Tabir Delapan Mayat

Wiro Sableng. Tabir Delapan mayat
Sonny Ogawa
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Wiro Sableng
Episode Tabir Delapan Mayat
Karya Bastian Tito
cerita silat online Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut 212 karya Bastian Tito

SATU

DENGAN bunga matahari yang telah diberi mantera sakti oleh Nyi Roro Jonggrang, Ratu Randang berhasil melenyapkan tanda Pukulan Delapan Sukma Merah yang ada di kening dan dada Pendekar 212 Wiro Sableng. Sebagai ucapan terima kasih, Wiro mencium si nenek sampai empat puluh kali. Biasanya Ratu Randang yang selalu duluan mencium sang pendekar.

Gembira tak terhingga mendapat ciuman begitu banyak, walau bibirnya jadi jontor, si nenek cantik segera hendak menolong Dewi Ular. Saat itu Dewi Ular memang dalam keadaan cidera akibat bentrokan kekuatan tenaga dalam dan kekuatan gaib dengan Pangeran Matahari dan Sinuhun Muda yang dibantu Sinuhun Merah serta bocah Ksatria Junjungan Dirga Purana. Walau keadaannya seperti itu, namun Dewi Ular dengan polos minta agar si nenek lebih dulu menolong Raja Mataram yang saat itu tergeletak ditemani Jaka Pesolek, si gadis cantik berkumis halus

Ratu Randang tidak ingin meninggalkan Dewi Ular begitu saja. Maka dia tetap saja lebih dulu menolong gadis alam roh itu dengan mengusapkan bunga sakti ke bagian depan dan belakang Dewi Ular. Namun setelah si gadis sembuh, entah mengapa si nenek berlaku iseng. Pakaian Dewi Ular di sebelah bawah disingkap lalu bunga matahari diusapkan ke bagian terlarang di bawah perut Dewi Ular.

"Hai Nek! Kau ini gila apa?!" Teriak Dewi Ular.

"Kau bilang aku gila! Nanti lihat saja! Pasti banyak lelaki yang tergila-gila padamu! Hik… hik… hik!" Ratu Randang tertawa panjang.

"Nek, bagaimana kalau nanti karena kualat bunga itu hilang kesaktiannya. Padahal kau belum menolong raja!" Teriak Dewi Ular pula.

Teriakan Dewi Ular membuat Ratu Randang diam-diam merasa khawatir juga. Si nenek segera mendatangi Raja Mataram yang saat itu ditemani oleh Jaka Pesolek si gadis cantik berkumis halus yang punya ilmu kepandaian menangkap petir. Terpengaruh oleh teriakan Dewi Ular, selintas pikiran muncul di benak si nenek. Dia berusaha mencari penangkal agar benar-benar tidak ditimpa kualat. Maka bunga matahari diusapkannya ke dada Raja Mataram Rakai Kayuwangi Lokapala.

Walau cidera di tubuh Raja lenyap setelah diusap bunga, namun saat itu pula muncul gejala aneh. Sang Raja melompat bangkit sambil mengusap dada yang bergerak turun naik. Kepala mendongak, mata menatap kosong ke arah langit lalu berkedap-kedip. Dari mulut terdengar suara mendesah tiada henti.

Melihat keadaan Raja yang seperti tengah membayangkan dan merasakan sesuatu yang menyenangkan, timbul hasrat Jaka Pesolek ingin melihat dan memegang bunga matahari. Ketika si nenek menampik, maka gadis ini langsung merampas bunga. Bunga matahari kemudian diusap dan ditekan-tekan berulang kali ke aurat di bawah perut. Tak selang berapa lama Jaka Pesolek keluarkan jeritan keras lalu jatuh tertelentang. Mata membeliak, dua bola mata berputar-putar. Mulut tersenyum-senyum dan keluarkan suara mendesah-desah.

Si nenek tertegun. Memandang ke arah Raja lalu kembali pada Jaka Pesolek. Tiba-tiba si nenek membungkuk mengambil bunga matahari yang tercampak di tanah. Seperti yang dilakukan Jaka Pesolek, bunga sakti itu lalu ditekapkan ke bagian bawah perutnya. Tidak menunggu lama.

"Oala… Oala! Ini rupanya!" Ratu Randang berteriak berulang kali. Lutut goyah, tubuh limbung lalu jatuh tertelentang di atas sebuah batu. Pinggang dan pinggul menggeliat-geliat. Mata yang juling mendelik memancarkan cahaya berseri mulut menganga dan lidah terjulur basah.

Di lereng bukit sebelah atas Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal membantu Wiro bangkit berdiri. "Wiro, aku mendengar suara orang berteriak-teriak dan tertawa cekikkan di bawah sana. Aneh rasanya dalam keadaan seperti ini ada orang masih bisa tertawa.."

"Aku juga mendengar. Itu suara teriakan Raja Mataram Yang tertawa cekikikan sepertinya Ratu Randang dan gadis aneh bernama Jaka Pesolek. Sebelumnya aku seperti mendengar suara teriakan Dewi Ular Kita harus segera menyelidik apa yang terjadi."

Sewaktu sampai di lereng bukit sebelah bawah Wiro dan Sakuntaladewi terheran-heran menyaksikan keadaan Raja Mataram. Ratu Randang dan Jaka Pesolek. Di tanah, di samping sosok Jaka Pesolek tertampak Bunga Matahari sakti. Dengan cepat Sakuntaladewi mengambil bunga itu.

"Apa yang terjadi. Mereka kelihatan seperti orang mabok Bicara seperti orang mengigau." Kata Sakuntaladewi sambil memperhatikan tiga orang itu satu persatu.

Wiro menggaruk kepala lalu berkata. "Tidak ada minuman keras di bukit ini. Mereka tidak mengigau. Jangan­jangan mereka kemasukan roh halus penghuni bukit"

"Aku tahu puluhan bahkan mungkin ratusan roh berkeliaran di bukit ini. Tapi bisa juga ini pekerjaan jahat Sinuhun Merah Penghisap Arwah." kata Sakuntaladewi pula. Sekali lompat dia sudah berada di hadapan Raja Mataram

Begitu melihat ada perempuan di depannya sepasang mata Raja Mataram membesar. Bibir bergerak-gerak. Raja berusaha bangkit tapi hanya mampu duduk di tanah. Tangan kanan diulur, tangan kiri mengusap dada lalu mulut keluarkan ucapan.

"Ah… Aku sungguh bahagia Aku senang melihatmu. Dara cantik, apakah kau datang hendak menolongku? Mengapa kau tampak bersedih? Bergembiralah di hadapan Rajamu!"

Wajah Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal saat itu memang sedih dan cemas melihat keadaan Raja Mataram Raka Kayuwangi. Sementara itu banyak orang telah berada di situ termasuk dua istri dan beberapa putera puteri Raja tidak berani mendekat Mereka malah bersurat mundur. Takut kalau tiba-tiba Raja diluar sadar menjatuhkan tangan kasar.

Sakuntaladewi gelengkan kepala. "Tidak mungkin Raja Mataram berperi laku seperti ini. Aku mau lihat Mahluk halus atau jin atau roh jahat apa yang telah menguasai Raja!" Sakuntaladewi lalu pentang lima jari tangan kanan hingga memancarkan cahaya biru. Kelima jari itu kemudian ditusukkan ke batok kepala Raja sambil berucap "Yang Mulia, maafkan saya!"

Desss!"

Lima cahaya biru yang semula memancar hendak memasuki batok kepala Raja Mataram tiba-tiba mencuat berbalik kembali, masuk ke dalam tangan Sakuntaladewi disertai dorongan dahsyat hingga gadis berkaki satu ini terpekik dan terpental sampai tiga langkah

"Bukan mahluk halus bukan roh jahat! Lalu apa ini?!" Sakuntaladewi berucap dalam hati terheran-heran sambil usap tangan kanan dengan tangan kiri yang terasa kesemutan. "Tanganku tidak cidera. Tapi ada hawa aneh membuat hatiku seperti berbunga-bunga. Hyang Jagat Bathara. Saya mohon perlindungan untuk Raja Mataram dan kami semua!"

DI tempat lain Jaka Pesolek yang saat itu tergeletak di atas tubuh Ratu Randang sambil melejang-Jejangkan kaki perlahan-lahan bergerak berdiri. Tubuh terhuyung-huyung, mata meram melek, lidah dljulur-julur membasahi bibir. Sambil lambaikan tangan kanan ke arah Pendekar 212 sementara tangan kiri menekap bagian bawah perut dia mengulum senyum dan berkata.

"Pemuda gagah idamanku kekasihku. Pendekar yang mampu mengeluarkan petir dari tangan kanan. Mengapa kita tidak bermain petir-petiran? Ohh "

Kening Pendekar 212 mengerenyit Kepala digaruk. "Sobatku cantik, aku suka-suka saja bermain petir-­petiran denganmu. Tapi saat ini aku rasa kau telah kesambat setan kesasar atau kemasukan jin Bukit Batu Hangus…"

"Iiihh Bicaramu membuat aku merinding. Kemarikan tanganmu. Aku suka tangan besar dan kuat Ayo…"

"Eh kau ini gila benaran rupanya!" Kata Wiro sambil melangkah mundur ketika Jaka Pesolek hendak menarik tangan kanannya.

Tiba-tiba di atas batu, sosok Ratu Randang menggeliat Didahului suara tawa cekikikan nenek ini bangkit dan duduk d atas batu. rambut serta pakaian awut-awutan tak karuan.

"Anak muda yang aku kenal dengan nama Wiro Sableng berjuluk Kesatria Panggilan. Mengapa mau memperbodoh diri bicara dengan lelaki yang berpakaian dan berdandan seperti perempuan? Apa enaknya?! hik hik! Aku perempuan asli tempat dan aku suka bersenang-senang dari siang sampai malam, sampai pagi. Hikkk hikk!" Si nenek tertawa cekikikan sambil busung-busungkan dada.

Murid Sinto Gendeng jadi terkesiap, memandang mendelik tak berkesip. "Nek. kau… kau juga ikutan gila...?! Celaka! Apa ini yang sebenarnya terjadi?"

Ratu Randang menjawab dengan mencibirkan bibirnya yang jontor. Mata juling dikedap kedip, tangan dilambaikan memberi isyarat agar Wiro datang mendekat

"Ada yang aneh. Aku melihat mereka bertiga selalu memegangi bagian tubuh tertentu. Mengapa? Ada yang salah urat atau ada yang mau copot?!"

Baru saja Wiro berucap seperti itu tiba-tiba didahului teriakan keras dan unjukkan wajah gemas Ratu Randang dan Jaka Pesolek bersirebut cepat melompat hendak merangkul sang pendekar.

DUA

WIRO melompat mundur. Dia berhasil mengelakkan sambaran Ratu Randang. Tapi tidak mampu menghindar dari Jaka Pesolek yang memiliki gerakan secepat kilat menyambar. Hampir saja pinggangnya akan kena dipeluk oleh si gadis berkumis halus dan wajahnya hendak dicium tiba-tiba satu bayangan hijau berkelebat Gerakan yang sebat membuat Jaka Pesolek terjajar ke belakang

"Oala! Perempuan mana yang cemburu buta. Jika memang suka mengapa tidak melakukan bersama-sama! Hik hik..hik! Jaka Pesolek hentikan tawa, mata dikedap-kedip ketika melihat siapa yang ada di hadapannya Ah gadis cantik berjuluk Dewi Ular rupanya!" Ucap Jaka Pesolek. "Aku kira siapa! Aku tahu kau sudah mengenal Kesatria Panggilan jauh lebih dulu dariku. Kalau kau memang mau duluan pula bercinta dengannya aku mengalah. Atau kau mau berbaik hab ingin bersenang-senang dengan diriku saja Bukankah aku sudah bilang kalau aku ini bisa jantan bisa betina? Hik…hik…hik…"

"Plaaakk!"

Satu tamparan keras membuat aka Pesolek terpekik Tubuhnya jatuh terduduk di tanah tapi dengan cepat berdiri kembali sambil tidak lupa tangan kiri tetap masih memegang bagian bawah perut Walau diperlakukan seperti itu sampai sudut bibirnya berdarah tapi Jaka Pesolek tampaknya tidak marah Malah dia kembali tertawa cekikikan dan berkata.

"Hik..hik! Keras juga tamparanmu. Pipiku tidak sakit, tapi hatiku kau buat bergetar Kau benar-benar gadis penuh kehangatan Apakah kau mau..."

"Diam!" Bentak orang yang barusan menampar Jaka Pesolek yang ternyata Dewi Ular adanya. Gadis cantik alam roh yang mengenakan pakaian sutera hijau tipis ini berdiri sambil tangan kiri memegang bawah perut, satu hal yang sejak tadi menjadi perhatian Wiro dan juga Sakuntaladewi. "Kita semua sudah kena kualat Tahu?!" Teriak Dewi Ular

"Kalau kualatnya enak siapa takut?!"

Tukas Jaka Pesolek sambil usap-usap pipi dan kedipkan mata pada Dewi Ular membuat gadis dari alam gaib ini jadi tambah jengkel. Kalau saja tidak sudah menganggap Jaka Pesolek sebagai teman, pasti saat itu juga diterjangnya. Dari balik pakaian Jaka Pesolek mengeluarkan cermin, memperhatikan wajah. Lalu cepat dia mengeluarkan bedak dan memuputi seluruh wajah, terutama bagian pipi yang tadi kena ditampar.

"Dasar banci kesasar” Maki Dewi Ular.

Jaka Pesolek yang dimaki cuma tersenyum lalu runcingkan bibir.

"Kunti Ambiri apa sebenarnya yang telah terjadi?" Bertanya Pendekar 212.

"Sahabat, kualat apa maksudmu?" Sakuntaladewi ikut bertanya.

"Nenek gatal ini yang jadi gara-gara!" Kembali Dewi Ular berteriak dan kali ini sambil menuding tepat-tepat ke arah Ratu Randang.

Yang dituding tampak berkerut keningnya, menghela nafas panjang dan goleng-golcng kepala. Nenek bertubuh tinggi ini setengah berbisik bertanya. "Kunti Ambiri. aku mau jawabanmu sejujurnya. Waktu bunga itu aku usapkan ke anumu apa..apa kau pakai celana atau tidak?"

Wiro dan Sakuntaladewi yang sempat mendengar ucapan si nenek jadi saling pandang terheran-heran.

Sepasang mata Dewi Ular mendelik besar. "Nenek bermulut comberan! Segala yang bukan-bukan kau tanyakan Bentak Dewi Ular. "Kalau aku memang tidak pakai celana kau mau apa?"

Ratu Randang terperangah. Wajah berubah. Mulut yang ternganga kemudian berkata. "Oala, Disitu kualatnya. Jadi bukan aku yang salah!"

Dewi Ular tidak dapat lagi menahan marahnya. Dia melompat hendak menyambar rambut awut-awutan si nenek. Tapi Wiro cepat mencegah.

"Nek, lekas katakan apa yang terjadi." Kata Wiro pula.

"Aku… aku tidak sengaja. Hanya mau iseng…"

"Tidak sengaja apa! Kau sengaja menyingkap pakaianku. Iseng membawa celaka!"

"Sahabat lekas katakan apa yang terjadi. Kenapa semua kalian di sini pada memegangi bagian bawah perut dan bersikap aneh seperti orang kesurupan…" Sakuntaladewi kini yang bertanya.

"Kau mau tahu apa yang terjadi? Dewi Kaki Tunggal, mari, ikuti aku! Kau lihat sendiri apa yang terjadi dengan auratku!" Jawab Dewi Ular. Lalu dia menarik tangan kiri Sakuntaladewi dan membawanya ke balik satu pohon besar Ketika Wiro hendak mengikuti dia segera membentak. Tetap di tempatmu! Jangan mau tahu urusan perempuan!"

Di balik pohon besar Dewi Ular menarik ke atas tinggi­-tinggi pakaian hijaunya. "Kau lihat sendiri! Katanya pada gadis kaki tunggal. Dari balik pohon Wiro mendengar suara Sakuntaladewi terpekik lalu tampak gadis berkaki satu ini buru-buru melompat keluar dengan wajah kelam merah. Wiro cepat mendatangi lalu bertanya.

"Ada apa? Apa yang diperlihatkan gadis itu padamu?"

Tenggorokan Sakuntaladewi bergerak turun naik. Kepala digelengkan.

"Kalau kau tidak mau memberi tahu ya sudah. Kita harus melakukan sesuatu untuk menolong orang-orang lainnya." Wiro memutar tubuh tapi lengannya cepat dipegang oleh Sakuntaladewi.

Gadis ini kemudian berkata gagap dan setengah berbisik. "Aku aku tidak tahu apakah Dewi Ular itu seorang lelaki atau perempuan…"

"Maksudmu?" Tanya Wiro.

TIGA

KETIKA Sakuntaladewi tidak menjawab Wiro berkata "Aku bisa menduga apa yang diperlihatkannya padamu. Apa dia memiliki dua jenis anu… Maksudku apa anunya bertambah lengan anu laki-laki?"

Sakuntaladewi menggeleng. "Dia tidak punya apa­-apa…"

"Tidak punya apa-apa bagaimana?!" Tanya Wiro pula.

"Anunya… semuanya kulihat licin belaka." Hah? Wiro terbelalak, menggaruk kepala. Hendak tertawa bergelak tapi cepat menutup mulutnya. Dewi Ular memberi tahu kalau nenek bernama Ratu Randang itu mengusapkan Bunga Matahari sakti ke bagian bawah perutnya…"

"Nenek sinting! Bunga sakti dijadikan mainan! Tapi mengapa sekarang mereka jadi tidak karuan begini rupa?!"

"Kurasa mereka semua telah kejatuhan kualat. Itu yang dikatakan Dewi Ular. Wiro, aku bingung. Aku juga tidak mengerti. Sebaiknya cepat kau tanyakan langsung pada nenek itu apa yang telah dilakukannya!"

Tidak tunggu lebih lama Wiro segera mendatangi Ratu Randang. Belum sempat Wiro bertanya si nenek sudah bicara duluan.

"Aku akan ceritakan. Aku akan katakan! Setelah mengobati dirimu, aku menemui Dewi Ular Gadis itu minta agar aku menolong Raja lebih dulu. Aku tidak pergi begitu saja. Aku menyapukan Bunga Matahari ke beberapa bagian tubuh Dewi Ular yang cidera. Lalu aku cuma iseng. Bunga Matahari aku susupkan ke balik pakaiannya dan kuusapkan ke bagian bawah perutnya. Aku… aku tidak tahu apa saat itu dia pakai celana dalam atau tidak. Dewi Ular kudengar berteriak khawatir kalau aku akan kena kualat dan Bunga Matahari akan hilang kesaktiannya. Ketika aku menolong Raja, karena takut benar-benar kualat aku punya pikiran sebaiknya Bunga Matahari itu aku sapukan pula ke bagian bawah perut Raja…"

"Gila" Teriak Wiro.

Cerita si nenek terhenti sebentar lalu dia melanjutkan. "Ketika hal itu kulakukan Raja Mataram memang sembuh tapi ternyata satu malapetaka telah menimpa dirinya. Raja tampak seperti orang yang menggelora hasratnya. Hal yang sama juga terjadi dengan Jaka Pesolek. Gadis itu merampas bunga dari tanganku lalu mengusapkan ke bawah perutnya Lalu.. lalu aku ikutan melakukan hal itu. Oh enaknya. Tiba-tiba saja aku merasakan satu hal yang luar biasa nikmat. Aku…aku…kau lihat sendiri. Oh aku ingin sekali bercinta dengan dirimu.."

"Nenek sial. Biar aku hajar dulu mulut cabulmu. Ku pecah kan kepalamu yang berotak mesum”

Yang membentak adalah Dewi Ular yang saat itu sudah keluar dari balik pohon besar. Gadis alam roh delapan ratus tahun mendatang ini langsung menyerang dengan satu jotosan tangan kanan ke kepala Ratu Randang.

Wiro cepat memeluk Dewi Ular dan berbisik. "Jangan ikuti amarahmu. Kita harus mencari jalan agar bisa keluar dari kejadian aneh ini…"

Dewi Ular tersenyum. Mata berbinar bercahaya. Tiba-­tiba dia balas memeluk kencang sekali, kemudian mencium Wiro.

Setengah kelagapan Wiro berkata. "Kunti, lepaskan! Aku tahu kau diluar alam sadar. Tapi jangan begini!"

Bukannya melepaskan rangkulan tapi sambil tertawa bergairah Dewi Ular malah memeluk sang pendekar tambah kuat.

"Kunti... maafkan aku. Aku terpaksa menotokmu"

Dengan satu gerakan cepat Wiro menotok urat besar di punggung Dewi Ular. Yang ditotok menggeliat, sepasang mata berbinar-binar. Lalu tubuhnya diam tak bergerak.

"Wiro, kau tega aku bercinta seperti orang lumpuh tiada gairah…?"

Wiro gerakkan tangannya sekail lagi. Kali ini menotok urat besar di pangkal leher Dewi Ular. Saat itu juga si gadis tidak bisa lagi mengeluarkan suara. Wiro berpaling pada Sakuntaladewi.

"Dewi, aku akan menolong Raja. Kau lekas menolong Ratu Randang dan Jaka Pesolek…" Lalu dengan cepat Wiro melompat ke tempat Raja duduk tersandar di batu besar.

Ketika Sakuntaladewi mendatangi Ratu Randang hendak menolaknya, si nenek menyambut dengan senyum mesra dan dua tangan dikembang

"Kau hendak menotokku? Aku sudah siap. Carilah bagian tubuhku yang kencang. Hik… hik... hik!"

Lalu breett.. Ratu Randang robek dada pakaian yang memang sudah tidak karuan hingga auratnya sebelah atas tersembul putih dan masih kencangi Wiro terkesiap. Sakuntaladewi cepat membuang muka. Di saat itulah tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat.

