Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih

Cerita Silat Indonesia Serial Mahesa Edan Episode Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih karya Bastian Tito

RAHASIA SI BUNGKUK BERJUBAH PUTIH

Karya : Bastian Tito
Mahesa Edan-Rahasia si bungkuk Berjubah putih

SATU


SANG KETUA TAK BERNAMA

21 TOKOH BERGABUNG INGINKAN KEDUDUKAN

Kunti Kendil yang sejak tadi tidak tenang berbisik pada suaminya, “Surah, bagaimana kalau saat ini aku naik saja ke panggung. Menanyakan perihal muridku itu pada hadirin.”

Lembu Surah alias Datuk Penghisap Darah terkejut. Cepat-cepat dia menjawab, “Jangan bertindak gila Kunti. Kita disini sebagai tamu. Jangan mengacau upacara tuan rumah. Semua orang akan gusar kepadamu!”

“Perduli setan dengan semua orang!” sahut si nenek yang memang sulit diberi pengertian. “Bukankah kita datang kemari bukan untuk  menghadirin segala macam upacara kentut busuk ini. Tapi untuk mencari jejak mayat Mahesa!”

“Aku tahu alasanmu itu. Tapi bagaimanapun aku tidak setuju maksudmu naik ke panggung. Tunggu saat yang baik!”

Kuntu Kendil tidak senang mendengar kata-kata Lembu Surah itu. Namun dia terpaksa menahan diri. Seperti tetamu lainnya dia lalu memandang panggung.

Saat itu lelaki bungkuk berjubah putih yang menutup wajahnya dengan cadar hitam, tegak di atas panggung sambil angkat tangan kanannya. Kemudian terdengar suaranya. Keras tetapi hanya mengandung hasrat hati yang keras, sama sekali tidak berwibawa.

“Para hadirin, para sahabat sekalian! Perkenankan aku atas nama partai yang sebentar lagi akan diumumkan dan diresmikan, mengucapkan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada semua orang yang telah sudi datang kemari dari perbagai penjuru dunia persilatan. Hari ini adalah hari bersejarah dan hari berbahagia bagi kami selaku tuan rumah. Semoga kebahagiaan itu menjadi bagian para sahabat yang hadir di tempat ini. Seperti para sahabat semua mengetahui, sejak dua puluh lima tahun terakhir ini tidak ada lagi satu partai persilatanpun berdiri. Padahal dunia persilatan telah berkembang pesat dengan segala pasang surutnya. Karena itulah saat ini dirasakan perlu untuk membangun, mendirikan dan meresmikan sebuah partai silat baru, demi persatuan diantara kita orang-orang rimba persilatan. Aku saat ini memberanikan diri untuk mengundang para sahabat guna menyaksikan peresmian partai baru yang akan diberi  nama Partai Merapi Perkasa. Namun satu hal perlu para sahabat ketahui, kalian semua datang kemari bukan saja untuk menyaksikan dan meresmikan, tetapi juga untuk turut ambil bagian dalam partai baru ini, dan menduduki jabatan-jabatan penting yang tersedia….”

Sampai disitu ramailah suasana diantara para hadirin. Ada yang menunjukkan rasa terkejut, ada yang cukup senang dengan penjelasan itu karena merasa punya bobot untuk dapat duduk dalam pengurusan partai. Tetapi lebih banyak lagi yang merasa tidak senang.

Kunti Kendil berpaling pada Lembu Surah dan berkata menyatakan ketidaksenangnya. “Si bungkuk bertopeng itu belum lagi memperkenalkan siapa dirinya, apalagi membuktikan bahwa dirinya memang pantas untuk mengatur peresmian partai baru. Enak saja dia mengajak para hadirin untuk duduk dalam partai. Manusia bungkuk tidak tahu diri!”

Lembu Surah pun merasa tidak enak. Sebagai tokoh silat walaupun dari golongan hitam tata cara yang dipakai orang diatas panggung itu tidak layak sama sekali. Seolah-olah para hadirin adalah kambing-kambing yang dikumpulkan bersama-sama lalu diberi tugas ini itu.

Di atas panggung, lelaki berjubah kembali membuka mulut. “Para sahabat, kalian tidak usah terkejut. Kalian juga  tidak perlu jengkel atau marah. Kami di sini tidak memaksa kalian harus duduk dalam partai. Siapa yang suka akan disambut dengan rasa hormat, tangan terbuka dan terima kasih. Siapa yang tidak mau, tetap akan menjadi sahabat kami.”

“Anak setan!” kembali terdengar Kunti Kendil memaki. “Tidak begini caranya mendirikan partai. Paling tidak harus melewati ujian baru layak diresmikan…” karena tidak dapat menahan kejengkelannya Kunti Kendil lantas berteriak. ”Orang berjubah! Perkenalkan dulu siapa dirimu! Apa kedudukanmu dalam Partai  dan siapa yang mensyahkan kedudukanmu itu!”

Para hadirin ramai terdengar teriakan yang blak-blakan itu. Banyak yang setuju tapi ada juga menganggap si nenek terlalu berani nyerocos seperti itu.

Si bungkuk di atas panggung mengangkat kepalanya memandang ke arah si nenek. Dalam hatinya dia merasa tidak senang. Namun sambil mengangkat tangan kanan dia menyambuti. “Ah, ternyata sahabatku nenek sakti dari pegunungan Iyang yang bicara. Terima kasih atas kata-katamu tadi Kunti Kendil.”

“Eh, anak setan ini mengenali diriku!” ujar Kunti Kendil seraya memegang lengan suaminya.

“Memang ucapan seperti itu pantas dikeluarkan. Dan aku tidak berkeberatan  untuk menjawab memberi keterangan…” kata lelaki bungkuk berjubah putih. “Tetapi sebelum aku memberi keterangan, biar aku memberitahu dulu para hadirin siapa adanya sahabatku itu…”

“Anak setan! Apa maksud orang itu!” kata Kunti Kendil seraya berdiri tapi cepat dicegah Lembu Surah.

Di atas panggung si jubah putih meneruskan ucapannya. “Sahabat si nenek bernama Kunti Kendil merupakan tokoh silat terkenal di daerah ini. Sejak puluhan tahun dia bertempat tinggal di pegunungan Iyang. Namanya ditakuti lawan disegani kawan. Hanya sayang saat ini dia datang kemari bukan saja untuk menghadiri upacara peresmian,  tetapi juga untuk menyirap kabar mengenai muridnya, yang mayatnya lenyap tak tentu rimba sejak beberapa minggu lalu. Bukan begitu Kunti Kendil?”

Si nenek ternganga. ”Gila! Bagaimana anak setan itu tahu apa yang terjadi?!” desis Kunti Kendil. Lembu Surahpun tampak heran sementara para hadirin banyak yang memandang padanya dengan wajah bertanya-tanya.

“Jangan-jangan dia yang menculik mayat Mahesa…” bisik si nenek pada Lembu Surah. “Aku harus menanyainya!” Dan tanpa dapat dicegah oleh Lembu Surah, nenek itu sudah meloncat dari tempat duduknya, secepat kilat lari ke arah panggung, berhadap-hadapan dengan lelaki bungkuk.

Tiga manusia bertubuh raksasa cepat melompat ke atas panggung menghadang Kunti Kendil. Orang bungkuk berjubah putih mengangkat tangannya, memberi isyarat agar ke tiga orang itu segera meninggalkan panggung.

“Tidak disangka, tamu terhormat Kunti Kendil bersedia datang ke panggung!” kata si bungkuk. “Ini benar-benar tanda persahabatan yang luar biasa!”

“Lekas katakan apa yang kau ketahui tentang muridku bernama Mahesa itu!” kata Kunti Kendil membentak.

Si bungkuk perdengarkan suara tertawa. “Kalau aku ingin mendirikan partai, sudah selayaknya aku mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku…”

“Sekarang jawab apa yang kau ketahui mengenai Mahesa. Di mana jenazahnya sekarang berada?!”

“Pengetahuanku belum sampai sejauh itu...”

“Dusta! Pasti kau ada sangkut pautnya dengan lenyapnya mayat pemuda itu!” tukas Kunti Kendil.

Si bungkuk berjubah kembali tertawa. Saat itu seseorang melompat gesit ke atas panggung dan menarik tangan Kunti Kendil. Ternyata orang ini adalah Lembu Surah. “Kunti! Jangan membuat malu! Ikut aku turun lekas!”

Semula si nenek hendak menepis pegangan suaminya. Tapi ketika Lembu Surah menariknya dengan paksa, mau  tak mau Kunti Kendil turun juga dari panggung meskipun dengan hati sangat mendongkol.

Pendekar Muka Tengkorak yang hadir di tempat itu juga terkejut mendengar ucapan  orang berjubah putih tadi tentang Mahesa. Besar dugaannya orang itu tahu lebih banyak bahkan mungkin terlibat dengan kematian pemuda yang disukainya itu. Meskipun  dia kepingin pula mencari keterangan namun kakek ini tidak mau bertindak gegabah seperti yang dilakukan si nenek. Dia menunggu sampai saat yang baik untuk mendatangi orang berjubah itu.

Di atas panggung, si bungkuk tampak mengangkat tangan. “Para sahabat, harap maafkan kalau sahabatku Kunti Kendil tadi begitu bersemangat. Tadi dia minta agar aku menerangkan lebih dulu siapa diriku, apa kedudukanku dalam partai dan siapa yang mengesahkan kedudukanku itu! Bagus… itu pertanyaan yang bagus. Dan memang saat serta semestinya aku memberitahu. Aku dilahirkan tidak bernama karena memang tidak ada yang memberi nama. Dalam pendirian partai Merapi Perkasa aku menduduki jabatan sebagai Ketua. Jadi para sahabat bisa memanggilku dengan sebutan itu. Soal siapa yang mengesahkan aku sebagai ketua, ini agak lucu juga. Soalnya aku yang mendirikan partai, apakah tidak pantas kalau aku menyebut diri sebagai Ketua. Lalu sebagai Ketua aku punya hak untuk mengangkat para pengurus partai. Dan semua jabatan yang bakal kuberitahu adalah hak para sahabat yang suka untuk memegangnya. Aku mengundang saudara semua ke sini salah satu maksudku adalah untuk keperluan itu…”

“Apa sebenarnya tujuan partai Merapi Perkasa?’ seorang yang duduk di sebelah timur bertanya.

“Mudah saja jawabnya.” Sahut si jubah putih. “Guna mempersatukan berbagai aliran dan berbagai tokoh silat di daerah ini!”

“Kalau ada yang tidak mau menerima undanganmu duduk dalam partai apa akibatnya?” tanya seseorang lain. 

“Tak ada akibatnya. Kita akan tetap bersahabat. Tapi ketahuilah. Partai Merapi Perkasa akan menjadi partai besar. Kedudukan dalam pengurusan partai merupakan kedudukan terhormat!”

“Keampuhan partai baru ini harus perlu diuji!” tiba-tiba seorang tamu yang duduk di sebelah barat berseru.

Sang ketua melambaikan tangan. “Saudara betul!” katanya. “Saat untuk pengujian itu nanti akan diberikan. Yaitu setelah para sahabat mencicipi makanan dan minuman yang telah disediakan di suatu meja besar sana. Sekarang aku akan terangkan sedikit mengenai nama partai dan artinya. Merapi merupakan sebuah gunung besar di daerah ini. Tinggi dan megah. Begitu pulalah kebesaran dan ketinggian derajat partai. Merapi artinya Merah dan Api. Merah artinya berani. Api artinya penuh semangat. Lihat kobaran api ini…!” si jubah putih angkat tangan kanannya dan bluup! Tahu-tahu di samping kanannya berkobar nyala api yang besar dan tinggi. Panasnya luar biasa. Si jubah putih tertawa mengekeh.

Para tamu terkejut. Ada yang berkata: “Ini ilmu sihir!”

“Ilmu hitam!” kata yang lain.

Sang Ketua angkat kanannya kembali. Kobaran apipun padam. Lalu cepat berkata, “Jangan salah pengertian. Apa yang para sahabat saksikan tadi bukan ilmu sihir, bukan pula ilmu hitam. Api adalah lambang partai. Yang dapat mempergunakannya dan mau bersahabat dengannya akan merasakan kehangatan yang menggairahkan. Siapa yang mencoba membuatnya menjadi lawan, niscaya akan terbakar hangus! Nah, untuk mempercepat waktu sebelum partai diresmikan, aku mengundang para sahabat yang mau bergabung untuk naik ke atas panggung. Undangan ini bukan paksaan. Silahkan…”

Tak ada seorangpun diantara para tamu bergerak.

Si jubah putih menunggu. “Silahkan…!” katanya kembali.

Dua sosok tubuh berpakaian kuning melompat ke atas  panggung.

“Ah, terima kasih. Terima kasih. Sahabatku Made Tantre yang bergelar Tangan Dewa Dari Klungkung serta sahabatku Nyoman Wiratha rupanya  bersedia bergabung dengan kami! Terima kasih. Kalian akan mendapatkan kedudukan yang baik dalam partai!” sang Ketua menyambut gembira dan menjura dalam-dalam. Made Tantre dan Nyoman Wiratha balas menjura.

“Nah siapa lagi? Siapa menyusul?!” kata sang Ketua kemudian.

Beberapa orang lagi melompat ke atas panggung hingga jumlah keseluruhan mencapai delapan belas orang. Sang Ketua sangat gembira. Tapi dia masih belum puas.

“Panggung masih lebar. Masih banyak tempat kosong! Para sahabat silahkan naik dan bergabung!”

Dua orang lagi menyusul naik. Lalu seorang lainnya. Hingga kini dua puluh satu orang di atas sana.

Di bawah panggung kakek buta yang bergelar Gembel Cengeng Sakti Mata Buta geleng-gelengkan kepala. “Manusia-manusia tolol.” Katanya dalam hati.

Dari atas panggung sang ketua kembali membuka mulut. Dia menyapa Kunti Kendil. “Nenek sakti dari gunung Iyang, dan juga kawannya yang berambut kelabu apakah tidak ingin bergabung dengan kami?”

“Siapa sudi!” jawab Kunti Kendil terang-terangan.

Sang Ketua berpaling pada Pendekar Muka Tengkorak yang duduk enak-enakan sambil merokok. “Pendekar Muka Tengkorak, bagaimana dengan kau?”

“Aku pikir-pikir dulu…” jawab si kakek.

“Hai, jangan terlalu lama berpikir-pikir. Nanti tidak kebagian kedudukan bagus dalam partai!”

“Kau salah sangka! Aku bukan berpikir-pikir untuk masuk dalam partaimu. Tapi berpikir-pikir apakah bukan kau orangnya yang punya hutang piutang padaku….!”

Wajah sang Ketua yang terlindung dibalik cadar tampak berubah. Namun cepat dia perdengarkan suara tertawa seraya berkata, ”Sahabatku Pendekar Muka Tengkorak,  soal hutang piutang itulah soal yang tak pernah kulakukan dalam hidupku. Tapi jika kau  anggap begitu, partai nanti yang akan menyelesaikan setelah upacara peresmian!”

Si muka tengkorak tidak menjawab apa-apa dan menyedot rokok kawung dalam-dalam. Orang bungkuk berjubah putih di atas panggung memandang berkeliling. Dia melihat tamu bersorban itu, mengenalinya sebagai ketua pesantren Nusa Barung, maka diapun berseru.

“Ki Sandakan! Naiklah kemari! Mari kita bergabung dalam Partai Merapi Perkasa!”

“Terima kasih. Saat ini aku belum berminat untuk bergabung. Mungkin kemudian hari. Boleh aku bertanya…? ujar Ki Sandakan.

“Tentu saja. Tentu saja. Silahkan. Apa yang hendak kau tanyakan…?”

“Pertanyaan tolol. Yaitu  bagaimana kau bisa mengangkat diri sebagai ketua partai. Padahal pemilihan belum pernah diadakan...!”

Si bungkuk berjubah putih mendongkol sekali mendengar pertanyaan itu. Namun dia menjawab dengan nada suara yang sengaja merendah dan dipersabar.

“Katamu pertanyaanmu pertanyaan tolol. Biarlah aku juga menjawab tolol! Sebetulnya aku tidak serakah untuk mau-mauan jadi ketua. Tanggung jawabnya tidak kecil. Benar difitnah, salah dimaki. Selama ini tak ada satu orang pun yang punya minat serta mau merintis pendirian sebuah partai. Aku secara diam-diam, dengan susah payah mempersiapkannya. Salahkah kalau dari hasil jerih payah itu aku mendapat hak untuk menjadi Ketua? Nah Ki Sandakan, itu jawabanku. Coba kau renungkan saja…” habis berkata begitu sang Ketua kembali memandang berkeliling, lalu berseru bertanya, “Ada lagi diantara para sahabat yang hendak mengajukan pertanyaan tolol….?!”

Air muka Ki Sandakan tampak menjadi merah oleh sindiran itu. Jika menurut kehendak hatinya ingin dia meninggalkan tempat tersebut saat itu juga. Namun orang tua  ini tetap tenang sambil permainkan tasbihnya. Kedatangan ke situ sebenarnya bukan untuk menyaksikan upacara peresmian partai. Tapi guna mencari Keris Naga Biru yang dilarikan dukun jahat Embah Bromo Tunggal bebepara waktu lalu.

Sepasang mata sang Ketua yang masih memandang kian kemari dari atas panggung terpaku pada sosok seorang tamu yang berpakaian compang-camping, mata buta. “Kalau manusia ini dapat kuajak bergabung semua pasti beres. Tak satu orangpun berani mengganggu partaiku. Aku harus mendatanginya!”

Begitu sang Ketua membathin. Lalu dengan gerakkan enteng, laksana terbang, tubuhnya melesat ke bawah panggung, melewati kepala para tetamu. Sesaat kemudian dia sudah tegak di depan orang tua bermata buta itu. Sambil menepuk-nepuk bahu si buta, sang Ketua berkata,

“Sungguh tidak disangka, tokoh silat nomor satu bergelar Gembel Cengeng Sakti Mata Buta berkenan pula datang kemari. Aku menghaturkan rasa hormat dan terima kasih. Tentu sahabat sudah menanam niat untuk bergabung dengan kami. Jabatan Wakil Ketua tersedia untukmu….”

Gembel Cengeng Sakti Mata Buta mendongak ke langit. Wajahnya tampak seperti mau menangis. Suaranya perlahan saja ketika menjawab. “Mataku buta. Tidak ada manfaatnya mengambil aku jadi Wakil Ketua. Apa-apa aku tidak becus!”

“Sahabat, jangan merendah!” kata sang Ketua pula. “Siapa yang tidak kenal dengan nama besarmu? Mari kita naik ke panggung!”

“Terima kasih. Biarlah aku duduk di sini saja. Banyak angin sejuk bertiup di sini.  Lagi pula kalau sampai aku menangis di atas panggung sana akan memalukan saja!”

“Jika begitu aku tidak memaksa.” Kata sang Ketua. Dengan rasa kecewa dia membalikkan badan tubuh untuk kembali ke atas panggung. 

Namun aneh, tiba-tiba saja saat itu dia tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Sepasang kakinya tak mau diangkat atau diseret. Seolah dipaku dan ditancap ke dalam tanah lalu disemen! Manusia bungkuk ini berusaha tidak panik. Tidak dapat tidak pasti kakek buta lihay itu telah melakukan sesuatu atas dirinya. Tapi melakukan apa dan kapan.

“Kurang ajar! Si buta keparat ini pasti telah menotok jalan darah kedua kakiku! Tapi aneh. Aku tidak melihat dia menggerakkan tangan!”

Sang ketua sama sekali tidak tahu, sewaktu tadi dia menepuk-nepuk bahu orang tua buta itu, si buta langsung kirimkan tenaga dalamnya yang sangat tinggi melewati bahu, terus ke tangan sang Ketua dan terus membungkus kedua kakinya hingga dia berada keadaan seperti tertotok.

“Hai! Jangan berdiri juga di sini. Sebagai Ketua kau harus lekas kembali ke atas panggung!” tiba-tiba si kakek berkata sambil hentakkan kaki kirinya ke tanah.

Ajaib! Pada saat itu pula kedua kaki sang Ketua mampu bergerak kembali menuju panggung. Untung saja tidak satu orangpun mengetahui apa yang terjadi hingga dia tidak kehilangan muka! Karena tidak enak dengan adanya kejadian tadi sang Ketua memutuskan untuk mempercepat saja jalannya upacara. Maka diapun berkata,

“Para sahabat dan semua yang hadir. Sebenarnya saat  ini aku akan sampai pada acara memberitahukan susunan pengurusan partai. Semua terdiri dari para sahabat yang telah sudi menyatakan  bergabung dengan jalan naik ke panggung ini. Namun aku juga tahu kalau sahabat sekalian datang dari jauh. Ada yang harus memerlukan waktu berhari-hari untuk sampai kemari. Karenanya biarlah acara pengumuman pengurus itu ditunda dahulu. Kita langsung pada acara jamuan. Para sahabat yang telah sudi bergabung, jadi layak disebut sebagai tuan rumah, dipersilahkan mengambil tempat di meja sebelah ujung sana. Lalu para sahabat yang berada di lapangan silahkan duduk di meja sebelah depan sini. Silahkan minum dan makan sepuas-puasnya…!”

Para tamu yang berada di lapangan hanya sekitar dua puluh orang saja yang tampak bergerak dan melangkah  menuju panggung. Sisanya hampir enam puluh orang tetap di tempat masing-masing. Entah sungkan entah memang tidak suka ikut mencicipi jamuan. Sebaliknya dua puluh satu tokoh silat yang sudah menyatakan diri bersedia bergabung langsung saja mencari tempat di meja sebelah belakang panggung.

Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara seseorang dari lereng gunung yang terletak di samping kiri panggung dan lapangan upacara.

“Waw waw! Apakah kami tamu yang duduk di sini tidak diundang makan dan minum?! Waw waw, tuan rumah sungguh kerterlaluan!”

Demikian kerasnya suara itu hingga semua yang hadir termasuk sang Ketua dan delapan orang anak buahnya terkejut lalu serentak memandang ke lereng gunung yang rapat pepohonan besar bebatuan dan semak lebat.


***
DUA


IBLIS GILA TANGAN HITAM MUNCUL. SEMUA BEREBUTAN UNTUK MEMBUNUH



Dua sosok manusia nampak duduk uncang-uncang kaki dicabang sebuah pohon besar sambil tertawa-tawa. Yang pertama, seorang lelaki berusia empat puluh tahun lebih. Wajahnya tertutup oleh rambut gondrong awut-awutan serta cambang bawuknya meranggas. Kedua tangannya hitam pekat sampai sebatas siku.

Di sebelah duduk seorang perempuan muda berambut panjang kusut, berpakaian warna kuning. Meskipun keadaan dirinya kelihatan tidak terurus namun kecantikan asli yang dimiliknya tidaklah pupus.

Puluhan orang, antara lain, Made Tantre alias Tangan Dewa Dari Klungkung, Ki Sandakan Ketua Pesantren Nusa Barung, Kunti Kendil serta Lembu Surah terkejut melihat kehadiran lelaki di atas pohon itu. Mereka semua sama menggangap orang itu adalah musuh besar mereka karena perkelahian, sakit hati atau dendam kesumat dimasa lampau!

“Iblis Gila Tangan Hitam!” seorang berseru dengan lidah tercekat. Dan gemparlah suasana di tempat itu.

“Bagus! Dicari-cari tidak ketemu! Sekarang muncul sendiri anak setan ini!” yang berteriak adalah Kunti Kendil. Si nenek masih menambahkan, “Wirapati! Murid laknat murid keparat! Hari ini hari terakhir bagimu untuk hidup! Tak ada hukuman yang lebih baik dari pada mampus badan dan kepala terpisah!”

Dari atas panggung, Made Tantre yang tadi telah mengambil tempat duduk di meja makan serta berdiri. Pada dasarnya manusia bergelar Tangan Dewa Dari Klungkung ini tidak memiliki nyali untuk menghadapi Wirapati, orang yang telah membuat dirinya menjadi cacat. Namun saat itu dia berada bersama serombongan tokoh-tokoh silat yang telah bergabung dalam satu partai. Berarti dia tidak sendirian. Disamping itu dia tahu betul, dari para tokoh yang tidak bergabung juga terdapat banyak orang yang memendam permusuhan dengan Iblis Gila Tangan Hitam. Maka Made Tantrepun berteriak.

“Iblis Gila! Setahun lalu kau membuat hutang! Hari ini kau bayar berikut bunganya!”

Ki Sandakan, mungkin satu-satunya orang yang memiliki dendam kesumat paling besar terhadap Iblis Gila Tangan Hitam. Bagaimana tidak. Seluruh pengurus Pesantren mati di tangan pemuda gila itu. Lalu dia pula yang mencuik Sundari, anak murid Pesantren yang kabarnya telah menemui kematian. Maka pemimpin Pesantren inipun ikut berdiri dan berteriak,

"Wirapati! Nyawamu hanya satu! Aku tidak rela membagi kematianmu dengan siapapun! Aku bersumpah hari ini untuk mengorek jantungmu, membasahi gunung ini dengan darahmu!”

Diantara kegemparan tu  terdengar suara seseorang menangis. Ketika diperhatikan, yang sesengukan itu ternyata adalah si kakek buta  yang terkenal dengan julukan Gembel Cengeng Sakti Mata  Buta. Dia menangis sambil mendongak ke langit. Sesaat kemudian terdengar dia berkata. “Aih… bakalan ramai jadinya. Bakalan ramai jadinya! Kasihan anak gila itu. Seorang diri melawan badai!”

“Siapa bilang dia seorang diri! Aku temannya ada di sini!” tiba-tiba dara berbaju kuning di atas pohon yang tentu saja Kemala adanya membuka mulut. Mendengar itu Wirapati tertawa dan tak hentinya mengeluarkan suara waw waw!

