MERINGKIK DI LEMBAH HANTU
Memandang ke depan kaget Ki Joran Dhamakaru jadi bertambah-tambah. Sepasang mata mendelik terbeliak. Di depan sana berdiri satu sosok berpakaian putih.
“Binatang atau manusia atau mahluk jejadian...? Tubuh manusia, bicara seperti manusia tapi kepala dan kaki seperti kuda. Berbulu putih... astaga! Mahluk aneh itu telah mencabut tombak Naga Sungkem dari tanah..."
"Kembalikan tombakku!" Teriak Ki Joran Dhamakaru.
Mahluk di antara dua batang pohon tertawa. Suara tawanya aneh. Antara suara tawa manusia dan ringkikan kuda! "Siapa saja yang berani datang ke Lembah Hantu berarti dia telah menyerahkan segala-galanya pada penguasa lembah. Termasuk nyawanya! Apa lagi cuma sebatang tombak butut begini! Ha ha ha...!"
DESA Gentasari yang terletak di pedataran subur di sisi utara Kali Oyo masih tenggelam dalam kegelapan malam serta udara luar biasa dingin karena sore sebe-lumnya hujan turun sangat tebal. Kesunyian yang menyelimuti desa dipecah oleh suara roda gerobak ditarik seekor kuda coklat besar. Walau kuda penarik gerobak sudah lari kencang seperti dikejar hantu di jalan yang becek namun pemuda yang menjadi sais masih saja terus menghujani punggung binatang itu dengan cemeti di tangan kiri sementara tangan kanan memegang tali les kuda kencang-kencang.
Dari kejauhan gerobak tampak seperti kosong, tidak ada barang tidak ada penumpang. Namun di lantai gerobak saat itu terkapar dua sosok mayat Keduanya laki-laki berusia muda. Kepala dan tubuh mereka utuh, tidak tampak ada bekas luka atau pukulan, juga tidak ada noda darah. Namun sepasang mata mereka kelihatan membeliak besar seperti mau berlompatan dari rongganya. Agaknya sebelum menemui ajal kedua orang Ini telah melihat sesuatu yang sangat menakutkan!
Di depan sebuah rumah besar berpekarangan luas, sais hentikan gerobak. Sebelum dia melompat turun, pintu depan rumah besar terbuka lebar. Seorang lelaki berpakaian serba hitam keluar, mendatangi dengan cepat. Walau wajah garang berkumis tebal dan berjanggut lebat namun air mukanya tampak letih karena kurang tidur sejak dua malam yang lalu. Wanadhaya pemuda sais gerobak melompat turun. Sebelum ditanya dia sudah jatuhkan diri di hadapan lelaki yang barusan keluar dari rumah. Walau suara terbata-bata karena nafas mengengah, dia cepat berkata,
"Bapak Kepala Desa, Ki Joran Dhamakara, saya... saya berhasil menemukan mereka. Tapi..." Si pemuda tidak meneruskan ucapan. Dia berpaling ke arah gerobak.
Ki Joran Dhamakara yang adalah Kepala Desa Gentasari segera menghampiri gerobak. Memandang ke dalam dan melihat dua mayat pemuda yang tergeletak di lantai gerobak wajah kuyunya berubah tegang membesi. Setelah menarik nafas dalam dia berucap perlahan.
"Dewa Bathara Agung... Aku sudah menduga...!" Kepala Desa ini ulurkan tangan, singkap baju yang dikenakan dua pemuda yang telah menjadi mayat. Pada masing-masing dada mayat dia melihat jelas tanda kebiru-biruan berbentuk ladam atau tapal kuda. "Kematian dua pemuda ini sama dengan dua pemuda terdahulu. Ada tanda ladam kuda di dada... Apakah benar-benar seekor kuda yang telah membunuh mereka? Akalku tidak bisa menerima. Tapi banyak orang mengatakan mendengar suara itu. Suara ringkik kuda..."
"Ki Joran, apa yang harus kita lakukan...?“ bertanya Wanadhaya.
"Bangunkan tetangga. Jenasah dua pemuda ini harus diurus malam ini juga. Paling lambat pada fajar menyingsing keduanya bisa diperabukan. Jangan lupa memberi tahu kejadian ini pada kedua orang tua mereka."
Wanadhaya segera hendak beranjak dari tempat itu. Namun bahunya dipegang oleh Kepala Desa. "Wanadhaya, dua pemuda sahabatmu ini, apakah mayatnya kau temukan di tempat yang sama dengan dua mayat yang ditemukan penduduk sebelumnya?"
"Benar sekail Ki Joran"
"Benar sekali apa?"
"Sa... saya menemukan mereka tak jauh dari Lembah Hantu..."
"Lembah Hantu" Ki Joran Dhamakara berucap perlahan. "Bagaimana lembah itu tiba-tiba saja di beri nama Lembah Hantu. Ada berita tersebar kalau di situ kini ada penghuni seorang sakti yang konon siap menurunkan ilmu kepandaian kepada siapa saja yang bisa menemuinya, terutama para pemuda. Anehnya hampir setiap malam dari arah lembah terdengar suara kuda meringkik. Para pemuda pemberani mendatangi lembah untuk mendapatkan ilmu kesaktian. Yang mereka dapatkan justru kematian! Sembilan pemuda pergi ke lembah. Hanya empat yang kembali. Itulah dalam keadaan mati. Lalu kemana mereka yang berlima..."
Kepala Desa berpaling pada Wanadhaya, pemuda yang tegak di sampingnya. "Sebelum kau pergi, siapkan kudaku...."
"Bapak Kepala Desa mau pergi kemana?" tanya Wanadhaya.
"Sudah empat penduduk desa menemui ajal. Lima orang tidak diketahui nasib keadaannya. Apakah aku hanya akan berpangku tangan? Saatnya aku melakukan sesuatu."
"Maksud Ki Joran. mau pergi ke Lembah Hantu..."
"Apapun namanya aku harus pergi ke sana. Siapkan saja kudaku. Jangan banyak tanya lagi!" jawab Kepala Desa Gentasari lalu masuk ke dalam rumah.
Ketika Wanadhaya kembali ke halaman depan membawa seekor kuda hitam besar. Ki Joran sudah menunggu. Kini dia mengenakan pakaian ringkas warna kelabu. Sebilah keris bersarung perak terselip di pinggang. Di tangan kanan Kepala Desa Ini memegang sebatang tombak yang ujung lancipnya dilapis perak murni. Dalam kegelapan malam ujung tombak tampak memancarkan cahaya terang. Pada bagian bawah mata tombak memancarkan cahaya terang. Pada bagian bawah mata tombak terdapat ukiran berbentuk naga bergelung. Inilah salah satu senjata sakti milik Ki Joran Dhamakara yang konon bernama Naga Sungkem. Di leher Kepala Desa tergantung sebuah kalung kain hitam tebal berbentuk empat persegi.
"Ki Joran...." berkata Wanadhaya. "Kalau Ki Joran hendak ke Lembah Hantu, sebaiknya jangan sendirian..."
"Kau hendak menemaniku?" tanya Kepala Desa.
Wajah si pemuda langsung pucat. Dia susun sepuluh jati di atas kepala seraya berkata. "Kalau disuruh ke sana lagi, saya minta ampun. Tapi saya bisa memanggil beberapa orang teman untuk menemani Ki Joran..."
"Tidak ada gunanya." Kata Kepala Desa pula. "Dengar baik-baik. Kalau sampai tengah hari besok aku tidak kembali ke desa ini, berarti aku sudah menemui ajal. Cari mayatku di dalam lembah..."
Ucapan Kepala Desa terputus. Tiba-tiba terdengar suara meringkik disertai derap kaki kuda mendatangi. Ki Joran Dhamakara dan Wanadhaya terkejut. Keduanya segera palingkan kepala. Cepat sekali. hanya sekilas dan itupun nyaris menyerupai bayang-bayang, di hadapan mereka bergemuruh lewat mahluk aneh. Dalam sekejapan mata mahluk itu telah lenyap.
Wanadhaya usap tengkuknya yang terasa dingin. Ki Joran masih kelihatan tenang walau dadanya berdebar kencang. "Ki... Ki Joran.... Mahluk apa yang barusan lewat...?" bertanya Wanadhaya sementara mata masih menatap tak berkesip ke arah lenyapnya mahluk-mahluk bayangan tadi, kuduk masih merinding.
"Tak dapat dipastikan. Aku hanya melihat sekilas. Jumlah mereka mungkin lebih dari sepuluh. Hantu lembah atau mahluk jejadian apa. Kalau benar-benar kuda mengapa tubuh mereka tegak seperti manusia Kalau manusia mengapa berkepala dan meringkik seperti kuda."
Wanadhaya memandang ke tanah lalu berkata. "Aneh... mengapa di tanah tidak ada bekas jejak kaki mereka? Padahal tanah dalam keadaan becek. Tadi jelas sekali terdengar suara kaki seperti tapal kuda mendera tanah yang mereka lewati..."
"Ini keanehan yang harus aku selidiki," sahut Kepala Desa. "Yang disebut Lembah Hantu jauh dari sini. Jika mahluk-mahluk itu sudah gentayangan sampai ke sini berarti mereka mencari sesuatu. Berarti bahaya sudah semakin meluas mengancam penduduk. Wanadhaya, lakukan tugas yang aku berikan padamu..." Lalu tanpa bicara lebih banyak Ki Joran Dhamakara melompat ke atas punggung kuda. Sesaat kemudian sosok Kepala Desa Gentasari ini bersama kuda tunggangannya sudah lenyap ditelan kegelapan.
Kawasan sepanjang utara Kail Oyo merupakan daerah subur. Di sana terdapat beberapa buah lembah dengan kemiringan sangat cukup tajam, nyaris membentuk jurang lebar hingga tidak ada penduduk yang mau bercocok tanam disitu. Salah satu lembah yang paling besar terletak di bagian tengah di utara Dlingo, sekitar selengah hari perjalanan dari Desa Gentasari. Inilah yang oleh penduduk sekitar kawasan itu disebut-sebut sebagai Lembah Hantu. Di masa lalu masih ada penduduk yang melintas atau turun ke dalam lembah.
Namun sejak diketahui adanya peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi di tempat itu, kini tidak seorangpun berani mendekat Konon pada malam hari sering terdengar suara ringkikan kuda Selain itu pada slang hari, kerap kali terlihat serombongan mahluk aneh berkelebat cepat, keluar atau masuk ke dalam lalu lenyap begitu saja dengan meninggalkan suara derap kaki kuda di kejauhan.
Karena tahu jalan memintas dan memacu kuda sekencang yang bisa dilakukannya, jauh sebelum sang surya terbit di timur Ki Joran Dhamakara telah sampai di bibir lembah sebelah selatan. Dalam kegelapan yang masih menghitam dia nyaris tidak melihat apa-apa selain deretan pepohonan serta semak belukar lebat. Namun Kepala Desa yang memiliki ilmu kesaktian cukup tinggi ini selagi di atas punggung kuda sudah mampu merasakan bahwa di sekitar lembah ada sesuatu. Sesuatu yang bernyawa dan bernafas seperti dirinya. Banyak sekali. Tetapi belum tentu bisa dikatakan sebagai manusia.
Setelah merapal doa keselamatan, menggosokkan jimat kain hitam di atas kening dan memegang tombak Naga Sungkem erat-erat di tangan kanan, Ki Joran Dhamakara memandang sekali lagi berkeliling. Gelap, sunyi dan dingin. Perlahan-lahan Kepala Desa Gentasari ini tundukkan kepala, mulut didekatkan ke kuda hitam tunggangannya lalu berbisik.
"Bayu Ireng, meringkiklah tiga kali. Jika kita mendapat sahutan berarti lembah ini memang ada penghuninya...." Selesai mengeluarkan ucapan Ki Joran Dhamakara usap tengkuk kuda hitam dengan tangan kiri sambil merapal mantera. Lalu dengan tangan yang sama dia menepuk pinggul binatang Itu.
"Sekarang Bayu! Meringkiklah!"
Mendengar ucapan sang majikan serta tepukan pada pinggul, seolah mengerti apa yang diperintahkan, kuda hitam besar itu lalu dongakkan kepala dan meringkik tiga kali berturut-turut. Tidak menunggu lama tiba-tiba dari dasar lembah sebelah timur terdengar sahutan ringkik kuda, hanya dua kali. Suara ringkikan ke tiga mendadak lenyap seolah mahluk yang meringkik dicekik atau ditabas batang lehernya!
"Arah timur. Kira-kira dua ratus tombak dari sini... Bayu! Cepat!"
Kuda hitam kibaskan ekor lalu berputar dan lari dengan sebat ke arah timur.
DI DASAR lembah sebelah timur dari atas sebatang pohon besar melesat turun seorang berpakaian putih. Gerakan luar biasa enteng, pakaian yang diterpa angin tidak mengeluarkan suara. Begitu juga ketika dua kakinya menginjak tanah. Dua kaki ini, Ternyata bukan berbentuk kaki manusia. melainkan merupakan kaki kuda lengkap dengan ladam besinya, berbulu putih, dan di sebelah atas, mulai dari pangkal leher orang ini memiliki kepala menyerupai kuda berbulu putih. Yang hebatnya, di tangan kanan mahluk bertubuh manusia kepala dan kaki kuda ini memegang sebilah golok besar berlumuran darah.
Setelah lari cukup jauh orang Ini sampai dihadapan dua pohon besar. Dia langsung menyelinap diantara dua batang pohon. Golok berdarah diselipkan ke pinggang. Tangan kiri kanan memegang pohon lalu menekan. Terdengar suara siuran angin halus. Tanah yang diinjak sepasang kaki kuda orang itu bergerak turun. Sesaat kemudian mahluk bertubuh manusia berkaki dan berkepala kuda lenyap seperti ditelan bumi.
Tak selang berapa lama, jauh di dasar lembah yang oleh penduduk disebut sebagal Lembah Hantu mahluk berpakaian putih berkepala kuda berbulu coklat tadi sampai ke sebuah pedataran luas. Di sini terlihat satu pemandangan hebat! Lima puluh sosok manusia berkepala dan berkaki kuda berbulu putih tegak lurus dalam dua barisan memanjang. Tidak satupun yang bergerak atau bersuara, bahkan sepasang mata menatap lurus ke depan, tidak berkedip barang satu kalipun!
Namun ketika orang berpakaian putih muncul di ujung pedataran sebelah barat dan melangkah cepat melewati mereka, ke lima puluh manusia berkepala kuda Ini serentak sama-sama tundukkan kepala. Setelah orang tadi lewat baru mahluk-mahluk itu kembali luruskan kepala masing-masing seperti dia. Sampai di ujung pedataran sebelah timur orang berkepala kuda putih berlutut lalu bersujud dan menyentuhkan kening tiga kali ke tanah. Pada kail ke tiga kening tetap ditempel di tanah dan baru bangkit berdiri ketika ada kilauan cahaya tiga warna memancar dari dalam tanah.
“Kanjeng Panglima, saya Abdika Brathama datang membawa berita buruk..."
Cahaya tiga warna bergerak ke kiri dan ke kanan. Lalu ada suara gema jawaban, datang dari dalam tanah. "Abdika Brathama, ceritakan berita buruk apa yang kau bawa"
"Ada penyusup memasuki Lembah Hantu dari arah selatan. Dia berhasil memancing keberadaan kita dengan menyuruh kudanya meringkik. Ringkikan telah dibalas oleh Ceti Kanwa, kuda coklat pengiring saya...."
"Ceti Kanwa berasal dari orang berkepandaian cukup tinggi. Tidak mungkin dia bisa terpengaruh suara dari luar...."
"Saya kira ada orang berkepandaian lebih tinggi dari Ceti Kanwa menerapkan Ilmu kesaktian. Besar kemungkinan dia adalah pemilik kuda yang meringkik di lembah arah selatan. Ceti Kanwa mungkin tidak sengaja balas meringkik karena menyangka kawan sendiri..."
"Sengaja atau tidak sengaja kesalahan telah terjadi. Orang luar telah mengetahui keberadaan kita. Tindakan apa yang telah kau lakukan Abdika Brathama?" Suara di dalam tanah bertanya dan cahaya tiga warna berkilau lebih terang.
"Saya telah menjagal kepala Ceti Kanwa hingga putus!" Menjawab mahluk berkepala kuda putih yang menyebut diri Abdika Brathama.
"Bagus! Setiap kesalahan ada hukumnya. Siapa yang salah wajib dihukum. Tapi Ingin bukti! Tunjukkan bukti!"
Abdika Brathama cabut golok besar yang terselip dipinggang. Golok yang masih berlumuran darah itu diletakkan di tanah. Sesaat kemudian cahaya tiga warna kembali bergerak dan dari dalam tanah terdengar suara.
"Abdika Brathama, golok berdarah tidak membuktikan apa-apa. Perlihatkan padaku secara gaib apa yang telah kau lakukan. Jika kau berdusta maka golok itu akan kupakai memenggal kepalamu! Aku punya tanggung Jawab besar yang harus aku berikan pada Junjungan!"
"Mohon izinmu kanjeng Panglima," kata Abdika Brathama.
Setelah membungkuk dalam-dalam lalu manusia berkepala dan berkaki kuda berbulu putih ini membuat gerakan-gerakan silat. Gerakannya luar biasa enteng dan cepat. Dua kaki yang dilapisi ladam besi sama sekali tidak mengeluarkan suara walau berulang kali menghentak tanah pedataran hingga debu mengepul. Setelah tiga jurus berlalu dia berhenti, menarik nafas dalam. Bersamaan dengan melepas nafas dia bentangkan dua tangan ke sisi kiri dan kanan.
Saat itu juga muncul asap kelabu, bergelung keluar dari tanah. Asap ini berlahan-lahan berubah membentuk sosok seekor kepala kuda berwarna coklat, bersambung dengan tubuh manusia berjubah hitam yang kemudian berakhir pada sepasang kaki berupa kaki kuda lengkap dengan tapal besi. Inilah Ceti Kanwa. mahluk seperti Abdi Brathama, tubuh manusia tapi kepala dan kaki berujud kuda. Selama ini Ceti Kanwa selalu menyertai kemana Abdika Brathama pergi.
Di saat yang bersamaan, muncul pula kepulan asap kedua berwarna putih yang kemudian berbentuk ujud sosok Abdika Brathama. Di kejauhan terdengar ringkikan kuda tiga kali. Mendengar suara ringkikan ini Ceti Kanwa, manusia kuda berbulu coklat dongakkan kepala, siap membalas ringkikan. Sosok asap Abdika Brathama berteriak memberi ingat
"Ceti Kanwa! Jangan dibalas ringkikan itu!"
Tapi terlambat. Dari tenggorokan Ceti Kanwa telah melesat keluar dua kail ringkikan. Ketika dia hendak meringkik yang ke tiga kali, sosok gaib Abdika Brathama segera mencabut golok besar dan langsung membabat putus leher Ceti Kanwa. Abdika Brathama yang tegak di pedataran, mainkan kembali tiga jurus Ilmu silat aneh. Perlahan-lahan kepulan asap lenyap. Sosok Ceti Kanwa dan Abdika Brathama ikut sirna.
"Kanjeng Panglima, begitulah kira-kira kejadian-nya," kata Abdika Brathama.
"Bagus! Aku sudah melihat kenyataan. Aku sudah melihat bukti!" Suara dari alam tanah berucap.
"Terima kasih Kanjeng Panglima mempercayai saya..."
"Tapi menerima bukti dan melihat kenyataan belum berarti aku mempercayai dirimu. Ada yang ingin aku tanyakan. Setelah semua ini terjadi apa yang akan kau lakukan?"
Abdi Brathama terdiam sesaat baru menjawab. "Saya mengerti maksud Kanjeng Panglima. Saya akan menghadapi penyusup itu sebelum dia menemukan tempat ini dan membunuhnya. Kecuali Kanjeng Panglima berkehendak lain...."
"Si penyusup, apakah kau mengenal siapa dia adanya?" tanya suara dari dalam tanah sementara cahaya tiga warna kembali bergerak-gerak.
"Saya mengenal sekali Kanjeng Panglima. Namanya Joran Dhamakara. Dia Kepala Desa Gentasari...."
"Apakah dia memiliki ilmu kepandaian dan kesaktian?"
"Setahu saya ilmu silatnya cukup tinggi. Kesaktiannya lumayan. Selain itu dia membekal tiga benda bertuah..."
"Ceritakan padaku mengenai tiga benda bertuah itu"
"Yang pertama sebuah jimat, dibungkus kain hitam persegi empat dikalung di leher. Benda kedua, sebilah keris bersarung perak. Yang ketiga sebatang tombak bermata perak murni bernama Naga Sungkem."
"Apakah Kepala Desa itu berasal dari selatan atau utara?"
"Selama puluhan tahun dia tinggal di wilayah selatan. Hubungannya dengan Kerajaan di utara tidak terlalu dekat.."
"Kalau begitu orang tersebut jangan dibunuh. Kita akan memasukkannya ke dalam jajaran Balatentara Mataram Baru. Jimat di dalam kain dan keris bersarung perak tidak ada manfaatnya, harus kau musnahkan. Tapi tombak Naga Sungkem harus kau rampas dan serahkan padaku sebelum sang surya mencapai titik tertingginya, hari ini!"
"Ucapan Kanjeng Panglima saya dengar. Perintah segera saya jalankan! Satu hal perlu saya beritahukan. Ki Joran Dhamakara memiliki seekor kuda hitam bernama Bayu Ireng..."
"Aku tahu maksudmu. Jadikan dia mahluk Tuman Keku. Satukan sang kuda dan majikannya!" (Tuman Keku = Tubuh Manusia Kepala dan Kaki Kuda)
"Akan saya laksanakan Kanjeng Panglima. Namun saya ada satu pertanyaan. Apakah dia akan diberi kemampuan bicara atau bisu seribu bahasa seperti Tuman Keku yang lain-lainnya?"
"Berikan dia kemampuan bicara. Tapi dia hanya bisa bicara jika kita tanya dan perintah. Lain dari itu dia tetap mahluk bisu seribu bahasa."
"Terima kasih Kanjeng Panglima, Perintah akan segera saya laksanakan."
Abdika Brathama lalu bersujud dan sentuhkan kening tiga kali ke tanah. Saat itu juga cahaya tiga warna lenyap dari pemandangan. Pembantu Utama mahluk yang disebut Kanjeng Panglima Ini ambil golok yang tergeletak di tanah lalu cepat-cepat tinggalkan tempat itu.
HANYA beberapa saat setelah Abdika Brathama meninggalkan pedataran rahasia di bawah dasar Lembah hantu tiba-tiba terdengar suara deburan ombak serta tiupan angin kencang. Lima puluh mahluk berkepala dan berkaki kuda yang ada di pendataran langsung berlutut lalu bersujud di tanah.
Di satu tempat dari mana tadi suara Kanjeng Panglima keluar dari tanah terdengar suara berat menggema yang menggetarkan tanah pedataran. Maka terjadilah pembicaraan antara dua mahluk yang tidak kelihatan ujud masing-masing. Sesekali ada cahaya tiga wama merah, biru dan hitam memancar dari dalam tanah.
"Panglima Pawang Sela, aku perintahkan agar kau segera datang ke tempatku...."
"Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru. saya mendengar suaramu. Saya menghaturkan sembah dan sujud dan saya akan segera menghadap Junjungan saat ini juga...."
"Aku punya firasat kita belum tentu akan berhasil mendapatkan dua bayi begitu mereka dilahirkan secara gaib. Berarti kita hanya punya waktu enam purnama lagi sebelum dua bayi mencapai usia tujuh bulan. Mereka bukan bayi-bayi biasa. Pada usia tujuh bulan keduanya akan sama dengan anak seusia tujuh tahun. Sebelum hal itu terjadi, kau harus sudah mendapatkan tujuh puluh satu Tuman Keku. Jumlah yang disyaratkan untuk melakukan serangan pertama ke utara. Dua bayi itu harus dibunuh. Kalau tidak usaha selanjutnya untuk meruntuhkan Kerajaan Mataram dan mendirikan Mataram baru akan mengalami lebih banyak kendala dan kesulitan. Kau dengar kata-kataku Panglima Pawang Sela...?"
"Saya dengar Junjungan."
"Kau mengerti?!"
"Saya mengerti Junjungan Yang dengan segala hormat saya sebut sebagai Sri Maharaja Ke Delapan."
"Baik. aku tunggu kedatanganmu di lapis ketiga dasar Lembah Hantu."
Terdengar kembali suara deru ombak dan tiupan angin kencang. Lalu lenyap dan sepi. Lima puluh manusia berkepala dan berkaki kuda yang ada di pedataran secara bersamaan berdiri kembali.
KI JORAN Dhamakara hentikan kuda di lereng lembah yang terjal lalu melompat turun. "Bayu Ireng...." kata Kepala Desa Gentasari ini sambil mengusap tengkuk kuda hitam. "Menuruni lembah terjal dan licin akan sangat sulit bagimu. Aku akan meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Kau kembalilah ke desa. Tak usah menunggu...."
Kuda hitam menjilati tangan majikannya tapi sampai Ki Joran Dhamakara beranjak pergi binatang Ini masih tetap berdiri di tempat itu. Kuda yang sangat setia pada majikannya itu kemudian ternyata tanpa diketahui Ki Joran Dhamakara diam-diam mengikuti dari belakang. Mencapai dasar lembah Kepala Desa berhenti sejenak. Saat itu mulai terang-terang tanah karena tak lama lagi fajar akan segera menyingsing. Sambil memegang jimat di tangan kiri dan tombak Naga Sungkem di tangan kanan lelaki Itu berkata.
"Naga Sungkem, aku merasakan ada mahluk lain di sekitar sini. Beri petunjuk padaku..."
Ki Joran Dhamakara memandang berkeliling, memperhatikan ke atas pohon-pohon besar di sekitarnya. Dia tidak melihat apa-apa. Tiba-tiba tombak sakti di tangan bergetar. Mata tombak yang terbuat dari perak mumi mengeluarkan cahaya berpijar. Tanpa dapat dicegah tombak itu terlepas dari tangan Kepala Desa lalu melesat sejauh tiga puluh langkah untuk kemudian menancap di tanah antara dua batang pohon besar.
"Bagus, tombak Naga Sungkem berhasil menemukan arah sumber suara ringkikan kuda tadi. Dewa Agung, tolong saya menemukan sumber malapetaka. Beri saya kekuatan untuk menumpas semua angkara murka di Bhumi Mataram ini"
Ki Joran Dhamakara memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa. Dengan cepat Kepala Desa Gentasari ini kemudian berlari ke arah dua pohon dimana tombak sakti Naga Sungkem menancap di tanah, tiba-tiba ada satu bayangan putih melesat disertai suara orang berseru memerintah.
"Joran Dhamakara! Cukup langkahmu sampai di situ! Berhenti! Jangan berani bergerak sebelum aku memberi ijin"
Dalam keterkejutan dan juga ada rasa jengkel, Kepala Desa Gentasari hentikan langkah. Memandang ke depan, ke arah celah dua pohon besar. kaget orang ini jadi bertambah-tambah. Di depan sana berdiri satu sosok berpakaian putih. Sepasang mata Ki Joran mendelik terbeliak.
"Binatang atau manusia atau mahluk jejadian...? membatin Ki Joran Dhamakara. "Tubuh manusia, bicara seperti manusia tapi kepala dan kaki seperti kuda. Berbulu putih... Astaga! Mahluk aneh ini telah mencabut tombak Naga Sungkem dari tanah. Seperti dia ingin menguasai senjata sakti itu!"
Tidak peduli peringatan orang Ki Joran Dhamakara melangkah maju sambil berteriak. "Kembalikan tombakku!"
Mahluk diantara celah dua pohon tertawa. Suara tawanya aneh. Antara tawa manusia dan ringkikan halus kuda. "Siapa saja yang berani datang ke Lembah Hantu, berarti dia telah menyerahkan segala-galanya pada penguasa Lembah Hantu! Termasuk nyawanya. Apalagi cuma sebatang tombak butut begini. Ha..ha...ha!"
"Kurang ajar, siapa penguasa Lembah Hantu? Katakan padaku! Jangan berani menghina senjata pusaka milikku. Mahluk salah bentuk. Kau sendiri siapa?"
"Namaku Abdika Brathama. Aku mewakili Penguasa Lembah Hantu. Dan aku tidak akan mengembalikan tombak ini padamu."
"Mahluk salah kaprah! Kau pasti mahluk kutukan Dewa! Mewakili Penguasa Lembah Hantu katamu! puah!" Ki Joran meludah ke tanah. "Bagiku kau tidak lebih dari seorang penyamun bertopeng dan berkaki palsu! Topeng kuda kaki kuda!"
Abdika Brathama tertawa tergelak-gelak.
"Tanggalkan topeng keparat itu atau topeng akan aku buat melesak menjadi satu dengan batok kepala dan wajahmu!"
"Joran Dhamakara, Kepala Desa Gentasari. Aku sudah tahu. Aku sudah mengukur sampai dimana ilmu kepandaian dan kesaktianmu! Berserah dirilah secara pasrah maka kau akan aku beri kedudukan cukup tinggi sebagai anggota Pasukan Kerajaan Mataram Baru yang ke lima puluh satu...."
"Mahluk celaka ini tahu seluk beluk diriku..." ucap Ki Joran Dhamakara dalam hati.
"Joran Dhamakara, kebetulan sekali kuda hitam tungganganmu bernama Bayu Ireng menyusul ke sini hingga aku tidak susah-susah mencari pasangan dirimu..."
Kepala Desa Gentasari itu terkejut. Menoleh ke belakang dia melihat Bayu Ireng, kuda yang ditinggalkannya di lereng lembah sudah berada di tempat itu. Bintang ini tampak gelisah. Ekor dikipas tiada henti sementara kepala tidak bisa diam, selalu bergerak ke kiri atau ke kanan, sesekali menyusup ke bawah atau mendongak ke atas.
"Sesuatu akan terjadi. Ada bahaya besar mengancam. Bukan cuma diriku, tapi juga kuda ini. Bayu Ireng berusaha memberi tahu padaku dengan semua gerakannya itu..."
"Abdika Brathama, siapapun kau adanya. setan atau mahluk jejadian. Kau mengaku mewakili Penguasa Lembah Hantu. Berarti kau bertanggung jawab atas kematian empat pemuda desa serta lenyapnya lima pemuda lainnya!"
"Kau Kepala Desa yang baik. Tahu berapa jumlah warga yang mati dan yang lenyap! Ditambah dengan ilmu kepandaian yang kau miliki, serta tombak Naga Sungkem yang kini menjadi milikku maka kau memang pantas dijadikan anggota utama Pasukan Kerajaan Mataram Baru..."
"Persetan dengan segala ucapanmu! Kembalikan tombak itu atau kau akan..."
"Joran Dhamakara, kau inginkan tombak ini? Jika kau memang keliwat memaksa ambillah!" Mahluk Tuman Keku Abdika Brathama ulurkan tombak Naga Sungkem.
Ki Joran tidak segera mengambil karena melihat mata tombak berkilau mengeluarkan sinar berpijar pertanda orang telah mengalirkan tenaga dalam ke senjata sakti itu. Dan benar saja. Tiba-tiba mahluk berkepala kuda putih itu membuat gerakan menusuk ke arah dada. Begitu yang diserang mengelak melesat serangan susulan berupa gebukan ke arah kepala.
"Traaangg."
Terdengar suara berdentrangan ketika tombak menghantam batok kepala Ki Joran Dhamakara. Abdika Brathama terkejut. Dia menggebuk sekail lagi dengan mengerahkan tambahan tanaga dalam. Kembali terdengar suara berdentrang. Walau kali ini Ki Joran tampak terhuyung-huyung, namun kepala sama sekali tidak cidera. Dalam kejutnya Abdika Brathama menjadi penasaran. Tombak sakti digebukkan ke kepala Kepala Desa itu bertubi-tubi hingga mengeluarkan suara berdentrangan berulang kali. Kepala tetap tidak cidera karena Ki Joran Dhamakara memang memiliki ilmu kebal di bagian kepala yang disebut Wesi Wulung. Namun hantaman yang berulang kali membuat Kepala Desa itu tersenyum pening berputar-putar.
Dalam keadaan seperti itu Ki Joran tarik kalung jimat hitam di leher. Sambil meniup jimat yang menimbulkan buncaran asap hitam dengan gerakan kilat dia cabut keris di pinggang lalu dilemparkan ke arah mahluk kepala kuda yang menggebukinya. Kena menancap telak di dada kanan Abdika Brathama. Tidak ada jerit kesakitan, tidak ada darah mengucur. Ketika keris menancap di dada mahluk Tuman Keku ini kelihatan ada cahaya tiga warna menerangi dadanya.
Sambil menyeringai Abdika Brathama cabut keris yang menancap di dada kanan lalu dibanting hingga amblas masuk ke dalam tanah. Bersamaan dengan itu dia membuat gerakan kilat. Tombak Naga Sungkem bergerak seperti hendak dihunjamkan ke ulu hati Ki Joran Dhamakara. Namun begitu lawan membuat gerakan mengelak Abdika Brathama miringkan tubuh ke kiri lalu sambil keluarkan suara meringkik kaki kanan melesat ka depan.
“Dukk!" Kaki kanan berladam besi menghantam dada kiri Ki Joran Dhamakara dengan telak hingga kepala desa itu terpental, jatuh menelentang tak berkutik, sepasang mata terbeliak. Mulut menganga menggenang darah yang kemudian perlahan-lahan meleleh ke pipi. Orang lain yang terkena tendangan Tuman Keku ini pasti menemui ajal saat itu juga, seperti yang kejadian dengan empat pemuda desa sebelumnya.
Melihat majikannya roboh Bayu Ireng kuda milik Ki Joran Dhamakara meringkik keras. Dua kaki diangkat tinggi-tinggi dan ditendangkan ke arah Abdika Brathama. Tendangan kaki kiri mengenai angin. Tendangan kaki kanan sebelah depan menghantam batang pohon hingga hancur berkeping-keping lalu tumbang dengan suara bergemuruh.
"Binatang jahanam! Kau memang pantas ikut majikanmu!" teriak Abdika Brathama lalu tombak Naga Sungkem ditusukkannya ke dada Bayu Ireng. Didahului suara ringkikan keras kuda hitam besar ini tersungkur ke tanah, tergelimpang di samping tubu Ki Joran Dhamakara tapi majikannya tidak segera menemui ajal.
Abdika Brathama tancapkan tombak Naga Sungkem ke tanah. Lalu berdiri lurus dengan dua kaki terkembang. Sepasang tangan membuat gerakan-gerakan silat aneh hingga memancarkan cahaya tiga warna. Tangan kiri kemudian didorongkan ke arah kuda hitam Bayu Ireng sedang tangan kanan diarahkan ke sosok Ki Joran Dhamakara. Saat itu juga tubuh kuda dan majikannya mengeluarkan letupan keras disertai kepulan asap kelabu. Ketika asap kelabu sirna Bayu Ireng dan Ki Joran Dhamakara tak ada lagi di tempat Itu. Yang kelihatan terbujur di tanah adalah sosok manusia berpakaian hitam, memiliki kepala dan kaki kuda berbulu hitam. Kuda dan majikannya telah berubah menjadi mahluk Tuman Keku.
"Joran Dhamakara. kau sudah menjadi anggota ke lima puluh aatu Pasukan Kerajaan Mataram Baru. Berdirilah dan meringkik satu kali tanda kau setia kepada Kerajaan dan Junjungan Sri Maharaja Ke Delapan!"
Sosok Tuman Keku yang tergeletak di tanah, gabungan antara tubuh manusia dan tubuh kuda menggeliat lalu melompat bangkit Begitu berdiri mahluk ini dongakkan kepala dan meringkik satu kali.
DALAM serial sebelumnya berjudul Dewi Tangan Jerangkong, diriwayatkan ketika hampir celaka ditangan orang bermuka anjing yang mengaku bernama Dharma Soma, Liris Pramawari alias Dewi Tangan Jerangkong diselamatkan oleh Sri Sikaparwathi dan kura-kura saktinya. Si nenek meminta Dewi Tangan Jerangkong untuk tidak membunuh manusia berkepala anjing itu karena ingin lebih dulu menguras keterangan.
Si nenek sangat curiga kalau orang ini mempunyai sangkut paut dengan semua kejadian belakangan ini. Termasuk rahasia Sumur Api serta cahaya tiga warna. Namun hanya sedikit keterangan yang bisa didapat Karena sewaktu dipaksa menerangkan siapa yang dimaksudkannya dengan Sri Maharaja Ke Delapan manusia aneh ini memukul kepalanya sendiri dengan dua tangan hingga hancur dan tewas saat itu juga.
Marah dan penasaran Dewi Tangan Jerangkong lemparkan tiga senjata rahasia besi bulat pipih berwarna biru milik manusia kepala anjing yang sejak tadi dipegangnya, tiga senjata maut masuk amblas ke dalam tubuh orang yang sudah tak bernyawa itu. Tubuh meletup keras terkutung-kutung. Cahaya tiga warna mencuat ke langit, lenyap dari pemandangan.
"Cahaya merah, biru dan hitam..." ucap Sri Sikaparwathi. "Kecurigaanku pada manusia berkepala anjing ini ternyata tidak keliru. Aku pernah melihat sebelumnya. Selain luar biasa sakti, aku punya dugaan ada satu rahasia dibalik tiga cahaya ini! Ada pemilik yang sekaligus menjadi pengendali. Mahluk yang pernah menggandakan diriku? Manusia kepala anjing ini jelas dia merupakan kaki tangan orang sakti dibalik semua kejadian. Dia begitu ketakutan dan tidak mau membuka rahasia siapa adanya Sri Maharaja Ke Delapan. Dia lebih memilih mati bunuh diri!"
"Nenek berpakaian Jingga, aku yang telah kau tolong menghanturkan banyak terima kasih. Sementara aku masih berusaha berbuat kebajikan, kau telah mendahului. Semoga Hyang Bathara Dewa memberi pahala berlipat ganda padamu."
Sri Sikaparwathi berpaling ke arah Dewi Tangan Jerangkong yang saat itu telah berdiri di sampingnya sambil membungkuk dalam. Si gadis kemudian menatap ke atas kepala si nenek dimana bertengger Cahyo Kumolo. kura-kura sakti hijau bermata merah. Mulutnya tersenyum lalu berucap.
"Sahabat bertubuh hijau bermata merah, aku tahu kau juga tadi menolongku dengan semburan cahaya merah dari dua matamu. Aku berterima kasih..."
Kura-kura di atas kepala nenek menggerakkan kepala sedikit lalu keluarkan suara mendesis halus. Kemudian Dewi Tangan Jerangkong yang sebenarnya bernama Liris Pramawari berkata lagi.
"Mengenal cahaya tiga warna, saya pernah bertemu dengan seorang pemuda. Namanya sebayang Kaligantha. Menurut pemuda itu dia memiliki sebuah jimat, menjadi satu dengan tubuhnya. Namun jimat itu kemudian dirampas orang dengan cara menjebol dadanya. Katanya, Jimat itu memiliki cahaya merah, biru dan hitam..."
"Gadis berwajah cantik. Kalau begitu ceritamu, aku, mungkin juga beberapa orang pandai di Bhumi Mataram ini merasa perlu menemui dan mencari pemuda itu untuk ditanyai..." Ucapan nenek mendadak terputus ketika tak sengaja pandangannya membentur tangan kanan gadis di hadapannya dimana sebatas pergelangan tangan kebawah yaitu sampai ke ujung jari hanya merupakan tulang tanpa kulit tanpa daging. Dia melirik ke tangan kiri, ternyata keadaannya juga sama. "Maafkan, aku tidak bermaksud..."
"Tidak apa Nek, keadaan saya memang seperti ini..."
Sri Sikaparwathi sebenarnya hendak bertanya apa yang terjadi hingga dua tangan si gadis berkeadaan seperti itu. Apakah cacat sejak lahir atau ada penyebab yang lain. Namun merasa tidak enak maka nenek ini mengalihkan pembicaraan.
"Sebelumnya aku melihatmu berteriak di tepi jurang. Lalu kau terjun ke dalam jurang dalam dan gelap. Namun kemudian ada dua orang bertubuh hitam keluar dari jurang besar bekas ledakan Sumur Api. Salah seorang diantaranya memanggul sosok perempuan. Kau kulihat melesat keluar dari jurang, mengejar kedua orang hitam itu. Aku mengikutimu dari belakang. Namun kemudian aku temui kau tengah bertarung dengan manusia berkepala anjing itu. Apa yang telah terjadi? Siapa dua orang yang melesat keluar dan dalam jurang?"
"Sebenarnya saya bermaksud mencari seorang teman bersama dua pengikutnya yang masuk ke dalam jurang. Tapi setengah jalan saya justru melihat ada dua orang lelaki kembar hitam melesat keluar dari dalam jurang yang gelap. Masing-masing memboyong seorang bayi. Lalu yang satunya juga memanggul seorang perempuan. Saya membatalkan niat mencari teman tadi lalu mengejar dua orang kembar hitam. Tapi sebelum berhasil tahu-tahu muncul mahluk kepala anjing itu. Rupanya dia yang berada di sebelah depan juga tengah berusaha mengejar dua orang lelaki kembar hitam. Hanya saja, karena saya mengacaukan jalan pikirannya maka dia terpesat dan justru lari ke arah saya..."
"Aku yakin manusia kepala anjing itu mengejar dua manusia hitam untuk merampas bayi..." membatin Sri Sikaparwathi. Lalu dia menatap wajah Liris Pramawari. "Kau mampu mengacaukan jalan pikiran orang hingga berbalik ke arahmu. Semuda ini tapi ilmu kesaktianmu tinggi sekali. Gadis cantik berkerudung putih, kalau aku boleh tahu dirimu, siapakah kau adanya? Siapa gurumu? Mengapa mementingkan mengejar orang yang melarikan dua bayi dari pada mencari teman sendiri?"
Liris Pramawari menyesal telah terlepas bicara mengenai Ilmu mengacaukan jalan pikiran orang itu. Dia sama sekali tidak ada niat untuk menyombongkan diri. Dia bicara tadi polos-polos saja. Karena walau Ilmunya tinggi dan jalan pikirannya jernih namun sebagai gadis muda usia dia tetap saja mempunyai sifat lugu.
"Menurut Nenek, apakah tidak aneh kalau ada dua bayi keluar dari dalam jurang dalam dan gelap. Diboyong dua lelaki kembar. Malah yang satunya membawa seorang perempuan muda?"
"Kau yakin yang dibawa dua orang itu benar-benar bayi?" tanya Sri Sikaparwathi."
"Saya mendengar suara tangisan mereka Nek," jawab Dewi Tangan Jerangkong.
Si nenek merenung sejenak. Tadi dia juga memang mendengar suara tangisan dua bayi itu. Dia lalu teringat pada Gading Bersurat serta cerita yang berkembang di kalangan para tokoh di Bhumi Mataram. Walau dia hanya mengetahui sebagian tulisan sedikit cerita namun hatinya berdetak. "Dua orang bayi. Jangan-jangan anak perawan pilihan Para Dewa itu benar-benar telah melahirkan." Si nenek memandang pada mayat orang berkepala anjing.
