MAHESA EDAN
PENDEKAR DARI LIANG KUBUR
Jilid 6
KARYA: BASTIAN TITO
(Ringkasan Episode sebelumnya)
Mahesa Edan dan Ki Tampu dibawa ke kotaraja dibawah pengawalan ketat Di kotaraja keduanya akan di jatuhi hukuman mati. Dalam keadaan lumpuh tak mungkin bagi Mahesa untuk melarikan diri. Ditengah perjalanan Ki Tampu secara tak sengaja berhasil menemukan sejenis daun obat yang ternyata mampu menyembuhkan kelumpuhan Mahesa sebelum mereka sampai di kotaraja.
Sementara itu Kemala tiba-tiba muncul untuk menolong kedua tawanan itu. Tapi dia tak dapat menghadapi dua tokoh silat istana. Gadis ini tertawan dan dijebloskan kedalam kereta. Disuatu tempat tak terduga rombongan dihadang oleh Datuk lblis Penghisap Darah. Dia ingin menyelidik apakah rombongan itu pernah melihat gadis berbaju kuning yang tengah dicarinya.
Rupanya sejak pertemuan di Bukit Akhirat Sang Datuk telah tergila-gila dan selalu mencari-cari Kemala. Setelah mendapat keterangan bahwa rombongan tidak tahu menahu tentang gadis itu, sang datuk lalu pergi.
Tapi satu hari kemudian dia muncul kembali. Dia tahu kalau sebelumnya dua tokoh silat istana yang jadi pimpinan rombongan itu yakni Tunggul Aryo dan Tunggul Gede telah mendustainya. Bentrokan tak dapat dihindari. Ketika pecah perkelahian Mahesa, Ki Tampu dan Kemala pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Tunggul Aryo dan Tunggul Gede sendiri menemui kematian di tangan Datuk Iblis.
Setelah berhasil meloloskan diri Mahesa langsung menuju rumah janda almarhum Adipati Probolinggo untuk mengambil senjata-senjata mustikanya yang dititipkan pada Mirani. Tahu-tahu saat itu muncullah Longga, mahluk bertubuh raksasa bermuka seram ciptaan Embah Bromo Tunggal. Mahluk ini menangkap Mahesa dan melarikannya ke puncak Bromo.
Ketika murid Kunti Kendil itu hendak dicemplungkan kedalam belanga besar untuk digodok dalam ramuan obat, tiba-tiba datang Pendekar Muka Tengkorak. Kakek sakti ini ternyata punya dendam kesumat terhadap Embah Bromo Tunggal. Dukun sakti inilah yang dulu menjebloskannya ke dalam lobang dibawah arca dan juga melarikan sebuah kitab silat. Sadar kalau dia tak bakal sanggup menghadapi kakek muka tengkorak itu, Bromo Tunggal melarikan diri. Longga sendiri akhirnya musnah ditangan Pendekar Muka Tengkorak.
Di saat itu pula muncullah Randu Ampel. Kedatangannya kepuncak Bromo untuk mencari dan membunuh dukun sakti Bromo Tunggal. Celakanya dia menduga si kakek muka tengkorak adalah Embah Bromo dan langsung menggempur. Dalam perkelahian yang terjadi ternyata Randu Ampel memiliki kepandaian yang lebih tinggi. Ketika si kakek hampir menemui ajal di tangan Randu Ampel, Mahesa secara tak sengaja sempat menyelamatkan kakek ini. Randu Ampel sendiri kemudian lari meninggalkan puncak gunung.
Sementara itu Embah Bromo Tunggal muncul pula di Probolinggo untuk menagih janji atas diri Sri Muria, janda Mangun Aryo. Semalam suntuk dia meniduri perempuan ini. Namun kemudian diketahuinya kalau Rangga telah menipunya, menggantikan Sri Muria dengan seorang pelacur.
Dalam marahnya Bromo Tunggal membunuh si pelacur. Terjadi perkelahian antara sang dukun dengan Rangga. Meski Adipati baru ini dibantu oleh puluhan perajurit Kadipaten namun tidak ada gunanya. Tujuh jerangkong jejadian ciptaan Bromo Tunggal siap membunuhnya.
* * *
1. SANG DUKUN LOLOS LAGI
MELIHAT kedahsyatan jerangkong jejadian itu semua orang yang ada dalam ruangan sudah sama memastikan bahwa sesaat lagi Adipati Rangga akan menemui ajalnya dalam keadaan kepala pecah mengerikan. Semua mereka tercekat tanpa dapat berbuat suatu apapun.
Hanya setengah jengkal lagi kaki jerangkong akan menghantam kepala Rangga mendadak dalam ruangan itu menggebubu deru angin yang luar biasa hebatnya. Beberapa perajurit berpelantingan. Tuluh jerangkong tampak bergoyang-goyang. Empat diantaranya terguling sedang yang paling depan, yang tadi tengah menendang terlempar kesamping, roboh di tanah.
Tapi begitu roboh bangkit kembali. Sosok tubuh Rangga sendiri tampak terseret dan terhempas di dinding ruangan sebelah kiri. Kesakitan dan juga terkejut Adipati in berdiri untuk melihat apa yang telah terjadi. Belasan langkah di seberangnya dilihatnya seorang pemuda yang segera dikenalinya sebagai Mahesa. Suasana yang barusan hening dicengkam ketegangan tiba-tiba dirobek oleh hentakan empah Bromo Tunggal.
“Pemuda keparat! Kowe berani datang kemari! Bagus! Kowe datang mengantar nyawa!”
Mahesa yang tegak di ujung ruangan diam-diam melengak juga ketika melihat jerangkong jejadian yang ternyata tidak mempan terhadap pukulannya. Padahal tadi dia telah melepaskan Pukulan Kincir Air Melabrak Kuburan dengan mengerahkan sepertiga tenaga dalamnya. Beberapa dari jerangkong jejadian itu memang roboh, tapi hampir tanpa cidera bahkan bangkit kembali. Dimaki begitu rupa Mahesa balas membentak,
“Dukun laknat! Kejahatanmu sudah melebihi takaran. Anak setan macammu sangat pantas untuk dipendam di liar kubur!”
Embah Bromo Tunggal tertawa mengekeh. ”Budak ingusan! Mulut kowe besar sekali! Biar kusuruh jerangkong-jerangkongku untuk merobeknya!” Sang dukun mengangkat tongkatnya ke atas lalu berseru, “Jerangkong! Bunuh pemuda edan itu!”
Tujuh jerangkong jejadian begitu mendengar perintah ini segera berputar dan melangkah ke arah Mahesa. Beberapa perajurit yang ada didekat situ cepat menyingkir ketakutan.
Mahesa menunggu dengan agak tegang. “Kalau pukulanku tadi tidak mempan, tinju dan tendangan pasti tidak akan berhasil...” pikir Mahesa. Dia menimang-nimang apakah akan mengeluarkan kayu besi hitam senjata dari gurunya atau Keris Naga Biru. Ketika tujuh jerangkong itu sudah berada dekat sekali dan serentak melancarkan serangan, Mahesa mengambil keputusan lain.
Tubuh pemuda ini tampak melesat ke atas, hampir menyondak langit-langit ruangan. Tujuh jerangkong tampak marah karena pukulan atau cengkeraman dan tendangan yang mereka lepaskan hanya mengenai tempat kosong. Ketujuhnya mendongak ke atas dan coba menggapai tubuh si pemuda. Dari atas saat itu justru Mahesa lepaskan Pukulan Api Geledek Menggusur Gunung. Sinar marah panas berkiblat. Belasan perajurit berhamburan menjauh.
Tujuh jarangkong mengeluarkan suara aneh. Embah Bromo Tunggal tersentak mundur. Tongkat tulang di tangan kanannya terasa bergetar. Dan ada asap yang membalik memasuki ujung tongkat. Ini satu pertanda bahwa sinar merah pukulan lawan tadi siap memusnahkan tujuh jerangkong jejadiannya. Dan memandang ke depan memang dia menyaksikan pamandangan yang membuat dukun sakti ini kaget tak menyangka.
Tujuh jerangkong jejadian yang dihantam Pukulan Api Geledek Menggusur Gunung tampak masih berdiri. Namun kalau tadi sosok tulang belulang mereka berwarna putih, setelah dihantam pukulan Mahesa kini kelihatan menghitam, Sesaat kemudian tubuh mereka tampak bergoyang-goyang, lalu buyar berubah menjadi asap, bergabung jadi satu dan menyusup ke ujung tongkat tulang di tangan Embah Bromo Tunggal.
“Edan, apakah kepandaian budak keparat ini lebih tinggi dari Suko lnggil...?” membatin Bromo Tunggal hampir tak percaya. Penasaran dia menyerang dengan tongkat tulangnya, menggebuk dan menusuk. Dari tubuh sang dukun membersit bau busuk sedang dari tongkat menderu angin deras.
Dari bentrokannya pertama kali tadi Mahesa meskipun belum luas pengalaman namun sudah dapat mengukur bahwa sang dukun memilikl ilmu hitam yang berbahaya tetapi tidak mempunyai tingkat tenaga dalam yang tinggi, sebaliknya tampak menguasai ilmu silat yang tidak rendah. Hal ini membuat Mahesa berhati-hati menghadapi serangan tongkat tulangnya.
Tongkat tulang Embah Bromo Tunggal memang bukan senjata sembarangan. Selain mengeluarkan deru angin yang deras juga menabur hawa aneh yang biasa menyesakkan jalan pernafasan. Potongan-potong kain yang tergantung sepanjang badan tongkat mengeluarkan sinar aneka warna dan kaku seperti potongan besi.
Ternyata hanya dengan mengandalkan kelincahan dan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah tinggi Mahesa tidak mampu menghadapi serangan tongkat itu. Beberapa kali lengannya kena disambar hingga tangan pakaiannya robek di beberapa tempat.
Dari tempatnya berdiri Adipati Rangga diam-diam merasa khawatir. Jika sampai pemuda itu kalah maka baginya kematian tak akan dapat dihindari lagi karena pasti dukun jahat itu kembali akan membunuhnya. Meskipun heran bagaimana Mahesa tahu-tahu muncul di Kadipaten namun Rangga merasa senang juga, paling tidak untuk sementara dia bisa selamat dari tangan Bromo Tunggal sambil berpikir-pikir tindakan apa yang bakal dilakukannya. Membantu Mahesa atau menyelinap dan selamatkan diri. Ternyata Adipati ini tak mampu melakukan salah satupun dari keduanya. Jadi dia hanya bisa berdiri saja ditempat itu seperti menunggu nasib.
Embah Bromo Tunggal yang merasa diatas angin, mempergencar serangan tongkatnya hingga Mahesa terdesak hebat. Setelah bertempur hampir tiga puluh jurus. Mahesa maka tubuhnya dibagian dada pada bekas kena hantam Jaliteng tempo hari mulai berdenyut sakit. Kalau dia tidak dapat membendung serangan lawan dan balik menghantam, suatu ketika keadaannya akan jadi berbahaya.
Maka sambil berkelebat mengelak pemuda ini siapkan pukulan api geledek. Namun ternyata lawan dapat mencium apa yang hendak dilakukan Mahesa. Dukun sakti itu memusatkan serangan tongkatnya ke arah tangan kanan si pemuda hingga Mahesa tak punya kesempatan untuk menghantamkan tangan kanannya yang kini tampak sudah berwarna merah akibat pemusatan tenaga dalam.
“Anak setan!” maki Mahesa. Ketika tongkat lawan kembali memukul, pemuda ini berjibaku menangkis dengan lengan kanannya! Melihat lawan palangkan lengan, Bromo Tunggal berseru girang.
“Patah!” teriaknya. Dia yakin betul tongkat tulangnya akan menghantam patah lengan si pemuda. Tetapi apa yang terjadi kemudian membuat dukun jahat ini mengeluh tinggi. Tubuhnya terjajar kebelakang. Dadanya mendenyut sakit. Tangannya bergetar keras dan terasa panas. Ketika memperhatikan tongkat tulangnya hanya tinggal sepotong. Potongan lainnya yang telah patah entah mental kemana.
Mahesa sendiri tidak luput dari cidera. Tulang lengannya seperti patah. Daging lengan pada bagian yang kena terpukul menggembung kebiruan. Sakitnya bukan main. Namun dengan nekad pemuda ini kerahkan kembali tenaga dalamnya dan lepaskan Pukulan Api Geledek Melabrak Kuburan.
Embah Bromo Tunggal yang tidak menyangka kalau lawan masih mampu menyerang berseru kaget ketika melihat sinar merah panas menyambar ke arahnya. Cepat dia tanggalkan kalung tengkorak di lehernya. Tengkorak kecil ini dilemparkannya ke arah sinar merah yang datang menderu.
Prak Byar!
Tengkorak kecil hancur berantakan. Bersama dengan itu dari pecahan tengkorak menggebubu asap hitam gelap, menyungkup hampir seluruh ruangan.
“Jangan biarkan dia lari!” Rangga berteriak karena dia udah tahu apa yang bakal terjadi.
Mahesa menyerbu ke dalam asap hitam, ke arah dimana tadi dilihatnya lawan berdiri dan disini menghantam dengan pukulan-pukulan ilmu silat orang buta. Tetapi Embah Bromo Tunggal tak ada lagi disitu. Dukun sakti ini berhasil meloloskan diri lewat jendela samping tanpa bisa mencegahnya.
Ketika asap hitam Ienyap, Mahesa tampak tegak ditengah ruangan. Di bibirnya kelihatan ada darah! Ternyata akibat mengerahkan tenaga dalam yang terlalu banyak waktu melepaskan pukulan tadi, luka dalamnya yang masih belum sembuh seutuhnya kembali kambuh.
Adipati Rangga sementara itu melangkah mendatanginya dan seperti handak menjura. Mahesa cepat-cepat memegang bahu orang itu dan berkata, “Paman, aku mau bicara padamu…”
Rangga memberi isyarat pada semua perajurit yang ada disitu. Mereka segera meninggalkan tempat tersebut.
“Nah, sekarang kau boleh bicara Mahesa. Tapi sebelumnya aku ingin menghaturkan rasa terima kasihku padamu. Kau telah menyelamatkan jiwaku tadi…”
“Paman, terus terang aku datang kemari bukan untuk menolongmu. Kalaupun tadi aku kebetulan menolong maka aku tidak minta imbalan apa-apa. Hanya ada beberapa permintaanku...”
“Katakan Mahesa...” Sekilas Mahesa melirik ke ruangan dalam. Sampai saat itu dia tidak melihat baik janda almarhum Mangun Aryo maupun puterinya yang bernama Wilani. Namun dia tak hendak menanyakan.
“Sekarang paman sudah menjadi Adipati. Dengan jabatan tinggi begini paman dapat melakukan apa saja. Termasuk mencari calon istri yang cantik. Permintaanku yang pertama jangan ganggu Mirani…”
Rangga tercengang. Dia sama sekali tak menyangka kalau ucapan itu yang akan keluar dari mulut si pemuda.
Lalu Mahesa menandaskan lagi. “Janda Mangun Aryo itu tak dapat menerima lamaran paman. Ibunya dan Mirani sendiri yang minta aku menyampaikan hal ini. Harap paman mengerti dan tidak mendendam terhadap kedua perempuan itu. Masih banyak gadis lain yang lebih cantik. Mungkin ada di Probolinggo ini atau di kotaraja. Yang masih turunan pejabat atau ningrat…”
Sampai saat itu Adipati Hangga tak bisa berkata apa-apa.
“Permintaanku yang kedua dan terakhir,” kata pula Mahesa, “jangan kau ganggu lagi ahli obat Ki Tampu dan keluarganya. Juga jangan ganggu gadis bemama Kemala, Aku tidak tahu dimana mereka berada sekarang. Tapi kalau mereka datang ke kota ini dan menetap disini karena memang disini rumah mereka, harap paman tidak mengambil tindakan apa-apa terhadapnya...”
“Sekarang giliranku! berkata, Mahesa,” akhirnya Adipati Rangga membuka mulut. “Permintaanmu yang pertama membuatku heran dan bertanya. Ada hubungan apa antara kau dengan Mirani. Jelas aku tahu kau bukan saudara bukan sanak atau kadangnya...”
“Memang betul...” sahut Mahesa.
“Lalu ada hak apa kau melarangku untuk tidak mengganggunya?”
“Karena janda itu dan ibunya meminta aku untuk menyampaikan padamu bahwa mereka tidak dapat menerima lamaranmu. Karena kau sekarang menduduki jabatan paling tinggi di kota ini maka kau bisa memaksa mereka. Jika kau memaksa, berarti kau mengganggu mereka dengan perbuatan sewenang-wenang. Aku memang bukan sanak bukan kadang mereka. Tapi seperti aku punya hak untuk menghajar dukun keparat tadi, begitu pula hakku untuk menolong mereka dari kekuasaan yang disalahgunakan!”
Paras Rangga tampak merah mengelam. “Anak muda, tahukah bahwa sampai saat ini dirimu adalah seorang buronan? Yang setiap saat harus ditangkap dan dihukum oleh kerajaan?”
“Aku tahu paman. Tapi harap paman juga tahu bahwa apapun yang telah kulakukan karena membela diri, Orang mau membunuhku mana aku bisa tinggal diam…”
“Itu bisa kau ceritakan di depan pengadilan nanti.”
Mahesa menyeringai dan menguap lebar-lebar. “Tidak siapapun yang akan menyeretku ke pengadilan…”
“Beberapa hari lalu kau dan Ki Tampu dibawa ke kotaraja untuk diadili. Jelas kalian telah melarikan diri. Sebaiknya kau menyerah saja Mahesa. Mengingat pertolonganmu tadi, aku bersedia meminta keringanan hukuman bagimu...”
“Paman, jika kau merasa mampu menangkapku saat ini silahkan,” Mahesa jadi menantang karena penasaran. Ketika dilihatnya Adipati itu tidak membuat gerakan apa-apa maka diapun berkata, “Ingat baik-baik kedua permintaanku tadi paman. Jangan ganggu Mirani, jangan ganggu Ki Tampu atau keluarganya dan jangan ganggu Kemala...”
“Aku tidak dapat menerima permintaanmu!” kata Rangga tegas.
“Terserah! Tapi jika terjadi apa-apa dengan orang yang kusebutkan itu kepalamu taruhannya...”
“Kau akan digantung jika berani membunuhku!”
Murid Kunti Kendil tertawa. “Sebenarnya aku tidak membunuhmu. Bukankah tadi-tadi kau seharusnya telah mati ditangan jerangkong jejadian itu? Jadi kalau kelak kau kubunuh, maka aku hanya membunuh mayat. Apakah ada hukumannya bagi orang yang membunuh mayat?”
“Manusia Edan!” teriak Rangga sambil kepalkan kadua tinjunya. Mahesa tidak perdulikan makian itu. Dia memutar tubuh dan tinggalkan gedung Kadipaten.
2. PESANTREN NUSA BARUNG BULAN SURA HARI KEDUA BELAS
PAGI itu udara cerah sekali. Burung camar tampak terbang berkelompok-kelompok dari arah laut melewati muara kali Bondoyudo. Dimuara yang tenang inilah terdapat sebuah bangunan kayu besar dikelilingi oleh delapan belas bangunan kecil. Keseluruhan bangunan dipagari dengan tembok setinggi dua tombak. Pada pintu gerbang di sebelah timur yang menghadap ke arah laut tergantung sebuah papan besar bertuliskan “Pesantren Nusa Barung.”
Sejak puluhan tahun yang lalu pesantren ini telah terkenal di wilayah timur. Disini setiap murid pesantren bukan saja dapat menimba ilmu agama tetapi sekaligus mempelajari ilmu silat tingkat tinggi. Terakhir sekali pesantren ini dipimpin oleh lima orang tokoh. Empat diantaranya telah menemui kematian ditangan Wirapati, murid Kunti Kandil yang tersesat dan bergelar Iblis Gila Tangan Hitam. Keempat pimpinan yang bernasib malang itu adalah Tumbal Kudus, Domas Tirta, Raspitu dan pucuk pimpinan yakni Kiyai Jalatunda. Sejak meninggalnya sang kiyai maka pesantren dipimpin oleh Ki Sandakan.
Kematian Kiyai Jalatunda mempunyai riwayat tersendiri. Setelah mengetahui bahwa tiga pimpinan pesantren manemui kematian maka sang kiyai turun tangan, meninggalkan pesantren untuk mencari Wirapati dengan membakal sebilah senjata mustika yaitu Keris Naga Biru. Sang kiyai berhasil manemukan Wirapati di Bukit Karang Putih. Dalam perkelahian ternyata Kiyai Jalatunda kalah dan ditendang mental ke dalam kali Ngrowo.
Selagi sosok tubuh pemimpin pesantren ini timbul tenggelam dihanyutkan air sungai, Mahesa yang terpesat ke tempat itu sempat melihatnya. Dia segera terjun ke dalam kali dan coba menyelamatkan orang tua itu. Ternyata sampai saat tubuhnya mental dan dihanyutkan air Kiyai Jalatunda masih tetap memegang erat Keris Naga Biru di tangan kanannya.
Dengan kemampuan yang ada Mahesa berusaha menyeIamatkan nyawa orang tua itu. Namun sia-sia belaka. Sebelum ajalnya sampai Kiyai Jalatunda sempat menyerahkan Keris Naga biru pada Mahesa dengan pesan agar menjaganya baik-baik dan membawanya. Cuma sayang sang kiyai tidak sempat mengatakan keris sakti itu harus dibawa kemana atau kepada siapa.
Ternyata setelah ketitipan senjata itu nyawa Mahesa jadi terancam. Beberapa kali dia dihadang dan hendak dibunuh oleh orang-orang aneh dan berkepandaian tinggi yang ingin merampas Keris Naga Biru. Salah sorang dari mereka adalah Karangpandan. Dia mengaku utusan Pangeran lsmoyo dari Keraton Surakarta. Menurut Karangpandan Keris Naga Biru yang ada ditangan Mahesa adalah salah satu benda pusaka Kerajaan yang pernah hilang.
Karenanya Mahesa harus menyerahkan keris sakti itu. Secara licik Karangpandan berhasil meracuni Mahesa. Sadar dirinya bakal menemui kematian maka Mahesa berjibaku untuk sama-sama mati dengan Karangpandan. Setelah terjadi perkelahian hebat diantara mereka Mahesa akhirnya berhasil mengetahui obat pemusnah racun yang ada dalam tubuhnya dengan jalan memaksa Karangpandan. Keduanya kemudian mengadakan perjanjian. Karangpandan memberi tahu obat pemusnah sebaliknya Mahesa melepaskan orang itu.
Namun hajaran yang diterima Karanpandan menimbulkan dendam kesumat dalam diri lelaki ini. Dia menyusun siasat licik untuk membalaskan sakit hati. Lalu mendatangi Pesantren Nusa Berung. Kepada Ki Sandakan yang menjadi pimpinan pesantren dia memperkenalkan diri sebagai utusan Pangeran Ismoyo dari Keraton Surakarta.
Kepada Ki Sandakan diterangkannya bahwa tiga pimpinan pesantren telah menemui ajal ditangan Wirapati murid Kunti Kendil. Sedang Kiyai Jalatunda sendiri dibunuh oleh seorang murid Kunti Kendil yang lain bernama Mahesa. Sang kiyai dibunuh dengan Kris Naga Biru, dan keris itu sendiri kemudian diambil oleh murid Kunti Kendil tersebut.
Setelah melihat Ki Sandakan marah luar biasa maka Karangpandan lalu mulai menyusupkan siasatnya. Dia mengusulkan agar menghubungi semua pihak ataupun tokoh silat yang pernah bersengketa dengan Kunti Kendil. Setelah kekuatan tersusun maka akan diatur demikian rupa agar orang-orang seperti Mahesa dan Wirapati datang ke pesantren Nusa Barung. Disitu para pembunuh itu akan dibereskan bersama-sama.
