CERITA SILAT PENDEKAR PULAU NERAKA
Episode: Ratu Lembah Mayat
Karya: Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Episode: Ratu Lembah Mayat
Karya: Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
SATU
Di sebuah bukit kecil yang tidak begitu lebat pepohonannya, Bayu tengah mengayunkan kakinya perlahan-lahan menyusuri jalan berbatu. Matahari siang ini bersinar begitu terik, membuat sekujur tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu bersimbah keringat. Seekor monyet kecil berbulu hitam ikut berlari-lari kecil di belakangnya, sambil bersuara ribut. Beberapa kali binatang itu memungut kerikil, dan menyambit punggung pemuda berbaju kulit harimau ini.
Tapi Bayu seperti tidak mempedulikan, dan terus saja melangkah perlahan-lahan. Beberapa kali keringat yang mengalir membasahi wajahnya diseka dengan punggung tangan. Pemuda yang dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka itu menghentikan ayunan kakinya. Wajahnya berpaling sedikit ketika merasakan punggungnya terkena sambitan kerikil dari belakang. Entah sudah berapa kali punggungnya terasa disambit batu kerikil. Bibirnya tersenyum melihat monyet kecil berdiri di belakangnya, memandang sayu padanya.
"Kau lelah, Tiren...?" ujar Bayu dengan bibir menyunggingkan senyum.
"Nguk!"
"Naiklah ke pundakku sini," kata Bayu lagi.
Monyet kecil itu berjingkrak kegirangan. Cepat-cepat dihampirinya Pendekar Pulau Neraka. Bayu mengulurkan tangannya. Diambilnya tangan monyet kecil itu, lalu diangkat sampai binatang berbulu hitam itu bertengger di pundaknya. Pemuda berbaju kulit harimau Itu kembali mengayunkan kakinya perlahan menyusuri tanah berbatu yang panas, bagai berjalan di atas bara api. Siang ini memang terasa begitu panas. Bayu merasakan kulitnya seperti terbakar.
"Ada sungai, Tiren. Enak sekali kalau mandi, ya...?" kata Bayu.
"Nguk!"
Tiren hanya mengangguk saja. Bayu tersenyum, dan menepuk kaki monyet kecil yang nangkring di pundaknya ini. Kakinya terus saja berjalan mendekati sungai kecil yang mengalir di depannya. Air sungai itu tampaknya jernih sekali, sehingga batu-batuan yang menjadi dasarnya, terlihat jelas. Tapi baru saja Pendekar Pulau Neraka berjongkok hendak membasuh tangannya, mendadak saja....
"Tolooong...!"
"Heh..?!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar teriakan kerns melengking tinggi. Teriakan itu demikian keras, sehingga terdengar jelas dari tempat Pendekar Pulau Neraka berdiri. Dan belum lagi hilang jeritan tadi dari pendengaran, menyusul bentakan bentakan kasar, ditingkahi jeritan-jeritan minta tolong.
"Hup!"
Tanpa menghiraukan air sungai yang pasti sangat sejuk, Pendekar Pulau Neraka cepat melompati sungai kecil ini. Dan begitu kakinya menjejak tanah berbatu di seberang sungai, langsung berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu sempurrnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan mata. Sementara teriakan dan bentakan-bentakan keras, masih terdengar dari dalam hutan di seberang sungai kecil ini. Dan bayangan Pendekar Pulau Neraka sudah tidak terlihat lagi, tenggelam ditelan hutan yang tidak begitu lebat.
"Hei...!"
Bayu terhenyak kaget begitu melihat empat orang wanita tengah berusaha menggantung seorang anak muda berusia sekitar tujuh belas tahun. Bentakan Bayu yang begitu keras dan tidak disengaja tadi, membuat empat wanita yang tengah berusaha menggantung itu tersentak kaget. Mereka begitu terkejut, sampai-sampai terlompat ke belakang. Akibatnya anak muda yang hampir tergantung di pohon itu jatuh bergulingan di tanah berumput kering.
Sementara empat wanita berwajah cantik yang hanya mengenakan cawat dari kulit kayu itu berlompatan ke depan Bayu. Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya terbeliak melihat wanita-wanita cantik setengah telanjang berdiri sekitar enam langkah di depannya. Hampir seluruh tubuh mereka yang berkulit putih itu terbuka. Hanya bagian di bawah pusar dan dada saja yang tertutup kulit kayu. Mereka semua membawa tombak panjang dari kayu, yang bagian ujung atasnya terbuat dari besi baja hitam.
"Siapa kau?! Berani-beraninya mengejutkan kami!" bentak salah seorang wanita yang berdiri paling kanan.
"Maaf. Aku tadi terkejut melihat kalian ingin menggantung anak itu," ucap Bayu sopan.
"Itu bukan urusanmu!" bentak wanita itu lagi, ketus.
Bayu jadi terhenyak mendengar kata-kata yang begitu ketus. Ditatapnya wanita itu dalam-dalam. Sedangkan yang ditatap, malah membalas tidak kalah tajam. Sementara monyet kecil berbulu hitam yang bertengger di pundak Pendekar Pulau Neraka juga menatap empat wanita itu.
"Kakang...! Bebaskan aku. Mereka akan membunuhku...!" seru anak muda yang masih tergolek di tanah berumput.
"Diam kau, Monyet!" bentak wanita yang berdiri paling kanan itu kasar.
"Krakkkh...!"
Tiren melonjak mendengar bentakan wanita itu tadi. Bayu segera menepuk-nepuk kaki monyet kecil itu, mencoba menenangkannya. Kata-kata wanita itu tadi sudah menyinggung hati monyet kecil ini Dan tiba-tiba saja, Tiren melompat turun dengan gerakan ringan dan indah sekali. Begitu kakinya menjejak tanah, dia cepat berlari menghampiri anak muda yang tergolek tak berdaya di tanah.
"Hei! Mau apa kau, Monyet Jelek...?!" bentak wanita itu makin kasar.
"Nguk! Nguk! Khraiiigkh...!"
Wuk!
Tiba-tiba saja wanita bercawat itu melemparkan tombaknya ke arah monyet kecil berbulu hitam milik Bayu. Tindakan wanita ini membuat Pendekar Pulau Neraka tersentak kaget. Secepat kilat dia melompat menyambar tombak yang meluruk deras ke arah Tiren.
"Hiyaaa...!"
Tap!
Bayu berhasil menangkap tombak, ketika ujungnya sekitar sejengkal lagi tepat menghunjam tubuh Tiren. Pendekar Pulau Neraka bergulingan beberapa kali di tanah, lalu cepat melompat berdiri. Di tangan kanannya sudah tergenggam sebatang tombak kayu berujung baja hitam runcing.
Sementara Tiren sudah berada di belakang anak muda yang tergolek di tanah, tidak jauh dari pohon tempat dia akan digantung pada lehernya tadi. Cekatan sekali monyet kecil itu membuka ikatan yang membelenggu kedua tangan anak muda ini. Dan begitu tali yang mengikat tangannya terlepas, pemuda belasan tahun itu bergegas berdiri.
Pemuda itu melepaskan tali yang melingkar di lehernya, lalu tiba-tiba saja melompat ke arah Bayu. Tindakan yang tidak terduga itu membuat Bayu sampai tidak menyadari. Cepat sekali gerakan pemuda itu, dan tahu-tahu sudah merampas tombak yang berada di tangan kanan Bayu. Langsung tubuhnya melesat cepat ke arah salah seorang wanita bercawat yang hampir saja menggantungnya tadi.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Bet!
"Uts!"
Wanita cantik bercawat itu cepat memiringkan tubuhnya ke kanan, menghindari hujaman ujung tombak di tangan anak muda belasan tahun itu. Pada saat yang bersamaan, tombaknya dihentakkan untuk menghantam tombak yang sudah lewat di samping tubuhnya.
Trak!
Tak pelak lagi, dua senjata beradu keras.
"Akh...!"
Pemuda belasan tahun itu memekik keras agak tertahan.
Tombak yang berada di tangannya seketika terpental ke udara. Pada saat itu, wanita yang tidak menggenggam tombak melesat cepat ke udara. Manis sekali tombaknya ditangkap kembali, dan cepat meluruk turun dengan gerakan yang begitu indah.
"Yeaaah...!"
Begitu kakinya menjejak tanah, langsung diberikannya satu sodokan keras ke arah dada anak muda belasan tahun itu. Gerakan yang begitu cepat tak dapat dihindari, telak bersarang di dada anak muda belasan tahun itu.
Des!
Aakh...!" untuk kedua kalinya anak muda itu memekik keras agak tertahan. Tubuhnya terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Pada saat itu, seorang wanita lain .sudah melompat sambil berteriak nyaring. Langsung dilepaskannya satu tendangan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Sudah dapat dipastikan, kalau pemuda berusia belasan tahun itu tak mungkin dapat menghindar.
"Yeaaah...!"
Tapi pada saat yang gawat ini, tiba-tiba saja Bayu melesat cepat bagai kilat menyambar tubuh anak muda itu. Maka tendangan keras yang dilancarkan wanita cantik bercawat ini jadi tidak mengenai sasaran. Tendangannya hanya menghantam pohon yang cukup besar, hingga tumbang. Sementara Bayu sudah membawa anak muda belasan tahun itu ke tempat yang cukup aman, ditemani Tiren. Bayu kembali melompat menghadang, begitu empat wanita cantik bercawat itu sudah bergerak mendekati.
"Berhenti...!" bentak Bayu keras menggelegar.
"Menyingkir kau, Kisanak! Kau akan menyesal mencampuri urusan kami!" sentak salah seorang wanita cantik bercawat itu.
"Tunggu...! Kenapa kalian ingin membunuh anak ini?" tanya Bayu.
"Itu bukan urusanmu!"
"Minggir, kau!"
Bayu jadi tersentak mendengar bentakan-bentakan begitu kasar dari wanita-wanita cantik bercawat ini. Wanita yang seharusnya bersikap lembut itu ternyata begitu kasar kata-katanya. Dan kini empat wanita cantik bercawat itu sudah bergerak menyebar mengurung dari empat arah. Mereka terus bergerak perlahan memutari Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja lewat sudut matanya.
Dalam beberapa gebrakan tadi saja, Bayu sudah dapat menilai kalau wanita-wanita bercawat ini memiliki kepandaian yang rata-rata cukup tinggi. Dan tentu saja dia tidak bisa berbuat gegabah dalam menghadapinya, meskipun sudah bisa mengukur tingkat kepandaian mereka.
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Secara serentak, empat wanita cantik bercawat itu berlompatan menyerang Bayu. Tombak-tombak mereka berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka. Namun dengan gerakan-gerakan manis, dan liukan indah, Bayu berhasil menghindari setiap serangan yang datang dari empat arah.
Tapi serangan-serangan yang dilakukan empat wanita itu begitu gencar. Dan kemudian serangan mereka berubah secara cepat dan bergantian. Hal ini membuat Bayu jadi agak kerepotan menghadapinya. Beberapa kali tubuhnya terpaksa dijatuhkan ke tanah. Dia kemudian bergelimpangan menghindari serangan yang datang begitu gencar, bagai tak akan pernah berhenti. Dan beberapa kali pula, Pendekar Pulau Neraka terpaksa menangkis tombak-tombak menggunakan pergelangan tangan kanannya.
Trang!
Setiap kali ujung tombak beradu dengan benda bersegi enam di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka, selalu terjadi percikan bunga api. Beberapa kali Bayu mencoba, dan merasa memiliki kesempatan setiap kali ujung tombak lawan membentur Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan kanannya. Ketika satu tombak meluruk deras dari arah depan dadanya, tangan kanannya cepat dikibaskan untuk menangkis serangan tombak bermata hitam itu.
"Yeaaah...!"
Trang!
Tepat pada saat ujung tombak hitam itu beradu dengan Cakra Maut di pergelangan tangannya, Bayu cepat melentingkan tubuhnya ke belakang. Pada saat itu juga dilepaskannya satu pukulan keras ke arah wanita yang berada di belakangnya, disertai putaran tubuhnya di udara. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga wanita cantik bercawat itu tidak dapat lagi menghindar.
"Hiyaaa...!"
Diegkh!
"Akh...!"
Wanita itu terpekik keras, agak tertahan. Tubuhnya terpental ke belakang begitu pukulan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam dadanya. Dan sebelum ada yang menyadari, pendekar berbaju kulit harimau itu sudah bergerak cepat, melompat ke kanan. Satu tendangan keras menggeledek dilepaskan, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Serangan Pendekar Pulau Neraka kali ini juga tak dapat dihindari lagi.
Des!
"Ughk!"
Wanita itu terhuyung-huyung sambil mengeluh pendek Tendangan Bayu tepat bersarang di perutnya. Maka kesempatan ini tidak disia-siakan Pendekar Pulau Neraka. Kembali tubuhnya bergerak cepat, berlompatan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah begitu sempurna. Begitu cepat gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga yang terlihat hanya bayangan kuning berkelebatan menyambar empat wanita cantik bercawat itu.
Pekikan-pekikan keras terdengar saling susul, disertai terpentalnya tubuh-tubuh indah setengah telanjang itu. Dan tahu-tahu, Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri tegak dengan tangan menggenggam empat batang tombak. Entah bagaimana caranya, senjata-senjata lawan berhasil dirampasnya. Sedangkan wanita-wanita cantik bercawat itu jadi terkejut, begitu bisa bangkit berdiri.
"Persoalan ini belum selesai, Keparat...!" geram salah seorang wanita itu.
Dan setelah berkata demikian, tubuhnya melesat pergi diikuti tiga wanita lainnya. Bayu hanya memandangi saja sampai keempat wanita itu lenyap dari pandangannya. Dia memegang keempat batang tombak itu dengan kedua tangannya, kemudian....
Trak!
Hanya sekali hentak ke paha saja, empat batang tombak itu sudah berpatahan, masing-masing menjadi dua bagian. Bayu melemparkannya begitu saja ke tanah. Kemudian tubuhnya berputar berbalik dan melangkah menghampiri anak muda yang ditemani Tiren. Monyet kecil berbulu hitam itu berlari-lari menghampiri, lalu melompat ringan, dan naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka.
"Nguk!"
Bayu menepuk-nepuk kaki Tiren yang sudah nangkring di pundak kanannya. Kakinya terus melangkah menghampiri anak muda belasan tahun yang masih berdiri di bawah pohon. Pendekar Pulau Neraka baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan anak muda itu.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Bayu.
"Tidak. Terima kasih atas pertolonganmu," ucap pemuda itu.
Bayu hanya tersenyum saja sambil menepuk pundak anak muda belasan tahun itu. Kemudian, Pendekar Pulau Neraka mengajaknya berjalan meninggalkan tempat Ini. Mereka berjalan berdampingan tanpa berkata-kata lagi. Entah apa yang ada di dalam batin masing-masing, sehingga tak ada seorang pun membuka suara lebih dahulu. Padahal, mereka sudah cukup jauh meninggalkan tempat pertarungan tadi.
"Siapa namamu?" Tanya Bayu mengisi kebisuan yang terjadi cukup lama tadi.
"Parindra," Sahut anak muda itu singkat.
"Kenapa berada di hutan ini?" tanya Bayu lagi.
"Aku sedang berburu dan mencari kayu bakar," sahut pemuda Itu lagi.
Pendekar Pulau Neraka berhenti melangkah, langsung memperhatikan pemuda itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Bayu seperti tidak percaya atas Jawaban anak muda ini barusan. Kulit pemuda belasan tahun yang mengaku bernama Parindra ini putih bersih seperti layaknya putra-putra bangsawan. Pakaiannya pun tergolong berharga mahal, karena terbuat dari bahan sutra halus bersulamkan bunga-bunga indah di bagian dadanya.
Kasarnya memang tidak mungkin kalau anak muda yang kelihatannya dari keluarga bangsawan ini berada di dalam hutan. Bahkan sedang berburu dan mencari kayu bakar! Sedangkan Parindra yang menyadari tengah diamati hanya diam saja. Sebentar kemudian tubuhnya dihempaskan, duduk di bawah pohon yang cukup rindang untuk menaungi dirinya dari sengatan matahari yang begitu terik membakar. Sementara Bayu masih berdiri memperhatikan pemuda berwajah cukup tampan itu.
"Parindra...," lembut suara Bayu.
Parindra mengangkat wajahnya, menatap wajah Bayu. Pendekar Pulau Neraka agak terhenyak melihat sepasang bola mata anak muda ini tiba-tiba berkaca-kaca. Kemudian Pendekar Pulau Neraka duduk di depannya, lalu memandangi lekat-lekat. Sedangkan Parindra menundukkan kepala perlahan. Tangannya mencabut rerumputan, dan melemparkannya sambil menghempaskan napas berat.
"Kenapa mereka ingin menggantungmu tadi?" tanya Bayu, tetap lembut nada suaranya.
"Mereka menuduhku sebagai pencuri," sahut Parindra, agak mendengus suaranya.
"Pencuri...? Ha ha ha...!"
Entah kenapa, tiba-tiba saja Bayu jadi tertawa terbahak-bahak. Tenggorokannya terasa digelitik mendengar jawaban Parindra barusan. Sedangkan Parindra jadi mendengus, sambil menatap tajam pemuda berbaju kulit harimau ini. Perlahan suara tawa Bayu mereda, dan akhirnya berhenti sama sekali.
"Tidak ada yang perlu ditertawakan...!" dengus Parindra.
"Maaf. Bukannya aku hendak menyinggung perasaanmu, tapi...," Bayu kembali tertawa terbahak-bahak.
Parindra lagi-lagi mendengus tidak senang, lalu langsung bangkit berdiri dan mengayunkan kakinya kembali dengan cepat. Bayu cepat-cepat melompat bangkit dan mengejar anak muda itu. Langkahnya disejajarkan di samping pemuda belasan tahun ini. Suara tawanya sudah tidak lagi terdengar di telinga.
"Melihat kulitmu yang putih dan pakaianmu yang tentu berharga mahal, rasanya tidak mungkin kalau kau seorang pencuri, Parindra. Paling tidak, kau anak bangsawan. Atau, anak seorang juragan kaya yang tinggal di kota besar," kata Bayu menilai.
"Aku memang bukan pencuri!" sahut Parindra masih bersuara agak mendengus.
"Lalu, kenapa mereka menuduhmu pencuri dan ingin menggantungmu?" tanya Bayu mengejar.
Parindra tidak menjawab, dan terus saja mengayunkan kakinya dengan cepat. Sedangkan Bayu tetap berada di sampingnya, sambil tidak henti-hentinya memperhatikan anak muda belasan tahun ini. Tiba-tiba saja di benaknya timbul berbagai macam pikiran mengenai anak muda ini. Entah kenapa, hatinya merasa ada sesuatu yang tersembunyi pada diri Parindra. Sesuatu yang bisa membahayakan keselamatan jiwanya. Benarkah dugaan Pendekar Pulau Neraka ini...?
DUA
Saat senja merayap turun menyelimuti sebagian permukaan bumi, Pendekar Pulau Neraka dan Parindra baru sampai di sebuah desa yang tidak begitu besar. Rumah-rumah di sini letaknya pun cukup rapat. Keadaannya juga tidak begitu ramai. Bahkan bisa dikatakan sunyi. Hanya ada beberapa orang saja yang terlihat berada di luar rumah. Kedua orang itu terus melangkah menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah di bagian tengah desa kecil ini. Mereka menuju sebuah kedai yang masih buka.
Seorang perempuan separuh baya tampak tergopoh-gopoh menyambut, begitu melihat Bayu dan Parindra muncul di depan pintu kedai. Dengan sikap ramah dan senyuman dibuat-buat, wanita separuh baya bertubuh sedang itu menuntun kedua anak muda ini ke sebuah meja yang terletak di bawah jendela.
"Mau makan, atau hanya minum saja?" wanita itu menawarkan dengan sikap ramah.
"Dua-duanya," sahut Bayu.
Wanita separuh baya itu tersenyum, lalu bergegas ke belakang. Bayu mengambil sesisir pisang yang tergantung di dekatnya, lalu diberikannya pada Tiren yang tentu saja senang menerimanya. Monyet kecil berbulu hitam itu duduk di jendela sambil menikmati pisang. Sedangkan Bayu mengedarkan pandangan ke sekeliling kedai ini.
Hanya ada tiga pengunjung selain dirinya dan Parindra. Dan tampaknya, ketiga pengunjung kedai ini Juga pendatang seperti dirinya. Hal ini bisa dipastikan dari pakaian yang dikenakan. Teriebih lagi, ketiga orang itu membawa pedang yang tersampir di pinggang. Dan di sudut ruangan kedai ini juga masih ada seorang pengunjung lagi. Seorang laki-laki tua yang tampaknya sudah mabuk karena kebanyakan minum arak Ada lebih lima guci arak besar tergeletak di mejanya. Bayu kembali mengedarkan pandangan berkeliling. Tak ada lagi pengunjung di kedai ini.
Pandangan Pendekar Pulau Neraka beralih pada wanita separuh baya yang datang kembali sambil membawa baki berisi penuh pesanan yang diminta Bayu. Dengan sikap ramah dan senyuman tetap tersungging di bibir, wanita itu meletakkan makanan dan minuman di atas meja bundar dari kayu berwarna kecokelatan ini. Setelah meletakkan seluruh pesanan tamunya ini, bergegas dia melangkah lagi ke belakang.
"Kau tidak lapar, Parindra...?" tegur Bayu melihat Parindra hanya diam saja, tidak menyentuh hidangan.
Parindra baru menikmati makanannya setelah ditegur, tanpa sedikit pun berbicara. Sambil makan, kepalanya pun terus tertunduk, seakan-akan menyembunyikan wajah dari pandangan orang lain. Sedangkan Bayu tidak sempat memperhatikan, karena terlalu asyik menikmati hidangannya. Memang sudah tiga hari ini Pendekar Pulau Neraka tidak pernah menikmati makanan selezat ini.
Sementara mereka menikmati makanan yang terhidang, tanpa disadari, tiga orang yang duduk agak jauh tengah memperhatikan Parindra yang terus tertunduk. Mereka berbicara berbisik-bisik sambil terus memperhatikan pemuda itu. Namun sama sekali baik Bayu maupun Parindra tidak menyadari.
Ketiga laki-laki yang kelihatan berusia rata-rata tiga puluh tahun itu terus memperhatikan Parindra. Perawakan mereka cukup gagah, dan berpakaian indah terbuat dari bahan sutra halus. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, dengan penampilan bersih dan parlente, sudah dapat diduga kalau mereka bukanlah orang sembarangan.
"Kakang...," panggil Parindra pelan tanpa mengangkat wajah sedikit pun juga.
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja.
"Kalau sudah makan, kita langsung pergi dari desa ini," ujar Parindra, tetap pelan suaranya.
"Sudah sore, Parindra. Sebentar lagi malam menjelang. Apa tidak sebaiknya cari penginapan di desa ini saja...?" usul Bayu.
"Desa ini tidak aman, meskipun hanya semalaman saja," kilah Parindra, tetap pelan dengan kepala tertunduk.
Bayu menghentikan makannya. Dipandanginya anak muda belasan tahun ini, yang tetap saja tertunduk. Parindra juga sudah sejak tadi tidak meneruskan makannya. Memang sebelum memasuki desa ini tadi, Parindra sudah tidak ingin melanjutkan perjalanan. Bahkan tadinya dia ingin menunggu saja di luar desa. Bayu sendiri tidak tahu, kenapa Parindra seperti enggan berada di desa kecil ini. Tapi dia tidak ingin bertanya banyak, karena Parindra lebih pendiam dan tidak banyak bicara. Bahkan jika ditanya pun, jawabannya hanya sepotong-potong saja.
Pendekar Pulau Neraka memanggil wanita separuh baya pemilik kedai ini. Setelah berbicara sebentar, kemudian dibayarnya harga makanan yang dipesannya. Sementara itu Tiren melompat naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka. Sesisir pisang telah berpindah ke dalam perut monyet berbulu hitam ini. Sedangkan Parindra sudah keluar lebih dahulu. Bayu terpaksa bergegas mengejar Parindra yang terus saja berjalan cepat meninggalkan kedai itu.
"Parindra, ada apa denganmu...?" tanya Bayu jadi tidak sabar melihat sikap Parindra yang begitu tertutup.
Parindra tidak menjawab, dan malah terus saja berjalan cepat hendak meninggalkan desa kecil yang membuat kepalanya jadi berdenyut pening. Pendekar Pulau Neraka menghadang langkah Parindra, tepat di perbatasan desa sebelah Timur. Pemuda itu terpaksa menghentikan langkahnya.
"Katakan! Ada apa denganmu...?" desak Bayu.
"Mereka akan membunuhku, kalau tahu aku ada di desa ini," jelas Parindra.
"Mereka siapa...?"
"Kami...!"
"Heh...?!"
Pendekar Pulau Neraka terkejut begitu tiba-tiba saja terdengar suara keras menggema. Wajahnya cepat berpaling ke arah datangnya suara itu. Entah dari mana datangnya. Tahu-tahu di tempat ini sudah ada tiga orang laki-laki berusia tiga puluh tahun. Dan tentu saja Bayu mengenali mereka, ketika di kedai tadi. Mereka juga pengunjung kedai yang duduk agak jauh dari mejanya tadi.
Melihat ketiga laki-laki itu, wajah Parindra mendadak saja pucat pasi, bagai tak pernah dialiri darah. Anak muda berusia tujuh belas tahun itu menggeser kakinya ke belakang Bayu. Kelihatannya seperti ingin berlindung di balik tubuh Pendekar Pulau Neraka ini. Sikap Parindra yang kelihatan ketakutan itu membuat Bayu jadi mengerutkan keningnya.
"Parindra! Kemari kau...!" bentak salah seorang yang mengenakan baju warna merah menyala.
Tidak...!" sahut Parindra, agak bergetar suaranya.
"Anak tidak tahu diuntung...!" dengus laki-laki lainnya yang mengenakan baju biru muda.
Seketika laki-laki berbaju biru muda itu tiba-tiba saja melompat Tangannya langsung terulur hendak meraih Parindra yang berlindung di belakang tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tindakan itu tentu saja membuat Bayu tersentak. Maka cepat-cepat tangan kanannya dikebutkan ke arah tangan orang berbaju biru muda yang menjulur ke depan.
"Hait...!"
Laki-laki berbaju biru muda itu cepat-cepat menarik tangannya pulang, sebelum berbenturan dengan tangan kanan Bayu yang mengibas cepat. Pada saat yang sama, salah seorang yang mengenakan baju warna kuning sudah melompat cepat ke arah Parindra.
Melihat gelagat yang kurang baik ini, Bayu cepat-cepat melentingkan tubuh ke belakang sambil menyambar pinggang Parindra. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka melakukan putaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di tanah berumput. Langsung didorongnya dada Parindra, sehingga pemuda belasan tahun itu merapat ke pohon yang cukup besar untuk tempat berlindung.
"Jangan ke mana-mana," pesan Bayu.
Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya ke depan beberapa tindak Sementara tiga orang laki-laki dengan pedang tersampir di pinggang masing-masing, sudah bergerak maju menghampiri. Wajah mereka tampak memerah, bagai menyimpan kemarahan atas tindakan Bayu yang menyelamatkan Parindra.
"Kau menyingkir, Tiren," ujar Bayu pada monyet kecil yang masih saja nangkring di pundaknya.
"Nguk!"
Tiren cepat melompat turun dari punggung Pendekar Pulau Neraka, lalu berlari-lari kecil menghampiri Parindra. Monyet kecil berbulu hitam itu segera melompat naik ke punggung pemuda berusia belasan tahun ini. Parindra agak terpekik sedikit, tapi langsung tersenyum begitu melihat monyet kecil berbulu hitam ini duduk tenang di pundaknya.
"Berhenti, kalian..!" bentak Bayu sambil merentangkan tangan kanan ke depan.
Tiga orang laki-laki bersenjata pedang di pinggang itu seketika menghentikan ayunan langkahnya, begitu mendengar bentakan Bayu yang keras dan tegas. Sedangkan Bayu tetap berdiri tegak, bersikap penuh kewaspadaan. Tatapan matanya begitu tajam merayapi tiga orang di depannya, seakan-akan sedang mengukur tingkat kepandaian mereka.
"Siapa kau...?!" bentak salah seorang yang mengenakan baju merah.
"Aku Bayu. Dan kalian sendiri siapa...?" Bayu balik bertanya setelah memperkenalkan diri.
"Kau tidak perlu tahu siapa kami!" dengus orang yang berbaju biru muda.
"Sebaiknya cepat menyingkir, sebelum kupatahkan batang lehermu!" sambung orang yang berbaju kuning.
"Ada urusan apa, kalian dengan Parindra?" tanya Bayu tanpa mempedulikan kata-kata yang bernada kasar dan meremehkan dari ketiga orang itu.
"Banyak mulut..! Mampus kau, hiyaaat..!"
Laki-laki yang berbaju merah seketika saja melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, dilepaskan ke arah dada pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Hait!"
Tapi manis sekali Bayu menghindarinya dengan mengegoskan tubuh ke kanan. Hampir saja Bayu memberikan pukulan balasan. Untung saja orang itu cepat melentingkan tubuh ke belakang, begitu serangannya tidak mengenai sasaran. Dan pada saat yang bersamaan, seorang yang berbaju biru muda sudah melompat hendak melewati kepala Bayu.
"Yeaaah...!"
Bayu cepat melompat ke belakang, seraya melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Pukulan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka seketika beradu keras dengan kepalan tangan orang berbaju biru muda. Dua kekuatan tenaga dalam saling berbenturan dahsyat sekali, dan tak dapat dihindari. Akibatnya, terdengar ledakan keras menggelegar yang begitu dahsyat memekakkan telinga.
Tampak orang berbaju biru muda itu terpekik keras, dan tubuhnya terpental ke belakang sejauh beberapa batang tombak. Keras sekali tubuhnya jatuh menghantam tanah, lalu bergulingan beberapa kali sebelum berhenti tertahan sebongkah batu yang cukup besar. Dia berusaha bangkit berdiri, tapi dari mulutnya memuntahkan darah kental agak kehitaman.
"Hoeeek...!"
Sementara Bayu berhasil menguasai keseimbangan tubuhnya, dan kembali menjejakkan kakinya di tanah tanpa tergoyahkan sedikit pun. Kejadian yang begitu cepat dan tidak terduga tadi, membuat dua laki-laki lain jadi terbeliak. Mereka seakan-akan baru saja melek, dan menyadari kalau pemuda berbaju kulit harimau ini tidak bisa dianggap enteng.
"Selangkah lagi kalian maju, nasib kalian tentu akan sebagus dia!" ancam Bayu, dingin menggetarkan.
Dua orang laki-laki itu seperti ragu-ragu. Mereka sama-sama memandang ke arah temannya yang tampak tak berdaya, tergeletak di tanah berumput. Mulutnya penuh darah kental agak kehitaman. Seperti diberi aba-aba saja, mereka bergegas menghampiri temannya yang tergeletak. Gerakan halus di dadanya, menandakan kalau orang berbaju biru muda itu masih bernapas.
"Bagaimana...?" tanya orang berbaju merah, agak berbisik suaranya.
"Sebaiknya mundur saja dulu. Tampaknya, Adi Rakasa terluka dalam cukup parah," sahut orang berbaju kuning.
Orang yang mengenakan baju merah memutar tubuhnya menatap Bayu yang masih berdiri tegak dan bersikap menantang. Sedangkan orang yang berbaju kuning sudah membantu temannya berdiri.
"Ayo, kita pergi..," ajak orang berbaju kuning yang memapah temannya.
Sedangkan orang berbaju merah masih menatap tajam penuh kata-kata bernada ancaman, tubuhnya diputar dan bergegas menyusul dua orang temannya yang sudah meninggalkan tempat ini
***
"Siapa mereka?" tanya Bayu tanpa berpaling dari orang yang bergerak cepat meninggalkan tempatnya.
Parindra tidak menjawab pertanyaan itu. Seolah-olah tidak didengarnya ucapan Bayu. Pandangan matanya tak lepas dari tiga orang yang semakin jauh pergi. Sementara Bayu memutar tubuhnya, lalu menghampiri anak muda itu. Monyet kecil berbulu hitam di pundak Parindra, melompat berpindah ke bahu kanan Pendekar Pulau Neraka. Dipeluknya leher Bayu, seakan-akan ingin menyatakan kegembiraannya melihat pemuda berbaju kulit harimau ini berhasil mengalahkan tiga orang lawannya.
"Siapa mereka, Parindra...?" Bayu mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab tadi.
"Oh...,aku...,aku...," Parindra jadi tergagap.
"Jangan katakan kau tidak tahu siapa mereka, Parindra," agak dalam nada suara Bayu.
Parindra diam dengan kepala tertunduk, menekuri ujung jari kakinya. Sementara Bayu berada sekitar dua langkah lagi di depannya. Pendekar Pulau Neraka memandangi dengan sinar mata memancar tajam. Perlahan Parindra mengangkat wajahnya, dan langsung bertemu pandang dengan mata pemuda berbaju kulit harimau di depannya. Kemudian tubuhnya dihempaskan, duduk bersandar di batang pohon. Terdengar hembusan napas yang panjang dan terasa begitu berat. Sedangkan Bayu masih berdiri saja di tempatnya, memandangi pemuda belasan tahun ini
"Baiklah.... Kalau kau tetap diam saja seperti itu, tidak ada gunanya lagi aku bersamamu," tegas Bayu.
Setelah berkata demikian, Bayu memutar tubuhnya berbalik Kakinya terayun melangkah meninggalkan Parindra yang masih duduk saja di bawah pohon. Ketika Bayu berjalan sejauh tiga batang tombak, Parindra cepat bangkit berdiri. Bergegas kakinya melangkah mengejar dan mensejajarkan diri di samping Pendekar Pulau Neraka.
"Sebaiknya kau pulang saja, Parindra. Tidak ada gunanya mengikutiku terus," ujar Bayu tanpa menghentikan langkahnya.
"Kau tidak ingin mengantarku, Kakang...?" nada suara Parindra terdengar memohon.
"Ke mana aku harus mengantarmu? Kau sendiri tidak pernah mengatakan di mana rumahmu."
"Di Desa Batang," Parindra memberi tahu desa tempat tinggalnya.
"Tidak jauh dari sini."
"Memang. Hanya menyeberangi sungai saja."
"Lalu, kenapa kau tidak pulang sendiri...?" pancing Bayu.
"Aku takut," pelan sekali suara Parindra.
"Apa yang kau takutkan...? Pulang tidak membawa binatang buruan? Kau takut orang tuamu marah?"
Parindra menggelengkan kepala. Wajahnya kembali berubah murung. Bayu jadi gemas juga melihat sikap anak muda yang cepat sekali berubah jadi pendiam dan murung ini Sebentar Bayu memperhatikan, kemudian kembali mengayunkan langkahnya perlahan-lahan. Sementara senja semakin merayap turun. Suasana pun semakin meremang. Tak berapa lama lagi, malam pasti jatuh menyelimuti mayapada.
"Kau punya persoalan, Parindra...?" tanya Bayu lebih hati-hati, agar tidak berkesan mendesak.
"Sebenarnya, aku tidak berburu. Aku lari dari rumah," jelas Parindra, pelan.
"Kenapa...?" Bayu agak terkejut juga mendengar pengakuan ini.
"Mereka membakar rumahku. Membunuh ibu, dan adikku...," semakin pelan suara Parindra.
Bayu menghentikan langkahnya. Dia jadi tertegun, tidak menyangka akan hal ini. Dipandanginya wajah Parindra dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kebenaran dari kata-kata yang barusan saja didengarnya. Tampak jelas, kedua bola mata anak muda itu merembang berkaca-kata.
"Mereka melontarkan tuduhan-tuduhan keji pada ibu. Aku takut, lalu lari menyelamatkan diri ketika mereka membunuh ibu dan adikku," sambung Parindra.
"Ceritakan! Apa yang terjadi sebenarnya, Parindra," pinta Bayu ingin lebih tegas lagi
"Beberapa hari ini, terjadi beberapa pembunuhan di Desa Batang. Katanya, beberapa orang sempat memergoki pembunuh itu. Dan mereka langsung menuduh ibu sebagai pelakunya! Kata mereka, wajah pembunuh itu mirip ibu. Maka tuduhan itu langsung dijatuhkan tanpa menyelidiki lebih dahulu. Mereka membunuh ibu dan membakar habis rumah kami"
"Banyak korbannya?" tanya Bayu lagi
"Tiga orang."
"Baru tiga...?!"
"lya. Mereka langsung mendatangi rumah kami, dan menyeret ibu dan adikku ke luar. Lalu mereka membunuh dengan keji, tanpa bertanya lebih dahulu. Kemudian rumah kami dibakar habis. Bahkan, mereka juga melemparkan mayat ibu dan adikku ke dalam rumah yang sedang terbakar. Sementara aku berhasil selamat, karena saat itu tengah tidak berada di dalam rumah. Aku sempat melihat semua kejadian itu, dan terus saja berlari menyelamatkan diri, sebelum ada yang mengetahui."
"Setelah itu, apa masih terjadi pembunuhan di sana?" tanya Bayu.
"Aku tidak tahu. Empat hari aku berada di dalam hutan, dan tidak berani kembali lagi ke sana," jelas Parindra.
"Kau tahu, siapa tiga orang yang melihat ibumu Jadi pembunuh?" tanya Bayu.
"Salah satunya, Paman Karpak. Dan dua orang lainnya aku tidak tahu."
Bayu mengangguk-anggukkan kepala. Dia melihat persoalan yang dihadapi Parindra begitu pelik. Dan memang, tidak mudah membersihkan nama yang sudah ternoda.
"Parindra.... Siapa wanita-wanita yang hampir menggantungmu di hutan tadi. Dan siapa ketiga laki-laki itu tadi?" tanya Bayu ingin tahu lebih banyak lagi.
Kalau yang wanita, aku tidak tahu. Tapi ketiga orang tadi, mereka dari Padepokan Kalong Hitam. Aku sempat menjadi murid di padepokan itu. Dan mereka mengejarku. Aku sendiri tidak tahu mengapa mereka ingin menangkapku," jelas Parindra kembali.
'Tapi kenapa kau memintaku mengantarkan pulang...?" tanya Bayu lagi.
"Aku ingin, agar kau menjelaskan pada mereka bahwa tuduhan itu salah alamat. Aku ingin kau membantuku membersihkan nama keluargaku kembali," sahut Parindra mengemukakan keinginannya.
Bayu mengangkat bahunya sedikit.
"Aku tidak janji, dan harus kuselidiki dulu kebenarannya," ujar Bayu setelah terdiam beberapa saat.
"Kau tidak percaya padaku...?"
"Bukannya tidak percaya, Parindra. Aku hanya ingin mencari kepastian dan kebenaran yang nyata. Aku tidak ingin bertindak gegabah, yang bisa-bisa malah jadi bumerang bagi diriku sendiri. Kau mengerti maksudku, Parindra...?"
Parindra hanya menganggukkan kepala saja. Bisa dimengerti, apa yang dimaksudkan pemuda berbaju kulit harimau ini. Memang tidak mudah untuk mempercayai begitu saja ceritanya. Dan dia tahu, Bayu sebenarnya ingin mencari keterangan lebih dahulu. Setelah itu, baru bisa ditentukan langkah selanjutnya yang harus diambil. Parindra sendiri tidak ingin mendesak Bayu. Justru kalau mendesak, tentu Pendekar Pulau Neraka akan semakin curiga. Bisa-bisa semua ceritanya hanya dianggap khayalan kosong belaka. Mendapat pikiran begitu, Parindra jadi diam dan mencoba untuk bisa mengerti. Sebaiknya kita cari tempat yang aman dulu, dan tidak jauh dari Desa Batang. Aku tidak ingin kau terus bersamaku, karena bisa mengurangi ruang gerakku," kata Bayu lagi.
"Aku bisa mengerti, Kakang. Terima kasih, karena kau bersedia membantuku menyelesaikan persoalan ini," ujar Parindra.
Bayu menepuk pundak anak muda belasan tahun ini, kemudian mengajaknya melangkah lagi. Mereka berjalan bersisian tanpa berbicara lagi. Sementara di dalam benaknya, Bayu terus mencerna dan memikirkan semua cerita Parindra tadi. Untuk saat ini, memang belum bisa mengambil satu kesimpulan. Dan Pendekar Pulau Neraka harus mencari keterangan dulu agar mengetahui persoalan sebenarnya, sebelum mengambll tindakan.
