CERITA SILAT PENDEKAR PULAU NERAKA
Episode Raja Kera Iblis
Karya Teguh S
Gambar Tony G
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Episode Raja Kera Iblis
Karya Teguh S
Gambar Tony G
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Glarrr!
Ledakan keras menggelegar terdengar begitu dahsyat bagai hendak menghancurkan angkasa. Tampak semburan cahaya api disertai gumpalan asap hitam membumbung tinggi, menggetarkan seluruh rumah yang ada di kaki Gunung Weling.
Gemuruh batu-batu yang longsor dari lereng gunung itu terdengar keras. Debu berkepul, seakan-akan ingin menyatu dengan semburan api dan gumpalan asap hitam yang menyembur dari puncak gunung ini. Ledakan dahsyat yang disertai guncangan begitu hebat membuat panik seluruh penduduk di Desa Weling. Mereka semua berhamburan keluar, dan langsung memadati jalan. Wajah mereka seketika memucat begitu melihat api dan asap hitam menggumpal menjadi satu dengan awan dan debu dari puncak Gunung Weling.
Glarrr!
Kembali terdengar ledakan keras yang sangat dahsyat. Asap hitam semakin banyak menggumpal dan menyebar menutupi langit di sekitar kaki Gunung Weling. Siang yang semula terasa begitu panas dan terik kini menjadi gelap bagai malam. Seluruh angkasa sudah terselimut awan tebal yang meng-gumpal membentuk awan panas. Slart..!
Beberapa kali terlihat kilatan cahaya membelah gumpalan asap hitam yang membentuk awan itu. Bumi terus bergetar, membuat beberapa rumah mulai roboh. Semua orang yang memadati jalan di Desa Weling semakin terlihat panik. Awan hitam yang menggumpal semakin tebal itu mulai terasa menyebarkan hawa panas, membuat dada sesak dan sulit untuk bernapas.
“Ha ha ha...!”
Tiba-tiba terdengar tawa yang begitu keras dan mengejutkan. Semua orang yang tengah dihinggapi kepanikan, seketika tertegun dan langsung memucat wajahnya. Suara tawa yang demikian keras itu menyebar dan menggema bagai datang dari langit yang tertutup gumpalan awan hitam yang sangat tebal ini.
Namun, mendadak suara tawa yang begitu keras dan menggelegar memekakkan telinga tadi lenyap bersamaan dengan menghilangnya suara gemuruh serta getaran bumi. Semburan api dan awan hitam pun seketika lenyap tak terlihat lagi di puncak Gunung Weling. Dan, perlahan-lahan awan hitam yang menggumpal menyelimuti seluruh kaki gunung itu pun menghilang tertiup angin yang tiba-tiba ber-hembus kencang.
Cepat sekali keadaan kembali tenang. Tapi, tak ada seorang pun penduduk Desa Weling yang kembali ke rumahnya masing-masing. Mereka masih tetap berada di luar dan terus memandangi puncak gunung yang kini sudah kembali kelihatan tenang. Alam benar-benar kembali tenang, bagai tidak pernah terjadi sesuatu.
***
Memang hanya sebentar peristiwa itu terjadi. Namun, ada sekitar lima rumah yang roboh akibat guncangan yang ditimbulkan dari Gunung Weling tadi. Bahkan dua di antaranya hangus terbakar. Dan, api masih menyala meliuk-liuk mengikuti hembusan angin.
Sementara itu, di dalam sebuah rumah yang berukuran besar dan berhalaman luas, tampak empat orang laki-laki berusia lanjut duduk melingkar di lantai beranda depan, dengan hanya beralaskan selembar tikar dari daun pandan. Mereka semua mengenakan jubah panjang berwarna putih, dengan ikat kepala yang juga putih. Wajah-wajah mereka kelihatan begitu suram, bagai malam yang tidak ditaburi cahaya bintang dan rembulan. Mereka adalah Kepala Desa Weling dan para pemuka desa ini.
Mereka semua mengenakan jubah putih yang bersih dan panjang. Untuk membedakan antara satu orang dan lainnya, bisa dilihat dari senjata yang mereka sandang. Senjata-senjata Itu memiliki bentuk yang berlainan. Tampaknya, mereka bukanlah orang-orang biasa, atau setidak-tidaknya memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Ini bisa dilihat dari bentuk senjata yang mereka bawa.
“Getaran hatiku mengatakan kalau ini bukan kejadian gempa biasa...,” ujar Ki Rakonta dengan suara menggumam perlahan. Dialah Kepala Desa Weling.
“Benar. Seumur hidup aku tinggal di sini, belum pernah terjadi gempa satu kali pun,” sambung salah seorang pemuka Desa Weling.
Pemuka desa itu tampak memegang sebuah cambuk berwarna hitam, yang tergulung di tangan kirinya. Seluruh cambuk itu dipenuhi bulu-bulu halus, dan pada bagian ujungnya terdapat bulatan besi baja berwarna hitam sebesar mata kucing yang berduri halus. Semua orang di Desa Weling mengenal lelaki tua ini dengan nama Ki Ampar.
“Pasti kalian semua mendengar suara tawa keras itu tadi...,” ujar Ki Rakonta lagi, seraya memandangi tiga orang laki-laki tua yang sebaya dengannya.
Semua kepala terangguk, dan semua mata menatap pada kepala desa ini. Tentu saja mereka tadi mendengar tawa yang teRatnat keras dan meng-gelegar, sebelum gempa yang datang begitu tiba-tiba dan mengejutkan ini berakhir. Tak ada seorang pun yang tidak mendengar. Dan, tawa keras menggelegar itu juga membuat mereka bertanya-tanya.
“Aku yakin, gempa tadi adalah ciptaan seseorang, atau...,” Ki Rakonta tidak melanjutkan kata-katanya.
“Atau apa, Ki?” desak Ki Bantur, yang meng-genggam sebilah pedang pendek pada tangan kanannya.
Pedang Ki Bantur berwarna kuning keemasan, dan sepertinya memang terbuat dari emas murn. Gagang pedang pendek itu berbentuk sekuntum bunga yang terkembang mekar, dengan sebuah batu mutiara di tengah-tengah kelopak bunga pada ujungnya.
“Kalian masih ingat cerita orang-orang tua kita dulu...?”
Ki Rakonta malah balik bertanya, sambil merayapi wajah ketiga orang yang duduk bersila di depannya. Tapi, tak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan itu. Mereka malah saling melemparkan pandangan. Dan, kening mereka tampak berkerut begitu sama-sama menatap Ki Rakonta, seakan-akan meminta penjelasan.
“Memang sudah lama sekali. Dan tidak ada lagi yang pernah bercerita atau mengingatnya. Tapi kejadian ini membuatku teringat pada cerita orang-orang tua kita. Cerita yang dulu kita anggap hanya sebagai dongeng dan tidak ada kenyataannya sama sekali. Tapi begitu meresap, seperti sebuah kenyata-an yang pernah ada dan pernah terjadi di sekitar kita,” kata Ki Rakonta.
Masih belum ada yang membuka suara sedikit pun. Mereka masih belum mengerti akan arah kata-kata kepala desa ini. Tapi, dari sikap dan raut wajah mereka, tampak semuanya sedang menebak-nebak. Begitu banyak cerita yang sulit untuk dipercaya dan masuk ke dalam akal pikiran yang sehat Dan, mereka masih belum tahu, cerita mana yang dimaksud oleh Ki Rakonta.
“Sebenarnya aku sendiri belum yakin. Tapi melihat kejadian tadi, aku jadi teringat cerita ayahku dulu,” kata Ki Rakonta lagi.
Masih belum ada seorang pun yang membuka suara. Semua masih menduga-duga, apa sebenarnya maksud kepala desa itu. Tak seorang pun yang bisa menangkapnya. Dan, mereka terus menduga-duga sampai Ki Rakonta melanjutkan pembicaraannya.
“Kejadian tadi mirip sekali dengan tanda-tanda bangkitnya Raja Kera Iblis...?!”
“Apa...?!”
“Raja Kera Iblis...?!”
Ketiga pemuka Desa Weling itu terperanjat setengah mati begitu Ki Rakonta menyebut nama Raja Kera Iblis. Betapa tidak? Mereka memang sudah sering mendengar cerita tentang makhluk mengeri-kan yang sangat dahsyat dan kejam itu. Tapi, semua cerita itu kini sudah tidak pernah lagi terdengar.
Bahkan, cerita itu selalu dianggap dongeng belaka. Karena, makhluk itu memang tidak pernah muncul, dan tak seorang pun yang pernah melihatnya, kecuali orang-orang yang hidup seratus tahun lalu. Namun, para pemuka desa itu memang pernah mendengar Raja Kera Iblis hanya menampakkan diri seratus tahun sekali. Dan, setiap kali muncul, dia selalu menimbulkan malapetaka, sampai ada seseorang yang bisa membinasakannya kembali. Seratus tahun kemudian, dia pun akan muncul kembali dengan kekuatan yang lebih dahsyat, dan dengan kekejaman yang tidak akan pernah terbayangkan oleh siapa pun juga. Setiap orang yang mendengar cerita itu selalu membayangkan Raja Kera Iblis sebagai sosok makhluk mengerikan, yang entah bagaimana bentuk rupanya.
Para pemuka Desa Weling terkejut setengah mati dan tidak pernah menduga bahwa pikiran Ki Rakonta akan sampai ke sana. Kejadian yang baru saja menimpa desa ini memang mirip sekali dengan cerita-cerita yang pernah mereka dengar ketika masih anak-anak. Bahkan, ketika menginjak usia remaja pun mereka masih sering mendengar cerita tentang makhluk itu. Tapi, sama sekali mereka tidak menduga kalau cerita tentang Raja Kera Iblis yang hanya dianggap dongeng itu bisa menjadi kenyataan.
***
Dua hari pun berlalu sejak peristiwa aneh dan mengejutkan terjadi di Desa Weling. Tapi, peristiwa itu tak ada kelanjutannya lagi seperti yang diduga kepala desa dan para pemuka Desa Weling. Keadaan di desa ini masih tetap tenang, walaupun peristiwa dua hari lalu masih terlalu hangat untuk dilupakan begitu saja. Dan, tak ada seorang pun yang berpikir tentang Raja Kera Iblis. Hanya Ki Rakonta dan ketiga orang pemuka desa yang terus membicarakan makhluk yang selama ini hanya dianggap sebagai cerita dongeng belaka itu.
Siang ini udara di sekitar kaki Gunung Weling terasa amat panas. Matahari bersinar begitu terik, seakan-akan ingin membakar apa saja yang ada di atas permukaan bumi. Namun, panasnya sengatan sang mentari tidak membuat seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau menghentikan langkah-nya. Dia terus berjalan mantap menyusuri jalan tanah yang berdebu dan berbatu kerikil. Seekor monyet kecil berbulu hitam tampak duduk nangkring di pundak kanannya. Dan tidak jauh di belakangnya, terlihat seorang gadis cantik berjalan mengikutinya. Jelas sekali terlihat, gadis itu begitu kelelahan mengikuti ayunan kaki pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
“Kakang....”
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu meng-hentikan langkahnya. Dia berpaling ke belakang. Ditatapnya gadis cantik yang berjalan pada jarak sekitar tiga batang tombak di belakangnya. Dia menunggu sampai gadis itu berada dekat di sampingnya.
“Istirahat dulu, Kakang. Aku lelah sekali...,” pinta gadis cantik itu, sambil menyeka keringat yang bercucuran di wajah dan lehernya dengan punggung tangan.
Sementara, pemuda berbaju kulit harimau hanya menepuk-nepuk kepala monyet kecil di pundaknya.
“Nguk!”
“Tidak ada tempat yang enak untuk beristirahat di di sini, Wulan,” kata pemuda itu sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
“Tapi aku lelah sekali, Kakang. Rasanya sudah tidak sanggup lagi...,” rengek gadis yang memang ber-nama Ratna Wulan itu.
“Tidak jauh lagi ada desa, Wulan. Kau pasti bisa bertahan sedikit sampai ke sana,” kata pemuda tampan itu seraya menunjuk ke satu arah d ujung jalan.
Ratna Wulan diam saja. Memang, kalau sudah berada di jalan seperti ini, tidak seberapa jauh lagi mereka akan menemukan sebuah desa. Tapi, Ratna Wulan tampak tidak yakin bahwa desa itu bisa ditempuh dalam waktu sebentar. Dia sudah benar-benar tidak mampu lagi berjalan jauh. Terlebih lagi, sengatan matahari yang begitu terik membuatnya semakin cepat merasa lelah.
“Hhh...!”
Sambil menghembuskan napas panjang dan berat, Ratna Wulan kembali mengayunkan kakinya. Di-susunnya jalan tanah berdebu yang berkerikil yang semakin terasa panas, bagai di atas jembatan neraka! Mereka terus melangkah tanpa ada yang bicara lagi. Namun, belum begitu jauh berjalan, tiba-tiba....
“Aaa...!”
“Heh...?!”
Mereka terkejut setengah mati begitu mendengar jeritan panjang yang melengking tinggi. Jeritan itu demikian jelas terdengar. Sejenak mereka saling berpandangan. Lalu, bagaikan kilat pemuda berbaju kulit harimau itu melesat menuju arah datangnya jeritan tadi. Dan, gadis yang bersamanya tidak mau ketinggalan. Meskipun terasa begitu lelah, dia segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk menyusul pemuda tampan itu.
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda berbaju kulit harimau itu, sehingga sebentar saja dia sudah sampai di tempat datangnya jeritan tadi. Dan betapa terkejutnya dia. Dilihatnya sesosok makhluk tengah mengoyak dada seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering. Darah tampak berceceran di mana-mana.
Makhluk itu pun tampak terkejut melihat ke-munculan pemuda berbaju kulit harimau itu. Memang, pemuda ini tak lain dari Bayu Hanggara, atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka.
“Ghrrr...!”
“Dewata Yang Agung..., makhluk apa ini...?” desis Bayu, hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
“Ghraugkh...!”
Tiba-tiba makhluk yang bertubuh manusia tapi seluruh badannya berbulu hitam dan wajahnya seperti kera itu menggerung dahsyat. Dan, bagaikan kilat, dia melompat cepat menerjang Bayu.
“Craaakh...!”
Monyet kecil di pundak Bayu langsung melompat turun, lalu bertari menjauh sambil mencerecet ribut. Tangkas sekali gerakannya ketika dia memanjat naik ke atas sebatang pohon.
“Heh...?! Ufs...!”
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka membanting tubuhnya ke samping, lalu bergulingan beberapa kali menghindari makhluk aneh dan mengerikan itu. Dan, cepat pula dia melompat bangkit berdiri. Namun, baru saja kedua kakinya menjejak tanah, makhluk seperti kera yang bertubuh tinggi besar melebihi manusia itu sudah kembali melesat cepat sambil mengibaskan tangan kanannya, yang berbulu tebal, hitam, dan berkuku runcing bagai mata pisau.
“Ghraugkh...!”
Wukkk!
“Uts!”
Untung saja Bayu cepat merundukkan kepalanya, sehingga kibasan tangan yang sangat besar ukuran-nya itu lewat di atas kepalanya. Bergegas kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah.
Dan, belum juga Bayu sempat melakukan sesuatu, mendadak tangan kiri makhluk seperti kera raksasa itu sudah mengibas cepat sekali. Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak sempat lagi menghindar. Dan...
Plak!
“Akh...!”
Begitu kerasnya kibasan tangan berukuran sebesar dua kali tangan manusia biasa itu. Sehingga, tubuh Bayu terpental deras ke belakang. Keras sekali punggung pemuda itu menghantam sebatang pohon, hingga pohon yang berukuran cukup besar itu hancur berkeping-keping.
“Ghraaagh...!”
Sambil menggenang dahsyat, makhluk kera raksasa itu kembali melompat dengan jari-jari tangan terkam bang menjulur ke depan. Hendak diterkamnya Bayu.
“Hup! Yeaaah...!”
Namun Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat me-lentingkan tubuhnya. Dihindarinya terkaman makhluk kera raksasa itu dengan cepat Dan, makhluk itu pun hanya menerkam reruntuhan pohon.
Beberapa kali pemuda tampan berbaju kulit harimau itu berjumpalitan dan berputaran di udara, lalu kembali menjejakkan kakinya di tanah dengan kokoh dan mantap sekali. Sedangkan makhluk kera raksasa itu sudah kembali memutar tubuhnya dengan cepat Dia menggerung dahsyat Dipandanginya tajam-tajam pemuda tampan berbaju kulit harimau yang berada sekitar dua batang tombak di depannya.
Pada saat itu, gadis jelita berbaju merah muda yang tadi berjalan bersama Bayu sudah sampai di tempat ini. Dia juga terperanjat setengah mati begitu melihat makhluk mengerikan yang tinggi dan besar tubuhnya dua kali manusia biasa itu.
“Ghrrr...!”
Makhluk kera raksasa itu meraung sambil menyeringai lebar, memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring tajam, begitu melihat kedatangan gadis cantik itu. Dan, tiba-tiba....
“Wulan, awas...!”
Wusss!
“Haft...!”
Gadis itu segera melentingkan tubuhnya ke udara ketika tiba-tiba makhluk kera raksasa itu melompat cepat ke arahnya sambil menggerung dahsyat dan mengerikan. Tinggi sekali lentingannya, hingga dia dapat lewat di atas kepala makhluk itu. Dan, setelah beberapa kali putaran di udara, dengan manis sekali dia menjejakkan kembali kakinya di tanah, tepat di samping Bayu.
“Ghraaagkh...!”
***
DUA
“Cepat menyingkir, Wulan!” seru Bayu
Pada saat itu, makhluk kera raksasa sudah melompat kembali dengan cepat menerjang mereka. Ratna Wulan pun bergegas melesat ke samping. Pada saat yang bersamaan, Pendekar Pula Neraka menarik tubuhnya hingga doyong ke kiri, dengan tangan kanan tersilang di depan dada. Dan, secepat kilat pula dikibaskan tangannya ke depan.
“Hiyaaa...!”
Wusss!
Secercah cahaya keperakan tiba-tiba melesat cepat dari pergelangan tangan kanan Baya Dan makhluk kera raksasa itu pun tidak sempat lagi menghindar. Lalu....
Crab!
“Aaargkh...!”
“Hup!”
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka melenting-kan tubuhnya ke udara sambil menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Tampak cahaya keperakan melesat ke arah pergelangan tangan kanannya. Dan, tahu-tahu sebuah benda berbentuk lingkaran bersegi enam yang ujung-ujungnya runcing sudah menempel di pergelangan tangan itu.
“Hup! Yeaaah...!”
Dua kali Bayu melakukan putaran di udara, lalu dengan cepat sekali dia melesat ke arah makhluk kera raksasa. Satu tendangan keras menggeledek pun langsung mendarat dengan tepat di kepala makhluk itu.
Plak!
“Aaargkh...!”
“Hup!”
Kembali Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke belakang. Dilakukannya beberapa kali putaran. Dan, dengan manis sekali dijejakkan kakinya di tanah. Lalu, langsung dimiringkan tubuhnya I lingga doyong ke kiri. Disilangkannya tangan kanannya di depan dada, kemudian dikibaskannya tangan itu ke depan.
“Hiyaaa...!”
Wusss!
Benda berbentuk cakra bersegi enam yang me-nempel di pergelangan tangan kanannya secepat kilat melesat ke depan. Begitu cepat lesatannya, sehingga makhluk kera raksasa tidak dapat lagi menghindar. Dan....
Crab!
“Aaargkh...!
Kembali cakra keperakan bersegi enam itu menghunjam di dada yang berbulu hitam tebal itu. Dan, ketika tangan Bayu terangkat ke atas kepala, cakra keperakan bersegi enam itu melesat balik dari dalam dada makhluk kera raksasa. Darah seketika menyembur deras dari dua lubang di dada, akibat dua kali tertembus cakra keperakan bersegi enam yang kini sudah kembali menempel erat di per-gelangan tangan kanan pemiliknya.
Makhluk kera raksasa itu menggerung-gerung dahsyat. Darah bercucuran dengan deras dari dua lubang di dadanya. Tapi, tiba-tiba dia melesat cepat bagai kilat dan tahu-tahu sudah lenyap begitu tubuhnya masuk ke dalam hutan yang cukup lebat Bayu hendak lompat mengejar, tapi...
“Kakang Bayu...!”
Pendekar Pulau Neraka segera mengurungkan niatnya. Dia segera berpaling. Ditatapnya gadis cantik berbaju merah muda yang berlari-lari kecil meng-hampirinya. Gadis itu berdiri dekat di depan Bayu.
Sedikit Bayu menepuk pundak gadis itu. Kemudian kakinya melangkah menghampiri sosok mayat yang sudah tidak bernyawa lagi dengan seluruh tubuh tercabik dan dada terkoyak sangat lebar. Kening Pendekar Pulau Neraka jadi berkerut melihat dada yang berlubang besar itu.
“Nguk! Nguk! Craaakh...!”
Bayu mengulurkan tangannya ketika monyet kecil yang selalu dipanggil Tiren itu segera berlari-lari men-dekatinya. Monyet kecil berbulu hitam ini segera naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka.
“Hm..., makhluk itu mengambil jantungnya,” gumam Bayu perlahan, seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Ratna Wulan, yang berdiri di samping kanan, hanya diam memandangi laki-laki tua bertubuh kurus kering yang sudah tak bernyawa lagi itu. Kemudian dia menarik napas panjang. Ditatapnya wajah tampan Pendekar Pulau Neraka yang bersimbah keringat Dan, beberapa saat mereka hanya membisu.
“Ayo kita pergi, Kakang.”
“Kita kuburkan mayat orang tua ini dulu, Wulan.”
Ratna Wulan hanya mengangkat bahunya. Sedangkan Bayu sudah mencari tempat yang teduh untuk menggali lubang kuburan. Didapatkannya tempat di bawah sebatang pohon beringin yang cukup rimbun daunnya. Tempat yang cocok untuk peristirahatan terakhir laki-laki tua malang itu.
***
Matahari sudah condong ke arah Barat ketika Bayu selesai menguburkan laki-laki tua yang malang itu. Dia kemudian mengajak Ratna Wulan me-ninggalkan tepian hutan di kaki Gunung WeBng ini. Tanpa berbicara lagi, mereka pun melangkah perlahan-lahan kembali ke jalan tanah berdebu yang dipenuhi batu kerikil. Mereka terus berjalan menuju ke arah matahari tenggelam. Di ujung jalan, sudah terlihat sebuah perkampungan yang kelihatan agak sunyi.
“Desa apa itu, Kakang?” tanya Ratna Wulan, tanpa memalingkan pandangannya sedikit pun ke arah desa yang berada di depan sana.
“Desa Weling,” sahut Bayu, yang juga mengarahkan pandangannya ke desa itu.
“Sepi sekali kelihatannya,” ujar Ratna Wulan agak menggumam, seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri.
“Hm...,” gumam Bayu perlahan.
Memang, desa yang mereka lihat di depan tampaknya begitu sunyi seperti tidak berpenghuni. Tak ada seorang pun terlihat berada di luar rumah. Namun, Bayu dan Ratna Wulan terus saja melangkah memasuki desa yang tampak amat sunyi itu. Tapi, belum begitu jauh mereka masuk ke dalam desa itu....
“Hm...,” gumam Bayu perlahan.
Pendekar Pulau Neraka menghentikan ayunan langkahnya. Ratna Wulan yang berjalan di sebelah kanannya juga segera berhenti melangkah. Dia memandangi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka itu. Tapi, sebentar kemudian keningnya berkerut dan kelopak matanya terlihat menyipit. Belum juga mereka membuka mulut untuk bicara, mendadak....
Wusss!
“Awas, Wulan...!” seru Bayu.
“Hup!”
“Hak..!”
Ratna Wulan dan Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat melompat ke belakang ketika tiba-tiba sebatang tombak yang panjang meluruk deras ke arah mereka. Dan, tombak itu langsung menancap dalam di tengah jalan tanah berdebu ini, tepat di tempat Bayu dan Ratna Wulan berdiri tadi.
Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat dari atas atap sebuah rumah. Dan tahu-tahu, tepat dfi depan Pendekar Pulau Neraka, sudah berdiri seorang laki-laki tua yang berjubah putih panjang dan longgar. Laki-laki itu tampak menggenggam sebatang tombak pendek putih yang ujungnya berwarna kuning keemasan. Tampak pula rambut dan kumisnya yang menyatu dengan jenggotnya sudah berwarna putih semua.
“Nguk...! Nguk...!”
“Ada apa, Tiren?” tanya Bayu.
Belum juga pertanyaan Pendekar Pulau Neraka terjawab, tiba-tiba dia dikejutkan lagi dengan munculnya tiga orang laki-laki berusia lanjut yang semuanya mengenakan jubah putih yang panjang dan longgar. Ketiganya mengambil tempat di belakang laki-laki tua yang muncul pertama kali tadi. Mereka tampak memegang senjata yang berlainan bentuknya.
Dari pakaian, senjata, dan sorot mata yang tajam, bisa dipastikan bahwa mereka berempat bukanlah orang-orang sembarangan. Paling tidak, semuanya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Mereka adalah Ki Rakonta dan tiga orang pemuka Desa Weling yang bertugas mengatur seluruh wilayah desa ini.
“Hm...,” gumam Bayu perlahan.
“Siapa kalian? Ada urusan apa kalian datang ke Desa Weling ini?” tanya Ki Rakonta dengan nada suara yang tegas.
“Aku Bayu dan ini Ratna Wulan. Kami berdua hanya pengembara yang kebetulan lewat di desa ini,” sahut Bayu memperkenalkan diri.
“Hm..., apa kau ini bukannya Raja Kera Iblis?”
Jelas sekali dari nada suaranya, laki-laki tua ber-ubah putih yang juga Kepala Desa Weling itu menaruh curiga kepada Bayu dan Ratna Wulan.
Pertanyaan itu membuat Bayu dan Ratna Wulan mengerutkan kening. Mereka saling berpandangan sejenak, laki sama-sama melangkah maju beberapa tindak. Dan, langkah mereka baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi dari keempat orang tua berjubah putih itu.
“Aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan, Kisanak. Kami berdua hanyalah pengembara yang kebetulan lewat dan ingin mencari penginapan untuk malam ini,” kata Bayu, mencoba menjelaskan.
Memang Bayu tidak mengerti akan kata-kata yang dilontarkan Ki Rakonta barusan. Bahkan dia tidak tahu, siapa yang dimaksud dengan sebutan Raja Kera Iblis itu. Mendengarnya saja baru kali ini. Dan, Bayu langsung bisa menebak bahwa Desa Weling ini sedang tertimpa suatu musibah yang ditimbulkan oleh Raja Kera Iblis itu. Dari pengalamannya melanglang buana sebagai seorang pendekar kelana, dia sudah bisa meraba keadaan yang terjadi di desa ini.
Namun, Bayu juga tidak mau gegabah untuk ikut campur sebelum tahu benar apa masalahnya. Pendekar Pulau Neraka melirik sedikit pada Ratna Wulan.
“Anak muda, kami di sini tidak ingin menambah persoalan. Sebaiknya kalian segera tinggalkan desa ini sebelum terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Aku harap, kalian bisa mengerti, jika kalian memang orang baik-baik dan hanya pengembara,” selak Ki Suta, yang mulai ikut berbicara.
Di tangan kanan laki-laki tua berwajah bening itu tergenggam sebuah tameng berbentuk bulat dan ber-warna putih keperakan. Ada sebuah ukiran ber-gambar bintang pada bagian tengahnya.
Kembali Bayu melirik pada Ratna Wulan, yang saat itu juga sedang menatap dengan sudut ekor matanya. Mereka kemudian sama-sama mengangkat pundak. Lalu, setelah memberi salam penghormatan, kedua-nya memutar tubuh dan melangkah pergi tanpa berkata sedikit pun. Mereka berjalan kembali ke arah hutan.
***
Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh permukaan bumi di kaki Gunung Weling. Dan, Desa Weling pun sudah terselimut kegelapan. Tak sedikit pun terlihat cahaya dari bulan ataupun bintang. Malam ini langit kelihatan begitu kelam. Awan hitam yang tebal dan bergulung-gulung membuat suasana di Desa Weling semakin bertambah tidak nyaman. Belum lagi, angin yang bertiup begitu kencang menebarkan udara dingin menggigit sampai ke tulang.
Hari sudah jauh melewati tengah malam, tapi di beranda rumahnya, Ki Rakonta masih duduk bersila di atas selembar tikar anyaman dari daun pandan. Tak ada seorang pun terlihat di sekitar halaman rumahnya yang luas ini. Begitu sunyi di sekelilingnya. Sedangkan di dekat pintu yang senga-ja dibiarkan terbuka, terlihat tiga laki-laki tua lain yang semuanya mengenakan jubah panjang berwarna putih bersih. Mereka adalah tiga orang pemuka utama Desa Weling.
“Sudah lebih dari satu pekan, Ki. Tidak ada satu pun peristiwa penting yang terjadi,” ujar Ki Ampar.
Suara Ki Ampar agak menggumam dan perlahan sekali, hampir tidak terdengar oleh yang lainnya. Dia seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri. Sedangkan Ki Rakonta yang diajak bicara tidak berpaling sedikit pun. Dia tetap mengarahkan pandangannya ke arah puncak Gunung Weling, yang menghitam pekat dan berselimut kabut tebal. Dua orang laki-laki tua lainnya juga diam saja.
Memang, sejak terjadi peristiwa gempa yang mengejutkan itu, mereka selalu bersikap waspada. Terlebih lagi, mereka menduga bahwa gempa yang terjadi itu merupakan tanda munculnya Raja Kera Iblis, yang ceritanya seringkah mereka dengar sejak masih anak-anak dulu.
“Hm...,” gumam Ki Rakonta tiba-tiba, agak keras.
Dan, begitu dia beranjak hendak bangkit, tiba-tiba....
Bruk!
“Heh...?!”
Bukan hanya Ki Rakonta saja yang terperanjat, tapi tiga orang laki-laki tua yang berada di beranda depan rumah kepala desa itu juga terkejut setengah mati. Begitu terkejutnya mereka, sampai langsung terlompat berdiri. Dan, bola mata mereka terbeliak ketika tiba-tiba dari atap beranda jatuh sesosok tubuh laki-laki tua yang sudah rusak tercabik.
Empat orang laki-laki tua yang sama-sama mengenakan jubah panjang warna putih itu segera berlompatan ke luar. Dan, pada saat itu, tiba-tiba terdengar tawa keras menggelegar yang begitu mengejutkan.
“Ha ha ha...!”
“Hm...,” gumam Ki Rakonta lagi, agak keras.
Tawa itu demikian keras terdengar. Tapi, sulit untuk diketahui dari mana arah datangnya. Tawa itu seakan-akan datang dari seluruh penjuru mata angin. Keempat laki-laki tua berjubah putih itu pun langsung mempersiapkan senjata masing-masing. Mereka berdiri melingkar saling beradu punggung.
Clarrrk...!
“Awas...!” seru Ki Rakonta tiba-tiba.
“Hap...!”
“Hup!”
“Yeaaah...!”
“Hiyaaa...!”
Mereka langsung berlompatan menyebar begitu tiba-tiba terlihat secercah cahaya merah seperti bola api meluncur deras dari atas atap rumah. Bola cahaya merah itu langsung menghantam tanah tempat keempat laki-laki tua itu berdiri tadi.
Glarrr...!
Seketika itu juga terdengar ledakan keras yang amat dahsyat Tanah bergetar hebat bagai diguncang gempa. Rumah kepala desa itu pun bergetar dan berderak bagai hendak runtuh. Sementara itu empat laki-laki tua berjubah putih berjumpalitan di udara. Dan, hampir bersamaan mereka menjejakkan kakinya kembali di tanah. Sedangkan tanah yang terhantam cahaya merah tadi terlihat sudah berlubang cukup besar. Debu tampak membumbung tinggi ke angkasa.
“Gila...!” desis Ki Bantur, yang sempat terbeliak melihat lubang menganga cukup lebar dan dalam di tengah-tengah halaman rumah kepala desa ini.
“Ki Bantur, awas...!” teriak Ki Rakonta.
“Heh...?! Hup!”
Ki Bantur terperanjat setengah mati. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke samping dan langsung bergulingan di tanah beberapa kafi. Dilihatnya tadi sebuah bayangan hitam meluruk deras bagai kilat ke arahnya. Bergegas kemudian dia melompat bangkit berdiri. Namun, baru saja kakinya dijejakkan di tanah, bayangan hitam itu kembali melesat cepat ke arahnya.
“Hiyaaa...!”
Ctar!
Terdengar suara lecutan sebuah cambuk, yang diikuti dengan berpijarnya bunga api di depan dada Ki Bantur. Pada saat yang bersamaan, bayangan hitam itu kembali melenting ke belakang. Dijauhinya Ki Bantur yang tengah terpana. Bergegas Ki Bantur melompat ke belakang beberapa tindak. Dia sempat melirik Ki Ampar yang baru saja menarik cambuknya kembali.
Kemudian, secara bersamaan keempat laki-laki tua itu cepat berlompatan. Mereka kini berdiri berjajar, tepat sekitar tiga batang tombak di depan sesosok tubuh hitam dan besar, yang tingginya dua kali lipat manusia biasa. Hampir mereka tidak percaya dengan pandangan mata sendiri. Betapa tidak? Mereka kini berhadapan dengan sesosok makhluk yang seluruh tubuhnya berbulu hitam pekat agak berkilat. Dan, wajah makhluk itu begitu mirip seekor kera!
“Ghrrr...!”
Makhluk kera raksasa itu menggerung sambil menatap tajam pada empat laki-laki tua. berjubah putih ini, dengan sepasang bola matanya yang merah dan bercahaya bagai sepasang bola api. Dia menggerung sambil menyeringai, bagai hendak memamerkan baris-baris giginya yang hitam dan bertaring runcing.
“Dewata Yang Agung.....Makhluk apa ini...?” desah Ki Rakonta, yang tak berpaling sedikit pun memandangi makhluk kera raksasa yang berada sekitar tiga batang tombak di depannya.
“Kalian semua pemuka desa ini...?”
Terdengar begitu besar dan berat suara makhluk kera raksasa itu. Telinga keempat laki-laki tua itu pun terasa sakit dibuatnya.
“Siapa di antara kalian kepala desanya?” tanya makhluk kera raksasa itu lagi, dengan suaranya ang tetap besar menyakitkan telinga.
“Aku,” sahut Ki Rakonta seraya melangkah ke depan dua tindak. “Mereka bertiga memang para tetua Desa Weling. Dan siapa kau ini sebenarnya?”
“Ha ha ha...!”
Makhluk kera raksasa itu malah tertawa terbahak-bahak. Begitu keras suara tawanya, membuat tanah yang mereka pijak bergetar. Ki Rakonta dan ketiga orang pemuka desa itu cepat-cepat mengerahkan tenaga dalam, untuk menahan gempuran suara keras yang menggetarkan jantung dan membalikkan aliran darah di dalam tubuh mereka. Suara tawa itu seakan-akan dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi tingkatannya, begitu keras menggelegar dan sangat menyakitkan telinga.
“Aku adalah raja yang menguasai seluruh bumi ini Dan kalian adalah hamba sahaya yang harus tunduk pada perintahku. Ha ha ha...!”
“Raja Kera Iblis...,” desis Ki Rakonta, langsung bisa mengenali, walaupun makhluk kera raksasa itu tidak menyebutkan siapa dirinya secara langsung.
Sedangkan Ki Ampar dan yang lainnya hanya diam memandangi makhluk kera raksasa yang begitu mengerikan ini Meskipun begitu, mereka juga sudah bisa menduga, siapa makhluk yang bentuknya begitu menyeramkan ini. Sulit dikatakan kalau makhluk ini adalah manusia. Juga sukar untuk dikatakan kalau dia adalah seekor kera.
Meskipun wajahnya seperti kera dan seluruh tubuhnya berbulu, bentuk badannya tidak ubahnya seperti manusia. Tapi, tingginya mungkin dua kali manusia biasa, atau mungkin juga bisa lebih tinggi lagi. Dan, dia tampak mengenakan celana sebatas lutut yang merah menyala. Tidak dikenakannya baju sama sekali, sehingga tubuhnya yang berbulu tebal dapat terlihat jelas. Terlihat pula, tidak ada satu senjata pun yang disandangnya.
