Serial Pendekar Pulau Neraka
Episode Menembus Lorong Maut
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Menembus Lorong Maut
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
BUKIT Bojong tampak anggun berselimut kabut tipis. Puncaknya yang menjulang tinggi, bagai menantang langit biru dengan awan tipis berarak terbawa angin. Seluruh permukaan bukit itu tampak hijau, indah dipandang mata. Namun di balik keindahan itu, tersimpan suatu misteri yang dalam dan sukar untuk ditembus.
Tidak seperti kebanyakan bukit-bukit lainnya, Bukit Bojong tampak sepi, tak ada sebuah desa pun berada di sekitar kaki bukit itu. Sepanjang mata memandang, hanya kehijauan yang terhampar. Bukit itu seperti tidak pernah terjamah oleh tangan-tangan manusia. Bahkan binatang pun sepertinya enggan untuk menginjakkan kakinya di sana.
Namun kesunyian dan keindahan Bukit Bojong, suatu ketika pecah oleh suara ledakan dahsyat dari arah Barat. Tampak debu mengepul ke udara disertai dengan pecahan-pecahan batu dan cahaya kilat. Diantara kepulan debu dan bebatuan itu, terlihat sesosok bayangan berkelebat cepat bagai kilat. Sesosok bayangan itu kemudian hinggap diatas dahan sebatang pohon besar dengan daun-daunnya yang hampir rontok dimakan usia. Ternyata bayangan itu adalah seorang wanita berambut panjang yang memakai baju berwarna hijau menyala. Wajahnya kehitaman dengan bola mata merah melesak kedalam.
Garis-garis wajahnya yang kaku, menunjukkan kalau wanita itu mengenakan topeng yang berwarna pucat bagai mayat. Dia berdiri tegak sambil memandangi kepulan debu dan bebatuan di depannya. Sesaat kemudian, setelah kepulan debu itu memudar, tampak seorang laki-laki tua berjubah putih, berdiri limbung dengan tangan menekap dada. Sebilah tombak pendek menancap di dada hingga tembus ke punggung.
“Hi hi hi...!” wanita bertopeng pucat itu tertawa mengikik kecil dan nyaring.
Untuk beberapa saat, laki-laki tua berjubah putih itu masih mampu berdiri. Namun kemudian tubuhnya limbung, dan ambruk ke tanah sambil mencabut tombak pendek yang menancap di dadanya. Darah langsung mengucur deras membasahi tanah berumput tebal. Dengan sekuat tenaga laki-laki tua itu berusaha bangkit, tapi baru saja tubuhnya terangkat, dia kembali terguling.
“Hi hi hi...!” kembali wanita bertopeng pucat itu tertawa penuh kepuasan.
“Perempuan iblis! Kali ini aku mengaku kalah, tapi lain kali...,” laki-laki tua itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat, lalu diam dan tak bergerak-gerak lagi.
“Hi hi hi...! Tidak ada waktu lagi membalasku, laki-laki tua!”
Namun laki-laki tua itu tidak menjawab. Dan tubuhnya juga sudah tidak bergerak-gerak lagi. Kemudian perempuan bertopeng pucat yang berdiri di atas dahan itu meluruk turun. Gerakannya begitu indah dan ringan, pertanda bahwa dia memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Sepasang kakinya mendarat ringan tanpa suara di samping mayat laki-laki tua lawannya itu. Sebentar dia memandangi, lalu membungkuk dan menjumput tombak pendek yang tergeletak di samping mayat itu.
Tombak pendek berwarna hitam pekat itu, lalu diselipkan ke pinggangnya. Matanya sempat menatap tajam pada tubuh yang menggeletak bersimbah darah. Kemudian pelahan-lahan kakinya terayun meninggalkan tempat itu. Kini kesunyian kembali menyelimuti seluruh Bukit Bojong itu.
Siang itu langit tampak cerah. Angin berhembus semilir menyejukkan. Awan yang menggantung tipis dan berarak indah, tak mampu melindungi bumi dari sengatan sinar matahari. Namun suasana seperti itu tidak dirasakan oleh seorang pemuda dan seorang gadis yang mengenakan baju yang bentuk dan warnanya sama.
Mereka berdiri dengan gelisah memandang ke arah Bukit Bojong. Sepasang manusia berbaju merah menyala itu sesekali menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kuat. Seolah-olah mereka tengah menantikan sesuatu yang akan datang dari bukit itu.
“Perasaanku tidak enak, Kakang,” kata gadis itu dengan nada cemas.
“Hm...,” pemuda di sampingnya hanya menggumam.
“Sebaiknya kita lihat saja ke sana, Kakang,” kata gadis itu lagi.
“Jangan! Eyang Resi sudah berpesan, kita dilarang menyusulnya. “
“Tapi....”
Belum sempat gadis itu meneruskan kata-katanya, tiba-tiba tidak jauh dari tempat mereka berdiri, meluncurlah sebuah bayangan hijau menuruni Lereng Bukit Bojong itu. Bayangan itu bergerak sangat cepat, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap.
“Ayo, Adik Narita!” seru pemuda itu sembari melesat cepat ke arah Lereng Bukit Bojong sebelah Barat.
Tanpa menunggu lagi, gadis itu langsung bergerak mengikutinya. Mereka mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sehingga sebentar saja tubuh mereka sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan di sepanjang lereng bukit itu. Dalam waktu tidak berapa lama, mereka telah sampai di suatu tempat yang cukup luas bagai lapangan rumput. Sejenak kedua manusia berbaju merah itu tertegun, melihat sesosok tubuh berjubah putih tergolek berlumuran darah di rerumputan. Kemudian hampir bersamaan mereka melompat menghampiri.
“Eyang...!” seru pemuda itu keras.
“Eyang, apa yang telah terjadi?” suara gadis itu juga keras, namun terdengar agak bergetar.
Kemudian pemuda berbaju merah itu mengangkat mayat laki-laki tua berjubah putih. Sesaat dia memeriksa, lalu meletakkannya kembali di tempat yang terlindung dari sengatan matahari. Sementara gadis di sampingnya hanya mampu memandangi dengan bola mata berkaca-kaca. Sesaat kesenyapan menyelimuti tempat itu.
“Kau tunggu di sini dulu, Narita,” kata pemuda itu langsung melompat pergi.
Gadis yang dipanggil Narita hanya mengangguk saja. Dia kemudian duduk bersila di samping jenazah laki-laki tua itu. Matanya tidak berkedip memandang darah yang mengalir dari dada berlubang itu. Tanpa disadari, setitik air bening bergulir di pipinya. Sebentar kepalanya terangkat ke atas, dan terdengar tarikan napas yang panjang dan berat.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu kembali dengan punggung penuh kayu-kayu kering. Pemuda itu meletakkan kayu-kayu yang dibawanya ke dekat mayat laki-laki tua berjubah putih. Kemudian dia pergi lagi. Sementara gadis itu segera bangkit dan menata kayu-kayu tersebut menjadi tempat berbentuk dipan. Saat dia tengah meletakkan mayat laki-laki tua itu di atas kayu-kayu yang sudah ditatanya, pemuda itu kembali datang dengan punggung penuh kayu-kayu kering. Dia meletakkan kayu itu di depan tumpukan kayu yang sudah tertata rapi.
Mereka kemudian menata kayu-kayu tersebut menjadi bentuk sebuah rumah kecil. Setelah rapi semuanya, mereka membakarnya dengan bibir terkatup rapat. Api berkobar cepat melahap kayu-kayu kering berbentuk rumah, dengan mayat seorang laki-laki tua berjubah putih di dalamnya. Kedua manusia berlainan jenis itu memandanginya dengan mata tidak berkedip dari jarak yang cukup jauh.
Letupan-letupan kecil terdengar, disertai percikan bunga api yang membumbung tinggi ke angkasa. Api terus berkobar semakin besar. Sebentar saja udara disekitar Lereng Bukit Bojong sebelah Barat itu jadi terasa panas menyengat. Asap hitam mengepul menghalangi cahaya matahari yang siang itu bersinar terik.
“Selamat jalan, Eyang...,” desis Narita lirih.
“Ayo, Narita,” ajak pemuda itu seraya berbalik. Narita tidak menyahut. Dia tetap berdiri memandang api yang masih berkobar besar.
“Narita...,” pemuda itu menepuk pundak Narita.
“Ke mana lagi kita pergi, Kakang Seta?” tanya Narita seraya membalikkan tubuhnya. Suaranya pelan, seperti tidak punya gairah hidup lagi.
“Kita harus mencari si Iblis Topeng Mayat,” sahut pemuda yang dipanggil Seta itu.
Narita kembali diam. Sejenak kepalanya menoleh pada api yang tetap berkobar besar melahap kayu-kayu kering. Kemudian pelahan-lahan kakinya terayun mengikuti langkah Seta. Mereka berjalan berdampingan tanpa bicara sedikit pun. Wajah mereka tampak sendu, dengan mata merembang kosong ke depan. Sesekali Narita masih juga menoleh ke belakang. Sepertinya dia berat untuk meninggalkan tempat itu. Namun dia harus pergi, meskipun dengan hati berat.
Senja mulai merayap mendekati sang malam. Cahaya matahari mulai redup memerah jingga di ufuk Barat. Sementara itu tampak Seta dan Narita terus melangkah pelan-pelan melintasi sungai kecil dengan air jernih yang mengalir dari atas Bukit Bojong. Sungai itu sebagai pembatas Bukit Bojong dengan suatu daerah yang dinamakan Karang Waja.
Daerah itu merupakan hutan yang tidak begitu lebat. Beberapa jalan setapak terdapat di sepanjang hutan itu. Bahkan tidak jauh dari hutan itu terdapat sebuah padukuhan kecil, dengan beberapa rumah yang terbuat dari kayu beratapkan rumbia. Padukuhan itu bernama Dukuh Karang Waja. Ke sanalah Seta dan Narita kini tengah menuju. Memang hanya itulah satu-satunya padukuhan yang ada diHutan Karang Waja ini.
Dua orang berbaju merah itu kemudian berhenti di tepi Dukuh Karang Waja. Tatapan mata Seta tidak berkedip ke arah padukuhan itu. Sementara Narita hanya berdiri saja di sampingnya dengan pandangan kosong. Namun garis-garis wajahnya terlihat suatu ketegangan. Degup jantungnya lebih keras dari biasanya. Sejenak gadis itu mengalihkan pandangannya pada pemuda di sampingnya. Pada saat itu, Seta juga menoleh ke arahnya. Sesaat mereka saling pandang.
“Aku merasa kalau kedatangan kita ini memang telah ditunggu, Kakang,” kata Narita pelan, setengah berbisik suaranya.
“Hati-hatilah, tidak biasanya Padukuhan Karang Waja sepi begini,” sahut Seta seraya mengalihkan kembali pandangannya ke arah padukuhan yang tampak sepi itu.
“Kakang....”
“Awas!” seru Seta tiba-tiba.
Narita tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Seketika saja dari arah depan mereka meluncur puluhan tombak pendek, berwarna hitam pekat. Dua orang berbaju merah itu segera berlompatan menghindari serangan-serangan itu.
Begitu tombak-tombak itu berhenti menghujani mereka, tiba-tiba muncullah lima orang wanita berbaju hijau dengan wajah memakai topeng berwarna pucat bagai mayat. Gerakan mereka sangat lincah dan cepat! Tanpa berkata apa-apa, mereka langsung menyerang dengan senjata tombak pendek berwarna hitam pekat.
Aneh! Mereka membagi serangan itu tidak seimbang. Satu orang menyerang Seta, dan empat orang lagi mendesak Narita. Tentu saja gadis itu kerepotan, karena serangan-serangan empat orang lawannya demikian cepat dan dahsyat. Sedangkan Seta merasakan dirinya hanya dibuat sibuk saja, dan digiring menjauhi Narita.
“Hiya! Hiyaaa...!”
Seta yang merasakan adanya keanehan pada serangan-serangan itu, langsung mengerahkan jurus-jurus andalannya. Dan hal itu tampak membuat lawannya kewalahan. Namun dengan mengandalkan gerakan kaki yang lincah dan kelenturan tubuhnya, lawannya itu mampu menghalau setiap serangan-serangan Seta yang dahsyat dan mematikan!
“Akh!” Tiba-tiba terdengar pekikan tertahan. Tampak Narita sempoyongan terhajar punggungnya. Pada saat itu, satu pukulan keras mendarat di dada gadis itu. Kembali Narita memekik, disusul tubuhnya terjungkal ke tanah dengan keras. Tanpa memberi kesempatan lagi, salah seorang lawannya melompat seraya berteriak keras. Tombak pendek di tangan kanannya sudah terangkat tinggi-tinggi, siap untuk ditembuskan ke tubuh Narita.
Namun pada saat yang genting itu, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat. Tombak di tangan orang bertopeng pucat bagai mayat itu terpental. Dan orang itu memekik tertahan sambil melentingkan tubuhnya ke belakang. Empat orang yang mengeroyok Narita, jadi terlongong. Karena gadis itu mendadak saja lenyap tak berbekas.
Namun mereka tidak sempat lagi berpikir, karena tiba-tiba terdengar jeritan melengking dari arah lain. Tampak orang bertopeng pucat yang bertarung dengan Seta, terjungkal mencium tanah. Empat orang itu langsung berlompatan menyerang Seta.
“Hiyaaa...!” Seta berteriak keras sambil mengebutkan tangannya ke depan.
“Aaa...!” seketika satu jeritan melengking tinggi terdengar.
Tampak seorang dari penyerang-penyerang itu menggelepar di tanah. Dadanya tertembus oleh tiga buah pisau kecil berwarna keperakan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, empat orang lagi segera berlompatan mengepung. Sejenak Seta memutar tubuhnya mengamati empat orang lawannya yang bergerak pelahan-lahan memutarinya.
“Narita...!” desis Seta tersentak ketika matanya tidak lagi melihat Narita.
Kedua bola mata Seta menatap nyalang pada empat orang wanita bertopeng pucat yang mengepungnya itu. Gerahamnya bergemeletuk menahan amarah yang meluap-luap. Pelahan-lahan tangan kanannya menarik sabuk perak yang membelit pinggangnya. Kemudian sabuk itu langsung dikebutkan dengan keras ke depan. Benar-benar luar biasa! Sabuk itu meregang kaku menjadi sebilah pedang perak yang sangat tipis dan nampak lentur.
Melihat Seta telah menghunus senjata, empat orang pengeroyoknya segera memecah tongkat pendeknya menjadi dua bagian. Tampak masing-masing ujungnya kini terdapat sebilah mata tombak tipis bercabang dua.
“Hiyaaat...!” Tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak nyaring, dan tubuhnya melesat ke depan seraya mengebutkan senjatanya ke arah perut dan dada Seta.
Langsung saja pemuda itu melompat mundur sambil mengibaskan senjatanya menyampok senjata lawan. Baru saja terlepas dari serangan pertama, menyusul serangan berikutnya. Pemuda itu terpaksa membagi perhatiannya dalam empat jurusan. Serangan lawan-lawannya terus datang secara bergantian dengan cepat dari empat jurusan. Sebentar saja teriakan-teriakan pertempuran kembali terdengar, ditingkahi dengan denting senjata beradu! Seta terpaksa mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Dia sadar, kalau empat lawannya memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.
Pertarungan empat lawan satu, terus berlangsung semakin sengit. Sudah beberapa kali Seta berhasil menyarangkan tendangan dan pukulan ke tubuh lawannya. Tapi sesekali dia juga tidak bisa menghindar dari pukulan dan tendangan lawan. Seluruh tubuhnya telah basah oleh keringat Sedangkan debu juga banyak menempel mengotori bajunya. Namun serangan-serangannya tidak mengendor sedikit pun.
“Akh!” tiba-tiba Seta memekik tertahan. Tubuhnya terdorong beberapa langkah kebelakang. Tangan kirinya segera menekap lambungnya yang sobek kena senjata lawan. Darah mengucur dari luka yang cukup dalam pada lambungnya.
“Phuih!” Seta menyemburkan ludahnya.
“Sebaiknya kau menyerah saja, Pemuda Tampan,” kata salah seorang dengan suara lembut merayu.
“Ikutlah bersama kami, kau akan menikmati indahnya hidup di sorga,” sambung yang lain.
“Kau sangat tampan, tentu ratu kami akan mengampuni dan mengijinkanmu tinggal di istananya,” kata satunya lagi.
Seta menggeram muak mendengar kata-kata yang lembut namun sangat menyakitkan hatinya itu. Dan tanpa menghiraukan luka di lambungnya, pemuda itu berteriak keras sambil melompat menerjang perempuan bertopeng pucat bagai mayat yang berada di depannya.
“Heit!” Wanita itu langsung berkelit sambil mengibaskan senjatanya. Dan tanpa diduga sama sekali, Seta melayangkan tangan kirinya dengan cepat.
Bug!
“Hugh!” wanita itu mengeluh pendek. Dan pada saat tubuhnya limbung terdorong kebelakang, dengan cepat Seta mengibaskan senjatanya ke arah leher. Namun satu senjata lawan lainnya berhasil memapak serangan itu.
Trang!
Seta segera menarik kembali senjatanya, lalu langsung berputar dan menyerang lawan yang memapaknya tadi. Tepat pada saat itu, dari arah samping, berkelebat satu bayangan dengan cepat. Seta yang tengah terpusat perhatiannya pada satu lawannya, tidak sempai lagi untuk menghindari satu tendangan dahsyat ke kepalanya.
“Aaakh...!” Seta menjerit keras.
Kepalanya terasa mau pecah terkena hantaman kaki yang begitu keras dan bertenaga dalam cukup tinggi. Belum lagi Seta mampu menguasai dirinya, mendadak satu tusukan benda tajam berhasil merobek dadanya. Kembali dia menjerit melengking tinggi! Darah segar segera muncrat dari dada yang menganga lebar.
Pemuda berbaju merah menyala itu semakin tidak dapat menguasai dirinya. Dua pukulan beruntun berhasil bersarang di tubuhnya. Seketika itu juga dia ambruk ke tanah. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, tiba-tiba sebatang tombak pendek hitam meluruk deras ke arahnya. Kini Seta benar-benar tidak bisa lagi untuk menghindar. Seketika dia kembali menjerit melengking tinggi, begitu tongkat itu memanggang lehernya. Sebentar tubuhnya menggelepar, lalu diam dan tidak bergerak-gerak lagi.
Seorang lawannya segera menghampiri, dan mencabut tongkat yang memanggang leher pemuda itu. Kemudian dia menyatukannya kembali dengan yang tergenggam di tangan kiri. Sebentar dia menarik napas panjang, lalu berbalik menghadap tiga orang temannya yang berdiri berjajar sambil memandang ke arahnya.
“Cepat tinggalkan tempat ini!” kata wanita bertopeng pucat itu tegas.
“Bagaimana dengan...,” kata salah seorang lagi sambil menoleh ke arah mayat temannya yang menggeletak tidak jauh darinya.
“Bawa dia, dan jangan sampai ada jejak!” sahut yang satu lagi.
Tanpa berkata-kata lagi, mereka segera membawa mayat itu dan melompat cepat meninggalkan tempat itu. Orang-orang itu tidak lagi peduli pada tubuh Seta yang menggeletak bersimbah darah. Di tangan pemuda itu masih menggenggam senjata, yang kini sudah kembali berubah jadi sabuk perak yang lemas dan lentur.
Saat itu matahari benar-benar sudah tenggelam di ufuk Barat. Kegelapan sudah menyelimuti di sekitar tempat itu. Seolah-olah ingin mengantarkan seseorang yang melepas nyawanya dengan tubuh penuh luka bersimbah darah!
Jauh di sebelah Utara Hutan Karang Waja, tampak sebuah bangunan besar dikelilingi pagar tembok yang tinggi dan tebal. Di belakang bangunan besar itu terdapat beberapa bangunan berbentuk panjang. Beberapa orang bersenjata tombak, selalu berjaga-jaga di sekeliling tempat itu.
Di dalam sebuah kamar yang cukup besar di rumah itu, tergolek seorang wanita berwajah cantik dengan kulit putih bersih, terpadu baju merah menyala dan ikat pinggang dari lempengan perak tipis yang lentur.
Di sisi pembaringan kecil itu, tampak berdiri tiga orang laki-laki dan dua orang wanita. Mereka rata-rata sudah berusia di atas tujuh puluh tahun. Pandangan mata mereka tidak lepas dari gadis cantik yang tengah tergolek tidak sadarkan diri.
Beberapa saat kemudian, kepala gadis itu mulai bergerak lemah. Kelopak matanya berkerjap beberapa kali. Dia tampak terkejut begitu menyadari dirinya berada di suatu ruangan dan dikelilingi oleh beberapa orang. Sejenak gadis itu berusaha bangkit, tapi sebuah tangan kurus segera menahan bahunya.
“Jangan bangkit dulu, racun yang mengendap didalam tubuhmu belum keluar semua,” kata suara lembut bernada kering.
“Siapa kalian? Bagaimana aku bisa sampai di sini?” tanya gadis itu.
“Kau berada di Puri Watu Ukir,” sahut salah seorang laki-laki yang memakai jubah berwarna putih bersih.
“Puri Watu Ukir...?!” gadis itu nampak terkejut.
Gadis berbaju merah itu terus memandangi wajah-wajah di sekelilingnya. Kini dia mulai sadar, kalau dirinya tengah dikelilingi oleh lima tokoh tua pemimpin besar Puri Watu Ukir. Buru-buru gadis itu bangkit dari pembaringan dan berlutut di lantai. Salah seorang wanita tua yang mengenakan jubah warna biru, mendekati dan membangunkan gadis itu. Dan tanpa menoleh sedikit pun, gadis itu menurut saja ketika wanita tua itu memintanya kembali berbaring.
“Kau telah terkena jarum hitam yang mengandung racun dahsyat dan mematikan,” kata wanita tua itu lembut.
“Jarum hitam...?!” gadis itu kembali menggumam pelan.
“Apakah kau bertarung dengan Perempuan Iblis Topeng Mayat?” tanya seorang laki-laki berjubah kuning.
Gadis itu tidak langsung menjawab. Pelahan-lahan ingatannya kembali pada saat sebelum dia berada di tempat suci ini. Pada saat itu dia memang tengah bertarung melawan empat orang wanita berbaju hijau, dan mengenakan topeng pucat bagai mayat. Dia tidak tahu kalau salah seorang lawannya berhasil melontarkan jarum hitam yang mengandung racun.
Gadis itu hanya ingat, kalau badannya tiba-tiba saja terasa panas, dan satu pukulan keras telah menghantam dadanya. Dia juga sempat melihat, ketika salah seorang lawannya hampir membunuh dengan senjatanya. Tapi pada saat itu, tubuhnya seperti melayang cepat, dan langsung tidak ingat apa-apa lagi. Rasa panas yang menyelimuti tubuhnya, membuat dia tidak sadarkan diri. Rupanya rasa panas itu datang dari jarum hitam yang berhasil masuk ke dalam tubuhnya.
“Siapa namamu, Anak Manis?” tanya seorang wanita yang mengenakan jubah hijau.
“Narita,” sahut gadis itu pelan.
“Bagaimana kau bisa bentrok dengan Perempuan Iblis Topeng Mayat?” tanyanya lagi.
“Aku tidak tahu, mereka ada lima orang, dan yang satu bertarung dengan kakakku. Oh...! Kakang Seta, apakah dia juga selamat?” keluh gadis berbaju merah yang ternyata bernama Narita.
Tidak ada yang menjawab. Semua yang ada di situ memandang pada seorang laki-laki tua berjubah putih bersih. Sedangkan laki-laki berjubah putih itu tampak berpikir sebentar, dan mendekati Narita yang tetap berbaring di pembaringan kayu itu.
“Kakakmu tewas. Maaf, kami terlambat menolongnya,” kata laki-laki tua itu.
“Oh...,” Narita mendesah lirih.
Sesaat kesepian melanda mereka semua. Laki-laki berjubah putih itu mengerdipkan matanya. Kemudian semua orang tua yang berada di ruangan itu, segera melangkah meninggalkan Narita seorang diri. Sedangkan gadis itu tetap terbaring dengan wajah murung berselimut duka. Kini tak ada lagi yang tersisa. Kakek, yang sekaligus juga gurunya, telah meninggal ditangan Perempuan Iblis Topeng Mayat. Dan kakak satu-satunya juga telah tewas.
Sejenak Narita memalingkan mukanya, memandang pada lima orang yang berjalan meninggalkan kamar itu. Tak lama kemudian, pintu kamar kembali tertutup rapat setelah orang terakhir ke luar. Dalam hatinya, dia mengucapkan terima kasih pada lima orang pemimpin besar Puri Watu Ukir itu. Mereka adalah tokoh-tokoh tua yang tingkat kepandaiannya sudah mencapai taraf kesempurnaan. Orang-orang itu bernama Resi Wanakara yang berjubah putih, Resi Jagabaya yang mengenakan jubah kuning. Dan Resi Danuraga yang berjubah kelabu. Sedangkan dua lagi adalah perempuan tua. Mereka bernama Nyai Resi Puspita Rani yang memakai jubah biru, sedangkan satunya lagi berjubah hijau, namanya Nyai Resi Rara Kitri.
Narita benar-benar tidak pernah menyangka kalau dia bisa berada di suatu tempat yang suci dan bertemu langsung dengan mereka. Tidak sembarang orang bisa bertemu dan berbicara langsung dengan lima tokoh Puri Watu Ukir itu. Namun saat ini Narita tidak peduli, hatinya tengah dilanda kedukaan yang amat dalam, dengan kematian dua orang yang sangat dicintainya.
“Eyang..., Kakang Seta...,” desis Narita lirih.
Tiga hari sudah Narita berada di kamar bangunan besar Puri Watu Ukir. Selama itu pula dia selalu dikunjungi oleh lima tokoh tua Puri Watu Ukir secara bergantian. Mereka selalu memberikan pengobatan untuk memulihkan kondisi tubuh gadis itu seperti sedia kala.
Narita baru saja beranjak turun dari pembaringannya ketika pintu kamar itu terbuka. Seorang wanita tua berusia lebih tujuh puluh tahun segera melangkah masuk. Wanita itu mengenakan baju biru yang panjang dan longgar. Dia menyunggingkan senyuman manis di bibirnya. Narita pun membalasnya, dan berlutut memberi hormat. “Nyai Resi Puspita Rani, terimalah salam hormatku,” kata Narita tetap berlutut.
“Bangunlah, Anakku. Aku terima salam hormatmu,” sahut Nyai Resi Puspita Rani lembut.
Narita segera berdiri kembali.
“Bagaimana keadaanmu?”
“Jauh lebih baik, Nyai Resi,” sahut Narita.
Wanita berjubah biru itu lalu menekan pundak Narita, dan menyuruhnya duduk. Gadis itu hanya menurut, dan duduk di tepi pembaringan. SebentarNyai Resi Puspita Rani memeriksa beberapa bagian tubuh gadis itu, kemudian dia duduk di kursi dekat jendela. Bibirnya tetap menyunggingkan senyuman manis.
“Kau sudah benar-benar pulih, Anakku,” kata Nyai Resi Puspita Rani gembira.
“Terima kasih, Nyai Resi.”
“Tapi kau masih perlu istirahat dan bersamadi, agar kesehatan dan kondisi tubuhmu benar-benar sempurna...“
Narita tidak menjawab. Kepalanya tetap tertunduk dalam.
“Ada apa, Narita?” tanya Nyai Resi Puspita Rani seraya menatap dalam ke wajah yang tertunduk itu.
“Tidak apa-apa, Nyai Resi. Aku hanya teringat pada Eyang Resi dan Kakang Seta,” sahut Narita pelan.
“Hm..., siapa nama Eyang Resi-mu?”
“Eyang Resi Galadipa.”
“Resi Galadipa...,” gumam Nyai Resi Puspita Rani.
“Ada apa, Nyai Resi?” tanya Narita dengan kening berkerut.
“Sepertinya aku pernah mendengar nama itu,” sahut Nyai Resi Puspita Rani. “Hm..., apakah Eyang Resi-mu berjuluk Pendekar Welut Putih?”
“Benar, tapi itu dulu ketika Eyang Resi masih muda,” sahut Narita sambil mengangguk.
“Ah...,” Nyai Resi Puspita Rani mendesah panjang.
Narita menatap dalam pada wanita tua itu. Hatinya penasaran melihat perubahan wajah pada Nyai Resi Puspita Rani. Wanita tua itu seolah tengah terkenang sesuatu.
Beberapa saat kemudian, Nyai Resi Puspita Rani bangkit, dan melangkah mendekati pintu kamar. Sementara Narita tetap duduk di tepi pembaringan. Benaknya jadi berputar melihat sikap wanita tua itu.
Sementara benak Narita tengah disibuki oleh pikiran dan dugaan-dugaan, Nyai Resi Puspita Rani berdiri bersandar di pintu kamar yang telah tertutup rapat Kepalanya tampak terdongak ke atas. Lalu setelah mendesah panjang, kakinya kembali melangkah. Beberapa kali dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak tahu, kalau ada sepasang mata bening kecoklatan yang mengamatinya sejak tadi.
Sepasang mata bening itu ternyata milik seorang laki-laki tua berjubah putih. Tentu saja Nyai Resi Puspita Rani terkejut, ketika laki-laki tua berjubah putih itu menghadang langkahnya.
“Aku lihat kau murung setelah keluar dari kamar itu,” kata laki-laki berjubah putih itu, seraya melirik kearah pintu kamar yang sudah tertutup rapat.
Nyai Resi Puspita Rani tidak segera menyahuti. Dia hanya menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Sementara laki-laki tua yang bernama Resi Wanakara, terus memperhatikannya dalam-dalam.
“Ada yang menyusahkanmu, Nyai?” tanya Resi Wanakara lembut.
“Kau ingat dengan peristiwa di Gunung Jati Sewu?” Nyai Resi Puspita Rani malah balik bertanya.
“Ya,” sahut Resi Wanakara.
Kembali Nyai Resi Puspita Rani menarik napas panjang. Dia kembali mengayunkan langkahnya pelan-pelan. Sementara Resi Wanakara mengikutinya dengan benak yang diliputi berbagai macam pertanyaan.
“Aku rasa kita telah melupakan, dan mengubur semua peristiwa yang terjadi di Gunung Jati Sewu itu, Nyai,” kata Resi Wanakara.
“Ya, kita memang telah melupakannya. Juga semua saudara kita yang telah menjadi korban. Tapi kini kita harus mengingatnya, Kakang,” kata Nyai Resi Puspita Rani.
Resi Wanakara mengerutkan keningnya.
“Bertahun-tahun kita telah meninggalkan rimba persilatan dan mendirikan tempat suci ini. Kita semua juga sudah berjanji, untuk tidak terjun kembali ke dalam dunia itu. Tapi aku merasakan, bahwa kita akan kembali bergelimang darah,” pelan dan hampir tidak terdengar suara Nyai Resi Puspita Rani.
“Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan.”
“Gadis itu....”
“Narita?”
“Ya.”
“Ada apa dengan Narita?”
“Dia cucu Resi Galadipa atau Pendekar Welut Putih.”
Seketika Resi Wanakara terdiam! Nama itu benar-benar menyengat telinganya. Sungguh dia tidak menyangka akan mendengar nama itu lagi.
“Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa Adik Galadipa berbuat tolol seperti itu...?” gumam Resi Jagabaya menyesalkan.
“Apa pun yang dia lakukan, kita pasti akan tersangkut juga. Sia-sialah semua usaha yang kita lakukan berpuluh-puluh tahun,” gumam Nyai Resi Rara Kitri pelan, seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri.
“Hhh! Kita seperti berada di suatu lorong maut yang panjang dan tidak akan pernah berakhir,” desah Nyai Resi Puspita Rani.
“Nyai Puspita Rani, apakah Narita sudah mengetahui hal ini?” tanya Resi Danufaga yang sejak tadi diam saja.
“Aku rasa belum,” sahut Nyai Resi Puspita Rani dengan kening agak berkerut. “Kenapa?”
“Tidak apa-apa, aku hanya...,” Resi Danuraga tidak melanjutkan kata-katanya.
“Ada apa, Adik Danuraga?” tanya Resi Jagabaya penasaran.
“Mungkin perasaanku yang berlebihan, aku memang menduga kalau kehadiran gadis itu akan membawa malapetaka besar bagi Puri Watu Ukir ini,” pelan suara Resi Danuraga.
“Mungkin,” desah Nyai Resi Rara Kitri. “Benar juga apa yang telah dikatakan oleh Kakak Puspita Rani, kita memang berada pada suatu lorong maut yang amat panjang dan tak berakhir.”
Mereka semua kemudian terdiam. Lima orang bersaudara yang sudah tua renta itu sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mereka kembali teringat dengan peristiwa beberapa puluh tahun lalu. Di mana mereka masih berenam, dan malang-melintang dalam rimba persilatan yang ganas bergelimang darah.
Suatu ketika salah seorang dari mereka memisahkan diri. Hal itu terjadi setelah peristiwa di Gunung Jati Sewu. Suatu peristiwa yang tidak mungkin bisa terlupakan! Dan peristiwa itu kembali terungkap, dengan munculnya seorang gadis yang ditolong oleh Resi Wanakara dari lubang maut.
Puluhan tahun yang lalu, mereka enam saudara yang dikenal sebagai Enam Dewa Keadilan, mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya dengan tujuan memberantas keangkaramurkaan. Enam orang bersaudara itu adalah tokoh-tokoh berilmu tinggi yang sukar dicari tandingannya. Setelah sekian lama berkecimpung dalam dunia yang penuh dengan kekerasan, mereka kemudian meninggalkannya. Dan mendirikan sebuah puri yang diberi nama Puri Watu Ukir. Dinamakan begitu karena letaknya di sebuah tempat berbatu yang berukir. Entah siapa yang mengukir batu-batu itu, mungkin karena proses alami.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Resi Danuraga, setelah cukup lama mereka semua berdiam diri.
“Maksudmu?” Resi Wanakara balik bertanya.
“Dengan gadis itu,” sahut Resi Danuraga.
Tidak ada yang langsung memberikan jawaban. Semua terdiam dan saling menukar pandang.
“Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, bagaimanapun juga Narita adalah cucu Adik Galadipa, dan itu berarti cucu kita juga,” kata Resi Wanakara.
“Dan yang pasti, Perempuan Iblis Topeng Mayat tidak akan tinggal diam. Lebih-lebih kalau dia tahu Narita itu cucu kita semua,” sambung Nyai Resi Puspita Rani.
“Hhh...! Galadipa, selalu saja membuat persoalan,” keluh Nyai Resi Rara Kitri pelan.
“Sudahlah, semuanya sudah terjadi. Aku akan berusaha mencari jalan agar tidak ada pertumpahan darah,” Resi Wanakara yang tertua di antara mereka, berusaha mencari penyelesaian dengan baik.
“Kau sudah punya cara, Kakang?” tanya Resi Jagabaya.
“Saat ini belum,” sahut Resi Wanakara.
Pagi itu Narita sudah bisa keluar dari kamarnya. Sejak matahari belum menampakkan diri, dia sudah bergerak ringan, melemaskan otot-ototnya yang terasa kaku. Dua pekan lebih dia telah berada dikamar, tanpa boleh melakukan gerakan-gerakan yang bisa membuat keadaan tubuhnya bertambah buruk.
Setelah beberapa saat, gadis itu kemudian berhenti bergerak. Dia berdiri tegak dengan mata tidak berkedip memandang ke arah Puncak Bukit Bojong. Tampak kabut tipis masih menyelimuti puncak bukit itu. Pandangan gadis itu lalu beralih ke sekelilingnya. Sepi, tak ada seorang pun yang terlihat.
Sejenak Narita memandangi bagian atas tembok pagar yang mengelilingi Puri Watu Ukir itu. Kemudian dia menatap bangunan besar dan sebuah bangunan puri, yang terbuat dari tumpukan batu-batuan dengan ukiran yang mengandung arti yang sangat dalam.
“Aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan sebagai ucapan terima kasih pada kalian semua. Kini aku harus pergi. Aku harus membalas kematian Eyang Resi dan Kakang Seta,” bisik Narita pelan.
Gadis itu kembali melangkah pelan-pelan mendekati pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Sebentar dia memandangi pagar tembok itu, seolah-olah sedang mengukur ketinggiannya.
“Maafkan aku Eyang Resi, Nyai Resi. Aku pergi tanpa pamit...,” bisik Narita lagi.
Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, Narita segera melompat melenting tinggi. Tubuhnya melayang ringan bagaikan kapas tertiup angin. Dua kali dia salto di udara, melewati pagar tembok yang tinggi itu. Lalu meluruk turun, dan hinggap di tanah dengan manisnya. Gadis itu langsung berlari cepat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Narita memang tidak tahu, kalau sepasang mata memperhatikannya sejak tadi. Sepasang mata milik seorang perempuan tua itu baru keluar dari balik dinding rumah besar, setelah gadis itu hilang di luar pagar tembok. Saat dia menarik napas panjang, muncul seorang laki-laki tua berjubah putih.
“Kau tidak berusaha mencegahnya?”
“Oh!” perempuan tua berjubah biru itu tersentak.
“Aku terus memperhatikannya sejak dia keluar dari kamarnya,” kata laki-laki tua berjubah putih yang ternyata Resi Wanakara.
“Ya, aku juga,” sahut Nyai Resi Puspita Rani.
“Apa yang akan dia lakukan di luar sana?”
“Membalas dendam.”
“Sinting!” dengus Resi Wanakara.
“Dia seorang anak yang baik. Aku pasti akan berbuat yang sama jika keadaannya seperti itu,” desah Nyai Resi Puspita Rani pelan.
“Perempuan Iblis Topeng Mayat bukan lawannya. Aku sendiri belum tentu mampu untuk menandinginya. Dia juga hampir membunuhku ketika terjadi peristiwa di Gunung Jati Sewu.”
Nyai Resi Puspita Rani hanya diam saja.
“Kakeknya sendiri tidak mampu menandinginya, apalagi dia? Gadis seumur jagung yang hampir tewas hanya melawan murid-muridnya saja,” sambung Resi Wanakara tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.
“Aku mau pergi,” kata Nyai Resi Puspita Rani.
“Kau mau ke mana?”
“Melindungi cucuku.”
“Mengotori tanganmu dengan darah lagi?” Resi Wanakara tersentak kaget.
“Di sini pun sama saja. Aku, kau dan semua saudara-saudara kita tidak akan bisa menghindar. Takdir sudah berbicara, dan kita harus menghadapinya. Tidak mudah meninggalkan rimba persilatan, meskipun dengan niat yang paling suci sekalipun.”
Kini Resi Wanakara yang diam membisu. Kata-kata adik perempuannya itu memang benar. Mereka sudah ditakdirkan untuk bergelut dalam rimba persilatan. Sudah puluhan tahun mereka meninggalkannya, tapi takdir yang sudah digariskan tidak akan mungkin bisa dihindari lagi. Sejak munculnya gadis itu di Puri Watu Ukir ini, takdir itu kembali terbuka lebar.
“Aku pergi dulu, Kakang. Aku tidak ingin kau berharap aku akan kembali,” kata Nyai Resi Puspita Rani.
“Ya, hati-hatilah,” desah Resi Wanakara menyerah.
Wanita berjubah biru itu segera melentingkan tubuhnya dengan cepat. Gerakannya ringan, tidak sedikit pun menimbulkan suara. Sementara Resi Wanakara hanya memandanginya sambil mendesah panjang.
Desa Batang Hulu tampak meriah. Umbul-umbul terpasang di setiap sudut desa itu. Wajah-wajah penduduknya kelihatan cerah, dan anak-anak bermain dengan gembiranya. Kemeriahan itu terpusat dari rumah kepala desa yang sedang mengadakan pesta perkawinan putranya. Suasana di rumah kepala desa lebih ramai lagi. Banyak panggung-panggung hiburan tergelar. Sorak-sorai dan tabuhan gamelan menambah hangat suasana.
Di pelaminan terlihat pasangan yang berbahagia tengah bersanding dengan senyum cerah. Sesekali mereka berdiri dan menyambut kedatangan tamu yang mengalir seperti air di sungai.
“Sariti memang beruntung mendapatkan Den Paksi,” bisik salah seorang tamu yang hadir.
“Tapi mereka memang pasangan yang cocok. Lakinya tampan, dan wanitanya cantik!” celetuk yang lain.
“Tapi kekayaannya tidak.”
“Ah, cinta mana bisa diukur dengan harta?”
“Bagaimanapun juga, Ki Parta tidak akan kekurangan lagi hidupnya.”
Macam-macam tanggapan terdengar di antara tamu-tamu yang hadir. Ada yang merasa iri, ada juga yang senang. Bahkan ada yang masa bodoh, dan tidak mau peduli. Paksi memang putra tunggal Kepala Desa Batang Hulu. Dan Sariti hanyalah putri seorang petani miskin. Tapi, Ki Rungkut, sang Kepala Desa Batang Hulu, tidak melihat kaya atau miskinnya seseorang. Dia seorang yang arif dan bijaksana. Di matanya, kaya atau miskin tidak ada bedanya!
Pesta itu terus berlangsung hingga senja datang. Semakin matahari condong ke arah Barat, suasananya semakin bertambah meriah. Lentera, obor dan segala macam penerangan mulai dinyalakan di beberapa tempat.
Saat sang mentari benar benar sudah tenggelam, mendadak suasana pesta yang meriah itu menjadi berubah. Jerit dan pekik melengking terdengar saling sambut. Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu jadi kalang-kabut!
Ki Rungkut segera menyuruh anaknya untuk masuk. Tampak empat orang bertubuh ramping dan mengenakan baju hijau ketat, membantai orang-orang yang berlarian serabutan. Laki-laki kepala desa itu langsung mengerahkan orang-orangnya untuk mengamankan suasana yang sudah berubah jadi ajang pembantaian. Dua puluh orang bersenjata golok, terlihat berlompatan dan mengepung empat orang wanita perusuh tersebut.
“Ayah, siapa mereka?” tanya Paksi yang belum juga masuk ke dalam rumah.
“Anak buah Iblis Topeng Mayat,” sahut Ki Rungkut mendesis.
“Mau apa mereka datang mengacau?”
Ki Rungkut tidak menjawab. Saat itu dua puluh orangnya sudah bertarung melawan empat orang wanita bertopeng pucat seperti mayat. Beberapa undangan yang kelihatannya memiliki kepandaian, masih tetap berada di tempat.
Baru beberapa saat saja, dua puluh orang bersenjata golok tampak kewalahan menghadapi mereka. Satu persatu mereka tumbang bersimbah darah. Rupanya empat orang tersebut terlalu tangguh, sehingga dalam waktu sebentar saja bisa merobohkan lebih dari separuh lawannya.
“Hiya...!”
“Yaaat...!”
Tiga orang undangan langsung berlompatan sambil mencabut senjatanya masing-masing. Dan tanpa banyak bicara, mereka segera menyerang empat orang bertopeng mayat itu. Namun turunnya tiga orang itu tidak membuat keadaan jadi berubah. Sebentar saja dua orang sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan orang-orang Ki Rungkut kini sudah mulai gentar.
“Berhenti!” seru Ki Rungkut keras.
Seketika itu juga pertempuran berhenti. Ki Rungkut segera melompat sekitar dua batang tombak jauhnya. Gerakannya ringan, pertanda kalau dia memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Sedangkan putranya, Paksi,.hanya memperhatikan saja. Di samping pemuda itu sudah berdiri Sariti yang memeluk tangannya dengan tubuh gemetaran.
“Apa maksud kalian datang dan membuat keonaran di sini?” tanya Ki Rungkut dengan suara lantang.
“Hi hi hi...!” terdengar suara mengikik dari arah atap rumah.