"Aku punya tempat yang tak seorang pun tahu," kata Parindra tiba-tiba.
"Hm.... Di mana?"
"Sebelah Timur Desa Batang. Hanya aku sendiri yang tahu tempat itu," sahut Parindra.
"Baiklah. Ayo, ke sana...."
Kini mereka berjalan cepat Bayu melihat kalau Parindra sudah tidak murung lagi. Anak muda belasan tahun itu berjalan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga Bayu juga terpaksa mengimbanginya. Sedangkan saat itu, matahari sudah hampir tenggelam di balik cakrawala sebelah Barat Sinarnya yang memerah, membias di antara pucuk pepohonan. Begitu indah pemandangannya. Tapi keindahan itu tak mungkin bisa dinikmati Bayu dan Parindra yang berjalan cepat menuju ke Desa Batang.
TIGA
Tempat yang dimaksudkan Parindra memang cocok sebagai tempat persembunyian. Sebuah gua yang cukup besar dan nyaman, letaknya pun terlindung. Dan orang tak mungkin menyangka kalau di antara bebatuan dan pohon-pohon yang begitu rapat tersembunyi sebuah mulut gua yang memang kecil, dan hanya bisa dimasuki dengan cara merangkak Tapi, di dalamnya sangat besar luar biasa.
Memasuki gua ini, serasa berada dalam sebuah ruangan dalam tanah yang sengaja dibuat untuk tempat persembunyian. Udaranya juga cukup hangat karena di tengah-tengah gua ini terdapat sebuah kolam air yang terus bergolak mendidih. Uap air dari kolam itu membuat udara di sini terasa hangat Sebuah lubang yang cukup besar di dinding atas tepat di atas kolam itu, membuat keadaan di dalam gua ini cukup terang oleh sinar rembulan. Sehingga, tak periu lagi membuat api unggun.
"Dulu, aku sering ke sini bersama ayah," jelas Parindra. Tapi sayang, ayah telah mendahului ketika aku baru berusia empat belas tahun."
Bayu hanya diam saja mendengarkan sambil duduk bersandar di dinding gua batu. Sedangkan Tiren, sudah sejak tadi melingkar di sampingnya. Tumpukan daun kering menjadi alas tidur monyet kecil ini.
"Ayah tewas dalam pertarungan dengan lawannya," sambung Parindra mengenang. Tapi beliau juga berhasil membunuh lawannya, sebelum benar-benar tewas. Pertarungan yang adil, dan keduanya sama-sama tewas."
"Kau melihat pertarungan itu?" tanya Bayu.
"Bukan hanya aku, tapi semua orang di Desa Batang menyaksikannya. Bahkan semua penghuni Padepokan Kalong Hitam dan beberapa orang dari kalangan persilatan juga menyaksikan," sahut Parindra.
"Oh...?!" Bayu mendesah.
Pendekar Pulau Neraka tidak menyangka kalau Parindra ternyata putra seorang tokoh persilatan. Dari ceritanya saja, sudah bisa diduga kalau orang tua Parindra seorang tokoh persilatan yang punya nama. Buktinya, pertarungan itu disaksikan begitu banyak orang Tapi, kenapa sekarang semua orang malah membenci keluarganya...? Bahkan orang-orang Padepokan Kalong Hitam dan semua penduduk Desa Batang ikut memusuhinya. Yang lebih mengherankan lagi, Ibu dan adik anak muda ini dibunuh oleh mereka setelah membakar habis rumahnya. Hal inilah yang membuat Bayu tidak habis mengerti.
Sampai jauh malam mereka terus berbincang-bincang. Dan Bayu semakin mengenal anak muda belasan tahun ini. Hatinya langsung tergerak, setelah mengetahui kisah hidup Parindra. Dia jadi teringat dirinya sendiri, yang sejak masih bayi merah sudah ditinggal kedua orang tuanya. Sampai saat ini, Bayu pun tidak tahu keberadaan ibunya. Apakah sudah mati, atau masih hidup. Sementara Parindra sudah mendengkur, Bayu masih belum dapat memejamkan matanya. Entah apa yang ada di benaknya saat ini. Beberapa kali terdengar tarikan napas yang panjang.
***
Pagi-pagi sekali Bayu sudah meninggalkan gua itu. Sementara Parindra tetap tinggal di sana. Dari keterangan yang diberikan Parindra, Pendekar Pulau Neraka cepat bisa menemukan reruntuhan rumah anak muda itu. Bayu berdiri tegak memandangi puing-puing rumah yang hangus terbakar. Dari reruntuhan puing itu, bisa diduga kalau rumah ini tadinya cukup besar.
Pendekar Pulau Neraka memalingkan mukanya ketika mendengar suara langkah ringan dari arah belakang. Cepat tubuhnya diputar berbalik, ketika tampak seorang laki-laki tua berjubah putih berjalan ke arahnya. Sebatang tongkat kayu berkeluk tak beraturan tergenggam di tangan kanannya. Seluruh rambutnya yang panjang sudah memutih.
"Apa yang kau lakukan di sini, Anak Muda?" tanya orang tua itu. Nada suaranya berat, dan dingin sekali.
"Aku mencari tempat tinggal Ratu Lembah Mayat," sahut Bayu. Suaranya sengaja dibuat sopan, meskipun sikap orang tua berjubah putih ini kelihatan tidak bersahabat.
Mendengar nama Ratu Lembah Mayat laki-laki tua itu jadi menyipit matanya. Diperhatikannya Bayu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Sedangkan Bayu hanya diam saja diperhatikan dengan sinar mata tajam, bagai menaruh kecurigaan.
"Apa hubunganmu, sehingga mencari Ratu Lembah Mayat?" tanya orang tua itu. Suaranya masih tetap terdengar dingin tak bersahabat.
"Ada sesuatu yang harus kusampaikan," sahut Bayu. "Apakah Paman tahu di mana tempat tinggal-nya?"
"Dia sudah mati," sahut orang tua itu, tetap dingin nada suaranya.
"Mati...?!"
"Benar. Dan sebaiknya cepat tinggalkan desa ini, Anak Muda."
Tapi, ada keluarganya yang hidup, bukan...?"
"Tidak! Semuanya sudah mati. Kau bisa lihat reruntuhan rumahnya."
Pendekar Pulau Neraka berpaling sedikit melirik reruntuhan rumah yang hangus terbakar. Kemudian tatapannya kembali pada laki-laki tua berjubah putih di depannya.
"Kalau tidak ada keperluan lagi, sebaiknya cepat tinggalkan desa ini, Anak Muda. Aku tidak ingin ada pertumpahan darah lagi di sini," tegas orang tua itu, langsung mengusir.
"Kenapa...? Aku datang ke sini bukan untuk mencari permusuhan, Paman."
"Apa pun yang kau katakan, kehadiranmu di sini tidak diinginkan. Dan aku hanya memberimu peringatan satu kali. Maaf, aku tidak ada waktu untukmu."
"Hei..., tunggu...!"
Tapi orang tua berjubah putih itu sudah berbalik dan melangkah ringan meninggalkan Pendekar Pulau Neraka. Dari ayunan kakinya saja, sudah dapat dinilai kalau orang tua itu memiliki tingkat kepandaian tinggi. Begitu ringan ayunan kakinya, sehingga bagai tak menyentuh tanah sedikit pua Sebentar saja, bayangan tubuhnya sudah jauh meninggalkan tempat ini, menghilang di tikungan jalan. Sementara Bayu masih berdiri tertegun di tempatnya. Otaknya bekerja keras, untuk mengerti maksud ucapan laki-laki tua itu tadi. Kata-kata yang tak bersahabat dan bernada ancaman yang tidak bisa dianggap enteng.
"Aneh.... Mengapa semua orang begitu benci mendengar nama Ratu Lembah Mayat..?" Bayu menggumam perlahan, berbicara pada dirinya sendiri.
Bukan hanya laki-laki tua itu saja yang kelihatan benci begitu mendengar nama Ratu Lembah Mayat disebut Tapi tadi.... Sebelum Bayu sampai di sini, ada dua orang yang langsung lari begitu ditanya letak tempat tinggal Ratu Lembah Mayat Bayu jadi keheranan, karena tampaknya semua penduduk Desa Batang ini seperti ketakutan. Bahkan membenci orang yang bernama Ratu Lembah Mayat
Bayu kembali memandangi reruntuhan rumah yang sudah rata dengan tanah. Meskipun kelihatannya sudah beberapa hari hangus terbakar, tapi masih terlihat sedikit asap tipis mengepul dari situ. Reruntuhan rumah inilah yang ditunjukkan Parindra sebagai bekas rumahnya dulu. Dan laki-laki tua tadi, mengatakan kalau ini bekas tempat tinggal Ratu Lembah Mayat Jadi, memang benar ibu Parindra berjuluk Ratu Lembah Mayat Hanya saja, Parindra tidak mengakui, dan mengatakan kalau julukan itu hanya mengada-ada saja.
"Ratu Lembah Mayat... Hm.", apa benar istri Pendekar Cakar Naga berjuluk Ratu Lembah Mayat?" Bayu bergumam sendiri dalam hari.
Baru saja Bayu hendak mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu, mendadak saja dari jalan di depannya terlihat banyak orang mendatangi. Pendekar Pulau Neraka jadi berkerut keningnya, melihat banyak orang menuju ke arahnya. Mereka semua membawa senjata dari berbagai bentuk, dan tampaknya datang tidak dengan maksud bersahabat.
Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka bisa mengerti, mendadak saja terdengar seruan-seruan yang begitu lantang. Itu pun masih disusul berlariannya orang-orang yang menghampiri. Bayu jadi, tersentak kaget ketika beberapa batang tombak berhamburan ke arahnya.
"Heh...?!"
Bayu cepat berlompatan sambil mengebutkan kedua tangannya, menangkis tombak-tombak yang berhamburan di sekitarnya. Belum lagi sempat menarik napas, dua orang sudah melompat maju. Pendekar Pulau Neraka langsung diancam dengan serangan senjata golok terhunus!
"Hait..!"
Tak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Pulau Neraka untuk menghentikan mereka. Orang-orang itu sudah mengepung dan menyerang tanpa memberi kesempatan sedikit pun untuk bertanya. Terpaksa Bayu berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang dari segala penjuru.
"Setan...! Bisa habis napasku kalau begini terus!" dengus Bayu dalam hari.
Bayu benar-benar kesal, dan hanya dapat menggerutu serta mengumpat dalam hari. Tak ada sedikit pun kesempatan baginya untuk bisa keluar dari kepungan orang-orang ini. Pendekar Pulau Neraka sendiri tidak bisa berbuat banyak menghadapi keroyokan yang begitu rapat. Beberapa kali diberikannya serangan balasan, berupa pukulan-pukulan keras yang tidak disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi, tetap saja kesempatan untuk keluar dari kepungan ini tidak ada. Padahal, beberapa orang sudah jatuh bergelimpangan terkena pukulan Pendekar Pulau Neraka.
Pukulan-pukulan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka memang tidak berbahaya, sehingga tak menimbulkan korban seorang pun juga. Mereka yang terkena pukulan itu, bisa cepat bangkit berdiri lagi. Bahkan kembali menyerang ganas. Hal ini membuat Bayu semakin kerepotan menghadapinya. Dan tentu saja ruang geraknya pun semakin menyempit. Pukulan pukulannya pun semakin jarang terlontar.
Wusss!
Tiba-tiba saja, berhembus angin yang begitu keras bagai terjadi badai topan di tengah samudra. Angin yang datang tiba-tiba itu menimbulkan suara menderu yang menggetarkan hari. Akibatnya orang-orang yang mengeroyok Bayu jadi berhamburan, berpentalan diterjang angin yang begitu keras. Bahkan batu-batuan pun beterbangan. Pepohonan mulai terbongkar sampai ke akarnya. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar di antara deru angin yang begitu dahsyat Bayu sendiri mengerahkan tenaga dalam agar tidak terhempas hembusan angin yang begitu dahsyat dan tiba-tiba ini. Pendekar Pulau Neraka sempat melihat orang-orang yang tadi mengeroyok, berhamburan seperti segumpal kapas yang diterbangkan angin Tak ada seorang pun yang mampu bertahan. Bahkan beberapa di antara mereka sudah tergeletak terhimpit pohon atau batu-batu. Jeritan-jeritan melengking masih terdengar saling susul, ditingkahi deru angin yang semakin dahsyat. Sementara Bayu masih tetap mencoba bertahan di tempatnya.
"Huh! Ini bukan angin biasa. Aku mulai merasakan hawa panas di dalamnya," dengus Bayu dalam hari.
Menyadari kalau badai yang datang ini bukan karena peristiwa alam biasa, Bayu segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Dan seketika itu juga, tubuh Pendekar Pulau Neraka melayang bagai sehelai daun yang terhembus angin. Seketika dimanfaatkannya tenaga hembusan angin ini untuk melepaskan diri dari serangan badai yang begitu dahsyat Dan begitu dorongan angin terasa berkurang kekuatannya, cepat-cepat tubuhnya melenting, lalu berputaran beberapa kali di udara.
"Hup! Yeaaah...!"
Ringan sekali Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kaki di tanah. Sedikit pun tak terdengar suara saat kedua kakinya mendarat di tanah. Bayu berdiri tegak dengan sinar mata menyorot tajam, dan beredar berkeliling. Pada saat itu, angin yang dahsyat tersebut benar-benar sudah berhenti.
"Nguk...!"
Bayu cepat memutar tubuhnya ke kanan, begitu monyet kecil di pundaknya bersuara pelan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu sekitar sepuluh tombak di depannya sudah berdiri seseorang mengenakan jubah panjang berwarna hitam. Rambutnya panjang teriap, dan hampir menutupi seluruh wajahnya. Sehingga, Bayu sukar mengenalinya. Sebatang tongkat yang bagian ujung atasnya berbentuk tengkorak kepala manusia, tergenggam di tangan kanan. Bayu menyipitkan matanya, mencoba memperhatikan orang itu lebih Jelas lagi.
"Hm...," Bayu menggumam perlahan dalam hari.
"Pergilah dari sini, Anak Muda. Dan sebaiknya jangan mencampuri urusan ini. Pergilah! Sebelum aku bertindak lebih kejam padamu!" terdengar dingin sekali nada suara orang itu.
"Siapa kau? Apa maksudmu memamerkan tenaga dalam seperti itu?" tanya Bayu tegas.
"Hik hik hik..! Itu baru permulaan, Anak Muda."
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.
Baru sekali ini Pendekar Pulau Neraka melihat orang berjubah hitam itu. Dan dari suaranya saja, sudah bisa diduga kalau orang itu pasti seorang perempuan tua. Dan yang pasti, kepandaiannya telah tinggi, karena bisa menciptakan badai topan begitu dahsyat Bayu semakin menyipitkan matanya, mencoba memperhatikan lebih jelas. Kakinya bergerak perlahan, melangkah ke depan.
Tapi orang berjubah hitam itu malah bergerak mundur seperti melayang di atas tanah. Tak terlihat sedikit pun gerakan kakinya. Sehingga, Bayu tak dapat lebih mendekat lagi, dan langsung menghentikan langkahnya. Orang berjubah hitam Itu juga berhenti bergerak ke belakang.
"Demi keselamatanmu sendiri, kuharap kau segera angkat kaki dari desa ini. Tak ada yang bisa diharapkan di sini," tegas orang berjubah hitam Itu lagi. Suaranya tetap terdengar dingin tak bersahabat.
"Kenapa semua orang mengusirku? Apakah desa ini terlarang bagi pengembara sepertiku...?" tanya Bayu seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Kau tidak akan mendapatkan jawaban, Anak Muda. Tak ada tempat sejengkal pun di desa ini untukmu!" sahut orang berjubah hitam itu agak mendengus.
"Sayang sekali. Sepertinya, aku tidak bisa meninggalkan desa ini cepat-cepat" ujar Bayu kalem.
"Keras kepala...!" desis orang berjubah hitam itu mendengus kesal.
Bayu memutar tubuhnya dan melangkah pergi tanpa berkata-kata lagi. Dia malah berjalan menuju Desa Batang.
"Mau ke mana kau, Bocah...?!" bentak orang berjubah hitam itu.
"Ke Desa Batang," sahut Bayu seenaknya, tanpa menghentikan langkahnya.
"Bocah setan...! Berhenti kau...!"
Tapi Bayu tidak mempedulikan lagi, dan terus saja berjalan tenang. Dan begitu sudah berjalan sejauh tiga batang tombak, tiba-tiba saja dari arah belakang terasa angin berhembus keras. Seketika Bayu cepat melentingkan tubuh ke udara, tanpa berpaling lagi ke belakang.
"Yeaaah...!"
Pada saat itu, di bawah tubuhnya berkelebat bayangan hitam yang begitu cepat luar biasa. Tiga kali Bayu berputar di udara, kemudian manis sekali menjejakkan kakinya di tanah.
"Bocah setan...! Berhenti kau...!" Tapi Pendekar Pulau Neraka tidak peduli. Dia terus saja berjalan. Dan ketika dari belakang dirasakannya angin berhembus keras, Bayu segera melentingkan tubuhnya tanpa berpaling lagi! Rupanya, sesosok bayangan hitam itu telah menyerang dengan cepatnya!
Sebentar diperhatikannya orang berjubah hitam yang sudah cepat berbalik. Dan sebelum orang berjubah hitam itu kembali melakukan serangan, Pendekar Pulau Neraka sudah melesat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup sempurna. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Bagaikan tertelan bumi saja layaknya. Hilangnya Pendekar Pulau Neraka membuat orang berjubah hitam ini jadi terbengong.
"Bocah setan...!" dia mengumpat berang.
Beberapa saat orang berjubah hitam itu masih berdiri tegak di tempatnya. Sepasang bola matanya yang tersembunyi di balik riapan rambutnya yang panjang, terlihat menyorot tajam, dan beredar berkeliling. Tapi Pendekar Pulau Neraka memang sudah lenyap tak berbekas lagi Tak ada seorang pun yang dapat dilihatnya, kecuali keadaan sekitar yang hancur berantakan akibat terlanda angin badai tadi. Beberapa tubuh tak bernyawa, bergelimpangan tumpang tindih bersama bebatuan dan pepohonan tumbang.
"Huh! Bocah setan itu harus disingkirkan, sebelum membuat susah nantinya!" dengus orang berjubah hitam itu lagi.
Dan tanpa berkata apa-apa lagi, tubuhnya cepat melesat pergi menuju Desa Batang. Begitu ringan dan cepatnya, sehingga sebentar saja sudah jauh meninggalkan tempat ini. Sementara tanpa diketahuinya, Bayu sebenarnya masih berada di tempat itu. Pendekar Pulau Neraka bersembunyi di balik sebatang pohon yang cukup besar sambil memperhatikan orang berjubah hitam itu. Begitu orang itu lenyap dari pandangannya, barulah Pendekar Pulau Neraka keluar dari balik pohon.
"Hm.... Siapa dia...?" gumam Bayu bertanya sendiri dalam hati.
Malam sudah cukup larut menyelimuti seluruh permukaan bumi di Desa Batang. Suasana desa yang tidak begitu besar itu pun, terasa sunyi sekali Hanya beberapa peronda saja yang terlihat berjaga-jaga di beberapa tempat di desa itu. Hampir semua rumah di sini dalam keadaan gelap. Para penduduk hanya memasang sebuah pelita kecil di beranda depan saja. Tapi, ada satu rumah yang tampak terang benderang pada bagian dalamnya. Rumah itu kelihatan paling besar di desa ini, dan berhalaman luas.
Di bagian ruangan depan rumah itu terlihat enam orang laki-laki duduk melingkar di lantai yang beralaskan selembar anyaman tikar daun pandan. Di antara mereka tampak seorang laki-laki tua berjubah putih, berambut putih. Dialah laki-laki tua yang pernah menemui dan memberi peringatan pada Pendekar Pulau Neraka. Di Desa Batang ini, dia dikenal dengan nama Eyang Bagasrana. Dia memang orang yang tertua dan amat disegani, dan juga guru besar di Padepokan Kalong Hitam. Dan Desa Batang sendiri, juga dikenal berjuluk Desa Padepokan Kalong Hitam. Karena, hampir semua penduduknya merupakan murid Eyang Bagasrana.
Sedangkan tiga orang yang duduk di samping kanan dan kirinya masih kelihatan muda. Dan mungkin baru berusia antara dua puluh lima atau tiga .puluh tahun. Mereka juga pernah bertemu Pendekar Pulau Neraka. Yang mengenakan baju kuning adalah Sutrana. Sedangkan yang berbaju merah adalah Badur, dan Rakasa yang memakai baju warna biru muda. Sementara yang bernama Rakasa pernah terluka akibat pertarungannya dengan Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan dua orang lagi sudah berusia separuh baya. Melihat dari pakaian dan senjata yang disandang, sudah dapat dipastikan kalau mereka bukan orang sembarangan. Yang mengenakan baju hijau bernama Karpak. Goloknya berukuran besar, dan tergeletak di depannya. Dan seorang lagi bernama Ladra. Bajunya juga berwarna hijau, dan memegang sebatang tombak pendek yang ujungnya bermata tiga.
"Satu lagi orang asing datang ke desa ini. Dan siang tadi, sudah meminta korban cukup banyak...," laki-laki tua berjubah putih itu membuka suara.
"Ada tiga puluh orang yang tewas. Sementara sisanya, terluka cukup parah," sambung Karpak
"Apakah orang itu mengenakan baju dari kulit harimau...?" tanya Badur.
"Benar," sahut orang tua berjubah putih.
"Kami sempat bertarung di luar Desa Gambut Dia bersama Parindra. Waktu itu aku, Sutrana dan Rakasa belum mengetahui persoalan yang sebenarnya;" jelas Badur lagi.
"Kalau begitu, dia benar-benar ada hubungannya dengan keluarga Pendekar Cakar Naga...," gumam Eyang Bagasrana.
"Benarkah itu, Eyang...?" Karpak seperti meminta penjelasan.
"Anak muda itu menanyakan tempat tinggal Ratu Lembah Mayat Hm.... Dia pasti hanya berpura-pura saja bertanya begitu. Kedatangannya ke sini, pasti ingin menyelidiki kematian istri Pendekar Cakar Naga," duga Eyang Bagasrana.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Eyang?" tanya Ladra.
"Yang pasti, Parindra sudah bercerita banyak padanya. Dan bukannya tidak mungkin, ceritanya ditambah-tambahkan supaya berkesan semua orang di desa ini telah membantai keluarganya secara keji," sambung Sutrana.
"Eyang.... Kesalahpahaman ini harus segera diluruskan. Sekarang kita harus mencarinya, dan menjelaskan kebenarannya. Kalau tidak, dia akan tetap menyangka buruk pada semua orang di Desa Batang ini," sambung Ladra.
"Percuma saja, Paman Ladra," selak Badur.
"Apanya yang percuma...?"
"Parindra tidak sudi lagi kembali ke sini. Bahkan terang-terangan menentang dan membenci kita semua," jelas Badur.
"Dalam hal ini, aku yang bertanggung jawab. Dan harus kuselesaikan sendiri," selak Eyang Bagasrana.
"Tidak, Eyang...!" sentak Sutrana. "Bukan hanya Eyang sendiri yang harus bertindak. Tapi semua orang di Desa Batang ini juga terlibat"
"Benar, Eyang. Persoalan ini harus segera diselesaikan. Dan yang terpenting, Parindra harus segera ditemukan. Dia harus diberi penjelasan yang sebenarnya. Kalaupun pendiriannya tetap tidak berubah, itu memang sudah haknya. Dan kita tetap berkewajiban membersihkan nama Pendekar Cakar Naga. Terutama, nama istri dan anak-anaknya," sambung Karpak.
"Eyang.... Bagaimana kalau kita temui dulu anak muda berbaju kulit harimau itu," usul Ladra.
"Maksudmu..?" tanya Eyang Bagasrana tidak mengerti.
"Serahkan saja padaku, Eyang. Toh, dia belum bertemu denganku," ujar Ladra diiringi senyuman.
"Dengar, Ladra. Aku tidak ada waktu untuk bermain-main...!" dengus Eyang Bagasrana.
Ladra hanya tersenyum saja. Dia bangkit berdiri, dan membungkukkan badannya untuk memberi hormat pada laki-laki tua itu. Kemudian tubuhnya berbalik, langsung berjalan ke luar meninggalkan ruangan itu.
"Apa yang akan dilakukannya...?" tanya Eyang Bagasrana seperti bertanya pada diri sendiri.
Tentu saja yang lain tidak bisa menjawab. Mereka tidak tahu, apa yang akan dilakukan Ladra pada pemuda berbaju kulit harimau. Sementara mereka semua terdiam, Ladra sudah memacu cepat kudanya meninggalkan rumah berukuran cukup besar itu. Sementara malam terus merayap semakin larut, menyelimuti seluruh permukaan bumi Desa Batang. Suasana di desa itu pun semakin terasa sunyi. Hanya suara binatang malam saja yang terdengar mengisi kesunyian malam.
***
"Hup...!"
Ladra melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan ringan sekali. Kakinya melangkah sambil menuntun kudanya, mendekati seorang pemuda yang duduk bersila di depan api unggun. Api yang menyala tidak seberapa besar itu sudah cukup mengusir udara dingin malam ini. Pemuda yang mengenakan baju kulit harimau itu hanya mengangkat wajahnya sedikit, begitu Ladra sudah berada di depannya.
"Maaf, boleh menumpang menghangatkan badan di sini?" ujar Ladra dengan suara dan sikap dibuat lembut
"Silakan," sahut pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain Pendekar Pulau Neraka.
"Terima kasih."
Ladra duduk bersila di depan Pendekar Pulau Neraka. Kedua telapak tangannya digosok-gosokkan di atas api. Bayu menambahkan sebatang ranting ke dalam api. Diperhatikannya laki-laki setengah baya yang membawa tombak pendek bermata tiga di depannya Sedangkan Ladra seperti tidak peduli kalau dirinya diperhatikan.
Tampaknya Kisanak seorang pengembara...," pancing Ladra lagi.
"Benar," sahut Bayu singkat.
"Aku Ladra. Dan biasanya orang memanggilku si Tombak Mata Tiga," Ladra memperkenalkan diri.
"Aku Bayu," Bayu juga memperkenalkan diri, tapi tidak menyebutkan julukannya yang terkenal angker dan bisa membuat bulu kuduk meremang.
"Apakah tujuan perjalananmu adalah Desa Batang, Kisanak..?" tanya Ladra lagi.
"Benar," sahut Bayu.
"Sayang sekali. Desa itu sekarang ini tidak enak disinggahi," pelan suara Ladra.
"Kenapa...?" tanya Bayu dengan mata sedikit menyipit.
"Beberapa hari ini, terjadi malapetaka yang menimpa desa itu. Sebuah gerombolan yang dipimpin Ratu Lembah Mayat telah memporakporandakan desa itu. Bahkan sampai menimbulkan banyak korban jiwa. Peristiwa itu terjadi setelah adanya pertarungan antara Pendekar Cakar Naga melawan si Mata Setan dari Bukit Jagal Pertarungan itu sebenarnya terjadi di luar Desa Batang. Tapi, Pendekar Cakar Naga dan keluarganya memang dulu tinggal di sana. Bahkan sekarang keluarganya sudah musnah. Hanya seorang putranya saja yang sampai saat ini tidak jelas rimbanya. Semua orang di Desa Batang, terutama Ketua Padepokan Kalong Hitam, mengharapkan kehadiran putra Pendekar Cakar Naga itu," jelas Ladra tentang keadaan Desa Batang dengan panjang lebar.
Sedangkan Bayu mendengarkan penuh perhatian. Keningnya jadi berkerut, dan matanya menyipit memperhatikan wajah laki-laki setengah baya di depannya. Dia jadi teringat semua cerita Parindra. Apa yang baru saja didengar dari Ladra, tidak beda jauh dengan penuturan Parindra. Tapi ada sedikit perbedaan. Parindra mengatakan kalau ibunya dijuluki si Ratu Lembah Mayat oleh penduduk Desa Batang. Dan mereka membantainya dengan keji.
Sedangkan Ladra mengatakan, ada orang lain lagi yang bernama Ratu Lembah Mayat, Pendekar Pulau Neraka juga jadi teringat pada orang tua berjubah putih, ketika berada di dekat reruntuhan puing tempat tinggal Pendekar Cakar Naga. Orang tua berjubah putih itu mengatakan reruntuhan itu tempat tinggal si Ratu Lembah Mayat.
"Boleh aku tahu, siapa sebenarnya Ratu Lembah Mayat itu?" tanya Bayu bernada menyelidik
"Sayang sekali. Sampai saat ini, tidak ada yang tahu, siapa Ratu Lembah Mayat itu," sahut Ladra.
"Apakah dia masih juga muncul?" tanya Bayu lagi.
Tidak, Tapi orang-orangnya sudah dua kali datang. Mereka memang tidak mengambil apa-apa. Tapi setiap kemunculannya, selatu menimbulkan korban nyawa. Bahkan selalu mengobrak-abrik rumah penduduk Mereka seperti mencari sesuatu, tapi tampaknya belum menemukannya," jelas Ladra lagi.
"Apa yang dicarinya?"
"Sayang sekali, aku tidak tahu. Mereka pun pernah membongkar kuburan Pendekar Cakar Naga. Bahkan mengais reruntuhan rumahnya. Juga membongkar kuburan istri dan anak perempuan Pendekar Cakar Naga. Mereka seperti mencari sesuatu dari sana," kata Ladra lagi.
"Berapa orang jumlah mereka?"
"Enam. Tapi yang dua orang, sangat sukar ditandingi kepandaiannya. Sementara yang empat orang, hanya biasa saja kemampuannya."
Bayu terdiam. Pandangannya menerawang jauh ke depan. Perasaannya mengatakan kalau persoalan yang dihadapinya sekarang ini semakin pelik Tapi, sudah bisa disimpulkan kalau ibu Parindra sebenarnya bukan si Ratu Lembah Mayat. Dan tampaknya, ada sesuatu yang diinginkan orang berjuluk Ratu Lembah Mayat itu dari Pendekar Cakar Naga. Sesuatu yang belum diketahui secara pasti.
Bayu jadi teringat pertemuannya dengan Parindra. Anak muda belasan tahun itu hampir mati digantung empat orang wanita yang mengenakan cawat Mereka menuduh Parindra sebagai pencuri. Bayu jadi termenung, mengaitkan semua peristiwa dan cerita yang didapat selama ini. Seketika timbul pertanyaan dalam hatinya. Apakah empat orang yang hampir menggantung Parindra adalah anak buah Ratu Lembah Mayat..?
"Paman.... Bolehkah bertanya sesuatu?" pinta Bayu hati-hati.
"Silakan," ujar Ladra.
"Apakah benar orang-orang Desa Batang yang membunuh keluarga Pendekar Cakar Naga?" tanya Bayu, lebih hati-hati lagi.
"Itulah yang menjadi penyesalan kami, Anak Muda. Waktu itu, kami tidak lagi menyelidiki lebih dulu. Kami gelap mata. Karena orang yang bernama Ratu Lembah Mayat, wajahnya sangat mirip istri Pendekar Cakar Naga. Dan kami langsung menuduhnya begitu saja," ada nada penyesalan dalam suara Ladra.
Tapi, kenapa semua orang di desa itu tidak menyukai kehadiranku?" tanya Bayu begitu bisa memastikan kalau Ladra salah seorang penduduk Desa Batang.
"Sejak peristiwa itu, kami memang selatu mencurigai setiap pendatang. Bahkan melarang pendatang untuk memasuki Desa Batang. Kami ingin menyelesaikan semua kemelut ini sendiri, tanpa ada campur tangan orang asing," jelas Ladra.
"Aku mengerti...," ucap Bayu bisa memaklumi.
"Kisanak! Kudengar, kau tahu Parindra berada. Boleh aku bertemu dengannya?" pinta Ladra.
"Maaf, sekarang ini aku tidak bisa memberi tahu di mana Parindra berada," halus sekali Bayu menolak permintaan itu.
Ladra mengangkat bahunya.
"Kuharap Paman bisa mengerti," ujar Bayu.
"Aku mengerti Keadaan, memang tidak memungkinkan untuk bisa saling mempercayai satu sama lain."
"Terima kasih."
Bayu dan Ladra tengah asyik bertukar pikiran, tiba-tiba saja dikejutkan teriakan panjang melengking tinggi, disusul terlihatnya kobaran api dari Desa Batang. Mereka terlonjak kaget, dan langsung melompat berdiri. Dan sebelum bergerak, tiba-tiba saja terlihat beberapa bayangan berkelebat melewati perbatasan desa.
"Hup...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu segera melesat pergi mengejar bayangan yang berkelebat cepat bagai kilat itu. Begitu cepat dan sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap ditelan kegelapan. Akibatnya Ladra jadi bengong seperti kerbau melihat lalat di ujung hidungnya.
Sementara itu Bayu sudah meninggalkan Ladra yang cepat-cepat melompat naik ke punggung kudanya. Di antara keremangan cahaya bulan, Bayu dapat melihat tujuh orang bergerak cepat di depannya.
Mereka menuju hutan lebat di sebelah Selatan Desa Batang, dan terletak di sebuah bukit kecil. Dan di balik bukit itu, terdapat sebuah lembah yang dinamakan Lembah Mayat.
"Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan seekor burung elang, Bayu melesat secepat kilat mengejar tujuh orang yang berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh bertaraf tinggi. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka menjejakkan ujung kakinya di dahan pepohonan. Lalu begitu berhasil melewati kepala ketujuh orang itu, cepat tubuhnya meluruk turun menghadang.
Kemunculan Bayu yang begitu tiba-tiba, membuat ketujuh orang itu terkejut setengah mati. Mereka langsung berhenti berlari. Bayu sendiri tersentak kaget karena enam orang di antara mereka adalah gadis muda yang hanya mengenakan cawat sebagai penutup tubuh. Sedangkan yang seorang lagi, adalah perempuan tua berjubah hitam. Rambutnya teriap panjang hampir menutupi wajahnya. Dari keremangan cahaya bulan, Bayu sempat melihat wajah perempuan tua itu seperti wajah tengkorak, saat rambutnya yang menutupi mata tersibak.
"Setan...! Rupanya kau belum juga pergi dari sini...!" dengus perempuan tua berjubah hitam itu sengit
"Aku tidak akan pergi sebelum menghentikan angkara murkamu!" sahut Bayu tidak kalah dinginnya.
"Phuih! Apa urusanmu mengaturku, Bocah Setan...!" perempuan tua itu semakin berang mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka.
"Aku berurusan dengan siapa saja yang mengumbar nafsu iblis. Termasuk juga kalian!"
"Keparat..!"
Perempuan tua itu menghentakkan tongkatnya ke tanah. Seketika empat gadis muda bercawat itu berlompatan mundur. Gerakan mereka ringan sekali. Tak ada suara sedikit pun yang ditimbulkan ketika mereka menjejak tanah sekitar beberapa langkah di depan Pendekar Pulau Neraka. Tanpa mengucapkan sesuatu, empat gadis muda berparas cantik itu langsung menyerang menggunakan tombak panjang bermata hitam.
"Uts! Yeaaah...!"
Bayu bergegas menarik tubuh ke kanan, ketika satu batang tombak menyodok ke arah dada. Dan begitu mata tombak lewat di depan dada, cepat sekali tangan kirinya dikebutkan, langsung menyodok ke arah perut Begitu cepatnya gerakan tangan kiri Pendekar Pulau Neraka, sehingga gadis yang menyerangnya tidak dapat lagi menghindar.
Des!
"Ugkh...!" dia mengeluh dan terhuyung ke belakang dengan tubuh agak membungkuk.
Belum lagi Bayu sempat menarik tegak tubuhnya, kembali datang serangan dari arah lain. Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuh ke belakang, lalu berputaran dua kali untuk menghindari hunjaman tombak panjang bermata hitam. Dan ketika tombak itu lewat di bawah kakinya, ujung jari kakinya cepat dijejakkan ke ujung mata tombak berwarna hitam. Lalu, manis sekali, Bayu melenting ke atas melewati kepala gadis cantik bercawat itu.
"Hiyaaa...!"
Keras sekali Bayu melepaskan satu pukulan ke arah batok kepala gadis ini. Tapi tanpa diduga sama sekali, satu orang gadis lainnya melesat cepat sambil mengebutkan tombak ke arah dada Pendekar Pulau Neraka.
"Uts...!"
Bayu menarik pulang pukulannya, lalu memutar tubuhnya dua kali sebelum mendarat kembali di tanah. Belum juga Pendekar Pulau Neraka sempat menarik napas, dua orang gadis yang berada di samping perempuan berjubah hitam itu cepat mengebutkan tangan kanannya. Dan dari telapak tangan kanannya, seketika melesat benda-benda kecil berwarna hitam seperti jarum.
Wusss!
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu terpaksa berjumpalitan di udara, menghindari serbuan jarum-jarum hitam itu. Beberapa kali tubuhnya melakukan putaran di udara, dan baru menjejak tanah setelah jarum-jarum hitam itu lewat tanpa menyentuh tubuhnya sedikit pun.
Saat itu juga Bayu dikejutkan suara-suara dari pepohonan yang tumbang di belakangnya. Pendekar Pulau Neraka jadi tersentak kaget Karena jarum-jarum hitam yang menghantam pepohonan ternyata membuat pohon itu bertumbangan.
"Gila...!" desis Bayu terkejut setengah mati.
Bisa dibayangkan jika jarum-jarum hitam itu sampai menembus kulit tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tubuhnya bisa hancur seperti pohon-pohon di belakangnya. Dan selagi Pendekar Pulau Neraka tertegun bengong, tiba-tiba saja salah seorang dari gadis muda di samping perempuan berjubah hitam itu melesat cepat bagai kilat
"Hiyaaat..!"
"Uts!"
Kalau saja Pendekar Pulau Neraka tidak segera membanting tubuh ke tanah, sudah pasti pukulan bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan gadis bercawat itu menghantam dadanya. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka bergulingan di tanah, menghindari hujaman beberapa tombak yang datang begitu tubuhnya jatuh ke tanah.
Dan begitu memiliki kesempatan, bergegas Pendekar Pulau Neraka melompat bangkit berdiri sambil melepaskan tendangan menyamping dengan kedua kakinya yang merentang lebar. Tindakan itu begitu cepat dan tiba-tiba, kakinya tak dapat lagi dihindari dua orang gadis yang berada di kanan kirinya. Mereka terpekik keras agak tertahan, begitu dadanya terkena tendangan Pendekar Pulau Neraka.
Kembali Bayu melakukan putaran ke belakang sejauh dua batang tombak, begitu kakinya menjejak tanah sebentar. Dengan manis sekali, kakinya yang kokoh mendarat di tanah. Dan di depannya, kini sudah berdiri berjajar enam orang gadis cantik bercawat Empat orang di antaranya memegang tombak panjang bermata hitam. Sedangkan dua orang lagi, membawa pedang yang masih tersampir di punggung. Sementara perempuan berjubah hitam, berdiri di belakang keenam gadis cantik bercawat ini.
"Kau memang tangguh, Anak Muda," terasa dingin nada suara perempuan berjubah hitam itu.
"Terima kasih," ucap Bayu seraya tersenyum tipis.
"Kau tentu seorang pendekar. Apa julukanmu?" kejar perempuan berjubah hitam itu seperti penasaran.
"Apakah itu penting bagimu, Nisanak..?" Bayu malah balik bertanya.
"Aku kenal banyak pendekar di dunia ini. Tapi rasanya aku belum pernah melihatmu. Apalagi mendengar julukanmu. Hal itu penting bagiku, agar bisa kutentukan apakah kau pantas berhadapan denganku atau tidak!"
"O, begitukah...?"
"Apa julukanmu, Anak Muda?"
"Pendekar Pulau Neraka."
"Setan...! Rupanya kau yang bergelar Pendekar Pulau Neraka...!" dengus perempuan berjubah hitam itu menggeram.
Bayu jadi menyipitkan matanya, merayapi perempuan bermuka seperti tengkorak di depannya. Sedangkan enam orang gadis cantik yang berdiri berjajar, tampak tinggal menunggu perintah saja untuk melakukan penyerangan. Mereka menatap tajam, tanpa berkedip ke arah pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
"Seharusnya aku membunuhmu, Bocah Setan. Tapi, kau belum waktunya berhadapan denganku. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Satu saat nanti, kau harus berhadapan denganku, Pendekar Pulau Neraka. Ada tagihan hutang nyawa yang harus kau bayar padaku!" tegas perempuan berjubah hitam itu.
