Si Cantik Gila Dari Gunung Gede

Wiro Sableng. Sicantik gila dari gunung gede
Sonny Ogawa

Si Cantik Gila Dari Gunung Gede

"Nyi Retno, kau tidak boleh membunuh Patih Wira Bumi!"

"Kau membelanya. Apa dia sahabatmu?!"

"Tidak."

"Lalu mengapa aku tidak boleh membunuh manusia jahat itu?!"

"Karena dia adalah suamimu." Jawab Wiro. "Dia adalah ayah dari putrimu yang bernama Ken Permata. Yang saat ini sudah berusia satu tahun."

Nyi Retno hentikan lari. "Aku tidak pernah punya suami yang namanya Wira Bumi. Aku tidak pernah punya anak bernama Ken Permata! Wiro, kalau aku punya anak aku ingin ayahnya adalah kau! Aku suka padamu! Kemuning suka padamu...!"

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito
BAB SATU

DEBUR ombak laut selatan yang menghantam lamping batu di malam gelap tanpa bintang tiada bulan terdengar menggidikkan. Angin bertiup kencang, sesekali menderu menimbulkan suara seperti suling yang ditiup setan.

Dalam keadaan seperti itu, satu pemandangan mencekam terlihat di kejauhan. Di tengah laut dari arah selatan tampak meluncur membelah gulungan ombak besar sebuah perahu kayu. Perahu meluncur pesat tanpa didayung. Di atas perahu, tegak berdiri agak membungkuk sang penumpang yang ternyata adalah seorang nenek berwajah keriput angker, berpakaian selempang kain merah. Pakaian yang dikenakan begitu seronok hingga menyingkapkan bagian dada, perut bahkan aurat terlarang di bawah pusar. Rambutnya yang juga berwarna marah melambai riap-riapan ditiup angin laut

Sepasang mata merah menatap tajam ke depan. Mulut perot menyeringai memperlihatkan barisan gigi serta lidah yang Juga berwarna marah. Sesekali dia keluarkan suara bersiul seolah menyenangi alunan ombak yang menghantam, membuat perahu melesat ke udara sampai setinggi satu tombak.

"Hik hik hik! Tujuh bulan aku menunggu! Malam ini maksudku akan kesampaian! Dia dapatkan ilmu. Aku dapatkan tubuhnya yang kekar hangat! Hlk hik! aku tahu. Aku tahu. Itunya pasti. hik hik hik! Ki Batang Kerso kau tidak ada apa-apanya dibanding dengan orang itu! Hik hik! Ah... Aku akan mendapatkan sejuta nikmat malam ini. Juga malam-malam lain setiap aku membutuhkan dia atau dia menghendaki diriku!"

Dalam asyiknya bicara sendiri sambil sesekali bersiul si nenek seperti tidak menyadari kalau perahu di atas mana dia berada hanya tinggal satu tombak lagi dari lamping batu hitam yang membentuk dinding batu setinggi belasan tombak. Si nenek masih saja tertawa-tawa sambil membayangkan kenikmatan yang akan dirasakannya malam itu.

"Braaakkk!"

Perahu kayu menghantam dinding batu. Hancur berantakan. Sosok si nenek tidak kelihatan. Tetapi astaga! Nenek berpakaian selempang kain merah itu sekejap kemudian kelihatan melesat ke udara, lalu melayang laksana seekor burung besar untuk kemudian menukik turun dan jejakkan kaki tepat di depan sebuah goa. Bau kemenyan menghampar keluar dari dalam goa. Manusia biasa pasti akan bergidik berada di tempat itu.

Orang yang memiliki kesaktian dan ilmu meringankan tubuh bagaimanapun tingginya tidak akan mungkin melompati dinding batu setinggi belasan tombak. Namun si nenek dengan mempergunakan kecerdikan berhasil membuat lompatan yang melesatkan tubuhnya ke atas melewati dinding batu dengan cara meredam lalu mengandalkan daya kekuatan benturan antara perahu dengan dinding batu sewaktu terjadi tabrakan.

Masuk ke dalam goa yang konon bernama Goa Giri jati, si nenek dapatkan seorang lelaki bertubuh tegap hanya mengenakan sehelai celana pendek hitam, duduk bersila di lantai goa. Rambut tebal hitam menjulai sebahu. Kumis dan janggut panjang meranggas. Ketenangan tampak di wajahnya yang gagah dalam usia belum mencapai setengah abad. Dadanya yang bidang menonjolkan otot-otot yang masih kekar. Di sudut goa sebelah kanan ada sebuah obor kecil. Sementara di sudut goa sebelah kiri ada pendupaan menyala menebar harum bau kemenyan.

"Anak manusia bernama Wira Bumi, pejabat Tumenggung Kerajaan. Hentikan tapa samadimu. Waktu perjanjian tujuh bulan sudah kau selesaikan. Apa kau tidak mencium keharuman diriku berdiri di depanmu?"

Si nenek keluarkan ucapan. Lalu dua tangannya dikibaskan ke depan. Saat itu juga bau harum aneh memenuhi seluruh goa bahkan menghampar keluar dan ditebar oleh tiupan angin kemana-mana. Cuping hidung lelaki yang duduk bersamadi kelihatan bergerak-gerak pertanda dia sudah mencium bau harum yang ditebar si nenek.

Perlahan-lahan dia turunkan dua tangan yang sejak tadi didekapkan di dada lalu diletakkan di atas lutut kiri kanan. Perlahan-lahan pula orang ini membuka sepasang matanya. Begitu pandangannya membentur sosok si nenek seria merta sepasang mata itu membuka lebih besar dan mulut berucap.

"Nyai..."

"Nyai! Nyai siapa?! Ada ratusan Nyai di kawasan ini!" Si nenek menyentak.

"Nyai Tumbal Jiwo!"

"Nah itu memang namaku! Hik hik hik."

"Nyai, kau datang... apakah..."

"Wira Bumi, hari ini tapa samadimu yang kau lakukan selama tujuh bulan telah selesai. Sesuai permintaanmu, kau akan mendapatkan rejeki besar dalam hidupmu, kau akan dianugerahi jabatan lebih tinggi dari yang kau miliki sekarang. Dan yang paling penting kau sudah mendapatkan dan menguasai semua ilmu kesaktian yang kau inginkan..."

"Nyai Tumbal Jiwo!" Lelaki bernama Wira Bumi yang menjabat sebagai Tumenggung Kerajaan itu buru-buru jatuhkan diri. berlutut di hadapan si nenek sambil berulang kali mengucapkan terima kasih.

"Dengar dulu, bicaraku belum selesai Wira Bumi!"

"Maafkan saya Nyai..."

"Kau mengakhiri tapa samadi dan mendapatkan apa yang kau minta dengan cara dan jalan yang tidak mulus. Ingat peristiwa lahirnya seorang bayi perempuan dari istri mudamu bernama Retno Mantili?"

"Saya Ingat Nyai. Saya mengaku lalai dan salah. Saya sudah mohon pengampunan dan Nyai telah memberikan kebijaksanaan."

Si nenek berambut merah menyeringai. "Apa yang kau katakan betul. Namun aku tidak bisa menguasai seluruh alam roh dan alam gaib. Aku sudah memberi jalan yaitu kau harus membunuh bayi yang lahir itu. Namun orang suruhanmu, pembantu bernama Djaka Tua justru melarikannya. Sampai saat ini walau tidak tahu berada dimana tapi bayi itu masih hidup..."

"Kalau begitu saya akan turun tangan sendiri Nyai. Saya akan cari bayi itu dan membunuhnya."

"Kau juga harus membunuh Nyi Retno Mantili."

"Perintah Nyai akan saya laksanakan," jawab Wira Bumi.

Sepasang mata merah Nyai Tumbal Jiwo berkilat-kilat memperhatikan sosok Wira Bumi. "Wira Bumi, setelah nanti kau kembali ke Kotaraja, kau harus melaksanakan satu kaulan. Yaitu mengadakan pesta hiburan untuk rakyat banyak yang pasti juga akan dihadiri oleh mahluk-mahluk dari alam roh secara tidak kelihatan. Kau harus menyediakan satu meja khusus dilengkapi sesajen, dihias kembang tujuh rupa. Kau juga harus menyalakan pendupaan ditaburi setanggi di empat sudut rumah kediamanmu. Kau mendengar dan mengerti?"

"Jelas dan mengerti Nyai," jawab Tumenggung Wira Bumi pula.

"Bagus," si nenek tersenyum. Sepasang matanya kembali berkilat. "Ada satu hal lagi. Sebelum kau meninggalkan Goa Girijati ini, ada satu hal yang harus kau lakukan. Maksudku kita! Ini termasuk cara penangkal atas semua kelalaian yang kau lakukan."

"Apa yang Nyai akan katakan akan saya lakukan."

Nyai Tumbal Jiwo angkat dua tangan ke patas merapikan rambut merah riap-riapan. Sekali dia menggerakkan bahu dan pinggul maka selempang kain merah yang jadi pakaiannya tanggal jatuh ke lantai goa.

"Nyai..."

Wira Bumi melihat sosok telanjang Nyai Tumbal Jiwo. tubuh kurus dibalut kulit hitam keriput. Lelaki ini cepat tundukkan kepala tak berani memperhatikan lebih lama.

"Tubuhku jelek, wajahku buruk. Apakah kau jijik melihat diriku?" Nyai Tumbal Jiwo bertanya.

"Tidak Nyai, saya tidak jijik..."

"Lalu mengapa kau tundukkan kepala tak berani memandang diriku."

"Maafkan Nyai. Saya menaruh hormat dan tidak mau berbuat kurang ajar," jawab Tumenggung Wira Bumi.

Si nenek tertawa panjang. "Angkat kepalamu! Lihat diriku!"

"Maaf Nyai, saya tidak berani..."

"Wira Bumi! Ini perintah. Kalau kau tidak melaksanakan maka semua ilmu kesaktian yang kau miliki akan tidak ada gunanya."

Mau tak mau Wira Bumi angkat kepala, memandang ke arah sang guru. Sepasang mata lelaki ini serta merta mendelik besar. Tak percaya akan apa yang dilihatnya. Di hadapannya kini berdiri bukan lagi seorang nenek hitam keriput berwajah setan. Melainkan seorang gadis. Wajah yang tadi buruk kini berubah wajah cantik jelita. Kulit yang hitam keriput kini tampak kuning langsat dan mulus. Dada yang sebelumnya rata ceper kini berubah padat besar membusung.

"Bagaimana, apakah kini kau suka melihat diriku seperti ini?" Bertanya si gadis yang merupakan jejadian Nyai Tumbal Jiwo.

"Nyai, saya..."

Gadis cantik jelita yang tidak terlindung auratnya oleh selembar benang itu melangkah ke arah Wira Bumi. "Wira Bumi, kau harus menghiburku. Puluhan tahun hidup di alam roh, terpendam dalam tanah rasanya seperti di neraka..." Lalu si gadis cantik dudukkan diri di pangkuan Wira Bumi. Rangkulkan dua tangan ke punggung lelaki itu dan mendekapnya erat-erat.

Tujuh bulan tak pernah menyentuh perempuan, membuat Wira Bumi laksana terpanggang oleh nafsu. Wajahnya dibenamkan ke dada putih padat sehingga si gadis menggeliat dan mendesah panjang talu melumat leher lelaki itu dengan gigitan penuh gairah.

********************

BAB DUA

DALAM episode berjudul Lentera Iblis, diceritakan Pendekar 212 Wiro Sableng pergi ke puncak Gunung Gede guna menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Di sana telah berada Nyi Retno Mantili. Wiro hampir pangling karena Nyi Retno kini berada dalam keadaan bersih, mengenakan pakaian baru kembang-kembang biru dan kuning.

Selain itu dia juga berdandan apik hingga untuk pertama kalinya Pendekar 212 menyadari betapa cantik dan anggunnya perempuan malang ini. Dia juga kaget ketika kemudian mengetahui kalau Nyi Retno Mantili pernah tinggal di tempat itu bahkan sudah merupakan murid sang Kiai karena kepadanya diajarkan beberapa ilmu kesaktian agar dapat melindungi diri.

Dalam pertemuan dengan sang Kiai, demi untuk menjaga keselamatan Wiro, Kiat Gede Tapa Pamungkas melenyapkan jarahan tiga angka 212 di dada sang pendekar. Lalu Kapak Naga Geni 212 berikut batu sakti secara gaib dimasukkan ke dalam tubuh Wiro.

Sebelum meninggalkan telaga tiga warna tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas, orang tua itu berpesan agar Wiro menjaga baik-baik Nyi Retno Mantili. Dalam perjalanan, sambil beristirahat dibawah sebatang pohon, Wiro berkata.

“Nyi Retno. ada satu hal yang hendak aku sampaikan padamu”.

"Ah, senangnya aku mendengar kata-katamu. Katakanlah apa yang hendak kau ceritakan. Bicara yang keras agar Kemuning bisa mendengar, kata Nyi Retno Mantili. Kemuning adalah boneka kayu yang selalu dibawa kemana-mana oleh Nyi Retno dan dianggap sebagai anak oleh perempuan yang berubah ingatan ini akibat lenyapnya bayi yang dilahirkannya.

"Nyi Retno, beberapa hari lalu, dari keterangan Djaka Tua aku berhasil mencari tahu siapa adanya orang tua yang mengambil bayimu dari pembantu itu."

Kening Nyi Retno mengerenyit. Alis yang lengkung bagus naik ke atas. "Tunggu dulu, ceritamu tidak lucu Wiro. Hik hik! Bayiku ada di sini. Lihat Ini. Kemuning! Ini bayiku! Ini anakku!" Nyi Retno angkat boneka kayu yang dipegangnya lalu didekatkan ke wajah Wiro sambil tertawa panjang.

"Lucu atau tidak lucu seharusnya kau bertanya siapa adanya orang tua itu." Wiro jadi mengkal.

Habis tertawa Nyi Retno berkata, "Kau tahu Wiro, justru ada hal lain yang ingin aku bicarakan. Tadi malam aku bermimpi. Mimpi buruk. Dalam mimpi aku melihat Djaka Tua digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Aku kawatir..."

"Tak ada yang perlu dikawatirkan Nyi Retno. Djaka Tua berada di kediaman Ki Tambakpati yang baru. Tidak ada orang yang tahu. Tempatnya aman..." Dalam hati Wiro mengomel. "Aku bicara soal anaknya dia bicara soal mimpi! Geblek. Nggak nyambung!"

Mimpi Nyi Retno Mantili ternyata menjadi kenyataan. Ketika sampai di pondok tempat kediaman Ki Tambakpati yang tersembunyi di satu hutan jati, bangunan itu ditemukan dalam keadaan porak poranda, nyaris sama rata dengan tanah. Yang paling mengejutkan Wiro dan Nyi Retno mendapatkan pembantu malang itu telah menemui ajal secara mengenaskan.

Djaka Tua digantung di dahan satu pohon besar, kaki ke atas kepala kebawah. Keadaan mayat yang mulai membusuk pertanda pembantu malang itu telah menemui ajal paling tidak sekitar dua hari lalu. Nyi Retno Mantili menjerit keras. Seperti ke-masukan setan dia hendak menghancurkan pohon besar. Wiro cepat merangkul perempuan itu.

"Nyi Retno, tenang. Biarkan aku mengurus jenazah Djaka Tua dulu..."

"Aku akan mencari siapa pembunuhnya!" teriak Nyi Retno.

"Kita akan menemukan pembunuh terkutuk Itu. Sekarang harap Nyi Retno menjauh dulu. Aku akan menurunkan mayat Djaka Tua lalu membuat lobang untuk mengubur..."

"Orang sebaik dia dibunuh! Sungguh keterlaluan!" Nyi Retno menjerit lalu menangis keras sambil mendekap boneka kayu ke dadanya. "Apa memang selalu seperti ini nasib seorang pembantu? Dihina, dinista, diperlakukan semena-mena bahkan dibunuh!" Di hadapan makam Djaka Tua Nyi Retno Mantili bersimpuh di tanah. Lalu dengan suara masih terisak dia bertanya.

"Wiro, kau tahu, paling tidak bisa menduga. Siapa manusia terkutuk yang membunuh pengasuh Kemuning itu?"

Wiro menggaruk kepala. "Aku menaruh curiga pada Cagak Lenting. Orang yang mengaku dapat tugas dari Patih Kerajaan. Setelah bentrok dengan Nyi Retno dia pasti melapor pada Patih di Kotaraja. Lalu Patih Kerajaan mengirim orang ke sini. Mungkin Cagak Lenting atau bisa juga Patih Kerajaan turun tangan sendiri."

"Hanya untuk membunuh seorang pembantu Patih Kerajaan turun tangan sendiri? Sulit dipercaya! Pasti ada sesuatu dibalik perbuatannya itu."

Wiro menatap wajah Nyi Retno cukup lama sambil berucap dalam hati. "Kata-kata dan jalan pikirannya bukan seperti orang tidak waras..."

"Seharusnya kubunuh manusia satu itu tempo hari! Aku akan menyelidik ke Kotaraja! Siapapun yang terlibat kematian pengasuh Kemuning akan kubunuh habis!" Nyi Retno hendak memutar tubuh.

Wiro cepat pegang tangan perempuan ini. "Nyi... Retno tunggu dulu. Jangan bertindak tergesa-gesa. Yang aku pikirkan saat ini adalah Ki Tambakpati. Ini tempat kediamannya. Tapi dia tidak kelihatan. Aku kawatir diapun sudah jadi korban keganasan..."

Belum selesai Wiro berucap tiba-tiba dari balik rerumpunan di arah kanan satu pohon besar kelihatan seseorang berjalan mengendap-endap. Wiro siapkan pukulan tangan kosong bertenaga dalam tinggi sementara Nyi Retno segera angkat boneka kayu lalu diarahkan pada orang di kegelapan.

"Nyi Retno, tahan serangan. Aku seperti mengenali," ucap Wiro sambil pegang lengan kanan Nyi Retno. "Siapa?" Wiro membentak.

"Aku! Ki Tambakpati! Wiro apa kau tidak mengenali diriku?!"

Wiro dan Nyi Retno melepas nafas lega. Wiro cepat mendatangi. "Ki Tambak, apa yang terjadi. Pondokmu dihancurkan orang!"

