Perjodohan Berdarah
Dalam gelap wajah cantik si gadis pancarkan amarah keberingasan. Hati berucap. “Wiro, kalau boleh memberi sejuta nama pada gadis berwarna biru itu. Tapi akhir dari segalanya adalah kematian! Tidak ada seorangpun boleh dan bisa merebut dirimu dari tanganku!”
Perlahan-lahan orang ini angkat tangan kanannya ke atas. Lima jari dipentang kaku laksana lima potongan baja! Mulut merapal mantera. Lima jari tangan serta merta berubah menjadi merah laksana bara menyala. Di lain kejap dari arah pohon besar melesat lima larik sinar merah. Menyambar cepat dan ganas ke arah bagian tubuh sebelah belakang ratu Duyung.
“Ratu! Intan! Awas! Ada orang menyerangmu dari belakang!” teriak Wiro. Secepat kilat dia melompat ke depan. Tangan kiri menodorng gadis bermata biru itu sementara tangan kanan lepaskan pukulan Kincir Padi Berputar disusul dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari...
BAB SATU
LENYAP dicurinya Pedang Naga Suci dari tempat kediamannya di dasar telaga di puncak Gunung Gede membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas bertindak turun gunung. Orang tua sakti yang dianggap setengah Dewa ini berhasil menemukan si pencuri pedang yaitu bukan lain adalah Luhrembulan, gadis cantik dari alam 1200 tahun silam.
Sebenarnya yang mengambil pedang sakti itu bukan Luhrembulan, tapi Nyai Tumbal Jiwo yang dalam beberapa waktu belakangan ini menampilkan diri sebagai gadis cantik bernama Nyi Wulas Pikan. Namun begitu berhasil mendapatkan pedang sakti, Nyi Wulas Pikan tidak memampu memegang senjata itu. Tangannya terkelupas melepuh kepanasan. Pedang yang kemudian dilempar oleh Nyi Wlas Pikan disambar lalu dibawah kabur oleh Luhrembulan.
Ketika Luhrembulan bertarung dengan Purnama yang sama-sama mahluk dari Latanahsilam, Wiro berusaha mencegah. Dalam kalapnya Luhrembulan bukan saja menyerang Purnama tetapi juga menyerbu Wiro. Tidak ada jalan lain, murid Sinto Gendeng terpaksa mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Celakanya tanpa bisa dicegah kapak sakti itu dirampas oleh Purnama lalu dipakai untuk menyerang Luhrembulan. Purnama berhasil membunuh Luhrembulan dengan kapak sakti.
Sementara Nyi Wulas Pikan alias Nyai Tumbal Jiwo yang penasaran atas lenyapnya pedang sakti itu berusaha mengejar dan mendapatkan Pedang Naga Suci 212 kembali. Di bagian sungai yang dangkal dia bertemu dengan seorang pemuda gendut yang telah lebih dulu menemukan Pedang Naga Suci 212. Walau senjata sakti itu beberapa kali menyerang dirinya pemuda ini dengan mempergunakan sebuah kipas kertas berhasil menjinakkan dan memegang pedang.
Hal ini membuat kagum Nyi Wulas Pikan. Segera saja dia keluar dari tempat persembunyiannya menemui pemuda gendut berpenampilan dogol yang sebenarnya adalah salah satu tokoh rimba persilatan dikenal dengan nama Bujang Gila Tapak Sakti, keponakan Dewa Ketawa dan sobat karib Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu berhadapan dengan si gendut Nyi Wulas Pikan kenalkan diri dan memuji.
“Hebat! Kau mampu menjinakan Pedang Naga Suci Dua satu Dua! Bagamana kau melakukannya? Mantera apa yang kau baca?”
Bujang Gila Tapak Sakti yang tertarik akan kecantikan dan kesintalan tubuh molek si gadis berpakaian hijau kedap-kedipkan mata dan menjawab. “He... he. Aku tidak membaca mantera apa apa. Kipas ini yang menolongku.”
“Hebat! Kipasmu itu pasti sama saktinya dengan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua”
“He he he. Kipasku cuma kipas jelek.” Si gendut merendah lalu bertanya. “Bagaimana kau tahu kalau pedang ini bernama Pedang Naga Suci Dua Satu Dua?”
“Aku hanya menduga. Tidakkah kau melihat ada guratan angka dua satu dua pada dua sisi pedang?”
Atas pertanyaan Nyi Wulas Pikan, si gendut memberi tahu, nama. Tak lupa mengatakan babwa dia berusia 20 tahun walau sebenarnya sudah 80 tahun. Tahu kalau Bujang Gila Tapak Sakti tertarik pada kecantikan wajah dan kemolekan tubuhnya Nyi Wulas Pikan mulai menggoda dan merayu. Gadis ini mengatakan mau dikawini si pemuda asal diajarkan bagaimana caranya agar bisa memegang Pedang Naga Suci 212 tanpa tangan menderita panas dan luka melepuh.
Bujang Gila Tapak Sakti memberi tahu bahwa sebenarnya dia juga merasa panas memegang pedang tersebut namun tangannya tidak sampai melepuh. Ini disebabkan karena dia memiliki kekuatan berupa hawa dingin dalam tubuhnya.
“Kalau begitu berikan kesaktian hawa dingin itu padaku,” mengajuk Nyi Wulas Pikan.
“Memberikan hawa dingin dalam tubuhku padamu? Bagaimana caranya?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti pula.
Nyi Wulas Pikan mendekati si gendut ia lalu berbisik. “Tiduri diriku. Kau berbuat pahala sekaligus mendapat kenikmatan dan aku merasa bahagia.”
Mata belok Bujang Gila Tapak Sakti mendelik tambah besar. Tubuhnya langsung keringatan! “Heh, kau ini bicara apa?! Kau sungguhan?!”
“Aku tidak main-main.” Jawab Nyi Wulas Pikan sambil kedipkan mata dan layangkan senyum.
“Kita... kita mau melakukannya dimana?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti sambil pegang bagian bawah celana gombrongnya seperti orang kebelet kencing!
Nyi Wulas Pikan memandang berkeliling. “Di bawah pohon sana. Tanahnya tidak terlalu basah. Sepi dan kelindungan.”
Lalu gadis jejadian Nyai Tumbal Jiwa ini mendahului melangkah cepat ke bawah pohon besar. Ketika dilihatnya pemuda gendut masih tak beranjak dari tempatnya Nyi Wulas Pikan lambaikan tangan memanggil. Bujang Gila Tapak Sakti tampang dan sikapnya boleh dogol. Tapi ini tidak berarti otaknya tolol.
“Gadis cantik, aku ya mau-mau saja dikasih barang enak. Tapi permainan sandiwara apa yang tengah kau lakukan?” ucap si gendut ini dalam hati. Namun dia jadi terperangah ketika melihat di bawah pohon sana Nyi Wulas Pikan telah menanggalkan seluruh pakaiannya sebelah atas hingga kini keadaan perempuan cantik itu jadi setengah bugil!
Hawa panas menjalari tubuh Bujang Gila Tapak Sakti. Bukan saja yang berasal dari hawa sakti yang memancar dari pedang sakti bergulung tapi juga akibat menahan gelora nafsu. Perlahan-lahan Bujang Gila Tapak Sakti berjalan ke arah pohon. Beberapa langkah lagi dia akan sampai di hadapan Nyi Wulas Pikan tiba-tiba gulungan pedang sakti yang ada di tangan kanannya memancarkan sinar terang dan sreett! Pedang terlepas dari pegangan, membeset ke atas.
“Brett!” Lengan kiri baju pemuda gendut robek. Kulit tergores. Selagi dia menahan sakit, pedang sakti kembali berkelebat.
Kali ini melesat ke arah Nyi Wulas Pikan. Mendapat serangan ganas, gadis jejadian Nyi Tumbal Jiwo ini menangkis dengan menjentikan lima jari tangan. Lima larik sinar merah angker menderu ke arah Pedang sakti. Pukulan Lima Jari Akhirat! Terdengar suara berdentringan lima kali berturut-turut. Pedang Naga suci 212 nampak tersentak limbung di udara. Namun sesaat kemudian didorong satu kekuatan luar biasa senjata ini kembali ke arah Nyi Wulas Pikan. Si gadis berteriak keras, secepat kilat jatuhkan diri ke tanah.
Pedang Naga Suci 212 menancap di pohon besar sampai ke gagang. Nyi Wulas Pikan menyadari dia tidak akan sanggup menghadapi senjata sakti itu maka dia cepat menyambar baju yang tergeletak di tanah siap untuk kabur. Namun saat itu pedang sakti yang menancap di pohon bergerak surut, mengambang di udara lalu di lain kejap menderu ke arah dirinya!
Kali ini Nyi Wulas Pikan tidak mampu bergerak selamatkan diri karena saat itu dia sedang membungkuk tengah mengambil pakaian. Kalau sampai dirinya dibantai pedang sakti, rohnya akan terlempar ke alam gaib untuk selama-lamanya, tak mungkin lagi berkeliaran gentayangan di muka bumi. Nyi Wulas Pikan menjerit keras. Sesaat lagi pedang itu akan menancap di dadanya yang busung putih tiba-tiba muncullah Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Pedang Naga Suci Dua Satu Dua! Bukan saatnya kau membunuh! Kembali padaku!”
Pedang sakti berhenti melesat lalu bergulung dan melayang ke arah sang Kiai. Setelah menyimpan senjata itu di balik pakaian putihnya Kiai Gede Tapa Pamungkas membentak Nyi Wulas Pikan.
“Gadis jalang! Beraninya kau berbuat mesum di tempat ini!”
Nyi Wulas Pikan mencibir, tertawa cekikikan lalu tinggalkan tempat itu sambil terapkan ilmu Di balik Asap Roh Mencari Pahala.
“Jangan pergi!” teriak Kiai Gede Tapa Pamungkas seraya mengejar.
Namun sosok si gadis setengah bugil telah lenyap. Yang terdengar hanya suara ucapan mengejek. “Orang tua! Aku tahu kau cuma pura-pura marah! Aku melihat sinar matamu! Kau menikmati pemandangan dadaku yang bagus! Hik hik hik!”
Wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas berubah merah mengelam. Mulut berkomat-kamit mengucap istigfar berulang kali. Kini kemarahannya ditumpahkan pada si gendut Bujang Gila Tapak Sakti.
BAB DUA
Dengan bergetar menahan amarah Kiai Gede Tapa Pamungkas menegur. “Kau tahu siapa diriku! Aku juga sudah tahu siapa dirimu! Apa pantas bagi seorang pendekar rimba persilatan yang konon keponakan Dewa Ketawa berbuat mesum di tempat ini?!”
Bujang Gila Tapak Sakti Putar kopiah kupluknya lalu menjawab. “Kiai, aku tidak berbuat mesum. Perempuan itu sendiri yang menanggalkan bajunya. Aku tidak menyuruh!”
“Bujan Gila Tapak Sakti, jangan bermain kata-kata denganku!”
“Kiai, dengar. Kau salah menduga. Gadis tadi bermaksud menggodaku. Usiaku sudah delapan puluh tahun. Aku tak mungkin tertipu. Sebenarnya gadis tadi ingin mendapatkan pedang bergulung yang sudah kau simpan itu.”
“Sudahlah, sulit aku percaya dengan ucapanmu. Aku hanya ingin tahu satu hal. Apa kau berkomplot dengan gadis tadi, membantunya dengan ilmu kesaktianmu mencuri Pedang Naga Suci Dua Satu Dua dari tempat kediamanku di dasar telaga?”
“Kiai, ceritanya begini. Aku menemui pedang bergulung itu sewaktu aku lagi berbaring di sungai dangkal. Gadis tadi ingin menguasai pedang tapi tidak bisa. Jika dia menyentuh pedang maka tangannya jadi melepuh.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas perhatikan tangan kanan Bujang Gila Tapak Sakti. Tangan itu tampak agak kemerahan tapi tidak luka apa lagi melepuh. Ini satu pertanda bahwa si pemuda memiliki ilmu kepandaian tinggi. “Kalau kau tidak bersekongkol dengan gadis jejadian tadi, lalu mengapa kau bisa terpesat ke tempat ini?”
Si gendut putar lagi kopiah kupluk di atas kepalanya. Tubuhnya mulai terasa panas. Dia kembangkan kipas kertas dan kipas-kipas leher serta wajahnya. Kiai Gede Tapa Pamungkas merasa ada hawa aneh keluar dari angin kipasan.
“Kiai, tidak ada hujan tidak ada angin, tidak ada ujung tidak ada pangkal, dari tadi kau selalu mengambil sikap mencurigaiku. Memangnya apa ada peraturan dalam rimba persilatan bahwa seseorang tidak boleh pergi ke mana dia suka?”
“Memang tidak ada peraturan. Tapi lain dengan dirimu!”
Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak sampai matanya yang belok berair. Dalam tertawa hatinya kesal dan jengkel. Lantas saja ia lontarkan kata-kata mengejek.
“Ah, rupanya aku ini ada kelainan. Tapi aku masih bisa bersyukur. Kiai, dibanding dengan dirimu kita memang jelas-jelas lain. Kau kurus kerempeng. Aku gendut berlemak! Kau berambut putih nyaris sulah. Rambutku hitam dan lebat! Kau punya kumis dan janggut putih. Mukaku tembam tapi klimis. Aku mengenakan baju terbalik dan celana komprang gombrong. Kau mengenakan pakaian selempang kain putih tidak berjahit. Aku masih tegap, kau sudah reot. Aku masih ada bau-bau wangi keringat, kau sudah bau tanah! Anuku masih kencang berkilat. Anumu pasti sudah seperti terong peot. Mungkin juga rada-rada burik! Ha ha ha!”
Amarah Kiai Gede Tapa Pamungkas mendidih. Kepalanya laksana mau meledak. “Manusia kurang ajar! Tutup mulutmu! Kau layak diberi pelajaran!”
Sang Kiai gerakkan tangan kanan. Jarak si gendut dan orang tua itu cukup jauh namun tangan si orang tua mendadak berubah panjang.
“Plaakk!! Plaakk!!”
Dua tamparan keras melanda pipi Bujang Gila Tapak Sakti kiri kanan. Ini bukan tamparan biasa! Dua sudut bibir si pemuda gendut sampai pecah mengucurkan darah. Sambil menahan sakit, setelah menyeka darah di pinggiran mulut dan yang meleleh di dagu, si gendut keluarkan ucapan yang membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas terkesima dan merasa menyesal.
“Kiai, kalau aku memang bersalah dan kurang ajar, apakah begini cara seorang Kiai memberi pelajaran. Seumur hidup aku akan mengingat pelajaran yang barusan kau berikan padaku. Aku mengucapkan terimakasih atas kebaikan hatimu memberi pelajaran.” Terhuyung-huyung Bujang Gila Tapak Sakti putar tubuh lalu tertatih-tatih tinggalkan tempat itu.
Sang Kiai berusaha mengejar. Walau pemuda gendut itu tampaknya berjalan lamban perlahan namun sebelum sempat si orang tua mendekat sosoknya sudah lenyap dari pandangan mata. Kiai Gede Tapa Pamungkas hanya bisa menghela nafas panjang. Ketika dia hendak beranjak dari tempat itu siap kembali ke puncak Gunung Gede dimana Ratu Duyung masih menunggu mendadak dia merasa udara di sekitarnya berubah menjadi sangat dingin. Lebih dingin dari udara di puncak Gunking Cede.
Tanah yang dipijak seolah telah berubah menjadi es. Tubuhnya serasa terpendam di satu tempat yang luar biasa dingin. Dua kaki menjadi kaku, tak mampu digerakkan. Orang tua ini kerahkan hawa hangat sakti dalam tubuh, tapi sia-sia saja. Sekujur badan mulai menggigit. Geraham bergemeletukan. Di tidak mampu melawan rasa dingin!
Perlahan-lahan dari hidung dan telinganya meleleh keluar Cairan darah. Begitu berada di luar telinga dan hidung langsung membeku. Kiai Gede Tapa Pamungkas mengucap istigfar berulang kali.
“Aku telah berbuat salah. Menyengsarakan orang lain yang mungkin tidak berdosa. Sudah tua begini, mengapa aku tidak dapat menahan sabar? Apakah pemuda tadi yang melakukan pembalasan atau Tuhan yang menghukum diriku?” Nafas Kiai Gede Tapa Pamungkas menyesak, dada terasa berat. “Ya Tuhan, aku mohon ampun padamu. Dan kau pemuda bernama Bujang Gila Tapak Sakti, aku minta maaf padamu atas perbuatanku.”
Baru saja sang Kiai selesai mengeluarkan ucapan batin itu tiba-tiba hawa dingin yang menyungkup serta merta lenyap. Tanah yang serasa es berubah hangat. Dua kakinya yang kaku kini bisa digerakkan. Darah berhenti mengucur dari hidung dan telinga bahkan noda merah yang membeku lenyap tanpa bekas. Dalam tubuh sang Kiai kini mengalir hawa sejuk yang membuat dadanya terasa lapang dan hati menjadi lega. Kiai Gede Tapa Pamungkas gelengkan kepala berulang kali.
“Pemuda itu telah memberi pelajaran sangat baik padaku. Bujang Gila Tapak Sakti aku berterima kasih padamu. Hari ini kau telah memberi pelajaran yang tidak akan aku lupakan selama sisa hidupku.”
********************
Di tepi sungai berair dangkal untuk beberapa lama Bujang Gila Tapak Sakti duduk merenung pengalaman pahit yang barusan dialaminya. Ketika dia mencuri dua buah bonang milik Keraton, kemarahan pamannya si Dewa Ketawa bukan olah-olah. Tetapi orang tua yang juga bertubuh gemuk itu tidak pernah menampar apa lagi memukulnya. Dia hanya dipendam di dalam liang es di puncak Gunung Mahameru. Justru dengan kejadian itu dia mendapatkan ilmu kesaktian luar biasa.
“Seumur hidup baru kali ini aku merasakan ditampar orang. Sakit di pipi tidak seberapa. Tapi sakit di hati ini…” Bujang Gila Tapak Sakti akhirnya cuma tersenyum. Usap-usap pipinya lalu masuk ke dalam sungai. Membasuh muka, membersihkan noda darah di sudut bibir dan dagu. Tiba-tiba Bujang Gila Tapak Sakti mendengar suara orang. Suara perempuan.
“Ssstt... sstt... Gendut...!”
Bujang Gila Tapak Sakti turunkan dua tangan yang dipakai membasuh muka. Berpaling ke belakang. Dia tidak melihat siapa-siapa. Dia memperhatikan berkeliling. Tidak ada seorangpun. Kembali dia meneruskan mencuci muka.
“Sstt... Gendut. Terong peot! Rada-rada burik. Hik hik hik...!”
Bujang Gila Tapak Sakti ulurkan tubuhnya yang gendut. “Tak mungkin aku salah mendengar. Ada orang bicara! Perempuan!” Karena kesal pemuda ini memaki. “Sialan! Aku bukan terong peot! Punyaku masih segar mengkilat! juga tidak rada-rada burik! Punyaku licin mulus! Sialan!”
Sunyi. Yang terdengar hanya suara gemerisik dedaunan tertiup angin. Bujang Gila Tapak Sakti kembali membungkuk, meneruskan membasuh.
“Ssttt! Terong peot...! Apa kau tidak dengar ditegur orang?!”
Bujang Gila Tapak Sakti, terus saja membasuh muka. Tapi kali ini dia hanya berpura-pura. Dia sudah tahu dari arah mana suara perempuan itu.
“Sstt! sstt! Hai terong peot! Kalau tidak menjawab nanti terongmu jadi busuk! Hik hik hik!”