Setelah berkata demikian, perempuan berjubah hitam itu langsung melesat pergi. Dan enam gadis cantik bercawat, bergegas melesat mengikuti.
"Hey, tunggu...!" seru Bayu.
Tapi wanita-wanita itu sudah cepat menghilang ditelan kegelapan malam. Mereka lenyap di dalam hutan yang cukup lebat. Jadi, tidak ada gunanya bagi Bayu untuk mengejar. Hutan di bukit kecil ini lebat sekali. Dan wanita-wanita itu bisa saja menuju ke arah yang sulit diduga di dalam hutan.
"Apakah dia yang disebut Ratu Lembah Mayat..?" gumam Bayu bertanya sendiri dengan suara pelan.
LIMA
Matahari baru saja menampakkan diri di ufuk Timur. Sinarnya yang memerah, terasa hangat membangunkan seluruh penghuni mayapada. Burung-burung berkicau riang menyambut datangnya sang fajar. Di sebelah Timur Desa Batang, terlihat Parindra merangkak keluar dari dalam gua baru. Disibaknya semak yang menutupi mulut gua itu.
"Uhhh...!"
Parindra menggeliatkan tubuh, sambil menghirup udara segar pagi ini. Bibirnya tersenyum memandangi burung-bururtg yang berkicau sambil berlompatan riang dari satu dahan ke dahan lain. Sepasang kelinci berbulu putih, kelihatan riang berkejaran bebas di atas rerumputan. Parindra seperti iri melihat kehidupan bebas di alam ini.
"Seandainya aku bisa bebas seperti mereka...," desah Parindra perlahan.
Angan-angan yang diinginkan Parindra memang tidak berlebihan. Siapa pun di dunia ini, pasti menginginkan kebebasan dalam segala hal. Terlebih lagi, sekarang ini kebebasan yang dimilikinya benar-benar musnah. Tak ada lagi ruang gerak bagi pemuda itu. Semua yang ada di sekitarnya seakan-akan menuding dan mencibir tajam. Pemuda belasan tahun itu mengayunkan kakinya perlahan-lahan sambil memperhatikan binatang-binatang di sekitarnya. Setiap kali melihat burung-burung bercanda riang di atas dahan, bibirnya selalu menyunggingkan senyuman pahit Hatinya merasa iri melihat kegembiraan dan kebebasan burung-burung itu.
"Hik hik hik..!"
"Oh...?!"
Parindra terperanjat setengah mati ketika tiba-tiba saja terdengar tawa terkikik yang mendirikan bulu kuduk. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba saja dari atas pepohonan meluncur sebuah bayangan hitam, disusul enam orang gadis-gadis cantik bercawat kulit kayu.
Parindra ingin berlari, tapi enam orang gadis cantik bercawat itu sudah berlompatan mengepungnya. Seluruh wajah pemuda itu jadi memucat Tubuhnya bergetar, dengan keringat dingin bercucuran deras dari pori-pori kulitnya. Matanya menatap tajam pada wanita berjubah hitam dan berambut panjang teriap hampir menutupi wajahnya. Parindra bergidik begitu melihat jelas wajah perempuan berjubah hitam itu. Wajahnya begitu buruk, seperti tengkorak yang sudah terkubur puluhan tahun.
"Kau tidak bisa lolos dariku, Parindra," terasa dingin sekali nada suara wanita berjubah hitam ini.
"Apa yang kau inginkan dariku...?" tanya Parindra, bergetar.
"Pedang Cakar Naga," sahut wanita berjubah hitam itu, tetap dingin dan datar suaranya.
"Aku tidak tahu mengenai pedang itu," kata Parindra lagi.
"Hik hik hik..! Masa kau tidak tahu di mana pedang milik ayahmu? Tapi sudahlah, yang penting sekarang di mana kau sembunyikan mustika itu, Parindra...? '
"Aku..., aku tidak tahu!" semakin bergetar suara Parindra.
"Aku tidak ada waktu untuk bermain-main, Parindra," desis wanita berjubah hitam itu dingin.
Parindra mengeluh dalam hari. Hatinya berharap Pendekar Pulau Neraka muncul saat ini. Tapi yang diharapkan, sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya. Sementara empat orang gadis cantik bercawat sudah bergerak mendekatinya. Keringat yang mengucur di seluruh tubuhnya, semakin deras saja. Maka, seluruh bajunya basah bagai tercebur ke dalam sungai.
"Jangan ganggu aku...! Aku tidak tahu apa-apa tentang mustika itu!" dengus Parindra.
"Kau memang keras kepala, Parindra. Tidak ubahnya seperti ayahmu! Akan kau rasa kan akibat sikapmu yang keras kepala!" desis wanita berjubah hitam itu, tetap dingin nada suaranya.
"Apa yang akan kalian lakukan...?"
Pertanyaan Parindra tak ada yang menjawab. Dan tiba-tiba saja, dua orang gadis bercawat itu melompat menerkam Parindra. Pemuda itu terpekik kaget tidak menyangka. Dicobanya untuk berkelit, dengan melompat ke kanan beberapa langkah. Tapi sebelum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, tiba-tiba saja seorang gadis bercawat sudah melesat cepat, dan memberi satu pukulan keras ke punggungnya.
"Akh...!" Parindra terpekik keras. Pemuda belasan tahun itu tersuruk jatuh mencium tanah. Tubuhnya menggelimpang beberapa kali, lalu cepat-cepat bangkit berdiri. Dan pada saat itu, satu tendangan keras kembali bersarang di dadanya. Untuk kedua kalinya, Parindra berteriak nyaring merasakan nyeri dan sesak pada dadanya. Pemuda itu jatuh terguling di tanah berumput yang masih dibasahi embun.
Parindra mencoba bangkit berdiri. Tapi sebelum berdiri tegak, satu pukulan keras sudah mendarat lagi di wajahnya. Begitu keras pukulan itu, sehingga darah langsung muncrat keluar dari mulutnya. Parindra memekik sekuat-kuatnya, merasakan sakit yang amat sangat di wajahnya.
Selagi pemuda itu terhuyung-huyung, tiba-tiba saja salah seorang gadis bercawat yang menyandang pedang di punggung sudah melesat cepat ke belakangnya. Tahu-tahu, tubuh Parindra sudah diringkus, dan tangannya dipelintir ke belakang. Parindra berteriak kesakitan dan meringis merasakan tangannya seperti patah dipelintir ke belakang punggungnya.
"Akh...!"
"Aku bisa mematahkan tanganmu dengan mudah, tahu...?!" bentak gadis bercawat itu dingin.
"Setan! Iblis kalian...!" maki Parindra. Tapi Parindra kembali terpekik keras begitu gadis bercawat ini menyentakkan tangannya ke belakang. Sedangkan lima gadis lainnya hanya berdiri saja sambil menyaksikan ketidakberdayaan pemuda ini. Mereka berdiri berjajar di belakang wanita berjubah hitam yang terkekeh melihat Parindra meringis kesakitan. Darah masih mengucur deras dari mulut dan hidungnya. Meskipun dia anak seorang pendekar ternama, tapi kepandaian yang dimiliki Parindra masih begitu rendah. Maka dengan mudah sekali dia dapat ditaklukkan.
"Siapkan tali...!" perintah wanita berjubah hitam itu dengan suara lantang menggelegar.
Dua orang gadis bercawat itu segera melepaskan tali dari serat sabut kelapa yang melilit pinggangnya. Mereka segera membuat lingkaran dengan tali itu, dan melemparkan ujung satunya ke atas dahan pohon yang cukup besar dan kuat. Gadis yang meringkus Parindra kemudian menyerahkan pemuda ini pada gadis satunya lagi yang memegang tambang lain. Dengan cepat ditangkapnya tangan Parindra, dan membawanya ke belakang punggung. Cekatan sekali kedua tangan anak muda itu diikat ke belakang. Parindra mencoba memberontak, tapi usahanya hanya sia-sia saja, Dia berteriak-teriak, memaki, dan mengumpat habis-habisan. Namun tak ada seorang pun yang memperdulikannya. Gadis yang mengikat tangan Parindra kemudian mendorong pemuda itu sampai ke bawah tambang yang siap menggantungnya.
"Setan! Iblis...! Lepaskan aku...!" jerit Parindra terus memberontak sebisanya.
Tenaga Parindra memang cukup kuat, sehingga terpaksa harus dipegangi dua orang gadis. Sementara seorang gadis lainnya mengalungkan tambang ke leher anak muda belasan tahun ini. Parindra masih saja menggeliat, mencoba memberontak. Tapi, kekuatannya benar-benar tidak berarti dibandingkan gadis-gadis bercawat ini.
"Setan! Kubunuh kalian...!" maki Parindra berang.
"Hik hik hik...!" wanita berjubah hitam yang wajahnya seperti tengkorak itu hanya tertawa saja mendengar makian Parindra.
Wanita berjubah hitam itu menghentakkan tong-kajnya ke tanah tiga kali. Seketika dua orang gadis yang memegangj ujung tambang langsung menarik tambang itu. Akibatnya lingkaran tambang yang melilit di leher Parindra jadi menegang, mencekik leher anak muda itu. Parindra mendelik dengan mulut ternganga. Keringat semakin banyak bercucuran di sekujur tubuhnya.
"Lepaskan aku, Pengecut! Ayo, kita bertarung sampai mati...!" tantang Parindra jadi kalap.
"Hik hik hik...!"
Tantangan Parindra sama sekali tidak dihiraukan wanita berjubah hitam itu. Salah seorang gadis yang menyandang pedang di punggung, menghampiri wanita berjubah hitam itu. Mulutnya didekatkan ke telinga wanita itu.
"Ada apa, Andari?" tanya wanita berjubah hitam
"Apa tidak terburu-buru membunuhnya, Gusti Ratu?" suara wanita bercawat yang dipanggil Andari itu pelan sekali, dan hampir tidak terdengar.
"Aku hanya ingin dia membuka mulut," sahut wanita berjubah hitam itu.
"Kukira Gusti Ratu ingin membunuhnya."
"Kalau terpaksa."
api yang penting menemukan mustika itu dulu, Gusti Ratu. Karena benda itu sangat penting bagi kesempurnaan ilmu yang Gusti Ratu miliki. Tanpa Mustika Cakar Naga, tidak mungkin semua rencana besar kita bisa terlaksana," Andari mengingatkan.
"Mustika itu memang harus kudapatkan, Andari. Benda itu lebih penting dari apa pun juga di dunia ini Sudah lama aku menginginkannya. Dan sekarang, kesempatan itu terbuka lebar bagiku, sebelum orang-orang persilatan mengetahuinya," tegas Ratu Lembah Mayat.
Andari terdiam.
"Sekarang, laksanakan perintahku. Gantung dia, tapi jangan sampai mati Aku ingin dia membuka mulut dulu sebelum ke neraka."
"Baik, Gusti Ratu," sahut Andari.
Gadis berparas cantik yang hanya memakai cawat dan penutup dada itu melangkah beberapa tindak ke depan. Lalu diperintahkannya dua orang gadis yang memegangi tambang untuk menggantung Parindra. Mendengar perintah itu, kedua gadis bercawat langsung saja menarik tambang. Akibatnya, Parindra tergantung beberapa jengkal dari tanah.
"Aaakh...!"
Parindra menggeliat-geliat. Kedua matanya mendelik lebar, dan napasnya mulai tersengal. Mulut anak muda itu ternganga, dan lidahnya mulai menjulur ke luar. Tubuhnya terus menggelepar, bergantung seperti ayam disembelih. Tapi begitu pandangan Parindra mulai mengabur, tiba-tiba saja secercah cahaya kuning keemasan melesat cepat bagai kilat menyambar tambang yang menggantung anak muda belasan tahun itu.
Tasss!
Bruk..!
Seketika itu juga Parindra jatuh terguling di tanah, ketika tambang yang menggantungnya putus tersambar benda kuning keemasan tadi. Hal ini tentu saja membuat Ratu Lembah Mayat dan enam orang gadis pengikutnya jadi terperanjat Terlebih lagi, dua gadis yang memegangi ujung tambang. Mereka sampai terpental ke belakang sejauh beberapa langkah. Enam orang gadis bercawat itu bergegas berlompatan ke belakang Ratu Lembah Mayat Sedangkan Parindra sudah tergeletak diam seperti mati.
"Setan belang...! Siapa yang berani main-main denganku...?! Keluar kau...!" bentak Ratu Lembah Mayat geram.
"He he he...!"
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya Ratu Lembah Mayat ketika tiba-tiba melesat sebuah bayangan dari balik sebongkah baru besar. Tahu-tahu, di depannya sudah berdiri seorang laki-laki tua mengenakan baju compang-camping penuh tambalan. Sebatang tongkat kayu berwarna merah tergenggam di tangannya. Rambutnya yang sudah hampir memutih semua teriap tak beraturan, dengan sedikit gelungan di bagian atas kepalanya.
"He he he...! Dari dulu kelakuanmu tidak pernah berubah, Rara Durga," terasa dingin nada suara laki-laki tua berbaju compang-camping penuh tambalan itu.
"Phuih! Jangan harap bisa mencampuri urusanku, Pengemis Tongkat Merah!" dengus Ratu Lembah Mayat yang dipanggil dengan nama sebenarnya oleh laki-laki tua itu.
"Sebenarnya, aku juga tidak ingin mencampuri urusanmu lagi, Rara Durga. Tapi kuperhatikan, kau semakin menjadi-jadi saja. Tindakanmu semakin brutal, sampai-sampai tega hendak menggantung keponakanmu sendiri," tegas Pengemis Tongkat Merah, tetap kering dan serak suaranya.
ergilah kau, Pengemis Tongkat Merah. Jangan menunggu darahku naik..!" ancam Ratu Lembah Mayat lagi.
Pengemis Tongkat Merah menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak seperti cecak Kakinya melangkah menghampiri Parindra yang tergeletak di tanah dengan tangan terikat ke belakang Seutas tambang masih melilit lehernya. Pengemis Tongkat Merah membungkuk, memeriksa urat nadi di pergelangan tangan Parindra. Terdengar tarikan napas panjang Kemudian dia kembali tegak berdiri di samping tubuh anak muda itu.
"Aku tahu apa yang kau inginkan. Dan seharusnya tidak perlu melakukan hal seperti ini, Rara Durga," desah Pengemis Tongkat Merah. Nada suaranya terdengar seperti menyesal.
"Aku tidak butuh nasihatmu!" bentak Ratu Lembah Mayat
"Rupanya, iblis telah benar-benar menguasai hatimu, Cah Ayu. Pantas saja kau menutupi wajahmu dengan topeng buruk begitu," sindir Pengemis Tongkat Merah seraya menggeleng-gelengkan kepala.
"Setan...! Kalau kau masih hidup, segala gerakku selalu saja kau perhatikan. Sudah selayaknya sekarang kau mampus, Pengemis Tongkat Merah!" desis Ratu Lembah Mayat dingin.
Setelah berkata demikian, Ratu Lembah Mayat melompat sambil berteriak lantang menggelegar. Satu sabetan tongkatnya yang berkepala tengkorak, membuat si Pengemis Tongkat Merah terpaksa melentingkan tubuh ke belakang. Setelah melakukan beberapa kali putaran, manis sekali kakinya menjejak tanah.
Namun sebelum sempat mengatur sikap tubuhnya, Ratu Lembah Mayat yang bernama asli Rara Durga sudah kembali melompat menerjang. Tongkat berkepala tengkorak dikebutkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Begitu kuatnya kebutan tongkat itu, sehingga menimbulkan deru angin bagai badai topan.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Pertarungan antara Pengemis Tongkat Merah melawan Ratu Lembah Mayat memang tidak dapat dihindari lagi. Tampak sekali kalau wanita berjubah hitam yang wajahnya terselubung topeng tengkorak, sangat bernafsu ingin segera menjatuhkan lawannya. Namun beberapa kali serangan dilakukan, Pengemis Tongkat Merah masih mampu menghindar. Tapi, tampaknya pengemis itu juga mendapat kesulitan untuk balas menyerang.
***
Sementara Ratu Lembah Mayat bertarung dengan si Pengemis Tongkat Merah, dua orang gadis bercawat yang menyandang pedang di punggung sudah bergerak menghampiri Parindra. Empat orang gadis lainnya bergegas menghampiri. Empat orang gadis itu mengangkat tubuh Parindra, dan mengusungnya di atas pundak. Namun mereka belum beranjak pergi, dan masih memperhatikan jalannya pertarungan.
"Bawa anak itu ke lembah. Nanti aku menyusul...!" seru Ratu Lembah Mayat keras menggelegar.
Rupanya, wanita berjubah hitam itu melihat perbuatan anak buahnya yang telah mengamankan Parindra. Tanpa menunggu perintah dua kali, empat gadis bercawat yang membawa Parindra cepat berlari meninggalkan tempat itu dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sehingga, sebentar saja mereka sudah jauh meninggalkan tempat itu. Sementara dua orang gadis lainnya masih tetap tinggal di sana, bersiap-siap membantu pimpinannya jika mengalami desakan.
"Apa yang akan kau lakukan pada anak itu, Rara Durga...?" tanya Pengemis Tongkat Merah jadi gusar.
"Bukan urusanmu! Hiyaaat..!" bentak Ratu Lembah Mayat lantang menggelegar.
Wuk!
"Uts!"
Hampir saja ujung tongkat Ratu Lembah Mayat yang berbentuk kepala tengkorak itu menghantam kepala Pengemis Tongkat Merah. Untung saja pengemis itu segera merunduk, sehingga tongkat Ratu Lembah Mayat lewat sedikit saja di atas kepalanya. Angin sabetannya begitu terasa, mengandung udara panas yang begitu menyengat. Pengemis Tongkat Merah tampak terkejut begitu merasakan hawa panas yang menyengat di atas kepalanya.
"Hup!"
Cepat-cepat pengemis itu melompat ke belakang sejauh lima langkah. Sebentar kemudian kedua tangannya melakukan beberapa gerakan cepat di depan dada, lalu memutar tongkatnya bagai baling-baling. Tatapan matanya begitu tajam, menyorot langsung ke bola mata Ratu Lembah Mayat
"Jurus 'Tongkat Beracunmu mengalami kemajuan pesat, Rara Durga," desah Pengemis Tongkat Merah memuji.
"Asal kau tahu saja. Jurus itu kupersiapkan untuk mengirimmu ke neraka, Pengemis Tongkat Merah. Kau terlalu usil, selalu saja mencampuri urusanku!" sambut Ratu Lembah Mayat, tidak kalah dingin.
Pengemis Tongkat Merah mendengus saja. Dia tahu, jurus 'Tongkat Beracun' yang telah dikuasai wanita berjubah hitam ini sangat dahsyat luar biasa. Lima tahun yang lalu, pengemis itu juga pernah bertarung melawan Ratu Lembah Mayat yang juga menggunakan jurus ini. Tapi, waktu itu dia masih bisa menahan. Dan tampaknya, Ratu Lembah Mayat sudah lebih menyempurnakan lagi. Terbukti, hawa panas yang dirasakan begitu menyengat dan udara di sekitarnya juga menyesakkan. Kalau saja pengemis itu tadi tidak cepat menahan napas dan menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuh, barangkali sekarang ini sudah tergeletak Bahkan juga meregang nyawa, karena menghisap udara beracun dari jurus 'Tongkat Beracun'.
"Tahan jurus 'Tongkat Beracunku ini, Pengemis Tongkat Merah! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Ratu Lembah Mayat melompat cepat bagai kilat menyerang si Pengemis Tongkat Merah. Tongkat yang berkepala tengkorak itu berputaran cepat menimbulkan suara deru angin disertai hembusan hawa panas yang menyengat Akibatnya, udara di sekitarnya jadi terasa sesak
"Hup! Yeaaah...!"
Bet!
Pengemis Tongkat Merah cepat-cepat mengebutkan tongkatnya, menangkis serangan tongkat Ratu Lembah Mayat yang begitu kuat dan cepat luar biasa. Tak pelak lagi, dua batang tongkat beradu keras di udara.
Trak!
Glarrr...!
Begitu kerasnya tongkat itu beradu, sehingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Tampak Pengemis Tongkat Merah terpental ke belakang sejauh dua batang tombak Tubuhnya berputaran di udara beberapa kali, sebelum kakinya berhasil menjejak tanah. Sedangkan Ratu Lembah Mayat manis sekali langsung mendarat di tanah. Sementara itu Pengemis Tongkat Merah jadi terbeliak melihat tongkat merah andalannya terpenggal jadi dua bagian.
"Heh...?!"
"Ha ha ha...!" Ratu Lembah Mayat tertawa terbahak-bahak melihat tongkat laki-laki tua itu patah jadi dua bagian.
"Gila...! Benar-benar pesat kemajuan yang dicapainya...," desah Pengemis Tongkat Merah. "Kalau Mustika Cakar Naga sampai dimilikinya, tentu tak ada lag! yang dapat menandinginya. Keinginan gilanya untuk menguasai seluruh rimba persilatan benar-benar akan dilaksanakan."
"Bersiaplah untuk mampus, Manusia Usil!" dengus Ratu Lembah Mayat
Setelah berkata demikian, Ratu Lembah Mayat kembali memutar tongkatnya dengan cepat di depan dada. Lalu mendadak saja tongkat itu dikebutkan ke depan. Pada saat itu, tiba-tiba saja berhembus angin topan yang sangat dahsyat. Begitu kuatnya hembusan angin ini, membuat si Pengemis Tongkat Merah sampai terdorong beberapa langkah ke belakang Dan sebelum sempat melakukan sesuatu, tahu-tahu Ratu Lembah Mayat sudah melesat cepat dengan ujung tongkat berkepala tengkorak terhunus ke depan.
"Mampus kau, hiyaaat...!"
"Hap!"
Tak ada lagi kesempatan bagi Pengemis Tongkat Merah untuk menghadapi serangan yang begitu cepat dan beruntun ini Maka tubuhnya cepat melenting ke udara. Tapi hembusan angin topan yang begitu kuat, membuat keseimbangan tubuhnya jadi goyah. Dan ketika Ratu Lembah Mayat mengibaskan tongkat ke arah dada, Pengemis Tongkat Merah tak dapat lag! Berkelit menghindar.
Begkh!
"Akh,..!"
Tubuh Pengemis Tongkat Merah terpental jauh ke belakang begitu dadanya terhantam pukulan ujung tongkat berbentuk kepala tengkorak manusia itu. Keras sekali tubuhnya jatuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Namun cepat pengemis itu melompat bangkit berdiri, meskipun dua kali memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Selagi masih merasakan nyeri dan sesak napas di dadanya, lagi-lagi Ratu Lembah Mayat sudah melancarkan serangan cepat. Begitu cepatnya, sehingga Pengemis Tongkat Merah benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
"Hiyaaa...!"
Der...!
"Aaakh...!"
Satu gedoran yang begitu keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, seketika mendarat telak di dada laki-laki tua itu. Akibatnya tubuh pengemis itu terpental ke belakang seperti sehelai daun kering tertiup angin Dua batang pohon yang cukup besar, seketika hancur berkeping-keping terianda tubuhnya.
Dan begitu menggelimpang di tanah, Ratu Lembah Mayat sudah melesat memburunya. Ujung tongkat yang runcing itu segera dihunjamkan ke dada Pengemis Tongkat Merah. Tapi begitu ujung tongkat yang runcing itu hampir memanggang dada si Pengemis Tongkat Merah, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan kuning menyambar tubuh laki-laki tua itu. Begitu cepatnya berkelebat, sehingga Ratu Lembah Mayat sendiri pun tidak sempat menyadari. Maka, ujung tongkatnya ternyata hanya menghunjam tanah kosong.
"Hei,..?!" Ratu Lembah Mayat tersentak kaget.
Wajahnya jadi terlongong begitu melihat lawannya yang sudah tak berdaya lagi, tahu-tahu lenyap tanpa diketahui rimbanya. Tongkatnya yang terbenam di tanah hampir separuh itu segera dicabutnya. Sambil mendengus berang, tubuhnya diputar. Seketika pandangannya beredar ke sekeliling. Tapi, si Pengemis Tongkat Merah sudah lenyap bagai tertelan bumi saja.
"Setan belang...! Keparat..!" geram Ratu Lembah Mayat mengumpat marah.
Mata Ratu Lembah Mayat kini menatap dua orang gadis yang juga terbengong begitu menyadari si Pengemis Tongkat Merah lenyap begitu saja. Kemudian perempuan itu melangkah dengan kaki terhentak kesal mendekati dua orang gadis pengikutnya.
"Kalian lihat, ke mana si keparat itu pergi?" tanya Ratu Lembah Mayat masih dengan nada suara mendesis geram.
Kedua gadis itu hanya menggelengkan kepala saja.
"Edan...! Bagaimana mungkin dia bisa lenyap begitu saja...?"
Ratu Lembah Mayat kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, kemudian kembali menatap dua gadis bercawat di depannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan mengayunkan kaki sambil mengayun ayunkan tongkatnya. Beberapa kali tongkatnya dihentakkan ke tanah sambil mendengus berat.
"Ayo, kita kembali ke lembah," ajak Ratu Lembah Mayat.
Kedua gadis itu bergegas mengikuti dari belakang. Tak ada seorang pun yang berani membuka suara. Mereka tahu, hari perempuan berjubah hitam ini sedang kesal. Karena, lawan yang sudah tidak berdaya bisa lenyap begitu saja tanpa diketahui sebabnya.
ENAM
Malam sudah menyelimuti seluruh permukaan bumi. Kegelapan begitu nyata, tanpa adanya sinar bulan sedikit pun membias di angkasa. Bahkan bintang pun tak nampak langit begitu kelam, terbungkus awan tebal menghitam. Angin malam berhembus agak kencang, menyebarkan udara dingin yang menggigilkan, sampai merasuk ke dalam tulang.
Di dalam sebuah relung gua, terlihat seorang laki-laki tua mengenakan baju compang-camping tergolek dengan napas lemah. Seonggok api unggun, membuat keadaan di dalam gua itu terasa hangat. Tidak jauh dari laki-laki tua itu, tampak seorang pemuda berbaju kulit harimau tengah duduk bersila memandangi wajahnya. Entah sudah berapa lama, laki-laki tua yang ternyata adalah si Pengemis Tongkat Merah itu terbaring dengan mata tertutup.
Tepat ketika terdengar lolongan anjing hutan, kelopak mata laki-laki tua itu terbuka. Bergegas tubuhnya bangkit duduk, dan terkejut begitu melihat di dekatnya duduk seorang pemuda tampan mengenakan baju dari kulit harimau. Di pangkuan pemuda itu melingkar seekor monyet kecil berbulu hitam. Pemuda itu tersenyum, lalu kepalanya terangguk sedikit
"Kaukah yang menyelamatkanku dari Ratu Lembah Mayat...?" tanya Pengemis Tongkat Merah.
"Hanya kebetulan saja, Ki," sahut pemuda itu merendah.
"Hm.... Rasanya kita pernah bertemu," gumam Pengemis Tongkat Merah seraya memandangi pemuda di depannya.
"Di kedai, tapi tidak sempat bertegur sapa."
"Benar...! Waktu itu kau bersama Parindra, putra sulung Pendekar Cakar Naga."
Pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain Pendekar Pulau Neraka hanya tersenyum saja. Tapi senyumnya terasa begitu kecut, dan seperti dipaksakan. Sedangkan Pengemis Tongkat Merah hanya tertunduk, seakan-akan berduka ketika teringat kalau Parindra sekarang berada di dalam cengkeraman si Ratu Lembah Mayat. Dia menyesal, karena gagal menyelamatkan nyawa anak muda itu.
Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing. Hampir bersamaan, mereka menghembuskan napas panjang yang begitu berat Kemudian mereka saling melemparkan pandang, seperti telah mengetahui isi hari masing-masing.
"Maaf. Aku tidak bisa menyelamatkan Parindra dari tangan mereka. Aku tahu, kau sudah bersusah-payah membawanya sampai ke sini," ucap Pengemis Tongkat Merah lirih.
idak perlu menyesali diri, Ki. Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu pada diri Parindra," sahut Bayu.
"Aku tahu, ke mana mereka membawa Parindra. Hanya saja, masalahnya kini...," Bayu tidak meneruskan kata-katanya.
"Aku tahu, Anak Muda...."
"Bayu. Panggil saja aku Bayu, Ki," potong Bayu meminta.
"Memang sulit masuk ke Lembah Mayat Terlalu banyak jebakan yang tidak bisa diduga, tersebar di sana. Dan letak Istana Ratu Lembah Mayat sangat sulit didekati," sambung Pengemis Tongkat Merah yang sempat terputus pembicaraannya tadi. "Lagi pula kalau berhasil menyelamatkan anak itu, apa mungkin dia bisa diterima kembali di Desa Batang...? Semua orang di desa itu sangat membencinya."
"Semua itu hanya kesalahpahaman belaka, Ki. Aku rasa mereka sudah menyadari kesalahannya, dan kini menyesali perbuatannya yang ceroboh. Tanpa berpikir panjang dulu," kata Bayu.
"Bagaimana kau bisa mengatakan semua itu hanya salah paham saja, Bayu?" Pengemis Tongkat Merah jadi tidak mengerti.
"Aku tahu dari salah seorang sesepuh desa itu," sahut Bayu.
"Kau percaya pada kata-katanya, Bayu?"
"Entahlah.... Masih harus dibuktikan dulu, kalau tindakan mereka pada keluarga Pendekar Cakar Naga hanya didasari kesalahpahaman dan kecerobohan. Bahkan sampai menimbulkan korban nyawa," sahut Bayu dengan suara agak mendesah.
"Apa pun namanya, mereka harus bertanggung Jawab atas kematian istri Pendekar Cakar Naga. dan anaknya yang tak berdosa," desis Pengemis Tongkat Merah. Terutama Eyang Bagasrana yang memimpin pembantaian itu. Dialah yang harus bertanggung jawab penuh!"
"Mereka memang harus bertanggung jawab, Ki. Tapi kurasa masih bisa diselesaikan dengan cara musyawarah dan kekeluargaan. Sehingga, tidak akan terjadi perselisihan lebih lanjut yang bisa menimbulkan banyak korban."
"Kau benar, Bayu. Tapi yang penting sekarang, secepatnya Parindra harus diselamatkan," selak Pengemis Tongkat Merah.
"Benar Ki, Besok pagi-pagi sekali, kita berangkat ke Lembah Mayat. Hm.... Apakah kau kuat menempuh perjalanan berat Ki?"
"Aku tidak tahu, apa yang kau lakukan. Keadaan tubuhku benar-benar pulih seperti sedia kala. Terima kasih, Anak Muda," ucap Pengemis Tongkat Merah.
"Sudahlah, Ki. Aku hanya memberi hawa murni. Untung saja, kau mampu membendung hawa racun di tenggorokan, sehingga tidak sempat menjalar sampai ke Jantung," lagi-lagi Bayu merendah.
"Bagaimanapun juga, aku patut mengucapkan terima kasih padamu, Bayu. Dan ini merupakan hutang yang tak mungkin terbayar."
"Sebaiknya, kita istirahat saja malam ini, Ki. Kita harus menempuh perjalanan berat besok pagi."
"Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu pada Parindra," desah Pengemis Tongkat Merah.
"Kau yakin, Ki...?" tanya Bayu seraya mengerutkan keningnya.
"Ya. Karena Parindra itu keponakannya."
"Maksudmu, Ki...?" Bayu tidak mengerti.
"Ratu Lembah Mayat adalah adik ibunya."
"Oh...," Bayu mendesah tidak menyangka. api, kenapa dia ingin membunuh Parindra?"
"Sudah lama dia menginginkan batu mustika yang ada Pedang Cakar Naga. Tapi dia tidak bisa memilikinya selama Pendekar Cakar Naga masih hidup. Dan sekarang kesempatan itu datang padanya," Pengemis Tongkat Merah menjelaskan.
"Lalu di mana sebenarnya pedang itu?" tanya Bayu.
"Itulah persoalannya. Pedang itu menghilang setelah Pendekar Cakar Naga tewas dalam pertarungan," sahut Pengemis Tongkat Merah.
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Pemuda berbaju kulit harimau itu lalu memindahkan monyet kecil dari pangkuannya ke atas rerumputan kering Kemudian merebahkannya di samping tubuhnya.
Sementara Pengemis Tongkat Merah masih tetap duduk bersila. Kedua tangannya diletakkan di atas lututnya yang tertekuk Sebentar kemudian, kelopak matanya kembali terpejam. Rupanya dia bersemadi untuk menyempurnakan kesehatan tubuhnya agar bisa seperti semula kembali, ketika belum mengalami cedera akibat pertarungannya dengan Ratu Lembah Mayat.
***
Hangatnya sinar matahari membuat Pendekar Pulau Neraka menggeliat. Sebentar matanya dikerjapkan, lalu menggerinjang bangun. Bibirnya menyunggingkan senyuman begitu melihat monyet kecil berbulu hitam mencerecet sambil berjingkrakan, bercanda dengan Pengemis Tongkat Merah.
"Kau sudah bangun, Bayu...?"
Bayu hanya tersenyum saja, lalu berdiri dan berjalan mendekati kolam batu yang berair jernih. Kemudian muka dan tangan dibasuhnya. Sementara Pengemis Tongkat Merah sudah berdiri. Tiren, monyet kecil berbulu hitam sudah berada di pundak kanan laki-laki tua berbaju kumal penuh tambalan itu. Begitu Bayu mendekat, Tiren cepat berpindah ke pundak Pendekar Pulau Neraka.
"Bagaimana tidurmu, Ki?" tanya Bayu.
"Lumayan," sahut Pengemis Tongkat Merah.
Padahal, semalaman dia tidak tidur untuk bersemadi sampai matahari muncul di ufuk Timur. Sedangkan Bayu tidur nyenyak sekali. Mereka kemudian merangkak keluar dari dalam gua. Ruangan di dalam gua ini memang luas sekali. Tapi untuk masuk ke dalam gua ini harus merangkak, karena lorong mulut gua ini begitu kecil.
"Hhh...! Segar sekali udara pagi ini...," desah Bayu begitu sampai di luar gua.
Sementara Pengemis Tongkat Merah baru saja keluar dari mulut gua yang sempit Kakinya melangkah menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang tengah menikmati udara segar. Sebentar Pengemis Tongkat Merah berhenti di samping pemuda berbaju kulit harimau ini, kemudian melangkah beberapa tindak ke depan. Tubuhnya membungkuk, memungut sebatang tongkat kayu berwarna merah. Diamatinya tongkat yang bagian tengahnya terpotong.
"Ini potongannya, Ki kata Bayu yang tahu-tahu sudah berdiri di samping Pengemis Tongkat Merah.
Laki-laki tua berbaju kumal penuh tambalan itu berpaling sedikit, lalu menerima potongan tongkat merah kebanggaannya dari tangan Pendekar Pulau Neraka. Diamatinya dua potongan tongkat merah itu, kemudian disambungnya tepat pada tempat yang patah. Dan kini, digenggamnya bagian yang tersambung itu dengan tangan kanannya. Perlahan-lahan tongkat itu diangkat sampai melewati di atas kepalanya.
Bayu hanya memperhatikan saja. Kening Pendekar Pulau Neraka jadi berkerut melihat asap kehitaman mengepul dari sela-sela jari tangan yang menggenggam tongkat itu. Tampak bibir Pengemis Tongkat Merah bergerak-gerak bergetar, memperdengarkan dengungan seperti lebah.
"Hap! Yeaaah...!"
Begitu asap hitam yang mengepul dari genggaman tangan kanannya menipis, Pengemis Tongkat Merah melemparkan tongkat itu ke udara. Tongkat itu melayang tinggi ke angkasa, lalu berputaran cepat sekali. Sehingga, yang terlihat hanya lingkaran merah dari tongkat yang berputaran cepat di angkasa.
"Hup...!"
Bagaikan seekor burung elang, Pengemis Tongkat Merah melesat cepat ke angkasa. Seketika tangannya menangkap tongkat merah, lalu meluruk turun dengan gerakan indah sekali. Tanpa bersuara sedikit pun, laki-laki tua berbaju kumal penuh tambalan ini mendarat kembali tidak jauh dari Pendekar Pulau Neraka. Bibirnya tersenyum memperhatikan tongkatnya yang sudah kembali tersambung utuh sediakala.
"Hebat..," desis Bayu tanpa sadar.
Tongkat ini merupakan nyawa kedua bagiku," jelas Pengemis Tongkat Merah seraya menimang-nimang tongkat merahnya.
Dan memang, dengan tongkat merah itu julukannya menjadi Pengemis Tongkat Merah. Sebatang tongkat yang sepertinya tidak memiliki arti sama sekali, tapi bisa menjadi sebuah senjata sangat ampuh. Baru saja dia memperlihatkan satu kesaktian yang membuat Pendekar Pulau Neraka terkagum-kagum.
Betapa tidak..? Tongkat yang sudah patah menjadi dua bagian bisa tersambung lagi! Bahkan tanpa memperlihatkan sambungannya sedikit pun juga. Tongkat itu seperti tidak pernah patah sebelumnya.
Benar-benar sebuah benda sederhana, tapi sangat berarti bagi pemiliknya. Karena, tanpa tongkat itu Pengemis Tongkat Merah tidak ada artinya sama sekali. Bahkan jurus-jurusnya berubah tak berarti. Namun Pengemis Tongkat Merah memang tidak pernah memperdalam jurus-jurus tangan kosong. Dan ini merupakan satu kelemahannya yang sulit ditutupi.
"Kita berangkat sekarang?" ajak Pengemis Tongkat Merah.
"Ayo...."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka melangkah meninggalkan tempat itu menuju Lembah Mayat. Pengemis Tongkat Merah memang sudah pernah ke Lembah Mayat Dan dari sini, memerlukan waktu sedikitnya satu hari berjalan kaki. Tapi jika mempergunakan ilmu lari cepat yang diimbangi pengerahan ilmu meringankan tubuh, bisa ditempuh tidak sampai setengah hari.
Tapi belum juga mereka jauh meninggalkan mulut gua batu itu, tiba-tiba terdengar langkah kaki kuda dari arah depan. Seperti ada yang memberi aba-aba, Bayu dan Pengemis Tongkat Merah langsung menghentikan ayunan kakinya. Sebentar mereka saling melemparkan pandang, kemudian sama-sama melompat ke atas. Hampir bersamaan, mereka mendarat di atas dahan pohon yang sama.
"Hm.... Siapa mereka...?" gumam Bayu perlahan, seperti bertanya pada dirinya sendiri, begitu samar-samar melihat ada sekitar lima orang menunggang kuda menuju ke arah ini.
"Aku tahu, siapa mereka," sahut Pengemis Tongkat Merah juga pelan suaranya, dan hampir tidak terdengar telinga Bayu yang berada di sampingnya.
Pendekar Pulau Neraka berpaling sedikit menatap Pengemis Tongkat Merah. Pada saat itu, kelima orang penunggang kuda sudah demikian dekat. Dan sebentar lagi pasti akan lewat di bawah pohon ini. Bayu kembali memperhatikan lima orang laki-laki penunggang kuda yang kini baru terlihat jelas. Dan seketika, jantungnya seperti berhenti berdetak begitu mengenali empat orang dari kelima penunggang kuda itu. "Hup...!"
Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba saja Pengemis Tongkat Merah meluruk turun dari pohon ini. Tak ada kesempatan lagi bagi Pendekar Pulau Neraka untuk mencegah. Pengemis Tongkat Merah sudah mendarat menghadang lima orang penunggang kuda itu. Kemunculan Pengemis Tongkat Merah yang begitu tiba-tiba, tentu saja mengejutkan kelima penunggang kuda itu. Kuda-kuda mereka seketika meringkik keras, seraya mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi
"Pengemis edan...! Minggir kau!" bentak salah seorang penunggang kuda yang berusia sekitar lima puluh tahun
Sementara Bayu yang berada di atas pohon hanya memperhatikan saja. Dia mengenali empat orang dari kelima penunggang kuda yang sudah turun dari kuda masing-masing. Salah seorang dari mereka adalah Ladra. Dia memang pernah bercerita banyak dengan Pendekar Pulau Neraka. Sementara tiga anak muda teman Ladra memang sempat bertarung dengannya. Tepatnya ketika dia masih bersama Parindra di pinggiran sebuah desa. Sedangkan yang seorang lagi, sama sekali Bayu belum pernah melihat.