"Djaka Tua digantung di pohon sana. Kami baru saja menguburkan jenazahnya. Siapa yang melakukan?"

"Djaka Tua datang ke pondokku. Aku mengobati cidera di wajah dan sekujur tubuhnya. Menjelang pagi tiba-tiba pintu pondok didobrak dari luar. Dua orang menerobos masuk. Ternyata mereka adalah Cagak Lenting dan Patih Kerajaan Wira Bumi! Aneh! Patih Kerajaan melaksanakan sendiri tugas yang bisa dilakukan oleh seorang perajurit! Mereka menghancurkan pondokku. Djaka Tua diseret keluar. Dihajar sampai babak belur. disiksa agar mau memberi tahu dimana beradanya Nyi Retno Mantili dan bayinya..."

"Mengapa dua orang itu ingin tahu dimana aku dan Kemuning berada?" Nyi Retno memotong dengan pertanyaan.

"Orang-orang itu hendak berbuat jahat padamu," yang menjawab Wiro. Lalu memberi isyarat pada Ki Tambakpati untuk meneruskan keterangan.

"Patih Kerajaan membujuk. Djaka Tua akan diberi uang banyak kalau mau memberi tahu dimana beradanya Nyi Retno dan bayinya. Tapi pembantu itu tetap tak mau membuka rahasia. Patih Wira Bumi marah sekali dan habis sabar. Dia memerintahkan Cagak Lenting menggantung Djaka Tua di cabang pohon. Cagak Lenting alias Si Mata Elang benar-benar menggantung Djaka Tua. Secara luar biasa kejam. Kaki ke atas kepala ke bawah hingga pembantu itu tidak segera menemui ajal tapi tersiksa dulu selama satu hari lebih..."

Sampai di situ satu jeritan dahsyat menggelegar dari mulut Nyi Retno. "Cagak Lenting! Tunggu pembalasanku! Aku akan gorok batang lehermu! Juga kau Patih keparat bernama Wira Bumi! Akan kuhisap darah kalian!" Selesai berteriak Nyi Retno segera berkelebat hendak tinggalkan tempat itu.

Wiro cepat mencegah. "Nyi Retno. Kau mau kemana?!"

"Wiro! Sekali ini jangan berani menghalangi diriku! Aku akan ke Kotaraja! Mencari Cagak Lenting dan Patih Wira Bumi! Aku tidak main-main! Aku bersumpah akan menggorok putus batang leher mereka!"

"Nyi Retno, tenang. Jangan bertindak mengikuti hati yang sedang panas. Jika Nyi Retno memang mau ke Kotaraja sebaiknya bersama Wiro..." Berkata Ki Tambakpati.

"Wiro! Minggir!" teriak Nyi Retno.

Wiro masih berusaha membujuk. Nyi Retno habis sabar. Berteriak marah. Tangan kanan bergerak.

"Bukk" Wiro terjungkal jatuh duduk di tanah begitu jotosan tangan kanan Nyi Retno Mantili mendarat di dadanya. Mukanya tampak pucat dan dada berdenyut sakit. Sesaat segala sesuatu di sekitarnya tampak kelam.

"Gila! Kalau saja dia memiliki tenaga dalam tinggi pasti sudah jebol dadaku! Ilmu apa yang diberikan Kiai Gede Tapa Pamungkas pada ibu si Kemuning ini!" Membatin Wiro.

Melihat Wiro terjatuh, Nyi Retno terpekik! Kaget sendiri dan menyesal! Langsung perempuan muda ini jatuhkan diri, memeluk sang pendekar dan menangis. "Wiro, aku..." Suara Nyi Retno tenggelam dalam isakan tangis.

"Nyi Retno. kau memaksa pergi sendirian? Kau mau meninggalkan aku begitu saja?"

Mendengar kata-kata Wiro Nyi Retno langsung menggerung. Kepala digelengkan berulang kali. "Wiro, kau... kau tak apa-apa?" Nyi Retno usap-usap dada yang tadi dipukulnya. Malah menciuminya berulang kali. "Aku menyesal sekali. Mengapa kau tidak menangkis. Mengapa kau tidak mengelak! Kau sengaja membiarkan dirimu menerima pukulanku! Wiro! Pukul aku! Pukul!"

"Nyi Retno, aku tahu perasaanmu. Sudahlah." Wiro peluk tubuh mungil perempuan muda itu.

Walau sikap dan kemarahan Nyi Retno Mantili agak mengendur namun niatnya untuk pergi ke Kotaraja mencari Cagak Lenting dan Patih Kerajaan tidak dapat ditahan. Malah kini dia yang membujuk Wiro agar meluluskan permintaannya itu.

"Kemuning akan marah dan benci padamu, jika kau tidak mau mendengar permintaan ibunya..."

Wiro garuk kepala lalu tertawa. "Baik. kita sama-sama ke Kotaraja. Tapi dengan satu syarat."

"Mengapa pakai syarat segala?" tanya Nyi Retno.

"Syarat apa?"

"Terus terang saja aku juga punya banyak tugas yang belum aku lakukan. Mencari sebuah kitab pengobatan. Mencari tusuk konde guruku yang dicuri orang..."

"Segala tusuk konde saja jadi masalah. Pergi saja ke pasar kau bisa beli. Berapa banyak yang diperlukan gurumu?! Satu bakul atau satu karung?!"

Wiro tertawa dan tepuk-tepuk pipi Nyi Retno Mantili. "Tugasku paling penting adalah mencari manusia terkutuk berjuluk Hantu Pemerkosa. Dia juga dikenal dengan nama Pangeran Matahari. Manusia paling jahat dalam rimba persilatan..."

"Oooo begitu?" Nyi Retno runcingkan bibir. "Wiro kalau kau memang punya banyak tugas, sudah aku pergi sendiri saja! Aku tidak mau merepotkan orang!" Habis berkata begitu Nyi Retno Mantili memutar tubuh lalu sekali melompat dia sudah berada belasan langkah di depan sana.

"Nyi Retno!Tunggu !Teriak Wiro lalu mengejar. Tapi sampai beberapa lama berlari dia tidak mampu mengejar perempuan muda itu. Malah dari depan yang tidak disadari sang pendekar, ada angin mengandung hawa aneh yang membuat dia tidak bisa berlari lebih cepat.

Ini adalah ilmu kesaktian yang diberikan Kiai Gede Tapa Pamungkas pada Nyi Retno, bernama Menahan Kaki Menolak Raga, Siapa saja orang yang melakukan pengejaran tak akan sanggup menyusul sekalipun memiliki ilmu lari yang hebat karena dua kaki akan terasa berat sementara dada seperti ditahan.

"Aneh, ilmu lari apa yang dimilikinya?" pikir Wiro. Dia kembali berteriak tapi Nyi Retno lari terus. Wiro garuk kepala mencari akal.

"Nyi Retno, apa tidak kau dengar Kemuning menangis? Biar aku yang menggendong nyai"

Mendengar kata-kata Wiro itu kali ini Nyi Retno Mantili hentikan lari. Begitu Wiro sampai di depannya Nyi Retno serahkan boneka kayu lalu kembali berlari. Namun kali ini dia tidak menerapkan lagi ilmu Menahan Kaki Menolak Raga.

Sambil lari di samping perempuan itu Wiro berkata. "Nyi Retno. aku akan mengantarkanmu ke Kotaraja. Tapi ingat. Kita hanya mencari Cagak Lenting..."

"Mencari dan membunuhnya!" Ucap Nyi Retno sambil terus lari dan tanpa berpaling pada Wiro. "Aku juga akan mencari Patih Kerajaan dan membunuhnya!"

"Kau tidak boleh melakukan yang satu itu!" Nyi Retno tertawa panjang.

"Manusia satu itu sama jahatnya dengan Cagak Lenting. Malah lebih Jahat. Karena dia biang racun yang memerintahkan Cagak Lenting untuk membunuh Djaka Tua!"

"Nyi Retno, aku katakan padamu. Kau tidak boleh membunuh Patih Wira Bumi."

"Kau membelanya. Apa dia sahabatmu?!"

"Tidak."

"Lalu mengapa aku tidak boleh membunuh manusia jahat itu?!"

"Karena dia adalah suamimu," jawab Wiro. "Dia adalah ayah dari puterimu yang bernama Ken Permata. Yang saat ini sudah berusia satu tahun dan berada di satu tempat aman bersama seorang guruku."

Nyi Retno hentikan lari. "Aku tidak pernah punya suami yang namanya Wira Bumi. Aku tidak pernah punya anak bernama Ken Permata!"

Wiro juga hentikan lari, menggaruk kepala." Kumat lagi... kumat lagi penyakitnya."

"Wiro, kalau aku punya anak, aku ingin ayahnya adalah kau! Aku suka padamu. Kemuning suka padamu."

Wiro tatap wajah Nyi Retno. Sepasang mata mereka saling beradu pandang. Wiro melihat dan seolah baru menyadari betapa bening dan bagusnya dua mata perempuan itu. Lalu wajah mungil yang begitu jelita. Ada perasaan kasihan dalam hati sang pendekar. Tapi juga ada rasa sayang.

"Ah, hati dan perasaanku tidak boleh mempengaruhi jalan pikiran!" Ucap Wiro dalam hati. Wiro lalu pura-pura menciumi boneka kayu.

"Wiro, aku sedih sekali..."

"Mengapa kau sedih Nyi Retno?"

"Kau mencium Kemuning. Tapi tidak menciumku."

Murid Sinto Gendeng tertawa bergelak. Dia bungkukkan kepala mencium kening Nyi Retno. Perempuan itu berjingkat, menggayutkan kedua tangannya di leher Wiro lalu membalas ciuman sang pendekar dengan kecupan hangat di bibir.

********************

BAB TIGA

Hasil tapa samadi yang dilakukan Wira Bumi selama tujuh bulan memang luar biasa. Tak lama setelah dia kembali ke Kotaraja, jabatannya naik dari Tumenggung menjadi Bendahara Kerajaan. Bersamaan dengan kenaikan jabatan itu maka uang serta hartanya jadi berlimpah. Sekali seminggu yaitu pada setiap malam Jumat Nyi Tumbal Jiwo selalu mengunjunginya untuk minta dilayani.

Terkadang Wira Bumi yang sudah ikut kerasukan nafsu setan si nenek datang sendiri ke makam Nyai Tumbal Jiwo di pekuburan Kebonagung. Padahal dia masih punya dua orang istri yang masih muda-muda dan cantik yang sejak kembali dari Goa Girijati tak pernah disentuhnya.

Di pekuburan si nenek telah menunggu dengan ujud berupa gadis cantik. Di tempat terbuka ini, disaksikan oleh makam-makam hitam membisu keduanya bermesraan sampai sebelum fajar menyingsing. Sebelumnya perbuatan semacam ini sering dilakukan Nyai Tumbal Jiwo dengan Ki Batang Kerso, orang tua kuncen penjaga makamnya sekaligus menjadi tempat pelampiasan nafsunya. Namun sejak kuncen itu dipecundangi oleh Wira Bumi dalam satu pertarungan dan disuruh pergi maka kini Wira Bumi-lah yang jadi pengganti pemuas nafsu badaniahnya.

Ternyata Nyai Tumbal Jiwo tidak hanya menginginkan dan menuntut kesenangan dari Wira Bumi, nenek sakti dari alam roh ini juga selalu berusaha agar Wira Bumi dapat mencapai tingkat jabatan yang lebih tinggi. Maka diam-diam dia menyusun rencana keji. Patih Kerajaan Sawung Giring Brajanata dibunuhnya.

Pembunuhan diatur sedemikian rupa ketika seorang Kepala Pengawal bernama Danang Kaliwarda datang menghadap sang Patih. Ditemukannya mayat kedua orang itu di pendopo Kepatihan mendatangkan sangka dan duga bahwa mereka saling bunuh karena masalah dendam kesumat dimasa lampau yaitu Danang Kaliwarda dituduh berselingkuh dengan istri tua sang Patih. Tidak sampai tiga puluh hari setelah kematian Sawung Giring Brajanata, Wira Bumi diangkat menjadi Patih Kerajaan yang baru.

Sesuai dengan perintah Nyai Tumbal Jiwo. sekaligus sebagai syukuran atas pengangkatannya menjadi Patih Kerajaan, Raden Mas Wira Bumi mengadakan pesta besar di alun-alun di depan Gedung Kepatihan. Disamping itu dia mengharap pada pesta keramaian itu dia dapat menyirap kabar dimana beradanya Nyi Retno Mantili dan bayi perempuannya.

Yang paling banyak datang selain penduduk Kotaraja adalah penduduk di desa-desa. Para tamu disuguhi makanan serta minuman melimpah ruah, juga ada hiburan berupa tari-tarian. ketoprak serta akrobat. Setelah para tamu dikocok perutnya dengan lawakan ketoprak maka kini giliran pertunjukan akrobat yang sudah ditunggu-tunggu orang banyak karena memang jarang-jarang ada.

Acara pertama pertunjukan akrobat dilakukan oleh enam pemuda gagah berseragam pakaian ringkas warna merah dan dua gadis cantik berseragam pakaian biru. Didahului suara tiupan terompet seorang pemuda bertubuh paling besar dan kekar naik dan berdiri kokoh di tengah panggung, memanggul sebuah balok melintang di bahu kiri kanan. Gong berbunyi. Dua gadis melompat ke atas panggung, menari memutari pemuda yang memanggul balok.

Tak berapa lama kemudian gong berbunyi lagi. Kali ini dua kali berturut-turut. Maka dua pemuda dengan gagah dan gerakan ringan melompat ke atas potongan balok. Satu di sebelah kiri, satu mengimbangi di sebelah kanan. Gerakan mereka menjejakkan kaki di atas balok harus pada saat bersamaan. Kalau tidak maka balok akan jomplang dan salah seorang dari dua pemuda akan tejerumus jatuh.

Kembali gong ditalu dua kali. Dua pemuda lagi melesat ke udara, jungkir balik satu kali lalu melayang turun dan dalam saat bersamaan jatuhkan diri duduk di atas bahu dua kawannya yang berdiri di atas balok. Orang banyak bertepuk tangan, sorak riuh memenuhi seantero tempat. Ada pula yang bersuit-suit tiada henti. Ketika gong kembali berbunyi. Orang banyak menahan nafas.

Pemuda terakhir bertubuh tinggi lentur melompat ke sebuah bantalan karet. Tubuhnya dengan membal melesat ke udara Sesaat kemudian pemuda ini telah berdiri dengan kaki kiri kanan menginjak bahu dua pemuda yang duduk di atas bahu dua teman lainnya. Kembali tempat itu dipenuhi tepuk tangan serta sorakan kagum.

Puncak pertunjukan akrobat yang menegangkan ini segera datang. Dua gadis yang sejak tadi menari berputar-putar, sambil bergandengan tangan berlari ke arah bantalan karet Di tangan masing-masing ada sebuah payung kertas warna kuning. Gong berbunyi lagi. Kali ini disertai tabuhan tambur dan tiupan seruling.

Dua gadis berteriak nyaring lalu melompat ke atas bantalan karet. Saat itu juga tubuh mereka yang masih saling berpegangan satu sama lain melesat ke udara. Begitu mulai bergerak turun keduanya sama kembangkan payung kuning. Gerakan mereka waktu melayang turun indah sekali. Perlahan-lahan dua gadis ini letakkan salah satu kaki di bahu kiri kanan pemuda yang tegak berdiri di atas bahu dua temannya.

Suara gong dan tambur bertalu-talu. Tiupan seruling mencuat nyaring. Pemuda yang berdiri diatas panggung yakni yang memanggul balok besar perlahan-lahan mulai memutar tubuhnya. Balok diatas bahu ikut berputar. Selanjutnya para pemuda berpakaian merah yang ada di atas turut pula berputar. Di tingkat paling atas dua gadis berpakaian biru menari lemah gemulai sambil tersenyum-senyum. Sungguh tontonan luar biasa!

Semua orang menyaksikan dengan menahan nafas, mata tak berkedip. Namun sesaat kemudian pekik sorak serta tepuk tangan dan suitan kembali menggema di tempat itu. Suara gong dan tambur terus bertalu-talu tiada henti. Tiupan seruling melengking-lengking. Lalu terdengar suara tiupan terompet. Itulah pertanda bahwa pertunjukan pertama dari rombongan akrobat ini berakhir sudah.

Dua gadis cantik berpakaian biru berseru nyaring. Tubuh mereka yang sejak tadi berpegangan melesat berpisah. Satu ke kiri satu ke kanan. Dengan mengandalkan daya tahan payung kuning yang terkembang keduanya melayang turun sambil meliuk-liukkan tubuh. Pemuda paling atas menyusul melompat turun setelah lebih dulu berjungkir balik di udara. Dua pemuda lainnya mengikuti melompat turun, tak lupa berjungkir balik satu kali sebelum menjejakkan kaki di panggung.

Pada saat itulah satu sosok berpakaian hijau entah dari mana munculnya ikut melesat jatuh ke bawah. Semua orang jadi heran. Mengapa orang yang turun jadi tiga dan satu berpakaian hijau. Geger besar melanda semua orang yang ada di tempat pertunjukan sesaat kemudian. Kalau dua orang pemuda berpakaian merah jejakkan kaki di lantai panggung dengan gerakan enteng hampir tanpa suara maka sebaliknya sosok ketiga yang berpakaian hijau jatuh terbanting dengan suara keras.

"Braakkk!"

********************

Sebelum melanjutkan apa yang terjadi dalam pesta di Gedung Kepatihan, kita ikuti dulu perjalanan Pendekar 212 Wiro Sableng bersama Nyi Retno Mantili. Keduanya sampai di Kotaraja pada malam yang sama di mana tengah berlangsung pesta di tempat kediaman Patih Kerajaan. Dari tempat tersembunyi mereka memperlihatkan gerak-gerik orang ini.

Cagak Lenting langsung mencari tempat duduk di antara para tamu terkemuka melainkan berjalan memutari panggung lalu melangkah ke arah timur lapangan yang dipenuhi banyak orang. Sekaligus menyirap kabar keberadaan orang-orang tertentu.

"Wiro!" Suara Nyi Retno Mantili bergetar. Dia menunjuk ke arah Cagak Lenting. "Itu jahanamnya!" Darah langsung naik ke ubun-ubun. sepasang mata berkilat penuh amarah. "Aku akan membunuhnya saat ini juga..."