Ki Rungkut langsung berbalik dan memandang ke atap rumahnya. Tak terkecuali semua orang yang berada di tempat itu juga segera menolehkan kepalanya ke atap. Tampak di sana seorang wanita berambut panjang dengan tubuh ramping, dan terbungkus baju hijau menyala yang ketat. Wajahnya tertutup topeng berwarna pucat seperti mayat. Sedangkan di pinggangnya terselip sebatang tongkat pendek berwarna hitam.
Dengan satu gerakan yang ringan dan indah, wanita itu meluncur ke bawah. Manis sekali dia mendarat sekitar dua batang tombak jaraknya di depan Ki Rungkut. Sementara empat orang lainnya yang juga bertopeng, segera berlompatan dan berdiri mengapit perempuan yang baru datang itu.
“Iblis Topeng Mayat, apa maksudmu membuat keonaran di sini? Aku dan seluruh penduduk Desa Batang Hulu tidak pernah berurusan denganmu!” lantang suara Ki Rungkut.
“Hi hi hi..., kalian memang tidak pernah berurusan denganku. Tapi kalian telah menampung musuh besarku!” sahut Iblis Topeng Mayat diselingi dengan tawa mengikik.
“Siapa musuhmu?” tanya Ki Rungkut tidak mengerti.
“Galadipa dan dua cucunya!”
Tentu saja Ki Rungkut tersentak kaget. Dia sudah kenal betul siapa Galadipa, yang berjuluk Pendekar Welut Putih. Seorang anak tunggal Galadipa telah menikah dengan adik perempuan Ki Rungkut. Mereka mempunyai dua orang anak. Namun pasangan muda itu tewas, di saat anak-anaknya masih kecil-kecil. Hingga kini tak seorang pun yang tahu sebab-sebab kematiannya. Mereka tewas di rumahnya sendiri dalam keadaan yang mengenaskan. Sedangkan dua orang anaknya diasuh oleh Galadipa di desa itu.
Ki Rungkut memang tidak pernah tahu, kalau Galadipa ternyata punya urusan dengan Iblis Topeng Mayat. Yang dia tahu, waktu itu Galadipa datang ke Desa Batang Hulu dengan membawa seorang istri dan anak tunggalnya. Mereka kemudian menetap agak jauh dari rumah-rumah penduduk. Dan selama mereka menetap di Desa Batang Hulu itu, tidak pernah ada kejadian apa-apa. Galadipa memang sudah meninggalkan rimba persilatan.
“Sudah hampir satu purnama ini, aku tidak lagi melihat Galadipa. Dia memang pergi bersama cucu-cucunya meninggalkan desa ini. Jika kau datang untuk mencarinya, bukan di sini, Iblis Topeng Mayat!” kata Ki Rungkut, tetap lantang suaranya.
“Galadipa dan Seta sudah tewas! Tapi Narita belum. Di mana kau sembunyikan anak itu?” dingin kata-kata Iblis Topeng Mayat.
“Iblis...!” desis Ki Rungkut begitu mendengar kabar itu.
“Aku beri kau waktu tiga hari untuk menyerahkan anak itu, Rungkut. Anggap saja kejadian ini sebagai peringatan dariku!” sambung Iblis Topeng Mayat.
Setelah berkata begitu, lima orang berpakaian hijau dan mengenakan topeng pucat bagai mayat itu, langsung melesat pergi. Gerakan mereka sangat cepat dan ringan bagaikan kapas. Maka dalam sekejap saja mereka sudah lenyap dari pandangan. Sementara Ki Rungkut hanya bisa mendesah panjang. Kata-kata Iblis Topeng Mayat tidak pernah main-main!
Sepak terjang Iblis Topeng Mayat sudah terkenal di seantero jagat. Satu kata yang terucap, berarti maut! Memang sudah beberapa puluh tahun belakangan ini, nama Iblis Topeng Mayat jarang terdengar. Namun kini muncul lagi dengan segala perbuatannya yang kejam.
“Ayah...,” Paksi segera menghampiri ayahnya yang masih tetap berdiri di halaman depan rumahnya.
Ki Rungkut kembali mendesah panjang.
“Aku tahu di mana Narita berada,” kata Paksi.
Ki Rungkut tersentak. Ditatapnya Paksi dengan tajam.
“Sehari sebelum mereka meninggalkan desa ini, Seta sudah menceritakan tujuannya bersama Narita. Mereka pergi memang khusus untuk mencari Iblis Topeng Mayat,” kata Paksi lagi.
“Kenapa kau tidak mengatakan padaku, Paksi?” Ki Rungkut menyesalkan.
“Aku telah berjanji kepada Seta untuk tidak mengatakan hal ini pada siapa pun. Tapi kini keadaan memaksaku untuk mengingkari janji itu. Maafkan aku, Ayah,” pelan suara Paksi.
“Sudahlah, kau tahu, apa sebenarnya yang terjadi antara Pamanmu Galadipa dengan Iblis Topeng Mayat?”
“Lebih kurang empat puluh tahun yang lalu, Paman Galadipa dan lima orang saudaranya yang berjuluk Enam Dewa Keadilan, datang ke sebuah desa di Kaki Bukit Bojong. Mereka datang untuk melamar seorang gadis untuk Paman Galadipa...,” Paksi berhenti sebentar.
“Teruskan,” pinta Ki Rungkut.
“Gadis yang akan dilamar adalah putri seorang ketua padepokan di desa itu. Tapi semuanya tidak berjalan lancar, karena Iblis Topeng Mayat datang dan mengacaukan suasana di saat pesta perkawinan berlangsung,” sambung Paksi.
“Hm..., apakah Seta juga menceritakan, kenapa terjadi demikian?” tanya Ki Rungkut.
“Ya. Iblis Topeng Mayat tidak rela kalau Galadipa menyunting gadis lain.”
“Cinta...,” desis Ki Rungkut bergumam.
Satu persoalan yang kelihatannya sepele, tapi kalau sudah menyangkut orang-orang kalangan rimba persilatan, bisa berakibat fatal! Dan Ki Rungkut sudah bisa mengerti, apa yang menjadi penyebab Iblis Topeng Mayat mencari Ki Galadipa dan anak cucunya. Rupanya wanita itu ingin melenyapkan semua keturunan Galadipa!
Ki Rungkut memang pernah mendengar tentang enam orang pendekar tangguh, yang berjuluk Enam Dewa Keadilan. Waktu itu enam orang pendekar tersebut bertarung di Puncak Bukit Bojong. Namun tidak ada yang mengetahui, mereka bertarung dengan siapa. Dan hasilnya juga tidak diketahui. Yang jelas, setelah pertarungan itu, nama-nama mereka tenggelam dalam kancah rimba persilatan.
Ki Rungkut benar-benar tidak mengetahui, kalau Galadipa ternyata salah satu dari Enam Dewa Keadilan. Galadipa datang ke Desa Batang Hulu ini dengan membawa seorang istri dan seorang anak. Mereka datang seperti orang kebanyakan, namun sifat-sifat kependekaran Galadipa masih menonjol.
“Tadi kau bilang tahu di mana Narita berada, Paksi...,” kata Ki Rungkut.
“Ya, Narita pasti berada di Puri Watu Ukir. Letaknya tidak jauh dari Hutan Karang Waja. Di puri itulah tinggal lima saudara Paman Galadipa,” sahut Paksi menjelaskan.
“Aku akan segera ke sana. Kau jangan pergi sampai aku kembali, Paksi,” kata Ki Rungkut.
Paksi hanya mengangguk saja.
Jarak dari Desa Batang Hulu ke Puri Watu Ukir memang tidak seberapa jauh, kira-kira hanya memakan waktu setengah hari perjalanan dengan kuda. Itulah sebabnya, meskipun sudah malam, Ki Rungkut berangkat juga ke Puri Watu Ukir. Dia ditemani oleh sekitar lima orang sahabatnya. Mereka terus memacu kuda dengan cepat tanpa berhenti sejenak pun. Dan hampir tengah malam mereka tiba di tempat suci itu.
Kebetulan Resi Wanakara sendiri yang menyambut kedatangan Ki Rungkut dan lima orang sahabatnya. Sesampainya di dalam, baru mereka disambut oleh tiga orang Ketua Puri Watu Ukir lainnya. Walaupun empat orang resi itu sudah bisa menebak maksud dan kedatangan tamu-tamunya, mereka tetap bersikap wajar.
“Maaf kalau kedatangan kami tidak pada waktunya,” ucap Ki Rungkut seraya membungkuk sopan.
“Ada maksud apa anakku datang ke tempat suci ini?” tanya Resi Wanakara.
“Kami datang untuk menjemput Narita, Eyang Resi,” sahut Ki Rungkut langsung pada pokok persoalannya.
Langsung saja empat orang resi tersebut saling berpandangan. Mereka memang sudah menduga kalau kedatangan enam orang tamu itu ada hubungannya dengan Narita.
“Kenapa kau mencari cucuku?” tanya Resi Wanakara, tetap lembut suaranya.
“Maaf, Eyang Resi. Sore tadi, desa kami didatangi oleh Iblis Topeng Mayat. Banyak warga desa kami yang tewas dibunuh. Mereka menginginkan Narita, Eyang Resi,” sahut Ki Rungkut.
“Aneh...! Untuk apa perempuan itu mengacau desamu?”
“Sebelumnya Narita memang tinggal di sana bersama kakek dan saudara laki-lakinya.”
Resi Wanakara segera mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu betul watak Iblis Topeng Mayat. Satu orang yang diinginkan, puluhan nyawa bisa melayang!
“Kalau dalam waktu tiga hari ini kami tidak bisa menyerahkan Narita, mereka akan membantai habis penduduk Desa Batang Hulu. Tolonglah kami, Eyang Resi,” kata Ki Rungkut menghiba.
Resi Wanakara hanya menarik napas panjang. Dia lalu menatap tiga orang saudaranya. Mereka hanya bisa saling tatap tanpa mengucapkan satu kata pun. Sementara Ki Rungkut terus mengamati mereka dengan sinar mata penuh harap. Bagaimanapun juga, dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan seluruh warga desanya.
“Kemarin, Narita memang berada di sini. Tapi dia sekarang sudah pergi. Hhh..., sebaiknya kalian pulang saja dulu. Aku berjanji, akan menyelesaikan persoalan ini tanpa mengorbankan orang lain,” kata Resi Wanakara pelan.
“Bagaimana kalau kalian menginap saja dulu. Tidak baik menempuh perjalanan tengah malam begini,” sambung Nyai Resi Rara Kitri.
“Besok pagi aku akan menemani kalian ke Desa Batang Hulu,” kata Resi Jagabaya menyambung.
“Oh, terima kasih.... Terima kasih, Resi,” ucap Ki Rungkut seraya membungkukkan badannya beberapa kali.
“Silakan kalian beristirahat, “ kata Resi Wanakara.
Seorang cantrik kemudian mengantarkan enam orang dari Desa Batang Hulu itu ke tempat istirahatnya. Sementara empat orang resi Puri Watu Ukir masih berada di ruangan besar tempat menerima tamu. Wajah mereka kelihatan murung, apa yang telah dikhawatirkan, kini menjadi kenyataan. Iblis Topeng Mayat sudah memulai aksinya kembali. Dan hal itu dimulai dengan tewasnya Galadipa. Salah seorang dari enam bersaudara yang berjuluk Enam Dewa Keadilan.
Mengingat Desa Batang Hulu jaraknya tidak jauh dari Puri Watu Ukir, bukannya tidak mustahil kalau Iblis Topeng Mayat akan menjarah ke tempat itu juga. Lebih-lebih dengan datangnya Kepala Desa Batang Hulu itu. Empat orang resi itu sudah bisa menduga, kalau kejadian di Desa Batang Hulu hanya sekedar siasat dari Iblis Topeng Mayat.
Pagi-pagi sekali, Ki Rungkut dan lima orang sahabatnya meninggalkan Puri Watu Ukir. Mereka didampingi oleh Resi Jagabaya. Sedangkan Resi Wanakara juga meninggalkan puri itu untuk mencari Narita. Mereka terpaksa kembali lagi ke dalam dunia luar.
Dunia yang sudah puluhan tahun ditinggalkannya!
Ki Rungkut, Resi Jagabaya dan lima orang lainnya memacu kudanya dengan cepat menuju Desa Batang Hulu. Mereka melintasi Hutan Karang Waja. Sebuah hutan yang tidak begitu lebat, dan banyak terdapat jalan lintas. Hutan itu memang sering dimasuki oleh orang-orang yang bertempat tinggal di sekitarnya. Tujuh orang itu terus memacu kudanya dengan kencang tanpa berhenti sedikit pun. Sementara itu matahari semakin naik dengan sinar hangatnya.
“Awas...!” tiba-tiba Resi Jagabaya berseru keras.
Mendadak sebuah benda hitam sepanjang satu lengan, meluncur deras ke arah rombongan kecil itu. Resi Jayabaya dan Ki Rungkut yang berada di depan, langsung melompat dari punggung kudanya. Namun benda hitam itu terus meluruk demikian deras, sehingga seorang yang berada di belakang Resi Jagabaya tidak bisa menghindar lagi.
“Aaa...!” seketika orang itu menjerit keras. Tubuhnya langsung terpental kena sambar benda hitam itu. Tampak dadanya tertembus senjata itu. Empat orang lainnya bergegas melompat turun dari punggung kudanya.
Belum lagi hilang rasa terkejut mereka, tiba-tiba dari balik pohon berlompatan empat orang berbaju hijau, dan mengenakan topeng yang berwarna pucat bagai mayat. Dan di atas dahan yang tidak begitu tinggi, berdiri seorang lagi yang juga mengenakan baju hijau ketat, hingga membentuk tubuhnya yang ramping.
Trik!
Orang yang berada di atas dahan itu, menjentikkan jarinya. Saat itu juga, empat orang bertopeng mayat berlompatan menyerang. Ki Rungkut langsung mencabut senjatanya, yang berupa sebilah golok besar dengan salah satu sisinya bergerigi. Sedangkan lima orang lainnya juga segera mengeluarkan senjatanya masing-masing.
Kini empat orang tersebut sudah menyerang dengan cepat dan dahsyat. Mereka sama sekali tidak menghiraukan Resi Jagabaya, sehingga orang tua berjubah kuning itu terpaksa hanya jadi penonton. Resi Jagabaya langsung menggeretakkan rahangnya begitu melihat dua orang pihaknya sudah terjungkal tewas dalam waktu sebentar saja.
Empat orang wanita bertopeng pucat bagai mayat tersebut memang kejam. Mereka tidak pernah memberi kesempatan pada lawannya untuk meningkatkan serangan dan pertahanannya. Senjata tongkat pendek berwarna hitam, terus berkelebatan cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan.
“Berhenti!” bentak Resi Jagabaya, ketika dua orang lagi terjungkal bersimbah darah.
Seketika pertarungan tersebut berhenti. Ki Rungkut dan satu orang sahabatnya yang tersisa, langsung melompat mendekati Resi Jagabaya. Napas mereka tersengal memburu. Keringat pun bercucuran deras membasahi seluruh tubuh. Sinar mata mereka juga menunjukkan kegentaran, menghadapi Iblis Topeng Mayat yang begitu tinggi tingkat kepandaiannya.
Kalau saja Resi Jagabaya tidak segera menghentikan, mereka pasti tidak akan bisa meneruskan pertarungan itu.
“Kau hanya berurusan dengan Enam Dewa Keadilan, kenapa kau libatkan juga orang orang yang tidak tahu apa-apa?” agak tertekan suara Resi Jagabaya.
“Hi hi hi...! Enam Dewa Keadilan..., sebuah nama yang cukup indah. Tapi bernyali kecil, pengecut! Dan hanya dengan cara inilah, aku bisa memancing kalian keluar dari sarang!” sahut orang yang berada di atas dahan pohon.
“Kami semua memang sudah berniat meninggalkan dunia persilatan!”
“Ha ha ha...!” Orang di atas dahan pohon itu kembali tergelak. “Sebenarnya aku memang sudah puas, Karena Galadipa tewas ditanganku sendiri. Tapi aku sudah terlanjur bersumpah, bahwa kalian semua harus mati, juga keturunan kalian!”
Setelah berkata demikian, orang yang berada di atas dahan pohon itu langsung melesat turun. Dan dengan sekali lompatan saja, dia sudah meluruk ke arah Resi Jagabaya sambil mencabut senjatanya yang berupa tongkat pendek sepanjang lengan berwarna hitam pekat.
“Mampus kau, Jagabaya! Hiyaaa...!”
“Eits!” Resi Jagabaya segera menarik tubuhnya mundur seraya memiringkannya sedikit ke kiri. Dan dengan kecepatan penuh, dia menyampok senjata tongkat hitam itu dengan telapak tangannya.
Wut!
Cepat sekali orang bertopeng pucat bagai mayat itu memutar senjatanya, dan langsung mengibas kearah kepala. Buru-buru Resi Jagabaya merunduk sedikit, sehingga senjata tongkat itu lewat di atas kepalanya. Tepat pada saat itu, tangan kanan Resi Jagabaya langsung menyodok ke arah perut. Sejenak orang bertopeng mayat itu memekik kaget, lalu buru-buru dia menarik tubuhnya ke belakang.
Sementara itu, Ki Rungkut dan seorang sahabatnya sudah kembali disibukkan dengan serangan-serangan empat orang yang memakai baju dan topeng berwarna sama. Kini pertarungan kembali pecah tanpa dapat dihindarkan lagi. Tampak Ki Rungkut dan seorang sahabatnya sudah mulai kewalahan menghadapi empat orang musuhnya. Sementara Resi Jagabaya masih terus bertarung sengit melawan satu orang dari Iblis Topeng Mayat.
“Aaa…!”
Tiba-tiba terdengar satu jeritan melengking. Tampak satu-satunya sahabat Ki Rungkut yang masih hidup, terjungkal mencium tanah! Dari dadanya langsung menyembur darah segar. Dan begitu tubuhnya menggelepar di tanah, satu dari empat orang bertopeng mayat itu, langsung mengibaskan senjatanya ke arah leher.
Krak!
“Iblis! Keparat...!” geram Resi Jagabaya yang sempat melihat kejadian itu.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Resi Jagabaya segera melompat ke arah empat orang Iblis Topeng Mayat yang tengah mengeroyok Ki Rungkut. Dengan cepat tangan dan kakinya bergerak menghantam punggung empat orang itu. Seketika pekik tertahan terdengar saling susul. Kini empat orang yang tengah mengeroyok Ki Rungkut sudah bergulingan di tanah.
“Hup!”
Buru-buru mereka bangkit kembali. Sedangkan Resi Jagabaya berdiri tegak dengan sikap melindungi Ki Rungkut Dia merasa sangat bertanggung jawab atas keselamatan jiwa Kepala Desa Batang Hulu itu.
“Pramurti! Hentikan kekejamanmu!” bentak Resi Jagabaya menyebut nama asli Iblis Topeng Mayat.
“Aku akan berhenti kalau kalian semua sudah musnah!” jawab Pramurti tegas dan lantang.
“Huh! Seharusnya dulu aku tidak membiarkan kau selamat, perempuan iblis!” gerutu Resi Jagabaya.
“Tidak ada waktu untuk mengenang masa lalu, Jagabaya! Bersiaplah untuk ke neraka!” bentak Pramurti sengit.
Iblis Topeng Mayat yang di pinggangnya membelit selendang berwarna kuning keemasan itu, segera melompat menerjang. Sedangkan empat orang lainnya kembali menyerang Ki Rungkut. Dalam keadaan begitu, Resi Jagabaya tidak bisa berbuat banyak untuk melindungi Kepala Desa Batang Hulu itu.
Saat pertarungan itu tengah berlangsung sengit, tiba-tiba terdengar suara siulan panjang bernada tinggi melengking. Siulan itu bergema seolah-olah datang dari segala penjuru. Jelaslah kalau suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi, sehingga mampu membuat pertarungan itu berhenti seketika.
Suara siulan itu semakin lama semakin terdengar menyakitkan. Ki Rungkut segera menutup kedua telinganya. Juga empat orang Iblis Topeng Mayat, sedangkan Resi Jagabaya dan Pramurti sudah mengerahkan tenaga dalam untuk menahan suara siulan itu. Begitu hebatnya suara itu, sehingga daun-daun pohon di sekitar Hutan Karang Waja rontok berguguran.
“Yaaah...!” tiba-tiba Pramurti, atau Iblis Topeng Mayat berteriak nyaring melengking.
Seketika itu juga suara siulan berhenti. Dan semua orang yang berada di situ menolehkan kepalanya begitu mendengar suara senandung kecil berirama tak jelas. Tampak seorang pemuda tampan berambut gondrong, tengah duduk bersila di atas sebuah batu yang cukup besar.
“Bocah sinting! Siapa kau? Berani-beraninya mengganggu urusanku!” bentak Pramurti sengit.
“Ah, aku cuma menonton. Silakan teruskan,” sahut pemuda tampan itu kalem.
“Widarti, beri bocah lancang itu pelajaran!” perintah Pramurti pada anak buahnya.
Langsung saja salah seorang dari empat orang bertopeng mayat, melompat sambil mengibaskan tangannya yang memegang senjata tongkat pendek hitam. Gerakannya cepat luar biasa, hingga semua orang yang berada di situ, menahan napas. Mereka mengira, leher pemuda tampan itu pasti akan putus terbabat senjata itu. Namun yang terjadi benar-benar mencengangkan. Hanya dengan mengangkat sedikit tangannya saja, pemuda itu berhasil menyampok senjata Widarti, dan langsung menyepak, menghantam pundak wanita bertopeng mayat tersebut.
“Akh!” seketika Widarti memekik tertahan. Wanita itu langsung terdorong beberapa langkah ke belakang. Sedangkan pemuda tampan berambut gondrong itu tetap duduk bersila dengan tenang di atas batu. Bibirnya yang tipis dan kemerahan, tersenyum lebar. Namun matanya bersinar tajam, dengan garis-garis wajah yang menampakkan kekerasan dan ketegasan dalam hidupnya.
Widarti yang semula menganggap remeh pemuda tampan itu, langsung berteriak keras seraya melesat cepat menyerang kembali. Kali ini dia mengerahkan beberapa kibasan tongkatnya dan tendangan keras menggeledek. Namun pemuda tampan berambut gondrong itu hanya menggeser duduknya ke sana kemari. Diremehkan begitu, tentu saja Widarti jadi berang.
Tap!
Pada satu kesempatan, tangan kanan pemuda itu terangkat naik, tepat di saat tongkat Widarti mengarah kepalanya. Dan dengan manis sekali pemuda itu berhasil menangkap tongkat Widarti, sedangkan tangan kirinya menyampok ke arah dada.
“Ih...!” Widarti memekik kaget. Buru-buru wanita bertopeng itu menarik tubuhnya, namun tanpa diduga sama sekali, tangan kiri pemuda itu kembali melayang ke arah muka. Widarti yang tengah terperanjat, tidak sempat lagi untuk mengelak. Maka dengan sekali renggut saja, topeng yang menutup wajah wanita itu terenggut copot. Pemuda itu segera melepaskan pegangannya pada ujung tongkat lawannya seraya mendorongnya dengan kuat.
Kembali Widarti memekik tertahan. Dan tubuhnya terdorong sejauh tiga batang tombak. Tampak, wajahnya yang kini tidak tertutup topeng, merah padam. Namun wajah itu cantik sekali. Iblis Topeng Mayat lainnya, terperanjat melihat nasib yang diderita Widarti. Lebih-lebih Pramurti! Dia tidak menyangka sama sekali kalau muridnya dapat dipermainkan begitu mudah oleh seorang pemuda tampan yang selalu tersenyum itu.
“Setan! Kubunuh kau!” geram Widarti seraya bergerak hendak menyerang lagi.
“Widarti, mundur!” bentak Pramurti cepat.
Widarti langsung diam. Wajahnya yang cantik masih terlihat merah padam menahan kemarahan. Sementara di tangan pemuda itu tergenggam sebentuk topeng berwarna pucat bagai mayat. Sebentar dia mengamati topeng di tangannya. Kemudian melirik ke arah Pramurti yang melangkah menghampirinya.
“Aku tidak pernah punya urusan denganmu, tapi kau telah mencampuri urusanku, Bocah. Kau tahu, apa akibatnya?” dingin dan datar suara Pramurti.
“Ancaman...,” gumam pemuda berambut gondrong itu. “Bosan aku mendengar ancaman kosong!”
Kalau saja wajah Pramurti tidak tertutup topeng, mungkin sudah berwarna merah menahan geram mendengar kata-kata pemuda itu. Dan pelampiasannya, Pramurti tidak berkata-kata lagi. Dia langsung bergerak cepat menggeser kakinya ke depan, seraya mengirimkan serangan beruntun.
Dalam beberapa serangan, pemuda tampan itu masih bisa menandingi dengan posisi duduk bersila. Namun pada serangan serangan berikutnya, dia harus berlompatan bangun untuk menghindarinya. Serangan-serangan Pramurti begitu dahsyat, dan selalu mengarah pada tubuh-tubuh yang mematikan. Dan pemuda itu juga merasakan, kalau serangan-serangan lawannya kali ini lebih dahsyat dari yang semula.
Pramurti tampak semakin geram. Sudah dua puluh jurus berlalu dengan cepat, namun belum sedikit pun dia berhasil mengangsurkan pukulannya dengan telak ke tubuh pemuda itu. Bahkan pada satu kesempatan, sepakan kaki pemuda itu berhasil mendarat di punggungnya. Tentu saja Pramurti menggeram dahsyat. Dia langsung mencabut senjatanya yang berupa tongkat pendek hitam yang tadi sempat dia selipkan di pinggangnya. Kini dengan senjata di tangan, Iblis Topeng Mayat itu semakin dahsyat menyerang lawannya. Namun pemuda tampan berbaju kulit harimau itu memang luar biasa tangguhnya. Gerakan-gerakan tubuhnya demikian lentur bagai karet. Dan kakinya lincah berlompatan, atau menggeser mengimbangi gerak Iblis Topeng Mayat.
"Tring!
Seketika Pramurti tersentak ketika ujung senjatanya beradu dengan pergelangan tangan kanan lawannya. Dia segera menarik kembali senjatanya. Jari-jari tangannya mendadak terasa kaku dan bergetar kesemutan. Dia tadi mengira kalau tangan pemuda itu akan putus terpenggal, namun kenyataannya benar-benar di luar dugaan! Sejenak Pramurti melompat mundur tiga langkah, kemudian dilebarkan matanya melihat lempengan bundar bersegi enam keperakan yang menempel di pergelangan tangan kanan pemuda itu.
“Siapa kau?” bentak Pramurti keras.
Namun pemuda berbaju kulit harimau itu hanya tersenyum sinis.
Resi Jagabaya yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan itu, juga dibuat bingung. Dia benar-benar tidak menduga sebelumnya, kalau pemuda tampan yang kelihatan tidak memiliki apa apa itu, mampu membuat Iblis Topeng Mayat kewalahan. Sementara Ki Rungkut mulai tumbuh kembali harapan dan semangatnya, melihat kedigdayaan pemuda berbaju kulit harimau itu.
“Kau tidak perlu tahu siapa aku. Aku datang hanya untuk menyaksikan kekejaman. Aku suka dengan segala tindakan kejam dan berbau darah,” kata pemuda tampan berbaju kulit harimau itu dingin dan datar. Kata-katanya menyiratkan, betapa kejamnya dia. Seakan-akan melihat sebuah pertarungan yang mengancam nyawa, merupakan tontonan menarik dan menghibur hati.
“Kau terlalu besar kepala, Bocah! Jangan menyesal kalau kau harus mati di tanganku!” desis Iblis Topeng Mayat.
“O..., mungkin darahmu yang akan menyiram bumi,” sahut pemuda itu kalem.
“Setan keparat! Tahan seranganku, hiyaaa...!”
Pramurti, atau Iblis Topeng Mayat langsung menyerang kembali. Kali ini serangannya berlipat ganda. Semakin cepat dan dahsyat. Dia juga segera membagi tongkatnya menjadi dua, pada ujungnya-ujungnya terdapat sebilah mata pisau yang sangat tipis dan tajam. Suara angin terdengar menderu-deru, akibat kibasan dua senjata yang berada di tangan kanan dan kirinya.
Sementara pemuda berbaju kulit harimau itu masih melayaninya dengan tangan kosong. Lempengan logam bersegi enam di pergelangan tangannya, digunakan untuk menangkis serangan-serangan yang tidak mungkin lagi dielakkan. Beberapa kali Pramurti harus menarik mundur senjatanya begitu beradu dengan pergelangan tangan pemuda itu. Dalam hati, dia sudah bisa mengukur tingkat kepandaian lawannya.
Menyadari hal itu, Iblis Topeng Mayat segera melompat mundur, dan menghentikan serangannya. Dia kemudian menyatukan kembali senjata tongkatnya. Nampak butir-butir keringat merembes keluar dari lehernya. Sedangkan bola matanya yang cekung dan dalam hampir tertutup topeng, nampak berkilat merah menyimpan sejuta perasaan.
“Anak muda, urusan kita belum selesai sampai di sini! Aku masih ada urusan lain yang lebih penting!” kata Pramurti.
Setelah berkata begitu, Iblis Topeng Mayat itu melesat pergi, diikuti oleh empat orang muridnya. Sementara pemuda berbaju kulit harimau itu sempat melemparkan topeng yang berhasil dirampasnya, ke arah Widarti. Wanita itu langsung menangkapnya seraya melesat pergi mengikuti gurunya. Resi Jagabaya dan Ki Rungkut segera menghampiri pemuda itu, setelah lima orang berbaju hijau dan bertopeng pucat bagai mayat itu lenyap dari pandangan. Sesaat mereka hanya berdiri saling berhadapan tanpa berkata-kata.
“Anak muda, bukannya aku tidak berterima kasih padamu. Tapi campur tanganmu membuat susah dirimu sendiri. Kau tidak tahu siapa mereka itu,” kata Resi Jagabaya, seraya menatap langsung ke bola mata pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
“Siapa mereka?” tanya pemuda itu kalem.
“Iblis Topeng Mayat. Mereka sangat kejam, membunuh siapa saja yang menjadi penghalang dan dianggap musuh,” sahut Resi Jagabaya.
Pemuda berbaju kulit harimau itu diam. Kemudian pelahan-lahan kakinya terayun. Dari bibirnya terdengar gumaman alunan berirama tidak jelas.
“Kisanak, tunggu!” cegah Ki Rungkut.
Pemuda itu segera menghentikan langkahnya, dia menolehkan kepalanya sedikit tanpa berbalik.
“Kalau aku boleh tahu, siapa nama Kisanak?” tanya Ki Rungkut.
“Pendekar Pulau Neraka.”
Ki Rungkut tertegun beberapa saat lamanya. Matanya tidak berkedip memandangi punggung pemuda berbaju kulit harimau yang terus melangkah. Dia baru menoleh ketika pundaknya ditepuk dari belakang. Sementara Pendekar Pulau Neraka sudah lenyap di balik pepohonan Hutan Karang Waja itu.
“Mari kita lanjutkan perjalanan, Ki,” ajak Resi Jagabaya.
Ki Rungkut hanya mendesah panjang.
“Terpaksa kita harus berjalan kaki.”
“Ya, semua kuda telah lari ketakutan,” desah Ki Rungkut.
Kedua laki-laki tua itu kemudian segera melangkah meninggalkan tempat itu. Ki Rungkut sempat memandang kepada lima orang sahabatnya yang tewas tergeletak. Hatinya begitu sedih melihat kesetiaan sahabatnya, hingga berkorban nyawa hanya untuk membela kepentingannya. Ki Rungkut terus berjalan dengan kepala berputar. Benaknya masih dipenuhi dengan nama Pendekar Pulau Neraka. Sepertinya dia pernah mendengar nama itu. Tapi di mana dan kapan?
“Ada yang mengganggu pikiranmu, Ki Rungkut?” tanya Resi Jagabaya.
“Ya,” desah Ki Rungkut pelan.
“Katakan, mungkin aku bisa membantu,” pinta Resi Jagabaya.
Ki Rungkut hanya diam.
“Kau sedih dengan kematian lima orang sahabatmu?” tebak Resi Jagabaya.
“Salah satunya.”
“Mencemaskan keadaan desamu?”
“Juga itu.”
“Aku bisa memahami perasaanmu, aku berjanji akan menyelesaikan semua ini tanpa menambah korban lagi dari warga desamu,” kata Resi Jagabaya bernada menghibur.
Ki Rungkut kembali diam.
“Memang sukar untuk menghadapi Iblis Topeng Mayat dan keempat muridnya...,” sambung Resi Jagabaya.
Laki-laki tua berjubah kuning itu jadi berkerut keningnya melihat Ki Rungkut tetap diam dengan kepala tertunduk. Dia menduga kalau Ki Rungkut tengah memikirkan sesuatu. Tampaknya bukan masalah kematian lima orang sahabat, atau keadaan desanya yang terancam.
“Hm..., kau masih juga memikirkan sesuatu. Katakan, apa yang kau pikirkan, Ki Rungkut,” desak Resi Jagabaya.
“Pemuda itu,” sahut Ki Rungkut seraya mengangkat kepalanya.
“Pendekar Pulau Neraka?”
"Ya.”
“Ada apa dengan Pendekar Pulau Neraka?” tanya Resi Jagabaya.
“Aku seperti pernah mendengar namanya, tapi...,” Ki Rungkut tidak melanjutkan. Dia seperti ragu-ragu.
“Pendekar Pulau Neraka memang sudah terkenal namanya. Dia seorang pendekar digdaya yang sukar dicari tandingannya saat ini. Aku pun tadinya tidak menduga kalau pemuda itu ternyata pendekar digdaya yang kondang,” kata Resi Jagabaya.
“Resi tahu...?!” Ki Rungkut agak terkejut.
“Aku selalu mengikuti perkembangan rimba persilatan. Meskipun aku belum pernah bertemu sebelumnya, tapi aku sering mendengar tentang sepak terjangnya di dalam rimba persilatan. Aku sendiri tidak tahu, apakah Pendekar Pulau Neraka bisa dikatakan bergolongan putih atau hitam. Tampaknya dia tidak pernah membedakan golongan di kalangan rimba persilatan. Baginya lawan harus ditantang, dan kawan harus dilindungi. Tidak peduli apakah itu dari golongan putih atau hitam,” Resi Jagabaya menjelaskan.
Ki Rungkut diam saja. Sedikit demi sedikit ingatannya kembali terang. Desa Batang Hulu memang sering kedatangan para pengembara dari kalangan persilatan. Dan dari mereka banyak didengar tentang keadaan rimba persilatan yang tidak pernah menentu keadaannya.
“Aku sedang berpikir untuk meminta bantuan padanya,” kata Ki Rungkut pelan dan agak ragu-ragu.
“Tidak mudah, Ki. Pendekar Pulau Neraka tidak pernah mengurusi persoalan orang lain,” kata Resi Jagabaya.
Kembali Ki Rungkut terdiam. Dia terus berjalan tanpa berkata-kata lagi. Sedangkan Resi Jagabaya mulai berpikir dengan kata-kata yang barusan terucapkan dari mulut Kepala Desa Batang Hulu itu.
Saat itu matahari sudah berada di balik peraduannya, ketika Resi Jagabaya dan Ki Rungkut tiba di Desa Batang Hulu. Suasana di desa itu tampak sunyi senyap. Munculnya Iblis Topeng Mayat di desa itu telah membuat seluruh penduduknya tidak berani keluar rumah. Keganasan perempuan iblis bertopeng pucat bagai mayat itu sudah menyebar dengan cepat sampai ke pelosok.
Kedatangan Resi Jagabaya dan Ki Rungkut tersebut segera disambut oleh Paksi, putra tunggal Kepala Desa Batang Hulu itu. Pemuda yang baru saja melangsungkan pernikahannya, tampak lusuh seperti baru saja bertarung. Bajunya kotor berdebu, dan disudut bibirnya masih terlihat setetes darah kering. Tentu saja Ki Rungkut terheran-heran melihat keadaan anaknya.
“Paksi, kenapa keadaanmu kotor begitu?” tanya Ki Rungkut bernada cemas.
“Ketiwasan, Ayah. Mereka datang ke sini semalam,” sahut Paksi lesu.
Kedua laki-laki tersebut langsung tersentak. “Apa yang terjadi?” tanya Resi Jagabaya.
“Mereka mengamuk, setelah tahu kalau Ayah pergi ke Puri Watu Ukir. Mereka menyangka kalau Ayah meminta bantuan ke sana. Hampir semua orang-orang kita tewas, dan beberapa penduduk juga jadi korban...,” suara Paksi semakin melemah. Matanya tampak merembang berkaca-kaca.
“Ada apa, Paksi?” tanya Ki Rungkut, tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
“Sariti...,” semakin lemah suara pemuda itu.
“Ada apa dengan Sariti?” desak Ki Rungkut.
“Dia..., dia tewas semalam,” suara Paksi hampir tidak terdengar.
“Astaga...!” Ki Rungkut terkejut.
“Aku sudah berusaha untuk menyelamatkannya, tapi mereka terlalu tangguh. Aku sendiri hampir saja tewas, kalau tidak ditolong oleh seorang pemuda yang sangat tangguh. Dia lalu membawaku pergi ke luar desa,” lanjut Paksi.
“Siapa pemuda itu?” tanya Resi Jaga baya.
“Aku tidak sempat bertanya. Dia langsung pergi begitu saja.”
Resi Jagabaya dan Ki Rungkut saling melempar pandang. Mereka seperti berada dalam satu pikiran sesudah mendengar cerita Paksi. Sementara suasana di rumah kepala desa itu sudah sunyi senyap. Darah yang telah mengering masih terlihat dibeberapa tempat. Dalam hati, Ki Rungkut merasa bangga, karena anaknya mampu bergerak cepat mengatasi keadaan.
“Bagaimana ciri-ciri pemuda itu?” tanya Resi Jagabaya.
“Keadaan waktu itu terlalu gelap, dan kejadiannya juga begitu cepat. Tapi aku sempat melihat kalau dia memakai baju dari kulit harimau,” sahut Paksi.
“Tidak salah!” desis Resi Jagabaya.
Paksi segera memandangi laki-laki tua berjubah kuning itu. Sinar matanya memancarkan ketidakmengertian, tapi belum sempat dia bertanya, Resi Jagabaya sudah melangkah pergi, diikuti oleh Ki Rungkut. Kedua laki-laki itu berjalan ke dalam rumah. Sementara Paksi tetap berdiri di beranda depan.
“Hhh..., seharusnya aku mengatakan yang.sebenarnya tentang Sariti,” desah Paksi bergumam.
“Tapi aku tidak mau dikatakan pengecut! Bagaimanapun juga, aku harus membebaskan Sariti!”
Sejenak pemuda itu menarik napas panjang, lalu melangkah memutari rumah besar itu menuju bagian samping. Tampak beberapa orang tengah duduk bersandar dengan wajah lesu dan tubuh lusuh. Mereka hanya menoleh sedikit pada putra kepala desa itu. Paksi menghampiri dan menghenyakkan tubuhnya begitu saja di tanah yang berlapis rumput tebal. Sebuah pohon rindang menaunginya dari sengatan sinar matahari.
“Ayah sudah datang bersama Resi Jagabaya,” kata Paksi memberitahu..Mereka yang berjumlah sekitar dua puluh orang itu, langsung menggerinjang hendak bangkit.
“Eh, tunggu...! Ayah tidak mau diganggu,” cegah Paksi.
Mereka kembali duduk bersandar pada dinding.
“Aku minta pada kalian, kalau Ayah atau Resi Jagabaya bertanya tentang Sariti, kalian harus menjawab Sariti tewas,” kata Paksi pelan.
“Den...,” salah seorang mau membantah.
“Sudah, bilang saja begitu. Kalian sudah menguburkan semua yang tewaskan?”
Dua puluh orang itu mengangguk serempak.
“Nah! Kalau Ayah menanyakan kuburannya, tunjukkan saja yang paling sebelah kiri. Aku tidak mau Ayah tahu tentang keadaan Sariti yang sebenarnya. Kalian paham?”
“Mengerti, Den,” sahut mereka lagi hampir serempak.
“Sekarang istirahatlah dulu. Besok pagi aku akan membutuhkan beberapa di antara kalian untuk membebaskan Sariti dari tangan mereka,” kata Paksi lagi. Setelah berkata begitu, putra kepala desa itu beranjak bangun dari duduknya, lalu melangkah ke beranda depan. Sementara kedua puluh orang tersebut tetap beristirahat di samping rumah.
Pagi baru saja datang menjelang. Cahaya matahari menabur lembut membangunkan seluruh isi mayapada mi. Sinarnya yang memerah Jingga, menyembul menyemburat indah di balik Bukit Bojong. Kabut mulai berpencar tersentuh hangatnya sinar sang surya. Kicau burung bernyanyi riang menyongsong datangnya fajar.
Di Puncak Bukit Bojong yang masih berselimut Kabut, seorang gadis berbaju merah menyala ketat, berdiri tegak memandangi setumpuk abu dari kayu-kayu yang terbakar. Angin yang berhembus agak kencang menebarkan abu itu ke segala arah. Wajahnya yang terbalut kulit putih, tampak murung. Sepasang bola matanya yang bulat indah, terlihat berkaca-kaca.
Entah sudah berapa lama gadis itu berdiri di situ. Sama sekali dia tidak menghiraukan kicauan burung, dan hangatnya sinar matahari pagi. Setitik air bening menggulir dari sudut matanya. Tapi buru-buru dia menghapus dengan punggung tangannya. Gadis itu seperti tidak ingin kelihatan menangis. Dia berusaha tegar, meskipun dadanya bergemuruh, bergolak ingin memberontak.
Sejenak gadis itu mengangkat kepalanya, dan memiringkannya ke kiri. Telinganya yang tajam, dapat mendengar suara halus langkah kaki seseorang. Belum lagi dia sempat mengetahui persis, tiba-tiba di sekelilingnya sudah berlompatan empat orang berpakaian hijau ketat, dan mengenakan topeng pucat bagai mayat. Gadis itu memutar tubuhnya, dan saat matanya menatap ke arah sebuah dahan, tampak seorang lagi berdiri di sana dengan angkuhnya.
“Ke mana pun kau pergi, tidak akan lepas dari tanganku, Narita!” dingin kata-kata orang bertopeng mayat, yang berdiri di atas dahan pohon.
“Aku memang tengah mencarimu, iblis!” balas Narita tidak kalah dinginnya.
“Ha ha ha...!” Iblis Topeng Mayat terbahak-bahak. Tenggorokannya serasa tergelitik mendengar kata-kata gadis berbaju merah itu.
“Kau berhutang nyawa padaku! Hari ini juga aku akan menagih nyawamu!” dengus Narita geram.
“Jangan terlalu bermimpi besar, Narita. Gurumu saja tidak sanggup menandingiku, apalagi kau? Bocah baru kemarin sore! Ha ha ha...!”
Narita menggeretakkan gerahamnya dengan perasaan geram. Dia memang menyadari, kalau dirinya bukanlah tandingan Iblis Topeng Mayat. Melawan empat orang muridnya saja, belum tentu mampu.
Tapi gadis itu sudah tidak peduli lagi. Kematian dua orang yang sangat dicintainya, membuatnya nekad! Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, Narita segera meloloskan sabuknya yang berwarna keperakan. Dan dengan satu kebutan keras, sabuk itu berubah kaku bagai pedang tipis yang kelihatan lentur. Sementara empat orang berbaju hijau dan bertopeng pucat bagai mayat, juga segera mencabut senjatanya yang berupa tongkat pendek berwarna hitam pekat.
“Majulah kalian!” bentak Narita keras.
“Hup!” Iblis Topeng Mayat yang nama aslinya Pramurti, melompat turun dari dahan pohon. Lalu dengan manis sekali kakinya mendarat di depan Narita. Kini jarak mereka hanya sekitar dua batang tombak. Narita segera menyilangkan sabuknya yang sudah menegang kaku di depan dada. Matanya menatap langsung ke bola mata yang tersembunyi di balik topeng pucat bagai mayat itu.