“Dengar, jika kalian berani membangkang dan tidak mematuhi perintahku, nasib kalian akan sama seperti dia!” kata makhluk kera raksasa itu lagi, sambil menunjuk sesosok mayat laki-laki tua yang menggeletak tepat di depan tangga beranda rumah kepala desa.
“Kau yang membunuhnya? Kenapa...?” tanya Ki Rakonta setelah melirik sedikit pada mayat laki-laki tua yang seluruh tubuhnya tercabik dan tidak mengenakan baju itu.
“Dia mencoba melawan dan membangkang perintahku. Jika kalian juga berani membangkang, aku tidak segan-segan mencabik tubuh kalian. Mengerti...?!” ujar makhluk kera raksasa itu dengan keras dan tegas.
“Apa yang kau inginkan dari kami?” tanya Ki Rakonta lagi.
“Ha ha ha...! Kau sebagai kepala desa di sini tentu sudah tahu apa yang kuinginkan. Dan aku tidak perlu menyebutkan keinginanku lagi,” sahut makhluk kera raksasa yang dikenal sebagai si Raja Kera Iblis ini.
Setelah berkata demikian, tiba-tiba Raja Kera Iblis melesat cepat, dan langsung lenyap dari pandangan mata. Begitu cepatnya dia melesat, seolah-olah tenggelam masuk ke dalam bumi, tidak bisa lagi diketahui ke mana arah perginya. Ki Rakonta dan yang lainnya langsung saling melempar pandang. Apa yang mereka khawatirkan selama ini, sekarang sudah menjadi kenyataan. Raja Kera Iblis, yang selama ini menjadi dongeng sejak puluhan tahun yang lalu, sekarang benar-benar muncul. Dan, kemunculannya ini sudah pasti merupakan malapetaka besar bagi kelangsungan hidup penduduk Desa Weling.
***
“Dia benar-benar sudah muncul. Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ki...?” desah Ki Ampar, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.
Ki Rakonta hanya diam membisu. Perlahan dia menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Memang tidak mudah menjawab pertanyaan Ki Ampar barusan. Dia sendiri tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan sekarang ini. Raja Kera Iblis benar-benar ada dan sudah muncul. Dan mereka semua tahu, apa yang dikehendaki raja iblis dari dasar neraka itu.
Tak ada seorang pun yang bisa menentang kehendak Raja Kera Iblis, kecuali yang memang benar-benar ingin mati secara mudah. Mereka semua menyadari, tidak mungkin melawan makhluk kera raksasa yang sangat sakti dan digdaya itu. Tidak ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya, yang tidak jauh berbeda dengan iblis penghuni dasar neraka. Dia bisa berbuat apa saja, semudah membalikkan telapak tangan. Apa pun yang dikehendakinya tidak bisa lagi ditolak. Semuanya harus dituruti jika mereka masih ingin melihat matahari esok pagi. Hal ini membuat Ki Rakonta begitu gelisah. Dia menyadari bahwa dirinya benar-benar tidak berani menentang kehendak Raja Kera iblis, apalagi melawannya.
“Kita tidak mungkin memenuhi kehendak hati iblisnya itu, Ki. Aku tidak bisa melihat mereka yang tidak berdosa sama sekali menjadi korban kebuasannya,” desis Ki Bantur, geram.
“Meskipun kita berempat menghadapinya sekaligus, tidak akan mungkin kita bisa mengalahkannya. Malah dia bisa membunuh kita dengan mudah,” kata Ki Rakonta, perlahan sekali.
“Tapi, Ki...,” ucapan Ki Bantur terputus.
“Kita memang tidak begitu saja menyerah. Paling tidak, kita harus menyelamatkan seluruh penduduk dari keangkaramurkaan Raja Kera Iblis. Aku minta, kalian mencari cara terbaik untuk menyelamatkan mereka. Kita semua bertanggung jawab atas nyawa dan keselamatan mereka,” kata Ki Rakonta, tegas.
“Apa yang akan kita lakukan, Ki? Sekarang saja sudah jatuh satu korban,” selak Ki Suta, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan.
“Hm....”
Ki Rakonta hanya menggumam perlahan. Dia melirik sedikit pada mayat laki-laki tua yang masih menggeletak di dekat ujung tangga beranda rumahnya. Sungguh mengerikan keadaan mayat itu. Seluruh tubuhnya tercabik. Leher dan dadanya berlubang begitu besar. Bahkan, seluruh isi rongga dadanya sudah lenyap. Dan, tak terlihat setetes darah pun yang melekat
“Kalian kenal dengan orang itu?” tanya Ki Rakonta sambil menunjuk mayat laki-laki yang menggeletak di dekat tangga beranda rumahnya.
“Dia si Penjarah Hutan, Ki. Sehari-hari pekerjaannya mencari kayu bakar dan berburu,” sahut Ki Suta, yang mengenali mayat laki-laki tua itu.
“Dia penduduk desa ini?” tanya Ki Rakonta lagi.
“Benar, Ki. Dia mempunyai cucu perempuan yang masih berusia sepuluh tahun. Tidak ada lagi sanak keluarganya di desa ini. Dia hanya hidup berdua dengan cucunya,” jelas Ki Suta.
“Ki Suta, sebaiknya kau urus saja mayat itu. Antarkan ke rumahnya dan kubur sebagaimana biasanya. Nanti aku pikirkan bagaimana caranya menyelamatkan seluruh penduduk desa ini,” perinlah Ki Rakonta dengan tegas.
“Baik, Ki,” sahut Ki Suta. Tanpa diperintah dua kali, Ki Suta segera rgegas mengambil dua ekor kuda dari samping rumah. Dinaikkannya mayat laki-laki tua yang dikenalinya sebagai si Penjarah Hutan itu ke atas punggung kuda. Kemudian dia sendiri melompat naik ke atas punggung kuda satunya lagi. Setelah mengangguk sedikit ke arah Ki Rakonta, laki-laki tua berjubah putih yang memegang tameng baja berwarna keperakan itu segera menggebah kudanya.
Ki Rakonta kemudian mengajak pemuka desa vang lainnya masuk kembali ke dalam beranda rumahnya. Mereka duduk di tengah-tengah beranda dengan alas selembar tikar anyaman daun pandan. Cukup lama juga mereka berdiam diri. Beberapa kali terdengar tarikan napas yang panjang dan berat.
“Dia sudah datang. Besok malam dia pasti datang lagi untuk mengambil pesanannya,” desah Ki Rakonta perlahan, hampir tidak terdengar.
“Kita tidak mungkin memberikannya, Ki,” kata Ki Ampar.
“Yaaah..., itu juga yang aku tidak inginkan, Ki Ampar. Aku tidak ingin mengorbankan pendudukku sendiri.”
“Ki, apa tidak sebaiknya kita ungsikan saja seluruh penduduk malam ini juga?” usul Ki Bantur tiba-tiba.
“Maksudmu...?” tanya Ki Rakonta tidak mengerti.
“Kita kosongkan desa ini, Ki. Kita cari tempat yang jauh dari Gunung Weling. Dan kita dirikan desa baru. Aku rasa, masih banyak tempat yang bisa dibuka untuk dijadikan desa baru,” ujar Ki Bantur, mencoba menjelaskan usulnya tadi.
“Ke mana kita pergi?” selak Ki Ampar.
“Benar, Ki Bantur. Ke manapun kita pergi, Raja Kera Iblis pasti bisa tahu dengan cepat Dia bukan makhluk biasa. Dia raja segala iblis dari dasar neraka. Tidak mudah menghindarinya, terlebih lagi melawan-nya. Kita semua bisa mati konyol,” ujar Ki Rakonta.
“Hhh..., memang sulit juga. Kita ini seperti berada di ujung tanduk,” desah Ki Bantur, perlahan.
“Ki, bagaimana kalau kita coba menentangnya...?” selak Ki Ampar tiba-tiba.
“Jangan berpikiran sempit, Ki. Tidak ada yang bisa kita andalkan untuk melawannya. Apa kekuatan kita untuk menghadapi Raja Kera Iblis...?” kata Ki Rakonta, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tapi kita tidak boleh tinggal diam begitu saja, Ki. Dia sudah datang ke sini dan memberi peringatan. Itu tidak bisa dianggap main-main lagi. Besok dia pasti datang lagi untuk mengambil korban. Dan, tiap hari dia akan mengambil korban sampai semua orang di desa ini habis. Apa kita tega melihat mereka yang tidak tahu apa-apa harus menjadi korban iblis itu...? Tidak, Ki! Aku tidak rela...!” seru Ki Ampar agak keras.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan?” tanya Ki Rakonta.
“Aku akan menantangnya bertarung, Ki,” sahut Ki Ampar, tegas.
“Ha ha ha...!”
“Oh...?!”
“Hah...?!”
Mereka terkejut setengah mati ketika tiba-tiba terdengar tawa yang begitu keras menggema seperti datang dari segala penjuru mata angin. Ketiga laki-laki tua yang tengah duduk di beranda rumah itu pun saling melempar pandang. Dan belum juga ada yang membuka suara, tiba-tiba....
***
TIGA
Ki Rakonta, Ki Ampar, dan Ki Bantur terkejut setengah mati ketika tiba-riba terdengar tawa yang begitu keras menggelegar, tepat di saat Ki Ampar baru selesai mengucapkan tantangannya kepada Raja Kera Iblis. Dan pada saat tawa itu menghilang dari pendengaran, tiba-tiba saja... Clrasss!
Secercah cahaya kilat menyambar dan membelah angkasa kelam yang terselimut gumpalan tebal awan hitam. Di antara kilatan cahaya terang yang hanya sesaat itu, terlihat sesosok tubuh tinggi besar dan berbulu hitam berdiri tegak di tengah-tengah halaman depan rumah kepala desa itu. Kemunculan sosok tinggi besar bagai raksasa ini tentu saja membuat ketiga orang tua yang berada di beranda itu terkejut setengah mati. Sungguh mereka tidak tahu, kapan dan bagaimana makhluk tinggi besar berbulu hitam yang diketahui sebagai Raja Kera Iblis itu sudah berdiri tegak di tengah-tengah halaman rumah.
“Siapa yang menantangku? Cepat ke sini...!” bentak Raja Kera Iblis, keras.
Ki Rakonta dan Ki Bantur langsung menatap Ki Ampar. Sinar mata mereka memancarkan penyesalan terhadap sikap Ki Ampar, yang begitu sembrononya mengucapkan kata-kata tantangan. Tentu saja tantangan itu bisa didengar oleh Raja Kera Iblis, walaupun mereka tidak tahu, di mana makhluk kera raksasa itu berada.
“Hup...!”
Tiba-tiba Ki Ampar melompat ke luar dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Begitu indah dan ringan gerakannya, sehingga dalam sekejap dia sudah berdiri sekitar tiga batang tombak lagi di depan Raja Kera Iblis. Sementara itu, Ki Rakonta dan Ki Bantur juga bergegas keluar dari beranda. Namun, mereka tertahan sekitar beberapa langkah di depan tangga beranda depan.
“Kau yang hendak menantangku rupanya, heh...?.'“ ujar Raja Kera Iblis, lantang.
“Ya, aku yang menantangmu bertarung! Aku tidak akan membiarkan kau membantai semua orang di desa ini!” tegas Ki Ampar.
Dari raut wajah dan sorot matanya, tampak tidak ada lagi kegentaran sedikit pun terselip di hati Ki Ampar. Dia benar-benar sudah bertekad menantang Raja Kera Iblis, walaupun tahu apa akibatnya yang akan terjadi pada dirinya nanti. Dia sesungguhnya memang sadar bahwa kepandaian yang dimilikianya tidak ada artinya dibanding kesaktian makhluk berhati iblis ini.
Perlahan-lahan Ki Ampar menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Direntangkan cambuknya yang berbulu halus. Sorot matanya begitu tajam dan rahangnya terkatup rapat. Sedangkan makhluk tinggi besar berbulu hitam yang hanya mengenakan celana merah sebatas lutut itu hanya diam memperhatikan setiap gerakan yang dilakukannya.
“Hiyaaa...!”
Ctar!
Tiba-tiba Ki Ampar mengecutkan cambuknya dengan keras sekali ke depan. Begitu tinggi tenaga dalam yang dikerahkannya, sehingga ujung cambuk yang berbentuk bola kecil berduri tajam itu mengeluarkan percikan bunga api yang langsung menyebar ke seluruh tubuh Raja Kera Iblis.
“Hep!”
Namun, tanpa diduga sama sekali, makhluk bertubuh tinggi besar dan berbulu hitam itu mengebutkan tangan kanannya ke depan. Tindakan Raja Kera Iblis itu membuat Ki Ampar terperanjat setengah mati. Buru-buru cambuknya ditarik kembali.
“Hup!”
Bergegas pula laki-laki tua berjubah putih itu melompat ke belakang, hingga sambaran tangan. kanan Raja Kera Iblis tidak sampai menyambar ujung cambuknya. Tapi, tanpa diduga sama sekali, tibatiba....
“Ghraaagkh...!”
Derrr!
“Hoooh...!”
Ki Ampar terkejut setengah mati ketika tiba-tiba Raja Kera Iblis menghentakkan kakinya ke tanah. Seketika itu juga bumi yang mereka pijak bergetar begitu hebat Dan....
“Heh...!”
Ki Ampar terbeliak setengah mati begitu melihat tiba-tiba tanah di depannya terbelah. “Hup...!”
Buru-buru tubuhnya dilentingkan ke udara. Dan, dilakukannya beberapa kali putaran. Namun, pada saat yang bersamaan, Raja Kera Iblis juga melesat mengejarnya ke udara. Secepat kilat pula dilepaskannya satu pukulan keras yang diarahkan ke dada laki-laki tua berjubah putih itu.
“Hap! Yeaaah...!”
Ctar!
“Aaargkh...!';
Raja Kera Iblis menggerung dahsyat begitu ujung cambuk Ki Ampar menghantam pergelangan tangannya. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke belakang, berputaran beberapa kali, lalu menjejakkan kakinya kembali dengan ringan sekali di tanah. Meskipun tubuhnya begitu tinggi dan besar, tampak gerakannya sangat ringan.
“Ghreaaah...!”
Secepat itu pula Raja Kera Iblis menghentakkan tangan kanannya ke atas, tepat mengarah ke tubuh Ki Ampar yang masih berjumpalitan di udara. Dari telapak tangan itu tiba-tiba melesat bulatan merah sebesar kepalan bayi yang memancarkan api. Bola api itu meluncur deras ke arah Ki Ampar.
“Hiyaaa...!”
Ctar!
Kembali Ki Ampar mengecutkan cambuknya yang terkenal ampuh. Ujung cambuk itu langsung menghantam bola api yang meluncur cepat ke arahnya.
Glarrr!
Ledakan keras menggelegar yang begitu dahsyat seketika terdengar memecah keheningan malam, saat ujung cambuk yang berbandul bola besi baja kecil berduri itu menghantam bola api yang dilepaskan Raja Kera Iblis.
“Hup!”
Ki Ampar cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan, dengan manis sekali kakinya dijejakkan kembali di tanah. Namun, baru saja kedua kakinya menyentuh tanah, mendadak Raja Kera Iblis sudah menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan cepat dan bergantian beberapa kali.
“Ghruaaaghk...!”
Slap!
***
Ki Ampar harus berjumpalitan lagi di udara. Dihindarinya bola-bola api yang meluncur deras ke arahnya. Ledakan keras menggelegar terdengar beberapa kali dan saling susul begitu bola-bola api itu menghantam tanah dan pepohonan. Malam yang semula gelap gulita pun menjadi terang benderang oleh cahaya api yang timbul dari bola-bola api yang membakar pepohonan.
Pertarungan itu memang sungguh dahsyat. Masing-masing mencoba menjatuhkan lawannya. Entah sudah berapa jurus yang sudah dikeluarkan Ki Ampar, tapi masih belum juga bisa mendesak Raja Kera Iblis. Bahkan, semakin lama pertarungan itu berlangsung, Ki Ampar semakin kewalahan menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan makhluk kera raksasa itu. Meskipun tubuhnya sangat besar, namun gerakan-gerakan yang dilakukan Raja Kera Iblis sungguh cepat dan ringan.
“Ghraugkh...!”
Tiba-tiba Raja Kera Iblis menggerung dahsyat eketika itu juga, tubuhnya dilentingkan ke atas dengan cepat sekali. Secepat kilat pula kaki kanannya dihentakkan ke depan, tepat mengarah ke dada Ki Ampar. Begitu cepatnya serangan itu, sehingga Ki Ampar tidak dapat lagi berkelit menghindar, terlebih lagi, padak saat itu dia baru saja menghindari satu pukulan keras menggeledek yang ditenarkan makhluk kera raksasa ini. Dan...
Bugkh!
“Aaakh...!”
Ki Ampar menjerit keras melengking tinggi. Tubuhnya terpental deras ke belakang. Sebatang pohon yang berdiri tidak jauh di belakangnya seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuh laki-laki tua berjubah putih itu. Begitu kerasnya dia terbanting ke tanah, hingga mengeluarkan pekikan keras agak tertahan. Beberapa kali Ki Ampar bergulingan di tanah.
“Hoeeek...!”
Segumpal darah kental agak kehitaman terlontar dari mulut Ki Ampar ketika dia mencoba bangkit meskipun tubuhnya terhuyung-huyung dan dadanya terasa begitu sesak, Ki Ampar tetap mencoba bangkit. Dan, begitu dia bisa berdiri dengan tubuh terhuyung, mendadak saja....
“Ghraaagkh...!”
Wusss! Bugkh!
“Aaakh...!”
Lagi-lagi Ki Ampar menjerit keras dan terpental ke belakang. Dengan kecepatan bagai kilat Raja Kera Iblis kembali melepaskan satu tendangan keras menggeledek sambil melompat ke udara, dan tepat menghantam dada laki-laki tua itu.
Dan belum juga tubuh Ki Ampar mencapai tanah, Raja Kera Iblis sudah memberikan satu pukulan keras dengan tangan kanannya. Pukulan itu tepat menghantam kepala Ki Ampar. Laki-laki tua itu pun kembali menjerit melengking tinggi. Terdengar suara berderak dari kepala yang pecah terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
Bruk!
“Ohhh...!”
Ki Ampar menggelepar di tanah sambil mengerang lirih. Darah bercucuran deras dari kepalanya yang pecah. Dari mulutnya pun mengalir darah kental agak kehitaman. Sementara Ku, Raja Kera Iblis sudah berdiri dekat di samping tubuh laki-laki tua berjubah putih itu. Tiba-tiba....
Jlegkh!
“Aaakh...!”
Ki Ampar berkelojotan begitu kaki kanan Raja Kera Iblis yang berukuran sangat besar itu menjejak dadanya. Darah langsung muncrat dari mulutnya. Sebentar tubuhnya berkelojotan, kemudian diam tak bergerak lagi. Begitu Raja Kera Iblis mengangkat kakinya, tampak dada Ki Ampar sudah gepeng seperti tertindih sebongkah batu yang amat berat.
“Ghrrr! Ha ha ha...!”
Slap!
Cepat sekali Raja Kera Iblis melesat pergi. Dan, dalam sekejap dia sudah lenyap dari pandangan. Sementara, Ki Rakonta dan Ki Bantur yang sejak tadi diam saja memperhatikan pertarungan itu, tergegas menghampiri Ki Ampar yang sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Kepala Ki Ampar tampak pecah dan dadanya remuk akibat jejakan kaki Raja Kera Iblis yang berukuran sangat besar itu.
“Kejam...,” desis Ki Rakonta, hampir tidak sanggup melihat keadaan Ki Ampar.
Ki Bantur hanya diam memandangi mayat Ki Ampar yang sungguh mengenaskan itu. Gerahamnya terdengar bergemeletuk menahan geram. Dadanya bergemuruh, tapi tidak mampu berbuat sesuatu. Meskipun kemarahannya sudah memuncak sampai ke batas dada, dia harus berpikir seribu kali jika mau berbuat nekat seperti Ki Ampar yang menantang Raja Kera Iblis tadi.
***
Seluruh penduduk Desa Weling benar-benar dicekam perasaan takut Peristiwa terbunuhnya Ki Ampar semalam membuat mereka diliputi ke-gelisahan dan ketakutan yang tak bisa dilukiskan lagi dengan kata-kata. Terlebih lagi, mereka sudah sering mendengar cerita tentang Raja Kera Iblis, yang selama ini dianggap sebagai dongeng belaka. Dan sekarang, tokoh sakti yang sangat kejam itu benar-benar muncul menjadi kenyataan. Bahkan, sudah mengambil dua korban dalam kemunculannya pertama kali.
Seluruh penduduk tahu bahwa Ki Ampar bukanlah orang sembarangan. Mereka pun tahu bahwa Ki Ampar memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Tapi, ternyata dia bisa dikalahkan oleh Raja Kera Iblis. Bahkan, dia ditewaskan dengan cara yang begitu keji, walaupun lewat pertarungan yang sangat jujur. Peristiwa ini memang cepat sekali tersebar, meskipun baru terjadi semalam.
Kemunculan Raja Kera Iblis membuat seluruh penduduk Desa Weling tidak berani keluar dari rumahnya. Meskipun sekarang ini matahari sudah naik cukup tinggi, keadaan desa itu terlihat masih begitu sunyi. Tak ada seorang pun yang terlihat berada di luar rumahnya. Bahkan, jalan yang membelah desa itu pun tampak sangat sunyi. Desa Weling benar-benar bagaikan sebuah desa mati yang tidak berpenghuni lagi.
Dalam kesunyian itu, terlihat seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering dan tidak mengenakan baju berjalan tertatih-tatih di bawah teriknya sang mentari. Dia hanya mengenakan celana merah sebatas lutut Tampak dia terus melangkah menyusuri jalan tanah yang berdebu, seakan-akan tidak peduli dengan panasnya sengatan sinar matahari pada kulit tubuhnya yang kering dan hitam legam. Dia kemudian berhenti di depan sebuah rumah yang pintu dan jendelanya tertutup rapat.
Tok, tok, tok...!
Jari-jari tangannya yang kurus kering seperti hanya tulang terbalut kulit itu mengetuk pintu yang terbuat dari kayu yang sudah rapuh. Tak ada jawaban sedikit pun. Dia pun mengetuk lagi lebih keras. Dan tidak lama kemudian, terdengar langkah kaki yang terseret dari dalam.
“Siapa...?” terdengar suara agak serak dari Salam rumah berukuran kecil ini.
“Aku...!” sahut laki-laki tua itu.
Perlahan pintu terbuka sedikit Dan, dari balik pintal kayu yang sudah rapuh itu muncul seorang wanita tua berusia lebih dari tujuh puluh tahun.
“Oh...! Siapa kau, Ki?” tanya wanita tua itu, yang tampak agak terkejut melihat laki-laki yang sebaya dengannya berada di depan pintu rumahnya.
Laki-laki tua itu tidak menjawab sedikit pun. Perlahan dia mengangkat kepalanya. Sepasang bola matanya terlihat merah menyala, bagai sepasang bola api. Dan, perlahan bibirnya bergerak membentuk sebuah seringai, seakan-akan ingin memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring sangat runcing.
“Oh...?!”
“Ghrrr...!”
Bettt!
Tiba-tiba laki-laki tua itu mengebutkan tangannya ke depan. Dan....
Brak!
“Akh...!” pekik perempuan tua itu.
Sekali hentak saja, pintu kayu itu hancur berkeping-keping. Dan, sebelum perempuan tua itu menyadari siapa yang berada di hadapannya, tiba-tiba laki-laki tua itu sudah melompat masuk ke dalam. Secepat itu pula, tiba-tiba tubuhnya yang kurus kering langsung berubah.
“Oh...?!”
“Ghraaagkh...!”
Bret!
“Aaakh...!”
Bagaikan kilat, tangan kurus kering yang berubah menjadi besar dan berbulu hitam itu mengibas dan langsung menyambar leher perempuan tua itu. Sungguh cepat gerakannya. Dan tahu-tahu leher perempuan tua itu sudah terpenggal, seperti dibabat sebilah pedang yang amat tajam. Kepala perempuan tua itu pun terpental, lalu jauh bergulingan di lantai tanah rumah ini. “
Ghrrr...!”
Melihat darah yang muncrat dari leher tak berkepala itu, sinar mata makhluk bertubuh tinggi besar dan berbulu hitam itu tampak berbinar-binar. Cepat-cepat tubuh yang sudah menggeletak di tanah itu diterkamnya. Lalu, dengan kuku-kuku jari tangannya yang tajam dan runcing, dicabik-cabiknya dada perempuan tua itu hingga berlubang besar.
Lalu sambil menggerung-gerung, dikeluarkannya jantung di dalam dada itu. Dan langsung dikunyahnya. Dan setelah puas, darah yang bercucuran itu dihirupnya dengan rakus sekali.
“Ghrrr...!”
Tidak berapa lama, makhluk berbentuk kera raksasa itu sudah menguras habis darah yang bercucuran dari tubuh perempuan tua ini. Tak ada lagi setetes darah pun yang tersisa. Namun, sama sekati dia tidak tahu, semua perbuatannya diawasi oleh sepasang mata bersimbah air bening yang bersembunyi di balik sebuah pintu yang sedikit terbuka.
“Ghraaaugkh...!”
Setelah puas menghisap darah korbannya, makhluk kera raksasa berbulu hitam itu langsung melesat keluar dengan cepat sekali. Dan dalam sekejap bayangannya sudah lenyap tak terlihat lagi Tinggallah kini tubuh korbannya yang sudah tercabik hancur dengan darah tak tersisa sedikit pun.
“Nek...!”
Saat itu, dari balik pintu sebuah kamar, keluar seorang bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun. Bocah kecil itu langsung menghambur dan memeluk tubuh perempuan tua itu sambil menangis sesenggukan. Tidak dipedulikannya kalau tubuh tua yang dipeluknya sudah hancur dan tak berkepala lagi.
***
***
“Iblis...! Ini benar-benar sudah keterlaluan!” desis Ki Rakonta geram setengah mati. Matanya tidak ber-kedip memandangi mayat perempuan tua yang tubuhnya hancur dan kepalanya buntung itu.
Di sudut ruangan depan rumah kecil ini, terlihat Ki Bantur duduk di kursi kayu, sambil memangku bocah berusia sepuluh tahun yang menangis sesenggukan menyembunyikan kepala di dada laki-laki tua itu. Sedangkan Ki Suta tampak sibuk membereskan mayat perempuan tua itu, dibantu beberapa pemuda Desa Weling.
Saat Ki Suta selesai membereskan mayat perempuan tua itu, Ki Bantur bangkit dari kursi yang didudukinya. Diserahkannya bocah kecil itu kepada seorang perempuan separuh baya yang berada dekat dengannya. Kemudian kakinya melangkah menghampiri Ki Rakonta, yang masih tetap berdiri di depan jendela dengan pandangan tertuju langsung ke luar. Terlihat di sekitar rumah kecil ini masih banyak orang yang ingin mengetahui peristiwa yang terjadi. Ki Bantur kini berdiri di samping Kepala Desa Weling.
“Anak itu melihat semua kejadiannya, Ki,” kata Ki Bantur, dengan suara yang terdengar berbisik.
Ki Rakonta hanya menggumam perlahan, sambil melirik pada bocah laki-laki yang kini berada dalam pangkuan seorang perempuan setengah baya. Bocah itu masih menangis sesenggukan. Perempuan setengah baya itu pun kerepotan mendiamkannya. Ki Rakonta kembali mengarahkan pandangannya ke luar.
“Apa katanya?” tanya Ki Rakonta, dengan suara yang juga perlahan.
“Katanya, semalam datang laki-laki tua, yang kemudian berubah menjadi makhluk raksasa yang mengerikan,” sahut Ki Bantur.
“Hm..., rupanya dia sudah mulai mengubah dirinya untuk mencari korban,” gumam Ki Rakonta, seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Apa itu berarti dia tidak perlu lagi menekan kita untuk menyediakan korban, Ki?” tanya Ki Bantur.
“Kau benar, Ki Bantur. Dia sudah tidak sabar dan sekarang mencari korbannya sendiri dengan mengubah dirinya. Itu berarti kita akan menghadapi kesulitan yang lebih besar lagi. Kita tidak tahu lagi, kapan kemunculannya tiba. Bahkan dia bisa saja berada di antara orang-orang kita,” sahut Ki Rakonta.
“Terlalu berbahaya bagi kita semua kalau begitu, Ki. Desa ini seringkah dimasuki para pendatang. Kita tidak mungkin mencurigai mereka yang datang ke sini, Ki. Lagi pula, tidak semua orang di desa ini kita kenali satu persatu,” kata Ki Bantur, langsung bisa membaca kesulitan yang bakal dihadapi.
Seluruh penduduk desa ini benar-benar sudah terancam keselamatannya. Raja Kera Iblis tidak akan berhenti sebelum seluruh penduduk habis menjadi korbannya. Dia akan terus mencari manusia untuk dijadikan korban. Bahkan, bukan tidak mungkin, kemunculannya akan dimanfaatkan oleh orang-orang rimba persilatan yang beraliran hitam. Mereka akan menyembah dan mendapatkan perlindungan, dengan imbalan mencarikan manusia untuk santapan iblis raksasa berbentuk kera itu. Dunia pun terancam kehancuran kalau hal ini benar-benar terjadi.
Di saat kedua orang tua itu terdiam, tiba-tiba....
Glarrr...!
“Heh...?!”
“Hah...?!”
Bukan hanya Ki Rakonta dan Ki Bantur yang terkejut ketika tiba-tiba terdengar ledakan keras menggelegar yang begitu dahsyat. Semua orang yang memadati rumah ini juga tersentak kaget setengah mati. Seketika itu juga, mereka yang berada di sekitar rumah ini berhamburan sambil berteriak-teriak panik. Suasana pun seketika menjadi gaduh.
Ki Suta yang sedang mengurus mayat perempuan tua di rumah ini juga langsung menghentikan pekerjaannya. Dia cepat melompat mendekati Ki Rakonta dan Ki Bantur yang masih berdiri di depan jendela. Sementara itu, semua orang yang berada di luar sebentar saja sudah menghilang ke dalam rumah masing-masing. Suasana gaduh pun seketika lenyap. Keadaan pun jadi begitu sunyi. Saat itu....
Glarrr...!
Kembali terdengar ledakan yang begitu keras dan dahsyat Jelas sekali ledakan itu datang dari sebelah Timur lereng Gunung Weling.
“Ki Suta, kau tetap di sini. Aku dan Ki Bantur akan melihat ledakan itu,” kata Ki Rakonta.
“Baik, Ki,” sahut Ki Suta.
Bagaikan kilat Ki Rakonta dan Ki Bantur melesat melalui jendela yang sejak tadi terbuka lebar. Sementara itu Ki Suta bergegas menutup jendela dan pintu rumah ini. Sekilas dia melirik pada beberapa orang yang masih berada di dalam rumah. Mereka tidak berani keluar untuk kembali ke rumah masing-masing. Mereka juga memandangi Ki Suta, seakan-akan meminta perlindungan dari laki-laki tua yang mengenakan jubah putih itu.
“Kalian tetap saja di sini sampai Ki Rakonta dan Ki Bantur kembali,” kata Ki Suta.
Semua orang yang berada di dalam rumah ha-iya mengangguk. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Sedangkan Ki Suta kembali nengurus mayat perempuan tua pemilik rumah ini, «bantu empat orang pemuda.
Ki Rakonta dan Ki Bantur terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Tingkat kepandaian mereka setara, sehingga keduanya selalu tampak berdampingan tanpa saling mendahului. Mereka menuju arah sebelah Timur lereng Gunung Weling. Beberapa kali masih terdengar ledakan, yang semakin keras memekakkan telinga.
“Ki, lihat..!” seru Ki Bantur sambil menunjuk ke sebuah padang rumput yang berada di lereng Gunung Weling sebelah Timur.
“Oh.,.,” desah Ki Rakonta.
Mereka bergegas ke padang rumput yang tidak begitu besar itu. Tampak di sana, seorang pemuda berbaju kulit harimau tengah bertarung sengit melawan sesosok makhluk, bertubuh tinggi besar dan berbulu kehitaman. Wajah makhluk itu begitu mengerikan, mirip seekor kera. Dan, dia hanya mengenakan celana warna merah sebatas lutut Tidak jauh dari situ, terlihat seorang gadis cantik berbaju merah muda sedang memperhatikan jalannya pertarungan itu. Tampak pula seekor monyet kecil berbulu hitam di samping kanan gadis itu, yang berpaling begitu Ki Rakonta dan Ki Bantur sampai di padang rumput lereng-Gunung Weling ini.
“Nguk...!”
Ki Rakonta agak terkejut begitu melihat gadis cantik berbaju merah muda itu. Kemudian pandangannya diarahkan pada pertarungan sengit yang sedang berlangsung. Dan, kembali dipandangnya gadis cantik yang juga tengah menatapnya. Perlahan Ki Rakonta dan Ki Bantur menghampiri gadis itu. Ki Rakonta ingat gadis inilah yang datang ke Desa Weling tempo hari bersama pemuda berbaju kulit harimau, yang kini tengah bertarung melawan makhluk kera raksasa yang tak lain dari Raja Kera Iblis. Ki Rakonta pun ingat, mereka pernah memperkenalkan diri. Gadis ini bernama Ratna Wulan. Dan pemuda yang sedang bertarung itu adalah Bayu, yang di kalangan rimba persilatan lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka.
“Sudah berapa lama mereka bertarung?” tanya Ki Rakonta.
“Belum lama,” sahut Ratna Wulan.
Ratna Wulan membungkukkan tubuhnya sedikit lalu mengangkat Tiren. Monyet kecil in berbulu hitam itu langsung memeluk leher yang putih jenjang ketika gadis itu menempatkan di pundaknya. Tampaknya Tiren juga mengenali Ki Rakonta. Dan, binatang itu terus memandang Ki Rakonta sambil sesekali mengeluarkan suaranya yang kecil di telinga Ratna Wulan.
“Kenapa sampai bisa bertarung?” tanya Ki Bantur.
“Makhluk itu tiba-tiba saja muncul dan langsung menyerang,” sahut Ratna Wulan lagi.
“Anak itu bisa celaka, Ki,” bisik Ki Bantur.
“Hm...,” gumam Ki Rakonta.
Kemudian tidak ada yang berbicara lagi. Mereka memperhatikan pelannya pertarungan yang semakin terlihat sengit itu. Tampak jelas bahwa Bayu masih bisa menandingi Raja Kera Iblis. Bahkan, sudah beberapa kali pukulan Pendekar Pulau Neraka mengenai tubuh makhluk berbentuk kera raksasa berbulu hitam itu. Tapi, tampaknya Raja Kera Iblis benar-benar sulit ditundukkan. Walaupun pukulan Pendekar Pulau Neraka mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, tetap saja Raja Kera Iblis tidak mundur setapak pun, bahkan semakin kelihatan ganas.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba Bayu melentingkan tubuhnya ke udara dan berjumpalitan beberapa kali ke belakang. Dengan gerakan yang indah dan ringan sekali, Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kakinya kembali di tanah sejauh tiga batang tombak dari makhluk kera raksasa berbulu hitam pekat itu.
“Phuih...!”
“Ghrrr...!”
Raja Kera Iblis menggerung agak keras. Dan begitu dia melompat hendak menerjang pemuda berbaju kulit harimau itu, dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka memiringkan tubuhnya ke kiri dengan sedikit membungkuk. Lalu, tangan kanannya ditarik hingga sejajar dada. Dan....
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu menghentakkan tangan kanannya ke depan, tepat di saat Raja Kera Iblis berada di udara dan begitu dekat dengannya. Pada saat itu juga, Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat cepat bagai kilat
Wusss!
Senjata maut 'andalan Pendekar Pulau Neraka langsung menghantam dada Raja Kera Iblis yang tidak sempat lagi menyadari serangan pemuda berbaju kulit harimau itu.
“Aaargh...!”
Raungan keras terdengar dahsyat menggelegar. Seluruh lereng Gunung Weling pun bergentar. Tampak Raja Kera Iblis terjatuh ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun, dia cepat melenting dan kembali bangkit berdiri. Saat itu pun Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut berwarna keperakan dan bersegi enam yang tertanam di dada Raja Kera Iblis langsung melesat balik dan menempel kembali di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
“Ghraaaugkh...!”