Tentu saja, Bayu tidak mengenal Karpak yang menyandang senjata sebilah golok berukuran besar. Karena, dia baru sekali datang ke Desa Batang. Dan itu juga harus menghadapi keroyokan penduduk Desa Batang. Dari Ladra, Pendekar Pulau Neraka tahu sebab-sebab penduduk Desa Batang menyerangnya.
"Mau apa kau menghadang kami, Pengemis Tongkat Merah?" tanya Ladra dengan suara dibuat sopan, tidak seperti Karpak yang tahu-tahu sudah membentak kasar tadi.
Sedangkan Pengemis Tongkat Merah hanya tersenyum saja mendapat pertanyaan Ladra yang nadanya dibuat sopan. Kakinya melangkah beberapa tindak ke depan, dan berhenti sekitar dua batang tombak lagi di depan lima orang ini.
"Aku tahu, ke mana kalian akan pergi. Sebaiknya, kalian kembali saja," tegas Pengemis Tongkat Merah.
"Phuah! Apa urusanmu melarang kami, heh...?!" sentak Karpak tidak senang.
"Ratu Lembah Mayat bukan lawan tanding kalian Menghadapi anak buahnya saja, kalian tidak akan mampu. Sebaiknya, kembali saja daripada mengantarkan nyawa sia-sia," tetap tenang dan tegas suara Pengemis Tongkat Merah.
"Jangan pedulikan omongannya! Ayo, kita pergi..!" ajak Karpak
Setelah berkata demikian, Karpak langsung melompat naik ke punggung kudanya. Tiga orang anak muda yang pernah bertarung melawan Pendekar Pulau Neraka juga segera berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Kini tinggal Ladra yang masih berdiri di depan Pengemis Tongkat Merah.
"Ayo, Ladra...!" seru Karpak. Ladra diam saja. Hatinya seperti bimbang setelah mendengar peringatan Pengemis Tongkat Merah. Dia tahu, siapa laki-laki berpakaian kumal penuh tambalan ini Memang Pengemis Tongkat Merah tidak asing lagi di Desa Batang. Dia adalah sahabat kental Pendekar Cakar Naga, sekaligus sahabat Eyang Bagasrana, Ketua Padepokan Kalong Hitam yang bermarkas di Desa Batang. Tingkat kepandaian Pengemis Tongkat Merah tidak bisa diragukan lagi. Bahkan bisa disejajarkan dengan Pendekar Cakar Naga.
"Ladra, kau mau ikut apa tidak..?" Karpak sudah tidak sabar lagi.
Perlahan Ladra berpaling menatap Karpak yang sudah berada di punggung kudanya, kemudian beralih pada Pengemis Tongkat Merah. Jelas sekali kalau hatinya bimbang Tapi, akhirnya dia melangkah mendekati Pengemis Tongkat Merah dan berdiri di samping laki laid tua berpakaian kumal penuh tambalan itu.
"Kau saja yang pergi, Karpak," ujar Ladra tegas, setelah mengambil keputusan.
"Heh...?! Apa katamu...?" Karpak jadi terperanjat.
"Kurasa memang tidak ada gunanya kita ke sana. Ratu Lembah Mayat bukan tandingan kita, Karpak," ujar Ladra lagj.
"Pengecut...?" desis Karpak menggeram.
Terserah apa katamu, Karpak. Rasanya, aku sudah memilih yang benar."
"Huh!"
Karpak menatap tajam Ladra dan Pengemis Tongkat Merah bergantian, kemudian menggebah cepat kudanya. Tiga anak muda yang berada di belakang Karpak, juga segera menggebah kudanya mengikuti laki-laki setengah baya bersenjata golok berukuran besar itu. Mereka melewati Pengemis Tongkat Merah dan Ladra yang hanya bisa memandangi, menyesali tindakan Karpak yang nekat hendak ke Lembah Mayat.
"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu pada mereka," desah Pengemis Tongkat Merah perlahan.
Sedangkan Ladra hanya memandangi kepergian Karpak dan tiga orang anak muda itu. Mereka semakin jauh, dan lenyap begitu masuk ke dalam hutan yang cukup lebat Ladra dan Pengemis Tongkat Merah masih tetap berdiri diam, meskipun empat orang dan Desa Batang itu sudah tidak terlihat lagi.
"Mau apa mereka ke sana, Ladra?" tanya Pengemis Tongkat Merah.
"Membebaskan Parindra," jelas Ladra.
"Membebaskan Parindra...?" Pengemis Tongkat Merah terkejut mendengar jawaban Ladra yang perlahan, tapi cukup jelas terdengar.
Laki-laki tua berbaju kumal penuh tambalan itu memandangi Ladra tajam-tajam. Hatinya benar-benar terkejut Karena setahunya, tak ada seorang pun yang tahu kalau sekarang ini Parindra berada di tangan Ratu Lembah Mayat Hanya dia dan Pendekar Pulau Neraka saja yang tahu. Dan peristiwa itu juga baru terjadi kemarin.
"Dan mana kau tahu kalau Parindra ada di sana?" tanya Pengemis Tongkat Merah bernada menyelidik.
"Karpak yang memberi tahu," sahut Ladra.
"Heh...?!" lagi-lagi Pengemis Tongkat Merah tersentak kaget.
"Ada apa, Pengemis Tongkat Merah...?" tanya Ladra, tidak mengerti.
Pengemis Tongkat Merah tidak menjawab, dan segera berteriak memanggil Bayu sambil mendongakkan kepala ke atas. Tap lagi-lagi hatinya tersentak kaget Ternyata di atas pohon tidak terlihat lag! Pendekar Pulau Neraka.
"Ke mana dia...?" desah Pengemis Tongkat Merah menggumam pelan.
"Bayu...? Apakah dia Pendekar Pulau Neraka...?" tanya Ladra.
"Benar. Tadi dia ada di atas pohon itu."
"Jangan-jangan..."
"Ayo kita susul mereka!"
Tanpa menunggu waktu lagi, Pengemis Tongkat Merah melesat cepat meninggalkan tempat itu. Ladra Juga segera melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, tidak lagi mempedulikan kudanya yang asyik merumput di bawah pohon. Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki dua orang itu, sehingga sebentar saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Mereka telah tertelan oleh lebatnya pepohonan yang menyemaki seluruh permukaan bukit kecil ini.
TUJUH
Sementara itu, Karpak, Sutrana, Badur, dan Rakasa sudah sampai di tepi Lembah Mayat Nama yang dimiliki lembah kecil ini memang bisa membuat bulu kuduk merinding. Tapi, sebenarnya lembah ini indah sekali. Tak ada tanda-tanda keangkeran di sekitarnya, seperti yang banyak dikatakan orang. Sepanjang mata memandang, hanya keindahan saja yang tampak Namun tak akan ada yang menyangka kalau lembah ini mengandung sejuta bahaya mengancam.
"Sepertinya mudah untuk masuk ke sana...," gumam Sutrana.
Mereka semua memandang sebuah bangunan yang terbuat dari batu. Bangunan itu menyerupai sebuah candi di tengah-tengah lembah indah ini. Bentuknya sangat indah, dan tidak mencerminkan keangkeran sedikit pun. Apa yang selama ini didengar tentang Istana Lembah Mayat ternyata jauh berbeda dengan kebenarannya. Tak ada kesan menyeramkan. Yang ada, justru keindahan yang sukar dilukiskan.
"Ayo, kita ke sana," ajak Karpak
Mereka segera menggebah kuda menuruni lembah ini. Jalan yang dilalui cukup landai, dan mudah dilewati kuda. Tapi belum juga jauh bergerak, tiba-tiba saja tanah di tempat mereka terbongkar. Seketika dari dalam tanah itu, berhamburan puluhan batang tombak bermata hitam.
"Awas...!" seru Sutrana yang mengetahui lebih dulu.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Sutrana, Badur, dan Rakasa berlompatan dari punggung kuda. Mereka berputaran di udara menghindari tombak-tombak yang berhamburan di sekitar tubuh. Sedangkan Karpak malah memacu cepat kudanya ke depan. Aneh...!
Tombak-tombak itu malah melewati atas kepala Karpak. Dan begitu lewat dari tanah yang terbongkar, Karpak cepat menghentikan lari kudanya. Wajahnya berpaling menatap tiga laki-laki yang sibuk menghindari serbuan tombak-tombak yang bermunculan dari dalam tanah, dan seperti tidak ada habisnya.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Karpak menggebah kudanya, tanpa mempedulikan tiga laki-laki yang sibuk menyelamatkan diri dari hujan tombak bermata hitam ini. Dia terus menggebah kudanya mendekati bangunan berbentuk candi yang berada di tengah-tengah lembah. Dan begitu Karpak lenyap di dalam bangunan dari batu itu, seketika tanah yang menganga terbongkar langsung bergerak menutup. Maka hujan tombak pun seketika berhenti.
"Heh...?! Di mana Paman Karpak...?" tanya Sutrana.
Badur dan Rakasa tidak menjawab. Mereka tadi memang terlalu sibuk menyelamatkan din dari serbuan tombak-tombak yang datang seperti hujan. Sejenak mereka saling melempar pandang. Tak tahu, ke mana Karpak pergi. Keindahan lembah ini seketika lenyap dari pandangan mereka. Ternyata di balik keindahan lembah ini tersembunyi sejuta bahaya yang siap mengancam.
"Bagaimana sekarang...?" tanya Rakasa seperti bertanya pada diri sendiri.
"Bagaimana lagi...?" Badur malah balik bertanya. Dan selagi kebingungan, tiba-tiba saja tanah-tanah di sekitar mereka berhamburan terbongkar. Akibatnya, ketiga laki-laki ini terperanjat Begitu terkejutnya, sehingga sampai berlompatan merapat beradu pungung. Dari tanah yang terbongkar tadi, bermunculan gadis-gadis cantik yang hanya mengenakan cawat dan penutup dada. Mereka semua memegang senjata tombak panjang bermata hitam pekat Ada sepuluh gadis cantik dengan tombak terhunus ke depan, telah berdiri mengepung ketiga laki-laki ini.
"Hiyaaa...!"
" Yeaaah...!"
Tanpa berkata apa-apa lagi, sepuluh gadis cantik bercawat itu langsung berlompatan menyerang ketiga laki-laki dari Desa Batang itu. Serangan mereka begitu serempak, dengan mata tombak tertuju langsung ke tubuh ketiga laki-laki ini.
"Keluarkan pedang..!" teriak Sutrana memberi perintah.
Sret!
"Hiyaaat..!"
Secara bersamaan, Badur dan Rakasa mencabut pedang mengikuti perintah Sutrana. Pedang mereka langsung dikebut, menyampok tombak-tombak yang meluncur deras mengancam nyawa. Denting senjata beradu seketika terdengar meningkahi teriakan-teriakan keras yang saling susul.
Pertarungan memang tak dapat dihindari lagi. Sepuluh orang gadis bercawat itu menyerang cepat secara berganhan dari segala arah. Dan terkadang mereka bertukar tempat membuat Sutrana, Badur, dan Rakasa jadi kelabakan menghadapi mereka.
"Berpencar...!" seru Sutrana lantang.
Badur dan Rakasa langsung berlompatan ke arah kanan dan kiri. Mereka berpencar, membuat sepuluh orang gadis bercawat ini jadi kebingungan. Dan di saat mereka belum bisa menentukan apa-apa, ketiga laki-laki dari Desa Batang itu sudah menyerang cepat Pedang mereka berkelebat membabat ke arah dada dan leher. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan, sehingga membuat gadis-gadis bercawat ini jadi kelabakan. Tak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk berkelit.
"Aaa...!"
Jerit dan pekikan melengking tinggi seketika terdengar saling susul.
***
"Ada sesuatu yang harus kusampaikan segera, Gusti Ratu. Dan ini penting sekali," sahut Karpak. Sikapnya tampak hormat sekali.
"Apa itu...? Katakan cepat Karpak...?"
Tentang Batu Mustika Cakar Naga."
"Hm...," Ratu Lembah Mayat mengerutkan keningnya mendengar mustika yang dicari-carinya disebut laki-laki separuh baya ini.
"Sebenarnya mustika itu masih ada di Desa Batang, Gusti Ratu. Dan, Eyang Bagasrana sendirilah yang menyimpannya," sambung Karpak memberi tahu.
"Keparat..!" geram Ratu Lembah Mayat mendesis. "Mengapa kau tidak mengatakannya dari dulu, Karpak?"
"Aku baru mengetahui pagi ini, Gusti Ratu. Aku tadi melihat Eyang Bagasrana mengeluarkan mustika itu dari tempat penyimpanannya. Mustika itu disimpan di dalam kotak kecil, dan ditaruh di belakang lukisan di dalam kamarnya," jelas Karpak lagi.
Tua bangka keparat..! Rupanya dia sendiri juga hendak memilikinya," desis Ratu Lembah Mayat menggeram.
"Gusti Ratu! Izinkan aku mengambil pusaka itu, dan membunuh orang tua tidak tahu diri itu," selak Andari yang berada di samping kanan Ratu Lembah Mayat
"Lakukanlah, Andari. Kau sudah mampu menandingi orang tua keparat itu," Ratu Lembah Mayat langsung menyetujui.
"Aku segera berangkat, Gusti Ratu."
Andari mengajak empat gadis lain yang ada di ruangan ini. Mereka menjura memberi hormat pada wanita berjubah hitam itu, kemudian bergegas meninggalkan ruangan. Sebentar kemudian mereka sudah tidak terlihat lagi, tenggelam di balik pintu yang segera tertutup. Namun tak berapa lama, Andari sudah masuk kembali dengan langkah tergopoh-gopoh, dan segera menjatuhkan diri berlutut
"Ada apa, Andari...?" tanya Ratu Lembah Mayat
"Ampun, Gusti Ratu. Ada tiga tikus menyelusup ke sini," lapor Andari.
Ratu Lembah Mayat menatap tajam Karpak yang masih duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk. Karpak buru-buru memberi sembah. Dia tahu, ketiga tikus yang dimaksud adalah Sutrana, Badur, dan Rakasa.
"Ampun, Gusti Ratu. Hamba memang membawa mereka, tapi hamba tinggalkan di tempat jebakan. Hamba tidak mengira kalau mereka bisa selamat sampai sini," sanggah Karpak buru-buru.
"Bereskan mereka, Andari," perintah Ratu Lembah Mayat
"Baik, Gusti Ratu," sahut Andari, seraya memberi hormat
Gadis bercawat itu segera bangkit berdiri dan melangkah keluar dengan ayunan kaki cepat dan lebar. Ratu Lembah Mayat melangkah dua tindak ke depan, menghampiri Karpak yang masih duduk bersila di lantai.
"Bangun kau, Karpak," desis Ratu Lembah Mayat dingin.
"Ampunkan hamba, Gusti Ratu," ucap Karpak seraya bangkit berdiri.
Tapi begitu berdiri, tiba-tiba saja Ratu Lembah Mayat melayangkan satu pukulan keras dengan tangan kiri. Pukulan yang begitu cepat dan keras tadi tidak diduga sama sekali. Akibatnya, Karpak terpekik dan terpental deras ke belakang. Keras sekali punggungnya menghantam dinding batu hingga seluruh ruangan ini bergetar.
Karpak melorot turun dengan bibir meringis. Darah segar mengucur dari sudut bibirnya. Dadanya seketika jadi terasa sesak, terkena pukulan bertenaga dalam tinggi. Sambil mengatur jalan napasnya yang tersengal, laki-laki separuh baya itu mencoba bangkit berdiri.
"Sudah kukatakan, tidak perlu membawa orang kalau ke sini! Kau memang tidak bisa dipercaya, Karpak! Selalu saja menimbulkan kesulitan...!" desis Ratu Lembah Mayat dingin dan menggetarkan nada suaranya.
"Ampun, Gusti Ratu. Hamba..., hamba...."
Tak ada lagi ampun bagimu, Tikus Keparat!"
"Apa yang akan kau...?" Karpak terbeliak melihat Ratu Lembah Mayat semakin dekat, dengan ujung tongkat terarah lurus ke dada.
"Kau tidak ada gunanya lagi, Karpak," desis Ratu Lembah Mayat semakin dingin.
Tap... tapi..., aku sudah berbuat banyak padamu. Aku sudah mengelabui semua orang Aku berhasil membuat mereka membunuh keluarga Pendekar Cakar Naga. Lalu kenapa sekarang kau akan membunuhku...?" suara Karpak semakin terdengar bergetar.
"Itu sudah tugasmu, Karpak Bersiaplah untuk mati...!"
Tunggu dulu...!"
Tapi Ratu Lembah Mayat sudah tidak dapat dicegah lagi Dan tiba-tiba saja tongkatnya bergerak cepat membuat Karpak hanya mampu membeliak lebar tanpa mampu berbuat sesuatu. Sehingga....
Bet!
Crab!
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat begitu ujung tombak Ratu Lembah Mayat menghunjam dalam dada laki-laki separuh baya ini Begitu Ratu Lembah Mayat mencabut tongkatnya, seketika darah menyembur keluar dari dada yang berlubang sampai ke punggung.
Sebentar Karpak masih mampu berdiri, kemudian tubuhnya ambruk ke lantai. Darah terus mengalir deras menggenang di bawah tubuhnya. Seketika itu juga, Karpak tewas tanpa mampu memberi perlawanan sedikit pun.
"Manusia sepertimu, sudah sepantasnya mampus!" dengus Ratu Lembah Mayat.
Sambil mendengus berat wanita berjubah hitam itu menendang tubuh Karpak yang sudah tak bernyawa lagi. Kemudian kakinya melangkah mendekati pintu yang tertutup rapat Tongkatnya terayun-ayun di tangan kanan. Dengan ujung tongkat dibukanya pintu dari kayu jati tebal berukir itu.
Tinggal si keparat Eyang Bagasrana. Hhh...! Dia juga harus mampus di tanganku!" desis Ratu Lembah Mayat sebelum melangkah keluar dari ruangan besar ini
Pintu kayu jati tebal itu langsung tertutup begitu Ratu Lembah Mayat melewatinya. Suasana di dalam ruangan berdinding dan beratap batu itu jadi sunyi senyap. Kini tinggal mayat Karpak saja yang masih tergolek bergenang darah di lantai batu yang hitam dan dingin
***
Sementara di ruangan lain, tampak Sutrana, Badur, dan Rakasa tengah berhadapan melawan empat orang gadis cantik bercawat yang bersenjatakan tombak panjang bermata hitam. Sedangkan dua orang gadis lain hanya memperhatikan pertarungan itu saja.
Tampaknya pertarungan berjalan cukup imbang. Terbukti, mereka sama-sama memberi serangan secara bergantian. Ketiga laki-laki dari Desa Batang itu juga sudah mempergunakan pedang. Entah sudah berapa jurus berkelahi. Dan begitu empat orang gadis bercawat melakukan gerakan berputar mengelilingi ketiga laki-laki itu, keadaan langsung berubah. Ujung-ujung tombak yang berkelebatan cepat, semakin sulit dihalau. Dan hingga suatu saat...
"Rakasa, awas...!" seru Sutrana tiba-tiba.
Rakasa yang baru saja menghindari satu pukulan dari arah depan, terkejut begitu mendengar teriakan Sutrana. Dan pemuda itu tidak sempat lagi berbuat sesuatu ketika sebuah tombak meluncur deras dari arah samping kanan. Namun tubuhnya masih sempat digerakkan sedikit Sehingga....
Bret!
"Akh...!" Rakasa menjerit keras.
Kalau saja tubuhnya tidak digerakkan, ujung tombak berwarna hitam itu pasti akan menembus dadanya. Tapi justru karena gerakan tubuhnya, sehingga bahu kanannya terkena ujung tombak. Rakasa terhuyung-huyung ke belakang sambil tangannya mendekap bahunya yang robek mengucurkan darah. Pada saat itu, seorang gadis bercawat tiba-tiba melompat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
"Oh...?!" Rakasa mengeluh pendek
Namun ketika pukulan itu hampir saja menghantam dadanya, mendadak saja sebuah bayangan kuning berkelebat menghantam gadis bercawat itu.
"Akh...!" gadis itu memekik keras.
Tubuh gadis itu terpental sejauh dua batang tombak ke belakang. Keras sekali punggungnya menghantam dinding batu bangunan candi mi, sehingga jebol berantakan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di samping Rakasa sudah berdiri seorang pemuda tampan mengenakan baju kulit harimau. Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskannya, sehingga gadis bercacat tadi seketika tewas tergeletak di antara reruntuhan batu dinding bangunan candi ini. Dari mulutnya tampak mengalir darah kental.
Tewasnya satu gadis itu, membuat gadis-gadis bercawat lain jadi berlompatan mundur menghentikan pertarungan. Sutrana dan Badur juga bergegas berlompatan mendekati Rakasa yang masih menekap bahunya. Darah masih mengucur deras dari bahu laki-laki itu.
"Kenapa kau menolong kami,..?" tanya Sutrana seraya menatap pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain adalah Pendekar Pulau Neraka.
"Simpan dulu pertanyaanmu. Sebaiknya, cepat kembali ke desa," tegas Bayu yang menyadari kalau keadaan dalam bahaya. Pendekar Pulau Neraka itu sendiri sudah menyembunyikan monyet kesayangannya di tempat yang aman, sebelum menuju ke tempat ini.
Mendengar ucapan Bayu yang tegas itu, Sutrana langsung terdiam.
"Kisanak, apa maksudmu berkata seperti itu?" selak Badur.
"Cepat tinggalkan tempat ini. Aku akan menghadang mereka...!" seru Bayu.
"Hiyaaat..!"
Pendekar Pulau Neraka tidak menghiraukan pertanyaan Badur dan Sutrana. Tubuhnya langsung saja melompat cepat bagai kilat menyerang lima orang gadis cantik bercawat yang masih hidup. Lima orang gadis bercawat ini jadi kelabakan menerima serangan-serangan Bayu yang begitu cepat luar biasa. Setiap pukulan yang dilepaskan, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dan sukar diimbangi. Mereka terpaksa berjumpalitan menghindari setiap serangan Pendekar Pulau Neraka.
"Bagaimana, Kakang Sutrana?" tanya Badur, minta pendapat
"Aku rasa, dia benar. Ayo, kita tinggalkan tempat ini," sahut Sutrana.
Tapi, bagaimana dengan Parindra...?" tanya Rakasa lagi.
"Dia tidak mungkin ada di sini. Cepatlah! Ini kesempatan baik untuk meninggalkan tempat ini. Ayo...," ajak Sutrana lagi.
"Kau masih kuat Rakasa?" tanya Badur.
"Jangan hiraukan aku. Ayo, cepat kita berangkat," ajak Rakasa.
Ketiga laki-laki dari Desa Batang itu bergegas meninggalkan bangunan berbentuk candi ini. Sementara, Bayu terus menggempur lima orang gadis bercawat dengan jurus-jurus tingkat tinggi yang dahsyat Pendekar Pulau Neraka sempat melihat ketiga laki-laki dari Desa Batang itu meninggalkan tempat ini. Dan seketika itu juga, tangan kanannya dikebutkan cepat sambil berteriak nyaring menggelegar.
"Hiyaaa...!" Wuk!
Begitu tangan kanan Bayu berkelebat cepat, seketika itu juga Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangannya melesat cepat bagai kilat Begitu cepatnya, sehingga salah seorang gadis bercawat yang menggenggam tombak tidak dapat lagi berkelit Dia memekik keras melengking ringgi begitu Cakra Maut membedah lehernya.
"Aaa...!"
Darah langsung muncrat keluar dari lehernya yang robek tersambar Cakra Maut Bayu cepat melesat ke udara, menangkap senjata mautnya itu. Dan selagi berada di udara, kembali tangan kanannya bergerak cepat mengebut ke arah salah seorang gadis lainnya.
Bet!
Crab!
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi, disusul ambruknya satu orang gadis lagi. Cakra Maut menembus dada mereka hingga lewat ke punggung. Sementara Bayu sudah meluruk deras ke arah satu orang gadis lain yang memegang tombak. Satu pukulan keras dilepaskan Pendekar Pulau Neraka dengan kecepatan tinggi, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
"Hiyaaat..!"
Des!
"Aaakh...!"
Gadis cantik bercawat itu tidak dapat lagi menghindar. Seketika pukulan Pendekar Pulau Neraka telah menghantam dadanya, sehingga membuatnya terpental sejauh beberapa tombak. Hanya sebentar saja gadis itu mampu menggeliat, kemudian diam tak bernyawa lagi. Darah langsung merembes keluar dari mulut dan hidungnya.
Bayu menjejakkan kakinya dengan ringan sekali di lantai batu yang keras dan licin. Tubuhnya berputar, menatap dua orang gadis lain yang masing-masing sudah menggenggam pedang tersilang di depan dada. Mereka kelihatan gentar melihat empat orang tewas dalam waktu tidak begitu lama.
"Di mana kalian sembunyikan Parindra?" tanya Bayu dingin.
"Cari saja sendiri!" dengus Andari ketus.
"Hm. Rupanya, kalian cukup setia pada ratu busuk itu!" dengus Bayu.
"Keparat..!" geram Andari.
Kedua gadis itu saling mengerdipkan mata, kemudian sama-sama berlompatan cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka dari dua jurusan. Pedang mereka berkelebat cepat membabat bagian-bagian tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi dengan lincah dan gerakan cepat, Bayu berhasil mementahkan serangan yang tertuju padanya. Beberapa kali pedang-pedang itu terpaksa harus ditangkis dengan Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan.
Dan setiap kali senjata-senjata itu beradu, selalu menimbulkan dentingan keras disertai percikan bunga api. Jurus demi jurus berlalu cepat Dan Bayu mulai merasakan kalau tingkat kepandaian yang dimiliki kedua gadis ini jauh lebih tinggi dibandingkan empat gadis yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
"Rupanya kalian lebih memilih mati, daripada bekerja sama menumpas kejahatan!" geram Bayu jadi sengit.
"Baik! Terimalah ini... Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka melesat tinggi ke udara. Dan dengan cepat sekali, tangan kanannya dikebutkan ke arah salah seorang gadis bercawat itu. Begitu cepat kebutan itu. Sehingga begitu Cakra Maut melesat gadis yang memegang pedang itu jadi kelabakan setengah mati.
"Hatt...!"
Cepat-cepat pedangnya dikebutkan, untuk menangkis Cakra Maut yang meluruk deras ke arahnya.
Trang!
Satu benturan keras terjadi, dan seketika gadis itu terpekik keras. Tubuhnya terpental dua batang tombak ke belakang. Sedangkan pedangnya terpenggal tersambar Cakra Maut senjata andalan Pendekar Pulau Neraka. Dan sebelum dia sempat menyadari apa yang terjadi, Bayu sudah meluruk deras sambil melontarkan satu pukulan keras menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Diegkh!
"Akh...!"
Kembali gadis itu memekik keras begitu pukulan Pendekar Pulau Neraka mendarat telak di dadanya. Tubuhnya terlontar jauh ke belakang, dan kerassekat menghantam lantai batu yang licin dan keras. Sebentar tubuhnya menggeliat dan mulutnya mengerang, kemudian mengejang kaku. Dan kini dia sudah diam tidak bergerak-gerak lagi. Sementara Bayu kembali mendarat sambil langsung mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut seketika kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Dan kini tinggal satu orang gadis lagi yang masih hidup. Dan tampaknya, hatinya semakin gentar karena menyadari tinggal sendiri. Bayu menatap tajam gadis yang bernama Andari ini. Kakinya kini terayun perlahan-lahan mendekati. Sedangkan gadis itu bergerak mundur perlahan.
"Cukup...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
Bayu langsung berhenti melangkah, dan berpaling ke kanan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan sebuah pintu yang terbuka sudah berdiri seorang wanita berjubah hitam. Di depannya, Parindra berdiri dengan tangan terpelintir ke belakang punggung Pemuda belasan tahun itu meringis kesakitan, merasakan tangannya seperti remukterpelintir ke belakang. Melihat Ratu Lembah Mayat muncul, Andari bergegas menghampiri. Wajahnya seketika jadi cerah, merasa ada kesempatan untuk bisa melihat matahari esok pagi.
"Akhirnya kau muncul juga, Ratu Busuk...!" desis Bayu dingin.
***
"Selangkah lagi kau bergerak, anak ini mampus!" ancam Ratu Lembah Mayat tidak main-main.
"Jangan hiraukan aku, Kakang...!" seru Parindra.
"Akh...!"
"Diam, Bocah Setan...!"
Parindra menggeliat merasakan sakit yang amat sangat pada tangan kanannya. Tulang tangan kanannya terasa bagai remuk dipelintir keras ke belakang punggungnya. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya menggeretak geram melihat tindakan Ratu Lembah Mayat yang dianggapnya pengecut, dengan menyandera seorang anak muda yang tidak punya daya apa-apa.
"Lepaskan anak itu...!" bentak Bayu geram.
"Aku akan menukar anak ini dengan Mustika Cakar Naga," kata Ratu Lembah Mayat dingin.
Setelah berkata demikian, Ratu Lembah Mayat langsung melesat cepat keluar dari dalam ruangan ini. Andari segera mengikuti perempuan berjubah hitam itu. Namun, Bayu juga tidak sudi ketinggalan. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sempurna, Pendekar Pulau Neraka melesat mengejar.
Beberapa kali Bayu melakukan putaran di udara, lalu manis sekali mendarat menghadang di depan perempuan berjubah hitam itu. Terpaksa Ratu Lembah Mayat menghentikan larinya. Seketika diberikannya beberapa totokan pada jalan darah Parindra. Akibatnya anak muda itu seketika lemas tak berdaya lagi. Hampir saja Parindra jatuh kalau saja Andari tidak segera menangkap tubuh anak muda belasan tahun ini.
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Ratu Lembah Mayat melompat cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Tongkatnya berkelebat cepat mengarah ke kepala pemuda berbaju kulit harimau itu. Namun dengan gerakan manis sekali, Bayu mengegoskan kepalanya. Maka, ujung tongkat berbentuk tengkorak kepala manusia itu hanya lewat saja di depan muka Pendekar Pulau Neraka.
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu bergegas melentingkan tubuh ke belakang, dan mendarat sejauh dua batang tombak, Pendekar Pulau Neraka kini tidak tanggung-tanggung lagi menghadapinya. Dia merasakan kebutan tongkat perempuan berjubah hitam ini mengandung hawa panas yang menyengat Dan begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya cepat membungkuk agak miring ke kiri. Lalu, tangan kanannya ditarik sampai ke depan dada.
"Yeaaah...!"
Bet!
Sambil mengerahkan tenaga dalam, Bayu mengebutkan tangan kanannya ke depan. Seketika itu juga Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangannya, melesat cepat bagai kilat.
"Hap!"
Ratu Lembah Mayat cepat mengebutkan tongkat menyampok senjata andalan Pendekar Pulau Neraka. Tak pelak lagi, dua senjata ampuh beradu keras di udara, menciptakan ledakan dahsyat menggelegar disertai percikan bunga api yang menyebar ke seluruh penjuru.
Bayu cepat-cepat mengangkat tangan kanannya ke atas kepala, begitu senjatanya berbalik. Cakra berwarna keperakan yang sisinya berjumlah enam itu kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
"Senjatamu memang hebat, Pendekar Pulau Neraka. Tapi jangan harap bisa menandingi Ratu Lembah Mayat..!" desis Ratu Lembah Mayat dingin.
"Kita lihat saja. Siapa yang lebih unggul," sambut Bayu tidak kalah dinginnya.
Tahan seranganku, Bocah! Hiyaaat..!"
Cepat sekali Ratu Lembah Mayat melompat menyerang. Tongkatnya bergerak cepat berkelebat mengarah ke beberapa bagian tubuh Bayu yang paling rawan. Maka Pendekar Pulau Neraka terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang begitu cepat dan berbahaya ini. Beberapa kali tongkat berkepala tengkorak itu terpaksa ditangkis, dengan pergelangan tangan kanannya. Dan setiap kali menangkis tongkat itu, tangannya langsung bergetar. Pendekar Pulau Neraka benar-benar merasakan kedahsyatan tenaga dalam yang dimiliki perempuan berjubah hitam ini.
Jurus demi jurus berlalu cepat Tak terasa, sebentar saja mereka sudah menghabiskan lebih dari lima jurus. Tapi sampai sejauh ini, belum ada tanda-tanda kalau pertarungan itu bakal berhenti. Bahkan pertarungan semakin berjalan dahsyat sekali. Mereka sama-sama mengeluarkan jurus-jurus ampuh dan dahsyat Sedikit kelengahan saja, bisa berakibat parah. Pertarungan baru berjalan beberapa saat dan tempat di sekitar pertarungan sudah porak-poranda bagai diamuk badai topan yang dahsyat.
Sepuluh jurus sudah berlalu, namun pertarungan masih juga berlangsung. Bayu merasakan kalau perempuan berjubah hitam ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Jurus-jurus yang dimilikinya ternyata begitu dahsyat Terlebih lagi, tongkat berkepala tengkorak itu. Setiap kebutannya mengandung hawa panas menyengat luar biasa. Dan Pendekar Pulau Neraka bisa merasakan adanya hawa racun dari setiap kebutan tongkat berkepala tengkorak itu. Maka terpaksa jalan napasnya dipindahkan ke perut.
"Lima jurus lagi, bisa-bisa dia membunuhku. Hhh...! Ini tidak boleh terjadi...!" dengus Bayu dalam hati.
Menyadari kalau tidak mungkin bisa bertahan lama, Pendekar Pulau Neraka cepat memutar otaknya. Dicarinya jalan agar bisa mengakhiri pertarungan ini, sebelum pertahanan napasnya habis. Dan Pendekar Pulau Neraka sudah bisa mengukur, sampai di mana kemampuan pertahanan napas perutnya.
"Hap! Yeaaah...!"
Begitu Ratu Lembah Mayat mengebutkan tongkatnya ke arah kaki, kesempatan ini tidak disia-siakan Bayu begitu saja. Cepat tubuhnya melesat ke udara, dan melakukan putaran dua kali Lalu cepat sekali tangan kanannya dikebutkan ke arah kepala perempuan berjubah hitam itu.
"Hiyaaa...!"
Wuk!
"Hait..!"
Bet!
Bergegas Ratu Lembah Mayat menyampokkan tongkatnya begitu Cakra Maut melesat cepat dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. dan ketika tongkat berkepala tengkorak berhasil menyampok senjata yang dilepaskan lawan, tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka meluruk deras sambil melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna.
"Hiyaaa...!"
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya perempuan berjubah hitam itu melihat datangnya serangan. Maka, buru-buru tubuhnya ditarik ke belakang. Tapi tanpa diduga sama sekali, Bayu malah menarik pukulannya. Bahkan cepat menggantinya dengan satu tendangan keras menggeledek yang begitu cepat luar biasa. Perpindahan pola serangan yang begitu cepat, membuat Ratu Lembah Mayat tak dapat lagi menghindar.
Diegkh!
"Akh...!"
Tendangan Bayu ternyata tepat menghantam dada perempuan berjubah hitam ini. Begitu kerasnya tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka, sehingga membuat Ratu Lembah Mayat terjungkal keras ke belakang. Dan sebelum lawan sempat melakukan sesuatu, Bayu sudah mengebutkan tangan kanan ke depan, dengan tubuh agak sedikit membungkuk.
'Yeaaah...!"
Bet!
Slap...!
Ratu Lembah Mayat hanya dapat mendelik melihat Cakra Maut bersegi enam meluruk deras ke arahnya. Cepa-cepat tongkatnya dikebutkan untuk menyampok senjata maut Pendekar Pulau Neraka.
Trang!
Perempuan berjubah hitam itu memang berhasil menyampok senjata yang dilepaskan Bayu. Tapi dia kembali terpekik. Ternyata tiba-tiba saja Bayu melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Memang begitu keras pukulan Pendekar Pulau Neraka. Akibatnya Ratu Lembah Mayat terjungkal ke tanah, langsung bergulingan beberapa kali sebelum bisa bangkit berdiri.
Dan sebelum keseimbangan tubuhnya bisa dikuasai, kembali Pendekar Pulau Neraka sudah melompat melakukan serangan cepat bagai kilat Untuk kedua kalinya, pukulan Pendekar Pulau Neraka mendarat di dada Ratu Lembah Mayat Bayu cepat mengangkat tangan kanannya ke atas kepala, di saat perempuan berjubah hitam itu terpental ke belakang Dan begitu Cakra Maut menempel di pergelangan tangan kanannya, seketika itu juga dikebutkan kembali disertai. pengerahan tenaga dalam tinggi sekali.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Wusss!
Crab!
"Aaa...!"
Ratu Lembah Mayat memang tidak dapat lagi menghindar dalam keadaan tubuh kehilangan keseimbangan. Terlebih lagi, dia baru saja mendapat pukulan keras di dadanya. Keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah, begitu Cakra Maut bersegi enam menghantam dadanya. Begitu kerasnya lontaran senjata maut itu, sehingga tembus sampai ke punggung Ratu Lembah Mayat Dan kini senjata itu berputar balik ke arah pemiliknya.
Bret!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar keras menyayat Tampak darah muncrat deras sekali dari leher yang terkoyak lebar, akibat tertebas Cakra Maut Perempuan berjubah hitam itu masih mampu berdiri tegak beberapa saat kemudian ambruk menggelepar di tanah. Dia mengerang dan menggelepar meregang nyawa. Dari leher, dada, dan punggungnya terus mengucurkan darah. Sementara, Bayu berdiri tegak setelah Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan.
Tidak lama kemudian, Ratu Lembah Mayat sudah mengejang kaku, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Tepat pada saat itu, muncul Pengemis Tongkat Merah bersama Ladra dan tiga pemuda dari Desa Batang. Bahkan kini muncul juga Eyang Bagasrana bersama beberapa orang muridnya yang juga penduduk Desa Batang.
Melihat kedatangan orang-orang itu, Andari merasa tidak akan mampu lagi menandingi mereka. Terlebih lagi Gusti Ratunya telah tewas. Lebih baik dia tidak usah melawan orang-orang sakti itu lagi, dan hidup tenang di desa lain. Berpikir demikian, Andari segera melepaskan pegangannya pada Parindra dan langsung melesat kabur, membiarkan anak muda belasan tahun itu jatuh tergeletak di tanah dalam keadaan tubuh lemas tertotok.
"Kau tidak apa apa, Bayu...?" tanya Pengemis Tongkat Merah begitu berada di samping Pendekar Pulau Neraka.
"Tidak," sahut Bayu seraya melirik Parindra yang tengah dibebaskan dari totokan oleh Eyang Bagasrana.
"Maaf. Aku datang terlambat," ucap Pengemis Tongkat Merah juga memandang pada Eyang Bagasrana.
"Tidak," sahut Bayu sambil melirik pedang yang ada di tangan Eyang Bagasrana.
"Apakah itu Pedang Cakar Naga...?"
"Benar," sahut Eyang Bagasrana.
"Bagaimana pedang itu bisa berada di tanganmu?" tanya Pengemis Tongkat Merah.
"Istri Pendekar Cakar Naga yang memberikannya padaku," sahut Eyang Bagasrana.
"Setelah suaminya meninggal, dia sudah merasa bakal terjadi sesuatu. Terutama, batu mustika pada gagang pedang ini yang memiliki kekuatan dahsyat"
"Lalu, kenapa kau membunuhnya?" tanya Pengemis Tongkat Merah lagi.
"itulah kesalahanku yang terbesar. Aku terlalu percaya pada omongan Karpak, yang ternyata orang suruhan Ratu Lembah Mayat," pelan suara Eyang Bagasrana.
"Jika kau ingin menghukumku, aku rela menerimanya."
Tak ada sahutan sama sekali. Dan begitu Pengemis Tongkat Merah berpaling ke arah Pendekar Pulau Neraka, matanya jadi terbeliak. Karena pemuda berbaju kulit harimau itu sudah lenyap, tak ada lagi di sampingnya. Begitu cepat dan sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga kepergian Pendekar Pulau Neraka sama sekali tidak diketahui lagi.
Sementara itu, Parindra yang sudah sadar kembali hanya diam saja diberi penjelasan Eyang Bagasrana. Sedangkan Pengemis Tongkat Merah pun, diam-diam meninggalkan tempat ini, mengikuti Bayu yang sudah sejak tadi pergi entah ke mana. Tak ada seorang pun yang menyadari. Perhatian mereka semua tertumpah pada Parindra dan Eyang Bagasrana.