“Hup! Hiyaaa...!”
Narita langsung melompat menerjang seraya mengibaskan senjatanya dengan cepat ke arah leher Iblis Topeng Mayat. Serangan yang cepat dan bertenaga penuh itu, hanya dilayani Pramurti dengan mengegoskan kepala sedikit saja. Hingga serangan Narita lewat beberapa helai rambut di depan leher Iblis Topeng Mayat. Dan pada saat itu, tangan kiri wanita bertopeng itu bergerak ke depan.
“Ugh!” Seketika Narita mengeluh pendek, dan tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Dadanya mendadak tersa sesak. Namun gadis itu segera melompat kembali. Dia mengibaskan senjatanya beberapa kali dengan cepat ke arah bagian tubuh lawan yang mematikan. Sedangkan Pramurti langsung berkelit meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari tebasan senjata gadis berbaju merah itu.
Pertarungan memang berjalan tidak seimbang. Jelas sudah kalau Narita masih berada jauh di bawah tingkat kepandaian Iblis Topeng Mayat. Serangan-serangan gadis itu lewat tanpa membawa hasil yang memuaskan. Bahkan baru beberapa jurus saja, sudah beberapa kali Narita terjungkal mencium tanah. Tapi gadis itu tampaknya tidak mau menyerah begitu saja. Dia terus saja menyerang dengan dahsyat.
“Hup!” Sejenak Iblis Topeng Mayat melompat mundur. Kemudian jari tangannya bergerak menjentik, memperdengarkan suara bagai ranting patah. Saat itu juga empat orang muridnya segera melompat mengurung Narita.
“Kau bukan lawanku, Narita. Jika kau berhasil merobohkan salah satu dari muridku, kau akan bebas hidup dan aku akan melupakanmu,” kata Iblis Topeng Mayat.
“Huh!” Narita mendengus kesal.
“Beri bocah itu pelajaran, anak-anak!” seru Iblis Topeng Mayat.
Langsung saja empat orang wanita berbaju hijau dan bertopeng pucat bagai mayat itu berlompatan menyerang Narita. Sedangkan gadis berbaju merah itu mengamuk bagai singa betina kehilangan anaknya. Senjatanya berkelebatan cepat ke arah para penyerangnya. Kadang-kadang senjata keperakan itu meregang kaku bagai pedang, namun di lain saat berubah lemas bagai cambuk.
Senjata yang dipegang Narita rupanya berhasil membuat empat orang bertopeng pucat itu gentar. Beberapa kali mereka berbenturan senjata, namun mereka merasakan seperti membentur benda lunak yang dapat memantulkan tenaga dengan keras. Dan Narita memang sudah mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Dia tidak mau tanggung-tanggung lagi dalam menghadapi lawannya kali ini.
Narita yang sudah pernah bentrok dengan empat orang bertopeng pucat bagai mayat itu, benar-benar nekad. Dia langsung mengeluarkan jurus-jurus andalannya! Hal itu sangat jelas, karena empat orang lawannya kelihatan sulit untuk mematahkan serangan-serangan gadis berbaju merah itu.
Namun setelah melewati lebih dari dua puluh jurus, tampak keadaan mulai bisa dilihat. Gerakan-gerakan Narita tidak lagi sedahsyat semula. Tenaganya sudah terkuras banyak, dan dia mulai sulit mengontrol diri. Sementara empat orang lawannya segera memanfaatkan keadaan tersebut. Mereka langsung meningkatkan tekanan dan serangannya. Beberapa kali Narita harus berkelit menghindari serangan lawan-lawannya. Bahkan tidak jarang dia harus memekik, terkena pukulan atau tendangan yang keras.
“Akh!” tiba-tiba Narita memekik tertahan.
Salah seorang lawannya berhasil merobek pundak kiri gadis itu. Darah langsung keluar dengan deras.
Tampak Narita melangkah mundur dengan terhuyung-huyung. Sedangkan jari-jari tangannya bergerak cepat menotok di sekitar lukanya. Sebentar saja darah sudah berhenti keluar. Namun bibirnya masih berkerut mendesis, menahan marah yang memuncak.
Saat itu satu orang yang berada di depan, mendadak berteriak keras sambil melompat dan mengibaskan tongkat hitamnya. Buru-buru Narita merunduk menghindari serangan itu. Tapi selagi Narita merunduk, seorang lagi dari arah samping kirinya, segera melepaskan pukulan yang dahsyat.
“Uts!” Cepat-cepat Narita menarik tubuhnya ke belakang seraya menangkis pukulan itu dengan tangan kiri. Dan belum lagi gadis itu bisa menguasai diri, satu serangan lagi datang dengan cepat. Kali ini sebuah kaki melayang ke arah dada. Narita yang sudah diserang beberapa kali dari berbagai jurusan, tidak mampu lagi berkelit. Tendangan geledek itu tepat menghantam dadanya.
“Akh...!” lagi-lagi Narita memekik keras.
Tubuh gadis itu langsung terpental kebelakang sejauh dua batang tombak. Pada saat itu, salah seorang yang berada di belakangnya, menerimanya dengan melepaskan pukulan keras ke arah punggung. Seketika Narita tersuruk jatuh mencium tanah. Dan belum lagi gadis itu sempat bangkit, satu batang tongkat melunak deras ke arahnya! Kini Narita benar-benar pasrah. Dia hanya dapat memejamkan mata, tak mampu lagi untuk berkelit.
Tapi pada saat ujung tongkat itu hampir menembus dadanya, secercah cahaya keperakan melesat dan mengarah tongkat itu. Buru-buru orang yang memegang tongkat hitam itu menariknya dengan cepat, sehingga cahaya keperakan itu lewat di bawah ujung tongkatnya. Sedangkan Narita yang sudah menunggu saat ajalnya, jadi terkejut begitu membuka matanya. Tampak seorang pemuda tampan telah berdiri di sampingnya. Maka dengan sisa-sisa tenaganya, gadis itu berusaha bangkit.
Pemuda itu berdiri tegak, dengan kedua tangan yang melipat di depan dada. Matanya tajam menatap pada lima orang berpakaian hijau dengan wajah tertutup topeng pucat bagai mayat. Pemuda itu mengenakan baju dari kulit harimau. Di pergelangan tangan kanannya, menempel sebuah benda bulat pipih bersegi enam yang melengkung, dan berwarna keperakan.
“Huh! Kalian benar-benar manusia binatang! Mengeroyok seorang gadis yang tidak berdaya!” dengus pemuda itu dingin.
“Bocah setan! Kau terlalu usil, selalu mencampuri urusanku!” bentak Pramurti atau Iblis Topeng Mayat yang segera mengenali pemuda tersebut.
“Aku tidak akan ikut campur, jika kalian mau bertarung secara ksatria!” sahut pemuda itu tegas.
“Apa pedulimu?!” bentak Pramurti sengit.
Pemuda itu tidak menanggapi, kemudian dia menoleh kepada Narita yang sudah bisa berdiri disampingnya. Sedikit dia melemparkan senyumnya. Lalu pandangannya beralih pada wanita berbaju hijau di depannya. Sedangkan empat orang lainnya sudah berdiri di belakang Pramurti.
“Narita! Kali ini kau bisa bernapas kembali, tapi kau tidak akan lepas dari pengawasanku!” kata Pramurti tajam. “Dan kau, bocah usil Perbuatanmu harus kau tebus dengan mahal!” Setelah memberikan ancaman demikian, Iblis Topeng Mayat langsung melesat pergi diikuti oleh empat orang lainnya.
Sementara pemuda berbaju kulit harimau itu hanya bisa memandangi. “Huh! Ancaman orang pengecut!” dengus pemuda itu.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu kemudian berbalik dan memandang Narita. Sedangkan gadis itu malah memalingkan mukanya, dan menatap pada gundukan abu yang mulai menipis terhempas angin. Pelahan-lahan kakinya terayun mendekati abu pembakaran itu, dan berdiri di dekatnya dengan mata tidak berkedip. Sementara pemuda itu masih berdiri di tempatnya sambil memperhatikan.
“Maaf, kalau kehadiranku ini membuatmu tidak senang,” kata pemuda tampan itu pelan.
Narita segera berbalik dan menatap pada pemuda yang berada dua batang tombak di depannya. Bola matanya berputar, seolah-olah dia tengah menyelidik. Rasanya belum pernah dia melihat pemuda tampan berambut gondrong, dan berbaju dari kulit harimau itu. Tapi kalau melihat Iblis Topeng Mayat seakan-akan segan bentrok dengannya, pastilah tingkat kepandaiannya sudah sangat tinggi.
“Jika kau memang tidak suka, sebaiknya aku pergi,” kata pemuda itu seraya berbalik.
“Tunggu dulu!” cegah Narita sambil melangkah menghampiri.
Pemuda itu kembali membalikkan tubuhnya. Kini jarak mereka begitu dekat. Sesaat mereka saling pandang, lalu Narita melangkah menjauh, dia duduk di batang pohon yang tumbang. Sedangkan pemuda itu segera menghampiri dan duduk bersandar di bawah pohon yang tidak jauh dari tempat Narita duduk. Beberapa saat kemudian mereka masih belum membuka percakapan.
“Siapa kau? Kenapa mau bersusah-payah menolongku?” tanya Narita, datar suaranya.
“Namaku Bayu Hanggara, tapi biasa dipanggil Pendekar Pulau Neraka,” sahut pemuda itu kalem. “Aku menolongmu karena kebetulan lewat, dan melihat kau seperti membutuhkan pertolongan.”
“Terima kasih, tapi aku tidak perlu kau tolong. Lebih baik aku mati, daripada tidak bisa membalas kematian Guru yang juga kakekku. Mereka juga telah membunuh saudaraku satu-satunya,” pelan suara Narita.
“Siapa yang membunuh mereka?” tanya Bayu.
“Iblis Topeng Mayat. Mereka memang sudah lama menjadi musuh keluargaku. Mereka tidak akan puas kalau belum membunuhku,” sahut Narita menjelaskan dengan singkat.
“Apakah kau dari Desa Batang Hulu?” tanya Bayu lagi.
Narita tidak langsung menjawab. Dia lalu menoleh dan menatap pemuda itu dengan tajam. Kemudian pelahan-lahan kepalanya terangguk. “Dari mana kau tahu aku berasal dari Desa Batang Hulu?” tanya Narita bernada heran.
“Hanya kebetulan saja. Kemarin malam aku juga menyaksikan pembantaian di sana, dan aku berhasil menyelamatkan seseorang yang tampaknya mempunyai pengaruh di sana. Lalu paginya lagi aku bentrok dengan mereka, karena berusaha menyelamatkan beberapa orang yang baru keluar dari sebuah tempat seperti benteng. Dan sekarang aku bertemu denganmu yang juga bentrok dengan mereka. Aku hanya menduga, kalau semua peristiwa itu saling berkaitan. Benar begitu?”
“Mungkin,” desah Narita pelan.
Sebenarnya gadis itu agak terkejut juga mendengar penuturan Bayu. Tapi dia bisa menyembunyikan rasa terkejutnya dengan cepat. Hatinya kini mendadak jadi gelisah. Dia sadar kalau semua yang dilakukan kakeknya akan berakibat luas! Kakeknya, Eyang Galadipa atau Pendekar Welut Putih sudah bercerita banyak tentang Iblis Topeng Mayat dan segala persoalan yang ada. Dan semua yang telah terjadi itu, sebelumnya memang sudah menjadi bahan pemikiran Eyang Galadipa. Dan Narita merasa bahwa semua itu sekarang menjadi tanggung jawabnya. Pelahan dia menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan kuat. Dadanya terasa sesak, menyadari persoalan yang dihadapinya semakin pelik dan meluas.
“Sebenarnya aku tidak ingin ikut campur dalam urusan ini. Tapi melihat begitu banyak orang-orang yang terancam jiwanya, aku....”
“Kau sudah ikut terlibat!” potong Narita cepat.
Bayu langsung menatap gadis itu dengan tajam.
“Iblis Topeng Mayat tidak akan pernah melepaskan orang yang sudah pernah berurusan dengannya!” kata Narita lagi.
“Oh, begitu? Lalu kenapa kau sampai bisa bentrok dengan mereka?”
“Ceritanya panjang, dan kalau ingin lebih jelas, datang saja ke Puri Watu Ukir,” sahut Narita.
“Di mana itu?”
“Cari saja sendiri. Orang yang kau tolong kemarin berasal dari sana.”
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia bisa menebak kalau semua peristiwa itu pasti saling berkaitan dan menyangkut banyak orang. Bayu merasakan, kalau Pendekar Pulau Neraka bakal bertualang kembali dan tangannya akan berlumuran darah lagi. Untuk kesekian kalinya dia terpaksa mencampuri urusan orang lain, yang tidak ada sangkut pautnya dengan tujuan pengembaraannya.
Saat itu di Puri Watu Ukir, suasananya tidak seperti biasa. Mayat-mayat tampak bergelimpangan di mana-mana. Sedangkan di beberapa tempat, masih terdengar suara pertempuran. Hampir seluruh bangunan di tempat itu porak poranda bagai baru saja terjadi badai yang amat dahsyat! Di dalam sebuah ruangan yang sangat luas, Resi Danuraga tengah bertarung melawan Iblis Topeng Mayat.
Pertarungan itu sudah mencapai pada tahap yang sangat tinggi. Mereka sama sama telah mengeluarkan jurus-jurus andalan masing-masing. Namun pada jurus-jurus akhir, tampaklah kalau Resi Danuraga terdesak terus.
“Mampus kau, Danuraga!” bentak Iblis Topeng Mayat.
Saat itu juga dia mengayunkan senjatanya ke arah dada Resi Danuraga. Namun dengan cepat laki-laki tua berjubah kelabu itu mengegoskan tubuhnya ke samping, menghindari tusukan tongkat pendek berwarna hitam pekat itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Iblis Topeng Mayat memutar arah senjatanya dengan cepat dan tiba-tiba.
Resi Danuraga terperangah sejenak. Buru-buru dia melentingkan tubuhnya berputar ke belakang. Tapi Iblis Topeng Mayat terus mencecarnya dengan mengecutkan senjatanya beberapa kali. Terpaksa Resi Danuraga kembali bersalto ke belakang menghindari serangan yang beruntun itu. Dan pada lompatan yang kesekian kalinya, sebuah kakinya berhasil mendupak tangan Iblis Topeng Mayat.
“Akh!” Iblis Topeng Mayat memekik tertahan.
Dan begitu Resi Danuraga berdiri tegak, dengan cepat Iblis Topeng Mayat mengebutkan senjatanya ke depan. Sungguh di luar dugaan sama sekali, senjata itu terlepas pada bagian tengahnya, dan meluruk deras ke arah Resi Danuraga. Buru-buru laki laki tua berjubah kelabu itu memiringkan tubuhnya. Dan lontaran senjata itu lewat sedikit di sampingnya.
Tepat pada saat itu, kembali Iblis Topeng Mayat melompat bagaikan kilat, seraya melemparkan potongan senjatanya ke arah dada. Sedangkan Resi Danuraga yang tengah berkelit menghindari lontaran potongan senjata yang pertama, tidak bisa lagi menghindar dengan cepat.
“Aaakh...!” seketika Resi Danuraga memekik keras. Ujung tongkat hitam Iblis Topeng Mayat tersebut berhasil menembus dadanya. Dan begitu dia menarik senjata itu, darah langsung muncrat keluar!
Sementara perempuan berbaju hijau yang mengenakan topeng pucat bagai mayat itu, melayangkan kakinya dengan keras ke arah perut. Buk! Resi Danuraga kontan terbungkuk, dan tongkat pendek dengan ujungnya terdapat pisau tipis itu berkelebat cepat ke arah leher.
Seketika tubuh Resi Danuraga ambruk! Iblis Topeng Mayat kemudian mencabut potongan senjatanya yang menancap di dinding, dan menyatukannya kembali dengan yang dia pegang. Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, wanita berbaju hijau itu langsung melompat ke luar.
“Hiya...!” Pada saat itu, di luar masih berlangsung pertempuran sengit antara empat orang murid Iblis Topeng Mayat, melawan seorang wanita tua yang mengenakan jubah hijau. Wanita itu adalah Nyai Resi Rara Kitri. Tampak di sekitar pertarungan itu, mayat-mayat bergelimpangan tidak tentu arah dan saling tumpang tindih. Bau anyir darah pun menyebar terbawa angin.
“Mundur...!” seru Iblis Topeng Mayat.
Seketika itu juga, empat orang muridnya berlompatan mundur. Sedangkan Nyai Resi Rara Kitri tampak tersengal napasnya. Kedatangan Iblis Topeng Mayat itu merupakan tanda, kalau Resi Danuraga sudah tewas. Sejenak Nyai Resi Rara Kitri memandang berkeliling. Hatinya sedih bercampur geram melihat seluruh, cantrik dan murid-muridnya telah tewas.
“Lama aku menunggu kesempatan seperti ini, Rara Kitri,” kata Iblis Topeng Mayat, dingin dan datar suaranya.
“Hhh! Kau benar-benar perempuan iblis, Pramurti!” dengus Nyai Resi Rara Kitri menyebut nama asli Iblis Topeng Mayat.
“Tapi aku bukan tikus sepertimu! Bersembunyi balik lorong hanya menunggu maut!” balas Pramurti.
“Sebenarnya aku sudah melupakan semua perselisihan di antara kita, Rara Kitri. Tapi saudaramu yang memulai lebih dulu. Dia membantai habis murid-muridku di saat aku sedang bepergian, hingga tinggal tersisa lima orang. Bahkan satu lagi sudah tewas terbunuh oleh cucu saudaramu. Aku pun berusaha melupakan semua itu, karena aku begitu mencintai Galadipa, tapi rupanya dia masih menyimpan dendam padaku. Kau tahu, Rara Kitri. Bukan aku yang membunuh istri Galadipa. Dia tewas karena terjatuh di dalam jurang, dan aku sudah berusaha untuk menolongnya. Tapi saudara-saudaramu menuduhku lain, juga kau! Apa boleh buat, api permusuhan telah kalian sulutkan. Dan api itu tidak akan padam sebelum di antara kita ada yang tewas!” kata Pramurti mengingatkan kejadian beberapa puluh tahun silam.
“Kau sudah membunuh Galadipa, lalu kenapa kau masih juga berkeliaran? Bahkan membantai para penduduk yang tidak berdosa!” rungut Nyai Resi Rara Kitri.
“Aku sengaja berbuat demikian untuk memancing saudara-saudaramu keluar. Dan aku pun bersumpah, aku dan murid-muridku yang tewas, atau kau dan seluruh saudara saudaramu, serta keturunanmu semua!” sahut Pramurti.
“Iblis! Kau benar-benar bukan lagi manusia, Pramurti!” geram Nyai Resi Rara Kitri menggeretak.
“Ha ha ha...! Itulah aku, Iblis Topeng Mayat! Apa pun akan kulakukan, demi tercapainya maksudku!” kata Pramurti pongah.
“Setan! Mampus kau! Hiyaaa...!”
Nyai Resi Rara Kitri tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dengan cepat dia melompat menerjang Iblis Topeng Mayat itu. Namun dengan manis sekali Iblis Topeng Mayat menghindari serangan-serangan tersebut. Nyai Resi Rara Kitri yang sudah dirasuki hawa amarah, langsung mengerahkan jurus-jurus andalannya yang dahsyat dan sangat berbahaya!
Sementara dua orang yang saling bermusuhan selama bertahun-tahun itu menyabung nyawa, empat orang murid Iblis Topeng Mayat terus mengamatinya dengan sikap siaga. Mereka mengambil tempat dari empat jurusan. Masing-masing sudah menggenggam senjata berupa tongkat hitam pendek, dengan cincin berwarna merah pada tengahnya.
“Hiya...!”
“Yeah...!”
Dua orang wanita yang bertarung itu saling melompat tinggi ke udara, dan berbenturan di udara. Tampak Nyai Resi Rara Kitri terlempar dan jatuh dengan keras ke tanah. Sedangkan Iblis Topeng Mayat mendarat dengan manis di tanah. Dan begitu kakinya menjejak tanah, kembali dia melenting, dan bersalto beberapa kali di udara. Kemudian dengan satu gerakan yang cepat dan sukar diikuti oleh mata biasa, ujung tongkatnya menghunjam ke dada Nyai Resi Rara Kitri yang baru saja bisa bangkit.
“Hugh!” Nyai Resi Rara Kitri langsung mengeluh pendek.
“Yap!”
Pramurti segera mencabut senjatanya kembali dari dada lawannya. Lalu dengan cepat sekali kaki kanannya terayun mendupak tubuh resi wanita tersebut Tubuh Nyai Resi Rara Kitri pun kembali terjungkal ke belakang. Dari dadanya tampak mengucur darah segar. Sedangkan mulutnya mengeluarkan darah kental kehitaman. Sebentar dia masih menggelepar, lalu diam dan tidak berkutik lagi.
“Hi hi hi...!” Pramurti tertawa mengikik penuh kepuasan.
Dan tanpa banyak bicara lagi, Iblis Topeng Mayat segera melesat pergi meninggalkan korban-korbannya. Sementara empat orang muridnya langsung mengikuti tanpa diperintah lagi. Tepat pada saat mereka lenyap di balik kerimbunan pepohonan, muncul dua orang di Puri Watu Ukir itu.
“Bibi...!”
Narita langsung menubruk dan memeluk tubuh Resi Rara Kitri yang bersimbah darah. Gadis itu kemudian menggoyang-goyangkan tubuh wanita tua berjubah hijau itu. Dari bibirnya yang mungil, tidak berhenti menyuarakan kata-kata. Sementara di sampingnya tampak berdiri Pendekar Pulau Neraka. Pemuda tampan, tegap dan berbaju kulit harimau itu, hanya bisa memandang dengan dada diliputi oleh berbagai macam perasaan.
“Bi...,” rintih Narita bernada putus asa.
“Oh...,” terdengar rintihan lirih dari bibir yang berlumur darah kental.
“Bi...! Bibi...!” seru Narita.
“Narita..., cucuku...,” Resi Rara Kitri mendesis lirih. Kelopak matanya terbuka sedikit. Dan napasnya tersengal satu-satu.
“Siapa yang melakukan ini, Bi?” tanya Narita.
“Narita.... Oh, kau tahu aku bibimu?” Resi Rara Kitri malah balik bertanya.
“Iya, Bi. Sejak semula aku memang sudah tahu. Maafkan aku, Bi. Aku pergi tanpa pamit lagi, karena tidak ingin Bibi dan Paman semua ikut terlibat,” kata Narita.
“Bukan salahmu, Narita. Kami memang sudah lama bermusuhan. Akh...!” tubuh Resi Rara Kitri tiba-tiba mengejang.
“Bi...!” Narita tersentak kaget.
“Dengar, Narita. Sebentar lagi aku akan mati. Carilah Paman dan Bibimu yang lain. Beritahu semua kejadian di sini. dan.... Oh!” tubuh Resi Rara Kitri kembali mengejang.
“Bi...! Bibi...!” Narita terus mengguncang-guncang tubuh wanita tua itu.
Tapi Resi Rara Kitri sudah tidak bergerak lagi. Seketika Narita menjerit keras, dan memeluk tubuh yang sudah tidak bernyawa itu. Gadis itu tidak sanggup lagi membendung air matanya. Dia menangis meraung-raung.
“Narita...,” Bayu menepuk pundak gadis itu, setelah cukup lama ia membiarkannya menumpahkan perasaan.
Pelahan-lahan Narita menoleh, dan meletakkan tubuh bibinya dengan hati-hati. Kemudian dia segera bangkit, dan menatap pemuda tampan disampingnya. Gadis itu tidak peduli dengan air matanya yang merembes ke luar dengan deras.
“Tidak perlu kau tangisi. Yang sudah pergi tidak mungkin kembali lagi,” kata Bayu pelan.
“Semua ini karena salahku. Kalau saja aku tidak berpura-pura dan tidak pergi dari sini, pasti mereka semua masih hidup. Aku memang bodoh! Tolol!” Narita mengutuki dirinya sendiri.
“Kau tidak bodoh, Narita. Kau hanya tidak bisa mengendalikan diri, dan semua yang terjadi memang sudah takdir. Semua manusia pasti akan mati, hanya cara dan waktunya saja yang tidak kita ketahui. Aku tidak melihat kesalahan pada dirimu, Narita. Tindakanmu benar, kau bermaksud baik. Tapi takdir menentukan lain. Penyesalan diri dan air mata bukanlah suatu penyelesaian yang baik. Jika kau merasa bahwa semua yang terjadi karena kesalahanmu, kau harus menentukan sikap, bukan menyesali dan meratap mengutuk diri sendiri. Kau seorang pendekar, Narita. Kau harus lebih segala-galanya dari wanita-wanita lain,” lembut kata-kata Bayu, namun terdengar tegas, penuh perasaan dan dorongan moril.
“Kau benar, Kakang,” kata Narita serasa baru tergugah dari mimpi buruk yang hampir menenggelamkan dirinya.
“Hapuslah air matamu, tegarkan hatimu. Kau tidak akan bisa menyelesaikan suatu persoalan dengan air mata dan penyesalan diri.”
Pelahan-lahan Narita mulai tersenyum, kemudian menghapus air matanya dengan punggung tangannya. Sejenak kepalanya berpaling pada mayat Nyai Resi Rara Kitri. “Ayo, Kakang. Bantu aku mengurus mayat mayat ini,” ajak Narita.
Bayu segera tersenyum melihat Narita kembali bangkit. Maka tanpa diminta dua kali, dia segera mengumpulkan mayat-mayat yang bergelimpangan, pada satu tempat di halaman depan Puri Watu Ukir. Sementara Narita mengambil cangkul untuk menggali lubang. Dia sempat tertegun dan hampir guncang kembali saat menemukan mayat Resi Danuraga di dalam rumah. Mayat itu keadaannya sangat mengenaskan, kepala terpisah dari badan.
Namun gadis itu tidak lagi mau larut dalam kesedihan dan perasaan bersalah. Kata kata Bayu barusan bagaikan setitik air sejuk yang membangkitkan semangat, dan menyalakan kembali pelita di dalam hatinya. Narita seolah-olah bagaikan seorang musafir yang baru saja menemukan jalan, setelah sekian lama tersesat di dalam luasnya gurun.
Narita membantu Pendekar Pulau Neraka menguburkan seluruh mayat-mayat yang bergelimpangan bersimbah darah. Dan Narita hampir pecah kembali tangisnya, saat mayat Nyai Resi Rara Kitri dan mayat Resi Danuraga dikuburkan. Gadis itu segera berlari menjauh untuk menguatkan hatinya. Sementara Bayu hanya bisa melihat sambil meneruskan pekerjaannya. Dia bisa memaklumi perasaan gadis itu.
Bayu kemudian menghampiri gadis cantik berbaju merah menyala itu, setelah dia menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan Narita tetap duduk dengan kepala tertunduk di bawah pohon yang cukup rindang.
“Narita, kau mau tetap di sini, atau mencari Paman dan Bibimu yang lain?” tegur Bayu.
Narita mendesah panjang, kemudian pelahan-lahan dia bangkit. Sebentar dia menatap ke arah gundukan tanah yang cukup besar, tidak jauh didepannya. Lalu tatapan matanya beralih kepada Pendekar Pulau Neraka.
“Maaf, aku tidak bisa...,” Narita tidak melanjutkan kata-katanya.
“Sudahlah, aku bisa mengerti perasaanmu,” kata Bayu memahami.
“Terima kasih.”
“Ayo, kita pergi, sebelum hari menjadi gelap,” ajak Bayu.
Narita mengangguk dan kakinya terayun melangkah. Pendekar Pulau Neraka juga mengayunkan kakinya di samping gadis itu. Mereka berjalan meninggalkan Puri Watu Ukir tanpa berkata-kata lagi. Sementara itu senja mulai merayap mendekati pergantian waktu. Sang surya dengan cahayanya yang merah jingga, menyemburat semakin tenggelam di balik belahan bumi sebelah Barat.
Siang berganti dengan malam, sejalan dengan berputarnya sang waktu. Matahari pun berganti dengan sang dewi malam. Kini suasana di sekitar Bukit Bojong agak sunyi. Hanya binatang-binatang malam saja yang memperdengarkan suaranya, menghalau kesunyian yang menyelimuti mayapada ini.
Seorang wanita tua berjubah biru, tampak berjalan pelahan-lahan merambah hutan di Lereng Bukit Bojong itu. Dari bentuk tubuhnya yang kurus dan agak bungkuk, orang tidak akan menyangka kalau wanita tua renta itu memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Tapi kalau dilihat dari caranya berjalan, sudah dapat diketahui bahwa dia berjalan dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Ayunan kakinya ringan, seolah olah dia berjalan tidak menapak tanah. Rumput-rumput yang terinjak pun tidak nampak bekas-bekas tapak kakinya. Sinar matanya bersorot tajam, seakan akan menembus pekatnya malam. Beberapa saat kemudian, wanita tua itu berhenti setelah tiba di sebuah tempat yang berbatu, dengan tebing-tebing curam dan beberapa tonjolan batu.
“Hm, ada orang lain menuju ke sini,” gumam wanita tua itu pelan.
Sebentar dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Begitu matanya menatap pada sebuah batu besar yang menjorok ke luar dari tebing, dia langsung melesat cepat ke arah batu itu. Dalam sekejap saja tubuhnya.sudah lenyap di balik batu besar dan hitam pekat itu. Tidak lama berselang, tampak beberapa orang laki-laki berjalan di bawah tebing batu itu. Mereka adalah Paksi dan sepuluh orang pengawalnya.
“Hati-hati, kita sudah berada dekat dengan sarang mereka,” kata Paksi yang berjalan paling depan.
“Di mana tempatnya, Den?” tanya salah seorang yang berjalan di belakangnya.
“Menurut yang kudengar, tempatnya ada di seberang jurang itu,” sahut putra kepala desa itu, sambil menunjuk sebuah jurang yang tidak begitubesar.
Mereka terus saja berjalan mendekati sebuah jurang yang menganga lebar bagaikan membelah Bukit Bojong. Kesebelas orang itu lalu berhenti tepat di bibir jurang. Tampak Paksi mengamati seberang jurang. Hanya dengan satu loncatan saja, pasti bisa menyeberangi jurang itu.
“Barangkali salah, Den... kata orang yang berada disamping putra kepala desa itu.
“Tidak, aku yakin. Pasti ini tempatnya,” sahut Paksi.
“Tapi, di seberang sana cuma ada hamparan batu batu saja. Rasanya tidak mungkin kalau Iblis Topeng Mayat mengambil tempat di sana. Terlalu mudah di jangkau, Den,” bantah orang itu lagi.
“Hm...,” Paksi mengerutkan keningnya. Kata-kata orang itu memang benar. Tempat tersebut terlalu mudah untuk dijangkau oleh siapa saja Dan biasanya, seorang tokoh persilatan selalu memiliki tempat tinggal yang sulit dijangkau, dan banyak rintangannya. Sedangkan untuk mencapai seberang jurang itu, tidak terlalu sulit. Bahkan seorang yang tingkat kepandaiannya masih rendah sekalipun dapat melompatinya. Jurang itu tidak begitu besar, lebarnya hanya sekitar tiga batang tombak, dan juga tidak begitu dalam.
Paksi mengambil sebatang ranting kering yang menggeletak di dekat kakinya. Sebentar dia menimang-nimang ranting itu, lalu dengan mengerahkan tenaga dalam, dia melemparkan ranting itu ke seberang jurang. Ranting kering itu meluncur deras bagai sebatang anak panah lepas dari busurnya. Dan begitu mencapai tepi seberang jurang, puluhan anak panah hitam meluruk deras menghantam ranting kering itu.
Tentu saja sepuluh orang yang berada di sekitar Paksi, jadi terperangah melihat kejadian itu. Sedangkan Paksi hanya tersenyum dan bergumam kecil. Kemudian tangannya menjumput sebongkah batu yang cukup besar. Dan batu itu langsung amblas begitu tiba di dasar jurang. Bahkan ranting-ranting yang berada di dasar jurang itu, ikut melesak masuk ke dalam. Kembali sepuluh orang itu terheran-heran dibuatnya.
“Kelihatannya mudah, tapi sukar untuk dijangkau,” kata Paksi setengah bergumam.
“Bagaimana, Den? Kita tidak mungkin bisa menyeberanginya,” kata salah seorang lagi.
“Iblis Topeng Mayat memang cerdik, tapi aku tidak mau kalah cerdik. Lihat saja,” sahut Paksi kalem.
Paksi kemudian meminta busur dan sekantung anak panah dari salah seorang pengikutnya. Dengan panah itu dia lalu membidikkan ke seberang jurang. Sungguh di luar dugaan sama sekali. Setiap batang anak panah yang melesat, selalu disambut anak-anak panah hitam. Beberapa kali Paksi melepaskan anak-anak panahnya, hingga sampai pada panah yang ke lima belas, tidak ada lagi sambutan.
“Aman, Den,” kata orang yang diminta panahnya tadi.
“Belum,” sahut Paksi tetap tenang.
Sepuluh orang yang mengikutinya saling berpandangan. Mereka tidak mengerti, tapi dalam hati memuji kecerdikan tuannya ini. Mereka tetap menunggu, apa yang akan dilakukan putra kepala desa itu selanjutnya. Sedangkan Paksi masih berdiri tegak sambil memandang tajam ke arah seberang jurang.
Sementara itu tidak jauh dari tempat Paksi dan sepuluh orangnya di tepi jurang, seorang wanita tua berjubah biru terus memperhatikan sejak tadi. Wanita tua itu adalah Resi Puspita Rani. Resi wanita itu memperhatikan dari balik batu besar yang menjorok ke luar dari dinding tebing.
“Anak itu benar-benar cerdik. Aku ingin tahu, bagaimana caranya dia menembus rintangan itu, sebelum sampai pada Lorong Maut,” gumam Nyai Resi Puspita Rani dalam hati.
Saat itu Paksi masih tetap berdiri tegak sambil memandang ke seberang jurang. Keningnya berkerut dalam, pertanda kalau dia tengah berpikir keras. Sedangkan sepuluh orang lainnya hanya menunggu dengan tidak sabar.
“Kalian cari binatang apa saja yang ada di sekitar sini,” kata Paksi memerintah.
“Den...,” salah seorang mau protes.
“Sedapatnya! Binatang apa saja!” sergah Paksi cepat.
Lima orang segera beranjak pergi dengan benak dipenuhi berbagai macam tanda tanya. Mereka tidak mengerti, dengan apa yang diinginkan putra kepala desa itu.
“Kalian cari tempat untuk berlindung. Aku tidak mau ada korban jatuh sia-sia,” kata Paksi lagi.
“Den Paksi sendiri...?”
“Cepatlah, aku yakin mereka tidak ada di sini malam ini,” sergah Paksi.
Lima orang lainnya segera mencari tempat yang cukup terlindung. Sementara Paksi memperhatikan saja. Hatinya cukup puas melihat orang-orangnya sudah berada di tempat yang cukup terlindung. Tidak lama kemudian, lima orang yang mencari binatang, sudah kembali. Mereka membawa tiga ekor kelinci, dan dua ekor ayam hutan. Binatang-binatang itu semuanya sudah mati.
Paksi segera menerima, dan menyuruh lima orang itu untuk berlindung bersama yang lainnya. Maka tanpa membantah sedikit pun, mereka segera menghampiri teman-temannya yang sudah lebih dulu mendapatkan tempat untuk berlindung. Mereka terus memperhatikan putra kepala desa itu dengan benak diliputi pertanyaan.
“Kau pikir tempatmu cukup aman, Iblis Topeng Mayat! Lihatlah, aku Paksi, yang akan mendobrak Lorong Mautmu!” kata Paksi dengan suara mendesis.
Setelah berkata begitu, Paksi mengambil seekor ayam hutan. Dan dengan mengerahkan tenaga dalam penuh, dia melemparkan ayam hutan itu ke seberang jurang. Ayam yang sudah mati itu meluncur deras, dan...
Glarrr...!
Satu ledakan keras langsung terdengar ketika secercah cahaya bagaikan kilat menyambarnya, hingga ayam hutan itu hancur berkeping-keping.
“Ha ha ha...! Tidak ada gunanya kau membentengi tempatmu dengan Pagar Cahaya Kilat!” seru Paksi keras. Paksi kembali melemparkan binatang-binatang yang sudah tidak bernyawa lagi. Setiap kali dia melemparkan binatang itu, selalu terdengar ledakan keras disertai dengan meluncurnya secercah cahaya kilat. Sampai pada lemparan yang terakhir, cahaya kilat itu tidak lagi terlihat, dan bangkai kelinci itu pun melesat jauh ke dalam jurang yang gelap.
“Ha ha ha...!” Paksi kembali tertawa penuh kepuasan.
Sementara itu di balik batu besar yang menjorok ke luar dari dinding tebing, Nyai Resi Puspita Rani menggeleng-gelengkan kepalanya, kagum melihat kecerdikan Paksi. Namun di balik rasa kagumnya, dia juga merasa heran. Tidak sembarang orang bisa mengetahui pagar pengaman yang dibuat oleh Pramurti, atau Iblis Topeng Mayat di daerah kekuasaannya.
“Hm..., dari mana dia memperoleh semua itu?” gumam Nyai Resi Puspita Rani dalam hati.
Saat itu, Paksi sudah melompat menyeberangi jurang yang tidak begitu besar itu. Tubuhnya melayang ringan, dan hanya sekali dia bersalto, sudah mencapai seberang. Pemuda itu kemudian berdiri tegak dengan tangan berada di pinggang. Sementara sepuluh orang yang berlindung, belum juga keluar dari tempat persembunyiannya. Sejenak Paksi memandang berkeliling. Namun sepanjang mata memandang, hanya kegelapan dan hamparan batu-batu saja yang terlihat.
“Hm, menurut Eyang Resi Jagabaya, aku harus menemukan Lorong Maut. Lorong itu hanya berupa gulungan angin yang berputar, dan sulit untuk ditembus. Hm..., di mana letak lorong itu?” gumam Paksi dalam hati. Setelah melewati rintangan anak panah dan Pagar Cahaya Kilat, Paksi segera melompat menyeberangi jurang yang tidak begitu besar!
Tubuhnya melayang ringan, dan ditambah dengan sekali salto, dia sudah mencapai seberang. Pelahan-lahan Paksi melangkah menjauhi bibir jurang. Matanya terus bersorot tajam mengamati keadaan sekitarnya. Pelahan-lahan Paksi mulai melangkah menjauhi bibir jurang. Kakinya terayun ringan, pertanda kalau dia mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Matanya bersorot tajam mengamati keadaan sekitarnya. Otaknya juga terus berputar keras.
Belum lagi sampai sepuluh tombak dia berjalan, tiba-tiba terdengar suara gemuruh, disusul dengan bertiupnya angin kencang. Seketika Paksi tersentak, tapi belum sempat dia berbuat apa-apa, tubuhnya mendadak terangkat dan berputar cepat. Tampak lingkaran debu dan batu-batuan menggulung tubuh pemuda itu.
Dengan sekuat tenaga Paksi berusaha meronta, tapi usahanya sia-sia belaka. Tubuhnya semakin terseret dalam, masuk gulungan angin itu. Semakin lama, semakin jauh saja tubuh pemuda itu masuk kedalam pusaran angin yang ganas, membentuk lorong bagai rongga goa.
“Aaa...!” Tiba-tiba Paksi menjerit keras melengking. Bersamaan dengan itu, tubuhnya lenyap, disusul dengan lenyapnya angin yang bergulung-gulung itu. Suasana di tempat itu kembali sunyi senyap. Dan kejadian tersebut disaksikan oleh berpasang-pasang mata yang bersembunyi di balik batu dan pepohonan. Tak ada seorang pun yang menampakkan diri. Mereka semua seperti terpaku, setengah tidak percaya dengan apa yang telah disaksikannya.
Apa sebenarnya yang terjadi pada Paksi? Paksi terus tergulung oleh angin kencang yang berputar, dan membentuk sebuah lorong bagai goa terapung. Tubuh pemuda itu berputar cepat, membuatnya seperti terhempas ke dalam suatu alam yang belum pernah dimasukinya. Paksi merasakan seluruh tulang-tulangnya remuk, dan kesadarannya hilang tanpa mampu dicegah lagi.
Lorong Maut itu membawanya ke suatu tempat yang sangat asing, dan tak pernah diimpikan sebelumnya. Cukup lama juga pemuda itu tidak sadarkan diri. Dan dia baru sadar setelah ada sesuatu yang dingin mengguyur tubuhnya. Pemuda itu tampak gelagapan, seperti mau terbenam ke dalam kubangan air yang dalam.
“Ah...!” Paksi terkejut begitu menyadari seluruh tubuhnya terikat oleh rantai besi yang besar dan kuat. Tubuhnya menggigil kedinginan. Seluruh bajunya basah kuyup oleh air yang mengguyurnya. Sejenak pandangan pemuda itu terpaku pada sesosok tubuh ramping, berdiri tidak jauh di depannya. Sosok tubuh itu mengenakan baju hijau, dengan wajah tertutup topeng berwarna pucat bagai mayat.
“Sariti...!” sentak Paksi ketika pandangannya beralih pada seorang wanita yang juga terikat pada sebuah tiang.
Paksi berusaha bangkit, namun seluruh tubuhnya terasa lemas, tidak mampu untuk digerakkan lagi. Pemuda itu hanya bisa memandang lemah pada gadis yang baru dinikahinya. Gadis itu terikat dengan tangan terentang dan kakinya terbuka lebar. Seluruh bajunya tampak koyak dan cabik-cabik. Sedangkan kepalanya terkulai lemas, dengan rambut terurai menutupi hampir seluruh wajahnya.
Pandangan mata pemuda itu kembali beralih pada sosok tubuh ramping berbaju hijau, dengan topeng pucat menutupi wajahnya. Di belakangnya, berdiri empat orang lainnya yang mengenakan baju dan topeng berwarna sama. Hanya saja mereka tidak memakai sabuk berwarna kuning emas di pinggang. Paksi langsung menyadari kalau dirinya kini menjadi tawanan Iblis Topeng Mayat.
“Siapa yang telah memberitahumu, untuk menembus Pagar Cahaya Kilat-ku, Bocah?” terdengar suara kecil, namun tajam dan datar.
Paksi tidak menjawab. Dia mengetahui hal itu dari pembicaraan ayahnya dengan Resi Jagabaya. Waktu itu dia sempat menguping, tapi tidak semuanya bisa didengar.
“Siapa yang memberitahumu, Bocah ? Jawab!” bentak Iblis Topeng Mayat gusar.
“Aku tahu sendiri!” sahut Paksi ketus.
“Hm..., kau datang untuk membebaskan istrimu, kan?”
Paksi melirik pada Sariti yang terikat pada tiang. Rahangnya bergemeletuk menahan geram. Hatinya panas melihat keadaan gadis yang baru dinikahinya, dan belum dia sentuh sedikit pun.
“Kau sayang dengan istrimu, Bocah?” kembali suara Iblis Topeng Mayat terdengar.
“Lepaskan Sariti! Dia tidak tahu apa-apa!” geram Paksi.
“Aku tidak akan mengganggu kebahagiaanmu, jika ayahmu tidak berbuat bodoh!” kata Iblis Topeng Mayat.
“Ayahku tidak melakukan apa-apa!”
“Heh! Jangan menutup matamu, Bocah! Kau tahu, kalau ayahmu memberi tempat hidup pada orang yang kubenci...!” agak ditekan suara Pramurti atau Iblis Topeng Mayat.
“Kami semua tidak tahu musuhmu! Kenapa kau melibatkan seluruh warga Desa Batang Hulu? Kenapa tidak kau cari saja musuhmu? Aku, ayahku dan seluruh warga Desa Batang Hulu tidak pernah berurusan denganmu!” tegas kata-kata Paksi.