“Hup!”
Bayu cepat-cepat melompat ke belakang sejauh dua batang tombak. Tampak Raja Kera Iblis meraung-raung keras sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Dari dadanya yang berlubang, terlihat darah segar bercucuran. Dan, mendadak dia diam sambil menatap tajam pada Pendekar Pulau Neraka dengan matanya yang merah menyala bagai sepasang bola api.
“Ghrrr...!”
Slap!
Tiba-tiba makhluk kera raksasa itu melesat cepat bagai kilat. Dan dalam sekejap dia sudah tak terlihat lagi, masuk ke dalam hutan di lereng Gunung Weling yang, sangat lebat ini. Namun, Bayu sempat melihat kalau makhluk kera raksasa yang sangat mengerikan itu menuju ke puncak Gunung Weling.
“Kakang...!”
“Nguk! Chraaak...!”
Bayu cepat berpaling saat mendengar suara memanggil namanya dari arah belakang. Terdengar juga seruan nyaring dari seekor monyet kecil. Perlahan Bayu memutar tubuhnya berbalik. Dilihatnya Ratna Wulan berjalan cepat menghampirinya, diikuti dua laki-laki tua yang mengenakan jubah panjang berwarna putih bersih. Sedangkan Tiren langsung melompat turun dari pundak Ratna Wulan, lalu berlari cepat sambil mencerecet menghampiri Pendekar Pulau Neraka.
Tiren langsung melompat begitu Bayu mengulur-kan tangannya, lalu segera memeluk leher yang bersimbah keringat itu. Sedangkan Ratna Wulan, Ki Rakonta, dan Ki Bantur terus berjalan cepat menghampiri Pendekar Pulau Neraka.
“Nguk! Nguk...!”
Bayu tersenyum sambil menepuk-nepuk kaki Tiren yang kini sudah nangkring di pundak kanannya. Dia seakan-akan bisa mengerti, apa yang dikatakan monyet kecil ini.
“Kau tidak apa-apa, Kakang?” tanya Ratna Wulan, sambil merayapi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu hanya tersenyum. Pandangannya langsung tertuju pada dua orang laki-laki tua berjubah putih yang kini juga sudah berada dekat di depannya. Sedangkan Ratna Wulan sudah berdiri di samping kanan Pendekar Pulau Neraka. Beberapa saat mereka terdiam.
Mereka memang sudah bertemu sebelumnya di Desa Weling, tapi perjumpaan itu tidak mengenakkan sekali. Ki Rakonta waktu itu tidak menghendaki kehadiran seorang pendatang pun di Desa Weling. Sehingga, ketika Bayu dan Ratna Wulan datang, mereka langsung diusir begitu saja. Namun, hal ini bisa dimaklumi, karena dia harus selalu waspada sejak Raja Kera Iblis muncul.
***
Sungguh dahsyat akibat yang ditimbulkan pertarungan tadi. Tidak sedikit pohon yang tumbang. Tanah pun tampak terbongkar terkena pukulan-pukulan bola api Raja Kera Iblis yang tidak mengenai sasaran. Keadaan di lereng Gunung Weling ini seperti baru teramuk oleh ratusan gajah.
“Aku benar-benar kagum. Kau mampu melukai, bahkan membuatnya kabur,” ujar Ki Rakonta, memecah kekakuan yang terjadi di antara mereka.
“Tampaknya kau tahu tentang makhluk itu, Ki...?” ujar Bayu, agak menggumam.
Sinar mata Pendekar Pulau Neraka begitu dalam dan tertuju langsung ke bola mata laki-laki tua yang berada di depannya. Sedangkan Ki Rakonta, yang dipandangi seperti itu hanya tersenyum. Dia bisa merasakan bahwa pemuda berbaju kulit harimau ini menaruh curiga padanya. Hal ini bisa dimaklumi, karena pertemuan pertama mereka memang tidak mengenakkan.
“Ya, aku tahu makhluk itu. Bahkan beberapa orang penduduk desaku sudah menjadi korbannya,” kata Ki Rakonta.
Tampak jelas bahwa Bayu dan Ratna Wulan terkejut mendengar kata-kata Ki Rakonta barusan. Sungguh mereka tidak menyangka, makhluk kera raksasa itu sudah menjarah ke Desa Weling dan mengambil beberapa korban manusia. Beberapa saat keduanya saling melempar pandang. Kemudian mereka kembali menatap pada dua orang laki-laki tua berjubah putih dari Desa Weling itu.
“Dia memang bukan makhluk biasa. Dia iblis yang datang dari dasar neraka. Setiap kali muncul, dia selalu menimbulkan bencana yang tidak kecil. Dia selalu mencari manusia untuk santapannya,” kata Ki Rakonta lagi
“Santapan...? Maksudmu, Ki?” tanya Ratna Wulan, tidak mengerti.
“Dia selalu membunuh orang hanya untuk menghirup darah dan memakan jantungnya,” jelas Ki Rakonta.
“Oh...,” desah Ratna Wulan panjang.
Tubuh Ratna Wulan tampak bergidik sedikit. Tidak pernah terbayangkan olehnya sama sekali kalau makhluk mengerikan berbentuk kera raksasa itu adalah makhluk peminum darah dan pemakan jantung manusia. Dan sukar juga untuk dibayangkan, bagaimana cara makhluk itu menghirup darah dan memakan jantung manusia yang menjadi korbannya. Pantas kera raksasa itu sangat ganas saat bertarung melawan Pendekar Pulau Neraka tadi. Meskipun senjata Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka berhasil melukainya dan membuatnya kabur dari tempat ini.
Tapi, hal itu bukan berarti Raja Kera Iblis telah jera. Dia pasti akan datang lagi membawa malapetaka yang lebih besar. Hal ini sudah bisa ditebak Ki Rakonta dan Ki Bantur. Kekalahan kecilnya dari Pendekar Pulau Neraka akan membuat Raja Kera Iblis semakin bertambah murka. Dan, neraka pun akan tersebar di atas permukaan bumi ini.
“Bagaimana kalau kalian berdua menetap di desa kami. Sumbangan tenaga kalian tentu sangat diperlukan untuk menghadapi Raja Kera Iblis,” kata Ki Rakonta, tanpa sungkan-sungkan lagi.
Bayu melirik sedikit pada Ratna Wulan. Sedangkan gadis itu hanya mengangkat bahu. Tampaknya dia menyerahkan keputusan pada Pendekar Pulau Neraka.
“Aku tahu, kalian masih sungkan. Maaf atas perilaku yang tidak mengenakkan dariku waktu itu,” kata Ki Rakonta, yang langsung teringat kalau dia pernah tidak mau menerima pendekar-pendekar muda ini.
“Bukan itu masalahnya, Ki. Aku dan Wulan bisa memakluminya. Tapi, apa mungkin makhluk itu hanya menjarah ke Desa Weling? Aku rasa, masih ada desa-desa lain di sekitar kaki Gunung Weling ini,” kata Bayu cepat-cepat
“Dia tidak akan meninggalkan satu desa sebelum seluruh penduduknya habis,” ujar Ki Rakonta. “Dan kebetulan, dia muncul pertama kali di Desa Weling. Tidak mungkin dia ke desa lain, karena masih banyak penduduk di Desa Weling yang bisa dijadikan korbannya.”
“Tampaknya kau memang tahu banyak tentang ala, Ki,” kata Bayu lagi.
“Memang, cerita tentang Raja Kera Iblis sudah tidak asing lagi di Desa Weling. Cerita itu sudah sering didengar sejak zaman nenek moyang kami dulu. Mungkin sudah ratusan tahun lalu cerita itu sudah ada. Selama ini kami memang selalu menganggapnya sebagai dongeng belaka. Tapi ternyata Raja Kera Iblis benar-benar ada dan sekarang muncul dengan membawa malapetaka yang tidak mungkin bisa kami hadapi sendiri,” jelas Ki Rakonta lagi.
Lagi-lagi Bayu dan Ratna Wulan saling ber-pandangan. Mereka benar-benar tidak menyangka kalau makhluk kera raksasa yang dijuluki Raja Kera iblis itu sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
“Melihat kau bertarung tadi, aku yakin, kau pasti mampu menandingi Raja Kera Iblis,” selak Ki Bantur, yang sejak tadi diam saja.
“Terus terang, aku sendiri tadi hampir saja tidak sanggup menghadapinya. Aku rasa, dia memiliki ilmu kebal pada tubuhnya. Semua pukulanku tampak tidak ada artinya sama sekali,” kata Bayu, merendah.
“Tapi kau memiliki senjata yang sanggup melukainya, Anak Muda. Aku yakin, senjatamu itu bisa membunuhnya pula. Dan, sepanjang yang kutahu, dia memang kebal terhadap segala jenis senjata,” ujar Ki Rakonta.
Bayu melirik pada Cakra Maut di pergelangan tangan kanannya dengan kening agak berkerut Dia sendiri tadi tidak mengerti, kenapa Cakra Maut ini berhasil menembus dada makhluk kera raksasa itu. Padahal, pukulan-pukulan mautnya yang bertenaga dalam tinggi tidak bisa menggoyahkan pertahanan makhluk kera raksasa itu.
Bayu tidak menyadari kalau Cakra Maut miliknya adalah senjata pusaka yang sangat langka. Benda sekeras apa pun mampu ditembusnya. Senjata pusaka peninggalan Eyang Gardika itu memang dibuat dari baja putih pilihan yang direndam dengan ramu-ramuan yang terdapat di Pulau Neraka. Dan, sampai saat ini Bayu pun masih belum bisa mengerti sepenuhnya tentang Cakra Maut miliknya itu.
“Mari, Kisanak, Nini.... Sebaiknya kita ke Desa Weling saja. Aku khawatir, dia mengamuk di sana sekarang ini,” ajak Ki Rakonta.
“Nguk...!”
Malah Tiren yang menyahuti ajakan kepala desa itu. Tingkah Tiren yang lucu dan seperti mengerti akan semua yang mereka bicarakan barusan, membuat Ki Rakonta dan Ki Bantur tersenyum senyum geli di dalam hati. Seringkah Tiren menyelak pembicaraan mereka. Dan tampaknya pula, Bayu bisa memahami setiap suara yang dikeluarkan monyet kecil itu. Inilah persahabatan yang sangat langka, antara manusia dan binatang. Dan yang lebih mengherankan, mereka tampak bisa mengerti satu sama lain.
“Bagaimana, Bayu...?” desak Ki Rakonta.
Kali ini Bayu dan Ratna Wulan tidak bisa lagi menolak. Terlebih lagi, mereka sudah cukup banyak mendengar cerita tentang makhluk kera raksasa itu. Tanpa ada yang berbicara lagi, mereka kemudian melangkah meninggalkan lereng Gunung Weling. Dan dalam perjalanan menuju Desa Weling, Ki Rakonta dan Ki Bantur secara bergantian menceritakan keadaan di desa itu, termasuk mengenai makhluk mengerikan yang berjuluk Raja Kera Iblis. Sedangkan Bayu dan Ratna Wulan hanya mendengarkan.
***
LIMA
Dua hari sudah Bayu dan Ratna Wulan berada di Desa Weling. Tapi, selama dua hari ini tidak lagi mereka bertemu dengan Raja Kera Iblis. Dan, selama dua hari ini pula, Ki Rakonta mengungsikan penduduknya ke desa-desa lain yang dianggap lebih aman. Tindakan Ki Rakonta ini tentu saja membuat berita kemunculan Raja Kera Iblis cepat tersebar ke desa-desa lain yang berada di sekitar kaki Gunung Weling.
Tidak heran, dalam dua hari saja, banyak pendekar dari sekitar kaki Gunung Weling berdatangan ke desa ini Desa Weling pun sekarang tampak ramai, karena terus-menerus didatangi para pendekar yang ingin melenyapkan makhluk kera raksasa itu.
“Cepat sekali berita tentang makhluk kera itu tersebar...,” gumam Ratna Wulan perlahan, seperti bicara pada dirinya, sendiri.
Sejak pagi tadi gadis itu berdiri di depan jendela ruangan depan rumah Ki Rakonta. Di depan matanya kini tampak orang-orang persilatan semakin banyak berdatangan ke desa ini. Desa yang semula kelihatan sunyi sepi dicekam ketakutan, sekarang berubah menjadi ramai. Para pendekar dari rimba persilatan itu sengaja datang untuk menjajal ketangguhan Raja Kera Iblis.
“Cerita tentang Raja Kera Iblis memang sudah tersebar dan diketahui banyak orang. Bahkan tidak sedikit yang sengaja menunggu kemunculannya hanya untuk menjajal kesaktiannya,” ujar Ki Rakonta.
“Aku rasa, keadaan ini akan menarik perhatian mereka yang bergolongan hitam, Ki,” kata Ratna Wulan.
“Itu sudah pasti, Nini Wulan. Lihat saja, baru dua hari sudah terjadi beberapa kali keributan dan pertarungan. Bahkan sudah beberapa orang yang tewas akibat saling bertarung. Memang, pengaruh Raja Kera Iblis sangat luar biasa,” kata Ki Rakonta.
“Keadaan semakin bertambah parah, Ki,” desah Ratna Wulan.
“Yaaah..., bisa lebih parah lagi kalau Raja Kera Iblis tidak segera dienyahkan,” sahut Ki Rakonta, yang juga mendesah perlahan.
Mereka terdiam membisu, sama-sama memandang ke luar melalui jendela yang sengaja dibiarkan terbuka. Tak ada orang di dalam ruangan ini kecuali mereka berdua. Cukup lama juga mereka berdiam diri memandangi orang-orang yang hilir-mudik memadati jalan yang membelah Desa Weling. Di antara orang-orang itu tak terlihat seorang pun penduduk desa ini. Mereka semua pendatang, orang-orang dari kalangan dunia persilatan yang sengaja datang ke desa ini hanya untuk bertemu Raja Kera Iblis.
“Tadi Bayu bilang ke mana perginya?” tanya Ki Rakonta.
“Tidak, Ki,” sahut Ratna Wulan.
“Dengan siapa dia pergi?”
“Sendiri.”
“Apa dia selalu begitu? Pergi sendiri tanpa memberi tahu ke mana tujuannya, Nini Wulan?” tanya Ki Rakonta lagi.
Ratna Wulan hanya mengangkat bahunya sedikit Dia sendiri belum begitu mengenal pribadi Pendekar Pulau Neraka itu. Dia belum lama ikut berjalan bersama-sama. Jadi, belum tahu betul akan watak dan kebiasaannya. Dan, tentu saja Ratna Wulan tidak bisa menjawab pertanyaan Ki Rakonta tadi. Karena, gadis itu sendiri tidak tahu, ke mana Pendekar Pulau Neraka pergi. Dia memang tidak bertanya kepada Bayu, ke mana tujuannya, ketika pemuda itu berpamitan tadi.
“Itu dia datang, Ki...!” seru Ratna Wulan sambil menunjuk ke luar jendela.
Ki Rakonta menjulurkan kepalanya, melewati bahu gadis ini. Dilihatnya Bayu, yang selalu mengenakan baju kulit harimau, berjalan melenggang melintasi halaman depan rumah ini. Monyet kecilnya tampak berlari-lari kecil mengitari langkah pemuda itu. Sebentar saja mereka menunggu, Pendekar Pulau Neraka sudah berada di ambang pintu yang sejak tadi dibiarkan terbuka lebar. Pemuda berbaju kulit harimau itu terus melangkah. Dan, tubuhnya dihempaskan di kursi sebelah kanan Ratna Wulan.
“Nguk...!”
“Ke sini, Tiren,” kata Ratna Wulan sambil menjulurkan tangan kanannya.
“Nguk...!”
Sekali lompatan saja, monyet kecil itu sudah berada di pangkuan Ratna Wulan. Sedangkan Bayu masih mengatur napasnya. Dia kelihatan begitu lelah, seperti baru melakukan perjalanan yang sangat panjang. Keringat pun tampak bercucuran membasahi sekujur tubuhnya.
Ki Rakonta menghampiri dan menarik kursi ke depan Pendekar Pulau Neraka. Kemudian dia duduk di sana. Diperhatikannya wajah Bayu yang memerah bersimbah keringat.
Dengan punggung tangannya, Pendekar Pulau Neraka menyeka keringat yang mengucur membasahi lehernya. Dia melirik sedikit pada Ratna Wulan yang sejak tadi memperhatikannya. Kini gadis itu sudah duduk di sampingnya.
“Ke mana kau tadi, Kakang?” tanya Ratna Wulan, membuka suara lebih dahulu.
Lembut sekali gadis itu mengelus-elus kepala Tiren dengan jari-jari tangannya yang halus dan lentik. Sedangkan monyet kecil itu tampak kesenangan. Kepalanya direbahkan di dada yang membusung indah ini. Dia memang selalu manja bila berdekatan dengan wanita, terlebih lagi bila berada di pangkuan gadis cantik seperti Ratna Wulan ini. Matanya tampak terpejam begitu dinikmatinya kelembutan kulit jari-jari tangan yang halus ini.
“Ke lereng Gunung Weling,” sahut Bayu.
“Mau apa ke sana?” tanya Ratna Wulan lagi.
“Nguk...!”
Tiren lebih dulu menyahuti sebelum Bayu membuka mulutnya.
“Hanya melihat keadaan.”
“Lalu, apa yang kau dapatkan di sana?” selak Ki Rakonta.
“Semakin parah, Ki,” sahut Bayu, seraya menatap laki-laki tua berjubah putih yang duduk di depannya ini.
“Semakin parah...? Maksudmu?” tanya Ki Rakonta.
“Ya..., kita sekarang tidak hanya menghadapi Raja Kera Iblis, tapi juga orang-orang persilatan beraliran sesat yang ingin bergabung dengan Raja Kera Iblis. Mereka sekarang berkumpul di lereng Gunung Weling. Mereka tampaknya hendak ke puncak gunung menemui Raja Kera Iblis,” jelas Bayu. “Bahkan tadi aku sempat bertarung dengan mereka....”
“Jagat Dewa Batara.... Inilah yang aku khawatirkan sejak semula,” desah Ki Rakonta, memotong ucapan Bayu yang belum selesai.
Bayu terdiam. Ratna Wulan pun diam saja. Lalu, dengan usil, bulu-bulu halus di tubuh Tiren dicabutinya. Monyet kecil itu pun menggelinjang, kemudian melompat, berpindah ke pundak Pendekar Pulau Neraka.
“Kalau saja aku tidak gegabah mengungsikan penduduk...,” desah Ki Rakonta lagi.
“Kau tidak perlu menyesal, Ki. Tindakanmu mengungsikan penduduk ke tempat yang lebih aman itu sangat tepat dan bijaksana,” kata Bayu cepat, sebelum Ki Rakonta menyelesaikan kalimatnya.
“Tapi tindakanku itu malah mengundang mereka, Bayu.”
“Sama sekali tidak benar, Ki. Mereka memang sudah tahu sejak semula,” bantah Bayu.
“Maksudmu...?” tanya Ki Rakonta, yang tampak tidak mengerti.
“Tadi aku sempat mendengar pembicaraan mereka yang datang ke sini, Ki. Mereka memang sudah melihat tanda-tanda kemunculan Raja Kera Iblis. Dan, mereka memang sebenarnya sedang mencari, di mana munculnya Raja Kera Iblis. Mereka sudah menjelajahi seluruh kaki Gunung Weling ini. Dan secara kebetulan, kau mengungsikan penduduk ke tempat yang lebih aman pada saat mereka sedang menuju ke sini, Ki. Jadi mereka semakin yakin kalau Raja Kera Iblis sudah bangkit dan sekarang berada di sekitar desa ini. Dan itu berarti bukan kesalahanmu kalau mereka sekarang berada di sini, Ki,” jelas Bayu dengan gamblang.
“Dongeng itu sekarang telah menjadi kenyataan, Bayu. Iblis itu kini semakin kuat. Tidak mungkin kita bisa melawannya lagi,” ujar Ki Rakonta, perlahan.
Lemas seluruh tubuh Ki Rakonta mendengar keterangan yang baru dikatakan Bayu tadi. Sungguh tidak disangka kalau berita tentang kemunculan Raja Kera Iblis demikian cepat tersebar. Bahkan, tokoh-tokoh golongan hitam sudah mulai berdatangan ke puncak Gunung Weling untuk menemui makhluk kera raksasa itu. Bergabungnya mereka tentu saja akan menambah kekuatan Raja Kera Iblis. Dia bisa membentuk sebuah pasukan yang tidak akan tertandingi oleh siapa pun. Dia benar-benar akan menguasai seluruh mayapada ini, tanpa da seorang pun yang mampu lagi melenyapkannya.
***
Keadaan di sekitar kaki Gunung Weling semakin bertambah buruk. Tokoh persilatan beraliran putih kini bukan lagi harus berhadapan dengan Raja Kera Iblis. Mereka juga terpaksa harus berhadapan dengan tokoh-tokoh persilatan beraliran hitam, yang sudah menggabungkan diri dengan makhluk iblis kera raksasa itu.
Tidak hanya di Desa Weling, tokoh-tokoh dunia hitam itu pun ternyata sudah mulai menjarah ke desa-desa lain di sekitar kaki Gunung Weling. Mereka terus menculik para penduduk untuk dipersembahkan kepada Raja Kera Iblis sebagai korban santapannya. Bahkan, Bayu dan Ratna Wulan sendiri sudah beberapa kali harus bertarung dengan mereka, ketika tokoh-tokoh sesat itu hendak menculik penduduk Desa Weling.
“Keadaan semakin memburuk saja, Kakang. Tidak ada jalan lain, kita harus menantang Raja Kera Iblis,” kata Ratna Wulan, saat mereka baru saja menggagalkan tiga orang pengikut Raja Kera Iblis yang hendak membawa seorang penduduk Desa Weling.
“Tidak mudah untuk mencapai tempatnya, Wulan. Terlalu banyak pengikut Raja Kera Iblis yang menjaga sekitar lereng gunung,” sahut Bayu.
“Tapi kalau didiamkan terus, pengikutnya akan semakin bertambah banyak, Kakang. Dan dia akan semakin kuat,” kata Ratna Wulan, penuh semangat
Bayu hanya diam.
“Kakang, bagaimana kalau kita kumpulkan semua pendekar yang ada di sini, lalu kita serang puncak Gunung Weling,” usul Ratna Wulan.
Bayu masih tetap diam. Memang tidak sedikit jumlah pendekar berjiwa luhur yang ada di sekitar kaki Gunung Weling ini. Tapi, itu tidaklah cukup untuk menggempur tempat kediaman Raja Kera Iblis di puncak Gunung Weling. Lagi pula, mereka yang menggabungkan diri menjadi pengikut Raja Kera Iblis pun tidak sedikit jumlahnya. Dan, mereka rata-rata memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.
Bayu mengerti, bukan hal yang mudah untuk mencapai puncak Gunung Weling. Baru sampai di lerengnya saja, mereka pasti harus berhadapan dengan para pengikut Raja Kera Iblis. Dan, pasti tidak mudah melewatinya. Keadaan seperti ini membuat Bayu semakin berpikir keras. Harus dicari jalan yang paling tepat untuk menghadapi Raja Kera Iblis yang semakin kuat karena dibantu tokoh-tokoh persilatan golongan hitam.
Saat itu terlihat Ki Rakonta datang menghampiri dengan setengah berlari. Tampak kepala desa itu tergopoh-gopoh, seperti sedang mengejar sesuatu. Bayu dan Ratna Wulan memperhatikan orang tua itu sampai tiba di dekat mereka. Napas Ki Rakonta terdengar tersengal dan menggemuruh. Keringat bercucuran di leher dan wajahnya yang memerah.
“Ada apa, Ki?” tanya Bayu langsung.
“Aduh..., celaka, Bayu. Celaka...,” ujar Ki Rakonta dengan napas yang masih memburu.
“Celaka...?! Ada apa, Ki? Apa yang terjadi...?” desak Bayu, tidak mengerti.
“Ki Bantur dan Ki Suta serta beberapa orang pendekar sekarang sedang menuju ke puncak Gunung Weling. Mereka hendak menggempur sarang Raja Kera Iblis.”
“Edan...!” desis Bayu, agak mendengus.
Sementara itu Ratna Wulan hanya diam. Dipandanginya Ki Rakonta dan Pendekar Pulau Neraka secara bergantian. Baru saja dia tadi menyarankan pada Bayu untuk menyerang puncak Gunung Weling. Bibirnya pun belum kering mengucapkan hal itu. Dan sekarang, Ki Rakonta malah membawa kabar kalau Ki Bantur dan Ki Suta serta beberapa orang pendekar beraliran putih tengah menuju ke puncak Gunung Weling.
“Kapan mereka pergi, Ki?” tanya Bayu.
“Sudah sejak tadi, Bayu. Mereka tidak mau mendengarkan kata-kataku. Mereka tetap nekat pergi ke sana. Padahal, kau sudah mengatakan kalau sekitar lereng Gunung Weling kini dijaga ketat.”
“Kau di sini saja, Wulan,” kata Bayu.
“Kau mau ke mana, Kakang...?”
Bayu tidak sempat lagi mendengar pertanyaan Ratna Wulan sampai habis. Dia sudah melesat cepat bagai kilat Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam sekejap Bayu sudah lenyap dari pandangan.
***
ENAM
Bayu terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan yang sempurna. Kedua kakinya seakan-akan tidak menjejak tanah sama sekali. Pendekar Pulau Neraka terus berlari mendaki lereng Gunung Weling sebelah Umur. Tapi, tak ada seorang pun yang dijumpainya sampai dia berada cukup tinggi di lereng gunung ini. Dan, Bayu langsung menghentikan larinya ketika mulai merasakan kejanggalan.
Tapi, belum juga Pendekar Pulau Neraka sempat berpikir lebih jauh, mendadak....
Wusss!
“Heh...?”
“Uts!”
Cepat-cepat Bayu melompat ke samping ketika tiba-tiba dari arah depannya meluncur sebatang tombak yang cukup panjang. Tombak itu tampaknya terbuat dari kayu yang berwarna hitam pekat, dengan mata putih keperakan. Manis sekali Bayu menghindarinya.
Creb!
Tombak itu langsung menancap di tanah, tepat di samping kiri kaki Pendekar Pulau Neraka. Dan baru saja Pendekar Pulau Neraka menjulurkan tangannya hendak meraih tombak bergagang hitam itu, kembali dia dikejutkan dengan terdengarnya desingan halus dari arah belakang.
“Hup...!”
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke samping. Pada saat yang bersamaan, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat di samping tubuh Pendekar Pulau Neraka itu. Manis sekali Bayu menjejakkan kakinya kembali di tanah. Dan, di depannya kini sudah berdiri seorang laki-laki setengah baya, yang mengenakan baju berwarna hitam pekat, dengan ikat kepala yang juga hitam. Di tangan kanan laki-laki itu tergenggam sebatang tombak berukuran panjang yang juga berwarna hitam.
Kelopak mata Bayu tampak menyipit memperhatikan laki-laki separuh baya yang tiba-tiba muncul dan langsung menyerangnya tadi. Dia sama sekali tidak mengenalnya. Dan, baru kali ini dia bertemu dengannya. Perlahan Bayu menggeser kakinya ke kanan. Matanya tajam memperhatikan gerakan kaki orang berbaju serba hitam itu, yang juga tampak menggeser arah gerakannya secara berlawanan.
“Mau apa kau datang ke sini? Tempat ini bukan untuk main-main!” ujar orang berbaju serba hitam itu dengan kasar sekali.
“Aku mencari sahabat-sahabatku,” sahut Bayu dengan kening sedikit berkerut.
“Tidak ada orang yang datang ke sini. Sebaiknya kau cepat pergi!” dengus orang berbaju serba hitam itu dengan nada suara yang tetap kasar.
“Tapi tadi mereka...!”
“Setan alas...! Mau melawan, heh...?!” sentak laki-laki separuh baya itu sengit.
Bayu terdiam.
“Cepat pergi...!”
Pendekar Pulau Neraka tetap diam. Ditatapnya tajam-tajam laki-laki separuh baya yang mengenakan baju serba hitam dan membawa tombak ini.
“Eee..., malah menantang...! Apa kau belum tahu siapa aku, heh?! Akulah si Tombak Iblis! Rasakan ini.
Hih...!”
Wukkk!
Tiba-tiba laki-laki separuh baya berbaju hitam yang mengaku berjuluk si Tombak Iblis itu mengebutkan tombaknya yang panjang dan berwarna hitam, tepat mengarah ke kepala pemuda berbaju kulit harimau itu.
“Uts...!”
Dengan sedikit saja menarik kepalanya ke belakang, Bayu berhasil mengelakkan ujung mata tombak yang berkilatan tajam itu.
“Setan...! Rupanya kau punya kebolehan juga, heh...! Bagus! Terima ini, Bocah Keparat! Hiyaaa...!”
“Menyingkir, Tiren,” kata Bayu sambil menepuk monyet kecil yang sejak tadi berada di pundak kanannya.
“Nguk!”
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat sekali Bayu melompat ke belakang begitu si Tombak Iblis melompat sambil memberikan satu pukulan keras menggeledek dengan tangan kanannya. Tepat pada saat itu, monyet kecil di pundak Pendekar Pulau Neraka juga melompat turun. Ringan sekali gerakannya. Monyet kecil itu langsung berlari menjauh begitu kedua kaki dan tangannya menyentuh tanah.
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras, si Tombak Iblis kembali melakukan serangan, setelah pukulannya yang begitu keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi tadi dapat dielakkan Pendekar Pulau Neraka. Kafi ini tombaknya disodokkan tepat ke arah lambung.
“Haiiit..!”
Namun, dengan sedikit saja mengegoskan tubuhnya ke samping, ujung tombak itu berhasil dielakkan Bayu. Dan, pada saat tombak itu berada di samping pinggangnya, dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mengebutkan tangannya ke samping.
“Yeaaah...!”
Tap!
“Hih...?!”
Si Tombak Iblis terkejut setengah mati. Cepat-cepat dia berusaha menarik kembali tombaknya. Namun, gerakannya kalah cepat Batang tombak yang berwarna hitam itu telah berada dalam genggaman tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Belum lagi si Tombak Iblis bisa berbuat lebih banyak, Bayu sudah menghentakkan tangannya ke atas, sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya.
“Hiyaaa...!”
“Heh...?!”
Si Tombak Iblis kembali terbeliak setengah mati. Tidak ada lagi kesempatan baginya untuk bertahan. Seketika itu juga tubuhnya terangkat ke udara begitu Bayu menyentakkan tangannya ke atas. Dan pada saat itu juga, dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke udara sambil menghentakkan tangannya yang menggenggam ujung tombak ke belakang tubuhnya. Dan tepat di saat tubuh si Tombak Iblis tertarik ke depan, Bayu melepaskan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna.
“Yeaaah...!”
Begitu cepat serangan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga...
Begkh!
“Aaakh...!”
***
Tendangan keras yang dilancarkan Bayu tepat menghantam dada laki-laki separuh baya berbaju serba hitam itu. Tak pelak lagi, si Tombak Iblis terpental ke belakang sambil menjerit keras. Pegangan pada tombaknya terlepas. Dan, dengan keras tubuhnya jatuh menghantam tanah hingga bergulingan beberapa kali. Laki-laki separuh baya berbaju serba hitam itu baru berhenti bergulingan setelah punggungnya menghantam sebongkah batu yang cukup besar.
Brak!
Batu berwarna hitam kelam dan berlumut tebal itu seketika terpental ke belakang, terlanda tubuh si Tombak Iblis. Pada saat itu, Bayu sudah menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Di tangan kanan Pendekar Pulau Neraka kini tergenggam sebatang tombak berukuran panjang dan berwarna hitam pekat
Si Tombak Iblis berusaha bangkit. Mulut dan hidungnya mengeluarkan darah segar dan agak kental. Meskipun bisa bangkit kembali, tampak dia tidak bisa lagi berdiri tegak. Dia terhuyung-huyung beberapa saat akibat terkena tendangan yang begitu keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna tadi.
“Setan keparat..!” geram si Tombak Iblis sambil menyeka darah di mulutnya dengan punggung tangan.
Sementara Bayu sudah berdiri tegak menatap tajam pada laki-laki separuh baya berbaju serba hitam itu. Ditimang-timangnya tombak panjang berwarna hitam yang tadi berhasil dirampasnya dari si Tombak Iblis.
“Kau ingin tombakmu kembali, orang tua...?” tanya Bayu, agak sinis nada suaranya.
Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengangkat tombak itu hingga ujungnya sejajar dengan pandangan matanya. Sedangkan si Tombak Iblis tampak memucat wajahnya melihat pemuda berbaju kulit harimau itu sudah siap melemparkan tombak bermata putih keperakan itu. Sementara Bayu perlahan-lahan melangkah mendekati si Tombak Iblis. Sinar matanya tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki separuh baya itu. Sementara, si Tombak Iblis bergerak ke belakang perlahan-lahan, sambil mencari celah untuk dapat lolos dari incaran ujung tombaknya sendiri, yang kini berada di tangan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi di depan si Tombak Iblis. Sinar matanya masih tetap bersorot tajam, seakan-akan hendak menembus langsung ke lubuk hati lawannya.
Si Tombak Iblis benar-benar terpojok. Dia tidak bisa lagi bergerak menjauhi Pendekar Pulau Neraka. Punggungnya sudah menempel erat pada sebatang pohon yang cukup besar.
“Kenapa kau melarangku datang ke sini?” tanya Bayu dengan suara yang begitu dingin.
“Tidak seorang pun boleh datang ke gunung ini,” sahut si Tombak Iblis, tajam.
“Kenapa...?”
“Ini perintah!”
“Perintah siapa?” desak Bayu.
Si Tombak Iblis tidak menjawab. Dia malah menatap pemuda berbaju kulit harimau di depannya ini dengan sinar mata tajam. Namun, terlihat sorot keheranan pada cahaya matanya itu. Dia seakan-akan tidak percaya, Pendekar Pulau Neraka ini tidak tahu bahwa ada larangan bagi siapa pun untuk menginjak daerah Gunung Weling ini.
“Katakan, siapa yang melarang orang datang ke Gunung Weling ini?” desak Bayu lagu
“Raja Kera...,” sahut si Tombak Iblis.
“Hm..., rupanya dia mau jadi raja di sini,” gumam Bayu perlahan, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Perlahan Bayu menurunkan tangannya yang menggenggam tombak. Kemudian dilemparkannya tombak itu ke samping. Tampak si Tombak Iblis menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat Dia melirik sedikit pada senjatanya, yang kini menggeletak di tanah sekitar sepuluh langkah dari Pendekar Pulau Neraka.
“Hup...!”
Tiba-tiba si Tombak Iblis melompat ke arah tombaknya yang menggeletak di tanah. Namun, belum juga dia bisa mencapai senjatanya, mendadak Bayu melesat cepat bagai kilat Dan, satu tendangan keras menggeledek dilepaskan tepat mengarah ke lambung kiri laki-laki berusia separuh baya yang mengenakan baju serba hitam itu.
“Yeaaah...!”
Begkh!
“Akh...!”
Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Sehingga si Tombak Iblis tidak sempat lagi berkelit menghindar. Lambungnya terpaksa menerima tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tak pelak lagi, si Tombak Iblis jatuh terlempar beberapa tombak jauhnya. Tiap! Yeaaah...!”
Pada saat itu, Bayu juga menjatuhkan diri ke tanah, laki bergulingan beberapa kali. Cepat sekali tangannya menyambar tombak berukuran panjang dan berwarna hitam itu. Dan secepat kilat pula dilemparkannya tombak itu ke arah pemiliknya.
“Hiyaaa...!”
Wusss!
Tombak itu meluncur deras bagai anak panah terlepas dari busurnya. Si Tombak Iblis tidak dapat lagi menghindari senjatanya sendiri. Dan....
Jleb!
“Aaa...!”
Jeritan panjang yang melengking tinggi terdengar keras dan menyayat Tombak yang dilemparkan Bayu dengan pengerahan tenaga dalam itu tepat menembus dada si Tombak Iblis, dan langsung menyembul lagi ke luar dari punggungnya. Si Tombak Iblis seketika itu juga menggeletak di tanah. Darah bercucuran dari dadanya.
“Hhh...!”