"Setiap ada kejadian aneh atau terjadi pembunuhan, cahaya tiga warna selalu muncul. Apakah... Sri Maharaja Ke Delapan. Siapa adanya insan itu? Apakah dia benar-benar ada?"
"Nek...?"
Sri Sikaparwathi tersentak dari renungannya lalu cepat-cepat tersenyum. "Anak gadis, kau belum menerangkan siapa dirimu."
"Maafkan saya Nek. Keadaan membuat saya tidak bisa menerangkan siapa saya..."
"Paling tidak kau pasti punya nama,"
"Seorang sahabat belum lama ini memberikan nama bagus untukku. Dewi. Lalu aku menambahkan Tangan Jerangkong. Kau boleh memanggilku Dewi Tangan Jerangkong."
Sri Sikaparwathi tertawa. "Sahabat yang kau cari ke dalam jurang itu, apakah dia seorang pemuda aneh berkepala Bunga Bangkai disertai dua pengiringnya. Yang satu membawa tambur yang satunya lagi membekai seruling?" bertanya si nenek.
"Ah, kau sudah tahu rupanya, apakah kau juga mengenalnya Nek? Atau mungkin kau mencarinya karena satu silang sengketa?"
Mahluk aneh itu parnah menyelamatkan Cahyo Kumolo, kura-kura dia atas kepalaku. Sebelum ada ledakan di tempat ini dia berada di sekitar sini. Aku Ingin menemuinya untuk menyampaikan rasa terima kasih... Tapi rasanya maksud itu belum akan kesampaian. Dia terlanjur pergi. Sementara aku harus melakukan sesuatu. Ada seorang sahabat yang tewas. Aku menduga pembunuhnya adalah mahluk kepala anjing ini. Dia menyerang secara pengecut dengan senjata rahasia yang tadi kau hantamkan ke tubuhnya. Aku harus mengurus jenazah sahabat itu..."
"Kau seorang sahabat yang baik. Aku juga selalu ingin berbuat kebajikan Nek. Apakah aku boleh membantumu?"
Sri Sikaparwathi melirik ke arah dua tangan Liris Pramawari lalu sambil tersenyum dia gelengkan kepala. "Terima kasih. Kau juga sahabat yang baik. Aku suka padamu. Semoga kita bisa bertemu lagi..." Selesai berucap si nenek segera berkelebat pergi. kembali ke tempat dimana jenazah Gede Kabayana tergeletak. Tapi ketika si nenek sampai di tempat itu, heran dan kejutnya bukan alang kepalang. Ternyata jenazah itu tidak ada lagi di sana. "Aku meninggalkan jenazah tidak terlalu lama. Bagaimana bisa lenyap? Siapa yang mencuri...?" Sri Sikaparwathi memandang berkeliling. "Mencuri kataku..." Si nenek tertawa sendiri. "Perlu apa ada orang mencuri jenazah?"
Tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik. Disusul suara derap kaki yang riuh sekali. Memandang berkeliling Sri sikaparwathi tidak melihat seekor kudapun. kura-kura hijau di atas kepala si nenek keluarkan suara mendesis panjang. Lalu binatang sakti bernama Cahyo Kumolo ini melesat ke arah kanan. Namun tak lama kemudian prakk! Tubuhnya kura-kura hijau itu terbalik terpental disertai suara menguik panjang. Si nenek cepat menyambuti tubuh binatang peliharaannya itu.
"Apa yang terjadi Kumolo?!" tanya si nenek sambil mengusap dan memeriksa punggung binatang itu ada tanda berbentuk ladam kuda. "Jahat sekali. Cahyo, ada mahluk yang menghantammu?"
Kura-kura hijau kedipkan sepasang mata merah lalu mendesis perlahan. Sambil terus mengusap punggung Cahyo Kumolo Sri Sikaparwathi kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti hingga akhirnya tanda berbentuk tapal kuda di punggung kura-kura hijau itu lenyap.
HANYA beberapa ketika saja setelah si nenek yang membawa kura-kura hijau di atas kepalanya itu lenyap, tiba-tiba Dewi Tangan Jerangkong merasakan dua telapak kakinya yang dialas kasut kulit dijalari hawa dingin, gadis ini memandang berkeliling.
"Ada apa ini? Mengapa tiba-tiba tanah menjadi dingin. Dua kakiku seolah berubah menjadi esl Udara sekitar sini juga berubah dingini aku mulai menggigil..." Ketika si gadis memperhatikan ke dua kakinya, kejutnya bukan alang kepalang. Dua kaki yang berkasut itu kini telah diselimuti benda putih yang mengepulkan asap tipis putih.
"Salju?! Bagaimana mungkin?!" ucap Liris Pramawari. "Dewa Agung, apakah Kau hendak menjatuhkan hukuman lagi atas diriku?"
Untuk menolak hawa dingin yang luar biasa itu Dewi Tangan Jerangkong alirkan hawa sakti ke seluruh tubuh. Perlahan-lahan dia mulai merasa badannya hangat kembali dan lapisan putih di kedua kaki leleh menghilang.
"Wahai Roh Agung, apakah kau ada di sekitar sini?" Liris Pramawari keluarkan ucapan sambil memandang berkeliling.
Tak ada jawaban. Tidak ada suara mendesah ataupun tiupan angin. Berarti ini bukan pekerjaan Para Dewa.
"Aku harus menyelidik. Mungkin ada orang hendak mencelakai diriku dengan ilmu aneh. Kalau kehendak alam tidak mungkin terjadi seperti ini. Tapi aku harus menyelidik bagaimana?" Dalam herannya Liris Pramawari ingat pada Pangeran Bunga Bangkai Nalapraya dan dua pengiring aneh.
"Mana yang harus aku pilih, menyelidik atau mencari Pangeran itu?"
Setelah bimbang sesaat si gadis akhirnya memutuskan untuk kembali ke jurang di bekas Sumur Api, mencari Pangeran Bunga Bangkai dan dua pengiringnya. Belum sempat kakinya bergerak melangkah tiba-tiba tempat di sekitarnya telah diselimuti kabut tipis. Di arah kanan, di dalam kabut tipis dan malam gelap, bergerak ke arahnya melangkah berjubah putih. Rambut, serta kumis yang bersatu dengan janggut berwarna putih, melambai-lambai ditiup angin malam. Di tangan kanan orang tua ini memegang sebatang tongkat yang tertutup lapisan putih. Setiap hembusan nafas yang keluar dari hidung kakek ini menimbulkan uap putih. Uap yang sama juga tampak keluar dari sepasang matanya. Bedanya uap yang keluar dari hidung membawa hawa hangat sedang yang membersit dari sepasang mata menebar hawa dingin.
"Kakek berjubah putih...." Ucap Liris Pramawari. "Aku yakin dia tidak kesasar berada di tempat ini. Apakah dia barusan yang mengerjai diriku, mengirim hawa luar biasa dingin?" Liris Pramawari terus memperhatikan lalu kembali membatin. Kali ini disertai perasaan heran. "Aneh. orang tua berjubah putih itu sejak tadi melangkah ke arahku. Tapi mengapa tidak sampai-sampai?"
Dalam ketidakmengertiannya, si gadis kini yang bertindak, bergerak melangkah ka arah si orang tua, Dia merasa tambah aneh karena setelah menggerakkan kaki melangkah berulang kali, tetap saja dia tidak mampu mendekati. Antara dia dan si kakek tetap berpaut dalam jarak sekitar tiga tombak.
"Bertongkat putih, mata dan hidung mengeluarkan uap. Apakah aku berhadapan dengan Roh Agung?” Begitu Liris Pramawari Jadi mengingat Roh Agung kembali.
"Orang tua." Akhirnya Liris Pramawari alias Dewi Tangan Jerangkong berseru menyapa. "Kau siapa? Kau berjalan ke arahku. Aku melangkah ke jurusanmu! Mengapa kita tidak bisa saling mendekat?!"
Orang yang ditanya tidak menjawab, hanya , layangkan senyum dan lambaian tangan kiri. Justru saat itu tiba-tiba terdengar dua suara tawa bergelak. Lalu seorang berucap lantang.
"Mana ada orang maupun setan di Bhumi Mataram ini yang sanggup menembus Ilmu Kabut Pembatas Raga Ha...ha...ha!" Bersamaan dengan gema suara tawa, dua sosok berjubah hitam berkelebat muncul menghadap langkah orang tua berjubah putih. Dua orang ini ternyata seorang kakek dan seorang nenek berjubah hitam yang sama-sama berkepala botak dan memiliki daun telinga menjulai panjang hampir menyentuh bahu. Kalau si nenek tidak memakai anting-anting bulat besar akan sulit membedakan mana yang lelaki mana yang perempuan di antara kedua orang ini.
Melihat kemunculan kakek nenek aneh Liris Pramawari membatin dalam hati. "Dua orang tua botak itu rupanya memiliki Ilmu kesaktian tinggi. Mereka mampu mendekati kakek jubah putih. Ilmu Kabut Pembatas Raga. Mereka rupanya yang punya pekerjaan hingga si kakek dan aku tidak bisa melangkah saling mendekat, berjalan tidak sampai-sampai..."
"Resi Garipasthika! Sampai seratus tahun kau melangkah, kau tak akan pernah mampu melanjutkan perjalanan. Apa lagi bermimpi mendapatkan dua bayi itu. Hik...hik...hik. Nyawamu sudah ada dalam genggaman kami!" Si nenek berteriak lalu tertawa cekikikan.
"Dua bayi. Perempuan tua itu menyebut-nyebut dua bayi." Liris Pramawari terkejut mendengar ucapan nenek kepala botak.
Kakek berjubah putih yang dipanggil dengan nama Resi Garipasthika tampak tenang-tenang saja. Dia dongakkan kepala lalu meniupkan nafas panjang dari mulut. Saat itu juga di udara kelihatan uap putih bergelung seperti ular melesat ke langit. "Aku mendengar suara tapi tidak melihat orang yang bicara. Sayang sekali... Malang nasib diriku. Mengapa aku harus menderita seperti ini."
Orang tua berjubah putih keluarkan ucapan. Suaranya lembut Habis bicara dia terbatuk-batuk beberapa kali. Ketika batuk, dari mulutnya keluar empat gumpalan putih seperti bola salju, berjatuhan ke tanah. Ketika melihat gumpalan-gumpalan putih itu menggelinding ke arah mereka, dua kakek nenek botak berteriak marah lalu cepat melompat ke udara. Empat gumpalan putih melesat di bawah dua kaki mereka. Tiga gumpalan menderu ke tempat kosong yang keempat menyambar ke arah kaki kanan Liris Pramawari.
"Bukk! Byaarr!"
Gumpatan putih hancur bertebaran. Liris Pramawari berjingkrak jingkrak menjerit keras kesakitan. Kaki kanannya yang kena hantaman gumpalan putih terangkat ke atas membuat dirinya hilang keseimbangan dan jatuh terduduk di tanah.
"Celaka. Putus kakiku!" Gadis itu berteriak lalu singsingkan pakaian putihnya di sebelah bawah untuk melihat kaki kanannya. Tenyata kaki itu masih utuh. Liris Pramawari cepat berdiri, memandang jengkel ke arah Resi Garipasthika si kakek jubah putih malah tertawa terkekeh-kekeh!
Kakek nenek kepala botak berpaling ke arah Liris Pramawari. Si kakek membentak. "Kau siapa?! Kau tidak punya urusan di tempat ini. Lekas pergi atau kami berdua akan membuatmu amblas ke dalam tanah!"
Masih kesal karena kesakitan. Liris Pramawari menyahuti bentakan orang. "Antara kita memang tidak ada urusan. Jika kau punya urusan dengan kakek berjubah putih itu mengapa tidak menyelesaikan lebih dulu? Malah membawa-bawa dan mempersalahkan diriku!"
Mendengar ucapan si gadis nenek kepala botak kini yang membentak. "Wajahmu cantik! Tapi mulutmu kurang ajar! Apa kau tidak kenal siapa kami berdua?! Pergilah sebelum aku gebuk!"
Liris Pramawari perlahan-lahan bangkit berdiri. "Kakek nenek, terima kasih atas pujian sekaligus hinaan. Kalian manusia apa? Aku tidak punya pikiran kalau kalian adalah orang-orang Jahat. Tapi mengapa menghadang orang di malam buta? Hanya bangsa begal yang berkelakuan seperti itu!"
"Benar-benar gadis kurang ajar..." Kakek botak mendamprat. "Kami bukan begal! Kami muncul hanya untuk mengambil nyawa kakek jubah putih itu!"
"Ah, kalian ini rupanya semacam utusan pencabut nyawa. Tapi aku tidak yakin para Dewa yang mengutus kalian. Dewa tidak berkenan akan segala macam perbuatan seperti itu. Membunuh seorang Resi. Ooh Hyang Jagat Batara Dewa. Pasti dosanya berat sekali. Seperti memikul gunung di atas bahu... Malam-malam begini orang tua seperti kalian seharusnya berada di tempat tidur."
Mendengar ucapan Liris Pramawari si nenek botak menggelegak amarahnya. Dia melompat ke hadapan Liris Pramawari. Tangan kanan yang dipentang begitu rupa. Lima jari tangan pancarkan sinar kuning yang serta merta melesat ke arah kening dan empat bagian tubuh si gadis. Liris berusaha menghindar tapi terlambat. Saat itu juga Liris Pramawari tidak bisa bergerak maupun bersuara.
"Kau tunggu di sini. Selesai kami membantai kakek jubah putih itu. kami akan menentukan nasibmu! Apakah akan kami kubur hidup-hidup di dalam tanah atau tubuhmu akan kami buat cerai berai di udara!"
"Jangan ganggu gadis itu! Dia keponakanku!" Resi Garipasthika tiba-tiba berseru. Lalu mulutnya meniup. Selarik cahaya putih berbentuk kipas terbuka menerpa ke arah Liris Pramawari. Begitu cahaya putih menyentuh wajah dan tubuhnya, Liris Pramawari serta merta kembali mampu bergerak dan mengeluarkan suara. Dia segera mendatangi nenek kepala botak yang tadi membuatnya lumpuh dengan lima sinar kuning. Namun langkahnya tertahan ketika mendengar ucapan kakek jubah putih.
"Keponakanku. Tetap di tempatmu!" Lalu Resi bermata putih berpaling ke arah dua kakek nenek botak. "Jika kalian berdua ingin menghabisiku, habisi dulu gadis itu. Aku mau lihat apa kalian mampu."
Mendengar ucapan kakek jubah putih Liris Pramawari jadi terkesiap, keluarkan seruan tertahan. "Kek. Enak saja kau bicara! Aku..."
"Sssttti Sudah, kalau kau mau berbakti pada aku pamanmu hadapi saja ke dua orang itu!" Resi Garipastika menyahuti sambil palangkan jari telunjuk tangan kiri dia atas bibir.
Melihat Liris Pramawari bebas dari kelumpuhan, si nenek kepala botak kembali hendak membungkam gadis itu. Namun sampai berkali-kali dia menghujani Liris Pramawari dengan lima sinar kuning yang memancar dari tangan kanan, kali ini ilmu kesaktian yang dimilikinya tidak mampu lagi melumpuhkan gadis itu. Si nenek mendelik, berpaling ke arah kakek berjubah putih.
"Kurang ajar. Resi itu pasti telah melindungi si gadis dengan cahaya putih tadi..."
Di seberang sana kakek jubah putih tertawa perlahan. "Aku hanya meminjam Ilmu Kabut Pembatas Raga milik kalian dan aku berterima kasih."
Kejut kakek nenek kepala botak bukan alang kepalang. Keduanya saling pandang lalu sama-sama membalikkan badan. Sambil berteriak mereka menghambur serangan ke arah kakek Jubah putih. Melihat hai Ini Liris Pramawari yang merasa sudah ditolong orang serta merta berkelebat memotong gerakan kakek nenek kepala botak.
Resi Garipasthika tertawa senang. "Bagus! Kau baru keponakanku yang hebat! Jika kau bisa menyentuh ubun-ubun dua mahluk botak itu maka kau akan menggembosi mereka seperti bisul pecah tertusuk duri. Ha...ha...ha!"
Mendengar ucapan kakek Jubah putih, sepasang kakek nenek botak jadi terkejut dan berubah wajah masing-masing. Si nenek berbisik. "Tua bangka jahanam itu memberi tahu kelemahan kita. Kurang ajar, bagaimana dia bisa tahu. Lekas keluarkan destar pelindung!"
Dua kakek nenek botak kemudian keluarkan sebuah destar hitam menyerupai belangkon lalu cepat mengenakan di kepala hingga kepala botak mereka kini terlindung. Melihat hal ini Resi Garipasthika kembali tertawa bergelak. Begitu mulutnya meniup dua kali. destar di atas kepala kakek nenek botak mental jauh ke udara. Kedua orang ini berteriak kelabakan dan juga marah. Ketika di depan sana Liris Pramawari bergerak mendatangi, cepat-cepat mereka letakkan telapak tangan kiri di atas kepala, melindungi ubun-ubun. Lalu tidak menunggu lebih lama keduanya mendahului menyerang si gadis.
MESKIPUN hanya menggunakan tangan kanan untuk menyerang lawan, namun gempuran sepasang kakek nenek botak jurus demi jurus membuat Liris Pramawari mulai terdesak. Untung saja gadis ini memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi yang diwariskan ayahnya. (Baca riwayat bagaimana Liris Pramawari mendapatkan ilmu kesaktian dari ayahnya dalam serial sebelumnya berjudul Dewi Tangan Jerangkong).
Namun demikian, setelah ditekan habis-habisan, dalam jurus ke enam belas satu pukulan nenek botak berhasil menyusup dan mendarat keras di pertengahan dada Liris Pramawari, membuatnya terpental, jatuh terjengkang di tanah. Di sela bibir tampak lelehan darah pertanda dia terluka di sebelah dalam.
Resi Garipasthika yang melihat kejadian ini tampak tenang-tenang saja, malah mengulum senyum sambil pencet-pencet hidung. Liris sendiri saja heran. Walau digebuk keras dan sampai mengeluarkan darah dari mulut, tapi anehnya dia sama sekali tidak merasa sakit. Ini adalah akibat perlindungan Ilmu bernama Kabut Pembatas Raga milik sepasang kakek nenek botak yang dipinjam Resi Garipasthika yang dimasukkan ke dalam tubuh si gadis.
Belum sempat berdiri, selagi masih terheran-heran dan tergeletak di tanah, kakek kepala botak telah menyerbu dan arahkan tendangan kaki kanan ke kepala Liris Pramawari. Saat itulah gadis ini merasa telinga kanannya bergetar. Ada tiupan angin dingin. Bersamaan dengan itu dia mendengar suara seperti orang berbisik di telinganya.
"Keponakanku, Ingat jurus Menabas Tiang Meruntuh Atap. Pergunakan salah satu kakimu menendang kaki kiri lawan. Kuda-kudanya akan ambruk. Bila lawan tersungkur melintang, Itulah kesempatan balas menyerang. Pilih sasaran pantangan. Kepala botaknya. Kau gadis hebat. Kau pasti mampu melakukan! Sekarang!"
Mendengar suara yang diketahuinya pasti bisikan si kakek jubah putih Liris Pramawari cepat gerakan kaki kiri, menendang ke arah tulang kering kaki kiri kakek botak yang berpijak di tanah sewaktu melancarkan serangan. Jurus serangan yang dilakukan gadis tangan jerangkong ini yaitu Menebas Tiang Meruntuh Atap adalah salah satu jurus serangan ilmu silat yang dimiliki ayahnya. Apa yang dibisikkan Resi Garipasthika menjadi kenyataan.
"Bukk” Liris Pramawari tidak merasa apa-apa begitu kakinya menghantam tulang kering kaki kiri lawan. Si kakek botak sendiri menjerit keras. Tubuhnya tersungkur ke depan, kepala lebih dulu dan mengarah ke tempat Liris Pramawari berada. Itulah bagian jurus bernama Menabas Tiang. Tidak tunggu lebih lama gadis ini segera pukulkan tangan kanan ke kepala botak si kakek. Dan Inilah jurus kelanjutan bernama Meruntuh Atap.
Pukulan keras mengandung tenaga dalam tinggi yang dilancarkan Liris Pramawari sanggup membuat rengkah kepala seekor gajah. Apa lagi kepala botak si kakek berdaun telinga menjulai panjang ini, pasti akan hancur mengerikan. Namun itu tidak terjadi.
"Desss!"
Di kepala botak hanya muncul sebuah lobang kecil mengeluarkan asap disertai lelehan darah. Si kakek menjerit keras sambil dua tangan pegangi kepala. Temannya si nenek ikut menjerit lalu melompat merangkul si kakek. Satu hal aneh terjadi pada diri kakek ini. Seperti ucapan Resi Garipasthika tadi keadaan kakek botak itu tidak beda dengan bisul yang gembos tertusuk duri. Kepalanya menciut mengecil sementara darah kehitaman terus mengucur menutupi wajah. Setelah kepala, menyusul tubuh jadi mengecil dan berubah pendek.
Si nenek yang merangkul tubuh si kakek menggerung keras ketika tahu kalau si kakek sudah tidak bernyawa lagi. Dia baringkan tubuh temannya itu di tanah lalu menghambur ke arah Liris Pramawari. Seperti orang kemasukan setan dia menyerang sambil berteriak-teriak. Dua kali pukulannya mendarat di tubuh Liris Pramawari. ditambah satu tendangan di daerah pinggul. Walau hantaman lawan sempat membuatnya tergelimpang jatuh namun seperti tadi waktu dijotos dadanya dia sama sekali tidak merasa sakit
"Nek, hentikan seranganmu. Lebih baik kau mengurus mayat kakek itu dan pergi dari sini..." Berseru Liris Pramawari.
"Gadis kurang ajar! Kau membunuh sahabatku! Sekarang enak saja menyuruh aku pergi! Aku baru akan pergi setelah mencincang tubuhmu!"
Si nenek mendongak ke langit lalu berteriak keras. Tangan kanan dipentang di atas kepala. Tiba-tiba ada satu cahaya berkilau dan tahu-tahu di tangan kanan itu telah tergenggam sebilah golok besar berbentuk segi empat. Anehnya golok ini berujud samar, antara terlihat dan tidak dan mendatangkan rasa angker bagi siapa saja yang memandangnya.
Di rimba persilatan Bhumi Mataram golok aneh ini dikenal dengan nama Empat Mulut Penghirup Darah. Sesuai namanya pada badan golok yang samar terdapat empat buah lobang berwarna hitam. Siapa saja musuh yang kena ditambas, ditusuk atau dibacok senjata ini maka empat buah lobang di badan golok akan menghirup darah ditubuhnya hingga korban akan kehabisan darah dan dengan mudah menjadi bulan-bulanan serangan hingga akhirnya menemui ajal secara mengerikan.
Golok aneh samar itu menebar bau amis busuk. Konon itu adalah bau amis busuknya darah dari sekian banyak korban yang telah menjadi korban! Kata orang yang mengetahui sehabis menghirup darah korban maka golok itu akan bertambah keangkeran sekaligus kesaktiannya.
"Aku mendengar suara, aku mencium bau. Golok Empat Mulut Penghirup Darah," ucap Resi Garipasthika sambil menatap ke langit malam. "Bathara Agung! Apakah Ilmu kabut Membatas Raga pinjaman masih bisa melindungi keponakanku dari golok itu?"
Tidak menunggu lebih lama si nenek langsung menyerbu. Golok menderu, keluarkan suara menguing diserta sambaran empat asap hitam yang mengepul dari empat buah lobang. Asap hitam membuat pandangan Liris Pramawari terhalang. Suara menguing menyebabkan telinganya mendenging hingga tidak mampu mendengar suara gerakan lawan. Dalam keadaan seperti itu si nenek kirimkan dua kali babatan dan satu kali bacokan. Liris Pramawari cepat melompat mundur namun tak urung salah satu babatan golok sempat menyambar pundak kiri hingga pakaian putihnya robek besar. Untung kulit bahunya tidak sampai tergores luka. Kalau hal itu terjadi, maka akan ada sebagian darahnya yang dihirup golok.
Mendengar suara robekan pakaian kakek jubah putih menjadi sangat kawatir. Dia cepat berseru menegur si nenek. "Sudah tua masih suka main-main senjata tajam. Apa tidak takut terluka sendiri?"
Nenek botak mana perduli. Serangannya menghambur laksana hujan membuat Liris Pramawari terpekik berulang kali. Kembali baju putihnya kena disambar ujung golok. Kali Ini di bagian perut. Ketika satu bacokan kilat menyambar dari atas kiri ke arah kepalanya. Liris Pramawari cepat berkelit selamatkan diri. Malang, kaki kirinya tersandung pada sosok mayat kakek botak hingga tak mampu lagi dia terhuyung jatuh ke arah datangnya bacokan golok.
Sesaat lagi kepala gadis cantik dari Kadiri itu akan terbelah tiba-tiba satu benda putih disertai tebaran hawa luar biasa dingin di udara dan... kraak. Si nenek botak menjerit keras. Lengan kanannya patah terkena pukulan tongkat Resi Garipasthika. Golok besar yang tadi digenggam terpental lepas. Dengan cepat dia melompat ke udara untuk menyambar senjata sakti berbentuk samar itu. Namun satu hantaman mendera dadanya hingga tubuhnya mencelat dan terguling di tanah. Ketika dia berusaha bangkit dilihatnya Golok Empat Mulut Penghirup Darah berada di bawah injakan kaki kiri Resi Garipasthika.
"Keponakanku sudah menyuruhmu pergi secara baik-baik. Mengapa kau masih nekat mau membunuhnya? Apakah seumur sisa hidupmu kau akan terus berbuat kejahatan dan tidak pernah bertobat minta ampun pada para Dewa? Apakah kematian sahabatmu tidak cukup memberi peringatan padamu?!"
"Resi Garipasthika, mahluk berjubah putih berpenampilan suci. Kau belum tentu lebih baik dari diriku dan sahabatku yang telah dibunuh gadis terkutuk ini! Kembalikan Golok Empat Mulut Penghirup Darah padaku!"
"Senjata ini bukan milikmu. Bukankah kau mencurinya dari seorang Resi yang bertapa di puncak Mahameru yang kemudian kau bunuh secara keji?"
"Kalau begitu aku lebih baik mengadu nyawa denganmu!" Teriak si nenek. Lalu begitu berdiri dia melompat ke arah Resi Garipasthika. Dari sepuluh ujung jarinya menyembur keluar sepuluh larik sinar hitam. Sekejapan kemudian sepuluh larik sinar hitam itu telah menggulung melibat sekujur tubuh Resi Garipasthika.
Si nenek tertawa mengekeh. "Rasakan! Sekarang terima kematianmu!"
Resi Garipasthika sesaat terkesiap. "Jaring Sepuluh Gurita Hitam," ucapnya dalam hati ketika menyadari apa yang terjadi dengan dirinya.
Sementara itu melihat lawan sudah tidak berdaya, laksana kilat si nenek hantamkan satu jotosan ke batok kepala Resi Garipasthika. "Hancur kepalamu!" Teriak si nenek.
Yang diserang hanya menatap tenang dengan sepasang mata putih mengeluarkan uap dingin. Tiba-tiba mulut sang resi berteriak. "Pindah!"
"Rrrtrrttt"
Sepuluh larik sinar hitam yang melibat sekujur tubuh Resi Garipasthika secara aneh terlepas lalu dengan cepat melesat ke arah si nenek. Di lain kejap tubuh si nenek kini yang terlibat dan digulung sepuluh larik sinar hitam itu hingga dia berteriak-teriak marah dan berusaha melepaskan diri dari ilmu kesaktian miliknya yang mencelakai dirinya sendiri. Sambil melangkah mundur menjauhi kakek jubah putih dia mengeluarkan kutuk serapah.
"Resi jahanam! Aku bersumpah beralas bumi beratap langit! Aku akan datang lagi mencari dan membunuhmu!"
Resi Garipasthi ka geleng-gelengkan kepala. "Ilmumu banyak. Semua hebat-hebat. Sayang mengapa dipergunakan untuk kejahatan? Sekarang biar aku membantumu agar bisa lebih cepat pergi dari sini."
Sang Resi kebutkan tongkat bertapis benda putih di tangan kiri ke udara. Hawa sangat dingin menebar. Angin bertiup kencang. Si nenek menggigil. Sang Resi kebutkan lagi tongkatnya satu kali. Saat itu juga seperti diterbangkan angin puyuh nenek kepala botak melayang ke udara dan lenyap dalam kegelapan. Resi Garipasthika menarik nafas lega namun kemudian pandangannya membentur sosok jenasah kakek botak yang telah menciut.
"Kau pergi susul temanmu!" Ucap sang Resi. Sekali dia menyapukan tongkat berlapis benda putih dingin maka mayat kakek botak melesat ke udara dan menghilang di arah lenyapnya si nenek.
Perlahan-lahan kakek berjubah putih ini memutar tubuh, berpaling ke arah Liris Pramawari. Jarak mereka hanya terpisah dua langkah hingga si gadis dapat melihat jelas wajah orang tua itu dan membuatnya jadi tercekat. Tidak percaya Liris Pramawari kembangkan telapak tangan kanan lalu digoyang-goyang di depan wajah si kakek. Sepasang mata berwarna putih dan mengepulkan uap dingin itu sama sekali tidak bergerak.
"Kek. saya tidak percaya! Apa benar yang saya lihat ini? Dua matamu buta?"
Resi Garipasthika tersenyum. "Dewa menakdirkan aku memiliki sepasang mata berupa gumpalan salju..."
"Gumpalan salju...." Liris melirik ke arah tongkat si kakek. Benda putih yang menggumpal melapisi tongkat itu ternyata juga adalah salju. "Bagaimana bisa begitu?"
"Ketika aku berusia tujuh tahun, seorang Brahmana membawa aku ke Gunung Himalaya jauh di negeri India sana. Aku melakukan tapa di puncak gunung itu selama sepuluh tahun lebih. Ketika tapaku selesai dan aku memperoleh berbagai macam ilmu kesaktian, ternyata sepasang mataku menjadi buta, berubah menjadi gumpalan salju. Benda apa saja yang aku pegang bisa berubah menjadi es atau berlapis salju. Seperti tongkat kayu ini. Walau aku buta namun Yang Maha Kuasa juga berlaku adil, memberikan berkah hingga aku bisa melihat dengan apa yang disebut Indera ke enam ditambah satu mata hati." Sambil berkata kakek berjubah putih ini letakkan telapak tangan kanannya di atas dada.
"Kek, apa benar kau seorang Resi?" tanya Liris Pramawari.
"Menurut penglihatanmu apakah aku seperti seorang begal atau juru sihir?"
"Mungkin dua-duanya!" jawab Liris Pramawari. Si gadis cantik dan si kakek kemudian sama-sama tertawa gelak-gelak.
"Aku bernama Garipasthika. Tapi orang lebih suka menyebutku dengan panggilan Si Mata Salju..."
"Ilmu kesaktianmu luar biasa. Membuat saya sangat kagum. Waktu kau melindungi diri saya dengan Ilmu pinjaman milik si nenek itu, saya tidak merasa sakit walau kena jotos telak di bagian dada. Tapi mengapa ada darah yang menyembur dari mulut saya? Apakah saya benar-benar tidak terluka di dalam?"
Si kakek tersenyum. Lalu dia memandang berkeliling. Setelah yakin tidak ada orang lain di tempat itu maka diapun berkata. "Darah yang keluar dari mulutmu sebenarnya adalah darah haid. Coba kau hitung, bukankah saat ini sudah saatnya kau datang bulan...?"
"Hueekkk" Liris Pramawari keluarkan suara seperti orang muntah. Perutnya terasa mual. Setelah meludah berulang kali dan mengusap wajahnya yang mendadak dingin keringatan, dia berkata. "Kau bicara melantur! Mana ada perempuan haid dari mulut. Ibu saya saja tidak tahu kapan saya akan haid...."
Si kakek bermata salju tertawa. "Sudahlah, aku tadi cuma menjelaskan. Kau mau percaya atau tidak suka-suka kau saja. Kalau nanti kau ternyata tidak haid, berarti apa yang aku jelaskan bukan ucapan melantur..."
Diam-diam Liris Pramawari menghitung-hitung dalam hati. Apa yang dikatakan sang Resi memang benar. Hari ini seharusnya memang dia sudah mendapat haid. Tapi bagaimana mungkin? "Kek. Apakah untuk selanjutnya aku akan haid seperti ini lagi? Keluar dari mulut?"
Resi Garipasthika tersenyum. "Tentu saja tidak...."
"Lalu apakah ilmu kebal yang kau pinjamkan milik nenek itu saat ini masih melekat di tubuh saya?"
Si orang tua menggeleng. "Sesuatu, apa saja yang kita pinjam, harus dikembalikan pada pemiliknya. Sekalipun si pemilik adalah orang jahat. Ilmu kesaktian itu sudah kembali pada nenek tadi. Jadi mulai sekarang kau harus berhati-hati lagi."
"Kek. Saya..."
"Sudah. Sekarang jangan bicara dulu. Ada sesuatu yang harus segera aku lakukan."
Resi Garipasthika memandang ke bawah. Saat itu dia masih menginjak Golok Empat Mulut Penghirup Darah. Mulutnya merapal panjang hingga mengeluarkan uap putih dingin. Hawa sakti dan tenaga dalam dialirkan ke kaki kiri. Kaki diangkat lalu diinjakkan kembali ke badan golok seraya berucap. "Perlihatkan ujudmu yang sebenarnya!"
Golok di bawah kaki si kakek pancarkan cahaya putih. Begitu cahaya lenyap golok besar yang tadi tampak samar kini terlihat nyata dan utuh.
"Mana sarungmu!" Resi Garipasthika kembali merapal lalu mengangkat kaki kiri untuk kemudian diinjakkan lagi ke badan golok. Seperti tadi muncul cahaya putih lalu lenyap. Aneh. Golok di bawah kaki yang tadi telanjang kini kelihatan sudah terbungkus sarung, terbuat dari Gading. Si kakek membungkuk mengambil Golok Empat Mulut Penghirup Darah lalu diserahkan pada Liris Pramawari.
"Anak gadis keponakanku, ambil dan simpan senjata mustika sakti ini. Kau memiliki kewajiban untuk nanti membawanya ke puncak Gunung Mahameru, menyerahkan pada pewarisnya."
Liris Pramawari ternganga lalu cepat-cepat melangkah mundur.
SEPASANG mata salju yang mengepulkan uap dingin Resi Garipasthika menatap ke arah Liris Pramawari. "Ada apa keponakanku?" Untuk kesekian kalinya Resi ini menyebut si gadis sebagai keponakannya. "Apakah kau tidak mau menolongku?"
"Bukan tidak mau menolong. Tapi saya belum pernah ke Gunung Mahameru. Saya tidak pula kenal dengan pewaris golok sakti itu." Jawab Liris Pramawari.
"Para Dewa akan membimbingmu ke puncak Mahameru dan mempertemukanmu dengan pewaris yang berhak memiliki golok sakti itu. Perihal kapan kau akan pergi ke sana dan menyerahkan itu terserah pada kehendak Para Dewa. Bukankah yang disebut langkah dan pertemuan itu adalah kehendak dan hanya ditentukan oleh Yang Maha Kuasa?"
"Tapi Kek..."
"Sudah, aku titipkan senjata ini padamu."
Si kakek gerakkan tangan yang memegang golok bersarung gading. Tahu-tahu senjata itu lenyap dari pegangannya. Ketika Liris Pramawari meraba ke belakang tubuh, ternyata pedang itu telah tersisip di balik punggung pakaian putihnya, hanya gagangnya yang tersembul. Gadis itu terpaksa menyerah.
Resi Garipasthika tersenyum. "Bagus, berbuat sedikit kebajikan hari ini, besok sedikit lagi, lusa ditambah sedikit lagi, lama-lama bukankah akan menjadi segunung kebajikan...."
Ucapan sang Resi membuat Liris Pramawari terkejut. "Hyang Jagat Bathara Dewa! Bagaimana aku sampai terlupa kalau aku masih punya sekian banyak kewajiban?" Ucapan orang tua ini. Tidak sengaja sepasang mata Liris Pramawari memperhatikan tangan kanannya.
"Sang Hyang Jagat Bathara!" Si gadis kembali mengucap. Tiga ujung jari tangan kanan yang sebelumnya dipatahkan sendiri untuk menghindari racun senjata rahasia yang dilemparkan manusia berkepala anjing saat itu telah berada dalam keadaan utuh meski tetap dalam bentuk tanpa kulit tanpa daging.
"Apakah hari ini aku telah berbuat kebajikan?" Liris bertanya pada diri sendiri sambil menatap Resi Garipasthika.
"Kek, kau... kau tahu apa tentang diri saya?"
"Aku sudah berulang kali menyebut dirimu sebagai keponakan. Kalau kau keponakanku masakan aku tidak tahu menahu tentang dirimu?"
"Jujur saja Kek. Saya bukan keponakanmu benaran 'kan?"
Sang resi tertawa mengekeh hingga uap putih dingin keluar mengepul-ngepul dari mulutnya. "Benar atau bohong apa perlu dipersoalkan? Sekarang apakah kau tidak ingin tahu siapa dua kakek botak yang hendak membunuhmu tadi?"
"Tentu saja Kek. Saya juga ingin tahu mengapa mereka sebelumnya menghadang dan hendak membunuhmu."
"Sepasang kakek nenek botak itu adalah orang-orang dari selatan tapi lebih banyak gentayangan di kawasan utara, di Bhumi Mataram. Mereka mengaku diri sebagai Dewa Dewi Penjuru Angin. Nama yang terlalu berat dan sangat tidak pantas karena menebar kejahatan, mengalirkan darah dan membegal nyawa orang tidak berdosa. Yang lelaki bernama Durangga, si nenek yang tadi kabur bernama Arupadi. Mereka selalu berduaan kemana-mana dan menjalani hidup sebagai suami istri tanpa perkawinan yang syah. Mereka jahat dan mesum"
"Lalu mengapa mereka hendak membunuhmu Kek?"
"Aku dalam perjalanan mencari seorang bayi. Mereka berusaha menghalangi aku mendapatkan bayi itu. Untuk itu tidak ada cara lain. Mereka harus membunuhku!"
Ucapan Resi Garipasthika membuat Liris Pramawari terkejut. "Seorang bayi atau dua orang bayi Kek?" Si gadis bertanya ingin memastikan.
Orang tua buta yang berjuluk Si Mata Salju tertawa. "Kau sudah tahu ceritanya. Aku hanya butuh satu saja diantara dua bayi. Kalau aku mengambil kedua-duanya bukankah terlalu serakah? Ketahuilah Para Dewa paling tidak suka pada orang yang serakah"
"Kek, kalau keponakanmu ini boleh tahu, mengapa kau menginginkan bayi itu? Bukankah itu berarti kau hendak melakukan penculikan? Itu lebih jahat dari keserakahan."
Sepasang alis putih Resi Garipasthika naik ke atas. Sesaat kakek ini terdiam. Lalu setengah mengulum senyum orang tua ini berkata. "Mengambil barang orang lain untuk maksud jahat memang adalah kejahatan. Tapi mengambil barang orang lain untuk kebaikan mana bisa dikatakan kejahatan. Demikian juga dengan maksudku mengambil bayi itu. Kalau aku mengandung niat jahat kau boleh mengatakan aku menculiknya. Tapi karena aku punya maksud baik menyelamatkannya dan kalau Dewa mengizinkan aku punya niat memberikan sesuatu untuk pegangan hidup padanya. Maka perbuatanku itu namanya bukan penculikan."
Liris Pramawari tertawa. “Terserah padamu Kek, kau mau menyebut apa nama perbuatanmu itu. Aku tidak mau ikut campur urusanmu..."
"Bagaimana mungkin. Kau justru sudah terlibat!" Jawab Resi Garipasthika pula.
"Maaf Kek, aku pernah membaca dalam sebuah Kitab Agama. Disitu ada kalimat yang berbunyi begini. Manusia dilarang mengambil barang kepunyaan orang lain...."
"Kalimat itu betul. Tapi aku mengambil bayi itu bukan dengan maksud untuk memilikinya. Justru untuk melindunginya, sekaligus berbakti pada Kerajaan Bhumi Mataram..."
"Kek, apakah kau ini penjelmaan Roh Agung..."
Resi Garipasthika tertawa mengekeh. Setelah mengusap wajah dia berkata. "Keponakanku, kau sudah tahu sebagian cerita Kalau begitu sekarang bantu aku mencari bayi itu. Kita berjalan ke arah timur. Aku harap kau mau menggendongku di punggungmu."
"Apa Kek?" Kejut Liris Pramawari.
"Apakah kau tidak ingin berbuat kebajikan lagi?"
"Tentu saja mau Kek. Tapi menggendongmu dipunggungku, membawamu ke mana-mana dalam perjalanan yang bisa satu hari bisa satu minggu mungkin bulan berbulan-bulan, saya mohon maaf Kek."
"Aku tahu diri. Tua bangka jelek begini siapa yang mau mendukung. Eh, kalau aku ini seorang pemuda gagah apakah kau mau menggendongku?"
"Tetap saja tidak Kek. Kecuali kau adalah ibu saya, maka apapun yang kau katakan pasti saya lakukan."
"Begitu?" Ujar Si Mata Salju sambil menatap dengan sepasang mata putihnya ke arah Liris Pramawari. "Kalau begitu maka kau akan menggendong ibumu..." Tiba-tiba tubuh tang Resi dipijari cahaya putih.
Liris Pramawari terpekik. "Tidak mungkin!" teriak gadis ini.
Di hadapannya kini seorang perempuan, yang dari sosok serta raut wajahnya adalah sangat menyerupai Suri Dhurani, ibunya yang mati dibunuh Sangga Wikerthi. (Baca serial sebelumnya berjudul Dewi Tangan Jerangkong)
"Ibu...?"
"Anakku, apakah kau kini bersedia menggendong diriku?" Perempuan di hadapan Liris Pramawari keluarkan ucapan. Dan suara perempuan ini ternyata juga sama dengan suara sang ibu yang telah tiada itu!
Liris Pramawari jatuhkan diri di hadapan sosok sang ibu.
"Anakku, aku tidak menyuruh kau berlutut. Aku memintanya agar kau mau menggendongku."
"Ibu, saya akan menggendongmu kemana yang kau inginkan. Sekalipun sampai ke ujung dunia..."
"Anakku, ketulusan hati serta budi baktimu merupakan satu kebajikan, bagaimanapun kecilnya. Berdirilah, aku bukan bayi cengeng yang ingin digendong kemana-mana. Aku hanya ingin menguji dirimu..."
Saat itu juga sosok perempuan menyerupai ibu Liris Pramawari lenyap dan berubah kembali ke bentuk dan sosok Resi Garipasthika.
"Ibu... Kakek, siapapun kau adanya saya tidak akan mengingkari janji. Saya tidak akan berdiri sebelum kau naik ke punggung saya..."
