dari depan datang pukulan Pangeran Muda yang mendarat telak di dada kiri.

Si muka putih menjerit keras. Tubuhnya terpelanting lima langkah ke belakang dan dalam waktu cepat segera diringkus oleh Kecik Turangga bersama dua tokoh silat anggota Keraton Kaliningrat lainnya. Darah tampak mengucur di sudut bibirnya. Ni Serdang Besakih totok urat besar di bawah ketiak kiri orang hingga perempuan muka putih ini langsung merasakan seluruh anggota badannya menjadi lemah lunglai.

“Biarkan dulu dia hidup-hidup! Bawa ke hadapanku! Aku akan mengorek keterangan dari mulutnya! Setelah itu kalian boleh mengorek jantungnya!” berseru Pangeran Muda. Kini sikapnya yang sopan halus berubah jadi garang.

“Orang-orang Keraton Kaliningrat! Kalian ternyata pengecut semua! Beraninya main keroyok! Kalian kira aku takut mati?! Hik hik hik! Pangeran Muda! Ayo bunuh aku saat ini juga jika kau punya nyali!”

“Nyi Bodong!” teriak Ni Serdang Besakih. “Ajal sudah di depan mata. Mengapa masih bicara sombong?!” Dan, plaaakk! Nenek berhidung bengkok itu lepaskan satu tamparan keras ke pipi si muka putih hingga bibirnya luka dan semakin banyak darah yang mengucur.

“Tua bangka keparat! Beraninya menampar dalam keadaan diriku tertotok tak berdaya! Kalau aku masih hidup kau akan aku bunuh duluan! Jika aku mati dan jadi setan kau yang pertama kali akan aku cekik!”

"Plaaaaakk!"

Satu tamparan lagi dihantamkan Ni Serdang Besakih ke wajah si muka putih. Walau sakitnya bukan main namun perempuan itu masih bisa keluarkan tawa mengikik lalu tawanya lenyap dan, cuaaahh! Ludah campur darah disemburkannya ke muka Ni Serdang Besakih. Si nenek berteriak marah. Matanya yang dingin kelabu tampak seperti menyala.

“Pangeran Muda! Biar aku bunuh perempuan keparat ini sekarang juga!”

Lima jari tangan si nenek menyambar ke leher oran. Inilah serangan ganas yang disebut Tangan Iblis Membongkar Berhala. Bilamana serangannya mengenai sasaran maka daging, urat dan tulang leher korban benar-benar akan terbongkar mengerikan!

“Ni Serdang! Tahan! Aku perlu dia hidup-hidup dulu! Bawa perempuan celaka itu ke hadapanku!” teriak Pangeran Muda.

Terpaksa Ni Serdang Besakih tarik serangan mautnya. “Nenek hidung bengkok!” ucap perempuan muka putih

sebelum dibawa ke hadapan Pangeran Muda. “Kalau aku tidak bisa membunuhmu dalam keadaan hidup atau mati jadi setan, akan ada orang lain yang bakal membuat kau meregang nyawa!”

“Perempuan setan! Masih saja kau banyak mulut!” maki Ni Serdang Besakih. Namun dia ingin tahu juga siapa orang yang dimaksudkan. Maka dia membentak bertanya, “Siapa setan alas yang akan mewakilimu membunuhku?!”

“Pendekar 212 Wiro Sableng! Dia calon suamiku!”

Ni Serdang Besakih tersentak kaget. Semua orang juga ikutan terkejut. Si nenek akhirnya memberi tanda pada tiga orang yang mencekal perempuan muka putih. “Seret dia ke hadapan Pangeran Muda!”

Selagi perempuan muka putih yang dalam keadaan tak berdaya diseret ke hadapan Pangeran Muda sekonyong-konyong menggelegar satu bentakan keras, “Orang-orang Keraton Kaliningrat! Kalian mencari mati berani menganiaya cah ayuku!”

Semua orang menduga yang muncul adalah benar-benar Pendekar 212 Wiro Sableng! Namun mendadak terdengar semburan dahsyat tiga kali berturut-turut.

"Wuss! Wuss! Wuss!"

“Awas semburan cairan berbahaya!” Hantu Buta Senja berteriak memberi ingat. Secepat kilat dia bersama Ni Serdang Besakih melompat selamatkan diri.

Tiga jeritan terdengar berbarangan. Pangeran Muda berseru kaget, sepasang mata terbeliak besar. Tiga orang yang menyeret perempuan muka putih terkapar di tanah. Satu langsung menemui ajal karena mukanya hangus hancur penuh lubang mengerikan. Dua lagi menggeletak kelojotan sambi! memegangi dada yang cidera berat. Bau minuman keras menghampar di tempat itu. Semua orang Keraton Kaliningrat untuk sesaat jadi terkesiap, diam tak bergerak.

Ketika sosok perempuan muka putih terhuyung jatuh hampir tergelimpang di tanah, satu tangan panjang laksana belalai merangkul pinggangnya. Cepat sekali tangan aneh ini melepaskan totokan di ketiak kiri. Begitu dirinya lepas dari totokan, dalam keadaan agak nanar si muka putih melihat sebuah kendi besar melayang ke arahnya. Sambil tertawa cekikikan dia tangkap kendi itu dengan dua tangan lalu meneguk isinya sampai tumpah-tumpah membasahi dagu dan dada pakaiannya.

“Cukup cah ayu! Jangan dihabiskan. Sekarang perhatikan baik-baik! Apa manusia ini salah seorang anggota Keraton Kaliningrat yang telah memperkosamu?!”

Saat itu juga dari atap bangunan yang telah jebol melayang turun seorang berpakaian hitam komprang. Rambut hitam sebahu awut-awutan. Kulit muka dan tubuh merah. Tampang seram seperti demit. Di cuping hidung sebelah kiri mencantel sebuah anting terbuat dari akar-bahar. Pada ikat pinggang kulit yang dikenakannya tergantung sebelas buah kendi hitam, lebih besar sedikit dari kendi yang dimiliki perempuan muka putih. Tubuhnya yang gemuk pendek terhuyung-huyung seperti orang mabok. Hebatnya orang yang melayang turun ini berdiri sambil mencekal leher seorang lelaki berseragam hitam yang ada cacat bekas luka di dagunya.

“Kuntorandu!” beberapa mulut keluarkan ucapan terkejut menyebut nama orang yang dicekal si gemuk pendek.

Pangeran Muda mengerenyit. Sepasang alis mata Ni Serdang Besakih mencuat naik. Pangeran Muda melangkah cepat mendekati si nenek yang tegak di samping Hantu Buta Senja. “Ni Serdang, kau mengenali siapa adanya manusia gemuk pendek berwajah seram itu?”

“Kalau saya tidak keliru dia adalah tokoh rimba persilatan yang dijuluki Iblis Pemabuk!”

“Jadi rupanya Iblis Pemabuk adalah guru Nyi Bodong!” Hantu Buta Senja ikut bicara.

“Si gemuk bermuka setan itu bukankah dia dedengkot rimba persilatan yang berjuluk Dewa Tuak?!” tanya Pangeran Muda pula

“Kami pernah bertemu Dewa Tuak. Manusia satu ini adalah Iblis Pemabuk. Mereka memang sama-sama mempergunakan minuman keras sebagai senjata. Tapi bangsat satu ini jelas adalah Iblis Pemabuk.” ucap Ni Serdang Besakih pula.

Mendengar ucapan Iblis Pemabuk, perempuan muka putih yang tentunya Wulan Srindi adanya dan oleh orang-orang Keraton Kaliningrat disebut sebagai Nyi Bodong, memandang dengan mata berkilat ke arah orang yang dicekal lehernya. Dia perhatikan tampang orang, melihat jelas luka di dagu bekas gigitannya sewaktu diperkosa.

“Cah ayu! Kau sudah mengenali! Tunggu apa lagi?” Iblis Pemabuk dorong tubuh lelaki berpakaian hitam yang memang Kuntorandu adanya, yaitu salah satu dari dua orang Keraton Kaliningrat yang telah memperkosa Wulan Srindi.

Wulan Srindi menjerit keras. Tubuhnya bergetar hebat lalu melesat ke depan. Tangan kanan yang memegang kendi besar bergerak. “Jangan... Tidak!” Kuntorandu hanya bisa keluarkan dua kata itu lalu,...

"Praakkk!"

Kendi dan kepala Kuntorandu sama-sama pecah. Orang-orang Keraton Kaliningrat keluarkan seruan tertahan. Wulan Srindi tertawa seperti kuda meringkik. “Mana yang satunya?!” teriak Wulan Srindi.

“Aku tidak menemukan. Yang satu ini aku kenali karena ada luka di dagunya.” jawab Iblis Pemabuk.

Semua itu terjadi luar biasa cepat hingga orang-orang Keraton Kaliningrat setelah berseru kaget kini terkesiap nyaris tak bergerak. Ketika di sebelah kiri Pangeran Muda akhirnya berteriak keras agar semua orangnya menutup jalan keluar, Iblis Pemabuk segera menyambar lengan kiri Wulan Srindi.

“Cah ayu. Ayo kita lekas tinggalkan tempat ini!”

“Tidak! Aku ingin mencari pemerkosa satunya! Aku ingin membunuh nenek keparat berhidung bengkok itu!”

“Nanti saja! Sekarang kita pergi dulu!” jawab Iblis Pemabuk. Lalu tangan kirinya yang bisa panjang langsung merangkul pinggang Wulan Srindi. Sebelum tinggalkan tempat itu Iblis Pemabuk berpaling ke arah Ni Serdang Besakih. Mulutnya berucap, “Lepas persoalanmu dengan muridku, antara kita masih ada urusan hutang piutang! Pada saatnya aku akan menagih berikut bunganya!”

Nenek berhidung bengkok mendengus, “Kalau kau punya nyali mengapa tidak dibereskan sekarang?”

Iblis Pemabuk tertawa bergelak. “Kau akan malu besar kalau rahasia kebejatanmu aku buka di depan orang banyak ini!”

“Manusia iblis! Jangan harap kau bisa pergi dari tempat ini!” teriak Ni Serdang Besakih. Habis berkata begitu si nenek menerjang ke depan. Tapi begitu Iblis Pemabuk semburkan minuman keras ke arahnya nenek ini terpaksa bersurut mundur sambil memaki. Di lain kejap Iblis Pemabuk dan perempuan muka putih tak ada lagi di tempat itu.

********************

SAMBIL berlari memanggul tubuh Wulan Srindi, Iblis Pemabuk bertanya, “Cah ayu, sejak kapan kau berganti nama jadi Nyi Bodong?!”

“Hik hik hik! Orang-orang Keraton Kaliningrat yang memanggilku begitu. Kurasa cocok juga nama itu.”

“Tapi pusarmu tidak bodong.”

“Kalau begitu tolong kau buat pusarku jadi bodong!” Iblis Pemabuk tertawa gelak-gelak.

“Eh, kau mau membawa aku ke mana?” tanya Wulan Srindi.

“Ke tempat seorang sahabat yang bisa mengobatimu. Kau terkena pukulan beracun Memukul Bukit Meremuk Gunung yang dilepaskan Pangeran Muda. Bagian dadamu tidak cidera, tapi di sebelah belakang jaringan tubuhmu rusak berat. Dalam tujuh hari bagian tubuhmu itu akan busuk, nyawamu bisa-bisa tidak tertolong!”

“Jahatnya Pangeran keparat itu. Lagaknya sopan lemah lembut, tidak tahunya lebih buas dari setan kepala tujuh!” Setelah diam sebentar Wulan Srindi bertanya, “Urusan hutang piutang apa yang ada antara kau dan nenek hidung bengkok berpakaian kuning itu?”

“Aku tak bisa memberi tahu,” jawab Iblis Pemabuk.

“Kau tidak memberi tahu aku sudah bisa menduga. Pasti urusan cinta di masa muda! Betul? Hik hik hik!” Iblis Pemabuk menyengir, ambil satu kendi lalu meneguk isinya.

********************

BEBERAPA hari kemudian, ketika Iblis Pemabuk dan Wulan Srindi kembali ke tempat kediamannya yaitu bangunan di atas pohon dalam rimba belantara, mereka mendapatkan dua bangunan kayu telah ludas berubah menjadi puing-puing hitam. Pohon besar di mana dua bangunan itu berada juga tampak gosong sampai ke ranting.

“Aku sudah bisa menduga siapa jahanamnya yang membakar tempat kediamanku ini,” kata Iblis Pemabuk sambil memandang ke atas dan teguk minuman keras dalam kendi.

“Siapa lagi kalau bukan orang-orang Keraton Kaliningrat!” ucap Wulan Srindi.

Iblis Pemabuk mengangguk. “Yang jadi biang racunnya pasti nenek hidung bengkok Ni Serdang Besakih! Beberapa waktu lalu aku pernah memergokinya beberapa kali berada di sekitar tempat ini. Setiap aku pergoki dia cepat melarikan diri.”

“Jika kau mempercayainya, biar aku mewakili dirimu mencari dan menghajar nenek satu itu. Aku juga akan mencari lelaki kedua yang memperkosaku!”

“Cah Ayu, kau butuh istirahat beberapa lama untuk menyembuhkan luka dalam di bagian punggungmu sebelah kiri.” jawab Iblis Pemabuk.

“Aku juga perlu segera mencari calon suamiku, Pendekar 212 Wiro Sableng.” Iblis Pemabuk tersenyum. “Semua perlu. Tapi ada waktunya yang tepat. Sekarang ikuti aku!” Iblis Pemabuk tarik lengan Wulan Srindi.

Dalam serial Wiro Sableng Pendekar 212, Iblis Pemabuk muncul pertama kali pada Episode berjudul Wasiat Sang Ratu. Iblis Pemabuk memberi tahu Wiro akan kelemahan Tiga Bayangan Setan yang hendak membunuhnya.

********************

BAB 3

KI TAMBAKPATI tersentak bangun dari tidur lelapnya ketika pintu gubuk dijebol orang dan satu sosok hitam tinggi besar berucap keras, “Ki Tambak! Aku butuh pertolonganmu!”

Orang tua ahli pengobatan tulang berjuluk Tangan Penyembuh berusia lebih dari tujuh puluh tahun itu tidak segera bangkit dari atas ranjang. Otaknya bekerja. “Aku mengenali suara itu. Jangan-jangan makhluk pembawa malapetaka itu! Perlu apa dia datang lagi ke sini?”

Ki Tambakpati perlahan-lahan turun dari atas ranjang kayu. Tangannya bergerak ke arah empat sudut gubuk! Gubuk kecil jadi terang benderang. Pandangan mata si orang tua tertumbuk pada orang yang barusan masuk. Dia segera mengenali, tapi wajahnya mengapa berubah seram seperti setan, penuh cacat guratan luka? Orang ini berdiri dengan dua tangan berada di belakang tubuh yang mengenakan jubah kelabu (Kisah kedatangan orang ini pertama kali harap baca Episode berjudul Kitab Seribu Pengobatan).

“Aku mengenali suara, tapi mengapa wajah berlainan?” sapa Ki Tambakpati sambil menatap tamunya dari kepala sampai ke kaki.

“Aku orang cerdik! Apa sulitnya! Aku bisa merubah wajah sepuluh kali dalam satu hari!” jawab sang tamu.

“Jadi... jadi kau adalah orang yang dipanggil Pangeran itu? Yang tempo hari...”

“Sudah! Bagus kau mampu mengenali diriku!”

“Kalau kedatangan Pangeran untuk meminta penyembuhan masalah kejantanan tempo hari, saya tidak mungkin menolong...”

“Ki Tambak! Aku kemari bukan untuk itu! Seratus hari sudah lewat! Kejantananku belum pulih! Malah lihat! Aku menerima nasib celaka seperti ini!” Orang yang dipanggil Pangeran unjukkan dua tangannya yang sejak tadi disembunyikan di belakang punggung.

Kejut Ki Tambakpati bukan kepalang. “Gusti Allah! Apa yang terjadi sampai tangan Pangeran buntung begini rupa?!”

Ternyata tangan kiri sang Pangeran buntung sebatas setengah jengkal di atas pergelangan. Darah kering menggumpal di ujung buntungan sementara darah segar masih kelihatan merembes. Yang hebat dan mengerikan, Pangeran memegang buntungan tangan kirinya di tangan kanan!

“Ki Tambak! Tak usah banyak tanya apa yang terjadi! Tugasmu menyambung tanganku yang buntung sekarang juga!”

“Sa... saya perlu tahu kapan terjadinya. Kalau sudah lebih satu hari satu malam sulit disambung kembali...” Kata Ki Tambak sambil meneliti tangan kiri yang buntung dan juga kutungan tangan yang dipegang di tangan kanan.

“Tadi siang! Kejadiannya tadi siang!”

“Kalau begitu masih dapat saya usahakan. Pangeran silahkan berbaring di atas ranjang...”

Sementara Ki Tambakpati menyiapkan ramuan obat Pangeran melihat tak ada perubahan dalam gubuk itu. Tulang belulang manusia berserakan di mana-mana. Empat buah tengkorak yang sudah tebal tertutup lumut teronggok di sudut kiri belakang. Dulu ada lima tengkorak. Satu di antaranya dia yang menghancurkan. Dinding gubuk yang jebol akibat hantamannya tempo hari rupanya sudah diperbaiki.

Di tengah ruangan, di depan hamparan kulit kambing yang dijadikan tikar, terletak sebuah belanga tanah. Tampaknya masih baru karena yang lama dia ingat betul hancur kena tendangannya. Di dalam belanga ada ramuan tulang belulang, daun, kulit dan akar tetumbuhan serta cairan mengepul asap dan selalu mengeluarkan suara mendidih walau di bawah belanga sama sekali tidak ada api yang menyala.

Ki Tambakpati melangkah ke salah satu sudut gubuk. Dua mata dipejamkan, dua telapak tangan dirapatkan satu dengan yang lain lalu dua lengan diangkat lurus ke atas. Seperti yang pernah disaksikan sang Pangeran dulu, perlahan-lahan tubuh orang tua itu terangkat ke atas hingga dua kakinya tidak lagi menginjak lantai gubuk.

“Daun sirih pembersih luka!” Ki Tambak berseru. Aneh! Dari sela dua telapak tangan menyembul keluar tiga helai daun sirih. Daun-daun ini kemudian melesat masuk ke dalam belanga tanah.

“Kunyit putih perekat luka!” Orang tua yang berjuluk Tangan Penyembuh itu kembali keluarkan ucapan disusul melesatnya tiga potongan kunyit putih dari sela telapak tangan, langsung melayang masuk ke dalam belanga. “Alang-alang Dewa Penyambung otot dan urat!” Tiga lembar alang-alang hijau kekuningan menjulur dari sela telapak tangan lalu melesat masuk ke dalam belanga tanah.

“Tulang pengganjal dan akar pengikat kesembuhan!” Kali ini yang melesat keluar adalah dua potong tulang putih sepanjang tiga jengkal serta segulung akar berwarna coklat yang masih ada tanahnya.

“Kemenyan keredohan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih serta Maha Penyayang lagi Maha Penyembuh!” Serbuk putih kekuningan berkilau melesat masuk ke dalam belanga.

Suara mendidih di dalam belanga semakin keras. Kepulan asap semakin tebal. Bau harumnya kemenyan dan ramuan obat memenuhi ruangan. Perlahan-lahan sosok Ki Tambakpati turun kembali ke lantai gubuk. Lalu dia menggeser belanga tanah ke tepi ranjang di mana orang yang tangannya buntung berbaring. Dia mengambil buntungan tangan lalu sambil memegang tangan kiri yang buntung dia berkata,

“Pangeran, pejamkan matamu. Bertahanlah. Cuma sakit sedikit.” Habis berkata begitu Ki Tambak tarik kuat-kuat lengan kiri yang buntung dan dimasukkan ke dalam telaga tanah.

"Cesss!"

Terdengar suara seperti besi panas dimasukkan ke dalam air. Asap pekat mengepul. Orang di atas ranjang terlonjak dan menjerit setinggi langit. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat.

“Tua bangka jahanam! Apa yang kau lakukan!”

“Pangeran, kau inginkan kesembuhan. Kau harus berani berkorban menahan sakit!”

Tanpa perdulikan orang yang masih mencaci maki, Ki Tambakpati ambil buntungan tangan kiri. Ketika hendak dimasukkan ke dalam belanga dia melihat satu kelainan pada salah satu jari tangan itu.

“Tua bangka, kau mempermainkan apa?!” bentak orang di atas ranjang yang masih menggigil menahan sakit.

Ki Tambak tidak menyahuti. Buntungan tangan kiri buru-buru dimasukkan ke dalam telaga. Seperti tadi, terdengar suara dess walau agak perlahan dan asap yang mengepul tidak begitu pekat. Dari dalam belanga Ki Tambakpati keluarkan dua potongan tulang dan gulungan akar. Tangan yang buntung dengan sangat hati-hati dihubungkan satu sama lain lalu ditahan kiri kanan dengan dua potong tulang, kemudian dibalut diikat kencang-kencang dengan akar pohon.

“Pangeran, pengobatan telah selesai. Jika kau tak banyak bergerak, tulangmu akan mulai bersambung dalam waktu sepuluh hari. Seminggu kemudian daging, otot dan urat akan pulih bertaut kembali.”

Mendengar ucapan Ki Tambakpati sang Pangeran turun dari tempat tidur. “Ki Tambakpati, apakah kau punya kabar baru tentang Kitab Seribu Pengobatan?”

Ki Tambakpati menggeleng. Tanpa banyak bicara lagi ataupun mengucapkan terima kasih orang yang barusan ditolong terus saja melangkah ke pintu. Si orang tua ingat hal seperti itu juga dilakukan orang tersebut ketika dia dulu menolong menyambungkan batang kemaluannya yang hampir putus.

Dia tidak minta upah atau imbalan, namun melihat sikap orang begitu rupa Ki Tambakpati jadi jengkel lalu berkata, “Pangeran, sudah dua kali dengan ini kau mendapat musibah. Seperti kataku dulu, apakah kau pernah berdoa pada Gusti Allah agar mendapat kesembuhan yang cepat dan agar selanjutnya kau berada dalam perlindunganNya?”

Lelaki di ambang pintu gubuk menatap orang tua itu sesaat lalu tertawa bergelak. “Apa kau lupa aku dulu pernah berkata. Seumur hidup aku tidak pernah berdoa pada Gusti Allah. Sudah, kau saja yang mendoakan diriku pada Gusti Allah!” Masih mengumbar tawa yang menjijikkan, orang itu melangkah pergi dan lenyap di kegelapan malam.

Lama orang tua ahli pengobatan tulang itu tegak merenung di pintu gubuk. Tiupan angin yang dingin mencucuk baru menyadarkannya. Dia segera beranjak masuk. Namun belum sempat merapatkan pintu mendadak ada sambaran angin lewat di depannya, membuat dia terjajar mundur satu langkah. Ketika dia berpaling ke dalam gubuk si orang tua melihat sosok seorang nenek berwajah putih berdiri di tengah ruangan. Orang ini lebih dulu memperhatikan keadaan seputar gubuk baru berpaling pada Ki Tambakpati.

