Cerita Silat Pendekar Pulau Neraka
Episode Titisan Siluman Harimau
Karya Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Titisan Siluman Harimau
Karya Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Matahari belum lagi tepat di atas kepala ketika mereka beristirahat di tepi hutan. Tapi panasnya bukan main. Sejak tadi Tiren terus berjingkrakan sambil menjerit beberapa kali. Kemudian hewan kecil berbulu hitam kecoklatan itu melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon yang lain ketika dilihatnya Bayu menangkap seekor kelinci untuk makan siangnya.
"Kaaaakh...!"
"Hei...!"
Bayu terkejut mendengar suara itu, Dan menggelengkan kepala ketika dilihatnya Tiren kembali sambil menenteng daun pisang kering yang dibuat seperti keranjang. Di dalamnya penuh berisi buah-buahan segar. Wajah hewan kecil itu tampak meringis sambil menahan berat bawaannya…
"Makanya, kalau untuk urusan perut jangan serakah...."
"Nguk! Nguuuk…!"
"Daging kelinci ini kan cukup untuk kita berdua."
"Kaaakh...!"
Tiren jungkir balik di tanah setelah meletakkan bawaannya. Kemudian menuding-nuding Bayu dan daging kelinci yang sedang dipanggang bergantian.
"Ha ha ha ha...!"
"Nguk!"
"Maaf Tiren, aku cuma bercanda. Kau tentu tak suka daging kelinci ini bukan?"
Tiren menganggukkan kepala, kemudian mulai menggerogoti buah-buahan yang tadi dibawanya. Dilemparnya beberapa buah ke arah Bayu.
"Hup!"
"Aaaah, segar betul rasanya...."
Bayu menepuk-nepuk perutnya. Daging kelinci tadi telah tandas semua. Dan setelah habis buah-buahan mereka berdua, Bayu merebahkan tubuh di bawah sebuah batang pohon besar. Tiren sendiri tampak masih bergelantungan di cabang-cabang pohon sambil bermain-main. Angin bertiup semilir membuat suasana siang yang terik itu menambah rasa kantuk Bayu.
"Keaaakh...!"
"Heh?!"
Bayu tersentak kaget. Tiren berdiri di depannya sambil berjingkrak-jingkrak dengan. suara ribut. Tangannya menunjuk pada satu arah.
"Ada apa Tiren?"
"Nguk! Nguuuk...!"
Tiren menarik-narik lengan Bayu seperti hendak menunjukkan sesuatu. Dengan malas Bayu bangkit dan mengikuti langkah Tiren.
"Nguk!"
"Sebentar, mataku masih mengantuk. Ada apa buru-buru? Seperti dikejar harimau saja kau ini."
Tapi Tiren seperti tak perduli. Monyet kecil itu terus menarik-narik tangan Bayu sambil terus melompat ke cabang pohon. Bayu cepat mengerti. Dia segera menggenjot tubuh, dan sebentar saja telah melesat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lain seperti berlomba dengan monyet kecil itu.
Tiba di satu dataran yang agak luas, Bayu terkejut. Belasan ekor burung nazar berkeliling di angkasa. Di bawahnya terlihat pemandangan yang mengenaskan dari puluhan orang yang tergeletak tanpa nyawa.
"Astaga! Apa yang telah terjadi pada mereka?!"
"Nguk!"
Bayu langsung mendekat sambil memeriksa mayat-mayat yang bergelimpangan itu satu persatu. Tubuh mereka terkoyak-koyak seperti dicabik binatang buas. Dari pakaian serta beberapa gerobak yang terdapat di situ dia menduga mereka adalah para pengantar barang.
"Hus... hus!"
Diusirnya beberapa ekor burung pemakan bangkai yang akan mematuk-matuk mayat-mayat itu sambil terus memeriksa kalau saja ada di antara mereka yang masih hidup.
"Nguk! Nguuuk...!"
"Ada apa Tiren?"
Bayu mendekat pada sebuah gerobak yang ditemukan Tiren. Di antara tumpukan barang terlihat seorang bocah kecil berusia sekitar tujuh tahun merintih lemah. Buru-buru Bayu menggendong bocah itu dan dibawanya ke luar. Ternyata bocah itu perempuan.
"Tiren, coba kau carikan air untuknya. Agaknya bocah ini masih bisa diselamatkan."
"Nguuuk...!" Tiren monyet kecil cerdik itu cepat menjalankan perintah.
***
Bayu mengurut-urut beberapa bagian tubuh bocah perempuan itu beberapa saat kemudian. Ketika bocah itu mulai menggeliat lemah, buru-buru dituangkan beberapa teguk air.
"Gluk! Aaaaah...!"
"Ayo bocah, minum air ini yang banyak agar tubuhmu terasa lebih segar."
Bocah perempuan itu membuka kelopak matanya. Yang pertama dilihatnya seorang pemuda berambut gondrong berwajah tampan dan keras.
"Siapa...?"
"Jangan takut, Bocah. Namaku Bayu, dan ini kawanku, Tiren," jelas Bayu sambil tersenyum ramah.
"Nguk! Nguuk!"
Monyet kecil itu melompat-lompat di tanah sambil menyeringai lebar menunjukkan tanda persahabatannya.
"Mana Paman-paman yang lain?"
"Paman? Siapa yang kau maksud dengan Paman-pamanmu? Apakah mereka yang tewas itu?"
"Apa? Mereka telah tewas?!" Bocah perempuan itu segera bangkit dan memperhatikan ke sekitarnya.
"Paman! Paman!" panggilnya sambil berlari kecil ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan itu.
"Ooh, kenapa jadi begini? Bangun, Paman...! Bangun...!"
"Sudahlah adik manis, mereka tak mungkin bangkit lagi," bujuk Bayu menarik lengan bocah perempuan itu yang berusaha berontak.
"Tidak! Tidaaak! Mereka harus bangun, Paman! Mereka harus bangun dan mengantarkan ku pulang!"
"Pulang? Memangnya rumahmu di mana? Biar Paman yang akan mengantarkanmu pulang."
Bocah perempuan itu menatap wajah Bayu beberapa saat kemudian.
Wajah itu menunjukkan ketabahan luar biasa. Bola matanya jernih berbinar-binar. Dan rasanya bocah ini adalah bocah periang sebelum kejadian ini. Kasihan, seharusnya dia kini sedang bersuka ria sambil tertawa-tawa. Walau tak merasa takut terhadap Bayu, namun ada rasa curiga di hatinya terhadap orang asing di hadapannya itu.
"Paman melarangku untuk percaya pada orang yang tidak dikenal. Banyak orang yang bermaksud baik tapi sebenarnya berhati jahat...."
"Kalau demikian biarlah aku yang bermaksud jahat tapi berhati baik? Kau tentu percaya bukan?"
Bocah perempuan itu berdiam sesaat, kemudian tersenyum manis.
"Orang yang bermaksud jahat biasanya sering melakukan niat jahatnya itu. Mungkin Paman juga akan begitu nantinya...." sahut bocah yang kelihatan cerdik itu.
Bayu menggelengkan kepala sambil terkekeh kecil.
"Kau cerdik sekali adik manis, tapi ingat, setiap orang yang akan bermaksud jahat pada kita pasti ada sesuatu yang diinginkannya. Entah berupa harta benda atau tebusan kepada orang tuanya. Tapi kalau Paman ingin berbuat jahat padamu, apa yang Paman incar? Paman tidak tahu orang tuamu kaya atau miskin, Paman juga tidak melihat ada benda berharga yang kau bawa. Nah, mana mungkin Paman akan berniat jahat padamu?"
Bocah kecil itu sejak pembicaraan mereka tak henti-hentinya menatap Bayu. Seolah ingin meyakinkan pada hatinya sendiri akan kebaikan hati Bayu. Kemudian kembali ia tersenyum gemas.
"Sungguhkah Paman akan mengantarkan ku pulang?"
"Tentu saja."
"Tapi bagaimana dengan barang-barang ini?"
"Nanti akan kita bawa bersama. Eh, ngomong-ngomong kau belum memperkenalkan nama adik kecil. Siapa namamu?"
"Namaku Juminten, Paman."
"Juminten?" Bayu berpikir sejenak. Melihat penampilan dan caranya berbicara bocah perempuan ini bukan berasal dari kaum petani. Paling tidak dia anak seorang hartawan. Tapi kok namanya Juminten Seperti nama anak petani?
"Baiklah, Juminten. Mari kita berangkat sekarang." Bayu bersiap-siap menuju gerobak yang dianggapnya masih baik dan memindahkan isi gerobak lain ke situ. Tapi Juminten masih ragu dan mematung di tempatnya tadi. Terpaksa Bayu menghampirinya kembali.
