CERITA SILAT PENDEKAR PULAU NERAKA
Episode: Pedang Kawa Hijau
Karya: Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Episode: Pedang Kawa Hijau
Karya: Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Matahari baru saja menampakkan cahayanya di ufuk Timur. Dan di sepagi itu, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun, sibuk memukul-mukul palu besi ke atas logam yang memerah membara. Keringat mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya yang berkulit kehitaman.
Dentang logam beradu terdengar keras memecah kesunyian di pagi ini. Laki-laki bertubuh kekar berotot itu terus saja bekerja menempa besi yang merah membara, sehingga tidak mempedulikan sang mentari yang semakin naik tinggi. Dan keringat pun semakin menga-nak sungai, mengucur di sehiruh tubuhnya.
Saat itu terdengar suara derap langkah kaki kuda mendekati. Si Pandai Besi itu menghentikan pekerjaannya. Kepalanya menoleh ke arah langkah kaki kuda yang semakin jelas terdengar. Matanya yang bulat, jadi menyipit begitu melihat lima orang berkuda menuju ke arahnya.
"Hm.., mau apa lagi mereka datang ke sini...?" gumamnya pada diri sendiri.
Kelima orang berkuda itu langsung berlompatan turun dari atas punggung kuda masing-masing. Tampak berdiri paling depan, seorang laki-laki tua berwajah bening dan berambut putih tergulung ke atas. Pakaiannya putih bersih, tampak meriap dihembuskan angin. Sementara keempat orang lainnya mengenakan pakaian yang bentuk dan warnanya serupa.
Laki-laki pandai besi itu keluar dari dalam gubuk bengkelnya. Sinar matanya begitu tajam, menatap orang tua berjubah putih bersih di depannya. Sebuah palu besi yang besar dan berat, tergenggam erat ditangan.
"Apa maksudmu datang lagi, Kala Putih...?" tanya si Pandai Besi dengan suara berat, tak bersahabat.
"Mengambil pesananku," sahut laki-laki tua berjubah putih yang dipanggil Kala Putih. "Sudah berapa kali kukatakan, aku tidak sanggup membuatnya. Aku hanya pandai besi biasa, bukan Empu Pembuat Senjata Pusaka!" tegas si Pandai Besi.
"Dengar, Ki Bangka Putung. Semuanya kusediakan. Dan kau sudah terima. Bahkan kusediakan waktu cukup lama. Dua purnama.... Waktu yang cukup lama untuk membuat sebuah pusaka. Sekarang, sudah lebih dari waktu yang kuberikan padamu. Serahkan pusaka itu padaku, Ki Bangka Putung!" keras sekali suara Kala Putih.
"Aku tidak menerima semua pemberianmu. Dan kau sendirilah yang meninggalkannya. Sedikit pun tidak kusentuh. Lihat itu...! Masih utuh, ada di sana," Ki Bangka Putung menunjuk sebuah benda yang tergeletak di meja.
Kala Putih mendengus keras melihat benda bercahaya kehijauan masih tergeletak di atas meja, tanpa sedikit pun berubah ketika diletakkannya di sana lebih dari dua purnama yang lalu. Sekantung uang emas sebagai pembayarannya juga masih berada di tempatnya. Tidak berubah sama sekali, seperti tidak pernah disentuh barang sedikit pun.
"Kurang ajar...! Kau mempermainkan aku, Bangka Putung...!" geram Kala Putih memerah wajahnya.
"Sebaiknya, kau pergi saja dari sini, Kala Putih. Bawa semua barang-barang itu. Aku tidak membutuhkannya sama sekali!" dengus Ki Bangka Putung dingin.
"Manusia sombong...! Kau akan menerima ganjarannya nanti. Baiklah. Kau kuberi waktu satu purnama lagi, dan benda itu harus sudah selesai pada waktunya!" rungut Kala Putih.
Selesai berkata demikian, Kala Putih diikuti empat orang yang mendampinginya langsung melompat naik ke atas punggung kuda masing-masing.
"Sampai kapanpun, tidak akan kukerjakan. Aku bukan Empu...!" seru Ki Bangka Putung.
Kala Putih tidak mempedulikannya, dan segera menggebah kudanya meninggalkan pandai besi itu. Sementara Ki Bangka Putung menggerutu kesal sambil memukul-mukul palu besinya yang besar ke atas meja. Matanya menatap nanar pada benda kotak yang memancarkan sinar kehijauan, dan sepundi uang emas. Lalu matanya beralih pada pintu rumah yang berada di samping bengkel kerjanya. Di depan pintu sudah berdiri seorang berparas cantik, mengenakan baju warna biru agak ketat. Di sampingnya seorang anak laki-laki berumur sepuluh tahunan.
***
"Mereka datang lagi, Ayah...?" tanya gadis itu lembut.
"lya," sahut Ki Bangka Putung. "Kala Putih tetap memaksaku membuatkan senjata pusaka pesanannya."
"Kenapa tidak dibuatkan saja, Ayah? Bukankah dulu Ayah juga seorang Empu Pembuat Pusaka...?" masih tetap lembut suara gadis itu.
'Tidak Sekar. Aku tidak ingin lagi berkecimpung dalam dunia yang kasar dan kotor. Aku ingin kau dan Wirya hidup damai, tanpa harus bergelimpang lumpur dan darah," tegas Ki Bangka Putung
Gadis cantik berusia delapan betas tahun itu mendekati ayahnya. Sementara bocah laki-laki yang berada di sampingnya ikut melangkah juga. Sekar tahu, mengapa ayahnya meninggalkan pekerjaannya sebagai pembuat senjata pusaka. Dan dia tidak bisa memaksa ayahnya untuk menururi permintaan Kala Putih. Ayahnya berwatak keras, dan teguh pada pendiriannya.
"Biar aku yang membuatnya, Ayah," pinta Sekar, seraya menatap benda kotak bercahaya kehijauan di atas meja.
"Tidak...! Itu pekerjaan laki-laki," sentak Ki Bangka Putung. "Kau belum tahu betul, bagaimana membuat sebuah senjata pusaka. Benda itu sangat berbahaya, dan tidak sembarang orang bisa mengolahnya. Aku merasakan adanya hawa jahat yang tersebar dari benda itu," sambung Ki Bangka Putung tegas.
"Tapi.... Kala Putih, Ayah...." "Itu urusanku, Sekar!" potong Ki Bangka Putung cepat
"Dia sangat kejam, Ayah. Aku khawatir dia akan membuat kesulitan...," agak terbata suara Sekar.
Ki Bangka Putung hanya tersenyum. Tangannya terentang, memeluk pundak anak gadisnya ini. Ada terselip rasa haru mendengar kata-kata bernada penuh kecemasan dari anak gadisnya. Wirya yang baru berumur sepuluh tahun, seolah-olah bisa merasakan sesuatu yang tengah terjadi pada ayah dan kakaknya ini. Maka, dipeluknya kaki Ki Bangka Putung erat-erat.
"Kau sudah masak, Sekar...?" tanya Ki Bangka Putung setelah melepaskan rangkulannya.
Sekar menggeleng.
"Masaklah. Aku ingin dibuatkan ikan bakar."
"Kalau begitu, aku harus menangkap ikan dulu, Ayah. Mungkin siang nanti baru masak." 'Tidak mengapa, walau agak siang sedikit," sahut Ki Bangka Putung.
"Ayo, Wirya. Kita tangkap ikan dulu," ajak Sekar pada adiknya.
"Ayo, Kak. Kita tangkap yang banyak, ya...?" sambut Wirya gembira.
Memang sudah lama juga Wirya tidak lagi bermain-main di danau. Kini mereka segera berlarian ke samping gubuk bengkel ini. Kemudian, kakak beradik itu sudah terlihat berlari-lari menuju danau yang berada tidak jauh di depan rumah mereka.
Ki Bangka Putung tersenyum melihat keceriaan kedua anaknya. Tapi mendadak saja senyuman di bibimya menghilang saat matanya menangkap benda kotak bercahaya kehijauan di atas meja. Sejak benda ini ada di atas meja kerjanya, Ki Bangka Putung sudah merasakan bakal terjadi sesuatu yang buruk pada keluarganya.
Ki Bangka Putung lalu menghampiri benda kotak bercahaya kehijauan itu, kemudian sesaat diamatinya. Dia memang ahli dalam benda-benda berkekuatan dahsyat. Dan sebentar saja, sudah terasakan adanya kekuatan yang terpancar dari benda kehijauan itu. Ki Bangka Putung cepat-cepat menarik kepalanya ke belakang, lalu melangkah mundur tiga tindak menjauhi meja kerjanya.
"Luar biasa..,. Pasti amat berbahaya jika dijadikan pedang," gumam Ki Bangka Putung.
Dengan sebuah penjepit baja, benda kehijauan itu diangkatnya. Matanya melebar begitu menatap lurus ke tengah-tengah bagian dalam benda kehijauan. Perlahan-lahan diletakkannya kembali benda itu ke atas meja. Ki Bangka Putung menarik napas panjang begitu penjepit bajanya dilepaskan.
"Dunia persilatan bisa gempar jika benda ini kujadikan senjata. Hhh...! Terlalu berbahaya," desah Ki Bangka Putung agak menggumam.
Ki Bangka Putung lalu meninggalkan benda itu, dan kembali sibuk menekuni pekerjaannya. Namun matanya sebentar-sebentar melirik ke arah benda kehijauan itu. Dan setiap kali matanya melirik, terasa ada sesuatu yang ganjil menyelinap dalam hatinya. Ki Bangka Putung jadi tidak bisa memusatkan perhatian pada pekerjaannya. Seketika dilemparkannya palu besi berukuran besar itu sambil mendengus kesal.
"Huuuh...!"
***
Sepanjang malam, Ki Bangka Putung tidak bisa memejamkan matanya. Pikirannya terus tertuju pada benda kotak berwarna kehijauan. Sebuah benda memancarkan kekuatan dahsyat dan mengandung hawa jahat Ki Bangka Putung bangkit dari pembaringannya, lalu berjalan mondar-mandir di dalam biliknya yang sempit. Sebentar-sebentar matanya memandang ke arah gubuk bengkel kerjanya yang terletak di bagian samping rumah ini.
"Kenapa Ayah tidak mau membuat senjata itu? Bukankah Ayah mampu membuatnya...? Lagi pula, belum tentu Kala Putih mampu menggunakannya," teringat kembali kata-kata Sekar yang diucapkan setelah mereka selesai makan malam tadi.
"Satu purnama...! lngat, satu purnama lagi senjata itu harus selesai," kata-kata Kala Putih juga kembali terngiang di telinganya.
"Satu purnama...," gumam Ki Bangka Putung perlahan.
Laki-laki setengah baya bertubuh tegap berotot itu jadi bimbang. Dunianya yang dulu sebagai pembuat pusaka benar-benar ingin ditinggalkannya. Tapi permintaan Kala Putih tidak bisa dibuat main-main. Dia tahu, siapa Kala Putih itu. Seorang tokoh tua yang sangat sakti dan digdaya. Tokoh kosen yang sulit dicari tandingannya. Dengan golok bermata dua saja, Kala Putih sudah begitu tangguh tanpa tandingan. Apalagi jika berhasil memiliki sebuah senjata pusaka yang amat dahsyat..? Sulit dibayangkan, bagaimana jadinya dunia persilatan ini kelak.
"Demi keselamatan kita semua, Ayah. Apa salahnya, untuk kali ini saja Ayah membuat senjata pesanan itu," kata-kata Sekar kembali terngiang di telinga Ki Bangka Putung.
"Ya...! Demi keselamatan semua," desah Ki Bangka Putung perlahan.
Ki Bangka Putung mengayunkan kakinya, melangkah keluar dari bilik kamar tidurnya. Ayunan langkahnya terhenti ketika berada di depan kamar yang ditempati Sekar. Sesaat, ditatapnya pintu yang tertutup rapat itu. Kemudian ditariknya napas panjang, lalu kembali mengayunkan langkahnya.
Di depan kamar Wirya, langkahnya kembali terhenti. Tampak bocah laki-laki itu tertidur lelap di pembaringan. Ki Bangka Putung lalu melangkah lagi keluar rumah, terus menuju gubuk bengkel kerjanya. Sebentar dihelanya napas panjang-panjang sebelum masuk ke dalam gubuk bengkel itu.
Di dalam kegelapan malam seperti ini, benda berwarna kehijauan itu semakin jelas saja memancarkan cahaya. Ki Bangka Putung mendekati benda kotak yang besarnya tidak lebih dari sepotong baru bata merah.
Sebentar peralatannya disiapkan untuk membuat senjata. Lalu perlahan-lahan diambilnya benda kehijauan itu dengan penjepit baja, kemudian diletakkan di atas lempengan baja putih. Setelah menutup bagian atas dengan lempengan baja putih lainnya, Ki Bangka Putung kembali menjepit benda itu dengan penjepit baja. Dan memasukkan benda bercahaya kehijauan itu ke dalam tungku yang sudah memerah membara.
"Ugh...!" Ki Bangka Putung mengeluh pendek ketika tiba-tiba tangannya terasakan jadi kesemutan.
Laki-laki setengah baya itu menarik keluar benda itu dari dalam tungku, dan sebentar diamatinya. Lalu diletakkannya benda itu di atas meja besi. Sedikit tubuhnya beringsut mundur dua langkah. Sementara tangannya seperti melepuh terbakar.
"Hhh...! Baru kali ini aku menemukan bahan benda pusaka yang begini dahsyat," gumam Ki Bangka Putung agak mendesah.
"Ayah...."
Tiba-tiba saja terdengar suara lembut dari arah pintu.
"Sekar... mau apa kau ke sini...?" Ki Bangka Putung terkejut melihat anak gadisnya tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu bengkel ini.
"Ayah kenapa juga di sini malam-malam?" Sekar malah balik bertanya seraya menghampiri.
Ki Bangka Putung tidak menjawab. Matanya kembali beralih menatap benda kehijauan yang sudah berlapis besi baja putih di atas meja penempa. Sekar juga memandang ke arah yang sama.
"Ayah akan membuat pedang...?" tanya Sekar tidak mengalihkan pandangannya.
"Demi kau dan Wirya," pelan suara Ki Bangka Putung menjawab.
"Tapi... tangan Ayah kenapa...?" Sekar memperhatikan tangan ayahnya yang merah bagai terbakar. 'Tidak apa-apa," sahut Ki Bangka Putung.
Bibir Ki Bangka Putung menyungging senyum, tapi dalam hatinya bertanya-tanya juga tentang benda dahsyat itu. Dia tidak mengerti, kenapa begitu hebat dan cepat pengaruhnya benda itu. Tangan kanannya seperti melepuh, dan panas sekali rasanya.
"Biarkan Ayah sendiri di sini, Sekar. Ayah harus sudah membuat senjata ini sebelum bulan purnama datang," pinta Ki Bangka Putung.
"Ayah tidak apa-apa?" Sekar masih mengkhawa tirkan keadaan tangan.ayahnya.
"Tidak. Pergilah tidur. Masih terlalu malam,"sahut Ki Bangka Putung lagi.
Sekar mengecup pipi ayahnya, kemudian berbalik dan melangkah ke luar gubuk bengkel ini. Ki Bangka Putung tidak segera melanjutkan kerjanya, tapi malah duduk bersila dan bersemadi. Dia tidak ingin pekerjaannya gagal. Terlebih lagi, bisa mendatangkan celaka. Benda itu sangat dahsyat pengaruhnya, dan tidak mungkin diolah dengan cara biasa. Ki Bangka Putung kini memusatkan seluruh inderanya, dan berserah diri pada sang Pencipta.
Malam terus merayap semakin larut. Keadaan di sekitar pondok itu tampak sepi. Sementara di dalam rumah, Sekar tidak bisa lagi memejamkan matanya. Pikirannya terus-menerus tercurah pada ayahnya. Dia tahu, ayahnya mendapatkan kesulitan dengan benda bercahaya kehijauan itu. Buktinya tangan ayahnya memerah bagai terbakar. Maka, gadis itu semakin mencemaskannya.
"Dewata Yang Agung... beri keselamatan dan perlindungan pada ayahku," gumam Sekar lirih.
Gads itu mencoba memejamkan matanya di pembaringan, tapi tidak juga mau terpejam. Pikirannya terus tertuju pada ayahnya di bengkel kerja. Sekar bangkit turun dari pembaringan lalu melangkah ke jendela. Dibukanya pintu jendela lebar-lebar. Dari jendela kamarnya ini, bisa terlihat langsung bengkel kerja ayahnya.
Namun, tak terdengar suara apapun dari sana.
"Oh...?! Apa yang terjadi di dalam sana...? Apakah aku harus melihatnya? Tidak...! Ayah pasti marah kalau aku ke sana," Sekar jadi bicara pada diri sendiri.
Hati gadis itu semakin resah dan bimbang, dan terus menatap ke arah gubuk bengkel kerja ayahnya. Hingga larut malam, tidak juga terdengar suara apapun juga. Dan hatinya semakin diliputi kecemasan, namun tidak berani keluar dari kamarnya. Dia tahu persis akan watak ayahnya yang keras. Dan Sekar tidak berani membantah semua yang dikatakan ayahnya, meskipun harus menderita kecemasan yang amat sangat di hatinya.
***
Tiga hari tiga malam Ki Bangka Putung tidak beranjak dari balai-balai bambu, tempatnya bersemadi. Dan selama itu, Sekar selalu menjaganya. Sering kali adiknya menemani dalam menunggui ayahnya dari depan gubuk bengkel ini.
Dulu, Sekar tidak pernah mengerti pekerjaan ayahnya, karena masih ada ibunya. Tapi setelah ibunya meninggal, dia harus memahami pekerjaan ayahnya. Bahkan, ayahnya pernah tidak keluar kamar selama satu bulan lebih. Dan biasanya, Sekar tidak pernah merasa cemas sedikit pun. Tapi entah kenapa, ka-li ini hatinya begitu cemas. Dia sendiri tidak tahu, apa sebenarnya yang dikhawatirkan. Padahal, hal seperti ini sudah sering terjadi, ketika Ki Bangka Putung masih menjadi seorang Empu Pembuat Senjata Pusaka.
Tepat pada hari ke tujuh, di saat alam terselimut kegelapan malam, tiba-tiba saja terlihat secercah cahaya bagai pelangi meluncur deras, meluruk turun ke arah gubuk kecil bengkel kerja Ki Bangka Putung. Sinar terang berwarn-warni dan menyilaukan itu menghantam atap gubuk bengkel ini. Tapi, tak terdengar suara sedikit pun yang ditimbulkannya. Hanya terasa hembusan hawa dingin yang begitu menyejukkan, membuat Ki Bangka Putung membuka matanya.
"Oh...?!"
Ki Bangka Putung agak terperanjat Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan Ki Bangka Putung sudah berdiri seorang laki-laki berjubah putih panjang. Ikat kepalanya putih. Janggut serta rambutnya, juga sudah memutih semua. Sinar wajahnya begitu bening dan bercahaya. Bahkan begitu lembut, memandang lurus pada Ki Bangka Putung yang masih duduk bersila di atas balai-balai bambu ini.
Ki Bangka Putung bergegas turun dari balai-balai bambu ini, begitu melihat laki-laki tua berjubah putih di depannya melayang tidak menginjak tanah. Asap tipis mengepul hampir menyelimuti kakinya yang tak terlihat tertutup jubahnya yang panjang. Ki Bangka Putung bersujud, menyentuhkan keningnya ke tanah di depan orang tua berjubah putih ini. "Bangunlah, Bangka Putung," ujar orang tua berjubah putih itu. Suaranya terdengar lembut, dan berwibawa.
Ki Bangka Putung bangkit perlahan, lalu duduk bersila di tanah dengan kepala terus tertunduk. Seakan-akan dia tidak sanggup memandang laki-laki tua di depannya.
"Aku tahu, apa yang tengah melanda dirimu, Ki Bangka Putung. Tetapkanlah hatimu. Buatlah sebuah pedang dari benda itu. Gunakanlah kayu dari pangkal pohon asam yang sudah berumur seratus tahun untuk tangkainya dan warangkanya," jelas orang tua berjubah putih itu.
Ki Bangka Putung hanya diam saja mendengarkan penuh perhatian.
"Hanya satu pesanku, Bangka Putung. Kau harus mempertahankan pedang itu, apapun yang terjadi pada diri dan keluargamu. Jangan sampai pedang itu jatuh ke tangan orang yang berwatak jahat. Camkan itu baik-baik, Bangka Putung...!"
Baru saja Ki Bangka Putung hendak membuka mulutnya, tiba-tiba saja cahaya terang yang menyelimuti sekitar pondok itu lenyap. Dan laki-laki serba putih itu juga lenyap tanpa bekas sama sekali. Ki Bangka Putung masih duduk bersila beberapa saat, kemudian perlahan bangkit berdiri dan melangkah keluar. Seketika dia terkejut melihat Sekar tertidur di kursi dekat pintu gubuk bengkel ini.
"Sekar..., Sekar...," Ki Bangka Putung membangunkan anak gadisnya.
"Ohhh...," Sekar menggeliat.
Kelopak matanya mengerjap sebentar, lalu terbuka lebar.
"Ayah...."
"Kenapa tidur di sini?" tegur Ki Bangka Putung.
"Maaf, aku ketiduran," ucap Sekar seraya menggosok-gosokkan matanya.
"Pindah ke dalam sana, Sekar."
Sekar bangkit dari kursi kayu itu. Sebentar kepalanya melongok ke dalam pondok. Ternyata, tidak ada yang berubah sama sekali. Sepasang bola matanya yang bulat bening, merayapi wajah dan seluruh tubuh ayahnya. Dia heran melihat ayahnya nampak segar, meskipun selama tujuh hari tujuh malam tidak makan dan minum. Dan Sekar masih juga belum mengerti, meskipun hal ini sering terjadi pada diri Ki Bangka Putung.
"Akan kusiapkan makan dulu, Ayah," kata Sekar.
"Tidak usah. Ayah tidak lapar," elak Ki Bangka Putung.
"Tapi, Yah...."
"Sudahlah.... Sebaiknya, kau tidur saja sana. Ayah akan kerja lagi. Kasihan adikmu kalau kau bangun kesiangan nanti. Besok pagi-pagi sekali, Ayah minta kau sediakan seperti biasanya," pinta Ki Bangka Putung lembut.
Sekar tersenyum manis, lalu melangkah meninggalkan pondok itu. Ki Bangka Putung memandangi disertai senyum di bibir. Tidak sedikit pun Sekar berbeda dengan sifat-sifat ibunya. Ki Bangka Putung seperti melihat diri istrinya pada Sekar. Sebentar dia menghela napas panjang begitu tubuh gadis itu lenyap di batik pintu rumah.
Ki Bangka Putung berbalik, dan kembali masuk ke dalam gubuk bengkelnya. Dipandanginya benda bercahaya kehijauan yang masih tergeletak di atas meja besi. Seketika, kembali dia teringat kata-kata orang tua yang muncul membangunkan semadinya.
"Apa maksudnya orang berwatak jahat tidak boleh memiliki benda ini...?" Ki Bangka Putung jadi bertanya pada diri sendiri "Apa yang dimaksudkan adalah Kala Putih...?"
Mendadak saja Ki Bangka Putung menepuk keningnya sendiri. Kini baru teringat sekarang. Ternyata, dia tidak pernah bertanya, dari mana Kala Putih mendapatkan benda kehijauan ini.
"Dia tahu betul, siapa Kala Putih. Apakah Kala Putih mendapatkannya dengan cara merampas? Atau...."
Ki Bangka Putung menggeleng-gelengkan kepala. Kembali diambilnya benda itu dengan penjepit baja. Ki Bangka Putung ingat, dia ternyata masih mempunyai
persediaan kayu asam yang sudah berumur lebih dari seratus tahun. Kemudian benda itu digosok-gosokkan dengan sepotong kayu asam yang telah diambil dari kolong meja kerjanya. Sebentar kemudian bibirnya bergerak komat-kamit, lalu mulai memasukkan benda bercahaya kehijauan itu ke dalam tungku pembakaran. Api langsung memercik, berkobar besar begitu benda kehijauan itu menyentuh bara.
Tak lama kemudian, terdengar denting palu menghantam benda dari logam. Ki Bangka Putung mulai menyatukan benda kehijauan itu dengan baja putih pilihan. Sepanjang malam dia terus bekerja keras membuat senjata pusaka. Kini pekerjaan semula yang su-dah bertahun-tahun ditinggalkan dimulainya lagi. Rupanya, berkat kayu asam yang telah digosok-gosokkan pada benda kehijauan itu, tangannya tidak melepuh lagi. Kini Ki Bangka Putung dapat bekerja dengan leIuasa.
***
DUA
Ki Bangka Putung memandangi hasil kerjanya berupa sebuah pedang tipis, berukuran sepanjang lengan. Gagangnya terbuat dari kayu asam berumur seratus tahun. Hatinya benar-benar kagum melihat perbawa pedang yang dihasilkannya dengan kerja keras selama satu bulan penuh. Maka satu purnama pun berlalu sudah, tapi Kala Putih belum juga datang mengambil pesanannya.
Pedang yang panjangnya hanya selengan orang dewasa itu memancarkan sinar kehijauan. Mata pedangnya kecil dan tipis, seperti tidak memiliki kekuatan sama sekali. Tapi Ki Bangka Putung dapat merasakan ada sesuatu kekuatan gaib yang semakin lama semakin kuat membelenggu dirinya. Satu kekuatan gaib yang amat dahsyat dan berbahaya. Ki Bangka Putung benar-benar dapat merasakannya.
Merasakan kekuatan gaib itu semakin kuat membelenggu dirinya, Ki Bangka Putung segera memasukkan pedang itu ke dalam warangka yang juga terbuat dari kayu pohon asam berumur seratus tahun. Sementara cincin warangka dibuat dari emas murni.
"Hebat sekali pedang itu, Ayah...."
Ki Bangka Putung berpaling begitu mendengar suara lembut dari belakang. Tubuhnya berbalik dan tersenyum melihat Sekar dan Wirya sudah berada di ambang pintu gubuk bengkel ini. Gadis itu melangkah menghampiri dengan bibir selalu basah memerah menyunggingkan senyuman manis.
"Kau melihatnya...?" tanya Ki Bangka Putung.
"Ya," sahut Sekar. "Sayang sekali kalau senjata sehebat itu harus diserahkan pada Kala Putih.
"Itulah yang mengganggu pikiranku, Sekar," desah Ki Bangka Putung.
"Maksud, Ayah...?" tanya Sekar.
"Di dalam semadi, aku diperintahkan untuk tidak menyerahkan pedang ini pada siapa pun juga. Terlebih lagi, pada orang yang memiliki watak jahat seperti si Kala Putih," jelas Ki Bangka Putung.
"Aku setuju, Yah...!" seru Sekar cepat
"Tidak mungkin, Sekar. Kala Putih pasti tidak akan menyerahkan begitu saja. Dia pasti berusaha menguasai pedang ini dengan cara apapun juga."
"Lawan saja, Yah," selak Wirya polos. "Tidak mudah, Wirya. Kala Putih bukan tandingan Ayah. Dia sangat sakti, dan berkepandaian tinggi. Sedang Ayahmu ini... Hanya seorang pandai besi yang tidak begitu pandai ilmu olah kanuragan."
"Terus, bagaimana kalau Kala Putih datang?" tanya Sekar mengerti kesulitan yang dihadapi ayahnya.
"Kita lari saja, Ayah!" timpal Wirya lagi sementara Sekar manggut-manggut seperti menyetujui.
"Lari ke mana? Di sinilah tumpah darahku. Dan lagi, perbuatan itu tidak menunjukkan sifat ksatria. Melarikan barang orang lain, sama saja mencuri Apa pun alasannya!" tegas Ki Bangka Putung.
Belum juga kedua anak Ki Bangka Putung menga-jukan saran lagi, terdengar derap langkah kaki kuda dari kejauhan. Ki Bangka Putung langsung berpaling, menoleh diikuti Sekar dan Wirya yang langsung berlindung di balik kaki kakaknya. Hanya kepalanya saja yang menyembul mengintip. Tampak di kejauhan, debu jalanan mengepul.
Kemudian, terlihat lima ekor kuda berpacu kencang menuju pondok ini.
"Kala Putih...," desis Ki Bangka Putung langsung mengenali.
Mendadak saja kegelisahan merambat dalam hati laki-laki setengah baya ini. Ditariknya tangan Sekar, dan diajaknya keluar dari pondok. Dan kini tiga orang itu berlarian masuk ke dalam hutan yang ada di bagian belakang pondok. Tapi, rupanya Kala Putih sudah melihat lebih dahulu. Maka, tiba-tiba saja tangan kanannya dihentakkan. Dan seketika itu Juga, secercah sinar merah meluncur deras ke arah Ki Bangka Putung dan kedua anaknya.
Slap!
Glarrr...!
Ki Bangka Putung tersentak kaget begitu tiba-tiba batu yang ada di depannya meledak, dan hancur berkeping-keping tersambar sinar merah yang dilepaskan Kala Putih. Ki Bangka Putung menarik tangan Sekar yang tidak lepas memegangi tangan kiri adiknya. Saat itu, Kala Putih sudah melompat turun dari punggung kudanya, diikuti empat orang lainnya. Dalam sekejap saja, mereka sudah berdiri sekitar dua batang tombak lagi di depan Ki Bangka Putung dan kedua anaknya.
"Mau lari ke mana kau, Ki Bangka Putung...?" desis Kala Putih, dingin dan menggeletar.
"Phuih!" Ki Bangka Putung menyemburkan ludahnya dengan sengit
"Serahkan pedang itu padaku, Ki Bangka Putung!" dengus Kala Putih seraya menjulurkan tangan kanannya.
"Tidak...!" sentak Ki Bangka Putung tegas.
"Kau sudah kubayar mahal, Ki Bangka Putung. Serahkan pedang itu, cepat..!"
"Nih! Kukembalikan uangmu!"
Ki Bangka Putung melemparkan sekantung uang emas ke depan kaki Kala Putih. Seketika laki-laki tua berbaju serba putih itu jadi berang setengah mati. Wajahnya merah padam, dan kedua bola matanya berputar merah menyala. Rahang Kala Putih bergemeletuk menahan amarah. Ki Bangka Putung yang menyadari tidak akan unggul menghadapi Kala Putih, segera menyerahkan pedang itu pada Sekar.
"Selamatkan pedang ini, Sekar. Pertahankan, jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat," pesan Ki Bangka Putung.
"Tapi, Ayah...," Sekar ragu-ragu menerima senjata itu.
"Cepat lari...!" sentak Ki Bangka Putung.
Sekar menerima pedang dari tangan ayahnya. Sebentar ayahnya dipandangi, kemudian ditariknya tangan Wirya untuk diajak lari dari tempat ini Sementara itu Kala Putih sudah membuka jurus, hendak menyerang si Pandai Besi. Sementara orang yang berada di belakangnya, sudah meloloskan senjata masing-masing.
"Cepat pergi, jangan hiraukan aku...!" seru Ki Bangka Putung melihat Sekar kembali berhenti berlari.
Melihat Sekar berlari semakin jauh membawa pedang pesanannya, Kala Putih jadi semakin gusar. Terlebih lagi, gadis itu menuju hutan yang cukup lebat Dan ini bisa menyulitkannya untuk mengejar nanti.
"Kalian hadapi manusia keparat ini," perintah Kala Putih.
"Baik, Ki," sahut keempat orang itu hampir bersamaan.
"Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, Kala Putih melompat cepat mengejar Sekar dan Wirya yang sudah hampir mencapai hutan. Tubuhnya melewati di atas kepala Ki Bangka Putung. Menyadari tujuan Kala Putih bukan pada dirinya, Ki Bangka Putung jadi nekat.
"Hiyaaat..!"
Cepat sekali Ki Bangka Putung melompat ke udara, mencoba menghalangi Kala Putih sambil melepas-kan dua pukulan sekaligus secara beruntun. Tapi tanpa diduga sama sekali, Kala Putih berhasil mengelakkan dengan meliukkan tubuhnya. Dan kembali melenting cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh begitu kakinya menjejak tanah. "Hiyaaat...!"
Ki Bangka Putung hendak mengejar. Tapi belum juga sempat menggenjot tubuhnya, empat orang yang mendampingi Kala Putih sudah berlompatan mengepung. Mereka langsung menyerang laki-laki setengah baya itu dengan jurus-jurus cepat. Ki Bangka Putung terpaksa berjumpalitan, menghindari serangan-serangan yang begitu cepat dan datang dari empat penjuru.
***
Ki Bangka Putung memang bukan seorang tokoh silat yang digdaya. Dia dulu hanya seorang Empu Pembuat Senjata Pusaka. Dan hanya sedikit memiliki ilmu olah kanuragan. Sehingga dalam beberapa jurus saja, laki-laki itu sudah tidak mampu lagi menerima gempuran empat orang yang memang hidup bergelimang dari cara kekerasan seperti ini. Satu pukulan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, menggedor dada. Akibatnya, Ki Bangka Putung terjungkal keras mencium tanah. Dan belum lagi sempat bangkit berdiri, satu tendangan keras kembali bersarang di tubuhnya. Ki Bangka Putung meraung keras. Lagi, satu tendangan membuat laki-laki setengah baya itu terguling sejauh dua batang tombak.
Ki Bangka Putung mencoba bangkit berdiri Tapi belum juga berdiri sempuma, seuntai rantai besi menghentak dan melilit tubuhnya. Kemudian, disusul sabetan sebilah golok besar yang menghantam punggungnya. Ki Bangka Putung memekik keras begitu punggungnya sobek terbabat golok. Belum lagi bisa berbuat sesuatu, kembali tendangan menggeledek mendarat di dadanya.
"Aaakh...!"
"Ayah...!" jerit Sekar begitu mendengar teriakan ayahnya.
Sekar menghentikan larinya. Hatinya begitu cemas melihat ayahnya tampak tak berdaya menghadapi empat orang bersenjata itu.
"Lari, Sekar! Cepaaat...!" teriak Ki Bangka Putung sekeras-kerasnya.
Pada saat itu, sebuah golok berukuran besar kembali melayang membabat ke arah dada Ki Bangka Pu-tung yang sudah tidak memiliki daya sama sekali. Dan tentu saja tebasan golok itu tak dapat dihindari lagi.
Bet!
Crab!
"Aaa...!" Ki Bangka Putung menjerit keras melengking tinggi.
Darah langsung mengucur deras dari dada yang terbelah cukup besar itu. Dan selagi tubuh Ki Bangka Putung terhuyung-huyung, satu sabetan pedang kembali membabat lehernya. Kali ini tak ada suara sedikit pun yang terdengar. Ki Bangka Putung berdiri kaku dengan mata terbeliak lebar. Sesaat kemudian tubuh-nya menggelepar jatuh. Dan kepala laki-laki setengah baya itu langsung menggelinding terpisah dari leher.
"Ayah...!" jerit Sekar jadi kalap. Tapi belum juga gadis itu berbuat sesuatu, tiba-tiba saja sebuah bayangan putih berkelebat cepat menyambar tubuhnya. Sekar terpekik keras agak tertahan, dan kontan terpental jauh ke belakang. Seketika punggungnya menghantam pohon keras sekali. Maka, pegangannya pada tangan Wirya pun jadi teriepas.
"Kak...!" jerit Wirya.
Sekar cepat cepat menggelimpangkan tubuhnya, begitu melihat bayangan putih kembali meluruk deras ke arahnya. Gadis itu cepat melompat bangkit berdiri. Pada saat yang bersamaan, empat orang yang tadi bertarung melawan Ki Bangka Putung sudah sampai di tempat ini. Salah seorang yang membawa golok besar segera mencengkeram tengkuk Wirya, dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Kak...!" jerit Wirya diiringi tangisnya yang menggiris.
Sekar tidak sempat lagi memperhatikan rengekan adiknya, karena sudah sibuk menghadapi serangan-serangan gencar yang dilancarkan Kala Putih. Untung saja dia memiliki sedikit ilmu olah kanuragan. Sehingga dalam beberapa jurus, orang tua berbaju putih itu masih mampu diimbangi.
"Setan alas...!" geram Kala Putih berang.
Beberapa kali Kala Putih melontarkan pukulan cepat, dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi, Sekar masih mampu menghindarinya. Meskipun harus pontang-panting dan jatuh bangun menghadapi serangan-serangan itu.
Entah kenapa, gerakan-gerakan yang dilakukan Sekar jadi begitu cepat dan lincah sekali. Hal ini membuat Kala Purih semakin berang setengah mati. Tak satu pun dari serangan-serangannya yang mengenai sasaran. Sementara, Sekar sendiri tidak mengerti, kenapa bisa menandingi Kala Putih sampai lima jurus.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Sekar melentingkan tubuhnya ke udara. Dan tubuhnya langsung melesat pergi cepat sekali, seperti tidak ingat lagi pada Wirya yang berada di dalam cengkeraman salah seorang anak buah Kala Putih. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap saja gadis itu sudah lenyap tertelan lebatnya hutan.
"Setan! Kejar gadis itu...!" perintah Kala Putih geram.
***
Kala Putih jadi celingukan di dalam hutan. Gadis yang dikejarnya benar-benar lenyap di dalam hutan yang cukup lebat ini. Tiga orang yang mengejarnya lebih dulu, juga jadi kebingungan. Sekar bagai lenyap tertelan bumi di dalam kelebatan hutan ini. Kala Putih menggereng berang, menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal. Matanya kini menatap tajam pada Wirya yang berada di dalam cengkeraman salah seorang yang menyandang golok besar di punggung.
"Setan belang...!" rungut Kala Putih kesal. "Cari gadis itu sampai dapat!"
Kala Putih segera mengerahkan ilmu pembeda gerak dan suara. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, mencoba mencari tempat persembunyian Sekar. Tapi Kala Putih jadi kecewa, karena tidak mendengar suara apa pun yang mencurigakan. Sekar benar-benar lenyap tak berbekas sama sekali.
"Ke mana gadis itu...?" Kala Putih jadi bergumam, bertanya pada diri sendiri.
Seorang yang memegang rantai besi yang ujungnya berbandul bola besi berduri, .tergopoh-gopoh datang menghampiri. Kemudian, disusul dua orang berwajah angker yang masing-masing menggenggam sepasang senjata tombak pendek bermata tiga dan sebuah pedang hitam berukuran panjang. Mereka kini telah berdiri di depan Kala Putih.
"Kenapa tidak langsung kalian kejar tadi...?" dengus Kala Putih kesal.
"Maaf, Ki. Gadis itu tiba-tiba lenyap di sini," jelas seorang yang memegang rantai baja berbandul bola besi berduri.
"Kau, Caraka! Cari gadis itu sampai dapat!" perintah Kala Putih sambil menunjuk orang yang memegang golok.
"Tapi anak ini, Ki...," kata Caraka yang masih memanggul Wirya di pundaknya.
Kala Putih memandangi Wirya yang sudah terkulai lemas, akibat tertotok pada pusat jalan darahnya. Dihampirinya anak kecil berusia sepuluh tahun itu. Ta-ngannya menjambak rambut yang hitam bergelombang, dan mengangkatnya. Hingga, kepala Wirya terdongak ke atas. Kelopak mata anak itu terpejam rapat, seperti tidur.
"Ki.... Bukankah anak ini bisa digunakan...?" kata Caraka agak ragu-ragu.
"Hm...," Kala Putih hanya menggumam perlahan.
Pandangannya beredar ke sekeliling dengan mengerahkan ilmu pembeda gerak dan suara. Kala Putih jadi penasaran, karena gadis yang membawa pusaka pesanannya itu lenyap begitu saja. Dia tadi juga hampir tidak percaya kalau gadis yang kelihatannya begitu lemah ternyata mampu menandinginya sampai lima jurus, sebelum kabur dan menghilang di dalam hutan ini.
"Kalian terus cari gadis itu!" perintah Kala Putih.
Setelah memberi perintah, Kala Putih menyambar Wirya yang berada di pundak Caraka. Kemudian kakinya terus melangkah cepat meninggalkan hutan ini Sementara empat orang itu hanya sating pandang saja. Tak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun, sampai Kala Putih tak terlihat lagi ditelan lebatnya pepohonan di dalam hutan ini.
"Ayo, cari lagi," ajak Caraka.
***
"Keparat...! Kurang ajar kau, Bangka Putung!" Kala Putih menggerutu habis-habisan.