“Aku terlambat...” Ucapnya perlahan.

Ki Tambakpati memperhatikan. Nenek muka putih ini mengenakan baju panjang berwarna biru gelap. Rambut tergerai sampai ke pinggang kusut masai berwarna hitam.

“Sahabat yang datang di malam buta, apa maksud ucapanmu tadi. Apakah kau tidak keliru masuk ke dalam gubukku ini?” Ki Tambakpati menegur sementara dua matanya terus mengawasi.

“Sebelumnya ada seseorang di tempat ini,” si nenek berkata dan menatap lekat-lekat pada sepasang mata si kakek.

“Betul sekali,” jawab Ki Tambakpati. “Dia sudah pergi. Kau mencarinya apakah dia sahabatmu?”

Si nenek menggeleng. “Apa keperluan orang itu datang kemari?”

“Maaf, aku tidak pernah memberi tahu pada orang lain perihal orang yang pernah aku tolong!”

Nenek muka putih tatap wajah si kakek lalu tersenyum. “Orang itu datang menemuimu karena tangan kirinya buntung! Benar?”

Ki Tambakpati diam saja. “Ketahuilah, apa yang telah kau lakukan merupakan satu kebajikan. Namun tanpa kau sadari kau telah memperpanjang umur kejahatan di atas bumi ini! Banyak lagi korban yang akan berjatuhan!”

Tentu saja Ki Tambakpati tercengang mendengar ucapan si nenek. Dengan suara perlahan dia berkata, “Aku menolong mengobati siapa saja tanpa memperhatikan apakah dia orang jahat atau orang baik. Kebajikan tidak bisa dipilih-pilih.”

“Mungkin memang begitu janji atau sumpah ilmu pengobatanmu! Tapi tahukah kau siapa orang bertangan buntung yang telah kau tolong?”

Ki Tambakpati menggeleng. “Dia dijuluki Hantu Pemerkosa! Beberapa orang gadis telah menjadi korbannya di beberapa desa! Diperkosa lalu dibunuh!”

“Tidak mungkin...” kata Ki Tambakpati pula lalu cepat-cepat hentikan ucapannya.

“Mengapa tidak mungkin? Aku menyaksikan sendiri beberapa orang yang jadi korban kebejatannya!”

“Ah...” Ki Tambakpati tarik nafas panjang, terduduk di tepi ranjang, menatap ke arah si nenek sambil geleng-geleng kepala.

“Ilmu keahlian untuk kebajikan dan kebaikan. Alangkah mulianya...” Setelah mengeluarkan ucapan itu si nenek muka putih memutar tubuh, melangkah ke pintu.

“Sahabat, tunggu dulu!” Ki Tambakpati berdiri dan mengejar. “Kau belum memberi tahu siapa kau adanya. Aku senang mengenal dirimu. Kau membuka jalan pemikiran baru dalam diriku...”

Si nenek tersenyum. “Tidak, aku bisa melihat. Jalan pikiranmu tentang kebaikan dan kebajikan tidak akan pernah berubah. Jika kau melakukan, maka orang yang tidak kau tolong akan membunuhmu!”

Paras Ki Tambakpati berubah. Kepala tertunduk. Ketika diangkat kembali, nenek muka putih berpakaian biru tak ada lagi di hadapannya. Dia mengejar ke halaman. Hanya kegelapan dan tiupan angin dingin yang menyambut. Terbungkuk-bungkuk Ki Tambakpati melangkah ke arah pintu gubuk sambil hatinya berkata,

“Tuhan, apakah aku telah keliru menolong orang-orang jahat? Aku mohon petunjukmu ya Tuhan. Kalau ini merupakan satu dosa, aku mohon ampunanMu. Tapi bagaimana aku akan menolak orang yang datang minta tolong? Gusti Allah, aku berlindung di bawah Kekuatan dan KekuasaanMu.”

Di malam yang dingin itu Ki Tambakpati akhirnya memutar langkah ke arah sumur untuk mengambil air wudhu. Di dalam gubuk dia melakukan sembahyang tahajud dua rakaat, memohon petunjuk dan pengampunan dari Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui.

********************

DALAM Episode sebelumnya Perjanjian Dengan Roh, Pendekar 212 punya maksud menemui Ratu Duyung untuk mengetahui apakah benar jurang yang ada air terjunnya benar-benar tidak berpenghuni. Namun dia merasa ada ganjalan karena tindakan sang ratu yang pergi begitu saja setelah hancurnya 113 Lorong Kematian. Selain itu sobat seperjalanannya kakek tukang kencing Setan Ngompol tidak begitu senang jika mereka harus jauh-jauh kembali ke jurang. Saat itu matahari telah tenggelam, senja datang disusul malam.

“Kek, kita ini berada di mana dan sebenarnya mau menuju ke mana?” tanya Wiro pada Setan Ngompol.

Yang ditanya menunjuk jauh ke arah sebuah bukit kecil. Pemandangan agak terlindung oleh kegelapan dan kerapatan pepohonan. “Lihat, ada bangunan di sebelah sana. Ada nyala api. Pintunya juga kelihatan dalam keadaan terbuka. Tanda penghuninya masih belum tidur. Kita ke sana. Siapa tahu dapat suguhan kopi panas...”

“Paling-paling air sumur!” tukas murid Sinto Gendeng.

“Paling tidak ada tempat untuk kita numpang bermalam.”

“Kek, melihat celanamu yang lepek air kencing serta badanmu yang bau pesing, mana ada orang yang mau memberi tumpangan bermalam pada kita. Kalau nasib baik aku yang akan tidur dalam rumah, kau tidur di atas atap.”

Setan Ngompol tersenyum. “Bisa-bisa yang kejadian sebaliknya,” kata kakek bermata jereng berkuping lebar ini. “Aku kenal dengan penghuni gubuk itu. Karena itu aku mengajakmu ke sana.”

“Siapa yang tinggal di sana? Janda gemuk di Bantul tempo hari?”

Setan Ngompol tertawa cekikikan sambil tangannya menekap bagian bawah perut. “Kau masih saja mengingat-ingat si gembrot itu. Aku sendiri sudah hampir lupa. Jangan kau sampai membangunkan keponakan yang ada di bawah perutku. Bisa-bisa kutinggal sendirian kau di tempat ini! Hik hik hik!”

Kedua orang itu berjalan cepat di antara kerapatan pepohonan. Hanya tinggal sepuluh tombak dari gubuk di atas bukit tiba-tiba dari pintu keluar seorang perempuan berpakaian gelap, berwajah putih, berambut panjang riap-riapan sampai ke pinggang. Setan Ngompol cepat menarik Wiro ke balik semak belukar di belakang sebuah pohon besar.

“Aku seperti mengenali wajah dan perawakan orang itu...” kata Setan Ngompol pula. “Jangan-jangan... Dia berkelebat ke timur. Ayo kita potong jalannya!”

“Buat apa mengikuti orang?!” tanya Wiro segan-seganan.

“Apa kau tidak memperhatikan? Wajah dan sosok perempuan itu mirip-mirip nenek yang pusarnya bodong tempo hari!”

“Kek, aku tidak heran kau mau mengejarnya. Rupanya selama ini kau selalu ingat-ingat dia. Kesemsem pada pusar bodongnya. Sekarang kau pasti sudah kasmaran jatuh cinta. Mimpi mau menjilat pusarnya! Gendeng!”

“Terserah kau mau bilang apa. Aku tetap mau mengejar!”

Wiro mengalah. Terpaksa mengikuti si kakek menempuh jalan memotong. Dalam waktu singkat mereka berhasil memapas jalan nenek muka putih. Begitu sampai di hadapan si nenek, Setan Ngompol hentikan langkah, menjura sambil keluarkan ucapan,

“Nenek muka putih! Selamat bertemu lagi dengan kami dua manusia jelek!”

Kejut si muka putih bukan alang kepalang. Selain itu wajahnya yang putih menunjukkan kemarahan. “Kalian lagi!” bentaknya sambil dua kaki merenggang dan dua tangan diturunkan ke samping. Jelas nenek ini tengah memasang kuda-kuda untuk melakukan serangan. “Ini kali kedua kalian menghadangku! Apa mau kalian? Minta mampus?!”

Setan Ngompol langsung jatuhkan diri berlutut dan kucurkan kencing. “Sahabat, jangan salah mengira. Pertemuan kedua ini sungguh tidak diduga. Ini takdir Yang Maha Kuasa. Ini mungkin satu tanda kita bisa bersahabat. Sejak melihat bagaimana tempo hari kau membuat buntung tangan manusia muka setan dengan sihir biru yang keluar dari pusarmu, aku sangat mengagumi. Ingin berkenalan dan ingin tahu siapa nama serta gelarmu.”

Nenek muka putih memandang melotot lalu tertawa panjang. “Rupanya kau senang melihat aurat perempuan!”

“Anu, soalnya sampai tua bangka begini baru sekali itu aku melihat ilmu kesaktian seperti itu. Aku...”

“Hati-hati dengan kakek satu ini Nek. Orangnya memang rada-rada ganjen! Barangkali temanku ini naksir samamu Nek,” kata Wiro pula.

“Hemm... begitu?” ucap si nenek tanpa berpaling pada Wiro. “Lalu kau sendiri bagaimana?! Kau ganjen apa tidak? Kau juga naksir padaku?! Hik hik hik!”

Pendekar 212 jadi cengar cengir garuk-garuk kepala. “Kalau kalian berdua tidak lekas menyingkir dari hadapanku, sesaat lagi kalian hanya tinggal badan tanpa nyawa!”

Air kencing Setan Ngompol langsung terpancar. Wiro tarik tangan Setan Ngompol, membantu si kakek berdiri. Tak sengaja matanya melirik ke arah si nenek dan dapati si muka putih itu tengah memperhatikan dirinya. Ketahuan mencuri pandang si nenek melengos dan keluarkan ucapan.

“Kalian berdua benar-benar menyebalkan!”

“Harap maafkan diriku dan kakek temanku ini, Nek.”

Si nenek mendengus. Sekali dia balikkan badan, luar biasa sekali, sosoknya serta merta lenyap dari tempat itu.

“Kabur lagi Kek. Tidak kau kejar?” tanya Wiro pada Setan Ngompol.

Si kakek pehcongkan mulut. “Kalau orang tidak mau bersahabat, ya sudah. Cuma aku menaruh firasat. Satu ketika kelak dia membutuhkan orang-orang jelek macam kita ini.”

Ketika Setan Ngompol dan Wiro siap melangkah menuju gubuk kediaman Ki Tambakpati, tidak terduga tiga bayangan berkelebat dan tahu-tahu tiga orang sudah berdiri di depan mereka. Melihat siapa yang muncul Setan Ngompol berseru gembira. Dia tepuk bahu Wiro.

“Nasib kita ternyata tidak jelek-jelek amat malam ini! Lihat, hilang yang satu, muncul yang lain!”

BAB 4

SALAH satu dari tiga orang yang barusan datang langsung membentak. “Kakek bau pesing! Apa maksudmu dengan ucapanmu tadi?!”

Yang membentak adalah seorang nenek berdandan menor, alias kereng, bedak tebal, bibir dipoles gincu merah menyala dan dua pipi diberi pemerah-merah. Ketika tersenyum, nenek berpakaian serba hitam ini, memperhatikan deretan giginya yang berlapis perak berkilat. Yang hebatnya, di atas kepalanya ada tiga potongan bambu mengepulkan asap hitam, merah dan biru.

Batok kepalanya mengeluarkan suara seperti tungku perapian tukang besi. Inilah dia si nenek yang dijuluki Hantu Malam Bergigi Perak. Seperti yang pernah diucapkannya tempo hari, dia akan selalu memata-matai Setan Ngompol serta Pendekar 212 Wiro Sableng.

Si nenek berdiri diapit dua gadis berpakaian ringkas warna biru dan merah. Kulit putih wajah sama cantik jelita, tidak bisa dibedakan yang mana lebih cantik dari lainnya. Sementara si nenek memandang melotot pada Setan Ngompol, dua gadis mengerling sambil lontarkan senyum ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

Di bentak si nenek Setan Ngompol batuk-batuk lalu menjawab, “Barusan saja seorang sahabat pergi meninggalkan kami. Kini tahu-tahu kau yang juga sahabat kami muncul pula di tempat ini. Siapa yang tidak senang? Hati lara terlipur sudah!”

“Kakek bau pesing! Kau pintar omong! Tapi jangan harap aku suka padamu.”

e “Ah, aku... aku mana mungkin mengharap sampai sejauh itu,” jawab Setan Ngompol sambil kedipkan mata. “Bisa melihat dan memandangmu saja seperti saat ini senangnya sudah bukan main!”

“Tua bangka ganjen! Katakan siapa sahabatmu yang barusan meninggalkan tempat ini!”

“Terus terang namanya pun kami belum tahu...” Yang menjawab Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Goblok! Katanya sahabat tapi tidak tahu nama! Kau sama gebleknya dengan gurumu si Sinto Gendeng itu!”

“Nek, kalau bicara jangan kelewatan! Sekali lagi kau berani menghina guruku, kuremukkan wajahmu yang seperti kuntilanak kesiangan itu!” bentak Wiro marah karena gurunya dilecehkan.

Si nenek ganda tertawa. Dia berpaling pada Setan Ngompol. “Bagaimana ciri-ciri orang yang katamu sahabatmu itu?!” tanya si nenek.

“Tinggi semampai. Muka putih, rambut panjang awut-awutan. Dia berpakaian biru gelap...”

“Cantik mana dia dibanding aku?!” tanya si nenek pula. Salah seorang gadis di sampingnya yaitu yang berpakaian merah buru-buru keluarkan ucapan, “Nek, mengapa bertanya yang bukan-bukan?”

“Huss! Kau anak kecil diam saja!” membentak si nenek. Lalu dia berpaling pada Setan Ngompol. “Jawab pertanyaanku! Cantik mana aku dibanding dia?!”

“Anu Nek... Kau lebih cantik tentunya. Tapi dia lebih banyak! Ha ha ha!” Setan Ngompol menjawab lalu tertawa gelak-gelak.

Jawaban seperti inilah yang dikhawatirkan dua gadis berpakaian ringkas warna merah dan biru. Tapi ternyata sang guru tidak marah malah tertawa mengekeh. Puas tertawa si nenek berkata, “Sudah! Aku sudah tahu siapa orangnya. Dia pendatang baru rimba persilatan. Dia dikenal dengan nama Nyi Bodong!”

“Nyi Bodong...?” Setan Ngompol memandang ke arah Wiro yang berdiri sambil garuk kepala. “Pantas, aku pernah satu kali menyaksikan pusarnya yang bodong. Pusar itu bisa mengeluarkan sinar biru mematikan. Aku melihat sendiri bagaimana dia membuat buntung tangan seorang lawannya!”

“Aku banyak tahu tentang nenek satu itu. Aku dan muridku sedang menyelidiki siapa dirinya. Belakangan ini dia diketahui membantai beberapa orang penjahat dan kini tengah memburu seorang pemerkosa berjuluk Hantu Pemerkosa! Mungkin sekali Hantu Pemerkosa adalah orang yang telah dibuntungi tangannya oleh Nyi Bodong.” Hantu Malam Bergigi Perak berpaling pada Pendekar 212.

“Apa kau sudah tahu di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan?!”

Wiro menggeleng.

“Apa kau tahu di mana beradanya gadis berambut pirang bernama Bidadari Angin Timur?” tanya si nenek lagi yang membuat dada murid Sinto Gendeng jadi berdebar.

“Tidak, aku tidak tahu di mana beradanya gadis itu. Kami tengah menyelidik jejaknya. Ada tanda-tanda bahwa dia telah menemui kematian. Mengapa kau menanyakan gadis itu, Nek?” Balik bertanya Wiro.

“Salah satu dari kalian pernah bilang bahwa gadis itu tahu di mana beradanya kitab tersebut. Sampai sekarang aku tetap curiga dialah yang mencuri kitab itu. Tapi kalau memang orangnya sudah mati mau apa lagi. Mau dicari ke mana. Hanya saja aku melihat ada hal yang tidak wajar. Orang-orang rimba persilatan semua tahu bahwa Bidadari Angin Timur adalah kekasihmu. Jika gadis itu menemui ajal mengapa kau tenang-tenang saja. Mengapa tidak ada pancaran kesedihan di mata dan wajahmu? Atau mungkin juga kau yang telah membunuhnya karena bingung terlalu banyak kekasih! Atau mungkin gadis itu sudah kau buntingi! Karena tak mau bertanggung jawab kau habisi dirinya. Selesai! Hik hik hik!”

“Tuduhanmu keji amat Nek!” Murid Sinto Gendeng jadi marah. “Kau telah menghina guruku! Juga telah memfitnah diriku! Jangan harap aku mau menolong mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan itu!”

Dalam marahnya Wiro segera saja berkelebat tinggalkan tempat itu. Setan Ngompol menatap ke arah si nenek lalu geleng-geleng kepala. “Nek, usil mulutmu sudah sangat keterlaluan. Lain waktu kalau ada setan yang menghamili dirimu, jangan kau menuduh diriku yang melakukan!”

“Tua bangka keparat! Jaga mulutmu! Manusia utuh saja masih banyak yang menyukai diriku! Mengapa aku harus main dengan setan?!” teriak Hantu Malam Bergigi Perak marah sekali.

Kepulan asap dari tiga potongan bambu di atas kepalanya menderu keras. Dia menerjang ke depan sambil layangkan tangan hendak menampar muka Setan Ngompol. Namun kakek ini sudah kabur lintang pukang lebih dulu mengikuti Wiro. Tentunya dengan terkencing-kencing. Dengan gemas Hantu Malam Bergigi Perak memandang berkeliling. Dia dapatkan dua muridnya tak ada lagi di tempat itu.

“Liris Merah, Liris Biru! Di mana kalian!?”

“Maafkan kami Nek. Kami berangkat duluan ke goa di Kaliurang! Sebentar lagi hari segera siang!” salah seorang murid si nenek menjawab.

“Awas! Kalau aku tidak menemui kalian waktu aku pulang, kalian akan mendapat hukuman berat!”

Si nenek mengancam. Dia memandang ke arah cahaya terang dari sebuah gubuk di puncak bukit. Dia melihat Setan Ngompol dan Wiro lari ke arah bangunan itu. Semula ada niatnya hendak mengejar, namun batal karena dia harus melakukan sesuatu. Selain itu dia ingin cepat-cepat kembali pulang ke Goa Cadasbiru di Kaliurang untuk melihat apakah benar kedua muridnya Liris Merah dan Liris Biru berada di goa itu.

Tak lama setelah Hantu Malam Bergigi Perak tinggalkan tempat itu, dua orang muridnya yang ternyata sembunyi di balik semak belukar segera keluar. Mereka lari ke arah gubuk di atas bukit namun tiba-tiba yang tertua di antara mereka yaitu Liris Merah hentikan lari, menyelinap ke balik sebuah pohon besar. Saat itu jarak antara mereka dengan gubuk hanya tinggal belasan tombak.

“Ada apa?” tanya Liris Biru sang adik.

“Lihat ke arah gubuk. Ada orang mendekam di atas atap,” jawab Liris Merah. Liris Biru memperhatikan. Memang benar ada seorang jongkok mendekam di atas atap gubuk kediaman Ki Tambakpati.

“Kakek dan pemuda itu sudah masuk ke dalam. Mungkin mereka tidak tahu kalau ada orang yang mengintai. Mari kita pindah empat pohon ke depan agar bisa melihat jelas siapa adanya orang di atas atap.”

Dengan gerakan cepat tanpa mengeluarkan suara dua murid Hantu Malam Bergigi Perak berkelebat ke arah bukit. Tiga pohon terlampaui. Pada pohon ke empat keduanya berhenti dan sembunyi.

“Kalau aku perhatikan sosok orang di atas atap seperti Nyi Bodong. Sayang mukanya menghadap ke arah lain. Tunggu saja sampai kita bisa melihat. Kalau putih sudah pasti memang Nyi Bodong.”

Mendengar ucapan kakaknya, Liris Biru berkata. “Aku khawatir orang di atas atap... hai! Dia menggerakkan kepala. Walau sekilas aku sempat melihat wajahnya!”

“Putih!” ucap Liris Merah menyambungi. “Benar Nyi Bodong. Ada keperluan apa dia mengintai di atas gubuk.”

“Aku khawatir dia punya maksud tidak baik. Bagaimana cara kita memberi tahu kakek dan pemuda itu.”

“Satu-satunya cara kita masuk saja ke dalam gubuk!”

“Kalau begitu tunggu apa lagi!”

Sambil berpegangan tangan dua kakak beradik itu lari ke arah puncak bukit, menuju gubuk yang pintunya terbuka. Namun belum sempat berkelebat dua tombak, tiba-tiba orang di atas atap melayang turun. Gerakannya jelas menghadang Liris Merah dan Liris Biru! Hal ini dipertegas lagi dengan bentakannya.

“Ada keperluan apa kalian mendatangi tempat ini?!”

Liris Merah dan Liris Biru adalah dua gadis kakak beradik berhati polos, masih muda tapi tahu peradatan dunia persilatan serta tahu bagaimana cara harus bersopan santun. Biasanya mereka akan selalu bersikap baik bila orang menyikapi mereka secara wajar. Namun kalau ada yang jahil, judes apalagi galak, maka keduanya akan mempermainkan orang itu sampai mukanya bisa merah seperti kepiting rebus dan hati panas seperti bara.

Setelah perhatikan sejurus nenek bermuka putih dan berpakaian biru gelap di depannya, Liris Merah membuka mulut, “Kami dua kakak beradik, mau pergi ke mana siapa boleh melarang?!”

Sang adik menimpali, “Kau sendiri kami lihat sembunyi di atas atap. Pasti ada maksud tidak baik. Tapi kami tidak menegur!”

“Urusanku apa perduli kalian?!”

“Urusan kami apa pula perdulimu?!”

“Lekas tinggalkan tempat ini atau aku akan memberi pelajaran sopan santun pada kalian!”

“Saudaraku Liris Biru. Walau baru muncul dalam rimba persilatan, selama ini aku mendengar yang namanya Nyi Bodong itu adalah seorang berhati mulia, kalau bicara lemah lembut. Namun tegas dalam menghadapi orang-orang jahat! Apakah kita berdua yang muda-muda ini punya tampang penjahat hingga seenaknya diusir dan diancam?!”

“Tenang saja, kakak,” jawab Liris Biru, “Aku sudah bisa menduga mengapa nenek muka putih ini tidak senang kita dekat-dekat di sini. Dia takut pemuda yang ada di dalam gubuk akan terpikat pada kita-kita! Agaknya dia naksir pada si gondrong itu! Hik hik hik!”

“Kau benar adikku. Padahal di dalam gubuk masih ada seorang kakek bau pesing yang aku rasa cocok buat dirinya!”

