TAHTA JANDA BERDARAH
BAB 1
SEORANG diri di puncak Bukit Menoreh pada malam bulan purnama. Setelah ditinggal Kakek Segala Tahu yang memberi petunjuk padanya cara menyelamatkan Bunga dari sekapan guci tembaga Iblis Kepala Batu, Pendekar 212 sebenarnya tengah menunggu kedatangan tiga gadis cantik. Mereka bukan lain adalah Ratu Duyung, Anggini dan Bidadari Angin Timur. Ada beberapa hal yang perlu segera ditanyakan Wiro pada tiga gadis itu.
Selain itu sesuai petunjuk Kakek Segala Tahu dia akan menanyakan perihal Nyi Roro Manggut pada Ratu Duyung. Menurut Kakek Segala Tahu hanya perempuan sakti yang diam di dasar samudera itu pemilik satu-satunya ilmu kesaktian yang mampu menolong Bunga keluar dari sekapan guci tembaga. Namun lain yang ditunggu lain yang muncul.
Sepasang kakek nenek bertampang dan berdandanan aneh laksana setan malam berkelebat seperti angin dan tahu-tahu sudah tegak berdiri di hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng. Orang pertama seorang nenek bertubuh tinggi. Wajahnya yang keriputan tertutup dandanan medok. Alis kereng hitam, bibir merah mencorong, bedak tebal dan dua pipi diberi merah-merah.
Murid Sinto Gendeng tidak kenal dan tidak pernah melihat nenek ini sebelumnya. Namun dari dandanan serta matanya yang melirik liar dan bibir yang selalu melemparkan senyum genit, pendekar kita maklum kalau si nenek bukan perempuan baik baik. Orang kedua seorang kakek, bungkuk berpakaian rombeng dekil.
Mukanya seputih kain kafan! Inilah yang membuat Pendekar 212 Wiro Sableng kaget setengah mati karena dia mengenal kakek itu adalah Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat, mahluk jahat yang dikenal sebagai dedengkot golongan hitam, guru Pangeran Matahari, musuh bebuyutan Wiro. Saking tidak percaya Wiro sampai mengusap matanya berulang kali.
“Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat!” Wiro menyebut julukan si kakek dengan suara bergetar. “Bukankah jahanam satu ini sudah mati di tangan sahabatku Bujang Gila Tapak Sakti sewaktu terjadi pertempuran hebat di Pangandaran? Bagaimana mungkin dia bisa hidup kembali dan muncul di sini! Gila!”
Memang melihat wajah dan dandanan si kakek, semua orang yang pernah melihat atau mengenal pasti akan menyangka dia adalah Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Lalu bagaimana kejadiannya kakek yang sudah menemui ajal ini bisa hidup kembali dan muncul bersama nenek berdandanan tak karuan itu?
Semasa hidupnya Si Muka Bangkai mempunyai seorang kekasih bernama Nyi Ragil, tinggal di Tawangalu. Itu sebabnya perempuan itu dikenal dengan nama Nyi Ragil Tawangalu. Setelah Si Muka Bangkai menemui kematian, duka cita Nyi Ragil begitu mendalam hingga dia tergeletak sakit selama berbulan-bulan. Dalam keadaan begitu rupa seorang kakek menyambanginya.
Begitu melihat wajah kakek ini langsung Nyi Ragil mendapat kekuatan aneh dan sakitnya mendadak pulih. Dia bisa bangkit dari sakitnya, duduk di tepi pembaringan, menatap kakek di hadapannya dengan mata tak berkesip. Ternyata kakek itu memiliki wajah dan bentuk tubuh menyerupai Si Muka Bangkai.
“Kekasihku Muka Bangkai… Kau… benar dirimukah yang ada di hadapanku saat ini? Kau masih hidup…?”
Si kakek tersenyum. Bahkan senyum itupun sama seperti senyum Si Muka Bangkai! Dia menggeleng lalu berkata. “Banyak orang yang menduga seperti dirimu. Aku bukan Si Muka Bangkai.Aku Suro Ageng Kalamenggolo. Adik kembaran Si Muka Bangkai.”
“Hah! Apa…?! Jadi kekasihku itu punya seorang adik kembar?”
Nyi Ragil turun dari pembaringan. Hampiri Suro Ageng Kalamenggolo. Memegang bahunya, mengusap wajah kakek ini, mendongak lalu tertawa panjang. “Tidak, kau bukan Suro Ageng Kalamenggolo! Aku tidak perduli siapa dirimu adanya! Bagiku kau adalah Si Muka Bangkai. Kekasihku yang hidup kembali!”
Lalu Nyi Ragil memeluk dan menciumi Suro Ageng Kalamenggolo. Tangannya menggerayang kian kemari. Hingga kakek yang sudah belasan tahun tak pernah disentuh tangan perempuan ini jadi terangsang dan langsung saja jatuh hati pada si nenek.
Begitulah kisahnya, sejak hari itu Suro Ageng Kalamenggolo dijadikan kekasih oleh Nyi Ragil, diberi dandanan dan pakaian seperti Si Muka Bangkai dan Nyi Ragil selalu menyebutnya dengan nama julukanya itu Si Muka Bangkai. Selain kecocokan dalam wajah dan bentuk tubuh, sebagai adik kembar Si Muka bangkai yang asli kakek ini juga telah mewarisi beberapa kesaktian yang dimiliki kakak kembarnya.
Sejak hari itu ke mana-mana Nyi Ragil selalu bersama sang kekasih. Termasuk ketika membunuh Datuk Muda Carano Ameh di Gunung Gede yang disangkanya Tua Gila, bekas kekasih Sinto Gendeng yang juga merupakan Guru Pendekar 212. Selama hidup berduaan, Nyi Ragil sering berbuat mesum dengan lelaki lain, tetapi Si Muka Bangkai seolah tidak perduli.
“Muka Bangkai, jadi dia ini bocah yang pernah kau ceritakan padaku?” Si nenek berucap sambil lemparkan lirikan ke arah Wiro.
“Sialan! Sebesar ini aku dibilang bocah!” maki murid Sinto Gendeng dalam hati.
“Benar sekali kekasihku. Dia memang Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng.” Menjawab Si Muka Bangkai.
“Aahhh…” Si nenek yang ternyata adalah Nyi Ragil Tawangalu alias Si Manis Penyebar Maut rangkapkan dua tangan di depan dada. Sepasang matanya pandangi Pendekar 212 dari rambut sampai ke kaki. Lidahnya dijulur-julur membasahi bibir. Lalu nenek ini berbisik.
“Muka Bangkai, ternyata pemuda ini lebih hebat dari yang aku bayangkan. Wajah ganteng, tubuh kekar. Kalau aku tenggelam dalam pelukannya pasti aku akan benar-benar merasakan nikmatnya sorga dunia…”
“Kau boleh berbuat suka-suka apa saja dengan dia,” balas berbisik Si Muka Bangkai. “Tapi ingat, dia adalah murid Sinto Gendeng. Semua yang ada kaitannya dengan Sinto Gendeng harus kita singkirkan dari muka bumi ini.”
“Kau benar Muka Bangkai. Aku tidak bakal melupakan siapa adanya pemuda ini. Tapi jika aku bisa menguras kejantanannya untuk menyenangi hati dan tubuhku barang sebulan dua bulan, apa salahnya. Kulihat dari tadi dia seperti kagum memandangi wajahku. Agaknya kali ini aku mendapat durian runtuh sobatku. Hik hik hik.”
Si Muka Bangkai kembaran, yang sudah tahu sifat kekasihnya menjawab. “Silahkan kau bersenang-senang sepuasmu. Tapi waktu yang bisa aku berikan hanya sampai menjelang pagi. Aku akan menunggumu di kaki bukit sebelah selatan. Jika sampai matahari terbit kau tidak muncul terpaksa aku pergi dan tak akan menunggu lebih lama.”
Nyi Ragil tertawa lalu cepat memegang bahu baju rombeng Si Muka Bangkai. “Kuharap kau jangan pergi dulu sobatku. Apakah kau tidak ingin menyaksikan barang sejurus dua jurus bagaimana aku bermain-main dengan pemuda gagah ini? Siapa tahu bisa mendatangkan kegairahan dalam dirimu. Hingga kau tidak selalu membiarkan aku sendirian dalam kedinginan? Hik hik hik!”
Si Muka Bangkai pencongkan mulut.Dia langkahkan kaki bergerak hendak pergi. “Aku minta kau tetap di sini,” kata Nyi Ragil pula sambil pegang bahu sikakek. Kali ini bukan hanya sekedar memegang tapi juga mencengkeram. Si Muka Bangkai terpaksa batalkan niat tinggalkan tempat itu. Nyi Ragil melangkah kehadapan Wiro.
“Bocah, benar kau yang bernama Wiro, murid Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede?” Nyi Ragil ajukan pertanyaan. Waktu bertanya mulut mengulum senyum dan mata lemparkan pandangan penuh gairah.
Wiro tertawa lebar. Dia balas memandang si nenek mulai dari rambut sampai ke kaki tapi dengan sikap memperolokkan. “Gadis cilik, dugaanmu tidak salah. Aku memang bocah bernama Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng. Masih kecil begini matamu sungguh tajam hingga bisa mengenali siapa diriku, padahal belum pernah bertemu muka sebelumnya. Sayangnya, rupanya ibumu kurang bisa mendandani wajahmu yang cantik hingga celemongan seperti ini.”
Nyi Ragil diam sebentar, seolah terkesiap mendengar ucapan pemuda di hadapannya. Namun kemudian nenek genit ini tertawa panjang. Rupanya dia merasa senang guraunya disambuti orang. “Sudah kenal walau belum pernah bertemu. Itu artinya antara kau dan aku memang sudah ada perjodohan. Hik hik hik…”
“Hik hik hik!” Wiro ikut-ikutan tertawa meniru suara tawa si nenek. “Tadinya aku mengira kau dan Si Muka Mayat itu sudah menjadi sepasang kekasih. Ternyata kau masih tergiur pada anak muda sepertiku! Ha ha ha!!"
“Ah, kau cepat sekali cemburu anak muda! Aku suka pada lelaki pencemburu. Kata orang lelaki pencemburu nafsunya besar seperti kuda! Hik hik hik! Dengar, kakek ini hanyalah sobat seperjalanan. Orang tua seperti diamana punya kemampuan sehebat dirimu? Hik hik hik!”
Si Muka Bangkai alias si Muka Mayat keluarkan suara menggerutu tapi si nenek tidak pedulikan. “Kalau kau tak suka kupanggil bocah, katakan bagaimana aku harus memanggilmu agar kedengaran mesra?”
Wiro menyeringai, garuk-garuk kepala tak menjawab.
“Bagaimana kalau kupanggil kau dengan sebutan kekasihku…” tanya si nenek sambil kedipkan mata.
Wiro masih garuk-garuk kepala tapi mulut dan hidungnya dipencongkan. Si nenek tersenyum. “Agaknya kau kurang suka pada panggilan itu. Baik, biar kuganti. Mungkin kau lebih suka kupanggil dengan sebutan yayang, kependekan sayangku?”
Wiro batuk-batuk berulang kali lalu tertawa gelak-gelak. “Hai! Kau tertawa riang! Berarti kau suka dipanggil yayang. Berarti kau suka menjadi kekasihku!” kata Nyi Ragil setengah berseru.
Dia maju dua langkah, setengah berbisik berucap. “Tak jauh dari sini ada satu pondok kayu. Bagaimana kalau kita kesana bersenang-senang sampai pagi?”
“Hem... begitu?” ujar Wiro. “Bagaimana kalau kau dan kakek muka pucat itu yang bersenang-senang, aku jadi tukang intip?”
Si nenek keluarkan suara menggerutu dan unjukkan wajah cemberut. “Kau masih saja perlihatkan sikap cemburu.” Si nenek pegang lengan Wiro. “Kita pergi ke pondok itu sekarang? Tua bangka muka pucat itu biar menungu di sini.” Lalu dengan suara lebih perlahan Nyi Ragil berkata. “Dia pantas jadi anjing tua pengawal kita berdua. Hik hik hik. Ayo yayangku mari kita ke pondok sana.”
“Nek, tak jauh dari sini ada satu kali kecil. Bagaimana kalau aku kesana dulu. Aku tunggu kau disana.” Wiro berkata sambil senyum-senyum dan kedipkan mata membuat Nyi Ragil Tawangalu jadi salah tingkah.
“Kali kecil. Perlu apa kau kesana? Mengapa musti kesana?” si nenek kemudian bertanya.
“Yayangku, aku kesana karena mau berak!” jawab Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Tampang Nyi Ragil yang tertutup dandanan tebal langsung berubah. “Pemuda edan! Senda guraumu sudah keliwatan! Bentak si nenek marah.
“Hai! Tadi kau panggil aku yayang, sekarang pemuda edan! Secepat itukah lunturnya cintamu padaku?” ucap murid Sinto Gendeng sambil menahan tawa.
“Manusia sableng, kau jangan keliwat berani mempermainkan diriku!” Nyi Ragil maju sejangkah.
“Eh, siapa mempermainkan dirimu, yayang? Dengar, kalau kau tak suka ke kali, tetap mau membawaku ke pondok yang kau katakan itu, aku menurut saja…”
Tampang si nenek kembali berubah. Kini ada senyum terkulum di bibirnya yang merah. Dia menyangka Wiro memang suka ikut ajakannya dibawa ke pondok.
“Tapi yayang, sebelum ke pondok aku mau tanya dulu…” kata Wiro pula.
“Kau mau tanya apa?” ujar si nenek dengan suara lembut mesra.
“Di pondok itu apa ada kakusnya?”
Kening Nyi Ragil mengerenyit. “Maksudmu?”
“Maksudku, saat ini perutku tambah mulas. Aku sudah kebelet, tidak tahan lagi…”
“Jahanam!”
Wiro tertawa terpingkal-pingkal. Amarah Nyi Ragil meledak. “Sebaiknya dari tadi-tadi kubunuh dirimu!” teriak si nenek. Sekali bergerak sosoknya berkelebat. Tangan kanan menderu ke arah wajah Wiro. Aneh, gerakan tangan yang memukul itu terlihat lamban.
Sekali Wiro gerakkan tangannya dengan mudah dia dapat menahan jotosan si nenek. Begitu tangan kanan Nyi Ragil berada dalam genggaman jari-jari tangan kanannya Wiro siap keluarkan ilmu Koppo. Yakni ilmu mematahkan tulang yang didapatnya dari NenekNeko di Negeri Sakura.
Baca serial Wiro Sableng berjudul Sepasang Manusia Bonsai
Namun sebelum Wiro sempat keluarkan ilmu tersebut untuk mematahkan jari-jari dan telapak tangan si nenek tiba-tiba wusss! Dari tangan kanan Nyi Ragil yang berada dalam cengkeraman Wiro mendadak keluar hawa panas luar biasa disertai kepulan asap merah.
Bersamaan dengan itu Pendekar 212 keluarkan jeritan keras dan melompat mundur, jatuh berlutut di tanah. Ketika tangan kanannya diperhatikan ternyata kulit jari dan sebagian telapak tangannya telah melepuh, terkelupas merah! Sakitnya bukan kepalang!
BAB 2
Murid Sinto Gendeng menggeram marah. Sambil menahan sakit dia cepat bangkit berdiri. Nyi Ragil Tawangalu tertawa gelak-gelak.
“Usia baru seumur jagung, berani mempermainkan aku Si Manis Penyebar Maut. Hik hik hik. Rasakan sekarang! Masih untung tanganmu tidak aku buat leleh! Ilmu Mengupas Raga yang membuat tanganmu cidera jangan dibuat main. Kekuatan yang barusan aku keluarkan baru sepertiganya saja!”
“Pendekar 212 Wiro Sableng,” tiba-tiba Si Muka Bangkai yang sejak tadi diam saja keluarkan ucapan. “Mengapa berlaku tolol. Mengapa kau tidak ikuti saja ajakan sahabatku itu bersenang-senang semalam suntuk. Membunuh dirimu baginya satu hal yang mudah. Kalau gurumu saja sudah dihabisinya apa sulitnya menghabisi dirimu!”
Wiro tersentak kaget, memandang membelalak pada Si Muka Bangkai lalu pada si nenek, kembali lagi pada si Muka Bangkai. “Tua bangka keparat! Apa maksud ucapanmu?!” bentak Pendekar 212.
Nyi Ragil tertawa panjang. “Sobatku Muka Bangkai, ceritakan saja apa yang sudah kita lakukan!”
“Tiga minggu lalu di puncak Gunung Gede, Nyi Ragil telah menghabisi gurumu. Menikam mati dengan Golok Si Penjarah Nyawa!”
Wiro berteriak keras. “Kau membunuh guruku Eyang Sinto Gendeng?!”
Si nenek kembali tertawa panjang. Lalu menjawab. “Nenek satu itu masih menunggu giliran. Yang aku bunuh adalah Si Tua Gila, gurumu dari Andalas, kekasih Sinto Gendeng di masa muda! Hik hik hik!”
“Sekarang kau bakal mengalami nasib sama, Pendekar 212 Wiro Sableng!” Kembali Si Muka Bangkai ikut bicara. “Nyawamu bakal minggat ditangan Nyi Ragil. Amblas digorok Golok Penjarah Nyawa! Ha ha ha!”
“Tua bangka jahanam! Aku bersumpah mencabut nyawamu saat ini juga!” teriak murid Sinto Gendeng. Lalu tangan kanannya diangkat ke atas. Mulut merapal aji kesaktian Pukulan Sinar Matahari.
Nyi Ragil ganda tertawa. “Aku mau tahu kau akan berbuat apa. Aku menunggu!” Nyi Ragil berdiri sambil berkacak pinggang dan renggangkan dua kaki. Sikapnya penuh menantang. Diam-diam mulutnya merapal satu ajian.
Perlahan-lahan tangan kanan Wiro berubah warna menjadi putih perak. Namun gerakan selanjutnya tertahan. Sepasang mata murid Sinto Gendeng itu membesar. Nafasnya sesaat tertahan lalu cuping hidungnya tampak bergerak tanda nafasnya mendadak berubah memburu. Darahnya mengalir cepat dan panas.
Di hadapannya Wiro tidak lagi melihat sosok nenek buruk keriput yang wajahnya ditambal dengan alis, bedak dan gincu tebal. Tapi yang dilihatnya kini adalah wajah seorang perempuan muda belia secantik bidadari dan sosok tubuh bagus mulus, terbungkus pakaian tipis dan sangat minim, menyingkapkan bagian dada, perut dan pinggul.
Pandangan Wiro telah berubah akibat ajian aneh yang barusan dirapal si nenek. Kalau Wiro melihat Nyi Ragil berubah menjadi seorang gadis cantik jelita setengah telanjang maka Si Muka Mayat yang tidak terpengaruh ajian aneh itu tetap saja melihat Nyi Ragil dalam ujud aslinya yakni seorang nenek berdandan tebal celemongan.
“Yayangku, kau tunggu apa lagi. Mari ikut aku…” Suara Nyi Ragil terdengar semerdu bulu perindu masuk ke telinga Wiro.
Ketika perempuan itu melangkah tinggalkan tempat itu, diluar sadar Wiro bergerak mengikuti. Si Muka Mayat gelengkan kepala. Walau dia tetap melihat Nyi Ragil dalam wajah dan tubuh asli namun kakek satu ini maklum kalau Nyi Ragil telah melakukan sesuatu yang membuat Wiro Sableng tunduk dan ikut padanya.
“Pasti Nyi Ragil telah memukau pemuda itu dengan ilmu Pembalik Otak Pembuta Mata,” berkata Si Muka Mayat dalam hati lalu melangkah mengikuti ke dua orang itu.
Berjalan lima langkah, Nyi Ragil berhenti. Rupanya dia sudah tak mampu menahan desakan nafsu mesumnya. Begitu Wiro sampai di dekatnya langsung digandeng. Kepalanya disandarkan ke dada sang pendekar sambil berkata mesra.
“Yayang, apakah kau tidak ingin memelukku, mencium pipiku, mengecup bibirku…?”
Sambil berucap Nyi Ragil usap-usap dada Pendekar 212 dengan telapak tangan kanan Wiro yang cidera mengelupas. “Ah, teganya diriku tadi. Tangan kananmu sakit begini rupa. Bagaimana mungkin bisa memeluk diriku? Biar aku obati dulu.”
Si nenek keluarkan sebuah tabung kecil. Penutup tabung dibuka. Sejenis cairan dituangkannya ke jari-jari dan telapak tangan kanan Wiro. Wiro merasa seperti diguyur air sedingin es. Tangannya mengepulkan asap tipis. Ketika asap sirna, cidera pada jari-jari dan telapak tangan yang sebelumnya melepuh terkelupas kini sembuh seperti sedia kala. Nyi Ragil memasukkan tabung kecil ke balik pakaiannya. Satu tangan merangkul pinggang sang pendekar, satunya lagi mengusapi dada. Usapan itu kemudian turun ke perut.
“Hemm…” Wiro mendesah lirih. Tiba-tiba hawa aneh yang menguasai dirinya membuat aliran darahnya memanas. Sang pendekar rangkulkan tangan balas memeluk tubuh Nyi Ragil, sekaligus menciumi pipi dan mengecup bibirnya. Selagi kedua orang itu asyik bermesraan tiba-tiba di puncak Bukit Menoreh dalam gelapnya malam, tiga bayangan berkelebat dari arah timur, menyusul suara seruan hampir berbarengan.
“Wiro! apa yang kau lakukan?!”
“Jahanam! Siapa berani menganggu kesenanganku!” Nyi Ragil mendamprat marah. Dia dorong sosok Wiro ke samping, angkat kepala. Memandang ke depan si nenek melihat tiga gadis cantik tegak di puncak bukit. Ketiganya melangkah cepat ke tempat di mana dia dan Wiro serta Si Muka Mayat tegak berdiri.
“Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung, Anggini…” Wiro berucap. Suaranya bergetar aneh.
Diam-diam Nyi Ragil menjadi kaget mendengar tiga nama yang barusan disebutkan Wiro. “Nama mereka sudah lama kudengar. Baru kali ini aku melihat wajah-wajah mereka. Selain cantik kabarnya mereka juga membekal ilmu tinggi. Aku mencium bahaya. Aku harus berbuat sesuatu sebelum mereka turun tangan.”