“Sudah kukatakan, ayahmu membuat kebodohan yang harus ditanggung oleh semua orang di Desa Batang Hulu. Kalau saja ayahmu tidak memberi tempat pada Galadipa dan keluarganya, tentu aku tidak akan pernah menginjak Desa Batang Hulu! Tapi semua sudah terlambat. Hanya ada dua pilihan, menyerahkan Narita dan membunuh saudara-saudara Galadipa, atau seluruh orang di Desa Batang Hulu musnah dalam semalam!”
“Iblis!” desis Paksi menggeram.
“Ha ha ha...!” Pramurti tertawa terbahak-bahak. “Kau bisa memaki sepuas hatimu, Bocah. Nyawamu akan selamat, jika ayahmu sanggup memenuhi semua permintaanku!”
“Pengecut! Kau tidak berani menghadapi musuh-musuhmu sendiri, dan kau peralat kami!”
“Ha ha ha...!” Pramurti hanya tertawa saja.
“Pengecut! Iblis...! Kubunuh kau...!” maki Paksi habis-habisan.
Tapi caci-maki pemuda itu hanya dibalas dengan tawa saja. Iblis Topeng Mayat kemudian berbalik, dan melangkah meninggalkan ruangan yang seluruh dindingnya terbuat dari batu itu. Sedangkan empat orang muridnya segera mengikuti dari belakang. Sementara Paksi terus berteriak-teriak memaki sepuas hatinya. Tampak satu sisi dinding batu itu bergerak menggeser ke samping, hingga seberkas cahaya terang menerobos masuk. Dan sesaat kemudian, dinding batu itu kembali bergerak menutup, setelah lima orang berpakaian hijau itu berada di luar.
Kembali keadaan di dalam ruangan itu sunyi dan remang-remang. Hanya sebuah obor kecil dengan apinya yang redup menerangi ruangan itu. Cahayanya hanya samar-samar, tidak sanggup memberikan penerangan pada ruangan yang cukup luas itu. Paksi berusaha menggerakkan tubuhnya. Tapi seluruh tubuhnya terasa lemas, dan tulang-tulangnya nyeri saat digerakkan. Pemuda itu hanya bisa merintih lirih, dan mengeluh di dalam hati.
“Keparat...!”
Resi Jagabaya sedikit kaget, ketika hari itu Narita datang bersama seorang pemuda berbaju kulit harimau. Laki-laki tua itu pernah bertemu sekali dengan pemuda yang mengaku bernama Pendekar Pulau Neraka itu, dan dia juga sudah sering mendengar segala sepak terjangnya. Resi Jagabaya segera mengajak Narita dan Bayu ke ruangan tengah rumah Kepala Desa Batang Hulu itu.
“Kau tidak bertemu dengan Nyai Resi Puspita Rani, Narita?” tanya Resi Jagabaya.
Narita hanya menggeleng saja.
“Lalu ada maksud apa kau datang ke sini?”
“Paman....”
Narita tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. Dia langsung menubruk dan memeluk lutut laki-laki tua berjubah kuning itu. Resi Jagabaya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Bibirnya yang hampir tertutup kumis, menyunggingkan senyum. Kemudian dengan lembut tangannya mengusap-usap kepala gadis itu.
“Bangunlah, Cucuku,” lembut suara Resi Jagabaya.
“Maafkan Narita, Paman,” ucap Narita seraya bangkit.
“Kau sudah tahu siapa kami, kenapa masih tertutup juga?” tanya Resi Jagabaya meminta penjelasan.
“Eyang Resi Galadipa yang meminta, Paman,” sahut Narita.
“Duduklah.” Resi Jagabaya lalu mengambil tempat di kursi dekat jendela. Sedangkan Narita duduk di samping Bayu. Sesaat mereka semua terdiam. Resi Jagabaya menarik napas panjang, dan matanya menatap ke luar melalui jendela yang terbuka.
“Paman, aku sempat datang ke Puri Watu Ukir. Tapi...,” Narita tidak melanjutkan kata-katanya.
“Aku tahu. Seorang cantrikku yang berhasil lolos, telah memberitahukan tentang kejadian itu. Terima kasih, kalian telah menguburkan mereka,” selak Resi Jagabaya, agak tertekan suaranya.
“Kalau saja aku tidak....”
“Sudahlah, Narita. Tidak perlu menyesali semua yang telah terjadi. Apa yang terjadi di dunia ini sudah kehendak-Nya. Semua itu sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa, dan itu namanya takdir. Kita tidak mampu menolak, apalagi untuk melawan,” kembali Resi Jagabaya menyelak cepat.
Mereka kembali terdiam beberapa saat. Pada saat itu Ki Rungkut datang dengan tergopoh-gopoh. Napasnya tampak terengah-engah seperti baru saja berlari jauh. Resi Jagabaya, Narita dan Bayu langsung beranjak bangkit.
“Ada apa, Ki Rungkut?” tanya Resi Jagabaya.
“Ketiwasan, Resi. Paksi..,” Ki Rungkut segera menarik napas panjang.
“Ada apa dengan Paksi?” desak Resi Jaga baya.
“Anak itu pergi dengan sepuluh orang. Katanya mereka hendak membebaskan Sariti yang ditawan oleh Iblis Topeng Mayat,” sahut Ki Rungkut.
“Sudah kuduga, dia pasti sudah mendengar pembicaraan kita kemarin malam,'' gumam Resi Jagabaya sambil mengangguk-angguk pelan.
“Bagaimana, Resi? Anak itu pasti akan celaka.”
“Hm..., hanya orang yang memiliki tenaga dalam sempurna, yang mampu menembus Lorong Maut. Aku tidak tahu, siapa lagi yang sanggup selain Adik Galadipa dan aku sendiri. Lorong Maut itu hanya bisa dilalui oleh orang orang yang pernah mandi diSendang Sembilan Mata Dewa. Di samping harus memiliki tenaga dalam sempurna dan penguasaan hawa murni yang sempurna di dalam perut,” kata Resi Jagabaya setengah bergumam.
“Di mana letak tempat mereka, Resi?” tanya Bayu menyelak.
“Di Puncak Bukit Bojong sebelah Selatan. Tepatnya di seberang jurang yang membelah puncak bukit itu,” sahut Resi Jagabaya.
“Aku yang akan pergi ke sana!” Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat cepat bagai kilat. Resi Jagabaya tidak bisa mencegah lagi. Dia hanya bisa mencegah Narita yang mau ikut pergi.
“Aku harus ke sana juga, Paman Resi,” kata Narita memohon.
“Bukan hanya kau, tapi aku juga,” sahut Resi Jagabaya seraya menolah pada Ki Rungkut. “Ki Rungkut, bagaimana hal ini bisa terjadi? Bukankah Sariti sudah tewas?”
“Maaf, Resi. Anakku malu mengatakan yang sebenarnya. Dia merasa bertanggung jawab dan tidak ingin dikatakan sembrono, karena tidak bisa menjaga keselamatan istrinya,” sahut Ki Rungkut. “Aku sendiri baru tahu tadi. Salah seorang bawahanku yang mengatakannya...“
“Cari penyakit!” dengus Resi Jagabaya.
“Maafkan anakku, Resi,” ucap Ki Rungkut.
“Ah, sudahlah. Aku harap dia belum sempat melakukan kebodohan. Terlalu berbahaya bagi dirinya sendiri, jika sampai mencoba menembus Lorong Maut, tanpa mensucikan diri lebih dulu di Sendang Sembilan Mata Dewa.”
Sejenak Resi Jagabaya menoleh pada Narita, kemudian dia melangkah ke luar diikuti oleh gadis itu. Sedangkan Ki Rungkut pun bergegas mengikuti dari belakang. Resi Jagabaya segera berhenti melangkah setelah sampai di beranda depan. Dia menoleh pada Ki Rungkut.
“Sebaiknya kau tetap di sini. Kalau saudaraku datang, katakan bahwa aku ke Bukit Bojong,” kata Resi Jagabaya berpesan.
“Aku ikut, Paman,” selak Narita.
“Jangan, kau diperlukan di sini,” cegah Resi Jagabaya.
Narita masih ingin memaksa, tapi dia mengurungkan niatnya. Gadis itu segera sadar, bahwa dia tidak mungkin mampu menghadapi Iblis Topeng Mayat. Narita pun segera mengerti, memang ada kemungkinan Iblis Topeng Mayat menjarah ke desa ini, di saat Resi Jagabaya pergi.
Sementara itu Bayu baru saja tiba di Puncak Bukit Bojong. Tampak dia berdiri tegak di tepi jurang yang tidak begitu dalam, dan tidak lebar. Telinganya yang tajam, langsung bisa mengetahui kalau di sekitarnya ada beberapa orang yang tengah mengawasi.
“Keluarlah kalian, jangan bersembunyi seperti tikus!” seru Bayu keras.
Sebentar setelah teriakan Bayu itu, dari balik batu dan pepohonan, keluarlah sepuluh orang yang datang ke puncak bukit itu bersama Paksi. Wajah-wajah mereka kelihatan ketakutan.
“Siapa kalian?” tanya Bayu.
“Kami..., kami bekerja untuk Kepala Desa Batang Hulu,” sahut salah seorang terbata-bata.
“Kalian datang bersama Paksi?”
“Benar.”
“Di mana Paksi?”
“Den Paksi sudah menyeberangi jurang, tapi dia hilang digulung angin.”
Hm..., sebaiknya kalian cepat tinggalkan tempat ini.”
Maka tanpa menunggu perinlah dua kali, sepuluh orang itu bergegas meninggalkan Puncak Bukit Bojong itu. Sedangkan Bayu segera mengedarkan pandangannya berkeliling setelah orang-orang itu tidak terlihat lagi. Dia sedikit memiringkan kepalanya ke kiri. Pendengarannya yang tajam, kembali mendengar tarikan napas lembut yang hampir tidak terdengar. Matanya tertuju pada sebongkah batu hitam yang menjorok keluar dari dinding tebing.
“Siapa pun kau, keluarlah!” seru Bayu lantang.
Seketika tampaklah sebuah bayangan biru berkelebat, keluar dari balik batu itu. Sebentar saja, di depan Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri seorang perempuan tua yang agak bungkuk dan memakai jubah berwarna biru terang. Bayu memperhatikan sebentar wanita tua itu.
“Pendengaranmu sangat tajam, Anak Muda. Apa maksudmu datang ke tempat ini?” suara perempuan tua itu agak serak.
“Kau pasti bukan Iblis Topeng Mayat,” kata Bayu tidak menghiraukan pertanyaan wanita tua itu.
“Benar, aku Resi Puspita Rani.”
“Apakah kau juga dari Puri Watu Ukir?”
“Benar.”
“Hm, aku rasa tujuan kita datang ke tempat ini sama. Tapi aku datang hanya untuk menunaikan kewajiban sebagai pendekar.”
“Kau tadi menyebut nama Paksi, apakah kau kenal dengannya?”
“Tidak, aku hanya mendengar namanya saja.”
“Anak muda, aku tahu kau memiliki ilmu yang tidak rendah. Tapi Iblis Topeng Mayat bukanlah orang sembarangan. Aku sendiri dan saudara-saudaraku belum tentu dapat mengalahkannya. Maaf, bukannya aku merendahkan kepandaianmu. Tapi kalau kau tidak mempunyai urusan yang penting dengan wanita iblis itu, sebaiknya jangan kau teruskan niatmu,” kata Nyai Resi Puspita Rani memperingatkan.
“Terima kasih, tapi aku sudah berjanji pada seseorang...“
“Siapa?”
“Narita.”
“Oh...!” Nyai Resi Puspita Rani mendesah kaget.
“Di mana dia?”
“Di Desa Batang Hulu, bersama pamannya.”
“Resi Jagabaya...?”
Bayu hanya mengangguk.
“Ah, gadis yang malang. Seharusnya dia tidak perlu terlibat sampai sejauh ini. Dia hanya korban dari rasa dendam orang-orang tuanya,” gumam Nyai Resi Puspita Rani mendesah lirih.
Bayu masih tetap diam sambil memperhatikan wanita tua di depannya itu.
“Anak muda, jika kau benar-benar ingin menghadapi Iblis Topeng Mayat, kau tidak bisa menghadapinya di daerahnya. Terlalu berbahaya! Dulu aku dan saudara-saudaraku pernah bertarung dengannya di Puncak Bukit Bojong ini. Kami hampir berhasil mengalahkannya, tapi dia berhasil melompati jurang itu. Kekuatannya akan berlipat ganda bila berada didaerahnya sendiri. Tubuhnya kebal terhadap segala macam senjata dan racun,” kata Nyai Resi Puspita Rani menjelaskan.
“Hm...,” Bayu hanya menggumam tidak jelas. Keningnya berkerut dengan mata agak menyipit.
“Di samping itu, kau tidak mungkin bisa menembus Lorong Maut sebelum mensucikan diri di Sendang Sembilan Mata Dewa. Itu pun kau masih harus tirakat selama tujuh hari tujuh malam sambil berendam di dalam sendang itu,” lanjut Nyai Resi Puspita Rani.
“Hm, apakah Iblis Topeng Mayat pernah melakukan hal itu?” tanya Bayu.
“Ya, bahkan dia melakukannya selama empat puluh hari empat puluh malam. Sehingga tubuhnya menjadi kebal terhadap segala jenis senjata dan racun. Di samping itu, dia juga memiliki ilmu yang bisa menyatukan dan menghidupkannya kembali dari kematian.”
“Ilmu 'Batara Karang'...?!” desah Bayu.
“Benar.”
“Tidak semua orang bisa memiliki ilmu itu. Dan mereka yang telah memilikinya tidak bisa dibunuh, juga selalu tampak muda. Dia tidak akan pernah mati, selama kakinya masih berpijak pada tanah,” kata Bayu setengah bergumam.
“Benar, Anak Muda. Itulah sebabnya yang membuat aku dan saudara-saudaraku enggan berurusan dengannya. Sekali berurusan, berarti menyerahkan nyawa sia-sia.”
Bayu kembali terdiam. Dia tidak menyangka sama sekali kalau Iblis Topeng Mayat memiliki ilmu yang sangat langka. Pantas saja tak seorang pun yang mampu mengalahkannya, bahkan para resi dari Puri Watu Ukir sendiri tidak berdaya menghadapinya.
“Di mana letak Sendang Sembilan Mata Dewa itu?” tanya Bayu.
“Di seberang jurang itu.”
“Heh! Untuk memasukinya harus mandi dulu disana, lalu bagaimana mungkin bisa mencapai ke sana?”
“Harus bisa melawan arus dan menembus Lorong Maut. Dan hanya orang yang memiliki ilmu dan tenaga dalam sempurna, serta hawa murni terpusat pada perut secara sempurna saja yang mampu menembus Lorong Maut itu. Tapi nampaknya hal itu pun tidak mudah, karena Lorong Maut itu sudah dikuasai oleh Iblis Topeng Mayat”
Sejenak Bayu termenung. Dia tidak tahu apakah ilmu tenaga dalamnya sudah mencapai taraf sempurna atau belum. Dia memang bisa memusatkan hawa murni pada perutnya, tapi hal itu tidak bisa bertahan lama, juga dia tidak tahu tingkatannya. Bayu belum pernah mencobanya sekalipun. Pendekar Pulau Neraka itu jadi ragu-ragu juga. Beberapa kali dia melayangkan pandangannya ke seberang jurang.
Semakin dia memikirkan kata-kata perempuan berjubah biru itu, semakin besar rasa penasaran dan keinginannya untuk mencoba. Kata-kata yang diucapkan Nyai Resi Puspita Rani tadi, membuatnya merasa ditantang. Bayu memang belum pernah mencoba kepandaiannya sampai pada tingkatan paling tinggi yang dimilikinya selama ini.
Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu melangkah mendekati bibir jurang Tatapan matanya tajam, menembus langsung keseberang jurang didepannya. Mungkin inilah saatnya dia mengukur tingkat kepandaiannya sendiri. Dia seorang pendekar yang amat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Tapi belum tahu, sampai di mana tingkat kepandaian yang dimilikinya.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka itu melentingkan tubuhnya menyeberangi jurang itu. Nyai Resi Puspita Rani ingin mencegah, tapi terlambat. Bayu sudah berada di udara, melompati jurang yang membelah Puncak Bukit Bojong itu.
Hanya dengan satu kali salto di udara, Bayu mendarat di seberang jurang dengan manis sekali. Tapi begitu kakinya menapak tanah, beberapa puluh anak panah hitam meluncur deras ke arahnya. Seketika Pendekar Pulau Neraka itu kembali melentingkan tubuhnya!
“Hiya...! Hiya...!”
Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan dan jungkir balik di udara. Dan anak-anak panah hitam itu pun berdesingan di sekitar tubuhnya. Tak satu pun yang berhasil menjamah tubuh Bayu. Sejenak dia menarik napas lega, ketika hujan anak panah hitam itu berhenti.
Belum lagi Bayu sempat melakukan apa-apa, mendadak secercah cahaya bagai kilat berkelebat ke arahnya. Pendekar Pulau Neraka itu tersentak kaget. Secepat kilat dia mengibaskan tangan kanannya ke arah ujung cahaya bagai kilat itu. Seketika secercah cahaya keperakan melesat cepat dari pergelangan tangan kanannya.
Glar!
Suara ledakan keras langsung terdengar menggelegar begitu senjata cakra bersegi enam keperakan menghantam cahaya bagai kilat itu. Sejenak Bayu mengangkat tangan kanannya ke udara, dan Cakra Maut itu pun kembali melesat ke arahnya, lalu menempel di pergelangan tangannya.
“Pagar Cahaya Kilat...,” desis Bayu pelan.
Bayu memang pernah membaca dari salah satu buku kepunyaan gurunya di Pulau Neraka. Buku itu berisi tentang ilmu 'Pagar Cahaya Kilat'. Sebuah ilmu yang dapat membentengi diri, atau suatu wilayah dari serangan lawannya. Pagar yang tidak ketahuan bentuknya, tapi sukar untuk ditembus. Orang yang terkena sambaran cahaya itu, bisa langsung hangus tubuhnya.
“Bayu, jika kau menemukan benteng yang terbuat dari ilmu 'Pagar Cahaya Kilat', kau harus menghadapi dengan mengosongkan jiwa, dan penyaluran hawa murni pada pusat tubuhmu. Putar balik aliran darahmu, dan pergunakan pernapasan pada perut. Ilmu 'Pagar Cahaya Kilat' hanya menyerang pada benda yang memiliki nyawa dan berdarah panas terisi jiwa...,” Bayu teringat kata-kata gurunya, Eyang Gardika.
Maka tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Pulau Neraka itu segera menuruti kata-kata gurunya tersebut. Tahap demi tahap dia melakukan semua yang dikatakan oleh gurunya untuk menghadapi benteng dari ilmu 'Pagar Cahaya Kilat'. Saat itu juga Bayu merasakan tubuhnya ringan bagai kapas. Dan jiwanya bagaikan terbang keluar dari raganya.
Seluruh tubuhnya terasa dingin, Bayu merasakan dirinya seperti mati. Tapi otaknya masih tetap bekerja, penglihatan serta pendengarannya pun tidak terganggu. Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu berjalan pelan-pelan. Tampak secercah cahaya kilat tertuju ke arahnya, dan langsung mengenai tubuhnya. Namun Pendekar Pulau Neraka itu tidak merasakan apa-apa. Dan cahaya bagai kilat itu pun seperti teredam di dalam tubuhnya.
Beberapa kali tubuhnya tersambar cahaya kilat, tapi Bayu hanya tersenyum. Dia terus melangkah pelahan-lahan menembus pagar benteng dari ilmu 'Pagar Cahaya Kilat'. Sambaran-sambaran kilat tersebut baru berhenti setelah Pendekar Pulau Neraka itu berjalan sejauh lima batang tombak. Bayu segera memulihkan kembali kondisi tubuhnya.
“Hhh..., terima kasih, Eyang,” desah Bayu lirih.
Sementara itu, di seberang jurang sana, Nyai Resi Puspita Rani hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Jelas dia melihat kalau lidah kilat itu menyambar tubuh Bayu, tapi Pendekar Pulau Neraka itu tidak terpengaruh sama sekali. Resi Puspita Rani menahan napasnya ketika mendengar suara gemuruh dari seberang jurang. Tampak Bayu berdiri tegak dengan pandangan mata lurus ke depan. Saat itu Bayu merasakan, angin bertiup semakin kencang dan bergulung gulung di sekitarnya.
“Hm..., inikah yang dinamakan Lorong Maut?” gumam Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu segera mengerahkan tenaga dalamnya dengan penuh, lalu pelahan-lahan dia memusatkan hawa murni pada perutnya. Pada saat itu, di depannya tampak gulungan angin yang membentuk seperti lorong sebuah goa. Debu dan kerikil pun bergulung-gulung berputar membentuk sebuah lorong bayangan. Bayu tetap berdiri tegak dengan mata tajam memandang lurus ke depan. Dia mulai merasakan adanya satu tarikan kuat yang menyedot tubuhnya ke dalam gumpalan angin itu.
Bayu terus berusaha menahan tarikan itu, tapi sedikit demi sedikit kakinya mulai bergeser ke depan. Suara gemuruh semakin jelas terdengar memekakkan telinga. Bayu merasakan tarikan itu semakin kuat, ia tidak kuasa lagi menahannya. Seketika tubuhnya terpental masuk ke dalam lingkaran angin yang berputar membentuk sebuah lorong bagai goa itu.
“Hiyaaa...!” tiba-tiba Bayu berteriak keras.
Tubuhnya mulai berputar mengikuti jalannya putaran angin itu. Sekuat tenaga Pendekar Pulau Neraka itu mengerahkan tenaga dalam, dan menjaga hawa murni agar tetap berada di perut. Memang suatu pekerjaan yang sangat sukar, menyalurkan dua kekuatan sekaligus dalam satu tubuh pada waktu yang bersamaan. Namun Pendekar Pulau Neraka itu tidak mau menyerah begitu saja.
“Hih! Aaakh...!”
Bayu merasakan dirinya seperti terbanting ke dalam sebuah sumur yang sangat dalam dan tidak berujung. Pandangannya jadi gelap, dan seluruh tubuhnya terasa lemah tak bertenaga. Sekuat tenaga dia terus berusaha mempertahankan hawa murni pada perutnya, dan mengempos tenaga dalamnya.
Semakin dia bertahan, semakin kuat daya tarik yang menyedot dan mengombang-ambingkan tubuhnya. Bayu merasakan seperti dilemparkan oleh tangan-tangan raksasa. Terhempas dari satu dinding batu yang satu ke dinding batu lainnya.
Pendekar Pulau Neraka itu segera mencopot senjata cakra bersegi enam keperakan, dan menggenggamnya erat-erat pada salah satu ujungnya. Lalu dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, dia memutar tubuhnya dengan cepat.
“Aaargh...!”
Dari mulutnya terdengar suara raungan yang sangat dahsyat. Disusul kemudian dengan terdengarnya suara ledakan-ledakan keras, disertai gemuruh yang amat sangat. Seketika itu juga, Bayu merasakan tubuhnya bagai terhempas dengan keras. Dan dia meringis ketika sesuatu yang keras menghantam punggungnya. Pendekar Pulau Neraka itu bergulingan, dan punggungnya membentur sebongkah batu cadas yang sangat besar, hingga batu itu hancur berkeping-keping.
“Hup!”
Bayu segera bangkit setelah menyadari dirinya kembali berpijak pada tanah. Sebentar dia memandang berkeliling. Hatinya agak tercekat, begitu menyadari bahwa sekelilingnya hanya berupa daerah berbatu dan berpasir yang luas bagai tak bertepi. Sejauh mata memandang, hanya kegersangan yang tampak.
“Hhh! Di mana aku?” Bayu bertanya-tanya sendiri.
“Kau berada di tempatku, Anak Muda...,” terdengar suara lembut namun kecil dan serak.
Bayu langsung membalikkan tubuhnya. Tampak tidak jauh darinya berdiri seorang wanita cantik dengan rambut hitam panjang terurai. Wanita itu mengenakan baju hijau yang ketat, sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping dan indah.
“Siapa kau?” tanya Bayu dengan tatapan mata penuh selidik.
“Bukankah kau datang mencariku?” wanita itu balik bertanya.
Pendekar Pulau Neraka itu mengerutkan keningnya. Dia menempelkan kembali senjata Cakra Maut ke pergelangan tangan kanannya. Bayu mengamati wanita itu dari ujung kepala, hingga ke ujung kaki.
“Apakah kau Iblis Topeng Mayat?” tanya Bayu ingin memastikan.
“Ha ha ha...!” wanita itu terbahak-bahak. “Namaku Pramurti, dan aku memang biasa disebut dengan nama Iblis Topeng Mayat”
Wanita yang mengaku bernama Pramurti itu lalu merogoh sabuk yang membelit pinggangnya. Dia mengeluarkan sebuah topeng lemas berwarna pucat bagai mayat Dan topeng itu pun dilemparkan begitu saja.
“Kau sudah berada di tempatku, Anak Muda. Aku tidak perlu lagi menggunakan benda itu,” kata Pramurti.
Bayu diam saja. Dia teringat dengan kata-kata Resi Puspita Rani. Wanita berjuluk Iblis Topeng Mayat ini mempunyai ilmu 'Batara Karang' yang sangat tangguh dan tidak sembarang orang bisa memilikinya. Ilmu itu selain bisa menghidupkan dirinya sendiri dari kematian, juga bisa memperlambat ketuaan. Tidak heran kalau orang yang memiliki ilmu itu tetap kelihatan muda, meskipun umurnya sudah melebihi seratus tahun.
“Selama ini tidak ada seorang pun yang bisa menembus Lorong Maut dalam keadaan hidup tanpa seijinku. Dan kau telah berhasil melewatinya, Anak Muda. Aku senang..., tapi kau harus mati!”
Setelah berkata begitu, Pramurti langsung melompat sambil mengirimkan serangan yang cepat dan mendadak. Bayu sedikit terperangah. Namun dengan cepat dia melompat ke belakang untuk menghindarinya. Serangan-serangan Iblis Topeng Mayat itu sangat cepat dan dahsyat, sehingga membuat Bayu sedikit kewalahan. Hingga pada satu serangan kilat dan beruntun, Bayu tidak bisa menghindarinya. Dan satu pukulan telak, segera bersarang di dadanya. Pendekar Pulau Neraka itu terdorong ke belakang beberapa langkah.
“Mampus kau! Hiyaaa...!”
“Uts! Hup...!”
Bayu langsung mengetatkan tangan kanannya pada saat Pramurti melompat menerjangnya. Seketika Cakra Maut-nya melesat dengan cepat. Pramurti terperangah sesaat namun dia terlambat untuk berkelit Dan senjata cakra itu pun berhasil membabat lehernya sampai buntung. Tubuh wanita itu kontan terjungkal ke tanah dengan kepala terpisah. Namun benar-benar di luar dugaan! Kepala yang sudah terpisah itu bisa menyatu kembali dengan lehernya, dan wanita itu bangkit lagi dengan tegar. Tidak ada luka sedikit pun pada lehernya!
“Ha ha ha...!” Iblis Topeng Mayat langsung tertawa terbahak-bahak.
“Gila! Ilmu 'Batara Karang' benar-benar luar biasa!” desah Bayu terperangah.
“Kau tidak akan bisa membunuhku, Anak Muda! Ha ha ha...!”
Sejenak Bayu menggeretakkan rahangnya, lalu kembali mengecutkan senjatanya. Cakra Maut itu pun meluncur bagaikan kilat. Namun Pramurti diam saja dan tidak berusaha berkelit sedikit pun. Cakra Maut itu kembali menebas kepala wanita itu, namun belum juga kepala itu sampai jatuh, tangan Pramurti sudah menyanggahnya, dan kepala itu langsung menyatu kembali seperti semula!
Beberapa kali Bayu mengibaskan senjatanya, tapi Iblis Topeng Mayat tidak berkelit sedikit pun. Hampir seluruh tubuhnya terpotong-potong, tapi dengan cepat bisa menyatu kembali. Tidak ada luka sedikit pun pada tubuhnya. Bayu jadi kewalahan juga. Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya. Selama wanita itu masih menyentuh tanah, tidak akan mungkin bisa mati.
“Apa akalku sekarang..." gumam Bayu bertanya pada dirinya sendiri.
“Ayo, Anak Muda! Apa lagi yang kau andalkan?” tantang Pramurti pongah.
Bayu hanya diam saja. Otaknya terus bekerja keras mencari jalan untuk membunuh wanita itu. Dia tidak ingin membuang tenaga percuma tanpa hasil. “Harus ada cara! Harus...!” dengus Bayu dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka kali ini benar-benar memeras otak untuk bisa mengalahkan lawannya. Dia tidak mungkin hanya mengandalkan kekuatan dan kedahsyatan jurus-jurusnya saja. Lawan yang dihadapinya sekarang, bukanlah lawan yang biasa.
“Hm..., aku ada akal! Harus dilakukan dengan cepat dan tidak membuatnya curiga. Ini kesempatan bagiku selagi dia lengah dan bangga!” gumam Bayu dalam hati.
“Ayo, Anak Muda. Apakah kau gentar?” ejek Iblis Topeng Mayat meremehkan.
Sejenak Bayu merogoh sakunya, dan mengeluarkan bintang perak tiga buah. Selama ini dia tidak pernah menggunakan bintang perak itu sebagai senjata dalam pertarungan. Tapi kali ini dia terpaksa menggunakannya. Dan itu hanya sebagai pancingan saja.
“Hiya...!”
Dengan cepat Bayu melontarkan bintang-bintang perak itu ke arah kaki Iblis Topeng Mayat. Namun wanita berbaju hijau itu hanya tertawa, dan bersikap meremehkan. Dia hanya melompat menghindari lontaran senjata bintang perak itu, tanpa membalas menyerang. Namun saat tubuh wanita itu berada diudara, dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan tangan kanannya.
Wutt...!
Senjata Cakra Maut kembali melesat cepat bagaikan kilat. Sedangkan Pramurti yang tengah diliputi kesombongan, menganggap enteng senjata itu. Dia membiarkan saja Cakra Maut bersegi enam itu menebas lehernya.
“Hiyaaa...!”
Bagaikan kilat, Bayu melompat begitu leher Iblis Topeng Mayat terpenggal. Dan dengan cepat, kedua tangannya menyambar rambut serta pinggang wanita itu. Pendekar Pulau Neraka itu berputar dua kali diudara, sebelum kakinya menjejak pada dahan pohon yang hanya satu-satunya tumbuh di daerah gersang berbatu itu. Bayu langsung mengikat rambut yang panjang itu pada dahan yang tinggi. Lalu dia meletakkan tubuh wanita itu pada dahan satunya lagi. Dia mengikat tubuh tanpa kepala itu dengan sulur-sulur pohon yang banyak menjuntai. Setelah selesai, Pendekar Pulau Neraka kembali meluruk turun.
“Bocah setan! Lepaskan aku! Licik! Curang...!” Pramurti yang kepalanya sudah terpisah dari badannya itu menjerit-jerit memaki.
“Terimalah kematianmu, perempuan iblis!” seru Bayu merasa menang dengan kecerdikannya.
“Kubunuh kau, Bocah!”
“Ayo, bunuhlah aku kalau memang kau mampu!” tantang Bayu balas mengejek.
“Setan...! Keparat! Lepaskan aku! Kita bertarung sampai mati!”
“Tidak perlu, sebentar lagi kau juga akan mati!”
“Bocah setan! Keparat! Kubunuh kau...! Kubunuh kau... keparat...!” jerit Pramurti memaki-maki.
Bayu tidak mempedulikan teriakan-teriakan Iblis Topeng Mayat. Dia sudah tahu, selama tubuh wanita itu masih berada di atas pohon, tidak bisa berbuat banyak lagi. Ilmu 'Batara Karang' memang sangat menguntungkan, tapi kalau keadaannya sudah seperti Iblis Topeng Mayat sekarang ini, selamanya akan tetap begitu. Tergantung di atas pohon, antara mati dan hidup.
“Nyai Ratu...!”
Bayu langsung menoleh. Tampak empat orang gadis cantik berbaju hijau berlarian menghampiri. Dengan cepat Bayu melompat menghadang. Empat orang gadis itu kelihatan terkejut begitu ada, seorang pemuda tampan memakai baju dari kulit harimau, menghadang di depan. Dan tanpa dijelaskan, mereka sudah bisa menebak, apa yang telah terjadi barusan di tempat itu. Mereka memang sudah pernah bentrok dengan pemuda berbaju kulit harimau itu sebelumnya.
“Widarti, turunkan Nyai Ratu!” perintah salah seorang.
Gadis yang dipanggil Widarti, langsung melesat ke atas. Namun dengan cepat Bayu mengebutkan tangan kanannya ke arah gadis itu. Seketika senjata Cakra Maut di pergelangan tangannya mencelat cepat bagaikan kilat Widarti yang tengah berada di udara, terperangah. Buru-buru dia melurukkan tubuhnya kebawah. Namun dengan cepat Bayu menerimanya dengan mengerahkan jurus 'Pukulan Tapak Beracun'.
“Akh!” gadis itu langsung memekik tertahan.
Dan begitu Cakra Maut kembali menempel dipergelangan tangan, dengan cepat Bayu melontarkannya kembali ke arah tiga orang gadis lainnya. Sementara itu Widarti hanya sempat bergerak sedikit, lalu diam dan tidak berkutik lagi. Di dadanya tertera gambar telapak tangan berwarna hitam. Sedangkan dari mulut dan hidungnya mengalir darah kental kehitaman.
“Aaakh...!”
Kembali terdengar jeritan melengking tinggi. Tampak salah seorang sudah menggelepar dengan dada robek terkena sabetan Cakra Maut. Sedangkan dua orang lagi berhasil menghindar. Namun Bayu tidak lagi memberi kesempatan. Dia segera menerjang dengan mengerahkan jurus andalannya, jurus 'Kelelawar Maut'. Kemudian disusul dengan jurus 'Pukulan Tapak Beracun' yang sangat dahsyat.
Dua orang gadis murid Iblis Topeng Mayat itu benar-benar kewalahan, menghadapi gempuran-gempuran Pendekar Pulau Neraka yang sangat dahsyat dan tidak kenal ampun itu. Sedangkan dua orang lagi sudah tewas tanpa mampu melakukan perlawanan.
“Winarni, awas...!” Teriakan peringatan itu terdengar keras, namun gadis yang diperingati hanya sempat mendongak kaget. Dan satu totokan telak bersarang di dadanya. Seketika itu gadis yang dipanggil Winarni itu jatuh ke tanah.
Setelah menotok satu orang, Bayu langsung menyerang satunya lagi. Jurus 'Pukulan Tapak Beracun'-nya begitu dahsyat. Gadis itu tampak tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya mampu berkelit dan menghindar sebisanya. Dan pada satu kesempatan, Bayu berhasil mendaratkan tendangan keras ke arah perut, disusul dengan satu pukulan keras ke dada.
“Akh!” seketika gadis itu memekik tertahan. Dan sebelum tubuhnya ambruk, Pendekar Pulau Neraka segera melayangkan tangannya ke arah leher. Tak pelak lagi, kepala gadis itu terpisah dari lehernya. Setelah itu, Bayu langsung melompat ke arah gadis yang ditotok jalan darahnya di bagian dada. Gadis itu tampak mendelik, dan berusaha menggeliat, namun tubuhnya tidak mampu lagi digerakkan.
“Di mana kau sembunyikan Paksi dan Sariti?” tanya Bayu tajam.
Gadis itu tidak menyahut. Dia tetap mendelik saja dengan marah.
“Hm..., memang tidak ada gunanya bertanya padamu,” gumam Bayu pelan. “Tapi kau akan segera merasakan, bagaimana tersiksanya mati secara pelahan-lahan!”
Bayu kemudian mengangkat tubuh gadis itu, dan meletakkannya di atas sebongkah batu yang cukup besar. Lalu dia mengambil batu lagi. Batu sebesar anak kerbau itu segera ditumpangkan pada tubuh gadis itu. Bayu pun kembali menotok jalan darah pada leher, sehingga gadis itu bisa menggerak-gerakkan lehernya, dan bisa bersuara lagi.
“Panas matahari akan memanggangmu, dan dinginnya malam akan membekukanmu. Kau akan merasakan bagaimana tersiksanya mati secara pelahan-lahan,” desis Bayu dingin.
“Bunuhlah aku, keparat!” bentak gadis itu.
“Kau terlalu enak kalau dibunuh, Manis. Lihat, guru dan temanmu sudah mati. Aku akan memenuhi keinginanmu, jika kau mau menunjukkan di mana kau sembunyikan Paksi dan Sariti?”
Gadis itu tidak segera menjawab. Rupanya dia sedang mempertimbangkan tawaran Pendekar Pulau Neraka itu. Matanya tampak beredar memandangi mayat tiga orang temannya, dan mayat gurunya yang terikat di dahan pohon. Dia tidak tahu, apakah gurunya sudah mati atau belum. Gurunya tidak akan mati kalau kembali menyentuh tanah.
“Kau tidak sayang dengan kecantikanmu?” kembali Bayu menawarkan.
“Baiklah, tapi kau harus membebaskanku?” sahut gadis itu menyerah.
“Itu soal mudah, yang penting sekarang tunjukkan di mana Paksi dan Sariti berada.”
“Di dalam ruangan batu itu,” jawab gadis itu sambil menunjuk sebongkah batu besar bagai bukit, dengan sudut matanya.
Bayu segera menoleh ke arah batu itu. Cukup besar dan tinggi. Pendekar Pulau Neraka itu lalu melangkah menghampiri batu besar dan hitam berlumut itu. Sejenak dia mengamati, keningnya tampak berkerut. Dan dia berpaling kembali pada gadis yang masih tertindih sebongkah batu besar itu.
“Geser tonggak batu yang berada di kananmu ke kiri,” kata gadis itu memberitahu.
Bayu segera menggeser tonggak batu yang berada di kanannya ke sebelah kiri. Seketika terdengar suara bergemuruh! Tampak dinding batu di depannya bergerak ke arah kanan. Bayu berkerut juga keningnya melihat batu itu ternyata berongga. Tak lama kemudian, terlihat Paksi dan Sariti terikat tak berdaya di dalam rongga batu itu.
Pendekar Pulau Neraka itu bergegas masuk dan membebaskan ikatan mereka. Bayu agak heran juga melihat Paksi tidak bisa bergerak, meskipun matanya bergerak-gerak. Pendekar Pulau Neraka itu segera memeriksa tubuh putra kepala desa itu. Dan jari-jari tangannya langsung bergerak cepat di beberapa bagian tubuh Paksi. Sesaat kemudian, pemuda itu pun mampu bergerak kembali. Dia bergegas bangkit, dan memeluk Sariti yang masih lemas.
“Cepat keluar dari sini,” kata Bayu memerintah.
Paksi segera memondong tubuh gadis yang baru saja dinikahinya, dan membawanya keluar dari ruangan batu itu. Sedangkan Bayu mengikutinya dari belakang. Dan begitu mereka sampai di luar, dinding batu itu kembali bergerak menutup. Bayu menghampiri gadis yang masih tergolek dengan tubuh tertindih batu.
“Apa permintaanmu sekarang?” tanya Bayu memenuhi janjinya.
“Bunuhlah aku!” sahut gadis itu tegas.
“Heh!” Bayu tersentak kaget. Sungguh dia tidak menyangka kalau gadis itu tetap pada permintaannya. Semula dia mengira, gadis itu pasti minta dibebaskan. Bayu terus memandangi setengah tidak percaya. Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu mengangkat batu yang menindih tubuh gadis itu.
Bayu segera melangkah mundur, setelah dia membebaskan totokan pada gadis cantik berbaju hijau itu. Sementara Paksi dan Sariti hanya memperhatikan saja. Mereka tampak lemas, setelah terkurung di dalam ruangan batu yang udaranya sedikit. Sementara gadis berbaju hijau itu sudah berdiri. Dia menatap tiga orang di depannya. Dan seketika itu juga....
Prak!
“Hey!” Bayu langsung terperanjat melihat kenekatan gadis itu. Dia memukul kepalanya sendiri hingga retak. Sejenak gadis itu menggelepar, lalu diam dan tidak bergerak-gerak lagi. Pendekat Pulau Neraka itu hanya menarik napas panjang, dan membalikkan tubuhnya. Dia lalu mengajak Paksi dan Sariti untuk meninggalkan tempat itu.
Mereka pun melangkah menuju lingkaran angin yang membentuk sebuah lorong goa. Tubuh mereka langsung tergulung dan terhempas, membuat kesadaran mereka melayang. Bayu merasakan perjalanan menembus lorong ini tidak seperti dia datang tadi. Kali ini dia merasakan seperti terbang terbawa angin. Tak lama kemudian, tubuhnya seperti terlontar dari suatu ketinggian, dan jatuh terhempas dengan lembut di atas rerumputan.
“Paksi...!”
“Kakang Bayu...!”
Bayu segera tersenyum ketika kesadarannya mulai pulih kembali. Tampak di seberang jurang sana, beberapa orang telah menanti. Di antara mereka terlihat tiga orang resi dari Puri Watu Ukir, Kepala Desa Batang Hulu, dan Narita, serta beberapa orang lagi.
“Kau masih mampu melompati jurang ini, Paksi?” tanya Bayu.
“Rasanya aku masih mampu, tapi Sariti....”
“Biar aku yang membawanya.”
Paksi lalu menyerahkan istrinya pada pemuda berbaju kulit harimau itu. Kemudian dia mengkonsentrasikan dirinya sebentar, dan melompat ke seberang jurang. Dia berputar dua kali di udara, dan hinggap dengan manis di seberang jurang.
Sedangkan Bayu pun segera melentingkan tubuhnya sambil memondong Sariti. Sama sekali dia tidak berputar di udara. Pendekar Pulau Neraka itu bagaikan terbang saja, melintasi mulut jurang yang menganga. Dan dengan mulus, kakinya hinggap diseberang.
“Sariti, Anakku...,” seorang wanita tua menyeruak dari kerumunan orang-orang itu.
“Ibu....”
Sariti langsung berlari begitu Bayu menurunkannya dari pondongannya. Anak dan ibu itu saling berpelukan dan bertangisan. Sementara Ki Rungkut segera mendekati anaknya dan menepuk pundaknya beberapa kali. Mereka juga saling berpelukan. Tampak kedua mata Ki Rungkut berkaca-kaca.
“Bagaimana kau dapat mengalahkan Iblis Topeng Mayat, Kakang Bayu?” tanya Narita yang tahu-tahu sudah berada di samping Pendekar Pulau Neraka itu.
“Ceritanya panjang,” sahut Bayu.
“Kau mau menceritakannya padaku, kan?” pinta Narita agak manja.
Pendekar Pulau Neraka itu hanya tersenyum. Beberapa saat kemudian, semua orang yang berada di Puncak Bukit Bojong, mulai bergerak meninggalkan tempat itu. Sementara Bayu masih berdiri saja sambil memandang ke seberang jurang. Dia masih belum mengerti dengan sikap salah seorang gadis murid Iblis Topeng Mayat, yang bunuh diri dengan memecahkan kepalanya sendiri.
Belum pernah dia menemukan seorang yang begitu setia, dan rela mati bersama guru dan teman-temannya. Padahal dia bisa saja meminta untuk dibebaskan, dan bahkan mungkin membalas dendam. Benar-benar satu keputusan yang sangat sulit, dan jarang ditemukan.
“Kakang...,” tegur Narita lembut.
Bayu menoleh. Dia segera tersenyum melihat Narita masih berada disampingnya.
“Kau mau di sini terus?” masih lembut suara Narita.
“Hhh...,” Bayu menarik napas panjang. Perlahan-lahan kaki Pendekar Pulau Neraka itu terayun meninggalkan bibir jurang itu.
Narita pun segera mengikutinya dan mensejajarkan langkahnya di samping pemuda berbaju kulit harimau itu. Mereka terus melangkah tanpa berbicara lagi. Sementara di ufuk Timur, cahaya matahari mulai menyemburat merah.