"Ratu Randang, orang-orang ini hanya menggerocoki kita. Mari kita mencari tempat yang tenang dan indahi. Hik…hikihik... hik" Lalu wuuttt Tubuh si nenek lenyap dari tempat itu.

"Jaka Pesolek! Kau mau bawa kamana nenek itu! Kembali ke sini!" Wiro berteriak sambil menatap jauh ke udara di atas bukit dimana Jaka Pesolek tampak seperti terbang, memanggul Ratu Randang di bahu kiri.

"Aku akan mengejar!" Kata Sakuntaladewi pula

"Percuma! Gadis itu punya kecepatan seperti kilat. Kita tidak mungkin mengejar. Lebih baik cepat menolong Raja…"

"Dewa Agung! Hyang Jagat Bathara!" Mendadak Sakuntaladewi berteriak.

"Ada apa Dewi?!" Tanya Wiro.

"Bunga Matahari yang tadi aku pegang tak ada lagi!" Jawab gadis berkaki satu dengan wajah tampak pucat

"Pasti gadis berkumis itu yang mengambil. Hanya dia yang mampu melakukan karena memiliki kecepatan gerak seperti kilat. Jika bertemu aku akan memberi pelajaran padanya!"

"Aku kawatir Kalau bunga itu disalah gunakan, keadaan bisa semakin tidak karuan”

Sakuntaladewi kemudian terdiam. Ingatannya masih ke bunga yang hilang namun tiba tiba saja dia menyadari satu hal. "Wiro. Aku mendadak ingat seseorang." berkata Sakuntaladewi sambil layangkan pandangan berkeliling.

"Apa? Siapa Dewi?"

"Anak perempuan itu. Ni Gatri! Sejak tadi aku tidak melihat dirinya…"

"Astaga! Aku sampai lupa anak itu!" Wiro tersentak kaget, baru sadar. Memandang berkeliling dia berteriak memanggil Ni Gatri Orang-orang yang ada di bukit Ikut membantu berteriak dan mencari. Namun anak perempuan empat belas tahun itu tidak berhasil ditemui. Orang-orang di Bukit Batu Hangus menjadi gempar.

"Wiro, kau ingat ketika sinar kuning kemerahan turun dari langit?" Kata Sakuntaladewi pula. "Itu adalah cahaya kesaktian Dirga Purana, Kesatria Junjungan yang membantu Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah."

"Aku khawatir seseorang telah menculik anak itu. Mungkin sekali bocah keparat yang kau sebutkan namanya barusan! Gila. Urusan yang ada belum selesaii Datang lagi satu masalah" Wiro merutuk habis-habisan. Kepala digaruk berulang kali. "Dewi. Bantu aku mencari anak itu di seluruh bukit Aku harus menolong Raja" Kata Wiro lalu melompat mendatangi Raja Mataram yang duduk di tanah tersandar ke sebuah batu. Tangan kiri masih terus menekap bagian bawah perut sementara mata berkedap kedip meram melek dan mulut senyum-senyum. Wiro tarik tangan kiri Raja Mataram.

Rakai Kayuwangi angkat kepala, menatap tajam tapi tersenyum pada Wiro. "Kesatria Panggilan, jangan berani mengganggu kesenanganku. Jika kau ingin…"

Ucapan Raja hanya sampai di situ karena dengan dua jari tangan kirinya Pendekar 212 menotok urat besar di dada kiri, membuat Rakai Kayuwangi lumpuh dan sekaligus tak bisa bicara.

Di tempatnya tegak tertegun, Dewi Ular kerahkan hawa sakti yang adadi perutnya. Sepasang mata memancarkan cahaya hitam. Dari ubun-ubun membersit samar kepulan asap kuning kemerahan. Ini pertanda bahwa gadis alam roh ini walau sedikit namun telah memiliki sebagian ilmu kesaktian Sinuhun Merah Penghisap Arwah.

"Desss… desss!"

Dengan kesaktiannya Dewi Ular mampu memusnahkan totokan yang membuat tubuhnya kaku dan tak bisa bicara. Gadis ini melompat ke hadapan Wiro dan Sakuntaladewi. Tangan kiri dibawah perut, hembusan nafas terasa keras dan panas. Sepasang mata berpijar aneh. Lidah terjulur merah dan basah.

"Sahabat berdua. Aku tak sanggup berada lebih lama di sini. Aku…aku tubuhku semakin panas. Aku mulai merasa gatal tak karuan! Dewi Kaki Tunggal, kau mana mungkin mau menolongku. Kita bersamaan jenis. Dan kau Wiro, saat ini hanya kau yang mampu menolong dan itu memang sangat aku harapkan. Tapi apakah kau bersedia? Aku akan mengejar kedua orang itu."

Setelah diam sejenak Dewi Ular lanjutkan ucapan sambil menatap ke arah Sakuntaladewir"Aku sempat melihat gadis aneh itu mengambil Bunga Matahari dari tanganmu. Bunga itu yang menjadi pangkal celaka. Hanya bunga itu pula yang bisa menyembuhkan!" Dewi Ular goyangkan dua bahunya.

“Wuss!"

Saat itu juga wajah dan sekujur tubuhnya yang molek berubah menjadi sosok seekor ular hitam besar berkepala putih. "Aku pergi sekarang"

"Kunti Ambiri! Tunggu!" Teriak Wiro.

Tapi ular hitam besar telah melesat ke udara, ke arah lenyapnya Jaka Pesolek dan Ratu Randang.

"Kunti Ambiri! Jangan pergi! Kami butuh bantuanmu di sini!" Kembali Wiro berteriak lagi.

DI udara siang yang mulai terik terdengar jawaban Dewi Ular. "Kalian berdua tidak usah memikirkan diriku. Harap kalian mau menolong dan membawa Raja bersama para pengikutnya ke Kotaraja. Dari atas sini aku lihat genangan air merah sudah surut Keadaan cukup aman. Namun tetap berlaku waspada Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah pasti akan muncul lagi secara tidak terduga. Wiro, Jika aku bisa selamat dari malapetaka gila ini. Aku tunggu kau di Candi Kalasan. Uuuhhhh…”

"Candi Kalasan…?" Ujar Sakuntaladewi pula. Dia coba mengingat-ingat tapi karena jalan pikiran sedang kacau gadis kaki satu ini tidak mampu melakukan. Akhirnya dia berkata pada Wiro. "Wiro, aku harus mendapatkan bunga sakti pemberian Nyi Roro Jonggrang itu kembali. Aku harus bertanggung jawab kalau sampai terjadi apa-apa. Dewa Agung, jangan sampai Nyi Roro Jonggrang marah besar padaku! Aku akan mengejar Jaka Pesolek. Ratu Randang dan Dewi Ular."

"Tapi Dewi. masih banyak yang harus kita lakukan di tempat ini. Menolong Raja. mencari Ni Gatri. Tunda dulu kepergianmu…"

Tiba-tiba dari arah lereng bukit sebelah selatan melayang benda hitam berbentuk peti hitam besar yang bukan lain adalah sebuah peti mati Penutup peti mati dalam keadaan terbuka. Di dalam peti berdiri empat mahluk aneh yang tentu saja adalah Empat Mayat Aneh atau Empat Mayat Bersaudara! Keempat mahluk ini melambai-lambaikan tangan ke arah Sakuntaladewi sementara peti mati dengan cepat melayang turun ke bawah.

EMPAT

SEBELUM peti mati menjejak bagian tanah rata di Bukit Batu Hangus, Empat Mayat Aneh sudah berlompatan keluar. Selain tubuh memancarkan cahaya kecoklatan empat mahluk aneh ini sebagaimana biasa unjukkan sikap dan sifat masing-masing.

Mayat Aneh Kesatu berdiri sambil menutup mata dengan kedua tangan. Mayat Aneh Kedua menutup mulut juga dengan dua tangan, sedang Mayat Aneh Ketiga tekapkan dua tangan ke telinga kiri kanan. Mayat Aneh Keempat sambil cengengesan berdiri dengan dua tangan menekap kemaluan! Lalu satu persatu Empat Mayat Aneh menyerukan ujar-­ujar.

“Pelihara mata hanya melihat kebaikan."

"Pelihara mulut hanya bicara kebaikan."

"Pelihara telinga hanya mendengar kebaikan."

"Pelihara kemaluan hanya untuk kebaikan."

"Empat Mayat Aneh…" Ucap Wiro perlahan sambil menggaruk kepala. "Mudah-mudahan mereka muncul dengan niat baik membantu. Bukannya malah menambah kalut urusan!"

Empat Mayat Aneh melangkah mendekati Sakuntaladewi. Dua tangan serentak diturunkan ke samping lalu keempatnya membungkuk memberi penghormatan. Mereka juga memberikan penghormatan pada Pendekar 212 dengan cara yang sama.

"Sahabat berdua, kami gembira bisa menemui kalian di sini." Berkata Mayat Aneh Pertama atau Mayat Aneh Kesatu.

"Dewi Kaki Tunggal, kami datang meneruskan rencana yang tertunda," menyambung Mayat Aneh Kedua.

"Rencana yang tertunda? Rencana apa?" tanya Sakuntaladewi.

"Ingat beberapa waktu lalu kami ingin membawamu…"

"Membawa atau menculik?" Sakuntaladewi memotong ucapan Mayat Aneh Kedua Yang menjawab Mayat Aneh Keempat. "Kami tidak bermaksud jahat. Kami waktu itu siap membawamu ke Candi Kalasan…"

"Candi Kalasan!" Kata Sakuntaladewi yang kini jadi ingat

"Empat Mayat Aneh mengapa kalian hendak membawa sahabatku ini ke Candi Kalasan?" Wiro yang sejak tadi diam saja ajukan pertanyaan. Dia tiba-tiba saja ingat pula pada ucapan Dewi Ular sebelum melesat lenyap di udara bahwa gadis alam roh itu akan menunggu dirinya di Candi Kalasan. "Ada apa di Candi Kalasan?" Pikir Pendekar 212.

Mayat Aneh Keempat saling pandang dengan tiga saudaranya. Mayat Aneh Kedua berkata. "Kesatria Panggilan, kau Kesatria yang dihormati di negeri ini. Namun kami tidak bisa mengatakan. Yang pasti kami tidak bermaksud jahat terhadap gadis yang akan menjadi calon istrimu ini…"

Wiro jadi terkesiap mendengar kata-kata Mayat Aneh Keempat itu. Kaulan Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal rupanya sudah diketahui banyak orang di Bhumi Mataram.

"Kesatria Panggilan, jika kau ingin tahu kami sangat mengharapkan silahkan ikut bersama kami." Berkata Mayat Aneh Keempat

"Aku tidak akan meninggalkan bukit ini. Raja harus ditolong. Juga keluarganya. Banyak orang tua dan anak­-anak yang terlantar di sini. Kehadiranku di Bhumi Mataram justru atas keinginan Raja. Dalam keadaan seperti ini masakan aku akan meninggalkan beliau?"

Wiro lalu melangkah ke tempat Raja Mataram yang saat itu telah terbujur di tanah, dikelilingi para Istri dan putera putennya. Nenek bermuka bulat tanpa alis dan berdandan medok Rauh Kalidathi berjalan mengikuti Wiro.

"Kesatria Panggilan, kita harus segera membawa Raja ke Istana di Kotaraja. Turuti apa yang dikatakan Dewi Ular tadi genangan air merah sudah surut dan keadaan sudah cukup aman."

Wiro menggeleng. "Raja memang perlu diselamatkan dengan segera. Tapi jangan dibawa ke Kotaraja. Raja Mataram dan keluarga serta para pengikutnya sebaiknya lebih dulu dibawa ke satu tempat aman, rahasia tersembunyi. Raja dan para pembantu kepercayaannya perlu menyusun rencana. Bila keadaan benar-benar aman baru nanti berangkat ke Kotaraja."

“Tapi bagaimana kalau orang-orang Sinuhun Keparat itu menduduki Keraton?" Tanya Rauh Kalidhati.

"Aku tidak menduga mereka akan melakukan hal itu. Jika memang benar mengapa sampai saat ini mereka tidak berkeliaran di Kotaraja? Keraton hancur lebur bisa dibangun lagi. Tapi kalau nyawa manusia sekali amblas apa ada cadangan pengganti. Padahal sangat jelas tujuan utama Sinuhun nyawa kembar itu adalah menghabisi Raja lalu membunuh kita-kita ini termasuk aku dan kau…"

"Sinuhun keparat! Rauh Kalidathi menyumpah. Nek, apakah kau tahu satu tempat rahasia untuk menyembunyikan Raja…?"

Si nenek berjubah biru berpikir sambil terus melangkah Dua langkah di depan nenek ini berhenti dan berkata. "Di Bhumi Mataram saat ini boleh dibilang hampir tidak ada lagi tempat yang aman. Sinuhun Merah Penghisap Arwah boleh dikatakan mengetahui seluk beluk negeri ini seperti dia bisa melihat jelas telapak tangannya." Si nenek kembali berpikir-pikir. Sebelum keduanya sampai di hadapan Raja. Rauh Kalidathi berkata agak berbisik. "Aku ingat satu tempat rahasia. Mungkin hanya ini satu-satunya tempat yang aman."

"Dimana?" tanya Wiro.

"Satu tempat angker yang disebut Sumur Api. Terletak di sebuah rimba belantara antara kawasan Prambanan dan Kali Dengkeng."

"Aku pernah diceritakan riwayat sumur itu. Munculnya tiga tahun silam menjelang terjadi pemberontakan besar Nek, apa kau mau menceburkan Raja ke dalam sumur sempit itu bersama anak istri dan puluhan pengikutnya termasuk dirimu sendiri?"

"Huss! Jangan bicara begitu." Jawab si nenek. "Hik hik Aku tidak tolol. Aku tahu jalan belakang untuk mencapai bagian bawah sumur yang aman. Konon tempat itu masih selalu menjadi perhatian Satria Lonceng Dewa Mimba Purana karena di sanalah Ibundanya pernah tinggal dan di sana pula dia dilahirkan. Serahkan semua padaku. Kau tak usai khawatir. Yang harus kau kawatiirkan adalah anak perempuan bernama Ni Gatri. Aku tidak bisa membayangkan kalau anak itu sampai jatuh ke tangan Sinuhun Muda. apa lagi Sinuhun Merah. Kau juga harus mencari gurumu gadis molek berdandan menor. Jika kau harus pergi, kau juga harus mendapatkan kembali Bunga Matahari yang dibawa kabur gadis berkumis halus bernama Jaka Pesolek itu. Kau dengar sendiri ucapan Dewi Ular. Bunga itu yang membuat celaka, bunga itu pula yang akan menjadi penyembuh. Lalu kau juga harus menolong Rau Randang, nenek juling montok dan genit yang aku duga suka berat padamu. Hik hik"

"Bagaimana dengan gadis berkaki satu itu Nek? Empat Mayat Aneh berusaha membawanya ke Candi Kalasan. Tadi aku melihat dia mulai bimbang…"

"Aku tidak yakin dia akan meninggalkan kita begitu saja. Apa lagi bukankah kau sudah dikaulkan menjadi calon suaminya? Empat mahluk aneh itu saja tahu. Seorang istri harus ikut apa kata suami. Dimana suami berada disitu sang istri juga harus berada. Kemana suami pergi kesitu pula istri mengikuti Tapi…"

“Tapi apa Nek? Aku belum menjadi suaminya!"

"Hik…hik!" Rauh Kalidathi tertawa. "Kalaupun dia pergi mengikuti Empat Mayat Aneh. Maka aku rasa pasti ada satu urusan sangat besar yang akan ditanganinya. Yang tentunya menyangkut keselamatan Raja dan Kerajaan. Walau empat mahluk itu ujud mereka salah kaprah, setahuku mereka berpihak pada Kerajaan dan pernah menolong Raja Mataram."

Wiro garuk-garuk kepala. "Lalu kemana aku harus mencari orang-orang itu Nek. Tentang Bunga Matahari itu seharusnya gadis berkaki satu itu yang lebih tepat mencarinya Kalau aku tidak salah Dewi Kaki Tunggal mendapatkan bunga sakti itu dari Nyi Roro Jonggrang. Nek, aku pernah bertemu dengan Nyi Roro Jonggrang. Kami bicara…"

"Jangan ngaco. Patung mana bisa bicara" Tukas Rauh Kalidathi.

Wiro terdiam lalu garuk-garuk kepala. Tidak berusaha menjelaskan. Sementara itu Empat Mayat Aneh terus membujuk Sakuntaladewi agar ikut bersama mereka hingga gadis berkaki satu ini menjadi bingung.

Mayat Aneh Ketiga berkala, "Dewi. dulu pertama kali kau kami ajak melayang di dalam peti mati kau mengeluh mengatakan di dalam peti sangat gelap dan pengap. Tidak bisa melihat pemandangan di luar. Kau saksikan sendiri. Kami sudah membuatkan dua jendela di samping kiri dan dua jendela di samping kanan peti mati. Jika sekarang sekati lagi kau terbang di udara, kau tidak akan pengap dan kegelapan lagi, nanti kau akan melihat pemandangan yang indah-indah seperti yang kau inginkan."

Sakuntaladewi tatap empat wajah pucat Empat Mayat Aneh. "Mereka membujukku terus. Memaksa secara halus. Aku Jadi curiga. Apakah mahluk-mahluk ini dapat dipercaya?"

LIMA

SAKUNTALADEWI lalu melirik ke arah peti mati hitam besar. Memang saat itu dia melihat ada dua lubang besar berbentuk segi empat menyerupai jendela di kedua sisi peti. Si gadis berpaling pula ke arah lain yaitu ke tempat dimana Wiro dan Rauh Kalidathi berada bersama Raja.

"Sahabat berempat, rasanya aku tidak mungkin ikut kalian. Bukan saatnya untuk terbang bersenang-senang melihat pemandangan indah. Sementara banyak masalah di sini. Bukan cuma menyembuhkan dan menyelamatkan Raja serta keluarga dan para pengikutnya, tapi juga bagaimana menemukan anak perempuan yang pernah ikut masuk bersamaku ke dalam peti mati. Dia lenyap, sudah dicari tidak ditemukan…"

"Dewi, maksudmu anak perampuan ayu berbadan sintal bernama Ni Gatri itu?" Tanya Mayat Aneh Keempat sambil menekap bagian bawah perut dengan kedua tangan.

Sakuntaladewi mengangguk, Empat Mayat Aneh saling pandang. Lalu dongakkan kepala ke langit dan menghirup udara dalam-dalam. Lalu mewakili saudara-saudaranya Mayat Aneh Kesatu berkata.

"Kuharap kami tidak salah menghirup bau udara alam gaib. Kami menduga anak perempuan itu berada di satu tempat di kaki selatan Gunung Merapi. Ada delapan kekuatan aneh yang mengeluarkan cahaya kuning kemerahan di sekitar dirinya hingga anak itu tidak bisa pergi kemana-mana. Kasihan. Kami ingin menolong tapi ada urusan besar yang lebih dulu harus kami lakukan. Yaitu membawamu ke Candi Kalasan."

"Jika kalian punya ilmu kesaktian menjajaki keberadaan seseorang coba kalian selidiki dimana beradanya seorang gadis berdandan menor bertubuh sintal yang datang dari alam delapan ratus tahun mendatang. Kalau tidak salah namanya Sinto Gendeng. Dia guru Kesatria Panggilan." Sakuntaladewi mengalihkan pembicaraan sekaligus Ingin menjajal sampai dknana kehebatan Empat Mayat Aneh.

"Jika itu pintamu, kami akan lakukan. Tapi setelah itu kau harus ikut kami." Kata Mayat Aneh Kedua.

Tanpa menunggu jawaban si gadis Empat Mayat Aneh kembali dongakkan kepala ke langit Mata di pejam hidung menghirup udara dalam-dalam sampai hidung mereka kelihatan melesak. Tiba-tiba ke empatnya sama-sama keluarkan jeritan keras, terjajar ke belakang nyaris jatuh duduk.

"Ada apa?" Tanya Sakuntaladewi terkejut. Dilihatnya tampang Empat Mayat Aneh bertambah pucat.

Mayat Aneh Ketiga menjawab "Ada satu kekuatan hebat dan aneh melindungi gadis itu. Kekuatan aneh ini menebar bau busuk bangkai…"

"Yang bisa aku lihat secara samar, kekuatan dahsyat itu berujud delapan benda setinggi manusia membentuk tabir berwarna hitam…" Berkata Mayat Aneh Kesatu.

Lalu Mayat Aneh Kedua setelah mengusap mata menyambung. "Kami mohon maaf. Kami empat bersaudara mohon maaf karena tidak dapat mengetahui jelas dimana keberadaan guru Kesatria Panggilan itu."

Sakuntaladewi berpikir cepat lalu berkata. "Sahabat berempat, jika kalian sudah tahu dimana beradanya Ni Gatri lebih baik kalian tolong menyelamatkan gadis itu. Sementara aku sendiri menyelamatkan Raja dan orang-orang yang ada di bukit ini. Bukankah itu lebih baik dari pada aku ikut denganmu yang urusannya tidak ketahuan apa juntrungannya"

Mendengar ucapan Sakuntaladewi, Mayat Aneh Kesatu berkata. "Dewi, menyelamatkan Kerajaan bukan berarti hanya menolong Raja. Raja memang sangat penting. Dan banyak cara serta hal lain yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan Raja. Seperti yang kami katakan, kami membawa dirimu kesatu tempat untuk mempertemukanmu dengan seseorang. Semua ini adalah juga salah satu bagian dari usaha menyelamatkan Kerajaan dan Raja Mataram…"

"Sahabat berempat dengar…" Kata Sakuntaladewi setelah berdiam diri sejurus. "Kau memang memberi tahu mau membawa diriku kemana. Candi Kalasan. Tapi selama kau tidak mau mengatakan aku ini akan dipertemukan dengan siapa dan untuk keperluan apa, maka jangan marah kalau aku tidak mau ikut dengan kalian…"

"Dewi, waktu kita sangat terbatas Kita harus melakukan sesuatu sebelum orang-orang penimbul malapetaka Malam Jahanam itu bergerak lebih dulu."

