Serial Pendekar Pulau Neraka
Episode Lingkaran Rantai Setan
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Lingkaran Rantai Setan
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
DI PAGI buta yang seharusnya hening, tiba-tiba pecah oleh suara jeritan melengking tinggi. Tidak berapa lama kemudian terdengar suara-suara teriakan orang bertarung, disertai denting senjata beradu. Tapi suara pertarungan itu hanya sebentar. Lalu pertarungan itu pun berhenti, disusul terdengarnya jeritan melengking tinggi yang kemudian tenggelam terbawa angin pagi.
Pagi yang masih gelap gulita itu seketika jadi terang benderang oleh cahaya pelita dan obor yang dinyalakan dari rumah-rumah. Sebentar saja sudah banyak orang berlarian dari dalam rumahnya masing-masing, menuju ke arah datangnya suara tadi.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah yang tampak rusak. Bahkan pada bagian belakangnya terbakar. Api cepat membesar melahap rumah yang terbuat dari kayu itu. Tampak seseorang berlari keluar dengan terhuyung-huyung, dan langsung jatuh begitu sampai di luar. Orang yang memadati sekitar rumah itu langsung bergerak menolongnya.
"Jruda...! Apa yang terjadi?" tanya seorang laki-laki setengah baya dan berkumis tebal hampir menutupi bibirnya. Lengannya menopang tubuh pemuda berusia sekitar dua puluh tahun yang tadi keluar dari dalam rumah terbakar itu.
"Me..., ah!" pemuda yang dipanggil Jruda itu langsung terkulai.
"Jruda...! Jruda...!" laki-laki setengah baya itu menggoyang-goyangkan tubuh Jruda, tapi tetap saja pemuda itu tidak bergerak.
"Dalaga...," terdengar sapaan lembut dari arah belakang.
Laki-laki setengah baya itu mengangkat kepalanya. Lalu menoleh ke belakang. Tampak seorang kakek berjubah putih telah berdiri di belakang laki-laki setengah baya itu. Rambut dan janggutnya juga memutih semua. Ditepuknya pundak laki-laki setengah baya yang namanya dipanggil Dalaga. Dia bangkit berdiri, sambil memondong tubuh Jruda yang berlumuran darah.
"Hanya pingsan. Sebaiknya cepat bawa ke rumahmu," kata kakek tua berjubah putih itu lembut, namun terdengar penuh wibawa.
"Baik, Eyang," sahut Dalaga.
Dalaga melangkah sambil memondong tubuh Jruda yang pingsan, menyibakkan orang yang berkerumun. Sementara beberapa laki laki mulai mencoba memadamkan api yang semakin membesar melahap rumah dari kayu itu. Pagi buta yang masih gelap ini jadi terang benderang oleh cahaya api d ari rumah yang terbakar. Dalaga terus melangkah tergesa-gesa menuju rumahnya yang tidak jauh dari rumah terbakar itu.
Sementara di belakang Dalaga berjalan laki-laki tua berjubah putih, diikuti beberapa orang bersenjata golok terselip dipinggang. Dalaga membaringkan tubuh Jruda di dipan kayu yang berada di beranda rumahnya. Laki-laki tua berjubah putih itu memeriksa tubuh Jruda, kemudian kepalanya terangguk-angguk. Diberikannya beberapa totokah di sekitar luka yang terus mengucurkan darah. Totokan itu ternyata untuk menghentikan darah.
"Eyang Paladi...," tertahan suara Dalaga.
"Jangan cemas! Adikmu hanya pingsan. Lukanya tidak seberapa parah. Sebentar juga siuman," kata Eyang Paladi kalem.
Dalaga membersihkan darah yang mengotori tubuh Jruda dengan sobekan kain yang dibasahi air dari tempayan di samping dipan kayu ini. Sementara Eyang Paladi berbicara dengan enam orang pemuda yang bersenjata golok di pinggang. Enam orang pemuda itu bergegas pergi melangkah tergesa-gesa. Eyang Paladi kembali duduk di tepi dipan. Sedangkan Dalaga sudah selesai membalut luka-luka di tubuh adiknya.
"Ini kejadian yang ketiga kalinya, Dalaga. Kurasa sudah waktunya kau katakan semua yang terjadi. Bukan hanya keluarga dan sanak saudaramu yang terancam, tapi juga ketentraman semua penduduk Desa Kiting ini," tegas Eyang Paladi.
"Aku tidak tahu, Eyang," ujar Dalaga sungguh-sungguh.
"Hhh...!" Eyang Paladi menarik napas panjang.
Laki-laki tua itu menatap Dalaga dalam-dalam, seakan-akan mencari kesungguhan dari sinar matanya. Kembali ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Saat itu, dua orang bersenjata golok di pinggang datang. Mereka segera membungkuk hormat pada Eyang Paladi.
"Eyang, kami menemukan benda ini di depan rumah Jruda," jelas salah seorang sambil menyerahkan sebuah rantai yang bertaut membentuk lingkaran.
Eyang Paladi menerima rantai berwarna merah darah itu. Ada sepuluh lingkaran yang saling bertaut. Sejenak Eyang Paladi merayapi benda di tangannya itu, kemudian menatap lebih dalam pada Dalaga. Sedangkan yang ditatap hanya menundukkan kepalanya saja.
"Dua peristiwa yang lalu juga ditemukan benda jenis seperti ini. Hmmm.... Aku menduga kejadian ini akan berbuntut panjang," ujar Eyang Paladi setengah bergumam.
Eyang Paladi kembali menatap dua orang muridnya yang masih berdiri di depan beranda. Diperintahkan kedua muridnya untuk pergi. Dua orang pemuda itu menjura memberi hormat, kemudian berbalik dan melangkah pergi. Eyang Paladi kembali duduk di tepi dipan. Sebentar dipandangi Jruda yang masih belum sadarkan diri, kemudian pandangannya beralih pada Dalaga yang tetap tertunduk merayapi wajah adiknya.
"Dalaga, kuminta besok siang temui aku dipesanggrahan," pinta Eyang Paladi seraya bangkit berdiri.
"Baik, Eyang," sahut Dalaga ikut berdiri, dan langsung menjura memberi hormat
"Sebentar lagi adikmu siuman. Rawat sebaik-baiknya, besok siang kau harus membawanya serta menemuiku," kata Eyang Paladi lagi.
"Baik, Eyang."
"Hm...." Eyang Paladi melangkah meninggalkan beranda rumah yang kecil, namun berhalaman cukup luas ini.
Dalaga bergegas menggotong tubuh adiknya, lalu membawanya masuk ke dalam. Di dalam, seorang perempuan yang keadaannya berantakan menyongsongnya. Dia bergegas membantu Dalaga membawa Jruda, dan membaringkannya di pembaringan yang ada di ruangan tengah.
"Kenapa dia, Kakang?" tanya perempuan sambil menggelung rambutnya.
"Aku tidak tahu. Rumahnya terbakar," sahut Dalaga.
"Oh...!" perempuan itu menutup mulutnya terkejut. "Lalu, istri dan anaknya...?"
Dalaga tidak menjawab. Dihenyakkan tubuhnya di kursi dekat jendela, binar matanya kosong, langsung menangkap sosok tubuh ramping yang berdiri membelakangi pintu sambil bersandar pada dinding sebuah kamar. Gadis berusia sekitar delapan belas tahun itu melangkah menghampiri pembaringan. Diambilnya kendi dan baskom, lalu dituangkan air kendi itu ke dalam baskom. Diambilnya secarik kain. Dengan lembut dibersihkan wajah dan tubuh Jruda dari kotoran debu dan darah kering.
"Aku akan keluar, rawat dia baik-baik," kata Dalaga berpesan.
Dalaga langsung bangkit dan melangkah keluar. Sedangkan dua wanita di dalam rumah itu saling berpandangan. Tidak ada yang membuka suara lebih dahulu. Dari raut wajah mereka, terlihat jelas kedukaan yang dalam dan rasa kecemasan.
Siang belum lagi naik tinggi. Dua orang laki-laki berjalan pelahan-lahan menuju sebuah tempat yang memiliki bangunan bagai kuil. Bangunan kecil terdiri dari batu-batu bertumpuk, dihiasi pahatan gambar-gambar penuh makna. Kedua laki-laki itu berhenti melangkah setelah tiba di depan tangga kuil itu.
Tidak berapa lama, muncul Eyang Paladi dari dalam kuil itu. Dituruninya undakan itu satu persatu dengan hati-hati sekali. Tidak ada lagi orang lain di sekitar pesanggrahan ini. Hanya mereka bertiga. Eyang Paladi, Dalaga, dan Jruda. Pembalut masih terlihat di beberapa bagian tubuh Jruda. Wajahnya juga masih terlihat pucat.
"Kami datang memenuhi panggilanmu, Eyang," ujar Dalaga seraya menjura hormat, diikuti Jruda.
"Ikut aku," kata Eyang Paladi.
Dalaga dan Jruda melangkah di belakang Eyang Paladi, menuju bagian belakang kuil dengan memutari bagian samping kanan. Ketiga orang itu berhenti di depan sebuah pendopo kecil di tengah-tengah halaman belakang. Eyang Paladi duduk di pendopo itu, sedangkan Dalaga serta Jruda juga duduk bersila di depan Eyang Paladi.
Dalaga sudah bisa menebak kalau Eyang Paladi pasti akan membicarakan hal penting yang ada kaitannya dengan peristiwa malam itu. Juga dua peristiwa sebelumnya yang meminta banyak korban nyawa. Pendopo di belakang kuil Pesanggrahan Bumi Lawa ini oleh Eyang Paladi selalu dijadikan tempat untuk mengadakan pembicaraan penting.
"Kau tahu, kenapa aku memintamu datang ke sini, Dalaga?" ujar Eyang Paladi setengah bertanya.
"Tentu, Eyang," sahut Dalaga penuh rasa hormat.
"Peristiwa malam itu adalah yang ketiga kalinya. Sudah banyak korban yang jatuh. Dan aku tidak ingin lagi melihat korban-korban lainnya," kata Eyang Paladi memulai percakapannya.
"Apa yang harus kulakukan, Eyang?" tanya Dalaga.
"Kau kenal benda ini, Dalaga?" Eyang Paladi mengeluarkan tiga buah rantai berwarna merah menyala dari balik lipatan jubahnya. Diletakkan tiga rantai yang masing-masing berjumlah sepuluh lingkaran itu di lantai.
Dalaga memandangi benda-benda itu dengan kepala tertunduk. Begitu juga Jruda. Kedua orang itu hanya diam saja sambil menundukkan kepala dalam-dalam. Sementara Eyang Paladi memandangi dengan tajam.
"Jujur saja padaku, Dalaga. Juga kau, Jruda. Kalian berdua adalah muridku yang paling kusayangi. Bahkan ayah kalian sudah kuanggap sebagai adik sendiri. Sayang dia terlalu cepat meninggalkan dunia ini. Kalau saja ayahmu masih hidup tentu peristiwa ini tidak akan terulang sampai tiga kali, " ujar Eyang Paladi pelan suaranya.
"Apa yang harus kulakukan, Eyang. Aku sendiri tidak tahu benda itu," kata Dalaga seraya mengangkat kepalanya.
"Hm...," Eyang Paladi menggumam tidak jelas. Dia menatap Jruda. Sedangkan yang ditatap hanya menunduk saja. Malah sebentar-sebentar memijat-mijat tangan kirinya sendiri. Kain pembalut masih menutupi tangan kiri sampai ke siku dari pangkal lengan. Sementara Dalaga hanya diam saja dengan bibir terkatup rapat.
"Dari semua korban, hanya kau yang bisa selamat, Jruda. Ceritakan dari awal kejadiannya, hingga kau mendapat luka seperti itu," pinta Eyang Paladi.
"Kejadiannya begitu cepat, Eyang. Aku hanya melihat dua orang berbaju serba hitam. Mereka membunuh anak dan istriku, Eyang. Aku berusaha melawan, tapi mereka terlalu kuat dan sangat tinggi tingkat kepandaiannya," Jruda mencoba menceritakan singkat
"Kau kenali wajah mereka?" tanya Eyang Paladi.
"Tidak. Mereka memakai topeng. Hanya matanya saja yang terlihat," sahut Jruda berusaha mengingat-ingat.
"Jruda, apa kedua orang tersebut mengucapkan sesuatu?" tanya Eyang Paladi lagi.
"Tidak. Mereka datang membongkar jendela, dan langsung membunuh anak dan istriku yang sedang tidur. Salah seorang mencoba membunuhku, tapi berhasil kuhindari. Aku tidak sempat lagi mengambil pedang, Eyang. Mereka berdua mengeroyokku. Sedangkan aku mencemaskan.... Oh...," Jruda berhenti, dan kembali tertunduk.
"Aku bisa mengerti perasaanmu, Jruda. Bukannya aku ingin membangkitkan kembali dukamu, tapi hanya ingin menyelesaikan persoalan ini," kata Eyang Paladi.
Jruda hanya menganggukkan kepalanya saja.
"Sejak terjadi peristiwa kedua, aku memang sudah menduga bakal ada peristiwa pembunuhan berikutnya hanya saja aku tidak habis pikir, kenapa hanya keluarga dan sanak keluarga kalian saja yang menjadi korban. Apa kalian punya musuh? Atau, mungkin sanak keluarga kalian...?"
"Entahlah, Eyang. Tapi yang jelas aku sendiri tidak punya musuh," sahut Dalaga lebih dahulu.
"Dan kau, Jruda?" Eyang Paladi menatap pemuda di samping Dalaga.
"Tidak, Eyang. Aku hidup dalam kesederhanaan, tapi merasa bahagia karena hidup dari hasil kerja memeras keringatku sendiri. Rasanya aku tidak punya musuh. Menyakiti sesama saja tidak pernah, Eyang," jelas Jruda.
"Sejak kecil aku sudah mengenal kalian berdua. Aku tahu kalau kalian tidak berbohong dan menyembunyikan sesuatu," ucap Eyang Paladi.
Dalaga dan Jruda saling berpandangan. Kata-kata Eyang Paladi itu memang terdengar lembut dan tenang, tapi mengandung kecurigaan yang dalam. Mereka sudah bersama-sama selama puluhan tahun, dan sudah bisa mengenal watak satu sama lain. Tapi baru kali ini Dalaga dan Jruda menangkap adanya nada ketidakpercayaan dari nada suara Eyang Paladi.
Ketidakpercayaan itu datang karena tiga peristiwa yang meminta korban jiwa tidak sedikit. Terakhir, peristiwa malam itu yang merenggut nyawa istri dan dua anak Jruda serta lima orang teman-teman Jruda yang kebetulan malam itu menginap di sana. Dan mereka semua adalah murid Eyang Paladi.
Eyang Paladi bangkit berdiri, kemudian melangkah meninggalkan bangunan pendopo itu. Dalaga dan Jruda masih tetap duduk bersila saling melempar pandang. Mereka kemudian berdiri dan berjalan pergi setelah Eyang Paladi jauh meninggalkan pendopo di belakang kuil Puri Pesanggrahan Bumi Lawa ini. Tak ada lagi yang membuka suara.
Semuanya diam membisu mengiringi ayunan kaki yang semakin jauh meninggalkan pesanggrahan itu. Sementara senja mulai merayap turun. Matahari hampir tenggelam di balik cakrawala sebelah Barat. Sinarnya yang redup, terasa lembut menyentuh kulit. Dalaga dan Jruda tidak langsung kembali ke rumah, tapi menengok tegalan dulu. Letaknya memang tidak jauh dari pesanggrahan itu.
Dalaga menghenyakkan tubuhnya di rerumputan yang cukup tebal, ternaungi pohon beringin. Jruda tetap saja berdiri di samping kakaknya. Mereka memandang jauh ke depan, menembus cakrawala yang memerah jingga. Cukup lama juga mereka berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Hhh...! Eyang Paladi tidak percaya lagi pada kita, Jruda," desah Dalaga agak mengeluh.
"Ya. Aku juga merasakannya, Kakang. Tapi kita harus berbuat apa...? Kita memang tidak tahu siapa orang yang berbuat itu," sahut Jruda seraya menempatkan diri, duduk di samping kakaknya.
"Benar tidak dapat kau kenali orang itu, Jruda?" tanya Dalaga.
"Kau sendiri mulai tidak percaya padaku, Kakang."
"Aku percaya. Hanya rasanya, kok aneh. Selama menuntut ilmu pada Eyang Paladi, belum pernah aku bertarung secara sungguh-sungguh. Tidak ada musuh dalam diriku dan kehidupanku selama ini."
"Kau pikir aku juga punya musuh?"
"Kita berdua sama, Jruda. Kita dilahirkan dan dibesarkan di desa ini. Hm.... Apa mungkin persoalan ini menyangkut orang tua kita, atau mungkin juga saudara-saudara kita...?" Dalaga menebak-nebak.
"Jangan menduga terlalu jauh dulu, kakang. Sekarang ini kita seperti berada di dalam lorong gelap, tanpa tahu jalan yang harus ditempuh," Jruda memperingatkan.
"Terus terang, Jruda. Aku jadi penasaran. Siapa orang yang akan membantai keluarga kita...?" Dalaga seperti bicara pada dirinya sendiri.
Jruda hanya diam saja. Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Dia sendiri tidak tahu siapa kedua orang yang membantai keluarganya, juga lima orang temannya yang kebetulan menginap malam itu di rumahnya. Meskipun sempat bertarung beberapa jurus, tapi tidak bisa mengenali dua pembunuh itu. Malam itu sangat gelap, ditambah lagi dua pembunuh itu memakai pakaian yang berwarna gelap. Sukar untuk mengenalinya. Jurus-jurusnya pun begitu cepat dan dahsyat, tidak mudah dikenali sumbernya.
Agak lama juga kakak beradik itu terdiam membisu. Beberapa kali terdengar tarikan napas panjang dan berat Sementara suasana semakin meremang. Angin pun sudah mulai menyebarkan udara dingin. Tapi Dalaga dan Jruda masih tetap duduk di bawah pohon di pinggir tegalan. Tidak ada lagi orang yang lewat di tempat ini. Semua penduduk Desa Kiting tidak ada lagi yang berani keluar rumah jika senja sudah datang. Peristiwa-peristiwa pembunuhan liar yang terjadi tiga kali di desa ini membuat mereka dicekam perasaan takut.
"Sudah hampir malam, Kakang," ujar Jruda seraya bangkit berdiri.
"Pulanglah dulu, aku masih ingin di sini," ujar Dalaga tetap duduk.
"Kau tidak apa-apa sendirian, Kakang?"
"Katakan pada istriku, sebentar lagi aku pulang."
"Baiklah."
Jruda mengayunkan kakinya meninggalkan tegalan itu. Sedangkan Dalaga masih tetap duduk bersandar pada batang pohon. Pandangannya menerawang jauh, memikirkan kejadian-kejadian yang mengerikan selama ini Desa yang selama ini tentram dan damai, kini berubah bagai dipenuhi kabut maut yang setiap saat bisa saja merenggut nyawa. Kabut maut itu bermula dari terbantainya satu keluarga kakak sulung Dalaga. Sepekan kemudian, disusul terbantainya keluarga pamannya. Dan kemarin malam keluarga adiknya. Semua tewas, hanya Jruda yang masih bisa diselamatkan nyawanya.
Trrek!
"Eh...!" Dalaga tersentak kaget begitu tiba-tiba terdengar suara ranting patah.
Secepat kilat laki-laki setengah baya itu melompat bangkit, dan langsung berbalik. Tapi belum juga bisa berpikir jauh, mendadak saja seberkas cahaya kuning berkilat melesat cepat ke arahnya. Dalaga langsung memiringkan tubuh ke kanan sambil menggeser kakinya sedikit. Sinar kuning itu lewat di samping tubuhnya, dan terus menghantam sebatang pohon kelapa hingga tumbang.
"Hup!"
Dalaga bergegas melompat ke kanan, menghindari pohon kelapa yang jatuh ke arahnya. Dan belum lagi bisa berbuat sesuatu, mendadak saja dari balik sebuah pohon muncul dua orang berbaju biru tua yang sangat ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan tegap berisi.
Dalaga terkesiap begitu melihat wajah kedua orang yang memakai topeng berbentuk muka babi. Sebilah pedang masing-masing tersampir di punggung. Mereka juga memakai sabuk dengan bola-bola emas melilit pinggangnya. Dalaga tahu kalau cahaya keemasan yang hampir menghantam tubuhnya tadi adalah salah satu dari bola-bola kecil berwarna kuning keemasan dari sabuk orang itu.
"Siapa kalian?!" tanya Dalaga agak membentak.
"Hm...," salah seorang bergumam.
Dan bersamaan dengan terlemparnya sebuah rantai merah bertaut sepuluh lingkaran, salah seorang langsung melompat bagai kilat menerjang. Dalaga terkesiap sejenak, lalu buru-buru membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun begitu melompat bangkit, salah seorang lagi sudah melompat cepat sambil melayangkan satu tendangan kilat bertenaga dalam sangat tinggi.
Dalaga tidak mungkin lagi berkelit. Posisi tubuhnya saat ini tidak memungkinkan. Maka tendangan keras itu langsung menghantam dadanya, hingga laki-laki setengah baya itu terpental jauh ke belakang. Sebongkah batu besar terguling terlanda tubuh Dalaga.
"Hiaaat...!"
Dalaga membeliak lebar begitu orang yang menendangnya kembali melompat sambil mencabut pedang. Cahaya keperakan dari pedang yang terhunus, berkelebat cepat mengarah ke leher Dalaga. Dan sesaat kemudian...
"Aaa...!" Dalaga menjerit melengking tinggi. Hanya sebentar Dalaga mampu bergerak, kemudian roboh menggelepar. Kepalanya telah terpisah dari leher!
Sebelum Dalaga diam, dua orang bertopeng muka babi itu sudah melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tinggal Dalaga sendiri meregang nyawa. Dari lehernya yang buntung tanpa kepala, mengalir darah segar membasahi rerumputan. Tepat di saat terdengar suara lolongan panjang anjing hutan, Dalaga tidak bergerak-gerak lagi. Tubuhnya terbujur bersimbah darah, sedangkan kepalanya berada cukup jauh dari lehernya.
Kematian Dalaga makin menggemparkan penduduk Desa Kiting. Sungguh tragis! Kepalanya buntung, dan hampir seluruh tubuhnya dicabik anjing-anjing hutan yang kelaparan. Semalaman Dalaga terbujur menjadi santapan anjing liar. Dan baru pagi harinya ditemukan, ketika penduduk akan ke tegalan. Dalam hal ini, yang paling terpukul adalah Jruda.
Semua orang tahu kalau kemarin Jruda bersama-sama dengan kakaknya. Bahkan ketika Eyang Paladi meninggalkan pesanggrahan, mereka masih bersama-sama. Pandangan sinis dan bernada menuduh terlontar dari mulut penduduk untuk pemuda itu.
Jruda semakin tertekan. Apalagi Eyang Paladi juga mencurigainya, meskipun dia sudah mengatakan yang sebenarnya. Dia dan Dalaga memang ke tegalan itu setelah pulang dari pesanggrahan. Hanya saja Jruda pulang lebih dahulu, meninggalkan Dalaga sendirian di sana. Tapi keterangan Jruda tidak ada yang mempercayai, bahkan Eyang Paladi sendiri tidak percaya.
"Kau juga tidak percaya padaku, Rimah?" datar nada suara Jruda. Pandangannya lurus menatap istri kakaknya yang tidak henti-hentinya mengeluarkan air mata.
Rimah diam saja. Disusut air matanya dengan ujung kebaya. Suaminya sudah terkubur, dan dia kini sendirian harus mengurus empat orang anak. Mereka semua duduk di balai bambu diruangan tengah: Parti, anak sulungnya hanya duduk tertunduk saja di samping ibunya.
"Aku akan mencari pembunuh keparat itu!" desis Jruda geram.
"Apa yang akan kau lakukan, Jruda?" tanya Rimah tersendat
Jruda tidak langsung menjawab. Dia sendiri tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun itu memandang keluar jendela. Tampak empat orang murid Eyang Paladi berjaga-jaga di sekitar rumah itu. Jruda tahu kalau masih ada beberapa lagi di sekitar rumah ini, dan dia tahu kalau Eyang Paladi tidak meninggalkan rumah ini selama dia masih berada di dalam.
Sakit hati Jruda, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Menyalahkan kecurigaan Eyang Paladi saja dia tidak bisa. Posisinya saat ini memang sulit. Banyak orang yang melihatnya terakhir bersama Dalaga di tegalan itu, di mana mayat Dalaga tergeletak dengan tubuh koyak dan kepala buntung.
"Aku tidak menyalahkan kalian, jika tidak mengijinkan lagi aku tinggal di sini. Nasib kita sama. Sama-sama kehilangan orang yang kita cintai. Tapi sekarang ini aku jadi orang yang dicurigai sebagai pembunuhnya. Akan kubuktikan kalau aku tidak bersalah," pelan, namun terdengar tegas nada suara Jruda.
"Aku tidak menuduhmu, Jruda. Kau boleh tinggal di sini. Kami semua membutuhkan perlindunganmu," ujar Rimah seraya menyusut air matanya.
"Benar! Paman harus tetap tinggal di sini," sambung Parti, anak sulung Dalaga. Dia cukup cantik, masih gadis dan baru berusia sekitar delapan belas tahun.
"Aku akan melindungi kalian semua, tapi tidak di rumah ini. Aku tidak bisa tinggal di sini lagi. Percayalah pada Eyang Paladi. Beliau pasti melindungi kalian semua," kata Jruda terharu. Sebab, hanya keluarga ini saja yang tidak menuduhnya sebagai pembunuh keji yang telah menewaskan Dalaga.
"Lalu, kau akan ke mana?" tanya Rimah.
"Tidak jauh dari sini, tapi juga tidak kelihatan orang lain," sahut Jruda.
"Hhh...! Seharusnya Eyang Paladi tidak melimpahkan tuduhan seperti itu padamu, Jruda. Aku menyesal...," desah Rimah.
"Semua sudah terjadi, Kak. Tidak ada yang perlu disesalkan lagi. Semua tuduhan itu kuterima, meskipun aku merasa tidak bersalah. Aku yakin, ada orang yang menginginkan keluarga kita hancur," tegas Jruda.
"Siapa...?" Rimah seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Entahlah," sahut Jruda mendesah. "Sekarang ini kita semua belum tahu. Aku yakin, satu saat nanti akan mengetahuinya!" tekad Jruda.
Untuk beberapa saat tidak ada yang bicara lagi. Jruda bangkit berdiri dan melangkah menghampiri jendela. Matanya mengarah keluar, mengamati keadaan sekitarnya. Tampak sepi. Tidak ada seorang penduduk pun yang berani keluar rumah, meski hari masih siang. Terlihat beberapa orang murid Eyang Paladi berjaga-jaga. Bukan saja di rumah ini, tapi juga di rumah keluarga Jruda yang lain, serta tempat-tempat yang cukup memungkinkan.
Memang banyak murid Eyang Paladi. Semuanya tidak kurang dari lima puluh orang. Dan rata-rata masih berusia sekitar dua puluh tahun. Masih muda-muda, namun memiliki kepandaian yang lumayan. Eyang Paladi sendiri sebenarnya masih memiliki murid utama yang berjumlah sepuluh orang. Rata-rata kemampuannya hampir menyamai Dalaga dan Jruda yang juga murid tertua Eyang Paladi.
Jruda sendiri menjadi murid Eyang Paladi setelah berusia sekitar tujuh belas tahun. Sebelumnya dia mempelajari ilmu olah kanuragan dari ayahnya sendiri, yang menjadi salah seorang pendiri Padepokan Mega Kiting. Padepokan itu kini dipimpin Eyang Paladi setelah ayah Jruda meninggal.
"Hhh...!" Jruda menghembuskan napas panjang. Sebentar dia berbalik, lalu menatap pada Rimah dan keempat anaknya. Langkahnya pelahan mendekati pintu, dan membukanya. Tampak dua orang murid Eyang Paladi berjaga-jaga di depan pintu. Mereka sempat melirik sedikit pada Jruda.
"Jadi pergi, Paman Jruda?" tanya salah seorang bernada sinis.
"Hmm," Jruda hanya menggumam kecil. Laki-laki berusia dua puluh lima tahun berbaju kuning gading itu melangkah setelah menutup kembali pintunya. Jalannya tidak tergesa-gesa. Semua murid Eyang Paladi memandanginya dengan tatapan sinis. Beberapa kepala terlihat menyembul keluar dari dalam rumah. Para penduduk Desa Kiting hanya bisa memandang dari balik pintu dan jendela.
Jruda bisa merasakan pandangan mereka semua, dan hanya mampu meredam semua yang bergejolak dalam hatinya. Tapi disadari kalau mereka semua tidak bisa disalahkan. Jruda terus melangkah menuju arah Timur, ke arah sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi menjulang dengan pohon-pohon tumbuh subur merapat
"Akan kubuktikan...!" desis Jruda bertekad dalam hati.
Tiga hari setelah kcpergian Jruda, suasana Desa Kiting semakin tidak menentu. Setiap hari selalu saja terjadi pembunuhan. Bukan saja sanak keluarga Jruda, tapi juga penduduk yang tidak tahu menahu dengan urusan itu. Kabut tebal menyelimuti seluruh Desa Kiting. Semua penduduk dicekam rasa takut yang amat sangat. Tidak ada lagi tempat yang aman. Pembunuh misterius itu dapat masuk ke rumah kapan saja dia mau, dan selalu meninggalkan mayat.
Siang itu udara panas sekali. Matahari bersinar terik tanpa terhalang awan sedikit pun di langit Tak ada angin bertiup, sehingga menambah panasnya udara siang ini. Seorang penunggang kuda hitam membelah jalan berdebu pelahan-lahan. Penunggangnya masih muda, berkulit kuning langsat bagai kulit wanita. Tapi dari raut wajahnya terlihat jelas kalau itu seorang pemuda.
Penunggang kuda itu sempat melirik seorang laki-laki yang tengah duduk di tepi jalas sambil berteduh di bawah pohon yang cukup rindang. Sebelah kakinya sengaja direndam dalam aliran air yang bening dan sejuk. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu sama sekali tidak peduli pada kuda yang melintas pelahan di depannya. Malah matanya agak terpejam dengan kepala bersandar pada batang pohon.
Kuda hitam tegap itu terus berjalan membelah jalan berdebu. Penunggangnya juga tidak lagi memperhatikan sekelilingnya. Pandangannya tetap lurus mengarah pada sebuah bangunan yang cukup besar dan memanjang, dikelilingi pagar kayu bulat yang cukup tinggi. Kuda hitam itu berhenti tepat di depan pintu pagar kayu yang dijaga dua orang bersenjata golok terselip di pinggangnya.
"Maaf. Apakah Eyang Paladi ada?" tanya pemuda itu ramah.
"Kisanak siapa?" tanya salah seorang penjaga tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu.
"Aku Pramana, cucu Eyang Paladi," sahut penunggang kuda itu.
Kedua penjaga yang juga murid Eyang Paladi itu memperhatikan sejenak, lalu menggeser memberi jalan. Pemuda yang mengaku bernama Pramana itu menggebah kudanya pelahan. Kuda hitam itu pun kembali berjalan memasuki halaman yang luas, dikelilingi pagar kayu gelondongan yang tinggi dan tampak kokoh.
"Hup...!"
Pramana melompat turun sebelum kuda hitam itu berhenti melangkah. Dan dengan dua kali putaran saja, sudah tiba di ujung atas undakan beranda bangunan besar dengan bagian samping memanjang bagai barak. Tepat pada saat kaki pemuda itu menjejak lantai, dari dalam muncul Eyang Paladi didampingi dua orang murid utamanya.
"Eyang...," ucap Pramana langsung berlutut memberi hormat.
"Pramana...!" Eyang Paladi nampak terkejut.
Buru-buru dihampiri dan dibangunkannya pemuda itu. Pramana bangkit berdiri, lalu menjura sekali lagi dengan membungkukkan tubuhnya sedikit Eyang Paladi memandangi wajah tampan di depannya. Kemudian bola matanya berputar merayapi seluruh tubuh yang mengenakan baju putih ketat, sehingga memetakan tubuhnya yang tegap padat dan berotot.
"Kenapa tidak memberitahu dulu kalau ingin datang, Pramana?" tanya Eyang Paladi seraya membawa cucunya itu masuk ke dalam.
Dua orang murid laki-laki tua itu meneruskan langkahnya keluar. Eyang Paladi membawa cucunya ke bagian tengah dari salah satu bangunan besar di Padepokan Mega Kiting, yang hanya satu-satunya di Desa Kiting ini. Perguruan silat itu memang sudah cukup lama terbentuk, dan didirikan oleh seorang pendekar ternama pada masa tiga puluh tahun yang lalu. Eyang Paladi tinggal meneruskan saja, karena merupakan sahabat kental pendekar itu.
"Kau datang sendiri?" tanya Eyang Paladi setelah mereka duduk di kursi saling berhadapan. Hanya sebuah meja bundar menghalangi. "Kenapa tidak kau bawa adikmu?" tanya Eyang Paladi lagi. Padahal pertanyaannya yang pertama saja belum terjawab.
"Rawuni menyusul nanti," sahut Pramana.
Eyang Paladi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku dan Rawuni bermaksud ingin menetap. Itu pun kalau Eyang mengijinkan," ungkap Pramana langsung tanpa basa-basi lagi.
"Tentu saja boleh, Pramana. Dari dulu aku sudah memintamu dan adikmu tinggal di sini. Kapan saja pintu rumah ini selalu terbuka untukmu," kata Eyang Paladi senang.
"Terima kasih, Eyang," ucap Pramana.
"Bagaimana keadaan keluarga pamanmu?" tanya Eyang Paladi.
"Semua baik-baik saja, Eyang," sahut Pramana diiringi senyuman tipis.
"Aku senang mendengarnya. Kau ingin tinggal di sini sudah pamitan dengan pamanmu?"
"Sudah! Bahkan Paman sendiri yang menganjurkan. Katanya agar aku dan Rawuni bisa menambah kepandaian di sini."
"Ha ha ha...! Apa lagi yang bisa kuberikan padamu, Pramana? Aku yakin, Paman Darwala sudah memberikan semua yang dimiliki. Buktinya, pedang kesayangan pamanmu sekarang telah kau sandang. Itu berarti kau sudah menguasai jurus 'Tarian Dewa Pedang'."
Pramana hanya tersenyum saja. Terasa hambar senyuman pemuda itu, tapi Eyang Paladi tidak memperhatikannya. Dia terlalu gembira dengan kedatangan cucunya. Terlebih lagi Pramana mengatakan hendak menetap di pesanggrahan ini, yang memang sudah diharapkannya sejak dulu. Tepatnya ketika cucu-cucunya ini masih kecil, dan ditinggal mati kedua orang tuanya.
"Ayo, Pramana. Akan kutunjukkan kamarmu," kata Eyang Paladi seraya bangkit berdiri.
Pramana kembali tersenyum, lalu ikut berdiri dan melangkah mengikuti Eyang Paladi. Matanya selalu memperhatikan setiap ruangan yang dilewati. Beberapa murid Eyang Paladi menjura memberi hormat saat berpapasan, tapi sempat juga melirik pemuda yang berjalan di belakang Ketua Padepokan Mega Kiting itu. Dan Pramana juga mengetahui, tapi diam saja. Pura-pura tidak tahu.
Seekor kuda hitam berpacu cepat meninggalkan Desa Kiting. Kuda itu menuju ke arah Timur, di mana terpampang sebuah bukit tidak terlalu tinggi. Debu mengepul tersepak kaki kuda yang berlari cepat bagai dikejar setan. Penunggangnya seorang pemuda berwajah tampan, dan berkulit kuning langsat seperti wanita. Memasuki daerah hutan di kaki bukit itu, kuda hitam itu tidak juga memperlambat larinya.
Tapi mendadak saja kuda hitam itu berhenti berlari, lalu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Penunggang kuda itu terperanjat, langsung melompat. Tubuhnya berputaran tiga kali di udara, lalu ringan sekali kakinya menjejak tanah. Tampak kuda hitam itu mendengus-dengus menghentak-hentakkan kaki depannya ke tanah.
"Hm.... Tenanglah, Hitam. Aku juga tahu," gumam pemuda itu pelan.
Sebentar pemuda itu menatap ke satu arah, lalu dengan cepat dikibaskan tangan kanannya. Dan secepat tangan itu bergerak, secepat itu pula secercah cahaya merah melesat bagai sebatang anak panah lepas dari busur. Sinar merah itu meluncur deras menembus semak belukar didepannya.
Slap!
Bersamaan dengan menghilangnya cahaya merah itu ke dalam semak, melesat satu sosok tubuh ke atas. Dua kali tubuh itu berputar di udara, lalu manis sekali mendarat sekitar tiga batang tombak di depan pemuda berbaju putih itu.
"Siapa kau?! Kenapa menghadang jalanku?!" bentak pemuda berbaju putih itu.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu!" dengus orang yang ternyata Jruda.
"Hm.... Aku tidak kenal siapa dirimu," gumam pemuda itu dengan kening agak berkerut.
"Tapi aku kenal denganmu, Pramana!" dingin nada suara Jruda.
"Siapa kau sebenarnya?" dengus Pramana terkejut, karena orang di depannya mengenal dirinya.
"Kau tidak perlu tahu diriku. Yang harus kau ketahui hanya satu. Jangan coba-coba mengganggu kehidupan kami. Kau tidak berhak hidup di Desa Kiting. Jelas...!" dingin sekali suara Jruda.
"Hey...! Apa hakmu melarangku tinggal di sana?"
"Jangan banyak tanya! Desa Kiting bukan tempatmu. Sebaiknya tinggalkan desa itu, dan jangan kembali lagi!" bentak Jruda.
"Kau mengancam, Kisanak."
"Terserah penilaianmu. Aku bisa berlaku lebih kejam darimu!"
"O...! Hebat! Ternyata kau punya nyali besar juga sehingga berani menantangku."
"Tidak ada yang kutakuti, termasuk gurumu!"
"Bagus! Bersiaplah, Kisanak! Hiyaaat..!"
Pramana langsung saja membuka jurus. Dan bagaikan seekor kijang, tubuhnya melompat menerjang Jruda yang sejak tadi sudah bersiap. Pertarungan dua orang itu tidak dapat dihindari lagi. Meskipun Pramana tidak mengetahui alasan orang itu membencinya, tapi pantang baginya mendapat tantangan terbuka seperti itu. Tidak tanggung-tanggung, Pramana menyerang disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi.
Sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan itu sudah porak poranda bagai terkeria amukan seribu ekor gajah. Pohon-pohon tumbang, dan batu-batuan pecah berantakan. Debu mengepul tinggi ke udara, membentuk awan yang menyesakkan dada. Namun pertarungan itu tidak juga berhenti, bahkan semakin sengit saja. Malah setelah melewati sepuluh jurus, masing-masing sudah menghunus senjata. Mereka bertarung dengan pedang tergenggam, siap mencabik siapa saja yang lebih rendah kepandaiannya.
Trang!
"Ikh...!' Jruda tersentak ketika menangkis tebasan pedang Pramana. Dia langsung melompat mundur tiga tindak.
Dan belum lagi Jruda bisa menguasai tangannya yang bergetar akibat adu senjata tadi, Pramana sudah melompat sambil mengarahkan ujung pedangnya ke arah dada. Cepat sekali Jruda melompat ke samping menghindari tusukan pedang itu, dan langsung melentingkan tubuhnya ke atas. Manis sekali kakinya hinggap di atas dahan, lalu pedangnya dikibaskan kesalah satu ranting.
"Hait..!"
Cras!
Bukan main terkejutnya Pramana. Tiba-tiba saja tubuhnya terangkat naik, dan terkurung jaring yang begitu kuat. Pramana berusaha memberontak, tapi jaring itu demikian kenyal. Tubuhnya tertekuk, dan pedangnya jatuh ke tanah. Pramana tergantung, terbungkus jaring sekitar dua batang tombak tingginya dari tanah.
"Hup...!"
Jruda melompat turun, dan berdiri tegak bertolak pinggang begitu mendarat. Kepalanya mendongak memandang Pramana yang berusaha melepaskan jaring yang membelenggu tubuhnya, hingga tergantung seperti itu.
"Ha ha ha...! Kau akan mati pelahan, Pramana! Selamat menikmati kematianmu!" seru Jruda tertawa terbahak-bahak.
Pramana menggeram, memaki, dan menyumpah serapah. Tapi Jruda malah semakin keras tawanya. Dia berbalik dan melangkah menghampiri pohon besar. Seutas tambang terikat di pohon itu. Dibukanya tambang itu dan diturunkan Pramana pelahan-lahan. Setelah jaraknya cukup dekat ke tanah, Jruda mengikat lagi tambang itu ke pohon.
