Keris Kala Muyeng

Pendekar pulau nneraka episode keris kala muyeng
Sonny Ogawa
CERITA SILAT PENDEKAR PULAU NERAKA
Episode: Keris Kala Muyeng
Karya: Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit: Cintamedia, Jakarta



Pendekar Pulau Neraka



SATU

Bau tidak sedap menyeruak menusuk hidung, ditebarkan oleh hembusan angin dari sebuah gubuk kecil di pinggiran Hutan Kalikis. Seorang laki-laki berusia separuh baya tampak tengah berjalan mondar-mandir. Dia kelihatan gelisah. Dan sebentar-sebentar, pandangannya tertuju ke pintu gubuk kecil yang tertutup rapat. Beberapa kali tarikan nafasnya yang panjang dan berat terdengar. Laki-laki separuh baya yang mengenakan baju dari bahan sutra halus bercorak kembang-kembang itu berhenti di depan pintu gubuk kecil ini. Dia kelihatan ragu-ragu mengetuk pintu. Tapi, akhirnya diketuk juga pintu yang terbuat dari kayu yang sudah lapuk itu.

Tok, tok, tok...!

Tak ada sahutan sedikit pun dari dalam. Laki-laki separuh baya itu semakin kelihatan gelisah, dan kembali mengetuk pintu beberapa kali. Tetapi tak ada sahutan dari dalam gubuk ini. Dicobanya mengintip dari celah kecil di atas pintu. Tapi tak ada sesuatu yang dapat terlihat. Keadaan di dalam gubuk kecil itu demikian gelap, seakan-akan saat ini sudah malam. Padahal, matahari di atas sana bersinar amat terik, membuat keringat mengucur membasahi seluruh tubuh laki-laki separuh baya itu.

"Nyai, sudah selesai belum...?" agak berbisik suaranya terdengar.

Masih tak ada sahutan dari dalam. Laki-laki separuh baya itu menunggu beberapa saat, kemudian melangkah mundur dua tindak begitu terdengar suara langkah kaki terseret dari dalam gubuk ini. Tak berapa lama kemudian, pintu yang sudah lapuk itu terbuka memperdengarkan suara berderit. Dari dalam, muncul seorang perempuan tua mengenakan baju jubah panjang berwarna hitam yang sudah lusuh dan terdapat beberapa tambalan.

Wanita itu menatap tajam laki-laki separuh baya di depannya. Raut wajahnya mencerminkan ketidak-senangan. Bahkan rahangnya tampak terkatup rapat. Sedangkan laki-laki separuh baya itu tetap saja kelihatan gelisah. Dicobanya untuk melihat ke dalam melalui pundak wanita tua itu. Tapi tetap saja tidak bisa melihat sesuatu di dalam sana. Keadaan di dalam gubuk itu benar-benar gelap.

"Apa kau tidak bisa sabar sedikit, Waskita?" terdengar kering suara perempuan tua itu.

"Aku tidak bisa lama-lama di sini," sahut laki-laki setengah baya yang dipanggil Waskita. "Berapa lama lagi kau akan menyelesaikannya?"

"Berapa kali aku harus mengatakannya...? Kalau sanggup menunggu, tunggu saja. Tapi kalau kau menggangguku terus, sebaiknya pulang saja. Dan tidak perlu kau kembali lagi ke sini!" terasa ketus nada suara perempuan tua itu.

Waskita menelan ludahnya yang mendadak jadi terasa pahit. Dia hanya bisa terdiam, dengan hati masih tetap dihantui kegelisahan. Sedangkan perempuan tua itu masuk kembali ke dalam gubuknya, dan pintu gubuk itu pun kembali tertutup rapat. Tinggal Waskita yang berada di luar bersama kegelisahannya yang semakin melanda.

"Huh! Kenapa begitu lama sekali? Apa dia ingin mempermainkan aku...?" dengus Waskita bertanya pada diri sendiri.

Laki-laki setengah baya itu jadi tidak sabar. Kegelisahannya mendadak saja menghilang. Tatapan matanya begitu tajam, tertuju langsung ke pintu gubuk yang tertutup rapat. Perlahan-lahan kembali didekatinya gubuk itu.

"Aku tidak bisa menunggu terus!" lagi-lagi Waskita mendengus.

Laki-laki setengah baya itu sudah tidak peduli lagi terhadap larangan perempuan tua tadi. Kembali digedornya pintu gubuk itu. Kali ini begitu keras, sehingga membuat daun pintu yang sudah lapuk itu bergetar.
Tak ada sahutan sedikit pun dari dalam. Dan kini wajah Waskita sudah memerah.

"Nyai! Jika tidak kau selesaikan sekarang juga, pintu ini ku dobrak!" ancam Waskita lagi.

Tetap tidak ada sahutan dari dalam gubuk itu. Maka Waskita jadi tidak sabar lagi. Mulutnya mendesis. Kemarahannya tak dapat ditahan lagi. Kesabarannya sudah sampai puncaknya. Maka tiba-tiba saja Waskita melayangkan satu pukulan keras.

Brak!

Daun pintu yang sudah lapuk itu seketika jebol berantakan. Waskita langsung menerobos masuk ke dalam. Tapi hatinya jadi tercengang, karena tidak ada seorang pun di dalam gubuk kecil yang reyot ini. Keadaannya cukup gelap. Tapi dari pintu yang ambrol, cahaya matahari menerobos masuk, sehingga Waskita dapat melihat sekeliling gubuk ini. Tak ada perabotan satu pun juga. Gubuk ini memang dalam keadaan kosong.

"Setan...! Dia benar-benar ingin mempermainkan aku!" dengus Waskita berang.

Hampir saja kemarahannya dilampiaskan, ketika.tiba-tiba saja berhembus angin kencang yang membuat laki-laki setengah baya itu terpental ke luar gubuk ini! Cukup keras tubuhnya terhempas ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Begitu bangkit berdiri, dari dalam gubuk itu melesat bayangan hitam. Dan tahu-tahu di depan Waskita sudah berdiri seorang perempuan tua berbaju hitam yang sudah lusuh dan penuh tambalan. Wajah perempuan tua itu memerah, dan sinar matanya tajam berkilat bagai bola api. Ditatapnya Waskita tajam-tajam tanpa berkedip. Gerahamnya bergemeletuk, menahan kemarahan yang tak terbendung lagi.

***

"Kau benar-benar tidak bisa dipercaya, Waskita. tanggunglah sendiri akibatnya...!" geram wanita tua itu.

"Kau hanya mempermainkan aku saja! Mana Keris Kala Muyeng itu?" nada suara Waskita tidak kalah dinginnya.

"Belum selesai!" sahut wanita tua itu mendengus kesal.

"Aku tidak peduli! Cepat, berikan sekarang...!"

"Sudah kuduga sebelumnya. Kau akan membuat masalah, Waskita. Sungguh menyesal aku menerima pesananmu."

"Jangan banyak omong! Berikan keris itu padaku! Atau terpaksa harus kugunakan kekerasan...?!" ancam Waskita tidak main-main lagi.

Perempuan tua itu melompat mundur dua tindak begitu mendengar ancaman Waskita yang tampaknya tidak main-main lagi. Keningnya sampai berkerut, dan tatapan matanya memancarkan ketidakpercayaan dengan pendengarannya barusan. Sementara Waskita sudah meloloskan pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang. Perlahan kakinya melangkah maju sambil menghunus pedangnya ke depan.

"Jangan main-main dengan senjata, Waskita...," perempuan tua itu memperingatkan.

"Kau yang memaksaku berbuat begini. Mana keris itu?!" bentak Waskita kasar.

"Keris itu belum selesai! Masih satu pekan lagi!" jawab perempuan tua itu sengit.

"Selesai atau tidak, keris itu harus kubawa sekarang juga! Aku sudah cukup bersabar, Nyai...!"

Waskita makin dekat saja dengan perempuan tua itu. Ujung pedangnya tertuju lurus ke arah dada. Sedangkan perempuan tua itu kelihatan khawatir terhadap ancaman Waskita yang tampaknya tidak main-main. Kakinya bergeser beberapa tindak ke kanan, tapi Waskita tetap menujukan ujung pedangnya ke dada perempuan tua itu.

"Ini peringatanku yang terakhir, Nyai. Berikan keris itu, atau terpaksa pedang ini kugunakan untuk memaksamu!" lagi-lagi Waskita mengancam.

"Jangan lakukan itu, Waskita. Kau akan celaka seumur hidup," perempuan tua itu mencoba menyadarkan.

"Setan! Aku tidak butuh nasihatmu! Berikan keris itu, cepaaat..!" bentak Waskita semakin kalap.

"Tidak! Keris itu belum sempurna. Kau akan celaka bila menggunakannya."

"Keparat..! Jangan salahkan bila pedang ini menembus jantungmu, Nyai...!"

Bet!

Seketika itu juga Waskita mengebutkan pedangnya ke arah dada perempuan tua itu. Tapi sedikit saja perempuan tua berbaju kumal itu menarik tubuh ke belakang, maka ujung pedang Waskita hanya lewat di depan dadanya.

"Rupanya kau punya simpanan juga, Nyai Sureng. Bagus! Tahan seranganku...!

Hiyaaat..!"

Waskita tak dapat lagi mengendalikan diri. Bagaikan kilat, dia melompat menerjang sambil mengebutkan pedang ke arah leher perempuan tua yang ternyata bernama Nyai Sureng. Namun, Nyai Sureng masih dapat mengelakkan serangan laki-laki separuh baya ini.

Maka pertarungan pun tak mungkin dapat dihindari lagi. Waskita terus merangsek, menggunakan jurus-jurus permainan pedang yang cepat dan berbahaya sekali. Akibatnya, Nyai Sureng jadi kelabakan setengah mati untuk menghindarinya. Hingga pertarungan baru berjalan lima jurus, satu pukulan yang dilepaskan Waskita berhasil bersarang di dada perempuan tua itu.

Des!
"Akh...!"

Nyai Sureng terpekik agak tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah. Tangannya memegangi dada yang mendadak saja jadi terasa sesak, akibat terhajar pukulan mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Dan sebelum sempat mengatur pernafasannya yang sesak, mendadak saja Waskita sudah membabatkan pedang dengan kecepatan penuh.

"Yeaaah...!"
Wuk!
Cras...!
"Aaa...!"

Nyai Sureng menjerit keras melengking tinggi. Tebasan pedang Waskita tak dapat dihindarinya. Dada perempuan tua itu langsung robek. Seketika darah menyembur deras sekali. Kembali Nyai Sureng terhuyung-huyung ke belakang. Waskita yang sudah mata gelap, tak memberi kesempatan lagi. Cepat bagai kilat dia kembali melompat sambil membabatkan pedangnya.

"Hiyaaat..!"
Bet!
Cras!
"Aaa...!"

Sebentar Nyai Sureng masih dapat berdiri, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Darah menyembur deras dari lehernya yang terbabat hamper buntung. Tak berapa lama kemudian, perempuan tua itu sudah diam tak bergerak-gerak lagi. Tewas dengan dada dan leher sobek terkena tebasan pedang Waskita.

"Kau terlalu meremehkan aku, Nyai. Terpaksa aku harus melenyapkanmu," desis Waskita seraya menghampiri.

Laki-laki separuh baya itu menyarungkan pedangnya kembali di pinggang. Kemudian, diperiksanya seluruh tubuh perempuan tua ini. Dan dari balik lipatan baju, ditemukannya sebilah keris yang tersimpan di dalam warangka yang terbuat dari kayu pangkal asam. Dipandanginya keris itu lekat-lekat lalu perlahan dicabut.

"Heh...! Kenapa bentuknya begini..?" Waskita jadi terkejut, karena keris itu memang belum jadi. Masih kelihatan kasar, dan tidak sedap dipandang mata. Tapi keris itu memancarkan pamor dahsyat dan luar biasa. Baru sebentar saja Waskita memegang, sudah bisa merasakan adanya getaran-getaran aneh yang merasuk ke dalam tubuhnya. Getaran itu semakin lama semakin kuat, dan akhirnya membuat Waskita terkejut. Buru-buru dimasukkannya senjata itu ke dalam warangka.

"Gila...! Keris ini mengandung daya tarik yang begitu kuat. Nafsu membunuhku begitu keras berkobar. Aku jadi merasa haus. Tapi bukan haus biasa, melainkan haus darah. Hhh...! Kuharap keris ini juga memberi kekuatan dahsyat padaku," Waskita bicara sendiri.

Sebentar laki-laki setengah baya itu masih memandangi keris di genggamannya, kemudian menyelipkannya di balik sabuk di depan perut. Dan kini, ditatapnya mayat Nyai Sureng. Lalu, kakinya terayun melangkah meninggalkan tempat itu. Ayunan kakinya begitu tegap, menghampiri seekor kuda yang tertambat di bawah pohon kemuning.

"Hup! Hiya...!"

Begitu melompat naik ke punggung kudanya, Waskita langsung menggebah kuda coklat berbelang putih itu. Cepat sekali binatang itu berlari, sehingga sebentar saja sudah jauh meninggalkan gubuk kecil di pinggiran hutan ini. Meninggalkan sosok mayat perempuan tua yang tergeletak dengan dada dan leher menganga berlumuran darah.

***

Waktu terus bergulir, sejalan dengan perputaran alam yang sesuai kodratnya. Siang pun berlalu, berganti senja. Seekor kuda putih berjalan perlahan menuju gubuk kecil di pinggiran Hutan Kalikis. Di punggungnya duduk seorang gadis berwajah cantik, bajunya berwarna biru muda dan cukup ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping, padat berisi. Dua buah gundukan menonjol indah di dadanya. Gadis itu perlahan-lahan mengendalikan kudanya sambil menikmati kesegaran udara senja. Pandangannya tertuju langsung ke arah gubuk kecil yang letaknya cukup tersembunyi, di antara lebatnya pepohonan tepian Hutan Kalikis ini. Mendadak saja keningnya berkerut, saat pandangannya menangkap sosok tubuh tergolek tidak jauh dari gubuk kecil itu.

"Nyai Sureng...," desis gadis itu.

Seketika kudanya digebah agar berlari kencang. Kuda putih itu meringkik keras, lalu melesat cepat berlari bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busur. Sebentar saja binatang itu sudah dekat dengan gubuk kecil yang tampak rapuh ini.

"Hooop...!"

Sambil menarik tali kekang kudanya, gadis cantik berbaju biru muda itu melompat turun. Gerakannya sungguh indah dan ringan. Dua kali dia melakukan putaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya, tepat di samping tubuh wanita tua yang tergolek tak bernyawa di depannya.

Bergegas gadis itu menubruk tubuh yang sudah dingin tak bernyawa. Matanya yang bulat, berputaran merayapi tubuh tua di dalam pangkuannya. Seakan, dia tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.

"Nyai...," panggil gadis itu pelan, agak berbisik suaranya.

Diguncang-guncangnya tubuh wanita tua itu, tapi tetap saja tidak bergerak sedikit pun. Sesaat gadis itu masih merayapi, seakan-akan ingin meyakinkan kalau Nyai Sureng sudah tewas. Perlahan kemudian tubuh wanita tua itu diangkat, dan dipondongnya, masuk ke dalam gubuk. Di atas tanah yang hanya beralaskan selembar tikar lusuh, tubuh Nyai Sureng dibaringkan dengan hati-hati sekali.

"Siapa yang melakukan ini padamu, Nyai? Bicaralah padaku...," tanya gadis cantik itu dengan suara perlahan dan hampir tidak terdengar.

Nyai Sureng tetap diam. Darah sudah berhenti mengalir dari luka yang menganga di dada dan lehernya. Perlahan gadis cantik berbaju biru itu melangkah mundur. Matanya masih memandangi tubuh wanita tua yang terbaring di atas sehelai tikar lusuh. Perlahan kakinya terus melangkah mundur sampai keluar dari gubuk kecil ini. Ketika sudah ada jarak sekitar dua batang tombak dari pondok, langkahnya berhenti.

"Maafkan aku, Nyai. Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu. Aku hanya melaksanakan pesanmu...," ucap gadis itu perlahan.

Sebentar dipandanginya gubuk kecil itu, lalu perlahan-lahan kakinya direntangkan ke samping. Perlahan pula kedua tangannya diangkat sampai sejajar pinggang. Lalu tangan itu terus naik hingga sejajar disamping dada. Sebentar kemudian ditariknya napas dalam-dalam, lalu ditahannya beberapa saat Dan...

"Hiyaaa...!"

Cepat sekali gadis itu menghentakkan kedua tangannya ke depan, dengan jari-jari terkembang. Secercah cahaya merah kekuning-kuningan, meluncur deras dari kedua telapak tangan yang terbuka itu, langsung menghantam gubuk kecil di depannya.

Glarrr...!

Ledakan keras terdengar menggelegar, bersama hancurnya gubuk kecil itu. Debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa bersama asap kemerahan dan serpihan puing-puing gubuk itu. Api langsung berkobar, membakar gubuk yang berisi mayat Nyai Sureng. Gadis cantik berbaju biru itu segera duduk bersila dengan kedua tangan diletakkan di atas lutut. Pandangannya tertuju lurus ke arah gubuk kecil yang hancur dan terbakar.

Suara bergemeretak dari kayu-kayu termakan api terdengar mengusik gendang telinga. Asap kemerahan terus mengepul membumbung tinggi ke angkasa. Tiba-tiba saja terdengar ledakan dahsyat, disusul memerciknya bunga api yang menyebar ke segala arah. Seketika itu juga, api yang membakar gubuk itu padam. Dan dari asap kemerahan yang mengepul tebal, terlihat bayang-bayang sosok tubuh perempuan tua berjubah kumal penuh tambalan.

"Nyai...," desis gadis cantik berbaju biru itu.

Bayang-bayang Nyai Sureng di antara kepulan asap kemerahan terlihat menyunggingkan senyum. Sedangkan gadis berbaju biru muda yang masih duduk bersila sekitar dua batang tombak dari reruntuhan gubuk itu hanya memandangi dengan mulut agak terbuka.

"Kaukah itu, Anggraini...?" terdengar pelan dan serak suara bayangan Nyai Sureng.

"Benar, Nyai. Aku Anggraini," sahut gadis itu.

"Kenapa baru datang sekarang?"

"Maaf, Nyai. Ada sedikit halangan tadi di jalan. Nyai...."

"Aku tahu, apa yang ingin kau ketahui, Anggraini," potong Nyai Sureng sebelum Anggraini meneruskan ucapannya.

Anggraini jadi terdiam, dan hanya memandang saja bayangan wanita tua itu di dalam asap kemerahan yang terus mengepul membumbung tinggi ke angkasa.

"Sehari setelah kau pergi dari sini, aku kedatangan seorang laki-laki separuh baya. Dia membawa sebuah benda yang memiliki kekuatan dahsyat, dan minta agar aku membuatkannya sebuah senjata dari benda itu. Permintaan itu ku turuti dengan janji bayaran yang sangat besar. Tapi aku jadi kewalahan. Ternyata aku tidak mampu menguasai benda itu, meskipun sudah kebentuk menjadi sebuah keris. Yang lebih parah lagi, dia tidak sabar menunggu. Hingga...," Nyai Sureng tidak meneruskan.

"Siapa orang itu, Nyai?" tanya Anggraini.

"Dia datang dari sebuah kadipaten di kaki Gunung Patarukan. Namanya Waskita. Hanya itu yang ku tahu, Anggraini," sahut Nyai Sureng.

"Waskita...," Anggraini mendesiskan nama yang disebut Nyai Sureng.

"Anggraini! Hanya kau satu-satunya yang bisa ku andalkan. Cari dia, dan ambil Keris Kala Muyeng dari tangannya. Senjata itu sangat berbahaya jika digunakan ke jalan yang salah. Kau harus bisa menyelamatkan keris itu, Anggraini," pesan Nyai Sureng meminta.

"Baik, Nyai. Akan kucari orang itu," tekad Anggraini.

"Aku tidak bisa terlalu lama. Anggraini. Waktuku sudah habis...."

"Nyai...,"

Tapi Nyai Sureng sudah menghilang sebelum Anggraini bisa mengucapkan sesuatu. Bersama menghilangnya bayangan Nyai Sureng, asap kemerahan itu pun lenyap dari pandangan. Kini hanya tinggal onggokan puing-puing gubuk kecil yang sudah hancur tak berbentuk lagi.

"Waskita! Akan kukejar kau, biar sampai ke ujung dunia sekalipun," desis Anggraini seraya bangkit berdiri.

***

DUA

Malam baru saja merayap turun menyelimuti permukaan bumi. Tugas sang mentari yang sepanjang hari menyinari mayapada ini, telah digantikan sang dewi malam, dengan sinarnya yang lembut keperakan. Di antara siraman cahaya rembulan, tampak seorang laki-laki berusia setengah baya tengah berjalan perlahan-lahan sambil menuntun kudanya. Sesekali kepalanya ditengadahkan, menatap rembulan yang malam ini bersinar penuh.

"Berhenti...!"

Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar. Laki-laki separuh baya mengenakan baju indah dari bahan sutra halus itu langsung menghentikan ayunan kakinya. Pada saat itu, dari atas pohon di depannya berkelebat sebuah bayangan hitam. Ringan sekali gerakannya. Tahu-tahu di depan laki-laki separuh baya yang ternyata Waskita, telah berdiri seseorang bertopeng kayu berbentuk wajah kera. Dari bentuk tubuh orang bertopeng itu, sudah dapat dipastikan kalau dia adalah perempuan. Bentuk tubuhnya begitu ramping, dengan sebilah pedang panjang tergantung di pinggang. Dia berdiri tegak sambil berkacak pinggang, sekitar dua batang tombak di depan Waskita.

"Siapa kau?! Berani benar menghadang jalanku!" bentak Waskita, tidak senang karena jalannya terhalang.

"Jangan banyak tanya! Serahkan Keris Kala Muyeng padaku!" bentak orang bertopeng kera itu lantang.

"Heh...?!" Waskita jadi terkejut mendengar bentakan itu.

"Jangan paksa aku menggunakan kekerasan, Waskita. Serahkan keris itu!" ancam wanita bertopeng kera itu lagi.

"Hei? Dari mana kau tahu tentang Keris Kala Muyeng?" tanya Waskita masih keheranan.

Baru siang tadi keris ini direbut dari tangan Nyai Sureng. Dan sekarang, di depannya sudah berdiri seorang wanita mengenakan topeng berwajah kera akan meminta keris itu. Waskita jadi keheranan setengah mati. Sebab, Keris Kala Muyeng baru saja direbut dari tangan pembuatnya. Dan setahunya, tidak ada seorang pun yang mengetahui tentang senjata ini, kecuali beberapa orang. Dan itu tidak termasuk orang di depannya.

"Sudah kubilang, jangan banyak tanya! Serahkan keris itu, atau terpaksa kugunakan kekerasan!" bentak wanita bertopeng kera itu lagi.

"Ambillah sendiri kalau mampu," dengus Waskita jadi jengkel juga mendengar ancaman wanita bertopeng kera itu.

"Keras kepala...! Rasakan ini! Hiyaaat..!"

Bagaikan kilat, wanita bertopeng kera itu melompat menerjang Waskita. Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dilepaskan ke arah dada laki-laki setengah baya itu. Tapi hanya sedikit mengegoskan tubuh ke kanan, Waskita bisa menghindarinya. Cepat Waskita melompat ke belakang dua langkah, lalu bergegas melepaskan pukulan balasan yang lurus ke arah dada wanita bertopeng kera. Namun tanpa diduga sama sekali, wanita itu tidak berusaha menghindar. Bahkan tangannya cepat diputar arahnya untuk menyambut pukulan keras yang dilepaskan Waskita.

Plak!

Tak pelak lagi, dua tangan beradu keras. Waskita seketika tersentak. Karena begitu membentur tangan wanita bertopeng kera itu, tangannya seperti tersengat ribuan lebah berbisa. Maka cepat-cepat tangannya ditarik pulang. Sedangkan wanita bertopeng kera itu, juga tersentak kaget. Bahkan sampai melompat ke belakang dua langkah. Wanita itu merasakan tulang pergelangan tangannya seperti retak, ketika beradu dengan tangan Waskita tadi. Begitu kerasnya, karena masing-masing mengerahkan tenaga dalam tinggi. Dan kelihatannya, tenaga dalam yang mereka miliki cukup seimbang. Masing-masing langsung merasakan akibat benturan dua tenaga dalam tadi yang tersalur ke tangan.

"Hep!"

Wanita bertopeng kera itu kembali menyiapkan serangan. Kedua tangannya bergerak-gerak di depan dada. Lalu dengan cepat, dia kembali melompat menyerang laki-laki setengah baya itu. Waskita juga cepat bertindak. Tubuhnya langsung berlompatan menghindari serangan yang dilakukan perempuan bertopeng kera ini. Beberapa kali pukulan dilepaskan, tapi tak satu pun yang berhasil bersarang di tubuh laki-laki setengah baya ini. Teriakan-teriakan keras menggelegar terdengar saling sambut, memecah kesunyian malam ini. Mereka sama-sama melancarkan jurus-jurus dahsyat, dengan pukulan-pukulan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tanpa terasa, mereka sudah menghabiskan sekitar lima jurus.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Waskita melentingkan tubuhnya ke atas, lalu cepat melakukan putaran dua kali. Kemudian tubuhnya menukik deras sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah kepala.

"Hait!"

Wanita bertopeng kera itu cepat-cepat menarik kepala ke belakang, sambil menggeser kakinya satu langkah ke kiri. Serangan Waskita yang begitu cepat memang dapat dihindarinya. Tapi tanpa diduga sama sekali, Waskita langsung melontarkan satu tendangan keras menggeledek begitu kakinya menjejak tanah. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Waskita, sehingga perempuan bertopeng kera itu tidak sempat lagi menghindar. Akibatnya tendangan Waskita begitu telak menghantam dada. Wanita bertopeng kera itu langsung terpekik keras, dan terjajar ke belakang sejauh dua batang tombak. Dan sebelum wanita bertopeng kera itu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, Waskita cepat sekali melompat menerjang. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hiyaaa...!"
"Ufh...!"

Wanita bertopeng kera itu cepat-cepat membanting tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Serangan Waskita kali ini tidak mengenai sasaran, kecuali sebatang pohon saja. Pohon itu seketika tumbang begitu terkena pukulan Waskita.

"Hup!"

Wanita bertopeng kera itu bergegas melompat bangkit. Dipegangi dadanya yang masih terasa agak sesak akibat terkena tendangan Waskita tadi. Kemudian kakinya dua langkah ditarik ke belakang. Sementara Waskita sudah memutar tubuhnya berbalik. Sinar mata laki-laki itu begitu tajam, merah membara bagaikan sepasang mata elang yang bernafsu melihat mangsa.

Sret!

Wanita bertopeng kera itu mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Perlahan-lahan pedangnya digerakkan, hingga melintang di depan dada. Melihat lawan sudah menghunus senjata, Waskita segera meraba gagang pedangnya yang juga tergantung dipinggang. Tapi di luar dugaan pedangnya tidak jadi ditarik ke luar. Bahkan kini malah cepat menarik keris yang terselip di depan perutnya.

Cring!
"Hah...?!"

Perempuan bertopeng kera itu terkejut melihat keris yang memiliki pamor sangat dahsyat ini. Begitu terkejutnya, sehingga sampai menarik kakinya ke belakang beberapa tindak. Sedangkan Waskita sudah melintangkan kerisnya di depan dada. Perlahan-lahan keris itu diangkat hingga sampai di atas kepala. Lalu perlahan-lahan pula diturunkan kembali. Tatapan matanya semakin tajam, tertuju lurus ke wajah yang tertutup topeng kayu berbentuk wajah kera.

***

"Hiyaaat..!"

Bagaikan kilat, Waskita melompat menerjang wanita bertopeng kera itu. Dengan cepat pula kerisnya dikibaskan beberapa kali, sehingga membuat wanita bertopeng kera itu kelabakan. Tubuhnya berjumpalitan, menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Waskita dengan kecepatan luar biasa. Beberapa kali ujung keris yang masih setengah jadi itu hampir merobek kulit tubuh wanita bertopeng kera itu, tapi masih bisa dihindari meskipun terus terdesak.

"Mampus kau! Yeaaah...!" teriak Waskita keras menggelegar.

Saat itu juga, dengan kecepatan kilat Waskita menusukkan kerisnya ke arah dada wanita bertopeng kera yang kelihatan sedikit terbuka. Serangan kali ini benar-benar membuatnya jadi kelabakan setengah mati. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar. Dan dengan cepat sekali pedangnya dikebutkan, mencoba menangkis keris yang meluncur deras mengancam dada.

Wuk!
Trang!
"Heh...?!"

Wanita bertopeng kera itu jadi terkejut setengah mati. Pedangnya seketika terpenggal begitu membentur Keris Kala Muyeng yang berada di tangan Waskita. Maka cepat-cepat tubuhnya dilentingkan ke belakang, langsung melakukan putaran sebanyak tiga kali. Namun baru saja kakinya menjejak tanah, Waskita sudah melepaskan satu tendangan keras menggeledek.

"Yeaaah...!"
"Heh?!"
Des!

Wanita bertopeng kera itu tidak dapat lagi menghindar. Tendangan yang dilepaskan Waskita, tepat menghantam dada. Akibatnya tubuhnya terpental cukup jauh, dan baru berhenti setelah punggungnya menghantam sebatang pohon. Wanita bertopeng kera itu jatuh terkulai di tanah. Dicobanya untuk bangkit berdiri, tapi langsung memuntahkan darah kental agak kehitaman.

"Aku harus meninggalkan pertarungan ini. Huh! Bisa mati kalau diteruskan...!" dengus wanita bertopeng kera itu dalam hati.

Tepat ketika Waskita sudah bersiap kembali hendak melancarkan serangan, wanita bertopeng kera itu sudah lebih cepat bangkit. Dan dengan sisa-sisa kekuatan yang masih ada, dia cepat melompat kabur.

"He...! Jangan lari kau!" bentak Waskita berang.

Tapi sebelum laki-laki setengah baya itu mengejar, wanita bertopeng kera itu sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan. Terlebih lagi, saat ini malam sudah cukup larut. Sehingga, hal itu membantunya untuk cepat menghilang, sebelum Waskita sempat mengejarnya.

"Setan...!" geram Waskita kesal.

Waskita memasukkan kembali keris ke dalam warangkanya yang terselip di depan perut. Matanya menatap tajam ke arah wanita bertopeng kera yang menghilang tadi. Sebentar laki-laki setengah baya itu masih berdiri tegak, lalu berbalik dan melangkah menghampiri kudanya. Kemudian diambilnya tali kekang kudanya, lalu kakinya terayun kembali. Tapi baru juga beberapa langkah, sudah berhenti lagi.

"Aneh.... Dia tahu tentang Keris Kala Muyeng Siapa dia...? Hm, dari mana dia tahu tentang keris ini?" Waskita jadi bertanya-tanya sendiri.

Sia-sia saja dia mencoba mencari jawaban dari pertanyaan yang tiba-tiba timbul di kepalanya. Wajah yang tertutup topeng, memang sukar dikenali. Waskita kembali mengarahkan pandangannya ke arah wanita bertopeng kera itu tadi menghilang. Dia tahu kalau arah itu akan terus masuk ke dalam hutan. Sedangkan dia sendiri, tadi tengah menuju desa yang tidak seberapa jauh lagi dari tempat ini. Seluruh tubuhnya sudah teramat letih, setelah seharian terguncang-guncang di atas punggung kuda. Waskita kembali mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Namun, benaknya masih terus diliputi berbagai macam pertanyaan dan keheranan atas kemunculan wanita bertopeng kera tadi.

"Paruta juga tahu tentang keris ini. Tapi, apa mungkin...? Ah, tidak...! Tidak mungkin dia berani merebut keris ini dari tanganku," Waskita jadi berbicara sendiri.

Dan kini laki-laki setengah baya itu jadi diliputi kebingungan serta kebimbangan. Memang ada beberapa orang lain lagi yang tahu tentang Keris Kala Muyeng ini. Salah satunya adalah Paruta. Waskita memang sudah menceritakan semua tentang keris ini padanya. Tapi, semua yang terlintas di dalam benaknya cepat dibantahnya. Dia tidak yakin kalau wanita bertopeng kera tadi adalah Paruta.

"Jangan-jangan Paruta telah menceritakan tentang keris ini pada orang lain...? Huh! Tapi kalau sampai berani membocorkan rahasia ini dia akan kubunuh!" Waskita bergegas naik ke punggung kudanya.

"Maaf, kau terpaksa tidak beristirahat malam ini. Kita harus secepatnya berada di Kadipaten Patarukan," ujar Waskita pada kudanya.

Begitu tali kekang dihentakkan, kuda coklat itu langsung berlari cepat menembus kegelapan malam. Waskita terus cepat menggebah kudanya, tidak peduli kalau saat ini sudah hampir tengah malam.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

***

Saat matahari berada di atas kepala, Waskita baru sampai di perbatasan Kota Kadipaten Patarukan. Suasana yang ramai, membuatnya untuk tidak cepat-cepat memacu kudanya. Tak ada seorang pun yang memperhatikannya, meskipun di sepanjang jalan yang dilalui, dipenuhi orang yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Keadaan Waskita memang cukup sukar dikenali lagi, jika hanya dilihat sepintas saja. Pakaiannya kotor, penuh debu yang melekat bercampur keringat. Dan wajahnya pun seperti berkerak penuh debu. Perjalanannya memang sangat melelahkan, setelah semalaman penuh memacu kudanya tanpa mengenal lelah.

Laki-laki setengah baya itu baru menghentikan laju kudanya setelah sampai di depan sebuah rumah yang cukup besar. Rumah itu memiliki gapura batu sebagai pintu gerbang, dan dijaga dua orang bersenjata golok terselip di pinggang. Tanpa menghiraukan kedua penjaga yang bengong memperhatikannya, Waskita kembali menggebah kudanya melewati pintu gapura itu. Dan dia baru melompat turun setelah sampai di depan tangga masuk sebuah rumah yang besar dan indah. Beberapa orang yang berada di sekitar halaman dan beranda rumah itu hanya memperhatikan saja dengan kening sedikit berkerut.

Sedangkan Waskita terus melangkah memasuki rumah besar ini. Sampai di bagian dalam, ayunan kakinya tidak dihentikan. Dia terus saja berjalan melewati ruangan tengah. Di sana, seperti telah menunggu seorang laki-laki berusia sekitar delapan puluh tahun. Laki-laki tua mengenakan baju warna putih dari bahan sutra halus itu bergegas bangkit berdiri begitu melihat kedatangan Waskita.

"He...?! Kenapa baru sekarang kau datang?!" sentak laki-laki tua itu dengan mata sedikit mendelik.

Waskita bergegas berlutut, seraya merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Kemudian dia duduk bersila di lantai yang beralaskan permadani tebal berwarna merah menyala. Laki-laki tua berbaju putih agak ketat dan masih kelihatan gagah itu menghampiri dengan langkah ringan. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat yang tak beraturan bentuknya.

"Sejak pagi tadi aku menunggu. Ke mana saja kau, sampai baru sekarang datang...?!" tanya laki-laki tua itu masih dengan nada yang sama.

"Ampun, Gusti. Ada sedikit halangan di jalan," ucap Waskita dengan sikap penuh rasa hormat.

"Tapi, kau berhasil bukan...?" laki-laki tua itu seperti tidak peduli dengan alasan yang dikemukakan Waskita.

Waskita hanya diam saja, tapi malah menundukkan kepalanya, menekuri lantai. Sehingga membuat laki-laki tua bertongkat tak beraturan itu jadi menatapnya tajam-tajam. Kening yang sudah berkerut cukup banyak, semakin kelihatan jelas kerutannya. Sedangkan Waskita masih tetap diam sambil menundukkan kepala.

"Katakan, Waskita. Kau berhasil apa tidak...?" desak laki-laki tua itu tidak sabar.

"Ampun, Gusti. Hamba sudah berusaha. Tapi...," Waskita tidak meneruskan kalimatnya.

"Kau gagal..?!" sentak laki-laki tua itu semakin lebar mendelik.

Sebentar Waskita terdiam, kemudian kepalanya terangguk perlahan.

Trak!

Laki-laki tua itu menghentakkan ujung tongkatnya, menghantam lantai di ujung kakinya. Seketika wajah yang masih kelihatan gagah, meskipun kumisnya sudah berwarna putih, jadi berubah merah padam. Persis seperti sepotong besi yang terbakar di dalam tungku.

"Bodoh...! Baru mendapat tugas ringan begitu saja tidak berhasil.'" dengus laki-laki tua itu.

"Hamba sudah berusaha, Gusti. Tapi dia tetap tidak menyerah. Bahkan berani menentang. Hamba terpaksa melakukan kekerasan. Hamba sudah berusaha untuk mendapatkannya, tapi...," kata-kata Waskita kembali terputus.

"Kau benar-benar mengecewakan, Waskita. Baru menghadapi perempuan tua saja sudah tidak becus!'! laki-laki tua berjubah putih itu masih kelihatan kesal.

"Sebenarnya, hamba bisa memperolehnya, Gusti," kata Waskita lagi.

"Kenapa kau tidak memperolehnya sekarang...?"!

"Seseorang datang membantunya, Gusti. Ilmu olah kanuragannya sangat tinggi. Hamba dibuat babak belur. Kalau saja tidak segera lari, pasti hamba sudah tewas di tangannya," lagi-lagi Waskita memberikan alasan.

"Siapa dia?" tanya laki-laki tua berbaju putih agak ketat itu.

"Sukar dikenalinya, karena dia mengenakan topeng berbentuk kera, Gusti."

Laki-laki tua berbaju putih itu memandangi Waskita dalam-dalam, seperti tidak percaya dengan kata-kata yang didengarnya barusan. Sedangkan Waskita sendiri hanya tertunduk saja, seakan-akan menyembunyikan raut wajahnya yang sebentar memerah, dan sebentar kemudian agak memucat. Untuk beberapa saat tak ada yang bicara. Ruangan tengah cukup besar dan indah ini jadi terasa begitu lengang, sehingga detak jantung terdengar cukup jelas.

"Kau tidak berdusta, Waskita?" nada suara laki-laki tua itu terdengar menyelidik.

"Hamba mengatakan yang sebenarnya, Gusti Wanengpati," sahut Waskita seraya memberi sembah dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung.

"Hm...," laki-laki tua yang dipanggil Gusti Wanengpati itu hanya bergumam saja.

Kembali tidak terdengar suara sedikit pun. Perlahan Gusti Wanengpati memutar tubuhnya, dan melangkah menghampiri kursi yang tadi didudukinya sebelum Waskita muncul ke ruangan ini. Sambil menghembuskan napas panjang, tubuhnya dihempaskan dikursi ukiran kayu jati. Sebuah kursi yang cukup besar, sehingga, seakan-akan hendak menenggelamkan tubuhnya yang agak kurus.

"Istirahatlah. Besok pagi, kita sama-sama pergi ke sana," ujar laki-laki tua itu yang biasanya dipanggil dengan sebutan Ki Wanengpati.

Di dalam lingkungan rumahnya yang besar ini, dia selalu dipanggil Gusti Wanengpati. Karena, dia adalah orang kedua di Kadipaten Patarukan. Kedudukannya adalah sebagai penasihat pribadi Adipati Patarukan, yang sekaligus juga sebagai tangan kanan serta kepala pasukan keamanan di kadipaten ini. Namun, terkadang kekuasaannya melebihi adipati sendiri. Sehingga, dia memiliki satu pasukan sendiri yang tidak pernah menggunakan seragam prajurit kadipaten. Meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, tapi sangat handal dalam pertarungan. Dan adipati sendiri sangat mengandalkan pasukan khusus Ki Wanengpati ini.

"Hamba mohon diri, Gusti," pamit Waskita seraya bangkit berdiri setelah memberi sembah.

***

TIGA

Malam sudah menyelimuti permukaan bumi Kadipaten Patarukan. Segala kesibukan sudah sirna. Kesunyian begitu terasa, membuat seluruh rakyat di kadipaten itu semakin nyenyak dibuai mimpi. Tapi tidak demikian halnya dengan Waskita. Laki-laki separuh baya yang masih kelihatan gagah itu tampak gelisah di ruangan tengah di dalam rumahnya yang cukup besar ini.

Entah sudah berapa kali dia bangkit berdiri, lalu duduk kembali di kursi dekat jendela besar yang masih terbuka lebar. Wajahnya bersimbah keringat, meskipun udara malam ini terasa cukup dingin. Beberapa kali pula dipandanginya keris yang berada di tangan kanannya. Ketika baru saja duduk kembali di kursi dekat jendela, mendadak saja....

Wusss!
"Heh...?!"

Waskita tersentak, sampai-sampai terlompat berdiri begitu secercah cahaya kuning keemasan tiba-tiba melesat masuk dari jendela yang terbuka lebar. Cahaya itu langsung menghantam pilar besar di tengah-tengah ruangan ini. Waskita cepat melompat mendekati pilar ketika melihat ada sebuah benda berwarna kuning keemasan tertancap di sana. Hati laki-laki separuh baya itu mendadak saja terkesiap begitu melihat benda berwarna kuning keemasan berbentuk bintang yang bagian tengahnya berlubang tertancap di pilar. Cepat dia melompat mendekati jendela, lalu terus melesat keluar melewati jendela yang terbuka lebar itu. Gerakannya sungguh ringan dan cepat sehingga sebentar saja sudah berada di luar.

"Hup!"

Hanya sekali lesatan ringan, Waskita melompat naik ke atas atap. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, laki-laki separuh baya itu hinggap di atas atap. Pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Tak ada sesuatu yang dapat dicurigai. Bahkan tak ada seorang pun yang dilihat, kecuali kegelapan malam yang berselimut kabut. Dan begitu pandangannya diarahkan ke Timur, di bawah sebatang pohon yang cukup besar tampak berdiri seseorang tengah memperhatikannya. Tubuhnya ramping, mengenakan baju hitam yang cukup ketat. Tanpa berpikir dua kali, Waskita melompat cepat, lalu meluruk deras ke arah orang yang berdiri di bawah pohon itu.