"Jangan lakukan di sini, Nyi Retno," Wiro cepat mencegah. "Kita harus mengerjakannya di tempat sepi."

"Mana ada tempat sepi di sini. Lihat saja, orang begini banyak, berjubalan!"

Wiro menunjuk ke atap Gedung Kepatihan yang luas. "Kau naik ke atas atap itu. Aku akan memancing cagak Lenting..."

Nyi Retno tampak seperti berpikir lalu tersenyum dan anggukan kepala. Dia. menyelinap di antara orang banyak. Di ujung lapangan sebelah timur perempuan ini naik ke atas tembok halaman belakang lalu melesat ke atas atap Gedung Kepatihan.

BAB EMPAT

NYl RETNO tidak menunggu lama. Dalam kegelapan malam dia melihat dua orang melesat ke atas wuwungan. Di sebelah depan Wiro, sedang di belakang menyusul lelaki berpakaian hijau.

"Pendekar Dua Satu Dua! Kalau kau memang benar mau menunjukkan dimana beradanya Nyi Retno, aku tidak akan mencari perkara denganmu. Setelah aku melihat perempuan itu kau bebas pergi. Tapi ingat, jika kau memperdayai diriku di sini ada lebih dari selusin tokoh silat Istana. Kau bisa mati konyol!"

"Jahanam pembunuh Djaka Tua! Kau yang akan mampus duluan! Aku Nyi Retno Mantili yang kau cari ada di sini!"

Tiba-tiba dari atas atap Gedung Kepatihan terdengar bentakan perempuan. Berpaling ke kiri Cagak Lenting melihat Nyi Retno Mantili berdiri di atas atap sambil memegang boneka kayu. Walau agak kaget namun Cagak Lenting umbar senyum dan berkata.

"Nyi Retno. Aku membekal pesan dari Patih Wira Bumi. Apapun kesalahanmu dia telah memaafkan. Sekarang mari turun. Ikuti aku menemuinya."

Nyi Retno menatap mendelik lalu tertawa panjang. Sementara di bagian atap yang lain Pendekar 212 berjaga-jaga kawatir Cagak Lenting akan mengirimkan serangan membokong. Baik Nyi Retno maupun Wiro tidak percaya pada ucapan Si Mata Elang ini.

"Cagak Lenting, undangan Patihmu aku terima. Tapi apakah aku boleh membawa serta anakku Kemuning?" Nyi Retno bertanya.

"Tentu saja Nyi Retno.Tentu saja..." jawab Cagak Lenting.

"Nyi Retno, awas orang mau menipu!" bisik Wiro.

"Ssttt..." Nyi Retno letakkan telunjuk tangan kanan melintang di atas bibir. Mata dikedipkan lalu berpaling pada Cagak Lenting. Sambil tersenyum dia berkata. "Kalau begitu katamu jalanlah duluan! Maksudku jalan duluan ke neraka! Hik hik hik!"

Nyi Retno tertawa melengking. Bersamaan dengan itu tangan kanannya yang memegang boneka kayu bergerak meremas pinggang. Dua larik sinar putih melesat keluar dari sepasang mata boneka, menyambar ke arah Cagak Lenting. Lelaki ini tidak sempat keluarkan teriakan apalagi menyingkir selamatkan diri. Dua sinar putih mendarat tepat membelah di pertengahan kepala. Tubuh roboh tergeletak di atas atap. Darah bergelimang sampai ke dada. Seperti orang kemasukan setan Nyi Retno Mantili angkat tubuh Cagak Lenting. Mulutnya siap hendak menggeragot leher dan menghisap darah orang yang telah membunuh Djaka Tua Ini.

"Nyi Retno! Jangan!" teriak Wiro mencegah. Dia cepat tarik mayat Cagak Lenting lalu dilempar ke bawah gedung. Tepat jatuh di atas panggung hiburan yang saat itu ada pertunjukan akrobat.

"Braakk!" Tubuh bagian pinggang ke bawah Cagak Lenting amblas masuk ke bawah panggung yang jebol. Sementara bagian pinggang ke atas terhenyak di atas lantai. Darah mengucur dari batok kepalanya yang rengkah.

Orang banyak merasa aneh. Sewaktu jatuh kepala itu tidak menabrak lantai panggung. Berarti kepala itu memang sudah belah dan wajahnya sudah hancur sebelum orang ini menghantam panggung! Darah mengucur menggidikkan. Orang banyak mulai ada yang berteriak-teriak. Suasana serta merta jadi kacau balau!

Dua gadis pemain akrobat menjerit ketakutan setengah mati, lari ke bawah panggung ditolong oleh beberapa temannya. Patih Wira Bumi, seorang Perwira Tinggi Kerajaan dan dua orang tokoh silat Istana serta merta melompat ke atas panggung.

"Cagak Lenting!"

Beberapa orang termasuk Patih Wira Bumi sama-sama berseru kaget ketika mengenali siapa adanya orang berpakaian hijau yang menemui ajal secara mengerikan di atas panggung pertunjukan itu walau kepala dan wajahnya nyaris hancur. Perwira Tinggi dan seorang tokoh silat segera menarik tubuh orang berpakaian hijau dari jepitan papan tebal lalu dibaringkan di lantai panggung. Orang ini ternyata memang Cagak Lenting yang dikenal dengan julukan Si Mata Elang.

"Kanjeng Patih, ada secarik kertas menempel di punggung mayat." Perwira Tinggi Suko Daluh yang barusan menarik tubuh Cagak Lenting memberi tahu. Dia mengambil kertas itu, tanpa membaca tulisan yang tertera, kertas langsung diserahkan pada Patih Wira Bumi.

Ketika membaca tulisan di atas kertas, kaget sang Patih bukan alang kepalang. Wajahnya berubah. Karena ternyata tulisan itu ditujukan padanya.

Patih Kerajaan, siapapun namamu! Malam Ini aku telah menyelesaikan sebagian dari hutang dendam di antara kita. Kau dan Cagak Lenting telah membunuh Djaka Tua secara keji. Cagak Lenting telah menerima bagiannya. Giliranmu segera datang. Bersiaplah menghadap setan neraka!

Tampang Wira Bumi berubah kelam membesi. Rahang menggembung pelipis bergerak-gerak. Sepasang mata seperti menyala. Kertas yang dipegang diremas hingga hancur jadi bubuk!

"Perwira..." ucap Patih Wira Bumi dengan suara bergetar. "Jika ada orang sanggup membunuh Cagak Lenting lalu mampu melemparkan mayatnya tanpa satupun di antara kita mengetahui, berarti si pembunuh memiliki tingkat kepandaian sangat luar biasa. "Aku..."

Belum habis sang Patih berucap tiba-tiba seseorang berteriak. "Ada orang di atas atap!"

Patih Wira Bumi mendongak ke atas atap Gedung Kepatihan. Dia tidak melihat apa-apa namun siap hendak melompat ke atas wuwungan gedung.

"Kanjeng Patih, biar kami yang mengurus penyusup kurang ajar itu!" Kata Perwira Tinggi Suko Daluh. Lalu bersama tokoh silat Istana bernama Ki Wulur Jumena dan Ki Genta Kemiling dia melesat ke atas atap Gedung Kepatihan.

Saat itulah dari atas atap gedung yang gelap berkiblat dua larik cahaya putih menyilaukan disertai tawa cekikikan. Dua jeritan merobek udara malam. Tubuh Perwira Tinggi Suko Daluh dan tokoh silat Ki Wulur Jumena melayang jatuh ke bawah. Orang banyak yang ada di sekitar panggung berteriak dan cepat menyingkir. Dua tubuh malang itu tergelimpang di tanah. Kepala laksana dibelah. Wajah dan sekujur tubuh bergelimang darah. Semua terjadi begitu cepat!

Patih Wira Bumi lari mendatangi. Dia bertanya pada tokoh silat Istana yang selamat. "Ki Genta Kemiling? Apa yang terjadi?"

Dengan wajah pucat dan tengkuk masih dingin Ki Genta Kemiling menjawab. "Saya melihat dua orang di atas atap. Ketika kami bertiga menyerbu, tiba-tiba ada dua larikan cahaya putih. Satu menghantam Perwira Tinggi Suko Daluh, satunya menghajar Ki Wulur Jumena. Saya masih sempat menyingkir. Suko Daluh dan Ki Wulur menjerit lalu terpental jatuh ke tanah. Saya coba mengejar dua orang yang masih ada di atas atap. Namun cepat sekali mereka berkelebat pergi dan lenyap di kegelapan malam di arah timur."

"Apakah kau sempat melihat atau mengenali siapa mereka?"

"Saya hanya melihat sekilas. Tidak bisa mengenali. Mereka satu perempuan satu lelaki."

Tampang Patih Kerajaan jadi berkerut. Sulit dia menduga siapa adanya ke dua orang itu. "Kalau memang Nyi Reno Mantili yang melakukan pembalasan, bagaimana dia mampu berbuat. Dia tidak memiliki ilmu silat apalagi ilmu kesaktian. Tapi ada kabar yang mengatakan bahwa dia pernah berada di tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede. Jangan-jangan... Lalu siapa penyusup satunya? Seorang lelaki..."

"Kanjeng Patih, apa yang akan kita lakukan. Suasana pesta sudah kacau balau..." Bertanya Ki Genta Kemiling.

"Minta semua tamu meninggalkan tempat ini. Suruh mereka pulang. Aku..." Sang patih tak dapat meneruskan kata-kata. Dia memutar tubuh dan bergegas masuk ke dalam Gedung Kepatihan. Sampai di dalam gedung dia langsung masuk ke sebuah kamar yang tidak seorang lainpun boleh berada di situ kecuali dirinya.

Sementara itu di atas Gedung Kepatihan Wiro pegang lengan Nyi Retno. "Nyi Retno, lekas! Kita harus tinggalkan tempat ini!"

"Enak saja kau bicara! Aku masih mau membunuh bangsat bernama Wira Bumi Patih Kerajaan. Aku sudah bisa menduga yang mana orangnya pasti orang berpakaian mewah, bertubuh besar yang sedang bicara di sana itu!"

"Nanti saja Nyi Retno. Keadaan di bawah sana sangat kacau. Bisa berbahaya bagi dirimu. Aku melihat banyak tokoh silat Istana berkeliaran. Selain itu Patih Kerajaan tak tampak lagi di tempatnya." Tanpa menunggu lebih lama Wiro lalu menarik lengan Nyi Retno.

Namun perempuan ini cepat menghindar dan di lain kejap sosoknya seolah lenyap ditelan kegelapan malam di atas wuwungan Gedung Kepatihan. Wiro memandang berkeliling, menggaruk kepala.

"Dia menerapkan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri pemberian Kiai Gede Tapa Pamungkas. Aku tak mungkin menemukannya..."

********************

BEGITU berada dalam kamar, Wira Bumi nyalakan sebuah pelita kecil lalu tanggalkan semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Dalam keadaan telanjang begitu rupa dia naik ke atas tempat tidur, berbaring menelentang. Mata dipejamkan, mulut berucap perlahan.

"Nyai Tumbal Jiwo. Datanglah. Saya memerlukan dirimu."

Tiba-tiba ada desir sambaran angin. Satu bayangan merah menyusup masuk lewat celah jendela lalu membentuk sosok seorang nenek. Sosok ini kemudian dengan cepat berubah menjadi sosok seorang gadis cantik menebar bau harum. Dua kali menggoyangkan tubuh pakaian yang melekat tanggal jatuh ke lantai. Gadis ini naik ke atas ranjang.

"Wira Bumi. Aku datang. Aku sudah berbaring di atas tubuhmu. Apakah kau merindukan diriku atau ada sesuatu yang mengganjal hati dan pikiranmu? Mari kita bercinta dulu. Semua kerinduan dan kesulitan akan sirna."

********************

KAWASAN kaki selatan Gunung Lawu. Di satu pedataran tandus yang dikenal dengan sebutan tanah Plaosan, tak jauh dari reruntuhan candi tua yang nyaris tidak berbentuk lagi. Saat itu di ambang sore. Hawa panas yang sejak siang mendera pedataran kini mulai berkurang. Tiupan angin dari timur perlahan-lahan merubah udara menjadi sedikit sejuk.

Dua orang tampak duduk bersila di depan sebuah lobang yang baru saja mereka gali. Dari mulut mereka keluar suara meracau berkepanjangan entah merapal apa. Di tanah di depan kedua orang ini tergeletak gulungan daun lontar kering. Di tepi lobang sebelah kanan terbujur satu sosok tubuh manusia yang sudah jadi mayat, dibungkus dengan anyaman tikar daun pandan kering.

Setiap angin bertiup mayat itu menebar bau busuk bercampur wanginya daun pandan kering. Menimbulkan perpaduan bau yang memuakkan dan bisa membuat orang muntah. Namun ke dua orang tadi tampaknya tenang-tenang saja seolah tidak berhidung tidak punya penciuman.

Lalat mulai banyak beterbangan. Di langit serombongan burung gagak hitam pemakan mayat terbang berputar-putar lalu hinggap di satu pohon yang hanya tinggal batang, cabang dan ranting tak berdaun menatap mengintai mangsa yaitu mayat yang dijaga dua orang di samping lobang.

Dua orang lelaki yang duduk di depan lobang sebentar-sebentar menatap ke langit, memperhatikan sang surya yang warna putihnya penahan berubah kuning kemerahan. Wajah mereka menunjukkan rasa kawatir. Orang di sebelah kanan bertubuh kurus tinggi, berpakaian kembang-kembang warna warni. Memiliki rambut hitam lurus berjingkrak ke atas seperti lidi.

Kulit wajah dicat warna merah bergaris-garis hitam. Sepasang mata diberi sipat kelabu kehitaman. Dihias sepasang alis kereng melengkung hitam serta bibir dilapisi gincu warna ungu. Sepuluh kuku jari dipelihara panjang, dilapis cat berwarna ungu sama dengan warna gincu.

Teman di sebelah si muka merah Ini memiliki wajah yang dicat kuning diberi garis-garis hijau, bertubuh katai, mengenakan pakaian kuning kegombrongan. Seperti si muka merah lelaki satu ini juga memiliki rambut lurus hitam menyerupai lidi. Si muka merah bergaris hitam memandang lagi ke arah sang surya di langit, sebelah barat. Mulutnya berucap. Suaranya halus seperti perempuan.

"Saudaraku Momok Pertama, Tukak Racun Kuning, tak lama lagi matahari akan segera tenggelam. Saudara kita si Momok Ketiga Denok Tuba Biru belum juga datang. Kalau matahari sampai tenggelam dan jenazah guru belum masuk ke dalam liang lahat, celaka kita semua."

"Saudaraku Momok Kedua Alis Bisa Merah, terus terang aku juga kawatir. Kita berharap saja saudara kita si Denok Tuba Biru tidak melalaikan tugas, tidak mendapat halangan apapun. Dia pasti datang di saat yang tepat..."

Baru saja lelaki berwajah kuning selesai bicara, dari arah pedataran sebelah barat tampak debu mengepul. Sebuah gerobak ditarik seekor kuda coklat berlari kencang ke arah dua orang aneh yang duduk di tepi lobang. Mendekati lobang dan kedua orang itu berada, kusir gerobak berseru lantang lalu tarik kuat-kuat tali kekang. Kuda coklat meringkik keras.

Sesaat kemudian kuda dan gerobak berhenti tak jauh dari tepi lobang. Kusir gerobak melompat turun. Ternyata dia adalah seorang perempuan berwajah biru bergaris-garis kuning, bertubuh gembrot. Pakaiannya menyerupai baju ketat tak berlengan dan celana monyet. Dari sela ketiaknya menyembul bulu-bulu hitam, tebal dan panjang.

Pada lengan kanan sebelah atas ada jarahan bergambar bunga mawar berwarna biru. Sepasang anting besar bulat terbuat dan perak murni menyantet di daun telinga. Pipi yang tembam, dada yang melar, perut gembrot dan paha gempal berayun-ayun setiap dia membuat gerakan. Inilah Momok Ketiga si Denok Tuba Biru.

"Kalian berdua cepat bantu aku menurunkan barang bawaan! Lekas! Sebentar lagi sang surya akan tenggelam!"

Mendengar seruan itu Alis Bisa Merah dan Tukak Racun Kuning melompat bangkit dari duduk masing-masing. Dari dalam gerobak mereka menggotong sebuah gentong besar terbuat dari kayu besi. Dari dalam gentong yang tertutup bagian atasnya ini membersit keluar harumnya bau tuak. Dengan hati-hati gentong itu diletakkan di samping mayat yang terbungkus tikar daun pandan kering.

Di atas gerobak terdapat sebatang pohon pinang kuning dan satu karung besar yang tampak selalu bergerak-gerak serta mengeluarkan suara mendesis tiada henti. Karena tahu apa isi karung ini. Momok Kedua Alis Bisa Merah tak mau bantu menggotong. Dia hanya menurunkan batang pinang dan me-nyeretnya ke tepi lobang lalu cepat-cepat menjauh. Wajah menunjukkan perasaan takut. Sesekali tubuhnya menggigil dan tekapkan dua tangan ke dada.

"Aku tidak mau bantu menurunkan karung itu." kata Alis Bisa Merah. "Aku jijik, aku takut. Iihhhh!"

Perempuan gembrot berwajah biru tampak jengkel. "Kalau kau tidak mau menurunkan ya sudah! Momok Kedua, kau lebih perempuan dari perempuan! Dasar banci! Aku saja yang perempuan sungguhan tidak takut, tidak jijik! Kau cuma manja dan cengeng!"

"Saudaraku Denok Tuba Biru, jangan bicara begitu padaku. Kau tidak tahu bagaimana nikmatnya jadi lelaki sekaligus perempuan! Hik hik!"

"Kalian berdua selalu saja bertengkar. Padahal saat ini kita tengah menghadapi urusan besar! Apa kalian ingin membuat bangun mayat guru dan memarahi kita semua?!"

Habis memarahi kedua saudaranya itu Tukak Racun Kuning lalu menurunkan sendiri karung besar dan menyeretnya ke samping gentong kayu berisi tuak. "Alis Bisa Merah, kalau kau takut menjauhlah. Aku dan Denok Tuba Biru mau membuka karung dan menuangkan isinya ke dalam gentong!"