Sambil tertawa terbahak-bahak, Jruda berlari cepat dan menghilang ke dalam hutan. Sebentar masih terdengar suara tawanya, kemudian pelahan-lahan menghilang tersapu angin. Sementara Pramana berusaha melepaskan diri dari jeratan jaring itu. Dicobanya untuk memutuskan jaring. Meskipun sudah mengeluarkan tenaga dalam penuh, tapi jaring itu tetap tidak mau putus. Pramana sadar kalau jaring ini terbuat dari bahan yang sangat kuat.
"Setan!" rutuk Pramana sengit. Pemuda itu memandang pedangnya yang tergeletak di tanah. Dikeluarkan kakinya, dan berusaha menjangkau pedangnya. Tapi tidak juga sampai. Sia-sia saja semua usaha yang dilakukannya. Pramana merutuk dan memaki habis-habisan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Dan dia tahu, kalau malam tempat ini dipenuhi anjing hutan yang kelaparan. Jaraknya cukup untuk binatang liar itu menjangkau tubuhnya. Pramana jelas tidak mau mati sia-sia begini.
Meskipun tahu akan sia-sia, tapi Pramana berusaha melepaskan diri dari jerat menyakitkan hati ini. Baginya lebih baik mati dalam pertarungan daripada tersiksa tanpa daya seperti ini. Otaknya berpikir keras mencari cara untuk bisa terlepas. Namun segala cara yang digunakan hanya membuatnya memaki, mengumpat habis-habisan.
"Setan! Siapa pun dia, harus mampus di tanganku!" maki Pramana geram.
Senja terus merayap lambat menjelang malam. Pramana masih tergantung di dalam jaring. Peluh sudah sejak tadi membasahi sekujur tubuhnya. Jelas hatinya tampak putus asa, karena segala usaha yang dilakukan tidak berhasil untuk melepaskan diri dari jaring keparat ini. Pemuda itu menoleh ketika mendengar siulan yang timbul tenggelam terbawa angin senja. Siulan tanpa irama yang jelas, semakin terdengar mendekat ke arahnya.
"Hey...!" teriak Pramana sekuat-kuatnya.
Teriakan Pramana menggema, terpantul dinding-dinding bukit dan lembah serta hutan. Beberapa kali Pramana berteriak disertai pengerahan tenaga dalam. Tapi siulan itu tetap terdengar berirama sumbang.
"Hey...! Siapa kau di situ?! Cepat kesini...!" teriak Pramana keras.
Suara siulan itu berhenti. Pramana mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dan tatapannya langsung tertuju pada sebuah semak yang bergerak-gerak. Jantungnya berdebar, berharap ada orang yang datang dan bersedia menolongnya. Sama sekali tidak diharapkan kalau binatang buas yang muncul.
"Oh...," Pramana mendesah panjang ketika dari dalam semak muncul seorang laki-laki muda berpakaian kulit harimau. Pemuda itu tertegun melihat seseorang tengah tergantung dalam jaring seperti ikan. Dia berhenti melangkah dan memandangi dengan perasaan heran.
"Kisanak, cepat turunkan aku...," pinta Pramana.
"He...! Kau bisa bicara...?! Kukira kau monyet yang terperangkap!" seru pemuda itu.
"Ini bukan waktunya bergurau, Kisanak! Cepat turunkan aku dari sini!" bentak Pramana gusar.
"Ck ck ck... Galak juga," pemuda berbaju kulit harimau itu berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Pelahan pemuda itu melangkah semakin mendekati. Dipandangi Pramana yang tampak geram, karena merasa dirinya jadi tontonan. Tapi Pramana berusaha meredam kemarahannya.
Saat itu pemuda berbaju aneh itu sangat dibutuhkan pertolongannya untuk melepaskannya dari jaring keparat ini. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu malah melangkah memutarinya. Beberapa kali mulutnya berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Lagaknya seperti seorang saudagar yang tengah mengagumi barang indah dan langka. Tentu saja tingkah pemuda itu membuat Pramana jadi gusar, namun masih bisa menahan diri.
"Kisanak...!" tegur Pramana tidak sabar lagi.
"Oh...! Kau bicara lagi...?" pemuda berbaju kulit harimau itu menatap Pramana.
"Lepaskan jaring ini! Aku akan memberimu imbalan yang pantas," bujuk Pramana.
"Kau seperti anak saudagar kaya, atau kau putra pembesar kerajaan yang kesasar?" pemuda itu seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
"Terserah apa saja! Cepat! Lepaskanlah aku dari jaring keparat ini, Kisanak!" dengus Pramana tidak sabar.
"Hm...," pemuda itu bergumam dan memandangi Pramana yang nampak gusar, namun penuh harap untuk bisa terlepas dari perangkap jaring ini.
Pemuda berbaju kulit harimau itu memungut pedang yang tergeletak di tanah. Ditimang-timangnya pedang itu, lalu diberikannya pada Pramana. Kasar sekali Pramana merebut pedang itu, kemudian langsung berusaha berdiri. Seketika ditebaskan pedangnya pada tambang yang mengikat bagian atas jaring ini. Tambang itu putus, dan Pramana jatuh bersama jaring yang masih mengurung dirinya.
Pramana berusaha keluar dari jaring itu. Dimasukkan pedangnya dalam sarungnya, setelah lepas dari jaring yang membelenggunya. Sebentar ditatapnya pemuda berbaju kulit harimau yang menolongnya, kemudian tanpa berkata apa-apa lagi Pramana langsung berbalik dan melangkah cepat menghampiri kuda hitamnya yang setia menunggui sambil merumput sekenyang-kenyangnya.
"Hup!" Pramana melompat naik ke punggung kuda itu.
Sekali gebah saja, kuda hitam itu langsung melesat pergi meninggalkan debu yang mengepul bercampur daun-daun kering. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau hanya memandangi saja sambil menggeleng gelengkan kepala, kemudian kembali melangkah. Mulutnya bersiul-siul mendendangkan lagu tanpa irama yang pasti.
"Berhenti...!"
Pemuda berbaju kulit harimau itu terkejut ketika mendengar bentakan yang keras dan tiba-tiba dari arah belakang. Tubuhnya berbalik dan tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun. Sebilah pedang panjang tergantung dipinggang. Siulan pemuda berbaju kulit harimau itu terhenti seketika.
"Kau yang melepaskan tawananku...?" laki-laki yang ternyata adalah Jruda itu menunjuk jaring yang tergeletak di sampingnya.
"Tawanan...?" pemuda berbaju kulit harimau itu mengerutkan keningnya.
"Kau yang lewat di sini, tentu kaulah yang memutuskan jaring ini!" dengus Jruda.
"Aku tidak memutuskan jaring itu. Dia sendiri yang melakukannya," bantah pemuda berbaju harimau itu kalem.
"Mustahil! Tidak ada yang mampu memutuskan jaring ini. Pasti kaulah yang menolongnya!"
"Menolong siapa? Aku hanya memberikan pedang yang tergeletak di tanah, kemudian dia sendiri yang memutuskan tambang itu, dan keluar dari jaringmu."
"Sama saja, tolol!" bentak Jruda geram.
"He...! Kenapa marah?"
"Kau melepaskan tawanan berhargaku, maka kau harus bertanggung jawab!" geram Jruda. Setelah berkata demikian, Jruda langsung saja melompat menerjang.
"Hey...! Tunggu!"
Tapi Jruda tidak peduli terhadap peringatan itu. Pemuda itu diserangnya dengan beberapa pukulan beruntun dan mengandung tenaga dalam cukup tinggi.
Pemuda berbaju kulit harimau itu berlompatan menghindari serangan yang dansyat dan cepat. Jruda semakin geram, karena beberapa serangannya selalu gagal.
"Uh! Rupanya di sini banyak orang gila! Tidak ada urusan main serang saja...!"
lenguh pemuda berbaju kulit harimau itu seraya tidak berhenti berkelit. Tiba-tiba saja dengan kecepatan yang sangat tinggi dan sukar diduga, pemuda itu melenting ke atas. Dan secepat itu pula, menukik deras. Tangan kirinya berkelebat cepat, langsung menghantam bahu kanan Jruda.
"Hegh!"
Jruda berusaha bertahan, tapi seketika itu juga ambruk ke tanah setelah satu totokan jari mendarat di lehernya. Pemuda berbaju kulit harimau itu berdiri tegak di dekat tubuh yang tergeletak tidak berdaya, karena jalan darahnya tertotok. Sebentar pemuda itu memandangi, kemudian berbalik hendak pergi.
"Hey...! Tunggu!" seru Jruda berusaha menggeliat. Tapi seluruh tubuhnya terasa lumpuh, sukar digerakkan lagi. Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak jadi melangkah pergi, dan kembali berbalik menatap laki-laki yang tergeletak tak berdaya.
"Bebaskan aku! Jangan tinggalkan aku di sini," kata Jruda memohon.
"Heran.... Kenapa semua orang takut di sini sendirian? Apakah tempat ini sarang dedemit?" gumam pemuda itu seperti bicara untuk dirinya sendiri.
"Jangan bergurau, Kisanak. Cepat bebaskan sebelum...."
Belum juga Jruda menghabiskan ucapannya, tiba-tiba terdengar lolongan anjing hutan yang panjang mendirikan bulu kuduk. Seketika itu juga wajah Jruda pucat pasi. Kalau saja tubuhnya bisa bergerak, mungkin sudah gemetar. Suara lolongan anjing hutan itu semakin terdengar dekat. Terlebih, bukan hanya satu. Lolongan itu saling sahut, seperti sama-sama memberitahu ada manusia di sekitar tempat ini.
"Cepat, sebelum keparat-keparat itu muncul!" sentak Jruda.
"Hanya anjing, kenapa harus takut?" pemuda berbaju dari kulit harimau itu kelihatan tenang saja, dan malah duduk di samping Jruda.
"Gila kau! Bebaskan totokanmu cepat!" rungut Jruda berusaha menggelinjang.
Sementara lolongan anjing semakin banyak terdengar. Begitu dekat terdengar, sehingga membuat Jruda semakin pucat wajahnya. Dia berusaha menggelinjang, mencoba membebaskan totokan pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi totokan itu sangat kuat sekali, karena disalurkan lewat pengerahan tenaga dalam sempurna. Jruda sadar kalau tenaga dalam dan hawa murninya kalah jauh, dan tidak mungkin terbebas dari totokan kalau bukan pemuda berbaju kulit harimau itu sendiri yang melakukannya.
"Sudah kukatakan, hanya anjing...," ujar pemuda itu terputus seketika.
Satu ekor anjing hutan muncul dari semak. Tidak berapa lama kemudian datang lagi. Dan jumlahnya pun semakin bertambah banyak. Datang dari segala penjuru, langsung membentuk lingkaran mengepung kedua orang itu.
"Huh! Bodoh...! Cari mampus!" gerutu Jruda putus asa.
"Hm...," pemuda berbaju kulit harimau itu menggumam pelahan. Hampir tidak terdengar gumamannya. Cepat sekali tangan pemuda itu bergerak, dan jari-jarinya bergerak lincah menotok jalan darah di tubuh Jruda. Totokan pembuka itu kontan bekerja, lalu Jruda menggelinjang bangkit berdiri. Tapi seekor anjing hutan menggerung. Jruda langsung diam tidak bergerak-gerak lagi. Kedua bola matanya membeliak begitu melihat puluhan anjing hutan liar sudah mengepungnya. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu masih tetap duduk tenang.
"Jangan menimbulkan perhatian. Tetap saja tenang," perintah pemuda berbaju kulit harimau itu kalem.
"Huh! Ini semua gara-garamu!" rungut Jruda.
"Tenanglah, diam saja. Jangan banyak bicara."
"Kalau kau menuruti kata-kataku tadi, tidak akan jadi begini. Huh...!" gerutu Jruda habis-habisan.
Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu tetap duduk tenang tanpa bergerak sedikit pun. Jruda masih menggerutu. Segera ditarik pedangnya keluar dari sarungnya. Dan begitu pedangnya keluar, mendadak seekor anjing hutan liar itu meraung keras, lalu melompat menerjang cepat.
"Hait...!"
Wut!
Jruda mengibaskan pedangnya cepat. Anjing hutan itu menggerung keras, dan jatuh menggelepar dengan perut sobek terbabat pedang. Melihat temannya tewas seketika, anjing-anjing lainnya menggeram marah memperlihatkan taring-taringnya yang tajam mengerikan. Jruda bersiap-siap dengan pedang terhunus.
"Kau membuat kesulitan!" dengus pemuda berbaju kulit harimau.
"Diam kau!" bentak Jruda sengit. "Semua ini gara-garamu!"
"Sebentar lagi mereka akan menyerang, mengoyak tubuhmu. Satu nyawa mereka belum cukup jika dibayar darah dan dagingmu," ujar pemuda berbaju kulit harimau itu lagi. Suaranya tetap tenang.
Jruda jadi menatap tajam pemuda yang masih duduk bersila tenang, tidak bergeming sedikit pun. Dia terpaku mendengar kata-kata pemuda itu. Kata-kata yang begitu aneh terdengar ditelinga, dan begitu dalam mengandung banyak arti.
Tapi belum juga Jruda bisa memahami kata-kata pemuda berbaju kulit harimau itu, mendadak saja dua ekor anjing hutan yang mengepung tempat ini melompat sambil bersuara keras menggetarkan jantung. Jruda kontan melompat sambil mengibaskan pedangnya.
Seekor meraung keras, dan terjungkal bersimbah darah. Jruda kembali membabatkan pedangnya untuk yang seekor lagi. Tapi belum juga pedangnya mengenai sasaran, beberapa ekor sekaligus sudah melompat lagi. Jruda berpelantingan, berlompatan menghindari serangan anjing anjing hutan itu. Pedangnya berkelebatat cepat membabat binatang-binatang liar yang kelaparan itu.
"Setan...!" dengus Jruda menggeram.
Matanya sempat melirik pemuda berbaju kulit harimau yang tetap duduk tenang bersila. Tidak ada anjing seekor pun yang memperhatikan pemuda berbaju kulit harimau itu. Bahkan kini semakin banyak saja yang menyerang, dan berusaha melumpuhkan Jruda. Tidak terhitung lagi, berapa yang tewas terbabat pedang. Dan anjing-anjing hutan itu bukannya takut, tapi malah semakin ganas saja.
"Kisanak, apa yang kau lakukan di situ! Bantu aku...!" seru Jruda yang mulai kewalahan menghadapi keroyokan anjing liar yang ganas ini.
Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu diam saja. Tetap duduk tenang tanpa bergeming sedikit pun juga. Jruda jadi heran, tapi tidak sempat memperhatikan dan berpikir banyak. Keroyokan anjing liar ini sudah membuatnya repot. Apalagi jumlahnya semakin banyak saja, meskipun tidak sedikit yang tewas terbabat pedangnya.
"Huh! Bisa habis napasku kalau begini!" dengus Jruda tersengal.
Jruda melirik sebuah pohon yang berada di dekatnya. Dikibaskan pedangnya cepat maka tiga ekor anjing menggerung terbabat pedang itu. Secepat kilat Jruda melompat ke atas, dan berputaran dua kali di udara. Tapi belum sempat mencapai dahan, tubuhnya sudah meluncur kebawah lagi. Padahal anjing-anjing hutan itu sudah menunggu sambil menggonggong memperlihatkan taringnya.
"Mati aku...!" Keluh Jruda.
Mendadak Jruda melihat sebuah benda meluncur deras ke arah kakinya. Maka dimanfaatkanlah benda itu, dan langsung ditotok dengan ujung jarinya. Jruda kembali melesat naik, dan hinggap di atas dahan pohon tinggi. Anjing-anjing liar itu ribut menggonggong di bawah pohon. Mereka berebut hendak naik, tapi tidak berhasil.
Jruda menarik napas panjang. Diliriknya sebuah serat kulit kayu yang tertancap cukup dalam di batang pohon ini. Kemudian dipandangi pemuda berbaju kulit harimau yang masih tetap duduk bersila. Di tangan kiri pemuda itu tergenggam sebatang kulit kayu kering. Jruda tahu, kalau kulit kayu kering itu tadi dilemparkan pemuda itu untuk menyelamatkan nyawanya.
"Diam saja di sana, jangan bergerak sedikit pun. Masukkan pedangmu ke dalam sarungnya," perintah pemuda berbaju kulit harimau itu pelan. Gerak bibirnya hampir saja tidak terlihat.
Suara yang begitu pelan, namun terdengar sangat jelas di telinga. Jruda tahu kalau pemuda itu berkata benar, dan dia menurutinya. Hatinya kagum juga dengan ilmu memindahkan suara yang dimiliki pemuda berbaju dari kulit harimau itu. Sungguh sempurna! Bahkan saat mengeluarkan suara, mulutnya tidak bergerak sama sekali.
Jruda yang nangkring di atas pohon, semakin keheranan. Ternyata pemuda berbaju kulit harimau itu tetap saja duduk bersila, meskipun ratusan ekor anjing hutan liar simpang siur disekitarnya. Anjing-anjing itu seperti tidak menghiraukan, atau mungkin tidak melihat. Binatang-binatang liar itu malah menunggui Jruda di bawah pohon.
"Kisanak! Kalau kau bisa mengendalikan binatang-binatang itu, usirlah dari sini!" seru Jruda
"Jangan banyak bicara. Suaramu menggoda mereka!" pemuda itu memperingati disertai pengerahan ilmu memindahkan suara.
Jruda langsung menggelinjang, karena peringatan itu menjadi kenyataan. Dua ekor anjing liar itu mencoba melompat ke atas. Tapi jatuh lagi sebelum sampai pada sasarannya. Jruda kontan diam. Matanya tidak berkedip memandangi binatang-binatang liar yang banyak mengelilinginya di bawah pohon ini.
Jruda duduk di dahan pohon tanpa bergerak sedikit pun. Anjing-anjing liar itu mulai menggerung tidak sabar. Sementara perut mereka sudah minta diisi, maka satu demi satu mulai meninggalkan tempat itu. Jruda memperhatikan binatang-binatang liar itu pergi. Agak lama juga, tapi akhirnya semua binatang liar itu pergi semua.
"Jangan turun dulu!" pemuda berbaju kulit harimau itu memperingatkan.
Jruda yang akan melompat turun, mengurungkan niatnya. Dan peringatan itu memang benar. Ternyata masih ada seekor lagi yang belum meninggalkan tempat ini..Binatang liar itu mengelilingi pohon tempat Jruda masih berada di atasnya. Binatang buas itu menggerung-gerung. Sebentar dia mendongak ke atas, lalu berjalan lemah gemulai meninggalkan tempat itu. Jruda menunggu sampai binatang liar itu tidak terlihat lagi, tapi masih tetap di dahan pohon itu. Dipandangi pemuda berbaju kulit harimau yang masih tetap duduk bersila dengan tenang.
"Kisanak, boleh aku turun sekarang?" tanya Jruda.
"Kalau takut, jangan turun," sahut pemuda itu kalem.
"Kampret!" gerutu Jruda.
Tanpa menunggu waktu lagi, Jruda melompat turun. Ringan sekali gerakannya. Dan begitu kakinya menapak tanah, tidak ada suara sedikit pun yang ditimbulkan. Dia melangkah mendekati pemuda yang masih duduk tenang.
"Kisanak! Siapa kau sebenarnya?" tanya Jruda mulai ramah.
"Perlukah itu?" pemuda itu malah balik bertanya seraya bangkit berdiri.
"Kau sudah menyelamatkan nyawaku, maka aku berhutang padamu. Sudah sepantasnya kita saling mengenal. Aku Jruda, asalku dari Desa Kiting," Jruda lebih dahulu memperkenalkan namanya.
"Nama yang bagus."
Pemuda berbaju dari kulit harimau itu melangkah pelahan-lahan meninggalkan tempat itu. Jruda mengikuti, dan mensejajarkan langkah di sampingnya.
"Kau belum menyebutkan namamu, Kisanak," desak Jruda.
"Bayu. Panggil saja aku Bayu," sahut pemuda yang memakai baju dari kulit harimau itu kalem, sambil terus mengayunkan langkahnya.
"Kau tentu bukan dari Desa Kiting. Apa kau seorang pendekar?" tebak Jruda.
"Hanya pengembara yang kebetulan lewat," sahut Bayu tetap kalem.
"Ilmu apa yang kau gunakan untuk menghalau anjing-anjing liar itu?" tanya Jruda ingin tahu.
"Tidak ada ilmu. Aku hanya diam saja tanpa melakukan apa-apa," sahut Bayu.
"Mustahil. Binatang-binatang itu seperti buta, tidak melihatmu," Jruda tidak percaya.
Bayu hanya tersenyum saja. Dia tadi memang menggunakan ilmu 'Halimun' yang diperoleh dari seorang pertapa tua. Bayu mampu meningkatkan ilmu itu dan menyempurnakannya dalam waktu tidak lama. Bahkan bisa menyamarkan diri pada tujuan tertentu yang dipilihnya. Seperti terhadap anjing-anjing hutan itu. Binatang-binatang liar itu tidak bisa melihatnya, bahkan tidak bisa mencium bau badannya.
Tapi karena ilmu itu tidak ditujukan pada Jruda, maka laki-laki yang masih kelihatan muda itu masih bisa jelas melihatnya. Tadinya Bayu ingin melindungi Jruda dengan ilmunya. Tapi sikap Jruda yang menentang, membuat ilm 'Halimun' tidak ada kekuatan.
Memang aneh. Ilmu itu hanya bisa digunakan jika tidak ada tantangan. Bahkan Bayu bisa menyamarkan seseorang agar tidak terlihat, asalkan orang itu pasrah dan tidak menentangnya. Kedua laki-laki itu terus berjalan tanpa berkata-kata lagi. Meskipun Jruda masih penasaran, tapi tidak lagi mendesak. Dia tahu watak seorang pendekar yang selalu merendah.
Suasana di Padepokan Mega Kiting tampak tenang. Eyang Paladi tampak tengah duduk-duduk di beranda depan bersama sepuluh orang murid-murid pilihannya. Mereka berbincang-bincang tentang suasana Desa Kiting yang semakin kacau keadaannya. Sudah banyak orang yang melihat bahwa yang membuat neraka di desa ini ada dua orang. Mereka mengenakan topeng berbentuk muka babi!
Orang misterius itu semakin sering berkeliaran di malam hari, dan tidak takut akan bentrok dengan murid-murid Padepokan Mega Kiting. Tidak sedikit murid padepokan itu yang tewas. Tentu saja ini membuat Eyang Paladi semakin gundah. Sampai saat ini dia belum bisa menemukan dua orang misterius itu.
Saat Eyang Paladi dan sepuluh orang murid utamanya sedang berbincang-bincang, tiba tiba seorang muridnya datang tergopoh-gopoh. Seluruh tubuhnya penuh debu, dan berkeringat, napasnya tersengal, langsung jatuh berlutut di tangga beranda. Eyang Paladi bergegas bangkit dan menghampiri.
"Ada apa?" tanya Eyang Paladi. ,
"Celaka, Eyang. Mereka menjarah rumah Paman Gering...," lapor anak muda itu tersendat.
Eyang Paladi tidak berkata-kata lagi, langsung melompat cepat bagai kilat. Sepuluh orang murid utamanya bergegas mengikuti. Di malam yang gelap itu, Eyang Paladi beriari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dia tahu, arah mana yang harus ditempuh. Paman Gering adalah orang yang amat dekat dengannya. Dia termasuk saudara sepupu pendiri Padepokan Mega Kiting ini.
"Mundur...!" seru Eyang Paladi begitu tiba didepan rumah Paman Gering.
Sekitar delapan orang murid laki-laki tua berjubah putih itu berlompatan mundur. Tampak di sekitar halaman rumah yang tidak begitu luas, tergeletak tidak kurang dari enam mayat. Darah bercucuran dari tubuh-tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi itu.
Eyang Paladi melangkah menghampiri dua orang berbaju gelap, yang wajahnya tertutup topeng berbentuk muka babi. Kedua orang itu saling berpandangan sejenak, kemudian menggeser kakinya lebih merapatkan jarak. Eyang Paladi berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi.
"Apa maksud kalian membuat resah penduduk desa ini?!" tanya Eyang Paladi tegas.
Kedua orang itu tidak membuka suara sedikit pun. Bahkan bergerak saja tidak. Namun dari bola mata yang tersembunyi di balik topeng, sudah dapat dipastikan kalau mereka merencanakan untuk melarikan diri.
"Siapa kalian sebenarnya? Dari mana kalian datang?" tanya Eyang Paladi lagi.
"Eyang, mereka tidak pernah bicara! Mungkin bisu," celetuk salah seorang murid yang tadi bertarung.
"Hm...," gumam Eyang Paladi pelahan. "Aku ingin tahu, apa benar kalian bisu?"
Setelah bergumam demikian, Eyang Paladi langsung melompat cepat bagaikan kilat. Namun secepat laki-laki tua itu melompat, secepat itu pula kedua orang itu melentingkan tubuhnya ke atas, dan langsung melesat kabur dengan arah yang berlawanan. Sejenak Eyang Paladi kebingungan, namun dengan cepat melompat mengejar salah seorang.
"Kejar yang seorang lagi!" seru Eyang Paladi keras.
Lima orang murid utama orang tua itu bergegas mengejar yang seorang, dan lima orang lagi mengikuti Eyang Paladi. Sedangkan murid-murid yang tadi bertarung, segera membereskan mayat-mayat yang bergelimpangan. Saat itu malam sudah demikian larut. Eyang Paladi berhenti berlari pada persimpangan jalan yang menuju ke tiga arah. Orang yang dikejarnya menghilang di tempat ini.
"Huh!" dengus Eyang Paladi kesal.
Lima orang muridnya tiba dan segera menghampiri. Mereka semua melayangkan pandang, berusaha menembus kegelapan malam. Tapi tak terlihat satu bayangan pun berkelebat Lagi-lagi Eyang Paladi mendengus kesal, karena buruannya lenyap begitu saja tanpa meninggalkan bekas sedikit pun.
"Kalian tetap mencari, aku menunggu di padepokan," perintah Eyang Paladi.
"Baik, Eyang," sahut lima orang muridnya itu seraya membungkuk memberi hormat. Eyang Paladi melangkah cepat meninggalkan lima orang muridnya. Tapi belum jauh melangkah, datang tema orang yang mengejar ke arah lain. Mereka melaporkan kalau buruannya hilang. Eyang Paladi mendengus kesal.
"Kalian cari terus. Kalau ada perkembangan, cepat laporkan padaku!" perintah Eyang Paladi. Kelima orang muridnya itu menjura memberi hormat, kemudian kembali mencari buruan yang hilang begitu saja bagai hantu.
Eyang Paladi kembali melangkah cepat menuju padepokannya. Dia singgah dulu di rumah Paman Gering. Ada sedikit kelegaan karena tidak satu pun keluarga Paman Gering yang tewas. Hanya Paman Gering saja menderita luka ringan di bahu kanannya. Tapi luka itu sudah terbalut kain putih.
Eyang Paladi kembali ke padepokannya setelah memastikan semuanya selamat. Hanya murid-muridnya saja yang jadi korban malam ini. Dan itu berarti sudah lebih dari separuh murid Padepokan Mega Kiting yang tewas, setelah munculnya si pembunuh misterius bertopeng muka babi!
Eyang Paladi tersentak kaget begitu baru saja melangkah menaiki undakan beranda rumah Padepokan Mega Kiting. Di ambang pintu rumah utama padepokan itu sudah berdiri dua anak muda. Yang seorang laki-laki, dan seorang lagi perempuan berwajah cukup cantik. Mereka adalah Pramana dan adiknya yang bernama Rawuni. Eyang Paladi kembali melangkah menatap undakan itu. Dihenyakkan tubuhnya di kursi kayu berukir.
"Eyang kelihatan susah. Ada apa?" tegur Rawuni.
"Tidak ada apa-apa," sahut Eyang Paladi ringan.
"Aku tahu apa yang terjadi, Eyang," kata Rawuni.
"Rawuni...!" sentak Pramana. Tapi ucapan Rawuni sudah membuat Eyang Paladi menoleh menatap kedua cucunya itu. Rawuni menatap kakaknya tajam. Tidak sedikit pun ada rasa gentar di hatinya melihat tatapan mata pemuda itu.
"Apa yang kau ketahui, Rawuni?" tanya Eyang Paladi.
"Eyang gelisah karena...."
"Rawuni!" sentak Pramana. "Jangan mencampuri urusan Eyang Paladi."
"Kita berdua tahu, Kakang. Kenapa harus menutupi?"
"Apa yang kalian ketahui?" tanya Eyang Paladi mendesak.
"Tentang dua orang bertopeng muka babi," sahut Rawuni.
"Dari mana kalian tahu itu?" tanya Eyang Paladi agak terkejut juga.
Baru kemarin kedua cucunya ini tinggal di Padepokan Mega Kiting, tapi sudah mengetahui persoalan yang terjadi. Padahal setahu Eyang Paladi, mereka belum keluar dari padepokan, walaupun hanya untuk jalan-jalan. Eyang Paladi menatap kedua cucunya bergantian. Sedangkan yang ditatap hanya menundukkan kepalanya saja. Sesekali Pramana melirik adiknya. Sungguh sangat disesali sikap Rawuni yang dianggap berlaku lancang.
"Rawuni! Dari mana kau tahu tentang orang bertopeng muka babi itu?" desak Eyang Paladi.
"Hanya dengar saja, Eyang. Semua murid padepokan ini selalu membicarakan itu," sahut Rawuni.
"Hhh...!" Eyang Paladi menarik napas panjang.
"Hari sudah larut, Eyang. Sebaiknya tidur, beristirahat," usul Pramana.
"Kalian tidurlah dulu. Aku masih menunggu murid-muridku," tolak Eyang Paladi.
Pramana menggamit tangan adiknya, lalu sama-sama melangkah masuk ke dalam. Sementara Eyang Paladi tetap duduk di kursinya, menunggu murid-muridnya yang tengah mengejar dua orang bertopeng muka babi.
Sementara Pramana menyeret Rawuni begitu sampai di kamarnya, sehingga gadis itu hampir jatuh. Pramana langsung menutup pintu kamarnya. Di pandanginya Rawuni dalam-dalam.
"Untuk apa kau katakan itu pada yang, Rawuni?!" tajam nada suara Pramana.
"Toh alasanku kuat, Kakang. Eyang juga bisa mempercayai alasanku," sahut Rawuni tidak kalah tajamnya.
"Tapi untuk apa...?!"
"Untuk apa...?! Hhh...! Seharusnya kau bisa menjawab sendiri, Kakang. Jangan berpikiran picik," Rawuni tersenyum sinis.
Pramana menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Tubuhnya berbalik, kemudian tangannya memukul dinding. Sebentar dia berbalik lagi, lalu melangkah menghampiri pembaringan. Dibanting tubuhnya di situ. Sedangkan Rawuni hanya memandangi saja. Pramana menatap jauh ke langit-langit kamarnya.
"Aku tidak mengerti, apa yang kau pikirkan, Rawuni. Tapi aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya satu yang kuinginkan, jagalah keselamatan diri kita masing-masing," kata Pramana pelan.
"Kau mulai tidak mempercayaiku, Kakang."
"Bukannya tidak mempercayaimu. Tapi kau harus ingat dan selalu harus ingat, Rawuni."
"Aku tidak pernah lupa, Kakang. Karena kita berada di sini, adalah untuk meneruskan cita-cita Ayah."
"Pergilah ke kamarmu," ujar Pramana seraya memejamkan matanya.
Rawuni membalikkan tubuhnya, kemudian melangkah mendekati pintu kamar ini. Tapi belum juga gadis itu membuka pintu, Pramana sudah memanggil lagi. Rawuni membalikkan tubuhnya, tidak jadi membuka pintu kamar ini.
"Ada apa lagi?" tanya Rawuni.
"Kau sudah tahu orang yang menggantungku?" tanya Pramana seraya memiringkan tubuhnya.
"Aku heran, mengapa kau bisa digantung seperti itu?"
Pramana memang sudah menceritakan peristiwa pahit di hutan pada adiknya, ketika akan menjemput Rawuni yang ingin juga tinggal di pesanggrahan ini. Pemuda itu jadi penasaran, karena belum dapat mengetahui orang itu sampai sekarang. Demikian pula orang yang sudah menolong membebaskannya.
Tapi Pramana kesal, karena orang itu malah mengejeknya. Bahkan menganggapnya seekor monyet yang terperangkap. Baginya, jelas itu suatu penghinaan yang harus dibalas dengan penggalan kepala. Tapi karena orang itu telah menolongnya, maka diurungkan niatnya untuk memenggal kepalanya.
"Jangan mengejekku, Rawuni. Si keparat itu licik! Curang! Menggunakan jebakan!" rungut Pramana menggerutu.
Rawuni mengangkat bahunya. Semuanya memang sudah diketahui dari cerita Pramana sendiri.
"Kau sudah tahu siapa orang itu, Rawuni?" tanya Pramana lagi.
"Belum. Tapi orang yang menolongmu bernama Bayu, atau dikenal sebagai Pendekar Pulau Neraka," sahut Rawuni.
"Pendekar Pulau Neraka...," gumam Pramana seraya menelentangkan tubuhnya kembali.
"Aku tahu hal itu dari salah seorang murid utama Padepokan Mega Kiting ini. Dari ciri-ciri yang kau katakan, dia bisa mengenalinya," kata Rawuni lagi.
"Dia pernah bertemu?"
"Belum. Tapi katanya nama Pendekar Pulau Neraka sudah demikian terkenal. Pendekar muda yang tangguh, dan sukar dicari tandingannya. Tapi sampai sekarang ini dia belum bisa dimasukkan dalam golongan mana pun. Tindakannya masih belum teratur. Yaaah..., termasuk kita juga. Aku sendiri belum yakin ke...."
"Rawuni...!" sentak Pramana kembali menggelimpang memandang adiknya.
"Maaf," ucap Rawuni cepat-cepat.
"Kau harus membiasakan diri untuk menyimpan rahasia, Rawuni."
"Aku minta maaf, Kakang. Kadang-kadang sukar sekali untuk mengunci mulut..."
"Seperti yang kau lakukan pada Eyang Paladi tadi!" rungut Pramana.
Rawuni hanya diam saja.
"Kembalilah ke kamarmu. Tidak enak kalau ada yang tahu kau ada di sini, meskipun kau adikku sendiri," ujar Pramana. Rawuni mengangkat bahunya, kemudian berbalik dan membuka pintu.
"Rawuni, cari keterangan tentang orang itu," kata Pramana tanpa membalik sedikit pun.
"Jangan khawatir, Kakang. Paling lambat lusa sudah bisa mengetahuinya," sahut Rawuni langsung melangkah keluar dan menutup kembali pintu kamar itu.
"Kau memang adikku yang baik, Rawuni," desah Pramana bergumam. "Tidak seharusnya aku menyeretmu dalam persoalan ini. Kau terlalu baik, polos, dan lugu."
Pramana menarik napas panjang-panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat Tubuhnya tetap berbaring, tapi matanya menerawang jauh menembus langit-langit kamar ini. Sementara malam terus merayap semakin jauh. Terdengar suara percakapan di depan. Begitu pelan dan sulit didengar. Tapi Pramana bisa mengenali suara Eyang Paladi. Hanya saja orang yang diajak bicara sulit untuk dikenali suaranya.
"Heh...! Aku seperti mengenal suara itu?" Pramana tersentak bangkit dari pembaringan.
Tiba-tiba saja bisa dikenali suara itu, tapi sukar untuk mengingatnya. Kapan dan di mana pernah mendengarnya. Terlalu pelan dan samar-samar. Pramana berusaha menajamkan telinganya, tapi percakapan itu sudah tidak terdengar lagi. Sunyi...! Pramana kembali menghenyakkan tubuhnya, berbaring menatap langit-langit kamar.
"Hmmm..., siapa yang bicara dengan Eyang Paladi? Sepertinya pernah kukenal suaranya...," gumam Pramana dalam hati. "Siapa, ya...?"
Pagi-pagi sekali Pramana sudah menemui Eyang Paladi di balai latihan yang berada di samping kanan rumah utama Padepokan Mega Kiting ini. Eyang Paladi yang sedang melatih tenaga dalam, agak terkejut juga melihat kedatangan cucunya pagi-pagi begini. Dihentikan latihannya, lalu duduk bersila di lantai bangsal latihan ini.
"Duduk, Pramana," ujar Eyang Paladi.
Pramana menjura memberi hormat, kemudian duduk bersila di depan laki-laki pemimpin Padepokan Mega Kiting ini.
"Tidak biasanya pagi-pagi begini sudah bangun. Ada yang ingin kau bicarakan denganku, Pramana?" Eyang Paladi langsung menuju pada pokok persoalannya.
"Benar," sahut Pramana singkat.
"Katakan saja. Di tempat ini tidak ada rahasia."
"Semalam aku mendengar ada tamu. Siapa dia, Eyang?" Pramana langsung saja pada pokok pembicaraannya.
"Kau mencuri dengar pembicaraanku, Pramana?" agak terkejut juga Eyang Paladi mendengar pertanyaan cucunya ini.
"Tidak begitu jelas. Tapi aku seperti pernah mendengar suara tamu itu. Yang jelas, bukan suara murid-murid di sini, Eyang," Pramana berhenti sebentar. "Bukan maksudku untuk usil, Eyang. Tapi aku seperti pernah mengenalnya. Barangkali saja bisa mengenal lebih jauh. Atau mungkin malah temanku sendiri."
"Dia Bayu, lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Sengaja kuundang ke sini untuk meminta bantuan mengatasi manusia bertopeng muka babi. Desa ini sudah seperti neraka, Pramana. Lebih dari separuh muridku tewas, dan semua penduduk semakin dicekam ketakutan. Terlebih lagi para kerabat keluarga pendiri padepokan ini."
"Bayu...," desis Pramana menggumamkan nama Pendekar Pulau Neraka.
Baru semalam Rawuni menyebut nama itu. Nama dari seseorang yang pernah menolongnya dari jeratan jaring jebakan di dalam hutan. Ternyata orang itu memang pendekar tangguh. Tidak mungkin Eyang Paladi meminta bantuannya kalau tidak memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Dan yang pasti, persoalan yang dihadapi sudah tidak mampu lagi ditanganinya sendiri.
"Kau kenal dengannya, Pramana?" tegur Eyang Paladi.
"Sekali pernah bertemu," sahut Pramana.
"Kalau ingin menemuinya, dia ada di bangsal belakang. Mungkin masih tidur," kata Eyang Paladi lagi.
"Nanti saja, Eyang. Aku ingin jalan-jalan dulu, melihat-lihat suasana di desa," tolak Pramana halus.
"Hati-hatilah. Kalau perlu, bawa beberapa orang muridku."
"Terima kasih, Eyang. Aku bisa jaga diri."
"Aku percaya padamu, Pramana. Tapi aku tidak ingin melibatkan dirimu dan adikmu dalam kemelut ini."
"Mudah-mudahan tidak," sahut Pramana seraya bangkit berdiri.
Pramana menjura memberi hormat, kemudian berbalik melangkah keluar dari bangsal latihan ini. Sementara Eyang Paladi kembali melanjutkan latihannya. Tapi belum juga jauh berlatih, muncul seorang pemuda berbaju dari kulit harimau. Pemuda itu membungkukkan tubuhnya sedikit dan duduk di depan Eyang Paladi.
"Aku lihat ada yang baru keluar dari sini," kata pemuda itu.
"Cucuku, Bayu," sahut Eyang Paladi.
"Hmmm...," pemuda berbaju kulit harimau yang memang tidak lain adalah Bayu si Pendekar Pulau Neraka itu hanya bergumam kecil.
"Ada apa? Kau pernah bertemu dengannya?" tanya Eyang Paladi melihat raut wajah Pendekar Pulau Neraka agak berubah.
"Sekali. Tapi rasanya tidak penting," sahut Bayu.
"Kalau begitu, ada apa kau ke sini menemuiku pagi-pagi begini?"
"Hanya ingin lebih jelas lagi, Eyang," sahut Bayu.
"Ya.... Semua memang harus dijelaskan dari awal kepadamu, meskipun aku yakin kau sudah menyelidiki terlebih dahulu sebelum menemuiku semalam. Tapi aku sungguh berterima kasih karena kau bersedia membantuku. Juga membantu mengeluarkan penduduk desa ini dari kobaran api neraka," kata Eyang Paladi. Bayu hanya tersenyum saja.
