Si Cantik Dari Tionggoan
Prolog
"Saudara Wie, apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan terhadapku?" tanya Loan Nio Nikouw. Tangan kiri menutup pada pakaian yang tersingkap. Tangan kanan merabah kepunggung.
"Dimana pedangku?"
Tiba-tiba ada seseorang muncul dimulut goa. Loan Nio. Bangsat nerambut gondrong itu barusan hendsk memperkosamu. Untung aku datang. Dia pula yang mencuri prdang naga merah milik mu..."
"Saudara Wie benar... benar?!"
"Benar apa Nio?"
"Kau hendak memperkosaku! Kau mencuri pedang naga merah...!"
"Nio Nio, aku belum gila melakukan hal bejat. Itu pasti bangsat muka tengkorak ini mengarang cerita mengumbar mulut fitnah...!"
"Saudara Wie. Aku tidak menyangka, begitu bejat budi pekerti mu! Aku mengira kau seorang sahabat yang bisa dimintai tolong! Ternyata kau iblis terkutuk!"
"Nio Nio. Dengar dulu keteranganku..." ucap Wiro.
"Aku tidak butuh keterangan. Aku ingin membunuhmu saat ini juga..."
BAB SATU
Pendekar 212 Wiro Sableng beberapa kali mempercepat larinya. Namun nenek rambut kelabu tetap saja terpaut dua tombak di sebelah depan. "Luar biasa. Ilmu lari apa yang dimiliki makhluk jejadian ini. Aku tak mampu mendekati..." ucap Wiro dalam hati.
Setelah berlari cukup jauh. di satu jalan berbatu-batu dan menurun serta dipenuhi pohon cemara hutan, dari arah depan muncul nenek kedua, kembaran nenek yang tengah diikuti Wiro.
"Hahu ha-hu." Nenek yang muncul keluarkan ucapan gagu sambil tangan kiri menunjuk-nunjuk ke jalan berliku-liku di bawah sana.
"Ha-hu ha-hu." Nenek satunya keluarkan suara sama. Dia memberi tanda pada Wiro lalu ikuti saudara kembarnya.
Wiro segera pula membuntuti dua nenek kembar Eyang Sepuh Kembar Tilu, seorang nenek sakti yang tempo hari tewas di tangan pembunuh misterius (Baca episode sebelumnya berjudul Dadu setan)
Makin ke bawah jalan yang ditempuh semakin terjal. Batu-batu besar menghadang di setiap sudut Dua nenek kembar enak saja melompat, melayang dan melesat Jubah kuning mereka tampak berkibar-kibar ditiup angin dan keluarkan suara berkasiuran saking cepatnya mereka berkelebat Wiro ketinggalan jauh di belakang. Dia hendak berteriak agar dua nenek jangan lari terlalu cepat Namun urungkan niat karena tiba-tiba dia mendengar sayup-sayup suara tiupan seruling.
Dua nenek kembar saat itu sudah lebih dahulu hentikan lari dan berlindung dibalik satu batu cadas besar. Begitu Wiro mendekat keduanya menunjuk ke arah kelaunan. Mulut mereka hendak keluarkan suara ha-hu ha-hu tapi Wiro cepat memberi tanda agar dua nenek ini jangan bersuara.
Di arah yang ditunjuk, sekitar dua puluh tombak di bawah sana terdapat sebuah situ atau telaga yang airnya sangat jernih, memiliki dua warna. Yaitu biru dan hijau. Warna ini bukan lain adalah pantulan dari pepohonan serta tanam-tanaman yang tumbuh di sekeliling telaga.
Di tepi telaga sebelah timur, tepat arah jatuhnya cahaya sang surya siang hari itu, terapung sebuah rakit bambu. Di atas rakit Ini ada bagian yang menyerupai kursi panjang. Di atas kursi bambu inilah tampak duduk seorang perempuan berpakaian merah berkembang kecil-kecil biru dan kuning. Asyik meniup seruling berwarna putih dan dari jauh kelihatan berkilauan terkena cahaya matahari.
Karena agak jauh Wiro tidak dapat memperhatikan jelas, apalagi melihat wajah orang. Selain itu di bawah topi biru yang dikenakan wajah perempuan ini tertutup untaian manik-manik merah yang menjulai sampai ke bawah dagu. Di punggungnya tergantung sebilah pedang bersarung merah dan selembar papan seluncur.
Tiupan seruling perempuan berbaju merah di atas rakit mengalun lembut namun sanggup menimbul kan bulatan-bulatan riak tak berkeputusan di permukaan air telaga serta mendatangkan getaran halus pada aliran darah Pendekar 212. Pengaruh tiupan seruling membuat dua nenek kembar saling pandang dan mengusap muka berulang kali.
"Perempuan baju merah itu memiliki hawa sakti dan tenaga dalam tinggi..." ucap Wiro perlahan.
Salah seorang nenek kembar menggerak-gerakkan tangan kanan ke atas kebawah sementara tangan kiri mengacungkan jempol.
"Ya, ya. Aku mengerti. Kau hendak mengatakan orang itu juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat" kata Wiro pula. "Kalian berdua tunggu di sini. Aku akan turun menemui perempuan itu."
Wiro dongakkan kepala, menarik nafas dalam-dalam melalui hidung. Saat itu dia mencium bau harum semerbak. Rasa-rasanya dia pernah mencium bau harum seperti ini sebelumnya. Wiro memandang pada dua nenek kembar.
"Aku yakin dia yang telah menolong diriku sewaktu dilibat pohon beringin jejadian ujud sialan Ki Beringin Reksa. Tubuhnya menebar bau harum yang sama.
Dua nenek sama-sama mengangguk. Yang satu memberi tanda dengan gerakan tangan agar Wiro berlaku hati-hati. Baru saja Wiro keluar dari gundukan batu cadas, suara tiupan seruling mendadak berhenti. Wiro tahan gerakannya. Mata menatap tajam ke arah orang di atas rakit. Si baju merah Ini sama sekali tidak menggerakkan tubuh atau kepala.
"Dia tidak memandang berkeliling. Tapi dari tubuh dan kepala yang tidak bergerak sama sekali agaknya dia sudah tahu aku ada di sini." Pikir Wiro. Sang pendekar menunggu.
Perempuan di atas rakit kembali meniup sulingnya. Wiro cepat berkelebat di antara batu-batu besar hingga akhirnya sampai di tepi sebelah selatan telaga. Dari sini dia segera hendak lari ke arah timur. Namun lagi-lagi gerakan pendekar 212 tertahan. Kali ini bukan oleh gerak-gerik perempuan di atas rakit namun karena berkelebatnya satu bayangan biru dari balik sebuah batu besar antara tempat dia berada dan rakit di tepi telaga. Wiro cepat menyelinap ke balik semak belukar lebat.
"Loan Nio! Akhirnya kutemui juga kau!" Satu suara seruan menggelegar di seantero telaga.
Menatap ke arah timur Wiro melihat seorang berpakaian ringkas serba biru berdiri di tepi telaga, hanya terpisah satu tombak dengan rakit. Hebatnya, orang berambut hitam lebat panjang dan dijalin ke belakang ini memiliki wajah berbentuk tengkorak. Di balik punggungnya tersembul gagang sebilah pedang. Dari bentuk pakaian, Wiro mengetahui bahwa siapapun adanya dia adalah seorang pendekar silat berasal dari daratan Tiongkok.
Perempuan di atas rakit tampak terkejut Tapi agaknya dia bisa menguasai diri. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Suling perak diselipkan pada selendang yang terbelit di pinggangnya yang ramping. Ingin melihat lebih jelas dan juga ingin tahu apa yang dibicarakan kedua orang itu, Wiro bergerak mendekat. Namun dia hanya bisa garuk kepala karena dua orang tersebut bicara dalam bahasa yang tidak dimengertinya. Bahasa Tionggoan.
"Ong Cun. bagaimana kau bisa berada di tempat ini?" Perempuan di atas rakit bertanya.
"Loan Nio, aku sudah lama menyirap kabar bahwa kau akan berangkat ke tanah Jawa ini. Setelah mencari tahu dari teman-teman pulau dan kota mana yang kau tuju, aku berangkat mendahului." Orang bermuka tengkorak menjawab.
"Kau pergi sejauh ini. Apakah tidak hanya membuang waktu percuma?"
"Aku sudah berbulat tekad bahkan bersumpah. Aku akan mencarimu sampai dapat. Aku akan mengikutimu kemana kau pergi."
"Untuk apa?" tanya perempuan yang dipanggil dengan nama Loan Nio dan bukan lain adalah seorang paderi perempuan yang di Tionggoan selatan dikenal dengan nama Kiang Loan Nio Nikouw.
"Loan Nio, jangan kau berkura-kura dalam perahu. Berpura-pura tidak tahu. Tiga tahun lebih aku mengikutimu. Aku tidak akan berhenti mengejarmu sebelum kau menyatakan diri mau menerima tali perjodohan denganku."
Habis berkata begitu lelaki berpakaian biru yang rambutnya dikepang dan berwajah tengkorak ini melompat ke atas rakit. Gerakkannya enteng, tubuhnya seringan kapas. Rakit yang dijejaki tidak bergoyang barang sedikitpun.
"Ong Cun, kau sudah tahu. Aku sudah menjadi seorang paderi. Jangan..."
"Loan Nio, itu dalihmu dari dulu. Lalu apakah seorang Paderi tidak boleh nikah?"
"Memang tidak ada larangan. Tapi aku telah memutuskan dan memilih menjauhi segala urusan keduniaan."
Liok Ong Cun tertawa bergelak. "Kau berdusta. Kau menipu dirimu sendiri. Kedatanganmu kemari jelas-jelas adalah untuk urusan dunia. Apa kau kira aku tidak tahu sangkut pautmu dengan benda yang kau cari? Dua buah dadu yang oleh orang-orang di daratan Tiongkok sudah dianggap sebagai dadu setan dan harus dimusnahkan? Apa kau kira aku tidak tahu kau telah memperalat beberapa tokoh kang ouw. Dan semua mereka telah menemui kematian secara sia-sial Bun Pek Cuan, Siauw Chie, Hek Chiu Mo...!"
Walau agak kaget bahwa orang dihadapannya tahu banyak tentang perjalanannya ke tanah Jawa namun paderi perempuan itu bersikap tenang dan menjawab. "Aku hanya menjalankan tugas dari Wakil Ketua Siauw Lim-pai."
"Aku tahu tugas itu. Tapi sambil menyelam kau sekaligus minum air. Sambil menjalankan tugas kau kesini adalah untuk mencari kekasihmu di masa kanak-kanak dulu. Bukan begitu?! Jangan kau kira aku tidak tahu riwayat dirimu sejak kau baru lahir sampai saat ini..."
Wajah paderi perempuan yang tertutup di balik cadar untaian manik-manik tampak bersemu kemerahan. "Ong Cun, aku tidak mau bicara lagi denganmu. Pergilah. Aku ingin sendirian di tempat ini."
"Menunggu kedatangan kekasihmu?" ucap Liok Ong Cun penuh mengejek. "Loan Nio, dengar baik-baik. Aku tidak akan bergerak setapakpun. Sebelum kau menerima ikatan perjodohan!"
"Ong Cun. kau juga dengar baik-baik dan masukkan ke dalam otakmu!" jawab Loan Nio Nfkouw jadi sengit. "Antara kita selama ini tidak ada hubungan apa-apa. Antara kita tidak akan ada hubungan apapun di masa mendatangi"
Wajah tengkorak Uok Ong Cun mengelam kaku. "Dari pada teganya kau berkata begitu, lebih baik kau bunuh saja diriku saat ini juga..."
"Srettt” Liok Ong Cun yang di Tionggoan dijuluki Ko Lo Khek alias Pendekar Muka Tengkorak cabut pedang yang tergantung di punggung, jatuhkan diri setengah berlutut, pedang yang memancarkan sinar hijau diletakkan di atas rakit, kepala diulur, siap untuk dipenggal, pasrah menerima kematian!
Akan tetapi paderi perempuan itu tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Dengan suara perlahan dia berkata. "Ong Cun, kau telah sesat terlalu jauh. Bukan aku sendiri gadis di dunia ini. Kau bisa mencari yang lain. Yang lebih baik dari diriku. Sarungkan pedangmu kembali. Pedang sakti seperti Ceng Coa Kiam milikmu itu tidak boleh dipakai sembarangan (Ceng Coa Kiam = Pedang Ular Hijau).
"Aku hanya menginginkan dirimu seorang. Kau tahu hal itu Loan Nio. Mengapa kau begitu angkuh tidak mau menerima diriku? Mengapa hatimu sekeras batu? Mengapa kau seolah tidak punya perasaan sama sekalil" Liok Ong Cun masih tetap dalam keadaan setengah berlutut dan kepala dimajukan.
"Sudah, aku tidak mau bicara lagi. Aku sarankan agar kau memencilkan diri di satu tempat bertapa atau bersemadi. Semoga kau diberi kesadaran oleh Thian (Tuhan)..."
"Loan Nio, kita sama-sama kembali saja ke Tionggoan. Mengapa membuang waktu di negeri orang."
"Ong Cun, kau tahu, aku ada urusan di negeri ini. Jika kau Ingin pulang, pulanglah duluan. Kurasakan itu lebih baik bagimu..."
"Loan Nio, jika kau tetap tidak mau memberi jalan dan juga tidak mau menghabisi diriku maka jangan salahkan kalau aku berbuat nekat Aku merasa lebih baik kita mati bersama saja!"
Selesai keluarkan ucapan Pendekar Muka Tengkorak alias Liok Ong Cun ambil pedang hijau yang tergeletak di atas rakit bambu. Lalu didahului satu teriakan dahsyat dia kiblatkan pedang demikian rupa hingga menyambar deras di depan rumbai manik-manik yang menjadi cadar Kiang Loan Nio Nikouw. Jelas yang diincar adalah kepala atau leher sang Nikouw dan jelas pula dia benar-benar hendak menghabisi paderi perempuan yang sangat dicintainya itu.
"Ong Cun! Apa yang kau lakukan ini? Apa kau sudah gila?!" Loan Nio Nikouw cepat cabut seruling perak yang terselip di pinggang.
"Tringg!" Terdengar suara berdering ketika mata pedang hijau saling beradu dengan suling perak. Bunga api memercik hijau dan putih berkilau.
Kiang Loan Nio Nikouw merasa suling perak dan tangan kanannya bergetar. Walau menyadari suling itu bukan tandingan pedang sakti Ceng Coa Kiam milik lawan, namun dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh tenaga dalam serta gerakan yang sangat cepat paderi perempuan itu masih sanggup menghadapi gempuran gencar Liok Ong Cun, malah dua kakinya tidak bergeser sedikitpun dari tempat injakan semula! Ini menjadi bukti bahwa sebenarnya tingkat kepandaian sang paderi berada di atas orang yang nekad hendak membunuhnya.
"Loan Nio! Aku memang sudah gila! Tergila-gila padamu! Aku akan membunuhmu. Setelah itu aku akan bunuh diri! Tidak berjodoh di dunia tidak jadi apa, tapi di alam akhirat kita bisa bersatu!"
BAB DUA
Makin sulit bagi Liok Ong Cun menembus pertahanan lawan yang hanya mengandalkan sebuah suling perak, semakin beringas lelaki muka tengkorak ini menghujani sang paderi dengan bacokan, tusukan serta babatan pedang. Setelah serangan menghabisi jurus ke sembilan dan tidak menghasilkan apa-apa, maka didahului satu teriakan dahsyat Liok Ong Cun kiblatkan pedang Ceng Coa Kiam dalam jurus andalannya bernama Thian Yau Te Soan atau Langit Goyang Bumi Berputar.
Loan Nio Nikouw melihat pedang di tangan Ong Cun menggeletar seperti ular melesat. Dua kakinya yang menginjak lantai rakit terasa bergoyang kesemutan sementara di sebelah atas kepalanya terasa pening.
"Breett!" Ujung pedang berhasil menyambar bahu kiri baju merah Loan Nio Nikouw hingga paderi ini terpekik dan untuk pertama kalinya dia melompat di atas rakit lalu melesat ke daratan.
Dengan sigap Ong Cun mengejar. Pedang Ceng Coa Kiam kembali menggempur. Kali ini dalam jurus Jay Hong Toh Te atau Pelangi Melengkung Ke Bumi. Pedang sakti di tangan Liok Ong Cun menderu deras dan membuat cahaya hijau setengah lingkaran. Benar-benar laksana pelangi jatuh ke bumi sangat berbahaya bagi keselamatan Loan Nio Nikouw yang saat itu masih mengandalkan suling perak dalam menghadapi lawan.
Sebenarnya untuk melindungi diri paderi ini ingin mencabut pedang di punggung. Namun dia merasa khawatir. Pedang Naga Merah bukan senjata sembarangan. Sekali keluar dari sarungnya Liok Ong Cun bisa celaka.
Khawatir si baju merah akan mendapat celaka, Wiro tidak tunggu lebih lama. Namun sebelum dia melesat dua nenek kembar Eyang Sepuh Kembar Tilu mendahului bergerak. Keduanya memberi isyarat pada Wiro dengan gerakan tangan mereka yang akan menolong paderi perempuan itu.
Selesai memberi isyarat dua nenek melesat ke udara. Di depan sana tahu-tahu Liok Ong Cun merasakan dua bahunya ditahan dan ditekan orang lalu tubuhnya tertarik ke belakang hampir terjengkang hingga serangan Jay Hong Toh Te atau Pelangi Melengkung Ke Bumi hanya menderu membabat udara kosong. Saat itu Loan Nio Nikouw yang tengah berpikir-pikir apakah akan mencabut pedang sakti atau tidak tampak terkejut melihat kemunculan dua nenek kembar aneh yang menelikung Liok Ong Cun dari belakang.
"Bangsat rendah! Siapa berani berlaku kurang ajar" Liok Ong Cun berteriak marah dan hantamkan dua sikut tangannya ke belakang.
"Bukk! Bukk...!"
"Ha-hu Ha-hu..."
Dua nenek lepaskan cekalan. Dilabrak sikutan keras tadi keduanya seperti tidak merasakan, padahal sikut kiri kanan Liok Ong Cun mendarat di tubuh mereka dengan telak. Jangankan tubuh manusia, tembokpun bisa jebol.
Liok Ong Cun tidak tahu kalau yang jadi lawannya saat itu adalah dua nenek kembar jejadian. Begitu cekalan pada bahunya terlepas Pendekar Tengkorak segera berbalik dan kiblatkan Ceng Coa Kiam dalam jurus Cia Yan Hoan Sim atau Burung Walet membalik Diri. Pedang ular hijau membabat di udara. Dua nenek keluarkan suara ha-hu ha-hu, cepat selamatkan diri dengan melompat ke atas namun ujung pedang masih sempat membabat robek ujung jubah kuning nenek kembar sebelah kiri.
Liok Ong Cun tak habis pikir siapa adanya dua nenek yang membokong dari belakang itu. Kawan-kawan baru atau kaki tangan Loan Nio?
"Ha-hu ha-hu!" Dua nenek tampak marah. Terutama yang jubahnya robek. Keduanya menggerung keras lalu sama-sama dorongkan dua tangan ke bawah.
"Wuut! Wuut! Wurr! Byaarr...!"
Empat gelombang angin menghantam ke bawah. Tanah di tepi telaga terbongkar, air di pingir telaga muncrat ke atas. Liok Ong cun berteriak keras. Pandangannya tertutup oleh hamburan tanah dan cipratan air telaga. Dalam keadaan seperti itu dia merasa empat tangan bergerak di seputar tubuhnya sebelah atas. Lalu...!
"Breett! breet! Breettt..." Terdengar suara robekan pakaian berulang kali.
"Kurang ajar! Apa yang kalian lakukan!" teriak Liok Ong Cun. Pedang dibabatkan ke atas, ditusukan ke depan, lalu dibacokan ke samping. Namun dia hanya menghantam tempat kosong. Sementara di lain kejap dia merasa tubuhnya didorong keras ke depan hingga terjerembab di tanah, belum sempat bergerak bangkit, dia merasa celana birunya diloloskan orang!
"Ha-hu... ha-hu! Hik... hik... hik!"
Begitu cipratan air telaga dan hamburan tanah lenyap. Liok Ong Cun berteriak kaget dan juga marah. Dia dapatkan dirinya dalam keadaan polos, hanya tinggal mengenakan celana dalam putih! Dihadapannya dua nenek kembar berjubah kuning tertawa ha-hi ha-hi sambil menunjuk-nunjuk ke arah bagian bawah perut si muka tengkorak.
"Tua bangka setan alas!" maki Liok Ong Cun dalam bahasa Cina yang tentu saja tidak dimengerti dua nenek. "Kucincang kalian!"
Liok Ong Cun melompat sambil ayunkan pedang Ceng Coa Kiam. Pedang bergeletar hebat Dua nenek melihat seperti ada setengah lusin ular menyerang ke arah mereka!
"Ha-hu Ha-hu" Nenek di sebelah kanan kibaskan tangan ke atas menangkis serangan lawan sementara tangan kanannya menunjuk-nunjuk ke arah celana kolor yang masih tersisa di tubuh Liok Ong Cun. Nenek satunya yang mengerti maksud kawannya segera jatuhkan diri ke tanah, dua tangan menyambar ke arah kolor putih.
Sadar apa yang hendak dilakukan orang, dirinya akan ditelanjangi dengan cepat Liok Ong Cun jatuhkan diri ke tanah, sambar sarung pedang yang tadi jatuh bersama robekan baju lalu gelindingkan tubuh menjauh setelah sebelumnya kirim satu tendangan yang tidak mengenai sasaran.
"Tua bangka kurang ajar! Kalian akan menerima balasanku!" Liok Ong Cun memandang berkeliling mencari Loan Nio Nikouw. Tapi paderi ini sudah sembunyi di balik sebuah pohon besar karena jengah melihat keadaan Liok Ong Cun yang nyaris bugil!
"Loan Nio! Jika aku tidak bisa mendapatkan dirimu, jika aku tidak bisa menghabisi dirimu! Aku akan membunuh semua lelaki yang berani mendekatimu!"
Habis berkata begitu sambil pegangi kolornya yang kedodoran awut-awutan Liok Ong Cun tinggalkan telaga sambil mulutnya memaki panjang pendek.
"Ha-hu ha-hul Hik hik hik!" Dua nenek kembar tertawa terpingkal-pingkal lalu lari ke balik semak belukar menemui Wiro. Yang satu menunjuk-nunjuk ke arah pohon besar.
"Aku tahu, gadis berpakaian merah ada di balik pohon itu. Ayo kita menemuinya ke sana."
Wiro dan dua nenek lantas berkelebat ke balik pohon besar. Loan Nio Nikouw agak terkejut ketika dapatkan dirinya didatangi dan berhadapan dengan si pemuda gondrong serta dua nenek kembar. Namun sadar kalau dua nenek itu tadi telah menolongnya walau dia sebenarnya sudah siap keluarkan pedang Ang Liong Kiam yang akan sanggup menghadapi gempuran lawan, sang Nikouw cepat menjura dalam-dalam di hadapan dua nenek.
"Terima kasih. Orang tua berdua telah menolong saya. Mengapa Melakukan itu?"
"Ha-hu ha-hu..." Dua nenek dan juga Wiro sama-sama terkejut Walau ucapannya tidak fasih betul dan bahasanya agak kaku namun ternyata gadis berpakaian merah ini bisa bicara bahasa setempat.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala beberapa kali. "Nona, kami yakin kau bukan orang sini. Kalau tidak salah menduga kau adalah orang dari negeri seberang, daratan Tiongkok. Menakjubkan kau bisa bahasa kami."
Wiro berkata sambil matanya coba mengintai ke balik untaian tirai manik-manik yang menutupi wajah orang. Tapi untaian manik-manik itu sangat rapat hingga matanya tidak dapat menembus. Dia hendak terapkan ilm menembus pandang tapi tidak bisa. Aneh! Apakah orang ini memiliki hawa sakti yang punya daya tolak luar biasa?
“Tidak ada hal menakjubkan. Lagi kecil sampai usia tujuh tahun saya tinggal di sini. Di satu kota bernama Semarang..."
"Ah, begitu?" ujar Wiro.
"Ha-hu ha-hu..." Dua nenek kembar menimbrung.
Di balik cadar manik si baju merah tersenyum lalu bertanya pada Wiro. "Dua nenek hebat ini, Apakah dia peliharaanmu. Naluri saya mengatakan dia bukan manusia serupa kita. Apakah dia sebangsa jin yang saya dengar sangat banyak keberadaannya di negeri ini?"
"Ha-hu ha-hu." Dua nenek goyang-goyangkan tangan tapi dengan wajah tersenyum.
"Mereka sahabatku. Mereka baik terhadap siapa saja. Mereka kelihatan sangat senang mengenalmu."
"Terima kasih, terima kasih." Loan Nio Nikouw menjura. "Saya rasa dua kawanmu ini agak keterlaluan mempermalukan orang tadi sampai bugil begitu rupa..."
"Ha-hu ha-hu." Dua nenek membuat gerakan tangan berulang kali.
"Apa yang hendak dikatakan dua sahabatmu itu?" tanya si baju merah.
"Mereka ingin mengatakan, kalau tidak ditelanjangi orang itu tidak akan mau angkat kaki dari sini."
Loan Nio Nikouw tertawa. "Cerdik juga dua nenek kembar Itu. Membuat lawan kabur tanpa mencederai..."
"Mereka masih berbaik hati. Kalau sampai kolor orang itu ikut dicopot, wah..."
Wiro dan dua nenek tertawa gelak-gelak. Dua nenek balas menjura lalu tertawa ha-ho hi-hi. Yang satu sambil memegang lengan kembarannya mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan lalu tangan dijalankan ke kiri.