Terdorong oleh sakit hati dendam kesumat atas kematian ketua dan tiga pucuk pimpinan pesantren, belum terhitung anak-anak murid pesantren maka tentu saja usul Karangpandan itu diterima oleh Ki Sandakan. Karangpandan diam-diam merasa gembira. Dengan sedikit bersusah payah dia bisa meminjam tangan tokoh-tokoh silat tingkat tinggi untuk membalaskan sakit hatinya terhadap Mahesa.
Begitulah, pada pagi hari kedua belas di bulan Sura itu tampak kelainan-kelainan di Pesantren Nusa Barung. Dipuncak bangunan besar yang berbentuk menara kelihatan dua orang murid mengawasi seantero muara dan daerah sebelah barat. Setiap ada orang yang datang mereka segera memberi kabar ke bawah.
Di luar tembok pesanren, pada pohon-pohon tinggi berdaun rindang, menyelinap empat sampai tiga murid pesantren untuk berjaga-jaga. Puluhan murid lainnya mengawal di sebelah dalam pagar tembok. Dia khawatir kalau-kalau ucapan tuan rumah itu akan membuat para tamu lainnya menjadi resah dan minta diri sebelum tujuan utama kesampaian.
Ki Sandakan meraba-raba sorbannya lalu berkata, “Baiklah, sementara kalian terus menunggu aku minta diri untuk sembahyang zuhur dulu.”
Pimpinan pesantren Nusa Barung itu lalu berdiri dan masuk ke ruang dalam. Tak lama kemudian dari bagian belakang pesantren dimana terletak sebuah surau terdengar beduk ditabuh. Setelah itu dari arah menara dipuncak bangunan besar dimana dua orang murid pesantren diketahui berjaga-jaga, terdengar suara orang azan. Memang sejak dulu menara ini dipergunakan untuk tempat azan setiap saat sholat datang. Namun sekali ini ada sesuatu yang menarik perhatian semua murid pesantren, termasuk juga Ki Sandarakan selaku pimpinan disitu.
Tidak pernah sebelumnya terdengar suara azan demikian keras jelas menggetarkan telinga dan mencekam dada. Meski semua kalimat azan diucapkan dengan benar namun alunan irama tidak seperti biasa, terasa aneh menyayat dan menyusup kedalam perasaan. Siapakah yang melakukan azan itu?
Ki Sandakan sampai berkata pada seorang murid kepalanya. “Selesai sembahyang nanti suruh datang murid yang azan itu. Suara azannya keras dan bagus, menyusup kedalam sanubari...!"
Begitulah setelah sembahyang zuhur selesai, murid kepala tadi naik ke menara untuk melakukan perintah sang ketua. Ketika dia sampai di puncak menara, murid kepala ini jadi kaget. Dua orang murid pesantren yang seharusnya berjaga-jaga ditempat itu tampak duduk tersandar dilantai. sepasang mata masing-masing tertutup seperti tidur.
“Hai! Siang bolong begini kalian bukannya berjaga-jaga malah anak-enakan tidur!” Lalu murid kepala itu menepuk-nepuk bahu bahkan pipi kedua temannya. Tapi sang teman terus saja terpejam tak bergerak.
“Eh, mereka bukannya tidur. Tapi juga bukan pingsan. Mungkin... mungkin mereka ditotok.” Memikir sampai disitu murid kepala bergegas menuruni menara dan menemui Ki Sandakan, lalu menceritakan apa yang terjadi.
Tentu saja Ki Sandakan terkejut. Diikuti oleh Karangpandan, Made Tantra, Ungu Simpul dan Kempit Bagus serta beberapa murid pesantren lainnya mereka menaiki tangga menuju menara. Pemeriksaan segera dilakukan atas diri dua murid pesantren itu.
“Keduanya jelas ditotok!” kata Karangpandan setelah meneliti. Made Tantra dan yang lain-lainnya ikut membenarkan.
Berubahlah paras Ki Sandakan. Dia memandang berkeliling. “Jika benar dua muridku ini ditotok orang, berarti kita telah kecolongan. Seseorang telah menyusup kesini tanpa kita ketahui. Jelas siapapun dia adanya, dia bukan malaikat atau setan yang tidak kelihatan.”
Tokoh-tokoh silat yang ada disitu bungkam. Mereka maklum kata-kata Ki Sandakan tadi sekaligus merupakan sindiran karena begitu banyak para jagoan berada disitu tapi tidak tahu ada orang yang menyelinap untuk menotok dua murid pesantren dipuncak menara!
Ki Sandakan memandang pada murid kepala disebelahnya. “Sudah kau temukan murid yang melakukan azan tadi..?”
Murid kepala itu menggeleng. “Saya memang belum melakukan penyelidikan yang seksama, namun banyak diantara kawan-kawan juga heran. Mereka tidak tahu siapa yang azan di sini.”
Ketua Pesantren Nusa Barung itu gelang-paleng kepalanya. Lalu dia memijat-mijat tengkuk kedua murid yang ditotok itu. Sesaat kemudian totokan mereka punah, keduanya memandang berkeliling keheranan. Ki Sandakan meminta mereka menceritakan apa yang telah terjadi.
Salah seorang memberi keterangan. Selagi mereka berjaga-jaga disitu tiba-tiba ada seseorang muncul. Semula mereka menyangka murid yang hendak azan karena barusan saja mereka mendengar suara beduk zuhur. Tapi tahu-tahu mereka merasakan ada tusukan halus di punggung masing-masing. Keduanya lalu tak ingat apa-apa lagi.
“Siapa murid yang biasanya melakukan azan luhur?” tanya Ki Sandakan.
“Komang” jawab murid kepala.
“Cari dia sampai dapat dan bawa kemari!” perintah Ki Sandakan.
Komang dicari. Seluruh sudut pesantren diperiksa malah ada yang mencari keluar tembok. Namun murid itu tidak ditemukan dan murid kepala melapor pada Ki Sandakan dengan agak ketakutan.
“Komang tidak bertemu, ketua. Dia lenyap entah kemana...”
“Terlalu! Apa sebenarnya yang terjadi disini?!” ujar Ki Sandakan dengan nada suara yang sengaja ditekan agar amarahnya tidak meledak.
Tentu saja tidak seorangpun tahu jelas apa yang telah terjadi. Murid kepala hanya bisa menunduk takut. Ketika dia mengangkat kepalanya kembali tak sengaja pandangannya tertuju pada atap bangunan besar sebelah timur.
“Lihat!” serunya sambil menunjuk. Semua orang berpaling melihat arah yang ditunjuk.
Disana, di atas atap bangunan besar sebelah timur kelihatan sesosok tubuh berdiri dengan kedua tangan menempel ke telinga kiri kanan yang merupakan sikap seseorang yang hendak azan. Sosok tubuh ini tidak bergerak-gerak dan dia adalah Komang! Gegerlah orang-orang pandai yang ada di puncak menara itu.
“Turunkan dia!” seru Ki Sandakan.
Empat murid kepala dibantu oleh beberapa murid pesantren lainnya segera merayap sepanjang atap lalu menurunkan Komang dari atas atap itu. Ki Sandakan dan yang lain-lainnya turun ke bawah lalu memeriksa. Seperti dua murid di puncak menara, Komangpun jelas telah ditotok orang.
Setelah totokannya dilepaskan dia memberi keterangan bahwa sewaktu siap untuk azan zuhur mendadak punggungnya terasa sakit seperti ditusuk. Kedua matanya terasa berat dan tertutup. Kemudian didengarnya suara orang azan disebelahnya. Begitu azan berakhir dirasakannya tubuhnya dibawa turun menyusuri atap.
“Kita benar-benar telah kemasukan penyusup. Periksa seluruh pesantren! Para tamuku yang terhormat, kuharap kalian tak keberatan untuk ikut membantu melakukan pemeriksaan…”
Maka penggeledahan besar-besaran dilakukan di pesantren itu. Namun tak seorang asingpun yang ditemui.
“Ini adalah aneh!” kata Ki Sandakan begitu dia kembali ke serambi bangunan besar dan berkumpul kembali bersama enam orang lainnya.
Lima orang tamu jelas nampak juga keheranan kalau tidak mau dikatakan bingung. Sebaliknya Datuk Iblis Penghisap Darah tetap duduk tenang tenang saja seolah tak ada kejadian apa-apa.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang...?” Made Tantre bertanya minta pendapat.
Tak ada yang menjawab. Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh teriakan salah seorang murid yang berjaga-jaga dipuncak pohon di luar tembok pesantren.
“Ada orang datang!” Ki Sandakan dan lima tokoh silat yang ada di serambi itu serta merta berdiri. Hanya Datuk Iblis yang masih tetap duduk ditempatnya malah kini buka penutup kantong kulit dan cegluk... cegluk dia teguk darah busuk yang ada dalam kantong kulit itu.
3. IBLIS GILA TANGAN HITAM DATANG
ORANG yang datang berlari menyusuri kali Bondoyudo. Larinya cepat sekali hingga dalam waktu beberapa kejapan mata dia sudah sampai di pintu gerbang Pesantren Nusa Barung. Ternyata dia tidak datang sendirian. Di bahu kanannya dia memanggul sesosok tubuh perempuan yang berpakaian cabik-cabik, berambut panjang terjela-jela, entah tidur entah pingsan.
Lelaki yang memanggul perempuan ini bertubuh tinggi kekar, berambut gondrong acak-acakan, memiliki sepasang mata berwarna merah angker. Kedua tangannya mulai dari ujung jari sampai sebatas siku berwarna hitam pekat. Dia mendongak seperti membaca apa yang tertulis pada papan yang tergantung di pintu gerbang pesantren. Sesaat kemudian dia bertindak masuk ke dalam. Lima belas pemuda murid pesantren serta merta menghadang dan mengurungnya.
“Heh…?!” orang yang barusan datang tampak besarkan matanya. Mulutnya keluarkan suara menggereng, membuat murid-murid pesantren merasa jeri.
“Bukankah ini pesantren Nusa Barung?!” orang itu bertanya membentak.
“Betul! Kau siapa?” seorang murid bertanya.
“Waw... waw! Urusan macam apa ini! Kalian mengundangku datang kemari! Aku datang tapi dihadang! Kalian sengaja minta mampus? Waw... waw!”
Sebelum ketegangan memuncak, dari serambi bangunan besar terdengar seruan Ki Sandakan.
“Tamu yang baru sampai! Silahkan datang kemari!”
“Waw... Waw! Begitu mustinya menyambut orang datang jauh-jauh.”
Lelaki yang mendukung perempuan itu melangkah ke arah serambi bangunan. Ki Sandakan dan para tokoh yang ada disitu menunggu dengan waspada.
Karangpandan berbisik pada Ki Sandakan, “Yang datang ini adalah murid pertama Kunti Kendil. Namanya Wirapati. Bergelar lblis Gila Tangan Hitam. Sepasang tangannya sangat berbahaya. Dialah yang telah membunuh ketiga pengurus pesantren!”
Rahang Ki Sandakan langsung menggembung. Gerahamnya jelas terdengar bergemeletakan. Kalau saja dia tidak kuasa menindih amarah dendam kesumatnya pasti sudah diterjangnya tamu yang datang itu.
Orang yang datang memang Iblis Gila Tangan Hitam, Wirapati. Di depan tangga bangunan besar dia hentikan langkah lalu turunkan perempuan yang dipanggulnya. “Dewiku, bangunlah. Kita sudah sampai!”
Begitu berdiri perempuan itu membuka kedua matanya. Meskipun pakaiannya penuh robek hingga hampir sebagian besar auratnya tersingkup, meski rambutnya yang panjang kotor awut-awutan dan wajahnya tidak terurus, namun masih jelas terlihat bayangan kecantikan parasnya.
Ki Sandakan merasakan dadanya bergetar ketika dia mengenali perempuan itu bukan lain adalah Sundari, gadis yang pernah menjadi murid tingkat tiga pesantren Nusa Barung. Bagaimanapun dia bencinya terhadap Wirapati, namun orang tua ini tidak dapat menyembunyikan rasa harunya menyaksikan keadaan bekas muridnya itu. Segera Ki Sandakan membuka jubah putihnya dan lemparkan ke arah Sundari seraya berkata,
“Sundari, tutupi tubuhmu dengan jubah itu!”
Jubah putih yang harum itu jatuh tepat dibahu kiri Sundari. Tapi perempuan ini tak berusaha untuk mengambilnya, hanya membiarkan saja jubah tersebut tetap terletak dibahunya.
“Waw... waw...” Wirapati keluarkan suara. Dari balik pakaiannya yang juga rombeng kotor dia mengeluarkan secarik kertas.
“Benar disini Pesantren Nusa Barung?”
“Kau datang ke tujuan yang tidak salah!” yang menjawab Karangpandan.
“Apakah aku bicara dengan tuan rumah?! Waw... waw!” tanya wirapati.
“Aku tuan rumah, ketua pesantren. Sahabatku ini layak mewakiliku!” menyahuti Ki Sandakan.
Sesaat sepasang mata Wirapati yang merah itu memandang pada lima orang yang tegak berjejer disamping Ki Sandakan. Lalu dia membungkuk sedikit untuk mengintai lewat jejeran orang-orang itu, memperhatikan Datuk Iblis yang duduk sambil mengusap-usap kantong kulitnya.
“Dewiku apakah diantara kotoran-kotoran dunia ini ada yang kau kenal?” Wirapati bertanya pada Sundari.
Sundari memandang berkeliling sejenak lalu menggelang. Wirapati tertawa gelak-gelak. Karangpandan, Ungu Simpul dan Kempit Bagus yang merasa sangat terhina oleh kata-kata Wirapati tadi siap melangkah maju. Namun Ki Sandakan memberi isyarat agar mereka tetap ditempat.
Wirapati tampak manggut-manggut. “Waw... waw..! Rupanya kalian tidak punya maksud baik. Lain dengan bunyi surat yang aku terima! Waw dengar, aku akan bacakan surat ini...!” Lalu dengan suara keras Wirapati membaca apa yang tertulis di atas kertas yang sudah lusuh itu.
Kepada Iblis Gila Tangan Hitam Wirapati
Pembunuhan yang kau lakukan terhadap tiga pimpinan kami dan beberapa murid pesantren merupakan dosa besar yang tidak berampun. Belum terhitung pembunuhan yang kau lakukan atas diri tokoh-tokoh persilatan lainnya yang tidak punya salah dan dosa apa-apa.
Ditambah lagi dengan penculikan yang kau lakukan terhadap murid kami Sundari. Semuanya itu hanya bisa kau tebus dengan nyawamu. Namun demi keadilan kami dan para tokoh rimba persilatan masih bersedia untuk menyidangkan perkara kejahatan dan keganasanmu.
Datanglah ke Pesantren Nusa Barung pada hari dua belas bulan Sura. Gurumu Kunti Kendil juga akan berada disana untuk menjadi pembelamu. Kalau kau tidak datang maka gurumu yang akan menanggung dosamu. Kami tahu, meski otakmu tidak sehat tapi kau tidak mau melihat gurumu menjadi korban perbuatanmu sendiri.
Kisandakan Pimpinan Pesantren Nusa Barung
“Waw... waw! Kalian sudah dengar Isi surat ini? Waw! Disini disebutkan dosa besar yang tidak berampun! Waw... Waw! Dosa apa yang sudah kubuat? Aku tidak pemah membunuh siapapun. Kecuali mereka yang memang sengaja datang untuk minta dibunuh! Waw!”
“Ngacok Dusta besar!” teriak Karangpandan.
Sepasang mata Wirapati memandang besar-besar pada Karangpandan. “Mulutmu lebih besar dari mulut tuan rumah! Rupanya kau yang jadi ketua panitia pesta pengadilan ini?! Waw!”
“Wirapati... bagaimana mungkin ada orang yang sengaja datang padamu untuk minta dibunuh!” Ki Sandakan menengahi. “Orang-orang pandai itu justru menemuimu untuk meminta agar kau sadar dan bertobat. Kebaikan mereka kau balas dengan pembunuhan keji. Termasuk tiga pimpinan pesantren ini...”
“Waw... waw! Mereka bertiga datang untuk mencelakaiku. Apakah pantas aku berpangku tangan? Sundari datang bersama mereka. Dia dulu kekasihku. Semua orang disini tahu. Apakah salah kalau dia tidak mau kembali kesini dan hidup bersamanku...?”
“Kau memaksanya. Kau hidup bersamanya tanpa nikah! Apa itu bukan satu kesalahan, bukan dosa?”
“Waw... waw... waw! Soal dosa siapa manusianya yang tidak pernah berbuat dosa. Apakah kau tidak pernah berdosa? Benar-benar suci…? Waw… waw!”
Ucapan Wirapati itu membuat wajah Ki Sandakan menjadi merah padam. Karangpandan berbisik. “Ki Sandakan, perlu apa kita bicara panjang lebar dengn orang gila ini. Sebaiknya kita laksanakan hukuman sekarang juga!”
“Waw... waw! Kalian bicara berbisik-bisik! Apakah itu cara yang sopan menyambut tamu yang sengaja diundang dari jauh? Waw...waw! Kekasihku, bagaimana pendapatmu?” Wirapati berpaling pada Sundari.
“Aku bercuriga!” jawab perempuan itu.
“Tepat! Akupun menaruh curiga! Dan aku tidak melihat nenek butut bernama Kunti Kendil itu...!” Ujar Wirapati pula. “Waw...waw... waw!”
“Ada atau tidak adanya gurumu disini kami tetap akan mangadilimu. Dan keputusan sudah diambil! Kau layak dibunuh. Kau tinggal pilih kematian macam apa yang kau Inginkan. Dipancung, digantung atau dibakar!”
Yang bicara tadi adalah Karangpandan. Sementara empat tokoh silat lainnya mulai berpencar mengambil kedudukan mengurung. Hanya Datuk Iblis yang masih tetap duduk dilantai bangunan sambil pegangi kantong darah busuknya.
“Waw... waw... waw! Dewiku, kau dengar kata-kata benalu hutan ini?! Pengadilan belum lagi disidang. Pembela yang mereka sebutkan dalam surat belum kelihatan! Waw! Aneh kalau tiba-tiba benalu jelek ini mengatakan bahwa keputusan sudah diambil. Dan aku kekasihmu ini layak dibunuh! Waw! Aku boleh memilih satu diantara tiga cara kematian!”
Paras Sundari tampak menjadi garang.
“Kakak Wirapati, jika ada yang berani mengganggumu apalagi sampai melukaimu, aku akan lebih dulu mematahkan batang lehernya!”
“Ah, dewiku! Waw... waw! Kau benar-benar mencintaku!” kata Wirapati lalu memeluk dan menciumi Sundari dihadapan orang banyak.
“Manusia gila! Cabul lelaki!” hardik Karangpandan. Lalu dia melompat ke depan.
Tiba-tiba Sundari tundukkan bahunya. Kepalanya digoyangkan. Rambutnya yang panjang mendadak melesat kedepan, berputar sebat seperti tebasan pedang, mengeluarkan sinar hitam dan angin kencang!
Karangpandan tersentak kaget dan buru-buru mundur. Ki Sandakan sendiri juga ikut terkejut. Dulu Sundari hanya murid kelas tiga yang mendalami ilmu pedang tetapi masih belum dapat diandalkan. Kini dengan hanya mempergunakan rambutnya yang panjang dia telah mampu mengirimkan satu serangan yang luar biasa. Tidak dapat tidak bekas muridnya ini pasti telah mendalami ilmu yang hebat. Dan siapa lagi gurunya kalau bukan Wirapati yang hidup bersamanya tanpa nikah!
Ki Sandakan maju kedepan seraya berkata, “Wirapati, lebih baik bagimu menyerahkan diri. Untuk itu aku bersedia memberi ampun pada Sundari...”
“Waw... waw! Jangan ikut campurkan kekasihku dalam persoalan ini. Jika kalian merasa benar dan ingin menghukumku, silahkan! Tapi jangan menganggap aku sebagai pembunuh keji jika nanti kalian mampus semua ditanganku!”
“Manusia gila bermulut besar!” teriak Karangpandan. “Kawan-kawan sudah saatnya kita menyingkirkan biang racun penimbul malapetaka ini...!”
Kampit Bagus, Ungu Simpul dan Ki Sandakan serta merta mengikuti gerakan Karangpandan, menyerbu ke arah Wirapati.
“Awasi Hati-hati dengan sepasang tangannya!” Karangpandan memberi ingat.
Pinaran tetap tegak ditempatnya sambil berkipas-kipas. Dia datang kesitu untuk membuat perhitungan dengan pemuda bernama Mahesa yang dari Karangpandan diketahuinya sebagai penyebab kematian saudaranya yang bernama Loh Jingga. Karenanya dia tidak merasa perlu ikut baku hantam mengeroyok Wirapati yang tak ada silang sengketa dengannya.
Ditempat duduknya Datuk Iblis alias Lembu Sura tetap tak bergerak. Dia tahu kalau Wirapati adalah murid Kunti Kendil, bakas kekasihnya dimasa muda yang kini menginginkan jiwanya. Namun yang dicarinya disitu bukanlah Wirapati melainkan murid Kunti Kendil yang lain yang bernama Mahesa, dan sekaligus menunggu kalau-kalau Kemala muncul ditempat itu. Karenanya diapun tetap tenang-tenang ditempat duduknya semula.
4. MAHESA MUNCUL SUNDARI MENEMUI KEMATIAN
EMPAT orang yang menyerbu Wirapati bukanlah manusia-manusia sembarangan. Ki Sandakan selaku ketua pesantren Nusa Barung merupakan salah satu tokoh silat yang disegani. Kempit Bagus dan Ungu Simpul sebagai hulubalang keraton sudah barang tentu memiliki kepandaian tinggi, bahkan lebih tinggi dari Tunggul Aryo dan Tunggul Gede. Lalu Karangpandan, selain memiliki kepandaian tinggi juga cerdik licik.
Keempatnya menyerang dengan mengandalkan tangan kosong. Ki Sandakan lepaskan satu jotosan ke arah pelipis Wirapati. Karangpandan menendang kebawah selangkangan sedang Kempit Bagus dan Ungu Simpul datang dari samping, masing-masing dengan pukulan ke arah tulang-tulang iga!
“Waw! Waw!” Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam berteriak. Suaranya keras tanda marah. “Jadi undangan kalian palsu belaka. Penipu-penipu licik!” Sambil mundur tiga langkah Wirapati pukulkan kedua tangannya ke depan. Dua larik sinar hitam menggebubu.
“Cepat menyingkir!” seru Karangpandan.
Keempat penyerang berserabutan selamatkan diri. Dua larik sinar hitam yang mengandung racun lewat. Serempat dengan itu keempatnya kembali menyerbu. Masing-masing tentunya dengan membekal tenaga dalam yang tinggi.
Enam jurus berlalu cepat. Belum ada yang terkena pukulan. Keempat penyerang berputar-putar rapat seolah-olah tak memberi kesempatan bagi lawan untuk lepaskan pukulan sakti. Kalau sebelumnya mereka tampak agak kacau namun memasuki jurus kedelapan dan seterusnya, mereka mulai tampak teratur dan saling mengisi hingga Wirapati merasa terjebak di tengah kalangan pertempuran. Ini membuat lelaki gila ini menjadi marah dan berteriak ganas.
Tubuhnya yang kekar berkelebat sebat. Tetapi gerakan pada tangannya mendadak berubah lemas seperti gerakan tangan penari. Namun dibalik gerakan yang lembut itu tersembunyi satu kekuatan dahsyat. lni terbukti ketika sebuah pukulan lembut Wirapati meleset dan menghantam tiang serambi bangunan besar, tiang yang sebesar pemelukan tangan itu hancur berkeping-keping, bagian atap diatasnya ambruk roboh!