Sudah dua hari ini Kala Putih dan empat orang anak buahnya menjelajahi hutan ini. Tapi putri Ki Bangka Putung yang kabur membawa pedang pesanannya tidak juga ditemukan. Hatinya tidak bisa tenang sebelum pedang itu berada di tangannya. Entah, apa yang akan dilakukan jika Sekar sampai diketemukan. Tak ada yang bisa membayangkan, melihat kemarahan laki-laki tua berbaju putih ini.
"Sudah sore. Sebaiknya kita lanjutkan saja besok, Ki," ujar Caraka mengingatkan.
Saat ini, hari memang sudah menjelang senja. Matahari sudah sejak tadi bergulir ke sebelah Barat. Bahkan sebagian hutan ini sudah mulai gelap, tidak lagi mendapat cahaya matahari.
"Tidak! Biar kiamat sekalipun, gadis itu harus tetap dicari!" bentak Kala Putih berang.
"Tapi, Ki..," Caraka mau menyanggah. Tubuhnya sudah lelah mencari Sekar yang tidak juga kunjung ditemukan.
"Kalau anak setan itu tidak juga ditemukan, lehermu yang jadi penggantinya!" ancam Kala Putih tidak main-main. Caraka menelan ludahnya yang mendadak terasa pahit Dia tidak berani lagi membantah. Sedangkan tiga orang lainnya hanya bisa menundukkan kepala. Mereka tahu benar, kalau sudah marah begini. Kala Putih tidak bisa lagi diajak damai. Apa yang diperintahkan, harus segera dilaksanakan.
"Kalian tahu, pedang itu sangat berarti bagiku. Dengan pedang itu, seluruh rimba persilatan bisa kukuasai. Dan kalian juga akan menikmati hasilnya. Mengerti...?!" agak keras suara Kala Putih.
Serentak mereka menganggukkan kepala.
"Susah payah aku mendapatkan Batu Kawa Hijau. Kini setelah jadi pedang, hilang begitu saja. Huh! Sampai kapanpun, aku harus mencari dan mendapatkannya. Pedang itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain, selain aku...!" agak bergetar suara Kala Putih terdengarnya.
Empat orang itu hanya diam saja.
"Kalian tahu, bagaimana aku mendapatkannya, bukan...?"
Mereka kembali menganggukkan kepala bersamaan. Mereka memang tahu persis, bagaimana Kala Putih bertarung menyabung nyawa melawan pertapa tua pemilik Batu Kawa Hijau di Gunung Anjar. Dengan kelicikan, akhirnya Kala Putih dapat membunuh pertapa itu dan memperoleh Batu Kawa Hijau yang mengandung daya kekuatan gaib luar biasa.
Kini setelah batu itu dilebur jadi sebuah pedang, dilarikan seorang gadis anak pembuat pedang. Dan yang pasti Kala Putih tidak bisa menerimanya begitu saja. Dengan cara apa pun, pedang yang kelak akan menggegerkan dunia persilatan harus didapatkannya kembali.
"Caraka, ambil kuda. Kita lacak setiap jengkal daerah ini!" perintah Kala Putih.
"Segera, Ki," sahut Caraka.
Bergegas Caraka melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara Kala Putih memerintahkan yang lain untuk kembali memeriksa tempat di sekitarnya.
***
TIGA
Benarkah Sekar menghilang begitu saja dari hutan ini...?
Sekar yang mengetahui betul seluk beluk daerah hutan ini, bisa saja menghilang begitu saja tanpa diketahui. Dan sebenarnya, gadis itu masuk ke dalam sebuah gua yang mulutnya tersembunyi di balik semak belukar, tidak jauh dari tempat Kala Putih dan empat orang anak buahnya mencari Sekar merambat di lorong batu yang sempit, dan terus merayap tanpa mengenal lelah. Hingga dia tiba di suatu rongga yang cukup lebar dan besar, yang merupakan gua panjang berlorong penuh kelokan. Sampai di situ, Sekar baru bisa beristirahat melepas lelah.
"Hhh.... Ke mana lagi aku harus pergi...?" desah Sekar perlahan.
Sekar memeluk pedang buatan terakhir ayahnya. Sebentar kemudian dipandanginya pedang itu. Kembali terbayang peristiwa yang begitu mengerikan. Dia tidak tahu lagi, bagaimana nasib adiknya sekarang. Sedangkan ayahnya sudah tewas di tangan empat orang anak buah Kala Putih.
Sekar jadi teringat ketika siang itu, sehari setelah ayahnya selesai bersemadi, mereka berjalan-jalan di sepanjang tepian danau. Seperti sudah mendapat firasat, Wirya berbicara yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Dan Sekar tidak menanggapinya sungguh-sungguh. Omongan adiknya hanya dianggap sebagai angin lalu saja. Ternyata, semua yang dikatakan Wirya, sekarang menjadi kenyataan.
"Kak... apa Kala Putih nanti akan merebut pedang yang dibuat ayah...?" tanya Wirya waktu itu.
"Bisa jadi," sahut Sekar.
"Kalau begitu, nanti kita ke mana, Kak?" tanya Wirya lagi.
"Ya, di sini.... Memangnya, mau ke mana?"
"Wirya merasa seperti akan terjadi sesuatu, Kak," jelas Wirya pelan.
"Jangan bicara macam-macam, ah!" sentak Sekar menganggap adiknya hanya bercanda.
"Semalam Wirya mimpi, Kak. Rumah kita terbakar, dan kita semua berada di dalam lorong yang panjang dan bercabang. Masing-masing mencari jalan keluar. Tapi, ayah terperosok jauh ke dalam lubang. Kak Sekar sendiri tidak menolong, dan aku seperti terkurung. Hanya bisa melihat saja," jelas Wirya lagi, menceritakan mimpinya semalam.
"Mimpi itu hanya bunga tidur, Wirya. Tidak pernah menjadi kenyataan," hibur Sekar.
Tapi, Kak..." "Sudahlah.... Kau lelah?" Sekar tidak mau mendengar lagi.
"Tidak. Hanya lapar," sahut Wirya.
"Nanti. Kalau jebakan kita penuh ikan, kau akan kumasakkan yang lezat. Mau...?"
Wirya tersenyum lebar dan mengangguk Bocah itu memang paling suka makan ikan yang dimasak kakaknya. Karena, selalu saja terasa nikmat dan mengundang selera. Bukan hanya Wirya, tapi juga ayah mereka begitu menyukai masakan Sekar, sepertinya, apa saja yang diolah gadis ini selalu sedap dinikmati.
Sekar menghembuskan napas panjang. Hatinya menyesal, tidak memperhatikan sungguh-sungguh kata-kata Wirya. Kalau saja mimpi adiknya diceritakan pada ayahnya, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Dan sekarang sudah terlambat Mereka sudah terpisah satu sama lain. Penyesalan memang tidak datang lebih dahulu. Dan Sekar menyadari, tidak mungkin menyesali semua yang telah terjadi.
"Aku harus keluar dari gua ini. Sewakt-waktu mereka bisa saja menemukan aku di sini. Hhh.... Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu pada Wirya," desah Sekar agak menggumam.
Gadis itu bangkit berdiri dan kembali melangkah menyusuri lorong gua yang panjang dan berliku ini. Dia memang sudah tahu gua ini, tapi tidak pernah masuk sampai sejauh itu. Sekar terus berjalan mengikuti ahir lorong gua yang cukup gelap, sehingga sulit melihat jauh.
"Ada sinar...," desis Sekar.
Jauh di depannya, Sekar melihat seberkas sinar yang kelap-kelip seperti dari sebuah pelita. Gadis itu mempercepat ayunan kakinya. Tidak dipedulikan lagi tubuhnya yang beberapa kali hampir terguling, terantuk batu yang banyak bertebaran di sepanjang lorong gua ini. Dan tampaknya, cahaya itu berada di ujung mulut gua di depannya.
Mendadak Sekar menghentikan ayunan kakinya, begitu tahu kalau cahaya itu berasal dari nyala api. Dan dekat api itu, duduk seorang laki-laki muda berumur sekitar dua puluh lima tahun. Bajunya kulit harimau. Dia duduk membelakangi Sekar yang muncul dari dalam mulut gua yang cukup besar ini.
Trekkk!
"Oh...?!"
Sekar terkejut, dan menutup mulutnya ketika menginjak sebatang ranting kering. Suara ranting patah, membuat pemuda berbaju kulit harimau itu berpaling. Tampaknya, dia juga terkejut melihat ada seorang gadis berdiri di depan mulut gua di belakangnya. Perlahan tubuhnya diputar. Sedangkan Sekar masih tetap berdiri saja sambil menggenggam gagang pedangnya erat-erat.
Srettt!
"Eh! Sabar.... Masukkan senjatamu," bujuk pemuda itu begitu melihat Sekar mencabut pedangnya.
"Kau pasti orang suruhan Kala Putih. Kalau kau akan merebut pedang ini, langkahi dulu nyawaku!" sentak Sekar garang.
"Aku...? Ha ha ha...!" Entah kenapa, pemuda berbaju kulit harimau itu tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan Sekar hanya memandangi saja dengan sinar mata tajam. Diperhatikannya wajah tampan di depannya. Gadis itu juga jadi ragu-ragu, karena sinar mata pemuda itu menampakkan kejujuran, dan tidak seperti orang-orangnya Kala Putih.
Perlahan Sekar memasukkan kembali pedang yang memancarkan cahaya kehijauan itu ke dalam warangka. Sekejap saja, sinar kehijauan itu menghilang dari pandangan.
"Siapa kau?" tanya Sekar tetap dingin dan tajam suaranya.
Sikap gadis itu masih belum bisa mempercayai pemuda ini. Sedangkan pemuda tampan berbaju kulit harimau itu tersenyum saja, dan kembali duduk di tempatnya semula.
"Aku Bayu. Dan kau sendiri siapa...?" pemuda itu memperkenalkan diri, sambil balik bertanya.
"Sekar."
"Kenapa malam-malam begini ada di tengah hutan?" tanya pemuda yang ternyata memang Bayu, yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka.
"Seharusnya, aku yang bertanya begitu padamu!" dengus Sekar agak ketus.
"Oh...?!" Bayu mengangkat alisnya.
Pendekar Pulau Neraka mengambil sekerat daging bakar yang berada di atas api, kemudian menyodorkan pada gadis ini. Sejenak Sekar hanya memandanginya saja. Perutnya memang terasa lapar, tapi tidak mau sembarangan menerima uluran tangan orang yang tidak dikenalnya sama sekali.
"Kau tentu lapar. Ayo, kita makan sama-sama," Bayu menawarkan dengan sopan.
Sekar masih saja diam memandangi Bayu mengangkat bahunya sedikit, lalu menggigit keratan daging itu. Dia mengunyah perlahan-lahan, membuat Sekar terpaksa harus menelan ludahnya.
"Kalau mau, ambil saja sendiri. Aku rasa, cukup untuk dimakan berdua," kata Bayu lagi.
Perlahan Sekar melangkah menghampiri. Gadis itu berjalan memutar, dan berdiri di seberang Pendekar Pulau Neraka. Kemudian, dia duduk di dekat api yang membuat dirinya terasa sedikit hangat Perlahan dan ragu-ragu sedikit tangannya dijulurkan, mengambil sekerat daging bakar. Lalu, digigitnya sedikit. Cukup lezat juga. Apalagi, dalam keadaan perut kosong begini. Sejak siang tadi, perutnya memang belum terisi apa-apa. Mereka kini makan tanpa bicara apa pun juga.
***
"Kau tidak tidur...?" tegur Bayu seraya melirik gadis itu.
Sekar hanya menggelengkan kepala saja, dan tetap duduk bersandar pada sebatang pohon yang cukup besar melindungi dirinya dari dinginnya terpaan angin malam. Bayu kemudian duduk, dan menggeser mendekati gadis itu. Sekar langsung menggenggam tangkai pedangnya. Namun, Bayu hanya tersenyum saja melihat sikap Sekar yang masih juga ketakutan.
"Sepertinya, kau sedang mengalami kesulitan," tebak Bayu diiringi senyum di bibirya.
Sekar hanya diam saja. Kepalanya diangkat sedikit langsung menatap tajam wajah pemuda berbaju kulit harimau ini. Meskipun sikap Bayu baik dan lembut, tapi gadis itu masih belum bisa percaya penuh. Terngiang kembali kata-kata terakhir ayahnya. Pedang itu harus dijaga dan dipertahankan, jangan sampai jatuh ke tangan orang berwatak jahat Dan Sekar sudah bertekad mempertahankannya sampai tetes darah yang terakhir.
"Dari sorot matamu, aku tahu kau menyimpan persoalan yang berat. Dan kau memerlukan seseorang yang bisa diajak bicara. Mungkin bisa kubantu...?" kata Bayu lagi, lebih lembut suaranya.
"Hhh...!" Sekar hanya menghembuskan napas panjang saja.
"Baiklah. Mungkin kau masih belum percaya padaku. Asal tahu saja aku tidak mengerti ketika kau tiba-tiba mencabut pedang ingin menyerangku. Bahkan menganggap aku ini orangnya Kala Putih. Aku tidak tahu, siapa orang yang kau sebutkan itu. Juga, tentang pedang yang kau bawa," jelas Bayu, berterus terang.
"Kau benar-benar bukan orang suruhan Kala Putih...?" tanya Sekar, seakan-akan ingin meyakinkan diri.
Bayu menggeleng dan tersenyum.
"Bagaimana aku bisa percaya padamu?" tanya Sekar lagi seperti untuk diri sendiri.
"Apakah aku seperti orang jahat..?"
Sekar hanya diam saja. Memang diakui, pemuda ini sedikit pun tidak memiliki tanda-tanda sebagai orang jahat. Wajahnya terlalu tampan untuk menjadi penjahat. Dengan tubuh tegap, wajah tampan, dan kulit putih, pemuda ini lebih pantes bila disebut putra bangsawan. Bahkan kalau bisa anak saudagar kaya. Tapi pakaian yang dikenakannya menunjukkan kalau Bayu seorang pengembara. Atau bisa dikatakan juga, orang dari kalangan persilatan.
"Kalau tidak salah, kau tadi menyebut tentang pusaka. Apa kau kenal seorang Empu Pembuat Pusaka yang bernama Ki Bangka Putung...?" tanya Bayu.
Sekar terperanjat bukan main begitu mendengar nama ayahnya disebut. Tatapan matanya semakin tajam, merayapi wajah Pendekar Pulau Neraka. Jari-jari tangannya semakin erat menggenggam tangkai pedang yang tergenggam di tangan kirinya.
"Kau terkejut...? Apa kau kenal Ki Bangka Putung...?" tanya Bayu.
"Dari mana kau tahu nama itu?" Sekar malah balik bertanya. Suaranya terdengar dingin dan begitu tajam.
"Aku pernah lewat di Gunung Anjar. Di sana, aku menemukan seorang tua terluka parah. Dia hanya menyebutkan satu nama padaku sebelum meninggal, dan hanya sedikit pesan saja," jelas Bayu. "Hanya nama Ki Bangka Putung yang disebutkannya."
"Pertapa Gunung Anjar...," desis Sekar tanpa sadar.
"Kau juga kenal orang tua itu...?"
"Ohhh...," Sekar mendesah panjang
"Kapan dia meninggal?"
"Lama juga. Kira-kira, tiga purnama. Atau mungkin lebih," sahut Bayu.
"Apa yang dikatakannya padamu?" kejar Sekar, malah balik menanyai pemuda.ini.
"Tidak banyak. Aku diminta olehnya agar menemui seseorang yang bernama Ki Bangka Putung, dan supaya aku menyampaikan suatu pesannya," sahut Bayu .
"Apa pesannya?" Sekar terus mengejar, semakim ingin tahu.
"Sayang sekali. Aku tidak bisa mengatakannya padamu. Pesan itu harus kusampaikan pada Ki Bangka Putung sendiri," elak Bayu.
Sekar jadi terdiam termenung. Sudah bisa diduga, benda bercahaya kehijauan yang kini telah menjadi pedang adalah Batu Kawa Hijau milik Pertapa Gunung Anjar. Dia kenal pertapa tua itu. Karena, sudah beberapa kali pergi ke sana bersama ayahnya. Bahkan setiap kali pertapa tua itu turun gunung, selalu datang ke pondok mereka. Dan biasanya, selalu menginap sampai dua atau tiga hari.
Tapi kenapa ayahnya tidak tahu kalau benda itu adalah Batu Kawa Hijau milik Pertapa Gunung Anjar? Pertanyaan inilah yang sekarang berada di kepala Sekar. Dan gadis itu juga belum yakin dengan dugaannya, kalau Batu Kawa Hijau yang menjadi pangkal dari malapetaka adalah penyebabnya. Kalau sampai ayahnya sendiri tidak tahu tentang batu itu, bagaimana mungkin bisa berada di tangan Kala Putih?
"Sudah larut malam. Sebaiknya, kau tidur saja. Aku juga harus meneruskan perjalanan besok, mencari tempat tinggal Ki Bangka Putung," jelas Bayu.
"Kau tahu tempat tinggalnya?" tanya Sekar bernada memancing.
"Belum. Tapi aku yakin bisa menemukannya. Yaaah.... Meskipun sudah tiga purnama lebih aku mencari, tapi aku yakin bisa bertemu dengannya. Seorang Empu pasti banyak dikenal orang," tegas Bayu, yakin.
"Kau tidak akan bisa bertemu dengannya," kata Sekar agak lirih suaranya.
"Heh...?! Apa maksudmu...?" Bayu jadi tersentak kaget, tidak mengerti.
"Beliau sudah tewas," jelas Sekar dengan suara pelan, hampir tidak terdengar.
"Kau jangan main-main, Sekar," Bayu tidak percaya.
"Empu Bangka Putung adalah ayahku."
"Apa...?! Kau...?" suara Bayu jadi tercekat di tenggorokan.
Tanpa diminta lagi. Sekar menceritakan semua musibah yang menimpa keluarganya, sampai ayahnya tewas berada di tangan Kala Putih. Sementara Bayu mendengarkan penuh perhatian. Sungguh tidak disangka kalau akan bertemu putri Ki Bangka Putung dalam keadaan seperti ini. Bahkan tidak bisa lagi bertemu Empu Pembuat Pusaka itu untuk menyampaikan pesannya.
"Sebelum peristiwa itu terjadi, ayah membuat pedang ini," jelas Sekar sambil menunjuk pedangnya.
Bayu hanya terdiam saja memandangi pedang yang berada di dalam genggaman gadis ini. Entah, apa yang ada di dalam kepalanya saat itu. Tampaknya, Pendekar Pulau Neraka begitu kecewa, karena tidak bisa melaksanakan amanat orang tua yang menjelang ajal. Untuk beberapa saat, mereka jadi terdiam membisu.
"Sebaiknya kau tidur saja, Sekar. Biar aku yang jaga malam ini," ujar Bayu.
"Kau tidak ingin memiliki pedang ini...?" tanya Sekar, masih bernada memancing.
"Pedang itu milikmu, Sekar," sahut Bayu diiringi senyuman.
"Terima kasih," ucap Sekar, yang bisa merasa lega sekarang.
"Tidurlah."
Sekar sudah merasa tenang sekarang Dia yakin, pemuda ini memang tidak tahu apa-apa. Bahkan bukan orang suruhan Kala Putih yang begitu menginginkan pedang pusaka terakhir ayahnya, seperti dugaannya semula. Sekar merebahkan tubuhnya, dan mulai memejamkan mata. Badannya memang terasa lelah dan mengantuk sekali. Sebentar saja gadis itu sudah mendekati api, dan duduk bersila di sana. Malam pun terasa begitu dingin. Bayu mencoba bersemadi, dan menghangatkan tubuhnya dengan menyalurkan hawa mumi ke seluruh tubuh.
***
"Ke mana tujuanmu sekarang?" tanya Bayu melihat Sekar tampaknya sudah siap melakukan perjalanan.
"Ke tempat tinggal Kala Putih," sahut Sekar. "Untuk apa ke sana?" tanya Bayu.
"Membebaskan adikku."
"Memangnya, ada apa dengan adikmu...?" tanya Bayu agak terkejut.
Sekar memang belum menceritakan tentang Wirya yang sekarang ini berada di tangan Kala Putih. Dan mendapat pertanyaan itu, segera diceritakannya ten-tang Wirya. Bayu mendengarkan penuh perhatian. Sedikit pun tidak menyelak sampai gadis itu menyelesaikan ceritanya.
"Di mana tempat tinggalnya?" tanya Bayu setelah Sekar selesai dengan ceritanya.
"Tidak jauh dari Gunung Anjar. Tepatnya, di Lembah Kuning," sahut Sekar menjelaskan.
Bayu mengerutkan keningnya. Pendekar Pulau Neraka tahu tempat yang dimaksudkan Sekar. Sebuah tempat yang sangat sulit dijangkau. Bahkan tidak ada seorang pun yang sudi ke sana. Memasuki lembah itu, sama saja mengantarkan nyawa sia-sia. Kecuali, memang ingin mati.
"Tunggu dulu, Sekar...!" cegah Bayu begitu melihat Sekar sudah melangkah.
Sekar berhenti mengayunkan kakinya. Kepalanya berpaling, menatap pemuda berbaju kulit harimau yang sudah berada di sampingnya.
"Aku akan mengantarmu ke sana. Tempat yang kau tuju sangat sulit dan berbahaya. Bukannya tidak mustahil, Kala Putih dan orang-orangnya sudah menyebar untuk mencarimu," ujar Bayu.
"Terima kasih. Aku tidak meminta," ucap Sekar.
"Aku menyediakan diri untuk membantumu," tegas Bayu.
Sekar hanya tersenyum saja, dan terus mengayunkan kakinya. Bayu mengikuti, mensejajarkan langkah di samping gadis ini. Tapi baru saja mereka berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja semak yang berada di depan bergerak-gerak. Bayu langsung menarik tangan Sekar, hingga berada di belakang tubuhnya.
Srakkk!
Tiba-tiba saja dari dalam semak itu melesat sebuah bayangan hitam kecil. Bayu sempat tersentak kaget, tapi langsung diam begitu bayangan kecil itu menerkamnya. Dan tahu-tahu, di pundak kanan Pendekar Pulau Neraka sudah duduk seekor monyet kecil berbulu hitam. Binatang itu memeluk leher pemuda ini erat-erat.
"Dari mana saja kau...?" dengus Bayu seraya melepaskan pelukan monyet ini.
"Nguk!"
"Sekar, kenalkan, ini sahabatku. Tiren namanya," Bayu memperkenalkan monyet kecil itu pada Sekar.
Monyet kecil berbulu hitam itu memonyongkan mulutnya, kemudian mencerecet ribut dan berjingkrak di pundak Bayu. Sekar jadi tersenyum-senyum melihat tingkah binatang yang lucu ini.
"Ayo...!"
Mereka kembali berjalan tanpa bicara. Sampai matahari berada di atas kepala, mereka terus saja berjalan tanpa beristirahat sedikit pun. Keringat bercampur debu melekat di seluruh tubuh. Beberapa kali Bayu melirik wajah Sekar yang sudah memerah dan berkeringat.
"Kau tidak letih, Sekar?" tanya Bayu.
"Sedikit," sahut Sekar.
"Tampaknya, kau tahu betul seluk beluk hutan ini," tebak Bayu lagi
"Tidak begitu. Hanya saja, aku sering bermain-main di sini. Dan ayah juga sering mengajakku berburu di hutan ini."
Mereka berhenti melangkah ketika di depan mereka menghadang sebuah sungai yang berair sangat jernih. Begitu beningnya, sehingga ikan-ikan yang berenang ria di sungai ini terlihat jelas. Sekar membasuh wajah dan tangannya di air sungai itu. Bayu juga berbuat yang sama. Mereka menyegarkan tubuh dengan air sungai yang bening bagai kaca itu.
"Hebat...pintar sekali dia," gumam Sekar kagum. "Apanya yang hebat?" tanya Bayu.
"Itu...."
Bayu mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Sekar. Bibirnya jadi tersenyum melihat Tiren berlompatan di air sungai yang cukup dangkal ini. Dan kini di tangan monyet kecil itu sudah tergenggam seekor ikan yang cukup besar. Tiren, monyet kecil berbulu hitam itu melemparkan ikan hasil tangkapannya ke arah Bayu. Tangkas sekali Pendekar Pulau Neraka menangkapnya, lalu melemparkan lagi ke belakang.
"Cukup, Tiren...!" seru Bayu setelah Tiren mendapatkan lima ekor ikan.
"Nguk!"
Tiren berlompatan ke tepi melalui batu yang banyak terdapat di sungai ini. Tubuhnya digerak-gerakkan, membuat air yang melekat di seluruh tubuhnya menyiprat ke sana kemari. Sementara itu. Sekar sudah menyiapkan ranting-ranring kering, dan membuat api. Ikan-ikan tangkapan Tiren dibakamya di atas api. Bau harum cepat sekali menyebar menyengat hidung, membuat perut jadi berontak minta diisi.
Mereka kini tengah menikmati ikan-ikan itu. Sementara Tiren cukup senang mendapat buah-buahan yang diperoleh Bayu. Mereka makan sambil bercakap-cakap. Keakraban mulai terjalin di antara mereka. Ter-lebih lagi, Tiren cepat sekali lengket pada orang yang disukainya.
"Sebenamya ayah tidak sudi menuruti permintaan Kala Putih untuk membuat senjata dari benda yang dibawanya sendiri...," kata Sekar setelah ikan-ikan bakar itu habis disantap.
"Apa ayahmu tidak tahu asal benda yang dibawa Kala Putih?" tanya Bayu.
"Aku tidak tahu. Tapi, ayah sepertinya tidak pernah menanyakan itu pada Kala Putih. Ayah memang tidak pernah bertanya tentang benda-benda pembuat senjata pusaka yang dibawa pemesannya," jelas Sekar.
"Tentunya, ayahmu punya alasan, kenapa tidak ingin membuat senjata dari benda itu," desak Bayu lagi.
"Katanya, benda itu memiliki kekuatan gaib yang dahsyat dan sangat jahat Tapi..."
"Tapi kenapa, Sekar...?" desak Bayu.
"Aku menduga kalau benda itu adalah Batu Kawa Hijau milik Pertapa Gunung Anjar," agak ragu-ragu suara Sekar.
"Kau bisa menduga begitu, tapi kenapa ayahmu tidak bisa mengenalinya? Bukankah antara ayahmu dan Pertapa Gunung Anjar bersahabat baik?" tanya Bayu lagi.
"Antara ayah dan Pertapa Gunung Anjar dekat. Tapi di antara mereka tidak pernah saling mencampuri urusan masing-masing. Terlebih lagi, mengenai keahlian masing-masing. Bahkan tidak ada yang tahu tentang benda-benda yang dimiliki. Jadi, mana mungkin ayah bisa mengetahui kalau benda itu adalah Batu Kawa Hijau," jelas Sekar tentang hubungan ayahnya dengan Pertapa Gunung Anjar.
"Dan kau sendiri bisa menduga begitu. Pasti kau tahu tentang batu itu, bukan...?" kejar Bayu.
"Pertapa Gunung Anjar pernah cerita padaku tentang batu itu. Tapi, aku tidak pernah melihat bentuknya."
"Memang sulit jika saling menyimpan rahasia," desah Bayu seraya bangkit berdiri.
Pendekar Pulau Neraka kemudian mengulurkan tangannya pada Tiren yang berada di pangkuan Sekar.
"Biar dia bersamaku," pinta Sekar seraya berdiri.
Monyet kecil itu duduk di pundak gadis ini. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan tanpa berbicara lagi. Hanya ada satu tujuan mereka. Ke tempat tinggal Kala Putih untuk membebaskan Wirya, adik kandung gadis ini.
"Apa ada desa terdekat di sekitar sini, Sekar?" tanya Bayu.
"Ada," sahut Sekar. "Apa kita akan bermalam di desa?"
"Rasanya, tidak aman kalau bermalam di desa manapun juga." "Kenapa...?"
Belum juga Bayu menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba saja sebuah pohon yang cukup besar bergerak turnbang ke arah mereka, memperdengarkan suara berderak mengejutkan.
"Awas...!"
Bayu cepat melompat sambil menyambar pinggang Sekar. Hampir saja pohon itu menimpa mereka. Untung saja Bayu segera melompat menghindar. Pendekar Pulau Neraka cepat mengedarkan pandangan berkeliling, dengan telinga dipasang tajam-tajam.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Srakkk!
Slap!
***
EMPAT
Dari balik semak dan pepohonan, bermunculan sekitar sepuluh orang bersenjata golok. Seorang di antara mereka, bertubuh tinggi besar dan berotot kekar. Dia menyandang sebilah golok yang berukuran cukup besar. Sekar yang mengenali orang itu langsung hendak mencabut pedangnya. Tapi, Bayu keburu menahan tangan gadis ini.
"Kau kenal mereka?" tanya Bayu sedikit melirik pada gadis di sampingnya.
"Orang itu yang membunuh ayahku," sahut Sekar agak mendesis.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Pendekar Pulau Neraka menatap tajam laki-laki besar berotot kekar yang menyandang golok berukuran besar itu. Wajahnya begitu kasar, dipenuhi brewok yang tak terurus. Dia berdiri paling depan dari kesepuluh orang yang rata-rata masih berusia muda. Sementara itu, Bayu sudah menggeser kakinya ke depan dua langkah, membelakangi Sekar seperti hendak melindungi gadis ini.
"Siapa kalian...?" tanya Bayu, meskipun sudah diberi tahu Sekar tadi.
"Jangan banyak tanya! Serahkan gadis itu pada kami!" bentak orang bersenjata golok besar yang tak lain adalah Caraka.
"Kenapa kau meminta gadis ini?" tanya Bayu lagi, berpura-pura tidak mengerti.
"Rupanya kau ingin jadi pahlawan, Bocah...," desis Caraka sinis.
"Mungkin," sahut Bayu seenaknya.
"Setan...! Besar kepala juga kau rupanya," geram Caraka jadi gusar.
Wukkk!
Tiba-tiba saja Caraka mengebutkan golok besarnya ke depan. Kebutan itu demikian dahsyat, membuat Bayu agak terkejut juga. Jelas sekali kalau golok itu sangat berat Tapi di tangan Caraka, bagaikan terbuat dari karet yang begitu ringan. Pendekar Pulau Neraka . segera menggeser kakinya sedikit ke kanan. Diperhatikannya Caraka yang ringan sekali memutar-mutar goloknya.
"Golok mainan anak-anak saja dipamerkan di depanku," dengus Bayu memanasi dengan sinis.
"Serang...! Bunuh bocah keparat itu...!" perintah Caraka dengan suara lantang menggelegar.
Seketika itu juga, sepuluh orang yang berada di belakangnya segera berlarian. Mereka langsung berlompatan mendekati Bayu. Sejenak Pendekar Pulau Neraka memperhatikan, kemudian melirik sedikit pada Sekar yang juga rupanya sudah bersiap menerima serangan.
"Hiyaaa...!"
Mendadak saja Bayu melentingkan tubuh ke udara, ketika sepuluh orang itu sudah dekat. Cepat sekali tubuhnya meluruk deras, melontarkan beberapa pukulan keras, tanpa pengerahan tenaga dalam.
Hanya sekali gerak saja, terlihat tiga orang ambruk ke tanah sambil menjerit keras terkena pukulan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Gerakan yang dilakukan Bayu begitu cepat luar biasa, sehingga sukar diikuti dengan pandangan mata mereka. Baru beberapa gerakan saja, sepuluh orang itu sudah jatuh berpelantingan sambil memekik keras.
Meskipun pukulan-pukulan yang dilepaskan Bayu tidak disertai pengerahan tenaga dalam, tapi demikian keras. Bahkan cukup membuat sepuluh orang itu mengerang, merintih kesakitan Pendekar Pulau Neraka melenting ke belakang, lalu ringan sekali kakinya menjejak tanah. Bibirnya tersenyum melihat sepuluh orang itu merintih, bergelimpangan di tanah.
"Keparat..!" geram Caraka melihat sepuluh orang anak buahnya bergelimpangan, hanya dalam beberapa gebrakan saja.
"Aku tidak akan menyakiti kalian. Apalagi membunuh. Cepatlah pergi dari sini, sebelum aku berubah pikiran!" desis Bayu agak dingin suaranya.
"Sombong...!" dengus Caraka geram. "Rasakan ini! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat Caraka melompat cepat menerjang Bayu. Goloknya berkelebat dahsyat menimbulkan angin menderu yang menyakitkan telinga.
"Hup!"
Pendekar Pulau Neraka cepat cepat melompat mundur dua tindak dan langsung memiringkan tubuhnya ke kiri. Tebasan golok berukuran besar itu berhasil dihindarinya. Bayu agak terkejut juga merasakan hempasan angin yang begitu keras melanda tubuhnya. Bergegas dia melompat ke samping, beberapa langkah jauhnya.
Tapi Caraka sudah berhasil melakukan serangan cepat Jurus-jurus yang dikeluarkan laki-laki bertubuh tinggi besar ini begitu dahsyat. Setiap kebutan goloknya, membuat Pendekar Pulau Neraka jadi agak limbung. Maka segera dikerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Bayu berlompatan sambil meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan yang datang.
Sambil menghindar, Bayu memperhabkan gerakan-gerakan yang dilakukan lawannya ini. Setelah beberapa jurus berlalu, baru Pendekar Pulau Neraka melancarkan beberapa serangan balasan. Dan begitu memasuki jurus kedelapan, setiap gerakan yang dilakukan Caraka setelah bisa dibacanya.
"Hait,.!"
Pendekar Pulau Neraka cepat membungkukan tubuhnya, begitu golok besar itu mengebut ke arah kepala. Sebenarnya serangan bisa dielakkan dengan hanya merundukkan kepala sedikit Tapi Bayu malah membungkuk, dan tiba-tiba saja tangan kirinya mengibas cepat sekali ke depan.
"Heh...?!"
Caraka terperanjat setengah mati. Sungguh tidak disangka kalau pemuda berbaju kulit harimau itu akan melakukan sodokan, di saat menghindari serangannya. Cepat-cepat dia melompat mundur. Dan sebenarnya inilah yang ditunggu Bayu. Begitu Caraka menarik jarak, cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka menarik tubuhnya tegak kembali. Dan tiba-tiba, dilayangkannya satu tendangan keras yang sama sekali tidak diduga Caraka.
Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka, sehingga Caraka yang memang belum siap tak dapat lagi menghindarinya. Telak sekali telapak kaki Bayu menghantam dada yang berbulu lebat itu.
Des!
"Akh.?!" Caraka memekik keras agak tertahan.
Di saat tubuh Caraka tengah limbung terdorong ke belakang, Bayu cepat melompat sambil melepaskan satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam yang tidak penuh. Pukulannya demikian cepat dan keras sekali. Akibatnya, Caraka benar-benar tidak bisa lagi melakukan gerakan menghindar.
Diegkh!
"Akh...!" untuk kedua kalinya Caraka memekik keras. Pukulan Bayu yang begitu keras, membuat Caraka terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Keras sekali tubuhnya yang kekar berotot itu terbanting ke tanah, dan bergelimpangan beberapa kali. Tapi, Caraka cepat melompat bangkit berdiri. Kedua kakinya agak bergetar, seakan-akan tidak kuat lagi menahan beban tubuhnya. Caraka berusaha untuk bisa berdiri tegak, meskipun masih agak limbung.
"Setan...! Phuih!" geram Caraka. Sementara Bayu berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Matanya menatap tajam pada Caraka, dan bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Sementara Caraka melakukan beberapa gerakan, untuk mengusir rasa sesak yang menghimpit dadanya. Tentu saja akibat tendangan dan pukulan pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kalau masih penasaran, silakan maju lagi," tantang Bayu.
"Phuih!"
Caraka hanya menyemburkan ludahnya saja. Sementara, matanya melirik pada sepuluh orang anak buahnya yang tampaknya sudah tidak mampu bertarung lagi. Meskipun mereka sudah bisa berdiri, tapi golok-golok mereka sudah berpatahan, sehingga tak mungkin dapat digunakan lagi. Menyadari kedudukannya tidak menguntungkan, Caraka jadi berpikir dua kali untuk menyerang pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kita akan bertemu lagi, Bocah!" desis Caraka dingin.
Setelah berkata demikian, laki-laki berbadan kekar berotot itu bergegas melesat pergi. Sepuluh orang pengLkutnya segera berlarian mengikutinya. Sedangkan Bayu hanya memandanginya saja. Tubuhnya baru berputar, dan melangkah menghampiri Sekar setelah mereka sudah tak terlihat lagi.
"Kenapa kau biarkan mereka kabur, Kakang? Seharusnya kau bunuh mereka semua," Sekar agaknya tidak senang atas sikap Bayu yang membiarkan orang-orang itu pergi.
"Bukan mereka tujuanmu, Sekar," kilah Bayu kalem.
"Tapi.. orang itulah yang membunuh ayahku," bantah Sekar.
"Kau dendam...?"
"Aku akan membalas kematian ayah!" tegas Sekar.
Bayu jadi ingat akan dirinya sendiri. Dulu ketika baru keluar dari Pendekar Pulau Neraka, dia juga mencari para pembunuh orang tuanya. Saat itu, yang ada di kepalanya hanya balas dendam! Bahkan sampai sekarang pun, Pendekar Pulau Neraka masih belum bisa melepaskan dendamnya. Jika berjumpa orang yang membunuh ayahnya, api dendamnya langsung berkobar menyala. Dan orang itu tidak pernah diberi ampun lagi. Mereka yang terlibat langsung, akan terkapar bermandikan darah.
Dan Bayu tidak bisa menyalahkan Sekar jika di hatinya tersimpan api dendam. Dia juga tidak bisa melarang, atau menasihati gadis ini. Padahal sudah mulai disadarinya, kalau dendam tidak akan bisa menyelesaikan segala persoalan. Dan terus akan berbuntut panjang, sampai tak ada yang tersisa hidup hingga anak turunannya.
***
Memang tidak mudah perjalanan ini. Setiap saat mereka harus menghadapi bahaya. Terutama, ancaman orang-orang Kala Putih. Terlebih lagi, saat mereka sudah berada di sekitar Gunung Anjar. Bahkan bukan hanya Bayu saja yang memeras keringat menghadapi mereka. Sekar pun terpaksa berlaga, mempertahankan diri dari serangan-serangan yang selalu muncul tiba-tiba dari para pengjkut Kala Putih.
"Uhhh! Gila..!" lenguh Bayu seraya menghempaskan tubuh ke atas rerumputan di bawah pohon yang cukup rindang.
Mereka memang baru saja teriepas dari sergapan para pengikut Kala Putih. Sekar duduk di samping Pendekar Pulau Neraka sambil menghembuskan napas panjang. Disekanya keringat dengan punggung tangan, di sekitar wajah dan lehemya. Beberapa saat mereka terdiam, sambil mengatur jalan pemapasan. Rasanya, dada ini seperti akan pecah. Pagi ini, sudah dua kali mereka mendapat serangan gencar dari orang-orang Kala Putih.
"Setan...!" tiba-tiba Bayu mengumpat geram.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Sekar.
Belum juga Bayu menjawab, tiba-tiba saja meluncur sebatang tombak berukuran cukup panjang dari depan. Pendekar Pulau Neraka langsung melompat Tangannya segera dikebutkan untuk menangkap tombak itu tepat di bagian tengahnya. Sekar juga bergegas bangkit berdiri. Dihampirinya Pendekar Pulau Neraka, dan berdiri di samping kanannya.
"Siapa pun kalian, keluar...!" lantang suara Bayu.
Begitu teriakan Pendekar Pulau Neraka hilang, dari balik pepohonan dan semak belukar bermunculan empat orang laki-laki bertubuh kekar. Wajah mereka kasar dan kotor tak terawat Pakaian yang dikenakan pun kotor. Bahkan sudah mulai terlihat koyak di beberapa bagian tubuhnya.
"Hm...," Bayu menggumam kecil memperhatikan empat orang yang kini sudah berdiri sekitar satu tombak di depannya.
Tubuh dan keadaan mereka sudah mirip jembel jalanan. Dan Bayu bisa menduga, mereka bukan orang-orang Kala Putih. Tapi dalam keadaan seperti ini, tidak mudah menduga begitu saja. Dan setiap orang-yang dijumpai, terlebih lagi kemunculannya didahului satu serangan gelap, membuat Pendekar Pulau Neraka bersiap mempertahankan diri jika diserang.