"Hap...!"

Begitu kakinya menjejak tanah, dia langsung berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sebentar saja Waskita sudah berdiri sekitar satu batang tombak di depan orang bertubuh ramping itu. Laki-laki setengah baya itu tersenyum sinis melihat orang bertopeng berbentuk kera.

"Rupanya kau masih juga menginginkan Keris Kala Muyeng. Siapa kau sebenarnya?" terasa sinis nada suara Waskita.

"Aku orang yang berhak atas keris itu!" sahut orang bertopeng kera itu dingin.

"Kau...? Ha ha ha...!" Waskita jadi tertawa terbahak-bahak.

Waskita merasa tergelitik mendengar kata-kata orang bertopeng kera itu barusan. Hanya dia, Ki Wanengpati, Nyai Sureng, dan anak gadisnya yang bernama Paruta yang tahu tentang benda keramat itu. Namun Nyai Sureng telah membuat keris ampuh hingga diberi nama Keris Kala Muyeng, telah tewas. Berarti tinggal tiga orang yang mengetahuinya. Dan sekarang, didepannya kini berdiri seorang wanita bertopeng kera yang mengaku lebih berhak atas keris itu daripada dirinya.

Hal ini membuat Waskita menjadi terasa tergelitik tenggorokannya, hingga tertawa terbahak-bahak. Bahkan Ki Wanengpati yang menginginkan keris itu pun dapat dikelabuinya dengan mudah. Dan sekarang keris itu menjadi miliknya. Maka tak seorang pun bisa memiliki, kecuali bisa melangkahi mayatnya terlebih dahulu. Dan itu memang sudah menjadi tekad Waskita setelah berhasil menguasai Keris Kala Muyeng dari tangan pembuatnya.

"Maaf. Aku tidak ada waktu untuk bermain main denganmu, Nisanak," kata Waskita dingin.

Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya itu segera memutar tubuhnya hendak melangkah. Tapi sebelum kakinya terayun, mendadak saja terasa seperti ada angin mendesir dari arah belakang. Cepat Waskita memiringkan tubuhnya ke kanan. Pada saat itu, secercah cahaya kuning keemasan melesat cepat bagaikan kilat melewati tepi bahunya.

"Hup...!"

Begitu cahaya kuning keemasan lewat, Waskita cepat melentingkan tubuhnya ke depan. Tubuhnya langsung berbalik saat kakinya menjejak tanah. Ditatapnya wanita bertopeng kera itu dengan sinar mata tajam.

"Aku tidak ingin bertindak keras padamu, Nisanak. Sebaiknya cepat enyah dari hadapanku!" desis Waskita menggeram dingin.

"Aku akan pergi setelah Keris Kala Muyeng kau serahkan padaku!" dengus wanita bertopeng kera itu! tidak kalah dinginnya.

"Kau benar-benar keras kepala, Nisanak. Ambillah kalau kau mampu!" dengus Waskita jadi jengkel

Setelah berkata demikian, Waskita menggeseri kakinya ke kanan beberapa langkah. Sedangkan wanita berbaju hitam dan bertopeng kera, sudah melangkah maju beberapa tindak. Perlahan-lahan pedang yang tergantung di pinggangnya dicabut. Kilatan cahaya keemasan membersit begitu pedang berwarna kuning keemasan itu keluar dari warangkanya.

"Tahan seranganku! Hiaaat!"

Sambil berteriak keras menggelegar, wanita bertopeng kera itu tiba-tiba saja melesat cepat menerjang Waskita yang memang sejak tadi sudah siap menerima serangan. Saat itu juga, Waskita menggeser kakinya sedikit ke kiri. Tubuhnya langsung diliukkan, untuk menghindari tebasan pedang keemasan yang begitu cepat mengarah ke dadanya.

Bet!

***

Waskita terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan wanita bertopeng kera. Pedang keemasan di tangannya, berkelebat cepat mengurung seluruh ruang gerak laki-laki setengah baya itu. Beberapa kali pedang wanita bertopeng kera itu hampir merobek kulit tubuh Waskita. Tapi sampai sejauh ini, laki-laki setengah baya itu masih dapat mengatasi semua serangan.

"Hup! Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Waskita melentingkan tubuh ke belakang dan melakukan putaran beberapa kali, tepat ketika pedang wanita bertopeng kera itu membabat ke arah kakinya. Manis sekali laki-laki setengah baya itu mendarat di tanah, lalu cepat mengeluarkan Keris Kala Muyeng yang sejak tadi tersimpan di dalam warangkanya. Begitu terhunus, dari mata Keris Kala Muyeng yang berkeluk tujuh itu mengepulkan asap hitam memancarkan bau busuk. Bukan hanya wanita bertopeng kera itu yang terkejut. Bahkan Waskita begitu kaget melihat keris di tangannya mengeluarkan asap berbau busuk, seperti bau mayat yang sudah berhari-hari tertimbun dalam tumpukan dedaunan kering.

Tapi Waskita tidak bisa menyadari lagi, karena pamor keris itu cepat menguasai seluruh jiwanya. Bagaikan seekor serigala lapar, Waskita mendengus dan menggeram. Kedua bola matanya memerah dan menyala-nyala bagaikan sepasang bola api yang siap menghanguskan apa saja di dekatnya. Saat itu juga Waskita merasakan kerongkongannya jadi kering. Rasa kehausan yang amat sangat seketika menyerangnya. Bukan haus biasa, tapi haus ingin minum darah!

"Darahmu pasti segar, Nisanak. Sudah lama aku tidak lagi memuaskan dahaga dengan darah...," desis Waskita.

Nada suaranya kini terdengar lain. Dan memang, suara itu lain sekali dengan suara Waskita. Seperti ada sesuatu kekuatan lain yang menyusup ke dalam jiwanya. Pada saat yang sama, wanita bertopeng kera itu melompat mundur sejauh beberapa tindak. Dirasakannya ada kelainan pada diri Waskita yang menghunus Keris Kala Muyeng.

"Hiyaaa...!"

Bagaikan kilat, Waskita tiba-tiba saja melompat cepat menerjang lawan. Begitu cepatnya, membuat wanita bertopeng kera itu jadi terkesiap. Tapi cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Sehingga, serangan yang dilancarkan Waskita hanya menyambar angin kosong saja.

"Ghrrr...!" Waskita menggeram dahsyat bagaikan seekor binatang buas.

Tubuh laki-laki setengah baya itu cepat berbalik memutar menatap tajam wanita bertopeng kera yang kini sudah bangkit berdiri kembali. Waskita menghunus lurus kerisnya ke depan, tertuju langsung ke dada calon korbannya yang berada sekitar dua batang tombak di depannya. Perlahan-lahan kakinya terayun melangkah kedepan.

"Celaka..., jiwanya sudah terpengaruh keris itu," desis wanita bertopeng kera. "Aku harus menghindarinya sebelum dia benar-benar meminum darahku."

Setelah berpikir beberapa saat, wanita bertopeng kera itu cepat melompat meninggalkan tempat ini. Melihat calon korbannya berusaha kabur, Waskita jadi meraung keras sambil mengacungkan Keris Kala Muyeng ke atas kepala.

"Ghraaagkh...!"

Bagaikan kilat, Waskita melompat berusaha mengejar wanita bertopeng kera itu. Dia terus berlari kencang bagaikan dikejar setan. Tapi wanita itu sudah tidak terlihat lagi, lenyap seperti tertelan bumi.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Dan suasana di Kadipaten Patarukan, masih tetap terlihat sunyi. Di dalam kesunyian ini Waskita menggerung-gerung seperti binatang buas kelaparan karena calon korbannya berhasil melarikan diri. Mata Waskita kian liar melirik ke kanan dan ke kiri. Keris Kala Muyeng benar-benar telah mengendalikan jiwanya. Raganya seolah-olah haus, menuntut ingin minum. Namun hanya darah yang mampu mengobati rasa hausnya. Hanya darah. Lalu, tubuhnya melesat cepat menghilang dalam gelapnya malam.

***

Pagi harinya, seluruh Kota Kadipaten Patarukan tiba-tiba saja gempar. Beberapa prajurit yang kebetulan lewat di depan rumah seorang pengurus kuda di kadipaten, mendapati keluarga pengurus kuda itu sudah tewas. Bahkan rumahnya hancur berantakan seperti baru saja digempur habis-habisan. Ada empat mayat laki-laki dan dua mayat perempuan, serta seorang anak berusia sekitar lima tahun bergelimpangan di dalam dan halaman rumah itu.

Peristiwa pembantaian seperti ini belum pernah terjadi di Kadipaten Patarukan. Tentu saja peristiwa mengejutkan ini membuat Adipati Antapara sendiri terpaksa turun untuk menyaksikan sendiri kematian keluarga pengurus kuda dikadipatenannya. Yang membuat adipati itu terkejut, semua korban yang tewas tidak lagi memiliki darah. Bahkan tidak setetes darah pun terlihat, meskipun semua yang tewas dalam keadaan terkoyak cukup besar di leher.

Adipati Antapara yang masih berusia muda itu kelihatan gundah setelah menyaksikan keadaan mayat keluarga pengurus kuda kadipatenan. Sejak berangkat dari kadipatenan hingga kembali lagi, dia selalu didampingi orang kepercayaannya, Ki Wanengpati. Sementara itu, sepuluh orang-orang Ki Wanengpati yang rata-rata berkemampuan cukup tinggi dalam ilmu olah kanuragan tampak mengelilingi mereka berdua.

"Aku tidak tahu, apakah ini perbuatan manusia atau iblis dari neraka...," keluh Adipati Antapara seraya menghempaskan tubuhnya di kursi yang hampir menenggelamkan tubuhnya yang kecil.

"Dari ciri-ciri para korban, hamba menduga kalau itu perbuatan orang yang tengah menuntut ilmu hitam Gusti Adipati," tebak Ki Wanengpati dengan sikap hormat.

"Aku tidak ingin kejadian seperti ini terulang lagi, Paman."

"Hamba mengerti, Gusti," sahut Ki Wanengpati.

Adipati Antapara kembali bangkit berdiri. Semua orang yang duduk di lantai di depannya, segera memberi sembah dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung. Demikian pula Ki Wanengpati. Dia segera bangkit berdiri dan membungkukkan tubuhnya, begitu Adipati Antapara beranjak meninggalkan ruangan yang berukuran sangat besar ini. Setelah adipati berusia sekitar dua puluh lima tahun itu lenyap di balik pintu, Ki Wanengpati bergegas meninggalkan ruangan diikuti sepuluh orang pengawal khususnya.

"Kalian berlima, segera jemput Waskita. Katakan aku memanggilnya ke rumah," perintah Ki Wanengpati sambil menunjuk lima orang pengawalnya.

Kelima orang pengawal khususnya itu segera membungkuk memberi hormat, lalu bergegas berjalan cepat mendahului. Sedangkan Ki Wanengpati segera naik ke kuda yang dipegangi seorang pengawalnya. Dan lima orang pengawal khusus lainnya, bergegas naik pula ke kuda masing-masing. Tak lama kemudian, mereka bergerak meninggalkan kadipatenan yang merupakan sebuah bangunan besar dan indah bagai istana ini.

***

"Duduklah, Waskita," perintah Ki Wanengpati begitu Waskita datang menghadap.

Setelah memberi sembah menghormat, Waskita duduk di sebuah kursi, di seberang meja besar di tengah-tengah ruangan yang cukup luas ini. Sedangkan Ki Wanengpati duduk di seberangnya lagi. Tak ada orang lain di ruangan ini, kecuali mereka berdua.

"Kau tahu, mengapa aku memanggilmu ke sini, Waskita...?" agak dalam suara Ki Wanengpati.

"Tidak, Gusti," sahut Waskita, penuh rasa hormat.

"Seharusnya hari ini, kau dan aku pergi ke pondok Nyai Sureng. Aku ingin tahu hal yang sebenarnya dari ceritamu. Bukannya tidak percaya, tapi Keris Kala Muyeng itu demikian penting bagiku. Bagi kelancaran semua cita-cita besarku, dan cita-cita kau juga, Waskita. Tapi sesuatu telah terjadi. Aku yakin, kau juga sudah mengetahuinya," kata Ki Wanengpati tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Waskita yang duduk di depannya, dengan sebuah meja besar menjadi pembatas di antara mereka.

"Hamba sudah mengetahuinya, Gusti. Hamba juga sudah melihatnya," sahut Waskita lagi.

"Sepuluh tahun aku berusaha mendapatkan benda itu, Waskita. Dan setelah ku peroleh, kini hilang kembali. Aku tidak akan gundah seperti ini kalau tidak terjadi peristiwa yang menggegerkan seluruh Kadipaten Patarukan," tutur KI Wanengpati lagi.

Waskita hanya diam saja.

"Waskita! Kau sudah mengikutiku selama tiga puluh tahun lebih. Maka tentunya sudah tahu watak-watak ku, bukan...? Aku hanya ingin kejujuranmu saja, Waskita. Dimana Keris Kala Muyeng sekarang berada?"

"Ampunkan hamba, Gusti. Hamba tidak berhasil memperolehnya dari tangan Nyai Sureng. Wanita itu mempertahankan keris yang dikatakannya belum selesai. Keris itu pasti masih berada di tangannya, Gusti," sahut Waskita seraya merapatkan kedua tangan di depan hidung.

"Kau tahu, Waskita. Keris itu bisa membawa malapetaka jika pemegangnya tidak mampu mengalahkan kekuatan yang terkandung di dalamnya. Keris itu akan menjadi sebuah senjata pusaka yang maha dahsyat. Bahkan akan kuberi gelar, Pusaka Penyebar Maut yang tak ada tandingannya di dunia ini. Tapi, keris itu juga bisa membahayakan pemegangnya yang tak dapat sempurna menguasainya. Kekuatan yang ada di dalam keris itu dapat mempengaruhi jiwa pemegangnya, sehingga tidak dapat mengendalikan diri lagi," Ki Wanengpati menjelaskan keburukan dari Keris Kala Muyeng.

Sedangkan Waskita hanya diam saja, dengan kepala tertunduk. Ki Wanengpati bangkit berdiri, lalu berjalan memutari meja besar itu. Langkahnya baru berhenti setelah berada sekitar lima depa lagi disamping Waskita.

"Hanya kau yang tahu tentang benda itu, Waskita. Aku tidak ingin berselisih denganmu, dan aku juga tidak ingin kau menjadi makhluk liar yang dapat membahayakan semua orang," kata Ki Wanengpati lagi.

"Tapi hamba tidak berdusta, Gusti. Hamba berani bersumpah...," kata Waskita mencoba meyakinkan orang tua ini.

"Aku ingin mempercayaimu, Waskita," ujar Ki Wanengpati.

Waskita kembali terdiam.

"Siapkan kudamu. Kita berangkat sekarang kepondok Nyai Sureng," ujar Ki Wanengpati.

"Hamba, Gusti," sahut Waskita.

Bergegas Waskita bangkit berdiri, kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu setelah membungkuk memberi hormat. Sedangkan Ki Wanengpati masih berdiri memandangi sampai laki-laki separuh baya itu menghilang di balik pintu.

"Keris itu pasti sudah berada di tangan seseorang, dan sudah mengambil korban.

Hhh..., sukar bagiku untuk bisa menghentikannya, kalau sudah begini. Mudah-mudahan saja memang bukan Waskita yang memegangnya," desah Ki Wanengpati perlahan.

Sambil mengayun-ayunkan tongkatnya, laki-laki tua itu melangkah meninggalkan ruangan ini. Dua orang penjaga di depan pintu, membungkukkan badan ketika Ki Wanengpati melewatinya. Dia terus melangkah menuju ke luar. Di sana, Waskita sudah menunggu di atas punggung kudanya. Matahari hampir tenggelam di balik bukit ketika Ki Wanengpati dan Waskita tiba di tepi hutan. Kedua laki-laki itu memandangi onggokan gubuk kecil yang terbakar hangus. Mereka berlompatan turun dari punggung kudanya, lalu melangkah menghampiri reruntuhan gubuk kecil yang sudah menjadi arang.

"Siapa yang melakukan ini, Waskita...?" tanya Wanengpati seperti bertanya untuk diri sendiri.

Tentu saja Waskita tidak mungkin menjawab pertanyaan itu. Dia hanya diam saja, seraya melangkah semakin mendekati onggokan puing pondok Nyai Sureng yang sudah hangus terbakar. Dia ingat waktu meninggalkan pondok ini masih dalam keadaan utuh. Dan mayat Nyai Sureng juga tergeletak di tempat kuda-kuda mereka sekarang berpijak. Waskita menyibakkan sebuah balok yang sudah hangus menghitam, dan sebagian sudah menjadi arang. Tiba-tiba Waskita terkesiap, begitu melihat sebentuk tangan yang hitam menyembul keluar dari tumpukan onggokan puing ini. Waskita langsung tahu, itu pasti tangan Nyai Sureng. Tapi di mana tubuhnya...?

Melihat keadaan gubuk yang sudah hangus terbakar, bisa diduga kalau Nyai Sureng pasti ikut terbakar bersama gubuknya. Hanya saja yang menjadi pertanyaan sekarang, siapa yang meletakkan tubuh perempuan tua itu ke dalam gubuk, lalu membakarnya...?

"Dia sudah tewas," jelas Waskita perlahan, ketika disadari Ki Wanengpati sudah berada di sampingnya.

"Ayo, kita kembali ke kadipaten," ajak Ki Wanengpati.

"Tidak mencari kerisnya dulu?"

"Untuk apa...? Keris itu pasti sudah jatuh ke tangan orang lain. Aku hanya bisa berharap, mudah-mudahan dia bisa mengendalikannya."

Waskita hanya diam saja, dan masih berdiri memandangi onggokan reruntuhan gubuk di depannya. Sementara Ki Wanengpati sudah berlalu, dan telah duduk di punggung kudanya. Entah, apa yang ada didalam benak Waskita. Laki-laki setengah baya itu baru melangkah setelah Ki Wanengpati memanggilnya. Tak berapa lama kemudian, dua ekor kuda bergerak meninggalkan tepi hutan itu.

"Siapa kira-kira yang melakukan itu, Waskita?" tanya Ki Wanengpati setelah cukup jauh meninggalkan tepian hutan itu, untuk kembali ke Kadipaten Patarukan.

"Hamba tidak tahu, Gusti," sahut Waskita perlahan.

"Seharusnya, aku memang mencari keris itu kalau sudah jatuh ke tangan orang lain, rasanya sulit mendapatkannya kembali. Hhh...," nada suara Ki Wanengpati terdengar agak mendesah, seolah berbicara pada diri sendiri.

Sedangkan Waskita hanya diam saja, sambil mengendalikan kudanya agar tetap berada di samping kuda laki-laki tua ini. Sukar diterka apa yang ada di dalam benaknya. Pandangannya begitu kosong, lurus ke depan. Seperti ada yang tengah mengganjal di hatinya saat ini.

"Kau tahu, Waskita. Peristiwa yang menimpa keluarga pengurus kuda itu membuatku jadi berpikir" ujar Ki Wanengpati lagi.

"Apakah ada sesuatu yang aneh, Gusti?" tanya Waskita.

"Peristiwa aneh..,, Aku merasa kalau keris itu berada dekat denganku. Tapi...," Ki Wanengpati memutuskan kalimatnya.

"Apakah kematian mereka ada hubungannya dengan Keris Kala Muyeng, Gusti?" tanya Waskita.

"Belum bisa dipastikan. Tapi ciri-cirinya sangat persis. Pemegang keris itu akan selalu mencari korban dan meminum darahnya. Semua itu terjadi karena jiwa si pemegang keris dipengaruhi kekuatan Keris Kala Muyeng. Semakin banyak darah didapatkannya, maka kekuatannya semakin bertambah besar. Hingga akhirnya, tak ada satu kekuatan pun didunia ini yang dapat menandinginya. Keris itu membutuhkan empat puluh darah manusia dalam waktu cepat. Dan setelah itu, setiap hari harus meminum darah orang. Paling tidak, satu orang dalam sehari. Hhh... Dunia ini akan hancur kalau tidak segera dihentikan, Waskita. Tapi aku tidak tahu cara menghentikannya. Kecuali, harus mendapatkannya kembali, lalu ku sempurnakan hingga tidak lagi liar dan merugikan orang banyak," jelas Ki Wanengpati panjang lebar.

Ada sedikit keluhan pada nada suaranya. Sedangkan Waskita tetap diam sambil mengendalikan kudanya agar tetap berada di samping Ki Wanengpati. Mereka terus mengendalikan kuda perlahan-lahan sambil membicarakan Keris Kala Muyeng. Dan setiap kali Ki Wanengpati membeberkan rahasia keris itu, Waskita selalu terdiam tercenung. Untung saja Ki Wanengpati tidak memperhatikan sikapnya yang jadi nampak gelisah. Dan memang, benda yang sedang dipercakapkan itu, sebenarnya ada pada Waskita!