Rusaknya bangunan agung itu membuat Ki Sandakan marah. Didahului oleh bentakan keras dia mendahului menyerbu masuk kedalam kalangan pertempuran. Tiga tokoh lainnya datang susul menyusul.
Iblis Gila Tangan Hitam sambut serangan keempat lawannya dengan tiada henti keluarkan suara waw… waw! Sepasang lengannya berkelebat kian kemari. Dia sengaja memapasi setiap sarangan lawan dengan kedua tangannya itu karena dia tahu tak satu kekuatanpun sanggup menghadapi kehebatan sepasang tangan hitamnya yang beracun. Dan memang jelas setiap bentrokan langsung dengan tangan Wirapati selalu berusaha dihindari oleh keempat lawannya.
Sebenarnya hal ini memberi kesempatan bagi Wirapati untuk menekan lawan-lawannya. Namun keempat orang musuh yang dihadapinya bukan manusia-manusia sembarangan hingga selama balasan jurus dia terpaksa bertahan ketat. Dalam keadaan terjepit begitu Wirapati jadi beringas. Dia menjerit berulang kali dan menghamburkan serangan balasan kian kemari, membuat para pangeroyok sesaat jadi terkesiap.
Namun dilain saat Ki Sandakan dan Karangpandan serta dua penyerang lainnya berhasil menyusun pertahanan malah kembali kirimkan serangan-serangan balasan yang mematikan. Akibatnya kembali Wirapati terdesak.
“Waw... waw! Kalau tidak dihajar bangsat-bangsat penipu ini tidak bakal jera!” maki Wirapati dalam hati.
Mendadak tubuhnya yang tinggi besar itu jatuh ke bawah. Tiga jotosan lewat diatasnya namun satu tendangan yakni tendangan Kempit Bagus berhasil bersarang diperutnya. Wirapati mengeluh kesakitan. Sebelum lawan tarik pulang kakinya, lelaki ini berhasil mencengkeram pergelangan kaki itu.
“Kraak!” Terdengar jeritan Kempit Bagus. Tubuhnya terbanting ke tanah. Kaki kanannya patah. Dia berguling menjauhi kalangan pertempuran.
“Waw... waw” Sekarang baru tahu rasa!” seru Wirapati.
“Kenapa cuma dipatahkan kakinya kakak! Bunuh mereka semua!” Sundari dari yang sejak tadi tegak menonton kini berteriak keluarkan suara.
“Sabar kekasihku. Semua mereka akan kuhabisi! Penipu-penipu berkedok manusia-manusia pencari keadilan ini akan kubunuh semua! Isi pesantren ini akan kumusnahkan! Waw... waw!”
Ki Sandakan mau tak mau tercekat juga mendengar kata-kata Wirapati itu, apalagi setelah menyaksikan cidera berat yang dialami Kempit Bagus. Dia memberi isyarat pada Made Tantre. Maka orang yang bergelar Tangan Dewa Dari Klungkung inipun bergerak memasuki kalangan perkelahian.
Sebelumnya tadi Made Tantra telah menyaksikan kehebatan Wirapati. Karenanya begitu terjun ke dalam pertempuran dia langsung keluarkan jurus-jurus silatnya yang paling diandalkan. Kedua tangannya laksana gelombang tiada putus-putusnya menyusupkan serangan-serangan berbahaya.
Wirapati sendiri melihat kedua tangan musuh yang satu ini seolah-olah berubah menjadi empat pasang banyaknya! Berkali-kali dia coba mencengkeram ke arah tangan yang datang namun ternyata yang ditangkapnya hanya tempat kosong sementara serangan tangan yang sebenarnya menderu dari samping kiri atau kanan, belum lagi serangan tiga pengeroyok lainnya.
Sundari yang sejak tadi sudah gatal tangan ingin ikut bertempur, ketika melihat Wirapati mulai terdesak hebat, didahului oleh jeritan melengking tanpa dapat dicegah oleh kekasihnya langsung menyerbu. Rambutnya yang panjang berdesing laksana putaran pedang. Mau tak mau membuat para pengeroyok terkesima dan membagi perhatian.
“Sundari! Kalau kau tidak keluar dari perkelahian ini, jangan menyesal aku menurunkan tangan keras!” memberi ingat Ki Sandakan.
Tapi jawaban dari Sundari adalah satu sodokan keras ke arah ulu hatinya. Ketika serangannya gagal, perempuan ini ambil jubah Ki Sandakan yang ada di bahunya dan pergunakan pakaian ini untuk menyerang sang ketua. Meskipun jubah kain namun dalam genggaman Sundari benda itu berubah menjadi senjata hebat yang mengeluarkan terpaan angin deras!
Dengan masuknya Sundari maka keadaan dikalangan pertempuran kini berubah. Ki Sandakan dan kawan-kawan harus berhati-hati. Saat demi saat kedudukan mereka semakin terdesak.
Pada jurus ke tujuh puluh dua Ki Sandakan yang berusaha menjambak rambut Sundari terpedaya oleh perubahan gerakan yang sangat tidak terduga. Rambut itu laksana seekor ular tiba-tiba melesat ke samping dan dari samping mematuk ke muka sang ketua. Untuk selamatkan mukanya Ki Sandakan cepat tutupi wajahnya dengan telapak tangan kiri sambil membuang diri kesamping. Justru saat itu dari samping kiri lengan kanan Wirapati datang menghantam.
Tiga orang yang berada di pihak Ki Sandakan tidak mampu untuk memberikan pertolongan. Mereka hanya bisa tercekat sambil menunggu detik hancurnya kepala ketua pesantren Nusa Berung itu. Namun tiba-tiba dari belakang terdengar suara tawa bergelak disusul dengan ucapan.
”Dari tadi kulihat kalian cuma seperti main kucing-kucingan! Masakan menghadapi dua tikus sawah seperti ini kalian tidak mampu melayani?! Memalukan!”
Menyusul terdengar suara cegluk-cegluk berulang kali. Lalu hentakan, “Minggir semua!”
Cairan busuk luar biasa berwarna merah kehitaman menderu memapasi lengan Wirapati. Empat benda hitam ikut melesat.
“Kelabang Perenggut Jiwa!” seru Karangpandan. Bersama yang lain-lainnya dia cepat menyingkir, takut jadi sasaran nyasar! Siapa yang tidak tahu keganasan kelabang hitam itu. Sekali kena digigit atau dicengkeram nyawa tak akan tertolong lagi! Tiga buah kelabang hitam manancap di lengan kanan Wirapati yang berwarna hitam legam.
“Keparat edan! Waw! Waw!” teriak Wirapati lalu dia tampak meringis kesakitan. Tiga kelabang yang menancap di lengannya sesaat menggelepar lalu rontok ke tanah. Ternyata binatang ini tidak sanggup melukai apalagi membunuh wirapati. Malah racun yang menempel dilengan lelaki itu membuat ketiganya serta merta tersengat mati!
Kejadian ini membuat Datuk Iblis Penghisap Darah alias Lembu Surah menjadi kaget bukan kepalang. Seumur hidup baru sekali ini dia menyaksikan yang seperti ini. Dilain pihak serangan kelabang beracun itu telah melegakan Ki Sandakan dan kawan-kawannya karena berhasil menyelamatkan sang ketua dari pukulan maut Wirapati.
Sebaliknya satu nyawa yang menjadi sasaran tak disengaja tak dapat tertolong lagi. Kelabang hitam yang keempat melesat melewati lengan Wirapati dan menancap tepat dibahu kiri Sundari yang saat itu tengah mengirimkan serangan-serangan gencar pada Ungu Simpul dan Karangpandan.
Perempuan ini terpekik. Dia sama sekali tidak memiliki kekebalan seperti kekasihnya. Karena tak ampun lagi begitu racun kelabang masuk ke aliran darahnya dan menembus ke jantung, perempuan ini langsung roboh, terkapar ditanah tak berkutik lagi. Tubuhnya sampai kemuka tampak membiru kehitaman!
“Dewiku!” jerit Wirapati lalu jatuhkan diri menubruk sosok tubuh Sundari yang sudah tak bernyawa lagi. Tubuh perempuan Itu digoyang-goyangnya, wajahnya ditepuk-tepuknya. Namun Sundari tak akan pernah sadar lagi untuk selama-lamanya. Wirapati menggerung sambil peluki mayat Sundari. Dia sama sekali tidak lagi memperhatikan keselamatan dirinya.
Pada saat itu Ki Sandakan, Karangpandan dan Datuk Iblis serta Ungu Simpul seperti saling adu cepat untuk melancarkan serangan maut ke tubuh Wirapati yang berada dalam keadaan lengah dan tak terlindung itu.
Karangpandan dan Ungu Simpul lepaskan tendangan deras ke dada dan kepala Wirapati. Ki Sandakan menghantam dengan tangan kosong ke tengkuk sedang Datuk Iblis kembali semburkan darah busuk serta tiga kelabang perenggut jiwa ke punggung dan kepala sebelah belakang.
Sekali ini bagaimanapun hebatnya Wirapati yang bergelar Iblis Gila Tangan Hitam, tak bakal dia lolos dari kematian. Kecuali jika terjadi keajaiban. Dan memang keajaiban itu justru terjadi! Dari atap bangunan kecil yang berada disamping kanan bangunan besar tiba-tiba menderu satu sinar merah menyilaukan, melabrak ke arah ke empat penyerang itu.
“Pukulan Api Geledek Menggusur Makam!” seru Datuk Iblis dengan wajah berubah lalu cepat menyingkir.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Ki Sandakan dan Karangpandan. Hanya Ungu Simpul yang terlambat. Tubuhnya mulai dari kaki sampai kepinggang kena disapu sinar merah, hangus mengeluarkan bau sangit menggidikkan. Sesaat dia menggelepar-gelepar lalu diam tak berkutik lagi!
Wirapati seolah-olah tidak sadar kalau dirinya baru saja diselamatkan dari kematian masih terus meratapi Sundari. Sementara dari atas atap bangunan di sebelah kanan melesat turun sesosok tubuh berpakaian serba putih. Sebatang rokok kawung terselip di sela bibirnya.
“Ki Sandakan, orang yang kita tunggu sudah datang. Harap kau dan yang lain-lainnya segera menghadapi. Aku akan membereskan Wirapati selagi dia lengah!”
Yang berkata begitu adalah Karangpandan. Dari balik pakaiannya dia keluarkan sebilah golok pendek. Senjata ini secepat kilat dibabatkannya ke arah laher Wirapati yang tengah membelakangi!
“Anak setan pengecut!” satu hentakan menggeledek. Menyusul berkelebatnya sosok tubuh yang kirimkan tendangan ganas ke arah batok kepala Karangpandan, dan memaksa orang ini batalkan bacokannya agar dapat selamatkan kepala.
“Karangpandan iblis licik! Ternyata kau masih hidup! Apa yang terjadi disini termasuk surat yang kuterima itu pasti kau semua yang mengatur!”
Karangpandan tertawa mengejek. “Bagus kalau kau sudah tahu Mahesa. Hingga kau bisa mampus dengan lebih tenteram!”
“Kau yang akan mampus lebih dulu!” tukas orang yang barusan datang dan bukan lain adalah murid Kunti Kendil, Mahesa. Tanpa tunggu lebih lama pemuda ini langung menyerang Karangpandan dengan jurus-jurus silat mematikan.
Seperti telah diketahui sebelumnya (baca jilid ke-2) dalam perkelahian yang terjadi antara mereka Mahesa telah menghajar Karangpandan babak belur hingga menjadi cacat kakinya dan pincang jalannya. Karena itulah tadi-tadi Karangpandan meminta Ki Sandakan mengatur pengeroyokan terhadap pemuda itu dan dia sendiri menghadapi Wirapati yang berada dalam keadaan lengah.
Namun segala sesuatunya jadi berantakan dan justru kini dirinya yang menjadi sasaran serangan ganas pemuda itu. Untuk berteriak minta bantuan dia merasa malu. Namun Karangpandan bukan Karangpandan namanya kalau tidak punya akal licik.
Setelah digenjot serangan bertubi-tubi lelaki ini melesat kebelakang barisan Datuk Iblis, Made Tantra, Pinaran dan Ki Sandakan. Dari tempatnya berdiri dia berseru, “Datuk Iblis, inilah pemuda yang telah membunuh anak-anak buahmu di Bukit Akhirat. Dia juga yang menyebabkan lolosnya Kemala sewaktu kau hadang tempo hari! Aku yakin kau tak akan lepas tangan membiarkannya lolos!” Lalu sambil melangkah mendekati Ki Sandakan kembali Karangpandan berkata,
“Ketua pesantren! Pemuda ini yang telah membunuh Kiyai Jalatunda dan mencuri Karis Naga Biru! Dia pasti membawa senjata itu sekarang. Jangan sampai dia sempat melarikan diri”
Pancingan Karangpandan ternyata berhasil. Didahului suara menggereng Datuk Iblis melompat ke arah Mahesa. Begitu pula Ki Sandakan. Dan Made Tantra alias Tangan Dewa dari Klungkung maju berbarengan dengan Pinaran. Mahesa kini harus menghadapi empat lawan tangguh sementara tak satupun yang memperhatikan Wirapati.
Justru karena tak terperhatikan ketika tiba-tiba lelaki gila ini bangkit berdiri sambil memanggul mayat Sundari, tak seorangpun yang sempat mencegah apa yang diperbuatnya kemudian.
5. DIKEROYOK LAWAN-LAWAN TANGGUH
SATU teriakan yang hampir merupakan lolongan srigala dimalam buta yang mengerikan keluar dari mulut Wirapati. Dengan mayat Sundari di bahu kanannya dia lari ke bangunan besar. Disini lelaki ini mengamuk. Tangan kirinya, kaki kanan atau kaki kiri tak henti-hentinya menghantam kian kemari. Dalam waktu singkat tiang-tiang bangunan itu hancur, dinding jebol berantakan, atap bangunan runtuh. Keseluruhan bangunan itu kini hanya tinggal reruntuhan belaka!
Dari sini Wirapati lari ke halaman bangunan kecil yang berjumlah delapan belas buah dan tersebar mengelilingi bangunan besar. Dia mengamuk hebat. Beberapa murid kepala dibantu oleh belasan murid coba menghalangi. Namun semua menemui ajal kena hantaman tangan atau kaki Wirapati.
Ki Sandakan sendiri seperti baru menyadari kejadian itu setelah bangunan ke enam belas ambruk. Dia coba memburu ke bangunan ke tujuh belas dimana Winpati meneruskan amukannya. Namun gerakannya tertahan karena pukulan api geledek yang dilepaskan oleh Mahesa hampir menghantam dadanya. Dengan geram ketua pesantren ini kembali menghadapi pemuda itu.
Untuk melawan musuh-musuh yang amat tangguh itu Mahesa keluarkan ilmu silat orang buta. Selama belasan jurus dia sanggup bertahan dengan gigih malah balas menghantam dengan pukulan-pukulan sakti. Namun tekanan-tekanan yang diberikan Datuk iblis sangat berbahaya hingga mau tak mau setelah empat puluh jurus Mahesa mulai merasakan desakan-desakan yang berbahaya.
Saat itu setelah menghancurkan ke delapan belas bangunan pesantren, sambil tiada hentinya meraung Wirapati tinggalkan tempat itu. Tak ada seorangpun yang berani atau mau menghadangnya.
Kini tinggallah Mahesa yang seorang diri harus menghadapi keroyokan dari lawan-lawan tangguh. Dalam keadaan terdesak demikian rupa muncul pula seorang musuh besarnya yang membuat murid Kunti Kendil mengeluh dalam hati.
“Anak setan Kalau memang sudah ditakdirkan mati disini aku tidak takut Tapi manusia bernama Karangpandan ini harus kuhabisi! Dia yang menjadi biang racun kejadian di tempat ini.”
Baru saja Mahesa berkata begitu dalam hati tiba-tiba terdengar seseorang berkata, “Ketua pesantren! Jika aku membantumu membereskan pemuda edan itu, hadiah apa yang akan kowe berikan padaku?!”
Ki Sandakan yang tengah mengirimkan serangan-serangan gencar sesaat terganggu oleh suara Itu dan berpaling ke arah pintu gerbang. Disitu dilihatnya berdiri seorang kakek bungkuk bermuka bengis, mengenakan pakaian hitam. Rambutnya awut-awutan, pada lehernya tergantung sebuah kalung tengkorak kecil. Sebelumnya ketua pesantren ini tak pernah bertemu apalagi kenal dengan kakek ini. Mengira si kakek adalah juga orang yang diatur Karangpandan untuk datang kesitu maka dia berkata,
”Kakek gagah, pesantren kami bukan pesantren kaya yang bisa menjanjikan segala macam hadiah. Jika kau bermaksud membantu, masakan kami akan melupakan budi baikmu!”
Si kakek tertawa mengekeh. Mahesa yang tadi mendengar suara orang yang barusan datang menjadi kaget. Dia kenal betul suara itu. Itu adalah suara Embah Bromo Tunggal. Musuh besar yang bebarapa hari, lalu lolos di gedung Kadipaten Probolinggo. Bagaimana dia tahu-tahu kini bisa muncul di tempat itu?
Bukan satu kebetulan memang dukun sakti itu sampai ke tempat tersebut. Setelah dikalahkan oleh Mahesa dalam perkelahian di gedung kadipaten maka diam-diam dia menguntit perjalanan pemuda ini. Malam tadi terakhir sekali dia melihat Mahesa ditepi kali Bondoyudo, berlari ke arah hilir dan lenyap. Meskipun kehilangan jejak namun dia yakin pemuda itu menuju muara.
Maka diapun mengejar ke jurusan itu. Siang harinya ketika dia sampai di pesantren Nusa Barung dia menyaksikan perkelahian antara Mahesa dengan beberapa tokoh silat. Diantaranya yang dikenalinya adalah ketua pesantren itu, lalu Datuk lblis Pengisap Darah.
“Keparat! Bertambah lagi musuhku. Bagaimana anak setan ini bisa sampai disini?” ujar Mahesa dalam hati.
Saat itu Embah Bromo Tunggal telah masuk ke kalangan pertempuran. Seperti yang lain-lainnya diapun mengandalkan tangan kosong. Jari-jari tangannya yang berkuku panjang bergerak kian kemari, menyambar dan mencengkeram. Bertambah sulitlah kedudukan murid Kunti Kendil.
Untuk menghadapi serangan kelabang perenggut jiwa yang selalu dilancarkan Lembu Surah alias Datuk Iblis Mahesa terpaksa harus mengeluarkan pukulan api geledek berulang kali. Tenaga dalam dan tenaga luarnya hampir terkuras sedang kakek muka kuning itu agaknya masih akan terus menyembur. Seolah-olah kantong kulitnya itu tak habis-habis isinya.
Kemudian untuk menghadapi serbuan tinju Karangpandan, Made Tantre dan Ki Sandakan, Mahesa andalkan kecepatannya bergerak sambil sesekali menghantam dengan tangan kiri atau kanan, lepaskan pukulan sakti. Kini ditambah lagi dengan dukun jahat itu.
Karangpandan membisikkan sesuatu pada Ki Sandakan. Yang dibisiki lalu ganti berbisik pada yang lain, demikian seterusnya. Mahesa tak dapat mendengar apa yang saling dibisikkan lawan-lawannya itu. Namun kemudian jelas dilihatnya bahwa lima lawan yang pertama mengurungnya dan melancarkan serangan demikian rupa sengaja membuat dirinya bergerak lebih cepat hingga tenaganya luar dalam semakin terkuras.
Embah Bromo Tunggal sendiri saat itu mulai mengeluarkan ilmu hitamnya. Mulutnya komat kamit. Ketika dia meniup kedepan Mahesa melihat lima ekor mahluk aneh jejadian berbentuk kelelawar raksasa berkuik-kuik, terbang menukik kearahnya. Mulut mereka terbuka lebar, taring-taringnya yang runcing kelihatan jelas.
“Anak setan ini rupanya tidak kapok-kapok!” maki Mahesa. Dari samping menderu lagi semburan cairan darah busuk bersama tiga ekor kelabang perenggut nyawa. Mahesa menghantam dengan tangan kiri. Untuk kesekian kalinya dia berhasil lagi menyelamatkan diri. Lalu pemuda ini cepat jatuhkan diri sambil memukul ke atas, ke arah lima kelelawar raksasa yang datang menyerangnya. Dia lepaskan Pukulan Makam Sakti Meletus. Empat kelelawar menguik keras, menggelepar mental dan lenyap tidak berbekas. Tapi yang seekor lagi sempat menggigit bahunya hingga pemuda ini meringis kesakitan!
Dengan nekad Mahesa tangkap binatang itu lalu meremasnya sekuat tenaga hingga remuk. Dia tidak takut menderita luka seperti itu tapi yang dikhawatirkannya adalah kalau-kalau gigitan kelelawar tadi mengandung racun mematikan. Untungnya gigitan binatang jejadian ini tidak mengandung racun.
Empat Bromo Tunggal tertawa mengekeh. “Mahesa kali ini kowe tak bakal lolos dari kematian! Seumur hidup kowe belum pernah melihat ibu kowe bukan? Nah kelak kalau kowe mampus dan gentayangan di akhirat nanti, kowe bakal ketemu dengan perempuan itu!”
Mendengar ibunya disebut-sebut, bergetarlah tubuh Mahesa. Darahnya mendidih. “Durjana muka kuning. Aku mengadu nyawa denganmu!”
Habis membentak begitu Mahesa menerkam kemuka. Namun dari samping lagi-lagi menyembur darah busuk dan kelabang perenggut jiwa yang dilepaskan Datuk lblis. Mahesa menggembor. Kali ini dia tidak mau menghantam dengan pukulan api geledek atau pukulan sakti lainnya. Dia mencari selamat dengan jatuhkan diri ke tanah lalu berguling ke samping sambil hantamkan kakinya ke salah satu lawan yang terdekat.
Orang ini ternyata adalah Pinaran, saudara Loh Jingga. Meskipun dia sempat melihat melesatnya kaki Mahesa namun Pinaran tidak mampu bergerak lebih cepat untuk mengelak. Perutnya bobol dimakan ujung jari kaki Mahesa. Darah muncrat dan usus membusai!
Para pengeroyok jadi kaget. Bagaimana dalam keadaan terluka dan terjepit pemuda itu masih sanggup menghantam bahkan membunuh salah satu dari mereka! Bagi Mahesa sendiri, kematian Pinaran menambah semangat keberaniannya. Apalagi barusan darahnya tadi mendidih oleh ucapan-ucapan Embah Bromo Tunggal. Kalau saja dia tidak ingat akan ajaran gurunya yaitu agar jangan sampai perasaan mempengaruhi pikiran, maka mungkin dia kembali nekad menerjang Embah Bromo Tunggal.
Namun Mahesa kini mampu mengendalikan amarahnya. Dia sadar, diantara musuh-musuhnya yang kini berjumlah lima orang itu yang paling berbahaya adalah Datuk lblis dan Embah Bromo Tunggal. Lalu diantara kedua orang ini yang harus diperhatikan adalah sang datuk karena kehebatan cairan darah busuk dan kelabang mautnya.
Karenanya begitu semua orang tercekat oleh kematian Pinaran, Mahesa pergunakan kesempatan untuk menyerbu kakek muka kuning ini. Yang menjadi sasaran serbuannya adalah kantong di tangan kiri lawan. Satu sinar biru menggidikkan berkiblat. Cras! Kantong kulit ditangan Datuk Iblis robek. Isinya berhamburan tumpah keluar. Sang datuk terpekik kaget tapi juga marah. Dia menerjang ke depan. Namun melihat senjata ditangan Mahesa, kakek ini jadi ragu-ragu.
“Keris Naga Biru!” seru Ki Sandakan ketika dia mengenali senjata mustika milik pesantren. “Ki Sandakan!” kata Karangpandan. “Sekarang kau saksikan sendiri memang pemuda itulah yang telah mencuri senjata mustika itu setelah lebih dulu membunuh Kiyai Jalatunda.”
