Selir Pamungkas

Wiro Sableng. Selir Pamungkas
Sonny Ogawa
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Wiro Sableng
Episode Selir Pamungkas
Karya Bastian Tito
cerita silat online Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut 212 karya Bastian Tito

Tiba-tiba lantai mengepul. Memandang ke bawah Wiro melihat lingkaran putih di sekeliling kakinya berubah merah lalu... wusss! Satu lingkaran api menjulang ke atas setinggi kepala! Wiro sekarang benar-benar sadar kalau dirinya telah masuk dalam jebakan Ken Parantili. Nyala kobaran api yang hanya satu jengkal mengitari tubuhnya membuat Wiro, seperti dipanggang.

“Selir jahanam! Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!” Rutuk Wiro. Dia cepat menjejakkan dua kaki kelantai, siap melompat keluar dari lingkar kobaran api. Tapi astaga! Dua kaki tak mampu bergerak! Dua telapak kaki laksana dipantek ke lantai!


SATU

SEPERTI dituturkan dalam Episode Sesajen Atap Langit, ketika berada di kawasan Candi Plaosan Lor, Wiro dan kawan-kawan kedatangan seorang perempuan muda cantik jelita mengaku bernama Ken Parantili dan merupakan selir pertama Penguasa atau Raja Negeri Atap Langit.

Gadis ini datang dengan duduk berjuntai di batang kayu pohon Beringin yang melayang di udara, membekal maksud meminta budi pertolongan Pendekar 212 untuk menyelamatkan dirinya dari pembunuhan yang bakal dilakukan oleh Penguasa Negeri Atap Langit. Ketika ditanya bagaimana caranya menolong, Ken Parantili memberitahu bahwa Wiro harus tidur bersamanya sejak matahari tenggelam sore nanti sampai fajar menyingsing keesokannya.

“Ratu, Kunti, Dewi Kaki Tunggal, Jaka, bagaimana menurut kalian?” Wiro bertanya.

“Waktu di Ruang Segi Tiga Nyawa, Empu Semirang Biru berhasil disusupkan Sinuhun Merah Penghisap Arwah karena dia tidak memiliki delapan benjolan di kening. Bukan mustahil gadis di atas batang pohon itu juga orang kiriman Sinuhun Merah.” Yang menjawab adalah Dewi Kaki Tunggal.

“Tapi dia menyebut nama Nyi Roro Manggut, orang Sakti di kawasan pantai selatan. Pembantu kepercayaan Nyi Roro Kidul yang sangat kukenal dan malah sudah kuanggap seperti guru…” Ucap Wiro pula.

“Dia bisa saja menjual nama.” Kata Kunti Ambiri. “Orang licik selalu menipu dengan mempergunakan nama-nama orang paling dekat dengan kita lalu mengatur keadaan begitu rupa sehingga segala sesuatunya sangat meyakinkan.”

Ratu Randang hanya mengangkat bahu ketika Wiro memandang padanya. Diam-diam Wiro jadi ingat ketika dulu dia menolong Ratu Duyung dari kutukan yang melepaskan dirinya dari ujud setengah manusia setengah ikan. Waktu itu dia juga harus tidur dengan gadis cantik bermata biru itu walau kemudian ternyata dia tidak harus melakukan hubungan badan. Apakah hal yang sama akan terjadi jika dia memenuhi permintaan Ken Parantili? Tapi ada satu perbedaan, ketika menolong Ratu Duyung Wiro telah lebih dulu mengenal gadis cantik itu. Sebaliknya Ken Parantili baru dilihatnya saat itu.

“Ucapan Kunti Ambiri ada benarnya.” Kata sang pendekar dalam hati.

Setelah menarik nafas dalam dan sambil menggaruk kepala Wiro lantas bertanya pada gadis yang mengaku selir pertama Penguasa Atap Langit itu.

“Sahabat Ken Parantili, apa tidak ada cara lain yang bisa menolongmu agar dapat lolos dari kematian di tangan Penguasa Atap Langit? Misalnya kau menyuruh seseorang menghadangnya ketika dia hendak melaksanakan niat jahatnya atas dirimu?”

Ken Parantili gelengkan kepala. “Aku hanya bisa lolos dari kematian dan Penguasa Atap Langit tidak mampu. membunuhku bila ada lelaki lain tidur di pembaringanku.”

“Kalau cuma lelaki berarti banyak lelaki lain yang bisa melakukan itu!” Berkata Jaka Pesolek.

Ratu Randang angguk-anggukkan kepala tanda menyetujui ucapan Jaka Pesolek, Tapi si nenek kemudian mendengus ketika Jaka Pesolek menyambung ucapannya.

“Aku juga laki laki. Malah bisa lelaki bisa perempuan! He… he.”

Di atas batang pohon Ken Parantili tampak tersenyum lalu berkata. "Petunjuk mengatakan hanya pemuda berjuluk Pendekar Dua Satu Dua itu satu-satunya yang mampu dan ditakdirkan dapat menolongku. Kalau aku bisa mencari lelaki lain sebagai pengganti mengapa aku harus mencari dirinya sampai ke sini? Kalau aku tidak percaya pada nenek bernama Nyi Roro Manggut mengapa aku mengikuti petunjuknya?”

Semua orang terdiam. Wiro ingat sesuatu. Lalu bertanya. “Sahabat Ken Parantili, apa hubunganmu dengan seorang bernama Laras Parantili?”

“Siapa Laras Parantili?” Tanya Ratu Randang berbisik

“Dia kekasih dimasa muda Datuk Rao Basaluang Ameh…”

“Siapa Datuk Rao Basaluang Ameh?” Tanya si nenek lagi.

“Seorang kakek sakti di Danau Maninjau. Dia salah seorang guruku. Sudah Nek, jangan bertanya terus…” Jawab Wiro lalu menatap ke atas ke arah Ken Parantili, menunggu jawaban perempuan muda cantik itu. (Mengenai Laras Parantili riwayatnya bisa pembaca telusuri dalam serial Wiro Sableng berjudul Janda Pulau Cingkuk dan Bayi Titisan)

“Laras Parantili… ?” Ucap Ken Parantili mengulang menyebut nama. “Apakah aku bisa mengetahui dan mengingat ingat? Ohh Nenek sakti bernama Laras Parantili itu. Aku dan dia hidup di alam berbeda. Aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa. Apa lagi yang namanya pertalian darah…”

Wiro tercengang-cengang. Dalam hati dia membatin. “Aku tadi bertanya asal-asalan saja karena mengingat nama belakang mereka yang sama. Walau katanya tidak mengenal tapi ternyata Ken Parantili tahu kalau si nenek adalah seorang sakti. Kalau gadis ini bukan orang berilmu mana mungkin dia mampu menjajagi seseorang yang berada di alam delapan ratus tahun mendatang. Jangan-jangan ada orang yang menyuruh dia mengatur jebakan maut bagi diriku... Sinuhun Merah Penghisap Arwah?”

“Sahabat Wiro, waktu menjelang matahari tenggelam tidak terlalu lama. Apakah kau mau memberi jawaban bahwa kau bersedia menanam budi menolong diriku?” Dari atas batang pohon Ken Parantili bertanya. Raut wajahnya penuh pengharapan. Lalu gadis ini rapikan rambut dan letak mahkota emas di atas kepala.

“Menolong orang adalah satu kehormatan dan kebajikan yang tidak pernah aku sia-siakan. Tapi saat ini aku dan semua sahabat yang ada di sini tengah menghadapi berbagai kesulitan yang sangat berat. Kalau saja gunung dihimpitkan di atas pundakku, rasanya masalah yang tengah aku hadapi jauh lebih berat dari itu…”

Wajah Ken Parantili tampak redup sesaat namun berubah terang kembali. Mulut berucap. “Pendekar Dua Satu Dua, sebenarnya aku tahu. Mungkin tidak semua. Tapi aku tahu sebagian besar perkara besar yang tengah kau hadapi bersama para sahabat di sini. Aku merasa sangat prihatin. Namun ketahuilah, maksudku datang minta tolong bukan untuk menambah masalah. Tapi siapa tahu di dalam kebajikan yang kau berikan padaku aku bisa ganti berbalas kebajikan menolong dirimu dan para sahabat.”

“Sahabat Ken Parantili, kesulitan apa yang kau ketahui yang tengah kami hadapi?” Bertanya Kunti Ambiri. Gadis ini ingin menguji. Selain itu setelah sempat bermesraan dengan Wiro beberapa waktu lalu gadis cantik alam roh ini merasa tidak ingin berpisah barang sekejappun dengan sang pendekar.

“Baik, akan aku katakan. Mohon diriku ditegur jika apa yang aku sampaikan ada yang salah atau keliru.” Jawab Ken Parantili. Setelah merubah duduknya agar lebih enak selir pertama Penguasa Negeri Atap Langit ini memandang ke arah Wiro lalu berkata. “Sahabat Wiro, ketika tadi kau duduk di depan candi sana, kau merenung dan mengawatirkan beberapa hal. Pertama kau ingat pada Kuda Lumping yang telah menerbangkan dirimu ke Bhumi Mataram ini. Kau kawatir tidak bisa menemukan Kuda Lumping itu hingga kau tidak mungkin kembali lagi ke negeri asalmu. Lalu kau juga merasa kecewa dengan perbuatan gurumu yang telah mengambil senjata sakti milikmu. Kau dan para sahabat tidak tahu dimana gurumu berada. Padahal mudah sekali mencarinya…”

Wiro melengak kaget. Ratu Randang terkesiap ternganga. Yang lain-lain ikut heran mendengar ucapan Ken Parantili.

“Sepertinya dari Negeri Atap Langit dia bisa melihat semua apa yang terjadi di atas bumi ini, Hebat sekali!” Ujar Jaka Pesolek lalu keluarkan suara berdecak beberapa kali.

“Katamu, mudah sekali untuk mencari guruku. Bagaimana caranya?” Tanya Wiro.

Ken Parantili tidak mau langsung menjawab pertanyaan Wiro. Dia seperti ingin merahasiakan dan tak mau memberitahu begitu saja. “Penuturanku belum selesai. Nanti akan aku beri tahu. Atau mungkin sudah cukup, tidak perlu diteruskan mengatakan apa yang aku ketahui mengenai kesulitan yang kalian hadapi?”

Wiro menggaruk kepala. “Sudah, teruskan saja penuturanmu,” kata Wiro pula.

“Kalian juga sangat resah karena seorang anak perempuan sahabat kalian lenyap diculik orang. Lalu kalian juga harus mencari seorang Empu bernama Semirang Biru. Bukankah Empu itu telah membuat salah seorang dari kalian tidak bisa kencing?”

“Hai!” Jaka Pesolek berseru sambil tekap bagian bawah perutnya. “Bagaimana kau bisa tahu?!”

Di atas batang pohon Ken Parantili tampak tertawa. Barisan gigi giginya yang putih berkilat bak untaian mutiara tampak indah dan sedap dipandang mata. "Kalian punya dua musuh besar. Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Mereka dibantu oleh seorang bocah sakti bernama Dirga Purana. Selain itu banyak lagi yang menjadi kaki tangannya. Seperti seorang pendekar congkak dari negeri asalmu yang konon disini dipanggil sebagai Satria Roh Jemputan. Yang muncul membawa senjata berupa Lentera Iblis. Lalu ada lagi mahluk-mahluk bernama Delapan Tabir Mayat. Juga ada delapan ekor anak kucing sakti berbulu merah yang luar biasa ganas. Mereka semua bukan saja memiliki ilmu kesaktian tinggi, tetapi juga jahat dan juga licik Kalau mereka sampai kembali dapat menguasai mahluk bernama Arwah Ketua, para sahabat di sini semua benar-benar dalam bahaya besar. Aku turut merasa kawatir. Kalau kita bisa berbagi budi mengapa tidak dilakukan?”

DUA

WIRO dan semua orang yang ada di tempat itu saling pandang tercengang cengang. Sang selir temyata tahu banyak hal. Padahal kalau menurut ceritanya selama ini dia lebih banyak mendekam di Negeri Atap Langit.

Kunti Ambiri lalu berkata. “Sahabat Ken Parantili, kalau kau tahu banyaknya kesulitan yang kami hadapi, mengapa kau malah hendak menambahkan satu kesulitan baru. Paling tidak membuat segala daya upaya kami jadi tertunda.”

“Sahabat berpakaian hijau, harap kau dapat membedakan orang tidak berdaya yang meminta tolong, dengan kalian yang sebenarnya masih mampu menghadapi semua kesulitan. Menunda begitu banyak urusan besar bukankah lebih baik dari pada ikut tenggelam ke dalamnya? Seperti nyanyianku tadi. Dari Atap Langit ke Kaki Bumi. Perjalanan jauh terasa satu jengkal. Datang untuk memohon budi. Bukan untuk mencari tumbal. Dari Atap Langit ke Kaki Bumi. Menyanding budi dengan balas. Kalau selamat nyawa di badan. Sebagai balas arwah jahat tentulah amblas.”

Wiro tatap wajah cantik di atas batang pohon Beringin. “Ken Parantili, aku ingin bertanya. Dari mana kau tahu semua kesulitan kami?”

“Raja Negeri Atap Langit boleh dikatakan adalah mahluk tempat Sinuhun Merah Penghisap Arwah meminta segala kesaktian. Sebagian besar ilmu kesaktian yang dimilikinya berasal atau ditunjang oleh Penguasa Atap Langit. Dulu Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan nyawa kembarannya Sinuhun Muda Ghama Karadipa sangat berpantang dengan emas murni. Tubuh mereka bisa rontok jika sampai tersentuh emas murni. Penguasa Negeri Atap Langitlah yang memberi ilmu penangkal hingga kemudian emas murni tidak mampu lagi mencelakainya…”

“Oala, aku baru tahu kalau Penguasa Atap Langit yang memberikan ilmu penangkal itu. Wiro, apa yang dikatakan Ken Parantili benar adanya.” Ratu Randang ingat peristiwa ketika dia dan Sinuhun Merah Penghisap Arwah bercumbu di dalam sebuah goa di belakang air terjun. Saat itu dia memalsu diri menjadi seekor anjing tapi di mata sang Sinuhun tetap terlihat sebagai nenek cantik bertubuh mulus.

“Ken Parantili, ada lagi yang hendak kau ceritakan?” Bertanya Sakuntaladewi.

“Penguasa Atap Langit berulang kali memberikan tempat dan kesempatan pada Sinuhun Merah untuk melakukan upacara Sesajen Atap Langit.”

“Sesajen Atap Langit? Upacara sesajen apa itu?” Tanya Ratu Randang.

“Itu merupakan upacara sangat penting. Bocah bernama Dirga Purana memelihara delapan ekor anak kucing berbulu merah. Kesaktian binatang ini hanya bisa berkesinambungan jika pada waktu tertentu kepadanya diberikan Sesajen Atap Langit. Sinuhun Merah Penghisap Arwah sangat berkepentingan mengatur upacara sesajen. Karena nyawanya konon terpecah dalam tubuh delapan ekor anak kucing itu.”

Wiro berpaling pada Sakuntaladewi yang tegak di samping kirinya lalu berbisik. “Dewi Kaki Tunggal, ceritamu memang benar. Nyawa Sinuhun Merah terpecah delapan. Masing-masing pecahan berada dalam tubuh delapan anak kucing merah.” Lalu pada Ken Parantili sang pendekar berkata. “Lanjutkan ceritamu. Kami ingin tahu lebih banyak.”

“Dari Raja Negeri Atap Langit aku acap kali mendengar beberapa macam ilmu yang dimiliki Sinuhun Merah. Sebagian berikut penangkalnya. Karenanya tidak heran Sinuhun Merah sangat tergantung pada Raja Negeri Atap Langit. Bahkan bocah sakti bernama Dirga Purana kurasa agak gentar pada Penguasa Negeri Atap Langit. Mungkin tidak bisa semua aku ceritakan pada kalian. Tetapi bukankah para sahabat sebelumnya sudah mengetahui seperti apa yang pernah dikatakan gadis cantik berkaki satu itu? Bahwa nyawa Sinuhun Merah Penghisap Arwah terpecah ke dalam sosok delapan ekor anak kucing berbulu merah? Bahwa binatang itu sulit dibunuh kalau tidak membunuh sang pemilik lebih dulu yaitu Dirga Purana. Membunuh bocah itu bukan soal mudah. Tapi selalu ada jalan untuk menamatkan riwayat delapan ekor anak kucing.”

Semua orang yang ada di tempat itu kembali terdiam saling pandang dalam rasa heran teramat sangat.

“Dia tahu semua masalah kita. Tahu semua apa yang terjadi. Tahu banyak tentang Sinuhun Merah…” Berbisik Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi.

“Kalau dia memang bisa memberikan rahasia kelemahan musuh-musuh kita, aku rasa kita bukan saja bisa menemukan gurumu kembali, mendapatkan kapak sakti, memperoleh kesembuhan bagi diriku dan…” Gadis cantik berkaki satu itu tidak meneruskan ucapan karena melihat perubahan wajah Ratu Randang dan Kunti Ambiri yang agaknya tidak senang kalau Wiro sampai memenuhi permintaan Ken Parantili.

Tiba-tiba Jaka Pesolek bertanya. “Sahabat Ken Parantili. Kau tahu banyak tentang diri kami. Apakah kau juga tahu bagaimana cara menyembuhkan kaki sahabatku ini hingga kembali menjadi dua dan wajar seperti kami-kami ini? Benarkah keris sakti yang dicuri itu bisa menyembuhkan dirinya?”

Ken Parantili tersenyum. “Siapa bilang keris sakti itu dicuri. Bukankah keris disimpan oleh nenek muda cantik itu?”

Semua orang keluarkan seruan tertahan. Ratu Randang terbelalak! Dia cepat meraba pinggang kiri dimana Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang asli disimpannya di balik pakaian. Dari mendadak kawatir si nenek merasa lega. Ternyata senjata sakti itu masih tersisip di pinggang di balik pakaiannya.

“Wiro, selir Penguasa Atap Langit di atas pohon itu agaknya bukan orang sembarangan. Tapi aku tetap saja kawatir akan keselamatan dirimu jika kau sampai mengikuti permintaannya.” Berkata Kunti Ambiri ketika dilihatnya air muka sang pendekar membayangkan kebimbangan. “Jangan kau tergoda oleh kepandaiannya bicara sambil menggantung teka-teki. Dia tahu banyak tentang kesaktian Sinuhun Merah. Tapi apa benar dia memiliki penangkal? Setelah kau menolong menyelamatkan nyawanya apa benar dia akan ganti membalas budi?”

“Wiro,” kini Jaka Pesolek yang berbisik. “Apa yang dikatakan Kunti Ambiri betul adanya. Bagaimana kalau sampai terjadi setelah dia bebas dari kematian tahu-tahu dia menguasai dirimu? Bagaimana kalau kau sampai dijadikan budak nafsu dan dipendam seumur-umur di Negeri Atap Langit. Ihh… merinding aku jadinya!”

Wiro menggaruk kepala. Mulut diusap usap. “Ken Parantili, siapakah sebenarnya Raja atau Penguasa Atap Langit itu? Apakah dia berupa manusia sama dengan kami atau mahluk alam roh, mahluk gaib sebangsa arwah yang gentayangan?”

“Tidak ada yang tahu mahluk apa dia sebenarnya. Selama enam bulan aku menjadi selir aku tidak pernah melihat dia makan. Hanya minum. Itupun cuma delapan teguk dalam satu hari.”

“Ken Parantili,” Wiro kembali berkata. “Tadi kau bilang kalau seorang sahabatku, seorang anak perempuan diculik orang…”

“Oh, anak berusia empat belas tahun bernama Ni Gatri itu?” Ujar Ken Parantili pula. “Wajah cantik, tubuh bagus karena sedang beranjak dewasa…” Ken Parantili menghela nafas dalam, wajahnya tampak redup.

“Ah, jadi kau sudah tahu nama anak itu!” Kata Wiro pula.

“Lebih dari tahu. Karena Penguasa Atap Langit punya rencana. Dia akan mengambilnya menjadi selir baru. Aku punya dugaan, begitu dia membunuhku, Ni Gatri jadi pengganti. Jadi selir paling muda.”

Wiro tersentak kaget. “Jadi anak itu sekarang berada di tangan Raja Negeri Atap Langit?!”

Ken Parantili gelengkan kepala. “Ni Gatri ada di tangan Dirga Purana, bocah sakti yang biasa dipanggil dengan sebutan Sang Junjungan. Bagi Penguasa Atap Langit hanya soal mudah kapan saja dia menginginkan anak perempuan itu. Para sahabat dibawah sana, dari sekian banyak kesulitan yang kalian hadapi saat ini justru gadis itulah yang harus segera diselamatkan. Karena kehormatannya sangat terancam.”

“Apa maksudmu dengan ucapan itu?” Tanya Ratu Randang.

“Dirga Purana membujuk anak itu untuk diajak bercumbu bersenang-senang. Ni Gatri tidak mau. Cepat atau lambat pasti Dirga Purana akan memperkosanya!”

“Keparat kurang ajar!” Rutuk Pendekar 212 sambil kepalkan tinju kanan hingga mengeluarkan suara berkereketan. “Setahuku bocah itu baru berusia sekitar dua belas tahun. Dua tahun lebih muda dari Gatri! Setan mana yang masuk ke dalam dirinya hingga hendak melakukan perbuatan terkutuk itu! Ken Parantili, lekas beritahu dimana kami bisa mencari Ni Gatri. Dimana anak perempuan itu berada!”