"lihhhh!" Dengan mimik ketakutan lelaki bernama Alis Bisa Merah yang memang seorang banci cepat-cepat menjauh. Tukak Racun Kuning membuka penutup gentong kayu. Lalu bersama Denok Tuba Biru dia mengangkat karung besar, meletakkan karung di pinggiran gentong. Sementara DenokTuba Biru memegangi karung Tukak Racun Kuning membuka tali pengikat bagian atas karung.

Setelah saling memberi isyarat Tukak Racun Kuning dan Denok Tuba Biru mengangkat bagian bawah karung tinggi-tinggi. Dari dalam karung berhamburan jatuh ke dalam gentong berisi tuak puluhan ekor ular berbisa, puluhan kala jengking, ratusan lipan dan lusinan kodok hitam beracun!

Alis Bisa Merah terpekik ngeri, cepat-cepat membuang muka memandang ke jurusan lain. "Aduh aku mau kencing!" teriak si banci bermuka merah ini sambil pegang bagian bawah perutnya.

Ternyata dia memang benar-benar kebelet kencing. Karena tidak sanggup menahan Alis Bisa Merah lari ke balik pohon kering, tarik ke atas pakaiannya yang berbentuk jubah dalam lalu jongkok dan serrrr! Dia kencing seperti perempuan!

"Dasar banci sialan!" maki Momok Ketiga Denok Tuba Biru. Lalu perempuan gembrot ini cepat menutup gentong kayu. Di dalam gentong terdengar suara-suara aneh yang dikeluarkan berbagai jenis puluhan binatang berbisa itu. Tak selang berapa lama suara-suara itu lenyap dengan sendirinya.

"Saatnya kita memulai upacara," kata Tukak Racun Kuning. Lalu dia berteriak memanggil Alis Bisa Merah. Lelaki yang berdandan seperti perempuan ini datang terbirit-birit sambil rapikan pakaian.

"Najis tidak cebok. Jorok!" Mengumpat Tukak Racun Kuning.

"Pantas kau bau!" menyambung DenokTuba Biru yang ikut kesal.

Alis Bisa Merah cuma cengengesan. "Kalian mana tahu. Yang bau itu yang selalu disukai laki-laki! Hik hik hik!"

"Tutup mulutmu! jangan bicara yang tidak-tidak!" Hardik Tukak Racun Kuning. "Kita akan segera memulai upacara pemakaman." Lalu lelaki ini kembali duduk di depan lobang, diikuti Denok Tuba Biru dan Alis Bisa Merah yang masih cengar-cengir.

BAB LIMA

SIAPAKAH tiga orang aneh yang berada di pedataran Plaosan itu? Mereka adalah murid seorang tokoh silat golongan hitam yang dikenal sebagai nenek bisu jahat berjuluk Si Bisu Racun Akhirat. Nenek ini dikenal sebagai orang nomor satu dalam dunia hitam peracunan. Lebih tinggi dan lebih ganas tingkat kepandaiannya dibanding Raja Racun Bumi Langit ataupun Eyang Tuba Sejagat.

Murid pertama dan tertua bernama Tukak Racun Kuning, dipanggil dengan sebutan Momok Pertama yaitu lelaki yang mukanya dicat kuning bergaris hijau. Murid kedua si banci berpakaian kembang-kembang warna warni, berwajah merah bergaris hitam bernama Alis Bisa Merah, dikenal dengan panggilan Momok kedua. Murid ketiga perempuan gembrot yang dikenal sebagai Momok ketiga bemama Denok Tuba Biru. Muka biru bergaris kuning.

Di usia hampir sembilan puluh tahun, sewaktu sakarat, sebelum menghembuskan nafas terakhir dua hari lalu si nenek memanggil ke tiga murid. Kepada murid-muridnya itu, diwakili Momok Pertama nenek gagu Si Bisu Racun Akhirat menyerahkan sebuah piring perak serta satu gulungan tebal daun lontar. Di atas piring perak tertera tulisan dalam bahasa Jawa Kuna berbunyi:

Muridku Momok Pertama. Momok Kedua dan Momok Ketiga. Hidupku hanya tinggal dua hari. Jika ajalku sampai maka ingat baik-baik apa yang harus kalian lakukan. Pertama gali liang lahatku di tanah Plaosan di bagian selatan candi runtuh.

Kedua bungkus jenazahku dengan tikar terbuat dari daun pandan kering. Ketiga, kuburkan diriku dengan satu upacara sakral. Yaitu kalian harus menyiapkan satu gentong tuak wangi. Kedalam gentong, harus kalian masukkan binatang beracun hitam. Masing-masing binatang tidak boleh kurang dari dua belas ekor. Makin banyak akan lebih baik bagi perjalanan arwahku.

Cari pohon pinang berbuah kuning. Ratakan tanah kuburku. Tancapkan pohon pinang kuning sebagai pertanda. Petunjuk selanjutnya akan kalian dapat di dalam gulungan daun lontar. Yang hanya boleh kalian buka sebelum jenazahku kalian masukkan ke dalam liang lahat.

Satu hal harus kalian ingat baik-baik. Jenazahku sudah harus dikubur paling lambat sebelum matahari tenggelam hari kedua sesudah kematianku. Kalian adalah murid-murid yang berbakti. Mulai hari ini aku nobatkan kalian bertiga dengan nama Serikat Momok Tiga Racun.

Setelah kalian membaca dan memahami apa yang tertulis di atas piring perak Ini harap kalian segera memusnahkan piring perak dengan cara membakarnya.

Sampai berjumpa di akhirat.


Aku: Si Bisu Racun Akhirat


Seperti yang dipesankan sang guru, ketiga murid lalu membakar piring perak. Dua hari kemudian si nenek Bisu Racun Akhirat benar-benar menemui kematian. Tiga orang murid segera sibuk mempersiapkan upacara pemakaman sesuai dengan pesan sang guru yang ditulis di atas piring perak. Yaitu menggali liang lahat di pedataran Plaosan, pengadaan satu gentong berisi tuak, mencari binatang berbisa serta mendapatkan pohon pinang kuning.

Setelah duduk di tepi lobang yang bakal menjadi liang lahat sang guru Momok Pertama Tukak Racun Kuning mengambil gulungan daun lontar kering yang sejak tadi tergeletak di tanah. Dia menyodorkan gulungan daun lontar itu pada Alis Bisa Merah. Lelaki Momok Kedua ini gelengkan kepala.

"Kau saja yang membacanya," kata si banci. Momok Pertama berpaling pada Momok Ketiga yaitu Denok Tuba Biru. Si gembrot ini juga menggeleng sambil berkata.

"Kau tahu aku tidak bisa membaca. Mengapa menyuruhku?"

"Kalau begitu aku akan membuka gulungan daun lontar dan membaca pesan yang dituliskan guru. Kalian berdua harap mendengar baik-baik dan memperhatikan."

Tukak Racun Kuning perlahan-lahan membuka gulungan tebal daun lontar kering. Di atas daun lontar sebanyak tiga gulungan itu tertera pesan Si Bisu Racun Akhirat.

Momok Pertama, Momok Kedua dan Momok Ketiga.

Kalian telah membaca pesanku di dalam piring perak. Sekarang inilah petunjukku berikutnya.

Ilmu racun yang kalian kuasai yang sanggup membuat orang menjadi cacat seumur hidup atau mati seketika. Akan lebih langgeng dan lebih bertambah hebat bilamana kalian mengikuti dan harus melakukan apa yang aku tuliskan di bawah ini. Pertama aku yakin saat ini semua binatang berbisa yang ada di dalam gentong berisi tuak telah menemui ajal.

Masing-masing kalian harus mengambil seekor dari tiap jenis binatang beracun itu lalu memakannya.


Mendengar bacaan sampai disitu Momok Kedua yaitu si banci Alis Bisa Merah langsung menggigil tubuhnya. "Ihhh... aku..."

Momok Ketiga Denok Tuba Biru pelototkan mata seraya berbisik. "Sekali lagi kau keluarkan suara mengganggu bacaan Tukak Racun Kuning akan kugebuk kepalamu."

Alis Bisa Merah hanya bisa manggut-manggut sambil tutup wajah dengan dua telapak tangan. Momok Pertama lanjutkan bacaannya.

Jika sudah, teguklah sebagian minuman tuak di dalam gentong. Kalian akan mendapat kesegaran dan kekuatan Kalian akan mendapat kesaktian mandraguna. Setelah itu baca amalan yang aku ajarkan sebanyak tiga kali. Masukkan jenazahku ke dalam liang lahat Tuangkan isi gentong yaitu tuak dan semua binatang berbisa ke dalam kuburku

Tutup kuburku dengan tanah. Ratakan tanah hingga tidak berbekas. Tancapkan pohon pinang kuning sebagai pertanda. Bila upacara pemakamanku telah selesai berarti arwahku akan lebih tenang dalam perjalanan menuju akhirat dimana aku menunggu kedatangan kalian


"Ihhh..." Sampai di situ lagi-lagi Momok Kedua Alis Bisa Merah yang tidak tahan mendengar dan ketakutan kembali keluarkan suara. "Aku belum mau mati. Aku belum mau pergi ke akhirat. Di dunia ini lebih enak..." ucapnya dengan suara halus gemetar.

"Plaakk!" Momok Ketiga Denok Tuba Biru keplak kepala Momok Kedua membuat lelaki banci ini serta merta kancing mulut dan hanya berani menghela nafas berulang kali. Setelah keadaan tenang kembali. Momok Pertama Tukak Racun Kuning lanjutkan bacaannya.

Walau sekarang aku sudah berada di alam lain. Aku selalu memikirkan agar kalian bertiga menjadi raja diraja dalam dunia peracunan rimba persilatan tanah Jawa. Aku ingin agar Serikat Momok Tiga Racun akan menjadi-satu nama besar angker dan ditakuti di delapan penjuru angin. Bahkan penguasa Istana sekalipun akan takut serta tunduk pada kalian.

Pahami dan laksanakan perintah yang aku tulis dibawah ini. Kalian harus mencari, seorang perempuan berotak tidak waras alias sinting alias gila. Makin muda usianya makin bagus. Gantung tubuhnya kaki ke atas kepala ke bawah di pohon yang memiliki cabang berjumlah ganjil.

Tunggu tiga hari sampai mayatnya busuk. Setelah tiga hari kalian harus menjebol tubuh mayat di sebelah depan. Momok Pertama, kau harus mengambil dan memakan jantungnya. Momok Kedua kau harus mengambil dan memakan hatinya. Momok ketiga, kau harus mengambil dan memakan ginjalnya.

Setelah hal itu kalian lakukan bakar mayat berikut pohon Lalu pergi ke pantai selatan. Berendam di laut dangkal selama tiga hari tiga malam. Kalian kelak akan menjadi raja diraja peracunan rimba persilatan tanah Jawa. Tidak ada orang yang mampu menandingi kalian. Dari alamku aku akan bahagia melihat Serikat Momok Tiga Racun berjaya di delapan penjuru angin.

Aku: Si Bisu Racun Akhirat


"Huokkk!" Baru saja Momok Pertama Tukak Racun Kuning selesai membaca surat petunjuk sang guru. Momok Kedua Alis Bisa Merah yang tidak bisa menahan rasa jijik dan mual langsung semburkan muntah. Denok Tuba Biru menyumpah habis-habisan karena pahanya yang gempal terkena cipratan muntah.

********************

SESAAT sebelum sang surya masuk ke ufuk tenggelamnya dan siang berubah menjadi malam. jenazah Si Bisu Racun Akhirat telah masuk ke liang lahat Tuak dalam gentong yang dipenuhi ular, lipan, kalajengking dan kodok hitam, semuanya merupakan binatang sangat berbisa dituang dimasukkan ke dalam kubur sang guru. Lalu tanah galian diuruk kembali, di buat sama rata seperti semula. Setelah itu pohon pinang kuning di-tancapkan di tanah, di ujung lobang arah kepala jenazah.

Begitu kegelapan malam mulai menyungkup kawasan pedataran Plaosan, Tiga Momok tinggalkan makam guru mereka tanpa satupun sadar kalau gulungan surat yang terbuat dari daun lontar kering tertinggal. Begitu angin malam bertiup agak kencang, gulungan daun lontar terbawa melayang ke arah timur.

********************

TELAH lebih dari satu minggu Serikat Momok Tiga Racun mencari perempuan gila namun tidak berhasil menemukan.

"Kita makin jauh dari Kotaraja. Padahal aku kira semua orang gila lebih banyak berada di Kotaraja dan pada tempat lain Bagaimana kalau kita kembali saja ke Kotaraja." berkata Momok Ketiga Denok Tuba Biru ketika dia dan dua saudara seperguruannya duduk melepaskan lelah di tepi sebuah telaga.

"Aku heran, mengapa guru menyuruh kita harus mencari perempuan gila. Bukan lelaki gila. Padahal di tengah jalan kita sudah menemukan beberapa orang lelaki gila," berkata Momok Kedua yaitu Alis Bisa Merah. "Sudah, kita tukar saja dengan orang gila laki-laki"

"Jangan berani berlaku lancang menyalahi aturan dan perintah guru!" kata Momok Pertama Tukak Racun Kuning marah.

"Maumu memang selalu laki-laki. Dasar banci!" mendamprat Denok Tuba Biru. "Kalau laki-laki kau mau mengambil dan memakan apanya? Bijinya? Burungnya?!"

Alis Bisa Merah tersenyum lalu tertawa cekikikan. Tiba-tiba Momok Kedua Ini tekap mulut hentikan tawa Di kejauhan di salah satu ujung pinggiran telaga yang cukup besar itu dia mendengar suara orang menyanyi. Dua Momok lainnya juga sudah mendengar.

"Ada perempuan menyanyi. Arahnya dari sana..." Alis Bisa Merah menunjuk ke arah timur telaga.

"Bagaimana kalau kita selidiki?" mengusulkan Denok Tuba Biru.

Ketiga orang itu sama-sama berdiri lalu sekali berkelebat meroka sudah melesat ke arah timur telaga. Di arah ini suara perempuan yang menyanyi semakin keras dan syair lagunya semakin jelas.Tiga Momok menyelinap ke balik semak belukar dan mengintai.

Di atas sebuah batu besar yang menjorok ke dalam telaga duduk seorang perempuan sangat muda, bertubuh kecil, mengenakan pakaian biru, memiliki wajah anggun rupawan. Di pangkuannya ada sebuah boneka kayu. Sambil menyanyi perempuan ini mengusap pipi kening atau kepala boneka.

Anakku Kemuning, sudah lama kau tidak melihat ayahmu. Entah dimana dia sekarang. Apakah kita yang akan mencari dia. Atau dia tengah mencari kita.

Anakku Kemuning. Lekaslah besar. Agar ibu tak selalu mendukungmu. Kita pergi ke tempat jauh. Tempat yang indah-indah. Agar kita bisa bersuka cita melupakan segala duka


Perempuan yang menyanyi yang bukan lain adalah Nyi Retno Mantili rebahkan boneka di atas dada. Sambil mengelus punggung boneka dia meneruskan nyanyiannya.

Anakku Kemuning. Apakah duka hati bisa dilupakan. Apakah luka hati bisa disembuhkan. Kalau bertemu ayahmu nanti. Tanyakan padanya rahasia hati

Saat itu sementara menyanyi sepasang mata bening Nyi Retno tampak berkaca-kaca. Lalu perlahan-lahan air mata meluncur jatuh di pipinya yang kotor berdebu.

Di balik semak belukar Momok Tiga Racun saling berbisik. "Ini yang kita cari!" ucap Momok Pertama. "Tepat seperti maunya guru."

"Akhirnya kita temui Juga," kata Momok Ketiga dengan wajah merah gembira. "Perempuan gila. Masih muda! Mengangap boneka sebagai anaknya!"

"Sayang, bukan laki-laki gagah..." ujar Momok Kedua.

Momok Pertama dan Momok Ketiga berpaling sama-sama melototi Momok Kedua.

"Kau bicara seperti itu lagi!" bentak Momok Ketiga Denok Tuba Biru. "Kalau kau tidak senang, sebaiknya kau pergi saja dari sini. Cari lelaki yang kau sukai! Kutuk guru akan jatuh atas dirimu! Kau tidak akan punya ilmu apa-apa!"

"Ssttt... jangan keras-keras nanti perempuan itu mendengar dan melarikan diri..." Ucap Momok Kedua sambil tersenyum. "Sudah tak perlu marah. Sebaiknya kita segera menangkap perempuan sinting itu. Kita pesiangi dengan cepat. Kalian makan jantung dan ginjalnya. Aku melahap hatinya! Hik hik hik!"

Tanpa mengeluarkan suara ketiga Momok murid Si Bisu Racun Akhirat itu menyelinap keluar dari balik semak belukar lalu berkelebat mengurung Nyi Retno Mantili yang masih bernyanyi-nyanyi, tenggelam dalam perasaan. Namun begitu menyadari ada tiga orang tidak dikenal mengelilinginya, Nyi Retno serta merta hentikan nyanyiannya. Dia cepat memasukkan boneka ke dalam bedongan di dada namun kemudian dikeluarkan lagi. Nalurinya mengatakan ada bahaya besar tengah mengancam dirinya.

"Kemuning anakku, kita kedatangan tiga tamu tidak dikenal. Berwajah dan berdandan aneh. Aku tidak mengenal satupun dari mereka. Apakah kau mengenal salah seorang dari mereka?" Nyi Retno diam sebentar. "Ah, rupanya kaupun tidak mengenal mereka. Anakku, jika mereka datang membawa niat jahat bukankah lebih baik kita mengusirnya sekarang juga?!"

"Perempuan muda berbaju biru, beranak boneka kayu. Bernyanyi di tepi telaga sunyi. Membuat kami bertiga kepingin tahu siapakah dirimu adanya" Momok Pertama Tukak Racun Kuning bertanya.

Di sampingnya Momok Ketiga berbisik. "Buat apa pakai bicara segala. Kita ringkus saja sekarang juga! Cari pohon bercabang ganjil. Gantung dia di sana!"

Tukak Racun Kuning tidak perdulikan bisikan Momok Ketiga. "Perempuan muda. Apakah kau mau menjawab pertanyaanku?"

"Hik hik hik! Anakku Kemuning, ada orang bertanya siapa diriku. Tapi dia tidak bertanya siapa dirimu. Alangkah sombong dan tidak adilnya. Padahal aku ibumu dan kau anakku!"