Liris Merah dan Liris Biru lalu tertawa gelak-gelak. Nenek muka putih langsung berubah merah seperti saga wajahnya.

“Dua tikus kecil! Jangan salahkan kalau aku memberi pelajaran keras padamu!” Dua kaki Nyi Bodong bergeser. Saat itu juga tubuhnya berkelebat lenyap dan,...

"Plaak... plaak!"

Liris Merah dan Liris Biru merasakan tamparan keras di muka masing-masing. Didahului pekikan menahan sakit serta luapan amarah, dua murid Hantu Malam Bergigi Perak ini segera saja menyerbu Nyi Bodong. Perkelahian hebat serta merta terjadi. Walau Liris Merah dan Liris Biru masih muda belia, belum sampai berusia dua puluh tahun, sebagai murid seorang nenek sakti dan aneh keduanya memiliki kepandaian silat yang tidak bisa dibuat main.

Jurus-jurus serangan mereka penuh tipu daya sehingga berulang kali lawan nyaris kena disikut, ditendang ataupun dijotos. Namun lawan yang dihadapi bukan pula orang sembarangan. Nyi Bodong ternyata memiliki gerakan luar biasa cepat. Saat ini dia berada di sebelah kiri, di lain kejap ketika diserang sudah berpindah ke tempat lain. Lima jurus berlalu dua gadis cantik kakak dan adik mulai terdesak hebat.

Liris Merah berseru kaget ketika konde di atas kepalanya ditarik orang hingga rambutnya yang hitam tebal dan panjang tergerai awut-awutan. Hal yang sama juga terjadi dengan Liris Biru. Ketika dia merasa jotosan tangan kanannya akan berhasil mendarat di perut Nyi Bodong tiba-tiba salah satu telapak tangan lawan menekan dahinya dan sesaat kemudian konde di kepalanya berbusaian!

Dua kakak beradik menjerit marah. Satu sama lain saling berpegangan tangan. Tiba-tiba salah satu dari mereka melesat ke depan, kirimkan tendangan ke arah kepala lawan. Menyusul satunya jatuhkan diri ke tanah, berguling dan babatkan kaki memapas ke pinggang Nyi Bodong. Guru mereka menyebut jurus ini dengan nama Hantu Malam Berbagi Pahala. Memang kehebatannya luar biasa. Lawan yang mencoba mundur atau melompat untuk selamatkan diri dari tendangan ke arah kepala akan dihajar oleh serangan susulan yang bisa membabat hancur tulang pinggang.

Nyi Bodong keluarkan suara meraung seperti srigala hutan. Tubuhnya berkelebat luar biasa cepat. Di lain kejap tubuh itu mengambang melintang di udara. Tangan dan kaki bergerak mencari sasaran. Dua kakak beradik terkejut, berusaha selamatkan diri dengan melompat mundur. Namun terlambat. Tiba-tiba dari dalam gubuk berkelebat dua orang. Satunya berteriak. “Kek! Kau tahan si nenek, aku menahan dua kakak adik itu!”

Bau pesing menghampar, air kencing bercipratan. Dalam keadaan seperti itu Nyi Bodong merasa ada orang yang merangkul pinggangnya hingga dia tak mampu bergerak. Dia jadi bergidik karena merasakan ada cairan hangat membasahi pakaian dan tubuhnya sebelah bawah!

“Tua bangka kurang ajar! Beraninya kau memegang tubuhku! Beraninya kau mengencingi pakaianku!”

"Bukkk!"

Setan Ngompol kena disikut bahu kirinya. Walau tubuhnya terjajar beberapa langkah namun dia tidak mau lepaskan cekalannya di pinggang Nyi Bodong. Akibatnya kedua orang ini sama-sama jatuh di tanah. Si kakek di sebelah bawah, si nenek di sebelah atas. Melihat wajah putih cantik yang begitu dekat dengannya, Setan Ngompol unjukkan senyum mesra. Bibir diruncingkan dan dua mata setengah dipejamkan. Seolah dia menunggu datangnya ciuman dari sang kekasih! Namun yang datang bukannya ciuman melainkan satu jotosan keras di keningnya! Si kakek menjerit kesakitan. Tubuhnya setengah melintir. Pemandangan gelap dan dia terpaksa melepaskan rangkulannya di pinggang Nyi Bodong.

Pendekar 212 yang menghadapi dua kakak adik cepat menghadang gerakan Liris Merah dan Liris Biru seraya berteriak, “Tahan! Kita berada di pihak yang sama! Mengapa bertindak tolol berkelahi tidak karuan?!”

“Manusia gondrong! Enak saja kau bilang kita berada di pihak yang sama! Siapa sudi!” Nyi Bodong menghardik.

Sebaliknya begitu melihat siapa yang menghalangi mereka, Liris Merah dan Liris Biru serta merta menjadi kendur amarahnya. Sambil pegangi pipi masing-masing yang terasa masih sakit, kedua murid Hantu Malam Bergigi Perak ini mundur beberapa langkah.

“Nyi Bodong, mengapa kalian jadi berkelahi satu sama lain?” bertanya Setan Ngompol yang keningnya kini ada satu benjut besar akibat pukulan Nyi Bodong.

“Aku tidak ada urusan memberi keterangan padamu! Kakek kurang ajar! Tanyakan saja pada dua kurcaci itu. Masih bau kencur sudah berlagak jadi orang hebat! Untung kalian muncul kalau tidak saat ini keduanya sudah jadi bangkai!”

“Sombongnya! Kami belum merasa kalah!” tukas Liris Merah. Gadis ini hendak melangkah mendekati Nyi Bodong.

Wiro cepat pegang lengan Liris Merah. Dia sekalian memegang tangan Liris Biru lalu membawa dua gadis itu menjauhi Nyi Bodong. Sambil berjalan mundur dua gadis sandarkan kepala mereka ke bahu Pendekar 212 dan lemparkan senyum mengejek ke arah Nyi Bodong.

“Masih ingusan sudah pandai berbuat cabul!” ucap Nyi Bodong dengan wajah menunjukkan kejijikan.

“Kalau iri kenapa kau tidak memeluk kakek bau pesing itu?!” ucap Liris Biru.

“Dua kurcaci ingusan! Jika kemudian hari aku bertemu lagi dengan kalian, jangan harap ada rasa kasihan dalam hatiku!”

Liris Merah dan Liris Biru sama-sama keluarkan suara berdecak. “Nyi Bodong,” kata Liris Merah, “Kau memang orang hebat! Tapi siapa yang minta kasih sayangmu? Rupanya kau seorang yang suka memberi kasih pada sesama jenis! Hik hik hik!”

“Gadis kurang ajar! Ini cukup baik untuk menutup mulut busukmu!” Dengan ujung kakinya Nyi Bodong mengorek sebuah batu sebesar tinju. Batu mencelat ke udara, ditangkap dengan tangan kanan lalu secepat kilat dilemparkan ke arah Liris Merah.

“Kakak awas!” teriak Liris Biru.

Namun saat itu Liris Merah masih mengejek Nyi Bodong dengan cara menyandarkan kepala ke bahu Wiro, mata dipejamkan dan bibir digerak-gerakkan. Dua jengkal lagi batu yang dilemparkan akan menghantam mulut Liris Merah, dengan sigap Wiro gerakkan tangan kiri.

"Wuuutt! Bettt!"

Wiro memang berhasil menangkap batu yang dilemparkan namun saat itu juga dia menjerit keras dan campakkan batu ke tanah. Tangan kirinya mengepulkan asap. Ketika jari-jarinya dikembangkan kelihatan bagaimana tangan kiri itu telah melepuh terkelupas sampai ke ujung-ujung jari! Dapat dibayangkan bagaimana kalau batu yang panas laksana bara api itu sampai masuk ke dalam mulut Liris Merah.

“Nyi Bodong! Ternyata kau perempuan durjana! Kau melukai tangan orang yang tidak punya salah!”

Nenek muka putih tampak terkesiap. Tak menyangka. Lain yang diserang lain yang kena sasaran. Liris Biru melompat ke tempat berdirinya Nyi Bodong sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Tanah terbongkar, satu lobang besar tampak dalam kegelapan malam. Namun Nyi Bodong sudah raib seperti ditelan bumi.

Dari ambang pintu gubuk tiba-tiba terdengar seseorang berseru, “Setan Ngompol, bawa sahabatmu itu ke dalam. Lukanya sangat berbahaya. Kalau tidak lekas diobati tangannya bisa busuk!”

BAB 5

DI DALAM gubuk Ki Tambakpati menyuruh Pendekar 212 Wiro Sableng duduk di depan belanga tanah yang mengepulkan asap dan keluarkan suara mendidih. Liris Merah dan Liris Biru saling berbisik melihat keanehan belanga itu. Tak ada api yang menjarang tapi cairan di dalam belanga bisa mendidih.

“Kakek ini dukun atau tukang sihir?” bisik Liris Biru yang segera dipelototi oleh kakaknya.

“Jangan bicara sembarangan. Kita tidak tahu ini tempat apa.” ucap Liris Merah pula.

Untuk beberapa lama Ki Tambakpati berdiri di hadapan Wiro. Mata terpejam, mulut berkomat-kamit dan telapak tangan kanan dikembang, diarahkan ke mulut belanga. Suara cairan yang mendidih terdengar semakin keras bahkan sesekali muncrat ke atas.

“Masukkan tanganmu ke dalam belanga. Biar dalam, sampai jari-jari menyentuh dasar belanga!” tiba-tiba Ki Tambakpati berkata.

Pendekar 212 Wiro Sableng tersentak kaget lalu garuk-garuk kepala. Liris Merah dan Liris Biru saling berpandangan dengan wajah tegang. Setan gompol bersandar ke dinding gubuk sambil pegangi bagian bawah perutnya yang mulai mengucur!

“Anak muda berambut gondrong! Aku akan memberi perintah satu kali lagi. Jika kau tidak menuruti maka tangan kirimu akan busuk sampai akhirnya meleleh buntung. Musuh telah melempar batu yang dibalut dengan ajian ilmu bernama Batu Seribu Api. Adalah luar biasa kau hanya mengalami luka melepuh terkelupas. Orang lain mungkin sudah lumer seluruh tangan sampai ke pergelangan! Tapi jangan merasa hebat! Tanganmu akan busuk dan buntung jika kau tidak mau kuobati. Masukkan tangan kirimu ke dalam belanga! Cepat!”

Murid Sinto Gendeng jadi keluarkan keringat dingin. Tangannya dalam keadaan melepuh terkelupas. Dimasukkan ke dalam cairan yang tengah mendidih. Apa tidak gila?! Mana mungkin bisa disembuhkan dengan cara edan begitu? Wiro memandang ke arah dua gadis kakak adik. Liris Merah dan Liris Biru tampak saling berpegangan tangan. Keduanya sama memandang ke arah Wiro, tak berkesip. Wiro menoleh ke arah Setan Ngompol.

Kakek ini hanya manggut-manggut sementara dua tangannya sibuk menahani bagian bawah perut yang terus ngocor. Alihkan pandangan ke arah Ki Tambakpati, Wiro melihat orang tua ini masih tegak dengan mata terpejam dan mulut komat-kamit. Wiro menggigit bibir. Walau kuduknya terasa mengkirik tapi akhirnya dia masukkan juga tangan kirinya ke dalam belanga tanah. Demikian kencangnya dia memasukkan tangan hingga amblas menjebol bagian bawah belanga!

Wiro melengak kaget, terduduk di tanah, memandang ke arah Ki Tambakpati lalu tertawa gelak-gelak.

“Keterlaluan! Kau telah memecahkan belanga obatku! Sekarang malah tertawa. Apa yang lucu?”

“Kek, aku tak sengaja. Maafkan aku kalau belangamu sampai pecah.” kata Wiro pula. “Aku tertawa ternyata cairan di dalam belanga sedingin air danau di malam hari. Tadinya aku mengira cairan itu panas mendidih...”

“Aku tidak pernah mengatakan cairan itu panas. Sekarang coba perhatikan tangan kirimu!” ujar Ki Tambakpati pula.

Wiro baru sadar. Buru-buru dia angkat tangan kiri. Astaga! Telapak tangan dan jari-jarinya sudah pulih seperti tidak pernah mengalami cidera. Hanya saja lima jari tangannya tampak agak membengkak. Liris Merah dan Liris Biru terheran-heran. Setan Ngompol senyum-senyum ikut senang walau kencingnya tetap saja masih mengucur.

“Dalam dua tiga hari bengkak tanganmu akan susut. Kau akan sembuh seperti sedia kala.” Kata Ki Tambakpati.

Wiro membungkuk dalam-dalam. “Terima kasih Kek. Aku tak tahu bagaimana cara membalas budi besarmu ini. Kalau aku boleh tahu siapakah Kakek ini adanya?”

Yang menjawab adalah Setan Ngompol. “Kakek ini sudah tiga puluh tahun jadi sahabatku. Namanya Ki Tambakpati. Dijuluki Tangan Penyembuh.”

Wiro berdiri lalu membungkuk dalam-dalam. “Ki Tambakpati, aku Wiro Sableng sekali lagi mengucapkan terima kasih atas budi baikmu menolong diriku menyembuhkan lukaku. Aku...”

Ucapan Wiro terhenti karena saat itu tiba-tiba saja Ki Tambakpati tertawa bergelak.

“Nah, sekarang gantian kau yang tertawa. Sobatku Ki Tambakpati, apa yang lucu?” bertanya Setan Ngompol.

Ki Tambakpati usap wajahnya. “Melihat tampang dan gerak-gerikmu serta kau muncul bersama si tukang ngompol itu, tadi-tadi aku sudah menduga kau ini memang anak setan murid nenek brengsek Sinto Gendeng!”

Wiro jadi melongo. “Kek, bagaimana kau tahu sebutan ‘anak setan’ itu...?”

Ki Tambakpati tersenyum. “Sinto Gendeng gurumu itu adalah teman sepermainanku semasa kecil. Dia pernah tinggal lama di rumah orang tuaku di pantai selatan. Dia selalu menyebut anak setan pada orang yang disayanginya. Tapi tidak mudah untuk mendapatkan rasa sayang nenek gendeng itu! Ha ha ha!”

“Ha ha ha!” Setan Ngompol ikutan tertawa senang tapi sambil terkencing-kencing (Kisah riwayat Sinto Gendeng mulai dari masa bayi sampai dewasa dapat pembaca ikuti dalam CERMIN yang akan segera terbit dengan judul Selingkuh Rimba Persilatan).

Sementara orang bicara dan tertawa, Liris Merah dan Liris Biru saling berbisik. Sang kakak berkata, “Tidak ada salahnya kalau kita bicara pada kakek bernama Ki Tambakpati itu. Tapi bagaimana dengan yang lain? Apa mereka pantas untuk mendengar?”

“Kalau guru ada di sini dia pasti marah. Tapi dia tak ada. Kita harus punya upaya sendiri, tidak bisa hanya mengandalkan guru. Soal mereka akan mendengar riwayat kita, kurasa tidak perlu khawatir. Tampaknya mereka semua bisa dipercaya.” jawab Liris Biru pula.

Liris Merah terdiam seperti berpikir-pikir. Akhirnya gadis cantik ini berkata, “Baiklah, biar aku yang bicara. Kupikir kalau orang tidak tahu apa yang menjadi masalah kita, bagaimana mungkin mereka bisa menolong?” Liris Merah lalu melangkah mendekati Ki Tambakpati.

Kakek ahli pengobatan ini seolah baru sadar akan kehadiran dua gadis cantik di tempat itu tersenyum-senyum lalu menyapa, “Aku sampai lupa kalau di sini juga ada dua tamu cantik jelita. Gadis berpakaian merah dan berpakaian biru, siapakah kalian berdua?” Sambil bertanya Ki Tambakpati melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

Setan Ngompol mendekati Wiro. “Anak setan, kau lihat kakek itu tadi melirikmu? Pasti dia juga sudah tahu kalau kau tukang main perempuan!”

“Enak saja kau bicara Kek! Urusi saja air kencingmu!” damprat murid Sinto Gendeng.

“Ki Tambakpati, saya Liris Merah dan itu adik saya Liris Biru. Apakah saya boleh menuturkan sesuatu. Saya dan adik saya mempunyai masalah. Siapa tahu Ki Tambakpati bisa menolong menyembuhkan kami.”

Ki Tambakpati perhatikan Liris Merah dan Liris Biru dari kepala sampai ke kaki. “Kalian berdua sama cantik, sama sehat. Kalau kau menyebut memiliki ada masalah, masalah apa? Jika kau minta aku menyembuhkan diri kalian, apa sakit kalian? Liris Merah, kau mau menceritakan masalah yang kau maksudkan?”

Liris Merah mengangguk. “Namun terlebih dulu saya mohon apa yang akan saya sampaikan menjadi rahasia kita semua di tempat ini. Jangan sampai tersebar di luaran.”

“Aku memang tukang bocor di sebelah bawah, tapi tidak pernah bocor di sebelah atas. Aku tidak pernah membuka rahasia orang. Apalagi rahasia dua gadis cantik seperti kalian.” kata Setan Ngompol pula dengan nada gagah.

Liris Merah memandang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng tersenyum, anggukkan kepala dan berkata, “Kita sudah menjadi sahabat. Apakah yang kau ragukan?”

“Begini Ki Tambak,” Liris Merah memulai, “Sejak dilahirkan kami berdua memiliki kelainan. Yaitu tidak tahan terhadap udara panas. Semakin besar kelainan itu semakin bertambah. Kami tidak bisa berada di luaran pada siang hari. Itu sebabnya kalau siang kami selalu tidak bisa pergi terlalu jauh dari tempat kediaman kami. Kami harus sudah berada di tempat kediaman sebelum malam berganti siang. Setiap hari kami harus mandi lebih dari sepuluh kali. Jika mandi tidak menolong kami terpaksa mencari danau, telaga atau sungai untuk berendam...”

“Aku ingat pertemuan kita pertama kali,” kata Setan Ngompol pula. “Kalian berdua keluar dari dalam telaga di malam buta!”

Liris Merah mengangguk membenarkan. Lalu dia berpaling pada Ki Tambakpati dan meneruskan ucapannya, “Tadi kami melihat Ki Tambakpati mengobati pemuda itu secara luar biasa. Kami juga baru tahu kalau Ki Tambakpati adalah orang yang dijuluki Tangan Penyembuh. Kami mohon, apakah Ki Tambakpati bisa menyembuhkan kelainan diri kami berdua?”

Semua orang terdiam. Ki Tambakpati nampak merenung. Wiro dan Setan Ngompol menatap penuh rasa kasihan pada dua gadis itu. Setelah merenung cukup lama Ki Tambakpati akhirnya berkata, “Penyakit yang kalian alami adalah satu penyakit aneh yang baru kali ini aku dengar dan ketahui. Liris Merah, Liris Biru. Aku tidak ingin mengecewakan kalian berdua, apalagi kalian masih sangat muda. Namun penyakit kalian tidak mungkin aku sembuhkan dengan kemampuan pengobatan yang aku miliki.”

“Mungkin Ki Tambak tahu seseorang yang harus kami temui dan punya kemampuan untuk mengobati diri kami berdua? Atau mungkin juga Ki Tambak tahu sejenis obat yang harus kami dapatkan. Kami akan mencarinya sekalipun sampai ke ujung langit.”

Wajah Ki Tambakpati tampak sedih. “Saat ini aku tidak bisa menjawab. Entah di kemudian hari kalau aku mendapat petunjuk. Untuk itu aku harus bersemedi tujuh hari tujuh malam. Namun kalian berdua jangan terlalu banyak berharap.”

Liris Biru masih belum menyerah. Gadis ini bertanya, “Ki Tambak, apa kau pernah mendengar sebuah kitab disebut Kitab Seribu Pengobatan?”

“Memang pernah aku mendengar. Namun di mana beradanya kitab itu tidak diketahui. Pemiliknya adalah guru pemuda gondrong ini. Sinto Gendeng sahabatku yang diam di puncak Gunung Gede. Mungkin di dalam kitab itu ada bagian yang menyebutkan mengenai penyakit yang kalian idap dan bagaimana cara penyembuhannya.”

“Kitab itu lenyap dicuri orang sejak beberapa waktu lalu. Saya justru tengah menjalankan tugas dari Eyang untuk mencarinya,” menjelaskan Pendekar 212.

“Tidak ada satu orang pun di sini yang bisa menduga siapa pencuri atau di mana beradanya kitab itu?” tanya Liris Merah.

Tak ada yang menjawab. Lalu Ki Tambakpati berkata, “Malam ini, sebelumnya ada juga orang lain yang menanyakan kitab itu. Dia adalah salah seorang dari dua tamuku.”

“Siapa orangnya?” tanya Setan Ngompol.

“Aku akan jelaskan orangnya tapi tidak dapat memberi tahu penyakit yang diidapnya...”

“Siapa nama orang itu Kek?” tanya Wiro.

“Siapa namanya itulah yang aku tidak tahu. Namun dia meminta agar dipanggil dengan sebutan Pangeran. Tak tahu diburuk rupa, sikapnya luar biasa angkuh.”

Pendekar 212 dan Setan Ngompol saling berpandangan. “Kenapa kau tidak menolak saja mengobatinya?” tanya Setan Ngompol.

“Hal itu tak mungkin aku lakukan. Jalan hidup dan ilmu kepandaianku adalah berbuat kebajikan menolong sesama manusia.”

“Kadang-kadang kita menjadi susah dan malah berdosa karena terlalu baik terhadap orang lain.” ucap Pendekar 212 pula.

“Apakah kalian mengenali siapa adanya orang itu?” Kini Ki Tambakpati yang ajukan pertanyaan.

“Dia bertubuh tinggi besar, mengenakan jubah abu-abu, berwajah seperti setan?” ujar Wiro.

“Benar...” jawab Ki Tambakpati.

“Kalau begitu dia adalah manusia yang dibuntungi tangannya oleh nenek muka putih!” kata Wiro pula.

“Kalau sudah tahu aku tak perlu banyak cerita lagi!” ujar Ki Tambakpati.

“Menurut guru dua gadis ini, manusia itu dijuluki Hantu Pemerkosa. Saya punya dugaan manusia itu aslinya adalah Pangeran Matahari!” kata murid Sinto Gendeng sambil menatap tak berkedip ke arah Ki Tambakpati. “Kek, ada ciri-ciri lain dari orang itu yang bisa kau ingat?”

“Wajahnya yang seperti setan. Aku yakin dia mengenakan topeng tipis. Dia juga menyombongkan diri bisa bertukar wajah sepuluh kali dalam satu hari...”

“Hanya itu saja yang bisa kau ingat sobatku?” tanya Setan Ngompol.

“Hanya itu saja. Tunggu... ada satu hal. Ketika aku melihat jari kelingking tangan kirinya buntung, dia marah besar ketika aku memperhatikan...”

“Pangeran Matahari!” ucap Setan Ngompol sampai terlonjak dan kucurkan air kencing.