Mereka pun meninggalkan tempat itu, tanpa ada yang menyadari kalau orang yang menyelesaikan semua kemelut ini sudah pergi begitu saja. Mereka seperti lupa, dan terlalu gembira karena putra Pendekar Cakar Naga masih hidup. Terutama, Eyang Bagasrana yang begitu menyesali kebodohannya, karena bisa dikelabui Karpak. Akibatnya, mereka sudah melenyapkan nyawa orang yang seharusnya dijaga keselamatannya.
Tapi Bayu seperti tidak mempedulikan, dan terus saja melangkah perlahan-lahan. Beberapa kali keringat yang mengalir membasahi wajahnya diseka dengan punggung tangan. Pemuda yang dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka itu menghentikan ayunan kakinya. Wajahnya berpaling sedikit ketika merasakan punggungnya terkena sambitan kerikil dari belakang. Entah sudah berapa kali punggungnya terasa disambit batu kerikil. Bibirnya tersenyum melihat monyet kecil berdiri di belakangnya, memandang sayu padanya.
"Kau lelah, Tiren...?" ujar Bayu dengan bibir menyunggingkan senyum.
"Nguk!"
"Naiklah ke pundakku sini," kata Bayu lagi.
Monyet kecil itu berjingkrak kegirangan. Cepat-cepat dihampirinya Pendekar Pulau Neraka. Bayu mengulurkan tangannya. Diambilnya tangan monyet kecil itu, lalu diangkat sampai binatang berbulu hitam itu bertengger di pundaknya. Pemuda berbaju kulit harimau Itu kembali mengayunkan kakinya perlahan menyusuri tanah berbatu yang panas, bagai berjalan di atas bara api. Siang ini memang terasa begitu panas. Bayu merasakan kulitnya seperti terbakar.
"Ada sungai, Tiren. Enak sekali kalau mandi, ya...?" kata Bayu.
"Nguk!"
Tiren hanya mengangguk saja. Bayu tersenyum, dan menepuk kaki monyet kecil yang nangkring di pundaknya ini. Kakinya terus saja berjalan mendekati sungai kecil yang mengalir di depannya. Air sungai itu tampaknya jernih sekali, sehingga batu-batuan yang menjadi dasarnya, terlihat jelas. Tapi baru saja Pendekar Pulau Neraka berjongkok hendak membasuh tangannya, mendadak saja....
"Tolooong...!"
"Heh..?!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar teriakan kerns melengking tinggi. Teriakan itu demikian keras, sehingga terdengar jelas dari tempat Pendekar Pulau Neraka berdiri. Dan belum lagi hilang jeritan tadi dari pendengaran, menyusul bentakan bentakan kasar, ditingkahi jeritan-jeritan minta tolong.
"Hup!"
Tanpa menghiraukan air sungai yang pasti sangat sejuk, Pendekar Pulau Neraka cepat melompati sungai kecil ini. Dan begitu kakinya menjejak tanah berbatu di seberang sungai, langsung berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu sempurrnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan mata. Sementara teriakan dan bentakan-bentakan keras, masih terdengar dari dalam hutan di seberang sungai kecil ini. Dan bayangan Pendekar Pulau Neraka sudah tidak terlihat lagi, tenggelam ditelan hutan yang tidak begitu lebat.
"Hei...!"
Bayu terhenyak kaget begitu melihat empat orang wanita tengah berusaha menggantung seorang anak muda berusia sekitar tujuh belas tahun. Bentakan Bayu yang begitu keras dan tidak disengaja tadi, membuat empat wanita yang tengah berusaha menggantung itu tersentak kaget. Mereka begitu terkejut, sampai-sampai terlompat ke belakang. Akibatnya anak muda yang hampir tergantung di pohon itu jatuh bergulingan di tanah berumput kering.
Sementara empat wanita berwajah cantik yang hanya mengenakan cawat dari kulit kayu itu berlompatan ke depan Bayu. Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya terbeliak melihat wanita-wanita cantik setengah telanjang berdiri sekitar enam langkah di depannya. Hampir seluruh tubuh mereka yang berkulit putih itu terbuka. Hanya bagian di bawah pusar dan dada saja yang tertutup kulit kayu. Mereka semua membawa tombak panjang dari kayu, yang bagian ujung atasnya terbuat dari besi baja hitam.
"Siapa kau?! Berani-beraninya mengejutkan kami!" bentak salah seorang wanita yang berdiri paling kanan.
"Maaf. Aku tadi terkejut melihat kalian ingin menggantung anak itu," ucap Bayu sopan.
"Itu bukan urusanmu!" bentak wanita itu lagi, ketus.
Bayu jadi terhenyak mendengar kata-kata yang begitu ketus. Ditatapnya wanita itu dalam-dalam. Sedangkan yang ditatap, malah membalas tidak kalah tajam. Sementara monyet kecil berbulu hitam yang bertengger di pundak Pendekar Pulau Neraka juga menatap empat wanita itu.
"Kakang...! Bebaskan aku. Mereka akan membunuhku...!" seru anak muda yang masih tergolek di tanah berumput.
"Diam kau, Monyet!" bentak wanita yang berdiri paling kanan itu kasar.
"Krakkkh...!"
Tiren melonjak mendengar bentakan wanita itu tadi. Bayu segera menepuk-nepuk kaki monyet kecil itu, mencoba menenangkannya. Kata-kata wanita itu tadi sudah menyinggung hati monyet kecil ini Dan tiba-tiba saja, Tiren melompat turun dengan gerakan ringan dan indah sekali. Begitu kakinya menjejak tanah, dia cepat berlari menghampiri anak muda yang tergolek tak berdaya di tanah.
"Hei! Mau apa kau, Monyet Jelek...?!" bentak wanita itu makin kasar.
"Nguk! Nguk! Khraiiigkh...!"
Wuk!
Tiba-tiba saja wanita bercawat itu melemparkan tombaknya ke arah monyet kecil berbulu hitam milik Bayu. Tindakan wanita ini membuat Pendekar Pulau Neraka tersentak kaget. Secepat kilat dia melompat menyambar tombak yang meluruk deras ke arah Tiren.
"Hiyaaa...!"
Tap!
Bayu berhasil menangkap tombak, ketika ujungnya sekitar sejengkal lagi tepat menghunjam tubuh Tiren. Pendekar Pulau Neraka bergulingan beberapa kali di tanah, lalu cepat melompat berdiri. Di tangan kanannya sudah tergenggam sebatang tombak kayu berujung baja hitam runcing.
Sementara Tiren sudah berada di belakang anak muda yang tergolek di tanah, tidak jauh dari pohon tempat dia akan digantung pada lehernya tadi. Cekatan sekali monyet kecil itu membuka ikatan yang membelenggu kedua tangan anak muda ini. Dan begitu tali yang mengikat tangannya terlepas, pemuda belasan tahun itu bergegas berdiri.
Pemuda itu melepaskan tali yang melingkar di lehernya, lalu tiba-tiba saja melompat ke arah Bayu. Tindakan yang tidak terduga itu membuat Bayu sampai tidak menyadari. Cepat sekali gerakan pemuda itu, dan tahu-tahu sudah merampas tombak yang berada di tangan kanan Bayu. Langsung tubuhnya melesat cepat ke arah salah seorang wanita bercawat yang hampir saja menggantungnya tadi.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Bet!
"Uts!"
Wanita cantik bercawat itu cepat memiringkan tubuhnya ke kanan, menghindari hujaman ujung tombak di tangan anak muda belasan tahun itu. Pada saat yang bersamaan, tombaknya dihentakkan untuk menghantam tombak yang sudah lewat di samping tubuhnya.
Trak!
Tak pelak lagi, dua senjata beradu keras.
"Akh...!"
Pemuda belasan tahun itu memekik keras agak tertahan.
Tombak yang berada di tangannya seketika terpental ke udara. Pada saat itu, wanita yang tidak menggenggam tombak melesat cepat ke udara. Manis sekali tombaknya ditangkap kembali, dan cepat meluruk turun dengan gerakan yang begitu indah.
"Yeaaah...!"
Begitu kakinya menjejak tanah, langsung diberikannya satu sodokan keras ke arah dada anak muda belasan tahun itu. Gerakan yang begitu cepat tak dapat dihindari, telak bersarang di dada anak muda belasan tahun itu.
Des!
Aakh...!" untuk kedua kalinya anak muda itu memekik keras agak tertahan. Tubuhnya terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Pada saat itu, seorang wanita lain .sudah melompat sambil berteriak nyaring. Langsung dilepaskannya satu tendangan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Sudah dapat dipastikan, kalau pemuda berusia belasan tahun itu tak mungkin dapat menghindar.
"Yeaaah...!"
Tapi pada saat yang gawat ini, tiba-tiba saja Bayu melesat cepat bagai kilat menyambar tubuh anak muda itu. Maka tendangan keras yang dilancarkan wanita cantik bercawat ini jadi tidak mengenai sasaran. Tendangannya hanya menghantam pohon yang cukup besar, hingga tumbang. Sementara Bayu sudah membawa anak muda belasan tahun itu ke tempat yang cukup aman, ditemani Tiren. Bayu kembali melompat menghadang, begitu empat wanita cantik bercawat itu sudah bergerak mendekati.
"Berhenti...!" bentak Bayu keras menggelegar.
"Menyingkir kau, Kisanak! Kau akan menyesal mencampuri urusan kami!" sentak salah seorang wanita cantik bercawat itu.
"Tunggu...! Kenapa kalian ingin membunuh anak ini?" tanya Bayu.
"Itu bukan urusanmu!"
"Minggir, kau!"
Bayu jadi tersentak mendengar bentakan-bentakan begitu kasar dari wanita-wanita cantik bercawat ini. Wanita yang seharusnya bersikap lembut itu ternyata begitu kasar kata-katanya. Dan kini empat wanita cantik bercawat itu sudah bergerak menyebar mengurung dari empat arah. Mereka terus bergerak perlahan memutari Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja lewat sudut matanya.
Dalam beberapa gebrakan tadi saja, Bayu sudah dapat menilai kalau wanita-wanita bercawat ini memiliki kepandaian yang rata-rata cukup tinggi. Dan tentu saja dia tidak bisa berbuat gegabah dalam menghadapinya, meskipun sudah bisa mengukur tingkat kepandaian mereka.
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Secara serentak, empat wanita cantik bercawat itu berlompatan menyerang Bayu. Tombak-tombak mereka berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka. Namun dengan gerakan-gerakan manis, dan liukan indah, Bayu berhasil menghindari setiap serangan yang datang dari empat arah.
Tapi serangan-serangan yang dilakukan empat wanita itu begitu gencar. Dan kemudian serangan mereka berubah secara cepat dan bergantian. Hal ini membuat Bayu jadi agak kerepotan menghadapinya. Beberapa kali tubuhnya terpaksa dijatuhkan ke tanah. Dia kemudian bergelimpangan menghindari serangan yang datang begitu gencar, bagai tak akan pernah berhenti. Dan beberapa kali pula, Pendekar Pulau Neraka terpaksa menangkis tombak-tombak menggunakan pergelangan tangan kanannya.
Trang!
Setiap kali ujung tombak beradu dengan benda bersegi enam di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka, selalu terjadi percikan bunga api. Beberapa kali Bayu mencoba, dan merasa memiliki kesempatan setiap kali ujung tombak lawan membentur Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan kanannya. Ketika satu tombak meluruk deras dari arah depan dadanya, tangan kanannya cepat dikibaskan untuk menangkis serangan tombak bermata hitam itu.
"Yeaaah...!"
Trang!
Tepat pada saat ujung tombak hitam itu beradu dengan Cakra Maut di pergelangan tangannya, Bayu cepat melentingkan tubuhnya ke belakang. Pada saat itu juga dilepaskannya satu pukulan keras ke arah wanita yang berada di belakangnya, disertai putaran tubuhnya di udara. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga wanita cantik bercawat itu tidak dapat lagi menghindar.
"Hiyaaa...!"
Diegkh!
"Akh...!"
Wanita itu terpekik keras, agak tertahan. Tubuhnya terpental ke belakang begitu pukulan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam dadanya. Dan sebelum ada yang menyadari, pendekar berbaju kulit harimau itu sudah bergerak cepat, melompat ke kanan. Satu tendangan keras menggeledek dilepaskan, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Serangan Pendekar Pulau Neraka kali ini juga tak dapat dihindari lagi.
Des!
"Ughk!"
Wanita itu terhuyung-huyung sambil mengeluh pendek Tendangan Bayu tepat bersarang di perutnya. Maka kesempatan ini tidak disia-siakan Pendekar Pulau Neraka. Kembali tubuhnya bergerak cepat, berlompatan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah begitu sempurna. Begitu cepat gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga yang terlihat hanya bayangan kuning berkelebatan menyambar empat wanita cantik bercawat itu.
Pekikan-pekikan keras terdengar saling susul, disertai terpentalnya tubuh-tubuh indah setengah telanjang itu. Dan tahu-tahu, Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri tegak dengan tangan menggenggam empat batang tombak. Entah bagaimana caranya, senjata-senjata lawan berhasil dirampasnya. Sedangkan wanita-wanita cantik bercawat itu jadi terkejut, begitu bisa bangkit berdiri.
"Persoalan ini belum selesai, Keparat...!" geram salah seorang wanita itu.
Dan setelah berkata demikian, tubuhnya melesat pergi diikuti tiga wanita lainnya. Bayu hanya memandangi saja sampai keempat wanita itu lenyap dari pandangannya. Dia memegang keempat batang tombak itu dengan kedua tangannya, kemudian....
Trak!
Hanya sekali hentak ke paha saja, empat batang tombak itu sudah berpatahan, masing-masing menjadi dua bagian. Bayu melemparkannya begitu saja ke tanah. Kemudian tubuhnya berputar berbalik dan melangkah menghampiri anak muda yang ditemani Tiren. Monyet kecil berbulu hitam itu berlari-lari menghampiri, lalu melompat ringan, dan naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka.
"Nguk!"
Bayu menepuk-nepuk kaki Tiren yang sudah nangkring di pundak kanannya. Kakinya terus melangkah menghampiri anak muda belasan tahun yang masih berdiri di bawah pohon. Pendekar Pulau Neraka baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan anak muda itu.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Bayu.
"Tidak. Terima kasih atas pertolonganmu," ucap pemuda itu.
Bayu hanya tersenyum saja sambil menepuk pundak anak muda belasan tahun itu. Kemudian, Pendekar Pulau Neraka mengajaknya berjalan meninggalkan tempat Ini. Mereka berjalan berdampingan tanpa berkata-kata lagi. Entah apa yang ada di dalam batin masing-masing, sehingga tak ada seorang pun membuka suara lebih dahulu. Padahal, mereka sudah cukup jauh meninggalkan tempat pertarungan tadi.
"Siapa namamu?" Tanya Bayu mengisi kebisuan yang terjadi cukup lama tadi.
"Parindra," Sahut anak muda itu singkat.
"Kenapa berada di hutan ini?" tanya Bayu lagi.
"Aku sedang berburu dan mencari kayu bakar," sahut pemuda Itu lagi.
Pendekar Pulau Neraka berhenti melangkah, langsung memperhatikan pemuda itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Bayu seperti tidak percaya atas Jawaban anak muda ini barusan. Kulit pemuda belasan tahun yang mengaku bernama Parindra ini putih bersih seperti layaknya putra-putra bangsawan. Pakaiannya pun tergolong berharga mahal, karena terbuat dari bahan sutra halus bersulamkan bunga-bunga indah di bagian dadanya.
Kasarnya memang tidak mungkin kalau anak muda yang kelihatannya dari keluarga bangsawan ini berada di dalam hutan. Bahkan sedang berburu dan mencari kayu bakar! Sedangkan Parindra yang menyadari tengah diamati hanya diam saja. Sebentar kemudian tubuhnya dihempaskan, duduk di bawah pohon yang cukup rindang untuk menaungi dirinya dari sengatan matahari yang begitu terik membakar. Sementara Bayu masih berdiri memperhatikan pemuda berwajah cukup tampan itu.
"Parindra...," lembut suara Bayu.
Parindra mengangkat wajahnya, menatap wajah Bayu. Pendekar Pulau Neraka agak terhenyak melihat sepasang bola mata anak muda ini tiba-tiba berkaca-kaca. Kemudian Pendekar Pulau Neraka duduk di depannya, lalu memandangi lekat-lekat. Sedangkan Parindra menundukkan kepala perlahan. Tangannya mencabut rerumputan, dan melemparkannya sambil menghempaskan napas berat.
"Kenapa mereka ingin menggantungmu tadi?" tanya Bayu, tetap lembut nada suaranya.
"Mereka menuduhku sebagai pencuri," sahut Parindra, agak mendengus suaranya.
"Pencuri...? Ha ha ha...!"
Entah kenapa, tiba-tiba saja Bayu jadi tertawa terbahak-bahak. Tenggorokannya terasa digelitik mendengar jawaban Parindra barusan. Sedangkan Parindra jadi mendengus, sambil menatap tajam pemuda berbaju kulit harimau ini. Perlahan suara tawa Bayu mereda, dan akhirnya berhenti sama sekali.
"Tidak ada yang perlu ditertawakan...!" dengus Parindra.
"Maaf. Bukannya aku hendak menyinggung perasaanmu, tapi...," Bayu kembali tertawa terbahak-bahak.
Parindra lagi-lagi mendengus tidak senang, lalu langsung bangkit berdiri dan mengayunkan kakinya kembali dengan cepat. Bayu cepat-cepat melompat bangkit dan mengejar anak muda itu. Langkahnya disejajarkan di samping pemuda belasan tahun ini. Suara tawanya sudah tidak lagi terdengar di telinga.
"Melihat kulitmu yang putih dan pakaianmu yang tentu berharga mahal, rasanya tidak mungkin kalau kau seorang pencuri, Parindra. Paling tidak, kau anak bangsawan. Atau, anak seorang juragan kaya yang tinggal di kota besar," kata Bayu menilai.
"Aku memang bukan pencuri!" sahut Parindra masih bersuara agak mendengus.
"Lalu, kenapa mereka menuduhmu pencuri dan ingin menggantungmu?" tanya Bayu mengejar.
Parindra tidak menjawab, dan terus saja mengayunkan kakinya dengan cepat. Sedangkan Bayu tetap berada di sampingnya, sambil tidak henti-hentinya memperhatikan anak muda belasan tahun ini. Tiba-tiba saja di benaknya timbul berbagai macam pikiran mengenai anak muda ini. Entah kenapa, hatinya merasa ada sesuatu yang tersembunyi pada diri Parindra. Sesuatu yang bisa membahayakan keselamatan jiwanya. Benarkah dugaan Pendekar Pulau Neraka ini...?
Saat senja merayap turun menyelimuti sebagian permukaan bumi, Pendekar Pulau Neraka dan Parindra baru sampai di sebuah desa yang tidak begitu besar. Rumah-rumah di sini letaknya pun cukup rapat. Keadaannya juga tidak begitu ramai. Bahkan bisa dikatakan sunyi. Hanya ada beberapa orang saja yang terlihat berada di luar rumah. Kedua orang itu terus melangkah menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah di bagian tengah desa kecil ini. Mereka menuju sebuah kedai yang masih buka.
Seorang perempuan separuh baya tampak tergopoh-gopoh menyambut, begitu melihat Bayu dan Parindra muncul di depan pintu kedai. Dengan sikap ramah dan senyuman dibuat-buat, wanita separuh baya bertubuh sedang itu menuntun kedua anak muda ini ke sebuah meja yang terletak di bawah jendela.
"Mau makan, atau hanya minum saja?" wanita itu menawarkan dengan sikap ramah.
"Dua-duanya," sahut Bayu.
Wanita separuh baya itu tersenyum, lalu bergegas ke belakang. Bayu mengambil sesisir pisang yang tergantung di dekatnya, lalu diberikannya pada Tiren yang tentu saja senang menerimanya. Monyet kecil berbulu hitam itu duduk di jendela sambil menikmati pisang. Sedangkan Bayu mengedarkan pandangan ke sekeliling kedai ini.
Hanya ada tiga pengunjung selain dirinya dan Parindra. Dan tampaknya, ketiga pengunjung kedai ini Juga pendatang seperti dirinya. Hal ini bisa dipastikan dari pakaian yang dikenakan. Teriebih lagi, ketiga orang itu membawa pedang yang tersampir di pinggang. Dan di sudut ruangan kedai ini juga masih ada seorang pengunjung lagi. Seorang laki-laki tua yang tampaknya sudah mabuk karena kebanyakan minum arak Ada lebih lima guci arak besar tergeletak di mejanya. Bayu kembali mengedarkan pandangan berkeliling. Tak ada lagi pengunjung di kedai ini.
Pandangan Pendekar Pulau Neraka beralih pada wanita separuh baya yang datang kembali sambil membawa baki berisi penuh pesanan yang diminta Bayu. Dengan sikap ramah dan senyuman tetap tersungging di bibir, wanita itu meletakkan makanan dan minuman di atas meja bundar dari kayu berwarna kecokelatan ini. Setelah meletakkan seluruh pesanan tamunya ini, bergegas dia melangkah lagi ke belakang.
"Kau tidak lapar, Parindra...?" tegur Bayu melihat Parindra hanya diam saja, tidak menyentuh hidangan.
Parindra baru menikmati makanannya setelah ditegur, tanpa sedikit pun berbicara. Sambil makan, kepalanya pun terus tertunduk, seakan-akan menyembunyikan wajah dari pandangan orang lain. Sedangkan Bayu tidak sempat memperhatikan, karena terlalu asyik menikmati hidangannya. Memang sudah tiga hari ini Pendekar Pulau Neraka tidak pernah menikmati makanan selezat ini.
Sementara mereka menikmati makanan yang terhidang, tanpa disadari, tiga orang yang duduk agak jauh tengah memperhatikan Parindra yang terus tertunduk. Mereka berbicara berbisik-bisik sambil terus memperhatikan pemuda itu. Namun sama sekali baik Bayu maupun Parindra tidak menyadari.
Ketiga laki-laki yang kelihatan berusia rata-rata tiga puluh tahun itu terus memperhatikan Parindra. Perawakan mereka cukup gagah, dan berpakaian indah terbuat dari bahan sutra halus. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, dengan penampilan bersih dan parlente, sudah dapat diduga kalau mereka bukanlah orang sembarangan.
"Kakang...," panggil Parindra pelan tanpa mengangkat wajah sedikit pun juga.
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja.
"Kalau sudah makan, kita langsung pergi dari desa ini," ujar Parindra, tetap pelan suaranya.
"Sudah sore, Parindra. Sebentar lagi malam menjelang. Apa tidak sebaiknya cari penginapan di desa ini saja...?" usul Bayu.
"Desa ini tidak aman, meskipun hanya semalaman saja," kilah Parindra, tetap pelan dengan kepala tertunduk.
Bayu menghentikan makannya. Dipandanginya anak muda belasan tahun ini, yang tetap saja tertunduk. Parindra juga sudah sejak tadi tidak meneruskan makannya. Memang sebelum memasuki desa ini tadi, Parindra sudah tidak ingin melanjutkan perjalanan. Bahkan tadinya dia ingin menunggu saja di luar desa. Bayu sendiri tidak tahu, kenapa Parindra seperti enggan berada di desa kecil ini. Tapi dia tidak ingin bertanya banyak, karena Parindra lebih pendiam dan tidak banyak bicara. Bahkan jika ditanya pun, jawabannya hanya sepotong-potong saja.
Pendekar Pulau Neraka memanggil wanita separuh baya pemilik kedai ini. Setelah berbicara sebentar, kemudian dibayarnya harga makanan yang dipesannya. Sementara itu Tiren melompat naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka. Sesisir pisang telah berpindah ke dalam perut monyet berbulu hitam ini. Sedangkan Parindra sudah keluar lebih dahulu. Bayu terpaksa bergegas mengejar Parindra yang terus saja berjalan cepat meninggalkan kedai itu.
"Parindra, ada apa denganmu...?" tanya Bayu jadi tidak sabar melihat sikap Parindra yang begitu tertutup.
Parindra tidak menjawab, dan malah terus saja berjalan cepat hendak meninggalkan desa kecil yang membuat kepalanya jadi berdenyut pening. Pendekar Pulau Neraka menghadang langkah Parindra, tepat di perbatasan desa sebelah Timur. Pemuda itu terpaksa menghentikan langkahnya.
"Katakan! Ada apa denganmu...?" desak Bayu.
"Mereka akan membunuhku, kalau tahu aku ada di desa ini," jelas Parindra.
"Mereka siapa...?"
"Kami...!"
"Heh...?!"
Pendekar Pulau Neraka terkejut begitu tiba-tiba saja terdengar suara keras menggema. Wajahnya cepat berpaling ke arah datangnya suara itu. Entah dari mana datangnya. Tahu-tahu di tempat ini sudah ada tiga orang laki-laki berusia tiga puluh tahun. Dan tentu saja Bayu mengenali mereka, ketika di kedai tadi. Mereka juga pengunjung kedai yang duduk agak jauh dari mejanya tadi.
Melihat ketiga laki-laki itu, wajah Parindra mendadak saja pucat pasi, bagai tak pernah dialiri darah. Anak muda berusia tujuh belas tahun itu menggeser kakinya ke belakang Bayu. Kelihatannya seperti ingin berlindung di balik tubuh Pendekar Pulau Neraka ini. Sikap Parindra yang kelihatan ketakutan itu membuat Bayu jadi mengerutkan keningnya.
"Parindra! Kemari kau...!" bentak salah seorang yang mengenakan baju warna merah menyala.
Tidak...!" sahut Parindra, agak bergetar suaranya.
"Anak tidak tahu diuntung...!" dengus laki-laki lainnya yang mengenakan baju biru muda.
Seketika laki-laki berbaju biru muda itu tiba-tiba saja melompat Tangannya langsung terulur hendak meraih Parindra yang berlindung di belakang tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tindakan itu tentu saja membuat Bayu tersentak. Maka cepat-cepat tangan kanannya dikebutkan ke arah tangan orang berbaju biru muda yang menjulur ke depan.
"Hait...!"
Laki-laki berbaju biru muda itu cepat-cepat menarik tangannya pulang, sebelum berbenturan dengan tangan kanan Bayu yang mengibas cepat. Pada saat yang sama, salah seorang yang mengenakan baju warna kuning sudah melompat cepat ke arah Parindra.
Melihat gelagat yang kurang baik ini, Bayu cepat-cepat melentingkan tubuh ke belakang sambil menyambar pinggang Parindra. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka melakukan putaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di tanah berumput. Langsung didorongnya dada Parindra, sehingga pemuda belasan tahun itu merapat ke pohon yang cukup besar untuk tempat berlindung.
"Jangan ke mana-mana," pesan Bayu.
Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya ke depan beberapa tindak Sementara tiga orang laki-laki dengan pedang tersampir di pinggang masing-masing, sudah bergerak maju menghampiri. Wajah mereka tampak memerah, bagai menyimpan kemarahan atas tindakan Bayu yang menyelamatkan Parindra.
"Kau menyingkir, Tiren," ujar Bayu pada monyet kecil yang masih saja nangkring di pundaknya.
"Nguk!"
Tiren cepat melompat turun dari punggung Pendekar Pulau Neraka, lalu berlari-lari kecil menghampiri Parindra. Monyet kecil berbulu hitam itu segera melompat naik ke punggung pemuda berusia belasan tahun ini. Parindra agak terpekik sedikit, tapi langsung tersenyum begitu melihat monyet kecil berbulu hitam ini duduk tenang di pundaknya.
"Berhenti, kalian..!" bentak Bayu sambil merentangkan tangan kanan ke depan.
Tiga orang laki-laki bersenjata pedang di pinggang itu seketika menghentikan ayunan langkahnya, begitu mendengar bentakan Bayu yang keras dan tegas. Sedangkan Bayu tetap berdiri tegak, bersikap penuh kewaspadaan. Tatapan matanya begitu tajam merayapi tiga orang di depannya, seakan-akan sedang mengukur tingkat kepandaian mereka.
"Siapa kau...?!" bentak salah seorang yang mengenakan baju merah.
"Aku Bayu. Dan kalian sendiri siapa...?" Bayu balik bertanya setelah memperkenalkan diri.
"Kau tidak perlu tahu siapa kami!" dengus orang yang berbaju biru muda.
"Sebaiknya cepat menyingkir, sebelum kupatahkan batang lehermu!" sambung orang yang berbaju kuning.
"Ada urusan apa, kalian dengan Parindra?" tanya Bayu tanpa mempedulikan kata-kata yang bernada kasar dan meremehkan dari ketiga orang itu.
"Banyak mulut..! Mampus kau, hiyaaat..!"
Laki-laki yang berbaju merah seketika saja melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, dilepaskan ke arah dada pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Hait!"
Tapi manis sekali Bayu menghindarinya dengan mengegoskan tubuh ke kanan. Hampir saja Bayu memberikan pukulan balasan. Untung saja orang itu cepat melentingkan tubuh ke belakang, begitu serangannya tidak mengenai sasaran. Dan pada saat yang bersamaan, seorang yang berbaju biru muda sudah melompat hendak melewati kepala Bayu.
"Yeaaah...!"
Bayu cepat melompat ke belakang, seraya melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Pukulan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka seketika beradu keras dengan kepalan tangan orang berbaju biru muda. Dua kekuatan tenaga dalam saling berbenturan dahsyat sekali, dan tak dapat dihindari. Akibatnya, terdengar ledakan keras menggelegar yang begitu dahsyat memekakkan telinga.
Tampak orang berbaju biru muda itu terpekik keras, dan tubuhnya terpental ke belakang sejauh beberapa batang tombak. Keras sekali tubuhnya jatuh menghantam tanah, lalu bergulingan beberapa kali sebelum berhenti tertahan sebongkah batu yang cukup besar. Dia berusaha bangkit berdiri, tapi dari mulutnya memuntahkan darah kental agak kehitaman.
"Hoeeek...!"
Sementara Bayu berhasil menguasai keseimbangan tubuhnya, dan kembali menjejakkan kakinya di tanah tanpa tergoyahkan sedikit pun. Kejadian yang begitu cepat dan tidak terduga tadi, membuat dua laki-laki lain jadi terbeliak. Mereka seakan-akan baru saja melek, dan menyadari kalau pemuda berbaju kulit harimau ini tidak bisa dianggap enteng.
"Selangkah lagi kalian maju, nasib kalian tentu akan sebagus dia!" ancam Bayu, dingin menggetarkan.
Dua orang laki-laki itu seperti ragu-ragu. Mereka sama-sama memandang ke arah temannya yang tampak tak berdaya, tergeletak di tanah berumput. Mulutnya penuh darah kental agak kehitaman. Seperti diberi aba-aba saja, mereka bergegas menghampiri temannya yang tergeletak. Gerakan halus di dadanya, menandakan kalau orang berbaju biru muda itu masih bernapas.
"Bagaimana...?" tanya orang berbaju merah, agak berbisik suaranya.
"Sebaiknya mundur saja dulu. Tampaknya, Adi Rakasa terluka dalam cukup parah," sahut orang berbaju kuning.
Orang yang mengenakan baju merah memutar tubuhnya menatap Bayu yang masih berdiri tegak dan bersikap menantang. Sedangkan orang yang berbaju kuning sudah membantu temannya berdiri.
"Ayo, kita pergi..," ajak orang berbaju kuning yang memapah temannya.
Sedangkan orang berbaju merah masih menatap tajam penuh kata-kata bernada ancaman, tubuhnya diputar dan bergegas menyusul dua orang temannya yang sudah meninggalkan tempat ini
***
"Siapa mereka?" tanya Bayu tanpa berpaling dari orang yang bergerak cepat meninggalkan tempatnya.
Parindra tidak menjawab pertanyaan itu. Seolah-olah tidak didengarnya ucapan Bayu. Pandangan matanya tak lepas dari tiga orang yang semakin jauh pergi. Sementara Bayu memutar tubuhnya, lalu menghampiri anak muda itu. Monyet kecil berbulu hitam di pundak Parindra, melompat berpindah ke bahu kanan Pendekar Pulau Neraka. Dipeluknya leher Bayu, seakan-akan ingin menyatakan kegembiraannya melihat pemuda berbaju kulit harimau ini berhasil mengalahkan tiga orang lawannya.
"Siapa mereka, Parindra...?" Bayu mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab tadi.
"Oh...,aku...,aku...," Parindra jadi tergagap.
"Jangan katakan kau tidak tahu siapa mereka, Parindra," agak dalam nada suara Bayu.
Parindra diam dengan kepala tertunduk, menekuri ujung jari kakinya. Sementara Bayu berada sekitar dua langkah lagi di depannya. Pendekar Pulau Neraka memandangi dengan sinar mata memancar tajam. Perlahan Parindra mengangkat wajahnya, dan langsung bertemu pandang dengan mata pemuda berbaju kulit harimau di depannya. Kemudian tubuhnya dihempaskan, duduk bersandar di batang pohon. Terdengar hembusan napas yang panjang dan terasa begitu berat. Sedangkan Bayu masih berdiri saja di tempatnya, memandangi pemuda belasan tahun ini
"Baiklah.... Kalau kau tetap diam saja seperti itu, tidak ada gunanya lagi aku bersamamu," tegas Bayu.
Setelah berkata demikian, Bayu memutar tubuhnya berbalik Kakinya terayun melangkah meninggalkan Parindra yang masih duduk saja di bawah pohon. Ketika Bayu berjalan sejauh tiga batang tombak, Parindra cepat bangkit berdiri. Bergegas kakinya melangkah mengejar dan mensejajarkan diri di samping Pendekar Pulau Neraka.
"Sebaiknya kau pulang saja, Parindra. Tidak ada gunanya mengikutiku terus," ujar Bayu tanpa menghentikan langkahnya.
"Kau tidak ingin mengantarku, Kakang...?" nada suara Parindra terdengar memohon.
"Ke mana aku harus mengantarmu? Kau sendiri tidak pernah mengatakan di mana rumahmu."
"Di Desa Batang," Parindra memberi tahu desa tempat tinggalnya.
"Tidak jauh dari sini."
"Memang. Hanya menyeberangi sungai saja."
"Lalu, kenapa kau tidak pulang sendiri...?" pancing Bayu.
"Aku takut," pelan sekali suara Parindra.
"Apa yang kau takutkan...? Pulang tidak membawa binatang buruan? Kau takut orang tuamu marah?"
Parindra menggelengkan kepala. Wajahnya kembali berubah murung. Bayu jadi gemas juga melihat sikap anak muda yang cepat sekali berubah jadi pendiam dan murung ini Sebentar Bayu memperhatikan, kemudian kembali mengayunkan langkahnya perlahan-lahan. Sementara senja semakin merayap turun. Suasana pun semakin meremang. Tak berapa lama lagi, malam pasti jatuh menyelimuti mayapada.
"Kau punya persoalan, Parindra...?" tanya Bayu lebih hati-hati, agar tidak berkesan mendesak.
"Sebenarnya, aku tidak berburu. Aku lari dari rumah," jelas Parindra, pelan.
"Kenapa...?" Bayu agak terkejut juga mendengar pengakuan ini.
"Mereka membakar rumahku. Membunuh ibu, dan adikku...," semakin pelan suara Parindra.
Bayu menghentikan langkahnya. Dia jadi tertegun, tidak menyangka akan hal ini. Dipandanginya wajah Parindra dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kebenaran dari kata-kata yang barusan saja didengarnya. Tampak jelas, kedua bola mata anak muda itu merembang berkaca-kata.
"Mereka melontarkan tuduhan-tuduhan keji pada ibu. Aku takut, lalu lari menyelamatkan diri ketika mereka membunuh ibu dan adikku," sambung Parindra.
"Ceritakan! Apa yang terjadi sebenarnya, Parindra," pinta Bayu ingin lebih tegas lagi
"Beberapa hari ini, terjadi beberapa pembunuhan di Desa Batang. Katanya, beberapa orang sempat memergoki pembunuh itu. Dan mereka langsung menuduh ibu sebagai pelakunya! Kata mereka, wajah pembunuh itu mirip ibu. Maka tuduhan itu langsung dijatuhkan tanpa menyelidiki lebih dahulu. Mereka membunuh ibu dan membakar habis rumah kami"
"Banyak korbannya?" tanya Bayu lagi
"Tiga orang."
"Baru tiga...?!"
"lya. Mereka langsung mendatangi rumah kami, dan menyeret ibu dan adikku ke luar. Lalu mereka membunuh dengan keji, tanpa bertanya lebih dahulu. Kemudian rumah kami dibakar habis. Bahkan, mereka juga melemparkan mayat ibu dan adikku ke dalam rumah yang sedang terbakar. Sementara aku berhasil selamat, karena saat itu tengah tidak berada di dalam rumah. Aku sempat melihat semua kejadian itu, dan terus saja berlari menyelamatkan diri, sebelum ada yang mengetahui."
"Setelah itu, apa masih terjadi pembunuhan di sana?" tanya Bayu.
"Aku tidak tahu. Empat hari aku berada di dalam hutan, dan tidak berani kembali lagi ke sana," jelas Parindra.
"Kau tahu, siapa tiga orang yang melihat ibumu Jadi pembunuh?" tanya Bayu.
"Salah satunya, Paman Karpak. Dan dua orang lainnya aku tidak tahu."
Bayu mengangguk-anggukkan kepala. Dia melihat persoalan yang dihadapi Parindra begitu pelik. Dan memang, tidak mudah membersihkan nama yang sudah ternoda.
"Parindra.... Siapa wanita-wanita yang hampir menggantungmu di hutan tadi. Dan siapa ketiga laki-laki itu tadi?" tanya Bayu ingin tahu lebih banyak lagi.
Kalau yang wanita, aku tidak tahu. Tapi ketiga orang tadi, mereka dari Padepokan Kalong Hitam. Aku sempat menjadi murid di padepokan itu. Dan mereka mengejarku. Aku sendiri tidak tahu mengapa mereka ingin menangkapku," jelas Parindra kembali.
'Tapi kenapa kau memintaku mengantarkan pulang...?" tanya Bayu lagi.
"Aku ingin, agar kau menjelaskan pada mereka bahwa tuduhan itu salah alamat. Aku ingin kau membantuku membersihkan nama keluargaku kembali," sahut Parindra mengemukakan keinginannya.
Bayu mengangkat bahunya sedikit.
"Aku tidak janji, dan harus kuselidiki dulu kebenarannya," ujar Bayu setelah terdiam beberapa saat.
"Kau tidak percaya padaku...?"
"Bukannya tidak percaya, Parindra. Aku hanya ingin mencari kepastian dan kebenaran yang nyata. Aku tidak ingin bertindak gegabah, yang bisa-bisa malah jadi bumerang bagi diriku sendiri. Kau mengerti maksudku, Parindra...?"
Parindra hanya menganggukkan kepala saja. Bisa dimengerti, apa yang dimaksudkan pemuda berbaju kulit harimau ini. Memang tidak mudah untuk mempercayai begitu saja ceritanya. Dan dia tahu, Bayu sebenarnya ingin mencari keterangan lebih dahulu. Setelah itu, baru bisa ditentukan langkah selanjutnya yang harus diambil. Parindra sendiri tidak ingin mendesak Bayu. Justru kalau mendesak, tentu Pendekar Pulau Neraka akan semakin curiga. Bisa-bisa semua ceritanya hanya dianggap khayalan kosong belaka. Mendapat pikiran begitu, Parindra jadi diam dan mencoba untuk bisa mengerti. Sebaiknya kita cari tempat yang aman dulu, dan tidak jauh dari Desa Batang. Aku tidak ingin kau terus bersamaku, karena bisa mengurangi ruang gerakku," kata Bayu lagi.
"Aku bisa mengerti, Kakang. Terima kasih, karena kau bersedia membantuku menyelesaikan persoalan ini," ujar Parindra.
Bayu menepuk pundak anak muda belasan tahun ini, kemudian mengajaknya melangkah lagi. Mereka berjalan bersisian tanpa berbicara lagi. Sementara di dalam benaknya, Bayu terus mencerna dan memikirkan semua cerita Parindra tadi. Untuk saat ini, memang belum bisa mengambil satu kesimpulan. Dan Pendekar Pulau Neraka harus mencari keterangan dulu agar mengetahui persoalan sebenarnya, sebelum mengambll tindakan.
"Aku punya tempat yang tak seorang pun tahu," kata Parindra tiba-tiba.
"Hm.... Di mana?"
"Sebelah Timur Desa Batang. Hanya aku sendiri yang tahu tempat itu," sahut Parindra.
"Baiklah. Ayo, ke sana...."