Ken Parantili tersenyum. “Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas. Aku akan memberi tahu malam nanti di tempat ketiduran. Itu jika kau memang bersedia datang ke Negeri Atap Langit dan menolongku…”

“Aku kawatir bisa-bisa terlambat menyelamatkan anak perempuan itu!” Kata Wiro pula.

Kunti Ambiri menyambung setengah membentak. “Kau hanya mementingkan diri sendiri! Tidak perduli keselamatan orang lain! Ni Gatri masih terlalu kecil untuk diperlakukan sekeji itu!”

Ken Parantili menatap paras Kunti Ambiri sesaat lalu menjawab. “Di atas setiap kepentingan pasti ada kepentingan lebih tinggi. Aku tidak punya niat mementingkan diri sendiri. Aku datang untuk meminta budi. Kalau berhasil maka aku akan balas menanam budi. Jika kalian tidak sudi maka, biarlah Para Dewa yang menjatuhkan takdir.”

Habis berkata begitu selir Penguasa Atap Langit itu mengambil mahkota emas berbentuk atap yang ada di atas kepalanya. Salah satu ujung lancip mahkota emas ditorehkan di batang pohon beringin, mulai dari bagian akar terus ke atas sampai ke ujung batang yang ada cabang serta dedaunan.

“Rrrrtttt!”

Torehan ujung mahkota emas membuat batang pohon beringin terbelah menjadi dua. Ken Parantili berdiri di atas salah satu belahan batang. Sambil meletakkan mahkota emas kembali ke atas kepalanya dia berkata.

“Pendekar Dua Satu Dua, aku akan kembali ke Negeri Atap Langit. Belahan batang pohon beringin yang satu itu akan aku tinggalkan mengambang di atas pedataran Candi Plaosan Lor. Waktumu hanya sampai sesaat sebelum matahari terbenam. Jika kau memang berniat menolong diriku, naiklah ke atas belahan batang pohon Beringin. Dalam sekejapan batang itu akan membawamu ke Negeri Atap Langit. Aku akan menunggu di sana. Aku sangat berharap. Semoga Yang Maha Masa melindungi kita semua.”

Bagian akar dan cabang, ranting serta dedaunan belahan pohon beringin dimana Ken Parantili berdiri bergetar mengeluarkan suara angin berkesiuran, membuat daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang goyang dan debu beterbangan ke udara. Ken Parantili lambaikan tangan.

“Ken Parantili! Tunggu!” Wiro berteriak.

“Kau hendak mengatakan sesuatu?” Tanya sang selir.

“Aku akan memenuhi permintaanmu! Tapi aku ingin semua sahabatku yang ada di sini ikut bersamaku!”

Ken Parantili menatap ke arah sang pendekar lalu tertawa. “Apakah mereka semua juga ingin tidur denganku? Hik… hik! Yang ditakdirkan sebagai penolong adalah dirimu seorang. Berarti yang aku tunggu kedatangannya di Negeri Atap Langit juga hanya kau seorang.”

Begitu selesai berucap, belahan batang pohon Beringin dimana sang selir berdiri bergerak. Wusss! Batang pohon bersama, Ken Parantilli melesat ke langit. Dalam sekejapan saja kemudian lenyap dari pemandangan.

“Celaka! Bagaimana ini?!” Wiro berseru. Mata menatap ke arah belahan batang pohon beringin yang mengambang di udara.

“Wiro, tidak perlu kawatir. Kalau kau tidak bisa menolong selir itu dengan cara yang dimintanya, biar saja dia mati di tangan Penguasa Negeri Atap Langit!” Ucap Jaka Pesolek.

“Jangan-jangan sahabatku ini sudah terpikat pada selir cantik jelita itu!” Kata Kunti Ambiri menyindir.

Wiro tersenyum pencong. Kepala digaruk. “Siapa yang akan mati aku tidak perduli. Tapi kalau guruku, Ni Gatri dan kita semua bakal celaka sengsara mana aku sudi!”

“Kita semua bersahabat. Didalam kesulitan kita harus merasa senasib. Kita merasa lebih dekat dari saudara kandung. Kita wajib saling membantu!” Tiba-tiba Jaka Pesolek keluarkan ucapan dengan sikap gagah. “Wiro sahabatku, biar aku mewakili dirimu pergi ke Negeri Atap Langit! Apapun yang terjadi dengan diriku akan menjadi tanggung jawabku sendiri! Kalau sampai aku diambil selir oleh sang Penguasa, kalian semua akan kebagian pesta besar! Ha… ha… ha!”

Habis keluarkan ucapan dan umbar tawa bergelak Jaka Pesolek yang punya gerakan kilat melesat ke udara dan kurang dari sekejapan dia sudah berdiri di ujung belahan batang pohon beringin sambil memegang erat-erat satu cabang. Dedaunan dan akar pohon bergetar, mulai mengeluarkan suara bersiur.

“Banci sialan! Apa yang kau lakukan!” Teriak Ratu Randang.

“Jangan memaki begitu! Aku merasa gamang! Aku pingin kencing! Aduuhhh!” Jaka Pesolek berteriak menjawab.

“Kalau manusia satu itu tidak dicegah urusan bisa jadi kapiran!” Kata Kunti Ambiri. Lalu gadis cantik alam roh ini pegang lengan kiri Ratu Randang. Sekali mengenjot kaki, keduanya telah melesat ke arah belahan batang pohon beringin.

“Wiro! Kita harus berbuat sesuatu! Ikuti aku!” Teriak Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi lalu kakinya yang hanya satu menjejak ke tanah. Tubuh melesat mental ke udara.

Wiro memandang ke kiri dan kanan. Dia tinggal sendirian di tempat itu.

“Wiro! Lekas! Kunti Ambiri berteriak sementara belahan pohon mulai bergerak.

Tidak pikir panjang lagi murid Sinto Gendeng segera melompat pula ke udara, jungkir balik satu kali dan di lain saat dia sudah menjejakkan kaki di atas belahan batang pohon beringin, tepat di samping Ratu Randang. Si nenek memeluk pinggangnya.

“Hidup mati kita semua sama-sama!” Kata Ratu Randang pula. Lalu cuppp! Tanpa malu-malu dia mengecup bibir sang pendekar! Kemudian si nenek berbisik. “Jangan salah menghitung. Tinggal berapa ciuman lagi hutangku? Hik… hik… hik!”

"Gila kau Nek! Dalam keadaan begini siapa yang sempat menghitung!” Jawab Wiro. Ratu Randang kembali tertawa cekikikan.

TIGA

BELUM selang berapa lama kelima orang itu melayang di udara, langit di sebelah barat kelihatan berubah kemerahan. Di kejauhan sang surya tampak bulat besar dan merah laksana bola api. Belahan batang pohon Beringin membawa mereka terbang membelakangi matahari ke arah timur. Sambil memegang kuat-kuat salah satu cabang pohon Beringin Kunti Ambiri yang berdiri paling ujung di samping kiri Pendekar Dua Satu Dua berkata perlahan dibawah deru angin.

“Wiro, tadi di depan para sahabat aku tidak mau bicara apa yang aku rasakan. Sekarang aku berterus terang padamu, walau aku tidak suka tapi sebenarnya kau harus menolong selir itu. Aku punya dugaan dia tidak akan menipu dirimu setelah mendapat pertolongan.”

Wiro menatap wajah Kunti Ambiri sesaat lalu berkata. “Sebagai sahabat, kau merasa ikhlas aku tidur dengan selir itu?”

Kunti Ambiri tidak menjawab. Dia palingkan kepala dan menatap ke arah barat. Ucapannya tidak ditujukan pada Wiro tapi pada semua orang yang ada di atas batang pohon Beringin. “Kita belum lama melayang di udara. Rasanya belum jauh meninggalkan kawasan Candi Plaosan. Mengapa udara mendadak berubah seperti matahari mau tenggelam?”

“Ini keanehan yang ada sangkut paut dengan Negeri Atap Langit. Ingat ucapan selir bernama Ken Parantili itu? Dia mengatakan Negeri Atap Langit hanya sejengkal ke arah matahari terbit. Walau tidak terasa kita sebenarnya melayang sudah cukup lama. Ketika meninggalkan Plaosan sang surya baru menggelincir ke barat. Kini siap hendak tenggelam…” Yang berkata adalah Ratu Randang.

“Aku melihat puncak sebuah gunung! Di sana!” Tiba-tiba Sakuntaladewi berseru sambil menunjuk ke arah depan.

Semua orang memandang ke arah yang ditunjuk. Memang benar. Sebuah gunung besar menjulang tinggi hijau kebiruan. Lereng sebelah atas sampai ke puncak tertutup kabut putih.

“Gunung apa ini?” Tanya Ratu Randang. Lalu dia, menjawab sendiri. “Jangan-jangan Gunung Semeru. Berarti kita akan memasuki kawasan Negeri Atap Langit!”

Semua orang serta merta menjadi tegang. Mendadak belahan batang pohon beringin dimana kelima orang itu berada bergerak turun kebawah, menerobos kabut putih. Samar-samar kelihatan puncak gunung yang memiliki sebuah kawah luas. Udara mendadak berubah, dingin hingga Wiro, Ratu Randang, Jaka Pesolek, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi menggigil.

“Aneh, mengapa kita tidak dibawa naik ke atas, malah turun ke bawah!” Berseru Ratu Randang. Si nenek cantik punya firasat di balik keanehan itu sesuatu akan terjadi.

“Aduh dingin sekali! Aku mau kencing. Tapi tidak bisa!” Jaka Pesolek mengeluh, tubuh terbungkuk-bungkuk.

“Hai! Batang pohon ini seperti melayang mau melempar kita ke dalam kawah!” Berseru Sakuntaladewi.

Wiro yang juga sudah menyadari kejanggalan itu segera berteriak. “Cepat menelungkup! Berpegang kuat-kuat pada batang kayu!”

Semua orang mengikuti apa yang dikatakan dan dilakukan Wiro. Namun sebelum sempat menelungkup, ketika berada hanya satu tombak di atas puncak gunung pada bibir kawah sebelah selatan, mendadak belahan batang pohon beringin bergetar keras lalu melenting ke bawah. Semua orang berteriak keras. Ratu Randang, Kunti Ambiri, Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi terpental, jatuh bergedebukan di puncak gunung. 

Wiro sendiri tidak ikut terpental. Dia segera hendak melompat turun ke tanah tapi menjadi kaget karena tidak mampu bergerak. Ternyata secara aneh ranting-ranting dan akar gantung pohon Beringin menjirat tubuhnya dengan kencang. Selagi empat orang di bawah sana kelabakan selamatkan diri, belahan batang pohon Beringin kembali melesat ke udara, menembus kabut tebal di puncak gunung, lenyap dari pemandangan.

Ratu Randang dan Kunti Ambiri pertama sekali bangkit berdiri. Mereka memandang berkeliling dan hanya melihat Sakuntaladewi serta Jaka Pesolek yang saat itu tengah berusaha bangun.

“Wiro tidak ada di sini!” Teriak Kunti Ambiri.

Ratu Randang menatap ke langit. “Pohon beringin itu membawanya ke Negeri Atap Langit. Kita dicampakkan di tengah jalan, di puncak gunung ini. Aku mengawatirkan keselamatan pemuda itu.”

“Apa yang harus kita lakukan?” Tanya Jaka Pesolek. “Kita bisa mati kedinginan di tempat ini. Kalian semua punya tenaga dalam dan hawa sakti. Bisa bertahan. Bagaimana diriku?!”

“Selagi masih ada sisa terang matahari kita harus cepat mencari kayu untuk dibuat perapian. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Malam tiba. Kita akan mengalami kesulitan jika nekad menuruni gunung ini dalam kegelapan!” Kata Ratu Randang pula.

“Nyala api bisa sebagai tanda bagi Wiro jika dia nanti mencari kita!” Berkata Sakuntaladewi.

Sebelum sang surya tenggelam orang-orang itu berhasil mengumpulkan cukup banyak kayu untuk dibuat perapian. Namun karena basah tidak mudah membakarnya. Kunti Ambiri lalu pergunakan ilmu kesaktian. Dengan sambaran cahaya panas berwarna hijau yang keluar dari telapak tangan kanannya, tumpukan batang dan ranting kayu menyala membentuk kobaran api.

Sambil mencangkung di depan perapian Jaka Pesolek berkata. “Apa kita harus tetap berada di sini semalam suntuk?”

“Memangnya kau mampu mau pergi kemana?” Tanya Kunti Ambiri.

“Bukan mau pergi kemana. Tapi apa kalian tidak akan melakukan sesuatu untuk mencari tahu dimana beradanya Wiro sekarang. Atau mencari tahu dimana anak perempuan bernama Ni Gatri itu disekap dan menolongnya?”

“Kalau tahu kami tidak mungkin akan berdiam diri saja. Selain itu malam gelap begini rupa kita bisa berbuat apa?! Ini daerah serba asing bagi kita semua. Salah melangkah bisa celaka!” Menyahuti Kunti Ambiri.

“Tempat ini dingin dan angker. Aku takut ada binatang buasnya. Lalu tidak mustahil ada hantu gentayangan di sekitar sini. Aku rasa-rasa mencium bau kemenyan.”

“Hidungmu sudah rusak! Kami tidak mencium bau apa-apa!” Kata Ratu Randang. “Mungkin mulutmu yang bau kemenyan! Hik…hik!”

“Kalaupun ada hantu di sini, past! kau yang dicekiknya duluan hingga kau terkencing-kencing!” Menyambung Kunti Ambiri.

Sakuntaladewi dan Ratu Randang senyum-senyum mendengar ucapan Kunti Ambiri. Jaka Pesolek merengut. Tiba-tiba gadis ini menjerit keras sambil menunjuk dengan tangan bergetar, mata nyalang ke arah satu gundukan batu.

“Kunti! Mulutmu asin! Lihat di sana! Ada hantu di dekat batu besar!”

Semua orang sama-sama palingkan kepala ke arah beberapa gundukan batu besar. Mata mereka sama-sama mendelik. Di atas salah satu gundukan batu yang gelap karena tertutup bayang-bayang lamping tinggi pinggiran kawah, tampak sosok berjubah panjang dan bersorban duduk bersila. Anehnya tidak ada bagian tubuh yang menyentuh batu. Tubuh itu mengambang satu jengkal di atas gundukan batu.

Ratu Randang yang paling terkesiap. Perlahan-lahan mulutnya berucap. “Itu bukan hantu…”

“Matamu buta apa rabun Nek!” Kata Jaka Pesolek. “Jelas terlihat dari sini sosok mahluk itu tidak menyentuh batu, mengambang di udara! Di sekitar tubuhnya ada kabut. Di sini tidak ada kabut! Dari hidungnya mengepul keluar asap!”

Ratu Randang tidak perdulikan ucapan. Perlahan lahan dia melangkah mendekati sosok mengambang.

“Oala Nek! Kau pingin dicekik duluan oleh hantu itu!” Kata Jaka Pesolek.

Sakuntaladewi walau merasa ragu perlahan-lahan langkahkan kaki mengikuti si nenek. Kunti Ambiri dan Jaka Pesolek saling pandang.

“Sahabat, kau jangan pergi mengikuti mereka,” kata Jaka Pesolek.

Tapi ternyata Kunti Ambiri kemudian telah bergerak pula menyusul. Sambil menekap bagian bawah perutnya, terbungkuk-bungkuk akhirnya Jaka Pesolek terpaksa mengikuti pula walau dengan tengkuk terasa dingin. Di depan sana gundukan batu besar di atas mana orang berjubah dan bersorban duduk mengambang pancarkan hawa luar biasa dingin. Sosok di atasnya seperti mengepul.

EMPAT

RATU RANDANG sampai di depan gundukan batu, hentikan langkah, menatap ke arah orang yang mengambang bersila. Si nenek kerahkan hawa sakti untuk menahan hawa dingin yang keluar dari batu.

“Seperti tengah bersemedi…” Kata Sakuntaladewi dalam hati dan tak mau melangkah lebih dekat. Sementara Kunti Ambiri memperhatikan tidak berkesip dan Jaka Pesolek sengaja berdiri menjauh.

“Embah Buyut Kumara Gandamayana, engkaukah ini…?” Ratu Randang menyapa.

Tak ada jawaban. Sosok yang mengambang di atas batu tidak bergerak. Di belakang si nenek tiga orang memperhatikan dengan tegang.

“Embah Buyut Kumara Gandamayana. Maafkan kalau kami mengganggu. Apa ini benar sosok dirimu? Aku yang bertanya adalah orang yang pernah kau selamatkan. Ingat?”

Sepasang bahu mahluk di atas batu bergerak sedikit. Perlahan-lahan kepala berputar ke kiri ke arah Ratu Randang dan tiga orang di belakangnya. Begitu wajah di bawah sorban terlihat jelas Jaka Pesolek terpekik duluan, jatuh terduduk di tanah.

“Apa kataku!”

“Criiit!”

Wajah Jaka Pesolek berubah ketika mendadak saja dia terkencing tapi hanya sedikit lalu berhenti! Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi sama-sama keluarkan suara tercekat, serentak mundur satu langkah. Begitu kepalanya menghadap lurus ke arah mereka, terlihat jelas ternyata wajah mahluk di atas batu itu merupakan tengkorak berwarna putih, sepasang mata yang bolong gelap hitam angker. Pipi cekung, mulut menyeringai, barisan gigi tersingkap menakutkan!

Tangan kiri mahluk muka tengkorak batu bergerak. Tangan yang tersingkap dari lengan jubah kelabu itu ternyata berupa tangan jerangkong alias hanya tulang belulang. Tangan itu mengusap ke arah wajah. Mulut merenggang keluarkan ucapan perlahan. “Harap maafkan, aku belum sempat merubah diri dari ujudku yang asli hingga kalian semua menjadi ketakutan.”

Ucapan berakhir, tangan kiri yang mengusap turun ke bawah, wajah berupa tengkorak langsung berubah menjadi wajah jernih seorang kakek. Ratu Randang lepas nafas lega. Kunti Ambiri terdiam, otak berpikir, Sakuntaladewi dan juga Jaka Pesolek ikutan lega. Mahluk di atas batu ternyata memang adalah Embah Buyut Kumara Gandamayana yang sebelumnya telah menyelamatkan Ratu Randang dari racun Cakar Delapan Sukma Merah dan membawanya masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa menemui Empu Semirang Biru.

“Embah Buyut Kumara Gandamayana, aku Ratu Randang dan para sahabat merasa gembira bertemu denganmu. Kalau boleh bertanya mengapa kau berada di puncak Gunung Semeru ini? Eh, apa aku salah menyebut nama Gunung?”

“Ratu Randang, dari mana kau tabu kalau diriku adalah Embah Buyut Kumara Gandamayana?” Si kakek di atas batu balik bertanya.

“Waktu kau menolongku sampai di Ruang Segi Tiga Nyawa di dalam tanah di bawah Candi Plaosan, bukankah kau mengatakan bahwa orang tua di dalam ruangan itu yang akan memberitahu siapa dirimu? Nah aku tahu dari dia!”

“Empu Semirang Biru?” tanya si kakek lagi ingin menegaskan.

“Benar.” Jawab Ratu Randang.

“Apakah dia memberi tahu namaku?”

Ratu Randang menggeleng.

“Kek, apa benar kita saat ini berada di puncak Gunung Semeru?” Sakuntaladewi bertanya.

“Benar sekali. Ini kawasan sangat berbahaya karena sering dilewati oleh berbagai macam mahluk halus yang pulang pergi ke Kawasan Atap Langit. Aku juga tidak menyangka bisa bertemu kalian di sini. Kalau aku hitung, ada seorang yang kurang. Mana pemuda berambut panjang yang datang dari negeri delapan ratus tahun mendatang itu? Aku sengaja bersemedi memohon pada Para Dewa untuk dapat menemuinya.”

“Pemuda itu tengah menuju ke Negeri Atap Langit. Tadinya kami sama-sama menaiki belahan batang pohon Beringin yang dibawa oleh seorang perempuan muda mengaku bernama Ken Parantili. Katanya dia adalah selir tertua dari Penguasa Atap Langit. Tapi sewaktu sampai di puncak gunung belahan batang pohon Beringin melempar kami ke bawah.”

Kakek di atas batu terkejut mendengar penjelasan Ratu Randang itu. Tubuhnya yang masih mengapung bergerak ke kiri, menghadap lurus ke arah empat orang di bawahnya hingga kini baru mereka melihat kalau kedua pergelangan kakinya terikat oleh seuntai rantai merah yang memancarkan cahaya nyala redup.

Ratu Randang terkejut karena mengenali rantai yang mengikat dua kaki Embah Buyut Kumara Gandamayana adalah sama dengan rantai besi merah yang menggulung tubuh Empu Semirang Biru ketika berada dalam Ruang Segi Tiga Nyawa sebelum diputus habis oleh Sakuntaladewi dengan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Rantai Kepala Arwah Kaki Roh!

Melihat rantai di kaki si kakek, Kunti Ambiri mendekati Ratu Randang dan berbisik. "Ingat Empu sialan yang berusaha merampas keris sakti di dalam Ruang Segi Tiga Nyawa?” Kunti Ambiri tidak menunggu jawaban si nenek, terus saja menyambung bisikan. “Jangan-jangan ini satu tanda yang sama yaitu sebenarnya dia telah berada dalam kekuasaan dan kendali dua Sinuhun…”

“Aku…” Ucapan Ratu Randang cepat dipotong oleh Kunti Ambiri sementara Sakuntaladewi datang mendekat berusaha mendengar apa yang dibicarakan kedua orang ini.