“Pasti dia!” kata murid Sinto Gendeng dengan wajah geram dan dua tangan mengepal.

“Berarti dia tidak mampus sewaktu rumah kayu di Seratus Tiga Belas Lorong Kematian hancur lebur dan terbakar.” kata Setan Ngompol sambil usap daun kuping kanannya yang terbalik. “Dia juga tidak mati tertimbun runtuhan bukit batu di mana lorong celaka itu terletak ketika Bunga gadis dari alam roh menghancurkan kawasan itu. Sepertinya dia punya selusin nyawa. Tapi yang sebelas sudah amblas. Jadi tetap saja tinggal satu! Hik hik hik!” Si kakek tertawa sendiri dibarengi kencingnya yang mancur.

Ki Tambakpati gelengkan kepala. “Sahabatku, tadi kau menyebut ada dua orang tamu malam ini datang ke tempatmu sebelum kehadiran kami. Siapa yang satunya?” tanya Setan Ngompol.

“Apakah dia seorang nenek berwajah putih, rambut riap-riapan, mengenakan pakaian biru pekat?” Liris Merah mendahului sebelum Ki Tambakpati sempat menjawab.

“Bagaimana kau tahu?” tanya Ki Tambakpati.

“Saya melihat dia mendekam sembunyi di atas atap. Ketika kami mendekati rumah ini, dia menghadang. Kami berdua tidak tahu apa alasannya menyuruh kami pergi. Kami juga tidak tahu apa dosa kesalahan kami sehingga tadi dia menyerang dengan batu yang dialiri aji kesaktian jahat Batu Seribu Api seperti Kakek jelaskan.”

“Liris Merah, kau tahu siapa adanya nenek itu?” tanya Ki Tambakpati.

“Menurut guru, dia adalah pendatang baru rimba persilatan bernama Nyi Bodong.” jawab Liris Merah.

“Kek, apa keperluan nenek muka putih itu menemuimu? Apakah dia mengidap satu penyakit?” tanya Wiro.

“Dia menanyakan perihal tamuku yang pertama. Si buntung bermuka setan yang senang dipanggil dengan sebutan Pangeran itu. Benar seperti katamu tadi, si nenek bernama Nyi Bodong menyebut si Pangeran sebagai Hantu Pemerkosa. Agaknya Nyi Bodong ingin membunuhnya karena katanya Hantu Pemerkosa telah merusak kehormatan beberapa gadis desa lalu membunuh korbannya. Namun...” Ki Tambakpati tidak meneruskan ucapannya dan hal ini tidak begitu menjadi perhatian orang-orang yang ada dalam gubuk.

“Agaknya dalam rimba persilatan telah muncul lagi satu tokoh penyelamat orang-orang tertindas, penegak keadilan, pembasmi manusia-manusia jahat.” kata Setan Ngompol.

“Kami setuju saja dengan pendapatmu Kek,” Liris Biru membuka mulut. “Kalau dia orang baik mengapa Nyi Bodong punya niat jahat terhadap kami?”

Setan Ngompol hanya bisa terdiam dan usap-usap celananya di sebelah bawah.

“Ki Tambakpati, kami tidak bisa berada lebih lama di tempat ini. Kediaman kami cukup jauh. Kami khawatir matahari sudah muncul sebelum kami sampai di sana. Kami berdua tetap minta budi baik bantuanmu.” Liris Merah memegang lengan adiknya, berpaling pada Wiro dan berkata, “Bisakah kami bicara denganmu di luar...?”

Wiro mengikuti langkah dua gadis itu. Setan Ngompol hendak membuntuti tapi didorong oleh Wiro hingga masuk kembali ke dalam gubuk.

Sampai di luar Liris Merah berkata, “Kami sangat memerlukan pertolongan. Apakah benar Kitab Seribu Pengobatan itu lenyap dicuri orang. Atau hanya sekedar cerita kosong saja untuk maksud tertentu?”

“Tidak ada yang bohong. Kitab itu memang lenyap dicuri orang.” menjelaskan Wiro.

“Kalau kau menemukan, apakah kau mau meminjamkannya pada guru?”

“Tentu.” sahut Wiro dengan anggukkan kepala.

“Kau tidak kasihan melihat nasib kami?” tanya Liris Biru.

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. “Semua orang menaruh kasihan pada kalian. Aku berjanji akan mendapatkan kitab itu...”

“Kalau kitab ternyata tidak bisa ditemukan?” tanya Liris Merah.

“Tuhan Maha Kuasa, setiap penyakit pasti ada obatnya. Kita semua berusaha tapi juga jangan lupa mohon petunjuk serta pertolonganNya. Berdoa.”

Dua gadis kakak beradik itu tersenyum. “Ternyata kau orang baik...” ucap Liris Biru.

“Memangnya aku punya tampang penjahat?”

“Penjahat ya tidak. Cuma guru pernah bilang yang namanya Pendekar 212 Wiro Sableng murid Sinto Gendeng itu adalah buaya perempuan.”

Wiro tertawa lebar. Dia memandang ke belakang. “Aku tidak punya ekor. Tangan dan kakiku berujud tangan dan kaki manusia. Mulutku tidak berupa moncong panjang. Apakah aku ini menurut kalian seekor buaya?”

Dua gadis cantik tertawa cekikikan. “Kami harus pergi sekarang,” Liris Biru berkata, “Jika kau bisa menolong, kami tidak akan melupakan jasa dan budi baikmu. Untuk itu harap kau suka menerima ini sebagai ungkapan di muka balas budi kami.”

"Cuupp! Cuupp!"

Pendekar 212 terperangah ketika Liris Merah dan Liris Biru mencium pipinya kiri kanan. Kedua gadis itu lalu menghambur lari sambil tertawa-tawa. Liris Biru berseru, “Kalau ada kesempatan datanglah ke tempat kediaman kami di Goa Cadasbiru di Kaliurang!”

Wiro hanya garuk-garuk kepala tidak menjawab.

“Serakah amat! Seharusnya satu ciuman itu jadi bagianku!” kata satu suara.

Setan Ngompol tahu-tahu sudah berada di samping Wiro yang saat itu masih bengong usap-usap kedua pipinya. “Berani kau datang ke Goa Cadasbiru, habis kau didamprat gurunya si Hantu Malam Bergigi Perak.”

“Kalau begitu biar kau saja yang mewakiliku, Kek!” jawab Wiro.

Tanpa diketahui, di atas pohon besar di salah satu sudut kediaman Ki Tambakpati, seorang yang sejak tadi mendekam sembunyi unjukkan wajah jengkel luar biasa. Dalam hati dia mendumel, “Huh, dua gadis hijau. Kasihan diri kalian. Agaknya sudah terperangkap sikap manis pemuda mata keranjang itu! Lihat saja nanti. Kalian akan dipermainkan lalu dicampakkan!”

********************

BAB 6

DALAM Episode Perjanjian Dengan Roh diceritakan bagaimana Tumenggung Wirabumi yang kini sudah naik jabatannya menjadi Bendahara Kerajaan mendatangi tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas di sebuah telaga di puncak timur Gunung Gede.

Sesuai keterangan gurunya yaitu Nyai Tumbal Jiwo, Nyi Retno Mantili istrinya yang dikabarkan lenyap melarikan diri dari gedung kediaman di kotaraja, berada di puncak Gunung Gede, di sebuah telaga tempat hunian sang Kiai.

Bersama enam orang pengawal Wira Bumi melakukan perjalanan jauh menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas di Gunung Gede. Namun dia kecewa besar, tidak percaya bahkan menjadi marah ketika mendapat keterangan dari Kiai Gede Tapa Pamungkas bahwa Nyi Retno Mantili telah pergi tanpa diketahui ke mana tujuannya. Wira Bumi menganggap Kiai itu telah mendustai dan mempermainkannya. Dalam marahnya Wira Bumi menyuruh bakar sawung tempat Kiai Gede Tapa Pamungkas bersembahyang dan memanjatkan doa. Walau sang Kiai telah bersabar diri namun karena didesak terus perkelahian tidak dapat dihindari.

Seperti diketahui setelah bertapa selama tujuh bulan di Goa Girijati Wira Bumi mendapat berbagai ilmu kesaktian dari Nyai Tumbal Jiwo, nenek sakti yang mati sesat dan setelah sekian puluh tahun rohnya masih gentayangan dalam perwujudan seperti masa hidupnya. Bagaimanapun hebatnya Wira Bumi namun Kiai Gede Tapa Pamungkas yang oleh banyak orang sudah dianggap sebagai makhluk setengah dewa karena kesucian dan kesaktiannya, bukanlah tandingan Wira Bumi.

Dalam perkelahian di bawah air, Wira Bumi akhirnya dipecundangi, pingsan dan tubuhnya kemudian mengapung di permukaan telaga. Masih untung bagi pejabat tinggi kerajaan ini karena Kiai Gede Tapa Pamungkas tidak punya niat jahat untuk membunuhnya. Dia ingin memberi kesempatan pada pejabat itu untuk keluar dari kesesatan dan bertobat. Wira Bumi diselamatkan oleh para pengawalnya, dibawa kembali ke kotaraja, bukan membekal penyesalan apalagi bertobat tapi membawa dendam kesumat luar biasa yang kelak akan dilampiaskannya secara keji di kemudian hari.

Lewat satu purnama setelah peristiwa kedatangan Bendahara Wira Bumi bersama para pengawalnya di Gunung Gede, malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Mencucuk sampai bagian terdalam sumsum tulang. Kawasan telaga di puncak timur Gunung Gede diselimuti halimun, sepi dan gelap. Pada siang hari air telaga kelihatan memiliki tiga warna. Selain itu permukaannya selalu bergemericik seperti kejatuhan tetes-tetes air hujan.

Tidak seperti biasanya, di tepi telaga sebelah selatan yang selalu sepi, saat itu tampak tiga bayangan hitam manusia bergerak cepat, tanpa suara, laksana tiga setan malam sedang gentayangan. Yang seorang berdiri menunggu di satu tempat sementara dua lainnya berlari mengintai tepian telaga. Tak selang beberapa lama dua orang itu kembali bertemu dengan orang yang tegak diam menunggu. Salah seorang dari yang dua ini berucap perlahan,

“Eyang Tuba Sejagat, kami tidak melihat halangan. Rasanya kita bisa segera memulai pekerjaan.”

Orang yang dipanggil Eyang Tuba Sejagat bertubuh tinggi kurus, bekulit hitam pekat, bermuka seperti jerangkong karena wajahnya hanya merupakan kulit pembalut tulang. Bibir dan dua daun telinga hitam legam. Begitu juga sepuluh jari tangan sampai ke ujung kuku, hitam semua. Rambut kelabu dijalin aneh, menjela sampai ke pinggang. Sosoknya yang mengenakan jubah hitam agak kebesaran membuat dirinya tampak luar biasa menggidikkan di dalam gelap, dingin dan sunyi itu.

“Halangan bukan masalah bagiku. Yang penting apakah kalian sudah mengetahui kalau calon penghuni alam roh itu saat ini berada di dasar telaga?”

“Kami sudah meyakini dengan ilmu Aliran Tuba Mendetak Langit dan Bumi.” jawab dua orang yang juga berpakaian jubah serba hitam dan merupakan pembantu Eyang Tuba Sejagat. Yang bertubuh agak pendek bernama Jarot Kemukur, temannya bernama Ciung Gluduk. Kalau sang Eyang tidak memakai blangkon maka kedua pembantunya ini mengenakan blangkon hitam.

Mendengar ucapan Jarot Kemukur dan Ciung Gluduk, Eyang Tuba Sejagat angkat kepala, mendongak memandang langit gelap. Lalu dengan suara perlahan dia berkata, “Aku akan mulai. Kalian berdua awasi keadaan sekitar telaga. Jika ada bahaya cukup memberi tanda dengan mengguratkan kaki ke tanah dua kali.”

Selesai berucap manusia tinggi kurus berjalin panjang ini melangkah maju mendekati tepian telaga, berhenti dua jengkal dari ujung air. Perlahan-lahan lelaki berusia enam puluh tahun ini ulurkan dua tangan ke depan. Dua lengan yang tertutup jubah hitam ditukikkan sedikit hingga sejarak lima jengkal dari permukaan air telaga.

Sedikit demi sedikit dua lengan jubah hitam tampak menggembung, bergerak-gerak seolah ada dua benda hidup di dalamnya. Tidak menunggu lama, tiba-tiba dari masing-masing lengan jubah mencuat keluar seekor ular besar bersisik merah. Mulut terbuka, lidah terjulur di antara deretan gigi-gigi runcing, tiada henti bergerak. Dari dua lobang hidung binatang ini berhembus keluar asap merah yang menebar bau sangat menyengat.

“Anak-anakku Tuba dan Tubi, saat ini kalian punya tugas memenuhi telaga dengan Racun Akar Bumi. Cepat laksanakan!”

Dua ular merah mendesis. Keduanya meluncur turun kebawah ke arah air telaga. Dari mulut dua ular ini menggelegak keluar cairan berwarna merah pekat dan kental. Sambil menyemburkan racun yang bernama Racun Akar Bumi, dua binatang itu meluncur hingga menyusup masuk ke dalam air telaga. Aneh dan mengerikan, saat demi saat ukuran tubuh dua ular itu semakin bertambah besar hingga mencapai ukuran batang kelapa. Di tepi telaga Eyang Tuba Sejagat tegak dengan sekujur tubuh bergetar, lutut menekuk dan keringat memancar di mukanya yang menyerupai tengkorak. Rambut yang dijalin menjuntai di punggung tampak bergerak-gerak naik seolah hidup.

Hanya beberapa saat saja seluruh permukaan air telaga telah berubah warna menjadi hitam kemerah-merahan. Sosok dua ekor ular bersisik merah sampai pada ujung ekornya lalu lenyap masuk ke dalam telaga.

Eyang Tuba Sejagat bergerak mundur tujuh langkah. “Anakku Tuba dan Tubi, kalian sudah bekerja bagus! Jika tugasmu selesai pulanglah. Aku telah menyediakan sesajen lezat untuk kalian berdua. Satu bayi lelaki untukmu Tuba, dan satu bayi perempuan untukmu Tubi.” Makhluk tinggi kurus hitam ini keluarkan ucapan lalu tarik dua tangannya yang sejak tadi direntang ke depan.

Pada saat itu tanah di sekeliling telaga terasa bergetar. Mula-mula perlahan, lalu makin keras. Air danau bergejolak hebat seolah berubah jadi air laut yang membuntal gelombang ombak setinggi dua tombak! Pohon-pohon besar di sekitar telaga bergoyang berderak-derak!

“Apa yang terjadi?” bisik Ciung Gluduk pada Jarot Kemukur.

“Aku tidak tahu. Apa yang harus kita lakukan?” jawab Jarot Kemukur lalu balik bertanya.

“Tunggu saja perintah Eyang.” jawab Ciung Gluduk. Sekonyong-konyong didahului oleh muncratnya gulungan air telaga sampai setinggi tiga tombak dan tumbang– nya tiga pohon besar di tepi telaga, muncul dua suara dahsyat seperti puluhan kerbau digorok berbarengan!

“Jarot Ciung! Ikuti aku!”

Eyang Tuba Sejagat berteriak lalu berkelebat ke arah gugusan batu di antara beberapa pohon besar di tepi telaga. Di sini ketiganya mendekam bersembunyi sambil memperhatikan apa yang akan terjadi. Eyang Tuba Sejagat tidak pernah mengira kalau dia bakal menghadapi hal seperti ini.

"Blaaar! Blaaar!"

Seperti kilat menyambar. Dua cahaya terang berwarna merah melesat keluar dari dalam telaga, menembus kegelapan malam seperti hendak membelah langit!

“Dua ekor naga raksasa!” Ciung Gluduk sambil pegangi lengan Jarot Kemukur sementara Eyang Tuba Sejagat mendekam tak bergerak, mata tak berkedip tapi mulut berkomat-kamit membaca mantera.

Yang terjadi saat itu adalah dua cahaya merah terang berubah menjadi sosok dahsyat dua ekor naga besar. Sekujur tubuh dua ekor naga ini tampak mengelupas merah dan mengepulkan asap. Dua bola mata menjorok keluar seperti mau terbongkar. Binatang ini menggeliat terbanting-banting kian kemari. Ekor masing-masing menggelepar tiada henti membuat air telaga muncrat sampai setinggi tiga tombak dan membanjir ke sekeliling tepian telaga sementara tanah di sekitar telaga terus bergetar seperti digoncang lindu.

Dari mulut dua ekor naga raksasa ini menyembur keluar cairan biru kehitaman. Didahului suara seperti kerbau digorok yang kemudian berganti menjadi suara ringkikan kuda berbaur dengan raungan srigala hutan, sosok dua naga merah perlahan-lahan meleleh dan jatuh kembali ke dalam telaga membuat air telaga semakin membanjir ke mana-mana. Sosok dua binatang raksasa itu akhirnya lenyap setelah terlebih dulu muncul dua gulungan asap merah setinggi pohon kelapa.

Seperti diriwayatkan dalam serial Wiro Sableng berjudul “Pedang Naga Suci 212” dua ekor naga merah itu adalah peliharaan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Sewaktu sang Kiai mewariskan dua senjata pusaka kepada dua orang muridnya yaitu Sinto Weni (Sinto Gendeng) dan Sukat Tandika (Tua Gila) berupa Kapak Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212, kedua binatang inilah yang membawa senjata-senjata sakti mandraguna tersebut dari dasar telaga.

Di balik gugusan batu Eyang Tuba Sejagat mengusap wajah tengkoraknya. “Kita berhasil membunuh dua naga peliharaan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tapi mana sang Kiai?” Matanya tak berkesip memperhatikan seantero telaga yang kini mulai terlihat jelas setelah lenyapnya gelombang air yang membuncah dan pupusnya kepulan asap.

“Saya rasa Kiai itu sudah jadi bubur, bersatu dengan mulut beracun di dasar telaga.” jawab Ciung Gluduk.

Eyang Tuba Sejagat usap lagi mukanya. Dia merasa was-was. Tiba-tiba ada suara riak air di pertengahan telaga. Bersamaan dengan itu di langit bulan setengah lingkaran menyembul dari balik kabut kelabu hingga pemandangan di telaga kini cukup benderang.

“Eyang...” Jarot Kemukur keluarkan suara tertahan ketika perlahan-lahan di permukaan telaga muncul sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas, terbujur menelentang mengapung lurus, tangan terkembang ke samping, bergoyang-goyang dipermainkan alunan air telaga.

Rambutnya yang putih kini tampak merah, mengapung di atas air. Pakaiannya selempang kain putih juga tampak merah. Demikian pula janggut, kumis, kulit muka dan kulit tubuh. Sepasang mata tertutup. Racun jahat bernama Racun Akar Bumi yang ditabur Eyang Tuba Sejagat melalui dua ekor ular merah telah membuat dirinya mulai dari rambut sampai ujung kaki menjadi berkeadaan mengenaskan seperti itu.

“Aku puas sekarang. Menyaksikan sendiri mayat Kiai Gede Tapa Pamungkas mengapung di permukaan telaga! Tamat sudah riwayat kehebatan rimba persilatan dari kawasan Puncak Gunung Gede ini!” Eyang Tuba Sejagat sunggingkan seringai puas. Dia pegang bahu kedua pembantunya. “Jarot, Ciung, saatnya kita tinggalkan tempat ini. Ada hadiah besar dari Bendahara Wira Bumi menanti kita di kotaraja!”

Ketiga orang itu segera beranjak dari balik gugusan batu. Namun baru membalik dan bergerak dua langkah tiba-tiba dari arah telaga di belakang mereka terdengar suara air menyiprat keras. Ketika ketiganya berpaling, langsung saja mereka berteriak kaget. Sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas yang disangka telah menjadi mayat terapung melesat di udara. Di lain kejap kakek sakti penghuni telaga itu telah berdiri di depan mereka!

Ciung Gluduk dan Jarot Kemukur langsung bersurut tiga langkah sementara Eyang Tuba Sejagat tetap tidak beranjak dari tempatnya berdiri namun berusaha keras menekan gejolak yang mendebari dadanya.

Kiai Gede Tapa Pamungkas berdiri dalam keadaan mata terpejam. Dua tangan lurus di samping. Rambut, kumis, janggut, kulit wajah dan tangan kaki serta pakaiannya berwana merah. Namun anehnya walau jelas tadi dia berada dalam telaga, rambut, wajah, tubuh maupun pakaiannya sama sekali tidak basah!

Perlahan-lahan sepasang mata Kiai Gede Tapa Pamungkas terbuka. Ternyata seluruh matanya juga telah berwarna merah! Bersamaan dengan itu sang Kiai angkat kedua tangannya ke depan. Kejut Eyang Tuba Sejagat dan dua pembantunya bukan alang kepalang ketika dua tangan itu berubah menjadi dua ekor ular merah Tuba dan Tubi!

Didahului dengusan menggidikkan, dua ekor ular meluncur ke arah Ciung Gluduk dan Jarot Kemukur. Dua pembantu Eyang Tuba Sejagat ini hanya bisa keluarkan pekik setinggi langit ketika ular-ular merah itu melesat mematuk leher mereka. Keduanya kelojotan beberapa lama lalu tergeletak tak berkutik dengan sekujur tubuh berwarna merah mulai dari rambut sampai ke kaki.

Dua ekor ular merah meluncur turun dari tubuh kedua orang itu, melata cepat di tanah dan menghilang dalam kegelapan. Tampang tengkorak Eyang Tuba Sejagat tampak berubah, terlebih ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap ke arahnya dengan sepasang mata yang keseluruhan berwarna merah.

“Wiku Caringin, bukan aku yang membunuh dua pembantumu. Tapi sepasang ular peliharaanmu sendiri. Semoga Tuhan mengampuni segala dosa mereka. Kau beruntung binatang-binatang itu tidak menghabisimu.”

Eyang Tuba Sejagat jadi terkejut ketika Kiai Gede Tapa Pamungkas menyebut nama aslinya. Selama ini hanya dua tiga orang saja dalam rimba persilatan yang mengetahui nama itu.

“Apalagi yang kau tunggu di tempat ini? Bukankah kau ingin cepat-cepat ke kotaraja untuk mengambil hadiah yang telah dijanjikan Bendahara Kerajaan?”

Untuk beberapa lamanya Eyang Tuba Sejagat alias Wiku Caringin hanya bisa terdiam, tak bisa keluarkan barang sepatah ucapan pun.

Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Jika bertemu Bendahara Wira Bumi, sampaikan salamku. Katakan padanya agar segera bertobat sebelum Tuhan menjatuhkan hukuman atas dirinya. Dia harus mencari istrinya. Bukan untuk dibunuh. Tapi untuk disembuhkan dari segala penyakit jiwa tekanan batin.”

Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas tekapkan tangan kanannya ke mulut. Lalu tangan kiri berkelebat mencekik batang leher orang dihadapannya. Begitu mulut Wiku Caringin terbuka, Kiai Gede Tapa Pamungkas turunkan tangannya yang menekap mulut lalu tangan ini ditekapkan ke mulut orang. Saat itu juga warna merah yang membungkus sekujur tubuh dan pakaian Kiai Gede Tapa Pamungkas lenyap.