***

EMPAT

Waskita menghempaskan tubuhnya di kursi panjang dari bambu yang diserut halus, dan diberi warna kecoklatan. Nafasnya ditarik panjang-panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat. Perlahan-lahan tangannya menarik sebilah keris yang sejak tadi tersembunyi dibalik lipatan baju. Sebilah keris yang belum sempurna bentuknya, karena memang belum sempurna betul dibuatnya. Baru saja keris itu hendak ditarik keluar dari warangka, tiba-tiba seorang gadis cantik muncul. Waskita cepat-cepat menyimpan kembali senjata itu ke dalam lipatan bajunya.

"Kau sudah bangun sepagi ini, Paruta?" sapa Waskita mendahului gadis cantik berbaju ketat berwarna merah muda yang sudah berada dekat di depannya.

Gadis itu hanya melemparkan senyuman saja, kemudian duduk di samping laki-laki separuh baya ini.

"Ayah tidak pulang semalam. Ke mana saja semalaman?" lembut sekali terdengar nada suara gadis yang dipanggil Paruta ini.

"Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengan Gusti Wanengpati," sahut Waskita memberi alasan.

"Urusan keris itu lagi...?"

Waskita merentangkan tangannya, dan merangkul pundak putrinya yang kelihatan memberengut. Paruta menjadi manja, langsung meletakkan kepalanya di bahu laki-laki setengah baya ini. Gadis ini tahu kalau ayahnya tengah menghadapi persoalan berat tentang sebilah keris yang dinamakan Kala Muyeng. Sebuah senjata pusaka yang sangat dahsyat. Meskipun baru sekali Paruta melihat benda pusaka itu ketika sedang dibuat Nyai Sureng, tapi sudah bisa merasakan kedahsyatan pamornya.

"Kudengar, keluarga pengurus kuda kadipaten tewas dibunuh kemarin malam. Benar itu, Ayah...?" Paruta baru membuka suaranya lagi setelah cukup lama terdiam di dalam rangkulan ayahnya.

Waskita tidak langsung menjawab. Dihembuskannya napas panjang, dan dilepaskannya rangkulan pada anaknya. Perlahan dia bangkit berdiri dan berjalan beberapa langkah. Laki-laki separuh baya itu berbalik, lalu menyandarkan punggungnya di tiang penyangga yang terbuat dari kayu berukir.

"Dari mana kau tahu hal itu, Paruta?" Waskita malah balik bertanya.

"Berita itu sudah tersebar luas. Kasihan.... Satu keluarga tewas semua," sahut Paruta disusul desahan panjang. "Ayah tidak mencari pembunuhnya?"

"Urusan itu sudah ditangani petugas keamanan kadipaten. Aku tidak perlu turun tangan menanganinya," sahut Waskita.

Waskita memandangi putrinya yang kelihatan berbaju rapi, seperti hendak melakukan perjalanan.

"Kau akan pergi, Paruta?" tanya Waskita membelokkan arah pembicaraan.

"Ke Hutan Bambu Kuning untuk sedikit melemaskan otot. Kudengar, di sana banyak hewan buruan. Aku ingin mencoba berburu di sana," sahut Paruta seraya bangkit berdiri.

"Dengan siapa kau berburu?" tanya Waskita.

"Ayah ini seperti tidak tahu saja...."

"Sebaiknya kau membawa pengawal, Paruta. Hutan Bambu Kuning cukup jauh letaknya. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu," ujar Waskita bernada khawatir.

"Jangan khawatir. Aku bisa menjaga diri. Aku pergi dulu, Ayah."

"Berapa hari kau di sana?" tanya Waskita.

"Mungkin tiga atau empat hari. Tergantung keadaan saja," sahut Paruta enteng.

Setelah menjawab pertanyaan ayahnya, gadis itu bergegas melangkah pergi. Sedangkan Waskita hanya memandangi saja kepergian anaknya. Memang, Paruta sudah biasa berburu sendiri di hutan. Meskipun anak tunggal, tapi Paruta tidak begitu manja. Dia seorang gadis yang cukup tegar, dan memiliki kepandaian cukup tinggi. Sehingga, Waskita tidak pernah mencemaskan setiap kali Paruta berpamitan hendak berburu, atau bepergian ke tempat lain seorang diri.

Tapi kali ini ada sesuatu yang lain dirasakan. Waskita kelihatan cemas atas kepergian anaknya kali ini. Hatinya khawatir kalau-kalau Paruta bertemu wanita bertopeng kera yang sudah dua kali ini bertarung dengannya. Tapi, wanita bertopeng kera itu selalu saja dapat melarikan diri, di saat-saat yang sudah gawat. Waskita jelas-jelas tidak ingin anaknya mendapat celaka. Tapi, dia tidak mungkin menyuruh orang-orangnya menemani Paruta. Dia tahu betul watak anaknya yang keras.

Paruta memang paling tidak suka kalau kepergiannya ditemani. Apa lagi dibuntuti secara diam-diam. Anggapannya, bila membawa pengawal hanya pantas dilakukan gadis-gadis lemah yang tidak mengenal ilmu olah kanuragan sedikit pun. Sedangkan dirinya cukup handal dalam ilmu olah kanuragan. Untuk menghadapi berandal-berandal jalanan saja, gadis itu masih sanggup menanganinya. Menyadari kalau dirinya punya kepandaian inilah, hingga membuatnya lebih senang bepergian sendiri, tanpa seorang pun pengawal menyertainya.

***

Malam kembali jatuh menyelimuti seluruh daerah Kadipaten Patarukan. Seperti malam-malam sebelumnya, suasana di kadipaten ini begitu sunyi. Tak terlihat seorang pun berada di luar rumah, kecuali para peronda yang kelihatan berada di beberapa sudut kota. Di saat hampir semua orang sedang terlelap dalam buaian mimpi, terlihat sebuah bayanganberkelebat cepat menyusup masuk ke dalam sebuah rumah dari atas atap.

Belum lama bayangan itu menghilang, tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi, sehingga membuat para peronda malam tersentak kaget. Dua orang peronda yang kebetulan lewat di depan rumah itu, jadi terkejut. Belum juga hilang keterkejutan mereka, mendadak saja dari dalam rumah itu berkelebat sebuah bayangan menjebol dinding rumah. Dua orang peronda itu terkesiap. Namun belum sempat melakukan sesuatu, mendadak saja bayangan itu bergerak cepat. Dan...

Bet!
Cras!
"Aaa...!"

Jeritan-jeritan panjang terdengar saling susul. Kemudian, terlihat dua orang peronda itu menggelepar di tanah dengan darah bercucuran dari lehernya. Bayangan itu cepat menerkam salah seorang peronda dan menyembunyikan wajahnya di leher yang terkoyak berlumur darah. Peronda itu menggelepar-gelepar sebentar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.

Tak ada setetes darah pun yang melekat lagi. Sosok tubuh hitam itu berpindah kepada peronda lainnya lagi yang sudah tergeletak tak bernyawa. Tapi belum sempat menghirup darah dari peronda malang itu, terlihat beberapa orang berlarian sambil membawa obor dan senjata terhunus.

"Ghrrr...!"

Sosok tubuh hitam itu menggeram. Matanya memerah menatap orang-orang yang berlarian menuju ke arahnya. Sebentar ditatapnya darah yang keluar dari leher peronda itu, kemudian melesat cepat bagaikan kilat tanpa menghiraukan peronda yang sudah tewas dengan leher terkoyak lebar. Mereka yang berdatangan langsung terkesiap melihat dua orang peronda tergeletak tak bernyawa lagi. Lebih terkejut lagi, begitu mengetahui salah satu rumah jebol dindingnya. Dan begitu diperiksa ke dalam, didapati dua sosok mayat tergeletak dengan leher terkoyak. Tak setetes pun darah terlihat, meskipun di bagian lehernya terkoyak seperti koyakan taring binatang buas.

Pada saat sudah banyak orang berkumpul, Ki Wanengpati baru datang menunggang kuda diiringi sekitar sepuluh orang pengawal khususnya. Orang yang berkerumun di sekitar rumah itu, bergegas menyingkir memberi jalan. Ki Wanengpati melompat turun dari punggung kuda dengan gerakan ringan sekali. Bergegas, diterobosnya kerumunan itu untuk masuk ke dalam rumah yang jebol dindingnya, setelah melihat dua peronda yang tewas secara mengerikan.

"Keparat...!" desis Ki Wanengpati menggeram, begitu mendapati di dalam rumah sudah tergeletak dua orang dengan leher terkoyak.

Semua orang yang ada di dalam rumah itu hanya tertunduk saja, seakan-akan tidak sanggup membalas tatapan mata Ki Wanengpati yang memerah bagaikan sepasang bola api. Geraham laki-laki tua itu terus bergemeletuk menahan kemarahan yang meluap. Peristiwa ini sudah dua kali terjadi. Dan semua korban yang tewas dalam keadaan sama. Leher terkoyak tanpa darah sedikit pun terlihat di sekitarnya.

Kemarahan Ki Wanengpati timbul, karena tahu kalau semua korban ini akibat Keris Kala Muyeng yang sekarang tidak jelas pemiliknya. Tapi yang jelas, keris itu sekarang berada di tangan seseorang di Kadipaten Patarukan ini. Pada saat itu terdengar suara-suara ribut di luar. Ki Wanengpati bergegas melangkah keluar dari rumah ini. Tampak dua orang laki-laki terhuyung-huyung berlumuran darah. Mereka adalah dua orang dari pasukan khusus laki-laki tua itu. Begitu berada di depan Ki Wanengpati, mereka langsung jatuh terguling, dengan seluruh tubuh berlumur darah.

"Ada apa ini...?" tanya Ki Wanengpati terkejut.

"Gusti..., dia.... Dia ada di perbatasan Timur...," jelas salah seorang terbata-bata.

Tanpa menunggu kalimat orang itu selesai, Ki Wanengpati cepat melompat naik ke punggung kuda. Sepuluh orang yang menyertainya, segera ikut berlompatan naik ke kuda masing-masing. Mereka langsung menggebah cepat kudanya menuju ke perbatasan timur. Sementara orang-orang yang berada di sekitar rumah itu jadi sibuk.

Sementara Ki Wanengpati bersama sepuluh orang pengawalnya, terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Jalan yang sepi, membuat mereka bisa leluasa memacu cepat kudanya tanpa halangan sedikit pun. Sehingga dalam waktu tidak terlalu lama, mereka sudah sampai di gerbang perbatasan kota sebelah Timur.

"Setan...!" geram Ki Wanengpati begitu sampai.

Di gerbang Timur ini ternyata didapati beberapa tubuh bergelimpangan berlumuran darah. Mereka semua adalah para prajurit yang bertugas menjaga gerbang perbatasan sebelah Timur. Ki Wanengpati bergegas melompat turun dari punggung kudanya. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan hitam. Orang tua berbaju putih agak ketat itu cepat melompat mundur beberapa langkah. Tahu-tahu di depannya sudah berdiri seseorang bertubuh ramping. Wajahnya mengenakan topeng berbentuk wajah kera.

"Siapa kau...?!" bentak Ki Wanengpati.

Ki Wanengpati teringat cerita Waskita, orang kepercayaannya yang mengetahui tentang Keris Kala Muyeng. Dia pernah mengatakan, kalau ada seseorang yang mengenakan topeng kera menolong Nyai Sureng yang tidak bersedia menyerahkan senjata pusaka itu. Dan sekarang di depannya telah berdiri seorang bertubuh ramping yang mengenakan topeng kera untuk menutupi wajah aslinya.

"Kau yang bernama Ki Wanengpati, penasihat Adipati Patarukan?" wanita bertopeng kera itu malah balik bertanya.

"Benar! Dari mana kau tahu tentang diriku?"

"Kau orang pintar dan ternama di kadipaten ini Ki Wanengpati. Tapi begitu mudah dibodohi bawahan mu sendiri," terasa sinis nada suara orang bertopeng kera itu.

"Apa maksudmu berkata seperti itu, Nisanak?" desis Ki Wanengpati kurang senang.

"Kau menginginkan Keris Kala Muyeng.

Padahal, keris itu sudah ada di depan matamu. Tapi kau begitu bodoh, sehingga matamu buta."

"Heh...?!"

Ki Wanengpati terkejut setengah mati mendengar kata-kata wanita bertopeng kera itu. Benar-benar sulit diduga kalau orang bertopeng kera yang berdiri di depannya ini mengetahui tentang keris pusaka penyebar maut yang kini membuat masalah besar bagi dirinya.

"Kau pasti menduga kalau aku yang memilikinya. Tapi, sebenarnya orang kepercayaanmulah yang memegang keris itu," jelas wanita bertopeng kera itu lagi.

Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali wanita bertopeng kera itu melesat pergi.

"Hei, tunggu...!" sentak Ki Wanengpati.

Tapi orang bertopeng kera itu sudah lebih dahulu menghilang, sebelum Ki Wanengpati melompat mengejar. Laki-laki tua itu hanya bisa bengong merayapi kegelapan yang semakin pekat. Saat itu juga pikirannya tertuju pada Waskita. Kata-kata orang bertopeng itu sudah jelas maknanya, dan tertuju pada Waskita. Memang tidak ada lagi orang yang tahu tentang keris itu selain Waskita dan dirinya sendiri. Atau, ada orang lain lagi?

***

Ki Wanengpati menghempaskan tubuhnya di kursi panjang yang berbantal empuk berisi kapuk randu. Dia benar-benar tidak tahu, siapa wanita bertopeng kera yang menemuinya tadi di perbatasan Timur. Tapi kata-katanya terus terngiang, mengganggu telinganya. Meskipun sebenarnya Ki Wanengpati sudah curiga kalau Waskita tidak berkata jujur, tapi masih belum begitu percaya kalau Waskita mengkhianatinya. Waskita sudah ikut bersamanya sejak masih berusia sepuluh tahun. Dan ilmu-ilmu olah kanuragan yang dimilikinya semua berasal dari laki-laki tua ini. Bagi Ki Wanengpati, Waskita bukan hanya sekadar pengikut dan murid yang terdekat dan dapat dipercaya. Tapi juga anak angkat yang paling disayangi. Rasanya, memang tidak mungkin kalau Waskita tega mengkhianatinya hanya karena sebilah keris.

"Masuk...!" seru Ki Wanengpati ketika mendengar ketukan halus di pintu.

Pintu yang terbuat dari kayu jati berukir itu terbuka perlahan. Seorang laki-laki muda berusia sekitar dua puluh tiga tahun, melangkah masuk. Tubuhnya membungkuk memberi hormat dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung.

"Ada apa?" tanya Ki Wanengpati.

"Gusti Adipati datang hendak bertemu, Gusti Wanengpati," sahut pemuda itu memberi tahu.

Ki Wanengpati menggerinjang bangkit berdiri, lalu bergegas melangkah ke luar.

Pemuda itu cepat-cepat membungkukkan tubuhnya memberi hormat begitu Ki Wanengpati melewatinya. Dia juga bergegas mengikuti keluar dan menutup pintu kembali. Sementara Ki Wanengpati terus melangkah cepat menuju ruangan depan. Sampai di sana, tampak seorang pemuda berpakaian indah dari bahan sutra halus tengah duduk dengan anggunnya. Ki Wanengpati segera berlutut memberi hormat seraya merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Pemuda itu mengangkat tangan kanannya sedikit, dan meminta laki-laki tua ini duduk di sampingnya. Setelah memberi hormat, Ki Wanengpati kemudian duduk di kursi di samping pemuda berwajah tampan ini.

"Ada apakah gerangan Gusti Adipati berkunjung dipagi buta begini!?" tanya Ki Wanengpati dengan sikap penuh rasa hormat.

"Kudengar ada pembantaian lagi semalam," kata Adipati Antapara yang masih berusia muda ini.

"Benar, Gusti," sahut Ki Wanengpati.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Ki Wanengpati?" tanya Adipati Antapara meminta penjelasan.

Ki Wanengpati tidak langsung menjawab. Memang terlalu sukar baginya menjawab pertanyaan itu. Karena, dia sendiri masih belum yakin, apa sebenarnya yang tengah terjadi di kadipaten ini. Meskipun, sudah diduga kalau semua peristiwa berdarah ini berawal dari sebuah senjata pusaka. Dan senjata itu bersumber dari dirinya sendiri. Mungkin kalau saja benda yang didapat dari sebuah gua di dalam hutan di Bukit Patarukan tidak diberikan pada Nyai Sureng, bencana ini tidak akan pernah terjadi.

"Aku tidak ingin kau menyembunyikan sesuatu padaku, Ki Wanengpati," desak Adipati Antapara.

"Siapa sebenarnya yang memiliki Keris Kala Muyeng itu?"

Bagai tersambar petir, Ki Wanengpati terperanjat mendengar pertanyaan Adipati Antapara barusan. Sungguh tidak disangka kalau adipati berusia muda ini sudah tahu tentang Keris Kala Muyeng yang selama ini menjadi rahasianya yang tertutup rapat. Keterkejutannya ini membuat Ki Wanengpati jadi terdiam, tak mampu berkata-kata lagi. Dan kepalanya hanya tertunduk, seakan-akan tidak sanggup membalas tatapan Adipati Antapara yang cukup tajam.

Cukup lama juga Ki Wanengpati terdiam dengan kepala tertunduk menekuri lantai. Sedangkan Adipati Antapara terus memperhatikannya tanpa berkedip. Beberapa saat kemudian, perlahan laki-laki tua yang memegang tongkat itu mengangkat kepalanya. Pandangannya langsung tertumbuk pada sorot mata Adipati Antapara yang terus menatap tanpa berkedip.

"Aku tahu maksudmu baik, Ki. Kau ingin memberikan keris itu padaku, sebagai tanda bakti mu. Kau ingin memberikannya, tepat di saat aku berusia dua puluh lima tahun. Niatmu benar-benar kuhargai, Ki. Karena sampai kini, aku memang tidak memiliki satu pegangan pusaka apa pun juga. Tapi, alangkah baiknya jika hal itu kau bicarakan dulu sebelumnya padaku. Paling tidak, aku bisa mempersiapkan diri terlebih dahulu untuk menerima anugerah besar itu," tutur Adipati Antapara.

"Ampunkan hamba, Gusti Adipati. Bukannya hendak menyusahkan Gusti Adipati. Hamba hanya bermaksud membuat suatu kejutan, yang tidak pernah diduga," jelas Ki Wanengpati seraya memberikan sembah dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung.

"Kau memang sudah memberiku kejutan besar Ki," ucap Adipati Antapara, tetap lembut suaranya.

Ki Wanengpati kembali memberikan sembah.

"Ah, sudahlah.... Lupakan saja itu, Ki. Yang penting sekarang, bagaimana menemukan orang yang memegang keris itu. Aku tidak ingin rakyat ku terus-menerus jadi korban kebuasan Keris Kala Muyeng. Kalaupun mungkin, harus dihentikan secepatnya," tegas Adipati Antapara.

Ki Wanengpati terdiam sesaat, kemudian menceritakan awal dari semua peristiwa berdarah ini. Waktu itu dia dan Waskita melakukan semadi di dalam sebuah gua, di dalam Hutan Patarukan. Dalam semadinya itu, dipanjatkannya sebuah harapan pada Hyang Widi agar dianugrahi sebuah benda yang dapat dipersembahkan pada junjungannya yang akan memasuki usia seperempat abad.

Memang tidak mudah. Bertahun-tahun lamanya semadi dilakukan setiap kali muncul bulan purnama. Hingga akhirnya, sang Dewa mengabulkan juga permohonan itu. Dewata memberikan sebongkah batu hitam yang harus ditempa menjadi sebilah keris. Dan keris itu harus diberi nama Kala Muyeng. Sebuah pusaka yang juga bergelar Pusaka Penyebar Maut jika tidak mampu menguasainya dengan benar.

Hanya dia dan Waskita yang tahu, ditambah Paruta, anak gadis tunggalnya. Ki Wanengpati memberi benda itu pada Nyai Sureng yang dikenal sebagai pembuat benda-benda pusaka. Entah kenapa, Nyai Sureng ditemukan tewas. Dan bahkan keris pusaka itu lenyap. Hanya itu yang diketahui Ki Wanengpati, hingga akhirnya terjadi peristiwa berdarah ini. Peristiwa yang tidak pernah diinginkan sama sekali.

"Ampunkan hamba, Gusti. Kalau boleh hamba tahu, dari mana Gusti Adipati mengetahui tentang keris itu?" tanya Ki Wanengpati pada akhir ceritanya.

"Seseorang memberitahuku," sahut Adipati Antapara.

"Seseorang...? Siapa dia, Gusti?" tanya Ki Wanengpati lagi.

"Sayang sekali, dia tidak menyebutkan namanya. Dia hanya mengatakan, semua musibah berdarah ini berpangkal dari sebilah keris. Dan jika ingin mengetahuinya lebih jelas lagi, aku harus menanyakannya padamu. Di samping itu pula, aku telah mendapat wangsit dari Dewata agar dapat menguasai keris itu," jelas Adipati Antapara.