Nyi Ragil cepat melafalkan beberapa mantera dalam hati lalu menghembus ke arah tiga gadis. Setelah itu dia berpaling ke arah Wiro. Sambil memegang lengan Wiro Nyi Ragil berkata,
“Yayang, jangan matamu buta oleh kegelapan malam, jangan pikiranmu kacau oleh hembusan angin Bukit Menoreh. Coba lihat sekali lagi. Perhatikan baik-baik. Apa kau benar-benar mengenali tiga orang itu?”
Wiro menatap Nyi Ragil sesaat yang dilihatnya sebagai seorang gadis secantik bidadari. Lalu sang pendekar palingkan kepala ke arah tiga gadis yang melangkah menuruni puncak bukit.
“Ah… Aku salah mengira. Tadinya kusangka… tidak, aku tidak mengenal tiga orang nenek jelek itu!” Wiro berucap.
Pada saat itu Wiro yang berada dibawah jampaian ilmu aneh si nenek mendadak berubah penglihatannya. Tiga gadis yang barusan datang yakni Ratu Duyung. Anggini dan Bidadari Angin Timur dalam penglihatannya bukan lagi sebagai tiga gadis cantik tetapi telah berubah menjadi tiga orang nenek buruk berpakaian dekil.
Nyi Ragil menyeringai. Dia memberi isyarat pada Si Muka Bangkai lalu berkata pada Wiro. “Yayang, lekas ikuti aku. Kita harus segera pergi sebelum tiga nenek buruk itu mendekat ke sini.”
Untuk memastikan Wiro benar-benar mengikuti ucapannya Nyi Ragil mencekal lengan Wiro. Bersama Si Muka Bangkai mereka berkelebat tinggalkan puncak bukit itu. Namun tak kalah cepat tiga gadis segera turun menghadang. Nyi Ragil menjadi marah, keluarkan suara menggembor. Si Muka Bangkai mendengus lalu membentak.
“Kalian mencari penyakit! Lekas minggat dari hadapan kami!”
Wiro sendiri ikut menghardik. “Tiga nenek butut! Jangan berani menghalangi perjalanan kami!”
Dipanggil nenek butut tiga gadis cantik tentu saja jadi melengak dan saling pandang. Bidadari Angin Timur berbisik pada dua sahabatnya, Anggini dan Ratu Duyung.
“Ada yang tidak beres. Wiro seperti tidak mengenali kita bertiga. Malah kita disebutnya tiga nenek butut! Tadi dia menciumi nenek itu! Gila!”
“Ada kekuatan aneh mempengaruhi jalan pikiran dan penglihatannya. Tadi kudengar dia menyebut si nenek dengan kata-kata mesra yayang,” ikut menjawabi Anggini.
Ratu Duyung perhatikan nenek yang berdiri disamping Wiro sambil pegangi tangan sang Pendekar lalu berkata, “Aku kenal nenek berdandan tak karuan itu. Namanya Nyi Ragil. Kalau tak salah dia menyandang gelar Si Manis Penyebar Maut. Dia salah satu momok keji orang-orang golongan hitam. Di mana-mana dia menebar maut dan berbuat cabul. Kabarnya dia memiliki ilmu aneh yang bisa menguasai otak dan membalikkan pandangan mata orang. Kita harus menolong Wiro. Ilmu yang menguasai dirinya harus dilenyapkan…”
“Bagaimana caranya?” tanya Anggini.
“Aku siap membunuh nenek jahanam itu!” kata Bidadari Angin Timur. Gadis ini sangat cemburu. Kecintaannya terhadap Wiro walau tak pernah diperlihatkan secara terang-terangan tapi boleh dikatakan paling besar diantara tiga gadis itu. Tadi dia menyaksikan sendiri bagaimana Wiro memeluk dan mencium si nenek begitu bernafsu. Siapa yang tidak cemburu dan marah? Dadanya terasa seperti terpanggang!
“Anggini, kau berjaga-jaga jika kakek muka pucat itu ikut campur urusan. Bidadari Angin Timur, kau hadapi si nenek muka celemongan. Aku akan berusaha melepaskan Wiro dari ilmu jahat si nenek…” berucap Ratu Duyung.
“Anggini, Ratu Duyung, tunggu dulu!” tiba-tiba Bidadari Angin Timur berkata. “Kakek bermuka pucat itu bukankah dia Si Muka Mayat alias Si Muka Bangkai, guru Pangeran Matahari?! Bukankah dia sudah menemui kematian di Pangandaran?! Tewas di tangan Bujang Gila Tapak Sakti?!”
“Astaga! Benar! Memang dia!” ucap Ratu Duyung.
“Lalu bagaimana bisa hidup kembali?!” ujar Anggini heran.
“Kita tak punya waktu banyak untuk berpikir. Bahaya mengancam. Kita harus segera bergerak!” Bidadari Angin Timur berkata.
Tiga gadis cantik lantas menyebar. Anggini dekati Si Muka Mayat. Bidadari Angin Timur mendatangi Nyi Ragil Tawangalu dan Ratu Duyung menghampiri Wiro. Setelah mengerahkan tenaga dalam, dialirkan ke jalan suaranya, di hadapan Wiro Ratu Duyung menjura lalu berkata,
“Ki Samber Gledek, penguasa delapan penjuru Bukit Menoreh. Aku datang memenuhi panggilanmu!”
Dihormati begitu rupa dan dipanggil Ki Samber Gledek, Pendekar 212 Wiro Sableng jadi kerenyitkan kening, menggaruk kepala lalu menjawab. “Nenek butut, kau salah menyangka. Aku bukan Ki Samber Gledek. Aku tak pernah memanggilmu datang ke sini!” berucap Wiro.
“Dia masih memanggil dan melihat diriku sebagai nenek butut. Tapi dia tahu kalau dirinya bukan Ki Samber Gledek. Berarti masih ada kemungkinan Wiro dibikin sadar.” Membatin Ratu Duyung. “Aku harus menotok tubuhnya di dua tempat. Ubun-ubun dan bagian atas hidung antara dua mata.”
Sekali lagi Ratu Duyung menjura lalu, tiba-tiba gadis cantik bermata biru ini melompat. Tubuhnya mengapung beberapa jengkal di atas tanah Dua tangannya digerakkan sekaligus. Yang kiri menotok ke ubun-ubun di atas batok kepala sedang yang kanan menotok ke arah bawah kening, tepat di bagian atas hidung antara dua mata Pendekar 212.
“Nenek kurang ajar! Mengapa kau menyerangku?!” teriak Wiro seraya bersurut mundur.
Nyi Ragil alias Si Manis Penyebar Maut tersentak kaget melihat gerak serangan dua tangan Ratu Duyung. “Gadis bermata biru ini! Dia tahu cara memusnahkan pengaruh ilmuku! Kalau tidak segera kuhabisi bisa berbahaya!” membatin Nyi Ragil.
Lalu dengan gerakan kilat si nenek hantamkan tangan kanannya. Yang diarah adalah wajah Ratu Duyung. Serangan ini ganas sekali. Lima jari tangan terpentang kepulkan asap merah. Nyi Ragil menyerang dengan ilmu mengupas Raga. Serangan ini jika menemui sasaran akan membuat melepuh dan terkelupas wajah sang Ratu hingga cacat seumur hidup.
Ratu Duyung mendengus. Dalam gebrakan yang sangat cepat tadi dia masih sempat menotok ubun-ubun Pendekar 212 Wiro Sableng dengan dua jari tangan kiri.
“Desss!”
Begitu kena ditotok dari batok kepala murid Sinto Gendeng mengepul asap hitam pertanda hawa jahat yang bersarang di bagian atas kepala, yang mempengaruhi otak dan jalan pikirannya telah berhasil dimusnahkan. Namun totokan kedua yang dilancarkan Ratu Duyung yakni yang mengarah titik diantara dua mata Wiro tak dapat diteruskan oleh Ratu Duyung. Dia terpaksa melompat selamatkan diri dari serangan ganas Nyi Ragil.
Tapi tidak terduga, seolah bisa berubah panjang, tangan kanan Nyi Ragil meluncur laksana kilat menyambar ke muka sang Ratu. Sekejapan lagi wajah Ratu Duyung akan dibikin hancur mengelupas tiba-tiba satu cahaya putih berkelebat menyilaukan. Nyi Ragil terpekik. Melompat mundur dengan muka pucat. Cahaya putih menyilaukan itu mendorong kepulan asap merah yang keluar dari tangan kanannya, membalik menyerang ke arah wajahnya sendiri!
Saat itu mendadak terdengar pekikan Ratu Duyung. Tubuhnya terdorong keras ke samping kanan. Sambil jatuhkan diri mengikuti daya dorong yang kuat, Ratu Duyung berguling di tanah. Apa yang terjadi?
Sewaktu Ratu Duyung menghadapi serangan Nyi Ragil. Dari samping Wiro datang menerjang, kirimkan satu tendangan yang tepat mengenai pinggul Ratu Duyung. Selagi Ratu Duyung bergulingan di tanah Wiro hendak mengejar tapi satu bayangan biru berkelebat memotong gerakannya dan...
"Bukkk!" Jotosan keras bersarang di dada kiri Pendekar 212. Membuatnya terjajar sampai lima langkah. Yang barusan menyerang Wiro adalah Bidadari Angin Timur. Tapi karena masih berada dalam pengaruh sirapan ilmu Pembuta Mata, Wiro melihat si gadis berambut pirang itu sebagai seorang nenek berpakaian dekil.
“Nenek keparat!” bentak Pendekar 212 pada Bidadari Angin Timur. “Kuhancurkan kepalamu!”
Kembali pada Nyi Ragil. Walau tadi sambaran cahaya putih yang mendorong asap merah lewat satu jengkal di sisi kirinya namun Nyi Ragil tak berani berlaku ayal. Cepat si nenek angkat tangan kiri lindungi muka.
“Dess… desss!”
Sosok Nyi Ragil terdorong sampai lima langkah. Tapi dirinya selamat dari hantaman asap ilmu Mengupas Raga miliknya sendiri. Hampir terjadi senjata makan tuan. Si nenek tegak dengan wajah pucat. Seumur hidup baru kali ini ada lawan yang sanggup membalikkan serangan mautnya. Apa yang telah dilakukan gadis bermata biru itu?
Nyi Ragil memandang melotot ke arah Ratu Duyung yang saat itu tengah berusaha bangkit berdiri. Nyi Ragil melirik ke tangan kanan Ratu Duyung. Sebuah benda tergenggam di tangan kanan sang dara. Sebuah cermin berbentuk bulat. Tersiraplah darah nenek berjuluk Si Manis Penyebar Maut.
BAB 3
“Cermin bulat itu, aku seperti pernah melihat sebelumnya…” si nenek membatin. Untuk meredam goncangan hatinya, Nyi Ragil keluarkan bentakan keras. “Ratu Duyung, aku sudah sering mendengar namamu. Tapi siapa kau sebenarnya?!”
Ratu Duyung lontarkan senyum mengejek. “Masih ingat peristiwa puluhan tahun silam. Kau pernah datang ke dasar samudera selatan. Mengemis pada Ratu Agung agar diberikan beberapa ilmu kesaktian. Ratu Agung memenuhi permintaanmu tapi ternyata kau pergunakan untuk berbuat kejahatan, menebar maut berbuat mesum. Aku sendiri barusan menyaksikan apa yang telah kau lakukan terhadap pemuda itu!”
Kejut Nyi Ragil bukan alang kepalang. “Kau…” katanya tertahan. Otak jahatnya segera bekerja. “Kalau kau bicara kejadian puluhan tahun silam sedang saat ini kulihat kau masih sebagai gadis remaja lalu berapakah usiamu sebenarnya? Hik hik hik!”
Ucapan Nyi Ragil yang juga terdengar oleh Pendekar 212 sempat menimbulkan rasa heran pada diri pendekar yang berada dibawah pengaruh sirapan ini. Jelas dia melihat Ratu Duyung sebagai seorang nenek butut, mengapa Nyi Ragil menyebutnya gadis remaja? Nyi Ragil sendiri tidak menyadari kekeliruan yang dibuatnya. Untung saja Wiro masih berada dalam sirapan.
Sementara itu Ratu Duyung merasa tidak enak mendengar orang mempertanyakan usianya. Dia menjawab dengan cepat. “Berapa usiaku tidak perlu kau persoalkan. Aku atas nama Ratu Agung memerintahkan agar kau menyerahkan semua ilmu yang pernah kau dapat! Setelah itu kau boleh meninggalkan tempat ini!”
Nyi Ragil Tawangalu tertawa bergelak mendengar kata-kata Ratu Duyung. “Apa hubunganmu dengan Ratu Agung?!” si nenek membentak.
“Kau tak layak bertanya!” jawab Ratu Duyung. “Yang penting saat ini juga aku mewakili Ratu Agung mengambil semua ilmu yang pernah diberikannya padamu!”
Nyi Ragil kembali tertawa. Setelah keluarkan suara mendengus dia jawab ucapan Ratu Duyung. “Malam memang belum sampai ke ujungnya! Tidak salah kalau kau bicara seperti orang mimpi! Beraninya mengatas namakan Ratu Agung! Jika kau ingin merampas ilmuku silahkan lakukan sendiri!”
Ratu Duyung balas mendengus. “Aku memberi kesempatan terakhir padamu. Aku hanya minta kau menyerahkan dua ilmu kesaktian. Ilmu Mengupas Raga dan ilmu Pembalik Otak Pembuta Mata!”
“Mulutmu besar. Bicaramu sombong. Ternyata kau seorang pengecut! Aku menantangmu untuk mengambil sendiri dua ilmu itu jika aku memang mampu!”
“Nyi Ragil, kau kelihatan takabur! Aku akan mengambil dua ilmu kesaktian itu dari dalam tubuhmu sekaligus bersama jantungmu!”
“Aku mau lihat!” jawab si nenek. Dia bergerak mendekati sebatang pohon besar. Tangan kanannya yang sudah dialiri ilmu kesaktian Mengupas Raga digosokkan ke batang pohon. Asap merah mengepul dibarengi terdengarnya suara menggerek keras. Ketika asap sirna kelihatan bagaimana kulit pohon yang tebal dan keras telah terkelupas. Bagian dalamnya seperti terbongkar dan leleh!
“Mungkin sudah saatnya wajahmu kubuat seperti batang pohon itu! Hik hik hik!”
“Aku bukan anak kecil, bisa kau takuti dengan ilmu yang kau dapat dari menipu Ratu Agung! Riwayatmu berakhir malam ini nenek cabul!”
Habis berkata begitu Ratu Duyung berkelebat kirimkan serangan. Cermin bulat di tangan kanan digerakkan, mengiblatkan cahaya putih sedang tangan kiri hantamkan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Tak terduga dari samping tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng melompat memapaki serangan Ratu Duyung sambil berteriak.
“Nenek kurang ajar! Beraninya kau menyerang kekasihku!”
Sebelumnya Ratu Duyung telah kena ditendang pinggulnya oleh Wiro. Kini dapatkan dirinya diserang begitu rupa, bagaimanapun kecintaan sang Ratu terhadap sang pendekar, mau tak mau dia menjadi kesal juga. Apa lagi dua serangan yang tadi dilancarkannya jadi meleset dan dapat dihindari oleh Nyi Ragil.
“Bukkk!” Pukulan tangan kanan Wiro melanda bahu kiri Ratu Duyung sebaliknya “Dukkk”! Sikut sang Ratu berhasil menyodok ulu hati Wiro Ratu Duyung terbanting ke kanan, sambil menahan sakit cepat imbangi tubuh agar tidak jatuh terpelanting. Wiro sendiri terbungkuk-bungkuk usapi perut.
“Yayang! Kau tak apa-apa?!” seru Nyi Ragil sambil melompat dan pegangi perut Wiro.
“Kekasihku, tak usah kawatir. Aku tak apa-apa,” jawab Wiro.
Jijik sekali Ratu Duyung mendengar ucapan dan melihat sikap ke dua orang itu. Dengan seringai tersungging di mulut Nyi Ragil berkata. “Nenek jelek, kalau kau mampu menghadapi kekasihku, dua ilmu yang kau sebutkan tadi akan kuserahkan secara suka rela padamu!” Berteriak Nyi Ragil.
"Kekasihku, kau tak usah kawatir!” kata Wiro pada Nyi Ragil. “Biar tua bangka satu ini kuberi pelajaran agar tahu rasa!”
Walau tahu kalau Wiro belum sepenuhnya bebas dari sirapan ilmu jahat si nenek namun kejengkelan Ratu Duyung pada Wiro dan kebenciannya pada Nyi Ragil jadi tambah menggelegak.
“Nenek butut! Kalau kau tidak segera angkat kaki dari tempat ini, kubuat leleh” tubuhmu!” Wiro membentak sambil mengangkat tangan kanan, diarahkan pada Ratu Duyung. Agaknya Wiro tidak sekedar mengeluarkan ancaman. Karena saat itu dia siap mengeluarkan pukulan Sinar Matahari untuk dihantamkan ke arah Ratu Duyung.
Nyi Ragil tertawa mengekeh. “Bagus, yayangku lekas habisi tua bangka itu dengan pukulan Sinar Matahari!”
Melihat bahaya dan bencana apa yang segera bakal terjadi Bidadari Angin Timur melompat ke hadapan Wiro. “Wiro! Sadar! Buka matamu! Yang kau serang adalah Ratu Duyung. Aku Bidadari Angin Timur dan Anggini! Kami bertiga adalah sahabat-sahabatmu!”
“Ratu Duyung?” ujar Wiro. “Huh!” Wiro keluarkan suara mendengus. Dengan seringai mengejek dia berkata. “Kalian nenek-nenek buruk beraninya mengaku sebagai sahabatku!” Selesai bicara Wiro langsung menerjang ke arah Bidadari Angin Timur.
Kecewa, putus asa dan juga jengkel si jelita berambut pirang ini sambuti serangan Wiro. Saat itu dia mendengar Ratu Duyung berteriak. “Bidadari Angin Timur! totok bagian atas hidung antara kedua matanya!”
Tidak diberitahupun, dari dua gerakan Ratu Duyung pada pertama kali menggebrak tadi Bidadari Angin Timur sudah maklum kalau untuk memusnahkan sirapan jahat yang menguasai Wiro maka harus dilakukan dua totokan. Pertama pada ubun-ubun diatas kepala, kedua pada kening di antara dua mata, tepatnya di atas hidung.
Ratu Duyung telah berhasil menotok ubun-ubun Wiro. Kini dia harus bisa menotok bagian atas hidung antara dua mata. Ini bukan pekerjaan mudah karena dibawah ilmu jahat Nyi Ragil Wiro menganggapnya sebagai musuh. Sang pendekar bukan mustahil benar-benar akan membunuhnya.
Didahului pekik keras merobek kegelapan dan kesunyian puncak Bukit Menoreh, Ratu Duyung berkelebat, kirimkan serangan ke arah Nyi Ragil. Cermin bulat di tangan kanannya digetarkan, lima gelombang sinar putih menderu menghantam sosok Nyi Ragil. Dua diarah kepala, tiga pada bagian tubuh!
Nyi Ragil melompat satu tombak keudara. Dia berhasil selamatkan kepala dari sambaran dua cahaya putih cermin sakti. Dua hantaman sinar lainnya yang menderu ke arah tubuhnya juga berhasil di kelit. Tapi sambaran sinar ke lima yang membeset ke arah kakinya tak mampu dihindari. Nyi Ragil berteriak keras. Dua tangannya dihantamkan ke bawah. Dua larik sinar merah menderu, mendorong dan memotong kiblatan cahaya putih cermin sakti.
“Bumm! Buumm!”
Dua letupan keras menggelegar menggetarkan Bukit Menoreh. Tubuh Nyi Ragil yang tadi melakukan lompatan setinggi satu tombak kini kelihatan mencelat ke atas satu tombak lagi, lalu jungkir balik, terbanting jatuh punggung ditanah. Setelah keluarkan gerungan pendek nenek ini melompat bangkit. Dia masih bisa berdiri walau terhuyung. Mukanya yang bercelomongan dandanan tebal tambah pucat kalang kabut.
Akibat bentrokan kekuatan dengan Ratu Duyung tadi dua tangannya terkulai lemas di sisi badan, untuk beberapa lama tak bisa digerakkan. Tampangnya tambah pucat ketika melihat bagian bawah pakaiannya ternyata telah hangus!
Sebaliknya Ratu Duyung sendiri jatuh setengah berlutut. Muka pucat, tubuh tak bergerak. Cermin bulat didekapkan di atas dada untuk mengurangi denyutan sakit akibat adu kekuatan sakti dengan Nyi Ragil tadi.
“Muka Mayat!” tiba-tiba Nyi Ragil berteriak. “Jangan jadi patung diam saja! Bantu kami menghadapai tiga perempuan edan itu!” Nyi Ragil kerahkan tenaga dalam lalu dialiri pada dua tangannya yang cidera. Begitu kekuatan muncul kembali dia gerakkan tangan kiri ke punggung. Sebilah golok besar masih terbungkus sarung kini tergenggam ditangan kirinya.
“Sreett!” Nyi Ragil hunus golok yang dikenal dengan julukan Si Penjarah Nyawa itu. Satu pertanda bahwa dia ingin membunuh salah satu dari tiga gadis cantik. Yang jadi sasarannya adalah Ratu Duyung yang diangapnya paling berbahaya.
“Ratu Duyung, lihat senjata di tanganku!”
“Nenek jahat! Aku tidak buta! Aku dapat melihat jelas golok rongsokan di tanganmu!” Walau mulutnya berucap begitu namun Ratu Duyung sudah pernah mendengar keganasan Golok Si Penjarah Nyawa. Dia tak mau berlaku ayal. Apalagi bentrokan hebat dalam dengan lawan tadi masih mempengaruhi dirinya. Ratu Duyung kerahkan tenaga dalam, Sebagian dialirkan pada tangan kanan yang memegang cermin sakti, sebagian lagi ke arah kepala, dipusatkan pada sepasang matanya yang biru.
Nyi Ragil menyeringai. “Ratu Duyung, dengar baik-baik. Sekali Golok Si Penjarah Nyawa keluar dari sarungnya, satu nyawa akan melayang ke akhirat!”
“Wuttt!” Golok berkiblat. Walau puncak Bukit Menoreh diselimuti kegelapan malam namun golok Si Penjarah Nyawa keluarkan cahaya terang angker, menabas ke arah dada Ratu Duyung.
Yang diserang tak tinggal diam. Sambil menggeser kedudukan dua kakinya Ratu Duyung gerakkan pergelangan tangan. Selarik cahaya putih menyilaukan keluar dari dalam cermin bulat, membeset udara dan kegelapan malam!
