Tiga Pengemis Sakti
SATU
Hentakan kakinya begitu mantap. Ditapakinya jalan tanah yang berdebu. Matanya yang bersorot tajam tak berkedip sedikit pun menatap lurus ke depan. Tak ada senyum sedikit pun tergurat di bibirnya yang merah. Tak dipedulikannya sengatan matahari. Tak dipedulikan tebalnya debu yang berkepul tersapu angin. Dia terus melangkah mantap disusunnya jalan tanah berdebu yang penuh oleh batu kerikil yang berserakan.
Ayunan kakinya baru berhenti ketika dia sampai di depan sebuah bangunan rumah yang hancur tak terawat. Ditatapnya pohon-pohon rambat yang hampir memenuhi seluruh dinding bangunan yang terbuat dari batu itu. Guratan-guratan wajahnya semakin menegang. Sorot matanya yang tajam perlahan-lahan memudar saat merayapi keadaan rumah yang sudah hancur seperti bekas terbakar di depannya ini.
“Hm.„, pasti tidak ada lagi orang di sini,” gumamnya begitu perlahan.
Hanya sedikit gerakan pada bibirnya saat dia menggumam tadi. Kakinya kembali bergerak terayun mendekati rumah itu. Dan, kembali dia berhenti setelah berada sekitar lima langkah lagi di depan pintu yang sudah hancur dan berlubang. Perlahan kemudian kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Dirayapinya keadaan sekitar yang begitu sunyi.
“Eh-eh...!”
Tiba-tiba terdengar deheman kecil dari belakangnya. Perlahan-lahan diputar tubuhnya berbalik. Dan, keningnya tampak berkerut ketika dilihatnya seorang laki-laki tua berjubah putih bersih yang panjang dan longgar telah berdiri di hadapannya.
Seluruh rambut lelaki tua itu sudah memutih. Bahkan seluruh jenggotnya yang panjang dan menyatu dengan kumis pun sudah berwarna putih. Tampak sebatang tongkat kayu putih tergenggam di tangan kanannya. Tongkat itu menyangga tubuhnya yang sudah bungkuk.
Sesaat, gadis cantik berbaju putih bersih dan ketat itu merayapi sekujur tubuh laki-laki tua di depannya ini.
“Ada yang kau cari di sini, Nisanak?” tegur laki-laki tua itu, ramah.
Tapi, gadis cantik berbaju putih tidak menjawab sedikit pun. Dia malah memandangi wajah tua yang sudah banyak kerutannya itu dengan sorot mata yang tajam, seperti tidak menyukai kehadirannya.
“Siapa kau?” tanya gadis itu.
Suaranya terdengar begitu dingin dan datar. Tak ada sedikit pun tekanan pada nada suara itu.
Bahkan, gerakan pada bibirnya pun hanya sedikit terlihat saat dia bertanya tadi. Begitu kaku sikapnya. Dan, tak sedikit pun terlihat ada keramahan pada wajahnya.
“Orang-orang memanggilku Ki Laksa.”
Laki-laki tua itu memperkenalkan diri dengan suara yang terdengar ramah dan tenang sekali. Bahkan, bibirnya yang hampir tertutup kumis putih terlihat menyunggingkan senyum yang begitu lembut, penuh rasa persahabatan.
Tapi, keramahan itu sama sekali tidak membuat gadis cantik di depannya mengubah sikap. Bahkan, bibirnya yang merah terlihat menyunggingkan senyum sinis, disertai dengusan kecil. Sinar matanya pun tampak semakin bersorot tajam.
“Dan kau sendiri siapa, Nisanak?”
Laki-laki tua yang mengaku bernama Ki Laksa itu balik bertanya dengan sikap yang masih ramah dan tenang.
“Kau tidak perlu tahu namaku...!” balas gadis itu, ketus.
“Maaf, aku harus tahu siapa saja yang datang ke rumah ini, Nisanak. Dan, terutama aku harus tahu tujuannya datang ke sini,” kata Ki Laksa, masih tetap bersikap ramah.
“Itu urusanku!” sentak gadis itu, kasar.
“Apa pun urusannya, kalau menyangkut rumah ini, menjadi urusanku juga, Nisanak. Maaf, sudah dua puluh tahun aku menjaga rumah ini. Dan selama ini pula, tidak ada seorang pun yang bisa menjamahnya,” tegas Ki Laksa.
“Jangan coba-coba memaksaku, Orang Tua. Aku bisa bertindak kasar!” ancam gadis itu.
“Ah..., kenapa kau begitu kasar, Nisanak. Ada kepentingan apa kau dengan rumah ini...?” ujar Ki Laksa yang agak terkejut mendengar kata-kata ketus tadi.
“Sudah aku katakan, itu bukan urusanmu!” sentak gadis itu, semakin kasar.
“Hm....”
Ki Laksa menggumam. Keningnya yang sudah banyak kerutannya semakin tampak berkerut Dan, kelopak matanya menyipit Dipandanginya gadis cantik berbaju serba putih di depannya ini. Kemudian perlahan digelengkan kepalanya beberapa kali sambil berdecak seperti cecak.
Sungguh dia tidak menyangka bahwa gadis secantik ini bersikap begitu kasar tanpa sedikit pun menaruh rasa hormat pada orang yang jauh lebih tua. Dia pun bertanya-tanya sendiri di dalam hatinya, “Siapa sebenarnya gadis ini? Ada urusan apa dia dengan rumah yang sudah hancur ini...?” namun, tidak ditemukannya satu pun jawaban. Pertanyaan itu tinggal pertanyaan, yang menggayuti relung hatinya.
Gadis cantik berbaju serba putih itu memutar tubuhnya berbalik. Lalu diayunkan kakinya mendekati pintu yang sudah hancur penuh lubang.
“Kau tidak berhak masuk ke dalam, Nisanak!” sentak Ki Laksa.
Gadis cantik berbaju serba putih tampak geram menahan marah. Lalu....
“Tua bangka keparat...! Terimalah ini! Hi-yaaat..!”
Gadis cantik berbaju serba putih memutar tubuhnya dengan cepat. Dan secepat itu pula, dihentakkan tangan kanannya.
Wusss!
Dari telapak tangan kanannya tiba-tiba terlontar beberapa benda bulat berwarna putih yang berkilat keperakan. Benda-benda berbentuk bulat kecil itu langsung meluncur cepat bagai kilat ke arah Ki Laksa.
“Hup...!”
Cepat-cepat Ki Laksana melentingkan tubuhnya. Dilakukannya putaran di udara dengan cepat dan dikebutkan tongkat kayunya menyampok benda-benda bulat kecil bercahaya keperakan itu. Begitu cepat gerakan-gerakannya, sehingga tak satu pun benda bulat kecil itu berhasil mengenai tubuhnya. Dan, dengan manis sekali laki-laki tua berjubah putih itu kembali menjejakkan kakinya di tanah.
“Bagus...! Rupanya kau punya kepandaian juga. Orang Tua,” desis gadis itu, dingin.
“Hm ...” Ki Laksa hanya menggumam perlahan.
“Suiiit..!”
Tiba-tiba laki-laki tua yang memperkenalkan di-rinya dengan Ki Laksana itu bersiul nyaring melengking tinggi. Siulan yang begitu nyaring itu membuat telinga gadis cantik berbaju serba putih berdenging. Dan, gadis itu tampak terkejut sekali. Dia tidak tahu, apa yang hendak dilakukan laki-laki tua itu dengan siulannya yang menyakitkan telinga tadi. Tapi, hanya sekali siulan itu terdengar. Gadis berbaju serba putih pun tidak perlu mengerahkan hawa murni ke telinganya.
Namun, belum juga gadis itu sempat berpikir lebih panjang lagi, mendadak dari balik pepohonan dan reruntuhan tembok batu bermunculan orang-orang dengan golok terhunus. Sebentar saja, tempat itu sudah terkepung oleh tidak kurang dari lima puluh orang menghunus golok masing-masing.
“Kau lihat, Nisanak. Mereka tidak segan-segan mencincangmu kalau aku perintahkan. Sebaiknya kau tidak perlu berkeras kepala, Nisanak. Apa maksudmu datang ke sini...?” ujar Ki Laksa dengan nada mengancam.
“Aku datang untuk mengambil nyawamu, Keparat!” sahut gadis itu, dingin.
“Perempuan setan...! Rupanya kau tidak bisa diajak bicara baik-baik, heh...!” geram Ki Laksa.
“Untuk apa bicara manis denganmu, Perampok Tiga Nyawa!” dengus gadis itu.
“Heh...?! Siapa kau sebenarnya?”
Ki Laksa terperanjat setengah mati saat gadis cantik berbaju serba putih menyebutnya dengan nama Perampok Tiga Nyawa. Dia sama sekali tidak menyebutkan nama itu tadi. Tapi, gadis yang baru dilihatnya ini seakan-akan sudah tahu perihal Perampok Tiga Nyawa.
“Sudah aku katakan, kau tidak perlu tahu siapa aku, Perampok Tiga Nyawa, aku menginginkan nyawamu. Juga nyawa teman-temanmu!”
“Setan keparat..!” geram Ki Laksa, berang. “Aku bukan si Perampok Tiga Nyawa...!”
“Aku tahu siapa kau, Pengkhianat. Kau atau mereka sama saja. Dan, sebaiknya kau gorok lehermu sendiri daripada kau kotori tanganku dengan darahmu!” dengus gadis itu, ketus.
Wajah Ki Laksana seketika memerah. Ditahannya kemarahan yang hampir meluap. Namun tampak pula Ki Laksa berusaha mengira-ngira, siapa gadis ini sebenarnya. Dia mencoba mengingat-ingat bekas lawan-lawannya dulu. Tapi, sukar baginya untuk bisa mengetahui siapa gadis cantik berbaju putih yang usianya paling tidak baru sekitar dua puluh tahun ini.
“Serang perempuan setan itu...!” perintah Ki Laksa tiba-tiba.
Seketika itu juga, lima puluh orang yang sudah mengepung tempat itu langsung berhamburan melunak ke arah gadis berbaju putih yang tidak mau memperkenalkan namanya ini. Teriakan-teriakan keras menggelegar terdengar memecah udara di sekitar halaman depan rumah yang sudah hancur ini.
“Hup! Hiyaaa...!”
Bagaikan kilat, tiba-tiba gadis cantik berbaju serba putih melentingkan tubuhnya ke udara. Dan, secepat itu pula, dikibaskan kedua tangannya ke segala arah. Terlihatlah benda-benda bulat kecil keperakan meluncur dari kedua telapak tangannya.
“Aaa...!”
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat telinga. Tampak beberapa orang terjungkal berlumuran darah. Tapi, tidak sedikit pula yang ternyata berhasil menghindari benda-benda kecil berkilat keperakan itu. Mereka yang selamat ini segera berlompatan mundur. Dan, terlihat tujuh orang sudah menggeletak tak bernyawa lagi dengan tubuh penuh lubang dan mengeluarkan darah.
Dengan manis sekali, gadis cantik berbaju serba putih menjejakkan kakinya kembali di tanah. Bibirnya yang merah menyunggingkan senyum sinis.
Orang-orang yang tadi hendak mengeroyoknya kini tampak menjauh lagi.
“Setan alas...!” desis Ki Laksa, yang geram melihat tujuh pengikutnya tewas hanya dalam satu gebrakan.
Gadis itu tetap berdiri tegak dengan bibir masih menyunggingkan senyum tipis yang begitu sinis. Tatapan matanya yang menyorot begitu tajam terlihat menantang laki-laki tua berjubah putih yang berdiri sekitar tiga batang tombak di depannya.
“Kubunuh kau, Perempuan Setan! Hiyaaat..!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Ki Laksa melompat cepat bagai kilat. Diterjangnya gadis cantik itu. Tongkat kayunya dikibaskan cepat mengarah ke kepala, disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali tingkatannya. Kebutan tongkat yang sangat cepat itu menimbulkan suara angin yang menderu bagai topan.
“Haiiit..!”
Hanya dengan menarik sedikit kepalanya ke belakang, gadis cantik berbaju serba putih berhasil menghindari sabetan tongkat kayu itu. Namun, tanpa diduga sama sekali, Ki Laksa langsung mengirimkan satu tendangan keras menggeledek, tanpa menarik kembali tongkatnya yang tidak mengenai sasaran tadi.
“Hiyaaat..!”
“Hup!”
Cepat-cepat gadis berbaju serba putih melompat ke belakang. Dilakukannya sekali putaran. Tendangan keras menggeledek yang dilepaskan Ki Laksa ke arah lambung itu pun berhasil dihindarinya dengan manis sekali.
“Hap!”
Gadis cantik berbaju serba putih cepat-cepat menghentakkan tangannya ketika Ki Laksa melontarkan satu pukulan keras yang begitu cepat Tak pelak lagi, dua tangan pun beradu keras tepat di depan dada gadis itu.
Plakkk!
“Ikh...?!”
Pekikan kecil terdengar. Cepat-cepat gadis cantik berbaju serba putih melompat ke belakang beberapa tindak. Tampak bibirnya meringis menahan nyeri pada tangannya yang beradu dengan tangan Ki Laksa tadi. Saat itu juga dia menyadari bahwa tenaga dalam yang dimilikinya masih kalah dibandingkan laki-laki tua itu.
“Hiyaaat..!
Ki Laksa melompat bagai kilat. Diserangnya gadis cantik berbaju serba putih sambil melontarkan pukulan beruntun yang begitu cepat sebelum gadis itu bisa menyadari keadaannya lebih jauh lagi.
“Hup! Yeaaah...!”
Gadis cantik berbaju serba putih cepat-cepat melentingkan tubuhnya dan langsung berjumpalitan di udara. Dihindarinya setiap serangan yang datang secara beruntun dan cepat itu. Tubuhnya meliuk-liuk dengan indah sekali. Dia sadar bahwa dirinya tidak mungkin dapat mengadu kekuatan tenaga dalam dengan laki-laki tua berjubah putih ini. Dia pun terus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang.
“Hiyaaa...!”
Tampaknya Ki Laksa tidak mau membiarkan lawannya begitu saja. Sama sekali tidak diberikannya kesempatan bagi gadis itu untuk balas menyerang. Laki-laki tua ini terus melakukan serangan yang begitu cepat. Pukulannya yang terlontar selalu menimbulkan suara menderu yang begitu dahsyat. Bahkan kebutan tongkatnya tidak hanya mengeluar-kan suara menderu, tapi juga menimbulkan hawa panas yang semakin menyengat dan menyesakkan dada.
“Phuih. .!”
Gadis itu mendengus keras sambil meng-hembuskan napasnya. Dadanya semakin terasa sesak. Semakin sulit baginya untuk mengatur jalan pernapasan. Terlebih lagi, Ki Laksa terus-menerus menyerang dengan gencar tanpa memberi sedikit pun kesempatan padanya untuk menghela napas. Kepala gadis cantik berbaju serba putih mulai terasa pusing.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba Ki Laksa meliukkan tubuhnya. Dan, bagaikan kilat disodokkan tongkatnya yang berujung runcing ke arah dada gadis cantik berbaju putih ini.
Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan laki-laki tua itu. Lawannya pun tampak terperangah. Namun, tanpa diduga sama sekali, mendadak...
“Hih!”
Tap!
“Edan...!”
Ki Laksa terkejut setengah mati. Tiba-tiba gadis itu telah merapatkan kedua tangannya di depan dada. Ujung tongkat Ki Langkas yang hampir menembus dadanya pun berhasil ditangkapnya.
“Hih!”
“Yeaaah...!”
Tepat ketika Ki Laksa menarik tongkatnya, gadis itu menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil membuka jepitannya pada ujung tongkat berbentuk runcing itu. Dan, Ki Laksa pun tersentak kaget setengah mati. Namun, karena dia telanjur mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya dan gadis itu pun tengah menghentakkan tenaga dalam, tak pelak lagi Ki Laksa terpental ke belakang dengan deras sekali.
“Hiyaaat...!”
Tanpa membuang-buang kesempatan sedikit pun gadis cantik berbaju serba putih langsung melompat mengejar Ki Laksa yang terpental ke belakang. Secepat kilat pula dikebutkan tangan kanannya ke depan.
Wusss!
Dua benda berkilat keperakan langsung melesat cepat ke arah laki-laki tua berjubah putih itu. Tapi, walaupun dalam keadaan tubuh tidak terkendali, Ki Laksa masih bisa mengebutkan tongkatnya. Dan, disampoknya dua benda bulat bercahaya keperakan itu.
Trak!
“Hup! Hiyaaa...!”
Dengan meminjam tenaga dari lontaran benda itu, Ki Laksa melentingkan tubuhnya ke udara. Dilakukannya tiga kali putaran, sebelum kakinya kembali menjejak tanah. Namun, pada saat yang bersamaan, gadis cantik berbaju serba putih melepaskan satu pukulan dahsyat yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
“Hiyaaa...!”
“Hih!”
Plak!
“Ikh...!”
“Yeaaah...!”
Tepat ketika tangannya yang mengibas ke depan beradu dengan pukulan tangan gadis itu, Ki Laksa bagaikan kilat melepaskan satu tendangan menggeledek sambil memutar tubuhnya. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan oleh laki-laki tua berjubah putih itu. Gadis cantik berbaju serba putih pun tidak dapat lagi berkelit menghindar.
Bekh!
“Akh...!”
Tak pelak lagi, tubuh gadis itu terpental ke belakang sambil mengeluarkan pekikan keras agak tertahan.
“Hiyaaa...!”
Tanpa membuang-buang kesempatan lagi, Ki Laksa langsung melompat cepat bagai kilat. Dan, secepat itu pula dilepaskannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi tingkatannya. Pukulan yang dahsyat itu kembali menghantam dada gadis ini.
“Aaakh...!”
Kembali gadis cantik berbaju serba putih memekik keras. Tubuhnya terbanting deras ke tanah. Lalu, dia bergulingan beberapa kali, sebelum berhenti menabrak seonggok batu hingga hancur berkepingkeping.
“Cincang dia...!” perintah Ki Laksa, lantang.
“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!”
Seketika itu juga orang-orang yang sejak tadi hanya menjadi penonton berhamburan dan berteriak-teriak sambil mengebutkan senjata di atas kepala. Mereka langsung meluruk deras ke arah gadis cantik berbaju serba putih, yang tampak sedang berusaha berdiri sambil mengeluh.
Gadis itu merasakan sesak dan nyeri pada dadanya. Sulit sekali baginya untuk bisa berdiri. Pukulan dan tendangan yang diterimanya dari Ki Laksa tadi begitu keras. Sedangkan para pengikut Ki Laksa tampak semakin dekat saja. Tapi, ketika gadis itu mulai bersikap pasrah tiba-tiba....
“Ghraaaugkh...!”
“Hah...?!”
“Ohhh...?!”
Para pengikut Ki Laksa langsung berhenti terpaku ketika tiba-tiba terdengar raungan yang begitu keras menggelegar. Tanah yang mereka pijak pun terasa bergetar bagai diguncang gempa. Dan, belum lagi keterkejutan mereka lenyap, mendadak berkelebat sebuah bayangan yang langsung menyambar tubuh gadis cantik berbaju serba putih yang masih tergeletak di tanah.
Slap!
Secepat kilat pula bayangan itu kembali berkelebat setelah berhasil menyambar tubuh gadis yang tergeletak tadi. Dan dalam sekejap mata, bayangan itu langsung lenyap bersama gadis cantik berbaju serba putih yang sudah tidak berdaya lagi. Tak ada seorang pun yang sempat menyadari keadaan ini, kecuali Ki Laksa yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, walaupun dia sendiri tidak bisa melihat dengan jelas bentuk bayangan yang berkelebat begitu cepat itu.
“Setan...!” geram Ki Laksa.