"Ada apa lagi? Kau tidak mau pulang?"
"Bukan. Tapi bagaimana dengan nasib Paman-paman ini?" tunjuknya pada mayat-mayat yang bergelimpangan itu.
"Nanti juga ada yang mengurusinya."
"Siapa? Apakah burung-burung pemakan bangkai itu? Aku tak akan pergi sebelum kita menguburkan mayat-mayat ini!" sentak Juminten.
Bayu menghela nafas. Buatnya tak jadi masalah, apakah mayat-mayat itu harus dikubur atau tidak. Yang jadi masalah hanya bila dia mengubur mayat-mayat itu tentu tenaganya banyak terkuras, dan hal itu akan sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak? Mayat-mayat itu saja jumlahnya tak kurang dari tiga belas orang.
"Mereka satukan saja dalam satu lubang besar ya?"
"Tidak, Paman! Aku tak tega mereka berhimpit-himpitan!"
"Orang yang sudah mati tak akan merasakan apa-apa, adik kecil."
"Pokoknya tidak mau! Mereka harus dikubur sendiri-sendiri!" bantah Juminten.
Bayu menggelengkan kepala sambil mendesah kesal. Tiren sendiri sudah sejak tadi menjerit kecil berkali-kali sambil melompat kesatu cabang pohon dan menggaruk-garuk kepalanya, bahkan Tiren seperti tahu akan kekesalan hati Bayu. Dia berulang kali mendekat dan menarik-narik lengan baju Pendekar Pulau Neraka seperti hendak mengajaknya untuk cepat-cepat pergi saja dari situ. Bayu bukannya tak mengerti, tapi dia betul-betul tak tega meninggalkan Juminten seorang diri di tempat ini.
"Ayolah, Paman. Kita kuburkan mereka satu persatu. Aku kuat menggali lubang buat mereka!"
"Kau kuat? Nah, buatlah lubangnya dulu baru nanti Paman yang angkat mereka." sahut Bayu sekenanya.
Juminten cemberut dengan wajah kesal.
"Aku kuat kalau untuk mengeluarkan tanahnya sedikit-sedikit, tapi yang membuat lubang yah harus Paman!"
"Memangnya mereka itu apamu?"
"Paman-paman ku! Bukankah tadi sudah kuceritakan pada Paman?"
"Heh?!"
Bayu tiba-tiba saja tersentak ketika ingat sesuatu.
"Juminten, kau belum menceritakan padaku, kejadian apa yang menimpa mereka? Apakah kalian dibegal oleh sekawanan Perampok atau diserang harimau buas?"
Mendengar pertanyaan itu, Juminten terdiam beberapa saat lamanya. Rasa ketakutan mulai membayang diwajahnya, dan bocah perempuan itu seperti tergagap ketika mulutnya bergetar hebat.
"Tenang Juminten, kau aman bersamaku. Ceritakanlah, apa yang telah menimpa kalian?" bujuk Bayu meyakinkan bocah kecil itu.
"Paman, aku takut sekali...." Juminten tiba-tiba memeluk tubuh kekar itu sambil berusaha meleburkan ketakutan hatinya di pelukan Bayu. Bayu sendiri mengelus-elus rambut Juminten sambil terus berusaha menenangkan hatinya.
"Kau tak perlu takut. Paman akan menjagamu sampai kau tiba di rumah orang tuamu. Nah, sekarang ceritakanlah. Apa sebenarnya yang terjadi dengan rombongan kalian?"
Perlahan-lahan Juminten melepaskan pelukannya sambil menghapus airmata yang tadi merembang dikedua kelopak matanya.
"Kami... kami dihadang oleh...."
"Ha ha ha ha...!"
Terdengar tawa yang menggelegar menghentikan kata-kata Juminten. Keduanya tersentak kaget. Tiren sampai mencelat ke pundak Bayu. Tak jauh dari mereka berdiri tiga sosok tubuh kekar. Wajah mereka garang dan tak bersahabat. Dua orang memegang sebilah golok besar, dan seorang lagi terlihat sebuah keris terselip di pinggang kiri.
"Siapa kalian, Kisanak. Dan ada keperluan apa datang dengan tiba-tiba?" tanya Bayu dengan nada datar.
Walau batinnya mengatakan mereka bermaksud buruk, tapi Bayu mencoba bersikap bersahabat.
"Namaku Reksopati, dan kedua orang ini adalah anak buahku, Drupala dan Drupali. Kami bertiga terkenal dengan gelar Jagal Maut Alas Roban. Siapa pun yang memasuki kawasan hutan ini harus membayar upeti kalau ingin nyawanya selamat!" jelas orang yang berada di tengah.
Sikap orang itu sombong sekali kelihatannya. Apalagi ketika dia berkacak pinggang. Sepasang matanya melotot garang dengan kumis tipis yang turun naik seirama dengan nada suaranya. Orang inilah yang memiliki senjata keris di pinggangnya.
"Hem, kalian rupanya yang punya gelar hebat itu?" sindir Bayu sambil tersenyum kecil.
"Apa yang kalian mau dari kami?"
"Serahkan isi gerobak-gerobak itu!"
Bayu melirik ke arah Juminten, kemudian katanya sambil berbisik.
"Apakah isi gerobak-gerobak itu barang-barang berharga, Juminten?"
"Kalau pun bukan barang-barang berharga, tapi barang-barang itu harus sampai pada pemiliknya yang sah. Kalau tidak usaha paman ku nanti tak akan dipercaya orang lagi." sahut Juminten tegas.
"Kau benar, Juminten. Lagipula orang-orang itu sombong sekali. Baiknya kita hajar saja ya...?"
Juminten memandang pemuda itu yang tersenyum kecil padanya. Dasar bocah nakal, dia malah mengangguk setuju sambil berseru girang.
"Iya, Paman. Hajar saja orang itu! Aku pun sebal melihat tingkahnya yang sombong."
"Nah, Kisanak. Kalian dengar bukan? Kami keberatan memberikan barang-barang ini begitu saja, kecuali kau bisa melangkahi mayatku," teriak Bayu pada ketiganya.
Mendengar itu tampak wajah ketiganya semakin garang. Orang yang bersenjatakan keris itu mengaku bernama Reksopati langsung memberi isyarat pada temannya untuk menghabisi kedua orang yang mereka anggap menghalangi niatnya.
"Kalau begitu mampuslah kalian!"
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Bayu berkelit sambil mendorong tubuh Juminten menjauh. Bocah perempuan itu agaknya tak takut melihat pertarungan. Dengan tenang dia duduk tak jauh dari pertarungan ditemani oleh Tiren.
"Ayo Paman, hajar mereka! Hajar mereka biar tahu rasa!" teriaknya sambil bertepuk tangan.
"Kaaakh...!"
Melihat tingkah bocah itu Tiren berteriak nyaring sambil ikut-ikutan bertepuk tangan. Monyet kecil itu kemudian jungkir balik berkali-kali.
"Monyet kecil, kau yakin Paman Bayu akan berhasil menghajar mereka?"
"Nguk! Nguuuk...!" Tiren menyeringai lebar, kemudian dia menggerak-gerakkan sebelah tangan ke atas. Kedua kakinya melompat-lompat sambil menginjak-injak sebatang ranting kecil. Melihat itu Juminten terkekeh.
"Ha ha ha ha...! Kau benar. Tentu sebentar lagi mereka akan bertekuk lutut di kaki Paman Bayu." sahut Juminten seperti mengerti apa yang dimaksud monyet kecil itu.
Sebenarnya kata-kata Juminten tanpa diucapkan pun akan terbukti, sebab dalam beberapa gebrakan saja Bayu dapat merasakan bahwa mereka hanya memiliki ilmu silat kacang. Kalau pun tadi Bayu memuji kehebatan nama mereka, itu hanya untuk menyindir belaka. Tapi agaknya mereka salah terima dan menganggap Bayu itu menjadi takut.
"Hiyaaa...."
"Plak! Plak!"
"Hughk!"
Kedua orang itu terdesak dengan mata melotot keluar. Dalam satu serangan mendadak, kedua tangan Bayu menghantam masing-masing pergelangan tangan mereka hingga senjatanya terpental jauh. Kemudian dengan gerakan yang tak terduga, kedua kakinya berputar sambil mengapung di udara dan tepat menghantam kerongkongan keduanya.
"Horeee...! Paman menang! Paman menang!" teriak Juminten girang kemudian bertepuk tangan lebih kencang.
Tiren yang ada di sebelahnya pun tak mau tinggal diam. Dia jungkir balik beberapa kali, kemudian mengangkat kedua tangan ke atas sambil bertepuk tangan.