“Nek, ketika kita berada di Ruang Segi Tiga Nyawa dan belum tahu kalau Empu Semirang Biru kemudian ternyata adalah orang susupan dua Sinuhun dan kita kebingungan mau menolong Wiro bagaimana, tiba-tiba saja muncul sosok Embah Buyut Kumara Gandamayana yang ternyata palsu. Di dalam tubuh jejadiannya mendekam nenek kurus hitam gurunya Wiro. Nenek itu merampas kapak sakti dari dalam tubuh Wiro. Aku kawatir Nek, kakek yang ada di hadapan kita, mengambang di atas batu sana adalah juga mahluk jejadian susupan dua Sinuhun. Lihat di kakinya juga ada rantai. Pasti untuk mengelabui kita…”

“Aku jadi bingung,” kata Ratu Randang pula. Sepasang matanya yang juling menatap ke arah kegelapan. “Kalau saja Wiro ada di sini, pasti dia bisa melihat apa ada mahluk lain mendekam dalam tubuh kakek itu. Dulu aku pernah menawarkan bertukar ilmu. Aku memberikan ilmu mengirim suara mengiang dia memberikan ilmu yang mampu menembus pandang. Sayang dia tidak mau.”

“Sahabat berdua,” Sakuntaladewi berkata. “Biar aku mengajukan pertanyaan.” Lantas gadis berkaki tunggal ini mendongak menatap ke arah Sosok bersorban dan berjubah. “Kek, kami melihat kedua kakimu terikat rantai besi merah. Apa yang terjadi?”

“Ah, aku tidak begitu merisaukan rantai ini, Aku masih bisa berjalan bahkan berlari leluasa.” Jawab Embah Buyut Kumara Gandamayana.

“Maaf, yang kami ingin tahu mengapa kedua kakimu terikat begitu rupa? Siapa yang telah berlaku jahat terhadapmu? Kau sendiri tentu saja tidak mungkin merantai kaki sendiri.” Menukas Kunti Ambiri.

“Oh… Aku berusaha menerobos masuk ke dalam Kawasan Negeri Atap Langit. Untuk menggagalkan agar di lain ketika tidak ada lagi upacara Sesajen Atap Langit. Tapi ilmu kesaktianku masih terlalu rendah. Penguasa Atap Langit pergunakan tiga pengawalnya untuk menghalangi. Lalu dengan ilmu kesaktian yang pernah diberikan pada bocah sakti bernama Dirga Purana, dua kakiku dirantai.” Si kakek lalu menceritakan apa yang dialaminya beberapa waktu lalu. Pada akhir cerita dia berkata. “Mengenai diriku tidak usah dipikirkan. Harap kalian ceritakan apa yang terjadi dengan pemuda berambut gondrong itu. Jangan sampai ada hal yang terlupakan.”

Kunti Ambiri yang sesekali diselingi oleh Ratu Randang dan Sakuntaladewi lalu menceritakan apa yang telah terjadi sementara Jaka Pesolek masih bersimpuh di tanah. Dari tadi ingin kencing tapi tak bisa.

“Apakah Pendekar dari alam delapan ratus tahun mendatang itu masih membekal delapan Bunga Matahari kecil?” Bertanya Embah Buyut Kumara Gandamayana.

“Kek, bagaimana kau tahu kalau sahabatku itu membekal delapan Bunga Matahari kecil?” Tiba-tiba saja Jaka Pesolek membuka mulut setelah sekian lama berdiam diri. Nada suara dan raut wajahnya membayangkan rasa curiga.

LIMA

EMBAH Buyut Kumara Gandamayana menatap Jaka Pesolek beberapa ketika. Wajahnya tetap jernih dan sikapnya tetap tenang. “Anak gadis, ah tahu siapa dirimu. Kalau bukan karena pertolonganmu bersama gadis berkaki satu itu niscaya Keris Kanjeng Sepuh Pelangi tidak akan dapat diselamatkan dari orang-orang dua Sinuhun. Mengenai delapan Bunga Matahari kecil. Bukankah bunga itu tadinya berasal dari sekuntum bunga Matahari besar milik gadis berkaki satu itu? Bunga diberikan pada Kesatria Panggilan sewaktu dirinya ditolong dari himpitan batu besar. Bunga diisi kesaktian oleh Patung Nyi Roro Jonggrang sewaktu dibawa oleh Kesatria Panggilan ke dalam Candi Siwa. Kuasa Para Dewa melalui sang patung membuat bunga Matahari menjadi bunga sakti. Mampu memberi pertolongan, meredam dan menghancurkan kejahatan. Mampu mengobati berbagai penyakit aneh. Suatu ketika Nyi Roro Jonggrang merubah bunga Matahari besar menjadi delapan kuntum bunga lebih kecil. Dibalik kejadian itu tentu ada maksud terkandung. Begitu riwayat yang aku ketahui. Maafkan kalau aku keliru.”

“Embah Buyut, kau tidak keliru. Apa yang kau katakan benar adanya. Delapan Bunga Matahari ada bersama Wiro, pemuda berambut panjang itu.” Berkata Sakuntaladewi.

“Terima kasih kau memberi tahu. Aku jadi merasa lega,” kata si kakek pula.

“Embah Buyut, apa kau bisa melakukan sesuatu untuk menolong Wiro?” Bertanya Sakuntaladewi.

“Aku dan kita semua disini tidak bisa melakukan suatu apapun. Kecuali memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa, memohon agar Wiro selamat pergi dan selamat kembali. Mendengar cerita kalian bahwa ada seorang selir bernama Ken Parantili meminta pertolongannya dan berjanji akan membalas budi, aku memang pernah menyirap kabar kalau di Negeri Atap Langit ada selir bernama Ken Parantili. Aku juga tahu kalau Penguasa Atap Langit punya kebiasaan, setiap enam purnama membunuh selir tertua lalu mencari ganti yang baru.”

“Kek, kalau kau mahluk dari alam arwah, mengapa sulit masuk ke dalam Kawasan Atap Langit?”Bertanya Kunti Ambiri.

“Ada putih ada hitam. Di antara keduanya seharusnya ada abu-abu. Tapi di Kawasan Atap Langit tidak ada yang disebut abu-abu. Yang putih tidak akan mampu masuk, ke dalam hitam. Begitu kira-kira perumpamaannya. Dan seperti ceritaku tadi, aku sudah mencoba menerobos masuk melewati pintu yang disebut Pintu Gerbang Atap Langit. Tapi aku tidak sanggup melewati tiga pengawal berujud tiga ekor Kelelawar.”

“Hanya tiga ekor Kelelawar dan orang sakti sepertimu tidak sanggup mengalahkan?” Ucap Jaka Pesolek pula.

“Tiga Kelelawar itu bukan binatang biasa. Mereka bisa bicara seperti manusia. Tubuh mereka besarnya sepuluh kali tubuhmu!” Menjawab Embah Buyut Kumara Gandamayana.

Jaka Pesolek ternganga. Tapi bertanya lagi. “Kek, apa kau pernah melihat Penguasa Atap Langit itu?”

Embah Buyut Kumara Gandamayana menggeleng. “Aku tidak pernah bertemu atau melihatnya. Konon, orang luar yang mendapat izin masuk ke dalam Kawasan Atap Langit tapi bukan kerabat yang sudah dikenalnya, maka orang itu harus berdiri dengan kepala di tanah kaki di atas baru dapat meliat ujud sang Penguasa.”

Semua orang yang ada di tempat itu sama-sama terdiam mendengar keanehan yang dikatakan si kakek.

“Sekarang sebaiknya kita duduk di tanah mengelilingi perapian. Masing-masing memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa agar sahabat kita Satria Panggilan bisa kembali dan berkumpul lagi. Sesungguhnya Para Dewa telah menentukan bahwa hanya pemuda itu kelak yang diberi kekuatan dan kemampuan untuk memunculkan bulan biru di langit Mataram.”

“Bulan biru…?” Ujar Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek hampir berbarangan.

“Agaknya akan ada lagi satu kejadian besar di Bhumi Mataram Kek?” Tanya Ratu Randang.

“Aku tak bisa mengatakan karena pengetahuanku tidak sejauh itu.”

Habis berkata begitu Embah Buyut Kumara Gandamayana melayang turun ke bawah dan dalam keadaan bersila, dia duduk di tanah. Dari balik jubahnya kakek ini keluarkan sebuah kitab terbuat dari daun jati kering berisi kumpulan doa mohon perlindungan dan keselamatan. Si kakek kembangkan kitab dan siap mulai membaca. Sakuntaladewi dekati Ratu Randang dan berbisik.

“Nek, kau masih menyimpan keris sakti. Bagaimana kalau dipakai untuk memutus rantai besi merah yang mengikat dua kaki kakek itu?”

“Sebenarnya aku sejak tadi sudah memikirkan hal itu,” jawab Ratu Randang. “Tapi aku masih was-was dan ingat kejadian Empu Semirang Biru. Begitu rantai yang menggulung tubuhnya putus, dia berubah menjadi mahluk jahanam, lalu melarikan diri setelah lebih dulu mencelakai kita. Terserah pada para sahabat semua. Kalau kakek satu ini memang perlu ditolong, aku akan keluarkan keris sakti itu untuk menghancurkan rantai merah. Tapi kita semua harap berlaku waspada. Begitu melihat ada kelainan, ingat! Hanya satu hal yang kita lakukan! Menghabisi kakek itu!”

Mendengar ucapan Ratu Randang, semua orang kecuali Jaka Pesolek secara diam-diam segera kerahkan tenaga dalam. Di depan sana Embah Buyut Kumara Gandamayana sebenarnya mendengar orang bicara berbisik-bisik dan juga melihat gelagat ke empat orang itu. Namun berpura-pura tidak tahu si kakek tundukkan kepala dan mulai membaca kitab doa yang diletakkan di pangkuannya. Saat itu dia masih duduk bersila dengan tubuh menyentuh tanah.

“Doa Keselamatan
Memanjatkan doa dengan hati yang suci
Menyampaikan doa dengan jiwa yang pasrah
Hanya kepada Yang Maha Kuasa
Itulah doa yang paling didengar oleh Yang Di Atas

Doa keselamatan
Bukan bagi diri sendiri
Tapi untuk seluruh ummat
Itulah doa yang paling terpuji
Ketika insan…”

Kunti Ambiri pertama sekali bergerak.

“Jangan melakukan apa-apa dulu! Biar aku bicara dulu,” kata Jaka Pesolek dengan tiba-tiba lalu beringsut ke belakang Ratu Randang kemudian cepat, berdiri dan berkata ditujukan pada Embah Buyut Kumara Gandamayana. “Kek, kami berniat memutus rantai merah yang mengikat kedua kakimu! Kami mohon izinmu.”

Embah Buyut Kumara Gandamayana angkat kepala sedikit, menunduk lagi dan meneruskan bacaannya yang tadi terputus karena ucapan Jaka Pesolek.

“Ketika insan dalam sengsara
Mereka memohon pertolongan Yang Maha Kuasa
Ketika insan dalam suka cita
Mereka tidak ingat Dia Yang Di Atas
Ketika insan…”

“Kek! Maafkan aku! Kami para sahabat di sini ingin menolong memutuskan rantai besi merah yang mengikat kedua kakimu. Apakah kau mengizinkan?!” Jaka Pesolek kembali keluarkan ucapan. Kali ini lebih keras, setengah berseru.

Kembali Embah Buyut Kumara Gandamayana hentikan bacaan, angkat kepala dan menatap ke arah Jaka Pesolek. “Anak gadis, terima kasih atas niat baikmu dan juga semua yang ada di sini. Tapi seperti kataku tadi. Aku tidak begitu perduli dengan rantai ini. Aku masih bisa berjalan bahkan berlari. Lebih baik kalian semua mendengarkan bacaanku dan ikut berdoa dalam hati untuk keselamatan diri kalian, keselamatan pemuda berambut panjang itu dan keselamatan Kerajaan.”

“Tapi Kek, kami kawatir!” Kata Jaka Pesolek pula.

“Kau mengkawatirkan apa, anak gadis?” Tanya si kakek.

“Kalau rantai itu masih menempel di tubuhmu, bisa-bisa mahluk seperti dua Sinuhun menyusupkan roh jahat ke dalam dirimu.”

“Aku sudah menjadi mahluk alam roh hampir seratus tujuh puluh tahun. Mengapa aku harus takut dengan sesama roh sekalipun mereka berniat jahat…?”

Kunti Ambiri maju selangkah. “Sebelumnya mahluk berujud menyerupai cucumu telah kesusupan guru Kesatria Panggilan. Kami kawatir akan terjadi hat yang sama. Harap kau mau menerima pertolongan kami “ Berkata Kunti Ambiri lalu memberi isyarat pada Ratu Randang.

Nenek ini segera mengeluarkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang dibungkus robekan kain dari balik pakaiannya lalu diserahan pada Sakuntaladewi. Selagi si kakek mengerenyit melihat cahaya-cahaya aneh yang melingkari senjata sakti itu, Sakuntaladewi melompat ke depan sambil berkata.

“Kek, maafkan kelancanganku!”.Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dibabatkan ke bawah. Cahaya biru berkiblat, Sembilan cahaya gabungan memancar silau.

“Traangg!”

Rantai besi merah yang mengikat kedua pergelangan kaki Embah Buyut Kumara Gandamayana bukan hanya putus tapi hancur lebur. Setelah memancarkan cahaya merah kemudian berubah jadi asap dan akhirnya sirna di atas perapian. Ketika rantai besi musnah, sosok si kakek terangkat sampai setengah tombak. Ketika turun lagi ke tanah pakaian dan sorban yang dikenakannya mengepulkan asap. Begitu asap lenyap semua orang yang ada di tempat itu berseru kaget, unjukkan air muka pucat dan tersurut mundur!

ENAM

UJUD Embah Buyut Kumara Gandamayana yang mengenakan sorban dan jubah kelabu serta kasut putih sirna entah kemana. Yang kini tampak duduk bersila di depan perapian adalah sosok jerangkong bertulang putih berkepala tengkorak! Tidak seperti pertama kali dilihat, kali ini sosoknya hanya tinggal tulang belulang polos karena tidak lagi bersorban tidak pula berjubah! Jaka Pesolek kembali jatuh terduduk di tanah.

“Untung bukan aku yang memegang keris dan memutus rantai besi itu…” kata gadis ini dalam hati. Di tempatnya berdiri Sakuntaladewi merasa tengkuk dingin dan tubuh bergetar.

Ratu Randang dan Kunti Ambiri saling berpegangan. Ratu Randang kemudian cepat-cepat mengambil Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dari tangan Sakuntaladewi lalu menyimpan dibalik pakaiannya.

“Embah Buyut, apa yang terjadi dengan dirimu? Apakah kami telah melakukan kesalahan dan dosa besar?” Ratu Randang beranikan diri keluarkan ucapan.

Kepala berbentuk tengkorak memandang ke atas, menatap ke langit kelam. Tulang mulut yang ditonjoli barisan gigi terbuka sedikit. Lalu terdengar suara berucap. Walau ujudnya jerangkong namun suara yang terdengar sama, tidak ada beda dengan suara Embah Buyut Kumara Gandamayana.

“Tidak ada kesalahan, tidak ada dosa yang telah kalian lakukan. Niat baik di hati kalian adalah kebajikan besar yang pasti akan mendapat imbalan dari Yang Maha Kuasa, Yang terjadi adalah aku tidak sanggup menerima kesaktian luar biasa yang ada pada Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Selain menghancurkan rantai besi merah yang mengikat kedua kakiku, keris juga telah membersihkan diriku. Kesaktian senjata itu telah menembus jauh ke dalam alam arwah, membuat aku berubah, kembali pada keadaan dan ujud diriku yang sebenarnya yaitu seperti yang sekarang kalian saksikan sendiri.”

“Embah Buyut, maafkan aku. Aku yang tadi memutus rantai itu dengan keris sakti…” Berkata Sakuntaladewi dengan suara tersendat. Wajah gadis ini tampak pucat.

Kepala tengkorak bergerak menggeleng. “Tidak ada yang salah, tidak ada yang berdosa.” Kata mahluk jerangkong. “Dalam keadaan dan ujudku yang seperti ini, aku tidak mungkin berlama-lama berada di alam terbuka. Aku harus segera kembali ke tempat asalku, alam arwah. Setelah aku pergi kalian semua berhati-hatilah karena puncak Gunung Semeru ini sangat dekat dengan Kawasan Atap Langit. Sebaiknya padamkan perapian agar keberadaan kalian di tempat ini tidak diketahui. Bila berada di alam arwah, mudah-mudahan aku masih bisa membantu kalian. Sesungguhnya Yang Maha Kuasa selalu mampu melakukan apa yang tidak sanggup bahkan tidak terpikir oleh manusia…”

Belum selesai mahluk jerangkong berucap tiba-tiba dari lereng gunung arah timur terdengar suara keras.

“Embah Buyut Kumara Gandamayana yang aku kenal bernama Lor Pengging Jumena mengapa berhiba hati seolah dirimu sudah lebur di alam baka! Aku Sinuhun Merah Penghisap Arwah masih bisa menolongmu agar tetap berada dan hidup di muka bumi ini. Sahabat tua, apa jawabmu?!”

Saat itu juga di sebelah timur tampak selarik sinar merah. Semua orang yang ada di tempat itu sama-sama tersentak kaget. Mahluk jerangkong cepat berdiri. Sebelum menjawab mahluk ini meniup ke arah perapian hingga kobaran api serta merta padam dan keadaan di tempat itu menjadi gelap gulita.

“Sinuhun Merah Penghisap Arwah, terima kasih atas tawaranmu. Tapi aku harus tahu diri. Bumi alam terkembang bukan tempatku lagi…”

Suara mahluk jerangkong terdengar keras lantang tapi anehnya suara itu seolah datang dan memantul dari beberapa tempat.

“Pengecut! Lor Pengging Jumena! Mengapa kau bicara mempergunakan ilmu Memantul Suara Menghilang Jejak! Kau takut aku mengetahui dimana keberadaanmu?!” Sinuhun Merah Penghisap Arwah memaki marah.

“Sinuhun culas! Mahluk mana yang percaya padamu!” Jawab Embah Buyut alias Lor Pengging Jumena.

“Lor Pengging Jumena! Aku ingin bersahabat denganmu! Kita sama-sama mahluk alam arwah! Dengan kesaktianku aku akan mengembalikan ujudmu dan kau bisa menempatkan dirimu dimana kau suka. Sekarang bersiaplah menerima tanda pengabdian berupa delapan benjolan merah sakti di keningmu!”

Selarik cahaya merah di langit sebelah timur memancar terang, memecah menjadi delapan lalu melesat ke arah jerangkong Embah Buyut Kumara Gandamayana yang ternyata bernama Lor Pengging Jumena. Mahluk Jerangkong angkat tangan kanannya.

"Sinuhun, aku harus menolak maksudmu! Kita memang sama-sama mahluk alam arwah! Tapi ada hati nurani yang membedakan di antara kita.”

Dari tangan kanan yang diangkat memancar delapan cahaya putih kebiruan yang langsung melesat menghadang sambaran delapan cahaya merah. Delapan dentuman keras menggelegar di puncak Gunung Semeru. Tanah bergetar. Batu-batu bergoyang mengeluarkan suara berderak. Beberapa pohon tumbang. Di atas langit tampak seperti dibelah-belah oleh larikan cahaya putih dan merah. Di kejauhan terdengar suara lolongan anjing dan gelepar sayap binatang yang tak tampak ujudnya.

“Lor Pengging Jumena! Kau telah melakukan perbuatan paling tolol di dunia ini!” Terdengar teriakan dari arah timur.

“Sinuhun Merah! Kalau ada mahluk tolol di dunia ini dan di alam arwah, mahluk itu adalah dirimu! Tidak lama lagi kau akan melihat hasil ketololanmu itu!”

Selesai keluarkan ucapan sosok jerangkong Lor Pengging Jumena melesat sepuluh tombak ke udara lalu menukik ke bawah. Meski gelap namun semua orang yang ada di tempat itu samar-samar masih bisa melihat bagaimana sosok jerangkong itu melesat masuk dan lenyap di dalam kawah Gunung Semeru. Untuk beberapa lama suasana di tempat itu selain gelap juga diselimuti kesunyian. Sampai terdengar suara Jaka Pesolek berkata.

“Embah Buyut tadi sudah memperingatkan agar kita berhati hati. Sebaiknya kita lekas pergi sebelum mahluk bernama Sinuhun Merah Penghisap Arwah muncul di sini. Dengan ilmu gerakan kilatku kita bisa sama-sama meninggalkan tempat ini mencari selamat. Kita hanya saling berangkulan saja…”

Sunyi sesaat. Tak ada yang menjawab. Lalu terdengar suara Ratu Randang.

“Kalau kau mau pergi silahkan saja. Tidak ada yang melarang. Aku akan berusaha masuk ke Kawasan Atap Langit. Kalau tidak bisa aku akan tetap berada di sini. Menunggu sampai Wiro kembali.”

“Aku juga akan tetap di sini, Nek.” Kata Kunti Ambiri.

“Aku juga,” ucap Sakuntaladewi.