Sementara itu para pengikut Ki Laksa masih terlongong kebingungan. Gadis yang hampir mereka cincang tadi sudah lenyap tak berbekas lagi, bagaikan tertelan bumi.
Ki Laksa berdiri tegak di beranda depan sebuah rumah besar. Matanya menerawang jauh ke depan. Di belakangnya, terlihat tiga laki-laki setengah baya, yang masing-masing berbaju merah, kuning, dan biru, duduk di kursi memandanginya. Perlahan Ki Laksa memutar tubuhnya sambil menghembuskan napas panjang. Kemudian dia melangkah beberapa tindak, lalu duduk di kursi yang melingkari sebuah meja yang bagian atasnya berbentuk bulat dan terbuat dari batu pualam putih yang berkilat seperti permukaan air.
Tiga laki-laki setengah baya yang berbaju merah, kuning, dan biru itu sebutan tiga bersaudara yang dikenal dengan julukan Perampok Tiga Nyawa. Ketiga-tiganya adalah tokoh tua rimba persilatan yang berkepandaian tinggi dan sukar dicari tandingannya. Mereka memiliki sebuah ilmu yang sangat aneh dan langka, yang dikenal dengan nama ilmu 'Tiga Nyawa'. Dengan ilmu yang luar biasa ini mereka dapat membangkitkan kematian salah seorang dari mereka sendiri. Jika salah seorang tewas, yang lainnya akan membangkitkan lagi dengan hanya melompatinya. Sedangkan nama mereka biasanya dikenal menurut warna pakaian yang dikenakan.
“Kau yakin tidak mengenali gadis itu, Ki Laksa?” tanya Nyawa Biru.
'Tidak. Baru kali itu aku melihatnya. Dan lagi aku yakin, dia bukan penduduk Desa Gebang,” sahut Ki Laksa.
Ki Laksa memang sudah menceritakan semua peristiwa yang baru dialaminya di depan rumah kosong yang sudah hancur tadi. Tidak ada sedikit pun yang dikurangi, kecuali gerungan dahsyat yang didengarnya sebelum gadis cantik berbaju serba putih menghilang disambar sebuah bayangan yang tidak diketahui bentuknya itu. Karena, dia sendiri masih belum tahu, siapa yang mengeluarkan gerungan dahsyat itu.
“Tapi untuk apa dia datang ke rumah Ki Satria?” tanya Nyawa Merah.
“Itulah yang aku tidak tahu. Sama sekali dia tidak mengatakannya. Dia hanya bilang, dia datang untuk mencariku dan kalian bertiga.”
“Cobalah kau ingat-ingat lagi, Ki Laksa,” kata Nyawa Biru.
“Aku benar-benar tidak mengenalnya. Dan baru kali itulah melihatnya. Tapi...,” ucapan Ki Laksa terputus.
“Tapi apa, Ki...?” desak Nyawa Biru.
“Dia sudah mengenalku. Dan bukankah dia mengatakan aku mengkhianat,” ujar Ki Laksa pelan sekali. “Katanya, dia datang ingin mengambil nyawa kita semua.”
Ketiga laki-laki berusia setengah baya yang berjuluk Perampok Tiga Nyawa itu tampak terkejut Mereka melemparkan pandang satu sama lain, kemudian sama-sama menatap pada Ki Laksa, yang duduk tepat di samping Nyawa Kuning. Beberapa saat mereka terdiam.
“Aku tahu siapa dia, Ki,” ujar Nyawa Merah, memecah kebisuan.
“Kau jangan main-main, Merah. Ini bukan persoalan yang ringan. Gadis itu datang untuk mengambil nyawa kita semua...!” dengus Ki Laksa.
“Kau masih ingat peristiwa lima belas tahun yang lalu, Ki Laksa...? Bukankah gadis itu mengatakan bahwa kau pengkhianat? Dia sudah tahu siapa dirimu, bahkan kami bertiga. Aku yakin, kau tidak bisa lupa dengan peristiwa lima belas tahun lalu itu,” kata Nyawa Merah sambil menatap begitu dalam pada Ki Laksa.
Ki Laksa hanya terdiam dengan pandangan menerawang jauh ke depan. Tentu saja dia tidak akan melupakan peristiwa lima belas tahun yang lalu itu, peristiwa yang membuatnya sekarang ini memiliki kedudukan yang sangat penting di Kerajaan Kalarang. Dia telah menggantikan kakaknya menjadi orang kepercayaan Raja Kalarang. Tapi bagai-manapun, dia tetap tinggal di Desa Gebang, desa kelahirannya.
“Aku yakin, dia pasti Intan Kumala,” kata Nyawa Merah.
“Mustahil...!” desis Ki Laksa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kenapa tidak...? Di mayapada ini, sesuatu yang dianggap tidak mungkin bisa saja terjadi tanpa dapat kita ketahui sebelumnya,” kata Nyawa Merah lagi.
“Mana mungkin dia bisa hidup setelah jatuh ke dalam jurang yang begitu dalam...?” ujar Ki Laksa, seperti bertanya pada diri sendiri.
“Aku rasa memang gadis itu Intan Kumala, Ki,” selak Nyawa Biru. “Tidak ada seorang pun yang melihat mayatnya ke dalam jurang. Dan kau sendiri tidak mau melihatnya, Ki.”
Ki Laksa kembali terdiam. Memang tidak ada yang turun ke jurang untuk melihat Intan Kumala yang jatuh ke dalamnya ketika itu. Tapi, waktu itu mereka begitu yakin bahwa Intan Kumala sudah tewas. Suatu hal yang sulit dipercaya kalau orang yang tercebur ke dalam jurang yang begitu dalam itu masih bisa selamat. Dasar jurang itu saja tidak terlihat. Apalagi, saat itu Intan Kumala masih berusia empat tahun. Dia masih terlalu kecil untuk bisa hidup dalam dasar jurang yang begitu dalam dan gelap terselimut kabut tebal yang abadi.
Tapi, kemunculan gadis tak dikenal itu membuat hati Ki Laksa bimbang juga. Terlebih lagi, tiga laki-laki setengah baya yang dikenal dengan julukan Perampok Tiga Nyawa, ini seperti yakin benar bahwa gadis itu adalah Intan Kumala.
Entah berapa lama Ki Laksa terdiam membisu. Sedangkan malam sudah semakin larut menyelimuti seluruh wilayah Desa Gebang. Tak ada lagi seorang pun terlihat di jalan-jalan desa itu. Sesekali terdengar suara kentongan dipukul peronda malam, yang disambut nada pilu suara burung malam.
“Sudah larut malam, Ki. Sebaiknya kau tidur,” kata Nyawa Merah.
“Heh...!”
Ki Laksa hanya mendesah. Begitu panjang desahan napasnya. Dia berpaling sedikit. Ditatapnya tiga laki-laki setengah baya yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa itu. Mereka masih tetap duduk di kursi masing-masing menghadapi meja bundar dari batu pualam yang putih dan berkilat Beberapa guci arak terlihat menggeletak di atas meja itu.
Tiga laki-laki setengah baya itu saling melemparkan pandang. Mereka tahu, hati Ki Laksa sedang diliputi kegundahan dengan munculnya seorang gadis yang belum dikenali dengan pasti. Namun, mereka menduga bahwa gadis itu adalah Intan Kumala. Dugaan inilah yang membuat hati Ki Laksa gundah.
“Kalian pergi tidur dulu,” kata Ki Laksa.
Perampok Tiga Nyawa bersamaan bangkit berdiri Namun, mereka tidak segera beranjak meninggalkan beranda. Sedangkan Ki Laksa melayangkan pandangannya kembali ke depan. Pada saat itu, terlihat laki-laki yang tampaknya sudah berusia lanjut, berjalan perlahan-lahan.
Di bawah cahaya bulan yang bersinar penuh, dapat dilihat cukup jelas, laki-laki tua itu mengenakan pakaian penuh tambalan yang kumal dan memudar warnanya. Dia menggenggam tongkat kayu di tangan kiri yang membantunya melangkah. Sedangkan di tangan kanannya tergenggam sebuah mangkuk dari batok kelapa. Laki-laki tua yang tampaknya seorang pengemis itu berhenti tepat di depan pintu pagar bambu rumah Ki Laksa. Kemudian dia berpaling dan menatap langsung pada Ki Laksa yang berdiri bersandar pada tiang beranda.
“Mau apa pengemis itu malam-malam datang ke sini...?” gumam Nyawa Kuning, seperti bertanya pada diri sendiri.
Perampok Tiga Nyawa secara bersamaan men-dekati Ki Laksa, lalu berhenti beberapa langkah di depan laki-laki tua berjubah putih itu. Pandangan mata mereka terus tertuju pada pengemis tua yang masih tetap berdiri di depan pintu pagar.
“Pengemis Mangkuk Putih...,” desis Nyawa Biru begitu melihat mangkuk batok kelapak berwarna putih di tangan kanan pengemis tua itu.
Slap!
Tiba-tiba pengemis tua itu lenyap dari pandangan mata. Ki Laksa dan Perampok Tiga Nyawa pun terperanjat setengah mati. Namun, tiba-tiba secara serempak si Perampok Tiga Nyawa berlompatan keluar dari beranda. Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki. Dalam waktu yang sangat singkat ketiga laki-laki berusia setengah baya itu pun sudah berada di tengah-tengah halaman yang luas dan berumput di depan beranda.
“Kau lihat ke mana perginya Pengemis Mangkuk Putih itu, Merah?” tanya Nyawa Bini, perlahan.
Namun, belum sempat Nyawa Merah menjawab, tiba-tiba terlihat sebuah bayangan meluruk deras bagai kilat ke arah Perampok Tiga Nyawa.
“Awas...!” seru Nyawa Kuning. “Hup...!”
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Si Perampok Tiga Nyawa segera berlompatan menyebar. Dihindari oleh mereka terjangan bayangan yang berkelebat cepat bagai kilat itu. Tepat di saat ketiga laki-laki berusia setengah baya itu men-jejakkan kaki di tanah, tahu-tahu di tengah-tengah mereka sudah berdiri seorang laki-laki tua berpakaian kumal dan compang-camping penuh tambalan. Laki-laki tua inilah yang tadi mereka lihat berada di depan pintu pagar.
“Kalau kau mencari derma, bukan di sini tempatnya. Pengemis Tua!” seru Ki Laksa lantang, sambil melangkah menuruni anak tangga beranda depan rumahnya.
“Aku datang bukan untuk mencari derma, Ki Laksa. Aku datang untuk menuntut tanggung jawab-mu!” sahut pengemis tua itu dengan tegas dan dingin.
“Heh...?! Lancang sekali bicaramu, Pengemis Busuk!” bentak Ki Laksa.
Ki Laksa berhenti melangkah. Kini jaraknya tinggal sekitar tujuh langkah lagi di depan pengemis tua yang berjuluk si Pengemis Mangkuk Putih itu. Sedangkan si Perampok Tiga Nyawa mengambil tempat sekitar dua langkah di belakang Ki Laksa. Sementara itu si Pengemis Mangkuk Putih tetap berdiri tegar. Tongkat kayu yang tergenggam di tangan kirinya tampak menekan tanah di ujung jari kakinya.
“Sebenarnya aku tidak ingin berurusan denganmu, Ki Laksa. Tapi kau sudah memulainya lebih dahulu,” kata Pengemis Mangkuk Putih, dengan nada suara masih terdengar dingin.
“Kau jangan coba-coba cari urusan denganku, Pengemis Tua. Apa yang kau inginkan dariku...?” sentak Ki Laksa, lantang.
“Tidak perlu lagi aku menjelaskannya padamu, Ki Laksa. Aku datang hanya ingin meminta tanggung jawabmu.”
“Edan...! Ada urusan apa sampai aku harus bertanggung jawab padamu?” dengus Ki Laksa.
“Perbuatanmu pada muridku siang tadi,” sahut Pengemis Mangkuk Putih.
“Ha ha ha...!”
Ki Laksa tertawa terbahak-bahak. Kini dia tahu, kedatangan pengemis tua itu malam-malam begini ke rumahnya adalah untuk meminta tanggung jawabnya karena siang tadi dia hampir menewaskan seorang gadis. Dan, Ki Laksa juga sekarang tahu, gadis itu adalah murid si Pengemis Mangkuk Putih ini. Dan, yang menolong gadis itu dari maut di ujung tongkat-nya pun sudah pasti si Pengemis Mangkuk Putih ini. Namun masih juga belum terjawab, siapa sebenarnya gadis cantik berbaju serba putih itu.
“Muridmu terlalu lancang memasuki tempat laranganku, Pengemis Tua. Sudah sepantasnyalah aku memberi sedikit pelajaran padanya,” kata Ki Laksa, setelah tawanya menghilang.
“Kau tidak berhak melarang siapa pun masuk ke sana, Ki Laksa. Terlebih lagi pada muridku, Dia...”
“Cukup...!” bentak Ki Laksa, menghentikan ucapan si Pengemis Mangkuk Putih.
Dua langkah Ki Laksa maju ke depan. Perlahan-lahan diangkat tongkatnya yang berujung runcing. Dan ditujukannya tongkat itu lurus ke dada laki-laki tua berbaju kumal penuh tambalan di depannya ini.
“Aku peringatkan sekali lagi, Pengemis Tua. Enyahlah kau segera dari sini. Atau kau ingin nyawa-mu saja yang pergi?” desis Ki Laksa, mengancam.
“Aku memang akan pergi. Tapi dengan membawa kepalamu,” tegas Pengemis Mangkuk Putih.
“Setan busuk...!”
Ki Laksa menggeram. Wajahnya seketika memerah. Tubuhnya bergetar menahan kemarahan yang meluap saat mendengar kata-kata si Pengemis Mangkuk Putih barusan. Kata-kata yang begitu pedas dan menyakitkan itu jelas sekali merupakan sebuah tantangan terbuka.
“Kepalamu yang akan kupenggal. Pengemis Busuk!” desis Ki Laksa, dingin menggeletar.
Saat itu juga, mendadak....
“Hiyaaa...!”
Bagaikan kilat Ki Laksa melompat dan langsung menenang si Pengemis Mangkuk Putih. Tongkatnya yang berujung runcing dikebutkan tepat mengarah ke leher lawannya. Namun, dengan sedikit saja si Pengemis Mangkuk Putih menarik kepalanya, ujung tongkat yang runcing itu lewat di depan tenggorokannya.
“Hup! Hiyaaa...!”
Tanpa diduga sama sekali, mendadak si Pengemis Mangkuk Putih melompat sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek ke arah dada Ki Laksa. Begitu cepatnya serangan balik yang dilakukan Pengemis Mangkuk Putih. Ki Laksa pun dibuatnya terperangah sesaat
“Hap...!”
Cepat-cepat Ki Laksa melompat ke belakang. Dihindarinya tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam itu. Lalu, dua kali tubuhnya berputaran di udara. Dan, dengan manis sekali kakinya kembali menjejak tanah.
Tepat di saat si Pengemis Mangkuk Putih menjejakkan kakinya di tanah, tiga serangkai Perampok Tiga Nyawa berlompatan menyerang secara bersamaan. Mereka langsung menyebar dan mengurung dari tiga arah. Dan, si Nyawa Merah langsung melepaskan satu pukulan keras meng-geledek yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
“Haiiit..!”
Pengemis Mangkuk Putih cepat-cepat menarik kakinya ke kanan. Dihindarinya pukulan si Nyawa Merah sambil meliukkan tubuhnya. Namun, belum juga dia bisa menegakkan tubuhnya, dari arah kanan datang lagi satu serangan cepat. Tampak sambil melompat si Nyawa Bini melepaskan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi.
“Hiyaaa...!”
“Hap!”
Tak ada lagi kesempatan bagi si Pengemis Mangkuk Putih untuk berkelit. Saat itu juga dia menghentakkan tangan kirinya yang memegang mangkuk batok kelapa ke arah kaki yang melayang deras ke arahnya. Begitu cepatnya hentakan itu, si Nyawa Bini pun tidak sempat lagi menarik kakinya. Dan....
Plakkk!
“Hih!”
Cepat-cepat si Nyawa Biru melentingkan tubuhnya ke belakang begitu mangkuk batok kelapa yang berwarna putih itu menghantam kakinya. Dia terhuyung ketika menjejakkan kakinya di tanah. Bibirnya meringis merasakan nyeri pada tulang kakinya yang terkena pukulan mangkuk si Pengemis Mangkuk Putih itu.
“Hiyaaa...!”
Tanpa membuang-buang kesempatan sedikit pun, si Pengemis Mangkuk Putih cepat-cepat meng-hentakkan lagi tangan kirinya sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke arah si Nyawa Biru.
Wusss!
Seketika itu juga mangkuk batok kelapa di tangan kiri si Pengemis Mangkuk Putih melesat cepat bagai kilat begitu dilemparkan dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali tingkatannya. Si Nyawa Biru pun tidak sempat lagi menghindar.
Prakkk!
“Aaakh...!”
Nyawa Biru menjerit keras dan melengking tinggi. Mangkuk berwarna putih itu telah menghantam kepalanya dengan keras sekali.
“Hup! Yeaaah...!”
Si Pengemis Mangkuk Putih cepat melompat Disambar kembali mangkuknya yang terpental balik setelah menghantam kepala si Nyawa Biru. Dan, beberapa kali tubuhnya berjumpalitan di udara. Sedangkan si Nyawa Biru terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya yang pecah terkena lemparan mangkuk sakti pengemis tua itu.
Brukkk!
Keras sekali tubuh si Nyawa Biru ambruk menghantam tanah. Tampak darah bercucuran deras dari kepalanya yang pecah. Beberapa saat laki-laki berbaju biru itu menggelepar, kemudian diam tak bergerak lagi. Pengemis Mangkuk Putih sudah kembali berdiri tegak di atas kedua kakinya yang kokoh.
“Hup...!”
Si Nyawa Merah melompat ke arah si Nyawa Biru, yang sudah menggeletak tak bergerak lagi di atas tanah berumput yang basah oleh embun. Tanpa berbicara sedikit pun, Nyawa Merah melompati tubuh saudaranya itu. Dan, pada saat itu juga....
“Heh...?!”
Kedua bola mata si Pengemis Mangkuk Putih terbeliak lebar. Hampir-hampir dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Nyawa Biru yang meng-geletak dengan kepala pecah berlumuran darah tadi tiba-tiba bangkit kembali begitu dilompati si Nyawa Merah. Dan yang lebih mengherankan lagi, kepalanya yang tadi pecah berlumuran darah terhantam mangkuk sakti pengemis tua itu kini sudah kembali utuh seperti semula. Bahkan, tak setetes pun darah yang terlihat mengalir dari kepala itu.
“He he he...!”
Nyawa Biru tertawa terkekeh-kekeh. Begitu pula dengan kedua saudaranya. Sedangkan si Pengemis Mangkuk Putih masih terlongong-longong. Kemudian, perlahan-lahan si Perampok Tiga Nyawa melangkah menghampiri Pengemis Mangkuk Putih.
Sementara itu Ki Laksa tampak tersenyum-senyum. Digeser kakinya ke belakang beberapa langkah. Dia begitu percaya bahwa si Perampok Tiga Nyawa mampu menangani si Pengemis Mangkuk Putih tanpa campur tangannya lagi.
Si Perampok Tiga Nyawa semakin dekat dengan lawannya. Pengemis Mangkuk Putih melangkah ke belakang perlahan-lahan. Dia masih diliputi rasa heran dan tidak percaya melihat Nyawa Biru bisa bangkit kembali. Padahal, tadi dia begitu yakin, laki-laki setengah baya yang mengenakan baju bini itu sudah tewas terhantam mangkuk saktinya.
“Keluarkanlah semua kepandaianmu, Pengemis Mangkuk Putih. Kau tidak akan mampu menandingi kami,” ejek Nyawa Biru.
“Phuih...!” Pengemis Mangkuk Putih menyemburkan ludahnya. Dan, tiba-tiba...