"Sahabat berempat, aku…"

"Jika kau bersikukuh baiklah, aku terpaksa memberi tahu walau ini sebenarnya menyalahi pesan amanat Untuk itu kami berempat mohon ampun pada Para Dewa karena terpaksa berbuat keliru!" Kata Mayat Aneh Ketiga.

Belum sempat Mayat Aneh Ketiga menyambung ucapan memberi tahu siapa adanya orang yang akan ditemui Sakuntaladewi tiba-tiba dari langit sebelah utara menyambar cahaya kuning kemerahan disertai melesatnya beberapa sosok aneh.

"Dewi! Awas! Ada orang mengirim cahaya jahat dan mahluk-mahluk aneh pembunuh untuk menghabisi Kita!" Berteriak Mayat Aneh Kesatu.

"Celaka! Ini mungkin tulah kutuk kemarahan Para Dewa karena kita mau memberi tahu orang yang hendak ditemui di Candi Kerasan. Baru mau memberi tahu saja sudah celaka, apa lagi tempat menyebut nama" Teriak Mayat Aneh Keempat sambil menekap bagian bawah perutnya kuat-kuat.

"Dewi lekas masuk ke dalam peti!" Teriak Mayat Aneh Ketiga begitu di langit dilihatnya ada pula cahaya lain menyambar yakni cahaya merah laksana lidah api raksasa hendak membelah bumi.

“Tidak, aku tetap akan menolong Raja" Jawab Sakuntaladewi. Lalu dengan cepat gadis berkaki satu ini melesat ke atas. Tubuhnya membal ke udara namun setengah jalan, sebelum melayang turun ke tempat Raja terbaring tiba-tiba Empat Mayat Aneh gerakkan tangan kanan masing-masing.

“Rrettt!”

Secara aneh gulungan kain putih yang membungkus tangan mereka melesat panjang ke udara, melibat dua tangan, pinggang serta kaki kiri Sakuntaladewi. Sekali disentakkan tubuh gadis itu melayang turun ke bawah dan masuk ke dalam peti mati besar.

"Retttt!" Empat gulungan kain kembali melibat di tangan Empat Mayat aneh.

"Dewi Kaki Tunggal, harap kami dimaafkan!" Berkata Mayat Aneh Kesatu. "Keadaan sangat berbahaya Kami terpaksa memperlakukanmu seperti ini!"

"Kalian…!" Sakuntaladewi hendak berteriak marah namun suaranya terputus. Karena begitu tubuhnya tertelentang di lantai peti mati, Sakuntaladewi melihat Empat Mayat Aneh mengusap mulut dan bahu masing-masing. Saat itu juga Sakuntaladewi bdak mampu lagi bersuara dan menggerakkan anggota tubuhnya Penutup peti diturunkan.

Empat Mayat Aneh melompat ke atas peti. Dari bagian bawah peti mengepul asap coklat. Di lain kejap peti besar hitam itu telah melesat ke udara. Hanya sesaat setelah peti mati membumbung ke udara.

"Wuusss!"

"Wuuuttt!"

"Blaaarrr! Blaaarrr!"

Cahaya kuning kemerahan dan cahaya merah angker berkiblat sama-sama menghantam kelereng bukit sebelah barat Yang dituju adalah peti mati yang di dalamnya ada Sakuntaladewi serta Empat Mayat Aneh. Namun saat itu peti mati sudah melesat jauh ke udara dan lenyap dari pemandangan. Wiro terkejut melihat apa yang terjadi. 

Dalam kedaaan seperti itu yang bisa dilakukannya bersama Rauh Kalidathi adalah melindungi Raja Mataram dan keluarganya. Hantaman cahaya merah dan cahaya kuning kemerahan membuat bebatuan di lereng bukit sebelah barat terbongkar dan longsor hingga keadaannya semakin porak poranda. Untungnya dua cahaya ganas itu menghantam cukup jauh dari tempat dimana Raja Mataram dan keluarga serta para pengikutnya berada dikelilingi para pengawal. Debu, tanah dan kepingan balu bertebaran di udara, membuat keadaan menjadi gelap untuk beberapa lama.

"Kesatria Panggilan, kurasa kau benar," kata Rauh Kalidathi begitu udara mulai terang Keadaan masih belum aman. Buktinya barusan Kesatria Roh Jemputan dan Sinuhun Muda mengirimkan serangan jarak jauh. Aneh, bagaimana mereka bisa melakukan hal itu. Pasti ada yang memberikan ilmu baru pada mereka. Siapa lagi kalau bukan Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Aku akan segera memimpin rombongan untuk menyelamatkan Raja ke Sumur Api. Aku akan menyuruh beberapa Perwira Muda dan belasan pengawal turun lebih dulu untuk mencari gerobak, kereta atau kuda atau apa saja yang bisa dipergunakan untuk angkutan. Kuharap kau mau mengantar kami sampai ke Kali Dengkeng..."

Wiro menggaruk kepala. Lalu dia melangkah kehadapan Raja yang masih dalam keadaan kaku dan tak bisa bicara. "Nek, biar aku membawa Raja lebih dulu. Aku tunggu kau di Sumur Api." Lalu dengan cepat Wiro memanggul sosok Raja Mataram yang tinggi besar itu seolah memanggul sepotong bambu ringan. Namun belum sempat Pendekar 212 tinggalkan tempat itu bba-bba byaarr!

Dua buah batu besar di lereng barat bukit terpental hancur. Tanah berhamburan dandebu beterbangan. Lalu dari dalam tanah bukit mencuat satu tangan luar biasa besar penuh ditumbuhi bulu lebat. Lima kuku jari menyerupai kepala manusia angker berkepala botak yang ada tanduk kecil berwarna merah, memiliki kumis dan janggut hitam menjulai. Lima jari bergerak menyatu membentuk tinju. Saat itu juga lima kepala botak bergabung menjadi satu kepala luar biasa besar. 

Di lain kejap begitu kepala melesat ke udara disusul menyeruaknya tubuh raksasa dari dalam tanah maka di lereng bukit berdiri tegak satu sosok mahluk luar biasa dahsyat mengerikan. Sepasang mata besar menjorok keluar lebih banyak berwarna pulihnya. Bola mata yang hanya merupakan titik kecil berputar liar. Mulut keluarkan suara mengorok panjang, hembusan nafas memerihkan mata Semua orang yang ada di tempat hu jadi tercekat bahkan ada yang berteriak ketakutan. Para pengawal Raja cepat berjaga-jaga. Yang masih memiliki senjata segera menghunus senjata masing­masing namun rasa takut membuat mereka sengaja menjaga jarak.

Hebatnya lagi begitu mahluk raksasa ini tegak berdiri di atas tanah bukit di udara berkelebat dua sosok aneh. Di lain kejap keduanya tahu-tahu telah berdiri di atas bahu kiri kanan mahluk raksasa. Keduanya mengenakan pakaian hitam, bertampang angker. Rambut awut-awutan. Di atas kepala masing-masing terletak sebuah pendupaan terbuat dari tembaga merah menyala, masing-masing mengepulkan asap merah dan kuning. Sosok di bahu kiri memiliki rambut dan mata berwarna merah. Asap yang mengepul keluar dari dalam pendupaan di atas kepalanya juga berwarna merah. 

Mahluk di bahu kanan bermata kuning, rambut kuning dan asap yang keluar dari dalam pendupaan berwarna kuning pula. Inilah mahluk-mahluk jahat dan ganas anak buah Sinuhun Merah Penghisap Arwah. (Seperti diceritakan dalam episode Dewi Kaki Tunggal sebenarnya mereka berjumlah tiga orang dan disebut dengan julukan Tiga Iblis Menunjung Dupa Kematian". Salah seorang dari mereka yaitu Iblis Kedua yang memiliki rambut dan mata biru menemui ajal di tangan Kumara Gandamayana. Kakek sakti ini dengan disaksikan oleh Ratu Randang, dipendam amblas ke dalam tanah oleh Sinuhun Muda Ghama Karadipa dan Dua Iblis yang masih hidup)

Rauh Kalidathi delikkan mata. Mulutnya bergetar berucap. "Aku tidak percaya. Arwah Ketua Penguasa Candi Miringi Bagaimana mungkin dia muncul bersama kaki tangan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Apakah mahluk yang selama ini jadi kepercayaan Raja Raja Mataram dan menjaga Bhumi Mataram telah berserikat dengan mahluk-mahluk bejat penimbul Malapetaka Malam Jahanam?"

"Nek, apa kau mengenal siapa adanya mahluk raksasa ini?" Wiro bertanya sambil kepala menyondak menatap ke atas.

"Dia dikenal dengan nama Arwah Ketua Mahluk gaib yang selama ini menjadi kerabat Kerajaan dan penjaga Bhumi Mataram. Jangan-jangan dia sudah menjadi kaki tangan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Celaka besar kita semua. Tapi ada satu keanehan. Sosok Arwah Ketua tidak berbau. Mengapa mahluk ini menebar hawa bau amis…"

Baru saja Rauh Kalidathi selesai berucap tiba-tiba Dua iblis Menjunjung Dupa berambut merah dan kuning berteriak keras. Lalu wuuttt Keduanya melesat ke arah Wiro Sementara mahluk raksasa tegak menyeringai bersidekap dada dan dari tenggorokan keluar suara mengorok keras, hembusan nafas memerihkan mata!

ENAM

MELIHAT gelagat dua mahluk menjunjung dupa hendak menyerang dirinya, Pendekar 212 Wiro Sableng cepat mendekab Rauh Kalidathi seraya berkata.

"Nek. aku serahkan Raja Mataram padamu. Lekas tinggalkan tempat ini. Nanti aku menyusul ke tempat rahasia yang kau sebutkan"

"Kau mau melakukan apa?" Tanya Rauh Kalidathi.

“Menumpas mahluk-mahluk jahat itu!" jawab Wiro lalu letakkan tubuh Raja yang masih kaku dan tak bisa bicara itu di atas bahu kanan si nenek.

"Oala! Bagaimana mungkin aku sanggup memanggul tubuh besar seberat ini?!" Si nenek bermuka bulat tak beralis Rauh Kalidathi mengeluh.

"Kau pasti sanggup Nek. Kau orang sakti!" Jawab Wiro Lalu dia tepuk bahu kiri si nenek sambil diam-diam mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti.

Saat itu juga Rauh Kalidathi merasa tubuh berat Raja Mataram yang dipanggulnya jadi ringan seolah sepotong ranting kayu! "Kesatria Panggilan. Apa yang telah kau lakukan pada diriku hingga aku…" Rauh Kalidathi merasa heran dan bertanya.

"Sudah Nek. Lekas pergi," jawab Wiro.

"Tapi bagaimana dengan Raja. Kau telah menotoknya hingga tak bisa bergerak tak mampu bicara."

"Tak usah kawatir Nek. Pada saat sang surya tenggelam Raja akan pulih kembali." menjelaskan Wiro. "Nah kau tunggu apalagi! Cepat pergi!"

Rauh Kalidathi mengangguk. "Hati-hati. jangan sampai tiga mahluk jahat itu mencelakai dirimu," kata si nenek.

Sebelum berkelebat pergi nenek ini keluarkan sebuah benda kecil bulat sebesar ujung ibu jari bewama biru. Begitu dilempar ke udara benda ini meledak, mengeluarkan asap biru. Dengan cepat asap ini menebar di Seantero bukit hingga baik si nenek maupun rombongan puluhan pengawal yang melindungi para istri, putera puteri Raja dan orang-orang Mataram yang selama ini ikut menyelamatkan diri ke Bukit Batu Hangus tertutup lenyap dari pandangan mata.

Mahluk raksasa menggembor marah. "Asap Biru Empat Mata Angin!" ucapnya dengan geram. "Perempuan setan Rauh Kalidathi! Apa kau bisa menipu diriku dengan ilmu tololmu itu?!"

Mahluk tinggi besar membentak lalu meniup. Angin laksana badai menggebubu. Namun asap biru tidak buyar apa lagi sima. Semua orang yang meninggalkan bukit tetap tidak terlihat! Mahluk raksasa kembali menggembor karena tidak mampu melihat si nenek dan rombongan yang menyusul pergi kemudian.

"Rauh Kalidathi, kau mau kabur kemanal Aku akan menghadangmu di kaki Bukit batu Hangus"

Mahluk raksasa kemudian alihkan perhatian pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Didahului suara menggembor mahluk ini menunjuk ke arah Wiro dan berteriak. "Pateni" (Pateni: bunuh)

Ketika di belakangnya Wiro mendengar suara menggembor keras lalu menyusul sambaran angin dengan cepat murid Sinto Gendang membalikkan tubuh dalam gerak jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar sambil melepas dua pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari.

"Blaar! Blaar!"

Dua letusan dahsyat menggelegar di lereng bukit disertai raungan menggidikkan. Yang menjerit adalah Dua Iblis Menjunjung Dupa Kematian yang saat itu siap menyerang Wiro dengan asap maut yang menyembur dari dalam pendupaan di kepala masing-masing. Tubuh mereka tercabik-cabik ketika dihajar dua pukulan sakti yang dilepas Pendekar 212 Wiro Sableng lalu berubah jadi asap merah kuning yang kemudian pupus dari pemandangan.

"Groookkkk…! Wusss!"

Suara mengorok dahsyat menggelegar di lereng bukit disusui semburan nafas aneh. Sepasang kaki Wiro bergoyang keras, tubuh bergetar dan mata terasa perih. Dalam keadaan seperti itu di hadapannya sosok raksasa menebar bau amis yang oleh Rauh Kalidathi diberi tahu adalah Arwah Ketua bergerak mendekati. Satu langkah saja dia sudah sampai di hadapan Wiro.

Tangan kanan bergerak tidak terduga dan tahu-tahu Wiro merasa lehernya sudah dicengkeram jari-jari raksasa. Sebelum lidah terjulur, leher hancur dan nyawa putus Wiro segera meniup telapak tangan kanan. Begitu di telapak muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau Wiro langsung menghantamkan jotosan ke dada mahluk raksasa yang mencengkeram lehernya.

Pukulan sakti yang dilancarkan Wiro bukan lain adalah Pukulan Harimau Dewa pemberian Datuk Rao Basaluang Amen, kakek sakti di pulau Andalas. Jangankan tubuh manusia, tembok besi atau gundukan batu sebesar rumahpun bisa hancur berkeping-­keping!

"Bukkk"

Pukulan Harimau Dewa menghantam pertengahan dada mahluk raksasa dengan telak. Sang mahluk hanya terjajar satu langkah. Dadanya tidak hancur atau jebol, bahkan cidera sedikitpun tidak. Sang mahluk yang dipukul malah menyeringai. Selagi Wiro terkesiap kaget tidak percaya melihat apa yang terjadi didahului suara mengorok keras mahluk ini angkat tinggi-tinggi tubuh sang pendekar lalu dibanting ke tanah bukit

"Braakk.

Tubuh Pendekar 212 amblas ke dalam tanah sampai sebahu. Wiro merasa dirinya seolah remuk mulai dari kaki sampai ke dada, kepala seperti mau mau meledak. Dia coba mengeluarkan diri dari dalam tanah tapi sampai mata mendelik, kuping berdenging muka berkeringatan dan geraham bergemeletakan dia tidak berhasil. Mahluk raksasa mendongak laku tertawa bergolak

"Anak manusia yang dipanggil dengan sebutan Kesatria Panggilan! Sekali seseorang sudah aku buat amblas dengan ilmu Arwah Memantek Roh jangan harap bisa keluar dan dalam tanah!"

"Mahluk keparat Siapa kau? Kau pasti salah seorang kacungnya Sinuhun Merah Penghisap Arwah!"

Dimaki sebagai kacung mahluk raksasa delikkan mata. Kumis berjingkrak dan tanduk di kepala memancarkan cahaya merah benderang. "Di jagat Mataram tdak ada orang berani memaki kurang ajar diriku yang dipanggil dengan sebutan Arwah Ketua Baureksa penguasa tanah dan udara Bhumi Mataram!"

Wiro pencongkan mulut "Kau Arwah Ketua palsu. Arwah Ketua asli tidak bau amis seperti dirimu!" Teriak Wiro yang mendapat tahu keadaan mahluk besar ini dari Rauh Kalidathi.

Tampang mahluk raksasa tampak melengak seperti kaget Sepasang mata besar yang menjorok dan putih berputar liar. "Grookkkk!" Mahluk raksasa keluarkan suara mengorok. "Di negerimu kau boleh menjadi orang paling hebat. Tapi di hadapanku kau tidak lebih dari seekor kacoak busuk. Jadi jangan bicara sombong dan kurang ajar! Aku sudah menyaksikan sendiri! Ternyata kau tidak punya kesaktian apa-apa. Di Bhumi Mataram kau hanya menimbulkan keonaran! Aku akan kembalikan bangkai kacoakmu ke negeri delapan ratus tahun mendatang dari mana kau berasal Mahluk raksasa membungkuk. Dua tangan dipantang kedepan. Secepat kilat membuat gerakan mengepruk."

Hanya sekejapan lagi akan menemui ajal dengan kepala hancur dikepruk Arwah Ketua tiba-tiba Wiro ingat pada ilmu kesaktian bernama Belut Menyusup Tanah yang dimilikinya. Secepat dia mengeluarkan ilmu itu maka sekujur tubuhnya menjadi licin dan mencelat ke udara. Namun setengah jalan salah satu tangan Arwah Ketua masih sempat menggebuk bahu lawannya. Walau karena licinnya tubuh dan pakaian sang pendekar pukulan tersebut mendarat tidak begitu telak, namun tetap saja membuat Wiro terpental, jatuh bergedebuk di tanah, lalu terguling ke balik sebuah batu besar.

Arwah Ketua menggembor keras, melompat ke atas batu. Kaki kanan dihunjamkan hingga batu besar hancur berkeping-keping. "Grookkkl Kacoak busuk! Kau mau lari kemana?!"

Wiro yang terkapar di tanah cepat gulingkan diri menjauhi kaki Arwah Ketua yang hendak menginjak lumat tubuhnya.

"Braaakk!"

Satu batu besar hancur, satu lobang besar dan dalam menganga di tanah akibat injakan kaki. Sebelum tubuhnya jatuh masuk ke dalam lobang Wiro berguling menjauhi lobang lalu cepat berdiri. Jaraknya dengan mahluk raksasa hanya terpaut delapan langkah. Bahunya yang tadi kena dipukul mendenyut sakit membuat dia tidak bisa berdiri lurus. Mahluk raksasa menyeringai lalu kembali keluarkan suara mengorok keras pertanda akan meyerang lagi.

Wiro gerak-gerakkan lima jari tangan ke arah lengan. Sengaja menantang agar si mahluk raksasa mendatanginya. Wiro tengah membuat perhitungan. Jika mahluk raksasa itu tadi tidak mempan Pukulan Harimau Dewa, apakah dia sanggup bertahan kalau dihantam dengan Pukulan Sinar Matahari? Sewaktu mahluk raksasa telah bergerak tiga langkah ke arahnya, tiba-tiba selintas pikiran muncul dalam benak murid Sinto Gendeng.

"Arwah harus dilawan dengan arwah!" Membatin murid Sinto Gendeng. Di depan matanya muncul bayangan sosok Luh Rembulan alias Hantu Santet Laknat, mahluk alam gaib Latanahsilam seribu dua ratus tahun silam (Baca serial Wiro Sableng di Latanahsilam) Wiro angsurkan kaki kanan ke depan. Deretan lima jari dimiringkan. Kaki yang kini bertumpuk pada Jari kelingking itu siap menggurat tanah bukit Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah!

Melihat gerakan kaki yang dibuat Pendekar 212, mahluk raksasa tampak berubah wajahnya. Sepasang telinga mencuat ke atas. Dua mata berwarna putih berkedut-kedut. Suara seperti tercekik keluar dari tenggorokan mahluk raksasa.

"Mahluk dajal. Kau kelihatan takut! Berarti kau bisa kubunuh!" Wiro berucap dalam hati.

Tiba-tiba di kaki bukit sebelah selatan terdengar suara orang meniup seruling dan memukul tambur. Wiro terkesiap. Mahluk raksasa sendiri tampak hentikan langkah.

"Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik!" kata Wiro dalam hati. "Kalau dua orang aneh itu muncul biasanya muncul pula sepasang kakek nenek alam gaib Sepasang Arwah Bisu."

Wiro mendongak ke langit. Benar saja saat itu di atas sana kelihatan sosok sepasang kakek nenek mengenakan pakaian selempang kain putih, mengambang di udara. Si kakek menatap ke arah Wiro sambil tangan kanan digoyang­-goyang. Lalu dia membuat gerakan tangan bahasa orang bisu. Wiro yang sudah mendapat ilmu membaca dan membuat bahasa gerakan tangan orang bisu dari patung Nyi Loro Jonggrang di Candi Prambanan segera mengerti apa yang di katakan si kakek.

"Jangan jangan jangan” Wiro garuk kepala lalu membalas dengan menggerakkan dua tangan, bertanya. "Apa yang jangan?"

Si kakek menjawab dengan gerakan tangan yang berupa kata-kata. "Jangan guratkan kaki kananmu! Jangan keluarkan Ilmu kesaktian yang bisa membelah tanah itu!"