Nyi Ragil agak takabur begitu percaya pada kehebatan setiap Golok Penjarah Nyawa yang dimilikinya. Begitu tebasan golok kearah dada lawan tidak menemui sasaran, dia melesat ke udara. Golok Si Penjarah Nyawa kini dibabatkan ke arah kepala. Tapi sebenarnya ini hanya satu tipuan saja. Begitu lawan rundukkan kepala, goloknya terus menyambar ke arah tangan Ratu Duyung yang memegang cermin bulat.
Dia mengharapkan lawan akan mengelak selamatkan tangan. Ternyata memang benar. Begitu Ratu Duyung jauhkan tangan kanannya Nyi Ragil memburu dengan satu sambaran kilat ke arah cermin. Cermin dari kaca mana mampu melawan golok sakti. Demikian Nyi Ragil berpikir.
"Traaangg! Traaakk!"
Cermin sakti dan Golok Si Penjarah Nyawa saling bentrokan. Pecahan kaca cermin bertaburan di udara, berkilauan dalam kegelapan malam. Nyi Ragil tertawa mengekeh. Tapi suara tawanya ini mendadak lenyap begitu dia menyadari kalau dia tidak lagi menggenggam Golok Si Penjarah Nyawa di tangan kanan. Sedang sarung golok yang tadi ada di tangan kirinya mental entah ke mana. Memandang ke atas dia masih sempat melihat golok itu, dalam keadaan patah dua melesat mental ke udara, lalu jatuh dan menancap di tanah!
BAB 4
Anggini yang melihat hancurnya cermin sakti milik Ratu Duyung berseru kaget. “Ratu! Cerminmu!”
Ratu Duyung sendiri memang terkejut bukan main menyaksikan bagaimana senjata sakti andalannya itu hancur berkeping-keping. Namun dia tetap unjukkan sikap tenang. Dengan satu gerakan kilat gadis ini melompat keudara. Bingkai cermin yang masih berada di tangan kanannya diputar demikian rupa, menyambuti pecahan kaca-kaca cermin yang saat itu melayang berjatuhan ke tanah.
Terjadilah satu hal luar biasa. Puluhan pecahan kaca cermin sakti yang jatuh diatas permukaan bingkai menyatu rapat dan licin. Di lain kejap cermin sakti yang sebelumnya telah hancur berantakan itu tampak utuh kembali seperti sebelumnya!
Melengak Nyi Ragil melihat kejadian itu Si Muka Bangkai juga ikut terkesiap. Kakek ini serta merta memberi tanda ke arah si nenek. Mau tak mau nyali Nyi Ragil jadi bergetar. Dia harus melakukan sesuatu dengan cepat. Karenanya begitu Ratu Duyung berpaling ke arahnya, sebelum gadis itu sempat bergerak Nyi Ragil mendahului dengan satu serangan dahsyat. Dua tangan dihantamkan berbarengan. Sepuluh larik sinar merah ilmu jahat Mengupas Raga menderu ke arah Ratu Duyung.
Kalau Nyi Ragil ingin menghabisi lawannya secepat yang bisa dilakukan maka dilain pihak Ratu Duyung tak mau lagi memberi hati. Cermin sakti digetarkan. Cahaya putih menyilaukan menyambar. Bersamaan dengan itu dia sentakkan kepala kedipkan mata. Dari sepasang matanya berkiblat dua larik sinar biru, menyambar bersilang seperti gunting ke arah tubuh Nyi Ragil.
Inilah satu ilmu langka yang hampir tidak pernah dikeluarkan Ratu Duyung karena keganasannya membuat tidak ada satu lawanpun selamat dari kematian. Saat itu bagi sang Ratu hanya dengan ilmu kesaktian satu inilah dia akan mampu menamatkan riwayat lawannya si nenek jahat.
Kejut Nyi Ragil bukan alang kepalang. “Pedang Sinar Dasar Samudra…!” ucapnya bergetar begitu melihat dan mengenali sambaran dua sinar biru. “Dulu aku pernah meminta ilmu ini pada Ratu Agung, tapi tidak diberikan. Ternyata dia yang mendapatkan. Jahanam!” rutuk Nyi Ragil. Cepat nenek ini melafal satu mantera lalu berseru.
“Ratu Duyung! Apa kau begitu tega membunuh diriku?!”
“Astaga!” Ratu Duyung keluarkan seruan kaget. Gerakan cermin cepat dialihkan, begitu juga semburan dua larik sinar biru yang mencuat dari sepasang matanya. Apa yang terjadi? Dihadapannya dia tidak lagi melihat Nyi Ragil Tawangalu tetapi melihat sosok Pendekar 212 Wiro Sableng. Dan pemuda yang dicintainya inilah yang menjadi sasaran serangan ganasnya!
Dalam keadaan seperti itu, Ratu Duyung telah kena ditipu. Dengan ilmu Pembalik Otak Pembuta Mata Nyi Ragil telah merubah dirinya sehingga Ratu Duyung melihatnya bukan lagi sebagai seorang nenek berdandan medok tebal yang jadi musuhnya melainkan menyerupai Pendekar 212 Wiro Sableng, pemuda yang dicintainya. Ratu Duyung menoleh ke samping. Dan menjadi bingung. Disebelah sana dia melihat satu lagi sosok Wiro, tengah bertempur hebat menghadapi Bidadari Angin Timur.
“Aneh, bagaimana mungkin bisa ada dua Pendekar 212?” membatin sang dara. “Jangan-jangan… Pasti nenek celaka itu telah menyirapku dengan ilmu Pembuta Mata!”
Ratu Duyung cepat sadar. Dia hentakkan kaki kanannya ke tanah seraya merapal satu ucapan. Walau samar-samar tapi saat itu juga dia melihat kembali sosok asli orang didepannya yakni sosok Nyi Ragil Tawangalu. Meski Ratu Duyung berhasil menguasai jalan pikiran dan penglihatannya kembali namun untuk beberapa saat tadi dia telah berlaku ayal. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Nyi Ragil.
Selagi Ratu Duyung terkesiap begitu rupa, Nyi Ragil lipat gandakan kekuatan dorongan dua tangannya. Sepuluh larik cahaya merah ilmu Mengupas Raga yang tadi sudah berkelebat di udara kini laksana topan prahara menderu lebih cepat ke arah sang Ratu yang masih tegak setengah tertegun!
“Ratu Duyung! Awas!” teriak Anggini. Dia melompat ke depan melancarkan jurus ilmu silat yang diwarisi dari gurunya Dewa Tuak, bernama Memecah Angin Meruntuh Matahari Menghancurkan Rembulan. Dua tangan dihantamkan berbarengan, memapas serangan sepuluh cahaya merah ilmu Mengupas Raga.
Untuk kesekian kalinya puncak Bukit Menoreh malam itu dilanda gelegar letusan dahsyat. Tertindih oleh suara letusan keras itu terdengar jeritan Ratu Duyung. Gadis ini terbanting ke tanah sambil pegangi dada pakaiannya sebelah kanan yang mengepulkan asap. Anggini yang berjibaku melancarkan serangan untuk menyelamatkan sahabatnya Ratu Duyung kelihatan terjajar terhuyung-huyung lalu jatuh berlutut. Wajahnya yang jelita tampak pucat. Dadanya yang besar bergetar turun naik, mendenyut sakit. Pemandangan menggelap pertanda jalan darahnya tidak karuan. Gadis ini cepat atur jalan darah dan kerahkan tenaga dalam.
Di bagian lain Nyi Ragil terduduk di tanah. Tubuh membungkuk, rambut awut-awutan. Dia menggigit bibir menahan rasa sakit seolah satu batu besar menindih dadanya. Si nenek batuk-batuk. Ada cairan aneh di dalam mulutnya. Ketika diludahkan yang tersembur bukan cuma ludah tapi juga darah kental!
Si nenek mengalami luka dalam. Dari kejadian ini jelas dalam hal tenaga dalam Nyi Ragil masih berada satu tingkat dibawah murid dewa Tuak Anggini. Hal ini membuat si nenek sulit bisa percaya! Dia yang tua bangka dan punya segudang pengalaman masih kalah dari seorang gadis belia!
Ternyata jibaku yang dilakukan Anggini tidak seluruhnya berhasil menyelamatkan Ratu Duyung. Enam larik serangan cahaya merah ilmu Mengupas Raga yang dilancarkan Nyi Ragil berhasil ditumpas dimusnahkan. Tiga lainnya dibabat mental lalu menghantam pohon besar di seberang sana hingga pohon ini terpanggang hangus, untuk beberapa lama kelihatan membara merah dalam kegelapan malam.
Serangan larikan cahaya yang ke sepuluh dari pukulan Mengupas Raga yang dilancarkan Nyi Ragil ternyata tak dapat ditumpas oleh pukulan sakti Anggini. Larikan cahaya merah ini dengan ganas menyambar setengah jengkal diatas permukaan dada pakaian sebelah kanan Ratu Duyung.
“Wusss!” Asap kehitaman mengepul. Ratu Duyung terpekik, cepat bersurut mundur sambil pegangi dada. Larikan sinar membakar hangus pakaian sang Ratu. Manik-manik yang bertempelan pada pakaian itu hancur bertaburan.
“Ratu Duyung!” seru Anggini. Secepatnya dia berhasil mengatur jalan darah dan mengerahkan hawa sakti dalam tubuhnya, gadis ini segera lari menghampiri sahabatnya itu.
“Ratu…” Anggini berlutut disamping Ratu Duyung. Matanya memperhatikan tangan kanan sang Ratu yang dipakai menutupi dada sebelah kanan.
“Aku… aku terluka…” ucap Ratu Duyung.
Anggini coba memeriksa. Diangkatnya tangan Ratu Duyung yang menekapi dada. Murid Dewa Tuak ini jadi tersentak, mukanya mengerenyit. Dibalik dada pakaian yang robek hangus Anggini melihat dada kanan sang Ratu. Satu luka sepanjang satu jengkal menganga hangus mengerikan. Melihat air muka sahabatnya Ratu Duyung coba angkat kepala, memperhatikan ke arah dadanya sendiri.
“Ah…” Kepala sang Ratu terkulai ketanah. Wajahnya yang jelita seputih kain kafan. Bibirnya digigit kuat-kuat. “Nenek jahanam itu… Dia membuat aku cacat seumur hidup. Anggini, bantu aku berdiri. Aku harus membunuh manusia itu saat ini juga!”
“Ratu Duyung, kau dalam keadaan terluka. Kau bisa bertahan? Biar aku yang menghadapi tua bangka jahanam itu!”
“Aku…” Ratu Duyung tidak meneruskan ucapannya. Saat itu Anggini telah berdiri lalu melompat ke arah Nyi Ragil yang tengah mengeroyok Bidadari Angin Timur bersama Wiro Sableng. Di tangan Nyi Ragil tergenggam sebilah Golok Si Penjarah Nyawa yang baru. Ternyata ke mana-mana nenek berjuluk Si Manis Penyebar Maut ini memang membawa lebih dari satu golok sakti.
Dikeroyok oleh dua orang berkepandaian tinggi membuat Bidadari Angin Timur terdesak hebat. Untung saja gadis ini memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi serta gerakan kilat yang sulit dicari tandingannya. Tubuhnya lenyap. Yang kelihatan hanya bayang-bayang biru pakaian serta sambaran rambut pirangnya yang bisa berubah menjadi senjata mematikan. Setelah bertempur lebih sepuluh jurus dan mereka masih juga belum dapat menyentuh Bidadari Angin Timur, Nyi Ragil berteriak.
“Yayang, keluarkan kapak saktimu!”
Termakan ucapan si nenek, Wiro yang masih berada dalam sirapan ilmu Pembuta Mata segera keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Dia sengaja pegang senjata ini di tangan kiri karena tangan kanan dipergunakan untuk melancarkan pukulan-pukulan sakti. Begitu Kapak Naga Geni 212 mulai menyambar maka suara menggaung angker disertai sambaran cahaya putih panas serta merta mengurung Bidadari Angin Timur.
Sang dara berambut pirang kertakkan rahang. Terhadap Nyi Ragil dia bisa menumpahkan seluruh ilmunya untuk dipakai menyerang, tapi terhadap Wiro tak mungkin hal itu dilakukan. Walau bagaimanapun dia tak ingin mencelakai pemuda yang dicintainya itu. Sebaliknya Wiro menyerangnya bersungguh-sungguh.
Dalam keadaan serba salah akibatnya Bidadari Angin Timur kembali mulai terdesak. Gadis ini merasa gembira ketika dilihatnya tiba-tiba Anggini menerjang ke arah Nyi Ragil yang tengah mengeroyoknya. Namun dia jadi kecewa karena saat itu Si Muka Bangkai telah melompat memapaki gerakan Anggini. Sambil menyeringai Si Muka Bangkai kembaran berdiri bungkuk di hadapan Anggini.
“Murid Dewa Tuak, aku sudah tahu kehebatan gurumu yang ke mana-mana membawa tuak. Apakah kau juga sama hebatnya dengan gurumu? Lalu ke mana-mana kau membawa apa? Ha ha ha! Kulihat kau tidak membawa bumbung bambu berisi tuak, tapi membawa sepasang benda lembut besar dibalik dada pakaianmu! Ha ha ha!”
“Tua bangka jahanam! Sudah bau tanah masih bicara kotor!” teriak Anggini. “Jaga kepalamu!” Tubuh sang dara berpakaian ringkas serba ungu ini melesat laksana tombak. Tangan kanannya menyambar seperti sambaran pedang dari atas kebawah, yang diarah batok kepala Si Muka Bangkai.
“Jurus Bumbung Sakti Membelah Akhirat!” seru Si Muka Bangkai menyebut jurus serangan yang dilancarkan Anggini. “Ha ha ha! Siapa takut! Gadis cantik jaga auratmu!” Si Muka Bangkai membuat gerakan mengelak. Begitu hantaman tangan Anggini lewat, sambil membungkuk tangan kirinya disorongkan ke bawah perut sang dara.
“Jahanam kurang ajar!” teriak Anggini marah sekali melihat cara si kakek menyerangnya. Serangan ganasnya tadi jadi mentah. Sang dara segera lipat lutut kiri. Bersamaan dengan itu Anggini hantamkan tangan kanan ke depan. Serangkum angin deras melabrak Si Muka Bangkai. Sosok kakek ini sesaat bergoncang keras. Dua tangannya menggapai aneh.
Tiba-tiba tangan sebelah kanan bergerak, telapak membuka, lima jari setengah menekuk. Ketika tangan itu didorongkan maka terdengar suara mendesis keras disertai sambaran angin panas membara. Si Muka Bangkai telah melepas pukulan Telapak Matahari. Salah satu pukulan sakti yang telah menggetarkan rimba persilatan Tanah Jawa.
Anggini berseru kaget ketika merasakan tubuhnya laksana dipanggang. Murid Dewa Tuak segera membuang diri ke samping.
“Wuuttt!” Angin serangan lewat di samping kepalanya. Di udara tercium bau sangit. Anggini raba rambut kepalasamping kanan. Ternyata angin panas pukulan Telapak Matahari sempat membakar beberapa helai rambutnya!
Si Muka Bangkai kembaran tertawa mengekeh. “Gadis cantik! Gurumu si Dewa Tuak saja belum tentu mampu mengalahkanku. Jangan berani cari penyakit. Aku akan menghentikan perkelahian ini jika kau suka ikut aku. Kita bersenang-senang sampai menjelang pagi. Bagaimana?!”
“Tua bangka cabul! Kau boleh bersenang-senang di neraka!” Teriak Anggini. Lalu gadis ini menyerbu dengan tendangan berantai. Dua tangan ikut kirimkan serangan-serangan mematikan. Sesekali serangan itu berupa totokan kilat mengincar urat besar di pangkal leher dan dada kiri.
Si Muka Bangkai kini tak mau berlaku main-main. Dari serangan yang dilancarkan lawan agaknya sang dara tengah mengeluarkan seluruh kepandaiannya. “Serangannya diselingi totokan,” membatin Si Muka Bangkai. “Aku ingat, Dewa Tuak punya ilmu totokan yang disebut Totokan Seribu Lumpuh Seribu Ajal. Totokan itu bisa memecah jantung atau melumpuhkan tubuh. Aku harus hati-hati"
Si Muka Bangkai kembaran percepat gerakannya. Tubuhnya yang bungkuk berubah menjadi bayang-bayang. Dia berusaha mengeluarkan beberapa pukulan sakti, tapi Anggini tak memberi kesempatan. Pukulan dan tendangannya datang bertubi-tubi.Belum lagi totokan yang menyambar berulang kali ke arah leher dan dada.
“Setan alas! Hidup-hidup tak bisa kudapat, bangkaimu pun tak jadi apa!” kertak Si Muka Bangkai, Kakek ini lalu rubah gerakan silatnya. Tubuhnya yang bungkuk mendadak berubah lurus. Dua tangannya seolah menjadi lebih panjang. Ketika kakek ini siap menghantamkan dua pukulan sakti tiba-tiba menyambar selarik sinar ungu.
“Wuuttt!” Si Muka Bangkai kembaran berseru kaget ketika tiba-tiba dia dapatkan dua lengannya dilibat sehelai selendang berwarna ungu.
“Kakek jahanam! Putus tanganmu!”teriak Anggini.
“Gadis keparat! Tanganmu yang amblas!” teriak Si Muka Bangkai.
Tenaga dalam pada dua tangannyadilipat gandakan, lalu dua lengannya dibetot kuat-kuat.
********************
BAB 5
Kita tinggalkan dulu pertempuran antara Anggini dengan Si Muka Bangkai. Kita kembali pada Bidadari Angin Timur yang harus bertempur mati-matian menghadapi Pendekar 212 Wiro Sableng dan Nyi Ragil Tawangalu. Sampai saat itu ilmu sirapan jahat Nyi Ragil masih menguasai Wiro hingga dia tetap melihat Bidadari Angin Timur sebagai seorang nenek tak dikenal.
Di tempat lain Ratu Duyung tergejetak di tanah keluarkan erangan tiada henti. Untuk mengurangi rasa sakit cidera di dadanya gadis ini tempelkan cermin sakti ke bagian. yang terluka. Kematian bagi Ratu Duyung bukan apa-apa dibanding jika dia tetap hidup dengan menderita cacat di dada seumur-umur. Dia teringat, satu hal yang terasa sangat menakutkan. Tidak ada satu lelaki pun yang akan mencintai apa lagi mengambil istri seorang gadis yang memiliki cacat mengerikan pada bagian dadanya.
“Gadis cantik bertebaran di mana-mana. Agaknya sudah takdir aku tak bakal mendapatkan Wiro. Kini Bidadari Angin Timur dan Anggini lebih memiliki dan membagi kesempatan. Siapa yang perduli dengan gadis cacat sepertiku. Apa gunanya lagi hidup. Lebih baik mati saja…” Ucapan itu menyeruak dalam hati Ratu Duyung. Perlahan-lahan air mata jatuh meleleh di pipidara bermata biru ini.
Kembali pada pertempuran antara Bidadari Angin Timur melawan Wiro dan Nyi Ragil Tawangalu. Bagaimanapun hebatnya gadis berkepandaian tinggi itu bertahan, mengelak dan balas menyerang namun dua lawan yang dihadapinya bukan manusia-manusia sembarangan. Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan Wiro serta ilmu Mengupas Raga yang sesekali dilepas Nyi Ragil membuat dirinya benarbenar dikurung maut dari berbagai penjuru.
“Celaka, sampai berapa lama aku bisa bertahan,” keluh Bidadari Angin Timur dalam hati. Melirik ke samping dilihatnya Anggini bertempur nekad melawan Si Muka Bangkai sementara di tempat lain Ratu Duyung masih tergeletak di tanah, mengerang sambil dekapkan cermin sakti di atas dada. “Aku harus mencari akal! Aku harus berbuat sesuatu. Kalau tidak pasti konyol!”
Untuk lari selamatkan diri begitu saja sama sekali tidak terpikir di benak Bidadari Angin Timur yang punya hati sekeras baja ini. Otaknya diputar. Dia ingat pada apa yang dilakukan Ratu Duyung di permulaan pertempuran menghadapi Wiro tadi. Setelah menghantam ke arah Nyi Ragil dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi, memaksa lawan satu ini menjauh, Bidadari Angin Timur nekad melompat ke hadapan Wiro lalu berteriak.
“Pangeran Matahari! Hebat sekali! Bagaimana Kapak sakti milik Pendekar 212 berada di tanganmu! Pasti kau telah membunuh musuh besarmu itu!”
Wiro yang hendak membabatkan Kapak Naga Geni 212 jadi tertahan gerakannya.? “Nenek butut! Apa kau bilang? Kau memanggil aku Pangeran Matahari?! Ha ha ha! Matamu buta, otakmu pasti tidak waras!”
“Lalu siapa dirimu sebenarnya? Jawab!”
Wiro sesaat tampak bingung. Melihat gelagat yang tidak baik Nyi Ragil segera berteriak. “Yayang, jangan dengarkan ucapan nenek keparat itu! Lekas bunuh dia!”
“Kekasihku, jangan khawatir! Aku akan persembahkan kepalanya sebagai mas kawin!” jawab Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Saat itulah dengan satu gerakan luar biasa cepatnya Bidadari Angin Timur melesat ke arah Wiro. Tangan kanan diangkat ke atas seperti hendak menggebuk. Ini hanya satu tipuan belaka. Begitu Wiro membuat gerakan mengelak secepat kilat dua jari telunjuk tangan kiri sang dara menyambar ke arah kening antara dua mata sang pendekar.
“Yayang! Awas totokan!” teriak Nyi Ragil. Nenek ini melompat sambil hantamkan tangan kanan ke arah punggung Bidadari Angin Timur yang saat itu membelakanginya.
“Desss!”
Kening di atas hidung antara dua mata Pendekar 212 yang dilanda totokan dahsyat Bidadari Angin Timur keluarkan suara mendesis disertai mengepulnya asap hitam. Wiro terhuyung ke belakang, usap-usap matanya berulang kali dengan tangan kanan sementara tangan kiri masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Sirapan ilmu Pembuta Mata yang menguasai dirinya musnah. Bersamaan dengan itu ingatannya yang masih agak linglung kini menjadi pulih sepenuhnya. Wiro buka matanya lebar-lebar, memandang berkeliling.