“Pemuda pencuri! Kembalikan keris itu kepadaku!” teriak Ki Sandakan.
Mahesa menyeringai, “Jika kau inginkan senjata ini, ambillah sendiri!” Lalu dia melompat ke depan dan tusukkan Keris Naga Biru ke arah dada Ki Sandakan. Dari samping Made Tantre cepat memapasi. Tangan kanannya yang berubah menjadi empat berkelebat ke arah bahu, pergelangan dan tangan Mahesa.
Penasaran serangannya dihalangi Mahesa lantas balikkan ujung keris dan kini mengarah pada Made Tantre alias Tangan Dewa Dari Klungkung. Meskipun memiliki kesaktian tangan yang bisa menipu lawan namun Made Tantre juga mengetahui kehebatan senjata di tangan si pemuda. Dia tak mau ambil risiko dan tarik pulang tangan kanannya. Sebaliknya tangan dirinya bergerak memukul ke tengkuk pemuda itu.
Disaat yang sama Datuk Iblis yang marah setengah mati karena kantong minumannya dirusak Mahesa telah menyerbu pula dengan tangan kosong. Karangpandan juga tak tinggal diam. Dari balik pakaiannya lelaki ini keluarkan sebuah tombak pendek bermata emas. Sedang Ki Sandakan loloskan ikat pinggangnya yang berbentuk rantai putih dengan puluhan bagian yang runcing berbahaya!
Mahesa yakin betul akan kehebatan Keris Naga Biru itu. Maka dia tidak gentar menghadapi lima lawan yang empat diantaranya kini juga menggenggam senjata!
Sinar biru yang memancarkan hawa dingin menggidikkan menderu kian kemari. Lima pengeroyok mendesak tapi penuh waspada. Tombak bermata emas di tangan Karangpandan menusuk tiada henti, memancarkan sinar kuning.
Rantai perak di tangan Ki Sandakan membabat bagian-bagian tubuh Mahesa sebelah bawah sedang Datuk Iblis dan Made Tantre menghantam bagian tubuh sebelah atas. Kelima pengeroyok sengaja bergerak memutari lawan hingga serangan-serangan yang dihadapi Mahesa bukan saja datang dari depan tetapi juga dari samping bahkan dari belakang.
“Edan! Lama-lama pasti aku akan kena tembus senjata atau dihantam pukulan mereka!” kata Mahesa menyadari didahului oleh suara menggereng seperti macan, Mahesa mainkan Jurus Macan Gila Keluar Dari Kuburan Tubuhnya seperti melompat ke atas. Keris sakti diputar sekeliling badan. Tangan kiri menghantamkan pukulan api geledek.
Tapi tak satu lawanpun yang berhasil diciderainya. Sebaliknya begitu tubuhnya mengapung di udara Embah Bromo Tunggal terdengar berseru, “Lepas!” Dari lengan pakaian hitamnya keluar seutas tali, melesat ke atas. Dimata Mahesa tali itu kelihatan seperti seekor ular hitam yang berusaha mematuk selangkangannya. Secepat kilat Mahesa babatkan Keris Naga Biru ke bawah.
Bersamaan dengan itu rantai perak Ki Sandakan datang pula menyambar pinggangnya. Ditambah pukulan tangan kanan Datuk Iblis ke arah pinggul serta cengkeraman tangan Made Tantre ke bagian dada. Mahesa hampir kebingungan harus menyelamatkan badan tubuhnya yang mana dan dari serangan yang mana. Ketika keris membabat ke bawah, dia hanya menghantam tempat kosong. Dilain kejap dirasakannya pergelangan tangannya terjirat.
“Anak setan!” maki pemuda ini. Dia menghantamkan kedua kakinya. Gerakannya ini berhasil menggagalkan serangan Datuk Iblis dan Ki Sandakan, namun sambaran tangan Mada Tantre masih sempat merobek pakaiannya dan melukai kulit dadanya.
Sadar tangannya terikat oleh ular jejadian, Mahesa segera hendak menghantam dengan pukulan api geledek. Tapi Embah Bromo Tunggal lebih cepat. Sekali dia menyentak maka tangan kanan Mahesa terbetot keras ke bawah. Pukulan api geledek melenceng ke tempat kosong. Keris Naga Biru mental ke udara!
Ki Sandakan dan Karangpandan sama-sama melompat untuk menangkap senjata mustika itu. Namun entah dari mana datangnya, satu bayangan tangan menyambar lebih cepat dan Keris Naga Biru lenyap dari udara. Selagi Karangpandan dan Ki Sandakan tersentak kaget, satu suara terdengar mengejek.
“Tua bang-tua bangka edan! Apa tidak malu mengeroyok seorang pemuda ingusan?!”
6. SANG GURU
MAHESA adalah orang yang pertama sekali berpaling ketika mengenali suara itu tapi telah sangat lama tak pernah didengar. Seorang nenek-nenek bungkuk berambut putih panjang, berkuku jari panjang tegak dekat pintu gerbang pesantren sambil menimang-nimang Keris Naga Biru. Begitu melihat si nenek, Mahesa segera lari memburu dan jatuhkan diri didepannya seraya berseru, “Guru!”
Si nenek tampak menyeringai. Namun sesaat kemudian terdengar bentakannya, “Anak setan! Hanya pada Tuhan kau boleh berlutut! Bukan pada nenek-nenek butut macamku ini! Lekas berdiri!”
Tersipu-sipu Mahesa cepat berdiri. Si nenek usap sebentar kepala muridnya itu. Mahesa merasa dadanya sejuk lalu bertanya, “Nenek, bagaimana kau bisa muncul di tempat ini dan menolongku?”
Kunti Kendil perdengarkan suara tertawa panjang. “Aku menyirap kabar tentang adanya surat palsu. Seolah-olah aku yang membuatnya. Menyuruh kau datang pada hari dua belas bulan Sura. Tepatnya hari ini! Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Nyatanya betul! Kau kutemui dikeroyok oleh tua bangka-tua bangka itu! Pengecut sekali!”
Sepasang mata Eyang Kunti Kendil berkilat-kilat. Pandangannya tertuju tajam pada sosok tubuh kakek muka kuning yakni Lembu Surah alias Datuk Iblis Penghisap Darah. “Mahesa, apakah kau telah melaksanakan dua tugas utama yang kuberikan tempo hari?”
Pertanyaan sang guru membuat Mahesa kaget. “Maaf nek, aku siap menerima hukuman. Belum satupun yang mampu kukerjakan!” Jawab Mahesa terus terang.
“Anak setan brengsek!” maki Kunti Kendil. Dia mengangkat Keris Naga Biru ke depan matanya dan berdecak beberapa kali lalu berkata, “Keris bagus... keris bagus...” Lalu enak saja senjata tanpa sarung itu disisipkannya ke pinggangnya.
Mahesa cepat berkata, “Nek, keris itu mengandung racun jahat. Jangankan tertusuk, tergores saja bisa mati!”
Kunti Kendil tertawa gelak-gelak. “Siapa takut mati? Sudah sejak lama aku kepingin mati. Hanya malaikat maut yang masih malu-malu bertemu aku.” kata si nenek pula.
“Murid dan guru sama edannya!” satu suara terdengar.
“Eh... eh! Siapa yang barusan bicara?!” Kunti Kendil membentak. Tak ada yang menjawab. “Pengecut!” maki Kunti Kendil. Tubuhnya tiba-tiba melesat diudara dan plak!
Karangpandan terpelanting jatuh dan menjerit kesakitan sambil pegangi pipi kirinya yang kelihatan bengkak merah.
“Bukankah kau yang barusan menghinaku tapi tak berani mengaku?!” bentak Kunti Kendil. Semua yang hadir disitu mau tak mau menjadi terkesiap. Jarak antara si nenek dan Karangpandan cukup jauh. Bagimana tahu-tahu dia dapat membuat gerakan kilat menampar lelaki itu?!
Ki Sandakan yang sejak tadi diam saja maju ke muka dan menegur. “Kunti Kendil, sikap dan tindakanmu sungguh tidak sopan dan tidak memandang muka pada kami tuan rumah! Kami tidak menginginkan kau berada disini. Lekas pergi dan serahkan kembali Keris Naga Biru itu!”
Si nenek putar tubuhnya yang bungkuk. Matanya memandang tajam pada Ki Sandakan. Nenek ini gelang-gelengkan kepalanya lalu berkata, “Ki Sandakan, ucapanmu keren amat, mentang-mentang telah menjadi ketua pesantren! Turut bicaramu akupun tak sudi datang ketempat ini. Apalagi kulihat semua bangunan disini porak poranda, sama rata dengan tanah…”
“Muridmu si gila Wirapati itu yang melakukannya!” potong Ki Sandakan.
“Oh, begitu...?! Ha ha! Muridku ternyata bertindak lebih cepat dariku. Lalu apakah itu tidak cukup menjadi pelajaran bagimu?!”
“Nenek-nenek tidak tahu diri. Bicara seenaknya. Apa kau tidak ingat waktu tempo hari datang kemari menemui ketua kami. Minta bantuan untuk menangkap muridmu yang bernama Wirapati itu?”
“Ya... ya! Meskipun sudah tua dan boleh dikatakan hampir pikun, tapi aku tidak melupakan hal itu Ki Sandakan. Namun aku tak pernah mendengar hasilnya….”
“Gila!” Rahang Ki Sandakan menggembung. “Murid gilamu itu membunuh tiga pengurus kami dan bebarapa orang murid pesantren. Muridmu yang satu inipun membunuh ketua kami Kiyai Jalatunda dan mencuri Keris Naga biru… !”
“Betul! Aku bersedia menjadi saksi hidup!” Karangpandan ikut bicara.
“Begitu...?” Sepasang mata Kunti Kendil berputar-putar. “Lantas karena tuduhan itu kalian mengatur rencana, memancingnya datang kemari untuk kalian keroyok ramai-ramai? Pengecut!”
“Mengeroyok dan membunuh seorang penjahat seperti muridmu itu tidak menyalahi hukum!” Tiba-tiba Kempit Bagus yang kakinya patah dan kini terduduk dekat reruntuhan bangunan membuka mulut. “Ketahui, muridmu itu telah membunuh peraiurit-perajurit Kadipaten. Membunuh beberapa tokoh silat istana, termasuk dua orang hulubalang bernama Tunggul Aryo dan Tunggul Gede!”
“Anak setan!” maki Mahesa. “Bukan aku yang membunuh kedua hulubalang itu. Pembunuhnya adalah kakek bermuka kuning itu!” Mahesa menunjuk pada Datuk Iblis Penghisap Darah.
Semua orang tersentak. Kempit Bagus berpaling pada sang datuk. Datuk Iblis sebaliknya tutup rasa kagetnya dengan tawa bergelak.
“Kunti Kendil, muridmu itu sangat pandai memutar balik kenyataan. Apakah itu sebagian pelajaran yang kau berikan ketika dia berada bersamamu?”
“Lembu Surah, aku cukup kenal siapa kau. Urusan kita masih belum selesai. Aku lebih percaya pada muridku. Jadi tak ada gunanya kau berdalih. Apakah kau sudah menemukan gadis berbaju kuning yang kabarnya telah membuat kau tergila-gila? Hik..hik..hik. Sudah hampir mencium liang kubur masih saja mengumbar nafsu bejat!”
Kata-kata si nenek itu membuat Datuk Iblis jadi gelisah. Dia tahu apa urusan belum selesai yang dimaksudkan Kunti Kendil.
Si nenek berpaling pada muridnya dan bertanya, “Anak setan, apa betul kau yang membunuh Kiyai Jalatunda lalu mencuri Keris Naga Biru ini?”
Mahesa menggeleng. “Kiyai itu kutemukan hanyut di kali Ngrowo. Dalam keadaan sekarat dia menyerahkan Keris Naga Biru padaku disertai pesan agar dibawa. Tapi dia keburu meninggal sebelum sempat mengatakan dibawa kemana atau kepada siapa?”
Kunti Kendil berpaling pada Ki Sandakan. “Kau dengar sendiri keterangan muridku. Apakah kau tidak akan membatalkan tuduhan?!”
Sebelum ketua pesantren Nusa Berung itu sempat menjawab, Karangpandan sudah membuka mulut dengan keras, “Dusta! Dia berdusta! Aku saksikan sendiri dia yang membunuh Kiyai Jalatunda ditepi kali Ngrowo lalu melarikan Keris Naga Biru. Aku berusaha mencegah tapi dia berhasil lolos…”
“Hem! Begitu katamu?” gumam Kunti Kendil. “Sekarang Jawab dua pertanyaanku. Pertama, bagaimana kau juga bisa berada di kali Ngrowo. Kedua, siapa kau sebenarnya?”
“Dia adalah utusan Pangeran lsmoyo dari keraton Surakarta. Keterangan dan kesaksiannya tak perlu diragukan!” yang menyahuti justru Ki Sandakan yang telah percaya betul terhadap Karangpandan.
Kunti Kendil merenung sejenak. Lalu dia berpaling pada Kempit Bagus. “Tadi kau menyebut-nyebut beberapa nama hulubalang Istana. Apakah kau punya hubungan dekat dengan keraton Surakarta?”
“Tentu saja. Aku adalah salah seorang hulubalang yang datang kemari untuk minta pertanggungan jawab muridmu itu.” sahut Kempit Bagus.
Kunti Kendil melangkah pulang balik. Ketika langkahnya berhenti dia ajukan lagi pertanyaan pada Kempit Bagus. “Jika kau orang keraton pasti kenal dengan Pangeran lsmoyo. Apa benar ada seorang pangeran bernama lsmoyo di keraton Surakarta?”
“Tentu saja ada!” teriak Karangpandan.
“Kentut!” damprat Kunti Kendil. “Aku tidak bertanya padamu. Hai, hulubalang! Kau jawablah pertanyaanku. Awas kalau berani dusta!”
Kampit Bagus tampak berpaling ke kiri dan ke kanan. Lalu dia mendongak ke atas. Akhirnya menjawab, “Seingatku… seingatku memang tak ada pangeran bernama lsmoyo...”
“Bukan cuma seingatmu! Tapi itu memang kenyataan!” hardik Kunti Kendil.
Semua mata kini tertuju pada Karangpandan.
“Kalau begitu pasti dia mempunyai maksud jahat. Bukankah kau yang menghasut orang-orang pesantren dan mengatur pertemuan ditempat ini?”
Paras Karangpandan tampak berubah. Kata-kata si nenek membuat dia seperti dipantek pada batok kepalanya. Apalagi ketika Mahesa ikut bicara,
“Dia juga pernah beberapa kali hendak merampas Keris Naga Biru dari tanganku. Bahkan pernah meracuniku!”
“Semua dusta! Bohong besar...!” teriak Karangpandan. Tapi dia tahu kalau kesempatan untuk berkelit tak ada lagi. Tiba-tiba dia melompat ke balik reruntuhan bangunan besar lalu berkelebat ke arah timur.
Kunti Kendil tertawa mengekeh. “Karangpandan. Bukankah kau inginkan senjata mustika ini?!” seru si nenek. Dia ambil Keris Naga Biru yang ada di pinggangnya lalu melemparkan senjata ini ke arah Karangpandan yang tengah ambil langkah seribu.
Bagaimanapun cepatnya lari Karangpandan namun lebih cepat lari sambaran keris. Senjata itu menancap di punggungnya sebelah kanan. Karangpandan menjerit lalu roboh ke tanah. Sekujur tubuhnya mulai dari kaki sampai ke kepala kelihatan membiru oleh racun maut Keris Naga Biru.
Terpincang-pincang Kunti Kendil dekati mayat lelaki itu dan cabut Keris Naga Biru dari punggung Karangpandan. Ketika dia melakukan itu matanya melihat sebuah kitab tersembul dari balik pakaian lelaki ini. Kunti Kendil membaca tulisan yang tertera dikulit kitab lalu tersenyum dan ambil kitab itu. Sambil menghadap ke arah Ki Sandakan dia angkat kitab tinggi-tinggi dan membaca keras-keras tulisan pada kulit kitab.
“Sembilan jurus ilmu silat tangan suci. Dikembangkan untuk Pesantren Nusa Berung.”
Ki Sandakan terkejut. Dia cepat mendatangi dan ambil kitab itu dari tangan Kunti Kendil. Setelah meneliti sebentar dia lalu geleng-gelengkan kepala.
“Kapan manusia licik ini mencuri kitab ini?!” Ketua pesantren itu kini menjadi benar-benar sadar kalau bukan saja Karangpandan telah menipu dan menghasutnya, tetapi lelaki itu juga telah berani mencuri kitab pelajaran ilmu silat milik pesantren!
Kunti Kendil tertawa cekikikan yang membuat paras Ki Sandakan menjadi bersemu merah. “ini pelajaran buat kita semua,” berkata si nenek, “Manusia bermulut manis itu belum tentu berhati baik. Sebaliknya seseorang yang keras tegas belum tentu berhati culas. Ki Sandakan, aku akan mengembalikan Keris Naga Biru ini padamu. Tapi bukan untuk kalian miliki, melainkan sebagai senjata titipan...”
Tentu saja ucapan si nenek ini membuat Ki Sandakan dan juga murid-murid pesantren yang ada disitu menjadi heran.
“Kunti Kendil,” ujar Ki Sandakan, “apa maksudmu dengan mengatakan menyerahkan Keris Naga Biru ini kepada kami sebagai senjata titipan...!”
“Ki Sandakan, tua bangka seusiaku dalam rimba persilatan pasti mengetahui asal-usul senjata mustika ini. Lima puluh tahun yang lewat sebuah perahu besar dari Tiongkok mendarat di pantai utara Jawa. Salah seorang penumpangnya adalah putera raja muda negeri Cina. Dia datang bersama calon istrinya. Mereka membekal sepasang senjata sakti yakni Keris Naga Biru bergagang naga jantan dan satu lagi bargagang naga betina. Turut kisah yang mereka ketahui kedua keris itu dibuat oleh nenek moyang mereka yang konon berasal dari tanah Jawa. Kedua keris itu merupakan lambang tali perjodohan keduanya. Mereka sengaja datang ke Jawa untuk mencari tahu asal-usul nenek moyang mereka. Namun entah apa sebabnya mereka dan rombongan dibunuh penduduk. Penduduk sendiri banyak yang jadi korban oleh kedua keris sakti itu. Sepasang keris itu sendiri kemudian terpisah, lenyap entah kemana. Sejak itu timbul semacam kepercayaan. Jika keris jantan dipegang oleh seorang pemuda dan keris betina dimiliki oleh seorang gadis maka bagaimanapun jauhnya mereka saling terpisah, kelak keduanya akan saling bertemu dan berjodohan. Beberapa tahun setelah peristiwa pembunuhan putera raja muda itu, Keris Naga Biru yang betina ada di Blambangan. Sedang yang jantan ada ditangan seorang pedagang Gujarat yang menetap di Aceh. Keris Naga Biru jantan ini kemudian dibeli oleh seorang pedagang keturunan Arab dan dibawa kembali ke Jawa. Ketika putera pedagang itu melangsungkan perkawinan di Losari, Keris Naga Biru disisipkannya di pinggang sebagai hiasan. Sewaktu pengantin lelaki diarak ke rumah pengantin perempuan, muncullah serombongan perampok. Mereka tidak mengganggu atau menciderai siapapun. Yang mereka tuju adalah Keris Naga Biru itu. Sejak senjata itu jatuh ke tangan perampok, selama bertahun-tahun tak ada kabar beritanya lagi. Sampai suatu ketika seorang kiyai bernama Tembusi mendirikan pesantren ini, ternyata Keris Naga Biru itu ada padanya.”
“Ceritamu panjang dan menarik,” kata Ki Sandakan. “Namun cukup jelas bahwa keris itu adalah milik pesantren Nusa Barung sejak pendirinya yang pertama yakni Kiyai Tembusi...”
Kunti Kendil menggeleng. “Pemilik syah senjata ini adalah putera pedagang Arab itu. Jika turunannya masih ada, turunannya itulah pewaris yang syah. Bagaimana sampai keris ini berada di tangan Kiyai Tembusi tak ada petunjuk sama sekali...”
“Mungkin Kiyai Tembusi mendapatkannya sebagai hadiah, atau mungkin juga membelinya dari salah satu turunan pedagang Arab itu…” kata Ki Sandakan.
“Semua mungkin” menyahuti Kunti Kendil. “Karena itulah kukatakan, kukembalikan keris ini padamu sebagai barang titipan. Kelak jika pemiliknya yang syah diketahui dengan bukti-bukti maka kau harus mengembalikannya...”
“Kalau tidak diketahui…?” ujar Ki Sandakan.
"Selama itu pula kau berhak memegangnya!"
Ki Sandakan tak ingin berdebat dengan nenek itu. Sambil mengusap-usap badan keris, Kunti Kandil berkata, “Setahuku bukankah senjata sakti ini mempunyai pantangan? Setiap dikeluarkan dari sarungnya pasti minta korban. Kalau tak ada korban maka yang mencabutnya yang akan mati…. Betul begitu?”
Ki Sandakan mengangguk. Tentu saja Mahesa menjadi terkejut. Seingatnya dia telah beberapa kali mencabut keris itu. Tadipun dia telah mancabutnya dan ternyata Karangpandan yang jadi korban.
“Karena pantangan itu sebaiknya dimasukkan kembali ke dalam sarungnya….” Lalu Kunti Kendil meminta sarung senjata itu pada Mahesa. Setelah keris dimasukkan Kunti Kendil segera menyerahkannya pada Ki Sandakan.
“Nah, sekarang apakah urusanmu dengan muridku ini sudah selesai?” tanya si nenek.
“Kukira begitu, harap dimaafkan atas segala kekeliruan,” jawab Ki Sandakan. “Tapi masih ada sesuatu yang mengganjal...”
“Eh, apakah itu…?”
“Ini menyangkut muridmu yang satu itu. Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam. Dia telah membunuh tiga pengurus pesantren dan beberapa murid pesantren. Dia telah menculik seorang gadis juga anak murid pesantren. Gadis itu kini telah menemui ajal...”
“Apa muridku itu juga yang membunuhnya?” Tanya Kunti Kendil.
Ki Sandakan terdiam sebentar lalu menjawab. “Memang bukan dia. Gadis itu menemui ajal karena terkena serangan nyasar kelabang Datuk Iblis...!”
“Hemm... begitu? Berarti berkurang sedikit dosa muridku. Lalu apa maksudmu mengutarakan semua itu?”
"Muridmu telah membuat kesalahan bahkan dosa besar. Dia layak dihukum. Bukan saja oleh kami orang-orang pesantren Nusa Barung. Tapi juga oleh rimba persilatan. Tak sedikit tokoh-tokoh silat tak berdosa mati ditangannya!”
Kunti Kendil hela nafas panjang dan geleng-gelengkan kepala. Sesaat kemudian dia baru bisa berkata. “Ki Sandakan, jika muridku itu berotak sehat, maka aku yang pertama sekali mencopot kepalanya. Tapi setelah kuketahui otaknya miring alias gila, bagaimana bisa minta pertanggungan jawab terhadap orang seperti dia. Dia jelas membunuh. Tapi diluar sadar, diluar otak sehatnya. Hukum tidak berlaku terhadap Orang gila...”
“Lantas, apakah akan dibiarkan terus dia melakukan kegilaan. Membunuh dan menimbulkan malapetaka?!” tukas Ki Sandakan.
“Tentu saja tidak...”
“Kalau begitu kau harus melakukan sesuatu...!” ujar Ki Sandakan tandas.
“Terima kasih atas peringatanmu. Aku berjanji akan memperhatikan!” kata Kunti Kendil.