"Siapa kalian?" tanya Bayu agak Iunak suaranya terdengar.
"Jangan banyak tanya! Serahkan semua hartamu!" bentak salah seorang, kasar.
"Harta...? Aku tidak punya harta," sahut Bayu agak berkerut keningnya.
"Bedebah! Kalau begitu, nyawamu yang kuminta!" "Heh...?!"
Pendekar Pulau Neraka tersentak kaget. Tapi belum juga lenyap dari keterkejutannya, empat orang bertampang kasar dan kotor itu sudah berlompatan menyerang. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang dilakukan cepat dan tiba-tiba. Golok-golok di tangan mereka berkelebatan, berdesingan di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Sementara, Sekar sudah lebih dahulu menghindar. Gadis itu hanya memperhatikan saja. Sementara tangan kanannya menggenggam erat tangkai pedangnya. Meskipun tidak mendapatkan lawan kali ini, tapi tetap saja dia bersikap waspada.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Bayu melentingkan tubuh ke udara, lalu meluruk deras sambil mengebutkan cepat tangannya beberapa kali. Begitu cepat gerakannya, sehjngga tubuh Pendekar Pulau Neraka bagaikan lenyap. Dan yang terlihat kini hanya bayangan kuning berkelebatan, menyambar empat orang bertampang kasar dan kotor itu.
Saat itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking yang saling sambut Kemudian, disusul berpentalannya keempat orang itu. Tampak Bayu berdiri tegak di antara mereka yang bergelimpangan di tanah. Entah kapan terjadinya, tahu-tahu Pendekar Pulau Neraka sudah merampas golok-golok keempat orang itu.
"Aku muak melihat tampang-tampang seperti kalian, huh...!" dengus Bayu.
Tangan Pendekar Pulau Neraka sudah terangkat, hendak menyambitkan golok-golok rampasannya kepada empat orang yang masih tergeletak mengerang di tanah. Tapi sebelum Bayu melaksanakan niatnya, tiba-tiba saja Sekar berseru nyaring.
"Jangan, Kakang...!"
"Heh...?!"
Bayu berpaling menatap Sekar yang melangkah cepat menghampirinya. Gadis itu berhenti di samping Pendekar Pulau Neraka. Dirampasnya golok yang berada di tangan Bayu, dan dilemparkannya pada empat orang yang sudah mulai bisa bergerak bangkit. Keempat orang laki-laki bertampang kasar dan kotor itu jadi terlongong melihat golok-goloknya berjatuhan di depan mereka.
"Ambil, dan pergi dari sini!" usir Sekar tegas.
Tapi keempat orang laki-laki itu tidak beranjak pergi, dan malah menjatuhkan diri berlutut Sehingga, kening mereka menyentuh tanah. Melihat sikap keempat orang ini, Bayu dan Sekar jadi terperanjat
"Heh...?! Apa-apaan ini...?" sentak Bayu tidak mengerti.
"Terimalah salam dan hormat kami yang hina dan rendah ini," ucap keempat orang itu sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada bersamaan.
"Kenapa mereka begitu...?" tanya Bayu seperti pada diri sendiri.
Sekar melangkah dua tindak ke depan. Sedangkan empat orang laki-laki bertubuh kekar dan kotor itu masih bersujud menempelkan kening di atas tanah.
"Bangunlah kalian," ujar Sekar, lembut suaranya.
Perlahan mereka mengangkat kepala, lalu duduk bersila di depan gadis ini. Sebentar Sekar merayapi wajah-wajah yang agak tertunduk di depannya. Keada-an mereka begitu kotor, seperti tidak pernah mandi berbulan-bulan lamanya. Pakaian yang dikenakan pun sudah sobek-sobek di beberapa bagian.
"Siapa kalian sebenarnya?" tanya Sekar tetap lembut suaranya.
"Kami hanya perampok. Dan kami janji, tidak akan mengulangi lagi," sahut salah seorang dengan sikap hormat sekali.
"Aku tidak percaya kalian perampok. Kalian semua mengenakan gelang Candra Wikara. Hm.. Kenapa kalian bisa jadi begini...?" sanggah Sekar sambil merayapi keempat orang ini.
Keempat orang itu tampak terkejut mendengar kata-kata Sekar barusan. Kembali mereka menjatuhkan diri bersujud dan menempelkan kening di tanah, tepat di depan ujung kaki gadis ini. Sementara Bayu yang melihat kejadian itu hanya memperhatikan saja. Didekatinya Sekar begitu empat orang ini kembali duduk bersila dengan kepala terus tertunduk menekuri tanah di depannya.
"Siapa sebenarnya mereka, Sekar?" bisik Bayu pelan.
"Aku tidak tahu, siapa mereka. Tapi gelang Candra Wikara yang dikenakan menunjukkan kalau mereka para pengawal pengantar barang kerajaan," sahut Sekar pelan juga suaranya.
Bayu mengangguk-anggukkan kepala. Pendekar Pulau Neraka tidak lagi heran dengan pengetahuan Sekar yang begitu luas. Wajar saja bila putri seorang Empu Pembuat Pusaka, bisa mengetahui tentang kerajaan segala. Dan yang pasti, tidak sedikit para pembesar yang pernah memesan senjata pusaka pada ayah gadis ini.
"Kau... berdiri," perintah Sekar seraya menunjuk salah seorang yang berada tepat di depannya.
Perlahan orang itu bangkit berdiri, tapi kepalanya tetap tertunduk. Sementara, kedua tangannya menyatu di bawah perut. Tubuhnya agak sedikit terbungkuk, seperti seorang pesuruh yang sedang menghadap majikannya.
"Siapa namamu, dan kalian semua?" tanya Sekar lagi.
"Kampar. Dan mereka, Gandil, Gadok dan Buling," sahut orang yang bernama Kampar, sambil memperkenalkan ketiga temannya.
"Ceritakan Siapa kalian sebenarnya, dan kenapa bisa jadi seperti ini...," pinta Sekar
"Ceritanya panjang, Nini...."
"Ceritakan saja."
***
LIMA
"Mulanya kami berjumlah dua puluh orang...," Kampar memulai.
"Teruskan," pinta Sekar.
"Kami memang para petugas pengawal pengantar barang kerajaan. Sudah menjadi bagian dari tugas kami, menghadapi rintangan dan bahaya yang menghadang. Dan selama lebih sepuluh tahun, semuanya bisa diatasi. Bahkan pihak kerajaan sudah mempercayai kami untuk mengawal barang-barang berharga, Tapi, yaaah.... Semua itu hancur seketika setelah kejadian itu...," lanjut Kampar.
"Kejadian apa?" tanya Bayu.
"Saat itu, kami sedang bertugas mengawal dua orang panglima yang membawa satu peti penuh barang berupa emas. Saat melewati kaki Gunung Anjar, kami diserang sekelompok orang yang berjumlah empat kali lipat dari kami semua. Banyak teman kami yang tewas. Bahkan kedua panglima itu juga tewas. Hanya aku dan ketiga temanku ini yang berhasil lolos."
"Hm...," gumam Bayu periahan.
"Sejak peristiwa itu, kami tidak berani lagi menampakkan diri. Kami tahu, sekarang ini menjadi buronan pihak kerajaan. Mereka pasti menyangka kami yang merampok barang-barang itu," sambung Kampar.
"Seharusnya kau laporkan kejadian itu," saran Bayu.
"Kami tidak sudi digantung. Walaupun itu musibah, tapi Gusti Prabu pasti tidak mau tahu. Beliau pasti meminta barang-barangnya kembali. Sedangkan...."
"Kenapa?"
"Mustahil kami berempat bisa mengembalikan barang-barang itu, karena yang merampok adalah orang-orang Kala Putih."
"Siapa...?!" Sekar terbeliak mendengar nama Kala Putih.
"Lagi-lagi Kala Putih...," desis Bayu agak menggeram suaranya.
"Apakah Kisanak dan Nisanak berurusan juga dengan Kala Putih?" tanya Kampar.
"Ayahku tewas di tangannya. Dan sekarang, adikku menjadi tawanannya," sahut Sekar agak mendesis.
Beberapa saat mereka jadi terdiam.
"Boleh kami ikut bersama kalian...?" pinta Kampar agak ragu-ragu.
Bayu dan Sekar tidak segera menjawab. Saat itu, Kampar dan ketiga temannya sudah kembali duduk bersila. Mereka memunggut golok masing-masing, dan golok yang berada di dalam genggaman tangan kanan, ditempelkan ke ujung jari telunjuk kirinya. "Kami bersumpah untuk selalu setia," janji Kampar, diikuti ketiga temannya.
"Heh...?! Apa yang kalian lakukan...?" sentak Bayu.
Tapi belum juga hilang suara Pendekar Pulau Neraka, mereka sudah mengiris ujung jarinya dengan golok. Darah seketika mengucur keluar dari ujung jari yang teriris. Dan mereka langsung menyatukan jari yang berdarah itu.
"Edan...!" desis Bayu
"Itu tanda kesetiaan yang mereka tunjukkan, Kakang," jelas Sekar.
"Tapi, kenapa dengan cara seperti itu?"
"Mereka akan terhina jika kau menolak tanda kesetiaannya. Mereka lebih baik mati daripada ditolak."
Bayu jadi garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sementara, keempat orang itu sudah bangkit berdiri. Mereka kemudian mengulurkan tangan yang berlumuran darah kepada Pendekar Pulau Neraka. Sejenak pemuda berbaju kulit harimau itu memandangi, tapi Sekar cepat mengambil tangan kanan Bayu, dan diulurkan ke depan. Saat itu juga, keempat orang laki-laki ini menempelkan tangan yang berlumuran darah, menggenggam tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Mereka melepaskan tangan Bayu, kemudian berlutut di depannya. Lalu, mereka bersujud menempelkan kening di tanah. Bayu hanya diam memperhatikan saja. Setelah itu, keempat orang ini kembali bangkit berdiri.
"Demi Dewata yang bersemayam di Kahyangan, kami rela menyabung nyawa demi junjungan," ucap Kampar diikuti ketiga temannya.
"Kalian terlalu berlebihan," desis Bayu.
"Mereka akan mengikuti semua perintahmu, Kakang," jelas Sekar.
Bayu hanya menghembuskan napas saja, dan tidak bisa lagi menolak Dan dia harus menghormati sumpah setia yang telah dilakukan empat orang ini.
***
Mendapatkan tambahan orang, memang tidak ada ruginya. Sejak adanya empat orang itu, Bayu jadi jarang mengeluarkan tenaga jika kebetulan dicegat orang-orang Kala Putih. Dan memang, semakin dekat dengan lembah tempat tinggal Kala Putih, semakin sering saja terjadi bentrokan. Bahkan pertumpahan darah pun tak dapat dihindari lagi. Tapi hal ini sebenarnya tidak diinginkan Pendekar Pulau Neraka.
Hingga akhirnya mereka sampai di tepi lembah yang cukup luas. Pemandangan di lembah ini begitu indah. Tapi di balik semua keindahan itu, tersimpan sejuta bahaya mengancam. Bayu berdiri tegak memandang ke arah lembah itu. Sementara, di samping kanannya berdiri Sekar. Sedangkan di belakang mereka, berjajar empat orang laki-laki bertampang kasar yang telah mengangkat sumpah setia untuk Pendekar Pulau Neraka.
"Kau lihat, Sekar. Setiap jengkal lembah ini dijaga ketat," kata Bayu sambil menunjuk ke arah lembah di depan mereka.
"Apa pun bahayanya, kita harus masuk ke sana, Kakang," tegas Sekar bertekad.
"Tapi tidak dengan cara serampangan," kata Bayu lagi.
Sekar terdiam. Bisa dimengerti maksud Pendekar Pulau Neraka. Kekuatan yang mereka miliki memang tidak sebanding, bila dilihat dari kekuatan yang dimiliki Kala Putih. Entah, berapa banyak pengikut Kala Putih. Di dalam hati kecilnya, sebenarnya Sekar juga tidak yakin bisa menembus penjagaan yang begitu ketat.
Gadis itu menatap lurus tak berkedip ke arah bangunan besar yang dikelilingi tembok batu bagai benteng. Di dalam bangunan itulah Kala Putih bertempat tinggal, seperti berada di dalam sebuah istana kecil di tengah-tengah lembah yang indah dan luas ini. Sementara Gunung Anjar yang melatarbelakangi lembah ini, terlihat begitu angkuh, menjulang tinggi bagai hendak menembus langit.
Sementara itu, hari sudah menjelang senja. Matahari sudah begitu condong ke arah Barat Sinarnya tidak lagi terik membakar seperti tadi. Rona merah yang membias, menambah indahnya pemandangan alam di sekitar lembah ini. Tampak kabut mulai merayap turun dari Puncak Gunung Anjar. Udara pun mulai terasa dingin, menyusup sampai ke tulang.
"Sebaiknya, kita istirahat di sini sambil memikirkan cara untuk masuk ke sana," ujar Bayu, perlahan suaranya.
"Apa tidak terlalu berbahaya berada di sini, Kakang?" tanya Sekar.
Belum juga Bayu sempat menjawab pertanyaan gadis itu, tiba-tiba saja mereka dikejutkan suara tawa yang datang dari belakang. Mereka langsung berbalik, dan terkejut begitu tiba-tiba di depan mereka kini telah berdiri seorang laki-laki berbaju kuning gading. Tubuhnya kurus, dan kepalanya botak. Tanpa selembar rambut pun menghiasi.
Tak ada satu senjata pun terlihat, kecuali seuntai kalung dari batu hitam yang tergenggam di tangan kanannya. Jari-jari tangan yang kurus seperti tulang berbalut kulit, lincah mempermainkan untaian baru hitam itu. Dia berdiri sekitar empat batang tombak jauhnya.
"Kalian menyingkirlah," ujar Bayu.
Pendekar Pulau Neraka pernah melihat orang tua berjubah kuning ini di kedai, saat mereka beristirahat mengisi perut. Memang, saat itu mereka tidak bertegur sapa. Tapi Bayu selalu memperhatikannya dari sudut ekor matanya, kalau orang tua berjubah kuning ini tidak lepas mengamati Sekar. Dan sekarang, dia muncul lagi secara mengejutkan. Dari kemunculannya saja, Bayu sudah bisa mengira kalau orang tua ini memiliki tingkat kepandaian tinggi. Itulah sebabnya, Pendekar Pulau Neraka menyuruh Sekar dan empat orang yang mengikutinya menyingkir.
"He he he.... Kita bertemu lagi, Pendekar Pulau Neraka," kata orang berjubah kuning itu diiringi tawanya yang terkekeh.
"Ya! Meskipun tidak sempat bertegur sapa," sambut Bayu kalem.
"He he he...," kembali orang tua berjubah kuning itu terkekeh.
Dia melangkah ringan mendekati Pendekar Pulau Neraka. Sementara, Sekar dan empat orang laki-laki yang ikut bersamanya, sudah menyingkir ke tempat yang cukup aman. Sedangkan laki-laki tua berjubah kuning gading itu sudah berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa langkah lagi di depan Bayu. Gerakan kakinya saat melangkah tadi, begitu ringan. Sehingga, tak terdengar suara sedikit pun. Dan Bayu semakin yakin kalau orang tua ini memiliki kepandaian yang tidak bisa dianggap enteng.
"Boleh aku tahu, siapa sebenarnya Kisanak ini...?" masih terdengar kalem suara Bayu.
"Orang-orang menyebutku Pendeta Laba-laba. Padahal, aku bukan seorang pendeta. Bahkan tidak memiliki puri satu pun juga," orang tua itu memperkenalkan diri.
"Pendeta Laba-laba...," desis Bayu agak menggumam.
Pendekar Pulau Neraka kembali mengamati orang tua berjubah kuning di depannya dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya. Keningnya sedikit berkerut saat memperhatikan. Orang tua ini memang lebih tepat dikatakan pendeta dengan penampilan demikian. Tapi, dia tidak mengakui kalau dirinya seorang pendeta.
"Dari mana kau bisa tahu namaku, Pendeta Laba-laba?" tanya Bayu lagi.
"Hanya orang tolol yang tidak mengenalimu, Pendekar Pulau Neraka," sahut Pendeta Laba-laba.
"Lalu, kenapa kau mengikutiku?" tanya Bayu lagi.
"Aku tidak mengikutimu. Tapi, mengikuti gadis itu. Kebetulan saja kau bersamanya," Pendeta Laba-laba menunjuk Sekar yang didampingi empat orang laki-laki bersenjata golok. "Hm...," gumam Bayu periahan sambil melirik sedikit pada Sekar yang berada di tempat cukup aman.
Kembali Bayu melemparkan pandangan pada orang tua berjubah kuning di depannya. Dia belum tahu, apa maksud orang tua ini membuntuti Sekar. Apakah karena pedang yang dibawa Sekar, seperti yang diinginkan Kala Putih...?
"Untuk apa kau membuntutinya?" tanya Bayu ingin tahu.
"He he he.... Semua orang sudah tahu, gadis itu membawa Pedang Kawa Hijau. Rasanya terlalu bodoh kalau tidak ikut dalam periombaan ini," sahut Pendeta Laba-laba diiringi tawanya yang terkekeh.
"O...? Jadi kau juga berminat pada pedang itu...?" agak sinis nada suara Bayu, setelah tahu maksud Pendeta Laba-laba ini.
"Aku rasa, kau juga berminat, Pendekar Pulau Neraka."
"Sayang sekali. Aku sama sekali tidak tertarik," dengus Bayu kurang senang.
"Oh, ya...? Juga dengan kemolekannya...?"
"Apa maksudmu, Kisanak...?"
"Gadis itu cantik sekali. Dan kau masih cukup muda, Pendekar Pulau Neraka. Aku rasa kau laki-laki waras yang...."
"Cukup...!" bentak Bayu cepat memutuskan kalimat Pendeta Laba-laba.
"He he he.... Kau memang pandai dengan cara pendekatan seperti itu. Sayang sekali, kita bertemu dalam suasana yang tidak menyenangkan ini. Maaf, aku terpaksa harus menyingkirkanmu lebih dahulu," kata Pendeta Laba-laba, mengandung ancaman.
Setelah berkata demikian, laki-laki tua berjubah kuning ini segera menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Tatapan matanya begitu tajam, menyorot langsung ke bola mata pemuda berbaju kulit harimau di depannya. Seakan-akan, dia sedang mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki pendekar muda ini.
"Hup!"
Cepat sekali Pendeta Laba-laba menggerakkan kedua tangannya di depan dada. Kemudian sambil berteriak keras menggelegar, dia melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Satu pukulan keras dilepaskan ke arah dada pemuda berbaju kulit harimau itu, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Ufs! Yeaaah...!"
***
Tapi manis sekali Bayu memiringkan tubuh ke kiri. Laki-laki tua berjubah kuning itu lewat, cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kirinya, menyodok ke arah perut
"Hih!"
"Hup!" Pendeta Laba-laba bergegas menarik kakinya ke belakang, dan langsung melentingkan tubuh ke belakang sejauh beberapa langkah. Dan begitu kakinya menjejak tanah, cepat sekali kedua tangannya dihentakkan ke depan dengan jari-jari tangan terbuka lebar. Pada saat itu, dari telapak tangannya yang terbuka keluar serat-serat putih yang meluncur deras ke arah Pendekar Pulau Neraka. Rupanya, si Pendeta Laba-laba langsung mengeluarkan jurus andalannya yang bernama jurus 'Jaring Maut'.
Rrrt...!
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Bayu melentingkan tubuhnya ke udara, menghindari terjangan serat-serat putih seperti jaring laba-laba itu. Beberapa kali dia melakukan putaran di udara, lalu manis sekali kakinya hinggap di atas dahan pohon. Maka, serat-serat putih itu hanya menghantam sebongkah batu yang cukup besar.
Glarrr...!
"Gila...!" desis Bayu terkejut.
Batu itu seketika hancur berkeping keping tersambar ujung serat putih yang keluar dari telapak tangan si Pendeta Laba-laba. Dahsyat sekali jurus ' Jaring Maut itu! Bisa dibayangkan jika menghantam tubuh manusia. Pasti bakal hancur seperti batu yang besar dan keras itu!
"Hiyaaa...!"
Pendeta Laba-laba kembali menghentakkan kedua tangannya ke arah Bayu yang berada di atas pohon. Seketika serat-serat putih itu meluruk deras. Dan pada saat itu, Bayu sudah melentingkan tubuhnya untuk menghindar. Kembali dia melakukan putaran beberapa kali di udara, sebuah kakinya menjejak tanah. Satu ledakan keras kembali menggelegar. Tampak pohon tempat Bayu berada tadi hancur berkeping-keping terhantam serat putih itu.
"Ha ha ha...! Keluarkan semua kepandaianmu, Pendekar Pulau Neraka!"
Beberapa kali Bayu terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan serat putih itu. Suara-suara ledakan keras menggelegar pun terdengar saling susul. Sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan itu sudah porak-poranda. Batu-batu dan pepohonan hancur berkeping-keping terhantam serat-serat putih yang keluar dari telapak tangan si Pendeta Laba-laba.
"Akan kucoba menangkap serat itu," desis Bayu di dalam hati.
Dan ketika si Pendeta Laba-laba kembali melancarkan serangannya, Pendekar Pulau Neraka tidak berusaha menghindari sedikit pun. Bahkan menunggu ujung serat itu sampai. Dan hal ini membuat si Pendeta Laba-laba jadi agak terkejut juga.
Dan sebelum lawan sempat menyadari apa yang akan dilakukannya, mendadak saja Pendekar Pulau Neraka sudah mengibaskan tangan kiri.
"Hap!"
Pendekar Pulau Neraka langsung mencekal ujung serat putih itu kuat-kuat. Dan sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalam yang telah sempurna, Bayu menghentakkan tangan kirinya ke atas kepala. Begitu cepat tindakannya, sehingga membuat di Pendeta Laba-laba jadi tersentak kaget. Dia tidak sempat lagi menahan sentakannya yang begitu kuat.
"Whuaaa...!"
Bagaikan selembar daun kering, tubuh si Pendeta Laba-laba melayang ke udara. Dan belum juga bisa menguasai keseimbangan tubuhnya di udara, Pendekar Pulau Neraka sudah melesat ke atas sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
"Hiyaaat..!"
Begkh!
"Akh.!" Pendeta Laba-laba terpekik keras agak tertahan.
Pukulan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam lawannya. Akibatnya, laki-laki tua berjubah kuning gading itu terpental jauh ke belakang. Keras sekali punggungnya menghantam pohon yang cukup besar hingga tumbang. Pendeta Laba-laba bergulingan beberapa kali di tanah, lalu bergegas melompat bangkit berdiri sambil memegangi dadanya yang mendadak jadi terasa sesak. Darah kental agak kehitaman tampak merembes keluar dari sudut bibimya. Namun, tubuhnya agak terhuyung-huyung, seakan-akan kakinya tidak sanggup lagi menopang berat tubuhnya.
Tangan kiri Pendeta Laba-laba bergetar menjulur ke depan. Mulutnya agak terbuka dengan bibir menggeletar. Lalu, tiba-tiba saja dia jatuh terjungkal. Sebentar si Pendeta Laba-laba masih bisa bergerak, sesaat kemudian meregang kaku dan diam tak berkutik lagi. Mati!
"Phuih...!" Bayu menghembuskan napasnya yang berat.
Saat itu Sekar berlari-lari menghampiri Pendekar Pulau Neraka, diikuti Kampar dan ketiga temannya. Kampar mendekati tubuh Pendeta Laba-laba. Diperiksanya tubuh kaku itu sebentar, kemudian menghampiri Bayu yang sudah didampingi Sekar.
"Dia sudah mati," kata Kampar memberi tahu.
Bayu hanya diam saja. Pandangannya segera beredar ke sekeliling. Tempat ini begitu hancur, seperti baru saja terjadi gempa di sini. Kemudian, ditatapnya tubuh Pendeta Laba-laba yang terbujur tidak bernyawa lagi. Pukulan yang dilepaskan Bayu tadi, memang keras sekali. Terlebih, lagi disertai pengerahan tenaga dalam penuh dan sempurna. Akibatnya rongga dada orang tua berjubah kuning itu hancur seketika. Dan itulah yang membuatnya tak bernyawa lagi.
"Ayo kita tinggalkan tempat ini," ajak Bayu.
"Kenapa pergi, Kakang?" tanya Sekar.
"Mereka pasti mendengar suara-suara ledakan tadi. Belum saatnya menghadapi mereka sekarang," jelas Bayu.
Tak ada yang membantah. Mereka bergegas meninggalkan tempat itu, dengan berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Hingga, sebentar saja mereka sudah jauh dan menghilang di dalam hutan yang cukup lebat.
Dugaan Bayu memang tepat. Begitu mereka hilang di dalam hutan, muncul beberapa orang di tempat itu. Mereka tampak terkejut melihat Pendeta Laba-laba tergeletak tak bernyawa lagi. Tak ada luka terlihat di tubuhnya. Tapi, di mulutnya penuh darah yang menggumpal. Sementara dadanya seperti melesak ke dalam. Di antara mereka, tampak Balika yang membawa tombak pendek bermata tiga.
"Keparat..! Siapa yang melakukan ini...?!" geram Balika.
Laki-laki berperawakan tinggi dengan raut wajah memancarkan kebengisan itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia mendengus melihat tempat sekitamya tampak porak poranda seperti baru saja terjadi pertempuran dahsyat. Kemudian orang-orangnya diperintahkan untuk membawa Pendeta Laba-laba.
***
ENAM
Brakkk!
Kala Putih mengkelap marah bukan kepalang begitu mendapat laporan dari Balika tentang kematian Pendeta Laba-laba. Dalam beberapa hari ini, sudah puluhan anak buahnya yang tewas. Dan semuanya karena berurusan merebut Pedang Kawa Hijau dari tangan Sekar. Tapi yang membuat Kala Putih geram, sementara ini Sekar didampingi seorang pendekar muda yang namanya sudah sering terdengar. Pendekar digdaya yang bergelar Pendekar Pulau Neraka.
"Caraka, Balika, Kandara, dan kau, Sentanu.... Kumpulkan semua orang-orang kita yang ada. Hancurkan mereka sekarang juga!" perintah Kala Purih gusar.
"Rasanya tidak perlu kita lakukan itu, Ki," sanggah Caraka.
"Kenapa? Kau takut...?" dengus Kala Putih sinis.
"Kita masih memiliki senjata yang lebih ampuh, Ki," kata Caraka lagi.
"Apa maksudmu, Caraka?"
"Anak itu."
Kala Putih terdiam. Seakan-akan baru disadari kalau memiliki satu senjata yang tak ada bandingnya di dunia ini. Sudah pasti, Sekar akan datang ke sini untuk membebaskan adiknya. Memang, tak ada satu senjata pun di dunia ini yang bisa mengalahkan kasih sayang dan cinta. Sekar pasti akan melakukan apa saja untuk membebaskan adiknya dari tawanan Kala Putih.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Kala Putih tertawa terbahak-bahak.
"Rasanya kita tidak perlu susah-susah mencarinya, Ki. Mereka pasti akan datang sendiri ke sini," saran Caraka lagi.
"Kau benar, Caraka. Gadis setan itu pasti datang ke sini untuk membebaskan adiknya," sambut Kala Putih.
"Mereka hanya enam orang, Ki. Tidak sulit menghancurkannya," sambung Balika.
"Hm...," Kala Putih menggumam periahan. "Bagaimana anak itu?"
"Dia menangis terus. Makannya hanya sedikit," sahut Kandara.
"Aku tidak peduli dia mau makan atau tidak. Yang penting, dia belum mati sampai kakaknya datang ke sini!" dengus Kala Putih.
"Aku menjaganya baik-baik, Ki," tegas Kandara. "Bagus! Tapi, sebaiknya kalian juga tetap mencari mereka. Kalau bisa, rebut pedang itu. Rasanya, aku akan lebih tenang kalau Pedang Kawa Hijau sudah berada di tanganku," ujar Kala Putih lagi.
"Baik, Ki," sahut empat orang itu serempak.
"Sebaiknya, kalian pergi sekarang," kata Kala Putih lagi. "Dan, ingat! Selepas senja nanti, kalian kutunggu di tempat biasa.
"Baik, Ki," sahut mereka serempak.
Tanpa ada yang membantah sedikit pun, mereka segera beranjak pergi. Sementara, Kala Putih masih tetap duduk di kursinya sampai empat orang kepercayaannya tenggelam di balik pintu. Dan Kini perlahan-lahan dia bangkit berdiri, dan melangkah meninggalkan ruangan ini.
***
Sementara itu di dalam hutan yang cukup lebat, Bayu duduk bersila di depan api unggun bersama empat orang bekas petugas pengawal barang kerajaan. Saat itu, malam sudah jatuh. Udara di sekitar hutan lereng Gunung Anjar ini begitu dingin. Bahkan api unggun yang menyala cukup besar ini tidak sanggup mengusir dinginnya udara malam ini.
"Kalian lihat Sekar?" tanya Bayu.
"Tadi ke sana," sahut Kala Putih sambil menunjuk.
"Kalian di sini saja."
Setelah berpesan, Pendekar Pulau Neraka bangkit berdiri dan melangkah ke arah yang ditunjuk Kala Putih. Ayunan kakinya begitu ringan, dan tak bersuara sedikit pun. Hutan ini begitu lebat, sehingga suasananya begitu gelap dan menyeramkan. Bayu terus mengayunkan kakinya semakin jauh meninggalkan empat orang itu.
Sampai di tempat yang penuh batu, Bayu baru melihat Sekar tengah duduk di atas batu memandang ke arah lembah. Dari tempat yang cukup tinggi ini, lembah itu memang bisa terlihat jelas. Perlahan Bayu menghampiri dan berdiri dibelakang gadis itu. Lembut sekali tangannya disentuhkan ke bahu.
"Oh...!" Sekar tersentak kaget.
"Maaf, aku mengejutkanmu," ucap Bayu.
"Tidak...," sahut Sekar begitu tahu yang menyentuh bahunya adalah Pendekar Pulau Neraka.
Bayu duduk di samping gadis itu. Sementara Sekar menggeser sedikit duduknya, memberi tempat pada Pendekar Pulau Neraka. Mereka terdiam sambil memandang ke arah lembah yang bermandikan cahaya api obor. Suasana di lembah itu terlihat cukup semarak, seperti sedang pesta. Tapi, tak ada pesta di sana. Hanya terlihat orang-orang bersenjata saja yang hilir mudik di sekitar bangunan besar dikelilingi tembok batu bagai benteng.
"Kau teringat adikmu, Sekar...?" lembut sekali suara Bayu.
"Ya...," sahut Sekar agak mendesah. "Kuharap tidak terjadi sesuatu pada Wirya." "Percayalah, Sekar. Kita pasti akan membebaskan adikmu," Bayu mencoba menguatkan hati gadis ini.
"Aku percaya padamu, Kakang."
Kembali mereka terdiam. Pandangan mereka tak terlepas ke arah lembah yang tampak terang benderang oleh cahaya api obor. Terlebih lagi, di dalam bangunan yang dikelilingi tembok benteng. Semua dalam keadaan terang, seakan-akan sengaja hendak menyambut kedatangan mereka.
"Sekar...."
Lembut sekali Bayu mengambil tangan gadis itu, dan menggenggamnya penuh kehangatan.
"Oh...," Sekar mendesah.
Sebentar gadis itu berpaling menatap wajah pemuda tampan di sampingnya, tapi cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain. Rasanya tak sanggup membalas tatapan mata Bayu yang mengandung sejuta arti, dan sukar dilukiskan dengan kata-kata biasa.
"Tanganmu dingin. Kau sakit..?" masih terdengar lembut suara Bayu. "Tid... tidak," sahut Sekar jadi tergagap.
Buru-buru gadis itu menarik tangannya dari genggaman Pendekar Pulau Nereka. Bayu membiarkan saja ketika Sekar bangkit berdiri, dan berjalan tiga langkah ke depan. Pemuda itu masih tetap duduk di batu yang datar dan pipih ini.
Dipandanginya tubuh Sekar yang ramping dan padat dari belakang. Perlahan Bayu berdiri dan melangkah menghampiri. Pendekar Pulau Neraka berdiri dekat di sebelah kanan gadis ini. Sementara Sekar tak berpaling sedikit pun. Matanya tetap terarah ke lembah, tapi pikirannya jadi tidak tertuju ke sana. Entah, apa yang ada di dalam kepalanya saat ini.
Baru saja Bayu hendak membuka mulutnya, tiba-tiba saja terdengar suara mendesing dari arah kanan. Bayu berpaling sedikit. Seketika, tangannya cepat dikibaskan, begitu terlihat sebuah benda hitam meluncur deras ke arahnya.
Tap!
"Panah hitam...," desis bayu begitu benda yang meluncur deras ke arahnya berhasil ditangkap.
Bayu cepat-cepat menarik tangan Sekar, dan membawanya menjauh dari tempat ini. Tapi belum jauh mereka pergi, tiba-tiba saja di depan mereka ber-lompatan tiga orang berbaju serba hitam. Kemudian, disusul seorang laki-laki bertubuh sedang dan berwajah cukup tampan. Tapi, luka codet yang memanjang membelah pipinya, mengurangi ketampanan wajahnya. Sebuah tombak pendek berujung runcing terselip di pinggangnya. Dialah Sentanu, salah seorang kepercayaan Kala Putih.
"Hebat...! Tidak percuma kau mendapat julukan Pendekar Pulau Neraka," terasa sinis nada suara Sentanu.
"Terima kasih," ucap Bayu diiringi senyum tipis.
"Rasanya, aku tidak periu banyak bicara. Kalian tentu tahu maksudku," kata Sentanu lagi.
"Dan aku juga tidak akan sungkan-sungkan lagi," sambut Bayu yang sudah bisa mengerti kemunculan empat orang ini.
"Serang dia...!" perintah Sentanu.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Tiga orang berbaju serba hitam itu cepat berlompatan menyerang Pendekar Pulau Nereka. Mereka langsung mencabut senjata berupa pedang berukuran panjang. Kilatan-kilatan cahaya keperakan seketika berkelebatan di sekitar tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan Bayu segera berjumpalitan menghindari serangan-serangan ini Pendekar Pulau Neraka belum memberi serangan balasan, dan masih mempelajari jurus-jurus lawan sambil mengukur tingkat kepandaian mereka.
Sementara itu, Sentanu sudah melompat menyerang Sekar. Maka, gadis itu terpaksa menjauh dari Pendekar Pulau Neraka. Sentanu tidak tanggung-tanggung lagi. Langsung dikerahkannya jurus-jurus andalan yang maut dan dahsyat luar biasa. Akibatnya Sekar harus jungkir balik menghadapinya. Sementara Bayu menghadapi keroyokan tiga orang, namun masih sempat memperhatikan Sentanu yang terus berusaha mendesak Sekar.
"Hm..., Sekar tidak akan tahan kalau digempur begitu terus," desah Bayu dalam hati.
Menyadari keadaan Sekar yang tampaknya semakin gawat, Pendekar Pulau Nereka segera melompat cepat. Langsung kedua tangannya dikibaskan dengan kecepatan bagai kilat, diimbangi gerakan kakinya yang cepat dan lincah.
"Yeaaah...!"
Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga bentuk tubuhnya jadi menghilang. Dan yang terlihat kini hanya bayangan kuning tengah berkelebat menyambar ketiga orang berbaju serba hitam ini. Entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba saja ketiga orang itu berpentalan ke belakang sambil memekik keras melengking. Mereka seketika berpelantingan di atas tanah berbatu.
Pendekar Pulau Neraka tak lagi menghiraukan ketiga orang yang merintih dan menggeliat kesakitan. Dia cepat melompat menerjang ke arah Sentanu yang hampir saja menghunjam senjatanya yang berupa tombak pendek berujung runcing ke dada Sekar yang sudah terpojok, dengan punggung menempel rapat pada pohon.
"Hiyaaa...!"
Plakkk!
"Akh...!"
***
Sentanu memekik agak tertahan begitu tangannya terkena tepakan Pendekar Pulau Neraka. Hampir saja tombak pendeknya terpental. Untung saja Sentanu segera memindahkannya ke tangan kiri. Cepat dia melompat mundur, melakukan putaran sekali.
"Setan...!" geram Sentanu berang.
Sementara itu, Bayu sudah berdiri tegak di depan Sekar. Sedangkan Sentanu semakin geram begitu melihat ketiga orangnya sudah terkapar tak berkutik lagi. Cepat-cepat tombak pendeknya dipindahkan kembali ke tangan kanan, lalu melakukan beberapa gerakan cepat. Beberapa langkah Bayu menggeser kakinya ke kanan, memberi kesempatan pada Sekar untuk pindah tempat.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Sentanu melompat cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Tombak pendeknya berkelebat cepat beberapa kali, membuat Bayu terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Beberapa kali ujung tombak pendek Sentanu hampir menghunjam kulit tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi, sampai sejauh ini belum ada satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu.
Pada saat itu terdengar semak bergemerisik. Sekar langsung berpaling ke arah suara itu. Hampir saja pedangnya tercabut, ketika empat orang laki-laki muncul dari dalam semak belukar, Sekar menarik napas panjang. Sedangkan pedangnya yang sudah tercabut sedikit, kembali dimasukkan ke dalam warangka.
Ternyata mereka adalah Kampar dan ketiga temannya. Mereka bergegas menghampiri Sekar yang sudah kembali mengarahkan perhatian pada pertarungan itu.
"Sentanu...," desis Kampar mengenali orang yang bertarung dengan Bayu.
"Kau kenal, Kampar?"
"Dia salah seorang yang merampok barang kawalanku," sahut Kampar agak mendesis suaranya.
Saat itu, pertarungan sudah berlangsung lebih dari sepuluh jurus. Dan beberapa kali sudah Pendekar Pulau Neraka melancarkan serangan balasan. Dan entah sudah berapa kali pula pukulannya masuk ke tubuh lawan. Tapi, Sentanu rupanya masih mampu bertahan dan melakukan serangan-serangan dahsyat dan berbahaya.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu merundukkan tubuhnya sedikit, dan cepat sekali melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah dada Sentanu.
"Uts!"
Sentanu cepat memiringkan tubuhnya ke kanan, menghindari pukulan itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, tubuh Bayu cepat berputar sambil melepaskan satu tendangan menggeledek yang tidak terduga sama sekali. Akibatnya Sentanu jadi terperangah. Tak ada waktu lagi bagjnya untuk menghindar. Sehingga....
Diegkh!
"Aaakh...!"
Sentanu terpental jauh ke belakang. Keras sekali tubuhnya jatuh terlentang, tepat di depan kaki Sekar. Saat itu juga Sekar mencabut pedangnya. Dan....
"Sekar, jangan...!" sentak Bayu.
Tapi, terlambat!
"Aaa...!"
Sekar sudah lebih dahulu menghunjamkan pedang yang bercahaya kehijauan itu ke dada Sentanu.
Darah seketika menyembur keluar begitu Sekar mencabut pedangnya. Sebentar Sentanu menggelepar meregang nyawa, kemudian mengejang kaku dan di-am tak bemyawa lagi. Sekar kembali memasukkan pedang itu ke dalam warangkanya.
"Seharusnya kau tidak perlu membunuhnya, Sekar," Bayu menyesali tindakan gadis ini.
"Dia salah satu pembunuh ayahku," dengus Sekar.
Bayu menepuk pundak gadis ini, lalu mengajaknya berlalu dari tempat itu. Sementara empat orang yang tadi berada di belakang Sekar hanya diam saja memandangi. Mereka juga tidak menduga kalau Sekar akan melakukan hal itu. Memanfaatkan waktu yang hanya sedikit, untuk membalas kematian ayahnya pada Sentanu.
"Orang-orang seperti dia tidak pantas hidup, Kakang," kata Sekar masih dengan suara berat mendengus.
"Sudahlah.... Aku bisa mengerti perasaanmu," desah Bayu.
Bayu mengajak duduk gadis ini pada sebatang pohon yang tumbang melintang. Sekar hanya menurut saja. Dia juga diam saja saat Bayu mengambil tangannya, lalu menggenggamnya erat-erat dan hangat. Sekar hanya tertunduk saja, tapi bukannya tengah menyesali perbuatannya tadi.
"Rasanya tidak ada lagi tempat yang aman, Kakang," kata Sekar agak lirih suaranya. "Aku khawatir Kala Putih akan menyakiti Wirya."