Wiro Jadi melengak "Walau dia tidak menyebut nama ilmu itu, tapi bagaimana kakek itu tahu kalau aku memiliki ilmu yang bisa membelah tanah. Lalu mengapa dia melarangku mengeluarkan ilmu itu? Apa dia bermaksud menolong mahluk raksasa jahat ini? Apa berarti sepasang kakek nenek itu kini telah menjadi kaki tangan Sinuhun Merah Penghisap Arwah pula? Kalau benar kasihan sang cucu Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal."

Suara tiupan suling dan tabuhan tambur mendadak sirna. Wiro kembali menatap ke langit Bayangan sepasang kakek nenek Arwah Bisu memudar lalu lenyap. Di saat bersamaan mahluk raksasa telah berada dua langkah dari hadapan Wiro.

"Kakek Arwah Bisu memberi tahu. Pasti ada apa­-apanya. Jika aku tidak menuruti nasihatnya mungkin saja akan terjadi sesuatu." Wiro membatin bimbang.

Ketika Arwah Ketua semakin mendekat Wiro yang terpengaruh oleh apa yang dikatakan Sepasang Arwah bisu kini memutuskan untuk menghantam lawan dengan Pukulan Sinar Matahari. Namun baru saja tangan kanannya berubah warna seperti perak putih berkilau mendadak seett seettt!

Dua tangan luar biasa besar melesat mencuat dari dalam tanah. Sepuluh jari berwarna merah laksana bara menyala menebar hawa sangat panas langsung mencengkeram pergelangan kaki Wiro kiri kanan. Selagi terkesiap karena ternyata sepuluh jari panas menyala itu tidak melumat leleh, malah dua kakinya terasa sejuk. Wiro berteriak kaget ketika tiba-tiba dua kakinya ditarik ke bawah dan cepat sekali tubuhnya amblas lenyap ke dalam tanah. Wiro merasa pengap luar bisa Nafasnya sesak sementara kemanapun dia memandang yang tampak hanya kegelapan menghitam.

"Celaka, mahluk apa tadi yang menarik kedua kakiku? Jangan-jangan kaki tangan Sinuhun keparat itu! Tapi jika ada yang berniat jahat mengapa sepuluh jari panas merah membara tidak menciderai dua kakiku sedikitpun?"

Kawatir akan terjadi sesuatu mencelakai dirinya Wiro siapkan Pukulan Sinar Matahari di tangan kanan untuk menghadapi bahaya dari arah depan dan samping kiri kanan. Lalu tangan kiri menyiapkan Pukulan Tangan Dewa Menghantam Rembulan untuk menghadang bahaya yang datang dari belakang. Walau dua pukulan sakti itu sudah siap untuk dipergunakan namun murid Sinto Gendeng tersentak kaget ketika menyadari kalau dia tidak mampu menggerakkan dua tangan dan juga dua kakinya!

"Aku ditarik kebawah. Apa saat ini aku benar-benar berada di dalam tanah. Celaka, dadaku tambah sesak, nafasku menyengal. Tubuhku lemas sekali. Rasanya seperti mau mati…"

Mendadak ada seberkas cahaya kelabu di bawahnya dan Wiro merasa tubuhnya seperti ditarik, bergerak dengan cepat ke arah depan. Sementara saat demi saat cahaya kelabu berubah menjadi putih dan keadaan di sekitarnya kini berubah terang. Megap-megap Wiro memandang berkeliling sambil berusaha menghirup udara dalam-dalam. Tubuhnya yang lemas seperti mengambang dalam satu ruangan tidak bertepi tidak berdinding. Wiro merasa ada seseorang di dekatnya. Ini membuat dia jadi merinding.

"Jangan-jangan penguasa alam akhirat yang hendak mencabut nyawaku!" pikir Wiro dengan dada berdebar dan tengkuk dingin menggidikan.

TUJUH

BARU saja Wiro membatin sekonyong-konyong dari sebelah bawah ada kepulan asap kelabu. Lalu muncul satu kepala, bergerak melayang ke atas hingga berhadap­hadapan sejajar dengan wajah Pendekar 212.

"Gila jin tanah atau setan atau dedemit! Atau malaikat maut? Mengapa cuma kepala yang muncul gentayangan?" Wiro menatap tak berkesip.

Kepala di hadapannya memiliki rambut putih awut­-awutan. Walau kemunculannya terasa mengerikan namun kepala itu berupa orang tua berwajah jernih. Mahluk yang hanya berupa kepala, "siapa kau?" Wiro bertanya.

Kepala yang ditanya tidak menjawab. Mata tak berkesip dan mulut terkancing. Sesaat kemudian terjadi satu keanehan lagi. Di bawah kepala yang melayang muncul leher, lalu menyeruak sosok tubuh mengenakan jubah kelabu. Di ujung sosok kelihatan sepasang kaki berkasut putih. Wiro terus memperhatikan. Kalau tadi dia tidak mengenali wajah si orang tua, kini melihat jubah kelabu dan kasut putih selintas ingatan muncul di benak Wiro.

"Orang tua, kau… Apakah aku mengenalmu?"

Untuk pertama kali mulut yang terkancing membuka. "Mata telah melihat, otak telah berpikir. Kita pernah bertemu beberapa kali. Apa kau lupa? Namaku Kumara Gandamayana."

"Astaga. Aku pangling. Selama ini kau selalu mengenakan sorban kelabu, sekarang tidak. Bukankah kau kakek sakti yang pernah datang ke negeri asalku delapan ratus tahun mendatang dan berulang kali masuk ke dalam tubuh anak perempuan bernama Ni Gatri."

Si orang tua tersenyum. Lalu mengangguk. "Benar sekali Aku…"

"Tunggu Kek. Aku mau tahu dulu. Aku ini berada dimana?" Wiro potong ucapan orang.

"Kita berdua ada di dalam tanah. Tak jauh dari kaki Bukit Batu Hangus…"

Wiro melongo tercengang. "Kek, aku sulit bernafas. Dadaku sakit sekali…"

"Berada di dalam tanah memang tidak semua orang berilmu tinggi bisa melakukan. Aku akan memberikan satu kekuatan padamu. Tenang saja. Nanti kau akan bisa bernafas seperti keadaan kau berada di alam terbuka. Mudah-mudahan para Dewa berkenan menolong."

"Kek! Beritahu Dewa, tangan dan kakiku tidak bisa bergerak"

Kumara Gandamayana kembali tersenyum. "Sesungguhnya Yang Maha Kuasa tahu dan melihat segala-galanya. Kau tidak usah kawatir Tutup matamu, bernafas seperti biasa dan kosongkan pikiran."

"Kosongkan pikiran? Aku rasanya sudah mau mati! Kau malah menyuruh mengosongkan pikiran!"

Kumara Gandamayana, orang sakti kepercayaan utama Raja Mataram tersenyum. Dia kembangkan telapak tangan kanan lalu ditempelkan ke dada Wiro. Orang tua ini kemudian kembangkan pula telapak tangan kiri, di angkat begitu rupa dan diusapkan di depan wajah sang pendekar. Saat itu juga diluar sadar sepasang mata Wiro perlahan­-lahan terpejam. Telapak tangan kanan yang tadi menempel di dada kini di tekapkan ke mulut dan hidung Wiro. Setelah itu periahan-lahan Kumara Gandamayana meniup wajah sang pendekar. Lalu terdengar suaranya berkata.

"Sesungguhnya insan berasal dari tanah. Maka sesungguhnya pula dia berhak untuk bisa hidup dan bernafas di dalam tanah. Wahai Yang Maha Kuasa di Swarga Loka. perkenankan permintaan saya agar pemuda ini diberi berkah kemampuan dan kekuatan"

Kumara Gandamayana meniup wajah Wiro sekali lagi Saat itu juga satu sinar putih benderang untuk beberapa lama berpijar menerangi kepala dan dada Pendekar 212. Si orang tua menarik nafas lega. Lalu dengan tangan kirinya dia menepuk bahu Wiro. Begitu Wiro membuka mata Kumara Gandamayana bertanya.

"Kesatria Panggilan, apakah dadamu masih sakit? Apakah nafasmu masih sesak? Apakah kau masih merasa seperti mau mati?"

Wiro tatap wajah orang tua di hadapannya lalu gelengkan kepala. Setelah menarik nafas dalam-dalam dan memandang berkeliling dia bertanya. “Kek, apa yang telah kau lakukan padaku?"

"Pertanyaan itu tidak penting. Yang jelas saat ini kau telah memiliki satu ilmu dan kekuatan serta kemampuan baru hingga bisa bernafas seperti biasa walaupun berada di dalam tanah. Dengan kata lain jika kau mau kau kini mampu mengamblaskan diri masuk ke dalam tanah kapan saja kau menghendaki. Namun ingat Karena Ilmu kepandaian itu datangnya dari Yang Maha Kuasa maka harus dipergunakan untuk kebaikan dan kebajikan."

Wiro terkejut, tidak menyangka tidak percaya. Terlebih ketika dia menyadari saat itu dia telah mampu menggerakkan tangan dan kakinya kembali. Buru-buru Wiro merunduk sambil berkata. "Kek, aku sangat berterima kasih padamu." Tangan kanan si kakek dicium berulang kali.

"Jangan berterima kasih padaku, tapi berterima kasih pada Yang Maha Kuasa." Jawab Kumara Gandamayana.

Wiro manggut-manggut dan dalam hati mengucapkan rasa syukur berulang kali pada Gusti Allah. Lalu Wiro berkata. "Orang tua, aku tidak bermaksud lancang. Sebenarnya aku ingin menanyakan bagaimana kau bisa berada di dalam tanah. Lalu bukankah kau yang menarik dua kakiku hingga masuk ke sini?" Wiro memperhatikan tangan kiri kanan si orang tua. Dua tangan itu tampak biasa-biasa saja, tidak beda dengan tangan manusia. Padahal sebelumnya jelas­-jelas dia melihat dua tangan itu selain besar luar biasa juga berbentuk bara menyala.

"Aku memang yang menarikmu ke dalam tanah sini dengan ilmu Menembus Tanah Menarik Petaka. Dalam ujudnya yang seperti bara panas menyala, dua tanganku bisa membuat lumat dan leleh siapa saja mahluk yang berhati jahat. Sebaliknya orang-orang berhati baik dia akan merasakan kesejukan begitu bagian tubuhnya kusentuh…"

Wiro mesem-mesem sambil garuk kepala. "Kek, terus terang, aku belum termasuk orang berhati baik seperti yang kau katakan itu. Mungkin hanya nasib dan rejeki saja yang baik. Aku memang merasakan kesejukan waktu dua tanganmu mencekal pergelangan dua kakiku…"

Kumara Gandamayana tertawa mendengar ucapan Wiro. "Anak muda dari negeri jauh, apakah dengan kehendak Yang Maha Kuasa kau juga menginginkan aku memberikan ilmu yang membuat dua tanganmu bisa jadi besar dan berbentuk bara panas menyala?"

“Tidak Kek." jawab Wiro sambil mundur satu langkah dan geleng-geleng kepala. "Mana aku berani menerima. Ilmu bisa masuk dan bernafas di dalam tanah saja sudah sangat luar biasa bagiku. Aku tidak tahu bagaimana dan kapan bisa membalas budi besarmu!"

Kumara Gandamayana tertawa lalu berkata. "Sesungguhnya manusia itu hidup dalam lingkaran budi. Hanya sayang, tidak semua menyadari hal itu."

"Orang tua, kau belum menjelaskan mengapa kau berada dalam tanah. Apakah sengaja menungguku. Bukankah kehadiranmu di luar sana sangat diperlukan oleh Raja dan rakyat Mataram."

Atas pertanyaan Wiro itu Kumara Gandamayana menceritakan pertarungannya dengan Sinuhun Muda sewaktu membantu Ratu Randang dan menyelamatkan Ni Gatri beberapa waktu lalu.

"Sinuhun Muda mengandalkan tiga mahluk jahat bernama Tiga Iblis Menjunjung Dupa. Dari dalam pendupaan di atas kepala tiga iblis itu keluar tiga mahluk yang disebut Tiga Jerangkong Penebar Arwah. Ratu Randang berhasil menghabisi tiga jerangkong dengan ilmu Tombak Dewa Memancung Berhala. Aku sendiri dapat membunuh Iblis Menjunjung Dupa Kedua dengan cara menarik sosoknya amblas ke dalam tanah. Namun nasibku buruk. Selagi aku berada di dalam tanah Sinuhun Muda dibantu Dua Iblis Menjunjung Dupa yang masih hidup menutup dan mengunci diriku. Seharusnya saat itu aku sudah menemui ajal, leleh lumat jadi satu dengan lapisan tanah. Namun Yang Maha Kuasa masih menolong diriku melalui tangan sakti seorang anak keramat bernama Mimba Purana. Hanya nasibku tetap saja buruk. Walau di dalam tanah aku bisa pergi kemana saja namun seumur-umur aku tidak akan bisa keluar dari dalam tanah. Kecuali Para Dewa memberi pertolongan." (Mengenai pertarungan Kumara Gandamayana dengan Sinuhun Muda dan Tiga Iblis Menjunjung Dupa dapat dibaca dalam episode berjudul Dewi Kaki Tunggal)

Kejut Pendekar 212 bukan alang kepalang ketika mendengar ucapan si orang tua bahwa seumur-umur dia tidak akan btsa keluar dari dalam tanah. "Kek, kalau kau seumur-umur tidak bisa keluar dari sini. Apa berarti seumur-umur aku juga akan terpendam di dalam tanah ini?"

Kumara Gandamayana menggeleng lalu menjawab.n"Kau tidak perlu kawatir. Ilmu jahat Sinuhun Muda hanya ditujukan pada diriku. Tidak ada pengaruh atas dirimu. Setiap saat kau bisa meninggalkan tempat ini."

Wiro terdiam. Kepala digaruk. "Kakek Kumara, aku tahu kau telah menolong diriku sewaktu kau sengaja menarik diriku ke dalam tanah. Lalu kau masih menanam budi besar lagi dengan memberikan ilmu masuk dan bernafas di dalam tanah. Apapun yang terjadi aku tidak akan meninggalkanmu."

"Semua yang aku lakukan tidak mengharapkan balas budi dan pamrih. Kau pergilah. Raja dan rakyat Mataram masih memerlukan pertolonganmu."

"Kau benar Kek sahut Wiro. "Selain itu aku masih harus mencari guruku Eyang Sinto dan anak perempuan bernama Ni Gatri. Anak itu lenyap begitu saja dari Bukit Batu Hangus ketika terjadi pertarungan ilmu kesaktian hebat"

"Gurumu, bukankah dia gadis cantik yang memakai empat tusuk konde dikepalanya?"

"Sebenarnya ada lima, tapi yang satu musnah sewaktu menolong seseorang bernama Swara Pancala…"

"Orang yang ditolong gurumu itu adalah sahabatku seperjuangan. Dia menemui ajal di tangan Sinuhun Muda. Sebelumnya dia telah menceritakan bagaimana gurumu menolongnya dari satu serangan gelap dengan mempergunakan tusuk konde perak. Aku berjanji akan mengganti tusuk konde itu…"

"Kurasa Eyang Sinto tidak minta penggantian segala." Kata Wiro pula.

"Aku mengerti," ucap Kumara Gandamayana Kakek ini lalu menghela nafas dalam, wajahnya sedikit suram. "Ada satu hal perlu aku beritahukan mengenai gurumu. Sewaktu dirimu dicelakai oleh gurumu dan orang-orang Mataram berusaha menolongmu, seorang anak lelaki keramat bernama Mimba Purana Satria Lonceng Dewa secara samar dalam bentuk cahaya muncul menyelamatkan lalu memasukkannya ke dalam satu goa. Gurumu telah dicuci otaknya oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah dengan Ilmu Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak sehingga dia telah menjadi kaki tangan mahluk-mahluk jahat penimbul bala Malam Jahanam itu. Di dalam goa gurumu berada dalam keadaan tidak berdaya karena kekuatan luar dan kesaktiannya terpaksa dilumpuhkan sementara ilmu jahat yang menguasai otaknya berusaha dilenyapkan. Namun sebelum gurumu dapat disembuhkan, orang-orang Sinuhun Merah Penghisap Arwah berhasil menemukan goa tempat gurumu di sembunyikan. Gurumu diculik. Disekap di satu tempat Kurasa saat ini dia dijaga ketat oleh delapan mahluk hitam. Mahluk-mahluk itu dikenal dengan julukan Tabir Delapan Mayat. Tidak ada yang bisa menerobos tabir mayat apa lagi menumpasnya. Kecuali kekuatan Yang Maha Kuasa. Aku punya dugaan sesuai rencana Sinuhun Merah Penghisap Arwah akan melepas gurumu dalam waktu dekat Jika itu terjadi maka bencana besar akan menimpa semua orang yang menjadi musuh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Kau harus berhati-hati karena aku yakin gurumu tidak mengenali dirimu lagi."

"Jika guruku sampai celaka, aku bersumpah tidak akan kembali ke negeri asalku sebelum menumpas Sinuhun keparat dan kaki tangannya" Kata Wiro pula penuh geram. Lalu dia bertanya. "Kakek Kumara. Apa kau tahu dimana tempat guruku disekap?"

Si kakek gelengkan kepala. "Mudah-mudahan aku atau siapa saja akan segera mendapat petunjuk."

"Dalam usianya yang sudah sangat lanjut Eyang Sinto masih bersemangat untuk menumpas segala macam kejahatan. Kek. kau tahu mengapa guruku sampai terpesat ke Bhumi Mataram ini?"

Kumara Gandamayana tidak menjawab. Dia menatap ke lapisan tanah di atasnya.

"Maafkan aku Kek kalau bicara terus terang. Setahuku riwayat mengapa sampai guruku Eyang Sinto terpesat sampai ke negeri ini karena dia tertarik dan suka padamu."

Wajah jernih Kumara Gandamayana tampak bersemu merah. Wiro lantas cepat-cepat merubah pembicaraan.

"Kek! Kau berada di dalam tanah. Tapi tahu semua apa yang terjadi di luar sana"

"Jika kau keluar dari sini, hati-hatilah. Kurasa mahluk raksasa Arwah Ketua masih berada di atas sana, menunggumu."

"Jadi kau juga tahu apa yang barusan terjadi di atas diriku Kek?"

Si orang tua mengangguk. "Bukankah kau telah membunuh Dua Iblis Menjunjung Dupa?"

Wiro tercengang tak habis heran. "Kalau begitu aku mau bertanya." kata Wiro pula. "Menurut nenek bernama Rauh Kalidathi. Mahluk raksasa yang hendak membunuhku itu bernama Arwah Ketua. Merupakan mahluk alam gaib kerabat dekat Raja dan Kerajaan Mataram. Tapi mengapa dia kini menjadi kaki tangan Sinuhun Merah Penghisap Arwah? Lalu di atas sana. ketika aku hendak mengeluarkan satu ilmu untuk menghadapi Arwah Ketua, sepasang kakek nenek bisu yang dikenal dengan nama Sepasang Arwah Bisu mendadak muncul di langit. Si kakek memberi tahu lewat gerakan tangan agar aku tidak mengeluarkan Ilmu kesaktian itu. Aku heran Kek. Mengapa aku tidak boleh membunuh mahluk jahat itu yang jelas-jelas kaki tangan Sinuhun Merah Penghisap Arwah dedengkot penimbul malapetaka di Bhumi Mataram."

“Tidak ada hal yang mengherankan. Aku tahu cerita kejadiannya," jawab Kumara Gandamayana lalu rambutnya yang panjang awut-awutan digulung dan dikonde di atas kepala.

"Kalau kau mau menceritakan, aku sangat ingin tahu Kek," kata Wiro. Lalu dia duduk bersila di tanah.

"Mengapa kau duduk, mengapa tidak segera pergi?" Tanya si orang tua berjubah kelabu berkasut putih.

"Aku mau dengar ceritamu dulu," jawab Wiro enteng.

Si orang tua menghela nafas dalam. Sepasang mata memperhatikan wajah Pendekar 212 lalu pandangannya turun ke bagian tubuh Wiro. Mata berkedip, hati tersentak, jantung berdebar. Pandangan menembus raga. Diam-diam si orang tua membatin.

"Kapak sakti yang aku lihat dalam mimpi dua puluh satu hari lalu. Berada di dalam tubuh pemuda ini. Hyang Jagat Bathara! Kalau Keris Kanjeng Sepuh Pelangi tidak mampu merubah keadaan maka agaknya hanya kapak bermata dua itulah satu-satunya senjata yang diharapkan bisa jadi andalan…"

DELAPAN

KUMARA GANDAMAYANA ikutan duduk di tanah, bersila di hadapan Wiro. Sebelum bercerita orang tua ini lebih dulu bertanya. "Ketika kau berhadapan dengan mahluk raksasa bernama Arwah Ketua itu, apakah kau mencium kalau sosoknya menebar bau busuk amis?"

"Benar sekali Kek. Tubuhnya memang bau amis. Menurut si nenek Rauh Kalidathi sosok asli Arwah Ketua tidak amis seperti itu."

"Kejadiannya berlangsung beberapa waktu lalu. Sinuhun Merah Penghisap Arwah berhasil menguasai Arwah Ketua. Untuk mengendalikan Arwah Ketua Sinuhun Merah kemudian menyusupkan arwah gaib Ketua Jin Seratus Perut Bumi ke dalam tubuh Arwah Ketua. Itu sebabnya kakek bisu tidak mau kau menyerang Arwah Ketua dengan ilmu kesaktian yang bisa membunuhnya. Karena Arwah Ketua berbuat segala apa secara tidak sadar…"

"Aku mengerti sekarang." kata Wiro sambil menggaruk kepala. "Aku melihat sendiri Ketua Jin Seratus Perut Bumi melarikan diri masuk ke dalam tanah setelah kaki kirinya putus terkena pecahan sinar merah senjata Lentera Iblis Pangeran Matahari alias Kesatria Roh Jemputan"

"Nah kalau kau sudah mengerti dan karena ceritaku sudah selesai, kau sekarang boleh pergi."