"Kalian mau pergi? Silahkan saja. Aku juga berterima kasih kalian telah menolong Nona ini." Kata Wiro yang mengerti maksud isyarat si nenek.
Dua nenek keluarkan suara ha-hu ha-hu, yang satu kedip-kedipkan mata, yang satu lagi runcingkan bibir lalu digerak-gerakkan hingga mengeluarkan suara seperti orang mengecup. Kemudian sambil tertawa ha-ha hi-hi keduanya tinggalkan tempat itu dan lenyap dalam sekejapan mata.
"Luar biasa Ilmu kesaktian mereka," memuji Loan Nio Nikouw.
"Nona, bagaimana kau jauh-jauh dari daratan Tiongkok bisa sampai di sini. Lalu siapa pula lelaki muka tengkorak tadi?"
"Jangan panggil saya nona. Panggil saya Loan Nio Nikouw. Saya seorang paderi..."
"Ah..." Wiro kembali garuk kepala. Tidak menyangka kalau saat itu dia berhadapan dengan seorang paderi perempuan. Walau belum melihat wajah, namun dari raut tubuh serta suara Wiro merasa pasti si paderi berbaju merah ini seorang gadis remaja. Masih begini muda. sudah jadi paderi.
"Satu kehormatan besar bisa berkenalan dongan seorang paderi. Lidah saya agak susah menyebut nama paderi. Apa boleh saya memanggil paderi dengan sebutan Nio-nio saja?"
Loan Nio Nikouw terdiam sejenak Lalu tertawa lepas. "Seumur hidup belum pernah orang memanggil saya Nio-nio. Itu nama punya lucu. Tapi enak juga didengar." Kembali paderi itu tertawa.
"Nio-nio, lelaki muka tengkorak tadi, aku lihat dia sangat beringas ingin membunuhmu. Apakah kau dan dia memang saling bermusuhan?"
"Ini soal sangat pribadi. Saya tidak akan menceritakan sebelum tahu siapa dirimu adanya..." Jawab Loan Nio Nikouw.
Wiro menjawab sambil menggaruk kepala. "Namaku Wiro."
"Wiro?" Loan Nio Nikouw mengingat-ingat, lalu di balik tirai manik-manik wajahnya menunjukkan keterkejutan. Kakinya malah tersurut setu langkah.
"Ada apa? Apakah namaku satu hal yang menakutkan bagimu?" tanya pendekar 212.
"Seorang tokoh perguruan di Tionggoan pernah memberi tahu tentang dirimu. Kau dikatakan sebagai seseorang yang punya She Wie dan nama Lo Sab Leng..."
Karuan saja Wiro jadi tertawa gelak-gelak mendengar namanya disebut seperti nama orang Cina.
"Lebih lanjut tokoh itu minta agar saya mencarimu dalam menyelesaikan semua urusan di negeri ini Saya seperti menerima satu berkah besar. Belum mencari orangnya sudah datang sendiri..."
"Nionio, siapa gerangan tokoh yang kau maksudkan itu?"
"Dia Wakil Ketua perguruan besar Siauw Lim. Katanya beberapa waktu lalu kau pernah berada di Tionggoan..."
"Luar biasa! Aku sungguh mendapat kehormatan sangat besar. Namun aku tidak bisa mengatakan apakah aku punya kemampuan untuk membantumu." Kata Pendekar 212 pula. "Paderi Nionio, sekarang apa kau sudah mau menerangkan sangkut paut silang sengketa dirimu dengan lelaki muka tengkorak tadi?"
"Lelaki itu bernama Liok Ong Cun. Saya mengenalnya lebih dari sepuluh tahun. Sejak kami sama-sama jadi murid Siauw Lim. Dia pernah berulang kali bilang bahwa dia mencintai saya dan ingin mengambil saya jadi istri. Saya tidak begitu perduli semua dia punya ucapan dan keinginan. Saya menganggap dia tidak lebih dan seorang kakak seperguruan. Kemudian saya meninggalkan Siauw Lim dan memutuskan jadi paderi. Dia terus mengikuti kemana saya pergi. Bahkan sampai kesini. Tadi dia berlaku nekad mau bunuh saya. Kalau saya mati dia lantas akan bunuh diri..."
"Nionio. ucapannya mungkin saja hanya tipuan untuk meluluskan permintaannya. Tapi satu hal, kau harus berhati-hati. Cinta yang berubah jadi kebencian bisa menimbulkan dendam amat mengerikan..."
Kiang Loan Nio Nikouw terdiam. Dalam dirinya dia menyadari apa yang dikatakan pemuda gondrong yang baru dikenalnya itu benar adanya dan bisa menjadi kenyataan. Malah tadi dia telah menyaksikan sendiri kenekatan Liok Ong Cun.
"Tadi dia mengancam akan membunuh siapa saja saja laki-laki yang berani mendekati diriku."
"Berarti termasuk aku," kata Wiro sambil garuk kepala. "Nionio, aku lihat Liok Ong Cun menutupi wajahnya dengan topeng tengkorak..."
"Dia pernah bersumpah tidak akan melepas topeng itu sebelum saya bersedia jadi istrinya."
"Apa kau juga akan menceritakan tujuan perjalananmu ke tanah Jawa ini? Kau tahu. kedatanganmu di tanah Jawa pada saat suasana di kawasan barat ini sedang tidak aman. Pembunuhan penuh misteri terjadi dimana-mana. Diantara para korban adalah beberapa orang dari daratan Tiongkok."
"Saya sudah tahu..." kata paderi perempuan itu.
"Apa orang-orang itu ada sangkut pautnya dengan dirimu?"
"Semua mereka yang tewas itu adalah orang suruhan dan kepercayaan saya."
Wiro tak menyangka dan jadi ternganga mendengar ucapan sang paderi Loan Nio Nikouw lanjutkan ucapan. "Saya harus menyelidiki siapa pelaku pembunuh orang-orang itu."
"Itu bukan pekerjaan mudah. Bisa-bisa membahayakan keselamatan dirimu sendiri, Nionio."
"Saya tahu. Tapi itu sudah menjadi kewajiban saya sebagai murid Siauw Lim..."
"Jadi perguruan Siauw Lim yang memberikan tugas padamu?" Loan Nio Nikouw anggukan kepala.
"Masih ada satu tugas lain yang harus saya lakukan. Saya tidak tahu harus memulai dari mana walau ada beberapa petunjuk yang bisa dipergunakan untuk menyelidik."
"Tugas apa?" Wiro bertanya ingin tahu. Semula dia menyangka paderi perempuan itu tidak akan memberi tahu. Ternyata Nionio Nikouw malah bercerita.
"Saya ditugaskan untuk menemukan dan membawa pulang ke Siauw Lim dua buah benda mustika berupa sepasang dadu dari gading, dulunya dadu ini adalah milik seorang keturunan Dinasti Ming. Karena dua dadu telah disalah gunakan dan menimbulkan malapetaka dimana-mana maka Raja meminta Siauw Lim untuk menyimpannya secara rahasia. Namun sekitar tiga tahun silam dua buah dadu itu lenyap dari tempat penyimpanan. Walau Siauw Lim geger namun berita tidak sampai bocor ke luar. Dua buah dadu berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Karena bencana yang ditimbulkannya dua buah dadu itu disebut dadu setan. Kabarnya dua buah dadu itu sekarang berada di tanah Jawa ini. Orang-orang suruhan saya mungkin telah berhasil melacak keberadaan dua buah dadu itu. Namun mereka keburu menemui ajal sebelum mendapatkanya. Saat ini saya seperti menghadapi jalan buntu. Ada satu kekuatan besar di negeri ini yang tidak ingin dua buah dadu kembali ke Tionggoan..."
Wiro ingat pertemuannya beberapa waktu lalu dengan Eyang Sepuh Kambaran Tilu. Sebelum meregang nyawa nenek yang punya dua kembaran jejadian ini meminta agar Wiro menolong mencari siapa pembunuhnya dan mendapatkan kembali dua buah dadu Wiro juga ingat cerita perajurit Jumena yang ditemuinya di sebuah Jurang di daerah perbatasan.
Saat itu Jumana menceritakan tentang dua buah dadu yang menjadi sebab kematian Pengemis Muka Bopeng di tangan Eyang Sepuh Kembar Tilu yang menyaru sebagal Raden Kumalasakti (Baca Episode sebelumnya berjudul Dadu Setan)
"Dua buah dadu, bisa menimbulkan malapetaka. Sungguh luar biasa. Nio-nio, apakah dua buah dadu itu merupakan senjata mustika hingga diperebutkan orang, Sampai-sampai mengorbankan nyawa?"
"Dua buah dadu itu memang merupakan senjata mustika atau senjata rahasia. Di Tionggoan kami menyebutnya piauw. Bilamana dipakai untuk menyerang lawan, setelah lawan menemui ajal, dadu akan berbalik kembali pada pemiliknya..."
"Hebat" ucap Wiro kagum.
"Namun bukan itu yang merisaukan para tetua di Siauw Lim. Dua buah dadu Itu blaa dipergunakan untuk mengeruk kekayaan orang lain. Harta setinggi gunungpun bisa ludas."
"Bagaimana mungkin?" Wiro setengah tak percaya.
"Melalui judi. Orang yang memiliki dadu bisa mengatur angka dadu yang akan keluar hanya dengan menyebut dalam hati serta memperhatikan dengan mata..."
Wiro garuk-garuk kepala lalu mengangguk-angguk. Dari balik tirai manik-manik yang menutupi wajahnya, Loan Nio Nikouw perhatikan wajah Pendekar 212. Dalam hati paderi perempuan Ini berkata,
"Aku menduga, orang ini mengetahui sesuatu. Tapi dia tidak mau bicara. Apakah aku memang bisa mempercayainya seperti yang dikatakan Wakil Ketua Siauw Lim? Orang bisa saja berubah. Dulu dia orang baik, sekarang mungkin sudah jadi jahat. Mungkin pula dia ikut terlibat dengan urusan dadu setan itu. Berarti bisa jadi dia yang membunuh Bun Pek Cuan, Siauw Cie dan Hek Chiu Mo. Apa yang harus aku lakukan. Padahal masih ada satu urusan penting menyangkut pedang mustika milikku dengan senjata sakti konon berupa kapak yang menjadi miliknya. Tapi saat ini aku tidak melihat dia mombekal senjata itu..."
"Saudara Wie...!"
Wiro tersenyum mendengar dirinya dipanggil seperti itu.
"Apa yang saat ini ada dalam pikiranmu?" tanya Loan Nio Nikouw.
"Nionio, aku pasti tewas ketika melawan manusia pohon bernama Ki Beringin Reksa itu kalau kau tidak menolongku..."
"Bagaimana kau bisa berkata bahwa aku yang menolongmu. Padahal kita baru saja kali ini bertemu..."
Wiro tertawa. "Kau sengaja menyembunyikan kenyataan. Aku menghargai kebesaran jiwa dan kerendahan hatimu..." Wiro melirik ke arah gagang pedang berbentuk kepala naga yang tersembul di balik punggung sang paderi. Wiro terkesiap sesaat. Untuk pertama kali dia menyadari ukiran kepala naga yang jadi gagang pedang sang paderi bentuknya sama dengan kepala naga gagang Naga Geni 212 miliknya.
“Saudara Wie, kau yakin aku menolongmu?"
"Saat itu aku melihat satu bayangan merah berkelebat disertai berkiblatnya cahaya merah. Aku yakin bayangan merah itu adalah dirimu yang mengenakan pakaian merah. Lalu cahaya merah adalah cahaya pedang sakti yang kau bekal di punggung. Pasti dengan pedang sakti itu kau telah membabat putus tangan Ki Beringin Reksa. Selain itu aku mencium dan mengenali satu bau harum. Bau tubuh dan pakaianmu. Nio-nio. saat kau menolongku kita belum saling mengenal. Mengapa mau turun tangan menghadang bahaya menyelamatkan diriku...?"
"Apakah untuk menolong seseorang yang terancam jiwanya kita harus banyak berpikir? Sebelum selesai berpikir bisa-bisa orang yang mau ditolong sudah mati duluan..."
Wiro tertawa lebar. "Selain itu, hal tolong menolong bukankah hukum yang tidak tertulis didalam rimbah persilatan...?"
"Kau benar Nionio. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu."
Loan Nio Nikouw hanya tersenyum dibalik cadar manik-manik yang menutupi wajahnya.
"Nionio, kalau saja ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk membalas budi baik dan hutang nyawaku..."
"Saya menolong bukan mengharapkan pamrih. Tapi jika ada kesudian, harap saudara Wie mau menemui saya ditempat kediaman Adipati Brebes, lusa tengah malam..."
Wiro agak heran mendengar ucapan sang paderi. "Adipati Brebes? kau mengenal Adipati itu...?"
"Saat ini dia satu-satunya orang yang bisa memberi petunjuk dalam mencari dua buah dadu itu. Apakah Saudara Wie bersedia datang? Saya memerlukan seorang teman untuk menemani sewaktu menemui Adipati itu..."
Wiro mengangguk. "Tunggu saya didepan pintu gerbang gedung kadipaten. Saya akan datang tepat pada pertengahan malam..."
"Mengapa harus pada pertengahan malam? Bukan siang hari?" tanya pendekar 212 pula.
Itu permintaan Adipati Brebes. Saya hanya bisa mengikuti. saya orang asing. Mungkin Adipati tidak mau ada orang luar yang tahu saya mengunjunginya..."
Wiro anggukkan kepala. "Saudara Wie, saya harus pergi sekarang. Saya ada keperluan lain. Kita bertemu di tampat yang saya katakan tadi."
"Nionio, tunggu dulu. Bagaimana kau bisa mengenal Adipati Brebes padahal kau belum lama berada di sini..."
Pertanyaan Wiro itu menimbulkan sedikit rasa curiga dalam diri Loan Nio Nikouw. Apa perlunya pemuda gondrong Ini menanyakan hal itu. "Jangan-jangan dia tengah menyelidiki diriku...“ pikir sang paderi.
"Jika kau tidak mau memberi tahu tidak jadi apa..." Ucap Wiro ketika dilihatnya orang hanya berdiam diri tak mau menjawab.
Loan Nio Nikouw ambil papan seluncur yang tergantung di punggungnya. Papan ini dijatuhkan ke dalam telaga, diinjak dengan kaki kanan. Begitu sang paderi celupkan kaki kiri ke dalam air dan dikibaskan ke belakang, papan seluncur melesat ke depan. Hanya dua kali menggerakkan kaki kiri, Loan Nio Nikouw sudah berada di tepi barat telaga, naik ke darat dan lenyap dari pemandangan.
********************
BAB TIGA
Udara malam terasa dingin sementara angin bertiup kencang. Langit kelihatan gelap kelam. Tak ada bulan tak ada bintang. Mungkin tak lama lagi akan turun hujan. Gedung besar kediaman Adipati Brebes tampak sunyi. Hanya ada sebuah lampu kecil menyala di langkan depan. Pintu gerbang tertutup rapat Tak kelihatan seorang pengawalpun di tempat itu.
Bagi Kiang Loan Nio Nikouw yang menunggang kuda, tidak sulit mencari gedung kediaman Adipati Brebes. Begitu sampai di depan pintu gerbang, entah dari mana datangnya, tahu-tahu lima perajurit bersenjata tombak telah mengurung. Walau mengurung sikap mereka menunjukan rasa hormat Mereka memegang tombak dengan ujung lancip di arahkan ke tanah.
“Tamu berkuda, apakah kami berhadapan dengan paderi dari Tionggoan?" Salah seorang dari lima perajurit bertanya.
"Saya memang paderi dari Tionggoan. Nama saya Kian Loan Nio." Jawab penunggang kuda.
Pada saat itu pintu gerbang terbuka. Di pertengahan pintu berdiri seorang berjubah biru yang mata kanan ditutup sehelai kain tebal berwarna hitam. Dua tangan dirangkap di atas dada, sepasang kaki yang tajam masih bisa melihat Dua kaki yang tersembul dari bagian bawah jubah biru orang bermata satu ini bukan kaki manusia biasa, melainkan berbentuk kaki kuda lengkap dengan ladam besinya.
"Hemm... kehadiran orang aneh ini membuat aku tidak enak..." ucap Loan Nio Nikouw dalam hati.
"Harap tamu terhormat menunjukkan tanda pengenal." Si picak berkata.
Masih duduk di atas kuda, Loan Nio Nikouw gerakkan tangan kanan kepunggung.
"Srett.. " Satu cahaya merah menerangi tempat di sekitar pintu gerbang. Itulah cahaya Ang Liong Kiam atau Pedang Naga Merah yang barusan dicabut sang Paderi perempuan dari sarung di belakang punggung.
Lelaki picak di ambang pintu gerbang menatap penuh kagum dengan mata kiri. "Ini rupanya pedang sakti yang dikatakan Adipati. Sebentar lagi senjata itu akan menjadi milikku." Si mata satu sunggingkan senyum dan anggukkan kepala. Setelah membungkuk, dia melangkah ke kiri dan berkata,
"Paderi dari Tionggoan, atas nama Adipati Brebes aku mengucapkan selamat datang. Adipati telah menunggu. Tak usah turun dari kuda. Silahkan mengikuti..."
Kian Loan Nio Nikouw sarungkan senjatanya kembali. Dia memandang berkeliling lalu berkata. "Saya menunggu seorang teman. Kami akan menghadap Adipati berdua. Apakah bisa menunggu barang sebentar?"
“Turut apa yang aku tahu, paderi dari Tionggoan hanya akan menemui Adipati seorang diri..."
Kian Loan Nio Nikouw kembali memandang berkeliling. Dia merasa kecewa karena tidak melihat Wiro di tempat itu. Untuk mengulur waktu dia bertanya. "Apakah Adipati sudah siap dan berkenan menerima saya?"
"Adipati orang yang tepat janji. Karena itu jangan membuat dia tidak enak karena terlalu lama menunggu."
"Apakah sebelum ini tidak ada tamu lain yang datang?"
“Tamu siapa maksud paderi?" balik bertanya si jubah biru mata satu.
"Seorang pemuda berambut panjang sepundak..."
Si mata satu gelengkan kepala. "Tidak ada tamu lain. Malam ini Adipati hanya berkenan menerima kedatangan satu orang tamu yaitu Paderi dari Tionggoan. Pemuda yang paderi maksudkan itu, apakah dia punya nama. Mungkin punya gelar?"
"Namanya Wie Lo Sab Leng. Bergelar Pendekar Kapak Naga Geni Dua Satu Dua..."
Tampang si mata satu jadi berubah. Namun dia cepat-cepat tertawa untuk menghilangkan bayangan rasa terkejut dimukanya. "Paderi, aku yakin pemuda yang kau maksudkan itu adalah Wiro Sableng. Sekarang sebaiknya paderi segera masuk."
"Kalau saya boleh bertanya, saya berhadapan dengan siapa?" Loan Nio Nikouw bertanya.
"Namaku Sentot Balangnipa. Aku Kepala Pengawal gedung Kadipaten..."
Seperti dituturkan dalam episode sebelumnya Dadu Setan Ki Sentot Balangnipa adalah salah seorang tokoh rimba persilatan yang melindungi Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga yang terletak secara tersembunyi di bawah Bukit Batu Seruling. Mata kanannya amblas ditembus Kujang Emas Kiai Pasundan milik Rayi Jantra yang kepala Pasukan Kadipaten Losari. Kini mata kanan yang buta itu ditutup dengan kain tebal hitam. Begitu mengetahui siapa adanya orang di hadapannya Loan Nio Nikouw segera rundukkan badan memberi hormat.
"Paderi dari Tionggoan, kau ingin menghadap Adipati atau tidak. Jika Ingin harap segera masuk. Jika kau berlama-lama di sini. Jangan salahkan kalau aku terpaksa menutup pintu gerbang..."
Loan Nio Nikouw maklum dia tidak bisa mengulur waktu karena lelaki di depannya tampak mulai tidak senang. Sebelum menggerakkan kudanya, paderi ini kembali memandang berkeliling. Wiro yang diharapkan akan muncul tetap tidak kelihatan.
"Apa yang terjadi? Apa pemuda itu mendapat halangan atau dia memang sengaja mendustai diriku...?" membatin sang paderi.
Pintu gerbang tertutup begitu Loan Nio Nikouw masuk ke halaman gedung Kadipaten. Dia tidak tahu sampai dimana kehebatan lelaki mata picak mengaku bernama Sentot Balangnipa ini. Namun dan keadaan dua kakinya yang menyerupai kaki kuda, sikap serta gerak-gerik, sang paderi segera memaklumi orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Di depan tangga gedung Kadipaten, Sentot Balangnipa hentikan langkah lalu balikan badan.
"Paderi, kau boleh turun dari kuda. Ada yang akan mengurus binatang itu. Solanjutnya silahkan mengikuti."
Loan Nio Nikouw turun dari kuda lalu menaiki tangga depan gedung Kadipaten. DI depannya si jubah biru bermata satu melangkah enteng di atas lantai babi pualam tanpa suara, padahal dua kakinya dilapis ladam besi. Setiap ruangan yang dilalui dalam keadaan redup karena hanya diterangi oleh lampu minyak kecil.
Di satu tempat yang merupakan ruangan luas Ki Sentot Balangnipa hentikan langkah. Kaki kanan diketukan tiga kali ke lantai batu pualam. Serta merta enam buah lampu minyak besar di tempat itu menyala. Keadaan Jadi terang benderang. Ki Sentot melirik ke samping memperhatikan tubuh elok Loan Nio Nikouw di sampingnya.
"Sayang wajahnya tertutup untaian manik-manik. Aku yakin wajahnya pasti cantik sekali. Bau tubuhnya yang harum hemmmm..." ucap Ki Sentot Balangnipa dalam hati.
Loan Mo Nikouw memandang berkeliling. Teryata ruangan itu memiliki tiang-tiang kayu berukir serta empat dinding yang dipahat sangat indah. Di dinding sebelah depan ada sebuah pintu kayu berukir dengan gambar seorang perempuan muda tanpa pakaian menunggang kuda.
Kembali Ki Sentot Balangnipa hentakkan kaki kanan tiga kali ke lantai. Pintu kayu berukir bergeser ke samping. Sesaat kemudian dari dalam ruangan keluar seorang lelaki bertubuh kukuh, mengenakan blangkon biru dan jas tutup hitam. Berewok serta kumisnya tebal sekali. Inilah Raden Mas Karta Suminta, Adipati Brebes. Sang Adipati tartawa lebar lalu rundukkan kepala sedikit dan berkata,
"Paderi Loan Nio, sungguh satu kehormatan besar kau bersedia memenuhi janji datang ke gedungku."
"Adipati, saya mengucapkan terima kasih karena Adipati telah sudi menyediakan waktu menerima kedatangan saya." Jawab Loan Nio Nikouw sambil membalas penghormatan orang dengan membungkukkan badan. Lalu dia menyambung ucapannya. "Saya maklum Adipati tidak punya banyak waktu Apakah kita bisa bicara di sini...?"
"Jangan khawatir. Untuk Paderi Loan Nio saya akan meluangkan waktu luas. Tidak usah terburu-buru. Mari kita berbincang-bincang di dalam..."
Adipati Brebes mempersilahkan tamunya masuk ke dalam ruangan. Dia memberi isyarat pada Ki Sentot Balangnipa yang segera tinggalkan tempat itu.
"Adipati, ada sesuatu yang hendak saya sampaikan." Kata Sentot Balangnipa. Maksudnya hendak memberi tahu bahwa tamu paderi perempuan dari Tionggoan itu punya hubungan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun Adipati menjawab setengah berbisik.
"Nanti saja. Pada saatnya harap kau bersiap-siap untuk mengambil pedang milik sang paderi..."
Ki Sentot Balangnipa mengangguk lalu tinggalkan tempat itu. Perlahan-lahan pintu kayu berukir gambar perempuan telanjang menunggang kuda menutup kembali. Ruang dimana Loan Nio Nikouw berada ternyata sebuah ruangan yang sangat bagus. Lantai tertutup permadani dari Turki. Empat dinding memiliki warna dasar biru muda dinhiasi lukisan pemandangan yang saling sambung antara dinding satu dengan dinding lainnya. Loan Nio Nikouw belum pernah melihat lukisan begini indah dan seolah hidup sehingga merasa berada di satu alam terbuka penuh kesegaran.
Di tengah ruangan terdapat sebuah meja dan dua kursi terbuat dari kayu jati berukir burung pada bagian sandaran dan tangan kursi kiri kanan. Di atas meja ada sebuah piala kaca serta dua buah seloki besar yang juga terbuat dari kaca. Adipati Brebes mempersilahkan tamunya duduk.
Entah mengapa saat itu Loan Nio Nikouw merasa hatinya kurang tenteram. Karena itu setelah duduk di kursi paderi ini langsung bicara pada maksud kedatangannya.
"Adipati, saya tidak ingin mengganggu Adipati terlalu lama. Ijinkan saya bicara pada pokok persoalan. Saya sudah menerima keterangan dari penghubung kita bahwa Adipati mengetahui dimana beradanya dua buah dadu gading yang berasal dari Tiongkok itu."
"Paderi Loan Nio waktu kita cukup banyak. Mengapa terburu-buru? Lagi pula bukankah sepatutnya saya menjamu Paderi lebih dulu?" Habis berkata begitu Adipati Brebes Karta Suminta menuangkan minuman dalam piala ke dalam dua buah cangkir kaca.
"Minuman ini tidak ada di Tiongkok. Terbuat dari jahe yang ditumbuk halus, diberi air yang sudah dimasak ditambah madu dari negeri Arab. Jika diminum hangat-hangat akan membuat tubuh terasa segar, otak jernih, pandangan menjadi terang serta hati lega. Ha ha ha. Silahkan Paderi mencicipi..."