Di dalam kegemparan itu pula Mahesa dan Sari yang tadi meninggalkan lapangan upacara, menyelinap ke dalam terowongan di bawah tanah, kini tanpa kesulitan kembali menyelinap dan masuk ke tempat upacara, duduk lagi diantara para tamu, diujung yang agak terpisah. Tentu  saja Mahesa yang berurusan sampai tercengang melihat kemunculan Wirapati, kakak seperguruannya.

Di samping itu hatinya merasa gembira, terlebih ketika melihat Kemala meskipun sesaat dia sedikit terharu melihat keadaan gadis cantik itu. Dalam hatinya Mahesa bertanya-tanya apakah Kemala dan Wirapati telah menjalani hidup sebagai suami istri atau bagaimana. Mungkin pula dia akan dapat mengetahui apa arti sapu tangan putih yang dilemparkan Kemala kepadanya dulu.

“Kulihat matamu memandang tak berkesip pada si baju kuning di atas pohon itu… kau kenal dia?” tiba-tiba Mahesa mendengar suara Sari.

Mahesa menggangguk terus terang.

“Eh, apa hubunganmu dengan dia…?” Sari kelihatannya seperti cemburu.

“Aku tidak punya hubungan apa-apa. Kami hanya saling kenal. Pernah saling tolong-menolong...”

“Kau juga kenal dengan pemuda yang kelihatannya seperti gila itu? Aku pernah dengar nama angkernya! Apa dia benar gila sungguhan? Sepeti aku dia banyak sekali musuh!”

“Dia memang gila sungguhan,” sahut Mahesa. Lalu menambahkan, “Dia kakak seperguruanku…!”

Tentu saja ucapan itu membuat Sari kerkejut. “Kalau begitu…..” katanya. “Jika terjadi apa-apa dengan dia, kau akan membelanya!”

Mahesa kini yang jadi terkejut. Dipegangnya tangan Sari dan berkata, “Terima kasih  Sari. Akupun tak akan membiarkannya dikeroyok orang banyak! Jika terjadi apa-apa di sini, kau akan melihat sendiri kehebatannya. Dibanding dia, kepandaianku bukan apa-apa!”

Di atas pohon kembali terdengar suara tertawa dan suara waw waw Wirapati. Dia menunjuk pada Kunti Kendil dan bertanya, “Nenek jelek, kelihatannya kau sudah lama tidak pernah mandi. Waw waw! Siapa sih kau ini yang sesumbar menentukan hari ini  hari terakhir hidupku. Kau ini Gusti Allah atau Apanya? Hik hik hik! Waw waw!” 

Wajah Kunti Kendil di balik topeng seperti kepiting dipanggang. Terlebih lagi ketika dia mendengar dara berbaju kuning disebelah Wirapati ikut-ikutan mentertawainya dan berkata, “Hik hik…! Nenek butut! Apa kau tidak mendengar ucapan kawanku tadi? Kenapa tidak lekas cari air, pergi mandi dan cebok. Hik…!”

Sekujur tubuh Kunti Kendil menggeletar. Tanah gunung yang dipijaknya melesat dalam saking marahnya nenek ini. Disebelahnya, Lembu Surah berdiri sambil mengepalkan tinju kirinya. Karena tidak dapat menahan amarahnya lagi, Kunti Kendil langsung menghantam dengan tangan kanannya. Selarik sinar merah menderu menyilaukan.

“Pukulan Api Geledek!” beberapa orang berseru tegang.

Di atas pohon, cabang yang diduduki Wirapati serta Kemala hancur lebur, terpanggang hitam. Dedaunan yang terbakar hangus berguguran ke bawah. Tapi Wirapati serta Kemala sudah lebih dahulu melompat sedang Wirapati tertawa waw waw. Ketika Kunti Kendil hendak menggempur kembali, terdengar bentakan.

“Tahan! Kunti Kendil! Nyata anak itu milikku! Aku paling layak membunuhnya!”

Kunti Kendil hentikan gerakkan dan berpaling dengan wajah bengis. Yang bicara dilihatnya ternyata adalah kakek bersorban yang bukan lain ialah Ki Sandakan, pimpinan Pesantren Nusa Barung.

“Ki Sandakan! Jangan bicara ngacok!” balas membentak Kunti Kendil. “Anak setan gila itu adalah muridku! Aku satu-satunya manusia dijagat ini yang berhak menghukumnya! Aku satu-satunya orang di dunia ini yang berhak atas nyawanya!”

Ki Sandakan sunggingkan senyum dingin dan mengejek. “Nenek,” katanya, “saat ini kau hanya mau mencari nama untuk menutup kelalaimu dimasa silam! Apa yang kau lakukan ketika muridmu itu membunuh, menjagal belasan tokoh silat dan puluhan manusia tidak berdosa?! Kalau kau merasa dia memang muridmu dan hanya kau yang berhak ini itu! Sebelumnya kau sama sekali tidak punya tanggung jawab apa-apa sebagai guru! Memalukan bagi seorang tokoh sepertimu!”

Saking marahnya Kunti Kendil sampai menjerit mendengar kata-kata Ki Sandakan itu. Sambil menudingkan telunjuk kirinya ke pada Ketua Pesantren Nusa Barung, si nenek mengancam, “Bicaramu mulus tapi mulutmu kotor! Tidak pantas untuk seorang yang menyandang sorban sepertimu! Semua menyingkir!”

Habis berkata begitu si nenek dorongkan kedua tangannya ke samping. Beberapa orang yang berada di dekat situ cepat menyingkir sebelum tersambar angin deras yang keluar dari kedua tangan Kunti Kendil. Sekali melompat saja si nenek kemudian sudah tegak di hadapan Ki Sandakan. Lembu Surah cepat mendampinginya.

“Ki Sandakan,” desis si nenek dengan muka angker dan pandangan mata berapi-api. “Jika kau kira kau yang paling berhak terhadap anak setan gila itu maka kau yang harus mampus lebih dulu di tanganku!

“Aha! Aku memang sudah lama mendengar nama besar Kunti Kendil dari gunung Iyang! Kau dan murid-muridmu juga pernah membuat keonaran dipesantrenku tempo hari! Hari ini aku akan berterima kasih jika dapat memberi pelajaran!" Tangan kanannya yang memegang tasbih diangkat ke atas melindungi dada.

Dalam keadaan tegang begitu rupa, dari arah panggung menggelegar seruan keras. “Tahan! Ditempat ini aku tuan rumah. Aku tidak suka terjadi keributan di sini! Aku mengundang kalian bukan untuk berbuat keonaran!  Jika ada yang mau pamer kehebatan silahkan membuat urusan sesudah peresmian partai selesai!”

Yang bicara bukan lain orang berjubah putih, Ketua partai yang hendak diresmikan. Ucapannya ini disambut oleh gelak tawa dari atas pohon.

“Ketua Partai! Kau benar! Di sini bukan tempatnya membuat segala macam urusan dan memamerkan kehebatan  waw waw! Usir saja manusia-manusia yang tidak tahu peradatan itu! Waw! Nah sekarang apakah aku dan kawanku ini tidak diundang untuk ikut makan minum?!"

Di atas pohon Wirapati memegang lengan Kemala. Sesaat kemudian keduanya seperti sepasang burung besar melayang turun, langsung  menuju panggung. Ketika Wirapati dan Kemala hendak  mengambil tempat duduk di meja sebelah depan, sang Ketua cepat berkata “Silahkan kalian berdua mengambil tempat di meja sebelah sana!”

“Waw waw! Kenapa musti di meja sebelah sana? Padahal di meja sini masih kosong? Waw waw!” berkata Wirapati.

Kemala ikut bicara. “Meja di sana sudah penuh. Kami tidak suka duduk berdesakan!”

“Seperti kukatakan sebelumnya,” menerangkan Ketua partai, “Meja sebelah sana adalah untuk para sahabat yang telah menyatakan ingin bergabung dalam partai. Sedang yang di sebelah sini untuk para sahabat yang belum bersedia ikut bersama kami….!”

“Waw waw! Aku dan sahabatku ini tidak saling bilang kalau kami mau bergabung dengan partaimu! Kami ke sini hanya ingin makan dan minum!" menjawab Wirapati.

Dalam hati sang Ketua merutuk. Karena tidak tahu apa yang hendak dikatakan, sesaat dia jadi termangu. Pada detik ini pula Ki Sandakan sudah melesat ke atas panggung, menerjang ke arah Wirapati dengan hantaman tasbih putihnya!

Melihat hal ini dan takut akan kedahuluan, Kunti Kendil segera pula berkelebat ke atas panggung diikuti oleh Lembu Surah alias Datuk Iblis. Tangan Dewa Dari Klungkung alias Made Tantre tidak dapat menahan hati, segera memimpin dua puluh orang yang barusan menyatakan diri ke arah Wirapati dan Kemala. Wirapati maupun Kemala nampak tenang-tenang saja malah masih tertawa-tawa!

“Para sahabat! Jangan bertindak keburu nafsu!” sang Ketua berteriak dari bawah lalu cepat-cepat naik ke panggung.

Namun cukup sulit baginya untuk dapat  menyelinap mendekati kedua orang itu. Terpaksa dia pergunakan kekerasan dengan jalan mendorong, menyikut dan mencegah kian kemari hingga akhirnya dia sampai di dekat wirapati dan Kemala. Terbungkuk-bungkuk dan sambil berkacak pinggang sang Ketua berkata,

“Apapun persoalan kalian dengan kedua orang ini harap diselesaikan kemudian! Sekarang semua menyingkir. Para sahabat yang tidak bergabung dengan kami kembali ke lapangan juga kembali ke meja makan sebelah sana!”

Melihat tak ada satu orangpun yang bergerak maka sang Ketua terpaksa memberi isyarat pada kedelapan orang anak buahnya yakni  manusia-manusia bertubuh raksasa itu!

Kunti Kendil tertawa mengekeh ketika melihat delapan lelaki tinggi besar itu mendatangi. Dia memberi isyarat pada Lembu Surah. Maka kedua orang inipun berkelebat cepat. Tahu-tahu enam orang lelaki raksasa itu sudah tertegun kaku kena ditotok. Dua lainnya mengamuk marah. Kunti Kendil menendang yang sebelah kiri sedang Lembu Surah memukul yang datang dari sebelah kanan.

Buk! Buk! Buk!

Baik si nenek maupun si kakek berambut kelabu ini mengira kedua orang itu bakal terjungkal rubuh dan tak bisa bangkit lagi. Tetapi mereka jadi terkejut sewaktu menyaksikan bagaimana kedua makhluk raksasa itu hanya sempoyongan sebentar lalu mengembor marah dan balas menyerang!

“Oladalah! Tuan rumah sengaja mencari sengketa!” teriak Kunti Kendil marah. Dia memberi isyarat pada Lembu Surah. 

Sepasang suami istri ini berkelebat. Laksana kilat dua jari telunjuk mereka melesat menotok ke arah mata lelaki-lelaki raksasa itu tanpa keduanya dapat menghindar lagi. Keduanya meraung keras ketika mata masing-masing kena ditusuk dan memuncratkan darah. Masih sambil meraung keduanya lari meninggalkan panggung. Kesunyian di tempat itu diubah oleh suara tawa Kunti Kendil.

“Siapa lagi yang berani melawan kehendakku?!” katanya menantang.

Ketua partai yang masih belum sempat diresmikan itu kini tidak dapat lagi menahan kesabarannya. Dia berkelebat cepat beberapa kali dan dilain kejap enam orang lelaki tinggi besar yang tadi tertegun kaku, kini tampak bergerak karena sang Ketua telah memusnahkan totokan ditubuh mereka.

“Bunuh dua tua bangka itu!” perintah sang Ketua.

Tangan Dewa Klungkung tampak tidak senang dengan situasi ini. Begitu pula dengan dua puluh orang lainnya yang telah menyatakan ikut bergabung. Sebelum enam manusia raksasa itu bergerak Made Tantre segera mendekati sang Ketua mewakili kawan-kawannya. Dia cepat berbisik,

“Ketua jika kejadian ini diteruskan banyak diantara para sahabat yang bakal tidak senang. Ini bisa menjadi pangkal perpecahan diantara kita. Padahal partai belum sempat diresmikan. Kedudukan belum sempat diumumkan. Biarkan saja nenek buruk itu atau siapapun membunuh pemuda gila itu. Aku sendiri mempunyai hutang piutang dengan dia dan tak mungkin akan tinggal diam saja…!”

Mendapat kisikan seperti itu sang ketua menjadi bimbang. Akhirnya dia berkata, “Terserah pada kalianlah! Kau ambil alih pimpinan Made Tantre. Tapi ingat, begitu pemuda gila bersama kawannya itu menemui kematian, lekas tinggalkan panggung dan menyingkir ke lereng sebelah selatan!”

“Kenapa musti menyingkir?” tanya Made Tantre.

“Tidak perlu bertanya. turuti kata-kataku. Aku Ketuamu!”

Made Tantre mengangguk. Lalu dia memberi isyarat pada dua puluh orang tokoh silat yang berada dalam kelompoknya. Sementara itu Kunti Kendil dan Lembu Surah sudah mendesak maju  lebih dulu. Ki Sandakan datang dari sebelah kiri. Disaat itu pula dua sosok tubuh berpakaian putih yang memakai penutup kain merah melompat ke atas panggung, langsung tegak di kiri kanan Wirapati dan Kemala.

“Keparat berkerudung! Siapa kalian?!” sentak Kunti Kendil marah.

Mahesa salah satu dari dua orang yang berkerudung merah itu lebih dulu mengubah suaranya sebelum menjawab. “Siapa kami bukan urusanmu!”

“Bagus! Rupanya kalian berdua ingin ikut-ikutan mampus hendak membela pemuda gila dan sesat itu!” damprat Kunti Kendil.

“Apapun dosa dan kesalahannya dimasa lampau tetap tidak adil untuk menghukumnya dengan cara mengeroyok begini rupa! Kalian tokoh-tokoh persilatan harus menjunjung tinggi keberanian dan kejujuran! Kau nenek yang banyak mulut! Jika memang merasa berkepandaian paling tinggi, mengapa tidak berani menghadapi pemuda gila ini satu lawan satu?!” tukas Mahesa pula.

“Siapa bilang aku tidak berani! Hanya kunyuk-kunyuk lain ini yang merusak acara!”

“Kalau begitu yang lain harap menyingkir! Biarkan nenek ini berkelahi satu lawan satu dengan Iblis Gila Tangan Hitam!” Sari yang ada disamping Kemala berseru.

“Monyet berkerudung! Apa hak dan pangkatmu menyuruh kami menyingkir!” sentak Made Tantre alias Tangan Dewa Dari Klungkung.

“Lalu apa hak dan pangkat kalian mengeroyok secara pengecut begini rupa?!” membalas Sari.

“Waw waw waw!” Wirapati keluarkan suara keras. “Ini baru  hebat! Tidak disangka aku yang jelek ini punya dua orang kawan yang hendak membela! Waw waw!”

“Kau bukan cuma punya dua kawan anak muda! Tapi tiga dengan aku!” satu suara lantang terdengar dalam suasana yang keruh itu.

Terasa angin menyambar disertai semburan asap rokok. Tiga orang terpental ke samping. Lembu Surah dan Kunti Kendil tergontai-gontai tubuhnya, Made Tantre  hampir jatuh terjengkang ditabrak orang yang melompat dari bawah panggung. Ketika orang itu tegak di depan Mahesa, semua orang jadi tertegun. Dia bukan lain si kakek muka jelangkong yang dalam dunia persilatan dikenal dengan nama besar Pendekar Muka Tengkorak. Dia tegak dengan muka menyeringai dan sebatang rokok kawung terselip di sela bibirnya.

“Hemm…” bergumam Kunti Kendil. “Tidak disangka pendekar yang disegani dan dihormati sepertimu ikut membela iblis pembunuh yang dosanya sudah selangit tembus!”

Kakek muka tengkorak tertawa mengekeh. “Aku cuma manusia biasa. Malah bisa dikatakan gembel tak berguna. Aku tidak butuh disegani apa lagi dihormati! Bicara soal dosa, siapa manusia yang tidak pernah berbuat dosa dan kesalahan?! Dendam kesumat boleh saja! Tapi memalukan jika lebih dari dua puluh tokoh menghakimi seorang anak manusia! Lagi pula kalau pemuda gila ini yang salah mengapa temannya si baju kuning itu ikut-ikutan hendak dibunuh?!”

“Karena dia menjadi bergundal yang hendak membantu Wirapati!” menjawab Lembu Surah. “Siapa saja yang coba hendak membantu iblis ini akan sama nasibnya. Mampus!”

Kakek muka tengkorak tertawa gelak-gelak. “Hebat dan aneh!” katanya. “Tuhan sendiri belum menghukum anak manusia bernama Wirapati ini. Mengapa kita manusia jelata yang hina dina bertindak lebih berani dari Tuhan?!”

“Pendekar Muka Tengkorak!” ujar Lembu Surah. “Sudah selesai pidatomu...?!”

Si kakek cabut rokok kawungnya, mendongak ke atas dan hembuskan asap rokok ke udara. Serta merta banyak orang ditempat itu merasakan mata masing-masing menjadi perih dan ada pula terbatuk-batuk.

“Maafkan, aku tidak tahu kalau banyak diantara kalian yang tak tahan asap rokok.” katanya. Lalu dia berpaling pada Lembu Surah. “Manusia keren berambut kelabu adalah aneh kau mengenali diriku tapi aku tidak mengenal dirimu. Coba terangkan dulu siapa kau adanya. Dari mana asal usulmu! Tak pernah tampang sepertimu kulihat dalam dunia persilatan sebelumnya!”

Merahlah wajah Lembu Surah mendengar kata-kata kakek muka tengkorak itu. Tentu saja tak mungkin baginya menerangkan siapa dirinya. Kehidupannya dimasa lampau tidak banyak beda dengan Iblis Gila Tangan Hitam. Di tempat itu dia memiliki musuh sebanyak orang yang membenci Wirapati!

“Siapa dirinya tidak penting!” terdengar Kunti Kendil menjawab.

Mahesa yang sudah mengetahi siapa adanya lelaki berambut kelabu itu menimpali. “orang bertanya, mengapa tidak dijawab? Mengapa tidak penting?!”

Sepasang mata Kunti Kendil berapi-api. “Anak setan berkerudung!” dampratnya. “Kau akan mampus setelah kubunuh Wirapati!”

Sari mendengus dari balik kerudung. “Dari tadi kau hanya mengancam hendak membunuh! Hendak bikin orang mampus! Kau cuma bicara! Sama sekali tidak bertindak!”

Marahlah Kunti Kendil. “Kaupun agaknya bukan manusia baik-baik. Kalau tidak mengapa menutupi wajah dengan kerudung?!”

Sari tertawa. “Mengapa aku bukan manusia bak-baik.” sahutnya. “Tapi aku bukan bangsa munafik sepertimu. Dalam hidup ini aku bukan pula manusia pengecut! Yang berkedok menghukum padahal hanya melampiaskan sakit hati belaka!”

Selagi semua orang menaruh perhatian pada silat lidah antara kelompok Kunti Kendil dengan pihak yang hendak membela Wirapati, kesempatan ini dipergunakan Ki Sandakan untuk meluncurkan serangan ganas kearah Wirapati. Tasbih di tangan  kanannya berkelebat. Sekali leher itu terbabat pasti remuk berantakan!

Ketika terjadi keributan di Pesantren Nusa Barung beberapa waktu yang lalu sebenarnya Ki Sandakan jauh dari mampu untuk menghadapi Wirapati satu lawan satu. Hanya saja saat itu dia mendapat bantuan dari beberapa tokoh silat berkepandaian tinggi, satu diantaranya Lembu Surah alias Datuk Iblis Penghisap Darah. Kini walau diserang secara mendadak dan sangat mematikan itu, bukan hal yang susah bagi Wirapati untuk mengelak menyelamatkan diri.

“Waw waw!” seru pemuda gila itu. Tubuhnya berkelebat ke samping. Sambil menyingkir dia gerakkan tangan kirinya untuk memukul lengan lawan. Ki Sandakan yang sudah tahu kehebatan racun di tangan Wirapati tak berani bentrok, cepat melompat ke kiri justru dari arah ini Kemala datang membabat dengan tendangan menusuk lambung!

Ketua partai, manusia bungkuk berjubah putih, dalam jengkel dan marah berteriak pada enam manusia raksasa. “Bunuh nenek keparat dan lelaki berambut kelabu itu!”

Agaknya perkelahian masal tidak dapat dihindarkan lagi. Melihat hal ini Made Tantre diikuti oleh dua puluh orang lainnya segera pula menyerbu ke arah Wirapati.

“Waw waw! Siapa yang inginkan nyawaku akan mampus lebih dulu!” seru Wirapati. Seluruh tenaga dalamnya dialirkan pada kedua lengan hingga tangan itu tampak berkilat-kilat dan mengeluarkan asap tipis yang panas.


***
TIGA


PANGGUNG DARAH
Bagi Lembu Surah tidak sulit mengelak tendangan yang dilancarkan Kemala.  Tapi tua bangka yang bertampang masih muda akibat madu putih yang amat berkhasiat itu, sesaat telah dibawah hanyut perasaannya. Seperti pernah dituturkan Lembu Surah demikian tergila-gila pada Kemala hingga mengejar dan mencari gadis itu ke mana-mana. Kenangan ini membuat dia sedikit ayal. Masih untung tendangan Kemala yang menyerempet pakaiannya.

Di tengah lapangan, para tamu yang tidak ikut terlibat dalam perkelahian gila-gilaan di atas panggung, menyaksikan perkelahian dengan tegang. Hanya si kakek mata buta yang bergelar Gembel Cengeng Sakti Mata Buta tampak sesunggukan dan tiada hentinya mengusut air mata. Di sudut yang lain Malaikat Maut Berkuda Putih tampak duduk gelisah. Sesekali dia memandang berkeliling seperti mencari-cari seseorang atau sesuatu.

Di atas panggung, beberapa sosok tubuh tampak bergeletakan. Darah mulai mengalir. Suara pekik kesakitan dan erangan orang yang meregang nyawa membuat suasana tambah mengerikan.

Kunti Kendil dan Lembu Surah tidak dapat dengan mudah mendekati Wirapati karena hampir setiap serangannya disambut oleh orang-orang yang mengelilingi pemuda gila itu yakni Kemala, Mahesa, Sari dan Pendekar Muka Tengkorak. Ditambah pula enam manusia raksasa yang datang menggempur laksana air bah. Enam manusia raksasa itu tidak memiliki kepandaian silat berarti, tetapi daya kekuatan pukulan atau tendangannya serta daya tahan tubuhnya terhadap hantaman sungguh luar biasa.

Sementara itu Made Tantre yang memiliki dendam kesumat terhadap Wirapati, mengamuk dengan keris di tangan kiri. Sejak tangan kanannya cacat lumpuh akibat kena racun tangan Wirapati beberapa waktu yang lalu, dia telah melatih diri dengan tekun untuk menggunakan tangan kiri. Hasilnya tidak  mengecewakan. Tapi untuk dapat mengalahkan Wirapati, bukan pekerjaan yang mudah baginya walau saat itu dia dibantu oleh lebih dari sepuluh orang!

“Manusia berbaju kuning!” kata Wirapati. “Waw waw! Dulu kuampuni nyawamu karena seseorang meminta begitu padaku. Kini kau muncul lagi. Waw waw! Manusia tak tahu diri sepertimu ini patut jadi umpan cacing tanah!

“Iblis sesat!” balas Made Tantre, “Mencacilah semaumu! Sebentar lagi nyawamu akan terbang ke akhirat!” Lalu Made Tantre tusukkan kerisnya ke lambung Wirapati. Di saat yang sama empat serangan tangan kosong dari dua serangan senjata tajam ikut menggempur pemuda gila itu!

Kemala melompat ke udara, tendang kepala salah seorang penyerang. Tapi pengeroyok yang di samping kiri hampir saja berhasil membabat punggungnya. Pakaiannya robek besar. Kalau dia tidak lekas jatuhkan diri ke depan pasti punggungnya akan tertembus senjata lawan!

Melihat kekasihnya dilukai marahlah Wirapati. Kedua tangannya menghantam ke depan silih berganti. Dua pengeroyok terpekik dan mencelat mental jatuh di bawah panggung tak berkutik lagi. Made Tantre kertakkan rahang dan perhebat serangannya sementara dia mendapat bantuan tiga orang lain.

Di bagian lain dua orang manusia raksasa telah menemui kematian di tangan Lembu Surah dan Kunti Kendil. Kedua orang ini kini menggempur Pendekar Muka Tengkorak dengan hebat hingga kakek ini terdesak. Namun ketika Mahesa dan Sari datang membantu, baik Kunti Kendil maupun Lembu Surah seperti merasakan tertahan tembok karang dan tak mampu lagi berbuat banyak.

Beberapa kali Kunti Kendil dan Lembu Surah lepaskan pukulan sakti tetapi semuanya tidak mengenai sasaran. Malah sekali pukulan Api Geledek yang dilancarkan Kunti Kendil menghantam dua orang tokoh silat yang berkelahi disebelah Made Tantre hingga mati hangus detik itu juga!

Berkelahi di atas panggung Mahesa sama sekali tidak mengeluarkan ilmu silat yang dipelajarinnya dari Kunti Kendil. Selain dia memang  sudah bersumpah untuk tidak mempergunakan segala apa yang didapatinya dari si nenek, dia juga tak ingin gerakan-gerakan silatnya dapat dibaca sang guru, yang hanya akan membuka kedoknya saja.

Maka Mahesa bertahan dan menyerang dengan mengeluarkan jurus-jurus silat orang buta yang didapatnya dari Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. Ilmu silat itu, walau hanya terdiri dari tujuh jurus namun merupakan ilmu silat langkah. Gerakannya aneh, sulit diduga. Tidak mengherankan banyak lawan yang kena dihajar bahkan Kunti Kendil serta Lembuh Surah kini mulai terdesak.