Sementara itu Reksopati bukan main garang melihat kedua temannya dapat dijatuhkan dengan begitu mudah. Padahal dia yakin betul, pemuda berbaju kulit harimau itulah yang dalam sekejap akan tewas.
"Bedebah! Kau harus membayar perbuatanmu itu, bocah!" makinya garang.
"Apa? Kau ingin semaput seperti mereka?" sahut Bayu pura-pura tuli sambil tersenyum mengejek.
"Bangsat!"
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Bayu berkelit cepat ketika ujung keris Reksopati nyaris merobek tenggorokannya. Tangan kirinya coba menghantam ke pergelangan tangan lawan, namun orang yang memiliki mata juling itu cepat berkelit. Bahkan secara tak terduga mengirim satu tendangan kilat ke selangkangan Pendekar Pulau Neraka.
"Uts, haaa...!"
Dengan gerakan manis tubuh Bayu mencelat ke atas setinggi setengah tombak. Gerakan itu ternyata berputar, hingga posisinya terbalik dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas.
"Mampus kau!" bentak Reksopati menghunuskan keris melihat peluang baik itu.
"Kaulah yang akan mampus!" desis Bayu dengan penuh kejengkelan. Dua jari tangan kanannya menjepit keris lawan dengan kuat, dan tangan kirinya menghantam ke arah dada.
"Begkh!"
"Hugkh!"
Seperti kedua temannya, tubuh Reksopati sempoyongan dan ambruk sambil mendekap dada. Nafasnya megap-megap dan terasa sesak. Bayu memang belum bermaksud menghabisi mereka bertiga. Tapi kali ini kejengkelannya telah memuncak. Dan bersiap mengangkat tangan untuk menghabisi ketiga orang itu.
"Paman, hentikan!" teriak Juminten berlari kecil menghampiri.
"Ada apa Juminten?"
"Ng... sebaiknya jangan dibunuh Paman. Kata orang membunuh sesama manusia itu tidak baik. Lagipula mereka masih berguna untuk kita."
"Juminten, mereka orang jahat. Kalau tidak kita bunuh sekarang, mungkin nanti mereka yang akan membunuh kita di saat kita lengah."
"A... Aden, ampunilah kami. Kami... berjanji tak akan melakukan itu padamu...." Reksopati memohon sambil merangkak kedekat Bayu.
Bayu jadi ragu menghabisi mereka. Lebih lebih ketika Juminten kembali angkat bicara.
"Paman, ampunilah mereka. Menghadapi kehebatan Paman tentu mereka tak akan berani macam-macam. Kalau Paman masih bisa dikelabui oleh mereka, tentu Paman masih bodoh dan merekalah yang pintar."
"Sial...!" dengus Bayu dalam hati.
Bayu berpikir sesaat. Kata-kata Juminten ada benarnya walau terasa memanas-manasi hatinya. Siapa sudi disebut orang bodoh? Apalagi dibandingkan dengan ketiga cecurut itu.
"Baiklah. Tapi apa gunanya mereka buat kita?"
"Paman, kita cuma punya seekor kuda yang masih hidup, sedangkan barang-barang ini belum tentu bisa diangkut dengan satu gerobak...."
"Aku mengerti maksudmu!" potong Bayu cepat.
"Syukurlah...." sahut Juminten terkekeh.
"Nah, kalian dengar bukan? Kali ini kuampuni nyawa kalian, tapi sebagai gantinya kalian harus menarik sebuah gerobak berisi barang-barang itu. Awas, jangan coba-coba kabur! Kalau tidak ingin mampus."
"Ba... baik, Den...." sahut ketiganya serentak. Walau gondok dan kesal, namun ketiganya terpaksa melakukan apa yang diperintahkan Bayu, yaitu menarik sebuah gerobak seperti seekor kuda saja. Hanya kali ini beban mereka agak ringan karena dipikul bertiga.
***
DUA
Ratna Puspa termenung di beranda depan. Pikirannya menerawang jauh tiada terhingga. Gadis berusia sekitar tujuh belas tahun itu baru tersentak kaget ketika pamannya berdehem keras.
"Ehhh.... Paman."
"Sudah lama kau berada di sini? Memikirkan siapa? Kedua orang tuamu lagi? Atau... Pandu Sukma?" selidik laki-laki separuh baya itu sambil tersenyum kecil.
"Ah, Paman bisa saja. Kalau memikirkan kedua orang tuaku itu sudah tentu, tapi kalau... Kakang Pandu...." suara gadis itu agak ragu melanjutkan kata-katanya.
"Kalau Pandu kenapa, Ratna?" Gadis itu terdiam beberapa saat lamanya. Seharusnya rombongan itu sudah pulang. Jarak yang mereka tempuh adalah empat hari perjalanan pulang pergi. Itupun sudah termasuk beristirahat selama di perjalanan, tapi ini sudah hari yang kelima. Mungkinkah mereka mendapat halangan di jalan?
"Betul kan? Kali ini kau tidak lagi memikirkan kedua orang tuamu yang cerai berai entah di mana, tapi memikirkan Pandu yang tak kunjung pulang juga...." goda Paman Patisena lagi.
"Paman, sudahlah! Aku tak mau dengar lagi!" seru Ratna sambil berlari ke dalam. Wajahnya tampak bersemu merah.
Laki-laki separuh baya itu menghela nafas pendek. Senyum kecilnya menghilang. Kalau Ratna memikirkan pujaan hatinya, itu tak salah. Tapi dia pun punya beban pikiran yang hampir sama. Beberapa hari berselang Pandu Sukma dipercayakan untuk memimpin rombongan pengantar barang yang merupakan pegawai-pegawai Patisena, atau Paman dari Ratna Puspa. Pemuda itu sudah lama bekerja padanya, dan kali ini Patisena percaya akan keberanian dan kejujurannya. Tapi mereka seharusnya sudah tiba kemarin. Dan paling lambat sore harinya. Tapi menjelang sore hari ini tak juga terlihat tanda-tanda kehadiran mereka. Patisena mulai was-was. Apakah mereka mengalami hambatan? Atau...?
"Tak mungkin Pandu berkhianat!" bantahnya menghalau praduga buruk tentang pemuda itu.
"Selama ini dia begitu jujur padaku dan teman-temannya. Tapi...?"
"Paman mencurigai Kakang Pandu?" Terdengar pertanyaan halus menusuk dari belakang. Patisena tersentak. Ratna Puspa telah berdiri lagi di belakangnya dengan tatapan dingin.
"Paman tidak bermaksud demikian, Ratna."
"Ratna telah mendengar kata-kata Paman tadi...." potong gadis itu dengan suara halus.
"Dengarlah dulu, Ratna. Paman tak bermaksud menuduhnya. Tapi barang-barang itu sangat berharga. Kemungkinan saja orang bisa khilaf, atau dia dan teman-temannya mengalami halangan. Entah itu dari perampok-perampok atau yang sebangsanya...."
"Kakang Pandu bukan orang yang lemah, Paman. Dia pasti bisa mengatasi perampok-perampok itu!"
"Paman pun berharap begitu. Tapi tak semua perampok berilmu rendah. Ada juga yang berasal dari tokoh-tokoh persilatan golongan sesat. Pandu memang berilmu tinggi, tapi...."
"Maksud Paman, dia tak mampu mengungguli mereka?"
Patisena mengangguk pelan.
"Ohhh...."
Ratna Puspa tiba-tiba teringat sesuatu. Tadi malam dia bermimpi aneh sekali. Mereka berkejar-kejaran berdua, lalu Pandu terpeleset dan berguling-gulingan hingga jatuh ke jurang yang tak ketahuan dasarnya. Dia cuma bisa menjerit-jerit sampai akhirnya terjaga. Dan pagi ini kata-kata Pamannya semakin membuat hatinya resah. Walau Pandu berilmu tinggi, tapi di luar sana masih banyak mereka yang berilmu lebih tinggi. Kalau salah seorang di antara mereka yang merampok rombongan yang dipimpin Pandu... ohhh, apakah dia bisa selamat?
Lalu kalau Pandu sampai celaka dan tewas, siapa lagikah kini yang paling memperhatikannya setelah kedua orang tuanya pergi entah ke mana?
Cuma ada Paman Patisena. Tapi laki-laki itu terlalu sibuk dengan usahanya, dan tak punya banyak waktu untuk memperhatikannya. Ratna Puspa tersentak. Dari kejauhan terlihat abu mengepul di udara. Wajahnya seketika gembira.
"Paman, mereka kembali!" teriak Ratna Puspa girang.