"Keponakan nakal. Baik, sekedar untuk menyenangkan dirimu aku akan naik ke punggungmu." Si kakek lalu naik ke punggung Liris Pramawari.
Gadis ini bangkit berdiri lalu mulai melangkah membawa kakek yang digendong di atas punggung. Baru menindak tiga langkah Liris berhenti Dia merasa heran.
"Keponnkanku, baru beberapa langkah berjalan kau sudah berhenti. Apa kau keletihan? Apakah tubuhku seberat gunung?"
"Tidak Kek. Justru saya tidak merasa apa-apa. Tubuhmu seringan kapas...." Jawab Liris Pramawari. Gadis ini sapukan tangan kiri ke belakang ke arah bahu kakek yang digendongnya. Dia tidak merasa apa-apa selain menyentuh udara malam yang dingin. Dia berpaling kebelakang. "Bathara Agung!" Sosok Resi Garipasthika tidak ada lagi di atas punggungnya!
FAJAR telah menyingsing. Dasar jurang dimana Pangeran Bunga Bangkai dan dua sahabatnya berada kini mulai terang. Kemanapun mata memandang segala sesuatunya tampak jelas. Pangeran Bunga Bangkai Nalapraya duduk di atas satu bongkahan batu besar sambil memangku dan mengusap Ragil Abang, kucing milik Ratu Dhika Gelang Gelang. Dia memandang sekeliling dasar Jurang yang luas.
"Hampir setengah malaman kita berada di sini. Sekarang fajar telah menyingsing. Semua kelihatan jelas di dasar jurang luas ini. Tapi kita tidak menemukan apa-apa..." Yang berkata adalah si gemuk pendek Si Tambur Bopeng.
"Pangeran, apa yang harus kita lakukan. sekarang?" bertanya Si Suling Burik. Sampai saat itu kedua orang tersebut masih setia ikut mendampingi Pangeran Bunga Bangkai.
Kelopak bunga bangkai yang menjadi kepala Pangeran dari Kerajaan Tarumanegara itu bergerak-gerak. "Dua sahabat, kita memang belum menemukan apa-apa yang menjadi petunjuk. Tapi aku yakin dasar jurang yang terjadi di bekas Sumur Api ini pernah menjadi tempat tinggal kediaman istriku. Aku bisa mencium harum melati bau tubuhnya yang tertinggal di tempat ini. Pertanda dia pernah berada di sekitar sini. Tapi aneh, mengapa tidak ada apa-apa di sini? Jangankan benda hidup, benda matipun tidak kelihatan. Mana bangunan bagus yang dulu aku pernah tinggal bersamanya selama tujuh malam? Mana taman indah penuh bunga mekar menebar bau wangi serta pedataran berumput hijau segar yang pernah kulihat Semua sirna. Mana istriku, mana dua bayi itu. Agaknya Para Dewa belum mengizinkan aku bertemu dengan mereka. Karena diriku belum bersih dan belum keluar dari hukum kutukan..."
Sang Pangeran terdiam sesaat. Terdengar desah tarikan nafasnya berulang kali. Kemudian dia ingat sesuatu. "Dua sahabatku, ketika kita melayang turun ke dalam jurang, aku mendengar suara angin berdesau. Namun sekarang aku menduga suara yang kudengar sebenarnya adalah suara tangisan bayi. Apakah kalian berdua mendengar suara itu?"
"Kami memang mendengar. Pangeran. Namun seperti Pangeran saat itu kami tidak punya dugaan apa-apa. Suara gemuruh angin mengacaukan pendengaran kami..." Menjawab Si Suling Burik.
"Pangeran, kalau kau mengizinkan, kami berdua akan mengeluarkan apa yang mungkin terkubur di bawah lapisan dasar jurang ini." Berkata Si Tambur Bopeng, lelaki gemuk pendek yang mukanya bopeng dan membawa tambur yang diikat di pinggang, di gantung di atas perut
"Benar Pangeran, siapa tahu dengan kehendak Para Dewa kita menemukan benda-benda yang bisa memberi petunjuk." Kata Si Suling Burik menyambung kata-kata Si Tambur Bopeng.
"Lakukan apa yang bisa kalian perbuat. Tapi hati-hati, jangan sampai kesalahan tangan yang menye-babkan aku semakin jauh dari istri dan anak-anakku. Mudah-mudahan Para Dewa menolong kita," kata Pangeran Bunga Bangkai menyetujui pendapat kedua pengiringnya.
Maka Si Tambur Bopeng mulai menabuh tambur. Si Suling Burik segera meniup seruling peraknya. Dasar jurang dan dinding yang mengeliling bergetar hebat Di beberapa bagian tampak tanah menjadi retak. Lalu terdengar suara bergemuruh ketika sebagian demi sebagian dasar jurang itu melesat berhamburan ke atas. Namun sebegitu jauh yang bermentalan ke udara hanyalah bongkahan tanah dan bebatuan. Tiba-tiba Ragil Abang si kucing merah besar mengeong keras. Kepala Bunga Bangkai sang Pangeran mendongak ke atas.
“Tahan!" Teriak Pangeran Bunga Bangkai. Sekali bergerak sambil mengepit kucing merah di ketiak kiri tubuhnya melesat tiga tombak ke udara. Di lain kejap tangan kanannya dengan cepat menangkap sebuah benda berlumuran lumpur yang melayang di udara. Setelah turun kembali ke dasar jurang, Pangeran Bunga Bangkai cepat membersihkan lumpur yang melekat. Ternyata benda itu adalah sebuah piala kecil berkilat terbuat dari perak. Sambil memperlihatkan piala itu pada kedua pengiringnya Pangeran Bunga Bangkai berkata. Suaranya tersendat haru.
"Setiap aku datang selama tujuh malam berturut-turut, istriku selalu menyediakan minuman sejuk berupa embun murni di dalam piala perak ini. Jelas sekali dia memang pernah ada di sini. Di dasar Sumur Api ini. Tapi dimana dia sekarang gerangan. Wahai istriku. Bahkan namamupun aku tidak pernah tahu..."
Pangeran Bunga Bangkai mencium piala berulang kali. Kuncup hijau di kepalanya bergerak-gerak, bunga kuning berbintik coklat bergetar lalu dipenuhi titik-titik air seolah tetesan air mata. Mahluk malang ini kembali duduk di atas bongkahan batu besar. Dia ingat pada gadis berpakaian dan berkerudung putih yang ditemuinya sebelum masuk ke dalam jurang.
"Gadis bertangan jerangkong itu. Wajahnya sangat mirip dengan istriku. Suaranya juga sangat sama..."
"Pangeran." berkata Si Tambur Bopeng. "Kalau tidak keliru kami mengingat, bukankah dulu Pangeran pernah bercerita kalau Pangeran tidak pernah mendengar suara istri Pangeran karena setiap dia bicara dari mulutnya tidak keluar suara apa-apa"
"Kau benar sahabatku," jawab Pangeran Bunga Bangkai. "Tapi aku mendengar bukan dengan dua telingaku. Aku mendengar dengan telinga hatiku. Aku mendengar jernih suaranya walau tidak jelas mendengar apa yang diucapkan. Itu salah satu berkah dari Para Dewa walau mereka telah memberikan kutukan padaku..."
"Dewa penuh rakhmat, penuh keadilan..." Ucap Si Suling Burik.
"Pangeran, kau ingat perempuan gemuk pemilik kucing merah ini yang bernama Ratu Dhika Gelang Gelang?" Bertanya Si Suling Burik.
"Aku ingat. Ada apa dalam pikiranmu sahabatku?"
"Aku punya dugaan dia ada sangkut paut dengan istri Pangeran serta dua bayi itu..."
"Bagaimana kau bisa menduga begitu?" Kembali Pangeran Bunga Bangkai bertanya.
"Pada malam kedatangan kita ke Sumur Api, kalau tidak ada sangkut paut, dia tidak akan berada di sekitar Sumur Api. Lalu tubuhnya amblas ke dalam tanah. Ada satu mahluk sakti yang membawanya. Dia meninggalkan kucingnya begitu saja. Kami berdua tahu satu tempat yang tidak boleh diinjak oleh binatang hidup apapun. Ratu Dhika Gelang Gelang pasti dibawa ke tempat itu. Jika kita bisa menemui mungkin dia dapat memberi tahu keberadaan istri Pangeran serta dua bayi."
Pangeran Bunga Bangkai bangkit berdiri. "Apa nama tempat itu. Dimana letaknya?" Sang Pangeran bertanya.
"Candi Miring. Terletak di bukit gersang..."
Pangeran Bunga Bangkai gerakkan kepalanya kearah atas jurang. "Kita akan pergi ke sana. Tapi tidak saat ini. Aku akan melakukan samadi pendek. Mungkin bisa membantu menjajagi dimana beradanya istriku. Kita akan tetap berada di sini menunggu sampai matahari tenggelam dan malam kembali datang."
"Kalau begitu, sementara Pangeran berada di sini, kami akan naik ke atas berjaga-jaga. Pada saat sang surya tenggelam kami akan turun kembali ke sini..."
"Pergilah, aku merasa lebih tenteram berada di dasar jurang ini," jawab pangeran Bunga Bangkai.
KETIKA akhirnya matahari tenggelam di ufuk barat dan dua pengiring Pangeran Bunga Bangkai turun ke dasar jurang kembali, mereka melihat sang Pangeran duduk bersila di atas bongkahan batu. Kucing merah Ragil abang duduk di tanah di samping batu. Di atas batu di hadapan Pangeran Bunga Bangkai terletak piala perak. Di balik pakaiannya Pangeran mengeluarkan secarik kain berwarna merah muda. Potongan kain ini adalah sebagian dari sapu tangan merah yang dirobek oleh Ananthawuri dan diberikan pada Pangeran Bunga Bangkai pada malam terakhir sebelum mereka berpisah.
Pada saat cahaya sang surya lenyap dan jurang diselimuti kegelapan. Pangeran Bunga Bangkai mulai melakukan samadi. Menjelang tengah malam ketika samar-samar dalam semadinya Pangeran melihat satu bayangan bangunan, piala di atas batu bergetar keras. Tiba-tiba dari atas jurang melesat masuk tiga larik cahaya. Merah, biru dan hitam.
Tiga cahaya menyambar piala perak hingga hancur berkeping-keping. Namun anehnya potongan sapu tangan merah muda yang ada di dalam piala sama sekali tidak rusak sedikitpun. Sapu tangan ini melayang ke udara setinggi satu tombak lalu jatuh kembali di haribaan Pangeran Bunga Bangkai.
Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik berteriak keras lalu sama-sama melesat ke atas jurang. Tambur ditabuh suling ditiup. Sampai di atas jurang mereka tidak menemukan apa-apa.
"Tidak ada siapa-siapa di atas sini. Serangan cahaya tiga warna itu pasti dikirim dari tempat jauh..." Berkata Si Tambur Bopeng.
Si Suling Burik menyahuti. "Kita sudah baberapa kali melihat cahaya tiga warna ini. Cepat kembali ke dasar jurang. Aku kawatir..."
Ketika kedua orang itu sampai di dasar jurang kembali, mereka melihat Pangeran Bunga Bangkai tak kurang suatu apa. masih duduk bersila sambil meletakkan lipatan sapu tangan merah muda di atas dadanya.
"Pangeran, agaknya ada orang yang tidak ingin kau berhasil menjajagi dimana keberadaan istri dan anakmu." Berkata Si Tambur Bopeng.
"Kalau ada orang jahat, mengapa ia tidak langsung membunuh diriku?" Ucap Pangeran Bunga Bangkai.
"Mungkin hal ini sengaja dilakukan. Orang jahat itu bisa melakukan banyak hal jika Pangeran masih hidup. Dia hanya berusaha memutus jalan agar Pangeran tidak sampai menemui istri dan dua bayi. Mungkin hal itu dilakukan hanya untuk sementara. satu saat dia tetap akan mencelakai Pangeran..." Yang menjawab adalah Si Suling Burik.
"Lalu mengapa hanya piala yang hancur, padahal sapu tangan merah muda ada di dalam piala." Kata pangeran Bunga Bangkai pula.
"Saya punya dugaan, piala itu bukan milik langsung istri Pangeran. Sementara sapu tangan adalah milik istri Pangeran. Sapu tangan mendapat perlindungan Para Dewa sedang piala perak tidak..."
"Sahabatku Tambur Bopeng, ucapanmu mungkin betul, tapi mengapa pengendali cahaya tiga warna juga tidak membunuhmu dan Suling Burik?"
Untuk beberapa lamanya dasar jurang yang gelap itu diselimuti kesunyian. Tidak ada yang bicara.
"Suling Burik," akhirnya Pangeran Bunga Bangkai memecah kesunyian. "Turut apa yang kau katakan tadi, jika orang jahat itu sengaja membiarkan aku hidup, berarti dia juga ingin kalian berdua tetap hidup. Untuk sementara, tapi untuk maksud apa?"
Suling Burik dan Si Tambur Bopeng saling pandang. Entah mengapa bulu tengkuk kedua orang ini tiba-tiba jadi merinding. Mendadak di atas jurang sana terdengar suara kuda meringkik menyusui suara derap kaki kuda banyak sekali, lalu lenyap dan sepi kembali.
"Kuda meringkik di malam buta. Semakin banyak keanehan di tempat ini..." Berucap Si Suling Burik sambil mendongak menatap ke atas jurang.
"Dua sahabatku, kita harus segera meninggalkan tempat ini."
"Kita mau pergi kemana, Pangeran?" tanya Si Tambur Bopeng.
"Sebelum cahaya tiga warna muncul menghancurkan piala, aku sempat mendapat petunjuk Yang Maha kuasa. Dalam samadiku aku sempat melihat samar bangunan candi. Berdiri agak miring..."
"Candi Miring" seru Si Suling Burik.
"Berarti istri Pangeran ada di candi itu" Kata Si Tambur Bopeng.
"Mungkin juga dua anakku." Ujar Pangeran Bunga Bangkai. Lalu dia berlutut di tanah sambil tampungkan dua tangan. "Para Dewa, betapapun besarnya hukumanMu padaku, namun aku percaya kau akan tetap melindungi diriku, istriku dan dua anakku. Wahai Para Dewa, aku mohon, pertemukan diriku dengan mereka..."
Ragil Abang si kucing merah mengeong lalu melompat ke atas bahu Pangeran Bunga Bangkai. Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik siap melangkah mencari tempat yang baik untuk menjejak dan melompat ke atas. Mereka merasa menginjak sesuatu. Ketika Si Tambur Bopeng memandang ke bawah ternyata saat itu kaki kirinya menginjak sebatang tongkat kayu. Di Sebelahnya Si Suling Burik tengah memperhatikan kaki kanannya, melihat ada sebuah kitab dibawah telapak kakinya. Dia berseru kaget dan cepat-cepat mengangkat kaki lalu mengambil kitab. Sambil menjunjung kitab di atas kepala mulutnya berucap berulang kali.
"Wahai Para Dewa. Mohon ampun dan maaf Mu. Aku tidak tahu kalau tadi menginjak Kitab Weda..."
"Sahabat berdua, ada apa? Pangeran Bunga Bangkai bertanya. Ketika dia melihat benda yang ada di tangan dua sahabatnya itu terkejutlah sang Pangeran. "Tongkat kayu dan Kitab Suci Weda... Aku pernah melihat benda-benda ini di dalam kamar istriku. Jelas sekali, ini petunjuk dari Dewa bahwa istriku dan juga dua bayi itu sebelumnya memang ada di sini. Di dasar Sumur Api."
Pangeran Bunga Bangkai bersihkan tanah yang melekat di tongkat dan kitab. Lalu dia menyerahkan kitab pada Tambur Bopeng dan tongkat kayu pada Suling Burik. "Kalian berdua, simpan tongkat dan kitab itu baik-baik. Sekarang saatnya kita meninggalkan tempat ini."
Seperti diriwayatkan dalam serial pertama berjudul Perawan Sumur Api, tongkat dan Kitab Weda itu adalah milik orang tua bernama Dhana Padmasutra yang menemui Ananthawuri di halaman Candi Loro Jonggrang. Orang tua ini kemudian menemui ajal di tangan Setunggul Langit, anak buah Arwah Muka Hijau. Arwah Muka Hijau sendiri anak buah Arwah Ketua yang khianat dan kemudian dihukum oleh Arwah Ketua dengan menjadikan dirinya sebagai ganjalan dinding selatan Candi Miring.
Tak lama kemudian ke tiga orang itu melesat keluar dari dalam jurang, sayup-sayup terdengar suara ngeongan Ragll Abang si kucing merah peliharaan ratu Dhlka Gelang Gelang yang saat itu mendekam di pundak kiri Pangeran Bunga Bangkai.
DALAM gelapnya malam candi besar yang berdiri miring di bukit gersang dan disaput kabut nampak angker. Candi yang memiliki beberapa menara Ini konon dibangun oleh Raja Kedua Kerajaan Mataram Kuna yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran. Sejak didirikan candi ini tidak pernah dipergunakan, tidak pernah didatangi orang apa lagi ada yang mendiami.
Dari mulut ke mulut tersebar cerita bahwa candi yang kemudian diberi nama Candi Miring itu dihuni oleh berbagai mahluk halus dari alam arwah. Bilamana ada mahluk yang bernama manusia berani datang ke tempat itu maka pastilah dia seorang yang memiliki ilmu kesaktian sangat tinggi. Yang tidak takut pada segala macam mahluk halus penghuni candi, malah bisa berhubungan dengan mahluk-mahluk halus itu.
Ketika di kejauhan terdengar suara raungan anjing hutan, di langit di atas Candi Miring melesat satu benda hitam yang kemudian melayang turun dan berubah menjadi seekor Burung Hantu jejadian berwarna hitam legam. Binatang ini hinggap di puncak salah satu menara candi. Setelah mengepakkan sayap, sosoknya berubah menjadi ujud seorang pemuda berpakaian hitam yang keseluruhan tubuh berwarna hitam termasuk kedua matanya.
"Kanjeng Arwah Ketua, saya Arwah Hitam Pengawai Malam, datang untuk membawa kabar. Saya melihat tiga orang menyusup di hutan jati ke arah pedataran yang ditumbuhi alang-alang. Tanda-tanda menunjukkan mereka hendak menuju ke Candi Miring. Mohon petunjukmu apa yang harus saya lakukan."
Sebagai jawaban terdengar suara mengorok panjang disertai hembusan angin yang memerihkan kulit dan mata. "Arwah Hitam Pengawal Malam. Kau selalu datang membawa ketololan di masa lalu. Sebelum datang ke tempat ini apa kau sudah menyelidik siapa ketiga orang itu? Mana bisa aku membuat keputusan kalau kabar yang kau berikan tidak lengkap! Kalau kau masih tolol seperti yang sudah-sudah mungkin kau lebih berguna aku jadikan ganjalan dinding candi di sebelah selatan, menemani Arwah Muka Hijau!"
Kulit hitam wajah Arwah Hitam Pengawal Malam sekilas berubah kelabu. Sambil tundukkan kepala bungkukkan badan dia berkata. "Kanjeng Arwah Ketua, saya mohon maaf dan ampunmu. Saya sudah coba menyelidik. Namun salah seorang dari mereka tubuhnya mengeluarkan bau busuk yang sangat santar hingga ketika saya coba menyelidik yang terlihat hanya ujud samar karena kepala saya menjadi pusing dan pandangan mata menjadi nanar...."
"Kalau begitu, sebelum malam berganti siang bunuh ke tiganya."
"Baik Kanjeng Arwah Ketua. Perintah Kanjeng akan saya lakukan..."
"Tunggu." Tiba-tiba ada seseorang berkelebat yang menimbulkan angin kencang disertai suara perempuan berseru. "Rakanda Arwah Ketua, jangan bunuh ke tiga orang itu. Aku yakin mereka adalah orang-orang yang bersahabat dengan diriku. Paling tidak pernah menolongku ketika Sumur Api diserbu sembilan tokoh rimba persilatan..."
"Radinda Ratu! Kalau kenal ke tiga orang itu mengapa tidak menerangkan siapa mereka secara jelas biar aku membuat pertimbangan mau diapakan ketiganya!" Mahluk bernama Arwah Ketua yang menjadi penguasa dan penghuni Candi Miring keluarkan suara menggembor pertanda kesal. Mengenai siapa adanya Arwah Ketua dan riwayat candi angker itu harap baca riwayatnya dalam serial sebelumnya berjudul Candi Miring.
"Rakanda, mereka adalah mahluk bernama Pangeran Bunga Bangkai bersama dua sahabatnya yaitu orang sakti bernama Tambur Bopeng dan Suling Burik..." Ratu Dhika Gelang-Gelang yang ada bersama Arwah Ketua memberi tahu.
"Ah... mereka rupanya. Bukankah aku pernah memberi tugas padamu untuk mengawasi Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik?"
"Benar rakanda Arwah Ketua. Ternyata mereka bukan orang jahat dan kini bersahabat serta menjadi pengiring Pangeran Bunga dari Kerajaan Tarumanegara itu..."
"Hemmm..." Arwah Ketua keluarkan suara menggumam. "Mungkin mereka bukan orang jahat. Tapi maksud mereka menuju tempat ini bukan lain untuk mencari Ananthawuri bersama dua bayinya!"
"Hal itu tidak dapat dipungkiri lagi Rakanda Arwah Ketua. Karena kalau Rakanda sudah tahu siapa mereka mohon mereka bertiga jangan dibunuh."
"Baiklah, memenuhi pintamu aku tidak akan membunuh mereka. Tapi cukup memendam ketiganya selama delapan purnama di dalam tanah. Kau tahu apa akibatnya kalau Pangeran itu berhasil menemui istri dan dua puteranya sebelum waktu yang ditetapkan Para Dewa."
"Terima kasih Rakanda Arwah Ketua. Aku mengerti. Tapi rasanya, memendam mereka selama delapan purnama di dalam tanah bagiku masih terasa sangat tidak adil. Padahal belum ketahuan apakah mereka berniat baik atau jahat..."
"Radinda Ratu, kau ingin melihat Para Dewa murka karena apa yang telah mereka rencanakan sejak bertahun-tahun lalu akan jadi berentakan? Lebih dari itu kau ingin menyaksikan Bhumi Mataram dilanda kehancuran karena dua putra terbaik yang diharapkan akan menjadi kesatria pamungkas kejahatan di masa depan akan menjadi dua manusia tidak berguna atau terbunuh sebelum dewasa dan sempat berbakti pada Kerajaan?"
"Rakanda Arwah Ketua, aku memang tidak berpikir sampai sejauh itu. Karena terkadang aku punya pikiran, berprasangka buruk pada orang lain merupakan satu dosa yang tersembunyi yang kelak akan muncul di kemudian hari pada saat hari perhitungan di alam baka." Jawab Ratu Dhika Gelang Gelang yang telah dibawa secara paksa oleh Arwah Ketua sebelum Sumur Api meledak.
"Radinda, kita saat ini masih hidup di alam nyata. Perlu memperhitungkan segala sesuatunya dengan sangat hati-hati karena apa yang kita perbuat akan kembali menjadi tanggung jawab di pundak kita masing-masing. Aku tahu, kurasa kau juga tahu, begitu banyak bangsa manusia juga mahluk gaib yang suka mencuci tangan dari segala tanggung jawab."
Ratu Dhika Gelang-Gelang terdiam beberapa lamanya.
"Apakah pembicaraan ini sudah selesai sampai di sini Radinda Ratu? Atau ada yang masih hendak kau sampaikan?" bertanya Arwah Ketua.
"Kalau boleh, bukankah Rakanda memiliki ilmu tenung arwah yang disebut Melangkah Ke Depan Arwah Tiba Di Belakang. Melangkah Ke Belakang, Arwah Tiba Di Depan. Melangkah Ke Samping Arwah Berputar Di Tengah Tengah. Menurut hematku, Rakanda cukup menerapkan ilmu itu pada mereka. Sekarang mereka masih berada di hutan jati. Itu tempat yang paling baik untuk menurunkan Tenung Arwah sebelum mereka mencapai pedataran alang-alang. Aku Juga teringat pada Ragil Abang. Kucing merah peliharaanku itu pasti ada bersama Pangeran dari Kerajaan Tarumanegara itu. Aku kawatir terjadi apa-apa dengan dirinya walau sang Pangeran suka padanya dan Ragil Abang bersikap penurut dan jinak pada mahluk berkepala Bunga Bangkai itu."
"Radinda Ratu, kau tahu salah satu pantangan besar di candi ini? Tidak ada binatang sungguhan yang boleh menjejakkan kakinya di dalam candi. Bahkan binatang sungguhan melintas di halaman candi saja sudah merupakan larangan besar!"
"Aku tahu Rakanda. Aku tidak akan membawa Ragil Abang ke sini. Aku hanya mohon seperti yang tadi kupinta..." Jawab Ratu Dhika Gelang Gelang pula.
"Radinda Ratu, kalau bukan kau yang meminta mana mungkin aku mengabulkan. Tapi jika terjadi apa-apa kau tetap akan memikul tanggung jawab penuh..."
"Rakanda, jika terjadi apa-apa aku bersedia dijadikan ganjalan dinding candi sebelah selatan. Asal saja aku tidak ditelentangkan di bawah tubuh Arwah Muka Hijau. Hik..hik..hik."
"Cara bicara dan sikapmu masih tidak berubah dari dulu. Radinda Ratu Dhika Gelang Gelang, pergi bersama Arwah Hitam Pengawal Malam. Terapkan segera ilmu penyesat itu. Jangan lupa memberi tahu pada Arwah Putih Pengawal Siang. Jika pekerjaanmu sudah selesai, lekas kembali menemuiku. Dua orang bayi dan ibunya sudah berada di Candi Miring. Pada hari pertama bulan ke tujuh dia harus di bawa keluar candi agar bersentuhan dengan cahaya sang surya. Sejak itu pula menjadi tugasmu untuk menjaganya sampai turun petunjuk Dewa apa yang harus kita lakukan kemudian terhadap dua anak itu. Aku sudah menyiapkan daerah berbukit-bukit rendah di selatan candi, satu daerah subur sejuk, ada taman bunga dan kebun buah yang luas untuk tempat kedua anak itu bermain. Lengkap dengan sebuah air terjun dan telaga kecil. Seluruh tempat itu sampai ke candi akan kupagari dengan Ilmu Seribu Arwah Menutup Langit Memagar Bumi. Sehingga tidak ada satu orangpun mampu memasukinya...."
"Rakanda Arwah Ketua, aku mengucapkan terima kasih. Aku dan Arwah Hitam Pengawal Malam mohon diri sekarang juga..."
KICAU burung mulai memecah kesunyian. Di kejauhan sudah beberapa kali terdengar suara kokok ayam. Perlahan-lahan langit di sebelah timur berubah terang tanda fajar mulai menyingsing. Di dalam hutan jati Pangeran Bunga Bangkai hentikan langkah, palingkan kepala anehnya kearah dua pengiring.
"Setengah malaman lebih kita berjalan. Sampai matahari tersembul dan malam berganti siang. Adalah aneh kalau kita masih juga berada di dalam rimba belantara hutan jati ini. Dua sahabat kalau ucapanku keliru harap kau memberi tahu!"
Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik memandang ke atas, ke arah ujung dedaunan pohon-pohon yang ada di sekitar mereka.
"Pangeran, ucapanmu tidak keliru. Aku melihat ada bayangan sinar Jingga di pinggir dedaunan di atas pohon. Itu adalah warna kesukaan para lelembut. Agaknya mahluk halus itu yang telah dipergunakan oleh orang pandai untuk menurunkan tenung di dalam hutan ini. Aku kawatir kita telah terjebak dalam satu kekuatan gaib yang membuat kita hanya mampu berputar-putar di dalam rimba belantara hutan jati ini. Tidak mampu keluar sampai seratus tahun sekalipun! Kecuali kita mengetahui kunci penembus kekuatan gaib itu atau ada orang dari luar yang menolong. Tapi siapa orang saktinya yang mampu mengeluarkan kita. Sekali dia masuk ke dalam hutan ini maka dia akan ikut terjebak bersama kita."
"Meong..." Tiba-tiba Ragil abang yang ada di pundak kiri Pangeran Bunga Bangkai mengeong keras lalu melompat ke cabang pohon yang ada di dekat tempat ketiga orang itu berdiri.
"Kucing itu, apakah dia juga ikut terjebak dan tak bisa keluar dari rimba belantara ini?" tanya Pangeran Bunga Bangkai.
Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik tidak segera memberi jawab melainkan sama-sama saling pandang. Lalu Si Tambur Bopeng angkat dua tangannya yang memegang penabuh. Tapi sampai ditabuh berulang kali, tambur yang berada di atas perutnya sama sekali tidak mengeluarkan suara. Si Suling Burik dalam herannya cepat-cepat meniup sulingnya. Tapi sampai mengedan-edan dan mukanya menjadi merah, suling itu tidak mengeluarkan bunyi.
"Sahabat berdua, kita menghadapi satu kekuatan luar biasa hebat .endekati kekuatan Para Dewa," kata Pangeran Bunga Bangkai pula. "Kalian belum menjawab pertanyaanku tadi. Apakah Ragil Abang juga terjebak seperti kita? Berada dalam kekuasaan gaib itu?"
"Bilamana kekuatan gaib itu datang dari penguasa Candi Miring yang hendak kita datangi, rasanya kucing merah itu tidak akan terpengaruh. Binatang sungguhan merupakan pantangan bagi Candi Miring..."
Mendengar ucapan SI Tambur Bopeng, Pangeran Bunga Bangkai lambaikan tangannya ke arah kucing merah di cabang pohon. "Ragil Abang, kemarilah..."
Kucing merah mengeong perlahan lalu melompat ke pundak kiri Pangeran Bunga Bangkai. "Sahabatku..." kata sang Pangeran sambil mengusap tengkuk Ragil Abang. "Keluarlah dari rimba belantara ini. Berjalan ke arah selatan hutan. Cari pertolongan. Berlakulah hati-hati. Jangan sampai tersesat dan berada di dekat Candi Miring. Apakah kau mengerti ucapanku, sahabat?"
Ragil Abang menjilat tangan Pangeran Bunga Bangkai. Setelah mengeong lembut dia melompat turun, menyelinap ke balik deretan pohon jati dan akhirnya lenyap dari pemandangan.
"Pangeran, kami menyesal telah membawamu ke dalam keadaan seperti ini." Berkata Si Suling Burik.
Pangeran Bunga Bangkai keluarkan suara tertawa. "Kita sama-sama satu nasib. Aku justru mengawatirkan kalian. Aku punya firasat, paling cepat kita akan terkurung di hutan ini selama tujuh bulan. Aku bisa bertahan hidup tanpa makan. Bagaimana dengan kalian berdua. Apakah di hutan jati ini ada pohon berbuah yang bisa dimakan?"
"Bhumi Mataram bertanah subur. Di tanah gersang sekalipun Yang Maha Kuasa menyediakan makanan bagi siapa saja yang menjadi mahluk hidup..." Berkata Si Tambur Bopeng.
"Kalau ini memang sudah suratan takdir Yang Maha Kuasa, kita manusia bisa berbuat apa? Mari kita mencari tempat yang baik. Kita akan melakukan tapa tiga ratus hari. Mudah-mudahan Para Dewa akan menolong kita keluar dari hutan ini..."
Wajah dan suara Si Suling Burik terdengar tabah. Dia memeluk bahu sahabatnya Si Tambur Bopeng lalu melangkah ke arah timur hutan. Pangeran Bunga Bangkai mengikuti dari belakang. Di tengah jalan dia meminta Kitab Weda yang tadi diserahkan pada Si Tambur Bopeng. Sambil berjalan sang Pangeran membaca kitab itu mulai dari halaman pertama. Suara lafalnya ataupun mulut berucap perlahan namun menimbulkan gema halus di dalam hutan jati.
MALAM dingin gelap gulita. Hujan turun lebat sekail. Diantara suara deru angin dan gemertsik daun pepohonan yang saling bergeser sayup-sayup terdengar suara kepakan sayap. Tak lama kemudian tampak sebuah benda hitam melayang terbang di udara. Benda itu ternyata adalah seekor Burung Hantu yang kemudian melayang turun lalu menjejak tanah di antara dua batang pohon besar di dasar lembah.
Di dasar tanah yang disebut lapisan Ke Tiga di Lembah Hantu, Panglima Pawang Sela masuk ke dalam satu lorong batu sunyi dan redup. Didalam lorong Itu terdapat tujuh lapis tirai tebal berlainan warna. Panglima Pawang Sela hanya berani menyibak sampai di tirai yang ke empat yaitu tirai berwarna Jingga. Kini dia berdiri di hadapan tirai ke lima berwarna biru. Dia tidak berani menyibak tirai ini karena Itulah batas dimana dia boleh berada di dalam lorong batu. Untuk beberapa lama dia berdiri diam sambil merapal sesuatu lalu perlahan-lahan lelaki separuh baya bertubuh tinggi kekar dan mengenakan Jubah serta destar kuning ini berlutut di lantai seraya mulut berucap.
"Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru, yang juga saya sebut Si Maharaja Ke Delapan, mahluk arwah alam gaib yang kita tunggu sudah datang. Saya mohon izin untuk membawanya menghadap Junjungan..."
Dari balik tirai ke tujuh yang berwarna merah, terpisah dua tirai dari tempat Pawang Sala berdiri saat itu, keluar suara jawaban. "Panglima Pawang Sela. Sebelum kau membawa mahluk itu ke hadapanku, ada beberapa hal yang perlu kutanyakan dan harus mendapat jawaban saat ini juga..."
"Junjungan, saya menunggu pertanyaan," kata Panglima Pawang Sela sambil bangkit berdiri.
"Pertama, sudah berapa jumlah Tuman Keku yang berhasil kau dapatkan sampat saat ini?"
"Saya ingat sekali Junjungan. Jumlah sudah mencapai enam puluh tiga. Saya masih menbutuhkan delapan orang lagi..."
"Jumlah tujuh puluh satu harus kau penuhi tujuh hari sebelum hari yang telah aku tentukan!"
"Saya sanggup dan yakin akan berhasil mendapatkan Jumlah itu sesuai dengan perintah Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru."
"Pertanyaan kedua. Berapa jumlah mahluk berkepala anjing Tuman Kean yang sudah kau dapat?" (Tuman Kean = Tubuh manusia Kepala Anjing)
"Saya tidak ingat pasti Junjungan. Harap maafkan. Tapi Jumlahnya pasti sudah melebihi seratus."
"Sekarang pertanyaan ke tiga. Apakah kau telah berhasil berhubungan dengan Arwah Muka Hijau yang saat ini masih terpendam di dinding selatan Candi Miring, dibuat sebagai ganjalan?!"
"Mohon maafmu Junjungan. Hal itu belum dapat saya lakukan karena masih menunggu petunjuk dari mahluk gaib yang berada di dalam lembah sana. Yaitu tentang apa saja yang harus dilakukan agar bisa melakukan bicara Jarak jauh dengan dia tanpa diketahui penghuni Candi Miring termasuk Arwah Ketua. Lalu bagaimana cara untuk membebaskannya dari ganjalan candi." Jawab Panglima Pawang Sela.
"Tapi yang paling penting," kata sang Junjungan pula. "Mencari tahu bagaimana melumpuhkan Arwah Ketua dan kaki tangannya! Sehingga ketika kita bergerak Arwah Ketua dan semua penghuni Candi Miring tidak berdaya melakukan upaya apapun."
"Baik Junjungan. Hal itu akan saya lakukan."
"Pertanyaan ke empat. Apakah kau sudah menghubungi Wakil Kepala Balatentara Kerajaan Bhumi Mataram untuk membantu menggembosi pasukan Kerajaan dari dalam pada saat hari penyerbuan kita nanti?"
"Saya sudah menghubungi, tapi orang bernama Jenggal Kantanu itu tidak bisa dibujuk, tidak mempan disogok. Saya bahkan membawanya ke sebuah pondok. Disitu saya telah mempersiapkan seorang perawan desa. Tapi dia tetap menolak. Dia tidak mau berkhianat pada Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu, Raja yang memerintah di Bhumi Mataram saat ini. Padahal sesuai pesan Junjungan, saya memberi tahu dia bakal menduduki jabatan sebagai Kepala Pasukan bilamana Kerajaan Mataram Baru berdiri nanti. Ketika saya memaksa dia menunjukkan gelagat seperti hendak membunuh saya. Tapi itu tidak dilakukannya mungkin mengingat saya adalah kakak iparnya."
"Manusia bodoh!" rutuk orang dibalik tirai merah yang dipanggil Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru. "Lalu apa yang telah kau lakukan terhadap manusia satu itu?"
"Saya telah membunuhnya Junjungan. Kotaraja sampai geger selama tujuh hari. Beberapa orang ditangkap. Kepala Balatentara Kerajaan dicurigai dan diawasi gerak-geriknya. Orang-orang Mataram sampai saat ini tidak mampu menjajagi jejak saya. Junjungan, apakah Junjungan ingin saya memberikan bukti dengan memperlihatkan apa yang terjadi secara gaib seperti halnya sewaktu saya menyuruh Abdika Brathama sehabis dia membunuh Ceti Kanwa?"
"Tidak perlu. Aku cukup percaya padamu. Sekarang pertanyaan ke lima. Apakah Abdika Brathama saat ini masih berada di Kotaraja memata-matai keadaan?"
"Benar Junjungan! Dia akan tetap berada di sana sampai saat-saat terakhir menjelang kita memasuki Kotaraja."
"Pertanyaan keenam. Bagaimana dengan seribu anggota pasukan yang berada di Lembah Hantu sebelah barat...?"
"Mereka tetap bersiaga sambil terus melakukan latihan perang-perangan."
Yang disebut Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru yang berada di balik tirai tebal warna merah agaknya cukup puas dengan semua jawaban Panglima Pawang Sela. Maka diapun berkata. "Bagus. Sekarang kau boleh membawa masuk orang di luar sana. Ingat dia hanya bisa masuk sampai di depan tirai ke tiga, tirai kelabu. Jangan lupa menyumpalkan Batu Baramundu ke dalam rongga matanya. Lakukan itu sebelum dia masuk ke dalam lapisan ke tiga dasar lembah."
"Perintah Junjungan segera saya lakukan. Saya akan kembali sebelum hitungan ke seratus!"
"Satu hal harus kau yakini, Panglima Pawang Sela."
"Gerangan apakah itu Junjungan?"
"Kau harus yakin, mahluk yang akan kau bawa ke hadapanku itu adalah benar-benar Arwah Hitam Pengawal Malam. Bukan mahluk tipuan yang bisa mencelakakan kita! Kau tahu Arwah Ketua adalah mahluk seribu ilmu seribu akal!"
"Saya berani menjamin Junjungan. Mahluk yang akan saya bawa ke tempat ini adalah benar-benar Arwah Hitam Pengawal Malam. Saya mohon pergi sekarang."
"Tunggu dulu!"
"Ada hal lain yang Junjungan hendak katakan?" tanya Panglima Pawang Seia sambil berhenti memutar tubuh lalu menatap tirai biru di hadapannya
"Jika nanti aku puas dengan semua apa yang telah dilakukan mahluk bernama Arwah Hitam Pengawal Malam itu, hadiahkan dia seorang gadis desa..."
"Maaf Junjungan. Mahluk itu tidak suka pada perempuan. Dia hanya menggauli lelaki sesama jenis."
"Apa? Ha ha ha" Sang Junjungan tertawa tergelak. "Kalau begitu kau tahu apa yang harus kau lakukan. Di desa Kaliwungu ada banyak bocah remaja. Pilihkan seorang untuknya! Ha...ha...ha. Orang-orang lelaki Mataram! Kalian ini serba aneh. Para Dewa telah menyediakan perempuan untuk menjadi pasangan kalian bersenang-senang! Mengapa mau menggauli bangsa laki-laki yang hanya punya satu lobang di bawah perutnya dan itupun berbau busuk! Ha...ha...ha! Satu pertanda kalian menyimpang dari jalan hidup yang benar. Para Dewa akan mengutuk kalian! Kerajaan Bhumi Mataram memang sudah saatnya dihancur luluhkan! Ha...ha...ha! Panglima, lakukan apa yang aku perintahkan!"
"Akan saya lakukan Junjungan." Panglima Pawang Sela membungkuk di hadapan tirai biru lalu sekali dia menggerakkan kaki, tubuhnya melesat ke atas dan lenyap dari pemandangan.
Suara tawa dari balik tirai merah masih menggema, membuat tujuh tirai di dalam bergoyang melambai-lambai.
BURUNG hantu yang mendekam di antara dua pohon besar menyalangkan sepasang mata hitamnya lebih besar ketika Panglima Pawang Sela muncul kembali di tempat itu.
"Junjungan Sri Maharaja Kerajaan Mataram Baru bersedia menerimamu. Sekarang perlihatkan ujudmu yang sebenarnya!"
Burung Hantu kepakkan kedua sayapnya. Saat itu juga tubuhnya berubah menjadi sosok seorang pemuda mengenakan pakaian hitam. Seperti pakaian, kulit di tubuh pemuda ini termasuk wajah dan sepasang mata berwarna hitam legam.
"Jadi kau yang bernama Arwah Hitam pangawal Malam?"
Si pemuda membungkuk lalu anggukkan kepala. Panglima Pawang Sela letakkan tangan kanannya di atas ubun-ubun kepala. Ketika tangan diturunkan, di tangan itu kini terlihat dua buah benda bulat merah menyala mengepulkan asap serta hawa panas.
"Arwah Hitam Pengawal Malam, maju satu langkah. Dekatkan wajahmu ke arahku!"
Pemuda berpakaian hitam melirik pada dua benda menyala di tangan kanan orang yang berdiri di hadapannya. Wajahnya yang hitam legam berubah kelabu.
"Bara menyala..." ucap si pemuda dalam hati dan dada berdebar. "Panglima Pawang Sela, kau hendak melakukan apa?" Si pamuda bertanya dengan suara agak tercekat
"Tidak ada pertanyaan. Aku akan berkata sekali lagi dan itu untuk yang terakhir kali. Maju satu langkah! Dekatkan wajahmu ke arahku!"
Walau merasa bimbang perlahan-lahan si pemuda rundukkan kepala sedikit lalu di dekatkan ke arah Panglima Pawang Sela. Dess...dess! Secepat kilat Pawang Sela susupkan dua bara menyala ke dalam rongga mata kiri kanan Arwah Hitam Pengawal Malam. Asap merah mengepul. Dua bara menyala melesak masuk ke dalam rongga mata. Namun anehnya Arwah Hitam Pengawal Malam tidak merasakan panas atau sakit. Selain itu kedua matanya tetap bisa melihat seperti biasa. Dua bara menyala sama sekali tidak menutup pemandangannya. Pemuda dari alam gaib ini merasa lega sedikit
"Arwah Hitam Pangawal Malam, saat ini bara menyala di dalam dua rongga matamu memang tidak menimbulkan rasa sakit. Tapi jika nanti kau melakukan hal-hal yang tidak berkenan pada Junjungan kami, menipu dan memberi keterangan palsu maka dua bara menyala itu akan menjadi panas, membuat kepalamu leleh lalu sekujur tubuhmu akan meledak berkeping-keping."