“Hiyaaa...!”
Cepat sekali pengemis tua itu memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan, secepat itu pula dikibaskan tangan kirinya yang memegang mangkuk putih. Sambil mengerahkan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat tinggi. Dilemparkannya mangkuk putih itu ke arah si Nyawa Merah yang berada paling depan.
Wusss!
Sungguh sukar dipercaya, ternyata Nyawa Merah tidak berusaha berkelit sedikit juga. Dan, dengan telak sekali dadanya pun terkena lemparan mangkuk pengemis tua yang berwarna putih itu.
“Hegkh!”
Nyawa Merah hanya mengeluh sedikit, meskipun tubuhnya terpental ke belakang dan langsung ambruk ke tanah, tubuh itu tergeletak dengan dada pecah. Darah pun terlihat bercucuran dari dada yang pecah berlubang cukup besar itu. Sedangkan si Pengemis Mangkuk Putih sudah melompat begitu cepat sambil menyambar kembali mangkuknya dengan tangan kiri.
“Hup!”
Saat itu juga si Nyawa Kuning melompat cepat dan lewat di atas tubuh si Nyawa Merah yang menggeletak tak bergerak tadi. Keanehan terjadi lagi. Dan, kembali si Pengemis Mangkuk Putih terbeliak lebar, semakin heran dan terkejut
“Ha ha ha...!”
Nyawa Merah tertawa terbahak-bahak begitu kembali bangkit berdiri, setelah Nyawa Kuning melompati tubuhnya. Tampak dadanya yang tadi pecah berlubang dan berlumuran darah sudah kembali utuh seperti semula. Dan, tak sedikit pun ada bekas luka terlihat di sana.
“Edan...! Ilmu setan apa yang mereka pakal..?”
Pengemis Mangkuk Putih merasa seperti bermimpi. Belum pernah dilihat ada orang bisa bangkit lagi setelah diyakininya mati. Dan lagi, selama ini belum ada seorang pun yang mampu menahan mangkuk saktinya. Siapa pun yang terkena serangan mautnya dapat dipastikan akan tewas. Mangkuk yang kelihatan rapuh ini memang memiliki kekuatan yang begitu dahsyat apa saja yang terkena lemparannya sudah pasti hancur.
“Ha ha ha...! Kau tidak akan mampu membunuh si Perampok Tiga Nyawa, Pengemis Busuk!” seru Ki Laksa sambil tertawa terbahak-bahak dari depan beranda rumahnya.
Si Pengemis Mangkuk Putih terdiam. Dipandangi-nya si Perampok Tiga Nyawa dengan tajam. Ketiga laki-laki yang dipandangi itu melangkah maju perlahan-lahan sambil tertawa terkekeh-kekeh. Jelas sekali, mereka begitu meremehkan kemampuan si Pengemis Mangkuk Putih ini.
“Bunuh saja pengemis busuk itu, Perampok Tiga Nyawa!” seru Ki Laksa dengan suara yang lantang menggelegar.
Ketiga laki-laki yang dijuluki si Perampok Tiga Nyawa itu tertawa terbahak-bahak mendengar seman Ki Laksa tadi. Perintah itu tampaknya menjadikan hati mereka berkembang. Bau darah segar langsung menyeruak memenuhi rongga hidung. Mata mereka pun berbinar menatap Pengemis Mangkuk Putih.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba Nyawa Merah melompat bagai kilat Diterjangnya si Pengemis Mangkuk Putih. Satu pukulan keras dilontarkan dengan cepat sekali, disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.
“Hait!”
Si Pengemis Mangkuk Putih memiringkan tubuhnya ke kiri. Serangan si Nyawa Merah pun hanya mengenai angin kosong. Tapi, belum juga pengemis tua itu bisa menegakkan tubuh kembali, dari arah lain sudah melesat si Nyawa Biru, yang langsung mengayunkan sebuah kapak ke arah kepalanya.
“Hait!” Pengemis Mangkuk Putih memiringkan tubuhnya ke kiri. Serangan si Nyawa Merah pun mengenai tempat kosong!
Belum sempat pengemis tua itu menegakkan tubuhnya kembali, si Nyawa Biru sudah melesat sambil mengayunkan kapaknya ke arah kepala!
“Yeaaah...!” Wuk!
“Uts!”
Cepat-cepat si Pengemis Mangkuk Putih menelengkan kepalanya. Dihindarinya ayunan kapak yang bermata sangat tajam dan berkilatan itu. Dan, mata kapak itu pun lewat sedikit saja di samping kiri kepalanya. Namun, si Pengemis Mangkuk Putih cukup terperanjat juga ketika dirasakan ada hawa panas pada pipi kirinya, saat kapak si Nyawa Biru
berkelebat tadi.
“Hup!”
Cepat-cepat Pengemis Mangkuk Putih melompat ke belakang beberapa tindak. Tapi, baru saja kakinya menjejak tanah, mendadak dari arah kanan melayang satu tendangan menggeledek yang dilepaskan Nyawa Kuning. Begitu cepat serangan yang dilakukan si Nyawa Kuning. Akibatnya...
“Hiyaaa...!”
Des!
“Akh...!”
Pengemis Mangkuk Putih tidak sempat lagi berkelit menghindar. Tendangan si Nyawa Kuning tepat menghantam sebelah kanan dadanya. Pengemis tua itu pun terpekik keras dan langsung terpental ke kiri. Namun, segera dia menguasai keseimbangan tubuhnya dengan melakukan putaran di udara beberapa kali.
“Hup!”
Begitu kakinya menjejak tanah, dengan cepat sekali dilentingkan kembali tubuhnya ke udara. Tapi, pada saat itu juga, Nyawa Merah sudah melesat sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek, yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
“Hiyaaa...!”
“Hih! Yeaaah...!”
Pengemis Mangkuk Putih tampak tidak berusaha menghindar sama sekali. Begitu pukulan si Nyawa Merah sampai dengan cepat sekali dihentakkan tongkat kayunya. Dan, disambutnya pukulan itu.
Trak!
Tak pelak lagi, pukulan tangan kanan si Nyawa Merah menghantam tongkat kayu si Pengemis Mangkuk Putih. Dan, pada saat itu juga, si Nyawa Merah melenting ke belakang. Dilakukannya beberapa kali putaran. Sedangkan si Pengemis Mangkuk Putih langsung melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tampak terlihat sebuah potongan tongkat terjatuh bersamaan dengan lenyapnya pengemis tua itu dari pandangan mata.
“Setan...!” dengus Nyawa Merah begitu kakinya menjejak tanah lagi.
“Phuih! Cepat sekali dia menghilang,” desis Nyawa Kuning sambil menyemburkan ludah.
Memang, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki si Pengemis Mangkuk Putih sudah mencapai pada tingkat sempurna. Dia bisa melesat dan menghilang begitu cepat bagaikan asap tertiup angin.
Beberapa saat si Perampok Tiga Nyawa masih berdiri tegak di tengah-tengah halaman rumah Ki Laksa yang luas ini. Kemudian mereka memutar tubuhnya dan menghampiri Ki Laksa yang berada di dalam beranda rumahnya.
“Huh! Seharusnya kalian kejar dia tadi!” dengus Ki Laksa begitu tiga serangkai Perampok Tiga Nyawa berada dekat di depannya.
“Ilmu meringankan tubuhnya sangat sempurna, Ki. Mustahil kami bisa mengejarnya,” sahut Nyawa Merah, yang tampaknya menyadari bahwa kemampuan ilmu meringankan tubuhnya tidak setinggi si Pengemis Mangkuk Putih.
Perampok Tiga Nyawa memang mengakui, ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki masih berada di bawah tingkatan si Pengemis Mangkuk Putih. Meskipun, mereka juga memiliki keunggulan satu ilmu yang sulit ditandingi oleh siapa pun, termasuk oleh si Pengemis Mangkuk Putih itu sendiri. Terbukti tadi ilmu 'Tiga Nyawa' milik ketiga lelaki setengah baya ini, membuat si Pengemis Mangkuk Putih harus lari meninggalkan kancah pertarungan.
“Huh...!”
Sambil mendengus, Ki Laksa cepat memutar tubuhnya, dilangkahkan kakinya ke dalam rumah, dengan hentakan yang keras dan lebar-lebar. Sebentar saja, laki-laki tua berjubah putih itu pun sudah tenggelam di balik pintu. Sedangkan Perampok Tiga Nyawa hanya bisa saling memandang. Kemudian mereka ikut melangkah masuk ke dalam rumah tanpa berbicara sendiltit juga.
Keadaan Di Desa Gebang tetap terlihat ramai, meskipun siang ini udara terasa begitu panas. Matahari bersinar terik, seakan-akan hendak membakar semua yang ada di atas permukaan bumi. Namun, teriknya sang mentari tampaknya sama sekali tidak dirasakan oleh tiga orang berpakaian kumal, compang-camping, dan penuh tambalan, yang duduk melingkar di bawah sebuah pohon rindang, jauh di luar perbatasan Desa Gebang. Mereka duduk di suatu tempat yang begitu sunyi dan penuh dengan pohon serta bebatuan. Tampaknya tempat itu merupakan sebuah dasar jurang yang sangat dalam. Sinar matahari terlihat tidak mampu menembus kabut yang menyelimuti seluruh dasar jurang ini
Dilihat dari pakaian yang dikenakan, jelas bahwa mereka adalah para pengemis yang sudah berusia lanjut Salah satu dari mereka adalah seorang wanita yang seluruh rambutnya sudah memutih. Dia duduk diam sambil menyandarkan punggungnya pada sebatang pohon.
Dua laki-laki tua duduk di depannya juga tampak tak berkata-kata sedikit pun.
Ketiga orang tua itu masing-masing menggenggam tongkat kayu dan sebuah mangkuk dari batok kelapa yang berlainan warnanya. Mereka dikenal dengan julukan Tiga Pengemis Sakti. Mereka juga memiliki satu perkumpulan bernama Kelompok Pengemis Mangkuk Sakti, yang anggotanya tersebar di seluruh mayapada. Ketiganya juga sangat terkenal dengan kemahirannya menggunakan tongkat. Memang, mereka bukanlah para pengemis sembarangan. Kehebatan mereka sudah diakui di kancah rimba persilatan. Bahkan ketiga pengemis tua ini menguasai semua pengemis di seluruh jagat raya.
Sesekali pandangan Tiga Pengemis Sakti tertuju pada sebuah mulut gua yang agak terlindung semak belukar tidak jauh dari mereka.
“Kau sudah bicara padanya, Nyai Nirmala?” tanya pengemis tua yang memegang mangkuk berwarna putih.
“Dia masih belum juga bangun dari semadinya,” sahut pengemis perempuan tua yang dipanggil dengan nama Nyai Nirmala, yang juga dikenal dengan nama Pengemis Mangkuk Merah karena mangkuknya memang berwarna merah bagai berlumur darah.
Pengemis yang satunya lagi adalah seorang laki-laki tua bernama Ki Buyut, yang dikenal dengan nama Pengemis Mangkuk Biru. Dan, yang memegang mangkuk berwarna putih tadi adalah Pengemis Mangkuk Putih, yang bernama asli Ki Jagat
“Luka dalam yang dideritanya terlalu parah,” sambung Nyai Nirmala. “Hhh .., untung saja kau cepat menyelamatkanya, Ki Jagat”
“Dia memang bukan tandingan Ki Laksa,” desah Ki Jagat, perlahan.
“Memang keras kepala dia!” dengus Ki Buyut 'Sudah tahu kepandaiannya belum cukup, masih juga dia nekat menghadapi si keparat Ki Laksa. Untung saja dia tidak sampai bentrok dengan Perampok Tiga Nyawa.”
“Mereka memang sulit ditandingi. Tapi aku yakin, tingkat kepandaian mereka tidak seberapa tinggi Hanya saja...,” Ki Jagat tidak meneruskan kalimatnya.
Nyai Nirmala dan Ki Buyut menatap si Pengemis Mangkuk Putih dalam-dalam. Mereka memang sudah tahu, Ki jagat semalam baru menjajal kepandaian yang dimiliki si Perampok Tiga Nyawa. Dan, hampir saja dia celaka kalau tidak segera meninggalkan kancah pertarungan itu. Mereka semua pun hingga kini masih belum bisa mengerti, apa ilmu yang digunakan si Perampok Tiga Nyawa.
Ilmu itu sangat aneh sekali. Karena dengan ilmu itu, tiga serangkai Perampok Tiga Nyawa masing-masing bisa membangkitkan salah seorang anggotanya dari kematian hanya dengan melompati mayatnya.
Tiga Pengemis Sakti harus berpikir dua kali jika hendak berhadapan langsung dengan Perampok Tiga Nyawa. Karena, Ki Jagat sendiri sudah merasakan langsung kehebatan yang begitu aneh dan sukar dipercaya itu.
“Kapan Intan Kumala selesai dengan semadinya?” tanya Ki Jagat, setelah cukup lama berdiam diri.
“Mungkin senja nanti,” sahut Nyai Nirmala.
“Dia harus cepat-cepat dipersiapkan dengan matang untuk membalas kematian ayahnya. Aku lihat, Ki Laksa semakin bertambah kuat saja setelah menjadi orang kepercayaan di istana raja,” selak Ki Buyut.
“Jangan terlalu gegabah, Ki Buyut. Intan Kumala harus mempersiapkan diri lebih lama. Dan lagi, kita juga harus memperhitungkan segala akibatnya,” kata Ki Jagat.
“Kita semua sudah tahu. Dan kalau ini berhasil, aku yakin, tak ada seorang pun yang bisa menandingi Intan Kumala. Perampok Tiga Nyawa pun akan berpikir seribu kali untuk menghadapinya,” ujar Ki Buyut, bersemangat.
“Kita lihat saja nanti. Masalahnya, kita belum pernah mencobanya pada siapa pun,” desah Ki Jagat
“Aku yakin pasti berhasil, Ki,” tegas Ki Buyut, mantap. “Kita akan jadikan dia seorang pendekar yang tangguh dan tidak ada tandingannya di jagat raya ini.”
Mereka tidak berbicara lagi. Sementara itu Nyai Nirmala bangkit dan melangkah menuju ke gua yang terhalang oleh semak belukar dan dua buah pohon yang cukup besar. Sedangkan Ki Jagat dan Ki Buyut tetap duduk pada tempatnya. Mereka agak menggeser duduknya sedikit, mendekati seonggok api unggun yang menyala cukup besar. Udara dingin di tempat ini terasa sedikit hangat oleh nyala api unggun itu.
Di dalam gua yang tidak begitu besar, terlihat seorang gadis cantik berbaju putih duduk bersila di atas sebuah batu pipih. Kedua kelompak matanya terpejam. Telapak tangannya menempel di atas lutut Dan, tidak jauh di depannya, terlihat Nyai Nirmala juga duduk bersila memperhatikannya.
Bibir Nyai Nirmala membentuk senyuman ketika dilihatnya kelopak mata gadis di depannya bergerak terbuka. Bergegas dia berdiri dan menghampiri, lalu kembali duduk bersila di sampingnya.
Sedangkan gadis cantik itu diam saja. Matanya melirik sedikit pada perempuan tua berpakaian compang-camping dan penuh tambalan yang sudah duduk di samping kanannya ini.
“Apa yang kau rasakan, Intan Kumala?” tanya Nyai Nirmala, lembut
“Letih...,” sahut gadis cantik berbaju putih yang dipanggil Intan Kumala itu. Suaranya terdengar lirih dan perlahan, hampir tidak terdengar.
“Lapar?”
Intan Kumala hanya menggeleng. Perlahan kemudian kepalanya berpaling. Ditatapnya perempuan tua berpakaian pengemis itu. Sinar mata gadis itu terlihat begitu redup, seakan-akan tidak lagi memiliki gairah hidup. Dan, bibirnya yang kering terlihat pucat, karena dua hari ini dia hanya duduk bersemadi untuk memulihkan keadaan tubuh dan kekuatannya.
“Masih ada rasa sakti yang kau rasakan?” tanya Nyai Nirmala lagi, tetap lembut.
“Tidak,” sahut Intan Kumala seraya menggeleng perlahan.
“Syukurlah kalau begitu,” desah Nyai Nirmala, lega.
Nyai Nirmala turun dari atas batu pipih yang tadi didudukinya. Kemudian dia berdiri tegak di depan Intan Kumala, dengan tongkat kayu tergenggam erat di tangan kanan menyangga tubuhnya yang agak bungkuk. Meskipun usianya sudah lanjut, sorot matanya masih terlihat begitu tajam.
Intan Kumala masih duduk bersila, tak bergerak sedikit pun. Dia kelihatan lemah sekali setelah melakukan semadi tadi.
“Kau di sini saja, Intan. Aku akan memberi tahu kakek-kakekmu dulu,” kata Nyai Nirmala.
Intan Kumala hanya menganggukkan kepala. Sedangkan Nyai Nirmala berbalik dan melangkah keluar gua. Dan sebentar saja dia sudah menghilang. Tapi, tak lama kemudian pengemis perempuan itu sudah kembali lagi, diikuti dua orang laki-laki tua yang mengenakan baju compang-camping penuh tambalan. Mereka masing-masing membawa tongkat kayu dan sebuah mangkuk yang berlainan warnanya.
Ketiga pengemis tua itu bergegas menghampiri Intan Kumala, yang masih tetap duduk bersila di atas batu pipih dengan sikap bersemadi. Namun, mata gadis ini sudah terbuka, walaupun terlihat begitu sayu.
“Berdirilah, Intan,” pinta Ki Jagat, yang memegang mangkuk batok kelapa berwarna putih.
Perlahan-lahan Intan Kumala menggeser duduknya sampai ke tepi. Kemudian digerakkan kakinya turun sampai menyentuh tanah. Lalu, dicobanya untuk berdiri di atas kedua kakinya yang masih terasa kaku dan lemas. Dan, dengan sedikit dipaksakan gadis itu mampu juga berdiri, meskipun tidak begitu tegak. Bibirnya sedikit meringis. Ditahannya rasa nyeri pada seluruh persendian tulang tubuhnya.
'Tarik napas dalam-dalam, lalu hembuskan perlahan-lahan,” kata Ki Jagat.
Tanpa menunggu dua kali, Intan Kumala mengikuti petunjuk yang diberikan laki-laki tua itu. Segera ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya perlahan-lahan. Beberapa kali dilakukannya hal itu, hingga akhirnya dirasakan tubuhnya sedikit lebih segar.
“Pusatkan seluruh perhatianmu pada sang Hyang Widi. Kosongkan seluruh jiwa dan pikiranmu. Lalu tarik napas dalam-dalam dan hembuskan perlahan-lahan,” kata Ki Jagat lagi.
Intan Kumala mengikuti petunjuk itu tanpa membantah sedikit pun. Akhirnya, dirasakan tubuhnya berangsur segar kembali. Jalan pemapasannya kembali normal seperti sedia kala. Sedangkan wajahnya, yang semula terlihat pucat, kini kembali memerah segar. Dan, sinar matanya pun kembali berbinar, bagaikan bintang di langit yang luas tak bertepi.
“Bagaimana, Intan...?” tanya Ki Jagat, lembut.
'Terima kasih, Ki,” ucap Intan Kumala seraya membungkukkan dadanya memberi hormat.
Tiga Pengemis Sakti tersenyum senang, karena Intan Kumala sudah terlihat segar dan cerah kem-bali. Mereka kemudian duduk melingkar beralaskan selembar tikar anyaman daun pandan yang sudah lusuh, tidak jauh dari batu pipih tempat bersemadi. Semuanya masih terdiam beberapa saat. Sedangkan Intan Kumala diam-diam mengerahkan hawa murni ke seluruh tubuhnya, agar bisa lebih segar lagi.
“Ada yang ingin kukatakan padamu, Intan,” kata Ki Jagat, setelah cukup lama tidak ada yang membuka suara.