Tubuh gemuk ratusan kati Bujang Gila Tapak Sakti tiba-tiba melesat enteng ke udara! Lalu melayang turun, berkelebat ke balik sebuah pohon besar di tepi kanan sungai. Kipas di tangan kiri siap dipukulkan. Begitu si gendut sampai di balik pohon dari tempat itu terdengar pekikan perempuan disusul tawa cekikikan.
“Anak kecil! Siapa kau?!” Bentak Bujang Gila Tapak Sakti.
“Hik! Hik! Apa matamu buta! Enak saja mengatakan aku anak kecil! Lihat! Aku sudah punya anak tahu! Ini anakku!”
Dari jengkel Bujang Gila Tapak Sakti jadi terperangah lalu menyeringai. Di hadapannya saat itu berdiri sambil senyum-senyum seorang perempuan cantik bertubuh kecil, membedong sebuah boneka kayu di atas dadanya.
“Sialan! Jelek amat, nasibku hari ini. Habis ditampar kakek-kakek kini bertemu perempuan sinting!” Kata Bujang Gila Tapak Sakti dalam hati. “Tapi... apa benar dia gila? Wajahnya dipoles dandanan apik. Rambut rapi. Pakalan biru bagus masih baru...”
“Anak kecil, kau ini siapa? Mengapa menggangguku?”
“Anak kecil, anak kecil! Enak saja kau bicara! Pasti kau memang buta! Juga tuli! Apa tidak melihat dan tidak mendengar ucapanku tadi. Aku sudah punya anak. Ini!” Perempuan bertubuh kecil yang bukan lain adalah Nyi Retno Mantili keluarkan boneka kayu dari bedongan kain lalu diacungkan ke depan.
Bujang Gila Tapak Sakti delikkan mata lalu hendak tertawa gelak-gelak. Tapi dia batalkan niat. “Orang gila kalau dicemooh apa lagi dilayani keras dan galak malah tambah gila…” pikir si gendut pula. Lalu keponakan Dewa Ketawa ini tersenyum lebar, membungkuk sedikit memperhatikan boneka kayu.
“Ah, anakmu cantik sekali. Pasti perempuan. Siapa namanya?”
“Kemuning.”
“Lalu kau sendiri siapa namanya?” kembali Bujang Gila Tapak Sakti bertanya.
“Kalau namaku kau tak usah tahu. Tapi namamu aku sudah tahu!”
“Heh, betul?”
“Namamu Bujang Gila Tapak Sakti kan? Masih bujangan tapi gila. Iya kan? Hik hik hik...!”
Bujang Gila Tapak Sakti tertawa lebar. Dalam hati dia berkata. “Perempuan sinting, bilang aku gila! Biar saja. Mungkin aku bisa cocokan berteman dengan dia.” Lalu si gendut ini bertanya. “Heh, bagaimana kau bisa tahu namaku. Pasti kau sudah mengikutiku sejak lama.”
“Bukan mengikuti, tapi aku dan anakku melihat sendiri apa yang kejadian sewaktu kau mau main meong-meongan dengan gadis berbaju hijau itu.”
“Main meong-meongan? Ha ha ha!” Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak hingga dadanya yang gembrot dan perutnya yang buncit bergerak-gerak.
Nyi Retno Mantili ikutan tertawa. “Kemuning anakku! Lihat si gendut itu. Dadanya bergoncang goncang, perutnya seperti mau meledak! Hik hik hik!”
BAB TIGA
Bujang Gila hentikan tawa, usap kedua matanya yang basah oleh air mata. “Sobatku ayu,” si gendut tidak mau lagi menyebut Nyi Retno sebagai anak kecil, takut di damprat. “Kau tidak mau memberi tahu nama tidak jadi apa. Tapi aku mau tanya, kau ada di tempat ini bagaimana ceritanya?”
“Tadinya aku berada di puncak Gunung Gede. Di tempat kediaman Kiai yang memaki-makimu itu.”
Bujang Gila Tapak Sakti jadi heran. “Maksudmu Kia Gede Tapa Pamungkas?”
Nyi Retno Mantili mengangguk.
“Ada keperluan apa kau datang ke sana?”
“Bukannya datang. Tadinya akumemang tinggal disana. Aku ini muridnya Kiai itu, tahu!”
“Hah! Kau jangan bercanda, sobatku ayu!”
“Siapa yang bercanda! Aku memang muridnya. Tapi sekarang aku malas diam di sana. Kiai itu banyak urusan dengan gadis-gadis cantik yang aku tidak suka.”
“Gadis-gadis cantik siapa? Urusan apa?” Bujang Gila Tapak Sakti ingin tahu.
Nyi Retno Mantili tidak segera menjawab. Wajahnya tampak cemberut namun sesaat kemudian berubah sedih.
“Sobatku molek ayu. Wajahmu kulihat seperti marah lalu berubah murung. Perkara apa sebenarnya yang tengah kau hadapi. Kau mau mengatakan siapa adanya gadis-gadis cantik itu?”
Nyi Retno Mantili usap-usap kepala boneka kayu. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. “Yang pertama seorang gadis bermata biru seperti kelereng. Kiai memanggilnya Ratu Duyung...”
“Ratu Duyung? Ah...”
“Kau kenal dia?” tanya Nyi Retno Mantili.
“Dia sahabatku...”
“Aku benci padanya! Kalau dia sahabatmu berarti aku juga benci padamu. Sudah aku tak mau bicara lagi!”
“Sobatku ayu. Jangan buru-buru marah. Kenapa kau benci pada gadis bermata biru bernama Ratu Duyung itu?”
“Dia... dia jahat”
“Jahat bagaimana?”
“Dia mau merampas ayah Kemuning!”
Kening si gendut mengerenyit. Sepasang alis tebal naik ke atas. Mata melirik ke arah boneka kayu. “Merampas ayah Kemuning?” Bujang Gila Tapak Sakti melongo heran. Dalam hati dia berkata. “Boneka kayu ini punya ayah? Siapa? Boneka juga?”
“Sobatku ayu...”
“Jangan panggil aku sobat. Aku tidak mau berteman lagi denganmu. Kau sahabat gadis bemata kelereng itu! Sudah, aku benci padamu!”
“Kalau kau tidak mau berteman lagi denganku, tak jadi apa. Aku tetap saja mau bersahabat denganmu. Sudah, aku mulai keringatan. Aku mau berendam dulu dalam sungai.”
Bujang Gila Tapak Sakti lalu baringkan tubuhnya yang gemuk di dalam sungai dangkal. Mata dipejam. Tangan kiri memegang kipas dan mengipas-ngipas. Dia seperti tidak perdulikan lagi perempuan yang membawa boneka kayu bernama Kemuning itu.
Penasaran Nyi Retno Mantili melangkah ke tebing sungai. “Aku juga mau pergi dari sini.” Katanya. “Dasar gendut brengsek! Aku tahu kau suka sama gadis bermata kelereng biru itu. Tapi kau tidak akan mendapatkannya. Kau tidak tahu kalau dia mau dijodohkan dengan orang lain! Aku benci kau! Aku benci gadis itu! Aku juga benci lelaki yang mau-mauan jadi Mak Comblang!”
Bujang Gila Tapak Sakti bangkit dan duduk di dasar sungai dangkal berair jernih dan sejuk. “Gadis itu mau dijodohkan dengan siapa aku tidak perduli. Kiai itu mau jadi Mak comblang bukan urusanku! Ya sudah, pergi sana...!”
“Kalau kau tahu dengan siapa si mata kelereng itu hendak dijodohkan, baru kau berhenti pura-pura tidak mau tahu!” Nyi Retno balikkan badan.
“Eh tunggu! Memangnya Ratu Duyung mau dijodohkan dengan siapa?” Bujang Gila Tapak Sakti bertanya sambil bangkit berdiri.
“Dengan ayah Kemuning!”
“Lalu ayah Kemuning siapa?” tanya si gendut sambil putar kopiah hitam di atas kepala.
“Wiro!”
“Wiro? Wiro siapa?!”
“Apa kau tuli?!”
“Aku punya sahabat. Seorang pendekar. Namanya Wiro Sableng. Apa dia orangnya?!”
“Kalau sudah tahu mengapa masih bertanya?!”
Si gendut terdiam sesaat lalu tertawa gelak-gelak. “Aku tidak yakin!” katanya.
“Tidak yakin bagaimana?! Ratu Duyung sudah menunggu di tempat Kiai yang jadi Mak Comblang itu. Wiro kabarnya akan segera datang sebelum bulan purnama besok malam. Padahal sebelumnya aku juga sudah berada di sana. Ingin mempertemukan anak ini dengan dia, ayahnya. Kemuning sudah lama sekali tidak bertemu ayahnya. Dia sering menangis memanggil-manggil ayahnya.”
Bujang Gila Tapak Sakti keluar dari dalam sungai. Tangan kiri masih berkipas-kipas, tangan kanan memegang bahu Nyi Retno. Begitu disentuh perempuan ini terpekik.
“Ihhhh! Tanganmu dingin seperti tangan hantu es!”
“Sobatku ayu, aku tidak yakin Wiro mau kawin dengan Ratu Duyung walau aku tahu gadis bermata biru itu cantik selangit tembus, memiliki ilmu kesaktian hebat dan telah saling berbagi budi dengan Wiro sahabatku itu.”
“Lalu apa si mata kelereng itu mau kawin denganmu?! Paling tidak kau berharap begitu. Iya kan?!”
“Aku tahu diri. Aku bersahabat dengan Ratu Duyung. Juga dengan Wiro,”
“Jadi Wiro juga sahabatmu?” tanya Nyi Retno.
Si gendut mengangguk. “Memangnya kenapa?”
“Kalau begitu nanti katakan padanya. Jika dia kawin, Kemuning anaknya akan marah, akan sedih dan bisa sakit. Lalu mati!” Habis mengeluarkan ucapan wajah Nyi Retno Mantili tampak redup. Lalu bahunya bergoncang dan isak tangis keluar perlahan dari sela bibir.
Bujang Gila Tapak Sakti merasa kasihan lalu berusaha membujuk. “Sobatku ayu, aku sudah bilang, aku yakin Wiro tidak mau kawin dengan Ratu Duyung. Kalaupun mau tidak sekarang, Entah berapa belas tahun lagi!”
“Aku tidak perduli dia mau kawin kapan. Besok atau lusa atau seratus tahun lagi! Pokoknya dia bakal kawin! Kemuning akan kehilangan ayahnya!”
“Aku bilang, aku tidak yakin.”
“Memangnya kenapa?” tanya Nyi Retno.
“Dia punya kekasih sekampung penuh!” jawab Bujang Gila Tapak Sakti yang membuat Nyi Retno Mantili terpekik lalu menggerung keras.
“Hai... hai, dengar. Jangan menangis dulu! Maksudku Wiro memang banyak digandrungi disukai gadis cantik rimba persilatan. Tapi dia sendiri belum tentu mau. Lalu kenapa kau menangis?”
Nyi Retno usut air matanya. “Yang menangis bukan aku. Tapi anak ini. Kemuning...” Jawab Nyi Retno. “Aku... aku tahu Wiro banyak kekasih. Semua mereka adalah gadis-gadis yang aku benci. Aku menemui dua orang diantara mereka di puncak Gunung Gede. Di tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas.”
“Siapa saja mereka?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
“Yang pertama mengaku bernama Luhrembulan. Gadis dari alam seribu dua ratus silam! Gila! Malah dia bilang sudah menikah dengan Wiro!”
“Itu berita bohong! Aku tahu ceritanya.”
Baik Bujang Gila Tapak Sakti maupun Nyi Retno Mantili tidak mengetahui kalau Luhrembulan alias Hantu Santet Laknat telah menemui ajal di tangan Purnama. Dibabat dengan Kapak Maut Naga Geni 212 yang dirampas Purnama dari tangan Wiro.
“Betul bohong? Jadi Wiro tidak benaran nikah dengan gadis bernama Luhrembulan itu? Cuma kawin meong-meongan seperti yang tadi hendak kau lakukan dengan gadis berbaju hijau itu?! Ah itu pun berarti dia telah mengkhianati Kemuning, anaknya.”
Bujang Gila Tapak Sakti tertawa. Lalu bertanya. “Siapa gadis lainnya?”
“Seorang bernama Purnama. Juga berasal dari negeri butut antah berantah itu. Kau kenal dia? Jangan-jangan dia sahabatmu juga!”
Bujang Gila Tapak Sakti menggeleng.
“Lalu aku juga bertemu dengan seorang gadis bernama Nyi Wulas Pikan. Mengaku Wiro adalah kekasihnya. Dia itu gadis berpakaian hijau setengah bugil yang kau meongi tadi!”
Kali ini Bujang Gila tampak terkejut. “Eh, mengapa tampangmu berubah?” tanya Nyi Retno Mantili. “Kau kelihatan terkejut! Pasti ada apa-apanya!”
“Aku semakin tidak percaya! Mana mungkin Wiro punya kekasih seperti Nyi Wulas Pikan. Gadis itu culas. Dia hendak menipuku. Minta ilmu agar bisa memegang Pedang Naga Suci Dua Satu Dua.”
“Tapi kau juga mau sama dia kan!” tukas Nyi Retno. “Eh tadi kau bilang Wiro punya kekasih gadis sekampung! Gila! Banyak buanget! Siapa saja mereka?!”
Bujang Gila terbayang wajah Anggini, Bidadari Angin Timur, Bunga, Puti Andini, Dewi Ular. Tapi dia tidak mau memberi tahu. “Sudah, sebaiknya kita tidak membicarakan lagi soal gadis-gadis itu. Bagaimana kalau aku antarkan kau ke tempat Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede…”
“Aku mau kau antar kemana saja. Tapi tidak ke tempat Kiai itu.”
“Kenapa?”
Nyi Retno Mantilli menggeleng. “Hatiku sangat sedih. Aku bisa berteriak. Aku bisa mengamuk! Aku bisa membunuh Kiai itu! Atau membunuh si mata kelereng...”
“Lalu apa kau tidak ingin bertemu dengan ayah Kemuning?”
“Aku jadi bingung.” jawab Nyi Retno Mantili sambil mengusap kepala boneka kayu.
“Dari pada bingung sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Sambil jalan kita bicarakan kemana kau mau pergi.”
“Tubuhmu besar gendut. Kau pasti kuat. Saat ini aku dan Kemuning merasa letih. Kau mau menggendong kami?”
“Bujang Gila Tapak Sakti angkat tubuh kecil Nyi Retno Mantili lalu mendudukkannya di bahu kanan.
“Hik hik hik. Kemuning, lemak dibahu si gendut ini tebal sekali. Ibu serasa duduk di atas kasur tebal! Hik hik hik!”
Nyi Retno mendadak hentikan tawanya. Dari balik rerumpunan semak belukar di tepi sungai tiba-tiba melesat keluar seorang kakek berpakaian jubah gombrong hitam. Di pinggangnya melilit seutas cambuk. Sepasang matanya tidak bisa diam. Selalu bergerak berputar-putar. Dari mulutnya terdengar suara meracau seperti orang membaca mantera. Rambut panjang sebahu. Sebelah kiri kepala di cat putih, sebelah kanan dicat hitam.
Kalau Nyi Retno Mantili murid Kiai Gede Tapa Pamungkas dan orang berkepandaian tinggi seperti Bujang Gila Tapak Sakti tidak tahu ada orang yang bersembunyi di dekat mereka, jelas sudah bahwa si kakek berjubah hitam itu memiliki tingkat ilmu yang tidak sembarangan.
“Sobatku ayu, apa kau kenal monyet berambut belang ini? Mungkin sahabatmu?!”
“Aku tidak kenal. Dia bukan sahabatku!” jawab Nyi Retno Mantili.
“Kalau begitu kita teruskan perjalanan. Mungkin monyet tua ini kesasar mencari pisang. Di sini mana ada pisang. Mungkin pisang kuning yang ngambang dihanyutkan air sungai! Ha ha ha!”
Nyi Retno ikut tertawa cekikikan. Bujang Gila Tapak Sakti bergerak hendak melangkah.
“Tunggu dulu!” kakek berpakaian hitam gombrong tiba-tiba membentak sambil menghadang jalan si gendut. “Kau boleh saja tidak mengenal diriku! Tapi apakah kau juga tidak mengenal tiga sahabatku ini?!”
Si kakek lalu keluarkan suitan keras. Saat itu juga dari balik rerumpunan semak belukar di tebing sungai, melesat keluar tiga manusia aneh. Berdiri berjejer di samping kakek berambut belang. Melihat ketiga orang ini air muka Nyi Retno Mantili jadi berubah.
“Kemuning! Kau masih ingat tiga manusia aneh yang dulu menggantung ibumu di cabang pohon?! Hik hik Hik! Sekarang apa mereka muncul hendak menggantung sahabat kita si gendut ini?! Hik hik hik. Perlu tambang yang kuat dan pohon yang besar...”
********************
BAB EMPAT
Kita kembali dulu ke puncak Gunung Gede. Sewaktu melihat Kiai Gede Tapa Pamungkas muncul dengan wajah redup, Ratu Duyung yang duduk sendirian di tepi telaga serta merta maklum kalau selain lenyapnya Pedang Naga Suci 212 sesuatu telah terjadi di lereng atau kaki gunung. Gadis bermata biru ini cepat berdiri dan menyapa.
“Kiai, apakah Kiai berhasil mendapatkan kembali pedang sakti yang dicuri?”
“Tuhan menolongku. Aku berhasil mendapatkan pedang sakti itu kembali.” Jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Kiai juga tahu siapa yang mencurinya?” tanya Ratu Duyung lagi.
“Gadis jejadian bernama Nyi Wulas Pikan yang berasal dari nenek jahat mahluk alam roh bernama Nyai Tumbal Jiwo.”
“Bukankah mahluk itu adalah guru dari Wira Bumi? Patih Kerajaan yang menemui ajal di tangan Wiro beberapa waktu jalu.”
“Betul,”jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Saya menyirap kabar kalau dia pernah mendatangi penguasa Laut Utara untuk minta bantuan membunuh Wiro dan Nyi Retno Mantili,” kata Ratu Duyung pula.
“Gadis jejadian itu masih untung tidak ditembus mati oleh pedang sakti. Dia melarikan diri ketika aku pergoki hendak berbuat mesum dengan Bujang Gila Tapak Sakti. Pedang Naga Suci Dua Satu Dua tidak pernah mau berada di sekitar tempat mesum, atau dikuasai oleh orang-orang jahat dan bejat seperti dia. Kau tahu Ratu, Sinto Gendeng saja muridku, tidak mampu memegang dan menyimpan senjata itu.”
Ratu Duyung terkejut. “Bujang Gila Tapak Sakti? Saya tidak menduga. Sulit saya mempercayai.”
“Akupun tidak menyangka. Tapi begitulah. Perempuan salah satu titik kelemahan kaum lelaki. Bujang Gila rupanya terpikat dengan kecantikan dan keelokan tubuh Nyi Wulas Pikan,” kata sang Kiai.
Dia tidak menceritakan perihal dia telah menampar pemuda gendut itu dan bagaimana Bujang Gila Tapak Sakti kemudian membalas dengan membuat dirinya diselubungi hawa dingin luar biasa. Sang Kiai menatap ke langit. Udara masih mendung. Di balik kemendungan itu rembang petang telah muncul dan tak lama lagi sang surya akan masuk ke ufuk tenggelamnya.
“Ratu Duyung, aku punya dugaan kalau Wiro telah berada di sekitar Gunung Gede. Berarti sebelum bulan purnama menyembul besok malam dia akan datang menemuiku. Kita akan menunggunya di tepi telaga ini mulai sore besok. Saat ini sebaiknya kita turun ke tempat kediamanku di dasar telaga.”
Ratu Duyung tidak segera beranjak dari tempatnya berdiri walau saat itu Kiai Gede Tapa Pamungkas telah melangkah menuju telaga. Melihat gadis bermata biru itu hanya berdiam diri si orang tua hentikan langkah dan bertanya.