"Aku sudah bertindak sejauh ini. Jika kau dan Junjungan tidak percaya lebih baik urusan antara kita hanya sampai di sini saja!" Pemuda berpakaian dan bermuka hitam rupanya merasa tidak senang.
Panglima Pawang Sela menyeringai. "Kau pandai menggertak," ucapnya. "Jika itu kau lakukan padaku, aku akan memaafkan. Tapi Jika kau berani bersikap seperti itu terhadap Junjungan, kau akan dirubah menjadi debu. Tidak berguna di atas dunia, tidak berguna di alam gaib" Selesai keluarkan ucapan Panglima Pawang Sela ulurkan tangan kiri menyambar lengan kanan si pemuda. Sesaat kemudian sosok kedua orang itu amblas dan lenyap masuk ke dalam tanah antara dua pohon besar di dasar Lembah Hantu.
SESUAI perintah Junjungan, Panglima Pawang Sela membawa Arwah Hitam Pengawal Malam memasuki lorong batu dan berhenti di depan tirai berwarna kelabu yang merupakan Tirai Ketiga. Panglima memberi isyarat pada pemuda berkulit hitam itu agar mengikuti apa yang dilakukannya yaitu membungkuk di depan tirai.
"Panglima," tiba-tiba Arwah Hitam Pengawal Malam berbisik. "Aku tidak melihat Junjungan yang kau katakan itu. Mengapa kita memberi penghormatan pada tirai kelabu. Apakah tirai ini..."
"Tutup mulutmu!" Bentak Pawang Sela. "Jangan berani membuka mulut kalau tidak ada yang bertanya atau menyuruh! Atau kau ingin dua bara rmmyala di dalam matamu itu segera kujadikan panas?!"
"Harap maafkan aku Panglima. Aku hanya gugup...." Jawab si pemuda.
Panglima Pawang Sela membungkuk sekali lagi. "Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru, saya sudah berada di hadapan Tirai Kelabu. Di sebelah saya berdiri Arwah Hitam Pengawal Malam."
Tujuh tirai di dalam lorong batu bergoyang melambai-lambai seolah ditiup angin. Sesaat kemudian terdengar suara di ujung lorong, dari arah belakang Tirai Merah.
"Pemuda berkulit hitam, kami mengenalmu sebagai Arwah Hitam Pengawal Malam. Aku tahu dari Panglima kau telah membantu kami sejak beberapa lama belakangan ini. Aku merasa puas dengan apa yang telah kau kerjakan. Itu sebabnya aku meminta Panglima membawamu ke sini. Ceritakan siapa dirimu yang nyata dan yang gaib. Beritahu siapa dirimu adanya, apa kedudukanmu di Candi Miring."
"Junjungan, seperti yang kau saksikan ujud nyata saya adalah seperti ini. Saya adalah mahluk alam gaib yang bisa berubah menjadi seekor Burung Hantu hitam. Di Candi Miring saya dipercayai menjadi salah seorang pembantu utama Arwah Ketua..."
"Sebagai pembantu utama kau pasti banyak mengetahui keadaan di Candi Miring. Apakah Arwah Muka Hijau masih berada di sana, dijadikan ganjalan dinding candi?"
"Benar sekali Junjungan. Arwah Muka Hijau sampai saat ini tidak beranjak dari tempatnya di dasar dinding selatan Candi Miring."
"Aku akan membebaskannya. Kau tahu bagaimana caranya menghubungi mahluk itu melalui ilmu bicara jarak jauh tanpa ada seorangpun penghuni Candi Miring bisa mendengar?"
"Lemparkan dua ekor kodok mati di arah dinding selatan candi. Tiga malam kemudian Arwah Muka Hijau akan mampu mendengar suara yang dikirim dari jarak jauh kepadanya. Sebaliknya ia juga bisa bicara memberikan jawaban."
"Bagus. Aku minta kau yang mencari dua kodok mati lalu melemparkan ke dinding candi. Sanggup?!"
"Sanggup Junjungan..." jawab Arwah Hitam Pengawal Malam.
"Jika sudah kau lakukan beri tahu Panglima."
"Baik Junjungan."
"Aku kehilangan jejak seorang perawan desa bernama Ananthawuri bersama dua bayi yang baru dilahirkannya. Menurut apa yang aku ketahui, ibu dan dua anaknya itu lenyap di sekitar halaman depan Candi Miring. Katakan apa yang kau ketahui..." Sebenarnya orang yang bicara dibalik tirai merah maupun Panglima Pawang Sela sudah tahu keberadaan Ananthawuri dan dua bayinya di dalam Candi Miring. Namun sang Junjungan ingin menguji.
"Perawan desa bernama Ananthawuri dan dua bayinya saat ini memang berada di dalam Candi Miring. Dibawah perlindungan Arwah Ketua. Mereka diselamatkan oleh Arwah Kembar dari dasar reruntuhan Sumur Api. Arwah Kembar sendiri menemui kematian tak jauh dari Candi Miring..."
"Orang suruhanku yang membunuh mereka." Berkata sang Junjungan.
Arwah Hitam terkejut tapi diam saja. Sang Junjungan kemudian bertanya. "Selain Arwah Ketua, siapa saja yang berada di Candi Miring?"
"Seorang perempuan bernama Ratu Dhika Gelang Gelang. Dia masih memiliki garis darah dengan Raja Bhumi Mataram Sri Maharaja Rakal Pikatan Dyah Saladu. Dia ditugasi menjaga dua bayi siang dan malam."
Dibaiik tirai sang Junjungan mendengus lalu tertawa pendek. "Ketika diberi tugas menjaga Sumur Api dia tidak mampu. Sekarang ditugasi menjaga dua bayi..Ha..ha! Panglima aku melihat kita bisa lolos dari lobang jarum. Kita punya kesempatan membunuh dua bayi jika memang perempuan gemuk berkerincing emas yang menjaga merekat"
"Junjungan, bagaimana kalau tugas membunuh dua bayi kita serahkan pada pemuda ini?" Panglima Pawang Sela mengajukan usul.
Sebelum Junjungan menjawab, Arwah Hitam Pengawal Malam mendahului. "Maaf Junjungan, saya tahu kemampuan saya. Tingkat ilmu kepandaian saya tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Ratu Dhika Gelang Gelang terlalu sakti. Belum lagi Arwah Ketua. Lalu masih ada Arwah Putih Pengawal Siang serta Arwah Gelap Gulita..."
"Aku tahu perempuan itu. Dia memang merupakan salah satu ganjalan. Orang-orangku telah berusaha membunuh kekasihnya, seorang pemuda bernama Sebayang Kaligantha. Tapi Para Dewa menolong menyelamatkan dirinya. Perempuan dan kekasihnya itu bisa kita urus kemudian. Arwah Hitam, kau tahu rahasia menembus masuk ke dalam Candi Miring?" Bertanya Panglima Pawang Sela.
"Saya tahu Junjungan. Tapi jika saya mengatakan maka lidah saya akan terpotong dan saya tidak akan mampu lagi bicara untuk selama-lamanya."
Panglima Pawang Sela menyeringai. Sang Junjungan keluarkan suara tertawa lalu berkata. "Arwah Hitam Pengawal Malam. Kau berada di tempat yang aman dibawah perlindungan Panglima dan diriku. Katakan rahasia menembus masuk ke dalam Candi Miring."
Arwah Hitam tidak segera menjawab.
"Kau mau menerangkan atau tidak?" Panglima menegur. Suaranya menyatakan kegusaran melihat sikap Arwah Hitam yang hanya diam saja.
Akhirnya pemuda berkulit hitam itu membuka mulut sambil memegang tengkuknya yang mendadak dingin, pemuda berkulit hitam legam itu berkata. "Diperlukan mayat seorang gadis, seorang anak perawan berusia antara empat belas dan dua puluh satu tahun. Yang meninggal paling lama tiga hari dan jenazahnya dikubur bukan dibakar. Mayat digali dari makamnya lalu dikuburkan lagi pada satu tempat arah utara Candi Miring, sejarak paling dekat lima ratus tombak. Kaki mayat harus menghadap candi. Orang yang hendak masuk kedalam Candi harus membawa dua kepalan tanah kuburan. Satu kepalan berasal dari kubur lama dan satu kepal lagi dari kubur baru..."
"Itu saja? Tanya sang Junjungan.
"Betul Junjungan. Itu saja..."
"Kau tahu bagaimana caranya menyekap Arwah Ketua agar tidak bisa keluar dari dalam candi?" Sang Junjungan kemudian bertanya. Sementara Panglima menatap lekat-lekat ke wajah hitam pemuda di hadapannya.
"Maaf Junjungan, saya tidak mengetahuinya..."
"Lalu apa kau tahu kelemahan Arwah Ketua?" kembali sang Junjungan yang juga disebut Sri Maharaja Mataram Baru atau Sri Maharaja Ke Delapan ajukan pertanyaan sementara Panglima Pawang Sela menatap lekat-lekat kewajah pemuda berkulit hitam itu.
"Setahu saya Arwah Ketua tidak boleh terkena tetesan embun murni yang menempel di dedaunan. Tapi saya tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya jika sampai ada tetesan embun menyentuh tubuhnya..."
"Hemmm... Itu sebabnya dia sengaja tinggal di Candi Miring yang terletak di bukit gersang. Bukit tanpa pohon tanpa daun..." Berkata Panglima Pawang Sela.
"Kau betul Panglima. Sekarang kita sudah tahu kelemahannya, kita bisa memancing dirinya berada di satu kawasan rimbun pepohonan, sewaktu embun masih melekat di dedaunan..."
"Berarti kita sebaiknya melancarkan serangan pada saat dinihari. Ketika embun masih banyak melekat di dedaunan. Jika arwah Ketua berani muncul..."
"Kau cerdik. Tapi aku punya satu rencana baru. Aku lebih suka membentuk serombongan pasukan yang sengaja membawa ranting pepohonan yang memiliki daun penuh dengan tetesan embun. Jika Arwah Ketua muncul di kancah pertempuran pasukan pembawa embun ini yang akan menghadangnya. Hal ini akan kita bicarakan lagi. Sekarang aku akan meminta sahabat kita Arwah Hitam Pengawal Malam melakukan satu hal lagi..."
"Saya siap Junjungan," menyahuti Arwah Hitam.
"Kau harus membunuh Arwah Putih Pengawal Siang. Mahluk satu itu bisa menjadi biang racun mengacaukan semua rencana kita. Kau sanggup?!"
"Sanggup Junjungan."
"Bagus. Sekarang aku mengucapkan selamat jalan padamu. Semua janji hadiah harta maupun jabatan yang telah disampaikan Panglima Pawang Sela akan kupenuhi setelah Kerajaan Bhumi Mataram kita hancurkan. Saat ini, sekeluar dari Lembah Hantu, Panglima akan membawamu ke satu tempat untuk bersenang-senang..."
"Terima kasih Junjungan. Saya mohon diri." Arwah Hitam Pengawal Malam membungkuk di depan Tirai Kelabu lalu mengikuti Panglima Pawang Sela yang telah memberi isyarat padanya untuk segera meninggalkan lorong.
Ketika muncul dari dalam tanah dan sampai di antara dua pohon besar di dasar Lembah Hantu tiba-tiba Arwah Hitam Pengawal Malam merasa ada cairan hangat dan asin di dalam mulutnya. Bersamaan dengan itu perutnya terasa mual.
"Hek... hekk..." Arwah Hitam semburkan cairan yang ada di mulutnya. Yang keluar ternyata darah kental. Dan bukan hanya darah tapi juga sekerat benda merah. Ketika diperhatikan oleh Panglima Pawang Sela merindinglah bulu kuduknya. Benda itu ternyata potongan lidah. Kutukan dari candi Miring telah jatuh atas diri Arwah Hitam Pengawal Malam karena pengkhianatannya.
Arwah Hitam Pengawal Malam meraung keras. Dia tidak peduli lagi rencana Panglima Pawang Sela yang hendak mengajaknya ke Desa Kaliwungu. Bahkan tanpa menanggalkan bara merah yang masih menempel di dalam rongga matanya dia menghambur tinggalkan tempat itu. Panglima Pawang Sela cepat menghadang. Dia korek dua Batu Baramundu yang ada di dalam rongga mata si pemuda seraya berkata.
"Bagaimanapun keadaanmu, tugas yang di-perintahkan oleh Junjungan harus tetap kau laksanakan. Kalau tidak nasibmu akan lebih mengerikan dari yang kau alami sekarang! Kau dengar?"
"Hak..huk....hak..huk!" Arwah Hitam hanya bisa keluarkan suara seperti itu sambil angguk-anggukkan kepala berulang kali.
SATU hari setelah Arwah Hitam Pengawal Malam menghadap sang Junjungan di dasar lapisan ke tiga Lembah Hantu, desa Jamburewo dilanda kegegeran. Wudhania, anak gadis berusia enam belas tahun puteri seorang petani lenyap dari rumahnya. Penduduk beramai-ramai melakukan pencarian. Setelah dua hari mencari mereka belum berhasil menemukan si gadis. Namun di dekat sebuah telaga dangkal berair kotor ditemukan sebuah kuburan dalam keadaan terbuka. Tanah kuburan masih gembur dan merah pertanda kuburan itu masih baru. Agaknya siapapun yang dikubur di tempat ini mayatnya telah digali dan dikeluarkan. Mungkinkah itu mayat Wudhania, anak gadis desa Jamburewo yang lenyap tidak tentu rimbanya?
Hanya beberapa hari setelah ditemukan kuburan kosong. Arwah Ketua di Candi Miring menerima laporan dari pembantu utamanya Arwah Gelap Gulita kalau Arwah Putih Pengawal Siang ditemukan telah jadi mayat di kaki bukit gersang. Mayat itu kemudian berubah menjadi bangkai seekor kadal putih, sesuai dengan ujud aslinya.
"Saya juga ingin memberi tahu wahai Arwah Ketua. Sahabat kita Arwah Hitam Pengawal Malam sudah beberapa hari tidak kelihatan. Saya kawatir sesuatu telah terjadi dengan dirinya."
Arwah Ketua keluarkan suara mengorok. "Arwah Gelap Gulita. Aku minta kau menyelidiki semua perkara kejadian ini sampai tuntas. Aku hanya memberikan waktu tiga hari padamu. Kita harus bertindak cepat. Aku punya firasat sejak Sumur Api meledak serangkaian peristiwa aneh yang terjadi akan membawa kepada satu malapetaka yang lebih besar. Aku perintahkan juga padamu untuk menyelidiki dari luar hutan jati, apa Pangeran Bunga Bangkai dan dua pengiringnya masih berada di sana. Aku tidak yakin ada kekuatan bisa membuat mereka lolos. Tapi Yang Maha Kuasa bisa berbuat sekehendakNya. Aku tidak boleh menyombongkan diri dengan Ilmu kesaktian yang aku miliki yaitu ilmu Tenung Arwah. Di atas langit masih ada langit..."
"Perintah Arwah Ketua segera aku laksanakan."
"Aku mencium bau yang tidak enak diarah selatan candi. Selidiki ke arah itu lebih dulu."
"Segera saya lakukan," kata Arwah Gelap Gulita. "Sebelum pergi harap kau sirap keberadaan candi ini."
"Baik Arwah Ketua."
Setelah membungkuk Arwah Gelap Gulita berkelebat keluar dari Candi Miring. Sejarak seratus tombak di timur candi dia mencari tempat ketinggian. Di sini dia tegak rangkapkan dua tangan di depan dada kaki terkembang, mata terpejam. Setelah sepasang telinganya tidak lagi mendengar suara tiupan angin, perlahan-lahan Arwah Gelap Gulita angkat ke dua tangan ke udara. Telapak diarahkan ke Candi Miring. Secara aneh candi angker itu beberapa saat kemudian mulai tampak samar dan akhirnya lenyap sama sekali dari pemandangan seolah telah bersatu dengan udara yang dibungkus oleh kegelapan malam.
SEPERTI yang dikatakan sang Junjungan, ketika menyelidik ke kawasan selatan Candi Miring, Arwah Gelap Gulita yang berujud seorang kakek bersorban dan berjubah hitam mencium bau busuk. Saat itu di pertengahan hari dan sang surya memancarkan sinar terik.
"Kalau ini bukan bangkai binatang, tidak bisa lain pasti bangkai manusia Bangkai manusia konon lebih busuk dari bangkai binatang..."
Sejauh lebih dari lima ratus tombak Arwah Gelap Gulita dari candi, di satu telaga kecil yang airnya sudah lama mengering Arwah Gelap Gulita melihat banyak orang kerkerumun mengelilingi sebuah lobang. Tak jauh dari situ beberapa orang tengah membuat usungan dari bambu. Mendekat ke tepi lobang, pembantu utama sang Junjungan ini melihat ada tiga orang lelaki di dalam lobang tengah menggotong sesosok mayat yang ditutupi sehelai kain panjang. Mayat inilah yang menebar bau luar biasa busuk.
Arwah Gelap Gulita membentak. "Manusia-manusia kurang ajar! Beraninya kalian mengubur mayat di kawasan Candi Miring"
Semua orang di tempat itu termasuk tiga yang di dalam lobang tersentak kaget. Mengira yang muncul adalah seorang Resi, salah seorang yang berdiri di tepi lobang agak takut-takut berkata, "Resi, kami bukan hendak mengubur mayat. Tapi justru mau mengeluarkan mayat dari dalam lobang."
"Siapa yang mati? Bagaimana bisa ada kuburan di tempat ini? Kalian siapa?" Bentak Arwah Gelap Gulita
Orang yang tadi bicara kembali menjawab. "Kami penduduk Desa Jamburewo. Seorang anak perawan penduduk desa hilang. Dua hari lalu kami menemukan sebuah makam kosong tak jauh dari desa. Kelihatannya ada jenazah pernah dikubur di situ lalu dibongkar dikeluarkan. Kami curiga jangan-jangan anak perawan yang hilang itu telah menemui kematian dan pernah dikubur di situ. Kami berbagi menjadi tiga rombongan dan meneruskan melakukan pencarian. Di tempat ini, di dalam lobang kami menemui jenazah anak perawan itu, baru setengah tertimbun. Kami tengah berusaha mengeluarkan dan mau mengusungnya kembali ke desa sewaktu Resi datang..."
Dalam kejutnya mendengar keterangan orang desa. Arwah Gelap Gulita ingat satu hal. Dalam hati dia membatin. "Dikubur, lalu belum tiga hari jenazah lenyap. Gadis ini agaknya sengaja dibunuh untuk memenuhi satu tirakat. Jangan-jangan ada seseorang yang mengetahui..." Kakek ini tidak meneruskan apa yang ada dalam hati dan pikirannya. "Aku akan membantu kalian mengeluarkan jenazah dari dalam lobang. Kalian bertiga menyingkirlah..."
Tiga orang di dalam lobang walau merasa heran namun meletakkan jenazah kembali ke dasar lobang. Begitu ketiganya keluar dari dalam lobang Arwah Gelap Gulita letakkan tangan kanan di atas lobang hingga bergetar dan memancarkan cahaya putih redup. Semua orang yang ada di tempat itu tercengang kaget ketika melihat jenazah yang ada di dalam lobang perlahan-lahan naik ke atas, melayang sebentar di udara lalu turun dan rebah di atas usungan bambu yang baru saja selesai dibuat.
Arwah Gelap Gulita dekati usungan bambu. Kain panjang di bagian kepala disingkap hingga dia dapat melihat wajah dan bagian dada jenazah. Di leher tampak tanda kebiru-biruan. "Bekas cekikan. Aku dapat memastikan tulang leher gadis ini remuk sampai ke pangkal. Ganas sekali. Siapa yang begitu tega melakukan...?" Kata Arwah Gelap Gulita dalam hati. Saat itu dia melihat jenazah masih mengenakan pakaian. Sambil menutup kain kembali pembantu utama Arwah Ketua ini bertanya. "Siapa nama gadis malang ini?"
"Wudhania." Seorang menjawab memberi tahu.
Arwah Gelap Gulita kemudian susupkan dua tangannya ke bagian kaki jenazah. Brett! Kakek ini robek ujung pakaian yang masih melekat di tubuh jenazah. Robekan pakaian di simpan di balik jubah. Lalu pada semua orang yang ada di situ kakek ini berkata. "Kalian boleh mengusung jenazah. Bawa kembali ke desa Jamburewo. Para Dewa akan memberkati kalian karena telah berbuat kebajikan."
Selesai berkata Arwah Gelap segera berkelebat tinggalkan tempat itu. Untuk beberapa lama orang-orang Desa Jamburewo masih tegak tercengang-cengang di tempat itu. Sampai akhirnya ada seseorang yang berkata. "Jangan-jangan orang tua tadi bukan seorang Resi. Tapi mahluk halus penghuni Candi Miring."
"Kurasa kau benar. Kalau tidak mengapa tadi dia kelihatan marah. Kita dituduh mengubur mayat di kawasan Candi Miring."
"Teman-teman, sebaiknya kita segera mengusung jenazah dan tinggalkan tempat ini." Seorang lain berkata.
Empat orang segera memanggul usungan. Tak lama kemudian setelah semua orang Desa Jamburewo pergi tempat itu tenggelam dalam kesunyian bahkan suara anginpun tidak terdengar. Namun sesaat kemudian dari balik serumpunan semak belukar terdengar suara perempuan bicara "Cahyo Kumolo, kau menyaksikan semua apa yang barusan terjadi?"
Sebagai sahutan ada suara mendesis pendek "Aku yakin kakek tadi bukan seorang Resi. Adalah aneh mengapa dia sengaja merobek dan membawa potongan pakaian Jenazah. Aku melihat tadi dia berkelebat lenyap ke arah utara. Bukankah di situ letak Candi Miring yang dihuni mahluk halus bernama Arwah Ketua bersama pengikut-pengikutnya?"
Kembali terdengar suara mendesis.
"Aku ingin sekali menyelidik ke Candi Miring. Tapi tidak mudah bagi kita bisa masuk kesana. Mendekat saja sulit."
Sambil mengusap punggung kura-kura hijau di atas kepalanya, orang yang bicara yang bukan lain adalah Sri Sikaparwathi berkata lagi. "Entah mengapa aku ingin menduga-duga. Apakah ada kaitan Candi Miring dengan Sumur Api? Lalu mengapa orang yang kita cari Pangeran Bunga Bang-kai dan dua sahabatnya lenyap begitu saja. Cahyo, menurutmu apa mungkin Arwah Ketua di Candi Miring adalah mahluknya yang menjadi pengendali cahaya tiga warna yang selama ini kerap muncul. Dan setiap muncul ada kejadian orang yang menemui ajal..."
Kali ini tidak terdengar jawaban suara mendesis.
KETIKA Arwah Ketua mendengar keterangan yang disampaikan Arwah Gelap Gulita mengenal jenazah anak perawan di selatan Candi Miring, penguasa Candi Miring ini langsung meminta robekan pakaian jenazah yang dibawa Arwah Gelap Gulita.
"Sang surya tak lama lagi akan tenggelam. Malam ini juga aku akan melakukan Samadi Menghimbau Jiwa Kehidupan. Kau harus menemaniku. Kita akan mendapat kejelasan apa yang sebenarnya terjadi."
Malam harinya, di salah satu menara candi Arwah Ketua dan Arwah Gelap Gulita duduk berhadap-hadapan. Di lantai, di atas sehelai daun kering yang dipotong berbentuk segi enam, terietak robekan pakaian jenazah Wudhania. Langit di atas candi tampak gelap, bulan sabit dan bintang tidak satupun yang kelihatan. Hampir setengah malam kedua mahluk penghuni candi itu melakukan samadi tiba-tiba daun alas robekan pakaian jenazah memancarkan cahaya biru lalu perlahan-lahan bergerak naik ke atas. Sekira setinggi manusia berdiri robekan kain berhenti lalu tampak sosok samar terbungkus cahaya biru.
"Jenazah anak perawan bernama Wudhania unjukkan ujudmu. Roh di alam gaib masuklah ke dalam jenazah. Aku Arwah Ketua penguasa Candi Miring membutuhkan pertolongan. Berupa jawaban dari beberapa pertanyaan... Para Dewa di Swargaloka, Izinkan dan bantu kami berdua mengetahui kebenaran. Demi keselamatan ibu dan dua bayi pilihanMu yang ada di candi ini. Jiwa Kehidupan, datanglah."
Sesaat setelah Arwah Ketua berucap dan menara candi diselimuti kesunyian, sosok samar terbungkus cahaya biru perlahan-lahan bergerak mundur ke sudut menara. Sementara bergerak ujudnya berubah menjadi jelas. Ternyata dia adalah sosok seorang anak gadis berusia sekitar enam belas tahun. Sebagian wajah, tubuh dan pakaiannya diselubungi tanah kuburan. Di leher ada tanda biru. Sesekali kepala mayat hidup ini terkulai ke samping. Sepasang mata yang membeliak besar menatap tidak pernah berkedip ke arah Arwah Ketua dan Arwah Gelap Gulita. Air muka menunjukkan rasa takut yang amat sangat
"Jiwa kehidupan, tamu yang datang dari alam barzah. Rohmu berada di tempat yang aman. Buang jauh-jauh rasa takutmu."
Dua mata yang menatap mendelik perlahan-lahan mengecil sayu dan mengedip.
"Anak gadis, apakah betul kau bernama Wudhania? Gadis berasal dari Desa Jamburewo?" Arwah Ketua mulai bertanya.
Mahluk di sudut menara perlahan-lahan mengangguk lalu kepalanya terkulai ke kiri. Dari mulutnya keluar suara seperti orang tercekik. Arwah Ketua melirik pada Arwah Gelap Gulita lalu kembali mengajukan pertanyaan.
"Apakah benar kau masih perawan? Belum pernah berhubungan badan dengan laki-laki?"
Kepala jenazah hidup yang terkulai bergerak lurus lalu mengangguk. Setelah itu kembali terkulai. Kali ini ke samping kanan.
"Ceritakan padaku apa yang terjadi dengan dirimu. Bicaralah!"
Menunggu cukup lama mahluk yang ditanya baru menjawab. Suaranya seolah datang dari sumur yang dalam dan sesekali tersendat tercekik. "Ada orang datang ke rumah. Dia mencekik leherku. Aku mati. Mayatku dibawa pergi. Dikubur di satu tempat. Satu hari kemudian kuburku dibongkar..."
"Siapa yang membongkar?" tanya Arwah Gelap Gulita.
"Orang yang sama yang sebelumnya menguburku..."
"Lalu apa yang terjadi?" Arwah Ketua yang bertanya.
"Aku dibawa seperti terbang. Lalu dikuburkan lagi di satu tempat. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku ditinggal begitu saja di dalam kubur. Tanah kubur tidak ditimbun. Lalu orang itu pergi..."
"Jiwa kehidupan. Tamu yang datang dari alam barzah. Ingat baik-baik, sebelum pergi apakah orang itu melakukan sesuatu..."
"Dia pergi begitu saja. Tidak mengambil sesuatu dariku..."
"Harap kau mau mengingat lagi. Orang itu mungkin tidak mengambil apa-apa dari dirimu. Tapi mungkin sekali sebelum pergi dia melakukan sesuatu..."
"Aku mengingat... aku mengingat..." Kepala jenazah hidup itu terkulai ke belakang.
"Kau pasti bisa mengingat. Kau mampu mengingat. Kau mampu mengingat. Katakan apa yang dilakukan orang itu sebelum pergi?" Arwah Ketua mendesak.
"Dia membungkuk ke samping tubuhku. Dia aku ingat. Dia menggumpal tanah. Sekitar sebesar tinju..."
Arwah Ketua dan Arwah Gelap Gulita saling berpandangan. Wajah dua mahluk alam gaib ini sama-sama berubah. Satu kilatan cahaya api muncul di mata Arwah Ketua. Lalu Arwah Ketua kembali bertanya. "Berapa buah gumpalan tanah yang dibuat orang itu?"
"Aku ingat... aku ingat. Dua buah. Yah, dua buah. Dia memegang satu di tangan kiri, satu di tangan kanan lalu pergi begitu saja..."
"Kau tahu siapa orang itu? Pernah melihatnya sebelumnya?"
“Tldak...tidak..."
"Kau bisa mengatakan bagaimana rupanya, keadaan tubuhnya serta pakaian yang dikenakannya?'
"Orang itu tidak mengenakan pakaian. Aku tidak tahu apakah dia laki-laki atau perempuan. Mukanya polos licin. Tidak punya hidung, tidak punya mata, tidak ada mulut. Telinga juga tidak punya..."
"Jahanam bergundal licik" menyumpah Arwah Ketua. Dari mulutnya menyembur suara mengorok keras. Setelah amarahnya reda dia lalu bertanya. "Tamu jauh dari alam barzah. Apa lagi yang kau ingat?"
"Muka licin orang itu memiliki tiga warna...."
Arwah Ketua dan Arwah Gelap Gulita tersentak. "Apa?" tanya Arwah Gelap Gulita. "Ulangi ucapanmu!"
"Orang bermuka polos licin itu wajahnya berwarna. Ada tiga warna..."
"Kau ingat warna apa saja?!" tanya Arwah Ketua menahan tegang bercampur marah.
"Merah, biru dan hitam..."
"Kurang ajar! Mahluk yang sama lagi." Rutuk Arwah Ketua.
"Hekk....!" Jenazah hidup di sudut menara keluarkan suara tercekik. Mata mendelik. Lidah terjulur.
"Waktu kita habis..." kata Arwah Ketua. Dia cepat angkat tangan kanannya sambil berucap. "Mahluk kehidupan, tamu yang datang dan jauh. Terima kasih kau telah membantuku. Selamat jalan. Semoga kau kembali ke alammu penuh ketentraman. Semoga Para Dewa akan memberikan tempat paling indah di alam baka."
Sosok jenazah Wudhania berubah samar berselimut cahaya kebiruan. Sedikit demi sedikit sosoknya lenyap, berubah menjadi robekan pakaian lalu melayang dan kembali ke tempatnya semula di atas daun kering di lantai candi.
"Arwah Gelap Gulita. Kita menghadapi bahaya Besar. Ada mahluk yang akan menembus ke dalam Candi Miring."
"Arwah Ketua, saya sulit mempercayai. Bagaimana orang luar bisa mengetahui rahasia..."
"Ada yang berkhianat diantara kalian para pembantuku! Aku pasti akan menemukan siapa mahluknya!"
"Mereka pasti mengincar dua bayi." Berkata Arwah Gelap Gulita.
Arwah Ketua mengangguk. Kemudian sambil sepasang mata bergerak berputar dia berkata. "Aku merasa lantai candi bergetar!" Ucap Arwah Ketua sambil mendongak ke langit hitam di atas candi. "Aku juga mendengar suara desau aneh angin. Dari samping selatan candi. Arwah Gelap Gulita, aku akan melihat dua bayi dan ibunya serta Ratu Dhika Gelang Gelang. Kau cepat menyelidik ke dinding selatan candi"
Dua mahluk gaib penghuni Candi Miring itu sesaat kemudian lenyap dari pemandangan.
LAKSANA tiupan angin Arwah Gelap Gulita berkelebat ke bagian atas dinding candi sebelah selatan. Dari sini dia memperhatikan ke bawah. Sunyi dan gelap. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Satu-satunya benda yang tampak di kejauhan adalah sebatang pohon yang telah meranggas kering, miring ke kanan siap menunggu tumbang. Arwah Gelap Gulita memperhatikan sekali lagi. Kali Ini sambil mengerahkan hawa sakti ke kepala. Tiba-tiba mahluk ini tersentak.
"Aku merasa pasti. Sangat pasti..." Secepat kilat Arwah Gelap Gulita yang berperawakan tinggi besar dan memiliki rambut berjingkrak seperti kawat lurus ini melayang turun ke tanah. Begitu menginjak tanah dua kakinya yang tidak berkasut terasa panas. Matanya mendelik ke arah dua benda yang tergeletak di tanah, hanya beberapa jengkal dari dinding selatan candi.
"Bangkai kodok. Hyang Jagat Bathara Dewa. Apa yang terjadi?" Arwah Gelap Gulita berteriak. "Bagaimana mungkin. Aku sudah menutupi kawasan candi dengan Ilmu Gelap Di Langit Gelap Di Bumi. Kembali dia alirkan hawa sakti, kali ini disertai tenaga dalam ke kepala lalu dua mata menatap tajam kebagian dasar candi. Untuk kedua kalinya pembantu utama Arwah Ketua ini tersentak kaget, tidak menunggu lebih lama lagi dia segera merapal aji mengirim suara dari jarak jauh. "Arwah Ketua, kita mengalami malapetaka besar."
"Kau menemukan apa?!" suara bertanya Arwah Ketua mengiang di telinga Arwah Gelap Gulita. "Arwah Muka Hijau yang selama ini jadi ganjalan candi tidak ada lagi di dasar dinding sebelah selatan!"
"Berarti ada dua bangkai kodok di sekitar situ?"
"Betul sekali Arwah Ketua! Saya telah menemukan."
"Terapkan ilmu Arwah Memantek Roh. Aku akan segera ke sana. Kita akan segera menemukan siapa pelakunya!"
Arwah Gelap Gulita segera luruskan dua Jari tangan kiri kanan. Diarahkan pada dua bangkai kodok yang tergeletak di tanah. Dua larik sinar hitam menderu. Dua bangkai kodok amblas masuk ke dalam tanah. Saat itu juga tiba-tiba mengumbar suara tawa bergelak di halaman selatan candi.
"Penghuni Candi Miringi Kalian bertindak terlambat. datanglah ke halaman selatan candi! Kalian akan melihat ketololan kalian sendiri! pada saat kalian berada di halaman, aku Arwah Muka Hijau sudah sampai seribu tombak jauhnya dari Candi Miring! Kalian boleh mengeluarkan seribu ilmu Arwah Memantek Roh. Aku mau lihat apa kalian bisa membuat aku amblas setengah badan ke dalam tanah?! Ha..ha..ha!
"Arwah Muka Hijau! Kau boleh tertawa sepuasmu! Arwah Ketua akan menjebol ubun-ubunmu. Menyedot darahmu!" Balas berteriak Arwah Gelap Gulita.
Tiba-tiba satu cahaya hijau pekat membentuk puluhan benda berupa pisau besar bermata dua menderu dari balik dinding candi. Menyambar ke arah Arwah Gelap Gulita.
Ketika Arwah Ketua sampai di halaman samping candi bagian selatan kejutnya bukan kepalang. Di sini dia menemukan Arwah Gelap Gulita terkapar di tanah. Sekujur tubuh dalam keadaan tercabik-cabik dan berwarna hijau. Memperhatikan ke bagian bawah dinding candi, Arwah Ketua tidak melihat apa-apa. Kosong. Sosok Arwah Muka Hijau yang selama ini ada disana dijadikan ganjalan dinding miring lenyap tak berbekas!
"Melihat tubuh mayat berwarna hijau, Ini adalah pekerjaan keji Arwah Muka Hijau. tapi Arwah Muka Hijau belum punya kemampuan untuk mengalahkan apa lagi membunuh Arwah Gelap Gulita secara cepat pasti ada satu kekuatan dari luar yang membantu, kalau tidak mana mungkin dia lolos dari himpitan dinding candi" Arwah Ketua keluarkan suara mengorok keras dan panjang. "Mahluk keji terkutuk Arwah Muka Hijau kau tidak akan bisa lari. Aku akan mengejarmu sekalipun sampai di neraka ke tujuh." Teriak Arwah Ketua.
Pada saat dua bangkai kodok amblas ke dalam tanah akibat hantaman dua larik sinar hitam yang dilepas Arwah Gelap gulita. Arwah Muka Hijau yang lolos dari himpitan dinding selatan candi Miring telah berada di daerah selatan. Sesuai bisikan yang didengarnya dia harus pergi ke sebuah tempat di barat Pleret dimana terdapat sebuah candi kecil yang pada bagian atas gapura depannya ada ukiran batu berupa burung besar mengembangkan sayap.
"Duduk di tangga candi, sampai ada seseorang datang menjemputmu. Sebelum orang itu datang kau akan terlebih dulu melihat cahaya tiga warna keluar dari dalam tanah."
Sebelum pagi datang, selagi malam gelap masih dipagut udara dingin dan kesunyian, tidak sulit bagi Arwah Muka Hijau yang aslinya bernama Cendadaluh mencari candi yang dimaksudkan dalam bisikan. Maka diapun mendudukkan diri di tangga depan candi, menunggu orang yang akan menjemputnya. (Mengenal riwayat Arwah Muka Hijau dapat dibaca daiam serial sebelumnya berjudul Arwah Candi Miring)
Wajah mahluk berjubah hijau ini angker mengerikan, dia tidak memiliki mata. hidung dan mulut maupun telinga, pada bagian itu hanya terdapat sayatan tipis dijahit benang hitam kasar, selain itu di wajah dan beberapa bagian tubuhnya terdapat banyak bekas luka yaitu akibat pertarungan dengan Ratu Dhika Gelang Gelang hingga terkurung dalam Bubu Ikan Berbisa. Namun kemudian senjata aneh perangkap berbentuk ikan ini mencelakai Arwah Muka Hijau sendiri. (Baca serial pertama berjudul Perawan Sumur Api)
Tidak lama duduk menunggu di tangga candi, dari arah timur tiba-tiba Arwah Muka Hijau melihat ada bayangan samar putih sosok menyerupai manusia mendatanginya. Sosok samar yang merupakan seorang tua agak membungkuk mengenakan pakaian selempang kain putih, berambut, janggut dan berkumis putih ini sampai dan berhenti di hadapan Arwah Muka Hijau. Arwah Muka Hijau menduga-duga tapi hatinya merasa bimbang.
"Mahluk yang akan menjemputku." Pikir Arwah Muka Hijau. "Tapi mengapa tidak sesuai bisikan. Mengapa tidak ada sinar cahaya tiga warna keluar dari dalam tanah?" Sepasang mata yang berupa sayatan garis dijahit benang hitam bergerak-gerak memperhatikan. Hatinya mulai merasa tidak enak dan curiga.
"Mahluk gaib, kau siapa? Jika kau bukan mahluk yang menjemput diriku lekas menyingkir pergi dari sini."
"Aku memang bukan ingin menjemputmu, aku datang sesuai kehendak Para Dewa. Jika kau mau bertobat dan minta ampun pada penguasa Candi Miring, maka kau akan diselamatkan dari kematian kedua serta hukuman diganjal seratus tahun di bawah dinding candi..." Sosok samar di hadapan Arwah Muka Hijau menjawab. Suaranya Jelas suara orang yang sudah berusia lanjut
Tentu saja Arwah Muka Hijau jadi terkejut mendengar ucapan mahluk samar itu. Dia membentak keras. "Pergi dari sini. Atau aku akan mengirim dirimu kembali ke alam roh. dan kau tidak akan bisa keluar lagi untuk selama-lamanya..."
"Jangan mengancamku. Aku datang bermaksud baik untuk menyelamatkan dirimu. Walau di dalam tubuh tua ini sebenarnya ada dendam terhadap dirimu..."
Arwah Muka Hijau dengan cepat bangkit berdiri. tangan kanan diangkat ke atas, telapak yang telah berubah menjadi hitam diarahkan pada mahluk samar di hadapannya.
"Ah..." mahluk samar menghela nafas panjang. "Ilmu Serat Arang. Dengan ilmu ini dulu anak buahmu yang bernama Setunggul Langit membunuhku!"
Arwah Muka Hijau terkesiap kaget. Mata dibesarkan agar bisa melihat lebih jelas. "Jadi...jadi kau adalah Dhana Padmasutra?"
"Betul sekali, dulu kita saling bermusuhan. Puluhan tahun. Tapi setelah berada di alam roh. bagiku semua permusuhan itu habis sudah, malah sekarang aku ingin menolongmu. Bertobat pada Yang Maha Kuasa dan minta ampun pada Arwah Ketua. Maka kau akan diselamatkan dari malapetaka!"
"Dhana Padmasutra! Aku tidak perlu pertolonganmu! Aku juga tidak merasa perlu untuk bertobat. Semua apa yang terjadi adalah karena hukum sebab akibat!"
Saat itu juga tiba-tiba menggelegar suara tawa bergelak. "Arwah Muka Hijau. Dosa kejahatan mu setinggi langit sedalam kerak bumi! Kau masih bicara sombong takabur! Mana ada pengampunan bagimu! Malam ini kau bahkan telah membunuh seorang pembantuku di Candi Miring!"
"Wussss!" Satu gelombang angin luar biasa kencang menyambar hingga sosok Arwah Muka Hijau yang berdiri di tangga candi tergontai-gontai sementara sosok samar Dhana Padmasutra bergerak naik ke udara sambil keluarkan suara.
"Sayang sekali... sayang sekali! Kau lebih suka menemui ajal kedua kali dalam kesesatan dari pada mendapat pengampunan! Gendadaluh. Jika takdir Yang Maha Kuasa sudah menentukan memang tidak satu manusiapun bisa mengelak diri. Termasuk kau." Sosok samar Dhana Padmasutra lenyap.
Tiba-tiba ada satu mahluk besar luar biasa melayang turun menjejak tanah. Candi kecil dan tanah sekitarnya bergetar keras. Beberapa bagian atas candi yang memang sudah lapuk runtuh ke tanah. Sesaat kemudian di tempat itu berdiri satu sosok besar memiliki tinggi sampai tiga kali candi. Mengenakan jubah biru yang dadanya tidak dikancing. Berkepala botak dengan satu tanduk tunggal yang memancarkan cahaya merah, sepasang mata besar menjorok keluar rongga.
Hampir keseluruhan mata berwarna putih karena bola matanya hanya merupakan satu titik hitam kecil. Dari mulut mahluk ini keluar suara menggembor. Tiupan nafasnya memerihkan kulit dan mata. Inilah Arwah Ketua dari Candi Miring. Jika dia muncul dalam ujud begini rupa, itulah satu pertanda bahwa dia berada dipuncak kemarahan dan hanya kematian mahluk lain yang dibencinya yang mampu menyurutkan amarahnya.
Kerajaan Bhumi Mataram dalam bahaya. Sementara dua bayi yang diharapkan menjadi kesatria pamungkas belum mencapai usia tujuh bulan dan keselamatannya nyawa mereka juga sangat terancam. Mampukah pangeran Bunga Bangkai dan dua sahabatnya keluar dari dalam tenung di hutan jati? Siapa sebenarnya pengendali dibelakang layar yang ingin menghancurkan Bhumi Mataram dan bermaksud membunuh dua bayi? Ikuti cerita selanjutnya berjudul: SRI MAHARAJA KE DELAPAN
“Binatang atau manusia atau mahluk jejadian...? Tubuh manusia, bicara seperti manusia tapi kepala dan kaki seperti kuda. Berbulu putih... astaga! Mahluk aneh itu telah mencabut tombak Naga Sungkem dari tanah..."