“Ya, Ki,” sahut Intan Kumala dengan sikap yang sangat hormat.
“Sejak kau berusia empat tahun, kau sudah kami didik dengan berbagai ilmu kanuragan dan kesaktian.
Tapi semua yang kau miliki sekarang ini belum cukup untuk menghadapi musuh-musuhmu. Kau harus memiliki sesuatu yang dapat kau andalkan, yang sangat berharga, dan tidak akan hilang sampai kau meninggalkan dunia fana ini,” kata Ki Jagat, masih dengan suara yang terdengar begitu lembut.
Intan Kumala diam saja. Kepalanya tertunduk. Dicobanya untuk mencerna kata-kata yang diucapkan Ki Jagat barusan. Dan, dicoba untuk menerka maksud ucapan orang tua itu. Tapi, semuanya masih terlalu sulit untuk diduga.
Memang, diakui oleh Intan Kumala, dia sudah tinggal bersama ketiga pengemis tua ini sejak masih berusia empat tahun. Itu memang bukan keinginannya sendiri.
Suatu peristiwa yang bisa dikatakan sebagai malapetaka yang tidak terlupakan yang membuatnya harus tinggal di dalam gua bersama pengemis-pengemis tua ini. Tapi, dia juga harus berterima kasih. Kalau bukan karena ketiga pengemis tua ini, entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Dia mungkin tidak bisa lagi melihat keindahan matahari di pagi hari.
“Bertahun-tahun, sebelum kau masuk ke dalam kehidupan kami, sebenarnya kami mempunyai sebuah ilmu dahsyat dan sangat tinggi tingkatannya. Tapi, ada satu kelemahannya. Dan kami pun menyadari kelemahan itu. Sedangkan waktu yang diperlukan untuk menyempurnakannya semakin terbatas saja,” kata Ki Jagat lagi.
Intan Kumala masih terdiam. Nyai Nirmala dan Ki Buyut pun tampak membisu. Mereka terus menunggu kelanjutan kata-kata Ki Jagat.
“Intan, aku ingin, kau bersedia menerima ilmu pamungkas yang kami miliki dan belum pernah kami ketahui hasilnya selama ini.”
“Maksudmu, Ki...?” Intan Kumala belum juga bisa mengerti.
“Kami bertiga masing-masing memiliki sebuah ilmu pamungkas yang sulit ditandingi. Ilmu itu sebenarnya merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Tapi kami sudah tua. Tidak mungkin lagi kami bisa menyatukan ketiga ilmu itu. Kalaupun bisa, tidak ada lagi gunanya. Karena itulah kami bermaksud menggabungkan ketiga ilmu itu padamu. Itu pun kalau kau bersedia, Intan,” jelas Ki Jagat
“Hanya kau satu-satunya harapan kami, Intan,” sambung Nyai Nirmala.
'Tapi kau juga harus tahu akibatnya kalau hal ini sampai gagal,” kata Ki Buyut yang sejak tadi diam saja.
“Maksud Ki Buyut?” tanya Intan Kumala tidak mengerti.
“Akibatnya sangat besar jika kau tidak kuat menerimanya, Intan. Bukan hanya nyawamu yang terancam. Tapi, lebih buruk lagi, semua ilmu yang kau miliki dan kami miliki akan musnah dalam sekejap. Kita semua akan menjadi orang-orang yang lemah seumur hidup,” jelas Ki Buyut dengan singkat.
“Begitu burukkah akibatnya, Ki...?” desis Intan Kumala.
“Ya,” sahut Ki Buyut
“Itu sebabnya kami ingin kau memikirkannya lebih dulu. Selain itu, kau harus mempersiapkan diri lebih matang lagi,” sambung Ki Jagat.
Intan Kumala terdiam. Entah pikiran apa yang ada di dalam kepalanya saat ini. Sedangkan ketiga pengemis tua yang dikenal dengan julukan Tiga Pengemis Sakti itu beranjak meninggalkan gua. Mereka tampaknya sengaja membiarkan Intan Kumala untuk berpikir dan mengambil keputusan sendiri.
Tiga Pengemis Sakti merasa sangat gembira. Ternyata pada hari itu juga Intan Kumala mengatakan kesediaannya untuk menerima gabungan ketiga ilmu mereka dengan segala akibat yang akan ditanggung-nya. Mereka segera mempersiapkan gadis ini dengan latihan-latihan ketahanan tubuh. Bahkan, ditingkat-kan pula tenaga dalam serta hawa murninya. Intan Kumala menerima semua itu dengan penuh semangat Ketiga pengemis tua itu pun semakin gembira. Mereka begitu bersemangat menempanya dengan warisan ilmu pamungkas terakhir yang sangat berbahaya ini.
Sementara itu, di Desa Gebang, Ki Laksa juga tengah memperdalam dan menyempurnakan ilmu-ilmunya. Kemunculan gadis tak dikenal yang diduganya sebagai Intan Kumala itu membuat Ki Laksa merasa harus meningkatkan kemampuan dirinya. Terlebih lagi, beberapa hari yang lalu, dia kedatangan salah seorang pengemis dari Tiga Pengemis Mangkuk Sakti. Meskipun, sampai saat ini, belum ada kejadian yang bisa dianggap penting.
“Ki Laksa....!”
Ki Laksa membuka matanya dan berpaling sedikit ke arah datangnya suara yang didengarnya. Tampak di ambang pintu kamar semadinya, seorang pemuda tegap berdiri dengan tubuh agak membungkuk penuh hormat
“Ada apa”? tanya Ki Laksa dengan suara yang terdengar berat.
“Ada orang ingin bertemu,” kata pemuda itu, masih dengan sikap yang hormat sekali.
“Siapa?”
“Dia tidak menyebutkan namanya, Ki. Tapi dia memaksa untuk bertemu. Katanya, penting.”
“Hm....”
Sambil menggumam perlahan, Ki Laksa bangkit dari balai-balai semadinya. Kemudian dia melangkah keluar, diikuti pemuda tegap itu dari belakang.
“Di mana dia?” tanya Ki Laksa.
“Menunggu di beranda depan, Ki,” sahut pemuda itu.
“Hm....”
Ki Laksa melintasi ruangan tengah dan langsung masuk ke mangan depan rumahnya yang luas. Dia baru berhenti setelah sampai di ambang pintu. Tampak di lantai beranda, duduk bersila seorang laki-laki tua yang mengenakan baju lusuh dan compang-camping seperti seorang pengemis. Tapi, dia tidak membawa benda apa pun, apalagi sebuah mangkuk yang biasa dibawa oleh para pengemis.
Beberapa saat Ki Laksa memperhatikan orang tua itu. Kemudian dia mendekat sampai jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi. Sedangkan laki-laki tua bertubuh kotor dan berpakaian compang-camping itu masih tetap duduk bersila dengan kepala tertunduk dalam, seakan-akan menekuri lantai beranda yang terbuat dari belahan papan kayu ini.
“Kau mau bertemu denganku...?” tegur Ki Laksa.
“Benar,” sahut laki-laki tua itu, lirih.
Kepalanya tetap tertunduk begitu dalam. Sedang-kan Ki Laksa terus memperhatikannya dengan kening sedikit berkerut Dia merasa belum pernah bertemu dengan orang tua berpakaian seperti pengemis ini.
Dia sama sekali tidak mengenalnya.
“Siapa kau ini, Kisanak?” tanya Ki Laksa.
Tapi, laki-laki tua itu tidak menjawab. Dia meng-angkat kepalanya perlahan-lahan. Tampaklah wajah-nya yang kotor, bagai tidak pernah terkena air bertahun-tahun. Pandangan mereka kini bertemu pada satu titik. Ki Laksa masih terus memperhatikan. Tapi, sama sekali tidak dikenalnya wajah yang kotor berdebu ini. Ditarik kemudian kakinya ke belakang dua langkah.
“Bisa saja kau lupa padaku, Laksa. Tapi sampai mati pun aku tidak akan bisa melupakanmu,” kata orang tua itu, agak bergetar.
“Heh...?! Siapa kau ini sebenarnya, hah...?” sentak Ki Laksa, terkejut.
Tapi, laki-laki tua itu tidak menjawab. Dia malah tersenyum sinis, lalu bangkit berdiri. Walaupun usia-nya sudah begitu lanjut, sikap berdirinya tampak tegak sekali. Ki Laksa kembali menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Sedangkan pemuda di belakangnya, yang tadi memberi tahu kedatangan orang tua itu, sudah menggenggam tangkai goloknya yang terselip di pinggang.
“Lima belas tahun aku terpaksa menjalani hidup seperti ini. Dan selama ini pula kau hidup enak dengan harta hasil pengkhianatanmu, hasil kecurangan kita berdua dulu. Kau... kau benar-benar ular, Laksa. Kau tinggalkan aku begitu saja dalam kesengsaraan. Kau anggap aku sudah mati...! Sudah cukup lama aku menantikan saat seperti ini. Aku ingin, kau ikut merasakan penderitaan yang aku alami selama lima belas tahun, Laksa,” ujar laki-laki tua itu dengan nada suara yang terdengar dingin sekali.
“Rahun...,” desis Ki Laksa. Kedua bola mata Ki Laksa berputar memandangi orang tua yang seusia dengan dirinya ini. Jelas sekali dari sinar matanya, dia tidak percaya dengan apa yang ada di depannya ini. Dia seakan-akan melihat hantu. Perlahan-lahan kepalanya menggeleng, seraya mendesis seperti ular.
“Tidak mungkin.... Mustahil kau masih hidup. Kau sudah mati, Rahun. Kau ikut tertimbun di dalam gua bersama mereka,” desis Ki Laksa.
“Itu anggapanmu saja, Laksa. Bukan hanya aku yang masih bisa selamat. Ibu Intan Kumala pun ikut selamat. Juga beberapa orang lagi. Mereka bisa keluar dari dalam gua, setelah kau pergi dan menganggap semuanya sudah mati. Sekarang aku datang menuntut bagianku, Laksa. Kau juga harus membayar semua kesengsaraan yang aku derita selama lima belas tahun ini,” ujar laki-laki tua yang dikenal bernama Ki Rahun ini, dengan nada suara yang masih terdengar sangat dingin.
“Maafkan aku, Rahun. aku memang mengira, kau sudah mati terkubur di dalam gua bersama yang lainnya,” kata Ki Laksa.
“Aku memang pasti mati kalau tidak ditolong Nyai Wandari. Dia yang melindungi kami semua dari kelicikanmu, Laksa. Dia yang mengeluarkan kami dari dalam gua. Dia wanita yang sangat agung. Nyai Wandari tahu bahwa aku mengkhianatinya, tapi dia tidak menghukumku. Dia malah menolongku keluar dari gua. Dan selama lima belas tahun ini aku mencoba menebus segala dosa-dosa yang telah kuperbuat Penebusan dosa itu membuatku menderita,” kata Ki Rahun.
“Katakan saja, Rahun. Apa yang kau inginkan dariku? Aku pasti akan memberikannya. Perjanjian kita masih tetap berlaku Rahun. Percayalah, aku tidak akan mengangkangi semua hasil yang telah kita perjuangkan bersama-sama,” kata Ki Laksa.
Ki Rahun hanya tersenyum tipis. Terasa begitu sinis senyum itu. Perlahan dia melangkah maju tiga tindak. Tangan kanannya dimasukkan ke dalam lipatan bajunya, lalu perlahan-lahan ditariknya kembali keluar. Dan, tangan itu kini menggenggam sebuah senjata keris berkeluk lima, yang berwarna kuning keemasan.
Ki Laksa terbeliak melihat senjata keris berwarna kuning keemasan dengan tangkai berbentuk kepala ular itu. Dia sampai melangkah ke belakang beberapa tindak. Kedua bola matanya berputar dan wajahnya langsung memucat.
“Dari mana kau dapatkan Keris Naga Emas itu, Rahun?” ujar Ki Laksa agak bergetar.
“Harta yang berlimpah benar-benar sudah membuatmu lupa, rupanya. Bukankah kau memerintahkan aku untuk mencuri senjata ini dari Ki Satria...? Ingat, Laksa. Kau bisa mengalahkan Ki Satria karena aku telah berhasil mencuri senjata ini darinya. Dan sekarang Keris Naga Emas ini sudah berada di tanganku,” kata Ki Rahun, sambil menjulurkan tangannya yang memegang keris berwarna emas itu ke depan, tepat tertuju ke arah dada Ki Laksa.
“Seharusnya kau serahkan keris itu kepadaku, Rahun.”
“Semula aku memang ingin menyerahkannya kepadamu. Tapi kau sudah mengkhianatiku. Kau perintahkan aku membawa Nyai Wandari dan para pengawalnya ke dalam gua. Dan, ternyata kemudian kau ledakkan gua itu dengan licik, supaya kami semua terkubur di dalamnya. Tapi kau lupa, Laksa. Gua itu tempat bermain Nyai Wandari sejak kecil. Dan dia tahu betul seluk-beluknya, hingga kami semua bisa keluar dari sana.”
“Bukan aku yang melakukannya, Rahun,” bantah Ki Laksa.
“Kau atau siapa pun orangnya, sama saja!” sentak Ki Rahun.
Kening Ki Laksa berkerut Ditatapnya dengan tajam laki-laki tua berbaju kumal dan compang-camping di depannya ini. Memang, yang menghancurkan gua itu bukan dia, melainkan si Perampok Tiga Nyawa. Tapi, itu atas perintah darinya juga.
“Lalu apa yang kau inginkan sekarang?”
“Membalas pengkhianatanmu, Laksa,” desis Ki Rahun dingin.
Saat itu juga, tiba-tiba....
“Hiyaaat..!”
Bagaikan kilat, Ki Rahun melompat sambil menghunjamkan keris kuning emasnya ke arah dada Ki Laksa.
“Uts!”
Namun, hanya dengan mengegoskan tubuhnya sedikit ke samping, Ki Laksa bisa menghindari hunjaman keris itu. Dan, cepat-cepat dia melompat ke kanan begitu Keris Naga Emas di tangan Ki Rahun lewat di samping tubuhnya. Pada saat itu juga, dengan cepat sekali dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek, yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi tingkatannya.
“Yeaaah...!”
“Hih!”
Ki Laksa terkejut setengah mati. Ternyata Ki Rahun sama sekali tidak berusaha menghindari tendangannya. Bahkan, dengan kecepatan yang begitu tinggi, Ki Rahun menghentakkan tangan kanannya yang memegang Keris Naga Emas ke arah kaki Ki Laksa yang melayang deras ke arah lambung.
“Ikh...!”
Cepat-cepat Ki Laksa menarik kakinya kembali. Dihindarinya sabetan keris berwarna kuning keemasan itu. Tapi, belum juga dia bisa menjejakkan kakinya secara sempurna di lantai beranda ini, dengan cepat sekali Ki Rahun sudah melompat Dan, langsung dikibaskannya keris emas berkeluk lima itu ke arah leher Ki Laksa.
“Hup! Yeaaah...!”
Meskipun hanya satu kaki yang menjejak lantai, Ki Laksa masih mampu melentingkan tubuhnya ke belakang. Dilakukannya dua kali putaran sebelum dijejakkan kakinya kembali di lantai beranda ini.
“Hiyaaa...!”
Cepat sekali Ki Laksa melompat tinggi ke depan. Dan, begitu dia lewat di atas kepala Ki Rahun, dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek ke arah punggung. Begitu cepat serangan yang dilakukan Ki Laksa. Ki Rahun pun tidak sempat lagi menyadari. Dan....
Des!
“Akh...!”
Begitu keras tendangan yang dilepaskan Ki Laksa. Dibuatnya Ki Rahun terpental ke belakang, laki jatuh bergulingan beberapa kali di lantai beranda yang terbuat dari belahan papan jati ini. Sedangkan Ki Laksa sendiri sudah mendarat kembali di tanah, sekitar sepuluh langkah dari beranda rumahnya.
“Hiyaaa...!”
Begitu bisa berdiri lagi, Ki Rahun cepat melompat menghampiri Ki Laksa yang sudah berada di luar. Beberapa kali dilakukannya putaran di udara. Dan, dengan manis sekali dijejakkan kakinya di tanah, tepat sekitar tiga langkah di depan Ki Laksa. Saat itu juga, dilepaskannya satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dengan tangan kirinya.
“Hih! Yeaaah...!”
“Hap...!”
Namun, tanpa diduga sama sekali, Ki Laksa menyambut pukulan itu dengan tangan kanannya.
Benturan dua tangan yang mengadung pengerahan tenaga dalam tinggi pun tidak dapat lagi dihindari.
“Ikh...!”
Ki Rahun terpekik kecil ketika tangannya beradu dengan tangan Ki Laksa. Cepat-cepat dia melompat mundur. Bibirnya menyeringai. Tangan kirinya terasa nyeri. Saat itu juga, disadarinya bahwa kekuatan tenaga dalamnya masih berada di bawah tingkatan tenaga dalam Ki Laksa. Seluruh tulang tangan kirinya seperti remuk akibat benturan dengan tangan kanan Ki Laksa tadi.
“Hih!”
Ki Rahun cepat mengebutkan Keris Naga Emas yang tergenggam di tangan kanannya ke depan, saat Ki Laksa sudah bergerak hendak melakukan serangan. Langkah kaki laki-laki tua berjubah putih itu pun terhenti ketika melihat keris berwarna keemasan itu terhunus ke arahnya.
“Kau tidak bisa mengalahkanku, walau Keris Naga Emas ada di tanganmu, Rahun,” desis Ki Laksa, dingin.
Wuk!
Ki Laksa mengebutkan tongkatnya yang berwarna putih. Tampak tangan kirinya menggenggam bagian tengah tongkat itu, sedangkan tangan kanan menggenggam bagian ujung. Perlahan tongkat itu diangkatnya ke depan, hingga sejajar dengan dada. Tatapan matanya yang begitu tajam menyorot langsung ke bola mata Ki Rahun di depannya.
“Hiyaaa..!”
Tiba-tiba Ki Laksa berteriak keras menggelegar. Dan, seketika itu juga diputar tongkatnya dengan cepat di tangan kiri. Putaran tongkat itu menimbulkan suara angin yang menderu bagai badai. Dan, tibatiba....
Cras!
Secercah cahaya kilat keperakan melesat cepat ke arah Ki Rahun. Begitu cepat cahaya itu melesat dari tengah-tengah lingkaran tongkat itu. Ki Rahun pun terperangah sesaat Namun, cepat-cepat dia melompat ke samping. Dihindarinya terjangan cahaya kilat itu.
Glarrr!
Ledakan dahsyat menggelegar terdengar ketika ujung cahaya kilat itu menghantam tiang beranda rumah. Dan, tiang berukuran cukup besar itu seketika hancur berkeping-keping, sampai menimbulkan gumpalan debu bagai kabut.
“Hiyaaat..!”
Kembali Ki Laksa melakukan serangannya yang sangat dahsyat Kilat-kilat keperakan berkelebatan menyambar Ki Rahun, yang terus berlompatan menghindarinya. Suara ledakan pun semakin sering terdengar. Dan, debu bertambah tebal menyelimuti udara d sekitar rumah Ki Laksa. Ki Rahun masih terus berjumpalitan menghindari serangan-serangan Ki Laksa yang begitu cepat dan dahsyat itu.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba Ki Laksa melompat tinggi ke udara. Dan, secepat itu pula dihentakkan tongkatnya ke arah kepala Ki Rahun yang masih berada di udara.
“Uts!”
Dengan cepat sekali Ki Rahun mengegoskan kepala. Sabetan tongkat berujung runcing itu pun berhasil dihindarinya. Namun, tanpa diduga sama sekali, mendadak Ki Laksa melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang begitu cepat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat tendangan yang dilakukan Ki Laksa. Ki Rahun pun tidak sempat lagi berkelit menghindari. Dan....