Setelah beberapa saat memperhatikan jurus-jurus silat yang dimainkan Mahesa, Kunti Kendil bertanya-tanya dalam hati apa hubungan orang berkerudung itu dengan si Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. Jelas dia mainkan ilmu silat yang hanya dimiliki oleh kakek buta berkepandaian tinggi itu. Maka si nenekpun berseru.

“Orang berkerudung! Siapa kau sebenarnya! Apa hubunganmu dengan Gembel Cengeng Sakti Mata Buta!”

Mahesa tersirat kaget. “Gila! Apakah dia mengenali diriku?” pikir Mahesa. Dia ingat dulu sewaktu dijajal oleh gurunya disebuah bukit, yakni setelah keonaran di Pesantren Nusa Barung, dia pernah mengeluarkan jurus-jurus silat orang buta itu. Juga  dia pernah menceritakan dari mana dia mendapatkan kepandaian tersebut. Jika dia sampai mengenaliku, celakalah!”

Maka Mahesa terpaksa berdusta, “Aku memang murid kakek sakti itu. Kau mau apa…?!”

“Keparat! Dimasa muda gurumu itu pernah memperdayaiku! Kini biar muridnya yang menerima balasan!”

“Nenek licik! Rupanya kehidupan masa mudamu penuh dengan berbagai pengalaman!” ujar Mahesa yang membuat si nenek tersentak dan melompat mundur. 

Sepasang matanya memandang tak terkesip pada Mahesa, seolah-olah hendak menembus kerudung kain merah itu. “Siapa kau sebenarnya! Buka kerudungmu jika kau benar-benar laki-laki!”

“Sobat, jangan turuti kata-katanya!“ Sari bicara. “Jika kau buka kerudungmu, nanti dia suruh kau buka pakaianmu! Hik hik hik…!”

“Manusia rendah bermulut cabul...” bentak Kunti Kendil. “Aku tahu kau sebenarnya perempuan! Biar kurobek mulutmu agar kau tetap berkerudung seumur hidup untuk menyembunyikan kecacatanmu!”

“Jika kau berani melakukan itu, kulit mukamu pun akan kurobek!” kata Mahesa. Sebenarnya tidak ada maksud apa-apa dari ucapan pemuda ini selain hanya untuk membela Sari.

Namun si nenek sekali ini melengak pucat. Dia menganggap kata-kata Mahesa itu seperti kata-kata seseorang yang mengetahui rahasia dirinya. Rahasia topeng tipis yang menutupi wajahnya!

“Anak setan ini. Jangan… jangan…? Tapi tidak mungkin. Bukankah dia sudah mampus?!” si nenek merenung sementara. Lembu Surah terus menempur Pendekar Muka Tengkorak yang dibantui oleh Kemala. “Anak setan! Siapa kau sebenarnya! Lekas jawab atau kau akan mampus dengan sejuta penasaran?!”

Disentak begitu rupa oleh gurunya, bagaimanapun tabahnya Mahesa namun sesaat membuat pemuda itu menjadi gugup. “Celaka! Terbukalah kedokku!” membatin Mahesa.

Disaat itulah sebuah bayangan melesat ke atas panggung menebar bau yang kurang sedap. Di lain kejap seorang kakek bermata buta, berpakaian kotor dekil compang-camping tegak di depan Kunti Kendil. Kakek ini mendongak ke langit lalu berkata, “Orang berkerudung itu, mereka keduanya adalah muridku! Apakah kau keberatan?!” 

Kunti Kendil tercekat menghadapi kakek buta ini. Dia surut mundur dua langkah. “Tentu saja aku tidak keberatan! Yang aku keberatan jika dia pergunakan kepandaian untuk menghalangi maksudku membasmi manusia-manusia jahat termasuk muridku sendiri bernama Wirapati itu!”

“Ah, itu menyedihkan sekali!” kata Gembel Cengeng. Dia kembali mulai sesunggukan dan air mata mulai mengalir ke pipinya. “Dunia ini memang penuh kesedihan!” sebuah tombak pendek melesat dari samping kiri, siap untuk menembus kepala kakek buta ini. Tanpa berpaling Gembel Cengeng Sakti Mata Buta gerakkan tangan kirinya menangkap senjata itu. Masih dengan tangan kiri dia remas batang tombak hingga melengkung dan patah! Lalu si buta meneruskan ucapannya yang tadi terpotong.

“Kesedihan di masa lalu belum terobati, kini datang kesedihan baru semakin menumpuk Kunti Kendil, aku tidak ingin melihat kau berada di tempat ini lebih lama! Berlalu dari sini! Bawa lelaki yang datang bersamamu itu!”

“Tidak mungkin!” sahut si nenek keras kepala. “Aku datang kemari untuk mencari murid murtad itu! Setelah bertemu masakan hendak kulepas begitu saja?!”

Si kakek tersenyum tapi air mata masih terus membasahi wajahnya yang keriput. “Setahuku kau pernah memberitahu pelajaran tentang perasaan dan pikiran pada murid-muridmu. Yaitu katamu,  jangan sekali-kali perasaan memengaruhi dari pada pikiran sehat!”

“Urusanku dengan muridku tak boleh orang lain ikut campur!” ujuar Kunti Kendil. “Aku menaruh syak wasangka. Setahuku kau tidak pernah punya murid. Aku tidak percaya kedua orang berkerudung itu adalah murid-muridmu! Siapa mereka?!”

“Urusanku dengan murid-muridku juga tak boleh orang lain ikut campur!” sahut kakek mata buta meniru ucapan Kunti Kendil tadi. “Hari makin tinggi, korban makin banyak berjatuhan. Apa kau masih belum mau pergi dari sini?!”

“Tidak! Sebelum Wirapati mati di tanganku!” jawab Kunti Kendil terus.

“Kenapa kau begitu ingin membunuhnya? Hingga kau benar-benar menindih pikiran dengan perasaan?”

“Kejahatannya sudah kelewat batas. Apa salah kalau hari ini aku harus menghukumnya?!”

“Aku tahu…“ kata kakek buta sambil mengusap air matanya. “Bukan alasan itu membuat kau ingin sekali membunuh Wirapati. Ada alasan yang lain. Apa perlu kukatakan padamu saat ini…?”

Paras si nenek sesaat jadi pucat. “Kau membela semua orang yang ada di sini karena sakit hatimu terhadapku di masa lalu?!”

“Apa yang sudah lalu tak akan kembali. Tak perlu disakitkan atau disesali…”

Sementara itu karena Kunti Kendil telibat pembicaraan yang tak jelas baginya, Lembu surah yang menghadapi Mahesa, Sari serta Pendekar Muka Tengkorak dengan sendirinya lelaki buntung ini terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya.

“Kalau begitu mengapa kau muncul dan sengaja menghalangi maksudku menghukum murid sendiri!”

“Kunti, muridmu itu tidak pernah salah. Nasibnyalah yang salah…!”

“Apa maksudmu…?“

“Wirapati menjadi gila karena terserang demam panas. Bisakah orang gila dituntut untuk semua apa yang dilakukannya?!”

Sesaat Kunti Kendil jadi terdiam.

“Kalau kau tidak segera pargi, kau berdua dengan kawanmu itu akan celaka…” memperingatkan Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. “Kau terlalu keras kepala…” si kakek buta usut lagi air matanya. “Jika terjadi apa-apa denganmu, maafkan kalau aku tidak dapat membantu…”

“Aku tidak butuh bantuanmu!” sahut Kunti Kendil ketus.

“Terserah padamulah!” kakek  itu lantas berkelebat dan duduk kembali ke tempat semula di tengah lapangan. Di  sini dia menangis lebih sedih lagi.

Di atas panggung Kunti Kendil cepat memasuki kalangan perkelahian ketika suaminya Lembu Surah terdesak hebat dan sempat digebuk hingga melintir oleh Pendekar Muka Tengkorak.

“Kakek setan! Sudah saatnya kau harus mempus!” teriak Kunti Kendil lalu menerjang kakek muka jerangkong itu.

“Nenek sombong! Keras kepala! Kau harus dihajar!” yang membentak adalah Sari.  Habis membentak dia lalu menebar serangan berantai yang membuat Kunti Kendil mau tidak mau terpaksa mundur sesaat lalu menggempur dengan jurus-jurus terhebat dari ilmu silatnya.

Ketua partai Merapi Perkasa yang sejak tadi menyaksikan jalannya perkelahian di atas panggung tanpa bisa berbuat apa, kini merasa sudah saatnya dia harus bertindak Nyoman Wiratha sahabat Made Tantre saat itu dilihatnya tergeletak mati di atas panggung. Tubuhnya terinjak-injak mereka yang berkelahi. Made Tantre sendiri sudah kehilangan kerisnya dan bertahan mati-matian bersama enam orang lainnya terhadap serangan ganas Wirapati dan Kemala.

“Hentikan pekelahian!” teriak sang Ketua. “Semua yang sudah memutuskan untuk bergabung dengan partai lekas menyingkir ke selatan panggung!”

Kalau tadi Made Tantre tidak mau menuruti perintah yang sama maka kali ini adalah setelah terdesak hebat, dia memberi isyarat pada teman-temannya lalu melompat turun dari atas panggung. Sang Ketua sendiri kemudian menyusul.

“Sekarang saatnya!” kata lelaki bungkuk berjubah putih yang menutupi wajahnya dengan kain hitam itu. Lalu hantamkan tangan kanannya ke depan. Satu gelombang api menderu ke tengah panggung.

Orang-orang yang masih berada di atas panggung terpaksa menyingkir. Kecuali Lembu Surah. Dia menjangkau kendi berisi tuak yang terletak si atas meja, lalu semburkan minuman itu ke arah  api. Dalam waktu sekejap saja kobaran api menjadi padam.

“Keparat!” maki Ketua partai. Dia lari dan menyusup ke bawah panggung. Setelah mencari sesaat akhirnya ditemukannya tali besar yang menembus ke dalam tanah di bawah panggung. Tali itu segera dibakarnya. Begitu tali menyala dia cepat menyingkir lebih jauh ke lereng sebelah selatan bersama para pendukungnya, termasuk anak-anak buahnya yang bertubuh raksasa yang saat itu hanya tinggal tiga orang. Diam-diam dia menghitung. Sampai hitungan ke lima belas api yang diharapkannya tidak terjadi. 

“Keparat! Pasti ada yang tidak beres!” sang Ketua memanggil salah seorang dari tiga manusia raksasa. Lalu berbisik, “Lekas kau periksa ke dalam terowongan! Seharusnya lereng gunung di sebelah lapangan itu sudah meledak! Pergi lekas!”

Si tinggi besarpun bergerak lakukan perintah. Namun baru dua langkah dia berjalan menuju mulut terowongan dari lamping gunung sebelah kiri terdengar suara berbunyi melengking keras, menusuk liang telinga. Bunyi seruling!

Disaat yang sama sebatang patahan cabang pohon melesak dan menghujam di punggung manusia raksasa yang tadi jalankan perintah sang Ketua. Patahan cabang pohon itu menembus punggung, terus ke jantung. Orang ini keluarkan suara meraung dahsyat lalu terguling roboh tanpa nyawa!

Ketegangan yang tadi menggantung, kini kembali berubah menjadi kegemparan!  Semua mata berpaling ke arah lamping gunung. Ada dua orang tegak di atas batu besar di sebelah sana. Dan  ada dua orang yang terkejut ketika mengenali siapa adanya lelaki bertopi yang tegak di sebelah depan. Orang ini ialah Mahesa dan sang Ketua partai.


***
EMPAT


RAHASIA TERBUKA
Yang tegak di atas batu besar di lamping gunung itu adalah seorang lelaki dan seorang perempuan muda. Yang lelaki bertelanjang dada, mengenakan celana panjang hitam butut dan banyak robeknya. Dia memakai topi hitam tinggi yang pada beberapa bagian sudah bolong-bolong. Di lehernya tergantung sehelai kalung burung berwarna kuning. 

Yang perempuan mengenakan pakaian penuh tambalan. Rambutnya hitam panjang tergerai lepas. Kulitnya kuning. Meskipun keadaannya kotor namun keayuan parasnya jelas terlihat. Dari raut wajah maupun deri gerak-gerik kedua orang ini jelas mereka kelihatan kurang waras.

“Ayah…” mulut Mahesa melompat suara mendesis begitu dia melihat orang lelaki di atas batu.

“Hai, kudengar kau mengatakan sesuatu!” terdengar Sari menegur.

Tapi Mahesa tidak mengacuhkan. Sepasang matanya memandang tak terkesip pada lelaki itu yang bukan lain memang adalah Randu Ampel, ayahnya sendiri. Ayah yang lenyap selama belasan tahun dan muncul dalam keadaan tidak waras serta menyedihkan. Namun memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi luar biasa. Mahesa tidak mengenal siapa perempuan muda yang berdiri di samping ayahnya. Istrinya atau kekasihya atau apanya.

Hanya dua orang yang tahu jelas siapa adanya perempuan muda itu. Yang kedua Malaikat Maut Berkuda Putih Suwo Pernomo. Orang tua ini tampak lega. Sejak muncul di tempat itu dia merasa gelisah. Seperti dituturkan, sejak pertemuan dengan perempuan itu yakni Pudji muridnya sendiri.

Malaikat Maut Berkuda Putih terus menerus menguntit perjalanan Pudji bersama Randu Ampel. Di kaki gunung Merapi mendadak dia kehilangan kedua orang itu. Setelah mencari kian kemari tidak bertemu, Malaikat Maut Berkuda Putih memutuskan melanjutkan perjalanan ke atas gunung. Harapannya bahwa kedua orang itu juga akan datang ke sana ternyata tidak meleset. 

Randu dan Pudji kini muncul. Yang membuat si orang tua heran dan gelisah ialah mengapa kawan seperjalanan muridnya itu begitu berani bertindak gegabah langsung turun tangan membunuh manusia tinggi besar dan anak buah Ketua Partai Merapi Perkasa. Ini bukan saja akan membuat dia terlibat  dalam urusan berdarah di tempat itu, tapi juga sekaligus akan menambah keruh suasana! 

Dan yang membuatnya tambah khawatir ialah Pudji muridnya ikut terlibat pula. Kalau sejak tadi dia diam saja tidak ingin mencampuri urusan di atas panggung, kini jika terjadi apa-apa dengan muridnya mau tidak mau dia terpaksa bahkan harus turun tangan. Melihat lelaki sahabat Pudji telah bertindak membunuh anak buah partai jelas dia tidak berada dipihak partai.

“Bakalan ruwet tampaknya.” Membatin Malaikat Maut Berkuda Putih.

Orang lain sangat terkejut dengan kemunculan Randu Ampel adalah sang Ketua partai sendiri.

“Ah… keparat itu masih hidup rupanya. Kuharap saja dia tidak mengenaliku. Tak mungkin dia mengenaliku! Bagaimana kalau kuajak saja dia bergabung….?”

Setelah berpikir sampai di situ maka sang ketuapun berseru sambil angkat tangan kanannya. “Orang gagah di atas batu! Setelah datang dari jauh mengapa tidak segera naik panggung sini? Bawa kawanmu yang cantik itu. Bergabung dengan kami dalam Partai Merapi pada hari baik bulan baik ini!”

Lelaki di atas batu tampak menyeringai. Dia ketuk-ketukkan suling bambunya ke telapak tangan kiri lalu berpaling pada perempuan muda di sebelahnya. “Sahabat apa pendapatmu mengenai undangan orang bungkuk itu?”

Pudji cepat menjawab, “Kami datang kemari bukan untuk bergabung atau segala urusan tolol seperti yang tadi kalian lakukan! Kami datang kemari mau mencari seorang manusia terkutuk bernama Lembu Surah bergelar Datuk Iblis Penghisap Darah! Apakah dia ada di sini?! Jika ada lekas tunjukkan diri! Dia harus tahu umurnya hanya tinggal beberapa saat lagi!”

Semua orang tersentak kaget. Terutama sekali Kunti Kendil. Di sebelahnya, Lembu Surah tegak dengan tubuh bergetar.

“Anak itu masih hidup. Ah… Mengapa dulu aku sampai melakukan perbuatan itu. Masih untung dia tidak mengenali wajahku…” baru saja Lembu Surah membatin begitu dan sekilas melirik ke arah Malaikat Maut Berkuda Putih, didengarnya si nenek  berbisik. “Ada hubungan apa kau dengan perempuan sinting itu?! Mengapa dia mencari kau?!”

Meski merasa tidak enak tapi Lembu Surah menjawab juga. “Kami punya silang sengketa dimasa silam. Tak dapat kukatakan lebih jauh saat ini!”

“Sekarang apa yang hendak kau lakukan?!“ Tanya Kunti Kendil.

Lembu Surah jadi penasaran seperti itu. Dia menjawab. “Kua mau aku berteriak mengatakan kalau aku Lembu  Surah? Membuka kedokku di tempat ini….?”

Si nenek jadi terdiam. Sementara itu. Ketua partai memandang berkeliling lalu berpaling pada perempuan di atas batu dan berseru, “Lihat sendiri tak ada yang kau cari di tempat ini!”

Mendengar itu Randu Ampel berpaling pada Pudji. “Sahabat bagaimana sekarang?“ Tanyanya.

Pudji tampak tidak senang. Dia memandang tajam berkeliling. Sesaat pandangannya tertuju tak terkesip pada gurunya yaitu Malaikat Maut  Berkuda Putih. “Mungkin bangsat itu tak ada di sini. Kau mulai saja dengan urusanmu Randu!”

Maka Randu Ampel berseru. “Jika tak ada Lembu Surah atau Datuk Iblis di sini maka aku akan mencari seorang  lain. Apakah ada dukun iblis bernama Embah Bromo Tunggal diantara para tetamu!”

Suara Randu Ampel keras sekali, menggema beberapa saat lamanya di lereng gunung itu. Tak ada jawaban. Hampir tak ada yang bergerak.

Ketua partai balas berteriak, “Lihat orang-orang yang kalian cari tidak ada di sini. Kalau undanganku untuk bergabung tidak dapat kalian penuhi, apakah juga menampik untuk ikut makan minum bersama kami?!”

“Makan dan minum?! Hai kami memang haus dan lapar!” sahut Randu Ampel. “Di meja sebelah mana kami boleh duduk?!”

Ketua menunjuk ke meja besar di sebelah belakang panggung. “Silahkan mengambil tempat duduk di sana!”

“Kami tak ingin duduk jauh  di belakang sana. Kami mau duduk di sebelah depan saja!” kata Randu Ampel. Lalu dia pegang lengan Pudji. Sesaat kemudian keduanya melayang terjun ke bawah. Tubuh mereka berputar bergulung-gulung, aneh luar biasa. Tetapi begitu sampai di panggung sepasang kaki mereka dengan enteng menjejak panggung lebih dahulu.

“Manusia-manusia aneh berpandaian tinggi luar biasa!” kata Ki Sandakan di antara decak orang yang menyaksikan kejadian itu dengan penuh kagum.

Malaikat Maut Berkuda Putih sendiri tampak terheran-heran. Jika tidak mendapat tambahan ilmu secara mendesak, tidak mungkin murid perempuannya itu sanggup melompat dan jungkil balik berputar seperti itu.

Lembu Surah menggamit lengan Kunti Kendil lalu berbisik, “Aku tidak suka melihat suasana ini. Sebaiknya kita pergi saja dari sini Kunti!”

“Eh, jangan ngacok Lembu. Apa yang ingin kuketahui belum kudapat. Mana mungkin kita pergi begitu saja!”

Mendengar jawaban istrinya itu Lembu Surah jadi terdiam meskipun hatinya jengkel sekali. Yang dikawatirkannya ialah jika sekian banyak musuh-musuhnya yana ada di situ sempat mengenali siapa dirinya maka  bukan saja dia tapi Kunti Kendil pun bisa celaka!

Sementara itu Randu Ampel dan Pudji melangkah menuju meja panjang sebelah depan di mana terdapat berbagai macam makanan yang  lezat-lezat serta puluhan kendi berisi tuak serta minuman lainnya.

“Orang gagah, kau dan kawanmu  harap suka duduk di meja sebelah sana…” Ketua Partai Merapi Perkasa berkata sambil mendatangi. 

Tapi baik Randu Ampel maupun Pudji tidak perdulikan. Keduanya melangkah mengelilingi meja panjang itu. Kemudian dengan seenaknya Randu Ampel mencicipi beberapa jenis makanan, mengeragot paha kambing dengan lahap. Terakhir sekali meneguk dua kendi tuak sementara Pudji hanya tegak di sebelahnya memperhatikan.

Ketua partai tampak gelisah. “Celaka… celaka. Sebentar lagi mampuslah orang gila ini. Terbuka rahasiaku!” Selagi sang Ketua menunggu dengan hati cemas. Randu Ampel usap-usap perutnya yang gembul lalu meneguk habis lagi sekendi tuak.

“Sedap… sedap sekali…” katanya seraya usap-usap kembali perutnya. Tiba-tiba dengan satu gerakan cepat luar biasa orang ini menangkap leher salah satu dari dua orang manusia raksasa yang masih hidup dan menariknya ke meja makan. Dia membetot sepotong paha kambing panggang lalu menyodorkannya pada orang itu.

“Makan!” bentak Randu Ampel. Lalu kendi berisi tuak di tangan kiri menyusul disodorkan. “Minum!” hardiknya.

Manusia raksasa itu tampak marah dan ulurkan tangan kanannya untuk mencekik Randu Ampel. Tetapi lelaki gila ini lebih cepat. Paha kambing itu dimasukkannya secara paksa ke dalam mulut si raksasa hingga megap-megap dan tak mau menelan sebagian minyak daging. Sesaat kemudian Randu Ampel cabut paha kambing, sebagai gantinya dia guyurkan tuak dalam kendi ke mulut si raksasa.

Manusia tinggi besar ini berusaha berontak berusaha memukul dan menendang, namun aneh dia merasakan sekujur tubuhnya lemas. Cekikan pada lehernya membuat dia terpaksa meneguk tuak yang diguyurkan. Randu Ampel kemudian hempaskan orang itu ke lantai panggung, lalu habiskan sisa tuak dalam kendi. Si tinggi besar tampak berusaha bangun. Aneh dari mulutnya terdengar suara  mengerang. Mukanya yang hitam tampak lebam merah kebiruan. Tiba-tiba dia membuka mulutnya lebar-lebar.

“Huah!” Darah kental berbuku-buku menghanbur dari mulutnya. Detik itu pula tubuhnya roboh di lantai dan diam tak berkutik lagi.

“Dia mampus!” seru Randu Ampel seraya memandang berkeliling dengan sepasang mata merah membeliak. “Mampus karena racun jahat yang ditaruh dalam makanan dan minuman itu!”

Maka gemparlah semua orang yang ada di tempat itu. Di samping gempar puluhan tokoh silat juga menjadi marah. Terutama mereka yang tidak mau bergabung dan diundang untuk makan minum di meja itu!

“Kalau begitu sang Ketua hendak meracun kita!” seorang tokoh berteriak marah.

Gembel Cengeng Sakti Mata Buta terdengar menangis.

“Bangsat penipu!” seorang tokoh lainnya mendamprat lalu melompat ke panggung. Yang lain-lain ikut naik ke atas panggung hingga panggung besar itu penuh sesak dan sang Ketua terkurung di tengah-tengah.

“Dusta!” teriak lelaki bungkuk berjubah putih. “Jika daging dan tuak itu beracun, mengapa dia sendiri tidak mati?!”

Randu Ampel menyeringai. “Karena aku kebal terhadap segala macam racun! Sang Ketua! Sekarang kau harus menyantap hidangan dan minuman yang ada di meja ini!”

“Manusia gila! Kedatanganmu hanya mengacau saja! Teriak sang Ketua marah.

Randu Ampel tertawa aneh. Dia cabut suling yang tadi  diselipkan di pinggang lalu menunding ke arah sang Ketua.

“Aku ke mari bukan untuk mengacau. Tapi hendak mengambil nyawa anjingmu!”

“Manusia sinting gila! Kalau kau dan kawan perempuanmu itu tidak lekas angkat kaki dari sini kalian berdua akan mampus dengan tubuh hancur lumat!”

Randu ampel kembali tertawa. “Sahabat.” Katanya pada Pudji. “Lekas kau katakan pada orang banyak di sini apa yang kau ketahui!”

“Para tamu semua! Dengarkan baik-baik keteranganku ini!”

Ucapan Pudji itu mendadak dipotong oleh Ketua partai yang merasa tidak enak. “Jangan dengarkan keterangan orang gila yang bisa menyesatkan!”

“Aku dan sahabatku memang gila!” tukas Randu Ampel. Pandangan matanya menyorot ganas. “Tapi apa yang bakal diterangkan sahabatku bukan sesuatu yang menyesat. Lekas ceritakan!”

“Pertama!” ujar Pudji pula. “Kalian semua sudah menyaksikan bagaimana makanan dan minuman yang tersedia di meja sana mengandung racun. Karena manusia berjubah itu memang berniat jahat. Yaitu hendak membunuh para tokoh yang tidak mau bergabung dalam partainya…!”

“Dusta besar! Kurobek mulutmu!” teriak sang Ketua marah. Tubuhnya berkelebat. Tangan kanannya melesat ke depan, ke arah kepala Pudji. Aneh, tangan itu seperti berubah jadi panjang, hampir dua kali panjang aslinya hingga Pudji tak punya kesempatan untuk mengelak sambaran lima jari berkuku panjang hitam yang mengandung racun jahat!