"Kita memang akan menyelamatkan adikmu, Sekar. Tapi tunggulah saat yang tepat," hibur Bayu mencoba menenangkan hati gadis ini.
Bayu bisa merasakan apa yang tengah melanda hati gadis ini. Ayahnya tewas di tangan orang-orangnya Kala Putih. Dan sekarang adiknya ditawan mereka di lembah itu. Memang cukup sulit bagi Sekar menerima kenyataan ini. Kenyataan pahit yang harus ditanggungnya sendiri dalam usia yang masih muda.
Dan Bayu jadi terdiam, tidak tahu harus berkata apalagi menenangkan hati gadis ini. Pendekar Pulau Neraka seperti kehilangan kata-kata. Hanya tangannya saja yang tetap menggenggam kedua tangan Sekar, seakan-akan ingin memberi satu kekuatan dari genggamannya itu.
"Aku tidak tahu, seandainya tidak ada kau, Kakang," kata Sekar lagi, lebih pelan suaranya.
"Ah, sudahlah....Mungkin memang Dewata tidak menginginkan Kala Putih memiliki pedang ini," sahut Bayu merendah.
"Aku tidak tahu, dengan apa harus membalas budimu, Kakang."
"Jangan dipikirkan itu, Sekar. Yang paling penting sekarang, kita harus pikirkan bagaimana caranya menyelamatkan adikmu. Lalu, kau pikirkan masa depanmu sendiri. Tanggung jawabmu akan lebih besar nanti, Sekar," lembut sekali suara Bayu.
Sekar hanya menganggukkan kepala saja. Dia juga jadi tidak tahu lagi, apa yang harus dikatakannya. Pengorbanan yang diberikan Pendekar Pulau Neraka begitu besar. Dan tidak mungkin bisa membalasnya. Tapi, Bayu sendiri tidak pernah memikirkan hal itu. Benaknya tengah sibuk memikirkan cara untuk masuk ke tempat tinggal Kala Putih dan menyelamatkan Wirya yang berada di dalam tawanan.
***
Sementara malam terus merayap semakin larut Di tepi bibir lembah, Bayu berdiri tegak mengamati sekitar lembah yang masih bertaburkan cahaya api obor. Di pundaknya, tampak monyet kecil yang bernama Tiren bertengger di situ. Puluhan orang bersen-jata golok masih terlihat berjaga-jaga di sekitarnya. Dan kebanyakan, mereka berada di sekitar bangunan yang seperti sebuah istana kecil dikelilingi tembok batu menyerupai benteng.
"Hup!"
Tiba-tiba saja Bayu melompat cepat bagai kilat menuruni tebing lembah ini bersama Tiren di pundaknya. Gerakannya begitu ringan dan cepat, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Hanya bayangan kuning saja yang terlihat berkelebat cepat memasuki lembah itu.
Bayu terus bergerak cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna. Diputarinya lembah itu, dan baru berhenti setelah berada di bagian belakang bangunan istana kecil yang dikelilingi tembok benteng itu.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka mengamati keadaan sekitarnya, kemudian kembali melesat cepat dan ringan sekali. Ternyata, di bagian belakang ini tidak terlihat seorang penjaga pun. Pendekar Pulau Neraka kembali berhenti, merapatkan tubuhnya ke dinding tembok batu yang berlumut cukup tebal ini.
"Tiren! Lihatlah ke dalam. Kalau bisa, cari tempat Wirya ditawan," bisik Bayu pada monyet kecil di pundaknya.
"Nguk!"
Monyet kecil berbulu hitam itu rupanya mengerti semua yang dikatakan Bayu. Cepat binatang itu melompat naik ke atas tembok benteng ini. Sebentar dia berhenti di bibir tembok, lalu berpaling pada Bayu sebentar. Kemudian dia melompat turun ke dalam.
Beberapa saat Bayu menunggu, lalu cepat melentingkan tubuhnya ke atas. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya hinggap di atas tembok benteng ini. Sebentar diamatinya keadaan sekeliling bagian belakang bangunan besar bagai istana ini. Ringan sekali Bayu berlari-lari di bibir tembok yang cukup tebal ini.
"Ufs!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka menjatuhkan diri, dan merapatkan tubuh begitu terlihat dua orang berjalan menuju ke arahnya dengan golok di pinggang. Bayu sempat menahan napasnya ketika dua orang penjaga itu lewat di bawahnya. Belum juga bisa menghembuskan napas lega, mendadak saja dua orang penjaga itu berhenti tidak jauh darinya. Namun, salah seorang mendongak ke atas.
"Heh...!"
"Hup!" Tak ada pilihan lagi bagj Bayu. Cepat Pendekar Pulau Neraka melompat turun, dan langsung melepaskan dua pukulan beruntun yang cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Kedua orang penjaga itu tidak sempat lagi bersuara, dan langsung menggeletak jatuh begitu terkena pukulan Pendekar Pulau Neraka.
Tak ada suarapun yang terdengar. Bayu bergegas menyeret tubuh kedua penjaga ini, dan menyembunyikan ke dalam semak yang cukup rimbun.
"Hup...!"
Bergegas Pendekar Pulau Neraka melompat menuju ke arah rumah berukuran besar dan cukup megah itu. Tapi belum juga sampai, mendadak saja terdengar bentakan keras menggelegar.
"Hei...!"
"Oh...?!"
***
TUJUH
Sungguh Bayu tidak menyangka kalau kehadirannya bisa diketahui begitu saja. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan di depannya. Dan tahu-tahu, di situ sudah berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan tegap. Di tangannya tampak tergenggam sebuah rantai baja berbandul bola besi berduri pada bagian ujung-nya.
"Rupanya tikus ini punya nyali besar juga," desis Kandara sinis.
Pendekar Pulau Neraka hanya diam memandangi saja. Pada saat itu, terlihat sekitar sepuluh orang berlarian ke tempat ini. Mereka semua bersenjata golok terhunus. Bayu sempat mellrlk ke arah sepuluh orang yang sudah berada di hadapannya. Mereka berdiri berjajar di belakang Kandara yang mengayun-ayunkan rantai yang berbandul bola besi berduri.
"Bunuh dia...!" perintah Kandara lantang.
"Hiyaaa!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga sepuluh orang yang berada di belakangnya, berlompatan cepat seraya mengebutkan golok menyerang Pendekar Pulauv Neraka. Tubuh Bayu segera melenting ke udara, melewati kepala orang-orang yang berhamburan menyerangnya. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka melakukan putaran di udara, lalu manis sekali mendarat di belakang Kandara.
'Yeaaah...!"
Cepat sekali Kandara memutar tubuhnya sambil mengebutkan rantai baja yang berbandul besi berduri sebesar kepala itu. Bayu tersentak kaget tidak me-nyangka. Cepat-cepat tubuhnya melesat ke udara, menghindari terjangan bola besi berduri tajam itu. Dan begitu kakinya menjejak tanah, dua orang bersenjata golok sudah menyerang, membabatkan golok ke arah dada.
"Hap!"
Tap!
Tangkas sekali Bayu menangkap tangan kedua orang itu yang memegang golok. Lalu dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, kedua tangan itu dihentakkan ke lututnya. Kedua orang itu menjerit keras. Terdengar suara berderak dari tulang tangan yang patah. Tidak hanya sampai disitu saja. Bayu dengan segera melepaskan cekalannya, dan memberikan satu gedoran keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
Kembali kedua orang itu menjerit keras. Tubuh mereka terlontar jauh ke belakang, dan ambruk ke tanah tak bergerak-gerak lagi. Belum sempat Bayu menarik napas, satu serangan kembali datang menghampirinya dari arah kanan. Sebuah golok keperakan berkelebat cepat mengarah ke leher. Bergegas Pendekar Pulau Neraka menarik kepalanya. Dan begitu ujung golok lewat di samping lehemya, cepat dilepaskannya satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna.
"Yeaaah...!"
Diegkh!
"Aaakh...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar lagi Kemudian, disusul ambruknya satu orang dengan kepala remuk terkena pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka. Meskipun sudah tiga orang tergeletak tak bemyawa lagi, tapi tujuh orang lainnya yang masih bernapas tidak merasa gentar sedikit pun. Mereka langsung merangsek menyerang Pendekar Pulau Neraka dari berbagai penjuru.
"Hiya! Yeaaah...!"
Kali ini Pendekar Pulau Neraka benar-benar tidak tanggung-tanggung lagi. Tubuhnya bergerak cepat laksana kilat, sambil melontarkan pukulan-pukulan keras bertenaga dalam sempurna. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar saling susul dan menyayat Satu persatu, mereka yang menyerangnya berpentalan dan tergeletak tak bernyawa lagi.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, tak ada seorang pun dari kesepuluh orang itu yang bisa bangkit lagi. Sementara, Kandara mendesis geram melihat sepuluh orang bisa dirobohkan begitu mudah. Maka, cepat-cepat senjatanya dikebutkan sebelum Bayu sempat melonggarkan rongga dadanya.
Bet! Wusss!
"Hup! Yeaaah...!" Bayu terpaksa berjumpalitan menghindari bola besi berduri yang melayang-Iayang seperti memiliki mata mengincar dirinya. Ke mana saja tubuhnya berkelit, bola besi berduri itu selalu bergerak cepat mengikuti. Bahkan beberapa kali Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus menjatuhkan diri ke tanah, dan bergulingan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Kandara.
"Setan...!" desis Bayu menggeram.
Tak ada kesempatan sendikit pun bagi Pendekar Pulau Neraka untuk balas menyerang. Kandara seakan-akan sengaja menjaga jarak, dan hanya mempermainkan senjatanya dengan lincah sekali. Kedua tangannya bergerak cepat mempermainkan rantai baja yang dihubungkan dengan bola besi berduri tajam itu. Dan jarak antara mereka memang semakin jauh. Namun, inilah yang diharapkan Kandara, sehingga Bayu benar-benar tidak punya kesempatan melakukan serangan balasan.
"Ha ha ha...!"
Kandara tertawa terbahak-bahak melihat pemuda berbaju kulit harimau itu pontang-panting menghindari serangan-serangan bola berdurinya. Rantai bajanya terus dimainkan dengan tangkas sekali, diimbangi gerakan kaki yang begitu cepat dan ringan, mengikuti gerakan menghindar yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka.
"Mampus kau sekarang, Keparat! Hiyaaa...!"
Kandara menghentakkan tangannya cepat sekali. Seketika rantai baja yang berujung bola besi berduri itu meluruk deras mengarah ke dada Pendekar Pulau Neraka. Saat itu, Bayu baru saja bisa menjejakkan kakinya di tanah, setelah menghindari terjangan bola berduri itu. Maka, matanya terbeliak melihat senjata maut yang dahsyat itu meluruk deras ke arahnya cepat bagai kilat. Tapi begitu bola besi berduri itu hampir menggedor dada Bayu, mendadak saja berkelebat secercah sinar hijau di depan dada Pendekar Pulau Neraka. Padahal, saat. itu pemuda berbaju kulit harimau ini hendak menangkap bola besi berduri milik Kandara.
Wusss!
"Heh...?!"
"Uts!"
Kandara terkejut setengah mati lalu cepat menarik pulang senjata nya. Tapi gerakannya terlambat Sinar kehijauan itu sudah menghantam bola besi berduri itu keras sekali.
Glarrr...!
Satu ledakan keras menggelegar terdengar dahsyat memekakkan telinga. Bayu yang juga terkejut tidak menyangka, cepat-cepat melentingkan tubuh ke belakang dan berputaran beberapa kali. Bunga api memijar, menyebar ke segala arah, disertai kepulan asap hitam akibat benturan bola besi berduri dengan sinar kehgauan yang tiba-tiba saja datang berkelebat
"Akh...!" Kandara terpekik agak tertahan.
Dia terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Tapi, Kandara cepat menguasai keseimbangan tubuhnya begitu menjejakkan kaki di tanah. Kan-dara terbeliak melihat bola besi berduri andalannya hancur berkeping-keping. Dan lebih terbeliak lagi, begitu melihat seorang gadis berdiri tegak di depan Pendekar Pulau Neraka dengan sebilah pedang bercahaya kehijauan melintang di depan.
"Kau...?!"
***
"Sekar...?! Kenapa kau berada di sini...?" Bayu juga terkejut melihat kemunculan gadis itu.
"Aku tidak akan membiarkanmu menyelesaikannya sendiri, Kakang," tegas gadis yang baru muncul itu. Dia memang Sekar.
"Bagus! Rupanya dua tikus bernyali besar sudah muncul di sini...!" tiba-tiba saja terdengar suara berat dan menggema.
Bayu dan Sekar langsung berpaling ke arah datangnya suara tadi. Entah kapan datangnya, tahu-tahu di atas atap bangunan besar bagai istana itu sudah berdiri seorang laki-laki tua berbaju serba putih bersih. Belum lagi hilang rasa keterkejutan Bayu dan Sekar, dari balik dinding bangunan itu bermunculan orang-orang bersenjata terhunus. Bahkan di atas atap juga bersembulan orang-orang yang sudah siap dengan pa-nah terbentang, siap dilepaskan.
Sebentar saja tempat itu sudah dikepung rapat Tak ada lagi celah untuk bisa keluar dari tempat ini. Saat itu, Kandara melompat naik ke atas atap, bergabung dengan yang lain. Dia berdiri hinggap di samping kanan laki-laki berbaju putih itu.
"Dialah Kala Putih," dengus Sekar memberi tahu sambil menunjuk laki-laki berbaju putih di atas atap.
Di samping kanan-kiri Kala Putih berdiri Balika dan Caraka selain Kandara yang baru saja naik ke atas atap ini. Ada sekitar dua puluh orang yang siap me-lepaskan anak panah di sekitar mereka. Sedangkan di depan Bayu dan Sekar, tidak kurang dari lima puluh orang bersenjatakan golok terhunus.
"Kalau ada kesempatan, kau harus segera pergi dari sini," ujar Bayu berbisik
"Tidak! Aku harus menyelamatkan Wirya...!" sentak Sekar menolak tegas.
"Jangan gila, Sekar! Jumlah mereka terlalu banyak!" dengus Bayu sedikit kesal.
Sekar diam saja. Pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Jumlah mereka memang banyak. Sedangkan dia hanya berdua saja dengan Pendekar Pulau Neraka. Belum lagi Kala Putih yang berkepandaian tinggi, dan tidak bisa dipandang enteng. Bahkan ditambah tiga orang pembantu kepercayaannya. Meski-pun tidak setinggi Kala Putih, tapi mereka juga tidak bisa dianggap enteng. Sebentar kemudian, Sekar menatap wajah Pendekar Pulau Neraka yang sekarang sudah berada di sampingnya.
"Kau sendiri...?" tanya Sekar.
"Aku juga tidak sudi mati konyol di sini," sahut Bayu agak mendengus suaranya.
"Kau pegang ini, Kakang."
Bayu memandangi Sekar yang menyerahkan Pedang Kawa Hijau.
"Kau lebih membutuhkannya, Sekar," Bayu mencoba menolak
"Kau bisa melindungiku keluar dari sini dengan pedang ini, Kakang," Sekar memaksa.
"Baiklah...," Bayu menyerah.
Pendekar Pulau Neraka menerima pedang itu dari tangan Sekar. Memang tidak ada pilihan lain lagi Baginya saat ini, yang penting Sekar mau menuruti kata-katanya. Kalau pedang ini tidak diterimanya, sudah pasti Sekar tidak mau meninggalkan tempat ini.
"Kalau aku melompat, kau cepat melompat keluar," ujar Bayu berbisik.
"Baik" sahut Sekar. Pendekar Pulau Neraka memperhatikan orang-orang yang sudah mulai bergerak mendekati. Ditariknya tangan Sekar hingga gadis itu berada di belakangnya. Perlahan Pendekar Pulau Neraka juga bergerak mundur.
Sekar mengikuti menggeser kaki ke belakang perlahan-lahan, mengikuti irama kaki Pendekar Pulau Neraka. Sampai dekat dengan tembok benteng yang mengelilingi bangunan bagai istana itu, Sekar berhenti melangkah mundur.
"Bersiaplah," ujar Bayu.
"Baik," sahut Sekar agak mendesah.
Sementara orang-orang yang mengepung terus bergerak semakin mendekati.
"Kau harus segera menemui Kampar. Paksa dia untuk meminta bantuan prajurit kerajaan," Bayu berpesan.
"Untuk apa...?" tanya Sekar tidak mengerti.
"Kau tidak akan sanggup menghadapi mereka sendirian, Sekar."
"Tapi, apa mungkin Kampar mau?"
"Katakan, kalau aku yang menyuruhnya."
Sekar hanya mengangguk saja. Saat itu, Kala Putih sudah berteriak lantang menggelegar memberi perintah.
"Seraaang...!"
Teriakan-teriakan keras menggelegar seketika itu juga terdengar memecah keheningan malam. Lebih dari lima puluh orang bersenjata golok berhamburan ke arah Pendekar Pulau Neraka. Golok mereka terangkat ke atas kepala. Lalu sambil berlarian mereka berteriak-teriak membangkitkan semangat bertempur.
"Sekarang! Hiyaaa...!" seru Bayu tiba-tiba.
Saat itu juga, Bayu melentingkan tubuh ke atas.
"Hiyaaat..!"
Sekar cepat mengikuti Pendekar Pulau Neraka. Dia cepat melesat ke atas, berlindung di balik punggung Pendekar Pulau Neraka. Rupanya, tanpa disadari pengaruh Pedang Kawa Hijau telah menjalar di tubuh Sekar. Meskipun, dia sudah tidak memegangnya lagi. Jadi, wajar saja bila Sekar mampu melompat ke atas demikian tingginya.
"Panah...!" teriak Kala Putih begitu melihat Bayu dan Sekar melesat ke udara.
Swinggg...!
Belum juga teriakan Kala Putih menghilang dari pendengaran, puluhan anak panah sudah berhamburan ke arah Bayu. Saat itu, Sekar sudah mencapai bibir tembok benteng. Sedangkan Bayu masih melayang di udara. Pendekar Pulau Neraka cepat mengebutkan tangannya, menyampok panah-panah yang berham-buran berdesingan di sekitamya.
"Lari cepat, Sekar...!" seru Bayu.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Sekar segera melompat turun keluar dari lingkungan tembok benteng ini. Sementara, Bayu kembali meluncur turun sambil cepat mengebutkan tangannya, menangkis setiap panah yang mengarah ke tubuhnya.
Dan begitu kakinya menjejak tanah, Pendekar Pulau Neraka langsung disambut puluhan golok yang berkelebatan cepat di sekitar tubuhnya. Bayu berjumpalitan, menghindari setiap tebasan golok yang cepat datang dari segala penjuru. Maka, ruang geraknya begitu cepat menyempit
"Setan...!" geram Bayu mendengus.
Tak ada kesempatan bagi Bayu untuk menggunakan senjata Cakra Mautnya. Namun, seketika Pendekar Pulau Neraka jadi teringat pedang yang diberikan Sekar. Tanpa peduli kalau tidak pernah menggunakan pedang dalam pertarungan, pedang itu cepat dicabut dari warangkanya. Seketika, cahaya kehijauan menyemburat terang dari pedang ini.
"Hiyaaat..!"
Bayu langsung mengebutkan pedangnya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Seketika itu juga terdengar jeritan panjang melengking saling sambut disusul bertumbangannya tubuh-tubuh bersimbah darah. Bayu sendiri sampai terkejut karena beberapa golok yang terbabat pedang ini langsung terpenggal buntung. Dan setiap kali pedangnya bergerak cepat, satu atau dua orang menjerit keras, lalu ambruk menggelepar berlumuran darah.
Dalam beberapa gebrak saja, sudah lebih dari lima belas orang tergeletak berlumuran darah tak bemyawa lagi. Bukan hanya mereka yang terkejut. Bahkan Bayu juga tidak mengerti dengan semua ini. Tangannya tidak merasa menggerakkan pedang ini. Dan sepertinya, pedang bercahaya kehijauan ini bisa bergerak sendiri, berkelebat membabat orang-orang yang berada di dekatnya.
***
"Mundur...!" teriak Kala Putih tiba-tiba.
Mereka yang mengeroyok Bayu, langsung berlompatan mundur begitu mendengar teriakan keras Kala Putih. Tidak kurang dari dua puluh orang kini sudah bergelimpangan bersimbah darah tak bemyawa Jagi. Bau anyir darah begitu cepat menyebar, merasuk ke lubang hidung. Bayu berdiri tegak, dan Pedang Kawa Hijau tampak tergenggam di tanah kanannya.
Pendekar Pulau Neraka bagaikan malaikat maut pencabut nyawa dengan pedang bercahaya kehijauan berada dalam genggaman tangan kanannya. Sinar matanya begitu tajam merayapi orang-orang yang berada agak jauh di sekitamya. Kemudian ditatapnya Kala Putih yang masih berada di atas, cfidampingi tiga orang pembantu kepercayaannya.
Kala Putih yang memang menginginkan Pedang Kawa Hijau itu, jadi berbinar matanya. Tapi hatinya juga geram, karena pedang itu sudah meminta nyawa anak buahnya begitu banyak. Terlebih lagi, sekarang ini pedang idamannya berada di tangan seorang pendekar muda berkepandaian tinggi yang sudah tidak asing lagi di kalangan rimba persilatan.
"Kala Putih, gadis itu sudah kabur," jelas Balika.
"Aku tidak peduli!" dengus Kala Putih.
Dan memang, sebenarnya yang diincar bukanlah Sekar, tapi Pedang Kawa Hijau yang kini berada di dalam genggaman tangan Pendekar Pulau Neraka.
"Kalian bertiga, bunuh bocah setan itu!" perintah Kala Putih.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang pembantu kepercayaan Kala Putih langsung berlompatan turun. Gerakan mereka begitu ringan, tak sedikit pun menimbulkan suara begitu menjejak tanah. Mereka kembali berlompatan mendekati Bayu.
"Hiyaaat..!"
Balika langsung melakukan serangan. Senjatanya yang berupa trisula, langsung ditusukkan ke arah dada Pendekar Pulau Neraka. Tapi hanya sedikit saja Bayu memiringkan tubuhnya, maka tusukan senjata Balika tidak mengenai sasaran.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, Bayu mengebutkan pedangnya ke arah perut Balika dengan kecepatan luar biasa. Akibatnya, Balika tersentak kaget tidak menyangka. Buru-buru senjatanya ditarik, dan cepat dikibaskan menangkis pedang bercahaya kehijauan itu.
Tranggg!
"Heh...?!"
Balika tersentak kaget setengah mati begitu senjatanya beradu dengan pedang di tangan Pendekar Pulau Neraka. Seluruh tubuhnya jadi menggeletar bagai tersengat lebah. Bahkan senjata kebanggaannya jadi terpenggal dua. Belum lagi Balika dapat menghilangkan keterkejutannya, Bayu sudah melancarkan satu serangan kilat yang mendadak.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali kaki kanan Pendekar Pulau Neraka melayang ke arah dada, di saat Balika tengah terpana melihat senjatanya terpenggal buntung oleh Pedang Kawa Hijau. Maka, serangan Bayu yang begitu cepat, tak dapat lagi dihindari.
Des!
"Akh...!" Balika memekik keras.
Tubuh Balika terpental jauh ke belakang, dan keras sekali menghantam tanah. Tendangan yang dile-paskan Bayu, begitu keras karena disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Sebentar Balika menggeliat, kemudian diam tak berkutik-kutik lagi. Hanya tiga kali gebrakan saja, Balika sudah terkapar tak bernyawa lagi Dadanya tampak melesak hancur terkena tendangan Bayu tadi.
"Setan! Hiyaaat..!"
Caraka begitu geram melihat Balika sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Bagaikan kilat, golok yang berukuran besar dikibaskan ke arah kepala Pendekar Pulau Neraka. Tapi, Bayu berhasil mengelakkan serangan itu dengan merundukkan kepala. Dan begitu golok Caraka yang berukuran besar itu lewat di atas kepala, bergegas Bayu menegakkan kepalanya lagi. Seketika kakinya ditarik ke belakang dua langkah.
Bet!
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mengebutkan pedangnya, ketika Caraka kembali melakukan serangan golok ke dada. Melihat Pendekar Pulau Neraka itu hendak menangkis, Caraka cepat menarik pulang goloknya. Tapi tanpa diduga sama sekali, pedang bercahaya kehijauan itu meliuk indah. Dan tahu-tahu, sudah berada di depan dada Caraka.
"Heh...?!"
Caraka jadi terkejut setengah mari. Buru-buru tubuhnya melenting berputar ke belakang. Sehingga, tusukan Pedang Kawa Hijau itu tidak sampai mengenai sasaran.
"Hiyaaat..!"
Sebelum Pendekar Pulau Neraka bisa menarik pulang pedangnya, tiba-tiba saja Kandara sudah melompat menyerang. Pedang hitam yang selalu tersembunyi di balik bajunya, kini telah berada di tangan kanannya bergerak cepat mengibas ke arah leher Pendekar Pulau Neraka. Tapi tanpa diduga sama sekali, Bayu tidak berusaha menghindar. Dan begitu mata pedang berwarna hitam pekat itu hampir menebas lehernya, cepat dan tiba-tiba sekali Bayu mengebutkan pedangnya ke depan.
"Kandara, awas...!" seru Caraka memperingatkan.
Tapi peringatan Caraka rupanya terlambat Karena, tubuh Kandara sudah condong ke depan, maka sukar untuk bisa ditarik kembali. Dan tak pelak lagi, pedang di tangan Bayu menembus dada hingga ke punggung. Kandara langsung menjerit keras melengking tinggi.
"Hih!"
Begitu Bayu mencabut pedangnya kembali, Kandara langsung limbung. Tubuhnya ambruk menggele-par di tanah. Darah bercucuran deras dari dadanya yang berlubang hingga tembus ke punggung. Beberapa saat Kandara masih menggeliat meregang nyawa, kemudian mengejang kaku tak bergerak-gerak lagi. Tewas!
"Keparat..!" geram Kala Putih yang sejak tadi menyaksikan pertarungan itu.
***
DELAPAN
"Kalian semua, serang bocah setan itu...!" teriak Kala Putih memberi perintah.
Teriakan Kala Putih begitu keras menggelegar, bagai guntur meledak di angkasa. Dan seketika itu juga, semua orang yang ada di halaman belakang bangunan besar bagai istana kecil itu berhamburan sambil berteriak-teriak meluruk mendekati Pendekar Pulau Neraka.
Tapi sebelum mereka dekat, tiba-tiba saja dari balik tembok benteng yang mengelilingi bangunan bagai istana ini bermunculan empat orang yang mengikuti Bayu. Empat orang yang telah mengangkat sumpah setia pada Pendekar Pulau Neraka.
Bayu tidak sempat memperhatikannya, karena sudah mendapat serangan-serangan yang beruntun dari beberapa arah. Pendekar Pulau Neraka kembali sibuk menerima serangan-serangan yang begitu gencar dan membahayakan. Bayu berlompatan, berjumpalitan, menghindari setiap serangan yang datang, disertai tebasan pedangnya yang memancarkan cahaya kehijauan.
Teriakan-teriakan pertempuran kini diwarnai jerit dan pekik kematian yang saling susul. Tubuh-tubuh berlumuran darah pun kembali terlihat bergelimpangan satu persatu. Kali ini, mereka tidak hanya menghadapi Pendekar Pulau Neraka, tapi juga harus menghadapi Kampar dan ketiga temannya yang baru datang.
Saat itu, Bayu baru bisa memperhatikan keempat orang bekas petugas pengawal barang kerajaan yang bertempur penuh semangat bagai banteng liar terluka. Golok mereka berkelebatan cepat, membabat siapa saja yang mencoba mendekat Entah sudah berapa orang yang bergelimpangan tak bemyawa lagi. Tapi pertarungan itu tampaknya masih akan terus berlangsung cukup lama.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka melesat cepat bagaikan kilat, dan mendarat di dekat Kampar. Langsung pedangnya berkelebat cepat membabat satu orang yang mencoba membokongnya dari belakang. Orang itu menjerit keras melengking tinggi, begitu pedang di tangan Bayu membelah dadanya.
"Kenapa kau ke sini...?" tanya Bayu.
"Kami mengkhawatirkan keselamatanmu," sahut Kampar tanpa menghentikan pertarungannya.
"Kau tidak bertemu Sekar...?" tanya Bayu lagi.
"Tidak," sahut Kampar.
"Edan...!" desis Bayu jengkel. Bayu sempat melirik ke atas atap. Dan di sana sudah tidak terlihat Kala Putih lagi. Sedangkan Caraka sibuk bertarung bersama Gandil menghadapi lawan.
"Mundur kau, Gandil! Hiyaaat..!" teriak Bayu keras menggelegar.
Seketika itu juga Pendekar Pulau Neraka melesat cepat ke arah Gandil. Langsung Pedang Kawa Hijau dibabatkannya. Sekali berkelebat saja, tiga orang langsung menjerit dan menggelepar di tanah. Begitu Bayu muncul, Gandil cepat-cepat melompat mundur. Tanpa berkata apa-apa lagi, Bayu langsung merangsek Caraka yang menggunakan golok berukuran besar sebagai senjatanya.
Mendapat serangan yang begitu cepat dan tiba-tiba, Caraka jadi kelabakan setengah mati. Tubuhnya berjumpalitan, berusaha menghindari tebasan-tebasan pedang bercahaya kehijauan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Hingga akhirnya....
"Hiyaaa...!"
Satu tebasan kilat yang dilancarkan Bayu, tak dapat lagi dihindari Caraka. Pedang itu tepat menyabet lehemya, dan tak ada suara sedikit pun yang terdengar. Caraka hanya mampu berdiri sebentar, kemudian jatuh menggeletak dengan kepala menggelinding terpisah.
"Kalian hadapi mereka...!" seru Bayu keras.
Saat itu juga, Pendekar Pulau Neraka melompat cepat melewati beberapa kepala. Pedangnya masih sempat dibabatkan, menjatuhkan beberapa orang, sebelum berada di luar arena pertarungan. Ringan sekali gerakan Pendekar Pulau Neraka saat melompat ke atas atap. Seperti seekor kucing, kakinya mendarat di atap bangunan besar dan megah ini. Matanya langsung beredar tajam berkeliling.
"Hup! Yeaaah...!"
***
Begitu Bayu melihat Kala Putih sedang mendesak seorang gadis di bagian halaman depan bangunan megah ini, secepat kilat melesat ke arah pertarungan itu. Tepat di saat itu, Kala Putih menghentakkan tangannya ke depan. Sehingga dari telapak tangan yang terbuka, meluncur deras secercah cahaya merah ke arah gadis itu.
"Yeaaah...!"
Cras!
"Heh...?!"
Kala Putih tersentak kaget begitu tiba-tiba serangannya terpantul ke arah Iain. Satu kilatan cahaya kehijauan membuat sinar merah itu terpental. Dan Kala Putih semakin terkejut melihat Bayu yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depannya, melindungi gadis cantik yang ternyata adalah Sekar.
"Setan alas...!" geram Kala Putih berang.
"Kau lawanku, Kala Putih!" desis Pendekar Pulau Neraka dingin.
"Phuih!" Kala Putih menyemburkan ludahnya.
Sementara itu, Sekar yang tadi terjajar tergeletak di tanah sudah bisa bangkit berdiri. Kakinya melangkah mundur beberapa tindak. Hatinya gembira melihat Bayu muncul pada saat yang tepat. Sementara, Pendekar Pulau Neraka tidak sempat memperhatikan Sekar, karena Kala Putih sudah cepat melompat menyerangnya.
Trekkk!
Pendekar Pulau Neraka memasukkan Pedang Kawa Hijau ke dalam warangka. Tubuhnya langsung melenting ke udara, menghindari pukulan keras yang diIancarkan laki-laki tua berjubah putih itu. Dua kali Bayu berputaran di udara, sebelum kakinya menjejak tanah di belakang tubuh Kala Putih. Sambil memutar tubuhnya, Bayu melayangkan satu tendangan berputar disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Hiyaaat..!"
"Uts!"
Tendangan Bayu berhasil dielakkan laki-laki tua ini. Dan tubuhnya cepat memutar berbalik tepat di saat Bayu juga berbalik. Mereka kembali bertarung menggunakan jurus-jurus andalan yang dahsyat dan sangat berbahaya. Kini pertarungan itu langsung berjalan pada tingkat yang tinggi.
Beberapa jurus berlalu cepat Dan tampaknya, pertarungan masih akan terus berlangsung lama. Mereka saling melancarkan serangan-serangan dahsyat. Sedikit kelengahan, bisa berakibat parah. Sementara itu, diam-diam Sekar meninggalkan halaman ini. Gadis itu menghilang entah ke mana karena memang tak ada yang memperhatikan kepergiannya.
Sret!
Memasuki jurus yang kedua puluh, Kala Putih mengeluarkan senjatanya berupa tongkat pendek berwarna putih bagai baja. Dengan senjata yang selalu tersembunyi di balik bajunya, laki-laki tua itu semakin ganas saja. Serangan-serangan yang dilancarkannya semakin dahsyat dan berbahaya. Tapi, sampai saat ini Bayu masih menandinginya dengan tangan kosong. Sama sekali Pedang Kawa Hijau yang berada di dalam warangka di tangan kirinya tidak dipergunakan.
"Awas kaki...!" seru Bayu tiba-tiba.
Seketika itu juga kaki Pendekar Pulau Neraka melayang cepat menyampok ke arah kaki Kala Putih. Tentu saja laki-laki tua itu jadi terkejut dan cepat me-lompat menghindari sepakan kaki lawan seraya mengibaskan tongkat putihnya. Tapi tanpa diduga sama sekali, Bayu memutar tubuhnya. Lalu cepat sekali tubuhnya melenting sambil menghentakkan tangan kanannya ke depan.
Plak!
"Akh...!"
Kala Putih melintir begitu tangan yang memegang tongkat tersambar keras. Untung tongkatnya masih bisa digenggam, sehingga tidak terlepas. Kala Putih mendengus keras, menyemburkan ludahnya dengan kesal. Tangan kanannya memerah bagai terbakar dan terasa panas menyengat.
Dret!
Kala Putih cepat menarik kedua ujung tongkatnya. Maka seketika itu juga, tongkat putih itu terpotong menjadi dua bagian. Pada kedua ujung yang terpotong itu terlihat mata pisau menyembul berkilatan tertimpa cahaya bulan.
"Hiyaaat..!"
Kala Putih kembali cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Menghadapi lawan yang menggunakan senjata tajam pada kedua tangannya, Bayu tidak lagi tanggung-tanggung. Pedang Kawa Hijau yang sejak tadi tersimpan di dalam warangka cepat dicabutnya.
Sret!
Bet!
Bayu langsung mengebutkan pedang itu ke depan. Maka, Kala Putih cepat melompat ke belakang menghindari tebasan pedang yang memancarkan cahaya kahijauan itu. Laki-laki tua ini tahu betul kehebatan pedang itu. Maka, agak terkesiap juga hatinya. Dan pertarungan pun kembali berlangsung, antara hidup dan mati.
***
Jurus demi jurus berlangsung cepat Entah, sudah berapa jurus berlalu, tapi belum juga ada tanda-tanda akan berakhir. Mereka sama-sama tangguh, dan memiliki kepandaian tinggi. Sehingga, sukar diketahui kelemahan masing-masing. Pertarungan pun berlangsung cepat sehingga tubuh mereka seakan-akan lenyap. Dan hanya bayangan-bayangan saja yang bergerak berkelebat cepat saling sambar.
"Lepas...!" seru Bayu tiba-tiba.
Cepat sekali tangan kiri Pendekar Pulau Neraka bergerak mengibas. Begitu cepatnya, sehingga Kala Putih tidak sempat menyadari. Dan tanpa diduga sama sekali, kibasan tangan kiri Bayu keras sekali menghantam tangan kanan Kala Putih.
Plak!
"Akh...!" pekik Kala Putih kaget
Tongkat yang berada di tangan kanannya seketika terpental tinggi ke angkasa. Belum lagi Kala Putih bisa menghilangkan keterkejutan, tiba-tiba saja Bayu sudah membabatkan Pedang Kawa Hijau ke arah perut
"Yeaaah...!" Bet!
"Ikh!"
Kala Putih tak dapat lagi menghindar. Cepat tongkat di tangan kirinya dikebutkan, menangkis serangan pedang Pendekar Pulau Neraka.
Tranggg!
"Heh...?!"
Lagi-lagi Kala Putih terperanjat, karena tongkatnya terbabat buntung jadi dua bagian. Pada saat itu, Bayu sudah melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Diegkh!
Tendangan Bayu mendarat telak di dada Kala Putih. Akibatnya, orang tua berbaju putih itu jadi terpekik keras. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Namun Bayu tidak memberi kesempatan lagi pada orang tua itu untuk menguasai keseimbangan tubuhnya. Langsung Pendekar Pulau Neraka melompat cepat bagaikan kilat sambil membabatkan pedang ke arah leher.
"Hiyaaat...!"
Bet!
Cras!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar keras menyayat. Ujung pedang bercahaya kehijauan itu tepat membabat tenggorokan Kala Putih. Darah seketika muncrat keluar deras sekali. Tidak hanya sampai di situ saja. Bayu kembali menusukkan pedangnya ke dada Kala Putih yang sudah tidak terlindung lagi. Maka pedang bercahaya kehijauan itu langsung amblas ke dada Kala Putih, hingga ke punggung.
"Hup!"
Bayu cepat melompat mundur melepaskan pedang yang memanggang dada Kala Putih. Sebentar orang tua itu masih bisa berdiri limbung, kemudian ambruk di tanah berumput yang basah oleh embun. Kala Putih mengerang dan menggelepar di tanah. Sementara darah semakin banyak keluar dari leher dan dadanya. Cukup lama juga Kala Putih meregang, lalu seluruh tubuhnya mengejang dan terkulai tak bernyawa lagi. Bayu menghembuskan napas panjang. Keringat tampak membasahi seluruh tubuhnya.
"Kakang...!"
Bayu berpaling begitu mendengar panggilan seorang gadis. Tampak Sekar berlari-lari kecil sambil menggandeng seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun. Bayu memutar tubuhnya berbalik. Bibirnya langsung tersenyum melihat anak kecil itu menggendong monyet kecil yang begitu dikenalinya. Rupanya, Tiren berhasil menemukan anak itu.
Tiren langsung melompat ke pundak, dan memeluk leher Pendekar Pulau Neraka. Pada saat itu, Kampar datang menghampiri diikuti tiga orang temannya yang menggotong sebuah peti berukuran cukup besar, terbuat dari besi.
"Aku senang kalian semua selamat," ungkap Bayu diiringi senyuman.
"Semua ini karena jasamu, Kakang," kata Sekar.
"Benar. Kami semua tidak tahu, dengan apa harus membalas jasamu," sambut Kampar.
Pendekar Pulau Neraka hanya tersenyum saja.
"Apa itu?" tanya Bayu menunjuk peti besi di belakang Kampar.
"Barang-barang kerajaan yang mereka rampok dulu," sahut Kampar.
"Masih utuh?"
"Tidak berkurang sedikit pun."
"Syukurlah."
Mereka terdiam beberapa saat.
"Kalian tentu akan mengantarkannya ke istana," tebak Bayu lagi.
"Benar. Kami harus membersihkan nama kami semua dengan membawa barang ini pada Gusti Prabu," sahut Kampar.
"Bagaimana denganmu, Sekar?" tanya Bayu.
"Aku akan ke Bukit Langkas. Ada bibiku di sana," jawab Sekar.
"Sebaiknya, kalian semua ikut dulu ke istana. Aku memerlukan saksi untuk menjelaskan semuanya pada Gusti Prabu," pinta Kampar berharap.
"Kau saja, Sekar," ujar Bayu
"Kakang...?" tanya Sekar.
"Masih ada yang harus kukerjakan. Maaf, aku tidak bisa mengantarkan kalian semua."
"Sayang sekali...," desah Kampar.
Bayu hanya tersenyum saja, sambil menepuk-nepuk pundak Kampar.
"Baiklah. Aku akan mengantarkan kalian sampai ke perbatasan kota saja," kata Bayu menyerah.
Pendekar Pulau Neraka kemudian mencabut pedang yang menancap di dada Kala Putih, dan memasukkan ke dalam warangka kembali. Lalu, diserahkannya pedang itu pada Sekar.
"Jaga dan rawat pedang ini baik-baik," pesan Bayu.
"Kau tidak ingin memilikinya?"