Sementara itu ketika Bidadari Angin Timur sadar kalau dirinya dibokong orang dengan serangan maut, serta merta melompat ke samping kanan selamatkan diri. Namun terlambat. Kepalan Nyi Ragil yang menyorotkan sinar merah membara pertanda diisi dengan kekuatan penuh ilmu ganas Mengupas Raga laksana kilat menghunjam ke punggung Bidadari Angin Timur. Kalau sampai jotosan itu mengenai sasaran maka punggung si gadis akan bolong, tembus hangus sampai ke permukaan dada!
Hanya satu kedipan lagi pukulan maut Nyi Ragil akan mendarat di sasarannya tiba-tiba satu bayangan besar berkelebat menghantar siuran angin deras. Dua tangan berkelebat secepat kilat. Satu mendorong bahu Bidadari Angin Timur hingga gadis ini terjungkal jatuh ke tanah. Tangan satunya menebarkan sesuatu di udara.
“Srettt! Crasss! Breett!”
“Sial biyung! Rusak kipasku!”
“Bukkk!” Nyi Ragil menjerit. Nenek ini terlempar dua tombak. Dua tangannya pegangi kepala yang barusan seperti dihantam pentungan besi. Di keningnya kelihatan satu benjutan besar.
Lalu terdengar suara gelak tawa mengekeh. Semua orang jadi kaget karena suara tawa itu sampai menggetarkan tanah. Di saat bersamaan hawa dingin aneh mendadak menyungkup puncak Bukit Menoreh hingga dalam kejutnya semua orang menggigil kedinginan.
Nyi Ragil turunkan dua tangan yang menekap kening, memandang ke depan menahan sakit penuh geram. Mulutnya yang kempot bergerak kembang kempis. Bidadari Angin Timur begitu menjejakkan kaki di tanah cepat berpaling ke arah orang yang tertawa.
Terkapar di tanah walau dalam keadaan menahan sakit Ratu Duyung berusaha gerakkan kepala, memandang ke arah yang sama. Sementara itu Si Muka Bangkai dan Anggini yang tengah terlibat dalam pertempuran hebat walau mendengar suara tawa menggelegar disertai munculnya hawa dingin luar biasa namun mereka berusaha agar tidak terpengaruh.
Saat itu keduanya berada dalam keadaan sangat berbahaya. Siapa bertindak lengah bakal celaka. Seperti diceritakan sebelumnya selendang ungu milik Anggini yang merupakan satu senjata ampuh telah melibat pergelangan tangan kiri kanan Si Muka Bangkai.
“Kakek jahanam! Putus tanganmu!” teriak Anggini seraya menyentakkan kuat-kuat ujung selendang yang dipegangnya di tangan kanan. Dengan selendang yang merupakan senjata ampuh serta kekuatan tenaga dalam tinggi yang dimiliki murid Dewa Tuak, memang bukan mustahil bagi Anggini untuk menyentak putus dua tangan lawannya.
Akan tetapi di lain pihak Si Muka Bangkai yang tahu gelagat serta maklum kehebatan tenaga dalam yang dimiliki Anggini, serta merta alirkan seluruh tenaga dalamnya pada dua tangan. Dalam hati dia membatin. “Tenaga dalammu mungkin lebih tinggi dari Nyi Ragil. Tapi terhadapku kau boleh coba!”
Lalu Si Muka Bangkai berseru keras membalas teriakan Anggini. “Gadis keparat! Tanganmu yang amblas!” Dua lengan „yang dilibat selendang ungu dibetot kuat-kuat ke belakang.
“Kurang ajar!” maki Anggini dalam hati. Rahangnya menggembung. Dia bisa nekad sambuti kekuatan tenaga dalam lawan. Tapi ada satu hal yang dikhawatirkan gadis ini. Kalau akibat saling menarik itu selendang ungunya sampai robek apa lagi hancur tak karuan maka dia akan menyesal seumur-umur.
Selendang itu mempunyai arti dan sejarah tersendiri bagi Anggini. Beberapa tahun sebelumnya ketika pertama kali dia berkenalan dengan Wiro, dalam satu kesempatan penuh mesra Wiro telah mengguratkan angka 212 pada salah satu ujung selendang ungu itu. Karenanya begitu merasa lawan melakukan betotan kuat Anggini kendurkan tarikannya.
Malah dengan cerdik dia pergunakan daya betot Si Muka Bangkai untuk lesatkan diri ke depan. Sambil melesat dia gerakkan tangan hingga selendang yang menggulung dua lengan lawanberputar lepas. Lalu dengan satu gerakan kilat Anggini merubah putaran selendang demikian rupa hingga siap menjirat leher lawan. Masih mengandalkan daya betotan lawan Anggini melompat ke udara. Bersamaan dengan itu tangan kirinya membuat gerakan melempar.
“Wuuttt! Wuuttt! Wuuutttt!”
Si Muka Bangkai melihat tiga cahaya putih disertai deru menggidikkan. Tiga benda berbentuk paku putih menyambar ke arah Si Muka Bangkai. Satu mengarah kepala, dua menjurus kebagian dada!
“Paku perak pemburu nyawa!” teriak Si Muka Bangkai. Saat itu keadaan kakek bermuka sepucat mayat ini memang sangat berbahaya. Lehernya siap dijirat gelungan selendang ungu.
Sementara tiga paku putih terbuat dari perak mencari sasaran di kepala dan dada. Orang lain mungkin tidak akan sanggup selamatkan diri dari serangan ganas murid Dewa Tuak itu. Namun Si Muka Bangkai kembaran bukan manusia sembarangan. Ilmunya tidak kalah hebat dari kakak kembarnya, Si Muka Bangkai asli.
Dari tenggorokannya terdengar suara menggembor. Ketika mulut itu meniup, paku perak yang menyambar ke arah kepalanya terpental ke samping. Bersamaan dengan meniup tadi si kakek sakti jentikkan lima jari tangan kiri kanan. Sepuluh larik sinar berwarna hitam berseling merah dan kuning berkiblat.
Inilah ilmu kesaktian yang disebut Sepuluh Tameng Kematian. Konon kakak kembarnya Si Muka Bangkai asli tidak memiliki ilmu kesaktian yang satu ini. Berarti ilmu ini benar-benar merupakan yang paling diandalkan Si Muka Bangkai kembaran baru dikeluarkan dalam bahaya besar dan sulit dihadapi.
Menurut para tokoh silat golongan hitam yang mengetahui, ilmu Sepuluh Tameng Kematian merupakan benteng pertahanan dan sekaligus memiliki daya serang ampuh luar biasa. Sambil hantamkan ilmu Sepuluh Tameng Kematian, Si Muka Bangkai rundukkan tubuhnya yang bungkuk. Paku perak yang menyambar ke arah kepala lewat hanya sekuku di atas ubun-ubunnya. Lalu...
“Tringg! Tringg! Dukkk! Bukkk!”
Dua paku perak sakti yang menghantam ke arah dada Si Muka Bangkai leleh lalu mental ke udara. Anggini sendiri terpekik. Gadis ini jatuhkan diri ke tanah, bergulingan menjauh sambil pegangi kepalanya. Walau dia berhasil selamatkan nyawa namun selarik sinar yang keluar dari jari-jari tangan Si Muka Bangkai menghanguskan rambutnya!
Larikan lain membakar bahu pakaian ungunya! Anggini berusaha berdiri. Sosoknya kelihatan miring. Wajah mengerenyit. Bahu kiri terasa sakit sekali. Di sebelah bawah tangannya tak bisa digerakkan seolah lumpuh. Ini adalah akibat jotosan yang sempat dihantamkan Si Muka Bangkai begitu melihat serangan ganasnya tidak berhasil menghabisi murid Dewa Tuak.
Sebaliknya saat itu Si Muka Bangkai bangkit berdiri. Matanya yang celong mendelik merah. Pelipis bergerak, rahang menggembung. Dia tidak perdulikan denyut sakit di dada. Tidak mengacuhkan ada darah yang meleleh di sudut bibirnya. Juga tidak perduli akan hawa dingin yang seperti hendak membuat beku sosok tua rentanya. Dua kaki ditekuk hingga tubuhnya yang bungkuk bertambah bungkuk. Dua tangan diangkat ke atas. Udara gelap di atas kepala Si Muka Bangkai mendadak bertambah kelam.
“Anggini awas! Jahanam tua itu hendak melepaskan pukulan Gerhana Matahari” Yang berteriak adalah Ratu Duyung. Dalam keadaan cidera berat gadis ini masih sempat memberi ingat sahabatnya itu. Seringai maut menyungging di wajah pucat Si Muka Bangkai.
Tiba-tiba seringai itu lenyap. Bersamaan dengan lenyapnya seringai itu si kakek siap hantamkan dua tangannya, melepas dua pukulan Gerhana Matahari sekaligus. Tapi mendadak gerakannya tertahan ketika dia mendengar suara jeritan keras merobek gelapnya langit dan udara malam di puncak Bukit Menoreh.
“Nyi Ragil…” desis Si Muka Bangkai. Apa yang terjadi?!"
********************
BAB 6
Kegegeran besar berturut-turut melanda Bukit Menoreh. Kegegeranpertama sewaktu berkelebatnya satu bayangan besar disusul jeritan Nyi Ragil. Sambil pegangi kepalanya yang benjut seolah kena pentung Nyi Ragil memandang geram ke depan. Kecuali Anggini dan Si Muka Bangkai yang tengah terlibat pertempuran hidup mati, semua orang yang ada di tempat itu juga sama terkesiap kaget dan palingkan kepala.
Di tempat itu berdiri seorang pemuda bertubuh gemuk luar biasa. Mengenakan baju terbalik. Bagian yang berkancing berada di sebelah punggung. Sehelai kain sarung melintang di atas bahu. Si gendut bermata belok ini berdiri cengengesan sambil tangan kiri mengipas-ngipaskan sebuah peci hitam. Mukanya yang merah tembam serta pakaiannya basah oleh keringat. Sikapnya lucu.
“Uhhh… Panasnya udara malam ini!” kata si gendut ini. Benar-benar gila! Saat itu semua orang pada menggigil menahan udara dingin aneh yang menyungkup puncak Bukit Menoreh. Tapi si gendut malah berucap panas!
Di tangan kanannya orang ini memegang sebuah kipas kertas yang robek bolong. Dengan kipas kertas inilah tadi dia menahan jotosan maut Nyi Ragil yang melabrak ke arah punggung Bidadari Angin Timur hingga gadis ini selamat dari maut. Lalu dengan tangan masih memegang kipas yang jebol itu dia menghantam kepala Nyi Ragil, tepat di arah kening. Sehingga si nenek terpental jauh dan benjut besar dijidatnya.
Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung yang mengenali siapa adanya pemuda gendut ini berseru hampir berbarengan.
“Bujang Gila Tapak Sakti!”
Pendekar 212 Wiro Sableng yang baru saja lepas dari sirapan jahat ilmu Pembalik Otak Pembuta Mata saat itu berdiri setengah tertegun sambil garuk-garuk kepala. Dalam hati dia membatin. “Eh, ke mana perginya tiga nenek butut tadi. Aku melihat gadis-gadis cantik. Astaga, bukankah si rambut pirang di dekatku ini adalah Bidadari Angin Timur. Lalu yang berkelahi di sebelah sana Anggini murid Dewa Tuak. Dan yang terkapar di sebelah situ… Astaga. Dia Ratu Duyung, apa yang terjadi atas dirinya?”
Akan halnya Nyi Ragil, yang sebelumnya sempat kaget dan marah besar terhadap si gendut yang diketahuinya telah menolong menyelamatkan Bidadari Angin Timur serta memukul benjut keningnya, kini mendengar dua gadis menyebut nama Bujang Gila Tapak Sakti hatinya jadi bergetar. Dia belum pernah bertemu muka dengan si gendut ini namun sudah mendengar banyak tentang kehebatan ilmu silat serta kesaktiannya.
“Bujang Gila Tapak Sakti. Pendekar Aneh Dari Gunung Mahameru…” desis si nenek. “Kudengar kabar kalau tak salah dia adalah keponakan dua tokoh aneh Dewa Ketawa dan Dewa Sedih. Udara dingin yang menyungkup di tempat ini, pasti si gendut sakti itu yang punya pekerjaan! Waktu terjadi pertempuran hebat antara para tokoh silat golongan putih melawan para dedengkot golongan hitam, kabarnya dia yang membunuh kakak kembaran kekasihku.”
Si nenek melirik ke arah Wiro. “Pemuda itu lepas dari sirapan. Bujang Gila jelas berada di pihaknya. Naga-naganya urusan bisa jadi kapiran! Apa lagi aku sudah kena cidera. Lebih baik cepat-cepat tinggalkan tempat ini. Aku harus memberi tahu Si Muka Bangkai!”
Tapi setelah memandang ke arah tempat di mana Si Muka Bangkai bertempur hebat melawan Anggini, dalam keadaan seperti itu tidak mungkin bagi Nyi Ragil untuk mendekati si kakek. “Perduli setan dengan tua bangka itu! Nyawaku lebih penting!”
Nyi Ragil mengambil keputusan untuk kabur lebih dulu, meninggalkan Si Muka Bangkai begitu saja. Dengan cepat nenek ini putar tubuhnya lalu berkelebat ke arah kegelapan. Namun hanya sesaat tubuhnya melayang di udara tiba-tiba dari kepekatan malam melesat satu bayangan tinggi hitam disertai menebarnya bau aneh menyengat hidung.
“Nyi Ragil, kau mau merat ke mana?! Tinggalkan dulu nyawamu disini! Hik hik hik!”
Nyi Ragil hanya mendengar ucapan serta sambaran angin. Dia tidak tahu di mana orang yang barusan membentak berada. Tiba-tiba satu pukulan dahsyat melanda dadanya.
“Kraakk!”
Suara patah dua tulang iga Nyi Ragil tidak terdengar karena tertindih oleh jeritannya yang merobek langit gelap. Tubuh nenek ini terpental dua tombak, bergulingan di tanah. Ketika dia mencoba bangkit, dadanya terasa sesak lalu muntahkan darah segar. Sepasang mata Nyi Ragil berapi-api, memandang sosok tinggi hitam yang tegak di depannya. Berusaha mengenali siapa dia adanya.
Tapi orang ini sengaja tegak di bawah bayang-bayang pohon besar hingga sulit dikenali. Hanya ada bau aneh tercium menyengat jalan pernafasan Nyi Ragil yang sudah sesak itu. Entah mengapa saat itu juga Nyi Ragil merasakan tengkuknya merinding. Selagi Nyi Ragil megap-megap sulit bernafas dan darah masih meleleh di sela bibirnya tiba-tiba sosok di bawah bayang-bayang gelap pohon keluarkan ucapan.
“Iblis perempuan berjuluk Si Manis Penyebar Maut! Di mana-mana kau membunuh dan berbuat mesum. Dosamu setinggi langit sedalam samudera! Beberapa waktu lalu kau membunuh seorang tak berdosa di puncak Gunung Gede. Jangan kau berani berdusta. Karena aku menemukan patahan golokmu di tempat itu! Menuruti amarah dendam kesumat, aku ingin menghabisimu secepat bisa kulakukan! Tapi kematian cepat terlalu enak bagimu! Aku akan membuntungi tubuhmu satu persatu! Terakhir sekali akan kupecahkan kepalamu! Aku minta dua tanganmu yang suka menyebar kematian dengan ilmu Mengupas Raga!”
Begitu selesai berucap orang itu menggebrak. Sebuah benda di tangan kanannya yang ternyata adalah tongkat kayu butut berkelebat, menyambar ke arah lengan kanan Nyi Ragil
“Jahanam! Kau minta tangan kananku, makan dulu tangan kiriku!” teriak Nyi Ragil.
Sungguh luar biasa. Dalam keadaan cidera berat nenek berjuluk Si Manis Penyebar Maut ini masih mampu melompat. Bahu kanan digeser ke belakang, sebaliknya tangan kiri menghantam ke depan. Namun dia keliru kalau bisa dengan mudah cari selamat sambil balas menghantam. Yang menyerangnya saat itu adalah tokoh angker dan paling ditakuti dalam rimba persilatan Tanah Jawa. Sebelum serangan tangan kiri Nyi Ragil sampai, tongkat di tangan lawan telah menghantam lengan kanannya. Tak ampun lagi...
"Kraakk!" Jeritan Nyi Ragil untuk kesekian kalinya membelah kegelapan malam. Tulang lengannya sebelah kanan patah. Lengan yang masih dibalut hancuran daging dan kulit itu kelihatan tergontai gontai.
“Sekarang aku minta tangan kirimu!” Orang tinggi hitam tutup ucapannya dengan menggerakkan tangan kanan. Tongkat kayu kembali menderu.
Si Muka Bangkai kembaran yang sempat melihat hancurnya lengan kanan kekasihnya serta mengenali siapa adanya orang tinggi hitam yang menyerang sahabatnya itu, dalam kejut bercampur kecut segera hantamkan ilmu Sepuluh Tameng Kematian ke arah Anggini. Begitu gadis lawannya bersurut mundur, dia pergunakan kesempatan untuk melompat ke arah Nyi Ragil yang tengah dalam bahaya.
Tangan kiri mengeruk ke balik pakaian rombengnya. Sesaat sebelum orang tinggi hitam akan menghancurkan tangan kiri Nyi Ragil dengan tongkat kayunya, Si Muka Bangkai dorongkan tangan kiri lalu tangan kanan melemparkan sesuatu ke tanah antara Nyi Ragil dan orang tinggi hitam. Satu gelombang angin dahsyat yang keluar dari tangan kiri Si Muka Bangkai menahan gerak serangan yang dilancarkan orang ke arah Nyi Ragil. Ujung tongkat tergetar hebat, melenceng ke samping.
“Bummm!” Ledakan keras menggelegar disusul kobaran bola api dan kepulan asap sangat hitam. Semua orang untuk beberapa saat lamanya seolah menjadi buta.
“Muka Bangkai pengecut! Jangan lari!” Yang berteriak adalah Anggini.
“Lari?! Hik hik hik! Makan tusuk kondeku!” Sebuah benda putih berkilauan melesat ke arah kobaran api dan kepulan asap hitam tebal.
Lapat-lapat terdengar suara seperti orang mengeluh kesakitan. Tak lama kemudian, ketika kobaran api padam dan kepulan asap hitam lenyap, Nyi Ragil Tawangalu dan Si Muka Bangkai kembaran tak ada lagi di tempat itu.
BAB 7
Kini semua mata ditujukan pada sosok tinggi hitam agak bungkuk yang masih tegak di bawah bayangan gelap pohon besar. Beberapa hidung kelihatan bergerak karena mencium bau sesuatu lain dari yang lain. Hidung Wiro juga tampak kembang kempis. Dia mengenali bau itu. Sesaat dia masih memandang dengan mata disipitkan, coba menembus kegelapan malam dan bayang-bayang hitam di bawah pohon. Setelah merasa pasti Wiro melompat seraya berseru.
“Eyang! Pasti kau! Aku mengenali bau pesing pakaianmu!”
“Anak setan!” sosok di bawah pohon memaki.
Wiro jatuhkan diri, berlutut, dua tangan pegangi pinggul orang sementara hidung mengerenyit menahan nafas karena tak sanggup mencium bau pesing yang menyambar dari pakaian dan tubuh orang di depannya. Orang yang dipanggil dengan sebutan Eyang yang ternyata bukan lain adalah Eyang Sinto Gendeng guru Pendekar 212 sendiri ulurkan tangan kiri. Enak saja dia menjewer telinga kiri Wiro lalu dibembeng ke atas hingga sang murid terangkat, tegak berdiri, mengerenyit kesakitan.
“Anak setan! Ratusan hari menghilang! Kukira kau sudah jadi cacing tanah! Atau mungkin saat ini aku memang benar-benar berhadapan dengan setan sungguhan?”
“Nek, Eyang… aku…”
“Sudah, kulihat tampangmu kalang kabut! Pasti otakmu kacau balau! Tadi kulihat bersama nenek setan itu kau mengeroyok gadis berambut pirang itu. Aneh! Bukankah kudengar dia adalah salah satu kekasihmu?! Ada yang tidak beres di tempat ini! Apa yang terjadi?! Jangan-jangan kau sudah kena sirap…”
“Nek, banyak yang tidak beres di tempat ini. Tapi biang kejadiannya adalah muridmu si anak setan itu!” Yang berucap adalah si gendut Bujang Gila Tapak Sakti.
Sinto Gendeng menoleh ke arah Bujang Gila Tapak Sakti dan pelototkan matanya yang cekung. Si gendut sunggingkan senyum sambil kipas-kipaskan kopiah butut.
“Kebo buduk! Aku bicara pada muridku! Biar dia yang menjawab!” Sinto Gendeng menghardik.
Dibentak dan dikatakan kerbau buduk Bujang Gila Tapak Sakti hanya menyeringai dan terus saja berkipas-kipas dengan peci hitam bututnya.
Sinto Gendeng berpaling pada muridnya. Lalu ketokkan tongkat kayu ke kepala Wiro. “Ayo bicara! Jelaskan ada kejadian apa di sini!”
Wiro lalu bercerita. Sesuai perjanjian dia berada di puncak Bukit Menoreh untuk menunggu kedatangan tiga sahabatnya yakni Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini. “Tapi yang datang bukannya tiga gadis cantik itu, melainkan nenek berdandan celemongan tadi, bernama Nyi Ragil, mengaku berjuluk Si Manis Penyebar Maut. Dia muncul bersama Si Muka Bangkai. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi kemudian…” Wiro garuk-garuk kepala dulu baru melanjutkan. “Kemudian aku lihat nenek itu berubah menjadi gadis cantik. Dalam keadaan tidak sadar aku ikut saja ketika dia mengajakku pergi. Kemudian…”
“Kemudian… kemudian kau lupa menceritakan sesuatu sobatku!” memotong Bujang Gila Tapak Sakti masih berkipas-kipas dan senyum-senyum.
“Apa maksudmu?” tanya Wiro.
“Anak setan! Jangan perdulikan kebo buduk itu! Teruskan saja ceritamu. Jika kebo buduk itu berani lagi membuka mulut akan kusumpal dengan tusuk konde!”
Walau diancam Bujang Gila Tapak Sakti acuh saja. Sambil senyum-senyum dia berkata. “Kau lupa menceritakan bahwa sambil jalan kau memeluk si nenek dan mencium wajah peot celemongannya bertubi-tubi! Nah, aku cuma mau bilang itu! Ha ha ha!”