Bayu menghembuskan napas panjangnya yang terasa begitu berat Kemudian dihampirinya si Tombak Iblis. Ujung jari tangan lawannya itu ditempelkan ke leher. Dan, kembali Pendekar Pulau Neraka menghembuskan napas panjang begitu mengetahui si Tombak Iblis sudah tidak bernyawa lagi. Sebentar pandangannya diedarkan berkeliling. Tapi, tak terlihat seorang pun di sini. Pandangannya kemudian tertuju pada seekor monyet kecil yang berlari-lari sambil mencerecet ribut menghampirinya.
Bayu mengulurkan tangannya. Dibantunya monyet kecil itu naik ke pundaknya.
“Kau melihat ada orang lain di sekitar sini, Tiren?” tanya Bayu.
“Nguk!” sahut Tiren sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Bayu menepuk-nepuk kepala monyet kecil itu. Kemudian kakinya diayunkan meninggalkan tempat ini.
Pendekar Pulau Neraka bertanya-tanya sendiri dalam hati. Dia berada di Gunung Weling ini karena mendapat laporan dari Ki Rakonta bahwa Ki Bantur dan Ki Suta serta orang-orang dari kalangan rimba persilatan telah datang ke sini. Tapi, kini tidak ada seorang pun yang terlihat. Dia hanya menjumpai si Tombak Iblis yang langsung menyerangnya.
Bayu terus mengayunkan kakinya mendaki lereng Gunung Weling. Pendekar Pulau Neraka berharap bisa bertemu dengan Ki Suta atau Ki Bantur di sekitar lereng gunung ini.
***
Hari menjelang senja, tapi Bayu belum juga bertemu dengan Ki Bantur dan Ki Suta. Malah sebaliknya, beberapa kali dia harus bertarung dengan para pengikut si Raja Kera Iblis. Hal ini tentu saja membuat Pendekar Pulau Neraka lelah. Dia harus menguras tenaga dan kemampuan agar tidak mati konyol di Gunung Weling ini.
Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak memandangi sang mentari yang sebentar lagi hampir tenggelam di cakrawala belahan Barai Cahaya mentari yang semula terik itu kini terasa begitu lembut dan indah.
Tampak Tiren berdiri dekat di sebelah kaki kanan Bayu. Monyet kecil itu memandangnya. Seakan-akan ikut merasakan masalah yang tengah melanda pemuda berbaju kulit harimau ini
“Aku benar-benar tidak mengerti dengan keadaan ini, Tiren. Semuanya seakan-akan seperti mimpi. Bahkan aku tidak tahu lagi, di mana bisa menemukan Ki Bantur dan Ki Suta,” gumam Bayu, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Monyet kecil berbulu hitam yang diajak bicara itu hanya diam memandangi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu, sambil menghembuskan napas panjang, menghenyakkan tubuhnya. Dia duduk bersandar di bawah pohon yang cukup rindang. Pandangannya masih tetap tertuju pada matahari yang hampir tenggelam di kaki langit
“Tiren....”
Baru saja Bayu membuka mulutnya hendak bicara lagi, mendadak pendengarannya yang setajam mata pisau itu mendengar suara yang begitu halus. Suara itu terdengar sangat jauh dari tempatnya beristirahat ini. Pendekar Pulau Neraka segera berdiri. Sementara Tiren langsung melompat ke pundak pemuda berbaju kulit harimau itu.
“Kau dengar itu, Tiren...?”
“Nguk!”
“Ya, seperti suara pertarungan....”
“Chraaagkh...!”
“Hup! Hiyaaa...!”
Tanpa membuang-buang waktu. Bayu langsung melesat cepat ke arah datangnya suara yang terdengar semakin jelas itu. Dia yakin, itu adalah suara orang yang sedang bertarung.
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga dia bisa berlari secepat angin. Kedua kakinya yang bergerak lincah bagai tidak menapak lagi di atas permukaan tanah. Sedangkan Tiren yang berada di pundaknya memeluk leher pemuda itu erat-erat Bayu terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Dan sebentar saja, dia sudah sampai di sebuah tempat yang agak lapang. Namun penuh bebatuan cadas yang berserakan.
“Ki Suta...!” desis Bayu terkejut begitu melihat seorang laki-laki tua berjubah putih dengan sebuah tameng putih keperakan tengah bertarung melawan sekitar sepuluh orang.
Ki Suta tampak kewalahan sekali menghadapi sepuluh orang lawannya. Baru beberapa saat Bayu sampai, sudah terlihat Ki Suta mendapat pukulan dan tendangan beberapa kali yang begitu keras. Laki-laki tua itu tampak terhuyung-huyung dan kehilangan penguasaan dirinya.
“Menyingkir dulu, Tiren,” kata Bayu.
“Nguk...!”
“Hiyaaa...!”
Melihat kedaan Ki Suta yang sudah mengkhawatirkan itu, Bayu langsung melesat cepat dan segera terjun ke dalam kancah pertarungan. Secepat kilat dilepaskannya beberapa pukulan keras menggeledek dan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.
Desss!
Bugkh!
“Aaa...!”
“Akh...!”
Dua orang langsung terpental sambil menjerit melengking begitu terkena pukulan yang dilepaskan Bayu. Tapi, Pendekar Pulau Neraka tidak berhenti sampai di situ saja. Sambil berjumpalitan, dilepaskannya pukulan-pukulan maut yang begitu dahsyat luar biasa, disertai gerakan tubuh yang lincah dan cepat. Orang-orang yang mengeroyok Ki Suta pun langsung kelabakan setengah mati.
***
TUJUH
Dalam waktu tidak berapa lama, sudah tujuh orang yang bergelimpangan tidak bangun-bangun lagi. Bahkan beberapa di antaranya terlihat kepalanya pecah. Darah pun menggenang membasahi bebatuan yang berserakan di lereng Gunung Weling sebelah Barat ini.
Sedangkan tiga orang lainnya yang masih berdiri tampak gentar melihat kedahsyatan jurus-jurus pemuda berbaju kulit harimau itu. Mereka segera berlompatan mundur sejauh dua batang tombak.
Sementara itu, Bayu menggeser kakinya mendekati Ki Suta yang tampak tengah duduk bersila melakukan semadi. Laki-laki tua berjubah putih itu membuka matanya saat merasakan ada orang di dekatnya.
“Syukur kau cepat datang. Bayu,” ujar Ki Suta, perlahan sekali.
“Parah lukamu, Ki?” tanya Bayu, tanpa berpaling sedikit pun dari tiga orang yang masih saja terlongong seperti tidak percaya bahwa tujuh orang temannya sudah tewas dalam waktu singkat.
“Hanya luka dalam sedikit,” sahut.Ki Suta, mencoba tersenyum.
“Siapa mereka, Ki?” tanya Bayu.
Tapi, belum juga Ki Suta menjawab, tiba-tiba ...
“Awas...! Mereka menyerang, Bayu!” seru Ki Suta, keras.
“Hup! Yeaaah...!”
Bayu langsung melompat dan menyongsong ketiga orang bersenjata golok itu. Dan begitu dekat dengan mereka, manis sekali Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke udara. Dilewatinya kepala ketiga orang itu. Dan dengan cepat sekali dilepaskannya dua kali pukulan, yang disusul dengan satu tendangan.
“Hiya! Hiya! Yeaaah...!”
Begkh!
Desss!
Plak!
Jeritan-jeritan panjang yang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat saat pukulan dan tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka mendarat telak di rubuh ketiga orang itu. Tampak mereka jatuh bergulingan di tanah yang .berbatu ini.
Bayu masih melakukan beberapa kali putaran di udara. Kemudian, dengan manis sekali kakinya dijejakkan kembali di atas hamparan batu-batu cadas ini. Sedangkan ketiga lawannya sudah menggeletak diam tak bernyawa lagi. Memang sungguh keras pukulan dan tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tadi. Terlebih lagi, dia melakukannya disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna.
Sebentar Bayu memandangi kesepuluh orang yang sudah menggeletak menjadi mayat di sekitarnya, kemudian dihampirinya Ki Suta. Laki-laki tua berjubah putih itu kini sudah berdiri tegak, setelah beberapa saat melakukan semadi. Bayu baru menghentikan langkahnya setelah dia berada sekitar tiga langkah lagi di depan laki-laki tua berjubah putih yang bersenjatakan sebuah tameng berwarna putih keperakan ini.
“Mana yang lainnya, Ki?” tanya Bayu sambil mengedarkan pandangannya berkeliling.
“Yang lain..?” tanya Ki Suta, kebingungan.
“Kau datang ke sini tidak sendirian, bukan...?” tanya Bayu lagi yang juga keheranan melihat mimik wajah Ki Suta yang tampak tidak mengerti akan pertanyaannya barusan.
“Apa maksudmu bertanya begitu, Bayu?”
Bayu terdiam. Kini malah dia yang tampak kebingungan. Mereka pun sama-sama terdiam dan saling tidak mengerti akan apa yang dibicarakan barusan. Bayu kemudian mengulurkan tangannya pada Tiren yang sudah berada di dekatnya. Lalu diangkatnya monyet kecil itu dan diletakkannya di pundak kanan.
“Ki Suta..., aku datang ke sini karena Ki Rakonta memberitahuku kalau kau dan Ki Bantur datang ke gunung ini bersama-sama dengan para pandekar lainnya. Tapi kenyataannya, aku hanya bertemu kau seorang diri,” kata Bayu, mencoba menjelaskan.
“Justru aku datang ke sini karena diberi tahu Ki Rakonta bahwa kau, Ratna Wulan, dan Ki Bantur telah ke sini hendak menantang Raja Kera Iblis. Aku khawatir, kera siluman itu terlalu sukar ditandingi. Terlebih lagi, sekarang ini dia memiliki pengikut yang tidak sedikit jumlahnya,” kata Ki Suta, juga menjelaskan.
“Jadi...?” ujar Bayu, bengong. Pendekar Pulau Neraka mulai sadar, Ki Rakonta yang dijumpainya tadi bukanlah Ki Rakonta yang sesungguhnya, tapi penjelmaan dari Raja Kera Iblis.
“Aku memang datang sendiri ke sini. Maka dari itu aku begitu terkejut sewaktu kau menanyakan yang lain, Bayu,” kata Ki Suta lagi.
“Hm...,” gumam Bayu perlahan.
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka tersentak.
“Wulan...”
Begitu teringat kepada Ratna Wulan yang ditinggalkannya bersama Ki Rakonta, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat cepat
“Bayu, tunggu...!” seru Ki Suta.
“Hup!”
Laki-laki tua berjubah putih yang membawa tameng keperakan itu segera melesat cepat mengejar Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu terus berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh-nya yang sudah mencapai tingkatan sempurna. Ki Suta, yang juga mengerahkan ilmu meringankan tubuh, mengikuti beberapa tombak di belakangnya.
Tapi, masih sulit bagi Ki Suta untuk mengejar Pendekar Pulau Neraka. Karena, ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya memang tidak sesempurna Pendekar Pulau Neraka. Jaraknya dengan Bayu pun semakin bertambah jauh, walaupun ilmu meringankan tubuhnya telah dikerahkan seluruhnya.
Bayu baru berhenti berlari setelah sampai di depan rumah Ki Rakonta, yang berukuran besar dan berhalaman luas. Pada saat itu Ki Suta juga sudah sampai di samping Bayu. Napasnya terdengar keras dan memburu. Keringat bercucuran deras membasahi sekujur tubuhnya. Dia tadi memang mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, agar tidak tertinggal jauh oleh Pendekar Pulau Neraka.
Mereka berdiri tegak di depan pintu pagar rumah Ki Rakonta, sambil mengatur jalan pernapasan masing-masing. Perlahan-lahan kemudian mereka melangkah, melintasi halaman yang sangat hias dan berumput bagai permadani terhampar ini. Tak seorang pun terlihat Keadaannya begitu sunyi Desiran senja pun kini terasa begitu jelas, seperti bermain-main di gendang telinga. Mereka kembali berhenti setelah sampai di depan tangga masuk ke dalam rumah kepala desa ini.
“Kau merasakan ada keanehan di sini, Bayu?” tanya Ki Suta, pelan sekali suaranya.
“Hm...,” gumam Bayu.
“Aku merasa, telah terjadi sesuatu di sini,” kata Ki Suta lagi.
Baru saja Bayu hendak membuka mulutnya, tiba-tiba....
Wusss!
“Awas...!”
Cepat sekali Bayu memiringkan tubuhnya ke samping begitu dilihatnya sebuah benda meluncur deras dari dalam rumah. Ki Suta, yang juga melihat, segera melompat satu langkah ke samping. Benda yang bersinar kemerahan itu pun lewat di antara tubuh Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka.
Belum lagi mereka bisa menarik napas lega, mendadak dari dalam rumah itu berlompatan orang-orang bersenjata golok. Ada sekitar sepuluh orang. Dan, mereka tahu-tahu sudah berdiri tegak di depan Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka. Tanpa ada yang berbicara sedikit pun, mereka langsung berlompatan menyerang dengan cepat sekali.
“Hiya!”
“Yeaaah...!”
Bayu dan Ki Suta harus berjumpalitan menghindari serangan orang-orang ini. Mata-mata golok yang berkilatan tajam berkelebatan di sekitar tubuh mereka. Namun, serangan-serangan yang dilancarkan kesepuluh orang yang semuanya bersenjata golok ini tampak sama sekali tidak berarti bagi Ki Suta dan Bayu.
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu segera melentingkan tubuhnya. Dan, secepat kilat dilepaskannya beberapa pukulan dahsyat. Begitu cepat serangan yang dilancarkannya, sehingga para pengeroyoknya kelabakan setengah mati. Dan....
Bugkh!
“Akh...!”
Saat itu juga terdengar benturan-benturan keras yang disusul jeritan melengking serta keluhan tertahan. Tampak lima orang yang mengeroyok Pendekar Pulau Neraka berpelantingan, lalu ambruk menggelepar di tanah yang berumput tebal bagai permadani ini.
“Hiyaaa...!”
Sementara pada saat yang bersamaan, Ki Suta juga sudah berhasil, merobohkan lawan-lawannya. Senjatanya yang berbentuk perisai itu memang sangat dahsyat. Tak ada satu senjata pun yang bisa menembus dirinya.
Tanpa mendapatkan kesulitan yang berarti, Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka berhasil merobohkan kesepuluh orang penyerangnya. Tampak para pengeroyok itu tidak mampu lagi bangkit berdiri.
“Hati-hati, Ki,” ujar Bayu memperingatkan, ketika mereka kembali melangkah mendekati beranda rumah Ki Rakonta.
Keadaan sekitar rumah itu demikian sunyi. Bayu dan Ki Suta pun semakin waspada. Mereka kembali berhenti melangkah setelah sampai di depan anak tangga pertama di beranda rumah kepala desa ini. Sebentar mereka saling berpandangan. Kemudian Bayu melangkah menaiki tangga itu.
Ketika Pendekar Pulau Neraka sampai di tengah-tengah beranda depan, belum juga terlihat seorang pun di sini. Sedangkan Ki Suta mulai melangkah menaiki tangga perlahan-lahan.
Bayu kini sudah berada di depan pintu yang sedikit terbuka. Perlahan-lahan Pendekar Pulau Neraka mendorongnya hingga terbuka lebar. Bunyi berderit membuat Bayu semakin berhati-hati untuk memasuki rumah ini.
Sepi.... Tak seorang pun terlihat di dalam ruangan depan yang berukuran cukup besar ini. Perlahan-lahan Pendekar Pulau Neraka memasuki ruangan depan ini. Sementara itu Ki Suta sampai di ambang pintu yang sudah terbuka cukup lebar. Pandangannya diedarkan ke setiap sudut ruangan depan ini. Sedangkan Bayu sudah berdiri tegak di tengah-tengah ruangan. Tak sedikit pun suara terdengar. Keadaan begitu sunyi, bagaikan di tengah-tengah kuburan.
“Bayu...,” panggil Ki Suta, pelan.
Bayu berpaling sedikit Ditatapnya laki-laki tua berjubah putih yang membawa perisai putih keperakan yang masih berdiri di ambang pintu itu.
“Ada apa, Ki?” tanya Bayu.
“Aku rasa, rumah ini sudah ditinggalkan,” kata Ki Suta, masih pelan suaranya.
“Hm...,” gumam Bayu perlahan.
Kembali mereka terdiam. Ki Suta kemudian menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Dia berhenti setelah sampai di samping kanan pemuda berbaju kulit harimau mi. Beberapa saat mereka masih membisu dan mengedarkan pandangan ke sekeliling.
“Bayu, apa tidak sebaiknya kita ke puncak Gunung Weling saja...?” usul Ki Suta.
Bayu menatap laki-laki tua itu dalam-dalam.
Sungguh dia tidak, menyangka, Ki Suta ternyata benar-benar mencurigai Ki Rakonta ikut terlibat dalam persoalan ini Ki Suta-balas memandang dengan dalam pula. Beberapa saat mereka terdiam dan saling berpandangan. Seakan-akan sedang menyelidiki isi hati masing-masing.
“Baiklah, Ki. Ayo, kita berangkat sekarang,” ajak Bayu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera meninggalkan rumah kepala desa yang tampak sunyi itu. Mereka berjalan cepat, tidak peduli kalau saat itu matahari sudah mulai tenggelam d batik cakrawala belahan Barat.
***
Malam terus merayap menyelimuti seluruh permukaan Gunung Weling. Keadaan di gunung ini begitu sunyi dan gelap. Hanya jerit binatang-binatang malam saja yang terdengar. Deru angin yang begitu kencang meningkahi dengan membawa udara dingin menggigilkan tubuh. Di antara lebatnya pepohonan dan gelapnya malam, terlihat Bayu dan Ki Suta terus bergerak cepat mendaki lereng Gunung Weling ini.
Tak ada seorang pun yang mereka temui sejak mulai mendaki gunung tadi. Mereka terus bergerak cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Bayu tampak mengurangi sedikit kecepatan larinya, agar Ki Suta tidak tertinggal jauh di belakangnya. Belum sampai setengah malam, mereka sudah tiba di puncak Gunung Weling.
“Berhenti dulu, Ki,” ujar Bayu seraya menghentikan langkahnya.
Ki Suta ikut berhenti melangkah. Mereka berdiri berdampingan sambil mengedarkan pandangan berkeliling. Tak ada seorang pun yang terlihat. Hanya kegelapan dan pepohonan menghitam yang ada di sekitar mereka. Begitu pekat suasananya. Tidak sedikit pun terlihat cahaya bulan. Langit tampak kelam terselimut awan hitam yang menggumpal. Udara di sekitar puncak Gunung Weling pun semakin terasa dingin.
“Di mana tempat persembunyian Raja Kera Iblis, Ki?” tanya Bayu.
“Menurut cerita, dia tinggal di dalam gua. Di depan gua ada tiga pohon jati yang berjajar dan ada sebuah kolam kecil di sampingnya,” jelas Ki Suta.
“Hm... Bukankah itu yang kau maksudkan, Ki?” ujar Bayu seraya menunjuk ke depan.
“Benar!” sahut Ki Suta. Tidak jauh di depan mereka memang terlihat sebuah mulut gua yang sangat besar. Di depan gua itu tampak tiga pohon jati yang tumbuh berjajar. Di samping pohon itu tampak pula sebuah kolam kecil yang dikelilingi batu-batu kecil, seperti sebuah taman di dalam istana. Namun, keadaannya tidak terawat, sehingga kelihatan kotor dan penuh dengan semak belukar yang tumbuh liar.
Perlahan Bayu dan Ki Suta melangkah menghampiri gua itu. Semakin dekat detak jantung mereka semakin terdengar keras. Keadaan yang begitu sunyi dan mencekam membuat mereka semakin meningkatkan kewaspadaan. Bayu dan Ki Suta kembali berhenti setelah jarak dengan gua itu tinggal sekitar dua batang tombak lagi.
“Hati-hati, Ki. Aku merasakan, ada banyak orang di sekeliling tempat ini,” ujar Bayu dengan suara yang begitu pelan.
Belum juga Ki Suta menyahuti peringatan Pendekar Pulau Neraka, tiba-tiba dari balik pepohonan bermunculan orang-orang dengan cepat sekali. Sebentar saja Bayu dan Ki Suta sudah terkepung oleh tidak kurang dari tiga puluh orang yang semuanya menghunus senjata dalam berbagai bentuk dan ukuran. Dan tampaknya mereka sudah siap menyerang.
“Seraaang...!”
Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar memberi perintah. Dan seketika itu juga...
“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!”
Namun pada saat orang-orang itu berlompatan hendak menyerang Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka, mendadak dari atas pepohonan berhamburan puluhan anak panah yang langsung menyerang mereka. Begitu cepatnya anak-anak panah itu meluncur berhamburan, sehingga orang-orang itu kelabakan setengah mati. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar saling sambut, yang disusul berjatuhannya tubuh-tubuh terhunjam anak panah.
“Ada apa ini...?” desis Bayu, terkejut melihat kejadian yang begitu tiba-tiba sekali itu.
Belum lagi pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu terjawab, tiba-tiba bermunculan orang-orang dari atas pepohonan yang tumbuh agak rapat di sekitar tempat ini. Mereka langsung menyerang orang-orang yang mengepung Bayu dan Ki Suta tadi. Di antara mereka terlihat pula Ki Bantur. Laki-laki tua berjubah putih yang membawa pedang berwarna keemasan itu segera mendekati Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka.
“Syukur, kalian datang tepat pada waktunya,” kata Ki Bantur.
“Apa arti semua ini, Ki?” tanya Bayu, meminta penjelasan.
Pandangan Pendekar Pulau Neraka tertuju pada pertarungan yang terjadi di sekitarnya. Sulit untuk membedakan mana lawan dan mana kawan di antara mereka yang bertarung. Karena, mereka sama-sama berasal dari rimba persilatan, yang datang ke puncak Gunung Weling ini dengan tujuan yang berbeda.
“Sudah sejak siang tadi kami semua mengepung tempat ini, dan...,” Ki Bantur tidak meneruskan kata-katanya.
“Kenapa, Ki?” desak Bayu. “Aku melihat Ki Rakonta dan Ratna Wulan dibawa masuk ke dalam sana. Mereka diikat dan digiring oleh pengikut-pengikut Raja Kera Iblis,” lanjut Ki Bantur.
“Hm...,” gumam Bayu perlahan seraya melirik sedikit pada Ki Suta. “
Hiyaaa...!”
Saat itu juga, Ki Suta melompat cepat menerjang orang-orang yang bertarung di sekitar mulut gua. Secepat kilat pula senjatanya yang berbentuk perisai keperakan itu diayun-ayunkan. Beberapa orang yang terkena hantaman perisai itu langsung menjerit dan jatuh menggelepar dengan kepala pecah berlumuran darah.
Bagaikan seekor banteng terluka, laki-laki tua itu mengamuk. Dicobanya untuk menerobos orang-orang yang tampaknya menjaga mulut gua itu. Pada saat itu juga, terlihat orang-orang bermunculan lagi dari dalam gua. Begitu banyak jumlahnya, seperti sepasukan prajurit kerajaan. Bayu dan Ki Bantur saling berpandangan sesaat, kemudian langsung melompat cepat. Mereka membantu Ki Suta, yang masih mengamuk bagai banteng terluka.
Pertarungan di sekitar puncak Gunung Weling semakin bertambah sengit. Karena, semakin banyak orang yang bermunculan dari kedua belah pihak. Pekikan keras dan jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar saling susul. Tubuh-tubuh berlumuran darah terus berjatuhan saling tumpang tindih tak tentu arah.
Sementara itu Bayu berlompatan cepat sambil melepaskan pukulan keras beruntun, yang disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan sempurna. Pendekar Pulau Neraka semakin dekat dengan mulut gua berukuran besar itu.
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi ke udara. Lalu, dengan manis sekali dia hinggap di atas sebuah cabang pohon yang cukup tinggi. Dan dengan satu gerakan yang indah, Pendekar Pulau Neraka kembali melenting turun sambil mengebutkan tangan kanannya.
“Yeaaah...!”
Wusss!
Seketika itu juga dari pergelangan tangan kanan Bayu melesat secercah cahaya keperakan dari sebuah senjata berbentuk cakra yang bersegi enam. Senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu berkelebatan cepat mengikuti gerakan tangannya. Dan dihajarnya orang-orang yang berada paling dekat dengan mulut gua.
Cras!
Bret!
“Aaa...!”
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi langsung terdengar, yang disusul ambruknya beberapa orang dengan darah berhamburan. Tubuh mereka telah tersabet senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Bayu kemudian menjejakkan kakinya di tanah, tidak jauh dari mulut gua itu. Dan....
“Hiyaaa...!”
***
DELAPAN
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu melompat cepat bagai kilat. Dilontarkannya pukulan keras beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna. Kemudian tubuhnya dilentingkan, dan berputaran beberapa kali di udara. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tanah, tepat di depan mulut gua itu. Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mengangkat tangan kanannya. Cakra Maut pun melesat cepat dan langsung menempel di pergelangan tangan kanannya.
Namun, belum sempat Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya memasuki gua batu itu, mendadak....
“Ghraaaugkh...!”
Wusss...!
“Oh...?! Hup!”
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke samping ketika tiba-tiba dari dalam gua itu melesat sesosok tubuh yang tinggi dan hitam pekat Pendekar Pulau Neraka lalu menjatuhkan tubuhnya dan beberapa kali bergulingan di tanah. Kemudian dengan cepat dan ringan sekali, dia melompat bangkit berdiri. Dan di depannya kini sudah berdiri sesosok makhluk bertubuh tinggi besar dan berbulu hitam pekat Wajah makhluk itu begitu mengerikan, dan mirip seekor kera raksasa.
“Nguk! Chraaakh...!”
Tiren, yang sejak tadi berada di pundak kanan Pendekar Pulau Neraka, langsung melompat ke atas pohon begitu Raja Kera Iblis muncul dari dalam gua tempat tinggalnya. Monyet kecil berbulu hitam itu tampak ketakutan melihat kera iblis raksasa itu. Dia langsung memanjat dan menyembunyikan tubuhnya di balik sebatang pohon yang cukup besar dan tinggi.
Sementara itu, Bayu menggeser kakinya perlahan-lahan ke samping. Dijauhinya pohon yang dinaiki Tiren. Sedangkan Raja Kera Iblis bergerak perlahan mendekatinya. Tidak jauh dari depan gua, pertarungan masih terus berlangsung sengit. Jeritan-jeritan panjang yang melengking tinggi dan teriakan-teriakan yang ditingkahi dentingan senjata masih terdengar memecah kesunyian malam di puncak Gunung Weling.
“Ghraaaugkh...!”
Sambil menggerung dahsyat bagai kilat Raja Kera Iblis melompat dan menerjang Pendekar Pulau Neraka. Kedua tangannya, yang berukuran sangat besar dan berbulu hitam lebat, bergerak cepat melepaskan pukulan keras beruntun. Saat itu juga Bayu berlompatan sambil meliuk-liukkan tubuhnya menghindari pukulan beruntun itu.
“Hiyaaa...!”
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melompat ke belakang. Langsung tubuhnya dibungkukkan sedikit ke kiri. Lalu, tangan kanannya ditarik hingga menyilang di depan dada. Dan, dengan seketika dikebutkannya tangan itu ke depan sambil berteriak . keras menggelegar.
“Hiyaaa...!”
Wusss!
Bagaikan kilat Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat ke depan. Dan pada saat yang bersamaan, Raja Kera Iblis juga melompat ke depan hendak menerjang Pendekar Pulau Neraka. Sehingga, dia tidak sempat lagi menghindari senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu. Tak pelak lagi...
Crab!
“Aaargkh...!”
Raja Kera Iblis meraung dahsyat begitu Cakra Maut menghunjam dadanya dengan keras sekali. Begitu kerasnya lontaran senjata yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka tadi, sehingga makhluk kera iblis raksasa itu terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Pada saat itu juga, Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala.
“Hup!”
Slap!
Cakra Maut yang terbenam begitu dalam di dalam dada Raja Kera Iblis langsung melesat keluar dan kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Tampak dari dada Raja Kera Iblis yang berlubang, mengucur darah kental agak kehitaman yang berbau busuk memualkan perut
“Ghrrr...!”
Sambil menggerung-gerung marah. Raja Kera Iblis kembali bangkit berdiri. Tanpa mempedulikan darah yang bercucuran deras dari dadanya yang berlubang akibat tertembus Cakra Maut dia kembali bergerak cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
“Ghraaaugkh...!”
“Hup! Yeaaah...!”
Kembali Bayu harus berjumpalitan di udara. Dihindarinya serangan-serangan yang dilakukan Raja Kera Iblis. Kali ini makhluk kera raksasa itu melancarkan serangan-serangan mautnya yang begitu dahsyat Semua pukulannya yang terlontar selalu mengeluarkan bulatan cahaya merah bagai bola api.
Glarrr...!
Ledakan-ledakan dahsyat pun terdengar setiap kali bulatan cahaya merah yang keluar dari pukulan Raja Kera Iblis menghantam tanah, bebatuan, atau pepohonan. Bahkan, beberapa kali cahaya bulatan merah itu menghantam orang-orang yang sedang bertarung. Dan, sungguh dahsyat akibatnya! Mereka yang terkena sasaran pukulan maut Raja Kera Iblis seketika tubuhnya hancur berkeping-keping, seperti sebongkah batu yang terhantam gada. Serangan-serangan Raja Kera Iblis yang membabi buta ini membuat suasana pertarungan tampak berantakan. Bahkan tidak sedikit yang berlarian menyelamatkan diri.
Sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan itu benar-benar hancur berantakan. Malam yang begitu pekat tanpa sedikit pun cahaya bulan semakin bertambah pekat dan pengap oleh debu yang berhamburan memenuhi udara di puncak Gunung Weling ini. Sedangkan Raja Kera Iblis masih terus melontarkan pukulan-pukulan mautnya. Dicecarnya Pendekar Pulau Neraka yang tenis berpelantingan menghindari setiap serangan yang dilancarkannya.
“Ki Suta, cepat cari Ki Rakonta dan Wulan di dalam...!” seru Bayu begitu sempat melihat Ki Suta berdiri saja memperhatikan jalannya pertarungan dahsyat itu.
Tanpa menunggu perintah dua kali, laki-laki tua berjubah putih itu segera melompat ke dalam gua. Sementara Ki Bantur, yang berada di sampingnya, juga bergegas mengikuti Ki Suta memasuki tempat tinggal Raja Kera Iblis.
“Hup! Yeaaah...!”
Bayu masih terus berjumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan Raja Kera Iblis. Pendekar Pulau Neraka sengaja bergerak menjauhi mulut gua. Dan rupanya hal ini tidak disadari olah Raja Kera Iblis, yang sudah begitu marah karena Pendekar Pulau Neraka berhasil melukai dadanya dengan senjata Cakra Mautnya tadi.
“Ghraaaugkh...!”
Cras!
Glarrr...!
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat sekali Bayu melentingkan tubuhnya ke udara ketika satu pukulan dahsyat yang memancarkan cahaya bulatan merah dikirimkan Raja Kera Iblis kepadanya. Bulatan cahaya merah itu pun menghantam tanah tempat Bayu berdiri tadi. Dan seketika tanah itu terbongkar, hingga menimbulkan kepulan debu yang membumbung tinggi ke angkasa.
“Hiyaaa...!”
Sambil berputaran di udara, Bayu mengebutkan tangan kanannya. Saat itu juga Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangannya melesat cepat dap langsung mengarah ke kepala Raja Kera Iblis. Begitu cepat Cakra Maut itu melesat, sehingga Raja Kera Iblis tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, pada saat itu dia sedang melepaskan satu pukulan mautnya ke arah Bayu yang sudah berada di atas sebuah cabang pohon yang cukup tinggi..
Crab!
Glarrr!
“Aaargh...!”
Bersamaan dengan terdengarnya ledakan keras menggelegar, terdengar pula raungan keras begitu Cakra Maut menghantam tepat di antara kedua bola mata makhluk kera raksasa itu. Sementara itu, Bayu terlihat berputaran di udara beberapa kali. Dan, dengan manis sekali kakinya dijejakkan di tanah, tepat lima langkah lagi di depan Raja Kera Iblis.
“Hiyaaa...!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka melompat cepat sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Bugkh!
“Aaargh...!”
Kembali Raja Kera Iblis meraung keras. Dadanya yang berlubang dan mengucurkan darah telah terkena tendangan keras yang bertenaga dalam sempurna. Tak pelak lagi, tubuh besar dan berbulu hitam itu terbanting keras di tanah. Sekitar puncak Gunung Weling pun bergetar bagai terkena guncangan gempa. Sedangkan Bayu sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah.
“Hih!”
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka menarik tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut yang terbenam di kening Raja Kera Iblis seketika itu juga tercabut, melesat cepat, laki kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Raja Kera Iblis bergulingan sambil menggerung-gerung dahsyat Beberapa batu dan pohon hancur bertumbangan terlanda tubuhnya yang besar dan berbulu hitam itu. Dan, ketika dia bisa bangkit seketika itu juga....
“Hiyaaa...!”
Bagaikan kilat Bayu menghentakkan tangan kanannya ke depan. Dan pada saat Cakra Maut kembali melesat secepat kilat secepat itu pula Bayu melompat sambil melepaskan dua pukulan beruntun yang disusul satu tendangan keras menggeledek.
Crab!
Begkh!
Desss!
“Aaargh...!”
Sungguh dahsyat serangan kilat yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Tepat ketika Cakra Maut merobek tenggorokkan Raja Kera Iblis, secepat itu pula Bayu mendaratkan dua pukulan keras beruntun dan satu tendangan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam dengan tingkatan yang sempurna. Tak pelak lagi, tubuh Raja Kera Iblis pun terpental jauh ke belakang. Dan beberapa batang pohon yang tertabrak, langsung hancur berkeping-keping.
“Hup...!”
Setelah melakukan dua kali putaran di udara. Bayu kembali menjejakkan kakinya dengan manis sekali di tanah. Saat tangan kanannya terangkat di atas kepala, Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu.
“Haaap...! Yeaaah...!”
Cepat sekali Bayu kembali melompat ketika Raja Kera Iblis bisa bangkit lagi. Serangan yang begitu cepat yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka kari ini membuat Raja Kera Iblis tidak mampu lagi bergerak menghindar. Dan....
“Hiyaaa...!”
Begkh!
Glarrr...!
Sungguh dahsyat pukulan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka kali ini. Begitu pukulannya mendarat di dada Raja Kera Iblis, seketika itu juga terdengar ledakan keras menggelegar yang memekakkan telinga.
“Hiyaaa...!”
Saat itu juga Bayu melesat ke udara. Dan langsung kedua tangannya dihantamkan ke kepala Raja Kera Iblis. Hingga....
Prak!
“Ghhhraaagkh...!”
“Hup!”
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke belakang sambil melakukan dua kali putaran di udara. Sungguh manis gerakan Pendekar Pulau Neraka. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya menjejak tanah sekitar dua batang tombak di depan Raja Kera Iblis.
Tampak makhluk kera raksasa itu berdiri tegak dengan dada berlubang besar dan kepala retak berlumuran darah. Dari lehernya yang berlubang juga mengucur darah kental kehitaman yang berbau busuk. Tak lama kemudian, tubuh yang tinggi besar dan berbulu hitam itu terlihat limbung, lalu ambruk ke tanah tanpa suara sedikit pun keluar dari mulutnya. Dan, tak ada gerakan sedikit pun yang terlihat Makhluk kera raksasa yang selama ini ditakuti itu seketika tewas begitu tubuhnya menghantam bumi
“Hhh...!” Bayu menghembuskan napas panjang.
Dengan punggung tangannya, Pendekar Pulau Neraka menyeka keringat yang membanjiri wajah dan lehernya. Perlahan-lahan dihampirinya mayat raksasa yang berbulu hitam dan berwajah kera itu. Tubuhnya dibungkukkan sedikit, dan diperiksanya mayat Raja Kera Iblis.
“Hhh....”
Bayu kembali menghembuskan napas panjang begitu merasa pasti bahwa Raja Kera Iblis sudah tewas. Perlahan tubuhnya ditegakkan kembali.
“Kakang...!”
Bayu memutar tubuhnya saat mendengar suara memanggil namanya. Tampak Ratna Wulan berlari-lari menghampiri, diikuti Ki Rakonta, Ki Suta, dan Ki Bantur. Puluhan orang dari rimba persilatan yang memenuhi puncak Gunung Weling juga tampak bergerak menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Sementara itu, tak terlihat seorang pun tokoh persilatan golongan hitam. Semuanya memang telah melarikan diri saat Raja Kera Iblis mulai kewalahan menghadapi Pendekar Pulau Neraka.