Bayu menggeleng dan tersenyum.
"Pusaka ini milikmu, Sekar. Tak ada seorang pun yang berhak memilikinya. Hanya kau dan adikmu yang berhak," ujar Bayu lembut.
"Terima kasih," hanya itu yang bisa diucapkan Sekar.
"Ayo, kita berangkat," ajak Bayu.
Dentang logam beradu terdengar keras memecah kesunyian di pagi ini. Laki-laki bertubuh kekar berotot itu terus saja bekerja menempa besi yang merah membara, sehingga tidak mempedulikan sang mentari yang semakin naik tinggi. Dan keringat pun semakin menga-nak sungai, mengucur di sehiruh tubuhnya.
Saat itu terdengar suara derap langkah kaki kuda mendekati. Si Pandai Besi itu menghentikan pekerjaannya. Kepalanya menoleh ke arah langkah kaki kuda yang semakin jelas terdengar. Matanya yang bulat, jadi menyipit begitu melihat lima orang berkuda menuju ke arahnya.
"Hm.., mau apa lagi mereka datang ke sini...?" gumamnya pada diri sendiri.
Kelima orang berkuda itu langsung berlompatan turun dari atas punggung kuda masing-masing. Tampak berdiri paling depan, seorang laki-laki tua berwajah bening dan berambut putih tergulung ke atas. Pakaiannya putih bersih, tampak meriap dihembuskan angin. Sementara keempat orang lainnya mengenakan pakaian yang bentuk dan warnanya serupa.
Laki-laki pandai besi itu keluar dari dalam gubuk bengkelnya. Sinar matanya begitu tajam, menatap orang tua berjubah putih bersih di depannya. Sebuah palu besi yang besar dan berat, tergenggam erat ditangan.
"Apa maksudmu datang lagi, Kala Putih...?" tanya si Pandai Besi dengan suara berat, tak bersahabat.
"Mengambil pesananku," sahut laki-laki tua berjubah putih yang dipanggil Kala Putih. "Sudah berapa kali kukatakan, aku tidak sanggup membuatnya. Aku hanya pandai besi biasa, bukan Empu Pembuat Senjata Pusaka!" tegas si Pandai Besi.
"Dengar, Ki Bangka Putung. Semuanya kusediakan. Dan kau sudah terima. Bahkan kusediakan waktu cukup lama. Dua purnama.... Waktu yang cukup lama untuk membuat sebuah pusaka. Sekarang, sudah lebih dari waktu yang kuberikan padamu. Serahkan pusaka itu padaku, Ki Bangka Putung!" keras sekali suara Kala Putih.
"Aku tidak menerima semua pemberianmu. Dan kau sendirilah yang meninggalkannya. Sedikit pun tidak kusentuh. Lihat itu...! Masih utuh, ada di sana," Ki Bangka Putung menunjuk sebuah benda yang tergeletak di meja.
Kala Putih mendengus keras melihat benda bercahaya kehijauan masih tergeletak di atas meja, tanpa sedikit pun berubah ketika diletakkannya di sana lebih dari dua purnama yang lalu. Sekantung uang emas sebagai pembayarannya juga masih berada di tempatnya. Tidak berubah sama sekali, seperti tidak pernah disentuh barang sedikit pun.
"Kurang ajar...! Kau mempermainkan aku, Bangka Putung...!" geram Kala Putih memerah wajahnya.
"Sebaiknya, kau pergi saja dari sini, Kala Putih. Bawa semua barang-barang itu. Aku tidak membutuhkannya sama sekali!" dengus Ki Bangka Putung dingin.
"Manusia sombong...! Kau akan menerima ganjarannya nanti. Baiklah. Kau kuberi waktu satu purnama lagi, dan benda itu harus sudah selesai pada waktunya!" rungut Kala Putih.
Selesai berkata demikian, Kala Putih diikuti empat orang yang mendampinginya langsung melompat naik ke atas punggung kuda masing-masing.
"Sampai kapanpun, tidak akan kukerjakan. Aku bukan Empu...!" seru Ki Bangka Putung.
Kala Putih tidak mempedulikannya, dan segera menggebah kudanya meninggalkan pandai besi itu. Sementara Ki Bangka Putung menggerutu kesal sambil memukul-mukul palu besinya yang besar ke atas meja. Matanya menatap nanar pada benda kotak yang memancarkan sinar kehijauan, dan sepundi uang emas. Lalu matanya beralih pada pintu rumah yang berada di samping bengkel kerjanya. Di depan pintu sudah berdiri seorang berparas cantik, mengenakan baju warna biru agak ketat. Di sampingnya seorang anak laki-laki berumur sepuluh tahunan.
"Mereka datang lagi, Ayah...?" tanya gadis itu lembut.
"lya," sahut Ki Bangka Putung. "Kala Putih tetap memaksaku membuatkan senjata pusaka pesanannya."
"Kenapa tidak dibuatkan saja, Ayah? Bukankah dulu Ayah juga seorang Empu Pembuat Pusaka...?" masih tetap lembut suara gadis itu.
'Tidak Sekar. Aku tidak ingin lagi berkecimpung dalam dunia yang kasar dan kotor. Aku ingin kau dan Wirya hidup damai, tanpa harus bergelimpang lumpur dan darah," tegas Ki Bangka Putung
Gadis cantik berusia delapan betas tahun itu mendekati ayahnya. Sementara bocah laki-laki yang berada di sampingnya ikut melangkah juga. Sekar tahu, mengapa ayahnya meninggalkan pekerjaannya sebagai pembuat senjata pusaka. Dan dia tidak bisa memaksa ayahnya untuk menururi permintaan Kala Putih. Ayahnya berwatak keras, dan teguh pada pendiriannya.
"Biar aku yang membuatnya, Ayah," pinta Sekar, seraya menatap benda kotak bercahaya kehijauan di atas meja.
"Tidak...! Itu pekerjaan laki-laki," sentak Ki Bangka Putung. "Kau belum tahu betul, bagaimana membuat sebuah senjata pusaka. Benda itu sangat berbahaya, dan tidak sembarang orang bisa mengolahnya. Aku merasakan adanya hawa jahat yang tersebar dari benda itu," sambung Ki Bangka Putung tegas.
"Tapi.... Kala Putih, Ayah...." "Itu urusanku, Sekar!" potong Ki Bangka Putung cepat
"Dia sangat kejam, Ayah. Aku khawatir dia akan membuat kesulitan...," agak terbata suara Sekar.
Ki Bangka Putung hanya tersenyum. Tangannya terentang, memeluk pundak anak gadisnya ini. Ada terselip rasa haru mendengar kata-kata bernada penuh kecemasan dari anak gadisnya. Wirya yang baru berumur sepuluh tahun, seolah-olah bisa merasakan sesuatu yang tengah terjadi pada ayah dan kakaknya ini. Maka, dipeluknya kaki Ki Bangka Putung erat-erat.
"Kau sudah masak, Sekar...?" tanya Ki Bangka Putung setelah melepaskan rangkulannya.
Sekar menggeleng.
"Masaklah. Aku ingin dibuatkan ikan bakar."
"Kalau begitu, aku harus menangkap ikan dulu, Ayah. Mungkin siang nanti baru masak." 'Tidak mengapa, walau agak siang sedikit," sahut Ki Bangka Putung.
"Ayo, Wirya. Kita tangkap ikan dulu," ajak Sekar pada adiknya.
"Ayo, Kak. Kita tangkap yang banyak, ya...?" sambut Wirya gembira.
Memang sudah lama juga Wirya tidak lagi bermain-main di danau. Kini mereka segera berlarian ke samping gubuk bengkel ini. Kemudian, kakak beradik itu sudah terlihat berlari-lari menuju danau yang berada tidak jauh di depan rumah mereka.
Ki Bangka Putung tersenyum melihat keceriaan kedua anaknya. Tapi mendadak saja senyuman di bibimya menghilang saat matanya menangkap benda kotak bercahaya kehijauan di atas meja. Sejak benda ini ada di atas meja kerjanya, Ki Bangka Putung sudah merasakan bakal terjadi sesuatu yang buruk pada keluarganya.
Ki Bangka Putung lalu menghampiri benda kotak bercahaya kehijauan itu, kemudian sesaat diamatinya. Dia memang ahli dalam benda-benda berkekuatan dahsyat. Dan sebentar saja, sudah terasakan adanya kekuatan yang terpancar dari benda kehijauan itu. Ki Bangka Putung cepat-cepat menarik kepalanya ke belakang, lalu melangkah mundur tiga tindak menjauhi meja kerjanya.
"Luar biasa..,. Pasti amat berbahaya jika dijadikan pedang," gumam Ki Bangka Putung.
Dengan sebuah penjepit baja, benda kehijauan itu diangkatnya. Matanya melebar begitu menatap lurus ke tengah-tengah bagian dalam benda kehijauan. Perlahan-lahan diletakkannya kembali benda itu ke atas meja. Ki Bangka Putung menarik napas panjang begitu penjepit bajanya dilepaskan.
"Dunia persilatan bisa gempar jika benda ini kujadikan senjata. Hhh...! Terlalu berbahaya," desah Ki Bangka Putung agak menggumam.
Ki Bangka Putung lalu meninggalkan benda itu, dan kembali sibuk menekuni pekerjaannya. Namun matanya sebentar-sebentar melirik ke arah benda kehijauan itu. Dan setiap kali matanya melirik, terasa ada sesuatu yang ganjil menyelinap dalam hatinya. Ki Bangka Putung jadi tidak bisa memusatkan perhatian pada pekerjaannya. Seketika dilemparkannya palu besi berukuran besar itu sambil mendengus kesal.
"Huuuh...!"
Sepanjang malam, Ki Bangka Putung tidak bisa memejamkan matanya. Pikirannya terus tertuju pada benda kotak berwarna kehijauan. Sebuah benda memancarkan kekuatan dahsyat dan mengandung hawa jahat Ki Bangka Putung bangkit dari pembaringannya, lalu berjalan mondar-mandir di dalam biliknya yang sempit. Sebentar-sebentar matanya memandang ke arah gubuk bengkel kerjanya yang terletak di bagian samping rumah ini.
"Kenapa Ayah tidak mau membuat senjata itu? Bukankah Ayah mampu membuatnya...? Lagi pula, belum tentu Kala Putih mampu menggunakannya," teringat kembali kata-kata Sekar yang diucapkan setelah mereka selesai makan malam tadi.
"Satu purnama...! lngat, satu purnama lagi senjata itu harus selesai," kata-kata Kala Putih juga kembali terngiang di telinganya.
"Satu purnama...," gumam Ki Bangka Putung perlahan.
Laki-laki setengah baya bertubuh tegap berotot itu jadi bimbang. Dunianya yang dulu sebagai pembuat pusaka benar-benar ingin ditinggalkannya. Tapi permintaan Kala Putih tidak bisa dibuat main-main. Dia tahu, siapa Kala Putih itu. Seorang tokoh tua yang sangat sakti dan digdaya. Tokoh kosen yang sulit dicari tandingannya. Dengan golok bermata dua saja, Kala Putih sudah begitu tangguh tanpa tandingan. Apalagi jika berhasil memiliki sebuah senjata pusaka yang amat dahsyat..? Sulit dibayangkan, bagaimana jadinya dunia persilatan ini kelak.
"Demi keselamatan kita semua, Ayah. Apa salahnya, untuk kali ini saja Ayah membuat senjata pesanan itu," kata-kata Sekar kembali terngiang di telinga Ki Bangka Putung.
"Ya...! Demi keselamatan semua," desah Ki Bangka Putung perlahan.
Ki Bangka Putung mengayunkan kakinya, melangkah keluar dari bilik kamar tidurnya. Ayunan langkahnya terhenti ketika berada di depan kamar yang ditempati Sekar. Sesaat, ditatapnya pintu yang tertutup rapat itu. Kemudian ditariknya napas panjang, lalu kembali mengayunkan langkahnya.
Di depan kamar Wirya, langkahnya kembali terhenti. Tampak bocah laki-laki itu tertidur lelap di pembaringan. Ki Bangka Putung lalu melangkah lagi keluar rumah, terus menuju gubuk bengkel kerjanya. Sebentar dihelanya napas panjang-panjang sebelum masuk ke dalam gubuk bengkel itu.
Di dalam kegelapan malam seperti ini, benda berwarna kehijauan itu semakin jelas saja memancarkan cahaya. Ki Bangka Putung mendekati benda kotak yang besarnya tidak lebih dari sepotong baru bata merah.
Sebentar peralatannya disiapkan untuk membuat senjata. Lalu perlahan-lahan diambilnya benda kehijauan itu dengan penjepit baja, kemudian diletakkan di atas lempengan baja putih. Setelah menutup bagian atas dengan lempengan baja putih lainnya, Ki Bangka Putung kembali menjepit benda itu dengan penjepit baja. Dan memasukkan benda bercahaya kehijauan itu ke dalam tungku yang sudah memerah membara.
"Ugh...!" Ki Bangka Putung mengeluh pendek ketika tiba-tiba tangannya terasakan jadi kesemutan.
Laki-laki setengah baya itu menarik keluar benda itu dari dalam tungku, dan sebentar diamatinya. Lalu diletakkannya benda itu di atas meja besi. Sedikit tubuhnya beringsut mundur dua langkah. Sementara tangannya seperti melepuh terbakar.
"Hhh...! Baru kali ini aku menemukan bahan benda pusaka yang begini dahsyat," gumam Ki Bangka Putung agak mendesah.
"Ayah...."
Tiba-tiba saja terdengar suara lembut dari arah pintu.
"Sekar... mau apa kau ke sini...?" Ki Bangka Putung terkejut melihat anak gadisnya tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu bengkel ini.
"Ayah kenapa juga di sini malam-malam?" Sekar malah balik bertanya seraya menghampiri.
Ki Bangka Putung tidak menjawab. Matanya kembali beralih menatap benda kehijauan yang sudah berlapis besi baja putih di atas meja penempa. Sekar juga memandang ke arah yang sama.
"Ayah akan membuat pedang...?" tanya Sekar tidak mengalihkan pandangannya.
"Demi kau dan Wirya," pelan suara Ki Bangka Putung menjawab.
"Tapi... tangan Ayah kenapa...?" Sekar memperhatikan tangan ayahnya yang merah bagai terbakar. 'Tidak apa-apa," sahut Ki Bangka Putung.
Bibir Ki Bangka Putung menyungging senyum, tapi dalam hatinya bertanya-tanya juga tentang benda dahsyat itu. Dia tidak mengerti, kenapa begitu hebat dan cepat pengaruhnya benda itu. Tangan kanannya seperti melepuh, dan panas sekali rasanya.
"Biarkan Ayah sendiri di sini, Sekar. Ayah harus sudah membuat senjata ini sebelum bulan purnama datang," pinta Ki Bangka Putung.
"Ayah tidak apa-apa?" Sekar masih mengkhawa tirkan keadaan tangan.ayahnya.
"Tidak. Pergilah tidur. Masih terlalu malam,"sahut Ki Bangka Putung lagi.
Sekar mengecup pipi ayahnya, kemudian berbalik dan melangkah ke luar gubuk bengkel ini. Ki Bangka Putung tidak segera melanjutkan kerjanya, tapi malah duduk bersila dan bersemadi. Dia tidak ingin pekerjaannya gagal. Terlebih lagi, bisa mendatangkan celaka. Benda itu sangat dahsyat pengaruhnya, dan tidak mungkin diolah dengan cara biasa. Ki Bangka Putung kini memusatkan seluruh inderanya, dan berserah diri pada sang Pencipta.
Malam terus merayap semakin larut. Keadaan di sekitar pondok itu tampak sepi. Sementara di dalam rumah, Sekar tidak bisa lagi memejamkan matanya. Pikirannya terus-menerus tercurah pada ayahnya. Dia tahu, ayahnya mendapatkan kesulitan dengan benda bercahaya kehijauan itu. Buktinya tangan ayahnya memerah bagai terbakar. Maka, gadis itu semakin mencemaskannya.
"Dewata Yang Agung... beri keselamatan dan perlindungan pada ayahku," gumam Sekar lirih.
Gads itu mencoba memejamkan matanya di pembaringan, tapi tidak juga mau terpejam. Pikirannya terus tertuju pada ayahnya di bengkel kerja. Sekar bangkit turun dari pembaringan lalu melangkah ke jendela. Dibukanya pintu jendela lebar-lebar. Dari jendela kamarnya ini, bisa terlihat langsung bengkel kerja ayahnya.
Namun, tak terdengar suara apapun dari sana.
"Oh...?! Apa yang terjadi di dalam sana...? Apakah aku harus melihatnya? Tidak...! Ayah pasti marah kalau aku ke sana," Sekar jadi bicara pada diri sendiri.
Hati gadis itu semakin resah dan bimbang, dan terus menatap ke arah gubuk bengkel kerja ayahnya. Hingga larut malam, tidak juga terdengar suara apapun juga. Dan hatinya semakin diliputi kecemasan, namun tidak berani keluar dari kamarnya. Dia tahu persis akan watak ayahnya yang keras. Dan Sekar tidak berani membantah semua yang dikatakan ayahnya, meskipun harus menderita kecemasan yang amat sangat di hatinya.
Tiga hari tiga malam Ki Bangka Putung tidak beranjak dari balai-balai bambu, tempatnya bersemadi. Dan selama itu, Sekar selalu menjaganya. Sering kali adiknya menemani dalam menunggui ayahnya dari depan gubuk bengkel ini.
Dulu, Sekar tidak pernah mengerti pekerjaan ayahnya, karena masih ada ibunya. Tapi setelah ibunya meninggal, dia harus memahami pekerjaan ayahnya. Bahkan, ayahnya pernah tidak keluar kamar selama satu bulan lebih. Dan biasanya, Sekar tidak pernah merasa cemas sedikit pun. Tapi entah kenapa, ka-li ini hatinya begitu cemas. Dia sendiri tidak tahu, apa sebenarnya yang dikhawatirkan. Padahal, hal seperti ini sudah sering terjadi, ketika Ki Bangka Putung masih menjadi seorang Empu Pembuat Senjata Pusaka.
Tepat pada hari ke tujuh, di saat alam terselimut kegelapan malam, tiba-tiba saja terlihat secercah cahaya bagai pelangi meluncur deras, meluruk turun ke arah gubuk kecil bengkel kerja Ki Bangka Putung. Sinar terang berwarn-warni dan menyilaukan itu menghantam atap gubuk bengkel ini. Tapi, tak terdengar suara sedikit pun yang ditimbulkannya. Hanya terasa hembusan hawa dingin yang begitu menyejukkan, membuat Ki Bangka Putung membuka matanya.
"Oh...?!"
Ki Bangka Putung agak terperanjat Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan Ki Bangka Putung sudah berdiri seorang laki-laki berjubah putih panjang. Ikat kepalanya putih. Janggut serta rambutnya, juga sudah memutih semua. Sinar wajahnya begitu bening dan bercahaya. Bahkan begitu lembut, memandang lurus pada Ki Bangka Putung yang masih duduk bersila di atas balai-balai bambu ini.
Ki Bangka Putung bergegas turun dari balai-balai bambu ini, begitu melihat laki-laki tua berjubah putih di depannya melayang tidak menginjak tanah. Asap tipis mengepul hampir menyelimuti kakinya yang tak terlihat tertutup jubahnya yang panjang. Ki Bangka Putung bersujud, menyentuhkan keningnya ke tanah di depan orang tua berjubah putih ini. "Bangunlah, Bangka Putung," ujar orang tua berjubah putih itu. Suaranya terdengar lembut, dan berwibawa.
Ki Bangka Putung bangkit perlahan, lalu duduk bersila di tanah dengan kepala terus tertunduk. Seakan-akan dia tidak sanggup memandang laki-laki tua di depannya.
"Aku tahu, apa yang tengah melanda dirimu, Ki Bangka Putung. Tetapkanlah hatimu. Buatlah sebuah pedang dari benda itu. Gunakanlah kayu dari pangkal pohon asam yang sudah berumur seratus tahun untuk tangkainya dan warangkanya," jelas orang tua berjubah putih itu.
Ki Bangka Putung hanya diam saja mendengarkan penuh perhatian.
"Hanya satu pesanku, Bangka Putung. Kau harus mempertahankan pedang itu, apapun yang terjadi pada diri dan keluargamu. Jangan sampai pedang itu jatuh ke tangan orang yang berwatak jahat. Camkan itu baik-baik, Bangka Putung...!"
Baru saja Ki Bangka Putung hendak membuka mulutnya, tiba-tiba saja cahaya terang yang menyelimuti sekitar pondok itu lenyap. Dan laki-laki serba putih itu juga lenyap tanpa bekas sama sekali. Ki Bangka Putung masih duduk bersila beberapa saat, kemudian perlahan bangkit berdiri dan melangkah keluar. Seketika dia terkejut melihat Sekar tertidur di kursi dekat pintu gubuk bengkel ini.
"Sekar..., Sekar...," Ki Bangka Putung membangunkan anak gadisnya.
"Ohhh...," Sekar menggeliat.
Kelopak matanya mengerjap sebentar, lalu terbuka lebar.
"Ayah...."
"Kenapa tidur di sini?" tegur Ki Bangka Putung.
"Maaf, aku ketiduran," ucap Sekar seraya menggosok-gosokkan matanya.
"Pindah ke dalam sana, Sekar."
Sekar bangkit dari kursi kayu itu. Sebentar kepalanya melongok ke dalam pondok. Ternyata, tidak ada yang berubah sama sekali. Sepasang bola matanya yang bulat bening, merayapi wajah dan seluruh tubuh ayahnya. Dia heran melihat ayahnya nampak segar, meskipun selama tujuh hari tujuh malam tidak makan dan minum. Dan Sekar masih juga belum mengerti, meskipun hal ini sering terjadi pada diri Ki Bangka Putung.
"Akan kusiapkan makan dulu, Ayah," kata Sekar.
"Tidak usah. Ayah tidak lapar," elak Ki Bangka Putung.
"Tapi, Yah...."
"Sudahlah.... Sebaiknya, kau tidur saja sana. Ayah akan kerja lagi. Kasihan adikmu kalau kau bangun kesiangan nanti. Besok pagi-pagi sekali, Ayah minta kau sediakan seperti biasanya," pinta Ki Bangka Putung lembut.
Sekar tersenyum manis, lalu melangkah meninggalkan pondok itu. Ki Bangka Putung memandangi disertai senyum di bibir. Tidak sedikit pun Sekar berbeda dengan sifat-sifat ibunya. Ki Bangka Putung seperti melihat diri istrinya pada Sekar. Sebentar dia menghela napas panjang begitu tubuh gadis itu lenyap di batik pintu rumah.
Ki Bangka Putung berbalik, dan kembali masuk ke dalam gubuk bengkelnya. Dipandanginya benda bercahaya kehijauan yang masih tergeletak di atas meja besi. Seketika, kembali dia teringat kata-kata orang tua yang muncul membangunkan semadinya.
"Apa maksudnya orang berwatak jahat tidak boleh memiliki benda ini...?" Ki Bangka Putung jadi bertanya pada diri sendiri "Apa yang dimaksudkan adalah Kala Putih...?"
Mendadak saja Ki Bangka Putung menepuk keningnya sendiri. Kini baru teringat sekarang. Ternyata, dia tidak pernah bertanya, dari mana Kala Putih mendapatkan benda kehijauan ini.
"Dia tahu betul, siapa Kala Putih. Apakah Kala Putih mendapatkannya dengan cara merampas? Atau...."
Ki Bangka Putung menggeleng-gelengkan kepala. Kembali diambilnya benda itu dengan penjepit baja. Ki Bangka Putung ingat, dia ternyata masih mempunyai
persediaan kayu asam yang sudah berumur lebih dari seratus tahun. Kemudian benda itu digosok-gosokkan dengan sepotong kayu asam yang telah diambil dari kolong meja kerjanya. Sebentar kemudian bibirnya bergerak komat-kamit, lalu mulai memasukkan benda bercahaya kehijauan itu ke dalam tungku pembakaran. Api langsung memercik, berkobar besar begitu benda kehijauan itu menyentuh bara.
Tak lama kemudian, terdengar denting palu menghantam benda dari logam. Ki Bangka Putung mulai menyatukan benda kehijauan itu dengan baja putih pilihan. Sepanjang malam dia terus bekerja keras membuat senjata pusaka. Kini pekerjaan semula yang su-dah bertahun-tahun ditinggalkan dimulainya lagi. Rupanya, berkat kayu asam yang telah digosok-gosokkan pada benda kehijauan itu, tangannya tidak melepuh lagi. Kini Ki Bangka Putung dapat bekerja dengan leIuasa.
Ki Bangka Putung memandangi hasil kerjanya berupa sebuah pedang tipis, berukuran sepanjang lengan. Gagangnya terbuat dari kayu asam berumur seratus tahun. Hatinya benar-benar kagum melihat perbawa pedang yang dihasilkannya dengan kerja keras selama satu bulan penuh. Maka satu purnama pun berlalu sudah, tapi Kala Putih belum juga datang mengambil pesanannya.
Pedang yang panjangnya hanya selengan orang dewasa itu memancarkan sinar kehijauan. Mata pedangnya kecil dan tipis, seperti tidak memiliki kekuatan sama sekali. Tapi Ki Bangka Putung dapat merasakan ada sesuatu kekuatan gaib yang semakin lama semakin kuat membelenggu dirinya. Satu kekuatan gaib yang amat dahsyat dan berbahaya. Ki Bangka Putung benar-benar dapat merasakannya.
Merasakan kekuatan gaib itu semakin kuat membelenggu dirinya, Ki Bangka Putung segera memasukkan pedang itu ke dalam warangka yang juga terbuat dari kayu pohon asam berumur seratus tahun. Sementara cincin warangka dibuat dari emas murni.
"Hebat sekali pedang itu, Ayah...."
Ki Bangka Putung berpaling begitu mendengar suara lembut dari belakang. Tubuhnya berbalik dan tersenyum melihat Sekar dan Wirya sudah berada di ambang pintu gubuk bengkel ini. Gadis itu melangkah menghampiri dengan bibir selalu basah memerah menyunggingkan senyuman manis.
"Kau melihatnya...?" tanya Ki Bangka Putung.
"Ya," sahut Sekar. "Sayang sekali kalau senjata sehebat itu harus diserahkan pada Kala Putih.
"Itulah yang mengganggu pikiranku, Sekar," desah Ki Bangka Putung.
"Maksud, Ayah...?" tanya Sekar.
"Di dalam semadi, aku diperintahkan untuk tidak menyerahkan pedang ini pada siapa pun juga. Terlebih lagi, pada orang yang memiliki watak jahat seperti si Kala Putih," jelas Ki Bangka Putung.
"Aku setuju, Yah...!" seru Sekar cepat
"Tidak mungkin, Sekar. Kala Putih pasti tidak akan menyerahkan begitu saja. Dia pasti berusaha menguasai pedang ini dengan cara apapun juga."
"Lawan saja, Yah," selak Wirya polos. "Tidak mudah, Wirya. Kala Putih bukan tandingan Ayah. Dia sangat sakti, dan berkepandaian tinggi. Sedang Ayahmu ini... Hanya seorang pandai besi yang tidak begitu pandai ilmu olah kanuragan."
"Terus, bagaimana kalau Kala Putih datang?" tanya Sekar mengerti kesulitan yang dihadapi ayahnya.
"Kita lari saja, Ayah!" timpal Wirya lagi sementara Sekar manggut-manggut seperti menyetujui.
"Lari ke mana? Di sinilah tumpah darahku. Dan lagi, perbuatan itu tidak menunjukkan sifat ksatria. Melarikan barang orang lain, sama saja mencuri Apa pun alasannya!" tegas Ki Bangka Putung.
Belum juga kedua anak Ki Bangka Putung menga-jukan saran lagi, terdengar derap langkah kaki kuda dari kejauhan. Ki Bangka Putung langsung berpaling, menoleh diikuti Sekar dan Wirya yang langsung berlindung di balik kaki kakaknya. Hanya kepalanya saja yang menyembul mengintip. Tampak di kejauhan, debu jalanan mengepul.
Kemudian, terlihat lima ekor kuda berpacu kencang menuju pondok ini.
"Kala Putih...," desis Ki Bangka Putung langsung mengenali.
Mendadak saja kegelisahan merambat dalam hati laki-laki setengah baya ini. Ditariknya tangan Sekar, dan diajaknya keluar dari pondok. Dan kini tiga orang itu berlarian masuk ke dalam hutan yang ada di bagian belakang pondok. Tapi, rupanya Kala Putih sudah melihat lebih dahulu. Maka, tiba-tiba saja tangan kanannya dihentakkan. Dan seketika itu Juga, secercah sinar merah meluncur deras ke arah Ki Bangka Putung dan kedua anaknya.
Slap!
Glarrr...!
Ki Bangka Putung tersentak kaget begitu tiba-tiba batu yang ada di depannya meledak, dan hancur berkeping-keping tersambar sinar merah yang dilepaskan Kala Putih. Ki Bangka Putung menarik tangan Sekar yang tidak lepas memegangi tangan kiri adiknya. Saat itu, Kala Putih sudah melompat turun dari punggung kudanya, diikuti empat orang lainnya. Dalam sekejap saja, mereka sudah berdiri sekitar dua batang tombak lagi di depan Ki Bangka Putung dan kedua anaknya.
"Mau lari ke mana kau, Ki Bangka Putung...?" desis Kala Putih, dingin dan menggeletar.
"Phuih!" Ki Bangka Putung menyemburkan ludahnya dengan sengit
"Serahkan pedang itu padaku, Ki Bangka Putung!" dengus Kala Putih seraya menjulurkan tangan kanannya.
"Tidak...!" sentak Ki Bangka Putung tegas.
"Kau sudah kubayar mahal, Ki Bangka Putung. Serahkan pedang itu, cepat..!"
"Nih! Kukembalikan uangmu!"
Ki Bangka Putung melemparkan sekantung uang emas ke depan kaki Kala Putih. Seketika laki-laki tua berbaju serba putih itu jadi berang setengah mati. Wajahnya merah padam, dan kedua bola matanya berputar merah menyala. Rahang Kala Putih bergemeletuk menahan amarah. Ki Bangka Putung yang menyadari tidak akan unggul menghadapi Kala Putih, segera menyerahkan pedang itu pada Sekar.
"Selamatkan pedang ini, Sekar. Pertahankan, jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat," pesan Ki Bangka Putung.
"Tapi, Ayah...," Sekar ragu-ragu menerima senjata itu.
"Cepat lari...!" sentak Ki Bangka Putung.
Sekar menerima pedang dari tangan ayahnya. Sebentar ayahnya dipandangi, kemudian ditariknya tangan Wirya untuk diajak lari dari tempat ini Sementara itu Kala Putih sudah membuka jurus, hendak menyerang si Pandai Besi. Sementara orang yang berada di belakangnya, sudah meloloskan senjata masing-masing.
"Cepat pergi, jangan hiraukan aku...!" seru Ki Bangka Putung melihat Sekar kembali berhenti berlari.
Melihat Sekar berlari semakin jauh membawa pedang pesanannya, Kala Putih jadi semakin gusar. Terlebih lagi, gadis itu menuju hutan yang cukup lebat Dan ini bisa menyulitkannya untuk mengejar nanti.
"Kalian hadapi manusia keparat ini," perintah Kala Putih.
"Baik, Ki," sahut keempat orang itu hampir bersamaan.
"Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, Kala Putih melompat cepat mengejar Sekar dan Wirya yang sudah hampir mencapai hutan. Tubuhnya melewati di atas kepala Ki Bangka Putung. Menyadari tujuan Kala Putih bukan pada dirinya, Ki Bangka Putung jadi nekat.
"Hiyaaat..!"
Cepat sekali Ki Bangka Putung melompat ke udara, mencoba menghalangi Kala Putih sambil melepas-kan dua pukulan sekaligus secara beruntun. Tapi tanpa diduga sama sekali, Kala Putih berhasil mengelakkan dengan meliukkan tubuhnya. Dan kembali melenting cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh begitu kakinya menjejak tanah. "Hiyaaat...!"
Ki Bangka Putung hendak mengejar. Tapi belum juga sempat menggenjot tubuhnya, empat orang yang mendampingi Kala Putih sudah berlompatan mengepung. Mereka langsung menyerang laki-laki setengah baya itu dengan jurus-jurus cepat. Ki Bangka Putung terpaksa berjumpalitan, menghindari serangan-serangan yang begitu cepat dan datang dari empat penjuru.
Ki Bangka Putung memang bukan seorang tokoh silat yang digdaya. Dia dulu hanya seorang Empu Pembuat Senjata Pusaka. Dan hanya sedikit memiliki ilmu olah kanuragan. Sehingga dalam beberapa jurus saja, laki-laki itu sudah tidak mampu lagi menerima gempuran empat orang yang memang hidup bergelimang dari cara kekerasan seperti ini. Satu pukulan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, menggedor dada. Akibatnya, Ki Bangka Putung terjungkal keras mencium tanah. Dan belum lagi sempat bangkit berdiri, satu tendangan keras kembali bersarang di tubuhnya. Ki Bangka Putung meraung keras. Lagi, satu tendangan membuat laki-laki setengah baya itu terguling sejauh dua batang tombak.
Ki Bangka Putung mencoba bangkit berdiri Tapi belum juga berdiri sempuma, seuntai rantai besi menghentak dan melilit tubuhnya. Kemudian, disusul sabetan sebilah golok besar yang menghantam punggungnya. Ki Bangka Putung memekik keras begitu punggungnya sobek terbabat golok. Belum lagi bisa berbuat sesuatu, kembali tendangan menggeledek mendarat di dadanya.
"Aaakh...!"
"Ayah...!" jerit Sekar begitu mendengar teriakan ayahnya.
Sekar menghentikan larinya. Hatinya begitu cemas melihat ayahnya tampak tak berdaya menghadapi empat orang bersenjata itu.
"Lari, Sekar! Cepaaat...!" teriak Ki Bangka Putung sekeras-kerasnya.
Pada saat itu, sebuah golok berukuran besar kembali melayang membabat ke arah dada Ki Bangka Pu-tung yang sudah tidak memiliki daya sama sekali. Dan tentu saja tebasan golok itu tak dapat dihindari lagi.
Bet!
Crab!
"Aaa...!" Ki Bangka Putung menjerit keras melengking tinggi.
Darah langsung mengucur deras dari dada yang terbelah cukup besar itu. Dan selagi tubuh Ki Bangka Putung terhuyung-huyung, satu sabetan pedang kembali membabat lehernya. Kali ini tak ada suara sedikit pun yang terdengar. Ki Bangka Putung berdiri kaku dengan mata terbeliak lebar. Sesaat kemudian tubuh-nya menggelepar jatuh. Dan kepala laki-laki setengah baya itu langsung menggelinding terpisah dari leher.
"Ayah...!" jerit Sekar jadi kalap. Tapi belum juga gadis itu berbuat sesuatu, tiba-tiba saja sebuah bayangan putih berkelebat cepat menyambar tubuhnya. Sekar terpekik keras agak tertahan, dan kontan terpental jauh ke belakang. Seketika punggungnya menghantam pohon keras sekali. Maka, pegangannya pada tangan Wirya pun jadi teriepas.
"Kak...!" jerit Wirya.
Sekar cepat cepat menggelimpangkan tubuhnya, begitu melihat bayangan putih kembali meluruk deras ke arahnya. Gadis itu cepat melompat bangkit berdiri. Pada saat yang bersamaan, empat orang yang tadi bertarung melawan Ki Bangka Putung sudah sampai di tempat ini. Salah seorang yang membawa golok besar segera mencengkeram tengkuk Wirya, dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Kak...!" jerit Wirya diiringi tangisnya yang menggiris.
Sekar tidak sempat lagi memperhatikan rengekan adiknya, karena sudah sibuk menghadapi serangan-serangan gencar yang dilancarkan Kala Putih. Untung saja dia memiliki sedikit ilmu olah kanuragan. Sehingga dalam beberapa jurus, orang tua berbaju putih itu masih mampu diimbangi.
"Setan alas...!" geram Kala Putih berang.
Beberapa kali Kala Putih melontarkan pukulan cepat, dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi, Sekar masih mampu menghindarinya. Meskipun harus pontang-panting dan jatuh bangun menghadapi serangan-serangan itu.
Entah kenapa, gerakan-gerakan yang dilakukan Sekar jadi begitu cepat dan lincah sekali. Hal ini membuat Kala Purih semakin berang setengah mati. Tak satu pun dari serangan-serangannya yang mengenai sasaran. Sementara, Sekar sendiri tidak mengerti, kenapa bisa menandingi Kala Putih sampai lima jurus.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Sekar melentingkan tubuhnya ke udara. Dan tubuhnya langsung melesat pergi cepat sekali, seperti tidak ingat lagi pada Wirya yang berada di dalam cengkeraman salah seorang anak buah Kala Putih. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap saja gadis itu sudah lenyap tertelan lebatnya hutan.
"Setan! Kejar gadis itu...!" perintah Kala Putih geram.
Kala Putih jadi celingukan di dalam hutan. Gadis yang dikejarnya benar-benar lenyap di dalam hutan yang cukup lebat ini. Tiga orang yang mengejarnya lebih dulu, juga jadi kebingungan. Sekar bagai lenyap tertelan bumi di dalam kelebatan hutan ini. Kala Putih menggereng berang, menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal. Matanya kini menatap tajam pada Wirya yang berada di dalam cengkeraman salah seorang yang menyandang golok besar di punggung.
"Setan belang...!" rungut Kala Putih kesal. "Cari gadis itu sampai dapat!"
Kala Putih segera mengerahkan ilmu pembeda gerak dan suara. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, mencoba mencari tempat persembunyian Sekar. Tapi Kala Putih jadi kecewa, karena tidak mendengar suara apa pun yang mencurigakan. Sekar benar-benar lenyap tak berbekas sama sekali.
"Ke mana gadis itu...?" Kala Putih jadi bergumam, bertanya pada diri sendiri.
Seorang yang memegang rantai besi yang ujungnya berbandul bola besi berduri, .tergopoh-gopoh datang menghampiri. Kemudian, disusul dua orang berwajah angker yang masing-masing menggenggam sepasang senjata tombak pendek bermata tiga dan sebuah pedang hitam berukuran panjang. Mereka kini telah berdiri di depan Kala Putih.
"Kenapa tidak langsung kalian kejar tadi...?" dengus Kala Putih kesal.
"Maaf, Ki. Gadis itu tiba-tiba lenyap di sini," jelas seorang yang memegang rantai baja berbandul bola besi berduri.
"Kau, Caraka! Cari gadis itu sampai dapat!" perintah Kala Putih sambil menunjuk orang yang memegang golok.
"Tapi anak ini, Ki...," kata Caraka yang masih memanggul Wirya di pundaknya.
Kala Putih memandangi Wirya yang sudah terkulai lemas, akibat tertotok pada pusat jalan darahnya. Dihampirinya anak kecil berusia sepuluh tahun itu. Ta-ngannya menjambak rambut yang hitam bergelombang, dan mengangkatnya. Hingga, kepala Wirya terdongak ke atas. Kelopak mata anak itu terpejam rapat, seperti tidur.
"Ki.... Bukankah anak ini bisa digunakan...?" kata Caraka agak ragu-ragu.
"Hm...," Kala Putih hanya menggumam perlahan.
Pandangannya beredar ke sekeliling dengan mengerahkan ilmu pembeda gerak dan suara. Kala Putih jadi penasaran, karena gadis yang membawa pusaka pesanannya itu lenyap begitu saja. Dia tadi juga hampir tidak percaya kalau gadis yang kelihatannya begitu lemah ternyata mampu menandinginya sampai lima jurus, sebelum kabur dan menghilang di dalam hutan ini.
"Kalian terus cari gadis itu!" perintah Kala Putih.
Setelah memberi perintah, Kala Putih menyambar Wirya yang berada di pundak Caraka. Kemudian kakinya terus melangkah cepat meninggalkan hutan ini Sementara empat orang itu hanya sating pandang saja. Tak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun, sampai Kala Putih tak terlihat lagi ditelan lebatnya pepohonan di dalam hutan ini.
"Ayo, cari lagi," ajak Caraka.
"Keparat...! Kurang ajar kau, Bangka Putung!" Kala Putih menggerutu habis-habisan.