Jaka Pesolek pencongkan mulut. Lalu sambil menunduk dia berkata. “Terus terang aku tidak ada niat meninggalkan kalian. Aku juga ingin menolong Wiro kalau bisa. Sekarang begini saja. Aku akan pergi sendiri mencari yang namanya Negeri Atap Langit itu. Kalian tetap menunggu di sini. Kalian tidak usah ikut. Jika aku mati, maka aku akan mati sendirian. Kalian bertiga tetap selamat!”

Selesai keluarkan ucapan Jaka Pesolek jejakkan dua kaki ke tanah. Saat itu juga tubuh gadis cantik berbaju merah muda ini melesat ke udara, tampak mengecil di kegelapan. Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi seolah baru sadar apa yang terjadi setelah sosok Jaka Pesolek lenyap di batas pandang. Perlahan-lahan Sakuntaladewi duduk di bekas perapian. Walau nyala api sudah padam namun masih terasa ada hawa hangat memancar.

“Sahabat muda, apa yang ada dalam pikiranmu?” Bertanya Ratu Randang ketika dilihatnya Sakuntaladewi duduk termenung.

“Nek, ketika Embah Buyut Kumara Gandamayana masih dalam ujud seperti manusia, aku lupa menanyakan apa betul Keris Kanjeng Sepuh Pelangi bisa mengobati dan mengembalikan keadaan kakiku seperti semula. Kalau memang bisa bagaimana caranya…”

Ratu Randang pegang bahu gadis berkaki satu itu. “Aku punya firasat, kesembuhanmu hanya tertunda. Satu hari kelak, entah besok entah lusa berkat Yang Maha Masa pasti akan berlimpah atas dirimu.”

Kunti Ambiri mendudukkan diri di samping Sakuntaladewi lalu memeluk bahu gadis itu dan berkata. “Aku tahu kau telah berkaul akan mengawini lelaki yang telah menolongmu dari himpitan batu kutukan. Sekarang berdoa saja agar Wiro selamat kembali dari Negeri Atap Langit.”

“Justru yang aku kawatirkan Wiro akan terpasung di sana.” Sahut Sakuntaladewi. Sepasang mata gadis ini tampak berkaca kaca.

Kunti Ambiri terdiam. Diam-diam hatinya membatin. “Sahabat, kekawatiranmu adalah kekawatiranku juga. Malah sekarang aku dihimpit beban batin yang sungguh besar. Mengapa cintaku pada pemuda itu justru bersemi di Bhumi Mataram ini. Tapi jika manfaat dirinya lebih besar untuk kesembuhan dirimu aku menaruh ikhlas, aku rela…”

Sepasang mata Kunti Ambiri mulai merebak basah. Ratu Randang perhatikan wajah kedua orang di hadapannya itu. Jauh di lubuk hatinya muncul pertanyaan,

“Aku yang jauh lebih tua, apakah masih bisa menuai harapan. Wahai Para Dewa. Mengapa aku dilahirkan terlalu cepat hingga sudah jadi tua bangka ketika aku menaruh sayang pada seseorang…?”

Ketika Kunti Ambiri mengangkat kepala dan memandang ke arahnya, si nenek cepat-cepat memalingkan wajah. Dia tidak ingin gadis alam roh itu melihat kalau kedua matanya juga telah basah!

* * *

TUJUH

KITA ikuti apa yang terjadi dengan Empu Semirang Biru. Setelah kesusupan arwah jahat Sinuhun Merah dan merasa telah mendapatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang asli yang diserahkan Ratu Randang, sang Empu keluar dari Ruang Segi Tiga Nyawa melalui sebuah lobang rahasia di lantai ruangan. Lobang yang menyerupai terowongan panjang dan gelap itu seolah tidak berujung, Dadanya mulai sesak, nafas terasa megap.

“Apa yang terjadi dengan diriku sebenarnya? Aku tengah menuju kemana saat ini?”

Baru saja sang Empu membatin mendadak dia merasa ada hembusan angin kencang dari arah depan. Lalu ada seberkas cahaya terang. Tak selang berapa lama bruukk! Tubuhnya tergelimpang di satu tempat yang tidak dikenainya. Di langit sang surya memancar terik. Telinganya menangkap suara curahan air tiada henti.

Empu Semirang Biru memandang berkeliling. Ternyata dia ada di dalam sebuah goa, berhadapan dengan satu telaga ditebari bebatuan besar dan hitam. Antara telaga dan goa mencurah bergemuruh air terjun. Di belakang air terjun terbentang rimba belantara.

“Air terjun…” Ucap Empu Semirang Biru dengan mulut ternganga. Dimana ini…?” Perlahan-lahan dia berdiri, memandang lagi berkeliling. “Hatiku tidak enak, aku harus segera meninggalkan tempat ini. Tapi mau menuju ke mana? Menyeberangi telaga berarti menghadang bantingan air terjun yang beratnya ribuan kati. Tubuhku bisa remuk! Atau masuk ke dalam goa. Mungkin di dalam goa ada jalan rahasia.”

Tiba-tiba ada suara mengiang di kedua telinga sang Empu. “Empu Semirang Biru, jangan berani beranjak dari tempatmu. Aku Sinuhun Merah Penghisap Arwah segera menemuimu!”

“Sinuhun Merah Penghisap Arwah!” Ucap Empu Semirang Biru dengan suara bergetar. Sepasang lutut mendadak goyah. Tubuhnya jatuh terduduk di tanah.

Sekonyong-konyong air terjun berhenti mencurah. Ada satu kekuatan luar biasa menahan gerak turun air terjun. Lalu tampak satu celah besar. Tak lama kemudian beberapa orang berkelebat melewati celah dan menjejakkan kaki di depan goa. Ternyata Sinuhun Merah Penghisap Arwah tidak datang sendirian. Bersamanya ikut serta Sinuhun Muda Ghama Karadipa, Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari, serta seorang bocah lelaki yang berdiri sambil menggendong sosok anak perempuan berwajah cantik ayu tapi pucat. Dalam gendongan tidak bergerak, mata terpejam. Entah tidur entah pingsan. Sesekali si bocah menciumi wajah anak perempuan itu.

Walau sebelumnya tidak pernah bertemu atau melihat namun Empu Semirang Biru bisa menduga kalau kakek mengenakan belangkon dan pakaian serba merah itu adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Dia juga tidak kenal dengan Pangeran Matahari serta Sinuhun Muda Ghama Karadipa. Tapi sudah bisa menerka kalau anak lelaki yang menggendong anak perempuan adalah bocah sakti Dirga Purana yang konon dipanggil dengan sebutan Sang Junjungan. Anak perempuan yang digendongnya pastilah Ni Gatri. Tahu berhadapan dengan siapa Empu Semirang Biru jatuhkan diri setengah berlutut.

“Sinuhun Merah dan semua yang datang bersama, salam hormat saya untukmu!”

Sinuhun Merah usap janggut merahnya. “Empu Semirang Biru, apa kau tahu dan mengerti kalau aku yang telah menyusupkan kekuatan arwah ke dalam tubuhmu dan mengendalikan dirimu sejak beberapa saat setelah kau berada di Ruang Segi Tiga Nyawa?” Sinuhun Merah Penghisap Arwah membuka mulut.

“Saya tahu, saya mengerti Sinuhun,” jawab Empu Semirang Biru sambil tundukkan kepala dan dada.

“Apa kau sadar kalau aku pula yang mendatangkanmu ke tempat ini melalui Terowongan Arwah?!”

“Saya sadar Sinuhun.” Ucap sang Empu dan lagi-lagi sambil menundukkan kepala serta sebagian badan. Kakek yang sudah dikuasai Sinuhun Merah ini tampak ketakutan sekali.

“Apakah kau telah berhasil melakukan tugas yang aku perintahkan melalui suara mengiang?!” Tanya Sinuhun Merah Penghisap Arwah.

“Saya berhasil Sinuhun.”

“Sinuhun Merah memerintahmu mengambil Keris Kanjeng Sepuh Pelangi!” Berkata Sinuhun Muda yang sejak tadi berdiam diri.

“Saya berhasil mengambilnya Sinuhun. Keris sakti itu ada pada saya sekarang.”

"Cepat keluarkan dan serahkan padaku! Mengapa menunggu berlama-lama?!”

Sinuhun Muda maju dua langkah mendekati Empu Semirang Biru. Empu Semirang Biru sibakkan pinggang pakaiannya lalu mengeluarkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Dengan beringsut dia mendatangi Sinuhun Muda, serahkan keris. Sepasang mata Sinuhun Merah bergeletar. Tampang bocah sakti Dirga Purana mengerenyit. Pangeran Matahari tegak tak bergerak. Sinuhun Muda cepat mengambil keris dari tangan sang Empu. Kakinya tersurut dua langkah. Keris tak bergagang tak bersarung itu terasa dingin mati, berwarna merah kehitaman.

Dengan cepat Sinuhun Muda memperhatikan dan menghitung luk di badan keris, “Sinuhun Merah, keris ini memang memiliki sembilan luk. Tapi rasanya ada sesuatu…”

“Kemarikan senjata itu. Aku akan meneliti!” Kata Sinuhun Merah yang sejak pertama kali melihat keris sudah menaruh curiga. Begitu juga dengan bocah sakti Dirga Purana walau sibuk dengan Ni Gatri yang berada dalam keadaan tidak sadar dan berada dibawah pengaruh totokan.

Begitu memegang keris, Sinuhun Merah segera mendekatkan senjata itu ke hidung. Di bawah hidung keris digerakkan ke kiri dan ke kanan sambil mencium. “Palsu!” Teriak Sinuhun Merah menggeledek. Mata mendelik merah. "Ini bukan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang asli! Keris jahanam ini terbuat dari kepingan Rantai Kepala Arwah Kaki Roh! Aku bisa menciumnya! Empu keparat! Kau berani menipuku!”

“Bukk!”

“Kraakk!”

Empu Semirang Biru menjerit keras ketika dadanya dihantam tendangan Sinuhun Merah. Dua tulang iganya patah! Megap-megap orang tua ini berkata. “Saya mana berani menipu. Keris itu saya terima langsung dari Ratu Randang.”

“Ah, pasti nenek jahanam itu yang punya pekerjaan. Dia memang punya ilmu merubah diri dan benda…” Kata Sinuhun Muda pula.

Sinuhun Merah melangkah mendekati Dirga Purana. “Junjungan, coba kau lihat. Apa pendapatmu?” Keris diangsurkan ke depan.

Si bocah tersenyum. “Yang namanya keris sakti pasti akan memancarkan cahaya, redup atau terang. Ada hawa dingin atau hangat. Kau benar Sinuhun Merah. Keris ini bukan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Sama sekali tidak ada cahaya kehidupan. Bahannya terbuat dari besi merah Rantai Kepala Arwah Kaki Roh! Logam Arwah milik kita sendiri yang sudah lenyap kesaktiannya!”

“Kurang ajar! Kalau begitu Empu celaka ini harus dihabisi sekarang juga! Kesatria Roh Jemputan! Bunuh tua bangka penipu itu!” Teriak Sinuhun Merah Penghisap Arwah memerintah Pangeran Matahari.

Pangeran Matahari menyeringai tapi dia tidak melangkah ke arah Empu Semirang Biru melainkan mendekati Sinuhun Merah lalu bicara setengah berbisik bisik. Sinuhun Merah terdiam sejenak mendengar apa yang dikatakan Pangeran Matahari. Lalu tampak senyum menyeruak di mulutnya. Dengan tangan kirinya dia menepuk-nepuk bahu Pangeran Matahari.

“Tidak percuma kau digelari Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak. Sesuai usulmu aku akan segera mengatur siasat!” Sinuhun Merah lalu menjambak rambut Empu Semirang Biru.

“Sekali ini aku ampuni nyawa busukmu! Tapi kau harus melakukan satu pekerjaan untukku! Kau dengar?!” Sinuhun menyentakkan jambakannya hingga tubuh Empu Semirang Biru terangkat sampai beberapa jengkal ke atas.

“Ampun Sinuhun. Saya tidak tahu telah berbuat dosa apa! Saya akan lakukan apapun yang Sinuhun perintahkan.” Kata Empu Semirang Biru dengan wajah meringis akibat sakitnya jambakan, juga ketakutan setengah mati.

“Kau boleh menyimpan keris itu kembali. Pergi dari sini, cari Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala! Berpura pura kau hendak menyerahkan keris itu padanya! Saat dia berlaku lengah kau harus menikamnya dengan keris itu! Cukup satu tikaman saja. Nyawanya pasti melayang! Aku akan memberi kekuatan berlipat ganda pada dirimu dan membungkus keris dengan racun Cakar Sukma Merah!”

“Mohon maafmu Sinuhun. Tapi saya tidak tahu dimana beradanya Raja Mataram…”

“Plaakkk!”

Satu tamparan melanda pipi kiri Empu Semirang Biru hingga bibirnya pecah dan kucurkan darah.

“Aku tidak peduli kau tahu atau tidak dimana beradanya Raja keparat itu! Kau harus mencari sendiri sampai dapat!” Bentak Sinuhun Merah dengan mata mendelik.

Keris diserahkan pada Empu Semirang Biru. Sinuhun Merah kemudian pentang dua tangan. Telapak dikembang. Begitu cahaya kuning kemerahan memancar, dia lalu sapukan dua tangan ke kepala, wajah, sekujur tubuh dan kaki Empu Semirang Biru. Hal yang sama juga dilakukannya pada keris. Lalu dari lipatan belangkon merahnya Sinuhun Merah mengambil sebuah benda bulat merah sebesar ujung jari kelingking.

“Buka mulutmu!” Bentak Sinuhun Merah.

Empu Semirang Biru buka mulutnya. Sinuhun Merah masukkan benda bulat merah ke dalam mulut sang Empu.  “Telan!” Hardiknya.

Penuh takut Empu Semirang Biru segera telan benda yang dimasukkan ke dalam mulutnya. Sinuhun Merah tertawa bergelak.

“Benda yang barusan kau telan adalah Racun Kala Merah! Jika dalam waktu tiga hari kau tidak berhasil membunuh Raja Mataram, aku tidak akan memberikan penangkal! Kau akan mampus dengan tubuh berubah leleh menjadi lendir. Sekarang lekas pergi sana."

“Saya… saya harus lewat mana?” Tanya Empu Semirang Biru kebingungan.

“Merangkak di bawah selangkanganku! Cepat!” Jawab Sinuhun Merah lalu kembangkan dua kaki lebar-lebar.

Empu Semirang Biru tampak ragu. Tapi ketika dibentak disertai pelototan mata, orang tua ini segera merangkak di tanah, bergerak memasuki bawah selangkangan Sinuhun Merah. Sang Sinuhun tertawa gelak-gelak sambil berkacak pinggang, Begitu Empu Semirang Biru lewat dari bawah selangkangan mahluk alam arwah itu tiba-tiba wusss! Sang Empu melihat sinar merah menyilaukan. Ketika sinar lenyap tahu-tahu dia telah tersandar di salah satu dinding bangunan candi di kawasan Plaosan Lor.

* * *

DELAPAN

KEMBALI pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Di atas belahan batang pohon beringin Wiro merasa kawatir memikirkan apa yang terjadi dengan Jaka Pesolek, Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi setelah jatuh ke puncak Gunung Semeru.

“Walau mungkin mereka tidak cidera, aku merasa ada satu kekuatan gaib sengaja melemparkan mereka dari atas batang pohon ini. Kekuatan gaib tidak ingin mereka ikut bersamaku ke Negeri Atap Langit. Mungkin selir itu yang melakukan?”

Wiro memandang ke bawah. Kini semua tampak samar dalam keremangan senja. Belahan batang pohon beringin melesat terus ke udara. Wiro merasa seperti dibungkus es akibat luar biasa dinginnya angin yang menyapu tubuhnya. Daun telinga seolah dikikis pisau tajam. Dia segera mengerahkan hawa sakti namun tidak cukup untuk menghangati aliran darah dan kulit. Dia masih menggigil. Kalau saja Kapak Naga Geni 212 masih ada padanya, hawa dingin bagaimanapun pasti bisa diredamnya. Tiba-tiba Wiro mendengar suara bersiur. Ketika mendongak ke atas dia melihat satu pemandangan yang sulit dipercaya. Langit di atas kepalanya mendadak seperti terbelah membentuk celah lebar.

“Wuuttt!”

Belahan batang pohon beringin melesat memasuki dan melewati celah lalu... dess! Begitu lewat celah menutup kembali.

“Luar biasa aneh. Apakah aku sudah memasuki Negeri Atap Langit?” Wiro memandang ke bawah. Suasana terasa sangat sunyi. Tak ada suara bahkan hembusan anginpun kini tidak terdengar lagi. Di kejauhan di ufuk barat sang surya tampak tinggal separuh. Pertanda sebentar lagi akan tenggelam dan siang memasuki malam.

“Dimana aku harus mencari selir bernama Ken Parantili itu? Sebentar lagi keadaan akan menjadi gelap” Wiro kembali bertanya tanya dalam hati.

Perlahan-lahan belahan batang pohon beringin bergerak turun. Saat itulah Wiro mulai mencium bau aneh. Kemana pun dia berpaling udara menebar bau setanggi terbakar. Wiro usap tengkuknya yang terasa dingin. Lalu dia melihat banyak bangunan beratap aneh. 

Sama bentuknya dengan mahkota emas milik Ken Parantili, semua berwarna kuning emas. Kelompok bangunan ini terletak di sebuah bukit. Merupakan kelompok bangunan berjumlah sembilan belas, bersusun membentuk lingkaran, mengelilingi satu bangunan besar di sebelah tengah. Dari gerakan batang pohon Wiro maklum kalau dirinya tengah dibawa turun menuju bukit.

“Mungkin ini kawasan Istana sang Penguasa” Pikir Wiro. Di beberapa tempat dia melihat nyala obor namun terangnya tidak menerangi seluruh kawasan bukit. Tiba-tiba di arah depan Wiro melihat tiga benda besar melayang cepat.

“Wuttt!”

“Plaak… plaak!”

Ada sayap mengepak. Bau busuk menebar sesaat.

“Bukan burung. Aneh, binatang apa itu. Sayapnya sepanjang batang pohon kelapa. Berbulu lebat. Menebar bau busuk.”

Tiba-tiba di udara malam menggema suara. Meski datangnya dari arah kejauhan tapi Wiro bisa mendengar jelas.

“Penguasa Atap Langit! Kami bertiga telah menyelidik. Tidak terlihat ada mahluk yang menyusup! Suasana aman-aman saja!”

“Tiga Ketelawar Pengawal Negeri Atap Langit! Tetap berjaga jaga. Aku masih merasa getaran ganjil pada kedua telingaku! Periksa kembali delapan penjuru angin Atap Langit! Jangan lengah! Malam ini sebelum fajar menyingsing aku harus melakukan satu pekerjaan besar!”

“Kami mengerti! Kami tidak akan berlaku lengah!”

“Minta seratus Arwah Hitam dan Arwah Putih untuk turut berjaga-jaga! Pusatkan perhatian kalian pada Puri Kesatu!”

“Perintah segera kami lakukan!”

Udara bergetar. Angin berhembus dingin.

“Tiga Kelelawar Pengawal…” Ucap Wiro dalam hati. “Berarti yang aku lihat tadi adalah tiga Kelelawar raksasa! Bicara dengan Penguasa Atap Langit! Heran, lewat di atasku, mengapa tiga Kelelawar raksasa itu tidak melihat diriku? Paling tidak seharusnya mereka melihat batang pohon Beringin yang menerbangkanku! Ada seratus Arwah Hitam dan seratus Arwah Putih akan turun berjaga jaga. Apakah aku bisa lolos tanpa ketahuan? Selir itu, berada di mana dia?” Pendekar 212 mulai merasa kawatir kalau-kalau dirinya telah masuk jebakan orang!

Batang pohon beringin membuat tiga kali putaran di atas bukit. Pada akhir putaran ke tiga tiba-tiba batang pohon meluncur ke bawah cepat sekali, mengarah ke halaman depan sebuah bangunan besar yang seluruh dinding terbuat dari kayu hitam penuh ukiran-ukiran aneh. Atap berwarna kuning menyala. Ketika memperhatikan ke bawah Wiro terkejut. Di halaman rumah besar tampak menancap belahan batang pohon Beringin yang pasti adalah padanan belahan pohon Beringin yang menerbangkan dirinya.

Belum habis kejut murid Sinto Gendeng sekonyong-konyong batang pohon beringin yang tadinya melayang melintang kini berputar. Bagian atas mengarah ke langit, bagian akar mengarah ke bumi. Lalu cepat sekali belahan batang pohon ini meluncur ke arah belahan pohon yang menancap di tanah dan desss! Sebelum dua belahan batang pohon beringin menempel jadi satu dan akarnya menghunjam tanah Wiro cepat melompat menjauh hingga tangan dan sebagian tubuhnya tidak sampai terjepit.

Belum sempat menarik nafas lega sekonyong-konyong terdengar suara gemuruh angin disertai hiruk pekik jeritan-jeritan menggidikkan. Ketika memandang ke atas Wiro tersentak kaget. Puluhan mahluk menyeramkan berambut riap-riapan berwajah putih dan hitam melayang di udara, berkelebat kian kemari. Gerak-gerik mereka dan sorot pandangan mata seolah tengah mencari sesuatu. Yang mengerikan, sepasang mata semua mahluk ini bisa menjorok keluar masuk dari rongganya yang cekung angker. Dari gerak-gerik serta cara mereka memandang sambil sesekali mengendus panjang jelas dua ratus mahluk arwah ini tengah mencari sesuatu.