Para tokoh silat yang tidak senang dengan pendirian partai serta sikap sang Ketua, bahkan mereka yang telah menyatakan diri bersedia bergabung sama keluarkan seruan tertahan. Mereka semua tidak atau belum mengetahui sampai di mana kehebatan manusia bungkuk berjubah putih yang telah mengangkat diri sebagai Ketua  partai itu. Namun kini menyaksikan gerakan kilat yang ganas mematikan itu, semua sama menyadari bahwa manusia tersebut memang memiliki kepandaian yang tidak sembarangan!

Gembel Cengeng Sakti Mata Buta terdengar menangis keras. Malaikat Maut Berkuda Putih yang ada di samping kiri panggung tanpa tunggu lebih lama segera menerjang sambil lepaskan satu pukulan sakti yang mengeluarkan sinar putih. Melihat sinar ini orang banyak yang berkerubung segera menyingkir.

Diserang begitu rupa, dengan sikap acuh tak acuh sang Ketua angkat tangan kirinya dan mendorong telapak tangan ke arah pukulah Malaikat Maut. Dari telapak tangannya menyembur sinar merah yang kemudian berubah menjadi gulungan api dan menyambar ke arah muka serta pakaian Malaikat Maut. Hal ini membuat semakin banyak orang yang menjauhi  tempat itu bahkan ada yang melompat turun dari atas panggung. Tinggal Malaikat Maut Berkuda Putih tegak sendirian pada bagian panggung di mana sambaran api datang menderu!

Hanya ada satu jalan bagi guru Pudji itu untuk selamatkan diri yakni melompat ke samping atau ke belakang. Dia memilih melompat ke samping kanan seraya kembali melepaskan pukulan sakti dengan mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya!

“Bagus Malaikat Maut! Kau membela perempuan muda itu! Pasti kau ada hubungan apa-apa dengan dia!” kata Ketua partai. Lalu menambahkan. “Aku tidak sungkan-sungkan membunuhmu lebih dulu!” sang Ketua goyangkan tangan kirinya. Semburan api yang tadi seperti sebuah jaring besar, langsung membuntal Malaikat Maut Berkuda Putih. Orang tua ini menjerit  tinggi ketika pakaiannya dan sebagian janggutnya terbakar hangus!

“Ilmu sihir busuk!”

Satu suara membentak dari samping. Bersamaan dengan itu sebuah benda kecil yang ujungnya berapi melesat ke arah cadar yang menutupi wajah Ketua partai. Lalu  menyusul hembusan asap kelabu keras dan panas.

Sang Ketua merasakan tubuhnya tergontai-gontai. Terpaksa dia turunkan tangan kirinya. Ini membuat Malaikat Maut Berkuda Putih selamat dari panggangan api. Sambil melempar diri ke samping untuk menghindar serangan benda aneh tadi yang ternyata adalah sebatang rokok kawung menyala, Ketua partai tetap meneruskan gerakan tangan kanannya mencengkeram wajah Pudji. Seperti juga Malaikat Maut Berkuda Putih tadi, perempuan muda inipun tidak sempat mengelak selamatkan dirinya.

Saat itulah terdengar satu jeritan marah. Menyusul suara menderu seperti suara seruling ditiup dengan tenaga raksasa. Sang Ketua merasakan tangan kanannya dicengkeram orang dipuntir ke  belakang siap untuk dibikin patah!

“Keparat! Kalian semua minta mampus!” terdengar kutuk Ketua. Dia membuat gerakan aneh. Cengkeraman pada tangannya terlepas lalu dia membalik dan memukul.

Bukk!

Randu Ampel merasakan tubuhnya seperti dihantam batu besar ketika terkena pukulan itu. Tapi dia tetap tegak tanpa bergeming, malah menyeringai, membuat sang Ketua kaget bukan main hingga tak jadi melancarkan serangan terhadap Pendekar Muka Tengkorak yang tadi menghantamnya dengan serangan rokok kawung dan hembusan asap!

Selagi sang Ketua terkesiap menyaksikan lawan yang dipukulnya tidak roboh apalagi mati, Randu Ampel berkata pada Pudji yang baru saja diselamatkannya.

“Sahabat, kau sudah membuka rahasia racun dalam makanan itu! Mengapa kini tidak membuka rahasia siapa manusia bungkuk berjubah putih ini sebenarnya?!”

“Ya… ya…! Memang sudah tiba saatnya untuk membuka kedok manusia iblis ini!” ujar Pudji. “Tapi dengar dulu! Kalian mungkin tidak tahu! Selain hendak meracuni para tokoh di sini, dia juga telah menanam bahan peledak di bawah tanah sana! Dia hendak meledakkan tanah lapang  itu guna membunuh semua orang yang tidak suka bergabung dengannya. Jika tidak percaya silahkan periksa bagian bawah panggung ini…”

“Gila!” teriak seseorang.

“Benar-benar ganas!” teriak yang lain.

Serentak puluhan orang mengurung dan siap menghajar sang Ketua tapi Pudji menghardik keras!

“Tidak satu orangpun berhak turun tangan terhadapnya kecuali sahabatku yang memakai topi butut ini!” yang dimaksudkannya adalah Randu Ampel.

Seseorang berseru, “Tadi kau mengatakan hendak membuka kedok manusia ini! Katakan siapa dia sebenarnya!”

“Siapa aku tidak penting!” berteriak sang Ketua. Suaranya keras sekali. “Yang penting adalah jubahku ini!” tanpa disadari ucapannya itu membuat semua orang tertarik untuk memperhatikan jubah putihnya yang saat itu tampak dibukanya. 

Begitu terbuka jubah itu dilemparkan ke udara. Luar biasa! Jubah putih itu tiba-tiba berubah menjadi seekor burung rajawali besar. Binatang ini mengepakkan sayapnya yang lebar. Kepakan sayap ini mendatangkan angin kencang  luar biasa hingga banyak orang di atas panggung roboh  atau terpelanting. Tiba-tiba burung jejadian ini menukik ke bawah. Mematuk dan mencengkeramkan kedua kakinya. Terdengar jeritan susul menyusul. Lima orang tokoh silat yang tak sempat menyingkir menemui ajal dengan tubuh  atau kepala hancur!”

“Setan alas!” maki Pendekar Muka Tengkorak. “Jelas, pasti si keparat itu! Siapa lagi manusia yang memiliki ilmu sihir terkutuk ini kalau bukan dia!” Habis berkata begitu kakek muka tengkorak ini memukul ke atas dengan kerahkan hampir dua pertiga tenaga dalamnya.

Dess!

Burung rajawali jejadian itu sesaat seperti hendak menggelepar tapi tiba-tiba membalik dan menyerbu ke arah si kakek. Melihat ini hampir saja Mahesa tidak sadar dan hendak lepaskan pukulan Api Geledek ke arah burung raksasa itu. Namun saat itu dilihatnya Randu Ampel melompat ke udara. Dilain kejap dia sudah menggayuti burung raksasa lalu menggeragot leher binatang itu dengan gigi-giginya ke perut burung.

Menyusul terjadi keanehan yang tidak terduga. Sosok tubuh burung yang dicekal dan digigit Randu Ampel mendadak lenyap hingga Randu Ampel terjatuh keras ke panggung tapi cepat berdiri.

Di saat itu pula semua orang baru menyadari bahwa sang Ketua yang tadi membuka jubahnya tak ada lagi di tempat itu! “Kita tertipu!“ Teriak Ki Sandakan.

“Benar! Jubah dan burung itu hanya untuk mengalihkan perhatian kita!” Sari ikut berteriak.

“Waw waw! Semua tolol! Semua tolol!” Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam ikut-ikutan berteriak.

Pada saat itulah Mahesa merasakan ada seseorang yang menarik lengannya dan satu suara halus mengiang di teinganya. “Anak muda! Lekas ikut aku!”

Mahesa coba sentakkan pegangan orang. Astaga dia tak berdaya. Malah tubuhnya terseret hingga mau tak mau harus berlari mengikuti orang yang menariknya. Ketika dia berpaling ke samping dia jadi tambah kaget bercampur heran. Yang menariknya ternyata adalah Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. Pemuda ini berpaling ke arah panggung dan lambaikan tangan pada Sari. 

Perempuan ini cepat melompat turun dan lari kejurusan yang ditempuh Mahesa serta kakek buta itu. Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil sesaat memandang kearah lenyapnya ke tiga orang tersebut, geleng-geleng kepala lalu tiba-tiba memaki.

“Keparat setan kurap! Pasti dia!” lalu tanpa tunggu lebih lama diapun berkelebat mengejar!


***
LIMA


GURU DAN MURID AKHIRNYA SALING TEMPUR
Di atas panggung upacara yang tadi hendak diledakkan kini tinggallah belasan tokoh silat. Diantara mereka terdapat beberapa tokoh utama yang telah menggetarkan dunia persilatan, baik karena memang oleh kehebatan ilmunya, maupun oleh pembunuhan-pembunuhan yang pernah dilakukan. Secara tidak langsung para tokoh itu terpisah dalam kelompok-kelompok yang saling mendendam dan bermusuhan.

Kelompok pertama adalah Kunti Kendil dan Lembu Surah yang ingin membunuh Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam yang ada disitu bersama Kemala. Kelompok lain Randu Ampel bersama Pudji yang kini tegak dalam bingung karena musuh besar yang mereka cari yakni Embah Bromo Tunggal serta Datuk Iblis Penghisap Darah alias Lembu Surah berada ditempat itu dalam bentuk wajah yang asli.

Lalu terdapat pula Ki Sandakan, Ketua pesantren Nusa Barung. Orang tua berjubah dan bersorban putih ini bukan saja mendendam setengah mati terhadap Wirapati, tetapi juga sangat benci kepada Kunti Kendil.

Berikut adalah Malaikat Maut Berkuda Putih yang tak ingin melihat muridnya yakni Pudji mengalami celaka di tempat itu. Dia merasa heran tidak menjumpai Lembu Surah. Padahal musuh besar pemerkosa muridnya itu justru ada di tempat tersebut! Karena otang tua berjanggut putih yang sebagian janggutnya  terbakar oleh api buatan Ketua partai yang melarikan  diri, menumpahkan dendam kesumatnya pada Kunti Kendil. Dia sudah memutuskan, jika terjadi perkelahian kembali maka dia akan bergabung dengan kelompok yang menjadi lawan nenek itu.

“Bagus! Ketua partai yang tak lebih dari kecoak berhati jahat tapi pengecut itu sudah kabur melarikan diri! Sekarang tak ada yang menghalangiku lagi untuk membunuh Wirapati!” Yang buka suara adalah Kunti Kendil.

“Tunggu dulu.” Ki Sandakan cepat maju ke muka. “Mana bisa begitu. Sekali aku bilang nyawanya adalah hakku, tak ada lain orang berani mendahului!”

“Keparat bersorban!” damprat Kunti Kendil. Kali ini si nenek tampaknya tak bisa lagi menahan amarahnya. “Kalau begitu biar kau kuhabisi lebih dahulu!” lalu Kunti Kendil berbisik pada Lembu Surah. “Awasi anak setan itu. Jangan sampai dia kabur!”

Lembu Surah mengangguk dan menggeser tegaknya untuk dapat lebih mudah mengawasi Wirapati. Ini membuat dia sekaligus lebih dekat dengan Kemala. Diam-diam sang Datuk merasakan darahnya menjadi panas.

Sebaliknya Kemala memandang dengan beringas. Gadis ini menggertak. “Manusia tangan buntung! Jika kau berani bergerak, kupatahkan tanganmu yang tinggal satu itu!”

Lembu Surah memang tak bergerak. Tapi kedua matanya menjelajahi wajah dan tubuh Kemala, dan melotot ketika melihat keputihan tubuh gadis itu, pada bagian pakaian yang robek waktu berkelahi sebelumnya.

Sementara itu Suwo Permana alias Malaikat Maut Berkuda Putih yang ikut memandang ke arah Lembu Surah mulai menduga-duga siapa adanya kakek berambut pendek kelabu itu. Melihat  kepadanya wajahnya jelas dia tidak mengenali siapa sesungguhnya orang ini. Namun perhatikan nada bicaranya, seperti dia pernah mendengar sebelumnya. 

Dan melihat kenyataan orang ini datang bersama Kunti Kendil pastilah dia punya hubungan sangat rapat dengan si nenek. Setahunya selama puluhan tahun malang melintang dalam dunia persilatan Kunti Kendil tak pernah berjalan seiring dengan siapapun, apalagi dengan seorang lelaki. Maka mau tak mau Malaikat Maut Berkuda Putih mulai merasa curiga. “Jangan-jangan orang ini…”

Namun Malaikat Maut Berkuda Putih tidak berkesempatan berpikir lebih jauh karena saat itu antara Kunti Kendil dan Ki Sandakan telah pecah perkelahian. Si nenek dengan tangan kosong sedang sang Ketua pesantren dengan tasbih putih yang dihantamkan kian ke mari, menahan serangan ganas lawannya. Memang si nenek ingin sekali membantai Ki Sandakan dalam waktu singkat. Karena itu dia menyerbu dangan serangan-serangan mematikan.

Meski Ki Sandakan merupakan seorang tokoh silat cukup disegani nama besarnya, dan sekalipun dia saat iu memegang tasbih yang merupakan senjata mustika, namun kehebatan Kunti Kendil masih berada beberapa tingkat di atasnya. Setelah mengimbangi dalam tiga jurus pertama dan bertahan pada tujuh jurus berikutnya.

Memasuki jurus ke sebelas pertahanan Ki Sandakan tergempur berantakan. Lengan kanannya seperti dihantam besi keras ketika terpukul sambaran lengan kiri Kunti Kendil. Tasbih yang dipegangnya terlepas dan mental ke bawah panggung. Selagi Ketua pesantren Nusa Barung ini tersurut menahan sakit, jotosan kanan lawan bersarang di perutnya!

Ki Sandakan merasakan seolah-olah perutnya pecah dan ususnya berbusaian. Tubuhnya terlibat ke depan. Sebelum dia sempat mengimbangi diri, dari depan rambut putih panjang si nenek tampak menyambar mengeluarkan suara menderu deras, membabat ke arah batang leher Ki Sandakan.

Semua orang yang menyaksikan kejadian itu mengetahui bahwa rambut si nenek merupakan salah satu senjata maut yang dimilikinya. Sekali menyambar atau membabat, kehebatannya sama dengan babatan sebilah pedang. Tidak dapat tidak leher Ki Sandakan akan putus disambar rambut yang dialiri tenaga dalam tinggi itu!

Wirapati yang berotak miring, melihat tadi Ki Sandakan berkelahi melawan Kunti Kendil mengira bahwa kakek bersorban itu membela dan berada dipihaknya, padahal seperti diketahui Ki Sandakan sebenarnya juga ingin membunuh Wirapati. Karenanya ketika melihat Ki Sandakan berada dalam bahaya, Wirapati serta merta menolong dengan lepaskan pukulan tangan kosong. Sinar hitam mengandung racun jahat luar biasa menderu dari samping, menghantam sisi kiri Kunti Kendil.

Semua orang terkesiap tegang. Lembu Surah yang sudah merasakan keganasan pukulan Iblis Gila Tangan Hitam itu berseru keras memperingatkan istrinya.

“Anak setan keparat!” maki Kunti Kendil marah sekali. Dia menggenjot tubuhnya dan melesat ke atas. Meski dia berhasil lolos dari hantaman pukulan muridnya sendiri itu namun serangan mautnya terhadap Ki Sandakan menjadi gagal.

Masih terus memaki panjang pendek, dari atas si nenek lepaskan Pukulan Api Geledek Menggusur Makam. Dalam marahnya nenek ini kerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya! Sinar merah berkiblat. Hawa panas menyambar mengerikan. Para tokoh di atas panggung banyak yang mengeluarkan seruan kaget serta buru-buru menyingkir.

“Kak Wira! Lekas menghindar!” terdengar seruan Kemala.

Tapi pemuda gila itu tidak mau ambil perduli. Meski tubuhnya terasa seperti dipanggang dia tetap berdiri di atas panggung dan kini tampak Wirapati angkat kedua tangannya lalu hantamkan telapak tangannya ke atas, ke arah tubuh Kunti Kendil yang masih mengapung di udara.

Terjadilah hal hebat luar biasa. Sinar merah pukulan sakti Kunti Kendil terbelah oleh dua larik sinar hitam yang menghambur keluar dari tangan kiri kanan Wirapati. Terdengar dua ledakan keras susul menyusul. Panggung kayu yang kokoh itu hancur berantakan dan hangus menghitam. Tubuh Kunti Kendil tampak jungkil balik di udara. Si nenek lemparkan dirinya ke arah timur panggung. Dia masih mampu jatuh dan tegak  di atas kedua kakinya, namun begitu berdiri langsung roboh. Pakaiannya tampak menghitam di sebelah depan.

“Kunti!” Lembu Surah berteriak, lari memburu dan menubruk tubuh istrinya, langsung memangkunya. “Kunti … kau…”

“Aku tidak apa-apa….” Sahut si nenek. Tapi dari sela bibirnya tampak keluar darah. Pakaiannya disebelah depan hangus. Dia usap wajahnya lalu bertanya perlahan, “Topeng kulitku tak apa-apa…?"

“Tidak, tak apa-apa Kunti. Tapi kau terluka di dalam!” sahut Lembu Surah.

“Dadaku memang terasa sesak sedikit...”

“Aku kawatir kau keracunan!”

Kunti Kendil tersenyum.  Dari balik pakaiannya dia keluarkan dua butir benda bulat sebesar kelereng berwarna hijau. Benda itu kemudian ditelannya. “Aku tidak apa-apa,” katanya lagi. “Anak setan itu memang hebat. Tapi aku tidak puas. Dia tentu sudah mampus saat ini!” dibantu oleh Lembu Surah si nenek bangkit berdiri.

Bagaimana dengan Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam? Di mana dia berada saat itu? Kemala orang yang paling cemas memikirkan nasib pemuda itu. Dia tak henti-hentinya memanggil. “Kakak Wira…! Kakak Wira!”

Semua mata ikut mencari-cari di mana adanya Wirapati dan semua ingin tahu apa yang terjadi dengan manusia gila berkepandaian tinggi itu.

“Kakak Wira!” panggil Kemala lagi.

“Waw waw!” Terdengar suara pemuda itu tapi orangnya masih tak kelihatan!

Kemala memandang ke arah reruntuhan panggung yang kini tinggal tumpukan kayu-kayu hitam hangus.

“Waw waw waw!” Tumpukan reruntuhan paling tinggi tampak bergerak lalu  mental kian kemari. Dari bawah  tumpukan itu muncul sosok tubuh bercelemongan hitam dan batuk-batuk. Sesaat dia tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegang dada.

“Kakak Wira!” Kemala menjerit lalu lari ke arah reruntuhan panggung.

Namun dari samping dua sosok berkelebat mendahului. Kedua orang ini seperti berebut cepat hendak saling mendahului untuk dapat menghantam dan membunuh Wirapati. Yang satu berjubah putih, satunya lagi berpakaian serba kuning, memegang sebilah keris di tangan kiri!

Yang berjubah putih bukan lain adalah Ki Sandakan, Ketua pesantren Nusa Barung yang punya segudang dendam terhadap Wirapati. Bukan saja Wirapati telah membantai empat orang pengurus Pesantren, termasuk salah seorang Ketua yang kini digantikannya.

Kemudian yang berpakaian kuning adalah Made Tantre alias Tangan Dewa Dari Klungkung. Wirapati telah membuat tubuhnya cacat seumur hidup. Tadi-tadi memang sulit bahkan tidak mungkin baginya untuk menghadapi manusia gila berkepandaian tinggi itu.

Tapi kini melihat Wirapati dalam keadaan cidera begitu rupa. Made Tantre merasa inilah kesempatan paling baik baginya untuk membalaskan dendam kesumat. Keris di tangan kirinya ditusukkan langsung ke dada kiri Wirapati, tepat di arah jantung! Serangan yang benar-benar mematikan!

Ditambah pula dengan sambaran dua tangan Ki Sandakan ke arah leher maka keadaan Wirapati memang sulit diselamatkan, jika benar-benar pemuda itu memang dalam keadaan tak berdaya atau cidera akibat baku hantam dengan Kunti Kendil tadi.

“Manusia-manusisa pengecut! Menyerang orang yang tidak berdaya!” teriak Kemala. Gadis ini menyerbu ke depan. Dia agak bingung karena tak mungkin sekaligus menyelamatkan Wirapati dari dua serangan  yang datang dari dua jurusan terpisah itu. 

Karena Made Tantre berada paling dekat, maka Kemala langsung saja menggempur yang satu ini. Saat itu ujung keris di tangan kiri Made  Tantre hanya tinggal seujung jari saja siap menusuk dada Wirapati. Karenanya meskipun mengetahui ada yang menghantamnya dari samping. Made Tantre tidak berusaha untuk menarik pulang serangannya.

Buk!

Pukulan Kemala mendarat di bahu kanan Made Tantre. Terdengar suara krak! Made Tantre mengeluh kesakitan ketika tulang bahunya patah, tubuhnya terpental. Tapi dia puas. Kerisnya berhasil menancap di dada kiri Wirapati! Kemala menjerit!

Ki Sandakan yang mengira dia telah kedahuluan Made Tantre dengan sangat gemas dan penuh dendam mencengkeram leher Wirapati, siap menghancur remukkannya. Tapi sedetik kemudian terjadilah satu hal yang tidak terduga. 

Cekikan kedua tangan Ketua pesantren Nusa Barung itu tampak terlepas dan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Ada bercak merah pada  dadanya. Dan pada dada itu kelihatan menancap sebilah keris. Keris milik Made Tantre yang tadi telah menikam dada Wirapati!

“Waw waw!”

Apa yang sebenarnya terjadi? Ketika Made Tantre menikam dengan kerisnya, sebenarnya senjata itu tidak menghunjam di dada kiri Wirapati. Dengan kecepatan luar biasa yang hampir tak satu orangpun melihat bahkan Made Tantre sendiripun tidak menyadarinya, tusukan  senjata itu dapat dielakkan Wirapati lalu keris dikempitnya di ketiak kirinya!

Pukulan Kemala membuat Made Tantre terpelanting ke samping kiri sementara keris masih berada dalam kempitan Wirapati. Lalu sewaktu Ki Sandakan mencengkeram lehernya, Wirapati cabut keris yang berada dalam kempitan ketiak kirinya dan menghujamkan senjata ini ke dada Ki Sandakan!

“Waw waw!”

Ki Sandakan mundur terus sambil pegangi dadanya. Ketika sepasang kakinya tak sanggup lagi menunjang tubuhnya, Ketua pesantren Nusa Barung ini terjungkal ke  tanah, terkulai rubuh dan rebah menggeletak. Mulutnya tampak komat-kamit. Jelas dia mengucapkan sesuatu sebelum ajalnya sampai. Sesaat kemudian tubuhnya tak bergerak lagi. Dia mati dengan kedua mata memandang ke langit di atasnya.

“Waw waw! Siapa lagi yang ingin mampus di tanganku?!” Wirapati memandang buas berkeliling. Dia berdiri sambil berpegangan pada Kemala. Jelas keadaan dirinya pun mengalami cidera di dalam akibat bentrokan pukulan sakti dan tenaga dalam tinggi dengan Kunti Kendil tadi. Kemudian pandangan matanya yang merah mengarah pada Made Tantre yang masih terduduk di tanah sambil merintih kesakitan pegangi bahunya tadi.

“Waw waw! Manusia pengecut sepertimu tak layak hidup lebih lama!“ bentak Wirapati. Dia siap melangkah untuk menghajar Made Tantre.

Sementara itu Lembu Surah yang tegak memapah Kunti Kendil, berbisik pada perempuan itu. “Sebaiknya kita pergi saja dari sini. Lain kali kita buat lagi perhitungan dengan pemuda gila itu!”

“Mana bisa begitu!” sahut Kunti Kendil keras kepala.

“Tapi kau terluka di dalam Kunti!”

“Aku tidak apa-apa! Kau dengar itu? Malah aku rela mati asal dapat membunuh murid sesat itu!”

“Atau kau ingin aku yang menghajarnya?” tanya Lembu Surah.

“Tidak, dia harus mampus di tanganku….”

“Kau akan terbunuh sia-sia.”

“Kalau kau takut melihat kematianku, silahkan pergi dari sini.” ujar Kunti Kendil pula.

Lembu Surah jadi serba salah. Wirapati diketahuinya memang menderita cidera di dalam akibat bentrokan dengan istrinya tadi. Tapi keadannya jauh lebih kuat dari pada Kunti Kendil. Jika istrinya itu tetap bersikeras untuk melanjutkan niatnya, niscaya dia akan mati di tangan Wirapati. Dia tidak takut untuk turun tangan membela istrinya. 

Namun kalau itupun sia-sia tak ada gunanya. Lebih baik mencari kesempatan lain. Apalagi dilihatnya ditempat itu tidak ada yang akan berpihak padanya. Banyak para tokoh silat lebih suka menjadi penonton dari pada turun tangan menggempur Wirapati. Dalam pada itu kehadiran Malaikat Maut Berkuda Putih serta Pudji yang muncul bersama lelaki aneh bertopi tinggi itu sejak tadi-tadi telah membuat Lembu Surah merasa was-was. Karenanya ia jadi penasaran kalau Kunti Kendil tidak mau mengikuti nasihatnya.

“Kita pergi sekarang Kunti!”

“Kau pergilah sendirian. Tapi dengar. Jangan kau mencari-cari aku lagi!” kata Kunti Kendil mengancam.

Lembu Surah merutuk dalam hati. Ketika si nenek mulai melangkah ke arah Wirapati. Lembu Surah cepat gerakkan tangan kirinya, menusuk ke punggung Kunti Kendil. Serta merta Kunti Kendil merasakan sekujur tubuhnya menjadi kaku tegang. Dia tak mampu lagi melangkah atau menggerakkan bagian tubuhnya yang lain. Tapi mulutnya masih bisa terbuka dan bersuara. Maka nenek inipun membentak.