Tukak Racun Kuning melirik pada ke dua saudara seperguruannya. "Perempuan muda, rupanya kau tidak senang kami ganggu. Kalau begitu kami akan pergi saja. Teruskan nyanyianmu tadi."

Ketiga Momok itu membuat sikap dan gerakan seperti benar-benar hendak meninggalkan tempat itu. Namun seperti kilat mereka berbalik. Dari jarak dua langkah ke Tiga Momok tusukkan dua Jari tangan kanan ke arah Nyi Retno. Melepas totokan Jarak jauh bernama Menutup Jalan Darah Menyumbat Jalan Pernafasan.

********************

BAB ENAM

CAHAYA kuning melesat dari dua jari Momok Pertama. Dua jari Momok Kedua memancarkan cahaya merah sedang dari dua jari Momok Ketiga menyambar sinar biru! Totokan yang dilakukan ketiga orang itu adalah totokan jarak jauh yang sangat ampuh dan ganas. Dengan satu totokan saja jangankan manusia sekecil Nyi Retno, gajah besarpun akan amblas ditelan totokan. Apa lagi tiga totokan dilakukan berbarengan oleh tiga orang berkepandaian tinggi.

Nyi Retno walaupun berotak tidak waras namun sejak tadi dia sudah punya firasat kalau tiga orang tidak dikenal punya niat jahat terhadapnya Maka begitu Tiga Momok menggerakkan tangan dia segera kerahkan Ilmu Cahaya Dewa Turun Ke Bumi yang didapatnya dari Kiai Gede Tapa Pamungkas. Saat itu sekujur tubuh perempuan ini mulai dari kepala sampai ke kaki dibungkus oleh cahaya aneh berwarna Jingga.

Tiga letusan keras berkumandang di tempat itu ketika tiga cahaya totokan yang dilepaskan Tiga Momok saling tabrak dengan cahaya warna Jingga yang melindungi tubuh Nyi Retno. Tanah bergetar. Debu menggebubu ke udara. Tiga Momok tampak tergontai-gontai sementara Nyi Retno Mantili walau terlindung dari totokan tetap saja terpental jatuh dan menjerit seperti ada bagian tubuh yang sakit. Wajahnya sedikit pucat dan dua tangannya bergetar. Dari sudut bibir tampak ada lelehan darah. Didahului satu pekik kemarahan Nyi Retno Mantili tiba-tiba melompat. Dia menerjang ke arah Momok Kedua yang berada paling dekat.

"Racun Pelemas Raga!" tiba-tiba Momok Pertama Tukak Racun Kuning berteriak. Dia jentikkan jari tengah tangan kanan diikuti oleh dua Momok lainnya.

Tiga cahaya terang, merah, kuning dan biru menyilaukan mata berkiblat, menyambar ke arah Nyi Retno. Saat itu Nyi Retno telah menerjang sambil acungkan boneka kayu ke depan. Meski kesilauan, dia sempat melihat datangnya tiga cahaya yang menyerang. Perempuan ini segera angkat boneka di tangan kanan. Lima jari memencet pinggang boneka. Dua larik sinar putih menyambar dari sepasang mata boneka. Sepasang Cahaya Batu Kumala!

Namun karena serangan dilakukan dalam keadaan tubuh terluka di bagian dalam, dua sinar putih hanya lewat di atas kepala Tiga Momok. Sebaliknya serangan Racun Pelemas Raga tepat mendarat di wajah Nyi Retno. Walau wajah itu tidak cidera sedikitpun namun saat itu juga Nyi Retno tidak ubah seperti benang basah. Tubuhnya melosoh ke tanah. Boneka kayu di tangan kanan terlepas, jatuh masuk ke dalam telaga.

Tiga Momok bergerak cepat Momok Pertama yang merasa kawatir Nyi Retno akan mengadakan perlawanan kembali dengan cepat tusukkan satu totokan ke pangkal leher Nyi Retno yang sudah tidak berdaya itu. Didahului satu keluhan pendek perempuan ini terguling jatuh di tanah.

"Momok Pertama! Lekas gendong perempuan sinting itu..." berkata Momok Ketiga Denok Tuba Biru. "Kalian berdua ikuti aku. Aku tahu di mana beradanya pohon bercabang ganjil!"

"Dimana?!" tanya Momok Kedua si banci Alis Bisa Merah.

"Tak jauh dari sini. Di tepi sebuah jurang! Sudah jangan banyak tanya! Ikuti saja aku!" jawab Denok Tuba Biru. Lalu perempuan bertubuh gembrot ini berkelebat ke arah barat. Momok Kedua segera mengikuti. Momok Pertama cepat gendong tubuh Nyi Retno Mantili lalu berkelebat mengikuti dua saudara seperguruannya.

Berlari kira-kira sepeminuman teh, Momok Kedua sampai di tepi sebuah jurang. Tak jauh dari tepi jurang berderet tumbuh beberapa pohon besar. Momok Kedua menghampiri pohon paling ujung kiri. Dia mendongak memperhatikan dan menghitung cabang pohon. Ternyata borjumlah delapan cabang. Dia pindah ke pohon yang di sebelah. Kembali memperhatikan dan menghitung.

"Ini pohonnya!" ucap Momok Kedua. "Jumlah cabangnya ada tujuh!"

Momok Pertama Tukak Racun Kuning turunkan tubuh Nyi Retno Mantili ke tanah. Dia berpaling pada Momok Kedua Alis Bisa Merah.

"Keluarkan tali penggantung yang kau bawa."

Dari balik pakaian Momok Kedua keluarkan segulung tali. Tali ini berbentuk kecil halus terbuat dari jerami kering dilapisi getah pohon jarak hingga menjadi lentur dan luar biasa kuat. Momok Pertama ikatkan salah satu ujung tali pada dua pergelangan kaki Nyi Retno Mantili. Ujung lainnya dilempar ke atas cabang pohon di sebelah tengah.

"Biar aku yang menarik!" kata Momok Ketiga. Lalu dia menjangkau ujung tali yang terjulai. Sekali menarik tubuh Nyi Retno terangkat dari tanah. Tarikan kedua tubuh perempuan malang itu naik setengah tinggi tubuh manusia. Pada tarikan ketiga sosok Nyi Retno Mantili tergantung sejajar kepala orang.

"Cukup!" kata Momok Pertama.

"Hai, apa kalian tidak melihat ada keanehan?" bertanya Momok Kedua Alis Bisa Merah. "Tadi ada kerlipan cahaya biru menyelubungi tubuh perempuan sinting ini. Sekarang cahaya itu masih ada di sekitar dua kaki yang terikat."

"Perduli setan dengan segala macam cahaya!" menjawab Momok Ketiga. "Sekarang sesuai petunjuk guru kita menunggu tiga hari sampai mayatnya busuk." Momok Ketiga berpaling ke arah Momok Kedua. "Alis Bisa Merah, diantara kita bertiga kau yang memiliki kuku paling panjang. Nanti kau yang akan menjebol tubuh perempuan itu dengan kukumu yang lancip. Ambil jantung, hati dan ginjalnya! Berikan padaku ginjalnya. Berikan jantung pada Momok Pertama dan kau boleh menyantap hatinya..."

Wajah merah Momok Kedua langsung berubah. Tubuh menggigil dan dua tangan menekap leher. "Aku... aku yang harus menjebol tubuh perempuan itu? Mengambil jantung, hati dan ginjalnya? lihhhh... Aku ngeri. Aku bisa pingsan. Kalian saja yang melakukan. Cari kayu, dibuat lancip..."

Momok Kedua geleng-geleng kepala berulang kali. "Kau selalu berdalih ini itu! Alis Bisa Merah seharusnya kau tidak jadi murid Si Bisu Racun Akhirat Tidak ada gunanya kau bergabung dengan kami!" Momok Ketiga Denok Tuba Biru marah sekali.

Momok Pertama ikut menimpali. "Di Kotaraja ada perkumpulan manusia-manusia banci sepertimu! Lebih baik kau pergi kesana. Bergabung dengan mereka!"

Alis Bisa Merah mulai terisak dan tutup wajah dengan kedua tangan. "Sebenarnya aku... aku tidak akan menampik jika kalian memberi perintah. Tapi ucapan kalian sangat menyakiti hatiku..."

"Kalau perlu, kami akan menyakiti sekujur tubuhmu!" Bentak Momok Ketiga.

"Sudah, sudah! Aku akan turuti permintaan kalian. Aku akan merobek dada dan perut perempuan itu. Nanti jika tubuhnya yang tergantung sudah busuk!"

Saat itu di langit yang menjelang sore serombongan burung gagak hitam terbang berputar-putar di atas pohon. Melihat ini Momok Ketiga kembali membuka mulut.

"Burung-burung pemakan mayat sudah tahu kalau bakalan ada mangsa di tempat ini. Mereka sudah datang bersiap-siap. Kita jangan sampai keduluan. Momok Kedua, aku dan Momok Pertama akan beristirahat barang sebentar. Kau berjaga-jagalah. Awasi burung-burung penggeragot mayat itu. Biasanya mereka mulai bergerak begitu mayat mulai membusuk!"

"Aku lagi yang kebagian pekerjaan. Kalian benar-benar tidak adil!" umpat Momok Kedua si banci Alis Bisa Merah dengan wajah merengut. Lalu dari balik pakaian dia keluarkan sebuah cermin kecil. Sambil memandang ke dalam cermin dia merapikan rambut yang hitam lurus seperti lidi, mematik-matik alis dan menjulur-julurkan lidah di atas bibir yang diberi gincu ungu.

"Kita tengah menghadapi urusan besar. Kau masih saja menyibukkan diri berdandan! Dasar banci!" ucap Momok Ketiga.

"Aku melakukan apa saja yang aku suka. Kau tak usah cemburu. Aku yang banci lebih bisa merawat diri dari pada kau yang perempuan sungguhan. Sekujur tubuhmu berlemak mulai dari pipi sampai ke kaki! Siapa lelaki yang suka padamu. Melirik sajapun tidak sudi!"

Selagi Tiga Momok saling bersilang kata, mereka tidak mengetahui munculnya satu cahaya putih menyembul dan menyelubungi tubuh Nyi Retno Mantili yang tergantung kaki ke atas kepala ke bawah. Namun Momok Pertama yang paling tinggi ilmu kepandaiannya merasakan sesuatu. Dia menatap pada kedua saudara seperguruannya.

"Apa kalian tidak merasakan ada siuran angin barusan?"

Momok Kedua dan Momok Ketiga diam sesaat lalu sama gelengkan kepala.

"Kita harus berhati-hati. Buka mata pasang telinga. Sampai mayat perempuan sinting itu membusuk kita tidak boleh berlaku ayal!"

Selagi Tiga Momok sibuk bicara satu sama lain. lagi-lagi ada cahaya putih menyelubungi tubuh Nyi Retno. Lalu cahaya ini keluar dari sosok perempuan itu. melesat ke arah timur dan lenyap dari pemandangan.

********************

TIDAK SAMPAI tiga hari. Pada pagi hari kedua mayat Nyi Retno Mantili yang tergantung mulai menebar bau busuk. Tiga Momok memperhatikan lalu Momok tertua berkata.

"Momok Kedua, kau bersiaplah. Aku akan memutus tali penggantung. Begitu mayat busuk jatuh di tanah kau cepat menjebol dada dan perut mayat..."

Momok Kedua Alis Bisa Merah rentangkan lima jari tangannya yang berkuku panjang runcing berwarna Jingga. "Aku sudah siap,'" ucap momok banci ini dengan suara keras walau agak gemetar.

Tiba-tiba di atas pohon, belasan burung gagak pemakan mayat yang telah mendekam sejak Nyi Retno mulai digantung mengeluarkan pekik keras. Binatang ini berlesatan ke udara, terbang bergerombol, membuat dua kali putaran lalu menukik ke bawah. menyambar ke arah mayat yang tergantung.

"Burung-burung keparat! Kalian hendak mendahului kami! Terima bagian kalian! Mampuslah! Maki Momok Ketiga. Perempuan bertubuh gemuk ini kibaskan tangan kanannya ke atas.

"Wuttt!" Selarik sinar biru setengah lingkaran menerpa ke atas. Belasan burung gagak menukik keras. Tubuh mereka terlempar dua tombak ke udara. Begitu melayang jatuh semuanya telah berubah jadi sosok arang biru mengepulkan asap sangit.

"Saudara-saudaraku, sekarang saatnya!" berseru Momok Pertama Tukak Racun Kuning. Jari telunjuk tangan kanan dijentikkan.

"Tass!" Tali yang menggantung Nyi Retno Mantili putus pada ketinggian dua jengkal di atas pergetangan kaki. Tak ampun sosok jenazah yang mulai membusuk itu jatuh terhempas ke tanah, tergelimpang menelungkup tak berkutik.

"Momok Kedua! Lakukan tugasmu!" perintah Momok Ketiga.

********************

BAB TUJUH

DENGAN kaki kirinya Momok Kedua balikkan mayat Nyi Retno Mantili hingga tertelentang. Perlahan-lahan dia lipat dua lutut, jongkok di samping mayat. Tangan kanan diulurkan menekan pundak kiri mayat, tangan kanan mementang lima jari berkuku panjang.

"Crass!" Lima jari ditancapkan didada kiri, tepat arah jantung. Lalu breett! Lima jari ditoreh menyilang ke kiri kemudian lurus ke bawah. Sosok mayat robek mulai dari bagian dada sampai ke bawah pusar. Luar biasa mengerikan!

"Aku sudah mengambil hatinya! Kalian silahkan mengambil sendiri bagian masing-masing!" Berkata Momok Kedua sambil melompat lalu berdiri menjauh.

Momok Pertama dan Momok Ketiga menyumpah marah karena tadi jelas Momok Kedua diperintahkan untuk sekaligus mengambil jantung, hati dan ginjal. Sekarang setelah membedol hati dan siap untuk memakannya, dia suruh dua saudara seperguruan untuk mengambil sendiri jantung dan ginjal. Walau marah namun Momok Pertama dan Momok Ketiga terpaksa melakukan. Momok Pertama memuntir jantung lalu membetotnya. Sementara Momok Ketiga mencengkeram dua buah ginjal dan membedolnya keluar! Darah bergenangan dimana-mana.

Selesai melakukan perbuatan yang sangat mengerikan, benar-benar diluar akal dan perikema-nusian itu Tiga Momok pergi ke telaga untuk mencuci tangan dan mulut yang penuh bercelemongan darah. Setelah itu ketiganya sama-sama berlutut di tanah dan berseru berbarengan.

"Guru! Kami telah melaksanakan perintahmu! Hari ini nama Serikat Momok Tiga Racun berkibar di rimba persilatan tanah Jawa! Kami bertiga mohon restumu dari alam akhirat!"

Tiga Momok berdiri kembali. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Momok Kedua sambil usap-usap dada dan sebentar-sebentar keluarkan suara seperti kesolekan menahan mual yang ingin membuatnya muntah.

"Kita sudah punya dua rencana. Kita berangkat ke Kotaraja sekarang juga. Kita akan meracuni seluruh tokoh silat Istana. Setelah semua mereka mati kita akan menemui Sri Baginda, mengatakan bahwa mulai saat itu kekuasaan berada di tangan Serikat Momok Tiga Racun! Sri Baginda tidak lain hanya boneka suruhan kita belaka! Ha ha ha!"

Momok Pertama tertawa bergelak. Lalu melanjutkan ucapan. "Rencana kedua. Jika Sri Baginda menolak dan tidak mau tunduk pada kita, maka seluruh keluarga Istana termasuk Sri Baginda akan kita racuni sampai semua mereka menemui ajal di tangan kita! Sekarang mari kita tinggalkan tempat celaka ini!"

Tiga Momok serentak berdiri.Tanpa menoleh lagi pada mayat yang berbusaian dan tergelimpang di tanah ketiganya melangkah pergi. Namun belum sampai berjalan sepuluh langkah jauhnya dari tepi telaga tiba-tiba tiga murid Si Bisu Racun Akhirat yang menamakan diri Serikat Momok Tiga Racun ini sama hentikan langkah. Tak jauh di depan mereka, di tengah jalan yang akan mereka lalui bergolek melintang seorang pemuda berambut gondrong berpakaian putih. Kaki kiri diletakkan di atas lutut kanan. Dua tangan disusun di atas mulut, jari-jari bergerak dan dari mulutnya meluncur suara berkepanjangan menirukan suara suling.

"Tulit... tulit... tulilit... liitt... tuut!Tuuut! Habis menirukan suara suling si gondrong ini tertawa gelak-gelak lalu kembali, "Tulit... tulit... Tutt... tuttt... littt... tittitt! Ha ha ha!"

"Orang sinting lelaki! Tubuhnya kekar, wajahnya gagah! Ah, rejekiku besar sekali hari ini! Kalau yang satu ini biar aku yang menangani sendiri! Pasti itunya keras. Jangan berani ada yang mengganggu! Hik hik!" Momok Kedua si banci Alis Bisa Merah berseru gembira. Dia segera hendak melangkah ke arah si pemuda yang bergolek di tengah jalan. Namun tangannya cepat dicekal oleh Momok Pertama.

"Jangan berlaku gegabah! Pemuda tak dikenal itu sepertinya sengaja menghadang kita."

"Eh, masakan kau takut sama orang sinting?" tukas Momok Kedua.

"Jangan-jangan dia laki perempuan sinting yang kita bunuh!" kata Momok Ketiga. Lalu menyambung ucapannya. "Mari kita dekati, tapi hati-hati. Kalau dia membuat gerakan mencurigakan langsung bunuh dengan pukulan beracun!" kata Momok Pertama pula.

Momok Ketiga yang juga sudah memperhatikan wajah si pemuda berkata pada saudara tuanya itu. "Jangan buru-buru dibunuh. Aku ikut tertarik. Mudah-mudahan saudaraku Momok Kedua tidak cemburu kalau aku yang lebih dulu mendapatkannya!"

"Kau dan Momok Kedua sudah pada gila semua!" rutuk Momok Pertama. Namun ketiganya kemudian sama maju melangkah mendekati pemuda di tengah jalan.