“Ada apa Ratu?”
“Kiai mohon maafmu kalau saya berlaku lancang. Ada sesuatu yang sejak lama sebenarnya ingin saya tanyakan.”
“Mengenai apa?” tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas walau orang tua sakti ini diam-diam sudah bisa menduga.
“Mengenai permintaan Kiai menyuruh saya dan Wiro datang ke puncak Gunung Gede ini.”
“Oh soal itu. Nanti akan kita bicarakan di tempat kediamanku.”
Ratu Duyung merasa tidak puas. Dia bertanya lagi. “Maaf kalau saya keliru menduga. Apakah pertemuan kita bertiga ini menyangkut hal perjodohan saya dengan Wiro?”
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Perihal langkah seseorang, rejeki, jodoh dan maut semua itu berada di tangan Yang Maha Kuasa. Kita manusia hanya para pelaku yang menjalankan sesuai dengan petunjuknya. Ratu, harap kau mau bersabar sampai besok malam. Mudah-mudahan saja Wiro datang lebih cepat.”
“Seandainya Wiro tidak datang?”
“Ah, jangan berandai-andai seperti itu. Wiro pasti datang. Aku kakek gurunya. Aku tahu dia seorang murid yang patuh...”
Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu memberi isyarat. Kedua orang itu melangkah menuju telaga. Jika ada orang lain menyaksikan pasti akan terheran-heran melihat bagaimana dua orang sakti itu kemudian meluncur masuk dan lenyap ke dalam telaga.
********************
Malam keesokan harinya. Udara terasa semakin dingin. Langit cukup cerah namun purnama empat belas hari agak terhalang di balik saputan awan kelabu. Ratu Duyung menambah kayu perapian penghangat tubuh. Saat itu hatinya diliputi berbagai rasa.
“Ratu, aku tahu hatimu saat ini tidak tenteram. Kau harus percaya bahwa Wiro akan datang. Saat ini apakah kau tidak merasa kalau di sekitar telaga ada lebih dari satu orang bersembunyi memperhatikan ke arah kita?”
“Terus terang sejak tadi pagi saya tidak bisa tenang Kiai. Saya memang merasa tapi tidak begitu memperhatikan kalau di sekitar sini ada orang-orang yang bersembunyi dan memperhatikan kita. Apa yang ada di pikiran mereka bersembunyi memata-matai kita?”
“Mereka ikut menunggu kehadiran Wiro. Lalu ingin mendengarkan pembicaraan kita.”
“Apakah kita perlu mengusir mereka Kiai?!”
“Selama mereka hanya ingin tahu, ingin mendengar dan tidak berbuat sesuatu yang mencelakai kita, aku rasa kita biarkan saja mereka. Kalaupun mereka mendengar pembicaraan kita hal itu tidak perlu dipikirkan. Mungkin itu ada baiknya.”
“Maksud Kiai?”
“Maksudku, semua yang sembunyi di sekitar tempat ini adalah perempuan. Tapi aku menduga diantara mereka ada seorang lelaki. Mereka...”
Ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas terputus. Satu bayangan hitam berkelebat kemudian berdiri di hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Sambil membungkuk memberi hormat orang ini berkata.
“Kiai, salam hormat saya untukmu. Apakah saya datang terlambat?”
Saat itu rembulan empat hari menyeruak dari balik saputan awan. Bentuknya bulat memancarkan cahaya benderang sejuk, sungguh satu pemandangan yang indah sekali. Kiai Gede Tapa Pamungkas dan Ratu Duyung mengangkat kepala, memandang ke depan. Kedua orang ini sama-sama melepas nafas lega.
“Pendekar Dua Satu Dua, kau datang tepat waktu. Kami memang sudah lama menunggu. Aku sendiri...”
Kiai Gede Tapa Pamungkas hentikan ucapan. Sepasang mata memperhatikan pemuda berambut gondrong di hadapannya yang memang Pendekar 212 murid Sinto Gendeng Wiro Sableng adanya.
“Wiro, aku melihat satu kelainan pada dirimu. Selama ini kau selalu mengenakan baju dan celana putih. Sejak kapan kau bertukar penampilan. Mengenakan baju dan celana hitam komprang seperti ini?”
Wiro tertawa lebar. Melirik ke arah Ratu Duyung, kedipkan mata lalu menjawab pertanyaan sang Kiai. “Saya terkena musibah Kiai. Celana putih saya robek besar di sebelah bawah. Baju dan celana hitam yang saya pakai ini adalah pemberian dari seorang penduduk desa di kaki gunung.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. “Kiai, saya sudah datang. Sahabat saya Ratu Duyung juga sudah hadir di sini. Sesuai dengan pesan Kiai, apakah kita bisa memulai pembicaraan? Saya sangat ingin tahu gerangan apa sebabnya Kiai memanggil kami berdua. Apakah ada kesalahan yang telah kami lakukan?”
Murid Sinto Gendeng ingin semua urusan bisa dilakukan dengan cepat. Kalau sudah selesai dia akan buru-buru meninggalkan tempat itu. Dia harus mencari Nyi Retno Mantili. Dia mengawatirkan keselamatan perempuan malang itu!
“Kalian berdua tidak memiliki kesalahan apa-apa.” Jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas. “Wiro, sebelum kita bicara, ada yang ingin aku tanyakan. Sebelum sampai ke sini, siang tadi apakah kau mengalami sesuatu peristiwa?”
Wiro terdiam berpikir pikir sambil menggaruk kepala. Peristiwa apa yang dimaksudkan orang tua ini, pikirnya. Lalu dia ingat. “Memang ada satu kejadian Kiai. Siang tadi secara tidak sengaja saya menemui Luhrembulan dan Purnama tengah bertarung di satu tempat di kaki gunung. Mereka sama-sama berasal dari Latanahsilam. Negeri seribu dua ratus tahun silam. Saya coba melerai tapi tak berhasil. Luhrembulan akhirnya tewas oleh Kapak Naga Geni Dua Satu Dua milik saya yang dirampas Purnama. Purnama kemudian lenyap entah kemana.”
Wajah Ratu Duyung berubah ketika mendengar ucapan Pendekar 212 itu. Perasaannya sesaat bergejolak. “Hanya itu saja?” tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Wiro menggaruk kepala kembali. “Luhrembulan membekal Pedang Naga Suci Dua Satu Dua. Saya tidak tahu bagaimana senjata sakti ini berada di tangannya,” Wiro menjelaskan. Lalu menambahkan. “Saya tidak melihat jelas apa yang terjadi kemudian. Namun kalau tidak salah pedang sakti mungkin jatuh ke dalam sungai. Dihanyutkan arus ke hilir.”
“Senjata itu sudah berada di tanganku kembali. Seorang mahluk alam roh bernama Nyai Tumbal Jiwo mencuri senjata itu dari tempat kediamanku. Dugaanku Luhrembulan kemudian berhasil merampasnya. Pedang sakti ditemukan oleh Bujang Gila Tapak Sakti...”
“Bujang Gila Tapak Sakti!”bWiro terkejut ketika mendengar sang Kiai menyebut nama sahabatnya itu!
“Benar. Pemuda gendut itu digoda oleh Nyi Wulas Pikan, penjelmaan Nyai Tumbal Jiwo. Namun sebelum pedang jatuh ke tangan perempuan itu, aku datang dan berhasil mendapatkan pedang sakti kembali...”
“Saya sangat bersyukur pedang itu bisa diselamatkan,” ucap Wiro. Dia melirik ke arah Ratu Duyung.
Di saat bersamaan gadis cantik bermata biru in! juga memperhatikan Wiro. Dua pasang mata saling beradu pandang. Dua hati dan dua rasa saling bicara tanpa suara. Adakah perasaan kasih sayang timbul di lubuk hati? Lalu sejauh mana perasaan kasih sayang itu mampu saling bersentuhan?
“Wiro, dalam perjalanan ke sini apakah kau sempat bertemu dengan Nyi Retno Mantili?” Bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Saya bertemu dengan Nyi Retno di kaki gunung. Waktu itu dia tengah berkelahi menghadapi Luhrembulan. Saya berusaha melerai. Keduanya sama-sama terluka. Nyi Retno kemudian melarikan diri entah kemana. Saya, kawatir sesuatu terjadi dengan dirinya,”
“Sebenarnya sejak beberapa hari lalu Nyi Retno tinggal di sini. Namun siang tadi dia pergi begitu saja.” Jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Aneh kalau dia bertindak seperti itu. Nyi Retno tidak memberi tahu pada Kiai dia mau pergi ke mana...?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas menghela napas panjang. “Dia tidak mengatakan apa-apa.”
“Nyi Retno seorang perempuan berperasaan sangat halus. Pasti ada sesuatu alasan mengapa dia tidak berbuat begitu,” ucap Wiro pula.
Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap ke arah telaga sambil mengelus janggut putih. Sikap ini memberikan kesan kepada pendekar 212 Wiro Sableng bahwa telah terjadi sesuatu antara si orang tua dengan Nyi Retno Mantili. Wiro berpaling pada Ratu Dayung dan bertanya.
“Ratu, aku tidak tahu sudah berapa lama kau di sini. Apakah kau sempat bertemu dengan Nyi Retno Mantili!”
Ratu Duyung anggukkan kepala. Lalu menjelaskan. “Aku datang siang tadi ke sini bersama Purnama.”
“Ah, jadi sebelumnya Purnama juga datang ke sini. Setelah menewaskan Luhrembulan Purnama lenyap entah kemana.” Menjelaskan Wiro.
“Siang tadi Purnama mohon diri. Katanya hendak melihat-lihat keindahan kawasan ini. Ternyata dia bertemu Luhrembulan, bertarung dan membunuh gadis alam roh itu.” Ucap Ratu Duyung pula.
Wiro menggaruk kepala. Menoleh pada Kiai Gede Tapa Pamungkas tapi tidak berkata apa-apa. Walau Wiro tidak berucap namun sang Kiai sudah tahu apa yang ada dalam hati murid Sinto Gendeng ini.
“Kalian berdua, apakah kita akan meneruskan pembicaraan di tempat ini. Atau kalian mau ikut aku ke tempat kediamanku di dasar telaga?”
“Kiai, kalau boleh biar kita bicara di sini saja.” Wiro menjawab lalu bertanya pada Ratu Duyung. “Ratu, bagaimana pendapatmu?”
“Saya setuju kita bicara di sini saja.”Jawab Ratu Duyung.
Wiro lalu duduk di tanah. Dia sengaja memilih duduk menghadap ke depan agar bisa melihat wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas sekaligus dapat memperhatikan raut air muka Ratu Duyung.
Kiai Gede Tapa Pamungkas gosokkan telapak tangannya satu sama lain. Dua tangan kemudian diletakkan di atas kakinya yang duduk bersila. Wiro dan Ratu Duyung duduk menunggu dengan dada berdebar.
“Wiro dan Ratu Duyung. Apa yang hendak aku sampaikan pada kalian berdua sebelumnya sudah menjadi pembicaraan antara aku dengan Sinto Gendeng. Selain itu muridku yang lain yaitu saudara seperguruan Sinto Gendeng Sukat Tandika yang lebih dikenal dengan panggilan Tua Gila juga sudah mengetahui hal ini. Kami sudah bersepakat untuk memanggil kalian datang menemuiku di puncak Gunung Gede ini. Dan Alhamdullilah kalian berdua saat ini sudah ada di hadapanku. Wiro ketahuilah, kehadiranmu dalam rimba persilatan tanah Jawa telah mendatangkan banyak sekali manfaat dan kebaikan. Kebajikan yang telah kau lakukan tidak bisa dihitung dan tidak dapat dinilai. Baik untuk kemaslahatan orang banyak, rimba persilatan maupun bagi Kerajaan. Namun setelah kami memperhatikan sekian lama, keberadaanmu seorang diri telah menimbulkan banyak masalah. Bahkan kelak dikemudian hari hal itu bukan cuma menjadi ganjalan atau kendala, tapi juga bisa mengancam keselamatan jiwamu serta ketenangan rimba persilatan tanah Jawa.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas hentikan ucapan, perhatikan raut wajah Ratu Duyung beberapa ketika sementara Wiro yang mulai merasa tidak sabaran berkata dalam hati.
“Kiai ini bicara terlalu panjang. Apakah dia tidak bisa bicara langsung saja pada maksud tujuannya? Lama-lama perutku jadi terasa mulas" Wiro lalu menggaruk kepala.
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Dia tahu bagaimana perasaan sepasang muda-mudi itu. Setelah mengusap janggut putihnya orang tua ini lanjutkan ucapan. “Terus terang selama ini kami memperhatikan dalam kehidupanmu kau memiliki begitu banyak sahabat berupa gadis-gadis cantik. Hal itu adalah sangat lumrah bagi seorang pemuda sepertimu. Persahabatan yang berlangsung lama lambat laun menimbulkan perasaan-perasaan tertentu yang mendalam pada diri masing-masing. Bahkan bersatu dengan aliran darah serta hembusan nafas. Satu diantaranya adalah perasaan kasih sayang. Namun karena bukan hanya satu orang gadis yang menyukaimu atau yang kau senangi maka perasaan kasih sayang itu bisa saja terganjal oleh adanya persaingan untuk saling memperebutkan, dan pada satu saat pihak yang merasa dikecewakan tidak mustahil akan berubah berbalik menjadi kebencian. Kehidupan ini, apapun adanya ingin satu kejelasan. Wiro, sudah saatnya kau membutuhkan seorang pendamping. Maksudku sudah satunya kau memiliki seorang istri.”
Sang Kiai sengaja tidak melanjutkan ucapan. Dia menatap dulu pada Pendekar 212 Wiro Sableng lalu melirik memperhatikan wajah Ratu Duyung. Wiro tampak tersenyum dan menggaruk kepala sementara Ratu Duyung tundukkan wajah yang bersemu merah.
“Wiro, kami para sepuh, maksudku aku, Sinto Gendeng dan Tua Gila sudah sama menyetujui untuk menjalinkan tali perjodohan antara dirimu dengan Ratu Duyung. Kami tahu kau banyak mempunyai kerabat gadis lain. Semua cantik-cantik. Namun pilihan kami jatuh pada Ratu Duyung. Ketahuilah bahwa kehidupan suami istri itu tidak hanya bersandar pada kecantikan sang istri belaka. Tapi kau beruntung. Calon istrimu selain cantik dan berilmu tinggi juga merupakan seorang perempuan penuh bijaksana.”
Begitu sang Kiai berhenti bicara, kesunyian menggantung di udara. Air telaga tidak terdengar suara riaknya, dedaunan tidak terdengar suara gemerisiknya bahkan angin malam seolah berhenti bertiup. Kiai Gede Tapa Pamungkas kemudian memecah kesunyian dengan ucapan.
“Kalian berdua jangan diam saja. Bicaralah. Kemukakan pendapat. Kalau tidak ada yang bicara berarti kalian telah sama menyetujui apa yang aku, Sinto Gendeng dan Tua gila putuskan.”
Wiro menggaruk kepala. Ratu Duyung tidak bergerak. Kepala masih tertunduk.
“Wiro, kau duluan. Aku ingin mendengar pendapatmu. Bicara, jangan menggaruk kepala saja...”
Di satu tempat tersembunyi di dalam kegelapan, seseorang berkata perlahan. “Jauh-jauh aku datang ke sini hanya untuk mendengar pembicaraan yang sangat menghancurkan hati ini. Wiro, apa jawabmu. Jangan berikan Kiamat padaku!”
BAB LIMA
Untuk beberapa lamanya Pendekar 212 Wiro Sableng masih duduk berdiam diri. Sesekali dia melirik ke arah Ratu Duyung yang masih duduk dengan kepala menunduk.
“Wiro…?” Kiai Gede Tapa Pamungkas menegur.
Wiro berdehem beberapa kali. Di wajahnya menyeruak senyum. Namun di lain saat wajah itu menunjukkan sikap penuh kesungguhan, membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas mendengar dan menatap terpana.
“Kiai, saya sangat berterima kasih bahwa Kiai, Eyang Sinto dan Kakek Tua Gila mempunyai perhatian akan masa depan kehidupan saya. Karena yang mengusulkan, sekaligus memutuskan adalah orang-orang yang sangat saya hormati, maka tentu saja saya tidak berani menampik. Namun ini bukan berarti saya menyatakan bersedia dan menyetujui semua ucapan Kiai. Terus terang bagi saya perkawinan adalah satu hal yang sakral dan sangat suci. Saya merasa belum sampai menginjak kejenjang kesucian itu. Karena itu bagi saya yang bodoh ini, perkawinan bukan suatu yang layak dipaksakan. Bukankah lebih indah jika masing-masing yang berkepentingan, si pemuda dan si gadis menemui tali perjodohannya mereka sendiri, lalu sama-sama mengikat satu dengan yang lain. Sementara itu Kiai, saya yang tolol ini merasa masih banyak yang harus dibenahi dalam rimba persilatan tanah Jawa. Saya merasa sebagian dari kewajiban itu, terletak di pundak saya. Saya tidak ingin hari ini buru-buru kawin lalu besok menemui kematian di tangan musuh, meninggalkan seorang istri dalam derita memilukan, mungkin pula dengan satu benih bayi di dalam kandungannya. Seperti kata Kiai, kematian ada di tangan Tuhan, namun siapa yang tahu kapan kita bakal mati? Kiai dan Eyang Sinto serta Kakek Tua Gila sudah saya anggap sebagai orang tua sendiri karena sejak Eyang Sinto membawa saya ke Gunung Gede ini belasan tahun silam untuk dijadikan murid, saya tidak mengenal siapa ibu saya, juga saya tidak tahu siapa Ayah saya. Yang saya kenal dan temukan adalah dua makam mereka di pekuburan gersang Jatiwalu, hampir sama rata dengan tanah, dipenuhi rumput liar. Mungkin bagi saya untuk mencari tahu siapa kedua orang tua saya itu lebih merupakan satu kewajiban yang luhur dibanding dengan perkawinan. Mungkin saya salah. Untuk itu saya mohon maaf pada Kiai. Selain itu Kiai kalau saya telah menganggap Kiai, Eyang Sinto dan Kakek Tua Gila sebagai orang tua, maka adalah sangat layak dan pada tempatnya kalau kepada Ratu Duyung juga Kiai berikan kesempatan untuk menemui kedua orang tuanya untuk memberitahukan hal ini. Itu jika Ratu Duyung memang bersedia menerima saya sebagai suaminya. Kiai, Ratu Duyung saya mohon maaf kalau ada kata-kata dan ucapan saya yang tidak pada tempatnya atau menyinggung perasaan Kiai serta Ratu.”
Untuk beberapa lama Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap wajah sang pendekar. Dalam hati orang tua ini berkata. “Aku tidak pernah menyangka. Pemuda yang selama ini selalu menunjukkan diri sebagai seorang konyol ternyata sungguh pandai bicara. Bukan itu saja. Dia juga pandaibmenggantung urusan dengan melimpahkan pada orang lain. Aku tahu betul Ratu Duyung juga tidak punya orang tua.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas alihkan padangannya pada Ratu Duyung. “Gadis bermata biru, aku ingin mendengar bagaimana tanggapanmu. Ucapan Wiro tadi ada yang menyiratkan pertanyaan apakah kau mau menerima dirinya menjadi suamimu.”
Mendengar pertanyaan yang terarah langsung Ratu Duyung tidak mampu segera menjawab. Di tempat tersembunyi di salah satu tepian telaga kembali terdengar suara orang berucap perlahan.
“Ratu Duyung, kalau kau berkomplot dengan Wiro memberikan kiamat padaku, aku akan menganggap ini sebagai kejahatan. Selama langit berkembang, selama bumi terbentang dan selama nafas di kandung badan, aku tidak akan melupakan hal ini!"