Loan Nio Nikouw tampak sedikit bimbang. "Saya tidak haus katanya.
"Tidak baik menampik. Atau mungkin Paderi menaruh curiga akan sesuatu...?"
Adipati Brebes ambil seloki di hadapannya lalu meneguk minuman di dalam seloki itu sampai habis. Wajahnya kelihatan merah dan keringat memercik di kening. Pelipis kiri kanan tampak bergerak-gerak.
“Tidak ada apa-apa dalam minuman ini. Tidak ada racun...” kata Adipati pula lalu tertawa lebar.
Karena merasa tidak enak. Loan Nio Nikouw akhirnya ulurkan tangan mengambil seloki di atas meja. Sebelum meneguk, minuman itu diciumnya terlebih dulu. Terendus bau sedap harum dan hangat. Sang paderi hanya meneguk seperlima dari isi seloki kaca lalu letakkan seloki di atas meja.
"Adipati, kembali pada pertanyaan saya tadi. Benar Adipati mengetahui dimana beradanya dua buah dadu gading Itu?"
Adipati Brebes terlebih dulu usap kumis dan janggut lebatnya baru menjawab. "Memang betul. Saya mengetahui. Tapi mengetahui keberadaan dua buah dadu bukan berarti saya telah memilikinya..."
"Saya mengerti. Saya juga maklum kalau Adipati bisa menolong saya untuk mendapatkan dua buah dadu itu."
"Saya sudah menyuruh dua orang kepercayaan saya untuk mengawasi tempat dimana dua buah dadu itu berada. Pagi nanti sebelum fajar menyingsing kita bersama-sama mendatangi tempat itu. Sementara itu kita masih punya banyak waktu untuk bercakap-cakap bertukar pengalaman. Selain itu ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan. Namun jika Paderi Loan Nio mungkin merasa letih dan ingin beristirahat, saya sudah menyediakan kamar tersendiri sambil menunggu datangnya pagi."
Loan Nio Nikouw kedipkan kedua matanya beberapa kali. Dia tidak mengerti mengapa tiba-tiba saja dia merasa mengantuk. Tubuhnya terasa panas. Aliran darah mengencang sementara jantungnya berdetak lebih cepat Paderi ini mulai merasa curiga.
"Terima kasih, saya tidak letih..."
"Mengantuk mungkin?"
"Tidak juga. Tapi..." Sang Paderi menguap. Cepat-cepat dia tutupkan tangan kanan ke mulut. Sepasang matanya berair. Kepala terasa berat tersentak ke depan. "Maafkan saya. Beberapa hari ini saya memang kurang tidur..." Loan Nio Nikouw menguap kembali. Bersamaan dengan itu kepala dan tubuhnya terkulai ke kursi.
Adipati Karta Suminta tersenyum. Perlahan-lahan dia berdiri, melangkah ke dinding. Saat itu juga bagian tengah dinding yang berseberangan bergerak turun ke lantai ruangan, membentuk sebuah tempat tidur besar berkasur tebal, terbungkus seperai lembut. Gelegak nafsu membersit jelas di wajah yang menyeringai. Adipati Karta Suminta mendatangi sosok yang terkulai tak sadarkan diri di kursi kayu jati.
Kemudian diambilnya pedang dan papan seluncur yang ada di punggung paderi Loan Nio, diletakkan di atas meja. Lalu tubuh Loan Nio Nikouw didukung, dibaringkan di aias tempat tidur. Lalu Adipati ini membuka pakaiannya. Dengan hanya mengenakan celana dalam dia kemudian berbaring disamping Loan Nio Nikouw. Topi biru yang bersambung dengan untaian manik-manik merah ditanggalkan dari kepala sang Paderi.
Untuk beberapa saat lelaki ini terkesiap sewaktu melihat ternyata sang Paderi berkepala licin gundul. Walau tidak memiliki rambut namun wajah sang Paderi tampak cantik jelita. Alis lengkung bak bulan sabit bibir merah seperti delima merekah. Adipati Brebes ciumi kepala gundul dan wajah cantik harum itu berulang kali. Sambil tertawa lebar dan pandang wajah serta kepala Loan Nio Nikouw Adipati Karta Suminta usap-usap janggutnya yang lebat.
"Seumur hidup baru kali ini aku melihat gadis botak secantik ini. Ha ha ha. Pengaaman baru! Aku akan meniduri gadis botak!" Karta Suminta melirik ke bagian bawah pinggang Paderi Loan Nio.
"Apakah... apakah... Ha ha ha...!" Dengan penuh nafsu dia kembali menciumi wajah dan kepala gundul Paderi dari Tionggoan itu berkali-kali. Dua tangan Adipati Karta Suminta kemudian bergerak menyingkap dada pakaian sang Paderi. Di balik pakaian luar warna merah berkembang-kembang biru dan kuning itu ada selapis pakaian dalam.
Pakaian dalam ini begitu tipis sehingga sang Adipati dapat melihat jelas dada Loan Nio Nikouw. Sepasang matanya membesar. Seumur hidup baru kali ini dia melihat dada begitu bagus, putih dan mulus. Penuh gelegak nafsu lelaki ini sapukan wajahnya dengan gemas ke dada Loan Nio Nikouw.
"Braakk..."
Tiba-tiba atap ruangan jebol. Sesosok tubuh melayang turun. Bersamaan dengan itu satu tendangan menderu ke arah kepala Adipati Brebes yang tengah melampiaskan nafsunya itu sementara Loan Nio Nikouw masih dalam keadaan tidak sadarkan diri.
********************
BAB EMPAT
Dalam gelapnya malam Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan lari. Dia membungkuk untuk mengencangkan ikatan kasut di kaki kanan. Sebenarnya ini adalah satu kepura-puraan belaka. Sejak tadi dia mengetahui ada seseorang berlari menguntit dirinya. Sambil membungkuk Wiro memperhatikan ke belakang. Gelap sunyi. Tak tampak seorangpun.
"Cepat juga setan itu sembunyi" pikir Wiro. "Tapi aku akan segera mengetahui siapa orangnya."
Wiro lanjutkan lari ke arah utara menuju Kadipaten Brebes. Malam itu sesuai perjanjian tepat tengah malam dia akan menemui Kang Loan Nio Nikouw di pintu gerbang gedung kediaman Adipati Brebes. Semula Wiro mengira orang yang menguntitnya adalah sang Paderi sendiri. Namun setelah ditunggu beberapa lama orang yang membuntuti itu tak kunjung menyusul atau unjukkan diri. Wiro jadi curiga.
Di satu tempat dia berkelebat ke balik serumpunan semak belukar lalu melompat naik ke sebuah pohon bercabang rendah berdaun rimbun. Sunyi, tak ada suara tak ada gerakan. Namun tak selang berapa lama sang penguntit muncul juga. Wiro tak percaya pada penglihatannya.
Orang yang mengikuti itu ternyata pemuda berpakaian biru bermuka tengkorak dari Tionggoan yang bukan lain adalah Liok Ong Cun alias Pendekar Muka Tengkorak Ko Lo Khek. Wiro segera ingat akan penjelasan Nio Nikouw bahwa pendekar murid Siauw Lim ini pernah keluarkan ancaman akan membunuh setiap lelaki yang mendekati dirinya. Wiro maklum sudah. Liok Ong Cun sengaja menguntit dengan membekal maksud jahat.
"Sejak tadi dia sengaja tidak mau unjukkan diri. Pasti karena ingin mengetahui lebih dulu kemana tujuanku." Pikir Wiro. "Mungkin juga dia sudah tahu kalau aku akan menemui paderi perempuan yang digilainya itu."
Wiro menatap ke langit. Tengah malam, waktu perjanjian dengan Loan Nio Nikouw hampir tiba. Jika mengurusi manusia satu ini bisa-bisa dia terlambat sampai di gedung kediaman Adipati. Tapi kalau tidak diurusi tetap saja Liok Ong Cun akan jadi penghalang. Wiro tidak mau kalau orang itu tahu kemana dia pergi dan bertemu dengan sang paderi. Wiro memutuskan untuk segera saja turun dari atas cabang pohon.
Tapi belum sempat hal itu dilakukan satu cahaya hijau tiba-tiba memancar di bawah sana. Di lain saat satu sosok biru melesat ke udara lalu cahaya hijau berkiblat ke arah pohon dimana Wiro berada.
"Craass! craass!"
Luar biasa! Dalam waktu singkat daun pohon dibalik mana Wiro berada tertebas luruh dan melayang jatuh ke tanah. Setengah bagian dari pohon menjadi gundul! Keberadaan sosok Wiro di atas pohon yang tadi terlindung kini terlihat jelas. Sosok biru melesat ke tanah. Di bawah sana Liok Ong Cun berdiri dengan dua kaki merenggang sementara sebilah pedang hijau dimelintangkan di depan dada. Mulutnya mengumbar tawa bergelak.
"Manusia di atas pohon! Mengapa masih belum turun. Apa baru mau turun kalau kutabas dulu batang lehermu dengan Ceng Coa Kiam...?"
Walau Pendekar 212 tidak mengerti apa yang diucapkan orang karena Liok Ong Cun bicara dalam bahasa Cina tapi Wiro maklum kalau pemuda bertopeng muka tengkorak itu bicara dan mengejek dirinya. Tidak tunggu lebih lama Wiro segera melompat turun.
Sebaliknya selagi Wiro melayang di udara Liok Ong Cun melompat ke atas. Pedang sakti di tangan kanannya membabat ganas, menebar cahaya hijau dalam jurus angker bernama Jai Hong Toh Te atau Pelangi Melengkung Ke Bumi. Cahaya hijau setengah lingkaran berkiblat menabas menyamping dari atas ke bawah, disertai suara bersuit ganas. Yang diincar adalah kepala dan tubuh Pendekar 212.
Sebelumnya Wiro telah melihat jurus serangan ini yaitu ketika Liok Ong Cun menghadapi Nionio Nikouw. Digempur serangan hebat saat itu sang paderi tidak sampai celaka karena keburu ditolong dua nenek kembar jejadian. Wiro tak mau berlaku ayal. Dengan cepat dia berkelebat ke samping sambil tangan kiri lepaskan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.
Selarik angin deras melabrak Liok Ong Cun. Gerakan tubuh pendekar Tionggoan muka tengkorak ini menjadi goyang dan tertahan sedikit namun tangan kanannya yang memegang pedang masih mampu menyusup ke depan.
"Brett!" Ujung Pedang Ular HIjau merobek lengan kanan baju putih Wiro. Wiro berseru kaget dan memaki dalam hati.
"Gila! Gebrakan pedangnya cepat sekali. Tenaga dalamnya juga tinggi. Pukulan saktiku tidak membuatnya mental!"
Begitu menjejakkan kaki di tanah, Liok Ong Cun kembali menyerbu. Seperti tadi gerakannya luar biasa cepat. Wiro sambut serangan lawan dengan tawa bergelak lalu membuat gerakan aneh. Dia keluarkan ilmu silat Orang Gila yang didapatnya dari kakek sakti bernama Tua Gila.
Liok Ong Cun kerenyitkan kening sewaktu melihat sosok lawan bergerak perlahan, terhuyung ke kiri dan ke kanan, bergerak seperti mau terjerembab sementara dua tangan menggapai ke atas dan ke samping Kepala mendongak dan mulut terus mengumbar tawa. Gerakan Wiro yang perlahan seolah berlaku ayal ini membuat Liok Ong Cun jadi penasaran.
Dasar ilmu pedangnya adalah gerakan cepat sementara lawan melayani dengan gerakan perlahan. Dia merasa dalam waktu dua jurus saja dia akan mampu membacok kepala atau menabas tubuh Wiro! Liok Ong Cun menyerbu dengan jurus Yau Te Soan alias Langit Bergoyang Bumi Berputar. Pedang sakti warna hijau di tangannya melesat menggeletar laksana ular menyambar.
"Heee..." Wiro mencibir. Kepala dimiringkan, dua lutut ditekuk. Pedang hijau menderu ganas setengah jengkal di depan kening Pendekar 212!
"Setan! Aku mau lihat apa kau mampu menghindar dari jurus maut ini!" teriak Liok Ong Cun yang jadi marah karena selain diejek serangannya tadi berhasil dihindari lawan.
Untuk kesekian kalinya Pedang Ular Hijau membabat berkesiuran ke arah pinggang namun tiba-tiba serangan berubah menjadi satu tusukan. Luar biasa! Tidak gampang merubah babatan menjadi tusukan. Apa lagi serangan itu dilakukan dengan kekuatan penuh dan kecepatan tinggi! Itulah salah satu jurus andalan ilmu pedang Liok Ong Cun yang disebut Cip Hian Jay Hon atau Tiba-tiba Muncul Pelangi.
Kaget Pendekar 212 bukan alang kepalang. Senjata lawan tahu-tahu sudah menusuk ke arah dadanya. Tepat pada saat ujung pedang menyentuh pakaiannya, tubuh Wiro tiba-tiba meliuk ke kiri dan rebah ke belakang. Bersamaan dengan itu dua tangannya membuat gerakan seperti orang bertepuk. Badan pedang hijau terjepit diantara dua telapak tangan Wiro Ketika tubuh Wiro jatuh punggung, senjata lawan yang ikut tertarik menancap menghujam di tanah.
Liok Ong Cun berseru kaget. "Bagaimana mungkin!" teriaknya heran. Di Tionggoan, tingkat kepandaian menarik pedang dengan dua telapak tangan seperti itu hanya bisa dilakukan oleh para tetua Siauw Lim. Apakah pemuda berambut gondrong ini lebih hebat dari tokoh Siauw Lim?!
Rasa kaget membuat Liok Ong Cun bedaku lengah. Dia tak sempat menghindar ketika dari bawah kaki kiri Wiro melesat ke atas, kirimkan tendangan yang dengan telak menghajar bahu kanannya. Liok Ong Cun berteriak kesakitan, memaki habis-habisan.
Wiro melompat bangkit. Diam-diam dia merasa kagum. Orang lain jika ditendang seperti itu pasti sudah remuk tulang bahunya. Tapi Liok Ong Cun berteriak kesakitan lalu usap-usap bahu kanannya.
"Antara kita tidak ada permusuhan. Mengapa kau hendak membunuhku? Cemburu gila...?"
Liok Ong Cun yang tidak mengerti ucapan Wiro keluarkan kutuk serapah yang tidak di mengerti Wiro. Tindakan pemuda muka tengkorak ini ternyata tidak sampai hanya memaki. Tapi sambil melangkah kehadapan lawannya dia lalu meludahi, muka Wiro. Dihina orang seperti itu membuat darah pendekar 212 jadi menggelegak. Ubun-ubunnya terasa panas. Seumur hidup belum pernah dia diperlakukan orang seperti itu.
Dibarengi teriakan penuh amarah Wiro menerjang. Kalau tadi ketika mengeluarkan ilmu silat orang gila gerakan Wiro begitu lamban seperti orang mabok, kini tubuhnya seolah berubah menjadi bayang-bayang, dua tangannya lenyap dari pemandangan!
Belum pernah Liok Ong Cun menghadapi lawan yang punya kemampuan ilmu silat tangan kosong begini hebat dengan cepat dia membuat gerakan perlawanan, lancarkan jurus-jurus pertahanan yang sesekali diseling serangan-serangan kilat dengan mengandalkan ketinggian tenaga dalam serta kecepatan gerak. Beberapa kali dua tangan mereka saling bersilang dan beradu sampai mengeluarkan suara keras. Setiap terjadi bentrokan tangan, Wiro terpental satu langkah, sebaliknya Liok Cun hanya mengeluh kesakitan.
Mengira dia memiliki tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh yang lebih andal dari lawan, pendekar dari Tionggoan ini terus merangsak. Namun dia salah menafsir. Saat itu Pendekar 2l2 telah keluarkan Ilmu silat yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh. Dari enam jurus pukulan inti yang mendasari ilmu silat langka itu Wiro hanya mengeluarkan tiga jurus saja yakni Tangan Dewa Menghantam Air Bah, Tangan Dewa Menghantam Api dan Tangan Dewa Menghantam Matahari.
Liok Ong cun memang luar biasa Dia sanggup mengelakkan dua jurus pertama serangan lawan yang menghantam ke arah kiri dan kanan tubuhnya. Namun jurus ketiga yang bernama Tangan Dewa Menghantam Matahari tidak sanggup dia hindari. Pemuda ini menjerit keras ketika jotosan tangan kanan Wiro mendarat telak di wajahnya.
"Kraak...!" Tulang hidung remuk. Bibir pecah. Darah mengucur, menggerung kesakitan dan megap-megap karena sulit bernafas Liok Ong Cun terhuyung mundur. Tiba-tiba orang ini berteriak keras seperti kemasukan setan. Darah menyembur dari hidung dan mulut. Tubuh jatuh punggung tergelimpang di tanah. Sepasang mata mendelik.
"Mati apa pingsan?" pikir Wiro memperhatikan. Sosok Liok Ong Cun tak bergerak. Wiro menatap ke langit. Dia ingat janji pertemuannya dengan Nionio Nikouw.
"Celaka! Aku sudah terlambat!" ucap Wiro. Tanpa perdulikan Liok Ong Cun lagi Wiro segera berputar badan tinggalkan tempat itu.
Namun baru beberapa langkah berlari tiba-tiba sosok Liok Ong Cun yang tergeletak tak bergerak di tanah melesat bangkit Mata tetap mendelik. Muka tengkoraknya berlumuran darah Tangan kanan dipentang ke depan.
"Kreeekk!" Lima kuku jari tangan kanan Liok Ong Cun tiba-tiba mencuat panjang, runcing dan hitam. Wiro tersentak kaget ketika mendadak di belakangnya ada suara sambaran angin. Dengan cepat dia berbalik namun terlambat
"Breett!" Lima kuku jari tangan kanan Liok Ong Cun merobek pakaian Wiro, membuat lima guratan luka di punggungnya.
"Keparat kurang ajar!" Wiro berteriak marah. Balikkan tubuh sambil tangan kanan menghantam.
"Brukkk!" Liok Ong Cun menggerung keras. Tubuhnya terlempar sampai dua tombak. Terlentang di tanah megap-megap. Mulut kucurkan darah segar. Perutnya yang terkena jotosan mengalami luka dalam yang parah. Wiro melompat menghampiri. Dalam marahnya murid Sinto Gendeng ini cabut Pedang Ular Hijau yang sampai saat itu masih menancap di tanah. Pedang ini kemudian dihunjamkan ke arah tubuh Liok Ong Cun yang tidak berdaya. Sesaat lagi ujung pedang akan menembus perut pendekar Tionggoan itu, Wiro berubah pikiran.
"Craass...!" Pedang Ular Hijau ditancapkannya ke tanah di antara dua pangkal paha Liok Ong Cun.
"Bunuh! Aku tidak takut mati..." ucap Liok Ong Cun.
"Keparat! silahkan kau mau omong apa. Tadi kau meludahi Mukaku. Sekarang terima balasannya!"
Wiro selorotkan celananya ke bawah. Lalu... serr! Air kencingnya mancur membasahi muka orang. Sebagian masuk ke dalam mulut Liok Ong Cun hingga pemuda ini keluarkan suara menggorok, sulit bernafas. Mau tak mau... glek, glek, glek, akhirnya dia terpaksa menelan air kencing yang menggenang didalam mulutnya!
"Manusia jahanam..." rutuk Liok Ong Cun. "Aku bersumpah mengorek jantungmu mencincang tubuhmu...!"
********************
BAB LIMA
Ketika Wiro sampai di depan gedung kediaman Adipati Brebes, pintu gerbang dalam keadaan terkunci dan suasana serba sunyi.
"Sial, gara-gara pemuda sinting tadi aku jadi terlambat. Paderi itu tidak kelihatan. Apa dia sudah masuk ke dalam gedung?"
Wiro naik ke sebatang pohon yang salah satu cabangnya menjulai ke arah tembok gedung Kadipaten. Untuk beberapa lama dia mendekam memperhatikan keadaan. Seperti di luar, halaman dalam gedung Kadipaten juga tampak sunyi. Tak kelihatan seorang pengawalpun. Gedung besar tempat kediaman Adipati Brebes itu bagian depannya terselubung kegelapan. Tak ada satupun lampu menyala.
Wiro merasa tidak enak. Jika seorang tuan rumah menunggu kedatangan tamu penting, adalah aneh rumahnya berada dalam keadaan gelap seperti itu. Dari cabang pohon Wiro melompat ke atas tembok lalu melayang turun kehalaman dalam. Belum lama dia menginjakkan kaki di tanah tiba-tiba terdengar orang berteriak.
"Ada orang menyusup di halaman dalam..."
Saat itu juga tiga orang pengawal bersenjata tombak dan satu mencekal golok berkelebat dalam gelap mengurung Pendekar 212.
"Aku bukan penyusup! Aku mencari seorang teman yang malam ini menemui Adipati Brebes. Temanku itu seorang paderi perempuan dari negeri Cina!" Wiro menjelaskan.
Empat orang pengawal Gedung Kadipaten mana mau perduli. "Menyerah atau kami akan membunuhmu saat ini juga!" salah seorang pengawal membentak.
"Antarkan aku menghadap Adipati!" Kata Wiro pula.
Empat pengawal tak menyahuti. Yang menjawab tombak dan golok. Tiga mata tombak menusuk ke arah dada, perut dan pinggang sementara golok besar berkelebat mengincar kepala.
"Sial!" Wiro memaki jengkel. Dia bergerak cepat. Tangan dan kaki berkelebat.
Dua pengawal terjengkang pingsan begitu tendangan dan kepalan Wiro menghantam mereka. Pengawal ke tiga yang memegang golok keluarkan keluhan pendek lalu tertegun kaku tak mampu bergerak atau bersuara karena urat besar di leher kanannya telah ditotok. Pengawal ke empat yang memegang tombak rupanya memiliki ilmu silat paling tinggi. Tombak di tangannya dibolang-baling, menderu kian kemari.
"Kunyuk gondrong! Amblas perutmu! Jebol ususmu!"
Teriak pengawal ini sambil kirimkan satu tusukan kilat ke perut Wiro. Dia begitu yakin serangannya akan menemui sasaran. Dia tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa.
Wiro mundur satu langkah. Tangan kiri melesat ke depan. Si pengawal kaget bukan main sewaktu tombaknya dicengkeram lalu dibetot lepas. Dia cepat menerjang. Namun gagang tombak keburu mengemplang kepalanya Tak ampun lagi orang ini roboh pingsan ke tanah.
Wiro tinggalkan empat pengawal yang bergelimpangan di halaman gedung. Dia segera hendak berkelebat menuju pintu depan. Namun tidak sengaja matanya melihat ada seseorang mendekam di atas salah satu wuwungan gedung.
"Kalau dia pengawal, mengapa berada di atas atap. Kalau dia paderi perempuan itu mengapa bertamu di atas wuwungan." Pikir Wiro.
Bangunan gedung Kadipaten memiliki beberapa wuwungan. Wiro melesat ke wuwungan paling rendah lalu melompat ke wuwungan yang lebih tinggi. Tak lama kemudian dia sudah berada di atas wuwungan dimana orang yang tadi dilihatnya dari bawah berada. Orang ini berpakaian jubah biru gelap. Saat itu dia tengah mengintip ke dalam bangunan lewat sebuah genteng yang sengaja dibuka. Demikian asyiknya dia mengintip hingga tidak tahu kalau ada orang lain naik ke atas atap. Juga tidak mendengar teriakan-teriakan di bawah sana. Tanpa suara Wiro dekati si jubah biru. Wiro tepuk bahu orang ini lalu berkata,
"Sobat, kalau ada pemandangan bagus jangan dilihat sendiri. Bagi-bagilah..."
Kejut si jubah biru yang adalah Ki Sentot Balangnipa bukan alang kepalang. Cepat dia palingkan kepala. "Keparat! Siapa kau?!" Ki Sentot Balangnipa membentak. Dia memang sudah sering mendengar nama dan kehebatan Pendekar 212 Wiro Sableng namun belum pernah melihat sendiri orangnya.
Melihat tampang orang yang menyerupai muka kuda, Pendekar 212 menyeringai. "Eh, matamu ternyata cuma satu. Masih saja doyan mengintip. Minggir sana, aku mau lihat apa yang sedang kau intip..."
Wiro dorong bahu si jubah biru dengan pantatnya. Orang ini menggembor marah. Tubuh dibungkukkan, kaki kiri menendang. Gerakannya cepat sekali.
"Wutt..." Wiro tersentak kaget. Bukan karena mendapat serangan mendadak begitu rupa, tapi ketika melihat keadaan kaki kiri orang itu yang berbentuk kaki kuda lengkap dengan ladam besinya. Wiro jatuhkan diri sama rata dengan atap bangunan. Tendangan si jubah biru masih menyapu rambut di kepalanya. Sebelum sempat orang menarik kakinya Wiro cepat menjotos.
"Bukkk..." Ki Sentot Balangnipa keluarkan gerung kesakitan. Tubuh melintir akibat jotosan yang melanda pangkal pahanya. Tampangnya berubah seperti kepala kuda. Dari bagian atas atap dia gulingkan diri, berusaha merangkul sosok Pendekar 212.
Wiro maklum lawan hendak mengajak jatuh bersama. Dengan cepat dia membuang diri ke samping kiri sambil tangan kanan melepas satu pukulan tangan kosong. Ki Sentot Balangnipa kebutkan lengan jubah sebelah kanan dua kali berturut-turut. Wiro terkejut. Kebutan lengan jubah lawan bukan saja membuyarkan pukulan tangan kosongnya tadi tapi dia juga merasakan tubuhnya laksana didorong sebuah batu besar. Karena kedudukan dua kakinya berada pada atap yang miring, dia tak mungkin bertahan. Wiro kerahkan tenaga dalam untuk melindungi diri. Bersamaan dengan itu dia pergunakan ilmu meringankan tubuh untuk cepat-cepat melompat ke atas.