Patisena cuma mengangguk sambil tersenyum. Dilihatnya gadis itu berlari-lari kecil menyongsongnya. Namun semakin dekat jarak mereka, jantungnya berdetak terasa berdetak lebih kencang. Yang terlihat justru pemandangan yang sangat aneh. Tiga orang bertampang seram sedang menarik gerobak yang paling depan sambil berlari. Dan di belakangnya mengikuti gerobak lain yang ditarik seekor kuda. Saisnya seorang pemuda berwajah tampan dan keras dengan seorang bocah perempuan mungil. Bocah perempuan itu langsung berteriak begitu mengetahui siapa yang sedang menyongsong mereka.
"Kak Ratna!"
"Roro Intan...?!"
Bocah kecil itu tiba-tiba melompat ketika gerobak yang dinaikinya berjalan pelan. Pemuda tampan di sebelahnya langsung menarik tali kekang.
"Heaaah...!"
Diperhatikannya mereka sesaat sebelum dia melangkah ke gerobak yang berada di depan dan menyuruh ketiga orang penariknya pergi dari tempat itu.
"Te... terima kasih, Den...." kata mereka serentak sambil berjalan tertatih-tatih memegang punggungnya yang lecet.
"Hmmm...."
Pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara alias si Pendekar Pulau Neraka itu cuma bergumam kecil memperhatikan mereka. Kemudian dia bersandar dan mengalihkan perhatian pada bocah kecil yang masih berangkulan dengan seorang gadis berwajah jelita.
"Ehem!"
"Ehhh...."
"Maaf mengagetkan Kisanak. Siapakah anda dan apa yang terjadi dengan mereka?" tanya Patisena yang tadi mendehem mengagetkan Bayu.
"Kisanak siapa?"
"Namaku Patisena, dan gerobak-gerobak ini adalah milikku. Gadis kecil itu adalah keponakanku. Nah, Kisanak...."
"Namaku Bayu, Paman Patisena," sahut Bayu memotong kata-kata Patisena.
"Oh, Bayu. Kalau boleh tahu, apa yang terjadi dan di mana mereka sekarang?"
"Maaf Paman. Aku sendiri tak tahu apa yang telah terjadi. Saat kutemukan, mereka telah menjadi mayat.
Dan kini ku tumpuk di gerobak ini...."
Belum habis kata-kata Bayu, tiba-tiba gadis berwajah jelita itu berteriak histeris sambil berlari kecil ke arah gerobak di dekatnya.
"Kakang Pandu...!"
***
Bayu tak mengerti ketika gadis itu tiba-tiba menyeruak ke dalam gerobak dan memeriksa mayat-mayat di dalamnya satu per satu. Tapi ketika gadis itu menemukan sesosok mayat yang agaknya telah ditemukannya gadis itu menangis semakin keras sambil meratapinya. Bayu mulai mengerti. Saat dilihatnya laki-laki yang tadi juga bercakap-cakap dengannya seperti hanyut dalam suasana itu, perlahan-lahan dia meninggalkan tempat itu.
"Paman...!"
Bayu menoleh. Dilihatnya bocah perempuan yang tadi bersamanya berdiri tegak dengan wajah sedih menatap kepergiannya.
"Ada apa Juminten?"
"Paman mau ke mana?"
"Aku harus pergi...."
"Pergi ke mana?"
"Ke mana saja kaki melangkah tentunya."
"Aku ikut, Paman...."
Wajah bocah perempuan itu tampak sendu. Perlahan-lahan dia mendekat dan menundukkan kepala ketika telah berada dekat di depan Bayu.
"Aku ikut denganmu, Paman. Bawalah aku pergi ke mana saja...."
Bayu berjongkok dan mengangkat wajah Juminten sampai mereka saling bertatapan.
"Perjalanan Paman jauh dan melelahkan. Kau tentu tak kuat. Bukankah di sini kau cukup aman? Ada Pamanmu dan... gadis itu yang akan merawatmu...."
"Aku tak punya kawan. Paman selalu sibuk, dan Kak Ratna tak pernah lagi memperhatikan sejak berkawan dengan Kakang Pandu...."
"Siapa Kakang Pandu itu? Apakah mayat yang sedang diratapinya itu?"
Juminten mengangguk pelan. Bayu menghela nafas pendek. Kemudian ditatapnya kembali wajah bocah itu.
"Tapi kini dia pasti akan lebih memperhatikanmu. Asalkan kau tidak nakal, selalu bersikap baik dan jujur."
"Aku selalu melakukan itu, tapi tetap saja mereka tak sayang!"
"Betul?"
"Betul!"
"Nah, sekarang saja kau telah berbohong, bagaimana mungkin seorang pembohong bisa berbuat baik?"
"Aku tak bohong, Paman!" bantah Juminten.
"Baiklah. Kalau kau tidak bohong, kenapa kau memperkenalkan dirimu dengan nama Juminten, sedangkan tadi kakakmu memanggil dengan sebutan Roro Intan?"
"Itu... itu...."
"Ayo, bukankah kau tak mau berbohong? Kalau kau memberi jawaban bohong berarti telah dua kali kau lakukan. Dan aku paling benci dengan anak yang suka membohong."
"Dia tidak berbohong. Yang ada cuma salah pengertian...." Lagi-lagi Paman Patisena ikut bicara.
"Persoalannya panjang, Nak Bayu. Kalau tak keberatan, mampirlah ke pondok. Kami tentu akan senang sekali menjamu Anda."
"Terima kasih, Paman. Tapi...."
Sebenarnya Bayu hendak menolak ajakan laki-laki itu, namun ketika melihat wajah Juminten atau Roro Intan yang menghiba, dia tak sampai hati. Bayu pun akhirnya mengangguk. Setelah mereka menguburkan mayat-mayat itu satu persatu, Patisena dan Bayu terlibat obrolan santai di ruang tengah. Malam telah tiba, dan di luar terlihat beberapa orang berjaga-jaga. Kebanyakan dari mereka adalah orang yang bekerja pada Patisena. Dan sebagian lagi jago-jago bayaran yang khusus untuk mengawal barang-barang berharga. Usaha yang dijalankan Patisena memang menuntut orang-orang seperti mereka.
"Menurut apa yang diceritakan Roro Intan, pelakunya cuma satu orang. Dia sendiri tak melihat persis. Cuma terdengar auman dahsyat seperti harimau mengamuk."
"Harimau?!"
Patisena mengangguk dengan wajah ragu. Diperhatikan pemuda di hadapannya itu pun terlihat tak percaya.
"Memang mustahil, tapi itulah kenyataannya. Yang mengganggu perasaanku saat ini, tak mungkin mereka bisa dilumpuhkan begitu mudah oleh seekor harimau. Pasti ada seorang tokoh sakti yang bersenjatakan cakar berbentuk harimau yang terbuat dari pisau-pisau tajam."
"Kenapa Paman berpikir begitu?"
"Pandu yang memimpin rombongan itu memang bukan termasuk tokoh kelas satu, tapi dulu sebelum bergabung denganku dia adalah seorang pengembara dan pernah menewaskan seekor harimau. Rasanya mustahil kali ini dia sampai tewas oleh seekor harimau. Apalagi jumlah mereka cukup banyak."
Bayu menganggukkan kepala. Apa yang dikatakan Patisena mungkin bisa diterima akal. Biasanya para pengawal barang seperti mereka memiliki ilmu silat yang lumayan. Dan jumlah yang segitu banyak bukan tak mungkin menaklukkan seekor harimau.
"Lalu siapa menurut Paman pelakunya?"
"Seingatku mungkin ada dua. Yang pertama ada yang ingin merampok barang-barang yang mereka bawa, dan yang kedua adalah saingan kami dalam usaha ini."
"Saingan? Apakah Paman punya saingan dalam menjalankan usaha ini?"
"Ada. Namanya Aria Menda."
"Aria Menda? Siapa orang itu?"
"Dia merupakan saingan kami yang utama. Orang itu ingin menguasai sendiri usaha ini di wilayah bagian barat. Dia banyak menyewa jago-jago bayaran tangguh. Tapi karena kami sering tepat waktu dan barang-barang selalu utuh ditujuan, maka usaha kami lebih maju. Dulu dia pernah iri, dan mencari gara-gara dengan mengancam beberapa orang-orangku. Dan barangkali ancamannya di lakukan sekarang...."
"Apakah Paman yakin?"
"Siapa lagi kalau bukan dia?!"
Bayu menghela nafas pendek. Diliriknya sekilas Roro Intan yang sedang bercanda dengan Tiren. Wajah bocah itu tampak riang. Sesekali dia tertawa lepas.
"Kasihan mereka...." gumam Patisena pelan.
"Ke mana orang tua mereka Paman?"