"Hek... hekkk...!"

Eyang Tuba Sejagat keluarkan suara tercekik berulang kali ketika dia merasa dari tangan sang Kiai ada cairan mengalir masuk ke dalam mulutnya. Dia berusaha meronta tapi tubuhnya seperti kaku, tak bisa digerakkan. Saat itu juga sekujur tubuh, mulai dari rambut sampai ke ujung kaki, termasuk pakaian hitam serta kedua matanya berubah menjadi merah.

“Wiku Caringin. Kau telah membunuh dua naga peliharaanku. Sebagai balasan Racun Akar Bumi milikmu sendiri aku masukkan ke dalam tubuhmu. Jika umurmu panjang kau masih punya kesempatan untuk menemui Wira Bumi. Jika ajalmu sampai lebih dulu, bukan aku yang membunuhmu tapi racun milikmu sendiri. Semoga Tuhan mengampuni dosa kesalahanmu. Pergilah...”

Sepasang mata Wiku Caringin yang cekung merah menatap garang, tenggorokan turun naik mengeluarkan suara menggeram. Dadanya seperti mau meledak. Dia tidak takut mengadu jiwa dengan sang Kiai. Namun dia menyadari kalau keadaannya saat itu sangat tidak menguntungkan. Yang harus dilakukannya adalah segera mendapatkan obat pemunah racun yang ada dalam tubuhnya.

Perlahan-lahan dia putar tubuh. Terbungkuk-bungkuk dan tercekik-cekik melangkah pergi. Namun langkahnya tertahan ketika satu bayangan hitam disertai menghamparnya bau pesing berkelebat di depannya. Menyusul tawa cekikikan.

“Tua bangka muka tengkorak. Pasti kau habis mandi comberan tempat penampungan darah sapi potong. Hik hik hik!”

Wiku Caringin angkat kepala. Begitu mengetahui siapa yang berdiri di depannya langsung dia memaki, “Nenek keparat! Kau sama saja dengan gurumu! Aku bersumpah membunuh kalian berdua!”

“Hik hik hik! Mengurus nyawa sendiri tidak mampu. Mau mengurus nyawa orang lain!” Orang yang dimaki perhatikan Wiku Caringin hingga akhirnya lenyap di kegelapan lalu balikkan badan dan jatuhkan diri berlutut di hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas.

********************

BAB 7

KIAI Gede Tapa Pamungkas tatap wajah tua berambut putih jarang dengan lima tusuk konde menancap di kulit kepalanya. “Sinto, bangunlah. Lupakan segala macam peradatan. Kadang-kadang aku berpikir. Adalah aneh. Kita tinggal di puncak gunung yang sama. Tapi bertemu hanya sekali seabad! Dari raut wajahmu, dari tubuhmu yang semakin bungkuk, aku melihat kau datang membekal satu urusan disertai beban batin yang cukup berat...”

Sinto Gendeng, nenek sakti guru Pendekar 212 yang juga diam di kawasan puncak Gunung Gede menatap dengan wajah seolah pasrah lalu berkata, “Kiai, saya memang murid yang tidak tahu menerima budi. Sampai tua bangka begini masih belum bisa menyenangkan hati Kiai...”

“Sinto, aku tidak pernah minta kau atau muridku yang lain menyenangkan diriku apa lagi membalas budi. Aku sudah sangat merasa senang jika melihat murid-muridku bahagia.”

Ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas itu sungguh dalam jika Sinto gendeng mau mengartikan. Puluhan tahun hidup dia merasa belum menemukan apa yang bernama kebahagiaan itu. Dia tidak acuh apakah dirinya mau bahagia atau tidak. Namun hati dan kecintaan seorang guru terkadang melebihi hati orang tua sendiri. Bagaimana dia bisa membuat gurunya senang kalau dia pribadi belum tahu apa yang dinamakan kebahagiaan? Kehidupan masa mudanya sampai tua renta begitu lebih banyak duka daripada sukanya. Setelah terdiam sejurus dia pun berkata,

“Saya mengerti Kiai. Segala dosa karena kurang ajar terhadap Kiai biarlah saya tanggung dunia akhirat.”

Kiai Gede Tapa Pamungkas yang adalah guru Sinto Gendeng tersenyum. Dia pegang bahu si nenek lalu berkata, “Katakanlan tujuan kedatanganmu kemari...”

Sinto Gendeng memandang ke arah telaga. “Kiai, apa mungkin mata saya yang lamur. Saya tidak melihat sawung tempat Kiai biasa sembahyang dan berdoa.”

“Ada orang jahat menyuruh bakar bangunan itu...” jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.

“Makhluk jahanam bernama Wiku Caringin tadi?”

Sang Kiai menggeleng. “Sudahlah, tak perlu kita bicarakan soal sawung itu. Nanti bisa aku buat yang baru. Ceritakan saja maksud kedatanganmu, Sinto.”

“Kalau Kiai tidak mau memberi tahu siapa yang berbuat jahat terhadap Kiai, saya merasa sedih sekali.” Ucap Sinto Gendeng.

Sebagai murid sebenarnya setelah sang guru berkata begitu dia tidak perlu mendesak. Tapi justru di sinilah watak Sinto Gendeng yang selalu keras kepala. Tadi masih mending dia menunjukkan sifat kerasnya itu dengan ucapan yang agak halus. “Kiai, saya mengerti sebelumnya telah terjadi sesuatu di sini. Mohon Kiai mau memberi tahu. Apa gunanya ditutup-tutupi?”

Setelah menarik nafas panjang akhirnya Kiai Gede Tapa Pamungkas menceritakan juga apa yang telah dialaminya. Mulai dari pertemuan dan perkelahiannya dengan Nyai Tumbal Jiwo sampai dengan dia membawa Nyi Retno Mantili ke puncak Gunung Gede. Lalu kedatangan Bendahara Wira Bumi bersama para pengawalnya di mana kemudian terjadi pembakaran sawung disusul dengan perkelahian yang tak bisa dielakkan. Akhir penuturan adalah munculnya Wiku Caringin alias Eyang Tuba Sejagat bersama dua pembantunya.

“Kiai, saya sedih sekali mengetahui sepasang naga merah peliharaan Kiai menemui ajal di tangan manusia keparat Wiku Caringin itu. Kalau tadi-tadi saya tahu apa yang telah dilakukannya, tidak akan saya biarkan dia pergi begitu saja. Kiai, semua apa yang Kiai ceritakan saya ingat baik-baik. Mulai sekarang Kiai bertenang diri saja di puncak Gunung Gede ini...”

“Apa maksudmu dengan ucapan itu Sinto?” tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas walau sebenarnya dia sudah bisa menduga.

Sinto Gendeng tancapkan tongkat kayunya ke tanah hingga amblas dan mengepulkan asap. Lima tusuk konde perak yang menancap di batok kepalanya bergoyang-goyang. Mulut komat kamit memutar susur. Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum melihat kelakuan muridnya si nenek berkulit hitam tinggi kurus itu. Sinto Gendeng gerakkan tangan kirinya sedikit. Tongkat yang amblas menyembul dan melesat keluar dari dalam tanah.

“Kau memamerkan ilmu anak-anak itu padaku, Sinto?” Ditegur seperti itu si nenek jadi kelam merah wajahnya tapi mulutnya tertawa lebar. Dia pindahkan susur dalam mulut dari kiri ke kanan.

“Kiai, saya hanya ingin mengatakan. Kiai punya murid, seorang nenek butut bau pesing bernama Sinto Gendeng ini! Tidak pantas Kiai bersusah payah mengurusi manusia-manusia calon puntung neraka itu! Serahkan semua pada saya Kiai. Sudah cukup lama juga saya mendekam di puncak Gunung Gede. Kaki ini sudah gatal rasanya mau gentayangan. Kebetulan sekali ada tugas dari Kiai...”

“Siapa yang memberikan tugas padamu, Sinto!?”

“Kiai memang belum memberikan. Tapi saya sudah menerimanya!” jawab Sinto Gendeng lalu tertawa cekikikan.

Lagi-lagi sang Kiai hanya bisa menghela nafas panjang. “Sekarang apakah kau tidak akan mengatakan maksud kedatanganmu?”

“Maaf Kiai, tentu saja akan saya katakan. Masalah besar yang tengah saya hadapi adalah hilangnya Kitab Seribu Pengobatan yang berasal dari Kiai Bangkalan. Ada manusia setan serakah yang mencurinya. Saya sudah menyelidiki. Saya juga sudah menyuruh Wiro mencari. Tapi sampai saat ini nihil semua. Kalau kitab itu jatuh ke tangan manusia jahil dan disalahgunakan, rusak rimba persilatan di tanah Jawa ini.”

Kiai Gede Tapa Pamungkas tertawa. Lalu bertanya, “Kapan kejadiannya kitab itu dicuri orang?”

“Sudah cukup lama. Rasanya sudah hampir sepuluh purnama.”

Sang Kiai kembali tertawa. “Sebelumnya di mana kau simpan kitab itu?”

“Di gubuk saya, Kiai. Dalam sebuah peti kayu, dipendam dalam tanah di bawah gentong air!” menerangkan Sinto Gendeng.

“Kapan terakhir kali kau memeriksa tempat penyimpanan kitab itu?”

“Sejak hilangnya saya tidak pernah memeriksa lagi. Buat apa?”

“Jika nanti kau pulang ke pondokmu, cobalah periksa lagi tempat itu. Aku punya dugaan kitab itu telah berada di tempatnya semula.”

“Kiai berseloroh...!”

Kiai Gede Tapa Pamungkas menggeleng.

“Bagaimana mungkin Kiai. Kitab itu jelas-jelas lenyap dicuri orang. Sekarang Kiai mengatakan telah berada di tempatnya semula.”

“Seseorang secara diam-diam mengembalikan kitab itu ke tempatnya.”

Sinto Gendeng terkejut. “Kiai sungguh tidak bergurau?”

Sang guru menggeleng.

“Berarti orang yang mencurinya yang mengembalikan kitab itu.”

“Bukan. Ada seorang lain yang melakukan.”

“Siapa Kiai?”

“Aku tidak bisa mengatakan.”

“Lelaki atau perempuan?” Sinto Gendeng mencecar.

“Lelaki.”

“Berarti Dewa Tuak yang mencuri kitab itu. Dulu saya memang sudah curiga. Dia pasti mengembalikan setelah peristiwa hancurnya Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Entah buat apa buku itu untuknya. Kalau dia terang-terang minta meminjamkan saya tidak akan memberikan.”

“Bukan Sinto, bukan Dewa Tuak yang mencuri ataupun mengembalikan kitab itu.” menerangkan Kiai Gede Tapa Pamungkas.

“Lalu siapa?”

“Aku tidak akan mengatakan. Karena bisa saja aku salah menduga. Jadi biar kau atau muridmu nanti yang mencari tahu sendiri.” jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.

“Kiai, kalau begitu izinkan saya minta diri. Saya ingin buru-buru kembali ke pondok.”

“Tunggu dulu Sinto. Aku punya satu pesan untukmu. Kalau kau bertemu dengan Wiro muridmu, suruh dia datang ke sini.”

Si nenek menatap wajah gurunya. Ini satu hal yang tidak biasa karena selama ini sang Kiai tidak terlalu dekat dengan muridnya. Tiba-tiba senyum menyeruak di mulut yang mengunyah susur itu.

“Kiai, apakah Kiai hendak memperkenalkannya dengan seorang gadis untuk dijodohkan?”

Kiai Gede Tapa Pamungkas tertawa bergelak. “Apa aku punya tampang seperti Mak Comblang?”

Sinto Gendeng tertawa cekikikan. “Perlu apa anak setan itu disuruh ke sini, Kiai?” si nenek bertanya.

“Rimba persilatan semakin lama semakin banyak perubahan. Segala macam ilmu kesaktian berkembang sejalan dengan menghebatnya segala macam kejahatan. Muridmu itu perlu dihindari dari segala marabahaya yang tidak diinginkan.”

“Kalau Kiai punya niat seperti itu, saya sangat berterima kasih. Jika bertemu anak setan itu pesan Kiai akan saya sampaikan. Apakah saya perlu hadir pada kedatangannya menghadapi Kiai?”

“Jika kau punya kesempatan sebaiknya kau hadir.”

“Kiai, apakah saya boleh pergi sekarang?”

“Selama ini apa kau mendengar kabar tentang kakak seperguruanmu Sukat Tandika?” (Sukat Tandika adalah nama asli dari Tua Gila)

Sinto Gendeng merasakan dadanya berdebar mendengar pertanyaan sang Kiai. Perlahan-lahan dia gelengkan kepala.

“Heran, ke mana perginya anak satu itu? Apa sudah lenyap ditelan bumi?”

“A... apakah Kiai juga punya pesan untuknya?” Suara si nenek bertanya agak gagap.

“Sudahlah, kau boleh pergi sekarang. Nanti seabad lagi baru muncul di sini!”

Sinto Gendeng tertawa cekikikan. Setelah berlutut di depan gurunya, nenek ini segera berkelebat pergi. Kiai Gede Tapa Pamungkas melepas dengan pandangan mata. Dalam hati dia berkata, “Apakah dia masih mencintai kakak seperguruannya itu?” Orang tua ini usap janggut putihnya. “Sinto, kau akan terkejut kalau tahu siapa adanya orang yang mengembalikan Kitab Seribu Pengobatan itu ke pondokmu.”

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

WALAU bisa membuka pintu pondok dengan tangan namun karena tidak sabaran Sinto Gendeng tendangkan kaki kirinya hingga pintu hancur berantakan, terpentang lebar. Begitu masuk ke dalam nenek ini berteriak kaget. Di salah satu sudut ruangan berdiri seorang kakek berjubah putih, dua tangan dirangkap di atas dada. Rambut jarang putih. Kumis dan janggut tak kalah putih. Wajah yang cekung nyaris tak berdaging dihias sepasang mata lebar. Dia berdiri sambil tersenyum pada Sinto Gendeng.

Melihat orang itu Sinto Gendeng teringat ucapan gurunya. Langsung darah si nenek naik ke kepala. “Tua bangka Sukat Tandika! Keparat jahanam! Jadi kau rupanya yang menyuruh mencuri kitab itu!”

Tanpa banyak menunggu lagi Sinto Gendeng menyerbu. Dari mulutnya menggelegar teriakan aneh menggidikkan. Kaki kanan menendang lurus ke dada kiri di arah jantung sementara tangan kanan melancarkan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam luar biasa tinggi. Lantai tanah bergetar, pondok kayu berderak keras.

“Sinto! Kau menyerang aku dengan jurus Naga Meringkik Menjebol Gunung! Kau mau membunuhku?!”

Selama hidupnya Sinto Gendeng baru satu kali mengeluarkan jurus dahsyat itu yakni sekitar empat puluh tahun silam ketika menumpas seorang tokoh silat yang jadi bergundal golongan hitam. Jurus Naga Meringkik Menjebol Gunung ini bahkan tidak pernah diajarkannya kepada Wiro Sableng karena memang luar biasa dahsyat dan ganas! Tidak heran kalau orang yang diserang dan mengenali jurus maut itu berseru kaget.

“Pencuri keparat! Aku ucapkan selamat jalan ke akhirat!” teriak Sinto Gendeng tanpa perdulikan seruan orang.

“Sinto! Hentikan!” Teriak kakek berjubah putih yang memang adalah Tua Gila alias Sukat Tandika dan bukan lain merupakan saudara seperguruan Sinto Gendeng sendiri! Melihat si nenek tetap nekad meneruskan serangan, Tua Gila tidak bisa berbuat lain kecuali selamatkan diri. Tubuh si kakek dari kepala sampai ke kaki kelihatan kelojotan. Kaki merenggang, tangan mengembang. Tiba-tiba tubuh itu melesat ke belakang melabrak dinding pondok, lalu seperti membal mental ke kiri.

Sinto Gendeng mendengus. “Tua Gila! Jurus Orang Gila Mabuk tidak akan menyelamatkanmu dirimu dari kematian!”

"Wuuttt! Wusss!"

Tendangan kaki kanan Sinto Gendeng berhasil dielakkan Tua Gila. Tendangan itu lewat hanya setengah jengkal dari pinggul kirinya. Akan halnya serangan berupa pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi, walau dengan cara aneh masih sanggup dihindari si kakek namun sapuan angin pukulan yang begitu dekat masih sempat menyapu bagian kanan dada kekasih di masa muda Sinto Gendeng itu!

Suara keluh kesakitan Tua Gila lenyap ditindih suara hancurnya dinding pondok. Sinto Gendeng melesat keluar. Terdengar suara berderak keras lalu pondok kayu itu roboh! Di luar pondok yang roboh Sinto Gendeng berdiri dengan tangan kanan berkacak pinggang, tangan kiri bersitekan pada tongkat butut. Mata mendelik besar.

“Menyesal, mengapa terlalu cepat dia kubunuh! Seharusnya aku siksa lebih dulu!” berkata Sinto Gendeng dalam hati.

Matanya memperhatikan reruntuhan pondok miliknya sendiri. Mulut yang berisi susur berkomat-kamit. Dia merasa ada yang tidak beres. Si nenek tancapkan tongkat kayu ke tanah lalu sambil memegang ujung tongkat dia kerahkan tenaga dalam. Ketika dia membentak keras sambil hentakkan kaki kanan ke tanah, di tanah kelihatan getaran keras bergerak ke arah depan. Begitu getaran mencapai tumpukan runtuhan pondok kayu, semua kepingan kayu dan papan serta hancuran perabotan yang ada bermentalan ke udara.

“Lenyap! Ke mana perginya bangsat itu. Mengapa aku tidak melihat mayatnya?” Kalau tadi menyangka Tua Gila berada di dalam timbunan reruntuhan pondok maka kini Sinto Gendeng hanya melihat tanah rata!

Tiba-tiba di belakang si nenek terdengar suara orang berucap sayu perlahan, “Sinto, kau menuduh aku mencuri kitab. Kitab apa? Kalau Kitab Seribu Pengobatan yang kau maksud, apa kau lupa? Dulu aku yang menyerahkan kitab itu pada muridmu. Muridmu kemudian menyerahkan padamu. Aku mungkin sejahat-jahatnya manusia di muka bumi ini. Tapi seumur hidup aku tidak pernah mencuri. Apa dosaku hingga kau ingin membunuhku? Apa ini ada sangkut pautnya dengan kesalahanku di masa muda terhadapmu? Ketika aku meninggalkan dirimu. Apakah kau masih menaruh dendam. Padahal dalam pertemuan kita terakhir di telaga Gajahmungkur...” (Baca serial Wiro Sableng dalam Episode Gerhana Di Gajahmungkur)

“Diam!”

Sinto Gendeng berteriak keras. Lalu balikkan badan. Tangan kanan diangkat ke atas. Kejap itu juga tangan itu mulai dari siku sampai ke ujung jari telah berubah warnanya laksana dibungkus perak berkilat, menyilaukan. Tempat sekitar situ serta-merta dilanda hawa panas. Pukulan Sinar Matahari! Jika yang melancarkan pukulan itu adalah pemiliknya sendiri maka sulit ada kekuatan sehebat apapun bisa membendung! Sinto Gendeng rupanya benar-benar sudah nekad hendak membunuh Tua Gila yang dituduhnya sebagai pencuri kitab.

Di hadapan Sinto Gendeng, Tua Gila berdiri terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dada dengan tangan kiri. Mukanya tampak sangat pucat. Matanya yang lebar setengah terpejam, menatap ke Sinto Gendeng. Dari sela bibir sebelah kiri mengucur darah segar. Agaknya kakek ini mengalami luka dalam cukup parah akibat serangan Sinto Gendeng tadi! Namun yang membuat Sinto Gendeng terkesiap ialah sewaktu melihat dari dua mata Tua Gila yang setengah terpejam itu mengalir jatuh air mata!

Entah mengapa nafsu untuk membunuh si nenek perlahan-lahan mengendur. Dia turunkan tangan kanannya. Tangan yang tadi berwarna seperti perak itu sedikit demi sedikit kembali ke bentuk semula.

“Setan! Jangan cengeng!” teriak Sinto Gendeng. Lalu dia balikkan diri dan lari ke arah reruntuhan pondok. Dan berdiri di tanah, tepat di mana sebelumnya terletak sebuah gentong besar menyimpan air. Gentong itu telah hancur berantakan dan airnya membuat becek lantai pondok. Sinto Gendeng tancapkan tokat kayunya ke tanah lalu jatuhkan diri, berlutut. Dengan dua tangan telanjang nenek ini mulai menggali tanah becek tempat dibekas mana sebelumnya terletak gentong tanah. Tak terlalu dalam menggali tersembullah sebuah peti terbuat dari kayu besi berwarna hitam.

Darah Sinto Gendeng berdebar keras ketika dia mengangkat peti kayu itu dari dalam lobang yang digalinya. Peti diletakkan di tanah. Perlahan-lahan dengan jari-jari tangan gemetar si nenek membuka penutup peti. Sepasang mata membeliak. Mulut menganga hingga susur jatuh ke tanah. Tubuh jatuh terduduk di tanah. Dua tangan diulurkan mengambil sebuah kitab tebal terbuat dari daun lontar kering yang pada kulit depannya tertera tulisan berbunyi “Kitab Seribu Pengobatan”

Sinto Gendeng dekapkan kitab tebal itu ke dada. Dua matanya tampak berkaca-kaca. Tidak mau larut oleh perasaan si nenek segera masukkan kitab ke balik pakaian sebelah kiri. Lalu dari balik pakaian sebelah kanan dia keluarkan sebuah benda yang ternyata adalah juga sebuah kitab daun lontar yang bagian depannya ada tulisan “Kitab Seribu Pengobatan.” Kitab ini dimasukkan ke dalam peti kayu besi hitam, lalu diturunkan ke dalam lobang dan ditimbun dengan tanah.

“Terima kasih Gusti Allah. Engkau akhirnya menolong pengembalian kitab ini padaku. Terima kasih Kiai Gede Tapa Pamungkas. Engkau telah memberi petunjuk hingga kitab ini aku dapat kembali.”

Perlahan-lahan si nenek berdiri. Cabut tongkatnya dari tanah dan memutar tubuh. Dia ingat pada Tua Gila. Namun ketika dicari, kakek itu tidak ada lagi di tempatnya semula. Lama Sinto Gendeng termenung. Kitab Seribu Pengobatan sudah didapat. Justru mengapa kini pikirannya jadi kacau dan hatinya tidak enak. Apakah dia menyesal telah menciderai Tua Gila? Apakah kini dia punya perasaan bahwa mungkin benar bukan Tua Gila yang mencuri kitab itu?