Ki Sentot Balangnipa berusaha mengejar sambil melepas serangan tangan kosong mengandalkan tenaga dalam tinggi. Namun dia tidak melihat lawan. Sebelum dia mengetahui dimana Wiro berada tiba-tiba punggungnya dihajar satu tendangan keras. Tak ampun lagi orang ini mencelat mental, menggelinding di atas atap, terus melayang ke bawah. Ki Sentot Balangnipa memang tangguh. Walau punggung cidera berat namun dia masih sanggup membuat gerakan jungkir balik di udara dan jatuh dengan dua kaki menginjak tanah lebih dulu.
Wiro tidak perdulikan lagi orang itu. Dia cepat merangkak ke atas dan mengintai ke dalam gedung lewat genteng yang terbuka dimana tadi Ki Sentot Balangnipa melakukan pengintipan.
"Jahanam kurang ajar..." Wiro memaki geram. Apa yang disaksikan membuat dia marah besar. Di bawah sana, di atas sebuah ranjang seorang lelaki bertubuh besar tengah menanggalkan pakaian seorang perempuan muda berkulit sangat putih. Melihat wajah dengan kepala gundul semula Wiro hampir tidak mengenali perempuan itu. Namun dari warna pakaian serta sebilah pedang bergagang kepala naga yang terletak di atas meja, Wiro sadar perempuan itu bukan lain adalah Nionio Nikouw.
"Aneh. mengapa paderi itu diam saja?l" Pikir Pendekar 212. "Pasti ada yang tidak beres! Mungkin dia telah kena totok!"
"Braakkk!" Wiro tendang hancur atap bangunan lalu melesat turun ke dalam ruangan. Di udara dia berjungkir balik satu kali. Begitu melayang turun kaki kanannya menendang ganas ke arah kepala Adipati Brebes yang tengah berbuat mesum terhadap Nionio Nikouw.
Pada saat atap jebol, Adipati Karta Suminta sadar sesuatu terjadi diluar gedung. Telebih lagi ketika ada sambaran angin di sampingnya. Secepat kilat Adipati ini jatuhkan diri di atas tubuh Nionio Nikouw lalu menarik tubuh paderi itu menggelinding ke lantai. Begitu bangkit berdiri sosok sang paderi dipergunakan sebagai tameng melindungi diri. Pakaian merahnya tersingkap lebar di sebelah depan.
"Bangsat gondrong! Siapa kau!" Bentak Adipati Karta Suminta.
"Manusia bejat! Lepaskan perempuan itu atau kuhancurkan kepalamu!" Teriak Wiro lalu melangkah cepat mendekati.
"Berhenti! Jika berani mendekat kupatahkan leher paderi ini!" Adipati Brebes balas mengancam dan saat itu juga tangan kanannya yang berjari besar mencengkeram batang leher Kiang Loan Nio Nikouw.
"Aku tidak perduli kau mau apakan paderi itu! Yang aku Inginkan adalah nyawa busukmu!" Wiro melompat.
Termakan ucapan Wiro Adipati Brebes dorong tubuh sang paderi ke depan. Sebelum tubuh itu tersungkur di lantai Wiro cepat merangkulnya. Di saat yang sama Adipati Brebes berkelebat ke meja kayu jati di tengah ruangan, menyambar Pedang Naga Merah dan sekaligus. sreet... Menghunus senjata milik Nionio Nikouw Ini. Cahaya merah memancar di ruangan itu.
"Kurang ajar..." rutuk Pendekar 212. Dia cepat memanggul tubuh paderi Nionio, melangkah ke kanan ke arah pintu ruangan.
"Kalian berdua akan mampus percuma di tempat ini!" teriak Adipati Brebes marah besar. Sekali melompat pedang di tangan kanannya menderu dahsyat Wiro cepat menyingkir. Cahaya merah disertai hawa dingin menggidikan memapas satu jengkal di depan hidung Wiro. Kalau dia tidak cepat memutar diri sambil bersurut dua langkah, pasti kaki Nionio Nikouw yang terjuntai akan kena dibabat putus oleh Pedang Naga Merah miliknya sendiri!
"Manusia setan..." Baru saja Wiro memaki, Adipati Brebes sudah menyerbu kembali. Cahaya merah bertabur menggidikkan dalam ruangan. Di saat itu pula tiba-tiba dari atap yang jebol melayang turun satu sosok berpakaian biru yang bukan lain adalah Ki Sentot Balangnipa.
"Ki Sentot. Bantu aku membunuh dua orang ini...!"
"Dua orang ini Adipati?!" Ki Sentot Balangnipa terkejut. "Bukankah-perempuan Cina itu perlu dibiarkan hidup? Si gondrong jahanam ini yang musti dicincang...!"
"Kau benar" ucap Adipati Karta Suminta seolah baru sadar bahwa dia masih ingin melampiaskan nafsu bejatnya atas diri Nionio Nikouw. "Hati-hati Ki Sentot! Jangan sampai gadis itu terluka..." Sang Adipati pentang tangan yang memegang pedang lalu menyerbu. Ki Sentot Balangnipa goyangkan dua bahu, keluarkan suara meringkik seperti kuda.
Saat itu juga tahu-tahu dia sudah memegang sepasang tali kekang kuda yang merupakan senjata andalannya. Dengan dua senjata ini dia bisa membelah batu, membabat putus tubuh manusia, juga mampu menjirat mengikat atau menggantung orang.
Wiro melihat bahaya mengancam begitu rupa tidak mau berlama-lama. Ketika Adipati Brebes menerjang dengan Ang Liong Kiam dan Ki Sentot Balangnipa menyabatkan dua buah tali kekang yang jadi senjatanya, Pendekar 212 Wiro Sableng segera angkat tangan kanan. Begitu tangan memancarkan cahaya perak menyilaukan. Wiro memukul ke arah Adipati Karta Suminta.
"Pukulan Sinar Matahari. Adipati lekas menyingkir!" teriak Ki Sentot Balangnipa yang telah sering mendengar kehebatan ilmu pukulan sakti itu. Habis berteriak dia cepat-cepat jatuhkan diri ke lantai dan berguling menjauh, berlindung dibalik ranjang besar.
"Wuss...!" Cahaya putih berkiblat. Hawa panas menghampar. Adipati Karta Suminta menjerit keras. Tubuhnya terpental ke dinding. Sesaat tubuh itu seolah menempel lalu jatuh ke lantai dalam keadaan gosong hitam, mengepul bau sangit daging terpanggang! Asap tebal memenuhi ruangan.
Di luar terdengar suara banyak orang berlarian mendatangi para pengawal. Dari atas genteng ada seorang melompat turun. Pasti seorang yang punya kepandaian tinggi. Ki Sentot Balangnipa walau sebagian jubah birunya hangus masih untung tidak mengalami cidera. Hanya matanya terasa perih dan nafas menyesak. Didahului suara meringkik keras dia hantamkan dua tali kekang kuda ke tengah ruangan dimana tadi Wiro berada. Namun saat itu Pendekar 212 sudah lenyap dari ruangan itu. Pintu kamar tampak hancur berantakan..."
"Pengawal jangan biarkan bangsat gondrog itu kabur. Kejar..." teriak Ki Sentot Balangnipa.
********************
Wiro menambahkan beberapa potong kayu kering di atas Onggok perapian yang hampir padam. Goa dimana dia berada kembali menjadi terang benderang. Wiro menatap sosok paderi Nionio yang sampai saatitu masih terbaring tak sadarkan diri. Wajah cantik dengan kepala gundul. Sang pendekar jadi tersenyum sendiri. Dia tidak pernah menduga kalau Nionio Nikouw berkepala gundul.Meski tanpa rambut namun kecantikan Nionio Nikouw tetap memukau.
"Aneh rasanya, lucu, ada perempuan cantik berkepala botak. Baru sekali ini aku melihat" Sambil senyum-senyum Wiro usap-usap kepala gundul sang paderi. Tidak sampai disitu, dasar jahil dia dekatkan mulurnya ke kepala Nionio Nikouw lalu menjilat kepala botak itu!" Weehh, asin!" Wiro tertawa sendiri. Sebelumnya Wiro telah memeriksa keadaan diri paderi itu. Tak ada tanda-tanda bekas totokan di tubuh Nionio Nikouw. Dari bibirnya yang agak kebiruan Wiro menduga Nionio Nikouw tak sadarkan diri akibat keracunan.
"Pasti ini pekerjaan Adipati keparat itu..." kata Wiro dalam hati. Karena itu dia segera menotok beberapa jalan darah di tubuh Nionio Nikouw agar racun tidak tembus ke dalam jantung dan masuk ke otak. Sampai menjelang pagi paderi itu masih belum sadar. Wiro jadi gelisah. Tiba-tiba dia ingat pada Kitab Seribu Pengobatan yang ada daiam sebuah kantong kain dan disimpan di balik pakaiannya. Wiro segera hendak mengeluarkan kitab itu untuk mencari tahu cara pengobatan yang bisa dilakukan guna menolong Nionio Nikouw.
Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul Api Di Puncak Merapi dengan bantuan mahluk alam gaib yang diberinya nama Purnama, kitab tersebut berhasil didapatkan Wiro. Dalam kisah ini sebenarnya Wiro dalam perjalanan menuju puncak Gunung Gede untuk menyimpan kitab tersebut di satu tempat yang aman karena seperti diketahui pondok kedamaian Sinto Gendeng telah roboh berentakan sewaktu terjadi perkelahian antara si nenek dengan Tua Gila. Kemudian Sinto Gendeng menghancurkan sendiri pondok itu hingga musnah sama rata dengan tanah. (Baca serial Wiro Sableng dalam Episode Nyi Bodong)
Belum sempat Wiro mengeluarkan Kitab Seribu Pengobatan tiba-tiba dia melihat kaki kiri Nionio Nikouw bergerak. Wiro cepat simpan Kitab Seribu Pengobatan ke balik pakaian. Dia pegang urat besar di atas tumit kiri sang paderi. Terasa hangat tanda jalan darahnya mulai lancar. Wiro lalu alirkan hawa sakti ke dalam tubuh Nionio Nikouw lewat pegangan pada pergelangan tangan kanan. Sesaat kemudian keluar suara mendesah halus dan mulut Nionio Nikouw. Menyusul perlahan-lahan membukanya kedua matanya.
"Saudara Wie..." Kata-kata itu terucap sambil mata menatap sayu Pendekar 212. Lalu Nionio Nikouw perhatikan tangannya yang dipegang Wiro. Kemudian melirik ke atas, memandang ke kiri dan ke kanan lalu menatap ke arah perapian dan akhirnya kembali memandang Wiro. "Saudara Wie, kita berada dimana?"
Paderi itu tarik tangannya yang dipegang Wiro. Ketika dia memperhatikan dirinya kejutnya bukan olah-olah. Wajahnya mendadak sontak menjadi bersurut menjadi merah. Nionio Nikouw serta meria bangun dan duduk lalu tersurut menjauhi Wiro sampai punggungnya menyentuh dinding goa.
"Saudara Wie, apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan terhadapku?!" tanya Loan Nio Nikouw. Tangan kiri menutup dada pakaian yang tersingkap, tangan kanan meraba ke punggung.
Karena Wiro tak segera menjawab paderi perempuan itu bangkit berdiri. Sepasang matanya membesar, memandang tak berkesip ke arah Wiro. “Dimana pedangku?!"
Tiba-tiba ada seseorang muncul di mulut goa. Orang yang datang ini keluarkan ucapan. "Loan Nio. bangsat berambut gondrong ini barusan hendak memperkosamu. Untung aku datang. Dia pula yang telah mencuri Pedang Naga Merah milikmu. Senjata itu disembunyikannya di satu tempat Kau saksikan sendiri apa yang telah dilakukannya terhadapku!"
Orang yang bicara melangkah masuk sehingga wajah dan sosoknya kelihatan jelas diterangi nyala perapian. Kiang Loan Nio Nikouw menjerit keras. Wiro tidak tahu apa yang diucapkan orang di mulut goa karena dia berkata dalam bahasa Cina. Namun melihat keadaan sang paderi yang mendadak tampak marah besar seperti mau menerkamnya Wiro yakin orang di mulut goa telah mengatakan sesuatu yang dahsyat! Tanpa berpaling, dari suaranya saja Wiro sudah mengenali. Orang itu bukan lain adalah Liok Ong Cun.
"Saudara Wie! Benar... benar?!"
"Benar apa Nionio?"
"Kau hendak memperkosaku! Kau mencuri Pedang Naga Merah!"
"Nionio, aku belum gila melakukan hal bejat itul Pasti bangsat muka tengkorak ini mengarang cerita mengumbar mulut fitnah! dia hendak menarik perhatianmu!"
"Loan Nio, apapun yang dikatakannya jangan percayai Demi cintaku padamu aku akan membunuhnya saat ini juga! Apakah kau tidak akan membantuku menghajar orang yang hendak mencelakai dirimu ini?!" Liok Ong Cun cepat keluarkan ucapan karena merasa orang tengah berusaha membela diri.
Selesai berucap Liok Ong Cun cabut pedangnya. Loan Nio Nikouw meraba ke pinggang, mencari suling perak. Tapi benda itu tak berhasil ditemukan. Dia mengusap muka meraba kepala dan jadi terpekik ketika menyadari bahwa topi sekaligus cadar yang menutupi kepala serta wajahnya tak ada lagi! Dengan cepat paderi ini robek ujung bawah kiri kanan pakaian merahnya. Robekan kain yang cukup lebar Ini dijadikannya destar penutup kepala serta cadar pelindung wajah. Dengan mata menyorot Loan Nio Nikouw memandang ke arah Pendekar 212.
"Saudara Wie. aku tidak menyangka begitu bejat budi pekertimu! Aku mengira kau seorang sahabat yang bisa dimintai tolong! Ternyata kau iblis terkutuk!"
"Nionio, dengar dulu keteranganku..." ucap Wiro.
"Aku tak butuh keterangan. Aku ingin membunuhmu saat ini juga!" Loan Nio Nikouw berteriak keras lalu menerjang. Walau cuma mengandalkan tangan kosong namun dengan ilmunya yang tinggi dua tangan bisa seganas senjata tajam atau pentungan besi!
"Celaka Kenapa bisa jadi begini?!" ucap Pendekar 212 Dia cepat rundukkan kepala. Pukulan Loan Nio Nikouw menghantam dinding goa. Dinding berupa batu keras itu hancur, bolong besar. "Gila!" Wiro kembali memaki. Sementara dari kanan Liok Ong Cun putar tangannya yang memegang pedang.
"Wuttt..." Pedang Ular Hijau menyambar. Cahaya hijau berkiblat Wiro jatuhkan diri ke lantai goa sambil dua tangannya menyambar dua kayu perapian. Kayu di tangan kiri dilempar ke arah Nionio Nikouw hingga paderi perempuan ini terpaksa tahan serangan yang hendak dilancarkannya. Walau cuma kayu tapi karena dialiri tenaga dalam, setelah tidak mengenai sasaran kayu itu menancap di dinding goa. Dengan kayu berapi di tangan kanan Wiro kemudian menyerang Liok Ong Cun. Pendekat dari Tionggoan ini mendengus. Sekali pedangnya membabat kayu api di tangan Wiro buntung.
"Kalau tidak kuhabisi manusia satu ini bisa membuat urusan panjang tak karuan di kemudian hari!" Berpikir sampai di situ Wiro siap melepas Pukulan Sinar Malahan. Namun entah mengapa dia mengganti dengan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Dia kerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Angin dahsyat menggebu-gebu. Liok Ong Cun berteriak marah ketika melihat serangannya menjadi buyar. Sambil membolang balingkan pedang membentengi diri dia melompatmeneijang Wiro. Wiro sambut dengan dorongkan tangan kanan.
"Wusss!"
Liok Ong Cun terjengkang di tanah Pedang Ular hijau nyaris terlepas. Wiro melompat di atas tubuhnya, melesat keluar goa. Liok Ong Cun berusaha membabat kaki Wiro namun dadanya keburu sesak. Lalu pemuda Tionggoan ini semburkan darah kental. Dia termasuk hebat Orang lain yang terkena hantaman pukulan Benteng Topan Melanda Samudera berkekuatan tenaga dalam penuh pasti sudah remuk sekujur tubuhnya.
"Manusia pengecut! Kau bisa lari sekarang! Aku akan mencarimu sampai ke ujung dunia!" teriak Kiang Loan Nio Nikouw.
"Paderi Nionio! Jangan menuduh aku pengecut!" Di kegelapan malam diluar goa terdengar suara Wiro menyahuti teriakan sang paderi. "Aku terpaksa pergi karena kau lebih percaya pada pemuda busuk muka tengkorak itu dari pada diriku! Jika kau ingin tahu apa yang terjadi pergilah menyelidik ke Gedung Kadipaten Brebes! Aku telah membunuh Adipati Karta Suminta demi menyelamatkan dirimu dari perbuatan kejinya!"
"Dusta!" teriak Loan Nio Nikouw. Dalam keadaan masih marah dia berkelebat hendak mengejar. Tapi Liok Ong Cun mencegah.
"Manusia satu itu sangat berbahaya. Biarkan dia pergi. Ia tidak akan lolos dari tanganku. Demi dirimu aku bersumpah akan menabas lehemyal Loan Nio, mungkin ini saat yang baik bagi kita untuk bicara"
Mengingat dan merasa orang telah menolong dirinya, walaupun tidak suka pada pemuda itu namun akhirnya Loan Nio Nikouw masuk kembali ke dalam goa dan duduk di lantai. "Ong Cun, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini. Tapi tunggu..." Sang paderi perhatikan wajah Liok Ong Cun yang masih ada noda-noda darah di bagian bawah hidung dan sekitar bibir.
"Aku melihat noda darah di wajahmu. Suaramu sengau seperti ada yang mengganjal di hidungmu. Sesuatu terjadi atas dirimu sebelum kau berada di tempat ini..."
Liok Ong Cun jatuhkan diri ke lantai goa, duduk bersimpuh lalu mengarang cerita.
BAB ENAM
LOAN NIO," Liok Ong Cun mulai dengan kebohongannya. "Kau tahu bagaimana besarnya cintaku padamu. Sampai-sampai aku rela bunuh diri bahkan diluar sadarku aku bicara kasar padamu. Bukan itu saja, aku sampai ingin mati berdua bersamamu. Untuk semua itu aku sangatmenyesal dan mohon maafmu. Aku tahu kau sudi dan mau memaafkan diriku..."
"Teruskan bicaramu. Yang sudah berlalu aku tidak keliwat memikir. Yang aku ingin tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Benar pemuda berambut gondrong itu hendak merusak kehormatanku?"
"Kau mungkin tidak percaya. Lihat wajahku Loan Nio. Bibirku pecah, tulang hidung patah. Aku menderita luka di dalam. Itu yang telah terjadi dengan diriku sebelum memergoki manusia keparat itu melakukan perbuatan keji atas dirimu di goa ini. Sejak peristiwa di telaga, aku selalu memata-matainya. Bukankah aku pernah mengeluarkan ucapan akan membunuh siapa saja lelaki yang berani mendekatimu? Malam tadi aku mencegatnya di satu tempat Dia langsung menyerangku. Aku harus mengakui dia memiliki ilmu silat dan kesaktian sangat tinggi. Ilmu pedangku tidak berdaya. Kekuatan tenaga dalam dan hawa saktiku tidak mampu menandinginya. Aku dihajar begini rupa. Tidak apa. Cepat atau lambat dia akan menerima balasan dariku! Selain itu dia berkelahi secara licik. Oia menghajarku lalu kabur begitu saja. Ada satu hal yang membuatku sangat sakithati. Kau tahu apa yang dikatakanny sebelum pergi?"
"Mana aku tahu. Memangnya dia bicara apa?" tanya Loan Nio Nikouw pula.
"Katanya aku tak bakal mendapatkan dirimu karena kau telah tergila-gila padanya. Kau akan menjadi miliknya. Kalau sudah dapat kau akan ditelantarkan lalu ditinggalkanl Dia akan mempermainkan dirimu secara kejil Dia berkata aku tidak akan mendapatkan dirimu sebagai seorang gadis utuh karena dia akan menodai dirimu lebih dulu. Aku akan mendapat sisanya!"
"Kurang ajar sekali..." Loan Nio Nikouw jadi terbakar amarahnya. "Tidak ada seorangpun lelaki yang bisa memperlakukan aku seperti itu." Sang paderi menatap wajah tengkorak pemuda di hadapannya beberapa lama. Membuat Liok Ong Cun merasa tidak enak. "Ong Cun, aku percaya pada ceritamu tentang perkelahianmu dengan pemuda itu. Namun aku merasa heran. Setahuku kau tidak mengerti bahasa orang disini. Bagaimana kau tahu semua kata-kata yang diucapkan pemuda itu lalu menceritakannya padaku?"
Di balik topeng wajah Liok Ong Cun menjadi sangat merah. Dia tampak salah tingkah tapi masih bisa berdalih. "Aku memang tidak mengerti bahasa yang diucapkannya. Tapi dari gerak gerik serta sikapnya aku tahu apa yang dibicarakannya."
"Kau hebat sekali. Aku tidak tahu kau punya kepandaian mengartikan ucapan orang dari gerak geriknya." kata Loan Nio Nikouw sambil tersenyum, entah memuji entah mengejek.
"Selama aku masih hidup, dia tidak bakal dapat mencelakai dirimu. Aku bersumpah akan melindungimu setiap saat"
Loan Nio Nikouw tidak perduli ucapan Ong Cun. Selain itu, melihat bagaimana Pendekar 212 Wiro Sableng telah menggebuk pemuda muka tengkorak ini, jelas Ong Cun terlalu takabur. "Ong Cun, bagaimana kejadiannya kau sampai di goa in dan memergoki pemuda itu hendak menodai diriku?" tanya Loan Nio Nikouw.
"Setelah aku dipecundangi secara licik aku bertekad menuntut balas. Begitu dia pergi aku mencari jejaknya. Aku berhasil menemui pemuda terkutuk itu di goa ini. Tapi pada saat dia hendak merusak kehormatanmu..."
"Ong Cun, ketahuilah. Malam ini aku dan pemuda itu sebenarnya telah berjanji akan bertemu di depan gedung kediaman Adipati Brebes. Aku minta dia menemaniku menghadapi Adipati. Dia tidak muncul dalam waktu yang dijanjikan. Sekarang aku tahu. Dia tidak datang memenuhi janji karena berkelahi denganmu."
"Loan Nio, sungguh aku tak menduga kau mempercayai musang berbulu ayam itu! Kenyataannya kau lihat sendiri apa yang sekarang terjadi. Mengapa kau mau-maunya membuat janji dengan pemuda terkutuk itu..."
"Aku hanya menurut petunjuk Wakil Ketua Siauw Lim. Jika sampai di negeri ini harus mencarinya untuk dimintai tolong. Sebelumnya aku sama sekali tidak menaruh curiga padanya. Tapi jika dia memang orang jahat aku bisa saja berubah pikiran."
"Loan Nio, kau bukan cuma harus berubah pikiran. Tapi harus menjauhi pemuda itu! Bahkan tidak salah kalau kau membunuhnya! Wakil Ketua tidak tahu apa-apa tentang pemuda itu. Dia jauh di Tionggoan sana. Apa yang dia tahu tentang orang-orang di sini. Kau harus berhati-hati Loan Nio. Mulai sekarang kemana-mana kita harus bersama-sama. Aku punya tanggung jawab menjaga keselamatanmu."
Loan Nio Nikouw terdiam beberapa lama. Kemudian dia berucap. "Aku masih tidak mengerti mengapa aku bisa berada dalam goa ini. Padahal seingatku saat itu aku berada di gedung Adipati di Brebes..."
"Loan Nio, nada bicaramu seperti membela pemuda itu. Ketika aku sampai di goa ini, aku memergoki pemuda itu tengah menanggalkan pakaianmu. Aku langsung menyerangnya dengan pukulan Lima Kuku Akhirat Apa kau tidak melihat punggung pakaiannya yang robek dan lima guratan luka pada kulit tubuhnya?!"
"Aku memang melihat.." jawab Loan Nio Nikouw. Namun dalam hati dia berkata "Jka kau memang memergoki, mengapa susah-susah mengeluarkan Ilmu Lima Kuku Akhirat segala. Bukankah kau membekal pedang sakti? Mengapa tidak langsung membacok kepalanya dengan Pedang Ular Hijau? Sekali bacok kepala pemuda itu pasti terbelah. Apa lagi kau menyerang dari belakang." Dari luka guratan di punggung Wiro, Loan Nio Nikouw bisa menduga kalau Liok Ong Cun menyerang pemuda itu dari arah belakang.
"Seharusnya racun kuku jariku sudah membuat dia mampus saat ini. Tapi entah ilmu kebal setan apa yang dimilikinya hingga dia sanggup bertahan, tidak menemui ajal"
"Ong Cun... Jika pemuda itu hendak memperkosaku di tempat ini, bagaimana kejadiannya topiku tak ada di sini. Juga kain putih penutup bagian dalam dadaku tidak kutemui. Selendang ikat pinggangku lenyap. Lalu papan seluncurku juga hilang."
"Loan Nio, aku menduga pemuda itu sebelumnya hendak merusak kehormatanmu di tempat lain. Namun kemudian dia memutuskan membawamu ke goa ini. Mungkin di sini lebih aman. Mungkin juga topi dan kain penutup dadamu serta selendang jatuh di tengah jalan. Loan Nio, aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri apa yang hendak dilakukannya. Apakah kau tidak mempercayai diriku?"