"Kembalikan tombakku!" Teriak Ki Joran Dhamakaru.
Mahluk di antara dua batang pohon tertawa. Suara tawanya aneh. Antara suara tawa manusia dan ringkikan kuda! "Siapa saja yang berani datang ke Lembah Hantu berarti dia telah menyerahkan segala-galanya pada penguasa lembah. Termasuk nyawanya! Apa lagi cuma sebatang tombak butut begini! Ha ha ha...!"
1. MAHLUK ANEH MELINTAS DI MALAM DINGIN
DESA Gentasari yang terletak di pedataran subur di sisi utara Kali Oyo masih tenggelam dalam kegelapan malam serta udara luar biasa dingin karena sore sebe-lumnya hujan turun sangat tebal. Kesunyian yang menyelimuti desa dipecah oleh suara roda gerobak ditarik seekor kuda coklat besar. Walau kuda penarik gerobak sudah lari kencang seperti dikejar hantu di jalan yang becek namun pemuda yang menjadi sais masih saja terus menghujani punggung binatang itu dengan cemeti di tangan kiri sementara tangan kanan memegang tali les kuda kencang-kencang.
Dari kejauhan gerobak tampak seperti kosong, tidak ada barang tidak ada penumpang. Namun di lantai gerobak saat itu terkapar dua sosok mayat Keduanya laki-laki berusia muda. Kepala dan tubuh mereka utuh, tidak tampak ada bekas luka atau pukulan, juga tidak ada noda darah. Namun sepasang mata mereka kelihatan membeliak besar seperti mau berlompatan dari rongganya. Agaknya sebelum menemui ajal kedua orang Ini telah melihat sesuatu yang sangat menakutkan!
Di depan sebuah rumah besar berpekarangan luas, sais hentikan gerobak. Sebelum dia melompat turun, pintu depan rumah besar terbuka lebar. Seorang lelaki berpakaian serba hitam keluar, mendatangi dengan cepat. Walau wajah garang berkumis tebal dan berjanggut lebat namun air mukanya tampak letih karena kurang tidur sejak dua malam yang lalu. Wanadhaya pemuda sais gerobak melompat turun. Sebelum ditanya dia sudah jatuhkan diri di hadapan lelaki yang barusan keluar dari rumah. Walau suara terbata-bata karena nafas mengengah, dia cepat berkata,
"Bapak Kepala Desa, Ki Joran Dhamakara, saya... saya berhasil menemukan mereka. Tapi..." Si pemuda tidak meneruskan ucapan. Dia berpaling ke arah gerobak.
Ki Joran Dhamakara yang adalah Kepala Desa Gentasari segera menghampiri gerobak. Memandang ke dalam dan melihat dua mayat pemuda yang tergeletak di lantai gerobak wajah kuyunya berubah tegang membesi. Setelah menarik nafas dalam dia berucap perlahan.
"Dewa Bathara Agung... Aku sudah menduga...!" Kepala Desa ini ulurkan tangan, singkap baju yang dikenakan dua pemuda yang telah menjadi mayat. Pada masing-masing dada mayat dia melihat jelas tanda kebiru-biruan berbentuk ladam atau tapal kuda. "Kematian dua pemuda ini sama dengan dua pemuda terdahulu. Ada tanda ladam kuda di dada... Apakah benar-benar seekor kuda yang telah membunuh mereka? Akalku tidak bisa menerima. Tapi banyak orang mengatakan mendengar suara itu. Suara ringkik kuda..."
"Ki Joran, apa yang harus kita lakukan...?“ bertanya Wanadhaya.
"Bangunkan tetangga. Jenasah dua pemuda ini harus diurus malam ini juga. Paling lambat pada fajar menyingsing keduanya bisa diperabukan. Jangan lupa memberi tahu kejadian ini pada kedua orang tua mereka."
Wanadhaya segera hendak beranjak dari tempat itu. Namun bahunya dipegang oleh Kepala Desa. "Wanadhaya, dua pemuda sahabatmu ini, apakah mayatnya kau temukan di tempat yang sama dengan dua mayat yang ditemukan penduduk sebelumnya?"
"Benar sekail Ki Joran"
"Benar sekali apa?"
"Sa... saya menemukan mereka tak jauh dari Lembah Hantu..."
"Lembah Hantu" Ki Joran Dhamakara berucap perlahan. "Bagaimana lembah itu tiba-tiba saja di beri nama Lembah Hantu. Ada berita tersebar kalau di situ kini ada penghuni seorang sakti yang konon siap menurunkan ilmu kepandaian kepada siapa saja yang bisa menemuinya, terutama para pemuda. Anehnya hampir setiap malam dari arah lembah terdengar suara kuda meringkik. Para pemuda pemberani mendatangi lembah untuk mendapatkan ilmu kesaktian. Yang mereka dapatkan justru kematian! Sembilan pemuda pergi ke lembah. Hanya empat yang kembali. Itulah dalam keadaan mati. Lalu kemana mereka yang berlima..."
Kepala Desa berpaling pada Wanadhaya, pemuda yang tegak di sampingnya. "Sebelum kau pergi, siapkan kudaku...."
"Bapak Kepala Desa mau pergi kemana?" tanya Wanadhaya.
"Sudah empat penduduk desa menemui ajal. Lima orang tidak diketahui nasib keadaannya. Apakah aku hanya akan berpangku tangan? Saatnya aku melakukan sesuatu."
"Maksud Ki Joran. mau pergi ke Lembah Hantu..."
"Apapun namanya aku harus pergi ke sana. Siapkan saja kudaku. Jangan banyak tanya lagi!" jawab Kepala Desa Gentasari lalu masuk ke dalam rumah.
Ketika Wanadhaya kembali ke halaman depan membawa seekor kuda hitam besar. Ki Joran sudah menunggu. Kini dia mengenakan pakaian ringkas warna kelabu. Sebilah keris bersarung perak terselip di pinggang. Di tangan kanan Kepala Desa Ini memegang sebatang tombak yang ujung lancipnya dilapis perak murni. Dalam kegelapan malam ujung tombak tampak memancarkan cahaya terang. Pada bagian bawah mata tombak memancarkan cahaya terang. Pada bagian bawah mata tombak terdapat ukiran berbentuk naga bergelung. Inilah salah satu senjata sakti milik Ki Joran Dhamakara yang konon bernama Naga Sungkem. Di leher Kepala Desa tergantung sebuah kalung kain hitam tebal berbentuk empat persegi.
"Ki Joran...." berkata Wanadhaya. "Kalau Ki Joran hendak ke Lembah Hantu, sebaiknya jangan sendirian..."
"Kau hendak menemaniku?" tanya Kepala Desa.
Wajah si pemuda langsung pucat. Dia susun sepuluh jati di atas kepala seraya berkata. "Kalau disuruh ke sana lagi, saya minta ampun. Tapi saya bisa memanggil beberapa orang teman untuk menemani Ki Joran..."
"Tidak ada gunanya." Kata Kepala Desa pula. "Dengar baik-baik. Kalau sampai tengah hari besok aku tidak kembali ke desa ini, berarti aku sudah menemui ajal. Cari mayatku di dalam lembah..."
Ucapan Kepala Desa terputus. Tiba-tiba terdengar suara meringkik disertai derap kaki kuda mendatangi. Ki Joran Dhamakara dan Wanadhaya terkejut. Keduanya segera palingkan kepala. Cepat sekali. hanya sekilas dan itupun nyaris menyerupai bayang-bayang, di hadapan mereka bergemuruh lewat mahluk aneh. Dalam sekejapan mata mahluk itu telah lenyap.
Wanadhaya usap tengkuknya yang terasa dingin. Ki Joran masih kelihatan tenang walau dadanya berdebar kencang. "Ki... Ki Joran.... Mahluk apa yang barusan lewat...?" bertanya Wanadhaya sementara mata masih menatap tak berkesip ke arah lenyapnya mahluk-mahluk bayangan tadi, kuduk masih merinding.
"Tak dapat dipastikan. Aku hanya melihat sekilas. Jumlah mereka mungkin lebih dari sepuluh. Hantu lembah atau mahluk jejadian apa. Kalau benar-benar kuda mengapa tubuh mereka tegak seperti manusia Kalau manusia mengapa berkepala dan meringkik seperti kuda."
Wanadhaya memandang ke tanah lalu berkata. "Aneh... mengapa di tanah tidak ada bekas jejak kaki mereka? Padahal tanah dalam keadaan becek. Tadi jelas sekali terdengar suara kaki seperti tapal kuda mendera tanah yang mereka lewati..."
"Ini keanehan yang harus aku selidiki," sahut Kepala Desa. "Yang disebut Lembah Hantu jauh dari sini. Jika mahluk-mahluk itu sudah gentayangan sampai ke sini berarti mereka mencari sesuatu. Berarti bahaya sudah semakin meluas mengancam penduduk. Wanadhaya, lakukan tugas yang aku berikan padamu..." Lalu tanpa bicara lebih banyak Ki Joran Dhamakara melompat ke atas punggung kuda. Sesaat kemudian sosok Kepala Desa Gentasari ini bersama kuda tunggangannya sudah lenyap ditelan kegelapan.
2. MAHLUK "TUMAN KEKU”
Kawasan sepanjang utara Kail Oyo merupakan daerah subur. Di sana terdapat beberapa buah lembah dengan kemiringan sangat cukup tajam, nyaris membentuk jurang lebar hingga tidak ada penduduk yang mau bercocok tanam disitu. Salah satu lembah yang paling besar terletak di bagian tengah di utara Dlingo, sekitar selengah hari perjalanan dari Desa Gentasari. Inilah yang oleh penduduk sekitar kawasan itu disebut-sebut sebagai Lembah Hantu. Di masa lalu masih ada penduduk yang melintas atau turun ke dalam lembah.
Namun sejak diketahui adanya peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi di tempat itu, kini tidak seorangpun berani mendekat Konon pada malam hari sering terdengar suara ringkikan kuda Selain itu pada slang hari, kerap kali terlihat serombongan mahluk aneh berkelebat cepat, keluar atau masuk ke dalam lalu lenyap begitu saja dengan meninggalkan suara derap kaki kuda di kejauhan.
Karena tahu jalan memintas dan memacu kuda sekencang yang bisa dilakukannya, jauh sebelum sang surya terbit di timur Ki Joran Dhamakara telah sampai di bibir lembah sebelah selatan. Dalam kegelapan yang masih menghitam dia nyaris tidak melihat apa-apa selain deretan pepohonan serta semak belukar lebat. Namun Kepala Desa yang memiliki ilmu kesaktian cukup tinggi ini selagi di atas punggung kuda sudah mampu merasakan bahwa di sekitar lembah ada sesuatu. Sesuatu yang bernyawa dan bernafas seperti dirinya. Banyak sekali. Tetapi belum tentu bisa dikatakan sebagai manusia.
Setelah merapal doa keselamatan, menggosokkan jimat kain hitam di atas kening dan memegang tombak Naga Sungkem erat-erat di tangan kanan, Ki Joran Dhamakara memandang sekali lagi berkeliling. Gelap, sunyi dan dingin. Perlahan-lahan Kepala Desa Gentasari ini tundukkan kepala, mulut didekatkan ke kuda hitam tunggangannya lalu berbisik.
"Bayu Ireng, meringkiklah tiga kali. Jika kita mendapat sahutan berarti lembah ini memang ada penghuninya...." Selesai mengeluarkan ucapan Ki Joran Dhamakara usap tengkuk kuda hitam dengan tangan kiri sambil merapal mantera. Lalu dengan tangan yang sama dia menepuk pinggul binatang Itu.
"Sekarang Bayu! Meringkiklah!"
Mendengar ucapan sang majikan serta tepukan pada pinggul, seolah mengerti apa yang diperintahkan, kuda hitam besar itu lalu dongakkan kepala dan meringkik tiga kali berturut-turut. Tidak menunggu lama tiba-tiba dari dasar lembah sebelah timur terdengar sahutan ringkik kuda, hanya dua kali. Suara ringkikan ke tiga mendadak lenyap seolah mahluk yang meringkik dicekik atau ditabas batang lehernya!
"Arah timur. Kira-kira dua ratus tombak dari sini... Bayu! Cepat!"
Kuda hitam kibaskan ekor lalu berputar dan lari dengan sebat ke arah timur.
* * *
DI DASAR lembah sebelah timur dari atas sebatang pohon besar melesat turun seorang berpakaian putih. Gerakan luar biasa enteng, pakaian yang diterpa angin tidak mengeluarkan suara. Begitu juga ketika dua kakinya menginjak tanah. Dua kaki ini, Ternyata bukan berbentuk kaki manusia. melainkan merupakan kaki kuda lengkap dengan ladam besinya, berbulu putih, dan di sebelah atas, mulai dari pangkal leher orang ini memiliki kepala menyerupai kuda berbulu putih. Yang hebatnya, di tangan kanan mahluk bertubuh manusia kepala dan kaki kuda ini memegang sebilah golok besar berlumuran darah.
Setelah lari cukup jauh orang Ini sampai dihadapan dua pohon besar. Dia langsung menyelinap diantara dua batang pohon. Golok berdarah diselipkan ke pinggang. Tangan kiri kanan memegang pohon lalu menekan. Terdengar suara siuran angin halus. Tanah yang diinjak sepasang kaki kuda orang itu bergerak turun. Sesaat kemudian mahluk bertubuh manusia berkaki dan berkepala kuda lenyap seperti ditelan bumi.
Tak selang berapa lama, jauh di dasar lembah yang oleh penduduk disebut sebagal Lembah Hantu mahluk berpakaian putih berkepala kuda berbulu coklat tadi sampai ke sebuah pedataran luas. Di sini terlihat satu pemandangan hebat! Lima puluh sosok manusia berkepala dan berkaki kuda berbulu putih tegak lurus dalam dua barisan memanjang. Tidak satupun yang bergerak atau bersuara, bahkan sepasang mata menatap lurus ke depan, tidak berkedip barang satu kalipun!
Namun ketika orang berpakaian putih muncul di ujung pedataran sebelah barat dan melangkah cepat melewati mereka, ke lima puluh manusia berkepala kuda Ini serentak sama-sama tundukkan kepala. Setelah orang tadi lewat baru mahluk-mahluk itu kembali luruskan kepala masing-masing seperti dia. Sampai di ujung pedataran sebelah timur orang berkepala kuda putih berlutut lalu bersujud dan menyentuhkan kening tiga kali ke tanah. Pada kail ke tiga kening tetap ditempel di tanah dan baru bangkit berdiri ketika ada kilauan cahaya tiga warna memancar dari dalam tanah.
“Kanjeng Panglima, saya Abdika Brathama datang membawa berita buruk..."
Cahaya tiga warna bergerak ke kiri dan ke kanan. Lalu ada suara gema jawaban, datang dari dalam tanah. "Abdika Brathama, ceritakan berita buruk apa yang kau bawa"
"Ada penyusup memasuki Lembah Hantu dari arah selatan. Dia berhasil memancing keberadaan kita dengan menyuruh kudanya meringkik. Ringkikan telah dibalas oleh Ceti Kanwa, kuda coklat pengiring saya...."
"Ceti Kanwa berasal dari orang berkepandaian cukup tinggi. Tidak mungkin dia bisa terpengaruh suara dari luar...."
"Saya kira ada orang berkepandaian lebih tinggi dari Ceti Kanwa menerapkan Ilmu kesaktian. Besar kemungkinan dia adalah pemilik kuda yang meringkik di lembah arah selatan. Ceti Kanwa mungkin tidak sengaja balas meringkik karena menyangka kawan sendiri..."
"Sengaja atau tidak sengaja kesalahan telah terjadi. Orang luar telah mengetahui keberadaan kita. Tindakan apa yang telah kau lakukan Abdika Brathama?" Suara di dalam tanah bertanya dan cahaya tiga warna berkilau lebih terang.
"Saya telah menjagal kepala Ceti Kanwa hingga putus!" Menjawab mahluk berkepala kuda putih yang menyebut diri Abdika Brathama.
"Bagus! Setiap kesalahan ada hukumnya. Siapa yang salah wajib dihukum. Tapi Ingin bukti! Tunjukkan bukti!"
Abdika Brathama cabut golok besar yang terselip dipinggang. Golok yang masih berlumuran darah itu diletakkan di tanah. Sesaat kemudian cahaya tiga warna kembali bergerak dan dari dalam tanah terdengar suara.
"Abdika Brathama, golok berdarah tidak membuktikan apa-apa. Perlihatkan padaku secara gaib apa yang telah kau lakukan. Jika kau berdusta maka golok itu akan kupakai memenggal kepalamu! Aku punya tanggung Jawab besar yang harus aku berikan pada Junjungan!"
"Mohon izinmu kanjeng Panglima," kata Abdika Brathama.
Setelah membungkuk dalam-dalam lalu manusia berkepala dan berkaki kuda berbulu putih ini membuat gerakan-gerakan silat. Gerakannya luar biasa enteng dan cepat. Dua kaki yang dilapisi ladam besi sama sekali tidak mengeluarkan suara walau berulang kali menghentak tanah pedataran hingga debu mengepul. Setelah tiga jurus berlalu dia berhenti, menarik nafas dalam. Bersamaan dengan melepas nafas dia bentangkan dua tangan ke sisi kiri dan kanan.
Saat itu juga muncul asap kelabu, bergelung keluar dari tanah. Asap ini berlahan-lahan berubah membentuk sosok seekor kepala kuda berwarna coklat, bersambung dengan tubuh manusia berjubah hitam yang kemudian berakhir pada sepasang kaki berupa kaki kuda lengkap dengan tapal besi. Inilah Ceti Kanwa. mahluk seperti Abdi Brathama, tubuh manusia tapi kepala dan kaki berujud kuda. Selama ini Ceti Kanwa selalu menyertai kemana Abdika Brathama pergi.
Di saat yang bersamaan, muncul pula kepulan asap kedua berwarna putih yang kemudian berbentuk ujud sosok Abdika Brathama. Di kejauhan terdengar ringkikan kuda tiga kali. Mendengar suara ringkikan ini Ceti Kanwa, manusia kuda berbulu coklat dongakkan kepala, siap membalas ringkikan. Sosok asap Abdika Brathama berteriak memberi ingat
"Ceti Kanwa! Jangan dibalas ringkikan itu!"
Tapi terlambat. Dari tenggorokan Ceti Kanwa telah melesat keluar dua kail ringkikan. Ketika dia hendak meringkik yang ke tiga kali, sosok gaib Abdika Brathama segera mencabut golok besar dan langsung membabat putus leher Ceti Kanwa. Abdika Brathama yang tegak di pedataran, mainkan kembali tiga jurus Ilmu silat aneh. Perlahan-lahan kepulan asap lenyap. Sosok Ceti Kanwa dan Abdika Brathama ikut sirna.
"Kanjeng Panglima, begitulah kira-kira kejadian-nya," kata Abdika Brathama.
"Bagus! Aku sudah melihat kenyataan. Aku sudah melihat bukti!" Suara dari alam tanah berucap.
"Terima kasih Kanjeng Panglima mempercayai saya..."
"Tapi menerima bukti dan melihat kenyataan belum berarti aku mempercayai dirimu. Ada yang ingin aku tanyakan. Setelah semua ini terjadi apa yang akan kau lakukan?"
Abdi Brathama terdiam sesaat baru menjawab. "Saya mengerti maksud Kanjeng Panglima. Saya akan menghadapi penyusup itu sebelum dia menemukan tempat ini dan membunuhnya. Kecuali Kanjeng Panglima berkehendak lain...."
"Si penyusup, apakah kau mengenal siapa dia adanya?" tanya suara dari dalam tanah sementara cahaya tiga warna kembali bergerak-gerak.
"Saya mengenal sekali Kanjeng Panglima. Namanya Joran Dhamakara. Dia Kepala Desa Gentasari...."
"Apakah dia memiliki ilmu kepandaian dan kesaktian?"
"Setahu saya ilmu silatnya cukup tinggi. Kesaktiannya lumayan. Selain itu dia membekal tiga benda bertuah..."
"Ceritakan padaku mengenai tiga benda bertuah itu"
"Yang pertama sebuah jimat, dibungkus kain hitam persegi empat dikalung di leher. Benda kedua, sebilah keris bersarung perak. Yang ketiga sebatang tombak bermata perak murni bernama Naga Sungkem."
"Apakah Kepala Desa itu berasal dari selatan atau utara?"
"Selama puluhan tahun dia tinggal di wilayah selatan. Hubungannya dengan Kerajaan di utara tidak terlalu dekat.."
"Kalau begitu orang tersebut jangan dibunuh. Kita akan memasukkannya ke dalam jajaran Balatentara Mataram Baru. Jimat di dalam kain dan keris bersarung perak tidak ada manfaatnya, harus kau musnahkan. Tapi tombak Naga Sungkem harus kau rampas dan serahkan padaku sebelum sang surya mencapai titik tertingginya, hari ini!"
"Ucapan Kanjeng Panglima saya dengar. Perintah segera saya jalankan! Satu hal perlu saya beritahukan. Ki Joran Dhamakara memiliki seekor kuda hitam bernama Bayu Ireng..."
"Aku tahu maksudmu. Jadikan dia mahluk Tuman Keku. Satukan sang kuda dan majikannya!" (Tuman Keku = Tubuh Manusia Kepala dan Kaki Kuda)
"Akan saya laksanakan Kanjeng Panglima. Namun saya ada satu pertanyaan. Apakah dia akan diberi kemampuan bicara atau bisu seribu bahasa seperti Tuman Keku yang lain-lainnya?"
"Berikan dia kemampuan bicara. Tapi dia hanya bisa bicara jika kita tanya dan perintah. Lain dari itu dia tetap mahluk bisu seribu bahasa."
"Terima kasih Kanjeng Panglima, Perintah akan segera saya laksanakan."
Abdika Brathama lalu bersujud dan sentuhkan kening tiga kali ke tanah. Saat itu juga cahaya tiga warna lenyap dari pemandangan. Pembantu Utama mahluk yang disebut Kanjeng Panglima Ini ambil golok yang tergeletak di tanah lalu cepat-cepat tinggalkan tempat itu.
3. KERAJAAN MATARAM BARU
HANYA beberapa saat setelah Abdika Brathama meninggalkan pedataran rahasia di bawah dasar Lembah hantu tiba-tiba terdengar suara deburan ombak serta tiupan angin kencang. Lima puluh mahluk berkepala dan berkaki kuda yang ada di pendataran langsung berlutut lalu bersujud di tanah.
Di satu tempat dari mana tadi suara Kanjeng Panglima keluar dari tanah terdengar suara berat menggema yang menggetarkan tanah pedataran. Maka terjadilah pembicaraan antara dua mahluk yang tidak kelihatan ujud masing-masing. Sesekali ada cahaya tiga wama merah, biru dan hitam memancar dari dalam tanah.
"Panglima Pawang Sela, aku perintahkan agar kau segera datang ke tempatku...."
"Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru. saya mendengar suaramu. Saya menghaturkan sembah dan sujud dan saya akan segera menghadap Junjungan saat ini juga...."
"Aku punya firasat kita belum tentu akan berhasil mendapatkan dua bayi begitu mereka dilahirkan secara gaib. Berarti kita hanya punya waktu enam purnama lagi sebelum dua bayi mencapai usia tujuh bulan. Mereka bukan bayi-bayi biasa. Pada usia tujuh bulan keduanya akan sama dengan anak seusia tujuh tahun. Sebelum hal itu terjadi, kau harus sudah mendapatkan tujuh puluh satu Tuman Keku. Jumlah yang disyaratkan untuk melakukan serangan pertama ke utara. Dua bayi itu harus dibunuh. Kalau tidak usaha selanjutnya untuk meruntuhkan Kerajaan Mataram dan mendirikan Mataram baru akan mengalami lebih banyak kendala dan kesulitan. Kau dengar kata-kataku Panglima Pawang Sela...?"
"Saya dengar Junjungan."
"Kau mengerti?!"
"Saya mengerti Junjungan Yang dengan segala hormat saya sebut sebagai Sri Maharaja Ke Delapan."
"Baik. aku tunggu kedatanganmu di lapis ketiga dasar Lembah Hantu."
Terdengar kembali suara deru ombak dan tiupan angin kencang. Lalu lenyap dan sepi. Lima puluh manusia berkepala dan berkaki kuda yang ada di pedataran secara bersamaan berdiri kembali.
* * *
KI JORAN Dhamakara hentikan kuda di lereng lembah yang terjal lalu melompat turun. "Bayu Ireng...." kata Kepala Desa Gentasari ini sambil mengusap tengkuk kuda hitam. "Menuruni lembah terjal dan licin akan sangat sulit bagimu. Aku akan meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Kau kembalilah ke desa. Tak usah menunggu...."
Kuda hitam menjilati tangan majikannya tapi sampai Ki Joran Dhamakara beranjak pergi binatang Ini masih tetap berdiri di tempat itu. Kuda yang sangat setia pada majikannya itu kemudian ternyata tanpa diketahui Ki Joran Dhamakara diam-diam mengikuti dari belakang. Mencapai dasar lembah Kepala Desa berhenti sejenak. Saat itu mulai terang-terang tanah karena tak lama lagi fajar akan segera menyingsing. Sambil memegang jimat di tangan kiri dan tombak Naga Sungkem di tangan kanan lelaki Itu berkata.
"Naga Sungkem, aku merasakan ada mahluk lain di sekitar sini. Beri petunjuk padaku..."
Ki Joran Dhamakara memandang berkeliling, memperhatikan ke atas pohon-pohon besar di sekitarnya. Dia tidak melihat apa-apa. Tiba-tiba tombak sakti di tangan bergetar. Mata tombak yang terbuat dari perak mumi mengeluarkan cahaya berpijar. Tanpa dapat dicegah tombak itu terlepas dari tangan Kepala Desa lalu melesat sejauh tiga puluh langkah untuk kemudian menancap di tanah antara dua batang pohon besar.
"Bagus, tombak Naga Sungkem berhasil menemukan arah sumber suara ringkikan kuda tadi. Dewa Agung, tolong saya menemukan sumber malapetaka. Beri saya kekuatan untuk menumpas semua angkara murka di Bhumi Mataram ini"
Ki Joran Dhamakara memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa. Dengan cepat Kepala Desa Gentasari ini kemudian berlari ke arah dua pohon dimana tombak sakti Naga Sungkem menancap di tanah, tiba-tiba ada satu bayangan putih melesat disertai suara orang berseru memerintah.
"Joran Dhamakara! Cukup langkahmu sampai di situ! Berhenti! Jangan berani bergerak sebelum aku memberi ijin"
Dalam keterkejutan dan juga ada rasa jengkel, Kepala Desa Gentasari hentikan langkah. Memandang ke depan, ke arah celah dua pohon besar. kaget orang ini jadi bertambah-tambah. Di depan sana berdiri satu sosok berpakaian putih. Sepasang mata Ki Joran mendelik terbeliak.
"Binatang atau manusia atau mahluk jejadian...? membatin Ki Joran Dhamakara. "Tubuh manusia, bicara seperti manusia tapi kepala dan kaki seperti kuda. Berbulu putih... Astaga! Mahluk aneh ini telah mencabut tombak Naga Sungkem dari tanah. Seperti dia ingin menguasai senjata sakti itu!"
Tidak peduli peringatan orang Ki Joran Dhamakara melangkah maju sambil berteriak. "Kembalikan tombakku!"
Mahluk diantara celah dua pohon tertawa. Suara tawanya aneh. Antara tawa manusia dan ringkikan halus kuda. "Siapa saja yang berani datang ke Lembah Hantu, berarti dia telah menyerahkan segala-galanya pada penguasa Lembah Hantu! Termasuk nyawanya. Apalagi cuma sebatang tombak butut begini. Ha..ha...ha!"
"Kurang ajar, siapa penguasa Lembah Hantu? Katakan padaku! Jangan berani menghina senjata pusaka milikku. Mahluk salah bentuk. Kau sendiri siapa?"
"Namaku Abdika Brathama. Aku mewakili Penguasa Lembah Hantu. Dan aku tidak akan mengembalikan tombak ini padamu."
"Mahluk salah kaprah! Kau pasti mahluk kutukan Dewa! Mewakili Penguasa Lembah Hantu katamu! puah!" Ki Joran meludah ke tanah. "Bagiku kau tidak lebih dari seorang penyamun bertopeng dan berkaki palsu! Topeng kuda kaki kuda!"
Abdika Brathama tertawa tergelak-gelak.
"Tanggalkan topeng keparat itu atau topeng akan aku buat melesak menjadi satu dengan batok kepala dan wajahmu!"
"Joran Dhamakara, Kepala Desa Gentasari. Aku sudah tahu. Aku sudah mengukur sampai dimana ilmu kepandaian dan kesaktianmu! Berserah dirilah secara pasrah maka kau akan aku beri kedudukan cukup tinggi sebagai anggota Pasukan Kerajaan Mataram Baru yang ke lima puluh satu...."
"Mahluk celaka ini tahu seluk beluk diriku..." ucap Ki Joran Dhamakara dalam hati.
"Joran Dhamakara, kebetulan sekali kuda hitam tungganganmu bernama Bayu Ireng menyusul ke sini hingga aku tidak susah-susah mencari pasangan dirimu..."
Kepala Desa Gentasari itu terkejut. Menoleh ke belakang dia melihat Bayu Ireng, kuda yang ditinggalkannya di lereng lembah sudah berada di tempat itu. Bintang ini tampak gelisah. Ekor dikipas tiada henti sementara kepala tidak bisa diam, selalu bergerak ke kiri atau ke kanan, sesekali menyusup ke bawah atau mendongak ke atas.
"Sesuatu akan terjadi. Ada bahaya besar mengancam. Bukan cuma diriku, tapi juga kuda ini. Bayu Ireng berusaha memberi tahu padaku dengan semua gerakannya itu..."
"Abdika Brathama, siapapun kau adanya. setan atau mahluk jejadian. Kau mengaku mewakili Penguasa Lembah Hantu. Berarti kau bertanggung jawab atas kematian empat pemuda desa serta lenyapnya lima pemuda lainnya!"
"Kau Kepala Desa yang baik. Tahu berapa jumlah warga yang mati dan yang lenyap! Ditambah dengan ilmu kepandaian yang kau miliki, serta tombak Naga Sungkem yang kini menjadi milikku maka kau memang pantas dijadikan anggota utama Pasukan Kerajaan Mataram Baru..."
"Persetan dengan segala ucapanmu! Kembalikan tombak itu atau kau akan..."
"Joran Dhamakara, kau inginkan tombak ini? Jika kau memang keliwat memaksa ambillah!" Mahluk Tuman Keku Abdika Brathama ulurkan tombak Naga Sungkem.
Ki Joran tidak segera mengambil karena melihat mata tombak berkilau mengeluarkan sinar berpijar pertanda orang telah mengalirkan tenaga dalam ke senjata sakti itu. Dan benar saja. Tiba-tiba mahluk berkepala kuda putih itu membuat gerakan menusuk ke arah dada. Begitu yang diserang mengelak melesat serangan susulan berupa gebukan ke arah kepala.
"Traaangg."
Terdengar suara berdentrangan ketika tombak menghantam batok kepala Ki Joran Dhamakara. Abdika Brathama terkejut. Dia menggebuk sekail lagi dengan mengerahkan tambahan tanaga dalam. Kembali terdengar suara berdentrang. Walau kali ini Ki Joran tampak terhuyung-huyung, namun kepala sama sekali tidak cidera. Dalam kejutnya Abdika Brathama menjadi penasaran. Tombak sakti digebukkan ke kepala Kepala Desa itu bertubi-tubi hingga mengeluarkan suara berdentrangan berulang kali. Kepala tetap tidak cidera karena Ki Joran Dhamakara memang memiliki ilmu kebal di bagian kepala yang disebut Wesi Wulung. Namun hantaman yang berulang kali membuat Kepala Desa itu tersenyum pening berputar-putar.
Dalam keadaan seperti itu Ki Joran tarik kalung jimat hitam di leher. Sambil meniup jimat yang menimbulkan buncaran asap hitam dengan gerakan kilat dia cabut keris di pinggang lalu dilemparkan ke arah mahluk kepala kuda yang menggebukinya. Kena menancap telak di dada kanan Abdika Brathama. Tidak ada jerit kesakitan, tidak ada darah mengucur. Ketika keris menancap di dada mahluk Tuman Keku ini kelihatan ada cahaya tiga warna menerangi dadanya.
Sambil menyeringai Abdika Brathama cabut keris yang menancap di dada kanan lalu dibanting hingga amblas masuk ke dalam tanah. Bersamaan dengan itu dia membuat gerakan kilat. Tombak Naga Sungkem bergerak seperti hendak dihunjamkan ke ulu hati Ki Joran Dhamakara. Namun begitu lawan membuat gerakan mengelak Abdika Brathama miringkan tubuh ke kiri lalu sambil keluarkan suara meringkik kaki kanan melesat ka depan.
“Dukk!" Kaki kanan berladam besi menghantam dada kiri Ki Joran Dhamakara dengan telak hingga kepala desa itu terpental, jatuh menelentang tak berkutik, sepasang mata terbeliak. Mulut menganga menggenang darah yang kemudian perlahan-lahan meleleh ke pipi. Orang lain yang terkena tendangan Tuman Keku ini pasti menemui ajal saat itu juga, seperti yang kejadian dengan empat pemuda desa sebelumnya.
Melihat majikannya roboh Bayu Ireng kuda milik Ki Joran Dhamakara meringkik keras. Dua kaki diangkat tinggi-tinggi dan ditendangkan ke arah Abdika Brathama. Tendangan kaki kiri mengenai angin. Tendangan kaki kanan sebelah depan menghantam batang pohon hingga hancur berkeping-keping lalu tumbang dengan suara bergemuruh.
"Binatang jahanam! Kau memang pantas ikut majikanmu!" teriak Abdika Brathama lalu tombak Naga Sungkem ditusukkannya ke dada Bayu Ireng. Didahului suara ringkikan keras kuda hitam besar ini tersungkur ke tanah, tergelimpang di samping tubu Ki Joran Dhamakara tapi majikannya tidak segera menemui ajal.
Abdika Brathama tancapkan tombak Naga Sungkem ke tanah. Lalu berdiri lurus dengan dua kaki terkembang. Sepasang tangan membuat gerakan-gerakan silat aneh hingga memancarkan cahaya tiga warna. Tangan kiri kemudian didorongkan ke arah kuda hitam Bayu Ireng sedang tangan kanan diarahkan ke sosok Ki Joran Dhamakara. Saat itu juga tubuh kuda dan majikannya mengeluarkan letupan keras disertai kepulan asap kelabu. Ketika asap kelabu sirna Bayu Ireng dan Ki Joran Dhamakara tak ada lagi di tempat Itu. Yang kelihatan terbujur di tanah adalah sosok manusia berpakaian hitam, memiliki kepala dan kaki kuda berbulu hitam. Kuda dan majikannya telah berubah menjadi mahluk Tuman Keku.
"Joran Dhamakara. kau sudah menjadi anggota ke lima puluh aatu Pasukan Kerajaan Mataram Baru. Berdirilah dan meringkik satu kali tanda kau setia kepada Kerajaan dan Junjungan Sri Maharaja Ke Delapan!"
Sosok Tuman Keku yang tergeletak di tanah, gabungan antara tubuh manusia dan tubuh kuda menggeliat lalu melompat bangkit Begitu berdiri mahluk ini dongakkan kepala dan meringkik satu kali.
4. MAYAT GEDE KABAYANA LENYAP
DALAM serial sebelumnya berjudul Dewi Tangan Jerangkong, diriwayatkan ketika hampir celaka ditangan orang bermuka anjing yang mengaku bernama Dharma Soma, Liris Pramawari alias Dewi Tangan Jerangkong diselamatkan oleh Sri Sikaparwathi dan kura-kura saktinya. Si nenek meminta Dewi Tangan Jerangkong untuk tidak membunuh manusia berkepala anjing itu karena ingin lebih dulu menguras keterangan.
Si nenek sangat curiga kalau orang ini mempunyai sangkut paut dengan semua kejadian belakangan ini. Termasuk rahasia Sumur Api serta cahaya tiga warna. Namun hanya sedikit keterangan yang bisa didapat Karena sewaktu dipaksa menerangkan siapa yang dimaksudkannya dengan Sri Maharaja Ke Delapan manusia aneh ini memukul kepalanya sendiri dengan dua tangan hingga hancur dan tewas saat itu juga.
Marah dan penasaran Dewi Tangan Jerangkong lemparkan tiga senjata rahasia besi bulat pipih berwarna biru milik manusia kepala anjing yang sejak tadi dipegangnya, tiga senjata maut masuk amblas ke dalam tubuh orang yang sudah tak bernyawa itu. Tubuh meletup keras terkutung-kutung. Cahaya tiga warna mencuat ke langit, lenyap dari pemandangan.
"Cahaya merah, biru dan hitam..." ucap Sri Sikaparwathi. "Kecurigaanku pada manusia berkepala anjing ini ternyata tidak keliru. Aku pernah melihat sebelumnya. Selain luar biasa sakti, aku punya dugaan ada satu rahasia dibalik tiga cahaya ini! Ada pemilik yang sekaligus menjadi pengendali. Mahluk yang pernah menggandakan diriku? Manusia kepala anjing ini jelas dia merupakan kaki tangan orang sakti dibalik semua kejadian. Dia begitu ketakutan dan tidak mau membuka rahasia siapa adanya Sri Maharaja Ke Delapan. Dia lebih memilih mati bunuh diri!"
"Nenek berpakaian Jingga, aku yang telah kau tolong menghanturkan banyak terima kasih. Sementara aku masih berusaha berbuat kebajikan, kau telah mendahului. Semoga Hyang Bathara Dewa memberi pahala berlipat ganda padamu."
Sri Sikaparwathi berpaling ke arah Dewi Tangan Jerangkong yang saat itu telah berdiri di sampingnya sambil membungkuk dalam. Si gadis kemudian menatap ke atas kepala si nenek dimana bertengger Cahyo Kumolo. kura-kura sakti hijau bermata merah. Mulutnya tersenyum lalu berucap.
"Sahabat bertubuh hijau bermata merah, aku tahu kau juga tadi menolongku dengan semburan cahaya merah dari dua matamu. Aku berterima kasih..."
Kura-kura di atas kepala nenek menggerakkan kepala sedikit lalu keluarkan suara mendesis halus. Kemudian Dewi Tangan Jerangkong yang sebenarnya bernama Liris Pramawari berkata lagi.
"Mengenal cahaya tiga warna, saya pernah bertemu dengan seorang pemuda. Namanya sebayang Kaligantha. Menurut pemuda itu dia memiliki sebuah jimat, menjadi satu dengan tubuhnya. Namun jimat itu kemudian dirampas orang dengan cara menjebol dadanya. Katanya, Jimat itu memiliki cahaya merah, biru dan hitam..."
"Gadis berwajah cantik. Kalau begitu ceritamu, aku, mungkin juga beberapa orang pandai di Bhumi Mataram ini merasa perlu menemui dan mencari pemuda itu untuk ditanyai..." Ucapan nenek mendadak terputus ketika tak sengaja pandangannya membentur tangan kanan gadis di hadapannya dimana sebatas pergelangan tangan kebawah yaitu sampai ke ujung jari hanya merupakan tulang tanpa kulit tanpa daging. Dia melirik ke tangan kiri, ternyata keadaannya juga sama. "Maafkan, aku tidak bermaksud..."
"Tidak apa Nek, keadaan saya memang seperti ini..."
Sri Sikaparwathi sebenarnya hendak bertanya apa yang terjadi hingga dua tangan si gadis berkeadaan seperti itu. Apakah cacat sejak lahir atau ada penyebab yang lain. Namun merasa tidak enak maka nenek ini mengalihkan pembicaraan.
"Sebelumnya aku melihatmu berteriak di tepi jurang. Lalu kau terjun ke dalam jurang dalam dan gelap. Namun kemudian ada dua orang bertubuh hitam keluar dari jurang besar bekas ledakan Sumur Api. Salah seorang diantaranya memanggul sosok perempuan. Kau kulihat melesat keluar dari jurang, mengejar kedua orang hitam itu. Aku mengikutimu dari belakang. Namun kemudian aku temui kau tengah bertarung dengan manusia berkepala anjing itu. Apa yang telah terjadi? Siapa dua orang yang melesat keluar dan dalam jurang?"
"Sebenarnya saya bermaksud mencari seorang teman bersama dua pengikutnya yang masuk ke dalam jurang. Tapi setengah jalan saya justru melihat ada dua orang lelaki kembar hitam melesat keluar dari dalam jurang yang gelap. Masing-masing memboyong seorang bayi. Lalu yang satunya juga memanggul seorang perempuan. Saya membatalkan niat mencari teman tadi lalu mengejar dua orang kembar hitam. Tapi sebelum berhasil tahu-tahu muncul mahluk kepala anjing itu. Rupanya dia yang berada di sebelah depan juga tengah berusaha mengejar dua orang lelaki kembar hitam. Hanya saja, karena saya mengacaukan jalan pikirannya maka dia terpesat dan justru lari ke arah saya..."
"Aku yakin manusia kepala anjing itu mengejar dua manusia hitam untuk merampas bayi..." membatin Sri Sikaparwathi. Lalu dia menatap wajah Liris Pramawari. "Kau mampu mengacaukan jalan pikiran orang hingga berbalik ke arahmu. Semuda ini tapi ilmu kesaktianmu tinggi sekali. Gadis cantik berkerudung putih, kalau aku boleh tahu dirimu, siapakah kau adanya? Siapa gurumu? Mengapa mementingkan mengejar orang yang melarikan dua bayi dari pada mencari teman sendiri?"
Liris Pramawari menyesal telah terlepas bicara mengenai Ilmu mengacaukan jalan pikiran orang itu. Dia sama sekali tidak ada niat untuk menyombongkan diri. Dia bicara tadi polos-polos saja. Karena walau Ilmunya tinggi dan jalan pikirannya jernih namun sebagai gadis muda usia dia tetap saja mempunyai sifat lugu.
"Menurut Nenek, apakah tidak aneh kalau ada dua bayi keluar dari dalam jurang dalam dan gelap. Diboyong dua lelaki kembar. Malah yang satunya membawa seorang perempuan muda?"
"Kau yakin yang dibawa dua orang itu benar-benar bayi?" tanya Sri Sikaparwathi."
"Saya mendengar suara tangisan mereka Nek," jawab Dewi Tangan Jerangkong.
Si nenek merenung sejenak. Tadi dia juga memang mendengar suara tangisan dua bayi itu. Dia lalu teringat pada Gading Bersurat serta cerita yang berkembang di kalangan para tokoh di Bhumi Mataram. Walau dia hanya mengetahui sebagian tulisan sedikit cerita namun hatinya berdetak. "Dua orang bayi. Jangan-jangan anak perawan pilihan Para Dewa itu benar-benar telah melahirkan." Si nenek memandang pada mayat orang berkepala anjing.
