Jabang Bayi Dalam Guci

Serial Cerita Silat Wiro Sableng episode Dewi Dua Musim dengan judul Jabang bayi dalam guci
Sonny Ogawa

JABANG BAYI DALAM GUCI

PROLOG

Tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Tahu-tahu seorang kakek berselempang kain putih, berkumis dan berjanggut seputih kapas telah berdiri di hadapan Ken Parantili. Di tangan kanan orang tua Ini memegang sebuah guci tembus pandang berisi air bening.

"Dengan izin Para Dewa, dengan lindungan kasih sayang Yang Maha Kuasa, aku mohon masukkan jabang bayi itu ke dalam guci ini..." Berkata si orang tua.

"Resi, aku..." Ken Parantili tidak bisa meneruskan ucapan. Perlahan-lahan tangan kanan yang memegang jabang bayi diangkat, didekatkan ke atas guci tembus pandang. Ketika genggaman dilepas. Jabang bayi merah langsung masuk ke dalam guci.


Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

SATU

MALAM sunyi dan dingin di bantaran Kali Gondang tak Jauh dari desa Kebonarum. Hampir bersamaan waktunya ketika Raja Mataram dan rombongan meninggalkan tempat rahasia di Sumur Api dalam perjalanan menuju Kotaraja. Hujan turun rintik-rintik.

Bulan biru masih menggantung indah di langit Mataram, memancarkan cahaya sejuk. Di satu tikungan kali yang aliran airnya bergelombang deras terlihat sebuah bangunan candi kecil, menghitam di bawah bayang-bayang sebuah pohon besar yang tumbuh mi-ring. Pohon telah tumbuh lebih dari seratus tahun, hampir sama dengan usia candi. Konon pohon itu ditanam ketika candi mulai dibangun.

Karena letaknya yang sangat terpencil dan sulit dicapai, sejak selesai dibangun candi itu jarang didatangi orang. Di bagian belakang dan kiri kanan candi terbentang kawasan berbatu-batu tinggi dan terjal, ditutup pula oleh rimba belantara lebat. Satu-satunya jalan untuk mencapai candi adalah melalui Kali Gondang. Tapi karena arus air kali di tikungan selalu besar dan sangat berbahaya maka tak ada yang berani mempertaruhkan nyawa.

Menurut penduduk desa Kebonarum beberapa kali orang-orang nekad berusaha mendatangi candi dengan menaiki perahu dan getek. Mereka tertarik oleh kabar bahwa di dalam candi terdapat sejumlah harta karun. Namun semua mereka menemui ajal ditelan arus. Kabarnya arus air di Kali Gondang mendadak berubah menjadi lebih besar dan ganas jika ada orang berada di sekitar kali dan coba mendekati candi.

Namun malam itu ada satu keanehan. Dari luar candi terlihat cahaya temaram pertanda ada orang di dalamnya. Memang ternyata begitulah kejadiannya. Saat itu di dalam candi berada seorang Resi yang sejak dua malam lalu melakukan tapa. Di depannya di lantai candi terdapat sebuah lobang berbentuk empat persegi sedalam satu jengkal. Di dalam lobang terletak empat puluh keping batu berwarna putih.

Dalam tapanya sang resi memancarkan aliran hawa sakti ke dalam lobang. Setelah dua hari dua malam berlalu, pada malam ketiga kepingan-kepingan batu putih pancarkan cahaya merah. Semakin lama cahaya itu semakin terang. Candi yang tadinya gelap gulita kini menjadi benderang. Bersamaan dengan itu di dalam candi menebar bau harum dan hawa sejuk.

Tepat di pertengahan malam ketika empat puluh kepingan batu memancarkan cahaya yang sangat terang tiba-tiba dari arah pintu depan candi berkelebat satu cahaya putih. Lalu terdengar satu suara lembut berucap.

"Resi Kali Jagat Ampusena, kekuatan tapamu mampu menyalakan empat puluh keping batu putih. Tapa mu diterima, berhentilah bersemedi dan dengar baik-baik apa yang aku katakan."

Resi bernama Kali Jagat Ampusena mengusap wajah yang ditumbuhi kumis dan janggut putih, perlahan-lahan buka sepasang mata. Hal pertama yang dilihatnya setelah mendengar suara tadi adalah cahaya putih di pintu candi. Serta merta orang tua berusia hampir seratus tahun ini tundukkan tubuh, kepala menyentuh lantai candi, mulut berucap.

"Roh Putih pelindung langit dan bumi, saya yang rendah sangat berterima kasih Roh Putih telah berkenan datang. Saya tahu ketenteraman telah datang di Bhumi Mataram. Namun rasa aman masih belum mencapai kesempurnaan. Untuk itu saya mohon petunjuk lebih lanjut dari Roh Putih."

"Resi Kali Jagat Ampusena, ucapanmu menyatakan betapa hati sanubarimu menunjukkan bakti yang sangat tinggi terhadap Kerajaan. Tetapi ketahuilah, urusan Kerajaan sudah ada yang menangani. Mataram masih memiliki seorang Raja. Kerajaan masih mempunyai banyak pejabat dan orang sakti berkepandaian tinggi yang telah dan akan tetap berbakti untuk Bhumi Mataram. Biar semua mereka itu yang mengatur sesuai dengan kehendak Yang Maha Kuasa. Bagi dirimu, ada satu tugas yang sebenarnya sudah tersurat di alam gaib sejak dua puluh purnama yang lalu..."

Dalam kejutnya mendengar ucapan Roh Putih Resi Kali Jagat Ampusena kembali rundukkan tubuh dan kepala. "Roh Putih, saya mohon diberikan petunjuk atas tugas yang menjadi kewajiban saya itu."

Baru saja sang Resi keluarkan ucapan tiba-tiba di lantai di hadapannya muncul sepasang kasut berwarna putih.

"Resi Kali Jagat pada saat cahaya putih lenyap dari pandangan matamu maka berdirilah. Kenakan kasut putih. Kasut putih akan membawamu ke satu tujuan. Di tempat itu kau akan menemukan seratus butir mutiara putih di dalam sebuah mangkok perak. Segera lakukan semedi. Sebelum fajar menyingsing dengan kehendak Yang Maha Kuasa seratus mutiara akan meleleh laiu berubah menjadi sebuah guci sangat indah tembus pandang, lengkap dengan tutup yang mencantei di bibir guci. Benda apa saja yang masuk ke dalamnya akan terlindung dan dapat dilihat dengan mata telanjang seolah guci itu terbuat dari kaca..."

"Sungguh besar kuasa Sang Hyang Jagatnatha..." Resi

Kali Jagat ucapkan pujian. "Roh Putih, apa yang selanjutnya harus saya lakukan?"

"Ambil guci itu. Masukkan air embun yang bisa kau dapat dari tetesan yang ada di dedaunan. Sebelum fajar menyingsing air embun itu sudah harus mencapai dua pertiga ketinggian guci. Jika hal itu sudah kau lakukan, kau akan menerima petunjuk lebih lanjut dan kasut putih akan membawamu ke setiap tujuan sesuai kehendak Yang Maha Kuasa. Satu hal penting kau harus menjaga guci itu baik-baik. Kau harus menganggap guci itu pertaruhannya sama saja dengan nyawamu. Karena kelak guci itu akan menjadi rahim kedua dari satu jabang bayi..."

"Rahim kedua dari satu jabang bayi?" Resi Kali Jagat Ampusena mengulang ucapan mahluk gaib berupa cahaya putih di ambang pintu candi yang dipanggilnya sebagai Roh Putih.

"Resi Kali Jagat, ucapan sudah kau dengar. petunjuk sudah kau dapat. Sekarang laksanakan tugasmu."

Resi Kali Jagat Ampusena kembali rundukkan tubuh dan kepala. "Roh Putih, saya siap melaksanakan tugas."

"Semoga Yang Maha Kuasa melindungi dan memberi pertolongan padamu."

"Terima kasih Roh Putih." Resi berusia seratus tahun itu luruskan tubuh. Ketika memandang ke arah pintu candi, cahaya putih yang tadi ada di tempat itu ternyata sudah lenyap. Si orang tua mengusap wajah beberapa kali. Hatinya tiba-tiba saja membatin. "Apakah barusan aku bukannya bermimpi?" Mata sang Resi kemudian menatap sepasang kasut putih di lantai candi. "Tidak, aku tidak bermimpi." Ucap hatinya meyakinkan diri.

Resi Kali Jagat cepat berdiri. Kasut putih dikenakan pada kedua kaki. Saat itu juga dia merasa tubuhnya seringan kapas. Belum sempat dia melangkah, sepasang kasut putih telah menggerakkan dua kakinya.

"Kasut putih sahabatku, bawa aku segera ke tempat beradanya seratus mutiara putih." Resi Kali Jagat berkata.

Saat itu juga si orang tua merasa tubuhnya terangkat ke udara lalu ketika dia membuat gerakan melangkah ternyata dirinya melayang. Sekejapan saja dia sudah keiuar dari dalam candi dan melayang di udara malam yang dingin. Menatap ke langit dia melihat bulan biru memancarkan cahaya bening dan sejuk. Hujan gerimis telah berhenti.

"Bulan biru di langit Mataram. Aku bisa berjalan melayang seolah terbang. Seratus mutiara putih. Jabang bayi di dalam guci. Kebesaran Yang Maha Kuasa sungguh tidak terjangkau oleh akal semua insan." Resi Kali Jagat Ampusena berucap dalam hati.

DUA

Rombongan yang menjemput Raja Mataram di kawasan rahasia Sumur Api memasuki Kotaraja setelah lewat tengah malam. Di langit bulan purnama empat belas hari berwarna biru memancarkan cahaya lembut dan sejuk. Di depan sekali kelihatan kereta putih yang ditumpangi Raja Rakai Kayu Wangi Dyah Lokapala bersama permaisuri dan putera puterinya yang masih kecil-kecil.

Seperti telah diceritakan daiam episode sebelumnya Bulan Biru Di Mataram kereta putih dikusiri oleh anak buah Raja Jin Hutan Roban, satu mahluk berjubah putih berwajah licin. Di sebelahnya duduk Ratu Randang tampak agak terkantuk-kantuk. perjalanan jauh yang cukup melelahkan serta bayangi rasa takut akan adanya serangan mendadak akhimya sampai juga di tujuan dengan selamat

Ketika rombongan memasuki pintu gerbang halaman istana, mendadak satu ledakan dahsyat menggelegar di halaman belakang Istana. Cahaya angker membersit ke udara dalam bentuk lima larik sinar merah yang pada kedua tepinya ada alur berwarna hitam. Lima sinar bersibak menebar. Satu melesat ke arah atap Istana, dua lainnya menyambar ke arah dua sudut tembok halaman dua lagi menghambur ke arah pohon beringin besar di halaman dalam istana.

Semua kuda penarik kereta dan gerobak meringkik keras. Agaknya mereka melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa. Lima sinar merah bertepi hitam kemudian lenyap. Keadaan serta merta dicekam kesunyian.

Sewaktu ledakan menggelegar, Ratu Randang segera melompat turun dari atas kereta Kakek sakti Kumara Gandamayana yang berada di bagian belakang rombongan cepat melesat ke pintu gerbang, terus memasuki halaman istana Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi berjaga-jaga di kiri kanan kereta putih, mencegah Raja Mataram agar tidak keluar dan turun dari kereta.

"Apa yang terjadi?" Raja bertanya sambil keluarkan kepala dari jendela kereta.

"Belum jelas Yang Mulia," jawab Kunti Ambiri.

"Tadi ada lima cahaya merah bertepi hitam menyusul suara ledakan. Lalu lenyap. Kakek Kumara sedang melakukan penyelidikan."

"Pasti ini pekerjaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah Heran sudah menemui ajal masih mampu gentayangan." Ucap Raja sambil memeluk seorang puterinya yang ketakutan.

"Yang Mulia, saya melihat ada keganjilan." Berkata Ratu Randang. Kalau ini memang serangan datang dari Sinuhun merah mengapa hanya ada lima cahaya merah Biasanya mahluk jahat itu selalu menggempur dengan delapan serangan cahaya sekaligus."

Raja tak bisa menjawab. Justru Sakuntaladewi yang menyahuti. "Mungkin ada sesuatu terjadi. Sebagai sebab akibat kematian mahluk alam roh Sinuhun Merah itu.

"Bisa jadi begitu " Kata Raja pula. Lalu dia bertanya "Apakah Kesatria Panggilan sudah ada di sini ?"

Belum sempat Kunti Ambiri menjawab tiba-tiba orang Abdi Dalem berteriak, "Ada orang bertarung di atas wuwungan Istana!" Semua orang segera palingkan kepala, arahkan pandangan ke atas atap istana. Raja Mataram kembali ulurkan kepala dari jendela kereta putih untuk menyaksikan apa yang terjadi.

Di atas atap Istana satu mahluk aneh yang tubuhnya dikobari nyala api tampak tengah menggempur seorang pemuda berambut panjang yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.

"itu Kesatria Panggilan!" Teriak Raja Mataram. "Dia dalam keadaan terdesak. Lekas dibantu!"

Kumara Gandamayana yang telah kembali ke pintu gerbang memberi tahu Ratu Randang. Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi untuk menjaga Raja Mataram dan keluarganya yang masih berada di daiam kereta serta dua kereta iain di sebelah belakang.

"Kalian tetap disini. Aku akan membantu Kesatria Panggilan." Kata si kakek.

Pada saat itu dari atas atap terdengar suara orang berteriak. "Kunti! cepat keluarkan Raja dan keluarga dari kereta putih! Keluarkan semua orang dari kereta dan gerobak! Cari perlindungan!"

Yang berteriak adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu memang agak terdesak oleh serangan mahluk berapi. Beberapa kali dia melompat dan berjungkir balik di udara untuk mengelakkan serangan ganas. Hawa panas kobaran api yang keluar dari tubuh dan setiap serangan lawan sungguh luar biasa. Membuat Wiro sulit mendekat dan terpaksa menghindari bentrokan langsung dua lengan.

Kumara Gandamayana yang hendak melesat ke atas atap Istana, mendengar teriakan Wiro jadi saling pandang dengan tiga perempuan di depannya.

"Pasti ada sesuatu!" Ucap Kunti Ambiri. Lalu gadis cantik alam roh yang dulu dikenai dengan sebutan Dewi Ular ini mendobrak pintu kereta putih. Raja, Permaisuri dan putera-puterinya segera dikeluarkan. Di belakang kereta putih Sakuntaladewi mengeluarkan keluarga Raja lainnya dari dalam dua kereta. Lebih ke belakang, puluhan orang berserabutan melompat keluar dari kereta dan gerobak.

Baru saja Raja dan Permaisuri serta putera-puterinya keluar dari kereta dan berlindung di balik tembok kukuh pintu gerbang sebelah luar tiba-tiba dari arah pohon beringin besar di depan kanan Istana melesat satu cahaya merah bertepi hitam menyambar! ke arah kereta putih yang tadi ditumpangi Raja Mataram dan kini berada dalam keadaan kosong.

"Awas serangan cahaya merah!" Teriak Ratu Randang. Melihat cahaya merah serangan, si nenek mengira yang menyerang adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah atau kaki tangannya. Maka tidak tunggu lebih lama Ratu Randang segera keluarkan ilmu penangkal. Dengan cepat dia tusukkan delapan jari tangan pada batang pohon besar di sampingnya

"Crasss! Kraakkk...!"

Delapan jari tangan kiri kanan menancap dalam batang pohon. Namun tidak seperti kejadian yang sudah-sudah ilmu penangkal ternyata tidak mempengaruhi serangan cahaya merah bertepi hitam apa lagi mampu meng-hancurkan atau berbalik menyerang mahluk yang melepaskan.

"Oalah" Ratu Randang terkesiap kaget. "Berarti Ini bukan ilmu bersumber pada kesaktian Sinuhun keparat itu. Atau mungkin ada kekuatan baru dalam sinar merah. Aku melihat bagian tepi berwarna hitam! Celakai Apa yang harus aku lakukan?!"

"Blaarr...!"

Ledakan dahsyat menggelegar ketika cahaya merah bertepi hitam menghantam hancur kereta putih dan kuda penariknya. Baik kepingan kereta maupun cabikan tubuh kuda bermentalan ke berbagai penjuru, jatuh di tanah dalam keadaan gosong hitam berkobar api, luar biasa mengerikan!

"Ratu! Kunti, Dewi Kaki Tunggal. Ada dua mahluk jahat berujud manusia api di pohon beringin! Juga pada dua sudut tembok Istana!" Dari atas wuwungan istana Wiro berteriak memberitahu.

Apakah sebenarnya yang telah terjadi...? Ketika ledakan menggelegar dihalaman belakang Istana disusul melesatnya delapan cahaya merah bertepi hitam Wiro yang berada di bagian depan Istana segera menyuruh tiga beias perempuan muda yang ada bersamanya mencari perlindungan di kandang kuda. Karena kalau masih berada di dalam Istana bukan mustahil bangunan itu akan menjadi bulan-bulanan serangan. Wiro melihat bagaimana lima cahaya merah menyebar masing-masing satu ke atas atap, dua ke arah pohon beringin besar dan dua lagi melesat ke atas dua sudut tembok tinggi yang mengelilingi halaman Istana.

"Lima cahaya merah, tidak ada alur kuning tapi justru ada warna hitam di kedua tepinya." Wiro berkata sambil terus memperhatikan. Kemudian dilihatnya tiba-tiba lima cahaya lenyap. "Lima cahaya tidak melakukan serangan. Ini aneh! Pasti akan terjadi sesuatu tidak terduga!" Pikir Wiro.

Maka dia segera terapkan Ilmu Menembus Pandang. Ketika sepasang mata diarahkan ke atas atap Istana kagetlah sang pendekar. Di atas sana dia melihat ada satu sosok aneh dikobari api. Wiro memperhatikan ke jurusan dua sudut tembok halaman Istana, lalu ke arah pohon beringin besar dihalaman Istana.

Di pohon itu dia kembali melihat dua sosok mahluk berkobar api. Mereka membuat gerakan-gerakan mencurigakan, menatap ke arah pintu gerbang. Mahluk diatas atap tiba-tiba membuat gerakan tangan kanan siap hendak melepaskan pukulan sakti jarak Jauh. Yang jadi sasaran ternyata pintu gerbang istana dfmana berada rombongan Raja Mataram yang baru sampai.

"Raja dalam bahaya!" Pikir Pendekar 212.

Tidak menunggu lebih lama Wiro segera melesat ke atas atap Istana. Selagi masih melayang di udara dia sudah lepaskan pukulan Tangan Dewa Menghantam Karang. Dalam melancarkan serangan dia harus berlaku hati-hati agar tidak meleset dan menghancurkan atap Istana.

Ketika gelombang angin dahsyat datang menghantam, mahluk yang dikobari api segera melesat ke udara. Gerakan luar biasa cepat dan begitu pukulan sakti Wiro lewat di bawah dua kaki, mahluk ini segera melesat menyerbu. Agaknya dia sengaja melakukan pertarungan langsung dengan tangan kosong.

Wiro yang cerdik segera maklum kalau kekuatan lawan terletak pada dua tangan yang diselubungi api. Maka dia tidak melayani untuk adu pukul atau bentrokan tangan. Dua tangan dipentang kedepan. Mata menatap tak berkesip. Dari dua tangan mengepul keluar asap putih menebar hawa luar biasa dingin. Begitu hawa dingin menyentuh sosok berapi...

"Desss...! Desss...!" Terdengar letupan keras. Mahluk api tampak sempoyongan.

"Pukulan Angin Es!" Ucap Kunti Ambiri melihat apa yang terjadi dan mengetahui ilmu apa yang dikeluarkan Pendekar 212 untuk menyerang lawan. Mahluk berselubung kobaran api keluarkan suara seperti raungan srigala gurun di malam buta.

TIGA

Kobaran api yang menyelimuti mahluk aneh di atas atap Istana langsung padam. Sosoknya kini terlihat berupa. Mahluk ini tampak menggigil hebat akibat hantaman hawa dingin luar biasa. Rahang menggembung geraham bergemeletakan. Dia berusaha berusaha menggerakkan tangan dan kaki tapi tidak mampu.

Sekujur aurat dan anggota badan membeku. Rambut dan sepasang alis berjingkrak kaku! Ujud yang serba merah dengan cepat diselubungi cairan putih membeku. Sepasang mata walau membeliak besar namun tak dapat melihat karena tertutup cairan putfh luar biasa dingin! Sekujur tubuh kepulkan uap aneh!

Selagi mahluk itu terhuyung-huyung Wiro kirim tendangan kilat ke arah dada. Tendangan ini bukan tendangan biasa karena dilakukan dengan memakai jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung dan dialiri aji kesaktian Harimau Dewa.

Tak ampun mahluk api mencelat mental dari atas atap, jatuh ke tanah. Hebatnya ketika jatuh ke tanah dia masih bisa berdiri di atas dua kaki dan menggembor garang. Namun hanya sebentar. Begitu darah menyembur dari mulut , mahluk ini langsung roboh tergelimpang di tanah dengan mata mencelet dan tak berkutik lagi. Ketika lapisan putih leleh dari sekujur tubuh maka kelihatanlah sosok dan tampang asli sang mahluk.

Ternyata mahluk ini adalah seorang lelaki muda berkulit hitam, muka bulat, hidung besar pesek. Kumara Gandamayana yang melompat memeriksa keadaan orang itu mengusap dagu. Dalam hati orang tua ini berkata.

"Ada yang menyusupkan Ilmu jahat pada orang tak berdosa ini lalu mengendalikan dari jauh. Dia mungkin orang desa yang tidak tahu apa-apa." Si kakek memandang berkeliling lalu cepat kembali ke dekat pintu gerbang dlmana Raja dan yang lain-lainnya berada.

Selagi Wiro menendang mental lawan di atas atap, pada dua sudut tembok yang mengelilingi halaman Istana dan dua pohon beringin besar dimana tadi lenyapnya empat dari lima cahaya merah bertepi hitam, tiba-tiba kelihatan mendekam masing-masing satu mahluk yang tubuhnya dlkobari api.

Didahului lolongan keras dua mahluk menyerbu ke arah pintu gerbang halaman Istana. Berkelebat ke balik tembok tinggi dimana Raja Mataram berada. Dua mahluk lainnya turun ke bawah pohon beringin, bicara berbisik-bisik. Yang seorang berkata.