Ledakan keras menggelegar terdengar begitu dahsyat bagai hendak menghancurkan angkasa. Tampak semburan cahaya api disertai gumpalan asap hitam membumbung tinggi, menggetarkan seluruh rumah yang ada di kaki Gunung Weling.
Gemuruh batu-batu yang longsor dari lereng gunung itu terdengar keras. Debu berkepul, seakan-akan ingin menyatu dengan semburan api dan gumpalan asap hitam yang menyembur dari puncak gunung ini. Ledakan dahsyat yang disertai guncangan begitu hebat membuat panik seluruh penduduk di Desa Weling. Mereka semua berhamburan keluar, dan langsung memadati jalan. Wajah mereka seketika memucat begitu melihat api dan asap hitam menggumpal menjadi satu dengan awan dan debu dari puncak Gunung Weling.
Glarrr!
Kembali terdengar ledakan keras yang sangat dahsyat. Asap hitam semakin banyak menggumpal dan menyebar menutupi langit di sekitar kaki Gunung Weling. Siang yang semula terasa begitu panas dan terik kini menjadi gelap bagai malam. Seluruh angkasa sudah terselimut awan tebal yang meng-gumpal membentuk awan panas. Slart..!
Beberapa kali terlihat kilatan cahaya membelah gumpalan asap hitam yang membentuk awan itu. Bumi terus bergetar, membuat beberapa rumah mulai roboh. Semua orang yang memadati jalan di Desa Weling semakin terlihat panik. Awan hitam yang menggumpal semakin tebal itu mulai terasa menyebarkan hawa panas, membuat dada sesak dan sulit untuk bernapas.
“Ha ha ha...!”
Tiba-tiba terdengar tawa yang begitu keras dan mengejutkan. Semua orang yang tengah dihinggapi kepanikan, seketika tertegun dan langsung memucat wajahnya. Suara tawa yang demikian keras itu menyebar dan menggema bagai datang dari langit yang tertutup gumpalan awan hitam yang sangat tebal ini.
Namun, mendadak suara tawa yang begitu keras dan menggelegar memekakkan telinga tadi lenyap bersamaan dengan menghilangnya suara gemuruh serta getaran bumi. Semburan api dan awan hitam pun seketika lenyap tak terlihat lagi di puncak Gunung Weling. Dan, perlahan-lahan awan hitam yang menggumpal menyelimuti seluruh kaki gunung itu pun menghilang tertiup angin yang tiba-tiba ber-hembus kencang.
Cepat sekali keadaan kembali tenang. Tapi, tak ada seorang pun penduduk Desa Weling yang kembali ke rumahnya masing-masing. Mereka masih tetap berada di luar dan terus memandangi puncak gunung yang kini sudah kembali kelihatan tenang. Alam benar-benar kembali tenang, bagai tidak pernah terjadi sesuatu.
Memang hanya sebentar peristiwa itu terjadi. Namun, ada sekitar lima rumah yang roboh akibat guncangan yang ditimbulkan dari Gunung Weling tadi. Bahkan dua di antaranya hangus terbakar. Dan, api masih menyala meliuk-liuk mengikuti hembusan angin.
Sementara itu, di dalam sebuah rumah yang berukuran besar dan berhalaman luas, tampak empat orang laki-laki berusia lanjut duduk melingkar di lantai beranda depan, dengan hanya beralaskan selembar tikar dari daun pandan. Mereka semua mengenakan jubah panjang berwarna putih, dengan ikat kepala yang juga putih. Wajah-wajah mereka kelihatan begitu suram, bagai malam yang tidak ditaburi cahaya bintang dan rembulan. Mereka adalah Kepala Desa Weling dan para pemuka desa ini.
Mereka semua mengenakan jubah putih yang bersih dan panjang. Untuk membedakan antara satu orang dan lainnya, bisa dilihat dari senjata yang mereka sandang. Senjata-senjata Itu memiliki bentuk yang berlainan. Tampaknya, mereka bukanlah orang-orang biasa, atau setidak-tidaknya memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Ini bisa dilihat dari bentuk senjata yang mereka bawa.
“Getaran hatiku mengatakan kalau ini bukan kejadian gempa biasa...,” ujar Ki Rakonta dengan suara menggumam perlahan. Dialah Kepala Desa Weling.
“Benar. Seumur hidup aku tinggal di sini, belum pernah terjadi gempa satu kali pun,” sambung salah seorang pemuka Desa Weling.
Pemuka desa itu tampak memegang sebuah cambuk berwarna hitam, yang tergulung di tangan kirinya. Seluruh cambuk itu dipenuhi bulu-bulu halus, dan pada bagian ujungnya terdapat bulatan besi baja berwarna hitam sebesar mata kucing yang berduri halus. Semua orang di Desa Weling mengenal lelaki tua ini dengan nama Ki Ampar.
“Pasti kalian semua mendengar suara tawa keras itu tadi...,” ujar Ki Rakonta lagi, seraya memandangi tiga orang laki-laki tua yang sebaya dengannya.
Semua kepala terangguk, dan semua mata menatap pada kepala desa ini. Tentu saja mereka tadi mendengar tawa yang teRatnat keras dan meng-gelegar, sebelum gempa yang datang begitu tiba-tiba dan mengejutkan ini berakhir. Tak ada seorang pun yang tidak mendengar. Dan, tawa keras menggelegar itu juga membuat mereka bertanya-tanya.
“Aku yakin, gempa tadi adalah ciptaan seseorang, atau...,” Ki Rakonta tidak melanjutkan kata-katanya.
“Atau apa, Ki?” desak Ki Bantur, yang meng-genggam sebilah pedang pendek pada tangan kanannya.
Pedang Ki Bantur berwarna kuning keemasan, dan sepertinya memang terbuat dari emas murn. Gagang pedang pendek itu berbentuk sekuntum bunga yang terkembang mekar, dengan sebuah batu mutiara di tengah-tengah kelopak bunga pada ujungnya.
“Kalian masih ingat cerita orang-orang tua kita dulu...?”
Ki Rakonta malah balik bertanya, sambil merayapi wajah ketiga orang yang duduk bersila di depannya. Tapi, tak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan itu. Mereka malah saling melemparkan pandangan. Dan, kening mereka tampak berkerut begitu sama-sama menatap Ki Rakonta, seakan-akan meminta penjelasan.
“Memang sudah lama sekali. Dan tidak ada lagi yang pernah bercerita atau mengingatnya. Tapi kejadian ini membuatku teringat pada cerita orang-orang tua kita. Cerita yang dulu kita anggap hanya sebagai dongeng dan tidak ada kenyataannya sama sekali. Tapi begitu meresap, seperti sebuah kenyata-an yang pernah ada dan pernah terjadi di sekitar kita,” kata Ki Rakonta.
Masih belum ada yang membuka suara sedikit pun. Mereka masih belum mengerti akan arah kata-kata kepala desa ini. Tapi, dari sikap dan raut wajah mereka, tampak semuanya sedang menebak-nebak. Begitu banyak cerita yang sulit untuk dipercaya dan masuk ke dalam akal pikiran yang sehat Dan, mereka masih belum tahu, cerita mana yang dimaksud oleh Ki Rakonta.
“Sebenarnya aku sendiri belum yakin. Tapi melihat kejadian tadi, aku jadi teringat cerita ayahku dulu,” kata Ki Rakonta lagi.
Masih belum ada seorang pun yang membuka suara. Semua masih menduga-duga, apa sebenarnya maksud kepala desa itu. Tak seorang pun yang bisa menangkapnya. Dan, mereka terus menduga-duga sampai Ki Rakonta melanjutkan pembicaraannya.
“Kejadian tadi mirip sekali dengan tanda-tanda bangkitnya Raja Kera Iblis...?!”
“Apa...?!”
“Raja Kera Iblis...?!”
Ketiga pemuka Desa Weling itu terperanjat setengah mati begitu Ki Rakonta menyebut nama Raja Kera Iblis. Betapa tidak? Mereka memang sudah sering mendengar cerita tentang makhluk mengeri-kan yang sangat dahsyat dan kejam itu. Tapi, semua cerita itu kini sudah tidak pernah lagi terdengar.
Bahkan, cerita itu selalu dianggap dongeng belaka. Karena, makhluk itu memang tidak pernah muncul, dan tak seorang pun yang pernah melihatnya, kecuali orang-orang yang hidup seratus tahun lalu. Namun, para pemuka desa itu memang pernah mendengar Raja Kera Iblis hanya menampakkan diri seratus tahun sekali. Dan, setiap kali muncul, dia selalu menimbulkan malapetaka, sampai ada seseorang yang bisa membinasakannya kembali. Seratus tahun kemudian, dia pun akan muncul kembali dengan kekuatan yang lebih dahsyat, dan dengan kekejaman yang tidak akan pernah terbayangkan oleh siapa pun juga. Setiap orang yang mendengar cerita itu selalu membayangkan Raja Kera Iblis sebagai sosok makhluk mengerikan, yang entah bagaimana bentuk rupanya.
Para pemuka Desa Weling terkejut setengah mati dan tidak pernah menduga bahwa pikiran Ki Rakonta akan sampai ke sana. Kejadian yang baru saja menimpa desa ini memang mirip sekali dengan cerita-cerita yang pernah mereka dengar ketika masih anak-anak. Bahkan, ketika menginjak usia remaja pun mereka masih sering mendengar cerita tentang makhluk itu. Tapi, sama sekali mereka tidak menduga kalau cerita tentang Raja Kera Iblis yang hanya dianggap dongeng itu bisa menjadi kenyataan.
Dua hari pun berlalu sejak peristiwa aneh dan mengejutkan terjadi di Desa Weling. Tapi, peristiwa itu tak ada kelanjutannya lagi seperti yang diduga kepala desa dan para pemuka Desa Weling. Keadaan di desa ini masih tetap tenang, walaupun peristiwa dua hari lalu masih terlalu hangat untuk dilupakan begitu saja. Dan, tak ada seorang pun yang berpikir tentang Raja Kera Iblis. Hanya Ki Rakonta dan ketiga orang pemuka desa yang terus membicarakan makhluk yang selama ini hanya dianggap sebagai cerita dongeng belaka itu.
Siang ini udara di sekitar kaki Gunung Weling terasa amat panas. Matahari bersinar begitu terik, seakan-akan ingin membakar apa saja yang ada di atas permukaan bumi. Namun, panasnya sengatan sang mentari tidak membuat seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau menghentikan langkah-nya. Dia terus berjalan mantap menyusuri jalan tanah yang berdebu dan berbatu kerikil. Seekor monyet kecil berbulu hitam tampak duduk nangkring di pundak kanannya. Dan tidak jauh di belakangnya, terlihat seorang gadis cantik berjalan mengikutinya. Jelas sekali terlihat, gadis itu begitu kelelahan mengikuti ayunan kaki pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
“Kakang....”
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu meng-hentikan langkahnya. Dia berpaling ke belakang. Ditatapnya gadis cantik yang berjalan pada jarak sekitar tiga batang tombak di belakangnya. Dia menunggu sampai gadis itu berada dekat di sampingnya.
“Istirahat dulu, Kakang. Aku lelah sekali...,” pinta gadis cantik itu, sambil menyeka keringat yang bercucuran di wajah dan lehernya dengan punggung tangan.
Sementara, pemuda berbaju kulit harimau hanya menepuk-nepuk kepala monyet kecil di pundaknya.
“Nguk!”
“Tidak ada tempat yang enak untuk beristirahat di di sini, Wulan,” kata pemuda itu sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
“Tapi aku lelah sekali, Kakang. Rasanya sudah tidak sanggup lagi...,” rengek gadis yang memang ber-nama Ratna Wulan itu.
“Tidak jauh lagi ada desa, Wulan. Kau pasti bisa bertahan sedikit sampai ke sana,” kata pemuda tampan itu seraya menunjuk ke satu arah d ujung jalan.
Ratna Wulan diam saja. Memang, kalau sudah berada di jalan seperti ini, tidak seberapa jauh lagi mereka akan menemukan sebuah desa. Tapi, Ratna Wulan tampak tidak yakin bahwa desa itu bisa ditempuh dalam waktu sebentar. Dia sudah benar-benar tidak mampu lagi berjalan jauh. Terlebih lagi, sengatan matahari yang begitu terik membuatnya semakin cepat merasa lelah.
“Hhh...!”
Sambil menghembuskan napas panjang dan berat, Ratna Wulan kembali mengayunkan kakinya. Di-susunnya jalan tanah berdebu yang berkerikil yang semakin terasa panas, bagai di atas jembatan neraka! Mereka terus melangkah tanpa ada yang bicara lagi. Namun, belum begitu jauh berjalan, tiba-tiba....
“Aaa...!”
“Heh...?!”
Mereka terkejut setengah mati begitu mendengar jeritan panjang yang melengking tinggi. Jeritan itu demikian jelas terdengar. Sejenak mereka saling berpandangan. Lalu, bagaikan kilat pemuda berbaju kulit harimau itu melesat menuju arah datangnya jeritan tadi. Dan, gadis yang bersamanya tidak mau ketinggalan. Meskipun terasa begitu lelah, dia segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk menyusul pemuda tampan itu.
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda berbaju kulit harimau itu, sehingga sebentar saja dia sudah sampai di tempat datangnya jeritan tadi. Dan betapa terkejutnya dia. Dilihatnya sesosok makhluk tengah mengoyak dada seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering. Darah tampak berceceran di mana-mana.
Makhluk itu pun tampak terkejut melihat ke-munculan pemuda berbaju kulit harimau itu. Memang, pemuda ini tak lain dari Bayu Hanggara, atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka.
“Ghrrr...!”
“Dewata Yang Agung..., makhluk apa ini...?” desis Bayu, hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
“Ghraugkh...!”
Tiba-tiba makhluk yang bertubuh manusia tapi seluruh badannya berbulu hitam dan wajahnya seperti kera itu menggerung dahsyat. Dan, bagaikan kilat, dia melompat cepat menerjang Bayu.
“Craaakh...!”
Monyet kecil di pundak Bayu langsung melompat turun, lalu bertari menjauh sambil mencerecet ribut. Tangkas sekali gerakannya ketika dia memanjat naik ke atas sebatang pohon.
“Heh...?! Ufs...!”
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka membanting tubuhnya ke samping, lalu bergulingan beberapa kali menghindari makhluk aneh dan mengerikan itu. Dan, cepat pula dia melompat bangkit berdiri. Namun, baru saja kedua kakinya menjejak tanah, makhluk seperti kera yang bertubuh tinggi besar melebihi manusia itu sudah kembali melesat cepat sambil mengibaskan tangan kanannya, yang berbulu tebal, hitam, dan berkuku runcing bagai mata pisau.
“Ghraugkh...!”
Wukkk!
“Uts!”
Untung saja Bayu cepat merundukkan kepalanya, sehingga kibasan tangan yang sangat besar ukuran-nya itu lewat di atas kepalanya. Bergegas kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah.
Dan, belum juga Bayu sempat melakukan sesuatu, mendadak tangan kiri makhluk seperti kera raksasa itu sudah mengibas cepat sekali. Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak sempat lagi menghindar. Dan...
Plak!
“Akh...!”
Begitu kerasnya kibasan tangan berukuran sebesar dua kali tangan manusia biasa itu. Sehingga, tubuh Bayu terpental deras ke belakang. Keras sekali punggung pemuda itu menghantam sebatang pohon, hingga pohon yang berukuran cukup besar itu hancur berkeping-keping.
“Ghraaagh...!”
Sambil menggenang dahsyat, makhluk kera raksasa itu kembali melompat dengan jari-jari tangan terkam bang menjulur ke depan. Hendak diterkamnya Bayu.
“Hup! Yeaaah...!”
Namun Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat me-lentingkan tubuhnya. Dihindarinya terkaman makhluk kera raksasa itu dengan cepat Dan, makhluk itu pun hanya menerkam reruntuhan pohon.
Beberapa kali pemuda tampan berbaju kulit harimau itu berjumpalitan dan berputaran di udara, lalu kembali menjejakkan kakinya di tanah dengan kokoh dan mantap sekali. Sedangkan makhluk kera raksasa itu sudah kembali memutar tubuhnya dengan cepat Dia menggerung dahsyat Dipandanginya tajam-tajam pemuda tampan berbaju kulit harimau yang berada sekitar dua batang tombak di depannya.
Pada saat itu, gadis jelita berbaju merah muda yang tadi berjalan bersama Bayu sudah sampai di tempat ini. Dia juga terperanjat setengah mati begitu melihat makhluk mengerikan yang tinggi dan besar tubuhnya dua kali manusia biasa itu.
“Ghrrr...!”
Makhluk kera raksasa itu meraung sambil menyeringai lebar, memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring tajam, begitu melihat kedatangan gadis cantik itu. Dan, tiba-tiba....
“Wulan, awas...!”
Wusss!
“Haft...!”
Gadis itu segera melentingkan tubuhnya ke udara ketika tiba-tiba makhluk kera raksasa itu melompat cepat ke arahnya sambil menggerung dahsyat dan mengerikan. Tinggi sekali lentingannya, hingga dia dapat lewat di atas kepala makhluk itu. Dan, setelah beberapa kali putaran di udara, dengan manis sekali dia menjejakkan kembali kakinya di tanah, tepat di samping Bayu.
“Ghraaagkh...!”
“Cepat menyingkir, Wulan!” seru Bayu
Pada saat itu, makhluk kera raksasa sudah melompat kembali dengan cepat menerjang mereka. Ratna Wulan pun bergegas melesat ke samping. Pada saat yang bersamaan, Pendekar Pula Neraka menarik tubuhnya hingga doyong ke kiri, dengan tangan kanan tersilang di depan dada. Dan, secepat kilat pula dikibaskan tangannya ke depan.
“Hiyaaa...!”
Wusss!
Secercah cahaya keperakan tiba-tiba melesat cepat dari pergelangan tangan kanan Baya Dan makhluk kera raksasa itu pun tidak sempat lagi menghindar. Lalu....
Crab!
“Aaargkh...!”
“Hup!”
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka melenting-kan tubuhnya ke udara sambil menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Tampak cahaya keperakan melesat ke arah pergelangan tangan kanannya. Dan, tahu-tahu sebuah benda berbentuk lingkaran bersegi enam yang ujung-ujungnya runcing sudah menempel di pergelangan tangan itu.
“Hup! Yeaaah...!”
Dua kali Bayu melakukan putaran di udara, lalu dengan cepat sekali dia melesat ke arah makhluk kera raksasa. Satu tendangan keras menggeledek pun langsung mendarat dengan tepat di kepala makhluk itu.
Plak!
“Aaargkh...!”
“Hup!”
Kembali Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke belakang. Dilakukannya beberapa kali putaran. Dan, dengan manis sekali dijejakkan kakinya di tanah. Lalu, langsung dimiringkan tubuhnya I lingga doyong ke kiri. Disilangkannya tangan kanannya di depan dada, kemudian dikibaskannya tangan itu ke depan.
“Hiyaaa...!”
Wusss!
Benda berbentuk cakra bersegi enam yang me-nempel di pergelangan tangan kanannya secepat kilat melesat ke depan. Begitu cepat lesatannya, sehingga makhluk kera raksasa tidak dapat lagi menghindar. Dan....
Crab!
“Aaargkh...!
Kembali cakra keperakan bersegi enam itu menghunjam di dada yang berbulu hitam tebal itu. Dan, ketika tangan Bayu terangkat ke atas kepala, cakra keperakan bersegi enam itu melesat balik dari dalam dada makhluk kera raksasa. Darah seketika menyembur deras dari dua lubang di dada, akibat dua kali tertembus cakra keperakan bersegi enam yang kini sudah kembali menempel erat di per-gelangan tangan kanan pemiliknya.
Makhluk kera raksasa itu menggerung-gerung dahsyat. Darah bercucuran dengan deras dari dua lubang di dadanya. Tapi, tiba-tiba dia melesat cepat bagai kilat dan tahu-tahu sudah lenyap begitu tubuhnya masuk ke dalam hutan yang cukup lebat Bayu hendak lompat mengejar, tapi...
“Kakang Bayu...!”
Pendekar Pulau Neraka segera mengurungkan niatnya. Dia segera berpaling. Ditatapnya gadis cantik berbaju merah muda yang berlari-lari kecil meng-hampirinya. Gadis itu berdiri dekat di depan Bayu.
Sedikit Bayu menepuk pundak gadis itu. Kemudian kakinya melangkah menghampiri sosok mayat yang sudah tidak bernyawa lagi dengan seluruh tubuh tercabik dan dada terkoyak sangat lebar. Kening Pendekar Pulau Neraka jadi berkerut melihat dada yang berlubang besar itu.
“Nguk! Nguk! Craaakh...!”
Bayu mengulurkan tangannya ketika monyet kecil yang selalu dipanggil Tiren itu segera berlari-lari men-dekatinya. Monyet kecil berbulu hitam ini segera naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka.
“Hm..., makhluk itu mengambil jantungnya,” gumam Bayu perlahan, seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Ratna Wulan, yang berdiri di samping kanan, hanya diam memandangi laki-laki tua bertubuh kurus kering yang sudah tak bernyawa lagi itu. Kemudian dia menarik napas panjang. Ditatapnya wajah tampan Pendekar Pulau Neraka yang bersimbah keringat Dan, beberapa saat mereka hanya membisu.
“Ayo kita pergi, Kakang.”
“Kita kuburkan mayat orang tua ini dulu, Wulan.”
Ratna Wulan hanya mengangkat bahunya. Sedangkan Bayu sudah mencari tempat yang teduh untuk menggali lubang kuburan. Didapatkannya tempat di bawah sebatang pohon beringin yang cukup rimbun daunnya. Tempat yang cocok untuk peristirahatan terakhir laki-laki tua malang itu.
Matahari sudah condong ke arah Barat ketika Bayu selesai menguburkan laki-laki tua yang malang itu. Dia kemudian mengajak Ratna Wulan me-ninggalkan tepian hutan di kaki Gunung WeBng ini. Tanpa berbicara lagi, mereka pun melangkah perlahan-lahan kembali ke jalan tanah berdebu yang dipenuhi batu kerikil. Mereka terus berjalan menuju ke arah matahari tenggelam. Di ujung jalan, sudah terlihat sebuah perkampungan yang kelihatan agak sunyi.
“Desa apa itu, Kakang?” tanya Ratna Wulan, tanpa memalingkan pandangannya sedikit pun ke arah desa yang berada di depan sana.
“Desa Weling,” sahut Bayu, yang juga mengarahkan pandangannya ke desa itu.
“Sepi sekali kelihatannya,” ujar Ratna Wulan agak menggumam, seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri.
“Hm...,” gumam Bayu perlahan.
Memang, desa yang mereka lihat di depan tampaknya begitu sunyi seperti tidak berpenghuni. Tak ada seorang pun terlihat berada di luar rumah. Namun, Bayu dan Ratna Wulan terus saja melangkah memasuki desa yang tampak amat sunyi itu. Tapi, belum begitu jauh mereka masuk ke dalam desa itu....
“Hm...,” gumam Bayu perlahan.
Pendekar Pulau Neraka menghentikan ayunan langkahnya. Ratna Wulan yang berjalan di sebelah kanannya juga segera berhenti melangkah. Dia memandangi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka itu. Tapi, sebentar kemudian keningnya berkerut dan kelopak matanya terlihat menyipit. Belum juga mereka membuka mulut untuk bicara, mendadak....
Wusss!
“Awas, Wulan...!” seru Bayu.
“Hup!”
“Hak..!”
Ratna Wulan dan Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat melompat ke belakang ketika tiba-tiba sebatang tombak yang panjang meluruk deras ke arah mereka. Dan, tombak itu langsung menancap dalam di tengah jalan tanah berdebu ini, tepat di tempat Bayu dan Ratna Wulan berdiri tadi.
Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat dari atas atap sebuah rumah. Dan tahu-tahu, tepat dfi depan Pendekar Pulau Neraka, sudah berdiri seorang laki-laki tua yang berjubah putih panjang dan longgar. Laki-laki itu tampak menggenggam sebatang tombak pendek putih yang ujungnya berwarna kuning keemasan. Tampak pula rambut dan kumisnya yang menyatu dengan jenggotnya sudah berwarna putih semua.
“Nguk...! Nguk...!”
“Ada apa, Tiren?” tanya Bayu.
Belum juga pertanyaan Pendekar Pulau Neraka terjawab, tiba-tiba dia dikejutkan lagi dengan munculnya tiga orang laki-laki berusia lanjut yang semuanya mengenakan jubah putih yang panjang dan longgar. Ketiganya mengambil tempat di belakang laki-laki tua yang muncul pertama kali tadi. Mereka tampak memegang senjata yang berlainan bentuknya.
Dari pakaian, senjata, dan sorot mata yang tajam, bisa dipastikan bahwa mereka berempat bukanlah orang-orang sembarangan. Paling tidak, semuanya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Mereka adalah Ki Rakonta dan tiga orang pemuka Desa Weling yang bertugas mengatur seluruh wilayah desa ini.
“Hm...,” gumam Bayu perlahan.
“Siapa kalian? Ada urusan apa kalian datang ke Desa Weling ini?” tanya Ki Rakonta dengan nada suara yang tegas.
“Aku Bayu dan ini Ratna Wulan. Kami berdua hanya pengembara yang kebetulan lewat di desa ini,” sahut Bayu memperkenalkan diri.
“Hm..., apa kau ini bukannya Raja Kera Iblis?”
Jelas sekali dari nada suaranya, laki-laki tua ber-ubah putih yang juga Kepala Desa Weling itu menaruh curiga kepada Bayu dan Ratna Wulan.
Pertanyaan itu membuat Bayu dan Ratna Wulan mengerutkan kening. Mereka saling berpandangan sejenak, laki sama-sama melangkah maju beberapa tindak. Dan, langkah mereka baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi dari keempat orang tua berjubah putih itu.
“Aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan, Kisanak. Kami berdua hanyalah pengembara yang kebetulan lewat dan ingin mencari penginapan untuk malam ini,” kata Bayu, mencoba menjelaskan.
Memang Bayu tidak mengerti akan kata-kata yang dilontarkan Ki Rakonta barusan. Bahkan dia tidak tahu, siapa yang dimaksud dengan sebutan Raja Kera Iblis itu. Mendengarnya saja baru kali ini. Dan, Bayu langsung bisa menebak bahwa Desa Weling ini sedang tertimpa suatu musibah yang ditimbulkan oleh Raja Kera Iblis itu. Dari pengalamannya melanglang buana sebagai seorang pendekar kelana, dia sudah bisa meraba keadaan yang terjadi di desa ini.
Namun, Bayu juga tidak mau gegabah untuk ikut campur sebelum tahu benar apa masalahnya. Pendekar Pulau Neraka melirik sedikit pada Ratna Wulan.
“Anak muda, kami di sini tidak ingin menambah persoalan. Sebaiknya kalian segera tinggalkan desa ini sebelum terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Aku harap, kalian bisa mengerti, jika kalian memang orang baik-baik dan hanya pengembara,” selak Ki Suta, yang mulai ikut berbicara.
Di tangan kanan laki-laki tua berwajah bening itu tergenggam sebuah tameng berbentuk bulat dan ber-warna putih keperakan. Ada sebuah ukiran ber-gambar bintang pada bagian tengahnya.
Kembali Bayu melirik pada Ratna Wulan, yang saat itu juga sedang menatap dengan sudut ekor matanya. Mereka kemudian sama-sama mengangkat pundak. Lalu, setelah memberi salam penghormatan, kedua-nya memutar tubuh dan melangkah pergi tanpa berkata sedikit pun. Mereka berjalan kembali ke arah hutan.
Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh permukaan bumi di kaki Gunung Weling. Dan, Desa Weling pun sudah terselimut kegelapan. Tak sedikit pun terlihat cahaya dari bulan ataupun bintang. Malam ini langit kelihatan begitu kelam. Awan hitam yang tebal dan bergulung-gulung membuat suasana di Desa Weling semakin bertambah tidak nyaman. Belum lagi, angin yang bertiup begitu kencang menebarkan udara dingin menggigit sampai ke tulang.
Hari sudah jauh melewati tengah malam, tapi di beranda rumahnya, Ki Rakonta masih duduk bersila di atas selembar tikar anyaman dari daun pandan. Tak ada seorang pun terlihat di sekitar halaman rumahnya yang luas ini. Begitu sunyi di sekelilingnya. Sedangkan di dekat pintu yang senga-ja dibiarkan terbuka, terlihat tiga laki-laki tua lain yang semuanya mengenakan jubah panjang berwarna putih bersih. Mereka adalah tiga orang pemuka utama Desa Weling.
“Sudah lebih dari satu pekan, Ki. Tidak ada satu pun peristiwa penting yang terjadi,” ujar Ki Ampar.
Suara Ki Ampar agak menggumam dan perlahan sekali, hampir tidak terdengar oleh yang lainnya. Dia seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri. Sedangkan Ki Rakonta yang diajak bicara tidak berpaling sedikit pun. Dia tetap mengarahkan pandangannya ke arah puncak Gunung Weling, yang menghitam pekat dan berselimut kabut tebal. Dua orang laki-laki tua lainnya juga diam saja.
Memang, sejak terjadi peristiwa gempa yang mengejutkan itu, mereka selalu bersikap waspada. Terlebih lagi, mereka menduga bahwa gempa yang terjadi itu merupakan tanda munculnya Raja Kera Iblis, yang ceritanya seringkah mereka dengar sejak masih anak-anak dulu.
“Hm...,” gumam Ki Rakonta tiba-tiba, agak keras.
Dan, begitu dia beranjak hendak bangkit, tiba-tiba....
Bruk!
“Heh...?!”
Bukan hanya Ki Rakonta saja yang terperanjat, tapi tiga orang laki-laki tua yang berada di beranda depan rumah kepala desa itu juga terkejut setengah mati. Begitu terkejutnya mereka, sampai langsung terlompat berdiri. Dan, bola mata mereka terbeliak ketika tiba-tiba dari atap beranda jatuh sesosok tubuh laki-laki tua yang sudah rusak tercabik.
Empat orang laki-laki tua yang sama-sama mengenakan jubah panjang warna putih itu segera berlompatan ke luar. Dan, pada saat itu, tiba-tiba terdengar tawa keras menggelegar yang begitu mengejutkan.
“Ha ha ha...!”
“Hm...,” gumam Ki Rakonta lagi, agak keras.
Tawa itu demikian keras terdengar. Tapi, sulit untuk diketahui dari mana arah datangnya. Tawa itu seakan-akan datang dari seluruh penjuru mata angin. Keempat laki-laki tua berjubah putih itu pun langsung mempersiapkan senjata masing-masing. Mereka berdiri melingkar saling beradu punggung.
Clarrrk...!
“Awas...!” seru Ki Rakonta tiba-tiba.
“Hap...!”
“Hup!”
“Yeaaah...!”
“Hiyaaa...!”
Mereka langsung berlompatan menyebar begitu tiba-tiba terlihat secercah cahaya merah seperti bola api meluncur deras dari atas atap rumah. Bola cahaya merah itu langsung menghantam tanah tempat keempat laki-laki tua itu berdiri tadi.
Glarrr...!
Seketika itu juga terdengar ledakan keras yang amat dahsyat Tanah bergetar hebat bagai diguncang gempa. Rumah kepala desa itu pun bergetar dan berderak bagai hendak runtuh. Sementara itu empat laki-laki tua berjubah putih berjumpalitan di udara. Dan, hampir bersamaan mereka menjejakkan kakinya kembali di tanah. Sedangkan tanah yang terhantam cahaya merah tadi terlihat sudah berlubang cukup besar. Debu tampak membumbung tinggi ke angkasa.
“Gila...!” desis Ki Bantur, yang sempat terbeliak melihat lubang menganga cukup lebar dan dalam di tengah-tengah halaman rumah kepala desa ini.
“Ki Bantur, awas...!” teriak Ki Rakonta.
“Heh...?! Hup!”
Ki Bantur terperanjat setengah mati. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke samping dan langsung bergulingan di tanah beberapa kafi. Dilihatnya tadi sebuah bayangan hitam meluruk deras bagai kilat ke arahnya. Bergegas kemudian dia melompat bangkit berdiri. Namun, baru saja kakinya dijejakkan di tanah, bayangan hitam itu kembali melesat cepat ke arahnya.
“Hiyaaa...!”
Ctar!
Terdengar suara lecutan sebuah cambuk, yang diikuti dengan berpijarnya bunga api di depan dada Ki Bantur. Pada saat yang bersamaan, bayangan hitam itu kembali melenting ke belakang. Dijauhinya Ki Bantur yang tengah terpana. Bergegas Ki Bantur melompat ke belakang beberapa tindak. Dia sempat melirik Ki Ampar yang baru saja menarik cambuknya kembali.
Kemudian, secara bersamaan keempat laki-laki tua itu cepat berlompatan. Mereka kini berdiri berjajar, tepat sekitar tiga batang tombak di depan sesosok tubuh hitam dan besar, yang tingginya dua kali lipat manusia biasa. Hampir mereka tidak percaya dengan pandangan mata sendiri. Betapa tidak? Mereka kini berhadapan dengan sesosok makhluk yang seluruh tubuhnya berbulu hitam pekat agak berkilat. Dan, wajah makhluk itu begitu mirip seekor kera!
“Ghrrr...!”
Makhluk kera raksasa itu menggerung sambil menatap tajam pada empat laki-laki tua. berjubah putih ini, dengan sepasang bola matanya yang merah dan bercahaya bagai sepasang bola api. Dia menggerung sambil menyeringai, bagai hendak memamerkan baris-baris giginya yang hitam dan bertaring runcing.
“Dewata Yang Agung.....Makhluk apa ini...?” desah Ki Rakonta, yang tak berpaling sedikit pun memandangi makhluk kera raksasa yang berada sekitar tiga batang tombak di depannya.
“Kalian semua pemuka desa ini...?”
Terdengar begitu besar dan berat suara makhluk kera raksasa itu. Telinga keempat laki-laki tua itu pun terasa sakit dibuatnya.
“Siapa di antara kalian kepala desanya?” tanya makhluk kera raksasa itu lagi, dengan suaranya ang tetap besar menyakitkan telinga.
“Aku,” sahut Ki Rakonta seraya melangkah ke depan dua tindak. “Mereka bertiga memang para tetua Desa Weling. Dan siapa kau ini sebenarnya?”
“Ha ha ha...!”
Makhluk kera raksasa itu malah tertawa terbahak-bahak. Begitu keras suara tawanya, membuat tanah yang mereka pijak bergetar. Ki Rakonta dan ketiga orang pemuka desa itu cepat-cepat mengerahkan tenaga dalam, untuk menahan gempuran suara keras yang menggetarkan jantung dan membalikkan aliran darah di dalam tubuh mereka. Suara tawa itu seakan-akan dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi tingkatannya, begitu keras menggelegar dan sangat menyakitkan telinga.
“Aku adalah raja yang menguasai seluruh bumi ini Dan kalian adalah hamba sahaya yang harus tunduk pada perintahku. Ha ha ha...!”
“Raja Kera Iblis...,” desis Ki Rakonta, langsung bisa mengenali, walaupun makhluk kera raksasa itu tidak menyebutkan siapa dirinya secara langsung.
Sedangkan Ki Ampar dan yang lainnya hanya diam memandangi makhluk kera raksasa yang begitu mengerikan ini Meskipun begitu, mereka juga sudah bisa menduga, siapa makhluk yang bentuknya begitu menyeramkan ini. Sulit dikatakan kalau makhluk ini adalah manusia. Juga sukar untuk dikatakan kalau dia adalah seekor kera.
Meskipun wajahnya seperti kera dan seluruh tubuhnya berbulu, bentuk badannya tidak ubahnya seperti manusia. Tapi, tingginya mungkin dua kali manusia biasa, atau mungkin juga bisa lebih tinggi lagi. Dan, dia tampak mengenakan celana sebatas lutut yang merah menyala. Tidak dikenakannya baju sama sekali, sehingga tubuhnya yang berbulu tebal dapat terlihat jelas. Terlihat pula, tidak ada satu senjata pun yang disandangnya.