“Surah! Apa yang kau lakukan ini. Gila! Lekas lepaskan totokanmu!”

Lembu Surah alias Datuk Iblis Penghisap Darah tersentak kaget. Mukanya pucat. Cepat dia menotok urat besar jalan suara di leher si nenek hingga Kunti Kendil kini tak bisa bersuara lagi. Tetapi terlambat! Kunti kendil di luar sadar telah keburu menyebut namanya tadi!


***
ENAM


RAHASIA TERBUKA SUDAH! PAMBALASAN AKHIRNYA DATANG JUGA!
Muka Lembu Surah semakin pucat. Dia memandang berkeliling dengan tengkuk terasa dingin. Belasan tokoh-tokoh silat ada di situ dilihatnya seperti berubah menjadi setan yang hendak mencabik-cabik tubuhnya.

“Astaga! Benar dia… Keparat besar!” maki Malaikat Maut Berkuda Putih. Diam-diam kakek ini salurkan tenaga dalamnya ke tangan kanan.

Di tempat lain Pudji tegak dan memandang dengan mata melotot pada lelaki tangan buntung berambut pendek kelabu itu. Dia seperti tidak percaya akan pendengarannya tadi. Kunti kendil memanggil si rambut kelabu itu dengan nama Surah!

“Sahabat.” Randu Ampel berkata pada Pudji. “Kau dengar nenek jelek itu menyebut nama orang tangan buntung ini?!”

Pudji mengangguk. Matanya memandang tak berkesip. Mulutnya terbuka. Dan suaranya terdengar keras sekali. “Manusia tangan buntung! Jadi kau adalah Lembu Surah! Manusia terkutuk bergelar Datuk Iblis Penghisap Darah!”

Kata-kata Pudji ini membuat Kemala terkesiap. Lalu ikut membuka mulut. “Apa?! Orang ini Datuk Iblis Penghisap Darah?! Sekian tahun aku mencari! Sekarang kau tak bisa lepas lagi dari tanganku! Kau yang membunuh ibuku!”

Beberapa tokoh silat yang ada di situ jelas tampak kaget. Siapa mengira lelaki yang datang bersama Kunti Kendil itu ternyata adalah Lembu Surah. Manusia iblis yang pernah malang melintang berbuat kejahatan, membunuh dan memperkosa. Tanpa diatur, mereka bergerak membuat lingkaran dan mengurung Lembu Surah di tengah-tengah.

“Celaka! Tamatlah riwayatku hari ini!” keluh Lembu Surah. Dia memutar otak lalu berkata. “Kalian salah sangka. Aku bukan Lembu Surah. Bukan pula orang yang kalian sebut dengan gelar Datuk Iblis itu! Aku hanya kawan seperjalanan Kunti Kendil. Kebetulan saja terpesat ke gunung ini…” lalu dengan gerakan cepat dia segera memanggul tubuh Kunti Kendil. Dia memandang  berkeliling dan berkata, “Sahabatku ini  terluka di dalam. Aku harus membawanya pergi dan mengobatinya….”

“Kau boleh pergi tapi nyawamu  tinggalkan di sini!” terdengar ada yang bicara. Ternyata orang ini adalah Malaikat Maut Berkuda Putih.

“Aku tidak kenal siapa kau!” Lembu Surah coba berkilah.

Malaikat Maut menyeringai. “Pandang wajahku baik-baik Surah. Lalu katakan apa benar kau tidak kenal aku. Lalu lihat gadis itu. Muridku yang bernama Pudji. Apa kau juga tidak kenal dia...?”

Sepasang mata Lembu Surah memandang ke jurusan lain. “Aku harus pergi! Beri jalan! Atau akan aku bunuh semua!” teriak Lembu Surah. Dalam keadaan terdesak seperti itu dia hampir tidak dapat lagi menguasai dirinya. Tetapi dia juga mencemaskan keadaan Kunti Kendil. Jika pecah perkelahian, bukan mustahil Kunti Kendil akan menjadi bulan-bulanan serangan. Dan tampaknya bukan hanya satu dua orang saja yang bakal dihadapi!

Kunti kendil yang berada di atas bahu Lembu Surah dalam keadaan tertotok menyumpah tiada henti, “Kalau dia tidak menotokku sudah dari tadi kuhantam manusia-manusia keparat itu! Ah, hidup ini kenapa jadi sialan seperti ini! Surah! Lepaskan totokanku!” tapi mana Lembu Surah bisa mendengar ucapan tanpa suara itu. 

Di saat itu pula kembali terdengar kata-kata Malaikat Maut Berkuda Putih Suwo Permono. “Surah! Puluhan tahun kita menggalang persahabatan. Tapi kau khianati diriku. Kau perkosa muridku hingga dia menjadi gila. Tak ada hukuman yang lebih patut bagimu dari pada mampus!”

“Gila! Semua gila! Aku bukan Lembu Surah! Aku bukan Datuk Iblis Penghisap Darah! Apa kalian semua tuli? Tidak mendengar?!”

Malaikat Maut Berkuda Putih tersenyum angker. “Mukamu mungkin bisa kau tukar dengan muka setan. Tapi suaramu tidak. Walau kau berusaha merubah suaramu.”

“Copot saja kepalanya. Habis perkara!” Yang mengeluarkan kata-kata itu adalah Randu Ampel. Dia tegak dekat reruntuhan panggung, sambil mengunyah paha ayam yang didapatnya berhamburan di tanah.

“Aku memang ingin mencopot kepalanya!” kata Malaikat Maut Berkuda Putih dan langsung melompat kirimkan serangan.

Seperti diketahui beberapa kali sebelumnya kedua orang itu telah terlibat dalam perkelahian. Sebegitu jauh kakek berjanggut dan berpakaian serba putih itu tidak pernah berhasil mengalahkan lawannya. Malah dirinya hampir selalu celaka. Kini Lembu Surah dalam keadaan cacat, ditambah harus memanggul tubuh Kunti Kendil maka Malaikat Maut merasa mempunyai peluang untuk menghajar musuh besarnya itu. 

Namun bagaimanapun juga Lembu Surah bukan tokoh silat sembarangan. Gelar Datuk Iblis yang diberikan padanya bukan merupakan gelar kosong. Meski tangannya kini cuma satu dirinya dibebani beratnya tubuh Kunti Kendil tapi dengan sebat dia menahan serangan lawan, malah kemudian balas menghantam dengan tangan kiri, membuat Malaikat Maut Suwo Permono terpaksa menghindar penuh penasaran.

Dari samping kiri Pudji telah siap berkelebat untuk menyerbu. Tapi bahunya tiba-tiba dipegang oleh Randu Ampel. Lelaki ini berkata. “Sahabat, manusia seperti ini si tangan buntung itu terlalu enak jika langsung dibunuh…”

“Apa maksudmu Randu?” tanya Pudji.

“Kutungi tangannya yang sebelah kiri. Hancurkan kemaluannya. Biar dia hidup menderita sengsara seumur-umur...!”

“Nasihatmu akan kuturuti Randu!” sahut Pudji. Maka murid Malaikat Maut Berkuda Putih yang berotak miring inipun menerkam ke depan. Kaki kanannya meluncur ke arah selangkangan Lembu Surah.

Walau kini diserang dua orang, tetap saja Lembu Surah tidak bisa segera didesak. Apalagi dia sengaja mempercepat gerakan dan keluarkan jurus-jurus silatnya yang paling hebat. Pudji dan Malaikat Maut seperti menghadapi tembok yang sukar ditembus.

“Waw waw! Dewiku! Apa kau tak akan ambil bagian?! Jangan sampai ketinggalan…” terdengar suara Wirapati. Ucapannya ditujukan Kemala. Entah dari mana dia mendapatkannya, saat itu Wirapati angsurkan sebilah golok pada Kemala seraya berkata lagi, “Dua orang yang menyerang lelaki buntung itu berlaku tolol waw waw! Mereka berkelahi tidak pakai otak! Waw waw, aku tak mau dewiku juga tolol. Cepat masuk ke kalangan pertempuran. Tapi jangan serang di buntung. Serang nenek jelek yang dipanggulnya! Ayo cepat dewiku! Waw waw waw!”

Kemala ambil golok yang disodorkan. Begitu masuk kalangan pertempuran dia kirimkan bacokan ke kaki Kunti Kendil. Lembu Surah membuat gerakan berputar setengah lingkaran. Bacokan golok mengenai tempat kosong. Sang Datuk coba balas menendang dengan kaki kiri, tapi dari samping kiri kanan kembali datang serangan yang dilancarkan dua lawan lainnya. Terpaksa dia tarik tendangan, melompat ke kiri, dan menghantam. Sekali membuat gebrakan itu dua serangan tadi dapat dihindarkannya. Namun dari belakang kembali menderu golok Kemala. Kali ini ke arah kepala Kunti Kendil.

Lembu Surah  menyumpah. Jika dia terus melayani ke tiga pengeroyok itu, dirinya sendiri mungkin bisa bertahan dari serangan lawan. Namun sulit dijamin dia mampu menghindarkan Kunti Kendil dari hantaman. Kelihatannya Kemala memang sengaja mengincar tubuh Kunti  Kendil terus menerus. Di samping itu setiap melihat wajah Kemala, gadis yang pernah membuatnya tergila-gila setengah mati itu. Lembu Surah menjadi tidak tenang. 

Menyadari kenyataan ini sang Datuk berteriak keras. Bersamaan dengan itu tubuhnya bersama tubuh Kunti Kendil yang dipanggulnya melesat tinggi ke udara, lalu laksana seekor burung besar melayang melewati deretan bangku-bangku di lapangan. Di lain kejap dia sudah berada di ujung lapangan, terus lari ke arah lamping gunung sebelah timur.

“Sialan! Hampir aku celaka!” kata Lembu Surah dalam hati. Dia merasa lega karena  berhasil melarikan diri dan tak satu orangpun kelihatan sanggup mengejar. Namun baru saja membatin seperti itu, tiba-tiba terasa ada orang yang menepuk bahunya, menyusul ucapan mengejek.

“Urusan hutang piutang belum selesai, mengapa cepat-cepat pergi? Sungguh manusia tidak tahu peradatan!”

Lembu Surah kaget bukan main dan cepat berpaling ke kiri dan jurusan mana dia mendengar datangnya suara serta gerakan menepuk tadi. Tapi astaga. Dia tidak melihat siapa-siapa di situ. Lalu tiba-tiba saja ada suara dan menepuk lagi di sebelah kanan.

“Aku di sini!”

Ketika dia menoleh ke kanan, diapun tidak melihat siapa-siapa!

“Datuk, aku di belakangmu!”

Kembali terdengar suara serta tepukan pada punggungnya. Berpaling ke belakang  tetap saja Lembu Surah tidak menemukan orang yang bicara dan menepuknya itu. Berubahlah paras sang Datuk. Cepat-cepat dia memutar tubuh untuk meneruskan pelariannya. Namun baru bergerak mendadak di depannya menghadang sesosok tubuh bertelanjang dada. Dan sebuah benda panjang menempel di kening!

Orang yang di depannya ternyata lelaki tinggi yang muncul bersama Pudji. Randu Ampel! Dan benda yang menempel di keningnya adalah suling bambu yang dipegang di tangan kanannya.

“Keparat buntung! Kau mau lari kemana….?” Ujar Randu Ampel menyeringai.

Inilah pertama kali dalam hidupnya Lembu Surah yang menyandang gelar angker Datuk Iblis Penghisap Darah itu merasa ketakutan yang amat sangat. Tadi-tadi dia sudah menyadari bahwa lelaki berotak miring ini memiliki kepandaian tinggi. Namun dia tidak menduga kalau kehebatan Randu Ampel begitu luar biasa. Bukan saja Randu Ampel sanggup mengejar dan mendahuluinya tanpa diketahuinya, juga lelaki ini memiliki gerakan cepat luar biasa.

Dan suling yang ditempelkan dikeningnya itu setiap detik bisa tembus masuk ke batok kepalanya! Untuk beberapa lamanya Lembu Surah hanya bisa tegak, tak berani bergerak sedikitpun. Sebaliknya di atas panggulannya Kunti Kendil memaki panjang pendek tanpa terdengar, berteriak agar totokannya dilepas. Nenek ini ingin sekali menghajar Randu Ampel saat itu.

Beberapa orang berkelebat. Sepasang bola mata Lembu Surah berputar berkeliling. Dadanya terasa tambah sesak ketika dia melihat dirinya kini dikurung oleh Malaikat Maut Berkuda Putih, Kemala, Pudji dan Wirapati.

“Waw waw! Semua kita sudah ada di sini! Tunggu apa lagi?!” Wirapati berseru.

“Betul!” menyahuti Randu Ampel dan tekanan ujung sulingnya pada kening Lembu Surah dilipat gandakan. Lembu Surah merasa seperti keningnya sudah rengkah dan pemandangannya berkunang. Tetapi baru saja tangannya bergerak, dari samping menyambar golok yang digenggam Kemala.

Cras! Tak ampun lagi bagian tangan di bawah ketiak kiri sang Datuk terkutung putus. Darah menyembur. Lembu Surah luka parah dan menahan sakit begitu rupa, dari depan Pudji ayunkan tangannya, memukul ke bawah selangkangan sang Datuk. Untuk kedua kalinya lelaki ini meraung keras. Anggota rahasianya hancur dan darah merah tampak membasahi celananya. Seperti belum puas Pudji bergerak lagi untuk mencengkeram leher Lembu Surah tapi Randu Ampel cepat menghalangi.

“Cukup sahabat! Kematian terlalu enak baginya. Lebih baik dia kita biarkan hidup sengsara seperti ini!”

“Waw waw!” terdengar suara Wirapati. “Kurasa kau sudah cukup puas. Apa perlu kita berlama-lama di tempat ini?!” lalu pemuda gila itu sambar pinggang Kemala, langsung mendukungnya dan membawanya pergi dari tempat itu.

Tinggal kini Randu Ampel, pudji dan Malaikat Maut Berkuda Putih. Sementara itu Lembu Surah yang tak sanggup lagi berdiri, tampak terkapar roboh di tanah. Tubuh Kunti Kendil yang tadi di panggulnya ikut terhempas ke tanah menggeletak beberapa langkah jauhnya.

Kedua mata Malaikat Maut Berkuda Putih tampak berkaca-kaca. Orang tua ini merasa terharu. Sekian tahun mencari dan tapi dengan sebat dia menahan serangan lawan, malah kemudian balas mengejar musuh besarnya itu, hari itu dia hanya bisa meyaksikan pembalasan dilakukan oleh orang lain tanpa dia bisa berbuat apa.

Pudji berdiri di bawah sebatang pohon, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, menangis sesunggukan. Di tempat lain Kemala juga tampak berusaha dengan susah payah untuk menahan tangis, ingat akan kematian ibunya serta ayahnya yang lenyap tanpa diketahui kabarnya lagi.

“Waw waw! Nenek butut itu! Dia pasti kawan Lembu Surah. Mau kita apakan dia…?” terdengar Wirapati berkata.

Kunti Kendil menyumpah setengah mati. “Anak setan keparat. Sampai kiamat aku bersumpah untuk membunuhmu!”

“Nenek itu bukan cuma kawan. Dia adalah istri Datuk  Iblis. Aku yakin sekali hal itu...!” Malaikat Maut Berkuda Putih membuka mulut.

“Waw waw! Kalau dia istrinya, pasti sama jahatnya dengan suaminya! Sebaiknya dihajar biar tahu rasa!”

Tak ada yang menjawab ataupun bergerak. Tampaknya semua orang di situ tidak punya hasrat lagi untuk melakukan kekerasan. Sesaat kemudian Malaikat Maut Berkuda Putih berkata,

“Kita semua adalah orang-orang gagah dunia persilatan, walaupun dengan segala kekurangan. Itu berarti tidak  menjadi alasan bagi kita untuk bertindak pengecut manghantam orang yang tidak berdaya.” Orang tua ini kemudian melangkah mendekati Pudji. “Muridku,” katanya, “Aku tidak tahu apa kau masih mengenal diriku atau tidak. Bagaimanapun juga aku tetap gurumu yang dulu membesarkanmu dan memberi pelajaran sesuai dengan kemampuanku. Setelah pertemuan kali ini apakah kau masih tidak ingin ikut bersamaku. Mungkin kita bisa menemukan sesuatu sehingga kau dapat menempuh kehidupan baru…!”

“Aku tidak kenal kau siapa…” menyahut Pudji. “Aku tidak perduli kau siapa. Soal hidup baru aku sudah menemuinya. Bersama sahabatku itu…” Pudji menggoyangkan kepalanya ke arah Randu Ampel. “Kita Pergi sekarang Randu...”

“Ya… ya… Kita pergi sekarang!” sahut Randu.

Malaikat Maut Berkuda Putih mengurut dada. Dia hanya bisa melepas kepergian muridnya itu dengan pandangan mata.

“Waw waw! Dewiku, kitapun tak ada gunanya berlama-lama di tempat ini. Mari kita pergi. Jika menuruti hati, mau saja aku membunuh Datuk keparat yang dulu membunuh dewiku yang satu ini. Tapi sudahlah… Waw waw! Dewiku Sundari saat ini tentu sudah enak hidup di akhirat!”

Maka Kemala dan Wirapati lalu tinggalkan tempat itu. Tinggal kini Malaikat Maut Berkuda Putih tegak sendirian. Dia memandang pada Datuk Iblis yang tergeletak di tanah, merintih tiada henti. Lalu perhatikannya Kunti Kendil yang terdampar tak bergerak. Hati kecilnya ingin menolong melepaskan totokan di tubuh si nenek. Namun jalan pikirannya menolak. “Buat apa aku menolong! Salah-salah begitu bebas dari totokan dia akan menyerang diriku! Biar saja, nantipun totokan itu akan punah sendiri!”

Lalu kakek berjanggut putih inipun putar tubuhnya. Saat itulah tiba-tiba terdengar satu ledakan dahsyat dari lereng gunung Merapi sebelah atas. Bumi ambruk dan langit seolah terbelah. Malaikat Maut Berkuda Putih sampai terbanting jatuh ke tanah saking hebatnya ledakan itu. Apakah yang terjadi?

Ketika pukulan Api Geledek dan pukulan yang dilepaskan Wirapati menghancurkan lebur dan membakar panggung, nyala api telah pula membakar ujung tali yang berhubungan dengan karung-karung itu, maka bahan peledak itupun meledak. Lamping timur gunung Merapi tampak berlubang besar. Masih untung semua tokoh silat yang berada dibekas tempat upacara peresmian partai sudah meninggalkan tempat itu sehingga tidak satu orangpun menemui celaka. Sekarang mari kita ikuti ke mana Mahesa. Gembel Cengeng Sakti Mata Buta, Sari serta Pendekar Muka Tengkorak.


***
TUJUH


WAJAH DIBALIK CADAR HITAM
Kakek! Kau mau bawa aku ke mana?!” seru Mahesa bertanya.

“Anak edan, jangan bicara keras-keras. Nanti orang yang kita kejar mendengar…” jawab Gembel Cengeng Sakti Mata Buta.

“Eh, siapa yang kita kejar saat ini?” tanya Mahesa. Dia masih berusaha melepaskan lengannya dari pegangan si kakek buta, tapi tetap saja sia-sia.

“Jangan coba engkel-engkelan menarik tanganmu. Salah-salah yang kita kejar itu bisa merat tanpa bekas!”

“Hai! Aku bertanya siapa sih  yang kita kejar?” Mahesa mengulangi pertanyaannya.

“Kau akan lihat sendiri nanti. Ikuti saja aku. Jangan banyak tanya!” jawab si kakek.

Orang tua buta itu larinya bukan kepalang cepatnya. Meskipun Mahesa memiliki kemampuan berlari yang dapat mengimbangi namun pemuda ini menyadari bahwa kecepatannya lari saat itu sebagian besar ditambah oleh daya tarik si gembel buta. Memandang kebelakang dilihatnya Sari jauh tertinggal, tapi perempuan itu masih dapat mengikuti mereka.

“Kau cemas kehilangan perempuan itu eh? Hik-hik-hik… Sebentar-sebentar kau menoleh ke belakang!”

“Kek, ini pertama kali aku melihat kau tertawa. Biasanya menangis terus!” kata Mahesa.

“Sekali-sekali hidup itu perlu perubahan. Agar segar!” jawab si buta.

“Menurutmu kek, apa yang terjadi dengan orang-orang yang masih berada di tempat upacara tadi itu…?”

“Itu urusan mereka. Jika mereka tolol, mereka boleh melanjutkan perkelahian. Jika mereka cerdik, mereka akan cepat-cepat meninggalkan tempat celaka itu. Sebentar lagi pasti gunung itu meledak…” dan  tiba-tiba saja si buta ini mulai menangis. Mahesa hanya bisa geleng-geleng kepala. Barusan saja dia tertawa, kini sudah kembali menangis.

“Hai, bagaimana mungkin gunung itu meletus. Maksudku bahan-bahan peledak itu. bukankah aku sudah memutuskan tali pembakarnya?” Mahesa bertanya lagi dengan perasaan heran.

“Talinya memang kau putus! Tapi apa kau kira bahan peledak itu tidak bisa meledak tanpa tali? Jangan jadi anak tolol! Jika mereka berkelahi, saling keluarkan pukulan sakti yang menimbulakan hawa panas bahkan api! Nah apa pendapatmu...?”

“Kau betuk kek. Kasihan orang-orang itu…” ujar Mahesa. Dia teringat pada Kemala dan kakak seperguruannya Wirapati. Lalu para tokoh silat yang baik-baik lainnya, termasuk juga Kunti Kendil, gurunya yang telah membuatnya kecewa seumur hidup.

“Aku… aku juga kasihan pada mereka.” Berkata Gembel Cengeng dan makin keras sesunggukannya. “Tapi perduli amat, mereka tidak kasihan diri sendiri…”

Setelah lari beberapa ratus tombak lagi, Mahesa kembali buka mulut. “Kek, aku masih belum melihat orang yang kita kejar…”

“Aku juga belum.” sahut si kakek.

Mahesa dongkol dalam hati. Tentu saja dia tidak melihat. Matanya buta! Baru saja dia mengomel dalam hati seperti itu tiba-tiba si kakek mendorongnya memasuki jalan menurun yang berbelok-belok hingga akhirnya mereka sampai di sebuah anak sungai yang airnya sangat dangkal hingga mudah saja diseberangi. Sampai di seberang Mahesa menoleh lagi ke belakang. Dilihatnya Sari baru saja mulai menyeberangi sungai dangkal itu. lalu agak jauh di belakang Sari dia melihat ada seorang lain yang juga lari satu jurusan dengan mereka.

“Kek, ada orang lain dibelakang sana yang mengikuti arah lari kita.” memberitahu Mahesa.

“Aku sudah tahu sejak tadi-tadi!” jawab Gembal Cengeng Sakti Mata Buta. “Malah aku sudah tahu siapa orangnya!”

“Kau memang luar biasa kek. Bagaimana kau bisa tahu?” Mahesa memuji dan bertanya.

“Mudah saja. Dari bau rokok kawung yang dihisapnya. Sama sepertimu…”

“Jadi orang itu si kakek muka tengkorak?”

“Siapa lagi? Si jerangkong sahabatmu itu!”

“Ah, kalau begitu kita tak usah kawatir…” Mahesa merasa lega.

“Kalau bukan diapun kita tak perlu kawatir. Mulai sekarang tutup mulutmu. Orang yang kita kejar semakin dekat di depan sana. Kita harus mengambil jalan memotong…” si buta mendorong Mahesa memasuki hutan kecil. 

Sekeluarnya dari hutan mereka sampai di sebuah daerah yang ditumbuhi pohon-pohon kapas. Dekat sebuah batu besar Gembel Cengeng hentikan lari, membawa Mahesa berlindung di balik batu itu. tak lama kemudian Sari sampai di situ. Menyusul Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil.

“Mengapa berhenti di sini…?” tanya Sari.

“Ssst…. Diam. Semua berlindung di balik batu. Sebentar lagi monyet tua itu akan sampai di sini. Begitu muncul cepat potong jalannya dan kurung…”

Seperti Mahesa, Sari pun tidak tahu siapa sebenarnya orang yang mereka kejar. Sementara si kakek muka tengkorak tenang-tenang saja dan menyedot rokoknya dalam-dalam. Tiba-tiba rokok ini tercabut dari sela bibirnya seolah-olah disentakkan oleh  tangan yang tidak kelihatan. Memandang ke samping si kakek dapatkan rokok itu sudah diremas hancur oleh Gembel Cengeng Sakti Mata Buta.

“Hai, maafkan aku sudah berlaku tolol.” bisik kakek muka tengkorak. Dia menyadari kalau bau rokok kawungnya bisa membuat orang yang mereka kejar akan mengetahui kehadiran mereka di tempat itu!

Tiba-tiba semak belukar di seberang mereka tersibak. Seseorang tubuh bungkuk menyeruak keluar. Nafasnya keras memburu. Sesaat dia tegak di tempat terbuka, memandang berkeliling. Wajahnya tertutup cadar. Meskipun kini tidak lagi mengenakan jubah putih namun baik Mahesa, maupun Sari serta Pendekar Muka Tengkorak segera mengenali orang itu bukan lain adalah manusia yang telah mengangkat dirinya sebagai Ketua Partai Merapi Perkasa.

“Bangsat! Bangsat semua!” tiba-tiba orang itu memaki. Nafasnya masih memburu. “Salah kaprah! Aku salah kaprah. Setan betul!” mendadak dia hentikan makiannya. Dia mendengar sesuatu. Suara seperti orang sesungukan.

“Eh, setan dari mana yang tersesat dan menangis di hutan kapas ini!” sentaknya. Baru saja memaki begitu dia segera menyadari ada tiga orang yang tegak mengurungnya. Dua berkerudung merah dan satu lagi kakek jerangkong yang dikenalinya betul yakni Pendekar Muka Tengkorak. 