Tidak seperti kebanyakan bukit-bukit lainnya, Bukit Bojong tampak sepi, tak ada sebuah desa pun berada di sekitar kaki bukit itu. Sepanjang mata memandang, hanya kehijauan yang terhampar. Bukit itu seperti tidak pernah terjamah oleh tangan-tangan manusia. Bahkan binatang pun sepertinya enggan untuk menginjakkan kakinya di sana.
Namun kesunyian dan keindahan Bukit Bojong, suatu ketika pecah oleh suara ledakan dahsyat dari arah Barat. Tampak debu mengepul ke udara disertai dengan pecahan-pecahan batu dan cahaya kilat. Diantara kepulan debu dan bebatuan itu, terlihat sesosok bayangan berkelebat cepat bagai kilat. Sesosok bayangan itu kemudian hinggap diatas dahan sebatang pohon besar dengan daun-daunnya yang hampir rontok dimakan usia. Ternyata bayangan itu adalah seorang wanita berambut panjang yang memakai baju berwarna hijau menyala. Wajahnya kehitaman dengan bola mata merah melesak kedalam.
Garis-garis wajahnya yang kaku, menunjukkan kalau wanita itu mengenakan topeng yang berwarna pucat bagai mayat. Dia berdiri tegak sambil memandangi kepulan debu dan bebatuan di depannya. Sesaat kemudian, setelah kepulan debu itu memudar, tampak seorang laki-laki tua berjubah putih, berdiri limbung dengan tangan menekap dada. Sebilah tombak pendek menancap di dada hingga tembus ke punggung.
“Hi hi hi...!” wanita bertopeng pucat itu tertawa mengikik kecil dan nyaring.
Untuk beberapa saat, laki-laki tua berjubah putih itu masih mampu berdiri. Namun kemudian tubuhnya limbung, dan ambruk ke tanah sambil mencabut tombak pendek yang menancap di dadanya. Darah langsung mengucur deras membasahi tanah berumput tebal. Dengan sekuat tenaga laki-laki tua itu berusaha bangkit, tapi baru saja tubuhnya terangkat, dia kembali terguling.
“Hi hi hi...!” kembali wanita bertopeng pucat itu tertawa penuh kepuasan.
“Perempuan iblis! Kali ini aku mengaku kalah, tapi lain kali...,” laki-laki tua itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat, lalu diam dan tak bergerak-gerak lagi.
“Hi hi hi...! Tidak ada waktu lagi membalasku, laki-laki tua!”
Namun laki-laki tua itu tidak menjawab. Dan tubuhnya juga sudah tidak bergerak-gerak lagi. Kemudian perempuan bertopeng pucat yang berdiri di atas dahan itu meluruk turun. Gerakannya begitu indah dan ringan, pertanda bahwa dia memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Sepasang kakinya mendarat ringan tanpa suara di samping mayat laki-laki tua lawannya itu. Sebentar dia memandangi, lalu membungkuk dan menjumput tombak pendek yang tergeletak di samping mayat itu.
Tombak pendek berwarna hitam pekat itu, lalu diselipkan ke pinggangnya. Matanya sempat menatap tajam pada tubuh yang menggeletak bersimbah darah. Kemudian pelahan-lahan kakinya terayun meninggalkan tempat itu. Kini kesunyian kembali menyelimuti seluruh Bukit Bojong itu.
********************
Siang itu langit tampak cerah. Angin berhembus semilir menyejukkan. Awan yang menggantung tipis dan berarak indah, tak mampu melindungi bumi dari sengatan sinar matahari. Namun suasana seperti itu tidak dirasakan oleh seorang pemuda dan seorang gadis yang mengenakan baju yang bentuk dan warnanya sama.
Mereka berdiri dengan gelisah memandang ke arah Bukit Bojong. Sepasang manusia berbaju merah menyala itu sesekali menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kuat. Seolah-olah mereka tengah menantikan sesuatu yang akan datang dari bukit itu.
“Perasaanku tidak enak, Kakang,” kata gadis itu dengan nada cemas.
“Hm...,” pemuda di sampingnya hanya menggumam.
“Sebaiknya kita lihat saja ke sana, Kakang,” kata gadis itu lagi.
“Jangan! Eyang Resi sudah berpesan, kita dilarang menyusulnya. “
“Tapi....”
Belum sempat gadis itu meneruskan kata-katanya, tiba-tiba tidak jauh dari tempat mereka berdiri, meluncurlah sebuah bayangan hijau menuruni Lereng Bukit Bojong itu. Bayangan itu bergerak sangat cepat, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap.
“Ayo, Adik Narita!” seru pemuda itu sembari melesat cepat ke arah Lereng Bukit Bojong sebelah Barat.
Tanpa menunggu lagi, gadis itu langsung bergerak mengikutinya. Mereka mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sehingga sebentar saja tubuh mereka sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan di sepanjang lereng bukit itu. Dalam waktu tidak berapa lama, mereka telah sampai di suatu tempat yang cukup luas bagai lapangan rumput. Sejenak kedua manusia berbaju merah itu tertegun, melihat sesosok tubuh berjubah putih tergolek berlumuran darah di rerumputan. Kemudian hampir bersamaan mereka melompat menghampiri.
“Eyang...!” seru pemuda itu keras.
“Eyang, apa yang telah terjadi?” suara gadis itu juga keras, namun terdengar agak bergetar.
Kemudian pemuda berbaju merah itu mengangkat mayat laki-laki tua berjubah putih. Sesaat dia memeriksa, lalu meletakkannya kembali di tempat yang terlindung dari sengatan matahari. Sementara gadis di sampingnya hanya mampu memandangi dengan bola mata berkaca-kaca. Sesaat kesenyapan menyelimuti tempat itu.
“Kau tunggu di sini dulu, Narita,” kata pemuda itu langsung melompat pergi.
Gadis yang dipanggil Narita hanya mengangguk saja. Dia kemudian duduk bersila di samping jenazah laki-laki tua itu. Matanya tidak berkedip memandang darah yang mengalir dari dada berlubang itu. Tanpa disadari, setitik air bening bergulir di pipinya. Sebentar kepalanya terangkat ke atas, dan terdengar tarikan napas yang panjang dan berat.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu kembali dengan punggung penuh kayu-kayu kering. Pemuda itu meletakkan kayu-kayu yang dibawanya ke dekat mayat laki-laki tua berjubah putih. Kemudian dia pergi lagi. Sementara gadis itu segera bangkit dan menata kayu-kayu tersebut menjadi tempat berbentuk dipan. Saat dia tengah meletakkan mayat laki-laki tua itu di atas kayu-kayu yang sudah ditatanya, pemuda itu kembali datang dengan punggung penuh kayu-kayu kering. Dia meletakkan kayu itu di depan tumpukan kayu yang sudah tertata rapi.
Mereka kemudian menata kayu-kayu tersebut menjadi bentuk sebuah rumah kecil. Setelah rapi semuanya, mereka membakarnya dengan bibir terkatup rapat. Api berkobar cepat melahap kayu-kayu kering berbentuk rumah, dengan mayat seorang laki-laki tua berjubah putih di dalamnya. Kedua manusia berlainan jenis itu memandanginya dengan mata tidak berkedip dari jarak yang cukup jauh.
Letupan-letupan kecil terdengar, disertai percikan bunga api yang membumbung tinggi ke angkasa. Api terus berkobar semakin besar. Sebentar saja udara disekitar Lereng Bukit Bojong sebelah Barat itu jadi terasa panas menyengat. Asap hitam mengepul menghalangi cahaya matahari yang siang itu bersinar terik.
“Selamat jalan, Eyang...,” desis Narita lirih.
“Ayo, Narita,” ajak pemuda itu seraya berbalik. Narita tidak menyahut. Dia tetap berdiri memandang api yang masih berkobar besar.
“Narita...,” pemuda itu menepuk pundak Narita.
“Ke mana lagi kita pergi, Kakang Seta?” tanya Narita seraya membalikkan tubuhnya. Suaranya pelan, seperti tidak punya gairah hidup lagi.
“Kita harus mencari si Iblis Topeng Mayat,” sahut pemuda yang dipanggil Seta itu.
Narita kembali diam. Sejenak kepalanya menoleh pada api yang tetap berkobar besar melahap kayu-kayu kering. Kemudian pelahan-lahan kakinya terayun mengikuti langkah Seta. Mereka berjalan berdampingan tanpa bicara sedikit pun. Wajah mereka tampak sendu, dengan mata merembang kosong ke depan. Sesekali Narita masih juga menoleh ke belakang. Sepertinya dia berat untuk meninggalkan tempat itu. Namun dia harus pergi, meskipun dengan hati berat.
********************
Senja mulai merayap mendekati sang malam. Cahaya matahari mulai redup memerah jingga di ufuk Barat. Sementara itu tampak Seta dan Narita terus melangkah pelan-pelan melintasi sungai kecil dengan air jernih yang mengalir dari atas Bukit Bojong. Sungai itu sebagai pembatas Bukit Bojong dengan suatu daerah yang dinamakan Karang Waja.
Daerah itu merupakan hutan yang tidak begitu lebat. Beberapa jalan setapak terdapat di sepanjang hutan itu. Bahkan tidak jauh dari hutan itu terdapat sebuah padukuhan kecil, dengan beberapa rumah yang terbuat dari kayu beratapkan rumbia. Padukuhan itu bernama Dukuh Karang Waja. Ke sanalah Seta dan Narita kini tengah menuju. Memang hanya itulah satu-satunya padukuhan yang ada diHutan Karang Waja ini.
Dua orang berbaju merah itu kemudian berhenti di tepi Dukuh Karang Waja. Tatapan mata Seta tidak berkedip ke arah padukuhan itu. Sementara Narita hanya berdiri saja di sampingnya dengan pandangan kosong. Namun garis-garis wajahnya terlihat suatu ketegangan. Degup jantungnya lebih keras dari biasanya. Sejenak gadis itu mengalihkan pandangannya pada pemuda di sampingnya. Pada saat itu, Seta juga menoleh ke arahnya. Sesaat mereka saling pandang.
“Aku merasa kalau kedatangan kita ini memang telah ditunggu, Kakang,” kata Narita pelan, setengah berbisik suaranya.
“Hati-hatilah, tidak biasanya Padukuhan Karang Waja sepi begini,” sahut Seta seraya mengalihkan kembali pandangannya ke arah padukuhan yang tampak sepi itu.
“Kakang....”
“Awas!” seru Seta tiba-tiba.
Narita tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Seketika saja dari arah depan mereka meluncur puluhan tombak pendek, berwarna hitam pekat. Dua orang berbaju merah itu segera berlompatan menghindari serangan-serangan itu.
Begitu tombak-tombak itu berhenti menghujani mereka, tiba-tiba muncullah lima orang wanita berbaju hijau dengan wajah memakai topeng berwarna pucat bagai mayat. Gerakan mereka sangat lincah dan cepat! Tanpa berkata apa-apa, mereka langsung menyerang dengan senjata tombak pendek berwarna hitam pekat.
Aneh! Mereka membagi serangan itu tidak seimbang. Satu orang menyerang Seta, dan empat orang lagi mendesak Narita. Tentu saja gadis itu kerepotan, karena serangan-serangan empat orang lawannya demikian cepat dan dahsyat. Sedangkan Seta merasakan dirinya hanya dibuat sibuk saja, dan digiring menjauhi Narita.
“Hiya! Hiyaaa...!”
Seta yang merasakan adanya keanehan pada serangan-serangan itu, langsung mengerahkan jurus-jurus andalannya. Dan hal itu tampak membuat lawannya kewalahan. Namun dengan mengandalkan gerakan kaki yang lincah dan kelenturan tubuhnya, lawannya itu mampu menghalau setiap serangan-serangan Seta yang dahsyat dan mematikan!
“Akh!” Tiba-tiba terdengar pekikan tertahan. Tampak Narita sempoyongan terhajar punggungnya. Pada saat itu, satu pukulan keras mendarat di dada gadis itu. Kembali Narita memekik, disusul tubuhnya terjungkal ke tanah dengan keras. Tanpa memberi kesempatan lagi, salah seorang lawannya melompat seraya berteriak keras. Tombak pendek di tangan kanannya sudah terangkat tinggi-tinggi, siap untuk ditembuskan ke tubuh Narita.
Namun pada saat yang genting itu, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat. Tombak di tangan orang bertopeng pucat bagai mayat itu terpental. Dan orang itu memekik tertahan sambil melentingkan tubuhnya ke belakang. Empat orang yang mengeroyok Narita, jadi terlongong. Karena gadis itu mendadak saja lenyap tak berbekas.
Namun mereka tidak sempat lagi berpikir, karena tiba-tiba terdengar jeritan melengking dari arah lain. Tampak orang bertopeng pucat yang bertarung dengan Seta, terjungkal mencium tanah. Empat orang itu langsung berlompatan menyerang Seta.
“Hiyaaa...!” Seta berteriak keras sambil mengebutkan tangannya ke depan.
“Aaa...!” seketika satu jeritan melengking tinggi terdengar.
Tampak seorang dari penyerang-penyerang itu menggelepar di tanah. Dadanya tertembus oleh tiga buah pisau kecil berwarna keperakan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, empat orang lagi segera berlompatan mengepung. Sejenak Seta memutar tubuhnya mengamati empat orang lawannya yang bergerak pelahan-lahan memutarinya.
“Narita...!” desis Seta tersentak ketika matanya tidak lagi melihat Narita.
Kedua bola mata Seta menatap nyalang pada empat orang wanita bertopeng pucat yang mengepungnya itu. Gerahamnya bergemeletuk menahan amarah yang meluap-luap. Pelahan-lahan tangan kanannya menarik sabuk perak yang membelit pinggangnya. Kemudian sabuk itu langsung dikebutkan dengan keras ke depan. Benar-benar luar biasa! Sabuk itu meregang kaku menjadi sebilah pedang perak yang sangat tipis dan nampak lentur.
Melihat Seta telah menghunus senjata, empat orang pengeroyoknya segera memecah tongkat pendeknya menjadi dua bagian. Tampak masing-masing ujungnya kini terdapat sebilah mata tombak tipis bercabang dua.
“Hiyaaat...!” Tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak nyaring, dan tubuhnya melesat ke depan seraya mengebutkan senjatanya ke arah perut dan dada Seta.
Langsung saja pemuda itu melompat mundur sambil mengibaskan senjatanya menyampok senjata lawan. Baru saja terlepas dari serangan pertama, menyusul serangan berikutnya. Pemuda itu terpaksa membagi perhatiannya dalam empat jurusan. Serangan lawan-lawannya terus datang secara bergantian dengan cepat dari empat jurusan. Sebentar saja teriakan-teriakan pertempuran kembali terdengar, ditingkahi dengan denting senjata beradu! Seta terpaksa mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Dia sadar, kalau empat lawannya memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.
Pertarungan empat lawan satu, terus berlangsung semakin sengit. Sudah beberapa kali Seta berhasil menyarangkan tendangan dan pukulan ke tubuh lawannya. Tapi sesekali dia juga tidak bisa menghindar dari pukulan dan tendangan lawan. Seluruh tubuhnya telah basah oleh keringat Sedangkan debu juga banyak menempel mengotori bajunya. Namun serangan-serangannya tidak mengendor sedikit pun.
“Akh!” tiba-tiba Seta memekik tertahan. Tubuhnya terdorong beberapa langkah kebelakang. Tangan kirinya segera menekap lambungnya yang sobek kena senjata lawan. Darah mengucur dari luka yang cukup dalam pada lambungnya.
“Phuih!” Seta menyemburkan ludahnya.
“Sebaiknya kau menyerah saja, Pemuda Tampan,” kata salah seorang dengan suara lembut merayu.
“Ikutlah bersama kami, kau akan menikmati indahnya hidup di sorga,” sambung yang lain.
“Kau sangat tampan, tentu ratu kami akan mengampuni dan mengijinkanmu tinggal di istananya,” kata satunya lagi.
Seta menggeram muak mendengar kata-kata yang lembut namun sangat menyakitkan hatinya itu. Dan tanpa menghiraukan luka di lambungnya, pemuda itu berteriak keras sambil melompat menerjang perempuan bertopeng pucat bagai mayat yang berada di depannya.
“Heit!” Wanita itu langsung berkelit sambil mengibaskan senjatanya. Dan tanpa diduga sama sekali, Seta melayangkan tangan kirinya dengan cepat.
Bug!
“Hugh!” wanita itu mengeluh pendek. Dan pada saat tubuhnya limbung terdorong kebelakang, dengan cepat Seta mengibaskan senjatanya ke arah leher. Namun satu senjata lawan lainnya berhasil memapak serangan itu.
Trang!
Seta segera menarik kembali senjatanya, lalu langsung berputar dan menyerang lawan yang memapaknya tadi. Tepat pada saat itu, dari arah samping, berkelebat satu bayangan dengan cepat. Seta yang tengah terpusat perhatiannya pada satu lawannya, tidak sempai lagi untuk menghindari satu tendangan dahsyat ke kepalanya.
“Aaakh...!” Seta menjerit keras.
Kepalanya terasa mau pecah terkena hantaman kaki yang begitu keras dan bertenaga dalam cukup tinggi. Belum lagi Seta mampu menguasai dirinya, mendadak satu tusukan benda tajam berhasil merobek dadanya. Kembali dia menjerit melengking tinggi! Darah segar segera muncrat dari dada yang menganga lebar.
Pemuda berbaju merah menyala itu semakin tidak dapat menguasai dirinya. Dua pukulan beruntun berhasil bersarang di tubuhnya. Seketika itu juga dia ambruk ke tanah. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, tiba-tiba sebatang tombak pendek hitam meluruk deras ke arahnya. Kini Seta benar-benar tidak bisa lagi untuk menghindar. Seketika dia kembali menjerit melengking tinggi, begitu tongkat itu memanggang lehernya. Sebentar tubuhnya menggelepar, lalu diam dan tidak bergerak-gerak lagi.
Seorang lawannya segera menghampiri, dan mencabut tongkat yang memanggang leher pemuda itu. Kemudian dia menyatukannya kembali dengan yang tergenggam di tangan kiri. Sebentar dia menarik napas panjang, lalu berbalik menghadap tiga orang temannya yang berdiri berjajar sambil memandang ke arahnya.
“Cepat tinggalkan tempat ini!” kata wanita bertopeng pucat itu tegas.
“Bagaimana dengan...,” kata salah seorang lagi sambil menoleh ke arah mayat temannya yang menggeletak tidak jauh darinya.
“Bawa dia, dan jangan sampai ada jejak!” sahut yang satu lagi.
Tanpa berkata-kata lagi, mereka segera membawa mayat itu dan melompat cepat meninggalkan tempat itu. Orang-orang itu tidak lagi peduli pada tubuh Seta yang menggeletak bersimbah darah. Di tangan pemuda itu masih menggenggam senjata, yang kini sudah kembali berubah jadi sabuk perak yang lemas dan lentur.
Saat itu matahari benar-benar sudah tenggelam di ufuk Barat. Kegelapan sudah menyelimuti di sekitar tempat itu. Seolah-olah ingin mengantarkan seseorang yang melepas nyawanya dengan tubuh penuh luka bersimbah darah!
********************
DUA
Jauh di sebelah Utara Hutan Karang Waja, tampak sebuah bangunan besar dikelilingi pagar tembok yang tinggi dan tebal. Di belakang bangunan besar itu terdapat beberapa bangunan berbentuk panjang. Beberapa orang bersenjata tombak, selalu berjaga-jaga di sekeliling tempat itu.
Di dalam sebuah kamar yang cukup besar di rumah itu, tergolek seorang wanita berwajah cantik dengan kulit putih bersih, terpadu baju merah menyala dan ikat pinggang dari lempengan perak tipis yang lentur.
Di sisi pembaringan kecil itu, tampak berdiri tiga orang laki-laki dan dua orang wanita. Mereka rata-rata sudah berusia di atas tujuh puluh tahun. Pandangan mata mereka tidak lepas dari gadis cantik yang tengah tergolek tidak sadarkan diri.
Beberapa saat kemudian, kepala gadis itu mulai bergerak lemah. Kelopak matanya berkerjap beberapa kali. Dia tampak terkejut begitu menyadari dirinya berada di suatu ruangan dan dikelilingi oleh beberapa orang. Sejenak gadis itu berusaha bangkit, tapi sebuah tangan kurus segera menahan bahunya.
“Jangan bangkit dulu, racun yang mengendap didalam tubuhmu belum keluar semua,” kata suara lembut bernada kering.
“Siapa kalian? Bagaimana aku bisa sampai di sini?” tanya gadis itu.
“Kau berada di Puri Watu Ukir,” sahut salah seorang laki-laki yang memakai jubah berwarna putih bersih.
“Puri Watu Ukir...?!” gadis itu nampak terkejut.
Gadis berbaju merah itu terus memandangi wajah-wajah di sekelilingnya. Kini dia mulai sadar, kalau dirinya tengah dikelilingi oleh lima tokoh tua pemimpin besar Puri Watu Ukir. Buru-buru gadis itu bangkit dari pembaringan dan berlutut di lantai. Salah seorang wanita tua yang mengenakan jubah warna biru, mendekati dan membangunkan gadis itu. Dan tanpa menoleh sedikit pun, gadis itu menurut saja ketika wanita tua itu memintanya kembali berbaring.
“Kau telah terkena jarum hitam yang mengandung racun dahsyat dan mematikan,” kata wanita tua itu lembut.
“Jarum hitam...?!” gadis itu kembali menggumam pelan.
“Apakah kau bertarung dengan Perempuan Iblis Topeng Mayat?” tanya seorang laki-laki berjubah kuning.
Gadis itu tidak langsung menjawab. Pelahan-lahan ingatannya kembali pada saat sebelum dia berada di tempat suci ini. Pada saat itu dia memang tengah bertarung melawan empat orang wanita berbaju hijau, dan mengenakan topeng pucat bagai mayat. Dia tidak tahu kalau salah seorang lawannya berhasil melontarkan jarum hitam yang mengandung racun.
Gadis itu hanya ingat, kalau badannya tiba-tiba saja terasa panas, dan satu pukulan keras telah menghantam dadanya. Dia juga sempat melihat, ketika salah seorang lawannya hampir membunuh dengan senjatanya. Tapi pada saat itu, tubuhnya seperti melayang cepat, dan langsung tidak ingat apa-apa lagi. Rasa panas yang menyelimuti tubuhnya, membuat dia tidak sadarkan diri. Rupanya rasa panas itu datang dari jarum hitam yang berhasil masuk ke dalam tubuhnya.
“Siapa namamu, Anak Manis?” tanya seorang wanita yang mengenakan jubah hijau.
“Narita,” sahut gadis itu pelan.
“Bagaimana kau bisa bentrok dengan Perempuan Iblis Topeng Mayat?” tanyanya lagi.
“Aku tidak tahu, mereka ada lima orang, dan yang satu bertarung dengan kakakku. Oh...! Kakang Seta, apakah dia juga selamat?” keluh gadis berbaju merah yang ternyata bernama Narita.
Tidak ada yang menjawab. Semua yang ada di situ memandang pada seorang laki-laki tua berjubah putih bersih. Sedangkan laki-laki berjubah putih itu tampak berpikir sebentar, dan mendekati Narita yang tetap berbaring di pembaringan kayu itu.
“Kakakmu tewas. Maaf, kami terlambat menolongnya,” kata laki-laki tua itu.
“Oh...,” Narita mendesah lirih.
Sesaat kesepian melanda mereka semua. Laki-laki berjubah putih itu mengerdipkan matanya. Kemudian semua orang tua yang berada di ruangan itu, segera melangkah meninggalkan Narita seorang diri. Sedangkan gadis itu tetap terbaring dengan wajah murung berselimut duka. Kini tak ada lagi yang tersisa. Kakek, yang sekaligus juga gurunya, telah meninggal ditangan Perempuan Iblis Topeng Mayat. Dan kakak satu-satunya juga telah tewas.
Sejenak Narita memalingkan mukanya, memandang pada lima orang yang berjalan meninggalkan kamar itu. Tak lama kemudian, pintu kamar kembali tertutup rapat setelah orang terakhir ke luar. Dalam hatinya, dia mengucapkan terima kasih pada lima orang pemimpin besar Puri Watu Ukir itu. Mereka adalah tokoh-tokoh tua yang tingkat kepandaiannya sudah mencapai taraf kesempurnaan. Orang-orang itu bernama Resi Wanakara yang berjubah putih, Resi Jagabaya yang mengenakan jubah kuning. Dan Resi Danuraga yang berjubah kelabu. Sedangkan dua lagi adalah perempuan tua. Mereka bernama Nyai Resi Puspita Rani yang memakai jubah biru, sedangkan satunya lagi berjubah hijau, namanya Nyai Resi Rara Kitri.
Narita benar-benar tidak pernah menyangka kalau dia bisa berada di suatu tempat yang suci dan bertemu langsung dengan mereka. Tidak sembarang orang bisa bertemu dan berbicara langsung dengan lima tokoh Puri Watu Ukir itu. Namun saat ini Narita tidak peduli, hatinya tengah dilanda kedukaan yang amat dalam, dengan kematian dua orang yang sangat dicintainya.
“Eyang..., Kakang Seta...,” desis Narita lirih.
********************
Tiga hari sudah Narita berada di kamar bangunan besar Puri Watu Ukir. Selama itu pula dia selalu dikunjungi oleh lima tokoh tua Puri Watu Ukir secara bergantian. Mereka selalu memberikan pengobatan untuk memulihkan kondisi tubuh gadis itu seperti sedia kala.
Narita baru saja beranjak turun dari pembaringannya ketika pintu kamar itu terbuka. Seorang wanita tua berusia lebih tujuh puluh tahun segera melangkah masuk. Wanita itu mengenakan baju biru yang panjang dan longgar. Dia menyunggingkan senyuman manis di bibirnya. Narita pun membalasnya, dan berlutut memberi hormat. “Nyai Resi Puspita Rani, terimalah salam hormatku,” kata Narita tetap berlutut.
“Bangunlah, Anakku. Aku terima salam hormatmu,” sahut Nyai Resi Puspita Rani lembut.
Narita segera berdiri kembali.
“Bagaimana keadaanmu?”
“Jauh lebih baik, Nyai Resi,” sahut Narita.
Wanita berjubah biru itu lalu menekan pundak Narita, dan menyuruhnya duduk. Gadis itu hanya menurut, dan duduk di tepi pembaringan. SebentarNyai Resi Puspita Rani memeriksa beberapa bagian tubuh gadis itu, kemudian dia duduk di kursi dekat jendela. Bibirnya tetap menyunggingkan senyuman manis.
“Kau sudah benar-benar pulih, Anakku,” kata Nyai Resi Puspita Rani gembira.
“Terima kasih, Nyai Resi.”
“Tapi kau masih perlu istirahat dan bersamadi, agar kesehatan dan kondisi tubuhmu benar-benar sempurna...“
Narita tidak menjawab. Kepalanya tetap tertunduk dalam.
“Ada apa, Narita?” tanya Nyai Resi Puspita Rani seraya menatap dalam ke wajah yang tertunduk itu.
“Tidak apa-apa, Nyai Resi. Aku hanya teringat pada Eyang Resi dan Kakang Seta,” sahut Narita pelan.
“Hm..., siapa nama Eyang Resi-mu?”
“Eyang Resi Galadipa.”
“Resi Galadipa...,” gumam Nyai Resi Puspita Rani.
“Ada apa, Nyai Resi?” tanya Narita dengan kening berkerut.
“Sepertinya aku pernah mendengar nama itu,” sahut Nyai Resi Puspita Rani. “Hm..., apakah Eyang Resi-mu berjuluk Pendekar Welut Putih?”
“Benar, tapi itu dulu ketika Eyang Resi masih muda,” sahut Narita sambil mengangguk.
“Ah...,” Nyai Resi Puspita Rani mendesah panjang.
Narita menatap dalam pada wanita tua itu. Hatinya penasaran melihat perubahan wajah pada Nyai Resi Puspita Rani. Wanita tua itu seolah tengah terkenang sesuatu.
Beberapa saat kemudian, Nyai Resi Puspita Rani bangkit, dan melangkah mendekati pintu kamar. Sementara Narita tetap duduk di tepi pembaringan. Benaknya jadi berputar melihat sikap wanita tua itu.
Sementara benak Narita tengah disibuki oleh pikiran dan dugaan-dugaan, Nyai Resi Puspita Rani berdiri bersandar di pintu kamar yang telah tertutup rapat Kepalanya tampak terdongak ke atas. Lalu setelah mendesah panjang, kakinya kembali melangkah. Beberapa kali dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak tahu, kalau ada sepasang mata bening kecoklatan yang mengamatinya sejak tadi.
Sepasang mata bening itu ternyata milik seorang laki-laki tua berjubah putih. Tentu saja Nyai Resi Puspita Rani terkejut, ketika laki-laki tua berjubah putih itu menghadang langkahnya.
“Aku lihat kau murung setelah keluar dari kamar itu,” kata laki-laki berjubah putih itu, seraya melirik kearah pintu kamar yang sudah tertutup rapat.
Nyai Resi Puspita Rani tidak segera menyahuti. Dia hanya menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Sementara laki-laki tua yang bernama Resi Wanakara, terus memperhatikannya dalam-dalam.
“Ada yang menyusahkanmu, Nyai?” tanya Resi Wanakara lembut.
“Kau ingat dengan peristiwa di Gunung Jati Sewu?” Nyai Resi Puspita Rani malah balik bertanya.
“Ya,” sahut Resi Wanakara.
Kembali Nyai Resi Puspita Rani menarik napas panjang. Dia kembali mengayunkan langkahnya pelan-pelan. Sementara Resi Wanakara mengikutinya dengan benak yang diliputi berbagai macam pertanyaan.
“Aku rasa kita telah melupakan, dan mengubur semua peristiwa yang terjadi di Gunung Jati Sewu itu, Nyai,” kata Resi Wanakara.
“Ya, kita memang telah melupakannya. Juga semua saudara kita yang telah menjadi korban. Tapi kini kita harus mengingatnya, Kakang,” kata Nyai Resi Puspita Rani.
Resi Wanakara mengerutkan keningnya.
“Bertahun-tahun kita telah meninggalkan rimba persilatan dan mendirikan tempat suci ini. Kita semua juga sudah berjanji, untuk tidak terjun kembali ke dalam dunia itu. Tapi aku merasakan, bahwa kita akan kembali bergelimang darah,” pelan dan hampir tidak terdengar suara Nyai Resi Puspita Rani.
“Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan.”
“Gadis itu....”
“Narita?”
“Ya.”
“Ada apa dengan Narita?”
“Dia cucu Resi Galadipa atau Pendekar Welut Putih.”
Seketika Resi Wanakara terdiam! Nama itu benar-benar menyengat telinganya. Sungguh dia tidak menyangka akan mendengar nama itu lagi.
********************
“Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa Adik Galadipa berbuat tolol seperti itu...?” gumam Resi Jagabaya menyesalkan.
“Apa pun yang dia lakukan, kita pasti akan tersangkut juga. Sia-sialah semua usaha yang kita lakukan berpuluh-puluh tahun,” gumam Nyai Resi Rara Kitri pelan, seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri.
“Hhh! Kita seperti berada di suatu lorong maut yang panjang dan tidak akan pernah berakhir,” desah Nyai Resi Puspita Rani.
“Nyai Puspita Rani, apakah Narita sudah mengetahui hal ini?” tanya Resi Danufaga yang sejak tadi diam saja.
“Aku rasa belum,” sahut Nyai Resi Puspita Rani dengan kening agak berkerut. “Kenapa?”
“Tidak apa-apa, aku hanya...,” Resi Danuraga tidak melanjutkan kata-katanya.
“Ada apa, Adik Danuraga?” tanya Resi Jagabaya penasaran.
“Mungkin perasaanku yang berlebihan, aku memang menduga kalau kehadiran gadis itu akan membawa malapetaka besar bagi Puri Watu Ukir ini,” pelan suara Resi Danuraga.
“Mungkin,” desah Nyai Resi Rara Kitri. “Benar juga apa yang telah dikatakan oleh Kakak Puspita Rani, kita memang berada pada suatu lorong maut yang amat panjang dan tak berakhir.”
Mereka semua kemudian terdiam. Lima orang bersaudara yang sudah tua renta itu sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mereka kembali teringat dengan peristiwa beberapa puluh tahun lalu. Di mana mereka masih berenam, dan malang-melintang dalam rimba persilatan yang ganas bergelimang darah.
Suatu ketika salah seorang dari mereka memisahkan diri. Hal itu terjadi setelah peristiwa di Gunung Jati Sewu. Suatu peristiwa yang tidak mungkin bisa terlupakan! Dan peristiwa itu kembali terungkap, dengan munculnya seorang gadis yang ditolong oleh Resi Wanakara dari lubang maut.
Puluhan tahun yang lalu, mereka enam saudara yang dikenal sebagai Enam Dewa Keadilan, mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya dengan tujuan memberantas keangkaramurkaan. Enam orang bersaudara itu adalah tokoh-tokoh berilmu tinggi yang sukar dicari tandingannya. Setelah sekian lama berkecimpung dalam dunia yang penuh dengan kekerasan, mereka kemudian meninggalkannya. Dan mendirikan sebuah puri yang diberi nama Puri Watu Ukir. Dinamakan begitu karena letaknya di sebuah tempat berbatu yang berukir. Entah siapa yang mengukir batu-batu itu, mungkin karena proses alami.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Resi Danuraga, setelah cukup lama mereka semua berdiam diri.
“Maksudmu?” Resi Wanakara balik bertanya.
“Dengan gadis itu,” sahut Resi Danuraga.
Tidak ada yang langsung memberikan jawaban. Semua terdiam dan saling menukar pandang.
“Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, bagaimanapun juga Narita adalah cucu Adik Galadipa, dan itu berarti cucu kita juga,” kata Resi Wanakara.
“Dan yang pasti, Perempuan Iblis Topeng Mayat tidak akan tinggal diam. Lebih-lebih kalau dia tahu Narita itu cucu kita semua,” sambung Nyai Resi Puspita Rani.
“Hhh...! Galadipa, selalu saja membuat persoalan,” keluh Nyai Resi Rara Kitri pelan.
“Sudahlah, semuanya sudah terjadi. Aku akan berusaha mencari jalan agar tidak ada pertumpahan darah,” Resi Wanakara yang tertua di antara mereka, berusaha mencari penyelesaian dengan baik.
“Kau sudah punya cara, Kakang?” tanya Resi Jagabaya.
“Saat ini belum,” sahut Resi Wanakara.
********************
Pagi itu Narita sudah bisa keluar dari kamarnya. Sejak matahari belum menampakkan diri, dia sudah bergerak ringan, melemaskan otot-ototnya yang terasa kaku. Dua pekan lebih dia telah berada dikamar, tanpa boleh melakukan gerakan-gerakan yang bisa membuat keadaan tubuhnya bertambah buruk.
Setelah beberapa saat, gadis itu kemudian berhenti bergerak. Dia berdiri tegak dengan mata tidak berkedip memandang ke arah Puncak Bukit Bojong. Tampak kabut tipis masih menyelimuti puncak bukit itu. Pandangan gadis itu lalu beralih ke sekelilingnya. Sepi, tak ada seorang pun yang terlihat.
Sejenak Narita memandangi bagian atas tembok pagar yang mengelilingi Puri Watu Ukir itu. Kemudian dia menatap bangunan besar dan sebuah bangunan puri, yang terbuat dari tumpukan batu-batuan dengan ukiran yang mengandung arti yang sangat dalam.
“Aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan sebagai ucapan terima kasih pada kalian semua. Kini aku harus pergi. Aku harus membalas kematian Eyang Resi dan Kakang Seta,” bisik Narita pelan.
Gadis itu kembali melangkah pelan-pelan mendekati pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Sebentar dia memandangi pagar tembok itu, seolah-olah sedang mengukur ketinggiannya.
“Maafkan aku Eyang Resi, Nyai Resi. Aku pergi tanpa pamit...,” bisik Narita lagi.
Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, Narita segera melompat melenting tinggi. Tubuhnya melayang ringan bagaikan kapas tertiup angin. Dua kali dia salto di udara, melewati pagar tembok yang tinggi itu. Lalu meluruk turun, dan hinggap di tanah dengan manisnya. Gadis itu langsung berlari cepat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Narita memang tidak tahu, kalau sepasang mata memperhatikannya sejak tadi. Sepasang mata milik seorang perempuan tua itu baru keluar dari balik dinding rumah besar, setelah gadis itu hilang di luar pagar tembok. Saat dia menarik napas panjang, muncul seorang laki-laki tua berjubah putih.
“Kau tidak berusaha mencegahnya?”
“Oh!” perempuan tua berjubah biru itu tersentak.
“Aku terus memperhatikannya sejak dia keluar dari kamarnya,” kata laki-laki tua berjubah putih yang ternyata Resi Wanakara.
“Ya, aku juga,” sahut Nyai Resi Puspita Rani.
“Apa yang akan dia lakukan di luar sana?”
“Membalas dendam.”
“Sinting!” dengus Resi Wanakara.
“Dia seorang anak yang baik. Aku pasti akan berbuat yang sama jika keadaannya seperti itu,” desah Nyai Resi Puspita Rani pelan.
“Perempuan Iblis Topeng Mayat bukan lawannya. Aku sendiri belum tentu mampu untuk menandinginya. Dia juga hampir membunuhku ketika terjadi peristiwa di Gunung Jati Sewu.”
Nyai Resi Puspita Rani hanya diam saja.
“Kakeknya sendiri tidak mampu menandinginya, apalagi dia? Gadis seumur jagung yang hampir tewas hanya melawan murid-muridnya saja,” sambung Resi Wanakara tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.
“Aku mau pergi,” kata Nyai Resi Puspita Rani.
“Kau mau ke mana?”
“Melindungi cucuku.”
“Mengotori tanganmu dengan darah lagi?” Resi Wanakara tersentak kaget.
“Di sini pun sama saja. Aku, kau dan semua saudara-saudara kita tidak akan bisa menghindar. Takdir sudah berbicara, dan kita harus menghadapinya. Tidak mudah meninggalkan rimba persilatan, meskipun dengan niat yang paling suci sekalipun.”
Kini Resi Wanakara yang diam membisu. Kata-kata adik perempuannya itu memang benar. Mereka sudah ditakdirkan untuk bergelut dalam rimba persilatan. Sudah puluhan tahun mereka meninggalkannya, tapi takdir yang sudah digariskan tidak akan mungkin bisa dihindari lagi. Sejak munculnya gadis itu di Puri Watu Ukir ini, takdir itu kembali terbuka lebar.
“Aku pergi dulu, Kakang. Aku tidak ingin kau berharap aku akan kembali,” kata Nyai Resi Puspita Rani.
“Ya, hati-hatilah,” desah Resi Wanakara menyerah.
Wanita berjubah biru itu segera melentingkan tubuhnya dengan cepat. Gerakannya ringan, tidak sedikit pun menimbulkan suara. Sementara Resi Wanakara hanya memandanginya sambil mendesah panjang.
********************
TIGA
Desa Batang Hulu tampak meriah. Umbul-umbul terpasang di setiap sudut desa itu. Wajah-wajah penduduknya kelihatan cerah, dan anak-anak bermain dengan gembiranya. Kemeriahan itu terpusat dari rumah kepala desa yang sedang mengadakan pesta perkawinan putranya. Suasana di rumah kepala desa lebih ramai lagi. Banyak panggung-panggung hiburan tergelar. Sorak-sorai dan tabuhan gamelan menambah hangat suasana.
Di pelaminan terlihat pasangan yang berbahagia tengah bersanding dengan senyum cerah. Sesekali mereka berdiri dan menyambut kedatangan tamu yang mengalir seperti air di sungai.
“Sariti memang beruntung mendapatkan Den Paksi,” bisik salah seorang tamu yang hadir.
“Tapi mereka memang pasangan yang cocok. Lakinya tampan, dan wanitanya cantik!” celetuk yang lain.
“Tapi kekayaannya tidak.”
“Ah, cinta mana bisa diukur dengan harta?”
“Bagaimanapun juga, Ki Parta tidak akan kekurangan lagi hidupnya.”
Macam-macam tanggapan terdengar di antara tamu-tamu yang hadir. Ada yang merasa iri, ada juga yang senang. Bahkan ada yang masa bodoh, dan tidak mau peduli. Paksi memang putra tunggal Kepala Desa Batang Hulu. Dan Sariti hanyalah putri seorang petani miskin. Tapi, Ki Rungkut, sang Kepala Desa Batang Hulu, tidak melihat kaya atau miskinnya seseorang. Dia seorang yang arif dan bijaksana. Di matanya, kaya atau miskin tidak ada bedanya!
Pesta itu terus berlangsung hingga senja datang. Semakin matahari condong ke arah Barat, suasananya semakin bertambah meriah. Lentera, obor dan segala macam penerangan mulai dinyalakan di beberapa tempat.
Saat sang mentari benar benar sudah tenggelam, mendadak suasana pesta yang meriah itu menjadi berubah. Jerit dan pekik melengking terdengar saling sambut. Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu jadi kalang-kabut!
Ki Rungkut segera menyuruh anaknya untuk masuk. Tampak empat orang bertubuh ramping dan mengenakan baju hijau ketat, membantai orang-orang yang berlarian serabutan. Laki-laki kepala desa itu langsung mengerahkan orang-orangnya untuk mengamankan suasana yang sudah berubah jadi ajang pembantaian. Dua puluh orang bersenjata golok, terlihat berlompatan dan mengepung empat orang wanita perusuh tersebut.
“Ayah, siapa mereka?” tanya Paksi yang belum juga masuk ke dalam rumah.
“Anak buah Iblis Topeng Mayat,” sahut Ki Rungkut mendesis.
“Mau apa mereka datang mengacau?”
Ki Rungkut tidak menjawab. Saat itu dua puluh orangnya sudah bertarung melawan empat orang wanita bertopeng pucat seperti mayat. Beberapa undangan yang kelihatannya memiliki kepandaian, masih tetap berada di tempat.
Baru beberapa saat saja, dua puluh orang bersenjata golok tampak kewalahan menghadapi mereka. Satu persatu mereka tumbang bersimbah darah. Rupanya empat orang tersebut terlalu tangguh, sehingga dalam waktu sebentar saja bisa merobohkan lebih dari separuh lawannya.
“Hiya...!”
“Yaaat...!”
Tiga orang undangan langsung berlompatan sambil mencabut senjatanya masing-masing. Dan tanpa banyak bicara, mereka segera menyerang empat orang bertopeng mayat itu. Namun turunnya tiga orang itu tidak membuat keadaan jadi berubah. Sebentar saja dua orang sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan orang-orang Ki Rungkut kini sudah mulai gentar.
“Berhenti!” seru Ki Rungkut keras.
Seketika itu juga pertempuran berhenti. Ki Rungkut segera melompat sekitar dua batang tombak jauhnya. Gerakannya ringan, pertanda kalau dia memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Sedangkan putranya, Paksi,.hanya memperhatikan saja. Di samping pemuda itu sudah berdiri Sariti yang memeluk tangannya dengan tubuh gemetaran.
“Apa maksud kalian datang dan membuat keonaran di sini?” tanya Ki Rungkut dengan suara lantang.
“Hi hi hi...!” terdengar suara mengikik dari arah atap rumah.
Ki Rungkut langsung berbalik dan memandang ke atap rumahnya. Tak terkecuali semua orang yang berada di tempat itu juga segera menolehkan kepalanya ke atap. Tampak di sana seorang wanita berambut panjang dengan tubuh ramping, dan terbungkus baju hijau menyala yang ketat. Wajahnya tertutup topeng berwarna pucat seperti mayat. Sedangkan di pinggangnya terselip sebatang tongkat pendek berwarna hitam.