Dua buah bayangan terlihat berkelebat cepat dan menyelinap ke tiap rumah-rumah penduduk Desa Kiting, lalu berhenti di belakang sebuah rumah yang tidak begitu besar. Mereka saling bertatapan sebentar, lalu salah seorang melangkah pelahan mendekati pintu belakang yang sedikit terbuka. Pelahan sekali tangannya mendorong pintu itu. Suara berderik terdengar dari pintu yang terkuak pelahan.
"Siapa itu...?" terdengar suara dari dalam. Tak ada sahutan sedikit pun. Orang berbaju serba gelap yang wajahnya tertutup topeng muka babi itu mengibaskan tangannya cepat, ketika tiba-tiba dari bagian dalam rumah ini muncul seseorang. Secercah cahaya melesat cepat bagai kilat ke arah orang yang baru muncul itu.
"Akh...!" terdengar suara pekikan tertahan. Seketika itu juga sesosok tubuh terjungkal dengan dada berlubang. Ternyata itu adalah sosok tubuh wanita setengah baya, yang kemudian langsung tewas seketika. Dari dadanya mengalir darah segar.
"Ibu...!" terdengar jeritan melengking.
"Hih!" Orang berbaju gelap yang wajahnya tertutup topeng itu kembali mengibaskan tangannya. Secercah cahaya kembali berkelebat cepat Cahaya itu terpancar dari sebilah pisau kecil yang tipis. Tapi orang yang menghambur ke arah mayat wanita setengah baya itu cepat menjatuhkan diri, sehingga pisau kecil itu lewat di atas tubuhnya.
Namun pisau kecil itu terus meluruk dan menancap dalam di dada seorang anak berusia sekitar delapan tahun yang baru saja terbangun dari dipan. Anak itu menjerit keras, dan langsung ambruk tidak bangun-bangun lagi.
Orang berbaju gelap yang wajahnya tertutup topeng itu, melompat cepat. Langsung dihantamkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi pada orang-orang yang baru terbangun. Kembali dua jeritan melengking terdengar, disusul tergeletaknya dua sosok tubuh.
Yang seorang masih kecil, sedangkan seorang lagi sudah menginjak remaja. Orang itu berbalik, kemudian menatap seorang wanita muda berusia sekitar delapan belas tahun yang tergeletak pingsan di samping mayat wanita setengah baya. Dia sudah mengangkat tangannya hendak melontarkan satu pukulan, tapi....
"Tahan!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara cegahan, muncul seorang berbaju gelap dan wajahnya ditutupi topeng yang sama persis dengan orang yang sudah menewaskan empat orang dalam waktu singkat.
"Kita membutuhkan keterangannya. Biarkan dia hidup untuk beberapa saat saja," kata orang yang baru datang.
"Hmm.., baiklah."
Orang yang baru masuk tadi segera mengangkat tubuh wanita muda yang tergeletak pingsan, kemudian cepat sekali melompat keluar, diikuti yang seorang lagi. Kesunyian kembali menyelimuti seluruh rumah itu. Orang bertopeng yang melompat belakangan, sempat menyambar pelita dan melemparkannya ke dalam rumah. Suara letupan kecil terdengar, kemudian api kontan berkobar besar melahap isi rumah itu. Lidah api terus menjilat dinding yang terbuat dari belahan papan.
"Kebakaran...! Kebakaran...!"
Tidak berapa lama kemudian terdengar teriakan-teriakan ribut, kemudian terdengar kentongan bambu dipukul bertalu-talu. Sebentar saja di sekitar rumah itu sudah banyak orang. Tanpa ada yang memerintah, mereka berusaha memadamkan api yang semakin mengganas dengan menggunakan peralatan apa saja. Beberapa orang bersenjata golok di pinggang, menerobos masuk ke dalam. Mereka keluar lagi sambil membawa tubuh-tubuh tak bernyawa lagi.
Jauh di suatu tempat di luar perbatasan Desa Kiting sebelah Timur, tampak dua orang berpakaian serba gelap tengah berdiri tegak memandangi gadis muda yang tergolek pingsan. Kedua orang bertopeng muka babi itu saling berpandangan.
"Sebaiknya kau kembali. Jangan sampai ada yang mencurigakan," usul salah seorang.
"Kalau ada yang menanyakanmu?"
"Bilang saja aku sedang berlatih di bukit. Katakan, kalau itu kebiasaanku! Selalu berlatih di tengah malam buta."
"Baiklah, aku pergi dulu. Tapi jangan terlalu lama di sini. Tempatnya tidak aman, sewaktu-waktu mereka bisa datang."
"Jangan khawatir. Justru kaulah yang harus dicemaskan."
"Sudahlah! Aku pergi dulu."
"Cepat! Sebelum ada yang menyadari."
"Baik."
Salah satu dari orang bertopeng muka babi itu segera melesat pergi. Begitu cepatnya melesat, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya telah lenyap dari pandangan. Sementara orang bertopeng yang satu lagi, duduk bersila di samping tubuh gadis yang belum juga sadarkan diri. Jari-jari tangan orang bertopeng itu bergerak lincah di beberapa bagian tubuh gadis itu, kemudian ditunggunya dengan sabar sambil berdiam diri.
Tidak lama berselang, gadis itu mulai siuman. Dia merintih lirih. Kepalanya bergerak menggeleng kanan dan ke kiri. Pelahan-lahan sekali dibuka kelopak matanya. Gadis itu kontan menjerit begitu melihat wajah persis seekor babi berada di dekatnya. Dia berusaha menggelinjang, tapi seluruh tubuhnya sukar digerakkan.
"Jangan takut! Aku tidak akan melukaimu kalau kau bersedia menjawab terus terang beberapa pertanyaanku," tegas orang bertopeng muka babi itu.
"Siapa kau?" agak bergetar suara gadis yang ternyata adalah Parti, putri sulung Dalaga.
"Sebut saja aku sesuka hatimu. Aku tidak punya nama," sahut orang bertopeng itu.
"Kau.... Kau yang membunuh keluargaku! Kau kejam...! Pembunuh...!" Parti berusaha melepaskan totokan orang itu, tapi sungguh kuat totokan itu. Parti memang pernah belajar ilmu olah kanuragan dari ayahnya. Meskipun tidak begitu tinggi, tapi pengerahan hawa murni dan tenaga dalam terus dilatihnya setiap hari.
"Makilah sepuasmu, Manis. Toh sebentar lagi kau akan menyusul yang lain ke neraka," ujar orang bertopeng itu kalem.
Parti terdiam membisu. Bola matanya menatap tajam, lurus ke bola mata yang cukup tersembunyi di balik topeng bermuka babi itu. Pelahan-lahan rasa takutnya mulai hilang. Timbul kebencian dan dendam karena mengenali orang bertopeng inilah yang membunuh ayahnya. Bahkan malam tadi baru menewaskan semua adik dan ibunya.
"Apa yang kau ingin ketahui dariku?" tanya Parti mencoba mengalah. Disadari kalau kondisinya saat ini tidak memungkinkan untuk berdebat dan berkeras kepala.
"Katakan, di mana Jruda berada?" tanya orang bertopeng itu.
"Aku tidak tahu," sahut Parti.
"Jangan coba-coba berdusta! Aku tahu kau keponakan Jruda. Di mana dia sekarang?!" bentak orang itu mulai gusar.
"Aku tidak tahu!" sahut Parti.
"Rupanya kau keras kepala juga, Manis. Baiklah. Mungkin bisa mengaku dengan caraku ini."
"Heh...! Apa yang kau lakukan?!"
Bret!
"Au...!" Parti terpekik kaget.
Kasar sekali orang bertopeng itu merenggut baju bagian dada Parti, sehingga koyak. Dada yang membusung indah itu terbuka lebar tanpa penutup lagi. Wajah gadis itu jadi pucat pasi. Dia berusaha melepaskan totokan di tubuhnya. Tapi, tetap saja tidak berhasil meskipun sudah mengerahkan hawa murni di dalam tubuhnya. Dengan tenaga dalam pun tidak kunjung berhasil juga.
"Jangan...!" pekik Parti.
"Katakan, di mana pamanmu berada?" dingin nada suara orang bertopeng itu.
"Aku tidak tahu.... Aku mohon, lepaskan aku...," Parti mulai merintih memohon belas kasihan.
Bret!
"Auwh...!" kembali Parfi memekik tertahan.
Tubuh gadis itu semakin lebar terbuka. Air mata mulai berlinang membasahi pipinya yang ranum. Hampir seluruh tubuh Parti terbuka, sehingga menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya yang indah terbungkus kulit putih mulus tanpa cacat. Hanya bagian pinggul ke bawah saja yang masih tertutup. Tapi sepasang paha yang gempal sudah mencuat keluar.
"Aku tidak main-main, Manis. Tubuhmu menggairahkan sekali. Katakan, di mana pamanmu sekarang berada!"
"Tidak..., jangan lakukan itu...," rintih Parti, semakin deras air matanya mengalir.
Jari-jari tangan orang bertopeng itu mulai bermain-main di tubuh yang berkulit putih mulus itu. Sementara Parti merintih memohon belas kasihan. Tapi rintihannya malah membuat orang bertopeng itu semakin liar. Direnggutnya kain yang menutupi bagian pinggul ke bawah. Kembali Parti memekik dan menangis, merintih memohon agar orang itu melepaskannya.
"Ah...," orang itu mendesah.
Tampak bola mata yang terlindung di balik topeng itu berkilat menjilati tubuh yang terbuka tanpa penutup lagi. Tangannya semakin liar merayapi lekuk-lekuk tubuh yang menggiurkan itu. Parti memejamkan matanya ketika jari tangan orang itu menyentuh bagian paling berharga pada tubuhnya.
"Jangan lakukan itu.... Aku mohon jangan," rintih Parti.
"Terlambat Manis," desah orang itu.
Keputus asaan sudah menghinggapi hati gadis yang sudah tidak berdaya lagi itu. Tubuhnya tertotok, sukar untuk digerakkan. Sedangkan orang bertopeng itu semakin liar saja menggerayanginya. Air mata semakin deras mengalir. Dan Parti tidak sanggup lagi membuka matanya, seakan-akan sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi pada dirinya.
"Akh...!" tiba-tiba saja orang bertopeng itu memekik keras tertahan.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu tubuh orang bertopeng itu terpental, langsung menghantam sebatang pohon hingga tumbang. Parti membuka matanya, dan langsung mendelik begitu melihat seorang pemuda berbaju kulit harimau tahu-tahu sudah berdiri didekatnya. Pemuda itu memungut kain yang teronggok di tanah, lalu menutupi tubuh gadis itu. Dibukanya totokan jalan darah di tubuh Parti, sehingga gadis itu bisa bergerak kembali. Bergegas Parti bangkit, dan cepat melilitkan kain itu ke tubuhnya.
Sementara itu orang bertopeng muka babi segera melompat bangkit berdiri. Dia menggeram keras. Sepasang bola matanya memerah menatap tajam pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Iblis keparat..!" geram orang bertopeng itu.
"Kurasa kaulah iblis itu," dingin nada suara pemuda berbaju kulit harimau.
"Phuih! Mampus kau! Hiyaaat..!"
Pemuda berbaju kulit harimau yang memang adalah Pendekar Pulau Neraka itu menggeser kakinya sedikit ke samping begitu orang bertopeng itu melompat menerjang. Dan saat pukulan orang bertopeng muka babi luput, Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangannya ke depan, langsung menghantam perut lawannya dengan keras.
"Hugh!" orang itu mengeluh pendek. Tubuhnya sedikit membungkuk. Selagi tubuhnya terbungkuk, Pendekar Pulau Neraka melayangkan satu pukulan ke wajahnya. Orang bertopeng muka babi itu memekik tertahan. Kepalanya terdongak ke atas. Topengnya pun terlepas, mental ke udara.
"Keparat kau, Bayu!" geram orang itu.
Dan selagi Pendekar Pulau Neraka agak terpana, orang itu melesat cepat melarikan diri. Memang, tidak sempat lagi untuk dikejar, karena bayangan orang itu lenyap seketika. Bayu memungut topeng muka babi yang tergeletak ditanah. Sebentar dipandangi benda yang selama ini menjadi momok menakutkan seluruh penduduk Desa Kiting. Bayu membalikkan tubuhnya, menghadap Parti yang berdiri saja dengan tubuh yany sudah terbungkus selembar kain.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Bayu seraya melangkah mendekati gadis itu.
"Tidak. Tidak apa-apa, terima kasih," sahut Parti.
"Aku Bayu," Pendekar Pulau Neraka memperkenalkan diri.
"Parti," gadis itu juga memperkenalkan diri.
"Sebaiknya kau cepat pulang. Di mana rumahmu? Mari kuantar kau pulang," kata Bayu lagi.
"Aku dari Desa Kiting. Rasanya tidak jauh dari sini."
"Aku tahu desa itu."
Parti mengayunkan kakinya pelahan-lahan. Dan Pendekar Pulau Neraka juga berjalan di samping gadis itu. Tangannya menenteng topeng berbentuk wajah babi berwarna biru tua, hampir kehitaman. Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi. Terlebih lagi Parti. Gadis itu masih dihinggapi berbagai macam perasaan setelah terlepas dari cengkeraman orang bertopeng muka babi. Sedangkan Bayu sendiri belum ingin banyak tanya. Bisa dipahami kebisuan gadis di sebelahnya.
Bayu melemparkan topeng berbentuk muka babi ke depan Jruda. Laki-laki berbaju putih yang sudah kumal itu terkejut. Dipungutnya topeng itu, lalu dipandanginya beberapa saat. Kemudian diangkat kepalanya, langsung menatap Pendekar Pulau Neraka yang berdiri saja di depannya.
"Dari mana kau dapatkan ini, Bayu?" tanya Jruda.
"Yang punya," sahut Bayu kalem.
"Kau bertemu si topeng keparat itu...?!" Jruda terhenyak setengah tidak percaya.
"Ya, Tapi dia sempat kabur. Hanya benda ini yang tertinggal," sahut Bayu.
"Bayu, kau lihat wajahnya?" tanya Jruda lagi.
Bayu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Malam itu memang gelap sekali. Apalagi orang bertopeng itu sangat cepat gerakannya. Sukar untuk melihat wajah orang itu yang sesungguhnya.
Jruda juga terdiam. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Kembali dipandangi topeng berbentuk muka babi di tangannya. Manusia bertopeng inilah yang membuat petaka bagi seluruh penduduk Desa Kiting. Terutama pada keluarga dan sanak saudaranya. Entah sudah berapa nyawa melayang.
Jruda mengangkat kepalanya menatap Pendekar Pulau Neraka. Sejak pertemuan pertama kali, mereka memang selalu berhubungan. Terlebih lagi saat ini, Bayu memang diminta Eyang Paladi untuk menangkap manusia bertopeng yang telah menjadikan Desa Kiting bagai neraka. Sedangkan Jruda sendiri sudah menceritakan semuanya.
"Bayu! Kau diminta Eyang Paladi untuk mencari manusia bertopeng muka babi ini. Tentunya Eyang Paladi memerintahkanmu untuk menangkapku...," kata Jruda pelan suaranya.
"Tidak. Sedikit pun Eyang Paladi tidak menyebut-nyebut namamu," sahut Bayu.
"Lucu...!"
"Kenapa?"
"Justru Eyang Paladi yang mencurigaiku. Bahkan juga mengusirku dari Desa kiting. Memang tidak secara kasar, tapi sudah membuatku sakit."
"Kulihat Eyang Paladi adalah orang yang bijaksana. Aku yakin dia punya maksud tersendiri, sehingga memintamu meninggalkan desa itu untuk sementara," Bayu mencoba menengahi.
"Aku kenal Eyang Paladi sejak aku masih kecil dulu. Puluhan tahun aku mengenalnya. Sedangkan kau baru beberapa hari saja. Aku tahu persis siapa dia, Bayu...," ada sedikit tekanan pada nada suara Jruda.
Bayu mengerutkan keningnya. Dirasakan tekanan suara Jruda tadi bernada kecewa. Ada sesuatu yang tertahan di dalam hatinya. Dan Pendekar Pulau Neraka bisa merasakannya, walaupun belum tahu maknanya. Yang jelas, Bayu merasakan peristiwa yang terjadi di Desa Kiting ini bagai lingkaran rantai setan. Saling berkait, dan tidak mudah dipisah-pisahkan. Sukar dicari penyelesaiannya.
Saat Pendekar Pulau Neraka disibukkan oleh pikirannya, Jruda mengeluarkan sebuah rantai berwarna merah menyala. Rantai itu saling bertaut, sehingga membentuk lingkaran yang menyatu. Cincin-cincin rantai itu berjumlah sepuluh buah. Jruda meletakkan rantai itu di tanah, tepat di depan Pendekar Pulau Neraka.
"Keparat itu selalu meninggalkan benda ini pada korban-korbannya," kata Jruda.
Bayu hanya melirik sedikit pada benda yang pernah dilihatnya dari Eyang Paladi. Laki-laki tua pemimpin Padepokan Mega Kiting juga menyimpannya. Bahkan sudah menceritakan hal itu dengan jelas kepada Pendekar Pulau Neraka.
"Berhari-hari aku mencoba memecahkan arti rantai itu," sambung Jruda lagi.
"Sudah diperoleh pemecahannya?" tanya Bayu ingin tahu.
"Belum," sahut Jruda.
"O..."
"Tapi aku sedikit memahami maksudnya."
"Apa?"
"Jumlah rantai yang sepuluh. Itu pertanda jumlah keluargaku. Sampai sekarang ini sudah tujuh orang yang tewas. Dan yang telah kudengar, dua orang sudah meninggalkan Desa Kiting. Aku sendiri tidak tahu kapan dan ke mana perginya. Yang kuketahui, mereka pergi waktu malam," jelas Jruda.
"Sepuluh.... Tujuh tewas, dua pergi...," gumam Bayu pelan. "Itu berarti tinggal kau sendiri yang masih ada di sekitar desa ini,"sambung Bayu
"Benar," sahut Jruda.
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Semua korban adalah sanak saudaraku, Bayu. Memang ada beberapa penduduk dan murid Padepokan Mega Kiting yang menjadi korban. Tapi itu bukan tujuannya karena beberapa penduduk dan murid Padepokan Mega Kiting memergoki dan berusaha menangkapnya. Yang sebenarnya diincar orang bertopeng muka babi itu hanyalah keluarga dan sanak saudaraku. Hhh...! Aku sendiri masih belum mengerti, untuk apa dia membantai habis semua saudaraku...?" ada sedikit keluhan pada nada suara Jruda.
Bayu terdiam. Keluhan Jruda membuat benaknya bekerja keras. Memang satu hal yang tidak mungkin, jika seseorang membunuh tanpa alasan yang jelas. Bayu jadi teringat gadis yang ditolongnya dari cengkeraman nafsu iblis orang misterius itu. Tidak banyak yang diceritakan gadis itu, dan nampaknya Parti tidak tahu banyak tentang peristiwa yang sedang terjadi diDesa Kiting. Tapi gadis itu sempat mengatakan kalau semua keluarganya tewas. Sedangkan masih ada satu yang hidup, tapi entah di mana.
"Jruda, apakah ada keluargamu yang bernama Parti?" tanya Bayu.
"Oh! Di mana kau bertemu dengannya?" Jruda tersentak kaget.
"Semalam, di hutan di kaki bukit ini. Dia nyaris diperkosa. Ibu dan adik-adiknya tewas semalam..."
"Biadab keparat...!" desis Jruda menggeram.
"Dia sudah tenang di rumahnya. Ada Eyang Paladi yang menjaga," lanjut Bayu.
"Aku harus menemuinya. Hanya dia yang masih bisa selamat. Keluargaku tidak boleh musnah. Harus ada yang hidup!" tegas kata kata Jruda.
"Bagaimana kau akan menemuinya? Kau sendiri mengatakan kalau tidak akan kembali lagi ke desa itu sebelum orang bertopeng muka babi itu lenyap."
"Bayu! Bisakah kau membawa Parti ke sini? Aku mohon, Bayu. Bukannya takut tapi aku masih menghormati Eyang Paladi. Aku tidak ingin kembali sebelum manusia keparat itu lenyap dari muka bumi."
"Tidak terlalu sulit."
"Terima kasih, Bayu."
Pendekar Pulau Neraka hanya tersenyum saja.
Malam telah demikian larut. Sengaja Bayu berada di rumah Parti. Gadis itu tampak lelap tertidur di pembaringan. Bayu keluar dari kamar itu, dan langsung menuju ke belakang. Bagaikan seekor burung, Pendekar Pulau Neraka itu melesat naik ke atas atap. Dan pada saat itu, terlihat dua bayangan berkelebat masuk ke dalam rumah.
"Aaa...!" tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam rumah.
"Hup!" Bayu langsung melompat turun. Tepat ketika kakinya menjejak tanah, sebuah bayangan gelap berkelebat menerjangnya. Pendekar Pulau Neraka itu membanting tubuh ke tanah, lalu dengan cepat melompat masuk menerjang jendela. Tampak di dalam kamar, Parti tengah berusaha memberontak dari seretan seseorang yang berbaju gelap dan seluruh kepala tertutup kain hitam.
"Hiaaat...!"
Bayu kontan melompat, dan menghantamkan tendangan ke punggung orang itu. Orang berbaju gelap itu terjungkal keras menabrak dinding hingga jebol. Cekalannya pada tangan Parti terlepas. Bayu bergegas membangunkan gadis yang telah menangis sesenggukan.
"Kau diam di sini, jangan ke mana-mana," kata Bayu memperingatkan. Parti hanya mengangguk saja.
"Hup!" Bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka itu melesat keluar. Tapi belum juga kakinya menjejak tanah, sudah disambut oleh dua orang berpakaian gelap. Jelas terlihat yang seorang mengenakan topeng berbentuk wajah babi. Sedangkan seorang lagi hanya mengenakan selubung kain berwarna biru gelap. Bayu melentingkan tubuhnya ke atas, melewati dua kepala itu. Dengan manis kakinya mendarat ditanah. Langsung diputar tubuhnya sambil dilayangkan satu tendangan berputar menyamping.
Dug! Bug!
Dua tubuh hitam berwajah tidak jelas, terpental tersapu tendangan yang keras bertenaga dalam tinggi. Pekikan-pekikan tertahan terdengar. Dua orang itu jatuh bergelimpangan di tanah. Bayu kembali melompat dan segera mengirimkan beberapa pukulan keras bertenaga dalam sangat tinggi. Bahkan bisa dikatakan mencapai taraf kesempurnaan. Tapi dua orang bertopeng itu masih mampu berkelit cepat.
Pukulan Pendekar Pulau Neraka menghantam tanah, hingga terbongkar membentuk lubang yang cukup dalam dan besar. Pendekar Pulau Neraka segera berbalik. Dimiringkan tubuhnya sedikit agak membungkuk, lalu dengan cepat tangan kanannya dikebutkan.
"Hiyaaa...!"
Wut!
Secercah cahaya keperakan melesat cepat dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Cahaya keperakan yang berasal dari senjata Cakra Maut itu segera melesat cepat bagai kilat menyambar tubuh orang yang mengenakan selubung kain.
"Awas...!" terdengar seruan peringatan.
"Hap...!"
Orang berselubung kain itu cepat membanting diri ke tanah, tapi ujung Cakra Maut masih sempat merobek bahu kanannya. Terdengar pekikan tertahan, dan orang itu bergelimpangan, kemudian cepat-cepat bangkit berdiri. Sedangkan yang seorang lagi melompat cepat, menyambar tubuh temannya. Seperti kilat, mereka melesat kabur demikian cepat. Bayu tidak sempat lagi mengejar. Dihentakkan tangan kanannya ke atas, maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanannya.
Bayu bergegas masuk ke dalam rumah, langsung menuju kamar Parti. Gadis itu masih menangis, duduk di tepi pembaringan. Pendekar berbaju kulit harimau itu menghampiri dan duduk di samping gadis itu. Direngkuhnya bahu Parti dan dibiarkan gadis itu menangis dalam pelukannya.
"Mereka sudah pergi. Kau tidak apa-apa, Parti?" lembut suara Bayu.
Parti masih sulit menjawab, tapi kepalanya mengangguk. Diangkat wajahnya dan ditatapnya pemuda yang masih merengkuhnya dalam pelukan. Pelahan gadis itu melepaskan pelukan Bayu, dan menyusut air mata dengan ujung bajunya.
"Mereka pasti datang lagi, Kakang," ujar Parti di sela isak tangisnya.
"Bukan malam ini," sahut Bayu.
"Kakang...," terputus suara gadis itu.
"Apa yang ingin kau katakan? Katakanlah," pinta Bayu tetap lembut suaranya.
"Jangan tinggalkan aku, Kakang. Aku takut sendirian."
"Kau tidak sendirian, karena masih ada pamanmu. Dia menunggumu, Parti," jelas Bayu.
"Paman Jruda...?" tebak Parti langsung.
"Benar."
"Paman Jruda masih hidup?"
"Tentu saja."
"Oh..., di mana sekarang?"
Kesedihan Parti langsung hilang seketika itu juga. Seberkas cahaya harapan muncul dalam sinar matanya, kala mendengar pamannya masih hidup. Semula disangka kalau tinggal dirinya yang tersisa. Semua sanak saudaranya sudah tewas terbantai dua orang bertopeng muka babi. Parti benar-benar gembira saat ini.
"Berkemaslah. Sekarang juga kau akan kubawa ke sana," kata Bayu seraya bangkit berdiri.
"Baik, sebentar."
Gadis itu bergegas membereskan beberapa potong pakaian, kemudian membungkusnya dengan selembar kain yang sudah lusuh, sehingga bisa dijinjing. Tidak seberapa berat. Hanya buntalan baju saja yang dapat dibawa, ditambah sedikit bekal peninggalan orang tuanya. Bayu melangkah keluar, diikuti gadis itu.
"Maaf, aku harus menggendongmu," kata Bayu setelah berada di depan pintu rumah ini.
"Eh!" Parti terkejut.
Tapi belum sempat gadis itu berkata sesuatu, Pendekar Pulau Neraka sudah menyambar tubuhnya, langsung melesat cepat menembus kegelapan malam. Sekejap saja bayangan tubuh mereka lenyap tanpa bekas.
Suara ketukan pintu terdengar berulang-ulang. Eyang Paladi menunggu di depan pintu yang tertutup rapat. Kembali tangannya mengetuk pintu. Tidak lama kemudian terdengar ayunan kaki terseret mendekati pintu, maka pintu itu pun terbuka. Dari dalam muncul seraut wajah cantik berambut panjang terkepang menyampir ke bahu. Gadis itu membuka pintu lebar-lebar.
"Kenapa kakakmu, Rawuni?" tanya Eyang Paladi begitu melihat luka di bahu Pramana.
"Oh..., eh," Rawuni tergagap.
"Jatuh dari kuda, Eyang," buru-buru Pramana menjawab.
"Hm...," gumam Eyang Paladi tidak jelas.
Laki-laki tua berjubah putih itu melangkah masuk, seraya memandang jendela yang terbuka lebar. Kemudian ditatapnya wajah kedua cucunya. Tampak Rawuni hanya menundukkan kepala saja. Sedangkan Pramana terus memegangi bahunya yang masih mengucurkan darah. Eyang Paladi menghampiri Pramana, dan melihat luka di bahu pemuda itu. Dua kali diberikan totokan, maka darah berhenti mengalir seketika.
"Sejak tadi aku di luar rumah, tapi tidak melihat kau berkuda. Malam-malam begini mau apa berkuda?" nada suara Eyang Paladi terdengar curiga.
Pramana hanya diam saja. Tatapannya tertuju pada adiknya yang juga diam agak tertunduk. Rawuni bergegas melangkah menghampiri jendela untuk menutup jendela itu. Tapi Eyang Paladi lebih dulu mencegahnya. Laki-laki tua itu melangkah menghampiri jendela yang masih terbuka. Sebentar dia memandang keluar. Sedangkan kakak beradik itu saling berpandangan dengan bibir terkunci rapat.
"Apa yang terjadi padamu, Pramana?" tanya Eyang Paladi seraya membalikkan tubuhnya.
Pramana diam saja, tidak menjawab sedikit pun.
"Aku tahu kau tidak mungkin jatuh dari kuda, dari dulu kau pandai berkuda. Kenapa bahumu?" desak Eyang Paladi lagi.
"Tidak apa-apa, Eyang," sahut Pramana berusaha tenang.
"Kau bertarung?" desak Eyang Paladi.
"Tidak," sahut Pramana lagi.
"Puluhan tahun aku berkecimpung di dalam dunia persilatan, jadi aku tahu betul macam-macam luka. Tidak ada gunanya berbohong padaku, Pramana. Kau bertarung?" desak Eyang Paladi tetap tidak percaya jawaban cucunya.
"Hanya latihan denganku tadi, Eyang," celetuk Rawuni cepat-cepat.
"Hm...," Eyang Paladi menatap tajam pada Rawuni
Sedangkan Rawuni buru-buru menunduk Rasanya tidak sanggup balas menatap laki-laki tua itu. Dari sikap kedua cucunya, Eyang Paladi sudah bisa meraba kalau mereka menyimpan sesuatu. Dan luka di bahu Pramana sudah jelas akibat tergores senjata tajam. Meskipun tidak begitu dalam, tapi cukup membuatnya beristirahat selama dua hari.
"Kalian menyembunyikan sesuatu dariku...!" desis Eyang Paladi dingin.
Pramana dan Rawuni hanya diam saja. Mereka saling berpandangan beberapa saat. Sementara Eyang Paladi menatap tajam ke arah mereka secara bergantian. Dia begitu yakin kalau kedua cucunya menyembunyikan sesuatu. Entah apa yang disembunyikan. Yang jelas, di bahu yang terluka itu sudah menunjukkan kalau kedua cucunya mempunyai persoalan.
"Baiklah. Jika tidak berterus terang, kalian akan kukirim kembali pada pamanmu," tegas Eyang Paladi. "Aku paling tidak suka pada orang yang menyimpan rahasia di depanku." Setelah berkata demikian, Eyang Paladi langsung melangkah keluar. Laki-laki tua itu menutup kembali pintu kamar ini. Sedangkan Rawuni dan Pramana hanya saling tatap saja tanpa berkata-kata sedikit pun.
"Eyang kelihatan marah sekali, kakang," ujar Rawuni pelarian. Hampir tidak terdengar suaranya.
"Kau akan mengatakan padanya, Rawuni?" agak kurang senang nada suara Pramana.
"Sebaiknya memang berterus terang saja, Kakang," kata Rawuni tetap pelan.
"Tidak!" sentak Pramana tegas.
"Tapi..., Eyang Paladi pasti mengirim utusan ke Paman Darwala. Masalahnya, suatu saat pasti Eyang Paladi akan tahu juga."
"Tidak akan terjadi, Rawuni. Tidak ada utusan yang akan sampai ke sana. Percayalah padaku! Tidak ada yang dapat mengetahui semua ini, termasuk Eyang Paladi."
"Kakang...," agak bergetar suara Rawuni.
"Jangan gentar, Rawuni. Semua yang kita lakukan karena hak leluhur kita yang terinjak-injak. Ingat, Rawuni! Kita berdua sudah bersumpah di depan pusara Ayah. Apa pun yang terjadi, harus...."
"Kakang...," potong Rawuni cepat.
Pramana langsung diam. Pada saat itu, terdengar suara halus di atas atap kamar ini. Kedua kakak beradik itu terdiam karena mendengar suara langkah kaki yang begitu halus berjalan di atap. Dengan tatapan mata, mereka mengikuti suara langkah itu. Pramana menatap Rawuni ketika tidak lagi mendengar suara itu. Tepat berhenti di tengah-tengah atap kamar ini.
Pramana memberi isyarat dengan jari telunjuknya. Rawuni mengangguk mengerti. Seketika itu juga, dia melesat keluar melalui jendela kamar yang masih terbuka lebar. Pramana cepat melompat begitu Rawuni sudah berada di luar. Mereka langsung melesat ke atas atap.
"Siapa kau...!" bentak Rawuni keras, begitu kakinya menjejak atap.
Seseorang yang tubuhnya merapat di atap, terkejut setengah mati. Dia langsung menggelinjang, melompat bangkit. Tapi belum juga kakinya menjejak atap, Pramana sudah menerjang dari arah samping. Orang itu tidak sempat lagi untuk mengelak. Dihentakkan kedua tangannya ke samping, dan membentur tendangan Pramana yang mengandung kekuatan tenaga dalam cukup tinggi.
Dug!
"Akh...!" orang itu terpekik tertahan Seketika itu juga tubuhnya terpental jatuh ke bawah. Rawuni dan Pramana bergegas meluruk turun mengejar. Tapi orang itu lebih cepat lagi melesat kabur. Kedua anak muda cucu Eyang Paladi itu berusaha melompat mengejar. Tapi belum juga bertindak, tiba-tiba....
"Awas...!" seru Rawuni keras.
Orang itu berbalik cepat. Seketika dari tangan yang terkebut meluncur beberapa benda kecil memancarkan cahaya kemerahan. Benda-benda kecil bulat itu meluruk deras ke arah dua orang itu. Rawuni dan Pramana dibuat jumpalitan menghindari terjangan benda-benda bulat berwarna merah itu. Pada saat mereka tengah kewalahan, orang yang mengenakan baju warna merah muda itu melesat cepat melompati pagar kayu yang tinggi dan kokoh, langsung lenyap ditelan gelap.
"Phuih!" Pramana menyemburkan ludahnya kesal. Rawuni menghampiri kakaknya, menatap pemuda itu dalam-dalam. Pramana membalas tatapan adiknya.
"Sudah ada yang tahu, Kakang," kata Rawuni pelan.
"Huh!" Pramana hanya mendengus saja, kemudian berbalik. Dia melompat masuk ke dalam kamarnya melalui jendela. Rawuni masih berdiri beberapa saat memandang ke arah kepergian orang yang menghilang tanpa diketahui jejaknya. Gadis itu kemudian melompat masuk melalui jendela kamar kakaknya. Sesaat kemudian , suasana jadi sunyi sepi, tak terdengar suara sedikit pun. Tampak dari balik pagar kayu yang bagian ujung atasnya runcing, menyembul sebuah kepala. Seraut wajah yang masih muda dengan bibir menyunggingkan senyuman tipis, menatap langsung ke arah jendela kamar yang terlihat terang terbuka.
Pramana memacu kudanya cepat. Kuda hitam tinggi tegap itu beriari bagai dikejar setan. Debu mengepul membumbung tinggi ke udara, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu berkecepatan tinggi. Pandangan pemuda itu tidak lepas ke arah seekor kuda yang juga dipacu cepat di depannya.
"Hoi..., tunggu...!" seru Pramana keras. Tampak penunggang kuda di depan itu menoleh. Segera ditarik tali kekang kudanya, hingga berhenti seketika Pramana menghampiri, dan menghadang di depan. Kuda hitamnya mendengus-dengus kelelahan.
"Oh, Den Pramana. Ada apa Raden menghalangi jalanku?" tegur laki-laki muda salah seorang murid utama Eyang Paladi di Padepokan Mega Kiting.
"Kau akan ke Gunung Damalaya?" tanya Pramana langsung.
"Benar, Raden. Eyang Paladi yang memerintahkan," sahut orang itu.
"Untuk apa?"
"Tidak tahu, Raden. Eyang Paladi hanya menitipkan surat Katanya, harus disampaikan segera dan ditunggu jawabannya."
"Coba kulihat suratnya."
"Oh! Maaf, Raden...."
"Berikan surat itu!" bentak Pramana.
Murid Padepokan Mega Kiting itu jadi kebingungan, sebab dia sudah dipesan untuk tidak memberikan surat ini pada orang lain, kecuali pada Paman Darwala, ketua padepokan di Gunung Damalaya. Melihat utusan itu seperti tidak bersedia memberikan surat Eyang Paladi, Pramana semakin gusar.
"Aku bisa main kasar, tahu!" ancam Pramana.
"Maaf, Raden. Aku tidak bisa memberikan surat ini pada siapa pun."
"Setan...!" geram Pramana.
Seketika itu juga Pramana mencabut pedangnya. Bagai kilat, dikibaskan pedang itu ke arah leher urusan murid Padepokan Mega Kiting. Tapi yang dihadapi adalah murid utama pilihan Eyang Paladi. Dengan manis sekali ditarik kepalanya kebelakang, sehingga tebasan pedang Pramana luput dari sasaran. Namun pemuda itu sudah kembali mengibaskan pedangnya, kali ini menebas leher kuda utusan itu hingga buntung seketika.
"Hup!"
Utusan itu melompat begitu kudanya menggelepar rubuh dengan kepala buntung. Pramana juga bergegas melompat, kembali menyerang mempergunakan jurus-jurus pedang yang sangat dahsyat. Utusan itu tampak ragu-ragu menghadapinya. Dia hanya berlompatan dan berkelit menghindari setiap serangan yang datang. Tapi menghadapi kenyataan bahwa serangan itu tidak main-main, utusan itu jadi geram juga.
"Raden, hentikan...!" seru utusan itu mencoba menyadarkan Pramana.
"Kau tinggal pilih, surat itu atau nyawamu!" dengus Pramana.
"Uts!"
Utusan itu merundukkan kepalanya ketika pedang Pramana berkelebat menyambar ke arah kepalanya. Tapi belum juga dapat mengangkat kepalanya kembali, mendadak saja satu tendangan keras menghantam dadanya. Murid utama Padepokan Mega Kiting itu mengeluh pendek. Tubuhnya terjejer ke belakang beberapa langkah. Maka Pramana tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Selagi utusan itu limbung, dengan cepat dihunjamkan pedangnya ke dada. Dan....
"Aaakh...!" utusan itu menjerit melengking tinggi.
"Hih!" Pramana mencabut pedangnya yang terbenam di dada murid Padepokan Mega Kiting itu. Lalu dengan keras dilontarkan satu pukulan bertenaga dalam tinggi ke dada yang mengucurkan darah segar.
Bruk!
Tak pelak lagi, utusan itu ambruk ke tanah keras sekali. Sebentar dia menggeliat, lalu diam tak berkutik lagi. Pramana memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarungnya di pinggang. Seketika digeledah tubuh orang itu, lalu ditemukanlah gulungan daun lontar terikat pita biru muda. Cepat-cepat Pramana melompat ke punggung kudanya lalu digebahnya kuat-kuat.
Kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Seketika itu juga binatang itu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busurnya. Kuda hitam itu berlari cepat membawa Pramana di punggungnya, meninggalkan mayat seekor kuda dan seorang murid utama Padepokan Mega Kiting.
"Kakang, dipanggil Eyang Paladi!" ujar Rawuni seraya menyembulkan kepalanya dari pintu kamar kakaknya.
Pramana yang tengah membaca surat pada daun lontar, menoleh memandang adiknya. Buru-buru dlli pat surat itu dan disimpannya di balik lipatan baju. Pemuda itu melompat turun dari pembaringan, dan melangkah menghampiri Rawuni. Dibukanya pintu lebar lebar. Lalu keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Rawuni mengikutinya. Gadis itu sempat menutup kembali pintu kamar kakaknya.
"Ada apa Eyang memanggilku?" tanya Pramana terus saja melangkah di samping adiknya.
"Tidak tahu. Eyang menunggu di bangsal latihan," sahut Rawuni.
Pramana tidak bertanya lagi. Mereka segera menuju bangsal latihan yang ada di samping bangunan utama Padepokan Mega Kiting. Mereka melihat Eyang Paladi duduk bersila beralaskan permadani tebal yang lembut berwarna biru muda. Eyang Paladi memberi isyarat pada kedua cucunya untuk duduk. Mereka mengambil tempat di depan laki-laki tua itu, duduk bersila di lantai.
"Pramana, kau tahu kenapa dipanggil ke sini?" tanya Eyang Paladi langsung pada pokok persoalannya.
Pramana hanya menggelengkan kepalanya saja.
"Seorang murid utamaku tewas terbunuh di perbatasan. Padahal dia kuberi tugas penting, dan tidak ada seorang pun yang tahu," kata Eyang Paladi disertai tatapan mata tajam menusuk langsung kepada Pramana. Sedangkan yang ditatap hanya menunduk saja. Demikian pula dengan Rawuni.
"Aku pernah mengatakan sesuatu pada kalian, dan ini ada hubungannya dengan tugas muridku," lanjut Eyang Paladi.
"Eyang mencurigai kami...?" Pramana mengangkat kepalanya.
"Aku tidak berkata begitu, Pramana. Kau tahu, apa yang kutugaskan pada muridku?"
Pramana menggelengkan kepalanya.
"Rawuni?"
"Tidak," sahut Rawuni seraya menggeleng.
"Ada sesuatu yang hilang darinya, dan itu sangat penting bagiku. Hmmm..., sudahlah. Itu urusanku," kata Eyang Paladi.