Paman Patisena menarik nafas agak panjang sebelum bercerita.
"Mereka telah lama berpisah sejak Ratna Puspa masih kecil dan Roro Intan masih bayi. Keduanya adalah tokoh persilatan yang gila mendalami ilmu silat. Mereka belum puas sebelum menguasai segala ilmu silat tingkat tinggi. Dan puncaknya adalah saat kelahiran Roro Intan, mereka berpisah dan sampai sekarang belum ketahuan lagi kabar beritanya," ujar Paman Patisena mengakhiri ceritanya. Bayu menganggukkan kepalanya.
"Sungguh kasihan mereka...." gumam Bayu.
Bayu tiba-tiba teringat akan keadaan dirinya sendiri. Sejak bayi pun dia tak pernah tahu siapa ayah dan ibunya. Yang dikenalnya cuma Eyang Gardika yang telah mengasuhnya dari bayi hingga dewasa. Mungkin apa yang dialami Roro Intan saat ini sama dengan apa yang dirasakannya. Rasa rindu dan ingin berjumpa dengan kedua orang tua yang melahirkannya. Kalau dia barangkali hanya ada dalam bayangannya karena hal itu tak mungkin. Kedua orang tuanya telah tiada, tapi Roro Intan masih ada harapan.
***
Pagi-pagi sekali Bayu terbangun, dia terkejut ketika melihat di halaman depan rumah Paman Patisena telah ramai orang-orang berkumpul lengkap dengan senjata masing-masing seperti akan terjadi pertarungan besar. Diintipnya lewat lubang di dinding kamar, Patisena turun perlahan dari undakan tangga. Belasan anak buahnya telah menunggu dan bersiap melindungi.
Sementara tak jauh di depan mereka tampak sekitar dua puluh orang telah menunggu dengan sikap tak sabar. Salah seorang duduk di atas sebuah pedati yang ditarik kuda. Tubuhnya besar dan berbaju mewah. Wajahnya ditumbuhi cambang bawuk lebat. Orang inilah yang bernama Aria Menda, saingan usaha Patisena.
"Pagi-pagi kau berada di sini sungguh kebetulan sekali. Apakah kau bermaksud mohon ampunan dariku?" sindir Patisena dengan suara ditekan sedemikian mungkin.
"Puih...! Patisena keparat! Jangan banyak omong kau! Hari ini ingin kudengar pembelaanmu yang telah membantai anak buahku?!" sahut Aria Menda dengan nada geram.
Mendengar itu bukan main panasnya hati Patisena. Dalam sangkaannya tentulah Aria Menda bermaksud lempar batu sembunyi tangan, pura-pura menuduh untuk lepas dari tuduhannya.
"Aria Menda, jangan keterlaluan kau! Apa maksudmu menuduh kami berbuat begitu? Sudah jelas kalianlah yang telah melakukan pembantaian terhadap anak buahku!"
"Dasar culas, tetap saja kali ini mau berkelit!" dengus Aria Menda semakin garang dituduh demikian.
"Jangan sembarangan menuduh kau Aria Menda! Kau lihat kuburan-kuburan itu, itulah mayat-mayat anak buahku yang kau bantai secara biadab!" tunjuk Patisena pada beberapa gundukan tanah yang tak jauh dari situ.
Aria Menda cuma mendengus sinis melihat hal itu, kemudian kembali berpaling masih dengan wajah berang.
"Huh, bisa saja kau melakukan tipu muslihat itu. Tapi untukku kau tak akan lepas dari tanggung jawab. Saat ini juga kau harus mampus untuk menebus kematian anak buahku!" Aria Menda menggerakkan sebelah tangannya.
Saat itu juga mencelat dua orang bertubuh besar dari samping pedatinya, dan langsung menyerang Patisena dengan senjata golok masing-masing. Tapi dipihak Patisena sendiri pun tak tinggal diam. Dua orang anak buahnya yang terpercaya segera menghadang dan yang lainnya melindungi majikan mereka.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
"Trak! Trak!"
Pertarungan di antara kedua belah pihak tak dapat dihindari lagi saat ini. Keduanya betul-betul bernafsu untuk menghabisi lawannya. Tak heran bila pertarungan semakin ramai ketika yang lainnya juga mencari lawan masing-masing. Dalam keadaan demikianlah tiba-tiba terdengar bentakan yang keras.
"Berhenti...!"
Semuanya tersentak kaget. Dan dengan sendirinya menghentikan pertarungan. Tak jauh dari situ muncul seorang pemuda berambut gondrong berwajah tampan dan keras, serta berbaju kulit harimau. Di pundak kanannya terdapat seekor monyet kecil berbulu hitam menyeringai lebar pada mereka. Aria Menda yang lebih dulu bertanya garang.
"Siapa kau?"
"Aku cuma seorang tamu di sini. Namaku Bayu Hanggara...!"
Aria Menda mungkin tak begitu mengenal nama itu, tapi para jago-jago bayarannya yang terdiri dari orang-orang persilatan, tentu saja tahu betul siapa tokoh yang bernama itu. Demikian juga halnya dengan anak buah Patisena. Tanpa sadar mereka berdesis menyebut gelar pemuda itu.
"Pendekar Pulau Neraka...!"
***
TIGA
"Pendekar Pulau Neraka? Siapa sebenarnya pemuda itu?" tanya Aria Menda berbisik pada salah seorang anak buahnya.
"Dia seorang tokoh hebat, Den. Ilmunya tinggi dan namanya belakangan ini amat menggemparkan dunia persilatan."
"Hmmm... kalau dia ikut campur habisi saja!"
"A... aaa, tidak Den! Tidak! Kami lebih baik berhenti bekerja kalau Tuan memaksa kami agar kami melawannya," sahut anak buahnya dengan tubuh gemetar.
"Pengecut! Apa kau yakin dia tidak berbohong untuk mengelabui kita?"
"Pendekar Pulau Neraka selalu membawa-bawa monyet serta memiliki senjata Cakra Maut di tangan kanannya. Ciri-ciri itu persis sama dengan pemuda ini."
"Kenapa tidak kalian coba saja? Siapa tahu dia cuma pepesan kosong yang mengaku-ngaku dengan nama pendekar itu."
"Ti... tidak, Den. Kami tidak berani. Pendekar itu terkenal ganas dan tak kenal ampun. Kami tak mau mati sia-sia...."
"Brengsek! Kalian ku gaji bukan untuk menjadi pengecut, tapi untuk melindungi serta barang-barang ku dan harus patuh pada perintahku!" dengus Aria Menda kesal.
Sementara itu Bayu angkat bicara. Ditatapnya mereka satu persatu.
"Ki sanak semua, kudengar kalian saling tuduh menuduh tentang peristiwa yang menimpa anak buah kalian. Aku tidak bermaksud memihak pada Paman Patisena karena memang tiada guna menyelesaikan persoalan ini. Kedatanganku ke sini justru membawa mayat-mayat anak buahnya yang tewas secara mengenaskan. Akulah yang menjadi saksi atas tewasnya anak buah Paman Patisena. Nah, jawaban apa yang kalian bisa berikan untuk melepaskan tuduhan dari pihak Paman Patisena kalau bukan kalian pelakunya?"
"Kapan peristiwa itu terjadi?" tanya Aria Menda dengan nada masih tak bersahabat.
"Kira-kira kurang dari dua hari yang lalu...." "Saat itu sebagian besar anak buahku sedang mengantar barang ke tempat kediaman Bupati yang baru diangkat baginda raja."
"Bagaimana kau membuktikannya?"
"Kau boleh tanyakan sendiri pada Kanjeng Bupati. Kalau ternyata aku berdusta, penggallah leherku!"
"Hmmm...." Bayu bergumam pelan. Kemudian dia menatap ke arah Patisena.
"Paman Patisena, aku percaya pada kata-kata orang ini. Dia tak melakukan apa yang paman tuduhkan."
"Bagaimana kau bisa berkata demikian Bayu?"
"Kalau terbukti dia yang melakukannya, aku sendiri yang akan datang ke tempatnya!" sahut Bayu meyakinkan.
Patisena tak bisa berkata apa-apa mendengar jawaban itu. Bayu pun kemudian berpaling lagi pada Aria Menda.
"Nah, Ki sanak. Demikian juga halnya Paman Patisena. Beliau tidak melakukan apa yang kau tuduhkan. Aku tidak berpihak. Jika ternyata kelak Paman Patisena melakukan perbuatan keji itu aku pun akan datang kembali ke sini dan meminta pertanggung-jawabannya."
"Bagaimana mungkin kami mempercayai omongan mu?" tanya Aria Menda masih kurang puas.