Diam-diam Mahesa memperhatikan bahwa banyak perubahan terjadi pada sifat gurunya. Dulu si nenek sering bicara dan memaki seenaknya. Sekarang memang masih suka memaki, tapi jalan pikiran dan caranya bicara jauh lebih wajar dibanding ketika masih bersamanya di puncak lyang dulu.
Kunti Kendil memandang berkeliling. Lalu berpaling pada Tangan Dewa yang tegak paling dekat dengannya dan berkata, “Tangan Dewa Dari Klungkung, hari ini kau telah merusak persahabatan antara gunung lyang dengan Gunung Agung. Aku dan muridku tak bakal melupakan budi baikmu yang telah memberi pelajaran padanya!”
Sindiran si nenek ini membuat Made Tantre berubah merah wajahnya sampai ke telinga. “Nenek,” katanya, “aku menyesal sekali. Semua terjadi karena kekeliruan...”
“Begitu? Sangat disayangkan. Seorang gagah berkepandaian tinggi dan hampir menjadi pendeta sepertimu ini seharusnya banyak periksa agar tidak keliru. Tapi tak apa. Tua Bangka ketua pesantren ini, yang jauh lebih tua darimu masih juga berbuat kekeliruan...”
Kini giliran Ki Sandakan yang berubah merah mukanya. Kunti Kendil lalu tegak dihadapan Datuk Iblis Penghisap Darah. Sesaat sepasang mata nenek ini tampak seperti berbinar-binar dan ada bayangan kelembutan pada wajahnya. Namun dilain kejap tampang perempuan tua ini berubah menjadi keras garang. Kedua matanya membesar dan berapi-api.
“Belasan tahun kucari-cari akhirnya kutemui kau disini. Aku tak mau membuat keributan di tempat orang. Dosa besarmu dimasa silam tak mungkin hapus. Kau harus bertanggung jawab atas semua itu. Pada hari dua puluh satu, berarti sembilan hari dimuka, kutunggu kau di puncak lyang. Jangan berani untuk tidak datang…”
Datuk iblis tersenyum pencong dan batuk-batuk beberapa kali. “Kunti Kendil bagiku urusan masa lalu itu tak pernah kuingat-ingat lagi...”
“Enaknya!” sentak si nenek. Tangan kanannya diangkat siap untuk memukul.
Ki Sandakan cepat menengahi. “Jika kalian memang punya urusan, selesaikan di tempat lain. Aku tak ingin melihat salah satu dari kalian mengalami celaka di tempatku ini. Celakaku sendiri masih belum tertanggulangi...”
“Aku tak akan merusak tempatmu ini,” menyahuti Kunti Kendil. “Aku hanya ingin bicara pada kakek keparat muka kuning ini. Ini satu contoh lelaki pengecut yang ingin melarikan diri dari tanggung jawab...”
“Aku tak pernah melarikan diri!” tukas sang datuk.
“Kentut busuk!” damprat Kunti Kendil. “Puluhan tahun kau menghilang apa itu bukannya melarikan diri? Sampai tua begini ternyata kau masih menunjukkan kepengecutanmu...”
“Lantas apa maumu?!” Datuk Iblis tampak gusar.
“Hari dua puluh satu kau harus datang ke puncak lyang!”
“Kalau aku tidak datang?”
“Sampai kiamat aku bersumpah akan turun dari puncak lyang, tak akan kembali sebelum memecahkan kepalamu mengorek jantungmu! Tidak sulit mencarimu. Bau badanmu yang busuk tersebar kemana-mana!”
Datuk Iblis alias Lembu Surah terdiam tapi dalam hati merutuk habis-habisan. Dia tahu ketinggian ilmu nenek yang dimasa mudanya ini pernah jadi kekasihnya, namun setelah memetik sari perempuan ini ditinggalkannya ia begitu rupa. Lembu Surah tidak pernah merasa takut terhadap si nenek, namun sebagai orang yang memang pernah bersalah, dia seperti mempunyai ganjalan dan sungkan melakukan perkelahian. Entah nanti kalau terpaksa.
Kunti Kendil memandang pada muridnya. “Mahesa, kalau kau tak ada kepentingan lagi di tempat ini, sebaiknya kita pergi...”
“Tunggu dulu nek,” sahut Mahesa. Kakek bau satu ini berhutang sesuata padaku!” Mahesa menunjuk tepat-tepat ke hidung Embah Bromo Tunggal hingga dukun sakti ini tampak marah sekali.
“Gara-gara perbuatanmu ayahku menjadi gila dan ibuku menemui kematian secara tersiksa. Manusia sepertimu tak layak hidup lebih lama. Kejahatanmu sudah menembus langit!”
Embah Bromo Tunggal nampak miringkan mulutnya. Dalam beberapa kali bentrokan dengan Mahesa sebelumnya kakek ini sudah maklum kehebatan si pemuda. Jika berkelahi satu demi satu, meskipun dia masih punya banyak persediaan ilmu hitam, namun dia sadar bakal kalah menghadapi pemuda ini. Apalagi saat itu guru si pemuda ada pula disitu. Hanya ada satu hal yang mungkin membuat dia bisa selalu menang. Yakni akal bulus. Setelah berpikir cepat maka dukun sakti ini lantas berkata.
“Anak muda, kau mungkin betul. Dosaku memang banyak. Tapi ketahuilah, setiap sesuatu kulakukan, pasti ada sebabnya. Saat ini, sebelum kita meneruskan bicara, ada satu hal teramat penting yang harus kusampaikan lebih dulu pada Ki Sandakan…”
Ketua pesantren Nusa Barung itu tampak kerenyitkan kening. Yang lain-lain bertanya-tanya dalam hati. Dari balik pakaian hitamnya yang bau Embah Bromo Tunggal mengeluarkan secarik kertas yang sudah agak lusuh dan terlipat. Dia menunjuk pada Keris Naga Biru yang ada di tangan Ki Sandakan dan berkata,
“Keris itu pasti ada sangkut pautnya dengan peta yang kumiliki ini.” Si kakek dukun acungkan lipatan kertas itu seraya melangkah mendekati Kl Sandakan. Lalu katanya lagi, “Pada sarung keris terdapat beberapa gambar yang jika dihubungkan dengan petaku ini bisa diketahui dimana adanya Keris Naga Biru yang betina...”
Tentu saja kata-kata dukun sakti itu menarik perhatian semua orang. Sambil bersikap hendak membuka lipatan kertas dia mengulurkan tangannya ke arah Ki Sandakan dan berkata, “Boleh kulihat sebentar senjata itu?”
Tanpa menaruh curiga Ki Sandakan serahkan Keris Naga Biru. Begitu senjata mustika ini dipegangnya dengan tangan kanan, Embah Bromo Tunggal buka lipatan kertas di tangan kirinya. Detik itu juga terdengar suara meletup. Dari lipatan kertas menggebubu asap hitam yang dalam tempo cepat sekali membungkus dan menutup pemandangan ditempat itu seluas lima tombak.
“Awas penipu!” teriak Kunti Kendil. Dia memukul ke depan. Mahesa juga ikut menghantam. Tabir asap hitam buyar. Udara terang kembali. Namun Embah Bromo Tunggal tak ada lagi disitu. Lenyap bersama Keris Naga Biru. Dan bukan hanya si dukun jahat itu saja yang lenyap. Lembu Surah alias Datuk Iblis Penghisap Darah juga tak ada lagi di tempat itu!
Ki Sandakan terduduk di tanah saking lemasnya kehilangan Keris Naga Biru sedang Kunti Kendil banting-banting kaki. Mahesa sendiri memaki panjang pendek.
“Manusla laknat terkutuk!” sumpah Ki Sandakan sambil berdiri dan betulkan sorbannya. “Kemana pencuri itu akan dikejar?!”
Kunti Kendil berpaling pada muridnya. “Mahesa, tugasmu mengejar dukun pencuri itu…” Mahesa mengangguk. “Urusanku memang belum selesai dengan keparat itu nek! Aku akan cari sampai keneraka sekalipun…”
“Bagus! Sekarang lebih baik kita tinggalkan tempat ini…!”
“Tunggu dulu!” memotong Ki Sandakan. “Ada beberapa pertanyaan. Siapa diantara kalian yang menotok dua murid pesantren yang melakukan pengawasan di puncak menara?”
“Aku tidak,” sahut Kunti Kendil. “Mungkin dia...” kata si nenek menambahkan sambil menuding muridnya.
“Mungkin juga...” sahut Mahesa sambil keluarkan sebatang rokok kawung dan menyalakannya.
“Apakah kau juga yang menotok Komang dan meletakkannya di atap bangunan?”
Mahesa tiupkan asap rokoknya. “Mungkin juga…” katanya menjawab.
“Lalu yang azan..?”
“Mungkin!”
Ki Sandakan tak bisa berkata apa-apa lagi. Kunti Kandil tertawa geli lalu menggamit pundak muridnya. Baru saja kedua orang ini hendak berlalu tiba-tiba Kempit Bagus menghadang.
“Kalian tidak bisa pergi begitu saja!” kata hulubalang keraton Surakarta yang kakinya cidera ini.
“Eh, memangnya kenapa?!” tanya Kunti Kendil melotot. ”Apa kakimu yang satu lagi mau kupatahkan?!”
“Atau kau hendak membekali kami dengan uang?” kata Mahesa mengejek.
“Betul kau mau kasih uang?!” si nenek menimpali.
Rahang Kempit Bagus menggembung. “Aku bertindak sebagai wakil dan atas nama kerajaan. Muridmu ini harus ikut aku ke kotaraja. Dia bertanggungjawab atas kematian perajurit-perajurit kadipaten Probolinggo. Juga atas kematian seorang sahabat keraton bernama Jaliteng. Lalu kematian Adipati Mangun Aryo. Dia harus kutangkap…!”
Kunti Kendil berpaling pada Mahesa. “Muridku, si jelek ini hendak menangkapmu. Apa pendapatmu?!”
Mahesa lalu menjawab, “Dia tak tahu banyak tentang samua kejadian itu. Dia hanya mendengar laporan. Salah satu diantaranya laporan menghasut dari Karangpandan...”
“Justru untuk menjernihkan semua kejadian itu kau harus ikut aku ke kotaraja!”
“Aku tidak ada waktu!”
“Kalau begitu jangan salahkan kalau aku memaksa dengan kekerasan!” kata Kempit Bagus lalu secepat kilat kirimkan satu tusukan jari tangan ke bawah ketiak Mahesa, maksudnya hendak melumpuhkan pemuda itu dengan jalan menotok.
Mahesa cabut rokok kawungnya lalu tusukkan bagiannya yang menyala ke ujung jari tangan hulubalang keraton itu. Kempit Bagus menjerit kesakitan. Suara jeritannya hanya terdengar setengah dan seperti tercekik karena berbarengan dengan itu Mahesa sumpalkan rokok kawungnya ke mulut lelaki ini.
“Anak setan, lebih bagus kau merokok dari pada mimpi menangkapku!” kata Mahesa.
“Pemuda edan!” maki Kempit Bagus dan ludahkan rokok kawung dalam mulutnya ke tanah. Sementara Mahesa dan gurunya telah berkelebat meninggalkan tempat itu.
7. DIUJI SANG GURU
KUNTl KENDIL sengaja mengerahkan kemampuannya untuk berlari guna menguji kepandaian Mahesa. Ternyata setiap dia menoleh kebelakang dilihatnya pemuda itu hanya tertinggal empat sampai lima langkah saja.
“Eh, anak setan ini ternyata mengalami kemajuan pesat!” si nenek seperti memaki tapi dalam hati dia merasa gembira. Malah dia tampak merengut ketika dilihatnya sambil berlari itu Mahesa menghisap rokok kawung!
Sampai matahari tenggelam Kunti Kendil terus berlari ke arah barat. Diam-diam selain kecapaian Mahesa mulai merasa mangkel. Hendak dibawa kemana dia ini sebenarnya. Ketika hari sudah gelap mereka sampai di sebuah bukit gundul yang hanya ditumbuhi rumput liar dan semak belukar rendah. Di langit tampak bulan setengah lingkaran. Kunti Kendil menghentikan larinya dan tegak di puncak bukit itu sambil berkacak pinggang. Sesaat dia memandangi muridnya yang berdiri dengan nafas memburu dan tubuh mandi keringat.
“Siapa yang mengajarkanmu merokok begitu?” si nenek tiba-tiba bertanya.
“Seorang kakek bergelar Pendekar Muka Tengkorak,” jawab Mahesa.
“Aku sudah mengira,” kata si nenek. “Bagaimana sampai dia mengajarimu merokok?”
Mahesa lalu ceritakan pertemuannya dengan kakek muka tengkorak itu. Kunti Kendil geleng-geleng kepala. “Sebelumnya memang aku sudah gatal untuk menjajalmu. Sekarang setelah aku tahu kau mendapat hadiah sepertiga tenaga dalam kakek lihay itu, aku tak suka menunggu lebih lama. Kau terima ini!”
Habis berkata begitu tubuh Kunti Kendil tiba-tiba melesat kedepan. Dua serangan sekaligus menghantam ke arah Mahesa. Pertama jotosan tangan kiri ke arah pelipis, yang kedua tendangan kaki kiri yang membabat dari samping kiri ke samping kanan.
“Nenek! Kau ini kenapa?!” teriak Mahesa ketika melihat sang guru menyerangnya dengan jurus maut yang dikenalnya dengan nama Diatas Kubur Badai Mengamuk! Selama petualangannya dalam rimba persilatan Mahesa sendiri belum pernah mengeluarkan jurus hebat itu. Kini tahu-tahu dia mendapat serangan dalam jurus itu dan dari gurunya sendiri hingga kehebatannya dan juga bahayanya tidak kepalang tanggung.
Serangan seperti ini tak mungkin dihindarkan dengan membungkuk atau melompat kesamping karena jika si penyerang memiliki kecepatan tinggi seperti si nenek, salah satu dari serangan itu paling tidak masih akan mampu menyerempet. Karena mengetahui hal ini maka Mahesa tidak merunduk atau berkelit kesamping tetapi melompat ke belakang.
Justru hal ini membuat Mahesa terpedaya. Karena dia berada di puncak bukit, melompat kebelakang berarti dia melompat ke bagian tanah yang lebih rendah. Hal ini terlambat disadari Mahesa. Selagi tubuhnya terhuyung-huyung dan berusaha menjaga, satu pukulan tangan kanan menyodok ke arah lambungnya.
“Eh, anak setan ini tengah mengujiku atau mau membunuhku?” ujar Mahesa dalam hati
“Anak setan! Kau berani memaki dalam hati hati?!”
Mahesa terkejut. Bagaimana si nenek tahu kalau dia memaki dalam hati tadi? Sebetulnya Kunti Kendil hanya menduga karena dia melihat air muka si pemuda yang menyatakan keheranan tapi juga marah.
Bentakan si nenek membuat Mahesa dalam kejutnya menjadi lengah sedang kuda-kuda kedua kakinya sendiri saat itu masih belum kukuh. Ketika jotosan si nenek menghantam perutnya tak ampun lagi pemuda ini mencelat dan terguling kebawah bukit.
Ketika Mahesa bangkit berdiri kembali meskipun dengan wajah menunjukkan rasa sakit dan sambil pegangi perutnya dengan kedua tangan, Kunti Kendil diam-diam menjadi kaget.
“Perut kerbau saja pasti bobol oleh jotosanku tadi. Anak setan ini ternyata bisa bertahan. Ah, tenaga dalamnya kini bukan sembarangan. Tapi sebelum dia balas menyerang aku masih belum puas. Harus kuketahui sampai dimana kehebatannya!” Begitu si nenek membatin. Lalu dari puncak bukit dia melompat ke bawah, kirimkan lagi serangan gencar.
Mahesa sambut serangan gurunya dengan Jurus Macan Gila Keluar Dari Kuburan, Tubuhnya mengkerut kebawah. Kedua tangannya ditekankan ke sisi. Disertai teriakan keras pemuda ini menyongsong kedepan sambil hantamkan kedua tangan ke atas.
“Macan Gila Keluar Dari Kuburan!” seru Kunti Kendil sambil tertawa seolah-olah mengejek. Dengan mudah dia sebenarnya bisa menghindarkan serangan balasan muridnya itu. Tapi karena dia ingin menguji sampai dimana kehebatan tenaga dalam Mahesa maka si nenek sengaja tidak mau menarik pulang serangannya. Kedua langannya malah terus disorongkan ke depan. Melihat si nenek berbuat begitu Mahesa maklum kalau gurunya ingin mencoba adu kekuatan lewat bentrokan sepasang lengan. Mahesa segera kerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
Buk! Buk!
Dua pasang lengan saling beradu! Mahesa terpelanting sampai empat tombak ke bawah bukit. Kedua lengannya sakit bukan main, seperti ditebas pedang tajam. Sesaat dia terbaring terkapar dengan sekujur badan seperti luluh lantak. Dadanya mendenyut tanda luka dalamnya yang baru saja sembuh kini cidera kembali. Ditenggorokannya terasa ada darah. Pemuda ini mengeluh.
Perlahan-lahan dia mencoba bangkit. Kedua kakinya terasa berat seperti diganduli batu. Menyadari keadaannya ini Mahesa segera duduk bersila, atur jalan nafas dan peredaran darah. Belum lama dia melakukan hal ini, dari puncak bukit dilihatnya sang guru melompat ke arahnya. Masih setengah jalan nenek ini sudah lepaskan Pukulan Api Geledek Menggusur Makam. Sinar merah yang terang dan panas berkiblat dipuncak bukit yang hanya diterangi bulan setengah lingkaran itu.
“Benar-benar gila!” rutuk Mahesa.
Ketika terjadi bentrokan sepasang lengan tadi, kalau Mahesa terlempar ke bawah bukit maka Kunti Kendil sendiri mengalami hal yang cukup hebat dan membuat dia diam-diam memuji kemajuan yang telah dicapai muridnya. Kedua lengannya seperti dipentung besi.
Tubuhnya terhuyung beberapa langkah lalu jatuh ke tanah dengan kedua sisi terasa seperti remuk. Si nenek segera menyadari bahwa tingkat tenaga dalam Mahesa hanya dua tingkat saja dibawah yang dimilikinya. Karenanya dia meneruskan uji coba yang sedang dilakukannya itu dengan kembali menggempur muridnya dan melepaskan Pukulan Api Geledek Menggusur Makam!
Begitu sinar merah berkiblat Mahesa jatuhkan diri ke kanan. Dia bergulingan seraya menghantamkan kedua tangan melepas Pukulan Batu Karang Menghimpit Kuburan! Karena tingkat tenaga dalam Kunti Kendil sudah demikian sangat tingginya maka dengan sendirinya pukulan api geledek yang dilepaskannya hebat luar biasa.
Namun karena Mahesa menghantam dari samping sedang kekuatan sinar pukulan berada di depan, dan kekuatan tenaga dalam Mahesa juga tidak rendah, maka pukulan api geledek buyar berantakan dengan mengeluarkan suara berdentum!
“Anak setan!” maki si nenek. Dia berputar ke arah Mahesa yang tadi dilihatnya berguling. Tapi sang murid tak ada lagi disitu. “Eh, apakah dia kabur melarikan diri?” pikir si nenek. Namun sesaat kemudian dia jadi terkejut ketika tiba-tiba satu cengkeraman berkelebat ke arah mukanya sebelah kanan.
“Jari Sakti Mencengkeram Papan Nisan!” seru Kunti Kendil ketika dia kenali jurus cengkeraman itu. Secepat kilat si nenek merunduk dan dari bawah lepaskan satu pukulan. Tapi kembali dia terkejut karena dapatkan Mahesa tak ada lagi di tempat itu.
“Eh edan!” maki si nenek, heran juga penasaran. Dia melompat ke belakang untuk dapat melihat kalangan perkelahian lebih luas. Baru saja kakinya menjejak tanah, satu pukulan datang menderu dari samping. Jika dia tidak cepat membuang diri ke depan pasti kepalanya akan dimakan pukulan tadi.
Sewaktu dia berpaling ke belakang, dilihatnya Mahesa berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang aneh sedang kedua mata terpejam dan mulut terkancing rapat. “Heh, anak setan ini sedang apakah?” membatin si nenek, Tiba-tiba Mahesa dilihatnya menghampirinya dengan langkah tersaruk-saruk.
Tidak menunggu lebih lama, si nenek yang tengah menguji kemampuan muridnya ini segera menyerbu kembali dengan serangan bertubi-tubi. Mahesa terkurung rapat oleh hujan serangan. Tapi sampai lima jurus dimuka tak satu seranganpun berhasil mengenai tubuhnya yang bergerak kian kemari seperti orang mabok!
Malah sebaliknya si nenek kini merasakan ada tekanan balasan dari gerakan-gerakan aneh yang dibuat muridnya. Ketika dia memperhatikan lebih seksama atas satu tendangan aneh yang dilancarkan Mahesa. Nenek ini berseru keras, “ llmu Silat Orang Buta!”
Mahesa tidak menyangka sang guru secepat itu mengenali jurus jurus silat yang dimainkannya. Pemuda ini melangkah mundur dan buka kedua matanya. Dia yakin kalau diteruskan akan berhasil memukul kena tubuh gurunya!
“Anak setan! Kau curi dimana ilmu silat Orang buta itu!” Kunti Kendil bertanya.
“Mana aku berani mencuri ilmu orang nek!” sahut Mahesa. ”Pemiliknya mengajarkan sendiri padaku.”
“Apa?!” Gembel Cengeng Sakti Mata Buta itu yang mengajarkannya padamu. Betul?!” Sang nenek ingin memastikan.
“Betul nek!”
“Aku tak bisa pecaya. Bagaimana dia sampai mengajarkan ilmu silat langka itu padamu!?”
“Aku sendiripun dulu tidak percaya. Hanya gara-gara persoalan sepele dia lalu mengajarkan ilmu silat itu padaku. Yaitu ketika aku menolongnya memenangkan permainan catur...”
“Ya, ya aku tahu si buta itu memang suka main catur. Coba kau ceritakan asal muasalnya.“ kata Kunti Kendil pula.
Maka Mahesapun menuturkan kisah pertemuannya dengan Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. Mendengar keterangan muridnya itu lama Kunti Kendil termenung. Sulit bagi Mahesa menduga apa yang ada dalam jalan pikiran gurunya Saat itu.
“Apakah si buta itu tahu kau murid siapa?” Kunti Kendil bertanya tak lama kemudian.
“Dia memang menanyakan, tapi tak kuberitahu. Hanya tampaknya mungkin dia memang tahu...”
“Bagaimana kau bisa menduga demikian?”
“Dia pernah menyebutkan salah satu jurus silat yang kau ajarkan padaku..”
“Begitu..?” Si nenek kembali termenung. Antara terdengar dan tidak dia berkata, “Apakah akan kuceritakan mengenai lelaki buta itu pada anak setan ini?”
“Nek, kau bicara apakah?” Mahesa bertanya.
“Tidak, tidak apa-apa!” jawab Kunti Kendil akhirnya. Dia mengeluarkan sebuah kantong kecil terbuat dari kain. Dari dalam kantong ini diambilnya tiga buah benda sebesar kelereng berwarna hijau. “Ini obat mujarab. Telanlan sebutir agar luka dalammu lekas sembuh. Yang dua lagi simpan baik-baik. Sewaktu-waktu kau mungkin memerlukannya.”
“Terima kasih nek.” Mahesa segera menelan obat yang diberikan dan menyimpan yang dua bulir lagi. Tubuhnya terasa hangat. Aliran darahnya seperti lebih cepat dan bagian dadanya yang sakit terasa sejuk seperti disiram embun pagi.
“Mahesa, sekarang kau memiliki tenaga dalam tinggi. Ditambah dengan ilmu silat yang kau pelajari dariku serta yang kau dapat dari kakek buta itu, tak sembarang orang dapat mengalahkanmu. Tapi satu hal harus kau ingat, seseorang itu bisa dikalahkan bukan saja oleh ketinggian ilmu, tapi juga oleh kelicikan. Karenanya dalam menghadapi orang-orang seperti Bromo Tunggal kau harus hati-hati. Lihat saja sore tadi bagaimana dia berhasil mampu dan melarikan Keris Naga Biru itu!”