“Tidak bisa jadi. Tidak ada orang lain. Semua sesuai petunjuk Kiai. Orang yang mengembalikan kitab itu seorang laki-laki. Bukan Dewa Tuak. Pasti sudah dia bangsat pencurinya! Kalau bukan dia siapa lagi? Terakhir sekali dia pergi dengan gendaknya si Sabai Nan Rancak itu ke Gunung Kerinci di pulau Andalas. Mungkin perempuan itu yang menyuruhnya mencuri kitab. Tapi aneh juga. Mengapa sekarang dia mengembalikan? Mungkin mengembalikan kitab palsu dan menyembunyikan yang asli?”

Perasaan dan dugaan ini muncul di hati si nenek karena sebelumnya dia telah menempatkan kitab palsu Seribu Ilmu Pengobatan di dalam peti kayu besi hitam, walau maksudnya adalah untuk menipu orang jahat yang inginkan kitab itu. Sinto Gendeng buru-buru keluarkan Kitab Seribu Pengobatan dari balik baju hitamnya. Buku diteliti dari setiap sudut, dibolak balik dan setiap halaman dipelototi, dibalik halaman demi halaman.

“Asli! Kitab ini benar-benar asli!” Ucap Sinto Gendeng dengan perasaan lega. Sebelum sempat dia memasukkan kitab itu kembali ke balik bajunya tiba-tiba di tempat itu meledak tawa cekikikan.

“Nenek Sinto, dalam catatan di kitab bersamamu itu, apakah banyak orang yang masih belum membayar hutang padamu?”

“Setan alas! Siapa berani bermulut konyol di hadapanku!” Sinto Gendeng membentak marah dan angkat kepala, memandang ke depan. Tak kelihatan siapa-siapa. Mendongak ke atas pohon di seberang sana si nenek kerenyitkan kening yang tinggal kulit pembalut tulang.

“Hik hik hik...! Mohon maafmu, Nek. Tadinya aku mengira kau sedang meneliti kitab hutang piutang. Hik hik hik...! Nek, apa kau sadar kalau kau punya satu hutang besar padaku?!”

BAB 8

SINTO Gendeng menggembor marah. Dua matanya yang cekung seperti mau melompat keluar dari rongganya. Melihat sikap si nenek perempuan berpakaian biru gelap yang duduk berjuntai uncang-uncang kaki di dahan pohon besar kembali tertawa. Tangan kirinya menggoyang-goyang sebuah kendi tanah berisi minuman menebar bau keras.

“Perempuan di atas pohon! Kalau tidak sedeng kau pasti sinting! Memangnya aku punya hutang besar apa padamu?”

Orang yang dihardik tertawa cekikikan. Sinto Gendeng cepat-cepat masukkan Kitab Seribu Pengobatan ke balik bajunya. “Perempuan setan! Siapa kau?!” Sinto Gendeng membentak. Sekali melompat laksana terbang tubuhnya melesat ke atas pohon dan berdiri di atas dahan, terpisah satu langkah dari perempuan muda yang telah lebih dulu duduk di dahan itu. Sigap dan cepat sekali tahu-tahu ujung tongkat di tangan kiri si nenek telah menempel di kening perempuan di hadapannya.

“Bicara yang betul! Atau kubuat bolong jidatmu!” Orang yang diancam tertawa cengengesan.

“Aduh galaknya! Nek, apa kau sudah lupa padaku?”

“Setan, aku bertanya siapa kau adanya! Mengapa tidak memberi tahu? Malah balik bertanya! Dasar perempuan setan sialan!”

Sambil memaki Sinto Gendeng perhatikan perempuan yang duduk di dahan pohon mulai dari rambut sampai ke kaki. Berpakaian biru pekat, berkulit putih. Di tangan kiri memegang sebuah kendi kecil. Lima kendi tergantung dipinggang.

“Perempuan setan! Aku rasa-rasa mengenali dirimu! Bukankah kau perawan centil bernama Wulan Srindi yang dulu pernah mengaku sebagai murid Dewa Tuak. Dulu kau hitam jelek, kenapa sekarang jadi putih? Kau mandi lulur kapur di mana?! Hik hik hik...!” Dalam marahnya Sinto Gendeng masih bisa mengejek mempermainkan orang.

“Nenek Sinto, terima kasih kau masih mengenali diriku! Hanya saja ada dua hal yang kau keliru. Namaku tidak lagi Wulan Srindi. Orang-orang menyebutku Nyi Bodong. Lalu, aku sudah tidak perawan lagi! Aku sedang mengandung muda. Dan anak yang kukandung adalah cucumu sendiri. Karena ayahnya adalah muridmu Pendekar 212 Wiro Sableng!”

Kejut Sinto Gendeng laksana disambar petir, “Perempuan setan! Mulutmu sudah sangat keterlaluan! Aku tidak perduli kau mengandung atau bunting atau apa. Aku ingin kau mampus saat ini juga!”

Sinto Gendeng tusukkan tongkat kayu di tangan kiri ke kening perempuan yang mengaku bernama Nyi Bodong. Tusukan itu datangnya cepat sekali. Namun dalam gerakan yang jauh lebih cepat Nyi Bodong berhasil selamatkan diri dengan miringkan kepala.

"Wuutt!" Tusukan tongkat hanya menyambar pinggiran rambut. Nyi Bodong berayun berputar di dahan pohon.

“Nek, tega sekali! Apa kau gila mau membunuh mantu sendiri?!”

Nyi Bodong melesat turun ke tanah. Hanya sekejapan mata saja Sinto Gendeng sudah menyusul turun dan kedua orang itu kini berhadap-hadapan dalam jarak tiga langkah!

“Nek, seperti kataku tadi kau punya satu hutang besar padaku! Aku sudah mengandung. Aku perlu tanda bukti perjodohan dan perkawinanku dengan Wiro. Sebut saja mas kawin! Apa saja! Aku tidak meminta yang sudah-sudah, tidak menginginkan yang mahal-mahal!”

“Perempuan setan! Kau minta mas kawin! Ini aku berikan! Terimalah!”

Habis memaki begitu Sinto Gendeng hantamkan tangan kanannya dalam jurus Kepala Naga Menyusup Awan. Jotosan tangan kanan ini laksana kilat menyambar ke kepala Wulan Srindi alias Nyi Bodong. Seperti tadi, Nyi Bodong membuat gerakan luar biasa cepat untuk selamatkan kepalanya dari pukulan lawan. Kali ini dengan cara merunduk. Begitu kepalanya selamat, dari bawah tangan kanannya meluncur ke atas, menggelitik ketiak si nenek. Karuan saja Sinto Gendeng jadi terpekik kegelian sampai terkencing dan tentu saja marah besar!

“Perempuan setan! Umurmu cukup sampai di sini!” Tidak pernah Sinto Gendeng disabung kemarahan begini rupa. Sepasang matanya yang cekung membeliak besar lalu berubah menjadi kebiruan.

Nyi Bodong tersentak kaget. Dia tahu ilmu kesaktian apa yang hendak dikeluarkan si nenek. Dia sadar tidak bakalan bisa menyelamatkan selembar nyawanya kalau Sinto Gendeng benar-benar menghantam dirinya dengan ilmu kesaktian itu.

“Nenek Sinto, ampun Nek. Maafkan diriku! Aku tidak bermaksud kurang ajar padamu! Aku mohon diri!”

"Glukk... glukk!"

Seruan Nyi Bodong disusul dengan suara orang meneguk lahap minuman. Lalu, wuusss! Cairan bau menyengat bertabur ke arah wajah Sinto Gendeng. Pemandangannya tertutup. Tapi dia tetap nekad melancarkan serangan.

“Perempuan setan! Kau mau lari kemana?!”

Dari dua mata Sinto Gendeng melesat keluar dua larik sinar biru, angker menggidikkan. Inilah serangan maut yang disebut Sepasang Sinar Inti Roh. Dalam hidupnya jarang sekali si nenek mengeluarkan ilmu kesaktian ini. Ini adalah ilmu kedua yang tidak pernah diajarkannya kepada Wiro Sableng setelah jurus serangan Naga Meringkik Menjebol Gunung. Jika sekarang dia menyerang Nyi Bodong dengan ilmu kesaktian tersebut, jelas bahwa dia benar-benar ingin membunuh perempuan itu!

Namun Nyi Bodong berlaku cerdik, dia mendahului menyerang dan sekaligus membentengi diri dengan semburan minuman keras. Kalaupun si nenek tetap melancarkan serangan maka serangan tidak akan mengenai sasaran karena pandangannya tertutup. Salah-salah malah semburan minuman keras akan menciderai berat muka si nenek.

“Perempuan setan! Kau berani mengadu jiwa!” teriak Sinto Gendeng. Nyatanya dua sinar biru yang berkiblat ganas hanya menghantam udara kosong lalu menghajar pohon besar di depan sana.

"Wusss!"

Pohon besar tenggelam dalam cahaya biru menggidikkan. Asap mengepul. Ketika asap sirna pohon itu hanya tinggal sosok hangus berwarna biru, lalu perlahan-lahan berderak runtuh menjadi ribuan keping. Kepingan-kepingan ini kemudian berubah menjadi debu! Sinto Gendeng berteriak marah ketika dia tidak melihat sosok mayat Nyi Bodong di antara tebaran debu!

Dia berkelebat kian kemari. Namun tetap tidak menemukan tanda-tanda kematian Nyi Bodong. “Perempuan setan! Benar-benar setan!”

Baru saja si nenek memaki, di kejauhan tiba-tiba terdengar suara orang berseru. “Nenek Sinto aku mohon maafmu. Aku telah mengambil satu dari lima tusuk konde perak di kepalamu! Tusuk konde ini akan aku jadikan sebagai tanda mas kawin perkawinanku dengan muridmu! Sekarang aku tidak sirih lagi ke mana-mana membawa jabang bayinya Wiro.”

“Setan!” Sinto Gendeng kembali memaki. Kali ini sambil meraba kepalanya. Ternyata lima tusuk konde perak yang menancap di kepalanya kini hanya tinggal empat! Si nenek jadi banting-banting kaki saking marahnya! Lalu terduduk di tanah dengan tubuh gemetaran.

“Perempuan setan itu! Apa benar dia Wulan Srindi! Kulitnya berubah. Ilmu kesaktiannya... Dari mana didapatnya? Membawa enam guci minuman keras. Apa betul dia sudah jadi murid Dewa Tuak? Hidungku mencium minuman keras yang disemburkannya memang menyengat. Tapi tidak seharum Tuak Kayangan milik Dewa Tuak! Heran, bagaimana betina jahanam itu enak saja mengatakan dirinya mengandung jabang bayi Wiro? Edan! Apa anak setan itu tanpa setahuku memang sudah kawin dengan si centil keparat itu?! Tertipu kena dirayu perempuan genit itu? Jadi selama ini bukan Kitab Seribu Pengobatan yang dicarinya. Tapi dia mencari kitab-kitaban di bawah pusar!”

Sinto Gendeng memaki panjang pendek lalu meraba lagi tusuk konde yang menancap di batok kepalanya. “Sialan! Dia mencuri satu tusuk konde milikku. Aku harus dapatkan tusuk konde itu kembali! Agaknya aku harus turun gunung mencari murid setan itu! Aku tak yakin kalau dia kawin begitu saja seperti kawinnya ayam. Tapi kalau memang perempuan setan itu mengaku sudah dibuntinginya?! Akan aku patahkan batang lehernya yang di atas dan di bawah! Biar dia tahu rasa!”

Untuk beberapa lama Sinto Gendeng masih terduduk di tanah. Dia merasa kecewa pada dirinya sendiri. “Wulan Srindi. Nyi Bodong! Siapapun nama setan perempuan itu! Anak bau kencing yang baru lahir kemarin! Aku tidak sanggup menghajarnya! Apa diriku sudah begini rongsokan hingga ilmu silat dan kesaktianku tidak lagi dapat diandalkan? Melawan anak sinting saja aku tidak mampu!”

Dengan bersitekan pada tongkat kayu, perlahan-lahan Sinto Gendeng bangkit berdiri. Namun nenek ini tidak segera tinggalkan tempat itu. Dalam pengaruh amarah yang luar biasa otaknya masih terus berpikir.

“Kalau aku pergi ke mana aku harus menuju? Siapa yang akan aku cari lebih dulu? Mencari anak setan murid keparat itu atau menjejaki setan perempuan tadi. Aku tahu di mana sarangnya. Dia adalah murid satu perguruan silat di Gunung Lawu. Apa aku harus mengobrak abrik perguruan itu? Mungkin lebih baik aku mencari Dewa Tuak lebih dulu untuk minta keterangan lebih jelas? Kakek sialan itu harus ikut bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi! Lalu bagaimana dengan si Tua Gila yang telah mencuri dan mengembalikan kitab? Dia tak bakal bisa kabur jauh. Aku akan segera menemuinya!”

Sinto Gendeng menatap ke arah bekas pondok kediamannya yang kini telah rata. Wajahnya yang tak berdaging, hanya tertutup kulit keriput hitam tampak sedih. “Aku tidak punya rumah lagi. Mungkin ini satu petunjuk aku harus gentayangan lagi dalam rimba persilatan. Aku pikir-pikir dulu banyak urusan yang masih malang melintang. Dengan kejadian ini pekerjaanku jadi tambah berat dan banyak. Sial, mengapa aku harus menghadapi urusan kapiran begini rupa?! Tua bangka bau tanah begini seharusnya aku hidup tenang menunggu saat kematian!”

Si nenek ingat sesuatu. Susur yang tadi tersembur dari mulutnya. Susur ini ditemuinya di tanah. Enak saja, tanpa membersihkan lebih dulu, susur yang kotor bercampur tanah itu dimasukkan ke dalam mulut. Lalu dengan mulut terkempot-kempot, dengan langkah terseok-seok Sinto Gendeng tinggalkan tempat itu. Di satu tempat dia berhenti. Ingat sesuatu.

“Kiai Gede Tapa Pamungkas. Apa aku harus menemuinya sebelum pergi?” Si nenek bimbang. “Eh, bukankah Kiai meminta aku menyuruh murid setan itu menghadap menemuinya? Aku tak ingin menggerecoki Kiai. Aahh... agaknya Kiai sudah tahu apa yang telah terjadi dengan anak setan itu! Jangan-jangan memang benar dia sudah membuntingi perempuan setan itu!” Si nenek pukul-pukul jidatnya sendiri lalu tiba-tiba saja dia tertawa cekikikan.

“Aku Sinto Gendeng sudah punya mantu! Bakal punya cucu! Edan! Gelo! Apa rimba persilatan tidak heboh?! Hik hik hik!” Sambil melangkah pergi dia kembali memukul kening. Di satu tempat dia berkelebat. Dan lenyaplah nenek sakti ini dari pemandangan.

********************

BAB 9

LEWAT tengah malam gedung besar kediaman Bendahara Kerajaan tampak masih terang benderang walau diselimuti kesunyian. Di pintu gerbang ada dua pengawal berjaga-jaga. Di dalam sebuah kamar besar yang hanya diterangi temaram cahaya sebuah lampu minyak kecil, Wira Bumi duduk bersila di lantai di atas sehelai kain putih berbentuk segi tiga, menghadap ke arah matahari terbenam.

Ketika dia baru mulai bersemedi mendadak ada ketukan di pintu kamar. Walau kesal karena merasa sangat terganggu namun Wira Bumi berdiri juga lalu melangkah membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang lelaki tinggi besar berkumis melintang bermata belok. Dia adalah kepala pengawal gedung Bendahara.

“Danang Kaliwarda, ada apa?”

“Mohon maaf Raden Mas karena berani mengganggu. Ada seorang tamu menunggu di halaman belakang. Sebelumnya saya pernah melihat orang itu datang ke sini dan bicara dengan Raden Mas. Namun kali ini ada keanehan pada dirinya. Seluruh tubuh dan pakaian mulai dari rambut sampai ke kaki berwarna merah.”

“Dia menyebut nama?”

“Tidak, Raden. Dia hanya berkata agar memberi tahu Raden Mas bahwa dia datang untuk urusan di Gunung Gede.”

Wira Bumi terdiam sejenak. Sesaat kemudian dia berkata. “Padamkan semua lampu di halaman belakang gedung. Kau tak usah lagi menemui tamu itu. Pergilah berjaga-jaga di halaman depan.”

Danang Kaliwarda, kepala pengawal gedung Bendahara memberi hormat lalu cepat-cepat berlalu. Wira Bumi menunggu beberapa ketika kemudian melangkah cepat menuju halaman belakang gedung. Ketika dia sampai, halaman belakang sudah berada dalam keadaan gelap. Satu-satunya penerangan hanyalah saputan cahaya putih dari langit yang jernih ditaburi bintang. Di pojok tembok halaman belakang sebelah kanan, dekat sebuah patung besar Dewi Sri, berdiri terbungkuk-bungkuk seorang lelaki bertubuh tinggi kurus. Tangannya memegangi dada. Nafasnya terdengar sengal. Wira Bumi segera menghampiri orang ini.

“Eyang Tuba Sejagat, bukankah aku sudah berpesan tak ada pertemuan kedua di antara kita di gedung ini? Sesuai perjanjian aku akan menemuimu di satu tempat di tepi Kali Opak dua hari di muka. Mengapa...”

Wira Bumi tidak meneruskan ucapannya. Saat itu dia baru menyadari kalau sekujur tubuh termasuk pakaian orang yang berdiri di hadapannya berwarna merah. “Eyang, apa yang terjadi dengan dirimu? Kulit muka, tubuh dan pakaianmu berwarna merah. Apakah kau telah melaksanakan tugas yang...”

Sang tamu yang datang di larut malam ke gedung Bendahara Kerajaan itu bukan lain memang adalah Eyang Tuba Sejagat. Yang beberapa waktu lalu meracuni telaga di puncak Gunung Gede tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas. Mulutnya terbuka, batuk-batuk beberapa kali dan ludah bercampur darah meleleh di sudut bibir sebelah kiri.

“Eyang! Siapa yang mencelakaimu?!” Wira Bumi pegang bahu kiri kanan Eyang Tuba Sejagat.

“Aku memang sampai ke puncak Gunung Gede, membunuh dua naga penghuni telaga. Namun aku tidak berhasil menamatkan riwayat Kiai Gede Tapa Pamungkas. Dua pembantuku tewas. Kakek sakti itu malah memasukkan Racun Akar Bumi ke dalam tubuhku. Kau lihat sendiri, sekujur tubuhku berwarna merah. Aku tak bisa menunggu sampai dua hari di muka. Itu sebabnya aku terpaksa menemuimu malam ini. Aku akan menemui seorang tabib untuk minta obat peluntur racun. Obat itu mahal sekali. Aku perlu biaya. Kalau aku sudah sembuh aku akan melaksanakan tugas berikutnya. Menghabisi Patih Sawung Giring.”

Eyang Tuba Sejagat kembali batuk-batuk. Darah kental berbuku-buku berhamburan dari mulutnya.

“Eyang, kau tunggu di sini. Aku akan mengambil uang kebutuhan pengobatanmu...” Kata Wira Bumi.

“Aku menunggu. Cepatlah. Aku sudah tidak tahan...”

Wira Bumi memutar badan, baru berjalan tiga langkah dia berubah pikiran dan kembali menemui Eyang Tuba Sejagat.

“Ada apa?” tanya ahli racun berusia lebih enam puluh tahun itu.

“Eyang, rencanaku berubah.”

“Maksudmu?” tanya Eyang Tuba Sejagat.

Wira Bumi tidak menjawab. Namun di dalam gelap tangan kanannya bergerak luar biasa cepat. Eyang Tuba Sejagat hanya melihat gerakan bahu lalu suara angin berdesir dan,...

"Praakk!" Tubuh Eyang Tuba Sejagat tersandar ke tembok halaman belakang, lalu ambruk tergelimpang di samping patung Dewi Sri. Kepalanya rengkah!

Wira Bumi telah menghajar batok kepala Eyang Tuba Sejagat dengan pukulan Tangan Roh Memberi Rahmat yang didapatnya dari Nyai Tumbal Jiwo. Tanpa diketahui, seseorang yang bersembunyi tak jauh dari tempat itu mendengar semua pembicaraan dan melihat apa yang terjadi.

********************

WIRA Bumi memanggil Danang Kaliwarda. Kepala Pengawal ini diperintahkan untuk membuang mayat Eyang Tuba Sejagat lalu cepat-cepat masuk ke dalam gedung. Di dalam kamar yang temaram Wira Bumi kembali duduk bersila di atas kain putih berbentuk segi tiga. Namun perasaannya kacau, hatinya tidak enak. Dia tidak bisa memusatkan pikiran untuk mulai bersemedi. Bendahara Kerajaan ini tersentak kaget ketika dari sudut kamar mendadak ada suara tawa halus disusul ucapan.

“Wira Bumi, ketika hati sedang gundah dan pikiran sedang kacau yang kau butuhkan bukanlah semedi. Tapi hiburan...”

Saat itu pula secara aneh beberapa lampu minyak yang ada dalam kamar menyala hidup sehingga kamar besar itu menjadi terang benderang. Memandang ke sudut kamar sebelah, Wira Bumi melihat satu sosok serba merah tegak berdiri sambil lemparkan senyum ke arahnya.

“Nyai Tumbal Jiwo!” ucap Wira Bumi dengan suara keras bergetar. Lalu dia bergerak bangun.

Yang tegak di sudut kamar besar itu memang adalah Nyai Tumbal Jiwo, guru Wira Bumi dari alam roh! Seorang nenek berpakaian selempang kain merah, memiliki rambut merah riap-riapan. Muka keriput, sepasang mata, gigi dan lidah semua berwarna merah!

“Nyai, kalau kedatanganmu untuk menagih janji, mohon ampun dan maafmu. Aku masih belum dapat melaksanakan perintah. Nyi Rento Mantili dan puterinya masih belum ditemukan.”

Si nenek tertawa lebar mendengar kata-kata Wira Bumi. “Tanah Jawa ini sangat luas. Memang tidak mudah mencari dua orang yang barusan kau katakan itu. Aku tahu kau telah berusaha. Lagi pula kedatanganku kemari belum untuk menagih janji. Seperti kataku tadi, kau butuh hiburan!”

Air muka Wira Bumi mengelam merah. Jantungnya berdebar. Tengkuknya langsung dingin. Dia tahu apa yang dimaksudkan nenek muka merah itu dengan kata hiburan. Selesai berucap nenek dari alam roh ini berjalan ke arah ranjang besar. Sambil melangkah dia gerakkan bahu dan pinggul. Pakaiannya yang berupa selempang kain merah jatuh ke lantai. Dalam keadaan tubuh bugil si nenek naik ke atas ranjang.

Begitu dia merebahkan diri di atas tempat tidur, maka wajah dan sosok si nenek berubah menjadi seorang perempuan muda cantik jelita berkulit mulus. Hanya saja payudaranya sebelah kiri kelihatan menggembung sangat besar dibanding dengan yang sebelah kanan. Ini adalah akibat dari perkelahiannya dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Secara tak sengaja sentuhan tangan kakek sakti dari Gunung Gede itu telah membuat bengkak payudara sebelah kiri si nenek.