Tiga langkah di depan si pemuda mereka berhenti. Pemuda di tengah jalan juga hentikan mulutnya yang tulat-tulit. Lalu berguling ke kiri dan duduk di tanah. Tangan kiri menggaruk kepala, tangan kanan menunjuk ke arah Tiga Momok.

"Kalian sobatku muka warna warni!" si gondrong yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan ucapan. "Kalian bertiga habis makan besar! Mengapa tidak membagi-bagi barang sedikit padaku?! Padahal aku lagi lapar-lapar buaaanget! Bagaimana rasanya makan jantung, hati dan ginjal monyet besar? Nyam... nyam... nyam! Pasti enak ya?!"

"Pemuda gila! Lekas menyingkir. Kami mau lewat!" Bentak Momok Pertama.

"Heh. jalan ini cukup lebar. Kalian boleh lewat di samping kiri atau di sebelah kanan. Tinggal pilih! Begitu saja repot! Tapi kau belum menjawab pertanyaanku! Bagaimana rasanya Jantung, hati dan ginjal monyet? Benar-benar enak? Gurih?"

"Hai! Kami barusan bukan makan jantung, hati dan ginjal monyet. Tapi jantung, hati dan ginjal manusia! Perempuan sinting!" Yang berucap adalah Momok Kedua si banci Ali Bisa Merah sambil tersenyum dan kedipkan mata ke arah Wiro.

Momok Ketiga ikut bicara. "Sayang kami baru ketemu dirimu saat ini. Kalau sejak tadi-tadi kau muncul pasti kami bagi!"

"Aneh. kalian bilang makan jantung, hati dan ginjal manusia. Perempuan sinting. Tapi yang aku lihat kalian barusan melahap jantung, hati dan ginjal monyet hutan besar!" kata Pendekar 212 Wiro Sableng pula sambil balas kedipan mata si banci Alis Bisa Merah lalu sunggingkan senyum pada Denok Tuba Biru.

"Dasar sinting! Aku perintahkan sekali lagi lekas menyingkir! Atau kau akan jadi mayat busuk di tempat ini!" Momok Pertama mulai marah. Dia memberi isyarat pada dua saudaranya.

Wiro bangkit berdiri sambil keluarkan suara berdecak. "Ck... ck... ck! Sombongnya main perintah. Aku mau bikin apa di jalan ini siapa yang berani melarang? Memang jalan ini punya bapak gundulmu?! Aku bicara soal monyet kau bicara soal menyingkir! Hati-hati kalian bertiga, sehabis makan jantung, hati dan ginjal monyet hutan, sebentar lagi kalian akan punya sifat seperti monyet Menyeringai cekikikan, garuk-garuk pantat, kencing awut-awutan..."

Momok Pertama dan dua momok lainnya saling pandang.

"Hai! Kalian rupanya tidak percaya. Yang kalian santap tadi bukan jantung, hati dan ginjal, perempuan sinting. Tapi jantung, hati dan ginjal monyet! Kalau tidak percaya berpalinglah ke belakang! Lihat mayat siapa yang menggeletak di tanah sana!"

Yang menoleh duluan adalah Momok Kedua si banci Alis Bisa Merah. Begitu menoleh dia langsung keluarkan suara tercekat dan wajah berubah. Dua Momok lainnya serta merta ikut memandang kebelakang. Seperti Momok Kedua, mereka juga terkejut. Di belakang sana, di tempat dimana seharusnya mayat perempuan sinting tergeletak dengan isi perut berbusaian, kini yang kelihatan adalah bangkai seekor monyet hutan berbulu coklat dengan perut robek menganga!

"Dua saudaraku, apa kita tidak salah melihat?" Berkata Momok Pertama.

Tidak mungkin!" ucap Momok Ketiga Denok Tuba Biru dengan mulut ternganga.

Berlainan dengan dua saudaranya yang terkejut dan terheran-heran Momok Kedua Alis Bisa Merah putar wajah ke arah Wiro, tersenyum kedip-kedipkan mata sambil acung dan goyang-goyang Jari tangan kanan. Ketika Momok Pertama berpaling dan melihat kelakuan Momok Kedua dia segera membentak marah.

"Momok Pertama, jangan marah dulu. Lebih baik kita datangi pemuda itu. Tanyakan siapa dia dan selidiki bagaimana hal aneh ini bisa terjadi. Siapa tahu kita bisa bersahabat dengannya." Berkata Momok Kedua sambil kembali layangkan senyum ke arah Wiro. Murid Sinto Gandeng yang sudah bisa membaca keadaan membalas senyum, tempelkan dua jari tangan kanan di bibir lalu dilayangkan ke arah Momok Ketiga yang membuat si banci ini jadi tertawa girang tersipu-sipu!

"Momok Kedua! Kau tunggu di sini! Aku dan Momok Ketiga akan mendatangi pemuda itu! Awas kalau kau berani mendekati pemuda itu!" Kata Momok Pertama pula. Lalu bersama Denok Tuba Biru dia mendekati Pendekar 212 yang menanti kedatangan mereka sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. Empat langkah di depannya Wiro mengangkat tangan.

"Kalian berhenti disitu. Jangan berani lebih dekat lagi. Aku tidak mau ketularan Jadi monyet!"

Dengan menahan amarah Momok Pertama berkata. "Kami tidak mengenalmu. Apa kau mau menerangkan siapa dirimu? Lalu bagaimana kejadiannya mayat perempuan itu bisa Jadi monyet hutan?"

"Ah... Kalau sekedar menjawab pertanyaanmu, apa susahnya. Aku orang sinting lakilaki yang nyasar di tempat ini. Si baju warna warni itu pasti suka padaku. Mengapa dia tidak boleh datang mendekat ke sini?"

"Jawab saja pertanyaanku tadi!" bentak Momok Pertama.

"Soal monyet hutan itu, aku orang yang memeliharanya. Soal mengapa kalian menoreh perutnya lalu menyantap jantung, hati dan ginjalnya biar orang lain yang menjawab!"

Selesai berkata Pendekar 212 keluarkan suara bersiul. Dari balik pohon besar di tepi telaga menyeruak keluar dua perempuan, satu muda dan satunya sudah nenek-nenek. Melihat si perempuan muda Tiga Momok melengak kaget, memandang mendelik tidak berkesip penuh rasa tidak percaya!

BAB DELAPAN

DUA perempuan yang keluar dari balik pohon adalah Nyi Retno Mantili sambil memegang boneka kayu yang basah. Di sampingnya melangkah tertawa-tawa nenek berambut kelabu bermata merah mengenakan jubah kuning yang bukan lain adalah kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu.

"Hik hik! Aku melihat tampang mereka sudah mulai mirip-mirip monyet hutan..." berucap si nenek sambil tertawa cekikikan.

"Kau keliru Nek. Bukan tampang mereka yang berubah mirip-mirip monyet, tapi pantat mereka yang akan lebih dulu berubah merah seperti pantat monyet ledes!" Kata Pendekar 212 Wiro Sableng pula lalu dia dan si nenek tertawa gelak-gelak sementara Nyi Retno Mantili hanya senyum-senyum.

"Saudaraku, bagaimana mungkin..." bisik Momok Pertama Tukak Racun Kuning. "Kita sudah menggantungnya. Merobek perutnya. Memakan jantung, hati dan ginjalnya. Ternyata dia masih hidup. Dan boneka itu, bagaimana bisa ada lagi di tangannya?"

"Hai kalian bertiga! Jika kalian inginkan jantung, hati dan ginjalku, aku bersedia memberikan! Ayo belek saja tubuhku. Kalian mau aku membuka baju lebih dulu atau bagaimana? Hik hik hik!" Nenek jejadian rambut kelabu berkata lalu tertawa cekikikan.

"Momok Kedua. Momok Ketiga, kita harus segera membunuh tiga manusia ini! Sekarang juga! Serang dengan pukulan Enam Racun Akhirat!" Momok Pertama berikan perintah pada dua saudaranya.

Serentak ke tiga murid Si Bisu Racun Akhirat tusukkan dua jari ke depan, ke arah Wiro. Nyi Retno dan si nenek.

"Wuuuttt!" Enam larik sinar, dua kuning, dua merah dan dua biru, menderu dahsyat, menebar hawa aneh berbau sangit.

"Awas serangan racun jahat! Tutup jalan nafas!" teriak nenek jejadian rambut kelabu. Dia cepat menarik Nyi Retno ke belakang ialu bersama Wiro sambut serangan tiga lawan.

Wiro membalas serangan dengan pukulan Angin Es. Ilmu kesaktian ini jarang dikeluarkan dan memang ampuh untuk menghadapi serangan mengandung racun yang menebar. Udara sedingin es langsung menyungkup tempat itu. Enam sinar mengandung racun mematikan tertahan mengambang di udara, perlahan-lahan berubah beku lalu leleh. Jatuh ke tanah! Lenyap tanpa bekas!

Selagi Tiga Momok yang tubuh masing-masing kini dilanda hawa luar biasa dingin, selagi mereka berseru kaget melihat apa yang terjadi, nenek jejadian sambil melesat ke depan membuat sikap seperti orang bersila menghantam dengan pukulan yang memancarkan sinar merah.

Tiga Momok berteriak keras. Mereka cepat selamatkan diri dengan melesat sampai dua tombak ke udara lalu dari atas berteriak berbarengan "Racun Air Bah!"

Saat itu juga terdengar suara menderu dahsyat luar biasa seolah benar-benar ada gemuruh air bah melanda tempat itu. Cahaya biru merah dan kuning bertabur silang menyilang, angker mengerikan.

"Nek! Kau tahan di bawah aku akan melabrak dari atas!" teriak Wiro.

Nenek jejadian rambut kelabu segera jatuhkan diri berlutut di tanah. Dua tangan dipukulkan ke atas melesatkan dua larik cahaya merah yang menebar seperti kipas. Kepala didongakkan, mulut meniup. Selarik asap, kelabu bergulung-gulung ke udara, mencabik-cabik cahaya biru, merah dan kuning yang menyapu ke bawah. Namun karena kalah tenaga tiga lawan satu, si nenek jatuh terjengkang dan racun jahat sempat terhisap ke dalam jalan pernafasannya.

Selagi Tiga Momok terus melancarkan serangan Racun Air Bah, Wiro melesat ke udara lalu dari atas melepas pukulan Sinar Matahari. Ketika cahaya putih menyilaukan mulai memancar di tangan kanan Wiro dan hawa panas menebar Tiga Momok berteriak kaget kalang kabut.

"Pukulan Sinar Matahari!" teriak Momok Pertama. "Celaka! Pemuda itu pasti Pendekar Dua Satu Dua murid nenek sakti Sinto Gendeng!"

Wiro gerakkan tangan kanan. Cahaya putih panas berkiblat! Sekejapan lagi tubuh mereka akan dilabrak hangus pukulan sakti yang tidak ada bandingannya di rimba persilatan itu tiba-tiba menggeledek seruan keras.

"Sahabat Wiro! Tahan serangan! Jangan bunuh mereka! Tiga Momok lekas pergi dari sini atau aku yang akan menghabisi kalian!"

Lalu ada satu tangan aneh penuh ditancapi paku putih mencekal pergelangan tangan kanan Pendekar 212 yang telah berubah warna seputih perak dan luar biasa panas.

"Cess!" Tangan yang memegang lengan Pendekar 212 langsung melepuh. Si pemilik tangan menjerit kesakitan, tapi hebatnya masih terus memegang lengan itu. Wiro cepat membalik dan menghantam dengan jurus Kincir Angin Berputar.

"Bukk!" Orang yang terkena hantaman dan masih memegang lengan Wiro mengeluh panjang. Kali ini baru dia melepaskan cekalannya dari lengan Pendekar 212. Tangan itu tampak luka melepuh akibat panas ilmu kesaktian Sinar Matahari.

"Kau siapa?!" teriak Wiro marah sekali.

Orang yang ditanya tepuk-tepuk bahu Wiro lalu menarik sang pendekar turun ke tanah. Begitu berhadap-hadapan murid Sinto Gendeng terkesiap kaget tak percaya.

"Sandaka! Kau!"

"Betul. Aku memang Sandaka. Manusia Paku! Sobatku lama, apa kau tidak mengenali diriku lagi?"

"Bukankah... bukankah kau sudah menjatuhkan diri ke dalam jurang?"

"Gusti Allah masih memberiku umur panjang..."

"Kalau begitu kita bercerita nanti saja. Aku harus menghajar tiga manusia aneh itu. Mereka hendak membunuh seorang perempuan yang menjadi tanggung jawabku menjaga keselamatannya."

"Mereka sudah kusuruh pergi." kata Sandaka.

"Apa? Kau suruh pergi? Apa kau tuan besarnya? Eh... apa hubunganmu dengan tiga mahluk sialan itu? Mengapa kau menolong mereka?!" Wiro rada-rada jengkel. Matanya tak berkesip memperhatikan orang yang berdiri dihadapannya. Lalu geleng-gelengkan kepala.

Yang berdiri di hadapan Wiro saat itu adalah seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun berambut panjang riap-riapan sampai sebahu. Muka tangan dan kaki penuh dengan tancapan paku putih berkilat terbuat dari baja murni.

"Sandaka! Dulu kau cuma pakai cawat. Sekarang sudah bisa pakai baju dan celana. Apakah paku di sekujur tubuhmu juga masih ada?"

Orang bernama Sandaka tarik tangan Wiro, lalu disapukan ke dada dan perutnva. Wiro merasa tonjolan-tonjolan benda keras yaitu paku baja yang ternyata masih bertebaran menancap di seluruh bagian tubuhnya. Wiro ingat pada Nyi Retno Mantili. Ketika dia memandang mencari berkeliling, perempuan itu tidak ada lagi.

"Kau mencari perempuan bertubuh kecil yang membawa boneka kayu itu?" tanya Sandaka.

"Nek, kau melihat Nyi Retno Mantili?" Wiro bertanya pada nenek jejadian kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu sambil menolong nenek itu berdiri.

“Tadi dia lari ke arah sana." Si nenek menunjuk ke arah barat. "Aku sedang kesakitan, tidak bisa menghalangi."

"Aku mengawatirkan keselamatannya. Aku harus mengejar. Kalau Tiga Momok tadi menghadangnya di tengah jalan tubuhnya pasti akan dibantai. Dikorek jantung, hati dan ginjalnya!"

"Aku jamin. Tiga Momok tidak akan mencelakai perempuan itu lagi." Kata Sandaka.

"Siapa percaya jaminanmu. Apa hubunganmu dengan tiga manusia aneh itu!"

"Guru mereka seorang nenek sakti tapi jahat bernama Si Bisu Racun Akhirat. Dia meninggal beberapa waktu lalu. Nenek ini adalah saudara angkat guruku Eyang Gusti Kelud..."

"Guru yang kau bunuh sendiri!" potong Wiro.

"Ya. itu cerita lama gara-gara aku terjebak oleh Dewi Ular," jawab Sandaka.

"Kau masih berhubungan dengan perempuan itu?"

Sandaka menggeleng. "Kami kini menjadi dua musuh besar. Apa kau kangen ingin menemuinya?"

Wiro tertawa. Sandaka mendekati nenek rambut kelabu lalu enak saja memegang kepala si nenek.

"Eh. apa-apan ini. Jangan berlaku kurang ajar. Berani-beraninya kau memegang kepalaku!"

Sandaka yang mukanya penuh paku baja menyeringai. "Maaf Nek. aku hanya ingin mengetahui apakah kau terkena racun atau tidak. Nyatanya kau memang sudah keracunan akibat serangan Racun Air Bah yang dilancarkan Tiga Momok tadi. Tapi kau tak usah kawatir. Aku bisa menolong. Pejamkan matamu!"

"Eh. mengapa mesti memejamkan mata segala? Kau mau apakan diriku? Mau meraba-raba?"

"Aku akan memasukkan jari telunjukku pada lobang telingamu kiri kanan."

"Kenapa musti lobang telinga. Bukan lobang yang lain?!" tanya si nenek masih curiga.

"Kau maunya lobang yang mana Nek? Lobang kencingmu?!" tanya Wiro.

"Hik hik! Kau berpikiran kotor. Maksudku mengapa bukan lobang hidung," jawab si Nenek.

Sandaka masukkan jari telunjuk kedua tangannya ke telinga kanan kiri si nenek lalu alirkan hawa sakti. Si nenek tanpa banyak bicara lagi pejamkan ke dua mata. Dia merasa ada hawa panas mengaliri liang telinga, sebagian masuk ke kepala sebagian turun ke dada.

"Mataku terasa perih..."

"Tidak sakit Nek. Matamu akan mengucurkan sedikit darah. Kalau sudah, maka kau akan terlepas dari racun Jahat Tiga Momok itu."

Nenek rambut kelabu merasa sakit sekali pada kedua matanya. Seperti dikatakan Sandaka dari ke dua mata itu kemudian mengucur keluar darah kental merah kehitaman. Sandaka meniup. Noda darah lenyap.

"Kau sudah sembuh Nek. Kau boleh membuka kedua matamu."

Nenek jejadian buka kedua matanya. Dia hendak mengucapkan terimakasih namun saat itu juga Sandaka gerakkan tubuh dan berkelebat pergi dari tempat itu.

BAB SEMBILAN

"Hai, kenapa pergi!" berteriak si nenek.

"Sandaka! Tunggu! Banyak hal ingin kutanyakan padamu!" Wiro berseru.

Namun Sandaka telah lenyap dari pandangan sementara hari mulai gelap karena sang surya telah tenggelam. Wiro berpaling pada nenek di sampingnya.

"Nek, aku berterima kasih kau telah menolong Nyi Retno dengan ilmumu Mengambil tubuhnya, menukar dengan monyet hutan tanpa Tiga Momok itu mengetahui. Ilmu kepandaianmu benar-benar luar biasa. Apa nama ilmu kesaktian itu Nek?”

"Merubah Ujud. Menipu Pandang. Melindungi Raga." Jawab si nenek.

"Hebat Nek. Sekali lagi aku berterima kasih. Sayang Nyi Retno sudah pergi. Seharusnya dia juga berterima kasih padamu karena telah menyelamatkan jiwanya. Tapi jalan pikirannya masih kacau."

"Jangan keliwat memuji, ilmuku itu hanya bisa aku keluarkan satu kali dalam tujuh rembulan. Yang lebih hebat adalah nenek jahat musuh besarmu Nyai Tumbal Jiwo. Dia bisa melakukannya setiap saat. Selain itu dia mampu bersalin rupa menjadi gadis cantik. Kau harus hati-hati..."