Setelah diam beberapa lama akhirnya Ratu Duyung menjawab, “Kiai, maafkan saya tidak bisa bicara banyak. Apa yang dikatakan Wiro tadi benar. Untuk urusan ini saya harus menemui orang tua saya. Kalau saya memang mempunyai orang tua. Kenyataannya nasib saya tidak berbeda dengan Wiro, Seumur hidup sampai hari ini saya tidak pernah mengetahui siapa kedua orang tua saya. Selama ini saya menganggap Nyai Roro Kidul sebagai junjungan sekaligus pengganti orang tua saya. Berarti saya harus menemui beliau terlebih dulu untuk meminta nasihat dan izin...”
Di tempat gelap orang yang sejak tadi mencuri dengar pembicaraan kembali keluarkan ucapan. “Kau tidak akan mendapat nasihat! Apa lagi mendapatkan izin dari Nyai Roro Kidul. Karena aku tahu Nyai Roro Kidul juga menghormati Wiro! Apakah kau berani menantang junjunganmu Penguasa Laut Selatan itu?!”
Kiai Gede Tapa Pamungkas lama merenung. Dalam hati di berkata. “Si pemuda melempar bola. Si gadis balas mempermainkan dan melempar lagi ke tempat lain. Aneh, apakah kedua insan ini tidak saling mengasihi hingga mau bersembunyi dibalik kata-kata?”
“Wiro, Ratu Duyung,” akhirnya sang Kiai keluarkan ucapan. “Aku memang tidak memaksa akan mendapat jawaban dari kalian saat ini juga. Seperti katamu tadi perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan suci. Namun jangan sampai terlalu larut dalam dua hal itu hingga kalian tidak berbuat apa-apa. Ketahuilah perjodohan kalian berdua akan banyak menyelamatkan dunia persilatan dari berbagai macam malapetaka. Aku, Sinto Gendeng dan Tua Gila tidak ingin malapetaka itu berbalik menciderai kalian.”
Orang yang bersembunyi di tempat gelap tidak menunggu lebih lama segera berkelebat meninggalkan tepian telaga. Di arah lain yang juga diselimuti kegelapan ada seorang lelaki aneh bergerak keluar dari persembunyiannya sambil mengusap wajahnya yang penuh dengan tancapan paku baja putih.
“Aku mengira perempuan yang membawa boneka itu ada di sini. Bukankah ini tempat kediaman gurunya? Dugaanku ternyata salah. Aku harus mencari kemana? Guru mengatakan bahwa kalau aku kawin dengan perempuan gila, melakukan hubungan badan, maka pada hubungan yang kedua puluh satu seluruh paku jahanam yang menancap di tubuhku akan luruh!” Orang ini memandang berkeliling. ”Kemana aku harus mencari perempuan itu. Apakah aku bisa yakin Serikat Momok Tiga Racun jahanam itu tidak akan mencari dan mengejarnya kembali? Kalau aku sampai kedahuluan, celaka nasib diriku seumur umur!”
(Mengenai Serikat Momok Tiga Racun harap baca serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul Si Cantik Gila Dari Gunung Gede)
BAB ENAM
Kesunyian kembali menggantung di tepi telaga. Tak ada yang bicara. Kalau memang pembicaraan sudah selesai Wiro ingin segera meninggalkan tempat itu. Ingatan dan rasa kawatirnya terhadap Nyi Retno Mantili tidak bisa hilang. Namun dia tidak ingin dianggap kurang ajar. Maka murid Sinto Gendeng ini berusaha bersabar-sabar sambil sesekali melirik ke arah Ratu Duyung lalu menambah kayu perapian.
Tiba-tiba cuping hidung Pendekar 212 bergerak-gerak. Kepala kemudian menoleh ke kiri lalu berpaling ke kanan. Ketika dia hendak melihat ke belakang Kiai Gede Tapa Pamungkas bertanya.
“Ada apa Wiro?”
“Tidak Kiai, tidak ada apa-apa” jawab murid Sinto Gendeng.
“Pemuda ini berdusta. Aku tahu dia tengah mencium bau sesuatu. Aneh, aku tidak bisa mencium apa yang diciumnya.” Membatin Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Saat itu sebenarnya Wiro memang mencium bau sesuatu yakni harum bau bunga kenanga. Dalam hati dia berucap. “Bunga, apakah kau ada di sekitar sini?”
Bunga adalah gadis alam roh bernama Suci yang dalam rimba persilatan tanah Jawa dijuluki Dewi Bunga Mayat. Seperti sekian banyak gadis cantik yang mengenal Wiro, gadis inipun jatuh cinta pada sang pendekar. Namun dia menyadari keberadaannya yang tak mungkin hidup menjadi pendamping Wiro. Baru saja Wiro membatin, di telinganya sebelah kiri mengiang suara gadis alam roh itu.
“Wiro, aku memang ada di sekitar sini. Kau lihat batu besar di tepi telaga sebelah kanan? Aku duduk disitu, memandang ke arahmu. Aku tidak akan memperlihatkan diri karena mungkin bisa menyusahkan dirimu.”
Wiro berpaling ke kanan, ke arah sebuah batu besar yang terletak di tepi telaga. Dia memang tidak melihat sosok jelas ataupun samar Bunga namun bau harum kembang kenanga tercium semakin santar dan datang dari arah batu itu.
“Wiro, kau masih ingat ketika dulu aku memberi tahu padamu. Jika kau mencari kawan pendamping, maka yang cocok dan baik bagimu adalah gadis bermata biru Ratu Duyung yang kini ada dihadapanmu. Ternyata apa yang aku katakan tidak berbeda dengan keinginan Kiai Gede Tapa Pamungkas, gurumu Eyang Sinto Gendeng dan Kakek Tua Gila. Aku merasa bahagia kalau ucapanku menjadi kenyataan. Aku merasa senang jika keinginan tiga orang tua itu terlaksana. Aku memang mencintaimu. Sangat mencintaimu. Perkawinanmu dengan Ratu Duyung kelak membuat diriku merasa sangat kehilangan dirimu. Namun dalam kesedihanku ada kebahagiaan. Dalam derai air mataku ada senyum syukur. Dalam ratapku ada senandung keikhlasan. Wiro, kalau aku menyambut perjodohanmu dengan Ratu Duyung dengan penuh ketulusan, maka mungkin banyak diantara para sahabat merasa kecewa dan tidak dapat menerimanya. Berlakulah bijaksana sekaligus mengambil sikap waspada. Demi cintaku padamu aku akan menjaga keselamatan dirimu dan Ratu Duyung. Wiro, saat ini ada seorang gadis dari alam lain memandang sedih ke arahku seolah berbagi rasa. Aku tahu dan kau juga tahu betapa dia sangat mengasihi dirimu. Namun juga ada satu mahluk dari alam roh tidak suka kehadiranku di tempat ini. Aku harus pergi sebelum yang satu ini berbuat jahat...”
“Siapa?! Siapa yang hendak berbuat jahat padamu?!”
Ucapan bernada keras itu terlepas begitu saja dari mulut Wiro tanpa sadar. Membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas dan Ratu Duyung memandang terheran-heran.
“Wiro, kau bicara dengan siapa?” tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
Wiro menggaruk kepala. “Tololnya aku ini!” Wiro memaki diri sendiri.
“Wiro, ada apa?” Ratu Duyung bertanya sambil mendekati sang pendekar.
Wiro tidak bisa berdusta lagi. “Maafkan saya...” katanya. “Seorang sahabat dari alam roh yang ada di tempat ini memberi tahu ada seorang mahluk alam roh lainnya tidak menyukai dirinya dan mungkin hendak berbuat jahat...”
“Kalau aku boleh tahu Wiro, siapa sahabat diri alam roh yang kau maksudkan itu?”
“Sahabat kita Bunga,”jawab Wiro. “Terakhir sekali kalau aku tak salah kau bertemu dengan dia ketika menolong diriku di pondok kediaman Ki Tambakpati beberapa waktu lalu. Aku tidak tahu siapa mahluk satunya yang hendak berbuat jahat. Yang jelas bukan Luhrembulan karena gadis dari Latanahsilam itu telah tewas di tangan Purnama...” Mendadak Wiro terdiam. “Purnama,”ucapnya kemudian dengan suara bergetar dan agak perlahan. “Mungkin dia yang dimaksudkan Bunga dengan mahluk alam roh yang hendak berbuat jahat itu?”
“Aku tidak yakin,” menyahuti Ratu Duyung. “Dia bersahabat dengan kita semua. Termasuk dengan dirimu. Ingat, berapa kali Purnama menyelamatkan jiwamu dengan ilmu yang ada dalam Kitab Seribu Pengobatan?”
Disinilah letak ketulusan hati gadis bermata biru ini, dia tahu Purnama sangat mencintai Wiro bahkan sering berbuat nekad dan malah menjadi salah satu pesaing beratnya dalam mendapatkan cinta kasih sang pendekar, namun untuk suatu hal yang benar dia tidak ragu mengatakan bahwa itu adalah benar.
“Wiro, kenapa tidak kau tanyakan saja pada Bunga siapa adanya mahluk alam roh yang berniat jahat itu?” kata Ratu Duyung.
“Saat ini Bunga sudah pergi. Aku tidak lagi mencium bau kembang kenanga miliknya. Namun mahluk yang katanya hendak berbuat jahat itu kurasa masih ada di sekitar sini.”
“Sebelumnya,” kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula. “Ada seorang lelaki sembunyi ditepi telaga. Dia hanya berada sebentar di tempat ini. Lalu pergi begitu saja. Agaknya dia mencari seseorang. Namun tidak menemui orang itu di sini.”
“Kiai bisa menduga siapa adanya lelaki itu? Mungkinkah Bujang Gila Tapak Sakti?” bertanya Ratu Duyung.
“Mahluk aneh. Hanya itu yang bisa aku rasakan dari keberadaannya,” jawab sang Kiai pula.
“Kiai, kalau sekiranya menurut Kiai pembicaraan kita sudah selesai, apakah saya boleh minta diri?” Tanya Pendekar 212. Saat itu ingatannya kembali, tertuju pada Nyi Retrio Mantili. Dia harus segera mencari perempuan malang itu. Wiro kawatir akan keselamatan dirinya.
Kiai Gede Tapa Pamungkas bisa meraba apa yang ada dalam benak dan hati sang pendekar. Namun sebelum dia menjawab Ratu Duyung telah lebih dulu menyambung ucapan Wiro.
“Kiai, saya juga ingin mohon diri. Saya segera kembali ke laut selatan untuk menemui Nyai Roro Kidul.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas mengusap janggut putihnya beberapa kali. “Kalian berdua hendak malam-malam begini. Mengapa tidak menunggu sampai besok pagi saja?”
Baik Wiro maupun Ratu Duyung tidak menjawab.
“Kalau kalian memang berniat untuk pergi sekarang baiklah. Pergilah berdua. Sepanjang perjalanan kalian bisa membicarakan perjodohan kalian. Dengan demikian kalian akan merasa lebih dekat satu sama lain. Bisa saling menyelami hati masing-masing.” Kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
Ketika Wiro dan Ratu Duyung hendak bergerak bangun, orang tua ini angkat tangan kanannya.
“Aku senang melihat kalian hendak pergi berdua-duaan. Tapi tunggu dulu. Tunggu, jangan terburu-buru. Sebelum pergi ada satu hal yang hendak aku bicarakan denganmu, Ratu Duyung!”
“Kalau ada pembicaraan yang mungkin tidak boleh mendengar, biar saya menunggu di tepi telaga sebelah sana.” Kata Wiro.
“Tidak perlu. Akan lebih baik kalau kau ikut mendengar dan menyaksikan,” kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula. Lalu dia menatap ke arah Ratu Duyung. “Pertama ada satu hal yang ingin aku usulkan. Hal ini juga sudah disetujui oleh Sinto Gendeng dan Tua Gila. Sebagai insan yang cantik jelita, namamu sungguh indah yaitu Ratu Duyung, cocok dengan orangnya. Namun dalam keseharian adalah lebih baik jika kau memiliki nama lain. Kami para sepuh bertiga sebenarnya sudah mempunyai beberapa nama pilihan untukmu. Namun adalah lebih pantas kalau Wiro sebagai calon suamimu yang mencari dan memberikan nama bagimu. Kau setuju Ratu?”
Ratu Duyung tak bisa menjawab. Perlahan-lahan kepalanya dipalingkan ke arah Wiro.
“Wiro, katakan, nama apa yang bagus untuk calon istrimu ini”
Wiro juga tak bisa menjawab. Kalau dia menjawab berarti dia memang sudah menyetujui bahwa Ratu Duyung adalah jodohnya, calon istrinya. Urusan bisa jadi panjang. Lagi pula dia tidak mau mengikat diri. Dalam hati Wiro berkata.
“Heran, mengapa Kiai Gede Tapa Pamungkas, Eyang Sinto dan Kakek Tua Gila bersikeras menjodohkan dirinya dengan Ratu Duyung tanpa dia diberi kesempatan untuk mengutarakan pendapat sendiri. Ah, tapi mungkin aku yang tolol. Tidak mau berterus terang pada Kiai. Cuma, bagaimana mungkin... Gendeng! Bagaimana aku jadi bisa terlibat dengan urusan geblek macam begini!”
“Wiro, aku tahu kau memberikan banyak nama bagus pada beberapa gadis sahabatmu. Tidak mungkin kau tidak bisa memberikan nama yang indah untuk Ratu Duyung calon istrimu.” Kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
Wiro masih tak menjawab. Hanya memandangi tanah di hadapannya.
“Wiro...?" Sang pendekar angkat kepala tapi memandang ke langit. Dia melihat bulan purnama empat betas hari, bulat bercahaya indah sekali.
“Wiro, aku menunggu...” berkata lagi Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Wiro, cari, pilihkan nama untukku. Aku akan menerima nama apa saja,” tiba- tiba Ratu Duyung berucap.
Wiro merasa heran. Tidak menyangka kalau Ratu Duyung akan mengeluarkan ucapan seperti itu. Ketika murid Sinto Gendeng menatap ke arah si gadis, Ratu Duyung kedipkan sepasang matanya yang biru bagus. Wiro kini mengerti dan maklum arti serta maksud Ratu Duyung memberi isyarat kedipan mata itu. Yaitu agar persoalan bisa selesai dan mereka bisa cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Wiro kembali menatap ke arah bulan purnama di langit biru bersih tak berawan. Begitu kepala diturunkan dia langsung memandang ke arah Ratu Duyung. “Kiai...”
BAB TUJUH
Di tiga tempat gelap dan tersembunyi sekitar telaga, tiga orang gadis tenggelam dalam ketercekatan serta ketegangan menyaksikan dan mendengar pembicaraan Kiai Gede Tapa Pamungkas, Wiro dan Ratu Duyung.
Gadis pertama dalam kecantikan wajahnya tampak pancaran amarah, keberingasan. Hatinya berucap. “Wiro, kau boleh memberi sejuta nama pada gadis bermata biru itu. Tapi akhir dari segalanya adalah kematian! Tidak ada seorangpun boleh dan bisa merebut dirimu dari tanganku”
Perlahan-lahan orang ini angkat tangan kanannya ke atas. Lima jari dipentang kaku laksana lima potongan baja! Mulut merapal mantera. Lima jari tangan serta merta berubah menjadi merah laksana bara menyala!
Gadis kedua walau bisa menahan diri namun tak urung hatinya bergejolak keras. “Wiro kau benar benar hendak memberi kiamat padaku. Aku mengaku sering berbuat keliru padamu. Bahkan sikap diriku di matamu mungkin tampak congkak. Mungkin kau juga menuduhku berselingkuh. Namun ketahuilah seumur hidup dunia akhirat hanya kau satu-satunya lelaki yang kukasihi! Begitu mudah Kau melupakan diriku hanya karena tutur bicara manis penuh bujukan orang tua yang memaksakan kehendak itu. Wiro kalaupun kelak aku harus mati karena siksa batin ini, aku rela kita mati berdua dari pada melihat kau bersanding dengan gadis lain!”
Setelah mengeluarkan suara hati, gadis di dalam kegelapan ini berkelebat pergi ke arah timur dan lenyap dalam, kegelapan.
Gadis ketiga berlainan dengan dua gadis terdahulu, yang satu ini unjukkan wajah sedih, menatap sayu ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Mata yang menatap itu mulai berkaca-kaca. Walau dirinya diselimuti kegoncangan jiwa namun lubuk hatinya masih mampu bersuara tenang.
“Jika kau memang bukan jodohku, aku ikhlas menerima. Tapi apakah aku sanggup menghadapi kenyataan hidup ini? Cobaan ini terlalu besar, terlalu berat bagiku. Bahuku terlalu rapuh untuk memikul beban ini Wiro, bagaimana mungkin kau tega melakukan ini. Kau tahu aku mengasihimu. Sangat mengasihimu. Semudah itu kau melupakan diriku? Seperti membalikkan telapak tangan? Aku tidak akan pernah membangkit segala budi yang pernah kita tanam. Namun tidak adakah sedikitpun benih kasih sayang dalam lubuk hatimu terhadap diriku?”
“Kiai suara Pendekar 212 Wiro Sableng bergetar. Dia pandangi wajah orang tua di hadapannya itu beberapa ketika lalu menatap ke arah Ratu Duyung dan lanjutkan ucapannya. “Kiai, dengan izinmu saya memberi nama Intan pada Ratu Duyung.”
Sepasang mata biru Ratu Duyung membesar dan memancarkan cahaya begemerlap. Di tempat gelap di tepi telaga dua gadis cantik keluarkan suara tercekat. Yang satu langsung berkelebat ke balik pohon besar mendekati arah duduk ke tiga orang di tepi telaga, yang lainnya duduk terkulai tundukkan kepala. Air mata meluncur jatuh membasahi pipi. Kiai Gede Tapa Pamungkas berseru gembira.
“Alhamdulillah. Sungguh nama yang sangat bagus. Sangat cocok dengan diri dan pribadi orangnya. Intan permata itu dimanapun berada, sekalipun di dalam lumpur akan tetapi memancarkan cahaya murni, putih perlambang kesucian. Nama Ratu Duyung tidak akan pernah hilang, dan nama Intan akan menjadi sandingan indah yang tiada terperikan.”
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum lega dan anggukkan kepala berulang kali. “Intan dan Wiro, kata orang tua ini. “Sekarang aku sampai pada hal kedua.”
Dari balik pakaiannya orang tua ini keluarkan benda putih bergulung yang bukan lain adalah Pedang Naga Suci 212. “Sejak kematian sahabat kalian Puti Andini, aku sudah lama mencari seseorang yang pantas menerima dan memegang pedang sakti ini. Saat ini aku telah menemukan orangnya yang sangat pantas. Ratu Duyung, senjata ini akan kuserahkan padamu. Tunggu sampai pedang membuka gulungan dan melayang di udara, memberi hormat di hadapanmu.”
Sang Kiai letakkan pedang bergulung di atas telapak tangan kanan lalu diangsurkan ke arah Ratu Duyung. Gadis bermata biru ini terkejut. Tak percaya mendengar ucapan si orang tua bahkan Wiro juga agak terkesiap namun merasa senang kalau Kiai Gede Tapa Pamungkas memang mau menyerahkan senjata sakti mandraguna itu pada Ratu Duyung.
“Kiai,”kata Ratu Duyung. “Saya mana berani menerima senjata itu.”
“Ratu,” kata Wiro. “Jangan menolak. Jangan mengabaikan kepercayaan yang diberikan Kiai padamu. Guruku saja Eyang Sinto Gendeng tidak bisa dan tidak pantas mendapatkan senjata itu.”