“Mereka pasti mencari aku! Jarak mereka hanya beberapa jengkal di atas kepalaku, Aneh, mengapa tidak melihat diriku? Aku merasa tidak menerapkan ilmu apa-apa? Ratu Randang juga tidak memberikan aku ilmu untuk melenyapkan diri dari pandangan mahluk lain. Bagaimana bisa terjadi?”

Setelah melayang mundar-mandir berulang kali dekat pohon beringin dimana Wiro berada, lalu mengitari bangunan di depan sana bahkan naik menebar menyelidik naik ke atas atap. Merasa tidak ada yang janggal dan menganggap segala sesuatu dalam keadaan aman akhirnya dua ratus mahluk arwah berwajah hitam putih tersebut melayang menuju bangunan paling besar di puncak bukit. Hanya sesaat setelah dua ratus mahluk arwah pergi tiba-tiba Wiro mendengar suara perempuan bernyanyi.

Tadinya hati ini begitu kawatir
Lebih menakutkan dari mendengar suara petir
Ternyata sahabat telah datang untuk menanam budi
Selamat datang di Puri Kesatu
Silahkan masuk dengan ucapan terima kasih


Wiro menatap ke arah bangunan. Dia mengenali suara orang yang menyanyi. Suara Ken Parantili. Tiba-tiba kawasan kelompok sembilan belas bangunan disapu kegelapan. Ternyata kegelapan itu ditimbulkan oleh bayangan tiga Kelelawar raksasa yang kembali terbang di atas bukit. Tiga binatang alam gaib ini keluarkan suara menguik panjang. Kepak sayap menggetarkan tanah menggoyang pepohonan. Bau busuk menebar kemana mana mengalahkan bau setanggi walau hanya sesaat. Sepasang mata merah memandang menyorot kian kemari. Wiro tegak tak bergerak. Saat itu dia masih berada di halaman terbuka di depan bangunan yang disebut Puri Kesatu.

“Tadi selagi masih di atas belahan pohon mereka tidak melihatku. Aku kawatir sekarang…”

Wiro tetap berdiri tak bergerak di halaman bangunan Puri Kesatu. Dia tidak berusaha mencari perlindungan atau tempat untuk sembunyi. Kawatir gerakannya justru akan menarik perhatian. Dia baru merasa lega ketika tiga Kelelawar raksasa akhirnya meninggalkan tempat itu. Sementara itu dinginnya udara bukan kepalang. Tanah basah ikut mengepulkan hawa dingin, kabut menggantung di beberapa tempat. Semua bangunan basah seperti habis disapu hujan. Juga pepohonan yang ada di sekitar tempat itu.

“Sahabat dari negeri jauh, jangan berlama-lama di luar sana. Cepatlah masuk ke dalam Puri Kesatu.” Terdengar suara Ken Parantili dari dalam bangunan berdinding hitam beratap kuning. Kali ini tidak dalam bentuk nyanyian.

Memandang ke arah bangunan besar Wiro tidak melihat pintu ataupun jendela. Sang pendekar menggaruk kepala. Mau masuk lewat mana? Di dalam bangunan terdengar suara tertawa,

“Sahabat, maafkan diriku. Aku lupa memberi tahu kalau setiap bangunan di Negeri Atap Langit tidak memiliki pintu tidak punya jendela. Satu satunya jalan masuk adalah lewat atap. Melompatlah ke atas atap. Kau pasti akan menemukan jalan masuk.”

“Hemmm…” Wiro menggumam. “Dia bisa tahu gerak-gerikku. Berarti selir itu bisa melihat diriku dari dalam bangunan. Mengapa dia tidak keluar menampakkan diri?”

Rasa curiga kembali muncul dalam diri Pendekar 212. Wiro tidak menunggu lama. Dia segera melompat ke atas atap bangunan. Sebelum kakinya menginjak atap, salah satu bagian atap tiba-tiba terkuak ke atas membentuk pintu. Di bagian bawah pintu ada tangga kayu berukir terdiri dari delapan anak tangga. Wiro cepat menyelinap masuk dan menuruni tangga. Atap yang terbuka menutup kembali.

Setelah menuruni tangga delapan undakan Pendekar 212 sampai di satu ruangan terbuka. Ruang ini luas sekali tapi tidak ada satu perabotanpun. Juga tak kelihatan pintu atau jendela. Hanya ada permadani besar berwarna kuning berhias delapan garis merah terhampar di lantai. Di dua sudut ruangan menancap sepotong ranting pohon berwarna hitam yang ujung membersitkan sinar terang tapi tidak cukup terang untuk ruangan seluas itu hingga suasana di tempat itu redup temaram.

“Ken Parantili…? Kau berada di mana? Mengapa tidak menampakkan diri?”

Wiro keluarkan ucapan. Dia jadi kaget sendiri ketika suaranya menggetarkan dinding dan lantai permadani yang dipijak. Setelah getaran lenyap terdengar suara perempuan jawaban.

“Pendekar Dua Satu Dua, melangkahlah ke tengah hamparan permadani. Tetap di tempatmu berdiri, jangan bergerak sampai kau melihat ada kepulan asap putih berbentuk lingkaran mengelilingi kedua kakimu.”

“Waktu di luar sana, kau mudah saja datang menampakkan diri. Mengapa di tempat kediamanmu justru harus melewati cara susah untuk menemui dirimu?”

“Sahabat, lakukan saja apa yang aku katakan. Jika kau menaruh kawatir atau curiga maka buang hal itu jauh-jauh. Satu hal aku beritahukan padamu, malam di Negeri Atap Langit hanya setengah dari panjangnya malam di luar sana. Jadi kita harus bertindak cepat.”

Wiro menggaruk kepala. Mau tak mau dia, melangkah juga ke tengah ruangan yang tertutup permadani. Seperti yang dikatakan Ken Parantili tiba. tiba lantai mengepul. Memandang ke bawah Wiro melihat lingkaran putih di sekeliling kakinya berubah merah lalu wuss! Satu lingkaran api menjulang ke atas setinggi kepala Wiro!

SEMBILAN

WIRO sekarang benar-benar sadar kalau dirinya telah masuk dalam jebakan Ken Parantili. Nyala kobaran api yang hanya satu jengkal mengitari tubuhnya membuat Wiro seperti dipanggang. Dalam kesakitan yang amat sangat Wiro masih bisa menahan diri untuk tidak berteriak. Rahang menggembung, geraham bergemeletakan.

“Selir jahanam! Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!” Rutuk Wiro.

Dia cepat menjejakkan dua kaki ke lantai, siap melompat keluar dari lingkar kobaran api. Tapi astaga! Dua kaki tak mampu bergerak! Dua telapak kaki laksana dipantek ke lantai permadani merah sementara api semakin mendekat dan kini berjarak kurang satu jengkal di sekitar tubuh dan kepalanya.

“Edan!” Wiro memaki. Dalam keadaan seperti itu dia tidak kehilangan akal.

Dia segera merapal ilmu kesaktian Angin Es pemberian Eyang Sinto Gendeng. Dua tangan diangkat di depan dada, telapak dikembang. Desiran angin menderu keluar dari dua telapak tangan. Wiro jadi terkejut. Hawa yang keluar dari dua telapak tangan yang seharusnya dingin laksana es dan bisa membuat beku seantero ruangan serta melindungi dirinya dari kobaran api, justru hawa itu malah panas!

“Celaka! Mengapa bisa jadi begini?!” Wiro masih berusaha tenang walau kecemasan mulai menghantui dirinya. Kobaran api memang belum membakar ataupun rambutnya namun saat itu dia sudah merasa seperti digarang bara panas!

Keringat membasahi tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki! Dalam keadaan seperti itu Wiro segera hendak melepas pukulan sakti Tangan Dewa Menghantam Matahari, dibarangi dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Lagi-lagi sang pendekar dibuat kaget dan kecut karena sekarang ternyata dia tidak bisa pula menggerakkan kedua tangan!

“Ken Parantili! Aku mengadu jiwa denganmu!” Kertak Wiro lalu sepasang mata dibuka lebar-lebar, mulut berteriak. “Sepasang Pedang Dewa!”

Kepala diarahkan ke jurusan dimana dia memperkirakan beradanya selir sang Penguasa Negeri Atap Langit itu. Ilmu Sepasang Pedang Dewa adalah salah satu dari beberapa kesaktian yang diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh. Sekali ilmu diucapkan maka dari sepasang mata Pendekar 212 akan melesat keluar dua larik sinar hijau laksana dua bilah pedang berkiblat ke arah sasaran.

Konon karena ilmu kesaktian ini luar biasa dahsyat maka hanya boleh dikeluarkan dua kali dalam 360 hari dan dalam keadaan sangat terdesak. Namun sekali ini lagi-lagi Wiro dibuat terkejut. Teriak rapalan yang menggeledek sama sekali tidak mengeluarkan sepasang cahaya hijau dari kedua matanya!

“Celaka! Mati aku sekarang!” Dua lutut sang pendekar mulai goyah, Keringat mengucur laksana mata air. Tubuhnya terasa panas kering kerontang. Tulang belulang seolah mulai leleh!

“Datuk Rao Bamato Hijau! Tolong saya…”

Itu ucapan yang masih bisa dikeluarkan oleh Pendekar 212 memanggil harimau sakti putih yang selama ini menjadi tuan penolongnya pada saat-saat menghadapi bahaya besar dan dia tidak berdaya menghadapi. Di kejauhan sayup-sayup terdengar suara auman harimau. Namun binatang sakti peliharaan Datuk Rao Basaluang Ameh dari Pulau Andalas itu tidak muncul memperlihatkan diri memberi pertolongan!

“Tamat riwayatku! Gusti Allah saya rela menemui ajal. Tapi bagaimana para sahabat yang lain. Guru saya, Ni Gatri… Mohon mereka diselamatkan semua!”

“Braakk!”

Dalam keadaan basah oleh keringat sekujur tubuh dan pakaian, Wiro terkapar di atas permadani merah sementara api terus berkobar!

Entah oleh bau harum mewangi ruangan, entah karena suara gamelan yang mengalun lembut di kejauhan Pendekar 212 perlahan lahan nyalangkan mata. Pertama sekali yang dilihatnya adalah langit-langit ruangan dimana dia berada. Langit-langit ruangan berwarna merah muda bergaris delapan warna kuning. Di pertengahan langit-langit ada satu benda putih bulat aneh memancarkan cahaya menerangi kamar. Empat dinding ruangan juga berwarna sama, merah muda bergaris kuning. Lagi-lagi tak ada pintu tak tampak jendela. Wiro gerakkan dua tangan. Kaki digeser.

“Aku bisa bergerak…” Wiro heran sendiri.

Sebelumnya dia tidak mampu menggerakkan sepasang tangan dan kedua kaki. Wiro cepat bangkit dan duduk. Saat itu baru dia menyadari kalau dirinya berada di atas satu tempat tidur sangat bagus dan empuk dalam sebuah ruangan harum semerbak. Menoleh ke belakang dan ke bawah dia melihat sebagian kain alas tempat tidur di atas mana tadi dia terbaring dalam keadaan basah bekas keringat yang melekat ditubuh dan pakaiannya.

“Apa yang terjadi?” Wiro bertanya tanya dalam hati. “Aku tidak mati! Malah berada di atas ranjang dalam ruangan bagus harum. Ada suara alunan gamelan. Dimana selir itu? Apa tadi memang dia tidak menjebakku atau tengah menyiapkan siasat lain yang lebih menyengsarakan sebelum aku benar-benar dihabisi…”

Selagi Wiro berpikir pikir begitu tiba-tiba satu sosok berpakaian serba putih menyeruak keluar dari dinding ruangan di arah ujung kaki tempat tidur. Di atas kepalanya ada sebuah mahkota sederhana berbentuk atap rumah, terbuat dari emas. Di tangan kanannya ada sebuah seloki kecil terbuat dari kaca, berisi cairan putih bening. Ken Parantili!

“Sahabat, aku gembira kau mau datang. Berarti kau punya niat baik untuk menolongku,” sang selir menegur.

“Kau…” Ucap Wiro.

“Memang aku. Tadinya kau mengira siapa?”

“Selir jahat! Kurang ajar…”

“Ssshh! Jangan bicara kotor di ruang ketiduranku.” Ken Parantili tersurut dua langkah. Walau wajahnya berubah tapi perempuan muda ini kemudian tersenyum.

“Bicara kotor tidak boleh. Tapi berbuat kotor di tempat ini boleh!” Wiro menukas.

“Apa maksudmu, sahabat?” Tanya Ken Parantili.

“Jangan kau berpura pura. Sudah berapa puluh kali kau melayani nafsu kotor Penguasa Atap Langit di atas tempat tidur ini”

“Oh…” Ken Parantili terpana. Sepasang mata bagus membesar. Jari-jari tangan kiri ditutupkan ke mulut. “Aku seorang selir! Kau tidak bisa mengatakan apa yang aku lakukan dengan Penguasa Atap Langit adalah sesuatu yang kotor!”

“Aku mau keluar dari tempat ini! Tunjukkan jalan!” Wiro turun dari atas ranjang.

“Sahabat, dengar. Aku menduga mungkin kau tiba-tiba saja menjadi cemburu pada Penguasa Atap Langit…”

“Aku cemburu?!” Wiro garuk kepala, mulut dipencongkan lalu tertawa terbahak bahak.

“Atau kau mengira aku hendak mencelakaimu waktu di ruangan berpermadani merah tadi?”

“Bukan hendak, tapi kau memang sudah mencelakai! Kau membakar diriku! Untung tidak mati! Tapi siapa tahu sebentar lagi kau akan benar-benar membunuhku!” Kata Wiro pula.

“Begitu?” Ken Parantili tersenyum. “Aku meminta tolong padamu. Bagaimana mungkin aku akan berlaku jahat?”

“Kau mampu keluar dari Negeri Atap Langit. Mengapa tidak langsung melarikan diri? Meminta pertolongan padaku bukankah hanya satu kepura-puraan?”

“Tidak ada seorang manusia atau mahluk arwah penghuni Negeri Atap Langit bisa melarikan diri. Aku bisa keluar tapi jantungku ada di tangan Penguasa Atap Langit! Percuma melarikan diri!”

Walau terkejut mendengar ucapan selir Penguasa Atap Langit itu Wiro kembali membuka mulut. “Seumur hidup aku baru mendengar ada manusia yang jantungnya di tangan mahluk lain!”

“Kalau tidak percaya silahkan lihat sendiri!”

Ken Parantili membuka bagian kiri dada baju putihnya. Lalu dengan ujung jari telunjuk yang berkuku merah dia menggurat dadanya.

“Seett!”

Dada yang digurat terbelah tanpa ada darah mengucur. Wiro yang tadi hanya memperhatikan keindahan payudara Ken Parantili kini tersurut kaget dan memandang mendelik. Di dalam dada yang terkuak dia tidak melihat gumpalan daging merah yang bernama jantung!

“Kalau jantungmu memang ada pada Penguasa Atap Langit, berarti dia bisa membunuhmu dengan sangat mudah! Sekali meremas dia bisa menghancurkan jantungmu!”

“Untuk membunuhku melalui jantung, dia harus menunggu satu purnama lagi. Padahal malam ini, sebelum fajar menyingsing aku harus mati dan besok dia mengambil selir baru. Sekarang apakah kau percaya padaku?”

Ken Parantili usap dada kirinya dengan tangan kanan. Dada yang terbelah menutup kembali tanpa bekas. Sang selir lalu rapikan pakaiannya.

Wiro menggaruk kepala. Dalam hati dia membatin. Ilmu kesaktian gadis ini luar biasa. Padahal dia hanya seorang selir. Berarti kesaktian sang Penguasa pasti jauh lebih tinggi. Aneh, bagaimana mungkin ada manusia bisa hidup tanpa jantung! Setan saja kurasa tidak bisa!” Wiro menatap wajah Ken Parantili sejurus lalu berkata.

“Aku memang tidak melihat jantung di dalam dadamu. Tapi kau masih punya hati. Nah siapa tahu isi hatimu! Di Bhumi Mataram sangat banyak manusia dan mahluk culas serta jahat!”

“Pendekar Dua Satu Dua, coba kau perhatikan keadaan dirimu. Jika aku berhati culas dan bermaksud mencelakai dirimu apakah pakaianmu ada yang hangus terbakar? Apakah kulit tubuhmu ada yang terkelupas luka bakar akibat kobaran api?”

Wiro perhatikan pakaiannya, usap kedua tangan serta wajah. “Memang tidak ada pakaianku yang terbakar. Kulit juga tidak ada yang terluka. Tapi aku merasa lemas…”

“Sebenarnya ada satu hal yang terlupa aku beritahu padamu. Hanya itu saja kealpaan yang aku buat, bukan niat jahat!” Berkata Ken Parantili sambil menatap ke dalam seloki. Dia melihat cairan putih bening di dalam seloki mulai mengeluarkan kepulan asap tipis berwarna kebiruan. Wajah sang selir berubah.

“Ken Parantili, apa maksud ucapanmu tadi!” Tanya Wiro.

“Kobaran api yang seolah menggarang dirimu adalah untuk menguras keluar sebanyak mungkin air atau keringat yang ada dalam tubuhmu. Itu sebabnya saat ini tubuhmu terasa lemas…"

“Lalu?!”

“Ketika kau jatuh pingsan, aku membawamu ke dalam ruangan ini, membaringkanmu di atas tempat tidur. Cairan tubuhmu atau keringatmu membasahi dan menempel diatas pembaringan. Bekas keringat itu sangat diperlukan untuk membuat Penguasa Atap Langit mengetahui bahwa ada orang lain yang telah tidur di atas ranjangnya. Begitu dia mengetahui hal ini maka dia tidak punya daya membunuhku…”

Wiro terdiam. Setelah menggaruk kepala dia berkata. “Jadi hanya begitu saja caraku menolongmu. Mudah sekali, rasa rasanya sulit dipercaya.”

Ken Parantili menggeleng. “Itu baru sebagian. Seperti kau lihat, aku membawa satu seloki berisi air yang berasal dari embun murni. Cairan ini akan mengembalikan seluruh cairan yang ada di dalam tubuhmu hingga kekuatanmu pulih kembali. Minumlah…” Sang selir angsurkan seloki kaca ke hadapan Wiro.

Wiro perhatikan sebentar cairan di dalam seloki. Dia tidak mengambil seloki, malahan bertanya. “Jika cairan dalam seloki aku minum, apakah ususku tidak akan hancur, dadaku tidak akan leleh atau darahku tidak akan mengalir menyungsang? Atau tubuhku tidak serta merta menjadi lebam biru karena racun jahat. Menggelepar dua tiga kali lalu mampus?!” Walau bicara keras namun saat itu Wiro merasa tubuhnya semakin lemas.

Selir pertama sang Penguasa Atap Langit geleng-geleng kepala. Masih dengan tersenyum dia berkata. “Pendekar Dua Satu Dua, jalan pikiranmu sungguh sangat jauh dan luar biasa sekali! Kalau aku meracunimu, lalu siapa yang kelak bisa menolongku dari kematian di tangan Penguasa Atap Langit?”

“Bagaimana kalau minuman dalam seloki kita bagi dua. Kau minum setengah. Aku minum sisanya. Kau minum duluan!” Kata Wiro pula.

“Sahabat, begitu maumu rupanya. Baik. Akan aku turuti!”

Ken Parantili angkat seloki kaca yang dipegang di tangan kanan, didekatkan ke bibir. Mulut dibuka. Gluk… gluk! Dalam dua teguk setengah isi seloki telah berpindah ke dalam perutnya melalui tenggorokan yang putih jenjang. Selesai minum sang selir kembangkan jari-jari tangan yang memegang seloki dan masih berisi setengah cairan putih. Pegangan dilepas. Seloki tidak jatuh ke lantai melainkan melayang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng!

“Sahabat, giliranmu meneguk air embun murni.”

Wiro cepat mengangkat tangan kanan untuk memegang seloki kaca. Tapi astaga, tangannya tak bisa diangkat. Di saat bersamaan kedua lututnya goyah. Tulang belulang di sekujur tubuhnya laksana rontok. Dia merasa lemas luar biasa. Cepat-cepat Wiro kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. Namun tubuhnya keburu terhuyung. Seloki yang mengambang dalam ruangan bergerak miring lalu jatuh ke bawah!

SEPULUH

KEN PARANTILI cepat menyambar seloki kaca dengan tangan kanan hingga air embun murni di dalamnya tidak tumpah dan seloki tidak jatuh pecah ke lantai. Sementara tangan kiri dilingkarkan ke pinggang Wiro agar sang pendekar tidak tersungkur. Perlahan-lahan Wiro direbahkan ke atas tempat tidur.

“Kehati-hatian adalah pangkal keselamatan. Kehati-hatian yang berlebihan justru bisa mendatangkan celaka.” Sang selir berucap.

“Aku... ugh…” Wiro batuk-batuk beberapa kali. Mukanya tampak pucat. Tubuh dingin.

Tidak menunggu lebih lama Ken Parantili dekatkan seloki ke bibir Wiro. Perlahan lahan air embun murni dituangkan ke dalam mulut sang pendekar seraya berkata. “Minumlah. Kalau cairan di dalam seloki mengandung racun, kita sama-sama mati di tempat ini.”