Loan Nio Nikouw bukannya menjawab malah bertanya. "Pedang Naga Merah milikku apa juga jatuh di jalan?"
"Pasti dia yang telah mencurinya! Senjata itu agaknya disembunyikan di satu tempat" Ong Cun menatap wajah paderi cantik di hadapannya lalu berkata. "Loan Nio, air mukamu menunjukkan kau tidak mempercayai keteranganku. Apa yang diteriakkan pemuda itu tadi padamu sebelum kabur?"
"Ong Cun, aku percaya padamu. Namun ada beberapa kejadian yang membingungkan..."
"Kau hendak diperkosa orang yang kau sangka baik. Tentu saja kau jadi bingung. Loan Nio."
"Bukan, bukan itu maksudku" jawab Loan Nio Nikouw. "Sebelumnya aku masuk seorang diri ke dalam Gedung Kadipaten. Aku bertemu dengan Adipati Karta Suminta. Dia pejabat tinggi dan penguasa di daerah ini. Kami bicara lalu aku tak ingat lagi. Sesuatu pasti terjadi atas diriku. Adipati itu menyuguhkan sejenis minuman..."
Berarti pemuda jahat itu menghadangmu setelah kau keluar dari Gedung Kadipaten. Ketika kau lengah bisa saja dia menotokmu. Aku tidak yakin seorang pejabat mau berbuat keji terhadap dirimu. Atau bisa saja begini. Pemuda itu berkomplot dengan Adipati untuk mencelakaimu. Lalu membawamu ke goa ini dan mengaku justru dia yang menyelamatkan dirimu. Maksudnya jelas agar kau merasa berhutang budi dan kehormatan lalu pasrah menyerahkan diri padanya!"
Loan Nio Nikouw terdiam. "Satu bukti lagi bahwa pemuda itu orang jahat, mengapa dia melarikan diri begitu saja? Dia takut belangnya akan ketahuan. Selain itu dia merasa tak sanggup menghadapi kita berdua. Aku tadi mengadu nyawa untuk menyelamatkan dirimu. Sampai saat ini agaknya kau masih lebih mempercayai dia dari pada diriku. Aku benar-benar merasa kecewa, Loan Nio. Loan Nio, dengar. Jika sekali lagi aku berhadapan dengan pemuda itu aku akan mengeluarkan ilmu Manusia Bangkai. Aku dendam sampai mati pada pemuda keparat satu ibu. Kau tahu, sebelum kabur dia mengencingi mukaku!"
Wajah Loan Nio Nikouw berubah. Kejutnya bukan alang kepalang. Bukan karena cerita Ong Cun bahwa mukanya telah dikencingi Wiro. Melainkan karena mendengar ilmu yang disebut pemuda bertopeng muka tengkorak itu. Ilmu Manusia Bangkai adalah satu ilmu setengah sihir yang sangat berbahaya.
Ilmu ini dimiliki oleh seorang tokoh sesat dari Gobi Pay berjuluk Pak San Kwi Ong yang berarti Raja Setan Gunung Utara. Orang yang memiliki ilmu ini tubuhnya akan berubah menjadi bangkai hidup berbau busuk luar biasa. Siapa saja lawan yang terkena sentuhannya, bagian tubuhnya akan membusuk. Dalam waktu beberapa hari kebusukan itu akan menjalar ke seluruh tubuh sampai ke kepala dan kaki. Tak ada yang sanggup menyembuhkan. Berarti jangan harap korban bisa bertahan hidup!
"Aku tidak pernah mendengar kabar kapan pemuda ini mempelajari ilmu sesat itu. Pasti setelah aku meninggalkan Siauw Lim beberapa waktu lalu. Turut kabar yang aku dengar Pak San Kwi Ong punya kelainan badaniah. Dia hanya bernafsu pada sesama jenis. Apa Ong Cun telah menyerahkan dirinya untuk mendapatkan ilmu itu? Mengerikan, menjijikan. Dan manusia macam ini yang minta nikah denganku. Semoga Thian menjauhkan aku darinya." (Thian=Tuhan). Perlahan-lahan Loan Nio Nikouw bangkit berdiri. Banyak hal yang membuat pikirannya kacau. Banyak hal yang harus segera dilakukannya.
"Loan Nio, kau mau kemana?" tanya Liok Ong Cun.
"Urusanku di Gedung Kadipaten belum selesai. Aku akan kembali ke sana..."
"Kau barusan saja menemui bahaya. Hampir celaka. Dan sekarang berkata hendak kembali ke Kadipaten. Lebih baik kita sama-sama tinggalkan tempat ini. Loan Nio, tak ada yang lebih baik dari pada kembali ke Tionggoan. Kita menikah di sana."
"Manusia satu ini benar-benar keras kepala," kata Loan Nio Nikouw dalam hati. Lalu dia berucap. "Kau mungkin lupa. Aku pernah menerangkan ada tugas yang harus aku laksanakan dari Wakil Ketua Siauw Lim. Aku akan pulang bila semua tugasku selesai. Lagi pula aku harus menemukan Ang Liong Kiam kembali. Senjata itu sama nilainya dengan nyawaku. Aku juga harus mencari topi. selendang serta papan seluncurku. Suling perakku!"
"Aku bosan mendengar ceritamu itu. Tugas... tugas! Kalaupun kau berhasil dalam tugasmu Siauw Lim tidak akan menjadikanmu pahlawan besar."
"Dalam menjalankan tugas apapun, dari siapapun aku tidak pernah memikir akan jadi pahlawan." Kata Loan Nio Nikouw pula. Lalu dia meneruskan. "Kalau kau bosan, tak usah kau dengar semua ucapanku."
"Loan Nio, mengapa kau jadi begitu keras kepala. Aku ingin menyelamatkanmu dari bencana. Ah, aku khawatir. Jangan-jangan kau telah tertarik pada pemuda berambut gondrong itu."
Di balik kain merah penutup muka, wajah Loan Nio Nikouw menjadi merah oleh ucapan pemuda muka tengkorak. Tanpa banyak bicara lagi dia segera tinggalkan tempat itu. Liok Ong Cun sesaat tertegun Lalu berteriak keras dan memukul dinding goa dengan tangan kanan hingga hancur berantakan.
"Gadis itu sudah tergerak hatinya padaku. Tapi kini setan gondrong keparat itu yang jadi ganjalan. Jangan-jangan Loan Nio sudah kena guna-gunanya. Aku banyak mendengar cerita. Negeri ini penuh dengan seribu satu macam ilmu guna-guna Ilmu pelet!" Habis memukul dan memaki Liok Ong Cun keluar dari goa. Dia masih sempat melihat bayangan Loan Nio Nikouw lalu mengajar ke arah larinya paderi itu.
********************
KETIKA Wiro kembali ke Gedung Kadipaten Brebes, malam hampir sampai di penghujungnya. Keadaan gedung terang benderang. Lampu menyala dimana-mana Di bagian dalam dan luar gedung terlihat banyak orang. Di pintu gerbang selusin perajurit pengawal berjaga-jaga. Di halaman dalam belasan pengawal tampak mondar-mandir. Di luar tembok pagar halaman hampir dua puluh pengawal melakukan penjagaan.
Wiro berpikir mencari akal bagaimana caranya agar bisa masuk ke dalam tanpa menarik perhatian atau dicurigai. Dia punya dua tujuan kembali ke gedung itu. Pertama untuk mencari dan mendapatkan kembali Pedang Naga Merah, topi serta suling perak milik Nionio Nikouw. Kedua menyelidik keterlibatan Adipati Brebes dalam kematian Eyang Sepuh Kembar Tilu. Loan Nio Nikouw pernah cerita bahwa dia ingin menemui Adipati Brebes untuk mencari tahu keberadaan dua buah dadu mustika. Paderi ini mengatakan bahwa saat itu Adipati Karta Suminta satu-satunya sumber petunjuk keberadaan dua buah dadu.
Sementara itu sebelum menemui ajal Eyang Sepuh Kembar Tilu minta Wiro agar mendapatkan dua buah dadu itu. Di kamar dimana sang Adipati hendak menggagahi Loan Nio Nikouw Wiro sempat melihat sehelai jas hitam terletak di atas kursi. Wiro keluarkan kancing baju besar yang diberikan Eyang Kembar Tilu padanya. Menimang-nimang kancing itu beberapa lama lau memasukkannya kembali ke balik pakaiannya.
"Jika kancing ini tanggal dari jas milik Adipati Brebes, berarti dia yang membunuh nenek aneh itu. Itu yang perlu kuselidiki..."
Selagi berpikir-pikir seorang pengawal lewat di depan Wiro, tengah melangkah ke arah pintu gerbang, membekal sebilah tombak, Wiro mengukur-ukur. Pengawal ini memiliki ukuran badan menyerupai dirinya. "Celana dan bajunya pasti muat," ucap Wiro dalam hati. Lalu dia mendekati sang pengawal.
"Pengawal, ada orang dibunuh dibalik semak belukar sana" Si pengawal hentikan langkah, menatap Wiro sejurus lalu memandang ke arah semak belukar di kejauhan yang ditunjuk Wiro.
"Kau siapa? Siapa yang dibunuh?" Pengawal bertanya.
"Saya Ngamino, petani dari Dukuh Turi. Yang dibunuh sepertinya seorang perajurit Kadipaten," jawab Wiro.
"Hah!" Sang pengawal kaget" Lekas antarkan aku kesana"
"Ba... baik. Tapi kau jalan lebih dulu. Aku takut Perajurit itu mati dengan lidah mencelet dan mata mendelik..." Wiro berkata sambil mendorong punggung si pengawal.
"Hah?!" Si pengawal melangkah cepat ke arah semak belukar. Wiro mengikuti dari belakang. Sampai di balik semak belukar si pengawal memeriksa lalu berpaling pada Wiro.
"Tak ada mayat! Tak ada siapa-siapa di tempat ini!"
"Memang tak ada siapa-siapa di sini!" jawab Wiro sambil menyengir.
"Kurang ajar! Aku sedang bertugas dan kau mempermainkan aku" Si pengawal marah sekali lalu angkat tombaknya.
"Tidak, aku tidak mempermainkanmu. Aku cuma mau pinjam pakaianmu”
"Setan alas..." Makian si pengawal terputus. Totokan yang dihujamkan Wiro ke pangkal lehernya sebelah kiri membuat pengawal itu langsung kaku dan gagu. Wiro tarik orang ini ke balik samak belukar.
BAB TUJUH
DENGAN menyamar sebagai perajurit Kadipaten, mengenakan pakaian pengawai curian di atas pakaian putihnya, membawa tombak Wiro melewati pintu gerbang Gedung Kadi paten tanpa kesulitan. Rambutnya yang panjang digulung lalu ditutupi topi besar. Saat itu menjelang pagi. Udara terang-terang tanah.
Di dalam gedung orang banyak sekali. Di sebuah ruangan besar jenasah Adipati Karta Suminta dibaringkan dlatas ranjang besar kasur tebal diselimuti kain sutera halus. Beberapa orang laki dan perempuan duduk bersimpuh mengelilingi ranjang. Yang lelaki unjukkan wajah sedih, yang perempuan menangis. Mereka adalah kerabat dekat mendiang Adipati Karta Suminta. Wiro melangkah sepanjang sisi dinding mangan. Dia berusaha mencari dimana letak kamar tidur Adipati Karta Suminta.
Setelah berputar-putar cukup lama akhirnya Wiro berhasil juga menemukan kamar itu. Di depan pintu kamar ada seorang pelayan perempuan gemuk pendek menunggui. Seorang pengawal bicara dengan pelayan perempuan itu lalu pergi. Wiro segera mendekati si pelayan.
"Saya ditugaskan memeriksa kamar tidur Adipati. Mungkin pembunuh Adipati masuk ke sini dan meninggalkan tanda-tanda yang bisa dijadikan pengusutan. Saya merasa tidak enak kalau memasuki kamar tanpa ada yang menyaksikan. Saya tidak mungkin meminta izin istri Adipati yang sedang berduka."
Pelayan perempuan bertubuh gemuk pendek itu perhatikan Wiro beberapa lama. "He... Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya." Sang pelayan keluarkan ucapan. Suaranya bernada heran tapi juga ada rasa curiga.
Wiro tersenyum. "Saya pengawal baru di sini. Baru datang kemarin dari Slawi."
"Walau baru adalah aneh kalau disitu tidak tahu bahwa Adipati Karta Suminta tidak punya istri..."
"Ah..." Wiro tertawa. "Terjebak aku" katanya dalam hati. "Soal atasanku punya istri atau tidak, atau punya istri banyak, apakah saya harus bertanya padanya atau menggunjingkan dengan orang lain? Mbok, saya masih banyak tugas lain. Saya minta diizinkan masuk sekarang juga..."
Si pelayan akhirnya membuka pintu kamar. Sebelum masuk Wiro pura-pura bertanya. "Si mbok tidak ikut masuk?"
Pelayan menggeleng. "Aku menunggu di luar saja..." katanya.
Wiro mengangguk. "Aku tidak lama."
Begitu Wiro masuk pelayan gemuk pendek ini segera beranjak pergi. Dia melangkah cepat ke bagian depan gedung, menemui seseorang.
Di dalam kamar yang diperiksa Wiro adalah sebuah lemari pakaian besar. Di dalam lemari ini dia melihat enam buah jas tutup tergantung rapi. Wiro cepat memeriksa kancing setiap jas. Ternyata kancing-kancing jas tutup itu lengkap semua. Tak ada yang hilang atau tanggal. Wiro keluarkan dari saku pakaiannya kancing baju yang didapat dari Eyang Sepuh Kembar Tilu. Salah satu jas tutup yang ada dalam lemari itu memiliki kancing yang sama bentuk serta warnanya Tapi semua kancing-kancing jas tutup itu lengkap, tak ada yang tanggal.
"Mungkin saja kancingnya sudah diganti," pikir Wiro. "Mungkin juga memang bukan dia pembunuh nenek aneh itu."
Wiro hendak menutup pintu lemari pakaian. Namun dia ingat sesuatu. Jas tutup berkancing sama dengan yang ada padanya diperiksa ke dua sakunya. Dalam salah satu saku Wiro menemukan sebuah kantong kecil, terbuat dari kain berwarna hitam. Kantong ini kosong, tak berisi apa-apa Wiro menimang-nimang kantong itu sambil berpikir-pikir, akhirnya kantong kain hitam dimasukan ke dalam saku pakaian. Lalu dia cepat-cepat melangkah ke pintu.
Namun begitu pintu dibuka langkah Wiro serta merta tertahan, dihadapannya berdiri dua orang dengan sikap menghadang. Orang pertama, berdiri di sebelah kanan adalah si muka kuda jubah biru mata satu Ki Sentot Balangnipa. Orang ini menyeringai lalu keluarkan ucapan.
"Menyamar jadi pengawal. Kau kira kami ini orang-orang tolol?" Pemuda keparat! Pembunuh Adipati Karta Suminta! Lancangnya kau memasuki kamar mendiang Adipati. Apa yang kau lakukan di dalam sana?!"
Wiro melirik pada sebilah pedang bersarung yang dipegang Ki Sentot Balangnipa. Dia segera mengenali. Pedang Itu adalah Ang Liong Kiam milik Nionio Nikouw. Di pinggang Ki Sentot tersisip sebuah suling perak. Benda ini juga adalah milik sang paderi. Wiro menyeringai. Sadar kalau orang sudah mengenali siapa dirinya Wiro tanggalkan topi besar di kepala. Topi ini dilemparkannya ke arah wajah ki Sentot Balangnipa.
"Jahanam!" Sambil berteriak marah ki Sentot Balangnipa cepat menghindar.
"Aku ke dalam kamar mencari senjata itu. Ternyata ada padamu!" Wiro tudingkan tombak yang dipegangnya ke arah pedang di tangan Ki Sentot Balangnipa.
"Mulut busuk dusta. Kau kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan di dalam sana. Aku mengintip semua perbuatanmu lewat atap kamar!"
"Matamu cuma satu. Tapi masih doyan mengintip. Sebelumnya kau asyik-asyikan mengintip Adipati yang hendak merusak kehormatan gadis pemilik pedang itu! Tadi kau mengintip aku. Kucing beranakpun bisa-bisa kau intipi Ha ha ha!" Wiro tertawa gelak-gelak.
Orang di samping Ki Sentot Balangnipa kerenyitkan kening, rangkapkan dua tangan di atas dada. Lalu Ikutan tertawa. Suara tawanya perlahan saja namun Wiro merasa lantai yang dipijaknya bergetar. Wiro tidak tahu siapa adanya orang satu ini yang agaknya memiliki tenaga dalam dan hawa sakti tinggi.
Sementara itu Ki Sentot Balangnipa sendiri tampak mengetam merah tampangnya. Rahang menggembung, mata kirimendelik besar. Tangan kiri yang memegang sarung pedang diangkat ke atas. Tangan kanan bergerak mencabut
"Srettt..." Pedang sakti keluar dari sarungnya. Cahaya merah langsung bertabur. Orang banyak yang ada di tempat itu segera menjauh. Belasan pengawal menutup semua jalan keluar.
Orang kedua yang berdiri di samping Ki Sentot Balangnipa adalah kakek bertubuh kurus tinggi. Sepasang daun telinganya sangat lebar, mengingatkan Wiro pada daun telinga sobatnya, si kakek berjuluk Setan Ngompol. Orang ini mengenakan jubah hitam gombrang menjela lantai. Rambut panjang kasar seperti ijuk berwarna biru. Sepasang alis juga berwarna biru sementara dua bola mata berwarna kelabu pekat
"Pendekar Dua Satu dua! Kau boleh menyandang nama besar dan punya nyali setinggi langit. Apa tidak mengerti kalau kau cuma punya satu nyawa?!" Orang yang tidak dikenal Wiro itu membuka mulut sambil goleng-goleng kepala. Namanya Walang Gambir. Dalam rimba persilatan tanah Jawa dia dikenai dengan julukan Kobra Biru.
Wiro menggaruk kepala. Sambil senyum cengengesan dia berkata "Orang gilapun tahu kalau setiap manusia cuma punya satu nyawa. Mungkin kau satu-satunya manusia yang punya nyawa satu setengah?!"
Ki Sentot Balangnipa menyeringai. Pedang Naga Merah melintang di depan dada. "Pendekar Dua Satu Dua. Ternyata kau memang orang sableng yang pandai melucu. Dengar baik-baik. Jika kau sudi menyerah, umurmu mungkin bisa kami perpanjang barang satu hari" Ucap kakek bertampang kuda.
Dia sudah tahu kehebatan Wiro bahkan sebelumnya sempat dihajar pendekar ini. Itu sebabnya dia mencoba menghindari perkelahian walau saat itu di sampingnya ada seorang sobat berkepandaian tinggi yang bisa diandalkan. Selain itu Ki Sentot Balangnipa juga ingin mengorek keterangan dari Wiro. Waktu mengintip dari atas atap tadi dia melihat pemuda itu mengambil sesuatu dari kantong jas tutup milik mendiang Adipati Karta Suminta.
"Soal menyerah gampang-gampang saja," sahut Pendekar 212. Tapi serahkan dulu padaku pedang itu. Senjata itu bukan milikmu. Kau mencurinya!"
"Lantas apakah kau merasa pedang ini milikmu hingga kau lancang berani meminta?!" tukas Ki Sentot Balangnipa.
"Pemiliknya adalah seorang paderi dari Cina. Dia sahabatku. Aku mewakilinya untuk meminta senjata itu. Jelas?!"
"Pemuda setan! Siapa percaya dirimu! Sekalipun paderi itu gendak atau istrimu aku tidak menyerahkan pedang ini padamu. Tapi jika kau memaksa meminta silahkan mengambil" Habis memaki Ki Sentot Balangnipa gerakkan tangan yang memegang-megang pedang.
"Wuttt...!" Sinar merah menebar ganas, mengeluarkan hawa dingin. Wiro angkat tangan kanannya yang memegang tombak.
“Traang!" Seperti menabas ranting kering, pedang sakti membabat buntung tombak besi di tangan Wiro. Selanjutnya secepat kilat ujung pedang menyambar dalam gerakan membalik. Tinggal sepertiga jengkal ujung senjata itu berada di depan leher Wiro, tiba-tiba Wiro dan Ki Sentot Balangnipa sama-sama terpental. Wiro topangkan tangan ke lantai agar tidak terbanting jatuh. Dadanya terasa sesak. Dia cepat mengatur jalan darah dan melompat bangkit! Sebaliknya Ki Sentot Balangnipa sudah lebih dulu jatuh terjengkang! Dadanya mendenyut sakit Pelipisnya bergerak-gerak. Apa yang terjadi? Apa yang menyebabkan kedua orang itu terpental?
"Ada yang tidak beres!" membatin Walang Gambir yang bermata tajam. Dia berbisik pada Ki Sentot "Amankan pedang." Lalu dia melompat ke hadapan Pendekar 212. "Anak muda, kau mau menyerah atau ingin mampus saat ini juga?!"
"Tua bangka jelek! Kau ingin sekali melihat aku mati! Melihat tampangmu pun baru hari ini. Kalau aku mampus apa kau mau ikutan?!"
Darah Walang Gambir alias Kobra Biru menggelegak. Tapi dia masih bisa menguasai diri. "Berlututlah minta ampun. Kami akan mengampuni selembar nyawa busukmu!"
"Tua bangka jelek! Bicaramu sombong amat. Apa kau tidak Melihat malaikat maut sudah berdiri di sampingmu, siap hendak menjemput kau punya nyawa?!"
"Setan kurang ajar!" Walang Gambir marah sekali. Tapi dia berlaku cerdik. Tak mau gegabah. Dia pergunakan tangan orang lain terlebih dahulu. "Ki Sentot habisi bangsat ini..."
Dengan Pedang Naga Merah di tangan Ki Sentot Balangnipa menerjang. Sampai dia melakukan serangan ini dia masih tidak mengerti apa yang membuat dia tadi mental. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dan dialirkan ke tangan yang memegang pedang, lelaki bermata satu ini bacokan senjata milik Loan Nio Nikouw itu ke arah kepala Pendekar 212. Wiro cepat melompat mundur. Lawan mengejar dengan garang.
“Wuttt” Seperti tadi, hanya tinggal sedikit lagi pedang sakti itu akan membelah batok kepala Wiro, tiba-tiba Ki Sentot Balangnipa mengeluh pendek. Cahaya merah yang memancar dari Pedang Naga Merah meredup lalu senjata ini terpental membal ke belakang. Ki Sentot sendiri mencelat sampai empat langkah dan jatuh terbanting di lantai. Dari sudut bibirnya meleleh darah kental. Tampangnya tampak seputih kain kafan!
Walau tidak menderita separah lawannya namun Wiro juga jatuh terduduk di lantai ruangan. Dadanya mendenyut sakit seperti ada satu batu raksasa menghimpit. Mulut terasa asin. Ada darah membersitdi tenggorokannya! "Gila, aku terluka di dalam. Apa yang terjadi?"
Wajah putih Ki Sentot Balangnipa berubah garang. Sekali melompat dia sudah berdiri. Ketika dia kembali hendak menyerang dengan pedang di tangan, Walang Gambir cepat menghalangi.
"Ki Sentot mundurlah. Biar aku yang menangani bangsat pembunuh Adipati Karta Suminta ini! Kita tidak perlu membuang waktu berlama-lama! Kalau kita sudah memutuskan dia harus mati, dia memang harus mampus!"
Kalau bukan Walang Gambir yang melarang Ki Sentot Balangnipa pasti tidak mau perduli. Amarah dan dendamnya terhadap Wiro bukan alang kepalang.
"Pemuda terkutuk. Menurut aturan kau seharusnya dihukum gantung karena telah membunuh Adipati Karta Suminta. Tapi aku akan mempercepat kematianmu. Lihat wajahku!" Walang Gambir sorongkan kepalanya ke depan.
"Wajahmu jelek..." kata Wiro pula.
Walang Gambir tidak pedulikan ejekan orang. Begitu selesai berucap dia usapkan tangan kiri ke wajah.
"Dess...!" Terdengar satu letupan halus disertai kepulan asap tipis berwarna biru. Lalu... settt.. leher Walang Gambir saat itu juga menjadi panjang. Kepala berubah menjadi kepala seekor ular kobra besar berwarna birui Mata mendelik merah, mulut terpentang lebar memperlihatkan deretan gigi runcing tajam dan lidah yang menjulur merah. Inilah Ilmu kesaktian dahsyat yang dimiliki Walang Gambir yang membuat dia dijuluki Kobra Biru! Puluhan orang termasuk belasan tokoh rimba persilatan telah menemui ajal di tangan kakek ini.
Pendekar 212 dalam kagetnya segera bergerak mundur. "Kau tak bisa bergerak. Kau tak bisa melangkah"
Wiro tersentak kaget. Saat itu dia benar-benar tak bisa bergerak, sekalipun sudah menggerakkan seluruh tenaga. Dua kakinya terasa berat Jangankan melangkah, menggeserpun tak sanggup dllakukanya. "Celaka! Tua bangka ini menyihirku!"
Yang dilakukan Walang Gambir dengan ilmunya bukan cuma menyihir Wiro tapi juga menyerangnya. Kepalanya yang telah berubah menjedi kepala ular Kobra biru mendesis keras lalu melesat ke arah kepala Wiro. Untuk beberapa lamanya mulut kobra biru menancap di kening Wiro tanpa pendekar Ini bisa berbuat apa-apa. Saat itulah tiba-tiba terdengar jeritan keras disertai berkelebatnya satu bayangan merah.