"Jahanam di atas atap dia memiliki Ilmu pelumpuh yang bisa mengeluarkan selubung cairan sekeras salju membeku! Untung kita dibekali Minyak Cengkih Penangkal Bala. Lekas lumuri sekujur tubuh mulai dari rambut sampai ke kakil" Saat itulah kawan mereka yang bertarung di atas atap Istana dihantam roboh oleh tendangan Wiro hingga mental dan jatuh ke halaman Istana.

Melihat hal ini dua mahluk berselubung kobaran api di bawah pohon Beringin cepat keluarkan sebuah tabung terbuat dari bambu. Penutup tabung dibuka. Isi diguyur ke atas kepala. Benda cair yang bernama Minyak Cengkih Penangkal Bala dilumuri ke atas kepala, wajah, sekujur tubuh sampai ke kaki. Anehnya walau dilumuri cairan minyak kobaran api di tubuh mereka masih terus menyala!

Didahului suara menggembor keras dua mahluk api ini kemudian melesat ke atas wuwungan Istana, tepat ketika Wiro hendak melompat turun guna melindungi Raja dan keluarganya dari serangan dua mahluk api. Raja saat itu dikawal ketat oleh Kumara Gandamayana, Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi.

Sementara itu dua belas orang berjubah putih bermuka licin anak buah Raja Jin Hutan Roban yang sebelumnya diperintahkan oleh pimpinan mereka untuk menjemput dan membawa rombongan Raja Mataram ke Kotaraja, berkumpul di salah satu sudut halaman Istana. Salah seorang dari mereka berkata.

"Kita hanya dapat perintah menjemput rombongan Raja Mataram dan membawanya ke sini. Tugas sebenarnya sudah selesai dan kita boleh pergi. Tapi saat ini Raja Mataram berada dalam keadaan bahaya. Sementara kita tidak dapat perintah untuk melakukan hal lain selain menjemput. Apa yang harus kita lakukan?!"

"Walau tidak ada perintah dari pimpinan, sebaiknya kita membantu mengusir empat mahluk api Itu!" Seorang Jin menyahuti.

"Kalau begitu kita harus bertindak cepat!" Jin muka licin yang bertubuh paling tinggi mengambil keputusan.

"Wuttt! Settt!-settt...!"

Enam anak buah Raja Jin Hutan Roban melesat keatas Istana sementara enam lainnya ke arah dua mahluk api yang berkelebat ke jurusan pintu gerbang, siap untuk menyerang Raja dan keluarganya.

"Dua mahluk api! Kembali ke ujud kalian semula!" "Susul teman kalian yang sudah jadi bangkai!"

Dua Jin muka licin berteriak lalu bersama empat temannya dorongkan dua tangan sekaligus ke arah dua mahluk api yang berada di depan mereka. Enam cahaya putih menderu, menebar bau kemenyan!

Dua mahluk api keluarkan suara meraung keras, balikkan badan lalu membalas serangan lawan dengan pukulan tangan kanan yang menebar cahaya merah menyala bertepi hitam.

"Blarrr! Blarrr! Blarrr...!"

Dua cahaya merah bertepi hitam saling bentrokan di udara dengan enam cahaya putih. Saking hebatnya bentrokan itu tiang pintu gerbang sebelah kiri roboh, bagian tembok halaman runtuh! Dua kereta hancur berantakan, dua kuda penariknya tergelimpang meringkik keras.

Enam mahluk berjubah putih berseru kaget ketika dapatkan diri mereka tergontai-gontai. Sepasang kaki seperti mau leleh. Dan yang membuat mereka berteriak kaget karena tiba-tiba sekujur jubah mereka sudah dikobari api. Bagian dimana seharusnya mulut berada dari Jin muka licin menggembung ke depan lalu terdengar suara meniup keras berulang kali. Kobaran api yang membakar jubah serta merta padam. Jubah yang tadi putih kini tampak hangus dan robek di beberapa bagian.

Baru selamat dari serangan di depan sana enam jin muka putih licin melihat dua mahluk api kembali hendak melancarkan serangan. Kali Ini tidak tanggung-tanggung karena mereka pergunakan dua tangan sekaligus! Benar saja, sekejapan kemudian empat jalur cahaya merah bertepi hitam berkiblat luar biasa ganas!

"Kita berasal dari api neraka! Mengapa takut pada api dunia! Ha ha ha...!"

Salah seorang Jin berjubah dan berwajah putih berseru. Lalu dia kembali berteriak. "Jin Langit Meratap Jin Bumi Menangis!"

Itu adalah salah satu ilmu yang dimiliki anak buah Raja Jin Hutan Roban. Walau hebat namun tingkatannya belum mencapai kesempurnaan. Tiga sosok putih melesat ke udara sambil keluarkan suara seperti orang meratap. Tiga jin lagi lagi jatuhkan diri ke tanah seolah-olah hendak amblaskan tubuh. Dari mulut mereka keluar suara layaknya orang menangis! Yang di atas dorongkan telapak tangan ke bawah, tiga yang dibawah mendorong tangan ke atas!

Dua mahluk api tersentak kaget ketika mendadak sontak merasa seperti ada satu tembok besar menekan Kepala mereka ke bawah sementara di sebelah bawah bumi bergetar dan bergerak ke atas! Sosok api mereka laksana digenceti Serangan empat cahaya merah yang mereka lancarkan bergoyang tak karuan lalu tiba-tiba amblas. Dua mahluk api meraung keras. Mereka seolah mengalami kesakitan hebat Pada hal ini adalah tipuan belaka.

Merasa berhasil menghancurkan serangan tiga mahluk api, enam Jin Putih menjadi lengah dalam kegembiraan mereka. Tiba-tiba tidak terduga dua mahluk api melompat dan mengambang melintang diudara. Ini adalah satu cara untuk menghindari gencetan dari atas dan tekanan dari bawah dibanding jika mereka tetap berdiri. Tubuh kembali mulur panjang seperti semula. Keduanya sentakkan tangan kiri kanan. Empat larik sinar hitam yang sebelumnya berada di dua sisi cahaya merah tiba-tiba muncul kembali dan dengan kecepatan kilat.

"Greekk! Greekk! Greekk...!"

Delapan larik tali hitam bukan hanya melibat enam Jin muka licin hingga tak mampu bergerak tapi sekaligus merupakan benda tajam aneh yang memotong putus tubuh mereka hingga terkutung-kutung di delapan bagian.

Semua orang menyaksikan kejadian yang luar biasa mengerikan itu dengan tengkuk dingin dan jantung serasa copot. Permaisuri dan beberapa perempuan menjerit dan menutup muka. Enam Jin muka licin keluarkan suara menggerung. Walau tubuh mereka terkutung-kutung tapi tak ada darah yang menyembur. Tak ada isi perut yang berbusaian. Kutungan tubuh berubah menjadi asap merah lalu lenyap tak berbekas. Enam Jin muka licin yang masih hidup berteriak marah tapi mereka tidak berani berbuat apa-apa.

Dua mahluk api tertawa bergelak. Tiba-tiba mereka membalikkan tubuh ke arah tembok Istana di sisi kiri pintu gerbang yang roboh. Dua pasang mata merah mendelik besar menatap ke arah tempat Raja Mataram berada.

Rakai Kayuwangi sendiri saat itu sudah bersiap diri dengan keris Widuri Bulan di tangan kanan. Sementara Kumara Gandamayana, Kunti Amblri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi yang sejak tadi berjaga-jaga berjajar berkeliling siap melindungi Raja dan keluarganya.

Tiba-tiba dua mahluk api memekik keras, dua lutut ditekuk, empat tangan dipukulkan ke depan secara berbarangan!

EMPAT

Ketika melihat Raja dalam bahaya Pendekar 212 segera melompat dari atas atap Istana sambil melepas Pukulan Angin Es ke arah dua mahluk api yang menyerang. Namun jarak terlalu jauh. Selain itu di saat bersamaan dua mahluk api lainnya telah melesat ke udara langsung menyerang dirinya.

"Wusss...!"

Dua lidah api berkiblat. Dua mahluk api runcingkan mulut meniup. Dua semburan api menderu menyusul dua lidah api sebelumnya. Kalau dua lidah api pertama melesat ke arah atas kepala Wiro maka dua semburan api rnenyambar ke bagian kaki.

"Kurang ajar. Dua bangsat itu tidak memberi Kesempatan. Mereka membuat serangan mengunci hingga aku tidak bisa melompat ke atas atau terjun ke bawah. Mereka benar-benar inginkan nyawaku! Mereka tidak tahu. Di dalam kecerdikan ada akal..."

Wiro menjejak dua kaki. Tubuhnya naik ke atas lalu mengambang sama datar dengan bagian tertinggi atap Istana. Begitu lidah api lewat diatas dan dibawah tubuhnya, secepat kilat tangan kanan menggebrak melepas Pukulan Angin Es ke arah tiga mahluk api. Kepulan asap putih menebar hawa luar biasa dingin menderu. Dalam jarak yang begitu dekat apa lagi tengah melesat ke udara, dua mahluk api tidak mampu mengelak atau menangkis.

"Desss! Desss...!"

Hawa dingin menyambar dan menggulung tubuh dua mahluk api. Keduanya tampak sempoyongan seperti mau terjungkal dari atas atap. Namun dengan cepat mereka mampu mengimbangi diri. Yang membuat Wiro terkejut, Pukulan Angin Es kali ini tidak membuat api yang menyelubungi tubuh dua lawan menjadi padam, apa lagi melumpuhkan mereka dengan selubung cairan putih dingin menyerupai salju.

Padahal sebelumnya satu mahluk api telah dibuat tak berdaya dengan pukulan yang sama. Ini bukan lain karena kesaktian cairan pelindung berupa Minyak Cengkih Penangkal Bala.

Dua mahluk api tertawa bergelak seolah mengejek. Lalu berbarengan mereka berteriak. "Nyawa! Nyawamu! Kami minta nyawamu pengganti nyawa sahabat kami yang kau bunuh!"

Dua mahluk api lalu memutar tangan masing-masing dalam gerakan aneh. Empat lidah api yang tadi gagal menghantam sasaran kini seperti dibetot tiba-tiba berbafik, berubah membuntal laksana ombak melabrak ke arah Pendekar 212.

"Gila!" Rutuk Pendekar 212. "Dua Setan Alas Kalian susul saja keparat sahabat kalian itu" Teriak Wiro.

Tenaga dalam dikerahkan penuh.Tangan kiri bergerak melepas Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera yang merupakan serangan sekaligus membentengi diri. Lalu dalam waktu bersamaan tangan kanan hantamkan Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.

Dentuman dahsyat menggelegar di udara. Empat lidah api tercabik mental ke udara. Terdengar teriakan-teriakan garang penasaran. Memandang ke depan Wiro tidak melihat lagi dua mahluk api Itu. Mendadak dia merasa ada sambaran angin disertai suara mendesir. Wiro mendongak ke atas. Astaga!

Empat benda aneh berbentuk tali hitam melesat ke arah Wiro dalam gerak luar biasa cepat. Empat tali yang memiliki kekuatan laksana kawat baja ini berasal dari dua cahaya merah serangan pukulan tiga mahluk api. Walau dua cahaya merah berhasil dibuat musnah tercabik-cabik namun empat alur hitam yang mengapitnya tidak mampu dihancurkan. Tali hitam inilah yang sebelumnya telah membabat buntung tubuh enam Jin muka licin! Wiro menyaksikan sendiri kejadian mengerikan Itu! Dan kini agaknya dia akan mengalami nasib yang sama!

"Wutttt! Bettt! Bettt! Bettt...!"

Empat tali hitam dengan cepat melibat sosok Wiro mulai dari leher, tubuh sampai betis! Dua mahluk api saling memberi isyarat, siap untuk menyentakkan empat tali maut yang memiliki kekuatan laksana seutas baja serta ketajaman seperti pedang tipis bermata dual

"Gusti Allah! Kalau memang belum saatnya mati maka selamatkan diri saya! Kalau memang ajal sudah di depan mata, saya pasrah datang menghadapMu" Wiro berseru lalu menyambung ucapan dengan rapalan aji kesaktian ilmu Belut Menyusup Tanah.

Bersamaan dengan itu, karena dua tangannya sudah dilibat empat tali hitam dan tidak mungkin dipergunakan untuk melepas pukulan, dengan cepat Wiro alirkan sebagian tenaga dalam dan hawa sakti ke kepala sambil sepasang mata dipentang.

Aji kesaktian Belut Menyusup Tanah membuat sekujur tubuh Wiro mulai dari kepala sampai ujung kaki menjadi selicin belut berselubung minyak. Sosok Wiro meluncur kebawah, lolos dari libatan empat tali hitam. Bersamaan dengan itu dari sepasang matanya mencuat keluar dua larik cahaya hijau yang saling bersilang. Laksana sebuah gunting raksasa dua cahaya hijau membabat ke arah tiga mahluk api. Ilmu Sepasang Pedang Dewa!

"Crasss! Crasss...!"

Raungan seperti lolongan anjing menggelegar di atas atap bangunan Istana. Dua sosok mahluk api terkutung dua, jatuh menggelinding di atas atap lalu jatuh bergedebuk di halaman samping. Api yang mengobari tubuh mereka lenyap. Dua sosok yang terkutung mengerikan itu berubah ke ujud asli dan berselubung warna hijau pekat Dari wajah ke dua orang itu, walau sudah berubah hijau namun masih bisa disaksikan kalau mereka adalah anak-anak muda berusia belasan tahuni Sungguh sangat mengenaskan!

Ketika lolos dari libatan empat tali maut, sosok Wiro yang diselimuti aji kesaktian Belut Menyusup Tanah meluncur deras ke bawah dan mau tak mau menghantam atap bangunan Istana tanpa bisa dicegah.

"Brakkk...!" Atap jebol. Tubuh Pendekar 212 terperosok masuk ke dalam Istana, jatuh setengah berlutut di lantai batu pualam.

"Gusti Allah! Terima kasih Kau masih memberi umur panjang pada saya!"

Baru saja Pendekar 212 keluarkan ucapan puji syukur seperti itu tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar suara desahan nafas. Sebuah benda meluncur dan berhenti di hadapannya. Benda itu ternyata sebuah bintang kecil bersudut lima berwarna merah pekat, terbuat dari perunggu.

Wiro palingkan kepala ke arah sudut ruangan dari mana tadi datangnya benda berbentuk bintang. Dlsudut sana dia melihat satu sosok samar mengenakan jubah berwarna hijau. Di atas kepalanya ada sebuah benda memancarkan cahaya kuning yang tidak jelas apakah topi, belangkon atau mahkota. Wiro cepat berdiri dan membentak sambil tangan siap melepas pukulan jarak jauh.

"Siapa?!" Wiro membentak. Mata menatap tak berkesip, otak berpikir coba mengenali siapa adanya mahluk di sudut ruangan.

Suara jawaban yang didengar Wiro hanya berupa suara mengiang di kedua telinganya. "Cepat ambil bintang merah bersudut lima. Simpan baik-baik. Jangan bunuh mahluk api ke lima. Jika Raja sudah terselamatkan tancapkan bintang merah ke dalam batok kepala mahluk api ke lima!"

Wiro memandang seputar ruangan lalu kembali menatap ke arah sosok samar hijau. "Aku tidak mengerti apa maksudmu! Kau siapa! Punya niat baik atau jahat!"

Kali ini tidak ada suara jawaban. Sosok samar hijau di sudut ruangan berputar laksana gasing lalu wuuss! Sosok itu lenyap amblas ke lantai ruangan yang terbuat dari batu pualam. Wiro ambil benda berbentuk bintang merah lalu melangkah cepat ke sudut ruangan dimana tadi mahluk samar hijau berada. Di lantai ruangan dia melihat ada sebuah lobang sangat dalam.

"Terowongan Arwah!" Ucap Pendekar 212. "Apakah mahluk tadi bukannya Penguasa Atap Langit Bagaimana dia tahu-tahu bisa berada di sini?"

Wiro tidak dapat berpikir dan menduga-duga lebih lama. Di luar sana terdengar suara teriakan-teriakan riuh dan ringkikan kuda berulang kali. Benda berbentuk bintang sudut dimasukkan ke balik pakaian. Tidak sengaja benda Itu disisipkan di bagian yang sama dimana sebelumnya Wiro menyimpan delapan bunga Matahari kecil.

"Ihhhh! Jangan satukan kami dengan mahluk najis bau amis ini!" Tiba-tiba terdengar jeritan halus. "Ampun! Hueekkk! Aku mau muntah!"

Wiro terperangah. Delapan bunga Matahari kecil. Delapan Pocong Menari! Wiro cepat-cepat keluarkan benda berbentuk bintang lalu dipindah dan dimasukkan pada sebuah celah di sabuk kulit yang melilit di pinggang. Tidak menunggu lebih lama dia kemudian segera keluar dan dalam ruangan.

Begitu keluar dari dalam Istana Wiro melihat di pintu gerbang yang telah runtuh melesat empat larik cahaya merah bertepi hitam. Berarti dua mahluk api sudah melancarkan serangan. Walau dia melihat ada Kumara Gandamayana, Ratu Kandang, Kunti Ambiri dan Dewi Kaki Tunggal sakuntaladewi, namun apakah mereka sanggup nenghadapi serangan lawan dan sekaligus mampu melindungi Raja?

Cerdiknya dua mahluk api membagi serangan sedemikian rupa hingga benar-benar membuat terkejut Wiro dan mereka yang melindungi Raja serta keluarganya.

LIMA

Empat sambaran lidah api menderu ke arah Kumara Gandamayana, Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi. Selagi ketiga orang ini berusaha menghindar sambil balas menghantam dengan pukulan sakti, delapan larik tali hitam yang berasal dari dua tepi pada empat sinar merah didahului suara menggelegar menderu ke arah Raja Mataram dan keluarganya.

Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala cepat babatkan Keris Wlduri Bulan di tangan kanan. Selarik sinar putih berbentuk kipas raksasa membabat di udara.

"Traangg!"

Keris sakti terlepas dari genggaman Raja, terpental jatuh ke tanah, berubah menjadi besi melengkung hitam gosong! Dua tali hitam musnah namun sisanya yang enam terus menggebubu ke arah Raja dan keluarganya yang saat itu terkapar dan bergeletakan di tanah.

Raja Mataram berteriak keras ketika melihat empat tali hitam menyerang ke arahnya sementara dua lagi bergulung ganas menuju permaisuri dan putera-puterinya. Dua orang Abdi Dalem yang hanya memiliki Ilmu silat luar berusaha melindungi Raja dan keluarganya dengan cara nekad yaitu hamburkan diri monyosong serangan tali-tali hitam.

"Bett! Bett! Crasss!"

Tubuh kedua Abdi Dalem itu bertebaran ditanah dalam bentuk kutungan-kutungan mengerikan dan berwarna hitam gosong!

Di saat yang begitu genting Raja berupaya mellndungi diri dan keluarganya dengan pukulan sakti Payung Dewa Mengguncang Badai. Cahaya ungu seperti payung terkembang muncul di udara. Dua lagi serangan tali hitam dapat dimusnahkan. Namun tidak terduga salah seorang mahluk api melesat melewati reruntuhan tombok dan kirimkan satu tendangan ke tangan Raja yang tengah melancarkan pukulan sakti.

"Kraakk!"

Raja Mataram mengeluh tinggi. Tubuh kembali terbanting ke tanah, lengan kanan patah dihantam tendangan! Dalam keadaan seperti Itu dua tali hitam masih terus menderu ke arahnya!

"Celaka! Selamatkan Raja!" Teriak Ratu Randang sementara dia dan yang lain-lain berusaha menahan hantaman empat ildah api dengan serangan balasan. Kumara Gandamayana lemparkan sorban kelabunya berusaha menahan serangan empat tali hitam namun sorban musnah tercabik-cabik lalu musnah jadi debu!

Dari arah Istana Wiro berniat melepas Pukulan Sinar Matahari ke arah dua mahluk api. Namun dia merasa bimbang karena keberadaan dua mahluk api itu dekat sekali dan dalam satu garis lurus dengan kedudukan Raja serta para sahabat. Akhirnya Wiro membuat gerakan berjungkir balik, tubuh melesat ke kiri lalu dari arah samping ini dia baru dapat melepas Pukulan Sinar Matahari. Cahaya putih menyilaukan disertai hamparan hawa luar bias panas berkiblat!

Di saat yang bersamaan dari arah depan Ratu Rendang Kunti Ambiri serta Sakuntaladewi sama-sama pula melepas pukulan sakti menghantam empat lidah api. Dengan demikian keberadaan dan keselamatan Raja Mataram beserta keluarganya telah terlupakan! Justru hal inilah yang rupanya sengaja diciptakan oleh dua mahluk api walau maksud jahat mereka itu akhirnya mengalami kesia-siaan!

Udara di tempat itu dilanda gelegar letusan luar biasa dahsyat. Dua mahluk api terkapar di tanah Kobaran api yang menyelubungi mereka tak kelihatan lagi. Kini terlihat sosok mereka berupa dua pemuda dengan sekujur badan hangus mengelupas. Ternyata mereka masih hidup. Mengerang panjang dan menggeliat-geliat

Melihat hal ini Kunti Ambiri yang tidak sabaran langsung saja melompat dan tendang kepala salah satu dari dua orang itu hingga pecah dan tubuh mencelat mental. Ketika Kunti Ambiri hendak menendang kepala pemuda yang kedua Wiro cepat berteriak.

"Jangan bunuh yang satu itu! Lekas selamatkan Raja"

Kunti Ambiri merasa heran mengapa Wiro melarang dia membunuh mahluk jahat itu. Namun gadis alam roh ini ini mendadak sadar kalau saat Itu Raja Mataram beserta keluarganya tidak lagi terlindungi

"Edan! Kenapa kita semua berlaku tolol melupakan Raja" Teriak Ratu Randang. Bersama sakuntaladewi nenek ini berkelebat ke arah pintu gerbang.