“Keparat, apa mau ketiga setan alas ini. Dia pasti mengejarku!” dengan sikap dibuat setenang mungkin, si bongkok itu menegur, “Para sahabat, kalian menunjukkan sikap yang benar-benar mendukung Partai Merapi Perkasa. Sampai-sampai menemuiku di tempat ini!

Kakek muka tengkorak tertawa mengekeh. “Kalau orang gila bicara ngaco masih kuanggap wajar. Tapi kalau kau yang mengaku punya hak jadi ketua partai bicara melantur, benar-benar lebih keblinger dari orang gila! Kami datang kemari  bukan untuk bicara segala macam soal partai. Kami ingin membuktikan siapa kau sebenarnya manusia bungkuk!”

Orang bungkuk bercadar hitam kini ganti tertawa mengekeh walau sebenarnya ini hanyalah tawa pura-pura untuk dapat menutup goncangan hatinya.

“Siapa yang tidak kenal pada jago kawakan bergelar Pendekar Muka Tengkorak. Tapi hari ini aku juga heran kalau kau bicara melantur tak tahu ujung pangkal. Siapa  aku apa perdulimu? Jika kau memang ingin bergabung dalam partai, kau harus tunduk padaku. Jangan banyak tanya. Tak perlu banyak mau tahu!”

Dari balik batu besar Gembel Cengeng Sakti Mata Buta keluar sambil usap-usap mata. Sesaat dia mendongak ke langit. Kemunculan orang yang dianggap nomor satu di dunia persilatan ini membuat wajah di balik cadar hitam itu menjadi pucat.

“Celaka, menghadapi si muka tengkorak ini saja sudah cukup repot, apalagi kini muncul si buta ini!” begitu si cadar hitam membatin. Agaknya dia sama sekali menganggap remeh Mahesa dan Sari yang sampai saat itu masih mengenakan kerudung kain merah.

“Ah, tidak disangka sahabatku Gembel Cengeng Sakti Mata Buta ternyata juga hadir di sini!” si bungkuk lalu menjura dan batuk-batuk.

“Bagus… bagus. Jika kau mengganggapku sebagai sahabat, silahkan buka cadar hitam yang menutupi wajahmu. Aku tidak begitu suka  bicara dengan manusia yang bermulut manis tapi menutupi wajahnya dengan segala macam kedok!”

Kembali si bungkuk batuk-batuk. “Tapi dua kawanmu inipun menutupi wajahnya mereka dengan kain!” katanya seraya menunjuk pada Mahesa dan Sari.

“Jika aku minta mereka membuka kerudung itu, apakah kau juga mau membuka cadar hitammu?!” tanya Gembel Cengeng.

Si bungkuk tak bisa menjawab. Karena merasa memang tak ada perlunya lagi menutupi wajah masing-masing maka Mahesa dan Sari lantas membuka kerudung merahnya.

“Nah… nah. Kedua sahabatku telah membuka kerudung mereka. Sekarang lekas kau buka cadarmu…” yang bicara kini adalah Pendekar Muka Tengkorak.

“Engg… Tak mungkin cadar ini kubuka. Aku menderita sejenis penyakit kulit. Tidak tahan terkena sinar matahari…” si bungkuk menjawab. 

“Kalau begitu, terpaksa aku yang melakukannya…” ujar Gembel Cengeng Sakti. Baru saja dia selesai mengucapkan kata-kata itu bungkuk merasa ada angin menyambar wajahnya datang  dari samping kiri. Cepat dia menghindarkan kepalanya ke samping kanan. Tapi dia tertipu. Justru dari sebelah kanan ini tiba-tiba tangan kakek buta itu berkelebat cepat.

Sret! Cadar hitam penutup wajah si bungkuk terbetot lepas dan kini kelihatanlah wajahnya yang asli.

Begitu wajah si bungkuk, berserulah Pendekar Muka Tengkorak. “Astaga! Bukan dia!”

Kakek buta mendongak ke langit. “Apa maksudmu bukan dia?” tanyanya dengan nada sedih, hampir menangis.

“Bukan dukun keparat dari gunung Bromo itu!” sahut Pendekar Muka Tengkorak.

“Bukan…?” desis si kakek buta.

“Hai, rupanya kalian menyangkah aku Embah Bromo Tunggal! Kalian benar-benar  keterlaluan. Buka matamu lebar-lebar Pendekar Muka Tengkorak. Apakah wajahku sama dengan muka dukun jahat itu?!”

Pendekar Muka Tengkorak tak bisa berkata apa-apa. Hanya kedua matanya saja yang memandang tak berkesip. Hatinya menyumpah. Dia melakukan pengejaran tadi karena menyangka pasti bahwa manusia bungkuk yang punya rencana besar mendirikan Partai Merapi Perkasa itu sebenarnya adalah Embah Bromo Tunggal yang bernama asli Roko Nuwu. Ternayat bukan dia. Mau tidak mau kakek ini jadi jengkel dan gemas.

Mahesa sendiri kini baru menyadari kalau dia diajak mengejar seseorang karena si kakek buta maupun si kakek muka tengkorak mengira Ketua partai yang gagal itu adalah itu adalah Embah Bromo Tunggal. Manusia yang memang dicari-carinya. Ternyata kini mereka semua melihat kenyataan bahwa si bungkuk bukanlah Embah Bromo Tunggal!

Gembel Cengeng Sakti Mata Buta kembali mendongak  ke langit sambil usap-usap dagu. Sementara itu manusia bungkuk tadi buka  mulut berkata “Jika kalian memang tidak mau bergabung dalam partaiku, percuma aku lama-lama di sini. Selamat tinggal para sahabat yang tolol!” Lelaki bungkuk itu siap untuk berkelebat pergi.

Tapi tiba-tiba kakek buta sudah menghadangnya.

“Mataku memang buta. Tapi aku tidak bisa ditipu…”

“Apa maksudmu?!” lelaki bungkuk membentak. Tampaknya dia sudah kehilangan kesabaran.

“Ada satu hal lagi yang belum kau lakukan!” kata kakek buta pula.

“Apa?!” sentak si bungkuk masih terus garang.

“Buka topeng tipis yang menutupi wajah aslimu!”

Kagetlah si bungkuk kini. Mahesa, Sari dan Pendekar Muka Tengkorak juga tak kalah terkejutnya.

***
DELAPAN


TERNYATA MEMANG DIA! KACA IBLIS PEMBATAS JAGAT
Kalian semua orang-orang gila!” bentak lelaki bungkuk marah. “Dan aku tidak mau menghabiskan waktu dengan orang-orang macam kalian! Menyingkir semua kalau tidak mau mampus!”

Kakek muka tengkorak kembali tertawa mengekeh lalu hidupkan sebatang rokok kawung. Tak ada satu orangpun yang tampak mau melepaskan manusia bungkuk yang hendak mengangkat diri jadi ketua partai itu.

“Bagus! Jadi kalian tidak mau menyingkir! Bersiaplah untuk mati!” Lalu si bungkuk hantamkan tangan kanannya ke depan. Segulung asap kelabu menggebubu.

“Awas! Jangan sampai dia kabur! Gembel Cengeng Sakti Mata Buta berteriak memberi ingat begitu dia mendengar suara deru dan bau asap.

Laksana seekor burung elang Sari jatuhkan diri, menukik dan cepat sekali dia berhasil mencekal sepasang kaki manusia bungkuk tepat sesaat dia hendak melarikan diri. Sementara itu Pendekar Muka Tengkorak hembuskan asap rokoknya ke depan. Asap rokok ini langsung menembus dan mengobrak abrik  asap kelabu yang tadi menutupi pemandangan. Karena ketika hendak lari  kedua kakinya dicekal Sari, orang itu jatuh terbanting ke tanah. Salah satu pegangan pada kakinya terlepas. Secepat kilat dia hantamkan tumitnya ke kepala Sari.

Buk!

Sari yang dulunya dikenal sebagai Ratu Mesum, yang selain cantik juga memiliki kepandaian tinggi dan menggegerkan dunia persilatan langsung sambut hantaman kaki lawan dengan jotosan tangan kiri. Si bungkuk mengeluh tinggi. Telapak kakinya serasa remuk. Sakit dan juga marah dia memukul ke bawah, namun hanya mengenai tempat kosong karena saat itu Sari sentakkan kaki kanannya hingga tubuh lelaki itu terguling-guling. Begitu gulingan tubuhnya terhenti, seseorang dirasakan menginjak lengan kanannya, seorang lain menginjak tangan kirinya.

Memandang ke atas yang melakukan ternyata Mahesa dan Pendekar Muka Tengkorak. Karena Sari masih mencekal pergelangan kakinya, dengan sendirinya orang itu tak berkutik lagi.

“Nah, nah!” Gembel Cengeng buka suara. Nadanya kembali sedih. “Sekarang terpaksa aku membuka kedokmu…” dia membungkuk ulurkan tangan ke arah muka orang yang terkapar tak berkutik di tanah itu justru saat itu orang tersebut buka mulutnya lebar-lebar dan ulurkan lidahnya, maka terjadilah satu keanehan luar biasa dan juga mengerikan.

Lidah itu tampak tambah panjang, tambah panjang dan berubah menjadi seekor ular merah berbelang hitam. Binatang jejadian ini bergerak sebat dan tahu-tahu sudah menggelung leher kakek buta. Karena ini merupakan binatang buatan, si kakek  tidak dapat mengetahui apa sebenarnya yang menggelung lehernya. Jika saja itu ular sungguhan maka dia dapat mengetahui walau hanya sesaat.

Setelah menyadari apa  yang terjadi dia kerahkan tenaga dalamnya ke leher. Ular jejadian itu merasa kepanasan dan lepaskan gelungnya. Namun kemudian ganti mematuk ke wajah si kakek. Saat itulah Pendekar Muka Tengkorak cabut rokoknya dan tusukkan bagian yang berapi ke mata ular.

Cess! Binatang itu tarik kepalanya. Si kakek tusuk lagi matanya yang satu. Kesakitan akhirnya binatang ini jatuhkan diri, menjadi kecil dan akhirnya kembali kebentuk aslinya yakni lidah yang terjulur.

“Apakah kau ingin menunjukkan ilmu sulapmu yang lain…?” bertanya kakek mata buta dengan nada mengejak.

“Dengar! Kita semua adalah orang-orang gagah dunia persilatan. Mari bicara dan berunding secara gagah!” lelaki bungkuk yang masih terkapar di tanah itu berkata. 

Ucapannya disambut gelak mengekeh oleh Pendekar Muka Tengkorak. “Siapa bilang kau orang gagah! Kau tidak lain manusia pengecut, penipu ulung, pengkhianat  kawan, mencelakai orang-orang tak berdosa dengan ilmu kejimu. Aku tidak was-was, kau memang pasti bangsatnya yang kucari-cari selama ini!”

Begitu ucapannya selesai tangan kanan Pendekar Muka Tengkorak menyambar ke wajah orang itu. Bret! Sehelai topeng kulit yang sangat tipis tersingkap dari mukanya. Dan kini terlihat tampang yang asli!

“Dukun keparat Embah Bromo Tunggal!” seru Mahesa.

Kakek muka tengkorak kembali tertawa. Kakek buta keluarkan suara seperti mau menangis. Mahesa cepat mengeledah tubuh dan pakaian dukun jahat itu. Apa yang dicarinya segera diketemukan. Yaitu Keris Naga Biru yang dulu dicuri Embah Bromo Tunggal. Setelah meneliti sesaat Mahesa memastikan senjata mustika itu benar-benar asli. Selain itu dia juga menemukan dua buah benda lainnya.  Yang pertama sebuah buku berkulit tebal yang sudah sangat lusuh, penuh dengan tulisan dan gambar pohon serta dedaunan. Benda kedua sebuah buku yang hanya terdiri dari beberapa halaman dan pada bagiannya ada tulisan berjudul “Tujuh Jurus Ilmu Silat Orang Katai”.

“Anak muda, apa yang kau temukan….?” Gembel Cengeng Sakti Mata Buta tiba-tiba bertanya.

“Ada tiga benda kek. Aku mohon petunjukmu. Yang pertama Keris Naga Biru yang memang aku sudah lama mencari-cari. Dukun ini mencurinya sewaktu terjadi bentrokan di Pesantren Nusa Barung. Benda kedua sebuah kitab berkulit tebal dan lusuh. Isinya aku belum sempat membaca. Selintas ada gambar tanaman. Benda ketiga buku tipis berjudul Tujuh Jurus Ilmu Silat Orang Katai. Sekali lagi aku mohon petunjukmu...”

Si kakek buta mendongak ke langit sementara Embah Bromo Tunggal masih menggeletak di tanah, terjepit di bawah kaki dan pegangan tangan tiga orang itu.

“Benda pertama yaitu Keris Naga Biru menurut hematku boleh kau ambil dan simpan. Tapi ini bukan berarti kau pemiliknya. Bagaimanapun juga senjata itu masih simpang siur siapa pemiliknya. Sampai kau menemukan pemiliknya yang sebenarnya, kau kurasa boleh mempergunakan dan merawatnya seperti milik sendiri. Tapi ingat, senjata itu setahuku mempunyai pantangan ganas. Tidak boleh dicabut sembarangan dari sarungnya. Jika dicabut berarti harus ada darah tertumpah dan nyawa binasa. Entah nyawa kawan atau nyawa lawan…”

“Aku mengerti kek. Sekarang bagaimana dengan dua benda lainnya ini…?” tanya Mahesa seraya melirik pada kakek muka tengkorak. Dia melirik begitu karena ingin melihat bagaimana air muka si kakek. 

Seperti dituturkan sebelumnya, setelah terjadi perkelahian di puncak Bromo antara Pendekar Muka Tengkorak dengan si dukun jahat, kakek muka tengkorak itu pernah menceritakan bahwa dia tengah mencari sebuah buku silat yang dicuri oleh Embah Bromo Tunggal setelah lebih dulu menipu dan memendamnya di bawah sebuah arca. Buku yang dicari kakek muka tengkorak itu bukan lain adalah buku Tujuh Jurus Ilmu Silat Orang Katai yang kini berada dalam pegangan Mahesa.

Memperhatikan wajah si kakek nampaknya dia tenang-tenang saja sambil terus menghisap rokok kawung. Kemudian Mahesa memandang kembali pada Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. Dia berharap orang buta sakti itu akan memberikan petunjuk sebagai jalan keluar hingga dia tak perlu saling bertarikan urat dengan kakek yang baik itu guna memperebutkan buku.

Setelah mendongak sekali  lagi ke langit. Gembel Cengeng Sakti Mata Buta membuka mulut.  “Benda kedua, buku berkulit tebal itu mungkin… dengan, kataku mungkin ada manfaatnya jika kau miliki. Tetapi bagiku jelas seribu kali lebih baik jika segera kau musnahkan. Bakar jadi abu…”

Sampai di situ tiba-tiba Embah Bromo Tunggal berteriak memotong, “Jangan… jangan bakar buku itu. Kalian boleh ambil Keris Naga Biru itu, buku silat itu, tapi jangan musnahkan bukuku…”

“Buku celaka itu...” desisnya. “Dengan buku pengobatan jahat itulah kau telah menebar malapetaka di delapan penjuru angin!”

“Kalian boleh tukar buku itu dengan sebelah tanganku! Sebelah telingaku! Malah sebelah mataku! Tapi jangan musnahkan bukuku!”

Pendekar Muka Tengkorak menyeringai. “Buat apa bagi kami telinga atau tangan atau matamu?! Anjingpun tak mau menyantapnya!”

“Jangan, jangan musnahkan buku itu….!” Embah Bromo Tunggal meminta setengah meratap.

“Mahesa! Bakar buku itu cepat!”

Embah Bromo Tunggal meraung. Mahesa keluarkan korek api dari balik pakaiannya. Ketika buku tebal yang berisi petunjuk mengenai seribu satu macam pengobatan jahat itu mulai terbakar, kembali Embah Bromo Tunggal melolong-lolong. Tapi tak ada gunanya. Buku tebal kepunyaannya musnah dimakan api, berubah jadi debu hitam!

“Kek, kau belum memberi  petunjujk mengenai benda ketiga.” Kata Mahesa ketika dilihatnya kakek buta hanya tegak diam-diam saja.

Kini tampak si kakek kerenitkan kening. “Ini hal yang sulit bagiku. Aku tahu sahabatku Pendekar Muka Tengkorak yang pertama kali memegang kitab tipis berisi ilmu silat langka itu. Asal muasalnya tidak kuketahui dan aku memang tidak mau tahu…” sampai di situ si kakek buta mengusap wajahnya seperti menyeka air mata. Lalu dia meneruskan, “Kemudian sahabat Pendekar Muka Tengkorak kena dikibuli Embah Bromo Tunggal. Kitab dibawa kaburnya dan sang pendekar sendiri diperdayai hingga kena dipendam dibawah arca batu. Bukan begitu sahabatku…?”

Pendekar Muka Tengkorak hanya bisa manggut-manggut dan mendehem beberapa kali. “Aku memang tolol. Mudah saja diperdayai kunyuk bungkuk ini! Kalau si buyung ini tidak menolongku pastilah aku sudah jadi cacing tanah saat ini. Ha ha ha!” begitu kata Pendekar Muka Tengkorak yang tetap mengingat budi pertolongan Mahesa.

“Nah… nah… nah…” kakek buta bicara lagi. “Aku mengetahui pula kalau anak muda ini harus menjalankan amanat orang, yakni tujuh manusia katai si pemilik kitab itu. Dia harus menemukan kitab yang hilang lalu menyerahkannya pada mereka. Nah… nah, kalau begini urusan bisa jadi pelik. Kuharap kalian berdua langsung saja berunding….”

Pendekar Muka Tengkorak ambil buku tipis itu dari tangan Mahesa, menelitinya beberapa ketikan halaman demi halaman lalu berkata. “Ini buku yang asli…”

“Hai, apakah kalian sudah berunding bagaimana baiknya?” tanya kakek buta.

“Kek, sebelum kami berunding, aku ada satu pertanyaan.” kata Mahesa.

“Heh, kau selalu bertanya. Apa yang ingin kau ketahui?”

“Bagaimana kau bisa tahu kalau aku harus menjalankan amanat dari tujuh manusia katai sakti itu…?

Gembel Cengeng Sakti Mata Buta tersenyum. Dia menjawab, “Angin bertiup, dedaunan berdesir. Burung berkicau, awan berarak. Ombak berdebur, matahari bersinar dan rembulan tersenyum. Semua menebar kabar dan akhirnya sampai ke telingaku. Apa susahnya menyirap kabar…?”

Mahesa dan kakek muka tengkorak hanya bisa saling pandang mendengar ucapan itu sementara Sari geleng-geleng kapala. Perempuan ini sudah lama mendengar kehebatan kakek buta tersebut. Dimasa dia gentayangan  dalam kehidupan sesat, maka Gembel Cengeng Sakti Mata Buta termasuk salah seorang  yang selalu dihindarkannya. Untungnya hari ini bertemu tokoh hebat itu dalam suasana persahabatan. Kalau tidak mungkin tadi-tadi dia sudah mendapat celaka.

“Sudah selesaikah kalian berunding?”

“Belum kek. Bagaimana baiknya…?” Mahesa tampak bingung.

Kakek muka tengkorak usap-usap dagunya lalu cabut rokok kawungnya dari sela bibir. Sesaat kemudian diapun hendak berkata, tetapi tiba-tiba Embah Bromo Tunggal yang masih dicekal dan menggeletak di tanah mendahului.

“Dengar, berikan buku itu padaku. Aku akan berikan satu peti perhiasan emas. Cukup banyak untuk kalian bagi berempat…!”

“Dukun busuk!” hardik Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. “Tidak ada yang mengajakmu bicara. Kalau kau tidak mau menutup mulutmu jangan salahkan kalau ku suruh orang mengencingi mulutmu itu…!” habis berkata begitu si kakek lalu sesunggukan.

Karena jengkelnya kakek muka tengkorak tekankan kakinya keras-keras ke langan Embah Bromo Tunggal hingga dukun ini menjerit kesakitan. Dukun ini menjerit tiada hentinya. Dia baru diam setelah Mahesa menampar pipinya hingga bibirnya berdarah.

“Hai! Kalian masih belum mengadakan perundingan! Aku tak punya waktu lama-lama di tempat ini!” seru kakek mata buta. 

Mahesa tak tahu harus berkata apa. Akhirnya terdengar kakek muka tengkorak berkata: “Buyung, jika kau memang mendapat amanat dari tujuh orang katai itu, kau ambillah buku itu dan pulangkan pada mereka. Memang jelas mereka pemiliknya. Aku hanya menemukan buku itu di satu tempat. Hanya kebetulan…”

“Bagus! Kalau begitu kata sepakat sudah membentuk penyelesaian!” kakek buta tampak lega.

“Sekarang apa yang akan kita lakukan dengan kambing  buruk ini?!” tanya Pendekar Muka Tengkorak. “Dia dulu pernah menipu dan memendamku dalam tanah. Aku tengah memikirkan pembalasan bagaimana harus kuberikan…”

“Jangan… jangan bunuh diriku. Sekujur badanku serasa sudah hancur!” ratap Embah Bromo Tunggal. “Aku mohon kalian mengampuni selembar nyawaku…!”

Pelipis Mahesa nampak menggembung. Tanpa melepaskan jepitan kakinya di lengan Embah Bromo Tunggal, pemuda ini jambak rambut dukun itu. “Kau yang menyebabkan ayahku jadi gila! Kau yang menggunai ayah sampai dia tidak waras. Katakan padaku apa dan bagaimana pengobatan harus dilakukan hingga dia bisa sembuh kembali…!”

“Itu soal mudah… Soal mudah anak muda. Jika kowe berjanji mau melepaskanku,  kau akan kuberitahu…” jawab Embah Bromo Tunggal.

Kakek buta tampak geleng-gelengkan kepala dan kembali keluarkan suara sesunggukan. “Anak muda, jangan kau sampai kena ditipu manusia licik jahat ini! Jika seseorang sudah rusak oleh guna-guna hampir tak ada satu obat mujarab pun di dunia ini mampu mengobatinya. Juga tidak oleh orang yang telah mencelakainya. Merusak itu mudah, memperbaiki itulah yang sulit!”

“Kalau begitu biar kubunuh dia detik ini juga!” kata Mahesa. Tangan kanannya diayunkan ke batok kepala Embah Bromo Tunggal.

Baik Gembel Cengeng Sakti Mata Buta maupun Pendekar Muka Tengkorak apalagi Sari, tak satu pun hendak menghalangi apa yang akan dilakukan Mahesa. Namun pasa saat itu dikejauhan terdengar ledakan amat dahsyat. Tanah di mana mereka berada bergoncang keras seperti dilanda gempa. Mahesa terduduk ke tanah. Kakek muka tengkorak terdorong keras ke samping. Sari jatuh punggung sedang Gembel Cengeng Sakti Mata Buta terhuyung-huyung. Injakan kaki dan cekalan orang-orang itu pada tubuh Embah Bromo Tunggal tanpa sadar terlepas. 

Kesempatan ini tidak disia-siakan dukun jahat itu. secepat kilat dia melompat bangun lalu lari ke arah rimba belangkara. Kakek muka tengkorak dan Gembel Cengeng Sakti Mata Buta cepat mengejar. Mahesa begitu bangun hendak melepaskan pukulan Api Geledek tapi tidak jadi begitu dia ingat pada janjinya untuk tidak pernah lagi mempergunakan ilmu silat dan kesaktian yang pernah dipelajarinya dari gurunya Kunti Kendil.

Embah Bromo Tunggal sadar sepenuhnya walaupun dalam gerakan cepat dia bisa meloloskan diri, namun tak mungkin dapat lari jauh. Dalam waktu singkat dua kakek sakti itu pasti akan dapat mengejar dan menangkapnya kembali. Maka sebelum itu terjadi dia gerakkan tangannya ke pinggang lalu memukul ke belakang ke arah para pengejarnya.

Terlihat cahaya menyilaukan menyambar. Dilain saat kakek buta dan kakek muka tengkorak yang melakukan pengejaran tiba-tiba laksana menumbuk tembok tebal keras yang tidak kelihatan. Tubuh keduanya tertahan bahkan terpental ke belakang.

Buk! Duk!

Kakek mata buta benjut keningnya. Pendekar Muka Tengkorak berdarah hidungnya. Kedua tua renta ini memaki panjang pendek. Embah Bromo Tunggal lenyap ke dalam hutan. Sari dan Mahesa kaget bukan main. Keduanya serentak berdiri dan cepat mengejar. Namun merekapun mengalami hal yang sama. Mereka tertahan dan menghantam sebuah tembok yang tidak kelihatan.

Empat orang itu menggapai-gapai ke depan dan masing-masing merasakan menyentuh benda licin serta keras yang sama sekali tidak dapat dilihat oleh pandangan mata. Kakek muka tengkorak melompat setinggi tiga tembok.

Buk! Dia kembali tertumbuk. Di atas sana ternyata tembok tak kelihatan itu seperti masih menghadang. Dia lari ke arah kanan, lalu ke kiri.  Juga tembok ini seperti tidak ada batasnya. Seolah-olah mencuat tinggi ke angkasa dan memanjang tanpa batas!

“Gila!” maki Pendekar Muka Tengkorak.

Kakek mata buta geleng-gelengkan kepala. “Kaca Iblis Pembatas Jagat!” desisnya. “Ternyata dukun keparat itu memiliki ilmu ini. Tak ada yang bisa kita lakukan. Kaca iblis itu seolah tidak ada batas tinggi dan panjang. Tak mungkin di hancurkan dengan pukulan. Kita harus menunggu sampai hitungan keseratus. Dinding kaca akan lenyap dengan sendirinya…”

“Anak setan betul!” ikut memaki Mahesa. “Ini semua gara-gara ledakan keras tadi. Apa yang terjadi…?”