"Oh.... Adakah satu kesalahan yang kuperbuat sehingga terjadi malapetaka ini, Gusti...?" desah Ki Wanengpati.

"Ya! Kau terlalu percaya pada Waskita," sahut Adipati Antapara tegas.

"Maksud, Gusti...?" Ki Wanengpati tidak mengerti.

"Adakalanya kita buta, dan terlalu percaya pada seseorang yang sewaktu-waktu dapat mengkhianati dan menikam dari belakang. Sebenarnya, aku sudah tahu orang yang memiliki keris itu sekarang," jelas Adipati Antapara lagi.

"Oh, benarkah...?" Ki Wanengpati terkejut setengah mati.

"Orang itu mengatakannya padaku. Tapi, aku belum mau mempercayainya dengan penuh. Dan aku ingin mendengar cerita seluruhnya lebih jelas darimu. Tapi setelah mendengar semua cerita yang sebenarnya, aku begitu yakin kalau keris itu ada pada Waskita saat ini."

"Gusti, apakah orang yang memberi tahu itu mengenakan topeng kera?" tanya Ki Wanengpati lagi.

"Benar! Kau juga sudah bertemu dengannya?"

"Ya, sekali."

"Aku rasa tujuannya sama denganmu, Ki. Dan aku yakin, maksudnya adalah baik. Hanya saja kepandaiannya tidak cukup untuk merebut keris itu dari tangan Waskita. Dan aku sendiri tidak yakin dapat melakukannya, mengingat keris itu bukan senjata sembarangan. Kekuatannya dapat menguasai jiwa pemegangnya dengan penuh, sehingga sukar ditandingi."

"Apa yang harus kita lakukan, Gusti?"
"Aku kira, kita memerlukan seorang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi untuk menghadapi Waskita, Ki."

"Siapa pendekar yang mampu menandingi Keris Kala Muyeng? Keris itu sudah berlumur darah. Dan semakin banyak darah yang didapatkan, semakin kuat saja pengaruhnya. Hamba rasa, tidak ada seorang pendekar pun yang sanggup menandinginya, Gusti," ada sedikit keluhan pada nada suara Ki Wanengpati.

"Hanya satu, Ki."
"Siapa...?"
"Pendekar Pulau Neraka."
"Pendekar Pulau Neraka...?!"

***

LIMA

Sepeninggal Adipati Antapara, Ki Wanengpati bergegas ke rumah Waskita. Tapi, laki-laki tua itu tidak mendapati anak angkat yang juga murid dan orang kepercayaannya di situ. Para pekerja di sana hanya mengatakan kalau junjungannya pergi sejak kemarin, dan belum kembali sampai hari ini. Dan rupanya kepergian Waskita sudah mempertebal keyakinan Ki Wanengpati kalau keris itu memang berada di tangan muridnya, yang sekaligus juga anak angkatnya.

"Pendekar Pulau Neraka.... Hhh! Ke mana harus kucari pendekar kelana itu...?" desah Ki Wanengpati dalam hati, saat dalam perjalanan setelah keluar dari rumah Waskita. Laki-laki tua itu mengendalikan kudanya agar berjalan perlahan-lahan. Otaknya terus bekerja keras, untuk mencari upaya mengatasi persoalan yang semakin rumit ini. Sudah dapat dipastikan kalau Keris Kala Muyeng sekarang berada di tangan Waskita. Dan korban-korban yang jatuh sudah dapat pula dipastikan akibat perbuatan Waskita yang seluruh jiwa raganya sudah dikuasai kekuatan senjata pusaka itu. Sebuah senjata yang kini sudah benar-benar menjadi sebuah pusaka penyebar maut. Dan Ki Wanengpati tahu, Waskita tidak dapat mengendalikannya sehingga menjadi liar.

Slap!
"Heh...?!"

Ki Wanengpati terkejut ketika tiba-tiba melesat sebuah bayangan hitam di depannya. Cepat tali kekang kudanya ditarik hingga berhenti melangkah. Tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri seorang wanita bertubuh ramping, dengan wajah ditutupi topeng berbentuk wajah kera.

"Hup!"

Ki Wanengpati cepat melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya begitu ringan. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat sekitar enam langkah lagi di depan wanita bertopeng kera itu. Ki Wanengpati menjura memberi salam penghormatan, sebagaimana layaknya orang rimba persilatan. Dan wanita bertopeng kera itu juga membalas dengan menjura.

"Nisanak. Apa tidak sebaiknya kau membuka topengmu, sebelum kita berbicara," ujar Ki Wanengpati dengan sikap hormat.

"Apakah itu perlu, Ki Wanengpati?" tanya wanita bertopeng kera.

"Tentu, jika kau bermaksud baik," sahut Ki Wanengpati. "Aku yakin, niat dan tujuanmu sama denganku. Kau pasti tidak ingin melihat kehancuran kadipaten ini oleh orang tak bertanggung jawab."

Wanita bertopeng kera itu terdiam. Perlahan tangan kanannya diangkat. Lalu, dilepaskannya topeng kera yang selama ini selalu menutupi wajahnya. Ternyata, di balik topeng buruk itu tersembunyi seraut wajah cantik, dengan kulit wajah putih halus.

"Jika aku tidak salah, kaukah Anggraini..?" agak ragu-ragu nada suara Ki Wanengpati.

"Benar. Aku Anggraini, murid tunggal Nyai Sureng," wanita itu memperkenalkan diri. Gadis cantik itu memang Anggraini, murid tunggal Nyai Sureng. Seorang wanita tua pembuat senjata pusaka. Dan sebelum menjadi murid Nyai Sureng, Anggraini pernah tinggal di sebuah padepokan milik adik sepupu perempuan tua itu. Sehingga tidak heran kalau tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada Nyai Sureng sendiri. Memang, sebenarnya Nyai Sureng tidak pandai dalam ilmu olah kanuragan, tapi hanya ahli dalam pembuatan senjata saja. Anggraini sebenarnya hanya ingin memperdalam pengetahuan di bidang senjata pusaka, sebelum terjun ke dalam rimba persilatan yang terkenal ganas dan penuh tipu daya.

"Kenapa kau muncul secara sembunyi-sembunyi begitu? Kau bisa datang padaku, dan bisa membicarakan persoalannya secara terus terang. Sehingga, kita bisa mengambil jalan keluar yang terbaik," kata Ki Wanengpati agak menyesalkan tindakan Anggraini yang main sembunyi-sembunyi.

"Maaf. Hal ini terpaksa kulakukan sebelum yakin benar, siapa kawan dan lawan yang sesungguhnya," ucap Anggraini beralasan.

"Aku mengerti, Anggraini. Dan sekarang, apa tanggapanmu mengenai diriku?"

"Semula, aku mengira kau sama dengan Paman Waskita. Tapi ternyata dugaanku keliru. Maafkan aku, Ki."

"Sudahlah..., tidak perlu dipersoalkan lagi. Yang penting sekarang, persoalan ini harus ditangani sebelum meluas. Gusti Adipati sendiri tidak menginginkan adanya jatuh korban lebih banyak lagi. Aku sudah ditugaskan untuk menyelesaikan semuanya dengan caraku sendiri."

"Persoalannya tidak semudah itu, Ki," sanggah Anggraini.

"Aku tahu, kita berdua memang tidak akan mampu menghadapi Waskita yang memegang Keris Kala Muyeng. Tapi, kita masih punya harapan jika bisa mengundang Pendekar Pulau Neraka ke sini."

"Dia sudah ada di sini, Ki."
"Sudah ada...?!"

***

Belum lagi hilang rasa terkejut Ki Wanengpati, tiba-tiba saja dari atas sebatang pohon yang cukup tinggi, melesat sebuah bayangan kuning, tepat ketika Anggraini menjentikkan ujung jarinya di samping telinga. Dan tahu-tahu di samping gadis itu sudah berdiri seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau. Pemuda itu membungkukkan tubuhnya sedikit, yang langsung dibalas Ki Wanengpati.

"Kau pasti mengenalinya, Ki. Inilah Pendekar Pulau Neraka. Dan biasanya, dipanggil Bayu," jelas Anggraini memperkenalkan pemuda di samping kanannya.

Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu hanya tersenyum saja. Dia memang Bayu yang di kalangan rimba persilatan lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Ki Wanengpati seperti belum percaya kalau yang berdiri di depannya ini adalah Pendekar Pulau Neraka. Diperhatikannya pemuda itu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.

"Bagaimana mungkin kau bisa mengundangnya demikian cepat, Anggraini?" tanya Ki Wanengpati masih merayapi pemuda berbaju kulit harimau di depannya.

"Kebetulan Kakang Bayu sedang berkunjung ke Padepokan Eyang Badranaya. Jadi, tidak terlalu sukar bagiku untuk memintanya datang ke sini. Dan tentunya, aku juga meminta izin dulu pada Gusti Adipati," jawab Anggraini kalem.

Ki Wanengpati terdiam, sambil tetap memperhatikan pemuda berbaju kulit harimau yang berdiri disamping Anggraini. Dia tahu kalau Eyang Badranaya yang disebutkan tadi adalah adik sepupu Nyai Sureng, tempat Anggraini pernah mempelajari ilmu olah kanuragan. Dan padepokan Eyang Badranaya memang sudah terkenal di seluruh wilayah Kadipaten Patarukan, karena letaknya memang tidak seberapa jauh dari ibu-kota kadipaten.

"Semuanya sudah kuceritakan pada Kakang Bayu, Ki. Tapi mungkin masih ada yang ingin kau katakan, biar segalanya lebih jelas," kata Anggraini lagi. "Bukan begitu, Kakang?"

"Memang sebaiknya, aku tahu dari sumbernya," sahut Bayu kalem.

"Sumber malapetaka ini memang aku. Tapi, itu tidak akan terjadi jika Waskita tidak mengkhianatiku," jelas Ki Wanengpati.

Tapi itu bukan semata-mata kesalahanmu, Ki," ujar Anggraini bernada menghibur.

"Bagaimanapun juga, aku yang harus bertanggung-jawab. Tapi aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan sekarang. Sekarang pun aku tidak tahu, di mana Waskita berada," ada nada keluhan dalam suara Ki Wanengpati.

"Apa tidak ada di rumahnya, Ki?" selak Bayu.

"Aku tadi baru dari sana. Dia tidak pulang sejak kemarin," sahut Ki Wanengpati.

"Sepertinya, persoalan ini semakin bertambah sulit saja, Kakang," kata Anggraini perlahan.

Bayu belum menjawab, ketika tiba-tiba terdengar suara mencerecet dari atas pohon. Ki Wanengpati dan Anggraini mendongak ke atas. Pada saat itu, seekor monyet kecil berbulu hitam melompat turun dari atas pohon, dan langsung hinggap di bahu Pendekar Pulau Neraka. Monyet kecil itu mencerecet ribut sambil berjingkrakan di bahu pemuda berbaju kulit harimau ini.

"Ada apa, Tiren?" tanya Bayu.

"Nguk! Nguk! Argkh...!"

"Tiren ingin menunjukkan sesuatu," jelas Bayu seperti mengerti saja tingkah dan cerecet monyet kecil ini. Setelah berkata demikian, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat pergi. Anggraini juga bergegas mengikuti. Sedangkan Eyang Wanengpati yang kembali terkesiap, jadi terbengong beberapa saat. Kemudian laki-laki itu cepat melompat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Tidak dipedulikan lagi kudanya yang ditinggalkan begitu saja.

Sementara Bayu terus berlari cepat mengikuti petunjuk monyet kecil yang duduk di pundaknya. Tidak jauh di belakang, tampak Anggraini berlari cepat mempergunakan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, untuk mengimbangi kecepatan lari pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan Ki Wanengpati sudah bisa mensejajarkan larinya di samping Anggraini.

Setelah cukup jauh berlari, akhirnya mereka sampai di tepi sebuah jurang yang tidak seberapa besar dan tidak seberapa dalam. Sedangkan pada dasarnya terlihat air mengalir deras sekali diantara bebatuan. Monyet kecil yang ada di pundak Bayu, tidak lagi mencerecet ribut. Sedangkan Bayu mengarahkan pandangan ke seberang jurang. Saat itu, Anggraini dan Ki Wanengpati sudah sampai. Mereka kini berdiri mengapit Pendekar Pulau Neraka.

"Ada apa di seberang jurang sana, Kakang?" Tanya Anggraini seraya mengarahkan pandangan ke seberang jurang di depannya.

"Aku akan memeriksanya ke sana," sahut Bayu.

"Kau akan melompatinya?" tanya Anggraini lagi.

Bayu hanya tersenyum saja. Sebentar perhatiannya dipusatkan, lalu melesat cepat melompati jurang itu. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka melakukan putaran manis, hingga akhirnya berhasil mendarat di seberang sana. Sesampainya di seberang, Bayu menatap Anggraini dan Ki Wanengpati yang masih berdiri saja di tempatnya. Mereka seakan ragu-ragu hendak melompati jurang ini.

"Ayo, cepat..!" teriak Bayu dari seberang.

"Kau saja, Kakang. Biar kami menunggu di sini!" sahut Anggraini.

"Baiklah, sebentar aku kembali!"

Bagaikan kilat Bayu melesat cepat dan menghilang ditelan lebarnya pepohonan di seberang jurang sana. Sementara Anggraini dan Ki Wanengpati menunggu diseberang lainnya.

***

Sementara itu Bayu semakin jauh masuk ke dalam hutan menjauhi jurang yang membelah Bukit Patarukan ini menjadi dua bagian. Monyet kecil berbulu hitam yang terus berada di pundaknya, selalu menunjukkan arah yang harus ditempuh Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju kulit harimau itu baru berhenti setelah tiba di depan sebuah pondok kecil yang cukup tersembunyi, dalam lebatnya hutan di Bukit Patarukan ini. Perlahan kakinya melangkah mendekati. Tak terdengar suara sedikit pun, kecuali bunyi bergemerisik dedaunan kering tersepak kakinya saat melangkah perlahan mendekati pondok di depannya.

Wusss!
"Uts!"

Tiba-tiba saja sebatang tombak panjang melesat cepat dari dalam pondok kecil itu, tepat ketika tinggal enam langkah lagi Bayu mencapai pintunya. Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan, maka tombak itu hanya lewat sedikit saja di samping tubuhnya. Begitu kerasnya tombak itu meluncur, sehingga sampai terbenam dalam begitu menancap di batang pohon.

"Mau apa kau ke sini...?" tiba-tiba saja terdengar suara keras menggelegar dari dalam pondok kecil itu.

"Aku pengembara yang ingin berteduh. Apakah tidak boleh beristirahat di sini barang sejenak?" Bayu menyambuti dengan suara lantang juga.

"Ini bukan tempat persinggahan. Sebaiknya cepat pergi sebelum terjadi sesuatu pada dirimu!"

"Aku tidak akan mengganggu. Hanya istirahat sebentar."

"Bocah setan...! Pergi cepat! Jangan sampai kesabaranku habis...!"

Bayu tertegun sejenak mendengar kata-kata yang begitu kasar, dan tak ada sedikit pun nada persahabatan. Meskipun kehadirannya tidak disukai, tapi Pendekar Pulau Neraka tetap berdiri tegak di depan pintu pondok ini. Sementara, monyet kecil yang tadi berada di pundak Bayu kini sudah berada di atas atap pondok itu.

Monyet kecil yang bernama Tiren itu berjingkrakan sambil mencerecet di atas atap. Kedua tangannya mencabik-cabik atap yang terbuat dari alang-alang kering. Bayu sendiri tidak mengerti maksud tingkah monyet kecil itu. Seakan-akan, Tiren sengaja membuat keributan dan merusak pondok kecil ini.

"Setan alas! Siapa yang merusak atap pondok itu..?!" bentak suara itu terdengar menggeram.

Tapi Tiren tidak mempedulikan dengan bentakan tadi. Binatang itu terus mencerecet ribut sambil memporak-porandakan atap pondok. Namun mendadak saja atap pondok itu jebol, tepat ketika Tiren melompat cepat dan kembali hinggap di pundak Bayu. Monyet kecil itu kembali melompat, dan hinggap di cabang pohon yang cukup tinggi. Dia terus mencerecet ribut sambil berjingkrakan.

Slap...!

Tiba-tiba saja dari dalam pondok melesat sebuah bayangan hitam, langsung meluruk deras ke arah monyet kecil yang mencerecet berjingkrakan di atas dahan pohon. Melihat jiwa monyet kecil itu terancam, Bayu tidak tinggal diam begitu saja. Cepat tubuhnya melenting, memapak arus bayangan hitam itu. Secepat kilat pula, Pendekar Pulau Neraka melepaskan satu pukulan disertai pengerahan tenaga dalam tidak penuh.

"Yeaaah...!"
"Ufh! Yeaaah...!"

Bayangan hitam itu berputar ke belakang, sehingga membuat pukulan Bayu hanya menyambar angin kosong saja. Secara bersamaan mereka menjejakkan kaki di tanah. Kini, sekitar satu batang tombak di depan Bayu telah berdiri seseorang mengenakan baju ketat warna hitam pekat. Wajahnya sukar dikenali karena hampir tertutup rambut yang teriap panjang tak teratur.

Bayu melangkah mundur beberapa tindak tanpa berkedip memperhatikan sosok tubuh berbaju hitam, cukup ketat di depannya. Seluruh kulit tangan, dada dan wajahnya penuh benjolan seperti bisul berwarna kemerahan. Tatapan matanya begitu tajam, memerah bagaikan sepasang bola api. Pendekar Pulau Neraka terkesiap saat melihat sabuk yang melilit pinggang orang berbaju hitam itu. Sabuk itu terbuat dari serat-serat emas, yang kepalanya bergambar lambang Kadipaten Patarukan. Pada sabuk itu tergantung sebilah pedang yang cukup panjang. Juga, terselip sebilah keris yang hanya tampak tangkainya saja.

"Paman. Apakah kau Paman Waskita...?" tanya Bayu terdengar ragu-ragu nada suaranya.

"Siapa kau, Anak Muda?! Kenapa berada di sini?!" laki-laki berwajah buruk penuh benjolan itu malah balik bertanya.

"Namaku Bayu. Aku ke sini sedang mencari seseorang yang bernama Paman Waskita," sahut Bayu menjelaskan maksud sebenarnya.

"Tidak ada nama Waskita di sini. Yang ada hanya Serigala Penghisap Darah!" sahut laki-laki bermuka buruk itu. "Akulah Serigala Penghisap Darah. Bukan Waskita...!"

Bayu kembali memperhatikan lebih teliti laki-laki berwajah buruk penuh benjolan itu lebih dalam lagi. Pendekar Pulau Neraka menaksir kalau usia orang itu paling tinggi sekitar lima puluh tahun. Diingat-ingatnya ciri-ciri tentang Waskita yang sedang dicarinya. Ingatnya langsung tertuju pada sabuk yang dikenakan laki-laki separuh baya ini. Anggraini pernah mengatakan kalau Waskita tidak pernah melepaskan sabuknya, yang merupakan hadiah khusus dari Adipati Antapara.

"Mungkinkah ini Paman Waskita? Tapi...,"

Bayu tidak melanjutkan jalan pikirannya yang tiba-tiba terbetik satu pertanyaan yang membingungkan dirinya.

***

Pikiran Bayu disibuki oleh dugaan tentang siapa laki-laki berwajah buruk penuh benjolan yang tadi mengaku berjuluk Serigala Penghisap Darah di depannya ini. Namun tiba-tiba saja, orang bermuka buruk itu melompat menerjang dengan kecepatan bagaikan kilat. Begitu cepatnya, sehingga Bayu tidak lagi memiliki kesempatan menghindar lagi.

"Hap...!"

Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka membanting tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Dan bergegas dia kembali melompat bangkit berdiri. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, si Serigala Penghisap Darah sudah kembali meluruk deras menyerangnya. Kali ini Bayu menunggu sampai orang bermuka buruk penuh benjolan itu dekat. Dan....

"Hiyaaa...!"

Begitu berada di dalam jangkauannya, cepat sekali Bayu memiringkan tubuhnya ke kanan. Langsung dilontarkannya satu pukulan ke bawah yang keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.

Begh!
"Argkh...!"

Serigala Penghisap Darah meraung keras begitu punggungnya terkena pukulan telak Bayu. Begitu kerasnya pukulan tadi, sehingga orang bermuka buruk itu sampai tersungkur mencium tanah. Tapi dia cepat bangkit berdiri. Sebentar Serigala Penghisap Darah menggerung marah sambil menyeka darah yang keluar dari bibirnya.