Pramana dan Rawuni saling berpandangan.
"Pergilah, kembali ke kamarmu," kata Eyang Paladi.
Pramana dan Rawuni bangkit berdiri, dan sama-sama menjura sedikit memberi hormat. Mereka lalu berbalik dan berjalan keluar. Setelah kedua orang itu meninggalkan bangsal latihan ini, dari pintu lain muncul seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau. Eyang Paladi memberi isyarat agar duduk. Pemuda itu duduk bersila di depan laki-laki tua itu.
"Aku belum bisa menemukan jawaban kecurigaanmu, Bayu. Mereka cucu-cucuku yang baik, penurut, dan tidak pernah membantah perintah orang tua. Sukar bagiku untuk mempercayai kalau mereka adalah manusia-manusia bertopeng muka babi itu," kata Eyang Paladi pelan.
"Aku belum menuduh mereka, Eyang. Hanya curiga saja," ujar Bayu.
"Kau punya bukti?"
"Sedikit. Aku lihat Pramana membunuh salah seorang muridmu di perbatasan. Itu sebabnya aku ke sini."
"Kau tidak salah, Bayu?"
"Semalam Jruda mendengar mereka merencanakan sesuatu di dalam kamarnya. Mereka mengetahui, tapi untungnya Jruda bisa menghindar."
"Jruda...?!" Eyang Paladi nampak terkejut.
"Benar. Bahkan kini Parti bersamanya. Maaf, kalau selama ini tidak pernah kuceritakan tentang mereka," ucap Bayu.
"Tidak mengapa, Bayu. Aku sengaja menyuruhnya pergi dari desa ini agar tidak ikut tewas. Aku juga menyesal tidak terlalu memperhatikan keselamatan Parti."
"Mereka menghargai maksud baikmu, Eyang. Percayalah, mereka mencoba mencari manusia bertopeng muka babi itu tanpa ada prasangka buruk terhadapmu. Mereka tahu betul kalau kau tidak tahu apa-apa, bahkan berniat baik," Bayu meyakinkan.
"Bayu, bisa kau antar aku untuk bertemu mereka?" pinta Eyang Paladi.
"Sayang sekali, Eyang. Mereka saat ini tidak ingin ditemui siapa pun. Demi keselamatan mereka sendiri."
"Aku mengerti."
Mereka kembali berbincang-bincang sampai hari menjelang senja. Banyak yang dibicarakan, terutama tentang dua orang bertopeng yang sampai saat ini masih berkeliaran. Eyang Paladi sendiri bermaksud mengetahui tentang kedua cucunya itu. Dan diam-diam diutus seorang muridnya lagi ke Gunung Damalaya untuk menemui Paman Darwala. Dia ingin tahu, apakah benar Pramana dan Rawuni sudah berpamitan untuk tinggal di sini.
Kegemparan kembali melanda seluruh Desa Kiting. Malam yang seharusnya hening sunyi, mendadak hiruk pikuk. Hampir semua penduduk desa itu keluar dari rumahnya. Tampak dua orang berbaju biru gelap berlompatan dari satu atap ke atap rumah lainnya. Mereka membawa obor untuk membakar rumah-rumah penduduk. Maka Desa Kiting seketika jadi lautan api. Di mana-mana api berkobar melahap rumah-rumah yang sebagian besar terbuat dari belahan papan dan beratapkan daun rumbia.
Eyang Paladi tampak sibuk memerintahkan seluruh muridnya untuk memadamkan api. Delapan murid utama Padepokan Mega Kiting, berusaha menghadang dua orang berbaju biru gelap yang masih berlompatan membakar rumah lainnya. Dua orang itu bagai kemasukan setan. Tangan kiri memegang obor, dan tangan kanan menggenggam pedang.
Delapan orang murid utama Eyang Paladi itu berusaha mendesak kedua orang bertopeng. Tapi, kemampuan mereka berada di bawah dua orang itu. Dalam sebentar saja, tiga orang telah tergeletak tewas berlumuran darah. Eyang Paladi tampak gusar melihat tiga muridnya tewas dalam waktu sebentar saja.
"Mundur...!" tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
Lima orang murid Padepokan Mega Kiting berlompatan mundur. Tapi salah seorang berhasil terbabat lehernya hingga buntung. Tak ada jeritan. Tubuh tanpa kepala itu langsung ambruk dan tewas seketika. Tampak seorang pemuda berbaju kulit harimau melompat menghadang dua orang berbaju biru gelap. Yang seorang memakai topeng bermuka babi, sedangkan seorang lagi hanya mengenakan selubung kain pada kepalanya.
"Bayu...," desah Eyang Paladi melihat kemunculan Pendekar Pulau Neraka. Laki-laki tua berjubah putih itu langsung melompat, dan mendarat ringan di samping kiri Bayu Hanggara. Sementara dua orang yang menjadi momok menakutkan selama ini, saling berpandangan sejenak, kemudian sama-sama mengangguk..
"Seribu Pisau Terbang'...!" tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak keras
"Heh...!" Eyang Paladi tersentak kaget. Tapi belum lagi rasa keterkejutan laki-laki tua itu hilang, tiba-tiba kedua orang yang dijuluki si Topeng Muka Babi itu mengibaskan tangannya cepat. Maka seketika itu juga pisau kecil beterbangan bagai hujan. Pendekar Pulau Neraka berlompatan menghindari serbuan pisau-pisau terbang itu. Demikian juga Eyang Paladi. Beberapa pisau yang nyasar, menancap pada orang-orang yang tidak bisa menghindari lagi. Jerit dan pekik melengking terdengar saling sambut.
"Keparat..!" geram Bayu melihat tidak kurang dari sepuluh penduduk dan beberapa murid Eyang Paladi terjungkal tewas tersambar pisau yang nyasar.
"Akh...!" Tiba-tiba saja terdengar pekikan tertahan. Bayu menoleh sedikit, dan menjadi terkejut ketika melihat Eyang Paladi terhuyung-huyung dengan sebilah pisau tertanam pada dadanya. Belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu bisa bertindak, tiba-tiba saja....
"Hiyaaat...!"
Seorang yang memakai kain selubung pada kepalanya melompat cepat sambil menusukkan pedangnya ke arah dada Eyang Paladi. Dan seorang lagi melontarkan pisau pisau kecil yang tipis pada Pendekar Pulau Neraka. Saat itu Bayu tidak bisa berbuat apa apa. Apalagi untuk menolong Eyang Paladi. Dia sendiri sibuk menghindari serbuan pisau-pisau terbang itu yang seperti tidak ada habisnya.
"Aaa...!" Eyang Paladi menjerit melengking tinggi.
"Eyang...!" seru Bayu terperanjat.
Tampak orang berselubung kain pada kepala menghentakkan pedangnya yang tertanam dalam pada dada laki-laki tua itu. Darah langsung muncrat keluar dari dada yang bolong. Belum lagi Eyang Paladi bisa menutup lukanya, satu tendangan keras menggeledek menghantam kepalanya.
Kembali Eyang Paladi menjerit keras. Tubuhnya limbung, lalu ambruk ke tanah. Kepalanya retak, dan darah mengalir deras. Bayu kontan melompat memburu, tapi orang berselubung kain hitam itu sudah lebih cepat melompat menghindar. Maka seketika itu juga dua orang yang dijuluki si Muka Topeng Babi itu melesat kabur bagai kilat, dan dalam sekejap saja sudah hilang dari pandangan mata.
"Eyang...," desis Bayu sambil berlutut di samping tubuh laki-laki tua yang terbujur berlumuran darah.
"Eyang...," Bayu mengguncang-guncang tubuh Eyang Paladi.
Tapi laki-laki tua itu tetap diam. Tidak ada lagi nyawa di tubuhnya. Bayu mengangkat kepalanya, lalu bangkit berdiri setelah merebahkan tubuh tua itu. Tiga orang murid Padepokan Mega Kiting bergegas maju dan menggotong tubuh gurunya.
"Bawa ke padepokan," perintah Bayu. Tanpa membantah sedikit pun, mayat Eyang Paladi dibawa ke Padepokan Mega Kiting. Sementara penduduk dan beberapa murid padepokan lainnya masih sibuk memadamkan api. Bayu berdiri tegak memandang sekitarnya. Beberapa wanita tampak menangis. Ada yang menangisi anaknya, atau suaminya yang tewas. Ada juga yang menangisi rumahnya yang habis terbakar. Bayu mendesah panjang. Kakinya terayun melangkah menuju Padepokan Mega Kiting.
Sementara itu jauh di perbatasan Utara Desa Kiting, tampaklah dua orang berpakaian gelap tengah berdiri tegak memandangi kobaran api yang masih membesar melahap rumah-rumah penduduk. Seluruh kepala dan wajahnya terselubung kain dan topeng. Salah seorang membuka topengnya, tampak di baliknya tersembunyi seraut wajah cantik. Sedangkan yang seorang lagi, membuka selubung kain di kepalanya. Seraut wajah tampan terlihat begitu selubungnya terbuka.
"Seharusnya kau tidak membunuh Eyang Paladi, Kakang," terdengar desahan pelan bernada menyesal.
"Terpaksa! Aku tidak ingin rahasia kita terbongkar, Rawuni. Eyang Paladi mengenali jurus 'Seribu Pisau Terbang'"
"Hhh...!"
Mereka memang Pramana dan Rawuni, dua orang cucu Eyang Paladi. Kini keduanya terdiam dengan mata langsung mengarah ke desa yang masih membara oleh kobaran api yang melahap beberapa rumah. Kembali terdengar tarikan napas panjang dari bibir mungil Rawuni. Pramana memperhatikan adiknya lekat-lekat.
"Apa yang kau pikirkan, Rawuni?" tegur Pramana.
"Tidak ada," sahut Rawuni seraya mendesah panjang.
"Rawuni..., janganlah kau turuti kata hati. Kita sama-sama sudah berjanji di depan pusara Ayah untuk membalas kematiannya," tegas Pramana.
"Aku tidak menyesal karena memang sudah tekad kita, Kakang," sahut Rawuni"
"Tinggal dua orang lagi, Rawuni. Setelah itu, selesai sudah semuanya," Pramana mengingatkan.
"Aku sangsi, Kakang...," pelan suara Rawuni.
"Hey...!" Pramana tersentak kaget. Langsung ditatapnya dalam-dalam wajah adiknya.
"Pendekar Pulau Neraka itu, Kakang...."
"Jangan hiraukan manusia keparat itu, Rawuni. Kalau perlu, bunuh sekalian!"
"Kepandaiannya sangat tinggi, Kakang. Rasanya sulit untuk menandinginya. Aku yakin, dia bukan orang sembarangan. Apakah dia orang bayaran yang disewa Eyang Paladi? Aku seperti pernah mendengar julukannya itu," kata Rawuni setengah bergumam.
"Sudahlah! Hanya satu orang saja, dan bisa kita kelabui. Ayo, kita kembali ke padepokan, sebelum ada yang mencurigai kita," ajak Pramana.
"Tidak perlu ke sana, Kakang," cegah Rawuni.
"Kenapa?" tanya Pramana tidak mengerti.
"Aku merasakan kalau Pendekar Pulau Neraka sudah mengetahui tentang diri kita."
"Hm...," gumam Pramana tidak jelas.
"Kau ingat panggilan Eyang Paladi siang tadi?"
"Tentu! Kenapa?"
"Aku punya firasat lain, Kakang. Sepertinya panggilan Eyang Paladi sengaja untuk memancing kita. Aku bisa melihat ada bayangan dari pintu lain. Seperti seseorang yang sengaja bersembunyi sambil mendengarkan. Sikap Eyang juga terasa aneh," kata Rawuni mengemukakan kecurigaannya.
Pramana terdiam membisu. Memang diakui kalau Rawuni lebih cerdas dan lebih tajam penglihatannya. Dan lagi firasatnya tidak pernah meleset.
"Kau tahu, Kakang. Waktu kau membunuh utusan itu, aku juga melihat ada seseorang di balik sebuah pohon tengah mengawasimu. Aku memang tidak memberitahumu, karena kukira hanya orang biasa saja. Tapi aku jadi mulai curiga dengan panggilan dan pertanyaan-pertanyaan Eyang Paladi pada kita," kata Rawuni lagi.
"Kau mengikuti aku, Rawuni?"
"Untuk berjaga-jaga, Kakang."
Kembali Pramana terdiam membisu. Keningnya berkerut dalam, pertanda sedang berpikir keras. Dua kali ditariknya napas panjang dan berat. Kemudian pandangannya kembali beralih ke arah Desa Kiting. Api masih terlihat berkobar, meskipun tidak sebesar tadi.
"Kakang, sebaiknya kita tidak kembali ke desa itu. Biarkan suasana jadi tenang sambil mengamati kalau-kalau Jruda dan Parti muncul. Aku tidak ingin mengorbankan penduduk lagi. Sudah cukup rasanya membuat mereka sengsara. Biar mereka ingat kesengsaraan sangat pedih!" kata Rawuni.
"Baiklah. Kita tunggu selama beberapa hari sampai keadaan kembali tenang," akhirnya Pramana mengalah juga.
Suasana mendung menyelimuti seluruh wajah Desa Kiting. Tidak ada lagi orang yang bisa dijadikan panutan. Satu-satunya orang yang dihormati dan selalu menjadi pedoman telah tewas terbunuh. Padepokan Mega Kiting dalam keadaan kosong, tidak memiliki pemimpin lagi.
Sudah dua hari Bayu terpaksa tinggal di Padepokan Mega Kiting. Keyakinannya semakin bertambah, bahwa yang selama ini membuat kerusuhan adalah dua orang cucu Eyang Paladi sendiri. Hanya saja Bayu belum bisa mengetahui, mengapa Pramana dan Rawuni melakukan hal itu...? Bayu hanya menunggu kedatangan Paman Darwala. Hanya orang itu yang mungkin bisa menjelaskan semuanya.
Siang ini langit terselimut awan tebal menghitam, seakan-akan alam turut berduka atas kematian Eyang Paladi dan beberapa orang lainnya hanya dalam waktu semalam saja. Bayu berdiri di beranda depan pada bangunan utama Padepokan Mega Kiting. Di sampingnya berdiri Jruda dan Parti. Pendekar Pulau Neraka itu memang sengaja membawa mereka ke padepokan ini, demi keselamatan. Di samping itu mereka memang hendak ke sini begitu mendengar kematian Eyang Paladi.
"Kau yakin Paman Darwala akan datang hari ini Bayu?" tanya Jruda ingin memastikan.
"Keterangan dari utusan memang begitu," sahut Bayu kalem.
"Hhh.... Aku tidak habis mengerti, mengapa Pramana dan Rawuni melakukan itu?" gumam Jruda.
"Semasih hidup, Eyang Paladi pernah cerita padaku. Padepokan ini dibangun oleh dua orang pendekar. Tapi yang seorang tewas secara misterius dengan meninggalkan dua orang anak. Yang seorang laki-laki, dan seorang lagi perempuan. Usia mereka baru sekitar sepuluh dan tujuh tahun...," kata Bayu pelan.
"Mereka adalah ayahku dan ayahnya Pramana," sambut Jruda.
"Tapi, apa hubungannya...?"
"Mungkin," desah Bayu.
"Pramana dan Rawuni dibawa pamannya setelah kematian ayahnya. Memang, sampai saat ini tidak diketahui siapa yang menewaskannya. Hanya sebuah rantai..." mendadak Jruda menghentikan ceritanya.
"Kenapa, Jruda?" tanya Bayu.
"Ya...! Rantai merah...! Kini aku ingat! Di lehernya terikat rantai berwarna merah. Dan itu...," kembali Jruda terdiam memutuskan kata-katanya.
"Ada apa dengan rantai merah itu, Jruda?" tanya Bayu ingin tahu.
"Aku tidak tahu, Bayu. Waktu itu aku masih kecil, jadi belum tahu apa-apa. Memang akulah yang menemukan mayatnya pertama kali, kemudian baru ayahku. Leher mayat itu terbelit rantai berwarna merah darah. Rantai merah itu diambil Ayah dan disimpannya. Sampai Ayah meninggal, rantai itu tetap terkubur membelit pinggangnya. Dan itu memang sudah amanatnya. Hhh...! Sekarang rantai itu muncul lagi. Terpotong-potong menjadi sepuluh lingkaran yang sama ditemukan pada setiap korban. Lingkaran Rantai Setan...," Jruda mendesis pada akhir kata-katanya.
"Lingkaran Rantai Setan...? Apa maksudmu?" tanya Bayu.
"Sukar dijelaskan, Bayu. Itu hanya sebuah kata-kata kiasan dari seseorang yang memiliki dendam pada ayah-ayah kami. Aku dan Pramana. Mereka mengabadikannya dengan membuat sebuah rantai berwarna merah darah. Mereka ingin keturunannya selalu ingat, bahwa dendam itu bukan suatu penyelesaian akhir dari suatu masalah. Rantai itu disimpan ayahku. Tapi ditemukan membelit leher ayah Pramana," Jruda mencoba untuk menjelaskan lebih rinci.
"Ada orang lain lagi yang melihatnya waktu itu?" tanya Bayu.
"Eyang Paladi dan Paman Darwala," sahut Jruda.
"Tepat...!" sentak Bayu tiba-tiba.
"Apa maksudmu, Bayu?" tanya Jruda tidak mengerti.
Bayu tidak menjawab. Diambilnya rantai yang tergantung pada tiang beranda padepokan ini. Benda itulah yang selalu dijadikan lambang oleh Padepokan Mega Kiting. Tapi sampai sekarang tidak ada yang menyadari artinya, baik murid-murid padepokan itu sendiri. Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu maknanya. Bayu menimang-nimang rantai merah itu, lalu meletakkan kembali pada tempatnya semula. Sementara itu Parti hanya diam saja mendengarkan tanpa berkata sedikit pun. Gadis itu masih belum bisa memahami semua pembicaraan tersebut. Dia memang masih terlalu muda dan tidak tahu permasalahannya.
"Ada berapa rantai yang dibuat ayahmu?" tanya Bayu setelah cukup lama berdiam diri.
"Hanya satu yang asli. Itu pun telah terkubur bersama Ayah," sahut Jruda.
"Dan kau pernah bertemu Pramana setelah dibawa pamannya?" tanya Bayu lagi.
"Hanya sekali, tapi tidak secara langsung. Pramana tidak mengenaliku sama sekali. Hanya tahu namaku saja."
"Pantas.... Dia tidak mengenalimu ketika kau gantung," gumam Bayu.
"Sejak terjadi peristiwa ini, dan munculnya Pramana, sudah kuduga kalau dialah biang keladinya. Itu sebabnya aku ingin membunuhnya, tapi gagal. Kepandaiannya jauh lebih tinggi dariku."
"Persoalannya sudah jelas, sekarang tinggal menunggu Paman Darwala saja. Mudah-mudahan dia bersedia membantu menyadarkan keponakannya," kata Bayu.
"Hanya kematian yang bisa menyadarkannya, Bayu."
"Hilangkan rasa dendam di hatimu, Jruda."
"Mereka telah membunuh banyak orang! Hanya hukuman mati yang pantas untuk mereka, Bayu."
Pendekar Pulau Neraka hanya mengangkat bahu saja.
Empat ekor kuda berpacu cepat keluar dari Padepokan Mega Kiting, menuju ke sebelah Utara Desa Kiting. Paling depan sekali terlihat seorang laki-laki berusia hampir mencapai tujuh puluh tahun. Dialah Paman Darwala. Di belakangnya tiga orang laki-laki juga berkuda. Tampak di antara mereka adalah Pendekar Pulau Neraka, Jruda, dan seorang murid utama Padepokan Mega Kiting.
Mereka berhenti setelah tiba di luar perbatasan desa sebelah Utara. Masing masing penunggang melompat turun dari punggung kudanya. Paman Darwala memandangi sekitarnya. Bayu dan Jruda menghampiri.
"Bagaimana Paman bisa memastikan mereka ada di sini?" tanya Jruda.
"Ayah mereka dimakamkan di sini. Aku yakin mereka ada di sekitar tempat ini," jawab Paman Darwala.
Jruda tidak bertanya lagi. Dia juga mengedarkan pandangannya berkeliling. Tempat ini sunyi sekali, tidak ada seorang pun yang teriihat kecuali mereka berempat. Jruda melirik Bayu yang tengah melangkah mendekati sebuah makam yang kelihatan tidak terawat. Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu memandangi, kemudian berbalik menghampiri yang lainnya.
"Aku hampir tidak percaya kalau mereka yang melakukan semua kekejaman ini. Meskipun mereka muridku dan sekaligus keponakanku, tapi perbuatan mereka tidak bisa diampuni. Aku tidak pernah mengajarkan pada mereka untuk berbuat seperti ini," tegas Paman Darwala menyesali tindakan Pramana dan Rawuni.
Jruda hanya diam saja. Demikian pula Bayu dan seorang murid Padepokan Mega Kiting yang ikut serta.
"Aku menyesal telah menceritakan semua peristiwa yang menimpa ayah mereka. Tapi sungguh, dalam hatiku tidak bermaksud menyulut api dendam. Apalagi dendam terhadap keluargamu, Jruda. Antara keluarga kita terjalin persaudaraan yang kuat. Aku sendiri tidak percaya kalau ayahmu yang membunuh adikku," sambung Paman Darwala.
"Semua sudah terjadi, Paman," ujar Jruda.
"Ya! Semua karena kesalahanku yang tidak mampu mendidik mereka dengan baik," Paman Darwala menyesali.
"Bukan kesalahan Paman, tapi karena kutukan. Dan itu baru terjadi sekarang."
"Jruda, aku mohon padamu. Sebaiknya serahkan mereka padaku. Biar aku sendiri yang akan memberi hukuman padanya. Mereka adalah keponakanku, sekaligus murid-muridku. Aku mohon padamu, Jruda?" ujar Paman Darwala penuh harap.
Jruda menarik napas berat. Memang sukar untuk memenuhi permintaan Paman Darwala. Tapi begitu mendapat lirikan dari Pendekar Pulau Neraka, Jruda mengangguk.
"Terima kasih, Jruda. Kebaikan hatimu tidak akan kulupakan," ucap Paman Darwala.
"Ah! Sudahlah, Paman. Sebaiknya kita segera menemukan mereka. Aku tidak ingin lagi melihat darah orang-orang tidak berdosa menyirami bumi," kata Jruda.
Tidak ada lagi yang bicara. Semua melangkah menyibak hutan yang tidak seberapa lebat. Mereka tidak tahu kalau sepasang mata sejak tadi selalu mengamati dari tempat yang cukup tersembunyi. Dan pemilik sepasang mata itu melesat cepat begitu empat orang itu semakin masuk ke dalam hutan.
Rawuni terkejut melihat kakaknya datang tergesa-gesa dengan napas memburu. Keringat membasahi seluruh wajah dan leher Pramana. Pemuda itu langsung menarik tangan adiknya, dan membawanya keluar dari gua.
"Ada apa, Kakang?" tanya Rawuni tidak mengerti.
"Tinggalkan tempat ini cepat" ajak Pramana menyuruh adiknya naik ke kuda.
Dengan keadaan masih kebingungan, Rawuni naik juga ke punggung kudanya. Pramana bergegas melompat ke kuda hitamnya yang tinggi dan kekar. Kedua orang itu menggebah kudanya masing-masing. Rawuni masih bertanya-tanya, mensejajarkan langkah kaki kudanya di samping Pramana.
"Ada apa, kakang? Kenapa buru-buru?" tanya Rawuni masih penasaran akan sikap kakaknya.
"Mereka mengetahui tempat ini," kata Pramana sambil terus memacu cepat kudanya.
"Mereka siapa?"
"Jruda dan Pendekar Pulau Neraka. Bahkan Paman Darwala juga bersama mereka," sahut Pramana.
Mendengar penjelasan kakaknya, Rawuni segera menghentikan lari kudanya. Pramana bergegas menarik tali kekang kudanya. Kuda hitam itu meringkik, dan kontan berhenti seketika. Pramana memutar tubuh kudanya, menghadap gadis itu.
"Aku tidak suka jadi buronan seperti ini!" dengus Rawuni agak keras suaranya.
"Mereka akan membunuh kita, Rawuni," kata Pramana.
"Aku tidak ingin jadi pengecut! Semua yang kulakukan, harus kupertanggungjawabkan. Kalau kau ingin pergi, pergilah!" tegas kata-kata Rawuni.
"Rawuni...!" sentak Pramana terkejut
"Beberapa hari ini aku selalu memikirkan semua perbuatan kita, Kakang. Terus terang, aku masih ragu akan kebenaran dari semua perbuatan kita...," pelan nada suara Rawuni, namun mengandung ketegasan.
"Kau ini bicara apa, Rawuni? Sudahlah, ayo kita pergi!" ajak Pramana.
"Tidak! Aku akan menunggu mereka di sini!" sentak Rawuni tegas.
"Kau gila, Rawuni. Ada Paman Darwala bersama mereka!"
"Sungguh tidak kusangka kalau kakakku seorang pengecut. Menyesal aku mengikutimu, Kakang. Seharusnya aku tahu kalau semua yang kita lakukan bukan karena membalas kematian ayah. Tapi karena napsu setanmu yang ingin membunuh Jruda. Kau sakit hati karena gadis yang kau sukai lebih memilih Jruda untuk jadi suaminya. Kau pengecut Kakang! Melampiaskan sakit hatimu dengan dalih membalas kematian Ayah!"
"Cukup, Rawuni!" bentak Pramana memerah wajahnya.
"Akuilah, Kakang. Aku lebih senang kalau kau mengakui semuanya. Kau ingin membalaskan sakit hatimu, bukan?" desak Rawuni yang mulai menyadari kalau semua perbuatannya hanya karena bujukan kakaknya yang ingin membalas sakit hati.
Rawuni baru menyadari semuanya setelah mendengar Pramana mengigau dalam tidurnya semalam. Sungguh mati, gadis itu tidak menyangka ada maksud tertentu dari semua rencana gila ini. Dan Rawuni sangat menyesal, karena Pramana justru malah mengotori nama ayah mereka sendiri. Menodai persaudaraan yang telah dibangun sekian puluh tahun lamanya.
"Aku memang sakit hati terhadap Jruda. Aku sudah bersumpah untuk membunuhnya dan semua keturunannya!" ujar Pramana mengakui dengan tegas.
"Tapi, kenapa kau membunuh semuanya? Bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa ikut jadi korban. Kenapa, Kakang...?" Rawuni meminta penjelasan.
"Semua itu termasuk bagian dari rencanaku, Rawuni. Padepokan Mega Kiting harus kita kuasai. Aku tidak ingin padepokan itu nantinya jatuh ke tangan mereka!"
"Tapi, bukankah itu sudah keputusan Ayah"? Memang Jruda yang akan mewarisi padepokan itu. Dan kita sendiri sudah diwarisi padepokan milik Paman Darwala. Kenapa kau ingin menguasai Padepokan Mega Kiting, Kakang? Padepokan itu kecil, tidak ada artinya sama sekali."
"Bukan itu yang kuinginkan, Rawuni. Tapi daerahnya. Kau mengerti maksudku?"
"Oh...," Rawuni mendesah sambil menggelengkan kepala beberapa kali. Gadis itu tidak menyangka kalau pikiran kakaknya sepicik itu. Memang, Desa Kiting memiliki aliran sungai yang mengandung biji emas. Rupanya Pramana menginginkan semua itu untuk memperkaya diri. Yang pasti bukan hanya karena itu. Rawuni juga bisa mengetahui adanya tujuan tertentu. Jelas, Pramana ingin menjadikan Desa Kiting menjadi wilayah kekuasaannya, seperti yang pernah dilakukan ayah mereka ketika masih hidup.
"Dengar, Rawuni. Aku akan membangun desa itu menjadi lebih besar, dan akan berkuasa di sana. Ingin kutunjukkan pada Ayah, kalau aku dapat melebihinya. Itu sebabnya aku ingin menguasai padepokannya terlebih dahulu, dan melenyapkan semua orang yang bisa menjadi duri dalam diriku. Kau mengerti, Rawuni? Meskipun aku tahu kalau Ayah terbunuh oleh orang yang tidak dikenal, tapi aku tidak ingin ada orang lain menguasai padepokan itu. Terutama Desa Kiting!" tegas kata-kata Pramana.
"Sungguh tidak kuduga kalau kau punya pikiran picik seperti itu, Kakang. Kalau tahu sejak dulu, tidak bakalan aku ikut. Membantai mereka yang tidak berdosa, membuat neraka pada mereka. Aku menyesal, Kakang. Benar-benar menyesal...!" keluh Rawuni setelah mengetahui semua yang ada di balik rencana kakaknya ini.
"Tidak ada kata penyesalan, Rawuni. Bagaimanapun juga kau telah ikut dalam permainan ini, dan tidak bisa menghindar begitu saja," kata Pramana tenang diiringi senyuman lebar.
"Kau menjebakku, Kakang!" desis Rawuni tidak senang.
"Sudahlah, Rawuni. Tidak ada gunanya berdebat. Sebaiknya kita jalan lagi. Untuk sementara kita tinggalkan tempat ini," bujuk Pramana.
"Tidak! Aku akan kembali pada Paman Darwala, dan memohon ampun padanya!" keras pendirian Rawuni.
"Rawuni...!"
"Dia benar, Pramana...," tiba-tiba terdengar suara.
Pramana dan Rawuni tersentak kaget. Kedua orang itu cepat melompat turun dari punggung kudanya masing-masing. Tatapan mereka tajam menusuk langsung ke arah datangnya suara tadi. Tampak seorang pemuda berbaju kulit harimau tahu-tahu sudah berdiri tegak di atas sebongkah batu cadas yang hitam berkilat.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Pramana mengenali pemuda berbaju kulit harimau itu. Belum lagi hilang sepenuhnya rasa terkejut kakak beradik itu, dari balik batu muncul Paman Darwala, Jruda, dan seorang murid Padepokan Mega Kiting Bayu melompat turun dari atas batu. Mereka melangkah lebih mendekat lalu berhenti setelah jaraknya sekitar dua batang tombak lagi di depan Pramana dan Rawuni.
"Rawuni, menjauhlah dari kakakmu!" perintah Paman Darwala tegas.
"Kau tetap di sini, Rawuni!" sentak Pramana sambil mencekal tangan adiknya.
"Tidak!" sentak Rawuni mengibaskan cekalan kakaknya.
Rawuni segera berlari menjauh begitu terlepas dari cekalan kakaknya.
"Rawuni...!" bentak Pramana gusar. Kegusaran Pramana bertambah melihat Paman Darwala menyongsong menyambut gadis itu. Dan seketika itu juga, Pramana mengecutkan tangannya. Secercah cahaya berkelebat cepat keluar dari tangannya. Tampak dua buah pisau kecil tipis meluncur ke arah Rawuni.
"Rawuni, awas...!" seru Paman Darwala terkejut.
Tapi Rawuni tidak sempat lagi untuk menghindar. Namun Pendekar Pulau Neraka sudah menghentakkan tangan kanannya. Seketika itu juga Cakra Maut melesat dari pergelangan Pendekar Pulau Neraka. Cakra Maut menghantam dua pisau yang hampir saja menembus punggung Rawuni. Pada saat yang sama, gadis itu menjatuhkan tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas, maka Cakra Maut kembali melesat balik, lalu menempel kembali pada pergeiangan tangan kanannya. Pramana menggeram gusar melihat Pendekar Pulau Neraka menggagalkan maksudnya.
"Kau terlalu banyak ikut campur, pendekar setan! Mampus kau! Hiyaaat...!"
Pramana tidak bisa lagi menahan gejolak hatinya yang tengah disulut api dendam membara. Bisikan iblis sudah merasuki hati pemuda itu. Dia melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Namun manis sekali Bayu mengelakkan serangan itu. Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan kirinya menyodok ke arah perut.
"Hughk...!" Pramana mengeluh pendek. Pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi perutnya. Kalau saja sodokan itu disertai pengerahan tenaga dalam, pasti semua isi pertunya sudah ambrol keluar. Tapi sodokan tenaga luar itu mampu membuat bola mata Pramana berputar, dan perutnya terasa mual. Hanya sebentar Pramana mengatur napas untuk mengusir rasa mual pada perutnya, kemudian sudah kembali menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan jurus-jurus pendek yang cepat dan dahsyat.
Bayu bisa merasakan kalau setiap pukulan dan tendangan Pramana mengandung pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Memang sudah bisa diukur sampai di mana ketinggian tenaga dalam Pramana. Hingga ketika satu pukulan keras menggeledek mengarah kedadanya, dengan cepat Bayu menyodokkan tangan kanan, menyambut pukulan itu.
Trak!
"Akh!" Pramana memekik tertahan. Pemuda itu kontan melompat mundur tiga tindak. Bibirnya meringis merasakan sakit di seluruh tangan kirinya yang beradu dengan tangan kanan pendekar muda itu. Pramana menyadari kalau tenaga dalamnya masih dibawah Pendekar Pulau Neraka. Cepat pemuda itu mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang.
Sret!
"Hm...," Bayu menggumam melihat pedang sudah terhunus dalam genggaman Pramana. PendekarPulau Neraka menggeser kakinya ke samping beberapa tindak. Sementara itu semua orang yang ada di situ memperhatikan dengan perasaan tegang. Mereka tidak berkedip memandangi dua orang yang saling berhadapan, siap melakukan pertarungan tingkat tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Hait..!"
Pramana melompat cepat bagai kilat sambil membabatkan pedangnya beberapa kali ke arah bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. Dan Bayu yang sudah siap sejak tadi, mengerahkan jurus 'Kelelawar Maut' Jurus Bayu itu didapat dari seorang pendekar yang bergelar Pendekar Kelelawar dari Selatan. Jurus andalan ini jarang digunakan. Bayu bertarung dengan kedua tangan sering mengembang. Gerak tubuhnya begitu lentur, meliuk-liuk menghindari setiap tebasan dan tusukan pedang Pramana yang dahsyat dan mengandung tenaga dalam tinggi.
Pertarungan antara Pramana melawan Pendekar Pulau Neraka berjalan sengit. Tapi baru saja lima jurus terlewati, sudah kelihatan kalau Pramana tidak mampu lagi menahan gempuran Bayu Hanggara. Beberapa kali tubuhnya harus rela menerima pukulan pendekar muda itu. Pramana sudah jatuh bangun, tapi masih tetap tidak undur barang sedikit pun. Dia tahu kalau setiap pukulan yang diterimanya tidak mengandung tenaga dalam, tapi cukup nyeri juga. Dan ini membuat Pramana merasa terhina.
"Phuih!" Pramana menyemburkan ludahnya. Cepat sekali Pramana menyerang kembali dengan jurus-jurus andalannya. Namun baru beberapa gebrakan saja, tanpa diduga sama sekali satu pukulan telak Pendekar Pulau Neraka membuat pemuda itu terjungkal ke belakang, menghantam sebongkah batu besar hingga hancur berantakan.
"Keparat! Hiyaaat...!" Pramana mengumpat, langsung melompat bangkit dan menyerang.
Wut! Wut!
Dua kali tebasan pedang Pramana berhasil dihindari Pendekar Pulau Neraka. Kegigihan Pramana membuat hati Bayu kagum, tapi juga gusar karena sifat keras kepalanya. Sudah diberikan keringanan untuk mundur, malah semakin liar saja. Menyerang membabi buta tanpa menghiraukan lagi norma-norma ilmu olah kanuragan yang benar.
"Hih! Hyaaa...!"
Bayu melentingkan tubuhnya ke atas, ketika satu tebasan pedang Pramana mengincar kakinya. Pendekar Pulau Neraka itu melewati kepala Pramana, dan kakinya langsung mendupak kepala pemuda itu.
"Akh...!" Pramana memekik keras tertahan. Dupakan kaki Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam kepalanya. Pramana jadi limbung. Dan pada saat tu, satu pukulan telak bertenaga dalam penuh, dilepaskan Bayu. Pukulan itu tidak terbendung lagi, langsung menghantam dada Pramana.
"Aaakh...!" lagi-lagi Pramana menjerit keras.
"Kakang...!" teriak Rawuni seketika.
Tubuh Pramana terbanting keras ke tanah. Pemuda itu menggelepar merasakan sakit yang amat sangat di bagian dada. Mulut dan hidungnya mengucurkan darah. Pelipisnya pun sobek cukup lebar. Pramana berusaha bangkit berdiri, tapi tubuhnya limbung. Dengan menahan sakit pada ronga dada dan kepalanya, Pramana berlari cepat sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ke atas kepala.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Hiyaaa...!"
Bayu menghentakkan tangan kanannya ke depan, maka seketika itu juga dari pergelangan tangan kanannya meluncur Cakra Maut. Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu tepat menghunjam dada Pramana, hingga tembus ke punggung. Cakra Maut terus melesat dan berputar balik begitu Bayu mengangkat tangannya ke atas. Cakra Maut berwarna keperakan itu kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Sementara itu Pramana semakin limbung. Darah mengucur deras dari luka-luka di tubuhnya, terutama pada bagian dada dan punggungnya yang berlubang. Hanya sebentar Pramana mampu bangkit berdiri, kemudian ambruk menggelepar ditanah.
"Kakang...!" seru Rawuni keras. Gadis itu akan memburu, tapi tangannya keburu ditangkap Paman Darwala. Rawuni berbalik dan menangis dalam pelukan pamannya.
Semua yang menyaksikan kejadian itu hanya diam membisu. Semua mata terpaku pada Pramana, biang keladi keonaran di Desa Kiting. Itu semua karena rasa sakit hatinya pada Jruda. Paman Darwala membawa Rawuni meninggalkan tempat itu. Gadis itu masih menangis, melangkah dalam pelukan pamannya. Sementara Jruda dibantu salah seorang murid Padepokan Mega Kiting mengangkat tubuh Pramana yang sudah membujur mayat. Mereka menaruhnya di atas kuda hitam, milik Pramana sendiri. Murid Padepokan Mega Kiting menuntun kuda itu dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kiri menuntun kuda milik Rawuni. Jruda memandangi Pendekar Pulau Neraka, yang kemudian datang menghampirinya.
"Aku tidak tahu, harus mengucapkan apa kepadamu, Bayu," kata Jruda pelahan.
"Hhh...!" Bayu hanya menarik napas panjang saja.
"Kuharap kau bersedia singgah dulu di padepokan. Meskipun kita semua sudah mendengar pengakuan Pramana, tapi Paman Darwala pasti meminta Rawuni untuk mengatakan semuanya. Aku tidak tahu, hukuman apa yang akan dijatuhkan terhadap Rawuni," kata Jruda lagi.
"Kalau bisa, jangan terlalu berat. Biarkan dia menikmati kehidupan ini. Aku yakin, dia gadis yang baik," ujar Bayu memberi saran.
"Ini permintaanmu, Bayu?"
"Katakanlah begitu."
"Akan kusampaikan pada Paman Darwala nanti. Aku juga tidak menginginkan jika Rawuni dijatuhi hukuman yang berat. Malah dia akan kuajak membangun kembali Padepokan Mega Kiting, dan akan kuselidiki kematian ayahnya. Kalau pun memang terbukti ayahku yang melakukannya, biar aku yang menanggung semuanya," kata Jruda mantap.
Bayu tersenyum dan menepuk bahu Jruda, kemudian berbalik dan melangkah pergi. Jruda memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka itu. Segera dibalikkan tubuhnya, dan kembali menuju Desa Kiting. Sementara Paman Darwala dan yang lainnya sudah menunggu di atas kuda. Jruda langsung melompat naik ke punggung kudanya.
"Apa yang dikatakannya padamu, Jruda?" tanya Paman Darwala.
"Dia menginginkan aku dan Rawuni membangun kembali Padepokan Mega Kiting, dan berharap dari padepokan itu muncul pendekar pembela kebenaran," sahut Jruda.
"Sungguh mulia hatinya. Bagaimana denganmu, Rawuni?" Paman Darwala memandang pada keponakannya.
"Aku harus menjalani hukuman lebih dahulu, Paman," sahut Rawuni lirih.
"Hukumanmu tetap ada."
"Aku rasa, aku tidak sanggup lagi ke Desa Kiting, Paman. Kalau boleh, biarkan aku mengembara untuk menebus segala dosa-dosaku dengan memberantas ketidakadilan," pinta Rawuni.
Paman Darwala tersenyum terharu. Ditepuknya pundak gadis itu, lalu dihentakkan tali kekang kuda nya. Mereka semua bergerak menuju kembali ke Desa Kiting. Tapi di persimpangan jalan, mereka berpisah Paman Darwala dan Rawuni langsung menuju ke tempat asal mereka sambil membawa mayat Pramana. Sedangkan Jruda dan murid Padepokan Mega Kiting kembali ke padepokan.