Salah seorang anak buahnya pun menimpali.
"Ki sanak, bukankah kau yang bergelar Pendekar Pulau Neraka?"
"Tak salah. Demikianlah orang-orang menyebutku."
"Kami bukan tak percaya padamu. Tapi kau pergi mengembara ke mana-mana. Bagaimana mungkin kau bisa menyelesaikan masalah ini dengan adil kalau kau sendiri tak ada di tempat?"
"Siapa yang mengatakan aku tak ada di tempat? Aku akan turun tangan menyelidikinya di samping kalian!" ujar Bayu tegas.
"Syukurlah kalau kau berniat begitu. Dengan adanya pendekar seperti kau mudah-mudahan titik terang akan kita peroleh bersama dan si pelakunya dapat ditangkap untuk dihukum sesuai dengan perbuatannya," sahut orang itu lagi merasa lega.
Tak berapa lama Aria Menda dan anak buahnya kembali pulang. Bayu menghela nafas pendek. Dia bermaksud meninggalkan tempat itu secepatnya ketika Paman Patisena memanggilnya.
"Bayu, kami sangat berterima kasih atas apa yang kau lakukan. Tapi yakinkah kau bahwa bukan mereka pelakunya?"
"Paman, aku pun belum yakin benar. Ini hanya dugaan. Melihat dari sikap dan gerak-gerik mereka, tentulah mereka bukan sedang berpura-pura."
"Maksudmu mereka pun mengalami hal yang sama seperti kematian anak buahku?"
Bayu mengangguk pelan.
"Siapa kira-kira orang keparat itu?" tanya Paman Patisena dengan wajah geram.
"Aku sendiri pun tak tahu, Paman. Kita pun tak bisa menduga hal itu dilakukan oleh manusia. Siapa tahu sekawanan serigala atau beruang."
"Tak mungkin Bayu!" bantah Paman Patisena cepat.
Patisena menjelaskan perbedaan antara cakaran harimau dengan serigala maupun beruang dengan sesuatu cakar palsu yang terbuat dari bilah-bilah besi tajam seperti pisau yang kuat. Bayu mengangguk mendengar penjelasan itu.
"Mungkin juga. Tapi walau bagaimana pun aku telah berjanji akan menyelidikinya. Mau tak mau hal ini harus kujalankan...."
"Terimakasih, Bayu. Kalau sudi bawalah beberapa anak buahku untuk membantumu!"
"Tidak usah, Paman. Mereka lebih dibutuhkan disini untuk menjaga Paman, Ratna dan Roro Intan. Oh ya, ke mana mereka? Sejak tadi aku tak melihatnya?!"
"Aaaah... sungguh bandel anak-anak itu! Pasti mereka main lagi di kebun belakang dekat sungai."
"Tak mengapa, Paman. Salam buat mereka. Aku pergi sekarang!" kata Bayu sambil berlalu meninggalkan tempat itu.
Patisena hanya bisa menatap punggung pemuda bertubuh kekar itu yang semakin lama semakin menjauh dan menghilang. Baru saja tiba di ujung jalan, Bayu terkesiap. Dua sosok tubuh menunggunya di situ!
***
"Ratna! Roro...! Apa yang kalian kerjakan di sini?!" tanyanya kaget.
Keduanya memang orang yang sudah dikenal Bayu sebagai keponakan Paman Patisena. Di pundak mereka masing-masing membawa buntalan seperti orang yang siap merantau jauh.
"Apa yang kalian kerjakan di sini?" ulang Bayu ketika tak ada sahutan dari mereka. Keduanya masih tetap menundukkan wajah.
"Roro, sedang apa di sini?" tanya Bayu pada bocah kecil itu sambil berjongkok dan menjawil dagunya. Gadis itu melirik sekilas pada kakaknya, kemudian menatap Bayu lekat-lekat.
"Roro mau ikut Paman, tapi Kak Ratna malah minta ikut juga...."
"Bohong! Kamulah yang minta ikut!" bantah Ratna cepat.
"Roro sudah bilang sebelumnya pada Paman ini...."
"Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan!"
"Kenapa tidak? Untuk apa tinggal di situ tanpa ada orang yang menyayangi?"
"Kata siapa tak ada yang menyayangimu?"
"Tidak kata siapa-siapa, tapi Roro sendiri yang merasakannya!"
Mendengar kata-kata Roro Intan, Ratna Puspa seperti tersentak hatinya. Ditatapnya Roro Intan dalam-dalam. Betulkah selama ini dia mengabaikan adiknya?
Perlahan-lahan Ratna mendekat lalu berjongkok sambil mendekap pundaknya ketika Bayu menepi.
"Roro, siapa bilang di rumah tak ada yang menyayangimu? Kakak sangat menyayangimu!"
"Kakak selalu menyayangi Kakang Pandu!
"Tapi bukan berarti kakak melupakanmu.
"Bohong!"
"Roro, Kakak berkata yang sebenarnya. Kakak betul-betul menyayangimu...."
"Bohong! Kalau kakak betul-betul sayang padaku, pulanglah kembali ke rumah Paman Patisena dan biarkan aku ikut dengan Paman Bayu ke mana saja kakiku melangkah."
Setelah berkata begitu, Roro melangkah ke arah Bayu dan bersembunyi di belakang tubuh pemuda itu. Ratna baru saja akan mengejar kalau tak ingat bahwa di situ ada Bayu. Dia salah tingkah dan membuang muka dengan wajah gelisah. Bayu memang sengaja mendiamkannya saja karena dia belum mengerti betul apa yang mereka ributkan. Yang sedikit diketahuinya adalah Roro seperti kurang kasih sayang tinggal di rumah pamannya itu.
"Tuan pendekar...!" panggil Ratna dengan suara gemetar.
"Panggil saja namaku, Bayu!"
"Bayu... ng... eh, bisakah kita bicara tanpa diketahui Roro?"
"Tidak! Tidak mau! Kak Ratna tentu akan membujuk Paman Bayu agar aku tak boleh ikut!" sentak Roro sambil mendekap kaki Bayu erat-erat.
"Tidak, Roro. Kakak hanya ingin bicara sedikit dengan Paman Bayu...." bujuk Ratna Puspa.
"Bohong!"
Ratna menghela nafas dengan wajah kecewa. Tampaknya Roro Intan curiga sekali bahwa dirinya akan mengakali agar dia tak ikut dengan Bayu.
"Roro, bukankah kau mau ikut dengan Paman?"
Gadis kecil itu mengangguk ketika Bayu bertanya sambil tersenyum.
"Nah, sekarang bermainlah dulu bersama Tiren. Paman berjanji tak akan meninggalkanmu. Di mana ada Paman di situ ada Tiren. Paman tak mungkin pergi tanpa Tiren. Kalau dia bermain denganmu, sudah pasti Paman akan menunggunya kembali. Dengan begitu Paman tidak bisa menipumu bukan?"
Roro Intan adalah gadis yang cerdik. Sekilas saja dia dapat menangkap apa yang dimaksud Bayu. Maka sambil mengajak Tiren bermain agak jauh dari tempat itu, dia tersenyum kecil.
"Nguk! Nguuuk...!"
Tiren pun agaknya senang juga dapat punya kawan seperti Roro Intan. Terbukti dengan semangat dia mengikuti ajakan bocah kecil itu.
"Nah, apa yang ingin kau bicarakan padaku?" tanya Bayu setelah Roro sudah berada agak jauh dari mereka berdua.
Ratna Puspa tak buru-buru menjawab. Dia menghela nafas beberapa kali sambil membuang pandangan. Agaknya berat baginya mengatakan apa yang terkandung dalam hati. Tapi akhirnya keluar juga meski dengan suara pelan.
"Kudengar Anda ingin membantu Paman Patisena menyelidiki peristiwa itu?"
"Ya...!"
"Siapa pun adanya, dia harus mati di tanganku!" tekad Ratna Puspa dengan sorot mata tajam berapi-api penuh dendam.
Bayu menatapnya sekilas. Wajah gadis ini cantik menawan. Lebih lagi bila dia tersenyum. Dan dalam keadaan mendendam begini pun kecantikannya seperti tak pudar. Tapi bukan hal itu yang membuatnya harus memandang gadis ini agak lama, melainkan ingin meyakinkan atas dasar apa Ratna Puspa memiliki tekad demikian?
"Kebathilan harus dilenyapkan di muka bumi ini! Bukankah begitu niat dari setiap pendekar pembela kebenaran?" tangkisnya ketika Bayu menanyakan hal itu.