Dalam keadaan luar biasa genting dimana tidak ada lagi kesempatan untuk menolong Raja dan keluarganya dari serangan empat tali hitam, tiba-tiba dari arah tembok Istana sebelah selatan melesat orang berpakaian hijau, rambut tergerai lepas mengambang di udara saking luar biasa cepat gerakannya. Di punggungnya orang ini membekal sebuah buntalan kain hitam. Sambil melesat di udara dia berseru.

"Petir hitam! Mana mungkin ada di dunia inil Tapi aku melihat dengan mata kepala sendiri! Luar biasa! Mengapa para sahabat tidak mau memberi tahu sebelumnya kalau d sini ada petir anehi Hik hik hik..."

Suara yang berseru adalah suara perempuan. Sosok yang melesat di udara berjungkir balik satu kali lalu wutttt! Tahu-tahu dia sudah menghadang di depan empat tali hitam.

"Petir hitam di malam buta! Ada empat! Weehhh! Aku suka"

Lalu sulit dipercaya tetapi nyata, orang berpakaian hijau kembangkan dua tangan. Dengan gerakan aneh dia berhasil menangkap ujung delapan tali hitam lalu dengan kecepatan luar biasa dia melesat ke udara sambil membuntal delapan tali hitam yang disangkanya petir.

"Jaka Pesolek!" Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi sama berseru berbarengan!

"Hik-hik-hik...! Ini memang aku! Tapi jangan bicara dulu! Aku lagi asyik! Ini petir paling aneh yang pernah aku lihat seumur hidup!" Orang yang membuntal empat tali maut hitam berteriak menyahuti!

ENAM

Orang berambut hitam panjang berpakaian hijau memang adalah gadis bernama Jaka Pesolek yang selama Ini dikenal sebagal satu-satunya manusia memiliki kepandaian aneh luar biasa. Yaitu mampu menangkap petir. Dengan gerakan kilat Jaka Pesolek kembangkang dua tangan lalu...

"Settt-Settt-Settt-Settt...!"

Empat ujung tali hitam tahu-tahu sudah berada dalam cekalannya lalu dengan kecepatan luar biasa dibuntal demikian rupa malah digulung-gulung ke tubuhnya sendirl seperti bermain-main!

"Petir jelek! Tidak ada apa-apanya!" Si gadis berteriak lalu dia melesat ke arah sebuah pohon besar di kiri luar tembok istana. Tubuh diputar.

"Retttt...!"

Empat tali hitam yang menggulung tubuh terbuka lalu dengan cepat ganti digulung ke batang pohon. sambil tertawa haha-hihi Jaka Pesolek melayang turun ke tanah. Mulutnya lagi-lagi berucap.

"Petir jelek! Tidur saja kalian di batang pohon itu! Sialan! Hanya membuang-buang waktuku saja!" Baru saja si gadis keluarkan ucapan tiba-tiba...

"Greekk-Greekk-Greekk-Greekk!"

Empat tali hitam yang digulung pada batang pohon bergeletar keras seperti ada yang menyentakkan. Di lain kejap batang pohon putus di tiga tempat lalu tumbang dengan suara bergemuruh. Empat tali hitam melesat ke udara, membentuk asap lalu lenyap dari pandangan mata di malam gelap!

Wajah cantik Jaka Pesolek berubah pucat menyaksikan apa yang terjadi dengan batang pohon. "Kalau aku yang mengalami! Oala!" Si gadis cepat tekap bagian bawah perutnya. Lalu dia meraba ke belakang, memegang bungkusan kain hitam yang dipanggulnya. "Aku harus cepat pergi dari sini Sebagian waktuku sudah lenyap percuma gara-gara petir hitam sialan itu!"

Wiro cepat melompat ke arah tembok dekat pintu gerbang yang runtuh. Saat itu dikelilingi oleh Permaisuri dan anak-anak serta beberapa orang Abdi Dalem, Raja Mataram berusaha berdiri sambil bersandar ke bagian tembok yang masih utuh. Tangan kanan terkulai ke bawah karena patah di bagian lengan akibat tendangan salah satu mahluk api.

"Yang Mulia, izinkan saya mengobati lengan Yang Mulia yang patah." Berkata Wiro begitu sampai di hadapan Raja Mataram.

"Terima kasih. Aku lebih suka kalau bisa masuk dulu ke dalam Istana bersama semua orang yang ada di sini sekarang juga." Jawab Raja Mataram.

"Jangan dulu masuk Istana. Saya kawatlr masih ada mahluk atau orang jahat di sekitar sini yang secara tak terduga bisa melakukan serangan lagi." Jawab Wiro pula.

Raja Mataram terdiam sejurus. Sepasang mata menatap ke arah kejauhan. Orang-orang itu, mengapa mereka mengejar gadis yang tadi telah menolongku."

Berkata Raja sambil menatap ke arah Jaka Pesolek yang berlari meninggalkan tempat itu tapi dicegah dan berusaha dikejar oleh Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi. Sebenarnya dengan kecepatan gerakan kilat yang dimilikinya Jaka Pesolek tidak mungkin akan terkejar. Namun akhirnya di satu tempat si gadis hentikan lari, menunggu kedatangan tiga orang yang mengejarnya.

"Hai...! Kalian bertiga, mengapa mengejarku?" Bertanya Jaka Pesolek.

"Gadis gendeng! Masih bisa bertanya! Waktu di tepi telaga yang ada air terjunnya, kau tiba-tiba lenyap begitu saja!" Berkata Ratu Randang.

Kunti Ambiri mendekati Jaka Pesolek lalu berkata. "Waktu itu aku memberikan sehelai pakaian hijau padamu pengganti pakaian merahmu yang robek amburadul tak karuan. Waktu itu kau pergi ke balik semak belukar untuk berganti pakaian. Lalu kami mendengar suara teriakanmu minta tolong. Begitu kami menyelidik ke balik semak belukar, kau tidak ada lagi di tempat itu. Apa yang terjadi? Nyatanya kau sekarang mengenakan pakaian yang aku berikan."

"Anu, anu...panjang ceritanya. Waktuku sangat berharga. Apa kalian tidak lebih mementingkan menolong Raja dan keluarganya lebih dulu? Aku harus pergi."

"Kalau kau berani pergi sebelum memberi keterangan, aku tarik anu mu sampai putus!" Kunti Ambiri mengancam dan ulurkan tangan ke bawah perut Jaka Pesolek.

Si gadis cepat bersurut mundur sambil tekap auratnya sebelah bawah. Sambil senyum-senyum dia berkata. "Jangan ditarik, apa lagi sampai putus! Nanti aku tidak bisa jantan tidak bisa betina iagi! Hik hik hik!"

"Sahabat Jaka Pesolek, kau membawa bungkusan kain hitam! Apa isinya?" Bertanya Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal.

"Anu... anu..."

"Anu... anu! Mengapa kau sekarang bicara seperti itu! Menyebut anu anu terus-terusan?!" Sentak Ratu Randang.

"Anu, eh maksudku Nek, bungkusan ini isinya benda luar biasa berharga. Ada sangkut paut dengan si anu yang menemuiku di balik semak belukar ketika aku tengah berganti pakaian."

"Gadis sial! Siapa si anu yang kau maksudkan?" Tanya Ratu Randang kesal dengan mata mendelik.

"Dia... Itu lelaki gagah yang menemuiku di balik semak belukar. Kulitnya putih, wajahnya jernih. Dia tampan sekali. Jubahnya sama warnanya dengan pakaian yang aku kenakan. Di kepalanya bertengger semacam mahkota aneh berbentuk atap rumah terbuat dari emas."

Ratu Randang. Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi saling pandang. "Teruskan ceritamu," kata si nenek pula.

"Lelaki itu apik dan gagah. Tapi sayang ketika aku diam-diam meraba ke bawah perutnya ternyata di bagian itu cuma licin-licin saja. Berarti walau penampilan sebagai seorang lelaki gagah, dia sebetulnya bukan laki-laki karena tidak punya anu!"

"Masakan kau berani melakukan itu?" Ujar Sakuntaladewi.

"Ih, aku ini kan cantik. Mana ada lelaki yang tidak mau aku poles anunya. Hik hik hik..."

"Jaka Pesolek! Jangan berceloteh tak karuan. Ceritakan apa yang telah terjadi?" Kunti Ambiri berkata setengah membentak.

Jaka Pesolek senyum-senyum lalu menuturkan. Waktu aku berada di balik semak belukar, dalam keadaan nyaris bugil karena tengah berganti pakaian tiba-tiba si anu itu muncul! Tentu saja aku menjerit melihat ada orang gagah berada dihadapanku. Aku merinding, tapi merinding senang. Hik hik hik!"

"Kau pasti merayunya!" Tuduh Ratu Randang pula.

"Kalau saja kalian tidak ada di dekat telaga, mungkin hal itu aku lakukan. Hik-hik-hik... Belum sempat aku mengenakan pakaian hijau yang diberikan sahabat Kunti Ambiri, lelaki itu merangkul pinggangku. Aku dipanggul lalu dilarikan ke satu tempat. Ternyata dia tidak bermaksud jahat Lebih dulu dia menyuruhku berpakaian. Kemudian dia mengatakan kalau sangat membutuhkan pertolongan seseorang yang mampu bertindak cepat seperti diriku. Dia minta aku mencari seorang bernama Ken Parantili.."

"Astaga! Itu adalah selir pertama dari Penguasa Atap Langit!'' Kata Kunti Ambiri terkejut.

"Betul sekali!" Menyahut Jaka Pesolek. "Dan lelaki gagah itu adalah sang Penguasa sendiri!"

Kembali tiga orang di hadapan Jaka pesolek saling bertatap pandang.

"Pertolongan apa yang diinginkan Penguasa Atap Langit?" Sakuntaladewi bertanya.

"Dia memberikan bungkusan ini padaku." Jaka Pesolek turunkan bungkusan kain hitam di punggung. Lalu dia melangkah mendekati tiga orang dihadapannya sambil membuka bungkusan kain hitam.

Sakuntaladewi, Ratu Randang dan Kunti Ambiri ulurkan kepala, melihat isi bungkusan kain hitam. Di dalam bungkusan terdapat sebuah keranjang terbuat dari anyaman daun pisang segar dan hijau.

Perlahan-lahan Jaka Pesolek membuka penutup keranjang. Walau keadaan agak gelap tapi jelas terlihat di dalam keranjang daun pisang itu ada air. Lalu di dalam air ada sebuah benda aneh, lebih besar sedikit dari kepalan tangan manusia, berwarna merah dan tiada henti berdenyut

"Benda apa itu?" Tanya Ratu Randang sementara Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri tentu saja ingin tahu pula.

"Jantung! Jantung manusia!" Jawab Jaka Pesolek.

Tiga orang di hadapan si gadis bersurut mundur. Wajah berubah.

"Edan!" Rutuki Ratu Randang.

"Jangan bicara ngacok!" Hardik Kunti Ambiri.

"Aku tidak edan! Aku tidak bicara ngacok! Ini Jantung manusia! Jantungnya Ken Parantili Selir pertama Penguasa Atap Langit!"

Mendengar ucapan Jaka Pesolek, Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi meski masih belum percaya tetap saja mereka merasa tengkuk masing-masing menjadi merinding dingin!

"Aneh, mengapa Penguasa Atap Langit memberikan jantung Ken Parantili padamu?" Tanya Ratu Randang. "Apa mau diserahkan pada Kesatria Panggilan atau seseorang yang menjadi musuhnya?"

TUJUH

"Apa kalian tidak ingat cerita yang pernah dituturkan sahabat Kesatria Panggilan? Penguasa Atap Langit selalu mencopot jantung setiap selirnya lalu disimpan di satu tempat rahasia. Alasannya agar para selir tidak bisa meninggalkan Negeri Atap Langit. Karena kalau itu mereka lakukan maka dalam waktu tiga hari mereka akan menemui kematian. Tapi Ken Parantili berlaku nekad. Dia kabur dan tak perduli dengan jantungnya. Berarti dia juga tidak takut mati. Penguasa Atap Langit rupanya menaruh kasihan lalu mengambil jantung selirnya dari tempat rahasia. Jantung ini harus bisa masuk kembali ke dalam tubuh Ken Parantili dalam waktu tiga hari. Kalau tidak, maka selir itu akan menemui ajal. Penguasa Atap Langit meminta aku menolong mencari selir itu karena aku bisa bergerak cepat."

"Ada manusia tidak berjantung! Hidup lagi! Tidak bisa kupercaya. Sulit masuk akali" Ucap Kunti Ambiri sambil geleng-geleng kepala.

"Jangan berkata begitu. Waktu di puncak Gunung Semeru kita semua menyaksikan bagaimana Ken Parantili membelah dada lalu memperlihatkan bagian jantungnya yang kosongi" Berkata Jaka Pesolek.

"Itu betul, tapi tetap saja sulit dipercaya. Bagaimana manusia bisa hidup tanpa jantung." Ujar Kunti Ambiri pula.

"Lalu sekarang kau mau melakukan apa? Mencari selir itu?" Tanya Ratu Randang.

Jaka Pesolek mengangguk. "Kau bisa berkelebat ke delapan ujung dunia dalam sekejapan mata. Tapi kau tidak tahu selir itu berada dimana." Kata Kunti Ambiri.

"Betul. Tapi Penguasa Atap Langit memberikan sesuatu padaku untuk dipergunakan menjajagi dimana beradanya Ken Parantlli."

Jaka Pesolek tutup keranjang daun pisang lalu dengan hati-hati membungkus kain hitam. Bungkusan lalu dipangggul di bahu kiri. Dari balik pakaian hijaunya Jaka Pesolek kemudian mengeluarkan sejumput rambut hitam dalam keadaan tergulung.

"Itu bulu ketekmu?"! Tanya Ratu Randang dengan mulut dipencongkan.

"Gila kau Nek. Kalaupun aku punya bulu ketek masakan sampai sebanyak dan sepanjang ini?" Ujar Jaka Pesolek.

"Lalu itu apanya siapa?"!" Bertanya Kunti Ambiri.

"Ini gulungan rambut Ken Parantili. Rambut ini sudah dirapal oleh Penguasa Atap Langit Katanya jika Ken Parantili berada dalam jarak dua ratus langkah maka rambut ini akan memberi tanda. Rambut akan meringkal bergerak ke atas lalu melesat ke arah dimana beradanya selir itu."

"Kalau semudah itu mencari Ken Parantili mengapa tidak dilakukan sendiri oleh Penguasa Atap Langit?" Ujar Sakuntaladewi.

"Menurut pengakuan Penguasa Atap Langit dia tidak mungkin melakukan hal itu. Karena pada jarak tertentu Ken Parantili mampu mencium bau tubuhnya. Begitu mencium pasti dia akan melarikan diri. Seumur-umur Penguasa Atap langit tidak akan mampu mencari dan menemukan selirnya itu. Selain itu sang Penguasa mempunyai pantangan. Tidak boleh berada di luar Negeri Atap Langit lebih dari dua kali matahari terbit"

"Mahluk bernama Penguasa Atap Langit itu punya enam belas selir Kehilangan satu saja mengapa dia sampai kalang kabut mengejar dan membawa jantungnya!"

"Nek, kau ini seperti tidak tahu saja. Dimana-mana ada orang punya banyak selir. Tapi pasti ada satu yang paling disayang. Nah bisa saja Ken Parantili memang kesayangannya Penguasa Atap Langit" Kata Jaka Pesolek pula.

"Tahu dari mana kau?!" Tukas Ratu Randang sambil pencongkan mulut.

"Nek, ada ujar-ujar begini. Seseorang baru tahu betapa sayangnya dia pada sang kekasih, pada saat sang kekasih tidak lagi menjadi miliknya. Entah mati, entah minggat entah kabur sama lelaki lain"

"Hebat juga bicaramu!" Kata Ratu Randang lalu melirik ke arah Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi.

"Nek, Kunti, Sakuntaladewi aku pergi sekarang. Kalau tugasku sudah selesai aku pasti akan mencari kalian..."

"Tunggu, jangan pergi dulu. Kau kami perlukan di sini." Berkata Kunti Ambiri.

"Sudah banyak orang gagah dan hebat di tempat ini Lagi pula aku telah menerima permintaan orang untuk menolong. Mana mungkin mau mengingkari. Lebih baik para sahabat cepat membantu Raja dan orang-orang di pintu gerbang. Masakan kalian tega membiarkan Kesatria Panggilan bekerja sendiri " Jaka Pesolek kedipkan mata lalu segera tinggalkan orang-orang itu.

"Kalau tidak ada urusan besar di Kotaraja, rasanya aku mau mengikuti gadis aneh itu. Mau tahu apa yang bakal kejadian." Kata Kunti Ambiri.

"Yang jadi pertanyaan, gadis itu dijanjikan apa oleh Penguasa Atap Langit sampai-sampai mau berkeliaran kesana-sini membawa jantung manusia. Pasti ada satu imbalan yang menarik..." Ucap Ratu Randang.

"Mungkin janji boleh mengusap...." Menyahuti Kunti Ambiri dengan wajah agak cemberut.

Lalu Kunti Ambiri mendahului lari ke arah pintu gerbang diikuti Sakuntaladewi dan Ratu Randang dimana Wiro berada bersama Raja dan keluarga serta para pengikut.

Karena Raja Mataram tetap memaksa masuk ke dalam Istana, Wiro akhirnya berkata. "Yang Mulia, saya minta diberi waktu. Saya akan melakukan sesuatu. Lalu memeriksa keadaan Istana. Jika segala sesuatunya memang aman, saya akan kembali memberi tahu. Tapi apakah Yang Mulia tidak mau mengizinkan lebih dulu agar saya mengobati tangan Yang Mulia yang patah?"

Mendengar ucapan Wiro Ratu Randang cepat mendekati dan berbisik. "Kau mau berbuat konyol apa? Kau bukan tabib bukan dukun! Bagaimana mau mengobati tangan Raja? Untuk menyambung tulang lengan yang patah itu perlu waktu paling sedikit sepuluh hari! Kalau kau memang mampu melakukan, kau benar-benar orang hebat!"

"Seorang nenek di Negeri Matahari Terbit bernama Nenek Neko pernah memberikan ilmu padaku. Ilmu mematah dan menyembuhkan tulang. Mudah-mudahan dengan kehendak Gusti Allah aku bisa menolong Raja. Kalaupun tidak aku tetap puas karena sudah berikhtiar." Menerangkan Wiro.

"Hemm....Rupanya kau banyak punya sahabat nenek sepertiku. Pasti si Nenek Neko itu orangnya cantik!"

Wiro tertawa. Lalu dia berkata. "Nek, baiknya kau bantu membujuk Raja agar dia mau kutolong."

"Tak usah kawatir. Aku akan mencoba. Tapi mengapa kau tidak mempergunakan kesaktian delapan bunga Matahari saja?" Ujar si nenek pula.

"Kalau itu maumu akan kucoba."

Ratu Randang mendatangi Raja yang saat itu duduk di tanah, bersandar ke tembok halaman. Tangan kanan yang patah diletakkan di atas pangkuan paha kanan, dibalut dengan sehelai kain. Setelah bicara dan dibujuk oleh Ratu Randang ternyata Raja Mataram kini bersedia ditolong oleh Wiro.

Dari balik pakaiannya Wiro segera keluarkan delapan bunga Matahari kecil. "Maafkan saya Yang Mulia. Akan saya coba menolong dengan bunga sakti ini lebih dulu."

Mendadak terdengar suara alunan gamelan di kejauhan disusul suara mengiang ke telinga Wiro yang juga didengar oleh Raja Mataram, Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi.

"Kami minta maaf beribu maaf. Kemampuan kami menolong hanya tinggal satu kali yaitu untuk membebaskan guru Kesatria Panggilan. Kalau kali ini kami menolong walau tidak muncul memperlihatkan diri, maka kami tidak mungkin melakukan pertolongan lagi."

DELAPAN

Semua orang, termasuk Raja Mataram terkesiap mendengar suara mengiang itu. Wiro sendiri jadi tertegun dan menggaruk kepala. Delapan bunga Matahari dipandangi beberapa lama. Lalu terdengar sang pendekar berkata.

"Delapan bunga Matahari, sahabatku Delapan Pocong Menari, saat Ini Yang Mulia Raja Mataram sangat membutuhkan pertolongan. Tendangan mahluk api tadi agaknya bukan tendangan sembarangan. Aku melihat ada bagian daging lengan yang menggembung biru pertanda tendangan mengandung racun jahat. Jika tangan yang patah tidak segera diobati, racun jahat bisa saja menyebar lebih cepat. Kalau racun sampai ke jantung nyawa Yang Mulia Raja Mataram mungkin tidak bisa tertolong lagi."

Semua orang terkejut mendengar ucapan Wiro itu. Ternyata Wiro lebih mementingkan Raja Mataram dari menyelamatkan gurunya. Raja Mataram sendiri letakkan tangan kiri di atas dada, wajah tampak haru. Sepasang mata menatap Wiro tak berkesip.

Kemudian terdengar lagi suara mengiang. "Kesatria Panggilan, jika itu keinginanmu mana kami berani menolak. Kami akan segera menolong. Kau tinggal mengusapkan diri kami di atas cidera di tangan kanan Raja Mataram. Maka setelah tugas dan pertolongan kami selesai kami akan bermohon diri. Kami tidak akan muncul lagi untuk selama-lamanya. Lalu siapa kelak yang akan menyelamatkan gurumu?"

"Gusti Allah pasti akan menolong beliau." Jawab Wiro tanpa keraguan.

Ratu Randang melangkah mendekati Wiro lalu berbisik. "Jika kau memang punya ilmu lain, sebaiknya Ilmu itu dulu yang dicobakan. Tadi aku menyuruh kau mempergunakan bunga itu karena sudah tahu pasti kesaktiannya. Bukan maksudku merendahkan ilmu kesaktianmu yang lain. Cepat kau pergunakan Ilmu yang kau dapat dari si nenek Neko Neko itu!"

"Nekonya cuma satu kali saja Nek," kata Wiro.

"Sudah, itu saja jadi persoalan. Lekas tolong Yang Mulia Raja Mataram." Kata Ratu Randang sambil tersenyum dan kedipkan matanya yang juling.

Setelah meminta izin terlebih dulu Wiro membuka kain yang membalut lengan kanan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Lalu tangan kanan diletakkan di atas lengan yang patah. Lima jari dikembang lalu meremas tiga kali berturut-turut

"Kreekk! Kreekkk! Kreekkk!"