“Wira, aku sangat rindu akan kehangatan tubuhmu. Apakah malam ini sampai menjelang pagi kita bisa saling melayani?”

Ini adalah kali ke dua Nyai Tumbal Jiwo merubah ujud dirinya. Kali pertama terjadi sewaktu Wira Bumi hendak meninggalkan Goa Girijati. Wira Bumi tak kuasa untuk menolak karena gelora nafsu membakar dirinya. Sekarang kejadian itu agaknya akan terulang lagi. Tubuh Wira Bumi memanas.

Ketika Nyai Tumbal Jiwo pejamkan mata dan ulurkan lidahnya yang basah merah, lelaki ini tak tahan lagi. Dia segera pula menanggalkan seluruh pakaian lalu naik ke atas ranjang, masuk ke dalam peluk rangkul dua tangan dan dua kaki si nenek yang telah berubah ujud menjadi perempuan cantik jelita.

********************

HARI masih gelap namun lapat-lapat di kejauhan terdengar kokok ayam. Nyai Tumbal Jiwo yang terbaring di atas tubuh Wira Bumi menggeliat. Mulutnya berbisik. “Pagi segera datang. Aku harus segera kembali ke pekuburan. Malam ini kau hebat sekali Wira. Aku sudah menyiapkan satu hadiah untukmu...”

“Nyai, kau tak usah melakukan hal itu. Kau tak perlu memberikan apa-apa pada saya,” kata Wira Bumi pula sambil tangannya melingkar di atas punggung Nyai Tumbal Jiwo. “Kau sudah memberi banyak pada saya. Ilmu kesaktian. Jabatan kedudukan. Harta...”

Si nenek yang masih dalam ujud perempuan muda cantik jelita tersenyum. “Hadiah yang aku berikan padamu bukan berupa barang atau benda berharga. Tapi seorang anak manusia yang aku totok dan jepit di antara pohon bambu di luar tembok gedung sebelah selatan.”

“Siapa?” tanya Wira Bumi terkejut. “Kau lihat saja nanti. Kau bisa menanyai orang itu. Mengorek keterangan. Setelah itu kau harus mengorek jantungnya. Kau mengerti...?”

Wira Bumi mengangguk. Si nenek perlahan-lahan turun dari atas ranjang, mengambil pakaiannya. Lalu masih dalam keadaan bugil dia membuka jendela dan melesat lenyap keluar kamar. Wira Bumi mencoba bangun. Namun sekujur tubuhnya terasa sangat letih. Dia terbaring kembali. Hampir matanya terpicing tiba-tiba dia ingat keterangan Nyai Tumbal Jiwo tentang seorang yang ditotok dan dijepit di antara pohon bambu. Serta merta Wira Bumi turun dari ranjang, kenakan pakaian lalu pergi ke bagian selatan tembok gedung.

Di kawasan itu memang banyak tumbuh pohon-pohon bambu mulai dari yang kecil sampai yang besar dan tinggi. Di salah satu rumpunan pohon bambu, dia melihat sesosok tubuh dalam keadaan tak bergerak, terjepit di antara empat batang bambu besar. Walau sebelumnya dia menyangka yang ada di tempat itu adalah Nyi Retno Mantili, meski kecewa namun ketika didekati tetap saja membuat Wira Bumi terkejut. Walau keadaan masih gelap dia masih bisa mengenali siapa adanya orang itu.

“Djaka Tua!” katanya setengah berseru. Wira Bumi lepaskan totokan di tubuh bekas pembantunya sewaktu dia masih menjabat sebagai tumenggung dulu. Namun dia tetap membiarkan lelaki berusia lima puluh tahun itu terjepit di antara empat batang bambu besar. Satu hal atau perubahan yang segera dilihat Wira Bumi atas diri Djaka Tua adalah bahwa lelaki itu tidak lagi memiliki punuk di punggungnya. Wira Bumi usap punggung Djaka Tua.

“Agaknya banyak kejadian luar biasa yang telah kau alami.”

Djaka Tua tidak menjawab hanya sepasang matanya memperhatikan dengan perasaan takut.

“Kau menculik puteriku, mencuri golok besar milikku. Kau tidak melaksanakan tugas yang kuperintahkan! Pantas sekali kalau saat ini kau kuhabisi! Manusia keparat tidak tahu menerima budi!”

Wira Bumi hantamkan satu jotosan ke muka Djaka Tua. Walau pukulan ini tidak mengandung tenaga dalam namun tetap saja hidung dan bibir Djaka Tua luka berdarah.

“Tumenggung...” Djaka Tua mengira kalau bekas majikannya itu masih menjabat sebagai tumenggung. “Saya mohon kasihanmu. Ampuni selembar jiwa saya. Saya memang tidak sanggup, tidak tega membunuh bayi tak berdosa itu. Saya...”

Wira Bumi jambak rambut Djaka Tua. “Jangan menyebut segala macam dosa! Kau bawa ke mana bayi itu? Di mana puteriku sekarang?!” bentak Wira Bumi.

“Ampun Tumenggung. Malam itu ketika saya berada dalam sebuah goa tiba-tiba muncul seorang kakek tinggi putih. Dia memaksa agar saya menyerahkan bayi. Saya tidak berdaya... Bayi saya serahkan...”

“Kau tahu siapa adanya kakek itu?”

Djaka Tua menggeleng. Wira Bumi hantamkan lagi satu jotosan ke muka lelaki ini. Djaka Tua meratap kesakitan.

“Di mana kau sembunyikan golok besar yang seharusnya kau pergunakan untuk menghabisi bayi dan istriku?!”

“Saya... Golok itu juga diminta oleh kakek tinggi putih. Saya...”

“Kau tahu di mana beradanya puteriku dan Nyi Retno Mantili?”

“Tidak, saya tidak tahu. Saya...”

“Apakah kakek tinggi putih itu yang melenyapkan punuk di punggungmu?”

“Betul Tumenggung, dia...”

“Jabatanku sekarang adalah bendahara kerajaan! Bukan tumenggung lagi!” hardik Wira Bumi.

“Ampun Raden... Ampun tum... Bendahara kerajaan...”

“Keparat! Tutup mulutmu untuk selama-lamanya!” Tangan kanan Wira Bumi melesat ke leher Djaka Tua.

Lidah pembantu ini sampai terjulur dan sepasang matanya mendelik. Sesaat lagi tulang leher itu akan remuk dan nyawa Djaka Tua siap putus tiba-tiba terdengar seruan.

“Kemuning! Ada orang jahat mau membunuh orang tak berdaya. Menurutmu apakah kita pantas menolong?!”

Menyusul terdengar suara tawa cekikikan. Lalu dua larik sinar putih berkiblat.

"Buummm! Buummmm!"

Dua letusan menggelegar. Tanah di akar rerumpunan bambu terbongkar. Batang-batang bambu berlesatan ke udara. Saat itu pula ada kabut aneh muncul menutupi pemandangan. Dalam kejutnya Wira Bumi menerjang ke depan. Namun dia tidak menemukan siapa pelaku yang melepaskan dua pukulan sakti tadi. Bendahara kerajaan ini terbeliak besar ketika dapatkan Djaka Tua tak ada lagi di tempat itu!

“Kurang ajar! Ada orang pandai menolong pembantu keparat itu! Aku mendengar suara dan tawa perempuan! Dia menyebut nama Kemuning! Siapa itu?!”

“Raden Mas, saya mendengar suara letusan. Apa yang terjadi di sini?” Satu suara bertanya. Yang muncul adalah Danang Kaliwarda, kepala pengawal gedung kediaman Bendahara Kerajaan.

“Memangnya kau melihat apa?” balik bertanya Wira Bumi. “Tidak ada terjadi apa-apa di sini. Kau bermimpi. Pergilah...” Wira Bumi tinggalkan kepala pengawal yang kelihatan terheran-heran itu.

Namun begitu sang bendahara melangkah pergi lelaki ini geleng-geleng kepala. “Banyak keanehan kulihat di sekitar Raden Mas Wira Bumi malam ini...” ucapnya perlahan.

********************

DJAKA Tua lari terseret-seret. Dia berusaha melihat wajah perempuan bertubuh kecil yang menarik lengannya. Tapi tak berhasil. Dia hanya bisa melihat bagian belakang orang. Pakaian kusut dekil, rambut hitam tergerai lepas serta sebuah boneka kayu lucu terselip di bedongan kain pada bagian punggung. Boneka kayu itu seperti tertawa menatap ke arahnya.

“Hai! Siapa kau?! Lepaskan tanganku! Kau mau membawa aku ke mana?! Berhenti! Aku tak bisa lari secepat ini!” Djaka Tua berteriak tiada henti.

“Diam! Keadaan belum aman! Apa kau mau mati dibunuh orang tadi?!”

“Hai!” Djaka Tua seperti mengenali suara itu. Dia hendak bertanya tapi tangannya dibetot orang. Membuat Djaka Tua terpaksa lari lebih cepat padahal nafasnya terasa mau putus. Di satu rimba belantara perempuan bertubuh kecil lepaskan pegangannya. Djaka Tua langsung jatuh tersungkur di tanah. Nafas megap-megap. Muka yang bengap dan luka dihajar Wira Bumi kini berkelukuran digaruk tanah.

“Sekarang sudah aman! Kau mau bicara, malah berteriak boleh saja!”

Djaka Tua berdiri lalu balikkan badan. Ketika pandangannya membentur wajah orang, lelaki ini langsung berteriak. “Gusti Allah! Nyi Retno! Kau rupanya!” Djaka Tua jatuhkan diri berlutut lalu menggerung keras.

“Manusia aneh. Diajak bicara malah mewek! Anakku saja sekarang tak pernah menangis lagi! Kemuning, lihat tua bangka cengeng itu! Lucu ya? Hik hik hik!”

“Nyi Retno, apa kau tidak mengenali diriku?!”

Orang yang diajak bicara menggeleng. “Kemuning, apa kau kenal orang ini?” Perempuan bertubuh kecil yang memang Nyi Retno Mantili adanya gerak-gerakkan kepala boneka kayu boneka ini kelihatan seperti menggeleng-geleng.

“Nyi Rento, apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa kau berkeadaan seperti ini. Saya menyesal telah melarikan bayimu! Saya tidak tega, saya tidak sanggup membunuh anak itu...”

“Hai! Kau bicara apa? Siapa yang kau sebut Nyi Retno itu? Bayi siapa yang hendak kau bunuh? Aku tidak pernah kehilangan bayi. Lihat ini anakku. Namanya Kemuning.”

Djaka Tua jadi terpana heran. Untuk beberapa lamanya dia tak bisa berkata-kata hanya menatap dengan pandangan sedih. Dalam hati bekas pembantu Nyi Retno ini berkata, “Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan Nyi Retno? Dia seperti tidak waras. Dia tidak mengenal diriku. Dia bahkan tidak tahu namanya sendiri. Boneka dikatakannya anaknya.”

“Hai! Kau ini siapa? Bicaramu tadi mengapa tak karuan begitu rupa?”

“Nyi Retno, saya ini Djaka Tua, pembantumu di gedung kediaman Tumenggung Wira Bumi...”

“Wira Bumi. Tumenggung... siapa itu? Aku tidak kenal.”

“Ya Tuhan, perempuan ini benar-benar telah kehilangan ingatan.” Djaka Tua menelan ludahnya berulang kali. “Nyi Retno, Wira Bumi adalah orang yang tadi hendak membunuhku...”

“Oh itu. Mengapa dia mau membunuhmu?”

“Karena saya melarikan bayimu. Saya dituduh menculik. Padahal saya menyelamatkan bayi itu. Tumenggung memerintahkan saya membunuh bayimu. Juga membunuh Nyi Retno sendiri.”

“Hik hik hik! Lucu juga ceritamu...”

“Nyi Retno, kau sungguh tidak mengenal diriku? Tidak mengenal Wira Bumi yang suamimu itu. Kau tidak ingat masa lalumu?!”

“Ihh! Enak saja kau menyebut Wira Bumi suamiku! Jangan bicara ngacok!” Nyi Retno lalu angkat tinggi-tinggi boneka kayu yang dibawanya. “Anakku Kemuning, apa ayahmu bernama Wira Bumi?” Nyi Retno lalu goyang-goyangkan kepala boneka. “Kau lihat sendiri. Anakku menggelengkan kepala. Dia tidak pernah punya ayah bernama Wira Bumi!”

Djaka Tua tepuk keningnya sendiri. Pembantu ini hampir putus asa. Tak tahu mau bicara apa lagi. Dia menatap boneka kayu di tangan Nyi Retno. “Anakmu itu cantik dan lucu sekali. Namanya Kemuning?”

Nyi Retno tertawa lalu anggukkan kepala.

“Ah, agaknya aku harus bicara menurut perasaan hati dan nalurinya. Kalau tidak tak akan menyambung,” kata Djaka Tua dalam hati. “Den Ayu, berapa umur anakmu?”

“Satu tahun lebih. Apa kau sudah punya anak?”

Djaka tua menggeleng. “Aku belum pernah kawin.” jawabnya polos.

Nyi Retno tertawa gelak-gelak. “Sudah setua ini belum kawin. Apa kau takut kawin atau tidak ada perempuan yang kau suka?”

“Dulu ada cacat berupa punuk dipunggungku. Belum lama ini ada seorang sakti menyembuhkan. Bayi Den Ayu saya serahkan padanya. Katanya dia akan menjaga dan merawat baik-baik...”

“Aku tak pernah kehilangan bayi. Lihat, anakku Kemuning masih ada di sini!” kata Nyi Retno sambil senyum dan dekapkan boneka kayu ke dadanya. “Hai, tadi kau cerita tentang punuk di punggungmu. Ah, punuk itu rupanya yang membuatmu sial. Padahal kawin tidak perlu pakai punuk! Hik hik hik.” Habis tertawa Nyi Retno bertanya. “Apa tempat kau hendak dibunuh tadi itu terletak di kotaraja?”

“Betul sekali Nyi Ret... eh Den Ayu. Apa Den Ayu tidak ingat lagi pada gedung besar kediaman Den Ayu sewaktu menjadi... maksud saya sewaktu tinggal di gedung Tumenggung?”

Nyi Retno Mantili gelengkan kepala. Dia tampak berpikir-pikir lalu bertanya. “Bagaimana kau bisa berada dalam keadaan ditotok dan terjepit pohon bambu?”

“Seorang nenek bernama Nyai Tumbal Jiwo menangkapku. Aku ditotok, dibawa ke kotaraja. Dijepit di pohon bambu di belakang gedung kediaman Wira Bumi. Nenek itu adalah guru Wira Bumi.”

“Kau berbuat dosa apa sampai orang memperlakukanmu seperti itu.”

“Saya sudah menceritakan tadi. Saya dituduh menculik dan menyelamatkan bayi. Padahal saya diperintahkan untuk membunuh bayi itu.”

“Kemuning, nasibmu jauh lebih baik. Tidak ada orang yang ingin menculikmu. Apalagi mau membunuhmu. Nah, nak. Sebentar lagi hari akan segera siang. Baiknya kita pergi dari sini.”

“Nyi... Den Ayu, tunggu. Kau mau ke mana?”

“Aku mau membawa anakku jalan-jalan. Udara pagi sangat baik bagi anak-anak.”

“Den Ayu, kalau boleh, saya mau ikut ke mana kau pergi.”

“Hemm... Aku curiga ada niat jahat dalam benakmu!”

“Demi Tuhan! Saya bersumpah tidak ada niat jahat dibenak dan hati saya. Kalau boleh saya bersedia menjadi pengasuh Kemuning.”

“Siapa namamu?”

“Djaka Tua. Saya...”

“Djaka Tua, aku tidak mau ketentraman diriku dan anakku terganggu orang lain. Pergi ke mana kau suka. Jangan berani mengikutiku.” Habis berkata begitu Nyi Retno Mantili melangkah pergi. Gerakan kakinya perlahan saja. Namun hanya dua kali kejapan mata sosoknya lenyap dari pemandangan.

Djaka Tua menghela nafas panjang. Hatinya sedih dan kecewa. “Dia menyelamatkan diriku dari kematian di tangan Wira Bumi. Aku sampai tidak sempat mengucapkan terima kasih. Tapi sedihnya dia tidak mengenali diriku. Tidak mengenali suaminya sendiri. Dulu dia seorang perempuan halus. Kini memiliki kesaktian luar biasa. Otaknya tidak waras. Sangat berbahaya seorang berotak miring memiliki kesaktian hebat. Dia senang kalau diajak bicara tentang anaknya. Mungkin satu-satunya cara menyembuhkan penyakit jiwanya adalah dengan mempertemukan dirinya dengan bayinya yang hilang itu. Tapi di mana aku bisa menemukan lagi kakek serba putih di goa tempo hari itu?”

Tanpa tujuan akhirnya Djaka Tua tinggalkan hutan kecil di pinggiran timur kotaraja itu. Ketika sang surya akhirnya muncul di timur, Djaka Tua telah jauh dari kotaraja. Di satu jalan setapak, langkah bekas pembantu di gedung kediaman Tumenggung Wira Bumi ini mendadak terhenti. Di depan sana dilihatnya Nyi Retno Mantili duduk di atas sebuah batu, asyik bermain-main dengan boneka kayu yang dianggapnya sebagai anak sendiri dan diberi nama Kemuning. Djaka Tua hentikan langkahnya lalu duduk di tanah, tak berapa jauh dari Nyi Retno. Setelah menunggu cukup lama akhirnya Nyi Retno memalingkan kepala, memandang kepadanya.

“Manusia bernama Djaka Tua! Mengapa kau muncul di sini. Rupanya kau sengaja mengikuti diriku dan Kemuning!”

“Maaf Den Ayu, hanya satu kebetulan saja saya menempuh jalan ini. Saya tidak tahu kalau Den Ayu dan Kemuning ada di sini. Kalau Den Ayu tidak suka kehadiran saya, mohon maaf. Baiknya saya pergi saja.”

Nyi Retno Mantili memandang ke langit. Tanpa berpaling pada Djaka Tua dia bertanya, “Kau sungguhan mau mengasuh Kemuning?”

“Apakah...”

Nyi Retno tersenyum. Dia ulurkan boneka kayu pada Djaka Tua yang segera disambut dan digendong oleh Djaka Tua seperti menggendong anak sungguhan. “Ah, anak itu tidak menangis. Berarti dia suka padamu.” Kata Nyi Retno pula.

“Syukurlah Kemuning senang pada saya,” kata Djaka Tua pula.

“Jaga dia baik-baik. Kalau sampai kenapa-kenapa kubuat benjut kepalamu!”

“Nyi Retno tak perlu khawatir. Saya akan menjaga Kemuning seperti anak sendiri.”

“Kau bilang belum pernah punya istri. Berarti tidak pernah punya anak. Sekarang bagaimana kau bisa berkata mau merawat Kemuning seperti anakmu sendiri? Hik hik hik...”

Djaka Tua tertawa. Dia merasa senang. Meski tidak waras ternyata Nyi Retno masih bisa berseloroh. “Nyi Retno...”

“Djaka Tua, kau terus-terusan memanggilku Nyi Retno. Aku tidak suka nama itu! Lagi pula namaku bukan Nyi Retno!”

“Maafkan saya Nyi... Den Ayu...” kata Djaka Tua perlahan. Hati pembantu ini sedih sekali. Kalau saja dia bisa melakukan sesuatu untuk menyembuhkan penyakit jiwa majikannya itu, pasti akan dilakukannya sekalipun dia diminta untuk mengorbankan nyawa.

“Matahari mulai menyengat. Tudungi Kemuning dengan kain ini. Aku mendengar ada suara kuda dipacu. Mungkin orang-orang dari gedung di kotaraja itu. Kita harus segera menyingkir dari sini. Ayo!”

********************

BAB 10

PUNCAK Gunung Merapi, malam gelap tanpa rembulan tiada bintang. Angin bertiup kencang dan dingin dari arah selatan. Lapat-lapat terdengar raungan srigala hutan di kejauhan lalu kesunyian kembali mencekam. Namun tidak lama. Tiba-tiba ada suara gemuruh. Entah dari mana datangnya sebuah gundukan batu besar menggelinding di lereng gunung sebelah barat. Merambas semak belukar, menumbangkan beberapa pohon besar dan akhirnya amblas masuk ke dalam satu kali kecil berair dangkal.

Ketika batu besar menggelinding, seorang berjubah kelabu berkelebat di udara. Sesekali orang ini jejakkan kakinya di batu yang menggelinding. Tubuh melesat ke udara. Setiap kali turun dia kembali jejakkan kaki di batu besar. Begitu seterusnya sampai batu besar hitam itu masuk dan berhenti menggelinding di sebuah kali kecil.

Di atas batu orang tadi berdiri tegak. Kepala mendongak langit. Mata mendelik besar. Dua kaki direnggangkan. Dua tangan diangkat tinggi-tiggi ke udara. Telapak tangan terbuka, lima jari kiri kanan terpentang rapat dan lurus. Dari mulutnya kemudian menggelegar teriakan keras.

“Guru Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat! Aku muridmu Pangeran Matahari. Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak! Pesan melalui mimpi sudah aku laksanakan! Saat ini aku sudah berdiri di atas batu perut bumi Gunung Merapi. Saat ini juga aku akan segera melakukan tapa Aras Langit Aras Bumi! Aku mohon pada malam Jum'at Kliwon mendatang rohmu sudi datang untuk memberi petunjuk! Banyak manusia jahanam di muka bumi ini yang telah mencelakai dan menyengsarakan diriku! Aku ingin pembalasan! Aku ingin petunjuk dan bantuan dari Guru!”

Sunyi. Lalu di kejauhan kembali terdengar srigala hutan meraung panjang. Lelaki tinggi besar berjubah kelabu hantamkan tumit kaki kanannya dua kali berturut-turut ke atas permukaan batu.

"Dess! Desss!"

Batu besar hitam meledak membentuk cegukan. Perlahan-lahan Pangeran Matahari rendahkan tubuh lalu duduk bersila di dalam cegukan batu. Dua lengan disilang di depan dada. Masing-masing tangan ditumpangkan di atas bahu kiri kanan. Kepala yang mendongak perlahan-lahan diturunkan dan bersamaan dengan itu sepasang mata dipejamkan.

********************

MALAM Jum'at Kliwon. Udara di Puncak Gunung Merapi dingin bukan kepalang. Apalagi hujan gerimis mulai turun dan tiupan angin sangat kencang. Ketika malam sampai di pertengahannya, di kejauhan terdengar raungan panjang srigala hutan. Bersamaan dengan itu tubuh Pangeran Matahari yang duduk bertapa di atas cegukan batu besar yang setengah tenggelam dalam kali kecil kelihatan bergetar. Tubuh itu menggigil seperti diselimuti es. Rahang sang Pangeran menggembung. Geraham bergemeletakan. Dari mulut dan hidung mengepul keluar asap kemerahan!