“Sialan!” maki Wiro. “Waktu itu aku berada di bawah pengaruh sirapannya…”
“Oh begitu?” Bujang Gila Tapak Sakti tertawa lebar, angguk-anggukkan kepala.
“Malah tiga gadis cantik ini, yang kemudian muncul kulihat berubah menjadi tiga nenek butut yang aku tidak kenal,” Wiro melanjutkan ceritanya.
“Tiga nenek itu menghalangi perjalanan kami. Perkelahian tak dapat dihindari. Di bawah pengaruh sirapan ilmu jahat Nyi Ragil aku telah menempur mereka. Ketika aku sadar, Eyang muncul…”
“Nenek Sinto, kami semua berterima kasih. Kalau kau tidak muncul entah apa jadinya dengan kami semua,” berkata Bidadari Angin Timur.
“Ah, aku yang sebesar gajah ini tidak kelihatan. Dilupakan!” Bujang Gila Tapak Sakti berucap dan unjukkan wajah cemberut.
“Sahabat Bujang Gila Tapak Sakti kami juga berterima kasih padamu.Terutama diriku. Kau menyelamatkan jiwaku.”
Bidadari Angin Timur berkata lalu dekati pemuda gendut ini dan pegang lengannya yang keringatan. Bujang Gila Tapak Sakti tersenyum senang, cuping hidungnya jadi mekar bergerak-gerak. Mata kiri dikedip-kedipkan. Membuat Sinto Gendeng jadi jengkel dan memaki.
“Kebo sinting!”
Tiba-tiba ada suara mengerang tertahan. Wiro berpaling, baru sadar kalau disebelah sana Ratu Duyung masih terbaring di tanah dalam keadaan terluka, dipangku kepalanya oleh Anggini.
“Eyang, maafkan aku. Sahabatku Ratu Duyung mengalami cidera…”
“Anak setan! Kau mau ke mana!” Sinto Gendeng berteriak.
Tapi sang murid sudah menghambur ke tempat Ratu Duyung dan Anggini berada. Wajah sang Ratu kelihatan pucat sekali. Tarikan nafasnya tinggal satu-satu. Dalam keadaan cidera berat seperti itu, begitu melihat Wiro berada di dekatnya Ratu Duyung masih mampu menyeruakkan senyum.
“Ratu…” Wiro berjongkok di samping sosok Ratu Duyung.
Sang Ratu terbaring menelentang, kepala di atas pangkuan Anggini. Tangan kirinya memegang cermin bulat. Cermin ini diletakkan di atas dada. Wiro pegang lengan Ratu Duyung, perlahan-lahan menggeser cermin bulat dari atas dada. Begitu dada tersingkap, Wiro melengak kaget dan bergidik. Dalam gelap diadapat melihat dada pakaian yang robek hangus. Lalu daging dada sebelah kanan yang terluka parah mengerikan.
“Pukulan Mengupas Raga…” desis Wiro. Dia menatap pada Anggini. Wiro melihat ada bagian rambut sang dara yang hangus. Anggini gelengkan kepala ketika Wiro memandang ke arahnya. Pendekar 212 maklum arti gelengan kepala itu. Dengan isyarat itu Anggini memberitahu kalau luka di dada Ratu Duyung tak mungkin disembuhkan. Gadis cantik bermata biru itu akan cacat seumur hidup.
Tiba-tiba Wiro ingat kejadian sebelumnya. Ketika dia bertempur melawan Nyi Ragil dan mengeluarkan Ilmu Koppo untuk mematahkan tulang-tulang tangan lawan, si nenek balas menyerang dengan ilmu Mengupas Raga hingga tangan kanannya terkelupas seperti digarang api. Kemudian si nenek mengobati luka itu dengan sejenis cairan ajaib yang disimpan dalam sebuah tabung. Cairan itu mampu menyembuhkan cidera di tangan Wiro hingga utuh kembali seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
“Tabung berisi cairan itu… Aku harus mendapatkan tabung itu!” kata Wiro dalam hati. “Ratu, kau tunggu di sini…” bisik Wiro seraya membelai kening dan rambut di atas kening sang dara. “Aku tahu obat yang bisa menyembuhkan luka di dadamu. Aku akan mengambilnya. Aku segera kembali. Bertahanlah. Anggini, tolong jaga dia baik-baik…”
Belaian tangan Pendekar 212 merupakan sejuta sejuk terasa di tubuh dan hati Ratu Duyung. Wajah pucatnya tampak tersenyum. Matanya mengedip perlahan. “Aku akan bertahan Wiro… Aku berusaha bertahan. Tapi apa yang akan kau lakukan?” Ucapan itu menyeruak dalam hati Ratu Duyung.
“Wiro, kau mau ke mana?” tanya Anggini.
Wiro melompat bangkit. Ketika dia hendak berkelebat pergi ke arah lenyapnya Nyi Ragil dan Si Muka Bangkai, satu benda keras menusuk dadanya, menahan gerakannya. Bagaimanapun dia mencoba kerahkan tenaga, tetap saja tak mampu melangkah barang setindakpun. Benda keras yang menekan dada Pendekar 212 adalah ujung tongkat butut milik Eyang Sinto Gendeng.
“Anak setan! Orang bertanya tak kau jawab. Sekarang aku yang bertanya! Kau mau ke mana?!”
“Nek, aku… aku mau mengejar Nyi Ragil…” jawab Wiro.
“Amboi!” Di sebelah sana Bujang Gila Tapak Sakti berseru. “Baru ditinggal sebentar saja kau sudah rindu pada yayangmu itu! Ha ha ha!” Dari ucapan si gendut rupanya dia sudah lama berada di Bukit Menoreh. Kalau tidak mana mungkin tahu panggilan yayang itu.
“Gendut sialan!” maki Wiro. “Nek, beri aku jalan!” ujar Wiro pada gurunya.
“Anak setan! Jawab dulu pertanyaanku. Ada keperluan apa tiba-tiba kau mau mengejar nenek berdandan celemongan itu? Jangan-jangan kau memang sudah tergila-gila padanya. Jangan-jangan ucapan kebo buduk itu benar adanya!”
“Eyang, Nyi Ragil punya sejenis cairan obat yang bisa menyembuhkan luka menganga di dada Ratu Duyung. Sebelumnya tanganku ini hancur terkelupas tak karuan. Dengan obat itu tanganku bisa sembuh kembali. Lihat…” Wiro unjukkan tangan kanannya dekatdekat ke wajah Sinto Gendeng.
Si nenek cuma menyeringai. “Tanganmu memang kulihat tidak apa-apa. Jangan-jangan tua bangka gila dandan itu menyirapmu. Aku tahu dia punya ilmu yang disebut Membuta Mata.”
“Nek, percaya padaku! Hanya cairan milik Nyi Ragil yang mampu menyembuhkan luka di dada Ratu Duyung. Kalau tidak gadis itu akan cacat seumur-umur!”
Sinto Gendeng pencongkan hidungnya. Dia bembeng kain panjang bau pesing dengan tangan kiri lalu sambil melangkah ke arah. Ratu Duyung si nenek berkata,
“Coba aku lihat sebagaimana parahnya luka gadis itu.” Ketika Sinto Gendeng mendatangi, Anggini yang tengah memangku kepala Ratu Duyung cepat rundukkan badannya seraya menyapa.
“Eyang Sinto, salam hormatku untukmu.”
Sepasang mata si nenek melirik pada Anggini yang dulu pernah ingin dijodohkan Dewa Tuak dengan Wiro. Nenek ini anggukkan kepalanya sedikit lalu merunduk, dekatkan kepala ke dada Ratu Duyung. Begitu melihat jelas luka itu, kepalanya cepat-cepat ditarik. Sinto Gendeng telah sering melihat kematian atau orang mengalami luka hebat. Tapi luka di dada Ratu Duyung benar-benar membuatnya bergidik. Saking geramnya si nenek tusukkan tongkatnya ke tanah.
“Nyi Ragil jahanam! Belum pernah aku melihat luka mengerikan seperti ini!” ujar Sinto Gendeng. Lalu tangan kanannya yang memegang tongkat digerakkan. Ujung tongkat bergetar aneh, membuat tusukan pada empat tempat di sekitar dada Ratu Duyung yang terluka parah. Ratu Duyung terpekik. Dari dadanya yang ditusuk ujung tongkat mengepul asap hitam dan merah. Dari mulutnya membersit darah kental Sinto Gendeng geleng-geleng kepala.
“Aku hanya bisa melegakan jalan nafas, mengatur jalan darah, membendung racun…”
“Jadi kau izinkan aku mengejar Nyi Ragil, Nek?” tanya Wiro penuh harapan.
Sinto Gendeng gelengkan kepala. Wiro jadi meradang. Semua orang yang ada di tempat itu juga heran dan jengkel dengan sikap Sinto Gendeng. Ratu Duyung hanya bisa merintih pasrah. Terdengar dia berucap perlahan.
“Aku ingin mati saja. Para sahabat antarkan aku ke pantai selatan. Aku ingin menghembuskan nafas terakhir di dasar samudera.”
Semua orang jadi terdiam mendengar ucapan Ratu Duyung. Bukit Menoreh seperti tenggelam dalam kesunyian. Suara angin dan gesekan dedaunan pun tidak terdengar.
“Eyang, aku terpaksa…” Wiro gerakkan tangan kanannya untuk memukul tongkat yang tiba-tiba ditusukkan Sinto Gendeng ke dada, menahan gerakannya. Si nenek putar ujung tongkat yang menempel di dada muridnya. Saat itu juga tangan kanan Wiro yang hendak memukul menjadi lemas, tak mampu digerakkan! Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
“Mahluk aneh… Benar-benar edan!” kata Bidadari Angin Timur dalam hati. “Muridnya mau menolong orang tapi malah dihalangi!”
Masih tertawa cekikikan Sinto Gendeng berpaling pada Bujang Gila Tapak Sakti yang saat itu duduk menjelepok di tanah sambil berkipas-kipas dengan peci hitam butut. “Kebo buduk! Jangan duduk saja enak-enakan! Cepat datang ke mari!” Tiba-tiba Sinto Gendeng berteriak.
Bujang Gila Tapak Sakti palingkan kepala, tapi cuma tersenyum dan tak beranjak dari tempatnya duduk. Malah sambil berkipas-kipasdia berkata. “Uhh… Gila, mengapa malam terasa bertambah panas!”
“Kebo buduk! Apa telingamu torek, tidak mendengar orang memanggil?!” teriak Sinto Gendeng marah.
Bujang Gila Tapak Sakti mencibir.
“Bujang Gila Tapak Sakti! Aku butuh bantuanmu! Hanya kau yang bisa menyembuhkan luka di dada gadis ini!”
Si gendut terkejut. Dia memandangke arah Sinto Gendeng. “Apa katamu Nek? Hanya aku yang bisa menyembuhkan luka di dada gadis itu? Ah… Jangan bercanda. Tabib terkenal pun tidak bakal sanggup menolong gadis itu. Muridmu bisa membantu tapi kau halangi. Aku mengantuk, aku mau tidur. Jangan mengganggu!”
Bujang Gila Tapak Sakti menguap lebar-lebar lalu kenakan peci hitam di atas kepalanya yang berambut lebat gondrong. Peci yang kebesaran itu masuk kupluk sampai sebatas alis. Lalu perlahan-lahan tubuhnya yang gemuk dilonjorkan di tanah.
“Kurang ajar!” rutuk Sinto Gendeng. “Aku mau lihat apa kau benar-benar bisa tidur molor!” Si nenek alirkan hawa aneh ke dalam tongkat di tangan kanannya. Tongkat itu lalu ditancapkan di tanah sambil dua matanya mendelik tak berkesip, memandang ke arah tongkat lalu menyusuri tanah. Begitu pandangannya membentur tubuh si gendut Bujang Gila Tapak Sakti, Sinto Gendeng kedipkan dua matanya.
Saat itu juga Bujang Gila Tapak Sakti menjerit keras. Tubuh gendut berbobot ratusan kati itu mencelat setengah tombak ke udara, kepulkan asap. Si gendut tampak kelabakan, berjingrak-jingkrak seperti orang gila sambil berteriak.
“Gila! Panas sekali! Nenek peot! Apa yang kau lakukan?! Tubuhku panas sekali! Udara panas sekali! Aduh aku pingin kencing! Gila!”
Sinto Gendeng tertawa cekikikan. Tongkat yang ditancapkannya di tanah diputar-putar kian ke mari. Di depan sana Bujang Gila Tapak Sakti semakin keras jeritannya dan tambah tak karuan tingkahnya.
“Nenek peot! Kalau kau tidak hentikan perbuatan gilamu, kuguyur kau dengan es!” Bujang Gila Tapak Sakti mengancam.
“Angin es? Hik hik hik! Siapa takut!” jawab Sinto Gendeng.
“Tua bangka sialan!” maki Bujang Gila Tapak Sakti. Si gendut ini angkat dua tangannya. Telapak diarahkan pada Sinto Gendeng. Mulutnya komat kamit. Ketika dua tangan didorong terdengar suara menderu. Dua gelombang angin luar biasa dinginnya melesat ke atas kepala dan ke arah kaki Sinto Gendeng. Gelombang hawa dingin inilalu merasuk tembus memasuki tubuh Sinto Gendeng dari dua arah yakni arah kepala dan arah kaki.
Si nenek terpekik. Sosoknya tersentak hebat. Bentrokan hawa sakti panas yang ada dalam tubuhnya dengan hawa dingin serangan lawan menyebabkan kepulan asap di mana-mana. Sinto Gendeng kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. Tapi hawa dingin keburu menggusur dirinya. Nenek ini menjerit. Dia menggeru menggigil kedinginan.
“Celaka! Tubuhku seperti ditelan es! Aku mau kencing! Tapi tidak bisa! Tubuhku jadi kaku! Kebo buduk! Hai! Hentikan perbuatan konyolmu! Kalau tidak…!”
Semua orang yang ada di tempat itu juga dilanda hawa dingin luar biasa, membuat mereka seolah telah berubah menjadi patung menggigil. Bujang Gila Tapak Sakti tertawa tergelak-gelak sambil gosok-gosok dua telapak tangannya.
“Kau mau kencing, kencing saja Nek. Tapi kurasa tidak bisa! Semua bagian tubuhmu sudah rapat dan kaku! Ha ha ha!”
“Setan alas! Berani kurang ajar! Kubuat buntung tubuhmu!”
Sinto Gendeng delikkan matanya yang cekung. Ketika mata itu dikedipkan dua larik sinar biru melesat, memapas ganas laksana sepasang pedang yang menabas bersilangan. Kalau tadi Bujang Gila Tapak Sakti masih tertawa-tawa, tapi kini melihat dua sinar biru angker melesat dari sepasang mata si nenek kagetlah si gendut keponakan Dewa Ketawa dan Dewa Sedih ini.
“Sepasang Sinar Inti Roh. Bujang Gila Tapak Sakti keluarkan seruan tercekat. “Edan! Ternyata bukan cerita bohong! Jadi nenek perot inibenar-benar memiliki ilmu kesaktian itu!”
Bujang Gila Tapak Sakti cepat jatuhkan tubuhnya yang gendut sama rata dengan tanah. Sambil jatuhkan diri dua tangan didorongkan ke atas. Dua gelombang angin dingin memancarkan cahaya seputih salju melesat ke udara.
“Dua Puncak Mahameru Murka!” kini Sinto Gendeng yang keluarkan seruan tertahan menyebut pukulan sakti yang barusan dilepas Bujang Gila Tapak Sakti.
“Dess! Desss! Blaaarrr!”
Dua larik sinar biru bertaburan di udara, membuat puncak Bukit Menoreh sesaat jadi terang benderang. Dua gelombang angin putih dingin runtuh ke tanah seperti salju yang leleh dilanda teriknya sinar sang surya.
BAB 8
Sosok gendut Bujang Gila Tapak Sakti terkapar di tanah. Pakaian dan kulit muka serta badannya kelihatan kehijau-hijauan. Tubuhnya terasa sakit, persendian seperti tanggal semua. Matanya yang belok untuk beberapa lama mendelik menatap langit kelam di atas bukit. Bagian bawah perutnya basah kuyup. Akibat beradu kekuatan dengan Sinto Gendeng tadi si gendut ini sampai terkecing-kencing.
Di lain tempat Sinto Gendeng jatuh berlutut sambil pegangi bagian bawah perutnya. Tubuhnya masih bergetar, bukan saja akibat bentrokan kekuatan dengan Bujang Gila Tapak Sakti, tapi juga disebabkan hawa dingin yang masih mempengaruhi dirinya.
“Aku terdesak mau kencing, tapi tidak bisa…” si nenek berkata dalam hati. “Gila anuku seperti kejang!” Si nenek mulai kelabakan.
Perlahan-lahan Bujang Gila Tapak Sakti bangun. Dapati dua tangan dan kakinya berwarna kehijauan dia coba mengusap. Tapi warna itu tak mau hilang. Dia mengusap wajahnya yang keringatan. Walau dia tidak bisa melihat mukanya sendiri tapi dia yakin kulit mukanya juga telah berwarna hijau.
“Sepasang Sinar Inti Roh…” desis Bujang Gila Tapak Sakti. Dia bangkit berdiri, melangkah mendekati Sinto Gendeng. Tangan kanannya diangkat mengancam. “Nek, kalau kau tidak mengobati kulit muka dan tubuhku, saat ini juga aku akan membuat tubuhmu menjadi patung es seumur-umur!”
Sinto Gendeng maklum ancaman si gendut itu bukan gertakan belaka. Dengan ilmu kesaktian aneh yang berdasarkan hawa dingin yang didapatnya selama dipendam di puncak Gunung Semeru, pemuda itu pasti bisa melakukan. Tapi dasar Sinto Gendeng, tidak pernah takut terhadap apa dan siapapun, enak saja dia menjawab.
“Kau membuat aku jadi patung es! Aku juga bisa membuatmu jadi patung leleh!”
“Kalau begitu mari kita adu kekuatan kembali!” tantang Bujang Gila Tapak Sakti.
“Siapa takut tantanganmu!” Sinto Gendeng berteriak seraya bangkit berdiri.
Saat itu Wiro cepat melompat. “Bujang Gila Tapak Sakti! Eyang Sinto Gendeng! Kurasa kalian belum jadi orang-orang gila! Mengapa berlaku konyol mencari celaka?! Seorang gadis sahabatku di sini dalam keadaan luka parah! Kita harus memikirkan bagaimana menolongnya! Bukan mempertontonkan segala ilmu kesaktian yang tidak pada tempatnya!”
Sinto Gendeng delikkan mata. Bujang Gila Tapak Sakti pelototkan mata beloknya.
“Kalian geblek semua!” maki Wiro.
“Anak setan, kurobek mulutmu berani memaki!” bentak Sinto Gendeng.
“Eyang, kalau kau mau meneruskan perbuatan tolol silahkan berkelahi sampai sama-sama mati konyol!” jawab Wiro.
“Anak setan! Siapa berkelahi! Kami cuma bermain-main! Siapa mau mati konyol! Yang pada mati saja kalau bisa ngomong pingin hidup kembali! Hik hik hik!” Saking kesalnya Wiro tinggalkan si nenek.
Sinto Gendeng sendiri menggerakkan tangan ke balik pakaian, keluarkan sebuah benda berbentuk empat persegi sebesar ujung kuku jari kelingking. “Kebo buduk! Aku akan berikan obat pemusnah warna hijau di tubuhmu! Tapi kau juga harus memberi obat padaku!”
“Obat, obat apa?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti unjukkan wajah heran. Entah benar-benar heran atau cuma pura-pura. Tampang Sinto Gendeng mengelam. Kulit mukanya yang hitam seperti tambah hitam.
“Aku… aku dari tadi terdesak mau kencing. Tapi tidak bisa! Hawa dingin sialan pukulanmu membuat tubuhku jadi lengket, rapat…”
Bujang Gila Tapak Sakti tertawa bergelak. “Seharusnya kau bersyukur Nek!” kata si gendut ini.
“Bersyukur?! Gila! Apa maksudmu?!”
Senyum-senyum Bujang Gila Tapak Sakti menjawab. “Ribuan, bahkan jutaan kaum perempuan di dunia ini mencari reramuan agar bisa lengket dan rapat! Kau sudah mendapatkannya tanpa susah-susah! Apa tidak perlu bersyukur?!”
“Keparat setan alas! Jahanam bermulut kotor!” maki Sinto Gendeng panjang pendek.
Wiro menutup mulut menahan tawa. Bidadari Angin Timur dan Anggini saling pandang dengan wajah jengah.
“Nek, bilang saja saluranmu mampet! Jadi aku tidak keliru memberi obat!” kata Bujang Gila Tapak Sakti. Dia buka kopiah kupluk di atas kepala. Dari dalam kopiah ini dia mengambil sebutir obat berwarna putih. Lalu mengacungkannya ke arah Sinto Gendeng. “Ini obat mampet saluranmu! Lemparkan obat di tanganmu padaku, aku akan berikan obat ini padamu!”
“Setan!” Sinto Gendeng masih memaki tapi lemparkan juga obat berbentuk empat persegi yang sejak tadi dipegangnya.
Begitu obat melayang di udara Bujang GilaTapak Sakti lalu lemparkan pula benda putih di tangannya. Kedua orang itu menyambuti obat masing-masing hampir berbarengan lalu sama-sama memasukkannya kedalam mulut. Beberapa saat berlalu.
Bujang Gila perhatikan dua tangan kakinya. Sedikit demi sedikit dia melihat warna hijau pada tangan dan kakinya mulai sirna dan akhirnya lenyap sama sekali. Saat itu tiba-tiba terdengar pekik kecil Sinto Gendeng. Nenek ini terbirit-birit lari ke balik pohon besar sambil menarik kain panjangnya ke atas. Tak lama kemudian dari balik pohon terdengar suara...
"Serr! Serrr!"
Ditunggu agak lama akhirnya Sinto Gendeng keluar juga dari balik pohon besar.
“Sudah lega sekarang Nek?!” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
“Tidak lengket lagi Eyang?!” Wiro ikut menimpali.
“Kalian anak setan sialan!” maki Sinto Gendeng.
Wiro garuk-garuk kepala lalu beranikan diri berkata. “Eyang, tadi kau bilang cuma kebo buduk ini yang bisa menyembuhkan luka di dada Ratu Duyung…”
“Memang cuma dia,” jawab Sinto Gendeng.