Dengan satu gerakan yang ringan dan indah, wanita itu meluncur ke bawah. Manis sekali dia mendarat sekitar dua batang tombak jaraknya di depan Ki Rungkut. Sementara empat orang lainnya yang juga bertopeng, segera berlompatan dan berdiri mengapit perempuan yang baru datang itu.
“Iblis Topeng Mayat, apa maksudmu membuat keonaran di sini? Aku dan seluruh penduduk Desa Batang Hulu tidak pernah berurusan denganmu!” lantang suara Ki Rungkut.
“Hi hi hi..., kalian memang tidak pernah berurusan denganku. Tapi kalian telah menampung musuh besarku!” sahut Iblis Topeng Mayat diselingi dengan tawa mengikik.
“Siapa musuhmu?” tanya Ki Rungkut tidak mengerti.
“Galadipa dan dua cucunya!”
Tentu saja Ki Rungkut tersentak kaget. Dia sudah kenal betul siapa Galadipa, yang berjuluk Pendekar Welut Putih. Seorang anak tunggal Galadipa telah menikah dengan adik perempuan Ki Rungkut. Mereka mempunyai dua orang anak. Namun pasangan muda itu tewas, di saat anak-anaknya masih kecil-kecil. Hingga kini tak seorang pun yang tahu sebab-sebab kematiannya. Mereka tewas di rumahnya sendiri dalam keadaan yang mengenaskan. Sedangkan dua orang anaknya diasuh oleh Galadipa di desa itu.
Ki Rungkut memang tidak pernah tahu, kalau Galadipa ternyata punya urusan dengan Iblis Topeng Mayat. Yang dia tahu, waktu itu Galadipa datang ke Desa Batang Hulu dengan membawa seorang istri dan anak tunggalnya. Mereka kemudian menetap agak jauh dari rumah-rumah penduduk. Dan selama mereka menetap di Desa Batang Hulu itu, tidak pernah ada kejadian apa-apa. Galadipa memang sudah meninggalkan rimba persilatan.
“Sudah hampir satu purnama ini, aku tidak lagi melihat Galadipa. Dia memang pergi bersama cucu-cucunya meninggalkan desa ini. Jika kau datang untuk mencarinya, bukan di sini, Iblis Topeng Mayat!” kata Ki Rungkut, tetap lantang suaranya.
“Galadipa dan Seta sudah tewas! Tapi Narita belum. Di mana kau sembunyikan anak itu?” dingin kata-kata Iblis Topeng Mayat.
“Iblis...!” desis Ki Rungkut begitu mendengar kabar itu.
“Aku beri kau waktu tiga hari untuk menyerahkan anak itu, Rungkut. Anggap saja kejadian ini sebagai peringatan dariku!” sambung Iblis Topeng Mayat.
Setelah berkata begitu, lima orang berpakaian hijau dan mengenakan topeng pucat bagai mayat itu, langsung melesat pergi. Gerakan mereka sangat cepat dan ringan bagaikan kapas. Maka dalam sekejap saja mereka sudah lenyap dari pandangan. Sementara Ki Rungkut hanya bisa mendesah panjang. Kata-kata Iblis Topeng Mayat tidak pernah main-main!
Sepak terjang Iblis Topeng Mayat sudah terkenal di seantero jagat. Satu kata yang terucap, berarti maut! Memang sudah beberapa puluh tahun belakangan ini, nama Iblis Topeng Mayat jarang terdengar. Namun kini muncul lagi dengan segala perbuatannya yang kejam.
“Ayah...,” Paksi segera menghampiri ayahnya yang masih tetap berdiri di halaman depan rumahnya.
Ki Rungkut kembali mendesah panjang.
“Aku tahu di mana Narita berada,” kata Paksi.
Ki Rungkut tersentak. Ditatapnya Paksi dengan tajam.
“Sehari sebelum mereka meninggalkan desa ini, Seta sudah menceritakan tujuannya bersama Narita. Mereka pergi memang khusus untuk mencari Iblis Topeng Mayat,” kata Paksi lagi.
“Kenapa kau tidak mengatakan padaku, Paksi?” Ki Rungkut menyesalkan.
“Aku telah berjanji kepada Seta untuk tidak mengatakan hal ini pada siapa pun. Tapi kini keadaan memaksaku untuk mengingkari janji itu. Maafkan aku, Ayah,” pelan suara Paksi.
“Sudahlah, kau tahu, apa sebenarnya yang terjadi antara Pamanmu Galadipa dengan Iblis Topeng Mayat?”
“Lebih kurang empat puluh tahun yang lalu, Paman Galadipa dan lima orang saudaranya yang berjuluk Enam Dewa Keadilan, datang ke sebuah desa di Kaki Bukit Bojong. Mereka datang untuk melamar seorang gadis untuk Paman Galadipa...,” Paksi berhenti sebentar.
“Teruskan,” pinta Ki Rungkut.
“Gadis yang akan dilamar adalah putri seorang ketua padepokan di desa itu. Tapi semuanya tidak berjalan lancar, karena Iblis Topeng Mayat datang dan mengacaukan suasana di saat pesta perkawinan berlangsung,” sambung Paksi.
“Hm..., apakah Seta juga menceritakan, kenapa terjadi demikian?” tanya Ki Rungkut.
“Ya. Iblis Topeng Mayat tidak rela kalau Galadipa menyunting gadis lain.”
“Cinta...,” desis Ki Rungkut bergumam.
Satu persoalan yang kelihatannya sepele, tapi kalau sudah menyangkut orang-orang kalangan rimba persilatan, bisa berakibat fatal! Dan Ki Rungkut sudah bisa mengerti, apa yang menjadi penyebab Iblis Topeng Mayat mencari Ki Galadipa dan anak cucunya. Rupanya wanita itu ingin melenyapkan semua keturunan Galadipa!
Ki Rungkut memang pernah mendengar tentang enam orang pendekar tangguh, yang berjuluk Enam Dewa Keadilan. Waktu itu enam orang pendekar tersebut bertarung di Puncak Bukit Bojong. Namun tidak ada yang mengetahui, mereka bertarung dengan siapa. Dan hasilnya juga tidak diketahui. Yang jelas, setelah pertarungan itu, nama-nama mereka tenggelam dalam kancah rimba persilatan.
Ki Rungkut benar-benar tidak mengetahui, kalau Galadipa ternyata salah satu dari Enam Dewa Keadilan. Galadipa datang ke Desa Batang Hulu ini dengan membawa seorang istri dan seorang anak. Mereka datang seperti orang kebanyakan, namun sifat-sifat kependekaran Galadipa masih menonjol.
“Tadi kau bilang tahu di mana Narita berada, Paksi...,” kata Ki Rungkut.
“Ya, Narita pasti berada di Puri Watu Ukir. Letaknya tidak jauh dari Hutan Karang Waja. Di puri itulah tinggal lima saudara Paman Galadipa,” sahut Paksi menjelaskan.
“Aku akan segera ke sana. Kau jangan pergi sampai aku kembali, Paksi,” kata Ki Rungkut.
Paksi hanya mengangguk saja.
********************
Jarak dari Desa Batang Hulu ke Puri Watu Ukir memang tidak seberapa jauh, kira-kira hanya memakan waktu setengah hari perjalanan dengan kuda. Itulah sebabnya, meskipun sudah malam, Ki Rungkut berangkat juga ke Puri Watu Ukir. Dia ditemani oleh sekitar lima orang sahabatnya. Mereka terus memacu kuda dengan cepat tanpa berhenti sejenak pun. Dan hampir tengah malam mereka tiba di tempat suci itu.
Kebetulan Resi Wanakara sendiri yang menyambut kedatangan Ki Rungkut dan lima orang sahabatnya. Sesampainya di dalam, baru mereka disambut oleh tiga orang Ketua Puri Watu Ukir lainnya. Walaupun empat orang resi itu sudah bisa menebak maksud dan kedatangan tamu-tamunya, mereka tetap bersikap wajar.
“Maaf kalau kedatangan kami tidak pada waktunya,” ucap Ki Rungkut seraya membungkuk sopan.
“Ada maksud apa anakku datang ke tempat suci ini?” tanya Resi Wanakara.
“Kami datang untuk menjemput Narita, Eyang Resi,” sahut Ki Rungkut langsung pada pokok persoalannya.
Langsung saja empat orang resi tersebut saling berpandangan. Mereka memang sudah menduga kalau kedatangan enam orang tamu itu ada hubungannya dengan Narita.
“Kenapa kau mencari cucuku?” tanya Resi Wanakara, tetap lembut suaranya.
“Maaf, Eyang Resi. Sore tadi, desa kami didatangi oleh Iblis Topeng Mayat. Banyak warga desa kami yang tewas dibunuh. Mereka menginginkan Narita, Eyang Resi,” sahut Ki Rungkut.
“Aneh...! Untuk apa perempuan itu mengacau desamu?”
“Sebelumnya Narita memang tinggal di sana bersama kakek dan saudara laki-lakinya.”
Resi Wanakara segera mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu betul watak Iblis Topeng Mayat. Satu orang yang diinginkan, puluhan nyawa bisa melayang!
“Kalau dalam waktu tiga hari ini kami tidak bisa menyerahkan Narita, mereka akan membantai habis penduduk Desa Batang Hulu. Tolonglah kami, Eyang Resi,” kata Ki Rungkut menghiba.
Resi Wanakara hanya menarik napas panjang. Dia lalu menatap tiga orang saudaranya. Mereka hanya bisa saling tatap tanpa mengucapkan satu kata pun. Sementara Ki Rungkut terus mengamati mereka dengan sinar mata penuh harap. Bagaimanapun juga, dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan seluruh warga desanya.
“Kemarin, Narita memang berada di sini. Tapi dia sekarang sudah pergi. Hhh..., sebaiknya kalian pulang saja dulu. Aku berjanji, akan menyelesaikan persoalan ini tanpa mengorbankan orang lain,” kata Resi Wanakara pelan.
“Bagaimana kalau kalian menginap saja dulu. Tidak baik menempuh perjalanan tengah malam begini,” sambung Nyai Resi Rara Kitri.
“Besok pagi aku akan menemani kalian ke Desa Batang Hulu,” kata Resi Jagabaya menyambung.
“Oh, terima kasih.... Terima kasih, Resi,” ucap Ki Rungkut seraya membungkukkan badannya beberapa kali.
“Silakan kalian beristirahat, “ kata Resi Wanakara.
Seorang cantrik kemudian mengantarkan enam orang dari Desa Batang Hulu itu ke tempat istirahatnya. Sementara empat orang resi Puri Watu Ukir masih berada di ruangan besar tempat menerima tamu. Wajah mereka kelihatan murung, apa yang telah dikhawatirkan, kini menjadi kenyataan. Iblis Topeng Mayat sudah memulai aksinya kembali. Dan hal itu dimulai dengan tewasnya Galadipa. Salah seorang dari enam bersaudara yang berjuluk Enam Dewa Keadilan.
Mengingat Desa Batang Hulu jaraknya tidak jauh dari Puri Watu Ukir, bukannya tidak mustahil kalau Iblis Topeng Mayat akan menjarah ke tempat itu juga. Lebih-lebih dengan datangnya Kepala Desa Batang Hulu itu. Empat orang resi itu sudah bisa menduga, kalau kejadian di Desa Batang Hulu hanya sekedar siasat dari Iblis Topeng Mayat.
********************
Pagi-pagi sekali, Ki Rungkut dan lima orang sahabatnya meninggalkan Puri Watu Ukir. Mereka didampingi oleh Resi Jagabaya. Sedangkan Resi Wanakara juga meninggalkan puri itu untuk mencari Narita. Mereka terpaksa kembali lagi ke dalam dunia luar.
Dunia yang sudah puluhan tahun ditinggalkannya!
Ki Rungkut, Resi Jagabaya dan lima orang lainnya memacu kudanya dengan cepat menuju Desa Batang Hulu. Mereka melintasi Hutan Karang Waja. Sebuah hutan yang tidak begitu lebat, dan banyak terdapat jalan lintas. Hutan itu memang sering dimasuki oleh orang-orang yang bertempat tinggal di sekitarnya. Tujuh orang itu terus memacu kudanya dengan kencang tanpa berhenti sedikit pun. Sementara itu matahari semakin naik dengan sinar hangatnya.
“Awas...!” tiba-tiba Resi Jagabaya berseru keras.
Mendadak sebuah benda hitam sepanjang satu lengan, meluncur deras ke arah rombongan kecil itu. Resi Jayabaya dan Ki Rungkut yang berada di depan, langsung melompat dari punggung kudanya. Namun benda hitam itu terus meluruk demikian deras, sehingga seorang yang berada di belakang Resi Jagabaya tidak bisa menghindar lagi.
“Aaa...!” seketika orang itu menjerit keras. Tubuhnya langsung terpental kena sambar benda hitam itu. Tampak dadanya tertembus senjata itu. Empat orang lainnya bergegas melompat turun dari punggung kudanya.
Belum lagi hilang rasa terkejut mereka, tiba-tiba dari balik pohon berlompatan empat orang berbaju hijau, dan mengenakan topeng yang berwarna pucat bagai mayat. Dan di atas dahan yang tidak begitu tinggi, berdiri seorang lagi yang juga mengenakan baju hijau ketat, hingga membentuk tubuhnya yang ramping.
Trik!
Orang yang berada di atas dahan itu, menjentikkan jarinya. Saat itu juga, empat orang bertopeng mayat berlompatan menyerang. Ki Rungkut langsung mencabut senjatanya, yang berupa sebilah golok besar dengan salah satu sisinya bergerigi. Sedangkan lima orang lainnya juga segera mengeluarkan senjatanya masing-masing.
Kini empat orang tersebut sudah menyerang dengan cepat dan dahsyat. Mereka sama sekali tidak menghiraukan Resi Jagabaya, sehingga orang tua berjubah kuning itu terpaksa hanya jadi penonton. Resi Jagabaya langsung menggeretakkan rahangnya begitu melihat dua orang pihaknya sudah terjungkal tewas dalam waktu sebentar saja.
Empat orang wanita bertopeng pucat bagai mayat tersebut memang kejam. Mereka tidak pernah memberi kesempatan pada lawannya untuk meningkatkan serangan dan pertahanannya. Senjata tongkat pendek berwarna hitam, terus berkelebatan cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan.
“Berhenti!” bentak Resi Jagabaya, ketika dua orang lagi terjungkal bersimbah darah.
Seketika pertarungan tersebut berhenti. Ki Rungkut dan satu orang sahabatnya yang tersisa, langsung melompat mendekati Resi Jagabaya. Napas mereka tersengal memburu. Keringat pun bercucuran deras membasahi seluruh tubuh. Sinar mata mereka juga menunjukkan kegentaran, menghadapi Iblis Topeng Mayat yang begitu tinggi tingkat kepandaiannya.
Kalau saja Resi Jagabaya tidak segera menghentikan, mereka pasti tidak akan bisa meneruskan pertarungan itu.
“Kau hanya berurusan dengan Enam Dewa Keadilan, kenapa kau libatkan juga orang orang yang tidak tahu apa-apa?” agak tertekan suara Resi Jagabaya.
“Hi hi hi...! Enam Dewa Keadilan..., sebuah nama yang cukup indah. Tapi bernyali kecil, pengecut! Dan hanya dengan cara inilah, aku bisa memancing kalian keluar dari sarang!” sahut orang yang berada di atas dahan pohon.
“Kami semua memang sudah berniat meninggalkan dunia persilatan!”
“Ha ha ha...!” Orang di atas dahan pohon itu kembali tergelak. “Sebenarnya aku memang sudah puas, Karena Galadipa tewas ditanganku sendiri. Tapi aku sudah terlanjur bersumpah, bahwa kalian semua harus mati, juga keturunan kalian!”
Setelah berkata demikian, orang yang berada di atas dahan pohon itu langsung melesat turun. Dan dengan sekali lompatan saja, dia sudah meluruk ke arah Resi Jagabaya sambil mencabut senjatanya yang berupa tongkat pendek sepanjang lengan berwarna hitam pekat.
“Mampus kau, Jagabaya! Hiyaaa...!”
“Eits!” Resi Jagabaya segera menarik tubuhnya mundur seraya memiringkannya sedikit ke kiri. Dan dengan kecepatan penuh, dia menyampok senjata tongkat hitam itu dengan telapak tangannya.
Wut!
Cepat sekali orang bertopeng pucat bagai mayat itu memutar senjatanya, dan langsung mengibas kearah kepala. Buru-buru Resi Jagabaya merunduk sedikit, sehingga senjata tongkat itu lewat di atas kepalanya. Tepat pada saat itu, tangan kanan Resi Jagabaya langsung menyodok ke arah perut. Sejenak orang bertopeng mayat itu memekik kaget, lalu buru-buru dia menarik tubuhnya ke belakang.
Sementara itu, Ki Rungkut dan seorang sahabatnya sudah kembali disibukkan dengan serangan-serangan empat orang yang memakai baju dan topeng berwarna sama. Kini pertarungan kembali pecah tanpa dapat dihindarkan lagi. Tampak Ki Rungkut dan seorang sahabatnya sudah mulai kewalahan menghadapi empat orang musuhnya. Sementara Resi Jagabaya masih terus bertarung sengit melawan satu orang dari Iblis Topeng Mayat.
“Aaa…!”
Tiba-tiba terdengar satu jeritan melengking. Tampak satu-satunya sahabat Ki Rungkut yang masih hidup, terjungkal mencium tanah! Dari dadanya langsung menyembur darah segar. Dan begitu tubuhnya menggelepar di tanah, satu dari empat orang bertopeng mayat itu, langsung mengibaskan senjatanya ke arah leher.
Krak!
“Iblis! Keparat...!” geram Resi Jagabaya yang sempat melihat kejadian itu.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Resi Jagabaya segera melompat ke arah empat orang Iblis Topeng Mayat yang tengah mengeroyok Ki Rungkut. Dengan cepat tangan dan kakinya bergerak menghantam punggung empat orang itu. Seketika pekik tertahan terdengar saling susul. Kini empat orang yang tengah mengeroyok Ki Rungkut sudah bergulingan di tanah.
“Hup!”
Buru-buru mereka bangkit kembali. Sedangkan Resi Jagabaya berdiri tegak dengan sikap melindungi Ki Rungkut Dia merasa sangat bertanggung jawab atas keselamatan jiwa Kepala Desa Batang Hulu itu.
“Pramurti! Hentikan kekejamanmu!” bentak Resi Jagabaya menyebut nama asli Iblis Topeng Mayat.
“Aku akan berhenti kalau kalian semua sudah musnah!” jawab Pramurti tegas dan lantang.
“Huh! Seharusnya dulu aku tidak membiarkan kau selamat, perempuan iblis!” gerutu Resi Jagabaya.
“Tidak ada waktu untuk mengenang masa lalu, Jagabaya! Bersiaplah untuk ke neraka!” bentak Pramurti sengit.
Iblis Topeng Mayat yang di pinggangnya membelit selendang berwarna kuning keemasan itu, segera melompat menerjang. Sedangkan empat orang lainnya kembali menyerang Ki Rungkut. Dalam keadaan begitu, Resi Jagabaya tidak bisa berbuat banyak untuk melindungi Kepala Desa Batang Hulu itu.
Saat pertarungan itu tengah berlangsung sengit, tiba-tiba terdengar suara siulan panjang bernada tinggi melengking. Siulan itu bergema seolah-olah datang dari segala penjuru. Jelaslah kalau suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi, sehingga mampu membuat pertarungan itu berhenti seketika.
EMPAT
Suara siulan itu semakin lama semakin terdengar menyakitkan. Ki Rungkut segera menutup kedua telinganya. Juga empat orang Iblis Topeng Mayat, sedangkan Resi Jagabaya dan Pramurti sudah mengerahkan tenaga dalam untuk menahan suara siulan itu. Begitu hebatnya suara itu, sehingga daun-daun pohon di sekitar Hutan Karang Waja rontok berguguran.
“Yaaah...!” tiba-tiba Pramurti, atau Iblis Topeng Mayat berteriak nyaring melengking.
Seketika itu juga suara siulan berhenti. Dan semua orang yang berada di situ menolehkan kepalanya begitu mendengar suara senandung kecil berirama tak jelas. Tampak seorang pemuda tampan berambut gondrong, tengah duduk bersila di atas sebuah batu yang cukup besar.
“Bocah sinting! Siapa kau? Berani-beraninya mengganggu urusanku!” bentak Pramurti sengit.
“Ah, aku cuma menonton. Silakan teruskan,” sahut pemuda tampan itu kalem.
“Widarti, beri bocah lancang itu pelajaran!” perintah Pramurti pada anak buahnya.
Langsung saja salah seorang dari empat orang bertopeng mayat, melompat sambil mengibaskan tangannya yang memegang senjata tongkat pendek hitam. Gerakannya cepat luar biasa, hingga semua orang yang berada di situ, menahan napas. Mereka mengira, leher pemuda tampan itu pasti akan putus terbabat senjata itu. Namun yang terjadi benar-benar mencengangkan. Hanya dengan mengangkat sedikit tangannya saja, pemuda itu berhasil menyampok senjata Widarti, dan langsung menyepak, menghantam pundak wanita bertopeng mayat tersebut.
“Akh!” seketika Widarti memekik tertahan. Wanita itu langsung terdorong beberapa langkah ke belakang. Sedangkan pemuda tampan berambut gondrong itu tetap duduk bersila dengan tenang di atas batu. Bibirnya yang tipis dan kemerahan, tersenyum lebar. Namun matanya bersinar tajam, dengan garis-garis wajah yang menampakkan kekerasan dan ketegasan dalam hidupnya.
Widarti yang semula menganggap remeh pemuda tampan itu, langsung berteriak keras seraya melesat cepat menyerang kembali. Kali ini dia mengerahkan beberapa kibasan tongkatnya dan tendangan keras menggeledek. Namun pemuda tampan berambut gondrong itu hanya menggeser duduknya ke sana kemari. Diremehkan begitu, tentu saja Widarti jadi berang.
Tap!
Pada satu kesempatan, tangan kanan pemuda itu terangkat naik, tepat di saat tongkat Widarti mengarah kepalanya. Dan dengan manis sekali pemuda itu berhasil menangkap tongkat Widarti, sedangkan tangan kirinya menyampok ke arah dada.
“Ih...!” Widarti memekik kaget. Buru-buru wanita bertopeng itu menarik tubuhnya, namun tanpa diduga sama sekali, tangan kiri pemuda itu kembali melayang ke arah muka. Widarti yang tengah terperanjat, tidak sempat lagi untuk mengelak. Maka dengan sekali renggut saja, topeng yang menutup wajah wanita itu terenggut copot. Pemuda itu segera melepaskan pegangannya pada ujung tongkat lawannya seraya mendorongnya dengan kuat.
Kembali Widarti memekik tertahan. Dan tubuhnya terdorong sejauh tiga batang tombak. Tampak, wajahnya yang kini tidak tertutup topeng, merah padam. Namun wajah itu cantik sekali. Iblis Topeng Mayat lainnya, terperanjat melihat nasib yang diderita Widarti. Lebih-lebih Pramurti! Dia tidak menyangka sama sekali kalau muridnya dapat dipermainkan begitu mudah oleh seorang pemuda tampan yang selalu tersenyum itu.
“Setan! Kubunuh kau!” geram Widarti seraya bergerak hendak menyerang lagi.
“Widarti, mundur!” bentak Pramurti cepat.
Widarti langsung diam. Wajahnya yang cantik masih terlihat merah padam menahan kemarahan. Sementara di tangan pemuda itu tergenggam sebentuk topeng berwarna pucat bagai mayat. Sebentar dia mengamati topeng di tangannya. Kemudian melirik ke arah Pramurti yang melangkah menghampirinya.
“Aku tidak pernah punya urusan denganmu, tapi kau telah mencampuri urusanku, Bocah. Kau tahu, apa akibatnya?” dingin dan datar suara Pramurti.
“Ancaman...,” gumam pemuda berambut gondrong itu. “Bosan aku mendengar ancaman kosong!”
Kalau saja wajah Pramurti tidak tertutup topeng, mungkin sudah berwarna merah menahan geram mendengar kata-kata pemuda itu. Dan pelampiasannya, Pramurti tidak berkata-kata lagi. Dia langsung bergerak cepat menggeser kakinya ke depan, seraya mengirimkan serangan beruntun.
Dalam beberapa serangan, pemuda tampan itu masih bisa menandingi dengan posisi duduk bersila. Namun pada serangan serangan berikutnya, dia harus berlompatan bangun untuk menghindarinya. Serangan-serangan Pramurti begitu dahsyat, dan selalu mengarah pada tubuh-tubuh yang mematikan. Dan pemuda itu juga merasakan, kalau serangan-serangan lawannya kali ini lebih dahsyat dari yang semula.
Pramurti tampak semakin geram. Sudah dua puluh jurus berlalu dengan cepat, namun belum sedikit pun dia berhasil mengangsurkan pukulannya dengan telak ke tubuh pemuda itu. Bahkan pada satu kesempatan, sepakan kaki pemuda itu berhasil mendarat di punggungnya. Tentu saja Pramurti menggeram dahsyat. Dia langsung mencabut senjatanya yang berupa tongkat pendek hitam yang tadi sempat dia selipkan di pinggangnya. Kini dengan senjata di tangan, Iblis Topeng Mayat itu semakin dahsyat menyerang lawannya. Namun pemuda tampan berbaju kulit harimau itu memang luar biasa tangguhnya. Gerakan-gerakan tubuhnya demikian lentur bagai karet. Dan kakinya lincah berlompatan, atau menggeser mengimbangi gerak Iblis Topeng Mayat.
"Tring!
Seketika Pramurti tersentak ketika ujung senjatanya beradu dengan pergelangan tangan kanan lawannya. Dia segera menarik kembali senjatanya. Jari-jari tangannya mendadak terasa kaku dan bergetar kesemutan. Dia tadi mengira kalau tangan pemuda itu akan putus terpenggal, namun kenyataannya benar-benar di luar dugaan! Sejenak Pramurti melompat mundur tiga langkah, kemudian dilebarkan matanya melihat lempengan bundar bersegi enam keperakan yang menempel di pergelangan tangan kanan pemuda itu.
“Siapa kau?” bentak Pramurti keras.
Namun pemuda berbaju kulit harimau itu hanya tersenyum sinis.
Resi Jagabaya yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan itu, juga dibuat bingung. Dia benar-benar tidak menduga sebelumnya, kalau pemuda tampan yang kelihatan tidak memiliki apa apa itu, mampu membuat Iblis Topeng Mayat kewalahan. Sementara Ki Rungkut mulai tumbuh kembali harapan dan semangatnya, melihat kedigdayaan pemuda berbaju kulit harimau itu.
“Kau tidak perlu tahu siapa aku. Aku datang hanya untuk menyaksikan kekejaman. Aku suka dengan segala tindakan kejam dan berbau darah,” kata pemuda tampan berbaju kulit harimau itu dingin dan datar. Kata-katanya menyiratkan, betapa kejamnya dia. Seakan-akan melihat sebuah pertarungan yang mengancam nyawa, merupakan tontonan menarik dan menghibur hati.
“Kau terlalu besar kepala, Bocah! Jangan menyesal kalau kau harus mati di tanganku!” desis Iblis Topeng Mayat.
“O..., mungkin darahmu yang akan menyiram bumi,” sahut pemuda itu kalem.
“Setan keparat! Tahan seranganku, hiyaaa...!”
Pramurti, atau Iblis Topeng Mayat langsung menyerang kembali. Kali ini serangannya berlipat ganda. Semakin cepat dan dahsyat. Dia juga segera membagi tongkatnya menjadi dua, pada ujungnya-ujungnya terdapat sebilah mata pisau yang sangat tipis dan tajam. Suara angin terdengar menderu-deru, akibat kibasan dua senjata yang berada di tangan kanan dan kirinya.
Sementara pemuda berbaju kulit harimau itu masih melayaninya dengan tangan kosong. Lempengan logam bersegi enam di pergelangan tangannya, digunakan untuk menangkis serangan-serangan yang tidak mungkin lagi dielakkan. Beberapa kali Pramurti harus menarik mundur senjatanya begitu beradu dengan pergelangan tangan pemuda itu. Dalam hati, dia sudah bisa mengukur tingkat kepandaian lawannya.
Menyadari hal itu, Iblis Topeng Mayat segera melompat mundur, dan menghentikan serangannya. Dia kemudian menyatukan kembali senjata tongkatnya. Nampak butir-butir keringat merembes keluar dari lehernya. Sedangkan bola matanya yang cekung dan dalam hampir tertutup topeng, nampak berkilat merah menyimpan sejuta perasaan.
“Anak muda, urusan kita belum selesai sampai di sini! Aku masih ada urusan lain yang lebih penting!” kata Pramurti.
Setelah berkata begitu, Iblis Topeng Mayat itu melesat pergi, diikuti oleh empat orang muridnya. Sementara pemuda berbaju kulit harimau itu sempat melemparkan topeng yang berhasil dirampasnya, ke arah Widarti. Wanita itu langsung menangkapnya seraya melesat pergi mengikuti gurunya. Resi Jagabaya dan Ki Rungkut segera menghampiri pemuda itu, setelah lima orang berbaju hijau dan bertopeng pucat bagai mayat itu lenyap dari pandangan. Sesaat mereka hanya berdiri saling berhadapan tanpa berkata-kata.
“Anak muda, bukannya aku tidak berterima kasih padamu. Tapi campur tanganmu membuat susah dirimu sendiri. Kau tidak tahu siapa mereka itu,” kata Resi Jagabaya, seraya menatap langsung ke bola mata pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
“Siapa mereka?” tanya pemuda itu kalem.
“Iblis Topeng Mayat. Mereka sangat kejam, membunuh siapa saja yang menjadi penghalang dan dianggap musuh,” sahut Resi Jagabaya.
Pemuda berbaju kulit harimau itu diam. Kemudian pelahan-lahan kakinya terayun. Dari bibirnya terdengar gumaman alunan berirama tidak jelas.
“Kisanak, tunggu!” cegah Ki Rungkut.
Pemuda itu segera menghentikan langkahnya, dia menolehkan kepalanya sedikit tanpa berbalik.
“Kalau aku boleh tahu, siapa nama Kisanak?” tanya Ki Rungkut.
“Pendekar Pulau Neraka.”
Ki Rungkut tertegun beberapa saat lamanya. Matanya tidak berkedip memandangi punggung pemuda berbaju kulit harimau yang terus melangkah. Dia baru menoleh ketika pundaknya ditepuk dari belakang. Sementara Pendekar Pulau Neraka sudah lenyap di balik pepohonan Hutan Karang Waja itu.
“Mari kita lanjutkan perjalanan, Ki,” ajak Resi Jagabaya.
Ki Rungkut hanya mendesah panjang.
“Terpaksa kita harus berjalan kaki.”
“Ya, semua kuda telah lari ketakutan,” desah Ki Rungkut.
Kedua laki-laki tua itu kemudian segera melangkah meninggalkan tempat itu. Ki Rungkut sempat memandang kepada lima orang sahabatnya yang tewas tergeletak. Hatinya begitu sedih melihat kesetiaan sahabatnya, hingga berkorban nyawa hanya untuk membela kepentingannya. Ki Rungkut terus berjalan dengan kepala berputar. Benaknya masih dipenuhi dengan nama Pendekar Pulau Neraka. Sepertinya dia pernah mendengar nama itu. Tapi di mana dan kapan?
“Ada yang mengganggu pikiranmu, Ki Rungkut?” tanya Resi Jagabaya.
“Ya,” desah Ki Rungkut pelan.
“Katakan, mungkin aku bisa membantu,” pinta Resi Jagabaya.
Ki Rungkut hanya diam.
“Kau sedih dengan kematian lima orang sahabatmu?” tebak Resi Jagabaya.
“Salah satunya.”
“Mencemaskan keadaan desamu?”
“Juga itu.”
“Aku bisa memahami perasaanmu, aku berjanji akan menyelesaikan semua ini tanpa menambah korban lagi dari warga desamu,” kata Resi Jagabaya bernada menghibur.
Ki Rungkut kembali diam.
“Memang sukar untuk menghadapi Iblis Topeng Mayat dan keempat muridnya...,” sambung Resi Jagabaya.
Laki-laki tua berjubah kuning itu jadi berkerut keningnya melihat Ki Rungkut tetap diam dengan kepala tertunduk. Dia menduga kalau Ki Rungkut tengah memikirkan sesuatu. Tampaknya bukan masalah kematian lima orang sahabat, atau keadaan desanya yang terancam.
“Hm..., kau masih juga memikirkan sesuatu. Katakan, apa yang kau pikirkan, Ki Rungkut,” desak Resi Jagabaya.
“Pemuda itu,” sahut Ki Rungkut seraya mengangkat kepalanya.
“Pendekar Pulau Neraka?”
"Ya.”
“Ada apa dengan Pendekar Pulau Neraka?” tanya Resi Jagabaya.
“Aku seperti pernah mendengar namanya, tapi...,” Ki Rungkut tidak melanjutkan. Dia seperti ragu-ragu.
“Pendekar Pulau Neraka memang sudah terkenal namanya. Dia seorang pendekar digdaya yang sukar dicari tandingannya saat ini. Aku pun tadinya tidak menduga kalau pemuda itu ternyata pendekar digdaya yang kondang,” kata Resi Jagabaya.
“Resi tahu...?!” Ki Rungkut agak terkejut.
“Aku selalu mengikuti perkembangan rimba persilatan. Meskipun aku belum pernah bertemu sebelumnya, tapi aku sering mendengar tentang sepak terjangnya di dalam rimba persilatan. Aku sendiri tidak tahu, apakah Pendekar Pulau Neraka bisa dikatakan bergolongan putih atau hitam. Tampaknya dia tidak pernah membedakan golongan di kalangan rimba persilatan. Baginya lawan harus ditantang, dan kawan harus dilindungi. Tidak peduli apakah itu dari golongan putih atau hitam,” Resi Jagabaya menjelaskan.
Ki Rungkut diam saja. Sedikit demi sedikit ingatannya kembali terang. Desa Batang Hulu memang sering kedatangan para pengembara dari kalangan persilatan. Dan dari mereka banyak didengar tentang keadaan rimba persilatan yang tidak pernah menentu keadaannya.
“Aku sedang berpikir untuk meminta bantuan padanya,” kata Ki Rungkut pelan dan agak ragu-ragu.
“Tidak mudah, Ki. Pendekar Pulau Neraka tidak pernah mengurusi persoalan orang lain,” kata Resi Jagabaya.
Kembali Ki Rungkut terdiam. Dia terus berjalan tanpa berkata-kata lagi. Sedangkan Resi Jagabaya mulai berpikir dengan kata-kata yang barusan terucapkan dari mulut Kepala Desa Batang Hulu itu.
********************
Saat itu matahari sudah berada di balik peraduannya, ketika Resi Jagabaya dan Ki Rungkut tiba di Desa Batang Hulu. Suasana di desa itu tampak sunyi senyap. Munculnya Iblis Topeng Mayat di desa itu telah membuat seluruh penduduknya tidak berani keluar rumah. Keganasan perempuan iblis bertopeng pucat bagai mayat itu sudah menyebar dengan cepat sampai ke pelosok.
Kedatangan Resi Jagabaya dan Ki Rungkut tersebut segera disambut oleh Paksi, putra tunggal Kepala Desa Batang Hulu itu. Pemuda yang baru saja melangsungkan pernikahannya, tampak lusuh seperti baru saja bertarung. Bajunya kotor berdebu, dan disudut bibirnya masih terlihat setetes darah kering. Tentu saja Ki Rungkut terheran-heran melihat keadaan anaknya.
“Paksi, kenapa keadaanmu kotor begitu?” tanya Ki Rungkut bernada cemas.
“Ketiwasan, Ayah. Mereka datang ke sini semalam,” sahut Paksi lesu.
Kedua laki-laki tersebut langsung tersentak. “Apa yang terjadi?” tanya Resi Jagabaya.
“Mereka mengamuk, setelah tahu kalau Ayah pergi ke Puri Watu Ukir. Mereka menyangka kalau Ayah meminta bantuan ke sana. Hampir semua orang-orang kita tewas, dan beberapa penduduk juga jadi korban...,” suara Paksi semakin melemah. Matanya tampak merembang berkaca-kaca.
“Ada apa, Paksi?” tanya Ki Rungkut, tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
“Sariti...,” semakin lemah suara pemuda itu.
“Ada apa dengan Sariti?” desak Ki Rungkut.
“Dia..., dia tewas semalam,” suara Paksi hampir tidak terdengar.
“Astaga...!” Ki Rungkut terkejut.
“Aku sudah berusaha untuk menyelamatkannya, tapi mereka terlalu tangguh. Aku sendiri hampir saja tewas, kalau tidak ditolong oleh seorang pemuda yang sangat tangguh. Dia lalu membawaku pergi ke luar desa,” lanjut Paksi.
“Siapa pemuda itu?” tanya Resi Jaga baya.
“Aku tidak sempat bertanya. Dia langsung pergi begitu saja.”
Resi Jagabaya dan Ki Rungkut saling melempar pandang. Mereka seperti berada dalam satu pikiran sesudah mendengar cerita Paksi. Sementara suasana di rumah kepala desa itu sudah sunyi senyap. Darah yang telah mengering masih terlihat dibeberapa tempat. Dalam hati, Ki Rungkut merasa bangga, karena anaknya mampu bergerak cepat mengatasi keadaan.
“Bagaimana ciri-ciri pemuda itu?” tanya Resi Jagabaya.
“Keadaan waktu itu terlalu gelap, dan kejadiannya juga begitu cepat. Tapi aku sempat melihat kalau dia memakai baju dari kulit harimau,” sahut Paksi.
“Tidak salah!” desis Resi Jagabaya.
Paksi segera memandangi laki-laki tua berjubah kuning itu. Sinar matanya memancarkan ketidakmengertian, tapi belum sempat dia bertanya, Resi Jagabaya sudah melangkah pergi, diikuti oleh Ki Rungkut. Kedua laki-laki itu berjalan ke dalam rumah. Sementara Paksi tetap berdiri di beranda depan.
“Hhh..., seharusnya aku mengatakan yang.sebenarnya tentang Sariti,” desah Paksi bergumam.
“Tapi aku tidak mau dikatakan pengecut! Bagaimanapun juga, aku harus membebaskan Sariti!”
Sejenak pemuda itu menarik napas panjang, lalu melangkah memutari rumah besar itu menuju bagian samping. Tampak beberapa orang tengah duduk bersandar dengan wajah lesu dan tubuh lusuh. Mereka hanya menoleh sedikit pada putra kepala desa itu. Paksi menghampiri dan menghenyakkan tubuhnya begitu saja di tanah yang berlapis rumput tebal. Sebuah pohon rindang menaunginya dari sengatan sinar matahari.
“Ayah sudah datang bersama Resi Jagabaya,” kata Paksi memberitahu..Mereka yang berjumlah sekitar dua puluh orang itu, langsung menggerinjang hendak bangkit.
“Eh, tunggu...! Ayah tidak mau diganggu,” cegah Paksi.
Mereka kembali duduk bersandar pada dinding.
“Aku minta pada kalian, kalau Ayah atau Resi Jagabaya bertanya tentang Sariti, kalian harus menjawab Sariti tewas,” kata Paksi pelan.
“Den...,” salah seorang mau membantah.
“Sudah, bilang saja begitu. Kalian sudah menguburkan semua yang tewaskan?”
Dua puluh orang itu mengangguk serempak.
“Nah! Kalau Ayah menanyakan kuburannya, tunjukkan saja yang paling sebelah kiri. Aku tidak mau Ayah tahu tentang keadaan Sariti yang sebenarnya. Kalian paham?”
“Mengerti, Den,” sahut mereka lagi hampir serempak.
“Sekarang istirahatlah dulu. Besok pagi aku akan membutuhkan beberapa di antara kalian untuk membebaskan Sariti dari tangan mereka,” kata Paksi lagi. Setelah berkata begitu, putra kepala desa itu beranjak bangun dari duduknya, lalu melangkah ke beranda depan. Sementara kedua puluh orang tersebut tetap beristirahat di samping rumah.
********************
LIMA
Pagi baru saja datang menjelang. Cahaya matahari menabur lembut membangunkan seluruh isi mayapada mi. Sinarnya yang memerah Jingga, menyembul menyemburat indah di balik Bukit Bojong. Kabut mulai berpencar tersentuh hangatnya sinar sang surya. Kicau burung bernyanyi riang menyongsong datangnya fajar.
Di Puncak Bukit Bojong yang masih berselimut Kabut, seorang gadis berbaju merah menyala ketat, berdiri tegak memandangi setumpuk abu dari kayu-kayu yang terbakar. Angin yang berhembus agak kencang menebarkan abu itu ke segala arah. Wajahnya yang terbalut kulit putih, tampak murung. Sepasang bola matanya yang bulat indah, terlihat berkaca-kaca.
Entah sudah berapa lama gadis itu berdiri di situ. Sama sekali dia tidak menghiraukan kicauan burung, dan hangatnya sinar matahari pagi. Setitik air bening menggulir dari sudut matanya. Tapi buru-buru dia menghapus dengan punggung tangannya. Gadis itu seperti tidak ingin kelihatan menangis. Dia berusaha tegar, meskipun dadanya bergemuruh, bergolak ingin memberontak.
Sejenak gadis itu mengangkat kepalanya, dan memiringkannya ke kiri. Telinganya yang tajam, dapat mendengar suara halus langkah kaki seseorang. Belum lagi dia sempat mengetahui persis, tiba-tiba di sekelilingnya sudah berlompatan empat orang berpakaian hijau ketat, dan mengenakan topeng pucat bagai mayat. Gadis itu memutar tubuhnya, dan saat matanya menatap ke arah sebuah dahan, tampak seorang lagi berdiri di sana dengan angkuhnya.
“Ke mana pun kau pergi, tidak akan lepas dari tanganku, Narita!” dingin kata-kata orang bertopeng mayat, yang berdiri di atas dahan pohon.
“Aku memang tengah mencarimu, iblis!” balas Narita tidak kalah dinginnya.
“Ha ha ha...!” Iblis Topeng Mayat terbahak-bahak. Tenggorokannya serasa tergelitik mendengar kata-kata gadis berbaju merah itu.
“Kau berhutang nyawa padaku! Hari ini juga aku akan menagih nyawamu!” dengus Narita geram.
“Jangan terlalu bermimpi besar, Narita. Gurumu saja tidak sanggup menandingiku, apalagi kau? Bocah baru kemarin sore! Ha ha ha...!”
Narita menggeretakkan gerahamnya dengan perasaan geram. Dia memang menyadari, kalau dirinya bukanlah tandingan Iblis Topeng Mayat. Melawan empat orang muridnya saja, belum tentu mampu.
Tapi gadis itu sudah tidak peduli lagi. Kematian dua orang yang sangat dicintainya, membuatnya nekad! Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, Narita segera meloloskan sabuknya yang berwarna keperakan. Dan dengan satu kebutan keras, sabuk itu berubah kaku bagai pedang tipis yang kelihatan lentur. Sementara empat orang berbaju hijau dan bertopeng pucat bagai mayat, juga segera mencabut senjatanya yang berupa tongkat pendek berwarna hitam pekat.
“Majulah kalian!” bentak Narita keras.
“Hup!” Iblis Topeng Mayat yang nama aslinya Pramurti, melompat turun dari dahan pohon. Lalu dengan manis sekali kakinya mendarat di depan Narita. Kini jarak mereka hanya sekitar dua batang tombak. Narita segera menyilangkan sabuknya yang sudah menegang kaku di depan dada. Matanya menatap langsung ke bola mata yang tersembunyi di balik topeng pucat bagai mayat itu.
“Hup! Hiyaaa...!”