Raja Mataram menjerit setinggi langit Rasa sakit luar biasa membuat kaki kanannya tak sengaja menendang ke depan.

"Dukkk...!"

Tendangan mendarat telak di dada Pendekar 212 Membuat Wiro terpental, jatuh duduk di tanah, cepat ditolong Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi. Untungnya tendangan Raja Mataram dilakukan hanya dengan kekuatan luar tanpa tenaga dalam. Walau Wiro merasa sakit namun tidak ada bagian tubuh yang cidera. Hanya wajahnya tampak sedikit pucat karena terkejut tidak menyangka bakal mendapat hadiah tendangan!

Sehabis menjerit keras tiba-tiba Raja Mataram berseru. "Hyang Jagatnatha Bathara Agung! Lihat! Tanganku yang patah sembuh!" Raja berseru sambil angkat tangan kanannya ke atas, gembira tapi juga seperti tidak percaya. Tangan yang telah bersambung kembali diusap lalu dipijat-pijat. Tiba-tiba dari tangan yang tulangnya sudah bersambung kembali itu mengucur keluar cairan hitam kebiruan. Raja tersentak kaget.

"Tidak apa-apa Yang Mulia. Tak usah kawatir. Racun jahat dalam tubuh Yang Mulia sudah keluar," kata Wiro memberi tahu.

"Kesatria Panggilan aku sangat berterima kasih padamu!" Raja merangkul Wiro yang saat itu telah berdiri sambil usap-usap dadanya yang tadi kena tendangan. Sambil memeluk Wiro, Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala berkata. "Maafkan tendangan tadi. Aku tidak sengaja. Rasa sakit yang menyembuhkan itu seperti tombak api yang ditancapkan dibatok kepala..."

"Kalau cidera Yang Mulia tidak mengindap racun, sebenarnya hal itu tidak akan terjadi..."

"Aku tetap berterima kasih atas pertolonganmu. Kau benar-benar luar biasa!"

"Yang Mulia, Yang Maha Penyembuh telah menunjukkan kekuasaanNya. Bukan saya." Ucap Wiro pula.

"Gusti Allah mu?" Tanya Raja Mataram.

Wiro tersenyum lalu anggukkan kepala. Semua orang yang menyaksikan kejadian itu sejak tadi terkejut kagum sekaligus gembira. Ratu Randang saking girangnya saat itu sebenarnya ingin sekali memeluk dan mencium sang pendekar tapi terpaksa menahan diri sambil senyum-senyum. Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi saling berpegangan tangan pertanda mereka juga merasa gembira melihat kesembuhan Raja Mataram.

"Yang Mulia, seperti kata saya tadi ada sesuatu yang harus saya lakukan. Harap Yang Mulia dan keluarga sudi menunggu sebentar di tempat ini."

Dengan cepat Wiro masuk ke dalam halaman Istana. semua orang termasuk Raja Mataram tidak dapat menahan rasa ingin tahu apa Sebenarnya yang hendak dilakukan Wiro. Mereka semua segera mengikuti tapi menjaga jarak agak jauh di sebelah belakang sang Pendekar.

SEMBILAN

Wiro melangkah cepat menghampiri mahluk api yang masih hidup dan saat itu terkapar di halaman Istana dalam ujud seorang pemuda belasan tahun yang keadaannya sangat mengenaskan. Sekujur tubuh mengelupas hangus. Mulut mengerang tiada henti dan sesekali tangan serta kaki melejang-lejang. Agaknya umurnya tak bakal lama. Wiro letakkan tangan kiri di atas dada si pemuda lalu kerahkan tenaga dalam disertai aliran hawa sakti. Suara erangan lenyap.

"Pemuda malang, katakan siapa dirimu!"

Sepasang mata orang yang ditanya bergerak sedikit, menatap sayu ke arah Wiro, mulut tidak memberi jawaban. Wiro lipat gandakan aliran tenaga dalam dan hawa sakti. Mata itu tampak membuka membesar.

"Ada orang yang memasukkan ilmu jahat ke dalam tubuhmu! Lalu menguasai dan mengendalikan dirimu. Kau diperintah untuk membuat keonaran di Istana Kerajaan Mataram. Kau pasti diperintah membunuh Yang Mulia Raja Mataram! Betul?!"

Mulut tak menjawab tapi sepasang mata si pemuda mengedip perlahan.

"Katakan siapa orang yang melakukan semua itu?!" Wiro kembali bertanya.

Mulut si pemuda membuka, bukan untuk mengeluarkan suara tapi batuk-batuk beberapa kali lalu semburkan darah hitam! Mata membelalak beberapa saat Tubuh menggeliat dan tangan kiri kanan melejang-lejang.

Wiro menunggu sampai pemuda itu tenang. Kalau tadi dia alirkan hawa sakti hangat maka kini diganti dengan aliran hawa sejuk. Muka yang melepuh dari si pemuda tampak agak bercahaya

"Lekas katakan siapa orang yang telah mencelakai dirimu!" Wiro bertanya sekali lagi.

Si pemuda menatap kosong ke langit kelam di atasnya. Kepala digeleng perlahan. Mulut tak kunjung mengeluarkan suara. Wiro lantas keluarkan bintang perunggu bersudut lima berwarna merah pekat yang diberikan oleh mahluk samar hijau di dalam Istana yang diduganya adalah Penguasa Atap Langit.

"Jangan bunuh mahluk api ke lima. Jika Raja sudah diselamatkan tancapkan bintang merah ke dalam batok kepala mahluk api ke lima..."

Wiro ingat betul ucapan mahluk hijau di dalam Istana. Tidak tunggu lebih lama dia segera ulurkan tangan kanan yang memegang bintang perunggu merah. Sepasang mata si pemuda kelihatan membeliak besar ketika sekilas sempat melihat benda tersebut. Mulut tiba-tiba keluarkan suara meracau, tak jelas apa yang dikatakan. Wiro letakkan bintang perunggu merah tepat di atas ubun-ubun si pemuda. Dengan mengerahkan sedikit tenaga dalam bintang perunggu merah ditekan hingga...

"Desss...!"

Bintang merah melesak masuk ke dalam batok kepala si pemuda. Asap merah mengepul. Dari mulutnya keluar suara meraung aneh. Bukan menyerupai suara anjing atau srigala tapi merupakan suara ngeongan kucing.

Wiro, Raja Mataram dan semua orang yang ada di tempat itu tercekat kaget ketika tiba-tiba seekor anak kucing merah melesat keluar dari batok kepala yang barusan ditembus bintang merah. Anak kucing ini mengeong keras tiga kali, melompat ke udara setinggi tiga tombak.

Hebatnya dari empat jurusan lain tiba-tiba melesat pula empat anak kucing merah. Kelima anak kucing saling bergabung di udara, membentuk lingkaran dan melayang berputar sampai lima kali lalu wuttt! Kelima binatang itu melesat ke atas, lenyap di langit gelapi

"Lima dari delapan Sukma Merah! Pasti!" Ucap Ratu Randang.

Keanehan tidak cuma sampai di sana. Begitu lima anak kucing merah lenyap di langit sosok pemuda yang terkapar di tanah tiba-tiba menjerit keras lalu bergerak duduk. Dada turun naik seolah ada yang hendak meledak di dalam tubuhnya. Kulit yang gosong hitam mengelupas berubah ke bentuk asli tanpa cidera sedikitpun. Wajahnya kini terlihat jelas. Ternyata dia seorang pemuda lugu berusia sekitar delapan belas tahun.

Wiro cepat ulurkan tangan kanan memegang bahu si pemuda sambil alirkan tenaga dalam dan hawa sakti sejuk. "Tenang, tenang. Sekarang kau pasti bisa bicara. Katakan apa yang terjadi dengan dirimu. Siapa orang yang memasukkan ilmu jahat ke dalam dirimu! Siapa yang mengendali dan memerintahkanmu menyerang Istana dan berniat membunuh Raja Mataram."

"Hek!" Si pemuda keluarkan suara tercekik.

Wiro cepat menotok urat besar di leher si pemuda. Sementara Raja Mataram, Ratu Randang, Kunti Ambiri. Sakuntaladewi dan Kumara Gandamayana serta beberapa Abdi Dalem sudah berada di situ, mengelilingi Wiro dan si pemuda.

"Bicara! Ayo cepat bicaral" Wiro kerahkan lebih banyak tenaga dalam.

Mulut si pemuda akhirnya terbuka sedikit. Dari mulut itu meluncur suara bergetar dan agak terputus-putus. "Jen... Jenazah Sim... Jenazah Simpanan..."

"Jenazah Simpanan?! Mahluk apa itu? Siapa dia?!" Tanya Wiro.

Si pemuda menggeleng. "Dimana kami bisa menemukan mahluk bernama Jenazah Simpanan itu!"

"An... antara tuj... tujuh lapis langit dan tujuh lap... lapis bumi..."

"Antara tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi Edan!" Maki Ratu Randang.

"Kalau dia tidak mau menerangkan dengan jelas biar aku bunuh saja!" Mengancam Kunti Ambiri lalu menjambak rambut si pemuda. "Ayo lekas bicara! Atau aku betot sampai copot kepalamu!"

Tiba-tiba terasa ada sambaran angin. Dari tenggorokan si pemuda saat itu juga keluar suara mengorok. Disusul cairan membusah. Lalu sepasang mata mendelik dan nafas menyengai. Lidah mulai terjulur. Dua tangan bergerak ke leher, membuat gerakan seolah-olah menyingkirkan sesuatu yang mencekiknya!

"Ada mahluk tak terlihat mencekik pemuda ini!" Bisik Ratu Randang.

Wiro cepat berdiri sambil memberi isyarat pada si nenek, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi sementara Kumara Gandamayana cepat membawa Raja Mataram menjauhi tempat itu.

"Hekk... kreekkk...!"

Sebelum semua orang bisa bertindak menyelamatkan tiba-tiba batang leher si pemuda berderak patah dan kepalanya terkulai ke kiri.Mata mencelet, lidah terjulur...

"Kreekkk! Kreekkk...!"

Sekujur tubuh si pemuda kelihatan remuk mengerikan. Dalam keadaan hancur tubuh ini kemudian roboh ke tanah!

"Kurang ajar!" Wiro yang tadinya hendak mengerahkan Ilmu Menembus Pandang untuk melihat mahluk apa yang mencelakai si pemuda tidak mau membuang waktu lagi. Serta merta dia merapal aji pukulan Harimau Dewa. Kunti Ambiri dan Ratu Randang tidak tinggal diam. Keduanya juga menghantam ke arah sasaran tak terlihat yang dipukul Wiro.

"Braakkk...!"

Tiga pukulan sakti seolah menghantam tembok tebal. Terdengar suara bergemuruh lalu...

"Bukkk...!"

Dua belas langkah dari hadapan orang-orang Itu tersungkur menggeletak satu sosok tubuh mengenakan jubah hitam. Ketika semua mendatangi, termasuk Raja Mataram, ternyata orang itu adalah seorang kakek berambut, berkumis dan berjanggut ungu. Di keningnya ada satu benjolan sebesar telur burung dara juga berwarna ungu. Meski jelas-jelas tadi tiga pukulan sakti menghantam tubuhnya yang semula tidak kelihatan, namun si kakek sedikitpun tidak mengalami cidera. Hanya sepasang matanya saja yang kelihatan tertutup.

"Resi Jingga Anthasana..." Berucap Ratu Randang.

"Ratu, kau kenal orang ini?" Tanya Raja Mataram.

"Dia Resi sesat bermukim di lereng timur Gunung Sumbing. Sejak beberapa waktu silam saya ketahui dia telah diusir oleh para Resi Sesepuh dari pemukiman..."

"Kalau dia Resi sesat berarti pasti dia telah berkomplot dengan mahluk jahat lain yang telah menguasai dirinya. Aku curiga ini lagi-lagi perbuatan dua Sinuhun keparat itu, dibantu oleh Dirga Purana si bocah sialan!" Wiro berkata setengah memaki.

"Memang tidak ada tanda-tanda cahaya merah atau kuning atau hitam pada Resi ini. Juga sewaktu dia membunuh pemuda itu. Sama sekali tidak tampak terlibatnya ilmu kesaktian dua Sinuhun dan Dirga Purana. Namun lima anak kucing merah tadi cukup meyakinkan bahwa kelompok dua Sinuhun masih gentayangan di Bhumi Mataram." Berkata Kumara Gandamayana.

Tiba-tiba sepasang mata Resi Jingga Anthasana terbuka nyalang. Astaga! Ternyata kedua mata orang tua ini hanya merupakan rongga kosong dalam berwarna ungu. Dari dalam dua rongga mata mengepul keluar dua larik asap ungu.

Disaat yang sama terdengar suara mendesis halus disertai menebarnya bau amis. Kunti Ambiri yang sudah berpengalaman mendengar suara serta mencium bau amis serta merta berteriak.

"Lekas menyingkir!"

Meski tidak tahu apa yang akan terjadi namun semua orang termasuk Raja yang terus didampingi oleh Kumara Gandamayana segera menjauhi tempat itu. Mereka berusaha mencapai pohon beringin besar di tengah halaman untuk dipakai berlindung.

Tiba-tiba sosok Resi Jingga Anthasana menggeliat, tangan menempel ke sisi tubuh, dua kaki merapat. Di lain kejap sosok sang Resi telah berubah menjadi seekor ular besar berwarna ungu yang memiliki sepasang mata hanya berupa bolongan rongga! Di atas kepala ada sebuah tanduk lancip. Perlahan-lahan binatang ini membuat gerakan berdiri. Bagian tubuh sebelah bawah membentuk ilma lingkaran. Tubuh sebelah atas berdiri lurus. Sisi kiri kanan kepala mengembang seperti ular sendok. Semua orang yang menyaksikan jadi bergidik.

"Wusss...!"

Laksana kilat ular ungu melesat ke arah Raja Mataram! Kumara Gandamayana melompat ke depan menyongsong serangan. Selain melindungi Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, orang tua ini pentang dua tangan ke atas. Dua tangan berubah menjadi merah seperti bara menyala. Sambil melangkah maju menghadang datangnya serangan ular ungu.

Kakek ini membuat gerakan aneh. Dua tangan menjulur panjang, siap untuk menangkap dan melumat kepala ular ungu. Inilah jurus serangan yang disebut Sepasang Tangan Membuka Pintu Neraka. Ilmu ini jarang dikeluarkan Kumara Gandamayana karena sangat ganas. Benda apa saja yang kena diringkus dua tangan pasti akan hancur dan leleh mengerikan!

Dari samping kiri Pendekar 212 Wiro Sableng melepas pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung yang didapat dari Tua Gila. Seperti serangan Kumara Gandamayana yang di arah adalah kepala ular ungu. Ratu Randang tidak tinggal diam. Nenek ini gulingkan diri di tanah, lalu dari bawah dia menghantam ke atas ke arah tubuh ular sebelah bawah dengan pukulan bernama Di Dalam Gelap Tangan Penghukum Membelah Jagat Selarik sinar biru membeset ke udara.

Sakuntaladewi membalkan tubuh ke udara lalu dari atas dia membuat gerakan menghunjam dengan kaki tunggalnya. Saat itu juga selarik sinar biru kehijauan menderu menyambar ke arah tubuh ular ungu sebelah atas. Melihat datangnya empat serangan dari orang-orang berkepandaian tinggi sudah dapat dipastikan ular besar yang melesat ke arah Raja Mataram akan menemui kematian dengan tubun hancur berkeping-keping tak karuan rupa kalau tidak mau dikatakan menjadi bubuk.

Satu-satunya orang yang tidak ikut menyerang adalah Kunti Ambiri Gadis ini menggantikan kedudukan Kumara Gandamayana, melindungi Raja yang kini berada di belakangnya.

"Desss! Blaarr! Crasss! Bukkk...!"

Empat serangan menghantam sosok ular ungu dengan telak mulai dari kepala sampai kepertengahan tubuh atas bawah. Binatang itu mendesis keras. Sekujur tubuh mulai dari kepala sampai ke ekor pancarkan cahaya ungu. Inilah cahaya pelindung yang hebat luar biasa!

Empat serangan sakti hanya membuat tubuhnya bergoncang melejang-lejang beberapa kali Kumara Gandamayana tidak mampu menangkap dan menghancurkan kepala ular dengan dua tangannya yang merah membara. Tiga serangan Wiro, Ratu Randang dan Sakuntaladewi juga tidak sanggup menciderai ular ungu. Dalam keadaan tubuh masih utuh ular ungu kembali melesat ke arah Raja Kali ini dengan kepala tegak dan mulut menyembur uap ungu mengandung racun!

Melihat hal ini Wiro segera menghadang dengan Pukulan Sinar Matahari. Namun saat itu Kunti Ambiri sudah menerjang ke depan.

"Ini bagianku! Semua lekas menjauh! Tutup jalan nafas!"

Sambil melompat mundur Ratu Randang keluarkan ilmu Tangan Langit Kaki Bumi. Selapis hawa aneh serta merta menyungkup udara, memagari semua orang yang ada di tempat itu.

SEPULUH

Rahang Kunti Ambiri menggembung. Bersamaan dengan itu perut mencekung. Didahului satu pekikan dahsyat gadis sakti alam roh ini menyembur. Bersamaan dengan itu perut yang tadi mengempis melenting ke depan!

"Sett! Settt! Wutttt...!"

Dari dalam mulut Kunti Ambiri yang menyembur berhamburan puluhan ular biru bermata merah panjang satu tombak. Sementara dari pusar si gadis melesat keluar seekor ular besar dengan panjang hampir tiga tombak berwarna hitam berkepala putih! Tidak percuma Kunti Ambiri pernah menyandang julukan sebagal Dewi Ular!

Puluhan ular biru bermata merah dengan cepat melibat tubuh ular ungu jejadian sosok Resi Jingga Anthasana sehingga ular ungu seolah terbungkus tak terlihat lagi. Sambil melibat binatang-binatang ini mematuk buas. Suara patukan menggemuruh menggidikan. Sekujur tubuh ular ungu tampak dipenuhi puluhan lobang!

Tiba-tiba dari tubuh ular yang dikeroyok memancar cahaya ungu. Saat itu juga puluhan ular biru terpental ke berbagai penjuru dalam keadaan tubuh hangus mengkeret lalu meledak!

Kunti Ambiri menjerit marah! "Bunuh!" Teriak si gadis.

Ular besar hitam kepala putih yang keluar dari dalam perut melalui pusar Kunti Ambiri melesat laksana topan, menyerbu ke arah ular ungu bercula yang berada dalam keadaan tubuh penuh luka. Libat melibat berlangsung ganas. Kepala saling dibentur. Patuk dan gigitan terjadi berulang kali membuat luka-luka berdarah di tubuh masing-masing. Kibasan ekor menderu tiada henti..Tampaknya ular ungu bercula terdesak menghadapi keganasan ular hitam kepala putih.

Namun tidak disangka, didahului pijaran cahaya ungu tiba-tiba kepala dan sosok ular ungu berubah besar dan panjang menjadi dua kali ujud semula. Sekali membuat gerakan menggeliat libatan ular hitam kepala putih terlepas. Lalu terjadilah hal yang membuat semua orang terkejut dan Kunti Ambiri berteriak kaget.

Ular ungu pentang kepala, mulut membuka lebar. Sekali kepala melesat ke depan tak ampun lagi kepala dan tubuh ular hitam kepala putih milik Kunti Ambiri amblas masuk.

"Grekkk! Kreekk! Krekk! Krekk...!"

"Kurang ajar! Edan!" Kunti Ambiri berteriak marah. Tidak percaya ketika melihat bagaimana ular hitam kepala putih menggelepar-gelepar ditelan ular ungu. Darah kental mengucur. Suara derak tulang-tulang yang hancur dari ular hitam kepala putih miliknya membuat tubuhnya sendiri ikut serasa remuk dan nafas menyesak.

Semua orang terkesiap ngeri dan untuk beberapa ketika hanya bisa tertegun bergidik melihat apa yang terjadi. Wiro sadar lebih dulu. Tangan kanan dipentang dan serta merta berubah menjadi seputih perak berkilau. Pukulan Sinar Matahari siap untuk dihantamkan ke arah ular ungu yang saat itu nyaris melahap habis sosok ular hitam kepala putih. Namun sebelum Wiro sempat melepas pukulan sakti itu tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa ekor ular ungu mengibas melesat ke arahnya.

"Wuttt...!"

Wiro melihat seolah batang pohon kelapa siap menggebuk dirinya. Walau mungkin dia masih bisa menghajar ular ungu dengan pukulan Sinar Matahari namun dirinya belum tentu selamat dari gebukan ekor ular! Mau tidak mau, sambil memaki geram murid Sinto Gendeng terpaksa jatuhkan diri ke tanah.

"Brakkk...!" Tembok halaman istana di dekat pintu gerbang yang sebelumnya sudah roboh kini tambah hancur tak karuan dihantam ekor ular ungu.

Tidak berhasil menggebuk Wiro dengan ekornya, ular ungu mengejar sambil muntahkan hancuran tubuh ular hitam kepala putih yang barusan diremuk dan ditelan.

Hanya sesaat lagi Wiro akan kejatuhan hancuran tubuh ular itu dari samping Ratu Randang dan Sakuntaladewi sama-sama melepas pukulan sakti. Kunti Ambiri ikut menghantam pula dengan pukulan jarak jauh memancar cahaya hijau. Yang di arah adalah hidung ular ungu yang dianggapnya merupakan bagian terlemah dari setiap ular.

Walau pukulan Ratu Randang dan Sakuntaladewi hanya bisa mendorong ular ungu sampai dua tombak, namun itu sudah cukup menyelamatkan Wiro dari muntahan tubuh dan tulang belulang ular hitam kepala putih.

"Brukkk!" Muntahan tubuh dan tulang ular ungu jatuh di tanah, membentuk satu gundukan setinggi betis dan hanya beberapa langkah di kiri Wiro yang saat itu tengah berusaha berdiri dan siap melepas pukulan pamungkas, Pukulan Sinar Matahari. Bau amis menebar.