"Kasihan kau, Rawuni. Terjebak dalam Lingkaran Rantai Setan...," desah Jruda dalam hati.
Pagi yang masih gelap gulita itu seketika jadi terang benderang oleh cahaya pelita dan obor yang dinyalakan dari rumah-rumah. Sebentar saja sudah banyak orang berlarian dari dalam rumahnya masing-masing, menuju ke arah datangnya suara tadi.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah yang tampak rusak. Bahkan pada bagian belakangnya terbakar. Api cepat membesar melahap rumah yang terbuat dari kayu itu. Tampak seseorang berlari keluar dengan terhuyung-huyung, dan langsung jatuh begitu sampai di luar. Orang yang memadati sekitar rumah itu langsung bergerak menolongnya.
"Jruda...! Apa yang terjadi?" tanya seorang laki-laki setengah baya dan berkumis tebal hampir menutupi bibirnya. Lengannya menopang tubuh pemuda berusia sekitar dua puluh tahun yang tadi keluar dari dalam rumah terbakar itu.
"Me..., ah!" pemuda yang dipanggil Jruda itu langsung terkulai.
"Jruda...! Jruda...!" laki-laki setengah baya itu menggoyang-goyangkan tubuh Jruda, tapi tetap saja pemuda itu tidak bergerak.
"Dalaga...," terdengar sapaan lembut dari arah belakang.
Laki-laki setengah baya itu mengangkat kepalanya. Lalu menoleh ke belakang. Tampak seorang kakek berjubah putih telah berdiri di belakang laki-laki setengah baya itu. Rambut dan janggutnya juga memutih semua. Ditepuknya pundak laki-laki setengah baya yang namanya dipanggil Dalaga. Dia bangkit berdiri, sambil memondong tubuh Jruda yang berlumuran darah.
"Hanya pingsan. Sebaiknya cepat bawa ke rumahmu," kata kakek tua berjubah putih itu lembut, namun terdengar penuh wibawa.
"Baik, Eyang," sahut Dalaga.
Dalaga melangkah sambil memondong tubuh Jruda yang pingsan, menyibakkan orang yang berkerumun. Sementara beberapa laki laki mulai mencoba memadamkan api yang semakin membesar melahap rumah dari kayu itu. Pagi buta yang masih gelap ini jadi terang benderang oleh cahaya api d ari rumah yang terbakar. Dalaga terus melangkah tergesa-gesa menuju rumahnya yang tidak jauh dari rumah terbakar itu.
Sementara di belakang Dalaga berjalan laki-laki tua berjubah putih, diikuti beberapa orang bersenjata golok terselip dipinggang. Dalaga membaringkan tubuh Jruda di dipan kayu yang berada di beranda rumahnya. Laki-laki tua berjubah putih itu memeriksa tubuh Jruda, kemudian kepalanya terangguk-angguk. Diberikannya beberapa totokah di sekitar luka yang terus mengucurkan darah. Totokan itu ternyata untuk menghentikan darah.
"Eyang Paladi...," tertahan suara Dalaga.
"Jangan cemas! Adikmu hanya pingsan. Lukanya tidak seberapa parah. Sebentar juga siuman," kata Eyang Paladi kalem.
Dalaga membersihkan darah yang mengotori tubuh Jruda dengan sobekan kain yang dibasahi air dari tempayan di samping dipan kayu ini. Sementara Eyang Paladi berbicara dengan enam orang pemuda yang bersenjata golok di pinggang. Enam orang pemuda itu bergegas pergi melangkah tergesa-gesa. Eyang Paladi kembali duduk di tepi dipan. Sedangkan Dalaga sudah selesai membalut luka-luka di tubuh adiknya.
"Ini kejadian yang ketiga kalinya, Dalaga. Kurasa sudah waktunya kau katakan semua yang terjadi. Bukan hanya keluarga dan sanak saudaramu yang terancam, tapi juga ketentraman semua penduduk Desa Kiting ini," tegas Eyang Paladi.
"Aku tidak tahu, Eyang," ujar Dalaga sungguh-sungguh.
"Hhh...!" Eyang Paladi menarik napas panjang.
Laki-laki tua itu menatap Dalaga dalam-dalam, seakan-akan mencari kesungguhan dari sinar matanya. Kembali ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Saat itu, dua orang bersenjata golok di pinggang datang. Mereka segera membungkuk hormat pada Eyang Paladi.
"Eyang, kami menemukan benda ini di depan rumah Jruda," jelas salah seorang sambil menyerahkan sebuah rantai yang bertaut membentuk lingkaran.
Eyang Paladi menerima rantai berwarna merah darah itu. Ada sepuluh lingkaran yang saling bertaut. Sejenak Eyang Paladi merayapi benda di tangannya itu, kemudian menatap lebih dalam pada Dalaga. Sedangkan yang ditatap hanya menundukkan kepalanya saja.
"Dua peristiwa yang lalu juga ditemukan benda jenis seperti ini. Hmmm.... Aku menduga kejadian ini akan berbuntut panjang," ujar Eyang Paladi setengah bergumam.
Eyang Paladi kembali menatap dua orang muridnya yang masih berdiri di depan beranda. Diperintahkan kedua muridnya untuk pergi. Dua orang pemuda itu menjura memberi hormat, kemudian berbalik dan melangkah pergi. Eyang Paladi kembali duduk di tepi dipan. Sebentar dipandangi Jruda yang masih belum sadarkan diri, kemudian pandangannya beralih pada Dalaga yang tetap tertunduk merayapi wajah adiknya.
"Dalaga, kuminta besok siang temui aku dipesanggrahan," pinta Eyang Paladi seraya bangkit berdiri.
"Baik, Eyang," sahut Dalaga ikut berdiri, dan langsung menjura memberi hormat
"Sebentar lagi adikmu siuman. Rawat sebaik-baiknya, besok siang kau harus membawanya serta menemuiku," kata Eyang Paladi lagi.
"Baik, Eyang."
"Hm...." Eyang Paladi melangkah meninggalkan beranda rumah yang kecil, namun berhalaman cukup luas ini.
Dalaga bergegas menggotong tubuh adiknya, lalu membawanya masuk ke dalam. Di dalam, seorang perempuan yang keadaannya berantakan menyongsongnya. Dia bergegas membantu Dalaga membawa Jruda, dan membaringkannya di pembaringan yang ada di ruangan tengah.
"Kenapa dia, Kakang?" tanya perempuan sambil menggelung rambutnya.
"Aku tidak tahu. Rumahnya terbakar," sahut Dalaga.
"Oh...!" perempuan itu menutup mulutnya terkejut. "Lalu, istri dan anaknya...?"
Dalaga tidak menjawab. Dihenyakkan tubuhnya di kursi dekat jendela, binar matanya kosong, langsung menangkap sosok tubuh ramping yang berdiri membelakangi pintu sambil bersandar pada dinding sebuah kamar. Gadis berusia sekitar delapan belas tahun itu melangkah menghampiri pembaringan. Diambilnya kendi dan baskom, lalu dituangkan air kendi itu ke dalam baskom. Diambilnya secarik kain. Dengan lembut dibersihkan wajah dan tubuh Jruda dari kotoran debu dan darah kering.
"Aku akan keluar, rawat dia baik-baik," kata Dalaga berpesan.
Dalaga langsung bangkit dan melangkah keluar. Sedangkan dua wanita di dalam rumah itu saling berpandangan. Tidak ada yang membuka suara lebih dahulu. Dari raut wajah mereka, terlihat jelas kedukaan yang dalam dan rasa kecemasan.
********************
Siang belum lagi naik tinggi. Dua orang laki-laki berjalan pelahan-lahan menuju sebuah tempat yang memiliki bangunan bagai kuil. Bangunan kecil terdiri dari batu-batu bertumpuk, dihiasi pahatan gambar-gambar penuh makna. Kedua laki-laki itu berhenti melangkah setelah tiba di depan tangga kuil itu.
Tidak berapa lama, muncul Eyang Paladi dari dalam kuil itu. Dituruninya undakan itu satu persatu dengan hati-hati sekali. Tidak ada lagi orang lain di sekitar pesanggrahan ini. Hanya mereka bertiga. Eyang Paladi, Dalaga, dan Jruda. Pembalut masih terlihat di beberapa bagian tubuh Jruda. Wajahnya juga masih terlihat pucat.
"Kami datang memenuhi panggilanmu, Eyang," ujar Dalaga seraya menjura hormat, diikuti Jruda.
"Ikut aku," kata Eyang Paladi.
Dalaga dan Jruda melangkah di belakang Eyang Paladi, menuju bagian belakang kuil dengan memutari bagian samping kanan. Ketiga orang itu berhenti di depan sebuah pendopo kecil di tengah-tengah halaman belakang. Eyang Paladi duduk di pendopo itu, sedangkan Dalaga serta Jruda juga duduk bersila di depan Eyang Paladi.
Dalaga sudah bisa menebak kalau Eyang Paladi pasti akan membicarakan hal penting yang ada kaitannya dengan peristiwa malam itu. Juga dua peristiwa sebelumnya yang meminta banyak korban nyawa. Pendopo di belakang kuil Pesanggrahan Bumi Lawa ini oleh Eyang Paladi selalu dijadikan tempat untuk mengadakan pembicaraan penting.
"Kau tahu, kenapa aku memintamu datang ke sini, Dalaga?" ujar Eyang Paladi setengah bertanya.
"Tentu, Eyang," sahut Dalaga penuh rasa hormat.
"Peristiwa malam itu adalah yang ketiga kalinya. Sudah banyak korban yang jatuh. Dan aku tidak ingin lagi melihat korban-korban lainnya," kata Eyang Paladi memulai percakapannya.
"Apa yang harus kulakukan, Eyang?" tanya Dalaga.
"Kau kenal benda ini, Dalaga?" Eyang Paladi mengeluarkan tiga buah rantai berwarna merah menyala dari balik lipatan jubahnya. Diletakkan tiga rantai yang masing-masing berjumlah sepuluh lingkaran itu di lantai.
Dalaga memandangi benda-benda itu dengan kepala tertunduk. Begitu juga Jruda. Kedua orang itu hanya diam saja sambil menundukkan kepala dalam-dalam. Sementara Eyang Paladi memandangi dengan tajam.
"Jujur saja padaku, Dalaga. Juga kau, Jruda. Kalian berdua adalah muridku yang paling kusayangi. Bahkan ayah kalian sudah kuanggap sebagai adik sendiri. Sayang dia terlalu cepat meninggalkan dunia ini. Kalau saja ayahmu masih hidup tentu peristiwa ini tidak akan terulang sampai tiga kali, " ujar Eyang Paladi pelan suaranya.
"Apa yang harus kulakukan, Eyang. Aku sendiri tidak tahu benda itu," kata Dalaga seraya mengangkat kepalanya.
"Hm...," Eyang Paladi menggumam tidak jelas. Dia menatap Jruda. Sedangkan yang ditatap hanya menunduk saja. Malah sebentar-sebentar memijat-mijat tangan kirinya sendiri. Kain pembalut masih menutupi tangan kiri sampai ke siku dari pangkal lengan. Sementara Dalaga hanya diam saja dengan bibir terkatup rapat.
"Dari semua korban, hanya kau yang bisa selamat, Jruda. Ceritakan dari awal kejadiannya, hingga kau mendapat luka seperti itu," pinta Eyang Paladi.
"Kejadiannya begitu cepat, Eyang. Aku hanya melihat dua orang berbaju serba hitam. Mereka membunuh anak dan istriku, Eyang. Aku berusaha melawan, tapi mereka terlalu kuat dan sangat tinggi tingkat kepandaiannya," Jruda mencoba menceritakan singkat
"Kau kenali wajah mereka?" tanya Eyang Paladi.
"Tidak. Mereka memakai topeng. Hanya matanya saja yang terlihat," sahut Jruda berusaha mengingat-ingat.
"Jruda, apa kedua orang tersebut mengucapkan sesuatu?" tanya Eyang Paladi lagi.
"Tidak. Mereka datang membongkar jendela, dan langsung membunuh anak dan istriku yang sedang tidur. Salah seorang mencoba membunuhku, tapi berhasil kuhindari. Aku tidak sempat lagi mengambil pedang, Eyang. Mereka berdua mengeroyokku. Sedangkan aku mencemaskan.... Oh...," Jruda berhenti, dan kembali tertunduk.
"Aku bisa mengerti perasaanmu, Jruda. Bukannya aku ingin membangkitkan kembali dukamu, tapi hanya ingin menyelesaikan persoalan ini," kata Eyang Paladi.
Jruda hanya menganggukkan kepalanya saja.
"Sejak terjadi peristiwa kedua, aku memang sudah menduga bakal ada peristiwa pembunuhan berikutnya hanya saja aku tidak habis pikir, kenapa hanya keluarga dan sanak keluarga kalian saja yang menjadi korban. Apa kalian punya musuh? Atau, mungkin sanak keluarga kalian...?"
"Entahlah, Eyang. Tapi yang jelas aku sendiri tidak punya musuh," sahut Dalaga lebih dahulu.
"Dan kau, Jruda?" Eyang Paladi menatap pemuda di samping Dalaga.
"Tidak, Eyang. Aku hidup dalam kesederhanaan, tapi merasa bahagia karena hidup dari hasil kerja memeras keringatku sendiri. Rasanya aku tidak punya musuh. Menyakiti sesama saja tidak pernah, Eyang," jelas Jruda.
"Sejak kecil aku sudah mengenal kalian berdua. Aku tahu kalau kalian tidak berbohong dan menyembunyikan sesuatu," ucap Eyang Paladi.
Dalaga dan Jruda saling berpandangan. Kata-kata Eyang Paladi itu memang terdengar lembut dan tenang, tapi mengandung kecurigaan yang dalam. Mereka sudah bersama-sama selama puluhan tahun, dan sudah bisa mengenal watak satu sama lain. Tapi baru kali ini Dalaga dan Jruda menangkap adanya nada ketidakpercayaan dari nada suara Eyang Paladi.
Ketidakpercayaan itu datang karena tiga peristiwa yang meminta korban jiwa tidak sedikit. Terakhir, peristiwa malam itu yang merenggut nyawa istri dan dua anak Jruda serta lima orang teman-teman Jruda yang kebetulan malam itu menginap di sana. Dan mereka semua adalah murid Eyang Paladi.
Eyang Paladi bangkit berdiri, kemudian melangkah meninggalkan bangunan pendopo itu. Dalaga dan Jruda masih tetap duduk bersila saling melempar pandang. Mereka kemudian berdiri dan berjalan pergi setelah Eyang Paladi jauh meninggalkan pendopo di belakang kuil Puri Pesanggrahan Bumi Lawa ini. Tak ada lagi yang membuka suara.
Semuanya diam membisu mengiringi ayunan kaki yang semakin jauh meninggalkan pesanggrahan itu. Sementara senja mulai merayap turun. Matahari hampir tenggelam di balik cakrawala sebelah Barat. Sinarnya yang redup, terasa lembut menyentuh kulit. Dalaga dan Jruda tidak langsung kembali ke rumah, tapi menengok tegalan dulu. Letaknya memang tidak jauh dari pesanggrahan itu.
********************
Dalaga menghenyakkan tubuhnya di rerumputan yang cukup tebal, ternaungi pohon beringin. Jruda tetap saja berdiri di samping kakaknya. Mereka memandang jauh ke depan, menembus cakrawala yang memerah jingga. Cukup lama juga mereka berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Hhh...! Eyang Paladi tidak percaya lagi pada kita, Jruda," desah Dalaga agak mengeluh.
"Ya. Aku juga merasakannya, Kakang. Tapi kita harus berbuat apa...? Kita memang tidak tahu siapa orang yang berbuat itu," sahut Jruda seraya menempatkan diri, duduk di samping kakaknya.
"Benar tidak dapat kau kenali orang itu, Jruda?" tanya Dalaga.
"Kau sendiri mulai tidak percaya padaku, Kakang."
"Aku percaya. Hanya rasanya, kok aneh. Selama menuntut ilmu pada Eyang Paladi, belum pernah aku bertarung secara sungguh-sungguh. Tidak ada musuh dalam diriku dan kehidupanku selama ini."
"Kau pikir aku juga punya musuh?"
"Kita berdua sama, Jruda. Kita dilahirkan dan dibesarkan di desa ini. Hm.... Apa mungkin persoalan ini menyangkut orang tua kita, atau mungkin juga saudara-saudara kita...?" Dalaga menebak-nebak.
"Jangan menduga terlalu jauh dulu, kakang. Sekarang ini kita seperti berada di dalam lorong gelap, tanpa tahu jalan yang harus ditempuh," Jruda memperingatkan.
"Terus terang, Jruda. Aku jadi penasaran. Siapa orang yang akan membantai keluarga kita...?" Dalaga seperti bicara pada dirinya sendiri.
Jruda hanya diam saja. Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Dia sendiri tidak tahu siapa kedua orang yang membantai keluarganya, juga lima orang temannya yang kebetulan menginap malam itu di rumahnya. Meskipun sempat bertarung beberapa jurus, tapi tidak bisa mengenali dua pembunuh itu. Malam itu sangat gelap, ditambah lagi dua pembunuh itu memakai pakaian yang berwarna gelap. Sukar untuk mengenalinya. Jurus-jurusnya pun begitu cepat dan dahsyat, tidak mudah dikenali sumbernya.
Agak lama juga kakak beradik itu terdiam membisu. Beberapa kali terdengar tarikan napas panjang dan berat Sementara suasana semakin meremang. Angin pun sudah mulai menyebarkan udara dingin. Tapi Dalaga dan Jruda masih tetap duduk di bawah pohon di pinggir tegalan. Tidak ada lagi orang yang lewat di tempat ini. Semua penduduk Desa Kiting tidak ada lagi yang berani keluar rumah jika senja sudah datang. Peristiwa-peristiwa pembunuhan liar yang terjadi tiga kali di desa ini membuat mereka dicekam perasaan takut.
"Sudah hampir malam, Kakang," ujar Jruda seraya bangkit berdiri.
"Pulanglah dulu, aku masih ingin di sini," ujar Dalaga tetap duduk.
"Kau tidak apa-apa sendirian, Kakang?"
"Katakan pada istriku, sebentar lagi aku pulang."
"Baiklah."
Jruda mengayunkan kakinya meninggalkan tegalan itu. Sedangkan Dalaga masih tetap duduk bersandar pada batang pohon. Pandangannya menerawang jauh, memikirkan kejadian-kejadian yang mengerikan selama ini Desa yang selama ini tentram dan damai, kini berubah bagai dipenuhi kabut maut yang setiap saat bisa saja merenggut nyawa. Kabut maut itu bermula dari terbantainya satu keluarga kakak sulung Dalaga. Sepekan kemudian, disusul terbantainya keluarga pamannya. Dan kemarin malam keluarga adiknya. Semua tewas, hanya Jruda yang masih bisa diselamatkan nyawanya.
Trrek!
"Eh...!" Dalaga tersentak kaget begitu tiba-tiba terdengar suara ranting patah.
Secepat kilat laki-laki setengah baya itu melompat bangkit, dan langsung berbalik. Tapi belum juga bisa berpikir jauh, mendadak saja seberkas cahaya kuning berkilat melesat cepat ke arahnya. Dalaga langsung memiringkan tubuh ke kanan sambil menggeser kakinya sedikit. Sinar kuning itu lewat di samping tubuhnya, dan terus menghantam sebatang pohon kelapa hingga tumbang.
"Hup!"
Dalaga bergegas melompat ke kanan, menghindari pohon kelapa yang jatuh ke arahnya. Dan belum lagi bisa berbuat sesuatu, mendadak saja dari balik sebuah pohon muncul dua orang berbaju biru tua yang sangat ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan tegap berisi.
Dalaga terkesiap begitu melihat wajah kedua orang yang memakai topeng berbentuk muka babi. Sebilah pedang masing-masing tersampir di punggung. Mereka juga memakai sabuk dengan bola-bola emas melilit pinggangnya. Dalaga tahu kalau cahaya keemasan yang hampir menghantam tubuhnya tadi adalah salah satu dari bola-bola kecil berwarna kuning keemasan dari sabuk orang itu.
"Siapa kalian?!" tanya Dalaga agak membentak.
"Hm...," salah seorang bergumam.
Dan bersamaan dengan terlemparnya sebuah rantai merah bertaut sepuluh lingkaran, salah seorang langsung melompat bagai kilat menerjang. Dalaga terkesiap sejenak, lalu buru-buru membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun begitu melompat bangkit, salah seorang lagi sudah melompat cepat sambil melayangkan satu tendangan kilat bertenaga dalam sangat tinggi.
Dalaga tidak mungkin lagi berkelit. Posisi tubuhnya saat ini tidak memungkinkan. Maka tendangan keras itu langsung menghantam dadanya, hingga laki-laki setengah baya itu terpental jauh ke belakang. Sebongkah batu besar terguling terlanda tubuh Dalaga.
"Hiaaat...!"
Dalaga membeliak lebar begitu orang yang menendangnya kembali melompat sambil mencabut pedang. Cahaya keperakan dari pedang yang terhunus, berkelebat cepat mengarah ke leher Dalaga. Dan sesaat kemudian...
"Aaa...!" Dalaga menjerit melengking tinggi. Hanya sebentar Dalaga mampu bergerak, kemudian roboh menggelepar. Kepalanya telah terpisah dari leher!
Sebelum Dalaga diam, dua orang bertopeng muka babi itu sudah melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tinggal Dalaga sendiri meregang nyawa. Dari lehernya yang buntung tanpa kepala, mengalir darah segar membasahi rerumputan. Tepat di saat terdengar suara lolongan panjang anjing hutan, Dalaga tidak bergerak-gerak lagi. Tubuhnya terbujur bersimbah darah, sedangkan kepalanya berada cukup jauh dari lehernya.
********************
DUA
Kematian Dalaga makin menggemparkan penduduk Desa Kiting. Sungguh tragis! Kepalanya buntung, dan hampir seluruh tubuhnya dicabik anjing-anjing hutan yang kelaparan. Semalaman Dalaga terbujur menjadi santapan anjing liar. Dan baru pagi harinya ditemukan, ketika penduduk akan ke tegalan. Dalam hal ini, yang paling terpukul adalah Jruda.
Semua orang tahu kalau kemarin Jruda bersama-sama dengan kakaknya. Bahkan ketika Eyang Paladi meninggalkan pesanggrahan, mereka masih bersama-sama. Pandangan sinis dan bernada menuduh terlontar dari mulut penduduk untuk pemuda itu.
Jruda semakin tertekan. Apalagi Eyang Paladi juga mencurigainya, meskipun dia sudah mengatakan yang sebenarnya. Dia dan Dalaga memang ke tegalan itu setelah pulang dari pesanggrahan. Hanya saja Jruda pulang lebih dahulu, meninggalkan Dalaga sendirian di sana. Tapi keterangan Jruda tidak ada yang mempercayai, bahkan Eyang Paladi sendiri tidak percaya.
"Kau juga tidak percaya padaku, Rimah?" datar nada suara Jruda. Pandangannya lurus menatap istri kakaknya yang tidak henti-hentinya mengeluarkan air mata.
Rimah diam saja. Disusut air matanya dengan ujung kebaya. Suaminya sudah terkubur, dan dia kini sendirian harus mengurus empat orang anak. Mereka semua duduk di balai bambu diruangan tengah: Parti, anak sulungnya hanya duduk tertunduk saja di samping ibunya.
"Aku akan mencari pembunuh keparat itu!" desis Jruda geram.
"Apa yang akan kau lakukan, Jruda?" tanya Rimah tersendat
Jruda tidak langsung menjawab. Dia sendiri tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun itu memandang keluar jendela. Tampak empat orang murid Eyang Paladi berjaga-jaga di sekitar rumah itu. Jruda tahu kalau masih ada beberapa lagi di sekitar rumah ini, dan dia tahu kalau Eyang Paladi tidak meninggalkan rumah ini selama dia masih berada di dalam.
Sakit hati Jruda, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Menyalahkan kecurigaan Eyang Paladi saja dia tidak bisa. Posisinya saat ini memang sulit. Banyak orang yang melihatnya terakhir bersama Dalaga di tegalan itu, di mana mayat Dalaga tergeletak dengan tubuh koyak dan kepala buntung.
"Aku tidak menyalahkan kalian, jika tidak mengijinkan lagi aku tinggal di sini. Nasib kita sama. Sama-sama kehilangan orang yang kita cintai. Tapi sekarang ini aku jadi orang yang dicurigai sebagai pembunuhnya. Akan kubuktikan kalau aku tidak bersalah," pelan, namun terdengar tegas nada suara Jruda.
"Aku tidak menuduhmu, Jruda. Kau boleh tinggal di sini. Kami semua membutuhkan perlindunganmu," ujar Rimah seraya menyusut air matanya.
"Benar! Paman harus tetap tinggal di sini," sambung Parti, anak sulung Dalaga. Dia cukup cantik, masih gadis dan baru berusia sekitar delapan belas tahun.
"Aku akan melindungi kalian semua, tapi tidak di rumah ini. Aku tidak bisa tinggal di sini lagi. Percayalah pada Eyang Paladi. Beliau pasti melindungi kalian semua," kata Jruda terharu. Sebab, hanya keluarga ini saja yang tidak menuduhnya sebagai pembunuh keji yang telah menewaskan Dalaga.
"Lalu, kau akan ke mana?" tanya Rimah.
"Tidak jauh dari sini, tapi juga tidak kelihatan orang lain," sahut Jruda.
"Hhh...! Seharusnya Eyang Paladi tidak melimpahkan tuduhan seperti itu padamu, Jruda. Aku menyesal...," desah Rimah.
"Semua sudah terjadi, Kak. Tidak ada yang perlu disesalkan lagi. Semua tuduhan itu kuterima, meskipun aku merasa tidak bersalah. Aku yakin, ada orang yang menginginkan keluarga kita hancur," tegas Jruda.
"Siapa...?" Rimah seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Entahlah," sahut Jruda mendesah. "Sekarang ini kita semua belum tahu. Aku yakin, satu saat nanti akan mengetahuinya!" tekad Jruda.
Untuk beberapa saat tidak ada yang bicara lagi. Jruda bangkit berdiri dan melangkah menghampiri jendela. Matanya mengarah keluar, mengamati keadaan sekitarnya. Tampak sepi. Tidak ada seorang penduduk pun yang berani keluar rumah, meski hari masih siang. Terlihat beberapa orang murid Eyang Paladi berjaga-jaga. Bukan saja di rumah ini, tapi juga di rumah keluarga Jruda yang lain, serta tempat-tempat yang cukup memungkinkan.
Memang banyak murid Eyang Paladi. Semuanya tidak kurang dari lima puluh orang. Dan rata-rata masih berusia sekitar dua puluh tahun. Masih muda-muda, namun memiliki kepandaian yang lumayan. Eyang Paladi sendiri sebenarnya masih memiliki murid utama yang berjumlah sepuluh orang. Rata-rata kemampuannya hampir menyamai Dalaga dan Jruda yang juga murid tertua Eyang Paladi.
Jruda sendiri menjadi murid Eyang Paladi setelah berusia sekitar tujuh belas tahun. Sebelumnya dia mempelajari ilmu olah kanuragan dari ayahnya sendiri, yang menjadi salah seorang pendiri Padepokan Mega Kiting. Padepokan itu kini dipimpin Eyang Paladi setelah ayah Jruda meninggal.
"Hhh...!" Jruda menghembuskan napas panjang. Sebentar dia berbalik, lalu menatap pada Rimah dan keempat anaknya. Langkahnya pelahan mendekati pintu, dan membukanya. Tampak dua orang murid Eyang Paladi berjaga-jaga di depan pintu. Mereka sempat melirik sedikit pada Jruda.
"Jadi pergi, Paman Jruda?" tanya salah seorang bernada sinis.
"Hmm," Jruda hanya menggumam kecil. Laki-laki berusia dua puluh lima tahun berbaju kuning gading itu melangkah setelah menutup kembali pintunya. Jalannya tidak tergesa-gesa. Semua murid Eyang Paladi memandanginya dengan tatapan sinis. Beberapa kepala terlihat menyembul keluar dari dalam rumah. Para penduduk Desa Kiting hanya bisa memandang dari balik pintu dan jendela.
Jruda bisa merasakan pandangan mereka semua, dan hanya mampu meredam semua yang bergejolak dalam hatinya. Tapi disadari kalau mereka semua tidak bisa disalahkan. Jruda terus melangkah menuju arah Timur, ke arah sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi menjulang dengan pohon-pohon tumbuh subur merapat
"Akan kubuktikan...!" desis Jruda bertekad dalam hati.
********************
Tiga hari setelah kcpergian Jruda, suasana Desa Kiting semakin tidak menentu. Setiap hari selalu saja terjadi pembunuhan. Bukan saja sanak keluarga Jruda, tapi juga penduduk yang tidak tahu menahu dengan urusan itu. Kabut tebal menyelimuti seluruh Desa Kiting. Semua penduduk dicekam rasa takut yang amat sangat. Tidak ada lagi tempat yang aman. Pembunuh misterius itu dapat masuk ke rumah kapan saja dia mau, dan selalu meninggalkan mayat.
Siang itu udara panas sekali. Matahari bersinar terik tanpa terhalang awan sedikit pun di langit Tak ada angin bertiup, sehingga menambah panasnya udara siang ini. Seorang penunggang kuda hitam membelah jalan berdebu pelahan-lahan. Penunggangnya masih muda, berkulit kuning langsat bagai kulit wanita. Tapi dari raut wajahnya terlihat jelas kalau itu seorang pemuda.
Penunggang kuda itu sempat melirik seorang laki-laki yang tengah duduk di tepi jalas sambil berteduh di bawah pohon yang cukup rindang. Sebelah kakinya sengaja direndam dalam aliran air yang bening dan sejuk. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu sama sekali tidak peduli pada kuda yang melintas pelahan di depannya. Malah matanya agak terpejam dengan kepala bersandar pada batang pohon.
Kuda hitam tegap itu terus berjalan membelah jalan berdebu. Penunggangnya juga tidak lagi memperhatikan sekelilingnya. Pandangannya tetap lurus mengarah pada sebuah bangunan yang cukup besar dan memanjang, dikelilingi pagar kayu bulat yang cukup tinggi. Kuda hitam itu berhenti tepat di depan pintu pagar kayu yang dijaga dua orang bersenjata golok terselip di pinggangnya.
"Maaf. Apakah Eyang Paladi ada?" tanya pemuda itu ramah.
"Kisanak siapa?" tanya salah seorang penjaga tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu.
"Aku Pramana, cucu Eyang Paladi," sahut penunggang kuda itu.
Kedua penjaga yang juga murid Eyang Paladi itu memperhatikan sejenak, lalu menggeser memberi jalan. Pemuda yang mengaku bernama Pramana itu menggebah kudanya pelahan. Kuda hitam itu pun kembali berjalan memasuki halaman yang luas, dikelilingi pagar kayu gelondongan yang tinggi dan tampak kokoh.
"Hup...!"
Pramana melompat turun sebelum kuda hitam itu berhenti melangkah. Dan dengan dua kali putaran saja, sudah tiba di ujung atas undakan beranda bangunan besar dengan bagian samping memanjang bagai barak. Tepat pada saat kaki pemuda itu menjejak lantai, dari dalam muncul Eyang Paladi didampingi dua orang murid utamanya.
"Eyang...," ucap Pramana langsung berlutut memberi hormat.
"Pramana...!" Eyang Paladi nampak terkejut.
Buru-buru dihampiri dan dibangunkannya pemuda itu. Pramana bangkit berdiri, lalu menjura sekali lagi dengan membungkukkan tubuhnya sedikit Eyang Paladi memandangi wajah tampan di depannya. Kemudian bola matanya berputar merayapi seluruh tubuh yang mengenakan baju putih ketat, sehingga memetakan tubuhnya yang tegap padat dan berotot.
"Kenapa tidak memberitahu dulu kalau ingin datang, Pramana?" tanya Eyang Paladi seraya membawa cucunya itu masuk ke dalam.
Dua orang murid laki-laki tua itu meneruskan langkahnya keluar. Eyang Paladi membawa cucunya ke bagian tengah dari salah satu bangunan besar di Padepokan Mega Kiting, yang hanya satu-satunya di Desa Kiting ini. Perguruan silat itu memang sudah cukup lama terbentuk, dan didirikan oleh seorang pendekar ternama pada masa tiga puluh tahun yang lalu. Eyang Paladi tinggal meneruskan saja, karena merupakan sahabat kental pendekar itu.
"Kau datang sendiri?" tanya Eyang Paladi setelah mereka duduk di kursi saling berhadapan. Hanya sebuah meja bundar menghalangi. "Kenapa tidak kau bawa adikmu?" tanya Eyang Paladi lagi. Padahal pertanyaannya yang pertama saja belum terjawab.
"Rawuni menyusul nanti," sahut Pramana.
Eyang Paladi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku dan Rawuni bermaksud ingin menetap. Itu pun kalau Eyang mengijinkan," ungkap Pramana langsung tanpa basa-basi lagi.
"Tentu saja boleh, Pramana. Dari dulu aku sudah memintamu dan adikmu tinggal di sini. Kapan saja pintu rumah ini selalu terbuka untukmu," kata Eyang Paladi senang.
"Terima kasih, Eyang," ucap Pramana.
"Bagaimana keadaan keluarga pamanmu?" tanya Eyang Paladi.
"Semua baik-baik saja, Eyang," sahut Pramana diiringi senyuman tipis.
"Aku senang mendengarnya. Kau ingin tinggal di sini sudah pamitan dengan pamanmu?"
"Sudah! Bahkan Paman sendiri yang menganjurkan. Katanya agar aku dan Rawuni bisa menambah kepandaian di sini."
"Ha ha ha...! Apa lagi yang bisa kuberikan padamu, Pramana? Aku yakin, Paman Darwala sudah memberikan semua yang dimiliki. Buktinya, pedang kesayangan pamanmu sekarang telah kau sandang. Itu berarti kau sudah menguasai jurus 'Tarian Dewa Pedang'."
Pramana hanya tersenyum saja. Terasa hambar senyuman pemuda itu, tapi Eyang Paladi tidak memperhatikannya. Dia terlalu gembira dengan kedatangan cucunya. Terlebih lagi Pramana mengatakan hendak menetap di pesanggrahan ini, yang memang sudah diharapkannya sejak dulu. Tepatnya ketika cucu-cucunya ini masih kecil, dan ditinggal mati kedua orang tuanya.
"Ayo, Pramana. Akan kutunjukkan kamarmu," kata Eyang Paladi seraya bangkit berdiri.
Pramana kembali tersenyum, lalu ikut berdiri dan melangkah mengikuti Eyang Paladi. Matanya selalu memperhatikan setiap ruangan yang dilewati. Beberapa murid Eyang Paladi menjura memberi hormat saat berpapasan, tapi sempat juga melirik pemuda yang berjalan di belakang Ketua Padepokan Mega Kiting itu. Dan Pramana juga mengetahui, tapi diam saja. Pura-pura tidak tahu.
********************
Seekor kuda hitam berpacu cepat meninggalkan Desa Kiting. Kuda itu menuju ke arah Timur, di mana terpampang sebuah bukit tidak terlalu tinggi. Debu mengepul tersepak kaki kuda yang berlari cepat bagai dikejar setan. Penunggangnya seorang pemuda berwajah tampan, dan berkulit kuning langsat seperti wanita. Memasuki daerah hutan di kaki bukit itu, kuda hitam itu tidak juga memperlambat larinya.
Tapi mendadak saja kuda hitam itu berhenti berlari, lalu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Penunggang kuda itu terperanjat, langsung melompat. Tubuhnya berputaran tiga kali di udara, lalu ringan sekali kakinya menjejak tanah. Tampak kuda hitam itu mendengus-dengus menghentak-hentakkan kaki depannya ke tanah.
"Hm.... Tenanglah, Hitam. Aku juga tahu," gumam pemuda itu pelan.
Sebentar pemuda itu menatap ke satu arah, lalu dengan cepat dikibaskan tangan kanannya. Dan secepat tangan itu bergerak, secepat itu pula secercah cahaya merah melesat bagai sebatang anak panah lepas dari busur. Sinar merah itu meluncur deras menembus semak belukar didepannya.
Slap!
Bersamaan dengan menghilangnya cahaya merah itu ke dalam semak, melesat satu sosok tubuh ke atas. Dua kali tubuh itu berputar di udara, lalu manis sekali mendarat sekitar tiga batang tombak di depan pemuda berbaju putih itu.
"Siapa kau?! Kenapa menghadang jalanku?!" bentak pemuda berbaju putih itu.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu!" dengus orang yang ternyata Jruda.
"Hm.... Aku tidak kenal siapa dirimu," gumam pemuda itu dengan kening agak berkerut.
"Tapi aku kenal denganmu, Pramana!" dingin nada suara Jruda.
"Siapa kau sebenarnya?" dengus Pramana terkejut, karena orang di depannya mengenal dirinya.
"Kau tidak perlu tahu diriku. Yang harus kau ketahui hanya satu. Jangan coba-coba mengganggu kehidupan kami. Kau tidak berhak hidup di Desa Kiting. Jelas...!" dingin sekali suara Jruda.
"Hey...! Apa hakmu melarangku tinggal di sana?"
"Jangan banyak tanya! Desa Kiting bukan tempatmu. Sebaiknya tinggalkan desa itu, dan jangan kembali lagi!" bentak Jruda.
"Kau mengancam, Kisanak."
"Terserah penilaianmu. Aku bisa berlaku lebih kejam darimu!"
"O...! Hebat! Ternyata kau punya nyali besar juga sehingga berani menantangku."
"Tidak ada yang kutakuti, termasuk gurumu!"
"Bagus! Bersiaplah, Kisanak! Hiyaaat..!"
Pramana langsung saja membuka jurus. Dan bagaikan seekor kijang, tubuhnya melompat menerjang Jruda yang sejak tadi sudah bersiap. Pertarungan dua orang itu tidak dapat dihindari lagi. Meskipun Pramana tidak mengetahui alasan orang itu membencinya, tapi pantang baginya mendapat tantangan terbuka seperti itu. Tidak tanggung-tanggung, Pramana menyerang disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi.
Sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan itu sudah porak poranda bagai terkeria amukan seribu ekor gajah. Pohon-pohon tumbang, dan batu-batuan pecah berantakan. Debu mengepul tinggi ke udara, membentuk awan yang menyesakkan dada. Namun pertarungan itu tidak juga berhenti, bahkan semakin sengit saja. Malah setelah melewati sepuluh jurus, masing-masing sudah menghunus senjata. Mereka bertarung dengan pedang tergenggam, siap mencabik siapa saja yang lebih rendah kepandaiannya.
Trang!
"Ikh...!' Jruda tersentak ketika menangkis tebasan pedang Pramana. Dia langsung melompat mundur tiga tindak.
Dan belum lagi Jruda bisa menguasai tangannya yang bergetar akibat adu senjata tadi, Pramana sudah melompat sambil mengarahkan ujung pedangnya ke arah dada. Cepat sekali Jruda melompat ke samping menghindari tusukan pedang itu, dan langsung melentingkan tubuhnya ke atas. Manis sekali kakinya hinggap di atas dahan, lalu pedangnya dikibaskan kesalah satu ranting.
"Hait..!"
Cras!
Bukan main terkejutnya Pramana. Tiba-tiba saja tubuhnya terangkat naik, dan terkurung jaring yang begitu kuat. Pramana berusaha memberontak, tapi jaring itu demikian kenyal. Tubuhnya tertekuk, dan pedangnya jatuh ke tanah. Pramana tergantung, terbungkus jaring sekitar dua batang tombak tingginya dari tanah.
"Hup...!"
Jruda melompat turun, dan berdiri tegak bertolak pinggang begitu mendarat. Kepalanya mendongak memandang Pramana yang berusaha melepaskan jaring yang membelenggu tubuhnya, hingga tergantung seperti itu.
"Ha ha ha...! Kau akan mati pelahan, Pramana! Selamat menikmati kematianmu!" seru Jruda tertawa terbahak-bahak.
Pramana menggeram, memaki, dan menyumpah serapah. Tapi Jruda malah semakin keras tawanya. Dia berbalik dan melangkah menghampiri pohon besar. Seutas tambang terikat di pohon itu. Dibukanya tambang itu dan diturunkan Pramana pelahan-lahan. Setelah jaraknya cukup dekat ke tanah, Jruda mengikat lagi tambang itu ke pohon.