Mahesa manggut-manggut tanda mengerti sekali ucapan gurunya itu.
"Sekarang katakan mengapa kau tidak berhasil melaksanakan dua tugas utama yang kuberikan tempo hari?”
“Aku mohoh maafmu nek. Tentang orang bernama Lembu Surah itu memang pernah kutemui beberapa kali. Pertama di Bukit Akhirat. Lalu waktu aku ditangkap dan dibawa dengan kereta ke kotaraja. Lalu yang terakhir sekali tadi. Namun sebelum aku ada kesempatan untuk bicara dengan dia, orang itu sudah keburu pergi...”
“Tugasmu yang satu ini tak usah kau lanjutkan. Biar aku yang menanganinya sendiri. Tapi jika hari dua puluh satu nanti dia tidak muncul di puncak Iyang maka aku akan turun gunung dan mungkin minta bantuanmu kembali untuk mencari manusia itu!”
“Aku hanya menurut petunjukmu saja nek,” kata Mahesa.
“Lalu bagaimana dengan tugasmu yang kedua. Menyangkut Wirapati?”
“Tadi dia muncul disini nek...”
“Aku tahu!”
“Setelah kekasihnya terbunuh dia mengamuk lalu pergi. Aku tak sempat menemuinya...”
Kunti Kendil merenung sejenak. Lalu berkata, “Kau tetap harus mencarinya. Namun sekali ini kau tak boleh menurunkan tangan keras terhadapnya. Pertama karena belum tentu kepandaiannya lebih rendah darimu. Kedua, sekarang aku tahu semua kejahatan dan kesesatan yang dibuatnya terjadi karena otaknya yang miring. Tugasmu adalah membujuknya dan kalau bisa mengobati penyakitnya. Selama otaknya yang tidak waras tidak diobati, selama itu pula dia tak akan berubah. Kau mengerti anak setan?!”
“Mengerti nek” sahut Mahesa.
“Apakah kau sudah menemui orang tuamu?” Kunti Kendil bertanya.
“Kuburan ibu sudah kusambangi di Probolinggo. Ayahku yang ternyata bernama Randu Ampel juga pernah kutemui beberapa kali. Tapi tentu saja dia tak mengenali aku. Keadaan dirinya hampir tiada beda dengan Wirapati...”
“Gila maksudmu?”
“Ya. Gila karena diguna-gunai orang. Bekas adipati Mangun Aryo kabarnya yang melakukan itu. Dia minta buntuan dukun keparat bernama Embah Bromo Tunggal itu...”
“Kalau begitu layak sekali kau membuat perhitungan dengan manusia jahat itu. Sekaligus mengambil kembali Keris Naga Biru yang dilarikannya...”
“Menurut Pendekar Muka Tengkorak, dukun jahat itu juga melarikan sebuah kitab silat milik si kakek. Aku mohon petunjukmu jika menghadapi dukun itu. Ilmu silumannya macam-macam. Tak mempan senjata tak mempan pukulan…”
Kunti Kendil tertawa mengekeh. “Ilmu hitam memang hebat. Tak mempan segala macam senjata, tak mempan gebukan. Tapi tetap ada kelemahannya!”
“Aku mohon petunjukmu nek!” kata Mahesa Iagi.
“llmu hitam seperti yang dimiliki dukun jahat itu tak akan berdaya terhadap panas atau api. Jika dia mengeluarkan ilmu silumannya bisa kau hantam dengan pukulan api geledek. Tapi kau tak bisa memukul terus menerus. Kau bisa konyol lemas. Yang harus kau lakukan ialah mengusahakan untuk membuat api. Lalu menyerang mahIuk jejadian ciptaannya dengan api itu.”
“Terima kasih nek. Petunjukmu sangat berharga,” kata Mahesa senang sekali.
“Sejak kau turun gunung, apakah ada seorang gadis yang menarik perhatianmu?”
Pertanyaan ini membuat Mahesa terkejut setengah mati. Sampai sejauh manakah si nenek mengetahui gerak gerik sepak terjangnya setelah meninggalkan puncak lyang? Jika dia berdusta untuk menutupi rahasia pribadinya itu, mungkinkah si nenek sudah Iebih dahulu mengetahui?
“Anak setan! Aku bertanya mengapa kau melamun dan tak menjawab?!” Kunti Kendil membentak.
“Tidak ada, tak ada gadis yang menarik perhatianku. Memang ada kutemui gadis-gadis cantik cuma pikiranku beIum sejauh...”
“Sejauh apa...?”
“Maksudku mereka tidak benar-benar membuat aku tertarik.”
“Begitu?” Si nenek lalu kenawa cekikikan.
“Celaka!” kata Mahesa dalam hati.
“Jangan-jangan dia mengetahui hubunganku dengan Mirani. LaIu juga dengan Kemala…” Kecemasannya berubah menjadi rasa lega setelah didengarnya sang guru berkata.
“Mahesa, saat ini juga aku akan kembali ke puncak Iyang ingat semua pesanku. Ingat semua tugasmu. Lain hari kita akan bartemu kembali!”
“Aku akan ingat semua tugas dan pesanmu nek.”
Mahesa lalu menjura dalam-dalam.
“Satu hal... jika kau bertemu dengan Gembel Cengeng itu, katakan aku mencarinya.” Si nenek usap kepala muridnya lalu berkelebat pergi.
8. PETI MATI DI ATAS GEROBAK. TANGAN DEWA DARI KLUNGKUNG MENDAPAT BALASAN
KUDA HITAM penarik gerobak itu berhenti perlahan. Selain orang yang menjadi sais tak ingin cepat-cepat, jalan yang ditempuh memang mendaki sedang muatan yang dibawa cukup berat. Dalam malam yang gelap itu gerobak ini bergerak menuju sebuah bangunan tua yang terletak dipuncak sebuah bukit kecil. Di atas gerobak terletak sebuah peti panjang terbuat dari kayu jati yang kokoh dan berat. Melihat bentuk peti ini jelas itu adalah sebuah peti mati!
Kusir gerobak duduk dengan tampang angker. Sepasang matanya hampir tak barkesip dan berwarna merah. Rambutnya yang gondrong acak-acakan ditiup angin malam yang dingin. Bibur dan dagunya penuh ditumbuhi kumis serta cambang bawuk yang meranggas tak terpelihara.
Ketika bulan sabit tertutup awan gelap, gerobak ini sampai di puncak bukit. Berhenti dihadapan sebuah rumah tua yang diselimuti kegelapan. Dari tempatnya duduk di depan gerobak, kusir kereta itu terus memandang keliling baru turun. Dia melangkah ke bawah belakang gerobak. Perlahan-lahan, sangat hati-hati dia membuka penutup peti mati.
Didalam peti itu, terbujur sesosok tubuh perempuan berpakaian putih dalam. Wajahnya yang dulu tentunya cantik kelihatan agak kebiru-biruan. Begitu juga kedua tangannya serta ujung kakinya yang tersembul dari pakaian putih itu. Paras yang biru itu diberi berpupur, sipat mata dan alis serta pewarna bibir.
Rambutnya kelihatan berkilat. Mungkin diberi sejenis minyak dan berbau harum. Pada salah satu telinganya terselip sekuntum bunga mawar merah terbuat dari kertas. Beberapa lamanya lelaki pengemudi kereta ini pandangi wajah yang seperti tidur itu. Kedua matanya yang merah tampak berkaca kaca.
“Dewiku...” katanya kemudian berbisik. “Kita sudah sampai. Mudah-mudahan pembunuhmu itu ada disini. Aku akan membalaskan sakit hatimu dan dendam kesumat. Jika dia sudah kubunuh baru jenazahmu akan kutanam…”
Setelah berkata begitu, dengan sangat hati-hati seperti takut akan membangunkan jenazah dalam pati itu, lelaki ini menutup peti mati itu kembali. Lalu dia melangkah menuju pintu rumah tua.
“Iblis keparat Lembu Surah! Keluarlah! Aku datang untuk minta nyawa anjingmu!”
Di hadapan pintu rumah tua, lelaki itu berteriak keras. Suaranya menggelegar dimalam gelap dipuncak bukit yang sunyi itu.
Tak ada jawaban dari dalam rumah. Lelaki ini kembali berteriak. Berulang kali. Setelah menunggu tak kunjung ada jawaban dia tendangkan kaki kanannya. Pintu rumah terpentang hancur berantakan.
Sesaat ketika dia hendak melangkah masuk, dari ruangan dalam dilihatnya ada nyala lampu. Sesosok tubuh yang membawa lampu itu melangkah menuju ke pintu. Lelaki yang dipintu kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan, siap memukul. Namun kemudian dilihatnya orang yang membawa lampu minyak itu bukan manusia yang dicarinya. Bukan lelaki, melainkan seorang perempuan tua bermuka putih.
“Setan alas dari mana yang malam-malam begini kesasar kerumahku?!” perempuan itu menegur.
“Waw...waw! Perempuan bermulut lancang. Mau kurobek mulutmu?!”
“He! Hendak merobek mulutku...? Edan betul!” Perempuan itu acungkan lampu minyak tinggi-tinggi untuk melihat wajah tamunya. Ketika dia melihat wajah itu dibawah penerangan lampu minyak, kecutlah hatinya. Wajah yang seram itu membuat dia mundur selangkah.
“Aku mencari manusia bernama Lembu Surah Bergelar Datuk Iblis Penghisap Darah. Aku tahu ini rumahnya! Katakan apa dia ada didalam! Waw... waw!”
“Lembu Surah!” desis perempuan itu. “Ini memang rumahnya. Tapi... sudah lebih dari sepuluh tahun dia tak pernah datang kemari.”
“Jangan dusta!”
“Untuk apa aku berdusta! Akupun kalau bertemu dia, ingin rasanya membunuhnya!”
“Kau siapa?!” bentak sang tamu.
“Aku peliharaannya!” jawab perempuan itu tanpa malu-malu. “Kau sendiri siapa? Mengapa kau tadi berteriak hendak mencabut nyawa Lembu Surah?!”
“Waw... waw! Gendakmu itu membunuh istriku!” Lelaki ini menuding ke arah peti mati di atas gerobak. “Jika dia datang kemari katakan padanya aku Wirapati bergelar Iblis Gila Tangan Hitam mencarinya dan akan membunuhnya! Kau dengar! Waw... waw!”
“Apa itu Waw Waw?!”
Wirapati jambak rambut perempuan muka putih itu hingga dia merintih kesakitan. “Perempuan tua! Nyawa manusia bagiku tak lebih berharga dari nyawa tikus! Jangan sampai aku membunuhmu. Waw waw!”
Wirapati lepaskan jambakannya. Tapi perempuan muka putih itu dasar bandel, setelah dilepas jambakannya dia lalu berkata, “Malam-malam dingin dan gelap begini kau hendak terus kemana waw waw? Bagusnya menginap disini. Aku tinggal sendirian disini. Aku bersedia melayanimu. Apapun yang kau pinta...”
“Bangsat tua” maki Wirapati lalu tangan kanannya mencengkeram ke depan. Perempuan itu cepat mundur hingga hanya pakaiannya saja di bagian dada yang kena dirobek.
Bret!
Dadanya tersingkap. Ternyata diusia setua itu perempuan ini masih memiliki sepasang payudara yang putih dan bagus. Dapatkan dadanya terbuka begitu rupa dia bukannya marah malah tertawa panjang.
“Mau masuk...?” ajaknya.
Wirapati tendang kusen pintu di depannya. Kayu kusen itu patah. Bagian pintu diatasnya roboh. Kali ini baru perempuan muka putih itu ketakutan lalu cepat-cepat masuk ke dalam rumah. Sampai di belakang gerobak, Wirapati kembali membuka penutup peti mati.
“Dewiku, manusia itu tak ada disini, Waw waw! Berarti kita akan berjalan jauh lagi. Tapi percayalah, asalkan kau sabar kita pasti akan menemuinya. Aku suamimu ini pasti akan membunuhnya”
Penutup peti diturunkan kembali. Wirapati melompat ke atas gerobak. Kendaraan itu kemudian meluncur meninggalkan puncak bukit.
***
KITA tinggalkan dulu perjalanan Wirapati yang membawa mayat Sundari mencari Lembu Surah. Mari kita ikuti kembali perjalanan Mahesa. Setelah berpisah dengan gurunya pemuda ini langsung menuju ke timur guna mencari jejak kakak seperguruannya itu. Ini bukan pekerjaan mudah. Apalagi dia ditugaskan pula untuk mengejar Embah Bromo Tunggal yang telah melarikan Keris Naga Biru.
Dalam pada itu keinginannya untuk mencari ayahnya kembali sulit pula dibendung. Pemuda ini hampir-hampir bingung yang mana harus dilakukannya dulu dan kemana dia harus menyirap kabar mencari jejak. Sementara itu dia ingin sekali mengetahui, apakah nanti pada hari kedua puluh satu Lembu Surah akan benar-benar datang ke puncak Iyang guna menemui gurunya. Jika kakek iblis itu datang pastilah akan terjadi perkelahian hebat disana.
Ketika dia ingat kepada Mirani, hatinya mendorong-dorong pula untuk pergi kesana. Sesaat dia terkenang pula pada Kemala. Setelah meloloskan diri dari tangan Datuk Iblis tempo hari kemana gadis itu pergi dan dimana dia berada sekarang?
Suatu siang Mahesa sampai disebuah tepi sungai yang airnya deras karena hujan lebat di hulu. Memandang air sungai ini Mahesa ingat kali Ngrowo dimana dia menemui Kiyai Jalatunda. Pemuda ini menarik nafas panjang dan duduk di tebing sungai. Selagi dia termenung begitu rupa tiba-tiba dari arah hilir sungai kelihatan sebuah perahu meluncur cepat.
Mahesa merasa heran. Perahu itu jelas melawan arus tetapi ternyata dapat meluncur cepat sekali. Dia memperhatikan satu-satunya penumpang yang mengayuh perahu itu. Dari jauh kelihatan orang ini mengenakan pakaian kuning. Setelah tambah dekat Mahesa segera mangenalinya. Penumpang perahu itu bukan lain adalah Made Tantre, tokoh silat dari Bali yang bergelar Tangan Dewa Dari Klungkung.
Mahesa cepat berlindung dibalik semak belukar rendah di tepi sungai. Setelah perahu itu lewat dia berpikir-pikir sejenak akhirnya memutuskan untuk mengikuti ke hilir. Di sebuah tikungan Made Tantre merapatkan perahunya ke tepi lalu melompat turun dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.
Dari caranya berjalan kelihatannya orang ini tidak terburu-buru. Mahesa terus menguntit hingga akhirnya sampai di mulut sebuah desa. Saat itu, dari sebelah depan, di jalan desa yang berdebu kelihatan meluncur sebuah gerobak, memapasi arah perjalanan Made Tantra.
Kira-kira seratus langkah dari hadapan Made Tantra, pengemudi gerobak tahan tali kekang kuda hitam. Gerobak itu langung berhenti. Memperhatikan kusir gerobak, astaga! Merasa mengenali orang itu. Bukan lain adalah Wirapati, kakak seperguruannya yang memang sedang dicari-carinya. Tetapi Mahesa tidak segera mendatangi Wirapati.
Baginya jelas ada sesuatu yang hendak dilakukan Wirapati terhadap Made Tantre. Mahesa mendekam dibalik sebatang pohon besar dan mengikuti apa yang bakal terjadi.
Tangan Dewa Dari Klungkung rupanya sudah pula mengenali siapa adanya kusir gerobak yang melompat turun dan melangkah mendatanginya itu.
“Waw waw!” Wirapati buka mulut keluarkan suara. “Bukankah kau salah seorang dari pengeroyok di pesantren Nusa Burung itu. Waw waw!”
Made Tantra hentikan langkahnya. Hatinya agak bargetar. “Silang sengketa sudah diselesaikan. Semua terjadi karena kekeliruan. Ada maksud apa kau menghadangku?” Made Tantre bertanya.
Wirapati tertawa panjang. Dia menepuk-nepuk peti mati diatas gerobak seraya berkata, “Dewiku, kau dengar ucapan manusia tengik ini? Dia jelas ikut memegang andil sampai kau terbunuh. Sekarang enak sekali dia mengatakan silang sengketa telah selesai dan semua terjadi karena kakeliruan! Waw waw! Biarlah hari ini aku juga mengaku keliru untuk mencabut nyawamu!”
Made Tantre bukan seorang pengecut. Kalau tidak tak bakal dia mendapat julukan Tangan Dewa Dari Klungkung. Namanya di Bali dan Jawa Timur cukup disegani lawan karena ilmu silatnya memang tinggi. Namun menghadapi orang gila seperti Wirapati saat itu mau tak mau membuat hatinya bergetar.
Sebelumnya dia telah menyaksikan kehebatan Wirapati. Dikeroyok beberapa tokoh silat kelas satu dia masih sanggup melayani. Dan kini berhadapan satu lawan satu benar-benar membuat Made Tantre merasa tidak enak.
“Wirapati, seperti aku katakan antara kita tak ada silang sengketa. Kalaupun ada itu telah terselesaikan bersama gurumu. Memandang nama gurumu aku harap kau tidak berbuat yang bukan-bukan saat ini!” Made Tantre memberi ingat.
“Waw waw! Aku tak punya guru. Kau tak perlu memakai segala peradatan. Aku tak minta banyak. Hanya nyawamu sebagai imbalan nyawa kekasihku!”
“Tapi bukan aku yang membunuh. Kau tahu sendiri kekasihmu itu mati oleh kelabang hitam yang dilepaskan Datuk Iblis...”
Wirapati menyeringai. “Memang datuk keparat itu yang membunuh. Dia tak bakal lepas dari tanganku. Tapi waw waw! Seperti kubilang tadi kau punya andil atas kematian kekasihku. Sebelum nyawamu kucabut lekas kau beri tahu dimana Datuk Iblis itu berada...”
“Mana aku tahu!” jawab Mada Tantre dan diam-diam dia sudah bersiap siaga.
“Tidak tahu? Kau kawannya! Kalian sama-sama berada di pesantren Nusa Barung!”
“Kami bertemu secara kebetulan. Aku pertama kali datang hanya untuk menyampaikan duka cita atas kematian para pengurus pesantren. Kalau kemudian banyak yang datang disitu dan menyeroyokmu itu adalah ulah Karangpandan yang sudah mati terbunuh ditangan gurumu!”
“Jadi kau tak mau memberi tahu! Baiklah waw waw! Kau bisa mati lebih cepat!” Wirapati tutup ucapannya dengan memukulkan tangan.
(Halaman 86-88 hilang)
9. MAYAT YANG PANDAI MENJAWAB
WIRAPATI dapatkan dirinya berhadap-hadapan dengan seorang pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih dan menghisap sebatang rokok kawung di sela bibirnya. Pemuda tak dikenalnya ini seperti tersenyum padanya, padahal barusan menghalanginya membunuh Made Tantre.
“Waw waw! Siapa kau berani mencampuri urusanku? Minta mampus rupanya!” Wirapati membentak dengan sepasang mata merah melotot besar.
“Waw waw! Tentu saja aku tak mau mampus. Kakak Wirapati, aku Mahesa. Aku adik seperguruanmu. Sepertimu aku juga murid Eyang Kunti Kendil dari puncak lyang!”
“Aku tidak kenal kau! Aku tidak merasa punya adik sepenguruan. Waw! Apalagi merasa punya guru bernama Kunti Kendil! Kau jangan mengada-ada!”
“Aku sama sekali tidak mengada-ada waw waw!” sahut Mahesa dan tak lupa menirukan cara bicara Wirapati yang selalu menyebut waw waw. “Jika kau hanya ingin tahu dimana Lembu Surah aku akan beritahu. Asal manusia berbaju kuning ini kau lepaskan. Tak ada gunanya membunuhnya. Kulihat badannya sudah kau bikin cacat...”
“Kau tak layak memutuskan untuk tidak membunuhnya. Hanya ada satu orang yang memberi persetujuan. Aku akan tanyakan dulu. Dan awas!” Wirapati berpaling pada Made Tantra. “Jika kau berani melarikan diri sebelum ada persetujuan, tubuhmu akan kucerai berai!”
Setelah berkata begitu Wirapati cepat-cepat menuju gerobak dan membuka peti mati. Sekilas Mahesa dapat melihat sosok mayat yang ada dalam peti itu, yang wajahnya didandani.
“Dewiku, apakah kau setuju dan bersedia agar aku tidak membunuh lelaki berbaju kuning itu?” Wirapati bertanya pada mayat dalam peti. Tentu saja Sundari yang sudah mati itu tak bakal menjawab.
“Waw waw waw! Dia tak menjawab berarti setuju!” kata Wirapati. Peti mati ditutupnya kembali.
Menyaksikan kejadian ini Mahesa hanya bisa geleng kepala sambil menahan geli sementara Made Tanre tegak menunggu dengan tegang. Dia tahu bagaimanapun dibalik kegilaan yang disaksikannya itu jiwanya benar-benar terancam. Wirapati melangkah ke hadapan Made Tantra.
“Waw waw! Kau boleh pergi! Dewiku telah mengampuni jiwamu!”
Made Tantra berpaling pada Mahesa Pemuda ini berkata, “Pergilah cepat sebelum pikirannya berubah!”
“Terima kasih. Aku tak melupakan hutang jiwa ini!” Made Tantra lalu cepat berkelebat pergi.
“Waw waw! Sekarang katakan dimana Lembu Surah!” Wirapati berkacak pinggang.
“Kakak Wirapati…”
“Sialan! Aku bukan kakakmu. Jangan panggil aku dengan sebutan itu kalau tak mau kupatahkan batang lehermu!” bentak Wirapati marah.
Mahesa gelang-gelengkan kepala. Dia berusaha membujuk. “Kau mau rokok?”
“Tidak! Cepat katakan dimana Lembu Sarah berada!”
“Sabar... sabar waw waw. Satu kebetulan kita bertemu disini. Aku mendapat tugas dari guru untuk mencarimu...”
“Sialan! Lain ditanya lain yang dibicarakan! Kau mau mempermainkan aku! Makan tanganku ini!” Wirapati menghantamkan tangan kanannya. Selarik sinar hitam menderu ke arah dada Mahesa. Perkelahian antara dua murid satu guru ini tak dapat dihindarkan lagi.
Mengetahui bahwa sinar pukulan lawan mengandung racun jahat Mahesa cepat menghindar seraya balas menghantam dengan Pukulan Kincir Air Melabrak Kuburan. Wirapati terkejut ketika dapatkan pukulan saktinya tadi terpukul kesamping dan tubuhnya terdorong oleh hantam lawan. Dengan keluarkan suara menggereng Wirapati lalu menghamburkan serangan-serangan dahsyat.
Mahesa melihat jelas, semua serangan yang dilancarkan Wirapati, tak satupun jurus silat yang pernah dipelajarinya dari Kunti Kendil. Berarti kakak seperguruannya ini pernah mempelajari ilmu silat dari seorang lain!
Sebaliknya setiap serangan yang dilancarkan Mahesa selalu dapat dimentahkan oleh Wirapati. Ini tidak mengherankan karena juru-jurus silat Kunti Kendil dengan sendirinya diketahui seluk beluknya oleh Wirapati. Akibatnya dalam waktu singkat Mahesa terdesak habis-habisan.
“Anak setan ini bisa membunuhku!” Maki Mahesa dalam hati. Maka dia segera keluarkan ilmu silat orang buta untuk mempertahankan diri. Nyatanya dengan jurus-jurus silat orang buta ini serangan-serangan Wirapati bukan saja dapat dibendung tapi sekaligus Mahesa mampu ganti menyerang hingga Wirapati menjadi marah dan tiada hentinya mengeluarkan suara waw waw!