Sudah dua hari ini Kala Putih dan empat orang anak buahnya menjelajahi hutan ini. Tapi putri Ki Bangka Putung yang kabur membawa pedang pesanannya tidak juga ditemukan. Hatinya tidak bisa tenang sebelum pedang itu berada di tangannya. Entah, apa yang akan dilakukan jika Sekar sampai diketemukan. Tak ada yang bisa membayangkan, melihat kemarahan laki-laki tua berbaju putih ini.
"Sudah sore. Sebaiknya kita lanjutkan saja besok, Ki," ujar Caraka mengingatkan.
Saat ini, hari memang sudah menjelang senja. Matahari sudah sejak tadi bergulir ke sebelah Barat. Bahkan sebagian hutan ini sudah mulai gelap, tidak lagi mendapat cahaya matahari.
"Tidak! Biar kiamat sekalipun, gadis itu harus tetap dicari!" bentak Kala Putih berang.
"Tapi, Ki..," Caraka mau menyanggah. Tubuhnya sudah lelah mencari Sekar yang tidak juga kunjung ditemukan.
"Kalau anak setan itu tidak juga ditemukan, lehermu yang jadi penggantinya!" ancam Kala Putih tidak main-main. Caraka menelan ludahnya yang mendadak terasa pahit Dia tidak berani lagi membantah. Sedangkan tiga orang lainnya hanya bisa menundukkan kepala. Mereka tahu benar, kalau sudah marah begini. Kala Putih tidak bisa lagi diajak damai. Apa yang diperintahkan, harus segera dilaksanakan.
"Kalian tahu, pedang itu sangat berarti bagiku. Dengan pedang itu, seluruh rimba persilatan bisa kukuasai. Dan kalian juga akan menikmati hasilnya. Mengerti...?!" agak keras suara Kala Putih.
Serentak mereka menganggukkan kepala.
"Susah payah aku mendapatkan Batu Kawa Hijau. Kini setelah jadi pedang, hilang begitu saja. Huh! Sampai kapanpun, aku harus mencari dan mendapatkannya. Pedang itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain, selain aku...!" agak bergetar suara Kala Putih terdengarnya.
Empat orang itu hanya diam saja.
"Kalian tahu, bagaimana aku mendapatkannya, bukan...?"
Mereka kembali menganggukkan kepala bersamaan. Mereka memang tahu persis, bagaimana Kala Putih bertarung menyabung nyawa melawan pertapa tua pemilik Batu Kawa Hijau di Gunung Anjar. Dengan kelicikan, akhirnya Kala Putih dapat membunuh pertapa itu dan memperoleh Batu Kawa Hijau yang mengandung daya kekuatan gaib luar biasa.
Kini setelah batu itu dilebur jadi sebuah pedang, dilarikan seorang gadis anak pembuat pedang. Dan yang pasti Kala Putih tidak bisa menerimanya begitu saja. Dengan cara apa pun, pedang yang kelak akan menggegerkan dunia persilatan harus didapatkannya kembali.
"Caraka, ambil kuda. Kita lacak setiap jengkal daerah ini!" perintah Kala Putih.
"Segera, Ki," sahut Caraka.
Bergegas Caraka melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara Kala Putih memerintahkan yang lain untuk kembali memeriksa tempat di sekitarnya.
Benarkah Sekar menghilang begitu saja dari hutan ini...?
Sekar yang mengetahui betul seluk beluk daerah hutan ini, bisa saja menghilang begitu saja tanpa diketahui. Dan sebenarnya, gadis itu masuk ke dalam sebuah gua yang mulutnya tersembunyi di balik semak belukar, tidak jauh dari tempat Kala Putih dan empat orang anak buahnya mencari Sekar merambat di lorong batu yang sempit, dan terus merayap tanpa mengenal lelah. Hingga dia tiba di suatu rongga yang cukup lebar dan besar, yang merupakan gua panjang berlorong penuh kelokan. Sampai di situ, Sekar baru bisa beristirahat melepas lelah.
"Hhh.... Ke mana lagi aku harus pergi...?" desah Sekar perlahan.
Sekar memeluk pedang buatan terakhir ayahnya. Sebentar kemudian dipandanginya pedang itu. Kembali terbayang peristiwa yang begitu mengerikan. Dia tidak tahu lagi, bagaimana nasib adiknya sekarang. Sedangkan ayahnya sudah tewas di tangan empat orang anak buah Kala Putih.
Sekar jadi teringat ketika siang itu, sehari setelah ayahnya selesai bersemadi, mereka berjalan-jalan di sepanjang tepian danau. Seperti sudah mendapat firasat, Wirya berbicara yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Dan Sekar tidak menanggapinya sungguh-sungguh. Omongan adiknya hanya dianggap sebagai angin lalu saja. Ternyata, semua yang dikatakan Wirya, sekarang menjadi kenyataan.
"Kak... apa Kala Putih nanti akan merebut pedang yang dibuat ayah...?" tanya Wirya waktu itu.
"Bisa jadi," sahut Sekar.
"Kalau begitu, nanti kita ke mana, Kak?" tanya Wirya lagi.
"Ya, di sini.... Memangnya, mau ke mana?"
"Wirya merasa seperti akan terjadi sesuatu, Kak," jelas Wirya pelan.
"Jangan bicara macam-macam, ah!" sentak Sekar menganggap adiknya hanya bercanda.
"Semalam Wirya mimpi, Kak. Rumah kita terbakar, dan kita semua berada di dalam lorong yang panjang dan bercabang. Masing-masing mencari jalan keluar. Tapi, ayah terperosok jauh ke dalam lubang. Kak Sekar sendiri tidak menolong, dan aku seperti terkurung. Hanya bisa melihat saja," jelas Wirya lagi, menceritakan mimpinya semalam.
"Mimpi itu hanya bunga tidur, Wirya. Tidak pernah menjadi kenyataan," hibur Sekar.
Tapi, Kak..." "Sudahlah.... Kau lelah?" Sekar tidak mau mendengar lagi.
"Tidak. Hanya lapar," sahut Wirya.
"Nanti. Kalau jebakan kita penuh ikan, kau akan kumasakkan yang lezat. Mau...?"
Wirya tersenyum lebar dan mengangguk Bocah itu memang paling suka makan ikan yang dimasak kakaknya. Karena, selalu saja terasa nikmat dan mengundang selera. Bukan hanya Wirya, tapi juga ayah mereka begitu menyukai masakan Sekar, sepertinya, apa saja yang diolah gadis ini selalu sedap dinikmati.
Sekar menghembuskan napas panjang. Hatinya menyesal, tidak memperhatikan sungguh-sungguh kata-kata Wirya. Kalau saja mimpi adiknya diceritakan pada ayahnya, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Dan sekarang sudah terlambat Mereka sudah terpisah satu sama lain. Penyesalan memang tidak datang lebih dahulu. Dan Sekar menyadari, tidak mungkin menyesali semua yang telah terjadi.
"Aku harus keluar dari gua ini. Sewakt-waktu mereka bisa saja menemukan aku di sini. Hhh.... Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu pada Wirya," desah Sekar agak menggumam.
Gadis itu bangkit berdiri dan kembali melangkah menyusuri lorong gua yang panjang dan berliku ini. Dia memang sudah tahu gua ini, tapi tidak pernah masuk sampai sejauh itu. Sekar terus berjalan mengikuti ahir lorong gua yang cukup gelap, sehingga sulit melihat jauh.
"Ada sinar...," desis Sekar.
Jauh di depannya, Sekar melihat seberkas sinar yang kelap-kelip seperti dari sebuah pelita. Gadis itu mempercepat ayunan kakinya. Tidak dipedulikan lagi tubuhnya yang beberapa kali hampir terguling, terantuk batu yang banyak bertebaran di sepanjang lorong gua ini. Dan tampaknya, cahaya itu berada di ujung mulut gua di depannya.
Mendadak Sekar menghentikan ayunan kakinya, begitu tahu kalau cahaya itu berasal dari nyala api. Dan dekat api itu, duduk seorang laki-laki muda berumur sekitar dua puluh lima tahun. Bajunya kulit harimau. Dia duduk membelakangi Sekar yang muncul dari dalam mulut gua yang cukup besar ini.
Trekkk!
"Oh...?!"
Sekar terkejut, dan menutup mulutnya ketika menginjak sebatang ranting kering. Suara ranting patah, membuat pemuda berbaju kulit harimau itu berpaling. Tampaknya, dia juga terkejut melihat ada seorang gadis berdiri di depan mulut gua di belakangnya. Perlahan tubuhnya diputar. Sedangkan Sekar masih tetap berdiri saja sambil menggenggam gagang pedangnya erat-erat.
Srettt!
"Eh! Sabar.... Masukkan senjatamu," bujuk pemuda itu begitu melihat Sekar mencabut pedangnya.
"Kau pasti orang suruhan Kala Putih. Kalau kau akan merebut pedang ini, langkahi dulu nyawaku!" sentak Sekar garang.
"Aku...? Ha ha ha...!" Entah kenapa, pemuda berbaju kulit harimau itu tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan Sekar hanya memandangi saja dengan sinar mata tajam. Diperhatikannya wajah tampan di depannya. Gadis itu juga jadi ragu-ragu, karena sinar mata pemuda itu menampakkan kejujuran, dan tidak seperti orang-orangnya Kala Putih.
Perlahan Sekar memasukkan kembali pedang yang memancarkan cahaya kehijauan itu ke dalam warangka. Sekejap saja, sinar kehijauan itu menghilang dari pandangan.
"Siapa kau?" tanya Sekar tetap dingin dan tajam suaranya.
Sikap gadis itu masih belum bisa mempercayai pemuda ini. Sedangkan pemuda tampan berbaju kulit harimau itu tersenyum saja, dan kembali duduk di tempatnya semula.
"Aku Bayu. Dan kau sendiri siapa...?" pemuda itu memperkenalkan diri, sambil balik bertanya.
"Sekar."
"Kenapa malam-malam begini ada di tengah hutan?" tanya pemuda yang ternyata memang Bayu, yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka.
"Seharusnya, aku yang bertanya begitu padamu!" dengus Sekar agak ketus.
"Oh...?!" Bayu mengangkat alisnya.
Pendekar Pulau Neraka mengambil sekerat daging bakar yang berada di atas api, kemudian menyodorkan pada gadis ini. Sejenak Sekar hanya memandanginya saja. Perutnya memang terasa lapar, tapi tidak mau sembarangan menerima uluran tangan orang yang tidak dikenalnya sama sekali.
"Kau tentu lapar. Ayo, kita makan sama-sama," Bayu menawarkan dengan sopan.
Sekar masih saja diam memandangi Bayu mengangkat bahunya sedikit, lalu menggigit keratan daging itu. Dia mengunyah perlahan-lahan, membuat Sekar terpaksa harus menelan ludahnya.
"Kalau mau, ambil saja sendiri. Aku rasa, cukup untuk dimakan berdua," kata Bayu lagi.
Perlahan Sekar melangkah menghampiri. Gadis itu berjalan memutar, dan berdiri di seberang Pendekar Pulau Neraka. Kemudian, dia duduk di dekat api yang membuat dirinya terasa sedikit hangat Perlahan dan ragu-ragu sedikit tangannya dijulurkan, mengambil sekerat daging bakar. Lalu, digigitnya sedikit. Cukup lezat juga. Apalagi, dalam keadaan perut kosong begini. Sejak siang tadi, perutnya memang belum terisi apa-apa. Mereka kini makan tanpa bicara apa pun juga.
"Kau tidak tidur...?" tegur Bayu seraya melirik gadis itu.
Sekar hanya menggelengkan kepala saja, dan tetap duduk bersandar pada sebatang pohon yang cukup besar melindungi dirinya dari dinginnya terpaan angin malam. Bayu kemudian duduk, dan menggeser mendekati gadis itu. Sekar langsung menggenggam tangkai pedangnya. Namun, Bayu hanya tersenyum saja melihat sikap Sekar yang masih juga ketakutan.
"Sepertinya, kau sedang mengalami kesulitan," tebak Bayu diiringi senyum di bibirya.
Sekar hanya diam saja. Kepalanya diangkat sedikit langsung menatap tajam wajah pemuda berbaju kulit harimau ini. Meskipun sikap Bayu baik dan lembut, tapi gadis itu masih belum bisa percaya penuh. Terngiang kembali kata-kata terakhir ayahnya. Pedang itu harus dijaga dan dipertahankan, jangan sampai jatuh ke tangan orang berwatak jahat Dan Sekar sudah bertekad mempertahankannya sampai tetes darah yang terakhir.
"Dari sorot matamu, aku tahu kau menyimpan persoalan yang berat. Dan kau memerlukan seseorang yang bisa diajak bicara. Mungkin bisa kubantu...?" kata Bayu lagi, lebih lembut suaranya.
"Hhh...!" Sekar hanya menghembuskan napas panjang saja.
"Baiklah. Mungkin kau masih belum percaya padaku. Asal tahu saja aku tidak mengerti ketika kau tiba-tiba mencabut pedang ingin menyerangku. Bahkan menganggap aku ini orangnya Kala Putih. Aku tidak tahu, siapa orang yang kau sebutkan itu. Juga, tentang pedang yang kau bawa," jelas Bayu, berterus terang.
"Kau benar-benar bukan orang suruhan Kala Putih...?" tanya Sekar, seakan-akan ingin meyakinkan diri.
Bayu menggeleng dan tersenyum.
"Bagaimana aku bisa percaya padamu?" tanya Sekar lagi seperti untuk diri sendiri.
"Apakah aku seperti orang jahat..?"
Sekar hanya diam saja. Memang diakui, pemuda ini sedikit pun tidak memiliki tanda-tanda sebagai orang jahat. Wajahnya terlalu tampan untuk menjadi penjahat. Dengan tubuh tegap, wajah tampan, dan kulit putih, pemuda ini lebih pantes bila disebut putra bangsawan. Bahkan kalau bisa anak saudagar kaya. Tapi pakaian yang dikenakannya menunjukkan kalau Bayu seorang pengembara. Atau bisa dikatakan juga, orang dari kalangan persilatan.
"Kalau tidak salah, kau tadi menyebut tentang pusaka. Apa kau kenal seorang Empu Pembuat Pusaka yang bernama Ki Bangka Putung...?" tanya Bayu.
Sekar terperanjat bukan main begitu mendengar nama ayahnya disebut. Tatapan matanya semakin tajam, merayapi wajah Pendekar Pulau Neraka. Jari-jari tangannya semakin erat menggenggam tangkai pedang yang tergenggam di tangan kirinya.
"Kau terkejut...? Apa kau kenal Ki Bangka Putung...?" tanya Bayu.
"Dari mana kau tahu nama itu?" Sekar malah balik bertanya. Suaranya terdengar dingin dan begitu tajam.
"Aku pernah lewat di Gunung Anjar. Di sana, aku menemukan seorang tua terluka parah. Dia hanya menyebutkan satu nama padaku sebelum meninggal, dan hanya sedikit pesan saja," jelas Bayu. "Hanya nama Ki Bangka Putung yang disebutkannya."
"Pertapa Gunung Anjar...," desis Sekar tanpa sadar.
"Kau juga kenal orang tua itu...?"
"Ohhh...," Sekar mendesah panjang
"Kapan dia meninggal?"
"Lama juga. Kira-kira, tiga purnama. Atau mungkin lebih," sahut Bayu.
"Apa yang dikatakannya padamu?" kejar Sekar, malah balik menanyai pemuda.ini.
"Tidak banyak. Aku diminta olehnya agar menemui seseorang yang bernama Ki Bangka Putung, dan supaya aku menyampaikan suatu pesannya," sahut Bayu .
"Apa pesannya?" Sekar terus mengejar, semakim ingin tahu.
"Sayang sekali. Aku tidak bisa mengatakannya padamu. Pesan itu harus kusampaikan pada Ki Bangka Putung sendiri," elak Bayu.
Sekar jadi terdiam termenung. Sudah bisa diduga, benda bercahaya kehijauan yang kini telah menjadi pedang adalah Batu Kawa Hijau milik Pertapa Gunung Anjar. Dia kenal pertapa tua itu. Karena, sudah beberapa kali pergi ke sana bersama ayahnya. Bahkan setiap kali pertapa tua itu turun gunung, selalu datang ke pondok mereka. Dan biasanya, selalu menginap sampai dua atau tiga hari.
Tapi kenapa ayahnya tidak tahu kalau benda itu adalah Batu Kawa Hijau milik Pertapa Gunung Anjar? Pertanyaan inilah yang sekarang berada di kepala Sekar. Dan gadis itu juga belum yakin dengan dugaannya, kalau Batu Kawa Hijau yang menjadi pangkal dari malapetaka adalah penyebabnya. Kalau sampai ayahnya sendiri tidak tahu tentang batu itu, bagaimana mungkin bisa berada di tangan Kala Putih?
"Sudah larut malam. Sebaiknya, kau tidur saja. Aku juga harus meneruskan perjalanan besok, mencari tempat tinggal Ki Bangka Putung," jelas Bayu.
"Kau tahu tempat tinggalnya?" tanya Sekar bernada memancing.
"Belum. Tapi aku yakin bisa menemukannya. Yaaah.... Meskipun sudah tiga purnama lebih aku mencari, tapi aku yakin bisa bertemu dengannya. Seorang Empu pasti banyak dikenal orang," tegas Bayu, yakin.
"Kau tidak akan bisa bertemu dengannya," kata Sekar agak lirih suaranya.
"Heh...?! Apa maksudmu...?" Bayu jadi tersentak kaget, tidak mengerti.
"Beliau sudah tewas," jelas Sekar dengan suara pelan, hampir tidak terdengar.
"Kau jangan main-main, Sekar," Bayu tidak percaya.
"Empu Bangka Putung adalah ayahku."
"Apa...?! Kau...?" suara Bayu jadi tercekat di tenggorokan.
Tanpa diminta lagi. Sekar menceritakan semua musibah yang menimpa keluarganya, sampai ayahnya tewas berada di tangan Kala Putih. Sementara Bayu mendengarkan penuh perhatian. Sungguh tidak disangka kalau akan bertemu putri Ki Bangka Putung dalam keadaan seperti ini. Bahkan tidak bisa lagi bertemu Empu Pembuat Pusaka itu untuk menyampaikan pesannya.
"Sebelum peristiwa itu terjadi, ayah membuat pedang ini," jelas Sekar sambil menunjuk pedangnya.
Bayu hanya terdiam saja memandangi pedang yang berada di dalam genggaman gadis ini. Entah, apa yang ada di dalam kepalanya saat itu. Tampaknya, Pendekar Pulau Neraka begitu kecewa, karena tidak bisa melaksanakan amanat orang tua yang menjelang ajal. Untuk beberapa saat, mereka jadi terdiam membisu.
"Sebaiknya kau tidur saja, Sekar. Biar aku yang jaga malam ini," ujar Bayu.
"Kau tidak ingin memiliki pedang ini...?" tanya Sekar, masih bernada memancing.
"Pedang itu milikmu, Sekar," sahut Bayu diiringi senyuman.
"Terima kasih," ucap Sekar, yang bisa merasa lega sekarang.
"Tidurlah."
Sekar sudah merasa tenang sekarang Dia yakin, pemuda ini memang tidak tahu apa-apa. Bahkan bukan orang suruhan Kala Putih yang begitu menginginkan pedang pusaka terakhir ayahnya, seperti dugaannya semula. Sekar merebahkan tubuhnya, dan mulai memejamkan mata. Badannya memang terasa lelah dan mengantuk sekali. Sebentar saja gadis itu sudah mendekati api, dan duduk bersila di sana. Malam pun terasa begitu dingin. Bayu mencoba bersemadi, dan menghangatkan tubuhnya dengan menyalurkan hawa mumi ke seluruh tubuh.
"Ke mana tujuanmu sekarang?" tanya Bayu melihat Sekar tampaknya sudah siap melakukan perjalanan.
"Ke tempat tinggal Kala Putih," sahut Sekar. "Untuk apa ke sana?" tanya Bayu.
"Membebaskan adikku."
"Memangnya, ada apa dengan adikmu...?" tanya Bayu agak terkejut.
Sekar memang belum menceritakan tentang Wirya yang sekarang ini berada di tangan Kala Putih. Dan mendapat pertanyaan itu, segera diceritakannya ten-tang Wirya. Bayu mendengarkan penuh perhatian. Sedikit pun tidak menyelak sampai gadis itu menyelesaikan ceritanya.
"Di mana tempat tinggalnya?" tanya Bayu setelah Sekar selesai dengan ceritanya.
"Tidak jauh dari Gunung Anjar. Tepatnya, di Lembah Kuning," sahut Sekar menjelaskan.
Bayu mengerutkan keningnya. Pendekar Pulau Neraka tahu tempat yang dimaksudkan Sekar. Sebuah tempat yang sangat sulit dijangkau. Bahkan tidak ada seorang pun yang sudi ke sana. Memasuki lembah itu, sama saja mengantarkan nyawa sia-sia. Kecuali, memang ingin mati.
"Tunggu dulu, Sekar...!" cegah Bayu begitu melihat Sekar sudah melangkah.
Sekar berhenti mengayunkan kakinya. Kepalanya berpaling, menatap pemuda berbaju kulit harimau yang sudah berada di sampingnya.
"Aku akan mengantarmu ke sana. Tempat yang kau tuju sangat sulit dan berbahaya. Bukannya tidak mustahil, Kala Putih dan orang-orangnya sudah menyebar untuk mencarimu," ujar Bayu.
"Terima kasih. Aku tidak meminta," ucap Sekar.
"Aku menyediakan diri untuk membantumu," tegas Bayu.
Sekar hanya tersenyum saja, dan terus mengayunkan kakinya. Bayu mengikuti, mensejajarkan langkah di samping gadis ini. Tapi baru saja mereka berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja semak yang berada di depan bergerak-gerak. Bayu langsung menarik tangan Sekar, hingga berada di belakang tubuhnya.
Srakkk!
Tiba-tiba saja dari dalam semak itu melesat sebuah bayangan hitam kecil. Bayu sempat tersentak kaget, tapi langsung diam begitu bayangan kecil itu menerkamnya. Dan tahu-tahu, di pundak kanan Pendekar Pulau Neraka sudah duduk seekor monyet kecil berbulu hitam. Binatang itu memeluk leher pemuda ini erat-erat.
"Dari mana saja kau...?" dengus Bayu seraya melepaskan pelukan monyet ini.
"Nguk!"
"Sekar, kenalkan, ini sahabatku. Tiren namanya," Bayu memperkenalkan monyet kecil itu pada Sekar.
Monyet kecil berbulu hitam itu memonyongkan mulutnya, kemudian mencerecet ribut dan berjingkrak di pundak Bayu. Sekar jadi tersenyum-senyum melihat tingkah binatang yang lucu ini.
"Ayo...!"
Mereka kembali berjalan tanpa bicara. Sampai matahari berada di atas kepala, mereka terus saja berjalan tanpa beristirahat sedikit pun. Keringat bercampur debu melekat di seluruh tubuh. Beberapa kali Bayu melirik wajah Sekar yang sudah memerah dan berkeringat.
"Kau tidak letih, Sekar?" tanya Bayu.
"Sedikit," sahut Sekar.
"Tampaknya, kau tahu betul seluk beluk hutan ini," tebak Bayu lagi
"Tidak begitu. Hanya saja, aku sering bermain-main di sini. Dan ayah juga sering mengajakku berburu di hutan ini."
Mereka berhenti melangkah ketika di depan mereka menghadang sebuah sungai yang berair sangat jernih. Begitu beningnya, sehingga ikan-ikan yang berenang ria di sungai ini terlihat jelas. Sekar membasuh wajah dan tangannya di air sungai itu. Bayu juga berbuat yang sama. Mereka menyegarkan tubuh dengan air sungai yang bening bagai kaca itu.
"Hebat...pintar sekali dia," gumam Sekar kagum. "Apanya yang hebat?" tanya Bayu.
"Itu...."
Bayu mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Sekar. Bibirnya jadi tersenyum melihat Tiren berlompatan di air sungai yang cukup dangkal ini. Dan kini di tangan monyet kecil itu sudah tergenggam seekor ikan yang cukup besar. Tiren, monyet kecil berbulu hitam itu melemparkan ikan hasil tangkapannya ke arah Bayu. Tangkas sekali Pendekar Pulau Neraka menangkapnya, lalu melemparkan lagi ke belakang.
"Cukup, Tiren...!" seru Bayu setelah Tiren mendapatkan lima ekor ikan.
"Nguk!"
Tiren berlompatan ke tepi melalui batu yang banyak terdapat di sungai ini. Tubuhnya digerak-gerakkan, membuat air yang melekat di seluruh tubuhnya menyiprat ke sana kemari. Sementara itu. Sekar sudah menyiapkan ranting-ranring kering, dan membuat api. Ikan-ikan tangkapan Tiren dibakamya di atas api. Bau harum cepat sekali menyebar menyengat hidung, membuat perut jadi berontak minta diisi.
Mereka kini tengah menikmati ikan-ikan itu. Sementara Tiren cukup senang mendapat buah-buahan yang diperoleh Bayu. Mereka makan sambil bercakap-cakap. Keakraban mulai terjalin di antara mereka. Ter-lebih lagi, Tiren cepat sekali lengket pada orang yang disukainya.
"Sebenamya ayah tidak sudi menuruti permintaan Kala Putih untuk membuat senjata dari benda yang dibawanya sendiri...," kata Sekar setelah ikan-ikan bakar itu habis disantap.
"Apa ayahmu tidak tahu asal benda yang dibawa Kala Putih?" tanya Bayu.
"Aku tidak tahu. Tapi, ayah sepertinya tidak pernah menanyakan itu pada Kala Putih. Ayah memang tidak pernah bertanya tentang benda-benda pembuat senjata pusaka yang dibawa pemesannya," jelas Sekar.
"Tentunya, ayahmu punya alasan, kenapa tidak ingin membuat senjata dari benda itu," desak Bayu lagi.
"Katanya, benda itu memiliki kekuatan gaib yang dahsyat dan sangat jahat Tapi..."
"Tapi kenapa, Sekar...?" desak Bayu.
"Aku menduga kalau benda itu adalah Batu Kawa Hijau milik Pertapa Gunung Anjar," agak ragu-ragu suara Sekar.
"Kau bisa menduga begitu, tapi kenapa ayahmu tidak bisa mengenalinya? Bukankah antara ayahmu dan Pertapa Gunung Anjar bersahabat baik?" tanya Bayu lagi.
"Antara ayah dan Pertapa Gunung Anjar dekat. Tapi di antara mereka tidak pernah saling mencampuri urusan masing-masing. Terlebih lagi, mengenai keahlian masing-masing. Bahkan tidak ada yang tahu tentang benda-benda yang dimiliki. Jadi, mana mungkin ayah bisa mengetahui kalau benda itu adalah Batu Kawa Hijau," jelas Sekar tentang hubungan ayahnya dengan Pertapa Gunung Anjar.
"Dan kau sendiri bisa menduga begitu. Pasti kau tahu tentang batu itu, bukan...?" kejar Bayu.
"Pertapa Gunung Anjar pernah cerita padaku tentang batu itu. Tapi, aku tidak pernah melihat bentuknya."
"Memang sulit jika saling menyimpan rahasia," desah Bayu seraya bangkit berdiri.
Pendekar Pulau Neraka kemudian mengulurkan tangannya pada Tiren yang berada di pangkuan Sekar.
"Biar dia bersamaku," pinta Sekar seraya berdiri.
Monyet kecil itu duduk di pundak gadis ini. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan tanpa berbicara lagi. Hanya ada satu tujuan mereka. Ke tempat tinggal Kala Putih untuk membebaskan Wirya, adik kandung gadis ini.
"Apa ada desa terdekat di sekitar sini, Sekar?" tanya Bayu.
"Ada," sahut Sekar. "Apa kita akan bermalam di desa?"
"Rasanya, tidak aman kalau bermalam di desa manapun juga." "Kenapa...?"
Belum juga Bayu menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba saja sebuah pohon yang cukup besar bergerak turnbang ke arah mereka, memperdengarkan suara berderak mengejutkan.
"Awas...!"
Bayu cepat melompat sambil menyambar pinggang Sekar. Hampir saja pohon itu menimpa mereka. Untung saja Bayu segera melompat menghindar. Pendekar Pulau Neraka cepat mengedarkan pandangan berkeliling, dengan telinga dipasang tajam-tajam.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Srakkk!
Slap!
Dari balik semak dan pepohonan, bermunculan sekitar sepuluh orang bersenjata golok. Seorang di antara mereka, bertubuh tinggi besar dan berotot kekar. Dia menyandang sebilah golok yang berukuran cukup besar. Sekar yang mengenali orang itu langsung hendak mencabut pedangnya. Tapi, Bayu keburu menahan tangan gadis ini.
"Kau kenal mereka?" tanya Bayu sedikit melirik pada gadis di sampingnya.
"Orang itu yang membunuh ayahku," sahut Sekar agak mendesis.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Pendekar Pulau Neraka menatap tajam laki-laki besar berotot kekar yang menyandang golok berukuran besar itu. Wajahnya begitu kasar, dipenuhi brewok yang tak terurus. Dia berdiri paling depan dari kesepuluh orang yang rata-rata masih berusia muda. Sementara itu, Bayu sudah menggeser kakinya ke depan dua langkah, membelakangi Sekar seperti hendak melindungi gadis ini.
"Siapa kalian...?" tanya Bayu, meskipun sudah diberi tahu Sekar tadi.
"Jangan banyak tanya! Serahkan gadis itu pada kami!" bentak orang bersenjata golok besar yang tak lain adalah Caraka.
"Kenapa kau meminta gadis ini?" tanya Bayu lagi, berpura-pura tidak mengerti.
"Rupanya kau ingin jadi pahlawan, Bocah...," desis Caraka sinis.
"Mungkin," sahut Bayu seenaknya.
"Setan...! Besar kepala juga kau rupanya," geram Caraka jadi gusar.
Wukkk!
Tiba-tiba saja Caraka mengebutkan golok besarnya ke depan. Kebutan itu demikian dahsyat, membuat Bayu agak terkejut juga. Jelas sekali kalau golok itu sangat berat Tapi di tangan Caraka, bagaikan terbuat dari karet yang begitu ringan. Pendekar Pulau Neraka . segera menggeser kakinya sedikit ke kanan. Diperhatikannya Caraka yang ringan sekali memutar-mutar goloknya.
"Golok mainan anak-anak saja dipamerkan di depanku," dengus Bayu memanasi dengan sinis.
"Serang...! Bunuh bocah keparat itu...!" perintah Caraka dengan suara lantang menggelegar.
Seketika itu juga, sepuluh orang yang berada di belakangnya segera berlarian. Mereka langsung berlompatan mendekati Bayu. Sejenak Pendekar Pulau Neraka memperhatikan, kemudian melirik sedikit pada Sekar yang juga rupanya sudah bersiap menerima serangan.
"Hiyaaa...!"
Mendadak saja Bayu melentingkan tubuh ke udara, ketika sepuluh orang itu sudah dekat. Cepat sekali tubuhnya meluruk deras, melontarkan beberapa pukulan keras, tanpa pengerahan tenaga dalam.
Hanya sekali gerak saja, terlihat tiga orang ambruk ke tanah sambil menjerit keras terkena pukulan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Gerakan yang dilakukan Bayu begitu cepat luar biasa, sehingga sukar diikuti dengan pandangan mata mereka. Baru beberapa gerakan saja, sepuluh orang itu sudah jatuh berpelantingan sambil memekik keras.
Meskipun pukulan-pukulan yang dilepaskan Bayu tidak disertai pengerahan tenaga dalam, tapi demikian keras. Bahkan cukup membuat sepuluh orang itu mengerang, merintih kesakitan Pendekar Pulau Neraka melenting ke belakang, lalu ringan sekali kakinya menjejak tanah. Bibirnya tersenyum melihat sepuluh orang itu merintih, bergelimpangan di tanah.
"Keparat..!" geram Caraka melihat sepuluh orang anak buahnya bergelimpangan, hanya dalam beberapa gebrakan saja.
"Aku tidak akan menyakiti kalian. Apalagi membunuh. Cepatlah pergi dari sini, sebelum aku berubah pikiran!" desis Bayu agak dingin suaranya.
"Sombong...!" dengus Caraka geram. "Rasakan ini! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat Caraka melompat cepat menerjang Bayu. Goloknya berkelebat dahsyat menimbulkan angin menderu yang menyakitkan telinga.
"Hup!"
Pendekar Pulau Neraka cepat cepat melompat mundur dua tindak dan langsung memiringkan tubuhnya ke kiri. Tebasan golok berukuran besar itu berhasil dihindarinya. Bayu agak terkejut juga merasakan hempasan angin yang begitu keras melanda tubuhnya. Bergegas dia melompat ke samping, beberapa langkah jauhnya.
Tapi Caraka sudah berhasil melakukan serangan cepat Jurus-jurus yang dikeluarkan laki-laki bertubuh tinggi besar ini begitu dahsyat. Setiap kebutan goloknya, membuat Pendekar Pulau Neraka jadi agak limbung. Maka segera dikerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Bayu berlompatan sambil meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan yang datang.
Sambil menghindar, Bayu memperhabkan gerakan-gerakan yang dilakukan lawannya ini. Setelah beberapa jurus berlalu, baru Pendekar Pulau Neraka melancarkan beberapa serangan balasan. Dan begitu memasuki jurus kedelapan, setiap gerakan yang dilakukan Caraka setelah bisa dibacanya.
"Hait,.!"
Pendekar Pulau Neraka cepat membungkukan tubuhnya, begitu golok besar itu mengebut ke arah kepala. Sebenarnya serangan bisa dielakkan dengan hanya merundukkan kepala sedikit Tapi Bayu malah membungkuk, dan tiba-tiba saja tangan kirinya mengibas cepat sekali ke depan.
"Heh...?!"
Caraka terperanjat setengah mati. Sungguh tidak disangka kalau pemuda berbaju kulit harimau itu akan melakukan sodokan, di saat menghindari serangannya. Cepat-cepat dia melompat mundur. Dan sebenarnya inilah yang ditunggu Bayu. Begitu Caraka menarik jarak, cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka menarik tubuhnya tegak kembali. Dan tiba-tiba, dilayangkannya satu tendangan keras yang sama sekali tidak diduga Caraka.
Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka, sehingga Caraka yang memang belum siap tak dapat lagi menghindarinya. Telak sekali telapak kaki Bayu menghantam dada yang berbulu lebat itu.
Des!
"Akh.?!" Caraka memekik keras agak tertahan.
Di saat tubuh Caraka tengah limbung terdorong ke belakang, Bayu cepat melompat sambil melepaskan satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam yang tidak penuh. Pukulannya demikian cepat dan keras sekali. Akibatnya, Caraka benar-benar tidak bisa lagi melakukan gerakan menghindar.
Diegkh!
"Akh...!" untuk kedua kalinya Caraka memekik keras. Pukulan Bayu yang begitu keras, membuat Caraka terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Keras sekali tubuhnya yang kekar berotot itu terbanting ke tanah, dan bergelimpangan beberapa kali. Tapi, Caraka cepat melompat bangkit berdiri. Kedua kakinya agak bergetar, seakan-akan tidak kuat lagi menahan beban tubuhnya. Caraka berusaha untuk bisa berdiri tegak, meskipun masih agak limbung.
"Setan...! Phuih!" geram Caraka. Sementara Bayu berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Matanya menatap tajam pada Caraka, dan bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Sementara Caraka melakukan beberapa gerakan, untuk mengusir rasa sesak yang menghimpit dadanya. Tentu saja akibat tendangan dan pukulan pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kalau masih penasaran, silakan maju lagi," tantang Bayu.
"Phuih!"
Caraka hanya menyemburkan ludahnya saja. Sementara, matanya melirik pada sepuluh orang anak buahnya yang tampaknya sudah tidak mampu bertarung lagi. Meskipun mereka sudah bisa berdiri, tapi golok-golok mereka sudah berpatahan, sehingga tak mungkin dapat digunakan lagi. Menyadari kedudukannya tidak menguntungkan, Caraka jadi berpikir dua kali untuk menyerang pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kita akan bertemu lagi, Bocah!" desis Caraka dingin.
Setelah berkata demikian, laki-laki berbadan kekar berotot itu bergegas melesat pergi. Sepuluh orang pengLkutnya segera berlarian mengikutinya. Sedangkan Bayu hanya memandanginya saja. Tubuhnya baru berputar, dan melangkah menghampiri Sekar setelah mereka sudah tak terlihat lagi.
"Kenapa kau biarkan mereka kabur, Kakang? Seharusnya kau bunuh mereka semua," Sekar agaknya tidak senang atas sikap Bayu yang membiarkan orang-orang itu pergi.
"Bukan mereka tujuanmu, Sekar," kilah Bayu kalem.
"Tapi.. orang itulah yang membunuh ayahku," bantah Sekar.
"Kau dendam...?"
"Aku akan membalas kematian ayah!" tegas Sekar.
Bayu jadi ingat akan dirinya sendiri. Dulu ketika baru keluar dari Pendekar Pulau Neraka, dia juga mencari para pembunuh orang tuanya. Saat itu, yang ada di kepalanya hanya balas dendam! Bahkan sampai sekarang pun, Pendekar Pulau Neraka masih belum bisa melepaskan dendamnya. Jika berjumpa orang yang membunuh ayahnya, api dendamnya langsung berkobar menyala. Dan orang itu tidak pernah diberi ampun lagi. Mereka yang terlibat langsung, akan terkapar bermandikan darah.
Dan Bayu tidak bisa menyalahkan Sekar jika di hatinya tersimpan api dendam. Dia juga tidak bisa melarang, atau menasihati gadis ini. Padahal sudah mulai disadarinya, kalau dendam tidak akan bisa menyelesaikan segala persoalan. Dan terus akan berbuntut panjang, sampai tak ada yang tersisa hidup hingga anak turunannya.
Memang tidak mudah perjalanan ini. Setiap saat mereka harus menghadapi bahaya. Terutama, ancaman orang-orang Kala Putih. Terlebih lagi, saat mereka sudah berada di sekitar Gunung Anjar. Bahkan bukan hanya Bayu saja yang memeras keringat menghadapi mereka. Sekar pun terpaksa berlaga, mempertahankan diri dari serangan-serangan yang selalu muncul tiba-tiba dari para pengjkut Kala Putih.
"Uhhh! Gila..!" lenguh Bayu seraya menghempaskan tubuh ke atas rerumputan di bawah pohon yang cukup rindang.
Mereka memang baru saja teriepas dari sergapan para pengikut Kala Putih. Sekar duduk di samping Pendekar Pulau Neraka sambil menghembuskan napas panjang. Disekanya keringat dengan punggung tangan, di sekitar wajah dan lehemya. Beberapa saat mereka terdiam, sambil mengatur jalan pemapasan. Rasanya, dada ini seperti akan pecah. Pagi ini, sudah dua kali mereka mendapat serangan gencar dari orang-orang Kala Putih.
"Setan...!" tiba-tiba Bayu mengumpat geram.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Sekar.
Belum juga Bayu menjawab, tiba-tiba saja meluncur sebatang tombak berukuran cukup panjang dari depan. Pendekar Pulau Neraka langsung melompat Tangannya segera dikebutkan untuk menangkap tombak itu tepat di bagian tengahnya. Sekar juga bergegas bangkit berdiri. Dihampirinya Pendekar Pulau Neraka, dan berdiri di samping kanannya.
"Siapa pun kalian, keluar...!" lantang suara Bayu.
Begitu teriakan Pendekar Pulau Neraka hilang, dari balik pepohonan dan semak belukar bermunculan empat orang laki-laki bertubuh kekar. Wajah mereka kasar dan kotor tak terawat Pakaian yang dikenakan pun kotor. Bahkan sudah mulai terlihat koyak di beberapa bagian tubuhnya.
"Hm...," Bayu menggumam kecil memperhatikan empat orang yang kini sudah berdiri sekitar satu tombak di depannya.
Tubuh dan keadaan mereka sudah mirip jembel jalanan. Dan Bayu bisa menduga, mereka bukan orang-orang Kala Putih. Tapi dalam keadaan seperti ini, tidak mudah menduga begitu saja. Dan setiap orang-yang dijumpai, terlebih lagi kemunculannya didahului satu serangan gelap, membuat Pendekar Pulau Neraka bersiap mempertahankan diri jika diserang.
"Siapa kalian?" tanya Bayu agak Iunak suaranya terdengar.
"Jangan banyak tanya! Serahkan semua hartamu!" bentak salah seorang, kasar.