Narita langsung melompat menerjang seraya mengibaskan senjatanya dengan cepat ke arah leher Iblis Topeng Mayat. Serangan yang cepat dan bertenaga penuh itu, hanya dilayani Pramurti dengan mengegoskan kepala sedikit saja. Hingga serangan Narita lewat beberapa helai rambut di depan leher Iblis Topeng Mayat. Dan pada saat itu, tangan kiri wanita bertopeng itu bergerak ke depan.
“Ugh!” Seketika Narita mengeluh pendek, dan tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Dadanya mendadak tersa sesak. Namun gadis itu segera melompat kembali. Dia mengibaskan senjatanya beberapa kali dengan cepat ke arah bagian tubuh lawan yang mematikan. Sedangkan Pramurti langsung berkelit meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari tebasan senjata gadis berbaju merah itu.
Pertarungan memang berjalan tidak seimbang. Jelas sudah kalau Narita masih berada jauh di bawah tingkat kepandaian Iblis Topeng Mayat. Serangan-serangan gadis itu lewat tanpa membawa hasil yang memuaskan. Bahkan baru beberapa jurus saja, sudah beberapa kali Narita terjungkal mencium tanah. Tapi gadis itu tampaknya tidak mau menyerah begitu saja. Dia terus saja menyerang dengan dahsyat.
“Hup!” Sejenak Iblis Topeng Mayat melompat mundur. Kemudian jari tangannya bergerak menjentik, memperdengarkan suara bagai ranting patah. Saat itu juga empat orang muridnya segera melompat mengurung Narita.
“Kau bukan lawanku, Narita. Jika kau berhasil merobohkan salah satu dari muridku, kau akan bebas hidup dan aku akan melupakanmu,” kata Iblis Topeng Mayat.
“Huh!” Narita mendengus kesal.
“Beri bocah itu pelajaran, anak-anak!” seru Iblis Topeng Mayat.
Langsung saja empat orang wanita berbaju hijau dan bertopeng pucat bagai mayat itu berlompatan menyerang Narita. Sedangkan gadis berbaju merah itu mengamuk bagai singa betina kehilangan anaknya. Senjatanya berkelebatan cepat ke arah para penyerangnya. Kadang-kadang senjata keperakan itu meregang kaku bagai pedang, namun di lain saat berubah lemas bagai cambuk.
Senjata yang dipegang Narita rupanya berhasil membuat empat orang bertopeng pucat itu gentar. Beberapa kali mereka berbenturan senjata, namun mereka merasakan seperti membentur benda lunak yang dapat memantulkan tenaga dengan keras. Dan Narita memang sudah mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Dia tidak mau tanggung-tanggung lagi dalam menghadapi lawannya kali ini.
Narita yang sudah pernah bentrok dengan empat orang bertopeng pucat bagai mayat itu, benar-benar nekad. Dia langsung mengeluarkan jurus-jurus andalannya! Hal itu sangat jelas, karena empat orang lawannya kelihatan sulit untuk mematahkan serangan-serangan gadis berbaju merah itu.
Namun setelah melewati lebih dari dua puluh jurus, tampak keadaan mulai bisa dilihat. Gerakan-gerakan Narita tidak lagi sedahsyat semula. Tenaganya sudah terkuras banyak, dan dia mulai sulit mengontrol diri. Sementara empat orang lawannya segera memanfaatkan keadaan tersebut. Mereka langsung meningkatkan tekanan dan serangannya. Beberapa kali Narita harus berkelit menghindari serangan lawan-lawannya. Bahkan tidak jarang dia harus memekik, terkena pukulan atau tendangan yang keras.
“Akh!” tiba-tiba Narita memekik tertahan.
Salah seorang lawannya berhasil merobek pundak kiri gadis itu. Darah langsung keluar dengan deras.
Tampak Narita melangkah mundur dengan terhuyung-huyung. Sedangkan jari-jari tangannya bergerak cepat menotok di sekitar lukanya. Sebentar saja darah sudah berhenti keluar. Namun bibirnya masih berkerut mendesis, menahan marah yang memuncak.
Saat itu satu orang yang berada di depan, mendadak berteriak keras sambil melompat dan mengibaskan tongkat hitamnya. Buru-buru Narita merunduk menghindari serangan itu. Tapi selagi Narita merunduk, seorang lagi dari arah samping kirinya, segera melepaskan pukulan yang dahsyat.
“Uts!” Cepat-cepat Narita menarik tubuhnya ke belakang seraya menangkis pukulan itu dengan tangan kiri. Dan belum lagi gadis itu bisa menguasai diri, satu serangan lagi datang dengan cepat. Kali ini sebuah kaki melayang ke arah dada. Narita yang sudah diserang beberapa kali dari berbagai jurusan, tidak mampu lagi berkelit. Tendangan geledek itu tepat menghantam dadanya.
“Akh...!” lagi-lagi Narita memekik keras.
Tubuh gadis itu langsung terpental kebelakang sejauh dua batang tombak. Pada saat itu, salah seorang yang berada di belakangnya, menerimanya dengan melepaskan pukulan keras ke arah punggung. Seketika Narita tersuruk jatuh mencium tanah. Dan belum lagi gadis itu sempat bangkit, satu batang tongkat melunak deras ke arahnya! Kini Narita benar-benar pasrah. Dia hanya dapat memejamkan mata, tak mampu lagi untuk berkelit.
Tapi pada saat ujung tongkat itu hampir menembus dadanya, secercah cahaya keperakan melesat dan mengarah tongkat itu. Buru-buru orang yang memegang tongkat hitam itu menariknya dengan cepat, sehingga cahaya keperakan itu lewat di bawah ujung tongkatnya. Sedangkan Narita yang sudah menunggu saat ajalnya, jadi terkejut begitu membuka matanya. Tampak seorang pemuda tampan telah berdiri di sampingnya. Maka dengan sisa-sisa tenaganya, gadis itu berusaha bangkit.
Pemuda itu berdiri tegak, dengan kedua tangan yang melipat di depan dada. Matanya tajam menatap pada lima orang berpakaian hijau dengan wajah tertutup topeng pucat bagai mayat. Pemuda itu mengenakan baju dari kulit harimau. Di pergelangan tangan kanannya, menempel sebuah benda bulat pipih bersegi enam yang melengkung, dan berwarna keperakan.
“Huh! Kalian benar-benar manusia binatang! Mengeroyok seorang gadis yang tidak berdaya!” dengus pemuda itu dingin.
“Bocah setan! Kau terlalu usil, selalu mencampuri urusanku!” bentak Pramurti atau Iblis Topeng Mayat yang segera mengenali pemuda tersebut.
“Aku tidak akan ikut campur, jika kalian mau bertarung secara ksatria!” sahut pemuda itu tegas.
“Apa pedulimu?!” bentak Pramurti sengit.
Pemuda itu tidak menanggapi, kemudian dia menoleh kepada Narita yang sudah bisa berdiri disampingnya. Sedikit dia melemparkan senyumnya. Lalu pandangannya beralih pada wanita berbaju hijau di depannya. Sedangkan empat orang lainnya sudah berdiri di belakang Pramurti.
“Narita! Kali ini kau bisa bernapas kembali, tapi kau tidak akan lepas dari pengawasanku!” kata Pramurti tajam. “Dan kau, bocah usil Perbuatanmu harus kau tebus dengan mahal!” Setelah memberikan ancaman demikian, Iblis Topeng Mayat langsung melesat pergi diikuti oleh empat orang lainnya.
Sementara pemuda berbaju kulit harimau itu hanya bisa memandangi. “Huh! Ancaman orang pengecut!” dengus pemuda itu.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu kemudian berbalik dan memandang Narita. Sedangkan gadis itu malah memalingkan mukanya, dan menatap pada gundukan abu yang mulai menipis terhempas angin. Pelahan-lahan kakinya terayun mendekati abu pembakaran itu, dan berdiri di dekatnya dengan mata tidak berkedip. Sementara pemuda itu masih berdiri di tempatnya sambil memperhatikan.
“Maaf, kalau kehadiranku ini membuatmu tidak senang,” kata pemuda tampan itu pelan.
Narita segera berbalik dan menatap pada pemuda yang berada dua batang tombak di depannya. Bola matanya berputar, seolah-olah dia tengah menyelidik. Rasanya belum pernah dia melihat pemuda tampan berambut gondrong, dan berbaju dari kulit harimau itu. Tapi kalau melihat Iblis Topeng Mayat seakan-akan segan bentrok dengannya, pastilah tingkat kepandaiannya sudah sangat tinggi.
“Jika kau memang tidak suka, sebaiknya aku pergi,” kata pemuda itu seraya berbalik.
“Tunggu dulu!” cegah Narita sambil melangkah menghampiri.
Pemuda itu kembali membalikkan tubuhnya. Kini jarak mereka begitu dekat. Sesaat mereka saling pandang, lalu Narita melangkah menjauh, dia duduk di batang pohon yang tumbang. Sedangkan pemuda itu segera menghampiri dan duduk bersandar di bawah pohon yang tidak jauh dari tempat Narita duduk. Beberapa saat kemudian mereka masih belum membuka percakapan.
“Siapa kau? Kenapa mau bersusah-payah menolongku?” tanya Narita, datar suaranya.
“Namaku Bayu Hanggara, tapi biasa dipanggil Pendekar Pulau Neraka,” sahut pemuda itu kalem. “Aku menolongmu karena kebetulan lewat, dan melihat kau seperti membutuhkan pertolongan.”
“Terima kasih, tapi aku tidak perlu kau tolong. Lebih baik aku mati, daripada tidak bisa membalas kematian Guru yang juga kakekku. Mereka juga telah membunuh saudaraku satu-satunya,” pelan suara Narita.
“Siapa yang membunuh mereka?” tanya Bayu.
“Iblis Topeng Mayat. Mereka memang sudah lama menjadi musuh keluargaku. Mereka tidak akan puas kalau belum membunuhku,” sahut Narita menjelaskan dengan singkat.
“Apakah kau dari Desa Batang Hulu?” tanya Bayu lagi.
Narita tidak langsung menjawab. Dia lalu menoleh dan menatap pemuda itu dengan tajam. Kemudian pelahan-lahan kepalanya terangguk. “Dari mana kau tahu aku berasal dari Desa Batang Hulu?” tanya Narita bernada heran.
“Hanya kebetulan saja. Kemarin malam aku juga menyaksikan pembantaian di sana, dan aku berhasil menyelamatkan seseorang yang tampaknya mempunyai pengaruh di sana. Lalu paginya lagi aku bentrok dengan mereka, karena berusaha menyelamatkan beberapa orang yang baru keluar dari sebuah tempat seperti benteng. Dan sekarang aku bertemu denganmu yang juga bentrok dengan mereka. Aku hanya menduga, kalau semua peristiwa itu saling berkaitan. Benar begitu?”
“Mungkin,” desah Narita pelan.
Sebenarnya gadis itu agak terkejut juga mendengar penuturan Bayu. Tapi dia bisa menyembunyikan rasa terkejutnya dengan cepat. Hatinya kini mendadak jadi gelisah. Dia sadar kalau semua yang dilakukan kakeknya akan berakibat luas! Kakeknya, Eyang Galadipa atau Pendekar Welut Putih sudah bercerita banyak tentang Iblis Topeng Mayat dan segala persoalan yang ada. Dan semua yang telah terjadi itu, sebelumnya memang sudah menjadi bahan pemikiran Eyang Galadipa. Dan Narita merasa bahwa semua itu sekarang menjadi tanggung jawabnya. Pelahan dia menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan kuat. Dadanya terasa sesak, menyadari persoalan yang dihadapinya semakin pelik dan meluas.
“Sebenarnya aku tidak ingin ikut campur dalam urusan ini. Tapi melihat begitu banyak orang-orang yang terancam jiwanya, aku....”
“Kau sudah ikut terlibat!” potong Narita cepat.
Bayu langsung menatap gadis itu dengan tajam.
“Iblis Topeng Mayat tidak akan pernah melepaskan orang yang sudah pernah berurusan dengannya!” kata Narita lagi.
“Oh, begitu? Lalu kenapa kau sampai bisa bentrok dengan mereka?”
“Ceritanya panjang, dan kalau ingin lebih jelas, datang saja ke Puri Watu Ukir,” sahut Narita.
“Di mana itu?”
“Cari saja sendiri. Orang yang kau tolong kemarin berasal dari sana.”
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia bisa menebak kalau semua peristiwa itu pasti saling berkaitan dan menyangkut banyak orang. Bayu merasakan, kalau Pendekar Pulau Neraka bakal bertualang kembali dan tangannya akan berlumuran darah lagi. Untuk kesekian kalinya dia terpaksa mencampuri urusan orang lain, yang tidak ada sangkut pautnya dengan tujuan pengembaraannya.
********************
Saat itu di Puri Watu Ukir, suasananya tidak seperti biasa. Mayat-mayat tampak bergelimpangan di mana-mana. Sedangkan di beberapa tempat, masih terdengar suara pertempuran. Hampir seluruh bangunan di tempat itu porak poranda bagai baru saja terjadi badai yang amat dahsyat! Di dalam sebuah ruangan yang sangat luas, Resi Danuraga tengah bertarung melawan Iblis Topeng Mayat.
Pertarungan itu sudah mencapai pada tahap yang sangat tinggi. Mereka sama sama telah mengeluarkan jurus-jurus andalan masing-masing. Namun pada jurus-jurus akhir, tampaklah kalau Resi Danuraga terdesak terus.
“Mampus kau, Danuraga!” bentak Iblis Topeng Mayat.
Saat itu juga dia mengayunkan senjatanya ke arah dada Resi Danuraga. Namun dengan cepat laki-laki tua berjubah kelabu itu mengegoskan tubuhnya ke samping, menghindari tusukan tongkat pendek berwarna hitam pekat itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Iblis Topeng Mayat memutar arah senjatanya dengan cepat dan tiba-tiba.
Resi Danuraga terperangah sejenak. Buru-buru dia melentingkan tubuhnya berputar ke belakang. Tapi Iblis Topeng Mayat terus mencecarnya dengan mengecutkan senjatanya beberapa kali. Terpaksa Resi Danuraga kembali bersalto ke belakang menghindari serangan yang beruntun itu. Dan pada lompatan yang kesekian kalinya, sebuah kakinya berhasil mendupak tangan Iblis Topeng Mayat.
“Akh!” Iblis Topeng Mayat memekik tertahan.
Dan begitu Resi Danuraga berdiri tegak, dengan cepat Iblis Topeng Mayat mengebutkan senjatanya ke depan. Sungguh di luar dugaan sama sekali, senjata itu terlepas pada bagian tengahnya, dan meluruk deras ke arah Resi Danuraga. Buru-buru laki laki tua berjubah kelabu itu memiringkan tubuhnya. Dan lontaran senjata itu lewat sedikit di sampingnya.
Tepat pada saat itu, kembali Iblis Topeng Mayat melompat bagaikan kilat, seraya melemparkan potongan senjatanya ke arah dada. Sedangkan Resi Danuraga yang tengah berkelit menghindari lontaran potongan senjata yang pertama, tidak bisa lagi menghindar dengan cepat.
“Aaakh...!” seketika Resi Danuraga memekik keras. Ujung tongkat hitam Iblis Topeng Mayat tersebut berhasil menembus dadanya. Dan begitu dia menarik senjata itu, darah langsung muncrat keluar!
Sementara perempuan berbaju hijau yang mengenakan topeng pucat bagai mayat itu, melayangkan kakinya dengan keras ke arah perut. Buk! Resi Danuraga kontan terbungkuk, dan tongkat pendek dengan ujungnya terdapat pisau tipis itu berkelebat cepat ke arah leher.
Seketika tubuh Resi Danuraga ambruk! Iblis Topeng Mayat kemudian mencabut potongan senjatanya yang menancap di dinding, dan menyatukannya kembali dengan yang dia pegang. Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, wanita berbaju hijau itu langsung melompat ke luar.
“Hiya...!” Pada saat itu, di luar masih berlangsung pertempuran sengit antara empat orang murid Iblis Topeng Mayat, melawan seorang wanita tua yang mengenakan jubah hijau. Wanita itu adalah Nyai Resi Rara Kitri. Tampak di sekitar pertarungan itu, mayat-mayat bergelimpangan tidak tentu arah dan saling tumpang tindih. Bau anyir darah pun menyebar terbawa angin.
“Mundur...!” seru Iblis Topeng Mayat.
Seketika itu juga, empat orang muridnya berlompatan mundur. Sedangkan Nyai Resi Rara Kitri tampak tersengal napasnya. Kedatangan Iblis Topeng Mayat itu merupakan tanda, kalau Resi Danuraga sudah tewas. Sejenak Nyai Resi Rara Kitri memandang berkeliling. Hatinya sedih bercampur geram melihat seluruh, cantrik dan murid-muridnya telah tewas.
“Lama aku menunggu kesempatan seperti ini, Rara Kitri,” kata Iblis Topeng Mayat, dingin dan datar suaranya.
“Hhh! Kau benar-benar perempuan iblis, Pramurti!” dengus Nyai Resi Rara Kitri menyebut nama asli Iblis Topeng Mayat.
“Tapi aku bukan tikus sepertimu! Bersembunyi balik lorong hanya menunggu maut!” balas Pramurti.
“Sebenarnya aku sudah melupakan semua perselisihan di antara kita, Rara Kitri. Tapi saudaramu yang memulai lebih dulu. Dia membantai habis murid-muridku di saat aku sedang bepergian, hingga tinggal tersisa lima orang. Bahkan satu lagi sudah tewas terbunuh oleh cucu saudaramu. Aku pun berusaha melupakan semua itu, karena aku begitu mencintai Galadipa, tapi rupanya dia masih menyimpan dendam padaku. Kau tahu, Rara Kitri. Bukan aku yang membunuh istri Galadipa. Dia tewas karena terjatuh di dalam jurang, dan aku sudah berusaha untuk menolongnya. Tapi saudara-saudaramu menuduhku lain, juga kau! Apa boleh buat, api permusuhan telah kalian sulutkan. Dan api itu tidak akan padam sebelum di antara kita ada yang tewas!” kata Pramurti mengingatkan kejadian beberapa puluh tahun silam.
“Kau sudah membunuh Galadipa, lalu kenapa kau masih juga berkeliaran? Bahkan membantai para penduduk yang tidak berdosa!” rungut Nyai Resi Rara Kitri.
“Aku sengaja berbuat demikian untuk memancing saudara-saudaramu keluar. Dan aku pun bersumpah, aku dan murid-muridku yang tewas, atau kau dan seluruh saudara saudaramu, serta keturunanmu semua!” sahut Pramurti.
“Iblis! Kau benar-benar bukan lagi manusia, Pramurti!” geram Nyai Resi Rara Kitri menggeretak.
“Ha ha ha...! Itulah aku, Iblis Topeng Mayat! Apa pun akan kulakukan, demi tercapainya maksudku!” kata Pramurti pongah.
“Setan! Mampus kau! Hiyaaa...!”
Nyai Resi Rara Kitri tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dengan cepat dia melompat menerjang Iblis Topeng Mayat itu. Namun dengan manis sekali Iblis Topeng Mayat menghindari serangan-serangan tersebut. Nyai Resi Rara Kitri yang sudah dirasuki hawa amarah, langsung mengerahkan jurus-jurus andalannya yang dahsyat dan sangat berbahaya!
Sementara dua orang yang saling bermusuhan selama bertahun-tahun itu menyabung nyawa, empat orang murid Iblis Topeng Mayat terus mengamatinya dengan sikap siaga. Mereka mengambil tempat dari empat jurusan. Masing-masing sudah menggenggam senjata berupa tongkat hitam pendek, dengan cincin berwarna merah pada tengahnya.
“Hiya...!”
“Yeah...!”
Dua orang wanita yang bertarung itu saling melompat tinggi ke udara, dan berbenturan di udara. Tampak Nyai Resi Rara Kitri terlempar dan jatuh dengan keras ke tanah. Sedangkan Iblis Topeng Mayat mendarat dengan manis di tanah. Dan begitu kakinya menjejak tanah, kembali dia melenting, dan bersalto beberapa kali di udara. Kemudian dengan satu gerakan yang cepat dan sukar diikuti oleh mata biasa, ujung tongkatnya menghunjam ke dada Nyai Resi Rara Kitri yang baru saja bisa bangkit.
“Hugh!” Nyai Resi Rara Kitri langsung mengeluh pendek.
“Yap!”
Pramurti segera mencabut senjatanya kembali dari dada lawannya. Lalu dengan cepat sekali kaki kanannya terayun mendupak tubuh resi wanita tersebut Tubuh Nyai Resi Rara Kitri pun kembali terjungkal ke belakang. Dari dadanya tampak mengucur darah segar. Sedangkan mulutnya mengeluarkan darah kental kehitaman. Sebentar dia masih menggelepar, lalu diam dan tidak berkutik lagi.
“Hi hi hi...!” Pramurti tertawa mengikik penuh kepuasan.
Dan tanpa banyak bicara lagi, Iblis Topeng Mayat segera melesat pergi meninggalkan korban-korbannya. Sementara empat orang muridnya langsung mengikuti tanpa diperintah lagi. Tepat pada saat mereka lenyap di balik kerimbunan pepohonan, muncul dua orang di Puri Watu Ukir itu.
“Bibi...!”
ENAM
Narita langsung menubruk dan memeluk tubuh Resi Rara Kitri yang bersimbah darah. Gadis itu kemudian menggoyang-goyangkan tubuh wanita tua berjubah hijau itu. Dari bibirnya yang mungil, tidak berhenti menyuarakan kata-kata. Sementara di sampingnya tampak berdiri Pendekar Pulau Neraka. Pemuda tampan, tegap dan berbaju kulit harimau itu, hanya bisa memandang dengan dada diliputi oleh berbagai macam perasaan.
“Bi...,” rintih Narita bernada putus asa.
“Oh...,” terdengar rintihan lirih dari bibir yang berlumur darah kental.
“Bi...! Bibi...!” seru Narita.
“Narita..., cucuku...,” Resi Rara Kitri mendesis lirih. Kelopak matanya terbuka sedikit. Dan napasnya tersengal satu-satu.
“Siapa yang melakukan ini, Bi?” tanya Narita.
“Narita.... Oh, kau tahu aku bibimu?” Resi Rara Kitri malah balik bertanya.
“Iya, Bi. Sejak semula aku memang sudah tahu. Maafkan aku, Bi. Aku pergi tanpa pamit lagi, karena tidak ingin Bibi dan Paman semua ikut terlibat,” kata Narita.
“Bukan salahmu, Narita. Kami memang sudah lama bermusuhan. Akh...!” tubuh Resi Rara Kitri tiba-tiba mengejang.
“Bi...!” Narita tersentak kaget.
“Dengar, Narita. Sebentar lagi aku akan mati. Carilah Paman dan Bibimu yang lain. Beritahu semua kejadian di sini. dan.... Oh!” tubuh Resi Rara Kitri kembali mengejang.
“Bi...! Bibi...!” Narita terus mengguncang-guncang tubuh wanita tua itu.
Tapi Resi Rara Kitri sudah tidak bergerak lagi. Seketika Narita menjerit keras, dan memeluk tubuh yang sudah tidak bernyawa itu. Gadis itu tidak sanggup lagi membendung air matanya. Dia menangis meraung-raung.
“Narita...,” Bayu menepuk pundak gadis itu, setelah cukup lama ia membiarkannya menumpahkan perasaan.
Pelahan-lahan Narita menoleh, dan meletakkan tubuh bibinya dengan hati-hati. Kemudian dia segera bangkit, dan menatap pemuda tampan disampingnya. Gadis itu tidak peduli dengan air matanya yang merembes ke luar dengan deras.
“Tidak perlu kau tangisi. Yang sudah pergi tidak mungkin kembali lagi,” kata Bayu pelan.
“Semua ini karena salahku. Kalau saja aku tidak berpura-pura dan tidak pergi dari sini, pasti mereka semua masih hidup. Aku memang bodoh! Tolol!” Narita mengutuki dirinya sendiri.
“Kau tidak bodoh, Narita. Kau hanya tidak bisa mengendalikan diri, dan semua yang terjadi memang sudah takdir. Semua manusia pasti akan mati, hanya cara dan waktunya saja yang tidak kita ketahui. Aku tidak melihat kesalahan pada dirimu, Narita. Tindakanmu benar, kau bermaksud baik. Tapi takdir menentukan lain. Penyesalan diri dan air mata bukanlah suatu penyelesaian yang baik. Jika kau merasa bahwa semua yang terjadi karena kesalahanmu, kau harus menentukan sikap, bukan menyesali dan meratap mengutuk diri sendiri. Kau seorang pendekar, Narita. Kau harus lebih segala-galanya dari wanita-wanita lain,” lembut kata-kata Bayu, namun terdengar tegas, penuh perasaan dan dorongan moril.
“Kau benar, Kakang,” kata Narita serasa baru tergugah dari mimpi buruk yang hampir menenggelamkan dirinya.
“Hapuslah air matamu, tegarkan hatimu. Kau tidak akan bisa menyelesaikan suatu persoalan dengan air mata dan penyesalan diri.”
Pelahan-lahan Narita mulai tersenyum, kemudian menghapus air matanya dengan punggung tangannya. Sejenak kepalanya berpaling pada mayat Nyai Resi Rara Kitri. “Ayo, Kakang. Bantu aku mengurus mayat mayat ini,” ajak Narita.
Bayu segera tersenyum melihat Narita kembali bangkit. Maka tanpa diminta dua kali, dia segera mengumpulkan mayat-mayat yang bergelimpangan, pada satu tempat di halaman depan Puri Watu Ukir. Sementara Narita mengambil cangkul untuk menggali lubang. Dia sempat tertegun dan hampir guncang kembali saat menemukan mayat Resi Danuraga di dalam rumah. Mayat itu keadaannya sangat mengenaskan, kepala terpisah dari badan.
Namun gadis itu tidak lagi mau larut dalam kesedihan dan perasaan bersalah. Kata kata Bayu barusan bagaikan setitik air sejuk yang membangkitkan semangat, dan menyalakan kembali pelita di dalam hatinya. Narita seolah-olah bagaikan seorang musafir yang baru saja menemukan jalan, setelah sekian lama tersesat di dalam luasnya gurun.
Narita membantu Pendekar Pulau Neraka menguburkan seluruh mayat-mayat yang bergelimpangan bersimbah darah. Dan Narita hampir pecah kembali tangisnya, saat mayat Nyai Resi Rara Kitri dan mayat Resi Danuraga dikuburkan. Gadis itu segera berlari menjauh untuk menguatkan hatinya. Sementara Bayu hanya bisa melihat sambil meneruskan pekerjaannya. Dia bisa memaklumi perasaan gadis itu.
Bayu kemudian menghampiri gadis cantik berbaju merah menyala itu, setelah dia menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan Narita tetap duduk dengan kepala tertunduk di bawah pohon yang cukup rindang.
“Narita, kau mau tetap di sini, atau mencari Paman dan Bibimu yang lain?” tegur Bayu.
Narita mendesah panjang, kemudian pelahan-lahan dia bangkit. Sebentar dia menatap ke arah gundukan tanah yang cukup besar, tidak jauh didepannya. Lalu tatapan matanya beralih kepada Pendekar Pulau Neraka.
“Maaf, aku tidak bisa...,” Narita tidak melanjutkan kata-katanya.
“Sudahlah, aku bisa mengerti perasaanmu,” kata Bayu memahami.
“Terima kasih.”
“Ayo, kita pergi, sebelum hari menjadi gelap,” ajak Bayu.
Narita mengangguk dan kakinya terayun melangkah. Pendekar Pulau Neraka juga mengayunkan kakinya di samping gadis itu. Mereka berjalan meninggalkan Puri Watu Ukir tanpa berkata-kata lagi. Sementara itu senja mulai merayap mendekati pergantian waktu. Sang surya dengan cahayanya yang merah jingga, menyemburat semakin tenggelam di balik belahan bumi sebelah Barat.
********************
Siang berganti dengan malam, sejalan dengan berputarnya sang waktu. Matahari pun berganti dengan sang dewi malam. Kini suasana di sekitar Bukit Bojong agak sunyi. Hanya binatang-binatang malam saja yang memperdengarkan suaranya, menghalau kesunyian yang menyelimuti mayapada ini.
Seorang wanita tua berjubah biru, tampak berjalan pelahan-lahan merambah hutan di Lereng Bukit Bojong itu. Dari bentuk tubuhnya yang kurus dan agak bungkuk, orang tidak akan menyangka kalau wanita tua renta itu memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Tapi kalau dilihat dari caranya berjalan, sudah dapat diketahui bahwa dia berjalan dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Ayunan kakinya ringan, seolah olah dia berjalan tidak menapak tanah. Rumput-rumput yang terinjak pun tidak nampak bekas-bekas tapak kakinya. Sinar matanya bersorot tajam, seakan akan menembus pekatnya malam. Beberapa saat kemudian, wanita tua itu berhenti setelah tiba di sebuah tempat yang berbatu, dengan tebing-tebing curam dan beberapa tonjolan batu.
“Hm, ada orang lain menuju ke sini,” gumam wanita tua itu pelan.
Sebentar dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Begitu matanya menatap pada sebuah batu besar yang menjorok ke luar dari tebing, dia langsung melesat cepat ke arah batu itu. Dalam sekejap saja tubuhnya.sudah lenyap di balik batu besar dan hitam pekat itu. Tidak lama berselang, tampak beberapa orang laki-laki berjalan di bawah tebing batu itu. Mereka adalah Paksi dan sepuluh orang pengawalnya.
“Hati-hati, kita sudah berada dekat dengan sarang mereka,” kata Paksi yang berjalan paling depan.
“Di mana tempatnya, Den?” tanya salah seorang yang berjalan di belakangnya.
“Menurut yang kudengar, tempatnya ada di seberang jurang itu,” sahut putra kepala desa itu, sambil menunjuk sebuah jurang yang tidak begitubesar.
Mereka terus saja berjalan mendekati sebuah jurang yang menganga lebar bagaikan membelah Bukit Bojong. Kesebelas orang itu lalu berhenti tepat di bibir jurang. Tampak Paksi mengamati seberang jurang. Hanya dengan satu loncatan saja, pasti bisa menyeberangi jurang itu.
“Barangkali salah, Den... kata orang yang berada disamping putra kepala desa itu.
“Tidak, aku yakin. Pasti ini tempatnya,” sahut Paksi.
“Tapi, di seberang sana cuma ada hamparan batu batu saja. Rasanya tidak mungkin kalau Iblis Topeng Mayat mengambil tempat di sana. Terlalu mudah di jangkau, Den,” bantah orang itu lagi.
“Hm...,” Paksi mengerutkan keningnya. Kata-kata orang itu memang benar. Tempat tersebut terlalu mudah untuk dijangkau oleh siapa saja Dan biasanya, seorang tokoh persilatan selalu memiliki tempat tinggal yang sulit dijangkau, dan banyak rintangannya. Sedangkan untuk mencapai seberang jurang itu, tidak terlalu sulit. Bahkan seorang yang tingkat kepandaiannya masih rendah sekalipun dapat melompatinya. Jurang itu tidak begitu besar, lebarnya hanya sekitar tiga batang tombak, dan juga tidak begitu dalam.
Paksi mengambil sebatang ranting kering yang menggeletak di dekat kakinya. Sebentar dia menimang-nimang ranting itu, lalu dengan mengerahkan tenaga dalam, dia melemparkan ranting itu ke seberang jurang. Ranting kering itu meluncur deras bagai sebatang anak panah lepas dari busurnya. Dan begitu mencapai tepi seberang jurang, puluhan anak panah hitam meluruk deras menghantam ranting kering itu.
Tentu saja sepuluh orang yang berada di sekitar Paksi, jadi terperangah melihat kejadian itu. Sedangkan Paksi hanya tersenyum dan bergumam kecil. Kemudian tangannya menjumput sebongkah batu yang cukup besar. Dan batu itu langsung amblas begitu tiba di dasar jurang. Bahkan ranting-ranting yang berada di dasar jurang itu, ikut melesak masuk ke dalam. Kembali sepuluh orang itu terheran-heran dibuatnya.
“Kelihatannya mudah, tapi sukar untuk dijangkau,” kata Paksi setengah bergumam.
“Bagaimana, Den? Kita tidak mungkin bisa menyeberanginya,” kata salah seorang lagi.
“Iblis Topeng Mayat memang cerdik, tapi aku tidak mau kalah cerdik. Lihat saja,” sahut Paksi kalem.
Paksi kemudian meminta busur dan sekantung anak panah dari salah seorang pengikutnya. Dengan panah itu dia lalu membidikkan ke seberang jurang. Sungguh di luar dugaan sama sekali. Setiap batang anak panah yang melesat, selalu disambut anak-anak panah hitam. Beberapa kali Paksi melepaskan anak-anak panahnya, hingga sampai pada panah yang ke lima belas, tidak ada lagi sambutan.
“Aman, Den,” kata orang yang diminta panahnya tadi.
“Belum,” sahut Paksi tetap tenang.
Sepuluh orang yang mengikutinya saling berpandangan. Mereka tidak mengerti, tapi dalam hati memuji kecerdikan tuannya ini. Mereka tetap menunggu, apa yang akan dilakukan putra kepala desa itu selanjutnya. Sedangkan Paksi masih berdiri tegak sambil memandang tajam ke arah seberang jurang.
********************
Sementara itu tidak jauh dari tempat Paksi dan sepuluh orangnya di tepi jurang, seorang wanita tua berjubah biru terus memperhatikan sejak tadi. Wanita tua itu adalah Resi Puspita Rani. Resi wanita itu memperhatikan dari balik batu besar yang menjorok ke luar dari dinding tebing.
“Anak itu benar-benar cerdik. Aku ingin tahu, bagaimana caranya dia menembus rintangan itu, sebelum sampai pada Lorong Maut,” gumam Nyai Resi Puspita Rani dalam hati.
Saat itu Paksi masih tetap berdiri tegak sambil memandang ke seberang jurang. Keningnya berkerut dalam, pertanda kalau dia tengah berpikir keras. Sedangkan sepuluh orang lainnya hanya menunggu dengan tidak sabar.
“Kalian cari binatang apa saja yang ada di sekitar sini,” kata Paksi memerintah.
“Den...,” salah seorang mau protes.
“Sedapatnya! Binatang apa saja!” sergah Paksi cepat.
Lima orang segera beranjak pergi dengan benak dipenuhi berbagai macam tanda tanya. Mereka tidak mengerti, dengan apa yang diinginkan putra kepala desa itu.
“Kalian cari tempat untuk berlindung. Aku tidak mau ada korban jatuh sia-sia,” kata Paksi lagi.
“Den Paksi sendiri...?”
“Cepatlah, aku yakin mereka tidak ada di sini malam ini,” sergah Paksi.
Lima orang lainnya segera mencari tempat yang cukup terlindung. Sementara Paksi memperhatikan saja. Hatinya cukup puas melihat orang-orangnya sudah berada di tempat yang cukup terlindung. Tidak lama kemudian, lima orang yang mencari binatang, sudah kembali. Mereka membawa tiga ekor kelinci, dan dua ekor ayam hutan. Binatang-binatang itu semuanya sudah mati.
Paksi segera menerima, dan menyuruh lima orang itu untuk berlindung bersama yang lainnya. Maka tanpa membantah sedikit pun, mereka segera menghampiri teman-temannya yang sudah lebih dulu mendapatkan tempat untuk berlindung. Mereka terus memperhatikan putra kepala desa itu dengan benak diliputi pertanyaan.
“Kau pikir tempatmu cukup aman, Iblis Topeng Mayat! Lihatlah, aku Paksi, yang akan mendobrak Lorong Mautmu!” kata Paksi dengan suara mendesis.
Setelah berkata begitu, Paksi mengambil seekor ayam hutan. Dan dengan mengerahkan tenaga dalam penuh, dia melemparkan ayam hutan itu ke seberang jurang. Ayam yang sudah mati itu meluncur deras, dan...
Glarrr...!
Satu ledakan keras langsung terdengar ketika secercah cahaya bagaikan kilat menyambarnya, hingga ayam hutan itu hancur berkeping-keping.
“Ha ha ha...! Tidak ada gunanya kau membentengi tempatmu dengan Pagar Cahaya Kilat!” seru Paksi keras. Paksi kembali melemparkan binatang-binatang yang sudah tidak bernyawa lagi. Setiap kali dia melemparkan binatang itu, selalu terdengar ledakan keras disertai dengan meluncurnya secercah cahaya kilat. Sampai pada lemparan yang terakhir, cahaya kilat itu tidak lagi terlihat, dan bangkai kelinci itu pun melesat jauh ke dalam jurang yang gelap.
“Ha ha ha...!” Paksi kembali tertawa penuh kepuasan.
Sementara itu di balik batu besar yang menjorok ke luar dari dinding tebing, Nyai Resi Puspita Rani menggeleng-gelengkan kepalanya, kagum melihat kecerdikan Paksi. Namun di balik rasa kagumnya, dia juga merasa heran. Tidak sembarang orang bisa mengetahui pagar pengaman yang dibuat oleh Pramurti, atau Iblis Topeng Mayat di daerah kekuasaannya.
“Hm..., dari mana dia memperoleh semua itu?” gumam Nyai Resi Puspita Rani dalam hati.
Saat itu, Paksi sudah melompat menyeberangi jurang yang tidak begitu besar itu. Tubuhnya melayang ringan, dan hanya sekali dia bersalto, sudah mencapai seberang. Pemuda itu kemudian berdiri tegak dengan tangan berada di pinggang. Sementara sepuluh orang yang berlindung, belum juga keluar dari tempat persembunyiannya. Sejenak Paksi memandang berkeliling. Namun sepanjang mata memandang, hanya kegelapan dan hamparan batu-batu saja yang terlihat.
“Hm, menurut Eyang Resi Jagabaya, aku harus menemukan Lorong Maut. Lorong itu hanya berupa gulungan angin yang berputar, dan sulit untuk ditembus. Hm..., di mana letak lorong itu?” gumam Paksi dalam hati. Setelah melewati rintangan anak panah dan Pagar Cahaya Kilat, Paksi segera melompat menyeberangi jurang yang tidak begitu besar!
Tubuhnya melayang ringan, dan ditambah dengan sekali salto, dia sudah mencapai seberang. Pelahan-lahan Paksi melangkah menjauhi bibir jurang. Matanya terus bersorot tajam mengamati keadaan sekitarnya. Pelahan-lahan Paksi mulai melangkah menjauhi bibir jurang. Kakinya terayun ringan, pertanda kalau dia mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Matanya bersorot tajam mengamati keadaan sekitarnya. Otaknya juga terus berputar keras.
Belum lagi sampai sepuluh tombak dia berjalan, tiba-tiba terdengar suara gemuruh, disusul dengan bertiupnya angin kencang. Seketika Paksi tersentak, tapi belum sempat dia berbuat apa-apa, tubuhnya mendadak terangkat dan berputar cepat. Tampak lingkaran debu dan batu-batuan menggulung tubuh pemuda itu.
Dengan sekuat tenaga Paksi berusaha meronta, tapi usahanya sia-sia belaka. Tubuhnya semakin terseret dalam, masuk gulungan angin itu. Semakin lama, semakin jauh saja tubuh pemuda itu masuk kedalam pusaran angin yang ganas, membentuk lorong bagai rongga goa.
“Aaa...!” Tiba-tiba Paksi menjerit keras melengking. Bersamaan dengan itu, tubuhnya lenyap, disusul dengan lenyapnya angin yang bergulung-gulung itu. Suasana di tempat itu kembali sunyi senyap. Dan kejadian tersebut disaksikan oleh berpasang-pasang mata yang bersembunyi di balik batu dan pepohonan. Tak ada seorang pun yang menampakkan diri. Mereka semua seperti terpaku, setengah tidak percaya dengan apa yang telah disaksikannya.
********************
Apa sebenarnya yang terjadi pada Paksi? Paksi terus tergulung oleh angin kencang yang berputar, dan membentuk sebuah lorong bagai goa terapung. Tubuh pemuda itu berputar cepat, membuatnya seperti terhempas ke dalam suatu alam yang belum pernah dimasukinya. Paksi merasakan seluruh tulang-tulangnya remuk, dan kesadarannya hilang tanpa mampu dicegah lagi.
Lorong Maut itu membawanya ke suatu tempat yang sangat asing, dan tak pernah diimpikan sebelumnya. Cukup lama juga pemuda itu tidak sadarkan diri. Dan dia baru sadar setelah ada sesuatu yang dingin mengguyur tubuhnya. Pemuda itu tampak gelagapan, seperti mau terbenam ke dalam kubangan air yang dalam.
“Ah...!” Paksi terkejut begitu menyadari seluruh tubuhnya terikat oleh rantai besi yang besar dan kuat. Tubuhnya menggigil kedinginan. Seluruh bajunya basah kuyup oleh air yang mengguyurnya. Sejenak pandangan pemuda itu terpaku pada sesosok tubuh ramping, berdiri tidak jauh di depannya. Sosok tubuh itu mengenakan baju hijau, dengan wajah tertutup topeng berwarna pucat bagai mayat.
“Sariti...!” sentak Paksi ketika pandangannya beralih pada seorang wanita yang juga terikat pada sebuah tiang.
Paksi berusaha bangkit, namun seluruh tubuhnya terasa lemas, tidak mampu untuk digerakkan lagi. Pemuda itu hanya bisa memandang lemah pada gadis yang baru dinikahinya. Gadis itu terikat dengan tangan terentang dan kakinya terbuka lebar. Seluruh bajunya tampak koyak dan cabik-cabik. Sedangkan kepalanya terkulai lemas, dengan rambut terurai menutupi hampir seluruh wajahnya.
Pandangan mata pemuda itu kembali beralih pada sosok tubuh ramping berbaju hijau, dengan topeng pucat menutupi wajahnya. Di belakangnya, berdiri empat orang lainnya yang mengenakan baju dan topeng berwarna sama. Hanya saja mereka tidak memakai sabuk berwarna kuning emas di pinggang. Paksi langsung menyadari kalau dirinya kini menjadi tawanan Iblis Topeng Mayat.
“Siapa yang telah memberitahumu, untuk menembus Pagar Cahaya Kilat-ku, Bocah?” terdengar suara kecil, namun tajam dan datar.
Paksi tidak menjawab. Dia mengetahui hal itu dari pembicaraan ayahnya dengan Resi Jagabaya. Waktu itu dia sempat menguping, tapi tidak semuanya bisa didengar.
“Siapa yang memberitahumu, Bocah ? Jawab!” bentak Iblis Topeng Mayat gusar.
“Aku tahu sendiri!” sahut Paksi ketus.
“Hm..., kau datang untuk membebaskan istrimu, kan?”
Paksi melirik pada Sariti yang terikat pada tiang. Rahangnya bergemeletuk menahan geram. Hatinya panas melihat keadaan gadis yang baru dinikahinya, dan belum dia sentuh sedikit pun.
“Kau sayang dengan istrimu, Bocah?” kembali suara Iblis Topeng Mayat terdengar.
“Lepaskan Sariti! Dia tidak tahu apa-apa!” geram Paksi.
“Aku tidak akan mengganggu kebahagiaanmu, jika ayahmu tidak berbuat bodoh!” kata Iblis Topeng Mayat.
“Ayahku tidak melakukan apa-apa!”
“Heh! Jangan menutup matamu, Bocah! Kau tahu, kalau ayahmu memberi tempat hidup pada orang yang kubenci...!” agak ditekan suara Pramurti atau Iblis Topeng Mayat.
“Kami semua tidak tahu musuhmu! Kenapa kau melibatkan seluruh warga Desa Batang Hulu? Kenapa tidak kau cari saja musuhmu? Aku, ayahku dan seluruh warga Desa Batang Hulu tidak pernah berurusan denganmu!” tegas kata-kata Paksi.