Wiro menatap wajah jernih orang tua di hadapannya, "Kek, tadi aku sudah bilang, aku tidak akan meninggalkanmu di tempat ini."

"Ingat, orang-orang di luar sana sangat membutuhkan pertolonganmu"

Wiro beringsut mendekati Kumara Gandamayana. Dengan gerakan cepat dia menggelung pinggang orang tua itu. dipanggul di bahu kiri lalu bangkit melompat Ketika Wiro melesat ke atas untuk bisa keluar dari dalam tanah tiba-tiba dukk! Kepalanya membentur dinding keras yang tidak kelihatan. Wiro cepat melayang turun menatap ke atas sambil menahan sakit.

"Kek, aku tidak melihat atap atau dinding di atas sana. Tadi kepalaku membentur apa…?" Wiro usap-usap kening. Kumara Gandamayana tidak menjawab. Penasaran Wiro melesat lurus ke depan.

"Dukkk!”

Kali ini dua kaki si kakek yang membentur benda keras tak kelihatan

"Kesatria Panggilan semua usahamu untuk membawaku keluar dari dalam tanah ini akan sia-sia belaka Jika kau tak percaya, turunkan diriku. Lalu kau coba melesat ke atas Dalam sekejapan kau akan keluar dari tempat ini."

"Aku tak percaya" Kata Wiro pula tapi tubuh si kakek diturunkannya dari panggulan.

"Lakukanlah" berkata Kumara Gandamayana.

"Kek, kau tetap di situ. Jangan pergi kemana-mana"

Si orang tua hanya tersenyum sambil lambaikan tangan. Wiro menatap ke atas. Dia tidak melihat apapun yang menjadi penghalang. Dua kaki dijajakkan ke tanah. Wuuuttt! Sosok Wiro melesat tembus dan dilain kejap dia telah berada di satu tempat di selatan kaki Bukit Batu Hangus.

"Gila! Bagaimana bisa begini?!" Wiro tercengang-­cengang, memandang berkeliling. Mendadak di kejauhan dia mendengar suara menggembor. Dia cepat berpaling. Dari balik pucuk pepohonan dia melihat menyembul satu kepala botak bertanduk.

"Jahanam Arwah Ketua" maki Wiro. Dia menatap ke tanah. Ragu-ragu sesaat. Lalu melompat ke udara setinggi setengah tombak. Ketika dua kakinya menyentuh tanah, sosoknya langsung amblas. Di lain kejap dia sudah berada di bawah tanah dan di depannya telah berdiri Kumara Gandamayana!

"Kesatria Panggilan, mengapa kau kembali? Arwah Ketua menghadangmu?"

"Bukan itu. Aku kembali untuk membawamu."

"Kau sudah mencoba sendiri. Apa kau masih belum percaya kalau aku bdak mungkin bisa keluar dari tempat ini?"

"Aku memang sudah membuktikan sendiri Kek. Tapi aku yakin pasti ada cara untuk membawamu keluar dari dalam tanah ini "Wiro melangkah mundar mandir sambil menggaruk kepala.

"Kesatria dari negeri delapan ratus tahun mendatang. Terus terang sebenarnya aku mengetahui memang ada satu cara agar aku bisa keluar dari sini. Namun aku tidak ingin kau punya sangkaan bahwa hal itu sebagai permintaan balas budi darimu."

"Kakek Kumara, apa maksudmu? Ikut bicaramu aku bisa menolongmu tapi kau tidak mau mengatakan caranya Kek, kau ingin mendekam terus di sini sementara orang-orang Mataram membutuhkan pertolonganmu?"

Kumara Gandamayana terdiam sejurus. Kelihatannya tengah merenung berpikir-pikir. Apa yang tadi dikatakannya pada Wiro kini orang mengatakan pada dirinya sendiri. "Kesatria Panggilan, kalau hatimu polos dan tulus mau menolongku aku akan mengatakan."

"Tentu saja aku akan menolongmu kalau bisa Kek. Aku tidak akan pergi tanpa membawamu. Lalu buat apa kita berdua-dua mendekam menjadi cacing tanah di tempat ini?!"

Kumara Gandamayana terdiam. Dia seperti dalam kebimbangan. "Kesatria Panggilan, baiklah aku akan mengatakan padamu bahwa kau memiliki satu ilmu kesaktian. Dengan ilmu kesaktian itu kau bisa membawaku keluar dari dalam tanah."

"Katakan Kek, ilmu kesaktianku yang mana yang bisa membawamu keluar dari tempat ini." Ucap Wiro pula.

"Kau memiliki ilmu kesaktian yang disebut Meraga Sukma ilmu itu kau dapat dari seorang sakti di pantai selatan…"

"Betul sekali Kek. Kau tahu banyak tentang diriku. Aku memang punya ilmu kesaktian itu. Katakan bagaimana caranya aku bisa menolongmu."

"Keluarkan sukmamu dari dalam raga. Sukma itu akan mampu membawaku keluar dari tempat ini. Jika kau berkenan dan Yang Maha Kuasa menolong…"

Mendengar ucapan si kakek, tidak menunggu lebih lama lagi Wiro segera duduk bersila di tanah.

"Tunggu. Ada yang harus aku beritahu terlebih dulu. Jika aku sudah berada di luar sana, aku akan meninggalkanmu, bergabung dengan Rauh Kalidathi untuk menyelamatkan Raja ke tempat rahasia. Kau sendiri segeralah pergi mencari gurumu dan Ni Gatri. Lalu kau juga harus pergi ke Candi Kalasan. Satu peristiwa besar akan terjadi di sana. Secepatnya Raja selamat di tempat yang dituju aku akan menyusulmu ke Candi Kalasan"

Wiro lantas saja ingat pada ucapan Dewi Ular yang mengatakan kalau gadis alam gaib itu akan menunggunya di Candi Kalasan. "Orang tua ini sungguh luar biasa. Meski berada di dalam tanah tapi dia tahu hampir semua hal di luar sana." Wiro berkata dalam hati. Lalu dia ingat pada sang Arwah Ketua. "Kek. apakah kita tidak berusaha bagaimana mengeluarkan Ketua Jin Seribu Perut Bumi yang mendekam di tubuh Arwah Ketua?" Wiro bertanya.

"Ah, itu memang satu hal yang harus segera dilakukan sebelum Arwah Ketua tanpa sadar berbuat lebih banyak kekacauan. Tapi itu tidak mudah. Serahkan hal itu padaku. Aku akan menemu Satria Lonceng Dewa Mimba Purana. Mudah-mudahan anak keramat kesayangan Para Dewa itu mau menolong."

"Baik Kek. Apa katamu akan aku lakukan." Wiro lalu duduk bersila dengan khidmat Dua lengan disilang, dua telapak tangan ditempelkan di atas dada. Perlahan-lahan sepasang mata dipejamkan. Lalu perlahan-lahan pula mulutnya mengucap Bismillah tiga kali disusul kata-kata Meraga Sukma juga tiga kali.

Saat itu juga Wiro merasa tubuhnya dirasuk hawa dingin luar biasa. Namun anehnya keringat mengucur di seluruh badan dan wajah. Asap putih mengepul dari ubun-­ubun. Didahului satu getaran hebat dari tubuh Pendekar 212 kemudian menyeruak keluar satu bayangan samar dan ketika bayangan berubah menjadi jelas sosok dan wajahnya ternyata sangat sama dengan diri sang pendekar inilah sosok sukma yang telah keluar dari raga asli. Sementara raga Wiro masih tetap duduk bersila, dengan gerakan seperti melayang sang sukma mendekati Kumara Gandamayana yang sejak tadi memperhatikan dengan penuh tercekat

"Kek, aku sudah siap membawamu." Sukma Pendekar 212 berkata. Si kakek segera berdiri. Sukma Pendekar 212 cepat merangkul pinggang orang tua itu. Lalu sekali bergerak tubuhnya melesat ke atas.

"Wusss!"

Sukma dan sosok Kumara Gandamayana mencuat keluar dan dalam tanah tanpa ada benda yang menghalangi.

"Kita sudah berada di alam terbuka. Tempat ini tak jauh dari kaki selatan Bukit Batu Hangus…" kata Kumara Gandamayana sambil memandang berkeliling. "Kesatria Panggilan, kembalilah ke dalam tanah dan cepat masuk ke dalam ragamu."

Sebelum sukma Pendekar 212 bergerak, dari balik jubah kelabunya si kakek keluarkan sebuah benda yang ternyata adalah tusuk konde terbuat dari emas. "Bilamana kau menemui gurumu, tancapkan tusuk konde ini di kepalanya. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa akan melepaskan dirinya dari sirap ilmu jahat pencuci otak Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Jika dia berhasil disembuhkan, sampaikan salamku padanya."

"Terima kasih Kek. Budimu sungguh besar." Sukma Wiro cepat ambil tusuk konde emas lalu sekali dia menghunjamkan kaki sosoknya amblas lenyap siap masuk kembali ke dalam raganya yang masih berada di dalam tanah.

SEMBILAN

MALAM HARI, kurang satu hari dari saat Dewi Kaki Tunggal dibawa pergi Empat Mayat Aneh. Di sebuah pedataran miring dan sempit di lereng barat Gunung Merapi terlihat satu pemandangan aneh. Delapan batu hitam menyerupai tonggak setinggi manusia menancap di tanah keras berbatu-batu, membentuk lingkaran Di udara yang cukup dingin menebar bau sangat busuk seperti bau busuk bangkai manusia. Begitu hebatnya bau busuk ini seseorang yang tidak memiliki ilmu pertahanan diri mungkin saja bisa pingsan, paling tidak akan dilanda pening dan mual lalu muntah-muntah.

Salah satu dari tonggak batu yang delapan tertutup oleh ribuan lalat hijau yang entah dari mana datangnya. Ketika di langit sebelah utara awan kelabu berarak bergerak menuju ke timur tiba-tiba di arah selatan terdengar satu suara suitan keras disertai munculnya satu titik merah menyala. Titik merah ini melesat ke bawah, semakin mendekat ke lereng gunung semakin membesar dan pada akhirnya membentuk satu ujud seorang kakek bertampang dingin angker.

Orang tua ini berdiri berkacak pinggang sambil mata tak berkesip memperhatikan delapan tonggak batu. Di kepalanya bertengger sebuah belangkon merah Di bagian depan belangkon tersemat hiasan bintang sudut delapan terbuat dari suasa muda atau perunggu. Orang tua berwajah angker dingin ini memiliki janggut kumis, berewok serta sepasang alis berwarna merah. Delapan benjolan merah terlihat jelas di kening. Bagian mata yang seharusnya pubh ternyata juga berwarna merah. Sesekali dari mulutnya mencuat keluar lidah panjang basah dan merah. 

Orang ini dongakkan kepala, menghirup udara dalam-dalam seolah tidak merasa busuknya bau bangkai. Lalu lidah d julur ke atas sampai setinggi satu tombaki Sepasang mata kemudian mengawasi delapan tonggak batu hitam. Untuk beberapa lama pandangannya lebih memperhatikan pada batu yang diselubungi ribuan lalat hijau.

Siapa gerangan orang ini. Jelas dia bukan lain adalah adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah mahluk alam roh penimbul bencana Malam Jahanam di Bhumi Mataram. Sinuhun Merah melangkah mengelilingi lingkaran batu hitam dua kali. Pada kali yang ke tiga dia hentikan langkah tepat di depan babi hitam yang diselubungi lalat hijau lalu berteriak.

"Sinuhun Muda Ghama Karadipa! Kesatria Roh Jemputan! Jangan membuat aku menunggu berlama-lama! Hari ini hari luar biasa pentingl Keputusan besar harus segera dibuat. Apa kalian sudah berada di sini?!"

Belum habis gema suara teriakan Sinuhun Merah tiba­tiba blaar! Blaarr! Tanah pedataran sempit menganga di dua tempat Bersamaan dengan berhamburannya tanah dan bebatuan, dari dalam tanah melesat keluar dua sosok, satu berpakaian dan berikat kepala hijau, satunya lagi berikat kepala merah dan berpakaian serta mantel hitam. Mereka bukan lain adalah Sinuhun Muda Ghama Karadipa, saudara nyawa kembar Sinuhun Merah dan Pangeran Matahari alias Kesatria Roh Jemputan! Sinuhun Muda menjawab.

"Sinuhun Merah, kau lihat sendiri, kami sudah berada di sini, siap menunggu kedatanganmu dan siap melakukan apa, yang menjadi keputusan!"

Sinuhun Merah perhatikan dua orang yang berdiri di hadapannya. Kumis, janggut serta cambang bawuk hitam Sinuhun Muda Ghama Karadipa kelihatan meranggas panjang tidak terpelihara membuat wajahnya tampak lebih garang dari biasanya. Kesatria Roh Jemputan berdiri dengan kaki merenggang, seperti biasa penampilannya tetap congkak. Hal ini membuat Sinuhun Merah merasa kurang senang. Di tangan kanan dia memegang Lentera Iblis.

"Kalian berdua, apa kalian sudah memeriksa keadaan delapan tanaman keramat?!" Sinuhun Merah bertanya.

Yang menjawab adalah Sinuhun Muda. "Sinuhun Merah, kau saksikan sendiri. Delapan tanaman telah menyembul dari dalam tanah."

Sinuhun Merah melirik ke arah delapan batu hitam. "Aku sudah menyaksikan. Yang aku ingin tahu apakah saatnya panen sudah dapat dilaksanakan? Keadaan di luar sana tidak menguntungkan pihak kita!"

"Sinuhun Merah, jika kau inginkan, panen bisa dilaksanakan sekarang juga!"

Sinuhun Merah pelintir ujung alis merah kiri kanan. "Memang harus dilakukan sekarang juga! Keadaan sudah sangat mendesak. Keadaan di luar sana tidak seperti yang aku harapkan."

"Bukankah Sinuhun telah berhasil menguasai Arwah Ketua di Candi Miring, pimpinan semua arwah di Bhumi Mataram?" Bertanya Sinuhun Muda sementara Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari memperhatikan dan mendengar pembicaraan kedua orang itu.

"Memang benar kita telah menguasai Arwah Ketua. Aku memasukkan Ketua Jin Seratus Perut Bumi ke dalam ujudnya untuk mengendalikan dirinya! Tapi sampai saat ini dia belum mampu menghabisi Kesatria Panggilan. Aku sekarang menugaskannya memburu Rauh Kalidathi yang tengah berusaha menyelamatkan Raja Mataram dan keluarga serta para pengikutnya ke satu tempat rahasia yang belum bisa aku ketahui. Aku menerapkan Ilmu Tanpa Mata Mengandalkan Penciuman untuk mengetahui kemana tujuan mereka. Tapi gagal karena Rauh Kalidathi nenek keparat itu telah lebih dulu menyirap keadaan dengan Ilmu Asap Biru Empat Mata Angin. Ada satu hal yang kurang menyenangkan dan membahayakan. Kumara Gandamayana yang telah dikunci dan dipendam di dalam tanah berhasil keluar. Pasti ada seseorang yang menolongnya."

"Satria Lonceng Dewa Mimba Purana?" Ujar Sinuhun Muda.

"Kurasa bukan dia. Ilmu yang dipergunakan untuk mengeluarkan Kumara Gandamayana dari dalam tanah merupakan satu ilmu sangat langka yang tidak dikenal di Bhumi Mataram."

"Berarti si penolong adalah mahluk panggilan keparat bernama Wiro Sableng itu!" Kata Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari.

"Bagus, kau bisa menduga. Apakah kau bisa mengetahui apa nama ilmu yang dipergunakan untuk menolong Kumara Gandamayana itu?"

Pangeran Matahari menggeleng. "Sulit untuk mengetahui kalau tidak melihat sendiri…"

"Kau mahluk alam roh. Seharusnya kau punya kemampuan untuk melihat ke dalam alam gaib." Tukas Sinuhun Muda.

"Kalau aku bisa mengetahui pasti sudah aku katakan pada kalian berdua!" Kata Pangeran Matahari pula yang membuat membuat jengkel dua Sinuhun.

Sinuhun Merah lantas berbisik pada saudara nyawa kembarannya. "Terus terang aku sudah sejak lama tidak menyukai mahluk satu ini. Dia tidak memberi pertolongan apa-apa pada kita…"

"Kita masih memerlukannya. Kita masih bisa memeras tenaga dan kesaktiannya. Jika sudah tidak berguna biar aku yang memecahkan kepalanya!" Jawab Sinuhun Muda dengan berbisik pula.

"Ada satu kabar buruk. Kesatria Panggilan berhasil membunuh Iblis Menjunjung Dupa Kematian Kesatu dan Ketiga. Aku mengutus mereka bersama Arwah Ketua untuk membunuh Kesatria itu. Memang sudah saatnya panen dilaksanakan! Kalian berdua harap berjaga-jaga. Segala hal yang tidak diharapkan bisa saja muncul tidak terduga!" Habis berkata begitu Sinuhun Merah Penghisap Arwah susun dua telapak tangan di atas kepala. Delapan jari menunjuk lurus ke langit, dua jari tengah ditekuk.

"Wusss!"

Delapan sinar merah berkiblat Saat itu juga tubuh Sinuhun Merah Penghisap Arwah melesat ke udara lalu turun mengambang di atas tonggak batu hitam yang penuh dengan kerumunan lalat hijau. Mulutnya berteriak keluarkan seruan.

"Mayat Kunci Bangkai Inti! Tabir Delapan Mayat! Saat panen sudah tiba. Aku Sinuhun Merah Penghisap Arwah datang menjemput kalian!"

"Wuuutt!”

Tonggak batu dibawah kaki Sinuhun Merah Penghisap Arwah amblas masuk ke dalam tanah. Ribuan lalat hijau beterbangan mengeluarkan suara menggidikkan membuat keadaaan di tempat itu untuk beberapa ketika menjadi gelap.

Bless! Bless! Bless!

Tujuh tonggak batu satu persatu meluncur kebawah dan akhirnya semua lenyap dari pandangan mata. Di tanah bekas delapan tonggak batu menancap kini kelihatan mahluk mengerikan berupa delapan mayat telanjang yang keadaannya membusuk jijik dan mengerikan. Dari liang mata, hidung, mulut dan telinga menggeliat keluar puluhan belatung yang juga berwarna hitam. Ribuan lalat hijau yang tadi berterbangan di udara melayang turun dan hinggap mengerumuni salah satu dari delapan mayat busuk lalu terbang lagi ke udara dan lenyap.

"Tabir Delapan Mayat! Melalui alam gaib aku sudah mamberitahu apa tugas kalian! Cepat ikuti aku"

Delapan mayat busuk dongakkan kepala. Mulut menyembur cairan hitam kepala digoyang membuat gerakan melingkar. Lalu... wuuut! Tubuh mereka berubah menjadi bayang-bayang samar dan membuat gerakan kilat membentuk tabir aneh berputar-putar. Lalu satu persatu melesat ke udara, lenyap dari pandangan mata meninggalkan berkas tabir samar aneh sepanjang belasan tombak, mengambang dari utara ke selatan.

SEPULUH

KAMI AJAK dulu pembaca pada apa yang terjadi dengan Ratu Randang yang dibawa terbang Jaka Pesolek meninggalkan Bukit Babi Hangus. Di langit lepas, sambil memanggul si nenek cantik kencang-kencang Jaka Pesolek bada henti keluarkan suara mendesah lalu tertawa cekikikan. Sepasang mata terkadang dipejamkan lalu dibuka lagi. Lidah berulang kali d ulur membasahi bibir. Nakalnya, sesekali dia pergunakan tangan kiri mengusap pantat Ratu Randang hingga si nenek memaki panjang pendeki. Sementara tangan kanan memegang Bunga Matahari yang dirampasnya dari Sakuntaladewi.

"Gadis salah ujud. Jangan kurang ajar! Kau mau membawaku kemana? Lepaskan! Turunkan aku atau kubuat bolong kepalamu!" Teriak Ratu Randang.

"Nenek cantik bertubuh molek. Jangan buru-buru marah. Apa kau tidak sadar kita senasib. Maksudku kita sedang sama-sama merana tapi sekaligus merasa nikmat Hik-hik. Aku tahu satu tempat yang bagus untuk kita berdua bersenang-senang…"

"Aku memang dikungkung gairah. Tapi jika kau mencoba-coba…" Meskipun ada kelainan di dalam dirinya, rupanya sinenek masih memiliki pikiran jernih.

Ratu Randang pentang lurus dua jari tangan kanan. Sinar biru memancar. Siap untuk menusukkan serangan Tombak Dewa Memancung Berhala. Jangankan kepala manusia, tembok besipun bisa jebol! Ilmu kesaktian inilah yang telah menghabisi riwayat Tiga Jerangkong Penebar Arwah, kaki tangan Sinuhun Merah Penghisap Arwah.

"Nek, kalau kau mau membunuhku maka aku tidak bisa membawamu turun ke tanah! Kita akan sama-sama hancur luluh amblas ke bumi. Tapi aku juga bisa secepat kilat membawamu kembali ke Bukit Batu Hangus. Kau akan diminta pertanggungan jawab atas perbuatan keji yang telah kau lakukan. Syukur-syukur Raja Mataram tidak menyuruh pengawalnya memenggal kepalamu!"

"Gertakan ayam kampung” jawab Ratu Randang lalu cibirkan bibirnya yang jontor. Dua jari tangan yang dipentang ke arah kepala Jaka Pesolek tampak bergetar. Cahaya biru memancar lebih terang pertanda serangan yang hendak dilancarkan si nenek mengandalkan tenaga dalam penuh.