Kini mereka berjalan cepat Bayu melihat kalau Parindra sudah tidak murung lagi. Anak muda belasan tahun itu berjalan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga Bayu juga terpaksa mengimbanginya. Sedangkan saat itu, matahari sudah hampir tenggelam di balik cakrawala sebelah Barat Sinarnya yang memerah, membias di antara pucuk pepohonan. Begitu indah pemandangannya. Tapi keindahan itu tak mungkin bisa dinikmati Bayu dan Parindra yang berjalan cepat menuju ke Desa Batang.
Tempat yang dimaksudkan Parindra memang cocok sebagai tempat persembunyian. Sebuah gua yang cukup besar dan nyaman, letaknya pun terlindung. Dan orang tak mungkin menyangka kalau di antara bebatuan dan pohon-pohon yang begitu rapat tersembunyi sebuah mulut gua yang memang kecil, dan hanya bisa dimasuki dengan cara merangkak Tapi, di dalamnya sangat besar luar biasa.
Memasuki gua ini, serasa berada dalam sebuah ruangan dalam tanah yang sengaja dibuat untuk tempat persembunyian. Udaranya juga cukup hangat karena di tengah-tengah gua ini terdapat sebuah kolam air yang terus bergolak mendidih. Uap air dari kolam itu membuat udara di sini terasa hangat Sebuah lubang yang cukup besar di dinding atas tepat di atas kolam itu, membuat keadaan di dalam gua ini cukup terang oleh sinar rembulan. Sehingga, tak periu lagi membuat api unggun.
"Dulu, aku sering ke sini bersama ayah," jelas Parindra. Tapi sayang, ayah telah mendahului ketika aku baru berusia empat belas tahun."
Bayu hanya diam saja mendengarkan sambil duduk bersandar di dinding gua batu. Sedangkan Tiren, sudah sejak tadi melingkar di sampingnya. Tumpukan daun kering menjadi alas tidur monyet kecil ini.
"Ayah tewas dalam pertarungan dengan lawannya," sambung Parindra mengenang. Tapi beliau juga berhasil membunuh lawannya, sebelum benar-benar tewas. Pertarungan yang adil, dan keduanya sama-sama tewas."
"Kau melihat pertarungan itu?" tanya Bayu.
"Bukan hanya aku, tapi semua orang di Desa Batang menyaksikannya. Bahkan semua penghuni Padepokan Kalong Hitam dan beberapa orang dari kalangan persilatan juga menyaksikan," sahut Parindra.
"Oh...?!" Bayu mendesah.
Pendekar Pulau Neraka tidak menyangka kalau Parindra ternyata putra seorang tokoh persilatan. Dari ceritanya saja, sudah bisa diduga kalau orang tua Parindra seorang tokoh persilatan yang punya nama. Buktinya, pertarungan itu disaksikan begitu banyak orang Tapi, kenapa sekarang semua orang malah membenci keluarganya...? Bahkan orang-orang Padepokan Kalong Hitam dan semua penduduk Desa Batang ikut memusuhinya. Yang lebih mengherankan lagi, Ibu dan adik anak muda ini dibunuh oleh mereka setelah membakar habis rumahnya. Hal inilah yang membuat Bayu tidak habis mengerti.
Sampai jauh malam mereka terus berbincang-bincang. Dan Bayu semakin mengenal anak muda belasan tahun ini. Hatinya langsung tergerak, setelah mengetahui kisah hidup Parindra. Dia jadi teringat dirinya sendiri, yang sejak masih bayi merah sudah ditinggal kedua orang tuanya. Sampai saat ini, Bayu pun tidak tahu keberadaan ibunya. Apakah sudah mati, atau masih hidup. Sementara Parindra sudah mendengkur, Bayu masih belum dapat memejamkan matanya. Entah apa yang ada di benaknya saat ini. Beberapa kali terdengar tarikan napas yang panjang.
Pagi-pagi sekali Bayu sudah meninggalkan gua itu. Sementara Parindra tetap tinggal di sana. Dari keterangan yang diberikan Parindra, Pendekar Pulau Neraka cepat bisa menemukan reruntuhan rumah anak muda itu. Bayu berdiri tegak memandangi puing-puing rumah yang hangus terbakar. Dari reruntuhan puing itu, bisa diduga kalau rumah ini tadinya cukup besar.
Pendekar Pulau Neraka memalingkan mukanya ketika mendengar suara langkah ringan dari arah belakang. Cepat tubuhnya diputar berbalik, ketika tampak seorang laki-laki tua berjubah putih berjalan ke arahnya. Sebatang tongkat kayu berkeluk tak beraturan tergenggam di tangan kanannya. Seluruh rambutnya yang panjang sudah memutih.
"Apa yang kau lakukan di sini, Anak Muda?" tanya orang tua itu. Nada suaranya berat, dan dingin sekali.
"Aku mencari tempat tinggal Ratu Lembah Mayat," sahut Bayu. Suaranya sengaja dibuat sopan, meskipun sikap orang tua berjubah putih ini kelihatan tidak bersahabat.
Mendengar nama Ratu Lembah Mayat laki-laki tua itu jadi menyipit matanya. Diperhatikannya Bayu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Sedangkan Bayu hanya diam saja diperhatikan dengan sinar mata tajam, bagai menaruh kecurigaan.
"Apa hubunganmu, sehingga mencari Ratu Lembah Mayat?" tanya orang tua itu. Suaranya masih tetap terdengar dingin tak bersahabat.
"Ada sesuatu yang harus kusampaikan," sahut Bayu. "Apakah Paman tahu di mana tempat tinggal-nya?"
"Dia sudah mati," sahut orang tua itu, tetap dingin nada suaranya.
"Mati...?!"
"Benar. Dan sebaiknya cepat tinggalkan desa ini, Anak Muda."
Tapi, ada keluarganya yang hidup, bukan...?"
"Tidak! Semuanya sudah mati. Kau bisa lihat reruntuhan rumahnya."
Pendekar Pulau Neraka berpaling sedikit melirik reruntuhan rumah yang hangus terbakar. Kemudian tatapannya kembali pada laki-laki tua berjubah putih di depannya.
"Kalau tidak ada keperluan lagi, sebaiknya cepat tinggalkan desa ini, Anak Muda. Aku tidak ingin ada pertumpahan darah lagi di sini," tegas orang tua itu, langsung mengusir.
"Kenapa...? Aku datang ke sini bukan untuk mencari permusuhan, Paman."
"Apa pun yang kau katakan, kehadiranmu di sini tidak diinginkan. Dan aku hanya memberimu peringatan satu kali. Maaf, aku tidak ada waktu untukmu."
"Hei..., tunggu...!"
Tapi orang tua berjubah putih itu sudah berbalik dan melangkah ringan meninggalkan Pendekar Pulau Neraka. Dari ayunan kakinya saja, sudah dapat dinilai kalau orang tua itu memiliki tingkat kepandaian tinggi. Begitu ringan ayunan kakinya, sehingga bagai tak menyentuh tanah sedikit pua Sebentar saja, bayangan tubuhnya sudah jauh meninggalkan tempat ini, menghilang di tikungan jalan. Sementara Bayu masih berdiri tertegun di tempatnya. Otaknya bekerja keras, untuk mengerti maksud ucapan laki-laki tua itu tadi. Kata-kata yang tak bersahabat dan bernada ancaman yang tidak bisa dianggap enteng.
"Aneh.... Mengapa semua orang begitu benci mendengar nama Ratu Lembah Mayat..?" Bayu menggumam perlahan, berbicara pada dirinya sendiri.
Bukan hanya laki-laki tua itu saja yang kelihatan benci begitu mendengar nama Ratu Lembah Mayat disebut Tapi tadi.... Sebelum Bayu sampai di sini, ada dua orang yang langsung lari begitu ditanya letak tempat tinggal Ratu Lembah Mayat Bayu jadi keheranan, karena tampaknya semua penduduk Desa Batang ini seperti ketakutan. Bahkan membenci orang yang bernama Ratu Lembah Mayat
Bayu kembali memandangi reruntuhan rumah yang sudah rata dengan tanah. Meskipun kelihatannya sudah beberapa hari hangus terbakar, tapi masih terlihat sedikit asap tipis mengepul dari situ. Reruntuhan rumah inilah yang ditunjukkan Parindra sebagai bekas rumahnya dulu. Dan laki-laki tua tadi, mengatakan kalau ini bekas tempat tinggal Ratu Lembah Mayat Jadi, memang benar ibu Parindra berjuluk Ratu Lembah Mayat Hanya saja, Parindra tidak mengakui, dan mengatakan kalau julukan itu hanya mengada-ada saja.
"Ratu Lembah Mayat... Hm.", apa benar istri Pendekar Cakar Naga berjuluk Ratu Lembah Mayat?" Bayu bergumam sendiri dalam hari.
Baru saja Bayu hendak mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu, mendadak saja dari jalan di depannya terlihat banyak orang mendatangi. Pendekar Pulau Neraka jadi berkerut keningnya, melihat banyak orang menuju ke arahnya. Mereka semua membawa senjata dari berbagai bentuk, dan tampaknya datang tidak dengan maksud bersahabat.
Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka bisa mengerti, mendadak saja terdengar seruan-seruan yang begitu lantang. Itu pun masih disusul berlariannya orang-orang yang menghampiri. Bayu jadi, tersentak kaget ketika beberapa batang tombak berhamburan ke arahnya.
"Heh...?!"
Bayu cepat berlompatan sambil mengebutkan kedua tangannya, menangkis tombak-tombak yang berhamburan di sekitarnya. Belum lagi sempat menarik napas, dua orang sudah melompat maju. Pendekar Pulau Neraka langsung diancam dengan serangan senjata golok terhunus!
"Hait..!"
Tak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Pulau Neraka untuk menghentikan mereka. Orang-orang itu sudah mengepung dan menyerang tanpa memberi kesempatan sedikit pun untuk bertanya. Terpaksa Bayu berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang dari segala penjuru.
"Setan...! Bisa habis napasku kalau begini terus!" dengus Bayu dalam hari.
Bayu benar-benar kesal, dan hanya dapat menggerutu serta mengumpat dalam hari. Tak ada sedikit pun kesempatan baginya untuk bisa keluar dari kepungan orang-orang ini. Pendekar Pulau Neraka sendiri tidak bisa berbuat banyak menghadapi keroyokan yang begitu rapat. Beberapa kali diberikannya serangan balasan, berupa pukulan-pukulan keras yang tidak disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi, tetap saja kesempatan untuk keluar dari kepungan ini tidak ada. Padahal, beberapa orang sudah jatuh bergelimpangan terkena pukulan Pendekar Pulau Neraka.
Pukulan-pukulan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka memang tidak berbahaya, sehingga tak menimbulkan korban seorang pun juga. Mereka yang terkena pukulan itu, bisa cepat bangkit berdiri lagi. Bahkan kembali menyerang ganas. Hal ini membuat Bayu semakin kerepotan menghadapinya. Dan tentu saja ruang geraknya pun semakin menyempit. Pukulan pukulannya pun semakin jarang terlontar.
Wusss!
Tiba-tiba saja, berhembus angin yang begitu keras bagai terjadi badai topan di tengah samudra. Angin yang datang tiba-tiba itu menimbulkan suara menderu yang menggetarkan hari. Akibatnya orang-orang yang mengeroyok Bayu jadi berhamburan, berpentalan diterjang angin yang begitu keras. Bahkan batu-batuan pun beterbangan. Pepohonan mulai terbongkar sampai ke akarnya. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar di antara deru angin yang begitu dahsyat Bayu sendiri mengerahkan tenaga dalam agar tidak terhempas hembusan angin yang begitu dahsyat dan tiba-tiba ini. Pendekar Pulau Neraka sempat melihat orang-orang yang tadi mengeroyok, berhamburan seperti segumpal kapas yang diterbangkan angin Tak ada seorang pun yang mampu bertahan. Bahkan beberapa di antara mereka sudah tergeletak terhimpit pohon atau batu-batu. Jeritan-jeritan melengking masih terdengar saling susul, ditingkahi deru angin yang semakin dahsyat. Sementara Bayu masih tetap mencoba bertahan di tempatnya.
"Huh! Ini bukan angin biasa. Aku mulai merasakan hawa panas di dalamnya," dengus Bayu dalam hari.
Menyadari kalau badai yang datang ini bukan karena peristiwa alam biasa, Bayu segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Dan seketika itu juga, tubuh Pendekar Pulau Neraka melayang bagai sehelai daun yang terhembus angin. Seketika dimanfaatkannya tenaga hembusan angin ini untuk melepaskan diri dari serangan badai yang begitu dahsyat Dan begitu dorongan angin terasa berkurang kekuatannya, cepat-cepat tubuhnya melenting, lalu berputaran beberapa kali di udara.
"Hup! Yeaaah...!"
Ringan sekali Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kaki di tanah. Sedikit pun tak terdengar suara saat kedua kakinya mendarat di tanah. Bayu berdiri tegak dengan sinar mata menyorot tajam, dan beredar berkeliling. Pada saat itu, angin yang dahsyat tersebut benar-benar sudah berhenti.
"Nguk...!"
Bayu cepat memutar tubuhnya ke kanan, begitu monyet kecil di pundaknya bersuara pelan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu sekitar sepuluh tombak di depannya sudah berdiri seseorang mengenakan jubah panjang berwarna hitam. Rambutnya panjang teriap, dan hampir menutupi seluruh wajahnya. Sehingga, Bayu sukar mengenalinya. Sebatang tongkat yang bagian ujung atasnya berbentuk tengkorak kepala manusia, tergenggam di tangan kanan. Bayu menyipitkan matanya, mencoba memperhatikan orang itu lebih Jelas lagi.
"Hm...," Bayu menggumam perlahan dalam hari.
"Pergilah dari sini, Anak Muda. Dan sebaiknya jangan mencampuri urusan ini. Pergilah! Sebelum aku bertindak lebih kejam padamu!" terdengar dingin sekali nada suara orang itu.
"Siapa kau? Apa maksudmu memamerkan tenaga dalam seperti itu?" tanya Bayu tegas.
"Hik hik hik..! Itu baru permulaan, Anak Muda."
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.
Baru sekali ini Pendekar Pulau Neraka melihat orang berjubah hitam itu. Dan dari suaranya saja, sudah bisa diduga kalau orang itu pasti seorang perempuan tua. Dan yang pasti, kepandaiannya telah tinggi, karena bisa menciptakan badai topan begitu dahsyat Bayu semakin menyipitkan matanya, mencoba memperhatikan lebih jelas. Kakinya bergerak perlahan, melangkah ke depan.
Tapi orang berjubah hitam itu malah bergerak mundur seperti melayang di atas tanah. Tak terlihat sedikit pun gerakan kakinya. Sehingga, Bayu tak dapat lebih mendekat lagi, dan langsung menghentikan langkahnya. Orang berjubah hitam Itu juga berhenti bergerak ke belakang.
"Demi keselamatanmu sendiri, kuharap kau segera angkat kaki dari desa ini. Tak ada yang bisa diharapkan di sini," tegas orang berjubah hitam Itu lagi. Suaranya tetap terdengar dingin tak bersahabat.
"Kenapa semua orang mengusirku? Apakah desa ini terlarang bagi pengembara sepertiku...?" tanya Bayu seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Kau tidak akan mendapatkan jawaban, Anak Muda. Tak ada tempat sejengkal pun di desa ini untukmu!" sahut orang berjubah hitam itu agak mendengus.
"Sayang sekali. Sepertinya, aku tidak bisa meninggalkan desa ini cepat-cepat" ujar Bayu kalem.
"Keras kepala...!" desis orang berjubah hitam itu mendengus kesal.
Bayu memutar tubuhnya dan melangkah pergi tanpa berkata-kata lagi. Dia malah berjalan menuju Desa Batang.
"Mau ke mana kau, Bocah...?!" bentak orang berjubah hitam itu.
"Ke Desa Batang," sahut Bayu seenaknya, tanpa menghentikan langkahnya.
"Bocah setan...! Berhenti kau...!"
Tapi Bayu tidak mempedulikan lagi, dan terus saja berjalan tenang. Dan begitu sudah berjalan sejauh tiga batang tombak, tiba-tiba saja dari arah belakang terasa angin berhembus keras. Seketika Bayu cepat melentingkan tubuh ke udara, tanpa berpaling lagi ke belakang.
"Yeaaah...!"
Pada saat itu, di bawah tubuhnya berkelebat bayangan hitam yang begitu cepat luar biasa. Tiga kali Bayu berputar di udara, kemudian manis sekali menjejakkan kakinya di tanah.
"Bocah setan...! Berhenti kau...!" Tapi Pendekar Pulau Neraka tidak peduli. Dia terus saja berjalan. Dan ketika dari belakang dirasakannya angin berhembus keras, Bayu segera melentingkan tubuhnya tanpa berpaling lagi! Rupanya, sesosok bayangan hitam itu telah menyerang dengan cepatnya!
Sebentar diperhatikannya orang berjubah hitam yang sudah cepat berbalik. Dan sebelum orang berjubah hitam itu kembali melakukan serangan, Pendekar Pulau Neraka sudah melesat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup sempurna. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Bagaikan tertelan bumi saja layaknya. Hilangnya Pendekar Pulau Neraka membuat orang berjubah hitam ini jadi terbengong.
"Bocah setan...!" dia mengumpat berang.
Beberapa saat orang berjubah hitam itu masih berdiri tegak di tempatnya. Sepasang bola matanya yang tersembunyi di balik riapan rambutnya yang panjang, terlihat menyorot tajam, dan beredar berkeliling. Tapi Pendekar Pulau Neraka memang sudah lenyap tak berbekas lagi Tak ada seorang pun yang dapat dilihatnya, kecuali keadaan sekitar yang hancur berantakan akibat terlanda angin badai tadi. Beberapa tubuh tak bernyawa, bergelimpangan tumpang tindih bersama bebatuan dan pepohonan tumbang.
"Huh! Bocah setan itu harus disingkirkan, sebelum membuat susah nantinya!" dengus orang berjubah hitam itu lagi.
Dan tanpa berkata apa-apa lagi, tubuhnya cepat melesat pergi menuju Desa Batang. Begitu ringan dan cepatnya, sehingga sebentar saja sudah jauh meninggalkan tempat ini. Sementara tanpa diketahuinya, Bayu sebenarnya masih berada di tempat itu. Pendekar Pulau Neraka bersembunyi di balik sebatang pohon yang cukup besar sambil memperhatikan orang berjubah hitam itu. Begitu orang itu lenyap dari pandangannya, barulah Pendekar Pulau Neraka keluar dari balik pohon.
"Hm.... Siapa dia...?" gumam Bayu bertanya sendiri dalam hati.
Malam sudah cukup larut menyelimuti seluruh permukaan bumi di Desa Batang. Suasana desa yang tidak begitu besar itu pun, terasa sunyi sekali Hanya beberapa peronda saja yang terlihat berjaga-jaga di beberapa tempat di desa itu. Hampir semua rumah di sini dalam keadaan gelap. Para penduduk hanya memasang sebuah pelita kecil di beranda depan saja. Tapi, ada satu rumah yang tampak terang benderang pada bagian dalamnya. Rumah itu kelihatan paling besar di desa ini, dan berhalaman luas.
Di bagian ruangan depan rumah itu terlihat enam orang laki-laki duduk melingkar di lantai yang beralaskan selembar anyaman tikar daun pandan. Di antara mereka tampak seorang laki-laki tua berjubah putih, berambut putih. Dialah laki-laki tua yang pernah menemui dan memberi peringatan pada Pendekar Pulau Neraka. Di Desa Batang ini, dia dikenal dengan nama Eyang Bagasrana. Dia memang orang yang tertua dan amat disegani, dan juga guru besar di Padepokan Kalong Hitam. Dan Desa Batang sendiri, juga dikenal berjuluk Desa Padepokan Kalong Hitam. Karena, hampir semua penduduknya merupakan murid Eyang Bagasrana.
Sedangkan tiga orang yang duduk di samping kanan dan kirinya masih kelihatan muda. Dan mungkin baru berusia antara dua puluh lima atau tiga .puluh tahun. Mereka juga pernah bertemu Pendekar Pulau Neraka. Yang mengenakan baju kuning adalah Sutrana. Sedangkan yang berbaju merah adalah Badur, dan Rakasa yang memakai baju warna biru muda. Sementara yang bernama Rakasa pernah terluka akibat pertarungannya dengan Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan dua orang lagi sudah berusia separuh baya. Melihat dari pakaian dan senjata yang disandang, sudah dapat dipastikan kalau mereka bukan orang sembarangan. Yang mengenakan baju hijau bernama Karpak. Goloknya berukuran besar, dan tergeletak di depannya. Dan seorang lagi bernama Ladra. Bajunya juga berwarna hijau, dan memegang sebatang tombak pendek yang ujungnya bermata tiga.
"Satu lagi orang asing datang ke desa ini. Dan siang tadi, sudah meminta korban cukup banyak...," laki-laki tua berjubah putih itu membuka suara.
"Ada tiga puluh orang yang tewas. Sementara sisanya, terluka cukup parah," sambung Karpak
"Apakah orang itu mengenakan baju dari kulit harimau...?" tanya Badur.
"Benar," sahut orang tua berjubah putih.
"Kami sempat bertarung di luar Desa Gambut Dia bersama Parindra. Waktu itu aku, Sutrana dan Rakasa belum mengetahui persoalan yang sebenarnya;" jelas Badur lagi.
"Kalau begitu, dia benar-benar ada hubungannya dengan keluarga Pendekar Cakar Naga...," gumam Eyang Bagasrana.
"Benarkah itu, Eyang...?" Karpak seperti meminta penjelasan.
"Anak muda itu menanyakan tempat tinggal Ratu Lembah Mayat Hm.... Dia pasti hanya berpura-pura saja bertanya begitu. Kedatangannya ke sini, pasti ingin menyelidiki kematian istri Pendekar Cakar Naga," duga Eyang Bagasrana.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Eyang?" tanya Ladra.
"Yang pasti, Parindra sudah bercerita banyak padanya. Dan bukannya tidak mungkin, ceritanya ditambah-tambahkan supaya berkesan semua orang di desa ini telah membantai keluarganya secara keji," sambung Sutrana.
"Eyang.... Kesalahpahaman ini harus segera diluruskan. Sekarang kita harus mencarinya, dan menjelaskan kebenarannya. Kalau tidak, dia akan tetap menyangka buruk pada semua orang di Desa Batang ini," sambung Ladra.
"Percuma saja, Paman Ladra," selak Badur.
"Apanya yang percuma...?"
"Parindra tidak sudi lagi kembali ke sini. Bahkan terang-terangan menentang dan membenci kita semua," jelas Badur.
"Dalam hal ini, aku yang bertanggung jawab. Dan harus kuselesaikan sendiri," selak Eyang Bagasrana.
"Tidak, Eyang...!" sentak Sutrana. "Bukan hanya Eyang sendiri yang harus bertindak. Tapi semua orang di Desa Batang ini juga terlibat"
"Benar, Eyang. Persoalan ini harus segera diselesaikan. Dan yang terpenting, Parindra harus segera ditemukan. Dia harus diberi penjelasan yang sebenarnya. Kalaupun pendiriannya tetap tidak berubah, itu memang sudah haknya. Dan kita tetap berkewajiban membersihkan nama Pendekar Cakar Naga. Terutama, nama istri dan anak-anaknya," sambung Karpak.
"Eyang.... Bagaimana kalau kita temui dulu anak muda berbaju kulit harimau itu," usul Ladra.
"Maksudmu..?" tanya Eyang Bagasrana tidak mengerti.
"Serahkan saja padaku, Eyang. Toh, dia belum bertemu denganku," ujar Ladra diiringi senyuman.
"Dengar, Ladra. Aku tidak ada waktu untuk bermain-main...!" dengus Eyang Bagasrana.
Ladra hanya tersenyum saja. Dia bangkit berdiri, dan membungkukkan badannya untuk memberi hormat pada laki-laki tua itu. Kemudian tubuhnya berbalik, langsung berjalan ke luar meninggalkan ruangan itu.
"Apa yang akan dilakukannya...?" tanya Eyang Bagasrana seperti bertanya pada diri sendiri.
Tentu saja yang lain tidak bisa menjawab. Mereka tidak tahu, apa yang akan dilakukan Ladra pada pemuda berbaju kulit harimau. Sementara mereka semua terdiam, Ladra sudah memacu cepat kudanya meninggalkan rumah berukuran cukup besar itu. Sementara malam terus merayap semakin larut, menyelimuti seluruh permukaan bumi Desa Batang. Suasana di desa itu pun semakin terasa sunyi. Hanya suara binatang malam saja yang terdengar mengisi kesunyian malam.
"Hup...!"
Ladra melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan ringan sekali. Kakinya melangkah sambil menuntun kudanya, mendekati seorang pemuda yang duduk bersila di depan api unggun. Api yang menyala tidak seberapa besar itu sudah cukup mengusir udara dingin malam ini. Pemuda yang mengenakan baju kulit harimau itu hanya mengangkat wajahnya sedikit, begitu Ladra sudah berada di depannya.
"Maaf, boleh menumpang menghangatkan badan di sini?" ujar Ladra dengan suara dan sikap dibuat lembut
"Silakan," sahut pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain Pendekar Pulau Neraka.
"Terima kasih."
Ladra duduk bersila di depan Pendekar Pulau Neraka. Kedua telapak tangannya digosok-gosokkan di atas api. Bayu menambahkan sebatang ranting ke dalam api. Diperhatikannya laki-laki setengah baya yang membawa tombak pendek bermata tiga di depannya Sedangkan Ladra seperti tidak peduli kalau dirinya diperhatikan.
Tampaknya Kisanak seorang pengembara...," pancing Ladra lagi.
"Benar," sahut Bayu singkat.
"Aku Ladra. Dan biasanya orang memanggilku si Tombak Mata Tiga," Ladra memperkenalkan diri.
"Aku Bayu," Bayu juga memperkenalkan diri, tapi tidak menyebutkan julukannya yang terkenal angker dan bisa membuat bulu kuduk meremang.
"Apakah tujuan perjalananmu adalah Desa Batang, Kisanak..?" tanya Ladra lagi.
"Benar," sahut Bayu.
"Sayang sekali. Desa itu sekarang ini tidak enak disinggahi," pelan suara Ladra.
"Kenapa...?" tanya Bayu dengan mata sedikit menyipit.
"Beberapa hari ini, terjadi malapetaka yang menimpa desa itu. Sebuah gerombolan yang dipimpin Ratu Lembah Mayat telah memporakporandakan desa itu. Bahkan sampai menimbulkan banyak korban jiwa. Peristiwa itu terjadi setelah adanya pertarungan antara Pendekar Cakar Naga melawan si Mata Setan dari Bukit Jagal Pertarungan itu sebenarnya terjadi di luar Desa Batang. Tapi, Pendekar Cakar Naga dan keluarganya memang dulu tinggal di sana. Bahkan sekarang keluarganya sudah musnah. Hanya seorang putranya saja yang sampai saat ini tidak jelas rimbanya. Semua orang di Desa Batang, terutama Ketua Padepokan Kalong Hitam, mengharapkan kehadiran putra Pendekar Cakar Naga itu," jelas Ladra tentang keadaan Desa Batang dengan panjang lebar.
Sedangkan Bayu mendengarkan penuh perhatian. Keningnya jadi berkerut, dan matanya menyipit memperhatikan wajah laki-laki setengah baya di depannya. Dia jadi teringat semua cerita Parindra. Apa yang baru saja didengar dari Ladra, tidak beda jauh dengan penuturan Parindra. Tapi ada sedikit perbedaan. Parindra mengatakan kalau ibunya dijuluki si Ratu Lembah Mayat oleh penduduk Desa Batang. Dan mereka membantainya dengan keji.
Sedangkan Ladra mengatakan, ada orang lain lagi yang bernama Ratu Lembah Mayat, Pendekar Pulau Neraka juga jadi teringat pada orang tua berjubah putih, ketika berada di dekat reruntuhan puing tempat tinggal Pendekar Cakar Naga. Orang tua berjubah putih itu mengatakan reruntuhan itu tempat tinggal si Ratu Lembah Mayat.
"Boleh aku tahu, siapa sebenarnya Ratu Lembah Mayat itu?" tanya Bayu bernada menyelidik
"Sayang sekali. Sampai saat ini, tidak ada yang tahu, siapa Ratu Lembah Mayat itu," sahut Ladra.
"Apakah dia masih juga muncul?" tanya Bayu lagi.
Tidak, Tapi orang-orangnya sudah dua kali datang. Mereka memang tidak mengambil apa-apa. Tapi setiap kemunculannya, selatu menimbulkan korban nyawa. Bahkan selalu mengobrak-abrik rumah penduduk Mereka seperti mencari sesuatu, tapi tampaknya belum menemukannya," jelas Ladra lagi.
"Apa yang dicarinya?"
"Sayang sekali, aku tidak tahu. Mereka pun pernah membongkar kuburan Pendekar Cakar Naga. Bahkan mengais reruntuhan rumahnya. Juga membongkar kuburan istri dan anak perempuan Pendekar Cakar Naga. Mereka seperti mencari sesuatu dari sana," kata Ladra lagi.
"Berapa orang jumlah mereka?"
"Enam. Tapi yang dua orang, sangat sukar ditandingi kepandaiannya. Sementara yang empat orang, hanya biasa saja kemampuannya."
Bayu terdiam. Pandangannya menerawang jauh ke depan. Perasaannya mengatakan kalau persoalan yang dihadapinya sekarang ini semakin pelik Tapi, sudah bisa disimpulkan kalau ibu Parindra sebenarnya bukan si Ratu Lembah Mayat. Dan tampaknya, ada sesuatu yang diinginkan orang berjuluk Ratu Lembah Mayat itu dari Pendekar Cakar Naga. Sesuatu yang belum diketahui secara pasti.
Bayu jadi teringat pertemuannya dengan Parindra. Anak muda belasan tahun itu hampir mati digantung empat orang wanita yang mengenakan cawat Mereka menuduh Parindra sebagai pencuri. Bayu jadi termenung, mengaitkan semua peristiwa dan cerita yang didapat selama ini. Seketika timbul pertanyaan dalam hatinya. Apakah empat orang yang hampir menggantung Parindra adalah anak buah Ratu Lembah Mayat..?
"Paman.... Bolehkah bertanya sesuatu?" pinta Bayu hati-hati.
"Silakan," ujar Ladra.
"Apakah benar orang-orang Desa Batang yang membunuh keluarga Pendekar Cakar Naga?" tanya Bayu, lebih hati-hati lagi.
"Itulah yang menjadi penyesalan kami, Anak Muda. Waktu itu, kami tidak lagi menyelidiki lebih dulu. Kami gelap mata. Karena orang yang bernama Ratu Lembah Mayat, wajahnya sangat mirip istri Pendekar Cakar Naga. Dan kami langsung menuduhnya begitu saja," ada nada penyesalan dalam suara Ladra.
Tapi, kenapa semua orang di desa itu tidak menyukai kehadiranku?" tanya Bayu begitu bisa memastikan kalau Ladra salah seorang penduduk Desa Batang.
"Sejak peristiwa itu, kami memang selatu mencurigai setiap pendatang. Bahkan melarang pendatang untuk memasuki Desa Batang. Kami ingin menyelesaikan semua kemelut ini sendiri, tanpa ada campur tangan orang asing," jelas Ladra.
"Aku mengerti...," ucap Bayu bisa memaklumi.
"Kisanak! Kudengar, kau tahu Parindra berada. Boleh aku bertemu dengannya?" pinta Ladra.
"Maaf, sekarang ini aku tidak bisa memberi tahu di mana Parindra berada," halus sekali Bayu menolak permintaan itu.
Ladra mengangkat bahunya.
"Kuharap Paman bisa mengerti," ujar Bayu.
"Aku mengerti Keadaan, memang tidak memungkinkan untuk bisa saling mempercayai satu sama lain."
"Terima kasih."
Bayu dan Ladra tengah asyik bertukar pikiran, tiba-tiba saja dikejutkan teriakan panjang melengking tinggi, disusul terlihatnya kobaran api dari Desa Batang. Mereka terlonjak kaget, dan langsung melompat berdiri. Dan sebelum bergerak, tiba-tiba saja terlihat beberapa bayangan berkelebat melewati perbatasan desa.
"Hup...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu segera melesat pergi mengejar bayangan yang berkelebat cepat bagai kilat itu. Begitu cepat dan sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap ditelan kegelapan. Akibatnya Ladra jadi bengong seperti kerbau melihat lalat di ujung hidungnya.
Sementara itu Bayu sudah meninggalkan Ladra yang cepat-cepat melompat naik ke punggung kudanya. Di antara keremangan cahaya bulan, Bayu dapat melihat tujuh orang bergerak cepat di depannya.
Mereka menuju hutan lebat di sebelah Selatan Desa Batang, dan terletak di sebuah bukit kecil. Dan di balik bukit itu, terdapat sebuah lembah yang dinamakan Lembah Mayat.
"Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan seekor burung elang, Bayu melesat secepat kilat mengejar tujuh orang yang berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh bertaraf tinggi. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka menjejakkan ujung kakinya di dahan pepohonan. Lalu begitu berhasil melewati kepala ketujuh orang itu, cepat tubuhnya meluruk turun menghadang.
Kemunculan Bayu yang begitu tiba-tiba, membuat ketujuh orang itu terkejut setengah mati. Mereka langsung berhenti berlari. Bayu sendiri tersentak kaget karena enam orang di antara mereka adalah gadis muda yang hanya mengenakan cawat sebagai penutup tubuh. Sedangkan yang seorang lagi, adalah perempuan tua berjubah hitam. Rambutnya teriap panjang hampir menutupi wajahnya. Dari keremangan cahaya bulan, Bayu sempat melihat wajah perempuan tua itu seperti wajah tengkorak, saat rambutnya yang menutupi mata tersibak.
"Setan...! Rupanya kau belum juga pergi dari sini...!" dengus perempuan tua berjubah hitam itu sengit
"Aku tidak akan pergi sebelum menghentikan angkara murkamu!" sahut Bayu tidak kalah dinginnya.
"Phuih! Apa urusanmu mengaturku, Bocah Setan...!" perempuan tua itu semakin berang mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka.
"Aku berurusan dengan siapa saja yang mengumbar nafsu iblis. Termasuk juga kalian!"
"Keparat..!"
Perempuan tua itu menghentakkan tongkatnya ke tanah. Seketika empat gadis muda bercawat itu berlompatan mundur. Gerakan mereka ringan sekali. Tak ada suara sedikit pun yang ditimbulkan ketika mereka menjejak tanah sekitar beberapa langkah di depan Pendekar Pulau Neraka. Tanpa mengucapkan sesuatu, empat gadis muda berparas cantik itu langsung menyerang menggunakan tombak panjang bermata hitam.
"Uts! Yeaaah...!"
Bayu bergegas menarik tubuh ke kanan, ketika satu batang tombak menyodok ke arah dada. Dan begitu mata tombak lewat di depan dada, cepat sekali tangan kirinya dikebutkan, langsung menyodok ke arah perut Begitu cepatnya gerakan tangan kiri Pendekar Pulau Neraka, sehingga gadis yang menyerangnya tidak dapat lagi menghindar.
Des!
"Ugkh...!" dia mengeluh dan terhuyung ke belakang dengan tubuh agak membungkuk.
Belum lagi Bayu sempat menarik tegak tubuhnya, kembali datang serangan dari arah lain. Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuh ke belakang, lalu berputaran dua kali untuk menghindari hunjaman tombak panjang bermata hitam. Dan ketika tombak itu lewat di bawah kakinya, ujung jari kakinya cepat dijejakkan ke ujung mata tombak berwarna hitam. Lalu, manis sekali, Bayu melenting ke atas melewati kepala gadis cantik bercawat itu.
"Hiyaaa...!"
Keras sekali Bayu melepaskan satu pukulan ke arah batok kepala gadis ini. Tapi tanpa diduga sama sekali, satu orang gadis lainnya melesat cepat sambil mengebutkan tombak ke arah dada Pendekar Pulau Neraka.
"Uts...!"
Bayu menarik pulang pukulannya, lalu memutar tubuhnya dua kali sebelum mendarat kembali di tanah. Belum juga Pendekar Pulau Neraka sempat menarik napas, dua orang gadis yang berada di samping perempuan berjubah hitam itu cepat mengebutkan tangan kanannya. Dan dari telapak tangan kanannya, seketika melesat benda-benda kecil berwarna hitam seperti jarum.
Wusss!
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu terpaksa berjumpalitan di udara, menghindari serbuan jarum-jarum hitam itu. Beberapa kali tubuhnya melakukan putaran di udara, dan baru menjejak tanah setelah jarum-jarum hitam itu lewat tanpa menyentuh tubuhnya sedikit pun.
Saat itu juga Bayu dikejutkan suara-suara dari pepohonan yang tumbang di belakangnya. Pendekar Pulau Neraka jadi tersentak kaget Karena jarum-jarum hitam yang menghantam pepohonan ternyata membuat pohon itu bertumbangan.
"Gila...!" desis Bayu terkejut setengah mati.
Bisa dibayangkan jika jarum-jarum hitam itu sampai menembus kulit tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tubuhnya bisa hancur seperti pohon-pohon di belakangnya. Dan selagi Pendekar Pulau Neraka tertegun bengong, tiba-tiba saja salah seorang dari gadis muda di samping perempuan berjubah hitam itu melesat cepat bagai kilat
"Hiyaaat..!"
"Uts!"
Kalau saja Pendekar Pulau Neraka tidak segera membanting tubuh ke tanah, sudah pasti pukulan bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan gadis bercawat itu menghantam dadanya. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka bergulingan di tanah, menghindari hujaman beberapa tombak yang datang begitu tubuhnya jatuh ke tanah.
Dan begitu memiliki kesempatan, bergegas Pendekar Pulau Neraka melompat bangkit berdiri sambil melepaskan tendangan menyamping dengan kedua kakinya yang merentang lebar. Tindakan itu begitu cepat dan tiba-tiba, kakinya tak dapat lagi dihindari dua orang gadis yang berada di kanan kirinya. Mereka terpekik keras agak tertahan, begitu dadanya terkena tendangan Pendekar Pulau Neraka.
Kembali Bayu melakukan putaran ke belakang sejauh dua batang tombak, begitu kakinya menjejak tanah sebentar. Dengan manis sekali, kakinya yang kokoh mendarat di tanah. Dan di depannya, kini sudah berdiri berjajar enam orang gadis cantik bercawat Empat orang di antaranya memegang tombak panjang bermata hitam. Sedangkan dua orang lagi, membawa pedang yang masih tersampir di punggung. Sementara perempuan berjubah hitam, berdiri di belakang keenam gadis cantik bercawat ini.
"Kau memang tangguh, Anak Muda," terasa dingin nada suara perempuan berjubah hitam itu.
"Terima kasih," ucap Bayu seraya tersenyum tipis.
"Kau tentu seorang pendekar. Apa julukanmu?" kejar perempuan berjubah hitam itu seperti penasaran.
"Apakah itu penting bagimu, Nisanak..?" Bayu malah balik bertanya.
"Aku kenal banyak pendekar di dunia ini. Tapi rasanya aku belum pernah melihatmu. Apalagi mendengar julukanmu. Hal itu penting bagiku, agar bisa kutentukan apakah kau pantas berhadapan denganku atau tidak!"
"O, begitukah...?"
"Apa julukanmu, Anak Muda?"
"Pendekar Pulau Neraka."
"Setan...! Rupanya kau yang bergelar Pendekar Pulau Neraka...!" dengus perempuan berjubah hitam itu menggeram.
Bayu jadi menyipitkan matanya, merayapi perempuan bermuka seperti tengkorak di depannya. Sedangkan enam orang gadis cantik yang berdiri berjajar, tampak tinggal menunggu perintah saja untuk melakukan penyerangan. Mereka menatap tajam, tanpa berkedip ke arah pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
"Seharusnya aku membunuhmu, Bocah Setan. Tapi, kau belum waktunya berhadapan denganku. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Satu saat nanti, kau harus berhadapan denganku, Pendekar Pulau Neraka. Ada tagihan hutang nyawa yang harus kau bayar padaku!" tegas perempuan berjubah hitam itu.
Setelah berkata demikian, perempuan berjubah hitam itu langsung melesat pergi. Dan enam gadis cantik bercawat, bergegas melesat mengikuti.
"Hey, tunggu...!" seru Bayu.