Sosok ular ungu bergerak ke atas, mengambang setengah tombak d udara. Hidung tampak mengucurkan darah akibat pukulan Kunti Ambiri. Bagian tubuh sebelah tengah sampai kepala mengapung datar. Ekor mencuat ke atas tanda siap melancarkan serangan lagi. Betul saja, didahului dengan melesatnya dua cahaya ungu dari dalam rongga mata yang bolong, ekor menyusul mengibas dalam gerak serangan berbentuk lingkaran.

Ratu Randang, Kunti Ambili dan Sakuntaladewi berpencar selamatkan diri. Terpaan angin yang keluar dari serangan ekor ular ungu membuat ketiganya terkapar di tanah. Walau tidak cidera tapi untuk beberapa lama mereka tidak mampu bergerak bangkit. Sementara itu Wiro tetap nekad untuk menghantam dengan Pukulan Sinar Matahari.

Namun kepala ular ungu dengan mulut terbuka lebar melesat lebih cepat. Cahaya ungu yang membersit dari sepasang mata sang ular membuat Wiro kesilauan dan tidak dapat melihat jeias datangnya serangan. Beberapa orang yang menyaksikan dan sudah menduga apa yang bakal terjadi dengan Wiro menjerit. Delapan pekikan perempuan yang berasal dari delapan bunga Matahari kecil ikut memenuhi udara malam.

Kumara Gandamayana jejakkan kaki kanan ke tanah sambil merapal aji kesaktian Kekuatan Bumi Milik Para Dewa. Begitu kaki kanan berhasil menyedot kekuatan dari dalam tanah, kakek ini langsung melompat dan menendang ke arah kepala ular ungu.

"Bukkk...!"

Tendangan Kumara Gandamayana memang berhasil mendarat telak di kepala sebelah kanan ular ungu. Tapi si kakek sendiri terpental dan menjerit kesakitan lalu jatuh di tanah, tak mampu bergerak untuk beberapa ketika. Kasut di kaki kanan robek dan kaki kanan si kakek tampak menggembung bengkak.

Ular ungu tanpa bergeming sedikitpun terus melesat ke arah Wiro dengan mulut terpentang lebar. Lidah panjang bercabang menjulur merah. Cairan ludah dan racun bercampur darah berlelehan. Taring mencuat panjang dan runcing.

Hanya sekejapan mata lagi kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212 akan amblas masuk ke dalam mulut ular raksasa mendadak suasana malam di atas kawasan istana menjadi lebih kelam. Di udara terdengar suara kepakan sayap aneh menimbulkan angin kencang, membuat tanah bergetar dan daun pohon beringin luruh berhamburan.

Satu bayang-bayang hitam menutupi bangunan dan halaman Istana. Bau busuk menyambar jalan pernafasan. Semua orang menatap ke atas dan langsung terkesiap kaget. Mereka tidak tahu apakah yang mereka lihat benar-benar seekor binatang raksasa atau hantu jejadian.

"Kelelawar hantu..." Ucap Sakuntaladewi dengan suara bergetar.

SEBELAS

Wiro usap kedua mata hingga pemandangannya lebih jelas. Ketika menatap ke atas sang pendekar jadi kaget. Dia melihat satu mahluk raksasa melayang rendah.

"Astaga! Apa benar? Bagamana mahluk ini bisa muncul di sini?!"

Tiba-tiba di udara kelam melesat dua benda aneh dlkobari api.

"Panah Api!" Berseru Ratu Randang. "Jelas ini semua pekerjaan dua Sinuhun keparat" Nenek ini, dalam keadaan masih terduduk di tanah siap melepas pukulan sakti.

"Nek, tunggu! Tahan serangan!" Teriak Wiro sambil dua tangan ditekapkan di atas kepala.

"Edan! Memangnya ada apa?" Si nenek berteriak bertanya.

"Craass! Craass!"

Dua panah api menancap di mata kiri kanan ular ungu yang hanya berupa rongga dalam. Binatang ini menggeliat sambil keluarkan suara mendesis keras.

Gerakannya hendak menelan kepala dan tubuh Wiro jadi tertahan. Kepala dipating ke arah datangnya serangan dua panah api. Mulut mendesis keras. Binatang ini siap melancarkan serangan. Namun saat itu mahluk rakasasa yang melayang di udara tiba-tiba menyambar ke bawah dan laksana kilat kepala dan sebagian badan ular ungu telah berada dalam mulutnya yang dipenuhi gigi besar dan taring runcing.

"Grreekkk...!"

Ular ungu berusaha menyerang mahluk yang menelannya dengan ekor namun serangan itu dibalas dengan hantaman kepakan sayap. Ular ungu coba melibat untuk meremuk tubuh lawan tapi cepat sekali seluruh sosoknya telah amblas ditelan mahluk raksasa.

Walau semua orang merasa lega karena Wiro selamat namun mereka tak habis kejut melihat kemunculan mahluk berupa seekor kelelawar besar berbulu tebal hitam kecokiatan yang saking besarnya, bentangan dua sayapnya bisa menutup seluruh atap bangunan Istana.

Dengan kepala ditunduk, sayap dikuncup. kelelawar raksasa melayang turun ke halaman Istana lalu melangkah ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Semua orang lagi-lagi dibuat kaget ketika mendengar binatang ini mengeluarkan ucapan.

"Mahluk edan Gila Dia bisa bicara seperti manusia" Ucap Ratu Randang.

Di hadapan Wiro Kelelawar Raksasa berkata. "Yang Mulia, harap maafkan karena saya terlambat datang menolong Yang Mulia"

Sekarang kejut semua orang bukan olah-olah. Raja saling pandang dengan Kumara Gandamayana yang saat itu masih kesakitan karena cidera di kaki tapi sudah bisa berdiri. Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi juga tak habis heran.

"Yang Muliai Dia dipanggil Yang Mulia. Weehhh! Sejak kapan si gondrong itu Jadi Raja Diraja mahluk aneh Kelelawar Raksasa. Jangan-jangan binatang itu Kelelawar betina yang ujud sebenarnya seorang gadis cantik!" Ucap Ratu Randang pula.

Tersipu-sipu Wiro bangkit berdiri. Kepala digaruk. Dia sendiri yang sudah ditolong Kelelawar Raksasa seolah tidak percaya mengalami kejadian itu. "Sahabat Kelelawar Raksasa dari Negeri Atap Langit, aku berterima kasih padamu. Kau telah menyelamatkan nyawaku" Kata Wiro pula.

"Itu menjadi tugas saya. Tapi mohon maaf atas kelancangan saya. Sebenarnya tadi akan ada dua pertolongan atas diri Yang Mulia. Pertama dari satu mahluk berujud seekor harimau berbulu putih bermata hijau..."

"Datuk Rao Bamato Hijau!" Tercengang-cengang Wiro menyebut nama harimau sakti peliharaan Datuk Rao Basaluang Amen dari pulau Andalas. Dia merasa heran bagaimana Kelelawar Rasksasa mengetahui hal itu.

"Betul," jawab Kelelawar Raksasa. ."Lalu pertolongan kedua dari keris sakti yang terselip di pinggang Yang Mulia."

"Astaga, mahluk ini tahu semua" Pikir Wiro. Sang pendekar kembali menggaruk kepala. "Sahabatku, aku sekali lagi berterima kasih padamu."

"Yang Mulia," kata Kelelawar Raksasa. "Izinkan saya kembali ke Negeri Atap Langit Negeri hanya dijaga oleh para sahabat Arwah Hitam Putih. Keadaan disana masih kacau. Saya kawatir akan terjadi apa-apa. Kecuali jika Yang Mulia ingin saya melakukan sesuatu atau minta saya tetap di sini, saya akan menurut perintah Yang Mulia.

"Sang Penguasa, apa dia tidak ada di Negeri Atap Langit?" Bertanya Wiro?"

"Seperti kata saya dulu. Beliau lenyap entah kemana. Sebelum pergi beliau memberi tahu bahwa Yang Mulia-lah junjungan saya yang baru dan harus saya lindungi..."

Wiro ingat cerita Jaka Pesolek akan keberadaan Penguasa Atap Langit di Bhumi Mataram yang meminta gadis itu untuk menyerahkan jantung Ken Parantili pada sang selir.

"Kalau begitu kau lekaslah kembali ke Negeri Atap Langit"

"Baik Yang Mulia, saya mohon diri," kata Kelelawar Raksasa. Lalu binatang ini tundukkan kepala ke arah Wiro dan Raja Mataram seolah memberi penghormatan. Sesaat kemudian kelelawar Raksasa melesat ke udara. Kepakan sayap membuat tubuh semua orang bergoyang-goyang. Tanah bergetar. Debu beterbangan ke udara. Daun-daun pohon Beringin kembali luruh.

"Mahluk hebat" Ucap Kunti Ambirisambil geleng-geleng kepala.

"Sahabat Wiro! Tidak disangka kau rupanya sudah menjadi Yang Mulia Raja di Negeri Atap Langit!" Berkata Sakuntaladewi.

"Wahh...waahh! Berarti sekarang dia juga bakal punya belasan selir!" Kata Ratu Randang pula.

Mendengar ucapan si nenek Wiro hanya bisa tertawa. Raja Mataram mendekati Wiro. "Kesatria Panggilan, siapa adanya mahluk tadi?" Raja bertanya.

Wiro lalu menuturkan riwayat pengalamannya di Negeri Atap Langit. "Sebelumnya mahluk Kelelawar Raksasa itu ada tiga. Yang dua menemui ajal akibat serangan Sinuhun Muda Ghama Karadipa. Mereka adalah para pengawal Penguasa Atap Langit."

"Apa benar kau telah menjadi Yang Mulia atau Raja Penguasa Negeri Atap Langit?" Tanya Raja lagi sementara semua orang memasang telinga ingin mendengar jawab keterangan sang pendekar.

Wiro tertawa. "Yang Mulia, mana mungkin orang seperti saya ini ada tampang bisa jadi Raja sekalipun Raja Negeri Antah Berantah. Mahluk kelelawar itu selalu menyebut saya dengan panggilan Yang Mulia. Mungkin itu hanya sebagai ucapan terima kasih karena saya pernah menyelamatkan nyawanya dari tangan jahat Sinuhun Muda Ghama Karadipa. Selain itu saya tidak pernah bisa menduga apa sebenarnya yang ada di dalam benak Penguasa Atap Langit yang sekarang tidak diketahui dimana keberadaannya. Tapi turut keterangan Jaka Pesolek Penguasa Atap Langit ada di Bhumi Mataram tengah mencari selir pertamanya yang bernama Ken Parantili."

(Riwayat Kelelawar Hantu bisa dibaca dalam serial sebelumnya berjudul Delapan Pocong menari)

Sambil bicara tadi Wiro terapkan ilmu Menembus Pandang, memperhatikan keadaan di luar dan di dalam bangunan istana. Melihat tidak ada hal yang mencurigakan Wiro berkata pada Raja Mataram.

"Yang Mulia, saya rasa keadaan sekarang sudah aman. Yang Mulia dan keluarga bisa segera masuk ke dalam istana. Saya dan para sahabat akan tetap berada di sini sampai sang surya terbit. Selain itu, sudah saatnya saya harus menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pada Yang Mulia."

Mendengar ucapan Wiro, Ratu Randang segera mendekati Kumara Gandamayana dan berbisik. "Setelah Raja menerima keris sakti, senjata itu harus dipinjam dan dipergunakan untuk menolong Sakuntaladewi. Hanya senjata itu dan hanya Kesatria Panggilan yang bisa mengembalikan dua kaki si gadis..."

Si kakek mengusap wajah lalu menjawab. "Aku sudah mendengar riwayat gadis itu. Bagaimana dengan kaulan yang menjadi pegangan Sakuntaladewi? Kesatria Panggilan tidak akan mampu menyembuhkan Sakuntaladewi kalau tidak menerima kaulan bahwa dia bersedia menjadi suami gadis itu."

Dada Ratu Randang berdebar. Wajahnya berubah. Wiro akan menjadi suami Sakuntaladewi Setelah menundukkan kepala beberapa lama dengan suara perlahan si nenek berkata. "Kalau memang sudah demikian kehendak Yang Maha Kuasa, kita mana bisa menolak. Kasihan kalau Sakuntaladewi sengsara begitu rupa seumur-umur."

Kunti Ambiri mendekati Ratu Randang dan mengusap bahunya. Dia tahu bagaimana perasaan si nenek terhadap Wiro. Walau selalu disembunyikan dalam berbagai kelucuan namun sebenarnya nenek berwajah cantik dan bertubuh masih molek ini sangat menyukai Wiro.

"Nek, jangan pikirkan hal lain. Niat Wiro untuk menolong semata..." Bisik Kunti Ambiri yang tahu perasaan si nenek dan coba menghibur.

Ratu Randang berpaling, menatap wajah Kunti Ambiri dengan sepasang matanya yang Juling. Dua alis yang bagus bergerak ke atas. "Ah, kulihat matamu berkaca-kaca...." bisik Ratu

Randang yang membuat Kunti Ambiri cepat-cepat dongakkan kepala pura-pura menatap bulan biru. Sambil memegang dan meremas jari-jari tangan Kunti Ambiri, Ratu Randang berkata. "Kita sebenarnya hanyalah insan-insan lemah yang tidak bisa menyembunyikan perasaan..."

Sepasang mata Kunti Ambiri dan Ratu Randang saling tatap beberapa lama lalu keduanya saling berpelukan.

DUA BELAS

Kita ikuti dulu perjalanan Jaka Pesolek yang ketitipan amanat dari Penguasa Atap Langit untuk menyerahkan jantung milik Ken Parantili pada sang selir. Tepat ketika fajar menyingsing si gadis sampai di satu telaga kecil di kaki selatan Gunung Merapi, sekitar kawasan Kaliurang.

"Heran, musim hujan sudah tiba. Mengapa telaga ini airnya hanya dangkal sebetis?"

Pikir Jaka Pesolek sambil duduk uncang-uncang kaki di atas sebuah batu di tepi telaga. Saat itu dia ingin turun ke air untuk membersihkan diri sebelum melanjutkan perjalanan mencari Ken Parantili. Namun pemandangan indah di sekitar telaga membuat dia untuk beberapa lama masih terus duduk di atas batu. Tak sengaja matanya melihat sebuah batu besar di tepi telaga sebelah timur.

Batu ini seperti menggantung dan dibanding dengan batu-batu lainnya di dalam dan sekitar telaga yang banyak ditutup lumut, batu satu itu tampak bersih licin. Berarti batu ini sebelumnya berasal dari tempat lain, menggelinding dan terhenti lalu menyumbat di tebing batu. Dari sela-sela batu kiri kanan dan sebelah bawah mengucur perlahan air jernih yang kemudian masuk ke dalam telaga.

"Di balik batu itu..." ucap Jaka Pesolek dalam hati, "sepertinya ada sumber aliran air. Tapi aliran terhalang oleh batu. Hem... Mungkin ini penyebabnya air telaga menjadi dangkal."

Dengan gerakan kilat dalam sekejapan saja Jaka Pesolek sudah berada di tepi telaga sebelah timur. Dia perhatikan keadaan batu, terutama celah-celah dari mana keluarnya rembesan air. Setelah yakin batu besar yang menggantung itu menjadi penghalang aliran air, si gadis melompat ke atas tebing. Dari sini dia pergunakan dua tangan untuk mendorong batu.

Seperti diketahui gadis ini walau punya gerakan secepat kilat dan mampu menangkap petir namun dia tidak punya kesaktian lain ataupun tenaga dalam. Dengan mengandalkan tenaga luar mana mungkin dia mendorong batu besar. Tidak putus asa Jaka Pesolek sandarkan punggung ke dinding batu di belakangnya lalu kaki kanan dipergunakan untuk mendorong. Sampai mukanya merah dan tubuh keringatan tetap saja batu tidak bergeming.

"Edan, ya sudah. Agaknya aku harus mandi setengah badan di air telaga yang dangkal Itu!"

Jaka Pesolek turun melompat turun ke tepi telaga. Buntalan kain hitam berisi jantung Ken Parantili diletakkan di atas sebuah batu. Karena air telaga cuma setinggi betis Jaka Pesolek terpaksa hanya mencuci muka saja. Selagi dia membasahi rambut tiba-tiba dilihatnya buntalan kain hitam bergerak-gerak. Buhul di sebelah atas terbuka. Lalu settt! Segulung benda panjang hitam melesat ke arah pohon tak jauh di tepi telaga, menancap di batang pohon!

"Astaga! Rambut selir itu! Apa yang terjadi?!" Ken Parantili berseru kaget lalu dengan cepat melompat keluar dari dalam telaga. Berdiri di depan pohon sambil memperhatikan rambut yang menancap, si gadis ingat ucapan Penguasa Atap Langit.

"Jika Ken Parantili berada dalam jarak dua ratus langkah rambut akan memberi tanda. Rambut akan meringkal bergerak ke atas lalu melesat ke arah dimana beradanya selir itu."

Jaka Pesolek memandang berkeliling, melihat ke atas pohon. Dia menyelidik ke beberapa jurusan namun sama sekali tidak melihat Ken Parantili.

"Pertanda yang salah atau ada yang tidak beres ?" Baru saja Jaka Pesolek berpikir seperti itu tiba-tiba...

"Brukkk...!" Sesosok tubuh jatuh tersungkur di tanah. Ternyata seorang perempuan berkebaya putih. Ketika melihat wajah perempuan itu kejut Jaka Pesolek bukan alang kepalang. Selain terkejut dia juga merasa gembira.

"Ken Parantili! Syukur aku menemuimu di sini! Apa yang terjadi denganmu?"

Jaka Pesolek jatuhkan diri di samping selir pertama Penguasa Atap Langit yang saat itu dalam keadaan megap-megap. Wajahnya yang cantik tampak pucat. Bibir nyaris putih tak berdarah. Sepasang mata setengah tertutup. Keadaan dirinya tampak lemah sekali. Jaka Pesolek segera memangku kepala sang selir.

"Kau... kau siapa...?" Ken Parantili masih bisa keluarkan ucapan, bertanya walau sangat perlahan. "Kau lupa? Aku Jaka Pesolek! Sahabat Kesatria Panggilan Wiro Sableng dari negeri delapan ratus tahun mendatang! Berarti sahabatmu Juga!"

"Jaka Pesolek. Kita memang pernah bertemu. Dengar, kita harus cepat pergi dari sini. Ada dua orang mengejar. Dia hendak memperkosa diriku..."

Baru saja Ken Parantili keluarkan ucapan tiba-tiba dari balik semak belukar di depan deretan beberapa pohon melompat keluar dua orang lelaki berpakaian dan berdestar hitam. Di pinggang masing-masing terselip sebilah golok besar. Dari tampang serta pakaian mereka Jelas bukan orang baik-baik. Kemungkinan bangsa begal atau rampok.

"Ha ha ha! Rejeki kita memang besari Sekarang malah ada dua perempuan cantikl Satunya sangat segar bugar! Kita bisa berbagi satu orang untuk satu orang! Ha ha ha!"

Yang keluarkan ucapan adalah lelaki berbadan tinggi besar memelihara kumis dan berewok tebal. Temannya yang bertubuh gemuk tertawa mengekeh, lidah diulur berulang kali. Pakaian dan tubuh kedua orang ini menebar bau tidak enak.

"Tunggu apa lagi. Langsung saja kita kerjai" Berkata si gendut.

"Jaka Pesolek, cepat Kau punya ilmu...."

Dua lelaki garang tiba-tiba melompat ke hadapan dua perempuan Itu. Jaka Pesolek cepat berdiri.

"Tunggu! Kalian berdua jangan ganggu sahabatku ini. Kalau mau bersenang-senang aku bisa melayani kalian berdua sekaligus! Aku bisa jantan bisa betina"

Si gendut dan si tinggi besar saling pandang lalu tertawa gelak-gelak. "Hebat juga gadis satu ini!" Kata si tinggi besar.

"Aku memang hebat! Nanti kalian berdua akan lebih tahu kehebatankul Hik hik hik... Aku akan membuka pakaian. Kalian berdua ayo cepat tanggalkan baju dan celana! Hik hik hik! Kalau kalian suka boleh masuk mencebur ke dalam telaga. Nanti kita bersenang-senang di dalam air. Hik hik hik!"

Habis berkata begitu Jaka Pesolek lalu buka dan singkapkan dada pakaiannya. Dua lelaki di hadapannya mendelik melihat dada yang putih bagus.

"Hai, tunggu apa lagi! Lekas mencebur ke dalam telagal Lihat, aku akan buka seluruh pakaianku!" Jaka Pesolek singkapkan bajunya lebih lebar.

"Gadis cantik, kau tidak menipu, tidak bergurau?!" Si gendut bertanya agak curiga.

"Siapa yang bergurau. Siapa yang menipu. Aku memang suka laki-laki seperti kalian. Kalian berdua pasti hebat! Hik hik hik! Lihat, sebentar lagi akan aku tanggalkan pakaianku sebelah bawah"

Si gadis singsingkan ke atas bagian bawah pakaian merahnya hingga kakinya tersingkap sampai di atas lutut Hal Ini membuat si gendut dan si tinggi besar jadi blingsatan.

Sambil terus bicara merayu Jaka Pesolek dekat kedua orang itu lalu menarik tangan mereka ke dekat telaga. Si gendut dan si tinggi besar masih tak percaya. Tapi keduanya Jadi tersentak ketika tangan Jaka Pesolek enak saja mengusap bagian bawah perut mereka.

"Kalau kalian tidak mau aku tak Jadi menanggalkan pakaian. Ayo! Lekas masuk ke dalam telaga." Jaka Pesolek berpura-pura condongkan badan seperti hendak mencebur ke daiam telaga. Melihat hal ini dua lelaki tadi tidak tunggu lebih lama segera saja mendahului masuk mencebur ke dalam telaga berair dangkal.

"Bagus! Kalian berdua tunggu saja di dalam telaga sampai tubuh kalian gembung! Hik hik hik!"

Begitu kedua orang itu sudah berada dalam telaga Jaka Pesolek cepat menyambar buntalan hitam di atas batu lalu dia menggendong tubuh Ken Parantili. Sekali berkelebat dengan ilmu gerakan kilat yang dimilikinya gadis ini sudah melesat jauh meninggalkan telaga.

"Jahanam! Kita kena ditipu!" Teriak si gendut sambil acungkan tinju.

"Kurang ajar! Ayo kita kejar gadis sialan itu!"