Sambil menggerung keras, orang bermuka buruk penuh benjolan itu melompat cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka kembali. Namun, kali ini Bayu benar-benar sudah siap menghadapinya. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke atas, sehingga dua pukulan beruntun yang mengarah ke tubuhnya hanya lewat saja. Dan yang lebih mengejutkan lagi, gerakannya tak bersuara sedikit pun.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Pertarungan memang tidak dapat dihindari lagi. Bayu sendiri awalnya agak kelabakan juga menghadapi serangan-serangan yang begitu cepat dan beruntun. Namun semua itu cepat bisa diatasinya. Bahkan terus mengimbangi hingga pertarungan kembali berjalan sengit. Meskipun Pendekar Pulau Neraka jarang menyerang dan hanya lebih banyak bertahan, tapi si Serigala Penghisap Darah terlalu sukar mendesaknya. Apalagi sampai menjatuhkannya.

Serangan-serangan yang dilancarkannya memang membuat Bayu sedikit kerepotan. Tapi tak satu pun pukulan maupun tendangan yang bisa mengenai tubuh Pendekar Pulau Neraka. Dan setelah pertarungan melewati lima jurus, laki-laki setengah baya berwajah buruk penuh benjolan itu langsung meningkatkan serangannya. Bahkan kini sudah mencabut pedangnya yang sejak tadi tergantung saja di pinggang.

Sret!
"Hiyaaa...!"
Bet!
"Uts!"

Hampir saja tebasan pedang itu mengenai leher Bayu. Untung saja Pendekar Pulau Neraka segera menarik kepalanya ke belakang. Tapi pada saat yang hampir sama, satu tendangan dilepaskan si Serigala Penghisap Darah dengan kecepatan luar biasa. Akibatnya Bayu tak ada kesempatan lagi menghindarinya.

"Yeaaah...!"
Begh!
"Agkh!" Bayu mengeluh tertahan.

Pendekar Pulau Neraka terbungkuk saat perutnya terpaksa menerima tendangan yang cepat dan keras menggeledek itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi perutnya. Rasa mual mendadak saja menyerang perutnya, seakan-akan seluruh isi perutnya hendak keluar. Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka bisa menguasai diri, laki-laki separuh baya berwajah buruk penuh benjolan itu sudah melancarkan satu serangan lagi dengan kecepatan luar biasa.

"Hiyaaat..!"
"Hait!"
Bruk!

Bayu cepat-cepat menjatuhkan tubuhnya ke tanah, dan terus bergulingan menghindari hunjaman-hunjaman pedang si Serigala Penghisap Darah yang makin gencar mencecarnya. Beberapa kali Bayu terpaksa bergulir, dan baru bisa melompat bangkit berdiri begitu memiliki kesempatan yang sedikit sekali. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali kakinya kembali menjejak tanah sekitar dua batang tombak di depan Serigala Penghisap Darah.

"Gila! Dia bertarung seperti kesetanan. Tidak beraturan sama sekali...!" dengus Bayu dalam hati.

***

ENAM

"Jangan harap bisa lari dariku, Bocah!" desis Serigala Penghisap Darah, dingin dan datar nada suaranya.

Bagaikan kilat, laki-laki separuh baya berwajah buruk penuh benjolan itu melompat cepat sambil menjulurkan pedangnya lurus ke arah dada Pendekar Pulau Neraka. Pada saat itu, Bayu cepat memiringkan tubuhnya ke kiri agak membungkuk. Kakinya dipentang lebar, dan lututnya tertekuk hampir menyentuh tanah. Dan begitu manusia buruk itu sudah dekat, mendadak saja Bayu mengibaskan tangan kanannya, ke depan.

"Yeaaah...!"
Wusss!

Seketika itu juga, melesat secercah sinar keperakan yang keluar dari sebuah benda bulat pipih bersegi enam dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepatnya melesat, sehingga si Serigala Penghisap Darah tidak sempat lagi menghindari.

Crab!

Senjata ampuh bernama Cakra Maut itu langsung menghantam dada si Serigala Penghisap Darah. Tapi satu keanehan terjadi. Tiba-tiba saja, Cakra Maut terpental balik begitu menghantam dada si Serigala Penghisap Darah. Sedangkan manusia bertubuh penuh benjolan seperti bisul itu hanya terpental sedikit keatas. Keseimbangan tubuhnya cepat terkuasai dengan melakukan putaran beberapa kali di udara. Dan kini manis sekali kedua kakinya yang kokoh mendarat ditanah.

"Hap!"

Bayu cepat mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan. Pemuda berbaju kulit harimau itu jadi tercenung, melihat lawan tidak terluka sedikit pun. Padahal tadi jelas sekali kalau Cakra Maut menghantam dadanya. Namun laki-laki separuh baya berwajah penuh benjolan itu malah masih tetap berdiri tegak. Tak ada sedikit pun luka di dadanya.

"Ha ha ha...!" si Serigala Penghisap Darah jadi tertawa terbahak-bahak.

"Gila...!" desis Bayu hampir tidak percaya.

Bayu kembali memiringkan tubuhnya ke kiri, sedikit agak membungkuk. Lalu kaki kanannya ditarik sehingga merentang cukup lebar. Lututnya ditekuk sampai hampir menyentuh tanah. Tatapan matanya begitu tajam, sambil memusatkan pikiran pada kekuatan Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanannya. Perlahan-lahan tangan kanannya ditarik ke depan dada. Lalu....

"Yeaaah...!"

Bagaikan kilat, Bayu menghentakkan tangan kanannya ke depan sambil menarik tubuhnya agar berdiri tegak. Seketika itu juga Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanan berkelebat cepat, langsung menghantam telak dada si Serigala Penghisap Darah.

Bres!

Cakra Maut langsung menembus dada manusia bertubuh penuh benjolan itu. Begitu sempurnanya tenaga dalam yang dikerahkan Pendekar Pulau Neraka, sehingga membuat Cakra Maut sampai tembus ke punggung. Lalu, senjata itu melesat balik kepada pemiliknya. Cepat-cepat Bayu mengangkat tangan kanan keatas kepala. Maka Cakra Maut kembali menempel dipergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Ha ha ha...!" si Serigala Penghisap Darah masih tetap tertawa-tawa.

"Gila...!" desis Bayu setengah tidak percaya.

Jelas, tadi Cakra Maut telah menghunjam dada si Serigala Penghisap Darah, hingga menembus punggung. Tapi, tak ada luka sedikit pun di dadanya. Dan ini membuat Bayu semakin tidak mengerti. Baru kali ini Pendekar Pulau Neraka menghadapi lawan yang kebal terhadap senjata maut andalannya. Perlahan-lahan pemuda berbaju kulit harimau itu melangkah mundur beberapa tindak.

"Keluarkan seluruh kesaktianmu. Anak Muda. Aku tahu, kedatanganmu atas perintah Gusti Wanengpati. Kau menginginkan ini, bukan...?"

"Keris Kala Muyeng" desis Bayu terperanjat.

Kembali Pendekar Pulau Neraka melompat ke belakang beberapa langkah, begitu si Serigala Penghisap Darah mengeluarkan sebilah keris yang masih setengah jadi. Bentuk keris itu tidak beraturan, dan berwarna hitam legam. Asap kehitaman bercampur merah tampak keluar dari ujung keris itu, dan langsung menyebarkan bau busuk tidak sedap. Seakan-akan di sekeliling tempat ini dipenuhi mayat yang sudah membusuk.

Bayu merasakan perutnya jadi mual hendak muntah. Kembali kakinya bergeser ke belakang beberapa langkah, ketika si Serigala Penghisap Darah itu melangkah perlahan mendekati. Melihat keris yang sudah terhunus itu, Bayu semakin yakin kalau orang yang dihadapinya ini adalah Waskita. Meskipun, sosok tubuh dan wajahnya sudah berubah, bagaikan sosok mayat hidup yang mengerikan sekali.

"Keris itu bukan hanya mempengaruhi jiwanya, tapi sudah merubah seluruh jiwa dan raganya. Hhh...! Apa yang harus kulakukan sekarang...? Tidak mudah menundukkannya dalam keadaan sudah begini," keluh Bayu dalam hati.

Pendekar Pulau Neraka berpikir keras, mencari jalan keluar untuk dapat menundukkan Waskita yang kini benar-benar sudah berubah. Dan itu sudah pasti akibat pengaruh Keris Kala Muyeng, yang kini benar-benar menjadi senjata pusaka penyebar maut. Sementara itu, Waskita yang menjuluki dirinya Serigala Penghisap Darah terus melangkah maju semakin mendekati Pendekar Pulau Neraka.

"Terpaksa, aku harus menghindar dulu kali ini," ujar Bayu memutuskan di dalam hati.

Pendekar Pulau Neraka memanggil Tiren yang masih berada di atas dahan. Setelah monyet kecil itu hinggap di bahunya, cepat sekali Bayu berbalik, dan berlari cepat meninggalkan tempat ini.

"Ha ha ha...!" Waskita yang kini menjuluki dirinya sebagai Serigala Penghisap Darah, tertawa terbahak-bahak melihat lawannya kabur.

Sama sekali dia tidak mengejar. Bahkan cepat melesat masuk kembali ke dalam pondok kecilnya. Suasana di tengah hutan yang lebat itu kembali sunyi tanpa terdengar suara sedikit pun. Sedangkan Bayu sudah begitu jauh meninggalkan tempat itu. Dia kembali ke seberang jurang, tempat Ki Wanengpati dan Anggraini menunggu.

***

Ki Wanengpati termenung diam. Pandangannya kosong tertuju lurus ke depan, setelah Bayu menceritakan pengalamannya di dalam hutan seberang jurang. Sedangkan Anggraini juga hanya bisa diam memandangi Pendekar Pulau Neraka yang mengelu-elus kepala monyet kecil dalam pangkuannya. Mereka masih berada di dekat bibir jurang yang tidak seberapa lebar itu.

"Dia benar-benar akan berubah menjadi makhluk liar yang sukar ditaklukkan lagi. Tak ada satu senjata satu pun di dunia ini yang sanggup membunuhnya," keluh Ki Wanengpati perlahan, seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri.

"Bagaimanapun juga, kita harus menghentikannya, Ki. Sebelum bencana yang lebih besar lagi terjadi akibat kebrutalannya," selak Anggraini tegas.

"Benar! Kita memang harus menghentikannya. Tapi sulit jika sudah mulai berubah begitu. Pengaruh Keris Kala Muyeng memang cepat. Terlebih lagi, jiwa Waskita memang tidak terkendali dan sudah dikuasai nafsu keserakahan. Hal ini akan mempercepat pengalihan raganya, dari manusia menjadi iblis penghisap darah seluruhnya," jelas Ki Wanengpati.

"Dan kalau Keris Kala Muyeng telah benar-benar sempurna menguasai seluruh jiwa dan raganya, dunia ini pasti akan menjadi neraka. Tak ada seorang pun yang dapat menghentikannya lagi."

"Mungkin kita bisa menghadapinya bersama-sama, Ki." selak Bayu mengemukakan pendapat.

"Percuma. Seribu pendekar berkepandaian tinggi sekalipun, tak akan sanggup menghadapinya," sergah Ki Wanengpati.

Bayu dan Anggraini hanya bisa saling pandang. Mereka sungguh tidak menyangka kalau akan seperti ini akhirnya. Terlebih lagi Bayu. Semula dugaannya akan mudah merebut keris itu dari tangan Waskita. Dan kalau bisa, sekalian menyadarkan atas kekeliruannya ini. Mengingat, kepandaian yang dimiliki Waskita sebenarnya tidaklah seberapa tinggi. Tapi, ternyata Keris Kala Muyeng telah merubahnya menjadi seorang manusia digdaya tanpa tanding yang berhati iblis dan haus darah manusia.

"Apa tidak ada cara untuk keluar dari persoalan ini, Ki?" tanya Anggraini.

"Satu-satunya cara hanyalah memisahkan keris itu dari Waskita. Dan itu pun akan berakibat parah bagi
Waskita sendiri. Sifatnya akan semakin liar, dan tidak mempedulikan keselamatan dirinya lagi," Ki Wanengpati tertunduk lesu.

Bayu dan Anggraini bisa merasakan kepedihan hati laki-laki tua ini. Bagaimanapun juga, Waskita adalah anak angkat sekaligus murid kesayangannya. Memang tidak mudah menghadapi kenyataan pahit ini. Mereka semua menyadari kalau akibat yang akan diterima Waskita hanyalah kematian. Dan memang itu jalan satu-satunya untuk menghentikan pengaruh jahat dari Keris Kala Muyeng yang kini telah hampir sempurna menguasainya.

"Ah, Maaf. Tidak seharusnya sikapku seperti ini," ucap Ki Wanengpati cepat-cepat menyadari sikapnya yang tidak pantas sebagai seorang ksatria.

"Tidak mengapa, Ki. Kami mengerti...," sahut Bayu bisa merasakan perasaan laki-laki tua ini.


"Ki! Apa tidak sebaiknya hal ini kita beritahukan pada Gusti Adipati...?" saran Anggraini.

"Aku rasa tidak perlu. Nini Anggraini. Aku khawatir, Gusti Adipati akan mengerahkan para prajurit kadipaten. Jika itu terjadi, sama saja tindakan bunuh diri. Dan itu berarti juga akan menghancurkan seluruh Kadipaten Patarukan. Bahkan bukannya tidak mungkin akan menyebar ke kadipaten-kadipaten lain," sahut Ki Wanengpati menyanggah saran Anggraini.

"Ki! Boleh ku tahu, dimana kau mendapatkan benda untuk membuat keris itu?" tanya Bayu tiba-tiba.

"Untuk apa kau ketahui, Pendekar Pulau Neraka?" Ki Wanengpati malah balik bertanya.

"Mungkin di sana bisa kudapatkan satu penyelesaian yang terbaik," jawab Bayu.

"Apa yang akan kau lakukan di sana?" tanya Ki Wanengpati tidak mengerti.

"Sama seperti yang kau lakukan ketika mendapatkan bahan pembuat keris itu," sahut Bayu mantap.

"Dan selama kau melakukannya, dunia sudah hancur. Aku melakukannya lebih dari sepuluh tahun. Bersemadi selama satu hari penuh, setiap purnama. Dan yang terakhir, aku bersemadi. Mati Geni selama tujuh hari tujuh malam. Jadi sia-sia saja jika kau melakukan itu, Pendekar Pulau Neraka," jelas Ki Wanengpati singkat.

"Mungkin aku bisa mempersingkat, Ki."
"Selama itu, korban sudah semakin banyak berjatuhan. Dan Waskita juga semakin sempurna saja dipengaruhi kekuatan jahat Keris Kala Muyeng."

"Kita harus mencoba segala cara, meskipun berat akibatnya, Ki," Bayu tetap bertekad.

Ki Wanengpati terdiam. Dipandanginya wajah Pendekar Pulau Neraka dan Anggraini bergantian. Tatapan mata Bayu mencerminkan kesungguhan dan kemauan yang bulat. Ki Wanengpati menghembuskan napas panjang, kemudian bangkit berdiri diikuti Bayu dan Anggraini.

"Baiklah, kalau itu maumu. Tapi, aku tidak yakin akan berhasil," ujar Ki Wanengpati akhirnya menyerah juga.

"Akan kuhadapi segala akibatnya, Ki" tegas Bayu mantap.

"Ikutlah aku."

***

Kini Bayu, Ki Wanengpati, dan Anggraini menuju ke gua, tempat Ki Wanengpati mendapatkan benda pembuat Keris Kala Muyeng. Saat itu, malam sudah jatuh menyelimuti seluruh permukaan bumi Kadipaten Patarukan.

Di istana kadipaten, Adipati Antapara tampak gelisah sambil berjalan mondar-mandir di ruangan tengah yang luas dan cukup megah ini. Duduk di sebuah kursi tak jauh dari jendela yang terbuka lebar, tampak seorang laki-laki tua mengenakan jubah putih panjang, di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat berwarna putih. Laki-laki tua itulah yang dikenal sebagai ketua sebuah padepokan yang letaknya tidak jauh dari Kota Kadipaten Patarukan ini. Namanya Eyang Badranaya, guru Anggraini yang sekaligus juga ayah angkat gadis itu. Baru sore tadi Eyang Badranaya berada di istana kadipaten ini. Kedatangannya ke kadipaten ini pun setelah Anggraini meninggalkan padepokan bersama Pendekar Pulau Neraka. Dan sebenarnya, Adipati Antapara sendiri adalah murid Eyang Badranaya juga, sebelum menjabat sebagai adipati menggantikan ayahnya yang telah mangkat.

"Kenapa lama sekali, Eyang? Ke mana sebenarnya mereka...?" tanya Adipati Antapara seperti bertanya pada diri sendiri.

"Katanya mereka hendak langsung ke sini, Nanda Adipati," sahut Eyang Badranaya.

"Seharusnya mereka sudah sampai terlebih dahulu, Eyang. Tapi sampai malam begini, kenapa belum juga sampai..?" lagi-lagi Adipati Antapara yang masih berusia muda itu bertanya.

"Mungkin mereka menemui halangan di jalan. Tunggu saja sebentar lagi," hibur Eyang Badranaya, mencoba menenangkan keresahan hati adipati muda itu.

Pada saat itu seorang anak muda berpakaian seragam prajurit kadipaten datang memasuki ruangan tengah ini. Dia langsung berlutut di depan Adipati Antapara sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

"Ada apa, prajurit?" tanya Adipati Antapara.

"Gusti Wanengpati hendak menghadap, Gusti Adipati," sahut prajurit muda itu penuh rasa hormat.

"Suruh masuk segera," perintah Adipati Antapara.

"Hamba, Gusti Adipati."

Prajurit muda itu memberi sembah, lalu bergegas meninggalkan ruangan itu. Tak lama prajurit muda itu pergi, muncul Ki Wanengpati bersama Anggraini. Mereka segera berlutut di depan Adipati Antapara, sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Adipati Antapara yang masih berusia muda itu mengangkat tangan kanannya sedikit. Kemudian dipersilakannya Ki Wanengpati dan Anggraini untuk mengambil tempat di kursi yang telah disediakan. Anggraini mengambil tempat di samping kanan Eyang Badranaya.

Sedangkan Ki Wanengpati mengambil tempat di samping kirinya. Sementara Adipati Antapara duduk di seberang meja di depan mereka. Beberapa saat tak ada yang membuka suara. Adipati Antapara merayapi wajah-wajah di depannya secara bergantian. Pandangannya kini tertumbuk agak lama ketika menatap wajah Anggraini yang cantik, dengan bentuk bibir mungil dan selalu merah merekah.

"Dari mana saja kau, Anggraini? Kenapa baru datang sekarang?" Eyang Badranaya membuka suara lebih dahulu.

Anggraini tidak langsung menjawab. Ditatapnya Ki Wanengpati. Laki-laki tua yang usianya kira-kira sebaya dengan Eyang Badranaya itu hanya menganggukkan kepala sedikit saja.

Maka Anggraini langsung menceritakan perjalanannya bersama Pendekar Pulau Neraka, sampai bertemu Ki Wanengpati. Kemudian, mereka ke hutan di Bukit Patarukan. Di sana Pendekar Pulau Neraka bertemu Waskita yang sudah cukup banyak berubah. Sampai-sampai, pendekar digdaya itu tidak mampu menandinginya. Anggraini menceritakan sampai mengantarkan Bayu ke dalam gua, tempat Ki Wanengpati mendapatkan benda pembuat Keris Kala Muyeng itu. Anggraini menceritakan singkat, namun sangat jelas dan mudah dimengerti.

Tak ada seorang pun yang berbicara sampai gadis itu menyelesaikan ceritanya. Bahkan sampai selesai pun, tak ada yang membuka suara. Cerita gadis itu membuat Eyang Badranaya dan Adipati Antapara jadi terdiam, dengan kening berkerut cukup dalam. Jelas mereka tengah disibuki oleh pikiran masing-masing.

"Eyang! Sudah separah itukah Waskita, sehingga Pendekar Pulau Neraka harus melakukan semadi?" tanya Adipati Antapara setelah cukup lama tak ada yang membuka suara.

"Aku kenal Pendekar Pulau Neraka. Kalau sudah sampai melakukan semadi itu, pasti terlalu sulit baginya menghadapi Waskita," sahut Eyang Badranaya.

"Berapa lama dia akan bersemadi?" tanya Adipati Antapara lagi.

"Sukar dikatakan, Ananda Adipati. Masalahnya tidak semudah yang kita bayangkan. Terlebih lagi, sekarang ini jiwa dan raga Waskita benar-benar telah dikuasai kekuatan jahat Keris Kala Muyeng. Sudah pasti, yang ada di dalam diri Waskita bukanlah jiwanya sendiri. Dan apa yang dilakukannya, tidak pernah disadari karena seluruh jiwa dan perasaannya sudah tertutup pengaruh jahat Keris Kala Muyeng...," nada suara Eyang Badranaya terdengar terputus.

"Gusti Adipati, izinkan hamba menghadapinya. Hambalah yang seharusnya bertanggung jawab dalam persoalan ini, karena semua sumbernya dari hamba sendiri," selak Ki Wanengpati.

"Itu namanya tindakan bunuh diri, Adi Wanengpati," ujar Eyang Badranaya cepat, sebelum Adipati Antapara menjawab permintaan laki-laki tua penasihatnya ini.