Saat itu juga Jaka Pesolek merasa hawa sangat dingin memancar dari dua jari tangan si nenek. Tengkuknya jadi merinding. Si enek rupanya tidak main-main. Kecuali memiliki berbagai ilmu gerakan kilat dan mampu terbang laksana seekor burung besar serta ilmu menangkap petir. Jaka Pesolek memang tidak punya ilmu kepandaian lain yang namanya ilmu silat apa lagi segala macam Umu kesaktian.

"Aku belum mau mati! Jika kau tidak mau kuajak bersenang-senang tidak jadi apa!" Jaka Pesolek dengan cepat membuat gerakan aneh. Tubuhnya yang melesat di udara dan masih memanggul si nenek tampak jungkir balik berputar seperti titiran. Dengan cara begini dia mampu meredam kecepatan turun ke tanah hingga tidak celaka.

Dalam kedaan tubuh terputar begitu rupa Ratu Randang tidak mungkin meneruskan melancarkan serangan dua jari tangan. Takut terlepas jatuh ke tanah dari ketinggian lebih dari seratus tombak si nenek bergayut erat­-erat ke leher Jaka Pesolek. Tubuhnya dingin gemetaran.

Tiba-tiba Jaka Pesolek mencium bau tidak enak serta ada cairan hangat muncrat ke dada dan tengkuk serta membasahi pipinya sebelah kiri. Langsung dia berteriak sambil menggebuk pantat Ratu Randang.

"Nenek sialan! Kau ngompol mengencingi aku!"

Tidak terdengar jawaban si nenek. Jangan-jangan sudah pingsan! Menjelang belasan tombak kedua orang itu akan jatuh di atas satu pedataran yang banyak ditumbuhi pohon jati tiba-tiba dari arah barat bergemuruh tiupan angin. Begitu dahsyatnya hingga mengeluarkan suara mengerikan, membuat udara bergetar, bumi bergoncang. Ratusan pohon jati meliuk-iiuk. Ada yang kemudian terbongkar tumbang, banyak pula yang berpatahan. Sungai yang melintas di tengah pedataran airnya bergelombang menimbulkan arus luar biasa deras ke arah hilir.

"Badai di siang bolong" Teriak Jaka Pesolek. "Celaka! Aku mana mampu menangkap angin! Nek. celaka kita berdua”

Mendadak satu gelombang angin badai luar biasa hebat menghantam ke dua orang itu hingga bermentalan di udara, terpisah satu sama lain sejarak sepejangkauan kemudian melayang jatuh berbarengan ke bawah

"Byurrr! Byuur!"

Terdengar suara dua tubuh tercebur ke dalam air. Lalu sunyi karena saat itu badai yang melanda sudah melesat jauh ke kawasan lain. Kepala seseorang menyembul keluar dari dalam air. Megap-megap orang berseru.

"Nek. Aku masih hidup. Kau dimana Nek?" Orang yang berseru ternyata adalah si gadis berkumis Jaka Pesolek. Dia coba memperhatikan keadaan sekitarnya, berusaha mengetahui berada dimana namun tubuh dan kepalanya kembali tenggelam. Dua tangan menggapai-gapai. Tangan kanan masih memegang Bunga Matahari. Sebelum lenyap dari permukaan Jaka Pesolek kembali berteriak. 

"Nek, tolong! Aku tidak bisa berenang!"

Bleepp!

Kepala gadis berkumis halus itu lenyap dari permukaan air. Di bagian lain muncul pula satu kepala lagi. Kepala Ratu Randang. Si nenek megap-megap berusaha menarik nafas panjang. Tapi Karena bisa berenang maka dengan cepat dia menguasai diri hingga tidak kembali tenggelam. Selain itu dia juga sempat melihat dimana dia berada. Ternyata dia tadi jatuh ke dalam sebuah telaga yang cukup besar, berair sejuk berwarna hijau kebiruan.

Ketika Ratu Randang muncul di permukaan air, nenek ini tidak mendengar suara teriakan Jaka Pesolek. Namun dia masih sempat melihat Bunga Matahari yang dipegang gadis itu di tangan kanan sebelum lenyap tenggelam ke dalam air. Ratu Randang menunggu beberapa ketika. Sewaktu Jaka Pesolek tidak muncul-muncul maka nenek ini segera menyelam ke dalam air.

Tidak lama berselang Ratu Randang timbul lagi ke permukaan air. Kali ini sambil berenang dia mencekal leher pakaian Jaka Pesolek dan membawanya ke tepi telaga. Selamat sampai di tepi. Ratu Randang baringkan tubuh menelantang di tanah. Aneh, nafasnya tidak menyengat padahal berenang cukup jauh dan menarik Jaka Pesolek pula. Tubuhnya tidak terasa letih malah terasa sejuk dan nyaman. Rasa sakit akibat lebam di pipi dan mata juga lenyap Ketika si nenek memegang bibirnya ternyata bibir itu tidak jontor lagi!

Yang paling membuatnya jadi terkesiap adalah perasaan gairah yang membangkitkan nafsu selama beberapa waktu yang lalu saat itu juga lenyap! Otaknya jernih, pemandangan terang. Tangan tidak lagi mengusap atau memegang bagian bawah perut. Jika saja saat itu Ratu Randang bisa melihat wajahnya sendiri dia pasti akan terkejut besar. 

Bukan saja lebam di pipi serta matanya lenyap tapi wajahnya sekarang tampak lebih segar dan lebih muda. Dia juga tidak menyadari kalau goresan luka di badan dan kakinya telah hilang tanpa bekas. Selagi si nenek menduga-duga apa yang terjadi, di sampingnya sosok Jaka Pesolek menggeliat bergerak bangun dan duduk di tanah. Gadis ini pandangi tubuh dan pakaiannya yang basah kuyup, mengusap wajah dan rambut Lalu memperhatikan Ratu Randang yang terbaring kini dengan mata terpejam sambil terus berpikir dan menduga-duga.

"Heh…?" Jaka Pesolek terheran-heran. "Nenek satu ini. kenapa wajahnya jadi lebih muda dan tambah cantik?! Si gadis lalu goyang-goyang bahu Ratu Randang. "Nek, bangun. Kau pingsan atau ketiduran? Apa yang telah kau lakukan? Apa yang terjadi dengan wajahmu?"

Mendengar pertanyaan Jaka Pesolek. Ratu Randang serta merta buka sepasang mata julingnya yang terpicing lalu bangun dan duduk. Dua tangan mengusap wajah yang biasa berdandan mencorong, mulut bertanya. "Memangnya ada apa. Wajahku rusak hancur-hancuran?"

"Justru sebaliknya! Wajahmu kulihat jadi lebih muda. Pipimu licin Keriputan di pinggiran matamu tidak ada lagi. Rambutmu lebih hitam mengkilap…"

"Jaka Pesolek, kau jangan bergurau. Aku tahu bibirku jontor. Juga habis digebuki orang. Tampangku pasti babak belur. Bagaimana enak saja kau bisa bilang pipiku licin, aku tampak lebih muda…"

"Sumpah Nek! Sumpah. Aku tidak dusta. Kau jauh lebih cantik dari sebelumnya.

Ratu Randang tarik-tarik bibirnya lalu usap wajahnya berkail-kali. "Cermin!" ucap si nenek pula. "Aku tahu kau punya cermin. Coba keluarkan, aku mau melihat sendiri kalau kau tidak ngacok!"

Jaka Pesolek segera memeriksa ke balik pakaiannya. Wajahnya mendadak berubah. Lalu gadis ini terpekik.

"Ada apa? Anumu digigit semut rangrang?!" Tegur Ratu Randang. "Mana cerminmu?"

"Ampun! Cerminku lenyap. Juga kotak bedak, alat pemerah bibir, kayu penghitam alis. Hilang semua! Pasti jatuh di dalam telaga ketika aku kecebur! Oala. bagaimana nanti aku mau berdandan…"

"Itu tandanya kau memang tidak perlu berdandan. Kau ini laki-laki atau perempuan! Edan!"

Jaka Pesolek sesenggukan menahan tangis.

"Jangan cengeng pakai menangis segala!" Bentak Ratu Randang.

"Kau tidak tahu bagaimana perasaanku Nek."

"Siapa perduli perasaanmu!"

Jaka Pesolek pupus air matanya. Dia memandang berkeliling. "Nek, Nek. kita ada di mana?" Jaka Pesolek bertanya.

"Kau punya mata, lihat sendiri!"

"Aku tahu Nek. kita ada di pinggir telaga."

"Kalau sudah tahu mengapa masih bertanya?! Eh. Jaka, apa kau tidak sadar dan segera bersyukur berterima kasih pada Yang Maha Kuasa karena dirimu diselamatkan dari kematian mengerikan jatuh tercebur ke dalam telaga, bukan di atas tanah yang bisa membuat tubuhmu hancur remuk tak karuan!"

Apa kau sendiri sudah bersyukur dan berterima kasih pada Para Dewa Nek?" Tanya Jaka Pesolek.

"Tentu saja sudah" Jawab Ratu Randang pula.

Jaka Pesolek terdiam, lalu manggut-manggut dan picingkan mata. Mulut berkomat kamit. Agaknya dia tengah memanjatkan puji syukur pada Yang Maha Kuasa. Ratu Randang memperhatikan sambil senyum-senyum karena sebenarnya dia sendiri belum memanjatkan puji syukur terima kasih pada Yang Maha Kuasa. Ketika nenek ini hendak mulai melakukan hal itu dia merasa ada satu kelainan di wajah Jaka Pesolek. Dia terus menatap. Tiba-tiba Ratu Randang berteriak sambil menepuk bahu Jaka Pesolek. Jaka Pesolek tersentak dan buka sepasang mata.

"Kau ini apa-apaan Nek? Tadi kau menyuruh aku bersyukur dan berterima kasih pada Yang Maha Kuasa. Kini kau malah menggangguku."

"Dengar, aku bukan mengganggu, tapi…" Si nenek tidak meneruskan ucapan, malah tertawa cekikikan. "Wajahmu juga berubah!"

"Apa katamu Nek?" Jaka Pesolek sekarang yang terkejut. Seperti si nenek tadi kini giliran dia yang mengusap wajah. Hidung dipencet-pencet, bibir disentuh dan mata diusap. "Ada yang salah dengan wajahku Nek? Apa kulit wajahku beruntusan? Apa mukaku jadi peang? Atau mataku jadi juling seperti matamu?!"

Ratu Randang tertawa geli.

"Oala, kau malah tertawa!" Jaka Pesolek tambah khawatir. Dia berlari ke tepi telaga. Mendekatkan wajahnya ke air, namun dia tidak mungkin melihat jelas seperti orang bercermin. Gadis ini kembali mendatangi Ratu Randang. "Bilang Nek, apaku yang berubah?"

"Kumis halus di atas bibirmu itu, tahu!" Kata Ratu Randang.

"Oalal Celaka! Apa kumisku bertambah tebal?" Jaka Pesolek raba bagian atas bibir di bawah hidung.

"Bukan tambah tebal, tapi hilang semua!" Jawab Ratu Randang

Jaka Pesolek terpekik saking kagetnya. Bibirnya sebelah atas diusap berulang kali sementara mata nyalang tak berkesip dan kening mengerenyit. "Kau benar Nek, aku tidak merasa bulu-bulu halus itu. Bagaimana mungkin? Dewa Agung. Sekarang wajahku benar benar mulus. Tapi..." Mendadak muncul bayangan kekawatiran di wajah Jaka Pesolek. Dia memandang pada Ratu Randang. Setengah berbisik gadis ini berkata. "Nek, aku takut kalau bulu halus menyerupai kumis di bibirku lenyap secara aneh. jangan-jangan…"

"Jangan-jangan apa?" Tanya Ratu Randang meski dia sudah bisa menduga-duga apa yang dimaksud dan dikawatirkan Jaka Pesolek.

Jaka Pesolek perlahan-lahan singsingkan ke atas bagian bawah pakaian merah muda yang dikenakannya hingga pergeiangan kaki tersingkap lalu naik sampai ka betis dan lutut. “Nek… bulu kakiku juga lenyap," kata Jaka Pesolek kemudian.

"Ya, aku lihat. Lalu kau mau memeriksa bulu mana lagi?" Ratu Randang tidak dapat menahan tawa cekikikan.

Sedang Jaka Pesolek tampak semakin kawatir. Dia hendak menyingkapkan pakaian lebih ke atas namun memandang pada si nenek dia batalkan dan malah lari ke balik serumpunan semak belukar. Tak lama kemudian gadis itu keluar dari balik semak-semak, melangkah ka arah si nenek. Wajahnya tampak lega dan malah sudah bisa tersenyum­-senyum.

"Apa bulumu yang itu juga lenyap?" Tanya Ratu Randang.

"Tidak Nek, untung tidak lenyap," jawab Jaka Pesolek dengan suara dan raut wajah gembira lega lalu tertawa cekikan. "Ada satu hal lagi Nek. Mengapa diriku rasanya tidak bergairah lagi. Hai., mengapa mataku tidak meram melek lagi. Kemana lenyapnya kenikmatan itu. Oala…gairahku hilangi. Lihat" Jaka Pesolek kembangkan dua tangan ka atas. "Aku tidak lagi memegangi…hik…hik." Gadis itu hendak mengusap bagian bawah perutnya dengan tangan kanan tapi mendadak tangannya cepat-cepat ditarik. Jaka Pesolek lalu menatap Ratu Randang. "Nek. sebelumnya aku melihatmu sangat mempesona, membuat nafsuku meledak-ledak. Sekarang aku lihat kau tambah muda, tambah cantik. Tapi mengapa aku tidak lagi bergairah! Rasanya diriku lebih tenang!"

"Berarti kau juga mengalami seperti apa yang kejadian dengan diriku."

"Aku tidak mengerti…" Kata Jaka Pesolek sambil mengurut rambutnya yang basah agar kering.

"Secara aneh kita terlepas dari kualat gara-gara aku mengusapkan Bunga Matahari ke anunya Dewi Ular. Hai... Bunga Matahari itu! Waktu kecebur ke dalam telaga kau kulihat masih memegangi bunga sakti itu. Sekarang kemana perginya?"

Jaka Pesolek mengangkat bahu. "Sepertinya Ikut tenggelam ke dasar telaga bersama cermin dan bedakku."

"Jaka Pesolek, kita harus menyelidik. Kita sama-sama sembuh setelah kecebur dan keluar dari dalam telaga. Pasti semua ini kuasanya Para Dewa. Telaga apa ini namanya…"

"Aku juga Ingin sembuh Nek! Tiba-tiba ada suara perempuan berseru. Lalu satu benda hitam panjang berkilat bermoncong putih seolah melayang turun dari langit melesat masuk ke dalam air telaga.

“Astaga! Itu suara Dewi Ular!" Seru Ratu Randang. Si nenek dan Jaka Pesolek memandang ke arah pertengahan telaga dengan hati berdebar.

Tak selang berapa lama perlahan-lahan muncul sekuntum Bunga Matahari di permukaan air telaga yang hijau kebiruan. Lalu kelihatan tangan putih halus yang memegang tangkai bunga itu. Tak lama kemudian tampak kepala berambut hitam menyembul disusul wajah cantik.

"Wuuttt!"

Sosok perempuan di dalam telaga melesat keluar. Ketika melayang di udara sebagian tubuh sebelah bawah masih berbentuk ular hitam. Begitu sampai dan berdiri di tepi telaga di depan Jaka Pesolek dan Ratu Randang ujudnya berubah sempurna menjadi sosok seorang gadis cantik berpakaian tipis hijau basah kuyup. Dia memang Kunti Ambiri alias Dewi Ular.

Dewi Ular memandang tersenyum pada dua orang di depannya lalu goyang-goyangkan Bunga Matahari yang dipegangnya di tangan kanan. Ratu Randang dan Jaka Pesolek karuan saja sama-sama melompat mundur

“Jangan! Aku sudah kapok!" Berkata Ratu Randang.

"Aku.,. aku masih mau tapi sebaiknya jangan. Siksaan­nya lebih celaka dari pada nikmatnya!" Ucap Jaka Pesolek.

Dewi Ular tertawa cekikikan. "Sahabat muda, apakah kau juga sudah sembuh dari perasaan aneh itu?" Bertanya Ratu Randang.

"Kau lihat, apakah aku masih mendesah, wajah memelas dan tanganku memegangi bagian bawah perut?" Jawab Dewi Ular balik bertanya.

"Memang tidak," jawab Jaka Pesolek. "Kalau begitu sebaiknya Bunga Matahari itu cepat-cepat kau buang. Lempar saja ke dalam telaga! Aku kawatir kalau kalau kita salah lagi bertingkah untuk kedua kali. Kalau hal itu sampai terjadi pasti tidak ada ampunnya"

"Apa lagi saat ini pasti kau masih tidak pakai celana dalam" Menyambung Ratu Randang.

Ucapan Ratu Randang membuat Dewi Ular Ingat sesuatu dan ini membuat wajahnya berubah. Ketika si nenek mengusapkan Bunga Matahari ke bagian bawah perutnya, selain dirinya digerayangi nafsu dan hasrat yang bergejolak, keadaan auratnya juga berubah. Perubahan ini telah disaksikan sendiri oleh Sakuntaladewi dan gadis berkaki tunggal itu kemudian menceritakan pada Pendekar 212. Kini ingat akan keadaan dirinya itu, Dewi Ular tanpa malu-malu segera saja hendak memeriksa auratnya. Namun mendadak seperti ada gempa, tanah di pinggiran telaga bergetar. Pepohonan bergoyang-goyang, air telaga bergejolak. Lalu ada suara bergemuruh di dasar telaga.

"Celaka!" Berseru Ratu Randang. "Pasti kita kena kualat lagi. Jangan-jangan ada mahluk sakti atau jin putih di dalam telaga. Dia yang menolong kita. Tapi tidak suka kalau ada gadis tidak pakai celana berada di tempat ini!"

Mendengar ucapan Ratu Randang, Dewi Ular merengut jengkel.."Nek, jangan kau mengada-ada! Kalau memang ada mahluk sakti di dalam telaga yang tidak suka aku tidak pakai celana dalam, pasti sudah dari tadi tadi aku dicekik lalu dibenamkan kedasar telaga. Buktinya aku bisa keluar dari dalam telaga dan sembuh seperti kalian. Hanya saja aku tidak memastikan apakah auratku yang satu itu sudah kembali seperti semula. Bagaimana aku tahu kalau tidak memeriksa dan melihatnya lebih dulu"

Baru saja Dewi Ular berucap tiba-tiba byaarrr! Air telaga mencuat muncrat tinggi ke udara. Pepohonan di sekitar telaga bergoyang-goyang seolah ditiup angin kencang. Udara di sekitar tempat itu mendadak berubah dingin.

"Astaga! Lihat!" Berseru Dewi Ular sambil menunjuk ke tengah telaga.

Ratu Randang dan Jaka Pesolek menoleh ke arah yang ditunjuk Ratu Ular. Ketiga orang sama-sama terbelalak ternganga ketika menyaksikan di balik air yang muncrat ke atas sampai beberapa tombak, tampak menyeruak satu patung tinggi besar seolah keluar dari dasar telaga.

"Nek, kau benar" Kata Jaka Pesolek dengan suara gemetar. Telaga ini ada penghuninya! Pasti kita bertiga bakal kena celaka. Oala, kumisku pasti akan menjadi tebal lagi! Biar aku lari duluan!"

Jaka Pesolek yang memiliki gerakan seperti kilat segera berkelebat hendak meninggalkan tempat itu. Namun dess desss! Entah apa yang terjadi dua kakinya melesak masuk ke dalam tanah sampai mata kaki dan dia tidak mampu untuk menggerakkan lagi.

SEBELAS

PATUNG batu tinggi besar yang keluar dari dalam telaga ternyata adalah patung perempuan berwajah cantik, memiliki sepasang mata menawan yang menatap penuh kelembutan. Demikian bagusnya patung ini diciptakan sehingga sekilas kelihatan keadaannya seperti perempuan cantik hidup benaran.

Ratu Randang, satu-satunya orang yang mengenali patung siapa adanya yang muncul itu, cepat-cepat jatuhkan diri. berlutut satu kaki sambil rundukkan kepala.

"Nek, mengapa musti merunduk segala? Apa kau minta diselamatkan dan kami berdua saja yang bakal kena celaka?!" Bisik Jaka Pesolek.

Dewi Ular juga agak heran, apa lagi sang patung muncul secara aneh dari dalam telaga. Mungkin ada seorang sakti yang sembunyi di dalam patung, begitu pikir Dewi Ular.

“Sstt.. Walau cuma patung tapi kita harus berlaku hormat. Patung itu bukan patung sembarangan" Ratu Randang menyahuti ucapan Jaka Pesolek. Setelah itu dia berbisik pada Dewi Ular. "Kau sudah berkeliaran kemana­-mana, apa tidak tahu itu patung siapa? Patung itu pasti juga ada di negeri alam gaib asalmu. Negeri delapan ratus tahun mendatang." Lalu kepada patung perempuan di tengah telaga nenek bermata juling ini berkata.

"Nyi Loro Jonggrang. Salam hormat saya untukmu. Sungguh besar kuasa Para Dewa dan sungguh rendah hatimu tapi tinggi budi baikmu hingga mau datang ke tempat ini. Apakah Nyi Loro Jonggrang memang sengaja muncul untuk menemui kami bertiga? Kami tidak tahu kalau telaga ini adalah salah satu tempat tetirahan Nyi Loro Jonggrang. Bertemu denganmu kami merasa menerima berkah besar tiada taranya. Tapi jika kami memang telah berbuat salah, kami mohon maaf dan pengampunan diri mu."

Jaka Pesolek terkejut ketika mendengar Ratu Randang menyebut nama patung itu. Dia telah sering kali mendengar riwayat patung tersebut dan mengetahui dimana beradanya namun seumur hidup baru kali ini melihatnya. Kunti Ambiri alias Dewi Ular ternganga tercengang-cengang.