"Mau dikejar kemana? Gerakannya secepat setan melenyapkan diri!" Ucap si gendut lalu melosoh terduduk lemas di dasar telaga. Kepala dipukul-pukul.

TIGA BELAS

Di satu kawasan pesawahan yang sunyi yang ikut dilanda banjir air merah pada malapetaka Malam Jahanam Jaka Pesolek hentikan lari. Ken Parantili dibaringkan di atas lantai sebuah teratak. Tubuh sang selir terasa panas. Tak jauh dari tempat itu ada aliran air jernih. Jaka Pesolek petik sehelai daun kecil, menggulung daun ini begitu rupa hingga bisa dipakai untuk menampung air. Air sejuk itu kemudian diminumkan dan sebagian dipergunakan membasahi kepala, wajah serta bibir Ken Parantili yang kering.

"Jaka, terima kasih kau telah menolongku. Ketika dua manusia jahat itu menghadangku, keadaanku sangat lemah. Ilmu kesaktianku tak bisa aku keluarkan. Seharusnya aku bisa bertahan sampai tiga hari. Sekarang aku merasa ada keanehen. Aku merasa kekuatanku mulai pulih. Bukan karena air yang barusan kau berikan. Ada sesuatu. Aku merasa ada suara detakan yang menggetarkan dadaku sebelah kiri..."

"Sahabat, aku merasa bersyukur bisa menemuimu lebih cepat. Penguasa Atap Langit pasti gembira jika mengetahui hal ini."

Saking terkejutnya mendengar ucapan Jaka Pesolek, Ken Parantili sampai terbangun dan duduk bersandar di tiang teratak. Wajahnya yang pucat tampak berubah. "Apa katamu? Kau menyebut Penguasa Atap Langit. Memangnya...?"

"Penguasa Atap Langit menemuiku di satu tempat. Dia menyerahkan jantung milikmu padaku dengan pesan agar aku mencarimu lalu memberikan jantung itu..."

"Aku seperti tak percaya. Penguasa Atap Langit memintamu mencariku?" Ken Parantili berkata sambil mata melirik pada buntalan kain hitam.

"Betul. Dia memberikan gulungan rambutmu agar aku bisa lebih mudah menemuimu. Dia suamimu, mengapa kau bertanya seperti heran?"

Ken Parantili terdiam, tidak menjawab malah kemudian bertanya. "Apa isi buntalan itu?"

"Jantungmu! Memangnya kau kira timbel apa?"

Ken Parantili menatap Jaka Pesolek sampai lama. Tangannya memegangi lengan si gadis dan mulut berucap. "Pantas, kekuatan tubuhku tiba-tiba saja terasa pulih. Rupanya jantungku berada dekat diriku..."

"Aku hanya diberi tugas menyerahkan jantung. Kalau perihal bagaimana memasangkannya ke dalam tubuhmu aku tidak tahu. Ihh... tengkukku jadi merinding..."

"Aku... sebenarnya saat ini aku tengah berpikir." Kata Ken Parantili pula.

"Berpikir apa?" Tanya Jaka Pesolek.

"Apa aku memang bagusnya memasukkan jantung itu ke dalam tubuhku dan meneruskan kehidupan ini atau lebih baik mati saja."

"Sahabat, kau ini bicara aneh. Orang mati saja kalau bisa hidup, maunya ingin hidup lagi. Kau yang masih hidup malah pingin mati..."

"Tapi sebenarnya selama ini aku sudah mati dalam hidupku..."

"Siapa bilang. Ayo, kau tak mau mengambil jantungmu itu?"

Ken Parantili diam tak bergerak. Sepertinya selir ini memang tidak ingin hidup lebih lama lagi.

Jaka Pesolek mengambil buntalan hitam, membuka pembuhulnya lalu dengan hati-hati mengeluarkan benda yang ada di dalam keranjang daun pisang berisi air. "Ken Parantili sahabatku... lni terlalu mengerikan bagiku. Lekas kau ambil jantungmu. Aku ingin segera bebas dari amanat yang membuat ganjalan besar dalam diriku." Jaka Pesolak berucap. Suara dan tangannya yang memegang jantung bergetar. "Ambil cepat. Semoga Yang Maha Kuasa memberi berkah padamu..."

Ucapan terakhir Jaka Pesolek seolah membuat Ken Parantili menjadi sadar dan punya semangat hidup. Untuk beberapa lama dia pandangi jantung merah berdenyut di tangan Jaka Pesolek. Perlahan-lahan dia buka bajunya hingga dadanya tersingkap lebar. Dengan dua jari tangan kanan yang diluruskan selir cantik ini membuat guratan di atas dada sebelah kiri.

"Settt...!" Dada terbelah dan terkuak besar. Tak ada darah yang mengucur.

Jaka Pesolek tak berani memandang. Tapi ketika dia merasa Ken Parantili menggerakkan tangan mengambil jantung yang dipegangnya, gadis bisa jantan bisa betina ini kuatkan hati, beranikan diri dan membuka matanya kembali untuk menyaksikan apa yang terjadi. Saat itu dilihatnya Ken Parantili dengan segala ketegaran yang ada memasukkan jantungnya ke dalam dada sebelah kiri yang menganga terkuak. Begitu jantung masuk di dalam dada, dada lalu di usap. Dada yang terbelah menutup kembali tanpa ada bekas sedikitpun!

"Dewa Agung Hyang Jagatnatha!" Ucap Jaka Pesolek. Bulu tengkuknya kembali merinding. Saat itu dilihatnya wajah pucat Ken Parantili tampak bercahaya kembali. Bibir yang putih kering berubah merah segar.

Ken Parantili dekati Jaka Pesolek lalu memeluk gadis itu. "Jaka, aku berterima kasih padamu. Kau telah melakukan tugas sangat berat Budi baikmu tidak bisa kubalas..."

"Aku merasa bahagia bisa menolongmu. Tapi aku juga merasa sedih. Karena sebentar lagi pasti kau akan pergi meninggalkan aku. Apakah kau akan kembali ke Negeri Atap Langit?"

Ken Parantili lepaskan rangkulan. Kepala digeleng. Aku tak akan pernah kembali ke sana."

"Tapi suamimu ada di sana."

"Aku cuma seorang selir. Bukan istri."

"Penguasa Atap Langit berlaku baik terhadapmu. Paling tidak dia tidak benci padamu. Buktinya dia mau menyerahkan jantungmu."

Ken Parantili menatap ke arah pesawahan. Perlahan-lahan air mata meluncur dari-kedua matanya yang bagus.

"Kau menangis. Karena bahagia atau apa...?"

Ken Parantili tidak menjawab. Dia mulai sesenggukan. Tiba-tiba selir Penguasa Atap Langit ini melompat berdiri di atas lantai teratak dan berteriak keras. "Tidak! Tidaakkk...!"

Jaka Pesolek cepat berdiri. "Ken Parantili! Ada apa? Mengapa kau berteriak begitu?"

"Aku memang sekarang bisa hidup wajar karena jantungku telah berada dalam tubuhku. Tapi aku tidak mau hidup dengan membekal jabang bayi dalam rahimku!" Jaka Pesolek melengak kaget

"Memangnya kau tengah mengandung?" Jaka Pesolek ulurkan tangan mengusap air mata yang membasahi kedua pipi Ken Parantili.

Yang ditanya mengangguk perlahan. "Tiga bulan..."

Jaka Pesolek menggigit bibir. Dia tak ingin bertanya tapi mulutnya kepalang terlanjur berucap walaupun agak gagap. "Si... siapa ayah jabang bayimu?" Dada Jaka Pesolek berdebar. Kawatir akan mendapat jawaban. Kesatria Panggilan ailas Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Penguasa Atap Langit memberi tahu kalau aku tengah mengandung jabang bayi laki-laki berusia tiga bulan dari benih hasil hubungannya dengan diriku."

Jaka Pesolek merasa lega. Ternyata bukan Wiro! "Jelas bukan Wiro. Mereka hanya bertemu beberapa hari. Sekalipun mereka melakukan hubungan badan mana mungkin bisa membuat selir itu mengandung tiga bulan. Tololnya aku ini!" Jaka Pesolek berucap dalam hati, memaki diri sendiri.

"Penguasa Atap Langit juga berpesan, kalau anak itu lahir aku harus memberinya nama Bintang Langit. Dia sudah tahu kalau bayi yang aku kandung seorang bayi laki-laki."

"Nama bagus. Pasti anakmu kelak akan menjadi seorang pemuda gagah, berilmu tinggi."

"Aku tidak menginginkan anak itu!" Kata Ken Parantili. Wajahnya tampak kelam.

Kening Jaka Pesolek mnengerenyit. "Hanya karena ayah si anak adalah Penguasa Atap Langit yang kau benci?"

"Itu salah satu alasan yang paling berat." Jawab Ken Parantili. "Aku harus melakukan sesuatu agar tidak melahirkan bayi Itu."

"Memangnya kau mau melakukan apa?" Tanya Jaka Pesolek "Kau mau menggugurkan kandunganmu? Usia kandunganmu sudah tiga bulan. Berbahaya kalau kau melakukan itu. "

Ken Parantili palingkan kepala. Untuk beberapa lama dia menatap wajah Jaka Pesolek. Lalu mulutnya berucap. "Ada cara paling cepat untuk melenyapkan jabang bayi itu!"

Tiba-tiba Ken Parantili luruskan dua tangan kanannya. Jaka Pesolek terkejut, maklum apa yang hendak dilakukan selir Penguasa Atap Langit Ku. Dia berteriak. Jangan! Jangan lakukan itu!"

Ken Parantili susupkan tangan kanan ke balik kebaya. Tangan kiri menarik ke bawah celana hitamnya. Tangan kanan mencapai bagian bawah pusar. Lalu terdengar suara...

"Settt...!"

Ketika tangan itu kemudian keluar Jaka Pesolek berteriak ngeri, jatuh terduduk di atas lantai teratak, nyaris pingsan! Di tangan kanan Ken Parantili tergenggam sosok jabang bayi merah hampir sebesar anak kucing!

"Dewa Bathara Agung Dewa Bathara Agung..." Jaka Pesolek mengucap berulang kali. Mukanya pucat seolah tidak berdarah, mata membelalak Mulut ditekap menahan muntah!

Seperti tadi ketika membelah dada memasukkan jantung, tak ada darah yang mengucur. Dengan tangan kiri Ken Parantili mengusap perut yang barusan dijebol untuk mengeluarkan jabang bayi berusia tiga bulan. Saat itu juga perut itu kembali tertutup rapat!

"Ken Parantili, sahabatku... Kau sadar apa yang telah kau lakukan ?" Ujar Jaka Pesolek dengan suara bergetar.

Yang ditanya mengangguk. Wajah tegang dan air mata bercucuran di pipi.

"Lalu hendak kau apakan jabang bayi itu?" Tanya Jaka Pesolek pula.

Ken Parantili tidak menjawab tapi tangannya bergerak. Sikapnya seperti hendak membanting Jabang bayi yang dipegangnya ke lantai teratak!

"Jangan! Jangan lakukan itu!" Teriak Jaka Pesolek. "Lebih baik kau berikan padaku!" Jaka Pesolek ulurkan tangan walau merasa ngeri.

Tapi Ken Parantili tidak perduli. Tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat. Tahu-tahu seorang kakek berselempang kain putih, berkumis dan berjanggut seputih kapas telah berdiri di hadapan Ken Parantili. Di tangan kanan orang tua ini memegang benda aneh yang ternyata adalah sebuah guci tembus pandang berisi air sangat bening. Di sebelah atas guci ada tutup yang memiliki dua puluh lobang kecil.

"Membunuh mahluk hidup tak bersalah pada galibnya adalah perbuatan berdosa, apapun alasannya. Membunuh jabang bayi sendiri dosanya sangat-sangat berlipat ganda. Jika kau tidak menginginkan jabang bayi darah dagingmu sendiri, maka izinkan aku untuk memeliharanya."

"Klik...!" Penutup guci tembus pandang terbuka. "Dengan izin Para Dewa, dengan lindungan kasih sayang Yang Maha Kuasa, aku mohon masukkan jabang bayi itu kedalam guci ini."

Ken Parantili dan Jaka Pesolek sama-sama terpana. "Orang tua, kau siapa?" Ken Parantili bertanya sambil mata menatap tak berkesip.

"Aku Resi Kali Jagat Ampusena. Kabulkan permohonanku. Semoga Yang Masa Kuasa memberi berkah pada jabang bayi dan dirimu."

"Resi, aku...." Ken Parantili tidak bisa meneruskan ucapan. Tenggorokannya serasa tersekat. Perlahan-lahan tangan kanan yang memegang jabang bayi diangkat, didekatkan ke atas guci tembus pandang. Ketika genggamannya dilepas, jabang bayi merah langsung masuk kedalam guci. Air bening didalam guci naik ke atas dan... klik! Penutup guci menutup dengan sendirinya.

"Terima kasih kau telah melakukan hal terpuji. Walau kau tidak menyukai jabang bayi ini. Namun apa yang telah kau lakukan menyatakan bahwa saat ini sebenarnya kau sudah memiliki jiwa asih terhadap jabang bayi ini. Kau ingin dia tetap hidup terus walau tidak di dalam rahimmu."

Ken Parantili tekap wajahnya ialu menangis terisak-isak.

Resi Kali Jagat Ampusena, yang di bagian pertama cerita ini telah bertapa di satu candi kecil di bantaran Kali Gondang berpaling pada Jaka Pesolek. "Anak gadis, pahala yang telah kau buat sungguh sangat besar. Semoga Dewa Agung akan memberkatimu."

Jaka Pesolek tidak perhatikan ucapan si orang tua. Matanya menatap ke tangan kanan yang memegang guci tembus pandang. "Resi Kali Jagat, kau mau bawa kemana jabang bayi itu. Mau kau apakan?" Bertanya Jaka Pesolek.

"Aku bersyukur telah menyelamatkan jabang bayi ini. Selanjutnya menjadi kewajibanku untuk menjaga, memeliharanya sampai akhirnya dia menjadi bayi seusia sembilan bulan sepuluh hari..."

"Guci itu tidak sama dengan rahim ibunya. Dari mana jabang bayi mendapat makanan? Bagaimana dia bisa hidup...?"

Resi Kali Jagat tersenyum. Tangan kirinya diletakkan di atas bahu Jaka Pesolek. "Kalau Yang Maha Kuasa berbuat segala sesuatunya, apakah masih ada insan yang meragukan? Kasih sayang adalah sesuatu yang luar biasa. Ibu dari jabang bayi ini telah memperlihatkan hal itu. Dia dengan segala ikhlas memasukkan jabang bayi darah dagingnya ke dalam guci ini."

Mendengar ucapan sang Resi tangis Ken Parantili semakin keras. Jaka Pesolek mengambil kain hitam bekas pembungkus jantung Ken Parantili. Kain itu diserahkan pada Resi Kali Jagat. "Aku mohon, bungkus guci itu dengan kain hitam ini. Aku tidak tega..."

Resi Kali Jagat lakukan apa yang dikatakan Jaka Pesolek. Ketika tangis Ken Parantili mereda dan dia menurunkan dua tangan yang menutup wajah, Resi Kali Jagat Ampusena tidak ada lagi di tempat itu.

"Jaka, kau melihat Resi itu pergi ke jurusan mana?" Ken Parantili bertanya pada Jaka Pesolek.

Yang ditanya menggeleng. "Dia lenyap begitu saja. Seolah jadi satu dengan angin."

"Kurasa aku harus mengejar Resi itu."

"Mengapa kau ingin mengejar?" Tanya Jaka Pesolek.

Tapi Ken Parantili tidak menyahut. Tanpa pamit lagi selir Penguasa Atap Langit itu berkelebat pergi.

"Aneh, tadi dia tidak mau ada jabang bayi dalam rahimnya. Sekarang setelah orang tua itu membawa pergi jabang bayi di dalam guci, selir itu ingin mengejar. Mau mengambil kembali jabang bayinya? Apakah dia menyesal telah mengeluarkan jabang bayi itu dari dalam rahimnya? Mau dimasukkan kembali? Ihhh..."

EMPAT BELAS

Matahari pagi mulai memupus kesejukan di puncak bukit yang ditumbuhi pepohonan jati rata-rata berusia lebih dari lima puluh tahun. Resi Kali Jagat Ampusena berlari laksana terbang. Sepasang kasut putih pemberian mahluk gaib yang dipanggilnya dengan sebutan Roh Putih memang luar biasa. Tanpa kasut itu tak mungkin baginya bergerak laksana kilat dan mampu menemui Ken Parantili dalam waktu demikian cepat.

Pagi itu dia merasa cukup lega karena sebagian tugas yang ada di pundaknya telah dapat dilaksanakan. Dari semua itu, tugas paling utama adalah mendapatkan jabang bayi yang kini berada di dalam guci tembus pandang. Guci yang dibungkus dalam kain hitam, dikempit di tangan kanan seolah mendukung seorang bayi benaran. Selanjutnya, sesuai pesan Roh Putih pada waktu dia mendapatkan guci yang terbuat dari seratus mutiara putih itu, dia harus membawa guci ke satu tempat aman, di simpan di tempat itu selama enam bulan.

Resi Kali Jagat berhenti di depan sebatang pohon Jati yang dua buah cabangnya saling bersilang. Inilah tanda aneh yang menjadi petunjuk bahwa dia tidak datang ke tempat yang salah karena dibukit itu ada ratusan pohon jati dan bentuknya hampir mirip satu sama lain.

Setelah merenung sesaat di depan pohon, Resi Kali Jagat membuat gerakan seperti orang mengetuk pintu pada batang pohon. Setelah mengetuk tiga kali mulutnya berucap.

"Orang sakti penghuni Pohon Jati Peliharaan Para Dewa, aku mohon pintu masuk kedalam Rumah Ketenteraman dan Keselamatan dibuka."

Resi Kali Jagat Ampusena menunggu. Ketika tak ada jawaban maka dia mengetuk batang pohon Jati dan kembali berkata. "Orang sakti penghuni Pohon Jati Peliharaan Para Dewa, aku mohon pintu masuk ke dalam Rumah Ketenteraman dan Keselamatan dibuka."

Tiba-tiba batang pohon Jati bergetar. Disebelah atas daun pohon bergoyang-goyang bergemerisik dan dua cabang yang bersilang saling bergesek mengeluarkan suara aneh. Begitu getaran dan gesekan berhenti terdengar suara perempuan bertanya. Suara itu begitu merdu dan keluar dari dalam tanah di bawah pohon jati.

"Tamu yang datang ketika sang surya baru saja naik dan puncak bukit Jati diberkati kehangatan yang menyegarkan, katakan siapa dirimu. Apakah kau bernama dan apakah kau mempunyai gelar?"

Resi Kali Jagat sesaat terdiam tapi wajahnya menyimpulkan senyum. "Orang sakti Penghuni Pohon Jati Peliharaan Para Dewa, aku adalah Kali Jagat Ampusena. Aku tidak bergelar dan aku adalah seorang Resi."

Dari dalam tanah terdengar suara seperti orang menarik nafas karena tercekat. "Kali Jagat Ampusena, setengah abad tidak pernah bertemu, tiba-tiba saja kau muncul. Gerangan apa yang membawamu ke sini? Apakah sepasang kasut putih itu yang telah menuntunmu ke mari?"

Resi Kali Jagat Ampusena usap guci putih yang dibungkus kain hitam yang dibawanya. Dia memandang ke bawah memperhatikan ke dua kakinya. Dalam hati dia berkata. "Berada jauh di dalam tanah tapi dia tahu kalau aku mengenakan sepasang kasut putih. Pertanda ilmu kesaktiannya sudah jauh lebih tinggi dari masa lalu." Setelah mengusap wajahnya sang resi berkata memberi tahu. "Aku datang membawa sesuatu yang sangat berharga untuk dititipkan."

"Hemmm" Orang perempuan di dalam tanah bergumam. "Apakah kau membawa satu peti emas atau satu peti berlian untuk dititipkan? Ketahuilah Rumah Ketenteraman dan Keselamatan tidak menerima benda-benda seperti itu."

"Aku tahu, justru aku tidak datang membawa emas berlian atau batu permata berharga. Aku datang membawa satu mahluk bernyawa yang berada dalam kesengsaraan, yang perlu diselamatkan dan ingin aku titipkan selama enam bulan."

"Mahluk bernyawa yang kau maksud, apakah dia semacam roh, mahluk jejadian, manusia atau hewan?" Perempuan di dalam tanah di bawah pohon bertanya.

"Yang aku bawa adalah satu jabang bayi laki-laki. Mohon diberi tahu apakah Penghuni Pohon Peliharaan Para Dewa mau menerima titipan?"

Baru saja Resi Kali Jagat Ampusena memberi tahu benda apa yang dibawanya tiba-tiba di dalam rimba belantara pohon Jati itu menggelegar suara gongggongan anjing. Begitu dahsyatnya hingga tanah bergetar, pohon jati bergoyang-goyang. Walau sangat terkejut namun Resi Kali Jagat berusaha tenang. Guci di tangan kiri dikempit erat-erat. Tiba-tiba...

"Wutttt! Wutttt...!"

Lima sosok merah melayang turun dari atas pohon. Di lain kejap lima ekor anjing besar berbulu merah sudah mengelilingi Resi Kali Jagat Binatang ini memiliki kepala bundar, tak seperti anjing yang biasanya berkepala dan bermoncong panjang. Selain itu dari sela mulut kiri kanan mencuat taring besar panjang dan lancip, berwarna merah menyala.

Empat ekor anjing merah tiba-tiba membuat lompatan menyerang kaki, tubuh serta kepala sang Resi. Sementara anjing merah ke lima melesat ke arah tangan kiri sang Resi yang mengempit bungkusan kain hitam berisi guci putih tembus pandang dimana tersimpan jabang bayi laki-laki Ken Parantili.

Melihat hal ini Resi Kali Jagat Ampusena segera maklum. Kemunculan lima anjing merah aneh adalah semata-mata hendak merampas atau membunuh jabang bayi yang dibawanya. Dengan cepat Resi Kali Jagat melompat ke udara. Tanpa membuat gerakan tiba-tiba kaki kanan yang memakai kasut putih melesat ke depan.

"Buukkk...!"