"Benar, Ki Wanengpati. Sebaiknya, untuk sementara waktu semuanya diserahkan saja pada Pendekar Pulau Neraka. Kalau ternyata dia gagal, baru kita hadapi Waskita bersama-sama," ujar Adipati Antapara.

"Tapi, Gusti...."

"Sudahlah, Adi Wanengpati. Kau sudah cukup berusaha keras. Kau pasti lelah, sebaiknya beristirahatlah dulu," potong Eyang Badranaya cepat.

Ki Wanengpati menatap Eyang Badranaya sebentar, kemudian beralih pada Adipati Antapara yang menganggukkan kepalanya sedikit. Setelah memberi sembah penghormatan, Ki Wanengpati beranjak bangkit dari duduknya. Kemudian, kakinya melangkah perlahan hendak meninggalkan ruangan ini.

"Sebaiknya kau tidur di sini saja, Ki," ujar Adipati Antapara.

"Terima kasih, Gusti. Biarkan hamba pulang saja malam ini," tolak Ki Wanengpati halus.

Adipati Antapara tidak dapat mencegah lagi. Sementara Ki Wanengpati sudah menghilang, tertelan pintu yang tertutup kembali begitu dilewatinya. Sementara di ruangan ini tinggal Adipati Antapara, Eyang Badranaya, dan Anggraini. Mereka terdiam untuk beberapa saat, dengan pikiran masing-masing terus ber-kecamuk.

"Aku tinggal dulu, Eyang. Penat rasanya tubuhku," ujar Adipati Antapara berpamitan.

"Silakan, Ananda Adipati," sahut Eyang Badranaya. Adipati muda itu menjura memberi hormat yang dibalas Eyang Badranaya juga dengan penghormatan
yang sama. Adipati Antapara menganggukkan kepala sedikit pada Anggraini. Sementara gadis itu hanya memberi senyum tipis. Kemudian, pemuda itu melangkah meninggalkan ruangan ini.

"Anggraini..," panggil Eyang Badranaya setelah Adipati Antapara tidak terlihat lagi di dalam ruangan yang cukup besar ini.

"Ya, Eyang," sahut Anggraini.

"Bisa kau antarkan aku ke tempat Waskita besok pagi?" pinta Eyang Badranaya.

"Mau apa Eyang ke sana?" Anggraini terkejut mendengar permintaan itu.

"Aku ingin menjajal tingkatan pengaruh keris itu padanya. Mungkin dengan cara seperti itu, aku bisa menjajaki kemungkinan untuk mencari kelemahannya," sahut Eyang Badranaya beralasan.

"Apa itu perlu, Eyang?" tanya Anggraini.

"Segala kemungkinan perlu dicoba terlebih dahulu, sebelum mengambil keputusan, Anggraini"

Anggraini terdiam. Kata-kata yang sama barusan juga pernahdidengar dari mulut Pendekar Pulau Neraka. Apakah orang-orang bijak di dalam rimba persilatan memang selalu mempunyai pandangan hidup sama...?

Anggraini tidak sempat menjabarkan pemikirannya yang tiba-tiba muncul itu. Karena, Eyang Badranaya sudah bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan ruangan ini. Anggraini bergegas pula meninggalkan ruangan tengah yang sangat besar dan indah ini.

Sudah berapa kali gadis itu menginap di istana kadipaten ini. Sehingga, dia tidak lagi merasa canggung. Bahkan sebagian prajurit penjaga di lingkungan istana ini sudah mengenalnya dengan baik. Yang lebih menyenangkan, gadis itu diperlakukan sama dengan putri kaum bangsawan lainnya. Anggraini juga sudah tahu, kamar mana yang akan ditempati untuk istirahat tanpa harus diberitahukan lagi.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Dan suasana di lingkungan istana kadipaten ini terasa
lain dari biasanya. Adipati Antapara memang sudah memerintahkan agar melipatgandakan penjagaan di sekeliling istana. Sehingga, dimana-mana selalu terlihat para prajurit menjaga keamanan istana ini.

***

TUJUH

Pagi-pagi sekali di saat matahari belum lagi menampakkan dirinya, Eyang Badranaya dan Anggraini sudah memacu cepat kudanya. Keluar dari benteng Istana Kadipaten Patarukan. Tapi belum juga begitu jauh mereka pergi, dari arah belakang terlihat seekor kuda tengah berpacu cepat.

Di punggungnya, tampak seorang pemuda mengenakan baju putih ketat dengan sebilah pedang tergantung di pinggang. Eyang Badranaya menoleh ke belakang begitu merasakan ada yang membuntuti. Keningnya jadi berkerut begitu mengetahui siapa yang membuntutinya. Anggraini juga berpaling ke belakang. Dan kini mereka jadi menghentikan lari kudanya hampir bersamaan.

"Nanda Adipati....Mau apa dia mengikuti...?" desis Eyang Badranaya perlahan.

Penunggang kuda itu memang Adipati Antapara. Hanya pakaiannya saja yang berubah, tidak seperti biasanya jika berada dalam istana kadipaten. Dengan pakaian biasa seperti ini, tak akan ada seorang pun yang bisa mengenali, kecuali orang-orang yang dekat dengannya. Adipati Antapara tersenyum begitu dekat dengan Eyang Badranaya dan Anggraini.


"Kenapa bengong...?" tegur Adipati Antapara.

"Ananda Adipati, hendak ke mana dengan pakaian seperti ini?" tanya Eyang Badranaya.

"Ikut kalian...," sahut Adipati Antapara kalem. "Ayo...?"

Eyang Badranaya dan Anggraini jadi saling melemparkan pandang, melihat Adipati Antapara sudah menggebah kudanya perlahan-lahan melewati mereka. Guru dan murid itu pun segera melajukan kudanya, dan mensejajarkan di samping adipati muda ini. Tidak mungkin mereka mencegah adipati itu untuk ikut ke tempat persembunyian Waskita.

Mereka menjalankan kuda perlahan-lahan menuju ke Bukit Patarukan yang merupakan hutan lebat, dan jarang dimasuki manusia. Biasanya mereka yang tinggal di Kadipaten Patarukan ini hanya mengambil kayu dari pinggiran hutan saja. Tak seorang pun yang berani lebih masuk lagi ke dalam, kecuali yang memang pekerjaannya berburu.

"Gusti..."

"Eh! Jangan panggil gusti! Panggil saja Kakang Antapara," potong Adipati Antapara, cepat memutuskan ucapan Anggraini.

"Tapi..," Anggraini ingin membantah.

"Kau boleh memanggilku dengan sebutan itu kalau di kadipaten. Tapi di sini, aku tidak suka mendengar sebutan itu," lagi-lagi Adipati Antapara memotong cepat.

Anggraini jadi terdiam. Ditatapnya Eyang Badranaya. Sedangkan laki-laki tua berjubah putih itu hanya menganggukkan kepala saja. Dia memang sudah tahu kalau Adipati Antapara tidak suka jika dipanggil gusti, bila sedang berada di luar kadipaten. Hal itu sudah diketahuinya, sejak pemuda ini masih menuntut ilmu di padepokannya, dan belum menjabat sebagai adipati.

"Apa yang akan kau katakan, Anggraini?" ujar Adipati Antapara melihat Anggraini jadi terdiam saja.

"Tidak jadi," sahut Anggraini jadi sungkan.

"Kenapa...? Bukankah tadi kau ingin mengatakan sesuatu?"

"Tapi... Ah, tidak. Hamba...."

"Aku tahu. Kau pasti ingin menanyakan, kenapa aku berpakaian seperti ini, dan meninggalkan kadipaten. Begitu, bukan...?" tebak Adipati Antapara langsung.

Anggraini hanya diam saja. Dalam hatinya, memang diakui kalau ingin bertanya seperti itu tadi. Tapi, dia takut adipati muda ini tersinggung.

"Asal kau tahu saja, Anggraini. Sebenarnya aku lebih senang bepergian seperti ini. Melakukan perjalanan dan berpetualang mencari pengalaman, daripada harus duduk-duduk di kadipaten. Eyang Badranaya pasti sudah lebih tahu. Bukan begitu, Eyang?" Adipati Antapara menatap laki-laki tua di sampingnya.

Eyang Badranaya hanya menganggukkan kepala saja sambil menyunggingkan senyuman tipis di bibirnya yang hampir tertutup kumis putih. Sedangkan Anggraini hanya terdiam saja. Sesekali matanya mencuri pandang pada wajah tampan di sampingnya ini.

Entah kenapa, gadis ini jadi membandingkan antara Adipati Antapara dengan Bayu si Pendekar Pulau Neraka. Anggraini jadi memaki diri sendiri dalam hati. Dibuangnya jauh-jauh pikiran yang membanding-bandingkan antara pemuda ini dengan Pendekar Pulau Neraka. Suatu pikiran yang dianggapnya konyol, yang timbul dari kepala seorang gadis seperti dirinya.

"Berapa lama lagi sampai ke sana?" tanya Adipati Antapara saat mereka telah memasuki hutan di Bukit Patarukan.

"Mungkin tengah hari nanti, kalau tidak ada halangan," sahut Anggraini.

"Sebaiknya kau berjalan di depan, Anggraini," ujar Eyang Badranaya.

"Baik, Eyang," sahut Anggraini.

Gadis itu memacu kudanya lebih cepat, mendahului yang lain. Kini Anggraini berada paling depan, menjadi penunjuk jalan ke tempat persembunyian Waskita. Mereka terus memacu kudanya dengan kecepatan yang semakin diperlambat. Karena semakin jauh masuk ke dalam hutan ini, semakin lebat pepohonan yang menghadang. Dan tentu saja hal itu membuat kuda-kuda yang mereka tunggangi kurang lancar jalannya. Belum lagi harus menerobos semak, dan menghalau akar-akar pohon yang bergelantungan menghalangi perjalanan ini. Tapi mereka terus maju, meskipun semakin tersendat saja.

***

Tepat seperti yang dikatakan Anggraini, mereka tiba di tepi jurang di saat matahari berada di atas kepala. Mereka berlompatan turun dari kuda masing-masing. Adipati Antapara melangkah sampai berada di bibir jurang yang tidak terlalu besar ini. Sedangkan Anggraini dan Eyang Badranaya berdiri sekitar tiga langkah di belakang adipati muda itu. Perlahan Adipati Antapara memalingkan kepala ke belakang. Eyang Badranaya menghampiri dan berdiri di sampingnya. Anggraini juga mengikuti berdiri di samping lain pemuda itu.

"Tak ada seorang pun yang berani menyeberangi jurang ini. Daerah itu dinamakan Lereng Kematian, karena tak seorang pun yang pernah kembali setelah menginjakkan kakinya di sana. Terlalu banyak binatang buas dan berbisa," kata Adipati Antapara, setengah bergumam nada suaranya.

"Kalau Bayu bisa kembali dengan selamat, pasti cerita itu hanya isapan jempol belaka," tanggap Eyang Badranaya.

"Memang hanya kepercayaan yang salah dan tidak berdasar. Aku sendiri pernah menjelajah selama tiga hari di sana. Malah tak ada seekor binatang pun yang kujumpai," sambung Adipati Antapara.

"Lantas, bagaimana?" tanya Eyang Badranaya.

"Mudah-mudahan saja Waskita masih ada di sana. Aku ingin sekali melihat bagaimana ujudnya sekarang ini," kata Adipati Antapara.

Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja Adipati Antapara melesat cepat dengan ringan sekali. Beberapa kali tubuhnya melakukan putaran di udara dengan manis, lalu berhasil mendarat di tepi seberang jurang ini. Pemuda itu berbalik dan menatap Eyang Badranaya dan Anggraini yang juga sudah berlompatan menyeberangi jurang yang tidak seberapa lebar ini. Mereka juga berhasil mendarat manis sekali.

"Ayo...," ajak Adipati Antapara.

Ketiga orang itu terus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Keadaan hutan di Lereng Kematian ini cukup lebat juga, sehingga mereka tidak dapat bergerak lebih cepat lagi. Namun mereka bergerak cepat dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah nampak sebuah pondok kecil yang letaknya cukup tersembunyi di antara pepohonan yang cukup rapat.

Ketiga orang itu memperlambat ayunan kakinya, mendekati pondok kecil di depan sana. Dan mereka baru berhenti melangkah setelah tinggal sekitar tiga batang tombak lagi dari pondok kecil yang cukup tersembunyi letaknya. Sejenak mereka saling melemparkan pandang, seakan-akan sama-sama memberi peringatan untuk berhati-hati. Dan baru saja mereka hendak melangkahkan kaki kembali, tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar dari dalam pondok.

"Berhenti...!"

Bentakan itu bukan main kerasnya, sehingga membuat Adipati Antapara, Eyang Badranaya, dan muridnya terkejut setengah mati. Mereka jadi mengurungkan niatnya untuk melangkah mendekati pondok kecil yang cukup tersembunyi itu. Kembali mereka saling melemparkan pandangan, kemudian sama-sama menatap ke arah pondok kecil yang tak seberapa jauh lagi di depan Adipati Antapara melangkah beberapa tindak ke depan. Matanya tidak berkedip menatap lurus ke arah pintu pondo. yang tertutup rapat.

"Sebaiknya kalian kembali saja, daripada membuang nyawa sia-sia di sini...!" kembali terdengar suara keras menggelegar dari dalam pondok.

"Waskita...! Aku Adipati Antapara, ingin bicara denganmu!" bujuk Adipati Antapara dengan suara yang juga keras, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Aku tidak peduli siapa kau! Pergi cepat sebelum kesabaranku habis!" sahut suara dari dalam pondok itu lagi.

"Keluarlah, Waskita. Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik," bujuk Adipati Antapara.

"Jangan paksa aku bertindak! Pergi kalian semua! Cepaaat..!"

Begitu kerasnya suara dari dalam pondok itu, membuat Adipati Antapara jadi terlompat ke belakang beberapa tindak. Sedangkan Eyang Badranaya dan Anggraini bergegas menghampiri adipati muda itu.

"Kuberi kesempatan sekali lagi, sebelum kubunuh kalian semua!" kembali terdengar suara keras menggelegar dari dalam pondok.

"Sebaiknya kita menyingkir dulu, Anakku," ujar Eyang Badranaya setengah berbisik. "Tampaknya Waskita telah benar-benar dikuasai Keris Kala Muyeng."

"Aku akan memaksa dia keluar, Eyang," tegas Adipati Antapara.

Tidak ada lagi kesempatan bagi Eyang Badranaya untuk membujuk Adipati Antapara agar menyingkir dulu dari tempat ini. Karena mendadak saja pintu pondok kecil itu terbuka, dan melesat sebuah bayangan hitam dari dalamnya. Cepat sekali bayangan hitam itu berkelebat tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri suatu sosok makhluk berwajah penuh benjolan. Sehingga raut wajahnya begitu mengerikan untuk dipandang.

Rambutnya yang teriap tak beraturan, hampir menutupi raut wajahnya yang penuh benjolan itu. Sebilah pedang panjang tampak tergantung di pinggangnya. Dan di balik sabuk yang melilit pinggangnya, terselip sebilah keris yang kelihatannya baru setengah jadi. Dia berdiri tegak bertolak pinggang. Sepasang bola matanya memerah, menatap tajam Adipati Antapara.

"Kalian benar-benar ingin mampus...!" desis orang berwajah buruk itu dingin menggetarkan.

"Waskita! Kau sadar, siapa yang berdiri di depanmu?" tegur Eyang Badranaya.

"Aku tidak peduli, siapa dia!" dengus laki-laki separuh baya yang berwajah penuh benjolan itu. "Siapa pun yang mencoba mengganggu ketenteraman ku, harus mati di sini!"

"Waskita...."

"Aku bukan Waskita! Aku Serigala Penghisap Darah...!" bentak laki-laki separuh baya itu memutuskan ucapan Eyang Badranaya.

"Aku tidak peduli siapa namamu sekarang. Tapi aku tetap mengenalimu, Waskita," desak Eyang Badranaya.

"Ha ha ha...!" Waskita yang sudah dikuasai kekuatan Keris Kala Muyeng, jadi tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Eyang Badranaya barusan.

Mendadak saja, Waskita mengebutkan tangan kanannya ke arah Eyang Badranaya. Seketika itu juga, secercah sinar merah melesat cepat bagaikan kilat ke arah laki-laki tua berjubah putih itu.

"Awas, Eyang...!" teriak Anggraini memperingatkan.

"Uts!"

Hampir saja sinar merah itu menghantam tubuh Eyang Badranaya, kalau tubuhnya tidak segera ditarik ke kanan. Sinar merah itu melesat cepat di samping kiri tubuhnya, dan langsung menghantam pohon yang berada di belakang laki-laki tua ini. Seketika pohon itu hancur berkeping-keping, terkena sambaran sinar merah tadi.

"Bagus? Ternyata kau mampu juga menghindari seranganku, Orang Tua," desis Waskita dingin.

Eyang Badranaya yang menyadari kalau Waskita tak mungkin lagi bisa disadarkan, segera bersiap menerima serangan kembali. Sedangkan Waskita sudah menggeser kakinya ke kanan beberapa tindak. Tatapan matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata laki-laki tua itu. Seakan-akan dia sedang mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki Eyang Badranaya.

Sementara itu Anggraini dan Adipati Antapara sudah menyingkir menjauhi tempat ini. Mereka sekarang berada di tempat yang cukup jauh dan jangkauan pertempuran, yang tidak mungkin dielakkan lagi.

"Tahan seranganku, Orang Tua! Hiyaaa...!" seru Waskita keras menggelegar.

Cepat sekali, si Serigala Penghisap Darah melompat menyerang Eyang Badranaya. Secepat itu pula, pedangnya dicabut, dan langsung dikibaskan ke arah leher laki-laki tua berjubah putih ini.

"Hait!"

Eyang Badranaya tidak berusaha menghindari serangan itu. Bahkan tongkatnya malah dikebutkan, untuk menyampok tebasan pedang Waskita. Laki-laki tua ini mengerahkan seluruh kemampuan tenaga dalamnya, yang langsung disalurkan ke tongkat.

Trak!
"Heh...?!"

Bukan main terkejutnya Eyang Badranaya, karena tongkatnya terpenggal jadi dua bagian begitu berbenturan dengan pedang Waskita. Cepat-cepat dia melompat mundur sejauh satu batang tombak. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, Waskita sudah kembali melancarkan serangannya cepat luar biasa.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Pedang di tangan Waskita berkelebat cepat mengurung seluruh tubuh Eyang Badranaya. Akibatnya laki-laki tua berjubah putih itu terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan gencar. Beberapa kali pedang di tangan Waskita hampir merobek kulit tubuhnya. Tapi sampai sejauh ini, Eyang Badranaya masih mampu menghindari. Bahkan beberapa kali pula mampu melancarkan serangan balasan.

"Modar...!" teriak Eyang Badranaya tiba-tiba.

Cepat sekali laki-laki tua itu melancarkan satu pukulan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepatnya pukulan itu, sehingga Waskita tidak sempat lagi menghindar. Pukulan itu tepat menghantam dada yang bergerenjul penuh benjolan.

Diegkh!

"lkh...!" Eyang Badranaya terpekik kecil agak tertahan.

Cepat-cepat laki-laki tua itu menarik pulang tangannya, dan melompat sejauh setengah tombak. Eyang Badranaya merasakan seperti menghantam sebongkah batu cadas yang begitu keras tadi. Tulang-tulang jari tangannya seperti remuk, dan terasa nyeri sekali. Sedangkan Waskita sama sekali tidak terpengaruh oleh pukulan keras yang dilancarkan laki-laki tua ini. Bahkan Waskita melangkah maju sambil mengebutkan pedangnya di depan dada.

Sedangkan Eyang Badranaya terus bergerak mundur sambil mencari celah untuk melancarkan serangan. Namun serangan-serangan yang dilancarkan Waskita, membuat Eyang Badranaya tak mampu lagi memberi serangan balasan. Dan satu dua pukulan keras terpaksa diterimanya, sehingga membuat laki-laki tua itu bergelimpangan di tanah.

Dalam beberapa jurus saja, Waskita sudah benar-benar menguasai pertarungan ini. Dan Eyang Badranaya semakin terdesak saja, seakan-akan tak mampu lagi memberi perlawanan berarti. Dan memang Waskita tidak memberi kesempatan pada laki-laki tua itu untuk melancarkan serangan balasan.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Mendadak saja, Waskita mengubah pola serangannya. Tubuhnya berputar cepat, sementara tangan kanannya yang memegang pedang merentang lurus, mengarah ke dada Eyang Badranaya. Gerakan yang begitu cepat membuat laki-laki tua itu jadi kelabakan menghindarinya. Dia berlompatan, dan berjumpalitan menghindari setiap tebasan pedang yang disertai gerakan tubuh berputaran cepat.

Selagi Eyang Badranaya sibuk menghindari tebasan pedang yang bergerak cepat bagai memiliki mata, mendadak saja Waskita cepat merubah jurus tangannya tanpa diduga sama sekali. Laki-laki separuh baya yang bentuk tubuh dan wajahnya sudah berubah penuh benjolan itu tiba-tiba saja melentingkan tubuh ke udara. Lalu, tubuhnya meluruk deras, sambil mengibaskan pedangnya cepat mengincar kepala.