"Tapi waktu kau berubah jadi Dewi Pemikat. Wah Nek. kecantikan dan keindahan tubuhmu selangit tembus!"

Si nenek tertawa mengekeh sambil pegangi dada. Mendadak dia hentikan tawa. Paras berubah. Dua tangan masih di atas dada.

"Eh, apa yang terjadi?"

"Ada apa Nek"

"Apa yang dilakukan sobatmu si Manusia Paku itu?"

"Memangnya ada apa Nek?" kembali Wiro bertanya.

"Dadaku..." Jawab si nenek Jejadian.

"Dadamu sakit?"

Si nenek menggeleng.

"Lalu?"

"Dadaku, sebelumnya leper rata. Sekarang kenapa jadi begini?" Dua tangan si nenek mengusap-usap dada.

Wiro perhatikan dada nenek rambut kelabu itu. Masih belum mengarti. "Jadi begini bagaimana Nek?"

"Wiro. dadaku jadi membusung besar..."

“Hah?! Kau bergurau Nek?"

"Tidak. Tadi waktu Manusia Paku itu mengobati diriku, ada hawa yang masuk ke dalam kepala dan yang turun ke dada. Yang dikepala berhasil memusnahkan racun. Tapi yang ke dada membuat dadaku jadi melambung mekar besar begini rupa..."

"Wah Nek, berarti kau beruntung. Mana, coba kulihat." Kata Wiro pula.

"Gila kowe!"

"Bukan gila Nek. Aku cuma mau lihat apa dadamu melambungnya sama besar kiri kanan. Soalnya yang aku tahu Nyai Tumbal Jiwo si nenek alam roh jahat itu pernah cuma satu dadanya saja yang melendung seperti kelapa!"

"Setan kau! Aku jadi bingung punya keadaan seperti ini."

"Kau jadi tambah bingung kalau nanti banyak lelaki yang tahu dan mengejar-ngejarmu!"

"Kau memang pantas disebut anak setan!" maki si nenek. "Eh, aku mau tanya. Sobatmu yang muka dan sekujur tubuhnya penuh paku tadi. Apa paku itu juga menancap di anunya. Hik hik!"

"Kenapa kau tanya begitu Nek?"

"Tidak apa-apa. Hanya kepingin tahu. Aku berpikir, soalnya kalau juga ada paku menancap di anunya. Bagaimana dia kelak berhubungan dengan Istrinya? Hik hik hik!"

"Agar kau bisa tahu Nek. kau saja yang jadi istrinya!" kata Wiro pula.

"Dasar anak setan!" Si nenek tertawa cekikikan. jewer telinga kiri Wiro lalu berkelebat pergi.

Tinggal sendirian Wiro kini yang jadi bingung. Terutama mengingat Nyi Retno Mantili yang selamat akibat pertolongan si nenek tadi kini entah berada dimana.

"Sandaka Manusia Paku, apakah aku bisa mempercayai dirimu. Apa sebenarnya hubunganmu dengan Tiga Momok tadi? Jangan-jangan kau menyuruh mereka pergi untuk mengejar dan menghadang Nyi Retno. Jika sesuatu terjadi dengan Nyi Retno akibat keculasanmu, aku akan mengejarmu sampai ke jurang neraka sekalipun!"

Siapakah Sandaka si Manusia Paku tadi? Diceritakan bahwa dirinya adalah pemuda bernama Sandaka Arto Gampito. Berkepandaian tinggi murid seorang kakek sakti di Gunung Kelud yaitu Eyang Gusti Kelud. Setelah selesai menuntut ilmu silat dan ilmu kesaktian. Sandaka dilepas turun gunung oleh sang guru. Agaknya takdir buruk telah menunggu lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun itu. Dia bertemu dengan seorang perempuan cantik bernama Kunti Arimbi berjuluk Dewi Ular.

Sandaka bukan saja jatuh cinta tergila-gila pada Kunti Arimbi. Dijadikan budak nafsu, tapi juga diperalat untuk membunuh banyak tokoh silat rimba persilatan. Bahkan Sandaka juga tega membunuh Eyang Gusti Kelud serta Mantili. kekasihnya sendiri.

Dengan menusukkan 30 buah paku baja putih ke tubuhnya Sandaka berhasil diselamatkan oleh Datuk Bululawang dari tangan Dewi Ular. Namun pemuda itu kini menjadi peliharaan sang Datuk yang ternyata menyukai sesama jenis. Sinto Gendeng turun tangan memberikan dua buah paku emas pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Paku pertama dipergunakan untuk menolong Sandaka sedang paku kedua untuk menghabisi Dewi Ular.

Sandaka berhasil ditolong oleh Wiro. Dewi Ular dapat ditusuk pusarnya dengan paku emas dan dalam satu pertarungan hebat ditendang masuk ke dalam jurang. Sandaka sendiri kemudian menjatuhkan diri masuk ke dalam jurang yang sama. Untuk jelasnya kisah mengenai Sandaka dan Dewi Ular harap baca serial Wiro Sableng berjudul Dendam Manusia Paku dan Dewi Ular

********************

BAB SEPULUH

DALAM serial Wiro Sableng berjudul Api Di Puncak Merapi diceritakan Patih Wira Bumi membawa satu pasukan besar untuk menyelidiki kebakaran besar yang terjadi di puncak Gunung Merapi. Selain itu dia juga bermaksud menyergap Pangeran Muda, pimpinan pemberontak yang menyebut diri Orang Orang Keraton Kaliningrat dan dikabarkan terlihat naik ke puncak gunung bersama beberapa pengiring untuk menemui Pangeran Matahari.

Pangeran Muda ditemui di satu tempat dalam keadaan hancur tangan kanannya akibat tendangan Pangeran Matahari. Setelah dimintai keterangan, Patih Wira Bumi tanpa ampun menghabisi Pangeran Muda dengan menusukkan sebatang tombak ke arah dada, tepat di bagian jantung

Kedatangan Patih Kerajaan di puncak Gunung Merapi bersamaan dengan kehadiran beberapa tokoh persilatan yang hendak membuat perhitungan dengan Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa yang saat itu memiliki satu senjata hebat dan luar biasa berupa sebuah lentera bernama Lentera Iblis.

Para tokoh silat itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Wulan Srindi, Purnama, Setan Ngompol, Sinto Gendeng, Jatilandak, Liris Biru serta Nyi Bodong yang kemudian diketahui ternyata adalah Bidadari Angin Timur.

Sang Pangeran sendiri didampingi Liris Merah, kakak Liris Biru murid mendiang nenek sakti Hantu Malam Bergigi Perak yang telah jatuh hati dan menjadi budak nafsu Pangeran Matahari.

Patih Wira Bumi berusaha menangkap Pangeran Matahari dengan dua tuduhan. Pertama telah membakar kawasan puncak Gunung Merapi secara sengaja. Kedua hendak mendirikan Partai Bendera Darah yang bisa merongrong dan membahayakan Kerajaan. Namun setelah hampir separuh dari anggota pasukannya menemui ajal dibantai Pangeran Matahari dengan Lentera Iblis.

Patih Wira Bumi pergunakan akal, berlaku cerdik. Dia membiarkan para tokoh silat menyelesaikan urusan dengan Pangeran Matahari. Apa lagi dia menaruh firasat bahwa begitu selesai urusan dengan Pangeran Matahari. Pendekar 212 Wiro Sableng dan Setan Ngompol akan meminta pertanggung Jawabnya atas kematian Djaka Tua.

Puncak Gunung Merapi menjadi arena pertarungan hebat. Walau Pangeran Matahari pada akhirnya dapat ditamatkan riwayatnya oleh Sinto Gendeng yaitu dengan meremas hancur kemaluannya atas petunjuk Purnama, namun Wulan Srindi sendiri tewas dalam pertarungan itu.

Patih Wira Bumi buru-buru kembali ke Kotaraja dengan perasaan kecewa. Banyak anak buahnya yang menemui ajal di tangan Pangeran Matahari. Dia sendiri yang merasa telah mendapat Ilmu kesaktian dan Nyai Tumbal Jiwo ternyata masih belum sanggup menghadapi Pangeran Matahari.

"Ada sesuatu yang tidak beres dengan ilmu yang aku miliki. Apa yang terjadi? Tidak ampuh karena aku masih belum membunuh bayi itu? Aku harus menghubungi Nyai." pikir Wira Bumi.

Karenanya begitu sampai di Gedung Kepatihan malam harinya. Wira Bumi langsung masuk ke kamar rahasia yang selama ini dijadikan tempat pertemuan dan pelampiasan nafsu badaniah dengan Nyai Tumbal Jiwo. Seperti biasa, Wira Bumi naik ke atas ranjang setelah lebih dulu menanggalkan seluruh pakaiannya. Sambil berbaring meneJentang Wira Bumi berucap.

"Nyai, aku Wira Bumi. Aku ingin bertemu. Datanglah."

Biasanya hanya dalam bilangan lima hitungan saat itu juga Nyai Tumbal Jiwo muncul dalam ujud seorang gadis cantik berkulit kuning langsat, berbaring di samping Wira Bumi bahkan seringkali langsung merebahkan diri menelungkup di atas tubuh sang Patih. Namun sekali ini setelah ditunggu cukup lama bahkan Wira Bumi telah memanggil berulang kali sang Nyai tidak kunjung muncul.

"Nyai. Apa yang terjadi dengan dirimu? Apakah kau tidak mau mengunjungiku lagi? Apa kau sudah bosan bermesraan dan bersatu badan denganku? Nyai datanglah. Paling tidak tunjukkan ujudmu walau cuma samar. Bicara pada saya..."

Setelah berulang kali dipanggil tetap tak kunjung datang. Wira Bumi menyalakan pendupaan. Menebar setanggi lalu kembali naik ke atas ranjang. Kali ini dia tidak berbaring tapi duduk bersila mengambil sikap bersamadi. Dua mata dipejam.

Sementara itu di luar gedung hujan turun lebat sekali. Tiupan angin kencang menimbulkan suara menyeramkan. Tiba-tiba jendela besar di samping kanan ranjang terpentang lebar. Hawa dingin masuk ke dalam kamar. Sesaat kemudian jendela tertutup kembali.

"Nyai..." Wira Bumi Merasakan ada getaran di sekitar tubuhnya. Lalu dia mendengar suara mengiang.

"Wira Bumi, aku sudah datang. Tapi aku tidak bisa memperlihatkan diri seperti sudah-sudah..."

"Ada apa Nyai? Kenapa? Apa yang terjadi?"

"Beberapa waktu lalu aku memergoki Pendekar Dua Satu Dua di satu tempat. Ketika aku hendak membunuhnya ada mahluk perempuan dari alam gaib menolong. Mahluk itu memiliki ilmu kesaktian yang sulit aku tandingi. Tubuhku dicabik-cabik. Aku menemui kematian kedua. Aku hanya bisa muncul kembali setelah seratus dua puluh hari..."

(Baca serial Wiro Sableng berjudul Api Di Puncak Merapi)

"Nyai. Apakah mahluk perempuan dari alam gaib itu punya nama dan bagaimana ciri-cirinya? Aku akan mencari dan membunuhnya demi Nyai!"

"Setahuku dia dipanggil dengan nama Purnama. Dia selalu mengenakan pakaian biru. Rambut digulung ke atas terkadang dilepas. Hati-hati Wira. Perempuan ini tidak pernah jauh dari Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng."

"Terima kasih atas petunjukmu Nyai. Saya tengah menghadapi masalah. Keselamatan saya terancam. Ilmu kesaktian yang kau berikan tidak mampu bekerja sebagaimana mestinya."

"Aku tahu Wira, aku tahu. Kau harus bisa melaksanakan sumpah secepatnya. Membunuh bayi itu..."

"Saya sudah mencarinya Nyai. Tapi bayi itu tidak juga diketemukan. Yang muncul justru dua orang tak dikenal. Malam ini ketika pesta berlangsung, ada yang membunuh Cagak Lenting. Saya merasa yakin bahwa Nyi Retno lah yang melakukan. Mungkin ada seorang yang membantu. Tapi dari mana perempuan itu mendapatkan ilmu kesaktian?"

"Apa kau lupa Nyi Retno pernah tinggal di tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede? Pasti Kiai satu itu yang punya pekerjaan."

"Lalu apa yang harus saya lakukan Nyai?"

"Untuk sementara, sebagai penjaga diri aku akan memberikan kekuatan penangkal padamu. Kekuatan itu juga akan memungkinkan diriku masuk ke dalam dirimu sehingga jika sesuatu terjadi aku masih bisa menolong. Jika aku masuk ke dalam tubuhmu, maka orang yang akan berbuat jahat padamu akan melihat dirimu sebagai perempuan."

"Terima kasih Nyai. Apakah aku bisa mendapatkan penangkal itu sekarang juga?"

"Tentu Wira. Letakkan keningmu di atas ranjang lalu menungginglah. Kekuatan penangkal akan aku masukkan ke dalam tubuhmu melalui dubur. Jangan kaget atau takut bila nanti dari hidung, mulut dan dua telingamu keluar mengucur darah merah."

"Nyai, saya menurut apa yang kau katakan."

Lalu Wira Bumi letakkan kening di atas ranjang. Tubuh bagian bawah ditunggingkan ke atas. Saat itu di dalam kamar muncul satu cahaya merah yang keluar dari sebuah benda berbentuk paku sebesar jari telunjuk dengan panjang satu jengkal. Paku bersinar ini melayang tujuh kali seputar kamar lalu bergerak ke bagian tubuh Wira Pati sebelah belakang.

"Tahan Wira. Kau akan merasa sakit luar biasa. Tapi hanya sebentar..." Terdengar suara Nyai Tumbal Jiwo mengiang di telinga Wira Bumi.

Paku bersinar tiba-tiba melesat ke arah bagian bawah tubuh sang Patih, masuk ke dalam dubur. Saat itu juga Wira Bumi menjerit keras akibat rasa sakit luar biasa. Namun seperti yang dikatakan Nyai Tumbal Jiwo, rasa sakit itu hanya sekejapan. Lalu berganti ada rasa sejuk sewaktu paku bersinar meluncur masuk ke dalam tubuh. Begitu paku sampai di dada Wira Bumi merasa ada hawa panas di sekitar kepala. Saat Itu juga darah mengucur keluar dari lobang hidung, mata dan mulut. Setelah beberapa lama kucuran darah berhenti dan lenyap tanpa meninggalkan noda sedikitpun. "Nyai...?"

"Wira, kurasa ada baiknya kau pergi ke Goa Girijati. Tinggal di sana barang beberapa hari untuk mencari ketenangan."

"Kalau itu memang baik untuk saya akan saya lakukan Nyai..." jawab Wira Bumi. "Saya akan berangkat besok pagi. Lalu Nyai... apakah kita tidak akan bercinta malam ini...?"

Sunyi. "Nyai, walau kau tidak bisa menunjukkan ujud, apakah kau tidak bisa meraba tubuhku seperti biasanya kau lakukan?"

Tetap tak ada jawaban. Jendela kamar kembali membuka lalu menutup lagi secara aneh.

********************

BAB SEBELAS

SOSOK perempuan di atas pohon besar mendekap boneka kayu ke dada, mengusap punggung boneka lalu berkata perlahan. "Tenang Kemuning, jangan gelisah anakku. Aku Kasihan waktu kau kecebur dalam telaga. Untung nenek jelek itu menemuimu dan menyerahkanmu padaku. Kalau aku sampai kehilanganmu, aduh... Sudah dua malam kita datang ke tempat ini. Sekali ini aku merasa maksud kita akan kesampaian. Para pengawal sudah berkurang jamlahnya. Enam orang yang ibu curigai sebagai orang-orang rimba persilatan saat ini hanya tinggal dua. Malam ini kita akan masuk ke dalam gedung. Akan kita gorok batang leher Patih keparat itu. Dia membunuh pengasuhmu. Dia juga punya rencana hendak mencelakai ibumu ini."

Perempuan itu yang tentu saja Nyi Retno Mantili adanya kemudian mencium pipi boneka lalu berbisik. "Apakah kau rindu pada si gondrong itu Kemuning? Apakah kau kangen pada orang yang aku inginkan menjadi ayahmu itu? Ya... ya... ya aku tahu kau tidak suka perbuatan Ibu. Tapi Ibu meninggalkannya karena masih jengkel. Dia mencegah Ibu membunuh Patih Wira Bumi. Dia mengatakan Patih itu adalah suamiku. Ayahmu! Gila sekali! Tapi... menurutmu, apakah dia saat ini juga berada di sekitar tempat ini? Bisa saja. Dia juga sudah kangen sama kita. Mengintip intip kalau-kalau kita ada di sini. Hik hik! Tenang Kemuning. Jangan gelisah..."

Malam merayap dingin dan sunyi. Enam orang pengawal tampak mengelilingi Gedung Kepatihan. Di salah satu sudut gedung dua orang tengah bercakap-cakap. Mereka adalah tokoh silat dari Istana yang diminta bantuan oleh Patih Wira Bumi untuk mengawalnya. Sesekali salah seorang tokoh silat itu naik ke atas wuwungan gedung untuk memeriksa keadaan. Menjelang pagi Nyi Retno melihat salah satu dari dua tokoh silat itu berjalan ke bagian belakang gedung.

"Bangun Kemuning, saatnya kita menyembelih manusia keparat itu. Ingat, jika kau lihat kepalanya menggelinding, darah muncrat jangan kau menjerit. Kau anak Ibu. Kau tidak boleh takut!"

Setelah menerapkan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri Nyi Retno melayang turun dari atas pohon. Dia melompati tembok rendah pembatas halaman depan lalu dengan langkah tidak terlalu cepat berjalan menuju halaman belakang. Di ujung gedung langkahnya terhenti. Mata menatap ke arah kandang kuda. Dua orang pengawal tengah menuntun empat ekor kuda. Tak lama kemudian dari bagian belakang gedung keluar tiga orang lelaki. Di depan sekali diingat Nyi Retno bukan lain adalah Patih Wira Bumi. Di sebelahnya seorang kakek berjubah ungu lalu seorang lelaki muda bertubuh tegap.