Ki Sentot Balangnipa berteriak kaget ketika mendadak ada yang merampas pedang di tangan kanannya. Belum sempat, dia mencari tahu siapa yang melakukan hal itu, satu tendangan bersarang di dadanya. Untuk kedua kalinya si mata satu ini berteriak, kali ini karena kesakitan. Untuk kedua kalinya pula darah membersit dari mulutnya. Dalam keadaan seperti itu sepasang matanya melihat satu pemandangan berbahaya. Dia lalu berteriak.
"Ki Walang! Awas serangan pedang di belakangmu..." Walang Gambir alias Kobra Biru mendesis dan bergerak cepat. Namun masih kalah cepat dengan datangnya sambaran Ang Liong Kiam.
"Crasss! Dess...!"
Lolongan aneh menggelegar mengerikan di dalam gedung. Asap biru mengepul lalu sirna. Kutungan kepala Ular kobra mencelat di udara lalu jatuh ke lantai ruangan. Beberapa orang yang ada di ruangan itu lari berpekikan. Begitu sosok Walang Gambir jatuh ke lantai, ujud kepala ular kobra biru berubah menjadi kepala asli Walang Gambir! Untuk kesekian kalinya orang banyak berpekikan ngeri. Ki Sentot Balangnipa sendiri merasa tengkuknya dingin lalu terkapar pingsan.
Keanehan dan kengerian tidak hanya sampai di situ. Tiba-tiba satu letusan dahsyat menggelegar disertai menebarnya asap biru. Ketika asap sirna, potongan kepala dan sosok tubuh Walang Gambir yang tadi tergeletak di lantai tak ada lagi di tempat itu.
"Loan Nio! Lekas tinggalkan tempat ini!"
Ada orang berteriak dalam bahasa Cina. Seorang pemuda bermuka tengkorak mencekal tangan kiri orang yang memegang pedang dan tadi menabas leher Walang Gambir. Ternyata orang ini bukan lain adalah Kiang Loan Nio Nikouw sang paderi berwajah cantik yang saat itu kemunculannya disusul oleh Liok Ong Cun.
“Tidak! aku harus menolong Saudara Wie lebih dulu!" teriak Loan Nio Nikouw lalu hendak melompat ke arah Wiro yang saat itu berdiri tidak bergerak, sepasang mata membeliak besar. Di keningnya ada sebuah luka berwarna biru.
Warna biru ini menjalar ke seluruh wajah, turun ke leher, terus ke seluruh badan sampai ke ujung kaki. Bahkan rambutnya yang gondrong juga berubah biru! Jelas satu racun jahat telah merasuk ganas mulai dari kepala sampai ke kaki sang pendekar! Tinggalkan dia. Perlu apa ditolong! Dia telah berbuat jahat hendak memperkosamu! Ayo ikut aku!"
Dengan sekuat tenaga Liok Ong Cun menarik tangan Loan Nio Nikouw. Demikian kuatnya tarikan ini hingga Liok Ong Cun berhasil membawa paderi itu sampai ke halaman depan.
"Liok Ong Cun! Lepaskan tanganmu atau kutabas dengan pedang!" Loan Nio Nikouw mengancam.
"Perempuan keras kepala. Jangan cuma tangan, leherku boleh kau tabas!" teriak Liok Ong Cun. "Jika kau memang suka pada pemuda itu pergilah! Dia diserang racun ganas. Tak ada obat yang bisa menyembuhkannya! Tak ada orang pandai yang bisa mengobatinya! Kau hanya akan mendapatkan bangkainya!"
Penuh geram pemuda bertopeng wajah tengkorak itu lepaskan cekatannya di pergelangan tangan kiri Loan Nio Nikouw lalu menghambur pergi tinggalkan halaman Gedung Kadipaten! Ketika lewat di pintu gerbang, saking geramnya Liok Ong Cun tendang sebuah arca batu hingga hancur berkeping-keping.
Begitu ditinggal Liok Ong Cun dengan cepat Loan Nio Nikouw lari masuk ke dalam gedung kembali. Namun Pendekar 212 tak kelihatan lagi. Di lantai Ki Sentot Balangnipa terkapar pingsan tertelungkup! Tangan kiri masih memegang sarung Ang Liong Kiam. Loan Nio Nikouw cepat ambil sarung pedang miliknya itu. Dia tidak melihat suling perak miliknya yang terselip di pinggang sebelah depan Ki Sentot. Paderi ini memandang berkeliling lalu berkelebat ke beberapa bagian dalam gedung mencari Wiro. Belasan perajurit Kadipaten yang ada di tempat itu tidak berani bertindak menghadang apalagi menangkapnya.
"Aku tak menemukan pemuda itu. Ada musuh yang menculiknya! Racun yang menyerang dirinya jahat sekali. Jangan-jangan saat ini dia sudah menemui ajal! Ah, kemana aku harus mencari!" Loan Nio Nikouw memandang berkeliling. Saat itulah tiba-tiba terdengar teriakan.
“Tangkap perempuan bercadar itu!"
Selusin perajurit pengawal Gedung Kadipaten yang sejak tadi hanya bisa mengawasi dari jauh kini bergerak menebar mengurung Loan Nio Nikouw. Di depan sekali berdiri pimpinan mereka, seorang lelaki bertubuh tinggi besar berkumis tebal melintang dan berewokan lebat.
“Tangkap" Untuk kedua kalinya si berewok ini memberi perintah.
Dua belas pengawal serta merta menyerbu Loan Nio Nikouw. Dalam kesal dan khawatir sang paderi melesat ke udara. Kaki kanan menginjak kepala pengawal, sarung pedang di tangan kiri berkelebat kian kemari. Kepala pengawal coba menangkap kaki Loan Nio Nikouw tapi justru hidungnya disambar tumit sang paderi hingga berderak patah dan kucurkan darah. Orang ini terbungkuk-bungkuk, meraung kesakitan laiu jatuh terjerembab di lantai.
Sementara itu lima perajurit berpekikan sambil pegangi kepala mereka yang terluka dan benjut di kemplang sarung pedang. Masih untung Loan Nio Nikouw tidak memecahkan kepala mereka. Sebelum melesat ke pintu Loan Nio Nikouw berkelebat ke arah ranjang dimana jenazah Adipati Karta Suminta dibaringkan. Dengan cepat dia menarik kain sutera yang menutupi bagian atas jenazah.
Walau cuma sebentar dan wajah jenazah itu dalam keadaan gosong hitam namun paderi masih bisa mengenali bahwa itu memang adalah wajah dan jenazah sang Adipati. Di luar hari sudah terang. Loan Nio Nikouw tak tahu mau bergerak ke arah mana. Akhirnya paderi ini berkelebat ke jurusan timur seolah sengaja menyongsong kedatangan sang surya.
********************
BAB DELAPAN
Ha-hu ha-hu." Dua nenek kembar rambut kelabu berjubah kuning baringkan tubuh Pendekar 212 di lantai dangau. Dangau ini adalah tempat dimana dulu Eyang Sepuh Kembar Tilu menemui ajal dibunuh oleh seseorang yang sampai saat itu tidak diketahui siapa adanya. Sekujur badan Wiro mulai dari rambut sampai kepala dan mata terus ke ujung kaki berwarna biru akibat racun jahat Kobra Biru.
Dua nenek jejadian bicara ha-hu ha-hu sambil dua tangan bergerak kian kemari. Mereka tengah dilanda kebingungan bagaimana caranya menolong Wiro yang saat itu berada dalam keadaan kaku, tak bisa bergerak tak mampu bicara, dua mata mendelik tak berkesip.
"Ha-hu ha-hu..." Nenek di sebelah kiri berucap sambil jari-jari tangan memberi isyarat. Dia memberi tahu pada kembarannya kalau sampai malam nanti mereka tidak bisa menolong maka Wiro akan menemui ajal.
Nenek satunya menyahuti dengan gerakan tangan pula dan bicara ha-hu ha-hu sambil air mata meluncur di pipi yang keriput. Gerak isyarat tangannya mengartikan bahwa mereka tidak mungkin memusnahkan racun yang ada dalam tubuh dan aliran darah pemuda itu. Dia juga mengingatkan pada saudara kembarnya bahwa dulu di dangau ini Eyang Sepuh Kembar Tilu menemui kematian. Jangan-jangan Wiro juga akan mengakhiri riwayatnya di tempat ini.
Sesuai permintaan Eyang Sepuh Kembar Tilu mereka sangat mengharapkan agar Wiro mencari dan membunuh orang yang telah membunuh nenek kembaran asli mereka itu. Karena hanya dengan cara itulah penyakit gagu yang mereka derita akan lenyap. Dua nenek sama-sama sesunggukan menahan tangis. Lalu yang satu kembali bicara ha-hu ha-hu dan gerak-gerakan tangan. Dia menyampaikan kalau tidak bisa menolong menyembuhkan paling tidak mereka harus dapat membuat Wiro sadar dan mampu bicara.
Dua nenek itu kemudian sibuk memeriksa aliran darah di sekujur tubuh Pendekar 212, menotok beberapa urat besar. Sampai sepeminuman teh berlalu keadaan Wiro tidak berubah. Mendelik kaku tak bisa keluarkan suara. Dua nenek terduduk bingung. Mereka perhatikan wajah Wiro yang pada keningnya ada luka terkuak sebesar ujung ibu jari tangan. Ini adalah luka bekas patukan Kobra Biru, ular jejadian kakek jahat Walang Gambir.
"Ha-hu ha-hu!" Nenek di sebelah kanan menunjuk ke arah luka di kening Wiro. Gerakan tangannya memberi tahu pada kembarannya agar mereka coba melakukan sesuatu pada luka itu. "Ha-hu ha-hu..." Nenek ini letakkan telapak tangan kanannya di atas luka. Lalu telapak tangan kiri ditindihkan di atas tangan kanan.
Nenek kedua bersimpuh di belakang. Dua tangan ditempelkan ke punggung kembarannya. "Ha-hu ha-hu!"
Dua nenek kembar sama-sama kerahkan tenaga dalam lalu menyedot. Empat tangan bergetar hebat. Dua tubuh bergoncang. Ada aliran cahaya biru tersedot dari kening Wiro, mengalir melalui tangan lalu masuk ke dalam tubuh dua nenek kembar.
"Ha-hu ha-ha... Huaaahhhhh..."
Dua nenek terjengkang, menjerit lalu muntahkan cairan biru. Untuk beberapa lamanya mereka tergeletak tak bergerak dengan muka pucat dada mendenyut sakit. Keduanya cepat alirkan hawa sakti di dalam tubuh untuk mencegah keracunan. Tiba-tiba mereka mendengar suara orang mengerang. Dua nenek serta merta bergerak bangun. Memperhatikan ke arah Wiro, mereka melihat dua bola mata sang pendekar yang masih berwarna biru bergerak-gerak sementara mulut komat-kamit. Wiro seperti hendak mengatakan sesuatu namun tak ada suara yang keluar.
"Ha-hu ha-hu"
Dua nernek sama-sama ulurkan tangan. Satu menotok urat besar jalan suara di pangkal leher sebelah kiri, satunya menotok urat besar jalan suara di pangkal leher sebelah kanan. Saat itu Wiro juga keluarkan suara seperti tercekik lalu semburkan cairan kental berwarna biru. Muka dan tubuhnya basah oleh keringat dingin.
“Dimana ini... Apa yang terjadi?" Dia berusaha menggerakkan tangan. Tak bisa. "Tubuhku kaku..."
Dua nenek tampak gembira melihat dan mendengar Wiro bisa bicara. "Ha-hu ha-hu..."
Wiro gerakkan kepala, tapi tidak mampu. Dia hanya bisa memutar bola mata, memperhatikan. "Ah, kalian rupanya. Nek...? Aku tak bisa menggerakan tangan. Dua kaki kaku. Sekujur tubuhku terasa panas..."
“Ha-hu ha-hu." Nenek di sebelah kanan membuat gerakan isyarat dengan kedua tangannya. Wiro memperhatikan dan coba mengartikan isyarat gerakan tangan si nenek.
"Kau keracunan... Kami tidak bisa menolong. Walau kini kau bisa bicara, kau akan menemui ajal menjelang malam nanti. Kami akan terus berusaha menyelamatkanmu."
Dua nenek memeriksa sekujur tubuh Wiro. Mereka membuat totokan di beberapa tempat. Tetap saja Wiro tak bisa bergerak dan warna biru masih menyelubungi sekujur tubuhnya. Malah kini pemandangannya perlahan-lahan terasa kabur. Sementara dua nenek berusaha menolong. Wiro coba mengingat-ingat apa yang terjadi. Gedung Kadipaten. Dia berkelahi melawan kakek muka kuda Ki Sentot Balangnipa. Lalu ada kakek berjubah hitam yang mukanya berubah menjadi ular kobra biru.
"Ular jejadian mematuk kepalaku... Dua nenek kembar, mereka menyelamatkan diriku, membawa aku ke tempat ini. Racun jahat itu. Apakah hawa sakti Kapak Naga Geni Dua Satu Dua yang ada dalam tubuhku tidak bisa memusnahkannya? Apakah tubuhku yang selama ini kebal segala macam racun kini tidak punya daya penolak sama sekali? Aneh. Apakah ini akibat ulah takabur dan sikap keras kepalaku tempo hari pada Eyang Sinto?" Wiro mengerang. Kepalanya mendenyut sakit.
"Ha-hu ha-hu..." Nenek di sebelah kanan menunjuk ke arah pinggang Wiro sebelah kiri lalu membuat gerakan jari tangan membentuk empat persegi. Rupanya waktu memeriksa tubuh Wiro tadi dia melihat sebuah benda dibalik pinggang celana dalam pendekar.
"Nek, aku tahu maksudmu. Di balik pinggang celanaku sebelah kiri ada sebuah kantong kain. Di dalamnya ada kitab ilmu pengobatan. Ambil dan baca isinya. Cari tahu cara pengobatan untuk menolong diriku..."
Nenek sebelah kiri segera memeriksa ke balik baju Wiro sebelah kanan. Dia menemukan kantong kain putih. Dari dalam kantong dia kemudian mengeluarkan Kitab Seribu Pengobatan yang terbuat dari daun lontar kering.
"Baca, cari. Mudah-mudahan ada petunjuk bagaimana mengobati dan mengeluarkan racun yang ada dalam tubuhku."
Dua nenek gelengkan kepala. Dua tangan ditutupkan ke mata yang berwarna merah. Kepala kembali digeleng-geleng.
"Ah, kalian tak bisa membaca." Ucap Wiro perlahan begitu melihat sikap yang ditunjukkan dua nenek. "Sandarkan aku ke tiang dangau. Letakkan kitab di atas pangkuanku. Kalian buka halaman demi halaman. Aku akan berusaha membaca." Tapi Wiro terdiam. "Mustahil aku lakukan. Mataku semakin kabur..."
"Ha-hu ha-hu..." Nenek sabelah kanan membuat gerakan tangan. Dia mengisyaratkan akan mencari seseorang yang bisa membaca.
Tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat Wiro mengucak matanya yang tambah sulit melihat Samar-samar dia melihat satu sosok merah di hadapannya.
"Nionio Nikouw? Kaukah yang datang ini?"
Tak ada jawaban. Wiro pejamkan mata. Dalam hati dia menjawab sendiri pertanyaannya. Bukan, bukan dia. Bau tubuh dan pakaiannya bukan seperti harumnya bau tubuh dan pakaian paderi dari Tionggoan itu." Wiro coba mengingat-ingat. "Kalau Bidadari Angin timur wanginya lain lagi. Selain itu bayangannya pasti kebiru-biruan..."
Dua nenek kembar setelah memperhatikan sosok samar dihadapan mereka buru-buru jatuhkan diri berlutut. Kitab Seribu Pengobatan diletakkan di lantai dangau di hadapan sosok samar.
"Ha-hu Ha-hu..." Salah seorang nenek menunjuk ke arah kitab sementara tamannya membuka halaman kitab selembar demi selembar. Tangan kiri menunjuk ke jurusan Wiro.
Mahluk bayangan tersenyum. Lalu berucap. "Nek, aku mengerti maksud kalian. Aku akan coba mengingat Mudah-mudahan aku tahu petunjuk yang bisa mengobati sahabat kalian ini tanpa membaca kitab itu."
"Ha-hu ha-hu..." Dua nenek rundukkan tubuh dan kepala berulang kali sebagai ucapan terima kasih.
"Purnama..." Tiba-tiba Pendekar 212 keluarkan ucapan menyebut satu nama. Dia mengenali suara perempuan yang barusan bicara. Dia ingin sekali mengulurkan tangan untuk menyentuh sosok samar berwarna merah itu. Wiro mencoba menegakkan kepala untuk memandang. Namun dia tak mampu bergerak, tak bisa melihat "Kau datang. Aku sangat bersyukur. Terima kasih Tuhan."
"Pendekar, seperti kataku dulu, aku tak pernah jauh darimu. Namun selama kau tidak menginginkan dan tidak memanggil, aku tidak bisa muncul. Tetapi ketika dua nenek sahabatmu itu membuka Kitab Seribu Pengobatan aku tiba-tiba saja keluar dari alamku. Agaknya antara aku, kau dan kitab sakti ada saling keterkaitan batiniah."
Wiro buka matanya lebar-lebar. Tetap saja dia tidak bisa melihat jelas mahluk cantik di hadapannya. "Purnama, aku sangat berharap akan pertolonganmu. Dapatkah kau melakukan."
"Dengan izin Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh." jawab Purnama yang seperti diketahui aslinya bernama Luhmintari, ibu Jatilandak. Berasal dari Latanahsilam, negeri 1200 tahun silam.
Purnama yang telah meninggal di alamnya terpesat ke tanah Jawa, muncul pertama kali dalam serial Wiro Sableng Episode Azab Sang Murid. Dalam Episode Api Di Puncak Merapi dikisahkan bagaimana Purnama menolong Wiro yang terluka parah akibat pukulan "Memukul Bukit Meremuk Gunung" yang dilancarkan Pangeran Muda. Pertolongan itu dilakukan sesuai dengan petunjuk di dalam Kitab Seribu Pengobatan yang secara luai biasa mampu dihafal dan diingat Purnama dalam benak pikirannya.
Purnama tatap wajah Wiio Sableng dengan sepasang matanya yang bening bagus. Dia ambil Kitab Seribu Pengobatan, letakkan di atas pangkuan. Lalu kepala didongakkan ke atas, dua mata dipejamkan. Perlahan-lahan dari mulutnya meluncur ucapan.
"Kitab Seribu Pengobatan. Halaman seratus dua puluh satu. Pengobatan ke lima ratus sembilan. Manakala seseorang terkena racun patukan binatang berujud mahluk gaib atau sebangsa sihir, penyembuhan harus dilaksanakan dalam waktu paling lambat setengah hari setelah terjadinya peristiwa. Ada enam hal yang harus dilakukan. Pertama memohon dan berdoa kepada Tuhan Maha Kuasa Maha Penyembuh agar orang yang cidera disembuhkan dari penyakitnya. Kedua menutup luka bekas patukan dengan tanah liat Ketiga membuat goresan tanda silang di ubun-ubun orang yang cidera. Ke empat menggantung orang itu, kaki ke atas kepala ke bawah. Ke lima membuka aliran darah dengan cara menotok urat besar di pangkal paha sebelah kiri dan sebelah kanan dengan disertai aliran hawa sakti. Keenam dorong tubuh orang yang tergantung sejarak satu tombak. Biarkan tubuh itu bergoyang. Bilamana tubuh yang bergoyang berhenti maka semua racun dengan izin Yang Maha Penyembuh akan keluar dari sekujur tubuhnya melalui ubun-ubun."
"Ha-hu ha-hu..." Dua nenek kembar tampungkan dua tangan. Mulut komat kamit entah mengucap apa. Purnama tersenyum dan mulai pula berdoa dalam hati. Wiro pejamkan dua mata. Berdoa memohon kesembuhan pada Yang Maha Kuasa.
"Ha-hu ha-hu..."
Selesai berdoa nenek kembar di samping kanan tanggalkan ikat kepala lalu sibakkan rambut tebal di bagian atas kepala Pendekar 212. Dia isap dulu jari telunjuk tangan kanannya. Lalu dengan ujung kukunya yang lancip dia membuat guratan tanda silang di kulit kepala tepat di ubun-ubun. Guratan cukup dalam hingga membuat luka yang mengucurkan darah berwarna biru aneh! Sementara itu nenek satunya mengambil tanah liat lalu ditempelkan di kening Wiro tepat pada luka bekas patukan Kobra Biru.
"Kita butuh tali." berkata Purnama.
"Ha-hu ha-hu..." Nenek yang menempelkan tanah liat mengeluarkan sesuatu dari balik jubah kuningnya yang ternyata adalah segulung setagen. Dengan setagen ini dia menggotong sang pendekar keluar dari dangau. Tak jauh dari situ terdapat sebatang pohon besar bercabang banyak. Cepat sekali dua nenek ini bekerja sama demikian rupa hingga akhirnya Wiro dikerek, tergantung di cabang pohon. Mahluk bayangan si cantik Purnama memperhatikan semua apa yang dikerjakan dua nenek itu penuh kagum.
"Ha-hu ha-hu!" Ada yang terlupa. Dua nenek kembar melesat ke atas. Dua-duanya menotok urat besar di pangkal paha kiri kanan Wiro lalu melompat turun. Sampai di tanah mereka sama-sama mendorong tubuh Wiro sejauh satu tombak. Begitu dilepas tubuh itu mulai bergoyang berayun-ayun di udara.
Wiro merasa dua kakinya yang diikat setagen seperti mau putus sekujur tubuh bergetar dan kepala terasa seolah membesar siap meledak pecah. Pada ayunan tubuh yang ke tujuh kali. Wiro menjerit keras lalu kehilangan kesadaran. Dari ubun-ubun yang ada guratan tanda silang mengucur cairan warna biru. Mula-mula hanya berupa tetesan, kemudian berubah deras. Tanah yang digenangi cairan biru mengepulkan asap dan menebar bau busuk.
Tak selang berapa lama ayunan tubuh Wiro mulai perlahan. Cairan biru yang mengucur dari batok kepala yang tadi mancur deras perlahan-lahan berhenti, lalu berganti dengan kucuran darah merah segar. Ini satu pertanda bahwa racun yang mengendap di tubuh Pendekar 212 telah terkuras habis. Bersamaan dengan itu warna biru pada sekujur tubuh mulai dari kaki sampai kepala dan rambut Wiro secara aneh lenyap.
Tanah liat yang sejak tadi menempel di kening terlepas tanggal. Anehnya pada kening itu tidak kelihatan lagi luka bekas patukan Kobra Biru. Kesadaran Wiro pulih kembali. Perlahan-lahan dua matanya terbuka. Ternyata warna biru pada kedua mata itu juga telah sirna.
Purnama merasa lega. Dua nenek kembar tampak gembira dan bersiap-siap untuk menurunkan tubuh Wiro. Namun mendadak sontak di udara terdengar suara berkesiuran. Tujuh benda biru panjang melesat ke arah Wiro yang masih berada dalam keadaen tergantung di cabang pohon!
"Ha-hu ha-hu" Dua nenek kembar berambut kelabu berteriak keras lalu melesat ke udara sambil lepaskan pukulan tangan kosong.
Enam benda biru yang menyerang Wiro terpental dan jatuh ke tanah. Benda ke tujuh sempat menembus lengan jubah salah seorang nenek dan menggurat tangan kirinya hingga mengucurkan darah. Serta merta tangan yang cidera menjadi bengkak merah. Nenek ini berteriak kesakitan sekaligus marah. Dengan kuku jari tangan kanannya dia merobek bagian lengan yang bengkak lalu memencet kuat-kuat darah merah keluar mengucur bercampur noda-noda hitam racun jahat Si nenek selamat dari serangan racun mematikan.
Enam benda hitam yang bergeletakan di tanah ketika diperhatikan ternyata adalah enam ekor ular kobra yang telah mati mengering hitam. Ular satunya setelah melukai nenek tadi, menancap di batang pohon. Pohon ini langsung berubah hitam mulai dari batang sampai ke daun.
Mahluk bayangan Purnama tersentak kaget melihat apa yang terjadi. Cepat dia goyangkan bahu. Cahaya bergemerlap kebiruan seperti percikan ratusan bunga api memancar keluar dari tubuhnya. Mahluk cantik Ini melompat sejauh tujuh langkah dan langsung berhadapan dengan orang yang tadi melemparkan tujuh ekor ular berbisa ke arah Wiro.
Orang ini bukan lain adalah Walang Gambir alias Kobra Biru, kakek berjubah hitam gombrong yang tadi malam di Gedung Kadipaten telah mencelakai Wiro dengan ilmu Kobra Birunya!
Ketika terjadi perkelahian di dalam gedung, seperti diceritakan dengan Pedang Naga Merah Loan Nio Nikouw berhasil membabat putus kepala Waiang Gambir hingga kakek ini menemui ajal. Lantas bagaimana kini dia bisa hidup dan muncul kembali?
Ilmu Kobra Biru yang dimiliki Walang Gambir merupakan satu ilmu kesaktian luar biasa. Selain sanggup menghabisi lawan sekaligus iimu ini mempunyai unsur sihir yang mampu menipu pandangan mata lawan serta orang di sekitarnya. Pada peristiwa yang seolah nyata bagaimana Loan Nio Nikouw menabas putus batang leher Walang Gambir yang saat kejadian berbentuk ular Kobra Biru, sebenarnya apa yang terlihat adalah tipuan belaka.
Ular Kobra Biru memang tampak menemui ajal namun Walang Gambir sendiri tetap hidup. Sosok kasarnya berkelebat pergi meninggalkan Gedung Kadipaten tanpa ada seorangpun yang melihat. Selain itu ilmu Kobra Biru tetap masih dimiliki Walang Gambir bersama Ilmu sihir lainnya.