Diekgh!
“Akh...!”
Ki Rahun memekik agak tertahan. Tendangan yang dilepaskan Ki Laksa tepat menghantam dada laki-laki tua berpakaian compang-camping itu. Dia terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Dan, belum juga Ki Rahun bisa berdiri, bagaikan kilat Ki Laksa meluruk deras ke arahnya, dengan ujung tongkatnya yang runcing tertuju lurus ke arah dada. Namun, begitu ujung tongkat Ki Laksa hampir menembus dada Ki Rahun, mendadak....
Siap!
Tak!
Des!
“Akh...!”
Ki Laksa menjerit keras. Tubuhnya terpental deras ke belakang sejauh dua batang tombak, bersamaan dengan berkelebatnya sebuah bayangan yang datang begitu tiba-tiba dan cepat bagai kilat Namun, Ki Laksa mampu menguasai keseimbangan tubuhnya sebelum terbanting ke tanah. Beberapa kali dia melakukan putaran di udara, lalu dengan manis sekali kedua kakinya mendarat di tanah yang berumput dan basah oleh embun. Saat itu juga dilihatnya di depan Ki Rahun sudah berdiri seorang pemuda tampan berkulit putih seperti seorang putra mahkota.
Pemuda itu mengenakan baju yang terbuat dari kulit harimau. Di pundak kanannya, nangkring seekor monyet kecil berbulu hitam. Sedangkan pada pergelangan tangan kanannya, terlihat sebuah benda bulat bersegi enam yang agak melengkung, dengan ujung-ujungnya berbentuk runcing. Benda berbentuk cakra itu berwarna putih keperakan dan berkilat tertimpa cahaya bulan.
Sementara itu Ki Rahun sudah bisa berdiri lagi, walaupun bibirnya meringis menahan sakit pada dadanya yang terkena tendangan keras bertenaga dalam tinggi tadi. Tampak setetes darah merembes di sudut bibirnya.
“Setan...! Siapa kau berani-beraninya mencampuri urusanku!” geram Ki Laksa, yang merasa berang karena akhir pertarungannya tadi digagalkan oleh pemuda asing yang tidak dikenalnya ini.
“Orang yang memiliki kedudukan terhormat seharusnya tidak menganiaya rakyat kecil, apalagi yang sudah tua seperti ini,” kata pemuda itu datar, tanpa menghiraukan pertanyaan Ki Laksa yang bernada berang tadi.
“Phuih!” Ki Laksa menyemburkan ludahnya dengan sengit.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu berpaling pada Ki Rahun. Sedikit pun tidak dipedulikan Ki Laksa yang tengah berang.
“Sebaiknya kau pergi saja, Ki,” kata pemuda itu, lembut.
“Ugkh...!”
Ki Rahun terbatuk kecil. Mulutnya menyemburkan darah kental berwarna agak kehitaman, yang membuat mata pemuda berbaju kulit harimau tampak menyipit. Kening pemuda itu berkerut memperhatikan wajah Ki Rahun yang mulai memucat. Segera dirabanya dada laki-laki tua itu.
“Gawat...,” desis pemuda berbaju kulit harimau.
Sejenak pemuda itu menatap tajam pada Ki Laksa. Kemudian....
“Hup!”
Slap!
“Heiii...!”
Ki Laksa hanya bisa berseru dengan terkejut ketika tiba-tiba pemuda berbaju kulit harimau melesat cepat bagai kilat sambil menyambar tubuh Ki Rahun. Dan, dalam sekejap mata, pemuda itu sudah lenyap melewati atap rumah. Sedangkan Ki Laksa hanya bisa berdiri terpaku dengan geraham bergemeretuk menahan berang.
“Setan keparat...!”
Ki Laksa masih berdiri mematung di tengah-tengah halaman rumahnya yang luas. Matanya tak berkedip sedikit pun menatap lurus ke arah hilangnya pemuda tampan berbaju kulit harimau yang membawa Ki Rahun. Saat itu terlihat, tiga orang laki-laki berjalan keluar dari rumahnya. Mereka melangkah cepat menghampiri laki-laki tua berjubah putih ini. Mereka tak lain adalah si Perampok Tiga Nyawa.
“Ada apa, Ki?” tanya Nyawa Merah.
“Dia ternyata masih hidup,” desah Ki Laksa, seperti berbicara pada dirinya sendiri.
“Dia siapa, Ki?” tanya Nyawa Merah lagi.
“Ki Rahun,” sahut Ki Laksa, tanpa berpaling sedikit pun.
“Ki Rahun...?”
“Mustahil...!” desis Nyawa Biru.
“Tidak mungkin dia bisa selamat dari dalam gua, Ki. Jelas sekali, gua itu sudah kami hancurkan. Mustahil kalau ada yang selamat dari sana,” desis Nyawa Kuning.
“Bukan hanya dia yang selamat, Nyai Wandari dan para pengawalnya juga bisa keluar dari dalam gua itu. Justru Nyai Wandari yang mengeluarkan mereka semua dari sana,” kata Ki Laksa perlahan, seakan-akan bicara untuk diri sendiri.
“Mustahil...,” desis Nyawa Merah, tidak percaya.
“Mana mungkin dia bisa melakukan itu, Ki?” tanya Nyawa Biru, meminta penjelasan.
“Aku sendiri tidak akan tahu, bagaimana Nyai Wandari bisa menyelamatkan mereka dari dalam gua yang kalian hancurkan itu, kalau saja tadi Rahun tidak mengeluarkan Keris Naga Emas,” sahut Ki Laksa, mencoba menjelaskan.
“Keris Naga Emas...?!” desis Nyawa Biru.
Bukan hanya si Nyawa Biru yang terkejut Tapi, Nyawa Merah dan Nyawa Kuning pun tampak mengerutkan kening. Mereka sama-sama memandangi Ki Laksa yang masih tetap menatap lurus ke satu arah, seakan-akan sedang memperhatikan sesuatu di kegelapan malam. Mereka tahu betul, Keris Naga Emas adalah senjata yang sangat sakti dan sukar dicari tandingannya. Keris itu merupakan senjata kebanggaan Ki Satria.
Si Perampok Tiga Nyawa memang tahu, keris itu berhasil dicuri Ki Rahun atas perintah Ki Laksa ini. Tapi, mereka tidak tahu kalau keris itu masih berada di tangan Ki Rahun dan belum diserahkan kepada Ki Laksa. Tanpa keris itulah Ki Satria menjadi lemah. Mereka pun dengan mudah dapat mengalahkannya dulu, bahkan sampai membunuhnya.
Keris Naga Emas memiliki suatu kekuatan dahsyat yang dapat tersalur kepada pemegangnya. Tapi, entah apa pengaruhnya bila keris itu berada di tangan orang yang bukan pemiliknya. Tadi, Ki Laksa mampu mengalahkan Ki Rahun yang memegang Keris Naga Emas. Itu berarti kekuatan Keris Naga Emas tidak berarti sama sekali di tangan Ki Rahun.
Hal ini membuat Ki Laksa berpikir keras. Dia tampaknya masih belum percaya bahwa keris itu bisa kehilangan kekuatannya, meskipun telah terlepas dari tangan Ki Satria.
Sementara itu, tidak jauh dari Desa Gebang, tampak dua orang tengah duduk menghadapi seonggok api unggun. Yang satu adalah seorang pemuda tampan memakai baju dari kulit harimau. Sedangkan yang seorang lagi adalah gadis cantik yang mengenakan baju merah muda ketat, dengan sebuah pedang tersampir di punggungnya. Mereka tidak berkedip memperhatikan seorang laki-laki berusia lanjut yang tengah duduk bersila dengan sikap bersemadi. Laki-laki tua itu berpakaian kumal dan compang-camping.
“Apa mungkin dia bisa bertahan, Kakang? Lukanya parah sekali,” ujar gadis berbaju merah muda perlahan. Pandangannya tidak beralih dari laki-laki tua berbaju compang-camping itu.
“Lihat saja nanti, Wulan,” sahut pemuda berbaju kulit harimau, yang juga tidak mematingkan pandangannya.
“Kau kenal dia, Kakang?” tanya gadis yang dipanggil Wulan itu seraya berpaling menatap pemuda yang duduk di sampingnya ini.
Pemuda berbaju kulit harimau tidak menjawab. Dia menarik napas panjang, lalu menghembuskan-nya perlahan-lahan. Kepalanya bergerak berpaling, hingga bertatapan dengan gadis di sampingnya. Kemudian keduanya sama-sama memandang kembali pada laki-laki tua berpakaian compang-camping, yang masih tetap duduk bersila melakukan semadi di bawah pohon.
“Aku tidak tahu siapa dia, Wulan, tadi kebetulan saja aku lewat sewaktu mencari makanan di desa. Aku lihat, dia hampir saja terbunuh. Apa salahnya kalau aku menolongnya, kan ..? Kasihan, dia sudah tua. Dan tampaknya...”
Wulan diam saja. Pemuda itu juga terdiam, tidak bicara lagi. Mereka terus memandangi laki-laki tua berpakaian compang-camping yang masih tetap bersemadi.
“Kakang Bayu...,” kata Wulan, agak tertahan.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau berpaling kembali menatap gadis cantik di sampingnya, dia memang Bayu Hanggara, yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan gadis cantik di sebelahnya ini adalah Ratna Wulan. Dan, beberapa saat mereka terdiam, hanya saling pandang.
“Ada apa?” tanya Bayu, lembut.
“Aku kenal pemilik Keris Naga Emas, Kakang. Rasanya bukan dia pemiliknya,” kata Ratna Wulan sambil melirik laki-laki tua yang masih tetap duduk bersemadi di bawah pohon.
“Kita bisa tanyakan nanti kalau dia sudah selesai dengan semadinya, Wulan,” ujar Bayu.
Ratna Wulan terdiam. Sedikit dia mengangkat bahunya. Bayu juga tidak berbicara lagi. Mereka menunggu laki-laki tua itu selesai bersemadi. Sedangkan malam terus merayap semakin larut. Udara pun terasa semakin dingin, terbawa oleh tiupan angin yang agak kencang. Api unggun yang menyala di depan mereka seakan-akan tidak mampu mengusir dinginnya udara malam ini.
Cukup lama juga mereka menunggu. Akhirnya, terlihat laki-laki tua itu membuka kelopak matanya. Perlahan kepalanya bergerak terangkat. Dan, pandangannya langsung tertuju pada dua anak muda yang duduk agak jauh menghadapi api unggun. Bayu bergegas menghampirinya, diikuti Ratna Wulan. Mereka kemudian duduk bersila di depan laki-laki tua berpakaian compang-camping yang kelihatan kumuh dan kotor ini.
“Terima kasih. Kau telah menyelamatkan nyawaku, Anak Muda,” ucap laki-laki tua itu sambil tersenyum pada Bayu.
“Kebetulan saja aku lewat tadi, Ki,” sahut Bayu merendah.
“Boleh aku tahu namamu, Anak Muda?”
“Bayu,” sahut Bayu, memperkenalkan diri. “Dan ini Ratna Wulan. Tapi dia cukup dipanggil Wulan.”
“Aku Ki Rahun.”
Dia memang Ki Rahun, yang baru diselamatkan Bayu dari hunjaman tongkat Ki Laksa. Terlihat kini, beberapa kali dia terbatuk dan menyemburkan darah kental agak kehitaman dari mulutnya. Bukan hanya Bayu yang terkejut melihat muntahan darah itu, tapi Wulan pun tampak terbeliak kaget setengah mati Bayu bergegas hendak menolongnya tapi Ki Rahun mencegah dengan mengangkat tangannya sedikit
“Tidak ada gunanya lagi menolongku, Anak Muda. Aku sudah berusaha, tapi....”
Kembali Ki Pahun terbatuk dan menyemburkan darah kental agak kehitaman dari mulurnya. Sedangkan Bayu dan Ratna Wulan hanya bisa saling melempar pandang. Perlahan Ki Rahun memasukkan tangan kanan ke balik bajunya. Dan, saat keluar tangan itu sudah menggenggam sebuah keris berwarna kuning keemasan. Beberapa saat dipandanginya keris emas itu. Bayu dan Ratna Wulan juga ikut memandangi. Mereka tidak tahu, untuk apa laki-laki -tua itu mengeluarkan senjata kerisnya ini.
“Aku tahu, kalian berdua adalah pendekar-pendekar muda yang berbudi luhur. Ugkh..., ugkh...! Aku tidak mungkin lagi bisa bertahan lebih lama. aku ingin.... Ugkh...!”
Sulit sekali bagi Ki Rahun untuk berbicara. Batuknya semakin sering terdengar. Dan, darah kehitaman semakin banyak keluar dari mulutnya. Wajahnya pun kelihatan begitu pucat, seperti tidak teralirkan darah lagi. Memang sangat parah luka dalam yang dideritanya akibat pukulan dan tendangan bertenaga dalam tinggi yang diterimanya dari Ki Laksa. Sementara itu Bayu dan Ratna Wulan tidak bisa berbuat apa pun. Mereka menyadari, tak ada gunanya lagi membantu laki-laki tua ini. Mereka tahu, luka dalam yang diderita Ki Rahun memang sangat parah dan sulit sekali bisa disembuhkan.
“Keris Naga emas ini bukan milikku. Dan tidak ada artinya berada di tanganku. Keris ini akan sangat berguna kalau berada di tangan keturunan pemiliknya. Tapi aku tidak tahu, di mana dia sekarang berada. Bahkan aku juga tidak tahu, dia masih hidup atau sudah mati. Anak Muda..., aku ingin meminta satu pertolongan lagi padamu,” kata Ki Rahun dengan suara yang terbata.
“Katakan saja, Ki,” ujar Bayu.
“Tolong berikan keris ini kepada yang berhak. Dia seorang wanita. Dan sekarang ini mungkin usianya sudah sembilan belas tahun. Dia putri Ki Satria....”
“Namanya, Ki?” tanya Ratna Wulan.
“Intan Kumala,” sahut Ki Rahun, pelan sekali. 'Hanya dia yang berhak dan bisa menggunakan Keris Naga Emas ini. Kalau berada di tangan orang lain, keris ini tidak ada artinya sama sekali.”
Kembali Ki Rahun terbatuk. Darah yang keluar dari mulutnya juga semakin banyak, dan tampak menggumpal kental. Kemudian diulurkan tangannya. Diserahkannya keris berwarna kuning keemasan itu kepada Bayu. Dan, begitu Pendekar Pulau Neraka menerima keris itu tubuh Ki Rahun langsung tergeletak rebah ke tanah.
“Ki....”
Bayu cepat-cepat memeriksa urat nadi di leher laki-laki tua ini. Tapi, Ki Rahun sudah meng-hembuskan napasnya yang terakhir. Perlahan-lahan Bayu berdiri, diikuti Ratna Wulan. Mereka sama-sama memandangi Keris Naga Emas yang kini berada di tangan Pendekar Pulau Neraka ini. Bayu kemudian menyimpan senjata itu di balik sabuk ikat pinggangnya. Ditariknya napas sedikit, lalu dihembus-kannya kuat-kuat.
“Kau akan mencari gadis itu, Kakang?” tanya Rata Wulan.
“Ya.... Aku tidak bisa mengabaikan pesan dari orang yang sudah meninggal,” sahut Bayu, agak mendesah.,
“Ke mana kau akan mencari?”
Bayu tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Tidak banyak yang dikatakan Ki Rahun tadi. Lelaki tua ini hanya mengatakan bahwa gadis itu bernama Intan Kumala, putri dari Ki Satria. Nama-nama ini belum pernah didengar Pendekar Pulau Neraka. Tapi, Bayu memang tidak sampai hati mengabaikan permintaan terakhir seseorang yang mengucapkannya di saat ajal datang menjelang. Dia harus mencari gadis yang bernama Intan Kumala untuk menyerahkan Keris Naga Emas ini.
Saat matahari menampakkan dirinya di ufuk Timur, Bayu baru selesai menguburkan jasad Ki Rahun. Dia berdiri tegak di dekat makam itu sambil memondong monyet kecil berbulu hitam dengan tangan kanannya. Sedangkan Ratna Wulan berada di sebelah kanan, agak di belakangnya. Beberapa saat Bayu berdiri dan terdiam memandangi kuburan itu. Kemudian dia berbalik dan melangkah tanpa berbicara sedikit pun.
Ratna Wulan mensejajarkan ayunan kakinya di sebelah kanan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Tiren sudah berpindah ke pundak Bayu. Monyet kecil berbulu hitam itu duduk diam tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Sampai cukup jauh mereka berjalan, belum juga ada yang membuka suara. Dan, tanpa disadari mereka justru berjalan ke arah Desa Gebang. Tapi, belum juga mereka sampai di perbatasan Desa Gebang, mendadak....
“Kau mendengar sesuatu, Wulan...?” ujar Bayu tiba-tiba, seraya menghentikan langkahnya.
Ratna Wulan terdiam dan turut menghentikan langkahnya. Dia memasang pendengarannya tajam-tajam. Dicobanya mencari suara yang dimaksudkan oleh Pendekar Pulau Neraka. Perlahan-lahan kepalanya bergerak, lalu berpaling menatap wajah tampan di sebelahnya. Tapi, Pendekar Pulau Neraka tampak terdiam, dengan bibir terkatup rapat.
“Aku tidak mendengar apa-apa, Kakang,” kata Rama Wulan, perlahan.
“Kau memang tidak akan bisa mendengar apa-apa, Wulan. Tapi kau pasti bisa merasakannya,” kata Bayu.
“Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang.”
Ratna Wulan keheranan. Sungguh dia tidak tahu, apa yang dimaksud oleh Pendekar Pulau Neraka ini. Dia memang tidak mendengar apa-apa, selain desiran angin dan gemerisik dedaunan. Dia juga tidak merasakan apa pun, kecuali usapan angin pada kulit tubuhnya.
Ratna Wulan bertambah keheranan ketika dilihatnya Bayu berdiri diam dan kaku, seperti sedang mengerahkan sesuatu dari dalam tubuhnya. Dan, saat itu pula Ratna Wulan merasakan kulitnya menjadi panas, seperti berada di dekat api pada saat matahari tengah bersinar terik. Padahal, saat ini masih terlalu pagi. Langit pun tersaput awan, sehingga cahaya matahari tidak dapat bersorot langsung ke permukaan bumi. Dan, tidak ada setitik api pun yang terlihat Tapi, hawa panas yang dirasakan Ratna Wulan semakin kuat saja, bagai hendak membakar seluruh kulit tubuhnya. Keringat mulai terlihat menitik di wajah dan lehernya yang berkulit putih.
“Kakang...,” desis Ratna Wulan seraya menggeser kakinya lebih mendekat pada Pendekar Pulau Neraka.
“Jangan melakukan apa pun, Wulan,” ujar Bayu.
Saat itu Ratna Wulan memang hendak mengerah-kan hawa murni. Tapi, belum juga dia berbuat sesuatu, dan ucapan Bayu juga masih terngiang di telinganya, mendadak hawa panas yang dirasakannya menghilang. Dan, kali ini Ratna Wulan merasakan udara di sekitarnya begitu dingin. Begitu cepat pergantiannya. Sekujur tubuhnya pun bergidik menggigil. Dan, begitu dinginnya udara saat ini Ratna Wulan merasa seakan-akan berada di puncak gunung yang sangat tinggi dan terselimut kabut
“Ada apa ini, Kakang...?” tanya Ratna Wulan, agak bergetar.
“Hm...,” Bayu hanya menggumam perlahan.
Seluruh tubuh Ratna Wulan sudah mengggil kedinginan. Sebentar saja bibir gadis itu pun sudah terlihat membiru. Sedangkan Tiren yang berada di pundak kanan Bayu juga sudah mulai mencerecet ribut Monyet kecil itu melompat turun, lalu berlari berjingkrakan sambil mencerecet. Keadaan pun menjadi sangat bising.