“Betul,” kata sang Kiai pula. “Pedang sakti ini tidak sembarang orang bisa memilikinya. Bahkan tidak gampang untuk bisa menyentuhnya. Seseorang yang tidak dikehendaki pedang tangannya akan luka melepuh jika berani memegangnya. Ratu Duyung, ketahuilah. Kau berjodoh dengan pedang ini. Sebagaimana kau berjodoh dengan Wiro. Wiro telah memiliki Kapak Naga Geni Dua Satu Dua. Kini kau memiliki Pedang Naga Suci Dun Satu Dua yang merupakan pasangan dari kapak sakti. Bukankah itu satu pertanda bahwa kalian memang telah pantas terikat dalam satu tali perjodohan?”
“Kena aku!” ucap Wiro dalam hati. Tadi dia berkata hanya sekedar untuk meyakinkan Ratu Duyung agar mau menerima Pedang Naga Suci 212 yang diberikan. Ternyata sang Kiai mengaitkan pemberian itu dengan perjodohan dirinya dengan Ratu Duyung. Seolah dia dan Ratu Duyung sudah berada dalam ikatan perjodohan secara nyata! Sang pendekar mau tak mau jadi garuk-garuk kepala.
Kiai Gede Tapa Pamungkas lanjutkan ucapan. “Ratu, jaga dan rawat senjata ini dengan baik. Maka dia akan menjaga dirimu dengan baik pula.”
Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas goyangkan telapak tangan kanannya. Dengan berbuat begitu, maka pedang sakti yang bergulung akan membuka, melesat ke udara lalu mengapung di hadapan Ratu Duyung seolah memberi penghormatan pada tuannya yang baru. Namun setelah sang Kiai menggoyangkan telapak tangannya sampai tiga kali, senjata sakti itu tetap bergulung, sama sekali tidak mau membuka. Berubahlah air muka Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Aneh, apakah pedang sakti ini tidak suka pada Ratu Duyung. Biasanya enteng. Sekarang mengapa terasa berat...?” pikir sang Kiai. Dia kerenyitkan kening, mengawasi dengan pandangan lebih tajam. Sepasang mata orang tua ini tiba-tiba pancarkan cahaya aneh.
Wiro yang sejak tadi memperhatikan merasa ada yang tidak beres lantas bertanya. Hal ini juga dirasakan Ratu Duyung.
“Kiai, ada apa?” bertanya Pendekar212.
“Pedang Naga Geni Dua Satu Dua ini palsu!” ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas dengan suara keras bergetar!
“Bagaimana mungkin?!” ujar Wiro sambil bangkit berdiri.
“Apa yang terjadi?” tanya Ratu Duyung yang barusan saja diberi nama Intan.
Rahang Kiai Gede Tapa Pamungkas menggembung. Kumis dan janggutnya berjingkrak. Lima jari tangan yang memegang gulungan pedang membuat gerakan meremas. Ini bukan remasan biasa karena disertai tenaga dalam yang sanggup meremas hancur batu sebesar kepalan!
“Kraakk!” Gulungan benda putih di tangan Kini Gede Tapa Pamungkas hancur nyaris jadi bubuk!
“Desss!” Di saat bersamaan hancuran benda itu mengepulkan asap kelabu. Kiai Gede Tapa Pamungkas mengucap berulang kali. “Ada yang menipuku! Menukar gulungan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua asli dengan pedang palsu!”
“Kiai, kau bisa menduga siapa pelakunya?” tanya Wiro. “Terakhir sekali aku bertemu dengan...” Ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas terputus.
Saat itu dari arah pohon besar melesat keluar lima larik sinar merah. Menyambar cepat dan ganas ke arah bagian tubuh sebelah belakang Ratu Duyung.
“Ratu! Intan! Awas! Ada orang meyerangmu dari belakang!” teriak Wiro.
Secepat kilat dia melompat ke depan. Tangan kiri mendorong gadis bermata biru hingga terpelanting ke samping dan jatuh di tanah, sementara tangan kanan lepaskan pukulan Kincir Padi Berputar disusul dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari. Pukulan Kincir Padi Berputar warisan Sinto Gendeng selain dapat menangkis hantaman serangan sekaligus memutar lima larik sinar merah melesat ke udara, mengalihkan serangan ke arah yang aman. Sementara Tangan Dewa Menghantam Matahari yang didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh membuat lima larik sinar merah menebar berantakan.
Namun salah satu larikan sinar merah melesat ke arah Kiai Gede Tapa Pamungkas. Sebelum Kiai ini sempat menyingkir selamatkan diri, larikan sinar merah telah menyerempet bahu kirinya. Kain putih yang menutupi bahu kiri sang Kiai robek hangus mengepulkan asap hitam. Daging bahu memar merah. Orang tua ini keluarkan seruan pendek, jatuh berlutut di tanah.
Wiro cepat merangkul sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu berteriak. “Intan! Jaga Kiai! Aku akan mengejar penyerang gelap itu! Aku sudah tahu siapa orangnya!”
Begitu Intan alias Ratu Duyung mendatangi Wiro cepat berkelebat ke arah pohon besar di sebelah kanan dari mana tadi dia melihat berkelebatnya satu bayangan berambut panjang. Sewaktu melewati Intan, Wiro sempat berbisik.
“Kiai itu hanya luka kecil. Aku tunggu kau besok pagi di kaki gunung sebelah timur, arah jalan ke desa Jatiwalu. Temui aku di pekuburan Jatiwalu.”
Sambil menerapkan ilmu Menembus Pandang yang didapat Wiro dari Ratu Duyung, Wiro mengejar pembokong yang tadi melancarkan serangan berupa lima larik sinar merah.
“Pukulan Lima Jari Akhirat! Aku sudah tahu siapa orangnya! Kurang ajar! Dia masih saja gentayangan membuat perkara!”
********************
BAB DELAPAN
Kita kembali pada Nyi Retno Mantili dan Bujang Gila Tapak Sakti yang dihadang kakek tak dikenal. Dalam Bab tiga dituturkan pertemuan kedua orang itu yang saling tertarik dan kemudian jadi bersahabat. Sementara berada dalam perjalanan yang tidak tahu mau menuju kemana mendadak kedua orang ini dihadang oleh seorang kakek berambut aneh sebahu. Rambut sebelah kiri kepala dicat putih, sebelah kanan dicat hitam. Mengenakan jubah hitam gombrong. Seutas cambuk melilit di pinggang. Baik Bujang Gila Tapak Sakti maupun Nyi Retno Mantili tidak mengenal siapa adanya kakek ini. Tanpa perdulikan si orang tua aneh keduanya tinggalkan tempat itu. Namun si kakek membuat gerakan menghadang di tengah jalan.
“Tunggu dulu!” si kakek berpakaian hitam gombrong membentak sambil menghadang jalan Bujang Gila Tapak Sakti yang mendukung Nyi Retno Mantili di bahu kanan. “Kau boleh saja tidak mengenal diriku! Tapi apakah kau juga tidak mengenal tiga sahabatku ini?”
Si kakek lalu keluarkan suitan keras. Saat itu juga dari balik rerumpunan semak belukar di tebing sungai melesat keluar tiga manusia aneh. Berdiri berjejer di samping kakek berambut belang. Melihat ketiga orang ini walau air mukanya berubah namun tetap saja Nyi Retno Mantili tertawa-tawa.
“Kemuning! Kau masih ingat tiga manusia aneh yang dulu menggantung ibumu ini di cabang pohon? Hik hik hik! Sekarang apa mereka muncul hendak menggantung sahabat kita si gendut ini?! Hik hik hik! Perlu tambang yang kuat dan pohon yang besar!”
Tiga orang aneh yang tegak berjejer di samping kakek berambut putih hitam sama-sama menyeringai. “Perempuan sinting! Sekarang rupanya kau sudah punya kacung menggendongmu kemana-mana. Aku merindukan jantungmu! Kali ini jangan harap kau bisa lari seperti dulu! Mana nenek keparat yang menipu kami dengan monyet hutan itu! Hari ini benar-benar tak ada yang akan menolongmu! Kau akan menjadi santapan kami bertiga!”
Orang yang barusan bicara rupanya tidak memandang sebelah mata pada Bujang Gila Tapak Sakti yang dianggapnya kacung gendut dogol Nyi Retno Mantili. Siapakah dia?
Manusia bertubuh katai ini adalah orang pertama dari komplotan jahat yang menamakan diri Serikat Momok Tiga Racun. Dia dikenal dengan sebutan Momok Pertama bernama Tukak Racun Kuning. Wajah dicat kuning bergaris-garis hijau. Rambut lurus hitam berjingkrak kaku menyerupai lidi. Mengenakan pakaian kuning gombrong menjela tanah.
“Aku sudah tak sabar ingin mengunyah hatimu!”
Berucap orang kedua di samping Momok Pertama. Walau nyata dia adalah lelaki tapi berdandan dan bersuara halus seperti perempuan karena memang dia seorang banci. Orang ini dikenal sebagai Momok Kedua, bernama Alis Bisa Merah. Wajah dicat merah bergaris hitam. Sepasang mata dihias dengan sipat mata kelabu. Alis hitam tebal melengkung. Bibir dipalut gincu tebal warna ungu. Sepuluh kuku jari juga dicat warna ungu. Mengenakan pakaian kembang-kembang warna-warni. Seperti Momok Pertama si banci ini memiliki rambut lurus ke atas kaku laksana lidi.
Orang terakhir yang dikenal sebagai Momok Ketiga bernama Denok Tuba Biru adalah seorang perempuan gemuk gembrot. Mengenakan pakaian berbentuk celana monyet tanpa lengan hingga bulu ketiaknya yang lebat meranggas terjulur kemana-mana dan paha putih gempal serta betis besar gembung bergoyang goyang.
“Ginjalmu adalah bagianku.” Ucap si gembrot sambil menyeringai. “Pasti segar dan empuk! Hik hik hik!” si gendut ini tertawa cekikikan lalu kedipkan mata pada Bujang Gila Tapak Sakti.
Bujang Gila balas kedipkan mata. Dia bukan saja terpesona dengan tubuh gembrot melar itu tapi juga terperangah terangsang melihat bulu ketiak Denok Tuba Biru yang lebat kasar dan hitam.
Momok Ketiga berpaling pada Momok Kedua dan berbisik. “Kacung gendut itu jangan kau ganggu. Dia bagianku! Kulihat dia terpesona memandangku. Pasti dia senang mencium bulu ketiakku! Hik hik...”
Momok Kedua Alis Bisa Merah senyum-senyum lalu menyahuti ucapan adik seperguruannya. “Aku mengalah saja. Aku mana punya selera pada lelaki gemuk. Yang sudah-sudah aku temui cuma tubuh yang gemuk besar tapi itunya kecil sebesar ujung jari kelingking! Hik hik hik!”
“Kau bisa berkata begitu. Tapi sejak tadi aku memperhatikan. Lihat bagian bawah celananya tampak menonjol besar. Berarti. Hemmm…”
Berkata Momok Ketiga si gemuk gembrot Denok Tuba Biru lalu tertawa gelak-gelak.
Momok Kedua si banci Alis Tuba Bisa Merah ikutan tertawa tapi sambil mengejek. “Kuharap kau tidak keliru. Jangan-jangan cuma kantong menyannya yang besar alias kondor! Hik hik! Mau dibuat apa kantong menyan kondor? Mau dijadikan tetelan sayur lodeh? Hik hik hik!”
“Kalian bertiga apakah sudah siap?” Bertanya kakek rambut hitam putih.
“Kami memang sudah kelaparan!” jawab Tukak Racun Kuning alias Momok Pertama.
Sambil masih terus menggendong Nyi Retno di atas bahu kanannya, Bujang Gila Tapak Sakti bertanya. “Sobatku ayu, kau kenal tiga manusia aneh ini?”
“Aku pernah dengar ada yang menyebut mereka sebagai Momok. Mereka pernah menggantung diriku kaki ke atas kepala ke bawah. Aku mau dipesiangi, dijebol tubuhku, diambil jantung hati dan ginjalku! Waktu itu untung ada orang pandai yang menolong. Tanpa setahu mereka diriku diganti dengan monyet hutan. Begitu selamat aku melarikan diri. Sobatmu Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng mengetahui kejadian itu karena dia datang bersama nenek yang menolongku. Kalau aku tidak salah ingat saat itu juga ada seorang pemuda aneh yang tubuhnya ditancapi paku. Pemuda itu mengusir Tiga Momok ini.”
“Kalau dulu mereka gagal berarti kali ini mereka hendak mengulangi maksud mereka. Cuma sekarang datang membawa seorang kakek jelek yang rupanya mau dijadikan andalan. Kau tetap tenang di atas bahuku. Kalau mereka berani macam-macam akan kuhabisi mereka saat ini juga!” Kata Bujang Gila Tapak Sakti. “Manusia-manusia jahat seperti mereka tidak bisa dikasih hati. Mereka ingin memangsa bagian tubuhmu pasti karena menuntut ilmu iblis!”
“Jauh-jauh mereka mengejarku sampai ke sini. Aku tidak takut. Kemuning mampu membunuh mereka semua!”jawab Nyi Retno pula. Nyi Retno Mantili lalu angkat tangan kanannya yang memegang boneka kayu.
(Untuk jelasnya apa yang telah dilakukan tiga manusia aneh yang dikenal dengan sebutan Tiga Momok itu harap baca serial Wiro Sableng berjudul Si Cantik Gila Dari Gunung Gede)
Kakek rambut putih hitam hentakkan kaki kiri ke tanah. Saat itu juga cambuk hitam yang melilit di pinggang laksana seekor ular besar bergerak lepas melesat ke udara. Semula Bujang Gila Tapak Sakti mengira cambuk aneh yang tanpa dipegang itu akan melesat menyerangnya. Ternyata cambuk berputar-putar di atas kepala hingga menimbulkan suara menderu dahsyat disertai cahaya hitam pekat bulat bergelung yang makin lama makin besar dan melebar. Tiba-tiba orang tua berpakaian hitam gombrong hentakkan kaki kanan ke tanah.
“Wuut!” Saat itu juga gulungan cahaya hitam berbentuk lingkaran melesat ke bawah, di lain kejap telah menelikung Bujang Gila Tapak Sakti dan Nyi Retno Mantili. Tiga Momok yang ikut berada dalam lingkaran tertawa-tawa. Mulut dibuka, lidah dijulur-julur. Selangkah demi selangkah mereka mendekati Bujang Gila Tapak Sakti.
Kakek baju hitam gombrong hentakkan kaki kiri. Cambuk melesat berbalik dan melingkar kembali di pinggangnya. Sementara lingkaran cahaya hitam terus mengurung Bujang Gila Tapak Sakti dan Nyi Retno Mantili. Si kakek tegak memperhatikan dengan pandangan tak berkesip sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. Mulut bergerak-gerak merapal mantera.
“Mereka sengaja mengurung kita. Agar kita tidak bisa lari! Aku akan hantam mereka dengan sinar yang keluar dari mata Kemuning. Biar mereka kelojotan tahu rasa! Hik hik hik!”Kata Nyi Retno pula.
“Sobatku ayu harap kau tenang dan diam saja. Biar aku yang menghadapi.”
Bujang Gila Tapak Sakti putar kopiah kupluknya lalu gerakkan tangan kiri ke atas. Di tangan itu kini ada kipas kertas yang sekali digoyang serta merta membuka lebar. Sambil menyeringai si gendut mulai berkipas-kipas.
“Ha ha ha! Lihat si gendut tolol itu menari kipas!” kata Momok Pertama sambil tertawa-tawa.
“Wutt! Wuut!”
Kipas di tangan kiri dikibas. Setiap kipas dikibas selarik angin dingin menggebu. Sebentar saja hawa dingin luar biasa menghampar menyungkup di tempat itu membuat Tiga Momok yang ada dalam lingkaran hitam tersentak kaget karena merasa tubuh masing-masing seperti dipendam di dalam es! Momok Ketiga si gembrot Denok Tuba Biru mulai goyah dua kakinya lalu jatuh berlutut di tanah.
“Aduh aku kebelet kencing!” kata si banci Alis Bisa Merah Momok Kedua dengan suara gemetar dan tubuh menggigil.
“Aku juga... Hik hik hik...” Kata si gembrot Momok Ketiga Denok Tuba Biru sambil pegangi bagian bawah tubuhnya, terbungkuk-bungkuk masih dalam keadaan berlutut. Karena tidak bisa menahan saat itu juga ia benar-benar kucurkan air kencing!
Bujang Gila Tapak Sakti tertawa mengekeh, terus berkipas-kipas lalu berkata. “Asyik kencing mancur! Nanti jangan lupa cebok. Ha ha ha!”
“Demang Cambuk Item!” Momok Pertama tiba-tiba berteriak. “Lekas lakukan sesuatu sesuai rencana! Kami sudah siap bersantap!”
Mendengar teriakan itu, kakek berjubah hitam gombrong hentakkan kaki kanan tiga kali ke tanah. Seperti tadi cambuk hitam di pinggang bergerak lepas, melesat ke udara dan berkiblat mengeluarkan suara seperti petir menggelegar tiga kali berturut-turut! Tiga cahaya hitam melesat ke dalam lingkaran hitam, masing-masing mengarah tubuh Tiga Momok. Begitu tersambar cahaya hitam saat itu juga tubuh ketiganya lenyap dari pemandangan.
Bujang Gila Tapak Sakti tersentak kaget. Dia merasa ada tiga sambaran angin mendatangi. Kipas di tangan kiri segera dikibas ke depan dengan mengerahkan tenaga dalam penuh.
“Wuuuttt! Braakk!”
Terdengar satu pekikan keras. Namun bersamaan dengan itu sosok Nyi Retno Mantili yang ada di atas bahu kanan Bujang Gila Tapak Sakti terasa ditarik orang. Masih sempat terdengar pekikan pendek Nyi Retno lalu hening. Ketika Bujang Gila Tapak Sakti kembali menghantam dengan kipas sakti, dia hanya memukul udara kosong!
“Wuuttt! Dess!”
Lingkaran sinar hitam lenyap. Memandang berkeliling Bujang Gila Tapak Sakti dapatkan dirinya tinggal seorang diri di tempat itu. Tiga Momok lenyap. Kakek berjubah gombrong hitam yang dipanggil dengan nama Demang Cambuk Item juga tak ada lagi di situ. Dan yang paling membuat Bujang Gila Tapak Sakti berteriak seperti orang gila adalah ketika menyadari Nyi Retno Mantili yang selalu dipanggilnya dengan sobatku ayu sudah tidak ada lagi di atas bahunya.
“Sobatku ayu! Kemuning!” teriak si gendut sambil banting-banting kaki hingga tanah bergetar. Dia bingung mau mengejar ke arah mana sementara cahaya matahari mulai redup dan sebentar lagi malam segera datang.
********************
BAB SEMBILAN
Tiga orang berlari cepat ke arah selatan dalam kegelapan malam. Agaknya mereka cukup kenal daerah ini. Karena walau berlari saling terpisah jauh, satu sama lain namun mereka sama menuju ke arah sebuah gubuk yang terletak di satu kaki bukit. Di sebelah depan berlari Demang Cambuk Item. Kakek berjubah gombrong hitam ini berlari sambil memanggul tubuh si katai Momok Pertama, Tukak Racun Kuning.
Begitu sampai di gubuk, si kakek langsung membaringkan Tukak Racun Kuning di lantai gubuk yang kotor. Walau maklum dia tidak bisa menyelamatkan lelaki katai ini namun Demang Cambuk Item masih berusaha membuat beberapa totokan serta mengalirkan hawa sakti ke tubuh Tukak Racun Kuning.
Suasana di gubuk cukup gelap. Namun masih cukup jelas terlihat keadaan Momok Pertama. Keningnya rengkah mengerikan. Seluruh wajah sampai kepala, leher dan sebagian dada tertutup darah. Cidera berat yang dialami lelaki katai murid tertua Si Bisu Racun Akhirat adalah akibat hantaman kipas kertas milik Bujang Gila Tapak Sakti. Dari mulutnya di antara suara erangan terdengar dia berucap.