Di samping Walang Gambir berdiri Ki Sentot Balangnipa. Ketika melihat dua nenek aneh serta mahluk bayangan berpakaian merah Ki Sentot cepat berbisik pada sobatnya.
"Ki Walang, kita pergi saja. Cari kesempatan lain untuk membunuh murid Sinto Gendeng keparat itu."
"Ki Sentot kau tahu urusan kita! Pemuda itu harus dilenyapkan. Kalau tidak, semua urusan bisa jadi kapiran. Kalau nyalimu secetek comberan silahkan minggat" jawab Walang Gambir.
Didamprat seperti itu Ki Sentot Balangnipa yang sudah melihat bahaya besar di depan mata merasa kebetulan sekali. "Kau bicara begitu karena merasa memiliki ilmu kesaktian hebat. Nyatanya tadi malam kau dipecundangi perempuan Cina itu. Silahkan kalau mau mencari penyakit" Setelah keluarkan ucapan dalam hati begitu rupa, tidak tunggu lebih lama kakek bermata satu ini segera menghambur kabur dari tempat itu.
"Orang tua, apa dendammu terhadap Pendekar Dua Satu Dua hingga ingin membunuhnya secara keji dan licik?!" Yang menegur adalah mahluk bayangan Purnama, saat itu juga tubuhnya yang samar perlahan-lahan berubah tiada beda dengan manusia biasa. Sementara cahaya biru bergemerlapan masih terus membungkus tubuhnya.
Melihat kecantikan orang yang berdiri di hadapannya Walang Gambir jadi terpesona. Pikiran kotor menjalari otaknya. "Orang cantik, aku tidak tahu siapa dirimu. Tapi kalau kau adalah gendak yang kesekian dari pemuda gondrong itu, sungguh hatiku menjadi sedih dan kecewa sekali. Mengapa tidak hidup bersamaku saja. Lihat wajahku tidak seburuk kenyataan..." Habis berkata begitu Walang Gambir usap wajahnya. Tampang si kakek serta merta berubah menjadi wajah seorang pemuda yang sangat gagah.
Purnama sunggingkan senyum yang membuat Walang Gambir semakin tergila. "Orang tua, kalau aku tunjukkan wajahku sebenarnya, apakah kau masih suka padaku?"
Walang Gambir kerenyitkan kening. "Yang namanya perempuan cantik itu dilihat dari mana saja akan tetap cantik mempesona..."
Purnama layangkan senyum. Seperti dilakukan Walang Gambir si cantik ini lalu usap pula wajahnya. Saat itu juga wajah Purnama berubah menjadi sangat mengerikan dan menjijikkan. Pipi sebelah kiri geroak busuk mencuatkan barisan gigi menyerupai taring. Dua mata membengkak merah, kucurkan cairan nanah. Hidung gerumpung dan mulut pencong meneteskan cairan hitam. Ketika mulut itu meniup ke depan, bau busuk menghampar menerpa Walang Gambir.
Kejut Walang Gambir bukan olah-olah. Tapi dia tetap tenang. Malah sambil mengangkat dua tangan dia berkata. "Kembali ke ujud wajahmu yang cantik. Datanglah. Mendekat padaku. Peluk diriku. Ikut bersamaku. Kita akan pergi ke tempat penuh bahagia kenikmatan."
Saat itu juga wajah buruk mengerikan mahluk bayangan berubah. Berganti pada bentuknya semula yakni raut wajah perempuan muda cantik jelita. Walang Gambir tampak berseri-seri, mata berkilat-kilat dan tenggorokan turun naik ketika perlahan-lahan Purnama melangkah ke arahnya. Si kakek kembangkan dua tangan. Siap untuk merangkul perempuan muda cantik itu.
"Ha-hu ha-hu!" Dua nenek kembar berseru cemas. Tenggorokan Walang Gambir turun naik. Senyum tersungging di mulut Cuping hidung membesar dan bergerak-gerak pertanda nafsunya mulai naik. Dia mengira sihirnya telah mengena. Kakek jahat berkepandaian tinggi ini salah mengira!
Hanya tinggal dua langkah Purnama akan masuk ke dalam dekapan Walang Gambir, mahluk cantik ini buka mulutnya seolah hendak melayangkan senyum penuh gairah. Namun tidak diduga dari dalam mulut melesat selarik cahaya ungu, laksana kilat menyambar ke arah si kakek.
Walang Gambir alias Kobra Biru berteriak kaget. Dengan cepat dia melompat ke samping kiri sambil merunduk. Gerakkannya masih sedikit terlambat. Cahaya ungu sempat membabat hangus ujung atas rambutnya yang kasar seperti ijuk hingga kepalanya mengepulkan asap biru. Di belakang sana, sebuah pohon randu berderak tumbang dan gosong ketika dilanda cahaya ungu.
"Mahluk jahanam! Makan pencarianmu!" maki Walang Gambir sambil tangan kanan kebutkan lengan jubah.
"Sett... seettt... seettt!"
Tiga benda bulat sebesar kepalan berwarna biru melesat di udara menyambar ke arah tiga bagian tubuh Purnama. Saat itu juga udara mendadak menjadi redup. Walang Gambir keluarkan ilmu kesaktian yang dibarengi ilmu sihir.
"Ha-hu ha-hu!" Dua nenek kembar melompat ke depan Untuk melindungi Purnama.
Tapi si cantik ini cepat berseru. "Nenek berdua jangan khawatirkan diriku!"
Walau cemas akan keselamatan Purnama, dua nenek kembar terpaksa menyingkir sementara itu tiga benda bulat biru terus melesat ganas. Begitu ketiganya membentur ratusan percikan bunga api biru yang melindungi tubuh Purnama, tiga ledakan keras menggelegar.
Ranting pepohonan berpatahan. Daun-daun jatuh berluruhan. Semak belukar rambas bahkan dangau di seberang sana ambruk roboh. Sosok Walang Gambir tersurut dua langkah, untuk beberapa lama dia tegak tertegun dengan tubuh tergontai-gontai, tampang mengkerut Di atas pohon, tubuh Wiro yang masih terikat kaki di atas kepala ke bawah barayun-ayun. Wiro imbangi diri lalu didahului bentakan keras, dia lentingkan tubuh ke atas. Tangan kiri membabat setagen hingga putus.
Di udara tiga benda bulat biru meletus hancur. Setiap hancuran membentuk tujuh kepingan biru yang kemudian secara aneh berubah menjadi ular kobra biru sebesar lengan dengan panjang hampir enam jengkal. Didahului suara mendesis dua puluh satu ular kobra biru itu menyerbu ke arah Purnama.
Tanpa bergeser dari tanah tempat berpijak. Purnama goyangkan dua bahunya. Cahaya biru yang membentengi dirinya semakin bergemerlap. Siap untuk melindungi dan menyerang balik gempuran dua puluh satu ular kobra biru.
"Purnama! Tua bangka jahat itu inginkan nyawaku. Biar aku yang menghadapi..."
BAB SEMBILAN
BAYANGAN putih Pendekar 212 melesat melewati kepala Purnama. Saat itu pula dua larik cahaya putih disertai hamparan hawa panas luar biasa berkiblat di udara. Satu menebar seperti kipas ke arah dua puluh satu kobra biru. Satunya lagi melesat ke jurusan Walang Gambir. Pukulan Sinar Matahari! Wiro menghantam dengan dua tangan sekaligus!
Dua puluh satu kobra biru mendesis keras sebelum tubuh mereka mencelat di udara dalam keadaan terpanggang hangus. Tapi gilanya begitu mental, dua puluh satu ular yang sudah gosong hitam itu melayang berputar dengan keluarkan suara berdesing lalu bersatu menjadi seekor ular kobra raksasa warna biru. Mulut menganga lebar, sanggup membeset dan menelan sasaran sebesar kambing! Laksana terbang mahluk jejadian ini melesat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sementara itu sambil berteriak dan memaki geram dengan menjatuhkan diri ke tanah Walang Gambir berhasil selamatkan diri dari Pukulan Sinar Matahari. Namun begitu dia berdiri terjadi satu keanehan.
"Bukk! Bukk! Bukk...!"
Dadanya dihantam pukulan bertubi-tubi hingga tubuhnya terjengkang jatuh di tanah. Darah meleleh di sela bibir. Siapa yang memukul tidak kelihatan. Bau kembang aneh menghampar di tempat itu.
"Penyerang jahanam! Unjukkan dirimu!" teriak Walang Gambir marah sambil seka darah yang meleleh di dagu. Dia cepat berdiri. Tak ada jawaban. Kalap dan geram dia memukul ke depan, menghantam ke samping dan menjotos ke atas. Semua pukulan yang menghantam udara kosong itu menimbulkan suara gaung seperti topan menerpa jurang batu yang dalam. Walang Gambir memandang geram berkeliling.
"Pengecut!" rutuknya.
Baru saja dia keluarkan makian, belum sempat berdiri lurus, seperti tadi bukk... bukk... bukk! Jotosan-jotosen keras dari penyerang yang tidak kelihatan kembali melabrak dadanya. Dia berusaha menangkis dengan melintangkan dua tangan di depan muka dan dada. Namun luput. Mata kiri bengkak kucurkan darah Dua tulang iga Walang Gambir berderak patah.
Bagaimanapun hebat sakti serta memiliki Ilmu sihir namun kali ini nyali Walang Gambir alias Kobra Biru benar-benar putus. Tidak menunggu lebih lama dia segera putar tubuh, membuat lompatan sejauh hampir dua tombak lalu menghambur lari dari tempat itu. Kini dia baru menyadari benarnya ucapan Ki Sentot Balangnipa tadi. Dia datang di waktu dan tempat yang salah.
Akan halnya ular Kobra Biru raksasa yang menyerang Wiro, begitu melihat tuannya kabur segera pula memutar kepala. Namun tiba-tiba saat bayangan merah berkelebat disertai kumandang seruan.
"Mahluk jahat jejadian. Pelajaran tempo hari rupanya tidak membuatmu jera! Mau kabur kemana?!"
Sinar merah bertabur. Suara berkesiuran terdengar tak berkeputusan disertai suara crass... crass... crass. Tubuh Kobra Biru raksasa terkutung-kutung. Sesaat kemudian kepala binatang ini putus menggelinding. Darah biru menggenangi tanah. Bau anyir menyesak jalan pernafasan.
"Dess... dess... dess...!" Didahului suara mendesis tiga kali, potongan kepala dan tubuh Kobra Biru berubah menjadi asap biru lalu lenyap dari pemandangan.
"Ha-hu ha-hu..." Dua nenek kembar keluarkan suara sambil menunjuk ke depan dangau yang roboh.
Di depan dangau berdiri seorang berpakaian merah berbunga-bunga kuning biru. Bagian bawah pakaian ini kelihatan robek. Kepalanya tertutup destar dan wajahnya terlindung cadar merah. Loan Nio Nikouw. Paderi ini berdiri memegang Ang Liong Kiam yang memancarkan cahaya merah. Dengan sepasang mata menatap ke arah Wiro dan Purnama. Paderi dari Tionggoan ini meniup badan pedang. Noda biru darah Kobra Biru jejadian yang mengotori pedang sakti serta merta sirna.
Walau kepala tidak lagi mengenakan topi dan wajah kini tertutup kain merah namun Wiro segera mengenali, perempuan berpakaian merah di seberang sana adalah Kiang Loan Nio Nikouw.
"Paderi Nio-nio..."
"Ha-hu ha-hu..."
Ucapan Wiro terputus oleh suara dua nenek kembar. Kali ini keduanya menunjuk ke arah kaburnya Walang Gambir. Ternyata di jurusan itu berdiri seorang gadis cantik berwajah pucat mengenakan kebaya putih panjang berkancing besar dipadu celana putih setinggi betis, menatap sayu ke arah Pendekar 212.
"Bunga..." Ucap Wiro gembira. Setelah pertemuan terakhir dimana gadis alam roh itu pergi secara tidak enak. Wiro tidak menduga kalau Bunga akan muncul kembali. Dia melangkah mendekati tapi lima langkah akan sampai Bunga angkat tangan kanannya. Dengan gerak isyarat perlahan dia memberi tanda agar Wiro tidak datang lebih dekat. Wiro terpaksa hentikan langkah. Menatap wajah putih yang memancarkan kesedihan medalam.
"Aku selalu datang di saat yang tidak tepat. Maafkan kalau aku mengganggu dirimu..." Bunga keluarkan ucapan. Suaranya terucap perlahan seolah menahan perasaan.
Wiro gelengkan kepala. "Bunga, aku gembira kau muncul. Tidak ada yang merasa terganggu. Kau tadi rupanya yang memukul orang tua berjubah hitam itu hingga dia melarikan diri. Kau telah menolong diriku. Aku mengucapkan terima kasih. Apakah aku boleh melangkah lebih dekat?"
Bunga, gadis alam roh yang aslinya bernama Suci menggeleng. Bibirnya merekah senyum namun sepasang matanya tampak berkaca-kaca.
"Bunga, kau menangis. Apakah aku telah berlaku salah...?"
Gadis cantik berwajah pucat dari alam roh itu gelengkan kepala. Gelengan kepala ini membuat air yang mengambang di kedua matanya jatuh meluncur ke pipi membentuk tetesan air mata. "Aku menangisi ketololanku sendiri. Tidak seharusnya aku muncul di sini..."
"Tidak ada yang melarangmu datang ke sini. Bunga. Bahkan aku gembira kau mau datang. Ah, mengapa hal ini harus terulang lagi."
Bunga tatap wajah sang pendekar lalu melirik ke arah Purnama. "Wiro, jika kau punya sahabat baru, jangan pernah melupakan sahabat lama. Betapapun buruknya sahabat lama itu."
"Bunga kalau maksudmu... Bunga, aku tidak pernah melupakanmu. Kau ingat pertemuan kita terakhir kali. Malam hari di Bukit Menoreh? Waktu itu aku katakan apapun yang terjadi semua itu tidak mengurangi rasa sayangku padamu."
"Terima kasih untuk ucapan yang penuh keindahan itu," kata Bunga pula sementara air mata jatuh berderai di pipinya yang pucat dan dadanya sesak turun naik. Gadis dari alam roh ini memutar tubuh.
"Bunga, aku tahu kau tidak percaya pada kata-kataku. Aku harus berbuat apa. Aku hanya minta jangan pergi. Aku ingin kita bicara lebih banyak..." Wiro mendekat.
Namun Bunga telah melangkah pergi. Sedikit demi sedikit sosoknya berubah menjadi bayang-bayang dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Murid Sinto Gendeng hanya bisa menghela nafas panjang berulang kali garuk-garuk kepala. Wiro berbalik dan arahnya ternyata membuat dia kini saling pandang dengan paderi cantik dari Tionggoan yang tegak di depan runtuhan dangau, memperhatikan dirinya.
Saat itu sang paderi tengah bicara dengan hatinya sendiri. "Gadis cantik berwajah pucat itu. Dia pergi dengan mata basah. Aku bukan saja melihat kesedihan amat mendalam di wajahnya. Tapi aku juga melihat pancaran perasaan hati yang luluh. Aku mendengar ucapannya tadi. Rupanya pemuda itu meninggalkan dirinya setelah mengenal si cantik berpakaian merah itu." Loan Nio Nikouw melirik ke arah Purnama. "Perempuan cantik satu itu, dia tenang saja. Kelihatannya dia seperti menyukai kepergian gadis berwajah pucat tadi. Ah, tambah banyak kenyataan yang aku lihat. Agaknya apa yang diceritakan orang akan kusaksikan sebagai satu kebenaran. Pemuda Wie ini punya banyak kekasih. Dia meninggalkan yang lama bilamana mendapatkan yang baru. Aku cukup jelas mendengar ucapan gadis muka pucat tadi. Bagaimana dengan diriku..."
"'Nionio Nikouw..." Wiro menyapa. "Untuk kesekian kalinya kau menolongku. Aku sangat berterima kasih. Mari aku perkenalkan kau dengan seorang sahabat Ah, kalian sama-sama berpakaian warna merah. Kalian sama-sama cantik..."
Purnama tersenyum mendengar kata-kata Wiro itu. Sebaliknya Loan Nio Nikouw tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Perlahan-lahan dia sarungkan Ang Liong Kiam. Dia menatap kearah Pumama lalu membungkukkan badan memberi penghormatan. Pumama balas menghormat dengan tundukkan badan dan kepala disertai senyum tulus. Nionio Nikouw berpaling pada Wiro.
"Saudara Wie. Aku harus pergi. Ucapanmu waktu di goa benar adanya. Adipati Brebes telah menemui ajal..."
"Aku yang membunuhnya ketika dia hendak berbuat mesum atas dirimu. Aku jelaskan semua itu waktu di goa. Tapi aku tahu kau tidak percaya."
Sepasang alis hitam bagus Nio-nio Nikouw naik ke atas. Matanya menatap tak berkesip. Hatinya berkata. "Liok Ong Cun memberi tahu pemuda gondrong inilah yang hendak merusak kehormatanku. Liok Ong Cun banyak dustanya. Tapi apakah pemuda satu ini dapat dipercaya? Apa betul dia yang membunuh Adipati itu?"
"Waktu malam di goa, jika tuduhan Liok Ong Cun tidak betul bahwa kau hendak merusak kehormatanku, mengapa kau melarikan diri?" Loan Nio Nikouw ajukan pertanyaan.
"Seperti katamu saat itu karena aku seorang pengecut!" jawab Wiro yang membuat wajah cantik sang paderi dibalik kain penutup menjadi bersemu merah.
Untuk beberapa lamanya Loan Nio Nikouw terdiam. "Ah, dia menaruh marah paling tidak kecewa atas ucapanku waktu di goa malam tadi. Tapi aku harus bagaimana? Selama tidak ada kejelasan aku akan selalu menaruh syak wasangka. Melihat kenyataan dia mempunyai banyak kekasih tidak mustahil hatinya memang culas. Di Tionggoan banyak musang berbulu ayam. Mungkin di negeri ini lebih banyak lagi."
"Saudara Wie," Nionio Nikouw akhirnya berkata. "Dalam waktu dekat saya akan menemui. Banyak hal yang perlu mendapat kejelasan..."
“Nionio Nikouw. Mengapa kita tidak bicara sekarang saja?"
Paderi perempuan itu tidak segera menjawab. Dia melirik sekilas pada Purnama. Perasaannya muncul, hatinya kembali berkata. "Tadi pemuda ini mengatakan aku dan perempuan muda itu sama-sama cantik Sungguh ceriwis. Aku tak mau kecantikanku disamakan dengan gadis itu..."
Wiro yang sempat melihat lirikan Nionio Nikouw dan merasakan adanya bayangan cemburu pada wajah paderi itu. Segera saja dia berkata. "Nionio Nikouw, Purnama Sahabatku. Berarti sahabatmu juga. Tidak ada yang perlu dirahasiakan. Kau bisa bicara bebas."
"Pendekar, kalau memang kehadiranku menjadi ganjalan pembicaraan kalian, aku lebih baik pergi saja sekarang juga," ucap Purnama.
"Ah, sekarang Purnama yang cemburu," keluh Wiro dalam hati.
"Biar saya yang pergi..." kata Loan Nio Nikouw pula.
"Kau hendak kemana Nionio?" tanya Pendekar 212.
"Mencari seorang gadis bernama Ningrum. Dia adalah orang yang jadi penghubung saya dengan mendiang Adipati Brebes. Saya punya dugaan dia bisa memberi beberapa keterangan yang saya butuhkan..."
Seperti diketahui dan diceritakan dalam Episode Dadu Setan. Ningrum adalah gadis pemandu Judi dadu di Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Gadis ini memang punya hubungan baik dengan Adipati Karta Suminta serta banyak tahu apa-apa yang dilakukan aang Adipati.
Setelah berkata begitu tanpa banyak cerita lagi Loan Nio Nikouw segera tinggalkan tempat itu. Wiro menggaruk kepala, berpaling pada Purnama.
"Ha-hu ha-hu..." Dua nenek kembar yang sejak tadi masih ada di tempat itu keluarkan suara. Yang satu memberi isyarat dengan gerakan tangan bahwa dia dan kawannya akan meninggalkan tempat itu. Yang satunya mendekati Wiro sambil mengulurkan sebuah benda. Ternyata benda itu adalah sebuah suling perak.
"ini suling milik paderi perempuan itu. Nek, dimana kau menemukan? Kenapa tidak dikeluarkan tadi-tadi?" tanya Wiro.
Nenek yang ditanya membuat gerakan tangan menggambarkan bangunan besar lalu tutup mata kanannya sementara tangan kiri menepuk-nepuk pinggang.
"Aku mengerti. Suling ini kau temukan di Gedung Kadipaten. Di pinggang seorang bermata picak. Ah, pasti maksudmu Ki Sentot Balangnipa..."
"Ha-hu ha-hu..." Si nenek manggut-manggut.
"Kenapa tadi tidak kau serahkan pada pemiliknya sendiri?" tanya Wiro.
Nenek yang ditanya goyang-goyangkan tangan kiri. Temannya menggeleng-geleng. Dua tangan mereka sibuk memberi isyarat.
"Aku tak mengerti maksud kalian. Tapi baiklah. Suling ini akan kusimpan. Akan kuserahkan pada pemiliknya jika nanti bertemu."
"Ha-hu ha-hu." Dua nenek menunjuk ke arah kejauhan lalu senyum-senyum melirik pada Purnama.
"Kalian mau pergi?" tanya Wiro. "Baiklah. Aku berterima kasih. Kalian telah banyak menolong. Aku akan meneruskan menyelidik pembunuh Eyang Sepuh Kembar Tilu..."
"Ha-hu ha-hu." Dua nenek membungkuk berulang kali lalu melirik lagi pada Purnama. Sambil tertawa haha hihi dan bergandengan tangan keduanya kemudian tinggalkan tempat itu.
"Dua nenek sahabatku itu agaknya senang padamu," ucap Wiro.
"Aku juga suka pada mereka. Siapa Eyang Sepuh Kembar Tilu?"
"Sebelumnya mereka terdiri dari tiga kembaran. Yang dua tadi kembaran jejadian. Yang asli, yang bernama Eyang Sepuh Kembar Tilu menemui ajal di tangan seseorang. Sebelum menghembuskan nafas terakhir nenek itu minta tolong agar aku mencari dan menghabisi orang yang membunuhnya. Hanya dengan kematian si pembunuh dua nenek itu akan lenyap penyakit gagunya..."
Wiro lalu mengeluarkan kancing jas tutup yang ada dalam saku pakaiannya. "Kancing ini ditemukan dalam genggaman Eyang Sepuh Kembar Tilu setelah dia dibunuh. Agaknya benda ini menjadi kunci siapa pembunuh nenek itu." Wiro lalu keluarkan pula sebuah kantong kain warna hitam.
"Kantong ini aku temukan dalam salah satu pakaian milik Adipati Brebes. Aku tak tahu mengapa aku begitu saja mengambilnya."
“Banyak tugas yang harus kau lakukan. Aku pikir aku pergi saja sekarang."
“Tunggu, jangan pergi dulu..."
"Kehadiranku menimbulkan rasa tidak suka pada banyak orang."
"Purnama, jangan kau berpikir begitu. Jika yang kau maksudkan adalah paderi perempuan dan gadis dari alam roh itu, keduanya sudah pergi. Tak ada yang jadi ganjalan kalau kau ingin bicara...," kata Wiro sambil memegang lengan Purnama agar perempuan dari negeri 1200 tahun silam itu tidak pergi meninggalkannya.
"Pendekar, apakah aku salah kalau punya rasa ingin bersahabat dengan dirimu? Ingin dekat denganmu?"
"Kau terus-terusan memanggilku dengan sebutan Pendekar. Namaku Wiro. Apakah kau tidak bisa memanggil diriku dengan nama itu?"
Purnama terdiam. Tatapan matanya yang bening lembut membuat dada Pendekar212 bergetar. "Maaf, aku tidak bermaksud bicara kasar padamu. Jika kau ingin bersahabat dan ingin dekat, mengapa tidak memanggil diriku dengan namaku. Atau mungkin kau ingin memanggil aku dengan namaku yang lain. Sableng?!"
Purnama tertawa. "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apakah salah..."
Wiro menggeleng. "Salah bagaimana? Malah aku telah dua kali berhutang nyawa padamu."
"Budi yang kau tanam dalam diriku jauh lebih besar. Kau lupa telah meminjamkan Kitab Seribu Pengobatan padaku? Aku berhasil menyembuhkan puteraku sendiri. Selain itu kini aku mempunyai ilmu pengetahuan tentang pengobatan yang sangat luar biasa. Aku berjanji untuk mempergunakan ilmu pengobatan itu untuk menolong orang lain."
"Niatmu sungguh terpuji. Kau harus mengetahui, jarang bahkan mungkin tidak ada seorang lainpun yang sanggup menghafal isi Kitab sakti itu."
Purnama tidak berusaha menarik tangannya yang dipegang Wiro sampai akhirnya Wiro sendiri yang melepas pegangannya. "Wiro, harap kau mau berterus terang. Apakah kehadiranku telah menimbulkan rasa ketidak senangan dibanyak orang. Misalnya dua sahabatmu yang cantik-cantik tadi. Mungkin aku salah menduga. Namun tampaknya mereka cemburu padaku."
Wiro menggaruk kepala. "Bunga sahabat lamaku. Aku tahu hatinya, dia juga tahu hatiku. Lalu paderi muda berbaju merah tadi. Dia sahabat baruku. Sepertimu dia juga telah menolong menyelamatkan diriku."