“Dengar, jika kalian berani membangkang dan tidak mematuhi perintahku, nasib kalian akan sama seperti dia!” kata makhluk kera raksasa itu lagi, sambil menunjuk sesosok mayat laki-laki tua yang menggeletak tepat di depan tangga beranda rumah kepala desa.
“Kau yang membunuhnya? Kenapa...?” tanya Ki Rakonta setelah melirik sedikit pada mayat laki-laki tua yang seluruh tubuhnya tercabik dan tidak mengenakan baju itu.
“Dia mencoba melawan dan membangkang perintahku. Jika kalian juga berani membangkang, aku tidak segan-segan mencabik tubuh kalian. Mengerti...?!” ujar makhluk kera raksasa itu dengan keras dan tegas.
“Apa yang kau inginkan dari kami?” tanya Ki Rakonta lagi.
“Ha ha ha...! Kau sebagai kepala desa di sini tentu sudah tahu apa yang kuinginkan. Dan aku tidak perlu menyebutkan keinginanku lagi,” sahut makhluk kera raksasa yang dikenal sebagai si Raja Kera Iblis ini.
Setelah berkata demikian, tiba-tiba Raja Kera Iblis melesat cepat, dan langsung lenyap dari pandangan mata. Begitu cepatnya dia melesat, seolah-olah tenggelam masuk ke dalam bumi, tidak bisa lagi diketahui ke mana arah perginya. Ki Rakonta dan yang lainnya langsung saling melempar pandang. Apa yang mereka khawatirkan selama ini, sekarang sudah menjadi kenyataan. Raja Kera Iblis, yang selama ini menjadi dongeng sejak puluhan tahun yang lalu, sekarang benar-benar muncul. Dan, kemunculannya ini sudah pasti merupakan malapetaka besar bagi kelangsungan hidup penduduk Desa Weling.
“Dia benar-benar sudah muncul. Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ki...?” desah Ki Ampar, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.
Ki Rakonta hanya diam membisu. Perlahan dia menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Memang tidak mudah menjawab pertanyaan Ki Ampar barusan. Dia sendiri tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan sekarang ini. Raja Kera Iblis benar-benar ada dan sudah muncul. Dan mereka semua tahu, apa yang dikehendaki raja iblis dari dasar neraka itu.
Tak ada seorang pun yang bisa menentang kehendak Raja Kera Iblis, kecuali yang memang benar-benar ingin mati secara mudah. Mereka semua menyadari, tidak mungkin melawan makhluk kera raksasa yang sangat sakti dan digdaya itu. Tidak ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya, yang tidak jauh berbeda dengan iblis penghuni dasar neraka. Dia bisa berbuat apa saja, semudah membalikkan telapak tangan. Apa pun yang dikehendakinya tidak bisa lagi ditolak. Semuanya harus dituruti jika mereka masih ingin melihat matahari esok pagi. Hal ini membuat Ki Rakonta begitu gelisah. Dia menyadari bahwa dirinya benar-benar tidak berani menentang kehendak Raja Kera iblis, apalagi melawannya.
“Kita tidak mungkin memenuhi kehendak hati iblisnya itu, Ki. Aku tidak bisa melihat mereka yang tidak berdosa sama sekali menjadi korban kebuasannya,” desis Ki Bantur, geram.
“Meskipun kita berempat menghadapinya sekaligus, tidak akan mungkin kita bisa mengalahkannya. Malah dia bisa membunuh kita dengan mudah,” kata Ki Rakonta, perlahan sekali.
“Tapi, Ki...,” ucapan Ki Bantur terputus.
“Kita memang tidak begitu saja menyerah. Paling tidak, kita harus menyelamatkan seluruh penduduk dari keangkaramurkaan Raja Kera Iblis. Aku minta, kalian mencari cara terbaik untuk menyelamatkan mereka. Kita semua bertanggung jawab atas nyawa dan keselamatan mereka,” kata Ki Rakonta, tegas.
“Apa yang akan kita lakukan, Ki? Sekarang saja sudah jatuh satu korban,” selak Ki Suta, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan.
“Hm....”
Ki Rakonta hanya menggumam perlahan. Dia melirik sedikit pada mayat laki-laki tua yang masih menggeletak di dekat ujung tangga beranda rumahnya. Sungguh mengerikan keadaan mayat itu. Seluruh tubuhnya tercabik. Leher dan dadanya berlubang begitu besar. Bahkan, seluruh isi rongga dadanya sudah lenyap. Dan, tak terlihat setetes darah pun yang melekat
“Kalian kenal dengan orang itu?” tanya Ki Rakonta sambil menunjuk mayat laki-laki yang menggeletak di dekat tangga beranda rumahnya.
“Dia si Penjarah Hutan, Ki. Sehari-hari pekerjaannya mencari kayu bakar dan berburu,” sahut Ki Suta, yang mengenali mayat laki-laki tua itu.
“Dia penduduk desa ini?” tanya Ki Rakonta lagi.
“Benar, Ki. Dia mempunyai cucu perempuan yang masih berusia sepuluh tahun. Tidak ada lagi sanak keluarganya di desa ini. Dia hanya hidup berdua dengan cucunya,” jelas Ki Suta.
“Ki Suta, sebaiknya kau urus saja mayat itu. Antarkan ke rumahnya dan kubur sebagaimana biasanya. Nanti aku pikirkan bagaimana caranya menyelamatkan seluruh penduduk desa ini,” perinlah Ki Rakonta dengan tegas.
“Baik, Ki,” sahut Ki Suta. Tanpa diperintah dua kali, Ki Suta segera rgegas mengambil dua ekor kuda dari samping rumah. Dinaikkannya mayat laki-laki tua yang dikenalinya sebagai si Penjarah Hutan itu ke atas punggung kuda. Kemudian dia sendiri melompat naik ke atas punggung kuda satunya lagi. Setelah mengangguk sedikit ke arah Ki Rakonta, laki-laki tua berjubah putih yang memegang tameng baja berwarna keperakan itu segera menggebah kudanya.
Ki Rakonta kemudian mengajak pemuka desa vang lainnya masuk kembali ke dalam beranda rumahnya. Mereka duduk di tengah-tengah beranda dengan alas selembar tikar anyaman daun pandan. Cukup lama juga mereka berdiam diri. Beberapa kali terdengar tarikan napas yang panjang dan berat.
“Dia sudah datang. Besok malam dia pasti datang lagi untuk mengambil pesanannya,” desah Ki Rakonta perlahan, hampir tidak terdengar.
“Kita tidak mungkin memberikannya, Ki,” kata Ki Ampar.
“Yaaah..., itu juga yang aku tidak inginkan, Ki Ampar. Aku tidak ingin mengorbankan pendudukku sendiri.”
“Ki, apa tidak sebaiknya kita ungsikan saja seluruh penduduk malam ini juga?” usul Ki Bantur tiba-tiba.
“Maksudmu...?” tanya Ki Rakonta tidak mengerti.
“Kita kosongkan desa ini, Ki. Kita cari tempat yang jauh dari Gunung Weling. Dan kita dirikan desa baru. Aku rasa, masih banyak tempat yang bisa dibuka untuk dijadikan desa baru,” ujar Ki Bantur, mencoba menjelaskan usulnya tadi.
“Ke mana kita pergi?” selak Ki Ampar.
“Benar, Ki Bantur. Ke manapun kita pergi, Raja Kera Iblis pasti bisa tahu dengan cepat Dia bukan makhluk biasa. Dia raja segala iblis dari dasar neraka. Tidak mudah menghindarinya, terlebih lagi melawan-nya. Kita semua bisa mati konyol,” ujar Ki Rakonta.
“Hhh..., memang sulit juga. Kita ini seperti berada di ujung tanduk,” desah Ki Bantur, perlahan.
“Ki, bagaimana kalau kita coba menentangnya...?” selak Ki Ampar tiba-tiba.
“Jangan berpikiran sempit, Ki. Tidak ada yang bisa kita andalkan untuk melawannya. Apa kekuatan kita untuk menghadapi Raja Kera Iblis...?” kata Ki Rakonta, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tapi kita tidak boleh tinggal diam begitu saja, Ki. Dia sudah datang ke sini dan memberi peringatan. Itu tidak bisa dianggap main-main lagi. Besok dia pasti datang lagi untuk mengambil korban. Dan, tiap hari dia akan mengambil korban sampai semua orang di desa ini habis. Apa kita tega melihat mereka yang tidak tahu apa-apa harus menjadi korban iblis itu...? Tidak, Ki! Aku tidak rela...!” seru Ki Ampar agak keras.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan?” tanya Ki Rakonta.
“Aku akan menantangnya bertarung, Ki,” sahut Ki Ampar, tegas.
“Ha ha ha...!”
“Oh...?!”
“Hah...?!”
Mereka terkejut setengah mati ketika tiba-tiba terdengar tawa yang begitu keras menggema seperti datang dari segala penjuru mata angin. Ketiga laki-laki tua yang tengah duduk di beranda rumah itu pun saling melempar pandang. Dan belum juga ada yang membuka suara, tiba-tiba....
Ki Rakonta, Ki Ampar, dan Ki Bantur terkejut setengah mati ketika tiba-riba terdengar tawa yang begitu keras menggelegar, tepat di saat Ki Ampar baru selesai mengucapkan tantangannya kepada Raja Kera Iblis. Dan pada saat tawa itu menghilang dari pendengaran, tiba-tiba saja... Clrasss!
Secercah cahaya kilat menyambar dan membelah angkasa kelam yang terselimut gumpalan tebal awan hitam. Di antara kilatan cahaya terang yang hanya sesaat itu, terlihat sesosok tubuh tinggi besar dan berbulu hitam berdiri tegak di tengah-tengah halaman depan rumah kepala desa itu. Kemunculan sosok tinggi besar bagai raksasa ini tentu saja membuat ketiga orang tua yang berada di beranda itu terkejut setengah mati. Sungguh mereka tidak tahu, kapan dan bagaimana makhluk tinggi besar berbulu hitam yang diketahui sebagai Raja Kera Iblis itu sudah berdiri tegak di tengah-tengah halaman rumah.
“Siapa yang menantangku? Cepat ke sini...!” bentak Raja Kera Iblis, keras.
Ki Rakonta dan Ki Bantur langsung menatap Ki Ampar. Sinar mata mereka memancarkan penyesalan terhadap sikap Ki Ampar, yang begitu sembrononya mengucapkan kata-kata tantangan. Tentu saja tantangan itu bisa didengar oleh Raja Kera Iblis, walaupun mereka tidak tahu, di mana makhluk kera raksasa itu berada.
“Hup...!”
Tiba-tiba Ki Ampar melompat ke luar dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Begitu indah dan ringan gerakannya, sehingga dalam sekejap dia sudah berdiri sekitar tiga batang tombak lagi di depan Raja Kera Iblis. Sementara itu, Ki Rakonta dan Ki Bantur juga bergegas keluar dari beranda. Namun, mereka tertahan sekitar beberapa langkah di depan tangga beranda depan.
“Kau yang hendak menantangku rupanya, heh...?.'“ ujar Raja Kera Iblis, lantang.
“Ya, aku yang menantangmu bertarung! Aku tidak akan membiarkan kau membantai semua orang di desa ini!” tegas Ki Ampar.
Dari raut wajah dan sorot matanya, tampak tidak ada lagi kegentaran sedikit pun terselip di hati Ki Ampar. Dia benar-benar sudah bertekad menantang Raja Kera Iblis, walaupun tahu apa akibatnya yang akan terjadi pada dirinya nanti. Dia sesungguhnya memang sadar bahwa kepandaian yang dimilikianya tidak ada artinya dibanding kesaktian makhluk berhati iblis ini.
Perlahan-lahan Ki Ampar menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Direntangkan cambuknya yang berbulu halus. Sorot matanya begitu tajam dan rahangnya terkatup rapat. Sedangkan makhluk tinggi besar berbulu hitam yang hanya mengenakan celana merah sebatas lutut itu hanya diam memperhatikan setiap gerakan yang dilakukannya.
“Hiyaaa...!”
Ctar!
Tiba-tiba Ki Ampar mengecutkan cambuknya dengan keras sekali ke depan. Begitu tinggi tenaga dalam yang dikerahkannya, sehingga ujung cambuk yang berbentuk bola kecil berduri tajam itu mengeluarkan percikan bunga api yang langsung menyebar ke seluruh tubuh Raja Kera Iblis.
“Hep!”
Namun, tanpa diduga sama sekali, makhluk bertubuh tinggi besar dan berbulu hitam itu mengebutkan tangan kanannya ke depan. Tindakan Raja Kera Iblis itu membuat Ki Ampar terperanjat setengah mati. Buru-buru cambuknya ditarik kembali.
“Hup!”
Bergegas pula laki-laki tua berjubah putih itu melompat ke belakang, hingga sambaran tangan. kanan Raja Kera Iblis tidak sampai menyambar ujung cambuknya. Tapi, tanpa diduga sama sekali, tibatiba....
“Ghraaagkh...!”
Derrr!
“Hoooh...!”
Ki Ampar terkejut setengah mati ketika tiba-tiba Raja Kera Iblis menghentakkan kakinya ke tanah. Seketika itu juga bumi yang mereka pijak bergetar begitu hebat Dan....
“Heh...!”
Ki Ampar terbeliak setengah mati begitu melihat tiba-tiba tanah di depannya terbelah. “Hup...!”
Buru-buru tubuhnya dilentingkan ke udara. Dan, dilakukannya beberapa kali putaran. Namun, pada saat yang bersamaan, Raja Kera Iblis juga melesat mengejarnya ke udara. Secepat kilat pula dilepaskannya satu pukulan keras yang diarahkan ke dada laki-laki tua berjubah putih itu.
“Hap! Yeaaah...!”
Ctar!
“Aaargkh...!';
Raja Kera Iblis menggerung dahsyat begitu ujung cambuk Ki Ampar menghantam pergelangan tangannya. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke belakang, berputaran beberapa kali, lalu menjejakkan kakinya kembali dengan ringan sekali di tanah. Meskipun tubuhnya begitu tinggi dan besar, tampak gerakannya sangat ringan.
“Ghreaaah...!”
Secepat itu pula Raja Kera Iblis menghentakkan tangan kanannya ke atas, tepat mengarah ke tubuh Ki Ampar yang masih berjumpalitan di udara. Dari telapak tangan itu tiba-tiba melesat bulatan merah sebesar kepalan bayi yang memancarkan api. Bola api itu meluncur deras ke arah Ki Ampar.
“Hiyaaa...!”
Ctar!
Kembali Ki Ampar mengecutkan cambuknya yang terkenal ampuh. Ujung cambuk itu langsung menghantam bola api yang meluncur cepat ke arahnya.
Glarrr!
Ledakan keras menggelegar yang begitu dahsyat seketika terdengar memecah keheningan malam, saat ujung cambuk yang berbandul bola besi baja kecil berduri itu menghantam bola api yang dilepaskan Raja Kera Iblis.
“Hup!”
Ki Ampar cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan, dengan manis sekali kakinya dijejakkan kembali di tanah. Namun, baru saja kedua kakinya menyentuh tanah, mendadak Raja Kera Iblis sudah menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan cepat dan bergantian beberapa kali.
“Ghruaaaghk...!”
Slap!
Ki Ampar harus berjumpalitan lagi di udara. Dihindarinya bola-bola api yang meluncur deras ke arahnya. Ledakan keras menggelegar terdengar beberapa kali dan saling susul begitu bola-bola api itu menghantam tanah dan pepohonan. Malam yang semula gelap gulita pun menjadi terang benderang oleh cahaya api yang timbul dari bola-bola api yang membakar pepohonan.
Pertarungan itu memang sungguh dahsyat. Masing-masing mencoba menjatuhkan lawannya. Entah sudah berapa jurus yang sudah dikeluarkan Ki Ampar, tapi masih belum juga bisa mendesak Raja Kera Iblis. Bahkan, semakin lama pertarungan itu berlangsung, Ki Ampar semakin kewalahan menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan makhluk kera raksasa itu. Meskipun tubuhnya sangat besar, namun gerakan-gerakan yang dilakukan Raja Kera Iblis sungguh cepat dan ringan.
“Ghraugkh...!”
Tiba-tiba Raja Kera Iblis menggerung dahsyat eketika itu juga, tubuhnya dilentingkan ke atas dengan cepat sekali. Secepat kilat pula kaki kanannya dihentakkan ke depan, tepat mengarah ke dada Ki Ampar. Begitu cepatnya serangan itu, sehingga Ki Ampar tidak dapat lagi berkelit menghindar, terlebih lagi, padak saat itu dia baru saja menghindari satu pukulan keras menggeledek yang ditenarkan makhluk kera raksasa ini. Dan...
Bugkh!
“Aaakh...!”
Ki Ampar menjerit keras melengking tinggi. Tubuhnya terpental deras ke belakang. Sebatang pohon yang berdiri tidak jauh di belakangnya seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuh laki-laki tua berjubah putih itu. Begitu kerasnya dia terbanting ke tanah, hingga mengeluarkan pekikan keras agak tertahan. Beberapa kali Ki Ampar bergulingan di tanah.
“Hoeeek...!”
Segumpal darah kental agak kehitaman terlontar dari mulut Ki Ampar ketika dia mencoba bangkit meskipun tubuhnya terhuyung-huyung dan dadanya terasa begitu sesak, Ki Ampar tetap mencoba bangkit. Dan, begitu dia bisa berdiri dengan tubuh terhuyung, mendadak saja....
“Ghraaagkh...!”
Wusss! Bugkh!
“Aaakh...!”
Lagi-lagi Ki Ampar menjerit keras dan terpental ke belakang. Dengan kecepatan bagai kilat Raja Kera Iblis kembali melepaskan satu tendangan keras menggeledek sambil melompat ke udara, dan tepat menghantam dada laki-laki tua itu.
Dan belum juga tubuh Ki Ampar mencapai tanah, Raja Kera Iblis sudah memberikan satu pukulan keras dengan tangan kanannya. Pukulan itu tepat menghantam kepala Ki Ampar. Laki-laki tua itu pun kembali menjerit melengking tinggi. Terdengar suara berderak dari kepala yang pecah terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
Bruk!
“Ohhh...!”
Ki Ampar menggelepar di tanah sambil mengerang lirih. Darah bercucuran deras dari kepalanya yang pecah. Dari mulutnya pun mengalir darah kental agak kehitaman. Sementara Ku, Raja Kera Iblis sudah berdiri dekat di samping tubuh laki-laki tua berjubah putih itu. Tiba-tiba....
Jlegkh!
“Aaakh...!”
Ki Ampar berkelojotan begitu kaki kanan Raja Kera Iblis yang berukuran sangat besar itu menjejak dadanya. Darah langsung muncrat dari mulutnya. Sebentar tubuhnya berkelojotan, kemudian diam tak bergerak lagi. Begitu Raja Kera Iblis mengangkat kakinya, tampak dada Ki Ampar sudah gepeng seperti tertindih sebongkah batu yang amat berat.
“Ghrrr! Ha ha ha...!”
Slap!
Cepat sekali Raja Kera Iblis melesat pergi. Dan, dalam sekejap dia sudah lenyap dari pandangan. Sementara, Ki Rakonta dan Ki Bantur yang sejak tadi diam saja memperhatikan pertarungan itu, tergegas menghampiri Ki Ampar yang sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Kepala Ki Ampar tampak pecah dan dadanya remuk akibat jejakan kaki Raja Kera Iblis yang berukuran sangat besar itu.
“Kejam...,” desis Ki Rakonta, hampir tidak sanggup melihat keadaan Ki Ampar.
Ki Bantur hanya diam memandangi mayat Ki Ampar yang sungguh mengenaskan itu. Gerahamnya terdengar bergemeletuk menahan geram. Dadanya bergemuruh, tapi tidak mampu berbuat sesuatu. Meskipun kemarahannya sudah memuncak sampai ke batas dada, dia harus berpikir seribu kali jika mau berbuat nekat seperti Ki Ampar yang menantang Raja Kera Iblis tadi.
Seluruh penduduk Desa Weling benar-benar dicekam perasaan takut Peristiwa terbunuhnya Ki Ampar semalam membuat mereka diliputi ke-gelisahan dan ketakutan yang tak bisa dilukiskan lagi dengan kata-kata. Terlebih lagi, mereka sudah sering mendengar cerita tentang Raja Kera Iblis, yang selama ini dianggap sebagai dongeng belaka. Dan sekarang, tokoh sakti yang sangat kejam itu benar-benar muncul menjadi kenyataan. Bahkan, sudah mengambil dua korban dalam kemunculannya pertama kali.
Seluruh penduduk tahu bahwa Ki Ampar bukanlah orang sembarangan. Mereka pun tahu bahwa Ki Ampar memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Tapi, ternyata dia bisa dikalahkan oleh Raja Kera Iblis. Bahkan, dia ditewaskan dengan cara yang begitu keji, walaupun lewat pertarungan yang sangat jujur. Peristiwa ini memang cepat sekali tersebar, meskipun baru terjadi semalam.
Kemunculan Raja Kera Iblis membuat seluruh penduduk Desa Weling tidak berani keluar dari rumahnya. Meskipun sekarang ini matahari sudah naik cukup tinggi, keadaan desa itu terlihat masih begitu sunyi. Tak ada seorang pun yang terlihat berada di luar rumahnya. Bahkan, jalan yang membelah desa itu pun tampak sangat sunyi. Desa Weling benar-benar bagaikan sebuah desa mati yang tidak berpenghuni lagi.
Dalam kesunyian itu, terlihat seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering dan tidak mengenakan baju berjalan tertatih-tatih di bawah teriknya sang mentari. Dia hanya mengenakan celana merah sebatas lutut Tampak dia terus melangkah menyusuri jalan tanah yang berdebu, seakan-akan tidak peduli dengan panasnya sengatan sinar matahari pada kulit tubuhnya yang kering dan hitam legam. Dia kemudian berhenti di depan sebuah rumah yang pintu dan jendelanya tertutup rapat.
Tok, tok, tok...!
Jari-jari tangannya yang kurus kering seperti hanya tulang terbalut kulit itu mengetuk pintu yang terbuat dari kayu yang sudah rapuh. Tak ada jawaban sedikit pun. Dia pun mengetuk lagi lebih keras. Dan tidak lama kemudian, terdengar langkah kaki yang terseret dari dalam.
“Siapa...?” terdengar suara agak serak dari Salam rumah berukuran kecil ini.
“Aku...!” sahut laki-laki tua itu.
Perlahan pintu terbuka sedikit Dan, dari balik pintal kayu yang sudah rapuh itu muncul seorang wanita tua berusia lebih dari tujuh puluh tahun.
“Oh...! Siapa kau, Ki?” tanya wanita tua itu, yang tampak agak terkejut melihat laki-laki yang sebaya dengannya berada di depan pintu rumahnya.
Laki-laki tua itu tidak menjawab sedikit pun. Perlahan dia mengangkat kepalanya. Sepasang bola matanya terlihat merah menyala, bagai sepasang bola api. Dan, perlahan bibirnya bergerak membentuk sebuah seringai, seakan-akan ingin memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring sangat runcing.
“Oh...?!”
“Ghrrr...!”
Bettt!
Tiba-tiba laki-laki tua itu mengebutkan tangannya ke depan. Dan....
Brak!
“Akh...!” pekik perempuan tua itu.
Sekali hentak saja, pintu kayu itu hancur berkeping-keping. Dan, sebelum perempuan tua itu menyadari siapa yang berada di hadapannya, tiba-tiba laki-laki tua itu sudah melompat masuk ke dalam. Secepat itu pula, tiba-tiba tubuhnya yang kurus kering langsung berubah.
“Oh...?!”
“Ghraaagkh...!”
Bret!
“Aaakh...!”
Bagaikan kilat, tangan kurus kering yang berubah menjadi besar dan berbulu hitam itu mengibas dan langsung menyambar leher perempuan tua itu. Sungguh cepat gerakannya. Dan tahu-tahu leher perempuan tua itu sudah terpenggal, seperti dibabat sebilah pedang yang amat tajam. Kepala perempuan tua itu pun terpental, lalu jauh bergulingan di lantai tanah rumah ini. “
Ghrrr...!”
Melihat darah yang muncrat dari leher tak berkepala itu, sinar mata makhluk bertubuh tinggi besar dan berbulu hitam itu tampak berbinar-binar. Cepat-cepat tubuh yang sudah menggeletak di tanah itu diterkamnya. Lalu, dengan kuku-kuku jari tangannya yang tajam dan runcing, dicabik-cabiknya dada perempuan tua itu hingga berlubang besar.
Lalu sambil menggerung-gerung, dikeluarkannya jantung di dalam dada itu. Dan langsung dikunyahnya. Dan setelah puas, darah yang bercucuran itu dihirupnya dengan rakus sekali.
“Ghrrr...!”
Tidak berapa lama, makhluk berbentuk kera raksasa itu sudah menguras habis darah yang bercucuran dari tubuh perempuan tua ini. Tak ada lagi setetes darah pun yang tersisa. Namun, sama sekati dia tidak tahu, semua perbuatannya diawasi oleh sepasang mata bersimbah air bening yang bersembunyi di balik sebuah pintu yang sedikit terbuka.
“Ghraaaugkh...!”
Setelah puas menghisap darah korbannya, makhluk kera raksasa berbulu hitam itu langsung melesat keluar dengan cepat sekali. Dan dalam sekejap bayangannya sudah lenyap tak terlihat lagi Tinggallah kini tubuh korbannya yang sudah tercabik hancur dengan darah tak tersisa sedikit pun.
“Nek...!”
Saat itu, dari balik pintu sebuah kamar, keluar seorang bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun. Bocah kecil itu langsung menghambur dan memeluk tubuh perempuan tua itu sambil menangis sesenggukan. Tidak dipedulikannya kalau tubuh tua yang dipeluknya sudah hancur dan tak berkepala lagi.
“Iblis...! Ini benar-benar sudah keterlaluan!” desis Ki Rakonta geram setengah mati. Matanya tidak ber-kedip memandangi mayat perempuan tua yang tubuhnya hancur dan kepalanya buntung itu.
Di sudut ruangan depan rumah kecil ini, terlihat Ki Bantur duduk di kursi kayu, sambil memangku bocah berusia sepuluh tahun yang menangis sesenggukan menyembunyikan kepala di dada laki-laki tua itu. Sedangkan Ki Suta tampak sibuk membereskan mayat perempuan tua itu, dibantu beberapa pemuda Desa Weling.
Saat Ki Suta selesai membereskan mayat perempuan tua itu, Ki Bantur bangkit dari kursi yang didudukinya. Diserahkannya bocah kecil itu kepada seorang perempuan separuh baya yang berada dekat dengannya. Kemudian kakinya melangkah menghampiri Ki Rakonta, yang masih tetap berdiri di depan jendela dengan pandangan tertuju langsung ke luar. Terlihat di sekitar rumah kecil ini masih banyak orang yang ingin mengetahui peristiwa yang terjadi. Ki Bantur kini berdiri di samping Kepala Desa Weling.
“Anak itu melihat semua kejadiannya, Ki,” kata Ki Bantur, dengan suara yang terdengar berbisik.
Ki Rakonta hanya menggumam perlahan, sambil melirik pada bocah laki-laki yang kini berada dalam pangkuan seorang perempuan setengah baya. Bocah itu masih menangis sesenggukan. Perempuan setengah baya itu pun kerepotan mendiamkannya. Ki Rakonta kembali mengarahkan pandangannya ke luar.
“Apa katanya?” tanya Ki Rakonta, dengan suara yang juga perlahan.
“Katanya, semalam datang laki-laki tua, yang kemudian berubah menjadi makhluk raksasa yang mengerikan,” sahut Ki Bantur.
“Hm..., rupanya dia sudah mulai mengubah dirinya untuk mencari korban,” gumam Ki Rakonta, seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Apa itu berarti dia tidak perlu lagi menekan kita untuk menyediakan korban, Ki?” tanya Ki Bantur.
“Kau benar, Ki Bantur. Dia sudah tidak sabar dan sekarang mencari korbannya sendiri dengan mengubah dirinya. Itu berarti kita akan menghadapi kesulitan yang lebih besar lagi. Kita tidak tahu lagi, kapan kemunculannya tiba. Bahkan dia bisa saja berada di antara orang-orang kita,” sahut Ki Rakonta.
“Terlalu berbahaya bagi kita semua kalau begitu, Ki. Desa ini seringkah dimasuki para pendatang. Kita tidak mungkin mencurigai mereka yang datang ke sini, Ki. Lagi pula, tidak semua orang di desa ini kita kenali satu persatu,” kata Ki Bantur, langsung bisa membaca kesulitan yang bakal dihadapi.
Seluruh penduduk desa ini benar-benar sudah terancam keselamatannya. Raja Kera Iblis tidak akan berhenti sebelum seluruh penduduk habis menjadi korbannya. Dia akan terus mencari manusia untuk dijadikan korban. Bahkan, bukan tidak mungkin, kemunculannya akan dimanfaatkan oleh orang-orang rimba persilatan yang beraliran hitam. Mereka akan menyembah dan mendapatkan perlindungan, dengan imbalan mencarikan manusia untuk santapan iblis raksasa berbentuk kera itu. Dunia pun terancam kehancuran kalau hal ini benar-benar terjadi.
Di saat kedua orang tua itu terdiam, tiba-tiba....
Glarrr...!
“Heh...?!”
“Hah...?!”
Bukan hanya Ki Rakonta dan Ki Bantur yang terkejut ketika tiba-tiba terdengar ledakan keras menggelegar yang begitu dahsyat. Semua orang yang memadati rumah ini juga tersentak kaget setengah mati. Seketika itu juga, mereka yang berada di sekitar rumah ini berhamburan sambil berteriak-teriak panik. Suasana pun seketika menjadi gaduh.
Ki Suta yang sedang mengurus mayat perempuan tua di rumah ini juga langsung menghentikan pekerjaannya. Dia cepat melompat mendekati Ki Rakonta dan Ki Bantur yang masih berdiri di depan jendela. Sementara itu, semua orang yang berada di luar sebentar saja sudah menghilang ke dalam rumah masing-masing. Suasana gaduh pun seketika lenyap. Keadaan pun jadi begitu sunyi. Saat itu....
Glarrr...!
Kembali terdengar ledakan yang begitu keras dan dahsyat Jelas sekali ledakan itu datang dari sebelah Timur lereng Gunung Weling.
“Ki Suta, kau tetap di sini. Aku dan Ki Bantur akan melihat ledakan itu,” kata Ki Rakonta.
“Baik, Ki,” sahut Ki Suta.
Bagaikan kilat Ki Rakonta dan Ki Bantur melesat melalui jendela yang sejak tadi terbuka lebar. Sementara itu Ki Suta bergegas menutup jendela dan pintu rumah ini. Sekilas dia melirik pada beberapa orang yang masih berada di dalam rumah. Mereka tidak berani keluar untuk kembali ke rumah masing-masing. Mereka juga memandangi Ki Suta, seakan-akan meminta perlindungan dari laki-laki tua yang mengenakan jubah putih itu.
“Kalian tetap saja di sini sampai Ki Rakonta dan Ki Bantur kembali,” kata Ki Suta.
Semua orang yang berada di dalam rumah ha-iya mengangguk. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Sedangkan Ki Suta kembali nengurus mayat perempuan tua pemilik rumah ini, «bantu empat orang pemuda.
Ki Rakonta dan Ki Bantur terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Tingkat kepandaian mereka setara, sehingga keduanya selalu tampak berdampingan tanpa saling mendahului. Mereka menuju arah sebelah Timur lereng Gunung Weling. Beberapa kali masih terdengar ledakan, yang semakin keras memekakkan telinga.
“Ki, lihat..!” seru Ki Bantur sambil menunjuk ke sebuah padang rumput yang berada di lereng Gunung Weling sebelah Timur.
“Oh.,.,” desah Ki Rakonta.
Mereka bergegas ke padang rumput yang tidak begitu besar itu. Tampak di sana, seorang pemuda berbaju kulit harimau tengah bertarung sengit melawan sesosok makhluk, bertubuh tinggi besar dan berbulu kehitaman. Wajah makhluk itu begitu mengerikan, mirip seekor kera. Dan, dia hanya mengenakan celana warna merah sebatas lutut Tidak jauh dari situ, terlihat seorang gadis cantik berbaju merah muda sedang memperhatikan jalannya pertarungan itu. Tampak pula seekor monyet kecil berbulu hitam di samping kanan gadis itu, yang berpaling begitu Ki Rakonta dan Ki Bantur sampai di padang rumput lereng-Gunung Weling ini.
“Nguk...!”
Ki Rakonta agak terkejut begitu melihat gadis cantik berbaju merah muda itu. Kemudian pandangannya diarahkan pada pertarungan sengit yang sedang berlangsung. Dan, kembali dipandangnya gadis cantik yang juga tengah menatapnya. Perlahan Ki Rakonta dan Ki Bantur menghampiri gadis itu. Ki Rakonta ingat gadis inilah yang datang ke Desa Weling tempo hari bersama pemuda berbaju kulit harimau, yang kini tengah bertarung melawan makhluk kera raksasa yang tak lain dari Raja Kera Iblis. Ki Rakonta pun ingat, mereka pernah memperkenalkan diri. Gadis ini bernama Ratna Wulan. Dan pemuda yang sedang bertarung itu adalah Bayu, yang di kalangan rimba persilatan lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka.
“Sudah berapa lama mereka bertarung?” tanya Ki Rakonta.
“Belum lama,” sahut Ratna Wulan.
Ratna Wulan membungkukkan tubuhnya sedikit lalu mengangkat Tiren. Monyet kecil in berbulu hitam itu langsung memeluk leher yang putih jenjang ketika gadis itu menempatkan di pundaknya. Tampaknya Tiren juga mengenali Ki Rakonta. Dan, binatang itu terus memandang Ki Rakonta sambil sesekali mengeluarkan suaranya yang kecil di telinga Ratna Wulan.
“Kenapa sampai bisa bertarung?” tanya Ki Bantur.
“Makhluk itu tiba-tiba saja muncul dan langsung menyerang,” sahut Ratna Wulan lagi.
“Anak itu bisa celaka, Ki,” bisik Ki Bantur.
“Hm...,” gumam Ki Rakonta.
Kemudian tidak ada yang berbicara lagi. Mereka memperhatikan pelannya pertarungan yang semakin terlihat sengit itu. Tampak jelas bahwa Bayu masih bisa menandingi Raja Kera Iblis. Bahkan, sudah beberapa kali pukulan Pendekar Pulau Neraka mengenai tubuh makhluk berbentuk kera raksasa berbulu hitam itu. Tapi, tampaknya Raja Kera Iblis benar-benar sulit ditundukkan. Walaupun pukulan Pendekar Pulau Neraka mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, tetap saja Raja Kera Iblis tidak mundur setapak pun, bahkan semakin kelihatan ganas.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba Bayu melentingkan tubuhnya ke udara dan berjumpalitan beberapa kali ke belakang. Dengan gerakan yang indah dan ringan sekali, Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kakinya kembali di tanah sejauh tiga batang tombak dari makhluk kera raksasa berbulu hitam pekat itu.
“Phuih...!”
“Ghrrr...!”
Raja Kera Iblis menggerung agak keras. Dan begitu dia melompat hendak menerjang pemuda berbaju kulit harimau itu, dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka memiringkan tubuhnya ke kiri dengan sedikit membungkuk. Lalu, tangan kanannya ditarik hingga sejajar dada. Dan....
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu menghentakkan tangan kanannya ke depan, tepat di saat Raja Kera Iblis berada di udara dan begitu dekat dengannya. Pada saat itu juga, Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat cepat bagai kilat
Wusss!
Senjata maut 'andalan Pendekar Pulau Neraka langsung menghantam dada Raja Kera Iblis yang tidak sempat lagi menyadari serangan pemuda berbaju kulit harimau itu.
“Aaargh...!”
Raungan keras terdengar dahsyat menggelegar. Seluruh lereng Gunung Weling pun bergentar. Tampak Raja Kera Iblis terjatuh ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun, dia cepat melenting dan kembali bangkit berdiri. Saat itu pun Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut berwarna keperakan dan bersegi enam yang tertanam di dada Raja Kera Iblis langsung melesat balik dan menempel kembali di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
“Ghraaaugkh...!”
“Hup!”