Cukup lama berada dalam keadaan seperti itu, dari arah langit sebelah timur muncul sebentuk kabut aneh, berputar melayang ke arah kali kecil. Bersamaan dengan itu muncul dua mata membersitkan cahaya biru. Seekor srigala coklat berdiri di pinggiran kali, lalu duduk di kedua kaki belakangnya, menatap ke arah batu besar di tengah kali. Getaran tubuh Pengeran Matahari semakin keras. Batu besar di mana dia duduk ikut bergoyang. Kabut aneh diatas kali bertambah dekat, lalu mengapung diam sejarak tujuh langkah dari hadapan batu besar.

Saat demi saat kabut ini berubah membentuk sosok samar manusia. Sedikit demi sedikit sosok samar ini bertambah jelas dan akhirnya menampilkan ujud seorang kakek bungkuk, berpakaian rombeng, memiliki rambut putih sepunggung. Yang menggidikkan dari manusia ini adalah mukanya yang sangat pucat dihias sepasang mata besar cekung dan mulut pencong perot.

Manusia dari alam roh ini bukan lain adalah ujud jejadian dari Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat, guru Pangeran Matahari yang menemui ajal sewaktu terjadi pertempuran hebat antara para tokoh silat golongan hitam melawan golongan putih di Pantai Pangandaran. Si Muka Bangkai tewas di tangan pendekar gendut yang dalam rimba persilatan tanah Jawa dikenal dengan nama Bujang Gila Tapak Sakti. (Baca serial Wiro Sableng berjudul Kiamat Di Pangandaran)

Si Muka Bangkai menatap ke arah Pangeran Matahari yang bersila di atas batu, berpaling pada srigala yang duduk di tepi kali lalu, klik! Dia jentikkan ibu jari dan jari tengah tangan kanan.

“Pergilah! Aku berterima kasih kau telah menuntunku ke tempat ini!”

Srigala coklat tinggikan kepala, meraung panjang lalu tinggalkan tempat itu. Si Muka Bangkai memandang kembali ke arah muridnya.

“Pangeran Matahari! Aku datang sesuai perjanjian dalam mimpi. Rohku cukup susah mencarimu. Wajahmu tertutup topeng setan bersambung rambut palsu warna kelabu. Pakaianmu tidak lagi berwarna hitam tapi sehelai jubah abu-abu! Untung ada makhluk bernama srigala itu menuntunku ke sini. Mana mantel hitammu?! Apa yang terjadi dengan dirimu?! Aku ragu, apakah aku benar-benar berhadapan dengan Pangeran Matahari putera Raja Surokerto dari istri ke tiga bernama Raden Ayu Siti Hinggil?”

Mendengar suara sang guru, getaran di tubuh Pangeran Matahari lenyap. Sepasang matanya yang selama tujuh hari tujuh malam selalu terpejam, perlahan-lahan terbuka. Lalu dia turunkan dua tangan yang bersilang di bahu.

“Guru!” Pangeran Matahari berseru lalu berdiri dan membungkuk dalam-dalam. “Aku adalah muridmu, Pangeran Matahari. Aku mohon maafmu. Kesengsaraan telah membuat diriku kehilangan banyak hal dan terpaksa berprilaku aneh...”

Habis berkata begitu Pangeran Matahari buka topeng tipis yang membungkus kepala dan rambutnya, menanggalkan jubah abu-abu hingga kini dia berdiri di atas batu hanya mengenakan secarik kancut hitam.

Si Muka Bangkai perhatikan wajah asli dan tubuh muridnya dengan sepasang mata cekung tak berkesip. Kulit mukanya tampak semakin pucat. Memandang wajah sang murid yang cacat membuat dia mengernyit. Dia juga melihat ada bekas cidera pada lengan kiri sang Pangeran. Seperti dituturkan dalam serial Wiro Sableng Kiamat Di Pangandaran terjadi perkelahian hebat antara Pangeran Matahari dengan Wiro. Keduanya jatuh ke dalam jurang.

Pada saat melayang jatuh Wiro sempat menghajar lawan dengan pukulan berantai. Hidung dan mulut Pangeran Matahari hancur. Pipi kiri remuk, mata kiri luka parah melesak ke dalam. Pangeran Matahari jatuh ke dalam jurang yang kemudian diselamatkan oleh seorang sakti penghuni Jurang Teluk Pananjung bernama Singo Abang. Wiro sendiri ditolong oleh Dewa Tuak.

“Melihat mukamu yang hancur-hancuran begini rupa, tidak heran kalau kau benar-benar menginginkan kematian Pendekar 212 Wiro Sableng murid nenek keparat bernama Sinto Gendeng itu!”

“Guru, penderitaanku lebih dari sebuah dendam.”

“Aku mengerti. Aku melihat cacat di lengan kirimu. Ada bekas sambungan pada tulang dan daging. Siapa yang punya pekerjaan?”

“Panjang kisahnya. Apakah Guru mau mendengarkan?”

“Bicaralah. Kalau perlu sampai pagi. Yang penting kau telah menyelesaikan tapa Aras Langit Aras Bumi.” jawab Si Muka Bangkai sambil sunggingkan senyum di mulutnya yang perot. Sampai saat itu sosoknya berdiri mengapung di udara di atas kali kecil.

Pangeran Matahari memulai ceritanya dari rencana menguasai rimba persilatan tanah Jawa dengan pendirian Partai Bendera Darah yang berpusat di 113 Lorong Kematian. Rencana itu sekaligus untuk mengatur jebakan maut bagi musuh bebuyutannya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun rencana itu menemui kegegalan bahkan bukit batu di mana 113 Lorong Kematian berada kemudian diruntuh-musnahkan oleh Bunga, gadis sakti dari alam roh.

“Sebelum 113 Lorong Kematian musnah, aku bertemu dengan seorang pemuda yang muka dan sekujur tubuhnya berwarna kuning. Dia adalah salah seorang kawan Pendekar 212 yang ikut menyerbu ke dalam lorong. Aku menyirap kabar kalau manusia satu ini makhluk dari alam lain yang terpesat ke bumi. Saat kutemui dia berada dalam keadaan tidak berdaya di tepi telaga. Ketika hendak kuhabisi muncul makhluk perempuan berbentuk bayangan menolong. Aku tak berdaya menghadapinya. Dia berhasil membawa lari pemuda berkulit kuning itu. Saat itu aku merasa putus asa. Aku merasa seperti tidak punya kesaktian apa-apa lagi. Menghadapi makhluk bayangan itu saja aku tidak punya kemampuan. Aku khawatir semua ilmu kesaktian yang aku dapat dari Guru telah ikut musnah...”

“Tidak, semua ilmu yang aku berikan padamu masih ada dalam dirimu. Hanya ilmu sedotan yang kau dapat selama dalam lorong telah terkuras musnah.” kata Si Muka Bangkai pula.

“Guru, aku mohon petunjukmu, siapa gerangan adanya makhluk bayangan itu. Bagaimana caranya aku bisa mengalahkannya. Aku punya firasat akan menemuinya kembali.”

Si Muka Bangkai rangkapkan dua tangan di depan dada. Tubuh doyong membungkuk ke depan. Mata dipejam. Sesaat kemudian dia luruskan badan dan buka dua matanya yang cekung. “Makhluk perempuan berbentuk bayangan itu memiliki tabir aneh yang hanya sedikit sekali bisa kutembus. Mungkin dia punya hubungan dekat dengan pemuda berkulit kuning itu. Aku punya dugaan mereka sama-sama datang dari alam lain yang terpisah beratus-ratus tahun dari alammu sekarang. Namun antara keduanya terdapat perbedaan. Mungkin sekali perempuan bayangan itu telah mengalami kematian di alamnya...”

“Berarti dia adalah makhluk alam roh seperti Guru. Juga seperti Bunga gadis jahanam menghancurkan lorong. Karena sama-sama berada di alam roh, bukankah mudah saja bagimu untuk menghabisi kedua perempuan itu?”

Si Muka Bangkai menyeringai. “Alam roh berlapis-lapis, bertingkat-tingkat. Mungkin lebih dari seratus tingkat. Tidak mudah masuk ke lapisan atau tingkatan lain. Tapi jika mereka gentayangan di muka bumi ini, tidak mustahil aku bisa menemui dan melabraknya. Akan aku bereskan mereka satu persatu. Makhluk perempuan bayangan itu akan aku selesaikan lebih dulu karena aku melihat dia yang paling berbahaya bagi masa depanmu ketimbang Wiro Sableng!”

“Terima kasih, tidak sia-sia aku punya guru sepertimu.” ucap Pangeran Matahari memuji yang disambut dengan tawa mengekeh oleh Si Muka Bangkai.

Kakek ini tahu kalau kata-kata muridnya itu hanya basa basi kecerdikan belaka. “Pangeran, hanya itukah yang ingin kau tanyakan padaku?”

“Banyak, masih banyak hal lainnya,” jawab Pangeran Matahari. “Semasa Guru hidup dulu, apakah Guru pernah mendengar riwayat sebuah kitab sakti Kitab Seribu Pengobatan? Ada kabar bahwa kitab itu dicuri orang. Kalau Guru bisa membantu memberi tahu di mana beradanya, aku sangat menginginkan kitab itu.”

Kembali Si Muka Bangkai rangkapkan dua tangan di depan dada lalu picingkan mata. “Aku melihat bayangan samar di satu tempat. Ada keperluan apa kau menginginkan kitab itu?”

“Maaf Guru, aku tidak mungkin mengatakan mengapa aku menginginkan kitab itu.”

“Kalau begitu aku juga tidak mungkin memberi tahu di mana beradanya kitab itu.” kata Si Muka Bangkai pula dengan senyum sinis di wajah.

Pangeran Matahari terdiam. Hatinya jengkel. Diam-diam dia memaki dalam hati. Namun dia tidak bisa berbuat lain. Maka diapun memberi penuturan. “Sewaktu menyelamatkan diri dari lorong, di satu tempat tak terduga aku memergoki Bidadari Angin Timur. Kelihatannya dia sedang kacau pikiran karena ketika kutemui dia dalam keadaan menangis. Aku pergunakan kesempatan. Setelah kutotok aku siap untuk memperkosanya. Tapi nasib sial menimpaku. Ada manusia keparat memberi pertolongan. Dia membokongku dengan satu pukulan sakti berupa sinar merah. Serangan itu nyaris membabat putus batang kemaluanku. Aku pergi menemui seorang ahli pengobatan bernama Ki Tambakpati. Dia bisa menyambung kembali kemaluanku yang putus namun memberi tahu bahwa sebagai laki-laki aku akan kehilangan kejantananku. Satu-satunya penyembuhan yang bisa dilakukan adalah dengan mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan. Guru, aku inginkan kitab itu. Aku juga ingin tahu siapa bangsatnya yang telah mencelakaiku!”

Si Muka Bangkai menyeringai. Mata kembali dipejamkan. Sesaat kemudian kakek bermuka pucat seperti mayat ini berkata, “Agaknya yang mencelakaimu adalah orang dari alam yang sama dengan perempuan bayangan itu. Bedanya di dalam alamnya orang ini masih hidup. Dia memiliki satu keanehan. Sulit bagiku untuk melihat jelas karena dia punya dinding penyekat terhadap alam roh di mana aku berada. Kelak jika aku bisa menemukan perempuan bayangan, manusia satu itu akan bisa juga aku ketahui siapa dia adanya.”

“Lalu tentang Kitab Seribu Pengobatan?” tanya Pangeran Matahari pula.

Masih dalam memejamkan mata dan sambil rangkapkan dua tangan di depan dada Si Muka Bangkai menjawab, “Penglihatan samarku menyatakan kitab itu ada di puncak Gunung Gede. Terpendam di lantai tanah pondok kediaman Sinto Gendeng. Pondok itu ini tampak sama rata dengan tanah. Sesuatu telah terjadi di sana. Jika kau menginginkan kitab itu cepat pergi ke sana karena dalam waktu singkat berita tentang keberadaan kitab itu di bekas tempat kediaman Sinto Gendeng akan bocor ke mana-mana. Aku melihat, selain dirimu ada beberapa orang lain yang menginginkan kitab itu.”

“Guru adalah aneh,” ucap Pangeran Matahari pula. “Sinto Gendeng dan Wiro Sableng menyatakan kitab itu lenyap dicuri orang. Bagaimana sekarang ternyata masih ada di tempat kediaman Sinto Gendeng?”

“Bisa saja kedua orang itu menebar berita bohong dengan maksud mengelabuhi. Biar nyata kau harus pergi ke Gunung Gede, menyelidiki dan dapatkan kitab itu.”

“Akan aku lakukan, Guru.” jawab Pangeran Matahari.

“Pangeran, di alam roh aku menyirap banyak terjadi peristiwa perkosaan disertai pembunuhan belakangan ini. Konon pelakunya disebut dengan nama Hantu Pemerkosa. Berat dugaanku orang itu adalah kau. Benar?!” Si kakek pencongkan mulut dan delikkan mata.

Pangeran Matahari tertawa lebar. “Aku hanya ingin menguji bahwa Ki Tambakpati tidak menipuku.”

“Maksudmu?”

“Bahwa akibat cidera di kemaluanku aku akan kehilangan kejantanan, kecuali jika mendapat pengobatan yang ada petunjuknya dalam Kitab Seribu Pengobatan.”

“Apakah kau berhasil membuktikan kebenaran ucapannya?”

“Juru obat itu tidak berdusta. Aku tidak mampu memperdayakan kejantananku.”

“Lalu mengapa semua perempuan korbanmu mengalami kerusakan pada bagian keperempuanannya?” tanya Si Muka Bangkai dengan mata besar memandang tak berkesip.

“Aku mempergunakan jari-jari tanganku,” jawab Pangeran Matahari enteng saja.

Si Muka Bangkai dalam masa hidupnya jauh lebih keji dari sang murid. Namun mendengar keterangan Pangeran Matahari kakek ini hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Jika tidak ada hal lain, aku akan segera pergi...”

“Guru, tunggu. Aku ingin kau memberi petunjuk tentang dua orang perempuan aneh yang telah menyerangku. Pertama seorang perempuan muda bertubuh kecil berotak miring yang membawa boneka kayu perempuan. Ketika aku hendak memperkosanya dia menyerang dengan dua larik cahaya putih yang keluar dari mata boneka. Aku menderita luka dalam cukup parah. Di lain saat pada kejadian dan tempat yang sama muncul seorang nenek berwajah putih. Dia menuduhku sebagai Hantu Pemerkosa. Aku menyerangnya dengan satu pukulan sakti tapi dia balas menghantam dengan satu sinar biru yang membuat buntung tangan kiriku. Guru, yang luar biasa sinar biru itu keluar dari pusar nenek bermuka putih. Entah ilmu gila apa yang dimilikinya. Aku terpaksa lari menyelamatkan diri. Aku ingin tahu apakah nenek muka putih itu merupakan orang yang sama dengan perempuan muda berotak miring yang membawa boneka. Jika tidak siapa mereka? Aku yakin nenek muka putih akan terus menguntit ke mana aku pergi. Guru, aku mohon petunjuk bagaimana untuk menghadapi mereka.”

Untuk kesekian kalinya Si Muka Bangkai merenung dengan cara bersidekap lengan dan pejamkan mata. Sekali ini cukup lama baru dia membuka mata dan berkata, “Perempuan sinting pembawa boneka punya kaitan dengan seorang pejabat tinggi kerajaan dan seorang tokoh silat yang tidak dapat aku sirap siapa adanya dan di mana keberadaannya. Kau tak usah mengkhawatirkan perempuan satu ini, tapi karena kau sudah menjatuhkan niat jahat sebaiknya untuk sementara menghindari dengannya. Petinggi kerajaan itu aku sirapi memiliki hubungan dengan seorang nenek sakti, jahat dan mesum yang juga telah berada di alam roh. Aku berharap kau tidak akan bertemu dengan nenek ini karena sekali dia melihatmu kau bisa dijadikannya budak nafsu. Mengenai perempuan yang punya ilmu kesaktian berupa cahaya maut biru yang bisa keluar dari pusarnya, dia adalah seorang pendatang baru rimba persilatan tanah Jawa. Kau harus sangat berhati-hati terhadapnya. Aku coba menembus melihat siapa dirinya tapi ada pelindung berkepandaian tinggi menghalangi. Ada sebentuk lingkaran merah di sekitar tubuh perempuan ini. Kalau aku tidak keliru perempuan ini dipanggil dengan nama Nyai atau Nyi Bodong. Kehadirannya sangat berbahaya bagi semua kawan golongan hitam termasuk dirimu...”

“Guru aku ingin petunjukmu lebih lanjut! Aku tidak ingin mati mengenaskan di tangan perempuan bernama Nyi Bodong itu sebelum membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.”

Si Muka Bangkai menghala nafas panjang lalu berkata, “Kau pergilah ke puncak Gunung Merapi sebelah utara, ke bekas goa tempat kediamanku. Di sana kau akan menemukan seperangkat pakaian yang harus kau pakai begitu kau turun gunung. Di dalam goa kau akan menemukan sebuah lentera yang hanya bisa menyala jika kau isi dengan minyak kasturi ini.”

Dari balik pakaian rombengnya Si Muka Bangkai keluarkan sebuah tabung terbuat dari bambu. Tabung bambu ini dilemparkan ke arah Pangeran Matahari yang segera ditangkap oleh sang murid. Si Muka Bangkai lanjutkan ucapannya, “Pada dinding goa kau akan melihat guratan tulisan yang aku buat sebagai petunjuk penggunaan dan kegunaan benda itu. Untuk sementara sampai keadaan aman bagimu, kau hanya boleh menampakkan diri pada malam hari. Demi keselamatanmu kau harus membawa dan menyalakan lentera itu ke manapun kau pergi. Kau harus sadar musuhmu kini bukan hanya murid Sinto Gendeng keparat itu. Banyak orang lain yang menginginkan nyawamu! Sebelum aku lupa, ada satu hal yang harus kau ingat baik-baik. Lentera yang aku katakan tadi sekali-kali tidak boleh terkena atau bersentuhan dengan cairan atau air yang keluar dari tubuh manusia. Misalnys air mata, air keringat, air kencing bahkan air mani! Ha ha ha...! Pokoknya semua air yang berasal dari tubuh manusia! Kalau larangan itu sampai dilanggar kau akan ditimpa malapetaka besar!”

“Aku akan ingat baik-baik pantangan itu, Guru. Apakah aku masih boleh mengenakan topeng muka setan dan rambut palsu kelabu ini?”

“Pergilah ke goa di puncak Merapi. Kau akan mengetahui apa yang harus kau lakukan. Satu hal harus kau ingat. Selesai membaca dan memahami guratan tulisanku di dinding goa, tulisan itu harus kau kikis habis. Harus kau lenyapkan! Kau mengerti?!”

“Aku mengerti, Guru. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas semua petunjuk dan budi baikmu.”

Si Muka Bangkai menyeringai. “Pertemuan kita cukup sampai di sini. Aku akan kembali ke alamku. Kau tidak bisa memanggilku lagi sampai tiga ratus hari di muka. Aku pergi.”

Sosok Si Muka Bangkai perlahan-lahan berubah menjadi asap samar, berputar beberapa kali di atas kali sementara di kejauhan terdengar suara raungan srigala. Murid Si Muka Bangkai merasa tubuhnya bergetar menggigil. Keadaan ini baru lenyap begitu asap samar membumbung ke udara dan lenyap dalam kegelapan malam.

Pangeran Matahari perhatikan tabung bambu yang tadi diberikan Si Muka Bangkai. Kayu penyumpal tabung dibukanya. Tempat itu serta merta ditebari harumnya bau minyak kasturi. “Minyak aneh...” ucap Pangeran Matahari perlahan. “Lenteranya pasti lebih aneh lagi. Guru geblek! Apakah tidak ada benda lain yang bisa diberikannya padaku selain lentera itu?! Edan!”

Sang Pangeran bangkit berdiri. Dia cepat kenakan jubah kelabu, topeng setan dan rambut palsu lalu menghambur ke arah utara. Yang dilakukannya saat itu juga adalah segera pergi ke puncak Gunung Merapi sesuai petunjuk gurunya Si Muka Bangkai.

********************

HANYA beberapa saat saja setelah Pengeran Matahari tinggalkan kali kecil satu bayangan berkelebat di kegelapan malam. Orang ini memperhatikan ke arah batu besar lalu dongakkan kepala menghirup udara malam.

“Jelas dia ada di tempat ini sebelumnya. Ke mana perginya? Aku mencium bau harum aneh. Setahuku manusia terkutuk itu tidak pernah memakai wewangian.” Orang ini memandang berkeliling. “Ada sisa-sisa kabut dalam selubung wangi kasturi.”

Sekali lagi orang ini mendongak menghirup udara malam. Kali ini disertai pengerahan tenaga dalam. Mulutnya bergumam. Sepasang mata membesar. “Hantu Pemerkosa. Kau meninggalkan dan membawa bau yang menjadi pangkal celaka bagi dirimu! Kau tengah menuju ke utara! Aku tahu ke mana tujuanmu.”

Tanpa menunggu lebih lama orang ini segera berkelebat ke arah utara yakni arah perginya Pangeran Matahari setelah pertemuan dengan gurunya Si Muka Bangkai tadi. Namun tak terduga, satu bayangan laksana angin memotong larinya. Di dalam gelapnya malam makhluk ini membentuk sosok samar seorang kakek bertubuh bungkuk yang sulit dikenali.

“Makhluk keparat! Siapapun kau adanya jangan berani berlaku kurang ajar menghalangi langkahku?”

“Aku memperingati, kau malah tertawa melecehkan! Jika kau makhluk jejadian maka rohmu akan menemui kematian untuk kedua kalinya! Kau tak akan bisa lagi gentayangan. Rohmu akan tergantung antara langit dan bumi!”

Habis berkata bergitu orang di tepi sungai angkat tangan kiri ke atas. Telapak tangan diarahkan pada makhluk samar. Lima jari terpentang lurus. Dari mulut orang ini kemudian keluar suara raungan menggidikkan disusul suara tawa cekikikan, panjang dan angker. Ketika lima jari membuat gerakan meremas, tangan kanan bergerak menyibak baju. Perut putih tersingkap menyembulkan pusar bodong menonjol. Luar biasa!"

Wusss!" Dari pusar bodong itu melesat keluar satu cahaya biru pekat menyilaukan, menyambar ke arah bayangan samar sosok kakek bungkuk.

“Nyi Bodong!” Makhluk samar ternyata bisa keluarkan jeritan keras. Lalu,...

"Buummm!"

Sosok samar melolong dahsyat seolah menembus langit malam. Ujudnya cabik-cabik, bertebaran dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Anehnya di tempat bekas lenyapnya sosok samar tadi kini tergelimpang tubuh seekor srigala dalam keadaan tercabik-cabik mulai dari kepala sampai ke ekor dan mengepulkan asap berbau busuknya bangkai

Orang di tepi kali yang ternyata seorang nenek berwajah putih rapikan rambutnya yang panjang hitam riap-riapan lalu setelah keluarkan suara mendengus dia berkelebat ke arah utara.

T A M A T

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.