“Gluk… gluk.”

Wiro meneguk. Lalu kembali batuk-batuk. Ken Parantili cepat menekap mulut Wiro agar air yang sudah masuk ke tenggorokan tidak tersembur keluar. Untuk beberapa saat Wiro terbaring tertelentang di atas tempat tidur. Dia merasa seperti ada hawa yang mengalir dalam tubuhnya. Tak selang berapa lama rasa lemas yang tadi membuat dirinya setengah tak berdaya lenyap. Kekuatannya pulih kembali. Tubuh yang dingin menjadi hangat lagi dan wajah yang tadi pucat tampak berdarah. Dengan cepat Wiro melompat bangun, berdiri di tepi tempat tidur, menatap ke arah Ken Parantili.

“Sahabat Wiro, apakah kau masih menaruh curiga padaku?”

Wiro memandang berkeliling. “Mungkin aku menduga salah. Tapi ada beberapa hal yang aku ingin tanyakan. Pertama, ketika aku memasuki Kawasan Atap Langit, aku mendengar suara Penguasa Atap Langit. Tapi tidak kelihatan ujudnya. Lalu aku melihat tiga kelelawar raksasa dan dua ratus jin berwajah hitam putih. Semua mahluk itu agaknya tidak melihat diriku. Bagaimana hal ini bisa terjadi?”

“Ketika masih berada di kawasan Candi Plaosan, tanpa kau ketahui aku menyusupkan sehelai rambut ke balik pakaianmu. Coba kau buka bajumu sampai seperut. Kau akan menemukan sehelai rambut menempel di tubuhmu, membelintang dari bahu kiri sampai ke dada.”

Wiro buka baju putihnya yang telah lusuh, kotor dan robek. Ketika dia memperhatikan tubuhnya, dia memang melihat ada sehelai rambut panjang hitam menjulai panjang dari bahu sampai ke dada. Wiro gerakkan tangan hendak mengambil rambut.

“Biarkan terus rambut itu menempel di tubuhmu. Kau baru boleh mengambil dan membuangnya setelah kau meninggalkan Negeri Atap Langit. Sekarang kau harus mandi dulu di Telaga Bersuci dan Bersegar Diri.”

“Telaga Bersuci dan Bersegar Diri? Telaga apa itu? Dimana letaknya? Mengapa harus mandi segala? Hemm…” Wiro menarik dan mencium dada bajunya, mencium lengan. Lalu tertawa sendiri. “Memang aku sudah patut mandi. Tapi setelah mandi lalu masih memakai pakaian ini juga tubuhku tetap saja bau. Berarti sama saja bohong…”

Ken Parantili tersenyum. Di menunjuk dengan ibu jari tangan kirinya ke dinding ruangan sebelah kanan. “Melangkahlah ke arah dinding itu. Tubuhmu akan menembus melewati dinding. Di balik dinding kau akan melihat sebuah telaga. Ada delapan buah pancuran terbuat dari bambu kuning. Mandilah dibawah pancuran itu. Pastikan setiap air pancuran membasahi kepala dan tubuhmu, Di salah satu batu di tepi telaga ada sehelai kain pengering tubuh. Juga ada seperangkat pakaian berwarna merah bergaris kuning. Setelah mengeringkan tubuhmu dan mengenakan pakaian kau kembali ke dalam ruangan ini. Caranya sama, dengan menembus dinding ruangan. Satu hal harus kau ingat. Selama mandi dan mengenakan pakaian jangan sampai rambutku yang menempel di dadamu terlepas jatuh atau hilang. Karena hanya selembar itu rambutku yang mengandung kesaktian.”

“Aku sulit percaya akan semua ini!” Kata Wiro sambil menggaruk kepala.

“Negeri Atap Langit adalah negeri dimana kepercayaan sama tipisnya dengan hembusan angin,” menjawab Ken Parantili. Lalu dia menganggukkan kepala memberi isyarat agar Wiro segera melangkah ke dinding ruangan sebelah kanan.

“Tunggu, aku masih ada satu pertanyaan lagi,” berkata Wiro. “Dalam perjalanan ke sini, empat orang sahabatku ikut bersamaku. Kau sudah melihat mereka waktu di Candi Plaosan. Kami sama-sama berada di atas belahan batang pohon Beringin. Namun kemudian keempatnya mental dan jatuh di atas puncak sebuah gunung. Aku ingin tahu mengapa hal itu bisa terjadi. Ada yang berbuat jahat! Apakah mereka berada dalam keadaan selamat?”

“Tak ada yang berniat apa lagi berbuat jahat. Sudah ditetapkan bahwa tidak ada seorang lainpun bisa masuk ke dalam Negeri Atap Langit kecuali dirimu. Siapa yang nekad akan mendapat celaka! Mungkin tidak akan mampu lagi keluar dari Negeri Arwah ini untuk selama lamanya. Empat temanmu sudah diselamatkan. Mereka berada dalam keadaan baik. Mereka tidak mengalami cidera apapun.”

“Siapa yang menolong mereka? Kau?” Tanya Wiro pula.

“Uluran Tangan Yang Maha Kuasa dalam memberi keselamatan lebih ampuh dari mahluk apapun, termasuk kita manusia.” Jawab Ken Parantili. “Nah, sekarang melangkahlah ke dinding. Malam di Negeri Atap Langit lebih singkat dan lebih cepat berlalu. Kau dengar suara alunan gamelan?”

Wiro mengangguk. “Aku mendengar sejak pertama kali memasuki Negeri Atap Langit.”

“Bila suara gamelan berhenti itu pertanda Penguasa Atap Langit telah meninggalkan Puri Agung tempat kediamannya, datang ke sini untuk membunuhku. Sebelum membunuh untuk terakhir kali dia akan mencumbuku. Dan kau harus tetap berada di ruangan ini untuk menyaksikan kejadian itu…”

“Apa?!”Wiro terbetalak kaget.

“Kau bukan anak kecil. Bocah dua belas tahun bernama Dirga Purana saja mampu bercumbu. Kau hanya melihat saja. Apa sulitnya?”

Wiro garuk-garuk kepala. “Aneh, juga edan!” Kata sang pendekar dalam hati.

Ken Parantili menggoyangkan kepala ke arah dinding di sebelah kanan. Wiro akhirnya langkahkan kaki ke arah dinding itu. Seperti angin berhembus di udara kosong, begitu bersentuhan dengan dinding tubuhnya langsung menembus masuk. Di lain saat Wiro dapatkan diri telah berada di tepi sebuah telaga kecil yang sebagian tepinya ditumbuhi berbagai macam bunga menebar bau harum.

Keseluruhan telaga berada dalam lingkungan satu tembok batu luar biasa tinggi hingga dia tidak bisa melihat bagian atasnya, apakah merupakan sebuah atap atau tembus ke langit. Walaupun terkungkung namun keadaan di telaga cukup terang seolah berada di alam terbuka. Di kejauhan sayup-sayup masih terdengar suara alunan gamelan.

“Jadi ini yang namanya Telaga Bersuci dan Bersegar Diri…” Wiro berucap dalam hati.

Seperti yang dikatakan Ken Parantili, di atas sebuah batu datar di tepi telaga sebelah kiri terlipat sehelai kain biru dan seperangkat baju serta celana luar berwarna merah bergaris kuning. Ketika Wiro memeriksa lipatan pakaian dia juga menemukan sehelai pakaian dalam.

“Lengkap juga…” Ucap Wiro sambil senyum-senyum.

Pada dinding telaga sebelah kanan berderet delapan pancuran bambu kuning. Air yang memancur bening kebiruan. Begitu juga air yang ada di dalam telaga. Wiro mengusap sekuntum bunga mekar berwarna putih di sampingnya, lalu mulai membuka pakaian. Delapan bunga Matahari kecil diletakkan hati-hati di atas lipatan pakaian. Tanpa diketahui sang pendekar, dari balik sebuah lubang kecil yang ada di salah satu bagian dinding telaga mengintip sebuah mata. Tubuh si pengintip bergetar, darah mengalir cepat dan panas. Dia berucap dalam hati.

“Ken Parantili, aku tahu giliranku akan tiba. Aku juga ingin keselamatan. Maafkan kalau aku mempergunakan kesempatan mendahuluimu.”

Orang yang mengintip kemudian cabut selembar rambutnya. Rambut yang panjang disusupkan ke dalam lobang lalu ditiup perlahan. Rambut melayang di atas telaga, masuk ke dalam air bersamaan dengan saat Pendekar 212 telah masuk ke dalam telaga. Tubuhnya tenggelam sebatas pinggang. Sambil menekankan telapak tangan kiri di atas rambut Ken Parantili yang melintang di bahu dan dadanya, Wiro bergerak ke bawah delapan pancuran bambu kuning. Tanpa diketahuinya rambut sang pengintip meluncur di atas permukaan air, telaga, mendekatinya.

SEBELAS

DI DALAM ruangan Ken Parantili mulai merasa gelisah. Sekian lama menunggu Wiro masih belum kembali dari dalam telaga. Selir pertama Penguasa Atap Langit ini melangkah mundar-mandir. Setelah tidak sabar lagi akhirnya dia melangkah menembus dinding. Begitu keluar dari dinding dan berada di depan telaga, kejut Ken Parantili bukan alang kepalang.

Wiro berada di dalam telaga. Tapi tidak sendirian. Ada seorang perempuan berambut panjang ikut berada di dalam telaga, mengenakan pakaian putih berenda seperti yang dikenakannya. Perempuan ini membelakanginya dan tengah membersihkan punggung Wiro dengan beberapa helai daun yang mengeluarkan minyak serta bau harum.

“Manusia penyusup! Siapa kau! Apa yang kau lakukan di sini?!” Bentakan Ken Parantili menggeledek membuat seantero telaga dan dinding yang mengelilingi bergetar.

Wiro berpaling kaget. Perempuan mengenakan pakaian putih berenda juga terkejut dan memutar kepala. Ketika Ken Parantili melihat wajah perempuan itu astaga! Kejutnya selangit tembus! Wajah orang yang ada di dalam telaga sama dengan wajahnya. Begitu juga bentuk sosok tubuh serta pakaiannya!

“Kurang ajar! Kalau kau tidak segera memberi tahu siapa dirimu, kau akan jadi mayat kejap ini juga!”

“Kau! Kau siapa?!” Wiro yang terheran-heran bertanya pada Ken Parantili lalu berpaling pada perempuan yang wajahnya serupa dan berada di dalam telaga bersamanya.

“Aku Ken Parantili! Tempat ini telah kesusupan mahluk jahat!” Jawab Ken Parantili.

Perempuan di dalam telaga cepat menjawabi ucapan selir pertama Penguasa Atap Langit itu. “Wiro, jangan kau sampai tertipu! Perempuan itu adalah Ken Parantili palsu! Dia sejak lama punya niat jahat padamu! Aku Ken Parantili yang asli! Wiro, lekas pegang tanganku! Kita harus meninggalkan tempat ini sekarang juga! Aku akan menyelamatkan dirimu keluar dari Negeri Atap Langit sebelum dibantai oleh sang Penguasa dan perempuan penipu jejadian ini!”

Perempuan di dalam telaga lalu ulurkan tangan kirinya. Wiro jadi bingung. Mana sebenarnya Ken Parantili yang asli dan mana yang palsu!

“Wiro! Jangan sampai tanganmu dipegangnya!” teriak Ken Parantili asli. Lalu dia membentak. "Perempuan kurang ajar! Perlihatkan siapa dirimu sebenarnya!”

Dari pinggiran telaga Ken Parantili asli pentang lima jari tangan kanan. Begitu kuku lima jari memancarkan cahaya kuning langsung dihantamkan ke arah perempuan di dalam telaga. Lima cahaya kuning berkiblat.

Perempuan di dalam telaga sunggingkan seringai seolah tidak takut mendapat serangan yang bisa meruntuhkan tembok batu itu! Kepala digoyang.

Wuuttt!

Rambutnya yang panjang melesat berputar menebar sinar hitam!

“Blaarr! Blaarr!”

Perempuan di dalam telaga menjerit. Tubuhnya terpental ke pinggiran telaga. Wiro bergerak hendak menolong tapi diteriaki oleh Ken Parantili asli.

“Wiro! Jangan sentuh tubuhnya!”

Perempuan di dalam telaga melompat keluar dari dalam air. Berdiri di tepi telaga. Pakaiannya yang basah mencetak lekuk bagus tubuhnya. Wajah yang cantik berubah luar biasa garang. Sepuluh jari tangan dipentang, jari tengah dilipat ke belakang. Saat itu juga delapan jari tangan berubah menjadi cakar besar merah dan mengepulkan asap.

“Delapan Cakar Sukma Merah!” Teriak Ken Parantili kaget tapi tidak merasa jerih. “Dari siapa kau mendapatkan ilmu hantu itu?! Pasti kau telah berselingkuh dengan salah satu dari dua Sinuhun atau bocah bernama Dirga Purana!”

“Selir setan! Perduli apa kau mau tahu dari mana aku mendapatkan ilmu Delapan Cakar Sukma Merah! Umurmu hanya tinggal beberapa kejap saja!” Perempuan di tepi telaga berpaling pada Wiro. “Lekas melompat ke sampingku!”

“Jangan!” Teriak Ken Parantili.

Perempuan di tepi telaga keluarkan suara menggereng. Dua tangan didorong ke depan. Delapan sinar merah menderu ke arah Ken Parantili. Selir pertama Penguasa Negeri Atap Langit ini cepat membungkuk. Jari tengah tangan kiri kanan dilipat.

Craasss!

Delapan jari lainnya ditancapkan ke sebuah batu besar di tepi telaga. Rupanya inilah penangkal serangan hebat lawan!

Ken Parantili palsu menjerit keras. Sekujur tubuh bergetar. Delapan sinar merah yang keluar dari delapan jari tangannya menekuk ke atas lalu musnah mengeluarkan suara meletus keras. Delapan jari berkuku merah kemudian mencekik lehernya sendiri hingga menguak luka dan mengucurkan darah!

“Perlihatkan siapa dirimu sebenarnya!” Ken Parantili berteriak. Delapan jari ditusukkan ke batu semakin dalam, Di seberang sana perempuan yang sosok dan wajah serta pakaiannya menyerupai sang selir kembali menjerit.

“Ampun! Jangan!” Sambil berteriak dia berusaha menjangkau delapan bunga Matahari kecil di atas lipatan pakaian yang terletak di atas batu di tepi telaga.

Ken Parantili lipat gandakan tenaga dalam, terus tancapkan delapan jari semakin dalam ke batu hitam. Sekujur tubuh perempuan yang menyerupai Ken Parantili terhuyung kepulkan asap hitam, mengeluarkan suara berkeretekan lalu jatuh tersandar ke dinding telaga. Ketika asap hitam lenyap kelihatan sosok, wajah dan pakaiannya telah berubah. Wajah tetap merupakan wajah seorang perempuan muda cantik, tubuh putih sintal dan pakaian sebentuk jubah dalam berwarna hijau polos yang bagian atasnya dipotong rendah hingga menyingkap dadanya yang putih besar.

“Windu Resmi! Selir Ketiga!” Teriak Ken Parantili begitu mengenali siapa adanya perempuan muda yang tersandar di tembok telaga.

Perempuan ini pelototkan mata menatap ke arah Ken Parantili, lalu sepasang mata itu meredup dan terkancing. Dari tenggorokannya terdengar suara tercekik. Lalu leher dan kepala terkulai ke kiri.

“Mati! Celaka!” Teriak Ken Parantili. “Di Negeri Atap Langit tidak boleh ada mayat di udara terbuka! Tiga pengawal dan puluhan Arwah Hitam Putih pasti akan mengendus dan datang ke sini! Mayat ini harus dikubur sebelum para pengawal datang. Mana ada waktu! Bagaimana ini?!” Ken Parantili tampak bingung dan takut. Wajahnya yang cantik kelihatan pudar.

“Kita sembunyikan saja mayat itu,” Berkata Wiro.

“Mau disembunyikan kemana? Mahluk-mahluk pengawal Penguasa Atap Langit tetap saja bisa mengendus sekalipun dari jarak puluhan tombak! Sebentar lagi mereka pasti akan datang ke sini! Celaka besar! Rencanaku mencari selamat agaknya tidak akan kesampaian gara-gara selir pengkhianat itu!”

“Ken Parantili, tenang saja. Mudah-mudahan aku bisa menolong menyembunyikan mayat itu.” Kata Wiro. Lalu dia keluar dari dalam telaga. Berdiri di tanah berumput di tepi telaga. “Tolong seret perempuan itu ke depanku. Baringkan di atas rumput. Jangan terlalu dekat.”

Walau tidak tahu apa yang akan dilakukan Wiro, dalam bingungnya Ken Parantili segera melakukan apa yang dikatakan pendekar itu. Sosok Windu Resmi digendongnya lalu dibaringkan di atas tanah berumput sejarak sepuluh langkah dari Wiro. Wiro bersurut mundur beberapa langkah lagi. Kaki kanan dikedepankan.

“Kau mau melakukan apa?” Bertanya Ken Parantili.

Wiro tidak menjawab. Jari-jari kaki kanan diguratkan ke tanah.

“Rerrttt!”

Tiba-tiba tanah terbelah. Dari dalam belahan terdengar deru angin, Bukan berhembus keluar tapi justru menyedot dahsyat! Sekejap saja sosok mayat Windu Resmi selir ketiga Penguasa Atap Langit masuk ke dalam belahan tanah. Tanah yang terbelah menutup kembali. Mayat perempuan muda itu lenyap tidak berbekas!

“Hebat!” Seru Ken Parantili memuji. Dia hendak memeluk Wiro sebagai tanda suka cita. Namun saat itu Wiro baru menyadari kalau dirinya dalam keadaan bugil segera menghambur masuk ke dalam telaga!

DUA BELAS

SELESAI mandi dan berpakaian Wiro merasa sangat enteng, segar dan wangi. Delapan bunga Matahari diselipkan di balik pinggang, Setelah memastikan rambut panjang hitam milik Ken Parantili masih melekat membelintang di dadanya Wiro sematkan kancing baju lalu melangkah ke arah dinding dari mana sebelumnya dia secara aneh menembus masuk. Sebelum meninggalkan telaga dia melirik dulu ke arah tanah berumput di dalam mana mayat Windu Resmi terkubur.

“Selir itu berkhianat agar bisa menyelamatkan diri keluar dari Negeri Atap Langit. Masih ada belasan selir lainnya. Apa tidak ada lagi yang ingin melakukan hal yang sama?” Pikir Wiro lalu dia ingat ucapan Ken Parantili. “Negeri Atap Langit adalah negeri dimana kepercayaan sama tipisnya dengan hembusan angin.” Ketika Wiro masuk kembali ke dalam ruangan besar yang ada ranjangnya Ken Parantili dilihatnya berdiri bersandar ke dinding. Dua tangan disilang di depan dada.

“Wiro, aku bersyukur kau selamat dari tipu daya Selir Ketiga. Sekarang ikuti aku.” Berkata Ken Parantili. Perempuan ini balikkan tubuh, melangkah ke arah dinding dari mana tadi dia menembus masuk.

“Tunggu dulu,” kata Wiro.

“Ada apa?” tanya Ken Parantili.

“Aku tidak tahu. Apakah kau ini Ken Parantili benaran atau selir ke dua, keempat… Aku tidak ingin peristiwa seperti tadi terulang kembali.”

“Bagus kau mau berlaku hati-hati.” Ken Parantili singkap bajunya di bagian dada kiri. Lalu dengan ujung jari telunjuk dia menggurat dada.

“Settt!” Seperti terjadi sebelumnya dada itu terbelah.

“Apakah kau melihat ada jantung di dalam dada kiriku?” Bertanya Ken Parantili.

Wiro menggeleng. Dia memang tidak melihat jantung di dalam dada yang terbelah itu.

“Kau telah menyaksikan keadaan dadaku sebelumnya. Berarti aku adalah Ken Parantili yang asli.”

“Aku percaya padamu. Sekarang ada satu hal lain. Selir Ketiga bernama Windu Resmi itu. Bagaimana dia bisa menguasai Ilmu Delapan Cakar Sukma Merah? Setahuku ilmu itu hanya dimiliki dua Sinuhun dan bocah sakti bernama Dirga Purana.”

“Kemungkinan dia mendapatkan dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Karena Sinuhun tua itu yang selalu datang ke sini setiap melaksanakan Sesajen Atap Langit.”

Wiro menggaruk kepala sambil bergumam. “Hemmm… Berarti sang selir berselingkuh dengan Sinuhun Merah lalu Sinuhun memberikan ilmu kesaktian itu padanya…”

Ken Parantili tersenyum. Dipegangnya lengan Wiro seraya berkata. “Jalan pikiranmu selancar semua sungai yang mengalir dari puncak Semeru. Sekarang ikuti aku.”

“Tunggu, sekarang kau hendak mengajakku berselingkuh!” Kata Wiro pula yang membuat Ken Parantill berpaling, cepat tutup mulut dengan telapak tangan kiri menahan tawa.

“Jangan hanya tertawa. Apa jawabmu?”

Sang selir turunkan tangan kiri yang menutup mulut lalu menjawab. “Untuk pertanyaanmu itu, aku tidak punya jawaban!” Lalu Ken Parantili tarik tangan sang pendekar.