"Perempuan yang berlutut, aku terima salam hormatmu tapi aku tidak layak disembah. Bangkitlah.

Melihat dan mendengar patung batu bisa bicara, bahkan mulutnya tampak bergerak, ketiga orang di tepi telaga kagum ada takut juga ada. Sementara Ratu Randang cepat-cepat berdiri.

"Jangan-jangan aku benar-benar bakal kena hukuman. Setahuku Bunga Matahari itu pernah disirap dimanterai oleh Nyi Loro Jonggrang…" Ratu Randang membatin dalam hati lalu cepat-cepat berdiri.

"Perempuan yang telah berdiri, bukankah kau salah seorang kepercayaan Raja Mataram bernama Ratu Randang?"

Ratu Randang terkejut ketika patung bicara dan menyebutmengenali siapa dirinya. Cepat dia menjawab. "Nyi Loro Jonggrang. Kau benar. Saya memang Ratu Randang."

Dalam hati Ratu Randang mendadak merasa takut kalau-kalau sang patung akan memarahi dirinya karena telah mempermainkan Bunga Matahari sakti secara senonoh. Namun dia merasa lega ketika mendengar pertanyaan Nyi Loro Jonggrang.

"Bukankah kau yang pernah mengantarkan seorang pemuda dari negeri delapan ratus tahun mendatang bernama Wiro Sableng ke tempat kediamanku di Candi Siwa? Pemuda itu konon oleh orang-orang di Bhumi Mataram disebut dengan nama Kesatria Panggilan."

Ratu Randang menjawab sambil membungkuk. "Benar sekali Nyi Loro."

"Pemuda itu membawa sekuntum Bunga Matahari yang berasal dari seorang gadis malang bernama Sakuntaladewi…"

"Itu juga benar Nyi Loro," kata Ratu Randang pula.

"Dimana pemuda itu sekarang?" tanya patung Nyi Loro Jonggrang.

"Kami berpisah di Bukit Batu Hangus. Terus terang. gara-gara perbuatan saya yang tidak terpuji, akibat mempermainkan Bunga Matahari pemberian Nyi Loro saya dan beberapa sahabat bahkan termasuk Raja mendapat kualat Saya mohon maaf dan minta ampun."

"Aku sudah tahu apa yang terjadi, itu sebabnya aku muncul di sini. Kesalahanmu telah diampunkan Para Dewa karena satu kebajikan besar yang telah kau lakukan."

Ratu Randang terkejut dan berpikir-pikir. "Nyi Loro, saya merasa tidak melakukan kebajikan apa­-apa. Kapan di mana?"

"Ketika gadis bernama Jaka Pesolek itu hampir mati tenggelam di dalam telaga, kau telah menolong dan menyelamatkan nyawanya."

Ratu Randang berseru tertahan. Matanya berkaca-kaca. Langsung saja dia hendak jatuhkan diri berlutut tapi cepat dilarang oleh patung Loro Jonggrang.

Jaka Pesolek pegang lengan Ratu Randang. "Nek, kau memang telah menyelamatkan jiwaku. Aku belum berterima kasih. Sekarang aku mengucapkan terima kasih padamu…"

Ratu Randang tersenyum sambil usap air mata yang meleleh di pipi. Sementara patung Nyi Loro Jonggrang menatap ke tiga orang itu beberapa lama. Pandangannya berhenti pada wajah dan sosok Dewi Ular.

"Kalian bertiga, apakah kalian tahu telaga apa ini adanya dan apa namanya?"

Tiga orang yang ditanya sama-sama gelengkan kepala.

"Telaga ini bernama Telaga Banyu Raden. Diciptakan oleh Para Dewa bukan sebagai telaga biasa karena keberadaannya tidak selalu terlihat kasat mata. Di telaga ini, jika memang dikehendaki Para Dewa seseorang bisa menerima berkah, bagi kebaikan hati maupun kebaikan badaniah…"

“Telaga Banyu Raden…" Ucap Ratu Randang dengan suara perlahan bergetar. "Aku baru ingat sekarang!" Nenek cantik ini terpekik kecil lalu usap wajah dan tubuhnya.

Jaka Pesolek terperanjat lalu merangkul Ratu Randang seraya berbisik. "Pantas Nek, mukamu jadi cantik, lebih muda dan auratmu tampak tambah kencang. Aku sendiri telah kehilangan bulu-bulu halus di kaki dan di atas bibirku. Ini memang berkah besar bagi kita berdua…"

Ratu Randang dan Jaka Pesolek lalu sama-sama membungkuk ke arah patung Loro Jonggrang sementara Dewi Ular hanya berdiri tegak sambil mengusap-usap Bunga Matahari. Dia seolah merasa tidak menerima berkah dan merasa tidak diperhatikan. Nyi Loro Jonggrang kemudian menyapa gadis cantik berpakaian tipis hijau ini

"Sahabat, gadis cantik dari negeri delapan ratus tahun mendatang. Siapa namamu?"

"Namaku Kunti Ambiri." Jawab Dewi Ular menyebut nama aslinya.

"Ketika masuk ke dalam telaga, sosokmu berupa seekor ular hitam berkepala putih…”

"Ah, patung sakti ini tahu rupanya bagaimana ujudku, membatin Dewi Ular. Lalu dia berkata menjawab ucapan Nyi Loro Jonggrang. "Selama ini diriku memang dijuluki Dewi Ular. Aku mahluk alam roh yang punya dua ujud. Ular dan manusia."

“Siapapun dirimu adanya, jangan bersedih. Ketahuilah tanpa kau sadari kaupun telah mendapat berkah jauh lebih besar dari pada dua sahabatmu ini. Keadaan auratmu telah kembali seperti semula. Namun perubahan badanlah tidak ada artinya dibanding dengan perubahan yang terjadi dalam hati sanubari serta budi pekertimu."

Kunti Ambiri alias Dewi Ular terkejut. Kening mengerenyit mata menyipit. Dia meraba ke bagian bawah perut. "Nyi Loro, apa aku boleh melihatnya sendiri sekarang…?" Enak saja Dewi Ular balikkan badan lalu hendak menyingkapkan bagian bawah pakaiannya.

Nyi Loro Jonggrang tersenyum dan berkata. "Tidak usah dilakukan sekarang. Nanti saja karena waktuku tidak lama."

"Nyi Loro, tadi kau mengatakan bahwa terjadi perubahan dalam hati sanubari dan budi pekertiku. Apa maksud Nyi Loro?" Dewi Ular bertanya.

"Kau telah berubah sifat. Dari seorang gadis cantik yang dulu ditakuti karena kehebatan ilmu kesaktiannya, kini akan menjadi sahabat semua orang. Tidakkah kau merasa kelegaan di rongga dada dan kesejukan di lubuk hati…"

"Nyi Loro, harap Nyi Loro berterus terang saja. Maksud Nyi Loro dulu aku seorang jahat sekarang berubah jadi orang baik?" Tanya Dewi Ular dengan sepasang mata menatap patung Nyi Loro Jonggrang tak berkesip.

Ketika sang patung kedipkan mata dan anggukkan kepala. Dewi Ular terpekik gembira. Masih memegang Bunga Matahari di tangan kanan dia langsung mencebur masuk ke dalam telaga dan merangkul serta menciumi dua kaki Nyi Loro Jonggrang. Setelah mengusap kepala Dewi Ular. Nyi Loro Jonggrang meminta gadis alam gaib itu kembali ke tepi telaga. Dewi Ular cepat melakukan apa yang dikatakan.

(Riwayat Telaga Banyu Raden sebagai telaga yang memiliki kesaktian dapat dibaca juga dalam episode sebelumnya berjudul Dewi Kaki Tunggal. Diceritakan bagaimana sekujur tubuh Pangeran Matahari yang di Bhumi Mataram dikenal dengan julukan Kesatria Roh Jemputan gosong babak belur dihantam Pukulan Sinar Matahari Pendekar 212. Sebelumnya Pangeran Matahari telah pula dihajar oleh Kumara Gandamayana hingga tercebur masuk ke dalam comberan busuk. Ketika bertarung melawan Dewi Kaki Tunggal Pangeran Matahari dipecundangi dengan Ilmu Enam Belas Gerakan Tangan Bisu. Akibatnya sepasang mata sang Pangeran terbongkar keluar nyaris lepas. Sinuhun Merah Penghisap Arwah kemudian membawa Pangeran Matahari ke Telaga Banyu Raden Setelah dimandi dibersihkan keadaannya kembali pulih seperti sebelumnya)

"Nyi Loro Jonggrang." Ratu Randang berkata. "Ketika aku berbuat tidak senonoh, bukan saja kami bertiga yang kena kualat hukuman, tapi Raja Mataram juga menderita hal yang sama gara-gara aku mengusapkan Bunga Matahari ke aurat Raja Apakah apakah Nyi Loro juga bisa dan bersedia menolong beliau…"

"Ratu Randang, kau tidak usah mengawatirkan keadaan Yang Mulia Raja Mataram. Kuasa dan pertolongan Yang Maha Kuasa tidak terbatas pada tempat dan waktu. Walau Raja Mataram tidak masuk ke dalam telaga Banyu Raden namun saat ini Raja juga telah sembuh dari semua kesengsaraan yang di alami…"

"Terima kasih Nyi Loro, terima kasih…" Ucap Ratu Randang berulang kali sambil membungkuk.

"Kalian bertiga. Bhumi Mataram masih dalam cengkeraman bahaya. Manusia dan mahluk-mahluk jahat yang mencelakai negeri ini masih berkeliaran." Patung Nyi Loro Jonggrang berucap. Sepasang matanya yang bagus menatap ke arah Bunga Matahari di tangan kanan Dewi Ular. Tiba-tiba dari dua mata itu mencuat keluar beberapa larik cahaya putih.

"Crass… crass!"

Dewi Ular terkejut. Bunga Matahari besar di tangan kanan Dewi Ular terbelah delapan dan masing-masing belahan berubah menjadi delapan Bunga Matahari sekecil dan seujung ibu jari tangan.

"Sahabat bertiga, kalian segeralah pergi ke Candi Kalasan. Dan kau Kunti Ambiri, jika kau bertemu dengan Kesatria Panggilan Wiro Sableng, berikan delapan Bunga Matahari kecil itu padanya. Lalu jangan lupa menyampaikan ucap pesanku ini padanya. Di dalam bilangan delapan ada satu yang tidak asli. Yang busuk itulah yang harus mati. Jangan terlalu mengandalkan ilmu atau senjata sakti. Pergunakan akal untuk mencari bukti. Bunga sekuntum bisa menjadi alat pemati. Apa kalian bisa saling mengingat ucapanku tadi dan menyampaikannya pada Kesatria Panggilan?"

"Kami akan ingat baik-baik. Nyi Loro," kata Dewi Ular sambil memandang pada Ratu Randang dan Jaka Pesolek. Kedua orang sama anggukkan kepala.

"Kalau begitu baiklah. Aku pergi sekarang. Selamat tinggal. Semoga Yang Maha Kuasa melindungi dan menolong sahabat bertiga!"

Begitu Nyi Loro Jonggrang selesai berucap di udara nampak air mencurah ke bawah. Dengan mengeluarkan suara menderu sosok patung tinggi besar Nyi Loro Jonggrang melesat masuk ke dalam air telaga, lenyap dari pemandangan. Tiga orang di tepi telaga menarik nafas lega.

"Nek," tiba-tiba Jaka Pesolek berkata "Wajahmu memang tambah cantik dan tubuhmu tambah kencang seperti gadis saja. Tapi tadi mengapa kau tidak minta pada Nyi Loro Jonggrang agar matamu yang juling disembuhkan?"

"Kau ini bicara memberi nasihat atau mengejek?!" Tukas Ratu Randang. Lalu dia membalas. "Kau sendiri mengapa tidak minta agar anumu ditambah satu agar kau benar-benar jantan bisa betina bisa!" Ratu Randang mencibir.

Jaka Pesolek hendak membalas lagi ucapan si nenek. Tapi tiba-tiba ada orang berseru keras disusul suara tawa girang cekikikan.

“Itu suara Kunti Ambiri" Kata Jaka Pesolek.

"Aku lihat tadi dia lari ke balik pohon besar sana sambil menyingsing pakaian. Pasti tengah memeriksa keadaan dirinya"

Dari balik pohon tiba-tiba terdengar suara Dewi Ular berseru. “Ihhh! Mengapa jadi rimbun! Oala mengapa jadi gempal montok. Terima kasih Nyi Loro! Terima kasih Telaga Banyu Raden IHk. hik. hik!"

Sementara Ratu Randang mendatangi Dewi Ular di balik pohon, Jaka Pesolek tak sengaja melihat sesuatu di balik satu gundukan batu. Gadis ini segera melangkah cepat ke balik batu. Matanya membesar dan dadanya berdebar ketika di tanah dia melihat tiga buah benda tergeletak. Benda pertama sebuah cermin baru bulat bergagang kecil.

"Cermin! Oh Dewa Agung! Ini pasti hadiah dari patung sakti Nyi Loro Jonggrang!"

Jaka Pesolek membungkuk berulang kali laki mengambil cermin itu. Setelah memperhatikan wajahnya di cermin dan ternyata memang bulu halus di atas bibir tidak ada lagi. girangnya si gadis bukan alang kepalang. Cermin disimpan di balik pakaian. Benda kedua adalah sebuah kotak kecil terbuat dari perak. Dengan dada semakin berdebar bahkan tangan gemetar Jaka Pesolek mengambil kotak perak. Ketika kotak dibuka dia terpekik kecil. Di dalam kotak ternyata terdapat perlengkapan untuk bersolek. Mulai dari bedak, kayu pemerah bibir dan kayu penebal penghitam alis!

Jaka Pesolek jatuhkan diri berlutut. "Dewa Agung Nyi Loro Jonggrang, aku Jaka Pesolek menghaturkan ribuan terima kasih Hidupku selama ini banyak tidak karuan salah jalan dan penuh dosa Tapi Dewa Agung dan Nyi Loro masih mau berbaik hati memberikan semua ini padaku…"

Ketika membungkuk penuh khidmat Jaka Pesolek melihat benda ketiga. Seperti cermin, kotak bedak segera disusupkan ke balik pakaian. Lalu dia melangkah mendekati benda ke tiga yang ternyata adalah sehelai celana dalam perempuan, terbuat dari kain halus berwarna merah muda dan pinggirannya dihias renda putih.

"Oala bagusnya! Cocok dengan pakaianku yang juga merah muda!" ucap Jaka Pesolek. "Ini pasti untukku juga! Ketika dia mengambil dan mengelus-elus celana dalam itu sepintas hatinya membatin. "Jangan-jangan celana ini diberikan Nyi Loro Jonggrang untuk Dewi Ular. Ah, biar saja! Aku pakai saja! Dewi Ular tidak melihat, tidak tahu kalau ada rejeki bagus begini rupa"

Lalu Jaka Pesolek cepat-cepat tanggalkan celana dalam yang dikenakannya, celana merah muda baru dipakai sebagai pengganti. Celana dalam miliknya yang berwarna putih dibentang di pinggiran batu. Setelah merapikan pakaiannya, gadis ini berteriak. "Sahabatku Kunti Ambiri! Cepat ke sini! Nyi Loro meninggalkan hadiah bagus untukmu!"

Dari balik pohon Dewi Ular keluar diikuti Ratu Randang. Jaka Pesolek menunjuk pada celana dalam putih di atas batu. "Lihat bagaimana baiknya Nyi Loro. Dia tahu kau tidak punya celana dalam. Lantas dia memberikan celana itu!" Jaka Pesolek menunjuk pada celana dalam putih di pinggiran batu.

Dewi Ular segera mengambil celana dalam putih itu. Memperhatikan dengan seksama. Lalu dia berucap. "Kalau yang memberikan memang Nyi Loro mengapa yang seperti ini? Celana ini lecak dan jelas tidak baru!"

Ratu Randang mengambil celana itu lalu di dekatkan ke hidung. "Edan! Celana bau pesing! Ini pasti celana bekas!" Si nenek melotot, menatap ke arah Jaka Pesolek.

Dewi Ular juga delikkan sepasang mata. Lalu berkata. "Jaka Pesolek, katakan ini celana dalam siapa sebenarnya. Sambil berkata Dewi Ular angkat tangan kanan siap menggebuk.

Ratu Randang mendengus. "Jaka Pesolek. Jawab pertanyaan Kunti Ambiri! Jangan berani berdusta! Si nenek juga mengangkat tangan kiri, mengancam si gadis.

Wajah Jaka Pesolek menjadi pucat Sikapnya gugup. "Aku… aku…" Ucap jawaban gagap. Tiba-tiba gadis ini balikkan diri lalu lari menjauh sambil tertawa cekikikan. "Kunti Ambiri! Celana baru pemberian Nyi Loro Jonggrang sudah kupakai. Mungkin itu memang untukmu. Tapi biar aku memakainya barang sehari dua hari. Nanti aku berikan padamu!"

"Kurang ajar" Dewi Ular memaki marah.

Ratu Randang kucai kucai celana bekas milik Jaka Pesolek lalu dibanting ke tanah. "Liat saja! Nanti dia yang tidak bakal pakai celana dalam Kunti. ayo kita kejar dia!"

"Aku akan menelanjangi dirinya. Biar dia tahu rasa" Kata Dewi Ular lalu melompat mengejar ke arah larinya Jaka Pesolek.

"Jangan! Jangan d telanjangi. Itu memang maunya!" Sahut Ratu Randang lalu tertawa bergelak.

DUA BELAS

SAKUNTALADEWI merasa peti mati melayang turun. Gadis yang berada dalam keadaan kaku tak bisa bergerak tak mampu bersuara akibat sirapan Ilmu kesaktian Empat Mayat Aneh ini ingin sekali mengintai lewat jendela kecil di dinding kiri kanan peti mati.

"Aku yakin orang mau berbuat jahat! Kalau tidak mengapa diriku dibuat seperti ini!" Kata Sakuntaladewi dalam hati. Tiba-tiba ada empat kali ketukan di kayu penutup peti. Lalu empat sinar muncul menyapu tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki. Sakuntaladewi menggeliat Aneh, mendadak saja sekarang dia mampu bergerak. Dia hendak berteriak. Tapi suaranya tidak keluar. Ternyata jalan suaranya masih dikunci orang!

Cepat-cepat gadis berkaki satu ini merangkak mendekati salah satu jendela kecil di dinding kiri peti lalu mengintai keluar. Mula-mula dia hanya melihat kerimbunan hijau daun-daun pepohonan. Lalu ada satu sungai kecil di kejauhan. Kemudian matanya membentur sebuah bangunan candi yang sebenarnya sangat indah namun tampak kusam, sebagian tertutup lumut karena tidak terawat.

"Candi Kalasan…" Ucap Sakuntaladewi dalam hati. Gadis ini masih heran dan terus bertanya-tanya mengapa Empat Mayat Aneh membawanya ke candi tersebut. Dikatakan hendak menemui seseorang. Seseorang siapa? Apakah orang itu penghuni candi? Setahu Sakuntaladewi candi itu tidak ada yang mendiami. Orang baru datang ke candi dan bermalam di sana bilamana ada perayaan keagamaan.

Selagi asyik memperhatikan keadaan di luar sana sementara peti mati melayang semakin rendah siap mencapai dan menyentuh tanah tiba-tiba satu kaki dibalut gulungan kain putih menjuntai di depan jendela menghalangi pandangan si gadis. Pasti salah satu kaki dari Empat Mayat Aneh. Tidak pikir panjang Sakuntaladewi cepat menarik kaki itu kuat-kuat hingga yang ditarik berteriak kaget dan terjungkal jatuh bergedebuk di tanah. Untungnya saat itu peti mati hanya tinggal satu tombak dari tanah hingga yang terbanting tidak cidera. Yang kakinya ditarik oleh Sakuntaladewi ternyata Mayat Aneh Keempat. Mayat Aneh Keempat berdiri sambil dua tangan pegangi bagian bawah perut.

"Dewi Kaki Tunggal, untung kakiku yang kau tarik. Kalau sampai kau menarik…"

Tiga Mayat Aneh lainnya melompat dan atas peti. Mayat Aneh Kedua membentak Mayat Aneh Keempat. "Pelihara mulut hanya bicara kebaikan!"

Mayat Aneh Kedua berkata. "Kita sudah sampai. Sebaiknya kita keluarkan gadis itu dan diantar ke dalam candi. Orang tua itu pasti sudah menunggu sejak lama"

Tiga Mayat Aneh lainnya mengangguk. Mereka melangkah mendekati peti lalu sama-sama membuka penutup peti. Begitu penutup peti tersingkap lebar dan mereka melihat ke dalam peti. kaget Empat Mayat Aneh bukan alang kepalang. Sampai-sampai mereka keluarkan seruan tertahan.

"Celaka Apa yang terjad!" Mayat Aneh Kesatu berteriak.

"Mana mungkin! Mana mungkin bisa kejadian seperti ini!" Mayat Aneh Ketiga Ikut berseru.

Empat pasang mata mendelik besar memperhatikan bagian bawah peti mati yang papannya telah terlihat dalam keadaan jebol seperti habis dibongkar. Sosok Sukantaladewi sama sekali tidak ada lagi di dalam peti!

"Geser peti! Cepat!" Teriak Mayat Aneh Keempat. 

Empat Mayat Aneh lalu mendorong peti mati hingga mereka bisa menyaksikan tanah yang sebelumnya berada di bawah peti mati. Tanah itu dalam keadaan rata. Tidak ada lobang, bahkan sedikit goresanpun tidak kelihatan!

"Kalau tidak ada lobang, kemana gadis tadi perginya?!" Berkata Mayat Aneh Kesatu sambil jitak-jitak keningnya sendiri.