Bayu cepat-cepat melompat ke belakang sejauh dua batang tombak. Tampak Raja Kera Iblis meraung-raung keras sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Dari dadanya yang berlubang, terlihat darah segar bercucuran. Dan, mendadak dia diam sambil menatap tajam pada Pendekar Pulau Neraka dengan matanya yang merah menyala bagai sepasang bola api.
“Ghrrr...!”
Slap!
Tiba-tiba makhluk kera raksasa itu melesat cepat bagai kilat. Dan dalam sekejap dia sudah tak terlihat lagi, masuk ke dalam hutan di lereng Gunung Weling yang, sangat lebat ini. Namun, Bayu sempat melihat kalau makhluk kera raksasa yang sangat mengerikan itu menuju ke puncak Gunung Weling.
“Kakang...!”
“Nguk! Chraaak...!”
Bayu cepat berpaling saat mendengar suara memanggil namanya dari arah belakang. Terdengar juga seruan nyaring dari seekor monyet kecil. Perlahan Bayu memutar tubuhnya berbalik. Dilihatnya Ratna Wulan berjalan cepat menghampirinya, diikuti dua laki-laki tua yang mengenakan jubah panjang berwarna putih bersih. Sedangkan Tiren langsung melompat turun dari pundak Ratna Wulan, lalu berlari cepat sambil mencerecet menghampiri Pendekar Pulau Neraka.
Tiren langsung melompat begitu Bayu mengulur-kan tangannya, lalu segera memeluk leher yang bersimbah keringat itu. Sedangkan Ratna Wulan, Ki Rakonta, dan Ki Bantur terus berjalan cepat menghampiri Pendekar Pulau Neraka.
“Nguk! Nguk...!”
Bayu tersenyum sambil menepuk-nepuk kaki Tiren yang kini sudah nangkring di pundak kanannya. Dia seakan-akan bisa mengerti, apa yang dikatakan monyet kecil ini.
“Kau tidak apa-apa, Kakang?” tanya Ratna Wulan, sambil merayapi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu hanya tersenyum. Pandangannya langsung tertuju pada dua orang laki-laki tua berjubah putih yang kini juga sudah berada dekat di depannya. Sedangkan Ratna Wulan sudah berdiri di samping kanan Pendekar Pulau Neraka. Beberapa saat mereka terdiam.
Mereka memang sudah bertemu sebelumnya di Desa Weling, tapi perjumpaan itu tidak mengenakkan sekali. Ki Rakonta waktu itu tidak menghendaki kehadiran seorang pendatang pun di Desa Weling. Sehingga, ketika Bayu dan Ratna Wulan datang, mereka langsung diusir begitu saja. Namun, hal ini bisa dimaklumi, karena dia harus selalu waspada sejak Raja Kera Iblis muncul.
Sungguh dahsyat akibat yang ditimbulkan pertarungan tadi. Tidak sedikit pohon yang tumbang. Tanah pun tampak terbongkar terkena pukulan-pukulan bola api Raja Kera Iblis yang tidak mengenai sasaran. Keadaan di lereng Gunung Weling ini seperti baru teramuk oleh ratusan gajah.
“Aku benar-benar kagum. Kau mampu melukai, bahkan membuatnya kabur,” ujar Ki Rakonta, memecah kekakuan yang terjadi di antara mereka.
“Tampaknya kau tahu tentang makhluk itu, Ki...?” ujar Bayu, agak menggumam.
Sinar mata Pendekar Pulau Neraka begitu dalam dan tertuju langsung ke bola mata laki-laki tua yang berada di depannya. Sedangkan Ki Rakonta, yang dipandangi seperti itu hanya tersenyum. Dia bisa merasakan bahwa pemuda berbaju kulit harimau ini menaruh curiga padanya. Hal ini bisa dimaklumi, karena pertemuan pertama mereka memang tidak mengenakkan.
“Ya, aku tahu makhluk itu. Bahkan beberapa orang penduduk desaku sudah menjadi korbannya,” kata Ki Rakonta.
Tampak jelas bahwa Bayu dan Ratna Wulan terkejut mendengar kata-kata Ki Rakonta barusan. Sungguh mereka tidak menyangka, makhluk kera raksasa itu sudah menjarah ke Desa Weling dan mengambil beberapa korban manusia. Beberapa saat keduanya saling melempar pandang. Kemudian mereka kembali menatap pada dua orang laki-laki tua berjubah putih dari Desa Weling itu.
“Dia memang bukan makhluk biasa. Dia iblis yang datang dari dasar neraka. Setiap kali muncul, dia selalu menimbulkan bencana yang tidak kecil. Dia selalu mencari manusia untuk santapannya,” kata Ki Rakonta lagi
“Santapan...? Maksudmu, Ki?” tanya Ratna Wulan, tidak mengerti.
“Dia selalu membunuh orang hanya untuk menghirup darah dan memakan jantungnya,” jelas Ki Rakonta.
“Oh...,” desah Ratna Wulan panjang.
Tubuh Ratna Wulan tampak bergidik sedikit. Tidak pernah terbayangkan olehnya sama sekali kalau makhluk mengerikan berbentuk kera raksasa itu adalah makhluk peminum darah dan pemakan jantung manusia. Dan sukar juga untuk dibayangkan, bagaimana cara makhluk itu menghirup darah dan memakan jantung manusia yang menjadi korbannya. Pantas kera raksasa itu sangat ganas saat bertarung melawan Pendekar Pulau Neraka tadi. Meskipun senjata Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka berhasil melukainya dan membuatnya kabur dari tempat ini.
Tapi, hal itu bukan berarti Raja Kera Iblis telah jera. Dia pasti akan datang lagi membawa malapetaka yang lebih besar. Hal ini sudah bisa ditebak Ki Rakonta dan Ki Bantur. Kekalahan kecilnya dari Pendekar Pulau Neraka akan membuat Raja Kera Iblis semakin bertambah murka. Dan, neraka pun akan tersebar di atas permukaan bumi ini.
“Bagaimana kalau kalian berdua menetap di desa kami. Sumbangan tenaga kalian tentu sangat diperlukan untuk menghadapi Raja Kera Iblis,” kata Ki Rakonta, tanpa sungkan-sungkan lagi.
Bayu melirik sedikit pada Ratna Wulan. Sedangkan gadis itu hanya mengangkat bahu. Tampaknya dia menyerahkan keputusan pada Pendekar Pulau Neraka.
“Aku tahu, kalian masih sungkan. Maaf atas perilaku yang tidak mengenakkan dariku waktu itu,” kata Ki Rakonta, yang langsung teringat kalau dia pernah tidak mau menerima pendekar-pendekar muda ini.
“Bukan itu masalahnya, Ki. Aku dan Wulan bisa memakluminya. Tapi, apa mungkin makhluk itu hanya menjarah ke Desa Weling? Aku rasa, masih ada desa-desa lain di sekitar kaki Gunung Weling ini,” kata Bayu cepat-cepat
“Dia tidak akan meninggalkan satu desa sebelum seluruh penduduknya habis,” ujar Ki Rakonta. “Dan kebetulan, dia muncul pertama kali di Desa Weling. Tidak mungkin dia ke desa lain, karena masih banyak penduduk di Desa Weling yang bisa dijadikan korbannya.”
“Tampaknya kau memang tahu banyak tentang ala, Ki,” kata Bayu lagi.
“Memang, cerita tentang Raja Kera Iblis sudah tidak asing lagi di Desa Weling. Cerita itu sudah sering didengar sejak zaman nenek moyang kami dulu. Mungkin sudah ratusan tahun lalu cerita itu sudah ada. Selama ini kami memang selalu menganggapnya sebagai dongeng belaka. Tapi ternyata Raja Kera Iblis benar-benar ada dan sekarang muncul dengan membawa malapetaka yang tidak mungkin bisa kami hadapi sendiri,” jelas Ki Rakonta lagi.
Lagi-lagi Bayu dan Ratna Wulan saling ber-pandangan. Mereka benar-benar tidak menyangka kalau makhluk kera raksasa yang dijuluki Raja Kera iblis itu sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
“Melihat kau bertarung tadi, aku yakin, kau pasti mampu menandingi Raja Kera Iblis,” selak Ki Bantur, yang sejak tadi diam saja.
“Terus terang, aku sendiri tadi hampir saja tidak sanggup menghadapinya. Aku rasa, dia memiliki ilmu kebal pada tubuhnya. Semua pukulanku tampak tidak ada artinya sama sekali,” kata Bayu, merendah.
“Tapi kau memiliki senjata yang sanggup melukainya, Anak Muda. Aku yakin, senjatamu itu bisa membunuhnya pula. Dan, sepanjang yang kutahu, dia memang kebal terhadap segala jenis senjata,” ujar Ki Rakonta.
Bayu melirik pada Cakra Maut di pergelangan tangan kanannya dengan kening agak berkerut Dia sendiri tadi tidak mengerti, kenapa Cakra Maut ini berhasil menembus dada makhluk kera raksasa itu. Padahal, pukulan-pukulan mautnya yang bertenaga dalam tinggi tidak bisa menggoyahkan pertahanan makhluk kera raksasa itu.
Bayu tidak menyadari kalau Cakra Maut miliknya adalah senjata pusaka yang sangat langka. Benda sekeras apa pun mampu ditembusnya. Senjata pusaka peninggalan Eyang Gardika itu memang dibuat dari baja putih pilihan yang direndam dengan ramu-ramuan yang terdapat di Pulau Neraka. Dan, sampai saat ini Bayu pun masih belum bisa mengerti sepenuhnya tentang Cakra Maut miliknya itu.
“Mari, Kisanak, Nini.... Sebaiknya kita ke Desa Weling saja. Aku khawatir, dia mengamuk di sana sekarang ini,” ajak Ki Rakonta.
“Nguk...!”
Malah Tiren yang menyahuti ajakan kepala desa itu. Tingkah Tiren yang lucu dan seperti mengerti akan semua yang mereka bicarakan barusan, membuat Ki Rakonta dan Ki Bantur tersenyum senyum geli di dalam hati. Seringkah Tiren menyelak pembicaraan mereka. Dan tampaknya pula, Bayu bisa memahami setiap suara yang dikeluarkan monyet kecil itu. Inilah persahabatan yang sangat langka, antara manusia dan binatang. Dan yang lebih mengherankan, mereka tampak bisa mengerti satu sama lain.
“Bagaimana, Bayu...?” desak Ki Rakonta.
Kali ini Bayu dan Ratna Wulan tidak bisa lagi menolak. Terlebih lagi, mereka sudah cukup banyak mendengar cerita tentang makhluk kera raksasa itu. Tanpa ada yang berbicara lagi, mereka kemudian melangkah meninggalkan lereng Gunung Weling. Dan dalam perjalanan menuju Desa Weling, Ki Rakonta dan Ki Bantur secara bergantian menceritakan keadaan di desa itu, termasuk mengenai makhluk mengerikan yang berjuluk Raja Kera Iblis. Sedangkan Bayu dan Ratna Wulan hanya mendengarkan.
Dua hari sudah Bayu dan Ratna Wulan berada di Desa Weling. Tapi, selama dua hari ini tidak lagi mereka bertemu dengan Raja Kera Iblis. Dan, selama dua hari ini pula, Ki Rakonta mengungsikan penduduknya ke desa-desa lain yang dianggap lebih aman. Tindakan Ki Rakonta ini tentu saja membuat berita kemunculan Raja Kera Iblis cepat tersebar ke desa-desa lain yang berada di sekitar kaki Gunung Weling.
Tidak heran, dalam dua hari saja, banyak pendekar dari sekitar kaki Gunung Weling berdatangan ke desa ini Desa Weling pun sekarang tampak ramai, karena terus-menerus didatangi para pendekar yang ingin melenyapkan makhluk kera raksasa itu.
“Cepat sekali berita tentang makhluk kera itu tersebar...,” gumam Ratna Wulan perlahan, seperti bicara pada dirinya, sendiri.
Sejak pagi tadi gadis itu berdiri di depan jendela ruangan depan rumah Ki Rakonta. Di depan matanya kini tampak orang-orang persilatan semakin banyak berdatangan ke desa ini. Desa yang semula kelihatan sunyi sepi dicekam ketakutan, sekarang berubah menjadi ramai. Para pendekar dari rimba persilatan itu sengaja datang untuk menjajal ketangguhan Raja Kera Iblis.
“Cerita tentang Raja Kera Iblis memang sudah tersebar dan diketahui banyak orang. Bahkan tidak sedikit yang sengaja menunggu kemunculannya hanya untuk menjajal kesaktiannya,” ujar Ki Rakonta.
“Aku rasa, keadaan ini akan menarik perhatian mereka yang bergolongan hitam, Ki,” kata Ratna Wulan.
“Itu sudah pasti, Nini Wulan. Lihat saja, baru dua hari sudah terjadi beberapa kali keributan dan pertarungan. Bahkan sudah beberapa orang yang tewas akibat saling bertarung. Memang, pengaruh Raja Kera Iblis sangat luar biasa,” kata Ki Rakonta.
“Keadaan semakin bertambah parah, Ki,” desah Ratna Wulan.
“Yaaah..., bisa lebih parah lagi kalau Raja Kera Iblis tidak segera dienyahkan,” sahut Ki Rakonta, yang juga mendesah perlahan.
Mereka terdiam membisu, sama-sama memandang ke luar melalui jendela yang sengaja dibiarkan terbuka. Tak ada orang di dalam ruangan ini kecuali mereka berdua. Cukup lama juga mereka berdiam diri memandangi orang-orang yang hilir-mudik memadati jalan yang membelah Desa Weling. Di antara orang-orang itu tak terlihat seorang pun penduduk desa ini. Mereka semua pendatang, orang-orang dari kalangan dunia persilatan yang sengaja datang ke desa ini hanya untuk bertemu Raja Kera Iblis.
“Tadi Bayu bilang ke mana perginya?” tanya Ki Rakonta.
“Tidak, Ki,” sahut Ratna Wulan.
“Dengan siapa dia pergi?”
“Sendiri.”
“Apa dia selalu begitu? Pergi sendiri tanpa memberi tahu ke mana tujuannya, Nini Wulan?” tanya Ki Rakonta lagi.
Ratna Wulan hanya mengangkat bahunya sedikit Dia sendiri belum begitu mengenal pribadi Pendekar Pulau Neraka itu. Dia belum lama ikut berjalan bersama-sama. Jadi, belum tahu betul akan watak dan kebiasaannya. Dan, tentu saja Ratna Wulan tidak bisa menjawab pertanyaan Ki Rakonta tadi. Karena, gadis itu sendiri tidak tahu, ke mana Pendekar Pulau Neraka pergi. Dia memang tidak bertanya kepada Bayu, ke mana tujuannya, ketika pemuda itu berpamitan tadi.
“Itu dia datang, Ki...!” seru Ratna Wulan sambil menunjuk ke luar jendela.
Ki Rakonta menjulurkan kepalanya, melewati bahu gadis ini. Dilihatnya Bayu, yang selalu mengenakan baju kulit harimau, berjalan melenggang melintasi halaman depan rumah ini. Monyet kecilnya tampak berlari-lari kecil mengitari langkah pemuda itu. Sebentar saja mereka menunggu, Pendekar Pulau Neraka sudah berada di ambang pintu yang sejak tadi dibiarkan terbuka lebar. Pemuda berbaju kulit harimau itu terus melangkah. Dan, tubuhnya dihempaskan di kursi sebelah kanan Ratna Wulan.
“Nguk...!”
“Ke sini, Tiren,” kata Ratna Wulan sambil menjulurkan tangan kanannya.
“Nguk...!”
Sekali lompatan saja, monyet kecil itu sudah berada di pangkuan Ratna Wulan. Sedangkan Bayu masih mengatur napasnya. Dia kelihatan begitu lelah, seperti baru melakukan perjalanan yang sangat panjang. Keringat pun tampak bercucuran membasahi sekujur tubuhnya.
Ki Rakonta menghampiri dan menarik kursi ke depan Pendekar Pulau Neraka. Kemudian dia duduk di sana. Diperhatikannya wajah Bayu yang memerah bersimbah keringat.
Dengan punggung tangannya, Pendekar Pulau Neraka menyeka keringat yang mengucur membasahi lehernya. Dia melirik sedikit pada Ratna Wulan yang sejak tadi memperhatikannya. Kini gadis itu sudah duduk di sampingnya.
“Ke mana kau tadi, Kakang?” tanya Ratna Wulan, membuka suara lebih dahulu.
Lembut sekali gadis itu mengelus-elus kepala Tiren dengan jari-jari tangannya yang halus dan lentik. Sedangkan monyet kecil itu tampak kesenangan. Kepalanya direbahkan di dada yang membusung indah ini. Dia memang selalu manja bila berdekatan dengan wanita, terlebih lagi bila berada di pangkuan gadis cantik seperti Ratna Wulan ini. Matanya tampak terpejam begitu dinikmatinya kelembutan kulit jari-jari tangan yang halus ini.
“Ke lereng Gunung Weling,” sahut Bayu.
“Mau apa ke sana?” tanya Ratna Wulan lagi.
“Nguk...!”
Tiren lebih dulu menyahuti sebelum Bayu membuka mulutnya.
“Hanya melihat keadaan.”
“Lalu, apa yang kau dapatkan di sana?” selak Ki Rakonta.
“Semakin parah, Ki,” sahut Bayu, seraya menatap laki-laki tua berjubah putih yang duduk di depannya ini.
“Semakin parah...? Maksudmu?” tanya Ki Rakonta.
“Ya..., kita sekarang tidak hanya menghadapi Raja Kera Iblis, tapi juga orang-orang persilatan beraliran sesat yang ingin bergabung dengan Raja Kera Iblis. Mereka sekarang berkumpul di lereng Gunung Weling. Mereka tampaknya hendak ke puncak gunung menemui Raja Kera Iblis,” jelas Bayu. “Bahkan tadi aku sempat bertarung dengan mereka....”
“Jagat Dewa Batara.... Inilah yang aku khawatirkan sejak semula,” desah Ki Rakonta, memotong ucapan Bayu yang belum selesai.
Bayu terdiam. Ratna Wulan pun diam saja. Lalu, dengan usil, bulu-bulu halus di tubuh Tiren dicabutinya. Monyet kecil itu pun menggelinjang, kemudian melompat, berpindah ke pundak Pendekar Pulau Neraka.
“Kalau saja aku tidak gegabah mengungsikan penduduk...,” desah Ki Rakonta lagi.
“Kau tidak perlu menyesal, Ki. Tindakanmu mengungsikan penduduk ke tempat yang lebih aman itu sangat tepat dan bijaksana,” kata Bayu cepat, sebelum Ki Rakonta menyelesaikan kalimatnya.
“Tapi tindakanku itu malah mengundang mereka, Bayu.”
“Sama sekali tidak benar, Ki. Mereka memang sudah tahu sejak semula,” bantah Bayu.
“Maksudmu...?” tanya Ki Rakonta, yang tampak tidak mengerti.
“Tadi aku sempat mendengar pembicaraan mereka yang datang ke sini, Ki. Mereka memang sudah melihat tanda-tanda kemunculan Raja Kera Iblis. Dan, mereka memang sebenarnya sedang mencari, di mana munculnya Raja Kera Iblis. Mereka sudah menjelajahi seluruh kaki Gunung Weling ini. Dan secara kebetulan, kau mengungsikan penduduk ke tempat yang lebih aman pada saat mereka sedang menuju ke sini, Ki. Jadi mereka semakin yakin kalau Raja Kera Iblis sudah bangkit dan sekarang berada di sekitar desa ini. Dan itu berarti bukan kesalahanmu kalau mereka sekarang berada di sini, Ki,” jelas Bayu dengan gamblang.
“Dongeng itu sekarang telah menjadi kenyataan, Bayu. Iblis itu kini semakin kuat. Tidak mungkin kita bisa melawannya lagi,” ujar Ki Rakonta, perlahan.
Lemas seluruh tubuh Ki Rakonta mendengar keterangan yang baru dikatakan Bayu tadi. Sungguh tidak disangka kalau berita tentang kemunculan Raja Kera Iblis demikian cepat tersebar. Bahkan, tokoh-tokoh golongan hitam sudah mulai berdatangan ke puncak Gunung Weling untuk menemui makhluk kera raksasa itu. Bergabungnya mereka tentu saja akan menambah kekuatan Raja Kera Iblis. Dia bisa membentuk sebuah pasukan yang tidak akan tertandingi oleh siapa pun. Dia benar-benar akan menguasai seluruh mayapada ini, tanpa da seorang pun yang mampu lagi melenyapkannya.
Keadaan di sekitar kaki Gunung Weling semakin bertambah buruk. Tokoh persilatan beraliran putih kini bukan lagi harus berhadapan dengan Raja Kera Iblis. Mereka juga terpaksa harus berhadapan dengan tokoh-tokoh persilatan beraliran hitam, yang sudah menggabungkan diri dengan makhluk iblis kera raksasa itu.
Tidak hanya di Desa Weling, tokoh-tokoh dunia hitam itu pun ternyata sudah mulai menjarah ke desa-desa lain di sekitar kaki Gunung Weling. Mereka terus menculik para penduduk untuk dipersembahkan kepada Raja Kera Iblis sebagai korban santapannya. Bahkan, Bayu dan Ratna Wulan sendiri sudah beberapa kali harus bertarung dengan mereka, ketika tokoh-tokoh sesat itu hendak menculik penduduk Desa Weling.
“Keadaan semakin memburuk saja, Kakang. Tidak ada jalan lain, kita harus menantang Raja Kera Iblis,” kata Ratna Wulan, saat mereka baru saja menggagalkan tiga orang pengikut Raja Kera Iblis yang hendak membawa seorang penduduk Desa Weling.
“Tidak mudah untuk mencapai tempatnya, Wulan. Terlalu banyak pengikut Raja Kera Iblis yang menjaga sekitar lereng gunung,” sahut Bayu.
“Tapi kalau didiamkan terus, pengikutnya akan semakin bertambah banyak, Kakang. Dan dia akan semakin kuat,” kata Ratna Wulan, penuh semangat
Bayu hanya diam.
“Kakang, bagaimana kalau kita kumpulkan semua pendekar yang ada di sini, lalu kita serang puncak Gunung Weling,” usul Ratna Wulan.
Bayu masih tetap diam. Memang tidak sedikit jumlah pendekar berjiwa luhur yang ada di sekitar kaki Gunung Weling ini. Tapi, itu tidaklah cukup untuk menggempur tempat kediaman Raja Kera Iblis di puncak Gunung Weling. Lagi pula, mereka yang menggabungkan diri menjadi pengikut Raja Kera Iblis pun tidak sedikit jumlahnya. Dan, mereka rata-rata memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.
Bayu mengerti, bukan hal yang mudah untuk mencapai puncak Gunung Weling. Baru sampai di lerengnya saja, mereka pasti harus berhadapan dengan para pengikut Raja Kera Iblis. Dan, pasti tidak mudah melewatinya. Keadaan seperti ini membuat Bayu semakin berpikir keras. Harus dicari jalan yang paling tepat untuk menghadapi Raja Kera Iblis yang semakin kuat karena dibantu tokoh-tokoh persilatan golongan hitam.
Saat itu terlihat Ki Rakonta datang menghampiri dengan setengah berlari. Tampak kepala desa itu tergopoh-gopoh, seperti sedang mengejar sesuatu. Bayu dan Ratna Wulan memperhatikan orang tua itu sampai tiba di dekat mereka. Napas Ki Rakonta terdengar tersengal dan menggemuruh. Keringat bercucuran di leher dan wajahnya yang memerah.
“Ada apa, Ki?” tanya Bayu langsung.
“Aduh..., celaka, Bayu. Celaka...,” ujar Ki Rakonta dengan napas yang masih memburu.
“Celaka...?! Ada apa, Ki? Apa yang terjadi...?” desak Bayu, tidak mengerti.
“Ki Bantur dan Ki Suta serta beberapa orang pendekar sekarang sedang menuju ke puncak Gunung Weling. Mereka hendak menggempur sarang Raja Kera Iblis.”
“Edan...!” desis Bayu, agak mendengus.
Sementara itu Ratna Wulan hanya diam. Dipandanginya Ki Rakonta dan Pendekar Pulau Neraka secara bergantian. Baru saja dia tadi menyarankan pada Bayu untuk menyerang puncak Gunung Weling. Bibirnya pun belum kering mengucapkan hal itu. Dan sekarang, Ki Rakonta malah membawa kabar kalau Ki Bantur dan Ki Suta serta beberapa orang pendekar beraliran putih tengah menuju ke puncak Gunung Weling.
“Kapan mereka pergi, Ki?” tanya Bayu.
“Sudah sejak tadi, Bayu. Mereka tidak mau mendengarkan kata-kataku. Mereka tetap nekat pergi ke sana. Padahal, kau sudah mengatakan kalau sekitar lereng Gunung Weling kini dijaga ketat.”
“Kau di sini saja, Wulan,” kata Bayu.
“Kau mau ke mana, Kakang...?”
Bayu tidak sempat lagi mendengar pertanyaan Ratna Wulan sampai habis. Dia sudah melesat cepat bagai kilat Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam sekejap Bayu sudah lenyap dari pandangan.
Bayu terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan yang sempurna. Kedua kakinya seakan-akan tidak menjejak tanah sama sekali. Pendekar Pulau Neraka terus berlari mendaki lereng Gunung Weling sebelah Umur. Tapi, tak ada seorang pun yang dijumpainya sampai dia berada cukup tinggi di lereng gunung ini. Dan, Bayu langsung menghentikan larinya ketika mulai merasakan kejanggalan.
Tapi, belum juga Pendekar Pulau Neraka sempat berpikir lebih jauh, mendadak....
Wusss!
“Heh...?”
“Uts!”
Cepat-cepat Bayu melompat ke samping ketika tiba-tiba dari arah depannya meluncur sebatang tombak yang cukup panjang. Tombak itu tampaknya terbuat dari kayu yang berwarna hitam pekat, dengan mata putih keperakan. Manis sekali Bayu menghindarinya.
Creb!
Tombak itu langsung menancap di tanah, tepat di samping kiri kaki Pendekar Pulau Neraka. Dan baru saja Pendekar Pulau Neraka menjulurkan tangannya hendak meraih tombak bergagang hitam itu, kembali dia dikejutkan dengan terdengarnya desingan halus dari arah belakang.
“Hup...!”
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke samping. Pada saat yang bersamaan, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat di samping tubuh Pendekar Pulau Neraka itu. Manis sekali Bayu menjejakkan kakinya kembali di tanah. Dan, di depannya kini sudah berdiri seorang laki-laki setengah baya, yang mengenakan baju berwarna hitam pekat, dengan ikat kepala yang juga hitam. Di tangan kanan laki-laki itu tergenggam sebatang tombak berukuran panjang yang juga berwarna hitam.
Kelopak mata Bayu tampak menyipit memperhatikan laki-laki separuh baya yang tiba-tiba muncul dan langsung menyerangnya tadi. Dia sama sekali tidak mengenalnya. Dan, baru kali ini dia bertemu dengannya. Perlahan Bayu menggeser kakinya ke kanan. Matanya tajam memperhatikan gerakan kaki orang berbaju serba hitam itu, yang juga tampak menggeser arah gerakannya secara berlawanan.
“Mau apa kau datang ke sini? Tempat ini bukan untuk main-main!” ujar orang berbaju serba hitam itu dengan kasar sekali.
“Aku mencari sahabat-sahabatku,” sahut Bayu dengan kening sedikit berkerut.
“Tidak ada orang yang datang ke sini. Sebaiknya kau cepat pergi!” dengus orang berbaju serba hitam itu dengan nada suara yang tetap kasar.
“Tapi tadi mereka...!”
“Setan alas...! Mau melawan, heh...?!” sentak laki-laki separuh baya itu sengit.
Bayu terdiam.
“Cepat pergi...!”
Pendekar Pulau Neraka tetap diam. Ditatapnya tajam-tajam laki-laki separuh baya yang mengenakan baju serba hitam dan membawa tombak ini.
“Eee..., malah menantang...! Apa kau belum tahu siapa aku, heh?! Akulah si Tombak Iblis! Rasakan ini.
Hih...!”
Wukkk!
Tiba-tiba laki-laki separuh baya berbaju hitam yang mengaku berjuluk si Tombak Iblis itu mengebutkan tombaknya yang panjang dan berwarna hitam, tepat mengarah ke kepala pemuda berbaju kulit harimau itu.
“Uts...!”
Dengan sedikit saja menarik kepalanya ke belakang, Bayu berhasil mengelakkan ujung mata tombak yang berkilatan tajam itu.
“Setan...! Rupanya kau punya kebolehan juga, heh...! Bagus! Terima ini, Bocah Keparat! Hiyaaa...!”
“Menyingkir, Tiren,” kata Bayu sambil menepuk monyet kecil yang sejak tadi berada di pundak kanannya.
“Nguk!”
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat sekali Bayu melompat ke belakang begitu si Tombak Iblis melompat sambil memberikan satu pukulan keras menggeledek dengan tangan kanannya. Tepat pada saat itu, monyet kecil di pundak Pendekar Pulau Neraka juga melompat turun. Ringan sekali gerakannya. Monyet kecil itu langsung berlari menjauh begitu kedua kaki dan tangannya menyentuh tanah.
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras, si Tombak Iblis kembali melakukan serangan, setelah pukulannya yang begitu keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi tadi dapat dielakkan Pendekar Pulau Neraka. Kafi ini tombaknya disodokkan tepat ke arah lambung.
“Haiiit..!”
Namun, dengan sedikit saja mengegoskan tubuhnya ke samping, ujung tombak itu berhasil dielakkan Bayu. Dan, pada saat tombak itu berada di samping pinggangnya, dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mengebutkan tangannya ke samping.
“Yeaaah...!”
Tap!
“Hih...?!”
Si Tombak Iblis terkejut setengah mati. Cepat-cepat dia berusaha menarik kembali tombaknya. Namun, gerakannya kalah cepat Batang tombak yang berwarna hitam itu telah berada dalam genggaman tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Belum lagi si Tombak Iblis bisa berbuat lebih banyak, Bayu sudah menghentakkan tangannya ke atas, sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya.
“Hiyaaa...!”
“Heh...?!”
Si Tombak Iblis kembali terbeliak setengah mati. Tidak ada lagi kesempatan baginya untuk bertahan. Seketika itu juga tubuhnya terangkat ke udara begitu Bayu menyentakkan tangannya ke atas. Dan pada saat itu juga, dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke udara sambil menghentakkan tangannya yang menggenggam ujung tombak ke belakang tubuhnya. Dan tepat di saat tubuh si Tombak Iblis tertarik ke depan, Bayu melepaskan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna.
“Yeaaah...!”
Begitu cepat serangan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga...
Begkh!
“Aaakh...!”
Tendangan keras yang dilancarkan Bayu tepat menghantam dada laki-laki separuh baya berbaju serba hitam itu. Tak pelak lagi, si Tombak Iblis terpental ke belakang sambil menjerit keras. Pegangan pada tombaknya terlepas. Dan, dengan keras tubuhnya jatuh menghantam tanah hingga bergulingan beberapa kali. Laki-laki separuh baya berbaju serba hitam itu baru berhenti bergulingan setelah punggungnya menghantam sebongkah batu yang cukup besar.
Brak!
Batu berwarna hitam kelam dan berlumut tebal itu seketika terpental ke belakang, terlanda tubuh si Tombak Iblis. Pada saat itu, Bayu sudah menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Di tangan kanan Pendekar Pulau Neraka kini tergenggam sebatang tombak berukuran panjang dan berwarna hitam pekat
Si Tombak Iblis berusaha bangkit. Mulut dan hidungnya mengeluarkan darah segar dan agak kental. Meskipun bisa bangkit kembali, tampak dia tidak bisa lagi berdiri tegak. Dia terhuyung-huyung beberapa saat akibat terkena tendangan yang begitu keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna tadi.
“Setan keparat..!” geram si Tombak Iblis sambil menyeka darah di mulutnya dengan punggung tangan.
Sementara Bayu sudah berdiri tegak menatap tajam pada laki-laki separuh baya berbaju serba hitam itu. Ditimang-timangnya tombak panjang berwarna hitam yang tadi berhasil dirampasnya dari si Tombak Iblis.
“Kau ingin tombakmu kembali, orang tua...?” tanya Bayu, agak sinis nada suaranya.
Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengangkat tombak itu hingga ujungnya sejajar dengan pandangan matanya. Sedangkan si Tombak Iblis tampak memucat wajahnya melihat pemuda berbaju kulit harimau itu sudah siap melemparkan tombak bermata putih keperakan itu. Sementara Bayu perlahan-lahan melangkah mendekati si Tombak Iblis. Sinar matanya tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki separuh baya itu. Sementara, si Tombak Iblis bergerak ke belakang perlahan-lahan, sambil mencari celah untuk dapat lolos dari incaran ujung tombaknya sendiri, yang kini berada di tangan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi di depan si Tombak Iblis. Sinar matanya masih tetap bersorot tajam, seakan-akan hendak menembus langsung ke lubuk hati lawannya.
Si Tombak Iblis benar-benar terpojok. Dia tidak bisa lagi bergerak menjauhi Pendekar Pulau Neraka. Punggungnya sudah menempel erat pada sebatang pohon yang cukup besar.
“Kenapa kau melarangku datang ke sini?” tanya Bayu dengan suara yang begitu dingin.
“Tidak seorang pun boleh datang ke gunung ini,” sahut si Tombak Iblis, tajam.
“Kenapa...?”
“Ini perintah!”
“Perintah siapa?” desak Bayu.
Si Tombak Iblis tidak menjawab. Dia malah menatap pemuda berbaju kulit harimau di depannya ini dengan sinar mata tajam. Namun, terlihat sorot keheranan pada cahaya matanya itu. Dia seakan-akan tidak percaya, Pendekar Pulau Neraka ini tidak tahu bahwa ada larangan bagi siapa pun untuk menginjak daerah Gunung Weling ini.
“Katakan, siapa yang melarang orang datang ke Gunung Weling ini?” desak Bayu lagu
“Raja Kera...,” sahut si Tombak Iblis.
“Hm..., rupanya dia mau jadi raja di sini,” gumam Bayu perlahan, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Perlahan Bayu menurunkan tangannya yang menggenggam tombak. Kemudian dilemparkannya tombak itu ke samping. Tampak si Tombak Iblis menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat Dia melirik sedikit pada senjatanya, yang kini menggeletak di tanah sekitar sepuluh langkah dari Pendekar Pulau Neraka.
“Hup...!”
Tiba-tiba si Tombak Iblis melompat ke arah tombaknya yang menggeletak di tanah. Namun, belum juga dia bisa mencapai senjatanya, mendadak Bayu melesat cepat bagai kilat Dan, satu tendangan keras menggeledek dilepaskan tepat mengarah ke lambung kiri laki-laki berusia separuh baya yang mengenakan baju serba hitam itu.
“Yeaaah...!”
Begkh!
“Akh...!”
Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Sehingga si Tombak Iblis tidak sempat lagi berkelit menghindar. Lambungnya terpaksa menerima tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tak pelak lagi, si Tombak Iblis jatuh terlempar beberapa tombak jauhnya. Tiap! Yeaaah...!”
Pada saat itu, Bayu juga menjatuhkan diri ke tanah, laki bergulingan beberapa kali. Cepat sekali tangannya menyambar tombak berukuran panjang dan berwarna hitam itu. Dan secepat kilat pula dilemparkannya tombak itu ke arah pemiliknya.
“Hiyaaa...!”
Wusss!
Tombak itu meluncur deras bagai anak panah terlepas dari busurnya. Si Tombak Iblis tidak dapat lagi menghindari senjatanya sendiri. Dan....
Jleb!
“Aaa...!”
Jeritan panjang yang melengking tinggi terdengar keras dan menyayat Tombak yang dilemparkan Bayu dengan pengerahan tenaga dalam itu tepat menembus dada si Tombak Iblis, dan langsung menyembul lagi ke luar dari punggungnya. Si Tombak Iblis seketika itu juga menggeletak di tanah. Darah bercucuran dari dadanya.
“Hhh...!”
Bayu menghembuskan napas panjangnya yang terasa begitu berat Kemudian dihampirinya si Tombak Iblis. Ujung jari tangan lawannya itu ditempelkan ke leher. Dan, kembali Pendekar Pulau Neraka menghembuskan napas panjang begitu mengetahui si Tombak Iblis sudah tidak bernyawa lagi. Sebentar pandangannya diedarkan berkeliling. Tapi, tak terlihat seorang pun di sini. Pandangannya kemudian tertuju pada seekor monyet kecil yang berlari-lari sambil mencerecet ribut menghampirinya.