Tiga orang itu naik ke punggung kuda lalu melarikan tunggangan masing-masing ke arah halaman depan. Seorang pengawal telah membuka pintu gerbang Gedung Kepatihan. Nyi Retno berpikir sejurus lalu melompat ke atas punggung kuda ke empat yang masih ada di depan kandang. Dua pengawal tersentak dan berteriak kaget ketika melihat kuda itu tiba-tiba menghambur menuju halaman depan. Melewati pintu gerbang, berlari mengikuti tiga ekor kuda yang telah dipacu lebih dulu.

"Aneh! Aku tidak melihat orang.Tapi bagaimana mungkin kuda itu bisa lari seperti ada yang membedalnya?!"

Di salah satu sudut gelap atap Gedung Kepatihan seorang yang sejak tadi mendekam tidak menunggu lebih lama melesat turun. Laksana terbang melewati tembok depan dan lenyap ke arah perginya rombongan Patih Kerajaan dan Nyi Retno Mantili.

"Sial...Tak mungkin aku mengejar! Kalau saja aku tahu mereka menuju kemana..."

Walau mengomel tapi orang ini masih terus mengejar. Sesekali dia menggaruk kepala. "Kuda yang kabur tanpa penunggang itu pasti dinaiki Nyi Retno. Dia menerapkan ilmu menyembunyikan diri dari Kiai Gede Tapa Pamungkas."

Tiga penunggang kuda di sebelah depan setelah memacu kuda masing-masing beberapa lama. Salah seorang diantara mereka yaitu kakek berjubah ungu, tokoh silat bernama Ki Luwak Ireng berkata.

"Ada orang mengikuti kita!"

"Kanjeng Patih dan Ki Luwak Ireng, biar saya yang menangani. Saya akan menghadang dan mencari tahu siapa orangnya!" Yang bicara adalah lelaki muda berbadan tegap bernama Bantarangin, Kepala Pengawal Gedung Kepatihan. Dia segera hentikan kuda, memutar binatang ini menghadap ke arah datangnya orang yang membuntuti.

Saat itu hari mulai terang-terang tanah. Tak selang berapa lama muncul seekor kuda coklat tanpa penumpang. Bantarangin tahu betul kuda ini adalah kuda di Gedung Kepatihan. Namun ada hal aneh dilihatnya.

"Heran! Kuda berlari kencang. Tapi tak ada yang menunggangi!"

Kepala Pengawal Gedung Kepatihan ini angkat tangan kanan tinggi-tinggi sementara tangan kiri menyentakkan tali kekang hingga kuda yang ditungganginya kini melintang di tengah jalan.

Kuda yang dihadang meringkik keras sambil angkat dua kaki depan. Bantarangin memperhatikan dengan mata besar, masih tidak bisa percaya kalau kuda itu benar-benar tidak ada penunggangnya. Dia hendak turun dari kudanya untuk memeriksa kuda coklat itu. Namun gerakan Kepala pengawal ini jadi tertahan ketika tiba-tiba dia mendengar suara tawa cekikikan lalu samar-samar tampak ujud seorang perempuan mengenakan pakaian kembang-kembang kuning dan biru.

Dari bentuk samar perlahan-lahan sosok perempuan itu berubah jelas. Seorang perempuan sangat muda, masih belasan tahun, bertubuh mungil, berwajah cantik dan membawa sebuah boneka kayu yang dibedong di depan dada. Bantarangin segera menegur.

"Perempuan muda, aku tidak kenal dirimu. Tapi kau menunggang kuda milik Kepatihan. Kau menguntit mengejar kami. Kau tahu rombongan siapa yang kau ikuti?! Kau Ini hantu atau apa?" Kepala Pengawal Gedung Kepatihan ini memang tidak pernah kenal atau melihat Nyi Retno Mantili sebelumnya.

Di atas kuda coklat Nyi Retno Mantili sunggingkan senyum. Lalu menjawab. "Kau tak perlu kenal siapa diriku. Aku cukup tahu rombongan yang aku ikuti! Dan aku bukan hantu! Nah, kau masih ada pertanyaan lain? Kalau tidak lekas menyingkir! Jangan berani menghalangi jalanku!"

"Gadis galak..."

"Huss! Siapa bilang aku gadis. Apa kau tidak melihat aku sudah punya anak yang saat ini ada dalam bedongan di depan dadaku?!"

Kepala Pengawal itu tentu saja jadi terheran-heran. Namun dia tidak punya waktu banyak untuk melayani Nyi Retno. "Dengar, siapapun kau adanya. Aku minta kau kembali ke arah dari mana kau tadi datang. Jangan berani mengikuti rombonganku. Cepat pergi!"

Nyi Retno tertawa. "Kemuning, kau dengar ada orang mengusir kita? Sombong benar! Apa dia merasa jalan ini miliknya sendiri? Hik hik!" Selesai berucap Nyi Retno memandang tajam pada Bantarangin. "Kau! Siapapun kau adanya aku tidak akan berkata dua kali! Lekas menyingkir dari hadapanku!"

"Kau membuatku marah!" bentak Bantarangin.

"Kau yang membuat aku marah!" balas membentak Nyi Retno Mantili. Tangan kanannya bergerak mengeluarkan boneka kayu dari dalam bedongan lalu diarahkan pada Bantarangin. "Kau mau menyingkir atau memilih celaka?!"

"Perempuan gila! Apa yang bisa kau lakukan dengan sebuah boneka butut itu!" sambil tertawa mengejek Bantarangin gerakkan tangan kiri, hendak menepis boneka vang diarahkan padanya.

Saat itu juga Nyi Retno gerakkan jari-jari tangan memencet pinggang boneka. Cahaya aneh begemerlap pada dua mata boneka. Lalu dalam bilangan kejapan mata dua larik cahaya putih melesat ke arah dada Bantarangin. Kepala Pengawal ini menjerit keras. Tubuhnya mencelat tiga tombak dalam keadaan terbelah di bagian dada talu jatuh tergelimpang di tanah tak berkutik lagi. Darah membanjir!

"Kemuning, bukankah Ibumu sudah memberi peringatan? Tapi orang itu tidak mau mendengar!" Nyi Retno melompat turun dari kuda coklat. Walau tubuhnya kecil namun dia tidak mengalami kesulitan mengangkat mayat Bantarangin dan membaringkan melintang di atas kuda yang tadi ditunggangi Kepala Pengawal itu. Pinggul kuda ditepuk. Binatang ini langsung menghambur lari ke arah jalan yang semula ditempuh yaitu menuju pantai selatan. Nyi Retno Mantili tertawa cekikikan. Dia kembali naik ke atas kuda coklat, mengikuti kuda yang membawa mayat Bantarangin sambil menerapkan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri.

********************

BAB DUA BELAS

SETELAH berlalu cukup lama dan Bantarangin tidak kunjung muncul, baik Ki Luwak Ireng maupun Patih Kerajaan menjadi curiga. Keduanya sama-sama menghentikan kuda. Saat itu di timur fajar sudah menyingsing dan sang surya siap menyembul menerangi jagat.

"Ki Luwak, aku khawatir sesuatu telah terjadi dengan Kepala Pengawal..." Berkata Patih Kerajaan.

"Kalau Kanjeng Patih memberi izin, saya akan menyelidik." Ki Luwak Ireng orang tua berkulit hitam berjubah ungu yang tokoh silat Istana itu siap memutar kuda.

"Pergilah. Aku akan menunggu di sini. Jika kau tidak menemui Bantarangin lekas kembali."

Saat itu satu cahaya marah entah dari mana datangnya menyusup masuk ke dalam kepala lewat ubun-ubun Wira Bumi disertai terdengarnya suara mengiang.

"Wira Bumi, kau dalam bahaya..."

"Nyai..." Patih Kerajaan berucap tercekat. Dia merasa ada getaran di dalam tubuhnya. Sesaat kemudian wajah dan sosoknya telah berubah menjadi seorang gadis cantik mengenakan pakaian ringkas warna merah muda. Inilah penampilan yang biasa dilakukan Nyai Tumbal Jiwo jika dia hendak bercinta dengan Wira Bumi. Namun kali ini ilmu kesaktian tersebut dipergunakan untuk melindungi sang Patih seperti yang dikatakan sang Nyai sebelumnya.

"Akan saya laksanakan Kanjeng Patih." Kata Ki Luwak Ireng menanggapi perintah Patih Wira Bumi tadi. Lalu dia segera sentakkan tali kekang kuda. Namun di depan sana tiba-tiba muncul seekor kuda hitam, berlari kencang mendatangi. Di punggung binatang Ini melintang sesosok tubuh berlumuran darah yang masih mengucur membasahi tubuh kuda dan berlelahan ke tanah.

"itu kuda Bantarangin!" Kata Patih Kerajaan. Dadanya mendadak berdebar. "Ki Luwak lekas periksa! "Walau ujudnya sudah berubah jadi seorang gadis namun saat itu suaranya masih suara laki-laki, suara Wira Bumi.

Tidak menunggu lebih lama Ki Luwak Ireng yang tidak melihat ke arah Patih Kerajaan cepat melompat dari punggung kuda. Dengan satu gerakan kilat dia menyambar tali kekang kuda hitam hingga binatang ini meringkik keras dan berhenti berlari. Ki Luwak cepat memeriksa. Dia segera mengenali sosok orang yang sudah jadi mayat, di atas kuda hitam.

"Kanjeng Patih! Bantarangin dibunuh!" Ki Luwak Ireng cepat turunkan mayat Kepala Pengawal, dibaringkan di tepi jalan. Dia berpaling ke arah Patih Kerajaan.

"Kanjeng Patih..." Ucapan Ki Luwak Ireng terhenti ketika dia melihat satu keanehan. Yang duduk di atas kuda di sebelah sana bukan Patih Kerajaan Wira Bumi. tapi seorang gadis cantik berkulit kuning langsat yang tidak dikenalnya. Terheran-heran Ki Luwak bertanya.

"Kau siapa? Mana Kanjeng Patih Wira Bumi?!"

Gadis cantik di atas kuda tidak menjawab. Hanya tersenyum lalu memutar kuda siap tinggalkan tempat itu. Ki Luwak Ireng cepat menghalangi dengan menahan tali kekang kuda. Si gadis pegang tangan tokoh silat itu seraya berkata.

"Ki Luwak, aku pergi duluan. Ada orang lain mendatangi ke arah sini!" Suaranya kini benaran suara perempuan.

"Aku tidak mengerti. Orang lain siapa? Kau sendiri siapa?!" Ki Luwak memandang berkeliling. Dia sama sekali tidak melihat Patih Kerajaan. Tapi kuda yang ditunggangi gadis tak dikenal itu jelas adalah kuda yang tadi ditunggangi sang Patih. Tokoh silat Istana Ini tak bisa berpikir lebih jauh karena saat itu di hadapannya telah berdiri seekor kuda coklat yang penumpangnya seorang perempuan bertubuh kecil dalam bentuk samar!

"Siapa lagi ini?!" Pikir Ki Luwak Ireng sementara gadis cantik di alas kuda yang tadi ditunggangi Patih Kerajaan siap meninggalkan tempat itu.

Sosok samar di atas kuda coklat berubah jelas lalu melesat ke udara dan turun di jalan menghadang kuda yang ditunggangi gadis cantik berpakaian merah muda. Ketika si gadis melihat siapa adanya perempuan bertubuh kecil yang menghadang kudanya, kagetnya bukan alang kepalang.

"Retno Mantili!" ucap si gadis di atas kuda dalam hati dengan dada berdebar keras. Gadis Ini bukan lain adalah perubahan bentuk dari Patih Wira Bumi selelah roh Nyai Tumbal Jiwo masuk ke dalam tubuhnya. Di saat yang sama si gadis mendengar suara mengiang. "Wira Bumi tinggalkan tempat Ini! Cepat pergi ke Goa Girijati!"

"Nyai, aku harus membunuh perempuan itu. Kau lihat sendiri! Dia adalah Retno Mantili. Istriku!"

"Saatnya tidak tepat. Serahkan perempuan itu pada Ki Luwak Ireng!" jawab suara mengiang.

"Kalian berdua jangan ada yang berani tinggalkan tempat ini!" Tiba-tlba perempuan yang menghadang di tengah jalan yaitu Nyi Retno Mantili berteriak sambil tangan kanan mengacungkan boneka kayu.

"Ki Luwak Ireng! Kau urus perempuan sinting itu. Aku harus segera pergi dari sini!" Kata si cantik diatas kuda.

Ki Luwak Ireng jadi bingung. "Aku..."

Gadis di atas kuda menggebrak tunggangannya. Binatang ini menghambur ke depan, siap menerjang Nyi Retno Mantili.

"Hik hik! Perempuan di atas kuda! Jangan mengira aku tidak tahu siapa ujudmu sebenarnya!" sewaktu terjadi perubahan rupa atas diri Wira Bumi tadi Nyi Retno Mantili sempat melihat dan juga mendengar Ki Luwak Ireng masih memanggil si gadis dengan sebutan Kanjeng Patih. Tidak tunggu lebih lama Nyi Retno tekan pinggang boneka. Dua larik cahaya putih menyembur dari sepasang mata boneka kayu. Sepasang Cahaya Batu Kumala menyambar dada dan kaki kanan kuda yang hendak menabraknya. Dada terbelah, kaki kanan buntung. Kuda besar meringkik keras lalu roboh ke tanah.

Gadis berpakaian merah muda cepat selamatkan diri dengan melesat ke udara. Jungkir balik dan melayang turun ke belakang, Ki Luwak ireng yang sampai saat itu masih berdiri kebingungan, apa lagi setelah menyaksikan kematian kuda besar dihantam dua cahaya yang keluar dari sepasang mata boneka kayu.

"Ki Luwak Ireng, aku Patih Kerajaan! Bunuh perempuan yang memegang bonoka itu."

Ki Luwak Ireng berpaling. Dia tetap saja melihat gadis cantik bukan Patih Kerajaan! Tambah bingung! Di saat yang sama Nyi Retno Lestari sudah melompat ke hadapan ke dua orang itu sambil mengacungkan boneka kayu.

"Ki Luwak! Kau tunggu apa lagi!" Bentak gadis baju merah muda.

Dalam bingungnya Ki Luwak ireng menerjang ke arah Nyi Retno sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam penuh dalam jurus yang disebut Angin Melanda Puncak Mahameru.

Angin sedahsyat badai menghantam Nyi Retno hingga tubuhnya yang kecil terangkat satu tombak ke udara. Dari tubuh boneka tiba-tiba keluar cahaya berwarna Jingga, menebar menyelubungi Nyi Retno. Membuat perempuan ini sama sekali tidak cidera oleh hantaman serangan Ki Luwak Ireng. Padahal jangankan manusia, tembok batu sekalipun akan hancur berantakan dilanda pukulan itu. Sambil tertawa cekikikan Nyi Retno berteriak.

"Tua bangka hitam keling! Aku tak ingin membunuhmu. Tapi kau yang sengaja minta mati. Lima jari tangan memencet pinggang boneka. Dua larik sinar putih menyambar.

“Dreet... Dreett”

Seperti digergaji tubuh Ki Luwak Ireng terbelah mulai dari bahu sampai ke pinggul kanan. Mulutnya masih sempat mengeluarkan jeritan keras sebelum roboh ke tanah dan diam tak berkutik lagi! Darah menggenang!

Melihat kejadian ini dan tahu kalau kini dirinya yang bakal jadi incaran, gadis berpakaian merah muda yang sebenarnya adalah Patih Wira Bumi segera menghantam ke arah Nyi Retno dengan pukulan Tangan Roh Memberi Rahmat, inilah pukulan maut warisan Nyai Tumbal Jiwo, hasil tapa tujuh bulan di Goa Girijati. Selarik angin ganas menderu ke arah batok kepala Nyi Retno.

"Hik... hik! Kemuning! Ada orang hendak membunuh kita dengan ilmu setan!"

Sambil jatuhkan diri ke tanah dan berguling, Nyi Retno Mantili arahkan boneka kayu pada gadis baju merah muda. Pinggang boneka ditekan, tangan membuat gerakan membabat dari kiri ke kanan. Dari dalam tubuh gadis baju merah muda muncul keluar satu bayangan merah sambil dua tangan memukul ke arah Nyi Retno Mantili. Namun sambaran Sepasang Cahaya Batu Kumala datang lebih cepat, menyambar leher si gadis baju merah.

"Craasss!" Seperti dibabat sebilah golok besar, leher itu putus. Tubuh terbanting jatuh, kepala menggelinding. Di saat yang bersamaan di kejauhan terdengar suara kambing mengembik, keras dan panjang. Aneh!

Nyi Retno Mantili tertawa panjang. "Kemuning! Kita berhasil! Lihat! Manusia jahat pembunuh pengasuhmu sudah mampus! Apa kita akan meneguk darahnya, ihhh. jijik... Ayo anakku, kita pergi dari sini!"

Nyi Retno Mantili susupkan boneka kayu ke dalam kain bedongan yang melintang di dadanya, memutar tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu. Kalau saja Nyi Retno Mantili masih berada di tempat itu barang beberapa lama maka dia akan melihat keanehan yang tak bisa dipercaya. Dia menyangka telah membunuh Wira Bumi yang merubah diri jadi gadis cantik berpakaian merah muda. Padahal itu tidak pernah terjadi!

Hanya beberapa saat setelah Nyi Retno pergi. Pendekar 212 Wiro Sableng sampai di tempat itu. Murid Sinto Gendeng ini geleng-geleng kepala berulang kali.

"Ada seekor kuda menemui ajal! Seorang kakek berjubah ungu dan seorang lelaki muda tewas mengerikan. Lalu ada seekor kambing mati dengan kepala putus... Kambing! Aneh! Mengapa ada kambing di tempat ini?! Memangnya ada yang mau nyate?! Siapa yang membantai semua mahluk celaka ini?! Nyi Retno, apakah kau yang punya pekerjaan...?" Wiro memandang berkeliling lalu menggaruk kepala.

SELESAI

Apakah Patih Wira Bumi benar-benar dapat menyelamatkan diri dari pembalasan Nyi Retno Mantili untuk selama-lamanya? Apakah Nyi Retno Mantili akan bertemu dengan puterinya Ken Permata yang merupakan satu-satunya cara untuk dapat menyembuhkan penyakit jiwanya...? Baca episode berikutnya, berjudul:

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.