“Sudah kukatakan, ayahmu membuat kebodohan yang harus ditanggung oleh semua orang di Desa Batang Hulu. Kalau saja ayahmu tidak memberi tempat pada Galadipa dan keluarganya, tentu aku tidak akan pernah menginjak Desa Batang Hulu! Tapi semua sudah terlambat. Hanya ada dua pilihan, menyerahkan Narita dan membunuh saudara-saudara Galadipa, atau seluruh orang di Desa Batang Hulu musnah dalam semalam!”
“Iblis!” desis Paksi menggeram.
“Ha ha ha...!” Pramurti tertawa terbahak-bahak. “Kau bisa memaki sepuas hatimu, Bocah. Nyawamu akan selamat, jika ayahmu sanggup memenuhi semua permintaanku!”
“Pengecut! Kau tidak berani menghadapi musuh-musuhmu sendiri, dan kau peralat kami!”
“Ha ha ha...!” Pramurti hanya tertawa saja.
“Pengecut! Iblis...! Kubunuh kau...!” maki Paksi habis-habisan.
Tapi caci-maki pemuda itu hanya dibalas dengan tawa saja. Iblis Topeng Mayat kemudian berbalik, dan melangkah meninggalkan ruangan yang seluruh dindingnya terbuat dari batu itu. Sedangkan empat orang muridnya segera mengikuti dari belakang. Sementara Paksi terus berteriak-teriak memaki sepuas hatinya. Tampak satu sisi dinding batu itu bergerak menggeser ke samping, hingga seberkas cahaya terang menerobos masuk. Dan sesaat kemudian, dinding batu itu kembali bergerak menutup, setelah lima orang berpakaian hijau itu berada di luar.
Kembali keadaan di dalam ruangan itu sunyi dan remang-remang. Hanya sebuah obor kecil dengan apinya yang redup menerangi ruangan itu. Cahayanya hanya samar-samar, tidak sanggup memberikan penerangan pada ruangan yang cukup luas itu. Paksi berusaha menggerakkan tubuhnya. Tapi seluruh tubuhnya terasa lemas, dan tulang-tulangnya nyeri saat digerakkan. Pemuda itu hanya bisa merintih lirih, dan mengeluh di dalam hati.
“Keparat...!”
TUJUH
Resi Jagabaya sedikit kaget, ketika hari itu Narita datang bersama seorang pemuda berbaju kulit harimau. Laki-laki tua itu pernah bertemu sekali dengan pemuda yang mengaku bernama Pendekar Pulau Neraka itu, dan dia juga sudah sering mendengar segala sepak terjangnya. Resi Jagabaya segera mengajak Narita dan Bayu ke ruangan tengah rumah Kepala Desa Batang Hulu itu.
“Kau tidak bertemu dengan Nyai Resi Puspita Rani, Narita?” tanya Resi Jagabaya.
Narita hanya menggeleng saja.
“Lalu ada maksud apa kau datang ke sini?”
“Paman....”
Narita tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. Dia langsung menubruk dan memeluk lutut laki-laki tua berjubah kuning itu. Resi Jagabaya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Bibirnya yang hampir tertutup kumis, menyunggingkan senyum. Kemudian dengan lembut tangannya mengusap-usap kepala gadis itu.
“Bangunlah, Cucuku,” lembut suara Resi Jagabaya.
“Maafkan Narita, Paman,” ucap Narita seraya bangkit.
“Kau sudah tahu siapa kami, kenapa masih tertutup juga?” tanya Resi Jagabaya meminta penjelasan.
“Eyang Resi Galadipa yang meminta, Paman,” sahut Narita.
“Duduklah.” Resi Jagabaya lalu mengambil tempat di kursi dekat jendela. Sedangkan Narita duduk di samping Bayu. Sesaat mereka semua terdiam. Resi Jagabaya menarik napas panjang, dan matanya menatap ke luar melalui jendela yang terbuka.
“Paman, aku sempat datang ke Puri Watu Ukir. Tapi...,” Narita tidak melanjutkan kata-katanya.
“Aku tahu. Seorang cantrikku yang berhasil lolos, telah memberitahukan tentang kejadian itu. Terima kasih, kalian telah menguburkan mereka,” selak Resi Jagabaya, agak tertekan suaranya.
“Kalau saja aku tidak....”
“Sudahlah, Narita. Tidak perlu menyesali semua yang telah terjadi. Apa yang terjadi di dunia ini sudah kehendak-Nya. Semua itu sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa, dan itu namanya takdir. Kita tidak mampu menolak, apalagi untuk melawan,” kembali Resi Jagabaya menyelak cepat.
Mereka kembali terdiam beberapa saat. Pada saat itu Ki Rungkut datang dengan tergopoh-gopoh. Napasnya tampak terengah-engah seperti baru saja berlari jauh. Resi Jagabaya, Narita dan Bayu langsung beranjak bangkit.
“Ada apa, Ki Rungkut?” tanya Resi Jagabaya.
“Ketiwasan, Resi. Paksi..,” Ki Rungkut segera menarik napas panjang.
“Ada apa dengan Paksi?” desak Resi Jaga baya.
“Anak itu pergi dengan sepuluh orang. Katanya mereka hendak membebaskan Sariti yang ditawan oleh Iblis Topeng Mayat,” sahut Ki Rungkut.
“Sudah kuduga, dia pasti sudah mendengar pembicaraan kita kemarin malam,'' gumam Resi Jagabaya sambil mengangguk-angguk pelan.
“Bagaimana, Resi? Anak itu pasti akan celaka.”
“Hm..., hanya orang yang memiliki tenaga dalam sempurna, yang mampu menembus Lorong Maut. Aku tidak tahu, siapa lagi yang sanggup selain Adik Galadipa dan aku sendiri. Lorong Maut itu hanya bisa dilalui oleh orang orang yang pernah mandi diSendang Sembilan Mata Dewa. Di samping harus memiliki tenaga dalam sempurna dan penguasaan hawa murni yang sempurna di dalam perut,” kata Resi Jagabaya setengah bergumam.
“Di mana letak tempat mereka, Resi?” tanya Bayu menyelak.
“Di Puncak Bukit Bojong sebelah Selatan. Tepatnya di seberang jurang yang membelah puncak bukit itu,” sahut Resi Jagabaya.
“Aku yang akan pergi ke sana!” Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat cepat bagai kilat. Resi Jagabaya tidak bisa mencegah lagi. Dia hanya bisa mencegah Narita yang mau ikut pergi.
“Aku harus ke sana juga, Paman Resi,” kata Narita memohon.
“Bukan hanya kau, tapi aku juga,” sahut Resi Jagabaya seraya menolah pada Ki Rungkut. “Ki Rungkut, bagaimana hal ini bisa terjadi? Bukankah Sariti sudah tewas?”
“Maaf, Resi. Anakku malu mengatakan yang sebenarnya. Dia merasa bertanggung jawab dan tidak ingin dikatakan sembrono, karena tidak bisa menjaga keselamatan istrinya,” sahut Ki Rungkut. “Aku sendiri baru tahu tadi. Salah seorang bawahanku yang mengatakannya...“
“Cari penyakit!” dengus Resi Jagabaya.
“Maafkan anakku, Resi,” ucap Ki Rungkut.
“Ah, sudahlah. Aku harap dia belum sempat melakukan kebodohan. Terlalu berbahaya bagi dirinya sendiri, jika sampai mencoba menembus Lorong Maut, tanpa mensucikan diri lebih dulu di Sendang Sembilan Mata Dewa.”
Sejenak Resi Jagabaya menoleh pada Narita, kemudian dia melangkah ke luar diikuti oleh gadis itu. Sedangkan Ki Rungkut pun bergegas mengikuti dari belakang. Resi Jagabaya segera berhenti melangkah setelah sampai di beranda depan. Dia menoleh pada Ki Rungkut.
“Sebaiknya kau tetap di sini. Kalau saudaraku datang, katakan bahwa aku ke Bukit Bojong,” kata Resi Jagabaya berpesan.
“Aku ikut, Paman,” selak Narita.
“Jangan, kau diperlukan di sini,” cegah Resi Jagabaya.
Narita masih ingin memaksa, tapi dia mengurungkan niatnya. Gadis itu segera sadar, bahwa dia tidak mungkin mampu menghadapi Iblis Topeng Mayat. Narita pun segera mengerti, memang ada kemungkinan Iblis Topeng Mayat menjarah ke desa ini, di saat Resi Jagabaya pergi.
********************
Sementara itu Bayu baru saja tiba di Puncak Bukit Bojong. Tampak dia berdiri tegak di tepi jurang yang tidak begitu dalam, dan tidak lebar. Telinganya yang tajam, langsung bisa mengetahui kalau di sekitarnya ada beberapa orang yang tengah mengawasi.
“Keluarlah kalian, jangan bersembunyi seperti tikus!” seru Bayu keras.
Sebentar setelah teriakan Bayu itu, dari balik batu dan pepohonan, keluarlah sepuluh orang yang datang ke puncak bukit itu bersama Paksi. Wajah-wajah mereka kelihatan ketakutan.
“Siapa kalian?” tanya Bayu.
“Kami..., kami bekerja untuk Kepala Desa Batang Hulu,” sahut salah seorang terbata-bata.
“Kalian datang bersama Paksi?”
“Benar.”
“Di mana Paksi?”
“Den Paksi sudah menyeberangi jurang, tapi dia hilang digulung angin.”
Hm..., sebaiknya kalian cepat tinggalkan tempat ini.”
Maka tanpa menunggu perinlah dua kali, sepuluh orang itu bergegas meninggalkan Puncak Bukit Bojong itu. Sedangkan Bayu segera mengedarkan pandangannya berkeliling setelah orang-orang itu tidak terlihat lagi. Dia sedikit memiringkan kepalanya ke kiri. Pendengarannya yang tajam, kembali mendengar tarikan napas lembut yang hampir tidak terdengar. Matanya tertuju pada sebongkah batu hitam yang menjorok keluar dari dinding tebing.
“Siapa pun kau, keluarlah!” seru Bayu lantang.
Seketika tampaklah sebuah bayangan biru berkelebat, keluar dari balik batu itu. Sebentar saja, di depan Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri seorang perempuan tua yang agak bungkuk dan memakai jubah berwarna biru terang. Bayu memperhatikan sebentar wanita tua itu.
“Pendengaranmu sangat tajam, Anak Muda. Apa maksudmu datang ke tempat ini?” suara perempuan tua itu agak serak.
“Kau pasti bukan Iblis Topeng Mayat,” kata Bayu tidak menghiraukan pertanyaan wanita tua itu.
“Benar, aku Resi Puspita Rani.”
“Apakah kau juga dari Puri Watu Ukir?”
“Benar.”
“Hm, aku rasa tujuan kita datang ke tempat ini sama. Tapi aku datang hanya untuk menunaikan kewajiban sebagai pendekar.”
“Kau tadi menyebut nama Paksi, apakah kau kenal dengannya?”
“Tidak, aku hanya mendengar namanya saja.”
“Anak muda, aku tahu kau memiliki ilmu yang tidak rendah. Tapi Iblis Topeng Mayat bukanlah orang sembarangan. Aku sendiri dan saudara-saudaraku belum tentu dapat mengalahkannya. Maaf, bukannya aku merendahkan kepandaianmu. Tapi kalau kau tidak mempunyai urusan yang penting dengan wanita iblis itu, sebaiknya jangan kau teruskan niatmu,” kata Nyai Resi Puspita Rani memperingatkan.
“Terima kasih, tapi aku sudah berjanji pada seseorang...“
“Siapa?”
“Narita.”
“Oh...!” Nyai Resi Puspita Rani mendesah kaget.
“Di mana dia?”
“Di Desa Batang Hulu, bersama pamannya.”
“Resi Jagabaya...?”
Bayu hanya mengangguk.
“Ah, gadis yang malang. Seharusnya dia tidak perlu terlibat sampai sejauh ini. Dia hanya korban dari rasa dendam orang-orang tuanya,” gumam Nyai Resi Puspita Rani mendesah lirih.
Bayu masih tetap diam sambil memperhatikan wanita tua di depannya itu.
“Anak muda, jika kau benar-benar ingin menghadapi Iblis Topeng Mayat, kau tidak bisa menghadapinya di daerahnya. Terlalu berbahaya! Dulu aku dan saudara-saudaraku pernah bertarung dengannya di Puncak Bukit Bojong ini. Kami hampir berhasil mengalahkannya, tapi dia berhasil melompati jurang itu. Kekuatannya akan berlipat ganda bila berada didaerahnya sendiri. Tubuhnya kebal terhadap segala macam senjata dan racun,” kata Nyai Resi Puspita Rani menjelaskan.
“Hm...,” Bayu hanya menggumam tidak jelas. Keningnya berkerut dengan mata agak menyipit.
“Di samping itu, kau tidak mungkin bisa menembus Lorong Maut sebelum mensucikan diri di Sendang Sembilan Mata Dewa. Itu pun kau masih harus tirakat selama tujuh hari tujuh malam sambil berendam di dalam sendang itu,” lanjut Nyai Resi Puspita Rani.
“Hm, apakah Iblis Topeng Mayat pernah melakukan hal itu?” tanya Bayu.
“Ya, bahkan dia melakukannya selama empat puluh hari empat puluh malam. Sehingga tubuhnya menjadi kebal terhadap segala jenis senjata dan racun. Di samping itu, dia juga memiliki ilmu yang bisa menyatukan dan menghidupkannya kembali dari kematian.”
“Ilmu 'Batara Karang'...?!” desah Bayu.
“Benar.”
“Tidak semua orang bisa memiliki ilmu itu. Dan mereka yang telah memilikinya tidak bisa dibunuh, juga selalu tampak muda. Dia tidak akan pernah mati, selama kakinya masih berpijak pada tanah,” kata Bayu setengah bergumam.
“Benar, Anak Muda. Itulah sebabnya yang membuat aku dan saudara-saudaraku enggan berurusan dengannya. Sekali berurusan, berarti menyerahkan nyawa sia-sia.”
Bayu kembali terdiam. Dia tidak menyangka sama sekali kalau Iblis Topeng Mayat memiliki ilmu yang sangat langka. Pantas saja tak seorang pun yang mampu mengalahkannya, bahkan para resi dari Puri Watu Ukir sendiri tidak berdaya menghadapinya.
“Di mana letak Sendang Sembilan Mata Dewa itu?” tanya Bayu.
“Di seberang jurang itu.”
“Heh! Untuk memasukinya harus mandi dulu disana, lalu bagaimana mungkin bisa mencapai ke sana?”
“Harus bisa melawan arus dan menembus Lorong Maut. Dan hanya orang yang memiliki ilmu dan tenaga dalam sempurna, serta hawa murni terpusat pada perut secara sempurna saja yang mampu menembus Lorong Maut itu. Tapi nampaknya hal itu pun tidak mudah, karena Lorong Maut itu sudah dikuasai oleh Iblis Topeng Mayat”
Sejenak Bayu termenung. Dia tidak tahu apakah ilmu tenaga dalamnya sudah mencapai taraf sempurna atau belum. Dia memang bisa memusatkan hawa murni pada perutnya, tapi hal itu tidak bisa bertahan lama, juga dia tidak tahu tingkatannya. Bayu belum pernah mencobanya sekalipun. Pendekar Pulau Neraka itu jadi ragu-ragu juga. Beberapa kali dia melayangkan pandangannya ke seberang jurang.
Semakin dia memikirkan kata-kata perempuan berjubah biru itu, semakin besar rasa penasaran dan keinginannya untuk mencoba. Kata-kata yang diucapkan Nyai Resi Puspita Rani tadi, membuatnya merasa ditantang. Bayu memang belum pernah mencoba kepandaiannya sampai pada tingkatan paling tinggi yang dimilikinya selama ini.
Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu melangkah mendekati bibir jurang Tatapan matanya tajam, menembus langsung keseberang jurang didepannya. Mungkin inilah saatnya dia mengukur tingkat kepandaiannya sendiri. Dia seorang pendekar yang amat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Tapi belum tahu, sampai di mana tingkat kepandaian yang dimilikinya.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka itu melentingkan tubuhnya menyeberangi jurang itu. Nyai Resi Puspita Rani ingin mencegah, tapi terlambat. Bayu sudah berada di udara, melompati jurang yang membelah Puncak Bukit Bojong itu.
********************
Hanya dengan satu kali salto di udara, Bayu mendarat di seberang jurang dengan manis sekali. Tapi begitu kakinya menapak tanah, beberapa puluh anak panah hitam meluncur deras ke arahnya. Seketika Pendekar Pulau Neraka itu kembali melentingkan tubuhnya!
“Hiya...! Hiya...!”
Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan dan jungkir balik di udara. Dan anak-anak panah hitam itu pun berdesingan di sekitar tubuhnya. Tak satu pun yang berhasil menjamah tubuh Bayu. Sejenak dia menarik napas lega, ketika hujan anak panah hitam itu berhenti.
Belum lagi Bayu sempat melakukan apa-apa, mendadak secercah cahaya bagai kilat berkelebat ke arahnya. Pendekar Pulau Neraka itu tersentak kaget. Secepat kilat dia mengibaskan tangan kanannya ke arah ujung cahaya bagai kilat itu. Seketika secercah cahaya keperakan melesat cepat dari pergelangan tangan kanannya.
Glar!
Suara ledakan keras langsung terdengar menggelegar begitu senjata cakra bersegi enam keperakan menghantam cahaya bagai kilat itu. Sejenak Bayu mengangkat tangan kanannya ke udara, dan Cakra Maut itu pun kembali melesat ke arahnya, lalu menempel di pergelangan tangannya.
“Pagar Cahaya Kilat...,” desis Bayu pelan.
Bayu memang pernah membaca dari salah satu buku kepunyaan gurunya di Pulau Neraka. Buku itu berisi tentang ilmu 'Pagar Cahaya Kilat'. Sebuah ilmu yang dapat membentengi diri, atau suatu wilayah dari serangan lawannya. Pagar yang tidak ketahuan bentuknya, tapi sukar untuk ditembus. Orang yang terkena sambaran cahaya itu, bisa langsung hangus tubuhnya.
“Bayu, jika kau menemukan benteng yang terbuat dari ilmu 'Pagar Cahaya Kilat', kau harus menghadapi dengan mengosongkan jiwa, dan penyaluran hawa murni pada pusat tubuhmu. Putar balik aliran darahmu, dan pergunakan pernapasan pada perut. Ilmu 'Pagar Cahaya Kilat' hanya menyerang pada benda yang memiliki nyawa dan berdarah panas terisi jiwa...,” Bayu teringat kata-kata gurunya, Eyang Gardika.
Maka tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Pulau Neraka itu segera menuruti kata-kata gurunya tersebut. Tahap demi tahap dia melakukan semua yang dikatakan oleh gurunya untuk menghadapi benteng dari ilmu 'Pagar Cahaya Kilat'. Saat itu juga Bayu merasakan tubuhnya ringan bagai kapas. Dan jiwanya bagaikan terbang keluar dari raganya.
Seluruh tubuhnya terasa dingin, Bayu merasakan dirinya seperti mati. Tapi otaknya masih tetap bekerja, penglihatan serta pendengarannya pun tidak terganggu. Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu berjalan pelan-pelan. Tampak secercah cahaya kilat tertuju ke arahnya, dan langsung mengenai tubuhnya. Namun Pendekar Pulau Neraka itu tidak merasakan apa-apa. Dan cahaya bagai kilat itu pun seperti teredam di dalam tubuhnya.
Beberapa kali tubuhnya tersambar cahaya kilat, tapi Bayu hanya tersenyum. Dia terus melangkah pelahan-lahan menembus pagar benteng dari ilmu 'Pagar Cahaya Kilat'. Sambaran-sambaran kilat tersebut baru berhenti setelah Pendekar Pulau Neraka itu berjalan sejauh lima batang tombak. Bayu segera memulihkan kembali kondisi tubuhnya.
“Hhh..., terima kasih, Eyang,” desah Bayu lirih.
Sementara itu, di seberang jurang sana, Nyai Resi Puspita Rani hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Jelas dia melihat kalau lidah kilat itu menyambar tubuh Bayu, tapi Pendekar Pulau Neraka itu tidak terpengaruh sama sekali. Resi Puspita Rani menahan napasnya ketika mendengar suara gemuruh dari seberang jurang. Tampak Bayu berdiri tegak dengan pandangan mata lurus ke depan. Saat itu Bayu merasakan, angin bertiup semakin kencang dan bergulung gulung di sekitarnya.
“Hm..., inikah yang dinamakan Lorong Maut?” gumam Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu segera mengerahkan tenaga dalamnya dengan penuh, lalu pelahan-lahan dia memusatkan hawa murni pada perutnya. Pada saat itu, di depannya tampak gulungan angin yang membentuk seperti lorong sebuah goa. Debu dan kerikil pun bergulung-gulung berputar membentuk sebuah lorong bayangan. Bayu tetap berdiri tegak dengan mata tajam memandang lurus ke depan. Dia mulai merasakan adanya satu tarikan kuat yang menyedot tubuhnya ke dalam gumpalan angin itu.
Bayu terus berusaha menahan tarikan itu, tapi sedikit demi sedikit kakinya mulai bergeser ke depan. Suara gemuruh semakin jelas terdengar memekakkan telinga. Bayu merasakan tarikan itu semakin kuat, ia tidak kuasa lagi menahannya. Seketika tubuhnya terpental masuk ke dalam lingkaran angin yang berputar membentuk sebuah lorong bagai goa itu.
“Hiyaaa...!” tiba-tiba Bayu berteriak keras.
Tubuhnya mulai berputar mengikuti jalannya putaran angin itu. Sekuat tenaga Pendekar Pulau Neraka itu mengerahkan tenaga dalam, dan menjaga hawa murni agar tetap berada di perut. Memang suatu pekerjaan yang sangat sukar, menyalurkan dua kekuatan sekaligus dalam satu tubuh pada waktu yang bersamaan. Namun Pendekar Pulau Neraka itu tidak mau menyerah begitu saja.
“Hih! Aaakh...!”
DELAPAN
Bayu merasakan dirinya seperti terbanting ke dalam sebuah sumur yang sangat dalam dan tidak berujung. Pandangannya jadi gelap, dan seluruh tubuhnya terasa lemah tak bertenaga. Sekuat tenaga dia terus berusaha mempertahankan hawa murni pada perutnya, dan mengempos tenaga dalamnya.
Semakin dia bertahan, semakin kuat daya tarik yang menyedot dan mengombang-ambingkan tubuhnya. Bayu merasakan seperti dilemparkan oleh tangan-tangan raksasa. Terhempas dari satu dinding batu yang satu ke dinding batu lainnya.
Pendekar Pulau Neraka itu segera mencopot senjata cakra bersegi enam keperakan, dan menggenggamnya erat-erat pada salah satu ujungnya. Lalu dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, dia memutar tubuhnya dengan cepat.
“Aaargh...!”
Dari mulutnya terdengar suara raungan yang sangat dahsyat. Disusul kemudian dengan terdengarnya suara ledakan-ledakan keras, disertai gemuruh yang amat sangat. Seketika itu juga, Bayu merasakan tubuhnya bagai terhempas dengan keras. Dan dia meringis ketika sesuatu yang keras menghantam punggungnya. Pendekar Pulau Neraka itu bergulingan, dan punggungnya membentur sebongkah batu cadas yang sangat besar, hingga batu itu hancur berkeping-keping.
“Hup!”
Bayu segera bangkit setelah menyadari dirinya kembali berpijak pada tanah. Sebentar dia memandang berkeliling. Hatinya agak tercekat, begitu menyadari bahwa sekelilingnya hanya berupa daerah berbatu dan berpasir yang luas bagai tak bertepi. Sejauh mata memandang, hanya kegersangan yang tampak.
“Hhh! Di mana aku?” Bayu bertanya-tanya sendiri.
“Kau berada di tempatku, Anak Muda...,” terdengar suara lembut namun kecil dan serak.
Bayu langsung membalikkan tubuhnya. Tampak tidak jauh darinya berdiri seorang wanita cantik dengan rambut hitam panjang terurai. Wanita itu mengenakan baju hijau yang ketat, sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping dan indah.
“Siapa kau?” tanya Bayu dengan tatapan mata penuh selidik.
“Bukankah kau datang mencariku?” wanita itu balik bertanya.
Pendekar Pulau Neraka itu mengerutkan keningnya. Dia menempelkan kembali senjata Cakra Maut ke pergelangan tangan kanannya. Bayu mengamati wanita itu dari ujung kepala, hingga ke ujung kaki.
“Apakah kau Iblis Topeng Mayat?” tanya Bayu ingin memastikan.
“Ha ha ha...!” wanita itu terbahak-bahak. “Namaku Pramurti, dan aku memang biasa disebut dengan nama Iblis Topeng Mayat”
Wanita yang mengaku bernama Pramurti itu lalu merogoh sabuk yang membelit pinggangnya. Dia mengeluarkan sebuah topeng lemas berwarna pucat bagai mayat Dan topeng itu pun dilemparkan begitu saja.
“Kau sudah berada di tempatku, Anak Muda. Aku tidak perlu lagi menggunakan benda itu,” kata Pramurti.
Bayu diam saja. Dia teringat dengan kata-kata Resi Puspita Rani. Wanita berjuluk Iblis Topeng Mayat ini mempunyai ilmu 'Batara Karang' yang sangat tangguh dan tidak sembarang orang bisa memilikinya. Ilmu itu selain bisa menghidupkan dirinya sendiri dari kematian, juga bisa memperlambat ketuaan. Tidak heran kalau orang yang memiliki ilmu itu tetap kelihatan muda, meskipun umurnya sudah melebihi seratus tahun.
“Selama ini tidak ada seorang pun yang bisa menembus Lorong Maut dalam keadaan hidup tanpa seijinku. Dan kau telah berhasil melewatinya, Anak Muda. Aku senang..., tapi kau harus mati!”
Setelah berkata begitu, Pramurti langsung melompat sambil mengirimkan serangan yang cepat dan mendadak. Bayu sedikit terperangah. Namun dengan cepat dia melompat ke belakang untuk menghindarinya. Serangan-serangan Iblis Topeng Mayat itu sangat cepat dan dahsyat, sehingga membuat Bayu sedikit kewalahan. Hingga pada satu serangan kilat dan beruntun, Bayu tidak bisa menghindarinya. Dan satu pukulan telak, segera bersarang di dadanya. Pendekar Pulau Neraka itu terdorong ke belakang beberapa langkah.
“Mampus kau! Hiyaaa...!”
“Uts! Hup...!”
Bayu langsung mengetatkan tangan kanannya pada saat Pramurti melompat menerjangnya. Seketika Cakra Maut-nya melesat dengan cepat. Pramurti terperangah sesaat namun dia terlambat untuk berkelit Dan senjata cakra itu pun berhasil membabat lehernya sampai buntung. Tubuh wanita itu kontan terjungkal ke tanah dengan kepala terpisah. Namun benar-benar di luar dugaan! Kepala yang sudah terpisah itu bisa menyatu kembali dengan lehernya, dan wanita itu bangkit lagi dengan tegar. Tidak ada luka sedikit pun pada lehernya!
“Ha ha ha...!” Iblis Topeng Mayat langsung tertawa terbahak-bahak.
“Gila! Ilmu 'Batara Karang' benar-benar luar biasa!” desah Bayu terperangah.
“Kau tidak akan bisa membunuhku, Anak Muda! Ha ha ha...!”
Sejenak Bayu menggeretakkan rahangnya, lalu kembali mengecutkan senjatanya. Cakra Maut itu pun meluncur bagaikan kilat. Namun Pramurti diam saja dan tidak berusaha berkelit sedikit pun. Cakra Maut itu kembali menebas kepala wanita itu, namun belum juga kepala itu sampai jatuh, tangan Pramurti sudah menyanggahnya, dan kepala itu langsung menyatu kembali seperti semula!
Beberapa kali Bayu mengibaskan senjatanya, tapi Iblis Topeng Mayat tidak berkelit sedikit pun. Hampir seluruh tubuhnya terpotong-potong, tapi dengan cepat bisa menyatu kembali. Tidak ada luka sedikit pun pada tubuhnya. Bayu jadi kewalahan juga. Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya. Selama wanita itu masih menyentuh tanah, tidak akan mungkin bisa mati.
“Apa akalku sekarang..." gumam Bayu bertanya pada dirinya sendiri.
“Ayo, Anak Muda! Apa lagi yang kau andalkan?” tantang Pramurti pongah.
Bayu hanya diam saja. Otaknya terus bekerja keras mencari jalan untuk membunuh wanita itu. Dia tidak ingin membuang tenaga percuma tanpa hasil. “Harus ada cara! Harus...!” dengus Bayu dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka kali ini benar-benar memeras otak untuk bisa mengalahkan lawannya. Dia tidak mungkin hanya mengandalkan kekuatan dan kedahsyatan jurus-jurusnya saja. Lawan yang dihadapinya sekarang, bukanlah lawan yang biasa.
“Hm..., aku ada akal! Harus dilakukan dengan cepat dan tidak membuatnya curiga. Ini kesempatan bagiku selagi dia lengah dan bangga!” gumam Bayu dalam hati.
“Ayo, Anak Muda. Apakah kau gentar?” ejek Iblis Topeng Mayat meremehkan.
Sejenak Bayu merogoh sakunya, dan mengeluarkan bintang perak tiga buah. Selama ini dia tidak pernah menggunakan bintang perak itu sebagai senjata dalam pertarungan. Tapi kali ini dia terpaksa menggunakannya. Dan itu hanya sebagai pancingan saja.
“Hiya...!”
Dengan cepat Bayu melontarkan bintang-bintang perak itu ke arah kaki Iblis Topeng Mayat. Namun wanita berbaju hijau itu hanya tertawa, dan bersikap meremehkan. Dia hanya melompat menghindari lontaran senjata bintang perak itu, tanpa membalas menyerang. Namun saat tubuh wanita itu berada diudara, dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan tangan kanannya.
Wutt...!
Senjata Cakra Maut kembali melesat cepat bagaikan kilat. Sedangkan Pramurti yang tengah diliputi kesombongan, menganggap enteng senjata itu. Dia membiarkan saja Cakra Maut bersegi enam itu menebas lehernya.
“Hiyaaa...!”
Bagaikan kilat, Bayu melompat begitu leher Iblis Topeng Mayat terpenggal. Dan dengan cepat, kedua tangannya menyambar rambut serta pinggang wanita itu. Pendekar Pulau Neraka itu berputar dua kali diudara, sebelum kakinya menjejak pada dahan pohon yang hanya satu-satunya tumbuh di daerah gersang berbatu itu. Bayu langsung mengikat rambut yang panjang itu pada dahan yang tinggi. Lalu dia meletakkan tubuh wanita itu pada dahan satunya lagi. Dia mengikat tubuh tanpa kepala itu dengan sulur-sulur pohon yang banyak menjuntai. Setelah selesai, Pendekar Pulau Neraka kembali meluruk turun.
“Bocah setan! Lepaskan aku! Licik! Curang...!” Pramurti yang kepalanya sudah terpisah dari badannya itu menjerit-jerit memaki.
“Terimalah kematianmu, perempuan iblis!” seru Bayu merasa menang dengan kecerdikannya.
“Kubunuh kau, Bocah!”
“Ayo, bunuhlah aku kalau memang kau mampu!” tantang Bayu balas mengejek.
“Setan...! Keparat! Lepaskan aku! Kita bertarung sampai mati!”
“Tidak perlu, sebentar lagi kau juga akan mati!”
“Bocah setan! Keparat! Kubunuh kau...! Kubunuh kau... keparat...!” jerit Pramurti memaki-maki.
Bayu tidak mempedulikan teriakan-teriakan Iblis Topeng Mayat. Dia sudah tahu, selama tubuh wanita itu masih berada di atas pohon, tidak bisa berbuat banyak lagi. Ilmu 'Batara Karang' memang sangat menguntungkan, tapi kalau keadaannya sudah seperti Iblis Topeng Mayat sekarang ini, selamanya akan tetap begitu. Tergantung di atas pohon, antara mati dan hidup.
“Nyai Ratu...!”
Bayu langsung menoleh. Tampak empat orang gadis cantik berbaju hijau berlarian menghampiri. Dengan cepat Bayu melompat menghadang. Empat orang gadis itu kelihatan terkejut begitu ada, seorang pemuda tampan memakai baju dari kulit harimau, menghadang di depan. Dan tanpa dijelaskan, mereka sudah bisa menebak, apa yang telah terjadi barusan di tempat itu. Mereka memang sudah pernah bentrok dengan pemuda berbaju kulit harimau itu sebelumnya.
“Widarti, turunkan Nyai Ratu!” perintah salah seorang.
Gadis yang dipanggil Widarti, langsung melesat ke atas. Namun dengan cepat Bayu mengebutkan tangan kanannya ke arah gadis itu. Seketika senjata Cakra Maut di pergelangan tangannya mencelat cepat bagaikan kilat Widarti yang tengah berada di udara, terperangah. Buru-buru dia melurukkan tubuhnya kebawah. Namun dengan cepat Bayu menerimanya dengan mengerahkan jurus 'Pukulan Tapak Beracun'.
“Akh!” gadis itu langsung memekik tertahan.
Dan begitu Cakra Maut kembali menempel dipergelangan tangan, dengan cepat Bayu melontarkannya kembali ke arah tiga orang gadis lainnya. Sementara itu Widarti hanya sempat bergerak sedikit, lalu diam dan tidak berkutik lagi. Di dadanya tertera gambar telapak tangan berwarna hitam. Sedangkan dari mulut dan hidungnya mengalir darah kental kehitaman.
“Aaakh...!”
Kembali terdengar jeritan melengking tinggi. Tampak salah seorang sudah menggelepar dengan dada robek terkena sabetan Cakra Maut. Sedangkan dua orang lagi berhasil menghindar. Namun Bayu tidak lagi memberi kesempatan. Dia segera menerjang dengan mengerahkan jurus andalannya, jurus 'Kelelawar Maut'. Kemudian disusul dengan jurus 'Pukulan Tapak Beracun' yang sangat dahsyat.
Dua orang gadis murid Iblis Topeng Mayat itu benar-benar kewalahan, menghadapi gempuran-gempuran Pendekar Pulau Neraka yang sangat dahsyat dan tidak kenal ampun itu. Sedangkan dua orang lagi sudah tewas tanpa mampu melakukan perlawanan.
“Winarni, awas...!” Teriakan peringatan itu terdengar keras, namun gadis yang diperingati hanya sempat mendongak kaget. Dan satu totokan telak bersarang di dadanya. Seketika itu gadis yang dipanggil Winarni itu jatuh ke tanah.
Setelah menotok satu orang, Bayu langsung menyerang satunya lagi. Jurus 'Pukulan Tapak Beracun'-nya begitu dahsyat. Gadis itu tampak tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya mampu berkelit dan menghindar sebisanya. Dan pada satu kesempatan, Bayu berhasil mendaratkan tendangan keras ke arah perut, disusul dengan satu pukulan keras ke dada.
“Akh!” seketika gadis itu memekik tertahan. Dan sebelum tubuhnya ambruk, Pendekar Pulau Neraka segera melayangkan tangannya ke arah leher. Tak pelak lagi, kepala gadis itu terpisah dari lehernya. Setelah itu, Bayu langsung melompat ke arah gadis yang ditotok jalan darahnya di bagian dada. Gadis itu tampak mendelik, dan berusaha menggeliat, namun tubuhnya tidak mampu lagi digerakkan.
“Di mana kau sembunyikan Paksi dan Sariti?” tanya Bayu tajam.
Gadis itu tidak menyahut. Dia tetap mendelik saja dengan marah.
“Hm..., memang tidak ada gunanya bertanya padamu,” gumam Bayu pelan. “Tapi kau akan segera merasakan, bagaimana tersiksanya mati secara pelahan-lahan!”
Bayu kemudian mengangkat tubuh gadis itu, dan meletakkannya di atas sebongkah batu yang cukup besar. Lalu dia mengambil batu lagi. Batu sebesar anak kerbau itu segera ditumpangkan pada tubuh gadis itu. Bayu pun kembali menotok jalan darah pada leher, sehingga gadis itu bisa menggerak-gerakkan lehernya, dan bisa bersuara lagi.
“Panas matahari akan memanggangmu, dan dinginnya malam akan membekukanmu. Kau akan merasakan bagaimana tersiksanya mati secara pelahan-lahan,” desis Bayu dingin.
“Bunuhlah aku, keparat!” bentak gadis itu.
“Kau terlalu enak kalau dibunuh, Manis. Lihat, guru dan temanmu sudah mati. Aku akan memenuhi keinginanmu, jika kau mau menunjukkan di mana kau sembunyikan Paksi dan Sariti?”
Gadis itu tidak segera menjawab. Rupanya dia sedang mempertimbangkan tawaran Pendekar Pulau Neraka itu. Matanya tampak beredar memandangi mayat tiga orang temannya, dan mayat gurunya yang terikat di dahan pohon. Dia tidak tahu, apakah gurunya sudah mati atau belum. Gurunya tidak akan mati kalau kembali menyentuh tanah.
“Kau tidak sayang dengan kecantikanmu?” kembali Bayu menawarkan.
“Baiklah, tapi kau harus membebaskanku?” sahut gadis itu menyerah.
“Itu soal mudah, yang penting sekarang tunjukkan di mana Paksi dan Sariti berada.”
“Di dalam ruangan batu itu,” jawab gadis itu sambil menunjuk sebongkah batu besar bagai bukit, dengan sudut matanya.
Bayu segera menoleh ke arah batu itu. Cukup besar dan tinggi. Pendekar Pulau Neraka itu lalu melangkah menghampiri batu besar dan hitam berlumut itu. Sejenak dia mengamati, keningnya tampak berkerut. Dan dia berpaling kembali pada gadis yang masih tertindih sebongkah batu besar itu.
“Geser tonggak batu yang berada di kananmu ke kiri,” kata gadis itu memberitahu.
Bayu segera menggeser tonggak batu yang berada di kanannya ke sebelah kiri. Seketika terdengar suara bergemuruh! Tampak dinding batu di depannya bergerak ke arah kanan. Bayu berkerut juga keningnya melihat batu itu ternyata berongga. Tak lama kemudian, terlihat Paksi dan Sariti terikat tak berdaya di dalam rongga batu itu.
Pendekar Pulau Neraka itu bergegas masuk dan membebaskan ikatan mereka. Bayu agak heran juga melihat Paksi tidak bisa bergerak, meskipun matanya bergerak-gerak. Pendekar Pulau Neraka itu segera memeriksa tubuh putra kepala desa itu. Dan jari-jari tangannya langsung bergerak cepat di beberapa bagian tubuh Paksi. Sesaat kemudian, pemuda itu pun mampu bergerak kembali. Dia bergegas bangkit, dan memeluk Sariti yang masih lemas.
“Cepat keluar dari sini,” kata Bayu memerintah.
Paksi segera memondong tubuh gadis yang baru saja dinikahinya, dan membawanya keluar dari ruangan batu itu. Sedangkan Bayu mengikutinya dari belakang. Dan begitu mereka sampai di luar, dinding batu itu kembali bergerak menutup. Bayu menghampiri gadis yang masih tergolek dengan tubuh tertindih batu.
“Apa permintaanmu sekarang?” tanya Bayu memenuhi janjinya.
“Bunuhlah aku!” sahut gadis itu tegas.
“Heh!” Bayu tersentak kaget. Sungguh dia tidak menyangka kalau gadis itu tetap pada permintaannya. Semula dia mengira, gadis itu pasti minta dibebaskan. Bayu terus memandangi setengah tidak percaya. Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu mengangkat batu yang menindih tubuh gadis itu.
Bayu segera melangkah mundur, setelah dia membebaskan totokan pada gadis cantik berbaju hijau itu. Sementara Paksi dan Sariti hanya memperhatikan saja. Mereka tampak lemas, setelah terkurung di dalam ruangan batu yang udaranya sedikit. Sementara gadis berbaju hijau itu sudah berdiri. Dia menatap tiga orang di depannya. Dan seketika itu juga....
Prak!
“Hey!” Bayu langsung terperanjat melihat kenekatan gadis itu. Dia memukul kepalanya sendiri hingga retak. Sejenak gadis itu menggelepar, lalu diam dan tidak bergerak-gerak lagi. Pendekat Pulau Neraka itu hanya menarik napas panjang, dan membalikkan tubuhnya. Dia lalu mengajak Paksi dan Sariti untuk meninggalkan tempat itu.
Mereka pun melangkah menuju lingkaran angin yang membentuk sebuah lorong goa. Tubuh mereka langsung tergulung dan terhempas, membuat kesadaran mereka melayang. Bayu merasakan perjalanan menembus lorong ini tidak seperti dia datang tadi. Kali ini dia merasakan seperti terbang terbawa angin. Tak lama kemudian, tubuhnya seperti terlontar dari suatu ketinggian, dan jatuh terhempas dengan lembut di atas rerumputan.
“Paksi...!”
“Kakang Bayu...!”
Bayu segera tersenyum ketika kesadarannya mulai pulih kembali. Tampak di seberang jurang sana, beberapa orang telah menanti. Di antara mereka terlihat tiga orang resi dari Puri Watu Ukir, Kepala Desa Batang Hulu, dan Narita, serta beberapa orang lagi.
“Kau masih mampu melompati jurang ini, Paksi?” tanya Bayu.
“Rasanya aku masih mampu, tapi Sariti....”
“Biar aku yang membawanya.”
Paksi lalu menyerahkan istrinya pada pemuda berbaju kulit harimau itu. Kemudian dia mengkonsentrasikan dirinya sebentar, dan melompat ke seberang jurang. Dia berputar dua kali di udara, dan hinggap dengan manis di seberang jurang.
Sedangkan Bayu pun segera melentingkan tubuhnya sambil memondong Sariti. Sama sekali dia tidak berputar di udara. Pendekar Pulau Neraka itu bagaikan terbang saja, melintasi mulut jurang yang menganga. Dan dengan mulus, kakinya hinggap diseberang.
“Sariti, Anakku...,” seorang wanita tua menyeruak dari kerumunan orang-orang itu.
“Ibu....”
Sariti langsung berlari begitu Bayu menurunkannya dari pondongannya. Anak dan ibu itu saling berpelukan dan bertangisan. Sementara Ki Rungkut segera mendekati anaknya dan menepuk pundaknya beberapa kali. Mereka juga saling berpelukan. Tampak kedua mata Ki Rungkut berkaca-kaca.
“Bagaimana kau dapat mengalahkan Iblis Topeng Mayat, Kakang Bayu?” tanya Narita yang tahu-tahu sudah berada di samping Pendekar Pulau Neraka itu.
“Ceritanya panjang,” sahut Bayu.
“Kau mau menceritakannya padaku, kan?” pinta Narita agak manja.
Pendekar Pulau Neraka itu hanya tersenyum. Beberapa saat kemudian, semua orang yang berada di Puncak Bukit Bojong, mulai bergerak meninggalkan tempat itu. Sementara Bayu masih berdiri saja sambil memandang ke seberang jurang. Dia masih belum mengerti dengan sikap salah seorang gadis murid Iblis Topeng Mayat, yang bunuh diri dengan memecahkan kepalanya sendiri.
Belum pernah dia menemukan seorang yang begitu setia, dan rela mati bersama guru dan teman-temannya. Padahal dia bisa saja meminta untuk dibebaskan, dan bahkan mungkin membalas dendam. Benar-benar satu keputusan yang sangat sulit, dan jarang ditemukan.
“Kakang...,” tegur Narita lembut.
Bayu menoleh. Dia segera tersenyum melihat Narita masih berada disampingnya.
“Kau mau di sini terus?” masih lembut suara Narita.
“Hhh...,” Bayu menarik napas panjang. Perlahan-lahan kaki Pendekar Pulau Neraka itu terayun meninggalkan bibir jurang itu.
Narita pun segera mengikutinya dan mensejajarkan langkahnya di samping pemuda berbaju kulit harimau itu. Mereka terus melangkah tanpa berbicara lagi. Sementara di ufuk Timur, cahaya matahari mulai menyemburat merah.
S E L E S A I