“Bahan peledak yang ditanam dukun jahat itu mungkin sekali meledak…” menyahuti kakek muka tengkorak.

Paras Mahesa berubah. Jika apa yang dikatakan kakek muka tengkorak itu betul dan para tokoh silat itu masih berada di lereng gunung Merapi, niscaya mereka semua menemui ajal, termasuk Kemala. Memikir sampai di situ Mahesa segera memutar tubuh. “Aku harus kembali ke gunung itu!” katanya.

“Buyung! Jangan jadi orang gila! Apa yang hendak kau lakukan?!” seru si muka tengkorak.

“Aku harus menyelamatkan kawan-kawan dan saudara seperguruanku. Ayahkupun masih di sana…” sahut Mahesa, namun yang terbayang olehnya bukan wajah Wirapati atau Randu Ampel, melainkan wajah Kemala, gadis jelita yang diam-diam selalu dikenangnya.

“Kalau mereka memang celaka, pada saat kau sampai di sana kau hanya akan menemui timbunan tanah. Tak mungkin kau akan menggali seluruh lereng gunung untuk mencari mayat mereka!” kata kakek muka tengkorak.

“Aku tidak perduli.” sahut Mahesa pula.

“Anak muda tolol!” kakek buta ikut bicara. “Kalau orang-orang itu memang sudah jadi mayat, apakah kedatanganmu akan dapat menghidupkan mereka kembali?!”

Sesaat Mahesa jadi ragu kini.

“Manusia-manusia itu bukan orang-orang tolol! Setelah  tahu ada bahan peledak dalam tanah, mereka tentu akan cepat menyingkir!” Sari bicara untuk pertama kalinya.

Kakek muka tengkorak melirik pada perempuan ini. Kakek buta mendongak ke langit. Tiba-tiba dia berseru. “Kaca iblis pembatas jagat sudah lenyap! Lekas kejar dukun keparat itu!”

Maka si buta dan si muka  tengkorak berkelebat pergi. Sesaat Mahesa masih ragu, namun akhirnya lari juga ke jurusan lenyapnya dua kakek tadi, diikuti oleh Sari.

Baru saja masuk sekitar dua puluh langkah ke dalam hutan keempat orang itu mendadak menghentikan lari masing-masing. Di hadapan mereka tampak Embah Bromo Tunggal terguling-guling di tanah sambil memegang luka besar yang mengoyak pipinya sebelah kiri. Di depan sana tegak menyeringai lelaki bertopi tinggi hitam, di pinggangnya terselip sebuah seruling.

“Ayah!” seru Mahesa hampir tak percaya pada penglihatannya. Orang yang barusan disangkanya sudah mati tertimbun tanah ledakan gunung kini tegak di seberang sana. Di seberang sana. Di sebelahnya berdiri gadis cantik anak murid Malaikat Maut Berkuda Putih.



***
SEMBILAN


GANASNYA PEMBALASAN. MENGUJI PENDEKAR GILA. BERTEMU DAN BERPISAH LAGI
Sari melengak kaget ketika Mahesa berseru memanggil ayah. Sambil pegang tangan pemuda itu tanda bertanya, “Hai! Siapa yang kau panggil ayah?!”

Mahesa hendak menjawab  tapi memutuskan akhirnya untuk diam saja. Matanya memandang ke depan tak terkedip. Sang ayah, yang tangan kanannya tampak merah bernoda darah, mencabut suling bambu dari pinggang lalu meniupnya. Demikian kerasnya  tiupan suling itu hingga semua orang yang ada di situ, tak kecuali Gembel Cengeng Sakti Mata Buta yang sudah sangat tinggi kepandaiannya merasa telinga masing-masing sakit bukan main seperti dicucuk jarum!

Sementara itu Embah Bromo Tunggal yang mukanya berkelukuran luka dan darah merangkak bangun. Selagi orang itu meniup suling, dan selagi empat orang yang barusan datang masih berada dalam keadaan tertegun. Inilah kesempatan baginya untuk melarikan diri. Ini adalah kesempatan terakhir. Jika dia tidak berhasil maka riwayatnya pasti akan tamat di tempat itu. dia kumpulkan tenaga.

Tiba-tiba tubuhnya yang terbungkuk melenting dan mencelat seperti bola. Langsung meninggalkan orang-orang yang mengurungnya sejauh hampir empat tombak. Mahesa dan Pendekar Muka Tengkorak cepat bergerak untuk mengejar. Tetapi sungguh luar biasa. Entah kapan dilakukannya, tahu-tahu lelaki bertopi tinggi butut yang meniup suling sudah melesat dan menghadang Embah Bromo Tunggal dangan suling masih menempel di bibir!

Membuat dukun jahat ini tertegun seperti patung. Randu Ampel tutup tiupan sulingnya dengan satu lengkingan yang seperti hendak merobek gendang-gendang telinga. Lalu lelaki malang berotak miring ini menyanyikan sebuah tembang yang membuat Embah Bromo Tunggal keluarkan keringat dingin sedang Mahesa setengah mati berusaha untuk tidak mengucurkan air mata.

Dua puluh tahun silam
Di satu malam kelam
Tak ada rembulan
Tak ada bintang

Dari puncak Bromo pangkal bahala
Melayang guna-guna durjana
Tak ada dosa tak ada salah
Anak manusia menerima bencana
Membunuh sahabat  membunuh istri

Dalam keadaan gila lari membawa diri
Fitnah kembali kepada fitnah
Hutang nyawa dibayar nyawa
Hanya kematian yang pantas baginya
Walau itu terasa masih enak belaka
Jangan dibunuh….jangan dibunuh
Biarkan hidup sengsara seumur hidup


Selesai membawa nyanyian itu, Randu Ampel kembali tiup sulingnya. Seperti orang gila Embah Bromo Tunggal melompat kian kemari mencari jalan untuk melarikan diri. Tetap setiap dia berkelebat, pada saat itu pula Randu Ampel tahu-tahu sudah menghadang di depannya.

“Dukun jahat dukun keparat, aku akan berikan kesempatan kabur bagimu. Tapi tubuhmu tak akan kubiarkan hidup sempurna!” Tiba-tiba suling menempel di bibir itu melesat dan... cras!

Embah Bromo Tunggal menjerit. Kedua tangannya menekap mata kirinya yang ditusuk sampai ke dekat telinga. Darah luka pada pipi yang terkoyak dan kini ditambah darah dari luka pada mata mengucur mengerikan. 

Gembel Cengeng Sakti Mata Buta mendongak ke langit dan menangis tersedu-sedu. Embah Bromo Tunggal lari berputar-putar sambil tiada putus-putusnya berteriak kesakitan.

Plak! Bret!

Satu tamparan yang disertai betotan keras merobek mulut Embah Bromo Tunggal sampai ke pipi kanan. Suara jeritannya yang tadi keras mengerikan kini berubah menjadi sember seperti kerbau melenguh.

“Mulut yang pandai menjampai telah kurusak! Mana tangan yang meramu obat durjana itu mana…?!”

Saat itu Embah Bromo Tunggal jatuh tersungkur di tanah. Dia menggapai-gapai mencoba bangun. Namun satu injakan keras menghancurkan telapak dan jari-jari tangan kanannya.

“Baru tangan kiri. Mana yang kanan…. Mana yang kanan…!” teriak Randu Ampel keras sehingga suara jerit kesakitan Embah Bromo Tunggal hampir tidak terdengar.

“Ampun… ampuni selembar  nyawaku. Tidak… tidak! Bunuh saja aku saat ini. Cepat…! Cepat!”

Randu Ampel tertawa mengekeh. Di sebelahnya Pudji tiba-tiba juga ikut tertawa. “Tangannya yang satu lagi Randu! Tangannya yang satu lagi…!” kata gadis ini.

Randu Ampel membungkuk. Tangan kirinya mencengkeram telapak dan jari-jari tangan sebelah kiri Embah Bromo Tunggal. Kereteeek! Tulang-tulang tangan itu hancur luluh!

“Bikin lubang di perutnya  Randu! Bikin lubang di perutnya!” teriak Pudji.

Randu Ampel tertawa panjang. Suling di tangan kanannya ditusukkan ke perut dukun jahat dari gunung Bromo itu, di bagian pusarnya. Darah mengucur. Lolongan kesakitan yang keluar dari mulut sang dukun bukan seperti lolongan manusia lagi, tapi lebih menyerupai lolongan binatang! Dan belum sampai di situ.  Dengan tumit kirinya Randu Ampel injak tulang kering kaki Embah Bromo Tunggal.

Kraak! Kaki itupun patah. Ketika Randu Ampel hendak menginjak selangkangan orang yang telah merusak jiwa dan kehidupannya itu. Pendekar Muka Tengkorak berseru.

“Itu akan mematikannya Randu! Bukankah kau tak ingin dia mampus?!”

Randu Ampel tahan gerakan kakinya. “Terima kasih kau memberi peringatan. Tapi aku tak suka ada yang ikut campur urusanku, kecuali sahabatku Pudji. Jadi kaupun harus mendapat hajaran!”

Selesai mengucapkan kata-kata itu Randu Ampel langsung menyerang Pendekar Muka Tengkorak dengan tusukan suling ke arah kening. Demikian cepat dan aneh gerakan itu hingga si kakek tidak punya kesempatan mengelak. Kalau tidak tubuhnya cepat didorong oleh Gembel Cengeng Sakti Mata Buta, pastilah kakek ini akan mendapat celaka paling tidak robek kulit keningnya!

“Hebat…. hebat!” terdengar si kakek buta berkata. “Aku tak ingat nama jurusnya. Tapi itu adalah jurus kedua dari Ilmu Keramat Tujuh Belas. Cuma aneh, dimainkan secara terbalik.

Mendengar kata-kata itu Randu Ampel tahan serangannya terhadap Pendekar Muka Tengkorak. Dia berpaling pada si kakek. “Orang tua buta! Apa hubunganmu dengan Goa Keramat Tujuh Belas? Apakah kau setan penghuni goa itu…?”

Si kakek buta tertawa perlahan.

“Ditanya malah kau mentertawaiku! Tadipun kau membantu manusia jerangkong ini! Jelas kau tidak bersahabat terhadapku. Siapa yang berani bertindak begitu akan merasakan hajaranku.  Kalian berdua boleh maju bersama!”

“Ah, sombong amat orang gila ini!” tukas Pendekar Muka Tengkorak dalam hati. Dia mengerling pada Gembel  Cengeng. Dilihatnya kakek buta itu memberikan isyarat dengan gerakan tangan. Maka serentak kedua maju menyerbu.

“Jangan keroyok ayahku!” teriak Mahesa. Siapa yang tidak kawatir. Dua kakek itu memiliki kehebatan luar biasa, yang jarang ada tandingannya dalam dunia persilatan. Dan kini mereka mengeroyok ayahnya, seorang yang dia tidak tahu memiliki kepandaian sampai di mana, tetapi jelas memiliki otak yang tidak waras.

“Jangan berlaku curang! Dia  bukan musuh kita!” Sari yang merasakan kekawatiran Mahesa  ikut berteriak.

Tapi dua kakek sakti itu seperti tidak perduli dan terus saa menghambur serangan ke arah Randu Ampel. Sebelumnya Pendekar Muka Tengkorak pernah berkelahi melawan Randu Ampel di puncak Bromo. Dari pengalaman itu ditambah serangan mendadak ganas yang tadi dilancarkan Randu Ampel sudah cukup membuat si kakek bergerak dengan hati-hati. 

Dia tidak mau mengirimkan serangan berupa hembusan asap rokok. Bagi orang lain hembusan asap itu bisa membutakan mata dan melukai tubuh. Tapi bagi Randu Ampel, asap itu bisa dipergunakannya untuk melancarkan serangan balik yang dua kali lebih ganas. Dan ini sudah dirasakan Pendekar Muka Tengkorak di puncak Bromo dulu.

Mahesa memperhatikan bagaimana Gembel Cengeng Sakti Mata Buta menyerang dengan jurus-jurus silat orang buta yang sangat lihay. Bukan saja cepat dan tak terduga, tetapi disertai tenaga dalam sangat tinggi hingga setiap gerakan yang dibuat mengeluarkan suara angin bersiuran dan dingin. Pendekar Muka Tengkorak di dalam kehati-hatiannya melancarkan jurus-jurus silat yang mematikan.

Untuk beberapa ketika kelihatan Randu Ampel seperti terkunci di bawah kecamuk serangan. Mahesa tahu sekali jika orang lain yang dikeroyok seperti itu sudah sejak gebrakan pertama akan roboh. Diam-diam pemuda ini mengagumi kehebatan ayahnya itu. Namun menyadari kenyataan bahwa kehebatan sang ayah disertai pula dengan keadaan otak yang tidak waras maka kedua mata pemuda ini jadi berkaca-kaca. Sari yang memperhatikan ini serta merta hendak membuka mulut, tapi Mahesa memberi isyarat agar perempuan itu diam.

Lima jurus berlalu. Kedua pengeroyok terutama si kakek buta jadi terheran-heran karena dia dan muka tengkorak masih belum  bisa merobohkan lawan. Jangankan merobohkan, sempat memukul pun belum! Maka dengan Ilmu Memindahkan Suara, yakni bicara tanpa orang lain mendengar kecuali orang yang dituju, kakek buta berkata pada Pendekar Muka Tengkorak.

“Sahabatku, puluhan tahun hidup di dunia persilatan, sampai jadi tua bangka seperti ini belum pernah aku menemui manusia berkepandaian seperti ini! Bagaimana pendapatmu. Maksud kita tadi hanya menguji sampai di mana kehebatannya. Tapi salah-salah kita bisa celaka!”

Pendekar Muka Tengkorak menjawab, “Kurasa sudah kepalang tanggung. Kita berhenti dia pasti terus mengejar. Kita teruskan saja, tetapi hati-hatilah…”

“Aku pernah menyirap cerita  tentang manusia ini. Tapi apakah dia benar bapak moyangnya si buyungmu itu….?”

“Betul,” sahut Pendekar Muka Tengkorak membenarkan. Lalu dia cepat-cepat menyingkir ke kiri untuk menghindarkan serangan lawan. Tapi entah bagaimana tahu-tahu salah satu tangan Randu Ampel berkelebat menusuk ke arah lambungnya. Pendekar Muka Tengkorak melompat ke belakang sambil memukul. Akibatnya bentrokan lengan tak dapat dihindarkan lagi.

Duk! Tampang kakek muka tengkorak tampak berkerut. Lengannya seperti dihantam batangan besi! Sakitnya bukan kepalang hingga dia terpaksa menggigit bibir untuk tidak sampai mengeluh. Bentrokan lengan itu membuat tubuhnya miring ke kiri dan hampir jatuh berlutut.

Melihat lawan dalam kuda-kuda yang sangat lemah tanpa perlindungan, Randu Ampel susul serangannya tadi dengan satu hantaman tinju kanan ke batok kepala si kakek muka  tengkorak. Randu Ampel seperti tidak memperhatikan lawannya yang lain yakni kakek buta. Dia hanya memusatkan perhatian pada pukulan yang dirasakannya pasti akan memecahkan kepala si muka Gembel Cengeng Sakti Mata Buta menghantam keras bagian bahu dekat dada kanannya.

Hantaman tangan kanan Randu Ampel melebar ke samping dan hanya menyerempet pelipis Pendekar Muka Tengkorak. Tubuh Randu Ampel roboh ke kanan akibat hantaman Gembel Cengeng, tetapi hebatnya, dilain kejap dia sudah berdiri lagi sambil melancarkan serangan balasan ke arah dada si kakek buta. Justru pada saat itu si kakek buta masih berdiri tertegun sambil usap-usap tinju kirinya yang merah dan berdenyut sakit.

“Kek! Awas serangan pada dadamu!” Mahesa berteriak memberi peringatan.

Cepat si kakek buta menghindar, tapi tak urung dada pakaiannya yang compang camping masih kena tersambar serangan Randu Ampel hingga  robek. Karuan saja kakek buta ini keluarkan suara menangis. “Bajuku! Bajuku jadi tambah buruk! Robek…!”

“Kakek buta.” Kata Pendekar Muka Tengkorak. Seperti tadi dia bicara tanpa terdengar orang lain. “Kini aku terpaksa menghentikan perkelahian gila ini. Kita tidak perlu malu. Dari pada celaka…”

“Rasanya aku harus belajar dua puluh tahun lagi…” sahut Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. “Hanya ada satu cara untuk mengalahkannya…”

“Maksudmu?”

“Memperalat otak gilanya!”

“Sudahlah, aku tak berminat lagi menguji kepandaiannya….” Kata Pendekar Muka Tengkorak pula.

“Terserah padamu, aku tetap ingin mengujinya!” kata kakek buta pula. Lalu diapun berkelebat dalam gerakan aneh. Sambil menyerang dari mulutnya tiada henti keluar ucapan-ucapan yang menggangu jalan pikiran lawan.

“Randu Ampel… Randu Ampel…. Aku datang. Lihat… lihat, aku datang. Aku istrimu. Apa kau lupa padaku Randu…”

Wajah Randu Ampel tampak berubah. Suara itu didengarnya dari sebelah kiri. Berpaling ke jurusan itu dia tidak melihat siapa-siapa. Lalu suara tadi muncul lagi, kini datang dari sebelah kanan.

“Aku datang membawa pakaianmu Randu. Pakaian kebesaran untuk penobatanmu jadi Adipati. Lihat Randu, bagusnya pakaian ini. Kau pasti gagah memakainya…”

Gerakan-gerakan Randu Ampel berubah menjadi perlahan. Pandangan matanya berputar dan kepalanya dipalingkan kian kemari. Saat itulah satu pukulan menghantam pertengahan dadanya, tepat dan telak serta keras. Tubuh Randu Ampel mencelat.

Mahesa berseru tegang. Kakek buta mendongak. Seperti tadi tangannya yang memukul terasa sakit. Namun kini hatinya puas karena ternyata dia akhirnya dapat merobohkan  lawan. Tapi rasa puas si kakek hanya seketika. Karena tubuh Randu Ampel yang mental dan jatuh punggung di tanah itu tiba-tiba kelihatan melayang ke atas, lalu menukik membentuk setengah lingkaran. 

Sebelum sempat berbuat sesuatu, kakek buta merasakan leher pakaiannya dicengkeram orang dan tubuhnya terangkat ke atas. Secepat kilat kakek ini membalik dan melepaskan tiga kali pukulan berantai tapi aneh! Walau dia merasa jelas pukulannya itu mengenai tubuh lawan namun tinju-tinjunya seperti tengelam dalam tumpukan kapas lembut.

Selagi dia terheran-heran, tubuhnya tahu-tahu dibantingkan lawan ke bawah hingga terhentak di tanah. Kalau bukan orang tua sakti ini yang mengalami itu, pasti tulang-tulangnya sudah pada berpatahan! Si kakek bangkit dan memandang dengan sepasang mata butanya pada Randu Ampel. Wajahnya menunjukkan rasa kagum. Lalu dia geleng-geleng kepala.

“Hebat… hebat! sayang otaknya tidak waras…” kata si kakek dalam hati.

Randu Ampel sendiri saat itu tampak beringas. Sepasang matanya tampak bertambah merah. Dia  melangkah mendekati Gembel Cengeng Sakti Mata Buta dengan sepasang tangan terpentang.

“Ayah! Hentikan perkelahian  ini! Kedua orang itu tidak sungguhan melawanmu! Mereka sahabat dan orang-orang tua yang aku hormati! Aku banyak berhutang budi padanya! Hentikan perkelahian!”

Randu Ampel hentikan langkahnya. Sesaat dia masih memandang pada kakek buta.  Perlahan-lahan kemudian kepalanya dipalingkan pada Mahesa. Lama dia menatap wajah pemuda itu dengan pandangan garang mula-mula. Lalu seperti menyelidik, akhirnya pandangannya menjadi sayu. Suaranya kemudian terdengar bergetar.

“Aku tidak kenal kau. Adalah aneh kalau kau memanggil aku ayah. Atau… Mungkin otakmu kurang waras. Ha ha ha! Atau apakah kedua kakek yang katamu sahabatmu itu yang menyuruh kau berkata begitu dengan kepandaian bicara tanpa suara…?”

Kakek buta dan kakek muka tengkorak terkejut saling pandang. Luar biasa dan hampir tak dapat mereka percaya. Bagaimana Randu Ampel tahu kalau tadi-tadi mereka telah bicara tanpa suara?

“Manusia gila ini kepandaiannya seperti menyamai malaikat…!” ujar kakek muka tengkorak berbisik pada Gembel Cengeng Sakti Mata Buta.

Randu Ampel masih memandangi Mahesa. Dan meneruskan ucapannya tadi. “Seingatku bukan sekali ini kita bertemu. Setiap bertemu kau selalu memanggil aku ayah…”

“Aku memang anakmu…”

“Bagaimana mungkin! Kau pasti gila! Aku tak punya istri. Istriku meninggal hampir dua puluh tahun yang silam…”

“Istrimu itulah yang melahirkanku. Istrimu itulah ibuku…”

“Ngacok!” hardik Randu Ampel. Meski menghardik tapi anehnya wajahnya tidak menunjukkan perasaan marah.

“Bagaimana aku harus menerangkan…” Mahesa jadi bingung. Mulutnya tercekat.  Akhirnya dia berkata juga.  “Kalau… kalau kau tidak mengakuiku sebagai anak, tidak jadi apa. Tapi bagiku kau tetap ayahku. Kau mau menghentikan perkelahian bukan?”

Randu Ampel tak menjawab. Dia memandang pada kakek buta dan kakek muka tengkorak. Kedua tinjunya dikepalkan. Dua kakek itu terpaksa berjaga-jaga. Siap menunggu segala kemungkinan. Mahesa berpaling pada Pudji dan mengharap perempuan muda itu mau berbuat sesuatu. Kelihatannya hanya padanya sang ayah mau menurut.

Pudji yang juga berotak miring ternyata masih mampu menangkap arti pandangan Mahesa. Maka diapun berkata, “Randu, aku tak suka lama-lama di tempat ini. Kita pergi saja sekarang. Apalagi… bukankah kau sudah menemui musuh besarmu si dukun jahat itu? dan dia sudah menerima hukumannya?”

Randu Ampel alihkan pandangan pada Pudji. Lalu dia mengangguk. “Memang kita harus pergi.” Katanya. Dia cabut suling yang diselipkan di pinggang, sambil memutar tubuh dia mulai meniup suling itu. lalu sambil berjalan setengah berlari terdengar dia menyanyi.

Istriku tidurlah dengan tenteram
Istriku tidurlah dengan tenang
Manusia jahat itu telah kutemui
Manusia jahat itu sudah mendapat hukumannya

Tidurlah tenang
Hanya aku ingin bertanya
Apakah dapat kau menjawab dan bercerita
Betulkah kau pernah melahirkan seorang putra?
Betulkah... betulkah….?

Randu ampel dan Pudji lenyap di kejauhan. Mahesa bergerak hendak mengejar. Sari siap mengikuti. Tapi Gembel Cengeng Sakti Mata Buta cepat memegang bahu pemuda itu.

“Jangan kau kejar dia. Saat ini tak ada gunanya, anak muda. Sulit baginya menerima kenyataan dengan otak tidak waras seperti itu. kenyataan  bahwa kau adalah anaknya. Jika kau memaksa, bisa jadi dia akan membunuhmu…” habis berkata begitu si buta ini menangis sesunggukan.

Mahesa pun ikut hanyut. Air mata mengalir ke pipinya. Sari tertunduk haru  sedang Pendekar Muka Tengkorak memandang ke arah kejauhan. Sesaat suasana di tempat itu menjadi sunyi, hanya suara erangan Embah Bromo Tunggal yang mengeletak di tanah yang terdengar.

“Aku harus pergi sekarang.” kata kakek muka tengkorak.

“Kek, apakah kita masih bertemu…?” tanya Mahesa.

“Heh… apakah kau kira aku akan segera mati? Buyung, selama bumi masih berputar, selama tubuh bobrok ini masih bernafas kita pasti akan bertemu lagi…” habis berkata begitu kakek ini tepuk-tepuk bahu Mahesa, menjura pada Gembel Cengeng lalu berkelebat pergi.

“Akupun harus pergi…” kakek buta berkata dengan wajah sedih. “Namun ada beberapa hal yang perlu kubicarakan denganmu…”

Ucapan kakek buta terputus oleh seruan Sari. “Hai! Lihat! Dukun jahat itu hendak melarikan diri!”

Kakek buta mendongak ke langit. Mahesa cepat berpaling. Memang saat itu merasa dirinya bebas, Embah Bromo Tunggal cepat berdiri. Namun dengan satu kaki patah begitu, dia cuma mampu berjalan tiga langkah lalu roboh terjengkang di tanah tak berkutik selain hanya bisa mengerang.

“Ada beberapa hal yang perlu kubicarakan denganmu anak mua.” Mengulang kakek buta. Dipegangnya bahu Mahesa lalu dibawanya cukup jauh dari Sari. Hal ini memang disengaja kakek buta karena ada sebagian pembicaraan yang dia tak ingin perempuan itu mendengarnya.

“Pertama ini.” Kata Gembel Cengeng seraya mengeluarkan dua buah benda dari balik pakaian rombengnya. Ketika Mahesa memperhatikan ternyata benda itu adalah dua batang rokok daun jagung. Rokok kemenyan. Gembel Cengeng serahkan sebatang rokok pada Mahesa. 

 “Nyalakan rokokmu, lalu nyalakan rokokku. Mari kita sama-sama merokok dulu…”

Mahesa menuruti apa yang dikatakan si kakek meski dia tidak mengerti apa sebenarnya tujuan orang tua itu. Dua batang rokok yang dihisap itu menebar bau menyan yang santar sekali.