Meskipun dapat mengimbangi lawan namun sulit bagi Mahesa untuk memenangkan perkelahian itu. Hal ini disebabkan kedua tangan Wirapati yang mengandung racun berbahaya itu. Beberapa kali dia berusaha menotok lelaki ini, namun sia-sia belaka. Meskipun otaknya tidak beres tapi dalam berkelahi mata serta sikap Wirapati benar-benar tajam.
“Kakak Wirapati! Hentikan perkelahian ini! Tak ada gunanya! Salah satu dari kita akan celaka.” seru Mahesa memberi ingat. Wirapati hanya keluarkan suara waw waw dan terus menggempur.
“Anak setan!” maki Mahesa. “Hai! Kalau aku sampai celaka ditanganmu, kau tak bakal tahu dimana lembu Surah Berada!”
“Perduli setan! Aku bisa mencari tahu sendiri nanti. Yang penting saat ini kau harus mampus!”
“Celaka kalau begini! Apa akalku...?” Keluh Mahesa. Tiba-tiba dia berseru. “Hai! Jika kau terus menyerangku, apalagi sampai membunuhku, dewimu dalam peti itu akan marah...”
“Kentut busuk! Kau tak ada sangkut paut apa-apa dengan dewiku...”
“Kau lupa!” sahut Mahesa. “Dewimu itu adalah kakak iparku. Betul! Kerena kau kakakku. Kalau kau tak percaya tanyakan pada dewimu itu. Sampai dewimu itu marah, kau bakal celaka!”
“Heh...?!” Wirapati hentikan serangannya. Dia memandang pada Mahesa, lalu ke arah peti mati.
“Tanyakan padanya. Kalau dia tak menjawab berarti apa yang kukatakan benar!” Mahesa berkata setengah berteriak. Ketika berteriak dia sengaja mengerahkan tenaga dalam agar suaranya lebih mendatangkan pengaruh pada Wirapati. Sesaat Wirapati masih tak bergerak dari tempatnya. Jelas dia merasa bimbang.
“Kakak Wirapati! Kau ingin dewimu marah dan mengutukmu?!”
Wirapati tersentak. Dia memutar tubuh dan melangkah Cepat kearah gerobak. Dengan tangan gemetar dibukanya penutup peti mati. Dibelakangnya Mahesa menunggu dengan menahan geli sambil pencet hidung agar tidak tertawa.
“Dewiku...” terdengar suara Wirapati. “Apakah benar dia adik iparmu, apakah benar aku kakak seperguruannya?”
Tak ada jawaban.
“Dia tak menjawab. Berarti benar!“ kata Wirapati dalam hati. Lalu dia bertanya lagi, “Benarkah aku tak boleh mencelakainya? Benarkah aku tak boleh menyerangnya. apalagi membunuhnya. Jawablah dewiku...”
Lagi-lagi tak ada jawaban. Perlahan-lahan Wirapati menutupkan peti mati itu kembali. Lalu dia menoleh pada Mahesa dan berkata, “Betul Dewiku mengatakan kau memang adik iparnya. Kau adik seperguruanku. Aku tak boleh menyerangmu, tak boleh mencelakaimu. Tak boleh membunuhmu! Sekarang aku percaya semua katamu!”
Mahesa menarik nafas lega. “Bagus kalau begitu. Sekarang kita harus berangkat menuju puncak pegunungan lyang. Hanya tinggal beberapa hari lagi hari dua puluh satu. Lembuh Surah akan datang hari itu ke tempat guru. Kau bakal menemukannya di sana Waw waw! Kita berangkat sekarang...”
“Eh, siapa tadi namamu?” tanya Wirapati.
“Mahesa...”
“Kau boleh duduk disampingku diatas gerobak itu. Tapi awas, jangan ganggu dewiku. Aku akan marah!”
“Aku tak akan menganggu dewimu!”
“Dan juga kalau kau duduk disampingku berarti kau membelakangi dewiku. Jangan berani kentut. Dewiku bisa marah!”
Mahesa tertawa lebar. “waw waw! Tentu saja aku tak akan kentut!” katanya. Dalam hati dia memaki. “Anak setan! Dasar orang gila!”
10. TUJUH ORANG KATAI
PAGI hari, hari ke dua puluh di bulan Sura.
Dari tempatnya berada di puncak bukit kecil itu, Datuk Iblis Penghisap Darah dapat melihat puncak-puncak pegunungan lyang yang masih diselimuti kabut. Semakin tinggi matahari naik, semakin panas terasa udara dan semakin pupus kabut tebal.
Sejak malam tadi tokoh silat jahat ini duduk termenung di puncuk bukit itu. dalam dirinya terjadi peperangan antara dua pilihan. Apakah dia akan datang ke puncak Iyang seperti yang dikatakan Kunti Kendil atau melupakan saja perempuan itu.
“Heran, persoalan puluhan tahun lalu kenapa dia masih mengungkit-ungkit…”
Sebagai seorang berkepandaian tinggi tentu saja Datuk Iblis alias Lembu Surah tidak menaruh takut terhadap nenek sakti itu. Apakah Kunti Kendil akan membunuhnya jika dia muncul di puncak lyang? Memang jika persoalan lama ini tidak diselesaikan, seumur hidup dia akan merasa ada ganjalan yang tidak enak. Lembu Surah buka penutup kantong kulitnya yang baru. Lalu teguk darah busuk dalam kantong itu.
“Mungkinkah perempuan itu minta agar aku mengawininya?” Lembu Surah kembali berpikir-pikir. “Gila kalau dia berniat begitu. Sudah tua bangka begini kawin? Apa enaknya? Lucu dan gila! Ha ha ha...” Lembu Surah tertawa sendiri.
“Biarlah aku pergi juga kesana. Selesai atau tidak selesai urusan ini hanya sekali ini saja aku memenuhi permintaannya untuk datang. Setelah itu perduli setan!” Datuk Iblis memutuskan untuk pergi ke puncak lyang.
Saat itu jauh di kaki bukit, pada jalan liar yang menuju ke celah-celah di kaki pegunungan lyang Lembu Surah melihat sebuah gerobak meluncur cepat. Ada dua orang penumpang didepannya. Sebuah benda hitam tampak di bagian belakang gerobak. Karena jauh tak jelas benda apa adanya.
“Gerobak itu. Menuju kemana mereka?” Lembu Surah bertanya dalam hati. Lalu dia tutup kantong kulitnya dan berdiri. Baru saja kakek iblis muka kuning ini hendak melangkah tiba-tiba sepasang telinganya yang tajam menangkap derap kaki kuda. Ketika dia berpaling ke kanan disitu telah berdiri seekor kuda putih besar. Diatas punggung binatang yang kekar ini duduk seorang kakek berdestar dan berpakaian serba putih. Janggut serta kumisnya juga berwarna putih tanda usianya sudah sangat lanjut. Meskipun tua namun sikapnya gagah.
“Ah, dia lagi...!” desis Lembu Surah dalam hati. “Sedang menghadapi urusan pelik begini mengapa dia muncul pula disini!” Lembu Surah usap-usap kepala botaknya.
Penunggang kuda putih itu menyeringai. “Dunia ini kecil dan sempit. Jadi kemanapun kau melarikan diri pasti bisa kukejar!”
Datuk Iblis Penghisap Darah tertawa gelak-gelak. Tubuhnya yang bungkuk hampir terlipat ke depan. “Malaikat Maut Berkuda Putih! Kau memang benar! Dunia ini kecil dan sempit. Karenanya tak dapat dimuati oleh kita berdua. Salah satu dari kita harus mampus! Ha ha ha!”
“Kau betul! Kau betul!” sahut orang diatas kuda putih yang ternyata adalah musuh bebuyutan Datuk Iblis dan telah mengejar datuk ini selama bertahun-tahun. “Kau betul Datuk Iblis. Dunia ini sempit dan tak muat untuk kita berdua! Dan takdir menetapkan bahwa manusia jahat serta jelek macam kau inilah yang harus mati duluan!”
“Mulutmu besar nian!” bentak Datuk Iblis.
“Percuma aku dijuluki Malaikat Maut kalau tidak mengetahui bahwa kau memang yang bakal mampus duluan!”
“Kita akan lihat! Kita akan lihat!” kata Datuk Iblis pula lalu tangannya bergerak hendak membuka kayu penutup lobang kantong kulit.
Melihat gerakan ini Malaikat Maut Berkuda Putih segera tepuk tengkuk kudanya. Binatang Ini melompat ke depan dan tendangkan kaki kanannya ke arah Datuk Iblis! Mau tak mau Sang Datuk terpaksa melompat mencari selamat dan ini berarti dia tak punya kesempatan untuk membuka penutup kantong. Memang kakek berpakaian putih itu mengetahui betul bahwa kehebatan lawannya terletak pada isi kantong itu. Yakni darah busuk berisi puluhan kelabang hitam beracun.
Jika sampai Datuk lblis sempat menyerang dengan semburan kelabang, sulit baginya untuk mencari selamat. Karena itulah tekad pertamanya menggempur sang datuk ialah mendesak lawan demikian rupa hingga tidak sempat mereguk darah busuk dalam kantong dan kalau dapat menghancurkan kantong itu seperti yang pernah dilakukan oleh Mahesa. Namun karena Datuk Iblis memiliki kepandaian tinggi tentu saja tidak mudah bagi setiap lawan untuk dapat memusnahkan kantong kulitnya itu.
Setelah berhasil mengelak dari tendangan kuda, ketika memandang kedepan Datuk lblis dapatkan lawannya sudah melompat turun dari kuda dan loloskan destar putih dari kepalanya. Ketika bertempur di Bukit Akhirat sang datuk sudah mengetahui kehebatan destar ini. Dia harus bersikap hati-hati walaupun tidak merasa jeri.
Sementara itu kakek yang berjuluk Malaikat Maut Berkuda Putih tanpa tunggu lebih lama langsung saja menyerang lawannya dengan hantaman-hantaman destar putih. Gerakannya perlahan, lemah gemulai hampir seperti seorang penari. Tapi angin pukulan yang keluar dari destar kain itu bukan main kerasnya. Apalagi ujung destar seolah-olah seperti kepala seekor ular. mematuk kian kemari. Yang diincar adalah bagian kepala dan kantong kulit di bahu kiri Datuk lblis.
Dapatkan dirinya terdesak, Datuk lblis ini jadi beringas. Dia hantamkan tangan kanannya. Selarik sinar hitam menggidikkan melasat ke arah Iawannya. Malaikat Maut Berkuda Putih cepat kebutkan destar di tangan kanannya. Untuk menyambuti hantaman pukulan sakti Iawan ini si kakek berpakaian putih kerahkan hampir dua pertiga tenaga dalamnya.
Bum!
Sinar hitam pukulan sang datuk buyar berantakan. Sebaliknya kakek berjanggut putih terhuyung-huyung ke belakang. Didapatinya ujung destamya telah hangus hitam!
Datuk Iblis tertawa gelak-gelak. “Apakah kau masih belum melihat tingginya gunung dalamnya lautan?!” ejek Datuk lblis.
Malaikat Maut Berkuda Putih kertakkan rahang dan tanpa menjawab ucapan lawannya terus saja dia menggempur dengan hantaman-hantaman destar, pukulan tangan kiri serta dibantu oleh tendangan-tendangan kudanya!
Melihat serangan-serangan Iawan yang lebih banyak ditujukan pada kantong kulitnya Datuk lblis mulai menimbang-nimbang. Jika dia harus maneruskan perkelahian itu maka dia harus mampu meneguk cairan darah busuk yang ada dalam kantong kulit. Kalau tidak mungkin memakan waktu lama sebelum dia berhasil menobohkan lawan.
Kemudian dia ingat pula akan rencana kedatangannya ke puncak lyang. Jika dia sampai terluka atau kehilangan isi kantongnya maka sangat berbahaya baginya untuk muncul menemui Kunti Kendil. Kakek botak muka kuning ini akhimya mengambil keputusan untuk membunuh saja Malaikat Maut Berkuda Putih. Karena kalau hanya melukainya saja, kemungkinan besar lawan akan menguntitnya sampai di puncak lyang. lni berarti kalau terjadi bentrokan dengan Kunti Kendil maka dia akan menghadapi lebih dari satu lawan.
Didahului oleh satu teriakan dahsyat Datuk lblis Penghisap Darah robah permainan silatnya. Gerakannya lebih cepat dan mulutnya tampak bergerak-gerak seperti tengah merapal sesuatu. Tiba-tiba kakek ini berseru, “Malaikat Maut, lihat tanganku! Lihat tanganku!”
Malaikat Maut Berkuda Putih maklum kalau lawan hendak mengeluarkan semacam ilmu siluman. Tadipun dia sudah melihat mulut sang datuk yang bergerak membaca mantera. Maka diapun balas membaca ayat-ayat suci. Namun pandangan matanya telah terpesat pada kedua tangan lawan. Yang dilihatnya saat itu bukan tangan melainkan dua ekor ular besar yang mulutnya menghembuskan udara berwarna merah pekat dan berbau busuk!
Malaikat Maut Berkuda Putih merasakan jalan nafasnya sesak tersumbat oleh hawa busuk sedang kuda putihnya meringkik liar sambil mengangkat-angkat kaki. Binatang ini tampak ketakutan melihat dua ular besar yang berkelebat kian kemari.
“llmu siluman tak berguna! Pergi!” teriak Malaikat Maut. Dari saku pakaian putihnya dia menjumput sebuah benda berwarna merah lalu dilemparkannya ke arah kedua ular jejadian Itu. Benda ini ternyata adalah tanah kuburan! Begitu terkena tanah kuburan serta merta dua ekor ular besar itu mendesis keras, menggeliat dan lenyap!
“Keparat!” maki Datuk lblis marah sekali. Namun saat itu dia mendapat kesempatan untuk membuka kantong kulitnya dan meneguk isinya. Begitu mulutnya penuh terus saja dia menyembur.
“Kelabang perenggut jiwa...!” seru Malaikat Maut Berkuda Putih dengan suara bergetar dan wajah pucat. Dia sadar kini kalau tadi lawan sengaja mengeluarkan ilmu siluman hanya untuk mendapatkan kesempatan meneguk cairan dalam kantong! Tujuh kelabang hitam beracun mematikan melesat ke depan. Empat ekor ke arah kakek berjanggut putih itu, tiga lainnya ke arah kuda putih.
“Rasakan kau sekarang! Mampuslah!” Datuk lblis tertawa gelak-gelak. Dia tahu pasti bagaimanapun tingginya ilmu lawannya itu, tapi terhadap kelabangnya pasti tak akan berdaya. Kalaupun dia sanggup berkelit masakan tak satupun dari kelabang mautnya akan sampai disasaran.
Malaikat Maut jatuhkan diri seraya putar destar putihnya sedang tangan kiri lepaskan pukulan yang mengeluarkan sinar putih. Namun empat kelabang itu tak mungkin lagi dielakkan atau dihantam. Tiga kelabang lainnya juga sudah pasti menancap di tubuh kuda putih.
Tapi tiba-tiba terjadilah satu hal yang tidak terduga. Mendadak saja terdengar suara riuh rendah seperti suara anak-anak ramai bermain. Entah dari mana munculnya tahu-tahu melayang tujuh buah ranting kering. Empat buah ke arah Malaikat Maut Berkuda Putih, tiga ranting ke arah kuda miliknya.
Clep... clep... clep… clep… cIep… clep… clep!
Tujuh kelabang hitam perenggut jiwa menancap pada tujuh ranting kering itu lalu sama-sama jatuh luruh ke tanah! Malaikat Maut dan kuda putih itu selamat dari kematian!
Kaget Datuk lblis bukan alang kepalang. Dengan muka mengelam dan rahang menggembung tanda marah dia berpaling ke kanan. Dan datuk ini jadi lebih kaget lagi. Beberapa langkah dari hadapannya dilihatnya tujuh manusia katai, berpakaian aneka warna. Ketujuhnya menunjukkan tingkah yang aneh. Sambil berteriak-teriak ramai ada yang tertawa, ada yang menyeringai. Lalu ada pula yang beriingkrak-jingkrak dan jungkir balik. Beberapa diantaranya menari-nari.
“Setan atau tuyulkah mereka ini?” pikir sang datuk. “Dari mana tahu-tahu mereka muncul disini?! Apa mereka yang tadi melemparkan tujuh ranting itu?! Lalu apa hubungannya manusia-manusia katai ini dengan Malaikat Maut? Mengapa mereka menolongnya?!”
“Manusia-manusia jelek setengah jadi!” teriak Datuk lblis. “Berani kalian mencampuri urusan orang?! Lekas pergi dari sini kalau tidak ingin kupuntir leher kalian satu demi satu!”
Tujuh manusia katai itu seperti tidak mendengar bentakan sang datuk. Ketujuhnya terus saja bertingkah seperti tadi sambil berteriak-teriak ramai tidak ubahnya seperti anak-anak yang asyik bermain.
Merasa tidak diambil perduli Datuk lblis lalu mendekati salah seorang dari manusia katai ini dan jambak rambutnya. Tapi hup! Orang katai ini dengan gesit jatuhkan diri ke bawah lalu menyelinap ke bawah selangkangan sang datuk. Kakek ini merasakan pahanya dicubit hingga dia terpekik kesakitan. Tujuh orang katai tertawa riuh rendah!
Malaikat Maut Berkuda Putih menyaksikan kejadian itu hampir tak percaya. Penuh marah Datuk lblis mengejar orang katai berbaju coklat yang tadi mencubit selangkangannya. Tapi enam kawannya segera menghalangi sambil beneriak-teriak. Si katai berbaju coklat tampak bertepuk tangan sambil mencibir-cibir!
“Kurang ajar” Datuk lblis geram sekali. Dia pergunakan kakinya kiri kanan menendang! enam orang katai yang menghalanginya menangkap si coklat. Tapi baru saja dia menggerakkan kaki, empat orang katai cepat dan tangkas menangkap pergelangan kakinya lalu dua lainnya menggelitiki telapak kaki itu hingga sang datuk berteriak-teriak kegelian! Setelah puas menggelitik baru mereka melepaskan kakek botak muka kuning ini!
“Kalian benar-benar minta mampus!” Datuk Iblis buangi bentakannya dengan lepaskan pukulan sakti yang mamancarkan sinar hitam menggidikkan.
“Awas! Pukulan itu beracun!” teriak Malaikat Maut Berkuda Putih memberi ingat karena dia tak ingin orang-orang yang telah menyelamatkannya itu mendapat celaka.
Tapi apa yang diperbuat orang-orang katai itu sungguh luar biasa. Mereka bukannya menyingkir atau menyelamatkan diri, malah ketujuhnya berlomba-lomba menyongsong datangnya sinar hitam. Mereka berteriak riuh rendah. Bahkan ada yang membuka mulut lebar-lebar seperti hendak mereguk sinar hitam itu!
Bias! Blas! Blas!
Sinar hitam menghantam. Tujuh orang katai menyambut dengan kedua tangan dikembangkan. Mereka tampak terhuyung tapi cuma sebentar. Sesaat kemudian, begitu sinar hitam mengenai telapak tangan mereka, maka masing-masing lalu mengusap muka dengan telapak tangan itu, pada seperti orang mencuci muka!
Berubahlah paras Datuk Iblis. Lututnya terasa goyah. Seumur hidup belum pernah dia menyaksikan kejadian seperti Ini. Dimana ada tokoh silat yang paling tinggi ilmunya sekalipun, sengaja dan berani menyongsokan tubuh ketika diserang oleh sinar pukulan mematikan. Apalagi memperlakukan sinar maut itu seperti air pencuci muka!
“Mereka pasti bukan manusia! Mereka iblis-iblis puncak bukit ini!” membatin sang datuk. Dan hai! Tahu-tahu ketujuh orang katal itu sudah mengurungnya sambil berteriak riuh rendah dan menari-nari. Ada yang jungkir balik, ada yang mencibir-cibir dan juling-julingkan matanya, lalu ada pula yang berjalan dengan mempergunakan kedua tangannya.
“Keparat! Benar-banar keparat!” maki Datuk Iblis Kalau aku tidak segera angkat kaki bisa celaka!”
Namun sebelum sempat meninggalkan tempat itu, tujuh orang katai yang mengurungnya tiba-tiba serentak menyerang. Mereka bukan menendang atau memukul, melainkan mengkitiki kakek botak ini hingga menjerit-jerit. Ada pula yang menarik-narik jubah putihnya. Yang nakal membetot lepas kencing-kancing dan ikat pinggangnya. Yang lebih nakal enak saja merobeki pakaiannya hingga dalam waktu singkat datuk iblis sudah compang camping dan tersingkap uratnya disana-sini!
Setelah puas memperlakukan sang datuk seperti itu, tujuh orang katai lalu mundur menjauh. Kesempatan Ini tak disia-siakan oleh Datuk iblis. Masih untung kantong kulitnya tidak diapa-apakan. Maka tidak menunggu lebih lama diapun segera melarikan diri dari tempat itu diikuti sorak sorai dan tepuk tangan ketujuh orang katai.
Ketika sosok tubuh sang datuk lenyap dikejauhan baru tujuh orang katai itu berhenti bersorak dan bertepuk tangan. Kini mereka memandang pada Malaikat Maut Berkuda Putih. Si kakek jadi ketakutan karena menyangka tujuh orang katai ini akan memperlakukannya seperti memperlakukan sang datuk tadi.
“Hai! Dengar! Aku bukan kakek jahat seperti sibotak muka kuning tadi!”
Tujuh orang katai itu tidak menjawab, hanya kedip-kedipan mata. Tiba-tiba ketujuhnya melompat dan tahu-tahu sudah naik ke atas punggung kuda putih. Orang katai yang paling depan mengusap-usap leher binatang itu, lalu orang katai paling belakang memukul perlahan pinggulnya seraya berseru, “Jalan!”
Kuda putih itu bergerak, berlari berputar-putar di puncak bukit itu. Tujuh orang katai diatasnya tampak girang tertawa-tawa. Malaikat Maut ikut-ikutan tertawa. Setelah puas, satu demi satu orang-orang katai ini melompat turun, lalu lari ke bawah bukit!
“Hail Kalian telah menolongku! Terima kasih...!” Malaikat Maut berteriak.
Tujuh orang katai tidak menoleh ataupun menjawab. Mereka hanya lambai-lambaikan tangan dan akhirnya lenyap di kaki bukit. Malaikat Maut jatuhkan diri dan duduk di tanah. Tubuhnya terasa lemas. Betapakan tidak. Kalau tidak ada mahluk-mahluk katai tadi saat itu dia sudah tak bernafas lagi. Siapakah ketujuh manusia katai itu? Apakah mereka benar-benar manusia? Si kakek usap-usap janggutnya.
“Ah, sungguh susah sekali membalaskan sakit hati ini. Puji muridku, maafkan aku masih belum dapat membalaskan dendam kesumat kita. Dimana kau sekarang Puji? Semoga kau baik-baik saja…”
Dendam kesumat apakah yang terdapat antara Malaikat Maut Berkuda Putih dengan Datuk Iblis Penghisap Darah? Kisahnya diawali pada kejadian sekitar empat tahun yang lalu. Malaikat Maut yang tinggal di tepi sebuah telaga mempunyai seorang murid perempuan yang amat dikasihinya. Sang murid bernama Puji. Suatu hari jatuh sakit, terserang demam panas. Karena obat-obat yang diramunya sendiri tidak dapat menyembuhkan sakit muridnya maka sang guru meninggalkan telaga untuk menemui seorang kawan yang ahli dalam pengobatan.
Dalam perjalanan dia berpapasan dengan sahabat lamanya yakni Lembu Surah yang saat itu memang bermaksud hendak mengunjunginya. Malaikat Maut berpesan agar Lembu Surah terus saja ke tempat kediamannya dan menunggu disitu. Dalam waktu cepat dia akan segera kembali.