"Setiap ada kejadian aneh atau terjadi pembunuhan, cahaya tiga warna selalu muncul. Apakah... Sri Maharaja Ke Delapan. Siapa adanya insan itu? Apakah dia benar-benar ada?"
"Nek...?"
Sri Sikaparwathi tersentak dari renungannya lalu cepat-cepat tersenyum. "Anak gadis, kau belum menerangkan siapa dirimu."
"Maafkan saya Nek. Keadaan membuat saya tidak bisa menerangkan siapa saya..."
"Paling tidak kau pasti punya nama,"
"Seorang sahabat belum lama ini memberikan nama bagus untukku. Dewi. Lalu aku menambahkan Tangan Jerangkong. Kau boleh memanggilku Dewi Tangan Jerangkong."
Sri Sikaparwathi tertawa. "Sahabat yang kau cari ke dalam jurang itu, apakah dia seorang pemuda aneh berkepala Bunga Bangkai disertai dua pengiringnya. Yang satu membawa tambur yang satunya lagi membekai seruling?" bertanya si nenek.
"Ah, kau sudah tahu rupanya, apakah kau juga mengenalnya Nek? Atau mungkin kau mencarinya karena satu silang sengketa?"
Mahluk aneh itu parnah menyelamatkan Cahyo Kumolo, kura-kura dia atas kepalaku. Sebelum ada ledakan di tempat ini dia berada di sekitar sini. Aku Ingin menemuinya untuk menyampaikan rasa terima kasih... Tapi rasanya maksud itu belum akan kesampaian. Dia terlanjur pergi. Sementara aku harus melakukan sesuatu. Ada seorang sahabat yang tewas. Aku menduga pembunuhnya adalah mahluk kepala anjing ini. Dia menyerang secara pengecut dengan senjata rahasia yang tadi kau hantamkan ke tubuhnya. Aku harus mengurus jenazah sahabat itu..."
"Kau seorang sahabat yang baik. Aku juga selalu ingin berbuat kebajikan Nek. Apakah aku boleh membantumu?"
Sri Sikaparwathi melirik ke arah dua tangan Liris Pramawari lalu sambil tersenyum dia gelengkan kepala. "Terima kasih. Kau juga sahabat yang baik. Aku suka padamu. Semoga kita bisa bertemu lagi..." Selesai berucap si nenek segera berkelebat pergi. kembali ke tempat dimana jenazah Gede Kabayana tergeletak. Tapi ketika si nenek sampai di tempat itu, heran dan kejutnya bukan alang kepalang. Ternyata jenazah itu tidak ada lagi di sana. "Aku meninggalkan jenazah tidak terlalu lama. Bagaimana bisa lenyap? Siapa yang mencuri...?" Sri Sikaparwathi memandang berkeliling. "Mencuri kataku..." Si nenek tertawa sendiri. "Perlu apa ada orang mencuri jenazah?"
Tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik. Disusul suara derap kaki yang riuh sekali. Memandang berkeliling Sri sikaparwathi tidak melihat seekor kudapun. kura-kura hijau di atas kepala si nenek keluarkan suara mendesis panjang. Lalu binatang sakti bernama Cahyo Kumolo ini melesat ke arah kanan. Namun tak lama kemudian prakk! Tubuhnya kura-kura hijau itu terbalik terpental disertai suara menguik panjang. Si nenek cepat menyambuti tubuh binatang peliharaannya itu.
"Apa yang terjadi Kumolo?!" tanya si nenek sambil mengusap dan memeriksa punggung binatang itu ada tanda berbentuk ladam kuda. "Jahat sekali. Cahyo, ada mahluk yang menghantammu?"
Kura-kura hijau kedipkan sepasang mata merah lalu mendesis perlahan. Sambil terus mengusap punggung Cahyo Kumolo Sri Sikaparwathi kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti hingga akhirnya tanda berbentuk tapal kuda di punggung kura-kura hijau itu lenyap.
HANYA beberapa ketika saja setelah si nenek yang membawa kura-kura hijau di atas kepalanya itu lenyap, tiba-tiba Dewi Tangan Jerangkong merasakan dua telapak kakinya yang dialas kasut kulit dijalari hawa dingin, gadis ini memandang berkeliling.
"Ada apa ini? Mengapa tiba-tiba tanah menjadi dingin. Dua kakiku seolah berubah menjadi esl Udara sekitar sini juga berubah dingini aku mulai menggigil..." Ketika si gadis memperhatikan ke dua kakinya, kejutnya bukan alang kepalang. Dua kaki yang berkasut itu kini telah diselimuti benda putih yang mengepulkan asap tipis putih.
"Salju?! Bagaimana mungkin?!" ucap Liris Pramawari. "Dewa Agung, apakah Kau hendak menjatuhkan hukuman lagi atas diriku?"
5. RESI GARIPASTHIKA
Untuk menolak hawa dingin yang luar biasa itu Dewi Tangan Jerangkong alirkan hawa sakti ke seluruh tubuh. Perlahan-lahan dia mulai merasa badannya hangat kembali dan lapisan putih di kedua kaki leleh menghilang.
"Wahai Roh Agung, apakah kau ada di sekitar sini?" Liris Pramawari keluarkan ucapan sambil memandang berkeliling.
Tak ada jawaban. Tidak ada suara mendesah ataupun tiupan angin. Berarti ini bukan pekerjaan Para Dewa.
"Aku harus menyelidik. Mungkin ada orang hendak mencelakai diriku dengan ilmu aneh. Kalau kehendak alam tidak mungkin terjadi seperti ini. Tapi aku harus menyelidik bagaimana?" Dalam herannya Liris Pramawari ingat pada Pangeran Bunga Bangkai Nalapraya dan dua pengiring aneh.
"Mana yang harus aku pilih, menyelidik atau mencari Pangeran itu?"
Setelah bimbang sesaat si gadis akhirnya memutuskan untuk kembali ke jurang di bekas Sumur Api, mencari Pangeran Bunga Bangkai dan dua pengiringnya. Belum sempat kakinya bergerak melangkah tiba-tiba tempat di sekitarnya telah diselimuti kabut tipis. Di arah kanan, di dalam kabut tipis dan malam gelap, bergerak ke arahnya melangkah berjubah putih. Rambut, serta kumis yang bersatu dengan janggut berwarna putih, melambai-lambai ditiup angin malam. Di tangan kanan orang tua ini memegang sebatang tongkat yang tertutup lapisan putih. Setiap hembusan nafas yang keluar dari hidung kakek ini menimbulkan uap putih. Uap yang sama juga tampak keluar dari sepasang matanya. Bedanya uap yang keluar dari hidung membawa hawa hangat sedang yang membersit dari sepasang mata menebar hawa dingin.
"Kakek berjubah putih...." Ucap Liris Pramawari. "Aku yakin dia tidak kesasar berada di tempat ini. Apakah dia barusan yang mengerjai diriku, mengirim hawa luar biasa dingin?" Liris Pramawari terus memperhatikan lalu kembali membatin. Kali ini disertai perasaan heran. "Aneh. orang tua berjubah putih itu sejak tadi melangkah ke arahku. Tapi mengapa tidak sampai-sampai?"
Dalam ketidakmengertiannya, si gadis kini yang bertindak, bergerak melangkah ka arah si orang tua, Dia merasa tambah aneh karena setelah menggerakkan kaki melangkah berulang kali, tetap saja dia tidak mampu mendekati. Antara dia dan si kakek tetap berpaut dalam jarak sekitar tiga tombak.
"Bertongkat putih, mata dan hidung mengeluarkan uap. Apakah aku berhadapan dengan Roh Agung?” Begitu Liris Pramawari Jadi mengingat Roh Agung kembali.
"Orang tua." Akhirnya Liris Pramawari alias Dewi Tangan Jerangkong berseru menyapa. "Kau siapa? Kau berjalan ke arahku. Aku melangkah ke jurusanmu! Mengapa kita tidak bisa saling mendekat?!"
Orang yang ditanya tidak menjawab, hanya , layangkan senyum dan lambaian tangan kiri. Justru saat itu tiba-tiba terdengar dua suara tawa bergelak. Lalu seorang berucap lantang.
"Mana ada orang maupun setan di Bhumi Mataram ini yang sanggup menembus Ilmu Kabut Pembatas Raga Ha...ha...ha!" Bersamaan dengan gema suara tawa, dua sosok berjubah hitam berkelebat muncul menghadap langkah orang tua berjubah putih. Dua orang ini ternyata seorang kakek dan seorang nenek berjubah hitam yang sama-sama berkepala botak dan memiliki daun telinga menjulai panjang hampir menyentuh bahu. Kalau si nenek tidak memakai anting-anting bulat besar akan sulit membedakan mana yang lelaki mana yang perempuan di antara kedua orang ini.
Melihat kemunculan kakek nenek aneh Liris Pramawari membatin dalam hati. "Dua orang tua botak itu rupanya memiliki Ilmu kesaktian tinggi. Mereka mampu mendekati kakek jubah putih. Ilmu Kabut Pembatas Raga. Mereka rupanya yang punya pekerjaan hingga si kakek dan aku tidak bisa melangkah saling mendekat, berjalan tidak sampai-sampai..."
"Resi Garipasthika! Sampai seratus tahun kau melangkah, kau tak akan pernah mampu melanjutkan perjalanan. Apa lagi bermimpi mendapatkan dua bayi itu. Hik...hik...hik. Nyawamu sudah ada dalam genggaman kami!" Si nenek berteriak lalu tertawa cekikikan.
"Dua bayi. Perempuan tua itu menyebut-nyebut dua bayi." Liris Pramawari terkejut mendengar ucapan nenek kepala botak.
Kakek berjubah putih yang dipanggil dengan nama Resi Garipasthika tampak tenang-tenang saja. Dia dongakkan kepala lalu meniupkan nafas panjang dari mulut. Saat itu juga di udara kelihatan uap putih bergelung seperti ular melesat ke langit. "Aku mendengar suara tapi tidak melihat orang yang bicara. Sayang sekali... Malang nasib diriku. Mengapa aku harus menderita seperti ini."
Orang tua berjubah putih keluarkan ucapan. Suaranya lembut Habis bicara dia terbatuk-batuk beberapa kali. Ketika batuk, dari mulutnya keluar empat gumpalan putih seperti bola salju, berjatuhan ke tanah. Ketika melihat gumpalan-gumpalan putih itu menggelinding ke arah mereka, dua kakek nenek botak berteriak marah lalu cepat melompat ke udara. Empat gumpalan putih melesat di bawah dua kaki mereka. Tiga gumpalan menderu ke tempat kosong yang keempat menyambar ke arah kaki kanan Liris Pramawari.
"Bukk! Byaarr!"
Gumpatan putih hancur bertebaran. Liris Pramawari berjingkrak jingkrak menjerit keras kesakitan. Kaki kanannya yang kena hantaman gumpalan putih terangkat ke atas membuat dirinya hilang keseimbangan dan jatuh terduduk di tanah.
"Celaka. Putus kakiku!" Gadis itu berteriak lalu singsingkan pakaian putihnya di sebelah bawah untuk melihat kaki kanannya. Tenyata kaki itu masih utuh. Liris Pramawari cepat berdiri, memandang jengkel ke arah Resi Garipasthika si kakek jubah putih malah tertawa terkekeh-kekeh!
Kakek nenek kepala botak berpaling ke arah Liris Pramawari. Si kakek membentak. "Kau siapa?! Kau tidak punya urusan di tempat ini. Lekas pergi atau kami berdua akan membuatmu amblas ke dalam tanah!"
Masih kesal karena kesakitan. Liris Pramawari menyahuti bentakan orang. "Antara kita memang tidak ada urusan. Jika kau punya urusan dengan kakek berjubah putih itu mengapa tidak menyelesaikan lebih dulu? Malah membawa-bawa dan mempersalahkan diriku!"
Mendengar ucapan si gadis nenek kepala botak kini yang membentak. "Wajahmu cantik! Tapi mulutmu kurang ajar! Apa kau tidak kenal siapa kami berdua?! Pergilah sebelum aku gebuk!"
Liris Pramawari perlahan-lahan bangkit berdiri. "Kakek nenek, terima kasih atas pujian sekaligus hinaan. Kalian manusia apa? Aku tidak punya pikiran kalau kalian adalah orang-orang Jahat. Tapi mengapa menghadang orang di malam buta? Hanya bangsa begal yang berkelakuan seperti itu!"
"Benar-benar gadis kurang ajar..." Kakek botak mendamprat. "Kami bukan begal! Kami muncul hanya untuk mengambil nyawa kakek jubah putih itu!"
"Ah, kalian ini rupanya semacam utusan pencabut nyawa. Tapi aku tidak yakin para Dewa yang mengutus kalian. Dewa tidak berkenan akan segala macam perbuatan seperti itu. Membunuh seorang Resi. Ooh Hyang Jagat Batara Dewa. Pasti dosanya berat sekali. Seperti memikul gunung di atas bahu... Malam-malam begini orang tua seperti kalian seharusnya berada di tempat tidur."
Mendengar ucapan Liris Pramawari si nenek botak menggelegak amarahnya. Dia melompat ke hadapan Liris Pramawari. Tangan kanan yang dipentang begitu rupa. Lima jari tangan pancarkan sinar kuning yang serta merta melesat ke arah kening dan empat bagian tubuh si gadis. Liris berusaha menghindar tapi terlambat. Saat itu juga Liris Pramawari tidak bisa bergerak maupun bersuara.
"Kau tunggu di sini. Selesai kami membantai kakek jubah putih itu. kami akan menentukan nasibmu! Apakah akan kami kubur hidup-hidup di dalam tanah atau tubuhmu akan kami buat cerai berai di udara!"
"Jangan ganggu gadis itu! Dia keponakanku!" Resi Garipasthika tiba-tiba berseru. Lalu mulutnya meniup. Selarik cahaya putih berbentuk kipas terbuka menerpa ke arah Liris Pramawari. Begitu cahaya putih menyentuh wajah dan tubuhnya, Liris Pramawari serta merta kembali mampu bergerak dan mengeluarkan suara. Dia segera mendatangi nenek kepala botak yang tadi membuatnya lumpuh dengan lima sinar kuning. Namun langkahnya tertahan ketika mendengar ucapan kakek jubah putih.
"Keponakanku. Tetap di tempatmu!" Lalu Resi bermata putih berpaling ke arah dua kakek nenek botak. "Jika kalian berdua ingin menghabisiku, habisi dulu gadis itu. Aku mau lihat apa kalian mampu."
Mendengar ucapan kakek jubah putih Liris Pramawari jadi terkesiap, keluarkan seruan tertahan. "Kek. Enak saja kau bicara! Aku..."
"Sssttti Sudah, kalau kau mau berbakti pada aku pamanmu hadapi saja ke dua orang itu!" Resi Garipastika menyahuti sambil palangkan jari telunjuk tangan kiri dia atas bibir.
Melihat Liris Pramawari bebas dari kelumpuhan, si nenek kepala botak kembali hendak membungkam gadis itu. Namun sampai berkali-kali dia menghujani Liris Pramawari dengan lima sinar kuning yang memancar dari tangan kanan, kali ini ilmu kesaktian yang dimilikinya tidak mampu lagi melumpuhkan gadis itu. Si nenek mendelik, berpaling ke arah kakek berjubah putih.
"Kurang ajar. Resi itu pasti telah melindungi si gadis dengan cahaya putih tadi..."
Di seberang sana kakek jubah putih tertawa perlahan. "Aku hanya meminjam Ilmu Kabut Pembatas Raga milik kalian dan aku berterima kasih."
Kejut kakek nenek kepala botak bukan alang kepalang. Keduanya saling pandang lalu sama-sama membalikkan badan. Sambil berteriak mereka menghambur serangan ke arah kakek Jubah putih. Melihat hai Ini Liris Pramawari yang merasa sudah ditolong orang serta merta berkelebat memotong gerakan kakek nenek kepala botak.
Resi Garipasthika tertawa senang. "Bagus! Kau baru keponakanku yang hebat! Jika kau bisa menyentuh ubun-ubun dua mahluk botak itu maka kau akan menggembosi mereka seperti bisul pecah tertusuk duri. Ha...ha...ha!"
Mendengar ucapan kakek Jubah putih, sepasang kakek nenek botak jadi terkejut dan berubah wajah masing-masing. Si nenek berbisik. "Tua bangka jahanam itu memberi tahu kelemahan kita. Kurang ajar, bagaimana dia bisa tahu. Lekas keluarkan destar pelindung!"
Dua kakek nenek botak kemudian keluarkan sebuah destar hitam menyerupai belangkon lalu cepat mengenakan di kepala hingga kepala botak mereka kini terlindung. Melihat hal ini Resi Garipasthika kembali tertawa bergelak. Begitu mulutnya meniup dua kali. destar di atas kepala kakek nenek botak mental jauh ke udara. Kedua orang ini berteriak kelabakan dan juga marah. Ketika di depan sana Liris Pramawari bergerak mendatangi, cepat-cepat mereka letakkan telapak tangan kiri di atas kepala, melindungi ubun-ubun. Lalu tidak menunggu lebih lama keduanya mendahului menyerang si gadis.
6. SI MATA SALJU
MESKIPUN hanya menggunakan tangan kanan untuk menyerang lawan, namun gempuran sepasang kakek nenek botak jurus demi jurus membuat Liris Pramawari mulai terdesak. Untung saja gadis ini memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi yang diwariskan ayahnya. (Baca riwayat bagaimana Liris Pramawari mendapatkan ilmu kesaktian dari ayahnya dalam serial sebelumnya berjudul Dewi Tangan Jerangkong).
Namun demikian, setelah ditekan habis-habisan, dalam jurus ke enam belas satu pukulan nenek botak berhasil menyusup dan mendarat keras di pertengahan dada Liris Pramawari, membuatnya terpental, jatuh terjengkang di tanah. Di sela bibir tampak lelehan darah pertanda dia terluka di sebelah dalam.
Resi Garipasthika yang melihat kejadian ini tampak tenang-tenang saja, malah mengulum senyum sambil pencet-pencet hidung. Liris sendiri saja heran. Walau digebuk keras dan sampai mengeluarkan darah dari mulut, tapi anehnya dia sama sekali tidak merasa sakit. Ini adalah akibat perlindungan Ilmu bernama Kabut Pembatas Raga milik sepasang kakek nenek botak yang dipinjam Resi Garipasthika yang dimasukkan ke dalam tubuh si gadis.
Belum sempat berdiri, selagi masih terheran-heran dan tergeletak di tanah, kakek kepala botak telah menyerbu dan arahkan tendangan kaki kanan ke kepala Liris Pramawari. Saat itulah gadis ini merasa telinga kanannya bergetar. Ada tiupan angin dingin. Bersamaan dengan itu dia mendengar suara seperti orang berbisik di telinganya.
"Keponakanku, Ingat jurus Menabas Tiang Meruntuh Atap. Pergunakan salah satu kakimu menendang kaki kiri lawan. Kuda-kudanya akan ambruk. Bila lawan tersungkur melintang, Itulah kesempatan balas menyerang. Pilih sasaran pantangan. Kepala botaknya. Kau gadis hebat. Kau pasti mampu melakukan! Sekarang!"
Mendengar suara yang diketahuinya pasti bisikan si kakek jubah putih Liris Pramawari cepat gerakan kaki kiri, menendang ke arah tulang kering kaki kiri kakek botak yang berpijak di tanah sewaktu melancarkan serangan. Jurus serangan yang dilakukan gadis tangan jerangkong ini yaitu Menebas Tiang Meruntuh Atap adalah salah satu jurus serangan ilmu silat yang dimiliki ayahnya. Apa yang dibisikkan Resi Garipasthika menjadi kenyataan.
"Bukk” Liris Pramawari tidak merasa apa-apa begitu kakinya menghantam tulang kering kaki kiri lawan. Si kakek botak sendiri menjerit keras. Tubuhnya tersungkur ke depan, kepala lebih dulu dan mengarah ke tempat Liris Pramawari berada. Itulah bagian jurus bernama Menabas Tiang. Tidak tunggu lebih lama gadis ini segera pukulkan tangan kanan ke kepala botak si kakek. Dan Inilah jurus kelanjutan bernama Meruntuh Atap.
Pukulan keras mengandung tenaga dalam tinggi yang dilancarkan Liris Pramawari sanggup membuat rengkah kepala seekor gajah. Apa lagi kepala botak si kakek berdaun telinga menjulai panjang ini, pasti akan hancur mengerikan. Namun itu tidak terjadi.
"Desss!"
Di kepala botak hanya muncul sebuah lobang kecil mengeluarkan asap disertai lelehan darah. Si kakek menjerit keras sambil dua tangan pegangi kepala. Temannya si nenek ikut menjerit lalu melompat merangkul si kakek. Satu hal aneh terjadi pada diri kakek ini. Seperti ucapan Resi Garipasthika tadi keadaan kakek botak itu tidak beda dengan bisul yang gembos tertusuk duri. Kepalanya menciut mengecil sementara darah kehitaman terus mengucur menutupi wajah. Setelah kepala, menyusul tubuh jadi mengecil dan berubah pendek.
Si nenek yang merangkul tubuh si kakek menggerung keras ketika tahu kalau si kakek sudah tidak bernyawa lagi. Dia baringkan tubuh temannya itu di tanah lalu menghambur ke arah Liris Pramawari. Seperti orang kemasukan setan dia menyerang sambil berteriak-teriak. Dua kali pukulannya mendarat di tubuh Liris Pramawari. ditambah satu tendangan di daerah pinggul. Walau hantaman lawan sempat membuatnya tergelimpang jatuh namun seperti tadi waktu dijotos dadanya dia sama sekali tidak merasa sakit
"Nek, hentikan seranganmu. Lebih baik kau mengurus mayat kakek itu dan pergi dari sini..." Berseru Liris Pramawari.
"Gadis kurang ajar! Kau membunuh sahabatku! Sekarang enak saja menyuruh aku pergi! Aku baru akan pergi setelah mencincang tubuhmu!"
Si nenek mendongak ke langit lalu berteriak keras. Tangan kanan dipentang di atas kepala. Tiba-tiba ada satu cahaya berkilau dan tahu-tahu di tangan kanan itu telah tergenggam sebilah golok besar berbentuk segi empat. Anehnya golok ini berujud samar, antara terlihat dan tidak dan mendatangkan rasa angker bagi siapa saja yang memandangnya.
Di rimba persilatan Bhumi Mataram golok aneh ini dikenal dengan nama Empat Mulut Penghirup Darah. Sesuai namanya pada badan golok yang samar terdapat empat buah lobang berwarna hitam. Siapa saja musuh yang kena ditambas, ditusuk atau dibacok senjata ini maka empat buah lobang di badan golok akan menghirup darah ditubuhnya hingga korban akan kehabisan darah dan dengan mudah menjadi bulan-bulanan serangan hingga akhirnya menemui ajal secara mengerikan.
Golok aneh samar itu menebar bau amis busuk. Konon itu adalah bau amis busuknya darah dari sekian banyak korban yang telah menjadi korban! Kata orang yang mengetahui sehabis menghirup darah korban maka golok itu akan bertambah keangkeran sekaligus kesaktiannya.
"Aku mendengar suara, aku mencium bau. Golok Empat Mulut Penghirup Darah," ucap Resi Garipasthika sambil menatap ke langit malam. "Bathara Agung! Apakah Ilmu kabut Membatas Raga pinjaman masih bisa melindungi keponakanku dari golok itu?"
Tidak menunggu lebih lama si nenek langsung menyerbu. Golok menderu, keluarkan suara menguing diserta sambaran empat asap hitam yang mengepul dari empat buah lobang. Asap hitam membuat pandangan Liris Pramawari terhalang. Suara menguing menyebabkan telinganya mendenging hingga tidak mampu mendengar suara gerakan lawan. Dalam keadaan seperti itu si nenek kirimkan dua kali babatan dan satu kali bacokan. Liris Pramawari cepat melompat mundur namun tak urung salah satu babatan golok sempat menyambar pundak kiri hingga pakaian putihnya robek besar. Untung kulit bahunya tidak sampai tergores luka. Kalau hal itu terjadi, maka akan ada sebagian darahnya yang dihirup golok.
Mendengar suara robekan pakaian kakek jubah putih menjadi sangat kawatir. Dia cepat berseru menegur si nenek. "Sudah tua masih suka main-main senjata tajam. Apa tidak takut terluka sendiri?"
Nenek botak mana perduli. Serangannya menghambur laksana hujan membuat Liris Pramawari terpekik berulang kali. Kembali baju putihnya kena disambar ujung golok. Kali Ini di bagian perut. Ketika satu bacokan kilat menyambar dari atas kiri ke arah kepalanya. Liris Pramawari cepat berkelit selamatkan diri. Malang, kaki kirinya tersandung pada sosok mayat kakek botak hingga tak mampu lagi dia terhuyung jatuh ke arah datangnya bacokan golok.
Sesaat lagi kepala gadis cantik dari Kadiri itu akan terbelah tiba-tiba satu benda putih disertai tebaran hawa luar biasa dingin di udara dan... kraak. Si nenek botak menjerit keras. Lengan kanannya patah terkena pukulan tongkat Resi Garipasthika. Golok besar yang tadi digenggam terpental lepas. Dengan cepat dia melompat ke udara untuk menyambar senjata sakti berbentuk samar itu. Namun satu hantaman mendera dadanya hingga tubuhnya mencelat dan terguling di tanah. Ketika dia berusaha bangkit dilihatnya Golok Empat Mulut Penghirup Darah berada di bawah injakan kaki kiri Resi Garipasthika.
"Keponakanku sudah menyuruhmu pergi secara baik-baik. Mengapa kau masih nekat mau membunuhnya? Apakah seumur sisa hidupmu kau akan terus berbuat kejahatan dan tidak pernah bertobat minta ampun pada para Dewa? Apakah kematian sahabatmu tidak cukup memberi peringatan padamu?!"
"Resi Garipasthika, mahluk berjubah putih berpenampilan suci. Kau belum tentu lebih baik dari diriku dan sahabatku yang telah dibunuh gadis terkutuk ini! Kembalikan Golok Empat Mulut Penghirup Darah padaku!"
"Senjata ini bukan milikmu. Bukankah kau mencurinya dari seorang Resi yang bertapa di puncak Mahameru yang kemudian kau bunuh secara keji?"
"Kalau begitu aku lebih baik mengadu nyawa denganmu!" Teriak si nenek. Lalu begitu berdiri dia melompat ke arah Resi Garipasthika. Dari sepuluh ujung jarinya menyembur keluar sepuluh larik sinar hitam. Sekejapan kemudian sepuluh larik sinar hitam itu telah menggulung melibat sekujur tubuh Resi Garipasthika.
Si nenek tertawa mengekeh. "Rasakan! Sekarang terima kematianmu!"
Resi Garipasthika sesaat terkesiap. "Jaring Sepuluh Gurita Hitam," ucapnya dalam hati ketika menyadari apa yang terjadi dengan dirinya.
Sementara itu melihat lawan sudah tidak berdaya, laksana kilat si nenek hantamkan satu jotosan ke batok kepala Resi Garipasthika. "Hancur kepalamu!" Teriak si nenek.
Yang diserang hanya menatap tenang dengan sepasang mata putih mengeluarkan uap dingin. Tiba-tiba mulut sang resi berteriak. "Pindah!"
"Rrrtrrttt"
Sepuluh larik sinar hitam yang melibat sekujur tubuh Resi Garipasthika secara aneh terlepas lalu dengan cepat melesat ke arah si nenek. Di lain kejap tubuh si nenek kini yang terlibat dan digulung sepuluh larik sinar hitam itu hingga dia berteriak-teriak marah dan berusaha melepaskan diri dari ilmu kesaktian miliknya yang mencelakai dirinya sendiri. Sambil melangkah mundur menjauhi kakek jubah putih dia mengeluarkan kutuk serapah.
"Resi jahanam! Aku bersumpah beralas bumi beratap langit! Aku akan datang lagi mencari dan membunuhmu!"
Resi Garipasthi ka geleng-gelengkan kepala. "Ilmumu banyak. Semua hebat-hebat. Sayang mengapa dipergunakan untuk kejahatan? Sekarang biar aku membantumu agar bisa lebih cepat pergi dari sini."
Sang Resi kebutkan tongkat bertapis benda putih di tangan kiri ke udara. Hawa sangat dingin menebar. Angin bertiup kencang. Si nenek menggigil. Sang Resi kebutkan lagi tongkatnya satu kali. Saat itu juga seperti diterbangkan angin puyuh nenek kepala botak melayang ke udara dan lenyap dalam kegelapan. Resi Garipasthika menarik nafas lega namun kemudian pandangannya membentur sosok jenasah kakek botak yang telah menciut.
"Kau pergi susul temanmu!" Ucap sang Resi. Sekali dia menyapukan tongkat berlapis benda putih dingin maka mayat kakek botak melesat ke udara dan menghilang di arah lenyapnya si nenek.
Perlahan-lahan kakek berjubah putih ini memutar tubuh, berpaling ke arah Liris Pramawari. Jarak mereka hanya terpisah dua langkah hingga si gadis dapat melihat jelas wajah orang tua itu dan membuatnya jadi tercekat. Tidak percaya Liris Pramawari kembangkan telapak tangan kanan lalu digoyang-goyang di depan wajah si kakek. Sepasang mata berwarna putih dan mengepulkan uap dingin itu sama sekali tidak bergerak.
"Kek. saya tidak percaya! Apa benar yang saya lihat ini? Dua matamu buta?"
Resi Garipasthika tersenyum. "Dewa menakdirkan aku memiliki sepasang mata berupa gumpalan salju..."
"Gumpalan salju...." Liris melirik ke arah tongkat si kakek. Benda putih yang menggumpal melapisi tongkat itu ternyata juga adalah salju. "Bagaimana bisa begitu?"
"Ketika aku berusia tujuh tahun, seorang Brahmana membawa aku ke Gunung Himalaya jauh di negeri India sana. Aku melakukan tapa di puncak gunung itu selama sepuluh tahun lebih. Ketika tapaku selesai dan aku memperoleh berbagai macam ilmu kesaktian, ternyata sepasang mataku menjadi buta, berubah menjadi gumpalan salju. Benda apa saja yang aku pegang bisa berubah menjadi es atau berlapis salju. Seperti tongkat kayu ini. Walau aku buta namun Yang Maha Kuasa juga berlaku adil, memberikan berkah hingga aku bisa melihat dengan apa yang disebut Indera ke enam ditambah satu mata hati." Sambil berkata kakek berjubah putih ini letakkan telapak tangan kanannya di atas dada.
"Kek, apa benar kau seorang Resi?" tanya Liris Pramawari.
"Menurut penglihatanmu apakah aku seperti seorang begal atau juru sihir?"
"Mungkin dua-duanya!" jawab Liris Pramawari. Si gadis cantik dan si kakek kemudian sama-sama tertawa gelak-gelak.
"Aku bernama Garipasthika. Tapi orang lebih suka menyebutku dengan panggilan Si Mata Salju..."
"Ilmu kesaktianmu luar biasa. Membuat saya sangat kagum. Waktu kau melindungi diri saya dengan Ilmu pinjaman milik si nenek itu, saya tidak merasa sakit walau kena jotos telak di bagian dada. Tapi mengapa ada darah yang menyembur dari mulut saya? Apakah saya benar-benar tidak terluka di dalam?"
Si kakek tersenyum. Lalu dia memandang berkeliling. Setelah yakin tidak ada orang lain di tempat itu maka diapun berkata. "Darah yang keluar dari mulutmu sebenarnya adalah darah haid. Coba kau hitung, bukankah saat ini sudah saatnya kau datang bulan...?"
"Hueekkk" Liris Pramawari keluarkan suara seperti orang muntah. Perutnya terasa mual. Setelah meludah berulang kali dan mengusap wajahnya yang mendadak dingin keringatan, dia berkata. "Kau bicara melantur! Mana ada perempuan haid dari mulut. Ibu saya saja tidak tahu kapan saya akan haid...."
Si kakek bermata salju tertawa. "Sudahlah, aku tadi cuma menjelaskan. Kau mau percaya atau tidak suka-suka kau saja. Kalau nanti kau ternyata tidak haid, berarti apa yang aku jelaskan bukan ucapan melantur..."
Diam-diam Liris Pramawari menghitung-hitung dalam hati. Apa yang dikatakan sang Resi memang benar. Hari ini seharusnya memang dia sudah mendapat haid. Tapi bagaimana mungkin? "Kek. Apakah untuk selanjutnya aku akan haid seperti ini lagi? Keluar dari mulut?"
Resi Garipasthika tersenyum. "Tentu saja tidak...."
"Lalu apakah ilmu kebal yang kau pinjamkan milik nenek itu saat ini masih melekat di tubuh saya?"
Si orang tua menggeleng. "Sesuatu, apa saja yang kita pinjam, harus dikembalikan pada pemiliknya. Sekalipun si pemilik adalah orang jahat. Ilmu kesaktian itu sudah kembali pada nenek tadi. Jadi mulai sekarang kau harus berhati-hati lagi."
"Kek. Saya..."
"Sudah. Sekarang jangan bicara dulu. Ada sesuatu yang harus segera aku lakukan."
Resi Garipasthika memandang ke bawah. Saat itu dia masih menginjak Golok Empat Mulut Penghirup Darah. Mulutnya merapal panjang hingga mengeluarkan uap putih dingin. Hawa sakti dan tenaga dalam dialirkan ke kaki kiri. Kaki diangkat lalu diinjakkan kembali ke badan golok seraya berucap. "Perlihatkan ujudmu yang sebenarnya!"
Golok di bawah kaki si kakek pancarkan cahaya putih. Begitu cahaya lenyap golok besar yang tadi tampak samar kini terlihat nyata dan utuh.
"Mana sarungmu!" Resi Garipasthika kembali merapal lalu mengangkat kaki kiri untuk kemudian diinjakkan lagi ke badan golok. Seperti tadi muncul cahaya putih lalu lenyap. Aneh. Golok di bawah kaki yang tadi telanjang kini kelihatan sudah terbungkus sarung, terbuat dari Gading. Si kakek membungkuk mengambil Golok Empat Mulut Penghirup Darah lalu diserahkan pada Liris Pramawari.
"Anak gadis keponakanku, ambil dan simpan senjata mustika sakti ini. Kau memiliki kewajiban untuk nanti membawanya ke puncak Gunung Mahameru, menyerahkan pada pewarisnya."
Liris Pramawari ternganga lalu cepat-cepat melangkah mundur.
7. MENDUKUNG SANG RESI
SEPASANG mata salju yang mengepulkan uap dingin Resi Garipasthika menatap ke arah Liris Pramawari. "Ada apa keponakanku?" Untuk kesekian kalinya Resi ini menyebut si gadis sebagai keponakannya. "Apakah kau tidak mau menolongku?"
"Bukan tidak mau menolong. Tapi saya belum pernah ke Gunung Mahameru. Saya tidak pula kenal dengan pewaris golok sakti itu." Jawab Liris Pramawari.
"Para Dewa akan membimbingmu ke puncak Mahameru dan mempertemukanmu dengan pewaris yang berhak memiliki golok sakti itu. Perihal kapan kau akan pergi ke sana dan menyerahkan itu terserah pada kehendak Para Dewa. Bukankah yang disebut langkah dan pertemuan itu adalah kehendak dan hanya ditentukan oleh Yang Maha Kuasa?"
"Tapi Kek..."
"Sudah, aku titipkan senjata ini padamu."
Si kakek gerakkan tangan yang memegang golok bersarung gading. Tahu-tahu senjata itu lenyap dari pegangannya. Ketika Liris Pramawari meraba ke belakang tubuh, ternyata pedang itu telah tersisip di balik punggung pakaian putihnya, hanya gagangnya yang tersembul. Gadis itu terpaksa menyerah.
Resi Garipasthika tersenyum. "Bagus, berbuat sedikit kebajikan hari ini, besok sedikit lagi, lusa ditambah sedikit lagi, lama-lama bukankah akan menjadi segunung kebajikan...."
Ucapan sang Resi membuat Liris Pramawari terkejut. "Hyang Jagat Bathara Dewa! Bagaimana aku sampai terlupa kalau aku masih punya sekian banyak kewajiban?" Ucapan orang tua ini. Tidak sengaja sepasang mata Liris Pramawari memperhatikan tangan kanannya.
"Sang Hyang Jagat Bathara!" Si gadis kembali mengucap. Tiga ujung jari tangan kanan yang sebelumnya dipatahkan sendiri untuk menghindari racun senjata rahasia yang dilemparkan manusia berkepala anjing saat itu telah berada dalam keadaan utuh meski tetap dalam bentuk tanpa kulit tanpa daging.
"Apakah hari ini aku telah berbuat kebajikan?" Liris bertanya pada diri sendiri sambil menatap Resi Garipasthika.
"Kek, kau... kau tahu apa tentang diri saya?"
"Aku sudah berulang kali menyebut dirimu sebagai keponakan. Kalau kau keponakanku masakan aku tidak tahu menahu tentang dirimu?"
"Jujur saja Kek. Saya bukan keponakanmu benaran 'kan?"
Sang resi tertawa mengekeh hingga uap putih dingin keluar mengepul-ngepul dari mulutnya. "Benar atau bohong apa perlu dipersoalkan? Sekarang apakah kau tidak ingin tahu siapa dua kakek botak yang hendak membunuhmu tadi?"
"Tentu saja Kek. Saya juga ingin tahu mengapa mereka sebelumnya menghadang dan hendak membunuhmu."
"Sepasang kakek nenek botak itu adalah orang-orang dari selatan tapi lebih banyak gentayangan di kawasan utara, di Bhumi Mataram. Mereka mengaku diri sebagai Dewa Dewi Penjuru Angin. Nama yang terlalu berat dan sangat tidak pantas karena menebar kejahatan, mengalirkan darah dan membegal nyawa orang tidak berdosa. Yang lelaki bernama Durangga, si nenek yang tadi kabur bernama Arupadi. Mereka selalu berduaan kemana-mana dan menjalani hidup sebagai suami istri tanpa perkawinan yang syah. Mereka jahat dan mesum"
"Lalu mengapa mereka hendak membunuhmu Kek?"
"Aku dalam perjalanan mencari seorang bayi. Mereka berusaha menghalangi aku mendapatkan bayi itu. Untuk itu tidak ada cara lain. Mereka harus membunuhku!"
Ucapan Resi Garipasthika membuat Liris Pramawari terkejut. "Seorang bayi atau dua orang bayi Kek?" Si gadis bertanya ingin memastikan.
Orang tua buta yang berjuluk Si Mata Salju tertawa. "Kau sudah tahu ceritanya. Aku hanya butuh satu saja diantara dua bayi. Kalau aku mengambil kedua-duanya bukankah terlalu serakah? Ketahuilah Para Dewa paling tidak suka pada orang yang serakah"
"Kek, kalau keponakanmu ini boleh tahu, mengapa kau menginginkan bayi itu? Bukankah itu berarti kau hendak melakukan penculikan? Itu lebih jahat dari keserakahan."
Sepasang alis putih Resi Garipasthika naik ke atas. Sesaat kakek ini terdiam. Lalu setengah mengulum senyum orang tua ini berkata. "Mengambil barang orang lain untuk maksud jahat memang adalah kejahatan. Tapi mengambil barang orang lain untuk kebaikan mana bisa dikatakan kejahatan. Demikian juga dengan maksudku mengambil bayi itu. Kalau aku mengandung niat jahat kau boleh mengatakan aku menculiknya. Tapi karena aku punya maksud baik menyelamatkannya dan kalau Dewa mengizinkan aku punya niat memberikan sesuatu untuk pegangan hidup padanya. Maka perbuatanku itu namanya bukan penculikan."
Liris Pramawari tertawa. “Terserah padamu Kek, kau mau menyebut apa nama perbuatanmu itu. Aku tidak mau ikut campur urusanmu..."
"Bagaimana mungkin. Kau justru sudah terlibat!" Jawab Resi Garipasthika pula.
"Maaf Kek, aku pernah membaca dalam sebuah Kitab Agama. Disitu ada kalimat yang berbunyi begini. Manusia dilarang mengambil barang kepunyaan orang lain...."
"Kalimat itu betul. Tapi aku mengambil bayi itu bukan dengan maksud untuk memilikinya. Justru untuk melindunginya, sekaligus berbakti pada Kerajaan Bhumi Mataram..."
"Kek, apakah kau ini penjelmaan Roh Agung..."
Resi Garipasthika tertawa mengekeh. Setelah mengusap wajah dia berkata. "Keponakanku, kau sudah tahu sebagian cerita Kalau begitu sekarang bantu aku mencari bayi itu. Kita berjalan ke arah timur. Aku harap kau mau menggendongku di punggungmu."
"Apa Kek?" Kejut Liris Pramawari.
"Apakah kau tidak ingin berbuat kebajikan lagi?"
"Tentu saja mau Kek. Tapi menggendongmu dipunggungku, membawamu ke mana-mana dalam perjalanan yang bisa satu hari bisa satu minggu mungkin bulan berbulan-bulan, saya mohon maaf Kek."
"Aku tahu diri. Tua bangka jelek begini siapa yang mau mendukung. Eh, kalau aku ini seorang pemuda gagah apakah kau mau menggendongku?"
"Tetap saja tidak Kek. Kecuali kau adalah ibu saya, maka apapun yang kau katakan pasti saya lakukan."
"Begitu?" Ujar Si Mata Salju sambil menatap dengan sepasang mata putihnya ke arah Liris Pramawari. "Kalau begitu maka kau akan menggendong ibumu..." Tiba-tiba tubuh tang Resi dipijari cahaya putih.
Liris Pramawari terpekik. "Tidak mungkin!" teriak gadis ini.
Di hadapannya kini seorang perempuan, yang dari sosok serta raut wajahnya adalah sangat menyerupai Suri Dhurani, ibunya yang mati dibunuh Sangga Wikerthi. (Baca serial sebelumnya berjudul Dewi Tangan Jerangkong)
"Ibu...?"
"Anakku, apakah kau kini bersedia menggendong diriku?" Perempuan di hadapan Liris Pramawari keluarkan ucapan. Dan suara perempuan ini ternyata juga sama dengan suara sang ibu yang telah tiada itu!
Liris Pramawari jatuhkan diri di hadapan sosok sang ibu.
"Anakku, aku tidak menyuruh kau berlutut. Aku memintanya agar kau mau menggendongku."
"Ibu, saya akan menggendongmu kemana yang kau inginkan. Sekalipun sampai ke ujung dunia..."
"Anakku, ketulusan hati serta budi baktimu merupakan satu kebajikan, bagaimanapun kecilnya. Berdirilah, aku bukan bayi cengeng yang ingin digendong kemana-mana. Aku hanya ingin menguji dirimu..."
Saat itu juga sosok perempuan menyerupai ibu Liris Pramawari lenyap dan berubah kembali ke bentuk dan sosok Resi Garipasthika.
"Ibu... Kakek, siapapun kau adanya saya tidak akan mengingkari janji. Saya tidak akan berdiri sebelum kau naik ke punggung saya..."