“Per… perempuan gila itu… man… mana dia. Korek jantungnya. Aku... aku harus memakan jantung itu sebelum... sebelum men... menemui ajal.”
“Tukak Racun Kuning, tenang... sabar. Sebentar lagi saudaramu datang membawa perempuan itu. Kau akan mendapatkan jantungnya…”
“Harus... harus kumakan jantungnya. Itu perintah guruku si Bisu Racun Akhirat. A… ku akan sege…ra menghadap guru… Mana… mana”
Tak selang berapa lama Momok Ketiga si Denok Tuba Biru dengan nafas megap-megap sampai di gubuk, disusul Momok Kedua Alis Bisa Merah. Kedua orang ini berseru tercekat ketika melihat keadaan Momok Pertama. Buru-buru Momok Kedua yang memanggul Nyi Retno Mantili letakkan sosok perempuan itu di lantai gubuk agak jauh dari tubuh Momok Pertama, lalu dia menghampiri saudara seperguruannya yang tergeletak di lantai gubuk tengah sakarat.
“Aku sudah berusaha menotok, memberi aliran hawa sakti. Agaknya saudara tuamu ini tak bisa ditolong,” bisik Demang Cambuk Item.
Momok Kedua dan Momok Ketiga duduk di samping tubuh Momok Pertama. Keduanya mulai terisak.
“Alis Bi... Alis Bisa Merah... Den... Denok Tuba Bir... Biru. Kal... kalian ada di sini...”
“Tukak Racun Kuning, kami berdua ada di sampingmu.” Menjawab Denok Tuba Biru Momok Kedua.
“Tenang saja. Kami berusaha menolongmu. Kau akan sembuh...” ucap Momok Kedua si banci Alis Bisa Merah.
“Tidak... aku akan menemui kematian. Se... sebelum ajal kali... kalian harus me... menyerah... kan jantung per... perem... puan gila itu.”
Momok Kedua dan Momok Ketiga saling pandang lalu berpaling pada Demang Cambuk Item. Si kakek anggukkan kepala, berkata.
“Dia tahu bakal menemui ajal. Apa yang di ucapkannya merupakan permintaan terakhir. Wajib dipenuhi...”
“Kalau begitu seperti dulu, lekas kau belah dadanya. Pergunakan kuku jarimu yang panjang runcing,” Momok Ketiga berkata pada Momok Kedua.
“Aku lagi...” Momok Kedua merengut. “Bagaimana kalau ditunggu saja sampai dia mati. Setelah mengurus mayatnya baru kita mengerjai perempuan sinting itu. Kau boleh makan jantung dan ginjalnya. Aku tetap makan hatinya. Aku tidak mau serakah.”
“Ini bukan persoalan serakah atau tidak serakah. Ini perintah guru. Kau juga barusan mendengar ucapan Demang Cambuk Item. Lekas kau lakukan!”
Masih bersungut cemberut Momok Kedua bangkit berdiri lalu mendatangi tubuh Nyi Retno Mantili yang terbaring menelungkup tak berkutik karena sebelumnya telah ditotok jalan darahnya hingga dia tak mampu bergerak ataupun bersuara. Momok Kedua balikkan tubuh Nyi Retno Mantili lalu membungkuk. Dia perhatikan boneka kayu yang terselip dibawah kain bedongan. Dengan cepat dia ambil boneka kayu itu. Diperhatikan beberapa ketika dan dipencet-pencet pinggangnya lalu diselipkan di dada bajunya yang menyerupai pakaian perempuan.
Sepasang mata Nyi Retno Mantili mendelik berapi-api. Hatinya berteriak. “Banci jahanam! Berani kau mengambil anakku! Aku bersumpah membunuhmu!”
Walau tidak bisa bergerak dan tidak mampu bersuara namun Nyi Retno Mantili masih dapat mendengar apa yang tadi diucapkan Momok Ketiga. Dalam kemarahannya, sepasang mata perempuan ini semakin membeliak besar ketika dia melihat Momok Kedua mendatangi dan berjongkok di sampingnya.
“Kau boleh membunuhku! Hik hik! Kau boleh mengambil jantung, hati dan ginjaiku! Kalau mati aku akan jadi setan dan mengejar dirimu seumur umur!”
Ucapan itu menggeledek dalam hati Nyi Retno Mantili. Dia berusaha menerapkan semua ilmu menyelamatkan diri yang diajarikan Kiai Gede Tapa Pamungkas, namun sia-sia karena tenaga dalam dan hawa sakti di dalam tubuhnya tidak mampu dialirkan dan tingkat kepandaian perempuan bertubuh kecil ini untuk bisa membebaskan diri dari totokan belum sampai ke sana.
Momok Kedua tersenyum. Dia mengusap kening, membelai pipi perempuan ini lalu menyingkap dan mengusap dada Nyi Retno Mantili. “Kalau saja kau lelaki, mungkin kita bisa bersuka-suka barang sebentar sebelum kau menemui ajal. Wajahmu cantik. Tubuhmu begini halus dan mungil. Dadamu putih dan kencang. Sayang... Eh, apakah teman yang dulu menolongmu menjadi monyet hutan ada di sekitar sini? Kalau saja dia bisa menolong lagi, kau tahu. Aku ini bisa jadi lelaki juga bisa jadi perempuan. Aku pasti bisa membuatmu senang mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.”
“Banci jahanam! Manusia puntung neraka!“ maki Nyi Retno Mantili yang hanya menggema di dalam hati.
“Alis Bisa Merah! Jangan ada pikiran macam-macam dalam benakmu! Lekas lakukan tugasmu!”
Momok Ketiga berteriak sewaktu melihat Momok Kedua masih belum juga mengadakan apa yang harus dilakukannya, malah bicara sambil senyum-senyum. Momok Kedua mencibir ke arah adik seperguruannya yang bertubuh gembrot itu lalu breett! Sekali tangan kirinya bergerak pakaian Nyi Retno Mantili robek besar di bagian dada.
Momok Kedua gulung lengan baju kiri kanan. Jari-jari tangan kanan diusap beberapa kali dengan tangan kiri. Lima jari berkuku panjang dan runcing tajam menyamai ketajaman pisau bermata dua digerak-gerakkan. Tiba-tiba didahului pekikan keras mengerikan, Momok Kedua hunjamkan lima jari tangan kanannya kedada Nyi Retno Mantili!
BAB SEPULUH
Satu jengkal lagi lima jari tangan Momok Kedua akan menjebol dada di arah jantung Nyi Retno Mantili mendadak dari luar gubuk menderu satu sambaran angin luar biasa dahsyat. Bersamaan dengan itu dua larik sinar hijau melesat di kegelapan malam, membeset ke arah Momok Kedua.
Melihat apa yang terjadi Demang Cambuk Hitam tidak tinggal diam, hentakkan kaki kiri ke lantai gubuk sampai lantai hancur jebol. Cambuk hitam yang melilit dipinggang bergerak membuka lalu melesat ke arah datangnya dua larik sinar hijau!
Bangunan gubuk hancur berantakan laksana dilanda topan. Sosok Momok Pertama yang tengah sekarat terpental dan lenyap dalam kegelapan. Demang Cambuk Item terpental, namun masih sanggup berguling di tanah lalu bangun berdiri. Tampangnya tampak pucat. Dada berdenyut aneh tak karuan.
Momok Ketiga menjerit keras. Tubuhnya yang gemuk mencelat sampai dua tombak di luar gubuk yang hancur. Pakaian robek besar di beberapa tempat hingga tubuhnya nyaris bugil. Walau babak belur namun si gendut berbulu ketiak lebat ini selamat. Untuk beberapa lama dia terkapar di tanah, tak sanggup bergerak. Sebagian rambutnya yang berbentuk lidi tegak rontok tak karuan. Lucunya ketika dia mulai mampu bergerak, si gendut ini usap ketiaknya kiri kanan. Air mukanya tampak lega. Mulutnya masih bisa berucap.
“Untung… untung bulu ketiakku tidak ikut rontok...”
Akan halnya Nyi Retno Mantili, begitu angin dahsyat menyapu, tubuhnya terpental ke arah arah semak belukar dan terbaring menyangsrang di atas tanaman itu. Sekujur badan terasa seperti remuk.
Momok Kedua bernasib malang. Ketika tubuhnya disapu hantaman angin dahsyat yang membuatnya terlempar ke udara, dia tidak mampu selamatkan diri dari sambaran dua larik sinir hijau.
“Craass! Tangan kanannya dibabat putus sinar hijau pertama. Lelaki ini menjerit keras. Belum habis jeritannya sinar hijau kedua datang menyambar paha kiri. Tak ampun bagian tubuh ini pun putus amblas. Sosok Momok Kedua terbanting ke tanah. Mengerang panjang lalu hek! Nyawa putus, tubuh tak berkutik lagi dan berubah menjadi hijau!
Di udara cambuk hitam berkelebat ganas menghantam dua larik sinar hijau yang hendak menyambar kearah Demang Cambuk Hitam.
“Taarr! Taar!”
Dua larik sinar hijau berpijar terang dan keluarkan letusan-letusan keras. Cambuk hitam seperti ular yang meregang nyawa, jatuh ke tanah menggelepar-gelepar. Dari hitam berubah warna menjadi hijau. Demang Cambuk Item sang pemilik tidak perdulikan lagi senjatanya itu. Nyalinya leleh sudah ketika melihat ke arah kegelapan dimana tegak berdiri seorang lelaki muda berperawakan kekar dengan keadaan luar biasa mengerikan. Sekujur tubuh orang ini mulai dari batok kepala sampai ke wajah, tubuh dan terus ke kaki penuh ditancapi paku baja berkilat. Sepasang mata pancarkan sinar hijau. Sinar angker ini perlahan-lahan meredup dan akhirnya lenyap.
“Manusia Paku! “desis Demang Cambuk Item. “Tiga Momok tidak mengarang cerita. Mahluk angker ini benar benar ada!”
Tanpa menunggu lebih lama lagi kakek berjubah hitam komprang ini segera putar tubuh dan berkelebat lenyap dari tempat itu.
Denok Tuba Biru serta merta jatuhkan diri ketika Manusia Paku mendatangi dan berdiri di hadapannya. Saat itu hanya tinggal dia seorang dari Tiga Momok yang masih hidup.
“Kita masih ada sangkut-paut saudara seperguruan. Guruku adalah saudara angkat mendiang gurumu Eyang Gusti Kelud. Aku mohon kiranya kau mengampuni selembar nyawaku!” Momok Ketiga ini jatuhkan kening ke tanah berulang kali, meratap meminta ampun.
“Dalam keadaan terpojok tertangkap tangan enak sekali kau menyebut-nyebut hubungan persaudaraan!” Manusia Paku mendengus. “Sewaktu pertama kali kalian hendak mencelakai perempuan itu aku sudah mengampuni dirimu dan dua saudaramu. Hal itu sudah cakup menjadi peringatan agar kalian jangan mengulangi perbuatan keji itu. Memakan jantung, hati dan ginjal manusia! Terkutuk! Ilmu hitam laknat! Ternyata kalian tidak jera! Ternyata hari ini kau dan saudara-saudaramu dibantu kakek edan tadi mengulangi lagi perbuatan dajal itu!”
“Kami tahu kesalahan kami! Aku tahu kesalahanku! Kami hanya menjalani pesan mendiang guru.” Jawab si gemuk Momok Ketiga lalu menangis tersedu-sedu.
“Jangan salahkan gurumu! Kau dan saudara-saudaramu diberi otak untuk berpikir!” Bentak Manusia Paku.
“Kami mengaku salah! Mohon ampunan. Aku masih ingin hidup panjang.”
“Pergi sana!” Manusia Paku tendang pantat Momok Ketiga hingga terguling di tanah. Walau menahan sakit namun si gembrot ini cepat bangun. Sambil usap-usap pantatnya yang tadi kena tendang dia lari terbirit-birit. Di satu tempat dia hentikan lari. Berpaling ke arah Manusia Paku lalu susun sepuluh jari di atas kepala. Sambil membungkuk-bungkuk si gemuk ini berulang kali berkata,
“Terima kasih... terima kasih kau mau mengampuni diriku! Aku tidak akan melupakan hal ini! Terima kasih...!”
Manusia Paku memperhatikan berkeliling. Begitu melihat Nyi Retno Mantili yang masih terkapar di atas semak belukar dia segera mendatangi. Sekali lihat saja dia tahu kalau perempuan ini berada dalam keadaan tertotok jalan suara dan tubuhnya. Manusia Paku letakkan telapak tangan kanannya di atas kepala Nyi Retno. Begitu dia kerahkan tenaga dalam totokan di tubuh Nyi Retno serta merta musnah. Lepas dari totokan Nyi Retno melompat dan lari ke arah mayat Momok Alis Bisa Merah.
“Hai! Kau mau kemana?!” bertanya Manusia Paku sambil mengikuti.
“Anakku! Kemuning anakku!” Begitu menemui mayat Momok Kedua, Nyi Retno berteriak. “Dia mencuri anakku! Dia mencuri anakku!”
Nyi Retno membungkuk. Memeriksa mayat di balik baju mayat Momok Kedua dia menemukan boneka kayu. Namun begitu melihat boneka ini Nyi Retno langsung menjerit dan jatuhkan diri ke tanah.
“Anakku! Kemuning! Mengapa kau berubah menjadi hijau seperti mayat si jahat itu! Penyakit apa yang menyerangmu? Hantu mana yang menyambatmu?! Atau mungkin... mungkin kau juga sudah, mati! Kemuning!” Nyi Retno menggerung keras.
Manusia Paku untuk beberapa lama hanya berdiri menyaksikan dengan perasaan hiba. Lalu dia ulurkan tangan hendak mengambil boneka kayu dari tangan Nyi Retno. Perempuan ini menjerit.
“Kau juga hendak mencuri anakku? Kau ternyata manusia jahat! Sama dengan perempuan gendut yang sudah jadi bangkai itu!”
“Tidak, aku tidak akan mencuri anakmu. Aku justru bermaksud mengobatinya. Anakmu masih hidup. Mari, perbolehkan aku memegangnya sebentar. Warna kulit tubuh anakmu akan aku kembalikan seperti semula.”
“Aku tidak percaya padamu! Kau ini manusia atau setan? Mengapa ada banyak paku menancap di tubuhmu? Hik hik! Apakah aku pernah melihatmu sebelumnya? Aku ingat! Aku memang pernah melihatmu. Waktu kejadian tiga manusia aneh itu menggantungku di pohon.”
“Bagus kalau kau masih ingat. Berarti kau tahu aku tidak jahat. Sekarang kalau kau tidak percaya, kau masih boleh memegang anakmu. Aku akan meletakkan tanganku, di salah satu bagian tubuhnya. Kalau bisa di kepalanya.”
Nyi Retno menatap bimbang. Namun kemudian dia ulurkan boneka itu. Manusia Paku lalu letakkan tangannya di kepala boneka. Ada selarik cahaya putih keluar dari tangan yang penuh paku, masuk ke dalam boneka. Sesaat kemudian boneka kayu yang tadi berwarna hijau berubah kembali ke warna asal semula. Nyi Retno Mantili berseru gembira lalu memeluk dan menciumi boneka kayu berulang kali. Kemudian dia menatap Manusia Paku.
“Wajahmu seram angker. Tapi hatimu baik! Hik hik...!”
“Nyi Retno, bukankah namamu Nyi Retno?” Manusia Paku bertanya.
“Namaku memang Nyi Retno. Tapi aku tidak suka nama itu.” Jawab Nyi Retno.
“Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Kalau aku ajak, apakah kau mau ikut bersamaku?”
“Eh, kau mau ajak aku kemana? Niat jahat apa yang ada dalam otakmu! Hemm... Dasar laki-laki. Pura-pura menolong. Padahal maksudnya sama saja!”
Manusia Paku tertawa. “Aku tidak punya niat jahat. Aku bermaksud membawamu menemui guruku. Aku akan meminta beliau menikahkan kita.”
“Apa?!”Nyi Retno Mantili saking kaget suaranya setengah berteriak.
Namun saat itu Manusia Paku telah merangkul pinggangnya lalu mendukung perempuan cantik bertubuh kecil itu dan membawanya lari ke arah tenggara.
“Manusia jahat! Kalau kau tidak melepaskan diriku, aku akan membunuhmu!” Nyi Retno mengancam.
“Aku tahu kau punya ilmu tinggi karena kabarnya kau adalah murid Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tapi apa untungnya membunuh orang yang tidak bermaksud jahat padamu?”
“Aku tidak percaya! Tadi kau bilang apa? Kau mau membawa aku pada gurumu. Lalu gurumu akan menikahkan kita!”
“Benar.”
“Gila!”
“Tidak gila Nyi Retno. Tidak ada yang gila!”
“Kau tahu! Anakku Kemuning ini sudah punya ayah!”
“Maksudmu kau sudah punya suami?!”
“Kira-kira begitu. Hik hik!”
“Aku tahu. Aku menyirap kabar. Kau memang punya suami. Malah suamimu itu adalah Patih Kerajaan Wira Bumi. Tapi bukankah dia sudah menemui ajal? Tewas di tangan Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng sewaktu hendak menyelamatkan bayimu?”
“Kau sama saja gilanya dengan yang lain-lain!”
“Maksudmu?” tanya Manusia Paku.
“Aku tidak pernah jadi istri Wira Bumi! Aku tidak kenal siapa itu Wira Bumi! Aku tidak punya bayi selain Kemuning! Ayah Kemuning bukan Wira Bumi! Bukan Patih Kerajaan!”
“Lalu siapa?” tanya Manusia Paku.
“Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng.”
Manusia Paku hentikan lari. Kaget! “Siapa?!”
“Apa kau tuli?!”
“Tidak. Aku tidak tuli. Tapi coba katakan lagi.”
“Ayah Kemuning itu Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng! Nah dengar sekarang? Ngerti sekarang?”
Manusia Paku menatap wajah Nyi Retno Mantili beberapa ketika lalu tertawa gelak-gelak. Dalam hati kemudian dia berkata. “Kalau benar ucapan perempuan ini, mana yang sableng. Perempuan ini atau si Wiro sobatku geblek itu!
********************
Di balik satu pohon besar, seorang gadis cantik yang sejak tadi mengikuti Manusia Paku dan Nyi Retno Mantili tegak terdiam. Dia berpikir. “Apakah aku akan terus mengikuti dua orang itu? Kemana mahluk seram itu mau membawa Nyi Retno? Apa aku harus menolong Nyi Retno?! Apa untungku? Malah jangan-jangan kelak bisa membuat diriku kecewa besar di kemudian hari. Lagi pula aku lihat janda Patih Kerajaan itu suka-suka saja digendong dan dibawa orang. Aneh, dalam pikirannya yang tidak waras apa dia memang mau diajak nikah dengan manusia yang tubuhnya penuh ditancapi paku itu? Kalau memang diajak nikah, kalau dia nanti dibunuh bagaimana? Apakah aku tidak merasa bersalah karena tidak menolong? Manusia Paku bernama Sandaka Arto Gampito. Aku mengenal dirimu tapi aku tidak mengenal hatimu!”
Si gadis bersandar ke batang pohon. Memandang ke langit kelam. Hatinya kembali bicara. “Sebaiknya aku tidak ikut campur urusan orang. Urusanku sendiri banyak yang belum selesai. Biarkan segala sesuatu berjalan dengan sendirinya. Seperti air. Mengalir mengikuti kemauan alam. Lalu apa yang akan aku lakukan sekarang? Kemana aku akan pergi. Di puncak Gunung Gede jangan-jangan Wiro sudah mengikat tali perjodohan dengan gadis bermata biru itu. Lalu orang di Kesultanan Cirebon apakah dia tengah mengejar diriku saat ini? Apa yang hendak dilakukannya kalau menemui diriku? Akan membunuhku karena telah membuat malu besar pada dirinya? Ya Tuhan, mengapa susah sekali perjalanan hidup ini bagiku? Mengapa cobaan datang silih berganti? Apakah semua ini karena kesalahanku sendiri?”