“Kakang....”
“Salurkan hawa murni dari pusat tubuhmu, Wulan.”
“Sulit, Kakang. Aku...”
Seluruh tubuh Ratna Wulan semakin menggigil dan membiru kedinginan. Melihat keadaan itu, Bayu cepat-cepat menggeser kakinya ke belakang Ratna Wulan. Dan, ditempelkannya kedua telapak tangan di punggung gadis ini.
“Duduk, Wulan,” pinta Bayu.
“Ugkh...!”
Ratna Wulan melenguh kecil saat menggerakkan tubuhnya untuk duduk di tanah yang berumput dingin. Perlahan-lahan diusahakannya untuk duduk bersila. Bibirnya meringis. Ditahannya rasa nyeri yang tiba-tiba menyerang seluruh persendian tulang. Hawa dingin ini begitu menyiksa. Bayu juga bergerak duduk bersila di belakang gadis itu. Sedangkan kedua telapak tangannya terus menempel erat di punggung.
“Hep! Hesss...!”
Namun, baru saja Pendekar Pulau Neraka mengerahkan hawa murni untuk menghangatkan tubuh Ratna Wulan, mendadak hawa dingin yang menyerang mereka lenyap tak terasakan lagi. Cepat-cepat Bayu melepaskan tangannya ketika dirasakannya aliran hawa panas telah menggantikan udara dingin, yang tadi begitu terasa membekukan tubuh.
Hawa panas itu sangat cepat menjalar. Keringat pun keluar dengan cepat membasahi tubuh mereka. Bayu bergegas berdiri sambil menarik tangan Ratna Wulan. Sesaat mereka saling melemparkan pandang.
“Tiren, cepat ke sini...!” seni Bayu.
“Nguk!”
Tiren berlari cepat menghampiri Pendekar Pulau Neraka, lalu melompat naik ke pundaknya. Sambil tetap menarik tangan Ratna Wulan, Bayu bergegas melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Ayunan kakinya begitu cepat, seperti berlari. Ratna Wulan pun terlihat agak kesulitan mengimbangi langkah-langkah kaki Pendekar Pulau Neraka ini.
Namun, meski sudah jauh mereka berjalan, hawa panas itu masih juga terasa, seakan-akan mengikuti ke mana saja mereka pergi. Bahkan hawa panas itu semakin lama semakin terasa membakar. Mereka merasa seperti berada di atas tungku api yang akan menghanguskan tubuh. Bahkan, tanah yang mereka pijak juga bagai batu yang terbakar membara. Begitu panas rasanya. Telapak kaki mereka seolah-olah menginjak bara api.
“Berhenti dulu, Wulan,” ujar Bayu, yang langsung berhenti melangkah.
Ratna Wulan segera menghentikan ayunan kakinya. Seluruh tubuhnya sudah basah oleh keringat yang keluar bercucuran begitu derasnya.
“Makin panas saja di sini, Kakang.”
“Tunggu di sini, Wulan.”
“Kau mau ke mana...?”
“Aku akan cari sumbernya.”
“Aku tidak mau di sini sendirian, Kakang. Aku ikut..!” sentak Ratna Wulan.
Bayu tidak menjawab. Dia terus saja melangkah cepat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Ratna Wulan bergegas mengikuti ayunan kaki Pendekar Pulau Neraka. Dia juga mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan cukup tinggi. Mereka terus berjalan cepat. Tanpa terasa, keduanya semakin jauh meninggalkan perbatasan Desa Gebang. Bahkan, mereka kini mendaki lereng gunung yang seperti membatasi Desa Gebang dengan dunia luar. Dan, semakin tinggi mereka mendaki lereng gunung ini, hawa panas itu semakin terasa menyengat dan membakar.
Ketika sampai di tepi sebuah jurang yang seperti sengaja menghadang, kedua pendekar itu baru berhenti melangkah. Saat itu juga mereka merasakan, hawa panas yang begitu menyengat dan membakar tadi mendadak hilang dan tidak terasa lagi. Keadaan ini membuat mereka tidak mengerti. Tapi, Bayu sudah bisa meraba, keadaan yang begitu cepat berganti dan berubah-ubah ini bukanlah keadaan udara biasa. Keadaan ini adalah akibat dari suatu arus pengerahan sebuah ilmu kedigdayaan yang begitu dahsyat.
“Hm...,” gumam Bayu, perlahan.
“Ada apa, Kakang?” tanya Ratna Wulan, yang berdiri di samping kanan Pendekar Pulau Neraka.
“Aku merasakan, hawa panas tadi berasal dari dasar jurang ini,” kata Bayu setengah menggumam seakan-akan bicara pada diri sendiri.
Ratna Wulan menjulurkan kepalanya. Dia melongok ke arah dasar jurang. Sebentar kemudian ditarik kepalanya kembali. Dan, ditatapnya Pendekar Pulau Neraka. Tampaknya dia tidak percaya kalau hawa dingin dan panas yang dirasakan begitu menyiksa tadi berasal dari dalam jurang ini.
Jurang ini kelihatan begitu dalam, sulit untuk dilihat sampai ke dasarnya. Begitu gelap suasananya. Dan, tampak kabut tebal menyelimutinya. Matahari yang bersinar terik pun tidak sanggup meneroboskan cahayanya ke dasar jurang ini. Tapi, tampaknya Bayu begitu yakin, hawa panas dan dingin tadi berasal dari dalam dasar jurang ini. Saat itu Ratna Wulan berharap, semoga Bayu tidak berpikiran untuk masuk ke dalam jurang ini. Tapi...
“Aku akan melihat ke sana, Wulan,” kata Bayu sambil berpaling menatap gadis di sebelahnya.
Ratna Wulan mendesah panjang. Apa yang tadi dikhawatirkannya begitu cepat menjadi kenyataan. Ternyata Pendekar Pulau Neraka memang hendak masuk ke dalam jurang yang begitu dalam ini Sedikit Ratna Wulan menatap ke dalam jurang itu. Sulit unuk dibayangkan apa jadinya nanti seandainya dia berada di dalam dasar jurang yang begitu dalam dan gelap ini.
“Kau tunggu saja di sini,” kata Bayu, seperti bisa mengetahui keberatan Ratna Wulan untuk masuk ke dalam dasar jurang itu.
Tapi, belum juga Ratna Wulan menjawab, mendadak mereka mendengar suara-suara seperti langkah kaki beberapa orang yang sedang menuju ke tempat ini.
“Cepat menyingkir dulu, Wulan,” bisik Bayu.
“Hup...!” “Hap...!”
Cepat sekali gerakan yang dilakukan oleh Bayu dan Ratna Wulan. Sekejap saja mereka sudah lenyap ke dalam semak belukar yang berada tidak jauh dari bibir jurang. Pada saat itu, terlihat empat orang laki-laki berjalan cepat mendekati bibir jurang itu. Seorang laki-laki tua berjubah putih berjalan paling depan. Di belakangnya, tiga laki-laki berusia setengah baya mengikutinya. Di pinggang mereka masing-masing tampak terselip sebuah kapak yang sama bentuk dan ukurannya. Sedangkan laki-laki tua berjubah putih itu menggenggam sebatang tongkat.
Mereka adalah Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Mereka berhenti tepat di bibir jurang, tempat Bayu dan Ratna Wulan berada tadi. Belum ada seorang pun yang membuka suara. Mereka berdiri tegak memandang ke dalam jurang yang sangat dalam dan gelap terselimut kabut tebal ini.
“Kau tetap mau masuk ke dalam sana, Ki?” tanya si Nyawa Merah.
“Ya,” sahut Ki Laksa, mantap.
“Jurang ini terlalu dalam, Ki. Sebaiknya kau pikirkan dulu sekali lagi,” saran Nyawa Kuning.
Tapi, Ki Laksa malah menggeleng-gelengkan kepalanya. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Dia melangkah beberapa tindak hingga berdiri tepat di bibir jurang ini. Sesaat diamatinya jurang yang terlihat begitu gelap terselimut kabut yang sangat tebal itu. Kemudian, dari dalam kantung kulit yang tergantung di pinggangnya, laki-laki tua berjubah putih itu mengeluarkan sepotong kayu yang panjangnya sekitar satu jengkal.
“Aku yakin, di dalam sana ada sesuatu. Kalian masih ingat tempat ini, bukan...?” ujar Ki Laksa, tanpa berpaling sedikit pun dari jurang yang menganga lebar di depannya ini.
Ketiga laki-laki setengah baya yang dijuluki si Perampok Tiga Nyawa hanya mengangguk. Mereka tentu saja masih ingat, walaupun peristiwa yang terjadi di sini sudah berlalu selama lima belas tahun. Di pinggiran jurang inilah mereka dulu bersama-sama mengalahkan Ki Satria. Ke dalam jurang ini pulalah putri Ki Satria yang bernama Intan Kumala tercebur setelah terkena pukulan ringan dari Nyawa Merah. Dan, tidak jauh dari jurang ini tadinya ada sebuah gua, yang kini sudah hancur menjadi timbunan batu. Gua itu mereka hancurkan setelah Ki Rahun membawa masuk istri Ki Satria dan para pengawalnya. Tentu saja mereka menghancurkan gua itu setelah berhasil menewaskan Ki Satria.
Sementara itu Ki Laksa berdiri tegak memandangi jurang yang menganga lebar di depannya.
Sedikit pun matanya tidak berkedip. Bibirnya terkatup rapat. Dia seakan-akan tengah mengukur, sampai di mana kedalaman jurang ini. Beberapa saat semua terdiam dan tidak ada yang berbicara lagi. Dan, kemudian Ki Laksa melemparkan potongan kayu yang dipegangnya tadi ke dalam jurang, seketika itu pula...
“Hup! Hiyaaa...!”
Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan hampir sempurna, Ki Laksa langsung melompat masuk ke dalam jurang. Tubuhnya melayang ringan bagai segumpal kapas.
Beberapa kali dia melakukan putaran. Dan, begitu keseimbangan tubuhnya sudah berkurang, cepat ujung jari kakinya menotok potongan kayu yang dilemparkannya tadi.
“Hup!”
Ki Laksa langsung melenting berputaran begitu kakinya menotok potongan kayu. Tangan kanannya cepat merogoh kantung kulit yang tergantung di pinggang. Dan, dari dalam kantung kulit itu dikeluarkannya sepotong kayu lagi.
“Hiyaaa...!”
Begitu kayu itu dilepaskan ke bawah, cepat ditotoknya lagi dengan ujung jari kakinya. Dan, kembali dia berputaran di antara tebalnya kabut di dalam jurang ini. Ki Laksa pun terus meluncur ke bawah dengan tubuh berputaran. Beberapa kali tampak dikeluarkannya potongan kayu dari dalam kantung kulitnya setiap kali keseimbangan tubuhnya mulai berkurang. Dan, semakin jauhlah dia masuk ke dalam jurang ini.
Sementara itu, di atas jurang, tiga orang laki-laki setengah baya yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa terus memperhatikan Ki Laksa sampai tubuhnya menghilang tertelan kabut. Beberapa kali mereka masih mendengar teriakan Ki Laksa dari dalam jurang, walaupun tubuhnya sudah lenyap tertelan kabut yang menggumpal tebal itu. Hingga akhirnya, mereka benar-benar tidak lagi mendengar suara apa pun. Sesaat mereka berpandangan satu sama lainnya.
“Bagaimana...?” tanya Nyawa Merah, meminta pendapat
“Tunggu sebentar,” sahut Nyawa Biru.
Mereka terdiam dan menunggu sambil terus mengarahkan pandangan ke dalam dasar jurang. Tapi, setelah cukup lama mereka menunggu, tidak juga terdengar suara apa pun. Mereka juga tidak melihat apa-apa di dalam jurang ini. Hanya kabut saja yang terlihat menggumpal. Namun, tiba-tiba....
“Kemari kalian semua...!”
“Kau dengar itu...?” desis Nyawa Merah saat telinganya mendengar suara yang begitu kecil dari dalam jurang di depannya ini.
“Ya, ayo kita ke sana,” sahut Nyawa kuning.
“Hup!”
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Tiga laki-laki setengah baya yang dijuluki si Perampok Tiga Nyawa itu langsung berlompatan masuk ke dalam jurang. Mereka juga sekali-sekali melemparkan potongan kayu yang diambilnya dari dalam kantung kulit di pinggang masing-masing. Dan, pada saat itu, dari dalam semak belukar, Bayu dan Ratna Wulan berlompatan keluar. Mereka langsung berdiri di bibir jurang. Keduanya masih sempat melihat si Perampok Tiga Nyawa di dalam jurang sebelum lenyap tertelan kabut.
“Siapa mereka, Kakang...?” tanya Ratna Wulan.
Bayu tidak menjawab. Dia hanya menggumam kecil. Dia tahu, laki-laki tua berjubah putih yang pertama kali terjun ke dalam jurang tadi adalah Ki Laksa. Laki-laki tua berjubah putih itulah yang melukai Ki Rahun hingga akhirnya tewas dengan luka dalam yang sangat parah. Sedangkan yang tiga orang lagi sama sekali belum dikenalnya.
“Kau juga turun ke sana, Kakang?” tanya Ratna Wulan, sambil memandangi wajah Pendekar Pulau Neraka itu.
Bayu berpaling menatap gadis di sampingnya. Perlahan dia menggeleng dan tersenyum. Ratna Wulan menarik napas lega. Ternyata Pendekar Pulau Neraka membatalkan keinginannya untuk masuk ke dalam jurang ini. Dia memang khawatir kalau Bayu sampai masuk ke dalam jurang yang sangat dalam dan gelap ini. Tapi, dia juga heran, mengapa Bayu sekarang membatalkan niatnya setelah keempat orang tadi terjun ke dalam jurang di depan mereka ini.
“Kenapa tidak jadi, Kakang?” pancing Ratna Wulan.
“Mereka pasti mengalami peristiwa yang sama dengan kita, Wulan. Biarkan mereka di sana. Kita tunggu saja di sini,” kata Bayu, tenang.
“Berapa lama mereka akan berada di dalam sana, Kakang?”
“Lihat saja nanti.”
Ratna Wulan terdiam dan tidak bertanya-tanya lagi. Sedangkan Bayu sudah duduk di atas sebuah akar pohon yang menyembul ke luar dari dalam tanah. Dia memindahkan Tiren dari pundak ke pangkuannya. Monyet kecil itu pun duduk tenang di pangkuan Pendekar Pulau Neraka. Dan, Ratna Wulan masih tetap berdiri di pinggiran jurang, dipandanginya kedalaman jurang yang gelap dan berkabut tebal itu.
Ki Laksa dan Perampok Tiga Nyawa sudah sampai di dasar jurang. Udara di dasar jurang ini begitu dingin. Keadaannya pun sangat gelap, seperti suasana di malam hari. Siapa pun akan mengalami kesukaran untuk bisa melihat jauh di dalam kegelapan seperti ini. Belum lagi, kabut yang menyelimuti seluruh dasar jurang ini sangat tebal.
Perampok Tiga Nyawa mengambil obor yang mereka bawa, lalu menyalakannya. Kegelapan di dasar jurang ini pun menjadi berkurang.
“Heh...! Dingin sekali di sini,” desis Nyawa Merah sambil bergidik.
“Tidak ada apa-apa di sini, Ki,” ujar Nyawa Biru seraya mengedarkan pandangannya berkeliling.
“Sebaiknya kalian waspada saja,” kata Ki Laksa, memperingatkan. Belum juga peringatan Ki Laksa hilang, mendadak....
Wusss!
“Awas...!” seru Ki Laksa tiba-tiba.
“Hup!”
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
“Hap!”
Mereka langsung berlompatan ketika tiba-tiba dari sekeliling mereka berhamburan puluhan batang anak panah dan tombak kayu yang panjang. Senjata-senjata itu melunak deras menghujani Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Namun, mereka memang bukanlah orang-orang sembarangan.
Sambil berjumpalitan, mereka meliuk-liukkan tubuh menghindari hujan panah dan tombak itu.
Kedua tangan mereka juga bergerak cepat Tangan-tangan itu berkelebatan menangkis panah dan tombak yang tidak bisa dihindari. Tapi, serangan panah dan tombak itu tidak berlangsung lama. Seperti datangnya tadi, serbuan ini pun berhenti dengan mendadak. Keempat laki-laki itu berdiri melingkar saling membelakangi. Serangan panah dan tombak tadi membuat mereka harus terus memasang sikap waspada. Serangan yang sangat mendadak tadi memang menandakan bahwa di dasar jurang ini ada orang yang hidup.
Tapi, setelah lama ditunggu, tidak ada satu pun serangan yang datang lagi. Mereka pun mulai bergerak membuka lingkaran, lalu berdiri berjajar menghadap sebatang pohon yang cukup besar dan rindang.
“Ghrrr...!”
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara gerungan kecil yang terdengar begitu dekat Dan, belum lagi rasa terkejut mereka lenyap, mendadak...
Srek!
Ki Laksa dan Perampok Tiga Nyawa cepat-cepat memutar tubuh ke kiri ketika mereka mendengar suara gemerisik, seperti semak atau rerumputan kering yang sedang dilalui seseorang. Pada saat itu pula, terdengar suara gemerisik yang sama dari arah lain, kemudian disusul dengan suara yang sama dari arah lain lagi. Keempat laki-laki itu pun segera berputaran mengikuti arah suara-suara gemerisik yang terdengar berpindah-pindah dengan cepat itu.
Tapi, tak ada sesuatu pun yang mereka lihat. Bahkan, tak ada satu semak pun yang tampak bergerak. Ki Laksa dan Perampok Tiga Nyawa saling melempar pandang. Jurang ini memang menyimpan segudang keanehan yang belum terungkap. Tapi, mereka tidak percaya kalau suara-suara yang didengar itu adalah suara hantu, walaupun jurang ini dikenal dengan sebutan Jurang Setan. Dan, memang belum ada seorang pun yang mencoba masuk ke dalam jurang ini selain mereka.
“Hati-hati, mungkin ini jebakan lain,” ujar Ki Laksa.
Perlahan-lahan kemudian Ki Laksa mengayunkan kakinya sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu ringan gerakannya. Tak terdengar sedikit pun suara kakinya yang menjejak rerumputan. Setelah berjalan beberapa langkah, kemudian dia berhenti. Keningnya tampak berkerut, dilihatnya tumpukan abu bekas kayu-kayu api unggun. Ki Laksa lalu berjongkok sedikit dirabanya abu bakaran kayu itu.
“Hm..., masih hangat,” gumamnya sambil berdiri kembali.
Kemudian dia mengedarkan pandangannya berkeliling. Namun, kegelapan saja yang terlihat. Hanya pepohonan dan batu-batu serta semak belukar berselimut kabut tebal yang tampak di sekelilingnya. Sedangkan si Perampok Tiga Nyawa sudah bergerak menghampiri. Dan, suara-suara geme risik masih terus terdengar dari segala arah sekeliling mereka. Saat itu Ki Laksa melihat titik cahaya yang tampak begitu jauh.
“Kalian lihat itu...?” ujar Ki Laksa, agak mendesis.
“Seperti sinar pelita, Ki,” sahut Nyawa Merah, yang juga pelan suaranya.
“Sebaiknya kita lihat saja, Ki,” saran Nyawa Biru.
“Baik, tapi hati-hati,” sahut Ki Laksa.
Mereka kemudian bergegas melangkah menuju titik cahaya yang terlihat jauh itu. Mereka berjalan cepat dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki. Mereka pun seperti berjalan di atas angin.
Tak ada suara sedikit pun yang terdengar. Sebentar saja mereka sudah jauh. Cahaya api obor yang mereka bawa sajalah yang kini terlihat berkedip-kedip. Pada saat itu, dari balik semak belukar muncul tiga orang tua berpakaian kumal dan penuh tambalan. Mereka berdiri berjajar memandangi Ki Laksa dan Perampok Tiga Nyawa yang semakin jauh berjalan.