Tapi wanita-wanita itu sudah cepat menghilang ditelan kegelapan malam. Mereka lenyap di dalam hutan yang cukup lebat. Jadi, tidak ada gunanya bagi Bayu untuk mengejar. Hutan di bukit kecil ini lebat sekali. Dan wanita-wanita itu bisa saja menuju ke arah yang sulit diduga di dalam hutan.
"Apakah dia yang disebut Ratu Lembah Mayat..?" gumam Bayu bertanya sendiri dengan suara pelan.
Matahari baru saja menampakkan diri di ufuk Timur. Sinarnya yang memerah, terasa hangat membangunkan seluruh penghuni mayapada. Burung-burung berkicau riang menyambut datangnya sang fajar. Di sebelah Timur Desa Batang, terlihat Parindra merangkak keluar dari dalam gua baru. Disibaknya semak yang menutupi mulut gua itu.
"Uhhh...!"
Parindra menggeliatkan tubuh, sambil menghirup udara segar pagi ini. Bibirnya tersenyum memandangi burung-bururtg yang berkicau sambil berlompatan riang dari satu dahan ke dahan lain. Sepasang kelinci berbulu putih, kelihatan riang berkejaran bebas di atas rerumputan. Parindra seperti iri melihat kehidupan bebas di alam ini.
"Seandainya aku bisa bebas seperti mereka...," desah Parindra perlahan.
Angan-angan yang diinginkan Parindra memang tidak berlebihan. Siapa pun di dunia ini, pasti menginginkan kebebasan dalam segala hal. Terlebih lagi, sekarang ini kebebasan yang dimilikinya benar-benar musnah. Tak ada lagi ruang gerak bagi pemuda itu. Semua yang ada di sekitarnya seakan-akan menuding dan mencibir tajam. Pemuda belasan tahun itu mengayunkan kakinya perlahan-lahan sambil memperhatikan binatang-binatang di sekitarnya. Setiap kali melihat burung-burung bercanda riang di atas dahan, bibirnya selalu menyunggingkan senyuman pahit Hatinya merasa iri melihat kegembiraan dan kebebasan burung-burung itu.
"Hik hik hik..!"
"Oh...?!"
Parindra terperanjat setengah mati ketika tiba-tiba saja terdengar tawa terkikik yang mendirikan bulu kuduk. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba saja dari atas pepohonan meluncur sebuah bayangan hitam, disusul enam orang gadis-gadis cantik bercawat kulit kayu.
Parindra ingin berlari, tapi enam orang gadis cantik bercawat itu sudah berlompatan mengepungnya. Seluruh wajah pemuda itu jadi memucat Tubuhnya bergetar, dengan keringat dingin bercucuran deras dari pori-pori kulitnya. Matanya menatap tajam pada wanita berjubah hitam dan berambut panjang teriap hampir menutupi wajahnya. Parindra bergidik begitu melihat jelas wajah perempuan berjubah hitam itu. Wajahnya begitu buruk, seperti tengkorak yang sudah terkubur puluhan tahun.
"Kau tidak bisa lolos dariku, Parindra," terasa dingin sekali nada suara wanita berjubah hitam ini.
"Apa yang kau inginkan dariku...?" tanya Parindra, bergetar.
"Pedang Cakar Naga," sahut wanita berjubah hitam itu, tetap dingin dan datar suaranya.
"Aku tidak tahu mengenai pedang itu," kata Parindra lagi.
"Hik hik hik..! Masa kau tidak tahu di mana pedang milik ayahmu? Tapi sudahlah, yang penting sekarang di mana kau sembunyikan mustika itu, Parindra...? '
"Aku..., aku tidak tahu!" semakin bergetar suara Parindra.
"Aku tidak ada waktu untuk bermain-main, Parindra," desis wanita berjubah hitam itu dingin.
Parindra mengeluh dalam hari. Hatinya berharap Pendekar Pulau Neraka muncul saat ini. Tapi yang diharapkan, sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya. Sementara empat orang gadis cantik bercawat sudah bergerak mendekatinya. Keringat yang mengucur di seluruh tubuhnya, semakin deras saja. Maka, seluruh bajunya basah bagai tercebur ke dalam sungai.
"Jangan ganggu aku...! Aku tidak tahu apa-apa tentang mustika itu!" dengus Parindra.
"Kau memang keras kepala, Parindra. Tidak ubahnya seperti ayahmu! Akan kau rasa kan akibat sikapmu yang keras kepala!" desis wanita berjubah hitam itu, tetap dingin nada suaranya.
"Apa yang akan kalian lakukan...?"
Pertanyaan Parindra tak ada yang menjawab. Dan tiba-tiba saja, dua orang gadis bercawat itu melompat menerkam Parindra. Pemuda itu terpekik kaget tidak menyangka. Dicobanya untuk berkelit, dengan melompat ke kanan beberapa langkah. Tapi sebelum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, tiba-tiba saja seorang gadis bercawat sudah melesat cepat, dan memberi satu pukulan keras ke punggungnya.
"Akh...!" Parindra terpekik keras. Pemuda belasan tahun itu tersuruk jatuh mencium tanah. Tubuhnya menggelimpang beberapa kali, lalu cepat-cepat bangkit berdiri. Dan pada saat itu, satu tendangan keras kembali bersarang di dadanya. Untuk kedua kalinya, Parindra berteriak nyaring merasakan nyeri dan sesak pada dadanya. Pemuda itu jatuh terguling di tanah berumput yang masih dibasahi embun.
Parindra mencoba bangkit berdiri. Tapi sebelum berdiri tegak, satu pukulan keras sudah mendarat lagi di wajahnya. Begitu keras pukulan itu, sehingga darah langsung muncrat keluar dari mulutnya. Parindra memekik sekuat-kuatnya, merasakan sakit yang amat sangat di wajahnya.
Selagi pemuda itu terhuyung-huyung, tiba-tiba saja salah seorang gadis bercawat yang menyandang pedang di punggung sudah melesat cepat ke belakangnya. Tahu-tahu, tubuh Parindra sudah diringkus, dan tangannya dipelintir ke belakang. Parindra berteriak kesakitan dan meringis merasakan tangannya seperti patah dipelintir ke belakang punggungnya.
"Akh...!"
"Aku bisa mematahkan tanganmu dengan mudah, tahu...?!" bentak gadis bercawat itu dingin.
"Setan! Iblis kalian...!" maki Parindra. Tapi Parindra kembali terpekik keras begitu gadis bercawat ini menyentakkan tangannya ke belakang. Sedangkan lima gadis lainnya hanya berdiri saja sambil menyaksikan ketidakberdayaan pemuda ini. Mereka berdiri berjajar di belakang wanita berjubah hitam yang terkekeh melihat Parindra meringis kesakitan. Darah masih mengucur deras dari mulut dan hidungnya. Meskipun dia anak seorang pendekar ternama, tapi kepandaian yang dimiliki Parindra masih begitu rendah. Maka dengan mudah sekali dia dapat ditaklukkan.
"Siapkan tali...!" perintah wanita berjubah hitam itu dengan suara lantang menggelegar.
Dua orang gadis bercawat itu segera melepaskan tali dari serat sabut kelapa yang melilit pinggangnya. Mereka segera membuat lingkaran dengan tali itu, dan melemparkan ujung satunya ke atas dahan pohon yang cukup besar dan kuat. Gadis yang meringkus Parindra kemudian menyerahkan pemuda ini pada gadis satunya lagi yang memegang tambang lain. Dengan cepat ditangkapnya tangan Parindra, dan membawanya ke belakang punggung. Cekatan sekali kedua tangan anak muda itu diikat ke belakang. Parindra mencoba memberontak, tapi usahanya hanya sia-sia saja, Dia berteriak-teriak, memaki, dan mengumpat habis-habisan. Namun tak ada seorang pun yang memperdulikannya. Gadis yang mengikat tangan Parindra kemudian mendorong pemuda itu sampai ke bawah tambang yang siap menggantungnya.
"Setan! Iblis...! Lepaskan aku...!" jerit Parindra terus memberontak sebisanya.
Tenaga Parindra memang cukup kuat, sehingga terpaksa harus dipegangi dua orang gadis. Sementara seorang gadis lainnya mengalungkan tambang ke leher anak muda belasan tahun ini. Parindra masih saja menggeliat, mencoba memberontak. Tapi, kekuatannya benar-benar tidak berarti dibandingkan gadis-gadis bercawat ini.
"Setan! Kubunuh kalian...!" maki Parindra berang.
"Hik hik hik...!" wanita berjubah hitam yang wajahnya seperti tengkorak itu hanya tertawa saja mendengar makian Parindra.
Wanita berjubah hitam itu menghentakkan tong-kajnya ke tanah tiga kali. Seketika dua orang gadis yang memegangj ujung tambang langsung menarik tambang itu. Akibatnya lingkaran tambang yang melilit di leher Parindra jadi menegang, mencekik leher anak muda itu. Parindra mendelik dengan mulut ternganga. Keringat semakin banyak bercucuran di sekujur tubuhnya.
"Lepaskan aku, Pengecut! Ayo, kita bertarung sampai mati...!" tantang Parindra jadi kalap.
"Hik hik hik...!"
Tantangan Parindra sama sekali tidak dihiraukan wanita berjubah hitam itu. Salah seorang gadis yang menyandang pedang di punggung, menghampiri wanita berjubah hitam itu. Mulutnya didekatkan ke telinga wanita itu.
"Ada apa, Andari?" tanya wanita berjubah hitam
"Apa tidak terburu-buru membunuhnya, Gusti Ratu?" suara wanita bercawat yang dipanggil Andari itu pelan sekali, dan hampir tidak terdengar.
"Aku hanya ingin dia membuka mulut," sahut wanita berjubah hitam itu.
"Kukira Gusti Ratu ingin membunuhnya."
"Kalau terpaksa."
api yang penting menemukan mustika itu dulu, Gusti Ratu. Karena benda itu sangat penting bagi kesempurnaan ilmu yang Gusti Ratu miliki. Tanpa Mustika Cakar Naga, tidak mungkin semua rencana besar kita bisa terlaksana," Andari mengingatkan.
"Mustika itu memang harus kudapatkan, Andari. Benda itu lebih penting dari apa pun juga di dunia ini Sudah lama aku menginginkannya. Dan sekarang, kesempatan itu terbuka lebar bagiku, sebelum orang-orang persilatan mengetahuinya," tegas Ratu Lembah Mayat.
Andari terdiam.
"Sekarang, laksanakan perintahku. Gantung dia, tapi jangan sampai mati Aku ingin dia membuka mulut dulu sebelum ke neraka."
"Baik, Gusti Ratu," sahut Andari.
Gadis berparas cantik yang hanya memakai cawat dan penutup dada itu melangkah beberapa tindak ke depan. Lalu diperintahkannya dua orang gadis yang memegangi tambang untuk menggantung Parindra. Mendengar perintah itu, kedua gadis bercawat langsung saja menarik tambang. Akibatnya, Parindra tergantung beberapa jengkal dari tanah.
"Aaakh...!"
Parindra menggeliat-geliat. Kedua matanya mendelik lebar, dan napasnya mulai tersengal. Mulut anak muda itu ternganga, dan lidahnya mulai menjulur ke luar. Tubuhnya terus menggelepar, bergantung seperti ayam disembelih. Tapi begitu pandangan Parindra mulai mengabur, tiba-tiba saja secercah cahaya kuning keemasan melesat cepat bagai kilat menyambar tambang yang menggantung anak muda belasan tahun itu.
Tasss!
Bruk..!
Seketika itu juga Parindra jatuh terguling di tanah, ketika tambang yang menggantungnya putus tersambar benda kuning keemasan tadi. Hal ini tentu saja membuat Ratu Lembah Mayat dan enam orang gadis pengikutnya jadi terperanjat Terlebih lagi, dua gadis yang memegangi ujung tambang. Mereka sampai terpental ke belakang sejauh beberapa langkah. Enam orang gadis bercawat itu bergegas berlompatan ke belakang Ratu Lembah Mayat Sedangkan Parindra sudah tergeletak diam seperti mati.
"Setan belang...! Siapa yang berani main-main denganku...?! Keluar kau...!" bentak Ratu Lembah Mayat geram.
"He he he...!"
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya Ratu Lembah Mayat ketika tiba-tiba melesat sebuah bayangan dari balik sebongkah baru besar. Tahu-tahu, di depannya sudah berdiri seorang laki-laki tua mengenakan baju compang-camping penuh tambalan. Sebatang tongkat kayu berwarna merah tergenggam di tangannya. Rambutnya yang sudah hampir memutih semua teriap tak beraturan, dengan sedikit gelungan di bagian atas kepalanya.
"He he he...! Dari dulu kelakuanmu tidak pernah berubah, Rara Durga," terasa dingin nada suara laki-laki tua berbaju compang-camping penuh tambalan itu.
"Phuih! Jangan harap bisa mencampuri urusanku, Pengemis Tongkat Merah!" dengus Ratu Lembah Mayat yang dipanggil dengan nama sebenarnya oleh laki-laki tua itu.
"Sebenarnya, aku juga tidak ingin mencampuri urusanmu lagi, Rara Durga. Tapi kuperhatikan, kau semakin menjadi-jadi saja. Tindakanmu semakin brutal, sampai-sampai tega hendak menggantung keponakanmu sendiri," tegas Pengemis Tongkat Merah, tetap kering dan serak suaranya.
ergilah kau, Pengemis Tongkat Merah. Jangan menunggu darahku naik..!" ancam Ratu Lembah Mayat lagi.
Pengemis Tongkat Merah menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak seperti cecak Kakinya melangkah menghampiri Parindra yang tergeletak di tanah dengan tangan terikat ke belakang Seutas tambang masih melilit lehernya. Pengemis Tongkat Merah membungkuk, memeriksa urat nadi di pergelangan tangan Parindra. Terdengar tarikan napas panjang Kemudian dia kembali tegak berdiri di samping tubuh anak muda itu.
"Aku tahu apa yang kau inginkan. Dan seharusnya tidak perlu melakukan hal seperti ini, Rara Durga," desah Pengemis Tongkat Merah. Nada suaranya terdengar seperti menyesal.
"Aku tidak butuh nasihatmu!" bentak Ratu Lembah Mayat
"Rupanya, iblis telah benar-benar menguasai hatimu, Cah Ayu. Pantas saja kau menutupi wajahmu dengan topeng buruk begitu," sindir Pengemis Tongkat Merah seraya menggeleng-gelengkan kepala.
"Setan...! Kalau kau masih hidup, segala gerakku selalu saja kau perhatikan. Sudah selayaknya sekarang kau mampus, Pengemis Tongkat Merah!" desis Ratu Lembah Mayat dingin.
Setelah berkata demikian, Ratu Lembah Mayat melompat sambil berteriak lantang menggelegar. Satu sabetan tongkatnya yang berkepala tengkorak, membuat si Pengemis Tongkat Merah terpaksa melentingkan tubuh ke belakang. Setelah melakukan beberapa kali putaran, manis sekali kakinya menjejak tanah.
Namun sebelum sempat mengatur sikap tubuhnya, Ratu Lembah Mayat yang bernama asli Rara Durga sudah kembali melompat menerjang. Tongkat berkepala tengkorak dikebutkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Begitu kuatnya kebutan tongkat itu, sehingga menimbulkan deru angin bagai badai topan.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Pertarungan antara Pengemis Tongkat Merah melawan Ratu Lembah Mayat memang tidak dapat dihindari lagi. Tampak sekali kalau wanita berjubah hitam yang wajahnya terselubung topeng tengkorak, sangat bernafsu ingin segera menjatuhkan lawannya. Namun beberapa kali serangan dilakukan, Pengemis Tongkat Merah masih mampu menghindar. Tapi, tampaknya pengemis itu juga mendapat kesulitan untuk balas menyerang.
Sementara Ratu Lembah Mayat bertarung dengan si Pengemis Tongkat Merah, dua orang gadis bercawat yang menyandang pedang di punggung sudah bergerak menghampiri Parindra. Empat orang gadis lainnya bergegas menghampiri. Empat orang gadis itu mengangkat tubuh Parindra, dan mengusungnya di atas pundak. Namun mereka belum beranjak pergi, dan masih memperhatikan jalannya pertarungan.
"Bawa anak itu ke lembah. Nanti aku menyusul...!" seru Ratu Lembah Mayat keras menggelegar.
Rupanya, wanita berjubah hitam itu melihat perbuatan anak buahnya yang telah mengamankan Parindra. Tanpa menunggu perintah dua kali, empat gadis bercawat yang membawa Parindra cepat berlari meninggalkan tempat itu dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sehingga, sebentar saja mereka sudah jauh meninggalkan tempat itu. Sementara dua orang gadis lainnya masih tetap tinggal di sana, bersiap-siap membantu pimpinannya jika mengalami desakan.
"Apa yang akan kau lakukan pada anak itu, Rara Durga...?" tanya Pengemis Tongkat Merah jadi gusar.
"Bukan urusanmu! Hiyaaat..!" bentak Ratu Lembah Mayat lantang menggelegar.
Wuk!
"Uts!"
Hampir saja ujung tongkat Ratu Lembah Mayat yang berbentuk kepala tengkorak itu menghantam kepala Pengemis Tongkat Merah. Untung saja pengemis itu segera merunduk, sehingga tongkat Ratu Lembah Mayat lewat sedikit saja di atas kepalanya. Angin sabetannya begitu terasa, mengandung udara panas yang begitu menyengat. Pengemis Tongkat Merah tampak terkejut begitu merasakan hawa panas yang menyengat di atas kepalanya.
"Hup!"
Cepat-cepat pengemis itu melompat ke belakang sejauh lima langkah. Sebentar kemudian kedua tangannya melakukan beberapa gerakan cepat di depan dada, lalu memutar tongkatnya bagai baling-baling. Tatapan matanya begitu tajam, menyorot langsung ke bola mata Ratu Lembah Mayat
"Jurus 'Tongkat Beracunmu mengalami kemajuan pesat, Rara Durga," desah Pengemis Tongkat Merah memuji.
"Asal kau tahu saja. Jurus itu kupersiapkan untuk mengirimmu ke neraka, Pengemis Tongkat Merah. Kau terlalu usil, selalu saja mencampuri urusanku!" sambut Ratu Lembah Mayat, tidak kalah dingin.
Pengemis Tongkat Merah mendengus saja. Dia tahu, jurus 'Tongkat Beracun' yang telah dikuasai wanita berjubah hitam ini sangat dahsyat luar biasa. Lima tahun yang lalu, pengemis itu juga pernah bertarung melawan Ratu Lembah Mayat yang juga menggunakan jurus ini. Tapi, waktu itu dia masih bisa menahan. Dan tampaknya, Ratu Lembah Mayat sudah lebih menyempurnakan lagi. Terbukti, hawa panas yang dirasakan begitu menyengat dan udara di sekitarnya juga menyesakkan. Kalau saja pengemis itu tadi tidak cepat menahan napas dan menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuh, barangkali sekarang ini sudah tergeletak Bahkan juga meregang nyawa, karena menghisap udara beracun dari jurus 'Tongkat Beracun'.
"Tahan jurus 'Tongkat Beracunku ini, Pengemis Tongkat Merah! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Ratu Lembah Mayat melompat cepat bagai kilat menyerang si Pengemis Tongkat Merah. Tongkat yang berkepala tengkorak itu berputaran cepat menimbulkan suara deru angin disertai hembusan hawa panas yang menyengat Akibatnya, udara di sekitarnya jadi terasa sesak
"Hup! Yeaaah...!"
Bet!
Pengemis Tongkat Merah cepat-cepat mengebutkan tongkatnya, menangkis serangan tongkat Ratu Lembah Mayat yang begitu kuat dan cepat luar biasa. Tak pelak lagi, dua batang tongkat beradu keras di udara.
Trak!
Glarrr...!
Begitu kerasnya tongkat itu beradu, sehingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Tampak Pengemis Tongkat Merah terpental ke belakang sejauh dua batang tombak Tubuhnya berputaran di udara beberapa kali, sebelum kakinya berhasil menjejak tanah. Sedangkan Ratu Lembah Mayat manis sekali langsung mendarat di tanah. Sementara itu Pengemis Tongkat Merah jadi terbeliak melihat tongkat merah andalannya terpenggal jadi dua bagian.
"Heh...?!"
"Ha ha ha...!" Ratu Lembah Mayat tertawa terbahak-bahak melihat tongkat laki-laki tua itu patah jadi dua bagian.
"Gila...! Benar-benar pesat kemajuan yang dicapainya...," desah Pengemis Tongkat Merah. "Kalau Mustika Cakar Naga sampai dimilikinya, tentu tak ada lag! yang dapat menandinginya. Keinginan gilanya untuk menguasai seluruh rimba persilatan benar-benar akan dilaksanakan."
"Bersiaplah untuk mampus, Manusia Usil!" dengus Ratu Lembah Mayat
Setelah berkata demikian, Ratu Lembah Mayat kembali memutar tongkatnya dengan cepat di depan dada. Lalu mendadak saja tongkat itu dikebutkan ke depan. Pada saat itu, tiba-tiba saja berhembus angin topan yang sangat dahsyat. Begitu kuatnya hembusan angin ini, membuat si Pengemis Tongkat Merah sampai terdorong beberapa langkah ke belakang Dan sebelum sempat melakukan sesuatu, tahu-tahu Ratu Lembah Mayat sudah melesat cepat dengan ujung tongkat berkepala tengkorak terhunus ke depan.
"Mampus kau, hiyaaat...!"
"Hap!"
Tak ada lagi kesempatan bagi Pengemis Tongkat Merah untuk menghadapi serangan yang begitu cepat dan beruntun ini Maka tubuhnya cepat melenting ke udara. Tapi hembusan angin topan yang begitu kuat, membuat keseimbangan tubuhnya jadi goyah. Dan ketika Ratu Lembah Mayat mengibaskan tongkat ke arah dada, Pengemis Tongkat Merah tak dapat lag! Berkelit menghindar.
Begkh!
"Akh,..!"
Tubuh Pengemis Tongkat Merah terpental jauh ke belakang begitu dadanya terhantam pukulan ujung tongkat berbentuk kepala tengkorak manusia itu. Keras sekali tubuhnya jatuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Namun cepat pengemis itu melompat bangkit berdiri, meskipun dua kali memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Selagi masih merasakan nyeri dan sesak napas di dadanya, lagi-lagi Ratu Lembah Mayat sudah melancarkan serangan cepat. Begitu cepatnya, sehingga Pengemis Tongkat Merah benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
"Hiyaaa...!"
Der...!
"Aaakh...!"
Satu gedoran yang begitu keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, seketika mendarat telak di dada laki-laki tua itu. Akibatnya tubuh pengemis itu terpental ke belakang seperti sehelai daun kering tertiup angin Dua batang pohon yang cukup besar, seketika hancur berkeping-keping terianda tubuhnya.
Dan begitu menggelimpang di tanah, Ratu Lembah Mayat sudah melesat memburunya. Ujung tongkat yang runcing itu segera dihunjamkan ke dada Pengemis Tongkat Merah. Tapi begitu ujung tongkat yang runcing itu hampir memanggang dada si Pengemis Tongkat Merah, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan kuning menyambar tubuh laki-laki tua itu. Begitu cepatnya berkelebat, sehingga Ratu Lembah Mayat sendiri pun tidak sempat menyadari. Maka, ujung tongkatnya ternyata hanya menghunjam tanah kosong.
"Hei,..?!" Ratu Lembah Mayat tersentak kaget.
Wajahnya jadi terlongong begitu melihat lawannya yang sudah tak berdaya lagi, tahu-tahu lenyap tanpa diketahui rimbanya. Tongkatnya yang terbenam di tanah hampir separuh itu segera dicabutnya. Sambil mendengus berang, tubuhnya diputar. Seketika pandangannya beredar ke sekeliling. Tapi, si Pengemis Tongkat Merah sudah lenyap bagai tertelan bumi saja.
"Setan belang...! Keparat..!" geram Ratu Lembah Mayat mengumpat marah.
Mata Ratu Lembah Mayat kini menatap dua orang gadis yang juga terbengong begitu menyadari si Pengemis Tongkat Merah lenyap begitu saja. Kemudian perempuan itu melangkah dengan kaki terhentak kesal mendekati dua orang gadis pengikutnya.
"Kalian lihat, ke mana si keparat itu pergi?" tanya Ratu Lembah Mayat masih dengan nada suara mendesis geram.
Kedua gadis itu hanya menggelengkan kepala saja.
"Edan...! Bagaimana mungkin dia bisa lenyap begitu saja...?"
Ratu Lembah Mayat kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, kemudian kembali menatap dua gadis bercawat di depannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan mengayunkan kaki sambil mengayun ayunkan tongkatnya. Beberapa kali tongkatnya dihentakkan ke tanah sambil mendengus berat.
"Ayo, kita kembali ke lembah," ajak Ratu Lembah Mayat.
Kedua gadis itu bergegas mengikuti dari belakang. Tak ada seorang pun yang berani membuka suara. Mereka tahu, hari perempuan berjubah hitam ini sedang kesal. Karena, lawan yang sudah tidak berdaya bisa lenyap begitu saja tanpa diketahui sebabnya.
Malam sudah menyelimuti seluruh permukaan bumi. Kegelapan begitu nyata, tanpa adanya sinar bulan sedikit pun membias di angkasa. Bahkan bintang pun tak nampak langit begitu kelam, terbungkus awan tebal menghitam. Angin malam berhembus agak kencang, menyebarkan udara dingin yang menggigilkan, sampai merasuk ke dalam tulang.
Di dalam sebuah relung gua, terlihat seorang laki-laki tua mengenakan baju compang-camping tergolek dengan napas lemah. Seonggok api unggun, membuat keadaan di dalam gua itu terasa hangat. Tidak jauh dari laki-laki tua itu, tampak seorang pemuda berbaju kulit harimau tengah duduk bersila memandangi wajahnya. Entah sudah berapa lama, laki-laki tua yang ternyata adalah si Pengemis Tongkat Merah itu terbaring dengan mata tertutup.
Tepat ketika terdengar lolongan anjing hutan, kelopak mata laki-laki tua itu terbuka. Bergegas tubuhnya bangkit duduk, dan terkejut begitu melihat di dekatnya duduk seorang pemuda tampan mengenakan baju dari kulit harimau. Di pangkuan pemuda itu melingkar seekor monyet kecil berbulu hitam. Pemuda itu tersenyum, lalu kepalanya terangguk sedikit
"Kaukah yang menyelamatkanku dari Ratu Lembah Mayat...?" tanya Pengemis Tongkat Merah.
"Hanya kebetulan saja, Ki," sahut pemuda itu merendah.
"Hm.... Rasanya kita pernah bertemu," gumam Pengemis Tongkat Merah seraya memandangi pemuda di depannya.
"Di kedai, tapi tidak sempat bertegur sapa."
"Benar...! Waktu itu kau bersama Parindra, putra sulung Pendekar Cakar Naga."
Pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain Pendekar Pulau Neraka hanya tersenyum saja. Tapi senyumnya terasa begitu kecut, dan seperti dipaksakan. Sedangkan Pengemis Tongkat Merah hanya tertunduk, seakan-akan berduka ketika teringat kalau Parindra sekarang berada di dalam cengkeraman si Ratu Lembah Mayat. Dia menyesal, karena gagal menyelamatkan nyawa anak muda itu.
Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing. Hampir bersamaan, mereka menghembuskan napas panjang yang begitu berat Kemudian mereka saling melemparkan pandang, seperti telah mengetahui isi hari masing-masing.
"Maaf. Aku tidak bisa menyelamatkan Parindra dari tangan mereka. Aku tahu, kau sudah bersusah-payah membawanya sampai ke sini," ucap Pengemis Tongkat Merah lirih.
idak perlu menyesali diri, Ki. Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu pada diri Parindra," sahut Bayu.
"Aku tahu, ke mana mereka membawa Parindra. Hanya saja, masalahnya kini...," Bayu tidak meneruskan kata-katanya.
"Aku tahu, Anak Muda...."
"Bayu. Panggil saja aku Bayu, Ki," potong Bayu meminta.
"Memang sulit masuk ke Lembah Mayat Terlalu banyak jebakan yang tidak bisa diduga, tersebar di sana. Dan letak Istana Ratu Lembah Mayat sangat sulit didekati," sambung Pengemis Tongkat Merah yang sempat terputus pembicaraannya tadi. "Lagi pula kalau berhasil menyelamatkan anak itu, apa mungkin dia bisa diterima kembali di Desa Batang...? Semua orang di desa itu sangat membencinya."
"Semua itu hanya kesalahpahaman belaka, Ki. Aku rasa mereka sudah menyadari kesalahannya, dan kini menyesali perbuatannya yang ceroboh. Tanpa berpikir panjang dulu," kata Bayu.
"Bagaimana kau bisa mengatakan semua itu hanya salah paham saja, Bayu?" Pengemis Tongkat Merah jadi tidak mengerti.
"Aku tahu dari salah seorang sesepuh desa itu," sahut Bayu.
"Kau percaya pada kata-katanya, Bayu?"
"Entahlah.... Masih harus dibuktikan dulu, kalau tindakan mereka pada keluarga Pendekar Cakar Naga hanya didasari kesalahpahaman dan kecerobohan. Bahkan sampai menimbulkan korban nyawa," sahut Bayu dengan suara agak mendesah.
"Apa pun namanya, mereka harus bertanggung Jawab atas kematian istri Pendekar Cakar Naga. dan anaknya yang tak berdosa," desis Pengemis Tongkat Merah. Terutama Eyang Bagasrana yang memimpin pembantaian itu. Dialah yang harus bertanggung jawab penuh!"
"Mereka memang harus bertanggung jawab, Ki. Tapi kurasa masih bisa diselesaikan dengan cara musyawarah dan kekeluargaan. Sehingga, tidak akan terjadi perselisihan lebih lanjut yang bisa menimbulkan banyak korban."
"Kau benar, Bayu. Tapi yang penting sekarang, secepatnya Parindra harus diselamatkan," selak Pengemis Tongkat Merah.
"Benar Ki, Besok pagi-pagi sekali, kita berangkat ke Lembah Mayat. Hm.... Apakah kau kuat menempuh perjalanan berat Ki?"
"Aku tidak tahu, apa yang kau lakukan. Keadaan tubuhku benar-benar pulih seperti sedia kala. Terima kasih, Anak Muda," ucap Pengemis Tongkat Merah.
"Sudahlah, Ki. Aku hanya memberi hawa murni. Untung saja, kau mampu membendung hawa racun di tenggorokan, sehingga tidak sempat menjalar sampai ke Jantung," lagi-lagi Bayu merendah.
"Bagaimanapun juga, aku patut mengucapkan terima kasih padamu, Bayu. Dan ini merupakan hutang yang tak mungkin terbayar."
"Sebaiknya, kita istirahat saja malam ini, Ki. Kita harus menempuh perjalanan berat besok pagi."
"Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu pada Parindra," desah Pengemis Tongkat Merah.
"Kau yakin, Ki...?" tanya Bayu seraya mengerutkan keningnya.
"Ya. Karena Parindra itu keponakannya."
"Maksudmu, Ki...?" Bayu tidak mengerti.
"Ratu Lembah Mayat adalah adik ibunya."
"Oh...," Bayu mendesah tidak menyangka. api, kenapa dia ingin membunuh Parindra?"
"Sudah lama dia menginginkan batu mustika yang ada Pedang Cakar Naga. Tapi dia tidak bisa memilikinya selama Pendekar Cakar Naga masih hidup. Dan sekarang kesempatan itu datang padanya," Pengemis Tongkat Merah menjelaskan.
"Lalu di mana sebenarnya pedang itu?" tanya Bayu.
"Itulah persoalannya. Pedang itu menghilang setelah Pendekar Cakar Naga tewas dalam pertarungan," sahut Pengemis Tongkat Merah.
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Pemuda berbaju kulit harimau itu lalu memindahkan monyet kecil dari pangkuannya ke atas rerumputan kering Kemudian merebahkannya di samping tubuhnya.
Sementara Pengemis Tongkat Merah masih tetap duduk bersila. Kedua tangannya diletakkan di atas lututnya yang tertekuk Sebentar kemudian, kelopak matanya kembali terpejam. Rupanya dia bersemadi untuk menyempurnakan kesehatan tubuhnya agar bisa seperti semula kembali, ketika belum mengalami cedera akibat pertarungannya dengan Ratu Lembah Mayat.
Hangatnya sinar matahari membuat Pendekar Pulau Neraka menggeliat. Sebentar matanya dikerjapkan, lalu menggerinjang bangun. Bibirnya menyunggingkan senyuman begitu melihat monyet kecil berbulu hitam mencerecet sambil berjingkrakan, bercanda dengan Pengemis Tongkat Merah.
"Kau sudah bangun, Bayu...?"
Bayu hanya tersenyum saja, lalu berdiri dan berjalan mendekati kolam batu yang berair jernih. Kemudian muka dan tangan dibasuhnya. Sementara Pengemis Tongkat Merah sudah berdiri. Tiren, monyet kecil berbulu hitam sudah berada di pundak kanan laki-laki tua berbaju kumal penuh tambalan itu. Begitu Bayu mendekat, Tiren cepat berpindah ke pundak Pendekar Pulau Neraka.
"Bagaimana tidurmu, Ki?" tanya Bayu.
"Lumayan," sahut Pengemis Tongkat Merah.
Padahal, semalaman dia tidak tidur untuk bersemadi sampai matahari muncul di ufuk Timur. Sedangkan Bayu tidur nyenyak sekali. Mereka kemudian merangkak keluar dari dalam gua. Ruangan di dalam gua ini memang luas sekali. Tapi untuk masuk ke dalam gua ini harus merangkak, karena lorong mulut gua ini begitu kecil.
"Hhh...! Segar sekali udara pagi ini...," desah Bayu begitu sampai di luar gua.
Sementara Pengemis Tongkat Merah baru saja keluar dari mulut gua yang sempit Kakinya melangkah menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang tengah menikmati udara segar. Sebentar Pengemis Tongkat Merah berhenti di samping pemuda berbaju kulit harimau ini, kemudian melangkah beberapa tindak ke depan. Tubuhnya membungkuk, memungut sebatang tongkat kayu berwarna merah. Diamatinya tongkat yang bagian tengahnya terpotong.
"Ini potongannya, Ki kata Bayu yang tahu-tahu sudah berdiri di samping Pengemis Tongkat Merah.
Laki-laki tua berbaju kumal penuh tambalan itu berpaling sedikit, lalu menerima potongan tongkat merah kebanggaannya dari tangan Pendekar Pulau Neraka. Diamatinya dua potongan tongkat merah itu, kemudian disambungnya tepat pada tempat yang patah. Dan kini, digenggamnya bagian yang tersambung itu dengan tangan kanannya. Perlahan-lahan tongkat itu diangkat sampai melewati di atas kepalanya.
Bayu hanya memperhatikan saja. Kening Pendekar Pulau Neraka jadi berkerut melihat asap kehitaman mengepul dari sela-sela jari tangan yang menggenggam tongkat itu. Tampak bibir Pengemis Tongkat Merah bergerak-gerak bergetar, memperdengarkan dengungan seperti lebah.
"Hap! Yeaaah...!"
Begitu asap hitam yang mengepul dari genggaman tangan kanannya menipis, Pengemis Tongkat Merah melemparkan tongkat itu ke udara. Tongkat itu melayang tinggi ke angkasa, lalu berputaran cepat sekali. Sehingga, yang terlihat hanya lingkaran merah dari tongkat yang berputaran cepat di angkasa.
"Hup...!"
Bagaikan seekor burung elang, Pengemis Tongkat Merah melesat cepat ke angkasa. Seketika tangannya menangkap tongkat merah, lalu meluruk turun dengan gerakan indah sekali. Tanpa bersuara sedikit pun, laki-laki tua berbaju kumal penuh tambalan ini mendarat kembali tidak jauh dari Pendekar Pulau Neraka. Bibirnya tersenyum memperhatikan tongkatnya yang sudah kembali tersambung utuh sediakala.
"Hebat..," desis Bayu tanpa sadar.
Tongkat ini merupakan nyawa kedua bagiku," jelas Pengemis Tongkat Merah seraya menimang-nimang tongkat merahnya.
Dan memang, dengan tongkat merah itu julukannya menjadi Pengemis Tongkat Merah. Sebatang tongkat yang sepertinya tidak memiliki arti sama sekali, tapi bisa menjadi sebuah senjata sangat ampuh. Baru saja dia memperlihatkan satu kesaktian yang membuat Pendekar Pulau Neraka terkagum-kagum.
Betapa tidak..? Tongkat yang sudah patah menjadi dua bagian bisa tersambung lagi! Bahkan tanpa memperlihatkan sambungannya sedikit pun juga. Tongkat itu seperti tidak pernah patah sebelumnya.
Benar-benar sebuah benda sederhana, tapi sangat berarti bagi pemiliknya. Karena, tanpa tongkat itu Pengemis Tongkat Merah tidak ada artinya sama sekali. Bahkan jurus-jurusnya berubah tak berarti. Namun Pengemis Tongkat Merah memang tidak pernah memperdalam jurus-jurus tangan kosong. Dan ini merupakan satu kelemahannya yang sulit ditutupi.
"Kita berangkat sekarang?" ajak Pengemis Tongkat Merah.
"Ayo...."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka melangkah meninggalkan tempat itu menuju Lembah Mayat. Pengemis Tongkat Merah memang sudah pernah ke Lembah Mayat Dan dari sini, memerlukan waktu sedikitnya satu hari berjalan kaki. Tapi jika mempergunakan ilmu lari cepat yang diimbangi pengerahan ilmu meringankan tubuh, bisa ditempuh tidak sampai setengah hari.
Tapi belum juga mereka jauh meninggalkan mulut gua batu itu, tiba-tiba terdengar langkah kaki kuda dari arah depan. Seperti ada yang memberi aba-aba, Bayu dan Pengemis Tongkat Merah langsung menghentikan ayunan kakinya. Sebentar mereka saling melemparkan pandang, kemudian sama-sama melompat ke atas. Hampir bersamaan, mereka mendarat di atas dahan pohon yang sama.
"Hm.... Siapa mereka...?" gumam Bayu perlahan, seperti bertanya pada dirinya sendiri, begitu samar-samar melihat ada sekitar lima orang menunggang kuda menuju ke arah ini.
"Aku tahu, siapa mereka," sahut Pengemis Tongkat Merah juga pelan suaranya, dan hampir tidak terdengar telinga Bayu yang berada di sampingnya.
Pendekar Pulau Neraka berpaling sedikit menatap Pengemis Tongkat Merah. Pada saat itu, kelima orang penunggang kuda sudah demikian dekat. Dan sebentar lagi pasti akan lewat di bawah pohon ini. Bayu kembali memperhatikan lima orang laki-laki penunggang kuda yang kini baru terlihat jelas. Dan seketika, jantungnya seperti berhenti berdetak begitu mengenali empat orang dari kelima penunggang kuda itu. "Hup...!"
Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba saja Pengemis Tongkat Merah meluruk turun dari pohon ini. Tak ada kesempatan lagi bagi Pendekar Pulau Neraka untuk mencegah. Pengemis Tongkat Merah sudah mendarat menghadang lima orang penunggang kuda itu. Kemunculan Pengemis Tongkat Merah yang begitu tiba-tiba, tentu saja mengejutkan kelima penunggang kuda itu. Kuda-kuda mereka seketika meringkik keras, seraya mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi
"Pengemis edan...! Minggir kau!" bentak salah seorang penunggang kuda yang berusia sekitar lima puluh tahun
Sementara Bayu yang berada di atas pohon hanya memperhatikan saja. Dia mengenali empat orang dari kelima penunggang kuda yang sudah turun dari kuda masing-masing. Salah seorang dari mereka adalah Ladra. Dia memang pernah bercerita banyak dengan Pendekar Pulau Neraka. Sementara tiga anak muda teman Ladra memang sempat bertarung dengannya. Tepatnya ketika dia masih bersama Parindra di pinggiran sebuah desa. Sedangkan yang seorang lagi, sama sekali Bayu belum pernah melihat.
Tentu saja, Bayu tidak mengenal Karpak yang menyandang senjata sebilah golok berukuran besar. Karena, dia baru sekali datang ke Desa Batang. Dan itu juga harus menghadapi keroyokan penduduk Desa Batang. Dari Ladra, Pendekar Pulau Neraka tahu sebab-sebab penduduk Desa Batang menyerangnya.