Bayu mengulurkan tangannya. Dibantunya monyet kecil itu naik ke pundaknya.
“Kau melihat ada orang lain di sekitar sini, Tiren?” tanya Bayu.
“Nguk!” sahut Tiren sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Bayu menepuk-nepuk kepala monyet kecil itu. Kemudian kakinya diayunkan meninggalkan tempat ini.
Pendekar Pulau Neraka bertanya-tanya sendiri dalam hati. Dia berada di Gunung Weling ini karena mendapat laporan dari Ki Rakonta bahwa Ki Bantur dan Ki Suta serta orang-orang dari kalangan rimba persilatan telah datang ke sini. Tapi, kini tidak ada seorang pun yang terlihat. Dia hanya menjumpai si Tombak Iblis yang langsung menyerangnya.
Bayu terus mengayunkan kakinya mendaki lereng Gunung Weling. Pendekar Pulau Neraka berharap bisa bertemu dengan Ki Suta atau Ki Bantur di sekitar lereng gunung ini.
Hari menjelang senja, tapi Bayu belum juga bertemu dengan Ki Bantur dan Ki Suta. Malah sebaliknya, beberapa kali dia harus bertarung dengan para pengikut si Raja Kera Iblis. Hal ini tentu saja membuat Pendekar Pulau Neraka lelah. Dia harus menguras tenaga dan kemampuan agar tidak mati konyol di Gunung Weling ini.
Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak memandangi sang mentari yang sebentar lagi hampir tenggelam di cakrawala belahan Barai Cahaya mentari yang semula terik itu kini terasa begitu lembut dan indah.
Tampak Tiren berdiri dekat di sebelah kaki kanan Bayu. Monyet kecil itu memandangnya. Seakan-akan ikut merasakan masalah yang tengah melanda pemuda berbaju kulit harimau ini
“Aku benar-benar tidak mengerti dengan keadaan ini, Tiren. Semuanya seakan-akan seperti mimpi. Bahkan aku tidak tahu lagi, di mana bisa menemukan Ki Bantur dan Ki Suta,” gumam Bayu, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Monyet kecil berbulu hitam yang diajak bicara itu hanya diam memandangi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu, sambil menghembuskan napas panjang, menghenyakkan tubuhnya. Dia duduk bersandar di bawah pohon yang cukup rindang. Pandangannya masih tetap tertuju pada matahari yang hampir tenggelam di kaki langit
“Tiren....”
Baru saja Bayu membuka mulutnya hendak bicara lagi, mendadak pendengarannya yang setajam mata pisau itu mendengar suara yang begitu halus. Suara itu terdengar sangat jauh dari tempatnya beristirahat ini. Pendekar Pulau Neraka segera berdiri. Sementara Tiren langsung melompat ke pundak pemuda berbaju kulit harimau itu.
“Kau dengar itu, Tiren...?”
“Nguk!”
“Ya, seperti suara pertarungan....”
“Chraaagkh...!”
“Hup! Hiyaaa...!”
Tanpa membuang-buang waktu. Bayu langsung melesat cepat ke arah datangnya suara yang terdengar semakin jelas itu. Dia yakin, itu adalah suara orang yang sedang bertarung.
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga dia bisa berlari secepat angin. Kedua kakinya yang bergerak lincah bagai tidak menapak lagi di atas permukaan tanah. Sedangkan Tiren yang berada di pundaknya memeluk leher pemuda itu erat-erat Bayu terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Dan sebentar saja, dia sudah sampai di sebuah tempat yang agak lapang. Namun penuh bebatuan cadas yang berserakan.
“Ki Suta...!” desis Bayu terkejut begitu melihat seorang laki-laki tua berjubah putih dengan sebuah tameng putih keperakan tengah bertarung melawan sekitar sepuluh orang.
Ki Suta tampak kewalahan sekali menghadapi sepuluh orang lawannya. Baru beberapa saat Bayu sampai, sudah terlihat Ki Suta mendapat pukulan dan tendangan beberapa kali yang begitu keras. Laki-laki tua itu tampak terhuyung-huyung dan kehilangan penguasaan dirinya.
“Menyingkir dulu, Tiren,” kata Bayu.
“Nguk...!”
“Hiyaaa...!”
Melihat kedaan Ki Suta yang sudah mengkhawatirkan itu, Bayu langsung melesat cepat dan segera terjun ke dalam kancah pertarungan. Secepat kilat dilepaskannya beberapa pukulan keras menggeledek dan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.
Desss!
Bugkh!
“Aaa...!”
“Akh...!”
Dua orang langsung terpental sambil menjerit melengking begitu terkena pukulan yang dilepaskan Bayu. Tapi, Pendekar Pulau Neraka tidak berhenti sampai di situ saja. Sambil berjumpalitan, dilepaskannya pukulan-pukulan maut yang begitu dahsyat luar biasa, disertai gerakan tubuh yang lincah dan cepat. Orang-orang yang mengeroyok Ki Suta pun langsung kelabakan setengah mati.
Dalam waktu tidak berapa lama, sudah tujuh orang yang bergelimpangan tidak bangun-bangun lagi. Bahkan beberapa di antaranya terlihat kepalanya pecah. Darah pun menggenang membasahi bebatuan yang berserakan di lereng Gunung Weling sebelah Barat ini.
Sedangkan tiga orang lainnya yang masih berdiri tampak gentar melihat kedahsyatan jurus-jurus pemuda berbaju kulit harimau itu. Mereka segera berlompatan mundur sejauh dua batang tombak.
Sementara itu, Bayu menggeser kakinya mendekati Ki Suta yang tampak tengah duduk bersila melakukan semadi. Laki-laki tua berjubah putih itu membuka matanya saat merasakan ada orang di dekatnya.
“Syukur kau cepat datang. Bayu,” ujar Ki Suta, perlahan sekali.
“Parah lukamu, Ki?” tanya Bayu, tanpa berpaling sedikit pun dari tiga orang yang masih saja terlongong seperti tidak percaya bahwa tujuh orang temannya sudah tewas dalam waktu singkat.
“Hanya luka dalam sedikit,” sahut.Ki Suta, mencoba tersenyum.
“Siapa mereka, Ki?” tanya Bayu.
Tapi, belum juga Ki Suta menjawab, tiba-tiba ...
“Awas...! Mereka menyerang, Bayu!” seru Ki Suta, keras.
“Hup! Yeaaah...!”
Bayu langsung melompat dan menyongsong ketiga orang bersenjata golok itu. Dan begitu dekat dengan mereka, manis sekali Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke udara. Dilewatinya kepala ketiga orang itu. Dan dengan cepat sekali dilepaskannya dua kali pukulan, yang disusul dengan satu tendangan.
“Hiya! Hiya! Yeaaah...!”
Begkh!
Desss!
Plak!
Jeritan-jeritan panjang yang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat saat pukulan dan tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka mendarat telak di rubuh ketiga orang itu. Tampak mereka jatuh bergulingan di tanah yang .berbatu ini.
Bayu masih melakukan beberapa kali putaran di udara. Kemudian, dengan manis sekali kakinya dijejakkan kembali di atas hamparan batu-batu cadas ini. Sedangkan ketiga lawannya sudah menggeletak diam tak bernyawa lagi. Memang sungguh keras pukulan dan tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tadi. Terlebih lagi, dia melakukannya disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna.
Sebentar Bayu memandangi kesepuluh orang yang sudah menggeletak menjadi mayat di sekitarnya, kemudian dihampirinya Ki Suta. Laki-laki tua berjubah putih itu kini sudah berdiri tegak, setelah beberapa saat melakukan semadi. Bayu baru menghentikan langkahnya setelah dia berada sekitar tiga langkah lagi di depan laki-laki tua berjubah putih yang bersenjatakan sebuah tameng berwarna putih keperakan ini.
“Mana yang lainnya, Ki?” tanya Bayu sambil mengedarkan pandangannya berkeliling.
“Yang lain..?” tanya Ki Suta, kebingungan.
“Kau datang ke sini tidak sendirian, bukan...?” tanya Bayu lagi yang juga keheranan melihat mimik wajah Ki Suta yang tampak tidak mengerti akan pertanyaannya barusan.
“Apa maksudmu bertanya begitu, Bayu?”
Bayu terdiam. Kini malah dia yang tampak kebingungan. Mereka pun sama-sama terdiam dan saling tidak mengerti akan apa yang dibicarakan barusan. Bayu kemudian mengulurkan tangannya pada Tiren yang sudah berada di dekatnya. Lalu diangkatnya monyet kecil itu dan diletakkannya di pundak kanan.
“Ki Suta..., aku datang ke sini karena Ki Rakonta memberitahuku kalau kau dan Ki Bantur datang ke gunung ini bersama-sama dengan para pandekar lainnya. Tapi kenyataannya, aku hanya bertemu kau seorang diri,” kata Bayu, mencoba menjelaskan.
“Justru aku datang ke sini karena diberi tahu Ki Rakonta bahwa kau, Ratna Wulan, dan Ki Bantur telah ke sini hendak menantang Raja Kera Iblis. Aku khawatir, kera siluman itu terlalu sukar ditandingi. Terlebih lagi, sekarang ini dia memiliki pengikut yang tidak sedikit jumlahnya,” kata Ki Suta, juga menjelaskan.
“Jadi...?” ujar Bayu, bengong. Pendekar Pulau Neraka mulai sadar, Ki Rakonta yang dijumpainya tadi bukanlah Ki Rakonta yang sesungguhnya, tapi penjelmaan dari Raja Kera Iblis.
“Aku memang datang sendiri ke sini. Maka dari itu aku begitu terkejut sewaktu kau menanyakan yang lain, Bayu,” kata Ki Suta lagi.
“Hm...,” gumam Bayu perlahan.
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka tersentak.
“Wulan...”
Begitu teringat kepada Ratna Wulan yang ditinggalkannya bersama Ki Rakonta, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat cepat
“Bayu, tunggu...!” seru Ki Suta.
“Hup!”
Laki-laki tua berjubah putih yang membawa tameng keperakan itu segera melesat cepat mengejar Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu terus berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh-nya yang sudah mencapai tingkatan sempurna. Ki Suta, yang juga mengerahkan ilmu meringankan tubuh, mengikuti beberapa tombak di belakangnya.
Tapi, masih sulit bagi Ki Suta untuk mengejar Pendekar Pulau Neraka. Karena, ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya memang tidak sesempurna Pendekar Pulau Neraka. Jaraknya dengan Bayu pun semakin bertambah jauh, walaupun ilmu meringankan tubuhnya telah dikerahkan seluruhnya.
Bayu baru berhenti berlari setelah sampai di depan rumah Ki Rakonta, yang berukuran besar dan berhalaman luas. Pada saat itu Ki Suta juga sudah sampai di samping Bayu. Napasnya terdengar keras dan memburu. Keringat bercucuran deras membasahi sekujur tubuhnya. Dia tadi memang mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, agar tidak tertinggal jauh oleh Pendekar Pulau Neraka.
Mereka berdiri tegak di depan pintu pagar rumah Ki Rakonta, sambil mengatur jalan pernapasan masing-masing. Perlahan-lahan kemudian mereka melangkah, melintasi halaman yang sangat hias dan berumput bagai permadani terhampar ini. Tak seorang pun terlihat Keadaannya begitu sunyi Desiran senja pun kini terasa begitu jelas, seperti bermain-main di gendang telinga. Mereka kembali berhenti setelah sampai di depan tangga masuk ke dalam rumah kepala desa ini.
“Kau merasakan ada keanehan di sini, Bayu?” tanya Ki Suta, pelan sekali suaranya.
“Hm...,” gumam Bayu.
“Aku merasa, telah terjadi sesuatu di sini,” kata Ki Suta lagi.
Baru saja Bayu hendak membuka mulutnya, tiba-tiba....
Wusss!
“Awas...!”
Cepat sekali Bayu memiringkan tubuhnya ke samping begitu dilihatnya sebuah benda meluncur deras dari dalam rumah. Ki Suta, yang juga melihat, segera melompat satu langkah ke samping. Benda yang bersinar kemerahan itu pun lewat di antara tubuh Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka.
Belum lagi mereka bisa menarik napas lega, mendadak dari dalam rumah itu berlompatan orang-orang bersenjata golok. Ada sekitar sepuluh orang. Dan, mereka tahu-tahu sudah berdiri tegak di depan Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka. Tanpa ada yang berbicara sedikit pun, mereka langsung berlompatan menyerang dengan cepat sekali.
“Hiya!”
“Yeaaah...!”
Bayu dan Ki Suta harus berjumpalitan menghindari serangan orang-orang ini. Mata-mata golok yang berkilatan tajam berkelebatan di sekitar tubuh mereka. Namun, serangan-serangan yang dilancarkan kesepuluh orang yang semuanya bersenjata golok ini tampak sama sekali tidak berarti bagi Ki Suta dan Bayu.
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu segera melentingkan tubuhnya. Dan, secepat kilat dilepaskannya beberapa pukulan dahsyat. Begitu cepat serangan yang dilancarkannya, sehingga para pengeroyoknya kelabakan setengah mati. Dan....
Bugkh!
“Akh...!”
Saat itu juga terdengar benturan-benturan keras yang disusul jeritan melengking serta keluhan tertahan. Tampak lima orang yang mengeroyok Pendekar Pulau Neraka berpelantingan, lalu ambruk menggelepar di tanah yang berumput tebal bagai permadani ini.
“Hiyaaa...!”
Sementara pada saat yang bersamaan, Ki Suta juga sudah berhasil, merobohkan lawan-lawannya. Senjatanya yang berbentuk perisai itu memang sangat dahsyat. Tak ada satu senjata pun yang bisa menembus dirinya.
Tanpa mendapatkan kesulitan yang berarti, Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka berhasil merobohkan kesepuluh orang penyerangnya. Tampak para pengeroyok itu tidak mampu lagi bangkit berdiri.
“Hati-hati, Ki,” ujar Bayu memperingatkan, ketika mereka kembali melangkah mendekati beranda rumah Ki Rakonta.
Keadaan sekitar rumah itu demikian sunyi. Bayu dan Ki Suta pun semakin waspada. Mereka kembali berhenti melangkah setelah sampai di depan anak tangga pertama di beranda rumah kepala desa ini. Sebentar mereka saling berpandangan. Kemudian Bayu melangkah menaiki tangga itu.
Ketika Pendekar Pulau Neraka sampai di tengah-tengah beranda depan, belum juga terlihat seorang pun di sini. Sedangkan Ki Suta mulai melangkah menaiki tangga perlahan-lahan.
Bayu kini sudah berada di depan pintu yang sedikit terbuka. Perlahan-lahan Pendekar Pulau Neraka mendorongnya hingga terbuka lebar. Bunyi berderit membuat Bayu semakin berhati-hati untuk memasuki rumah ini.
Sepi.... Tak seorang pun terlihat di dalam ruangan depan yang berukuran cukup besar ini. Perlahan-lahan Pendekar Pulau Neraka memasuki ruangan depan ini. Sementara itu Ki Suta sampai di ambang pintu yang sudah terbuka cukup lebar. Pandangannya diedarkan ke setiap sudut ruangan depan ini. Sedangkan Bayu sudah berdiri tegak di tengah-tengah ruangan. Tak sedikit pun suara terdengar. Keadaan begitu sunyi, bagaikan di tengah-tengah kuburan.
“Bayu...,” panggil Ki Suta, pelan.
Bayu berpaling sedikit Ditatapnya laki-laki tua berjubah putih yang membawa perisai putih keperakan yang masih berdiri di ambang pintu itu.
“Ada apa, Ki?” tanya Bayu.
“Aku rasa, rumah ini sudah ditinggalkan,” kata Ki Suta, masih pelan suaranya.
“Hm...,” gumam Bayu perlahan.
Kembali mereka terdiam. Ki Suta kemudian menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Dia berhenti setelah sampai di samping kanan pemuda berbaju kulit harimau mi. Beberapa saat mereka masih membisu dan mengedarkan pandangan ke sekeliling.
“Bayu, apa tidak sebaiknya kita ke puncak Gunung Weling saja...?” usul Ki Suta.
Bayu menatap laki-laki tua itu dalam-dalam.
Sungguh dia tidak, menyangka, Ki Suta ternyata benar-benar mencurigai Ki Rakonta ikut terlibat dalam persoalan ini Ki Suta-balas memandang dengan dalam pula. Beberapa saat mereka terdiam dan saling berpandangan. Seakan-akan sedang menyelidiki isi hati masing-masing.
“Baiklah, Ki. Ayo, kita berangkat sekarang,” ajak Bayu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera meninggalkan rumah kepala desa yang tampak sunyi itu. Mereka berjalan cepat, tidak peduli kalau saat itu matahari sudah mulai tenggelam d batik cakrawala belahan Barat.
Malam terus merayap menyelimuti seluruh permukaan Gunung Weling. Keadaan di gunung ini begitu sunyi dan gelap. Hanya jerit binatang-binatang malam saja yang terdengar. Deru angin yang begitu kencang meningkahi dengan membawa udara dingin menggigilkan tubuh. Di antara lebatnya pepohonan dan gelapnya malam, terlihat Bayu dan Ki Suta terus bergerak cepat mendaki lereng Gunung Weling ini.
Tak ada seorang pun yang mereka temui sejak mulai mendaki gunung tadi. Mereka terus bergerak cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Bayu tampak mengurangi sedikit kecepatan larinya, agar Ki Suta tidak tertinggal jauh di belakangnya. Belum sampai setengah malam, mereka sudah tiba di puncak Gunung Weling.
“Berhenti dulu, Ki,” ujar Bayu seraya menghentikan langkahnya.
Ki Suta ikut berhenti melangkah. Mereka berdiri berdampingan sambil mengedarkan pandangan berkeliling. Tak ada seorang pun yang terlihat. Hanya kegelapan dan pepohonan menghitam yang ada di sekitar mereka. Begitu pekat suasananya. Tidak sedikit pun terlihat cahaya bulan. Langit tampak kelam terselimut awan hitam yang menggumpal. Udara di sekitar puncak Gunung Weling pun semakin terasa dingin.
“Di mana tempat persembunyian Raja Kera Iblis, Ki?” tanya Bayu.
“Menurut cerita, dia tinggal di dalam gua. Di depan gua ada tiga pohon jati yang berjajar dan ada sebuah kolam kecil di sampingnya,” jelas Ki Suta.
“Hm... Bukankah itu yang kau maksudkan, Ki?” ujar Bayu seraya menunjuk ke depan.
“Benar!” sahut Ki Suta. Tidak jauh di depan mereka memang terlihat sebuah mulut gua yang sangat besar. Di depan gua itu tampak tiga pohon jati yang tumbuh berjajar. Di samping pohon itu tampak pula sebuah kolam kecil yang dikelilingi batu-batu kecil, seperti sebuah taman di dalam istana. Namun, keadaannya tidak terawat, sehingga kelihatan kotor dan penuh dengan semak belukar yang tumbuh liar.
Perlahan Bayu dan Ki Suta melangkah menghampiri gua itu. Semakin dekat detak jantung mereka semakin terdengar keras. Keadaan yang begitu sunyi dan mencekam membuat mereka semakin meningkatkan kewaspadaan. Bayu dan Ki Suta kembali berhenti setelah jarak dengan gua itu tinggal sekitar dua batang tombak lagi.
“Hati-hati, Ki. Aku merasakan, ada banyak orang di sekeliling tempat ini,” ujar Bayu dengan suara yang begitu pelan.
Belum juga Ki Suta menyahuti peringatan Pendekar Pulau Neraka, tiba-tiba dari balik pepohonan bermunculan orang-orang dengan cepat sekali. Sebentar saja Bayu dan Ki Suta sudah terkepung oleh tidak kurang dari tiga puluh orang yang semuanya menghunus senjata dalam berbagai bentuk dan ukuran. Dan tampaknya mereka sudah siap menyerang.
“Seraaang...!”
Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar memberi perintah. Dan seketika itu juga...
“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!”
Namun pada saat orang-orang itu berlompatan hendak menyerang Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka, mendadak dari atas pepohonan berhamburan puluhan anak panah yang langsung menyerang mereka. Begitu cepatnya anak-anak panah itu meluncur berhamburan, sehingga orang-orang itu kelabakan setengah mati. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar saling sambut, yang disusul berjatuhannya tubuh-tubuh terhunjam anak panah.
“Ada apa ini...?” desis Bayu, terkejut melihat kejadian yang begitu tiba-tiba sekali itu.
Belum lagi pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu terjawab, tiba-tiba bermunculan orang-orang dari atas pepohonan yang tumbuh agak rapat di sekitar tempat ini. Mereka langsung menyerang orang-orang yang mengepung Bayu dan Ki Suta tadi. Di antara mereka terlihat pula Ki Bantur. Laki-laki tua berjubah putih yang membawa pedang berwarna keemasan itu segera mendekati Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka.
“Syukur, kalian datang tepat pada waktunya,” kata Ki Bantur.
“Apa arti semua ini, Ki?” tanya Bayu, meminta penjelasan.
Pandangan Pendekar Pulau Neraka tertuju pada pertarungan yang terjadi di sekitarnya. Sulit untuk membedakan mana lawan dan mana kawan di antara mereka yang bertarung. Karena, mereka sama-sama berasal dari rimba persilatan, yang datang ke puncak Gunung Weling ini dengan tujuan yang berbeda.
“Sudah sejak siang tadi kami semua mengepung tempat ini, dan...,” Ki Bantur tidak meneruskan kata-katanya.
“Kenapa, Ki?” desak Bayu. “Aku melihat Ki Rakonta dan Ratna Wulan dibawa masuk ke dalam sana. Mereka diikat dan digiring oleh pengikut-pengikut Raja Kera Iblis,” lanjut Ki Bantur.
“Hm...,” gumam Bayu perlahan seraya melirik sedikit pada Ki Suta. “
Hiyaaa...!”
Saat itu juga, Ki Suta melompat cepat menerjang orang-orang yang bertarung di sekitar mulut gua. Secepat kilat pula senjatanya yang berbentuk perisai keperakan itu diayun-ayunkan. Beberapa orang yang terkena hantaman perisai itu langsung menjerit dan jatuh menggelepar dengan kepala pecah berlumuran darah.
Bagaikan seekor banteng terluka, laki-laki tua itu mengamuk. Dicobanya untuk menerobos orang-orang yang tampaknya menjaga mulut gua itu. Pada saat itu juga, terlihat orang-orang bermunculan lagi dari dalam gua. Begitu banyak jumlahnya, seperti sepasukan prajurit kerajaan. Bayu dan Ki Bantur saling berpandangan sesaat, kemudian langsung melompat cepat. Mereka membantu Ki Suta, yang masih mengamuk bagai banteng terluka.
Pertarungan di sekitar puncak Gunung Weling semakin bertambah sengit. Karena, semakin banyak orang yang bermunculan dari kedua belah pihak. Pekikan keras dan jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar saling susul. Tubuh-tubuh berlumuran darah terus berjatuhan saling tumpang tindih tak tentu arah.
Sementara itu Bayu berlompatan cepat sambil melepaskan pukulan keras beruntun, yang disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan sempurna. Pendekar Pulau Neraka semakin dekat dengan mulut gua berukuran besar itu.
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi ke udara. Lalu, dengan manis sekali dia hinggap di atas sebuah cabang pohon yang cukup tinggi. Dan dengan satu gerakan yang indah, Pendekar Pulau Neraka kembali melenting turun sambil mengebutkan tangan kanannya.
“Yeaaah...!”
Wusss!
Seketika itu juga dari pergelangan tangan kanan Bayu melesat secercah cahaya keperakan dari sebuah senjata berbentuk cakra yang bersegi enam. Senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu berkelebatan cepat mengikuti gerakan tangannya. Dan dihajarnya orang-orang yang berada paling dekat dengan mulut gua.
Cras!
Bret!
“Aaa...!”
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi langsung terdengar, yang disusul ambruknya beberapa orang dengan darah berhamburan. Tubuh mereka telah tersabet senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Bayu kemudian menjejakkan kakinya di tanah, tidak jauh dari mulut gua itu. Dan....
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu melompat cepat bagai kilat. Dilontarkannya pukulan keras beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna. Kemudian tubuhnya dilentingkan, dan berputaran beberapa kali di udara. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tanah, tepat di depan mulut gua itu. Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mengangkat tangan kanannya. Cakra Maut pun melesat cepat dan langsung menempel di pergelangan tangan kanannya.
Namun, belum sempat Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya memasuki gua batu itu, mendadak....
“Ghraaaugkh...!”
Wusss...!
“Oh...?! Hup!”
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke samping ketika tiba-tiba dari dalam gua itu melesat sesosok tubuh yang tinggi dan hitam pekat Pendekar Pulau Neraka lalu menjatuhkan tubuhnya dan beberapa kali bergulingan di tanah. Kemudian dengan cepat dan ringan sekali, dia melompat bangkit berdiri. Dan di depannya kini sudah berdiri sesosok makhluk bertubuh tinggi besar dan berbulu hitam pekat Wajah makhluk itu begitu mengerikan, dan mirip seekor kera raksasa.
“Nguk! Chraaakh...!”
Tiren, yang sejak tadi berada di pundak kanan Pendekar Pulau Neraka, langsung melompat ke atas pohon begitu Raja Kera Iblis muncul dari dalam gua tempat tinggalnya. Monyet kecil berbulu hitam itu tampak ketakutan melihat kera iblis raksasa itu. Dia langsung memanjat dan menyembunyikan tubuhnya di balik sebatang pohon yang cukup besar dan tinggi.
Sementara itu, Bayu menggeser kakinya perlahan-lahan ke samping. Dijauhinya pohon yang dinaiki Tiren. Sedangkan Raja Kera Iblis bergerak perlahan mendekatinya. Tidak jauh dari depan gua, pertarungan masih terus berlangsung sengit. Jeritan-jeritan panjang yang melengking tinggi dan teriakan-teriakan yang ditingkahi dentingan senjata masih terdengar memecah kesunyian malam di puncak Gunung Weling.
“Ghraaaugkh...!”
Sambil menggerung dahsyat bagai kilat Raja Kera Iblis melompat dan menerjang Pendekar Pulau Neraka. Kedua tangannya, yang berukuran sangat besar dan berbulu hitam lebat, bergerak cepat melepaskan pukulan keras beruntun. Saat itu juga Bayu berlompatan sambil meliuk-liukkan tubuhnya menghindari pukulan beruntun itu.
“Hiyaaa...!”
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melompat ke belakang. Langsung tubuhnya dibungkukkan sedikit ke kiri. Lalu, tangan kanannya ditarik hingga menyilang di depan dada. Dan, dengan seketika dikebutkannya tangan itu ke depan sambil berteriak . keras menggelegar.
“Hiyaaa...!”
Wusss!
Bagaikan kilat Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat ke depan. Dan pada saat yang bersamaan, Raja Kera Iblis juga melompat ke depan hendak menerjang Pendekar Pulau Neraka. Sehingga, dia tidak sempat lagi menghindari senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu. Tak pelak lagi...
Crab!
“Aaargkh...!”
Raja Kera Iblis meraung dahsyat begitu Cakra Maut menghunjam dadanya dengan keras sekali. Begitu kerasnya lontaran senjata yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka tadi, sehingga makhluk kera iblis raksasa itu terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Pada saat itu juga, Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala.
“Hup!”
Slap!
Cakra Maut yang terbenam begitu dalam di dalam dada Raja Kera Iblis langsung melesat keluar dan kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Tampak dari dada Raja Kera Iblis yang berlubang, mengucur darah kental agak kehitaman yang berbau busuk memualkan perut
“Ghrrr...!”
Sambil menggerung-gerung marah. Raja Kera Iblis kembali bangkit berdiri. Tanpa mempedulikan darah yang bercucuran deras dari dadanya yang berlubang akibat tertembus Cakra Maut dia kembali bergerak cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
“Ghraaaugkh...!”
“Hup! Yeaaah...!”
Kembali Bayu harus berjumpalitan di udara. Dihindarinya serangan-serangan yang dilakukan Raja Kera Iblis. Kali ini makhluk kera raksasa itu melancarkan serangan-serangan mautnya yang begitu dahsyat Semua pukulannya yang terlontar selalu mengeluarkan bulatan cahaya merah bagai bola api.
Glarrr...!
Ledakan-ledakan dahsyat pun terdengar setiap kali bulatan cahaya merah yang keluar dari pukulan Raja Kera Iblis menghantam tanah, bebatuan, atau pepohonan. Bahkan, beberapa kali cahaya bulatan merah itu menghantam orang-orang yang sedang bertarung. Dan, sungguh dahsyat akibatnya! Mereka yang terkena sasaran pukulan maut Raja Kera Iblis seketika tubuhnya hancur berkeping-keping, seperti sebongkah batu yang terhantam gada. Serangan-serangan Raja Kera Iblis yang membabi buta ini membuat suasana pertarungan tampak berantakan. Bahkan tidak sedikit yang berlarian menyelamatkan diri.
Sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan itu benar-benar hancur berantakan. Malam yang begitu pekat tanpa sedikit pun cahaya bulan semakin bertambah pekat dan pengap oleh debu yang berhamburan memenuhi udara di puncak Gunung Weling ini. Sedangkan Raja Kera Iblis masih terus melontarkan pukulan-pukulan mautnya. Dicecarnya Pendekar Pulau Neraka yang tenis berpelantingan menghindari setiap serangan yang dilancarkannya.
“Ki Suta, cepat cari Ki Rakonta dan Wulan di dalam...!” seru Bayu begitu sempat melihat Ki Suta berdiri saja memperhatikan jalannya pertarungan dahsyat itu.
Tanpa menunggu perintah dua kali, laki-laki tua berjubah putih itu segera melompat ke dalam gua. Sementara Ki Bantur, yang berada di sampingnya, juga bergegas mengikuti Ki Suta memasuki tempat tinggal Raja Kera Iblis.
“Hup! Yeaaah...!”
Bayu masih terus berjumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan Raja Kera Iblis. Pendekar Pulau Neraka sengaja bergerak menjauhi mulut gua. Dan rupanya hal ini tidak disadari olah Raja Kera Iblis, yang sudah begitu marah karena Pendekar Pulau Neraka berhasil melukai dadanya dengan senjata Cakra Mautnya tadi.
“Ghraaaugkh...!”
Cras!
Glarrr...!
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat sekali Bayu melentingkan tubuhnya ke udara ketika satu pukulan dahsyat yang memancarkan cahaya bulatan merah dikirimkan Raja Kera Iblis kepadanya. Bulatan cahaya merah itu pun menghantam tanah tempat Bayu berdiri tadi. Dan seketika tanah itu terbongkar, hingga menimbulkan kepulan debu yang membumbung tinggi ke angkasa.
“Hiyaaa...!”
Sambil berputaran di udara, Bayu mengebutkan tangan kanannya. Saat itu juga Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangannya melesat cepat dap langsung mengarah ke kepala Raja Kera Iblis. Begitu cepat Cakra Maut itu melesat, sehingga Raja Kera Iblis tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, pada saat itu dia sedang melepaskan satu pukulan mautnya ke arah Bayu yang sudah berada di atas sebuah cabang pohon yang cukup tinggi..
Crab!
Glarrr!
“Aaargh...!”
Bersamaan dengan terdengarnya ledakan keras menggelegar, terdengar pula raungan keras begitu Cakra Maut menghantam tepat di antara kedua bola mata makhluk kera raksasa itu. Sementara itu, Bayu terlihat berputaran di udara beberapa kali. Dan, dengan manis sekali kakinya dijejakkan di tanah, tepat lima langkah lagi di depan Raja Kera Iblis.
“Hiyaaa...!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka melompat cepat sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Bugkh!
“Aaargh...!”
Kembali Raja Kera Iblis meraung keras. Dadanya yang berlubang dan mengucurkan darah telah terkena tendangan keras yang bertenaga dalam sempurna. Tak pelak lagi, tubuh besar dan berbulu hitam itu terbanting keras di tanah. Sekitar puncak Gunung Weling pun bergetar bagai terkena guncangan gempa. Sedangkan Bayu sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah.
“Hih!”
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka menarik tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut yang terbenam di kening Raja Kera Iblis seketika itu juga tercabut, melesat cepat, laki kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Raja Kera Iblis bergulingan sambil menggerung-gerung dahsyat Beberapa batu dan pohon hancur bertumbangan terlanda tubuhnya yang besar dan berbulu hitam itu. Dan, ketika dia bisa bangkit seketika itu juga....
“Hiyaaa...!”
Bagaikan kilat Bayu menghentakkan tangan kanannya ke depan. Dan pada saat Cakra Maut kembali melesat secepat kilat secepat itu pula Bayu melompat sambil melepaskan dua pukulan beruntun yang disusul satu tendangan keras menggeledek.
Crab!
Begkh!
Desss!
“Aaargh...!”
Sungguh dahsyat serangan kilat yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Tepat ketika Cakra Maut merobek tenggorokkan Raja Kera Iblis, secepat itu pula Bayu mendaratkan dua pukulan keras beruntun dan satu tendangan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam dengan tingkatan yang sempurna. Tak pelak lagi, tubuh Raja Kera Iblis pun terpental jauh ke belakang. Dan beberapa batang pohon yang tertabrak, langsung hancur berkeping-keping.
“Hup...!”
Setelah melakukan dua kali putaran di udara. Bayu kembali menjejakkan kakinya dengan manis sekali di tanah. Saat tangan kanannya terangkat di atas kepala, Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu.
“Haaap...! Yeaaah...!”
Cepat sekali Bayu kembali melompat ketika Raja Kera Iblis bisa bangkit lagi. Serangan yang begitu cepat yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka kari ini membuat Raja Kera Iblis tidak mampu lagi bergerak menghindar. Dan....
“Hiyaaa...!”
Begkh!
Glarrr...!
Sungguh dahsyat pukulan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka kali ini. Begitu pukulannya mendarat di dada Raja Kera Iblis, seketika itu juga terdengar ledakan keras menggelegar yang memekakkan telinga.
“Hiyaaa...!”
Saat itu juga Bayu melesat ke udara. Dan langsung kedua tangannya dihantamkan ke kepala Raja Kera Iblis. Hingga....
Prak!
“Ghhhraaagkh...!”
“Hup!”
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke belakang sambil melakukan dua kali putaran di udara. Sungguh manis gerakan Pendekar Pulau Neraka. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya menjejak tanah sekitar dua batang tombak di depan Raja Kera Iblis.
Tampak makhluk kera raksasa itu berdiri tegak dengan dada berlubang besar dan kepala retak berlumuran darah. Dari lehernya yang berlubang juga mengucur darah kental kehitaman yang berbau busuk. Tak lama kemudian, tubuh yang tinggi besar dan berbulu hitam itu terlihat limbung, lalu ambruk ke tanah tanpa suara sedikit pun keluar dari mulutnya. Dan, tak ada gerakan sedikit pun yang terlihat Makhluk kera raksasa yang selama ini ditakuti itu seketika tewas begitu tubuhnya menghantam bumi
“Hhh...!” Bayu menghembuskan napas panjang.
Dengan punggung tangannya, Pendekar Pulau Neraka menyeka keringat yang membanjiri wajah dan lehernya. Perlahan-lahan dihampirinya mayat raksasa yang berbulu hitam dan berwajah kera itu. Tubuhnya dibungkukkan sedikit, dan diperiksanya mayat Raja Kera Iblis.
“Hhh....”
Bayu kembali menghembuskan napas panjang begitu merasa pasti bahwa Raja Kera Iblis sudah tewas. Perlahan tubuhnya ditegakkan kembali.
“Kakang...!”
Bayu memutar tubuhnya saat mendengar suara memanggil namanya. Tampak Ratna Wulan berlari-lari menghampiri, diikuti Ki Rakonta, Ki Suta, dan Ki Bantur. Puluhan orang dari rimba persilatan yang memenuhi puncak Gunung Weling juga tampak bergerak menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Sementara itu, tak terlihat seorang pun tokoh persilatan golongan hitam. Semuanya memang telah melarikan diri saat Raja Kera Iblis mulai kewalahan menghadapi Pendekar Pulau Neraka.