Sambil tertawa terbahak-bahak, Jruda berlari cepat dan menghilang ke dalam hutan. Sebentar masih terdengar suara tawanya, kemudian pelahan-lahan menghilang tersapu angin. Sementara Pramana berusaha melepaskan diri dari jeratan jaring itu. Dicobanya untuk memutuskan jaring. Meskipun sudah mengeluarkan tenaga dalam penuh, tapi jaring itu tetap tidak mau putus. Pramana sadar kalau jaring ini terbuat dari bahan yang sangat kuat.
"Setan!" rutuk Pramana sengit. Pemuda itu memandang pedangnya yang tergeletak di tanah. Dikeluarkan kakinya, dan berusaha menjangkau pedangnya. Tapi tidak juga sampai. Sia-sia saja semua usaha yang dilakukannya. Pramana merutuk dan memaki habis-habisan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Dan dia tahu, kalau malam tempat ini dipenuhi anjing hutan yang kelaparan. Jaraknya cukup untuk binatang liar itu menjangkau tubuhnya. Pramana jelas tidak mau mati sia-sia begini.
Meskipun tahu akan sia-sia, tapi Pramana berusaha melepaskan diri dari jerat menyakitkan hati ini. Baginya lebih baik mati dalam pertarungan daripada tersiksa tanpa daya seperti ini. Otaknya berpikir keras mencari cara untuk bisa terlepas. Namun segala cara yang digunakan hanya membuatnya memaki, mengumpat habis-habisan.
"Setan! Siapa pun dia, harus mampus di tanganku!" maki Pramana geram.
********************
TIGA
Senja terus merayap lambat menjelang malam. Pramana masih tergantung di dalam jaring. Peluh sudah sejak tadi membasahi sekujur tubuhnya. Jelas hatinya tampak putus asa, karena segala usaha yang dilakukan tidak berhasil untuk melepaskan diri dari jaring keparat ini. Pemuda itu menoleh ketika mendengar siulan yang timbul tenggelam terbawa angin senja. Siulan tanpa irama yang jelas, semakin terdengar mendekat ke arahnya.
"Hey...!" teriak Pramana sekuat-kuatnya.
Teriakan Pramana menggema, terpantul dinding-dinding bukit dan lembah serta hutan. Beberapa kali Pramana berteriak disertai pengerahan tenaga dalam. Tapi siulan itu tetap terdengar berirama sumbang.
"Hey...! Siapa kau di situ?! Cepat kesini...!" teriak Pramana keras.
Suara siulan itu berhenti. Pramana mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dan tatapannya langsung tertuju pada sebuah semak yang bergerak-gerak. Jantungnya berdebar, berharap ada orang yang datang dan bersedia menolongnya. Sama sekali tidak diharapkan kalau binatang buas yang muncul.
"Oh...," Pramana mendesah panjang ketika dari dalam semak muncul seorang laki-laki muda berpakaian kulit harimau. Pemuda itu tertegun melihat seseorang tengah tergantung dalam jaring seperti ikan. Dia berhenti melangkah dan memandangi dengan perasaan heran.
"Kisanak, cepat turunkan aku...," pinta Pramana.
"He...! Kau bisa bicara...?! Kukira kau monyet yang terperangkap!" seru pemuda itu.
"Ini bukan waktunya bergurau, Kisanak! Cepat turunkan aku dari sini!" bentak Pramana gusar.
"Ck ck ck... Galak juga," pemuda berbaju kulit harimau itu berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Pelahan pemuda itu melangkah semakin mendekati. Dipandangi Pramana yang tampak geram, karena merasa dirinya jadi tontonan. Tapi Pramana berusaha meredam kemarahannya.
Saat itu pemuda berbaju aneh itu sangat dibutuhkan pertolongannya untuk melepaskannya dari jaring keparat ini. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu malah melangkah memutarinya. Beberapa kali mulutnya berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Lagaknya seperti seorang saudagar yang tengah mengagumi barang indah dan langka. Tentu saja tingkah pemuda itu membuat Pramana jadi gusar, namun masih bisa menahan diri.
"Kisanak...!" tegur Pramana tidak sabar lagi.
"Oh...! Kau bicara lagi...?" pemuda berbaju kulit harimau itu menatap Pramana.
"Lepaskan jaring ini! Aku akan memberimu imbalan yang pantas," bujuk Pramana.
"Kau seperti anak saudagar kaya, atau kau putra pembesar kerajaan yang kesasar?" pemuda itu seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
"Terserah apa saja! Cepat! Lepaskanlah aku dari jaring keparat ini, Kisanak!" dengus Pramana tidak sabar.
"Hm...," pemuda itu bergumam dan memandangi Pramana yang nampak gusar, namun penuh harap untuk bisa terlepas dari perangkap jaring ini.
Pemuda berbaju kulit harimau itu memungut pedang yang tergeletak di tanah. Ditimang-timangnya pedang itu, lalu diberikannya pada Pramana. Kasar sekali Pramana merebut pedang itu, kemudian langsung berusaha berdiri. Seketika ditebaskan pedangnya pada tambang yang mengikat bagian atas jaring ini. Tambang itu putus, dan Pramana jatuh bersama jaring yang masih mengurung dirinya.
Pramana berusaha keluar dari jaring itu. Dimasukkan pedangnya dalam sarungnya, setelah lepas dari jaring yang membelenggunya. Sebentar ditatapnya pemuda berbaju kulit harimau yang menolongnya, kemudian tanpa berkata apa-apa lagi Pramana langsung berbalik dan melangkah cepat menghampiri kuda hitamnya yang setia menunggui sambil merumput sekenyang-kenyangnya.
"Hup!" Pramana melompat naik ke punggung kuda itu.
Sekali gebah saja, kuda hitam itu langsung melesat pergi meninggalkan debu yang mengepul bercampur daun-daun kering. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau hanya memandangi saja sambil menggeleng gelengkan kepala, kemudian kembali melangkah. Mulutnya bersiul-siul mendendangkan lagu tanpa irama yang pasti.
"Berhenti...!"
Pemuda berbaju kulit harimau itu terkejut ketika mendengar bentakan yang keras dan tiba-tiba dari arah belakang. Tubuhnya berbalik dan tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun. Sebilah pedang panjang tergantung dipinggang. Siulan pemuda berbaju kulit harimau itu terhenti seketika.
"Kau yang melepaskan tawananku...?" laki-laki yang ternyata adalah Jruda itu menunjuk jaring yang tergeletak di sampingnya.
"Tawanan...?" pemuda berbaju kulit harimau itu mengerutkan keningnya.
"Kau yang lewat di sini, tentu kaulah yang memutuskan jaring ini!" dengus Jruda.
"Aku tidak memutuskan jaring itu. Dia sendiri yang melakukannya," bantah pemuda berbaju harimau itu kalem.
"Mustahil! Tidak ada yang mampu memutuskan jaring ini. Pasti kaulah yang menolongnya!"
"Menolong siapa? Aku hanya memberikan pedang yang tergeletak di tanah, kemudian dia sendiri yang memutuskan tambang itu, dan keluar dari jaringmu."
"Sama saja, tolol!" bentak Jruda geram.
"He...! Kenapa marah?"
"Kau melepaskan tawanan berhargaku, maka kau harus bertanggung jawab!" geram Jruda. Setelah berkata demikian, Jruda langsung saja melompat menerjang.
"Hey...! Tunggu!"
Tapi Jruda tidak peduli terhadap peringatan itu. Pemuda itu diserangnya dengan beberapa pukulan beruntun dan mengandung tenaga dalam cukup tinggi.
Pemuda berbaju kulit harimau itu berlompatan menghindari serangan yang dansyat dan cepat. Jruda semakin geram, karena beberapa serangannya selalu gagal.
"Uh! Rupanya di sini banyak orang gila! Tidak ada urusan main serang saja...!"
lenguh pemuda berbaju kulit harimau itu seraya tidak berhenti berkelit. Tiba-tiba saja dengan kecepatan yang sangat tinggi dan sukar diduga, pemuda itu melenting ke atas. Dan secepat itu pula, menukik deras. Tangan kirinya berkelebat cepat, langsung menghantam bahu kanan Jruda.
"Hegh!"
Jruda berusaha bertahan, tapi seketika itu juga ambruk ke tanah setelah satu totokan jari mendarat di lehernya. Pemuda berbaju kulit harimau itu berdiri tegak di dekat tubuh yang tergeletak tidak berdaya, karena jalan darahnya tertotok. Sebentar pemuda itu memandangi, kemudian berbalik hendak pergi.
"Hey...! Tunggu!" seru Jruda berusaha menggeliat. Tapi seluruh tubuhnya terasa lumpuh, sukar digerakkan lagi. Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak jadi melangkah pergi, dan kembali berbalik menatap laki-laki yang tergeletak tak berdaya.
"Bebaskan aku! Jangan tinggalkan aku di sini," kata Jruda memohon.
"Heran.... Kenapa semua orang takut di sini sendirian? Apakah tempat ini sarang dedemit?" gumam pemuda itu seperti bicara untuk dirinya sendiri.
"Jangan bergurau, Kisanak. Cepat bebaskan sebelum...."
Belum juga Jruda menghabiskan ucapannya, tiba-tiba terdengar lolongan anjing hutan yang panjang mendirikan bulu kuduk. Seketika itu juga wajah Jruda pucat pasi. Kalau saja tubuhnya bisa bergerak, mungkin sudah gemetar. Suara lolongan anjing hutan itu semakin terdengar dekat. Terlebih, bukan hanya satu. Lolongan itu saling sahut, seperti sama-sama memberitahu ada manusia di sekitar tempat ini.
"Cepat, sebelum keparat-keparat itu muncul!" sentak Jruda.
"Hanya anjing, kenapa harus takut?" pemuda berbaju dari kulit harimau itu kelihatan tenang saja, dan malah duduk di samping Jruda.
"Gila kau! Bebaskan totokanmu cepat!" rungut Jruda berusaha menggelinjang.
Sementara lolongan anjing semakin banyak terdengar. Begitu dekat terdengar, sehingga membuat Jruda semakin pucat wajahnya. Dia berusaha menggelinjang, mencoba membebaskan totokan pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi totokan itu sangat kuat sekali, karena disalurkan lewat pengerahan tenaga dalam sempurna. Jruda sadar kalau tenaga dalam dan hawa murninya kalah jauh, dan tidak mungkin terbebas dari totokan kalau bukan pemuda berbaju kulit harimau itu sendiri yang melakukannya.
"Sudah kukatakan, hanya anjing...," ujar pemuda itu terputus seketika.
Satu ekor anjing hutan muncul dari semak. Tidak berapa lama kemudian datang lagi. Dan jumlahnya pun semakin bertambah banyak. Datang dari segala penjuru, langsung membentuk lingkaran mengepung kedua orang itu.
"Huh! Bodoh...! Cari mampus!" gerutu Jruda putus asa.
"Hm...," pemuda berbaju kulit harimau itu menggumam pelahan. Hampir tidak terdengar gumamannya. Cepat sekali tangan pemuda itu bergerak, dan jari-jarinya bergerak lincah menotok jalan darah di tubuh Jruda. Totokan pembuka itu kontan bekerja, lalu Jruda menggelinjang bangkit berdiri. Tapi seekor anjing hutan menggerung. Jruda langsung diam tidak bergerak-gerak lagi. Kedua bola matanya membeliak begitu melihat puluhan anjing hutan liar sudah mengepungnya. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu masih tetap duduk tenang.
"Jangan menimbulkan perhatian. Tetap saja tenang," perintah pemuda berbaju kulit harimau itu kalem.
"Huh! Ini semua gara-garamu!" rungut Jruda.
"Tenanglah, diam saja. Jangan banyak bicara."
"Kalau kau menuruti kata-kataku tadi, tidak akan jadi begini. Huh...!" gerutu Jruda habis-habisan.
Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu tetap duduk tenang tanpa bergerak sedikit pun. Jruda masih menggerutu. Segera ditarik pedangnya keluar dari sarungnya. Dan begitu pedangnya keluar, mendadak seekor anjing hutan liar itu meraung keras, lalu melompat menerjang cepat.
"Hait...!"
Wut!
Jruda mengibaskan pedangnya cepat. Anjing hutan itu menggerung keras, dan jatuh menggelepar dengan perut sobek terbabat pedang. Melihat temannya tewas seketika, anjing-anjing lainnya menggeram marah memperlihatkan taring-taringnya yang tajam mengerikan. Jruda bersiap-siap dengan pedang terhunus.
"Kau membuat kesulitan!" dengus pemuda berbaju kulit harimau.
"Diam kau!" bentak Jruda sengit. "Semua ini gara-garamu!"
"Sebentar lagi mereka akan menyerang, mengoyak tubuhmu. Satu nyawa mereka belum cukup jika dibayar darah dan dagingmu," ujar pemuda berbaju kulit harimau itu lagi. Suaranya tetap tenang.
Jruda jadi menatap tajam pemuda yang masih duduk bersila tenang, tidak bergeming sedikit pun. Dia terpaku mendengar kata-kata pemuda itu. Kata-kata yang begitu aneh terdengar ditelinga, dan begitu dalam mengandung banyak arti.
Tapi belum juga Jruda bisa memahami kata-kata pemuda berbaju kulit harimau itu, mendadak saja dua ekor anjing hutan yang mengepung tempat ini melompat sambil bersuara keras menggetarkan jantung. Jruda kontan melompat sambil mengibaskan pedangnya.
Seekor meraung keras, dan terjungkal bersimbah darah. Jruda kembali membabatkan pedangnya untuk yang seekor lagi. Tapi belum juga pedangnya mengenai sasaran, beberapa ekor sekaligus sudah melompat lagi. Jruda berpelantingan, berlompatan menghindari serangan anjing anjing hutan itu. Pedangnya berkelebatat cepat membabat binatang-binatang liar yang kelaparan itu.
"Setan...!" dengus Jruda menggeram.
Matanya sempat melirik pemuda berbaju kulit harimau yang tetap duduk tenang bersila. Tidak ada anjing seekor pun yang memperhatikan pemuda berbaju kulit harimau itu. Bahkan kini semakin banyak saja yang menyerang, dan berusaha melumpuhkan Jruda. Tidak terhitung lagi, berapa yang tewas terbabat pedang. Dan anjing-anjing hutan itu bukannya takut, tapi malah semakin ganas saja.
"Kisanak, apa yang kau lakukan di situ! Bantu aku...!" seru Jruda yang mulai kewalahan menghadapi keroyokan anjing liar yang ganas ini.
Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu diam saja. Tetap duduk tenang tanpa bergeming sedikit pun juga. Jruda jadi heran, tapi tidak sempat memperhatikan dan berpikir banyak. Keroyokan anjing liar ini sudah membuatnya repot. Apalagi jumlahnya semakin banyak saja, meskipun tidak sedikit yang tewas terbabat pedangnya.
"Huh! Bisa habis napasku kalau begini!" dengus Jruda tersengal.
Jruda melirik sebuah pohon yang berada di dekatnya. Dikibaskan pedangnya cepat maka tiga ekor anjing menggerung terbabat pedang itu. Secepat kilat Jruda melompat ke atas, dan berputaran dua kali di udara. Tapi belum sempat mencapai dahan, tubuhnya sudah meluncur kebawah lagi. Padahal anjing-anjing hutan itu sudah menunggu sambil menggonggong memperlihatkan taringnya.
"Mati aku...!" Keluh Jruda.
Mendadak Jruda melihat sebuah benda meluncur deras ke arah kakinya. Maka dimanfaatkanlah benda itu, dan langsung ditotok dengan ujung jarinya. Jruda kembali melesat naik, dan hinggap di atas dahan pohon tinggi. Anjing-anjing liar itu ribut menggonggong di bawah pohon. Mereka berebut hendak naik, tapi tidak berhasil.
Jruda menarik napas panjang. Diliriknya sebuah serat kulit kayu yang tertancap cukup dalam di batang pohon ini. Kemudian dipandangi pemuda berbaju kulit harimau yang masih tetap duduk bersila. Di tangan kiri pemuda itu tergenggam sebatang kulit kayu kering. Jruda tahu, kalau kulit kayu kering itu tadi dilemparkan pemuda itu untuk menyelamatkan nyawanya.
"Diam saja di sana, jangan bergerak sedikit pun. Masukkan pedangmu ke dalam sarungnya," perintah pemuda berbaju kulit harimau itu pelan. Gerak bibirnya hampir saja tidak terlihat.
Suara yang begitu pelan, namun terdengar sangat jelas di telinga. Jruda tahu kalau pemuda itu berkata benar, dan dia menurutinya. Hatinya kagum juga dengan ilmu memindahkan suara yang dimiliki pemuda berbaju dari kulit harimau itu. Sungguh sempurna! Bahkan saat mengeluarkan suara, mulutnya tidak bergerak sama sekali.
********************
Jruda yang nangkring di atas pohon, semakin keheranan. Ternyata pemuda berbaju kulit harimau itu tetap saja duduk bersila, meskipun ratusan ekor anjing hutan liar simpang siur disekitarnya. Anjing-anjing itu seperti tidak menghiraukan, atau mungkin tidak melihat. Binatang-binatang liar itu malah menunggui Jruda di bawah pohon.
"Kisanak! Kalau kau bisa mengendalikan binatang-binatang itu, usirlah dari sini!" seru Jruda
"Jangan banyak bicara. Suaramu menggoda mereka!" pemuda itu memperingati disertai pengerahan ilmu memindahkan suara.
Jruda langsung menggelinjang, karena peringatan itu menjadi kenyataan. Dua ekor anjing liar itu mencoba melompat ke atas. Tapi jatuh lagi sebelum sampai pada sasarannya. Jruda kontan diam. Matanya tidak berkedip memandangi binatang-binatang liar yang banyak mengelilinginya di bawah pohon ini.
Jruda duduk di dahan pohon tanpa bergerak sedikit pun. Anjing-anjing liar itu mulai menggerung tidak sabar. Sementara perut mereka sudah minta diisi, maka satu demi satu mulai meninggalkan tempat itu. Jruda memperhatikan binatang-binatang liar itu pergi. Agak lama juga, tapi akhirnya semua binatang liar itu pergi semua.
"Jangan turun dulu!" pemuda berbaju kulit harimau itu memperingatkan.
Jruda yang akan melompat turun, mengurungkan niatnya. Dan peringatan itu memang benar. Ternyata masih ada seekor lagi yang belum meninggalkan tempat ini..Binatang liar itu mengelilingi pohon tempat Jruda masih berada di atasnya. Binatang buas itu menggerung-gerung. Sebentar dia mendongak ke atas, lalu berjalan lemah gemulai meninggalkan tempat itu. Jruda menunggu sampai binatang liar itu tidak terlihat lagi, tapi masih tetap di dahan pohon itu. Dipandangi pemuda berbaju kulit harimau yang masih tetap duduk bersila dengan tenang.
"Kisanak, boleh aku turun sekarang?" tanya Jruda.
"Kalau takut, jangan turun," sahut pemuda itu kalem.
"Kampret!" gerutu Jruda.
Tanpa menunggu waktu lagi, Jruda melompat turun. Ringan sekali gerakannya. Dan begitu kakinya menapak tanah, tidak ada suara sedikit pun yang ditimbulkan. Dia melangkah mendekati pemuda yang masih duduk tenang.
"Kisanak! Siapa kau sebenarnya?" tanya Jruda mulai ramah.
"Perlukah itu?" pemuda itu malah balik bertanya seraya bangkit berdiri.
"Kau sudah menyelamatkan nyawaku, maka aku berhutang padamu. Sudah sepantasnya kita saling mengenal. Aku Jruda, asalku dari Desa Kiting," Jruda lebih dahulu memperkenalkan namanya.
"Nama yang bagus."
Pemuda berbaju dari kulit harimau itu melangkah pelahan-lahan meninggalkan tempat itu. Jruda mengikuti, dan mensejajarkan langkah di sampingnya.
"Kau belum menyebutkan namamu, Kisanak," desak Jruda.
"Bayu. Panggil saja aku Bayu," sahut pemuda yang memakai baju dari kulit harimau itu kalem, sambil terus mengayunkan langkahnya.
"Kau tentu bukan dari Desa Kiting. Apa kau seorang pendekar?" tebak Jruda.
"Hanya pengembara yang kebetulan lewat," sahut Bayu tetap kalem.
"Ilmu apa yang kau gunakan untuk menghalau anjing-anjing liar itu?" tanya Jruda ingin tahu.
"Tidak ada ilmu. Aku hanya diam saja tanpa melakukan apa-apa," sahut Bayu.
"Mustahil. Binatang-binatang itu seperti buta, tidak melihatmu," Jruda tidak percaya.
Bayu hanya tersenyum saja. Dia tadi memang menggunakan ilmu 'Halimun' yang diperoleh dari seorang pertapa tua. Bayu mampu meningkatkan ilmu itu dan menyempurnakannya dalam waktu tidak lama. Bahkan bisa menyamarkan diri pada tujuan tertentu yang dipilihnya. Seperti terhadap anjing-anjing hutan itu. Binatang-binatang liar itu tidak bisa melihatnya, bahkan tidak bisa mencium bau badannya.
Tapi karena ilmu itu tidak ditujukan pada Jruda, maka laki-laki yang masih kelihatan muda itu masih bisa jelas melihatnya. Tadinya Bayu ingin melindungi Jruda dengan ilmunya. Tapi sikap Jruda yang menentang, membuat ilm 'Halimun' tidak ada kekuatan.
Memang aneh. Ilmu itu hanya bisa digunakan jika tidak ada tantangan. Bahkan Bayu bisa menyamarkan seseorang agar tidak terlihat, asalkan orang itu pasrah dan tidak menentangnya. Kedua laki-laki itu terus berjalan tanpa berkata-kata lagi. Meskipun Jruda masih penasaran, tapi tidak lagi mendesak. Dia tahu watak seorang pendekar yang selalu merendah.
********************
EMPAT
Suasana di Padepokan Mega Kiting tampak tenang. Eyang Paladi tampak tengah duduk-duduk di beranda depan bersama sepuluh orang murid-murid pilihannya. Mereka berbincang-bincang tentang suasana Desa Kiting yang semakin kacau keadaannya. Sudah banyak orang yang melihat bahwa yang membuat neraka di desa ini ada dua orang. Mereka mengenakan topeng berbentuk muka babi!
Orang misterius itu semakin sering berkeliaran di malam hari, dan tidak takut akan bentrok dengan murid-murid Padepokan Mega Kiting. Tidak sedikit murid padepokan itu yang tewas. Tentu saja ini membuat Eyang Paladi semakin gundah. Sampai saat ini dia belum bisa menemukan dua orang misterius itu.
Saat Eyang Paladi dan sepuluh orang murid utamanya sedang berbincang-bincang, tiba tiba seorang muridnya datang tergopoh-gopoh. Seluruh tubuhnya penuh debu, dan berkeringat, napasnya tersengal, langsung jatuh berlutut di tangga beranda. Eyang Paladi bergegas bangkit dan menghampiri.
"Ada apa?" tanya Eyang Paladi. ,
"Celaka, Eyang. Mereka menjarah rumah Paman Gering...," lapor anak muda itu tersendat.
Eyang Paladi tidak berkata-kata lagi, langsung melompat cepat bagai kilat. Sepuluh orang murid utamanya bergegas mengikuti. Di malam yang gelap itu, Eyang Paladi beriari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dia tahu, arah mana yang harus ditempuh. Paman Gering adalah orang yang amat dekat dengannya. Dia termasuk saudara sepupu pendiri Padepokan Mega Kiting ini.
"Mundur...!" seru Eyang Paladi begitu tiba didepan rumah Paman Gering.
Sekitar delapan orang murid laki-laki tua berjubah putih itu berlompatan mundur. Tampak di sekitar halaman rumah yang tidak begitu luas, tergeletak tidak kurang dari enam mayat. Darah bercucuran dari tubuh-tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi itu.
Eyang Paladi melangkah menghampiri dua orang berbaju gelap, yang wajahnya tertutup topeng berbentuk muka babi. Kedua orang itu saling berpandangan sejenak, kemudian menggeser kakinya lebih merapatkan jarak. Eyang Paladi berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi.
"Apa maksud kalian membuat resah penduduk desa ini?!" tanya Eyang Paladi tegas.
Kedua orang itu tidak membuka suara sedikit pun. Bahkan bergerak saja tidak. Namun dari bola mata yang tersembunyi di balik topeng, sudah dapat dipastikan kalau mereka merencanakan untuk melarikan diri.
"Siapa kalian sebenarnya? Dari mana kalian datang?" tanya Eyang Paladi lagi.
"Eyang, mereka tidak pernah bicara! Mungkin bisu," celetuk salah seorang murid yang tadi bertarung.
"Hm...," gumam Eyang Paladi pelahan. "Aku ingin tahu, apa benar kalian bisu?"
Setelah bergumam demikian, Eyang Paladi langsung melompat cepat bagaikan kilat. Namun secepat laki-laki tua itu melompat, secepat itu pula kedua orang itu melentingkan tubuhnya ke atas, dan langsung melesat kabur dengan arah yang berlawanan. Sejenak Eyang Paladi kebingungan, namun dengan cepat melompat mengejar salah seorang.
"Kejar yang seorang lagi!" seru Eyang Paladi keras.
Lima orang murid utama orang tua itu bergegas mengejar yang seorang, dan lima orang lagi mengikuti Eyang Paladi. Sedangkan murid-murid yang tadi bertarung, segera membereskan mayat-mayat yang bergelimpangan. Saat itu malam sudah demikian larut. Eyang Paladi berhenti berlari pada persimpangan jalan yang menuju ke tiga arah. Orang yang dikejarnya menghilang di tempat ini.
"Huh!" dengus Eyang Paladi kesal.
Lima orang muridnya tiba dan segera menghampiri. Mereka semua melayangkan pandang, berusaha menembus kegelapan malam. Tapi tak terlihat satu bayangan pun berkelebat Lagi-lagi Eyang Paladi mendengus kesal, karena buruannya lenyap begitu saja tanpa meninggalkan bekas sedikit pun.
"Kalian tetap mencari, aku menunggu di padepokan," perintah Eyang Paladi.
"Baik, Eyang," sahut lima orang muridnya itu seraya membungkuk memberi hormat. Eyang Paladi melangkah cepat meninggalkan lima orang muridnya. Tapi belum jauh melangkah, datang tema orang yang mengejar ke arah lain. Mereka melaporkan kalau buruannya hilang. Eyang Paladi mendengus kesal.
"Kalian cari terus. Kalau ada perkembangan, cepat laporkan padaku!" perintah Eyang Paladi. Kelima orang muridnya itu menjura memberi hormat, kemudian kembali mencari buruan yang hilang begitu saja bagai hantu.
Eyang Paladi kembali melangkah cepat menuju padepokannya. Dia singgah dulu di rumah Paman Gering. Ada sedikit kelegaan karena tidak satu pun keluarga Paman Gering yang tewas. Hanya Paman Gering saja menderita luka ringan di bahu kanannya. Tapi luka itu sudah terbalut kain putih.
Eyang Paladi kembali ke padepokannya setelah memastikan semuanya selamat. Hanya murid-muridnya saja yang jadi korban malam ini. Dan itu berarti sudah lebih dari separuh murid Padepokan Mega Kiting yang tewas, setelah munculnya si pembunuh misterius bertopeng muka babi!
Eyang Paladi tersentak kaget begitu baru saja melangkah menaiki undakan beranda rumah Padepokan Mega Kiting. Di ambang pintu rumah utama padepokan itu sudah berdiri dua anak muda. Yang seorang laki-laki, dan seorang lagi perempuan berwajah cukup cantik. Mereka adalah Pramana dan adiknya yang bernama Rawuni. Eyang Paladi kembali melangkah menatap undakan itu. Dihenyakkan tubuhnya di kursi kayu berukir.
"Eyang kelihatan susah. Ada apa?" tegur Rawuni.
"Tidak ada apa-apa," sahut Eyang Paladi ringan.
"Aku tahu apa yang terjadi, Eyang," kata Rawuni.
"Rawuni...!" sentak Pramana. Tapi ucapan Rawuni sudah membuat Eyang Paladi menoleh menatap kedua cucunya itu. Rawuni menatap kakaknya tajam. Tidak sedikit pun ada rasa gentar di hatinya melihat tatapan mata pemuda itu.
"Apa yang kau ketahui, Rawuni?" tanya Eyang Paladi.
"Eyang gelisah karena...."
"Rawuni!" sentak Pramana. "Jangan mencampuri urusan Eyang Paladi."
"Kita berdua tahu, Kakang. Kenapa harus menutupi?"
"Apa yang kalian ketahui?" tanya Eyang Paladi mendesak.
"Tentang dua orang bertopeng muka babi," sahut Rawuni.
"Dari mana kalian tahu itu?" tanya Eyang Paladi agak terkejut juga.
Baru kemarin kedua cucunya ini tinggal di Padepokan Mega Kiting, tapi sudah mengetahui persoalan yang terjadi. Padahal setahu Eyang Paladi, mereka belum keluar dari padepokan, walaupun hanya untuk jalan-jalan. Eyang Paladi menatap kedua cucunya bergantian. Sedangkan yang ditatap hanya menundukkan kepalanya saja. Sesekali Pramana melirik adiknya. Sungguh sangat disesali sikap Rawuni yang dianggap berlaku lancang.
"Rawuni! Dari mana kau tahu tentang orang bertopeng muka babi itu?" desak Eyang Paladi.
"Hanya dengar saja, Eyang. Semua murid padepokan ini selalu membicarakan itu," sahut Rawuni.
"Hhh...!" Eyang Paladi menarik napas panjang.
"Hari sudah larut, Eyang. Sebaiknya tidur, beristirahat," usul Pramana.
"Kalian tidurlah dulu. Aku masih menunggu murid-muridku," tolak Eyang Paladi.
Pramana menggamit tangan adiknya, lalu sama-sama melangkah masuk ke dalam. Sementara Eyang Paladi tetap duduk di kursinya, menunggu murid-muridnya yang tengah mengejar dua orang bertopeng muka babi.
Sementara Pramana menyeret Rawuni begitu sampai di kamarnya, sehingga gadis itu hampir jatuh. Pramana langsung menutup pintu kamarnya. Di pandanginya Rawuni dalam-dalam.
"Untuk apa kau katakan itu pada yang, Rawuni?!" tajam nada suara Pramana.
"Toh alasanku kuat, Kakang. Eyang juga bisa mempercayai alasanku," sahut Rawuni tidak kalah tajamnya.
"Tapi untuk apa...?!"
"Untuk apa...?! Hhh...! Seharusnya kau bisa menjawab sendiri, Kakang. Jangan berpikiran picik," Rawuni tersenyum sinis.
Pramana menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Tubuhnya berbalik, kemudian tangannya memukul dinding. Sebentar dia berbalik lagi, lalu melangkah menghampiri pembaringan. Dibanting tubuhnya di situ. Sedangkan Rawuni hanya memandangi saja. Pramana menatap jauh ke langit-langit kamarnya.
"Aku tidak mengerti, apa yang kau pikirkan, Rawuni. Tapi aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya satu yang kuinginkan, jagalah keselamatan diri kita masing-masing," kata Pramana pelan.
"Kau mulai tidak mempercayaiku, Kakang."
"Bukannya tidak mempercayaimu. Tapi kau harus ingat dan selalu harus ingat, Rawuni."
"Aku tidak pernah lupa, Kakang. Karena kita berada di sini, adalah untuk meneruskan cita-cita Ayah."
"Pergilah ke kamarmu," ujar Pramana seraya memejamkan matanya.
Rawuni membalikkan tubuhnya, kemudian melangkah mendekati pintu kamar ini. Tapi belum juga gadis itu membuka pintu, Pramana sudah memanggil lagi. Rawuni membalikkan tubuhnya, tidak jadi membuka pintu kamar ini.
"Ada apa lagi?" tanya Rawuni.
"Kau sudah tahu orang yang menggantungku?" tanya Pramana seraya memiringkan tubuhnya.
"Aku heran, mengapa kau bisa digantung seperti itu?"
Pramana memang sudah menceritakan peristiwa pahit di hutan pada adiknya, ketika akan menjemput Rawuni yang ingin juga tinggal di pesanggrahan ini. Pemuda itu jadi penasaran, karena belum dapat mengetahui orang itu sampai sekarang. Demikian pula orang yang sudah menolong membebaskannya.
Tapi Pramana kesal, karena orang itu malah mengejeknya. Bahkan menganggapnya seekor monyet yang terperangkap. Baginya, jelas itu suatu penghinaan yang harus dibalas dengan penggalan kepala. Tapi karena orang itu telah menolongnya, maka diurungkan niatnya untuk memenggal kepalanya.
"Jangan mengejekku, Rawuni. Si keparat itu licik! Curang! Menggunakan jebakan!" rungut Pramana menggerutu.
Rawuni mengangkat bahunya. Semuanya memang sudah diketahui dari cerita Pramana sendiri.
"Kau sudah tahu siapa orang itu, Rawuni?" tanya Pramana lagi.
"Belum. Tapi orang yang menolongmu bernama Bayu, atau dikenal sebagai Pendekar Pulau Neraka," sahut Rawuni.
"Pendekar Pulau Neraka...," gumam Pramana seraya menelentangkan tubuhnya kembali.
"Aku tahu hal itu dari salah seorang murid utama Padepokan Mega Kiting ini. Dari ciri-ciri yang kau katakan, dia bisa mengenalinya," kata Rawuni lagi.
"Dia pernah bertemu?"
"Belum. Tapi katanya nama Pendekar Pulau Neraka sudah demikian terkenal. Pendekar muda yang tangguh, dan sukar dicari tandingannya. Tapi sampai sekarang ini dia belum bisa dimasukkan dalam golongan mana pun. Tindakannya masih belum teratur. Yaaah..., termasuk kita juga. Aku sendiri belum yakin ke...."
"Rawuni...!" sentak Pramana kembali menggelimpang memandang adiknya.
"Maaf," ucap Rawuni cepat-cepat.
"Kau harus membiasakan diri untuk menyimpan rahasia, Rawuni."
"Aku minta maaf, Kakang. Kadang-kadang sukar sekali untuk mengunci mulut..."
"Seperti yang kau lakukan pada Eyang Paladi tadi!" rungut Pramana.
Rawuni hanya diam saja.
"Kembalilah ke kamarmu. Tidak enak kalau ada yang tahu kau ada di sini, meskipun kau adikku sendiri," ujar Pramana. Rawuni mengangkat bahunya, kemudian berbalik dan membuka pintu.
"Rawuni, cari keterangan tentang orang itu," kata Pramana tanpa membalik sedikit pun.
"Jangan khawatir, Kakang. Paling lambat lusa sudah bisa mengetahuinya," sahut Rawuni langsung melangkah keluar dan menutup kembali pintu kamar itu.
"Kau memang adikku yang baik, Rawuni," desah Pramana bergumam. "Tidak seharusnya aku menyeretmu dalam persoalan ini. Kau terlalu baik, polos, dan lugu."
Pramana menarik napas panjang-panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat Tubuhnya tetap berbaring, tapi matanya menerawang jauh menembus langit-langit kamar ini. Sementara malam terus merayap semakin jauh. Terdengar suara percakapan di depan. Begitu pelan dan sulit didengar. Tapi Pramana bisa mengenali suara Eyang Paladi. Hanya saja orang yang diajak bicara sulit untuk dikenali suaranya.
"Heh...! Aku seperti mengenal suara itu?" Pramana tersentak bangkit dari pembaringan.
Tiba-tiba saja bisa dikenali suara itu, tapi sukar untuk mengingatnya. Kapan dan di mana pernah mendengarnya. Terlalu pelan dan samar-samar. Pramana berusaha menajamkan telinganya, tapi percakapan itu sudah tidak terdengar lagi. Sunyi...! Pramana kembali menghenyakkan tubuhnya, berbaring menatap langit-langit kamar.
"Hmmm..., siapa yang bicara dengan Eyang Paladi? Sepertinya pernah kukenal suaranya...," gumam Pramana dalam hati. "Siapa, ya...?"
********************
Pagi-pagi sekali Pramana sudah menemui Eyang Paladi di balai latihan yang berada di samping kanan rumah utama Padepokan Mega Kiting ini. Eyang Paladi yang sedang melatih tenaga dalam, agak terkejut juga melihat kedatangan cucunya pagi-pagi begini. Dihentikan latihannya, lalu duduk bersila di lantai bangsal latihan ini.
"Duduk, Pramana," ujar Eyang Paladi.
Pramana menjura memberi hormat, kemudian duduk bersila di depan laki-laki pemimpin Padepokan Mega Kiting ini.
"Tidak biasanya pagi-pagi begini sudah bangun. Ada yang ingin kau bicarakan denganku, Pramana?" Eyang Paladi langsung menuju pada pokok persoalannya.
"Benar," sahut Pramana singkat.
"Katakan saja. Di tempat ini tidak ada rahasia."
"Semalam aku mendengar ada tamu. Siapa dia, Eyang?" Pramana langsung saja pada pokok pembicaraannya.
"Kau mencuri dengar pembicaraanku, Pramana?" agak terkejut juga Eyang Paladi mendengar pertanyaan cucunya ini.
"Tidak begitu jelas. Tapi aku seperti pernah mendengar suara tamu itu. Yang jelas, bukan suara murid-murid di sini, Eyang," Pramana berhenti sebentar. "Bukan maksudku untuk usil, Eyang. Tapi aku seperti pernah mengenalnya. Barangkali saja bisa mengenal lebih jauh. Atau mungkin malah temanku sendiri."
"Dia Bayu, lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Sengaja kuundang ke sini untuk meminta bantuan mengatasi manusia bertopeng muka babi. Desa ini sudah seperti neraka, Pramana. Lebih dari separuh muridku tewas, dan semua penduduk semakin dicekam ketakutan. Terlebih lagi para kerabat keluarga pendiri padepokan ini."
"Bayu...," desis Pramana menggumamkan nama Pendekar Pulau Neraka.
Baru semalam Rawuni menyebut nama itu. Nama dari seseorang yang pernah menolongnya dari jeratan jaring jebakan di dalam hutan. Ternyata orang itu memang pendekar tangguh. Tidak mungkin Eyang Paladi meminta bantuannya kalau tidak memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Dan yang pasti, persoalan yang dihadapi sudah tidak mampu lagi ditanganinya sendiri.
"Kau kenal dengannya, Pramana?" tegur Eyang Paladi.
"Sekali pernah bertemu," sahut Pramana.
"Kalau ingin menemuinya, dia ada di bangsal belakang. Mungkin masih tidur," kata Eyang Paladi lagi.
"Nanti saja, Eyang. Aku ingin jalan-jalan dulu, melihat-lihat suasana di desa," tolak Pramana halus.
"Hati-hatilah. Kalau perlu, bawa beberapa orang muridku."
"Terima kasih, Eyang. Aku bisa jaga diri."
"Aku percaya padamu, Pramana. Tapi aku tidak ingin melibatkan dirimu dan adikmu dalam kemelut ini."
"Mudah-mudahan tidak," sahut Pramana seraya bangkit berdiri.
Pramana menjura memberi hormat, kemudian berbalik melangkah keluar dari bangsal latihan ini. Sementara Eyang Paladi kembali melanjutkan latihannya. Tapi belum juga jauh berlatih, muncul seorang pemuda berbaju dari kulit harimau. Pemuda itu membungkukkan tubuhnya sedikit dan duduk di depan Eyang Paladi.
"Aku lihat ada yang baru keluar dari sini," kata pemuda itu.
"Cucuku, Bayu," sahut Eyang Paladi.
"Hmmm...," pemuda berbaju kulit harimau yang memang tidak lain adalah Bayu si Pendekar Pulau Neraka itu hanya bergumam kecil.
"Ada apa? Kau pernah bertemu dengannya?" tanya Eyang Paladi melihat raut wajah Pendekar Pulau Neraka agak berubah.
"Sekali. Tapi rasanya tidak penting," sahut Bayu.
"Kalau begitu, ada apa kau ke sini menemuiku pagi-pagi begini?"
"Hanya ingin lebih jelas lagi, Eyang," sahut Bayu.
"Ya.... Semua memang harus dijelaskan dari awal kepadamu, meskipun aku yakin kau sudah menyelidiki terlebih dahulu sebelum menemuiku semalam. Tapi aku sungguh berterima kasih karena kau bersedia membantuku. Juga membantu mengeluarkan penduduk desa ini dari kobaran api neraka," kata Eyang Paladi. Bayu hanya tersenyum saja.
********************
LIMA
Dua buah bayangan terlihat berkelebat cepat dan menyelinap ke tiap rumah-rumah penduduk Desa Kiting, lalu berhenti di belakang sebuah rumah yang tidak begitu besar. Mereka saling bertatapan sebentar, lalu salah seorang melangkah pelahan mendekati pintu belakang yang sedikit terbuka. Pelahan sekali tangannya mendorong pintu itu. Suara berderik terdengar dari pintu yang terkuak pelahan.