Sebenarnya Malaikat Maut yang nama aslinya adalah Permono tahu benar sifat jahat dan culas sahabatnya itu. Namun memikir bahwa antara mereka telah terjalin persahabatan puluhan tahun masakan Lembu Surah sampai hati mengkhianatinya.
Ketika Suwo Permono sampai ke tempat kediamannya dengan membawa obat, didapatinya muridnya Puii yang sedang sakit tak ada lagi disitu. Lembu Surah pun tak kelihatan. Selama dua hari dua malam kakek itu mencari-cari akhirnya ditemuinya sosok tubuh muridnya di dalam hutan kecil dalam keadaan sangat menyedihkan dan tengah meregang nyawa.
Dari keadaan tubuh Puji Suwo Permono tahu sekali kalau muridnya itu telah dirusak kehormatannya. Tentu saja kakek ini menaruh curiga pada Lembu Surah. Kecurigaannya itu kemudian ternyata terbukti. Sakit yang diderita Puji sama sekali tidak memupus kecantikan yang dimilikinya. Hal ini membangkitkan nafsu terkutuk Lembu Surah. Gadis itu dilarikannya lalu dirusak kahormatannya. Tubuhnya kemudian dicampakan ke dalam hutan.
Selama satu minggu Sawo Permono berjuang keras untuk mengobati demam panas yang diderita muridnya. Ketika gadis itu berhasil disembuhkan keadaan jiwanya yang sangat terguncang akibat perkosaan yang dialaminya membuat jalan pikirannya tidak waras lagi.
Tanpa dapat dicegah, suatu pagi Sawo Permono menemui muridnya itu lenyap melarikan diri. Bertahun-tahun mencari Puji tapi tak kunjung dapat ditemuinya. Bertahun-tahun pula dia mengejar Lembu Surah. Beberapa kali dia berhasil menemui datuk terkutuk itu, namun selalu saja dia dapat dikalahkan! Sekarang kemana lagi dia harus memburu manusia mesum itu?
Malaikat Maut Berkuda Putih menghela nafas dalam. Dia memandang berkeliling. Pandangannya akhirnya terhenti pada puncak-puncak pegunungan lyang. Kemudian dia ingat hubungan Lembu Surah dengan Kunti Kendil di masa muda. Dari kabar yang dapat disirapnya antara kedua orang itu juga terdapat pertikaian yang laksana api dalam sekam. Tinggal tunggu meledaknya saja.
Mengingat puncak lyang tidak jauh dari tempatnya berada saat itu ada baiknya dia mengunjungi nenek sakti itu disana. Bukan mustahil Lembu Surah juga akan berada di tempat itu. Dia memutuskan untuk pergi ke puncak lyang. Namun Langkahnya tertahan. Kalau terjadi perkelahian dengan Lembu Surah, bagaimana jika si nenek berpihak pada bekas kekasihnya itu. Berarti sama saja dia pergi ke sana untuk mengantarkan nyawa!
“Kecuali jika tujuh orang katai tadi muncul lagi dan menolongku,” mengharap Malaikat Maut Berkuda Putih dalam batinnya. “Ah siapakah tujuh manusia katai yang hebat itu? Apakah benar-benar mereka itu manusia. Seumur hidup tak pernah aku melihat kehebatan ilmu seperti yang mereka miliki...”
Untuk beberapa lamanya kakek janggut putih ini duduk termenung sambil pandangi puncak-puncak pegunungan lyang dikejauhan.
“Sebaiknya aku menyelidik ke puncak pegunungan itu. Aku harus muncul sembunyi-sembunyi. Jika keadaan berpihak padaku baru aku akan unjukkan diri!”
Kakek ini lalu jentikkan jari-jari tangannya. Mendengar jentikan ini kuda putihnya segera berlari mendatangi.
11. BULAN SURA HARI DUA PULUH SATU (1)
MAHESA yang menggantikan memegang kemudi gerobak menghentikan kendaraan itu di lereng pegunungan yang terjal, pada jalan sempit dan berbatu-batu.
“Kakak Wirapati. kita terpaksa berhenti disini. Tak mungkin meneruskan perjalanan dengan gerobak.” Mahesa berkata dan melirik pada Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam yang duduk disebelahnya.
“Mengapa begitu? Dewiku tidak mengatakan demikian…” kata Wirapati pula.
“Kalau kau tak percaya tanyakan saja pada dewimu. Kalau dia tak menjawab, berarti apa yang kubilang betul adanya!” Satu hal yang membuat Mahesa gembira Wirapati kini sudah agak mudah diajak bicara. Dan jika dia Ingin memaksakan agar saudara seperguruannya yang gila itu mengikuti kehendaknya maka Mahesa Selalu mengatakan sang dewi menyetujui.
Mendengar ucapan Mahesa itu Wirapati lalu buka peti mati. “Dewiku, benar kita tak bisa meneruskan perjalanan dengan kendaraan ini...?”
“Nah, lihat. Dia tak menjawab!” kata Mahesa. “Dia tak menjawab Berarti benar!” Mahesa tertawa geli lalu turun dari gerobak.
“Tunggu dulu!” Wirapati tiba-tiba bicara. “Kalau kita jalan kaki ke atas sana, lalu bagaimana dengan dewiku!”
“Tak usah khawatir. Tinggalkan saja dia disini. Dia tak akan pergi…”
“Dia memang tidak akan pergi. Dia setia sekali padaku. Tapi aku takut dewiku yang cantik ini akan diculik orang. Paling tidak dia akan marah ditinggal sendirian!”
“Kakak Wirapati, siapa yang berani menculik dewimu, berani akan mati ditanganmu. Meskipun ditinggal, dewimu tak akan marah. Tanyakan saja padanya kalau tak percaya. Jika dia tak menjawab berarti dia memang tidak marah!” Wirapati sekali ini tidak membuka penutup peti mati untuk bertanya. Pada wajahnya jelas kelihatan rasa bimbang.
“Bagaimanapun aku tak mau meninggalkannya disini. Waw waw!”
“Ah, keluar lagi ucapan waw waw itu dari mulutnya. Kukira si sableng ini sudah lupa dengan kata-kata waw waw itu,” ujar Mahesa dalam hati dan menahan ketawa.
“Eh, kenapa kau hendak ketawa?” Wirapati membentak.
“Aku tertawa karena aku senang mendengar kau mengucapkan kata-kata waw waw itu,” jawab Mahesa berdusta.
Dan Wirapati juga lalu tertawa. “Kalau begitu dalam bicara kau juga harus mengucapkan kata-kata itu!”
“Ah, berabe kalau begini!” Mahesa mengeluh.
“Hai! Kau tidak dengar apa yang aku katakan waw waw?!”
“Tentu saja kudengar waw waw. Dan aku akan bicara waw waw!”
“Bagus!” Wirapati nampak puas. “Kita berangkat sekarang. Aku akan bawa dewiku serta! Perjalanan ke puncak gunung itu tentu banyak pemandangan indah. Dewiku pasti ingin melihat?”
Semula Mahesa menyangka Wirapati akan membuka peti mati itu lalu mendukung mayat Sundari ke puncak gunung. Tapi sangkaannya itu salah. Ternyata Wirapati langung mengangkat peti yang berat itu dan menjunjungnya diatas kepalanya. Mau tak mau membuat Mahesa jadi melengak.
“Anak setan ini benar-benar luar biasa.” Dia lalu ingat akan gemblengan yang diberikan Kunti Kendil dimasa kecilnya. Mulai dari mengangkat kapak membelah kayu selagi dia berusia lima tahun. Ini dilakukannya selama bertahun-tahun hingga dalam usia sekecil itu dia memiliki tubuh yang kuat dengan otot-otot yang kokoh. Lalu bagaimana si nenek mengajarnya mematahkan cabang kayu dengan tangan kosong. Juga bagaimana si nenek menyuruhnya mengangkut dua kaleng besar air melalui jalan yang penuh dengan batu kerikil tajam tanpa alas kaki.
Semua gemblengan itu membuat dia jadi manusia yang tabah, keras kemauan dan kokoh jasmani serta rohani. Namun gemblengan macam apakah yang diberikan si nenek pada kakak seperguruannya itu hingga dia mampu mengangkat peti kayu jati yang begitu berat, belum lagi beratnya sosok mayat Sundari di dalamnya!
“Waw waw! Mari kubantu kau membawa peti itu.” Kata Mahesa karena tak tega.
“Gila” bentak Wirapati. “Apa kau kira aku tidak kuat mengangkat peti yang begini ringan?!” Dan tiba-tiba peti kayu jati itu diputarnya diatas kepalanya
“Anak setan ini benar-benar luar biasa,” kata Mahesa dalam hati.
“Kita berangkat sekarang. Kau jalan duluan waw waw!” kata Wirapati.
Mahesa lalu berjalan mendahului. Dia sengaja berlari cukup cepat. Namun setiap dia berpaling ke belakang, Wirapati ternyata selalu ada di dekatnya. Perjalanan menuju puncak gunung lyang tempat kediaman gurunya mendatangkan kenangan indah tersendiri bagi Mahesa. Dia tak tahu bagaimana perasaan Wirapati saat itu.
Ketika matahari hampir sampai di titik tertingginya kedua murid seperguruan itu akhirnya sampai di puncak gunung yang sepanjang tahun diselimuti oleh cairan putih tipis seperti salju. Udara dingin sekali. Angin bertiup seperti hendak mengelupasi kulit sampai ke tulang sumsum.
Memandang berkeliling Mahesa melihat tumpukan potongan kayu menggunung dimana-mana. Kayu-kayu itu dulu dialah yang memotonginya dengan kapak Setelah lebih dari setahun tampaknya kayu-kayu itu tak pernah berkurang. Aneh, menyaksikan tumpukan kayu yang merupakan benda mati bisu Mahesa merasakan kedua matanya berkaca-kaca. Mendadak terdengar suara mernbentak.
“Anak setan! Apa kau lupa pada pelajaran yang kuberikan? Jangan sampai perasaan mempengaruhi pikiran!”
Mahesa kenal betul. Itu adalah suara gurunya. Eyang Kunti Kendil yang biasa disebutnya dengan panggilan nenek. Dia memandang lagi berkeliling. Tapi si nenek tak ada. Namun ketika dia memandang ke pohon besar di atas mana dulu dia pernah dilemparkan dan ditinggal mati ketakutan, kedinginan dan kelaparan, maka disalah satu cabang pohon itu dilihatnya sang guru duduk bersila.
Tidak seperti biasanya. Kali ini Mahesa melihat sang guru berpakaian bagus berwarna hijau muda berbunga-bunga. Rambutnya putihnya juga tersisir rapi dan keadaannya tampak bersih. “Hai nek. Aku Mahesa muridmu. Aku datang...”
Si nenek tak menjawab. Dia memandang sesaat pada Mahesa lalu beralih pada Wirapati yang saat itu masih tegak dengan menjungjung peti mati. Ada bayangan rasa sedih dilihat Mahesa pada wajah gurunya itu. Maka lantas saja dia berseru, “Nek! Kau juga jangan sampai perasaan mempengaruhi jalan pikiran!”
“Anak setan! Tutup mulutmu!” bentak Kunti Kendil.
“Waw waw nenek jelek itu ketus sekali mulutnya!” Wirapati buka suara.
“Kakak Wira, jangan bicara begitu. Nenek itu adalah gurumu. Guruku juga! Guru kita!”
“Waw waw! Siapa bilang dia guruku, gurumu, guru kita?!”
“Hai, kau tak ingat apa yang dewi katakan waw waw?”
Wirapati terdiam. Sesaat dia memandang pada si nenek di atas pohon. Lalu berkata, “Baiklah waw waw. Apa susahnya mengakui nenek jelek itu guruku. Ha ha ha...!”
Tenggorokan Kunti Kendil tampak turun naik. “Kasihan muridku, kenapa nasibmu jadi begini...”
“Nenek...!” Mahesa berseru. “Kulihat kau pakai baju bagus dan baru. Hai! Dari mana kau dapat...?”
Mendengar kata-kata muridnya ini si nenek tampak melotot lalu menghardik, “Anak setan! Dari mana aku dapat pakaian ini apa urusanmu! Apa kau kira aku tak mampu mempunyai pakaian bagus?!”
Mahesa berpaling pada Wirapati. “Waw waw! Kenapa tak kau letakkan saja peti itu di tanah. Apa hendak kau junjung terus sampai malam?”
“Aku mau menjunjung atau tidak waw waw! ltu urusanku sendiri...!” sahut Wirapati. Lalu dia memandang berkeliling. Peti mati diatas kepalanya ikut berputar menurut putaran kepalanya. “Waw waw! Kau menipu aku!”
“Heh, menipu bagaimana...?” tanya Mahesa.
“Katamu Lembu Surah ada disini! Buktinya…!”
“Mungkin dia belum datang waw waw. Kita tunggu saja…”
“Hai! Kalian berdua membicarakan apa?!” Kunti Kendil berteriak dari atas pohon.
“Jangan jawab waw waw!” Wirapati memperingatkan.
“Mahesa! Wirapati! Apa kau tak mendengar aku bertanya?!”
“Begini, Wirapati tak mau menjawab nek...” menerangkan Mahesa.
“Kalau begitu kau yang menjawab!”
“Waw waw! Kalau kau berani menjawab kupecahkan kepalamu!” mengancam Wirapati.
Mahesa jadi bingung. “Nenek, kami datang kemari...”
Kunti Kendil langsung memotong dengan bentakan, “Siapa yang menyuruh kalian datang kemari...”
“Memang tak ada nek...”
“Lalu kenapa berani datang tanpa diminta?! Bukankah kau kutugaskan mengejar Bromo Tunggal...”
“Betul nek, tapi mungkin kau lupa. Kau juga meminta aku mencari kakak Wirapati. Kebetulan dia tengah mencari Lembu Surah. Aku ingat waktu di pesantren Nusa Barung kau meminta kakek itu datang ke mari. Karena itu kakak Wirapati kuajak kesini!”
“Tapi aku tidak minta kau membawanya kemari! Hari ini aku hanya menerima seorang tamu. Tamu yang akan kuadili karena perbuatan busuknya dimasa lalu!”
“Tamu itu bukankah Lembu Surah nek?”
“Kau tak perlu tanya. Tak perlu tahu!” sentak Kunti Kendil. Dia memandang pada peti yang dijunjung Wirapati lalu kembali membentak, “Apa isi peti itu?!”
Mahesa hendak menjawab tapi Wirapati cepat mengancam, “Awas kalau kau berani mengatakannya waw waw!”
“Waw waw ini tidak mengizinkan kau menerangkan apa isi peti itu nek!” ujar Mahesa.
“Anak setan Apa arti waw waw itu...?”
Mahesa hanya bisa menggeleng.
“Kalian berdua sama gilanya. Kalau tidak kalian terangkan isi peti itu, aku akan menghancurkannya!”
Kedua mata Wirapati yang merah tampak membesar berkilat-kilat. “Nenek buruk! Waw waw! Kau hendak menghancurkan petiku! Cobalah!”
Ditantang begitu Kunti Kendil jadi penasaran. “Dasar anak-anak setan, sudah tidak disuruh datang, sekalinya datang berani menantang! Lihat kuhancurkan petimu!”
Dari atas pohon Kunti Kendil lepaskan Pukulan Api Geledek Menggusur Makam. Bagi Mahesa yang telah mempelajari ilmu pukulan itu bahkan beberapa hari lalu pernah menerima serangan tetap saja bergidik melihat datangnya serangan sinar merah yang menyilaukan dan panas itu.
Tapi Wirapati sendiri tampak seperti tak acuh bahkan tertawa-tawa. Ketika ujung sinar sudah demikian dekatnya, terkejutlah Kunti Kendil. Sebenarnya tentu saja dia tak bermaksud mencelakakan muridnya atau merusak peti itu karena dia telah maklum apa isinya. Dia hanya ingin mencoba sampai dimana kehebatan Wirapati yang selama ini telah malang melintang di rimba persilatan dan membunuh lebih dari selusin tokoh-tokoh silat ternama. Tapi nyatanya sang murid yang berotak miring itu tenang-tenang saja. Hendak menarik pulang pukulannya sudah tak mungkin. Mau memberi ingatpun lidahnya seperti kelu!
Mahesapun sempat berteriak. “Kakak Wira! Awas sinar pukulan!”
“Waw waw. Ada apakah kau berteriak?!” bertanya Wirapati. Tangan kanannya yang memegang salah satu sisi peti mati diturunkan. Dari tangan yang hitam pekat itu tiba-tiba kelihatan memancar sinar hitam legam, langsung bertabrakan dengan sinar pukulan yang dilepaskan Kunti Kendil.
Bum!
Peti mati melayang ke udara. Puncak gunung itu bergetar hebat. Batu dan pasir beterbangan. Mahesa terhuyung-huyung akhirnya jatuh duduk di tanah. Potongan-potongan kayu api laksana burung-burung ikut beterbangan ke udara. Daun-daun pepohonan berguguran. Wirapati terbanting ke tanah. Diatas pohon Kunti Kendil tampak bergoyang-goyang. Dia akan jatuh ke bawah kalau tidak lekas-lekas memegang ranting besar disampingnya.
Wirapati berteriak marah. Dia berdiri dan siap lepaskan pukulan ke arah Kunti Kendil. Namun ketika melihat peti mati yang jatuh keras ke bawah, dia terpaksa batalkan pukulannya dan cepat-cepat menangkap peti mati itu. Disaat yang sama Kunti Kendil sudah melayang turun dari atas pohon dan siap untuk menyerang Wirapati kembali.
“Nenek, tahan seranganmu!” seru Mahesa. “Jika kau tidak senang kami datang kemari, kami akan segera pergi. Tapi ketahuilah aku mengantar kakak Wirapati kesini untuk menemui Lembu Surah. Dialah yang telah membunuh sang dewi!”
“Sang dewi...?” mengulang Kunti Kendil.
“Didalam peti itu ada sesosok jenazah. Jenazah kekasih kakak Wirapati. Namanya Sundari, bekas anak murid pesantren Nusa Barung. Dia dibunuh oleh Lembu Surah beberapa saat sebelum kau tiba disana pada kejadian hari dua belas bulan Sura itu!”
“Ah, aku sudah menduga kalau peti itu berisi mayat. Tapi tidak mengira mayat perempuan itu...” kata Kunti Kendil pula. “Lalu kau mengantarnya kemari karena kau tahu Lembu Surah akan datang kesini… ”
“Aku harus membunuhnya! Dia telah membunuh dewiku. Waw waw!” Wirapati ikut bicara.
“Tidak!” kata si nenek. “Sebelum urusannya denganku selesai, tidak satu dari kalianpun boleh turun tangan!”
“Nenek, kalau kau tidak suka kami ada disini biarlah kami pergi saja!” kata Mahesa. Dia maklum keanehan gurunya. Terakhir sekali sewaktu diuji di puncak bukit sang guru tampak begitu lembut walau bicaranya sering-sering memaki. Tapi hari ini sikapnya lain. Dibalik kelainan ini tentu ada apa-apanya. Memikir sampai disitu maka Mahesa memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Tapi celakanya Wirapati tak mau diajak pergi. Mahesa lalu membisikkan sesuatu ke telinga kakak seperguannya itu.
“Kakak Wirapati, dewimu pasti menyetujui kita meninggalkan tempat ini. Tapi dengar kita tidak sungguhan pergi. Kau mengerti maksudku waw waw?”
“Waw waw. Aku mengerti. Tapi kalau sekali ini orang itu tidak muncul, kepalamu tak bakal selamat waw waw!”
“Baik akan kugadaikan kepalaku padamu waw waw!” ujar Mahesa pula.
Ketika melihat kedua muridnya itu pergi Kunti Kendil hendak memanggil. Tapi dibatalkannya. Baginya saat itu menunggu kedatangan Lembu Surah adalah lebih penting dari pada kedua pemuda itu. Sebenarnya ketika berada di atas pohon tadi nenek ini sudah mengetahui kalau di sekitar tempat itu ada dua orang yang mendekam bersembunyi ditempat terpisah. Karenanya begitu Mahesa dan Wirapati berlalu si nenek segera berseru.
“Lembu Surah! Kau tunggu apa lagi! Lekas unjukkan diri untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu puluhan tahun lalu!”
Di balik onggokan tinggi potongan kayu di sebelah timur puncak gunung Lembu Surah yang mendekam disitu sejak tadi segara bangkit. Dengan perginya Mahesa serta Wirapati maka dia merasa tak perlu takut menghadapi Kunti Kendil. Bagaimanapun sakit hatinya si nenek ini.
Namun dia yakin sekali, jauh dilubuk hatinya Kunti Kandil masih menyukainya. Nenek ini memang bicara keras dan galak. Tapi cinta kasih pasti masih tertanam dalam sanubarinya. Maka diapun keluar dari tempat persembunyiannya. Namun gerakannya terhenti ketika tiba-tiba didengarnya kembali si nenek berseru.
“Tamu yang tidak diundang, silahkan keluar dari balik batu sebelum batu dan tubuhmu kuhancurkan berkeping-keping!”
Di balik batu besar di sebelah barat puncak gunung, sesosok tubuh berpakaian putih keluar berkelebat. Dilain kejap dia sudah berada di depan Kunti Kendil. Melihat orang ymg muncul itu, Lembu Surah batalkan niatnya keluar dari balik timbunan kayu.
“Malaikat Maut Berkuda Putih, kakek klimis bernama Suwo Permono. Aku tidak suka hal ini. Tidak diundang kau datang kemari!”
“Kunti Kendil, memandang tali persahabatan kita dimasa lalu harap kau mau melupakan kelancanganku datang kemari. Kalau tak ada kepentingan masakan aku berani mengganggumu di puncak lyang ini?!”
“Katakan apa kepentingamu!”
Suwo Permono usap janggutnya lalu menjawab seraya menuding dengan ibu jarinya kearah onggokan kayu di sebelah timur. “Aku perlu minta pertanggungan jawab kakek cabul bermuka kuning bekas kekasihmu yang sembunyi dibalik kayu sana!”
Disebut bekas kekasihnya paras Kunti Kendil tampak bersemu merah. “Hubunganku dengan orang itu adalah urusanku. Jika kau punya urusan dengan dia selesaikan di tempat lain. Jangan disini!”
“Kunti Kendil, jika kau tidak mau membantu dan memberi jalan, kuanggap kau bersekutu dengan manusia iblis itu...” gertak Malaikat Maut Berkuda Putih.
Kunti Kendil jadi marah. “Kau mau pergi secara baik-baik dari sini atau tinggalkan destar bersama kepalamu?!” ujar si nenek dengan muka bengis.
“Ah, aku mengharapkan dia menjadi kawan yang bisa menolong sekarang malah mau melabrakku. Urusan kapiran kalau begini!” keluh Malaikat Maut Berkuda Putih.
Karena jelas Kunti Kendil tidak akan berpihak padanya maka kakek janggut putih itu langsung berkelebat ke balik timbunan kayu dan di sini terus saja dia menyerang Lembu Surah.
“Keparat pengecut Beraninya membokong...!” teriak Lembu Surah Marah karena merasa diserang dari belakang pada saat dia tengah mendengarkan percakapan kedua orang itu tadi. Cepat-cepat dia jatuhkan diri untuk selamatkan kantong kulitnya yang jadi sasaran serangan lawan. Potongan-potongan kayu berhamburan begitu kena hantaman tangan Malaikat Maut Berkuda Putih.
Gluk... gluk... gluk!
Lembu Surah alias Datuk Iblis sempat menegak darah busuk dalam kantong. Suwo Permono terkejut. Dia cepat mencari perlindungan. Tapi terlambat. Datuk muka kuning itu keburu menyembur. Tiga kelabang hitam perenggut jiwa melesat ka arahnya!