“Aku merasa tidak punya kemampuan!” kata Bujang Gila Tapak Sakti sambil tepuk-tepukkan kopiah hitamnya ke tangan kiri lalu kembali dikenakan di atas kepala.
“Aku tahu kau punya satu ilmu yang berpusat pada inti hawa dingin Pegunungan Semeru. Ilmu itu bernama Tangan Dewa Mengusap Bumi. Kau bisa pergunakan ilmu itu untuk menyembuhkan segala macam luka. Termasuk luka di dada Ratu Duyung…”
Bujang Gila Tapak Sakti terdiam. Matanya menatapi si nenek. Dalam hati dia berkata. “Aku memang punya ilmu itu. Jarang aku pergunakan. Bagaimana nenek satu ini tahu aku punya ilmu itu, tahu kalau ilmu tersebut bisa dipergunakan untuk menyembuhkan segala macam luka.”
“Nek, kau mengada-ada. Aku sendiri tidak tahu…”
“Kebo buduk! Perlu apa banyak bicara! Lakukan saja apa yang aku katakan. Pergunakan ilmu itu. Usapkan tangan kananmu ke dada Ratu Duyung…”
“Usapkan tangan kananmu ke dada Ratu Duyung…” ucapan Sinto Gendeng mengiang di telinga Bujang Gila Tapak Sakti. Dia menyeringai, perhatikan tangan kanannya sendiri lalu memandang ke arah Ratu Duyung. Lidahnya dijulurkan membasahi bibir. “Mengusap dada Ratu Duyung yang cantik itu. Walau dalam keadaan luka rasanya…”
“Kebo buduk! Tunggu apa lagi?! Kau mau melakukannya atau tidak?!”
Bujang Gila Tapak Sakti buka kopiah hitamnya, dipakai kembali, dibuka lagi lalu dipakai lagi. Perlahan-lahan dia melangkah ke tempat Ratu Duyung terbaring di atas pangkuan Anggini. Si gendut ini duduk bersila di samping sosok Ratu Duyung. Keringat makin banyak mengucuri muka dan tubuhnya.
“Ilmu Tangan Dewa Mengusap Bumi,” membatin Bujang Gila Tapak Sakti. Dia perhatikan tangan kanannya, melirik ke arah dada Ratu Duyung. Dada di sebelah kanan memang dikoyak luka mengerikan, tapi dada di sebelah kiri jelas kelihatan memutih mulus. Bujang Gila Tapak Sakti leletkan lidah. Dia melirik pada Sinto Gendeng lalu mengerling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Bujang Gila, jika kau memang mampu lakukanlah segera,” kata Anggini.
Bujang Gila Tapak Sakti mengangguk. “Ratu Duyung, harap maafkan diriku. Aku terpaksa menyentuh dadamu…” berkata Bujang Gila Tapak Sakti sebelum melakukan pengobatan.
Ratu Duyung yang saat itu pejamkan matanya menjawab dengan suara perlahan. “Lakukanlah. Jangan memikirkan apa-apa selain niat tulus untuk menolongku.”
Walau mulutnya berucap begitu diam-diam Ratu Duyung merasa bergetar juga sekujur tubuhnya. Selama ini belum pernah satu tangan lelaki pun menyentuh dirinya, apa lagi di bagian dada. Bahkan ketika berdua-dua dengan Wiro di sebuah Puri beberapa waktu lalu, pendekar itu tidak pernah menyentuh auratnya di bagian yang terlarang.
BAB 9
Agak gemetar, tubuh dan wajah tambah keringatan Bujang Gila Tapak Sakti ulurkan tangan kananke atas permukaan dada sebelah kanan Ratu Duyung. Begitu tangan yang berisi ilmu kesaktian 'Tangan Dewa Mengusap Bumi' itu bersentuhan dengan tubuh Ratu Duyung, dari luka di dada si gadis mengepul asap merah disertai bau tidak enak. Tubuh Ratu Duyung sebelah atas tersentak terangkat sampai satu jengkal, lalu perlahan-lahan turun kembali ke pangkuan Anggini.
Bujang Gila Tapak Sakti kerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang dimilikinya. Perlahan-lahan dia mulai mengusap dada yang terluka. Asap merah berubah menjadi kelabu lalu berubah lagi menjadi putih. Kalau semua orang yang menyaksikan sama-sama memandang dengan dada berdebar ke arah dada Ratu Duyung, sebaliknya Bujang Gila Tapak Sakti sendiri mengusap dada si gadis sambil mendongak ke atas, seolah tak berani melihat.
Ketika asap putih perlahan-lahan lenyap menghilang, semua orang yang ada di sana, terutama Anggini yang berada paling dekat dengan Ratu Duyung sama-sama melengak. Luka mengerikan di dadakanan Ratu Duyung lenyap!
Aurat di bagian dada itu kini terlihat menyembul besar, putih dan mulus. Bersamaan dengan itu Ratu Duyung dapatkan rasa sakit di sekujur tubuh terutama di atas dada berkurang dan akhirnya sirna. Sungguh satu keajaiban sukar dipercaya. Tangan Bujang Gila Tapak Sakti masih terus mengusap. Matanya yang belok melotot ke langit.
“Kebo buduk sialan! Jangan berlaku kurang ajar!” tiba-tiba Sinto Gendeng membentak. “Luka gadis itu sudah pulih! Kau masih terus mengusapi dadanya! Kebo kurang ajar!”
“Aku tidak memperhatikan. Bagaimana tahu kalau lukanya sudah sembuh! Cuma memang kalau tadi aku merasa dadanya rata saja, lalu berubah seperti ada munjung-munjungnya.” Jawab Bujang Gila Tapak Sakti. Tampangnya yang bulat keringatan seperti kaget tapi kemudian senyum-senyum. Tangan kanannya masih saja terus merabadan mengusap. Entah lupa entah pura-pura.
“Kau pura-pura tidak tahu! Kau cuma mau menggerayangi tubuh orang!” semprot Sinto Gendeng. Lalu dengan tongkat kayunya dipukulnya lengan si gendut. Sementara Wiro juga ulurkan tangan menjitak jidat si gendut.
“Wadauuuw!” Bujang Gila berteriak kesakitan. Dia segera tarik tangansedang tangan kiri menekap jidatnya yang kena jitak. Tapi mulutnya senyum-senyum. Dia rapikan kopiah hitam kupluk di atas kepalanya.
Anggini cepat menutupi sebisanya dada Ratu Duyung yang tersingkap. Masih diselimuti rasa tidak percaya akan apa yang dilihatnya diam-diam Anggini merasa bersyukur luka Ratu Duyung berhasil disembuhkan. Kegembiraannya jadi bertambah ketika melihat Ratu Duyung gerakkan tubuh dan mampu berdiri. Sambil dekapkan cermin bulat di atas dada Ratu Duyung membungkuk ke arah Bujang Gila Tapak Sakti.
“Sahabat, aku sangat berterima kasih. Aku tidak akan melupakan budi pertolonganmu.”
Bujang Gila Tapak Sakti tertawa lebar dan usap mukanya yang keringatan berulang kali. Tangan kanannya yang tadi mengusap dada Ratu Duyung kini diusap-usapkan ke dada sendiri sambil matanya setengah terpejam seolah mengingat-ingat usapannya di dada Ratu Duyung.
“Ratu, jangan berterima kasih padaku,” menyahuti Bujang Gila Tapak Sakti. “Tapi berterima kasih pada Gusti Allah dan nenek bau pesing ini…”
Sinto Gendeng delikkan mata, menggerutu panjang pendek.
“Eyang Sinto, aku juga berterima kasih padamu,” kata Ratu Duyung selanjutnya.
Si nenek hanya menjawab dengan anggukkan kepala. Matanya masih melotot marah pada Bujang Gila Tapak Sakti. Lalu dia palingkan kepala pada Wiro.
“Eyang,” kata Wiro. “Ada beberapa hal yang kami semua di sini perlu menanyakan,” Wiro keluarkan ucapan.
“Anak setan! Justru aku yang banyak pertanyaan untuk kalian!” jawab Sinto Gendeng.
Wiro juga terdiam. Yang lain-lain tak berani bersuara. Semua memandang pada nenek bau pesing berkulit hitam yang kepalanya ditancapi lima buah tusuk konde perak, kini tinggal empat karena satu tadi telah dipakai untuk melempar Nyi Ragil yang melarikan diri.
“Kalian semua dengar!” ucap Sinto Gendeng. “Cukup lama aku meninggalkan Gunung Gede. Tiga minggu lalu aku kembali. Aku temukan segala macam keanehan di kawasan tempat kediamanku! Pertama, di satu tempat aku menemukan dua buah makam aneh. Dua makam itu kosong, sepertinya bekas digali orang! Anak setan, apa yang kau ketahui perihal dua makam itu?!”
Sinto Gendeng bertanya pada muridnya tapi sepasang matanya yang cekung angker memandang berkeliling ke arah Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur, Anggini dan juga Bujang Gila Tapak Sakti.
“Eyang, katamu kau menemukan dua makam di Gunung Gede. Kedua-duanya dalam keadaan kosong bekas digali orang.”
“Betul! Apa kau sudah budek, tidak mendengar apa yang barusan aku bilang?” jawab Sinto Gendeng. “Pada salah satu makam malah ada papan nisan berbunyi "Di Sini Beristirahat Untuk Selamanya Pendekar 212 Wiro Sableng". Aku mengira itu benar-benar makam liang kuburmu. Tapi ternyata kosong! Dan kenyataannya sampai hari ini aku melihat kau memang masih hidup, masih bernafas!”
Wiro menggaruk kepala, memandang sebentar pada tiga gadis cantik lalu berkata. “Eyang, kami tahu memang di puncak Gunung Gede ada dua buah makam. Tapi setahu kami hanya satu makam yang kosong bekas digali. Aku dan tiga gadis itu yang membongkarnya. Makam satunya lagi tak mungkin kosong. Kami yang menggali makam itu, lalu menguburkan gadis bernama Puti Andini di situ.”
Muka tak berdaging Sinto Gendeng mengerenyit. Matanya yang cekung seperti mau melompat. “Puti Andini, gadis berjuluk Dewi Payung Tujuh, cucu Sabai Nan Rancak itu mati katamu? Dikubur di puncak Gunung Gede. Kau dan tiga gadis itu yang mengubur?!”
“Benar Eyang, kami yang mengubur,” menjawab Anggini.
“Jadi mustahil ada dua makam kosong. Mustinya cuma satu. Karena yang satu berisi jenazah Puti Andini,” kata Wiro pula.
“Anak setan! Aku tidak bicara dusta! Dua makam itu kutemui dalam keadaan kosong!” kata Sinto Gendeng dengan suara keras.
“Apa yang terjadi?” Wiro garuk-garuk kepala, memandang pada Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini.
“Mudah saja jawabnya!” Bujang GilaTapak Sakti ikut bicara. “Berarti ada orang mencuri mayat Puti Andini!”
Semua orang terdiam.
“Siapa?” Bidadari Angin Timur ajukan pertanyaan.
“Untuk apa?” Ratu Duyung ikut mempertanyakan.
“Anak setan! Sebaiknya kau ceritakan semua kejadian agar aku tidak bingung!” kata Sinto Gendeng pula.
Untuk jelasnya mengenai kisah dua makam di puncak Gunung Gede harap baca serial Wiro Sableng Episode berjudul Makam Ke Tiga dan Senandung Kematian
Setelah mendengar penuturan Wiro, Sinto Gendeng berkata. “Bukan mustahil setelah kalian pergi, Pangeran Matahari yang telah melarikan diri muncul kembali dan mencuri mayat Puti Andini.”
“Bisa jadi, tapi untuk apa?” tanya Ratu Duyung.
“Apa kalian lupa? Gadis itu memiliki sebilah pedang sakti. Pedang Naga Suci 212! Pasti itu yang menjadi incaran Pangeran keparat itu!”
“Kalau memang inginkan pedang mengapa tidak mengambil pedangnya saja, tapi bersusah payah menculik jenazah Puti Andini segala…”
“Pedang Naga Suci 212 tidak mungkin disentuh oleh orang yang bermaksud jahat. Aku sendiri tidak berjodoh pernah melepuh tanganku ketika memegangnya!” menjelaskan Sinto Gendeng. Lalu dia menyambung ucapannya. “Apapun yang terjadi, ada satu teka-teki besar di balik lenyapnya Puti Andini. Aku memerintahkan pada kalian untuk menyelidiki…”
“Eyang, aku memang telah meminta tiga gadis sahabatku ini untuk menyelidiki lenyapnya Pedang Naga Suci 212. Tapi masalah dan halangan datang silih berganti. Mereka belum sempat berbuat banyak dalam menyelidik pedang sakti yang hilang itu. Tapi bagaimanapun juga sesuai perintah Eyang kami akan menyelidiki. Namun kami sendiri saat ini tengah menghadapi beberapa persoalan. Eyang, kami butuh petunjukmu…”
“Persetan persoalan kalian. Persoalanku belum selesai!” kata Sinto Gendeng. “Ada satu hal lagi. Di dalam pondok kediamanku, dekat pintu belakang ada sebuah gentong air besar. Ketika aku masuk ke dalam pondok walau sangat tidak kentara tapi aku tahu kalau gentong itu belum lama berselang telah digeser orang. Di bawah gentong, di dalam tanah aku menanam sebuah peti kayu besi hitam. Dalam peti ini tersimpan sebuah kitab sangat langka berisi seribu macam ilmu pengobatan. Ketika aku periksa aku menemukan peti kayu besi hitam. Tapi kitab itu tak ada di dalam peti. Seseorang telah mencurinya!” Sinto Gendeng layangkan padangan tajam pada semua orangdi depannya.
Wiro garuk-garuk kepala. Bujang Gila Tapak Sakti berkipas-kipas dengan peci hitamnya. Sementara tiga gadis sama tundukkan kepala ketika disorot pandangan mata angker si nenek. Sinto Gendeng arahkan pandangan pada Wiro.
“Anak setan! Satu-satunya orang luar yang tahu tempat penyimpanan kitab itu hanya dirimu! Dulu kau sendiri yang membawanya setelah kau dapat dari Kiai Bangkalan. Kau serahkan padaku. Jika kau ingin mengambilnya kembali hanya tinggal memberitahu, meminta. Tidak usah mencuri!”
“Nek, aku memang menggeser gentong, mengeluarkan Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan. Mencari sesuatu. Setelah apa yang kucari kutemukan kitab itu aku masukkan kembali ke dalam peti, kutanam di tanah dan kututup dengan gentong air. Aku sama sekali tidak mengambil atau mencurinya"
“Kalau begitu ada setan kepala hitam yang mencuri!” ujar Sinto Gendeng sambil menyeringai,
“Aku bersumpah Eyang, aku benar-benar tidak mencuri kitab itu.”
“Perlu apa kau mengeluarkan kitab itu dari dalam peti. Apa yang kau cari?” tanya Sinto Gendeng.
Wiro lalu menceritakan perihal sakitnya Patih Kerajaan akibat patukan ular dan hanya mampu disembuhkan dengan kembang Melati Tujuh Racun. “Eyang, aku merasa ikut bersalah mencelakai Patih Kerajaan. Lagi pula aku telah berjanji pada anak sang patih akan mencari obat pemusnah racun ular yang melumpuhkan ayahnya…”
“Sobatku Wiro, kau tidak mengatakan jelas anak Patih Kerajaan itu. Apakah dia seorang lelaki, seorang perempuan atau banci!” Yang memotong bicara Wiro adalah Bujang Gila Tapak Sakti.
“Gendut brengsek! Kau selalu menyudutkan diriku! Sudah lama aku ingin menggasak mulut usilmu!” Wiro jadi jengkel penasaran.
Sinto Gendeng tertawa cekikikan. “Anak setan! Sobatmu si kebo buduk itu betul. Kau tidak mengatakan jelas siapa adanya anak patih itu!”
“Dia seorang gadis. Bernama Sutri. Orangnya cantik jelita dan punya ilmu silat tinggi!”
“Nah, seharusnya begitu kau menjelaskan. Baru ketahuan serunya jalan cerita!” kata Bujang Gila Tapak Sakti pula lalu tertawa gelak-gelak.
“Anak setan, pantas kau mati-matian ingin menolong Patih Kerajaan. Tidak tahunya sang patih punya seorang anak gadis cantik jelita! Hik hik hik! Ayo lanjutkan ceritamu!” kata Sinto Gendeng pula.
Dengan menahan mengkal Wiro lanjutkan ceritanya. “Di dalam kitab, aku menemukan petunjuk bahwa satu-satunya obat kesembuhan bagi Patih Kerajaan adalah kembang melati itu. Menurut seorang sahabat kembang melati itu berwarna hitam. Dia berjanji akan bantu mencari. Mungkin Eyang tahu atau pernah mendengar di mana aku bisa mendapatkan?”
Sinto Gendeng gelengkan kepala. Lalu berkata. “Aku harus mengejar nenek keparat bernama Nyi Ragil itu. Dia telah membunuh Datuk Muda, mungkin mengira orang itu adalah saudara sepupu Tua Gila. Wajah dan penampilan sang Datuk memang mirip-mirip saudara si Tua Gila itu…”
“Nek,” kata Wiro. “Walau ini satu berita menyedihkan, aku masih bersyukur ternyata yang jadi korban bukan guruku Tua Gila. Sebelumnya Nyi Ragil sesumbar mengatakan bahwa yang dibunuhnya adalah Tua Gila. Agaknya antara kau dan dia ada dendam kesumat lama.”
“Mengenai riwayatku dengan setan perempuan gila dandan itu tak usahlah kau ketahui…” Sinto Gendeng rupanya tak mau menuturkan riwayat perseteruannya dengan Nyi Ragil dimasa silam.
“Nek, aku mohon petunjukmu. Mungkin kau tahu. Kau turut berada di Pangandaran sewaktu kebo buduk Bujang Gila Tapak Sakti membunuh Si Muka Bangkai, guru Pangeran Matahari. Barusan saja dia muncul di tempat ini bersama Nyi Ragil. Aku tak mengerti. Bagaimana hal ini bisa terjadi…”
Sinto Gendeng menyeringai. “Setiap manusia yang sudah mati pasti tidak bisa hidup lagi! Yang tadi bukan Si Muka Bangkai asli. Aku sudah lama menyirap kabar kalau Si Muka Bangkai punya saudara kembar yang ilmu kesaktiannya tidak kalah dengan Si Muka Bangkai sendiri. Kemungkinan sekali kakek tadi adalah saudara kembaran Si Muka Bangkai. Aku harus mengejar Nyi Ragil untuk minta pertanggungan jawab atas kematian Datuk Muda. Aku pergi sekarang…”
“Nek…” panggil Wiro.
Sinto Gendeng hentikan langkahnya, berpaling dan bertanya. “Anak setan! Apa lagi yang hendak kau tanya?!”
“Bukan bertanya Nek, cuma mau memberi tahu,” jawab Wiro. Belum apa-apa dia sudah senyum-senyum.
“Hmm… Memberi tahu apa?” tanya Sinto Gendeng lagi.
“Tadi kau habis kencing di balik pohon sana. Jangan lupa cebok Nek…”
“Anak setan kurang ajar! Sialan!” Maki Sinto Gendeng. Kualat kau berani mempermainkan diriku!” habis memaki si nenek berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
BAB 10
Setelah Sinto Gendeng meninggalkan tempat itu Wiro melangkah mendatangi Ratu Duyung yang saat itu tegak berkumpul bersama Bidadari Angin Timur dan Anggini. Ada satu hal penting yang perlu dibicarakannya dengan gadis itu. Tapi tiba-tiba Bujang Gila Tapak Sakti mendekati, memegang tangannya.
“Gendut! Apa lagi yang hendak kau lakukan? Kau mau mengatakan sesuatu mempermainkan diriku?!” tanya Wiro.
“Tenang sobat Wiro, tenang. Bergurau diantara teman hal yang lumrah! Lihat, kipasku sampai ambrol saking ingin membela kekasihmu yang berambut pirang itu!”
“Gendut brengsek!”
Bujang Gila Tapak Sakti tertawa lebar. “Kata orang di dunia ini memang harus ada manusia-manusia brengseknya seperti aku. Sebagai minyak pelicin roda. Kalau tidak dunia ini akan seret berputarnya.”
“Kepalamu yang minta diputar!”
“Wiro, sebenarnya aku datang membawa kabar penting. Bakal ada kejadian besar di beberapa tempat.“
“Kejadian apa?” tanya Wiro.
“Ingat Nyi Larasati, janda Adipati Temanggung yang cantik jelita itu?”
“Memangnya ada apa dengan dirinya? Temanggung sudah aman sekarang. Jatilegowo Adipati Salatiga yang ingin mengawini Nyi Larasati secara paksa dikabarkan lenyap entah ke mana sejak beberapa bulan lalu,” kata Wiro.
“Siapa bilang Temanggung aman bagi janda cantik itu. Jatilegowo memang menghilang. Tapi satu minggu lalu dia tahu-tahu muncul! Di Kadipaten Salatiga. Dan kau tahu apa yang kini hendak dilakukannya?”
“Jika dia menghilang lalu muncul kembali berarti ada sesuatu yang menjadi andalannya. Mungkin saja dia membawa seorang tokoh silat yang bisa membantunya. Atau dia memiliki ilmu baru yang membuat dia nekad dan tidak takut pada siapa saja termasuk kau dan aku!”
“Dengar, Jatilegowo pasti akan menculik memaksa Nyi Larasati mengawininya. Itu jelas. Tapi dia juga akan mencari kita-kita ini untuk membalaskan dendam kesumat tempo hari!”
“Kau takut?!” tanya Wiro.
“Weeehhh! Siapa takut setan alas satu itu!” jawab Bujang Gila Tapak Sakti lalu cibirkan mulutnya. “Aku akan berangkat ke Temanggung sekarang juga.”
“Kalau tujuanmu untuk menolong Nyi Larasati itu baik. Tapi kalau tersembunyi niat hendak mendapatkan dirinya berarti kau tak tahu diri!”
“Sambil menyelam minum air apa salahnya?” tukas Bujang Gila Tapak Sakti.
“Kalau yang kau minum air bersih. Kalau air comberan?!” ujar Wiro.
Si gendut tertawa bergelak sampai dada dan perutnya yang gembul berguncang-guncang. “Kau ikut aku, sama-sama ke Temanggung?”