********************
BAB SEBELAS
Kita ikuti perjalanan Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia berusaha mengejar orang yang telah melancarkan serangan membokong terhadap Ratu Duyung yang malam itu telah diberikan nama baru yaitu Intan. Sebenarnya tujuan murid Sinto Gendeng ini bukan semata ingin mengejar penyerang gelap tapi sekaligus mencari kesempatan menghindar dari Kiai Gede Tapa Pamungkas yang bicara panjang lebar mengenai perjodohannya dengan gadis cantik bermata biru itu. Meski menerapkan ilmu Menembus Pandang namun tidak mudah bagi Wiro menjajagi sang pembokong.
“Aneh, aku tidak bisa mengejar. Padahal saat ini padaku masih ada Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru milik Ratu Duyung, pinjaman dari Nyai Roro Kidul. Setan pun kalau lari pasti bisa kukejar!” Wiro garuk-garuk kepala. “Ilmu yang diberikan Ratu Duyung sulit menembus. Berarti orang yang aku kejar memiliki kepandaian luar biasa, atau sudah berada jauh diluar daya capai ilmu, atau bisa juga dia adalah mahluk dari alam lain. Alam roh! Siapa? Purnama? Rasanya mungkin tidak. Bunga? Sama sekali tidak mungkin. Dia barusan menemuiku di tempat kediaman Kiai. Dia memberi segala, macam nasihat baik. Lalu siapa yang jadi biang racun? Jejadian Nyai Tumbal liwo?”
Wiro merasa tengkuknya dingin. Sampai langit di ufuk timur tampak terang tanda fajar telah menyingsing Wiro masih belum dapat mengejar si pembokong. Di satu tempat dia hentikan lari.
“Aneh, aku mengejar orang. Tapi mengapa aku merasa ada seseorang justru menguntitku di sebelah belakang?” Wiro memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa. “Jangan-jangan aku kena diperdaya! Orang yang aku kejar menyelinap ke belakang...”
Wiro mencari tempat yang baik untuk istirahat. Dia akhirnya duduk di bawah satu pohon rindang. Karena keletihan ditambah sapuan angin pagi yang sejuk segar akhirnya sang pendekar tertidur. Sewaktu terbangun Wiro tersentak kaget. Dia dapatkan Ratu Puyung duduk bersimpuh di hadapannya.
“Ratu... Intan, sudah lama kau herada di sini?” tanya Wiro.
Gadis bermata biru tersenyum. Menatap Wiro seketika lalu berkata. “Intan. Aku suka kau memanggilku dengan nama itu. Aku memang sudah lama di sini. Aku tidak berani membangunkan. Untung kau terjaga lebih cepat. Kalau kau baru bangun tengah hari nanti..."
Wiro tertawa. “Kiai mengijinkanmu pergi? Bagaimana keadaan lukanya?”
“Beliau baik-baik saja. Dia akan segera sembuh. Dia yang meminta aku agar lekas-lekas menemuimu.”
“Kiai tidak berkata apa-apa atau menitipkan pesan padamu?”
Ratu Duyung gelengkan kepala. “Aku merasa kasihan pada Kiai. Bagaimana sampai bisa terjadi Pedang Naga Suci Dua Satu Dua yang hendak diberikannya padamu ternyata adalah pedang palsu?”
“Aku juga tidak mengerti. Perasaanku sama sepertimu. Kasihan pada Kiai. Aku menawarkan diri untuk merawat lukanya. Tapi Kiai malah menyuruhku lekas-lekas menemuimu.”
Hening sejenak. Lalu Ratu Duyung bertanya. “Kau tidak berhasil mengejar orang yang menyerangku secara gelap itu?”
“Dia mampu melenyapkan diri. Tapi aku sudah bisa menduga siapa orangnya.”
“Siapa?”
“Jejadian Nyai Tumbal Jiwo”
“Mahluk itu lagi” ucap Ratu Duyung.
“Intan, selagi di kawasan ini, aku bermaksud ke Jatiwalu. Bukankah kita sebelumnya berjanji akan bertemu dipekuburan Jatiwalu? Tapi kau datang lebih cepat. Aku bermaksud menyambangi makam dua orang tuaku di pekuburan Jatiwalu.
“Aku ingin sekali menyertaimu. Tapi Wiro, aku mohon maaf. Aku harus cepat-cepat menemui Nyai Roro Kidul”
“Membicarakan perjodohan kita?” tanya Wiro.
“Aku tidak tahu mau bicara apa dengan penguasa laut selatan yang sudah kuanggap sebagai orang tua itu.”
“Sebaiknya kau jangan bicara dulu dengan Nyai Roro Kidul.”
“Mengapa Wiro? Kau tak ingin Nyai Roro Kidul merestui perjodohan kita?”
“Maksudku bukan begitu,” Wiro menggaruk kepala. “Bagaimana kalau kita tunggu dulu sampai Kiai menemukan kembali Pedang Naga Suci Dua Satu Dua yang asli?”
Ratu Duyung tidak menjawab. Wajahnya tampak sedih. Kepala ditundukkan. Sesaat kemudian Ratu Duyung angkat kepalanya. “Wiro, kita berpisah dulu untuk sementara di tempat ini. Seperti kataku tadi, aku harus cepat menemui Nyai Roro Kidul. Saat ini apakah aku boleh meminta kembali Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru yang ada padamu?”
“Tentu saja” jawab Wiro. Lalu dia susupkan tangan kanan ke balik baju hitam yang dikenakannya. Mengalirkan tenaga dalam dan kerahkan hawa sakti. Ketika tangan dikeluarkan kelihatan satu benda biru lonjong bercahaya sebesar telur ayam. Wiro menyerahkan batu sakti itu pada Ratu Duyung. Sang Ratu cepat-cepat menyimpannya di balik pakaian.
“Wiro, sebelum aku pergi, bolehkah aku menciummu?” tanya Ratu Duyung.
Wiro diam saja tapi tersenyum. Senyuman ini seolah sebagai pertanda bagi Ratu Duyung bahwa dia diperbolehkan mencium. Maka gadis bermata biru ini lantas dekatkan wajahnya ke wajah sang pendekar, mencium kening dan kedua pipi Wiro.
“Intan, aku...” Ucapan Wiro tertahan ketika bibir basah Ratu Duyung menempel di atas bibirnya. Sesaat kemudian, gadis cantik itupun berkelebat lenyap. Wiro usap-usap bibirnya yang barusan dikecup lalu gelengkan kepala.
“Aneh, tidak pernah sebelumnya Ratu Duyung berbuat seperti itu. Menciumku. Apa mungkin karena dia merasa aku ini sudah menjadi calon suaminya?” Murid Sinto Gendeng garuk kepala habis-habisan!
********************
Pekuburan Jatiwalu tampak sepi pagi itu. Wiro duduk bersila di hadapan dua makam yang tanahnya tidak lagi merah, tapi coklat gersang. Dua batu nisannya tersembunyi di balik kelebatan alang-alang kering. Seorang lelaki tua mengenakan baju putih lengan panjang dan kain sarung serta bercaping bambu, jongkok di samping Wiro. Orang tua ini membantu Wiro mencabuti alang-alang dan rumput liar hingga dua makam itu kini tampak bersih. Sambil meluruskan letak dua batu nisan yang sudah hitam berlumut Wiro berkata.
“Bapak tua Sukobekti, saya hanya bisa memberikan sedikit sedekah padamu. Nanti kalau saya sudah pergi tolong dua batu nisan ini diganti dengan nisan baru. Yang sebelah kanan ditulisi dengan nama Suci Bantari. Itu nama almarhumah Ibu saya. Nisan sebelah kiri ditulis nama Ranaweleng, nama mendiang Ayah saya.”
Wiro lalu menyerahkan sekeping perak pada lelaki tua bernama Sukobekti. “Pak tua, apakah ini cukup untuk membuat dua nisan baru dan biaya merawat makam kedua orang tua saya?”
Sukobekti terperangah tak percaya. Mata terbelalak. “Raden, sedekah ini bagi saya sangat besar. Saya tidak berani menerima,”
“Ini sudah jadi rejekimu Pak tua. Terimalah. Tak usah ragu.”
Dua mata si orang tua tampak berlinang. Dia mencium tangan Wiro sambil mengucap terima kasih berulang kali.
“Bapak kenal baik dengan mendiang ayah Raden. Beliau teman sepermainan. Bapak juga tahu riwayat malang yang menimpa kedua orang tua Raden. Sebagai Kepala Kampung Jatiwalu ayah Raden orangnya galak keras seperti baja. Tapi hati dan welas asihnya selembut kapas. Ibu Raden seorang perempuan ayu cantik jelita. Sebelum pergi, apakah Raden tidak ingin melihat tanah bekas kediaman kedua orang tua Raden terlebih dulu? Rumahnya sudah tidak ada lagi karena dulu dibakar oleh orang jahat bernama Mahesa Birawa...”
Wajah Pendekar 212 nampak redup. Dipegangnya bahu Sukobekti dan berkata. “Saya tahu ceritanya, Pak tua. Sangat menyedihkan. Namun semua telah berlalu. Yang saya harapkan saat ini adalah ketenteraman di alam baka bagi kedua orang tua saya.”
“Betul Raden. Kita harus banyak memanjatkan doa pada Gusti Allah untuk ketenangan arwah kedua orang tua Raden...”
“Saya mohon diri, Pak tua.”
“Saya sekali lagi mengucapkan terima kasih atas sedekah besar yang Raden berikan.” Sambil berdiri kembali orang tua itu menciumi tangan Wiro.
Murid Sinto Gendeng tertawa. “Pak tua, bukan Pak tua yang mencium tangan saya, tapi sayalah yang harus mencium tangan Pak tua.” Wiro tarik tangan kanan orang tua itu lalu menciumnya.
Si orang tua tertawa tersipu. Dia betulkan letak caping bambu lalu berkata. “Raden, maafkan kalau bapak berlaku lancang. Apakah saya boleh bertanya siapakah nama Raden ini!”
“Nama saya Wiro, Pak tua.”
“Wiro…” Sukobekti mengangguk angguk. “Sebelum Raden pergi bolehkah saya menceritakan sesuatu?”
“Tentu saja. Pak tua mau menceritakan apa.” tanya Wiro.
“Sekitar satu tahun silam, tak lama setelah kejadian banjir bandang di daerah ini, ada seorang pemuda datang ke kampung Jatiwalu. Seorang penduduk mengantarkannya ketanah bekas rumah kediaman kedua orang tua Raden. Saya menyertainya. Dia mengatakan bahwa dia adalah putera mendiang Ranaweleng dan Suci Bantari.”
Wiro pegang dagunya, menggaruk kepala lalu bertanya. “Pak tua ingat ciri-ciri pemuda itu. Usianya seberapa? Lebih tua atau lebih muda dari saya? Pakaiannya?”
“Menurut perkiraan saya, pemuda itu sekitar satu atau dua tahun lebih tua dari Raden. Tubuhnya ramping, tinggi hampir sama dengan Raden, kulit kuning halus. Pakaiannya saya ingat betul. Baju merah, celana ringkas hitam. Kepala ditutup dengan sehelai setangah merah.”
“Apa dia membekal atau membawa senjata?”
“Dia tidak membawa apa-apa. Sikapnya santun, bicaranya sopan. Dia bukan seperti seorang pendekar rimba persilatan.”
“Pak tua menanyakan siapa namanya?”
“Saya menyesal, waktu itu saya lupa menanyakan.” Jawab Sukobekti.
“Pak tua tahu dia datang dari mana dan kemudian pergi kemana?”
Orang tua yang ditanya menggeleng, “Pemuda itu wajahnya tampan. Dia juga minta diantar ke pekuburan sini. Dia berdoa di depan makam kedua orang tua Raden. Saya lihat dua matanya berkaca-kaca.”
Darah Wiro berdesir. “Kalau dia menangis, berarti dua makam ini memang makam orang tuanya. Tapi...”
“Tapi apa Raden?”
Wiro tak menjawab. Dia pegang bahu si orang tua, menatap sejurus pada dua makam lalu tinggalkan pekuburan. Langkahnya gontai karena sambil berjalan Wiro memikirkan cerita pak tua tadi.
“Seorang pemuda, berusia satu dua tahun lebih tua dariku. Mengaku berayah Ranaweleng dan ibu Suci Bantari. Apakah ini berarti aku mempunyai seorang kakak yang sebelumnya tidak pernah aku ketahui? Tapi Eyang Sinto atau siapapun tidak pernah menceritakan hal ini.”
Menjelang keluar dari kawasan pekuburan tiba-tiba seseorang berkelebat dan berhenti di depannya. Wiro yang sedang setengah melamun membelok ke kiri agar tidak berbenturan lalu meneruskan jalannya.
“Wiro, kau tidak melihat diriku atau kau tidak kenal lagi padaku?” Satu suara perempuan menegur.
Murid Sinto Gendeng hentikan langkah, berpaling ke belakang. Astaga! “Ratu Duyung! Intan! Aku tengah memikirkan sesuatu. Sampai tidak melihat jalan tidak melihat dirimu. Kukira saat ini kau sudah berada di tempat kediaman Nyai Roro Kidul di laut selatan. Ada apa kau kembali? Sesuatu merubah jalan pikiranmu?”
Gadis cantik bermata biru di depan Wiro kerenyitkan kening. “Bukan jalan pikiranku yang berubah. Jalan pikiranmu yang terasa aneh.”
“Aneh bagaimana?” tanya Wiro sambil menggaruk kepala.
“Aku memang datang agak terlambat. Agaknya kau telah menyambangi makam kedua orang tuamu?”
“Betul.” Jawab Wiro.
“Sewaktu meninggalkan tempat kediaman Kiai malam tadi, bukankah kau mengatakan agar aku menemuimu di pekuburan ini?” Tanya Ratu Duyung.
“Itu juga betul. Tadi bukankah kita sudah bertemu pagi tadi dan kau minta diri karena cepat-cepat ingin menghadap Nyai Roro Kidul?”
“Kita bertemu pagi tadi? Bertemu dimana? Aneh, kenapa pembicaraan kita tidak nyambung?” Ratu Duyung tatap wajah Pendekar 212. “Wiro, aku melihat kau seperti dalam satu kebingungan. Apa yang terjadi? Aku tidak pernah bertemu denganmu pagi tadi. Sesuai janji aku langsung datang ke pekuburan ini.”
“Intan, rasanya kau yang aneh. Pagi tadi kau menunggui diriku yang sedang tidur di bawah pohon. Ketika aku bangun kita bicara. Kau berkata akan menemui Nyai Roro Kidul. Lalu kau minta Batu mustika Angin Laut Kencana Biru. Aku serahkan padamu. Kau pergi. Sebelum pergi kau mencium keningku, pipi kiri kanan juga mengecup bibirku. Apa kau lupa?”
Ratu Duyung tertawa panjang. “Kau ini bicara apa, Wiro? Aku...” Mendadak Ratu Duyung hentikan ucapan. Sepasang mata biru menatap tak berkesip pada Pendekar 212. “Wiro sejak malam kau pergi dan sampai pagi tadi aku tidak pernah bertemu dirimu. Kau mengatakan menyerahkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru. Pada siapa?”
“Tentu saja padamu Intan. Tak mungkin kau bisa lupa. Kejadiannya belum berapa lama.”
“Wiro, kau harus sadar. Sesuatu telah terjadi. Kau telah bertemu dengan seseorang menyerupai diriku. Aku yakin betul hal itu! Dan kau telah menyerahkan batu sakti milik Nyai Roro Kidul pada orang yang kau sangkakan diriku itu. Ya Tuhan! Kita tengah menghadapi satu masalah besar Wiro! Bagaimana aku berani bertemu dengan Nyai Roro Kidul kalau batu sakti yang miliknya telah jatuh ketangan orang lain?!”
Wiro melangkah mendekati Ratu Duyung. “Intan, kau tidak sedang bercanda?”
“Batu sakti itu bukan barang mainan. Sama nilainya dengan nyawaku! Apakah kau anggap aku bercanda?! Apakah selama ini aku pernah berlaku begitu berani mencium wajahmu, mengecup bibirmu?”
“Aku mengira kau berlaku begitu karena telah merasa diperjodohkan dengan diriku.” Ucapan Wiro membuat wajah Ratu Duyung menjadi bersemu merah. “Celaka! Kalau begitu aku sudah kesalahan tangan! Seseorang menipuku!” Wiro jambak rambutnya sendiri, pukul keningnya dengan telapak tangan berulang kali. “Siapa manusia kurang ajarnya!”
“Jika dia punya ilmu bersalin rupa, berarti dia bukan mahluk sembarangan, Wiro...”
“Kau benar Intan. Aku menduga... Siapa lagi kalau bukan Nyai Tumbal Jiwo!”
“Wiro, kemanapun kau pergi mencari mahluk alam roh yang mengambil batu sakti itu, aku harus ikut!”
Wiro pegang lengan Ratu Duyung. “Intan, aku telah berlaku sembrono. Aku telah melakukan satu kesalahan besar. Aku harus mendapatkan batu sakti itu kembali sekalipun harus menebus dengan jiwa ragaku!”
Ratu Duyung lalu keluarkan cermin saktinya. “Wiro, kau masih ingat ke arah mana perginya mahluk yang menyerupai diriku itu?”
“Aku tidak ingat. Tidak bisa memastikan. Tapi coba menyelidik ke arah barat.”
Ratu Duyung berdiri menghadap ke arah barat. Cermin sakti digoyangkan beberapa kali. Mata birunya melihat ada satu, titik biru di dalam cermin. “Kau benar Wiro. Si penipu berada di arah barat! Kita harus cepat mengejar ke sana! Kerahkan ilmu Menembus Pandangmu.” Kata Ratu Duyung lalu gadis ini terapkan ilmu menjajagi keberadaan seseorang yang bernama Menjajag Nafas Mendengar Detak Jantung.
“Aku sudah siap Intan.”
Ratu Duyung ganti memegang lengan sang pendekar. Sambil bergandengan tangan keduanya berkelebat ke arah barat.
********************
BAB DUA BELAS
Orang tua berkepala sulah sebelah berjubah kuning hentikan kuda tunggangan di bukit batu yang menghadap Kali Cisanggarung. Saat itu sungai besar yang bermuara di Tanjung Losari ini tengah dilanda banjir. Arus air mengamuk ganas mengeluarkan suara mengerikan. Tak lama kemudian seorang penunggang kuda menyusul datang. Orang ini masih muda, berwajah tampan, bertubuh tegap. Dia mengenakan pakaian sederhana, baju dan celana berwarna coklat. Kening diikat dengan sehelai kain biru, rambut hitam menjulai ke bahu.
“Paman Kumba Pandika, apakah di sini tempatnya?” Si pemuda bertanya.
Si orang tua usap kepala kirinya yang sudah licin berkilat lalu usut rambut putih panjang di sebelah kanan beberapa kali, baru membuka mulut. “Raden, aku hanya bisa mengantarmu sampai ke sini. Tempat yang kau tuju ada di kaki bukit batu ini, tepat di bawah pohon jati tunggal. Saat ini tidak kelihatan. Tapi kalau banjir dan air sudah surut, di arah bawah pohon jati tunggal kau akan melihat sebuah mulut goa. Itulah tempat kediaman orang yang bisa memberi pertolongan padamu.”
“Paman tidak ikut menemui orang itu?”
“Orang yang kau temui mempunyai pantangan. Hanya orang yang punya urusan yang boleh menemuinya. Selain itu kalau orang tidak dikenal atau tidak membawa pengantar maka dia tidak akan mau menerima, apa lagi menolong.”