"Betul apa yang kau katakan. Tapi niatmu bukan itu. Kau tidak usah menipu dirimu sendiri. Tekadmu cuma sebatas ketidak relaan mu melihat nasib Pandu yang tewas dengan cara demikian. Balas dendammu hanya akan mencelakakan dirimu sendiri."
"Apa maksudmu?!"
"Lebih baik kau berada di rumah bersama Paman Patisena."
"Tidak. Walau bagaimana pun harus kucari orang itu!"
Bayu memandang Ratna Puspa sekilas, kemudian mengalihkan pandangan sambil bersuit nyaring.
"Suiiit...."
Tak berapa lama terlihat Tiren, sahabat kecilnya itu berlari-lari kecil menghampiri diikuti oleh Roro Intan. Begitu dekat, Tiren langsung melompat ke atas pundak Bayu.
"Apakah kita akan pergi sekarang?" tanya Roro Intan.
Bayu tersenyum. Tubuhnya membungkuk, dan menjawil dagu gadis kecil itu.
"Ya, Paman harus pergi sekarang. Kau harus temani kakakmu dan Paman Patisena ya...."
"Tidak! Aku akan ikut dengan Paman Bayu!"
"Roro, kau masih kecil. Perjalanan Paman jauh dan penuh bahaya. Tinggallah di rumah, kapan-kapan Paman akan berkunjung lagi...."
"Tidak! Tidak mau!" teriak Roro Intan.
Gadis kecil itu berteriak histeris dan bermaksud memeluk tubuh Bayu. Tapi dalam sekejapan mata Pendekar Pulau Neraka raib dari hadapannya.
Ratna Puspa sendiri kaget melihat kecepatan bergerak pemuda berambut gondrong itu. Walau dia memiliki sedikit ilmu silat, rasanya sulit untuk bergerak sedemikian cepat. Gadis itu baru tersentak sadar dari kekagumannya ketika Roro Intan menjerit keras sambil berlari sekuat tenaganya menyusul kepergian Bayu.
"Paman Bayu...!"
"Roro... kembali! Kembali...!" teriak Ratna Puspa ikut mengejar adiknya.
"Roro, kembali...!"
"Paman Bayu...!"
"Roro, mari kita pulang!" teriak Ratna Puspa ketika sedikit lagi berhasil mengejar lari adiknya.
"Tidak mau! Tidak mau! Aku mau menyusul Paman Bayu!" teriak Roro Intan histeris dan berusaha berontak ketika Ratna Puspa sudah berhasil menangkapnya.
"Paman Bayu sudah pergi, dan kau tak mungkin menyusulnya!"
"Aku tak perduli! Akan kucari ke mana pun Paman pergi!"
"Mau mencari di mana?"
"Di mana saja!"
"Roro, jangan membandel. Bukankah Paman Bayu telah mengatakan bahwa dia akan mengunjungimu kapan-kapan...."
"Tidak mau! Pokoknya aku tak mau kembali lagi ke rumah, kalian tak ada yang sayang padaku. Aku mau menyusul ayah dan ibu!"
"Roro, kau tak tahu di mana mereka sekarang...."
"Aku akan minta Paman Bayu mencarinya. Dia pasti mau!"
Ratna Puspa tak tahu lagi harus dengan cara apa dia membujuk adiknya pulang. Dalam pada itulah entah dari mana datangnya serombongan orang yang tiba-tiba saja telah mengelilingi mereka. Ratna Puspa tersentak kaget, dan mundur beberapa langkah. Namun ketika dia menoleh ke belakang, tempat itu seperti telah dipagar oleh barisan orang-orang tak dikenal. Salah seorang gadis berambut panjang dengan wajah ayu mendekatinya perlahan. Bajunya kembang-kembang merah dengan dasar putih, melekat erat hingga dadanya yang membusung terlihat menonjol. Di punggungnya terselip sebatang pedang. Sorot matanya tajam manakala menatap Ratna Puspa dari ujung kaki hingga kepala.
"Hmmm... wajahmu amat ayu, bocah. Melihat dari caramu tentu kau anak desa yang sedang ke sasar di hutan. Mari ikut dengan kami."
"Siapa kalian?" tanya Ratna Puspa curiga.
"Namaku Dewi Sukma Wening, dan mereka ini adalah anak buahku. Kami akan mengantar kalian berdua pulang ke rumah," sahut wanita itu dengan senyum genit.
Hal itu tentu saja menambah kecurigaan di hati Ratna Puspa. Wajah mereka liar, dan sudah tentu bukan orang baik-baik. Lebih dari dua puluh orang laki-laki mengelilingi tempat itu tak satu pun dilihatnya mencerminkan sikap mereka sebagai orang baik-baik. Dan wanita ini dengan segala niat busuknya bersembunyi dalam wajah cantiknya yang terkesan binal.
"Tidak, terimakasih. Kami bisa pulang sendiri..,.
"Ah, tidak baik menolak niat orang yang akan berbuat baik pada kalian. Ayolah, mari ikut kami...."
"Jangan mendekat!" sentak Ratna Puspa ketika dilihatnya wanita itu melangkah mendekati sambil mengulurkan tangan.
Mendengar itu paras wajah Dewi Sukma Wening berubah. Kini terlihat kemarahannya.
"Sudahlah, Nini Dewi. Untuk apa membujuk segala. Kita tangkap dia lalu bawa pergi dari sini, bereskan? Hitung-hitung sebagai hiburan karena buruan kita belum juga ketemu!" sahut salah seorang anak buahnya yang kelihatan sudah tak sabar.
Wajah Ratna Puspa semakin gelisah dan berubah pucat. Diliriknya orang itu sekilas. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Orang itu menyeringai penuh nafsu mengisyaratkan nafsu setannya yang berkobar-kobar. Ketika dia melirik pada beberapa orang yang lain, rata-rata mereka pun memiliki niat yang sama. Tak terasa tubuhnya semakin gemetar.
"Baiklah kalau kau tak mau diperlakukan secara baik, kami terpaksa memaksamu. Seno, dan kau Kimung. Tangkap mereka! Bawa gadis molek itu dan singkirkan bocah pentil itu!" perintah Dewi Sukma Wening.
"Siap...!"
Kedua orang yang bertubuh besar itu langsung melompat hendak menangkap Ratna Puspa dan Roro Intan sambil menyeringai lebar. Namun saat itulah terdengar bentakan nyaring yang menggema di sekitar tempat itu.
"Bajingan laknat! Hentikan niat kotor kalian!"
***
***
Sesosok bayangan tiba-tiba melesat di hadapan Ratna Puspa dan Roro Intan. Seorang pemuda berambut gondrong berbaju kulit harimau berdiri tegak. Wajahnya tampan dan keras. Di pundaknya terdapat seekor monyet kecil berbulu hitam yang langsung menyeringai dengan sikap mengancam pada orang-orang asing itu. Melihat siapa yang datang, Roro Intan langsung berteriak girang sambil menghambur memeluk pemuda itu.
"Paman Bayu...!"
"Tenanglah, Roro. Mereka tak akan mengganggumu..." bujuk pemuda yang baru muncul itu yang tak lain dari Bayu Hanggara.
"Paman, mereka akan berniat jahat pada kami."
Bayu menatap mereka satu per satu. Kedua orang tadi yang bersiap hendak menangkap Ratna Puspa dan Roro Intan menghentikan langkah dan mendengus dengan sikap mengancam.
"Siapa kau? Pergilah cepat dari sini sebelum kami merencahmu hidup-hidup!" kata salah seorang yang bertubuh agak tinggi. Di tangannya tergenggam sebatang pedang yang tajam berkilat.
"Siapa aku, bukan masalah. Sebaiknya kalianlah yang pergi dan jangan mengganggu mereka!"
"Bedebah! Agaknya kau belum mengenal Persekutuan Iblis Merah. Cepat tinggalkan tempat ini dan jangan campuri urusan kami. Kalau tidak kau akan pulang tinggal nama!" gertak orang itu lagi.
Bayu tersenyum sinis.
"Kisanak, ancamanmu boleh juga. Tapi hanya pantas buat menakut-nakuti tikus got. Tapi jangan coba-coba kalian lakukan padaku," sahut Bayu dingin.
"Keparat!"
"Hiyaaa...!"
Dua orang itu langsung menerjang Bayu dengan serangan kilat menebas leher dan pinggangnya. Tapi Bayu hanya berkelit sedikit dan begitu merasakan sambaran pedang mereka yang dianggapnya tak memiliki tenaga dalam hebat, dua buah jari masing-masing tangannya langsung menangkap senjata lawan dan menyentaknya kuat hingga terpental dalam keadaan patah dua.
"Hup!"
"Tak!"
Keduanya tersentak. Waktu yang sekian detik cukup bagi Bayu untuk menghajar mereka satu persatu.