Wiro gelengkan kepala. “Ada banyak urusan penting yang harus aku lakukan. Mencari Melati Tujuh Racun. Mencari seorang bernama Nyi Roro Manggut. Membebaskan Bunga dari sekapan keparat Iblis Kepala Batu Alis Empat. Lalu mencari Pangeran Matahari, pembunuh Puti Andini. Tugas lainnya, mencari Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan. Gila! Bagaimana semua ini bisa terjadi?! Apa mungkin aku melakukan semuanya?”
“Mengenai melati tujuh racun, bukankah itu tanggung jawab Gondoruwo Patah Hati. Nenek kekasih si Naga Kuning itu yang mencelakai Patih Kerajaan. Jadi biar dia yang mencari obat penyembuhnya,” ujar Bujang Gila Tapak Sakti pula.
Wiro mengangguk. “Memang Gondoruwo Patah Hati yang melemparkan ular berbisa ke dalamcelana Patih Selo Kaliangan. Namun itu terjadi sewaktu dilakukan penggerebekan terhadap diriku. Si nenek sebenarnya punya tujuan untuk menolongku. Lagi pula aku sudah terlanjur berjanji pada Sutri, puteri patih itu untuk menolong mencari penyembuhan atas diri ayahnya…”
“Dengan kata lain kau mau menyiksa dan mengorbankan diri hanya karena terpikat pada dara cantik itu.” Bujang Gila Tapak Sakti berkata sambil kedip-kedipkan matanya yang belok.
“Siapa bilang aku terpikat padanya. Dia menolong aku memberitahu sarang Iblis Kepala Batu agar aku dapat membebaskan Bunga...” jawab Wiro.
“Hemm... saling tolong-menolong diantara kekasih bukankah itu hal yang wajar-wajar saja?” kembali Bujang Gila Tapak Sakti menggoda.
Riwayat celakanya Patih Selo Kaliangan dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng Episode Makam Ke Tiga
“Bisa saja kau berkata begitu sobatku gendut. Buktinya kau ingin menolong Nyi Larasati. Bukankah kau juga terpikat padanya? Apa kau kira Nyi Larasati suka padamu yang seperti gajah bengkak ini?”
“Pemuda gendut sepertiku jarang ada di dunia. Jadi tidak salah kalau banyak dicari gadis cantik. Katanya kalau tidur tidak perlu pakai kasurlagi. Ha ha ha!” Puas tertawa, setelah mengusap mukanya yang keringatan si gendut berkata. Aku minta diri. Jika urusan di Temanggung selesai aku akan membantumu. Wiro, aku bicara jujur. Sebenarnya...”
“Sebenarnya apa?” tanya Wiro ketika Bujang Gila Tapak Sakti tidak meneruskan ucapannya.
“Sebenarnya Nyi Larasati mengharapkan kau yang datang ke Temanggung, bukan aku si kebogendut ini.”
Wiro menghela nafas panjang. “Sampaikan salamku pada janda cantik itu. Dan terima kasih kau telah menyelamatkan Bidadari Angin Timur. Juga terima kasih untuk segala senda guraumu yang menjengkelkan!”
Si gendut tertawa bergelak. “Kipas bututku amblas dihantam pukulan Mengupas Raga Nyi Ragil. Aku harus membuat kipas baru. Panasnya udara membuat aku seperti mau leleh. Aku pergi Wiro…”
Si gendut kedipkan matanya lalu tinggalkan tempat itu. Gerakannya biasa-biasa saja tapi dalam waktu singkat dia sudah berada di lereng selatan Bukit Menoreh. Sejauh itu suara tawanya masih terdengar mengumandang.
Wiro segera menemui Bidadari Angin Timur, Anggini dan Ratu Duyung. Beberapa saat lamanya suasana terasa kaku. Tak ada yang bicara. Akhirnya Wiro membuka percakapan dengan memberitahu bahwa Bujang Gila Tapak Sakti pergi ke Temanggung untuk menolong Nyi Larasati dari maksud buruk Adipati Salatiga Jatilegowo.
“Terakhir kita berpisah di Gunung Gede,” kata Wiro. “Waktu itu Anggini menderita cidera cukup berat. Kalian tentu berhasil menemukan alang-alang biru yang kukatakan itu…”
“Kami memang berhasil. Ternyata mujarab sekali. Setelah minum air tumbukan akar dalam dua hari cideranya pulih.” Menerangkan Ratu Duyung.
“Aku berterima kasih…” kata Anggini sambil menatap wajah pemuda yang dikasihinya itu.
“Ratu, kau sendiri bagaimana sekarang?”
“Sehat, seolah tidak pernah mengalami apa-apa. Aneh juga cara pengobatan Bujang Gila Tapak Sakti itu. Tapi kalau boleh rasanya cukup sekali saja dia mengobati diriku seperti itu.”
Anggini dan Bidadari Angin Timur sama-sama tertawa mendengar ucapan Ratu Duyung itu.
“Wiro,” berkata Anggini. “Kami bertiga merasa menyesal. Sampai saat ini kami belum berhasil mencari tahu di mana beradanya pedang Naga Suci 212. Pangeran Matahari pun tidak terdengar kabar beritanya. Dia seolah melenyapkan diri ke perut bumi.”
“Itu berarti sewaktu-waktu dia pasti akan muncul secara tidak terduga,” kata Wiro pula. Lalu dia berpaling pada Ratu Duyung. “Beberapa waktu lalu aku bertemu dengan Kakek Segala Tahu. Orang tua itu memberi petunjuk. Untuk bisa membebaskan Bunga dari dalam guci Iblis Kepala Batu, aku harus memiliki ilmu Meraga Sukma. Nah ilmu ini konon dimiliki oleh Nyi Roro Manggut. Aku disarankan agar mendapatkan ilmu tersebut dari Nyi Roro Manggut. Kalian bertiga pernah tahu atau mendengar nama Nyi Roro Manggut itu? Dia diam di dasar samudera kawasan selatan.”
Anggini dan Bidadari Angin Timur sama menggeleng. Ratu Duyung diam saja, tundukkan kepala.
“Ratu, menurut Kakek Segala Tahu, kau satu satunya yang bisa menolong aku masuk ke dasar samudera, mencari dan menemui Nyi Roro Manggut. Apa kau bersedia menolong?”
Untuk beberapa saat lamanya Ratu Duyung tidak menjawab. Dia masih berdiri dengan kepala ditundukan. Dalam hatinya terjadi satu peperangan antara kebencian dan kebaikan untuk menolong. Seperti diketahui antara Bunga si gadis alam roh telah terjadi silang sengketa yang tidak bisa dianggap enteng.
Sewaktu Wiro berada di dalam Puri Pelebur Kutuk bersama Ratu Duyung guna menolong satu Ratu dari kutuk yang menimpa dirinya, Bunga berusaha menghalangi karena dia khawatir Wiro kelak akan menjadi budak nafsu Ratu Duyung. Padahal sebenarnya sang Ratu tidak punya niat jahat.
Sejak itu permusuhan diantara mereka jadi berlarut-larut karena dalam perselisihan itu ikut berpengaruh rasa cinta mereka terhadap Pendekar 212. Pada pertemuan di Bukit Ampel (baca serial Wiro Sableng berjudul Tiga Makam Setan) antara Bunga dan Ratu Duyung kembali terjadi perselisihan yang nyaris berubah menjadi baku hantam dahsyat.
Tidak mengherankan ketika ditanya Wiro apakah dia bersedia menolong mencari dan menemui Nyi Roro Manggut agar dapat membebaskan Bunga dari sekapan guci Iblis Kepala Batu, Ratu Duyung hanya diam saja. Anggini dan Bidadari Angin Timur yang sudah mengetahui perselisihan antara Ratu Duyung dan Bunga memilih diam, tak mau keluarkan ucapan.
Wiro garuk-garuk kepala. Dia bisa menduga adanya ganjalan di lubuk hati Ratu Duyung. Setelah menarik nafas dalam murid Sinto Gendeng ini coba tersenyum lalu berkata dengan suara lembut sambit memegang lengan si gadis bermata biru itu.
“Aku lupa, kau baru saja sembuh dari luka parah. Walau keadaanmu kelihatan baik-baik saja tapi kurasa kau perlu istirahat. Biar aku berusaha sendiri mencari jalan menemui Nyi Roro Manggut.”
Ratu Duyung angkat kepalanya. Sepasang matanya yang biru bercahaya saling bertemu pandang dengan dua mata Wiro. Mulutnya terbuka sedikit tapi tak ada kata-kata yang keluar. Wiro palingkan kepala pada Anggini dan Bidadari Angin Timur.
“Kalian berdua tentu juga berada dalam keletihan amat sangat. Berarti juga perlu istirahat. Pergilah ke tempat lain yang kalian senangi. Aku akan ke pantai selatan, berusaha mencari Nyi Roro Manggut. Kita berpisah di sini, mudah-mudahan bisa bertemu lagi secepatnya.”
Selesai berucap Pendekar 212 segera tinggalkan puncak Bukit Menoreh. Berlari cepat ke arah tenggara. Menjelang pagi, ketika langit di sebelah timur mulai terang, Wiro menyadari kalau ada seseorang mengikutinya. Agaknya orang ini memiliki ilmu lari tingkat tinggi. Karena dia selalu bisa menjaga jarak.
Di satu tempat Wiro menyelinap kebalik serumpunan semak belukar. Dia sengaja menerabas semak-semak itu untuk meninggalkan tanda lalu melompat ke satu pohon tak seberapa tinggi. Wiro tidak menunggu lama. Satu bayangan berkelebat. Lalu muncul sosok si penguntit. Orangnya mengenakan pakaian ketat panjang bermanik-manik. Di atas kepalanya ada satu mahkota kecil terbuat dari kerangbiru. Siapa lagi kalau bukan Ratu Duyung!
Wiro garuk-garuk kepala. “Aneh, mengapa dia mengikuti diriku?” pikir Pendekar 212 sambil memperhatikan ke bawah.
Ratu Duyung berhenti di depan semak belukar rambas. Dilewatinya semak-semak itu, memandang jauh ke depan lalu berbalik ke tempat semula. Sepasang matanya mencari-cari. Saat itulah terdengar suara seseorang.
“Ratu, kau mencariku? Aku di sini!”
Ratu Duyung putar tubuh. Ketika dia mendongak satu sosok melayang dari atas pohon. Di lain kejap dia telah berhadap-hadapan dengan orang yang sejak malam tadi dikuntitnya.
“Wiro,” ujar Ratu Duyung. “Kau pergi cepat-cepat. Aku tidak keburu memberikan jawaban.”
Murid Sinto Gendeng tersenyum. “Apakah sekarang kau sudah bisa memberikan jawaban?”
Ratu Duyung mengangguk. “Aku akan antarkan kau ke tempat kediaman Nyi Roro Manggut.”
“Terima kasih,” ujar Wiro. Dalam hati dia bertanya-tanya apa yang menjadi sebab gadis cantik bermata biru itu berubah pikiran.
Setelah Wiro pergi Ratu Duyung diam-diam merasa menyesal tidak memberikan jawaban atas permintaan tolong sang pendekar. Karena jika dia mau mengantar Wiro berarti banyak kesempatan baginya untuk berdua-dua dengan pemuda yang dicintainya dan pernah menyelamatkan dirinya dari kutukan itu. Dengan demikian dia akan mempunyai banyak kemungkinan untuk lebih mendekatkan diri serta merebut hati Wiro.
Memikir sampai ke situ, dengan alasan bahwa ada satu keperluan di Kotaraja, Ratu Duyung meninggalkan Anggini dan Bidadari Angin Timur. Namun walau tanpa mengucapkan dua gadis ini sudah maklum kalau sebenarnya Ratu Duyung pergi mengejar Wiro.
Setelah menatap paras Ratu Duyung sebentar, Wiro-berkata. “Aku tahu kau memang ingin menolong. Cuma waktu di Bukit Menoreh malam tadi kau merasa sungkan terhadap dua gadis itu. Kau berusaha menjaga hati mereka dari kecemburuan…”
Wajah Ratu Duyung bersemu merah. Wiro pegang tangan sang Ratu. “Jalanlah duluan. Aku akan mengikuti dari belakang.”
“Tidak, aku lebih suka kita jalan berdampingan,” jawab Ratu Duyung.
Wiro tertawa lalu pegang tangan sang dara.
********************
BAB 11
Di pendapa gedung Kadipaten Ki Sarwo Ladoyo sesepuh Kadipaten Temanggung yang telah mengabdi pada dua Adipati bersiap-siap untuk berangkat ke Kotaraja. Kuda dan dua pengawal telah menunggu di halaman. Tiba-tiba seorang prajurit mendatangi tergopoh-gopoh, dengan wajah pucat berkata memberitahu.
“Ki Sarwo, Adipati Salatiga Jatilegowo datang bersama para pengiringnya. Mereka ada di...”
Belum sempat prajurit itu menyudahi ucapannya, di luar sana terdengar kuda meringkik. Lalu satu sosok tinggi besar melesat memasuki pendapa, berdiri berkacak pinggang dihadapan Ki Sarwo, mengumbar tawa bergelak. Sesaat kemudian dua orang berpakaian prajurit Salatiga menyusul masuk dan tegak di kiri kanan si tinggi besar.
“Ki Sarwo Ladoyo! Anjing tua berjuluk Pendekar Badai Pesisir Selatan! Kukira kau sudah mampus! Ternyata masih hidup! Pasti kau banyak makan enak selama tinggal di gedung Kadipaten ini! Ha ha ha!”
Disebut anjing tua Ki Sarwo Ladoyo bergetar sekujur tubuhnya. Darah naik ke kepala. Namun orang tua yang punya banyak pengalaman hidup ini berusaha bersikap tenang, memperhatikan orang yang berdiri di depannya. Dulu selama berbulan-bulan dia pernah mengalami cidera akibat dihantam orang yang berdiri di depannya itu dengan pukulan yang disebut Dua Gunung Meroboh Langit. Ilmu ganas ini kemudian digembosi Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti.
Baca Episode Badik Sumpah Darah
Kiniwalau dia sudah sembuh, keadaan Ki Sarwo masih sedikit lemah. Namun gelegak amarah seolah memacu munculnya kekuatan baru dalam tubuh si orang tua. Orang bertubuh tinggi besar ini memiliki kumis tebal melintang berkilat karena selalu dipoles dengan sejenis minyak. Di bawah blangkon yang menghias kepalanya menjulai rambut tebal gondrong.
Pakaiannya bagus dan mewah, terbuat dari kain tebal biru berhias sulaman burung garuda warna kuning di dada kiri. Perhiasan emas melingkar di leher dan pergelangan tangannya. Dia bukan lain adalah Jatilegowo, Adipati Salatiga yang selama beberapa bulan dikabarkan lenyap entah ke mana.
Terakhir sekali Ki Sarwo melihat Jatilegowo adalah ketika Adipati Salatiga itu bertempur hebat melawan Pendekar 212 Wiro Sableng. Selain berhasil mengalahkan Jatilegowo dengan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad yang didapatnya dari Negeri Latanahsilam Wiro telah memindahkan hidung sang Adipati ke kening.
Kini Ki Sarwo menyaksikan hidung sang Adipati telah kembali di tempatnya semula. Kemungkinan menghilangnya Jatilegowo ini adalah untuk menyembuh mengembalikan hidungnya itu dari kening ke tempat semustinya di atas mulut.
“Ki Sarwo, aku datang untuk menemui Nyi Larasati. Aku tidak akan memerintah dua kali! Bawa Nyi Larasati ke hadapanku sekarang juga!”
“Sejak dua minggu lalu Nyi Larasati sudah tidak tinggal di gedung ini lagi,” jawab Ki Sarwo.
“Jangan berdusta!” bentak Jatilegowo.
Ki Sarwo menyeringai. “Orang-orang di gedung Kadipaten ini tidak pernah mengenal kedustaan. Aku sudah menjawab pertanyaanmu. Sekarang pergilah. Tinggalkan tempat ini. Jangan coba membuat keonaran di sini!”
“Tua bangka kurang ajar! Beraninya kau memerintahku!”
“Plaakk!” Satu tamparan melanda wajah kiri Ki Sarwo. Tak ampun lagi orang tua ini terpelanting dan terkapar di lantai pendapa. Terhuyung-huyung Ki Sarwo bangkit berdiri.
“Manusia durjana! Sampai mati kau tak akan pernah tobat rupanya!”
“Kau yang harus bertobat sebelum kubikin amblas nyawamu!” teriak Jatilegowo. Lalu Adipati Salatiga kirimkan tendangan dahsyat ke arah dada Ki Sarwo.
Si orang tua masih bisa menyingkir selamatkan diri. Tendangan Jatilegowo menghantam tiang pendapa hingga patah berantakan.
Melihat orang masih bisa menghindar dari tendangannya Adipati Jatilegowo menggeram marah. Didahului bentakan garang Jatilegowo kembali menyerang Ki Sarwo. Dua jurus Ki Sarwo masih bisa bertahan. Jurus-jurus selanjutnya orang ini menjadi bulan-bulanan tendangan dan kepalan Jatilegowo.
Ketika Ki Sarwo akhirnya terkapar babak belur di lantai pendapa Jatilegowo masih hantamkan satu tendangan ke dada Ki Sarwo hingga orang tua ini mencelat mental, ambruk di depan sebuah arca. Dadanya hancur. Ki Sarwo mengerang pendek, menggeliat lalu muntah darah, akhirnya roboh tanpa nyawa!
Prajurit yang tadi melapor kemunculan Jatilegowo tanpa menunggu lebih lama segera menghambur lari tinggalkan gedung Kadipaten.
“Kalian berdua! Geledah gedung ini! Cari Nyi Larasati!” Jatilegowo memerintah pada dua orang prajurit Salatiga yang ikut bersamanya.
Kedua prajurit ini segera laksanakan perintah sang Adipati. Tak lama kemudian mereka muncul bukannya membawa Nyi Larasati tetapi bersama seorang perempuan separuh baya dan seorang lelaki berusia lebih setengah abad. Dua orang itu dilemparkan ke hadapan Jatilegowo, merangkak di lantai, ketakutan setengah mati.
“Adipati, maafkan kami. Kami tidak berhasil menemukan Nyi Larasati. Gedung ini kosong.” Memberi tahu salah seorang prajurit.
“Kalian siapa?!” Hardik Jatilegowo.
“Saya... saya Tasmih... Juru masak Kadipaten. Saya jangan diapa-apakan. Saya orang tidak berdosa... tidak bersalah...”
“Kau siapa?!” Jatilegowo membentak orang satunya.
“Ampun Raden, saya… saya Kadirun…”
“Kadirun… Hemm. Apa tugasmu di gedung ini?” tanya Jatilegowo kasar.
“Saya… saya juru taman gedung. Saya juga tidak punya salah, tidak punya dosa. Jangan disakiti Den.”
Jatilegowo menyeringai. Dia coba mengingat-ingat. “Kadirun! Bukankah kau orangnya yang dikabarkan punya tiga istri?!”
“Bu… bukan cuma dikabarkan Den. Memang betulan. Saya punya tiga istri…” jawab si juru taman.
Jatilegowo tertawa lebar. “Kau laki-laki hebat! Berdirilah, mendekat ke sini!”
Kadirun membungkuk-bungkuk dia melangkah ke hadapan Jatilegowo. Sang Adipati menepuk-nepuk bahu juru taman ini lalu berkata. “Juru taman Kadirun. Berapa usiamu sekarang?”
“Saya, enam puluhan Den.”
Jatilegowo tertawa keras. “Usia enam puluh. Dan kau punya tiga istri untuk dilayani! Laki-laki hebat! Aku iri padamu! Sudah enam puluh tapi masih punya tenaga seperti kuda! Ha ha ha! Juru taman, apa rahasiamu! Obat apa yang kau minum hingga begitu perkasa. Kabarnya salah seorang istrimu masih berusia di bawah tiga puluh tahun.”
Kadirun tertawa ditahan, malu-malu. “Saya tidak punya rahasia apa-apa Adipati. Juga tidak pernah minum obat…”
“Begitu?” Jatilegowo kembali tepuk-tepuk bahu juru taman itu. Kepalanya dirundukkan sedikit. Setengah berbisik dia bertanya. “Kau tahu di mana Nyi Larasati berada?”
“Jeng Ayu Larasati meninggalkan gedung ini dua minggu lalu Den,” menerangkan Kadirun.
“Kau tahu pergi ke mana?”
“Mohon maaf, saya tidak tahu Den.”
Jatilegowo berpaling pada Tasmih. “Juru masak, kau tahu ke mana perginya Nyi Larasati?”
Tasmih geleng-gelengkan kepala. Wajahnya menunjukkan ketakutan.
“Kukira kalian berdua berdusta!”
“Kami, kami tidak berdusta Den,” Tasmih dan Kadirun berucap hampir berbarengan.
“Majikan kalian pergi, kalian tidak tahu! Aku tidak percaya!”
Jatilegowo menyeringai. Dia berpaling pada salah seorang pengawalnya. “Prajurit! Potong kemaluan juru taman ini! Dia boleh punya tiga sampai sepuluh istri! Tapi tak akan ada gunanya lagi sekarang! Ha ha ha!”
Kadirun seperti disambar petir. Tasmih jatuhkan mukanya ke lantai, tak berani melihat ke mana-mana, apalagi ke arah sang Adipati.
“Srett!” Prajurit yang diperintah hunus goloknya. Senjata itu berkilat-kilat terkena sinar matahari pagi yang baru naik. Kadirun menggigil sekujur tubuh, wajahnya seputih kertas.
“Jangan Den, saya bersumpah tidak dusta! Saya tidak tahu ke mana perginya Nyi Larasati…” Kadirun berucap setengah meratap sambil jatuhkan diri berlutut di lantai.
“Kau lebih suka menyelamatkan Nyi Larasati daripada barang sendiri dan tiga istri!” ucap Jatilegowo. Lalu dia berteriak. “Prajurit! Laksanakan tugasmu!”
Dibantu temannya, prajurit yang memegang golok mendorong Kadirun hingga terlentang di lantaipendapa. Celana hitamnya ditarik paksa. Kolor dibetot lepas. Prajurit yang memegang golok maju mendekat. Ketika dia siap mengayunkan senjata itu Kadirun berteriak keras.
“Adipati ampun! Jangan! Saya akan bicara! Saya akan katakan!”
“Adipati Jatilegowo menyeringai. Sambil pelintir ujung kumis tebalnya dia gerakkan tangan satunya memberi tanda. Prajurit yang mencekal Kadirun lepaskan cekalan. Yang memegang golok mundur sambil sarungkan senjatanya kembali.