Keduanya melangkah ke arah dinding dan seperti angin di udara terbuka sosoknya menembus masuk ke dalam dinding. Wiro segera pula melakukan hal yang sama. Tubuhnya seperti tidak terhalang, ikut menembus dinding. Di balik dinding ada sebuah ruangan yang lebih kecil dibanding ruangan sebelumnya.

Bau harum semerbak bunga mawar terhirup segar ke dalam rongga dada Wiro. Di dalam ruangan terdapat sebuah tempat tidur berkasur tebal. Pada bagian kepala ada dua bantal besar sementara di arah kaki terletak bantalan kasur kecil empat persegi panjang. Di sisi kanan tempat tidur, merapat ke dinding ada sebuah meja panjang terbuat dari kayu jati hitam dengan empat kaki diukir berbentuk Ular Naga. Di atas meja ada tiga jambangan kaca.

Pada setiap jambangan terdapat sekuntum Bunga Mawar merah. Bunga inilah yang menebar bau harum di dalam ruangan. Selain tiga jambangan bunga, di atas meja ada satu nampan perak. Di atas nampan terletak beberapa macam buah-buahan segar. Lalu ada sebuah gelas kaca berisi cairan kuning kental.

“Ini ruang ketiduranku,” menerangkan Ken Parantili. “Ruang tidur di sebelah adalah ruangan tidur kalau aku menerima Penguasa Atap Langit.”

“Lagi-lagi tidak ada pintu tidak ada jendela.” Kata Wiro.

“Di Negeri Atap Langit hanya ada dua pintu. Satu di pinggir kawasan paling ujung sebelah timur, satu lagi tergantung di awang-awang. Pintu Pertama di sebut Pintu Gerbang Atap Langit. Melalui pintu ini semua orang yang mendapat izin diperkenankan masuk dan keluar. Siapa yang tidak mendapat izin tapi nekad mencoba masuk akan menemui ajal secara mengerikan. Siapa yang berbuat tidak disenangi Penguasa Atap Langit, dia tidak akan mampu keluar dari dalam Kawasan Atap Langit kecuali memiliki penangkal atau menerima pengampunan. Pintu kedua disebut Pintu Akhirat. Adanya di arah langit tinggi. Hanya dipergunakan untuk jalan keluar masuk mahluk-mahluk tertentu.”

“Waktu datang aku tidak melewati Gerbang Atap Langit. Apakah waktu keluar dari Negeri ini aku juga tidak akan melewati Pintu Akhirat?”

“Kita lihat saja nanti,” jawab Ken Parantili. Lalu dia menerangkan. “Semua bangunan di Negeri Atap Langit memang tidak satupun memiliki jendela atau pintu. Pertama kali aku datang ke sini enam bulan lalu, aku juga merasa heran. Kemudian aku ketahui bahwa pintu dan jendela adalah satu pantangan besar bagi Penguasa Atap Langit.”

“Pantangan? Pantangan bagaimana?” Wiro bertanya ingin tahu.

“Kau cerdik. Kau orang pertama yang menanyakan hal itu.” Jawab Ken Parantili. Lalu selir cantik ini menjelaskan. “Konon Penguasa Atap Langit tidak boleh berada di dalam ruangan atau rumah, atau bangunan apa saja yang ada pintu dan jendela. Hal itu merupakan pantangan besar karena menurut kepercayaannya ilmu kesaktian yang dimilikinya satu persatu bisa keluar meninggalkan tubuhnya lewat jendela atau pintu, sekalipun dalam keadaan tertutup. Itu sebabnya kami semua para selir dan penghuni Negeri Atap Langit diberi ilmu kesaktian untuk bisa menembus atap bangunan, tembok dan dinding…”

“Luar biasa aneh.” Kata Wiro pula. “Sekarang apa yang akan aku lakukan untuk dapat menolongmu agar tidak sampai dibunuh oleh Penguasa Atap Langit.”

“Aku mohon saat ini kau memelukku. Sambil memeluk kau harus menghitung dalam hati sampai dua puluh tujuh. Setelah itu baru kau melepaskan pelukan.”

“Setelah aku memelukmu, apa berarti kau bakal terlepas dari maksud jahat Penquasa Atap Langit?”

“Masih belum. Seperti yang aku katakan waktu di Plaosan, kau harus tidur bersamaku malam ini.”

Wiro menggaruk kepala. Ken Parantili melangkah ke hadapan Wiro. Begitu dekatnya hingga pakaian mereka saling bersentuhan dan hembusan nafas menghangati wajah masing-masing. Ken Parantili pejamkan sepasang mata sambil kembangkan dua tangan merangkul Wiro.

"Peluk diriku dan mulai menghitung,” bisik selir pertama Penguasa Atap Langit itu. Kepala disandarkan ke dada Wiro, dua tangan memagut punggung sang pendekar.

Untuk beberapa lama Wiro hanya tegak berdiam diri. Bau harum rambut, wajah dan tubuh Ken Parantili masuk ke jalan pernafasannya. Sekujur tubuh sang pendekar mulai bergetar.

“Kalau kau memang berniat untuk menolongku, lakukanlah dengan segala keikhlasan. Cepat peluk diriku.” Kembali Ken Parantili berbisik.

Wiro akhirnya gerakan dua tangan memeluk perempuan muda itu dan dalam hati mulai menghitung. Tak selang berapa lama Wiro angkat kepala, bertanya. “Aku lupa. Aku harus menghitung sampai berapa?”

"Tiga puluh tujuh.”

“Walah, aku kebablasan. Aku sudah menghitung sampai empat puluh tujuh!” Wiro cepat lepaskan pelukannya.

Ken Parantili tertawa. Lepas rangkulannya. “Tidak apa. Berarti kau memang sungguh-sungguh ingin menolongku.”

“Sekarang apa lagi…?” Wiro bertanya.

“Saatnya kita tidur.”

Wiro melirik ke arah tempat tidur berkasur tebal di sampingnya. Lalu berkata. “Kalau masih ada cara lain untuk menolongmu selain tidur, aku lebih suka…”

“Cara lain bagaimana?” Bertanya Ken Parantili.

“Aku bisa membuat pintu di setiap bangunan yang ada di Negeri ini. Termasuk di Puri Agung tempat kediaman Penguasa Atap Langit.”

Ken Parantili letakkan dua telapak tangan di dada Pendekar 212. Sepasang mata dikedipkan. Mulut berbibir bagus tersenyum, lalu perempuan muda ini berucap. “Perjanjian kita tidak menyebut soal membuat pintu.”

Ken Parantili dorongkan dua tangan hingga Wiro tersurut dan akhirnya terduduk di tepi tempat tidur. Perempuan itu kembali menekan dua tangan. Kali ini Wiro terdorong begitu rupa hingga terbaring menelentang di atas tempat tidur. Kepala berada di atas salah satu bantal empuk.

“Setelah ini pasti dia menyuruh aku membuka pakaian. Kalau tidak mau dia yang akan melakukan.” Wiro menduga-duga. Dia memandang berkeliling seputar ruangan. Dalam hati Wiro mengucap. “Gusti Allah, berikan kemampuan pada saya untuk bisa kabur dari tempat ini.”

Ken Parantili menatap tersenyum. Wajahnya didekatkan ke wajah Wiro. Mulut berbisik, “Apapun yang ada dalam pikiranmu, jangan sekali-kali berani melakukan…”

Wiro terkejut. “Selir ini, apa dia memang bisa membaca jalan pikiranku!” Ucap Wiro dalam hati. Baru saja dia membatin begitu, di tepi tempat tidur Ken Parantili bertanya.

“Wiro, apakah kau tidak hendak membuka Pakaiamu?”

Murid Sinto Gendeng terperangah. “Kalau ti… tidur aku sel… selalu mengenakan pakaian.” Kata Wiro gagap sambil letakkan dua tangan di atas dada macam orang kedinginan.

“Begitu?” Ken Parantili kembali tersenyum. “Kalau begitu biar aku saja yang menanggalkan pakaian.” Katanya.

Wiro merasa darahnya panas berdesir!

TIGA BELAS

TUBUH Ken Parantili melayang ke atas, berdiri di atas tempat tidur. Kaki kiri kanan berada di samping sosok Wiro. Tiba-tiba suasana terang dalam ruangan berubah redup. Ken Parantili kembali melayang ke atas, bergerak merebah sejajar tubuh Pendekar 212 lalu meluncur ke arah kaki tempat tidur dimana terdapat bantalan kasur empat persegi. Di kejauhan masih terus terdengar gema alunan gamelan. Di atas bangunan mendadak ada suara gaduh kibasan sayap serta jerit pekik mahluk alam arwah. Atap bangunan serasa hendak runtuh. Wiro tersentak, cepat bergerak bangun. Duduk di atas tempat tidur, menatap ke langit-langit ruangan.

“Tenang saja.” Kata Ken Parantili. “Yang barusan lewat adalah tiga Kelelawar Raksasa dan puluhan Arwah Hitam Putih. Selama rambutku masih melekat di tubuhmu, mereka tidak akan pernah berhasil menemukan dirimu. Tidurlah kembali.”

Wiro baringkan tubuhnya kembali. Saat itu dilihatnya Ken Parantili telah duduk di atas bantalan kasur di kaki tempat tidur. Sosok tubuhnya perlahan-lahan mengeluarkan cahaya putih kebiruan hingga walau dia sama sekali tidak menanggalkan baju namun dalam keredupan ruangan dia tampak seolah tidak mengenakan sehelai benangpun. Wiro merasa dadanya sesak dan tenggorokan turun naik. Beberapa kali dia menelan ludah. Dalam keadaan kejantanannya teruji rasa takut melebihi segala-galanya.

“Aku tidak akan berkhianat pada orang-orang yang aku kasihi. Aku tidak akan melanggar perintah Gusti Allah. Gusti Yang Maha Kuasa jangan biarkan setan memasuki darah saya, jangan biarkan iblis merasuk hati dan pikiran saya, Gusti Allah saya mohon pertolongan-Mu…”

Ucapan dalam hati sang pendekar terputus ketika tiba-tiba sosok Ken Parantili menggeliat lalu terdengar suaranya bernyanyi perlahan.

Ada ujar-ujar
Ada ubi ada talas, ada budi ada balas
Biasanya budi datang lebih dahulu
Balas menyusul kemudian
Tetapi jika balas datang lebih dulu
Budi menyusul kemudian
Maka itulah berkat Para Dewa yang paling indah


Suara nyanyian berakhir. Ruangan diselimuti kesunyian. Ken Parantili menggeliat sekali lagi. Wiro menatap ke langit langit ruangan di atasnya sambil bertanya tanya dalam hati apa maksud dan arti nyanyian sang selir.

“Wiro, saatnya kita mulai tidur.”

Pendekar 212 merasa ada tiupan angin hangat di wajahnya, membuat sepasang mata menjadi berat. Sadar sesuatu akan segera terjadi atas dirinya Wiro cepat kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. Namun dia tidak kuasa mencegah kedua matanya yang perlahan lahan mengecil terpejam. Di ujung tempat tidur Ken Parantili bangkit dari duduknya lalu perlahan lahan baringkan tubuh menelungkup melayang di atas sosok Wiro, hanya terpisah sejarak satu jengkal. 

Wiro mengangkat dua tangannya, berusaha mendorong tubuh Ken Parantili supaya lebih menjauh ke atas. Ketika dua tangannya tinggal seujung rambut lagi akan menyentuh aurat Ken Parantili tiba-tiba blaarr! Satu cahaya benderang. berkiblat dalam ruangan disertai letusan dahsyat. Wiro merasa telinganya tuli tak bisa mendengar apa-apa, sepasang mata mendelik tapi segala sesuatunya berubah menjadi gelap. Lalu murid Sinto Gendeng ini tidak ingat apa-apa lagi!

WIRO dapatkan diri terbaring di atas batu besar. Di sekitarnya terdapat banyak batu besar. Dalam gelapnya malam batu-batu itu terlihat berbentuk mahluk-mahluk aneh menyeramkan. Di langit tampak bulan sabit yang cahayanya terlalu redup untuk dapat menerangi seantero tempat. Wiro bergerak bangun, duduk di atas batu, memandang berkeliling.

Dia mendengar suara air bergemericik. Ketika memperhatikan ke bawah ternyata di antara sela-sela bebatuan mengalir air bening mengepul hawa luar biasa dingin. Di arah kiri ada satu pohon besar dikobari api namun tidak terbakar hangus, berubah gosong atau musnah dan tumbang. Di sekeliling pohon ada delapan batu besar merah membara. Anehnya, sedemikian besar kobaran api yang membakar pohon serta ada delapan batu merah membara, tetap saja keadaan di tempat itu gelap temaram dan dingin!

“Tempat aneh, bagaimana aku bisa di sini? Apakah aku masih berada di Negeri Atap Langit?” Pikir Wiro.

Dia pasang telinga. Sayup-sayup di kejauhan terdengar suara alunan gamelan. Bebunyian itu menandakan dia memang masih berada di Kawasan Atap Langit. Lalu dimana Ken Parantili, Selir Pertama sang Penguasa? Tiba-tiba pada bagian depan batu besar yang didudukinya dia melihat gerak bayangan hitam. Wiro berpaling ke belakang.

“Wuttt!”

Delapan cahaya merah menderu. Hawa panas menggidikkan menyambar. Pendekar 212 kaget bukan main. Dua tumit cepat dihunjamkan ke atas batu yang didudukinya. Saat itu juga tubuh Wiro melesat ke belakang, melompat ke atas batu yang lain. Memandang ke depan dia melihat Selir Penguasa Atap Langit berdiri di atas batu yang tadi didudukinya. Wajah cantik menyeringai seram. Dua tangan dipentang kedepan. Dua kaki yang menginjak batu kepulkan asap kelabu. Delapan jari mengeluarkan cahaya merah, membentuk cakar angker.

“Ken Parantili!” Dalam kagetnya Wiro membatin. “Kecurigaanku selama ini tidak meleset. Dia hendak membunuhku dengan Delapan Cakar Sukma Merah!”

Tiba-tiba dari mulut Ken Parantili melengking keluar suara garang. Suara kucing mengeong! Di saat bersamaan tubuh perempuan itu melesat ke arahnya. Delapan cakar merah kembali berkelebat. Wiro cepat menghindari serangan dengan cara melompat lagi ke batu besar yang lain. Tapi Ken Parantili terus mengejar.

“Ken Parantili! Semua ucapanmu ternyata tipuan belaka! Buktinya sekarang kau hendak membunuhku! Kau pasti kaki tangan Sinuhun Merah Penghisap Arwah!” Wiro berteriak.

“Ngeoong!”

Sosok Ken Parantili kembali berkelebat. Sekilas Wiro melihat wajah perempuan cantik itu telah berubah menjadi muka seekor kucing buas!

“Ken Parantili!”Kalau kau tidak berhenti menyerangku, aku akan habisi dirimu sekarang juga!” Wiro mengancann sambil siapkan Pukulan Harimau Dewa. Sebelumnya dengan pukulan sakti itu dia telah menciderai tiga anak kucing merah.

Ken Parantili sunggingkan seringai mengejek. “Pukulan Harimau Dewa memang sakti. Tapi tidak cukup sakti untuk membunuh delapan anak kucing merah! Bukankah kau hanya mampu menciderai tiga saja dari mereka? Kalau tidak percaya silahkan buktikan sendiri! Cepat serang diriku!”

“Edan, bagaimana dia tahu kejadian itu!” Maki Wiro dalam hati. Merasa ditantang, penasaran Pendekar 212 lipat gandakan tenaga dalamnya ketika melihat di seberang sana Ken Parantili Kembali melancarkan serangan. Delapan larik sinar merah menggebubu. Wiro balas menghantam dengan Pukulan Harimau Dewa yang sudah disiapkan. Satu gelombang sinar putih dan dua larik cahaya hijau menggelegar.

“Bieepp! Bleepp! Bleepp!”

Seperti pelita ditiup angin, cahaya putih dan dua larik sinar hijau luruh ke tanah. Sebaliknya delapan cahaya merah Pukulan Cakar Sukma Merah terus menderu ke arah sang pendekar. Wiro serta merta melompat ke udara selamatkan diri. Delapan cahaya merah menghantam batu besar dimana dia tadi berada. Batu besar menyala terang lalu blaaarr! Pecah berkeping keping.

Di udara Wiro merasa getaran hebat menyungkup udara, membuat tubuhnya bergoyang. Dia tidak dapat mengimbangi diri. Walau mampu mencapai salah satu batu besar, namun dia jatuh tertelungkup. Untuk beberapa ketika dia merasa sekujur tubuh kesemutan.

Dalam keadaan seperti itu di depannya Ken Parantili tertawa bergelak berkacak pinggang. Tawa lenyap, dua tangan dipentang, delapan jari berbentuk cakar dijentikkan. Delapan cahaya merah berkiblat luar biasa ganas dan cepat! Kali ini Wiro benar-benar tidak punya kesempatan untuk selamatkan diri atau menangkis serangan.

Dalam keadaan maut hanya tinggal sekejapan mata lagi, Wiro ingat pada apa yang dilakukan Ken Parantili sewaktu diserang dengan Pukulan Delapan Cakar Sukma Merah oleh Selir Ketiga Windu Resmi! Tenaga dalam dialirkan ke tangan kiri kanan. Sepuluh jari berubah laksana sepuluh batangan besi. Lalu... crasss! Wiro hunjamkan sepuluh jari tangan ke batu hitam di atas mana dia tertelungkup! Asap hitam mengepul! Batu besar yang berlobang delapan kemudian hancur berkeping keping! Di seberang sana terdengar jeritan Ken Parantili!

EMPAT BELAS

TUBUH Selir Pertama Penguasa Atap Langit itu mencelat ke udara setinggi tujuh tombak. Pakaian putihnya mengepulkan asap kelabu. Rambut, sepasang mata memancarkan cahaya merah. Sebaliknya delapan jari tangan yang sebelumnya berwarna merah kini tampak hitam gosong. Sambil melayang turun, Ken Parantili membuat gerakan-gerakan silat, memukul dan menendang, menimbulkan suara angin berkesiuran. Mulut meniup tiada henti. Dari mulut itu membersit keluar kepulan asap merah.

Terhuyung-huyung Ken Parantili jejakkan dua kaki di atas sebuah batu besar. Warna merah di rambut dan mata serta warna hitam di delapan jari tangan lenyap. Wajah masih agak pucat namun mulut melayangkan senyum. Lalu terdengar suaranya menyanyi!

Manusia diberi akal
Mengapa tidak mau berpikir?
Di dalam setiap kejadian
Selalu ada pelajaran


“Benar-benar edan! Masih bisa bernyanyi dia!” Rutuk Pendekar 212.

“Wiro, aku bersyukur kau masih mengingat kejadian di Telaga Bersuci dan Bersegar Diri. Kalau kau terlambat menancapkan sepuluh jari ke dalam batu, mungkin kau tak bakal lolos dari kematian.”

Wajah Wiro berubah. Ada kemarahan dalam hatinya. “Jadi begini caranya kau memohon budi dengan membahayakan nyawa orang?!”

“Wiro, apa kau tidak sadar kalau barusan kau telah menguasai ilmu menangkal serangan Delapan Cakar Sukma Merah”

“Apa?!” Wiro terkejut.

“Setiap kau diserang dua Sinuhun atau kaki tangannya dengan ilmu jahat yang memancarkan delapan cahaya merah, apapun nama ilmunya, jika kau menancapkan sepuluh jari ke batu maka semua serangan akan musnah dan balik menciderai si penyerang.”

“Bagaimana kalau tidak ada batu?” Tanya Wiro pula.

“Kau bisa menancapkan sepuluh jari tanganmu ke tanah atau ke pohon atau dinding bangunan, bahkan ke dalam air seandainya saat itu kau berada di tengah sungai, di dalam danau atau di laut.”

Wiro menggaruk kepala dan bertanya lagi. “Bagaimana kalau tidak ada tanah, tidak ada pohon, tidak ada bangunan, juga tidak ada air?”

“Mana mungkin? Seseorang selalu akan menginjak tanah atau berada di dalam atau dekat bangunan, di dekat pohon, di dalam sungai atau laut atau telaga…“ Ujar Ken Parantili pula.

Wiro goyangkan tangan. “Semisal aku diserang lalu melompat ke udara. Selagi melayang di udara datang serangan delapan cahaya merah! Nah, aku mau menusuk apa? Mau menusuk langit?”

Mendengar ucapan Wiro, Ken Parantili tertawa lalu menjawab. “Kalau di sekitarmu memang tidak ada apa-apa selain dirimu, maka tusukkan sepuluh jari tanganmu ke dada sendiri.”

“Batu saja bolong dan hancur apa lagi tubuh butut sepertiku!”

Ken Parantili tersenyum. “Kalau tidak percaya mari kita coba. Kau melompatlah ke udara sampai lima tombak. Lalu aku akan menyerangmu dengan Delapan Cakar Sukma Merah.”

Wiro gelengkan kepala. “Tidak, tidak usah. Aku percaya padamu.” Kata sang pendekar lalu dia melompat ke batu besar di samping batu dimana Ken Parantili berdiri. “Kau tidak apa-apa?”

“Tadi dadaku mendenyut sakit sedikit. Sekarang sudah tidak lagi.”

“Aku salah menduga. Aku minta maaf. Aku juga berterima kasih kau memberikan ilmu hebat padaku. Apakah setiap orang yang diserang dengan delapan cahaya merah bisa mempergunakan cara itu untuk menangkal serangan?”