"Mau apa kau menghadang kami, Pengemis Tongkat Merah?" tanya Ladra dengan suara dibuat sopan, tidak seperti Karpak yang tahu-tahu sudah membentak kasar tadi.
Sedangkan Pengemis Tongkat Merah hanya tersenyum saja mendapat pertanyaan Ladra yang nadanya dibuat sopan. Kakinya melangkah beberapa tindak ke depan, dan berhenti sekitar dua batang tombak lagi di depan lima orang ini.
"Aku tahu, ke mana kalian akan pergi. Sebaiknya, kalian kembali saja," tegas Pengemis Tongkat Merah.
"Phuah! Apa urusanmu melarang kami, heh...?!" sentak Karpak tidak senang.
"Ratu Lembah Mayat bukan lawan tanding kalian Menghadapi anak buahnya saja, kalian tidak akan mampu. Sebaiknya, kembali saja daripada mengantarkan nyawa sia-sia," tetap tenang dan tegas suara Pengemis Tongkat Merah.
"Jangan pedulikan omongannya! Ayo, kita pergi..!" ajak Karpak
Setelah berkata demikian, Karpak langsung melompat naik ke punggung kudanya. Tiga orang anak muda yang pernah bertarung melawan Pendekar Pulau Neraka juga segera berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Kini tinggal Ladra yang masih berdiri di depan Pengemis Tongkat Merah.
"Ayo, Ladra...!" seru Karpak. Ladra diam saja. Hatinya seperti bimbang setelah mendengar peringatan Pengemis Tongkat Merah. Dia tahu, siapa laki-laki berpakaian kumal penuh tambalan ini Memang Pengemis Tongkat Merah tidak asing lagi di Desa Batang. Dia adalah sahabat kental Pendekar Cakar Naga, sekaligus sahabat Eyang Bagasrana, Ketua Padepokan Kalong Hitam yang bermarkas di Desa Batang. Tingkat kepandaian Pengemis Tongkat Merah tidak bisa diragukan lagi. Bahkan bisa disejajarkan dengan Pendekar Cakar Naga.
"Ladra, kau mau ikut apa tidak..?" Karpak sudah tidak sabar lagi.
Perlahan Ladra berpaling menatap Karpak yang sudah berada di punggung kudanya, kemudian beralih pada Pengemis Tongkat Merah. Jelas sekali kalau hatinya bimbang Tapi, akhirnya dia melangkah mendekati Pengemis Tongkat Merah dan berdiri di samping laki laid tua berpakaian kumal penuh tambalan itu.
"Kau saja yang pergi, Karpak," ujar Ladra tegas, setelah mengambil keputusan.
"Heh...?! Apa katamu...?" Karpak jadi terperanjat.
"Kurasa memang tidak ada gunanya kita ke sana. Ratu Lembah Mayat bukan tandingan kita, Karpak," ujar Ladra lagj.
"Pengecut...?" desis Karpak menggeram.
Terserah apa katamu, Karpak. Rasanya, aku sudah memilih yang benar."
"Huh!"
Karpak menatap tajam Ladra dan Pengemis Tongkat Merah bergantian, kemudian menggebah cepat kudanya. Tiga anak muda yang berada di belakang Karpak, juga segera menggebah kudanya mengikuti laki-laki setengah baya bersenjata golok berukuran besar itu. Mereka melewati Pengemis Tongkat Merah dan Ladra yang hanya bisa memandangi, menyesali tindakan Karpak yang nekat hendak ke Lembah Mayat.
"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu pada mereka," desah Pengemis Tongkat Merah perlahan.
Sedangkan Ladra hanya memandangi kepergian Karpak dan tiga orang anak muda itu. Mereka semakin jauh, dan lenyap begitu masuk ke dalam hutan yang cukup lebat Ladra dan Pengemis Tongkat Merah masih tetap berdiri diam, meskipun empat orang dan Desa Batang itu sudah tidak terlihat lagi.
"Mau apa mereka ke sana, Ladra?" tanya Pengemis Tongkat Merah.
"Membebaskan Parindra," jelas Ladra.
"Membebaskan Parindra...?" Pengemis Tongkat Merah terkejut mendengar jawaban Ladra yang perlahan, tapi cukup jelas terdengar.
Laki-laki tua berbaju kumal penuh tambalan itu memandangi Ladra tajam-tajam. Hatinya benar-benar terkejut Karena setahunya, tak ada seorang pun yang tahu kalau sekarang ini Parindra berada di tangan Ratu Lembah Mayat Hanya dia dan Pendekar Pulau Neraka saja yang tahu. Dan peristiwa itu juga baru terjadi kemarin.
"Dan mana kau tahu kalau Parindra ada di sana?" tanya Pengemis Tongkat Merah bernada menyelidik.
"Karpak yang memberi tahu," sahut Ladra.
"Heh...?!" lagi-lagi Pengemis Tongkat Merah tersentak kaget.
"Ada apa, Pengemis Tongkat Merah...?" tanya Ladra, tidak mengerti.
Pengemis Tongkat Merah tidak menjawab, dan segera berteriak memanggil Bayu sambil mendongakkan kepala ke atas. Tap lagi-lagi hatinya tersentak kaget Ternyata di atas pohon tidak terlihat lag! Pendekar Pulau Neraka.
"Ke mana dia...?" desah Pengemis Tongkat Merah menggumam pelan.
"Bayu...? Apakah dia Pendekar Pulau Neraka...?" tanya Ladra.
"Benar. Tadi dia ada di atas pohon itu."
"Jangan-jangan..."
"Ayo kita susul mereka!"
Tanpa menunggu waktu lagi, Pengemis Tongkat Merah melesat cepat meninggalkan tempat itu. Ladra Juga segera melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, tidak lagi mempedulikan kudanya yang asyik merumput di bawah pohon. Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki dua orang itu, sehingga sebentar saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Mereka telah tertelan oleh lebatnya pepohonan yang menyemaki seluruh permukaan bukit kecil ini.
Sementara itu, Karpak, Sutrana, Badur, dan Rakasa sudah sampai di tepi Lembah Mayat Nama yang dimiliki lembah kecil ini memang bisa membuat bulu kuduk merinding. Tapi, sebenarnya lembah ini indah sekali. Tak ada tanda-tanda keangkeran di sekitarnya, seperti yang banyak dikatakan orang. Sepanjang mata memandang, hanya keindahan saja yang tampak Namun tak akan ada yang menyangka kalau lembah ini mengandung sejuta bahaya mengancam.
"Sepertinya mudah untuk masuk ke sana...," gumam Sutrana.
Mereka semua memandang sebuah bangunan yang terbuat dari batu. Bangunan itu menyerupai sebuah candi di tengah-tengah lembah indah ini. Bentuknya sangat indah, dan tidak mencerminkan keangkeran sedikit pun. Apa yang selama ini didengar tentang Istana Lembah Mayat ternyata jauh berbeda dengan kebenarannya. Tak ada kesan menyeramkan. Yang ada, justru keindahan yang sukar dilukiskan.
"Ayo, kita ke sana," ajak Karpak
Mereka segera menggebah kuda menuruni lembah ini. Jalan yang dilalui cukup landai, dan mudah dilewati kuda. Tapi belum juga jauh bergerak, tiba-tiba saja tanah di tempat mereka terbongkar. Seketika dari dalam tanah itu, berhamburan puluhan batang tombak bermata hitam.
"Awas...!" seru Sutrana yang mengetahui lebih dulu.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Sutrana, Badur, dan Rakasa berlompatan dari punggung kuda. Mereka berputaran di udara menghindari tombak-tombak yang berhamburan di sekitar tubuh. Sedangkan Karpak malah memacu cepat kudanya ke depan. Aneh...!
Tombak-tombak itu malah melewati atas kepala Karpak. Dan begitu lewat dari tanah yang terbongkar, Karpak cepat menghentikan lari kudanya. Wajahnya berpaling menatap tiga laki-laki yang sibuk menghindari serbuan tombak-tombak yang bermunculan dari dalam tanah, dan seperti tidak ada habisnya.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Karpak menggebah kudanya, tanpa mempedulikan tiga laki-laki yang sibuk menyelamatkan diri dari hujan tombak bermata hitam ini. Dia terus menggebah kudanya mendekati bangunan berbentuk candi yang berada di tengah-tengah lembah. Dan begitu Karpak lenyap di dalam bangunan dari batu itu, seketika tanah yang menganga terbongkar langsung bergerak menutup. Maka hujan tombak pun seketika berhenti.
"Heh...?! Di mana Paman Karpak...?" tanya Sutrana.
Badur dan Rakasa tidak menjawab. Mereka tadi memang terlalu sibuk menyelamatkan din dari serbuan tombak-tombak yang datang seperti hujan. Sejenak mereka saling melempar pandang. Tak tahu, ke mana Karpak pergi. Keindahan lembah ini seketika lenyap dari pandangan mereka. Ternyata di balik keindahan lembah ini tersembunyi sejuta bahaya yang siap mengancam.
"Bagaimana sekarang...?" tanya Rakasa seperti bertanya pada diri sendiri.
"Bagaimana lagi...?" Badur malah balik bertanya. Dan selagi kebingungan, tiba-tiba saja tanah-tanah di sekitar mereka berhamburan terbongkar. Akibatnya, ketiga laki-laki ini terperanjat Begitu terkejutnya, sehingga sampai berlompatan merapat beradu pungung. Dari tanah yang terbongkar tadi, bermunculan gadis-gadis cantik yang hanya mengenakan cawat dan penutup dada. Mereka semua memegang senjata tombak panjang bermata hitam pekat Ada sepuluh gadis cantik dengan tombak terhunus ke depan, telah berdiri mengepung ketiga laki-laki ini.
"Hiyaaa...!"
" Yeaaah...!"
Tanpa berkata apa-apa lagi, sepuluh gadis cantik bercawat itu langsung berlompatan menyerang ketiga laki-laki dari Desa Batang itu. Serangan mereka begitu serempak, dengan mata tombak tertuju langsung ke tubuh ketiga laki-laki ini.
"Keluarkan pedang..!" teriak Sutrana memberi perintah.
Sret!
"Hiyaaat..!"
Secara bersamaan, Badur dan Rakasa mencabut pedang mengikuti perintah Sutrana. Pedang mereka langsung dikebut, menyampok tombak-tombak yang meluncur deras mengancam nyawa. Denting senjata beradu seketika terdengar meningkahi teriakan-teriakan keras yang saling susul.
Pertarungan memang tak dapat dihindari lagi. Sepuluh orang gadis bercawat itu menyerang cepat secara berganhan dari segala arah. Dan terkadang mereka bertukar tempat membuat Sutrana, Badur, dan Rakasa jadi kelabakan menghadapi mereka.
"Berpencar...!" seru Sutrana lantang.
Badur dan Rakasa langsung berlompatan ke arah kanan dan kiri. Mereka berpencar, membuat sepuluh orang gadis bercawat ini jadi kebingungan. Dan di saat mereka belum bisa menentukan apa-apa, ketiga laki-laki dari Desa Batang itu sudah menyerang cepat Pedang mereka berkelebat membabat ke arah dada dan leher. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan, sehingga membuat gadis-gadis bercawat ini jadi kelabakan. Tak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk berkelit.
"Aaa...!"
Jerit dan pekikan melengking tinggi seketika terdengar saling susul.
"Ada sesuatu yang harus kusampaikan segera, Gusti Ratu. Dan ini penting sekali," sahut Karpak. Sikapnya tampak hormat sekali.
"Apa itu...? Katakan cepat Karpak...?"
Tentang Batu Mustika Cakar Naga."
"Hm...," Ratu Lembah Mayat mengerutkan keningnya mendengar mustika yang dicari-carinya disebut laki-laki separuh baya ini.
"Sebenarnya mustika itu masih ada di Desa Batang, Gusti Ratu. Dan, Eyang Bagasrana sendirilah yang menyimpannya," sambung Karpak memberi tahu.
"Keparat..!" geram Ratu Lembah Mayat mendesis. "Mengapa kau tidak mengatakannya dari dulu, Karpak?"
"Aku baru mengetahui pagi ini, Gusti Ratu. Aku tadi melihat Eyang Bagasrana mengeluarkan mustika itu dari tempat penyimpanannya. Mustika itu disimpan di dalam kotak kecil, dan ditaruh di belakang lukisan di dalam kamarnya," jelas Karpak lagi.
Tua bangka keparat..! Rupanya dia sendiri juga hendak memilikinya," desis Ratu Lembah Mayat menggeram.
"Gusti Ratu! Izinkan aku mengambil pusaka itu, dan membunuh orang tua tidak tahu diri itu," selak Andari yang berada di samping kanan Ratu Lembah Mayat
"Lakukanlah, Andari. Kau sudah mampu menandingi orang tua keparat itu," Ratu Lembah Mayat langsung menyetujui.
"Aku segera berangkat, Gusti Ratu."
Andari mengajak empat gadis lain yang ada di ruangan ini. Mereka menjura memberi hormat pada wanita berjubah hitam itu, kemudian bergegas meninggalkan ruangan. Sebentar kemudian mereka sudah tidak terlihat lagi, tenggelam di balik pintu yang segera tertutup. Namun tak berapa lama, Andari sudah masuk kembali dengan langkah tergopoh-gopoh, dan segera menjatuhkan diri berlutut
"Ada apa, Andari...?" tanya Ratu Lembah Mayat
"Ampun, Gusti Ratu. Ada tiga tikus menyelusup ke sini," lapor Andari.
Ratu Lembah Mayat menatap tajam Karpak yang masih duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk. Karpak buru-buru memberi sembah. Dia tahu, ketiga tikus yang dimaksud adalah Sutrana, Badur, dan Rakasa.
"Ampun, Gusti Ratu. Hamba memang membawa mereka, tapi hamba tinggalkan di tempat jebakan. Hamba tidak mengira kalau mereka bisa selamat sampai sini," sanggah Karpak buru-buru.
"Bereskan mereka, Andari," perintah Ratu Lembah Mayat
"Baik, Gusti Ratu," sahut Andari, seraya memberi hormat
Gadis bercawat itu segera bangkit berdiri dan melangkah keluar dengan ayunan kaki cepat dan lebar. Ratu Lembah Mayat melangkah dua tindak ke depan, menghampiri Karpak yang masih duduk bersila di lantai.
"Bangun kau, Karpak," desis Ratu Lembah Mayat dingin.
"Ampunkan hamba, Gusti Ratu," ucap Karpak seraya bangkit berdiri.
Tapi begitu berdiri, tiba-tiba saja Ratu Lembah Mayat melayangkan satu pukulan keras dengan tangan kiri. Pukulan yang begitu cepat dan keras tadi tidak diduga sama sekali. Akibatnya, Karpak terpekik dan terpental deras ke belakang. Keras sekali punggungnya menghantam dinding batu hingga seluruh ruangan ini bergetar.
Karpak melorot turun dengan bibir meringis. Darah segar mengucur dari sudut bibirnya. Dadanya seketika jadi terasa sesak, terkena pukulan bertenaga dalam tinggi. Sambil mengatur jalan napasnya yang tersengal, laki-laki separuh baya itu mencoba bangkit berdiri.
"Sudah kukatakan, tidak perlu membawa orang kalau ke sini! Kau memang tidak bisa dipercaya, Karpak! Selalu saja menimbulkan kesulitan...!" desis Ratu Lembah Mayat dingin dan menggetarkan nada suaranya.
"Ampun, Gusti Ratu. Hamba..., hamba...."
Tak ada lagi ampun bagimu, Tikus Keparat!"
"Apa yang akan kau...?" Karpak terbeliak melihat Ratu Lembah Mayat semakin dekat, dengan ujung tongkat terarah lurus ke dada.
"Kau tidak ada gunanya lagi, Karpak," desis Ratu Lembah Mayat semakin dingin.
Tap... tapi..., aku sudah berbuat banyak padamu. Aku sudah mengelabui semua orang Aku berhasil membuat mereka membunuh keluarga Pendekar Cakar Naga. Lalu kenapa sekarang kau akan membunuhku...?" suara Karpak semakin terdengar bergetar.
"Itu sudah tugasmu, Karpak Bersiaplah untuk mati...!"
Tunggu dulu...!"
Tapi Ratu Lembah Mayat sudah tidak dapat dicegah lagi Dan tiba-tiba saja tongkatnya bergerak cepat membuat Karpak hanya mampu membeliak lebar tanpa mampu berbuat sesuatu. Sehingga....
Bet!
Crab!
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat begitu ujung tombak Ratu Lembah Mayat menghunjam dalam dada laki-laki separuh baya ini Begitu Ratu Lembah Mayat mencabut tongkatnya, seketika darah menyembur keluar dari dada yang berlubang sampai ke punggung.
Sebentar Karpak masih mampu berdiri, kemudian tubuhnya ambruk ke lantai. Darah terus mengalir deras menggenang di bawah tubuhnya. Seketika itu juga, Karpak tewas tanpa mampu memberi perlawanan sedikit pun.
"Manusia sepertimu, sudah sepantasnya mampus!" dengus Ratu Lembah Mayat.
Sambil mendengus berat wanita berjubah hitam itu menendang tubuh Karpak yang sudah tak bernyawa lagi. Kemudian kakinya melangkah mendekati pintu yang tertutup rapat Tongkatnya terayun-ayun di tangan kanan. Dengan ujung tongkat dibukanya pintu dari kayu jati tebal berukir itu.
Tinggal si keparat Eyang Bagasrana. Hhh...! Dia juga harus mampus di tanganku!" desis Ratu Lembah Mayat sebelum melangkah keluar dari ruangan besar ini
Pintu kayu jati tebal itu langsung tertutup begitu Ratu Lembah Mayat melewatinya. Suasana di dalam ruangan berdinding dan beratap batu itu jadi sunyi senyap. Kini tinggal mayat Karpak saja yang masih tergolek bergenang darah di lantai batu yang hitam dan dingin
Sementara di ruangan lain, tampak Sutrana, Badur, dan Rakasa tengah berhadapan melawan empat orang gadis cantik bercawat yang bersenjatakan tombak panjang bermata hitam. Sedangkan dua orang gadis lain hanya memperhatikan pertarungan itu saja.
Tampaknya pertarungan berjalan cukup imbang. Terbukti, mereka sama-sama memberi serangan secara bergantian. Ketiga laki-laki dari Desa Batang itu juga sudah mempergunakan pedang. Entah sudah berapa jurus berkelahi. Dan begitu empat orang gadis bercawat melakukan gerakan berputar mengelilingi ketiga laki-laki itu, keadaan langsung berubah. Ujung-ujung tombak yang berkelebatan cepat, semakin sulit dihalau. Dan hingga suatu saat...
"Rakasa, awas...!" seru Sutrana tiba-tiba.
Rakasa yang baru saja menghindari satu pukulan dari arah depan, terkejut begitu mendengar teriakan Sutrana. Dan pemuda itu tidak sempat lagi berbuat sesuatu ketika sebuah tombak meluncur deras dari arah samping kanan. Namun tubuhnya masih sempat digerakkan sedikit Sehingga....
Bret!
"Akh...!" Rakasa menjerit keras.
Kalau saja tubuhnya tidak digerakkan, ujung tombak berwarna hitam itu pasti akan menembus dadanya. Tapi justru karena gerakan tubuhnya, sehingga bahu kanannya terkena ujung tombak. Rakasa terhuyung-huyung ke belakang sambil tangannya mendekap bahunya yang robek mengucurkan darah. Pada saat itu, seorang gadis bercawat tiba-tiba melompat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
"Oh...?!" Rakasa mengeluh pendek
Namun ketika pukulan itu hampir saja menghantam dadanya, mendadak saja sebuah bayangan kuning berkelebat menghantam gadis bercawat itu.
"Akh...!" gadis itu memekik keras.
Tubuh gadis itu terpental sejauh dua batang tombak ke belakang. Keras sekali punggungnya menghantam dinding batu bangunan candi mi, sehingga jebol berantakan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di samping Rakasa sudah berdiri seorang pemuda tampan mengenakan baju kulit harimau. Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskannya, sehingga gadis bercacat tadi seketika tewas tergeletak di antara reruntuhan batu dinding bangunan candi ini. Dari mulutnya tampak mengalir darah kental.
Tewasnya satu gadis itu, membuat gadis-gadis bercawat lain jadi berlompatan mundur menghentikan pertarungan. Sutrana dan Badur juga bergegas berlompatan mendekati Rakasa yang masih menekap bahunya. Darah masih mengucur deras dari bahu laki-laki itu.
"Kenapa kau menolong kami,..?" tanya Sutrana seraya menatap pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain adalah Pendekar Pulau Neraka.
"Simpan dulu pertanyaanmu. Sebaiknya, cepat kembali ke desa," tegas Bayu yang menyadari kalau keadaan dalam bahaya. Pendekar Pulau Neraka itu sendiri sudah menyembunyikan monyet kesayangannya di tempat yang aman, sebelum menuju ke tempat ini.
Mendengar ucapan Bayu yang tegas itu, Sutrana langsung terdiam.
"Kisanak, apa maksudmu berkata seperti itu?" selak Badur.
"Cepat tinggalkan tempat ini. Aku akan menghadang mereka...!" seru Bayu.
"Hiyaaat..!"
Pendekar Pulau Neraka tidak menghiraukan pertanyaan Badur dan Sutrana. Tubuhnya langsung saja melompat cepat bagai kilat menyerang lima orang gadis cantik bercawat yang masih hidup. Lima orang gadis bercawat ini jadi kelabakan menerima serangan-serangan Bayu yang begitu cepat luar biasa. Setiap pukulan yang dilepaskan, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dan sukar diimbangi. Mereka terpaksa berjumpalitan menghindari setiap serangan Pendekar Pulau Neraka.
"Bagaimana, Kakang Sutrana?" tanya Badur, minta pendapat
"Aku rasa, dia benar. Ayo, kita tinggalkan tempat ini," sahut Sutrana.
Tapi, bagaimana dengan Parindra...?" tanya Rakasa lagi.
"Dia tidak mungkin ada di sini. Cepatlah! Ini kesempatan baik untuk meninggalkan tempat ini. Ayo...," ajak Sutrana lagi.
"Kau masih kuat Rakasa?" tanya Badur.
"Jangan hiraukan aku. Ayo, cepat kita berangkat," ajak Rakasa.
Ketiga laki-laki dari Desa Batang itu bergegas meninggalkan bangunan berbentuk candi ini. Sementara, Bayu terus menggempur lima orang gadis bercawat dengan jurus-jurus tingkat tinggi yang dahsyat Pendekar Pulau Neraka sempat melihat ketiga laki-laki dari Desa Batang itu meninggalkan tempat ini. Dan seketika itu juga, tangan kanannya dikebutkan cepat sambil berteriak nyaring menggelegar.
"Hiyaaa...!" Wuk!
Begitu tangan kanan Bayu berkelebat cepat, seketika itu juga Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangannya melesat cepat bagai kilat Begitu cepatnya, sehingga salah seorang gadis bercawat yang menggenggam tombak tidak dapat lagi berkelit Dia memekik keras melengking ringgi begitu Cakra Maut membedah lehernya.
"Aaa...!"
Darah langsung muncrat keluar dari lehernya yang robek tersambar Cakra Maut Bayu cepat melesat ke udara, menangkap senjata mautnya itu. Dan selagi berada di udara, kembali tangan kanannya bergerak cepat mengebut ke arah salah seorang gadis lainnya.
Bet!
Crab!
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi, disusul ambruknya satu orang gadis lagi. Cakra Maut menembus dada mereka hingga lewat ke punggung. Sementara Bayu sudah meluruk deras ke arah satu orang gadis lain yang memegang tombak. Satu pukulan keras dilepaskan Pendekar Pulau Neraka dengan kecepatan tinggi, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
"Hiyaaat..!"
Des!
"Aaakh...!"
Gadis cantik bercawat itu tidak dapat lagi menghindar. Seketika pukulan Pendekar Pulau Neraka telah menghantam dadanya, sehingga membuatnya terpental sejauh beberapa tombak. Hanya sebentar saja gadis itu mampu menggeliat, kemudian diam tak bernyawa lagi. Darah langsung merembes keluar dari mulut dan hidungnya.
Bayu menjejakkan kakinya dengan ringan sekali di lantai batu yang keras dan licin. Tubuhnya berputar, menatap dua orang gadis lain yang masing-masing sudah menggenggam pedang tersilang di depan dada. Mereka kelihatan gentar melihat empat orang tewas dalam waktu tidak begitu lama.
"Di mana kalian sembunyikan Parindra?" tanya Bayu dingin.
"Cari saja sendiri!" dengus Andari ketus.
"Hm. Rupanya, kalian cukup setia pada ratu busuk itu!" dengus Bayu.
"Keparat..!" geram Andari.
Kedua gadis itu saling mengerdipkan mata, kemudian sama-sama berlompatan cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka dari dua jurusan. Pedang mereka berkelebat cepat membabat bagian-bagian tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi dengan lincah dan gerakan cepat, Bayu berhasil mementahkan serangan yang tertuju padanya. Beberapa kali pedang-pedang itu terpaksa harus ditangkis dengan Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan.
Dan setiap kali senjata-senjata itu beradu, selalu menimbulkan dentingan keras disertai percikan bunga api. Jurus demi jurus berlalu cepat Dan Bayu mulai merasakan kalau tingkat kepandaian yang dimiliki kedua gadis ini jauh lebih tinggi dibandingkan empat gadis yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
"Rupanya kalian lebih memilih mati, daripada bekerja sama menumpas kejahatan!" geram Bayu jadi sengit.
"Baik! Terimalah ini... Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka melesat tinggi ke udara. Dan dengan cepat sekali, tangan kanannya dikebutkan ke arah salah seorang gadis bercawat itu. Begitu cepat kebutan itu. Sehingga begitu Cakra Maut melesat gadis yang memegang pedang itu jadi kelabakan setengah mati.
"Hatt...!"
Cepat-cepat pedangnya dikebutkan, untuk menangkis Cakra Maut yang meluruk deras ke arahnya.
Trang!
Satu benturan keras terjadi, dan seketika gadis itu terpekik keras. Tubuhnya terpental dua batang tombak ke belakang. Sedangkan pedangnya terpenggal tersambar Cakra Maut senjata andalan Pendekar Pulau Neraka. Dan sebelum dia sempat menyadari apa yang terjadi, Bayu sudah meluruk deras sambil melontarkan satu pukulan keras menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Diegkh!
"Akh...!"
Kembali gadis itu memekik keras begitu pukulan Pendekar Pulau Neraka mendarat telak di dadanya. Tubuhnya terlontar jauh ke belakang, dan kerassekat menghantam lantai batu yang licin dan keras. Sebentar tubuhnya menggeliat dan mulutnya mengerang, kemudian mengejang kaku. Dan kini dia sudah diam tidak bergerak-gerak lagi. Sementara Bayu kembali mendarat sambil langsung mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut seketika kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Dan kini tinggal satu orang gadis lagi yang masih hidup. Dan tampaknya, hatinya semakin gentar karena menyadari tinggal sendiri. Bayu menatap tajam gadis yang bernama Andari ini. Kakinya kini terayun perlahan-lahan mendekati. Sedangkan gadis itu bergerak mundur perlahan.
"Cukup...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
Bayu langsung berhenti melangkah, dan berpaling ke kanan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan sebuah pintu yang terbuka sudah berdiri seorang wanita berjubah hitam. Di depannya, Parindra berdiri dengan tangan terpelintir ke belakang punggung Pemuda belasan tahun itu meringis kesakitan, merasakan tangannya seperti remukterpelintir ke belakang. Melihat Ratu Lembah Mayat muncul, Andari bergegas menghampiri. Wajahnya seketika jadi cerah, merasa ada kesempatan untuk bisa melihat matahari esok pagi.
"Akhirnya kau muncul juga, Ratu Busuk...!" desis Bayu dingin.
"Selangkah lagi kau bergerak, anak ini mampus!" ancam Ratu Lembah Mayat tidak main-main.
"Jangan hiraukan aku, Kakang...!" seru Parindra.
"Akh...!"
"Diam, Bocah Setan...!"
Parindra menggeliat merasakan sakit yang amat sangat pada tangan kanannya. Tulang tangan kanannya terasa bagai remuk dipelintir keras ke belakang punggungnya. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya menggeretak geram melihat tindakan Ratu Lembah Mayat yang dianggapnya pengecut, dengan menyandera seorang anak muda yang tidak punya daya apa-apa.
"Lepaskan anak itu...!" bentak Bayu geram.
"Aku akan menukar anak ini dengan Mustika Cakar Naga," kata Ratu Lembah Mayat dingin.
Setelah berkata demikian, Ratu Lembah Mayat langsung melesat cepat keluar dari dalam ruangan ini. Andari segera mengikuti perempuan berjubah hitam itu. Namun, Bayu juga tidak sudi ketinggalan. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sempurna, Pendekar Pulau Neraka melesat mengejar.
Beberapa kali Bayu melakukan putaran di udara, lalu manis sekali mendarat menghadang di depan perempuan berjubah hitam itu. Terpaksa Ratu Lembah Mayat menghentikan larinya. Seketika diberikannya beberapa totokan pada jalan darah Parindra. Akibatnya anak muda itu seketika lemas tak berdaya lagi. Hampir saja Parindra jatuh kalau saja Andari tidak segera menangkap tubuh anak muda belasan tahun ini.
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Ratu Lembah Mayat melompat cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Tongkatnya berkelebat cepat mengarah ke kepala pemuda berbaju kulit harimau itu. Namun dengan gerakan manis sekali, Bayu mengegoskan kepalanya. Maka, ujung tongkat berbentuk tengkorak kepala manusia itu hanya lewat saja di depan muka Pendekar Pulau Neraka.
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu bergegas melentingkan tubuh ke belakang, dan mendarat sejauh dua batang tombak, Pendekar Pulau Neraka kini tidak tanggung-tanggung lagi menghadapinya. Dia merasakan kebutan tongkat perempuan berjubah hitam ini mengandung hawa panas yang menyengat Dan begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya cepat membungkuk agak miring ke kiri. Lalu, tangan kanannya ditarik sampai ke depan dada.
"Yeaaah...!"
Bet!
Sambil mengerahkan tenaga dalam, Bayu mengebutkan tangan kanannya ke depan. Seketika itu juga Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangannya, melesat cepat bagai kilat.
"Hap!"
Ratu Lembah Mayat cepat mengebutkan tongkat menyampok senjata andalan Pendekar Pulau Neraka. Tak pelak lagi, dua senjata ampuh beradu keras di udara, menciptakan ledakan dahsyat menggelegar disertai percikan bunga api yang menyebar ke seluruh penjuru.
Bayu cepat-cepat mengangkat tangan kanannya ke atas kepala, begitu senjatanya berbalik. Cakra berwarna keperakan yang sisinya berjumlah enam itu kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
"Senjatamu memang hebat, Pendekar Pulau Neraka. Tapi jangan harap bisa menandingi Ratu Lembah Mayat..!" desis Ratu Lembah Mayat dingin.
"Kita lihat saja. Siapa yang lebih unggul," sambut Bayu tidak kalah dinginnya.
Tahan seranganku, Bocah! Hiyaaat..!"
Cepat sekali Ratu Lembah Mayat melompat menyerang. Tongkatnya bergerak cepat berkelebat mengarah ke beberapa bagian tubuh Bayu yang paling rawan. Maka Pendekar Pulau Neraka terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang begitu cepat dan berbahaya ini. Beberapa kali tongkat berkepala tengkorak itu terpaksa ditangkis, dengan pergelangan tangan kanannya. Dan setiap kali menangkis tongkat itu, tangannya langsung bergetar. Pendekar Pulau Neraka benar-benar merasakan kedahsyatan tenaga dalam yang dimiliki perempuan berjubah hitam ini.
Jurus demi jurus berlalu cepat Tak terasa, sebentar saja mereka sudah menghabiskan lebih dari lima jurus. Tapi sampai sejauh ini, belum ada tanda-tanda kalau pertarungan itu bakal berhenti. Bahkan pertarungan semakin berjalan dahsyat sekali. Mereka sama-sama mengeluarkan jurus-jurus ampuh dan dahsyat Sedikit kelengahan saja, bisa berakibat parah. Pertarungan baru berjalan beberapa saat dan tempat di sekitar pertarungan sudah porak-poranda bagai diamuk badai topan yang dahsyat.
Sepuluh jurus sudah berlalu, namun pertarungan masih juga berlangsung. Bayu merasakan kalau perempuan berjubah hitam ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Jurus-jurus yang dimilikinya ternyata begitu dahsyat Terlebih lagi, tongkat berkepala tengkorak itu. Setiap kebutannya mengandung hawa panas menyengat luar biasa. Dan Pendekar Pulau Neraka bisa merasakan adanya hawa racun dari setiap kebutan tongkat berkepala tengkorak itu. Maka terpaksa jalan napasnya dipindahkan ke perut.
"Lima jurus lagi, bisa-bisa dia membunuhku. Hhh...! Ini tidak boleh terjadi...!" dengus Bayu dalam hati.
Menyadari kalau tidak mungkin bisa bertahan lama, Pendekar Pulau Neraka cepat memutar otaknya. Dicarinya jalan agar bisa mengakhiri pertarungan ini, sebelum pertahanan napasnya habis. Dan Pendekar Pulau Neraka sudah bisa mengukur, sampai di mana kemampuan pertahanan napas perutnya.
"Hap! Yeaaah...!"
Begitu Ratu Lembah Mayat mengebutkan tongkatnya ke arah kaki, kesempatan ini tidak disia-siakan Bayu begitu saja. Cepat tubuhnya melesat ke udara, dan melakukan putaran dua kali Lalu cepat sekali tangan kanannya dikebutkan ke arah kepala perempuan berjubah hitam itu.
"Hiyaaa...!"
Wuk!
"Hait..!"
Bet!
Bergegas Ratu Lembah Mayat menyampokkan tongkatnya begitu Cakra Maut melesat cepat dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. dan ketika tongkat berkepala tengkorak berhasil menyampok senjata yang dilepaskan lawan, tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka meluruk deras sambil melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna.
"Hiyaaa...!"
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya perempuan berjubah hitam itu melihat datangnya serangan. Maka, buru-buru tubuhnya ditarik ke belakang. Tapi tanpa diduga sama sekali, Bayu malah menarik pukulannya. Bahkan cepat menggantinya dengan satu tendangan keras menggeledek yang begitu cepat luar biasa. Perpindahan pola serangan yang begitu cepat, membuat Ratu Lembah Mayat tak dapat lagi menghindar.
Diegkh!
"Akh...!"
Tendangan Bayu ternyata tepat menghantam dada perempuan berjubah hitam ini. Begitu kerasnya tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka, sehingga membuat Ratu Lembah Mayat terjungkal keras ke belakang. Dan sebelum lawan sempat melakukan sesuatu, Bayu sudah mengebutkan tangan kanan ke depan, dengan tubuh agak sedikit membungkuk.
'Yeaaah...!"
Bet!
Slap...!
Ratu Lembah Mayat hanya dapat mendelik melihat Cakra Maut bersegi enam meluruk deras ke arahnya. Cepa-cepat tongkatnya dikebutkan untuk menyampok senjata maut Pendekar Pulau Neraka.
Trang!
Perempuan berjubah hitam itu memang berhasil menyampok senjata yang dilepaskan Bayu. Tapi dia kembali terpekik. Ternyata tiba-tiba saja Bayu melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Memang begitu keras pukulan Pendekar Pulau Neraka. Akibatnya Ratu Lembah Mayat terjungkal ke tanah, langsung bergulingan beberapa kali sebelum bisa bangkit berdiri.
Dan sebelum keseimbangan tubuhnya bisa dikuasai, kembali Pendekar Pulau Neraka sudah melompat melakukan serangan cepat bagai kilat Untuk kedua kalinya, pukulan Pendekar Pulau Neraka mendarat di dada Ratu Lembah Mayat Bayu cepat mengangkat tangan kanannya ke atas kepala, di saat perempuan berjubah hitam itu terpental ke belakang Dan begitu Cakra Maut menempel di pergelangan tangan kanannya, seketika itu juga dikebutkan kembali disertai. pengerahan tenaga dalam tinggi sekali.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Wusss!
Crab!
"Aaa...!"
Ratu Lembah Mayat memang tidak dapat lagi menghindar dalam keadaan tubuh kehilangan keseimbangan. Terlebih lagi, dia baru saja mendapat pukulan keras di dadanya. Keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah, begitu Cakra Maut bersegi enam menghantam dadanya. Begitu kerasnya lontaran senjata maut itu, sehingga tembus sampai ke punggung Ratu Lembah Mayat Dan kini senjata itu berputar balik ke arah pemiliknya.
Bret!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar keras menyayat Tampak darah muncrat deras sekali dari leher yang terkoyak lebar, akibat tertebas Cakra Maut Perempuan berjubah hitam itu masih mampu berdiri tegak beberapa saat kemudian ambruk menggelepar di tanah. Dia mengerang dan menggelepar meregang nyawa. Dari leher, dada, dan punggungnya terus mengucurkan darah. Sementara, Bayu berdiri tegak setelah Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan.
Tidak lama kemudian, Ratu Lembah Mayat sudah mengejang kaku, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Tepat pada saat itu, muncul Pengemis Tongkat Merah bersama Ladra dan tiga pemuda dari Desa Batang. Bahkan kini muncul juga Eyang Bagasrana bersama beberapa orang muridnya yang juga penduduk Desa Batang.
Melihat kedatangan orang-orang itu, Andari merasa tidak akan mampu lagi menandingi mereka. Terlebih lagi Gusti Ratunya telah tewas. Lebih baik dia tidak usah melawan orang-orang sakti itu lagi, dan hidup tenang di desa lain. Berpikir demikian, Andari segera melepaskan pegangannya pada Parindra dan langsung melesat kabur, membiarkan anak muda belasan tahun itu jatuh tergeletak di tanah dalam keadaan tubuh lemas tertotok.
"Kau tidak apa apa, Bayu...?" tanya Pengemis Tongkat Merah begitu berada di samping Pendekar Pulau Neraka.
"Tidak," sahut Bayu seraya melirik Parindra yang tengah dibebaskan dari totokan oleh Eyang Bagasrana.
"Maaf. Aku datang terlambat," ucap Pengemis Tongkat Merah juga memandang pada Eyang Bagasrana.
"Tidak," sahut Bayu sambil melirik pedang yang ada di tangan Eyang Bagasrana.
"Apakah itu Pedang Cakar Naga...?"
"Benar," sahut Eyang Bagasrana.
"Bagaimana pedang itu bisa berada di tanganmu?" tanya Pengemis Tongkat Merah.
"Istri Pendekar Cakar Naga yang memberikannya padaku," sahut Eyang Bagasrana.
"Setelah suaminya meninggal, dia sudah merasa bakal terjadi sesuatu. Terutama, batu mustika pada gagang pedang ini yang memiliki kekuatan dahsyat"
"Lalu, kenapa kau membunuhnya?" tanya Pengemis Tongkat Merah lagi.
"itulah kesalahanku yang terbesar. Aku terlalu percaya pada omongan Karpak, yang ternyata orang suruhan Ratu Lembah Mayat," pelan suara Eyang Bagasrana.
"Jika kau ingin menghukumku, aku rela menerimanya."
Tak ada sahutan sama sekali. Dan begitu Pengemis Tongkat Merah berpaling ke arah Pendekar Pulau Neraka, matanya jadi terbeliak. Karena pemuda berbaju kulit harimau itu sudah lenyap, tak ada lagi di sampingnya. Begitu cepat dan sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga kepergian Pendekar Pulau Neraka sama sekali tidak diketahui lagi.
Sementara itu, Parindra yang sudah sadar kembali hanya diam saja diberi penjelasan Eyang Bagasrana. Sedangkan Pengemis Tongkat Merah pun, diam-diam meninggalkan tempat ini, mengikuti Bayu yang sudah sejak tadi pergi entah ke mana. Tak ada seorang pun yang menyadari. Perhatian mereka semua tertumpah pada Parindra dan Eyang Bagasrana.
Mereka pun meninggalkan tempat itu, tanpa ada yang menyadari kalau orang yang menyelesaikan semua kemelut ini sudah pergi begitu saja. Mereka seperti lupa, dan terlalu gembira karena putra Pendekar Cakar Naga masih hidup. Terutama, Eyang Bagasrana yang begitu menyesali kebodohannya, karena bisa dikelabui Karpak. Akibatnya, mereka sudah melenyapkan nyawa orang yang seharusnya dijaga keselamatannya.
Episode Berikutnya : KERIS KALA MUYENG
SELESAI