"Harta...? Aku tidak punya harta," sahut Bayu agak berkerut keningnya.
"Bedebah! Kalau begitu, nyawamu yang kuminta!" "Heh...?!"
Pendekar Pulau Neraka tersentak kaget. Tapi belum juga lenyap dari keterkejutannya, empat orang bertampang kasar dan kotor itu sudah berlompatan menyerang. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang dilakukan cepat dan tiba-tiba. Golok-golok di tangan mereka berkelebatan, berdesingan di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Sementara, Sekar sudah lebih dahulu menghindar. Gadis itu hanya memperhatikan saja. Sementara tangan kanannya menggenggam erat tangkai pedangnya. Meskipun tidak mendapatkan lawan kali ini, tapi tetap saja dia bersikap waspada.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Bayu melentingkan tubuh ke udara, lalu meluruk deras sambil mengebutkan cepat tangannya beberapa kali. Begitu cepat gerakannya, sehjngga tubuh Pendekar Pulau Neraka bagaikan lenyap. Dan yang terlihat kini hanya bayangan kuning berkelebatan, menyambar empat orang bertampang kasar dan kotor itu.
Saat itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking yang saling sambut Kemudian, disusul berpentalannya keempat orang itu. Tampak Bayu berdiri tegak di antara mereka yang bergelimpangan di tanah. Entah kapan terjadinya, tahu-tahu Pendekar Pulau Neraka sudah merampas golok-golok keempat orang itu.
"Aku muak melihat tampang-tampang seperti kalian, huh...!" dengus Bayu.
Tangan Pendekar Pulau Neraka sudah terangkat, hendak menyambitkan golok-golok rampasannya kepada empat orang yang masih tergeletak mengerang di tanah. Tapi sebelum Bayu melaksanakan niatnya, tiba-tiba saja Sekar berseru nyaring.
"Jangan, Kakang...!"
"Heh...?!"
Bayu berpaling menatap Sekar yang melangkah cepat menghampirinya. Gadis itu berhenti di samping Pendekar Pulau Neraka. Dirampasnya golok yang berada di tangan Bayu, dan dilemparkannya pada empat orang yang sudah mulai bisa bergerak bangkit. Keempat orang laki-laki bertampang kasar dan kotor itu jadi terlongong melihat golok-goloknya berjatuhan di depan mereka.
"Ambil, dan pergi dari sini!" usir Sekar tegas.
Tapi keempat orang laki-laki itu tidak beranjak pergi, dan malah menjatuhkan diri berlutut Sehingga, kening mereka menyentuh tanah. Melihat sikap keempat orang ini, Bayu dan Sekar jadi terperanjat
"Heh...?! Apa-apaan ini...?" sentak Bayu tidak mengerti.
"Terimalah salam dan hormat kami yang hina dan rendah ini," ucap keempat orang itu sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada bersamaan.
"Kenapa mereka begitu...?" tanya Bayu seperti pada diri sendiri.
Sekar melangkah dua tindak ke depan. Sedangkan empat orang laki-laki bertubuh kekar dan kotor itu masih bersujud menempelkan kening di atas tanah.
"Bangunlah kalian," ujar Sekar, lembut suaranya.
Perlahan mereka mengangkat kepala, lalu duduk bersila di depan gadis ini. Sebentar Sekar merayapi wajah-wajah yang agak tertunduk di depannya. Keada-an mereka begitu kotor, seperti tidak pernah mandi berbulan-bulan lamanya. Pakaian yang dikenakan pun sudah sobek-sobek di beberapa bagian.
"Siapa kalian sebenarnya?" tanya Sekar tetap lembut suaranya.
"Kami hanya perampok. Dan kami janji, tidak akan mengulangi lagi," sahut salah seorang dengan sikap hormat sekali.
"Aku tidak percaya kalian perampok. Kalian semua mengenakan gelang Candra Wikara. Hm.. Kenapa kalian bisa jadi begini...?" sanggah Sekar sambil merayapi keempat orang ini.
Keempat orang itu tampak terkejut mendengar kata-kata Sekar barusan. Kembali mereka menjatuhkan diri bersujud dan menempelkan kening di tanah, tepat di depan ujung kaki gadis ini. Sementara Bayu yang melihat kejadian itu hanya memperhatikan saja. Didekatinya Sekar begitu empat orang ini kembali duduk bersila dengan kepala terus tertunduk menekuri tanah di depannya.
"Siapa sebenarnya mereka, Sekar?" bisik Bayu pelan.
"Aku tidak tahu, siapa mereka. Tapi gelang Candra Wikara yang dikenakan menunjukkan kalau mereka para pengawal pengantar barang kerajaan," sahut Sekar pelan juga suaranya.
Bayu mengangguk-anggukkan kepala. Pendekar Pulau Neraka tidak lagi heran dengan pengetahuan Sekar yang begitu luas. Wajar saja bila putri seorang Empu Pembuat Pusaka, bisa mengetahui tentang kerajaan segala. Dan yang pasti, tidak sedikit para pembesar yang pernah memesan senjata pusaka pada ayah gadis ini.
"Kau... berdiri," perintah Sekar seraya menunjuk salah seorang yang berada tepat di depannya.
Perlahan orang itu bangkit berdiri, tapi kepalanya tetap tertunduk. Sementara, kedua tangannya menyatu di bawah perut. Tubuhnya agak sedikit terbungkuk, seperti seorang pesuruh yang sedang menghadap majikannya.
"Siapa namamu, dan kalian semua?" tanya Sekar lagi.
"Kampar. Dan mereka, Gandil, Gadok dan Buling," sahut orang yang bernama Kampar, sambil memperkenalkan ketiga temannya.
"Ceritakan Siapa kalian sebenarnya, dan kenapa bisa jadi seperti ini...," pinta Sekar
"Ceritanya panjang, Nini...."
"Ceritakan saja."
"Mulanya kami berjumlah dua puluh orang...," Kampar memulai.
"Teruskan," pinta Sekar.
"Kami memang para petugas pengawal pengantar barang kerajaan. Sudah menjadi bagian dari tugas kami, menghadapi rintangan dan bahaya yang menghadang. Dan selama lebih sepuluh tahun, semuanya bisa diatasi. Bahkan pihak kerajaan sudah mempercayai kami untuk mengawal barang-barang berharga, Tapi, yaaah.... Semua itu hancur seketika setelah kejadian itu...," lanjut Kampar.
"Kejadian apa?" tanya Bayu.
"Saat itu, kami sedang bertugas mengawal dua orang panglima yang membawa satu peti penuh barang berupa emas. Saat melewati kaki Gunung Anjar, kami diserang sekelompok orang yang berjumlah empat kali lipat dari kami semua. Banyak teman kami yang tewas. Bahkan kedua panglima itu juga tewas. Hanya aku dan ketiga temanku ini yang berhasil lolos."
"Hm...," gumam Bayu periahan.
"Sejak peristiwa itu, kami tidak berani lagi menampakkan diri. Kami tahu, sekarang ini menjadi buronan pihak kerajaan. Mereka pasti menyangka kami yang merampok barang-barang itu," sambung Kampar.
"Seharusnya kau laporkan kejadian itu," saran Bayu.
"Kami tidak sudi digantung. Walaupun itu musibah, tapi Gusti Prabu pasti tidak mau tahu. Beliau pasti meminta barang-barangnya kembali. Sedangkan...."
"Kenapa?"
"Mustahil kami berempat bisa mengembalikan barang-barang itu, karena yang merampok adalah orang-orang Kala Putih."
"Siapa...?!" Sekar terbeliak mendengar nama Kala Putih.
"Lagi-lagi Kala Putih...," desis Bayu agak menggeram suaranya.
"Apakah Kisanak dan Nisanak berurusan juga dengan Kala Putih?" tanya Kampar.
"Ayahku tewas di tangannya. Dan sekarang, adikku menjadi tawanannya," sahut Sekar agak mendesis.
Beberapa saat mereka jadi terdiam.
"Boleh kami ikut bersama kalian...?" pinta Kampar agak ragu-ragu.
Bayu dan Sekar tidak segera menjawab. Saat itu, Kampar dan ketiga temannya sudah kembali duduk bersila. Mereka memunggut golok masing-masing, dan golok yang berada di dalam genggaman tangan kanan, ditempelkan ke ujung jari telunjuk kirinya. "Kami bersumpah untuk selalu setia," janji Kampar, diikuti ketiga temannya.
"Heh...?! Apa yang kalian lakukan...?" sentak Bayu.
Tapi belum juga hilang suara Pendekar Pulau Neraka, mereka sudah mengiris ujung jarinya dengan golok. Darah seketika mengucur keluar dari ujung jari yang teriris. Dan mereka langsung menyatukan jari yang berdarah itu.
"Edan...!" desis Bayu
"Itu tanda kesetiaan yang mereka tunjukkan, Kakang," jelas Sekar.
"Tapi, kenapa dengan cara seperti itu?"
"Mereka akan terhina jika kau menolak tanda kesetiaannya. Mereka lebih baik mati daripada ditolak."
Bayu jadi garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sementara, keempat orang itu sudah bangkit berdiri. Mereka kemudian mengulurkan tangan yang berlumuran darah kepada Pendekar Pulau Neraka. Sejenak pemuda berbaju kulit harimau itu memandangi, tapi Sekar cepat mengambil tangan kanan Bayu, dan diulurkan ke depan. Saat itu juga, keempat orang laki-laki ini menempelkan tangan yang berlumuran darah, menggenggam tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Mereka melepaskan tangan Bayu, kemudian berlutut di depannya. Lalu, mereka bersujud menempelkan kening di tanah. Bayu hanya diam memperhatikan saja. Setelah itu, keempat orang ini kembali bangkit berdiri.
"Demi Dewata yang bersemayam di Kahyangan, kami rela menyabung nyawa demi junjungan," ucap Kampar diikuti ketiga temannya.
"Kalian terlalu berlebihan," desis Bayu.
"Mereka akan mengikuti semua perintahmu, Kakang," jelas Sekar.
Bayu hanya menghembuskan napas saja, dan tidak bisa lagi menolak Dan dia harus menghormati sumpah setia yang telah dilakukan empat orang ini.
Mendapatkan tambahan orang, memang tidak ada ruginya. Sejak adanya empat orang itu, Bayu jadi jarang mengeluarkan tenaga jika kebetulan dicegat orang-orang Kala Putih. Dan memang, semakin dekat dengan lembah tempat tinggal Kala Putih, semakin sering saja terjadi bentrokan. Bahkan pertumpahan darah pun tak dapat dihindari lagi. Tapi hal ini sebenarnya tidak diinginkan Pendekar Pulau Neraka.
Hingga akhirnya mereka sampai di tepi lembah yang cukup luas. Pemandangan di lembah ini begitu indah. Tapi di balik semua keindahan itu, tersimpan sejuta bahaya mengancam. Bayu berdiri tegak memandang ke arah lembah itu. Sementara, di samping kanannya berdiri Sekar. Sedangkan di belakang mereka, berjajar empat orang laki-laki bertampang kasar yang telah mengangkat sumpah setia untuk Pendekar Pulau Neraka.
"Kau lihat, Sekar. Setiap jengkal lembah ini dijaga ketat," kata Bayu sambil menunjuk ke arah lembah di depan mereka.
"Apa pun bahayanya, kita harus masuk ke sana, Kakang," tegas Sekar bertekad.
"Tapi tidak dengan cara serampangan," kata Bayu lagi.
Sekar terdiam. Bisa dimengerti maksud Pendekar Pulau Neraka. Kekuatan yang mereka miliki memang tidak sebanding, bila dilihat dari kekuatan yang dimiliki Kala Putih. Entah, berapa banyak pengikut Kala Putih. Di dalam hati kecilnya, sebenarnya Sekar juga tidak yakin bisa menembus penjagaan yang begitu ketat.
Gadis itu menatap lurus tak berkedip ke arah bangunan besar yang dikelilingi tembok batu bagai benteng. Di dalam bangunan itulah Kala Putih bertempat tinggal, seperti berada di dalam sebuah istana kecil di tengah-tengah lembah yang indah dan luas ini. Sementara Gunung Anjar yang melatarbelakangi lembah ini, terlihat begitu angkuh, menjulang tinggi bagai hendak menembus langit.
Sementara itu, hari sudah menjelang senja. Matahari sudah begitu condong ke arah Barat Sinarnya tidak lagi terik membakar seperti tadi. Rona merah yang membias, menambah indahnya pemandangan alam di sekitar lembah ini. Tampak kabut mulai merayap turun dari Puncak Gunung Anjar. Udara pun mulai terasa dingin, menyusup sampai ke tulang.
"Sebaiknya, kita istirahat di sini sambil memikirkan cara untuk masuk ke sana," ujar Bayu, perlahan suaranya.
"Apa tidak terlalu berbahaya berada di sini, Kakang?" tanya Sekar.
Belum juga Bayu sempat menjawab pertanyaan gadis itu, tiba-tiba saja mereka dikejutkan suara tawa yang datang dari belakang. Mereka langsung berbalik, dan terkejut begitu tiba-tiba di depan mereka kini telah berdiri seorang laki-laki berbaju kuning gading. Tubuhnya kurus, dan kepalanya botak. Tanpa selembar rambut pun menghiasi.
Tak ada satu senjata pun terlihat, kecuali seuntai kalung dari batu hitam yang tergenggam di tangan kanannya. Jari-jari tangan yang kurus seperti tulang berbalut kulit, lincah mempermainkan untaian baru hitam itu. Dia berdiri sekitar empat batang tombak jauhnya.
"Kalian menyingkirlah," ujar Bayu.
Pendekar Pulau Neraka pernah melihat orang tua berjubah kuning ini di kedai, saat mereka beristirahat mengisi perut. Memang, saat itu mereka tidak bertegur sapa. Tapi Bayu selalu memperhatikannya dari sudut ekor matanya, kalau orang tua berjubah kuning ini tidak lepas mengamati Sekar. Dan sekarang, dia muncul lagi secara mengejutkan. Dari kemunculannya saja, Bayu sudah bisa mengira kalau orang tua ini memiliki tingkat kepandaian tinggi. Itulah sebabnya, Pendekar Pulau Neraka menyuruh Sekar dan empat orang yang mengikutinya menyingkir.
"He he he.... Kita bertemu lagi, Pendekar Pulau Neraka," kata orang berjubah kuning itu diiringi tawanya yang terkekeh.
"Ya! Meskipun tidak sempat bertegur sapa," sambut Bayu kalem.
"He he he...," kembali orang tua berjubah kuning itu terkekeh.
Dia melangkah ringan mendekati Pendekar Pulau Neraka. Sementara, Sekar dan empat orang laki-laki yang ikut bersamanya, sudah menyingkir ke tempat yang cukup aman. Sedangkan laki-laki tua berjubah kuning gading itu sudah berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa langkah lagi di depan Bayu. Gerakan kakinya saat melangkah tadi, begitu ringan. Sehingga, tak terdengar suara sedikit pun. Dan Bayu semakin yakin kalau orang tua ini memiliki kepandaian yang tidak bisa dianggap enteng.
"Boleh aku tahu, siapa sebenarnya Kisanak ini...?" masih terdengar kalem suara Bayu.
"Orang-orang menyebutku Pendeta Laba-laba. Padahal, aku bukan seorang pendeta. Bahkan tidak memiliki puri satu pun juga," orang tua itu memperkenalkan diri.
"Pendeta Laba-laba...," desis Bayu agak menggumam.
Pendekar Pulau Neraka kembali mengamati orang tua berjubah kuning di depannya dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya. Keningnya sedikit berkerut saat memperhatikan. Orang tua ini memang lebih tepat dikatakan pendeta dengan penampilan demikian. Tapi, dia tidak mengakui kalau dirinya seorang pendeta.
"Dari mana kau bisa tahu namaku, Pendeta Laba-laba?" tanya Bayu lagi.
"Hanya orang tolol yang tidak mengenalimu, Pendekar Pulau Neraka," sahut Pendeta Laba-laba.
"Lalu, kenapa kau mengikutiku?" tanya Bayu lagi.
"Aku tidak mengikutimu. Tapi, mengikuti gadis itu. Kebetulan saja kau bersamanya," Pendeta Laba-laba menunjuk Sekar yang didampingi empat orang laki-laki bersenjata golok. "Hm...," gumam Bayu periahan sambil melirik sedikit pada Sekar yang berada di tempat cukup aman.
Kembali Bayu melemparkan pandangan pada orang tua berjubah kuning di depannya. Dia belum tahu, apa maksud orang tua ini membuntuti Sekar. Apakah karena pedang yang dibawa Sekar, seperti yang diinginkan Kala Putih...?
"Untuk apa kau membuntutinya?" tanya Bayu ingin tahu.
"He he he.... Semua orang sudah tahu, gadis itu membawa Pedang Kawa Hijau. Rasanya terlalu bodoh kalau tidak ikut dalam periombaan ini," sahut Pendeta Laba-laba diiringi tawanya yang terkekeh.
"O...? Jadi kau juga berminat pada pedang itu...?" agak sinis nada suara Bayu, setelah tahu maksud Pendeta Laba-laba ini.
"Aku rasa, kau juga berminat, Pendekar Pulau Neraka."
"Sayang sekali. Aku sama sekali tidak tertarik," dengus Bayu kurang senang.
"Oh, ya...? Juga dengan kemolekannya...?"
"Apa maksudmu, Kisanak...?"
"Gadis itu cantik sekali. Dan kau masih cukup muda, Pendekar Pulau Neraka. Aku rasa kau laki-laki waras yang...."
"Cukup...!" bentak Bayu cepat memutuskan kalimat Pendeta Laba-laba.
"He he he.... Kau memang pandai dengan cara pendekatan seperti itu. Sayang sekali, kita bertemu dalam suasana yang tidak menyenangkan ini. Maaf, aku terpaksa harus menyingkirkanmu lebih dahulu," kata Pendeta Laba-laba, mengandung ancaman.
Setelah berkata demikian, laki-laki tua berjubah kuning ini segera menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Tatapan matanya begitu tajam, menyorot langsung ke bola mata pemuda berbaju kulit harimau di depannya. Seakan-akan, dia sedang mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki pendekar muda ini.
"Hup!"
Cepat sekali Pendeta Laba-laba menggerakkan kedua tangannya di depan dada. Kemudian sambil berteriak keras menggelegar, dia melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Satu pukulan keras dilepaskan ke arah dada pemuda berbaju kulit harimau itu, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Ufs! Yeaaah...!"
Tapi manis sekali Bayu memiringkan tubuh ke kiri. Laki-laki tua berjubah kuning itu lewat, cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kirinya, menyodok ke arah perut
"Hih!"
"Hup!" Pendeta Laba-laba bergegas menarik kakinya ke belakang, dan langsung melentingkan tubuh ke belakang sejauh beberapa langkah. Dan begitu kakinya menjejak tanah, cepat sekali kedua tangannya dihentakkan ke depan dengan jari-jari tangan terbuka lebar. Pada saat itu, dari telapak tangannya yang terbuka keluar serat-serat putih yang meluncur deras ke arah Pendekar Pulau Neraka. Rupanya, si Pendeta Laba-laba langsung mengeluarkan jurus andalannya yang bernama jurus 'Jaring Maut'.
Rrrt...!
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Bayu melentingkan tubuhnya ke udara, menghindari terjangan serat-serat putih seperti jaring laba-laba itu. Beberapa kali dia melakukan putaran di udara, lalu manis sekali kakinya hinggap di atas dahan pohon. Maka, serat-serat putih itu hanya menghantam sebongkah batu yang cukup besar.
Glarrr...!
"Gila...!" desis Bayu terkejut.
Batu itu seketika hancur berkeping keping tersambar ujung serat putih yang keluar dari telapak tangan si Pendeta Laba-laba. Dahsyat sekali jurus ' Jaring Maut itu! Bisa dibayangkan jika menghantam tubuh manusia. Pasti bakal hancur seperti batu yang besar dan keras itu!
"Hiyaaa...!"
Pendeta Laba-laba kembali menghentakkan kedua tangannya ke arah Bayu yang berada di atas pohon. Seketika serat-serat putih itu meluruk deras. Dan pada saat itu, Bayu sudah melentingkan tubuhnya untuk menghindar. Kembali dia melakukan putaran beberapa kali di udara, sebuah kakinya menjejak tanah. Satu ledakan keras kembali menggelegar. Tampak pohon tempat Bayu berada tadi hancur berkeping-keping terhantam serat putih itu.
"Ha ha ha...! Keluarkan semua kepandaianmu, Pendekar Pulau Neraka!"
Beberapa kali Bayu terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan serat putih itu. Suara-suara ledakan keras menggelegar pun terdengar saling susul. Sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan itu sudah porak-poranda. Batu-batu dan pepohonan hancur berkeping-keping terhantam serat-serat putih yang keluar dari telapak tangan si Pendeta Laba-laba.
"Akan kucoba menangkap serat itu," desis Bayu di dalam hati.
Dan ketika si Pendeta Laba-laba kembali melancarkan serangannya, Pendekar Pulau Neraka tidak berusaha menghindari sedikit pun. Bahkan menunggu ujung serat itu sampai. Dan hal ini membuat si Pendeta Laba-laba jadi agak terkejut juga.
Dan sebelum lawan sempat menyadari apa yang akan dilakukannya, mendadak saja Pendekar Pulau Neraka sudah mengibaskan tangan kiri.
"Hap!"
Pendekar Pulau Neraka langsung mencekal ujung serat putih itu kuat-kuat. Dan sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalam yang telah sempurna, Bayu menghentakkan tangan kirinya ke atas kepala. Begitu cepat tindakannya, sehingga membuat di Pendeta Laba-laba jadi tersentak kaget. Dia tidak sempat lagi menahan sentakannya yang begitu kuat.
"Whuaaa...!"
Bagaikan selembar daun kering, tubuh si Pendeta Laba-laba melayang ke udara. Dan belum juga bisa menguasai keseimbangan tubuhnya di udara, Pendekar Pulau Neraka sudah melesat ke atas sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
"Hiyaaat..!"
Begkh!
"Akh.!" Pendeta Laba-laba terpekik keras agak tertahan.
Pukulan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam lawannya. Akibatnya, laki-laki tua berjubah kuning gading itu terpental jauh ke belakang. Keras sekali punggungnya menghantam pohon yang cukup besar hingga tumbang. Pendeta Laba-laba bergulingan beberapa kali di tanah, lalu bergegas melompat bangkit berdiri sambil memegangi dadanya yang mendadak jadi terasa sesak. Darah kental agak kehitaman tampak merembes keluar dari sudut bibimya. Namun, tubuhnya agak terhuyung-huyung, seakan-akan kakinya tidak sanggup lagi menopang berat tubuhnya.
Tangan kiri Pendeta Laba-laba bergetar menjulur ke depan. Mulutnya agak terbuka dengan bibir menggeletar. Lalu, tiba-tiba saja dia jatuh terjungkal. Sebentar si Pendeta Laba-laba masih bisa bergerak, sesaat kemudian meregang kaku dan diam tak berkutik lagi. Mati!
"Phuih...!" Bayu menghembuskan napasnya yang berat.
Saat itu Sekar berlari-lari menghampiri Pendekar Pulau Neraka, diikuti Kampar dan ketiga temannya. Kampar mendekati tubuh Pendeta Laba-laba. Diperiksanya tubuh kaku itu sebentar, kemudian menghampiri Bayu yang sudah didampingi Sekar.
"Dia sudah mati," kata Kampar memberi tahu.
Bayu hanya diam saja. Pandangannya segera beredar ke sekeliling. Tempat ini begitu hancur, seperti baru saja terjadi gempa di sini. Kemudian, ditatapnya tubuh Pendeta Laba-laba yang terbujur tidak bernyawa lagi. Pukulan yang dilepaskan Bayu tadi, memang keras sekali. Terlebih, lagi disertai pengerahan tenaga dalam penuh dan sempurna. Akibatnya rongga dada orang tua berjubah kuning itu hancur seketika. Dan itulah yang membuatnya tak bernyawa lagi.
"Ayo kita tinggalkan tempat ini," ajak Bayu.
"Kenapa pergi, Kakang?" tanya Sekar.
"Mereka pasti mendengar suara-suara ledakan tadi. Belum saatnya menghadapi mereka sekarang," jelas Bayu.
Tak ada yang membantah. Mereka bergegas meninggalkan tempat itu, dengan berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Hingga, sebentar saja mereka sudah jauh dan menghilang di dalam hutan yang cukup lebat.
Dugaan Bayu memang tepat. Begitu mereka hilang di dalam hutan, muncul beberapa orang di tempat itu. Mereka tampak terkejut melihat Pendeta Laba-laba tergeletak tak bernyawa lagi. Tak ada luka terlihat di tubuhnya. Tapi, di mulutnya penuh darah yang menggumpal. Sementara dadanya seperti melesak ke dalam. Di antara mereka, tampak Balika yang membawa tombak pendek bermata tiga.
"Keparat..! Siapa yang melakukan ini...?!" geram Balika.
Laki-laki berperawakan tinggi dengan raut wajah memancarkan kebengisan itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia mendengus melihat tempat sekitamya tampak porak poranda seperti baru saja terjadi pertempuran dahsyat. Kemudian orang-orangnya diperintahkan untuk membawa Pendeta Laba-laba.
Brakkk!
Kala Putih mengkelap marah bukan kepalang begitu mendapat laporan dari Balika tentang kematian Pendeta Laba-laba. Dalam beberapa hari ini, sudah puluhan anak buahnya yang tewas. Dan semuanya karena berurusan merebut Pedang Kawa Hijau dari tangan Sekar. Tapi yang membuat Kala Putih geram, sementara ini Sekar didampingi seorang pendekar muda yang namanya sudah sering terdengar. Pendekar digdaya yang bergelar Pendekar Pulau Neraka.
"Caraka, Balika, Kandara, dan kau, Sentanu.... Kumpulkan semua orang-orang kita yang ada. Hancurkan mereka sekarang juga!" perintah Kala Purih gusar.
"Rasanya tidak perlu kita lakukan itu, Ki," sanggah Caraka.
"Kenapa? Kau takut...?" dengus Kala Putih sinis.
"Kita masih memiliki senjata yang lebih ampuh, Ki," kata Caraka lagi.
"Apa maksudmu, Caraka?"
"Anak itu."
Kala Putih terdiam. Seakan-akan baru disadari kalau memiliki satu senjata yang tak ada bandingnya di dunia ini. Sudah pasti, Sekar akan datang ke sini untuk membebaskan adiknya. Memang, tak ada satu senjata pun di dunia ini yang bisa mengalahkan kasih sayang dan cinta. Sekar pasti akan melakukan apa saja untuk membebaskan adiknya dari tawanan Kala Putih.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Kala Putih tertawa terbahak-bahak.
"Rasanya kita tidak perlu susah-susah mencarinya, Ki. Mereka pasti akan datang sendiri ke sini," saran Caraka lagi.
"Kau benar, Caraka. Gadis setan itu pasti datang ke sini untuk membebaskan adiknya," sambut Kala Putih.
"Mereka hanya enam orang, Ki. Tidak sulit menghancurkannya," sambung Balika.
"Hm...," Kala Putih menggumam periahan. "Bagaimana anak itu?"
"Dia menangis terus. Makannya hanya sedikit," sahut Kandara.
"Aku tidak peduli dia mau makan atau tidak. Yang penting, dia belum mati sampai kakaknya datang ke sini!" dengus Kala Putih.
"Aku menjaganya baik-baik, Ki," tegas Kandara. "Bagus! Tapi, sebaiknya kalian juga tetap mencari mereka. Kalau bisa, rebut pedang itu. Rasanya, aku akan lebih tenang kalau Pedang Kawa Hijau sudah berada di tanganku," ujar Kala Putih lagi.
"Baik, Ki," sahut empat orang itu serempak.
"Sebaiknya, kalian pergi sekarang," kata Kala Putih lagi. "Dan, ingat! Selepas senja nanti, kalian kutunggu di tempat biasa.
"Baik, Ki," sahut mereka serempak.
Tanpa ada yang membantah sedikit pun, mereka segera beranjak pergi. Sementara, Kala Putih masih tetap duduk di kursinya sampai empat orang kepercayaannya tenggelam di balik pintu. Dan Kini perlahan-lahan dia bangkit berdiri, dan melangkah meninggalkan ruangan ini.
Sementara itu di dalam hutan yang cukup lebat, Bayu duduk bersila di depan api unggun bersama empat orang bekas petugas pengawal barang kerajaan. Saat itu, malam sudah jatuh. Udara di sekitar hutan lereng Gunung Anjar ini begitu dingin. Bahkan api unggun yang menyala cukup besar ini tidak sanggup mengusir dinginnya udara malam ini.
"Kalian lihat Sekar?" tanya Bayu.
"Tadi ke sana," sahut Kala Putih sambil menunjuk.
"Kalian di sini saja."
Setelah berpesan, Pendekar Pulau Neraka bangkit berdiri dan melangkah ke arah yang ditunjuk Kala Putih. Ayunan kakinya begitu ringan, dan tak bersuara sedikit pun. Hutan ini begitu lebat, sehingga suasananya begitu gelap dan menyeramkan. Bayu terus mengayunkan kakinya semakin jauh meninggalkan empat orang itu.
Sampai di tempat yang penuh batu, Bayu baru melihat Sekar tengah duduk di atas batu memandang ke arah lembah. Dari tempat yang cukup tinggi ini, lembah itu memang bisa terlihat jelas. Perlahan Bayu menghampiri dan berdiri dibelakang gadis itu. Lembut sekali tangannya disentuhkan ke bahu.
"Oh...!" Sekar tersentak kaget.
"Maaf, aku mengejutkanmu," ucap Bayu.
"Tidak...," sahut Sekar begitu tahu yang menyentuh bahunya adalah Pendekar Pulau Neraka.
Bayu duduk di samping gadis itu. Sementara Sekar menggeser sedikit duduknya, memberi tempat pada Pendekar Pulau Neraka. Mereka terdiam sambil memandang ke arah lembah yang bermandikan cahaya api obor. Suasana di lembah itu terlihat cukup semarak, seperti sedang pesta. Tapi, tak ada pesta di sana. Hanya terlihat orang-orang bersenjata saja yang hilir mudik di sekitar bangunan besar dikelilingi tembok batu bagai benteng.
"Kau teringat adikmu, Sekar...?" lembut sekali suara Bayu.
"Ya...," sahut Sekar agak mendesah. "Kuharap tidak terjadi sesuatu pada Wirya." "Percayalah, Sekar. Kita pasti akan membebaskan adikmu," Bayu mencoba menguatkan hati gadis ini.
"Aku percaya padamu, Kakang."
Kembali mereka terdiam. Pandangan mereka tak terlepas ke arah lembah yang tampak terang benderang oleh cahaya api obor. Terlebih lagi, di dalam bangunan yang dikelilingi tembok benteng. Semua dalam keadaan terang, seakan-akan sengaja hendak menyambut kedatangan mereka.
"Sekar...."
Lembut sekali Bayu mengambil tangan gadis itu, dan menggenggamnya penuh kehangatan.
"Oh...," Sekar mendesah.
Sebentar gadis itu berpaling menatap wajah pemuda tampan di sampingnya, tapi cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain. Rasanya tak sanggup membalas tatapan mata Bayu yang mengandung sejuta arti, dan sukar dilukiskan dengan kata-kata biasa.
"Tanganmu dingin. Kau sakit..?" masih terdengar lembut suara Bayu. "Tid... tidak," sahut Sekar jadi tergagap.
Buru-buru gadis itu menarik tangannya dari genggaman Pendekar Pulau Nereka. Bayu membiarkan saja ketika Sekar bangkit berdiri, dan berjalan tiga langkah ke depan. Pemuda itu masih tetap duduk di batu yang datar dan pipih ini.
Dipandanginya tubuh Sekar yang ramping dan padat dari belakang. Perlahan Bayu berdiri dan melangkah menghampiri. Pendekar Pulau Neraka berdiri dekat di sebelah kanan gadis ini. Sementara Sekar tak berpaling sedikit pun. Matanya tetap terarah ke lembah, tapi pikirannya jadi tidak tertuju ke sana. Entah, apa yang ada di dalam kepalanya saat ini.
Baru saja Bayu hendak membuka mulutnya, tiba-tiba saja terdengar suara mendesing dari arah kanan. Bayu berpaling sedikit. Seketika, tangannya cepat dikibaskan, begitu terlihat sebuah benda hitam meluncur deras ke arahnya.
Tap!
"Panah hitam...," desis bayu begitu benda yang meluncur deras ke arahnya berhasil ditangkap.
Bayu cepat-cepat menarik tangan Sekar, dan membawanya menjauh dari tempat ini. Tapi belum jauh mereka pergi, tiba-tiba saja di depan mereka ber-lompatan tiga orang berbaju serba hitam. Kemudian, disusul seorang laki-laki bertubuh sedang dan berwajah cukup tampan. Tapi, luka codet yang memanjang membelah pipinya, mengurangi ketampanan wajahnya. Sebuah tombak pendek berujung runcing terselip di pinggangnya. Dialah Sentanu, salah seorang kepercayaan Kala Putih.
"Hebat...! Tidak percuma kau mendapat julukan Pendekar Pulau Neraka," terasa sinis nada suara Sentanu.
"Terima kasih," ucap Bayu diiringi senyum tipis.
"Rasanya, aku tidak periu banyak bicara. Kalian tentu tahu maksudku," kata Sentanu lagi.
"Dan aku juga tidak akan sungkan-sungkan lagi," sambut Bayu yang sudah bisa mengerti kemunculan empat orang ini.
"Serang dia...!" perintah Sentanu.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Tiga orang berbaju serba hitam itu cepat berlompatan menyerang Pendekar Pulau Nereka. Mereka langsung mencabut senjata berupa pedang berukuran panjang. Kilatan-kilatan cahaya keperakan seketika berkelebatan di sekitar tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan Bayu segera berjumpalitan menghindari serangan-serangan ini Pendekar Pulau Neraka belum memberi serangan balasan, dan masih mempelajari jurus-jurus lawan sambil mengukur tingkat kepandaian mereka.
Sementara itu, Sentanu sudah melompat menyerang Sekar. Maka, gadis itu terpaksa menjauh dari Pendekar Pulau Neraka. Sentanu tidak tanggung-tanggung lagi. Langsung dikerahkannya jurus-jurus andalan yang maut dan dahsyat luar biasa. Akibatnya Sekar harus jungkir balik menghadapinya. Sementara Bayu menghadapi keroyokan tiga orang, namun masih sempat memperhatikan Sentanu yang terus berusaha mendesak Sekar.
"Hm..., Sekar tidak akan tahan kalau digempur begitu terus," desah Bayu dalam hati.
Menyadari keadaan Sekar yang tampaknya semakin gawat, Pendekar Pulau Nereka segera melompat cepat. Langsung kedua tangannya dikibaskan dengan kecepatan bagai kilat, diimbangi gerakan kakinya yang cepat dan lincah.
"Yeaaah...!"
Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga bentuk tubuhnya jadi menghilang. Dan yang terlihat kini hanya bayangan kuning tengah berkelebat menyambar ketiga orang berbaju serba hitam ini. Entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba saja ketiga orang itu berpentalan ke belakang sambil memekik keras melengking. Mereka seketika berpelantingan di atas tanah berbatu.
Pendekar Pulau Neraka tak lagi menghiraukan ketiga orang yang merintih dan menggeliat kesakitan. Dia cepat melompat menerjang ke arah Sentanu yang hampir saja menghunjam senjatanya yang berupa tombak pendek berujung runcing ke dada Sekar yang sudah terpojok, dengan punggung menempel rapat pada pohon.
"Hiyaaa...!"
Plakkk!
"Akh...!"
Sentanu memekik agak tertahan begitu tangannya terkena tepakan Pendekar Pulau Neraka. Hampir saja tombak pendeknya terpental. Untung saja Sentanu segera memindahkannya ke tangan kiri. Cepat dia melompat mundur, melakukan putaran sekali.
"Setan...!" geram Sentanu berang.
Sementara itu, Bayu sudah berdiri tegak di depan Sekar. Sedangkan Sentanu semakin geram begitu melihat ketiga orangnya sudah terkapar tak berkutik lagi. Cepat-cepat tombak pendeknya dipindahkan kembali ke tangan kanan, lalu melakukan beberapa gerakan cepat. Beberapa langkah Bayu menggeser kakinya ke kanan, memberi kesempatan pada Sekar untuk pindah tempat.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Sentanu melompat cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Tombak pendeknya berkelebat cepat beberapa kali, membuat Bayu terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Beberapa kali ujung tombak pendek Sentanu hampir menghunjam kulit tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi, sampai sejauh ini belum ada satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu.
Pada saat itu terdengar semak bergemerisik. Sekar langsung berpaling ke arah suara itu. Hampir saja pedangnya tercabut, ketika empat orang laki-laki muncul dari dalam semak belukar, Sekar menarik napas panjang. Sedangkan pedangnya yang sudah tercabut sedikit, kembali dimasukkan ke dalam warangka.
Ternyata mereka adalah Kampar dan ketiga temannya. Mereka bergegas menghampiri Sekar yang sudah kembali mengarahkan perhatian pada pertarungan itu.
"Sentanu...," desis Kampar mengenali orang yang bertarung dengan Bayu.
"Kau kenal, Kampar?"
"Dia salah seorang yang merampok barang kawalanku," sahut Kampar agak mendesis suaranya.
Saat itu, pertarungan sudah berlangsung lebih dari sepuluh jurus. Dan beberapa kali sudah Pendekar Pulau Neraka melancarkan serangan balasan. Dan entah sudah berapa kali pula pukulannya masuk ke tubuh lawan. Tapi, Sentanu rupanya masih mampu bertahan dan melakukan serangan-serangan dahsyat dan berbahaya.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu merundukkan tubuhnya sedikit, dan cepat sekali melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah dada Sentanu.
"Uts!"
Sentanu cepat memiringkan tubuhnya ke kanan, menghindari pukulan itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, tubuh Bayu cepat berputar sambil melepaskan satu tendangan menggeledek yang tidak terduga sama sekali. Akibatnya Sentanu jadi terperangah. Tak ada waktu lagi bagjnya untuk menghindar. Sehingga....
Diegkh!
"Aaakh...!"
Sentanu terpental jauh ke belakang. Keras sekali tubuhnya jatuh terlentang, tepat di depan kaki Sekar. Saat itu juga Sekar mencabut pedangnya. Dan....
"Sekar, jangan...!" sentak Bayu.
Tapi, terlambat!
"Aaa...!"
Sekar sudah lebih dahulu menghunjamkan pedang yang bercahaya kehijauan itu ke dada Sentanu.
Darah seketika menyembur keluar begitu Sekar mencabut pedangnya. Sebentar Sentanu menggelepar meregang nyawa, kemudian mengejang kaku dan di-am tak bemyawa lagi. Sekar kembali memasukkan pedang itu ke dalam warangkanya.
"Seharusnya kau tidak perlu membunuhnya, Sekar," Bayu menyesali tindakan gadis ini.
"Dia salah satu pembunuh ayahku," dengus Sekar.
Bayu menepuk pundak gadis ini, lalu mengajaknya berlalu dari tempat itu. Sementara empat orang yang tadi berada di belakang Sekar hanya diam saja memandangi. Mereka juga tidak menduga kalau Sekar akan melakukan hal itu. Memanfaatkan waktu yang hanya sedikit, untuk membalas kematian ayahnya pada Sentanu.
"Orang-orang seperti dia tidak pantas hidup, Kakang," kata Sekar masih dengan suara berat mendengus.
"Sudahlah.... Aku bisa mengerti perasaanmu," desah Bayu.
Bayu mengajak duduk gadis ini pada sebatang pohon yang tumbang melintang. Sekar hanya menurut saja. Dia juga diam saja saat Bayu mengambil tangannya, lalu menggenggamnya erat-erat dan hangat. Sekar hanya tertunduk saja, tapi bukannya tengah menyesali perbuatannya tadi.
"Rasanya tidak ada lagi tempat yang aman, Kakang," kata Sekar agak lirih suaranya. "Aku khawatir Kala Putih akan menyakiti Wirya."
"Kita memang akan menyelamatkan adikmu, Sekar. Tapi tunggulah saat yang tepat," hibur Bayu mencoba menenangkan hati gadis ini.