“Seperti bau rumah orang yang kematian. Angker seperti di kuburan…” kata Mahesa.

“Tepat!” Gembel Cengeng menjawab. “Rokok kawung tidak pantas untukmu. Rokok menyan ini lebih tepat. Ingat, kau lahir di perkuburan bukan…?

“Memang benar, kek.”

“Kau seorang pemuda. Seorang pendekar. Karenanya kau layak mendapat julukan Pendekar Dari Liang Kubur. Aku mau, jika kau muncul di suatu tempat dan orang mencium bau rokok kemenyanmu, maka mereka segera tahu bahwa Pendekar Dari Liang Kubur ada di tempat itu…”

Mahesa hampir tertawa gelak-gelak. “Kau ini ada-ada saja kek. Aku tidak menginginkan gelar atau julukan yang hebat. Apalagi julukan aneh seperti itu…”

“Kau lupa anak muda. Dunia ini memang penuh keanehan. Banyak manusia yang dilahirkan secara aneh. Dan berapa saja mereka yang mati dalam keanehan. Karenanya tidak aneh kalau kau memakai julukan aneh itu. Eh, menurutmu bagaimana rasa rokok itu. Enak…?”

“Boleh juga. Lebih mantap dari rokok kawung memang. Tapi baunya seperti hendak membuatku mabuk!”

“Nanti pun kau akan terbiasa. Nah sekarang hal kedua. Hal terakhir yang ingin ku tanyakan padamu. Sudah lama kau berhubungan dengan perempuan itu…?”

Mahesa terkejut. “Perempuan mana maksudmu kek…?”

“Anak tolol. Apa ada perempuan lain di tempat ini?”

Sadar kalau yang dimaksudkan si kakek adalah Sari maka Mahesa menjawab. “Belum berapa lama kek. Baru beberapa bulan saja. Jangan kau salah sangka. Aku tak ada hubungan yang tidak baik dengannya…”

Si kakek menyeringai. “Saat ini memang mungkin tidak.  Tapi jika sering berjalan ke mana pergi, lama-lama bisa kejadian. Tapi itu urusan kalianlah. Aku tua bangka begini tidak mau ikut campur urusan orang-orang muda. Asal saja kau dapat menjaga diri, anak muda. Hidungku membaui sesuatu yang harum. Berasal dari tubuh perempuan itu. Ini mengingatkan aku pada seorang perempuan cantik yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Cantik tapi buas. Bukankah temanmu itu perempuan yang berjuluk Ratu Mesum…?”

“Kau… kau benar kek. Tapi dia tidak seperti dulu lagi. Kurasa dia sudah tobat dan mau menempuh hidup baik-baik…”

“Aku tak tahu hal itu anak muda. Perjalanan hidup masih panjang. Kau harus membuktikan sendiri. Hanya aku menaruh firasat, bukan mustahil dia akan mendatangkan bencana bagi dirimu…”

Mahesa terdiam. “Kalau begitu apa yang harus kulakukan…?”

“Perempuan itu menyukaimu anak muda. Mungkin dia mencintaimu. Sebaliknya aku tak tahu apa kau juga mencintainya…”  

Sesaat wajah Mahesa menjadi merah. Kakek buta meneruskan kata-katanya, “Kau harus hati-hati Mahesa. Ingat, banyak orang yang jadi korban karena kebaikan hatinya sendiri. Kuharap kau jangan jadi orang tolol seperti itu!”

“Nasihatmu akan kuperhatikan kek…”

Si kakek tersenyum. Tapi tiba-tiba saja senyumnya lenyap dan wajahnya berubah sedih. Sesaat kemudian diapun mulai menangis. “Aku harus pergi anak muda. Perhatikan kawanmu yang cantik itu. Yang lebih penting jaga dirimu baik-baik…”

“Kek…” Mahesa ingin minta petunjuk mengenai hubungannya lebih lanjut dengan gurunya Kunti Kendil. Tetapi astaga, barusan bicara si kakek buta sudah lenyap!

“Apa yang kalian bicarakan kasak kusuk…?” tanya Sari sambil melangkah mendekati Mahesa.

“Dia memberikan banyak nasihat padaku. Meminta aku agar cepat mengembalikan kitab silat milik tujuh orang katai itu.” Jawab Mahesa berdusta.

“Hemm, begitu..?” ujar Sari, “Kalau begitu apa lagi yang kita tunggu di sini…”

“Ya, sebaiknya kita pergi. Tapi aku ingin kembali dulu ke lereng gunung Merapi. Ledakan dahsyat tadi tentu banyak memakan korban yang celaka…” Mahesa keluarkan kerudung kain merahnya dan segera mengenakannya. Sari melakukan hal yang sama. Baru saja keduanya hendak bergerak pergi tiba-tiba terdengar panggilan Embah Bromo Tunggal merintih-rintih.

“Anak muda, jangan tinggalkan diriku di sini. Tolong… bawa aku ke mana kalian pergi. Ke desa atau kampung terdekat…”

“Anak setan! Kau pantas mampus busuk di tempat ini! Biar mayatmu hancur digerogoti binatang hutan!”

“Tolong. Kasihani diriku sekali ini saja. Dudukkan aku di bawah pohon sana. Hanya itu pintaku. Apakah kalian begitu tega...?”

Mahesa melangkah pergi. Tapi Sari berpaling sebentar pada Embah Bromo Tunggal. “Mahesa, kalau cuma minta tolong begitu aku tak keberatan melakukannya…”

Ketika Sari hendak menolong dukun jahat itu, selintas pikiran muncul dibenak Mahesa. Dukun itu bukan saja jahat tetapi juga sangat licik. Karenanya cepat-cepat dia melangkah mendekati seraya  berkata, “Biar aku yang menyeretnya ke dekat pohon itu!”

Mahesa lalu tarik salah satu kaki Embah Bromo Tunggal dan mencampakkan tubuh dukun itu di bawah pohon.

“Terima kasih. Sekali lagi kumintakan kebaikan hatimu. Sandarkan punggungku ke batang pohon. Kalau aku hidup kelak aku tak akan melupakan kebaikanmu…”

“Anak setan!” maki Mahesa. “Pintamu banyak amat!”

Namun dia membungkuk juga untuk mengangkat tubuh Embah Bromo Tunggal walaupun dengan gerakan kasar. Saat itulah secara tidak terduga, tangan kanan sang dukun menyelinap cepat ke balik pakaian Mahesa. Dilain kejap  dia telah berhasil menarik lepas Keris Naga Biru keluar dari sarungnya! Berarti ada darah yang tertumpah. Ada nyawa yang harus melayang!


***
SEPULUH


AKHIRNYA MATI JUGA. REJEKI BESAR TAK TERDUGA
Anak setan!” maki Mahesa marah sekali karena kebaikannya dibalas dengan pengkhianatan licik dan keji. Lutut kirinya diangkat menahan ayunan tangan Embah Bromo Tunggal yang menikam. Begitu serangan lain orang tertahan Mahesa hantamkan tepi telapak tangan kirinya ke bawah.

Kraak! Embah Bromo Tunggal menjerit. Tangannya di atas siku hancur dagingnya dan remuk tulangnya. Keris Naga Biru terpental lepas. Mahesa cepat menangkapnya dengan tangan kiri. Begitu hulu keris berada dalam genggamannya, senjata mustika yang mengandung racun ganas ini langsung dihunjamkannya ke leher Embah Bromo Tunggal.

Dari tenggorokan dukun jahat itu terdengar suara seperti ayam disembelih. Mayatnya yang masih utuh membeliak, mulutnya yang robek terbuka lebar. Lidahnya terjulur. Tubuhnya kemudian tergelimpang roboh di akar pohon! Bengkak membiru akibat racun ganas Keris Naga Biru.

“Diberi madu minta racun!” desis Mahesa. “Diberi susu membalas dengan tuba! Mampuslah!”

“Itu memang pantas baginya.” Sari menimpali. “Bagaimana sekarang?” tanya perempuan itu kemudian.

“Aku akan kembali ke gunung Merapi…” sahut Mahesa.

“Heh…?”

“Aku akan menyelidiki ledakan dahsyat tadi.” Lalu  tanpa banyak berkata apa-apa lagi Mahesa tinggalkan tempat itu, berlari kencang menuju lereng gunung Merapi.

Sari mengikuti dari belakang. Karena ingin sampai lebih cepat Mahesa sengaja menempuh jalan memintas. Tak selang berapa lama ketika dia sampai dibekas dilangsungkannya upacara peresmian Partai Merapi Perkasa itu, yang ditemuinya hanya sebuah lubang luar biasa besarnya di lereng gunung. Pohon-pohon dan batu-batu besar serta bekas panggung yang terbakar dan bekas tempat duduk lenyap oleh timbunan tanah gunung.

Mahesa memandang berkeliling. Tak seorangpun yang terlihat. Tak tampak sesosok tubuh hidup atau mati di tempat ini sebelum ledakan terjadi? Atau mereka semua telah mati tertimbun reruntuhan tanah? Pemuda ini coba menggali setumpuk timbunan tanah yang mencurigainya. Tapi tidak ditemuinya apa-apa.

“Mungkin mereka semua sudah pergi sebelum ledakan Mahesa…” kata Sari yang mengetahui apa arti perbuatan pemuda itu. Cuma dia tidak tahu siapa yang sebenarnya dikawatirkan pemuda itu. Gurunya atau orang lain…?

“Mungkin Sari… mungkin…” menyahuti Mahesa dengan suara agak tersendat.

“Kita pergi sekarang…?”

Pemuda itu diam sesaat. Akhirnya mengangguk. Ketika menuruni lereng gunung Merapi mereka sengaja menempuh jalan lain. Yakni jalan yang sebelumnya dilalui orang-orang yang mengejar Lembu Surah. Sekitar beberapa ratus langkah berlari Mahesa berhenti dan memberi isyarat pada Sari, seraya berbisik.

“Aku mendengar suara orang menangis…”

“Aku juga. Suara perempuan…” ujar Sari.

Mengendap-endap dibalik belukar keduanya melangkah kejurusan datangnya suara orang menangis itu. Sesaat kemudian Sari mencekal lengan Mahesa dan menunjuk ke depan. Dari balik semak belukar mereka melihat seorang nenek berambut putih panjang awut-awutan duduk menjelepok di tanah sambil menangis dan memangku sesosok tubuh yang berlumuran darah, diam tak bergerak entah pingsan entah mati.

“Bukankah… bukankah itu gurumu….?” 

Mahesa cepat memberi isyarat agar Sari tidak mengeluarkan suara ataupun bergerak karena kawatir akan didengar orang. Nenek yang duduk menangis  itu memang adalah gurunya, Kunti Kendil. Manusia yang paling dihormatinya, tetapi yang telah membuatnya sangat  kecewa seumur hidup.

Kunti Kendil menangis sambil memangku sosok Lembu Surah yang berada dalam keadaan mengerikan. Kedua tangannya kini tampak buntung. Darah membasahi bajunya. Lalu di sebelah bawah, celananyapun basah oleh darah. Mahesa tak dapat memastikan apa yang telah terjadi.

“Sesuatu terjadi sewaktu kita pergi tadi…” bisik Sari.

“Diamlah, aku tidak ingin nenek itu mengetahui kehadiran kita di sini!” balas bisik Mahesa. Namun dia setuju dengan ucapan Sari. Rupanya setelah mereka pergi terjadi perkelahian di lereng Merapi sebelah sana para tokoh pasti mengeroyok kedua orang itu. Lalu kenapa hanya Lembu Surah yang celaka? Sedang Kunti Kendil tampaknya tak kurang suatu apa.

“Surah…. Surah! Kau dengarlah Surah!” terdengar ratapan Kunti Kendil diantara tangisannya. “Kau tak boleh mati…. Kau tak boleh mati! Kau harus menyaksikan pembalasanku! Aku bersumpah Surah!”

Seperti dituturkan sebelumnya, setelah Lembu Surah roboh luka parah, tubuh Kunti Kendil yang berada dalam keadaan tertotok ikut tergelimpang jatuh ke tanah. Setelah beberapa lama kemudian totokan yang membuat tubuhnya kaku terlepas dengan sendirinya. Cepat nenek ini lepaskan totokan yang menutup jalan suaranya lalu memeluki tubuh Lembu Surah. Tubuh itu kemudian dipangku dan ditangisi.

“Surah…. Surah suamiku…. Kau tak boleh mati. Kau tak boleh mati…!” ratap Kunti Kendil kembali. Lalu tangan kirinya bergerak kemuka, menarik lepas sehelai kulit tipis yang menutupi wajahnya yang keriput. Dan dibalik wajah buruk itu kini tampak sebuah wajah perempuan muda yang cantik sekali. 

Mahesa sama sekali tidak terkejut melihat  hal ini karena sebelumnya dia telah menyaksikan kejadian yang sama di puncak pegunungan Iyang. Lain halnya dengan Sari. Perempuan ini sempat mengeluarkan seruan tertahan saking kagetnya. Celakanya seruan itu terdengar oleh Kunti Kendil. Sepasang mata “si nenek” berwajah cantik membeliak besar.  Wajahnya membersit sinar garang. Dia memandang kejurusan semak belukar di depannya dan membentak.

“Bangsat! Siapa yang bersembunyi di sana?! Lekas keluar!”

Mahesa dan Sari tidak bergerak.

“Anak setan! Kurang ajar!” Kunti Kendil memaki. Tubuh Lembu Surah diturunkannya dari pangkuan dan dibaringkan di tanah. Perlahan-lahan dia berdiri. Tangan kanannya diangkat lalu dihantamkan ke depan. Sinar merah berkiblat. Pukulan Api Geledek merambas semak belukar, membuatnya hancur berantakan dan beterbangan ke udara dalam keadaan hangus.

Namun tak ada seorangpun dilihat Kunti Kendil dibalik semak belukar yang hancur itu. Pada saat sang guru mengangkat tubuh Lembu Surah dari pangkuannya. Mahesa yang melihat gelagat tidak baik cepat menarik lengan Sari dan tinggalkan tempat persembunyian mereka hingga  keduanya terhindar dari pukulan maut tadi. Penasaran Kunti Kendil melangkah menuju semak belukar itu. Namun langkahnya tertahan ketika dibelakangnya terdengar Lembu Surah merintih.

“Kunti… di mana kau. Jangan tinggalkan aku…. Mungkin sebentar lagi aku akan mati. Kunti…”

Kunti Kendil hentakkan kaki kanannya ke tanah hingga tanah berlubang dalam. “Tidak Surah! Kau tidak akan mati! Kau tidak boleh mati sebelum melihat pembalasan yang akan aku lakukan…!”

“Bawa aku ke tempat yang sejuk Kunti. Aku ingin mati dengan tenang…”

Kunti Kendil kucurkan air mata. “Surah, kau tidak akan mati. Aku akan bawa kau ke puncak Iyang. Jika ajal  memang akan sampai, kita mati bersama di sana…”

Perempuan itu lalu mengangkat tubuh Lembu Surah setelah terlebih dulu melakukan beberapa kali totokan di tempat-tempat tertentu. Sesaat sebelum pergi dia masih memandang kejurusan semak belukar dengan wajah penasaran. Namun akhirnya dia pergi juga dari tempat itu. Sari tarik nafas lega.

“Dia sudah pergi. Bagaimana dengan kita….?”

“Kitapun harus pergi.” Jawab Mahesa.

Keduanya keluar dari balik pohon besar tempat mereka bersembunyi ketika Kunti Kendil lepaskan pukulan saktinya tadi. Tetapi baru saja melangkah mendadak terdengar suara berisik campur aduk. Ada suara seperti orang bersiul, ada seperti suara tawa cekikikan. Ketika suara itu sirna tiba-tiba terndengar suara nyanyian.

Sepasang anak manusia berkerudung merah
Seperti malu menyembunyikan muka pada dunia
Yang satu pemuda gagah
Satu lagi perempuan jelita
Di tengah rimba belantara
Di lereng gunung bencana
Perjalanan nasib membawa kaki ke sini
Peruntungan masa depan di tangan Illahi
Hik… hik… hik… hik… hik…


Mahesa segera mengenali  suara ramai yang bernyanyi itu. Dia mendongak ke arah pohon besar sebelah kiri dari mana datangnya suara nyanyian tadi. Tapi anehnya dia tidak melihat apa-apa di sana.

“Aku seperti mengenali suara itu. Aku pernah mendengarnya sebelumnya…” kata Sari. Diapun memandang ke atas mencari-cari. Sesaat kemudian kembali terdengar suara orang suara anak-anak menyanyi.

Dulu cantik
Sekarang tetap cantik
Dulu ganas dan keras
Sekarang lembut menawan
Jatuh cinta memang bisa merubah manusia
Hik… hik… hik…


Wajah Sari di balik kerudung menjadi merah. Entah mengapa dia merasa nyanyian tadi merupakan sindiran yang ditujukan padanya. Dia cepat membuka mulut hendak meneriakkan sesuatu. Tapi Mahesa cepat mendahului.

“Kawan-kawan, aku tahu kalian datang untuk menjemput kitab itu. Keluarlah. Kitab itu segera akan keserahkan pada kalian...!”

Tujuh benda seperti bola bergulung keluar dari tujuh penjuru, lau tegak berdiri di hadapan Mahesa dan Sari, berjajar rapi membentuk barisan warna warni. Ketujuhnya memperlihatkan tingkah lucu. Ada yang mengedip-ngedipkan matanya pada Sari, ada yang menekap hidung. Lalu ada pula yang menarik-narik kedua pipinya. Yang di ujung kiri sengaja menjuling-julingkan mata. Kawan di sebelahnya menjulurkan lidah. Lalu yang satu lagi di ujung kanan menggoyang-goyangkan pinggul seperti menari.

“Tujuh manusia katai! Hai! Kalian pasti yang tempo hari menggangguku di bangunan  gudang tua itu…!” Sari berseru. Hatinya jengkel tapi diam-diam di balik kerudung wajahnya tersenyum. “Kalian datang hendak mempermainkanku lagi?”

“Hik hik hik!” si katai baju putih tertawa. “Dulu lain, sekarang lain. Dulu kami tidak suka padamu, tapi sekarang suka...”

“Aku tidak butuh rasa sukamu!” jawab Sari.

“Tentu saja!” menyahuti si katai baju merah. “Mana ada rasa suka terhadap kami dihatimu. Tapi bagaimana kalau yang suka itu pemuda sahabat kami itu...?”

Tujuh orang katai itu kemudian tertawa riuh rendah. Ada yang bertepuk-tepuk.  Sari melangkah maju. Tujuh orang katai memencar menyebar. Si baju biru berkata,

“Kawan-kawan, dia hendak mengajak kita menari.”

“Wah! Bagus sekali kalau begitu!” menyahuti si baju kuning. Orang katai berbaju putih menimpali. “Aku ingin sekali memegang tangannya yang halus…”

Kembali tempat itu ramai oleh gelak tawa mereka.

“Tubuhnya masih harum seperti dulu…!” orang katai berbaju hitam menyeletuk sambil mendongak ke atas dan mencium-cium.

“Kalian nakal semua! Akan kujewer satu persatu!” mengancam Sari.

Ketujuh orang katai itu serentak maju ke muka dan mengangsurkan telinga masing-masing. Seperti ingin berebut agar dijewer duluan.  Hal ini membuat Sari tidak tahu harus melakukan apa. Mahesa tersenyum-senyum.

“Kawan-kawan, aku gembira bertemu lagi dengan kalian semua. Amanat kalian telah kujalankan. Kitab silat itu ada padaku. Sebenarnya aku memang berniat mencari kalian. Bagusnya kalian tahu-tahu sudah datang kemari hingga aku tak usah susah payah...”

Si hijau menjawab. “Bukankah kami berjanji untuk datang mengambilnya…?”

“Ya… ya aku ingat.” Mahesa lalu mengeluarkan kitab Tujuh Jurus Ilmu Silat Orang Katai yang berhasil diambilnya dari tangan Embah Bromo Tunggal. Buku itu diserahkan pada si katai baju merah. Tapi si baju merah ini bukan menerima malah memandang pada kawan-kawannya lalu tertawa gelak-gelak.

“Hai! Kenapa kalian tertawa?” tanya Mahesa tak mengerti.

“Buku itu milikmu!” kata si merah.

Mahesa terkejut heran. “Sahabat. Buku ini jelas milik kalian. Bukankah kalian dulu mengatakan buku ini lenyap dan meminta aku mencarinya. Sekarang setelah bertemu dan hendak kuserahkan kalian mengatakan buku ini milikku. Bagaimana ini…?”

“Betul. Buku itu milikmu. Karena kami memberikannya untukmu!” kata si katai baju merah.

“Jangan bergurau! Aku tak berani menerimanya!” kata Mahesa.

Si katai baju hitam maju mendekati Mahesa. “Dunia persilatan penuh tantangan. Rimba persilatan penuh bahaya. Berilmu kepalang tanggung bisa celaka. Memiliki kepandaian setengah-setengah membawa sengsara...”

“Sahabat, aku tak mengerti maksud kata-katamu.” Mahesa memotong.

“Tentu saja, karena ucapannya belum selesai!” menyeletuk si katai baju kuning.

Si hitam lantas meneruskan. “Kami tahu silang sengketamu dengan gurumu. Bukankah kau talah memutuskan untuk tidak mempergunakan lagi semua ilmu silat dan pukulan sakti yang pernah kau pelajari dari Kunti Kendil…?”

“Heh! Bagaimana kalian bisa tahu hal ini…?!” balik bertanya Mahesa.

“Mudah saja…” si merah yang menjawab. “Dalam setiap pertempuran kami tak pernah melihat kau mengeluarkan jurus-jurus silat yang diajarkan Kunti Kendil. Juga kau tak pernah melepaskan pukulan sakti seperti api geledek dan sebagainya….”

“Mahesa!” ikut bicara Sari. “Kalau begitu selama ini mereka mengikuti perjalanan kita.

“Betul.” Sahut si baju biru. “Kami orang-orang tolol yang tak pernah ke mana-mana. Tapi ingin jalan-jalan. Dari pada kesasar bukankah lebih baik mengintip kalian...?”

“Tapi jangan kawatir. Kami tak pernah mengintip apa-apa yang kalian perbuat…” yang bicara si katai baju putih.

“Memangnya kami berbuat apa?” kata Sari. Saking  marahnya dia buka kerudungnya.

“Waaaaah!” tujuh orang katai itu sama-sama berseru dan geleng-geleng kepala. “Cantik sekali… cantik sekali!”

Sari cepat kenakan kerudung merahnya kembali. Tujuh orang katai tertawa gelak-gelak. Lalu si merah berkata. “Kami memang tidak ingin mengintip-intip kalian. Lagi pula bukankah kalian tak pernah bermesraan…?

“Mulutmu usil amat!” pekik Sari.

“Paling-paling cuma pegang-pegangan tangan!” menimpali si katai baju biru. Dan kembali ketujuh manusia katai itu tertawa gelak-gelak.

“Kami gembira karena sekarang punya tambahan satu teman.” Berkata si katai baju hitam. “Sesama teman bukankah boleh bergurau…?

“Tapi kalian nakal dan usil!” sahut Sari.

“Dunia memerlukan orang-orang nakal dan jelek seperti kami…” jawab si kuning.

“Tidak… tidak …. Kalian tidak jelek. Kalian hanya suka mengganggu. Kalian gagah semua…” kata Sari pula.

Tujuh orang katai itu gembira sekali dan berjingkrak-jingkrak. Lalu si hijau berkata. “Kami bergembira buku silat itu sudah ditemukan. Dan lebih gembira lagi karena kau sudi menerimanya...”

“Sudah kubilang, aku tak berani menerimanya. Ini bukan buku silat sembarangan….”

“Justru karena bukan sembarangan maka kami memberikannya padamu. Kalau cuma ilmu silat picisan buat apa….?” kata si merah.

Mahesa garuk-garuk kepalanya.

“Bagus! Menggaruk berarti mau menerima!” kata si merah. “Kami tak ingin mengganggu kalian berdua lebih lama. Kami minta diri sekarang….”

“Kalian mau ke mana?” tanya Mahesa.

“Ah… orang-orang seperti kami ini pergi ke mana-mana si pembawa kaki.” sahut si hijau.

“Buku ini. Aku tak tahu harus bagaimana mengucapkan terima kasih…”  kata Mahesa. “ini benar-benar tidak terduga.”

“Dunia ini penuh dengan hal-hal yang tidak terduga!” kata si katai baju merah. Lalu dia memberi isyarat pada kawan-kawannya. 

Ketujuh manusia katai itu lari mengelilingi Mahesa dan Sari lalu cepat sekali mereka melesat ke dalam rimba belantara dan lenyap. Hanya suara tawa cekikikan mereka yang masih kedengaran di kejauhan. Sesaat kemudian suara itupun ikut sirna.

Mahesa masukkan kitab silat langka itu ke balik pakaiannya. Lalu memegang lengan Sari dan melangkah meninggalkan tempat itu. Entah bagaimana tahu-tahu ketujuh orang katai yang tadi lenyap itu tahu-tahu kini berkelebat muncul dan mengelilingi mereka kembali. Ketujuhnya bernyanyi-nyanyi.

Lihat mereka berpegangan tangan
Lihat mereka berpegangan tangan
Asyikkkkkk…
Berikan ini untuk kami
Berikan ini untuk kami


Baik Mahesa maupun Sari merasakan kerudung kain merah yang menutup kepala dan wajah mereka tahu-tahu ditarik lepas. Sesaat setelah kerudung itu lepas, tujuh orang katai itupun lenyap seperti ditelan bumi.

“Anak setan…!” maki Mahesa. Tapi mulutnya tersenyum. Sari hanya bisa geleng-geleng kepala.


Selanjutnya,
RAHASIA RANJANG SETAN
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.