"Keponakan nakal. Baik, sekedar untuk menyenangkan dirimu aku akan naik ke punggungmu." Si kakek lalu naik ke punggung Liris Pramawari.
Gadis ini bangkit berdiri lalu mulai melangkah membawa kakek yang digendong di atas punggung. Baru menindak tiga langkah Liris berhenti Dia merasa heran.
"Keponnkanku, baru beberapa langkah berjalan kau sudah berhenti. Apa kau keletihan? Apakah tubuhku seberat gunung?"
"Tidak Kek. Justru saya tidak merasa apa-apa. Tubuhmu seringan kapas...." Jawab Liris Pramawari. Gadis ini sapukan tangan kiri ke belakang ke arah bahu kakek yang digendongnya. Dia tidak merasa apa-apa selain menyentuh udara malam yang dingin. Dia berpaling kebelakang. "Bathara Agung!" Sosok Resi Garipasthika tidak ada lagi di atas punggungnya!
8. PETUNJUK DI DALAM JURANG
FAJAR telah menyingsing. Dasar jurang dimana Pangeran Bunga Bangkai dan dua sahabatnya berada kini mulai terang. Kemanapun mata memandang segala sesuatunya tampak jelas. Pangeran Bunga Bangkai Nalapraya duduk di atas satu bongkahan batu besar sambil memangku dan mengusap Ragil Abang, kucing milik Ratu Dhika Gelang Gelang. Dia memandang sekeliling dasar Jurang yang luas.
"Hampir setengah malaman kita berada di sini. Sekarang fajar telah menyingsing. Semua kelihatan jelas di dasar jurang luas ini. Tapi kita tidak menemukan apa-apa..." Yang berkata adalah si gemuk pendek Si Tambur Bopeng.
"Pangeran, apa yang harus kita lakukan. sekarang?" bertanya Si Suling Burik. Sampai saat itu kedua orang tersebut masih setia ikut mendampingi Pangeran Bunga Bangkai.
Kelopak bunga bangkai yang menjadi kepala Pangeran dari Kerajaan Tarumanegara itu bergerak-gerak. "Dua sahabat, kita memang belum menemukan apa-apa yang menjadi petunjuk. Tapi aku yakin dasar jurang yang terjadi di bekas Sumur Api ini pernah menjadi tempat tinggal kediaman istriku. Aku bisa mencium harum melati bau tubuhnya yang tertinggal di tempat ini. Pertanda dia pernah berada di sekitar sini. Tapi aneh, mengapa tidak ada apa-apa di sini? Jangankan benda hidup, benda matipun tidak kelihatan. Mana bangunan bagus yang dulu aku pernah tinggal bersamanya selama tujuh malam? Mana taman indah penuh bunga mekar menebar bau wangi serta pedataran berumput hijau segar yang pernah kulihat Semua sirna. Mana istriku, mana dua bayi itu. Agaknya Para Dewa belum mengizinkan aku bertemu dengan mereka. Karena diriku belum bersih dan belum keluar dari hukum kutukan..."
Sang Pangeran terdiam sesaat. Terdengar desah tarikan nafasnya berulang kali. Kemudian dia ingat sesuatu. "Dua sahabatku, ketika kita melayang turun ke dalam jurang, aku mendengar suara angin berdesau. Namun sekarang aku menduga suara yang kudengar sebenarnya adalah suara tangisan bayi. Apakah kalian berdua mendengar suara itu?"
"Kami memang mendengar. Pangeran. Namun seperti Pangeran saat itu kami tidak punya dugaan apa-apa. Suara gemuruh angin mengacaukan pendengaran kami..." Menjawab Si Suling Burik.
"Pangeran, kalau kau mengizinkan, kami berdua akan mengeluarkan apa yang mungkin terkubur di bawah lapisan dasar jurang ini." Berkata Si Tambur Bopeng, lelaki gemuk pendek yang mukanya bopeng dan membawa tambur yang diikat di pinggang, di gantung di atas perut
"Benar Pangeran, siapa tahu dengan kehendak Para Dewa kita menemukan benda-benda yang bisa memberi petunjuk." Kata Si Suling Burik menyambung kata-kata Si Tambur Bopeng.
"Lakukan apa yang bisa kalian perbuat. Tapi hati-hati, jangan sampai kesalahan tangan yang menye-babkan aku semakin jauh dari istri dan anak-anakku. Mudah-mudahan Para Dewa menolong kita," kata Pangeran Bunga Bangkai menyetujui pendapat kedua pengiringnya.
Maka Si Tambur Bopeng mulai menabuh tambur. Si Suling Burik segera meniup seruling peraknya. Dasar jurang dan dinding yang mengeliling bergetar hebat Di beberapa bagian tampak tanah menjadi retak. Lalu terdengar suara bergemuruh ketika sebagian demi sebagian dasar jurang itu melesat berhamburan ke atas. Namun sebegitu jauh yang bermentalan ke udara hanyalah bongkahan tanah dan bebatuan. Tiba-tiba Ragil Abang si kucing merah besar mengeong keras. Kepala Bunga Bangkai sang Pangeran mendongak ke atas.
“Tahan!" Teriak Pangeran Bunga Bangkai. Sekali bergerak sambil mengepit kucing merah di ketiak kiri tubuhnya melesat tiga tombak ke udara. Di lain kejap tangan kanannya dengan cepat menangkap sebuah benda berlumuran lumpur yang melayang di udara. Setelah turun kembali ke dasar jurang, Pangeran Bunga Bangkai cepat membersihkan lumpur yang melekat. Ternyata benda itu adalah sebuah piala kecil berkilat terbuat dari perak. Sambil memperlihatkan piala itu pada kedua pengiringnya Pangeran Bunga Bangkai berkata. Suaranya tersendat haru.
"Setiap aku datang selama tujuh malam berturut-turut, istriku selalu menyediakan minuman sejuk berupa embun murni di dalam piala perak ini. Jelas sekali dia memang pernah ada di sini. Di dasar Sumur Api ini. Tapi dimana dia sekarang gerangan. Wahai istriku. Bahkan namamupun aku tidak pernah tahu..."
Pangeran Bunga Bangkai mencium piala berulang kali. Kuncup hijau di kepalanya bergerak-gerak, bunga kuning berbintik coklat bergetar lalu dipenuhi titik-titik air seolah tetesan air mata. Mahluk malang ini kembali duduk di atas bongkahan batu besar. Dia ingat pada gadis berpakaian dan berkerudung putih yang ditemuinya sebelum masuk ke dalam jurang.
"Gadis bertangan jerangkong itu. Wajahnya sangat mirip dengan istriku. Suaranya juga sangat sama..."
"Pangeran." berkata Si Tambur Bopeng. "Kalau tidak keliru kami mengingat, bukankah dulu Pangeran pernah bercerita kalau Pangeran tidak pernah mendengar suara istri Pangeran karena setiap dia bicara dari mulutnya tidak keluar suara apa-apa"
"Kau benar sahabatku," jawab Pangeran Bunga Bangkai. "Tapi aku mendengar bukan dengan dua telingaku. Aku mendengar dengan telinga hatiku. Aku mendengar jernih suaranya walau tidak jelas mendengar apa yang diucapkan. Itu salah satu berkah dari Para Dewa walau mereka telah memberikan kutukan padaku..."
"Dewa penuh rakhmat, penuh keadilan..." Ucap Si Suling Burik.
"Pangeran, kau ingat perempuan gemuk pemilik kucing merah ini yang bernama Ratu Dhika Gelang Gelang?" Bertanya Si Suling Burik.
"Aku ingat. Ada apa dalam pikiranmu sahabatku?"
"Aku punya dugaan dia ada sangkut paut dengan istri Pangeran serta dua bayi itu..."
"Bagaimana kau bisa menduga begitu?" Kembali Pangeran Bunga Bangkai bertanya.
"Pada malam kedatangan kita ke Sumur Api, kalau tidak ada sangkut paut, dia tidak akan berada di sekitar Sumur Api. Lalu tubuhnya amblas ke dalam tanah. Ada satu mahluk sakti yang membawanya. Dia meninggalkan kucingnya begitu saja. Kami berdua tahu satu tempat yang tidak boleh diinjak oleh binatang hidup apapun. Ratu Dhika Gelang Gelang pasti dibawa ke tempat itu. Jika kita bisa menemui mungkin dia dapat memberi tahu keberadaan istri Pangeran serta dua bayi."
Pangeran Bunga Bangkai bangkit berdiri. "Apa nama tempat itu. Dimana letaknya?" Sang Pangeran bertanya.
"Candi Miring. Terletak di bukit gersang..."
Pangeran Bunga Bangkai gerakkan kepalanya kearah atas jurang. "Kita akan pergi ke sana. Tapi tidak saat ini. Aku akan melakukan samadi pendek. Mungkin bisa membantu menjajagi dimana beradanya istriku. Kita akan tetap berada di sini menunggu sampai matahari tenggelam dan malam kembali datang."
"Kalau begitu, sementara Pangeran berada di sini, kami akan naik ke atas berjaga-jaga. Pada saat sang surya tenggelam kami akan turun kembali ke sini..."
"Pergilah, aku merasa lebih tenteram berada di dasar jurang ini," jawab pangeran Bunga Bangkai.
* * *
KETIKA akhirnya matahari tenggelam di ufuk barat dan dua pengiring Pangeran Bunga Bangkai turun ke dasar jurang kembali, mereka melihat sang Pangeran duduk bersila di atas bongkahan batu. Kucing merah Ragil abang duduk di tanah di samping batu. Di atas batu di hadapan Pangeran Bunga Bangkai terletak piala perak. Di balik pakaiannya Pangeran mengeluarkan secarik kain berwarna merah muda. Potongan kain ini adalah sebagian dari sapu tangan merah yang dirobek oleh Ananthawuri dan diberikan pada Pangeran Bunga Bangkai pada malam terakhir sebelum mereka berpisah.
Pada saat cahaya sang surya lenyap dan jurang diselimuti kegelapan. Pangeran Bunga Bangkai mulai melakukan samadi. Menjelang tengah malam ketika samar-samar dalam semadinya Pangeran melihat satu bayangan bangunan, piala di atas batu bergetar keras. Tiba-tiba dari atas jurang melesat masuk tiga larik cahaya. Merah, biru dan hitam.
Tiga cahaya menyambar piala perak hingga hancur berkeping-keping. Namun anehnya potongan sapu tangan merah muda yang ada di dalam piala sama sekali tidak rusak sedikitpun. Sapu tangan ini melayang ke udara setinggi satu tombak lalu jatuh kembali di haribaan Pangeran Bunga Bangkai.
Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik berteriak keras lalu sama-sama melesat ke atas jurang. Tambur ditabuh suling ditiup. Sampai di atas jurang mereka tidak menemukan apa-apa.
"Tidak ada siapa-siapa di atas sini. Serangan cahaya tiga warna itu pasti dikirim dari tempat jauh..." Berkata Si Tambur Bopeng.
Si Suling Burik menyahuti. "Kita sudah baberapa kali melihat cahaya tiga warna ini. Cepat kembali ke dasar jurang. Aku kawatir..."
Ketika kedua orang itu sampai di dasar jurang kembali, mereka melihat Pangeran Bunga Bangkai tak kurang suatu apa. masih duduk bersila sambil meletakkan lipatan sapu tangan merah muda di atas dadanya.
"Pangeran, agaknya ada orang yang tidak ingin kau berhasil menjajagi dimana keberadaan istri dan anakmu." Berkata Si Tambur Bopeng.
"Kalau ada orang jahat, mengapa ia tidak langsung membunuh diriku?" Ucap Pangeran Bunga Bangkai.
"Mungkin hal ini sengaja dilakukan. Orang jahat itu bisa melakukan banyak hal jika Pangeran masih hidup. Dia hanya berusaha memutus jalan agar Pangeran tidak sampai menemui istri dan dua bayi. Mungkin hal itu dilakukan hanya untuk sementara. satu saat dia tetap akan mencelakai Pangeran..." Yang menjawab adalah Si Suling Burik.
"Lalu mengapa hanya piala yang hancur, padahal sapu tangan merah muda ada di dalam piala." Kata pangeran Bunga Bangkai pula.
"Saya punya dugaan, piala itu bukan milik langsung istri Pangeran. Sementara sapu tangan adalah milik istri Pangeran. Sapu tangan mendapat perlindungan Para Dewa sedang piala perak tidak..."
"Sahabatku Tambur Bopeng, ucapanmu mungkin betul, tapi mengapa pengendali cahaya tiga warna juga tidak membunuhmu dan Suling Burik?"
Untuk beberapa lamanya dasar jurang yang gelap itu diselimuti kesunyian. Tidak ada yang bicara.
"Suling Burik," akhirnya Pangeran Bunga Bangkai memecah kesunyian. "Turut apa yang kau katakan tadi, jika orang jahat itu sengaja membiarkan aku hidup, berarti dia juga ingin kalian berdua tetap hidup. Untuk sementara, tapi untuk maksud apa?"
Suling Burik dan Si Tambur Bopeng saling pandang. Entah mengapa bulu tengkuk kedua orang ini tiba-tiba jadi merinding. Mendadak di atas jurang sana terdengar suara kuda meringkik menyusui suara derap kaki kuda banyak sekali, lalu lenyap dan sepi kembali.
"Kuda meringkik di malam buta. Semakin banyak keanehan di tempat ini..." Berucap Si Suling Burik sambil mendongak menatap ke atas jurang.
"Dua sahabatku, kita harus segera meninggalkan tempat ini."
"Kita mau pergi kemana, Pangeran?" tanya Si Tambur Bopeng.
"Sebelum cahaya tiga warna muncul menghancurkan piala, aku sempat mendapat petunjuk Yang Maha kuasa. Dalam samadiku aku sempat melihat samar bangunan candi. Berdiri agak miring..."
"Candi Miring" seru Si Suling Burik.
"Berarti istri Pangeran ada di candi itu" Kata Si Tambur Bopeng.
"Mungkin juga dua anakku." Ujar Pangeran Bunga Bangkai. Lalu dia berlutut di tanah sambil tampungkan dua tangan. "Para Dewa, betapapun besarnya hukumanMu padaku, namun aku percaya kau akan tetap melindungi diriku, istriku dan dua anakku. Wahai Para Dewa, aku mohon, pertemukan diriku dengan mereka..."
Ragil Abang si kucing merah mengeong lalu melompat ke atas bahu Pangeran Bunga Bangkai. Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik siap melangkah mencari tempat yang baik untuk menjejak dan melompat ke atas. Mereka merasa menginjak sesuatu. Ketika Si Tambur Bopeng memandang ke bawah ternyata saat itu kaki kirinya menginjak sebatang tongkat kayu. Di Sebelahnya Si Suling Burik tengah memperhatikan kaki kanannya, melihat ada sebuah kitab dibawah telapak kakinya. Dia berseru kaget dan cepat-cepat mengangkat kaki lalu mengambil kitab. Sambil menjunjung kitab di atas kepala mulutnya berucap berulang kali.
"Wahai Para Dewa. Mohon ampun dan maaf Mu. Aku tidak tahu kalau tadi menginjak Kitab Weda..."
"Sahabat berdua, ada apa? Pangeran Bunga Bangkai bertanya. Ketika dia melihat benda yang ada di tangan dua sahabatnya itu terkejutlah sang Pangeran. "Tongkat kayu dan Kitab Suci Weda... Aku pernah melihat benda-benda ini di dalam kamar istriku. Jelas sekali, ini petunjuk dari Dewa bahwa istriku dan juga dua bayi itu sebelumnya memang ada di sini. Di dasar Sumur Api."
Pangeran Bunga Bangkai bersihkan tanah yang melekat di tongkat dan kitab. Lalu dia menyerahkan kitab pada Tambur Bopeng dan tongkat kayu pada Suling Burik. "Kalian berdua, simpan tongkat dan kitab itu baik-baik. Sekarang saatnya kita meninggalkan tempat ini."
Seperti diriwayatkan dalam serial pertama berjudul Perawan Sumur Api, tongkat dan Kitab Weda itu adalah milik orang tua bernama Dhana Padmasutra yang menemui Ananthawuri di halaman Candi Loro Jonggrang. Orang tua ini kemudian menemui ajal di tangan Setunggul Langit, anak buah Arwah Muka Hijau. Arwah Muka Hijau sendiri anak buah Arwah Ketua yang khianat dan kemudian dihukum oleh Arwah Ketua dengan menjadikan dirinya sebagai ganjalan dinding selatan Candi Miring.
Tak lama kemudian ke tiga orang itu melesat keluar dari dalam jurang, sayup-sayup terdengar suara ngeongan Ragll Abang si kucing merah peliharaan ratu Dhlka Gelang Gelang yang saat itu mendekam di pundak kiri Pangeran Bunga Bangkai.
9. TENUNG ARWAH DI HUTAN JATI
DALAM gelapnya malam candi besar yang berdiri miring di bukit gersang dan disaput kabut nampak angker. Candi yang memiliki beberapa menara Ini konon dibangun oleh Raja Kedua Kerajaan Mataram Kuna yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran. Sejak didirikan candi ini tidak pernah dipergunakan, tidak pernah didatangi orang apa lagi ada yang mendiami.
Dari mulut ke mulut tersebar cerita bahwa candi yang kemudian diberi nama Candi Miring itu dihuni oleh berbagai mahluk halus dari alam arwah. Bilamana ada mahluk yang bernama manusia berani datang ke tempat itu maka pastilah dia seorang yang memiliki ilmu kesaktian sangat tinggi. Yang tidak takut pada segala macam mahluk halus penghuni candi, malah bisa berhubungan dengan mahluk-mahluk halus itu.
Ketika di kejauhan terdengar suara raungan anjing hutan, di langit di atas Candi Miring melesat satu benda hitam yang kemudian melayang turun dan berubah menjadi seekor Burung Hantu jejadian berwarna hitam legam. Binatang ini hinggap di puncak salah satu menara candi. Setelah mengepakkan sayap, sosoknya berubah menjadi ujud seorang pemuda berpakaian hitam yang keseluruhan tubuh berwarna hitam termasuk kedua matanya.
"Kanjeng Arwah Ketua, saya Arwah Hitam Pengawai Malam, datang untuk membawa kabar. Saya melihat tiga orang menyusup di hutan jati ke arah pedataran yang ditumbuhi alang-alang. Tanda-tanda menunjukkan mereka hendak menuju ke Candi Miring. Mohon petunjukmu apa yang harus saya lakukan."
Sebagai jawaban terdengar suara mengorok panjang disertai hembusan angin yang memerihkan kulit dan mata. "Arwah Hitam Pengawal Malam. Kau selalu datang membawa ketololan di masa lalu. Sebelum datang ke tempat ini apa kau sudah menyelidik siapa ketiga orang itu? Mana bisa aku membuat keputusan kalau kabar yang kau berikan tidak lengkap! Kalau kau masih tolol seperti yang sudah-sudah mungkin kau lebih berguna aku jadikan ganjalan dinding candi di sebelah selatan, menemani Arwah Muka Hijau!"
Kulit hitam wajah Arwah Hitam Pengawal Malam sekilas berubah kelabu. Sambil tundukkan kepala bungkukkan badan dia berkata. "Kanjeng Arwah Ketua, saya mohon maaf dan ampunmu. Saya sudah coba menyelidik. Namun salah seorang dari mereka tubuhnya mengeluarkan bau busuk yang sangat santar hingga ketika saya coba menyelidik yang terlihat hanya ujud samar karena kepala saya menjadi pusing dan pandangan mata menjadi nanar...."
"Kalau begitu, sebelum malam berganti siang bunuh ke tiganya."
"Baik Kanjeng Arwah Ketua. Perintah Kanjeng akan saya lakukan..."
"Tunggu." Tiba-tiba ada seseorang berkelebat yang menimbulkan angin kencang disertai suara perempuan berseru. "Rakanda Arwah Ketua, jangan bunuh ke tiga orang itu. Aku yakin mereka adalah orang-orang yang bersahabat dengan diriku. Paling tidak pernah menolongku ketika Sumur Api diserbu sembilan tokoh rimba persilatan..."
"Radinda Ratu! Kalau kenal ke tiga orang itu mengapa tidak menerangkan siapa mereka secara jelas biar aku membuat pertimbangan mau diapakan ketiganya!" Mahluk bernama Arwah Ketua yang menjadi penguasa dan penghuni Candi Miring keluarkan suara menggembor pertanda kesal. Mengenai siapa adanya Arwah Ketua dan riwayat candi angker itu harap baca riwayatnya dalam serial sebelumnya berjudul Candi Miring.
"Rakanda, mereka adalah mahluk bernama Pangeran Bunga Bangkai bersama dua sahabatnya yaitu orang sakti bernama Tambur Bopeng dan Suling Burik..." Ratu Dhika Gelang-Gelang yang ada bersama Arwah Ketua memberi tahu.
"Ah... mereka rupanya. Bukankah aku pernah memberi tugas padamu untuk mengawasi Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik?"
"Benar rakanda Arwah Ketua. Ternyata mereka bukan orang jahat dan kini bersahabat serta menjadi pengiring Pangeran Bunga dari Kerajaan Tarumanegara itu..."
"Hemmm..." Arwah Ketua keluarkan suara menggumam. "Mungkin mereka bukan orang jahat. Tapi maksud mereka menuju tempat ini bukan lain untuk mencari Ananthawuri bersama dua bayinya!"
"Hal itu tidak dapat dipungkiri lagi Rakanda Arwah Ketua. Karena kalau Rakanda sudah tahu siapa mereka mohon mereka bertiga jangan dibunuh."
"Baiklah, memenuhi pintamu aku tidak akan membunuh mereka. Tapi cukup memendam ketiganya selama delapan purnama di dalam tanah. Kau tahu apa akibatnya kalau Pangeran itu berhasil menemui istri dan dua puteranya sebelum waktu yang ditetapkan Para Dewa."
"Terima kasih Rakanda Arwah Ketua. Aku mengerti. Tapi rasanya, memendam mereka selama delapan purnama di dalam tanah bagiku masih terasa sangat tidak adil. Padahal belum ketahuan apakah mereka berniat baik atau jahat..."
"Radinda Ratu, kau ingin melihat Para Dewa murka karena apa yang telah mereka rencanakan sejak bertahun-tahun lalu akan jadi berentakan? Lebih dari itu kau ingin menyaksikan Bhumi Mataram dilanda kehancuran karena dua putra terbaik yang diharapkan akan menjadi kesatria pamungkas kejahatan di masa depan akan menjadi dua manusia tidak berguna atau terbunuh sebelum dewasa dan sempat berbakti pada Kerajaan?"
"Rakanda Arwah Ketua, aku memang tidak berpikir sampai sejauh itu. Karena terkadang aku punya pikiran, berprasangka buruk pada orang lain merupakan satu dosa yang tersembunyi yang kelak akan muncul di kemudian hari pada saat hari perhitungan di alam baka." Jawab Ratu Dhika Gelang Gelang yang telah dibawa secara paksa oleh Arwah Ketua sebelum Sumur Api meledak.
"Radinda, kita saat ini masih hidup di alam nyata. Perlu memperhitungkan segala sesuatunya dengan sangat hati-hati karena apa yang kita perbuat akan kembali menjadi tanggung jawab di pundak kita masing-masing. Aku tahu, kurasa kau juga tahu, begitu banyak bangsa manusia juga mahluk gaib yang suka mencuci tangan dari segala tanggung jawab."
Ratu Dhika Gelang-Gelang terdiam beberapa lamanya.
"Apakah pembicaraan ini sudah selesai sampai di sini Radinda Ratu? Atau ada yang masih hendak kau sampaikan?" bertanya Arwah Ketua.
"Kalau boleh, bukankah Rakanda memiliki ilmu tenung arwah yang disebut Melangkah Ke Depan Arwah Tiba Di Belakang. Melangkah Ke Belakang, Arwah Tiba Di Depan. Melangkah Ke Samping Arwah Berputar Di Tengah Tengah. Menurut hematku, Rakanda cukup menerapkan ilmu itu pada mereka. Sekarang mereka masih berada di hutan jati. Itu tempat yang paling baik untuk menurunkan Tenung Arwah sebelum mereka mencapai pedataran alang-alang. Aku Juga teringat pada Ragil Abang. Kucing merah peliharaanku itu pasti ada bersama Pangeran dari Kerajaan Tarumanegara itu. Aku kawatir terjadi apa-apa dengan dirinya walau sang Pangeran suka padanya dan Ragil Abang bersikap penurut dan jinak pada mahluk berkepala Bunga Bangkai itu."
"Radinda Ratu, kau tahu salah satu pantangan besar di candi ini? Tidak ada binatang sungguhan yang boleh menjejakkan kakinya di dalam candi. Bahkan binatang sungguhan melintas di halaman candi saja sudah merupakan larangan besar!"
"Aku tahu Rakanda. Aku tidak akan membawa Ragil Abang ke sini. Aku hanya mohon seperti yang tadi kupinta..." Jawab Ratu Dhika Gelang Gelang pula.
"Radinda Ratu, kalau bukan kau yang meminta mana mungkin aku mengabulkan. Tapi jika terjadi apa-apa kau tetap akan memikul tanggung jawab penuh..."
"Rakanda, jika terjadi apa-apa aku bersedia dijadikan ganjalan dinding candi sebelah selatan. Asal saja aku tidak ditelentangkan di bawah tubuh Arwah Muka Hijau. Hik..hik..hik."
"Cara bicara dan sikapmu masih tidak berubah dari dulu. Radinda Ratu Dhika Gelang Gelang, pergi bersama Arwah Hitam Pengawal Malam. Terapkan segera ilmu penyesat itu. Jangan lupa memberi tahu pada Arwah Putih Pengawal Siang. Jika pekerjaanmu sudah selesai, lekas kembali menemuiku. Dua orang bayi dan ibunya sudah berada di Candi Miring. Pada hari pertama bulan ke tujuh dia harus di bawa keluar candi agar bersentuhan dengan cahaya sang surya. Sejak itu pula menjadi tugasmu untuk menjaganya sampai turun petunjuk Dewa apa yang harus kita lakukan kemudian terhadap dua anak itu. Aku sudah menyiapkan daerah berbukit-bukit rendah di selatan candi, satu daerah subur sejuk, ada taman bunga dan kebun buah yang luas untuk tempat kedua anak itu bermain. Lengkap dengan sebuah air terjun dan telaga kecil. Seluruh tempat itu sampai ke candi akan kupagari dengan Ilmu Seribu Arwah Menutup Langit Memagar Bumi. Sehingga tidak ada satu orangpun mampu memasukinya...."
"Rakanda Arwah Ketua, aku mengucapkan terima kasih. Aku dan Arwah Hitam Pengawal Malam mohon diri sekarang juga..."
* * *
KICAU burung mulai memecah kesunyian. Di kejauhan sudah beberapa kali terdengar suara kokok ayam. Perlahan-lahan langit di sebelah timur berubah terang tanda fajar mulai menyingsing. Di dalam hutan jati Pangeran Bunga Bangkai hentikan langkah, palingkan kepala anehnya kearah dua pengiring.
"Setengah malaman lebih kita berjalan. Sampai matahari tersembul dan malam berganti siang. Adalah aneh kalau kita masih juga berada di dalam rimba belantara hutan jati ini. Dua sahabat kalau ucapanku keliru harap kau memberi tahu!"
Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik memandang ke atas, ke arah ujung dedaunan pohon-pohon yang ada di sekitar mereka.
"Pangeran, ucapanmu tidak keliru. Aku melihat ada bayangan sinar Jingga di pinggir dedaunan di atas pohon. Itu adalah warna kesukaan para lelembut. Agaknya mahluk halus itu yang telah dipergunakan oleh orang pandai untuk menurunkan tenung di dalam hutan ini. Aku kawatir kita telah terjebak dalam satu kekuatan gaib yang membuat kita hanya mampu berputar-putar di dalam rimba belantara hutan jati ini. Tidak mampu keluar sampai seratus tahun sekalipun! Kecuali kita mengetahui kunci penembus kekuatan gaib itu atau ada orang dari luar yang menolong. Tapi siapa orang saktinya yang mampu mengeluarkan kita. Sekali dia masuk ke dalam hutan ini maka dia akan ikut terjebak bersama kita."
"Meong..." Tiba-tiba Ragil abang yang ada di pundak kiri Pangeran Bunga Bangkai mengeong keras lalu melompat ke cabang pohon yang ada di dekat tempat ketiga orang itu berdiri.
"Kucing itu, apakah dia juga ikut terjebak dan tak bisa keluar dari rimba belantara ini?" tanya Pangeran Bunga Bangkai.
Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik tidak segera memberi jawab melainkan sama-sama saling pandang. Lalu Si Tambur Bopeng angkat dua tangannya yang memegang penabuh. Tapi sampai ditabuh berulang kali, tambur yang berada di atas perutnya sama sekali tidak mengeluarkan suara. Si Suling Burik dalam herannya cepat-cepat meniup sulingnya. Tapi sampai mengedan-edan dan mukanya menjadi merah, suling itu tidak mengeluarkan bunyi.
"Sahabat berdua, kita menghadapi satu kekuatan luar biasa hebat .endekati kekuatan Para Dewa," kata Pangeran Bunga Bangkai pula. "Kalian belum menjawab pertanyaanku tadi. Apakah Ragil Abang juga terjebak seperti kita? Berada dalam kekuasaan gaib itu?"
"Bilamana kekuatan gaib itu datang dari penguasa Candi Miring yang hendak kita datangi, rasanya kucing merah itu tidak akan terpengaruh. Binatang sungguhan merupakan pantangan bagi Candi Miring..."
Mendengar ucapan SI Tambur Bopeng, Pangeran Bunga Bangkai lambaikan tangannya ke arah kucing merah di cabang pohon. "Ragil Abang, kemarilah..."
Kucing merah mengeong perlahan lalu melompat ke pundak kiri Pangeran Bunga Bangkai. "Sahabatku..." kata sang Pangeran sambil mengusap tengkuk Ragil Abang. "Keluarlah dari rimba belantara ini. Berjalan ke arah selatan hutan. Cari pertolongan. Berlakulah hati-hati. Jangan sampai tersesat dan berada di dekat Candi Miring. Apakah kau mengerti ucapanku, sahabat?"
Ragil Abang menjilat tangan Pangeran Bunga Bangkai. Setelah mengeong lembut dia melompat turun, menyelinap ke balik deretan pohon jati dan akhirnya lenyap dari pemandangan.
"Pangeran, kami menyesal telah membawamu ke dalam keadaan seperti ini." Berkata Si Suling Burik.
Pangeran Bunga Bangkai keluarkan suara tertawa. "Kita sama-sama satu nasib. Aku justru mengawatirkan kalian. Aku punya firasat, paling cepat kita akan terkurung di hutan ini selama tujuh bulan. Aku bisa bertahan hidup tanpa makan. Bagaimana dengan kalian berdua. Apakah di hutan jati ini ada pohon berbuah yang bisa dimakan?"
"Bhumi Mataram bertanah subur. Di tanah gersang sekalipun Yang Maha Kuasa menyediakan makanan bagi siapa saja yang menjadi mahluk hidup..." Berkata Si Tambur Bopeng.
"Kalau ini memang sudah suratan takdir Yang Maha Kuasa, kita manusia bisa berbuat apa? Mari kita mencari tempat yang baik. Kita akan melakukan tapa tiga ratus hari. Mudah-mudahan Para Dewa akan menolong kita keluar dari hutan ini..."
Wajah dan suara Si Suling Burik terdengar tabah. Dia memeluk bahu sahabatnya Si Tambur Bopeng lalu melangkah ke arah timur hutan. Pangeran Bunga Bangkai mengikuti dari belakang. Di tengah jalan dia meminta Kitab Weda yang tadi diserahkan pada Si Tambur Bopeng. Sambil berjalan sang Pangeran membaca kitab itu mulai dari halaman pertama. Suara lafalnya ataupun mulut berucap perlahan namun menimbulkan gema halus di dalam hutan jati.
10. MAHLUK DI BALIK TIRAI
MALAM dingin gelap gulita. Hujan turun lebat sekail. Diantara suara deru angin dan gemertsik daun pepohonan yang saling bergeser sayup-sayup terdengar suara kepakan sayap. Tak lama kemudian tampak sebuah benda hitam melayang terbang di udara. Benda itu ternyata adalah seekor Burung Hantu yang kemudian melayang turun lalu menjejak tanah di antara dua batang pohon besar di dasar lembah.
Di dasar tanah yang disebut lapisan Ke Tiga di Lembah Hantu, Panglima Pawang Sela masuk ke dalam satu lorong batu sunyi dan redup. Didalam lorong Itu terdapat tujuh lapis tirai tebal berlainan warna. Panglima Pawang Sela hanya berani menyibak sampai di tirai yang ke empat yaitu tirai berwarna Jingga. Kini dia berdiri di hadapan tirai ke lima berwarna biru. Dia tidak berani menyibak tirai ini karena Itulah batas dimana dia boleh berada di dalam lorong batu. Untuk beberapa lama dia berdiri diam sambil merapal sesuatu lalu perlahan-lahan lelaki separuh baya bertubuh tinggi kekar dan mengenakan Jubah serta destar kuning ini berlutut di lantai seraya mulut berucap.
"Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru, yang juga saya sebut Si Maharaja Ke Delapan, mahluk arwah alam gaib yang kita tunggu sudah datang. Saya mohon izin untuk membawanya menghadap Junjungan..."
Dari balik tirai ke tujuh yang berwarna merah, terpisah dua tirai dari tempat Pawang Sala berdiri saat itu, keluar suara jawaban. "Panglima Pawang Sela. Sebelum kau membawa mahluk itu ke hadapanku, ada beberapa hal yang perlu kutanyakan dan harus mendapat jawaban saat ini juga..."
"Junjungan, saya menunggu pertanyaan," kata Panglima Pawang Sela sambil bangkit berdiri.
"Pertama, sudah berapa jumlah Tuman Keku yang berhasil kau dapatkan sampat saat ini?"
"Saya ingat sekali Junjungan. Jumlah sudah mencapai enam puluh tiga. Saya masih menbutuhkan delapan orang lagi..."
"Jumlah tujuh puluh satu harus kau penuhi tujuh hari sebelum hari yang telah aku tentukan!"
"Saya sanggup dan yakin akan berhasil mendapatkan Jumlah itu sesuai dengan perintah Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru."
"Pertanyaan kedua. Berapa jumlah mahluk berkepala anjing Tuman Kean yang sudah kau dapat?" (Tuman Kean = Tubuh manusia Kepala Anjing)
"Saya tidak ingat pasti Junjungan. Harap maafkan. Tapi Jumlahnya pasti sudah melebihi seratus."
"Sekarang pertanyaan ke tiga. Apakah kau telah berhasil berhubungan dengan Arwah Muka Hijau yang saat ini masih terpendam di dinding selatan Candi Miring, dibuat sebagai ganjalan?!"
"Mohon maafmu Junjungan. Hal itu belum dapat saya lakukan karena masih menunggu petunjuk dari mahluk gaib yang berada di dalam lembah sana. Yaitu tentang apa saja yang harus dilakukan agar bisa melakukan bicara Jarak jauh dengan dia tanpa diketahui penghuni Candi Miring termasuk Arwah Ketua. Lalu bagaimana cara untuk membebaskannya dari ganjalan candi." Jawab Panglima Pawang Sela.
"Tapi yang paling penting," kata sang Junjungan pula. "Mencari tahu bagaimana melumpuhkan Arwah Ketua dan kaki tangannya! Sehingga ketika kita bergerak Arwah Ketua dan semua penghuni Candi Miring tidak berdaya melakukan upaya apapun."
"Baik Junjungan. Hal itu akan saya lakukan."
"Pertanyaan ke empat. Apakah kau sudah menghubungi Wakil Kepala Balatentara Kerajaan Bhumi Mataram untuk membantu menggembosi pasukan Kerajaan dari dalam pada saat hari penyerbuan kita nanti?"
"Saya sudah menghubungi, tapi orang bernama Jenggal Kantanu itu tidak bisa dibujuk, tidak mempan disogok. Saya bahkan membawanya ke sebuah pondok. Disitu saya telah mempersiapkan seorang perawan desa. Tapi dia tetap menolak. Dia tidak mau berkhianat pada Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu, Raja yang memerintah di Bhumi Mataram saat ini. Padahal sesuai pesan Junjungan, saya memberi tahu dia bakal menduduki jabatan sebagai Kepala Pasukan bilamana Kerajaan Mataram Baru berdiri nanti. Ketika saya memaksa dia menunjukkan gelagat seperti hendak membunuh saya. Tapi itu tidak dilakukannya mungkin mengingat saya adalah kakak iparnya."
"Manusia bodoh!" rutuk orang dibalik tirai merah yang dipanggil Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru. "Lalu apa yang telah kau lakukan terhadap manusia satu itu?"
"Saya telah membunuhnya Junjungan. Kotaraja sampai geger selama tujuh hari. Beberapa orang ditangkap. Kepala Balatentara Kerajaan dicurigai dan diawasi gerak-geriknya. Orang-orang Mataram sampai saat ini tidak mampu menjajagi jejak saya. Junjungan, apakah Junjungan ingin saya memberikan bukti dengan memperlihatkan apa yang terjadi secara gaib seperti halnya sewaktu saya menyuruh Abdika Brathama sehabis dia membunuh Ceti Kanwa?"
"Tidak perlu. Aku cukup percaya padamu. Sekarang pertanyaan ke lima. Apakah Abdika Brathama saat ini masih berada di Kotaraja memata-matai keadaan?"
"Benar Junjungan! Dia akan tetap berada di sana sampai saat-saat terakhir menjelang kita memasuki Kotaraja."
"Pertanyaan keenam. Bagaimana dengan seribu anggota pasukan yang berada di Lembah Hantu sebelah barat...?"
"Mereka tetap bersiaga sambil terus melakukan latihan perang-perangan."
Yang disebut Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru yang berada di balik tirai tebal warna merah agaknya cukup puas dengan semua jawaban Panglima Pawang Sela. Maka diapun berkata. "Bagus. Sekarang kau boleh membawa masuk orang di luar sana. Ingat dia hanya bisa masuk sampai di depan tirai ke tiga, tirai kelabu. Jangan lupa menyumpalkan Batu Baramundu ke dalam rongga matanya. Lakukan itu sebelum dia masuk ke dalam lapisan ke tiga dasar lembah."
"Perintah Junjungan segera saya lakukan. Saya akan kembali sebelum hitungan ke seratus!"
"Satu hal harus kau yakini, Panglima Pawang Sela."
"Gerangan apakah itu Junjungan?"
"Kau harus yakin, mahluk yang akan kau bawa ke hadapanku itu adalah benar-benar Arwah Hitam Pengawal Malam. Bukan mahluk tipuan yang bisa mencelakakan kita! Kau tahu Arwah Ketua adalah mahluk seribu ilmu seribu akal!"
"Saya berani menjamin Junjungan. Mahluk yang akan saya bawa ke tempat ini adalah benar-benar Arwah Hitam Pengawal Malam. Saya mohon pergi sekarang."
"Tunggu dulu!"
"Ada hal lain yang Junjungan hendak katakan?" tanya Panglima Pawang Seia sambil berhenti memutar tubuh lalu menatap tirai biru di hadapannya
"Jika nanti aku puas dengan semua apa yang telah dilakukan mahluk bernama Arwah Hitam Pengawal Malam itu, hadiahkan dia seorang gadis desa..."
"Maaf Junjungan. Mahluk itu tidak suka pada perempuan. Dia hanya menggauli lelaki sesama jenis."
"Apa? Ha ha ha" Sang Junjungan tertawa tergelak. "Kalau begitu kau tahu apa yang harus kau lakukan. Di desa Kaliwungu ada banyak bocah remaja. Pilihkan seorang untuknya! Ha...ha...ha. Orang-orang lelaki Mataram! Kalian ini serba aneh. Para Dewa telah menyediakan perempuan untuk menjadi pasangan kalian bersenang-senang! Mengapa mau menggauli bangsa laki-laki yang hanya punya satu lobang di bawah perutnya dan itupun berbau busuk! Ha...ha...ha! Satu pertanda kalian menyimpang dari jalan hidup yang benar. Para Dewa akan mengutuk kalian! Kerajaan Bhumi Mataram memang sudah saatnya dihancur luluhkan! Ha...ha...ha! Panglima, lakukan apa yang aku perintahkan!"
"Akan saya lakukan Junjungan." Panglima Pawang Sela membungkuk di hadapan tirai biru lalu sekali dia menggerakkan kaki, tubuhnya melesat ke atas dan lenyap dari pemandangan.
Suara tawa dari balik tirai merah masih menggema, membuat tujuh tirai di dalam bergoyang melambai-lambai.
11. ARWAH YANG KHIANAT
BURUNG hantu yang mendekam di antara dua pohon besar menyalangkan sepasang mata hitamnya lebih besar ketika Panglima Pawang Sela muncul kembali di tempat itu.
"Junjungan Sri Maharaja Kerajaan Mataram Baru bersedia menerimamu. Sekarang perlihatkan ujudmu yang sebenarnya!"
Burung Hantu kepakkan kedua sayapnya. Saat itu juga tubuhnya berubah menjadi sosok seorang pemuda mengenakan pakaian hitam. Seperti pakaian, kulit di tubuh pemuda ini termasuk wajah dan sepasang mata berwarna hitam legam.
"Jadi kau yang bernama Arwah Hitam pangawal Malam?"
Si pemuda membungkuk lalu anggukkan kepala. Panglima Pawang Sela letakkan tangan kanannya di atas ubun-ubun kepala. Ketika tangan diturunkan, di tangan itu kini terlihat dua buah benda bulat merah menyala mengepulkan asap serta hawa panas.
"Arwah Hitam Pengawal Malam, maju satu langkah. Dekatkan wajahmu ke arahku!"
Pemuda berpakaian hitam melirik pada dua benda menyala di tangan kanan orang yang berdiri di hadapannya. Wajahnya yang hitam legam berubah kelabu.
"Bara menyala..." ucap si pemuda dalam hati dan dada berdebar. "Panglima Pawang Sela, kau hendak melakukan apa?" Si pamuda bertanya dengan suara agak tercekat
"Tidak ada pertanyaan. Aku akan berkata sekali lagi dan itu untuk yang terakhir kali. Maju satu langkah! Dekatkan wajahmu ke arahku!"
Walau merasa bimbang perlahan-lahan si pemuda rundukkan kepala sedikit lalu di dekatkan ke arah Panglima Pawang Sela. Dess...dess! Secepat kilat Pawang Sela susupkan dua bara menyala ke dalam rongga mata kiri kanan Arwah Hitam Pengawal Malam. Asap merah mengepul. Dua bara menyala melesak masuk ke dalam rongga mata. Namun anehnya Arwah Hitam Pengawal Malam tidak merasakan panas atau sakit. Selain itu kedua matanya tetap bisa melihat seperti biasa. Dua bara menyala sama sekali tidak menutup pemandangannya. Pemuda dari alam gaib ini merasa lega sedikit
"Arwah Hitam Pangawal Malam, saat ini bara menyala di dalam dua rongga matamu memang tidak menimbulkan rasa sakit. Tapi jika nanti kau melakukan hal-hal yang tidak berkenan pada Junjungan kami, menipu dan memberi keterangan palsu maka dua bara menyala itu akan menjadi panas, membuat kepalamu leleh lalu sekujur tubuhmu akan meledak berkeping-keping."