Ketiga orang tua berpakaian kumal penuh tambalan dan compang-camping itu adalah para pengemis tua yang dikenal dengan julukan Tiga Pengemis Sakti. Dan, mereka adalah pemimpin kelompok Pengemis Mangkuk Sakti, yang anggotanya tersebar di seluruh mayapada. Tapi, selama lebih dari lima belas tahun ini nama mereka menghilang. Ketiganya memang menyepi di dasar Jurang Setan ini. Mereka sengaja meninggalkan kehidupan keras di dalam rimba persilatan.
“Mereka sudah bisa masuk ke sini, Ki,” desis Nyai Nirmala, satu-satunya wanita di antara tiga serangkai Tiga Pengemis Sakti.
“Mereka pasti datang karena merasakan pengaruh dari ilmu 'Pukulan Inti Api' dan 'Pukulan Inti Salju'...,” gumam Ki Jagat, pelan sekali hingga hampir tidak terdengar.
“Memang dahsyat sekali hasil kedua ilmu itu, Ki. Aku sendiri sampai khawatir, jangan-jangan Intan Kumala tadi tidak kuat menerimanya,” sambung Ki Buyut.
“Untung pekerjaan kita sudah selesai. Tapi Intan Kumala masih belum sadarkan diri. Aku juga merasa lemas sekali,” desah Nyai Nirmala.
“Ya, saat ini kita tidak mungkin bisa menghadapi mereka. Tenaga dan kekuatan kita sekarang sedang jauh berkurang. Kita harus mengembalikan dulu. Paling tidak, beberapa hari baru bisa kembali sempurna seperti semula,” kata Ki Jagat.
“Heh...!” Nyai Nirmala mengembuskan napas panjang.
Mereka terdiam dan terus memandangi kerlip cahaya api dari tiga obor, yang terus bergerak-gerak seperti tertiup angin, yang menyala di dalam tebalnya selimut kabut di dasar jurang ini. Sebentar cahaya api itu terlihat, sebentar kemudian menghilang, lalu terlihat lagi seperti tiga mata yang bercahaya.
“Untung saja mereka bisa dipengaruhi dengan jebakan-jebakan kita, Ki,” desah Ki Buyut, perlahan. “Mereka pasti menyangka jurang ini benar-benar berhantu. Tidak salah kita memilih tempat ini untuk keluar dari rimba persilatan. Tempat ini memang cocok untuk orang-orang tua seperti kita.”
“Jangan gembira dulu, Ki Buyut. Mereka bukan orang bodoh, terutama Ki Laksa itu. Tapi sebaiknya memang kita jangan dulu berhadapan dengan mereka,” kata Ki Jagat, bijaksana.
“Tapi paling tidak, mereka sudah jauh dari sini, Ki,” ujar Ki Buyut lagi. “Kita bisa terus menyempurnakan pekerjaan kita, Ki.”
“Tidak ada yang perlu disempurnakan lagi, Ki Buyut. Kita hanya perlu mengembalikan tenaga dan kekuatan masing-masing, setelah terkuras habis untuk Intan Kumala,” selak Nyai Nirmala.
“Itulah yang kumaksud dengan menyempurnakan, Nyai,” sahut Ki Buyut.
“Hm...,” gumam Ki Jagat, perlahan.
Mereka bertiga memang baru selesai menyalurkan gabungan tiga ilmu, yang kemudian menyatu menjadi dua buah ilmu kedigdayaan yang sangat dahsyat. Pengaruhnya pun sampai terasa keluar begitu jauh dari Jurang Setan ini. Dan, hal itulah yang mengundang Ki Laksa dan Perampok Tiga Nyawa sampai datang ke dalam jurang ini. Bahkan, bukan hanya mereka berempat yang terpengaruh. Di atas jurang sana menunggu pula Pendekar Pulau Neraka dan Ratna Wulan.
“Ayo kita kembali,” ajak Ki Laksa.
Tapi, belum juga mereka memutar tubuhnya untuk kembali ke dalam gua, mendadak....
“Kalian bodoh kalau mengira bisa menjebakku begitu saja!”
“Heh...?!”
“Hah...?!”
Tiga Pengemis Sakti terkejut bukan main ketika tiba-tiba terdengar suara yang berat dan keras menggema. Cepat-cepat mereka memutar tubuh kembali. Dan, saat itu pula kedua bola mata mereka terbeliak lebar.
“He he he...!”
“Ki Laksa..,” desis Ki Jagat, hampir tidak percaya.
Tiga Pengemis Sakti memang terkejut setengah mati. Tiba-tiba di hadapan mereka telah muncul KI Laksa dan Perampok Tiga Nyawa. Padahal, mereka masih melihat cahaya api obor di kejauhan sana. Tapi, Tiga Pengemis Sakti segera bisa menghilangkan rasa terkejutnya. Secara bersamaan mereka menarik kaki ke belakang beberapa langkah.
“Rupanya kalian, Tiga Pengemis Sakti, yang membuat kekacauan tadi,” ujar Ki Laksa, dengan nada suara yang terdengar dingin.
“Mau apa kalian datang ke sini?” sentak Ki Jagat.
“Lima belas tahun lalu, seorang bocah tercebur ke dalam jurang ini. Dan seharusnya dia sudah mati. Tapi belum lama ini dia muncul lagi. Aku yakin, kalianlah yang merawat bocah itu. Aku berterima kasih sekali. Dan tentunya kalian pasti tahu apa maksud kedatanganku ke sini. Aku ingin meminta bocah itu,” kata Ki Laksa, dengan nada suara yang masih terdengar dingin.
Tiga Pengemis Sakti saling melempar pandang. Mereka tahu, yang dimaksud Ki Laksa adalah Intan Kumala, gadis kecil yang mereka selamatkan lima belas tahun lalu saat tercebur ke dalam jurang ini.
Ketika itu, Ki Jagat melihat gadis itu dan langsung melompat menyambutnya sebelum tubuhnya terbanting ke dasar jurang ini. Gadis kecil itu pun selamat. Dan, selama lima belas tahun ini mereka merawat serta mendidiknya dengan berbagai ilmu kanuragan dan kedigdayaan.
“Kau tidak bisa mengambilnya begitu saja, Ki Laksa,” desis Ki Jagat, dingin.
“He he he...! Sudah kuduga, kalian pasti akan mempertahankannya. Baik..., aku akan memakai cara lain,” sambut Ki Laksa.
Sedikit saja Ki Laksa menggerakkan kepalanya. Dan, saat itu juga, Perampok Tiga Nyawa yang berada di belakangnya berlompatan ke depan. Sungguh indah dan ringan gerakan yang dilakukan ketiga laki-laki setengah baya itu. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, mereka menjejakkan kaki di tanah sekitar satu batang tombak lagi di depan Tiga Pengemis Sakti.
“Buka mata mereka, biar tahu siapa Ki Laksa!” seru Ki Laksa, lantang.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaa...!”
“Yaaah...!”
Tanpa menunggu perintah dua kali, ketiga laki-laki setengah baya yang dijuluki si Perampok Tiga Nyawa itu langsung berlompatan menyerang Tiga Pengemis Sakti. Mereka langsung menyerang dengan pukulan-pukulan menggeledek yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
“Haiiit..!”
“Hap!”
“Hiyaaat..!”
Ternyata ketiga orang pengemis tua itu memang bukan orang-orang sembarangan. Mereka cepat menyambut serangan si Perampok Tiga Nyawa itu dengan tangkas sekali.
Pertarungan sengit pun tidak dapat dihindarkan lagi. Meskipun tenaga dan kekuatan mereka sudah hampir terkuras habis karena tersalur ke dalam tubuh Intan Kumala, ketiga pengemis tua itu masih tetap gesit dan tidak bisa dipandang enteng. Gerakan-gerakan mereka masih cepat Si Perampok Tiga Nyawa pun mengalami kesulitan untuk mendesak. Terlebih lagi, mereka harus berhadapan satu lawan satu.
Sementara itu, di dalam gua yang tertutup semak belukar, tampak Intan Kumala duduk bersila dengan sikap bersemadi.
Gadis itu membuka kelompak matanya ketika mendengar suara-suara pertarungan di luar gua. Sesaat dia masih duduk terdiam. Dicobanya meyakinkan diri, apakah yang didengarnya tadi benar-benar suara pertarungan. Lalu, segera dia melompat turun dari batu tempatnya bersemadi. Tapi, baru saja dia hendak melangkah keluar, mendadak sesuatu seperti tangan yang besar dan berbulu sudah mencengkeram pundaknya.
“Oh...?!”
Hampir saja Intan Kumala terpekik ketika memutar tubuhnya berbalik. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba di depannya kini sudah berdiri seekor beruang berbulu putih yang sangat besar. Cepat-cepat dia melompat ke belakang begitu pundaknya terlepas dari cengkeraman tangan beruang putih ini.
“Hup...!
Intan Kumala bergegas melompat ke mulut gua. Tapi, pada saat itu juga, beruang putih yang besar tubuhnya tiga kali lipat manusia biasa itu melompat cepat bagai kilat. Dan, tahu-tahu dia sudah berdiri menghadang di depan mulut gua yang tertutup semak belukar ini.
“Heh..?! Hup!”
Intan Kumala terkejut setengah mati. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke belakang, berputaran beberapa kali, menjejakkan kakinya di lantai gua yang lembab ini.
“Ghrrr...!”
“Beruang Putih menggerung perlahan sambil menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Dia tampaknya tidak membolehkan Intan Kumala keluar dari gua ini. Kemudian dia mendekam, bagai menjaga mulut gua, agar Intan Kumala tidak bisa keluar. Kedua bola matanya yang bulat dan besar memerah itu menatap lurus. Dipandanginya gadis cantik di depannya ini.
“Minggir! Jangan menghalangiku...!” bentak Intan Kumala.
“Ghrrr...!”
Beruang Putih hanya menggerung perlahan sambil menggelengkan kepalanya pelan-pelan beberapa kali. Dia seakan-akan bisa mengerti ucapan gadis ini. Dan, Intan Kumala pun tertegun dibuatnya. Binatang yang kelihatan buas dan mengerikan ini tampak begitu jinak. Tapi, Intan Kumala selama ini tidak tahu kalau di dasar Jurang Setan ini ternyata ada seekor beruang bertubuh raksasa yang berbulu putih bagai kapas.
“Hm...”
Intan Kumala menggumam kecil dengan mata agak menyipit. Diperhatikannya beruang putih itu. Perlahan kemudian digeser kakinya ke kanan. Dan....
“Hup! Hiyaaa...!”
Bagaikan kilat, tiba-tiba Intan Kumala melompat hendak menerobos mulut gua itu. Tapi, tanpa diduga sama sekali, mendadak Beruang Putih mengibaskan kaki depan kanannya dengan cepat. Intan Kumala pun tidak sempat lagi berkelit. Dan....
Plak!
“Akh...!
Intan Kumala menjerit agak tertahan. Seketika tubuhnya terpental balik ke belakang. Dia telah terkena kibasan kaki yang berbulu tebal dan berwarna putih itu. Keras sekali punggungnya meng-hantam dinding gua. Seluruh dinding dan langit-langit gua ini pun tampak bergetar, bagai hendak runtuh.
“Hap!”
Namun, Intan Kumala cepat melompat. Dan, menjejakkan kakinya kembali di lantai gua yang lembab ini. Saat itu, dirasakannya ada keanehan pada dirinya. Dia tahu, kibasan kaki depan Beruang Putih itu sangat kuat dan keras, bahkan tadi dia juga membentur dinding gua dengan sangat keras. Tapi, sama sekali tidak dirasakannya sakit sedikit pun. Bahkan, dia bisa kembali berdiri tegak di atas kedua kakinya.
“Ghrrr...!”
Beruang Putih menggerung agak keras sambil berdiri tegak dengan kedua kakinya yang kokoh dan besar. Tampaknya dia senang melihat Intan Kumala dapat berdiri tegak dan cepat tanpa merasakan apa pun. Kemudian, Beruang Putih berdiri di atas keempat kakinya yang besar dan kokoh itu. Perlahan dia menghampiri Intan Kumala, Lalu mendekam begitu dekat di depan gadis ini. Semua yang dilakukan Beruang Putih itu membuat Intan Kumala keheranan. Sedangkan telinganya masih terus mendengar suara pertarungan di luar sana.
“Siapa kau ini sebenarnya? Kenapa menghalangiku keluar dari sini?” tanya Intan Kumala.
“Ghrrr...!”
Beruang Putih menggerung, seakan-akan men-jawab pertanyaan gadis ini. Tapi, tentu saja Intan Kumala tidak bisa mengerti. Dia melirik sedikit ke arah mulut gua yang tertutup semak belukar. Suara pertarungan itu terus terdengar menghantui telinga-nya. Dia tahu, Tiga Pengemis Sakti tengah bertarung di luar sana, entah dengan siapa.
“Biarkan aku keluar membantu mereka,” pinta Intan Kumala.
“Ghrrr...!”
Beruang Putih menggelengkan kepalanya sambil menggerung kecil.
'Kenapa aku...?”
Pertanyaan Intan Kumala langsung terputus. Dia segera menyadari binatang bertubuh raksasa dan berbulu putih bagai kapas ini tidak mungkin bisa menjawab pertanyaannya. Walaupun beruang ini bisa mengerti semua yang diucapkan Intan Kumala, tentu saja jawaban yang diberikannya tidak bisa dimengerti gadis ini.
“Kau sahabat Tiga Pengemis Sakti?” tanya Intan Kumala lagi.
Beruang Putih menggelengkan kepalanya.
“Lalu.... Kau peliharaannya?”
Kali ini binatang berbulu putih itu menganggu.
“Oh...”
Intan Kumala mendesah panjang. Sungguh dia tidak tahu kalau ketiga pengemis tua itu memiliki binatang peliharaan seperti ini. Selama lima belas tahun tinggal bersama Tiga Pengemis Sakti, dia sama sekali tidak tahu kalau mereka memiliki binatang peliharaan seekor Beruang Putih bertubuh besar bagai raksasa ini. Dan, tampaknya binatang ini sudah dipesan untuk menjaganya agar tidak keluar dari gua ini.
“Baiklah, Beruang Putih. Aku tahu, kau pasti sudah diperintah untuk menjagaku di sini. Tapi apa kau akan membiarkan saja mereka bertarung di luar? Mereka dalam keadaan lemah, Beruang Putih. Aku tidak akan membiarkan mereka celaka,” kata Intan Kumala.
Baru saja Intan Kumala mengatupkan bibirnya, tiba-tiba....
“Aaa...!”
“Oh...?!”
Gadis itu tersentak kaget setengah mati ketika tiba-tiba didengarnya jeritan panjang melengking dan menyayat Sejenak ditatapnya Beruang Putih dengan tajam kemudian....
“Hiyaaat..!”
Cepat sekali Intan Kumala melesat dan melompati kepala beruang berbulu putih bagai kapas itu.
Begitu cepat lompatan yang dilakukan Intan Kumala. Beruang Putih itu pun tertegun sesaat .
“Ghraaagkh...!”
Cepat-cepat Beruang Putih melompat hendak mencegah. Tapi, Intan Kumala sudah menerobos semak belukar yang menutupi mulut gua dengan cepat sekali. Dan, tahu-tahu gadis itu sudah berdiri di depan mulut gua.
“Nek...!” jerit Intan Kumala.
Tepat pada saat Intan Kumala keluar dari dalam gua, terlihat Nyai Nirmala terkena satu pukulan keras yang dilepaskan Nyawa Kuning ke arah dadanya. Wanita pengemis itu terpental deras ke belakang sambil menjerit keras. Begitu kuat pengerahan tenaga dalam pada pukulan itu. Ketika tubuh Nyai Nirmala menghantam pohon, pohon itu pun langsung hancur seketika.
“Kubunuh kau, Keparat! Hiyaaat..!”
Intan Kumala tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Bagaikan kilat, gadis itu melompat sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah Nyawa Kuning.
“Intan, jangan...!” seru Nyai Nirmala, yang tampak terkejut melihat Intan Kumala sudah melompat menyerang Nyawa Kuning.
Tapi, Intan Kumala sudah tidak bisa lagi dicegah. Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskannya hampir saja menghantam tubuh Nyawa Kuning. Sayang, laki-laki setengah baya yang mengenakan baju kuning itu dengan cepat dapat meliukkan tubuhnya, kemudian melompat ke belakang beberapa langkah.
“Hiyaaat...!”
Intan Kumala tidak mau membiarkan begitu sa ja. Dia kembali melompat cepat sambil melepaskan pukulan keras beruntun yang bertenaga dalam tinggi. Begitu cepat serangan-serangan yang dilakukan Intan Kumala. Si Nyawa Kuning pun kerepotan menghindarinya. Dia harus berjumpalitan dan meliuk-liukkan tubuhnya.
Pada saat itu Nyai Nirmala sudah bisa berdiri lagi. Meskipun dadanya terasa sesak akibat terkena pukulan si Nyawa Merah tadi, dia tetap berusaha mendekati Intan Kumala yang sedang menggempur bekas lawannya ini. Tapi, belum juga dia bisa mendekati gadis itu, tiba-tiba....
“Hiyaaa...!”
“Oh...?
Uts...!”
Cepat-cepat Nyai Nirmala melompat ke belakang ketika tiba-tiba Ki Laksa melompat cepat sambil mengecutkan tongkatnya yang berujung runcing. Dan, sedikit saja ujung tongkat itu lewat di depan tenggorokan perempuan tua, pengemis ini. Lalu, tanpa diduga sama sekali, Ki Laksa cepat memutar tongkatnya. Langsung dihunjamkan tongkatnya itu ke dada Nyai Nirmala.
“Hih! Hiyaaa...!”
Tidak ada lagi kesempatan bagi Nyai Nirmala untuk berkelit menghindari hunjaman tongkat yang berujung runcing itu. Dengan cepat sekali dihentakkan tangan kirinya yang memegang sebuah mangkuk merah dari batok kelapa. Tak pelak lagi, ujung tongkat Ki Laksa menghantam mangkuk merah itu dengan keras sekali.
Prak!
“Akh...!
Nyai Nirmala terpekik agak tertahan. Tubuhnya terhuyung ke belakang begitu mangkuk saktinya berbenturan dengan tongkat Ki Laksa. Dan, belum juga dia bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, bagaikan kilat Ki Laksa sudah melakukan serangan kembali. Satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan oleh laki-laki tua itu dengan cepat dan menggeledek, tepat mengarah ke dalam perempuan tua pengemis itu.
“Hiyaaa...!”
“Hap!”
Cepat-cepat Nyai Nirmala memiringkan tubuhnya ke kiri. Dihindarinya pukulan yang dilepaskan laki-laki tua berjubah putih itu. Namun, pada saat yang bersamaan, Ki Laksa mengecutkan tongkatnya dengan gerakan menyamping. Begitu cepat serangan susulan yang dilakukan Ki Laksa ini. Nyai Nirmala pun tidak dapat lagi menghindarinya. Dan, tanpa dapat dicegah lagi, ujung tongkat yang runcing itu merobek lambung perempuan tua pengemis ini.
Bret!
“Akh...!”
“Hiyaaa...!”
Nyai Nirmala terhuyung-huyung. Darah seketika bercucuran dari lambungnya yang robek. Dan, pada saat itu juga Ki Laksa melompat cepat sambil melepaskah satu tendangan keras menggeledek, disertai dengan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Des!
“Aaa...!”
Lagi-lagi Nyai Nirmala menjerit keras begitu tendangan bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Ki Laksa menghantam dadanya. Seketika itu juga wanita tua pengemis itu terjungkal dan ambruk menelentang ke tanah. Tubuhnya menggelepar dan mulutnya menyemburkan darah.