"Kalian berdua coba periksa ke dalam candi. Mungkin gadis itu sudah ada di sana menemui si orang tua!" Berkata Mayat Aneh Keempat pada Mayat Aneh Kedua dan Ketiga.

"Mana mungkin begitu. Dia tidak tahu mau dipertemukan dengan siapa. Aku khawatir dia sudah diculik Sihuhun Merah" Menjawab Mayat Aneh Kedua.

Kalau kalian tidak mau menyelidik biar aku masuk sendiri ke dalam candi! Kalau terjadi apa-apa dengan gadis itu kalian bertiga punya tanggung jawab!"

Mayat Aneh Keempat Uru meleset memasuki pintu depan candi yang di atasnya ada Lengkung Kala Makara. Baik Mayat Aneh Keempat maupun tiga saudaranya sama sekali tidak memperhatikan kalau dari sepasang mata kepala patung pipih hiasan pada lengkungan pintu memancar keluar asap tipis kehitaman. Setelah cukup lama menunggu Mayat Aneh Keempat masih belum keluar dari dalam candi tiga Mayat Aneh lainnya mulai gelisah.

"Kita harus sama-sama memeriksa masuk ke dalam candi sekarang juga! Aku punya firasat tidak enak" Kata Mayat Aneh Kedua.

Dua saudaranya menyetujui. Namun belum sempat bergerak tiba-tiba di dalam candi terdengar suara jeritan keras. Lalu... wuuttt! Satu sosok putih melesat keluar dari pintu candi dan braaak! Sosok itu terkapar di halaman depan candi.

"Saudara Keempat!" Teriak tiga Mayat Aneh ketika melihat yang tergeletak di tanah adalah saudara mereka Mayat Aneh Keempat! Gulungan kain putih yang menyelubungi sekujur tubuh dan kepala tampak hitam dan mengepul. Sosoknya mengeluarkan bau sangat busuk.

"Katakan apa yang terjadi?!" Kata Mayat Anah Ketiga.

"Siapa yang menciderai dan melempar dirimu begini rupa?!" Mayat Aneh Kedua bertanya.

Lalu Mayat Aneh Kesatu susul bicara. "Apa kau menemui gadis berkaki satu itu di dalam candi?!"

Mayat Aneh Keempat membuka mulut. Tapi tidak ada suara yang keluar. Malah dari mulut itu menyembur darah kental merah. Mayat Aneh Keempat keluarkan suara mengerang. Sepasang mata mendelik. Tangan kiri memegang bagian bawah perut tangan kanan coba diangkat menggapai-gapai lalu menunjuk ke arah candi.

"Ada mahluk jahat mencelakai Mayat Keempat" teriak Mayat Kesatu marah.

“Tangkap mahluk itu dengan Ilmu Memintal Kain Menjirat Arwah” Teriak Mayat Aneh Ketiga.

Bersama dua saudaranya Mayat Aneh Ketiga ulurkan tangan kiri kanan ke arah pintu candi.

"Srettt sreet Wuuuttt!"

Gulungan kain putih pada dua tangan tiga Mayat Aneh membuntal membuka Disertai kilauan cahaya putih buntalan kain melesat masuk ke dalam candi lewat pintu depan laksana enam anak panah lepas dari busurnya!

Di dalam candi mendadak terdengar suara teriakan-teriakan aneh. Lalu satu gelombang angin busuk bersinar kehitaman menerpa keluar candi menghantam tiga Mayat Aneh.

"Bahaya besar. Tarik gulungan!" Teriak Mayat Aneh Ketiga.

Enam larik gulungan sinar putih yang tadi menembus masuk ke dalam candi kini membuntal membalik dan... sreett. Gulungan kain berhasil kembali ke lengan tiga Mayat Aneh. Namun ketiganya mencelat mental akibat sambaran asap kehitaman menghantam tubuh mereka!

Di saat yang bersamaan halaman depan Candi Kilasan telah dibuncah oleh bau luar biasa busuk. Tiga Mayat Aneh yang tengah megap-megap menahan sakit akibat hantaman asap hitam kini mendadak diserang rasa mual amat sangat. Isi perut mereka seperti jungkir balik, hidung seolah mau tanggal, pemandangan berkunang dan kepala laksana mau pecah. Wajah mereka yang tidak tertutup kain putih tampak hitam pekat

“Tutup jalan nafas! Bersihkan diri dengan Ilmu Menguras Racun Menumpas Bisa" Berteriak Mayat Aneh Kedua.

Tiga Mayat Aneh rangkapkan dua tangan di depan dada. Lalu... wuttt! Tubuh mereka melesat satu tombak ke udara, berputar kembali ke tanah dengan kepala lebih dulu

"Dess! Dess! Dess!"

Kepala tiga Mayat Aneh menempel di tanah. Tubuh bergetar hebat lalu memancarkan cahaya kehitaman dan mengepul. Perlahan-lahan wajah yang hitam kembali berubah putih pucat

"Gadis kaki satu itu tidak ditemui. Orang tua yang meminta kita membawanya kesini juga tidak muncul! Kita benar-benar sudah tertipu!" Mayat Aneh Kedua berteriak marah.

"Kita masih bisa selamat tapi bagaimana saudara Keempat?!" Berkata Mayat Aneh Kesatu sambil membalikkan tubuh, kembali berdiri di atas dua kaki.

Tiga Mayat Aneh capat mendatangi Mayat Aneh Keempat yang masih tergeletak di tanah dalam keadaan megap-megap dan wajah bersimbah darah.

"Membendung Darah Menyerap Racun!" Mayat Aneh Ketiga berseru menyebut nama Ilmu kesaktian sambil kembangkan telapak tangan di atas dada. Mayat Aneh Keempat dan Dua saudaranya segera melakukan hal yang sama. Dari telapak tangan itu memancar cahaya putih mengandung tenaga menyedot yang dahsyat. Namun sebelum Mayat Aneh Keempat sempat ditolong tiba-tiba ada suara berseru.

"Salah satu dari kalian sudah pantas menjadi tumbal kembali ke alam roh"

"Wusss!"

Dari dalam candi melesat keluar satu larikan cahaya putih berbentuk tabir melingkar disertai menerpanya hawa luar biasa busuk. Di balik tabir tampak delapan sosok samar hitam membentuk mahluk aneh telanjang mengerikan! Sementara itu bau busuk semakin menggila menjadi-jadi.

“Tabir Delapan Mayat”. Teriak Mayat Aneh Ketiga, Kedua dan Kesatu berbarangan. Di tanah Mayat Aneh Keempat keluarkan suara raungan keras, melejang-lejang beberapa kali lalu diam tak bergeming lagi.

MELIHAT apa yang terjadi dengan saudaranya, tiga Mayat Aneh ikut meraung keras lalu serentak pukulkan dua tangan ditujukan pada delapan sosok hitam dibalik tabir. Enam larik sinar putih menyambar ke arah delapan sosok hitam. Tabir menguak, delapan sosok hitam angkat dua tangan ke atas lalu mulut meniup.

“Wusss!"

Enam cahaya putih musnah. Tiga Mayat Aneh terpental jungkir balik, jatuh tumpang tindih di tanah. Tubuh mengepul asap hitam dan baui Mayat Aneh Ketiga yang berada di sebelah bawah berkata megap-megap.

“Tabir Delapan Mayat!" Sesuai suratan kita tidak mungkin menghadapi mereka. Lebih baik lekas pergi dari sini. Bawa Mayat Aneh Keempat" Mayat Aneh Ketiga berkata sambil berusaha keluar dari himpitan dua saudaranya.

Delapan sosok hitam busuk serentak melompat keluar dari balik tabir. Keadaan mereka benar-benar mengerikan dan menjijikkan. Tubuh hitam telanjang membusuk seperti leleh. Dari rongga mata, lobang hidung, mulut dan telinga bergel atan puluhan belatung hitam, lalu ada suara tapi tidak tahu yang mana yang bicara diantara mereka.

"Kalian mau kabur?! Enak saja! Sebelum kalian kami kirim ke alam roh untuk selama-lamanya jawab dulu pertanyaan kami! Mana gadis berkaki satu yang kalian bawa ke sini dalam peti mau?!"

Tiga Mayat Aneh saling pandang dan kedipkan mata. Mereka sendiri sebenarnya tidak tahu kemana lenyapnya Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal. Mayat Aneh Kesatu tiba-tiba menunjuk ke langit Delapan mayat busuk dongakkan kepala memandang ke langit.

Mayat Aneh Kedua tudingkan ibu jari ke tanah. Delapan mayat busuk tundukkan kepala, menatap ke tanah. Mayat Aneh ketiga perlahan-lahan tekan dan putar tumit kanan ke tanah. Getaran menjalar ke arah peti mati. Peti bergetar, bagian bawah peti pancarkan cahaya hitam kecoklatan. Tiga Mayat Aneh tiba-tiba membuat gerakan berputar. Gulungan kain putih melesat ke udara, mengeluarkan suara bising dan menutup pemandangan. Satu gulungan menyambar ke arah sosok Mayat Aneh Keempat yang tergeletak di tanah lalu wuutt! Sosok itu melesat ke udara, masuk ke dalam peti mati. Tiga Mayat Aneh menyusul metompat masuk ke dalam peti.

"Pertanyaan kami belum dijawab. Kalian mau kabur kemana?! Kalian mayat-mayat kesasar tidak layak berkeliaran lebih lama di Bhuml Mataram!"

Salah satu dari mayat busuk berteriak sambil menunjuk. Tujuh lainnya ikut menunjuk. Di lain kejap delapan larik cahaya hitam menyambar ke arah peti mati, siap menghancurkan pati yang hendak dipargunakan Tiga Mayat Aneh untuk menyelamatkan diri bersama Mayat Aneh Keempat.

"Delapan Telunjuk Arwah Busuk" Teriak Mayat Aneh Kesatu yang mengenali serangan ilmu jahat yang tengah dilancarkan Delapan Mayat busuk.

Bersama dua saudaranya dia bukan saja tidak berani meneruskan masuk ke dalam pati mati tapi juga sama-sama berseru tegang karena saudara mereka yang keempat telah berada di dalam pati yang siap dihancurkan Delapan Mayat Busuk. Sekejapan lagi peti mati akan hancur musnah berkeping-keping lalu leleh tiba-tiba dari dalam peti menyembul keluar sosok Mayat Aneh Keempat Kepala agak tergontai miring ke kiri tapi dua tangan terpentang ke depan.

Dua tangan ini memancarkan cahaya perak menyilaukan, menebar hawa luar biasa panas dan menderu. Hawa panas luar biasa menebar menyongsong datangnya serangan Delapan Terunjuk Arwah Busuk.

"Ajaib di atas ajaib! Apakah saudara kita Keempat hidup kembali? Lalu bagaimana dia bisa melancarkan serangan balasan begitu rupa? ilmu kesaktian apa itu?! Aku…" Yang berteriak adalah Mayat Aneh Ketiga. Dua saudaranya ikut melengak heran.

Lapat lapat mendadak ada orang berteriak. "Weehhhh! Ternyata Candi Kalasan ada petirnya! Baru tahu aku Disiang bolong pula! Kalian berdua tunggu di sini. Aku mau melihat lebih dekat!"

Orang yang barusan berteriak dibentak oleh seorang lain. "Jangan tolol! Kalau kau mau mampus silahkan saja melompat ke sana!"

Belum selesai Mayat Aneh Ketiga berteriak, dua larik cahaya putih perak berkilau sudah saling berhantaman dengan delapan sinar busuk. Langit laksana runtuh. Tanah seperti dhjoncang gempa. Peti mati hitam berderak-derak. Sosok Mayat Aneh Keempat lenyap. Mayat Aneh Kesatu, Kedua dan Ketiga jatuh bergelimpangan di tanah.

Delapan Mayat busuk melompat mundur ke balik tabir hitam. Pandangan mata membabak dipenuhi belatung liar. Delapan tenggorokan mengeluarkan suara menggeram Salah satu dari mereka bicara dengan suara bergetar.

"Sinuhun Merah! Kau mengatakan kami adalah segala­-galanya! Ternyata saat ini Tabir Delapan Mayat menghadapi kekuatan yang tidak bisa dimusnahkan!"

“Tabir Delapan Mayat!" Tiba-tiba ada suara berucap datang dari kejauhan mengiang di telinga Delapan Mayat busuk. "Jangan kalian berkecil hati! Kalian tetap merupakan mahluk yang tidak akan terkalahkan. Kalian tidak mengalami cidera sedikitpun. Tapi mahluk yang barusan menyerangmu saat ini berada dalam keadaan terluka di dalam! Jangan berkecil hati! Pantang kecewa dan putus asa. Saat ini ada tugas lain lebih penting yang harus kau lakukan. Tugasmu di sini sudah ada yang mewakili! Lekas ikuti aku!"

Mendengar suara mengiang itu Delapan Mayat busuk bergerak mundur dua langkah lalu berkelebat cepat membuat lingkaran. Tabir hitam tipis bergulung membuntal

"Wusss!"

Tabir Delapan Mayat melesat ke udara, lenyap dari pemandangan. Masih dalam keadaan tegang, tiga Mayat Aneh mendekati peti mati untuk melihat keadaan saudara mereka Mayat Aneh Keempat. Tiba-tiba dari dalam peti mati muncul keluar sosok seorang pemuda berikat kepala putih berpakaian putih. Rambut panjang menjulai sebahu. Mulut menyeringai tapi ada lelehan darah di sela bibir pertanda dia menderita luka dalam. Tangan kiri diangkat hendak menggaruk kepala namun belum tersentuh tiba-tiba lututnya terlipat dan tubuhnya jatuh duduk di tanah, tersandar ke dinding peti mati.

"Astaga! Dia!" Seru Mayat Aneh Kedua.

"Kesatria Panggilan! Kau!" Mayat Aneh Ketiga mendekat sambil memegang bahu si pemuda.

"Memang aku!" Menyahuti pemuda yang tersandar ke peti mati. Mulut kembali mengulum seringai.

"Kau terluka di dalam" Mayat Aneh Kesatu meraba dada si pemuda yang memang adalah Kesatria Panggilan alias Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Aku tidak apa-apa," jawab Wiro sambil berdiri dan menyeka lelehan darah.

"Saudara kita Mayat Aneh Keempat" Tiba-tiba Mayat Aneh Ketiga berteriak ingat saudaranya.

"Aku disini!"

Dari dalam peti mati terdengar suara orang menjawab. Sesaat kemudian dari dalam peti mati mencogok keluar sosok Mayat Aneh Keempat. Wajah pucat tapi dua tangan sudah seperti biasa yaitu memegangi bagian bawah perut dan mulut menyeringai!

"Kau… kau tidak apa-apa? Kau tidak kembali ka alam roh?!" Tanya Mayat Aneh Kesatu.

"Husss! Bicara yang baik-baik saja." Jawab Mayat Aneh Keempat. Dia lalu menunjuk ke arah Wiro yang tengah duduk bersila di tanah mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti untuk mengobati luka dalam. Aliran hawa hangat dari kapak sakti yang ada dalam tubuhnya ikut membantu penyembuhan.

"Pemuda itu menolongku. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia menolong. Tubuhku terasa dialiri hawa sejuk. Ketika dia tengah mengalirkan hawa sakti ke dalam diriku, Delapan Mayat busuk menyerang ke arah peti dimana kami berada. Pemuda itu mengangkat dua tanganku dan melancarkan serangan balasan berupa pukulan laksana petir melalui tanganku kiri kanan. Walau aku tidak terluka dan sembuh namun agaknya dia mengalami luka dalam…"

"Huss! Bicara yang baik-baik saja! Aku Juga sudah sembuh!" Wiro melompat dari duduknya, batuk-batuk beberapa kali lalu tertawa gelak-gelak.

Mayat Aneh Keempat memeluk Wiro hingga sang pendekar Jadi mengkirik. "Sobatku dari negeri delapan ratus tahun mendatang. Aku Mayat Aneh Keempat mengucapkan terima kasih. Kau telah menyelamatkan nyawa rohku…"

Wiro hanya manggut-manggut lalu cepat-cepat melepaskan diri dari rangkulan Mayat Keempat. "Sobat berempat ketika kalian meninggalkan Bukit Batu Hangus, bukankah kalian membawa gadis berkaki satu bernama Dewi Kaki Tunggal itu?"

"Benar sekali," Jawab Mayat Aneh Kedua.

Wiro memandang ka arah pati mati. "Gadis itu tidak ada di sana. Ketika aku menyelinap masuk, peti mati kosong. Lantainya seperti ada yang mencongkel. Kemudian baru masuk saudara kalian Mayat Aneh Keempat.." Mayat Aneh Kesatu laki menceritakan apa yang terjadi Ceritanya diakhiri dengan ucapan. "Kami berempat juga tidak tahu apa yang terjadi dengan gadis berkaki satu itu. Dia sirna tanpa bekas, seolah angin berhembus…"

"Sahabat berempat, aku pernah secara tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian dengan Dewi Kaki Tunggal. Kalian membawa gadis itu ke Candi Kalasan karena ada seseorang yang menyuruh. Saat ini apa kalian mau memberi tahu siapa orangnya…"

"Sebenarnya ini satu rahasia besar," jawab Mayat Aneh Kesatu. Tapi karena kami sudah curiga kalau kami ditipu dan orang itu mungkin saja adalah kaki tangan anak buah Sinuhun Merah, maka kami merasa tidak perlu lagi merahasiakan dirinya" Mayat Aneh Kesatu memandang dulu pada ketiga saudaranya seolah minta persetujuan. Tiga Mayat Aneh sama anggukkan kepala. Mayat Aneh Kesatu lalu kembali berpaling pada Wiro lalu berkata. "Orang yang menyuruh adalah seorang Empu bernama Empu Semirang Biru…"

"Empu Semirang Biru…" Wiro mengulang menyebut nama "Aku belum pernah mendengar nama itu sebelumnya. Siapa adanya orang itu?"

"Dia adalah Empu sakti yang membuat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi atas perintah Yang Mulia Sri Maharaja Mataram." Jawab Mayat Aneh Kesatu. Lalu menambahkan. "Selain lenyapnya gadis berkaki satu dari dalam peti secara aneh, kami berempat juga tidak menemui Empu itu disini. Padahal dia yang menyuruh kami agar membawa si gadis ke Candi Kalasan…"

"Apa Empu Semirang Biru menerangkan mengapa dia minta sahabat berempat membawa gadis itu ke Candi Kalasan?"

Mayat Aneh Kesatu menggeleng. Tiga saudaranya ikut menggeleng.

"Agaknya ada hubungan antara gadis itu dengan keris yang diciptakan sang Empu. Kalau kalian memang tertipu berarti gadis itu dalam bahaya besar. Aku…"

Ucapan Wiro belum selesai ketika tiba-tiba tanah di halaman Candi Kalasan terasa bergetar. Bangunan candi tampak bergoyang. Ada mahluk raksasa mendatangi tempat ini Bisik Mayat Aneh Ketiga sambil mengusap telinga.

"Aku mencium bau amis…" Ucap Mayat Aneh Kedua.

Terdengar suara mengorok keras dari arah kiri. Wiro berpaling ke arah satu gundukan batu besar di balik sebuah pohon Mahoni. Dia tidak melihat apa-apa. Ketika dia menoleh ke bagian belakang Candi Kalasan pandangannya membentur sosok tinggi berjubah biru dada berbulu, kepala botak bercula merah. Kumis dan janggut serta sepasang alis hitam berkilat, mencuat ke atas. Mata besar yang memiliki bola mata sebuah titik kedi bergerak liar berputar lalu mengarah pada Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Arwah Ketua" Ucap Wiro. "Sebelumnya dia bermaksud jahat hendak membunuhku. Kali ini kalau dia hendak melakukan kembali, aku tidak perduli larangan Sepasang Arwah Bisul Aku akan menghabisinya!"

"Aku mencium bau amis…" Mayat Aneh Kedua mengulang ucapan.

"Bau amis itu adalah bau amis Ketua Jin Seratus Perut Bumi yang menyusup masuk ke dalam tubuh Arwah Ketua. Ini semua perbuatan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Aku menaruh kasihan pada mahluk raksasa ini. Tapi kalau dia memang ingin membunuhku, apa boleh buat. Aku terpaksa menghabisinya lebih dulu!"

"Kalau memang di dalam tubuhnya ada roh jahat Ketua Jin Seratus Perut Bumi. serahkan pada kami. Biar kami mengulitinya" Kata Mayat Aneh Ketiga lalu memberi tanda pada tiga saudaranya.

"Kalian akan mengulitinya?" tanya Wiro sambil menggaruk kepala heran. "Ah, ini satu ilmu baru yang ingin sekali aku menyaksikannya"

Empat Mayat Aneh saling menempelkan dua tangan satu sama lain. Lalu sama-sama berseru. "Delapan Pisau Pengikis Arwah!"

"Sreett!"

Gulungan kain putih yang membungkus tangan Empat Mayat Aneh bergulung membuka. Delapan tangan tersingkap. Ujung tangan yang seharusnya berupa lima buah jari ternyata berbentuk seperti pahat besar yang berkilauan saking tajamnya. Seperti tadi, sayup-sayup terdengar suara orang bicara.

"Baru kali ini aku melihat mahluk raksasa. Tinggi kekar, dada berbulu. Pasti kuat sekali Hik… hik! Tapi sayang mukanya jelek. Tidak ganteng. Aku tidak bernafsu. Hik..hik…hiki Aih! Apa itu? Delapan tangan berubah jadi pisau tajam. Eh. Apa Empat Mayat Aneh mau menyunat raksasa itu. Oalal Hati-hati! Potongan daging sunatannya pasti sekarung penuh. Bisa dibuat dendeng untuk orang sekampung! Hik… hik… hik…!"

S E L E S A I

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.