Bayu bisa merasakan apa yang tengah melanda hati gadis ini. Ayahnya tewas di tangan orang-orangnya Kala Putih. Dan sekarang adiknya ditawan mereka di lembah itu. Memang cukup sulit bagi Sekar menerima kenyataan ini. Kenyataan pahit yang harus ditanggungnya sendiri dalam usia yang masih muda.
Dan Bayu jadi terdiam, tidak tahu harus berkata apalagi menenangkan hati gadis ini. Pendekar Pulau Neraka seperti kehilangan kata-kata. Hanya tangannya saja yang tetap menggenggam kedua tangan Sekar, seakan-akan ingin memberi satu kekuatan dari genggamannya itu.
"Aku tidak tahu, seandainya tidak ada kau, Kakang," kata Sekar lagi, lebih pelan suaranya.
"Ah, sudahlah....Mungkin memang Dewata tidak menginginkan Kala Putih memiliki pedang ini," sahut Bayu merendah.
"Aku tidak tahu, dengan apa harus membalas budimu, Kakang."
"Jangan dipikirkan itu, Sekar. Yang paling penting sekarang, kita harus pikirkan bagaimana caranya menyelamatkan adikmu. Lalu, kau pikirkan masa depanmu sendiri. Tanggung jawabmu akan lebih besar nanti, Sekar," lembut sekali suara Bayu.
Sekar hanya menganggukkan kepala saja. Dia juga jadi tidak tahu lagi, apa yang harus dikatakannya. Pengorbanan yang diberikan Pendekar Pulau Neraka begitu besar. Dan tidak mungkin bisa membalasnya. Tapi, Bayu sendiri tidak pernah memikirkan hal itu. Benaknya tengah sibuk memikirkan cara untuk masuk ke tempat tinggal Kala Putih dan menyelamatkan Wirya yang berada di dalam tawanan.
Sementara malam terus merayap semakin larut Di tepi bibir lembah, Bayu berdiri tegak mengamati sekitar lembah yang masih bertaburkan cahaya api obor. Di pundaknya, tampak monyet kecil yang bernama Tiren bertengger di situ. Puluhan orang bersen-jata golok masih terlihat berjaga-jaga di sekitarnya. Dan kebanyakan, mereka berada di sekitar bangunan yang seperti sebuah istana kecil dikelilingi tembok batu menyerupai benteng.
"Hup!"
Tiba-tiba saja Bayu melompat cepat bagai kilat menuruni tebing lembah ini bersama Tiren di pundaknya. Gerakannya begitu ringan dan cepat, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Hanya bayangan kuning saja yang terlihat berkelebat cepat memasuki lembah itu.
Bayu terus bergerak cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna. Diputarinya lembah itu, dan baru berhenti setelah berada di bagian belakang bangunan istana kecil yang dikelilingi tembok benteng itu.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka mengamati keadaan sekitarnya, kemudian kembali melesat cepat dan ringan sekali. Ternyata, di bagian belakang ini tidak terlihat seorang penjaga pun. Pendekar Pulau Neraka kembali berhenti, merapatkan tubuhnya ke dinding tembok batu yang berlumut cukup tebal ini.
"Tiren! Lihatlah ke dalam. Kalau bisa, cari tempat Wirya ditawan," bisik Bayu pada monyet kecil di pundaknya.
"Nguk!"
Monyet kecil berbulu hitam itu rupanya mengerti semua yang dikatakan Bayu. Cepat binatang itu melompat naik ke atas tembok benteng ini. Sebentar dia berhenti di bibir tembok, lalu berpaling pada Bayu sebentar. Kemudian dia melompat turun ke dalam.
Beberapa saat Bayu menunggu, lalu cepat melentingkan tubuhnya ke atas. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya hinggap di atas tembok benteng ini. Sebentar diamatinya keadaan sekeliling bagian belakang bangunan besar bagai istana ini. Ringan sekali Bayu berlari-lari di bibir tembok yang cukup tebal ini.
"Ufs!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka menjatuhkan diri, dan merapatkan tubuh begitu terlihat dua orang berjalan menuju ke arahnya dengan golok di pinggang. Bayu sempat menahan napasnya ketika dua orang penjaga itu lewat di bawahnya. Belum juga bisa menghembuskan napas lega, mendadak saja dua orang penjaga itu berhenti tidak jauh darinya. Namun, salah seorang mendongak ke atas.
"Heh...!"
"Hup!" Tak ada pilihan lagi bagj Bayu. Cepat Pendekar Pulau Neraka melompat turun, dan langsung melepaskan dua pukulan beruntun yang cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Kedua orang penjaga itu tidak sempat lagi bersuara, dan langsung menggeletak jatuh begitu terkena pukulan Pendekar Pulau Neraka.
Tak ada suarapun yang terdengar. Bayu bergegas menyeret tubuh kedua penjaga ini, dan menyembunyikan ke dalam semak yang cukup rimbun.
"Hup...!"
Bergegas Pendekar Pulau Neraka melompat menuju ke arah rumah berukuran besar dan cukup megah itu. Tapi belum juga sampai, mendadak saja terdengar bentakan keras menggelegar.
"Hei...!"
"Oh...?!"
Sungguh Bayu tidak menyangka kalau kehadirannya bisa diketahui begitu saja. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan di depannya. Dan tahu-tahu, di situ sudah berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan tegap. Di tangannya tampak tergenggam sebuah rantai baja berbandul bola besi berduri pada bagian ujung-nya.
"Rupanya tikus ini punya nyali besar juga," desis Kandara sinis.
Pendekar Pulau Neraka hanya diam memandangi saja. Pada saat itu, terlihat sekitar sepuluh orang berlarian ke tempat ini. Mereka semua bersenjata golok terhunus. Bayu sempat mellrlk ke arah sepuluh orang yang sudah berada di hadapannya. Mereka berdiri berjajar di belakang Kandara yang mengayun-ayunkan rantai yang berbandul bola besi berduri.
"Bunuh dia...!" perintah Kandara lantang.
"Hiyaaa!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga sepuluh orang yang berada di belakangnya, berlompatan cepat seraya mengebutkan golok menyerang Pendekar Pulauv Neraka. Tubuh Bayu segera melenting ke udara, melewati kepala orang-orang yang berhamburan menyerangnya. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka melakukan putaran di udara, lalu manis sekali mendarat di belakang Kandara.
'Yeaaah...!"
Cepat sekali Kandara memutar tubuhnya sambil mengebutkan rantai baja yang berbandul besi berduri sebesar kepala itu. Bayu tersentak kaget tidak me-nyangka. Cepat-cepat tubuhnya melesat ke udara, menghindari terjangan bola besi berduri tajam itu. Dan begitu kakinya menjejak tanah, dua orang bersenjata golok sudah menyerang, membabatkan golok ke arah dada.
"Hap!"
Tap!
Tangkas sekali Bayu menangkap tangan kedua orang itu yang memegang golok. Lalu dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, kedua tangan itu dihentakkan ke lututnya. Kedua orang itu menjerit keras. Terdengar suara berderak dari tulang tangan yang patah. Tidak hanya sampai disitu saja. Bayu dengan segera melepaskan cekalannya, dan memberikan satu gedoran keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
Kembali kedua orang itu menjerit keras. Tubuh mereka terlontar jauh ke belakang, dan ambruk ke tanah tak bergerak-gerak lagi. Belum sempat Bayu menarik napas, satu serangan kembali datang menghampirinya dari arah kanan. Sebuah golok keperakan berkelebat cepat mengarah ke leher. Bergegas Pendekar Pulau Neraka menarik kepalanya. Dan begitu ujung golok lewat di samping lehemya, cepat dilepaskannya satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna.
"Yeaaah...!"
Diegkh!
"Aaakh...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar lagi Kemudian, disusul ambruknya satu orang dengan kepala remuk terkena pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka. Meskipun sudah tiga orang tergeletak tak bemyawa lagi, tapi tujuh orang lainnya yang masih bernapas tidak merasa gentar sedikit pun. Mereka langsung merangsek menyerang Pendekar Pulau Neraka dari berbagai penjuru.
"Hiya! Yeaaah...!"
Kali ini Pendekar Pulau Neraka benar-benar tidak tanggung-tanggung lagi. Tubuhnya bergerak cepat laksana kilat, sambil melontarkan pukulan-pukulan keras bertenaga dalam sempurna. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar saling susul dan menyayat Satu persatu, mereka yang menyerangnya berpentalan dan tergeletak tak bernyawa lagi.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, tak ada seorang pun dari kesepuluh orang itu yang bisa bangkit lagi. Sementara, Kandara mendesis geram melihat sepuluh orang bisa dirobohkan begitu mudah. Maka, cepat-cepat senjatanya dikebutkan sebelum Bayu sempat melonggarkan rongga dadanya.
Bet! Wusss!
"Hup! Yeaaah...!" Bayu terpaksa berjumpalitan menghindari bola besi berduri yang melayang-Iayang seperti memiliki mata mengincar dirinya. Ke mana saja tubuhnya berkelit, bola besi berduri itu selalu bergerak cepat mengikuti. Bahkan beberapa kali Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus menjatuhkan diri ke tanah, dan bergulingan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Kandara.
"Setan...!" desis Bayu menggeram.
Tak ada kesempatan sendikit pun bagi Pendekar Pulau Neraka untuk balas menyerang. Kandara seakan-akan sengaja menjaga jarak, dan hanya mempermainkan senjatanya dengan lincah sekali. Kedua tangannya bergerak cepat mempermainkan rantai baja yang dihubungkan dengan bola besi berduri tajam itu. Dan jarak antara mereka memang semakin jauh. Namun, inilah yang diharapkan Kandara, sehingga Bayu benar-benar tidak punya kesempatan melakukan serangan balasan.
"Ha ha ha...!"
Kandara tertawa terbahak-bahak melihat pemuda berbaju kulit harimau itu pontang-panting menghindari serangan-serangan bola berdurinya. Rantai bajanya terus dimainkan dengan tangkas sekali, diimbangi gerakan kaki yang begitu cepat dan ringan, mengikuti gerakan menghindar yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka.
"Mampus kau sekarang, Keparat! Hiyaaa...!"
Kandara menghentakkan tangannya cepat sekali. Seketika rantai baja yang berujung bola besi berduri itu meluruk deras mengarah ke dada Pendekar Pulau Neraka. Saat itu, Bayu baru saja bisa menjejakkan kakinya di tanah, setelah menghindari terjangan bola berduri itu. Maka, matanya terbeliak melihat senjata maut yang dahsyat itu meluruk deras ke arahnya cepat bagai kilat. Tapi begitu bola besi berduri itu hampir menggedor dada Bayu, mendadak saja berkelebat secercah sinar hijau di depan dada Pendekar Pulau Neraka. Padahal, saat. itu pemuda berbaju kulit harimau ini hendak menangkap bola besi berduri milik Kandara.
Wusss!
"Heh...?!"
"Uts!"
Kandara terkejut setengah mati lalu cepat menarik pulang senjata nya. Tapi gerakannya terlambat Sinar kehijauan itu sudah menghantam bola besi berduri itu keras sekali.
Glarrr...!
Satu ledakan keras menggelegar terdengar dahsyat memekakkan telinga. Bayu yang juga terkejut tidak menyangka, cepat-cepat melentingkan tubuh ke belakang dan berputaran beberapa kali. Bunga api memijar, menyebar ke segala arah, disertai kepulan asap hitam akibat benturan bola besi berduri dengan sinar kehgauan yang tiba-tiba saja datang berkelebat
"Akh...!" Kandara terpekik agak tertahan.
Dia terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Tapi, Kandara cepat menguasai keseimbangan tubuhnya begitu menjejakkan kaki di tanah. Kan-dara terbeliak melihat bola besi berduri andalannya hancur berkeping-keping. Dan lebih terbeliak lagi, begitu melihat seorang gadis berdiri tegak di depan Pendekar Pulau Neraka dengan sebilah pedang bercahaya kehijauan melintang di depan.
"Kau...?!"
"Sekar...?! Kenapa kau berada di sini...?" Bayu juga terkejut melihat kemunculan gadis itu.
"Aku tidak akan membiarkanmu menyelesaikannya sendiri, Kakang," tegas gadis yang baru muncul itu. Dia memang Sekar.
"Bagus! Rupanya dua tikus bernyali besar sudah muncul di sini...!" tiba-tiba saja terdengar suara berat dan menggema.
Bayu dan Sekar langsung berpaling ke arah datangnya suara tadi. Entah kapan datangnya, tahu-tahu di atas atap bangunan besar bagai istana itu sudah berdiri seorang laki-laki tua berbaju serba putih bersih. Belum lagi hilang rasa keterkejutan Bayu dan Sekar, dari balik dinding bangunan itu bermunculan orang-orang bersenjata terhunus. Bahkan di atas atap juga bersembulan orang-orang yang sudah siap dengan pa-nah terbentang, siap dilepaskan.
Sebentar saja tempat itu sudah dikepung rapat Tak ada lagi celah untuk bisa keluar dari tempat ini. Saat itu, Kandara melompat naik ke atas atap, bergabung dengan yang lain. Dia berdiri hinggap di samping kanan laki-laki berbaju putih itu.
"Dialah Kala Putih," dengus Sekar memberi tahu sambil menunjuk laki-laki berbaju putih di atas atap.
Di samping kanan-kiri Kala Putih berdiri Balika dan Caraka selain Kandara yang baru saja naik ke atas atap ini. Ada sekitar dua puluh orang yang siap me-lepaskan anak panah di sekitar mereka. Sedangkan di depan Bayu dan Sekar, tidak kurang dari lima puluh orang bersenjatakan golok terhunus.
"Kalau ada kesempatan, kau harus segera pergi dari sini," ujar Bayu berbisik
"Tidak! Aku harus menyelamatkan Wirya...!" sentak Sekar menolak tegas.
"Jangan gila, Sekar! Jumlah mereka terlalu banyak!" dengus Bayu sedikit kesal.
Sekar diam saja. Pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Jumlah mereka memang banyak. Sedangkan dia hanya berdua saja dengan Pendekar Pulau Neraka. Belum lagi Kala Putih yang berkepandaian tinggi, dan tidak bisa dipandang enteng. Bahkan ditambah tiga orang pembantu kepercayaannya. Meski-pun tidak setinggi Kala Putih, tapi mereka juga tidak bisa dianggap enteng. Sebentar kemudian, Sekar menatap wajah Pendekar Pulau Neraka yang sekarang sudah berada di sampingnya.
"Kau sendiri...?" tanya Sekar.
"Aku juga tidak sudi mati konyol di sini," sahut Bayu agak mendengus suaranya.
"Kau pegang ini, Kakang."
Bayu memandangi Sekar yang menyerahkan Pedang Kawa Hijau.
"Kau lebih membutuhkannya, Sekar," Bayu mencoba menolak
"Kau bisa melindungiku keluar dari sini dengan pedang ini, Kakang," Sekar memaksa.
"Baiklah...," Bayu menyerah.
Pendekar Pulau Neraka menerima pedang itu dari tangan Sekar. Memang tidak ada pilihan lain lagi Baginya saat ini, yang penting Sekar mau menuruti kata-katanya. Kalau pedang ini tidak diterimanya, sudah pasti Sekar tidak mau meninggalkan tempat ini.
"Kalau aku melompat, kau cepat melompat keluar," ujar Bayu berbisik.
"Baik" sahut Sekar. Pendekar Pulau Neraka memperhatikan orang-orang yang sudah mulai bergerak mendekati. Ditariknya tangan Sekar hingga gadis itu berada di belakangnya. Perlahan Pendekar Pulau Neraka juga bergerak mundur.
Sekar mengikuti menggeser kaki ke belakang perlahan-lahan, mengikuti irama kaki Pendekar Pulau Neraka. Sampai dekat dengan tembok benteng yang mengelilingi bangunan bagai istana itu, Sekar berhenti melangkah mundur.
"Bersiaplah," ujar Bayu.
"Baik," sahut Sekar agak mendesah.
Sementara orang-orang yang mengepung terus bergerak semakin mendekati.
"Kau harus segera menemui Kampar. Paksa dia untuk meminta bantuan prajurit kerajaan," Bayu berpesan.
"Untuk apa...?" tanya Sekar tidak mengerti.
"Kau tidak akan sanggup menghadapi mereka sendirian, Sekar."
"Tapi, apa mungkin Kampar mau?"
"Katakan, kalau aku yang menyuruhnya."
Sekar hanya mengangguk saja. Saat itu, Kala Putih sudah berteriak lantang menggelegar memberi perintah.
"Seraaang...!"
Teriakan-teriakan keras menggelegar seketika itu juga terdengar memecah keheningan malam. Lebih dari lima puluh orang bersenjata golok berhamburan ke arah Pendekar Pulau Neraka. Golok mereka terangkat ke atas kepala. Lalu sambil berlarian mereka berteriak-teriak membangkitkan semangat bertempur.
"Sekarang! Hiyaaa...!" seru Bayu tiba-tiba.
Saat itu juga, Bayu melentingkan tubuh ke atas.
"Hiyaaat..!"
Sekar cepat mengikuti Pendekar Pulau Neraka. Dia cepat melesat ke atas, berlindung di balik punggung Pendekar Pulau Neraka. Rupanya, tanpa disadari pengaruh Pedang Kawa Hijau telah menjalar di tubuh Sekar. Meskipun, dia sudah tidak memegangnya lagi. Jadi, wajar saja bila Sekar mampu melompat ke atas demikian tingginya.
"Panah...!" teriak Kala Putih begitu melihat Bayu dan Sekar melesat ke udara.
Swinggg...!
Belum juga teriakan Kala Putih menghilang dari pendengaran, puluhan anak panah sudah berhamburan ke arah Bayu. Saat itu, Sekar sudah mencapai bibir tembok benteng. Sedangkan Bayu masih melayang di udara. Pendekar Pulau Neraka cepat mengebutkan tangannya, menyampok panah-panah yang berham-buran berdesingan di sekitamya.
"Lari cepat, Sekar...!" seru Bayu.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Sekar segera melompat turun keluar dari lingkungan tembok benteng ini. Sementara, Bayu kembali meluncur turun sambil cepat mengebutkan tangannya, menangkis setiap panah yang mengarah ke tubuhnya.
Dan begitu kakinya menjejak tanah, Pendekar Pulau Neraka langsung disambut puluhan golok yang berkelebatan cepat di sekitar tubuhnya. Bayu berjumpalitan, menghindari setiap tebasan golok yang cepat datang dari segala penjuru. Maka, ruang geraknya begitu cepat menyempit
"Setan...!" geram Bayu mendengus.
Tak ada kesempatan bagi Bayu untuk menggunakan senjata Cakra Mautnya. Namun, seketika Pendekar Pulau Neraka jadi teringat pedang yang diberikan Sekar. Tanpa peduli kalau tidak pernah menggunakan pedang dalam pertarungan, pedang itu cepat dicabut dari warangkanya. Seketika, cahaya kehijauan menyemburat terang dari pedang ini.
"Hiyaaat..!"
Bayu langsung mengebutkan pedangnya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Seketika itu juga terdengar jeritan panjang melengking saling sambut disusul bertumbangannya tubuh-tubuh bersimbah darah. Bayu sendiri sampai terkejut karena beberapa golok yang terbabat pedang ini langsung terpenggal buntung. Dan setiap kali pedangnya bergerak cepat, satu atau dua orang menjerit keras, lalu ambruk menggelepar berlumuran darah.
Dalam beberapa gebrak saja, sudah lebih dari lima belas orang tergeletak berlumuran darah tak bemyawa lagi. Bukan hanya mereka yang terkejut. Bahkan Bayu juga tidak mengerti dengan semua ini. Tangannya tidak merasa menggerakkan pedang ini. Dan sepertinya, pedang bercahaya kehijauan ini bisa bergerak sendiri, berkelebat membabat orang-orang yang berada di dekatnya.
"Mundur...!" teriak Kala Putih tiba-tiba.
Mereka yang mengeroyok Bayu, langsung berlompatan mundur begitu mendengar teriakan keras Kala Putih. Tidak kurang dari dua puluh orang kini sudah bergelimpangan bersimbah darah tak bemyawa Jagi. Bau anyir darah begitu cepat menyebar, merasuk ke lubang hidung. Bayu berdiri tegak, dan Pedang Kawa Hijau tampak tergenggam di tanah kanannya.
Pendekar Pulau Neraka bagaikan malaikat maut pencabut nyawa dengan pedang bercahaya kehijauan berada dalam genggaman tangan kanannya. Sinar matanya begitu tajam merayapi orang-orang yang berada agak jauh di sekitamya. Kemudian ditatapnya Kala Putih yang masih berada di atas, cfidampingi tiga orang pembantu kepercayaannya.
Kala Putih yang memang menginginkan Pedang Kawa Hijau itu, jadi berbinar matanya. Tapi hatinya juga geram, karena pedang itu sudah meminta nyawa anak buahnya begitu banyak. Terlebih lagi, sekarang ini pedang idamannya berada di tangan seorang pendekar muda berkepandaian tinggi yang sudah tidak asing lagi di kalangan rimba persilatan.
"Kala Putih, gadis itu sudah kabur," jelas Balika.
"Aku tidak peduli!" dengus Kala Putih.
Dan memang, sebenarnya yang diincar bukanlah Sekar, tapi Pedang Kawa Hijau yang kini berada di dalam genggaman tangan Pendekar Pulau Neraka.
"Kalian bertiga, bunuh bocah setan itu!" perintah Kala Putih.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang pembantu kepercayaan Kala Putih langsung berlompatan turun. Gerakan mereka begitu ringan, tak sedikit pun menimbulkan suara begitu menjejak tanah. Mereka kembali berlompatan mendekati Bayu.
"Hiyaaat..!"
Balika langsung melakukan serangan. Senjatanya yang berupa trisula, langsung ditusukkan ke arah dada Pendekar Pulau Neraka. Tapi hanya sedikit saja Bayu memiringkan tubuhnya, maka tusukan senjata Balika tidak mengenai sasaran.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, Bayu mengebutkan pedangnya ke arah perut Balika dengan kecepatan luar biasa. Akibatnya, Balika tersentak kaget tidak menyangka. Buru-buru senjatanya ditarik, dan cepat dikibaskan menangkis pedang bercahaya kehijauan itu.
Tranggg!
"Heh...?!"
Balika tersentak kaget setengah mati begitu senjatanya beradu dengan pedang di tangan Pendekar Pulau Neraka. Seluruh tubuhnya jadi menggeletar bagai tersengat lebah. Bahkan senjata kebanggaannya jadi terpenggal dua. Belum lagi Balika dapat menghilangkan keterkejutannya, Bayu sudah melancarkan satu serangan kilat yang mendadak.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali kaki kanan Pendekar Pulau Neraka melayang ke arah dada, di saat Balika tengah terpana melihat senjatanya terpenggal buntung oleh Pedang Kawa Hijau. Maka, serangan Bayu yang begitu cepat, tak dapat lagi dihindari.
Des!
"Akh...!" Balika memekik keras.
Tubuh Balika terpental jauh ke belakang, dan keras sekali menghantam tanah. Tendangan yang dile-paskan Bayu, begitu keras karena disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Sebentar Balika menggeliat, kemudian diam tak berkutik-kutik lagi. Hanya tiga kali gebrakan saja, Balika sudah terkapar tak bernyawa lagi Dadanya tampak melesak hancur terkena tendangan Bayu tadi.
"Setan! Hiyaaat..!"
Caraka begitu geram melihat Balika sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Bagaikan kilat, golok yang berukuran besar dikibaskan ke arah kepala Pendekar Pulau Neraka. Tapi, Bayu berhasil mengelakkan serangan itu dengan merundukkan kepala. Dan begitu golok Caraka yang berukuran besar itu lewat di atas kepala, bergegas Bayu menegakkan kepalanya lagi. Seketika kakinya ditarik ke belakang dua langkah.
Bet!
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mengebutkan pedangnya, ketika Caraka kembali melakukan serangan golok ke dada. Melihat Pendekar Pulau Neraka itu hendak menangkis, Caraka cepat menarik pulang goloknya. Tapi tanpa diduga sama sekali, pedang bercahaya kehijauan itu meliuk indah. Dan tahu-tahu, sudah berada di depan dada Caraka.
"Heh...?!"
Caraka jadi terkejut setengah mari. Buru-buru tubuhnya melenting berputar ke belakang. Sehingga, tusukan Pedang Kawa Hijau itu tidak sampai mengenai sasaran.
"Hiyaaat..!"
Sebelum Pendekar Pulau Neraka bisa menarik pulang pedangnya, tiba-tiba saja Kandara sudah melompat menyerang. Pedang hitam yang selalu tersembunyi di balik bajunya, kini telah berada di tangan kanannya bergerak cepat mengibas ke arah leher Pendekar Pulau Neraka. Tapi tanpa diduga sama sekali, Bayu tidak berusaha menghindar. Dan begitu mata pedang berwarna hitam pekat itu hampir menebas lehernya, cepat dan tiba-tiba sekali Bayu mengebutkan pedangnya ke depan.
"Kandara, awas...!" seru Caraka memperingatkan.
Tapi peringatan Caraka rupanya terlambat Karena, tubuh Kandara sudah condong ke depan, maka sukar untuk bisa ditarik kembali. Dan tak pelak lagi, pedang di tangan Bayu menembus dada hingga ke punggung. Kandara langsung menjerit keras melengking tinggi.
"Hih!"
Begitu Bayu mencabut pedangnya kembali, Kandara langsung limbung. Tubuhnya ambruk menggele-par di tanah. Darah bercucuran deras dari dadanya yang berlubang hingga tembus ke punggung. Beberapa saat Kandara masih menggeliat meregang nyawa, kemudian mengejang kaku tak bergerak-gerak lagi. Tewas!
"Keparat..!" geram Kala Putih yang sejak tadi menyaksikan pertarungan itu.
"Kalian semua, serang bocah setan itu...!" teriak Kala Putih memberi perintah.
Teriakan Kala Putih begitu keras menggelegar, bagai guntur meledak di angkasa. Dan seketika itu juga, semua orang yang ada di halaman belakang bangunan besar bagai istana kecil itu berhamburan sambil berteriak-teriak meluruk mendekati Pendekar Pulau Neraka.
Tapi sebelum mereka dekat, tiba-tiba saja dari balik tembok benteng yang mengelilingi bangunan bagai istana ini bermunculan empat orang yang mengikuti Bayu. Empat orang yang telah mengangkat sumpah setia pada Pendekar Pulau Neraka.
Bayu tidak sempat memperhatikannya, karena sudah mendapat serangan-serangan yang beruntun dari beberapa arah. Pendekar Pulau Neraka kembali sibuk menerima serangan-serangan yang begitu gencar dan membahayakan. Bayu berlompatan, berjumpalitan, menghindari setiap serangan yang datang, disertai tebasan pedangnya yang memancarkan cahaya kehijauan.
Teriakan-teriakan pertempuran kini diwarnai jerit dan pekik kematian yang saling susul. Tubuh-tubuh berlumuran darah pun kembali terlihat bergelimpangan satu persatu. Kali ini, mereka tidak hanya menghadapi Pendekar Pulau Neraka, tapi juga harus menghadapi Kampar dan ketiga temannya yang baru datang.
Saat itu, Bayu baru bisa memperhatikan keempat orang bekas petugas pengawal barang kerajaan yang bertempur penuh semangat bagai banteng liar terluka. Golok mereka berkelebatan cepat, membabat siapa saja yang mencoba mendekat Entah sudah berapa orang yang bergelimpangan tak bemyawa lagi. Tapi pertarungan itu tampaknya masih akan terus berlangsung cukup lama.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka melesat cepat bagaikan kilat, dan mendarat di dekat Kampar. Langsung pedangnya berkelebat cepat membabat satu orang yang mencoba membokongnya dari belakang. Orang itu menjerit keras melengking tinggi, begitu pedang di tangan Bayu membelah dadanya.
"Kenapa kau ke sini...?" tanya Bayu.
"Kami mengkhawatirkan keselamatanmu," sahut Kampar tanpa menghentikan pertarungannya.
"Kau tidak bertemu Sekar...?" tanya Bayu lagi.
"Tidak," sahut Kampar.
"Edan...!" desis Bayu jengkel. Bayu sempat melirik ke atas atap. Dan di sana sudah tidak terlihat Kala Putih lagi. Sedangkan Caraka sibuk bertarung bersama Gandil menghadapi lawan.
"Mundur kau, Gandil! Hiyaaat..!" teriak Bayu keras menggelegar.
Seketika itu juga Pendekar Pulau Neraka melesat cepat ke arah Gandil. Langsung Pedang Kawa Hijau dibabatkannya. Sekali berkelebat saja, tiga orang langsung menjerit dan menggelepar di tanah. Begitu Bayu muncul, Gandil cepat-cepat melompat mundur. Tanpa berkata apa-apa lagi, Bayu langsung merangsek Caraka yang menggunakan golok berukuran besar sebagai senjatanya.
Mendapat serangan yang begitu cepat dan tiba-tiba, Caraka jadi kelabakan setengah mati. Tubuhnya berjumpalitan, berusaha menghindari tebasan-tebasan pedang bercahaya kehijauan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Hingga akhirnya....
"Hiyaaa...!"
Satu tebasan kilat yang dilancarkan Bayu, tak dapat lagi dihindari Caraka. Pedang itu tepat menyabet lehemya, dan tak ada suara sedikit pun yang terdengar. Caraka hanya mampu berdiri sebentar, kemudian jatuh menggeletak dengan kepala menggelinding terpisah.
"Kalian hadapi mereka...!" seru Bayu keras.
Saat itu juga, Pendekar Pulau Neraka melompat cepat melewati beberapa kepala. Pedangnya masih sempat dibabatkan, menjatuhkan beberapa orang, sebelum berada di luar arena pertarungan. Ringan sekali gerakan Pendekar Pulau Neraka saat melompat ke atas atap. Seperti seekor kucing, kakinya mendarat di atap bangunan besar dan megah ini. Matanya langsung beredar tajam berkeliling.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu Bayu melihat Kala Putih sedang mendesak seorang gadis di bagian halaman depan bangunan megah ini, secepat kilat melesat ke arah pertarungan itu. Tepat di saat itu, Kala Putih menghentakkan tangannya ke depan. Sehingga dari telapak tangan yang terbuka, meluncur deras secercah cahaya merah ke arah gadis itu.
"Yeaaah...!"
Cras!
"Heh...?!"
Kala Putih tersentak kaget begitu tiba-tiba serangannya terpantul ke arah Iain. Satu kilatan cahaya kehijauan membuat sinar merah itu terpental. Dan Kala Putih semakin terkejut melihat Bayu yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depannya, melindungi gadis cantik yang ternyata adalah Sekar.
"Setan alas...!" geram Kala Putih berang.
"Kau lawanku, Kala Putih!" desis Pendekar Pulau Neraka dingin.
"Phuih!" Kala Putih menyemburkan ludahnya.
Sementara itu, Sekar yang tadi terjajar tergeletak di tanah sudah bisa bangkit berdiri. Kakinya melangkah mundur beberapa tindak. Hatinya gembira melihat Bayu muncul pada saat yang tepat. Sementara, Pendekar Pulau Neraka tidak sempat memperhatikan Sekar, karena Kala Putih sudah cepat melompat menyerangnya.
Trekkk!
Pendekar Pulau Neraka memasukkan Pedang Kawa Hijau ke dalam warangka. Tubuhnya langsung melenting ke udara, menghindari pukulan keras yang diIancarkan laki-laki tua berjubah putih itu. Dua kali Bayu berputaran di udara, sebelum kakinya menjejak tanah di belakang tubuh Kala Putih. Sambil memutar tubuhnya, Bayu melayangkan satu tendangan berputar disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Hiyaaat..!"
"Uts!"
Tendangan Bayu berhasil dielakkan laki-laki tua ini. Dan tubuhnya cepat memutar berbalik tepat di saat Bayu juga berbalik. Mereka kembali bertarung menggunakan jurus-jurus andalan yang dahsyat dan sangat berbahaya. Kini pertarungan itu langsung berjalan pada tingkat yang tinggi.
Beberapa jurus berlalu cepat Dan tampaknya, pertarungan masih akan terus berlangsung lama. Mereka saling melancarkan serangan-serangan dahsyat. Sedikit kelengahan, bisa berakibat parah. Sementara itu, diam-diam Sekar meninggalkan halaman ini. Gadis itu menghilang entah ke mana karena memang tak ada yang memperhatikan kepergiannya.
Sret!
Memasuki jurus yang kedua puluh, Kala Putih mengeluarkan senjatanya berupa tongkat pendek berwarna putih bagai baja. Dengan senjata yang selalu tersembunyi di balik bajunya, laki-laki tua itu semakin ganas saja. Serangan-serangan yang dilancarkannya semakin dahsyat dan berbahaya. Tapi, sampai saat ini Bayu masih menandinginya dengan tangan kosong. Sama sekali Pedang Kawa Hijau yang berada di dalam warangka di tangan kirinya tidak dipergunakan.
"Awas kaki...!" seru Bayu tiba-tiba.
Seketika itu juga kaki Pendekar Pulau Neraka melayang cepat menyampok ke arah kaki Kala Putih. Tentu saja laki-laki tua itu jadi terkejut dan cepat me-lompat menghindari sepakan kaki lawan seraya mengibaskan tongkat putihnya. Tapi tanpa diduga sama sekali, Bayu memutar tubuhnya. Lalu cepat sekali tubuhnya melenting sambil menghentakkan tangan kanannya ke depan.
Plak!
"Akh...!"
Kala Putih melintir begitu tangan yang memegang tongkat tersambar keras. Untung tongkatnya masih bisa digenggam, sehingga tidak terlepas. Kala Putih mendengus keras, menyemburkan ludahnya dengan kesal. Tangan kanannya memerah bagai terbakar dan terasa panas menyengat.
Dret!
Kala Putih cepat menarik kedua ujung tongkatnya. Maka seketika itu juga, tongkat putih itu terpotong menjadi dua bagian. Pada kedua ujung yang terpotong itu terlihat mata pisau menyembul berkilatan tertimpa cahaya bulan.
"Hiyaaat..!"
Kala Putih kembali cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Menghadapi lawan yang menggunakan senjata tajam pada kedua tangannya, Bayu tidak lagi tanggung-tanggung. Pedang Kawa Hijau yang sejak tadi tersimpan di dalam warangka cepat dicabutnya.
Sret!
Bet!
Bayu langsung mengebutkan pedang itu ke depan. Maka, Kala Putih cepat melompat ke belakang menghindari tebasan pedang yang memancarkan cahaya kahijauan itu. Laki-laki tua ini tahu betul kehebatan pedang itu. Maka, agak terkesiap juga hatinya. Dan pertarungan pun kembali berlangsung, antara hidup dan mati.
Jurus demi jurus berlangsung cepat Entah, sudah berapa jurus berlalu, tapi belum juga ada tanda-tanda akan berakhir. Mereka sama-sama tangguh, dan memiliki kepandaian tinggi. Sehingga, sukar diketahui kelemahan masing-masing. Pertarungan pun berlangsung cepat sehingga tubuh mereka seakan-akan lenyap. Dan hanya bayangan-bayangan saja yang bergerak berkelebat cepat saling sambar.
"Lepas...!" seru Bayu tiba-tiba.
Cepat sekali tangan kiri Pendekar Pulau Neraka bergerak mengibas. Begitu cepatnya, sehingga Kala Putih tidak sempat menyadari. Dan tanpa diduga sama sekali, kibasan tangan kiri Bayu keras sekali menghantam tangan kanan Kala Putih.
Plak!
"Akh...!" pekik Kala Putih kaget
Tongkat yang berada di tangan kanannya seketika terpental tinggi ke angkasa. Belum lagi Kala Putih bisa menghilangkan keterkejutan, tiba-tiba saja Bayu sudah membabatkan Pedang Kawa Hijau ke arah perut
"Yeaaah...!" Bet!
"Ikh!"
Kala Putih tak dapat lagi menghindar. Cepat tongkat di tangan kirinya dikebutkan, menangkis serangan pedang Pendekar Pulau Neraka.
Tranggg!
"Heh...?!"
Lagi-lagi Kala Putih terperanjat, karena tongkatnya terbabat buntung jadi dua bagian. Pada saat itu, Bayu sudah melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Diegkh!
Tendangan Bayu mendarat telak di dada Kala Putih. Akibatnya, orang tua berbaju putih itu jadi terpekik keras. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Namun Bayu tidak memberi kesempatan lagi pada orang tua itu untuk menguasai keseimbangan tubuhnya. Langsung Pendekar Pulau Neraka melompat cepat bagaikan kilat sambil membabatkan pedang ke arah leher.
"Hiyaaat...!"
Bet!
Cras!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar keras menyayat. Ujung pedang bercahaya kehijauan itu tepat membabat tenggorokan Kala Putih. Darah seketika muncrat keluar deras sekali. Tidak hanya sampai di situ saja. Bayu kembali menusukkan pedangnya ke dada Kala Putih yang sudah tidak terlindung lagi. Maka pedang bercahaya kehijauan itu langsung amblas ke dada Kala Putih, hingga ke punggung.
"Hup!"
Bayu cepat melompat mundur melepaskan pedang yang memanggang dada Kala Putih. Sebentar orang tua itu masih bisa berdiri limbung, kemudian ambruk di tanah berumput yang basah oleh embun. Kala Putih mengerang dan menggelepar di tanah. Sementara darah semakin banyak keluar dari leher dan dadanya. Cukup lama juga Kala Putih meregang, lalu seluruh tubuhnya mengejang dan terkulai tak bernyawa lagi. Bayu menghembuskan napas panjang. Keringat tampak membasahi seluruh tubuhnya.
"Kakang...!"
Bayu berpaling begitu mendengar panggilan seorang gadis. Tampak Sekar berlari-lari kecil sambil menggandeng seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun. Bayu memutar tubuhnya berbalik. Bibirnya langsung tersenyum melihat anak kecil itu menggendong monyet kecil yang begitu dikenalinya. Rupanya, Tiren berhasil menemukan anak itu.
Tiren langsung melompat ke pundak, dan memeluk leher Pendekar Pulau Neraka. Pada saat itu, Kampar datang menghampiri diikuti tiga orang temannya yang menggotong sebuah peti berukuran cukup besar, terbuat dari besi.
"Aku senang kalian semua selamat," ungkap Bayu diiringi senyuman.
"Semua ini karena jasamu, Kakang," kata Sekar.
"Benar. Kami semua tidak tahu, dengan apa harus membalas jasamu," sambut Kampar.
Pendekar Pulau Neraka hanya tersenyum saja.
"Apa itu?" tanya Bayu menunjuk peti besi di belakang Kampar.
"Barang-barang kerajaan yang mereka rampok dulu," sahut Kampar.
"Masih utuh?"
"Tidak berkurang sedikit pun."
"Syukurlah."
Mereka terdiam beberapa saat.
"Kalian tentu akan mengantarkannya ke istana," tebak Bayu lagi.
"Benar. Kami harus membersihkan nama kami semua dengan membawa barang ini pada Gusti Prabu," sahut Kampar.
"Bagaimana denganmu, Sekar?" tanya Bayu.
"Aku akan ke Bukit Langkas. Ada bibiku di sana," jawab Sekar.
"Sebaiknya, kalian semua ikut dulu ke istana. Aku memerlukan saksi untuk menjelaskan semuanya pada Gusti Prabu," pinta Kampar berharap.
"Kau saja, Sekar," ujar Bayu
"Kakang...?" tanya Sekar.
"Masih ada yang harus kukerjakan. Maaf, aku tidak bisa mengantarkan kalian semua."
"Sayang sekali...," desah Kampar.
Bayu hanya tersenyum saja, sambil menepuk-nepuk pundak Kampar.
"Baiklah. Aku akan mengantarkan kalian sampai ke perbatasan kota saja," kata Bayu menyerah.
Pendekar Pulau Neraka kemudian mencabut pedang yang menancap di dada Kala Putih, dan memasukkan ke dalam warangka kembali. Lalu, diserahkannya pedang itu pada Sekar.
"Jaga dan rawat pedang ini baik-baik," pesan Bayu.
"Kau tidak ingin memilikinya?"
Bayu menggeleng dan tersenyum.
"Pusaka ini milikmu, Sekar. Tak ada seorang pun yang berhak memilikinya. Hanya kau dan adikmu yang berhak," ujar Bayu lembut.
"Terima kasih," hanya itu yang bisa diucapkan Sekar.
"Ayo, kita berangkat," ajak Bayu.