"Siapa itu...?" terdengar suara dari dalam. Tak ada sahutan sedikit pun. Orang berbaju serba gelap yang wajahnya tertutup topeng muka babi itu mengibaskan tangannya cepat, ketika tiba-tiba dari bagian dalam rumah ini muncul seseorang. Secercah cahaya melesat cepat bagai kilat ke arah orang yang baru muncul itu.
"Akh...!" terdengar suara pekikan tertahan. Seketika itu juga sesosok tubuh terjungkal dengan dada berlubang. Ternyata itu adalah sosok tubuh wanita setengah baya, yang kemudian langsung tewas seketika. Dari dadanya mengalir darah segar.
"Ibu...!" terdengar jeritan melengking.
"Hih!" Orang berbaju gelap yang wajahnya tertutup topeng itu kembali mengibaskan tangannya. Secercah cahaya kembali berkelebat cepat Cahaya itu terpancar dari sebilah pisau kecil yang tipis. Tapi orang yang menghambur ke arah mayat wanita setengah baya itu cepat menjatuhkan diri, sehingga pisau kecil itu lewat di atas tubuhnya.
Namun pisau kecil itu terus meluruk dan menancap dalam di dada seorang anak berusia sekitar delapan tahun yang baru saja terbangun dari dipan. Anak itu menjerit keras, dan langsung ambruk tidak bangun-bangun lagi.
Orang berbaju gelap yang wajahnya tertutup topeng itu, melompat cepat. Langsung dihantamkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi pada orang-orang yang baru terbangun. Kembali dua jeritan melengking terdengar, disusul tergeletaknya dua sosok tubuh.
Yang seorang masih kecil, sedangkan seorang lagi sudah menginjak remaja. Orang itu berbalik, kemudian menatap seorang wanita muda berusia sekitar delapan belas tahun yang tergeletak pingsan di samping mayat wanita setengah baya. Dia sudah mengangkat tangannya hendak melontarkan satu pukulan, tapi....
"Tahan!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara cegahan, muncul seorang berbaju gelap dan wajahnya ditutupi topeng yang sama persis dengan orang yang sudah menewaskan empat orang dalam waktu singkat.
"Kita membutuhkan keterangannya. Biarkan dia hidup untuk beberapa saat saja," kata orang yang baru datang.
"Hmm.., baiklah."
Orang yang baru masuk tadi segera mengangkat tubuh wanita muda yang tergeletak pingsan, kemudian cepat sekali melompat keluar, diikuti yang seorang lagi. Kesunyian kembali menyelimuti seluruh rumah itu. Orang bertopeng yang melompat belakangan, sempat menyambar pelita dan melemparkannya ke dalam rumah. Suara letupan kecil terdengar, kemudian api kontan berkobar besar melahap isi rumah itu. Lidah api terus menjilat dinding yang terbuat dari belahan papan.
"Kebakaran...! Kebakaran...!"
Tidak berapa lama kemudian terdengar teriakan-teriakan ribut, kemudian terdengar kentongan bambu dipukul bertalu-talu. Sebentar saja di sekitar rumah itu sudah banyak orang. Tanpa ada yang memerintah, mereka berusaha memadamkan api yang semakin mengganas dengan menggunakan peralatan apa saja. Beberapa orang bersenjata golok di pinggang, menerobos masuk ke dalam. Mereka keluar lagi sambil membawa tubuh-tubuh tak bernyawa lagi.
********************
Jauh di suatu tempat di luar perbatasan Desa Kiting sebelah Timur, tampak dua orang berpakaian serba gelap tengah berdiri tegak memandangi gadis muda yang tergolek pingsan. Kedua orang bertopeng muka babi itu saling berpandangan.
"Sebaiknya kau kembali. Jangan sampai ada yang mencurigakan," usul salah seorang.
"Kalau ada yang menanyakanmu?"
"Bilang saja aku sedang berlatih di bukit. Katakan, kalau itu kebiasaanku! Selalu berlatih di tengah malam buta."
"Baiklah, aku pergi dulu. Tapi jangan terlalu lama di sini. Tempatnya tidak aman, sewaktu-waktu mereka bisa datang."
"Jangan khawatir. Justru kaulah yang harus dicemaskan."
"Sudahlah! Aku pergi dulu."
"Cepat! Sebelum ada yang menyadari."
"Baik."
Salah satu dari orang bertopeng muka babi itu segera melesat pergi. Begitu cepatnya melesat, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya telah lenyap dari pandangan. Sementara orang bertopeng yang satu lagi, duduk bersila di samping tubuh gadis yang belum juga sadarkan diri. Jari-jari tangan orang bertopeng itu bergerak lincah di beberapa bagian tubuh gadis itu, kemudian ditunggunya dengan sabar sambil berdiam diri.
Tidak lama berselang, gadis itu mulai siuman. Dia merintih lirih. Kepalanya bergerak menggeleng kanan dan ke kiri. Pelahan-lahan sekali dibuka kelopak matanya. Gadis itu kontan menjerit begitu melihat wajah persis seekor babi berada di dekatnya. Dia berusaha menggelinjang, tapi seluruh tubuhnya sukar digerakkan.
"Jangan takut! Aku tidak akan melukaimu kalau kau bersedia menjawab terus terang beberapa pertanyaanku," tegas orang bertopeng muka babi itu.
"Siapa kau?" agak bergetar suara gadis yang ternyata adalah Parti, putri sulung Dalaga.
"Sebut saja aku sesuka hatimu. Aku tidak punya nama," sahut orang bertopeng itu.
"Kau.... Kau yang membunuh keluargaku! Kau kejam...! Pembunuh...!" Parti berusaha melepaskan totokan orang itu, tapi sungguh kuat totokan itu. Parti memang pernah belajar ilmu olah kanuragan dari ayahnya. Meskipun tidak begitu tinggi, tapi pengerahan hawa murni dan tenaga dalam terus dilatihnya setiap hari.
"Makilah sepuasmu, Manis. Toh sebentar lagi kau akan menyusul yang lain ke neraka," ujar orang bertopeng itu kalem.
Parti terdiam membisu. Bola matanya menatap tajam, lurus ke bola mata yang cukup tersembunyi di balik topeng bermuka babi itu. Pelahan-lahan rasa takutnya mulai hilang. Timbul kebencian dan dendam karena mengenali orang bertopeng inilah yang membunuh ayahnya. Bahkan malam tadi baru menewaskan semua adik dan ibunya.
"Apa yang kau ingin ketahui dariku?" tanya Parti mencoba mengalah. Disadari kalau kondisinya saat ini tidak memungkinkan untuk berdebat dan berkeras kepala.
"Katakan, di mana Jruda berada?" tanya orang bertopeng itu.
"Aku tidak tahu," sahut Parti.
"Jangan coba-coba berdusta! Aku tahu kau keponakan Jruda. Di mana dia sekarang?!" bentak orang itu mulai gusar.
"Aku tidak tahu!" sahut Parti.
"Rupanya kau keras kepala juga, Manis. Baiklah. Mungkin bisa mengaku dengan caraku ini."
"Heh...! Apa yang kau lakukan?!"
Bret!
"Au...!" Parti terpekik kaget.
Kasar sekali orang bertopeng itu merenggut baju bagian dada Parti, sehingga koyak. Dada yang membusung indah itu terbuka lebar tanpa penutup lagi. Wajah gadis itu jadi pucat pasi. Dia berusaha melepaskan totokan di tubuhnya. Tapi, tetap saja tidak berhasil meskipun sudah mengerahkan hawa murni di dalam tubuhnya. Dengan tenaga dalam pun tidak kunjung berhasil juga.
"Jangan...!" pekik Parti.
"Katakan, di mana pamanmu berada?" dingin nada suara orang bertopeng itu.
"Aku tidak tahu.... Aku mohon, lepaskan aku...," Parti mulai merintih memohon belas kasihan.
Bret!
"Auwh...!" kembali Parfi memekik tertahan.
Tubuh gadis itu semakin lebar terbuka. Air mata mulai berlinang membasahi pipinya yang ranum. Hampir seluruh tubuh Parti terbuka, sehingga menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya yang indah terbungkus kulit putih mulus tanpa cacat. Hanya bagian pinggul ke bawah saja yang masih tertutup. Tapi sepasang paha yang gempal sudah mencuat keluar.
"Aku tidak main-main, Manis. Tubuhmu menggairahkan sekali. Katakan, di mana pamanmu sekarang berada!"
"Tidak..., jangan lakukan itu...," rintih Parti, semakin deras air matanya mengalir.
Jari-jari tangan orang bertopeng itu mulai bermain-main di tubuh yang berkulit putih mulus itu. Sementara Parti merintih memohon belas kasihan. Tapi rintihannya malah membuat orang bertopeng itu semakin liar. Direnggutnya kain yang menutupi bagian pinggul ke bawah. Kembali Parti memekik dan menangis, merintih memohon agar orang itu melepaskannya.
"Ah...," orang itu mendesah.
Tampak bola mata yang terlindung di balik topeng itu berkilat menjilati tubuh yang terbuka tanpa penutup lagi. Tangannya semakin liar merayapi lekuk-lekuk tubuh yang menggiurkan itu. Parti memejamkan matanya ketika jari tangan orang itu menyentuh bagian paling berharga pada tubuhnya.
"Jangan lakukan itu.... Aku mohon jangan," rintih Parti.
"Terlambat Manis," desah orang itu.
Keputus asaan sudah menghinggapi hati gadis yang sudah tidak berdaya lagi itu. Tubuhnya tertotok, sukar untuk digerakkan. Sedangkan orang bertopeng itu semakin liar saja menggerayanginya. Air mata semakin deras mengalir. Dan Parti tidak sanggup lagi membuka matanya, seakan-akan sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi pada dirinya.
"Akh...!" tiba-tiba saja orang bertopeng itu memekik keras tertahan.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu tubuh orang bertopeng itu terpental, langsung menghantam sebatang pohon hingga tumbang. Parti membuka matanya, dan langsung mendelik begitu melihat seorang pemuda berbaju kulit harimau tahu-tahu sudah berdiri didekatnya. Pemuda itu memungut kain yang teronggok di tanah, lalu menutupi tubuh gadis itu. Dibukanya totokan jalan darah di tubuh Parti, sehingga gadis itu bisa bergerak kembali. Bergegas Parti bangkit, dan cepat melilitkan kain itu ke tubuhnya.
Sementara itu orang bertopeng muka babi segera melompat bangkit berdiri. Dia menggeram keras. Sepasang bola matanya memerah menatap tajam pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Iblis keparat..!" geram orang bertopeng itu.
"Kurasa kaulah iblis itu," dingin nada suara pemuda berbaju kulit harimau.
"Phuih! Mampus kau! Hiyaaat..!"
Pemuda berbaju kulit harimau yang memang adalah Pendekar Pulau Neraka itu menggeser kakinya sedikit ke samping begitu orang bertopeng itu melompat menerjang. Dan saat pukulan orang bertopeng muka babi luput, Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangannya ke depan, langsung menghantam perut lawannya dengan keras.
"Hugh!" orang itu mengeluh pendek. Tubuhnya sedikit membungkuk. Selagi tubuhnya terbungkuk, Pendekar Pulau Neraka melayangkan satu pukulan ke wajahnya. Orang bertopeng muka babi itu memekik tertahan. Kepalanya terdongak ke atas. Topengnya pun terlepas, mental ke udara.
"Keparat kau, Bayu!" geram orang itu.
Dan selagi Pendekar Pulau Neraka agak terpana, orang itu melesat cepat melarikan diri. Memang, tidak sempat lagi untuk dikejar, karena bayangan orang itu lenyap seketika. Bayu memungut topeng muka babi yang tergeletak ditanah. Sebentar dipandangi benda yang selama ini menjadi momok menakutkan seluruh penduduk Desa Kiting. Bayu membalikkan tubuhnya, menghadap Parti yang berdiri saja dengan tubuh yany sudah terbungkus selembar kain.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Bayu seraya melangkah mendekati gadis itu.
"Tidak. Tidak apa-apa, terima kasih," sahut Parti.
"Aku Bayu," Pendekar Pulau Neraka memperkenalkan diri.
"Parti," gadis itu juga memperkenalkan diri.
"Sebaiknya kau cepat pulang. Di mana rumahmu? Mari kuantar kau pulang," kata Bayu lagi.
"Aku dari Desa Kiting. Rasanya tidak jauh dari sini."
"Aku tahu desa itu."
Parti mengayunkan kakinya pelahan-lahan. Dan Pendekar Pulau Neraka juga berjalan di samping gadis itu. Tangannya menenteng topeng berbentuk wajah babi berwarna biru tua, hampir kehitaman. Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi. Terlebih lagi Parti. Gadis itu masih dihinggapi berbagai macam perasaan setelah terlepas dari cengkeraman orang bertopeng muka babi. Sedangkan Bayu sendiri belum ingin banyak tanya. Bisa dipahami kebisuan gadis di sebelahnya.
********************
Bayu melemparkan topeng berbentuk muka babi ke depan Jruda. Laki-laki berbaju putih yang sudah kumal itu terkejut. Dipungutnya topeng itu, lalu dipandanginya beberapa saat. Kemudian diangkat kepalanya, langsung menatap Pendekar Pulau Neraka yang berdiri saja di depannya.
"Dari mana kau dapatkan ini, Bayu?" tanya Jruda.
"Yang punya," sahut Bayu kalem.
"Kau bertemu si topeng keparat itu...?!" Jruda terhenyak setengah tidak percaya.
"Ya, Tapi dia sempat kabur. Hanya benda ini yang tertinggal," sahut Bayu.
"Bayu, kau lihat wajahnya?" tanya Jruda lagi.
Bayu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Malam itu memang gelap sekali. Apalagi orang bertopeng itu sangat cepat gerakannya. Sukar untuk melihat wajah orang itu yang sesungguhnya.
Jruda juga terdiam. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Kembali dipandangi topeng berbentuk muka babi di tangannya. Manusia bertopeng inilah yang membuat petaka bagi seluruh penduduk Desa Kiting. Terutama pada keluarga dan sanak saudaranya. Entah sudah berapa nyawa melayang.
Jruda mengangkat kepalanya menatap Pendekar Pulau Neraka. Sejak pertemuan pertama kali, mereka memang selalu berhubungan. Terlebih lagi saat ini, Bayu memang diminta Eyang Paladi untuk menangkap manusia bertopeng yang telah menjadikan Desa Kiting bagai neraka. Sedangkan Jruda sendiri sudah menceritakan semuanya.
"Bayu! Kau diminta Eyang Paladi untuk mencari manusia bertopeng muka babi ini. Tentunya Eyang Paladi memerintahkanmu untuk menangkapku...," kata Jruda pelan suaranya.
"Tidak. Sedikit pun Eyang Paladi tidak menyebut-nyebut namamu," sahut Bayu.
"Lucu...!"
"Kenapa?"
"Justru Eyang Paladi yang mencurigaiku. Bahkan juga mengusirku dari Desa kiting. Memang tidak secara kasar, tapi sudah membuatku sakit."
"Kulihat Eyang Paladi adalah orang yang bijaksana. Aku yakin dia punya maksud tersendiri, sehingga memintamu meninggalkan desa itu untuk sementara," Bayu mencoba menengahi.
"Aku kenal Eyang Paladi sejak aku masih kecil dulu. Puluhan tahun aku mengenalnya. Sedangkan kau baru beberapa hari saja. Aku tahu persis siapa dia, Bayu...," ada sedikit tekanan pada nada suara Jruda.
Bayu mengerutkan keningnya. Dirasakan tekanan suara Jruda tadi bernada kecewa. Ada sesuatu yang tertahan di dalam hatinya. Dan Pendekar Pulau Neraka bisa merasakannya, walaupun belum tahu maknanya. Yang jelas, Bayu merasakan peristiwa yang terjadi di Desa Kiting ini bagai lingkaran rantai setan. Saling berkait, dan tidak mudah dipisah-pisahkan. Sukar dicari penyelesaiannya.
Saat Pendekar Pulau Neraka disibukkan oleh pikirannya, Jruda mengeluarkan sebuah rantai berwarna merah menyala. Rantai itu saling bertaut, sehingga membentuk lingkaran yang menyatu. Cincin-cincin rantai itu berjumlah sepuluh buah. Jruda meletakkan rantai itu di tanah, tepat di depan Pendekar Pulau Neraka.
"Keparat itu selalu meninggalkan benda ini pada korban-korbannya," kata Jruda.
Bayu hanya melirik sedikit pada benda yang pernah dilihatnya dari Eyang Paladi. Laki-laki tua pemimpin Padepokan Mega Kiting juga menyimpannya. Bahkan sudah menceritakan hal itu dengan jelas kepada Pendekar Pulau Neraka.
"Berhari-hari aku mencoba memecahkan arti rantai itu," sambung Jruda lagi.
"Sudah diperoleh pemecahannya?" tanya Bayu ingin tahu.
"Belum," sahut Jruda.
"O..."
"Tapi aku sedikit memahami maksudnya."
"Apa?"
"Jumlah rantai yang sepuluh. Itu pertanda jumlah keluargaku. Sampai sekarang ini sudah tujuh orang yang tewas. Dan yang telah kudengar, dua orang sudah meninggalkan Desa Kiting. Aku sendiri tidak tahu kapan dan ke mana perginya. Yang kuketahui, mereka pergi waktu malam," jelas Jruda.
"Sepuluh.... Tujuh tewas, dua pergi...," gumam Bayu pelan. "Itu berarti tinggal kau sendiri yang masih ada di sekitar desa ini,"sambung Bayu
"Benar," sahut Jruda.
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Semua korban adalah sanak saudaraku, Bayu. Memang ada beberapa penduduk dan murid Padepokan Mega Kiting yang menjadi korban. Tapi itu bukan tujuannya karena beberapa penduduk dan murid Padepokan Mega Kiting memergoki dan berusaha menangkapnya. Yang sebenarnya diincar orang bertopeng muka babi itu hanyalah keluarga dan sanak saudaraku. Hhh...! Aku sendiri masih belum mengerti, untuk apa dia membantai habis semua saudaraku...?" ada sedikit keluhan pada nada suara Jruda.
Bayu terdiam. Keluhan Jruda membuat benaknya bekerja keras. Memang satu hal yang tidak mungkin, jika seseorang membunuh tanpa alasan yang jelas. Bayu jadi teringat gadis yang ditolongnya dari cengkeraman nafsu iblis orang misterius itu. Tidak banyak yang diceritakan gadis itu, dan nampaknya Parti tidak tahu banyak tentang peristiwa yang sedang terjadi diDesa Kiting. Tapi gadis itu sempat mengatakan kalau semua keluarganya tewas. Sedangkan masih ada satu yang hidup, tapi entah di mana.
"Jruda, apakah ada keluargamu yang bernama Parti?" tanya Bayu.
"Oh! Di mana kau bertemu dengannya?" Jruda tersentak kaget.
"Semalam, di hutan di kaki bukit ini. Dia nyaris diperkosa. Ibu dan adik-adiknya tewas semalam..."
"Biadab keparat...!" desis Jruda menggeram.
"Dia sudah tenang di rumahnya. Ada Eyang Paladi yang menjaga," lanjut Bayu.
"Aku harus menemuinya. Hanya dia yang masih bisa selamat. Keluargaku tidak boleh musnah. Harus ada yang hidup!" tegas kata kata Jruda.
"Bagaimana kau akan menemuinya? Kau sendiri mengatakan kalau tidak akan kembali lagi ke desa itu sebelum orang bertopeng muka babi itu lenyap."
"Bayu! Bisakah kau membawa Parti ke sini? Aku mohon, Bayu. Bukannya takut tapi aku masih menghormati Eyang Paladi. Aku tidak ingin kembali sebelum manusia keparat itu lenyap dari muka bumi."
"Tidak terlalu sulit."
"Terima kasih, Bayu."
Pendekar Pulau Neraka hanya tersenyum saja.
********************
ENAM
Malam telah demikian larut. Sengaja Bayu berada di rumah Parti. Gadis itu tampak lelap tertidur di pembaringan. Bayu keluar dari kamar itu, dan langsung menuju ke belakang. Bagaikan seekor burung, Pendekar Pulau Neraka itu melesat naik ke atas atap. Dan pada saat itu, terlihat dua bayangan berkelebat masuk ke dalam rumah.
"Aaa...!" tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam rumah.
"Hup!" Bayu langsung melompat turun. Tepat ketika kakinya menjejak tanah, sebuah bayangan gelap berkelebat menerjangnya. Pendekar Pulau Neraka itu membanting tubuh ke tanah, lalu dengan cepat melompat masuk menerjang jendela. Tampak di dalam kamar, Parti tengah berusaha memberontak dari seretan seseorang yang berbaju gelap dan seluruh kepala tertutup kain hitam.
"Hiaaat...!"
Bayu kontan melompat, dan menghantamkan tendangan ke punggung orang itu. Orang berbaju gelap itu terjungkal keras menabrak dinding hingga jebol. Cekalannya pada tangan Parti terlepas. Bayu bergegas membangunkan gadis yang telah menangis sesenggukan.
"Kau diam di sini, jangan ke mana-mana," kata Bayu memperingatkan. Parti hanya mengangguk saja.
"Hup!" Bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka itu melesat keluar. Tapi belum juga kakinya menjejak tanah, sudah disambut oleh dua orang berpakaian gelap. Jelas terlihat yang seorang mengenakan topeng berbentuk wajah babi. Sedangkan seorang lagi hanya mengenakan selubung kain berwarna biru gelap. Bayu melentingkan tubuhnya ke atas, melewati dua kepala itu. Dengan manis kakinya mendarat ditanah. Langsung diputar tubuhnya sambil dilayangkan satu tendangan berputar menyamping.
Dug! Bug!
Dua tubuh hitam berwajah tidak jelas, terpental tersapu tendangan yang keras bertenaga dalam tinggi. Pekikan-pekikan tertahan terdengar. Dua orang itu jatuh bergelimpangan di tanah. Bayu kembali melompat dan segera mengirimkan beberapa pukulan keras bertenaga dalam sangat tinggi. Bahkan bisa dikatakan mencapai taraf kesempurnaan. Tapi dua orang bertopeng itu masih mampu berkelit cepat.
Pukulan Pendekar Pulau Neraka menghantam tanah, hingga terbongkar membentuk lubang yang cukup dalam dan besar. Pendekar Pulau Neraka segera berbalik. Dimiringkan tubuhnya sedikit agak membungkuk, lalu dengan cepat tangan kanannya dikebutkan.
"Hiyaaa...!"
Wut!
Secercah cahaya keperakan melesat cepat dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Cahaya keperakan yang berasal dari senjata Cakra Maut itu segera melesat cepat bagai kilat menyambar tubuh orang yang mengenakan selubung kain.
"Awas...!" terdengar seruan peringatan.
"Hap...!"
Orang berselubung kain itu cepat membanting diri ke tanah, tapi ujung Cakra Maut masih sempat merobek bahu kanannya. Terdengar pekikan tertahan, dan orang itu bergelimpangan, kemudian cepat-cepat bangkit berdiri. Sedangkan yang seorang lagi melompat cepat, menyambar tubuh temannya. Seperti kilat, mereka melesat kabur demikian cepat. Bayu tidak sempat lagi mengejar. Dihentakkan tangan kanannya ke atas, maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanannya.
Bayu bergegas masuk ke dalam rumah, langsung menuju kamar Parti. Gadis itu masih menangis, duduk di tepi pembaringan. Pendekar berbaju kulit harimau itu menghampiri dan duduk di samping gadis itu. Direngkuhnya bahu Parti dan dibiarkan gadis itu menangis dalam pelukannya.
"Mereka sudah pergi. Kau tidak apa-apa, Parti?" lembut suara Bayu.
Parti masih sulit menjawab, tapi kepalanya mengangguk. Diangkat wajahnya dan ditatapnya pemuda yang masih merengkuhnya dalam pelukan. Pelahan gadis itu melepaskan pelukan Bayu, dan menyusut air mata dengan ujung bajunya.
"Mereka pasti datang lagi, Kakang," ujar Parti di sela isak tangisnya.
"Bukan malam ini," sahut Bayu.
"Kakang...," terputus suara gadis itu.
"Apa yang ingin kau katakan? Katakanlah," pinta Bayu tetap lembut suaranya.
"Jangan tinggalkan aku, Kakang. Aku takut sendirian."
"Kau tidak sendirian, karena masih ada pamanmu. Dia menunggumu, Parti," jelas Bayu.
"Paman Jruda...?" tebak Parti langsung.
"Benar."
"Paman Jruda masih hidup?"
"Tentu saja."
"Oh..., di mana sekarang?"
Kesedihan Parti langsung hilang seketika itu juga. Seberkas cahaya harapan muncul dalam sinar matanya, kala mendengar pamannya masih hidup. Semula disangka kalau tinggal dirinya yang tersisa. Semua sanak saudaranya sudah tewas terbantai dua orang bertopeng muka babi. Parti benar-benar gembira saat ini.
"Berkemaslah. Sekarang juga kau akan kubawa ke sana," kata Bayu seraya bangkit berdiri.
"Baik, sebentar."
Gadis itu bergegas membereskan beberapa potong pakaian, kemudian membungkusnya dengan selembar kain yang sudah lusuh, sehingga bisa dijinjing. Tidak seberapa berat. Hanya buntalan baju saja yang dapat dibawa, ditambah sedikit bekal peninggalan orang tuanya. Bayu melangkah keluar, diikuti gadis itu.
"Maaf, aku harus menggendongmu," kata Bayu setelah berada di depan pintu rumah ini.
"Eh!" Parti terkejut.
Tapi belum sempat gadis itu berkata sesuatu, Pendekar Pulau Neraka sudah menyambar tubuhnya, langsung melesat cepat menembus kegelapan malam. Sekejap saja bayangan tubuh mereka lenyap tanpa bekas.
********************
Suara ketukan pintu terdengar berulang-ulang. Eyang Paladi menunggu di depan pintu yang tertutup rapat. Kembali tangannya mengetuk pintu. Tidak lama kemudian terdengar ayunan kaki terseret mendekati pintu, maka pintu itu pun terbuka. Dari dalam muncul seraut wajah cantik berambut panjang terkepang menyampir ke bahu. Gadis itu membuka pintu lebar-lebar.
"Kenapa kakakmu, Rawuni?" tanya Eyang Paladi begitu melihat luka di bahu Pramana.
"Oh..., eh," Rawuni tergagap.
"Jatuh dari kuda, Eyang," buru-buru Pramana menjawab.
"Hm...," gumam Eyang Paladi tidak jelas.
Laki-laki tua berjubah putih itu melangkah masuk, seraya memandang jendela yang terbuka lebar. Kemudian ditatapnya wajah kedua cucunya. Tampak Rawuni hanya menundukkan kepala saja. Sedangkan Pramana terus memegangi bahunya yang masih mengucurkan darah. Eyang Paladi menghampiri Pramana, dan melihat luka di bahu pemuda itu. Dua kali diberikan totokan, maka darah berhenti mengalir seketika.
"Sejak tadi aku di luar rumah, tapi tidak melihat kau berkuda. Malam-malam begini mau apa berkuda?" nada suara Eyang Paladi terdengar curiga.
Pramana hanya diam saja. Tatapannya tertuju pada adiknya yang juga diam agak tertunduk. Rawuni bergegas melangkah menghampiri jendela untuk menutup jendela itu. Tapi Eyang Paladi lebih dulu mencegahnya. Laki-laki tua itu melangkah menghampiri jendela yang masih terbuka. Sebentar dia memandang keluar. Sedangkan kakak beradik itu saling berpandangan dengan bibir terkunci rapat.
"Apa yang terjadi padamu, Pramana?" tanya Eyang Paladi seraya membalikkan tubuhnya.
Pramana diam saja, tidak menjawab sedikit pun.
"Aku tahu kau tidak mungkin jatuh dari kuda, dari dulu kau pandai berkuda. Kenapa bahumu?" desak Eyang Paladi lagi.
"Tidak apa-apa, Eyang," sahut Pramana berusaha tenang.
"Kau bertarung?" desak Eyang Paladi.
"Tidak," sahut Pramana lagi.
"Puluhan tahun aku berkecimpung di dalam dunia persilatan, jadi aku tahu betul macam-macam luka. Tidak ada gunanya berbohong padaku, Pramana. Kau bertarung?" desak Eyang Paladi tetap tidak percaya jawaban cucunya.
"Hanya latihan denganku tadi, Eyang," celetuk Rawuni cepat-cepat.
"Hm...," Eyang Paladi menatap tajam pada Rawuni
Sedangkan Rawuni buru-buru menunduk Rasanya tidak sanggup balas menatap laki-laki tua itu. Dari sikap kedua cucunya, Eyang Paladi sudah bisa meraba kalau mereka menyimpan sesuatu. Dan luka di bahu Pramana sudah jelas akibat tergores senjata tajam. Meskipun tidak begitu dalam, tapi cukup membuatnya beristirahat selama dua hari.
"Kalian menyembunyikan sesuatu dariku...!" desis Eyang Paladi dingin.
Pramana dan Rawuni hanya diam saja. Mereka saling berpandangan beberapa saat. Sementara Eyang Paladi menatap tajam ke arah mereka secara bergantian. Dia begitu yakin kalau kedua cucunya menyembunyikan sesuatu. Entah apa yang disembunyikan. Yang jelas, di bahu yang terluka itu sudah menunjukkan kalau kedua cucunya mempunyai persoalan.
"Baiklah. Jika tidak berterus terang, kalian akan kukirim kembali pada pamanmu," tegas Eyang Paladi. "Aku paling tidak suka pada orang yang menyimpan rahasia di depanku." Setelah berkata demikian, Eyang Paladi langsung melangkah keluar. Laki-laki tua itu menutup kembali pintu kamar ini. Sedangkan Rawuni dan Pramana hanya saling tatap saja tanpa berkata-kata sedikit pun.
"Eyang kelihatan marah sekali, kakang," ujar Rawuni pelarian. Hampir tidak terdengar suaranya.
"Kau akan mengatakan padanya, Rawuni?" agak kurang senang nada suara Pramana.
"Sebaiknya memang berterus terang saja, Kakang," kata Rawuni tetap pelan.
"Tidak!" sentak Pramana tegas.
"Tapi..., Eyang Paladi pasti mengirim utusan ke Paman Darwala. Masalahnya, suatu saat pasti Eyang Paladi akan tahu juga."
"Tidak akan terjadi, Rawuni. Tidak ada utusan yang akan sampai ke sana. Percayalah padaku! Tidak ada yang dapat mengetahui semua ini, termasuk Eyang Paladi."
"Kakang...," agak bergetar suara Rawuni.
"Jangan gentar, Rawuni. Semua yang kita lakukan karena hak leluhur kita yang terinjak-injak. Ingat, Rawuni! Kita berdua sudah bersumpah di depan pusara Ayah. Apa pun yang terjadi, harus...."
"Kakang...," potong Rawuni cepat.
Pramana langsung diam. Pada saat itu, terdengar suara halus di atas atap kamar ini. Kedua kakak beradik itu terdiam karena mendengar suara langkah kaki yang begitu halus berjalan di atap. Dengan tatapan mata, mereka mengikuti suara langkah itu. Pramana menatap Rawuni ketika tidak lagi mendengar suara itu. Tepat berhenti di tengah-tengah atap kamar ini.
Pramana memberi isyarat dengan jari telunjuknya. Rawuni mengangguk mengerti. Seketika itu juga, dia melesat keluar melalui jendela kamar yang masih terbuka lebar. Pramana cepat melompat begitu Rawuni sudah berada di luar. Mereka langsung melesat ke atas atap.
"Siapa kau...!" bentak Rawuni keras, begitu kakinya menjejak atap.
Seseorang yang tubuhnya merapat di atap, terkejut setengah mati. Dia langsung menggelinjang, melompat bangkit. Tapi belum juga kakinya menjejak atap, Pramana sudah menerjang dari arah samping. Orang itu tidak sempat lagi untuk mengelak. Dihentakkan kedua tangannya ke samping, dan membentur tendangan Pramana yang mengandung kekuatan tenaga dalam cukup tinggi.
Dug!
"Akh...!" orang itu terpekik tertahan Seketika itu juga tubuhnya terpental jatuh ke bawah. Rawuni dan Pramana bergegas meluruk turun mengejar. Tapi orang itu lebih cepat lagi melesat kabur. Kedua anak muda cucu Eyang Paladi itu berusaha melompat mengejar. Tapi belum juga bertindak, tiba-tiba....
"Awas...!" seru Rawuni keras.
Orang itu berbalik cepat. Seketika dari tangan yang terkebut meluncur beberapa benda kecil memancarkan cahaya kemerahan. Benda-benda kecil bulat itu meluruk deras ke arah dua orang itu. Rawuni dan Pramana dibuat jumpalitan menghindari terjangan benda-benda bulat berwarna merah itu. Pada saat mereka tengah kewalahan, orang yang mengenakan baju warna merah muda itu melesat cepat melompati pagar kayu yang tinggi dan kokoh, langsung lenyap ditelan gelap.
"Phuih!" Pramana menyemburkan ludahnya kesal. Rawuni menghampiri kakaknya, menatap pemuda itu dalam-dalam. Pramana membalas tatapan adiknya.
"Sudah ada yang tahu, Kakang," kata Rawuni pelan.
"Huh!" Pramana hanya mendengus saja, kemudian berbalik. Dia melompat masuk ke dalam kamarnya melalui jendela. Rawuni masih berdiri beberapa saat memandang ke arah kepergian orang yang menghilang tanpa diketahui jejaknya. Gadis itu kemudian melompat masuk melalui jendela kamar kakaknya. Sesaat kemudian , suasana jadi sunyi sepi, tak terdengar suara sedikit pun. Tampak dari balik pagar kayu yang bagian ujung atasnya runcing, menyembul sebuah kepala. Seraut wajah yang masih muda dengan bibir menyunggingkan senyuman tipis, menatap langsung ke arah jendela kamar yang terlihat terang terbuka.
********************
Pramana memacu kudanya cepat. Kuda hitam tinggi tegap itu beriari bagai dikejar setan. Debu mengepul membumbung tinggi ke udara, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu berkecepatan tinggi. Pandangan pemuda itu tidak lepas ke arah seekor kuda yang juga dipacu cepat di depannya.
"Hoi..., tunggu...!" seru Pramana keras. Tampak penunggang kuda di depan itu menoleh. Segera ditarik tali kekang kudanya, hingga berhenti seketika Pramana menghampiri, dan menghadang di depan. Kuda hitamnya mendengus-dengus kelelahan.
"Oh, Den Pramana. Ada apa Raden menghalangi jalanku?" tegur laki-laki muda salah seorang murid utama Eyang Paladi di Padepokan Mega Kiting.
"Kau akan ke Gunung Damalaya?" tanya Pramana langsung.
"Benar, Raden. Eyang Paladi yang memerintahkan," sahut orang itu.
"Untuk apa?"
"Tidak tahu, Raden. Eyang Paladi hanya menitipkan surat Katanya, harus disampaikan segera dan ditunggu jawabannya."
"Coba kulihat suratnya."
"Oh! Maaf, Raden...."
"Berikan surat itu!" bentak Pramana.
Murid Padepokan Mega Kiting itu jadi kebingungan, sebab dia sudah dipesan untuk tidak memberikan surat ini pada orang lain, kecuali pada Paman Darwala, ketua padepokan di Gunung Damalaya. Melihat utusan itu seperti tidak bersedia memberikan surat Eyang Paladi, Pramana semakin gusar.
"Aku bisa main kasar, tahu!" ancam Pramana.
"Maaf, Raden. Aku tidak bisa memberikan surat ini pada siapa pun."
"Setan...!" geram Pramana.
Seketika itu juga Pramana mencabut pedangnya. Bagai kilat, dikibaskan pedang itu ke arah leher urusan murid Padepokan Mega Kiting. Tapi yang dihadapi adalah murid utama pilihan Eyang Paladi. Dengan manis sekali ditarik kepalanya kebelakang, sehingga tebasan pedang Pramana luput dari sasaran. Namun pemuda itu sudah kembali mengibaskan pedangnya, kali ini menebas leher kuda utusan itu hingga buntung seketika.
"Hup!"
Utusan itu melompat begitu kudanya menggelepar rubuh dengan kepala buntung. Pramana juga bergegas melompat, kembali menyerang mempergunakan jurus-jurus pedang yang sangat dahsyat. Utusan itu tampak ragu-ragu menghadapinya. Dia hanya berlompatan dan berkelit menghindari setiap serangan yang datang. Tapi menghadapi kenyataan bahwa serangan itu tidak main-main, utusan itu jadi geram juga.
"Raden, hentikan...!" seru utusan itu mencoba menyadarkan Pramana.
"Kau tinggal pilih, surat itu atau nyawamu!" dengus Pramana.
"Uts!"
Utusan itu merundukkan kepalanya ketika pedang Pramana berkelebat menyambar ke arah kepalanya. Tapi belum juga dapat mengangkat kepalanya kembali, mendadak saja satu tendangan keras menghantam dadanya. Murid utama Padepokan Mega Kiting itu mengeluh pendek. Tubuhnya terjejer ke belakang beberapa langkah. Maka Pramana tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Selagi utusan itu limbung, dengan cepat dihunjamkan pedangnya ke dada. Dan....
"Aaakh...!" utusan itu menjerit melengking tinggi.
"Hih!" Pramana mencabut pedangnya yang terbenam di dada murid Padepokan Mega Kiting itu. Lalu dengan keras dilontarkan satu pukulan bertenaga dalam tinggi ke dada yang mengucurkan darah segar.
Bruk!
Tak pelak lagi, utusan itu ambruk ke tanah keras sekali. Sebentar dia menggeliat, lalu diam tak berkutik lagi. Pramana memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarungnya di pinggang. Seketika digeledah tubuh orang itu, lalu ditemukanlah gulungan daun lontar terikat pita biru muda. Cepat-cepat Pramana melompat ke punggung kudanya lalu digebahnya kuat-kuat.
Kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Seketika itu juga binatang itu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busurnya. Kuda hitam itu berlari cepat membawa Pramana di punggungnya, meninggalkan mayat seekor kuda dan seorang murid utama Padepokan Mega Kiting.
********************
"Kakang, dipanggil Eyang Paladi!" ujar Rawuni seraya menyembulkan kepalanya dari pintu kamar kakaknya.
Pramana yang tengah membaca surat pada daun lontar, menoleh memandang adiknya. Buru-buru dlli pat surat itu dan disimpannya di balik lipatan baju. Pemuda itu melompat turun dari pembaringan, dan melangkah menghampiri Rawuni. Dibukanya pintu lebar lebar. Lalu keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Rawuni mengikutinya. Gadis itu sempat menutup kembali pintu kamar kakaknya.
"Ada apa Eyang memanggilku?" tanya Pramana terus saja melangkah di samping adiknya.
"Tidak tahu. Eyang menunggu di bangsal latihan," sahut Rawuni.
Pramana tidak bertanya lagi. Mereka segera menuju bangsal latihan yang ada di samping bangunan utama Padepokan Mega Kiting. Mereka melihat Eyang Paladi duduk bersila beralaskan permadani tebal yang lembut berwarna biru muda. Eyang Paladi memberi isyarat pada kedua cucunya untuk duduk. Mereka mengambil tempat di depan laki-laki tua itu, duduk bersila di lantai.
"Pramana, kau tahu kenapa dipanggil ke sini?" tanya Eyang Paladi langsung pada pokok persoalannya.
Pramana hanya menggelengkan kepalanya saja.
"Seorang murid utamaku tewas terbunuh di perbatasan. Padahal dia kuberi tugas penting, dan tidak ada seorang pun yang tahu," kata Eyang Paladi disertai tatapan mata tajam menusuk langsung kepada Pramana. Sedangkan yang ditatap hanya menunduk saja. Demikian pula dengan Rawuni.
"Aku pernah mengatakan sesuatu pada kalian, dan ini ada hubungannya dengan tugas muridku," lanjut Eyang Paladi.
"Eyang mencurigai kami...?" Pramana mengangkat kepalanya.
"Aku tidak berkata begitu, Pramana. Kau tahu, apa yang kutugaskan pada muridku?"
Pramana menggelengkan kepalanya.
"Rawuni?"
"Tidak," sahut Rawuni seraya menggeleng.
"Ada sesuatu yang hilang darinya, dan itu sangat penting bagiku. Hmmm..., sudahlah. Itu urusanku," kata Eyang Paladi.
Pramana dan Rawuni saling berpandangan.
"Pergilah, kembali ke kamarmu," kata Eyang Paladi.