Dari saku jubah kuningnya Kumba Pandika keluarkan sebuah benda berupa pipa kecil terbuat dari tulang harimau.
“Berikan pipa ini pada orang di dalam goa. Dia akan tahu siapa yang memberikan dan dia akan mau menerima serta menolongmu.”
Pemuda berpakaian coklat mengambil pipa tulang harimau yang diserahkan, menyimpan baik baik di balik pakaiannya.
“Raden, betapapun kami orang-orang Kesultanan Cirebon akan tetap menunggu Raden mau kembali ke sana. Itu pesan yang disampaikan Pangeran Cakrabuana. Sekarang saya harus kembali.”
“Sampaikan terima kasih dan penghargaan saya pada Pangeran Cakrabuana. Kalau umur sama panjang dan takdir menentukan saya harus kembali ke Cirebon, maka itu akan saya lakukan. Saya juga berterima kasih pada Paman atas segala bantuan.” Pemuda berpakaian coklat majukan kudanya hingga dia bisa memeluk si orang tua dan sekali lagi mengucapkan terima kasih.
Kumba Pandika pegang bahu si pemuda. Wajahnya tampak sedih. “Raden, tetaplah tabah. Ini semua merupakan cobaan. Mudah-mudahan kau bisa menemukan gadis itu kembali.”
“Terima kasih Paman. Mohon doa restumu.”
Setelah tinggal sendirian pemuda itu pandangi air sungai Cisanggarung. Kapan banjir akan surut. Mungkin nanti malam, bisa juga besok pagi. Tapi mungkin pula sampai satu dua hari dimuka. Berapa lama dia harus menunggu?
Si pemuda memandang berkeliling, mencari tempat yang baik untuk menunggu. Semalam suntuk dia mendekam di bawah pohon jati tunggal. Untung hujan tak turun lagi. Namun hawa dingin serta gigitan nyamuk cukup membuatnya menderita. Menjelang dinihari pemuda ini masih bisa tertidur sebentar. Ketika bangun dia dapatkan hari telah terang dan memandang ke sungai ternyata banjir telah surut.
Seperti yang dikatakan orang tua berkepala sulah sebelah, Kumba Pandika, di kaki bukit batu tepat di arah bawah pohon jati di seberang sungai muncul sebuah goa. Setelah membersihan wajahnya dengan air embun yang ada di dedaunan pemuda ini segera menuruni bukit batu. Di mulut goa dia berhenti sejenak sambil berpikir bagaimana ada orang bisa tinggal di dalam goa pada saat banjir besar melanda.
Namun ketika dia menjejakkan kaki masuk ke dalam goa, pemuda ini terheran-heran. Lantai goa yang terbuat dari tanah merah sama sekali tidak basah apa lagi becek. Dari arah dalam goa dia mencium wangi bau kemenyan.
Berjalan agak membungkuk sampai seratus langkah lebih, pemuda itu sampai pada sebuah tangga batu putih terdiri dari tujuh undakan. Di bagian tangga paling atas ada satu ruangan berbentuk segi tiga di selimuti suasana redup. Di ruangan ini, di atas sebuah batu berbentuk kursi panjang, duduk melunjur satu sosok tubuh hitam, gemuk luar biasa yang hanya mengenakan selembar cawat berwarna hitam berkilat.
Si pemuda hentikan langkah. Dia tidak dapat menduga, sosok orang yang melunjur di atas batu itu lelaki atau perempuan. Kalau perempuan mengapa dadanya berbulu. Kalau laki-laki mengapa memiliki dada seperti perempuan dengan puting susu sebesar biji salak!
Karena bagian atas ruangan agak gelap si pemuda tidak bisa melihat wajah orang. Dia hanya Memperhatikan bahwa si gemuk itu memiliki rambut hitam keriting panjang sampai ke siku tangan.
“Mengapa berhenti?! Kau sudah masuk! Kalau bimbang kembali saja tapi tinggalkan satu biji kemaluanmu di depan tangga!”
Tiba-tiba si gemuk yang berbaring melunjur di atas kursi batu keluarkan ucapan. Suaranya menggema membuat goa bergetar, debu bertaburan dan tanah berjatuhan. Ternyata suaranya suara perempuan!
Setelah menahan darah yang tersirap kaget si pemuda lanjutkan langkah. Menaiki tangga sampai undakan ke tujuh hingga akhirnya dia berada di hadapan perempuan gemuk di atas batu. Begitu berhadap-hadapan merindinglah tengkuk pemuda ini. Perempuan gemuk berkulit hitam yang hanya mengenakan cawat hitam itu ternyata tidak memiliki mata. Dua matanya hanya merupakan dua rongga besar mengerikan! Si pemuda melihat di sisi kiri kursi batu terdapat sebuah pendupaan dipenuhi berisi bara merah menyala dan menebar asap tipis berbau wangi kemenyan.
“Siapa kau?!” Si gemuk di atas kursi batu membentak.
“Nama saya Tubagus Kesumaputera,” jawab pemuda berpakaian coklat.
“Aku tidak kenal dirimu! Lekas minggat dari sini! Jangan lupa meninggalkan satu biji kemaluanmu di depan tangga putih!”
“Saya Kepala Pasukan Kesultanan Cirebon,” coba menjelaskan si pemuda.
“Persetan! Aku tidak perduli kau Kepala Pasukan atau Kepala Macan! Lekas pergi! Tanggalkan satu biji, kemaluanmu! Letakkan di depan tangga!” Si gemuk angker kembali mengusir.
“Saya datang membawa pengantar. Sebuah pipa terbuat dari tulang harimau.”
“Hah! Apa?!” Si gemuk seperti tersentak. Dia tampak berpikir lalu kembali membuka mulut. “Manusia tolol! Kenapa tidak memberi tahu dari tadi?!”
“Mohon saya di maafkan.”
“Mana pipa itu. Berikan padaku. Aku mau tahu asli atau palsu!”
Pemuda yang mengaku bernama Tubagus Kesumaputera keluarkan pipa yang diberikan Kumba Pandika lalu cepat-cepat diserahkan pada perempuan gemuk berkulit hitam bermata bolong.
Pipa tulang dipegang, diendus beberapa kali lalu diselipkan ke dalam cawat hitam. “Pipanya asli!” kata si gemuk pula. “Kau boleh membuat urusan denganku! Kau sudah tahu namaku?”
“Sudah...”
“Siapa?”
“Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi..."
Si gemuk tertawa bergelak hingga dadanya yang besar bergoncang-goncang, “Di depan Dewi di belakang Dewi...” ucapnya. “Katakan apa keperluanmu.”
“Dewi, saya datang untuk minta tolong. Saya telah dipermalukan oleh seorang gadis yang akan menjadi istri saya...”
“Dipermalukan bagaimana? Apa calon istrimu itu sudah dibuntingi lelaki lain hah?!”
“Tidak Dewi. Saya dipermalukan ketika upacara pernikahan siap dilaksanakan. Saya dan Kadi sudah menunggu. Upacara itu dilakukan di salah satu ruangan Istana Cirebon. Disaksikan oleh Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang. Tiba-tiba saja calon istri saya menghilang melarikan diri. Seisi Istana dikerahkan untuk mencari tapi tidak bertemu.”
“Apakah kau mencintai calon istrimu itu?” bertanya si gemuk hitam yang bernama aneh Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi.
“Tentu saja saya mencintainya.”
“Apa calon istrimu mencintai dirimu?”
“Saya yakin dia mencintai saya. Kalau tidak mana mungkin dia mau saya ajak untuk melangsungkan pernikahan. Namun entah apa sebabnya tiba-tiba saja dia menghilang. Mempermalukan saya secara luar biasa di depan orang banyak. Kini seluruh Kesultanan Cirebon sudah mengetahui kejadian itu.”
“Lalu apa mau mu Tubagus malang? Ingin perempuan itu kusantet kubunuh? Atau dibikin cacat wajahnya seumur hidup?”
“Tidak Dewi, saya tidak mau dia dibikin cacat. Apa lagi sampai dibunuh. Saya hanya ingin dia kembali. Untuk itu saya akan mencarinya dimanapun dia berada. Untuk mengetahui dimana dia berada itulah saya butuh bantuan Dewi...”
“Kalau cuma itu kecil... Kecil!” kata sang Dewi pula dan kembali tertawa bergelak. “Kau ingin tahu dimana dia berada. Kau ingin menemuinya.”
“Betul Dewi,” kata Tubagus Kesumaputera pula.
“Aku akan memberi sedikit tambahan. AKu akan mengurungnya di satu daerah hingga dia tidak bisa kemana-mana. Dengan cara itu kau akan mudah menemuinya.”
“Terima kasih Dewi!”
“Katakan padaku siapa nama calon istrimu yang kabur itu.”
“Namanya Bidadari Angin Timur.” Jawab Tubagus Kesumaputra.
“Waw! Ternyata istrimu seorang bidadari rupanya. Bidadari sungguhan atau jejadian? Apa dia punya nama lain?”
“Nama aslinya Pandan Wangi. Tapi dia lebih dikenal dengan nama Bidadari Angin Timur itu.”
“Baik! Bidadari atau hantu sekalipun bagiku soal kecil!”
Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi luruskan duduknya di atas kursi batu. Dadanya yang besar membuyut jatuh sampai ke pusar. Dengan tangan kiri dia mengambil pendupaan di sudut ruangan. Pendupaan di letakkan di atas pangkuan tanpa merasa panas. Sambil mulutnya meracau, satu demi satu bara yang menyala di dalam pendupaan dimasukkan ke dalam mulut, dikunyah dan ditelan seperti menyantap dodol. Anehnya walau sudah banyak bara menyala yang ditelan tapi tumpukan bara di dalam pendupaan tidak tampak berkurang.
Setelah puas mengunyah belasan bara api, Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi rentangkan dua tangan ke samping. Lalu dua tangan itu masing-masing mengambil sebuah bara menyala dari dalam pendupaan. Dua buah bara menyala dimasukkan ke dalam mata kiri kanan yang hanya merupakan rongga besar. Saat itu juga sepasang mata tampak hidup, bergerak berputar-putar berwarna merah menyala! Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi dongakkan kepala. Lalu mulutnya berucap lantang.
“Hantu segala Hantu di daratan. Hantu segala Hantu di lautan. Hantu segala Hantu di langit. Hantu segala Hantu di alam gaib! Ada mahluk yang akan kulihat. Pinjamkan padaku sepasang mata kalian! Ada yang akan aku lihat!”
Saat itu terdengar suara suitan keras di luar goa. Tubuh gemuk hitam bergoncang. Lalu delapan benda aneh melesat. Empat mengarah mata kiri dan empat lagi mengarah mata kanan Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi!
Sesaat kemudian Tubagus Kesumaputera melihat pada rongga mata kiri kanan perempuan gemuk itu kini bergelantungan empat buah mata besar. Sepasang berwarna hitam, sepasang berwarna merah, sepasang berwarna biru dan sepasang lagi berwarna kuning.
Seperti orang kesurupan Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi meracau panjang pendek. Dua tangan disentak-sentakkan. Dada bergoncang turun naik. Sekujur tubuh mandi keringat.
“Hantu Darat, Hantu Laut! Hantu Langit, Hantu Alam Gaib! Cukup! Aku berterima kasih. Aku sudah melihat apa yang aku lihat! Terima kembali mata kalian!”
Diluar goa kembali terdengar suara suitan aneh. Lalu empat pasang mata yang bergelantungan di rongga mata kiri kanan Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi melesat satu persatu keluar goa!
“Tubagus Kesumaputera,” Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi berkata. “Apakah kau lihat sekujur tubuhku basah oleh keringat?”
“Saya melihat Dewi”
“Buka bajumu! Pergunakan baju itu untuk menyeka mengeringkan keringat di tubuhku! Lakukan cepat!”
Tubagus Kesumaputera yang lebih banyak dihantui perasaan takut cepat-cepat membuka bajunya lalu dengan baju itu dia menyeka sampai kering keringat yang membasahi sekujur tubuh perempuan gemuk berkulit hitam itu. Celakanya si gendut minta agar tubuh di sebelah bawah diseka lebih lama.
“Sudah, kenakan bajumu kembali!”
Tubagus Kesumaputera mengenakan kembali bajunya yang telah basah oleh keringat.
“Waktu kau menyeka keringatku, aku memperhatikan dirimu.” Berkata Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi. “Aku melihat sosok lain dalam dirimu. Kepala Pasukan Kesultanan Cirebon, siapa kau sebenarnya?”
Tubagus Kesumaputera terkejut mendengar kata-kata itu. “Saya…saya memang mahluk malang. Saya datang dari negeri seribu dua ratus tahun silam. Ujud saya di negeri itu adalah seekor binatang…”
“Landak raksasa?” tanya Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi.
“Syukur Dewi sudah mengetahui, sudah melihat. Nama saya dinegeri asal saya adalah Jatilandak”
“Anak muda. Aku mengira keberadaan dirimu itulah yang menjadi penyebab mengapa kau bernasib malang. Sebenarnya tidak ada yang ingin mempermalukan dirimu. Namun takdir jalan nasibmu sudah begitu…”
“Saya mengerti Dewi. Itu sebabnya saya ingin sekali menemui Bidadari Angin Timur. Kalau dia bisa kembali, saya akan sangat bersyukur. Kalau dia tetap tidak mau, saya tidak tahu bagaimana nasib diri saya ini selanjutnya. Mohon saya diberi petunjuk, apakah Dewi telah mengetahui dimana beradanya Bidadari Angin Timur saat ini?”
“Dia berada disekitar Gunung Gede. Aku sudah memantek. Selama tujuh hari tujuh malam dia tidak bisa keluar dari kawasan itu. Jadi kau harus dapat menemuinya selama waktu itu. Lewat tujuh hari tujuh malam kau tidak bisa menemuinya, maka seumur hidup agaknya kau tidak akan berjodoh dengan gadis itu!”
“Terimakasih atas petunjukmu Dewi. Terima kasih atas pertolonganmu. Untuk membalas budi baikmu, saya sudah menyediakan sesuatu.”
Dari balik pinggang celananya Tubagus Kesumaputera keluarkan satu kantong putih.
"Apa itu?!” tanya Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi acuh.
“Bukan apa-apa Dewi. Sebagai tanda terima kasih saya. Perhiasan dari emas.”
Perempuan gemuk keluarkan bara menyala dari dalam kedua mata, lalu ditaruh ke dalam pendupaan. Dia kemudian lunjurkan tubuhnya kembali di atas kursi batu. “Aku tidak pernah meminta segala bayaran. Tubagus, simpan emas perhiasan itu. Berikan saja nanti pada calon istrimu si Bidadari Angin Timur itu. Aku orang jelek. Mana pantas memakai perhiasan segala! Ada cara tertentu kalau kau memang mau membalas budi. Itupun kalau kau sudi. Kalau tidak suka kau boleh pergi. Pipa tulang harimau yang kau berikan sudah cukup bagus untuk jadi barang permainanku. Jika kau bertemu sampaikan salamku pada Kumba Pandika.”
“Dewi, saya orang yang butuh pertolongan. Setelah Dewi tolong, masakan saya akan pergi melenggang begitu saja. Saya tetap ingin membalas budi kebaikan Dewi”
“Kalau kau memang sudi, baiklah,” kata Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi Pula. Dua tangannya lalu direntangkan kesamping. Dua kaki dilunjurkan lurus-lurus. Dadanya yang besar bergoyang-goyang. “Anak muda, mendekatlah.”
Tubagus Kesumaputera mendekat ke samping kursi batu.
“Aku tidak pernah mempunyai bayi. Aku tidak pernah merasakan kasih sayang hubungan ibu dengan anak. Maukah kau memberikan kasih sayang itu?”
Tubagus Kesumaputera alias Jatilandak meski masih belum tahu maksud ucapan sang Dewi terus saja anggukkan kepala. “Saya mau Dewi,”katanya.
Tangan kanan Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi bergerak merangkul leher si pemuda lalu ditarik mendekati dadanya sebelah kanan. “Anak muda, menyusu lah seperti bayi...” ucap sang Dewi pula sambil pejamkan mata.
********************
Siang harinya ketika Tubagus Kesumaputera alias Jatilandak keluar dari goa kediaman Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi, tiba-tiba saja arus sungai membesar. Banjir yang datang dari akibat hujan lebat di hulu menutup menggenang kemana-mana hingga dalam waktu singkat goa yang tadi pagi dimasuki si pemuda lenyap dari pemandangan.
Ketika melangkah menuju pohon tempat dia menambatkan kuda. Tiba-tiba di sebelah kanan pohon Tubagus Kesumaputera melihat seperti ada kabut tipis kebiruan. Lalu muncul titik-titik biru begemerlap.
“Ibu...?” panggil Tubagus Kesumaputera. Begitu dia mendekat, seorang perempuan cantik berpakaian biru telah berdiri di samping pohon sambil mengusap tengkuk kuda. Si pemuda segera memeluk lalu mencium tangan perempuan tinggi semampai berambut panjang hitam yang bukan lain adalah Luhmintari alias Purnama, ibu kandungnya sendiri.
“Bagaimana Ibu tahu saya ada disini?” tanya Tubagus Kesumaputera.
“Anakku Jatilandak. Ibu sudah mendengar apa yang terjadi dengan dirimu. Aku tidak ingin mencampuri semua urusanmu dengan gadis itu karena urusanku sendiri juga banyak. Sebaiknya engkau lebih banyak bermawas diri, menyadari keadaan kita sebenarnya. Menyesali nasib dan mempersalahkan orang lain tidak ada gunanya. Yang penting kau sudah berusaha. Biarlah takdir yang menentukan segalanya.”
“Ibu, kalau ibu sudah mendengar kejadian yang memalukan itu ketahuilah, saya tidak bermaksud jahat dan sama sekali tidak ada dendam terhadap Bidadari Angin Timur. Saya hanya berharap. Walau harapan saya itu setipis kabut pagi. Kalau Bidadari Angin Timur mau kembali pada saya, saya akan bersyukur. Tapi kalau tidak saya hanya bisa pasrah.”
“Dimana kau akan bisa menemukan gadis itu?”
“Orang pandai di dalam goa di dasar sungai sana telah memberi tahu. Bidadari Angin Timur ada di kawasan Gunung Gede. Saya akan mencarinya kesana.”
“Aku memang sudah menduga kalau dia ada di sana. Kalau begitu pergilah. Lakukanlah sesuatu yang terbaik.”
“Ibu sendiri bagaimana hubungannya dengan pemuda bernama Wiro Sableng itu?” tanya sang putera.
Purnama tersenyum. Di balik senyuman itu sang putera melihat adanya sesuatu yang mengganjal.
“Saya tidak ingin Ibu mengalami nasib seperti saya”
Purnama masih tersenyum dan angguk-anggukkan kepala. Jatilandak membuka tali penambat kuda lalu melompat naik ke atas punggung binatang itu. Sesaat setelah puteranya meninggalkan tempat itu baru Purnama tak sanggup lagi membendung air matanya.
Gadis dari negeri 1200 tahun silam ini teringat bagaimana dengan hati pilu, dia terpaksa meninggalkan tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede. Purnama kemudian mengetahui pula kalau disana bukan saja ada Ratu Duyung yang konon hendak dijodohkan dengan Wiro, tetapi juga terdapat beberapa perempuan lain yang sama mencintai Wiro. Seperti Luhrembulan, Nyi Retno Mantili dan mahluk jejadian yang menamakan diri Nyi Wulas Pikan. Kemudian masih ada Bunga dan Bidadari Angin Timur yang muncul secara sembunyi-sembunyi.
Purnama menghela nafas dalam. “Apakah nasib diriku akan sama seperti nasib anakku? Tidak mendapatkan orang yang dikasihi tapi malah mendapatkan malu besar...”