Ken Parantili mengangguk. “Syaratnya cuma satu. Dia punya tenaga dalam untuk mampu menusuk benda keras.”

“Aku sangat berterima kasih padamu. Yang kau lakukan apakah itu yang kau sebut balas datang lebih dulu, budi menyusul kemudian?”

Ken Parantili tersipu. “Ternyata kau masih ingat nyanyian itu.”

“Tusukan sepuluh jari. Berarti itu jurus pamungkas untuk menghancurkan serangan delapan cahaya merah…”

“Kira-kira begitu,” sahut Ken Parantili.

Wiro menggaruk kepala. “Lain kali kalau mau memberikan ilmu, jangan memakai cara berbahaya seperti itu. Celanaku bisa kedodoran saking kaget!”

“Kenapa tidak dibuka sekalian?!” Ujar sang selir.

“Hah! Apa?!” Wiro mendelik tapi senyum-senyum.

“Wiro, kalau ilmu kesaktian bisa didapat secara mudah, dunia ini bisa kacau balau! Orang-orang tolol dan jahat bisa mempergunakan sekehendak hatinya.”

“Kau betul juga,” kata Wiro pula. “Aku ingin bertanya lagi. Pada waktu kau diserang Selir Ketiga dan kau pergunakan jurus menancap sepuluh jari ke batu, selir yang memalsukan diri itu berganti rupa dan akhirnya menemui ajal. Tadi aku melakukan hal yang sama, Tapi mengapa kau hanya mengalami cidera sedikit, tidak sampai menemui kematian? Apa karena kau memiliki kesaktian luar biasa?”

“Aku tidak punya ilmu apa-apa…” Jawab Ken Parantili.

“Jangan merendah.”

“Rambutku masih melekat di tubuhmu. Itu yang melindungi diriku”, menjelaskan Ken Parantili. “Ilmu Pamungkas penangkal serangan delapan cahaya merah tidak akan memiliki kekuatan menghancurkan atau membunuh jika orang Yang diserang memiliki bagian tubuh atau pakaiannya pada diri si penyerang.”

Wiro goleng-goleng kepala, “Benar-benar aneh. Sekarang kita mau melakukan apa? Ada beberapa pertanyaan lagi. Waktu datang di Plaosan kau berlanji akan memberi tahu…“

“Apapun yang akan kau tanya akan aku jawab setelah kita kembali ke tempat tidur di dalam Puri Kesatu.” Jawab Ken Parantili.

“Jadi…” Wiro tidak bisa lanjutkan ucapan.

Ken Parantili meniup ke arah wajahnya, Saat itu juga Wiro merasa dua matanya menjadi berat dan perlahan-lahan tertutup. Di kejauhan masih terdengar sayup-sayup suara alunan gamelan.

* * *

KETIKA mata dibuka, Wiro dapatkan dirinya kembali terbaring di atas ranjang dalam kamar ketiduran Ken Parantili. Dia berpikir-pikir. “Heran, aku berpindah tempat dan waktu diluar kekuasaanku. Apakah selir itu yang melakukan? Kalau ilmu kesaktiannya begitu tinggi, tidak dapat kubayangkan, bagaimana tingginya ilmu kesaktian Penguasa Atap Langit.”

Seperti sebelumnya, suasana di dalam ruangan itu redup. Selir Pertama sang penguasa dilihatnya berada di ujung tempat tidur, duduk di atas bantalan kasur empat persegi. Cahaya putih kebiruan yang membalut membuat tubuhnya seolah sama sekali tidak mengenakan selembar benangpun. Wiro raba sekujur badan. Ternyata dia masih mengenakan pakaian lengkap. Walau demikian sang pendekar diam-diam merasa tegang.

“Kali ini pasti dia akan melaksanakan apa yang dikatakannya waktu di Plaosan. Minta aku menidurinya…”

Namun apa yang diduga Wiro tidak menjadi kenyataan. Di ujung kaki tempat tidur Ken Parantili berkata. “Sekarang silahkan kau mau menanyakan apa.”

“Apakah aku boleh bicara sambil duduk menyandarkan punggung dan kepala ke dinding di belakang tempat tidur?” Tanya Wiro.

“Tidak, kau harus tetap berbaring sampai saat kemunculan Penguasa Atap Langit.” Jawab Ken Parantili. “Apa yang ingin kau tanyakan?”

“Anak perempuan yang menurutmu berada di angan bocah lelaki bernama Dirga Purana. Dimana aku bisa menemukannya?”

“Tidakkah kau akan lebih dulu mencari dan menyelamatkan gurumu?” Tanya Ken Parantili.

“Menurutmu anak perempuan itu yang perlu diselamatkan lebih dulu. Karena kehormatannya terancam. Kalau guruku siapa yang mau memperkosa nenek peot, kurus kering dan bau pesing itu?”

Ken Parantili tertawa cekikikan. “Berdosa kau mengatakan gurumu seperti itu. Aku belum pernah melihat tapi dari kabar yang aku dengar gurumu adalah seorang gadis cantik bertubuh elok.”

Kini Wiro yang ganti tertawa. “Kau mau memberi tahu?”

“Anak perempuan itu disekap dalam sebuah goa di belakang air terjun di satu rimba belantara. Orang biasa termasuk dirimu dan juga aku tidak akan sanggup menemukan tempat itu. Karena air terjun dan goa tidak bisa terlihat oleh mata biasa. Selain itu jarang ada orang yang mampu menerobos melewati curahan air terjun”

“Lalu apa yang harus aku lakukan? Jika kau selamat dari kematian, apakah kau mau menolong menunjukkan tempat itu.”

“Satu satunya orang luar yang bisa menemukan air terjun dan goa itu adalah nenek cantik bernama Ratu Randang…”

“Kalau begitu aku akan minta tolong padanya.”

“Memang bisa. Tapi dia tidak mampu membendung atau melewati air terjun. Di Bhumi Mataram hanya ada empat mahluk yang mampu menahan curahan air terjun. Sinuhun Muda Ghama Karadipa dan Sinuhun Merah Penghisap Arwah lalu bocah sakti Dirga Purana dan Penguasa Atap Langit. Konon ada mahluk ke lima. Namun aku tidak tahu siapa dia adanya.”

“Kau tidak memiliki ilmu penangkal untuk mampu menembus melewati air terjun? Atau mungkin kau tahu jalan rahasia di belakang goa?”

Ken Parantili menggeleng. “Mohon dimaafkan. Kau terpaksa mencari akal dan berusaha sendiri untuk melakukan hal itu.”

“Menurutmu Penguasa Atap Langit akan mengambil anak perempuan itu sebagai selir pengganti dirimu. Lalu apa perlunya susah-susah mencari goa di balik air terjun segala?! Aku bisa mencegatnya di sini.”

“Maksud Penguasa Atap Langit mengambil anak perempuan itu jadi selir baru tidak akan kesampaian. Karena kalau dia tidak bisa membunuhku, semua ilmunya akan amblas bahkan dia bisa-bisa menemui ajal!”

“Lalu bagaimana dengan guruku. Kau tahu dia berada dimana?”

“Menurut yang aku dengar, setelah merampas kapak sakti milikmu dan menyerahkannya pada Sinuhun Merah Penghisap Arwah gurumu diberikan sedikit kebebasan, tidak disekap lagi. Meskipun demikian dia tidak bisa pergi kemana mana karena tetap berada dibawah kendali dua Sinuhun. Dibantu pula oleh Dirga Purana. Dia dipersiapkan untuk membunuhmu kalau kau berani muncul menyelamatkannya.”

“Aku sudah tahu hal itu karena Sinuhun Merah Penghisap Arwah telah mencuci otaknya dengan Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak.” Wiro tiba-tiba terdiam, menggaruk kepala lalu berkata. “Ada yang aneh. Mengapa kebanyakan hampir semua ilmu yang hebat-hebat dari Dua Sinuhun dan bocah bernama Dirga Purana itu selalu memakai angka delapan. Sepertinya ada rahasia dibalik angka delapan itu.”

Ken Parantili menggeliat lalu berdiri dari duduknya. Dua kaki terkembang, kepala mendongak. Ketika dia menarik nafas dalam-dalam dadanya tampak membusung. Namun semua gerakan itu tidak dilihat Wiro karena dia tidak mau memandang ke arah kaki tempat tidur. Sang pendekar menahan nafas ketika Ken Parantili melangkah di atas tempat tidur, mendekati dirinya. Wiro pura-pura memejamkan mata. Dia tahu kalau sang selir tengah memandangi dirinya. Terasa tempat tidur goyang. Wiro tak berani bergerak. Bernafaspun ditahan-tahan! Dalam hati dia berulang kali menyebut.

“Gusti Allah… Gusti Allah…”

LIMA BELAS

DI ATAS atap Puri Kesatu kembali terdengar suara tiga Kelelawar Raksasa lewat. Kepakan sayap menggetarkan bangunan, Lalu menyusul suara hiruk puluhan mahluk Arwah Hitam Putih. Rupanya atas perintah Penguasa Atap Langit mereka terus melakukan pengawasan.

Wiro beranikan membuka mata. Bau harum sosok Ken Parantili tidak terlalu santar lagi. Wiro melirik ke samping. Ternyata selir itu tidak ada lagi di sebelahnya. Lalu Wiro mendengar suara kibasan lengan baju, angin pukulan dan tendangan disertai suara hembusan nafas. Ruangan bergetar hebat. Tempat tidur berderak. Tiga jambangan bunga Mawar di atas meja bergoyang-goyang. Begitu juga seloki besar berisi cairan kuning. Udara terasa panas. Ketika dia menatap ketengah ruangan Wiro melihat Ken Parantili mengambang di udara, bergerak cepat kian kemari, memainkan jurus-jurus silat aneh.

“Ken Parantili, apa yang kau lakukan?” Wiro bertanya sambil bergerak duduk.

Yang ditanya tidak menjawab. Setelah dua puluh jurus berlalu baru Ken Parantili berhenti. Perlahan-lahan dia kembali duduk diatas bantalan kasur di kaki tempat tidur. Wajah cantik berkeringat. Setelah merasa tenang dan menarik nafas panjang selir Pertama Penguasa Atap Langit itu berkata.

“Beban batinku terlalu berat. Aku harus mengeluarkannya dari dalam tubuhku. Aku bukan saja berperang menghadapi batinku sendiri tapi juga melawan kehebatan batinmu…”

Wiro terdiam sesaat. “Sahabat, kau berhasil melewati saat-saat sangat sulit. Bersyukurlah Gusti Allah menolong kita berdua dari perbuatan…”

“Siapa Gusti Allah?” Ken Parantili memotong.

“Dia Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih dan Maha Pelindung. Yang menjadikan langit serta bumi. Yang menciptakan kita semua…”

“Aku tidak mengerti. Bukankah…”

“Kita hidup di kurun waktu yang berbeda sangat jauh. Nanti kalau ada kesempatan aku akan menjelaskan.” Kata Wiro pula.

Setelah termenung berdiam diri beberapa ketika, Ken Parantili berkata. “Wiro, apa kita akan melanjutkan pembicaraan. Atau sudah cukup dan tinggal menunggu kedatangan Penguasa Atap Langit?”

Saat itu Wiro masih mendengar suara alunan gamelan di kejauhan. “Kau belum menjawab pertanyaanku tentang angka delapan.” Menjawab Wiro.

“Angka delapan adalah tingkat kesaktian paling tinggi yang ada dalam ilmu yang dimiliki dua Sinuhun dan Dirga Purana…”

“Bagaimana dengan Penguasa Atap Langit? Berapa tingkatan ilmu kesaktiannya?”

“Sama, delapan juga. Hanya kadarnya lebih tinggi. Sebagian ilmu yang dimiliki dua Sinuhun dan Dirga Purana berasal dari Penguasa Atap Langit. Namun setahuku selama ini Penguasa Atap Langit tidak pernah meninggalkan Negeri Atap Langit dan mempergunakan ilmu kesaktiannya. Terus terang dia mahluk hitam putih. Maksudku terkadang baik terkadang jahat. Kejahatan utamanya sampai saat ini adalah selalu membunuh Selir Pertama setiap enam bulan sekali.”

“Aku punya dugaan. Penguasa Atap Langit membunuh Selir Pertama setiap enam bulan serta mencari selir baru yang lebih muda bukan karena nafsu semata…”

“Kau betul, Wiro. Dia melakukan itu juga untuk melanggengkan semua ilmu kesaktian yang dimilikinya, Agaknya itu merupakan tuntutan atau syarat ilmunya.”

“Sekarang, apakah kau mengetahui dimana Guruku berada?”

“Cerita yang aku dengar dari Penguasa Atap Langit gurumu dipasung dengan rantai panjang di sebuah rawa buaya. Rantai itu bernama Rantai Kepala Arwah Kaki Roh. Dijaga oleh delapan mahluk alam arwah bernama Tabir Delapan Mayat Kadang-kadang satu mahluk alam roh yang datang dari negeri asalmu ikut menjaga. Mahluk ini disebut sebagai Kesatria Roh Jemputan…”

“Di negeri delapan ratus tahun mendatang dia disebut Pangeran Matahari. Dosa kesalahannya selangit tembus. Dia menemui ajal di tangan sekian banyak musuh besarnya. Termasuk aku dan guruku.”

“Kesatria Roh Jemputan selalu mencari kesempatan untuk membunuh gurumu. Tapi takut melangkahi dua Sinuhun karena belum dapat perintah. Dua Sinuhun akan memanfaatkan gurumu habis-habisan sebelum membantainya.”

“Ken Parantili, sebelumnya kau mengatakan mudah saja bagiku untuk mengetahui dimana guruku berada. Kau mau mengatakan bagaimana caranya?”

“Sahabat, lagi-lagi kau harus minta bantuan nenek cantik Ratu Randang. Ketika gurumu membelah dada dan mengambil kapak dari dalam dadamu…”

“Tunggu, aku tidak melihat sendiri kejadian itu karena dalam keadaan pingsan. Yang menyaksikan justru empat sahabat. Apa guruku juga mengambil batu hitam sakti yang ada dalam tubuhku?”

Ken Parantili merenung sejenak baru menjawab. “Sesuai cerita Penguasa Atap Langit yang mengetahui kejadian itu lewat salah satu mahluk Arwah Putih, yang keluar dari dalam tubuhmu hanya kapak sakti. Tunggu, coba aku jajagi lagi…”

Selir Pertama Penguasa Atap Langit pejamkan mata. Kepala didongakkan dan dada dibusung sambil menarik nafas. Wiro merasa mata seolah silau dan dada bergetar melihat sosok Ken Parantili dalam keadaan seperti itu, Cepat-cepat dia tundukkan kepala. Lalu didengarnya suara perempuan muda itu berkata.

“Aku hanya melihat samar. Peristiwanya cukup lama. Ketika seorang kakek memasukkan kapak sakti ke dalam tubuhmu, sebelumnya dia telah lebih dulu memasukkan sebuah batu hitam ke dalam kapak. Batu dan kapak telah menyatu. Hanya itu yang bisa aku jelaskan padamu…”

Wiro tercengang. “Kiai Gede Tapa Pamungkas yang memasukkan kapak sakti ke dalam tubuhku. Eyang Sinto ikut menyaksikan. Tapi mereka tidak memberi tahu kalau batu hitam sakti sudah lebih dulu disatukan ke dalam kapak. Berarti untuk mengeluarkan semburan api, kapak dan batu tidak perlu digosokkan lagi satu sama lain. Ken Parantili, aku sangat berterima kasih padamu. Kau telah memberi balas, aku belum menanam budi.”

“Saatnya akan tiba. Ada lagi yang ingin kau tanyakan?” Jawab Ken Parantili.

“Tadi kau mengatakan bahwa untuk menemukan dimana guruku berada, lagi-lagi aku harus minta pertolongan Ratu Randang. Kau bisa menjelaskan?”

“Ketika gurumu mengambil kapak sakti dari dalam dadamu, dua tangannya meninggalkan bekas di tubuhmu. Ratu Randang memiliki ilmu yang disebut Tanpa Mata Mengandalkan Penciuman. Dengan ilmu itu kau bisa menjajagi dimana beradanya gurumu.”

“Luar biasa! Ken Parantili kau sungguh luar biasa… Aku tidak memikir sampai ke situ!”

“Wiro, kau bisa mudah menemukan tempat gurumu dipasung. Tapi tidak mudah untuk menyelamatkannya. Karena nenek itu telah dicekoki Ilmu Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak. Ilmu hitam itu yang harus dimusnahkan lebih dulu.”

Wiro menggaruk kepala. Mau bertanya lagi agak sungkan karena dari tadi terus terusan bertanya. Namun Ken Parantili malah keluarkan ucapan.

“Bukankah kau memiliki delapan bunga Matahari?”

Wiro mengangguk.

“Jika gurumu bisa menelan satu saja dari delapan bunga maka dia akan sembuh. Tapi hal itu mungkin sulit dilakukan. Ada cara lain. Rendam delapan bunga itu dalam air. Satu kendi kecil saja sudah cukup. Jika kau dapat mengguyurkan air ke kepala gurumu, maka ilmu jahat yang menguasai dirinya akan lenyap. Aku menyarankan agar kau melakukan cara kedua. Delapan bunga Matahari utuh kelak akan kau pergunakan untuk menghadapi Delapan Tabir Mayat. Kau harus menjaga delapan bunga itu baik-baik. Karena delapan bunga sesungguhnya adalah delapan pocong gadis cantik. Jika kau melantunkan sepenggal nyanyian maka mereka akan keluar dari dalam bunga. Dengan kehendak Yang Maha Masa mereka akan melakukan apa saja yang kau inginkan. Terutama menolong dan menjaga keselamatan dirimu. Tetapi ingat, dia hanya bisa dipanggil dan dimintai pertolongan sebanyak satu kali.”

Wiro keluarkan delapan bunga Matahari kecil dari balik pakaian. Bunga diusap, diciumi lalu sang pendekar berkata. “Aku tidak pernah tahu kalau di dalam delapan bunga ini sesungguhnya ada mahluk hidup. Ken Parantili, apa nyanyian yang harus aku lantunkan agar delapan pocong keluar dari dalam bunga?”

“Nyanyiannya mudah dan sederhana saja. Kau tinggal mengucapkan kata tapi dalam nada nyanyian. Misalnya : Delapan Pocong gadis cantik. Keluarlah dari dalam bunga Matahari. Aku sahabatmu perlu pertolongan kalian.”

“Jika mereka sudah menolong, apa yang harus aku lakukan untuk mereka?” Bertanya Wiro.

“Tidak ada. Mereka memberikan pertolongan tanpa pamrih. Habis menolong mereka akan masuk kembali ke dalam bunga Matahari.” Jawab Ken Parantili.

“Apakah aku bisa mencobanya sekarang?”

“Bisa saja. Tapi ingat, kau tidak bisa meminta mereka keluar untuk kedua kali.” Jawab Ken Parantili. Baru saja selir ini selesai berucap tiba-tiba dia tampak tersentak. Paras berubah.

“Ada apa?” Tanya Wiro.

“Tidakkah kau dengar suara alunan gamelan mulai terdengar mengeras?”

“Aku mendengar” Jawab Wiro.

"Itu pertanda Penguasa Atap Langit sudah bersiap-siap meninggalkan Puri Agung. Jika suara gamelan kemudian berubah perlahan itu tanda dia tengah menuju ke sini. Kalau suara gamelan lenyap, pertanda dia sudah ada di dekat Puri Kesatu. Siap masuk. Wiro, waktuku tak lama lagi…”

“Apa yang harus aku lakukan untuk menolongmu?” Wiro melompat turun dari tempat tidur.

“Peluk aku sekali lagi. Sebentar saja. Agar batinku lebih kuat menghadapi ujian besar ini. Setelah itu…”

Belum sempat Ken Parantili menyelesaikan ucapan, tiba-tiba di luar sana terdengar suara teriakan lantang.

“Penguasa Atap Langit! Ada penyusup masuk ke dalam Kawasan Atap Langit! Berhati-hatilah!”

Ken Parantili terlonjak kaget. Selir ini cepat turun dari bantalan kasur, berdiri di hadapan Wiro dengan wajah tampak mendadak pucat.

“Siapa yang berteriak?” tanya Wiro.

“Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Ada yang tidak beres. Bagaimana dia bisa tahu…” Ucap Ken Parantili dengan suara gemetar.

“Boleh aku memelukmu sekarang?” Tanya Wiro.

Ken Parantili maju lebih mendekat. Wiro cepat rangkul perempuan ini. Sambil memeluk dia mencium kepala Ken Parantili. “Kau banyak memberi tahu hal yang sangat menolong. Aku berterima kasih. Katakan apa yang harus aku lakukan.”

Ken Parantili benamkan wajah ke dada Pendekar 212 lalu angkat kepalanya. “Kita harus segera masuk ke dalam kamar di sebelah. Aku harus sudah ada di atas tempat tidur ketika Penguasa Atap Langit datang. Apa yang harus kau lakukan nanti akan aku beri tahu…”

Di luar sana kembali terdengar suara teriakan. “Penguasa Atap Langit! Ada penyusup masuk ke Kawasan Atap Langit! Kau menghadapi bahaya besar!”

S E L E S A I

Sanggupkah Wiro menolong Ken Parantili dari pembunuhan yang akan dilakukan oleh Penguasa Atap Langit? Mampukah sang pendekar menyelamatkan Ni Gatri dan Eyang Sinto Gendeng? Ikuti serial selanjutnya:

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.