"Aku sudah bertindak sejauh ini. Jika kau dan Junjungan tidak percaya lebih baik urusan antara kita hanya sampai di sini saja!" Pemuda berpakaian dan bermuka hitam rupanya merasa tidak senang.
Panglima Pawang Sela menyeringai. "Kau pandai menggertak," ucapnya. "Jika itu kau lakukan padaku, aku akan memaafkan. Tapi Jika kau berani bersikap seperti itu terhadap Junjungan, kau akan dirubah menjadi debu. Tidak berguna di atas dunia, tidak berguna di alam gaib" Selesai keluarkan ucapan Panglima Pawang Sela ulurkan tangan kiri menyambar lengan kanan si pemuda. Sesaat kemudian sosok kedua orang itu amblas dan lenyap masuk ke dalam tanah antara dua pohon besar di dasar Lembah Hantu.
SESUAI perintah Junjungan, Panglima Pawang Sela membawa Arwah Hitam Pengawal Malam memasuki lorong batu dan berhenti di depan tirai berwarna kelabu yang merupakan Tirai Ketiga. Panglima memberi isyarat pada pemuda berkulit hitam itu agar mengikuti apa yang dilakukannya yaitu membungkuk di depan tirai.
"Panglima," tiba-tiba Arwah Hitam Pengawal Malam berbisik. "Aku tidak melihat Junjungan yang kau katakan itu. Mengapa kita memberi penghormatan pada tirai kelabu. Apakah tirai ini..."
"Tutup mulutmu!" Bentak Pawang Sela. "Jangan berani membuka mulut kalau tidak ada yang bertanya atau menyuruh! Atau kau ingin dua bara rmmyala di dalam matamu itu segera kujadikan panas?!"
"Harap maafkan aku Panglima. Aku hanya gugup...." Jawab si pemuda.
Panglima Pawang Sela membungkuk sekali lagi. "Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru, saya sudah berada di hadapan Tirai Kelabu. Di sebelah saya berdiri Arwah Hitam Pengawal Malam."
Tujuh tirai di dalam lorong batu bergoyang melambai-lambai seolah ditiup angin. Sesaat kemudian terdengar suara di ujung lorong, dari arah belakang Tirai Merah.
"Pemuda berkulit hitam, kami mengenalmu sebagai Arwah Hitam Pengawal Malam. Aku tahu dari Panglima kau telah membantu kami sejak beberapa lama belakangan ini. Aku merasa puas dengan apa yang telah kau kerjakan. Itu sebabnya aku meminta Panglima membawamu ke sini. Ceritakan siapa dirimu yang nyata dan yang gaib. Beritahu siapa dirimu adanya, apa kedudukanmu di Candi Miring."
"Junjungan, seperti yang kau saksikan ujud nyata saya adalah seperti ini. Saya adalah mahluk alam gaib yang bisa berubah menjadi seekor Burung Hantu hitam. Di Candi Miring saya dipercayai menjadi salah seorang pembantu utama Arwah Ketua..."
"Sebagai pembantu utama kau pasti banyak mengetahui keadaan di Candi Miring. Apakah Arwah Muka Hijau masih berada di sana, dijadikan ganjalan dinding candi?"
"Benar sekali Junjungan. Arwah Muka Hijau sampai saat ini tidak beranjak dari tempatnya di dasar dinding selatan Candi Miring."
"Aku akan membebaskannya. Kau tahu bagaimana caranya menghubungi mahluk itu melalui ilmu bicara jarak jauh tanpa ada seorangpun penghuni Candi Miring bisa mendengar?"
"Lemparkan dua ekor kodok mati di arah dinding selatan candi. Tiga malam kemudian Arwah Muka Hijau akan mampu mendengar suara yang dikirim dari jarak jauh kepadanya. Sebaliknya ia juga bisa bicara memberikan jawaban."
"Bagus. Aku minta kau yang mencari dua kodok mati lalu melemparkan ke dinding candi. Sanggup?!"
"Sanggup Junjungan..." jawab Arwah Hitam Pengawal Malam.
"Jika sudah kau lakukan beri tahu Panglima."
"Baik Junjungan."
"Aku kehilangan jejak seorang perawan desa bernama Ananthawuri bersama dua bayi yang baru dilahirkannya. Menurut apa yang aku ketahui, ibu dan dua anaknya itu lenyap di sekitar halaman depan Candi Miring. Katakan apa yang kau ketahui..." Sebenarnya orang yang bicara dibalik tirai merah maupun Panglima Pawang Sela sudah tahu keberadaan Ananthawuri dan dua bayinya di dalam Candi Miring. Namun sang Junjungan ingin menguji.
"Perawan desa bernama Ananthawuri dan dua bayinya saat ini memang berada di dalam Candi Miring. Dibawah perlindungan Arwah Ketua. Mereka diselamatkan oleh Arwah Kembar dari dasar reruntuhan Sumur Api. Arwah Kembar sendiri menemui kematian tak jauh dari Candi Miring..."
"Orang suruhanku yang membunuh mereka." Berkata sang Junjungan.
Arwah Hitam terkejut tapi diam saja. Sang Junjungan kemudian bertanya. "Selain Arwah Ketua, siapa saja yang berada di Candi Miring?"
"Seorang perempuan bernama Ratu Dhika Gelang Gelang. Dia masih memiliki garis darah dengan Raja Bhumi Mataram Sri Maharaja Rakal Pikatan Dyah Saladu. Dia ditugasi menjaga dua bayi siang dan malam."
Dibaiik tirai sang Junjungan mendengus lalu tertawa pendek. "Ketika diberi tugas menjaga Sumur Api dia tidak mampu. Sekarang ditugasi menjaga dua bayi..Ha..ha! Panglima aku melihat kita bisa lolos dari lobang jarum. Kita punya kesempatan membunuh dua bayi jika memang perempuan gemuk berkerincing emas yang menjaga merekat"
"Junjungan, bagaimana kalau tugas membunuh dua bayi kita serahkan pada pemuda ini?" Panglima Pawang Sela mengajukan usul.
Sebelum Junjungan menjawab, Arwah Hitam Pengawal Malam mendahului. "Maaf Junjungan, saya tahu kemampuan saya. Tingkat ilmu kepandaian saya tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Ratu Dhika Gelang Gelang terlalu sakti. Belum lagi Arwah Ketua. Lalu masih ada Arwah Putih Pengawal Siang serta Arwah Gelap Gulita..."
"Aku tahu perempuan itu. Dia memang merupakan salah satu ganjalan. Orang-orangku telah berusaha membunuh kekasihnya, seorang pemuda bernama Sebayang Kaligantha. Tapi Para Dewa menolong menyelamatkan dirinya. Perempuan dan kekasihnya itu bisa kita urus kemudian. Arwah Hitam, kau tahu rahasia menembus masuk ke dalam Candi Miring?" Bertanya Panglima Pawang Sela.
"Saya tahu Junjungan. Tapi jika saya mengatakan maka lidah saya akan terpotong dan saya tidak akan mampu lagi bicara untuk selama-lamanya."
Panglima Pawang Sela menyeringai. Sang Junjungan keluarkan suara tertawa lalu berkata. "Arwah Hitam Pengawal Malam. Kau berada di tempat yang aman dibawah perlindungan Panglima dan diriku. Katakan rahasia menembus masuk ke dalam Candi Miring."
Arwah Hitam tidak segera menjawab.
"Kau mau menerangkan atau tidak?" Panglima menegur. Suaranya menyatakan kegusaran melihat sikap Arwah Hitam yang hanya diam saja.
12. LIDAH YANG TERPOTONG
Akhirnya pemuda berkulit hitam itu membuka mulut sambil memegang tengkuknya yang mendadak dingin, pemuda berkulit hitam legam itu berkata. "Diperlukan mayat seorang gadis, seorang anak perawan berusia antara empat belas dan dua puluh satu tahun. Yang meninggal paling lama tiga hari dan jenazahnya dikubur bukan dibakar. Mayat digali dari makamnya lalu dikuburkan lagi pada satu tempat arah utara Candi Miring, sejarak paling dekat lima ratus tombak. Kaki mayat harus menghadap candi. Orang yang hendak masuk kedalam Candi harus membawa dua kepalan tanah kuburan. Satu kepalan berasal dari kubur lama dan satu kepal lagi dari kubur baru..."
"Itu saja? Tanya sang Junjungan.
"Betul Junjungan. Itu saja..."
"Kau tahu bagaimana caranya menyekap Arwah Ketua agar tidak bisa keluar dari dalam candi?" Sang Junjungan kemudian bertanya. Sementara Panglima menatap lekat-lekat ke wajah hitam pemuda di hadapannya.
"Maaf Junjungan, saya tidak mengetahuinya..."
"Lalu apa kau tahu kelemahan Arwah Ketua?" kembali sang Junjungan yang juga disebut Sri Maharaja Mataram Baru atau Sri Maharaja Ke Delapan ajukan pertanyaan sementara Panglima Pawang Sela menatap lekat-lekat kewajah pemuda berkulit hitam itu.
"Setahu saya Arwah Ketua tidak boleh terkena tetesan embun murni yang menempel di dedaunan. Tapi saya tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya jika sampai ada tetesan embun menyentuh tubuhnya..."
"Hemmm... Itu sebabnya dia sengaja tinggal di Candi Miring yang terletak di bukit gersang. Bukit tanpa pohon tanpa daun..." Berkata Panglima Pawang Sela.
"Kau betul Panglima. Sekarang kita sudah tahu kelemahannya, kita bisa memancing dirinya berada di satu kawasan rimbun pepohonan, sewaktu embun masih melekat di dedaunan..."
"Berarti kita sebaiknya melancarkan serangan pada saat dinihari. Ketika embun masih banyak melekat di dedaunan. Jika arwah Ketua berani muncul..."
"Kau cerdik. Tapi aku punya satu rencana baru. Aku lebih suka membentuk serombongan pasukan yang sengaja membawa ranting pepohonan yang memiliki daun penuh dengan tetesan embun. Jika Arwah Ketua muncul di kancah pertempuran pasukan pembawa embun ini yang akan menghadangnya. Hal ini akan kita bicarakan lagi. Sekarang aku akan meminta sahabat kita Arwah Hitam Pengawal Malam melakukan satu hal lagi..."
"Saya siap Junjungan," menyahuti Arwah Hitam.
"Kau harus membunuh Arwah Putih Pengawal Siang. Mahluk satu itu bisa menjadi biang racun mengacaukan semua rencana kita. Kau sanggup?!"
"Sanggup Junjungan."
"Bagus. Sekarang aku mengucapkan selamat jalan padamu. Semua janji hadiah harta maupun jabatan yang telah disampaikan Panglima Pawang Sela akan kupenuhi setelah Kerajaan Bhumi Mataram kita hancurkan. Saat ini, sekeluar dari Lembah Hantu, Panglima akan membawamu ke satu tempat untuk bersenang-senang..."
"Terima kasih Junjungan. Saya mohon diri." Arwah Hitam Pengawal Malam membungkuk di depan Tirai Kelabu lalu mengikuti Panglima Pawang Sela yang telah memberi isyarat padanya untuk segera meninggalkan lorong.
Ketika muncul dari dalam tanah dan sampai di antara dua pohon besar di dasar Lembah Hantu tiba-tiba Arwah Hitam Pengawal Malam merasa ada cairan hangat dan asin di dalam mulutnya. Bersamaan dengan itu perutnya terasa mual.
"Hek... hekk..." Arwah Hitam semburkan cairan yang ada di mulutnya. Yang keluar ternyata darah kental. Dan bukan hanya darah tapi juga sekerat benda merah. Ketika diperhatikan oleh Panglima Pawang Sela merindinglah bulu kuduknya. Benda itu ternyata potongan lidah. Kutukan dari candi Miring telah jatuh atas diri Arwah Hitam Pengawal Malam karena pengkhianatannya.
Arwah Hitam Pengawal Malam meraung keras. Dia tidak peduli lagi rencana Panglima Pawang Sela yang hendak mengajaknya ke Desa Kaliwungu. Bahkan tanpa menanggalkan bara merah yang masih menempel di dalam rongga matanya dia menghambur tinggalkan tempat itu. Panglima Pawang Sela cepat menghadang. Dia korek dua Batu Baramundu yang ada di dalam rongga mata si pemuda seraya berkata.
"Bagaimanapun keadaanmu, tugas yang di-perintahkan oleh Junjungan harus tetap kau laksanakan. Kalau tidak nasibmu akan lebih mengerikan dari yang kau alami sekarang! Kau dengar?"
"Hak..huk....hak..huk!" Arwah Hitam hanya bisa keluarkan suara seperti itu sambil angguk-anggukkan kepala berulang kali.
* * *
SATU hari setelah Arwah Hitam Pengawal Malam menghadap sang Junjungan di dasar lapisan ke tiga Lembah Hantu, desa Jamburewo dilanda kegegeran. Wudhania, anak gadis berusia enam belas tahun puteri seorang petani lenyap dari rumahnya. Penduduk beramai-ramai melakukan pencarian. Setelah dua hari mencari mereka belum berhasil menemukan si gadis. Namun di dekat sebuah telaga dangkal berair kotor ditemukan sebuah kuburan dalam keadaan terbuka. Tanah kuburan masih gembur dan merah pertanda kuburan itu masih baru. Agaknya siapapun yang dikubur di tempat ini mayatnya telah digali dan dikeluarkan. Mungkinkah itu mayat Wudhania, anak gadis desa Jamburewo yang lenyap tidak tentu rimbanya?
Hanya beberapa hari setelah ditemukan kuburan kosong. Arwah Ketua di Candi Miring menerima laporan dari pembantu utamanya Arwah Gelap Gulita kalau Arwah Putih Pengawal Siang ditemukan telah jadi mayat di kaki bukit gersang. Mayat itu kemudian berubah menjadi bangkai seekor kadal putih, sesuai dengan ujud aslinya.
"Saya juga ingin memberi tahu wahai Arwah Ketua. Sahabat kita Arwah Hitam Pengawal Malam sudah beberapa hari tidak kelihatan. Saya kawatir sesuatu telah terjadi dengan dirinya."
Arwah Ketua keluarkan suara mengorok. "Arwah Gelap Gulita. Aku minta kau menyelidiki semua perkara kejadian ini sampai tuntas. Aku hanya memberikan waktu tiga hari padamu. Kita harus bertindak cepat. Aku punya firasat sejak Sumur Api meledak serangkaian peristiwa aneh yang terjadi akan membawa kepada satu malapetaka yang lebih besar. Aku perintahkan juga padamu untuk menyelidiki dari luar hutan jati, apa Pangeran Bunga Bangkai dan dua pengiringnya masih berada di sana. Aku tidak yakin ada kekuatan bisa membuat mereka lolos. Tapi Yang Maha Kuasa bisa berbuat sekehendakNya. Aku tidak boleh menyombongkan diri dengan Ilmu kesaktian yang aku miliki yaitu ilmu Tenung Arwah. Di atas langit masih ada langit..."
"Perintah Arwah Ketua segera aku laksanakan."
"Aku mencium bau yang tidak enak diarah selatan candi. Selidiki ke arah itu lebih dulu."
"Segera saya lakukan," kata Arwah Gelap Gulita. "Sebelum pergi harap kau sirap keberadaan candi ini."
"Baik Arwah Ketua."
Setelah membungkuk Arwah Gelap Gulita berkelebat keluar dari Candi Miring. Sejarak seratus tombak di timur candi dia mencari tempat ketinggian. Di sini dia tegak rangkapkan dua tangan di depan dada kaki terkembang, mata terpejam. Setelah sepasang telinganya tidak lagi mendengar suara tiupan angin, perlahan-lahan Arwah Gelap Gulita angkat ke dua tangan ke udara. Telapak diarahkan ke Candi Miring. Secara aneh candi angker itu beberapa saat kemudian mulai tampak samar dan akhirnya lenyap sama sekali dari pemandangan seolah telah bersatu dengan udara yang dibungkus oleh kegelapan malam.
13. MAYAT BICARA
SEPERTI yang dikatakan sang Junjungan, ketika menyelidik ke kawasan selatan Candi Miring, Arwah Gelap Gulita yang berujud seorang kakek bersorban dan berjubah hitam mencium bau busuk. Saat itu di pertengahan hari dan sang surya memancarkan sinar terik.
"Kalau ini bukan bangkai binatang, tidak bisa lain pasti bangkai manusia Bangkai manusia konon lebih busuk dari bangkai binatang..."
Sejauh lebih dari lima ratus tombak Arwah Gelap Gulita dari candi, di satu telaga kecil yang airnya sudah lama mengering Arwah Gelap Gulita melihat banyak orang kerkerumun mengelilingi sebuah lobang. Tak jauh dari situ beberapa orang tengah membuat usungan dari bambu. Mendekat ke tepi lobang, pembantu utama sang Junjungan ini melihat ada tiga orang lelaki di dalam lobang tengah menggotong sesosok mayat yang ditutupi sehelai kain panjang. Mayat inilah yang menebar bau luar biasa busuk.
Arwah Gelap Gulita membentak. "Manusia-manusia kurang ajar! Beraninya kalian mengubur mayat di kawasan Candi Miring"
Semua orang di tempat itu termasuk tiga yang di dalam lobang tersentak kaget. Mengira yang muncul adalah seorang Resi, salah seorang yang berdiri di tepi lobang agak takut-takut berkata, "Resi, kami bukan hendak mengubur mayat. Tapi justru mau mengeluarkan mayat dari dalam lobang."
"Siapa yang mati? Bagaimana bisa ada kuburan di tempat ini? Kalian siapa?" Bentak Arwah Gelap Gulita
Orang yang tadi bicara kembali menjawab. "Kami penduduk Desa Jamburewo. Seorang anak perawan penduduk desa hilang. Dua hari lalu kami menemukan sebuah makam kosong tak jauh dari desa. Kelihatannya ada jenazah pernah dikubur di situ lalu dibongkar dikeluarkan. Kami curiga jangan-jangan anak perawan yang hilang itu telah menemui kematian dan pernah dikubur di situ. Kami berbagi menjadi tiga rombongan dan meneruskan melakukan pencarian. Di tempat ini, di dalam lobang kami menemui jenazah anak perawan itu, baru setengah tertimbun. Kami tengah berusaha mengeluarkan dan mau mengusungnya kembali ke desa sewaktu Resi datang..."
Dalam kejutnya mendengar keterangan orang desa. Arwah Gelap Gulita ingat satu hal. Dalam hati dia membatin. "Dikubur, lalu belum tiga hari jenazah lenyap. Gadis ini agaknya sengaja dibunuh untuk memenuhi satu tirakat. Jangan-jangan ada seseorang yang mengetahui..." Kakek ini tidak meneruskan apa yang ada dalam hati dan pikirannya. "Aku akan membantu kalian mengeluarkan jenazah dari dalam lobang. Kalian bertiga menyingkirlah..."
Tiga orang di dalam lobang walau merasa heran namun meletakkan jenazah kembali ke dasar lobang. Begitu ketiganya keluar dari dalam lobang Arwah Gelap Gulita letakkan tangan kanan di atas lobang hingga bergetar dan memancarkan cahaya putih redup. Semua orang yang ada di tempat itu tercengang kaget ketika melihat jenazah yang ada di dalam lobang perlahan-lahan naik ke atas, melayang sebentar di udara lalu turun dan rebah di atas usungan bambu yang baru saja selesai dibuat.
Arwah Gelap Gulita dekati usungan bambu. Kain panjang di bagian kepala disingkap hingga dia dapat melihat wajah dan bagian dada jenazah. Di leher tampak tanda kebiru-biruan. "Bekas cekikan. Aku dapat memastikan tulang leher gadis ini remuk sampai ke pangkal. Ganas sekali. Siapa yang begitu tega melakukan...?" Kata Arwah Gelap Gulita dalam hati. Saat itu dia melihat jenazah masih mengenakan pakaian. Sambil menutup kain kembali pembantu utama Arwah Ketua ini bertanya. "Siapa nama gadis malang ini?"
"Wudhania." Seorang menjawab memberi tahu.
Arwah Gelap Gulita kemudian susupkan dua tangannya ke bagian kaki jenazah. Brett! Kakek ini robek ujung pakaian yang masih melekat di tubuh jenazah. Robekan pakaian di simpan di balik jubah. Lalu pada semua orang yang ada di situ kakek ini berkata. "Kalian boleh mengusung jenazah. Bawa kembali ke desa Jamburewo. Para Dewa akan memberkati kalian karena telah berbuat kebajikan."
Selesai berkata Arwah Gelap segera berkelebat tinggalkan tempat itu. Untuk beberapa lama orang-orang Desa Jamburewo masih tegak tercengang-cengang di tempat itu. Sampai akhirnya ada seseorang yang berkata. "Jangan-jangan orang tua tadi bukan seorang Resi. Tapi mahluk halus penghuni Candi Miring."
"Kurasa kau benar. Kalau tidak mengapa tadi dia kelihatan marah. Kita dituduh mengubur mayat di kawasan Candi Miring."
"Teman-teman, sebaiknya kita segera mengusung jenazah dan tinggalkan tempat ini." Seorang lain berkata.
Empat orang segera memanggul usungan. Tak lama kemudian setelah semua orang Desa Jamburewo pergi tempat itu tenggelam dalam kesunyian bahkan suara anginpun tidak terdengar. Namun sesaat kemudian dari balik serumpunan semak belukar terdengar suara perempuan bicara "Cahyo Kumolo, kau menyaksikan semua apa yang barusan terjadi?"
Sebagai sahutan ada suara mendesis pendek "Aku yakin kakek tadi bukan seorang Resi. Adalah aneh mengapa dia sengaja merobek dan membawa potongan pakaian Jenazah. Aku melihat tadi dia berkelebat lenyap ke arah utara. Bukankah di situ letak Candi Miring yang dihuni mahluk halus bernama Arwah Ketua bersama pengikut-pengikutnya?"
Kembali terdengar suara mendesis.
"Aku ingin sekali menyelidik ke Candi Miring. Tapi tidak mudah bagi kita bisa masuk kesana. Mendekat saja sulit."
Sambil mengusap punggung kura-kura hijau di atas kepalanya, orang yang bicara yang bukan lain adalah Sri Sikaparwathi berkata lagi. "Entah mengapa aku ingin menduga-duga. Apakah ada kaitan Candi Miring dengan Sumur Api? Lalu mengapa orang yang kita cari Pangeran Bunga Bang-kai dan dua sahabatnya lenyap begitu saja. Cahyo, menurutmu apa mungkin Arwah Ketua di Candi Miring adalah mahluknya yang menjadi pengendali cahaya tiga warna yang selama ini kerap muncul. Dan setiap muncul ada kejadian orang yang menemui ajal..."
Kali ini tidak terdengar jawaban suara mendesis.
* * *
KETIKA Arwah Ketua mendengar keterangan yang disampaikan Arwah Gelap Gulita mengenal jenazah anak perawan di selatan Candi Miring, penguasa Candi Miring ini langsung meminta robekan pakaian jenazah yang dibawa Arwah Gelap Gulita.
"Sang surya tak lama lagi akan tenggelam. Malam ini juga aku akan melakukan Samadi Menghimbau Jiwa Kehidupan. Kau harus menemaniku. Kita akan mendapat kejelasan apa yang sebenarnya terjadi."
Malam harinya, di salah satu menara candi Arwah Ketua dan Arwah Gelap Gulita duduk berhadap-hadapan. Di lantai, di atas sehelai daun kering yang dipotong berbentuk segi enam, terietak robekan pakaian jenazah Wudhania. Langit di atas candi tampak gelap, bulan sabit dan bintang tidak satupun yang kelihatan. Hampir setengah malam kedua mahluk penghuni candi itu melakukan samadi tiba-tiba daun alas robekan pakaian jenazah memancarkan cahaya biru lalu perlahan-lahan bergerak naik ke atas. Sekira setinggi manusia berdiri robekan kain berhenti lalu tampak sosok samar terbungkus cahaya biru.
"Jenazah anak perawan bernama Wudhania unjukkan ujudmu. Roh di alam gaib masuklah ke dalam jenazah. Aku Arwah Ketua penguasa Candi Miring membutuhkan pertolongan. Berupa jawaban dari beberapa pertanyaan... Para Dewa di Swargaloka, Izinkan dan bantu kami berdua mengetahui kebenaran. Demi keselamatan ibu dan dua bayi pilihanMu yang ada di candi ini. Jiwa Kehidupan, datanglah."
Sesaat setelah Arwah Ketua berucap dan menara candi diselimuti kesunyian, sosok samar terbungkus cahaya biru perlahan-lahan bergerak mundur ke sudut menara. Sementara bergerak ujudnya berubah menjadi jelas. Ternyata dia adalah sosok seorang anak gadis berusia sekitar enam belas tahun. Sebagian wajah, tubuh dan pakaiannya diselubungi tanah kuburan. Di leher ada tanda biru. Sesekali kepala mayat hidup ini terkulai ke samping. Sepasang mata yang membeliak besar menatap tidak pernah berkedip ke arah Arwah Ketua dan Arwah Gelap Gulita. Air muka menunjukkan rasa takut yang amat sangat
"Jiwa kehidupan, tamu yang datang dari alam barzah. Rohmu berada di tempat yang aman. Buang jauh-jauh rasa takutmu."
Dua mata yang menatap mendelik perlahan-lahan mengecil sayu dan mengedip.
"Anak gadis, apakah betul kau bernama Wudhania? Gadis berasal dari Desa Jamburewo?" Arwah Ketua mulai bertanya.
Mahluk di sudut menara perlahan-lahan mengangguk lalu kepalanya terkulai ke kiri. Dari mulutnya keluar suara seperti orang tercekik. Arwah Ketua melirik pada Arwah Gelap Gulita lalu kembali mengajukan pertanyaan.
"Apakah benar kau masih perawan? Belum pernah berhubungan badan dengan laki-laki?"
Kepala jenazah hidup yang terkulai bergerak lurus lalu mengangguk. Setelah itu kembali terkulai. Kali ini ke samping kanan.
"Ceritakan padaku apa yang terjadi dengan dirimu. Bicaralah!"
Menunggu cukup lama mahluk yang ditanya baru menjawab. Suaranya seolah datang dari sumur yang dalam dan sesekali tersendat tercekik. "Ada orang datang ke rumah. Dia mencekik leherku. Aku mati. Mayatku dibawa pergi. Dikubur di satu tempat. Satu hari kemudian kuburku dibongkar..."
"Siapa yang membongkar?" tanya Arwah Gelap Gulita.
"Orang yang sama yang sebelumnya menguburku..."
"Lalu apa yang terjadi?" Arwah Ketua yang bertanya.
"Aku dibawa seperti terbang. Lalu dikuburkan lagi di satu tempat. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku ditinggal begitu saja di dalam kubur. Tanah kubur tidak ditimbun. Lalu orang itu pergi..."
"Jiwa kehidupan. Tamu yang datang dari alam barzah. Ingat baik-baik, sebelum pergi apakah orang itu melakukan sesuatu..."
"Dia pergi begitu saja. Tidak mengambil sesuatu dariku..."
"Harap kau mau mengingat lagi. Orang itu mungkin tidak mengambil apa-apa dari dirimu. Tapi mungkin sekali sebelum pergi dia melakukan sesuatu..."
"Aku mengingat... aku mengingat..." Kepala jenazah hidup itu terkulai ke belakang.
"Kau pasti bisa mengingat. Kau mampu mengingat. Kau mampu mengingat. Katakan apa yang dilakukan orang itu sebelum pergi?" Arwah Ketua mendesak.
"Dia membungkuk ke samping tubuhku. Dia aku ingat. Dia menggumpal tanah. Sekitar sebesar tinju..."
Arwah Ketua dan Arwah Gelap Gulita saling berpandangan. Wajah dua mahluk alam gaib ini sama-sama berubah. Satu kilatan cahaya api muncul di mata Arwah Ketua. Lalu Arwah Ketua kembali bertanya. "Berapa buah gumpalan tanah yang dibuat orang itu?"
"Aku ingat... aku ingat. Dua buah. Yah, dua buah. Dia memegang satu di tangan kiri, satu di tangan kanan lalu pergi begitu saja..."
"Kau tahu siapa orang itu? Pernah melihatnya sebelumnya?"
“Tldak...tidak..."
"Kau bisa mengatakan bagaimana rupanya, keadaan tubuhnya serta pakaian yang dikenakannya?'
"Orang itu tidak mengenakan pakaian. Aku tidak tahu apakah dia laki-laki atau perempuan. Mukanya polos licin. Tidak punya hidung, tidak punya mata, tidak ada mulut. Telinga juga tidak punya..."
"Jahanam bergundal licik" menyumpah Arwah Ketua. Dari mulutnya menyembur suara mengorok keras. Setelah amarahnya reda dia lalu bertanya. "Tamu jauh dari alam barzah. Apa lagi yang kau ingat?"
"Muka licin orang itu memiliki tiga warna...."
Arwah Ketua dan Arwah Gelap Gulita tersentak. "Apa?" tanya Arwah Gelap Gulita. "Ulangi ucapanmu!"
"Orang bermuka polos licin itu wajahnya berwarna. Ada tiga warna..."
"Kau ingat warna apa saja?!" tanya Arwah Ketua menahan tegang bercampur marah.
"Merah, biru dan hitam..."
"Kurang ajar! Mahluk yang sama lagi." Rutuk Arwah Ketua.
"Hekk....!" Jenazah hidup di sudut menara keluarkan suara tercekik. Mata mendelik. Lidah terjulur.
"Waktu kita habis..." kata Arwah Ketua. Dia cepat angkat tangan kanannya sambil berucap. "Mahluk kehidupan, tamu yang datang dan jauh. Terima kasih kau telah membantuku. Selamat jalan. Semoga kau kembali ke alammu penuh ketentraman. Semoga Para Dewa akan memberikan tempat paling indah di alam baka."
Sosok jenazah Wudhania berubah samar berselimut cahaya kebiruan. Sedikit demi sedikit sosoknya lenyap, berubah menjadi robekan pakaian lalu melayang dan kembali ke tempatnya semula di atas daun kering di lantai candi.
"Arwah Gelap Gulita. Kita menghadapi bahaya Besar. Ada mahluk yang akan menembus ke dalam Candi Miring."
"Arwah Ketua, saya sulit mempercayai. Bagaimana orang luar bisa mengetahui rahasia..."
"Ada yang berkhianat diantara kalian para pembantuku! Aku pasti akan menemukan siapa mahluknya!"
"Mereka pasti mengincar dua bayi." Berkata Arwah Gelap Gulita.
Arwah Ketua mengangguk. Kemudian sambil sepasang mata bergerak berputar dia berkata. "Aku merasa lantai candi bergetar!" Ucap Arwah Ketua sambil mendongak ke langit hitam di atas candi. "Aku juga mendengar suara desau aneh angin. Dari samping selatan candi. Arwah Gelap Gulita, aku akan melihat dua bayi dan ibunya serta Ratu Dhika Gelang Gelang. Kau cepat menyelidik ke dinding selatan candi"
Dua mahluk gaib penghuni Candi Miring itu sesaat kemudian lenyap dari pemandangan.
14. ARWAH GANJALAN CANDI LENYAP!
LAKSANA tiupan angin Arwah Gelap Gulita berkelebat ke bagian atas dinding candi sebelah selatan. Dari sini dia memperhatikan ke bawah. Sunyi dan gelap. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Satu-satunya benda yang tampak di kejauhan adalah sebatang pohon yang telah meranggas kering, miring ke kanan siap menunggu tumbang. Arwah Gelap Gulita memperhatikan sekali lagi. Kali Ini sambil mengerahkan hawa sakti ke kepala. Tiba-tiba mahluk ini tersentak.
"Aku merasa pasti. Sangat pasti..." Secepat kilat Arwah Gelap Gulita yang berperawakan tinggi besar dan memiliki rambut berjingkrak seperti kawat lurus ini melayang turun ke tanah. Begitu menginjak tanah dua kakinya yang tidak berkasut terasa panas. Matanya mendelik ke arah dua benda yang tergeletak di tanah, hanya beberapa jengkal dari dinding selatan candi.
"Bangkai kodok. Hyang Jagat Bathara Dewa. Apa yang terjadi?" Arwah Gelap Gulita berteriak. "Bagaimana mungkin. Aku sudah menutupi kawasan candi dengan Ilmu Gelap Di Langit Gelap Di Bumi. Kembali dia alirkan hawa sakti, kali ini disertai tenaga dalam ke kepala lalu dua mata menatap tajam kebagian dasar candi. Untuk kedua kalinya pembantu utama Arwah Ketua ini tersentak kaget, tidak menunggu lebih lama lagi dia segera merapal aji mengirim suara dari jarak jauh. "Arwah Ketua, kita mengalami malapetaka besar."
"Kau menemukan apa?!" suara bertanya Arwah Ketua mengiang di telinga Arwah Gelap Gulita. "Arwah Muka Hijau yang selama ini jadi ganjalan candi tidak ada lagi di dasar dinding sebelah selatan!"
"Berarti ada dua bangkai kodok di sekitar situ?"
"Betul sekali Arwah Ketua! Saya telah menemukan."
"Terapkan ilmu Arwah Memantek Roh. Aku akan segera ke sana. Kita akan segera menemukan siapa pelakunya!"
Arwah Gelap Gulita segera luruskan dua Jari tangan kiri kanan. Diarahkan pada dua bangkai kodok yang tergeletak di tanah. Dua larik sinar hitam menderu. Dua bangkai kodok amblas masuk ke dalam tanah. Saat itu juga tiba-tiba mengumbar suara tawa bergelak di halaman selatan candi.
"Penghuni Candi Miringi Kalian bertindak terlambat. datanglah ke halaman selatan candi! Kalian akan melihat ketololan kalian sendiri! pada saat kalian berada di halaman, aku Arwah Muka Hijau sudah sampai seribu tombak jauhnya dari Candi Miring! Kalian boleh mengeluarkan seribu ilmu Arwah Memantek Roh. Aku mau lihat apa kalian bisa membuat aku amblas setengah badan ke dalam tanah?! Ha..ha..ha!
"Arwah Muka Hijau! Kau boleh tertawa sepuasmu! Arwah Ketua akan menjebol ubun-ubunmu. Menyedot darahmu!" Balas berteriak Arwah Gelap Gulita.
Tiba-tiba satu cahaya hijau pekat membentuk puluhan benda berupa pisau besar bermata dua menderu dari balik dinding candi. Menyambar ke arah Arwah Gelap Gulita.
Ketika Arwah Ketua sampai di halaman samping candi bagian selatan kejutnya bukan kepalang. Di sini dia menemukan Arwah Gelap Gulita terkapar di tanah. Sekujur tubuh dalam keadaan tercabik-cabik dan berwarna hijau. Memperhatikan ke bagian bawah dinding candi, Arwah Ketua tidak melihat apa-apa. Kosong. Sosok Arwah Muka Hijau yang selama ini ada disana dijadikan ganjalan dinding miring lenyap tak berbekas!
"Melihat tubuh mayat berwarna hijau, Ini adalah pekerjaan keji Arwah Muka Hijau. tapi Arwah Muka Hijau belum punya kemampuan untuk mengalahkan apa lagi membunuh Arwah Gelap Gulita secara cepat pasti ada satu kekuatan dari luar yang membantu, kalau tidak mana mungkin dia lolos dari himpitan dinding candi" Arwah Ketua keluarkan suara mengorok keras dan panjang. "Mahluk keji terkutuk Arwah Muka Hijau kau tidak akan bisa lari. Aku akan mengejarmu sekalipun sampai di neraka ke tujuh." Teriak Arwah Ketua.
Pada saat dua bangkai kodok amblas ke dalam tanah akibat hantaman dua larik sinar hitam yang dilepas Arwah Gelap gulita. Arwah Muka Hijau yang lolos dari himpitan dinding selatan candi Miring telah berada di daerah selatan. Sesuai bisikan yang didengarnya dia harus pergi ke sebuah tempat di barat Pleret dimana terdapat sebuah candi kecil yang pada bagian atas gapura depannya ada ukiran batu berupa burung besar mengembangkan sayap.
"Duduk di tangga candi, sampai ada seseorang datang menjemputmu. Sebelum orang itu datang kau akan terlebih dulu melihat cahaya tiga warna keluar dari dalam tanah."
Sebelum pagi datang, selagi malam gelap masih dipagut udara dingin dan kesunyian, tidak sulit bagi Arwah Muka Hijau yang aslinya bernama Cendadaluh mencari candi yang dimaksudkan dalam bisikan. Maka diapun mendudukkan diri di tangga depan candi, menunggu orang yang akan menjemputnya. (Mengenal riwayat Arwah Muka Hijau dapat dibaca daiam serial sebelumnya berjudul Arwah Candi Miring)
Wajah mahluk berjubah hijau ini angker mengerikan, dia tidak memiliki mata. hidung dan mulut maupun telinga, pada bagian itu hanya terdapat sayatan tipis dijahit benang hitam kasar, selain itu di wajah dan beberapa bagian tubuhnya terdapat banyak bekas luka yaitu akibat pertarungan dengan Ratu Dhika Gelang Gelang hingga terkurung dalam Bubu Ikan Berbisa. Namun kemudian senjata aneh perangkap berbentuk ikan ini mencelakai Arwah Muka Hijau sendiri. (Baca serial pertama berjudul Perawan Sumur Api)
Tidak lama duduk menunggu di tangga candi, dari arah timur tiba-tiba Arwah Muka Hijau melihat ada bayangan samar putih sosok menyerupai manusia mendatanginya. Sosok samar yang merupakan seorang tua agak membungkuk mengenakan pakaian selempang kain putih, berambut, janggut dan berkumis putih ini sampai dan berhenti di hadapan Arwah Muka Hijau. Arwah Muka Hijau menduga-duga tapi hatinya merasa bimbang.
"Mahluk yang akan menjemputku." Pikir Arwah Muka Hijau. "Tapi mengapa tidak sesuai bisikan. Mengapa tidak ada sinar cahaya tiga warna keluar dari dalam tanah?" Sepasang mata yang berupa sayatan garis dijahit benang hitam bergerak-gerak memperhatikan. Hatinya mulai merasa tidak enak dan curiga.
"Mahluk gaib, kau siapa? Jika kau bukan mahluk yang menjemput diriku lekas menyingkir pergi dari sini."
"Aku memang bukan ingin menjemputmu, aku datang sesuai kehendak Para Dewa. Jika kau mau bertobat dan minta ampun pada penguasa Candi Miring, maka kau akan diselamatkan dari kematian kedua serta hukuman diganjal seratus tahun di bawah dinding candi..." Sosok samar di hadapan Arwah Muka Hijau menjawab. Suaranya Jelas suara orang yang sudah berusia lanjut
Tentu saja Arwah Muka Hijau jadi terkejut mendengar ucapan mahluk samar itu. Dia membentak keras. "Pergi dari sini. Atau aku akan mengirim dirimu kembali ke alam roh. dan kau tidak akan bisa keluar lagi untuk selama-lamanya..."
"Jangan mengancamku. Aku datang bermaksud baik untuk menyelamatkan dirimu. Walau di dalam tubuh tua ini sebenarnya ada dendam terhadap dirimu..."
Arwah Muka Hijau dengan cepat bangkit berdiri. tangan kanan diangkat ke atas, telapak yang telah berubah menjadi hitam diarahkan pada mahluk samar di hadapannya.
"Ah..." mahluk samar menghela nafas panjang. "Ilmu Serat Arang. Dengan ilmu ini dulu anak buahmu yang bernama Setunggul Langit membunuhku!"
Arwah Muka Hijau terkesiap kaget. Mata dibesarkan agar bisa melihat lebih jelas. "Jadi...jadi kau adalah Dhana Padmasutra?"
"Betul sekali, dulu kita saling bermusuhan. Puluhan tahun. Tapi setelah berada di alam roh. bagiku semua permusuhan itu habis sudah, malah sekarang aku ingin menolongmu. Bertobat pada Yang Maha Kuasa dan minta ampun pada Arwah Ketua. Maka kau akan diselamatkan dari malapetaka!"
"Dhana Padmasutra! Aku tidak perlu pertolonganmu! Aku juga tidak merasa perlu untuk bertobat. Semua apa yang terjadi adalah karena hukum sebab akibat!"
Saat itu juga tiba-tiba menggelegar suara tawa bergelak. "Arwah Muka Hijau. Dosa kejahatan mu setinggi langit sedalam kerak bumi! Kau masih bicara sombong takabur! Mana ada pengampunan bagimu! Malam ini kau bahkan telah membunuh seorang pembantuku di Candi Miring!"
"Wussss!" Satu gelombang angin luar biasa kencang menyambar hingga sosok Arwah Muka Hijau yang berdiri di tangga candi tergontai-gontai sementara sosok samar Dhana Padmasutra bergerak naik ke udara sambil keluarkan suara.
"Sayang sekali... sayang sekali! Kau lebih suka menemui ajal kedua kali dalam kesesatan dari pada mendapat pengampunan! Gendadaluh. Jika takdir Yang Maha Kuasa sudah menentukan memang tidak satu manusiapun bisa mengelak diri. Termasuk kau." Sosok samar Dhana Padmasutra lenyap.
Tiba-tiba ada satu mahluk besar luar biasa melayang turun menjejak tanah. Candi kecil dan tanah sekitarnya bergetar keras. Beberapa bagian atas candi yang memang sudah lapuk runtuh ke tanah. Sesaat kemudian di tempat itu berdiri satu sosok besar memiliki tinggi sampai tiga kali candi. Mengenakan jubah biru yang dadanya tidak dikancing. Berkepala botak dengan satu tanduk tunggal yang memancarkan cahaya merah, sepasang mata besar menjorok keluar rongga.
Hampir keseluruhan mata berwarna putih karena bola matanya hanya merupakan satu titik hitam kecil. Dari mulut mahluk ini keluar suara menggembor. Tiupan nafasnya memerihkan kulit dan mata. Inilah Arwah Ketua dari Candi Miring. Jika dia muncul dalam ujud begini rupa, itulah satu pertanda bahwa dia berada dipuncak kemarahan dan hanya kematian mahluk lain yang dibencinya yang mampu menyurutkan amarahnya.
S E L E S A I
Kerajaan Bhumi Mataram dalam bahaya. Sementara dua bayi yang diharapkan menjadi kesatria pamungkas belum mencapai usia tujuh bulan dan keselamatannya nyawa mereka juga sangat terancam. Mampukah pangeran Bunga Bangkai dan dua sahabatnya keluar dari dalam tenung di hutan jati? Siapa sebenarnya pengendali dibelakang layar yang ingin menghancurkan Bhumi Mataram dan bermaksud membunuh dua bayi? Ikuti cerita selanjutnya berjudul: SRI MAHARAJA KE DELAPAN