Salah seekor anjing yang menyerang bagian tubuhnya mencelat mental mengeluarkan suara meraung keras lalu terkapar di tanah. Perut jebol pecah namun tidak ada isi perut atau darah yang menyembur keluar.

Sang Resi tidak memperhatikan lagi apa yang kemudian terjadi dengan binatang itu. Dia terus melesat ke atas dan mematahkan satu cabang kecil pohon Jati. Cabang pohon kemudian di putar diatas kepala, dipergunakan sebagai senjata untuk bertahan.

"Bukkk...!"

Kembali ada anjing merah yang jadi korban yaitu yang menyerang ke arah kepalanya. Binatang ini menggelepar ditanah dengan kepala pecah. Meski berhasil menghabisi dua anjing merah, tiga anjing lainnya masih merupakan ancaman besar. Salah seekor dari tiga binatang itu berhasil menendang jatuh cabang pohon di tangan kanan sang Resi lalu mencakar ganas hingga selempang kain putih sang Resi robek besar di bagian dada. Untungnya cakaran tidak sampai mengenai tubuh si orang tua. Sebaliknya anjing yang menyerang harus menerima tendangan di bagian kepala dan dalam keadaan kepala remuk binatang ini terbanting ke tanah tak bernafas lagi.

Anjing ke empat menyalak ganas. Mata mendelik, dua kaki depan menyambar dan dari sepasang mata menyembur keluar cahaya merah. Ketika Resi Kali Jagat berusaha mengelakkan serangan anjing ke lima melesat ke arah kempitan tangan kirinya!

"Brettt...!"

Kain hitam pembungkus guci putih berisi jabang bayi robek besar. Sambil meraung dahsyat anjing ke lima membuat gerakan dengan ke dua kaki depan. Seolah memiliki dua tangan seperti manusia dia melesat menyambar guci putih dan berhasil!

Resi Kali Jagat berseru kaget. Dia cepat mengejar namun terhalang oleh serangan anjing ke empat yang telah melesatkan dua larik cahaya merah dari sepasang matanya. Orang tua ini hanya punya satu pilihan. Terus mengejar menyelamatkan guci atau menghadapi serangan anjing ke empat Resi Kali Jagat memilih yang pertama. Dengan nekad dia melesat ke arah anjing yang membawa lari guci dalam bungkusan kain hitam. Anehnya binatang itu kini berlari seperti manusia. Dua kaki belakang menjejak tanah, dua kaki sebelah atas memegang guci!

"Binatang pencuri! Kembalikan guci atau aku terpaksa membunuhmu seperti aku telah membunuh tiga temanmu!"

Teriakan mengancam Resi Kali Jagat tidak dlperdulikan oleh anjing merah yang telah menggondol guci putih berisi jabang bayi. Resi Kali Jagat juga tidak perdulikan lagi serangan dua larik sinar merah. Sambil kebutkan ke belakang ujung pakaian yang berupa selempang kain putih dia terus mengejar. Dari ujung kain putih melesat keluar cahaya kebiruan, menghadang datangnya serangan dua larik sinar merah yang hanya tinggal beberapa jengkal dari kepala dan tubuh Resi Kali Jagat

"Blaarr...!"

Dua larik cahaya merah bentrokan di udara dengan cahaya biru, mengeluarkan suara letusan keras Resi Kali Jagat terhuyung keras ke depan, nyaris tersungkur jatuh kalau dia tidak cepat mengimbangi diri dan terus melakukan pengejaran.

Ternyata cahaya biru ilmu kesaktian yang keluar dari ujung selempang kain putih Resi Kali Jagat tidak mampu membendung dua hantaman sinar merah. Begitu cahaya biru musnah bertaburan menjadi asap, dua larik sinar merah masih terus menerobos dan menghantam ke arah sang Resi.

Hanya sesaat lagi tubuh Resi Kali Jagat Ampusena akan leleh dihantam dua larik sinar merah tiba-tiba udara di atas bukit berubah gelap. Lalu terdengar suara...

"Plaakkk! Plaakkk...!"

Sembilan pohon jati besar roboh bergemuruh. Anjing merah ke empat yang tadi menyerang Resi Kali Jagat dengan dua larik sinar merah meraung keras. Satu benda besar lebar berwana coklat kehitaman menghantam tubuhnya laksana tembok raksasa jatuh menimpa.

"Plaakkk...!"

Sosok besar anjing merah yang menyerang Resi Kali Jagat amblas lenyap ke dalam tanah I Sang Resi hanya sekilas melihat apa yang terjadi di belakangnya.

"Plaakkk! Plaakkk...!"

Mahluk raksasa bersayap lebar melesat ke udara dan lenyap di langit luas. Resi Kali Jagat terus mengejar anjing merah yang memboyong guci putih. Namun binatang itu berlari cepat sekali laksana setan berkelebat Kesaktian kasut putih ternyata tidak bisa menandingi kehebatan lari si mahluk aneh. Agaknya anjing yang satu ini memiliki kepandaian lebih tinggi dibanding empat anjing lainnya.

"Celaka, aku tak mungkin mengejarnya!" Resi Kali Jagat merasa dadanya berdenyut sakit dan nafasnya sesak. lni adalah akibat bentrokan tenaga sakti dan tenaga dalam dengan dua cahaya merah. Sang Resi tersungkur di tanah namun masih sempat memanjatkan doa.

"Dewa Agung, saya mohon pertolongan. Selamatkan jabang bayi dalam guci putih Itu."

Doa sang Resi ternyata didengar oleh Yang Maha Kuasa. Dari dalam tanah sekonyong-konyong mencuat keluar dua tangan berbentuk tulang belulang. Berwarna sangat merah laksana bara menyala dan menebar hawa luar biasa panas. Dua tangan dengan cepat mencekal sepasang kaki anjing merah yang tengah berlari cepat.

"Desss! Desss...!"

Anjing merah meraung keras. Dua kakinya nyaris leleh dan mengepulkan asap, membuatnya tidak mampu lagi meneruskan berlari. Akibat sentakan yang keras dan tiba-tiba guci putih berisi jabang bayi yang terbungkus kain hitam robek telepas dari pegangan dua kaki depan yang menyerupai tangan. Anjing merah sendiri kemudian jatuh tergelimpang di tanah, hanya mampu menggonggong dan menggeliat-geliat.

LIMA BELAS

Melihat apa yang terjadi, Resi Kali Jagat yang masih tertelungkup di tanah kerahkan seluruh kekuatan lalu melesat coba menangkap guci putih agar tidak terhempas jatuh ke tanah. Kalau guci sampai pecah, jabang bayi yang ada di dalamnya tak akan tertolong. Namun karena jarak antara dirinya dan guci yang jatuh cukup jauh, walau berhasil melesat namun sang Resi tidak mampu menangkap guci putih berselubung robekan kain hitam.

Hanya sekejapan lagi guci akan jatuh dan hancur berkeping-keping di tanah, tiba-tiba mahluk yang memiliki dua tangan menyala melesat keluar dari dalam tanah. Ternyata ujudnya adalah berupa jerangkong putih. Sambil melesat keluar dari dalam tanah mahluk ini yang dua tangannya tidak lagi berwarna merah membara, dengan cepat menangkap guci putih.

Resi Kali Jagat jatuhkan diri berlutut di depan jerangkong. Meski mahluk tulang belulang putih itu telah menyelamatkan guci putih berisi jabang bayi namun si orang tua tetap saja menaruh kawatir. Bukan mustahil mahluk jerangkong ini bukan menolong tapi sebenarnya Ingin merampas guci putih!

"Ki Sanak berujud jerangkong putih, apakah... apakah kau Roh Putih yang selama ini menjadi pelindung dan memberi petunjuk pada diriku?"

Mahluk jerangkong menatap sang Resi dengan matanya yang bolong lalu gelengkan kepala. "Bukan, aku bukan mahluk Roh Putih yang kau maskudkan."

Astaga! Ternyata mahluk jerangkong ini bisa bicara seperti manusia.

"Ki Sanak, saya berterima kasih kau telah menyelamatkan benda dalam bungkusan kain hitam hingga tidak jatuh ke tanah."

Jerangkong putih rundukkan kepala. Mata yang hanya merupakan rongga bolong kembali menatap ke arah Resi Kali Jagat. "Benda di dalam bungkusan kain putih ini, benda apa gerangan adanya?"

"Satu benda titipan yang nilainya sama dengan nyawa saya." Jawab Resi Kali Jagat.

"Luar biasa. Apa kau mau mengatakan benda apa itu adanya?"

"Saya percaya padamu. Silahkan menyibak kain hitam dan melihat sendiri apa isinya." Jawab Resi Kali Jagat pula lalu bangkit berdiri.

Jari-jari tangan yang hanya berupa tulang belulang putih bergerak membuka bungkusan kain hitam. Begitu guci putih tersembul dan mahluk jerangkong dapat melihat isinya, untuk beberapa lama mahluk jerangkong ini berdiri tidak bergerak. Lalu terdengar mulutnya berucap.

"Yang Maha Kuasa mampu berbuat segala-galanya. Namun hari ini aku baru pertama kali melihat janin di simpan di dalam guci. Bagaimana ceritanya...?"

"Maafkan saya Ki Sanak. Saya tidak bisa menceritakan asal usul jabang bayi itu."

"Tidak mengapa. Kalau boleh tahu siapakah sahabat ini?"

"Saya Resi Kali Jagat Ampusena."

Kepala berupa tengkorak manggut-manggut beberapa kali. Bungkusan kain hitam ditutup kembali. Tangan diulur. "Resi Kali Jagat, silahkan kau mengambil guci ini berikut benda yang ada di dalamnya."

Dengan cepat Resi Kali Jagat Ampusena mengambil guci putih yang diserahkan. Sambil menunduk dalam dia berkata. "Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih. Dengan segala kerendahan hati saya ingin bertanya. Siapa Ki Sanak ini sebenarnya?"

"Namaku Lor Pengging Jumena. Banyak orang yang memanggilku dengan sebutan Embah Buyut..."

Resi Kali Jagat tersentak kaget. Dia tundukkan kepala berulang kali. "Tidak menduga hari ini saya bisa bertemu dengan seorang tokoh yang selama ini hanya saya dengar nama dan kehebatannya. Tapi harap Ki Sanak jangan tersinggung. Lor Pengging Jumena yang saya ketahui berujud manusia biasa, seorang kakek sakti yang memang sudah sepuh. Lalu mengapa kini yang saya lihat Ki Sanak berujud seperti ini? Sekali lagi maaf kalau saya menyinggung perasaan Ki Sanak."

(Mengenai riwayat Embah Sepuh atau Lor Pengging Jumena dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul Selir Pamungkas) Mahluk Jerangkong keluarkan suara tertawa. "Perjalanan dan hidup manusia semua ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Para Dewa telah menetapkan diriku berujud seperti ini. Aku menerima dengan segala keikhlasan. Bukankah kita semua miiikNya?"

Resi Kali Jagat anggukkan kepala. "Resi, aku merasa senang bisa bertemu denganmu. Aku harus segera kembali ke alamku. Berhati-hatilah, tempat yang jadi tujuanmu jauh dari aman dan tenteram. Lihatlah berkeliling. Perhatikan lima ekor anjing merah yang berkaparan di tanah. Ujud mereka telah berubah."

Resi Kali Jagat berpaling ke arah empat anjing merah yang telah menemui ajal dan bertebaran di sebelah sana. Astaga. Tengkuk orang tua berusia hampir seratus tahun ini merinding. Guci putih dikepit erat-erat.

Empat anjing merah yang telah menemui ajal itu kini ujudnya telah berubah menjadi manusia. Yang dua tewas dengan kepala pecah. Yang ketiga tewas dengan perut jebol. Anjing ke empat tidak tahu bagaimana ujudnya karena amblas masuk ke dalam tanah. Sang Resi ingat apa yang telah terjadi. Dia tadi melihat sekilas satu mahtuk berupa Kelelawar raksasa. Mahluk itulah yang menghantam salah satu dari lima anjing merah yang menyerangnya hingga melesak masuk ke dalam tanah.

"Mahluk luar biasa besar dan mengerikan itu, mengapa dia menolong diriku?" Resi Kali Jagat bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Tiba-tiba dia mendengar suara orang mengerang. Dia cepat berpaling. Di samping kiri terbujur mahluk yang sebelumnya adalah anjing kelima. Kini ujudnya telah berubah menjadi manusia. Dua kaki hancur akibat cekalan sepasang tangan merah panas mahluk jerangkong mengaku bernama Lor Pengging Jumena.

Resi Kali Jagat segera mendatangi orang ini. Ternyata dia adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. "Anak muda, apa yang terjadi dengan dirimu. Ketika masih dalam ujud seekor anjing merah kau dan empat kawanmu menyerangku. Siapa dirimu sebenarnya? Apakah aku pernah berbuat kesalahan hingga kau dan kawanmu ingin membunuhku?"

Orang yang ditanya memutar mata memandang ke arah sang Resi. Mulut masih mengeluarkan suara mengerang dan dia tidak menjawab pertanyaan orang.

"Aku tahu, kau bukan cuma ingin membunuhku. Tapi ingin merampas guci putih ini! Aku yakin semua itu bukan maumu sendiri. Katakan siapa yang menyuruhmu?"

Sepasang mata pemuda yang dua kakinya hancur itu melirik kian kemari.

"Tidak ada orang lain di sini. Mengapa kau seperti ketakutan hendak bicara?" Ucap Resi Kali Jagat Si pemuda buka mulutnya sedikit Tapi tak ada suara yang keluar.

"Bicara saja, tidak perlu takut!" Resi Kali Jagat lalu tempelkan tangan kanannya di dada si pemuda, alirkan hawa sakti dan tenaga dalam untuk memberi kekuatan. "Nah sekarang bicaralah. Kau pasti bisa bicara."

"Jen... Jenazah Sim... Simpanan..." Si pemuda akhirnya keluarkan ucapan.

"Jenazah Simpanan? Mahluk apa itu? Dimana beradanya?"

Mulut si pemuda terbuka kembali. Tapi kali ini bukan untuk bicara melainkan yang terlihat adalah lidah yang terjulur serta mata yang mencelet.

Resi Kali Jagat terkejut. "Ada apa?"

Tiba-tiba ada sambaran angin dan...

"Krakkk...!" Leher si pemuda putus seperti ditebas benda tajam. Darah menyembur. Kepala menggelinding.

Resi Kali Jagat berseru kaget dan melompat mundur. Sebagian pakaiannya masih sempat terkena cipratan darah!

Tiba-tiba sambaran angin seperti tadi menyapu ke arah sang resi. Dengan cepat Resi Kali Jagat mundur dua langkah sambil tangan kanan melepas satu pukulan sakti ke arah depan dari mana arah datangnya sambaran angin. Selarik sinar biru menerpa keluar dari telapak tangan Resi Kali Jagat.

"Braakkk...!" Terdengar suara seolah ada batu besar jatuh atau tembok tebal rubuh. Lalu menyusul suara ringkikan kuda dan...

"Brukkk...!" Sesosok tubuh berpakaian hitam jatuh bergedebuk di tanah. Ujudnya adalah seorang manusia berkepala kuda! Di tangan kanannya tergenggam sebilah golok besar bernoda darah.

"Pasti mahluk Ini yang tadi membabat putus leher pemuda itu. Dewa Agung! Malapetaka apa sebenarnya yang ada di tempat ini? Saya mohon perlindungan. Tugas yang harus saya laksanakan masih belum rampung."

Baru saja sang Resi berucap seperti itu mendadak terdengar enam kali suara letupan disertai kepulan asap. Lima sosok pemuda yang tadinya berujud anjing merah disusul sosok manusia berkepala kuda berubah jadi kepulan asap merah lalu lenyap dari pandangan mata. Anehnya noda darah yang mengotori pakaian Resi Kali Jagat Ampusena ikut hilang tak berbekas.

ENAM BELAS

Setelah tegak terdiam beberapa lama di hutan jati yang kini menjadi sunyi senyap, Resi Kali Jagat memeriksa jabang bayi yang ada dalam guci putih tembus padang. Dia merasa lega ketika melihat jabang bayi itu tidak kurang suatu apa. Orang tua ini kembali mendatangi pohon jati yang dua cabangnya saling bersilangan.

Ketika Kelelawar Raksasa mengepakkan sayap untuk menghabisi anjing merah sembilan pohon jatuh tumbang. Adalah aneh walau pohon Jati satu ini berada di tengah hantaman sayap namun tidak ikut roboh, hanya dedaunannya saja yang yang rontok, itupun tak banyak.

Seperti yang dilakukannya sebelumnya Resi Kali Jagat ulurkan tangan kanan, mengetuk batang pohon tiga kali. "Orang sakti penghuni Pohon Jati Peliharaan Para Dewa, aku Resi Kali Jagat Ampusena kembali memohon untuk dibuka pintu masuk ke dalam Rumah Ketenteraman dan Keselamatan."

Sunyi sesaat Lalu terdengar suara sahutan dari dalam tanah. "Resi Kali Jagat, aku mendengar permintaanmu. Lapangkan hati dalam menghadapi segala cobaan. Pintu terbuka lebar bagimu. Silahkan masuk."

Begitu suara di dalam tanah selesai berucap tiba-tiba terdengar suara angin berdesir. Batang pohon Jati di hadapan si orang tua bergetar. Cabang dan ranting serta daun-daun bergerak lurus ke atas mengarah ke langit. Di lain kejap terjadilah hal yang sungguh luar biasa.

Pohon Jati besar berusia lebih dari setengah abad itu melesat ke udara sampai setinggi tiga tombak. Akar menjuntai bergerak-gerak mengeluarkan suara berdesir aneh.Dari lobang besar yang kini menganga di tanah muncul keluar satu bangunan terbuat dari batu hitam berbentuk candi kecil. Resi Kali Jagat terpana. Mata menatap tak berkesip. Dia sudah sering mendengar adanya keanehan ini namun baru kali ini melihat sendiri.

Saat itu terdengar lagi suara berdesir dari arah bangunan batu. Lalu pintu bangunan kelihatan bergeser, membuka ke samping membentuk jalan masuk.

"Resi Kali Jagat Ampusena, pintu telah terbuka. Berarti kedatanganmu diterima. Silahkan masuk." Ada suara mempersilahkan.

Resi Kali Jagat kepit erat-erat guci putih di tangan kiri lalu dengan cepat masuk ke dalam bangunan melalui pintu yang terbuka. Begitu si orang tua berada di dalam bangunan, pintu batu menutup dengan sendirinya lalu terasa bangunan itu bergerak turun masuk jauh ke dalam tanah. Di luar sana pohon Jati besar bergerak pula kebawah dan kembali tertanam di tanah seperti sebelumnya. Cabang, ranting dan dedaunan yang mengarah ke langit perlahan-lahan bergerak ke bawah.

Bangunan batu yang diluar tampak kecil saja ternyata sebelah dalamnya cukup luas. Di satu ruang terbuka berderet beberapa patung batu, tiga patung lelaki, dua berujud patung perempuan.

"Pemilik Rumah Ketenteraman dan Keselamatan, aku sudah berada di dalam bangunan. Aku menghatur terima kasih kau telah memberi perkenan bagiku untuk masuk. Salam hormat dan sejahtera untukmu."

Baru saja Resi Kali Jagat berucap tiba-tiba dari lantai mencuat tiga buah benda. Ternyata benda itu adalah dua buah kursi dan sebuah meja terbuat dari batu hitam berkilat.

"Ampusena silahkan duduk. Apakah kau berkenan terlebih dulu membasahi rangkungan dengan secangkir anggur murni atau secawan tuak harum?" Suara yang menyapa adalah suara perempuan yang sama sewaktu sang Resi masih berada di hutan Jati.

"Terima kasih, kalau boleh aku hanya minta secangkir air putih bening."

Mendengar jawaban itu, perempuan yang masih belum kelihatan ujudnya keluarkan suara tertawa. "Ampusena, agaknya kau tidak pernah berubah dari dulu."

Resi Kali Jagat tidak menjawab, hanya rundukkan kepala dan dada sebagai penghormatan atas ucapan orang. Ketika dia meluruskan kepala dan tubuh kembali di atas meja batu tabu-tabu telah terletak sebuah cangkir tanah berisi air bening. Namun di dalam kebeningan itu Resi Kali Jagat melihat sesekali ada kilauan warna merah. Racun!

"Resi Kali Jagat, silahkan membasahi tenggorokan. Silahkan diminum air putih bening sejuk di atas meja." Suara perempuan tanpa ujud kembali terdengar.

Resi Kali Jagat yang telah melihat adanya kelainan dalam cairan putih bening menjawab dengan suara lembut penuh hormat. "Penghuni Rumah Ketenteraman dan Keselamatan mohon maaf. Aku lupa kalau hari ini aku tengah berpuasa."

"Begitu? Makin tua umur dunia membuatmu kini jadi seorang pelupa. Itu lebih baik dibandingkan jadi orang pikun"

Didahului suara tertawa tiba-tiba salah satu dari dua patung perempuan di dalam ruangan pancarkan cahaya kuning. Cahaya ini melesat ke arah kursi batu. Sesaat kemudian di atas kursi batu di belakang meja di hadapan Resi Kali Jagat terlihat sosok seorang nenek. Nenek ini memiliki wajah runcing mengenakan jubah kuning, berambut kuning dan di atas kepalanya menancap tiga tusuk konde terbuat dari batu berwarna merah pekat. Wajahnya tampak aneh kalau tidak mau dikatakan angker.

Nenek ini hanya punya satu alis, memanjang dari pelipis kiri sampai pelipis kanan. Di bawah alis panjang itu terdapat dua buah mata. Mata yang sebelah kiri lebih besar dari mata sebelah kanan. Hidung bengkok menyerupai paruh burung dicantel! anting-anting bulat terbuat dari emas. Mulut berbentuk segi tiga. Si nenek tidak duduk di atas kursi tapi berdiri. Dan tubuhnya ternyata pendek sekali alias katai.

Resi Kali Jagat cepat berdiri lalu membungkuk. "Penghuni Rumah "Ketenteraman dan Keselamatan, salam hormatku untukmu."

Si nenek katai tertawa panjang lalu berkata. "Walau pertemuan kita terakhir sekitar lima puluh tahun silam, namun kita sudah saling kenal. Terus terang aku merasa lucu dengan segala basa basi ini. Ampusena, apakah kau baik-baik saja selama ini?"