“Mampus kau, Pengemis Busuk! Hiyaaa...!” seru Ki Laksa, lantang menggelegar.
Bagaikan kilat, laki-laki tua berjubah putih itu kembali melompat Tongkatnya diangkat tinggi hingga melewati kepala. Lalu, dengan keras sekali dihunjamkannya ujung tongkat yang runcing itu ke dada Nyai Nirmala yang menggeletak di tanah.
Bres!
“Aaa...!”
Jeritan panjang yang melengking tinggi terdengar begitu menyayat. Sesaat Nyai Nirmala menggeliat, lalu diam tak bergerak lagi begitu Ki Laksa mencabut tongkatnya yang terbenam dalam di dada perempuan tua itu.
“Phuih!”
Ki Laksa menyemburkan ludahnya. Perlahan dia berbalik memperhatikan pertarungan lainnya yang masih berlangsung dengan sengit
Jeritan kematian yang panjang dan menyayat dari Nyai Nirmala tadi rupanya memecahkan perhatian Ki Jagat dan Ki Buyut yang sedang bertarung menghadapi lawan-lawannya. Bahkan, Intan Kumala yang menghadapi Nyawa Kuning pun ikut terpecah perhatiannya. Dan, itu tidak disia-siakan oleh lawan mereka masing-masing. Hingga akhirnya, mereka hampir bersamaan terjungkal terkena pukulan dan tendangan keras di saat mereka tengah terpana.
“Bunuh mereka semua...!” perintah Ki Laksa, lantang.
“Hiyaaa...!”
Nyawa Merah, yang menghadapi Ki Buyut, langsung melompat ke udara sambil berteriak keras menggelegar. Sebuah kapak yang tergenggam di tangan kanannya diayunkan dengan cepat sekali. Kapak itu tertuju langsung ke arah laki-laki tua berpakaian pengemis yang masih menggeletak di tanah akibat terkena tendangan menggeledek bertenaga dalam tinggi pada dadanya tadi.
“Uts...!”
Cepat-cepat Ki Buyut menggelimpangkan tubuhnya ke samping. Sabetan kapak Nyawa Merah pun hanya mengenai tanah kosong. Saat itu juga, Ki Buyut bergegas melompat bangkit. Namun, baru saja kakinya berpijak di tanah, mendadak....
“Mampus kau! Hiyaaa...!”
Ki Laksa yang berada tepat di belakang Ki Buyut tidak mau membuang-buang kesempatan begitu saja. Dengan cepat sekali dia melompat. Dihunjamkan tongkatnya ke punggung laki-laki tua pengemis ini. Begitu cepat serangan dari belakang yang dilancarkan Ki Laksa. Ki Buyut pun tidak dapat lagi berkelit menghindarinya. Dan....
Crab!
“Aaa...!”
Jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar menyayat di seluruh dasar Jurang Setan ini. Begitu kuat tenaga dalam yang dikeluarkan Ki Laksa. Ujung tongkatnya yang menusuk dari belakang pun sampai tembus ke depan lewat dada Ki Buyut. Dan, begitu Ki Laksa menarik kembali tongkatnya, darah langsung muncrat keluar dari punggung dan dada pengemis tua itu.
“Hiyaaa...!”
Di saat tubuh Ki Buyut tengah terhuyung limbung, saat itu juga Nyawa Merah mengayunkan kapaknya dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Tak pelak lagi, kapak bermata tajam berkilatan itu menghantam telak ke wajah Ki Buyut. Kembali pengemis tua itu menjerit keras sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Dan, darah tampak mengucur deras dari wajah yang terbelah kapak itu.
“Mampus kau, Pengemis Keparat! Hiyaaat..!”
Sambil menyumpah serapah, Nyawa Merah kembali mengayunkan kapaknya dengan cepat sekali, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi. Kali ini, senjata itu diarahkannya ke leher.
Cras!
Kali ini tak ada lagi suara yang terdengar dari mulut Ki Buyut. Laki-laki tua itu hanya sebentar mampu berdiri, lalu ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari lehernya. Sedikit pun tak ada lagi gerakan yang terlihat. Pengemis tua itu langsung tewas sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
“Iblis...! Kubunuh karian semua!” jerit Intan Kumala, yang geram menyaksikan kematian Nyai Nirmala dan Ki Buyut yang begitu mengenaskan.
“Ha ha ha...!” Ki Laksa tertawa terbahak-bahak.
Kini tinggal Ki Jagat dan Intan Kumala yang masih bisa bernapas. Tampak tiga laki-laki setengah baya yang masing-masing menggenggam sebuah kapak sudah mengepung dengan rapat dari tiga penjuru mata angin. Sedangkan Laksa berdiri agak jauh sambil tertawa terkekeh.
Ki Jagat dan Intan Kumala harus beradu punggung. Mereka siap menghadapi si Perampok Tiga Nyawa yang sulit dilumpuhkan karena memiliki sebuah ilmu yang sangat aneh dan sukar dicari tandingannya. Ilmu 'Tiga Nyawa' membuat ketiga laki-laki tua itu sulit dilenyapkan dari muka bumi ini, karena dengan ilmu itu mereka tidak bisa mati.
“Seharusnya kau tidak keluar, Intan,” bisik Ki Jagat.
“Semua ini karena aku, Ki. Ki Buyut dan Nyai Nirmala tewas karena aku. Tidak sepatutnya aku bersembunyi menyaksikan semua ini,” desis Intan Kumala, dingin.
“Kita akan mati di sini, Intan. Dan harapan kami semua padamu akan pupus,” keluh Ki Jagat
“Maafkan aku, Ki. Tapi aku...”
“Sudahlah, Intan. Mereka sudah menemukanmu di sini. Kita harus menghadapi mereka, walaupun kekuatanku sudah jauh berkurang setelah mengeluarkan begitu banyak tenaga dalam untukmu,” kata Ki Jagat dengan suara yang tetap pelan.
Intan Kumala diam saja. Memang, kekuatan yang dimiliki Tiga Pengemis Sakti sudah jauh berkurang setelah mereka menyalurkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya ke tubuh Intan Kumala. Mereka telah menurunkan ilmu 'Pukulan Inti Api' dan 'Pukulan Inti Salju', ke tubuh gadis itu beberapa saat sebelum Ki Laksa dan Perampok Tiga Nyawa datang ke dasar Jurang Setan ini.
Sangat dahsyat memang kedua ilmu itu.
Pengaruhnya pun terasa sampai jauh keluar dari dasar jurang ini. Namun, saat ini Intan Kumala belum boleh menggunakan ilmu pamungkasnya yang baru itu, karena kedua ilmu yang saling bertentangan sifat itu masih belum melebur ke dalam detak jantung dan aliran darahnya. Kalaupun Intan Kumala memaksakan diri untuk menggunakannya, akibatnya akan fatal bagi dirinya sendiri. Padahal keadaannya kini sedang sangat terdesak. Apalagi, setelah menerima kedua ilmu itu, tenaganya pun sudah jauh berkurang. Keadaan Intan Kumala dan Ki Jagat saat ini benar-benar gawat Mereka seperti tinggal menunggu nasib.
“Bunuh mereka...!” seru Ki Laksa.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
“Hiyaaat..!”
Tanpa menunggu perintah dua kali, Perampok Tiga Nyawa langsung berlompatan menyerang Ki Jagat dan Intan Kumala yang sudah terkepung ini. Saat itu juga, Ki Jagat segera melompat menjauhi Intan Kumala, lalu membantingkan diri ke tanah. Dan, tubuhnya bergulingan beberapa kali menghindari sabetan kapak si Nyawa Biru.
Sementara itu Intan Kumala langsung melenting-kan tubuhnya ke udara begitu Nyawa Merah dan Nyawa Kuning secara bersamaan menyerang dengan kapak-kapak mereka yang bermata tajam dan berkilatan. Beberapa kali Intan Kumala melakukan putaran di udara, lalu dengan manis sekali menjejakkan kembali kakinya di tanah. Sekarang dia berdiri tepat di antara kedua laki-laki setengah baya bersenjata kapak ini. Saat itu juga....
“Hiyaaa...!”
Cepat sekali Intan Kumala menghentakkan kedua tangannya, hingga merentang ke samping.
Dan, dilakukannya dua pukulan sekaligus dengan kedua tangan itu. Tapi, Nyawa Merah dan Nyawa Kuning tampaknya sudah mengetahui serangan yang dilancarkan gadis berbaju putih ini. Dengan mudah sekali mereka bisa menghindari dengan menarik tubuh ke samping.
“Yeaaah...!”
Selagi tubuhya miring, Nyawa Merah melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke arah lambung kanan Intan Kumala. Dan, pada saat yang bersamaan, Nyawa Kuning juga melakukan serangan dengan mengibaskan kapaknya ke arah kepala gadis itu.
Mendapat dua serangan sekaligus dari arah yang berlawanan ini, Intan Kumala tampak kelabakan juga. Tapi, dengan cepat sekali ditarik kakinya ke belakang dan ditundukkan kepalanya sedikit. Dihindarinya sabetan kapak Nyawa Kuning.
Wuk!
Kapak bermata tajam itu lewat sedikit saja di atas kepala Intan Kumala. Tangan kiri Nyawa Merah juga lewat di depan perut gadis ini. Dan, tanpa membuang waktu sedikit pun, segera melompat sambil menghentakkan kedua kakinya. Dilepaskannya tendangan ke samping dengan kecepatan yang begitu tinggi.
“Hiyaaat..!”
Nyawa Merah dan Nyawa Kuning terlihat kaget setengah mati. Mereka berusaha cepat-cepat menghindar. Tapi, tendangan tak terduga yang dilakukan Intan Kumala ini begitu cepat luar biasa. Sehingga....
Des!
Bugkh!
“Akh...!”
“Ugkh...!”
Dua dari tiga serangkai Perampok Tiga Nyawa itu terpental ke belakang. Mereka terkena tendangan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Intan Kumala.
“Hup! Hiyaaa...!”
Saat itu juga Intan Kumala cepat-cepat melentingkan tubuhnya. Dia meluruk deras ke arah Nyawa Biru yang tengah menghadapi Ki Jagat Satu pukulan keras yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi langsung dilepaskan gadis itu, tepat mengarah ke kepala si Nyawa Biru.
Wusss!
“Uts...!”
Begitu tinggi pengerahan tenaga dalam yang dikerahkan Intan Kumala. Pukulan yang dilepaskannya sampai menimbulkan desiran angin yang begitu kuat dan mengandung hawa panas bercampur dingin. Tapi, Nyawa Bina sudah keburu melompat ke belakang sejauh satu batang tombak. Pukulan itu pun meleset dan langsung menghantam sebatang pohon yang cukup besar. Seketika itu juga terdengar ledakan yang begitu keras menggelegar. Pohon itu hancur berkeping-keping.
Bukan hanya Perampok Tiga Nyawa dan Ki Laksa yang terkejut melihat akibat yang ditimbulkan oleh pukulan dahsyat Intan Kumala tadi. Tapi, Ki Jagat juga tersentak kaget setengah mati. Terlebih lagi, tadi dia pun sempat merasakan angin pukulan gadis itu. Dia tahu, pukulan Intan Kumala tadi mengandung pengerahan ilmu 'Pukulan Inti Api’ dan 'Pukulan Inti Salju' secara bersamaan. Dan, dia juga tahu, apa akibatnya jika Intan Kumala tidak dapat mengendalikan kedua ilmu itu.
“Intan, tahan dirimu...!” sentak Ki Jagat.
Tapi, Intan Kumala sudah tidak mendengar lagi perintah laki-laki tua pengemis itu. Dia sudah kembali melompat cepat sambil melepaskan satu pukulan ke arah Nyawa Biru.
“Hiyaaat..!”
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat-cepat Nyawa Biru melentingkan tubuhnya ke udara. Pukulan yang dilepaskan Intan Kumala pun lewat di bawah telapak kakinya. Dan, pada saat itu juga, Nyawa Biru menghentakkan kakinya dengan cepat sekali ke arah kepala gadis ini. Sedangkan Intan Kumala, yang baru melancarkan serangan dahsyat tadi, tidak dapat lagi mengendalikan dirinya yang sudah doyong ke depan. Sehingga...
Plak!
“Akh...!” Intan Kumala menjerit agak tertahan.
“Ugkh...!”
Nyawa Biru juga melenguh pendek. Dan, cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke belakang sambil berputaran beberapa kali. Tapi, begitu kakinya menjejak tanah, dia langsung jatuh terguling. Tubuhnya seketika menggigil seperti terserang demam yang tinggi. Tampak butiran keringat menitik deras, langsung membasahi wajahnya.
“Bhrrr...!”
“Celaka...,” desis Ki Jagat, cemas.
“Oh...”
Saat itu juga Intan Kumala terlihat limbung sambil memegangi keningnya. Kecemasan Ki Jagat pun semakin bertambah. Dia tahu. Intan Kumala tadi mengerahkan ilmu 'Pukulan Inti Api' dan 'Pukulan Inti Salju' secara bersamaan. Seharusnya, Intan Kumala tidak boleh mengeluarkan kedua ilmu itu secara bersamaan sebelum dia bisa menguasainya dengan benar. Dan, yang lebih penting lagi. Dia harus bisa memisahkan kedua ilmu itu jika menggunakannya, agar tidak berpengaruh pada dirinya sendiri. Bahkan jika kedua ilmu itu digunakan secara terpisah akibatnya akan benar-benar fatal bagi lawan yang terkena.
“Intan....”
Bergegas Ki Laksa bergerak menghampiri Intan Kumala yang kini sudah jatuh berlutut sambil memegangi kepala. Rintihan lirih terdengar dari bibir merah yang meringis itu. Tapi, belum juga Ki Jagat mencapai Intan Kumala, mendadak Nyawa Merah melompat cepat bagai kilat sambil mengayunkan kapaknya ke arah punggung laki-laki tua pengemis ini.
“Hiyaaa...!”
Begitu cepat serangan yang dilancarkan Nyawa Merah. Ki Jagat pun tampak terperangah sesaat. Tapi dia bisa cepat berkelit menghindari hantaman kapak itu dengan menarik tubuhnya ke kanan. Namun, pada saat itu juga, Nyawa Kuning melompat sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek, yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
“Hiyaaa...!”
“Haiit..!”
Ki Jagat ternyata masih bisa menghindari pukulan menggeledek yang dilancarkan Nyawa Kuning. Namun, ketika Nyawa Merah kembali mengayunkan kapaknya dengan cepat, Ki Jagat tidak dapat lagi menghindari. Dan....
Crab!
“Aaa...!”
Ki Jagat menjerit panjang dan melengking begitu mata kapak membelah dadanya. Darah seketika memuncrat dengan deras saat kapak yang tertanam di dadanya itu ditarik ke luar kembali oleh Nyawa Merah. Dan, pada saat itu juga, Nyawa Kuning langsung menghantam kapaknya ke kepala pengemis tua itu.
Prak!
Tak ada lagi jeritan yang keluar dari mulut Ki Jagat ketika kepalanya terbelah kapak si Nyawa Kuning. Hanya sebentar pengemis tua itu masih mampu berdiri. Sesaat kemudian, dia ambruk menggelepar dengan darah bercucuran deras dari dadanya yang berlubang dan dari kepalanya yang pecah terbelah. Tafk lama kemudian, Ki Jagat sudah diam tak bergerak-gerak lagi.
Sementara itu Intan Kumala masih mengerang dan merintih lirih sambil berlutut di tanah memegangi kepala dan dadanya. Keringat membanjiri sekujur tubuhnya yang kelihatan menggeletar seperti orang kedinginan.
Memang, di dalam tubuh gadis ini sedang terjadi pertentangan dua kekuatan yang berlawanan sifatnya. Sementara itu tidak jauh darinya, Nyawa Biru juga masih meringkuk sambil menggigil kedinginan. Rupanya ilmu 'Pukulan Inti Salju' lebih kuat menghantam tubuhnya tadi.
“Bunuh perempuan keparat itu...!” perintah Ki Laksa dengan suara yang lantang menggelegar.
Namun, belum juga Nyawa Merah dan Nyawa Kuning bergerak mendekati Intan Kumala, mendadak....
“Ghraaaugkh...!”
“Glarrr...!”
“Heh...?!”
“Hah...?!”
Mereka tampak terkejut setengah mati ketika tiba-tiba terdengar raungan yang begitu keras menggelegar. Bumi yang mereka pijak pun bergetar bagai diguncang gempa. Dan, belum juga raungan itu menghilang dari pendengaran, kembali mereka dikejutkan oleh suatu ledakan keras yang menggelegar.
Tidak jauh dari tempat itu, tampak batu-batu berhamburan ke udara, seakan-akan dilemparkan dari dalam bumi oleh tangan-tangan raksasa.
Pada saat itu, terlihat seekor beruang bertubuh raksasa dan berbulu putih bagai kapas muncul dari kerimbunan semak dan reruntuhan batu-batuan. Binatang liar yang tampak mengerikan itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya dan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
“Ghraaagkh...!”
Kembali beruang putih raksasa itu meraung dahsyat. Moncongnya terbuka lebar, seakan-akan ingin memperlihatkan baris-baris giginya yang runcing dan tajam bagai mata pisau. Saat itu Nyawa Merah dan Nyawa Kuning sudah melompat ke dekat Nyawa Biru. Mereka bergegas membangunkan Nyawa Biru, lalu memapahnya bersama-sama.
“Cepat pergi dari sini...!” seru Ki Laksa, lantang.
“Ghraaagkh...!”
Tanpa menghiraukan si Perampok Tiga Nyawa, Ki Laksa bergegas lari meninggalkan tempat itu dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Sedangkan si Perampbok Tiga Nyawa sempat berdiri diam beberapa saat, sebelum juga cepat-cepat berlari.
Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki. Dalam waktu sebentar saja, mereka pun sudah menghilang di balik kabut tebal yang menyelimuti seluruh permukaan dasar jurang ini.
Beruang Putih, yang sebelumnya kelihatan hendak mengejar keempat lelaki tua itu menghentikan gerakannya begitu melihat Intan Kumala masih berlutut dan merintih seperti terserang demam. Tubuh gadis itu menggigil dan menggelegar. Keringat pun terus membanjirinya.
“Ghrrr...!”
Beruang Putih tampak kebingungan. Tapi, kemudian diangkatnya tubuh Intan Kumala dan dibopongnya dengan ringan sekali, seolah-olah sedang mengangkat sekarung kapas. Beruang Putih lalu berjalan perlahan-lahan tanpa bersuara.
“Ugkh! Mau kau bawa ke mana aku...?” desis Intan Kumala, lirih.
“Ghrrr...!”
Intan Kumala tidak bertanya lagi. Seluruh tubuhnya yang sudah basah oleh keringat semakin keras menggigil. Sedangkan Beruang Putih terus membawanya pergi menjauhi tempat yang tadi dijadikan ajang pertarungan.
Sementara itu Ki Laksa dan Perampok Tiga Nyawa pun sudah tidak terlihat lagi. Entah ke mana mereka pergi setelah melihat kemunculan Beruang Putih tadi. Sedangkan Beruang Putih masih terus membawa Intan Kumala, yang keadaannya sangat kritis akibat mengerahkan ilmu yang baru didapatnya dari Tiga Pengemis Sakti.
Seharusnya Intan Kumala memang belum boleh menggunakan ilmu yang dahsyat itu sebelum benar-benar menguasainya. Tapi, sesungguhnya gadis itu memang tidak sengaja menggunakannya. Dia sedang berada di luar kendali dirinya tadi.
Bagaimana nasib Intan Kumala selanjutnya? Apakah dia akan bertemu dengan Pendekar Pulau Neraka? Dendam apa yang ada di dalam hati gadis itu terhadap Ki Laksa dan Perampok Tiga Nyawa?
Tunggu saja jawabannya dalam kisah...