Pramana dan Rawuni bangkit berdiri, dan sama-sama menjura sedikit memberi hormat. Mereka lalu berbalik dan berjalan keluar. Setelah kedua orang itu meninggalkan bangsal latihan ini, dari pintu lain muncul seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau. Eyang Paladi memberi isyarat agar duduk. Pemuda itu duduk bersila di depan laki-laki tua itu.
"Aku belum bisa menemukan jawaban kecurigaanmu, Bayu. Mereka cucu-cucuku yang baik, penurut, dan tidak pernah membantah perintah orang tua. Sukar bagiku untuk mempercayai kalau mereka adalah manusia-manusia bertopeng muka babi itu," kata Eyang Paladi pelan.
"Aku belum menuduh mereka, Eyang. Hanya curiga saja," ujar Bayu.
"Kau punya bukti?"
"Sedikit. Aku lihat Pramana membunuh salah seorang muridmu di perbatasan. Itu sebabnya aku ke sini."
"Kau tidak salah, Bayu?"
"Semalam Jruda mendengar mereka merencanakan sesuatu di dalam kamarnya. Mereka mengetahui, tapi untungnya Jruda bisa menghindar."
"Jruda...?!" Eyang Paladi nampak terkejut.
"Benar. Bahkan kini Parti bersamanya. Maaf, kalau selama ini tidak pernah kuceritakan tentang mereka," ucap Bayu.
"Tidak mengapa, Bayu. Aku sengaja menyuruhnya pergi dari desa ini agar tidak ikut tewas. Aku juga menyesal tidak terlalu memperhatikan keselamatan Parti."
"Mereka menghargai maksud baikmu, Eyang. Percayalah, mereka mencoba mencari manusia bertopeng muka babi itu tanpa ada prasangka buruk terhadapmu. Mereka tahu betul kalau kau tidak tahu apa-apa, bahkan berniat baik," Bayu meyakinkan.
"Bayu, bisa kau antar aku untuk bertemu mereka?" pinta Eyang Paladi.
"Sayang sekali, Eyang. Mereka saat ini tidak ingin ditemui siapa pun. Demi keselamatan mereka sendiri."
"Aku mengerti."
Mereka kembali berbincang-bincang sampai hari menjelang senja. Banyak yang dibicarakan, terutama tentang dua orang bertopeng yang sampai saat ini masih berkeliaran. Eyang Paladi sendiri bermaksud mengetahui tentang kedua cucunya itu. Dan diam-diam diutus seorang muridnya lagi ke Gunung Damalaya untuk menemui Paman Darwala. Dia ingin tahu, apakah benar Pramana dan Rawuni sudah berpamitan untuk tinggal di sini.
********************
TUJUH
Kegemparan kembali melanda seluruh Desa Kiting. Malam yang seharusnya hening sunyi, mendadak hiruk pikuk. Hampir semua penduduk desa itu keluar dari rumahnya. Tampak dua orang berbaju biru gelap berlompatan dari satu atap ke atap rumah lainnya. Mereka membawa obor untuk membakar rumah-rumah penduduk. Maka Desa Kiting seketika jadi lautan api. Di mana-mana api berkobar melahap rumah-rumah yang sebagian besar terbuat dari belahan papan dan beratapkan daun rumbia.
Eyang Paladi tampak sibuk memerintahkan seluruh muridnya untuk memadamkan api. Delapan murid utama Padepokan Mega Kiting, berusaha menghadang dua orang berbaju biru gelap yang masih berlompatan membakar rumah lainnya. Dua orang itu bagai kemasukan setan. Tangan kiri memegang obor, dan tangan kanan menggenggam pedang.
Delapan orang murid utama Eyang Paladi itu berusaha mendesak kedua orang bertopeng. Tapi, kemampuan mereka berada di bawah dua orang itu. Dalam sebentar saja, tiga orang telah tergeletak tewas berlumuran darah. Eyang Paladi tampak gusar melihat tiga muridnya tewas dalam waktu sebentar saja.
"Mundur...!" tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
Lima orang murid Padepokan Mega Kiting berlompatan mundur. Tapi salah seorang berhasil terbabat lehernya hingga buntung. Tak ada jeritan. Tubuh tanpa kepala itu langsung ambruk dan tewas seketika. Tampak seorang pemuda berbaju kulit harimau melompat menghadang dua orang berbaju biru gelap. Yang seorang memakai topeng bermuka babi, sedangkan seorang lagi hanya mengenakan selubung kain pada kepalanya.
"Bayu...," desah Eyang Paladi melihat kemunculan Pendekar Pulau Neraka. Laki-laki tua berjubah putih itu langsung melompat, dan mendarat ringan di samping kiri Bayu Hanggara. Sementara dua orang yang menjadi momok menakutkan selama ini, saling berpandangan sejenak, kemudian sama-sama mengangguk..
"Seribu Pisau Terbang'...!" tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak keras
"Heh...!" Eyang Paladi tersentak kaget. Tapi belum lagi rasa keterkejutan laki-laki tua itu hilang, tiba-tiba kedua orang yang dijuluki si Topeng Muka Babi itu mengibaskan tangannya cepat. Maka seketika itu juga pisau kecil beterbangan bagai hujan. Pendekar Pulau Neraka berlompatan menghindari serbuan pisau-pisau terbang itu. Demikian juga Eyang Paladi. Beberapa pisau yang nyasar, menancap pada orang-orang yang tidak bisa menghindari lagi. Jerit dan pekik melengking terdengar saling sambut.
"Keparat..!" geram Bayu melihat tidak kurang dari sepuluh penduduk dan beberapa murid Eyang Paladi terjungkal tewas tersambar pisau yang nyasar.
"Akh...!" Tiba-tiba saja terdengar pekikan tertahan. Bayu menoleh sedikit, dan menjadi terkejut ketika melihat Eyang Paladi terhuyung-huyung dengan sebilah pisau tertanam pada dadanya. Belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu bisa bertindak, tiba-tiba saja....
"Hiyaaat...!"
Seorang yang memakai kain selubung pada kepalanya melompat cepat sambil menusukkan pedangnya ke arah dada Eyang Paladi. Dan seorang lagi melontarkan pisau pisau kecil yang tipis pada Pendekar Pulau Neraka. Saat itu Bayu tidak bisa berbuat apa apa. Apalagi untuk menolong Eyang Paladi. Dia sendiri sibuk menghindari serbuan pisau-pisau terbang itu yang seperti tidak ada habisnya.
"Aaa...!" Eyang Paladi menjerit melengking tinggi.
"Eyang...!" seru Bayu terperanjat.
Tampak orang berselubung kain pada kepala menghentakkan pedangnya yang tertanam dalam pada dada laki-laki tua itu. Darah langsung muncrat keluar dari dada yang bolong. Belum lagi Eyang Paladi bisa menutup lukanya, satu tendangan keras menggeledek menghantam kepalanya.
Kembali Eyang Paladi menjerit keras. Tubuhnya limbung, lalu ambruk ke tanah. Kepalanya retak, dan darah mengalir deras. Bayu kontan melompat memburu, tapi orang berselubung kain hitam itu sudah lebih cepat melompat menghindar. Maka seketika itu juga dua orang yang dijuluki si Muka Topeng Babi itu melesat kabur bagai kilat, dan dalam sekejap saja sudah hilang dari pandangan mata.
"Eyang...," desis Bayu sambil berlutut di samping tubuh laki-laki tua yang terbujur berlumuran darah.
"Eyang...," Bayu mengguncang-guncang tubuh Eyang Paladi.
Tapi laki-laki tua itu tetap diam. Tidak ada lagi nyawa di tubuhnya. Bayu mengangkat kepalanya, lalu bangkit berdiri setelah merebahkan tubuh tua itu. Tiga orang murid Padepokan Mega Kiting bergegas maju dan menggotong tubuh gurunya.
"Bawa ke padepokan," perintah Bayu. Tanpa membantah sedikit pun, mayat Eyang Paladi dibawa ke Padepokan Mega Kiting. Sementara penduduk dan beberapa murid padepokan lainnya masih sibuk memadamkan api. Bayu berdiri tegak memandang sekitarnya. Beberapa wanita tampak menangis. Ada yang menangisi anaknya, atau suaminya yang tewas. Ada juga yang menangisi rumahnya yang habis terbakar. Bayu mendesah panjang. Kakinya terayun melangkah menuju Padepokan Mega Kiting.
********************
Sementara itu jauh di perbatasan Utara Desa Kiting, tampaklah dua orang berpakaian gelap tengah berdiri tegak memandangi kobaran api yang masih membesar melahap rumah-rumah penduduk. Seluruh kepala dan wajahnya terselubung kain dan topeng. Salah seorang membuka topengnya, tampak di baliknya tersembunyi seraut wajah cantik. Sedangkan yang seorang lagi, membuka selubung kain di kepalanya. Seraut wajah tampan terlihat begitu selubungnya terbuka.
"Seharusnya kau tidak membunuh Eyang Paladi, Kakang," terdengar desahan pelan bernada menyesal.
"Terpaksa! Aku tidak ingin rahasia kita terbongkar, Rawuni. Eyang Paladi mengenali jurus 'Seribu Pisau Terbang'"
"Hhh...!"
Mereka memang Pramana dan Rawuni, dua orang cucu Eyang Paladi. Kini keduanya terdiam dengan mata langsung mengarah ke desa yang masih membara oleh kobaran api yang melahap beberapa rumah. Kembali terdengar tarikan napas panjang dari bibir mungil Rawuni. Pramana memperhatikan adiknya lekat-lekat.
"Apa yang kau pikirkan, Rawuni?" tegur Pramana.
"Tidak ada," sahut Rawuni seraya mendesah panjang.
"Rawuni..., janganlah kau turuti kata hati. Kita sama-sama sudah berjanji di depan pusara Ayah untuk membalas kematiannya," tegas Pramana.
"Aku tidak menyesal karena memang sudah tekad kita, Kakang," sahut Rawuni"
"Tinggal dua orang lagi, Rawuni. Setelah itu, selesai sudah semuanya," Pramana mengingatkan.
"Aku sangsi, Kakang...," pelan suara Rawuni.
"Hey...!" Pramana tersentak kaget. Langsung ditatapnya dalam-dalam wajah adiknya.
"Pendekar Pulau Neraka itu, Kakang...."
"Jangan hiraukan manusia keparat itu, Rawuni. Kalau perlu, bunuh sekalian!"
"Kepandaiannya sangat tinggi, Kakang. Rasanya sulit untuk menandinginya. Aku yakin, dia bukan orang sembarangan. Apakah dia orang bayaran yang disewa Eyang Paladi? Aku seperti pernah mendengar julukannya itu," kata Rawuni setengah bergumam.
"Sudahlah! Hanya satu orang saja, dan bisa kita kelabui. Ayo, kita kembali ke padepokan, sebelum ada yang mencurigai kita," ajak Pramana.
"Tidak perlu ke sana, Kakang," cegah Rawuni.
"Kenapa?" tanya Pramana tidak mengerti.
"Aku merasakan kalau Pendekar Pulau Neraka sudah mengetahui tentang diri kita."
"Hm...," gumam Pramana tidak jelas.
"Kau ingat panggilan Eyang Paladi siang tadi?"
"Tentu! Kenapa?"
"Aku punya firasat lain, Kakang. Sepertinya panggilan Eyang Paladi sengaja untuk memancing kita. Aku bisa melihat ada bayangan dari pintu lain. Seperti seseorang yang sengaja bersembunyi sambil mendengarkan. Sikap Eyang juga terasa aneh," kata Rawuni mengemukakan kecurigaannya.
Pramana terdiam membisu. Memang diakui kalau Rawuni lebih cerdas dan lebih tajam penglihatannya. Dan lagi firasatnya tidak pernah meleset.
"Kau tahu, Kakang. Waktu kau membunuh utusan itu, aku juga melihat ada seseorang di balik sebuah pohon tengah mengawasimu. Aku memang tidak memberitahumu, karena kukira hanya orang biasa saja. Tapi aku jadi mulai curiga dengan panggilan dan pertanyaan-pertanyaan Eyang Paladi pada kita," kata Rawuni lagi.
"Kau mengikuti aku, Rawuni?"
"Untuk berjaga-jaga, Kakang."
Kembali Pramana terdiam membisu. Keningnya berkerut dalam, pertanda sedang berpikir keras. Dua kali ditariknya napas panjang dan berat. Kemudian pandangannya kembali beralih ke arah Desa Kiting. Api masih terlihat berkobar, meskipun tidak sebesar tadi.
"Kakang, sebaiknya kita tidak kembali ke desa itu. Biarkan suasana jadi tenang sambil mengamati kalau-kalau Jruda dan Parti muncul. Aku tidak ingin mengorbankan penduduk lagi. Sudah cukup rasanya membuat mereka sengsara. Biar mereka ingat kesengsaraan sangat pedih!" kata Rawuni.
"Baiklah. Kita tunggu selama beberapa hari sampai keadaan kembali tenang," akhirnya Pramana mengalah juga.
********************
Suasana mendung menyelimuti seluruh wajah Desa Kiting. Tidak ada lagi orang yang bisa dijadikan panutan. Satu-satunya orang yang dihormati dan selalu menjadi pedoman telah tewas terbunuh. Padepokan Mega Kiting dalam keadaan kosong, tidak memiliki pemimpin lagi.
Sudah dua hari Bayu terpaksa tinggal di Padepokan Mega Kiting. Keyakinannya semakin bertambah, bahwa yang selama ini membuat kerusuhan adalah dua orang cucu Eyang Paladi sendiri. Hanya saja Bayu belum bisa mengetahui, mengapa Pramana dan Rawuni melakukan hal itu...? Bayu hanya menunggu kedatangan Paman Darwala. Hanya orang itu yang mungkin bisa menjelaskan semuanya.
Siang ini langit terselimut awan tebal menghitam, seakan-akan alam turut berduka atas kematian Eyang Paladi dan beberapa orang lainnya hanya dalam waktu semalam saja. Bayu berdiri di beranda depan pada bangunan utama Padepokan Mega Kiting. Di sampingnya berdiri Jruda dan Parti. Pendekar Pulau Neraka itu memang sengaja membawa mereka ke padepokan ini, demi keselamatan. Di samping itu mereka memang hendak ke sini begitu mendengar kematian Eyang Paladi.
"Kau yakin Paman Darwala akan datang hari ini Bayu?" tanya Jruda ingin memastikan.
"Keterangan dari utusan memang begitu," sahut Bayu kalem.
"Hhh.... Aku tidak habis mengerti, mengapa Pramana dan Rawuni melakukan itu?" gumam Jruda.
"Semasih hidup, Eyang Paladi pernah cerita padaku. Padepokan ini dibangun oleh dua orang pendekar. Tapi yang seorang tewas secara misterius dengan meninggalkan dua orang anak. Yang seorang laki-laki, dan seorang lagi perempuan. Usia mereka baru sekitar sepuluh dan tujuh tahun...," kata Bayu pelan.
"Mereka adalah ayahku dan ayahnya Pramana," sambut Jruda.
"Tapi, apa hubungannya...?"
"Mungkin," desah Bayu.
"Pramana dan Rawuni dibawa pamannya setelah kematian ayahnya. Memang, sampai saat ini tidak diketahui siapa yang menewaskannya. Hanya sebuah rantai..." mendadak Jruda menghentikan ceritanya.
"Kenapa, Jruda?" tanya Bayu.
"Ya...! Rantai merah...! Kini aku ingat! Di lehernya terikat rantai berwarna merah. Dan itu...," kembali Jruda terdiam memutuskan kata-katanya.
"Ada apa dengan rantai merah itu, Jruda?" tanya Bayu ingin tahu.
"Aku tidak tahu, Bayu. Waktu itu aku masih kecil, jadi belum tahu apa-apa. Memang akulah yang menemukan mayatnya pertama kali, kemudian baru ayahku. Leher mayat itu terbelit rantai berwarna merah darah. Rantai merah itu diambil Ayah dan disimpannya. Sampai Ayah meninggal, rantai itu tetap terkubur membelit pinggangnya. Dan itu memang sudah amanatnya. Hhh...! Sekarang rantai itu muncul lagi. Terpotong-potong menjadi sepuluh lingkaran yang sama ditemukan pada setiap korban. Lingkaran Rantai Setan...," Jruda mendesis pada akhir kata-katanya.
"Lingkaran Rantai Setan...? Apa maksudmu?" tanya Bayu.
"Sukar dijelaskan, Bayu. Itu hanya sebuah kata-kata kiasan dari seseorang yang memiliki dendam pada ayah-ayah kami. Aku dan Pramana. Mereka mengabadikannya dengan membuat sebuah rantai berwarna merah darah. Mereka ingin keturunannya selalu ingat, bahwa dendam itu bukan suatu penyelesaian akhir dari suatu masalah. Rantai itu disimpan ayahku. Tapi ditemukan membelit leher ayah Pramana," Jruda mencoba untuk menjelaskan lebih rinci.
"Ada orang lain lagi yang melihatnya waktu itu?" tanya Bayu.
"Eyang Paladi dan Paman Darwala," sahut Jruda.
"Tepat...!" sentak Bayu tiba-tiba.
"Apa maksudmu, Bayu?" tanya Jruda tidak mengerti.
Bayu tidak menjawab. Diambilnya rantai yang tergantung pada tiang beranda padepokan ini. Benda itulah yang selalu dijadikan lambang oleh Padepokan Mega Kiting. Tapi sampai sekarang tidak ada yang menyadari artinya, baik murid-murid padepokan itu sendiri. Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu maknanya. Bayu menimang-nimang rantai merah itu, lalu meletakkan kembali pada tempatnya semula. Sementara itu Parti hanya diam saja mendengarkan tanpa berkata sedikit pun. Gadis itu masih belum bisa memahami semua pembicaraan tersebut. Dia memang masih terlalu muda dan tidak tahu permasalahannya.
"Ada berapa rantai yang dibuat ayahmu?" tanya Bayu setelah cukup lama berdiam diri.
"Hanya satu yang asli. Itu pun telah terkubur bersama Ayah," sahut Jruda.
"Dan kau pernah bertemu Pramana setelah dibawa pamannya?" tanya Bayu lagi.
"Hanya sekali, tapi tidak secara langsung. Pramana tidak mengenaliku sama sekali. Hanya tahu namaku saja."
"Pantas.... Dia tidak mengenalimu ketika kau gantung," gumam Bayu.
"Sejak terjadi peristiwa ini, dan munculnya Pramana, sudah kuduga kalau dialah biang keladinya. Itu sebabnya aku ingin membunuhnya, tapi gagal. Kepandaiannya jauh lebih tinggi dariku."
"Persoalannya sudah jelas, sekarang tinggal menunggu Paman Darwala saja. Mudah-mudahan dia bersedia membantu menyadarkan keponakannya," kata Bayu.
"Hanya kematian yang bisa menyadarkannya, Bayu."
"Hilangkan rasa dendam di hatimu, Jruda."
"Mereka telah membunuh banyak orang! Hanya hukuman mati yang pantas untuk mereka, Bayu."
Pendekar Pulau Neraka hanya mengangkat bahu saja.
********************
DELAPAN
Empat ekor kuda berpacu cepat keluar dari Padepokan Mega Kiting, menuju ke sebelah Utara Desa Kiting. Paling depan sekali terlihat seorang laki-laki berusia hampir mencapai tujuh puluh tahun. Dialah Paman Darwala. Di belakangnya tiga orang laki-laki juga berkuda. Tampak di antara mereka adalah Pendekar Pulau Neraka, Jruda, dan seorang murid utama Padepokan Mega Kiting.
Mereka berhenti setelah tiba di luar perbatasan desa sebelah Utara. Masing masing penunggang melompat turun dari punggung kudanya. Paman Darwala memandangi sekitarnya. Bayu dan Jruda menghampiri.
"Bagaimana Paman bisa memastikan mereka ada di sini?" tanya Jruda.
"Ayah mereka dimakamkan di sini. Aku yakin mereka ada di sekitar tempat ini," jawab Paman Darwala.
Jruda tidak bertanya lagi. Dia juga mengedarkan pandangannya berkeliling. Tempat ini sunyi sekali, tidak ada seorang pun yang teriihat kecuali mereka berempat. Jruda melirik Bayu yang tengah melangkah mendekati sebuah makam yang kelihatan tidak terawat. Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu memandangi, kemudian berbalik menghampiri yang lainnya.
"Aku hampir tidak percaya kalau mereka yang melakukan semua kekejaman ini. Meskipun mereka muridku dan sekaligus keponakanku, tapi perbuatan mereka tidak bisa diampuni. Aku tidak pernah mengajarkan pada mereka untuk berbuat seperti ini," tegas Paman Darwala menyesali tindakan Pramana dan Rawuni.
Jruda hanya diam saja. Demikian pula Bayu dan seorang murid Padepokan Mega Kiting yang ikut serta.
"Aku menyesal telah menceritakan semua peristiwa yang menimpa ayah mereka. Tapi sungguh, dalam hatiku tidak bermaksud menyulut api dendam. Apalagi dendam terhadap keluargamu, Jruda. Antara keluarga kita terjalin persaudaraan yang kuat. Aku sendiri tidak percaya kalau ayahmu yang membunuh adikku," sambung Paman Darwala.
"Semua sudah terjadi, Paman," ujar Jruda.
"Ya! Semua karena kesalahanku yang tidak mampu mendidik mereka dengan baik," Paman Darwala menyesali.
"Bukan kesalahan Paman, tapi karena kutukan. Dan itu baru terjadi sekarang."
"Jruda, aku mohon padamu. Sebaiknya serahkan mereka padaku. Biar aku sendiri yang akan memberi hukuman padanya. Mereka adalah keponakanku, sekaligus murid-muridku. Aku mohon padamu, Jruda?" ujar Paman Darwala penuh harap.
Jruda menarik napas berat. Memang sukar untuk memenuhi permintaan Paman Darwala. Tapi begitu mendapat lirikan dari Pendekar Pulau Neraka, Jruda mengangguk.
"Terima kasih, Jruda. Kebaikan hatimu tidak akan kulupakan," ucap Paman Darwala.
"Ah! Sudahlah, Paman. Sebaiknya kita segera menemukan mereka. Aku tidak ingin lagi melihat darah orang-orang tidak berdosa menyirami bumi," kata Jruda.
Tidak ada lagi yang bicara. Semua melangkah menyibak hutan yang tidak seberapa lebat. Mereka tidak tahu kalau sepasang mata sejak tadi selalu mengamati dari tempat yang cukup tersembunyi. Dan pemilik sepasang mata itu melesat cepat begitu empat orang itu semakin masuk ke dalam hutan.
********************
Rawuni terkejut melihat kakaknya datang tergesa-gesa dengan napas memburu. Keringat membasahi seluruh wajah dan leher Pramana. Pemuda itu langsung menarik tangan adiknya, dan membawanya keluar dari gua.
"Ada apa, Kakang?" tanya Rawuni tidak mengerti.
"Tinggalkan tempat ini cepat" ajak Pramana menyuruh adiknya naik ke kuda.
Dengan keadaan masih kebingungan, Rawuni naik juga ke punggung kudanya. Pramana bergegas melompat ke kuda hitamnya yang tinggi dan kekar. Kedua orang itu menggebah kudanya masing-masing. Rawuni masih bertanya-tanya, mensejajarkan langkah kaki kudanya di samping Pramana.
"Ada apa, kakang? Kenapa buru-buru?" tanya Rawuni masih penasaran akan sikap kakaknya.
"Mereka mengetahui tempat ini," kata Pramana sambil terus memacu cepat kudanya.
"Mereka siapa?"
"Jruda dan Pendekar Pulau Neraka. Bahkan Paman Darwala juga bersama mereka," sahut Pramana.
Mendengar penjelasan kakaknya, Rawuni segera menghentikan lari kudanya. Pramana bergegas menarik tali kekang kudanya. Kuda hitam itu meringkik, dan kontan berhenti seketika. Pramana memutar tubuh kudanya, menghadap gadis itu.
"Aku tidak suka jadi buronan seperti ini!" dengus Rawuni agak keras suaranya.
"Mereka akan membunuh kita, Rawuni," kata Pramana.
"Aku tidak ingin jadi pengecut! Semua yang kulakukan, harus kupertanggungjawabkan. Kalau kau ingin pergi, pergilah!" tegas kata-kata Rawuni.
"Rawuni...!" sentak Pramana terkejut
"Beberapa hari ini aku selalu memikirkan semua perbuatan kita, Kakang. Terus terang, aku masih ragu akan kebenaran dari semua perbuatan kita...," pelan nada suara Rawuni, namun mengandung ketegasan.
"Kau ini bicara apa, Rawuni? Sudahlah, ayo kita pergi!" ajak Pramana.
"Tidak! Aku akan menunggu mereka di sini!" sentak Rawuni tegas.
"Kau gila, Rawuni. Ada Paman Darwala bersama mereka!"
"Sungguh tidak kusangka kalau kakakku seorang pengecut. Menyesal aku mengikutimu, Kakang. Seharusnya aku tahu kalau semua yang kita lakukan bukan karena membalas kematian ayah. Tapi karena napsu setanmu yang ingin membunuh Jruda. Kau sakit hati karena gadis yang kau sukai lebih memilih Jruda untuk jadi suaminya. Kau pengecut Kakang! Melampiaskan sakit hatimu dengan dalih membalas kematian Ayah!"
"Cukup, Rawuni!" bentak Pramana memerah wajahnya.
"Akuilah, Kakang. Aku lebih senang kalau kau mengakui semuanya. Kau ingin membalaskan sakit hatimu, bukan?" desak Rawuni yang mulai menyadari kalau semua perbuatannya hanya karena bujukan kakaknya yang ingin membalas sakit hati.
Rawuni baru menyadari semuanya setelah mendengar Pramana mengigau dalam tidurnya semalam. Sungguh mati, gadis itu tidak menyangka ada maksud tertentu dari semua rencana gila ini. Dan Rawuni sangat menyesal, karena Pramana justru malah mengotori nama ayah mereka sendiri. Menodai persaudaraan yang telah dibangun sekian puluh tahun lamanya.
"Aku memang sakit hati terhadap Jruda. Aku sudah bersumpah untuk membunuhnya dan semua keturunannya!" ujar Pramana mengakui dengan tegas.
"Tapi, kenapa kau membunuh semuanya? Bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa ikut jadi korban. Kenapa, Kakang...?" Rawuni meminta penjelasan.
"Semua itu termasuk bagian dari rencanaku, Rawuni. Padepokan Mega Kiting harus kita kuasai. Aku tidak ingin padepokan itu nantinya jatuh ke tangan mereka!"
"Tapi, bukankah itu sudah keputusan Ayah"? Memang Jruda yang akan mewarisi padepokan itu. Dan kita sendiri sudah diwarisi padepokan milik Paman Darwala. Kenapa kau ingin menguasai Padepokan Mega Kiting, Kakang? Padepokan itu kecil, tidak ada artinya sama sekali."
"Bukan itu yang kuinginkan, Rawuni. Tapi daerahnya. Kau mengerti maksudku?"
"Oh...," Rawuni mendesah sambil menggelengkan kepala beberapa kali. Gadis itu tidak menyangka kalau pikiran kakaknya sepicik itu. Memang, Desa Kiting memiliki aliran sungai yang mengandung biji emas. Rupanya Pramana menginginkan semua itu untuk memperkaya diri. Yang pasti bukan hanya karena itu. Rawuni juga bisa mengetahui adanya tujuan tertentu. Jelas, Pramana ingin menjadikan Desa Kiting menjadi wilayah kekuasaannya, seperti yang pernah dilakukan ayah mereka ketika masih hidup.
"Dengar, Rawuni. Aku akan membangun desa itu menjadi lebih besar, dan akan berkuasa di sana. Ingin kutunjukkan pada Ayah, kalau aku dapat melebihinya. Itu sebabnya aku ingin menguasai padepokannya terlebih dahulu, dan melenyapkan semua orang yang bisa menjadi duri dalam diriku. Kau mengerti, Rawuni? Meskipun aku tahu kalau Ayah terbunuh oleh orang yang tidak dikenal, tapi aku tidak ingin ada orang lain menguasai padepokan itu. Terutama Desa Kiting!" tegas kata-kata Pramana.
"Sungguh tidak kuduga kalau kau punya pikiran picik seperti itu, Kakang. Kalau tahu sejak dulu, tidak bakalan aku ikut. Membantai mereka yang tidak berdosa, membuat neraka pada mereka. Aku menyesal, Kakang. Benar-benar menyesal...!" keluh Rawuni setelah mengetahui semua yang ada di balik rencana kakaknya ini.
"Tidak ada kata penyesalan, Rawuni. Bagaimanapun juga kau telah ikut dalam permainan ini, dan tidak bisa menghindar begitu saja," kata Pramana tenang diiringi senyuman lebar.
"Kau menjebakku, Kakang!" desis Rawuni tidak senang.
"Sudahlah, Rawuni. Tidak ada gunanya berdebat. Sebaiknya kita jalan lagi. Untuk sementara kita tinggalkan tempat ini," bujuk Pramana.
"Tidak! Aku akan kembali pada Paman Darwala, dan memohon ampun padanya!" keras pendirian Rawuni.
"Rawuni...!"
"Dia benar, Pramana...," tiba-tiba terdengar suara.
Pramana dan Rawuni tersentak kaget. Kedua orang itu cepat melompat turun dari punggung kudanya masing-masing. Tatapan mereka tajam menusuk langsung ke arah datangnya suara tadi. Tampak seorang pemuda berbaju kulit harimau tahu-tahu sudah berdiri tegak di atas sebongkah batu cadas yang hitam berkilat.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Pramana mengenali pemuda berbaju kulit harimau itu. Belum lagi hilang sepenuhnya rasa terkejut kakak beradik itu, dari balik batu muncul Paman Darwala, Jruda, dan seorang murid Padepokan Mega Kiting Bayu melompat turun dari atas batu. Mereka melangkah lebih mendekat lalu berhenti setelah jaraknya sekitar dua batang tombak lagi di depan Pramana dan Rawuni.
"Rawuni, menjauhlah dari kakakmu!" perintah Paman Darwala tegas.
"Kau tetap di sini, Rawuni!" sentak Pramana sambil mencekal tangan adiknya.
"Tidak!" sentak Rawuni mengibaskan cekalan kakaknya.
Rawuni segera berlari menjauh begitu terlepas dari cekalan kakaknya.
"Rawuni...!" bentak Pramana gusar. Kegusaran Pramana bertambah melihat Paman Darwala menyongsong menyambut gadis itu. Dan seketika itu juga, Pramana mengecutkan tangannya. Secercah cahaya berkelebat cepat keluar dari tangannya. Tampak dua buah pisau kecil tipis meluncur ke arah Rawuni.
"Rawuni, awas...!" seru Paman Darwala terkejut.
Tapi Rawuni tidak sempat lagi untuk menghindar. Namun Pendekar Pulau Neraka sudah menghentakkan tangan kanannya. Seketika itu juga Cakra Maut melesat dari pergelangan Pendekar Pulau Neraka. Cakra Maut menghantam dua pisau yang hampir saja menembus punggung Rawuni. Pada saat yang sama, gadis itu menjatuhkan tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas, maka Cakra Maut kembali melesat balik, lalu menempel kembali pada pergeiangan tangan kanannya. Pramana menggeram gusar melihat Pendekar Pulau Neraka menggagalkan maksudnya.
"Kau terlalu banyak ikut campur, pendekar setan! Mampus kau! Hiyaaat...!"
Pramana tidak bisa lagi menahan gejolak hatinya yang tengah disulut api dendam membara. Bisikan iblis sudah merasuki hati pemuda itu. Dia melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Namun manis sekali Bayu mengelakkan serangan itu. Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan kirinya menyodok ke arah perut.
"Hughk...!" Pramana mengeluh pendek. Pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi perutnya. Kalau saja sodokan itu disertai pengerahan tenaga dalam, pasti semua isi pertunya sudah ambrol keluar. Tapi sodokan tenaga luar itu mampu membuat bola mata Pramana berputar, dan perutnya terasa mual. Hanya sebentar Pramana mengatur napas untuk mengusir rasa mual pada perutnya, kemudian sudah kembali menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan jurus-jurus pendek yang cepat dan dahsyat.
Bayu bisa merasakan kalau setiap pukulan dan tendangan Pramana mengandung pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Memang sudah bisa diukur sampai di mana ketinggian tenaga dalam Pramana. Hingga ketika satu pukulan keras menggeledek mengarah kedadanya, dengan cepat Bayu menyodokkan tangan kanan, menyambut pukulan itu.
Trak!
"Akh!" Pramana memekik tertahan. Pemuda itu kontan melompat mundur tiga tindak. Bibirnya meringis merasakan sakit di seluruh tangan kirinya yang beradu dengan tangan kanan pendekar muda itu. Pramana menyadari kalau tenaga dalamnya masih dibawah Pendekar Pulau Neraka. Cepat pemuda itu mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang.
Sret!
"Hm...," Bayu menggumam melihat pedang sudah terhunus dalam genggaman Pramana. PendekarPulau Neraka menggeser kakinya ke samping beberapa tindak. Sementara itu semua orang yang ada di situ memperhatikan dengan perasaan tegang. Mereka tidak berkedip memandangi dua orang yang saling berhadapan, siap melakukan pertarungan tingkat tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Hait..!"
Pramana melompat cepat bagai kilat sambil membabatkan pedangnya beberapa kali ke arah bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. Dan Bayu yang sudah siap sejak tadi, mengerahkan jurus 'Kelelawar Maut' Jurus Bayu itu didapat dari seorang pendekar yang bergelar Pendekar Kelelawar dari Selatan. Jurus andalan ini jarang digunakan. Bayu bertarung dengan kedua tangan sering mengembang. Gerak tubuhnya begitu lentur, meliuk-liuk menghindari setiap tebasan dan tusukan pedang Pramana yang dahsyat dan mengandung tenaga dalam tinggi.
Pertarungan antara Pramana melawan Pendekar Pulau Neraka berjalan sengit. Tapi baru saja lima jurus terlewati, sudah kelihatan kalau Pramana tidak mampu lagi menahan gempuran Bayu Hanggara. Beberapa kali tubuhnya harus rela menerima pukulan pendekar muda itu. Pramana sudah jatuh bangun, tapi masih tetap tidak undur barang sedikit pun. Dia tahu kalau setiap pukulan yang diterimanya tidak mengandung tenaga dalam, tapi cukup nyeri juga. Dan ini membuat Pramana merasa terhina.
"Phuih!" Pramana menyemburkan ludahnya. Cepat sekali Pramana menyerang kembali dengan jurus-jurus andalannya. Namun baru beberapa gebrakan saja, tanpa diduga sama sekali satu pukulan telak Pendekar Pulau Neraka membuat pemuda itu terjungkal ke belakang, menghantam sebongkah batu besar hingga hancur berantakan.
"Keparat! Hiyaaat...!" Pramana mengumpat, langsung melompat bangkit dan menyerang.
Wut! Wut!
Dua kali tebasan pedang Pramana berhasil dihindari Pendekar Pulau Neraka. Kegigihan Pramana membuat hati Bayu kagum, tapi juga gusar karena sifat keras kepalanya. Sudah diberikan keringanan untuk mundur, malah semakin liar saja. Menyerang membabi buta tanpa menghiraukan lagi norma-norma ilmu olah kanuragan yang benar.
"Hih! Hyaaa...!"
Bayu melentingkan tubuhnya ke atas, ketika satu tebasan pedang Pramana mengincar kakinya. Pendekar Pulau Neraka itu melewati kepala Pramana, dan kakinya langsung mendupak kepala pemuda itu.
"Akh...!" Pramana memekik keras tertahan. Dupakan kaki Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam kepalanya. Pramana jadi limbung. Dan pada saat tu, satu pukulan telak bertenaga dalam penuh, dilepaskan Bayu. Pukulan itu tidak terbendung lagi, langsung menghantam dada Pramana.
"Aaakh...!" lagi-lagi Pramana menjerit keras.
"Kakang...!" teriak Rawuni seketika.
Tubuh Pramana terbanting keras ke tanah. Pemuda itu menggelepar merasakan sakit yang amat sangat di bagian dada. Mulut dan hidungnya mengucurkan darah. Pelipisnya pun sobek cukup lebar. Pramana berusaha bangkit berdiri, tapi tubuhnya limbung. Dengan menahan sakit pada ronga dada dan kepalanya, Pramana berlari cepat sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ke atas kepala.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Hiyaaa...!"
Bayu menghentakkan tangan kanannya ke depan, maka seketika itu juga dari pergelangan tangan kanannya meluncur Cakra Maut. Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu tepat menghunjam dada Pramana, hingga tembus ke punggung. Cakra Maut terus melesat dan berputar balik begitu Bayu mengangkat tangannya ke atas. Cakra Maut berwarna keperakan itu kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Sementara itu Pramana semakin limbung. Darah mengucur deras dari luka-luka di tubuhnya, terutama pada bagian dada dan punggungnya yang berlubang. Hanya sebentar Pramana mampu bangkit berdiri, kemudian ambruk menggelepar ditanah.
"Kakang...!" seru Rawuni keras. Gadis itu akan memburu, tapi tangannya keburu ditangkap Paman Darwala. Rawuni berbalik dan menangis dalam pelukan pamannya.
Semua yang menyaksikan kejadian itu hanya diam membisu. Semua mata terpaku pada Pramana, biang keladi keonaran di Desa Kiting. Itu semua karena rasa sakit hatinya pada Jruda. Paman Darwala membawa Rawuni meninggalkan tempat itu. Gadis itu masih menangis, melangkah dalam pelukan pamannya. Sementara Jruda dibantu salah seorang murid Padepokan Mega Kiting mengangkat tubuh Pramana yang sudah membujur mayat. Mereka menaruhnya di atas kuda hitam, milik Pramana sendiri. Murid Padepokan Mega Kiting menuntun kuda itu dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kiri menuntun kuda milik Rawuni. Jruda memandangi Pendekar Pulau Neraka, yang kemudian datang menghampirinya.
"Aku tidak tahu, harus mengucapkan apa kepadamu, Bayu," kata Jruda pelahan.
"Hhh...!" Bayu hanya menarik napas panjang saja.
"Kuharap kau bersedia singgah dulu di padepokan. Meskipun kita semua sudah mendengar pengakuan Pramana, tapi Paman Darwala pasti meminta Rawuni untuk mengatakan semuanya. Aku tidak tahu, hukuman apa yang akan dijatuhkan terhadap Rawuni," kata Jruda lagi.
"Kalau bisa, jangan terlalu berat. Biarkan dia menikmati kehidupan ini. Aku yakin, dia gadis yang baik," ujar Bayu memberi saran.
"Ini permintaanmu, Bayu?"
"Katakanlah begitu."
"Akan kusampaikan pada Paman Darwala nanti. Aku juga tidak menginginkan jika Rawuni dijatuhi hukuman yang berat. Malah dia akan kuajak membangun kembali Padepokan Mega Kiting, dan akan kuselidiki kematian ayahnya. Kalau pun memang terbukti ayahku yang melakukannya, biar aku yang menanggung semuanya," kata Jruda mantap.
Bayu tersenyum dan menepuk bahu Jruda, kemudian berbalik dan melangkah pergi. Jruda memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka itu. Segera dibalikkan tubuhnya, dan kembali menuju Desa Kiting. Sementara Paman Darwala dan yang lainnya sudah menunggu di atas kuda. Jruda langsung melompat naik ke punggung kudanya.
"Apa yang dikatakannya padamu, Jruda?" tanya Paman Darwala.
"Dia menginginkan aku dan Rawuni membangun kembali Padepokan Mega Kiting, dan berharap dari padepokan itu muncul pendekar pembela kebenaran," sahut Jruda.
"Sungguh mulia hatinya. Bagaimana denganmu, Rawuni?" Paman Darwala memandang pada keponakannya.
"Aku harus menjalani hukuman lebih dahulu, Paman," sahut Rawuni lirih.
"Hukumanmu tetap ada."
"Aku rasa, aku tidak sanggup lagi ke Desa Kiting, Paman. Kalau boleh, biarkan aku mengembara untuk menebus segala dosa-dosaku dengan memberantas ketidakadilan," pinta Rawuni.
Paman Darwala tersenyum terharu. Ditepuknya pundak gadis itu, lalu dihentakkan tali kekang kuda nya. Mereka semua bergerak menuju kembali ke Desa Kiting. Tapi di persimpangan jalan, mereka berpisah Paman Darwala dan Rawuni langsung menuju ke tempat asal mereka sambil membawa mayat Pramana. Sedangkan Jruda dan murid Padepokan Mega Kiting kembali ke padepokan.
"Kasihan kau, Rawuni. Terjebak dalam Lingkaran Rantai Setan...," desah Jruda dalam hati.
S E L E S A I