"Yang aku ingin bicarakan bukan semua sifat baik mereka. Tapi perasaan cemburu sebagai seorang perempuan. Maaf saja, aku sempat mendengar kata-kata gadis bernama Bunga tadi."
"Ucapannya yang mana?" tanya Wiro.
"Dia berkata jika kau punya sahabat baru jangan melupakan sahabat lama. Jelas ucapannya itu ditujukan padaku."
"Ah itu..." Wiro menggaruk kepala. "Aku yakin dia tidak bermaksud menyinggung dirimu..."
"Mungkin begitu. Gadis bernama Bunga itu bicara apa adanya. Hatinya tulus bicaranya polos..."
"Lalu bagaimana dengan paderi perempuan itu?" tanya Wiro pula.
"Dia juga gadis baik. Ilmunya tinggi. Hanya saja, kalau aku boleh tahu, gerangan apa yang membuat dia datang ke tanah Jawa ini dari negeri begitu jauh? Aku menaruh sangka, mudah-mudahan salah. Paderi itu membekal segudang rahasia dalam dirinya..."
"Yang aku lihat sifatnya kadang-kadang sangat arif. Tapi kadang-kadang juga cepat terpengaruh, kurang menyelidik. Jiwa penolongnya sangat tinggi. Entah kalau itu mengandung maksud tertentu seperti katamu tadi."
Wiro lalu menuturkan riwayat dadu setan sebagaimana yang didengarnya dari Loan Nio Nikouw. Setelah mendengar penjelasan Wiro, Purnama berkata,
"Aku tidak ingin perduli dan mau tahu urusan orang. Tapi apakah kau tidak melihat kejanggalan? Paderi perempuan itu mengatakan padamu bahwa semua tokoh dari daratan Cina yang datang ke Losari adalah anak buahnya. Lalu bagaimana atau mengapa sampai mereka akhirnya mati semua? Yang ditakuti dari dadu setan itu kemampuannya sebagai alat penguras kekayaan atau sebagai alat pembunuh? Lebih lanjut mengapa kau yang dituju dan diharap sebagai orang yang bisa membantu. Apa benar Wakil Ketua Siauw Lim memerintahkan paderi itu untuk mencari dan mendapatkan dadu setan itu lalu membawanya kembali ke Tionggoan. Lebih lanjut mengapa pemuda muka tengkorak bernama Liok Ong Cun yang sama-sama anak murid Siauw Lim tidak tahu apa-apa perihal dadu setan itu..."
Untuk beberapa lamanya Pendekar 212 Wiro Sableng terdiam dan coba merenungi semua ucapan Purnama. Akhirnya dia hanya garuk-garuk kepala.
"Wiro, kau tengah menghadap satu perkara besar. Di balik perkara itu mungkin ada satu rahasia yang bobotnya lebih besar dari kenyataan kasat mata yang kau lihat. Aku tak pernah ingin berprasangka buruk terhadap orang lain. Namun dalam hidup ini seseorang tidak boleh melupakan unsur kehati-hatian..."
Wiro merasa walau belum lama mengenal, namun Purnama menaruh banyak perhatian atas dirinya. Murid Sinto Gendeng ini kembali menggaruk kepala.
"Wiro, sewaktu kau memasuki Gedung Kadipaten, mengapa tidak menyusup kedalam dengan mempergunakan Ilmu Meraga Sukma?"
Pendekar 212 tersentak kaget. Bagaimana Purnama mengetahui kalau dia memiliki ilmu itu? "Purnama, kau sering membuat kejutan. Bagaimana..."
"Maksudmu bagaimana aku tahu kau memiliki ilmu langkah tersebut?" Si cantik dari negeri Latanahsilam ini tersenyum. "Jika aku ingin dekat dengan seseorang, aku ingin tahu dirinya luar dalam, lahir dan batinnya."
"Mengapa?" tanya Wiro pula.
"Aku tak ingin berlaku keliru yang bisa membuat retak hubungan. Misalnya seperti kejadian dengan dua perempuan cantik tadi. Mereka lebih dulu mengenalmu. Mungkin mereka menganggap diriku sebagai pengacau atau apalah..."
Wiro tersenyum dan berkata. "Kau gadis baik." Ketika tangannya hendak diulurkan membelai rambut Purnama tiba-tiba Wiro ingat sesuatu lalu meraba pinggang.
"Astaga..."
"Ada apa?' tanya Purnama.
"Kitab Seribu Pengobatan..."
Purnama terkejut. "Sewaktu berusaha menolong, dua nenek itu mengeluarkan kitab dari balik pinggangku. Lalu kau datang..."
"Ya Tuhan. Aku telah berlaku lalai." Wajah Purnama berubah pucat Waktu melafalkan cara pengobatan, kitab aku letakkan di atas pangkuan. Dua nenek sibuk menolongmu. Kitab aku pindahkan ke lantai dangau..."
Wiro dan Purnama lari ke arah dangau yang telah roboh porak poranda. Keduanya membongkar reruntuhan bangunan dangau. Namun Kitab Seribu Pengobatan tidak ditemukan. Yang dijumpai hanya kantong kain putih bekas pembungkusnya.
"Kalau tidak ada yang mencuri, kitab itu tak bakal lenyap. Pasti akan ada di antara runtuhan dangau inil" Kata Wiro pula sambil meremas kantong kain putih. "Aku curiga. Jangan-jangan..."
"Siapa menurutmu yang mau berlaku keji mencuri kitab itu?" tanya Purnama pula.
"Aku tak dapat memastikan. Mungkin dua nenek kembar jejadian. Bisa jadi paderi perempuan itu. Atau mungkin juga Bunga. Tapi mereka orang baik semua..." Wiro usap-usap dagunya. "Mungkin juga ada seseorang lain menyelinap mengambil kitab itu ketika kita bertempur menghadapi kakek berjubah hitam gombrong itu?"
"Wiro, kita harus mencari kitab itu. Kemana kau pergi mencari aku ikuti. Aku sangat bertanggung jawab atas kelalaianku. Aku mohon maafmu. Aku rela menerima hukuman apapun darimu..." Purnama bicara dengan suara terisak.
Wiro pegang tangan Purnama. Si cantik langsung saja benamkan wajahnya ke dada Pendekar 212. "Heran, mengapa tidak habis-habisnya cobaan atas diriku?" ucap Wiro dalam hati sambil tangan kanan entah sadar entah tidak mengusap punggung Purnama.
Diusap seperti itu Pumama merasa sejuta tenteram sejuta bahagia. Sementara Wiro membatin. Dalam hati Purnama. "Wiro, aku ingin selalu dekat denganmu. Aku ingin pergi kemana kau pergi. Semoga perasaan kita bisa saling bertemu. Semoga Yang Maha Kuasa mengabulkan permintaanku ini. Jika ini adalah satu dosa terhadap orang lain, aku mohon ampun..."
Wiro baru sadar dan lepaskan pelukannya ketika dirasakannya dadanya hangat oleh basahan airmata Purnama. Tanpa diketahui kedua orang itu, dari tempat tersembunyi tiga pasang mata mengintai memperhatikan semua gerak gerik Wiro dan Purnama. Sepasang mata pertama adalah mata paderi Loan Nio Nikouw. Pasang mata kedua bukan lain si gadis dari alam roh. Lalu siapa pemilik pasang mata yang ke tiga? Salah satu dari orang itu mengutuk geram dalam hati.
"Hemmm... Ada perempuan lacur baru kesasar rupanya!"
********************
BAB SEPULUH
DARI luar rumah besar berhalaman luas di pinggir desa Jatiwaluh di tenggara Losari itu tampak sunyi. Di sebelah dalam ternyata banyak orang. Untuk ukuran sebuah desa Jatiwaluh rumah besar dan berhalaman luas seperti itu merupakan satu hal luar biasa. Hanya orang kaya yang mampu memiliki rumah sebesar dan sebagus itu.
Penduduk desa menganggap Surah Pamulih sebagai orang beruntung. Setahun lalu rumahnya masih setengah gubuk dan kehidupan mereka sangat susah. Perubahan ini menyebabkan munculnya pergunjingan. Dari mana Surah Pamulih mendapatkan uang membangun rumah sebesar itu. Kemudian diketahui pula bahwa kini dia memiliki sawah berbidang-bidang, kebun luas serta ternak dalam jumlah banyak.
Di pantai utara diketahui pula Surah Pamulih memiliki banyak tambak udang. Namun di dalam keberuntungan itu datang musibah. Ningrum, anak tunggal mereka yang belum kawin meninggal dunia. Jenazah Ningrum sudah dimakamkan siang tadi. Di rumah besar masih banyak orang berkumpul. Yaitu saudara serta karib kerabat dan tetangga. Beberapa buah bendera kuning masih terpancang di sekitar rumah. Salah satu diantaranya di samping pintu masuk. Kata orang yang tahu. konon Ningrum-lah yang jadi sumber rejeki, pembawa semua keberuntungan itu.
Menjelang matahari tenggelam, seorang perempuan berpakaian merah berjalan cepat memasuki halaman. Kepala dan wajahnya ditutup kain merah yang sama coraknya dengan pakaian yang dikenakan. Orang ini bukan lain adalah Kiang Loap Nio Nikouw Sang paderi perhatikac bendera kuning di samping pintu. Hatinya merasa tidak enak.
Tak selang berapa lama seorang lelaki tua berkopiah putih diikuti oleh beberapa orang di sebelah belakang menemui paderi itu. Dia memperhatikan tamu dihadapannya lalu bertanya.
"Den Ayu, siapakah? Dari mana. Ada keperluan apa?"
Loan Nio Nikouw tersenyum mendengar dirinya dipanggil Den Ayu. "Saya seorang paderi. Datang dari negeri Jauh. Saya ingin bertemu Ningrum. Kami bersahabat. Bukankah di sini rumahnya?"
Lelaki berkopiah putih kembali menatap tamunya. Wajahnya yang kuyu kini tampak sedih sementara orang-orang di belakangnya juga unjukkan raut muka yang sama. "Saya Surah Pamuilh, ayah Ningrum. Apakah Den Ayu tidak mendengar kabar?"
"Kabar apa?" Hati sang paderi berdetak. Perasaannya tambah tidak enak. "Bendera kuning..." ucapnya dalam hati.
"Ningrum meninggal dunia pagi tadi."
Walau perasaannya sudah menduga tetap saja Loan Nio Nikouw terkejut mendengar ucapan lelaki berkopiah putih yang mengaku sebagai ayah Ningrum. Orang ini kemudian berkata,
"Rasanya anak saya pernah bercerita tentang Den Ayu. Namun keadaan Den Ayu agak sedikit lain. Tidak ada topi biru di kepala, tidak memakai cadar manik-manik merah..." Surah Pamulih perhatikan bagian bawah baju sang paderi yang bekas dirobek.
"Anak Bapak pernah cerita tentang saya?" tanya Loan Nio Nikouw pula.
"Dia cerita punya seorang kenalan baru. Seorang perempuan dari negeri Cina. Katanya Den Ayu belum lama ini memberinya seuntai kalung mutiara." "Apakah kalung itu masih ada?"
Ayah Ningrum mengangguk. "Saya simpan di lemari. Apakah Den Ayu hendak mengambilnya kembali?"
"Tidak. Tapi saya ingin tahu bagaimana kejadian meninggalnya sahabat saya."
Si orang tua menarik nafas dalam. Dia seperti tak kuasa untuk bicara menerangkan. Dia berpaling pada orang-orang yang berdiri di belakangnya Salah seorang dari. mereka kemudian berkata,
"Puteri Bapak ini sakit mendadak."
"Kasihan Ningrum..." ucap Loan Nio Nikouw perlahan. Dia perhatikan wajah Surah Pamulih dan juga wajah-wajah orang yang ada di situ. Dalam hati dia berkata. "Aku punya dugaan orang-orang ini menyembunyikan sesuatu..."
"Bapak, saya turut berduka cita..."
Surah Pamulih anggukkan kepala. Ucapkan terima kasih. Wajahnya tampak kuyu sedih.
"Apakah boleh saya ingin melihat makamnya. Apakah jauh dari sini?"
"Ningrum dimakamkan di pekuburan keluarga. Tak jauh dari sini. Sebelum hari gelap mari saya antarkan."
Selain Surah Pemulih beberapa orang lelaki ikut mengantar. Rombongan sampai di pekuburan ketika udara mulai meremang gelap. Lelaki yang berjalan di sebelah depan berpaling pada ayah Ningrum dan berkata,
"Akang Surah, ada seseorang di samping makam Ningrum."
"Siapa lagi kalau bukan pemuda sinting si Danang Seta itu..." kata Surah Pamulih. Wajahnya yang sejak tadi kuyu kini tampak berubah kelam marah.
Loan Nio Nikouw memandang ke depan. Di hadapan sebuah kuburan dia melihat memang ada seorang lelaki muda duduk berjongkok sambil dua tangan dirapat ditampungkan ke depan. Agaknya pemuda ini tengah berdoa.
"Kalau orang berdoa dimakam puterinya, mengapa orang tua ini marah?" pikir Loan Nio Nikouw.
Sementara itu ketika mengetahui ada rombongan yang datang, pemuda di samping makam cepat berdiri.
"Danang Seta..." Surah Pamulih berteriak. "Jika sekali lagi kau berani mendatangi makam anakku, aku akan suruh orang mencari dan menggebukmu sampai mati..."
Pemuda di dekat makam tampak ketakutan. Tidak menunggu lebih lama serta merta lari meninggalkan pekuburan.
"Akang, apa perlu kami mengejar pemuda itu?" Seorang di dalam rombongan bertanya.
"Sekarang ini biarkan saja. Tapi jika lain kali dia berani masuk desa, berani mendatangi makam Ningrum. beritahu aku. Aku benar-benar akan menghajarnya sampai mati..."
Sampai di kuburan Ningrum, Surah Pamulih berkata. "Den Ayu... saya dan saudara-saudara ini tidak bisa menunggui Den Ayu di sini. Kami harus kembali ke rumah untuk mempersiapkan acara pengajian."
"Tidak apa saya sendirian di sini. Saya hanya ingin merenung dan mendoakan Ningrum agar bisa tenteram di alam baka. Saya tidak akan mampir lagi ke rumah Bapak." Loan Nio Nikouw kemudian membungkuk dalam-dalam.
Setelah semua orang itu pergi Loan Nio Nikouw tegak membisu. Hanya hatinya yang bicara. "Setelah Adipati itu meninggal, Ningrum satu-satunya orang bisa membuka tabir rahasia keberadaan dua dadu setan. Sayang sekali. Dia keburu meninggal sebelum sempat memberi tahu..."
"Kraaakkk..."
Tiba-tiba di belakang sang paderi ada suara derak ranting patah terpijak kaki. Loan Nio Nikouw cepat berbalik. Dia melihat seorang muda di belakang serumpun semak belukar. Pemuda ini tampak terkejut pucat dan melangkah mundur siap larikan diri.
"Jangan lari!" bentak Loan Nio Nikouw. Sekali lompat saja dia melayang di atas semak-semak lalu tegak di depan orang itu. Tinjunya dikepal di depan hidung orang. "Berani lari kupecahkan kepalamu!"
"Jangan! Saya tidak berniat jahat! Saya orang yang tadi bordoa di makam Ningrum. Saya lari sewaktu rombongan datang."
"Danang Seta?"
"Itu nama saya."
"Kenapa kau seperti ketakutan dan melarikan diri ketika saya dan rombongan ayah Ningrum datang? Dan sekarang mengapa kau berani muncul mengintip diriku?!"
"Mereka hendak menggebuk saya. Dulu ayah Ningrum dan karib kerabatnya baik sama saya. Tapi sejak mereka kaya raya, mereka membenci saya."
"Mengapa?" tanya Loan Nio Nikouw.
"Saya tidak tahu. Ningrum juga berubah. Selalu menjauh dari saya. Padahal sebelumnya kami sudah berencana untuk menikah sehabis perayaan Maulud tahun ini."
"Jadi kau kekasih Ningrum."
"Ningrum beberapa tahun lebih tua dari saya. Itu tidak menjadi soal. Sebenarnya kami sudah dijodohkan sejak kecil. Tapi setelah kaya raya. Ki Surah Pamulih ingin membatalkan perjodohan. Bagi saya mungkin itu sudah nasib. Ningrum jarang di rumah. Untuk dapat bertemu satu purnama sekali sudah untung."
"Kalau dia jarang di rumah lalu kemana perginya gadis itu?” Tanya Loan Nio Nikouw. Dia tahu, dia sendiri cukup sulit menemui gadis yang dijadikannya sebagai penghubung dengan mendiang Adipati Brebes itu.
"Itulah yang membuat saya berusaha menyelidik. Belakangan ini saya ketahui dia banyak bergaul dengan orang-orang kaya termasuk para pejabat tinggi Kerajaan. Pada pertemuan terakhir kali beberapa waktu lalu Ningrum berkata bahwa dia ingin meninggalkan pekerjaannya yang sekarang. Saya bertanya apa pekerjaannya dan dia bekerja di mana? Tapi Ningrum tidak mau memberi tahu. Kasihan Ningrum, jangan-jangan dia korban dari pekerjaannya sendiri..."
"Danang Seta, apa maksudmu dengan ucapan itu?" tanya Loan Nio Nikouw.
"Kami, semua orang di desa Jatiwaluh ini merasa heran. Dari mana Ki Surah Pamulih punya uang begitu banyak untuk membeli tanah luas, mendirikan rumah besar, memiliki sawah, ladang, ternak juga tambak udang. Saya punya dugaan semua sumber kekayaan itu datang dari Ningrum. Lalu Ningrum sendiri dapat uang dari mana? Satu kali Ningrum pernah menunjukkan pada saya sepotong batangan emas murni. Saya kaget sekali. Seumur hidup baru kali itu melihat emas begitu besar. Katanya emas itu pemberian seorang kenalan dekatnya. Seorang pejabat Kerajaan. Saya mendesak bertanya siapa nama pejabat itu. Dia tidak memberi tahu malah marah dan menuduh saya tengah menyelidiki dirinya. Sejak itu kami tidak pernah bertemu lagi."
"Ayah Ningrum memberi tahu, puterinya meninggal karena sakit mendadak. Kau tahu sakit apa?"
Danang Seta tatap wajah sang paderi seolah hendak menembus cadar merah yang menutupi. "Ki Surah Pamulih berdusta. Orang-orang itu berdusta. Mereka menyembunyikan kematian sebenarnya dari Ningrum. Kekasihku tidak mati karena sakit mendadak. Ningrum mati dibunuh..."
Sepasang mata Loan Nio Nikouw menyipit Tiba-tiba paderi ini merasa dingin di bagian punggung dan tengkuknya. Dia berbalik. Memandang-mandang berkeliling. Tidak ada orang lain dipekuburan itu. "Mungkin hanya tiupan angin," kata Loan Nio Nikouw dalam hati. Lalu dia bertanya pada Danang Seta. "Dari mana kau tahu Ningrum mati dibunuh..."
"Salah seorang pembantu di rumah Ki Surah Pamulih adalah masih bibi saya, dia biasa dipanggil dengan nama Nyi Gembok. Dia yang memberi tahu. Dia yang menemukan mayat Ningrum pagi hari ketika hendak membangunkan. Ningrum ditemukan Nyi Gembok dalam keadaan terbaring terlentang di atas ranjang. Tubuhnya bugil. Dua kaki terkembang. Di lehernya ada tanda merah bekas gigitan. Agaknya sebelum mati Ningrum telah melakukan hubungan badan dengan seseorang. Orang inilah yang kemudian membunuhnya. Dari Nyi Gembok sebelumnya aku sudah mendengar kabar kalau Ningrum sering menerima tamu rahasia pada malam hari tanpa setahu ayah atau ibunya.
"Berarti si pembunuh adalah seseorang yang dikenal Ningrum. Ningrum mengizinkannya masuk ke dalam kamar, melakukan hubungan badan lalu dibunuh. Mengapa? Mengapa ada orang sekejam itu? Apa alasannya membunuh Ningrum setelah lebih dulu menyebadaninya?"
Dari balik pakaiannya Danang Seta mengeluarkan sebuah benda. Ketika Loan Nio Nikouw memperhatikan, benda itu ternyata adalah sebilah keris panjang sejengkal. Ada noda darah yang telah mengering pada bagian ujung yang lancip sampai pertengahan badan senjata ini.
"Keris ini ditemukan Nyi Gembok menancap di leher Ningrum."
Loan Nio Nikouw tertegun sesaat. "Bagaimana senjata ini sekarang ada padamu?"
"Nyi Gembok mencurinya dari sebuah rak lalu diberikan pada saya seusai pemakaman siang tadi."
"Kalau begitu saya perlu bertemu dengan Nyi Gembok."
Danang Seta gelengkan kepala. "Nyi Gembok sudah diusir dari rumah besar. Bibi saya dipecat..." Jawab si pemuda. "Ada satu hal yang perlu saya beri tahu. Keris kecil ini adalah milik Raden Kumbara Ajiwinata. Seorang Pangeran muda dari satu Kerajaan di barat"
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Loan Nio Nikouw.
"Beberapa tahun lalu saya pernah bekerja di kediaman seorang Empu di Karang Ampel. Namanya Empu Barada. Empu ini ahli membuat senjata bertuah. Satu ketika dia menerima pesanan dibuatkan sebilah keris kecil dari Raden Kumbara. Sewaktu keris pesanan selesai saya yang disuruh mengantarkan kepada Raden Kumbara. Saya sangat mengenali senjata ini."
"Ditemukannya senjata ini apakah kau punya dugaan. Mungkin tuduhan bahwa Raden Kumbara yang membunuh Ningrum?"
Danang Seta tidak bisa menjawab pertanyaan Loan Nio Nikouw itu. "Saya mungkin akan menemui Pangeran itu. Tapi ada seorang sahabat yang perlu segera saya temui. Dia tahu suatu tempat penuh bergemilang uang, harta dan perempuan. Saya punya dugaan bahwa Ningrum ada sangkut pautnya dengan tempat itu."
Sepasang mata Loan Nio Nikouw tampak bersinar membesar. "Siapa nama sahabatmu itu? Dimana dia bisa ditemui?” tanya sang paderi pula.
"Dia seorang perajurit Kadipaten Losari. Namanya Jumena. Belum lama ini terjadi satu hal menggegerkan. Atasan Jumena menemukan satu tempat rahasia di sekitar..."
Belum sempat Danang Seta melanjutkan ucapannya tiba-tiba sebuah benda hitam melesat di udara. Loan Nio Nikouw cepat gerakkan dua tangannya. Tangan pertama mendorong ke arah Danang Seta hingga pemuda ini terjajar jauh dan jatuh terduduk di tanah tapi selamat dari serangan benda hitam. Tangan kedua menghantam ke udara melancarkan pukulan tangan kosong dan membuat mental benda hitam yang tadi menyerang Danang. Di saat hampir bersamaan satu lagi benda hitam melesat dalam kegelapan, menyambar ke arah kepala Loan Nio Nikouw. Sambil rundukkan kepala paderi dari Tionggoan ini berteriak.
"Pembokong gelap! Jangan lari!”
Di seberang sana satu bayangan hitam berkelebat keluar dari balik satu pohon besar lalu melarikan diri ke arah timur. Loan Nio Nikouw lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Satu jeritan merobek kesunyian malam di pekuburan. Ketika sang paderi sampai di dekat pohon besar, dia dapatkan si pembokong tergeletak di tanah tak bernyawa lagi. Ketika memeriksa, Loan Nio nikouw terkejut.
"Manusia ini bukan mati karena pukulanku."
Di kening orang itu menancap sebuah benda hitam berbentuk paku besar berduri. Inilah benda maut yang membunuhnya! Tiba-tiba terdengar jeritan orang.
"Danang!" seru Loan Nio Nikouw. Dia cepat melompat ke tempat Danang jatuh. Terlambat Kakinya laksana dipantek. Danang yang tadi masih hidup kini tergeletak di tanah dengan luka besar menganga di leher. Darah menggenang. Loan Nio Nikouw merasa seperti mau muntah. Sang paderi perhatikan tangan Danang Seta kiri kanan. Lalu dia menggeledah pakaian pemuda itu. Dia tidak menemukan keris kecil yang tadi dipegang dan diperlihatkan Danang Seta.
"Ada orang mencuri keris kecil itu..." ucap Loan Nio Nikouw dalam hati.
Tak lama setelah Loan Nio Nikouw pergi satu sosok bergemerlap biru menampakkan diri di pekuburan lalu melesat ke arah barat. Di satu tempat sosok ini membentuk ujud utuh lalu mendekati seorang pemuda yang duduk di dekat pematang sawah.
"Purnama, bagaimana hasil kuntitanmu?"
Mahluk bayangan yang bukan lain si cantik Purnama menceritakan apa yang terjadi di pekuburan Jatiwaluh. "Wiro, kita harus segera menemukan seorang perajurit Kadipaten Losari bernama Jumena. Dia ada hubungan dengan perkara besar yang tengah kau selidiki. Aku punya dugaan dia akan jadi korban pembunuhan berikutnya."
"Jumena? Aku kenal perajurit Itu. Aku pernah bertemu dengannya di pinggiran sebuah jurang." Berkata Pendekar 212. "Purnama, kita pergi ke Losari sekarang juga."
"Mudah-mudahan kita tidak kedahuluan sahabatmu paderi perempuan itu. Aku yakin dia juga akan ke Losari mencari perajurit bernama Jumena." Purnama ulurkan tangan membantu Wiro berdiri. Lalu sambil berpegangan keduanya tinggalkan tempat itu.
Dalam gelap sepasang mata memperhatikan penuh geram. Mulutnya berucap. "Dasar lacur perempuan! Kemana-mana maunya berpegangan! Tunggu saja! Aku kerjai kau...!"
EPISODE SELANJUTNYA: