Telaga Api Salju

Cerita Silat Indonesia Serial Mahesa Kelud episode Telaga Api Salju karya Bastian Tito
Sonny Ogawa
Telaga Api Salju

TELAGA API SALJU


SATU
EMPU SORA, tokoh silat dari Ujung Kulon berada dalam kebimbangan. Sebelum meninggalkan Ujung Kulon dia sudah bertekad bulat untuk turun tangan, menangkap Jayengrana alias Lutung Gila hidup-hidup dan jika tidak mungkin langsung saja membunuhnya!

"Kalau tidak kubunuh dia, apa pertanggungan jawabku pada perguruan yang ku pimpin. Apa pertanggung jawabanku terhadap rimba persilatan!"

Hati kecil Empu Sora berkata. Dalam kebimbangan begitu rupa salah satu kakinya siap untuk melangkah pergi. Namun tiba-tiba di belakangnya Lutung Gila keluarkan suara tawa bekakakan disusul dengan ucapan mengejek merendahkannya.

"Tua bangka jelek! Icuh biung! Memang lebih baik bagimu angkat kaki dari hadapanku! Sayang kalau jauh-jauh datang ke sini cuma mau mengantar nyawa. Hik... hik... hik! Umur tinggal sejengkal, badan sudah bau tanah mengapa mau menyia-nyiakan sisa hidup! Ciluk biung...! Hik... hik... hik!"

Empu Sora merasa kepalanya membesar. Darahnya mendidih. Secepat kilat dia berbalik. Bersamaan dengan itu tangan kanannya menghantam ke atas batok kepala Lutung Gila! Hebatnya, menghadapi serangan maut seperti itu Lutung Gila malah tertawa bergelak. Kaki dan kepalanya digerakkan sedikit dan... wuttt!

Pukulan Empu Sora menghantam tempat kosong! Kejut orang tua itu bukan kepalang. Pukulan yang barusan dilancarkannya bukan sembarang pukulan, benar-benar mematikan. Jangankan makhluk gila seperti muridnya itu, para tokoh silat ternama sekalipun tidak mungkin mampu bergerak mengelak secepat yang dilakukan Lutung Gila! Sempat terkesiap sejurus, Empu Sora membentak.

"Bagus! Rupanya kau sudah memiliki ilmu kepandaian yang kau anggap bisa diandalkan! Rupanya kau sudah berguru kepada setan, kepada iblis! Pergunakan ilmu iblismu itu untuk menghadapiku! Aku mau tahu sampai dimana kehebatanmu!"

Untuk kedua kalinya Empu Sora lancarkan serangan ganas luar biasa. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan. Tapi kali kedua inipun dia dibikin melongo karena serangannya hanya memukul tempat kosong. Bahkan dirinya sendiri huyung karena menghantam udara kosong! Dengan kalap Empu Sora kelebatkan diri dan lancarkan serangan tangan kosong bertubi-tubi.

Lutung Gila gerabak-gerubuk kian kemari berputar, miringkan tubuh, kadang-kadang seperti orang bertarung, kadang-kadang seperti hendak rebah. Sepuluh jurus berlalu. Pasir dan debu beterbangan! Semua serangan Empu Sora satupun tak mengenai sasaran. Dielakkan dengan gerakan-gerakan aneh oleh Lutung Gila sedang saat itu Lutung Gila masih juga terus menimang bayinya!

Dewa Tongkat tidak bisa heran! Kedua mata melotot besar! Siapa mau percaya! Seorang berotak miring, sambil mendukung bayi, dengan gerakan-gerakan aneh tak teratur macam monyet terbakar ekor lompat sana lompat sini, berhasil mengelakkan serangan-serangan hebat dari seorang tokoh silat utama macam Empu Sora sampai sepuluh jurus!

Di lain pihak di samping kobaran amarah semakin menggelegak maka Empu Sora merasa malu bukan main tak dapat turun tangan terhadap muridnya yang dianggapnya murtad itu, bahkan saat itu disaksikan pula oleh Dewa Tongkat! Mau diletakkan di mana nama besar dan mukanya!

Tanpa tedeng aling-aling Empu Sora cabut pedangnya. Sinar hijau berkelebat menyilaukan! "Dosamu tidak terampun lagi murid murtad!" bentak orang tua itu lalu menyerbu dengan ganas. Pedangnya menyambar ke leher, membalik ke perut, menusuk ke dada dan membacok hebat ke kepala! Angin menderu, debu dan pasir beterbangan!

"Icuh! Icuh! Biung... orang tua gila! Orang tua sedeng! Mengapa serang aku?!" Lutung Gila lompat sana lompat sini. Kakinya kadang-kadang kelihatan berputar-putar, bergeser aneh! Dan dengan gerakan-gerakan yang serba asing itu semua sambaran pedang dapat dielakannya!

Bukan kepalang marahnya Empu Sora. Gerakannya dipercepat. Tubuhnya berkelebat. Sesaat kemudian hanya dua bayangan sinar hijau yang kelihatan yaitu kelebatan jubah serta gulungan pedang Empu Sora. Dua puluh jurus berlalu cepat sekali. Keringat dingin mengucur di kening Empu Sora! Pada saat itulah terdengar suara nyaring berseru.

"Lutung Gila! Apakah kau sudah bosan hidup membiarkan saja dirimu jadi bulan-bulanan pedang?! Letakkan Lutung Bawean di atas batu itu dan bunuh orang tua jubah hijau! Dia orang tua iblis!"

Mendengar suara yang tak asing itu, Lutung Gila segera melompat ke luar menembus gulungan pedang hijau. Bayi yang di dalam dukungannya diletakkan di atas sebuah batu besar lalu sambil tertawa aneh menggidikkan dia melangkah mendekati Empu Sora. Bergidik juga orang tua ini melihat cara dan suara tertawa muridnya itu. Tapi hanya sebentar karena sesaat kemudian dia sudah menyerbu pula menyerang!

Kali ini Lutung Gila tidak tinggal diam. Tubuhnya jingkrak-jingkrak. Kaki dan tangannya mencak-mencak seperti anak kecil kegirangan. Dan setiap gerakan anggota tubuhnya itu mengeluarkan angin keras dahsyat laksana topan, membuat serangan pedang hijau Empu Sora seperti tertahan oleh selapis dinding baja yang tebal ampuh! 

Menggerenglah si orang tua melihat bagaimana dia tak mampu maju selangkahpun untuk mengirimkan serangan. Tubuhnya terhuyung-huyung limbung. Tiba-tiba terdengar raung Empu Sora dahsyat membelah langit! Tubuhnya mental ke udara sampai beberapa tombak dan menyangsang di antara dua cabang pohon dengan kepala terkulai ke bawah! Dari mulutnya menggelegak darah kental. Tulang-tulang dada dan iganya hancur remuk. Nyawanya putus. Pedang hijau di tangannya terlepas dan menancap di tanah sampai ke hulu!

Waktu terdengar seruan perempuan tadi, Dewa Tongkat memutar kepala dan melihat muridnya, Kemaladewi memakai baju merah, rambut awut-awutan, muka kusut-masai berdiri di bawah sebatang pohon randu!

Meski banyak perubahan pada diri gadis ini namun kecantikannya masih tetap membayang! Iba juga hati Dewa Tongkat melihat keadaan muridnya. Namun sebelum dia berbuat apa-apa ataupun bicara kepada muridnya dia terpaksa putarkan kepala lagi ketika mendengar raung maut dari Empu Sora! Dewa Tongkat kerenyitkan kening, sipitkan mata. Mukanya mengkerut bergidik melihat kematian yang mengerikan dari Empu Sora!

Kemudian terdengar suara tertawa nyaring melengking Kemaladewi. "Bagus! Bagus Lutung Gila! Iblis tua itu memang harus mampus!"

Lutung Gila tertawa panjang, puas dan gembira. "Biung ciluk! Baaa...!"

Dewa Tongkat tak dapat menahan hatinya lagi. Karena perintah Kemaladewilah maka Lutung Gila membunuh gurunya sendiri! "Kemala! Rupanya kaulah yang menjadi biang runyam selama ini! Rupanya kau juga sudah berotak keblinger!"

"E... e... e... eeeee. Kambing tua!" ujar Kemaladewi pada Dewa Tongkat seraya tolakkan pinggang. "Kau datang ke sini mau minta disembelih?!"

Kedua mata Dewa Tongkat terpentang  lebar-lebar. Tubuhnya menggigil gemetar karena amarahnya tidak terperikan! Seumur hidupnya baru hari itu dia dikatakan kambing tua dan oleh muridnya sendiri pula! Sudah lupakah Kemala pada dirinya atau memang gadis itu benar-benar sudah gila?!

"Demi Tuhan! Muridku, kau berlututlah dan minta ampun kepadaku!" seru Dewa Tongkat. 

Kemaladewi tertawa mengikik. "Kau yang harus minta ampun dan harus berlutut di depanku, kambing tua!" tukasnya.

"Kemala! Kau benar-benar kelewatan kurang ajar! Kelewatan murtad! Sudah memberi malu aku, sudah berbuat kotor, saat ini kau memaki aku pula! Sulit bagiku untuk mengampuni kau punya dosa!"

"Begok! Siapa yang minta ampun dosa sama kau! Angkat kaki dari sini! Kalau tidak kau pasti akan minggat menyusul kunyuk yang nyangsrang di pohon itu!" Kemaladewi menunjuk ke mayat Empu Sora di atas cabang pohon. 

Marahlah Dewa Tongkat. Tanpa banyak bicara lagi dia keluarkan tongkat rotan berkeluknya dan menyerbu. Tapi serangan ini mudah dielakkan oleh Kemaladewi. Dewa Tongkat dengan penasaran sekali lalu kirimkan serangan beruntun. Ujung tongkatnya yang polos menusuk ke pelbagai penjuru sedang bagian yang berkeluk mengait ke leher, pinggang, ketiak dan kedua kaki! 

Seperti Lutung Gila tadi, Kemaladewi membuat gerakan-gerakan tak teratur, gerabak-gerubuk macam monyet terbakar ekor! Tapi justru dengan gerakan yang asing aneh ini semua serangan Dewa Tongkat menjadi luput!

Seumur hidupnya baru hari itu Dewa Tongkat menyaksikan ilmu silat seperti itu. Besar kepalanya menghadapi murid sendiri yang bertangan kosong! Jika orang luaran sampai tahu bagaimana Dewa Tongkat dipermainkan begitu rupa, lunturlah nama harumnya! Segera orang tua ini merobah permainan tongkatnya. Senjata itu menderu menimbulkan angin keras! 

Tongkatnya berubah seperti puluhan banyaknya dan tempat-tempat yang diserang tiada terduga. Waktu berada di Lembah Rotan, Dewa Tongkat belum pernah memberikan pelajaran ilmu ini kepada muridnya. Dengan keluarkan ilmu tersebut dia mengharap akan dapat meringkus Kemaladewi. Tapi dugaannya meleset!

Meskipun permainan tongkat gurunya aneh dan tak pernah dipelajarinya sebelumnya tapi dengan keluarkan ilmu silat tangan kosong yang dipelajarinya dari Raja Lutung maka seperti tahu liku jurus permainan lawannya, semua serangan Dewa Tongkat berhasil dielakkan bahkan sebaliknya gadis itu mendesak Dewa Tongkat dengan hebatnya!

Jurus demi jurus orang tua itu semakin kepepet. Didahului dengan pekik nyaring menggetarkan anak telinga. Kemaladewi lancarkan serangan sehebat badai!

"Buk!"

Dewa Tongkat terguling di tanah. Mengerang lalu muntah darah! Belum lagi dia bisa berdiri maka tendangan kaki kanan Kemaladewi mendarat di batok kepalanya! Kepala itu rengkah, otak dan darah bermuncratan!

Kemaladewi berdiri tolak pinggang. Hatinya puas sekali dan suara tawanya tinggi meningkah. Lutung Gila yang melihat gadis itu berhasil kalahkan lawannya bertepuk-tepuk gembira. 

"Biung... biung! Kau hebat, hebat sekali ciluk!" katanya memuji. Demikianlah, dua orang tua sakti, dua orang guru yang tadinya datang ke pulau Bawean untuk menghukum murid masing-masing ternyata terpaksa pasrahkan nyawanya di sana, menemui kematian dalam cara yang mengenaskan!

***
DUA

KEMBALI ke telaga Api-Salju berair seputih salju mendidih.... Kedua kekasih itu sadarkan diri dalam waktu yang hampir bersamaan. Mahesa Kelud membuka kedua matanya. Wulansari duduk menggeletak di sampingnya, tengah berusaha bangun. Keduanya memandang berkeliling. Ternyata mereka dikurung di satu ruangan empat persegi berdinding putih tanpa pintu tanpa jendela.

"Mahesa, di mana kita...?" tanya Wulansari berbisik.

Pemuda itu sendiri tak dapat memastikan di mana mereka berada saat itu. Tadi dia ingat bagaimana dia bersama kekasihnya dilemparkan ke dalam telaga berair putih. Kenapa tahu-tahu kini berada di dalam ruangan tersebut? Apakah mereka sudah menjadi tawanan makhluk aneh Si Api Salju? Apakah mereka masih berada di dalam telaga? Mustahil, masakan di dasar telaga ada ruangan begini rupa!

Mahesa Kelud berdiri. Dia membaca mantera. Tangan kanannya kemudian bergetar. Tenaga dalamnya berpusat. Dia melangkah mendekati salah satu bagian dinding putih dan memukul dengan aji "batu karang". Pemuda itu mengeluarkan seruan kesakitan. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke belakang sedang tangannya yang dipakai memukul lecet! 

Dia menggigit bibir menahan sakit! Selama dia memiliki ilmu pukulan batu karang itu, tak ada satu kekuatan apapun sanggup menahannya. Batu karang hancur remuk, besi bobol! Mahesa Kelud berpaling pada Wulansari dan memandang berkeliling.

Saat itulah terdengar suara sesuatu yang berat bergeser. Tiba-tiba dinding putih sebelah kanan terbuka. Serentak dengan itu didahului oleh teriakan yang mengerikan melompat masuk satu bayangan putih! Api Salju! 

Kini kedua kekasih itu sama tahu bahwa mereka memang masih berada ditempat makhluk aneh sakti itu, menjadi tawanan! Keduanya berdiri merapat dan bersiap sedia kalau-kalau terjadi apa-apa. Dinding yang terbuka di belakang Api-Salju telah menutup kembali dengan sendirinya.

"Bodoh!" teriak Api Salju. Kakinya dihentakkan ke lantai. Ruangan Putih itu bergoyang keras. "Bodoh!" katanya sekali lagi. 

Mahesa dan Wulansari saling melirik. Keduanya serentak menjura. "Api Salju, kami datang dengan maksud baik, mengapa dikurung ditempat ini?"

"Bodoh!" teriak Api Salju lagi. Kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya jungkir balik. Kini dia berdiri di atas kedua tangannya, kaki ke atas. "Bodoh!" teriaknya lagi. Kedua kakinya digerak-gerakkan ke muka dan ke belakang. Angin laksana badai menyambar di seantero ruangan. Tubuh Mahesa Kelud dan Wulansari berpelantingan. Api Salju hentikan perbuatannya dan tiupan angin dahsyatpun lenyaplah. 

"Bodoh!" teriak makhluk itu kembali. Dia jungkir balik lagi dan berdiri kembali di atas kedua kakinya. Kemangkelan terbayang di mukanya yang penuh bulu putih itu.

"Besok aku akan kembali lagi ke sini! Jika kalian masih berlaku bodoh, kalian akan mampus!" Api Salju keluarkan lengkingan dahsyat. Dinding putih di belakangnya membuka dan sesaat kemudian tubuhnya pun raiblah di balik dinding!

Untuk beberapa lamanya kedua pasang mata mereka masih saja memandang pada dinding yang tadi menutup. Mahesa maju dan coba meneliti, tapi batas sambungan sama sekali tidak kelihatan. Dicobanya memukul, tapi tangannya yang jadi sakit dan lecet!

"Aku tak mengerti mengapa kita terus-terusan di katakan bodoh!" ujar si pemuda. Wulansari hanya bisa menarik nafas dalam. Keduanya berdiam diri mencoba memecahkan rahasia kata-kata Api-Salju tadi.

"Jika kita dikatakan bodoh..." desis Wulansari antara kedengaran dan tidak, "Berarti kita harus melakukan sesuatu. Sesuatu yang tidak bodoh! Tapi apakah itu?"

Sunyi lagi. Keduanya sibuk dengan pikiran dan mencari jalan pemecahan masing-masing. Disamping itu, karena terkurung di dalam ruangan tertutup mereka tidak pula dapat menentukan apakah saat itu hari siang atau malam. Berapa lama lagi datangnya hari esok yang dikatakan oleh Api-Salju itu? Mereka dikatakan bodoh tetapi mereka tidak tahu kebodohan apakah yang mereka lakukan. Dan bila besok Api-Salju datang, mereka masih saja dikatakan bodoh, berarti tamat riwayat mereka!

"Aku dapat akal!" kata Wulansari tiba-tiba. 

Mahesa Kelud memandang paras kekasihnya dengan harap-harap cemas. "Akal apa?" tanyanya.

"Jika Api Salju besok datang dan mengatakan kita bodoh, kita tanyakan saja padanya perbuatan bodoh apakah yang kita lakukan!"

Mahesa Kelud berpikir sebentar lalu gelengkan kepala. "Justru dengan bertanya kepadanya itulah kita memperlihatkan kebodohan kita! Dan putuslah nyawa kita, Wulan!"

Apa yang dikatakan Mahesa terasa benar bagi si gadis dan ini membuat dirinya terdiam. Tiba-tiba terdengar benda bergeser. Dinding putih membuka. Api Salju masuk dengan segala kehebatannya. "Hari esok sudah tiba!" serunya.

Menggigillah tubuh Wulansari. Mahesa Kelud sendiri gemetar sekujur tubuhnya. Mereka tidak menyangka bahwa hari esok yang dimaksudkan oleh Api Salju tidak lebih dari beberapa saja! Api-Salju berdiri tolak pinggang. Tiba-tiba dia jungkir balik, tangan di bawah kaki ke atas. Entah bagaimana saja, mendadak Mahesa Kelud mendapat firasat. Dia berbisik pada kekasihnya.

"Kalau kita harus mati di sini, mungkin itu sudah takdir. Wulan, cepat tirukan perbuatannya!"

Mahesa Kelud bergerak meniru perbuatan Api-Salju. Dia berdiri dengan kaki ke atas tangan ke bawah. Dalam kebingungannya, Wulansari meniru pula perbuatan Mahesa.

"Bodoh!" teriak Api-Salju.

"Bodoh!" teriak Mahesa Kelud.

"Bodoh!" menirukan Wulansari.

Api Salju gerak-gerakan kedua kakinya dan angin membadai bersiuran. Mahesa dan Wulansari meniru pula, sama menggerakkan kaki masing-masing dan anehnya tubuh mereka tidak berpelantingan tersapu sambaran angin yang keluar dari kedua kaki Api Salju bahkan dari kaki-kaki mereka kiri kanan melesat pula keluar pukulan-pukulan angin yang tak kalah dahsyatnya sehingga tiupan angin di dalam ruangan putih tersebut menjadi seimbang. Ruangan bergoyang keras laksana kapal oleng dilanda ombak besar di tengah lautan!

Api-Salju putar tubuh dan berdiri diatas kakinya kembali. "Bodoh!" teriaknya.

Mahesa serta Wulansari tak tinggal diam. Keduanya berbuat yang sama pula dan berteriak: "Bodoh!"

Tiba-tiba Api Salju memukulkan kedua tangannya ke muka. Dua sinar putih panas dan menyilaukan mata melesat ke arah dua kekasih itu. Tubuh mereka mental terpelanting ke dinding putih di belakang mereka. Pakaian mereka hangus tapi mereka tidak terluka! Keduanya menjadi heran tapi tidak memikirkan lebih lama keanehan itu sebaliknya cepat-cepat pula meniru memukulkan kedua tangan masing-masing ke muka! 

Dan kelihatanlah empat sinar putih menyambar ke luar dari telapak-telapak tangan mereka ke arah Api Salju. Tubuh Api Salju laksana sebuah pohon kelapa ditiup angin bergoyang menghuyung tapi kedua kakinya tetap tidak bergeser! Mahesa dan Wulansari sama keluarkan seruan tertahan. Mereka hanya meniru-niru saja, lain tidak!

Tapi bagaimana tahu-tahu dari kaki dan kedua tangan mereka bisa keluar pukulan-pukulan angin dahsyat itu! Pukulan Api Salju?! Kedua pendekar muda ini tidak tahu bahwa mereka sesungguhnya bernasib untung berbintang terang. Selama satu hari satu malam mereka terkubur di dasar telaga air putih. Pada saat itulah terjadi kemujizatan. Melalui pori-pori di seluruh kulit tubuh mereka merasuk masuk kekuatan dahsyat yang mengandung ilmu kesaktian pukulan Api Salju yang melarut di dalam air telaga untuk kemudian masuk ke dalam tubuh mereka dan larut di dalam darah!

"Bodoh!" teriak Api-Salju.

"Bodoh!" meniru Mahesa Kelud.

"Bodoh!" menuruti pula Wulansari.

Api Salju turunkan tangannya yang bertolak pinggang lalu tertawa berkakakan! Kedua kekasih itupun tertawa pula bekakakan! Tiba-tiba Api Salju hentikan tawanya dan bertanya, "Mengapa kalian tirukan semua perbuatan dan ucapanku hah?!"

"Kami tidak ingin jadi orang bodoh!" jawab Mahesa Kelud beranikan diri meski diam-diam hatinya kecut karena dia belum tahu apakah makhluk sakti itu tetap akan melaksanakan niat untuk membunuhnya bersama Wulansari atau tidak!

"Bukankah meniru berarti bodoh?!" Api-Salju tertawa menggidikkan.

Mahesa berpaling pada Wulansari. "Celaka, Mahesa. Tamatlah riwayat kita," kata gadis itu. Suaranya menyendat dan mukanya pucat pasi! Tapi Mahesa tak kehabisan akal. Pemuda cerdik ini segera buka mulut berikan jawaban. "Tapi yang kami tirukan adalah perbuatanmu. Jika kami mati, kau pun harus mati!"

Tertawalah Api-Salju mendengar ucapan Mahesa Kelud itu. "Kau pemuda cerdik!" katanya. Pandangan mata yang merah yang tadi begitu ganas kini kelihatan berseri. "Kalian berdua sama beruntung! Apa kalian tak tahu bahwa selama dua hari di tempatku kalian sudah meresapkan ilmu pukulan Api Salju?"

Kejut Mahesa Kelud dan Wulansari bukan main! Mereka saling pandang dan melotot seperti tak percaya akan pendengaran! Benarkah? Sungguhkah mereka sudah memiliki ilmu pukulan Api-Salju itu? Selama dua hari dua malam mereka tidak sadarkan diri, kapan pula mereka telah belajar ilmu pukulan tersebut? Ini benar-benar satu hal yang tidak dimengerti!

Api Salju maklum apa yang terpikir dalam kepala kedua orang itu. Dia segera memberikan keterangan. "Kalian berdua ketahuilah! Bahwa siapa-siapa yang tenggelam kedasar telaga berair putih lebih dari setengah hari maka dia akan meresapkan ilmu pukulan sakti tersebut dengan sendirinya tanpa dipelajari, tanpa membaca mantera-mantera waktu mempergunakannya!"

Mendengar ini maka dengan serta merta kedua orang ini jatuhkan diri ke lantai dan berseru: "Guru!"

Api Salju tertawa menggumam. "Kalian cerdik tapi kali ini unjukkan lagi kebodohan!" katanya. "Siapa yang angkat kau jadi murid maka memanggil aku guru? Siapa yang ajar kalian ilmu pukulan itu? Tidak seorangpun. Tidak aku dan juga tidak setan jin dedemit hantu gentayangan! Kalian telah mempelajari dan memilikinya sendiri tanpa ada yang mengajar, tanpa kalian sadari. Kalian cuma menang di dalam dua hal, yaitu nasib baik serta cerdik. Jika saja kalian tidak meniru perbuatan dan ucapanku tadi, tamatlah riwayat kalian!"

Mahesa dan Wulansari ingat pada kata-kata guru mereka Suara Tanpa Rupa yaitu bahwa ilmu pukulan Api Salju tak bisa diajarkan, harus dicari langsung ke sumbernya. Bahwa jika mereka bernasib untung mereka akan mendapatkannya dan kalau tidak terpaksa menebus dengan nyawa!

"Kalian mengaku anak-anak murid Suara Tanpa Rupa." terdengar suara Api Salju. "Apakah guru kalian yang menyuruh datang kemari?"

"Betul," jawab kedua orang tersebut.

"Apa katanya?!"

"Cari telaga berair putih mendidih karena di situlah sumber ilmu pukulan Api Salju," sahut Mahesa.

"Hanya itu saja katanya?"

"Ya."

Api Salju tertawa puas. "Gurumu seorang sakti yang cerdik dan patuh! Ketahuilah oleh kalian, siapa saja boleh datang kemari untuk mendapatkan ilmu pukulan Api Salju. Tapi sekali-sekali tidak boleh diberitahu cara-cara untuk mendapatkan ilmu tersebut! Jika rahasia dibukakan maka yang diberi tahu dan yang memberitahu akan menemui ajal! Kalian ingat betul-betul pantangan tersebut! Dan kalian ketahui pulalah. Dalam dunia persilatan sampai saat ini hanya ada lima orang yang memiliki ilmu pukulan Api Salju tersebut. Pertama gurumu si Suara Tanpa Rupa, kedua dan ketiga kalian berdua, keempat Kyai Gandasuli di gunung Merapi dan kelima aku sendiri! Di antara yang berlima ini  kalian berdualah yang paling untung karena kalian yang termuda!"

Kedua orang muda itu manggut-manggut penuh suka cita.

"Kemudian kalian harus ingat pula  bahwa ilmu pukulan tersebut hanya ampuh dipergunakan untuk kebaikan. Seandainya dipakai buat kejahatan maka ilmu tersebut akan membalik menyerang diri kalian sehingga tubuh kalian menjadi panas laksana api dan dingin laksana salju. Dan keadaan panas dingin itu tubuh kalian akan membatu lalu lumer dan mampus laksana sebuah getah damar terbakar!"

Api Salju memandang pada kedua orang itu untuk penghabisan kalinya lalu berkata: "Nah, kalian telah beruntung. Pertemuan kita cuma di sini!" Api-Salju membuka mulutnya lebar-lebar dan dari mulut itu keluarlah kepulan asap hitam pekat. Dinding ruangan yang putih bersih berubah sontak menjadi hitam legam sehingga ruangan itu gelap gulita, jari di depan matapun tiada kelihatan! 

Mahesa dan Wulansari terbatuk-batuk waktu kepulan asap hitam memasuki liang hidung dan mulut mereka. Keduanya menggeletak ke lantai tanpa sadarkan diri!

***
TIGA

KETIKA keduanya siuman kembali, mereka dapatkan diri mereka berhamparan tak berapa jauh di tepi telaga Api Salju. Tapi anehnya kini air telaga itu tidak lagi berwarna putih seperti salju, tidak lagi mendidih serta mengepulkan asap melainkan seperti air-air telaga kebanyakan lainnya, bening tenang antara hijau kebiruan.

"Dunia serba aneh," desis Mahesa Kelud. Dia memandang pada Wulansari dan terkejut melihat muka serta tangan kaki dan sekujur tubuh kekasihnya itu hitam celemongan. "Wulan! Tubuhmu kenapa celemongan?!"

Saat itu si gadis berbaring menelentang. Dia putar kepalanya sedikit dan dengan tersenyum berkata. "Tubuhmu sendiri celemongan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki!"

Mahesa Kelud meneliti dirinya. Apa yang dikatakan Wulansari memang benar. Keadaan dirinya tiada beda dengan diri gadis itu. Mahesa mau tak mau jadi tertawa sendirian. "Lapisan debu hitam ini pasti berasal dari kepulan asap yang keluar dari mulut Api Salju waktu di ruangan putih! Kau ingat?"

Wulansari mengangguk lalu bangun duduk. Dia memandang ke telaga. "Bagaimana kalau kita bersihkan diri di telaga itu?" tanyanya.

"Jangan Wulan. Meski bentuk telaga ini beda dengan yang kita lihat dua malam lewat, tapi sebaiknya kita cari tempat lain. Barangkali ada sungai di dekat-dekat sini!"

Keduanya pun berdirilah. Memang tak berapa jauh dari situ terdapat sebuah anak sungai. Masing-masing mencari tempat yang baik dan mulai membersihkan diri. Kemudian mereka duduk di tepi sungai. Saat itu hari masih pagi. Udara sekitar mereka rindang dan sejuk. Lebih-lebih bila angin bertiup sepoi-sepoi basah nyaman sekali rasanya. Wulansari memperhatikan jari-jari tangannya yang dipermainkan Mahesa Kelud dan balas meremas.

"Wulan..." kata pemuda itu.

"Ya Mahesa?" sahut si gadis seraya sandarkan kepalanya ke bahu Mahesa Kelud.

"Coba kau ingat baik-baik. Sudah berapa lamakah kita saling kenal satu sama lain...?"

"Maksudmu sejak mula pertama aku bertemu dengan kau dan kita berkelahi itu?"

Ya," jawab Mahesa dengan mengulum senyum.

"Hemmm... kurasa hampir tiga tahun, Mahesa."

"Betul, tiga tahun. Cukup lama sekali bukan? Dan selama tiga tahun itu banyaklah berbagai hal dan pengalaman yang kita hadapi dalam suasana duka maupun suka. Dan masih ingat pulakah kau akan apa yang pernah kita cita-citakan, Wulan...?"

Dada gadis itu berdebar. Kedua pipinya yang montok kelihatan memerah. "Aku tak pernah melupakan hal itu, kakak," katanya membisik.

"Kurasa sudah saatnya kini kita melaksanakan apa yang kita cita-citakan itu, Wulan. Lagi pula gurupun sudah menyerahkan nasib perjodohan kita di tangan kita masing-masing.

Bagaimanakah pendapatmu?"

"Aku... aku hanya menurutkan apa katamu saja, kakak," jawab gadis itu dengan tundukkan kepala. Sedang kedua matanya berkaca-kaca.

"Aku sudah merencanakan untuk membangun satu tempat kediaman di puncak Gunung Muria di pantai utara. Juga merencanakan untuk mendirikan satu perguruan silat di sana. Setujukah kau?"

Wulansari anggukkan kepala. Ketika Mahesa Kelud memandang kejurusan lain, cepat-cepat dia menyeka kedua matanya.

"Mahesa... sebelum kita ke Gunung Muria maukah kau ke kampungku lebih dahulu. Disana masih ada kenalan-kenalan dekatku. Kalau kau tak keberatan aku lebih suka agar kita... menikah di sana saja..."

"Itu baik sekali!" ujar Mahesa Kelud dengan hati gembira. Diciumnya pipi kekasihnya lalu berdiri. "Mari kita lanjutkan perjalanan. Kampungmu cukup jauh dari sini, Wulan."

Kedua manusia yang berbahagia itu melangsungkan pernikahan di kampung Banjaran. Dari sini mereka kemudian berangkat ke Gunung Muria di utara. Perjalanan penuh suasana mesra, karena antara mereka yang sudah jadi suami istri tak ada lagi batas penghalang. Mereka bisa berbuat apa saja sebagai suami istri dan di mana serta kapan saja!

Gunung Muria sebuah gunung tinggi, terletak di pesisir utara pulau Jawa. Di sinilah Mahesa Kelud membangun rumah dan tinggal bersama istrinya. Mereka hidup bahagia. Tiga bulan kemudian, karena banyak tugas-tugas yang harus dilaksanakannya maka Mahesa turun dari gunung meninggalkan istrinya yang waktu itu tengah mulai mengandung! 

Tugas-tugas yang masih harus dilaksanakan Mahesa Kelud di antaranya yang terpenting adalah mencari pedang Samber Nyawa, kemudian mencari manusia bernama Simo Gembong. Lalu mencari Dewi Maut di sebuah Lembah Maut yang kabarnya terletak di ujung timur pulau Jawa. Di samping ketiga tugas-tugas penting tersebut masih ada satu hal yang harus dilaksanakannya terlebih dahulu yakni memenuhi janji dengan Namadjeni, si orang tua sakti yang dulu pernah ditolongnya. 

Sudah hampir satu tahun berlalu dan berarti sudah memasuki waktu perjanjian yang telah ditetapkan. Berat sungguh berpisah dengan istri. Apalagi mereka masih dalam suasana pengantin baru. Tapi demi tugas dan kepatuhan sebagai seorang murid terhadap guru maka kepentingan pribadi ditinggalkan. Tak diceritakan lagi perjalanan pendekar itu maka pada suatu hari sampailah Mahesa Kelud ke tepi rawa-rawa lumpur di mana dulu pertama kali dia bertemu dengan Namadjeni yang sedang disiksa oleh muridnya Langlangseta! 

Berhari-hari Mahesa Kelud menunggu Hari berganti minggu. Sudah dua minggu tapi Namadjeni tak kunjung datang! Dia tidak percaya kalau orang tua tersebut menipunya atau tidak akan menepati janji. Tapi dalam waktu yang sudah ditentukan mengapa tahu-tahu dia tidak muncul? Barangkali terjadi apa-apa dengan orang sakti itu?!

Mahesa memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi. Ketika satu minggu berlalu pula maka diapun bersiaplah untuk meninggalkan tempat tersebut dengan hati kecewa. Mendadak di hadapan sebuah pohon kayu besar dia hentikan langkah. Pada batang kayu ini terdapat rentetan kalimat yang agaknya dibuat dengan jari-jari tangan dengan mempergunakan tenaga dalam yang tinggi. Di sini tertulis:

"Pergi ke timur,
hentikan langkah di pohon beringin.
Tirulah perbuatan tikus
Ketuk pintu masuk goa
Sudah lama menunggu pendekar
Senjata ampuh sukar tandingan
Seribu nyawa seribu bahaya
Tabahkan hati kuatkan nyawa
Senjata sakti pasti bersua

Mahesa membaca sekali lagi rentetan kalimat-kalimat tersebut. Meski tiada nama penulisnya namun dia sudah dapat memastikan bahwa tulisan tersebut adalah Namadjeni yang membuatnya. Kalimat demi kalimat diingatnya baik-baik. Kemudian sebagaimana yang tertunjuk maka Mahesa segera berangkat lurus ke timur! 

Ketika malam tiba pohon beringin yang dimaksudkan belum juga ditemuinya. Mahesa berhenti untuk berkemah. Paginya perjalanan dilanjutkan kembali. Terus-terusan dia menuju ke timur. Empat hari berlalu. Hatinya mulai was-was dan ragu karena selama itu tidak satu pohon beringinpun yang ditemuinya. Perjalanan sukar bukan main! 

Pada tengah hari ketujuh akhirnya ditemuinya juga sebuah pohon beringin, yang terletak di tengah hutan belantara tiada tertembus matahari! di sini dia berhenti. Dia mengingat-ingat rentetan kalimat yang dibacanya di batang pohon tempo hari.

"Pergi ke timur
Hentikan langkah di pohon beringin
Tirulah perbuatan tikus...."

Sampai di sini Mahesa termenung. Apakah maksudnya dengan kalimat ketiga. "Tirulah perbuatan tikus..." Ditelitinya pohon beringin dan keadaan sekitarnya kalau-kalau akan menemukan petunjuk lain. Tapi sama sekali tidak ada. Mahesa termenung dan termangu. Apakah yang harus diperbuatnya? Perbuatan tikus yang macam manakah yang harus dilakukannya? 

Dalam dia termangu-mangu seperti saat itu di dekat kakinya menggeresek sesuatu. Dia memandang ke bawah dan seekor tikus lewat di hadapannya, menyelinap di antara akar-akar besar dan lenyap di dalam sebuah lobang! Mahesa berpikir, apakah perbuatan tikus masuk ke lobang itukah yang harus ditirukannya?! Mustahil! Mana mungkin tubuhnya yang sebesar itu harus masuk ke dalam lobang? Kakinya saja pun tak akan masuk!

Sambil terus berpikir-pikir Mahesa melangkah mengelilingi pohon besar tersebut. Di beberapa bagian dikoreknya tanah di bawah akar pohon dengan ujung ibu jarinya. Dalam korek mengorek itu tiba-tiba terbukalah sebuah lobang sebesar kepala. Mahesa terkejut. Dia membungkuk dan mempergunakan tangannya untuk memperbesar lobang itu. Tanah di sekitar berguguran dan akhirnya kelihatanlah sebuah lobang besar yang merupakan mulut sebuah lorong di bawah tanah, di bawah pohon beringin!

Tanpa ragu-ragu Mahesa Kelud terjun ke dalam lobang dan memasuki lorong tanah yang gelap itu! Beberapa kali kepalanya tertumbuk tanah bagian atas lorong. Matanya perih kelilipan tapi dia jalan terus. Semakin jauh masuk ke dalam semakin gelap serta sempit lorong tersebut. Dari arah mukanya datang menyambar hidung bau busuk yang memuakkan! Nafas orang muda ini mulai menyengal. Kekuatannya seperti disedot. Dari membungkuk-bungkuk kini dia hanya bisa merayap perlahan. 

Tubuhnya sudah basah oleh keringat dan kotor oleh tanah. Tapi hatinya dikeraskan untuk maju terus sementara bau busuk dari mukanya semakin menjadi-jadi juga! Dia ingat pula akan rentetan kalimat yang berbunyi: Tabahkan hati kuatkan jiwa. Mahesa merayap terus tapi tenaganya benar-benar sudah habis sedang nafasnya sudah menyesak. Dalam keadaan seperti itu akhirnya dia melosoh ke tanah tanpa sadarkan diri!

Dia tak tahu entah berapa lama dia pingsan. Juga tidak tahu apakah di luar sana hari masih siang atau sudah malam. Kedua matanya dibuka tapi seperti sebelumnya dalam lorong itu hanya kegelapan belaka yang dilihatnya. Dengan mengumpulkan tenaga yang ada Mahesa maju merangkak kembali. Tiba-tiba satu pikiran terlintas di kepalanya. Dia segera memperbaiki keadaan dirinya. Tenaga dalamnya dialirkan ke tangan kanan lalu dipukulkan ke muka!

Seperti suara angin punting beliung gulungan tenaga dalam yang dipukulkan itu melesat sepanjang lorong gelap. Tanah lorong terkikis mengepulkan abu. Mahesa menutup mata dan hidungnya. Dia menunggu dan memasang telinga. Suara seperti angin punting beliung yang disebabkan oleh tenaga dalamnya hilang dikejauhan. Satu dua saat kemudian suara itu terdengar kembali. Mula-mula perlahan lalu makin keras, makin keras, makin dekat dan....

Mahesa Kelud jatuhkan dirinya serata mungkin ke tanah lorong. Hantaman tenaga dalamnya yang dikirimkan ke muka berbalik kembali dan memukul ke arahnya! Meski dia sempat jatuhkan diri tak urung dia masih kena terseret sampai beberapa tombak ke belakang! 

Mahesa menarik nafas dalam. Dari lamanya tenaga dalam itu kembali segera dimakluminya bahwa ujung dari lorong dimana dia berada saat itu masih sangat jauh! Mahesa kertakkan geraham. Dia merayap lagi disepanjang lorong. Berjam-jam kemudian bau busuk semakin santar menyambar hidungnya. Ini suatu tanda bahwa dia sudah dekat pada benda yang mengeluarkan bau busuk itu.

Dan perhitungannya itu memang benar. Selewatnya satu tikungan tajam maka di mukanya kelihatanlah sinar berkilauan. Mahesa merayap lebih cepat. Sinar menyilaukan itu ternyata ditimbulkan oleh sebuah pintu besar terbuat dari baja putih! Dan nyali orang muda ini jadi mengkerut ketika dia menyaksikan apa yang bertebaran di hadapan pintu baja tersebut!

***
EMPAT

DI SANA, di depan pintu baja bertebaran jerangkong-jerangkong manusia dan mayat-mayat yang membusuk. Ada yang tersandar ke pintu, ada yang menggeletak patah siku di pojok mulut terowongan dan ada pula yang berhamparan di tanah. Kebanyakan dari tengkorak-tengkorak manusia dan mayat-mayat ini berada dalam keadaan berantakan serta rusak. 

Mungkin sekali ini disebabkan oleh pukulan tenaga dalam yang dilancarkan Mahesa Kelud waktu di dalam terowongan tadi! Pemuda itu menutup hidungnya. Bau mayat yang rusak dan busuk seakan-akan hendak merurutkan bulu hidung, bahkan seperti mau menanggalkan hidungnya!

Apakah yang telah terjadi di sini sebelumnya! Di muka pintu baja itu? Apakah telah terjadi pembantaian! Apa pula yang tersembunyi di balik pintu baja di hadapannya? Dengan kuatkan hati Mahesa Kelud coba meneliti mayat-mayat di hadapannya. Kemudian dilihatnya bahwa pada setiap mayat tertancap dua sampai lima buah keris berwarna kuning hulunya berbentuk kepala ular, mungkin keris ular emas beracun! 

Pada tulang-tulang iga jerangkong-jerangkong yang masih agak utuh juga dilihatnya benda-benda yang sama! Pasti sudah semua manusia-manusia itu menemui ajalnya karena tusukan-tusukan keris tersebut! Tengkuk Mahesa Kelud merinding. Matanya dipejamkannya seketika dan dia teringat pada kalimat keempat: Ketuk pintu masuk ke goa. Pintu inilah pasti yang dimaksudkan. Dan apakah yang akan menyambutnya bila pintu itu terbuka? 

Seekor binatang buas? Seorang raksasa? Hantu iblis? Ataukah senjata-senjata rahasia? Apapun yang menyambutnya pastilah bahaya maut, pikir Mahesa karena dia ingat akan kalimat ketujuh berbunyi: Seribu nyawa seribu bahaya!

Mahesa Kelud bergerak di antara tebaran jerangkong dan mayat-mayat membusuk. Diulurkannya tangan kirinya untuk mengetuk pintu baja lalu cepat-cepat dia menghindar ke samping. Anehnya pintu baja yang diketuk itu mengeluarkan suara nyaring laksana sebuah gong besar yang ditempa! Suara getaran bunyi pintu ini menggelombang keras membuat tebaran-tebaran jerangkong dan mayat bergelinding kian kemari. Mahesa Kelud sendiri turut menghuyung tubuhnya! 

Tapi tak satu apapun yang terjadi. Mahesa ulurkan tangan kiri kembali untuk mengetuk kedua kalinya. Tapi cepat-cepat tangannya ditarik pulang! Karena tiada disangka sama sekali mendadak sontak pintu baja itu membuka lebar dan setiup angin laksana badai menyambar ke luar! Lusinan jerangkong melesak menyumpal di mulut lorong! 

Dan semuanya dalam keadaan hancur lebur! Dingin kuduk Mahesa Kelud. Kalau saja dia tidak cepat hindarkan diri ke samping pastilah nasibnya akan sama dengan mayat-mayat dan jerangkong-jerangkong itu! Hancur lebur. Dan hanya namanya saja yang akan pulang ke puncak Gunung Muria!

Beberapa saat berlalu. Tak terjadi apa-apa. Mahesa melangkah dengan hati-hati mendekati pintu bersiap masuk. Namun baru saja sebahagian dari tubuhnya mendekati pintu yang terbuka itu, dari ruangan batu yang gelap di dalamnya berdesingan beberapa buah benda kuning. Mahesa secepat kilat menghindar ke samping kembali. Namun tak urung salah satu dari benda tersebut masih sempat menyerempet lengan bajunya. 

"Bret!" Lengan baju itu robek besar. Hawa panas dan jahat mengalir ke lengannya terus ke badan tapi segera sirna oleh hawa sakti yang keluar dari pedang merah di balik punggung Mahesa Kelud. Pada saat yang sama lima buah benda bertancapan susul menyusul di dinding tanah di atas mulut lorong. Ketika diperhatikan oleh Mahesa ternyata kelima benda itu adalah keris-keris kuning emas yang hulunya berbentuk kepala ular! 

Mahesa teringat pada tumpukan jerangkong dan mayat manusia yang tadi dilihatnya. Tentu nasib buruk itulah yang akan dialaminya jika saja dia tidak keburu melompat ke samping. Laki-laki ini usap tangan kirinya ke mukanya yang  keringatan. Dia menunggu lagi. Sunyi saja selama beberapa saat. Mahesa berpikir-pikir siapakah gerangan yang melempar lima keris ular emas tersebut?

Apakah juga sama dengan makhluk yang telah lepaskan pukulan angin dahsyat sebelumnya? Dia mencabut salah sebuah keris yang tertancap di dinding tanah. Senjata ini keseluruhannya memang terbuat dari emas dan berkeluk tiga. Ditimangnya sebentar keris itu, tiba-tiba matanya yang tajam melihat  sebaris tulisan-tulisan kecil pada lekukan senjata. Diperhatikannya baik-baik tulisan tersebut, ternyata berbunyi:

"Bila badan mau selamat, bila nyawa akan tetap di badan, kembalikan kepada yang empunya."

Susah Payah Mahesa Kelud memecahkan apa rahasia atau arti dari tulisan tersebut. Kepada siapa tulisan itu ditujukan pastilah kepada mereka yang mencoba masuk ke dalam ruangan di belakang pintu. Tapi apakah yang harus dikembalikan dan kepada siapa?! Mahesa Kelud memutar otaknya. Dicabutnya keris emas yang kedua dan memperhatikannya.

Pada senjata ini juga terdapat tulisan dengan bunyi yang sama. Demikian pula pada keris ketiga, keempat dan kelima. Terpikirlah akhirnya oleh Mahesa Kelud, apa bukannya kelima keris itu yang harus dikembalikan? Boleh jadi! Tapi kepada siapa?! Dipegangnya kelima senjata tersebut sekaligus lalu dilemparkannya ke ruangan gelap di belakang pintu baja putih!

Lemparan yang dilakukan Mahesa Kelud tidak kalah hebatnya dengan waktu kelima senjata tersebut mendesing dari ruangan dalam. Tiba-tiba Mahesa jadi terkesiap. Tak lama sesudah lima keris itu melesat dan ditelan kegelapan ruangan maka terdengarlah lima suara lolongan serigala yang sangat menyeramkan. Lalu disusul oleh suara-suara binatang berlarian dan sejurus kemudian menghamburlah lima ekor serigala besar, melosoh mati bergeletakan di muka pintu baja. Pada batok kepala masing-masing menancap lima keris ular emas yang tadi dilemparkan Mahesa Kelud!

Laki-laki ini berdiri tak bergerak-gerak beberapa jurus lamanya. Dari mana datangnya kelima serigala tersebut? Siapakah sesungguhnya yang menjadi penghuni dari lorong dan ruangan mengerikan di bawah tanah ini?!

Seperti tadi kesunyian kembali mencekam. Mahesa Kelud cabut pedang merahnya dan melompat masuk ke dalam. Sinar merah yang memancar dari pedang itu membuat ruangan yang gelap di mana dia berada menjadi agak terang. Tiba-tiba terdengar suara seperti bunyi gong dan pintu baja putih di belakang Mahesa Kelud menutup!

Celaka, kata laki-laki itu. Bagaimana dia akan keluar nanti? Namun Mahesa Kelud tak bisa berpikir lebih lama karena pada saat itu pula kira-kira dua puluh sinar kuning melesat dari dinding ruangan sekelilingnya, menyerang ke arahnya! Keris-keris ular emas!

Cepat laki-laki ini atur kedudukan kakinya dan serentak dengan itu putar pedang dewa di tangannya dengan sebat. Sinar pedang bergulung membungkus tubuhnya dari kepala sampai ke kaki dan dua puluh kali terdengar suara senjata itu beradu dengan keris-keris ular emas, dua puluh kali pula kelihatan bunga api memancar. Keris ular emas dibikin runtuh semua! 

Mahesa Kelud cepat-cepat berpindah tempat karena dia khawatir akan menjadi bulan-bulanan maut gila! Dan benar saja! Satu detik dia berpindah tempat maka lantai di mana dia tadi berdiri amblas ke bawah. Mahesa coba menjenguk ke dalam lobang empat persegi. Di bawah penerangan sinar pedang saktinya maka kelihatanlah belasan ekor ular kuning emas sebesar-besar tangan berjalaran di lantai lobang itu! 

Binatang-binatang ini seperti mengamuk ketika merasakan hawa panas yang keluar dari ujung pedang di tangan Mahesa Kelud. Goyah lutut Mahesa ketika dia memikirkan bagaimana jadinya jika dia tidak cepat-cepat berpindah tempat tadi! Pasti tubuhnya akan kelojotan dipatuk ular-ular kuning emas itu! Dan setahunya ular kuning jenis yang dilihatnya itulah yang sangat berbahaya! Seseorang yang dipatuk ular kuning, bila dalam waktu cepat tidak mendapat obat penawar racun, pasti tak akan ketolongan nyawanya!

Mahesa menghindar dari tepi lobang dan melangkah dengan hati-hati. Ruangan panjang besar yang dilaluinya kotor berdebu. Di sudut-sudut atas ruangan itu dilihatnya penuh dengan sarang laba-laba. Karena dia memandang ke atas maka tanpa disadari kakinya terantuk pada beberapa buah benda. Mahesa angsurkan pedangnya ke muka dan memandang ke bawah. Tubuh laki-laki itu seperti diguyur air es! Menggigil! Betapa tidak! Benda yang tadi tertendang ujung kakinya adalah dua buah kepala manusia! 

Nyawa laki-laki ini serasa terbang. Cepat-cepat dia lari meninggalkan tempat itu. Celakanya di muka sana tubuhnya bertabrakan dengan sesuatu dan ketika dilihatnya! Terbanglah semangat Mahesa Kelud. Yang barusan ditabraknya tiada lain dari tubuh manusia, tapi tubuh manusia tanpa kepala! Dari bagian lehernya bersemburan darah merah kental dan bau amis. Pakaian Mahesa Kelud kotor oleh muncratan darah tersebut!

Tubuh tanpa kepala itu melangkah huyung mendekatinya. Kedua tangannya menggapai-gapai. Tiba-tiba tubuh tersebut melompat ke muka dan tengkuknya kena dicekal! Mahesa gerakkan siku kanannya.

"Buk!" ujung sikunya menghantam tulang dada sosok tubuh. Tetapi anehnya sosok tubuh tanpa kepala ini keluarkan suara tertawa meringkik seperti kuntilanak. Kaki kanannya bergerak mengirimkan tendangan. Mahesa tak kuasa mengelak maka tubuhnya mental ke atas atap. Dia menggerakkan kakinya maksudnya untuk membuat gerakan jungkir balik dan turun ke lantai kembali tapi saat itu satu tangan sudah menjambak rambutnya dari atas! 

Mahesa memandang ke atas! Yang menjambak rambutnya adalah hanya sebuah tangan berjari-jari sebesar pisang-pisang ambon! Hanya tangan sampai ke lengan! Jika saja laki-laki ini bukan seorang yang bernyali besar pastilah dia sudah berteriak setinggi langit atau jatuh pingsan saat itu juga!

Mahesa Kelud gerakkan tangan kanannya. Pedang sakti memapas! Lengan yang menjambak rambutnya putus, tubuhnya melayang ke bawah tapi jari-jari yang mencengkeram rambutnya masih tetap berada di atas kepalanya. Mahesa memapas lagi. Jari-jari tangan itu putus-putus tapi sebagian dari rambutnya terpaksa pula terbabat putus!

Sesak nafas Mahesa Kelud bukan main. Dia memandang berkeliling. Tubuh tanpa kepala tadi sudah lenyap entah ke mana. Tiba-tiba dia mendengar suara petikan kecapi mengiringi suara nyanyian seorang perempuan yang merdu sekali. Tapi kemerduan itu tiada terasakan oleh Mahesa Kelud karena jiwa raga dan perasaannya masih saja diselimuti oleh segala macam kengerian yang tadi dihadapinya dengan mata kepala sendiri!

Namun demikian dia melangkah juga ke arah datangnya suara kecapi dan suara nyanyian, seperti ada satu kekuatan ajaib yang menariknya. Suara tersebut datang dari lorong di sebelah kanan. Mahesa memasuki lorong ini. Semakin jauh, semakin keras suara petikan kecapi dan suara nyanyian. Tiba-tiba suara kecapi terputus! Suara nyanyian berhenti dan terdengarlah suara tangisan yang merawankan hati. Mahesa melangkah terus. Di hadapan sebuah pintu kayu dia berhenti karena dari belakang ruangan di balik pintu kayu itulah didengarnya suara tangisan tersebut! Suara tangisan mendadak sontak berhenti ketika mendengar suara membentak lantang.

"Tolol! Apa perlu menangis! Apa guna air mata dibuang tak karuan! Toh benda itu harus pindah ke tangan orang lain! Toh benda itu bukan milik kita! Tolol! Goblok! Kalau...."

Suara bentakan-bentakan lenyap ketika Mahesa Kelud di luar sana mengetuk daun pintu. Di dalam ruangan terdengar suara berisik. Lalu terdengar pintu dibanting dan sunyi.... Mahesa menunggu. Tetap sunyi. Dia hendak mendorong daun pintu di hadapannya, tapi daun pintu tersebut membuka lebih dahulu. Mahesa masuk. Pintu di belakangnya terkunci kembali. 

Ruangan di mana dia berada saat itu memantulkan sinar kuning menyilaukan karena seluruh dindingnya dilapisi oleh emas murni! Kalau tadi diketahuinya ada dua orang manusia di dalam ruangan ini, yang satu tadi menyanyi dan memetik kecapi yang kedua yang tadi membentak, maka kini dilihatnya ruangan tersebut kosong melompong! Tidak sepotong manusia pun, juga tidak sepotong perabotanpun yang kelihatan!

"Aneh." desis Mahesa Kelud. Dia tengadahkan kepala ke atas atap ruangan emas dan tersiraplah darahnya!

***
LIMA

DI ATAS langit-langit ruangan emas bergelantungan puluhan ekor ular kuning emas yang panjangnya rata-rata satu setengah tombak. Kepala ke bawah ekor menempel pada langit-langit! Mulutnya terbuka memperlihatkan taring serta lidah beracun yang menjulur ke luar masuk. Dari dalam mulut semua ular itu mengepul keluar asap kuning!

Mahesa Kelud memegang pedangnya erat-erat. Tiba-tiba secara serentak, seperti dikomandokan oleh sesuatu, puluhan ular kuning emas itu berjatuhan ke bawah dan menyerang Mahesa Kelud. Mahesa keluarkan bentakan keras. Pedang sakti di tangannya berputar laksana titiran. Puluhan ekor ular berpelantingan dalam keadaan tubuh putung-putung. Tapi beberapa ekor di antaranya masih sempat mematuk laki-laki itu pada pinggang, dada dan paha kiri! 

Mahesa putar pedangnya. Ular-ular yang mematuknya tadi putus-putus, tapi ini tak ada gunanya. Meski semua binatang berbisa itu sudah mati namun tiga patukan di tubuh Mahesa Kelud membawa akibat yang sangat berbahaya. Betapa pun dia kerahkan tenaga dalamnya, betapa pun tubuhnya sudah melarutkan ilmu Api-Salju, sekalipun pedang sakti tergenggam di tangan namun aliran bisa ular terus melarut ke dalam tubuh, mengalir dalam darahnya!

Mahesa merasakan ruangan di mana dia berada seperti digoyang gempa. Nafasnya menyesak. Pemandangannya berkunang-kunang. Tubuhnya panas dingin. Dia tergelimpang ke lantai dengan pedang masih di tangan. Dia berusaha untuk tidak jatuh pingsan. Di sudut ruangan dia melihat suatu lobang empat persegi yang lebarnya sepemasukan tubuh manusia. Dia merangkak dengan susah payah. 

Di belakang lobang tersebut kelihatan tangga kuning menuju ke bawah. Mahesa melewati lobang empat persegi lalu menggulingkan tubuhnya di atas tangga. Dia terhampar ke lantai di kaki tangga. Tulang-tulangnya serasa bertanggalan dari persendian. Dia merangkak lagi. Di ujung kiri kelihatan sebuah pelita yang menyalakan api bersinar kuning. Mahesa merangkak ke arah pelita ini namun sebelum sampai ke sana tubuhnya sudah kejang dan melosoh ke lantai jatuh pingsan!

Ketika kemudian dia sadarkan diri. Pelita kuning masih ada di hadapannya, dekat tangan kanan. Dia menggerakkan tangan kanannya tapi malang, menyentuh pelita. Pelita terbalik dan padam! Ruangan itupun gelaplah! Mahesa gelagapan! Dalam keadaan setengah mati setengah hidup itu dia melapatkan ajian "karang sewu" lalu memukul dinding di sebelahnya. Dinding pecah.

Lewat pecahan dinding memancarlah sinar kuning yang terang. Sinar kuning itu turut jatuh menimpa sebahagian dari tubuh Mahesa Kelud. Dan anehnya, Mahesa seperti mendapat kekuatan baru. Dia merangkak ke pecahan dinding dan menjenguk ke ruangan di sebelahnya. Ruangan itu tidak besar tapi bagus bersih dan berbau harum sekali.

Di tengah ruangan kelihatan bergelung seekor ular kuning yang besarnya hampir sebesar manusia sedang panjangnya menurut taksiran Mahesa Kelud mungkin lebih dari sepuluh tombak! Binatang ini bergelung dengan mulut membuka lebar. Lidahnya yang bercabang menjulur ke luar. 

Tepat di antara kedua cabang lidah ini maka terdapat sebuah keris besar berhulu dan bersarung emas, tegak berdiri lurus! Senjata inilah yang telah memancarkan sinar terang kuning sampai ke ruangan sebelah. Sinarnya yang kuning penuh keajaiban dan mempunyai mujizat kekuatan.

"Mungkin inilah senjata sakti yang dikatakan oleh Namajeni," kata Mahesa Kelud dalam hatinya, ia menyeruak di antara pecahan dinding dan masuk ke ruangan tersebut. Matanya terpaksa disipitkan karena sinar kuning keris besar itu menyilaukan mata. Mahesa Kelud berhenti beberapa langkah dihadapan ular raksasa. Sebenarnya nyalinya sudah mengkerut, tapi laki-laki ini dengan segala daya yang ada mencoba kuatkan jiwa dan tabahkan hati. Bukankah demikian bunyi kalimat ke delapan yang ditulis oleh Namajeni?

Mahesa bersila di hadapan ular dan keris. Tak tahu apa langkah selanjutnya yang harus diperbuatnya. Apakah langsung ulurkan tangan menjangkau keris? Ular besar dihadapannya tidak bergerak sedikitpun. Matanya yang merah memandang tak berkedip. Bentuk kepala ular ini sama benar dengan hulu dari keris emas yang ada di ujung lidahnya. Sukar bagi Mahesa untuk memastikan apakah ular besar tersebut masih hidup ataukah sudah mati?! Meski demikian sebagai orang yang tahu peradatan Mahesa kemudian segera menjura.

"Ular Emas," kata Mahesa. "Aku yang rendah minta maaf karena telah berani datang mengotori tempatmu. ini kulakukan adalah dalam memegang janji terhadap seorang tua sakti karena aku tak mau mengecewakan hatinya. Sekali lagi mohon dimaafkan....."

Kepala ular besar kuning itu tidak bergerak sedikitpun. Tapi tiba-tiba sekali, sebahagian dari tubuhnya yang bergelung terbuka dan laksana topan ujung ekor binatang ini menyambar ke kepala Mahesa Kelud! Kalau saja tidak cepat laki-laki ini jatuhkan diri ke lantai pastilah kepalanya akan hancur! Ekor ular menyerang lagi untuk kedua kalinya. Mahesa bergulingan. Ekor ular menghantam lantai. Lantai yang bagus itupun amblas sampai sepertiga jengkal!

Mahesa terkejut. Kejutnya belum habis dan ekor ular itu sudah datang kembali mengirimkan serangan-serangan beruntun yang mematikan. Mahesa bersikap mengelak terus-terusan. Meski saat itu pedang merah masih tergenggam di tangannya namun dia sama sekali tidak mau balas menyerang! Makin lama serangan ular makin dahsyat dan Mahesa Kelud semakin kepepet. Sudah beberapa kali hampir tubuhnya kena dihantam sabetan ekor yang berbahaya itu! 

Tiba-tiba entah dari mana datangnya tahu-tahu di ruangan itu sudah berdiri seorang perempuan muda yang parasnya cantik sekali, seperti bidadari dari khayangan. Dia mengenakan pakaian tipis warna kuning sehingga tubuhnya yang bagus membayang nyata. Mahesa tundukkan kepala tak berani memandang. Satu senyum terlukis di sudut bibir perempuan itu.

"Ular emas," terdengar suara perempuan itu, merdu menggairahkan, mendatangkan birahi bagi laki-laki yang mendengarnya, "Orang tak melawan mengapa diserang?!"

Mendengar ini maka ular besar itupun hentikan serangan. Tubuh dan ekornya digelung dan dia tak bergerak-gerak, kembali bersikap seperti tadi. Mahesa segera atur jalan darah dan pernafasannya lalu menjatuhkan diri dan menjura hormat pada perempuan muda itu, tapi mengunci mulut karena bingung tak tahu apa yang harus diucapkan.

Perempuan cantik berbaju kuning melangkah dan berhenti dekat sekali di hadapan Mahesa Kelud. Tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya dan pakaian yang melekat di dirinya terlepas, jatuh ke lantai. Tubuhnya yang bagus mulus itu kini tiada tertutup selembar benangpun!

Hati laki-laki mana yang tidak akan bergoncang? Tidak akan berdebar? Darah muda mana yang tidak akan bergejolak dan nafsu siapa yang tidak akan menggelegak? Mahesa Kelud tundukkan kepala. Ditekannya perasaan gairah birahi dan nafsu yang menggelora. Tubuhnya bergetar. Beberapa ketika berlalu.

"Orang muda, angkat kepalamu! Aku Dewi Ular Emas! Apa kau tak mau lihat keindahan tubuhku?" suara itu lembut merdu penuh rayuan.

Bergoncang dada Mahesa Kelud. Namun kepalanya tetap ditundukkan. Ditabahkannya hati dan iman.

"Ah, orang muda..." terdengar suara Dewi Ular Emas pelahan mengajuk. "Jika kau tak mau memandang tak apalah. Tapi ulurkan kedua tanganmu. Tidakkah kau ingin menjamah segala yang dimiliki tubuhku? Parasku? Dadaku, perutku, pahaku.... Ulurkan kedua tanganmu orang muda...."

Hati laki-laki mana yang tidak akan tergoncang mendengar undangan itu? Nafsu manusia mana yang tidak akan menggelegak? Birahi siapa yang tidak akan berkecamuk? Namun Mahesa Kelud terus tundukkan kepala. Bergerak sedikitpun tidak dia. Ditekannya setiap rangsangan yang menimbulkan butiran-butiran keringan pada pori-pori sekujur kulit tubuhnya!

Dewi Ular Emas menunggu. Akhirnya dia membungkuk dan mengenakan pakaiannya kembali lalu mundur beberapa langkah. "Orang muda... hari ini kau adalah orang yang paling beruntung di atas dunia. Kau telah berhasil melewatkan berbagai rintangan maut, cobaan dan ujian. Ketahuilah bahwa ada tiga hal yang menghancurkan diri laki-laki. Pertama pangkat, kedua harta kekayaan, ketiga perempuan! Kau seorang yang tabah hati kuat jiwa dan teguh iman. Kau pantas memiliki keris Ular Emas itu...!"

Mahesa menjura. 'Terima kasih, Dewi." katanya.

"Siapakah namamu?" tanya Dewi Ular.

"Mahesa Kelud."

"Ah... itu hanya nama palsu bukan? Nama yang diberikan orang sesudah kau menjadi dewasa? Aku tanya namamu yang sebenarnya."

Terkejutnya Mahesa Kelud mendengar ucapan Dewi Ular Emas itu. Bagaimana Dewi Ular tahu bahwa Mahesa Kelud adalah nama palsunya? Nama yang disuruh pakai oleh gurunya Embah Jagatnata waktu dia turun dari Gunung Kelud sekitar tiga tahun yang silam?

"Namaku sebenarnya adalah Panji Ireng, Dewi." kata Mahesa Kelud akhirnya memberitahu.

Dewi Ular Emas tersenyum dan anggukkan kepala. Dia mengambil keris yang berdiri di atas lidah ular besar lalu berkata. "Berdirilah Panji Ireng."

Mahesa Kelud berdiri tapi tetap dengan tundukkan kepala.

"Angkat kepalamu," perintah Dewi Ular. Mahesa patuh dan mengangkat kepalanya. 

Sepasang mata mereka saling beradu. Mahesa tertegun melihat kejelitaan paras Dewi Ular Emas yang dekat sekali di hadapannya. Dewi Ular Emas sendiri diam-diam mengagumi kegagahan paras orang muda itu. Untuk beberapa detik lamanya mereka berdiam diri dan saling pandang seperti itu. Akhirnya Dewi Ular Emas melirik ke keris di tangannya.

"Panji Ireng, keris ini bernama keris Ular Emas. Sudah dua puluh tahun senjata sakti ini berada di sini, sama-sama ditempa pada waktu aku dilahirkan. Rupanya kaulah manusianya yang berjodoh untuk memilikinya. Terimalah!"

Mahesa Kelud ulurkan kedua tangan dan menerima keris tersebut dengan sikap hormat. Begitu jari-jari tangannya menyentuh hulu dan sarung senjata tersebut maka mendadak sontak sirnalah bisa ular emas yang telah mengalir di dalam darahnya. Luka-luka bekas patukan binatang jahat itupun sembuh dengan sendirinya. Tubuhnya sehat sembuh seperti sediakala. Ajaib!

"Terima kasih Dewi," kata Mahesa Kelud. Keris sakti itu kemudian disisipkannya di pinggang kanan.

"Nah Panji Ireng, pertemuan kita hanya sampai di sini. Kau lanjutkan perjalanan kembali. Lakukan tugas yang harus kau lakukan...."

"Dewi, jika ada apa-apa bagaimanakah aku yang rendah ini dapat bertemu dengan kau?" tanya Mahesa Kelud.

Dewi Ular Emas tersenyum cantik sekali. "Gunung tinggi menjulang, daratan menghampar lautan membentang. Pertemuan bukan kita yang tentukan! Di mana ada nasib, di mana ada pelangkahan pasti kita akan bertemu, Panji!"

Mahesa Kelud anggukkan kepala.

"Ular Emas, kau menghindarlah dahulu. Beri jalan pada orang muda ini!" kata Dewi Ular Emas memerintah pada binatang sakti peliharaannya. Ular kuning besar itu membuka gelungnya dan bergerak ke samping. Di lantai di atas mana tadi dia berada maka kelihatanlah sebuah tangga turun ke bawah menuju ke sebuah mulut gang.

"Turuni tangga itu, tempuh gang di bawahnya. Kau akan menemui beberapa cabang gang di kiri kanan tapi ikuti terus yang pertama kali kau tempuh. Setelah setengah hari penuh kau akan sampai ke dalam sebuah hutan." demikian Dewi Ular memberi keterangan.

Mahesa Kelud mengangguk dan menghaturkan terima kasihnya. Sebelum dia menuruni tangga, dia menjura penghabisan kalinya. Meski Mahesa Kelud sudah lama hilang di balik gang namun pandangan kedua mata Dewi Ular Emas masih saja tertuju ke tangga yang menurun itu. Tanpa disadari dua butiran air mata menggenang di pelupuk matanya.

"Ah, kalau saja dia masih hidup... betapa parasnya sama benar dengan orang muda tadi..." Hati Dewi Ular Emas seperti diiris. Dia memberi isyarat pada binatang peliharaannya untuk menutup lobang tangga. Lalu ditinggalkannya ruangan tersebut. Untuk beberapa lamanya paras Mahesa Kelud masih saja membayang di pelupuk matanya!

Sebagaimana yang dikatakan oleh Dewi Ular Emas, setengah hari kemudian maka akhirnya diapun keluar dari gang yang ditempuhnya. Ternyata dia sampai di tengah rimba belantara. Lobang di mana dia keluar tadi ditutupnya dengan ranting-ranting serta semak belukar. Hatinya puas, dadanya lapang. Kegembiraan yang tiada tertahankan membuat dia berteriak keras meninggi langit. 

Dia jadi terkejut sendiri ketika menyaksikan bagaimana suara teriakannya itu membuat tanah yang dipijaknya bergetar, pohon-pohon kayu bergoyang keras, daun-daun berguguran, udara menggelombang! Ini tidak heran. Sewaktu dia dilepas oleh gurunya Suara Tanpa Rupa dia telah memiliki tenaga dalam yang tinggi hebat. Ditambah pula kekuatan mujizat yang merasuk ke dalam tubuhnya sewaktu dia terendam di dalam air telaga Api Salju. Kemudian saat itu pada tubuhnya tersisip dua senjata keramat sakti yang mempunyai pengaruh dan daya kekuatan yang tiada taranya. Pedang Dewa Delapan Penjuru Angin serta keris Ular Emas!

Mahesa mencabut keris Ular Emas dari pinggang kanannya. Waktu di dalam ruangan Dewi Ular tadi dia belum puas benar meneliti senjata tersebut. Sarung dan hulu keris terbuat dari emas murni. Hulu senjata ini merupakan kepala seekor ular yang mulutnya membuka dan lidahnya yang bercabang menjulur keluar. Kedua mata dari ular tersebut dihiasi dengan sebutir batu delima merah sebesar kuku jari telunjuk. 

Ketika senjata tersebut dicabut oleh Mahesa Kelud maka memancarlah sinar kuning menyilaukan mata. Ternyata keris itu berlekuk tujuh. Meski senjata itu kini adalah menjadi miliknya namun diam-diam Mahesa Kelud merasa gentar juga melihat sinar kuning yang memancar. Keris disarungkannya dan disisipkan kembali. Mahesa kemudian melanjutkan perjalanan.

***
ENAM

UJUNG KULON.... Tiada pulangnya Empu Sora ke pertapaannya hampir setengah bulan menggelisahkan hati para murid orang tua sakti tersebut. Waktu pergi Empu Sora tidak meninggalkan pesan sama sekali. Apakah yang akan dilakukan dan ke manakah harus dicari sang guru tersebut? Sebelumnya tak pernah terjadi sampai selama itu Empu Sora meninggalkan perguruan. Bisa jadi ada sesuatu yang penting yang dilakukan oleh 

Empu Sora, atau mungkin... guru mereka sudah mendapat celaka di tengah jalan? Mustahil, demikianlah pikiran murid-murid Empu Sora. Mereka tahu benar siapa adanya Empu Sora. Seorang tua sakti yang dikenal keharuman namanya dalam rimba persilatan! Tapi mengapa dia pergi selama ini dan tak kunjung kembali?

Gemparlah perguruan Ujung Kulon, hebohlah para murid Empu Sora ketika mereka mendapat kabar bahwa guru mereka yang pergi dan selama ini ditunggu-tunggu telah menemui ajalnya di pulau Bawean, dibunuh oleh muridnya sendiri yang dulu telah diusir yakni Jayengrana! Semua murid hampir tak bisa percaya bagaimana mungkin guru mereka yang sakti luar biasa dapat terbunuh oleh Jayengrana alis Lutung Gila? 

Padahal waktu diusir dari perguruan tempo hari Jayengrana hanyalah murid terpandai nomer tiga! Jangankan dia, murid terpandai nomor satupun belum tentu akan mampu menghadapi Empu Sora! Tapi mungkin Jayengrana telah berguru pula pada seorang lain yang lebih hebat dan lebih sakti dari Empu Sora! Kalau tidak mustahil itu bisa terjadi.

Mendengar kabar kematian guru mereka meluaplah amarah murid-murid di perguruan. Murid tertua yang boleh dikatakan telah memiliki hampir semua ilmu yang diajarkan oleh Empu Sora segera mengumpulkan saudara-saudara seperguruannya untuk diajak berunding membicarakan langkah-langkah apa yang akan mereka ambil sehubungan dengan kematian guru mereka. Murid tertua ini bernama Dipa Putra.

"Saudara-saudaraku sekalian," kata Dipa Putra. "Perguruan kita telah ditimpa nasib buruk yang memalukan, karena peristiwa kematian guru kita! Lebih mencemarkan lagi karena kematian guru kita dilakukan oleh dibunuh bekas muridnya sendiri yaitu Jayengrana yang kini memakai nama Lutung gila! Sebagai murid-muridnya, tentulah kita harus turun tangan membalaskan sakit hati! Pembalasan satu-satunya adalah hanya dengan menamatkan riwayat Jayengrana? Kalau tidak begitu kemana muka kita akan diletakkan? Kupanggil saudara-saudara sekalian disini adalah untuk memberitahukan bahwa aku sebagai murid tertua sudah bertekad bulat untuk pergi ke pulau Bawean guna mengambil jenazah guru kita dan sekaligus menebas batang leher si Jayengrana keparat itu!" Ketika Dipa Putra hentikan bicaranya maka untuk beberapa lamanya sunyilah suasana.

"Kakak guru," berkata Gagak Nandra. Dia adalah murid perguruan nomer empat. "Kita semua adalah murid-murid Empu Sora dan sudah seharusnya membalaskan sakit hati kematian beliau. Sebagai murid tertua, maka kaulah kini yang menjadi pemegang pucuk pimpinan. Jika kau pergi dan terjadi apa-apa pula di sini, kata siapakah yang akan diturut? Perintah siapakah yang akan dipatuhi kalau bukan kau? Karenanya, urusan dengan Jayengrana itu biarlah aku yang pergi untuk menyelesaikan!"

"Tidak bisa!" kata Dipa Putra pula dengan gelengkan kepala. "Kau Gagak Nandra dan adik-adik seperguruan lainnya tetap disini, aku yang akan pergi sendirian!"

"Bolehkah aku bicara?" tanya satu suara dari dekat pintu. Semua kepala dipalingkan. Yang berkata adalah kakek-kakek tua juru masak perguruan. Di samping jadi tukang masak dia juga turut belajar ilmu sejurus dua jurus dan meski ilmunya paling rendah sekali namun karena umurnya dia dihormati oleh murid-murid Empu Sora lainnya yang jauh lebih muda.

"Silahkan kakek! Memang pertimbanganmu kami harapkan sekali," kata Dipa Putra.

Si kakek pun membuka mulutnya. "Apa yang dikatakan oleh Dipa Putra memang betul. Yang diucapkan oleh Gagak Nandra juga sama betulnya! Tapi janganlah menimbulkan rasa yang tidak enak di antara masing-masing kalian. Dalam menghadapi peristiwa besar ini sekali-kali kita jangan sampai salah langkah, apalagi jika sampai terjadi perpecahan dan saling bersakit-sakitan hati! Sebagai murid tertua dalam ilmu memang kau berhak memutuskan untuk menanggung jawab dan menyelesaikan dendam kesumat kita terhadap Jayengrana. Tapi betul pula kata adikmu, apa akan jadinya jika sewaktu-waktu selama kau pergi timbul peristiwa besar pula di sini melanda perguruan kita? Kata siapa yang akan dituruti, perintah siapa yang akan dipatuhi? Aku sudah tua saudara-saudaraku karenanya aku berpendapat kau Dipa Putra tetap di sini menjaga perguruan kita. Bukan mustahil si Jayengrana gila itu akan nyasar pula ke sini membuat keonaran. Serahkan urusan ke pulau Bawean pada Gagak Nandra. Dia harus berangkat bersama beberapa orang lainnya, akupun bersedia untuk pergi jika diizinkan."

Dipa Putra termenung. Gagak Nandra puas hatinya karena diberikan peluang baik oleh si kakek untuk pergi. "Saudara-saudara, baiklah," kata Dipa Putra pada akhirnya. "Kau Gagak Nandra, pergilah bersama adikmu Sura Mana. Bawa serta lima orang saudara-saudara kita dari tingkat ke lima."

Gagak Nandra segera berdiri. Disusul oleh Sura Mana, seorang separuh baya yang merupakan murid ke empat setingkat dengan Gagak Nandra. Kedua orang ini kemudian memilih lima orang saudara seperguruan dari tingkat kelima. Tanpa banyak penuturan lagi maka ke tujuh saudara seperguruan itupun berangkatlah!

***
TUJUH

KETUJUH orang itu segera tekap hidung mereka ketika bau busuk ditiupkan angin menyambar ke hidung mereka. "Bau busuk apa ini?" ujar Sura Mana seraya memandang berkeliling. Tiba-tiba salah seorang seperguruannya dari tingkat kelima berseru dan menunjuk. "Lihat! Ada mayat!"

Ketujuh orang itupun berlari menghampiri mayat yang menggeletak di tanah. Sungguh mengerikan. Paras mayat itu sudah tak bisa dikenal lagi. Kepalanya rengkah, mukanya hancur. Darah kering bertebaran diseluruh pakaiannya. Mayat ini sudah sangat rusak dan berlubang-lubang bekas patukan burung-burung pemakan mayat yang banyak beterbangan di atas pulau. 

Busuknya bau mayat dalam jarak sedekat itu tiada terkirakan! Dari pakaian mayat itu ketujuh orang tersebut tahu bahwa itu bukanlah mayat guru mereka. Angin dari laut bertiup keras menerbangkan debu serta pasir dan menghamparkan bau busuknya mayat yang makin menjadi-jadi!

"Adik-adikku," seru Gagak Nandra. "Kita berpencaran di sini. Beri tanda jika salah seorang dari kalian menemukan jenazah guru atau bangsat rendah si Ja..." mendadak sontak Gagak Nandra putuskan bicaranya. Mukanya pucat pasi, mulutnya menganga sedang kedua matanya melotot seperti mau melompat keluar dari sarangnya! Rupa Gagak Nandra saat itu tak ubahnya seperti seorang yang tengah dicekik oleh setan laut!

"Demi Tuhan!" seru Gagak Nandra. "Saudara-saudaraku, lihat di atas pohon sana!"

Semua kepala sama diputar dan semua orang mengeluarkan seruan tertahan. Di sana di atas pohon, di antara dua buah cabang besar kelihatan sesosok mayat berjubah hijau terjuntai kaki ke atas ke kepala ke bawah. Elang-elang laut pemakan mayat seperti semut berkerumun memakani daging mayat yang sudah rusak busuk dan memutih tinggal tulang belulangnya saja!

"Guru!" jerit ketujuh orang tersebut. Tenggorokan mereka menyendat. Tak menunggu lebih lama, begitu hilang kejutnya maka Gagak Nandra dengan gunakan ilmu entengi tubuhnya yang tinggi segera melompat ke atas pohon. Ketika dia turun kembali maka jenazah Empu Sora sudah berada dalam kempitannya. Gagak Nandra mencari tempat yang baik. Ketika dilihatnya batu besar di ujung sana maka dia melangkah ke situ dan membaringkan jenazah Empu Sora di atas batu. 

Tujuh murid Empu Sora sama pejamkan mata tak tahan melihat jenazah guru mereka yang demikian rusaknya. Di sela-sela mata yang dipejamkan itu maka mengambanglah butiran-butiran air mata! Meskipun mereka adalah pendekar-pendekar berhati tabah berjiwa satria, tapi menyaksikan kematian guru yang mereka cintai demikian mengenaskannya, mau tak mau ketujuhnya sama teteskan air mata. Sura Mana membuka kedua matanya perlahan-lahan. Dia meneliti mayat Empu Sora. Kedua matanya berputar mencari sesuatu. Kemudian dia berkata: "Pedang pusaka hijau milik guru tidak ada!"

Terkejutlah saudara-saudara seperguruannya yang enam orang. Mereka sama bukakan mata, dan meneliti.

"Pasti manusia celaka Jayangrana itu yang mengambilnya! Keparat!" ujar Gagak Nandra. Dia cabut pedangnya, sebuah pedang warna hijau. Untuk setiap muridnya, Empu Sora telah membuatkan sebilah pedang hijau pertanda lambang perguruan mereka. Dengan kertakkan geraham maka berkatalah Gagak Nandra. "Guru, biarlah cuma jenazahmu yang akan menyaksikan bahwa kami murid-murid akan menindak manusia yang telah berbuat keji atas dirimu ini! Semoga Tuhan memberikan tempat yang sebaik-baiknya bagimu di akhirat!"

Sura Mana dan lima orang saudara seperguruan lainnya meniru perbuatan Gagak Nandra. Mencabut pedang dan bersumpah serta mendoakan arwah guru mereka. Dalam suasana yang penuh khidmat dan juga kobaran balas dendam itu maka terdengarlah satu suara tertawa perempuan meringkik seperti kuda.

"Lutung Gila! Kemarilah kau! Lihat ada kunyuk-kunyuk sinting dari mana yang nyasar main komidi di sini! Kik... kik... kik...!"

Kaget sekali maka ketujuh murid Empu Sora palingkan kepala. Hampir tak percaya mereka ketika pandangan mereka membentur seorang perempuan muda cantik jelita, berpakaian merah, berdiri dengan bertolak pinggang tak berapa jauh di hadapan mereka. Sedang di pinggang kirinya tergantung pedang pusaka hijau, pedang pusaka perguruan Ujung Kulon milik guru mereka! 

Belum lagi habis kaget ketujuh orang tersebut maka tahu-tahu di samping perempuan muda itu muncullah sesosok tubuh aneh. Meskipun sosok tubuh ini memakai pakaian seperti lutung dan rambutnya awut-awutan namun mereka masih dapat mengenali siapa adanya dia. Maka menggelegaklah amarah ketujuh orang tersebut.

"Jayengrana keparat!" bentak Gagak Nandra. "Hari ini kau serahkan nyawa di tangan kami!" 

Lutung Gila alias Jayengrana tertawa aneh menggidikkan. Begitu suara tawanya sirna maka dia balas membentak! "Kurang ajar, sudah tempat peranginan anakku dipakai untuk meletakkan mayat busuk, berani pula memaki! Konyol" serentak dengan itu Lutung Gila mengirimkan tendangan jarak jauh ke arah ketujuh murid Empu Sora yang tak lain adalah juga bekas saudara-saudara seperguruannya sendiri!

Melihat angin tendangan yang sangat dahsyat ini maka ketujuh murid Empu Sora terkejut sekali dan buru-buru menghindar. Malang bagi dua orang murid dari tingkat kelima, mereka tak sempat menghindar. Tubuh mereka kena dihantam angin tendangan! Keduanya terguling muntah darah dan meregang nyawa! Saudara-saudara seperguruannya yang lain jadi kalap. 

"Serbu!" teriak Gagak Nandra berikan komando. Kelimanya kemudian menyerang dengan pedang di tangan. Sinar hijau berkelebatan mengurung Lutung Gila. Kemaladewi tiada hentinya mengeluarkan suara tertawa melengking seperti kuntilanak!
Tiga keluhan kesakitan terdengar. Tiba tubuh mencelat dan waktu jatuh ke tanah nyawanya sudah putus! Gagak Nandra dan Sura Mana melompat mundur! Keringat dingin memercik di kening mereka melihat betapa tiga lagi saudara mereka menemui ajal secara mengerikan di tangan Lutung Gila! 

Tiada disangka bekas saudara seperguruan mereka itu demikian hebatnya. Pantas saja guru mereka tiada sanggup pertahankan nyawa. Dan keduanya menyadari pula bahwa meskipun mereka mengeroyok berdua dan sama memegang pedang ampuh pemberian guru tapi mereka pasti akan bernasib malang pula! Akan menemui ajal! Hati kedua bersaudara seperguruan ini bergetar. Tapi untuk menyerah atau lari selamatkan diri tak ada dalam kamus hidup mereka! Keduanya segera menyerbu kembali!

Lutung Gila tertawa membahak. Dia maju gerabak-gerubuk menyongsong serangan lawan-lawannya. Sukar sekali bagai Gagak Nandra dan Sura Mana untuk memperhatikan gerakan yang serba aneh dari lawan mereka. Tahu-tahu pedang di tangan Sura Mana kena dirampas! Belum lagi murid kelas empat ini sempat melompat selamatkan diri maka ujung pedang sudah menancap di dadanya! Sura Mana mati seketika itu juga!

"Jayengrana murid murtad! Aku mengadu nyawa dengan kau!" teriak Gagak Nandra murka tiada terperikan.

"Biung biung...! Sejak kapan kau punya nyawa rangkap hendak mengadu nyawa dengan Lutung Gila? Biung?"

Pedang menyambar di muka hidungnya dibiarkannya saja. Tiba-tiba dia bergeser sedikit dan... seperti nasib yang diterima Sura Mana maka pedang hijau Gagak Nandra kena dirampas Lutung Gila. Pedang itu kemudian membalik membacok ke kepala Gagak Nandra!

"Lutung Gila, tahan! Yang satu ini jangan dibunuh!" terdengar tiba-tiba seruan Kemaladewi. Patuh sekali. Lutung Gila miringkan pedang hijau di tangannya dan senjata itu menancap sampai ke hulunya di tanah di samping kaki Gagak Nandra!

Lutung Gila putar kepala. "Eeee ciluk, kenapa yang satu ini tidak dimampuskan saja?!" tanyanya.

"Aku ada rencana!" jawab Kemaladewi dengan tolak pinggang. Dia memandang pada Gagak Nandra yang berdiri mematung dengan tubuh keringatan dan paras pucat pasi! "Eh kunyuk kau muridnya orang tua bau busuk itu?!"

Gagak Nandra tak menyahut. Matanya melotot memandang geram pada Kemaladewi.

"Hai jawab!" bentak Kemaladewi.

Gagak Nandra tetap membungkam. Lutung Gila berkata, "Ciluk, monyet bisu ini memang murid orang tua busuk itu!"

"Siapa namamu?!" tanya Kemaladewi lagi.

Gagak Nandra meludah ke tanah!

"Menghina! Keparat! Bosan hidup ya?!" Kemaladewi melompat ke muka dan.... 

"Plak!" tamparannya mendarat di pipi Gagak Nandra. Gagak Nandra meraung kesakitan. Mulutnya pecah dan darah berlelehan!

"Kalau aku tidak salah ingat ciluk, monyet ini bernama Nandra Gagak!" kata Lutung Gila pula. Ternyata dia menyebut nama Gagak Nandra terbalik!

"Gagak Nandra!" kata Kemaladewi.

"Dengar! Kau masih punya nasib untung tidak seperti saudara-saudara seperguruanmu yang lain! Bawa mayat busuk gurumu dan kembali ke Ujung Kulon dan terangkan pada kunyuk-kunyuk yang ada di perguruan bahwa pada tanggal tujuh bulan tujuh aku bersama Lutung Gila dan Lutung Bawean serta Raja Lutung akan datang ke sana! Kalian harus menyambut aku dengan upacara besar-besaran karena ketahuilah bahwa sejak gurumu mampus maka akulah yang akan menjadi Ketua Perguruan! Mengerti?!"

Geram Gagak Nandra bukan kepalang. Tapi dia tidak bisa berbuat apa. Melawan sudah pasti tidak mungkin. Untuk beberapa lamanya dia masih berdiam diri.

"Mengerti tidak mengerti, angkat kaki dari sini! Biung kunyuk," bentak Lutung Gila.

Gagak Nandra melangkah ke dekat batu besar di mana jenazah yang rusak membusuk dari Empu Sora tadi dibaringkannya. Dipanggulnya jenazah gurunya itu di pundak kiri. Sebelum dia melangkah meninggalkan kedua orang tersebut dia berpaling lebih dahulu dan berkata: "Kutuk Tuhan akan jatuh atas diri kalian berdua! Hari pembalasan akan tiba kelak!"

"Kunyuk sinting! Masih mau berbacot!" bentak Lutung Gila seraya melangkah hendak menendang Gagak Nandra. Tapi tangannya dipegang oleh Kemaladewi.

"Biarkan saja!" kata Kemaladewi.

"Biung!"

Gagak Nandra menyeka darah di mulutnya, memutar tubuh dan tinggalkan tempat tersebut menuju ke tepi pasir.

***
DELAPAN

DARI lereng bukit terdengar suara teriakan keras yang disertai tenaga dalam. "Gagak Nandra kembali membawa jenazah guru seorang diri!"

Dari dalam rumah besar keluarlah Dipa Putra dan kira-kira dua puluh orang saudara seperguruannya dari berbagai tingkatan. Mereka berlari dan saat itu di pintu halaman masuklah Gagak Nandra memanggul jenazah Empu Sora.

"Gagak Nandra!" seru Dipa Putra. "Mana yang Iain-Iain! Eh, mengapa mulutmu?!"

Gagak Nandra tak segera menjawab. Jenazah Empu Sora diberikannya pada salah seorang saudara seperguruannya. Dia sendiri kemudian duduk bersila, mengatur jalan nafas serta peredaran darah. Alirkan tenaga dalam dengan pejamkan mata. Beberapa saat kemudian kedua matanya dibuka kembali. Gagak Nandra menangis terisak.

"Ee, Gagak Nandra! Sebagai kesatria kau tak pantas menangis! Apa yang terjadi, mana yang lain-lainnya?" tanya Dipa Putra.

"Aku bukan kesatria sejati! Aku hanya memalukan perguruan kita saja yang enam orang itu menemui ajal semua!"

Terkejutlah Dipa Putra dan yang lain-lainnya mendengar keterangan tersebut. Sunyi sejurus lamanya, hanya suara isakan Gagak Nandra yang terdengar. Setelah tangisnya mereda maka Gagak Nandra kemudian menuturkan apa yang terjadi dan dialami di pulau Bawean.

"Meski aku beruntung dilepas untuk membawa jenazah guru kita..." kata Gagak Nandra pula. "Tapi hatiku tidak puas! Dan aku malu sekali!"

"Tak ada yang harus dimalukan Gagak Nandra," ujar si kakek yang bernama Waranoa. "Jangankan kau, guru kita sekalipun tidak sanggup melawan Si Lutung Gila jahanam itu!"

Hari itu juga jenazah Empu Sora dikuburkan dengan upacara khidmat khusus. Selesai penguburan maka Dipa Putra memanggil berkumpul semua saudara seperguruannya. Hatinya masygul sekali sedang darahnya tak kunjung dingin akibat dendam kesumat serta amarah yang mendidih! Dia memandang berkeliling dan pandangannya terhenti ketika membentur si kakek Waranoa.

"Kakek," ujar Dipa Putra. "Kau sebagai orang yang paling tua di antara kami, kepadamulah kami pertama kali akan minta petunjuk. Gerangan langkah apakah yang akan kita perbuat guna membalaskan sakit hati kita kepada si Jayengrana itu?"

Waranoa meraba dagunya. Kedua matanya menyipit seperti seseorang yang tengah memperhatikan sesuatu di kejauhan. Dia membuka mulut hendak bicara, tapi mendadak terdengar suara Gagak Nandra mendahului.

"Saudara-saudara ada sesuatu yang lupa kukatakan pada kalian!"

"Apakah?!" tanya Dipa Putra.

"Pesanan! Pesan dari perempuan iblis yang kabarnya menjadi istri Jayengrana keparat itu!"

"Pesan apakah, Gagak Nandra? Cepat katakan!" ujar Dipa Putra tak sabar.

"Katanya pada tanggal tujuh bulan tujuh dia bersama Lutung Gila dan Lutung Bawean serta Raja Lutung akan datang ke sini!"

"Akan datang ke sini?!"

"Ya!"

Semua mata terbuka lebar-lebar dan semua orang saling berpandangan. "Katanya lagi kita harus menyambutnya dengan upacara besar-besaran karena dialah, si iblis betina itu, yang akan menggantikan guru menjadi Ketua Perguruan Ujung Kulon ini! Dan padanya kulihat pedang pusaka milik guru!"
"Keparat rendah!" maki Dipa Putra seraya tinjukan tangan kanannya ke telapak tangan kiri.

"Siapa Raja Lutung dan Lutung Bawean?" tanya Waranoa.

Gagak Nandra angkat bahu. "Tapi pastilah mereka juga manusia-manusia sakti macam Lutung Gila dan perempuan iblis itu!"

Dipa Putra mengeluh dalam hatinya. Sebagai murid tertua dalam menuntut ilmu, sebagai murid yang terpandai, maka tanggung jawab besar dalam menuntut balas terletak di tangannya! Tapi kalau gurunya sendiri kepada siapa dia belajar menuntut segala macam ilmu kesaktian harus serahkan nyawa menghadapi Lutung Gila, bagaimana dia akan sanggup membalaskan dendam sakit hati itu?! 

Apa yang terpikir oleh Dipa Putra ini terpikir pula oleh anak-anak murid perguruan lainnya. Dan pada tanggal tujuh bulan tujuh Lutung Gila bersama ketiga bangsat-bangsat yang disebutkan namanya itu akan datang pula ke Ujung Kulon! Tanggal tujuh bulan tujuh ini hanya tiga bulan di muka! Bisakah mereka mengadakan persiapan selama tiga bulan itu untuk menyambut kedatangan Lutung Gila, istrinya, Lutung Bawean dan Raja Lutung? Bukan menyambut dengan upacara besar-besaran tapi dengan pedang di tangan dan bertempur hidup mati membalaskan sakit hati dendam kesumat?!

Pandangan Dipa Putra kembali tertuju pada Waranoa. "Kakek, petunjukmu tetap kami harapkan."

"Saudara-saudaraku," kata Waranoa.

"Melihat singkatnya waktu yang dikatakan perempuan iblis bini si Jayengrana itu, nyatalah kita tak bisa mengadakan persiapan untuk menyambut kedatangan mereka! Ini berarti satu-satunya jalan bagi kita ialah meminta bantuan pihak luar...."

"Saya tidak setuju urusan perguruan kita sampai dibawa-bawa keluar," tukas Dipa Putra. "Itu hanya akan merendahkan perguruan kita dan mencemarkan nama guru!"

"Itu betul!" jawab Waranoa. "Apa yang terjadi di perguruan kita harus kita sendiri yang turun tangan menyelesaikannya. Tapi dalam persoalan macam mana? Apakah kita mau mati dan mampus semua menghadapi lawan yang bukan tandingan kita? Dimana kita pada akhirnya tidak seorang pun sanggup menuntut balas dendam guru kita dan saudara-saudara kita?! Pikir itu baik-baik!"

Dipa Putra dan yang lain-lainnya termenung berdiam diri. Waranoa meneruskan. "Nasib kita tak beda dengan sebuah sabut kelapa yang hendak melawan menerjang ombak besar. Nasib kita tak ubah seperti sebuah mentimun yang hendak kalap-kalapan melawan durian! Apa jadinya?! Badan berkubur niat tak sampai! Meminta tolong kepada sesama kawan dalam dunia persilatan adalah soal biasa. Mendiang Empu Sora bukan tokoh biasa, bukan tokoh kemarin. Beliau pasti banyak mempunyai kawan tokoh-tokoh kawakan sakti! Mustahil mereka tidak akan mau membantu bila kita murid-murid Empu Sora datang rendahkan diri minta bantuan mereka! Sebagai orang tertua yang diam di sini, memang aku pernah dengar seorang sakti bernama Lor Munding Saksana. Umurnya sekarang mungkin sudah lebih dari tujuh puluh! Menurut keterangan yang kudapat, puluhan tahun silam Lor Munding Saksana pernah berdiam di sini dan menjadi guru Empu Sora, jadi kakek guru kita sekalian! Lor Munding Saksana kemudian pergi meninggalkan tempat ini entah ke mana. Kemudian dikabarkan dia berada di Bukit Bangkai. Di mana letaknya Bukit Bangkai inipun aku yang sudah tua tidak pernah tahu!" Dipa Putra pejamkan matanya. Dia tahu mata semua saudara-saudara seperguruannya ditujukan kepadanya karena sebagai murid utama segala keputusan terletak di tangannya. 

"Saudara-saudara sekalian. Begini saja.... Kita usahakan dahulu mencari Bukit Bangkai dan menemui kakek guru Lor Munding Saksana. Jika tidak berhasil baru meminta bantuan pihak luar. Bagaimana... setuju?!"

Rata-rata semua orang menyatakan persetujuannya termasuk si orang tua Waranoa. "Tapi siapakah yang akan pergi?" bertanya orang tua itu. "Kau Dipa Putra tidak mungkin. Gagak Nandra juga tidak mungkin karena masih sakit...."

"Aku sudah sembuh, biar aku yang pergi!" potong Gagak Nandra dengan tiba-tiba. Dia rela pergi agar dapat menebus rasa malunya terhadap peristiwa di pulau Bawean tempo hari.

Dipa Putra gelengkan kepala. "Tidak bisa Gagak Nandra. Kau tetap di sini, kau masih sakit...."

Seorang anak murid bertubuh tegap berbadan tinggi tiba-tiba berdiri, ia dari tingkat empat, sama dengan Gagak Nandra. Dia memandang berkata, "Saudara-saudara sekalian biarlah aku Udayana kali ini kalian lepaskan untuk menunjukkan bakti kepada guru dan perguruan! Izinkan aku pergi mencari kakek guru Lor Munding Saksana!"

Semua mata ditujukan kepada pemuda itu dan akhirnya setuju. "Doa kami bersamamu, semoga kau berhasil. Semoga kita dapat menyelamatkan perguruan kita dan menjaga nama harum mendiang guru!" kata Dipa Putra pula.

Udayana menjura pada saudara-saudara seperguruannya lalu meninggalkan tempat itu.

***
SEMBILAN

PAKAIANNYA kotor dan robek-robek, kakinya luka-luka serta bengkak. Rambutnya panjang awut-awutan. Sudah hampir tiga bulan dia malang-melintang di delapan penjuru angin. Sudah puluhan bukit dinaik-turuninya namun Bukit Bangkai tak kunjung bertemu sedang hari tujuh bulan tujuh semakin dekat juga! Hari itu dia berdiri di tepi sebuah jurang dalam berbatu-batu. Di seberang jurang kelihatan sebuah bukit kecil.

"Kalau yang satu ini bukannya Bukit Bangkai, celakalah aku! Hancurlah nama perguruan dan cemarlah nama guruku," demikian kata Udayana dalam hatinya.

Dengan seribu satu macam kesulitan dituruninya jurang berbatu-batu itu. Sebentar-sebentar dia terpeleset oleh lumut licin dan masih untung dia terjatuh dihalangi oleh batu, kalau tidak pasti tamatlah riwayat anak murid Perguruan Ujung Kulon ini di dasar jurang maut! Tak jarang pula kakinya tersandung. Ketika malam tiba maka Udayana baru sanggup mencapai dasar jurang. Karena letih dia tertidur juga meski perutnya kosong tiada berisi!

Esok paginya pemuda berhati tabah ini melanjutkan perjalanan mendaki lereng jurang. Malam hari pula baru dia berhasil mencapai puncak jurang yang membawanya kekaki bukit. Di sini anak murid Perguruan Ujung Kulon itu jatuh pingsan. Menjelang dinihari baru dia siuman. Dicarinya tetumbuhan apa saja yang bisa dimakan penyumpal perut. Namun semua itu dimuntahkannya kembali karena tak sanggup perutnya menerima!

Dengan perut tetap berisi angin kosong Udayana mulai mendaki bukit di hadapannya. Menjelang tengah hari pemuda ini mencapai lereng yang ditumbuhi berbagai tanaman liar. Dia menyeruak di antara semak-semak dan tiada henti-hentinya berteriak.

"Kakek guru!" demikianlah yang dilakukan Udayana setiap dia menaiki sebuah bukit. Suaranya sudah parau karena terus-terusan berteriak.

Mendadak Udayana hentikan teriakannya. Mulutnya menganga bengong melompong, kedua matanya melotot memandang ke pohon kecil di hadapannya. Pohon kecil itu seluruh daunnya sudah berguguran. Ranting-rantingnya kecil halus dan pada salah satu ujung ranting yang besarnya tidak lebih dari besar ibu jari duduk berjuntai seorang tua berambut putih. Mulutnya komat-kamit. Apa yang dimakannya adalah seekor burung mentah!

Bagaimana Udayana mau percaya. Jangankan seorang manusia, seekor kucingpun jika berada di ujung ranting tersebut, pastilah ranting itu patah! Tapi si orang tua rambut putih duduk seenaknya, bahkan sambil makan itu dia goyang-goyangkan kedua kakinya seperti anak kecil tengah makan kue yang disukainya!

Orang tua berambut putih itu membuang sisa-sisa tulang-belulang burung yang dimakannya. "Pluk!" tulang burung mentah tersebut jatuh di kening Udayana. Terbang semangat pemuda itu karena terkejut. Tiba-tiba dilihatnya orang tua di atas ranting kayu melambaikan tangan kirinya. Lalu menengadah sambil tertawa-tawa. Dari langit jatuhlah suatu benda hitam bergelapakan. Ternyata seekor burung! Si orang tua mencabuti bulu-bulu binatang itu, sesudah gundul mulai menyantapnya seperti tadi!

Udayana gelengkan kepala. Bukan sembarang orang bisa melepaskan pukulan jarak jauh seperti itu untuk membunuh seekor burung yang melayang cepat di udara! Bukan manusia biasa yang makan daging mentah-mentah! Pastilah ini seorang sakti luar biasa. Mungkin sekali orang tua yang tengah dicarinya!

"Kakek guru!" seru Udayana. 

Orang tua itu terus saja makan seenaknya, komat-kamit dan cengar-cengir. Seakan-akan tidak mendengar seruan Udayana, seakan-akan pemuda tersebut tidak ada di dekatnya!

"Kakek guru! Kakek guru Lor Munding Saksana! Saya Udayana dari... hek." Pemuda itu keluarkan suara tercekik. Daging burung yang sudah gundul, tinggal tulang-belulang saja dilemparkan oleh si orang tua dan tepat jatuh di dalam mulut Udayana yang tengah berteriak sehingga mulut pemuda itu tersumpal, teriaknya terhenti dan tercekik! 

Udayana keluarkan tulang burung yang bau amis itu dari mulutnya. Ulu hatinya naik, cacing gelang-gelang memberontak dan perutnya memual. Sesaat kemudian pemuda inipun muntah-muntah! Sedang si orang tua mulai pula memandang ke langit mencari burung baru untuk pengisi perutnya!

Kesal Udayana bukan alang-kepalang. Kalau saja dia bukan berhadapan dengan kakek-kakek aneh itu, pastilah sudah didamprat dan dicaci makinya habis-habisan! Dia berteriak lagi: "Kakek guru! Kakek guru Lor Munding Saksana! Saya dari Perguruan Ujung Kulon! Datang meminta bantuanmu! Guru kami Empu Sora dibunuh orang! Perguruan terancam bahaya besar!"

Untuk pertama kalinya kakek-kakek itu palingkan kepala. Dia memandang ke jurusan Udayana. Tapi cuma sebentar. Sesat kemudian dia kembali komat-kamit makan daging burung mentah! Udayana tidak putus asa. Meski suaranya sudah parau dan hampir hilang namun dia berteriak terus. Si orang tua hentikan makannya untuk kedua kalinya. 

"Sompret," makinya. "Kau manusia atau monyet huh?!"

"Kakek guru! Saya Udayana dari...."

"Aku tidak tanya kau siapa. Perduli amat sekalipun kau setan dari neraka! Aku tanya kau manusia atau monyet?!"

"Saya manusia, kakek guru...."

"Kalau manusia mengapa berteriak macam monyet terbakar ekor?!"

"Kakek guru...."

"Aku bukan kakek gurumu! Juga bukan moyang gurumu!" hardik si orang tua.

"Kalau begitu mungkin kau bisa beri sedikit keterangan padaku...."

"Sompret! Aku bukan kotak penerangan!"

Udayana jadi terdiam, tak tahu apa yang musti dikatakannya. Hatinya kesal sekali sedang tubuhnya letih tiada terkirakan. Dia akhirnya duduk menjelepok di tanah.

"Eh kunyuk! Mengapa duduk di situ? Apa ini bukit bapakmu yang punya? Berdiri! Sompret!" bentak si orang tua. Matanya melotot.

Udayana buru-buru berdiri dan memaki dalam hati.

"Eh sompret! Kau memaki dalam hati ya?! Kunyuk!"

Udayana terkejut. Mukanya memucat. Tak diduganya si orang tua akan tahu bahwa dia memang memaki dalam hati!

Orang tua rambut putih itu menghabiskan daging burungnya lalu tulang-tulang burung seperti tadi dengan sikap acuh tak acuh dilemparkannya ke kepala Udayana. Pemuda itu merunduk namun anehnya tulang burung tetap saja mampir di kepalanya!

"Eh sompret!" kata si orang tua seraya seka mulutnya. "Ada apa kau datang ke sini?!"

Harapan membayang dalam hati Udayana. "Saya anak murid Perguruan Ujung Kulon. Datang untuk mencari kakek guru bernama Lor Munding Saksana...."

"Eh siapa? Lor Bunting Saksana...?"

"Bukan... Lor Bunting Saksana!" membetulkan Udayana.

Orang itu tertawa. Kelihatanlah gusinya yang ompong semua! "Ada apa kau cari itu manusia bernama Lor Munding Saksana? Mau ngempeng sama dia huh?!"

Udayana memaki dalam hati.

"Nah... nah... kau memaki lagi ya? Sompret!"

"Saya mencari kakek guru karena Perguruan terancam bahaya besar sedang guru sudah mati dibunuh orang!"

"Siapa nama gurumu?!"

"Empu Sora."

"Siapa yang membunuh!"

"Lutung Gila...."

"Eh masa manusia kalah sama lutung? Lutung Gila pula!" tukas si orang tua.

"Lutung Gila hanya nama julukan. Nama sebenarnya adalah Jayengrana. Tadinya murid Empu Sora sendiri!"

"Eh lantas kenapa bunuh gurunya?"

"Dia sudah gila dan murtad!" jawab Udayana.

Orang tua itu diam seketika. Lalu. "Jadi Lor Munding Saksana itu, kakek gurumu ya!"

"Betul! Orang tua."

"Kau belum pernah ketemu dia?"

"Belum...."

"Tahu di mana tinggalnya?"

"Kabarnya di Bukit Bangkai...."

"Kau tahu di mana bukit ini?"

"Tidak, orang tua."

"Goblok! Pergi ke puncak bukit dan coba perhatikan lereng bukit di sebelah timur! Lekas!"

Dengan kesal tapi juga takut, Udayana lakukan perintah si orang tua aneh. Ada apakah di lereng bukit sebelah sana, pikir Udayana.

***
SEPULUH

JALAN menuju puncak bukit rapat ditumbuhi pepohonan dan semak belukar namun Udayana, murid Perguruan Ujung Kulon melangkah terus sampai akhirnya dia tiba di puncak bukit. Dilayangkannya pandangan kebawah, ke lereng bukit sebelah timur dan tersiraplah darah pemuda itu! Semangatnya serasa terbang!

Lereng bukit sebelah timur ini sama sekali gundul tandus. Tidak satu pohon atau semak belukarpun yang tumbuh! Dan di lereng bukit tandus ini, dari barat sampai ke timur, dari puncak sampai ke kaki, pokoknya sejauh mata memandang bertebaran berbagai rupa, tulang mulai burung sampai kepada harimau, singa, buaya, gajah dan manusia! 

Tulang-tulang itu sudah memutih, bersih, licin tiada berdaging lagi! Entah sudah berapa tahun tulang-tulang ini berserakan di sana! Bagaimanakah tulang-tulang tersebut berada di lereng bukit ini? Sedemikian banyaknya? Mungkin terjadi pembantaian di sini. Pasti pernah terjadi pembunuhan besar-besaran, pikir Udayana. Dan barangkali si orang tua aneh itulah yang melakukannya! 

Tak dapat dilukiskan kengerian Udayana menyaksikan pemandangan tersebut. Tengkorak manusia...tulang-belulang binatang... semuanya sudah pada rusak dan bercampur baur tak karuan! Berdiri di puncak bukit tersebut seperti berdiri di hadapan pintu neraka rasanya bagi Udayana!

Tubuhnya menggigil, lututnya goyah gemetar. Tak tahan dia berdiri lebih lama di situ. Sebelum dirinya jatuh pingsan menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu cepat-cepat anak murid Perguruan Ujung Kulon itu putar tubuh dan ambil langkah seribu!

Dia lari seperti orang dikejar setan sepuluh muka! Semak belukar diterjangnya. Pakaiannya robek-robek tak diperdulikan, kadangkala tubuhnya terantuk dengan batang-batang pohon atau kepalanya membentur cabang rendah! Tapi semua itu tak diacuhkannya! Dia lari terus! Pokoknya asal bisa meninggalkan bukit itu, apapun yang akan terjadi dengan dirinya, tak akan ambil perduli!

"Eei! Kunyuk! Mau lari ya?! Sompret!" terdengar suara berteriak memaki.

Udayana tahu benar itulah suaranya si orang tua yang tadi duduk di ujung ranting! Tanpa putar kepala lagi untuk berpaling, pemuda ini segera tancap gas dan lari lebih kencang!

"Monyet! Berhenti! Kembali!"

Tapi Udayana lari terus.

"Sompret!"

Tiba-tiba tubuh Udayana mematung seperti batu. Jangankan lari, bergerak sedikitpun dia tak sanggup! Tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki dilibat oleh seutas tali hitam, kuat dan kukuh! Sedetik kemudian kelihatanlah tubuh Udayana tertarik ke belakang dan jatuh ke tanah menelentang. Di hadapannya berdiri orang tua berambut putih aneh itu!

"Sompret! Kenapa kabur hah?!" tanya orang tua itu membentak.

"Orang tua... a... aku takut!"

'Takut! Apa yang kau takutkan kunyuk?! Kau sudah pergi ke puncak bukit?"

"Ya, sudah...."

"Sudah lihat apa yang ada di lereng sebelah timur?!"

"Sudah...."

"Apa yang kau lihat?!"

"Tu... tulang..." jawab Udayana gemetar. Dia coba gerakkan tubuh, tak berhasil karena tali hitam masih mengikat di sekujur tubuhnya! "Celaka!" pikir Udayana. "Pastilah tubuhku akan digerogot oleh setan tua ini! Tulang-tulangku akan dibuang di antara tumpukan tulang-tulang di lereng timur sana! Ampun!"

"Hai sompret! Kau bilang lihat tulang tadi?!" terdengar bentakan si orang tua.

"Betul...."

"Tulang apa?!"

"Tul... tulang manusia...."

"Hanya tulang manusia...."

"Tulang-tulang binatang juga..."

"Binatang apa, sompret!"

"Burung... kelinci... rusa... kambing hutan...."

"Apalagi?!"

"Harimau!.. serigala... buaya... gajah...."

"Sompret! Apa kau tidak melihat tulang monyet?" bentak si orang tua.

"A... aku tidak tahu. Mungkin ada...."

"Mungkin ada! Sompret! Kau sama saja dengan monyet! Tunggu saja, sebentar lagi akan  kuremukkan  tubuhmu!  Tulang-belulangmu akan kulemparkan ke lereng bukit sana!"

"Orang tua, aku mohon...!" ujar Udayana setengah meratap. "Jangan celakai diriku! Aku tidak bermaksud jahat! Aku tengah mengemban satu tugas berat dari perguruan!
Aku... aku murid Empu Sora dari Ujung Kulon!"

Orang tua itu meludah ke tanah. "Sekalipun kau murid setan alas dari neraka, siapa perduli!" bentak orang tua berambut putih.

"Orang tua.... Harap kau punya sedikit welas asih. Jika aku memang salah aku mohon maaf dan ampunmu! Biarkan aku meninggalkan tempat ini. Aku harus cari kakek guru, aku harus temui dia. Kalau tidak celaka semua! Perguruan Ujung Kulon akan ambruk! Manusia-manusia jahat akan gentayangan lebih leluasa!"

"Sompret! Aku muak mendengar omonganmu! Sekali aku bilang kau harus mampus, berarti kau benar-benar musti mampus!"

Habis berkata begitu orang tua aneh tapi ganas ini gerakkan tangan kanannya yang memegang ujung tali hitam. Gerakannya perlahan saja tapi apa yang terjadi sungguh luar biasa. Tubuh Udayana yang terlibat tali hitam itu tersentak dan terlempar ke atas. Ketika tubuh itu kemudian jatuh dengan keras ke bawah Udayana tak sanggup lagi menahan takutnya. Jeritan keras menggeledek dari mulut pemuda ini. Tapi hanya sejengkal lagi tubuhnya akan terhempas ke tanah bukit, si orang tua sentakkan lagi tangan kanannya. Tubuh Udayana serta-merta terlempar kembali ke atas!

Untuk kedua kalinya kemudian pemuda itu jatuh lagi malah lebih deras dari pertama tadi. Dan celakanya kali ini kepalanya menukik lebih dulu! Kembali Udayana menjerit. Kali ini putus sudah harapannya. Dia bakal menemui kematian dengan kepala pecah menghunjam tanah!

Namun pada saat batok kepala pemuda itu hanya tinggal setengah jengkal dari tanah, kembali si orang tua menyentakkan tali hitam yang dipegangnya. Akibatnya tubuh Udayana terlempar setinggi tiga tombak ke udara. Si orang tua tertawa-tawa mengekeh seperti anak kecil kegirangan bermain tali bandringan! Sambil terus tertawa-tawa tubuh Udayana diputar-putarnya di udara. Pemuda itu sendiri tidak tahu apa yang terjadi atas dirinya karena saat itu dia sudah jatuh pingsan.

"Walah tua bangka geblek! Satu tahun lalu aku ke sini, tingkahmu sudah tidak karuan! Sekarang ternyata kau makin tambah tidak waras!"

Terdengar suara melengking tinggi. Baru saja suara itu lenyap berkelebatlah satu bayangan disertai menebarnya bau busuk. Di hadapan si kakek kini tegak seorang nenek-nenek mengenakan jubah putih dekil terbuat dari bahan yang sangat tebal. Sulit diduga apakah pakaian atau tubuhnya yang menebar busuk, mungkin juga kedua-duanya.

"Jembel bau! Kau tidak bosan-bosannya datang lagi ke tempat ini! Jangan harap kali ini aku akan memberikan apa yang kau minta!" berkata orang tua berambut putih. Dia hentikan tawanya tapi tubuh Udayana masih terus diputar-putarnya di udara hingga mengeluarkan suara berdesing.

"Kau tidak mau berikan hari ini, lain hari aku akan muncul lagi di sini! Sampai kau bosan! Hik... hik... hik!" Nenek berjubah dekil membuka mulut.

"Kali ini jangan-jangan kau tak bakal muncul lagi di tempat ini Nyi Gambir.... Ini kemunculanmu yang terakhir kali!"

"Hik... hik... hik! Kenapa begitu?!" Si nenek bertanya sambil tertawa cekikikan.

"Karena sebentar lagi, jika urusanku dengan budak sompret ini selesai, aku akan membunuhmu!" jawab kakek berambut putih.

"Membunuhku boleh-boleh saja kakek kecoak! Kau memang manusia aneh! Minta nyawa orang tapi tak mau memberi nyawa sendiri!"

"Eh nenek bau, apa maksudmu?!"

"Kau sungguhan tidak mau memberikan surat sakti itu padaku?!" bertanya nenek yang dipanggil dengan sebutan Nyi Gambir itu.

"Tua bangka tak tahu diri! Dulu aku bilang tidak, sekarangpun tidak!" jawab orang tua berambut putih.

"Hemmm.... Apa gunanya kau simpan simpan surat itu kalau tidak dipergunakan?!"

"Dipergunakan atau tidak itu bukan urusanmu!"

"Hik... hik.... Betapa tololnya dirimu. Kau menyimpan satu petunjuk berharga. Yang bisa membawamu menjadi raja diraja dunia persilatan. Tapi menyia-nyiakannya begitu saja. Apa salahnya memberikan padaku...."

Sambil terus memutar tubuh Udayana di udara, si kakek mendongak, tampaknya seperti tengah berpikir-pikir. Tiba-tiba dari balik pakaiannya dia keluarkan sehelai kertas yang merupakan sebuah surat dimana tertulis serangkaian kalimat berbunyi:

Kepada pendekar-pendekar utama
dari delapan penjuru angin
Siapa-siapa dari kalian yang ingin merajai
dunia persilatan datanglah membawa surat ini
ke Gua Iblis untuk mendapatkan senjata ampuh Cambuk Iblis

(Mengenai surat iblis tersebut harap baca serial Mahesa Kelud berjudul Delapan Surat Kematian)

"Kau inginkan surat maha berharga ini Nyi Gambir? Ambillah dari dalam perutku!" Habis berkata demikian orang tua rambut putih ini lantas masukkan kertas yang dipegangnya ke dalam mulut, mengunyahnya lalu menelannya!

Si nenek sampai terbelalak melihat kejadian itu. "Benar-benar tua bangka tolol!" katanya memaki-panjang-pendek.

Tahu bahwa kedatangannya ke bukit itu merupakan kesia-siaan besar si nenek segera bersiap angkat kaki dari situ. Namun dia tidak mau pergi begitu saja sebelum memberi sedikit pelajaran pada si kakek. Sambil umbar tawa cekikikan dia cabut lima lembar rambutnya yang berwarna kelabu. 

Lalu sekali tangannya bergerak maka lima helai rambut itu melesat ke  udara laksana jarum-jarum saat kemudian terdengar suara tes... tes... tes... tes! Tali hitam yang dipegang si kakek dan mengikat sekujur tubuh Udayana putus di lima tempat!

"Sompret!" teriak orang tua rambut putih itu marah sekali. Dia hendak mengejar Nyi Gambir, tapi si nenek sudah berkelebat pergi.

Sambil menyumpah-nyumpah kakek ini terpaksa tumpahkan perhatiannya pada sosok tubuh Udayana yang saat itu melayang jatuh. Cepat dia angkat kedua tangannya. Tubuh Udayana tersentak beberapa kali lalu kalau tadi jatuhnya begitu deras kini laksana ditahan oleh satu kekuatan yang tidak terlihat, tubuh itu melayang turun secara perlahan-lahan hingga akhirnya terbujur di tanah.


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.