“Bangun! Bicara!” bentak Jatilegowo.
Juru taman Kadirun tarik kolornya ke atas dan kenakan celana hitamnya kembali lalu bangkit, duduk bersila sambil rundukkan kepala hampir menyentuh lantai pendapa.
“Bicara! Jangan cuma menungging-nungging! Nanti kutendang hancur bokongmu!” teriak Jatilegowo.
“Ampun Adipati, setahu saya… setahu saya Nyi Larasati berangkat ditemani Loh Gatra…”
“Bangsat setan alas! Aku tidak tanya dia pergi ditemani siapa! Aku tanya Nyi Larasati pergi dan berada di mana?!” bentak Jatilegowo. Kakinya diangkat dan diletakkan diatas batok kepala sang juru taman.
Dengan tubuh dan suara gemetar Kadirun berkata. “Nyi Lara berada di...”
Keterangan meluncur dari mulut Kadirun yang dilanda ketakutan setengah mati. Tasmih si juru masak hanya bisa membenamkan kepala ke lantai pendapa. Hatinya menangis. Dia sudah bisa membayangkan apa yang bakal terjadi dengan bekas majikannya, Nyi Larasati.
********************
BAB 12
Desa Windusari terletak di sebelah timur Gunung Sumbing, setengah hari perjalanan di selatan Temanggung. Malam itu, di ruang dalam rumah Kepala Desa Ronosantiaki, Kepala Desa bersama istrinya tengah bicara dengan Nyi Larasati, janda almarhum Adipati Temanggung yang masih keponakannya.
“Anakku Larasati,” kata Ronosantiaki memulai pembicaraan.
“Paman sudah bicara dengan bibimu. Kami tahu kau senang menetap di sini dan kami berdua juga gembira kau bisa berada di tengah-tengah kami. Apalagi mengingat sampai saat ini kami masih belum dikarunia seorang anakpun oleh Gusti Allah. Kau sudah kami anggap sebagai puteri sendiri. Namun terkadang Paman merasa sedih…”
“Sedih bagaimana, Paman?” tanya Nyi Larasati yang walau kecantikannya tidak berubah tapi perawakannya kini terlihat agak kurusan.
“Semasa di Temanggung sebagai istri Adipati kehidupanmu serba senang. Segala sesuatunya serba tersedia. Ada banyak pembantu yang mengurusi rumah tanggamu. Tapi di sini justru kau bekerja keras, mencuci, memasak, membenahi rumah…”
Nyi Larasati tersenyum. “Mengapa Paman berpikir sampai ke situ? Bagi seorang perempuan pekerjaan memasak, mencuci dan membenahi rumah adalah pekerjaan yang merupakan kewajiban sehari-hari. Lagi pula saya tidak merasa bekerja keras. Saya suka dengan semua pekerjaan itu.”
“Paman dan Bibi senang mendengar ucapanmu itu. Namun selain hal itu ada satu kekawatiran dalam diri Paman dan Bibimu ini…”
“Nah, nah. Tadi Paman menyebut kesedihan. Kini kekawatiran. Boleh saya tahu apa yang Paman kawatirkan?” tanya Larasati pula.
“Keselamatanmu anakku. Keselamatanmu,” jawab Ronosantiaki yang Kepala Desa Windusari itu.”
“Memangnya banyak rampok dan orang jahat di desa ini Paman?”
Ronosantiaki gelengkan kepala. Sang istri membuka mulut. “Bukan, rampok atau-orang jahat yang kami kawatirkan. Kami kawatir kalau persembunyianmu di sini bocor, diketahui Adipati Salatiga. Dia pasti akan datang ke sini…”
“Saya mendengar kabar sudah beberapa bulan ini dia tidak ada lagi di Salatiga…”
“Itu bukan menjadi jaminan bahwa dia tidak akan muncul mencarimu, anakku,” kata Ronosantiaki. “Paman yakin ada sesuatu yang dikerjakannya. Mungkin sekali mencari ilmu tambahan untuk membalaskan dendam kesumat terhadap para pendekar yang dulu pernah menghajarnya di Temanggung.”
Nyi Larasati terdiam. Yang terbayang saat itu adalah wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Paman, jangan terlalu kawatir. Rumah ini cukup aman bagi saya…”
“Tidak anakku. Aku dan Bibimu sudah berunding. Kau akan kami ungsikan ke satu tempat yang benar-benar aman. Di Kalijajar ada seorang sahabat. Aku akan menitipkanmu di sana sampai keadaan benar-benar aman.”
“Kalau mau Paman begitu, saya tak bisa menampik,” kata Nyi Larasati walau hati kecilnya kurang menyetujui maksud sang Paman.
“Kita berangkat besok pagi bersamaan dengan fajar menyingsing. Kereta dan beberapa pengawal berkuda sudah kusiapkan. Sekarang karena sudah cukup larut, masuklah ke kamarmu. Kau perlu istirahat. Kalijajar jauh dari sini. Lebih dari satu hari perjalanan.”
********************
Malam itu di atas pembaringan sulit bagi Nyi Larasati memicingkan mata. Perubahan dirinya dari seorang istri Adipati yang dihormati dan hidup sangat berkecukupan menjadi seorang janda yang kini tidak punya apa-apa lagi baginya bukan hal merisaukan. Dia sanggup menghadapi semua perubahan ini walau dengan segala kepedihan. Namun memang satu ada hal yang ditakutinya. Yakni Jatilegowo, Adipati Salatiga yang memaksa mengambil dirinya jadi istrinya.
“Kalau saja pemuda bernama Wiro itu ada di sini, aku akan merasa bahagia dan aman,” bisik hati Nyi Larasati. “Di mana dia berada sekarang? Bagaimana aku bisa bertemu dengan dia?”
Menjelang pagi, dalam keadaan capai akhirnya Larasati tertidur. Belum lama memicingkan mata, satu mimpi seram menghantui tidurnya. Dalam mimpi itu Nyi Larasati dapatkan dirinya di satu rimba belantara penuh dengan segala macam mahluk halus jejadian menyeramkan. Ada kutungan kepala menyambar sambil menyemburkan darah. Ada mahluk bertubuh manusia berkepala srigala yang hendak mencabik-caik dirinya.
Lalu ada pula mahluk dengan sosok setinggi pohon kelapa, berlidah api, menjulur kian ke mari hendak menjilat membakar dirinya. Yang paling menyeramkan adalah satu mahluk tinggi besar penuh bulu tanpa pakaian berusaha menangkap dan memperkosanya. Mahluk ini memiliki tampang seperti Adipati Jatilegowo.
Di satu tebing tinggi, Nyi Larasati tidak dapat melarikan diri lagi karena di hadapannya menganga jurang batu cadas sangat dalam. Nyi Lara memilih lebih baik mati daripada dirusak kehormatannya. Maka diiringi jeritan panjang menggidikkan Nyi Larasati hamburkan dirinya ke dalam jurang.
Saat itulah dia tersentak bangun. Nyi Lara duduk di tepi tempat tidur. Diusapnya wajahnya yang penuh keringatan. Debaran di dadanya masih terasa keras. Dari bawah bantal diambilnya sebuah benda. Benda ini adalah secarik kain putih bertuliskan angka 212.
Seperti dituturkan Episode pertama Badik Sumpah Darah potongan kain ini diberikan Wiro pada Loh Gatra untuk disampaikan pada Nyi Lara sebagai pertanda bahwa Wiro akan menolong dirinya dari tangan jahat Adipati Salatiga Jatilegowo.
Atas nasihat Ki Sarwo, kain putih itu disimpan Nyi Larasati baik-baik. Setiap hatinya gundah atau rindu bertemu dengan sang pendekar Nyi Lara mengeluarkan kain itu, membelai dan menciuminya. Kini untuk kesekian kalinya Nyi Lara mengambil kain itu, meletakkannya di atas dada yang masih berdebar akibat mimpi buruk.
Dengan kain putih bertuliskan angka 212 di atas dada Nyi Lara baringkan dirinya kembali di atas tempat tidur. Matanya dipejamkan. Berusaha tidur. Di luar sana lapat-lapat Nyi Lara mendengar suara berisik. Nyi Lara nyalangkan mata. Sunyi. Tak terdengar suara apa-apa lagi. Nyi Lara pejamkan matanya kembali.
Tiba-tiba ada langkah-langkah kaki, terdengar berat menggetarkan lantai kamar. Lalu pintu kamar terbuka. Karena pikirannya hampir tak pernah lepas dari mengingat Pendekar 212 Wiro Sableng, ketika satu sosok tinggi besar masuk langsung saja Nyi Lara membuka mulut menyebut nama sang pendekar.
“Wiro...?!”
Jawaban yang didapat Nyi Lara adalah suara tawa bergelak. Kaget setengah mati Nyi Lara bangkit dari tidurnya. Perempuan muda ini menjerit keras ketika melihat siapa adanya orang yang berdiri di ambang pintu, memandang menyeringai kepadanya. Dia seperti melihat demit kepala tujuh!
“Nyi Lara, kau berteriak. Karena terkejut atau bahagia bertemu kembali dengan diriku?!” Orang di ambang pintu keluarkan ucapan.
“Kau! Keluar! Pergi!” teriak Nyi Larasati. Di luar kamar ada suara orang berlari mendatangi.
“Nyi Lara, anakku! Ada apa?!” Itu suara Kepala Desa Ronosantiaki. Sesaat kemudian Kepala Desa ini menghambur masuk ke dalam kamar. Dia segera mengenali sosok Jatilegowo.
“Adipati!”
“Aku datang untuk menjemput calon istriku! Kau keberatan?!” ucap Jatilegowo.
“Sampai mati aku tidak mau jadi istrimu! Keluar?!” teriak Nyi Larasati.
“Adipati, kau dengar sendiri ucapan keponakanku! Aku mohon jangan melakukan kekerasan!”
“Aku berjanji tidak akan ada kekerasan! Asal jangan ada yang berani membantah kemauanku! Nyi Larasati, ikut aku!”
“Tidak! Pergi!”
“Kau membuatku kehilangan kesabaran!” Rahang Jatilegowo menggembung. Dia melompat ke ujung tempat tidur hendak menangkap Nyi Lara.
Tapi dari belakang Ronosantiaki memegangi tubuhnya. “Adipati! Jangan lakukan! Kasihani kami orang-orang kecil!”
“Kalian orang-orang kecil tak tahu diri!” bentak Jatilegowo. Sekali dia membalikkan badan sambil hantamkan tinju kanan maka...
"Bukkk!" Kepala Desa Windusari terpental keluar pintu. Hidungnya mengucurkan darah kena jotosan keras yang dilancarkan Jatilegowo.Orang tua ini megap-megap sulit bernafas. Dua orang anak buah Jatilegowo menyeretnya lalu melemparkannya ke halaman samping.
“Paman!” teriak Nyi Lara. Dia coba melarikan diri ke arah pintu.
Tapi Jatilegowo lebih cepat. Sambil tangan kiri merangkul pinggang, dua jari tangan kanannya menotok urat besar di pangkal leher Nyi Lara. Dalam keadaan kaku tak bisa bergerak tak dapat bersuara Jatilegowo letakkan sosok Nyi Laradi atas bahu kanannya. Dia memberi isyarat pada dua prajurit lalu mendahului berkelebat keluar rumah.
Di ruang tengah istri Kepala Desa sambil menjerit-jerit berusaha menahan tubuh besar Jatilegowo. Tapi sekali dorong saja perempuan ini terpental jauh. Kepalanya membentur pinggiran meja, membuatnya pingsan tak sadarkan diri begitu menggeletak di lantai.
Dengan cepat diikuti dua anak buahnya Jatilegowo keluar dari dalam rumah menuju halaman depan. Di situ telah menunggu empat ekor kuda. Kuda keempat adalah kuda cadangan yang disiapkan untuk membawa Nyi Larasati. Ketika Jatilegowo dan dua pengawalnya sampai di halaman tempat mereka menambatkan kuda, alangkah kagetnya mereka.
Di atas kuda tunggangan milik Jatilegowo duduk seorang kakek berambut biru berminyak. Di keningnya melingkar tali berbentuk jalin terbuat dari usus manusia. Sambil rangkapkan dua tangan di depan dada dan lontarkan seringai angker, kakek berambut biru yang duduk di atas kuda umbar suara tawa keras dan panjang.
“Jatilegowo, dunia ini ternyata kecil dan sempit! Kau mengira bakal dapat lari ke ujung dunia. Ternyata ujung duniamu hanya sampai di Desa Windusari ini! Ha ha ha!”
“Adipati, siapa kakek kurang ajar ini?!” Prajurit di samping Jatilegowo bertanya.
“Kalian berdua bunuh tua bangka keparat itu!” perintah Jatilegowo.
Dua prajurit serta merta menghunus senjata. Begitu keduanya menyerang kakek di atas kuda, Jatilegowo cepat melompat ke atas kuda lain, menghambur lari ke arah matahari terbit.
“Orang tua berambut biru di atas kuda kertakkan rahang. Ketika dua golok menyambar, dia tendangkan kaki kiri sementara tangan kanan bergayut ke leher kuda lalu menyusul kaki kanan menyentak ke depan.
“Bukkk! Bukkk!”
Dua prajurit mencelat mental. Yangsatu tak bangun lagi karena tendangan tepat menghantam lehernya. Tulang lehernya patah. Dari tenggorokannya keluar suara aneh. Sosoknya menggeliat beberapa kati lalu diam tak berkutik lagi. Mati!
Prajurit kedua yang kena tendangan pada bahu kirinya dengan geram memungut goloknyayang tadi terlepas lalu dengan nekad menyerang kakek berambutbiru kembali. Sekali ini yang diserang tidak memberi hati lagi. Setelah menangkis serangan golok dengan lipatan lutut, tangan kanannya menghantam deras ke batok kepala si prajurit.
“Praakk!” Batok kepala itu pecah. Si prajurit melayang nyawanya sebelum tubuhnya mencium tanah!
Si kakek di atas kuda keluarkan suara mendengus. “Jatilegowo, kau mau lari ke mana! Sekalipun kau lari ke neraka jangan kira aku tak sanggup mengejar!”
Kakek ini sentakkan tali kekang kuda. Binatang itu menghambur ke depan, berlari kencang ke arah lenyapnya Jatilegowo bersama janda culikannya.
********************
Jatilegowo memacu kudanya sekencang yang bisa dilakukan. Sosok Nyi Larasati tergeletak melintang di atas pangkuannya. Dalam hati orang ini merutuk tak henti-hentinya.
“Kurang ajar! Bagaimana jahanam itu bisa mengikuti aku sampai ke sini?! Kalau dia berlaku nekad terpaksa aku menghabisi dirinya!”
Jatilegowo berpaling ke belakang. Dua prajurit yang ikut bersamanya masih belum muncul. Hatinya merasa tidak enak. “Jangan-jangan mereka menemui ajal di tangan jahanam itu,” pikir Jatilegowo.
Dia mempercepat lari kudanya. Tapi dengan beban dua orang seperti itu sang kuda tidak mampu berlari lebih cepat walau didera sekalipun. Sebelumnya Jatilegowo punya rencana begitu berhasil mendapatkan Nyi Larasati dia akan membawa janda itu ke Salatiga. Tapi dengan kemunculan kakek berambut biru yang tidak diduganya sama sekali, dia terpaksa merubah rencana.
Kudanya diarahkan ke selatan menuju Bandongan. Di desa itu dia memiliki sebuah rumah yang selamaini ditinggalkan kosong. Ketika sang surya terbit di timur kemudian bergerak naik dengan memancarkan sinarnya yang benderang, Jatilegowo merasa agak lega. Tak ada yang mengejarnya. Lari kuda diperlambat.
Sebelum tengah hari dia memperkirakan akan sampai di Bandongan. Dugaannya tidak meleset. Sebelum mentari mencapai titik tertingginya Jatilegowo bersama orang boyongannya telah memasuki Desa Bandongan. Rumah kosong milik Jatilegowo terletak di bibir lembah subur berpemandangan indah. Ada satu aliran air jernih tak berapa jauh dari rumah itu. Jatilegowo hentikankudanya di sini.
Binatang itu dibiarkannya mereguk air segar. Dia sendiri menggendong Nyi Larasati, melangkah ke arah rumah. Dengan kaki kiri Jatilegowo mendorong pintu rumah yang terbuat dari papan tebal. Pintu terbuka mengeluarkan suara berkereketan. Jatilegowo melangkah masuk. Tapi baru satu kaki menginjak bagian dalam rumah tiba-tiba dari dalam terdengar suara tawa mengekeh.
“Jatilegowo! Aku sudah bilang. Dunia ini kecil dan sempit. Kau masih berlaku nekad hendak mencoba lari dariku? Ha ha ha!”
Kejut Jatilegowo seperti disambar petir. Dia cepat melompat mundur, keluar dari dalam rumah. Tubuh Nyi Larasati diletakkannya di satu tempat di samping sebuah batu besar. Lalu dia melangkah kembali ke arah rumah, berhenti tujuh langkah di depan pintu yang terbuka sementara dari dalam rumah masih terdengar suara tawa bergelak.
“Sarontang! Keluarlah! Katakan apa maumu!” Berteriak Adipati Jatilegowo. Tangan kanannya ditempelkan ke pinggang kiri di mana terselip sebuah senjata sakti mandraguna. Badik Sumpah Darah!
Belum lenyap gema teriakan Jatilegowo, di dalam rumah suara tawa bergelak sirna. Lalu satu bayangan melesat ke udara, jungkir balik dua kali untuk kemudian turun ke tanah dan tegak tiga langkah di hadapan Jatilegowo. Luar biasa sekali gerakan orang ini. Dan dia ternyata bukan lain adalah kakek berambut biru berminyak.
“Hebat! Dulu kau memanggil aku dengan sebutan kakek Sarontang! Kini Sarontang saja! Hebat! Tapi juga kurang ajar! Ha ha ha!”
Jatilegowo mendengus. “Perlu apa memakai segala bahasa halus dan peradatan terhadap manusia sepertimu!”
“Oo begitu?! Ha ha ha!” Si kakek berambut biru kembali umbar tawa panjang. “Benar rupanya lidah tidak bertulang. Manusia bicara semaunya sesuai dengan kebutuhan perut dan pantatnya! Ha ha ha!”
“Aku muak mendengar suara tertawamu! Katakan bagaimana kau bisa mengikuti aku sampai ke sini! Juga katakan apa maumu mengikuti diriku! Kau inginkan janda muda cantik bernama Nyi Larasati itu?!”
“Jatilegowo! Apa kau lupa, aku yang bernama Sarontang ini sebenarnya adalah Aryo Probo, Pangeran Kerajaan Pakubuwon! Aku lebih tahu seluk beluk Tanah Jawa di kawasan ini daripada dirimu! Kau tanya mengapa aku mengikutimu? Aku punya sejuta alasan! Tapi tidak untuk mendapatkan janda cantik itu. Kau tahu seleraku. Kau pernah bermain cinta denganku! Apa kau lupa?!”
Mengenai riwayat Sarontang harap baca Episode sebelumnya yakni Badik Sumpah Darah dan Mayat Persembahan
Jatilegowo keluarkan suara seperti orang mau muntah. Sebaliknya Sarontang keluarkan suara mendengus. “Aku mengejarmu sejak kau kabur dari tanah Makassar, membawa dua dosa besar pengkhianatan!”
“Hemm… Kau seperti malaikat yang hendak mengadili insan! Aku kawatir otakmu sudah miring Sarontang!”
Diejek begitu rupa Sarontang tertawa bergelak. “Dosa pertamamu, kau membunuh pemuda bernama Bontolebang yang jadi kekasihku! Kau bunuh dan kau kirimkan mayatnya padaku sebagai Mayat Persembahan! Kurang ajar dan keterlaluan! Dosa kedua, kau membawa kabur Badik Sumpah Darah asli, memberikan badik palsu padaku! Dua dosa itu sudah cukup untuk membuat aku menguliti tubuhmu saat ini juga!”
Jatilegowo sunggingkan seringai mengejek. “Tadi kau berlaku seperti malaikat. Kini seperti tukang potong sapi hendak menguliti diriku! Jangan bicara ngacok! Lebih baik kau angkat kaki dari sini sebelum kau kuhabisi! Pangeran Aryo Probo, apa kau tidak sayang pada tahta Kerajaan yang selama ini kau inginkan?! Apa kau benar-benar ingin mampus sebelum merasakan bagaimana enaknya jadi Raja?!”
“Aku minta kau menyerahkan Badik Sumpah Darah padaku sekarang juga. Justru senjata itu aku perlukan untuk mendapatkan tahta Kerajaan!”
Jatilegowo gelengkan kepala. “Aku tidak akan memberikan badik itu pada siapapun! Juga tidak padamu! Jika kau ingin merampas tahta Kerajaan silahkan lakukan sendiri. Aku kawatir tahta yang kau idamkan itu akan menjadi tahta berdarah! Kau akan menemui kematian sebelum berhasil menyentuhnya!”
“Bicara soal kematian mungkin kau yang bakal mampus duluan dari aku. Kecuali kau mau menyerahkan badik itu padaku sekarang juga! Serahkan!”
“Tua bangka takabur! Kau akan kubuat mati tak berkubur!” Habis berkata begitu Jatilegowo menggebrak maju, hantamkan tangan kiri kanan ke arah dada si kakek.
“Bukkk! Bukk! Bukkk! Bukkk!”
Empat jotosan keras bertenaga dalam tinggi melanda dada Sarontang. Jangankan terpental atau menjerit kesakitan, sedikitpun sosok si kakek tidak bergeming dan tidak ada kerenyit kesakitan pada wajahnya. Kagetlah Jatilegowo. Jotosannya tadi jangankan manusia. Tembok batu sekalipun akan jebol hancur. Sarontang tertawa mengekeh. Dia angkat tangan kanannya ke atas lalu berseru,
“Anak-anak! Bunuh manusia pengkhianat ini!”
Begitu ucapan Sarontang berakhir tiba-tiba menggemuruh suara lolongan menggidikkan. Tidak jelas apakah itu suara lolongan anjing atau raungan manusia. Jatilegowo tersentak kaget dan undur dua langkah. Dia ingat peristiwa di Gunung Lompo-batang. Sarontang mempunyai peliharaan mahluk-mahluk aneh.
Pada saat-saat tertentu mahluk-mahluk itu diberi makan berupa burung-burung yang beterbangan di udara. Apakah dia membawa serta mahluk-mahluk peliharaannya itu ke Tanah Jawa?