Yeaaah...!"
"Heh...?!"

***

DELAPAN

"Yeaaa...!"

Eyang Badranaya benar-benar tak mampu lagi menghindari serangan yang begitu cepat. Laki-laki tua itu hanya bisa membeliakkan mata. Namun begitu ujung pedang Waskita hampir saja membelah kepalanya, mendadak saja sebuah bayangan kuning berkelebat cepat menghantam tubuh laki-laki separuh baya yang wajahnya bergerenjul penuh benjolan itu.

Des!
"Aaakh...!" Waskita terpekik keras.

Seketika itu juga tubuhnya terpental balik, dan berputaran beberapa kali. Bayangan kuning itu kembali berkelebat cepat, lalu terdengar suara dua buah logam yang beradu keras. Terlihat bunga api memercik, disusul terpentalnya pedang Waskita ke angkasa.

Bayangan kuning itu melesat ke udara, mengejar pedang itu. Sedangkan Waskita masih berjumpalitan di udara. Dan begitu kaki Waskita mendarat manis di tanah, bayangan kuning itu juga meluruk turun.

"Bayu...," desis Eyang Badranaya begitu melihat didepannya sudah berdiri seorang pemuda mengenakan baju kulit harimau.

Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu membuang pedang yang berhasil dirampasnya dari tangan Waskita. Sedangkan Waskita sendiri hanya mendengus dan menggeram marah. Matanya tampak memerah menatap liar Pendekar Pulau Neraka. Sedikit Bayu melirik Eyang Badranaya, kemudian menatap Adipati Antapara dan Anggraini yang berada cukup jauh pada tempat yang cukup aman. Kembali ditatapnya Waskita yang menjuluki dirinya sebagai Serigala Penghisap Darah. Saat itu Eyang Badranaya sudah berdiri di samping Bayu, diikuti Anggraini dan Adipati Antapara.

"Menyingkirlah. Biar aku yang menghadapinya," ujar Bayu perlahan tanpa mengalihkan pandangannya dari si Serigala Penghisap Darah.

"Kau sudah mendapatkan kelemahannya, Bayu?" tanya Eyang Badranaya.

Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum tipis saja, hampir tidak terlihat. Kemudian kakinya bergerak terayun dua langkah ke depan. Tatapan matanya tetap tajam, tertuju lurus ke bola mata si Serigala Penghisap Darah. Saat itu, Eyang Badranaya memberi isyarat pada Anggraini dan Adipati Antapara untuk menyingkir.

Tanpa membantah sedikit pun, mereka bergerak menjauh. Eyang Badranaya sendiri melangkah mundur perlahan-lahan, dan baru berhenti setelah jaraknya cukup jauh dari si Serigala Penghisap Darah dan Pendekar Pulau Neraka yang berdiri saling menatap tajam.

"Keluarkan keris Kala Muyeng mu, Serigala Penghisap Darah!" desis Bayu, dingin dan datar nada suaranya.

"Phuih! Kau datang hanya mengantarkan nyawa saja, Bocah!" dengus Waskita tidak kalah dinginnya.

"Kita lihat saja. Siapa yang lebih dulu terbang ke neraka," kali ini suara Bayu terdengar kalem.

"Setan alas...! Tahan seranganku. Hiyaaat..!"

Waskita jadi geram mendengar tantangan Pendekar Pulau Neraka barusan. Bagaikan kilat, tubuhnya cepat melompat menerjang sambil mencabut kerisnya yang terselip di pinggang. Keris itu langsung dikibaskan ke arah dada Pendekar Pulau Neraka.

Bet!
"Hait..!"

Bayu hanya menarik tubuhnya sedikit ke belakang, membuat keris yang baru setengah jadi itu hanya lewat sedikit saja di depan dada. Pada saat itu, cepat dilepaskannya satu tendangan keras, sambil memiringkan tubuh ke kiri.

"Yeaaah...!"
"Hup!"

Waskita melompat ke belakang setengah berputaran, menghindari tendangan keras Pendekar Pulau Neraka. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, cepat sekali Bayu melompat. Langsung dilepaskannya satu pukulan lurus ke arah dada. Tak ada lagi kesempatan bagi Waskita untuk menghindar. Maka cepat-cepat kerisnya dikebutkan ke depan dada.

"Hait!"

Namun yang terjadi mengejutkan sekali. Dengan gerakan manis sekali, Bayu merundukkan tubuhnya sedikit. Namun tangannya langsung bergerak cepat ke arah perut. Dan sambil bergerak cepat Pendekar Pulau Neraka menyambar sarung Keris Kala Muyeng yang berada di balik ikat pinggang si Serigala Penghisap Darah.

Bet!
"Hey...?!"

Waskita tersentak kaget. Cepat-cepat diburunya Pendekar Pulau Neraka. Tapi, Bayu sudah cepat melesat ke belakang dan melakukan putaran beberapa kali. Lalu, manis sekali kakinya menjejak di sebatang dahan yang tidak begitu tinggi. Tangan kanannya kini telah menggenggam warangka keris yang terbuat dari kayu hitam. Pemuda berbaju kulit harimau itu tersenyum sambil memegangi warangka Keris Kala Muyeng di depan dada. Sedangkan Waskita hanyaberdiri saja dengan geraham bergemeletuk menahan geram.

***

"Bocah setan...! Turun kau...!" bentak Waskita geram.

"Kenapa tidak kau saja yang naik ke sini...?" tantang Bayu memanasi.

"Keparat..!"

Waskita benar-benar geram setengah mati, tapi tampaknya ragu-ragu menuruti tantangan Pendekar Pulau Neraka. Dia hanya berdiri tegak dengan sinar mata tajam memerah dan berapi-api menatap Bayu yang berdiri di atas dahan cukup tinggi. Bahkan Pendekar Pulau Neraka memain-mainkan sarung keris yang berhasil dirampasnya dari balik sabuk si Serigala Penghisap Darah.

"Ayo, ke sini.... Kita bertarung di atas pohon," tantang Bayu terus memanasi.

"Ghrrr...!" Waskita jadi menggeram-geram bagaikan binatang buas yang liar.

Sepasang bola matanya semakin memerah berapi-api. Benjolan-benjolan di seluruh wajah dan tubuhnya, terus bertumbuhan semakin banyak. Sehingga, hampir menutupi bentuk wajahnya. Sehingga wajahnya tidak sedap dipandang. Bau busuk semakin menyebar menyengat hidung, keluar dari Keris Kala Muyeng yang tergenggam di tangan si Serigala Penghisap Darah. Asap hitam pun terus mengepul keluar dari ujung keris yang terhunus telanjang. Dan itulah yang membuat benjolan-benjolan pada tubuhnya makin bertambah.

Pada saat itu, tiba-tiba saja dari pohon yang lain meluruk turun satu makhluk kecil dan hitam ke arah si Serigala Penghisap Darah. Makhluk kecil hitam dengan suara kecil mencerecet ribut itu, tahu-tahu hing-gap di atas kepala Waskita. Akibatnya si Serigala Penghisap Darah itu terkejut, dan langsung mengibaskan kepala ke atas.

Tapi makhluk kecil hitam yang ternyata seekor monyet itu cepat melompat turun, dan berlarian berputaran mengelilingi si Serigala Penghisap Darah sambil mencerecet ribut.

"Terus, Tiren! Bagus...! Buat dia pusing tujuh keliling!" seru Bayu senang melihat monyet kecil itu mengganggu perhatian si Serigala Penghisap Darah.

"Monyet jelek! Pergi kau...!" bentak Waskita geram.

Tapi monyet kecil yang bernama Tiren itu terus bergerak memutari Waskita sambil mencerecet ribut. Dan tiba-tiba saja, binatang itu melompat dari arah belakang, dan langsung hinggap di tengkuk si Serigala Penghisap Darah. skita jadi jengkel, sehingga menepuk tengkuknya. Tapi, Tiren sudah lebih cepat lagimelompat, sehingga tepukan Waskita hanya mengenai tengkuknya sendiri. Tiren terus berlompatan cepat, dan kembali melompat dari belakang. Kali ini hinggap di kepala Waskita sebentar, dan kembali melompat cepat begitu tangan Waskita melayang hendak menamparnya.

Kelakuan Tiren yang seperti sengaja menimbulkan kemarahan itu memang membuat Waskita semakin jengkel. Dia menggerung-gerung geram, dengan bola mata semakin memerah berapi-api karena monyet kecil berbulu hitam itu terus menggodanya.

"Monyet setan! Hiyaaa...!"

Sambil berseru nyaring, Waskita mengibaskan keris ke arah monyet kecil yang berjingkrakan di depannya. Asap hitam yang mengepul dari ujung keris itu tiba-tiba saja meluruk deras ke arah Tiren. Tapi monyet kecil berbulu hitam itu cepat melompat menghindar sambil mencerecet ribut. Satu ledakan keras menggelegar terdengar ketika ujung asap hitam itu menghantam tanah. Begitu kerasnya, sehingga membuat tanah terbongkar menimbulkan kepulan debu yang membumbung tinggi ke angkasa.

Bayu sendiri yang berada di atas pohon jadi terkejut setengah mati melihat tindakan Waskita barusan. Sedangkan Tiren jadi tampak ketakutan hingga cepat-cepat melompat dan hinggap di pundak Pendekar Pulau Neraka. Monyet kecil itu menyembunyikan wajahnya di belakang kepala Bayu.

"Kemarikan monyet itu, Setan...!" geram Waskita berang.

"Bagus, Tiren. Kau sudah membangkitkan semangatnya. Sekarang tinggal kau alihkan perhatiannya padamu. Aku akan berusaha merebut kerisnya," ujar Bayu, berbisik sambil menepuk-nepuk tubuh monyet kecil yang masih menyembunyikan mukanya. Tiren hanya mengkirik kecil. Rupanya binatang itu masih ketakutan atas tindakan Waskita tadi, yang membuatnya terkejut. Bayu bisa mengerti kalau monyet kecil ini ketakutan.

"Jangan takut, Tiren. Aku pasti melindungimu," hibur Bayu menenangkannya. "Ayo, alihkan perhatiannya lagi." Tiren masih tetap menyembunyikan mukanya dibelakang Pendekar Pulau Neraka.

"Ayo, Tiren. Ini kesempatan baik untuk mengalihkan perhatiannya. Hanya kau satu-satunya yang bisa melakukannya," bujuk Bayu.

Perlahan Tiren mengeluarkan kepala dari belakang kepala Bayu. Ditatapnya Pendekar Pulau Neraka, kemudian beralih pada Waskita yang mendengus dan menggeram dengan berang.

"Ayo...."
"Nguk!"

Tiren kembali melompat turun. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, Waskita sudah langsung meluruk sambil menghunus keris. Begitu cepat gerakannya, membuat monyet kecil itu jadi mencerecet ketakutan. Dia cepat melompat, sehingga hunjaman Keris Kala Muyeng hanya mengenai tanah kosong. Hal ini membuat Waskita benar-benar geram.

"Setaannnnn?! Kubunuh kau, Monyet Jelek!"

"Nguk!"

***

Sambil meraung keras, Waskita mengangkat kerisnya tinggi-tinggi ke atas kepala. Pada saat itu Bayu melesat cepat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Begitu cepatnya lesatan Pendekar Pulau Neraka, sehingga Waskita tidak sempat lagi memperhatikan. Terlebih, saat itu perhatiannya memang sedang terpusat pada monyet kecil yang telah membuatnya jengkel.

Tap!
"Heh...?!"

Si Serigala Penghisap Darah terkejut setengah mati, ketika tangannya tersentak. Dan lebih terkejut Lagi, begitu menyadari kerisnya sudah berpindah tangan. Begitu disadari apa yang telah terjadi, Bayu sudah berdiri di samping Tiren. Dan monyet kecil itu cepat melompat naik ke pundak Bayu dengan gerakan lincah. Sementara Eyang Badranaya, Adipati Antapara, dan Anggraini yang menyaksikan semua itu jadi menarik napas lega melihat Bayu telah menguasai Keris Kala Muyeng.

Trek!

Bayu memasukkan keris itu ke dalam warangkanya. Lalu, diberikannya keris itu pada Tiren yang langsung menerimanya. Sementara Waskita menggerung-gerung marah melihat senjatanya sudah tidak berada lagi di tangannya. Hatinya begitu marah, karena merasa tertipu mentah-mentah tanpa mampu menyadari siasat Pendekar PulauNeraka sebelumnya.

"Berikan keris itu pada Eyang Badranaya, Tiren. Lewat pepohonan saja," ujar Bayu.

"Nguk!"

Tiren segera melompat ke atas pohon yang dekat, lalu terus berlompatan dari pohon yang satu ke pohon lainnya. Melihat monyet kecil itu berlompatan di atas pohon sambil membawa Keris Kala Muyeng, Waskita tidak ingin melepaskan begitu saja. Maka cepat-cepat dia melompat mengejar. Tapi pada saat itu, Bayu yang memang sudah menyadari tindakan yang akan dilakukan Waskita, cepat melompat menerjang si Serigala Penghisap Darah.

"Hiyaaa...!"

Bagaikan kilat Bayu melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Bayu, sehingga Waskita tidak sempat lagi menghindari.

Buk!
"Aaakh...!"

Waskita menjerit keras. Laki-laki separuh baya itu terpental balik, dan jatuh bergulingan beberapa kali. Dua batang pohon yang terlanda tubuhnya langsung roboh membuat tanah di sekitarnya bergetar bagaikan diguncang gempa. Sementara Bayu manis sekali sudah mendarat kembali di tanah. Tanpa Keris Kala Muyeng berada di tangan, Waskita memang tidak memiliki daya Lagi. Maka kekebalan tubuhnya pun juga sirna, meskipun pengaruh jahat dari keris itu masih menguasainya. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan Pendekar Pulau Neraka. Dengan cepat Bayu memiringkan tubuh ke kiri agak terbungkuk. Kemudian kaki kanannya ditarik merentang, dengan lutut tertekuk hampir menyentuh tanah. Tepat ketika Waskita melompat bangkit berdiri, Bayu cepat mengibaskan tangan kanannya ke depan.

"Hiyaaa...!"
Wusss!

Bagaikan kilat, Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat cepat ke arah dada si Serigala Penghisap Darah. Begitu cepatnya senjata berbentuk bintang segi enam itu melesat, sehingga Waskita tidak punya kesempatan menghindar lagi.

Crab!
"Aaakh...!"

Waskita menjerit keras melengking tinggi. Cakra Maut tepat menghantam dada si Serigala Penghisap Darah. Begitu kerasnya Cakra Maut itu terlontar, sehingga sampai menembus punggung. Senjata maut Pendekar Pulau Neraka kembali melesat balik pada pemiliknya. Bayu cepat mengangkat tangan kanannya. Dan begitu Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanannya, kembali dilontarkan disertai pengerahan tenaga dalam sempurna sekali.

"Hiyaaa...!"
Wusss!
Crab!
"Aaa...!"

Lagi-lagi Waskita menjerit keras melengking tinggi. Kali ini Cakra Maut merobek tenggorokannya, hingga darah kembali menyembur keluar deras sekali. Senjata berwarna keperakan bersegi enam itu kembali menempel di pergelangan tangan pemiliknya. Sementara Waskita masih tetap berdiri, meskipun tubuhnya limbung. Darah terus mengucur keluar dari dada, punggung, dan lehernya yang bolong akibat tertembus Cakra Maut. Dengan langkah gontai, Waskita menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Bola matanya masih memerah menyala-nyala. Sedangkan Bayu menggeser kakinya ke
kanan beberapa langkah. Meskipun darah semakin banyak bercucuran keluar, tampaknya Waskita masih sanggup bertahan. Namun demikian, ayunan langkahnya sudah begitu gontai.

"Pergi kau, Iblis! Hiyaaa...!"

Sambil berseru nyaring, Bayu melompat cepat bagaikan kilat. Satu tendangan keras menggeledek cepat dilepaskan Pendekar Pulau Neraka disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tendangan itu diarahkan langsung ke kepala. Begitu cepatnya serangan itu, membuat si Serigala Penghisap Darah tak mampu lagi menghindarinya.

Prak!
"Aaa...!"

Waskita berputaran beberapa kali ketika tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka menghantam keras kepalanya. Seketika Serigala Penghisap Darah jatuh bergulingan di tanah. Kepalanya retak, sehingga darah merembes keluar semakin deras. Tubuhnya menggelepar, dan suaranya menggerung-gerung seperti binatang terluka terkena panah pemburu.

Sementara Bayu yang memperhatikan saja dengan sikap agak tegang. Cukup lama juga Waskita meregang, menggerung, dan menggelepar menyongsong maut. Hingga akhirnya, dia mengejang kaku dan diam tak bergerak-gerak lagi. Bayu baru bisa menarik napas lega setelah melihat lawannya sudah tak bergerak lagi. Pada saat itu, Eyang Badranaya, Adipati Antapara, dan Anggraini bergegas menghampiri. Di pundak Eyang Badranaya duduk monyet kecil berbulu hitam yang langsung berpindah ke pundak Bayu begitu dekat.

"Semuanya sudah berakhir sekarang," desah Bayu hampir tak terdengar suaranya.

"Kukira kau memiliki sesuatu yang dapat mengalahkan Keris Kala Muyeng, Bayu," tebak Eyang Badranaya.

"Tidak ada satu senjata pun di dunia ini yang dapat mengalahkannya, Eyang. Hanya ini...," jelas Bayu sambil menunjuk keningnya.

Eyang Badranaya tersenyum. Dia mengerti, kalau Bayu mengalahkan Waskita yang sudah dikuasai kekuatan jahat Keris Kala Muyeng hanya dengan kecerdikan dan siasat jitu. Memang tak ada satu pun benda sakti di dunia ini yang dapat mengalahkan otak manusia yang memang diciptakan lebih sempurna, daripada apa pun yang ada di dunia ini.

Dan itu semua, sebenarnya tidak luput dari jasa Tiren, monyet kecil yang cerdik milik Pendekar Pulau Neraka. Monyet kecil itu berani mempertaruhkan jiwanya sendiri untuk mengalihkan perhatian Waskita.

Sehingga, Bayu dapat merebut Keris Kala Muyeng dari tangan si Serigala Penghisap Darah. Tanpa keris itu, kekuatan Waskita tidak ada artinya lagi. Meskipun, bentuk tubuhnya tetap bergerenjul penuh benjolan seperti bisul.

"Bagaimana dengan keris ini, Bayu?" tanya Eyang Badranaya yang memegang Keris Kala Muyeng.

"Sebaiknya simpan saja di tempat yang aman. Berbahaya sekali jika menggunakannya, tanpa dapat menguasai kekuatan yang ada padanya," sahut Bayu.

Eyang Badranaya menatap Adipati Antapara, dan menyodorkan keris itu.

"Tidak. Sebaiknya kau saja yang menyimpannya, Eyang," Adipati Antapara menolak keris itu.

"Benar! Di tangan Eyang, keris itu lebih aman," sambung Bayu.

"Baiklah...," desah Eyang Badranaya tidak bisa menolak lagi.

Laki-laki tua berjubah putih itu menyelipkan Keris Kala Muyeng ke dalam balik lipatan jubahnya. Jika berada dalam warangka, keris itu tidak memiliki daya kekuatan sama sekali. Tapi jika sudah keluar dari warangkanya, maka akan dapat cepat menguasai jiwa pemegangnya.

"Mari kita pulang," ajak Adipati Antapara.

"Sebaiknya, aku kembali meneruskan perjalanan saja. Kita berpisah di sini," pamit Bayu.

"Tidak! Kau menjadi tamuku di istana," sentak Adipati Antapara tegas.

"Terima kasih, perjalananku masih...."
"Aku mengundangmu. Dan jika kau menolak, aku tidak akan mengizinkan kau masuk ke kadipaten ku selamanya," potong Adipati Antapara cepat.

"Ayolah, Bayu. Satu dua hari, tidak akan mengganggu perjalananmu," bujuk Eyang Badranaya.

Bayu hanya mengangkat bahunya saja, dan tidak bisa lagi menolak undangan adipati muda yang mengundangnya secara setengah memaksa ini. Tapi, Bayu bisa memaklumi. Adipati Antapara pasti akan menjamu untuk mengucapkan terima kasih. Dan sebenarnya, hal seperti ini tidak diinginkannya. Tapi, dia tidak bisa menolak setelah Eyang Badranaya juga memintanya.

Mereka kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Tinggallah mayat Waskita yang telah membuat beberapa korban di Kadipaten Patarukan terbujur kaku bersama perbuatannya, ini semua akibat seluruh jiwanya dikuasai kekuatan jahat dari Keris Kala Muyeng. Adipati Antapara sendiri akan mengirimkan para prajurit untuk mengurus mayat Waskita, sesampainya nanti di istana kadipaten.



Episode Berikutnya: PEDANG KAWA HIJAU

SELESAI
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.