Resi Kali Jagat Ampusena membungkuk. "Penghuni Rumah Ketenteraman dan Keselamatan, terima kasih. Aku ada baik-baik saja. Kau sendiri bagaimana...?"

Mulut segi tiga si nenek tersenyum. "Tidak perlu sungkan. Seperti di masa lalu kau boleh memanggil diriku dengan nama asliku Ning Rakanini. Beberapa bulan silam aku menyambangi makam adikku Ning Prameswari di Bukit Menoreh. Ternyata keadaan makam sangat bersih dan terpelihara. Bunga-bunga tumbuh segar dan mekar di sekeliling makam. Apakah kau yang selama ini merawat makam itu?"

"Benar Ning Rakanini. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk tetap menghormati kecintaanku padanya." Jawab Resi Kali Jagat.

Si nenek bernama Ning Rakaninl terdiam sejenak. Lalu dia berkata. "Ampusena, aku sangat berterima kasih atas semua perhatianmu terhadap mendiang adikku. Sekarang katakan apa tujuanmu menyambangiku di tempat yang sangat rahasia Ini tapi kau berhasil menemukan."

"Hanya atas perlindungan dan bimbingan Para Dewa maka aku bisa sampai ke sini..."

"Sepasang kasut putih yang kau pakai itu turut membantumu?"

"Benar Ning Rakanini. Sepasang kasut ini pemberian Roh Putih yang jadi pelindung diriku." Menjawab Resi Kali Jagat.

"Tapi ketika ada lima mahluk anjing merah besar menyerangmu dan berusaha merampas barang yang kau bawa. Roh Putihmu tidak menolong dirimu! Apakah begitu cara Roh Putih melindungimu?"

Resi Kali Jagat Ampusena terdiam. Rupanya si nenek mengetahui apa yang terjadi di hutan Jati sana. "Ning Rakanini, terima kasih kau telah memperhatikan diriku. Mengenai pertolongan Roh Putih, tidak selamanya sang penolong selalu turun tangan sendiri. Melalui uluran tangan Yang Maha Kuasa bisa saja yang muncul menolong bukan si pelindung langsung, itu yang terjadi dengan diriku. Ada mahluk berujud jerangkong putih muncul menolong diriku pada kejadian serangan lima ekor anjing merah. Semua itu pasti terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa."

Si nenek yang berdiri di kursi batu angguk-anggukkan kepala. Dia menatap ke arah bungkusan hitam yang masih dikempit sang Resi dan memberi Isyarat. Resi Kali Jagat Ampusena letakkan bungkusan kain hitam di atas meja batu.

"Ning Rakanini, maksud tujuanku ke sini adalah untuk menitipkan benda yang ada dalam bungkusan ini..."

"Aku ingin melihat benda itu. Harap kau segera saja membuka bungkusan kain hitam." Kata si nenek pula.

Dengan cepat tapi hati-hati Resi Kali Jagat membuka bungkusan kain hitam. Sepasang mata Ning Rakanini yang besar dan kecil menatap tak berkesip, alis panjang hitam di kening mencuat pada kedua ujungnya ketika melihat guci putih tembus pandang serta benda yang ada di dalamnya.

"Ampusena, aku tak berani menduga. Katakan benda apa yang ada di dalam guci putih itu. Menurut penglihatanku seperti seekor kadal merah walau tidak ada buntutnya. Aku melihat ada denyutan halus di tubuhnya, apakah mahluk ini dalam keadaan hidup?"

"Ning Rakanini, benda yang ada dalam guci putih adalah jabang bayi hidup berusia tiga bulan calon seorang anak laki-laki."

Si nenek berambut kuning bermuka aneh sampai berjingkrak mendengar keterangan Resi Kali Jagat. "Dewa Bathara Agungi. Baru sekali ini seumur hidup aku melihat jabang bayi ada di luar rahim ibunya! Dan jabang bayi ini yang hendak kau titipkan padaku. Betul Ampusena?!"

"Betul Ning Rakanini. Aku menitipkan selama enam bulan sepuluh Kari saja. Setelah Itu aku akan datang kembali untuk mengambil ujudnya yang pasti taat itu sudah menjadi seorang bayi"

Sosok nenek bernama Ning Rakanini, pemilik bangunan yang disebut Rumah Ketenteraman dan Keselamatan meluncur ke bawah dan terduduk di atas kursi batu.

"Ini kali pertama aku ketitipan barang berupa jabang bayi. Sulit dipercaya tapi nyata. Dan yang membawanya adalah seorang yang pernah aku harapkan menjadi pendamping hidupku! Bagaimana mungkin aku bisa menolak?!"

TUJUH BELAS

Resi Kali Jagat Ampusena mengusap wajah. Walau wajah itu tidak menunjukkan perubahan namun diam-diam si orang tua merasa dadanya berdebar mendengar ucapan si nenek katai.

"Ampusena, apa kau mau memberi tahu bagaimana cerita riwayat jabang bayi itu? Bagaimana kau sampai ketitipan tugas untuk membawanya ke tempat ini?"

"Beberapa waktu lalu aku bertapa dalam sebuah candi kecil di bantaran Kali Gondang. Hasil tapaku adalah berupa petunjuk dari Roh Putih." Lalu Resi Kali Jagat menuturkan tapa yang dilakukannya sampai kedatangan Roh Putih yang memerintahkannya untuk mencari sebuah mangkok perak berisi seratus mutiara putih.

"Aku berhasil menemukan mangkok perak dan seratus mutiara putih. Sesuai petunjuk Roh Putih aku melakukan semedi. Mutiara dalam mangkok lalu berubah membentuk sebuah guci putih tembus padang lengkap dengan penutupnya. Guci aku isi dengan air embun hingga ketinggian dua pertiganya. Saat itulah Roh Putih kembali menampakkan diri dalam ujud cahaya putih dan memberi petunjuk lebih lanjut. Aku diminta mengikuti arah yang dibawa sepasang kasut yaitu ke jurusan timur. Tak lama setelah mataharti terbit aku akan sampai di satu daerah pesawahan. Di dalam sebuah teratak di tepi sawah aku berjumpa dengan dua orang perempuan. Salah seorang diantaranya tengah mengandung tiga bulan. Namun perempuan Ini tidak sudi mempunyai janin dari benih lelaki yang tidak dicintainya. Dia bermaksud mengeluarkan janin itu dan membunuhnya. Aku diperintahkan oleh Roh Putih untuk menyelamatkan jabang bayi dan memasukkannya ke dalam guci putih."

Ketika Resi Kali Jagat hentikan penuturannya si nenek berkata. "Roh Putih kemudian memintamu membawa jabang bayi dalam guci putih ke tempat kediamanku ini untuk dititipkan. Betul?"

"Betul sekali Ning Rakanini. Keadaan di luar sana masih belum aman. Walau banjir berair merah serta penyakit aneh yang menimpa rakyat telah lenyap namun bahaya tidak terduga bisa saja mengancam secara tiba-tiba. Konon penimbul malapetaka itu adalah mahluk alam roh bernama Sinuhun Merah Penghisap Arwah, dibantu oleh saudara nyawa kembarnya dan seorang bocah sakti bernama Dirga Purana. Aku tak mungkin pergi kemana-mana membawa jabang bayi dalam guci Ini. Roh Putih menyuruh aku menitipkannya padamu. Sepasang kasut putih membimbing perjalananku sampai di hutan Jati dan aku menemukan pohon Jati yang memiliki dua cabang saling bersilang..."

"Ampusena, ceritamu sungguh luar biasa. Apa kau menyaksikan dengan mata kepalamu ketika ibu dari jabang bayi itu hendak membunuh darah dagingnya sendiri?" Bertanya Ning Rakanini.

"Aku malah melihat ketika dia mengorek keluar janin tak berdosa itu dari dalam perutnya!" Jawab Resi Kali Jagat.

"Keji sekali. Tak terpikir olehku ada ibu yang akan berbuat sejahat itu terhadap darah dagingnya sendiri. Atau mungkin dia punya alasan untuk melakukan hal itu?"

"Turut cerita yang aku dengar jabang bayi yang dikandung sang Ibu adalah hasil hubungannya dengan seorang Penguasa Negeri yang terletak di alam gaib di puncak gunung. Mungkin Gunung Semeru. Si ibu hanyalah selir dari sang Penguasa dan tidak menginginkan bayi itu terlahir ke dunia..."

"Kau tahu siapa nama ibu jabang bayi ini?" Tanya Ning Rakanini pula.

"Namanya kalau aku tidak keliru adalah Ken Parantili. Setelah jabang bayi aku dapatkan dan dimasukkan ke dalam guci putih aku segera pergi. Dia aku tinggalkan bersama seorang gadis bernama Jaka Pesolek."

Ning Rakanini merenung beberapa ketika lalu berkata. "Ampusena, ada satu hal yang aku kawatirkan."

"Hal apakah itu kalau aku boleh tahu?"

"Minggu demi minggu, bulan demi bulan jabang bayi dalam guci akan berkembang tumbuh menjadi lebih besar. Sementara guci putih besarnya tetap tak berubah. Berarti jabang bayi bisa menemui ajal akibat tergencet dinding guci."

"Ning Rakanini, hal yang kau tanyakan pernah aku tanyakan juga pada Roh Putih. Aku mendapat jawaban bahwa bersamaan dengan tumbuh serta membesarnya jabang bayi, guci putih tembus pandang akan membesar pula mengikuti besarnya sang janin..."

"Dewa Agung!" Ucap si nenek seraya bergerak bangun dan kembali berdiri di atas kursi batu. "Satu lagi pertanyaanku. Selama di dalam guci jabang bayi tidak mendapat makanan apa-apa. Lain halnya jika dia berada dalam rahim ibunya. Dia akan mendapat makanan dari tubuh sang ibu. Tanpa makan apa jabang bayi bisa bertahan hidup sampai enam bulan sepuluh hari dimuka?"

"Menurut Roh Putih, cairan embun yang ada di alam guci merupakan air dan makanan yang akan menghidupkan jabang bayi karena guci putih itu adalah rahim kedua tempat kehidupan sang janin."

"Luar biasa! Luar biasa!" Ucap si nenek berulang kali.

Resi Kali Jagat menutup guci putih kembali dengan kain hitam.

"Aneh, tiba-tiba saja aku menjadi haus," berkata Ning Rakanini. "Ampusena, jika kau memang sedang berpuasa dan tidak mau minum air bening sejuk dalam cangkir, biar aku saja yang meneguknya."

"Ning Rakanini, apakah kau lupa kalau hari ini kau sebenarnya juga tengah berpuasa?"

Ucapan sang Resi membuat si nenek terkejut heran. "Seumur hidup aku tidak pernah berpuasa. Apa maksud bicaramu Ampusena?"

Resi Kali Jagat menatap ke arah cangkir tanah berisi air putih bening. Tangan kiri diulurkan memegang cangkir. Lalu cangkir di angkat ke atas dan dibalikkan. Air putih di dalam cangkir serta merta jatuh tumpah ke bawah. Sebelum menyentuh lantai ruangan batu, tumpahan air yang putih bening tampak bersinar merah. Begitu air menyentuh lantai terdengar suara...

"Desss! Desss! Desss...!"

Asap merah mengepul. Ketika asap lenyap, lantai batu kelihatan retak terkuak dan berlobang merah hangus di beberapa bagian.

"Ning Rakanini, kau bisa membayangkan kalau air dalam cangkir masuk ke dalam perutmu. Batu lantai saja bisa retak dan berlobang."

Berubahlah paras si nenek.Tubuhnya yang katai kembali melompat dan berdiri di atas kursi batu. "Ampusena, kau tidak menyindir atau menuduh kalau aku telah meletakkan sesuatu dalam minuman itu untuk meracuni dan membunuhmu?!"

"Sama sekali tidak. Aku hanya secara kebetulan melihat ada warna merah dalam air sewaktu cangkir kau letakkan di atas meja."

"Berarti ada seseorang hendak mencelakai dirimu. Berarti kau sebenarnya juga tidak puasa!"

"Benar, aku hanya menolak minum secara halus. Maaf kalau itu membuatmu tersinggung."

"Kurang ajar! Ada musuh dalam selimut di tempat ini"

Ning Rakanini bertepuk tiga kali. Dua dinding ruangan, sebelah kiri dan sebelah kanan bergeser membuka. Dari setiap dinding yang terbuka keluar enam orang perempuan berpakaian pelayan. Di pinggang masing-masing membekal tombak pendek terbuat dari besi hitam. Mereka semua berwajah bopeng. Sekali lihat saja Resi Kali Jagat segera maklum kalau muka bopeng itu hanyalah topeng tipis penutup wajah belaka. Begitu berada di ruangan ke dua belas gadis pelayan membungkuk memberi penghormatan pada si nenek, melirik sekilas ke arah Resi Kali Jagat lalu berlutut di lantai.

"Siapa dlantara kalian yang tadi telah menghidangkan secara gaib air putih dalam cangkir? Lekas berdiri dan melangkah ke hadapanku!"

Untuk beberapa ketika ruangan batu menjadi sunyi senyap. Kalau si nenek menatap ke arah dua belas orang pelayan dengan mata mendelik marah, sebaliknya sang Resi memandang dengan tenang.

"Tidak ada yang menjawab? Tidak ada yang mau mengakui baik. Semua kalian akan menerima kematian saat ini juga!"

Ning Rakanini jadi marah. Mulut segi tiganya memaki berulang kali lalu dua tangan dipentang ke kiri dan kanan. Saat itu dua tangan tampak berubah menjadi hitam dan memancarkan cahaya menggidikkan. Dua belas gadis pelayan bermuka bopeng tundukkan kepala seolah pasrah menerima hukuman maut!

Tiba-tiba salah seorang diantara para gadis bermuka bopeng berdiri dari berlutut lalu melangkah ke hadapan Ning Rakanini. Di depan si nenek dia jatuhkan diri berlutut.

"Kau. Perlihatkan wajahmu!'' Bentak Ning Rakanini.

Si gadis segera tanggalkan topeng yang menutupi wajah dan kini terlihat muka aslinya. Ternyata dia adalah seorang gadis berkulit kuning berwajah ayu jelita.

"Menur Kembiri!" Teriak Ning Rakanini menyebut nama si gadis. "Jadi kau orangnya! Katakan apa yang telah kau lakukan dengan minuman di dalam cangkir!"

"Mohon ampunanmu Ajeng Puteri Ning Rakanini. Seorang pemuda asing telah menyuruh saya memasukkan sejenis bubuk merah ke dalam minuman dalam cangkir. Saya tidak kuasa menolak karena saya telah bercinta dengan dia." Sang pelayan menyebut si nenek dengan panggilan Ajeng Puteri.

"Jahanam kurang ajar! Siapa pemuda itu! Dimana dia sekarang?!" Hardik Ning Rakanini Gadis bernama Menur Kembiri angkat kepala, memandang seputar ruangan lalu menunjuk ke atap ruangan sudut sebelah kiri. Walau tidak melihat apa-apa namun tidak menunggu lebih lama Ning Rakanini segera hantamkan dua tangannya ke sudut atas ruangan yang ditunjuk si pelayan.

"Blarrr...!" Dua larik sinar hitam menderu ke atap ruangan.

"Brakkk...!" Sudut atap ruangan hancur berantakan, memunculkan satu lobang besar. Sesaat sebelum dua larik sinar pukulan sakti si nenek menghancurkan atap ruangan di sudut kiri selarik cahaya kuning tampak melesat. Ketika atap hancur membentuk lobang, pada lobang besar itu tampak berdiri seorang anak lelaki berpakaian mewah serba hitam. Di telinga kiri mencantel sebuah anting emas.

"Kurang ajar! Pembohong sialan! Cuma seorang bocah kau menyebutnya seorang pemuda!" Teriak Ning Rakanini sambil pelototkan mata pada Menur Kembiri. Dalam keadaan tambah marah si nenek melesat dari kursi batu. Dua tangan diluruskan ke arah si bocah, tinju dikepal. Dari dua kepalan kemudian menyembur cahaya kebiruan.

"Ning Rakanini! Tahan serangan!"

Teriak Resi Kali Jagat tapi si nenek tidak perduli. Tubuhnya terus melesat malah dia lipat gandakan tenaga dalam. Anak lelaki yang berdiri di dalam lobang besar di atap bangunan hentakkan kaki kanannya ke pinggiran lobang. Saat itu juga udara terasa pengap. Sosok Ning Rakanini yang melesat dalam ruangan mendadak tertahan dan mengapung di udara. Resi Kali Jagat dan semua orang yang ada di tempat itu juga merasa tubuh mereka kaku.

Si bocah tertawa bergelak. Matanya memandang berkilat ke arah bungkusan kain hitam di atas meja batu. Ketika dia hendak melompat siap mengambil bungkusan berisi guci putih tiba-tiba ada suara seperti orang melangkah. Hebatnya setiap langkah yang terdengar membuat seluruh bangunan terasa bergoyang. Lalu ada suara mengiang yang ditelinga si bocah di dalam lobang di atas atap.

"Sang Junjungan! Ada mahluk asing datangi. Lekas pergil Saat ini kita belum beruntungl Lain kali kita coba lagi"

Anak lelaki unjukkan wajah tidak senang. Mata masih memandang berkilat ke arah bungkusan kain hitam. Namun dia maklum harus mengalah. Si bocah membuat gerakan. Tapi bukannya melesat meninggalkan ruangan melainkan justru melayang turun memasuki ruangan dan menyambar tubuh Menur Kembiri lalu dipanggul. Si bocah hentakkan kaki kanan ke lantai. Begitu sebuah lobang besar dan dalam muncul di lantai si bocah segera ceburkan diri ke dalam lobang. Sesaat kemudian lobang lenyap, lantai kembali rata seperti semula.

Hanya sesaat setelah si bocah kabur memboyong gadis pelayan yang cantik itu Ning Rakanini mampu gerakkan tubuh dan melayang turun ke atas kursi batu. Resi Kali Jagat serta sebelas pelayan perempuan lainnya juga lepas dari ilmu aneh yang membuat mereka semua kaku tak mampu bergerak.

"Ampusena! Kau melarang aku menyerang bocah itu! Kenapa? Memang dia siapa? Kau lihat sendiri dia membawa kabur seorang pelayanku! Bocah itu kurasa baru berusia sekitar dua belas tahun. Tapi sudah tahu perempuanl Bedebah jahanam! Ampusena kau juga mendengar penjelasan dan tahu kalau bocah itu hendak meracunmu melalui pelayan itu! Dia mampu masuk menerebos ke tempat ini. Baru satu kali terjadi seumur hidupku ada orang bisa masuk tanpa izinku!"

"Ning Rakanini, maafkan aku. Aku bermaksud baik. Mencegahmu agar tidak membuka silang sengketa dengan kelompok orang-orang jahat yang menyanjung apa yang dinamakan Sukma Merah. Bocah tadi adalah Dirga Purana, seorang anak sakti yang sering membantu orang-orang Sukma Merah. Aku yakin dia datang ke sini bukan cuma hendak membunuhku, tapi juga ingin merampas guci putih berisi jabang bayi."

"Nah, nah ternyata dia seorang bocah jahat anggota komplotan Sukma Merahi. Aku pernah mendengar pimpinan kelompok itu. Satu mahluk alam roh bernama Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Tapi aku dengar nyawanya sudah amblas. Aku menyesal kau telah menghalangi diriku membunuhnya. Padahal kalau tadi aku bisa menghabisinya berarti aku telah berbuat bakti besar pada Kerajaan Mataram! Bukankah komplotan itu yang telah menimbulkan malapetaka Malam Jahanam di Bhumi Mataram?"

"Ning Rakanini, tidak aku cegahpun kau tidak bisa membunuhnya. Dia keburu mengeluarkan kesaktian yang disebut Ilmu Membungkam Bumi. Dalam lingkaran sepuluh tombak semua mahluk hidup yang ada akan menjadi kaku tak mampu bergerak."

Si nenek terdiam sejurus. Dia berpaling ke kiri dan kanan ke arah para pelayan bertopeng wajah bopeng. "Kalian semua! Kembali ke tempat kalian" Si nenek menghardik.

Sebelas pelayan yang sejak tadi berlutut segera berdiri lalu berlari keluar meninggalkan ruangan lewat dua pintu di dinding. Setelah semua pelayan keluar dua pintu kembali bergeser menutup.

Tinggal berdua di dalam ruangan Ning Rakanini berkata. "Ampusena, aku merasa malu dan sangat terpukul. Ada orang mampu menembus masuk ke tempatku ini. Aku harus membenahi pengamanan kalau tidak tempat ini tidak bisa lagi dinamakan Rumah Ketenteraman dan Keselamatan. Aku mohon kau mau meninggalkan tempat ini sekarang juga."

"Aku mengerti kesulitan yang kau hadapi. Namun kalau aku boleh bertanya apakah ucapanmu tadi berarti kau menolak ketitipan guci putih berisi jabang bayi ini?"

"Aku tidak menolak. Tapi dengan adanya kejadian seorang bocah bisa menerobos masuk lalu kabur begitu saja dari sini, aku tidak bisa menjamin keselamatan guci."

Tiba-tiba suara langkah-langkah aneh yang membuat bangunan bergoyang muncul kembali. Di lobang di atas atap muncul satu kepala luar biasa besar berkepala botak. Kepala raksasa. Di kening ada tanduk memancarkan cahaya merah. Sepasang mata besar menjorok keluar, bagian putihnya hanya memiliki satu titik hitam kecil, melirik berputar. Lalu terdengar suara seperti orang mengorok. Ketika dua lobang hidung menghembuskan nafas, baik si nenek maupun sang Resi merasa mata mereka menjadi perih. Lalu terdengar si pemilik kepala di lobang berucap.

"Jika tidak ada yang mau ketitipan guci putih berisi jabang bayi Itu, berikan padaku"

Resi Kali Jagat dan Ning Rakanini sama-sama terkejut. "Ada lagi yang mau membuat onar dan menerobos masuk ke dalam tempat kediamanku!" Kata si nenek. Dua tangan diangkat dan serta merta menjadi hitam berkilat.

"Tahan! Jangan!" Resi Kali Jagat cepat berteriak...!

T A M A T

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.