"Begkh!"
"Duk!"
"Aaaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan. Tubuh keduanya terlempar dua tombak sambil muntah darah. Bukan main murkanya Dewi Sukma Wening melihat hal itu. Sepasang matanya menatap tajam ke arah Pendekar Pulau Neraka dari atas sampai ke bawah seolah hendak mengukur sampai di mana kemampuan pemuda berambut gondrong itu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanyanya dengan suara lunak.
"Kalian tak perlu tahu siapa aku. Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini!" sahut Bayu dingin nada mengancam.
Dewi Sukma Wening tersenyum sinis.
"Tak sembarangan orang boleh menghina Persekutuan Iblis Merah. Kau akan kena batunya, Ki sanak!"
Selesai berkata demikian Dewi Sukma Wening langsung memberi isyarat. Dan saat berikutnya lima orang dari mereka mengepung Bayu dengan sikap menyerang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
Melihat mereka langsung menyerangnya dengan ganas, Bayu tak tinggal diam. Begitu tubuh mereka bergerak, dia langsung menerjang dengan kecepatan tinggi.
"Trak! Trak!"
"Begkh!"
"Des!"
Tiga orang langsung terjungkal dengan pedang di tangan terpental entah ke mana. Tubuh mereka melayang sejauh dua tombak sambil menjerit ke-sakitan dan muntah darah. Dua orang lagi segera menyusul. Bukan main kagetnya Dewi Sukma Wening melihat kedahsyatan sepak terjang Bayu. Dalam waktu sekejap mata dia mampu menumbangkan lima anak buahnya tanpa mengalami kesulitan.
Wanita itu mulai ragu apakah dia mampu meneruskan niatnya untuk menangkap Ratna Puspa dan menyingkirkan Roro Intan dengan terlebih dahulu menghabisi pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Pergilah sebelum aku bertambah muak melihat tampang kalian!" bentak Bayu mulai jengkel.
"Huh! Baru punya kepandaian segitu saja hendak berlagak di hadapanku. Jangankan cuma seorang, sepuluh orang sepertimu pun aku tak akan lari!" desis Dewi Sukma Wening geram.
Roro Intan yang mendengar percakapan itu sejak tadi, dan menyaksikan kehebatan Bayu, tiba-tiba saja menimpali dengan suara mengejek.
"Hi hi hi hi...! Kuntilanak jelek, mana mungkin kalian bisa menandingi Pamanku. Jangankan kalian, lebih banyak dari ini pun Pamanku dengan mudah membunuh kalian semua!"
"Nguk! Nguuuk...!"
"Betulkan Tiren?"
"Kaaakh...!"
Dewi Sukma Wening geram bukan main mendengar kata-kata bocah itu. Ingin rasanya saat itu juga diremasnya mulut mungil yang bijak itu. Tapi tiba-tiba terlintas satu ingatan dalam benaknya. Ditatapnya Bayu sekali lagi seolah ingin memastikan, bahwa pemuda di hadapannya ini adalah tokoh yang namanya menggetarkan rimba persilatan belakangan ini.
"Ki sanak, kalau tak salah bukankah kau yang bergelar Pendekar Pulau Neraka?!"
"Nah, setelah tahu gelar Pamanku, apakah kuntilanak sepertimu berani mengganggu kami lagi?" bentak Roro Intan dengan sikap nakal.
Kembali Dewi Sukma Wening bertambah geram mendengar kata-kata bocah itu. Tapi diam-diam di hatinya timbul sedikit rasa cemasnya. Apalagi ketika Bayu kemudian mengangguk.
"Tak salah dugaanmu. Begitulah orang-orang memanggilku...."
"Hmmm, kalau begitu ternyata kami sedang berhadapan dengan seorang pendekar kesohor. Maaf Ki sanak, mataku buta tak melihat gunung Mahameru menjulang tinggi di mata. Kalau demikian, biarlah persoalan ini selesai sampai di sini saja, dan kami akan berlalu...."
"Huh, enak saja mau pergi! Kalian pikir Pamanku akan membiarkan begitu saja?!" sentak Roro Intan.
"Heh?!"
Dewi Sukma Wening berbalik dan mendengus geram pada bocah itu. Tapi Bayu buru-buru menimpali.
"Begitu lebih baik daripada membuat perselisihan yang tak ada guna...."
"Tapi paman, orang jahat seperti mereka tak boleh dibiarkan begitu saja!" protes Roro Intan kesal.
"Nguk!" Tiren menimpali.
"Sudahlah, Roro. Biarkan mereka pergi. Kalau mereka sudah tidak lagi berniat jahat tak perlu lagi menghukum mereka," sahut Bayu.
Mendengar jawaban itu Roro Intan hanya bisa cemberut sambil memalingkan wajah. Bayu menghela nafas, kemudian berpaling pada Ratna Puspa yang menundukkan wajah.
***
"Kenapa kalian tak juga pulang?"
"Aku akan pulang setelah menemukan pembunuh biadab itu!" sahut Ratna Puspa pelan dengan nada pasti.
"Itu pekerjaan sia-sia. Kalian seperti menghadang bahaya besar di depan mata."
"Aku tak perduli!"
"Apakah kau juga tak perduli dengan keselamatan Roro?"
Ratna Puspa terdiam beberapa saat kemudian.
"Mari kuantar kalian pulang," ajak Bayu.
"Tak perlu! Kalau anda mau berbaik hati, antarlah Roro pulang. Aku akan terus pada niatku semula!" sahut Ratna Puspa berkeras.
Bayu menggelengkan kepala sambil mendesah kesal.
"Kau masih muda, masih punya masa depan yang terbentang. Paman kalian juga baik. Apakah hal seperti itu akan kau sia-siakan?"
"Apa pedulimu pada masa depanku?"
"Memang tak ada sangkut pautnya, tapi mana bisa aku mendiamkan kalian mendapat bahaya begitu saja."
"Kalau begitu kenapa Paman tidak mengijinkan kami ikut denganmu saja?" sela Roro Intan.
Bayu menghela nafas. Tatapannya jauh ke depan. Rombongan yang tadi menamakan dirinya sebagai Persekutuan Iblis Merah telah tak nampak batang hidungnya. Mereka pergi satu per satu. Pikirannya saat ini agak bingung. Kalau mereka di ajaknya, tentu perjalanannya akan terhambat, tapi kalau tidak diajaknya, tentu keselamatan mereka tidak terjamin. Walau dia tak pernah berkata akan melindungi mereka di hadapan Patisena, setidaknya saat dia kembali untuk melaporkan peristiwa yang akan diselidikinya itu, mana mungkin dia akan membawa berita buruk tentang mereka berdua.
"Baiklah, kalian boleh ikut denganku..." kata Bayu pelan.
"Horeee...!" Roro Intan bersorak girang.
"Nguk! Nguuuk...!" Tiren pun bersorak sambil bertepuk tangan di atas kepalanya. Agaknya monyet kecil itu memang suka sekali bermain dengan Roro Intan.
"Tapi harus ada syaratnya..." potong Bayu cepat.
"Apa paman?"
"Kalau nanti Kakakmu pulang, kau pun harus pulang. Bagaimana?"
"Ah, tidak mau! Aku mau ikut Paman terus!" "Kalau begitu Paman tidak bersedia mengajakmu sekarang!"
Roro Intan melirik kakaknya beberapa saat. Dan belum memberi jawaban sampai Bayu mengalihkan pandangan ke arah Ratna Puspa.
"Bagaimana? Kalian boleh ikut denganku, tapi setelah persoalan ini selesai, maka kau harus mengajak adikmu pulang?"
Ratna Puspa mengangguk cepat.
"Baiklah, mari kita berangkat!"
Mereka baru berjalan kurang lebih dua puluh langkah ketika terdengar jeritan nyaring yang sayup-sayup terdengar.
"Paman, apa itu?!"
"Sebaiknya coba kita lihat ke sana. Mari Roro!" sahut Bayu sambil menyambar tubuh Roro dan berlari cepat.
Tapi Bayu terpaksa memperlambat larinya ketika melihat Ratna Puspa terengah-engah jauh di belakang. Bayu terpaksa menunggu sambil menggelengkan kepala.
***
Arah jeritan itu datangnya dari tepi hutan yang agak lebat. Ketika mereka tiba di sana, terlihat pemandangan yang mengerikan. Sebagian besar anak buah Persekutuan Iblis. Merah yang memang mengambil jalan ke arah ini terkapar dalam keadaan mengenaskan. Tubuh mereka rusak berat seperti tercakar binatang buas. Sementara dua orang yang masih tersisa tampak berusaha menyelamatkan diri dari serangan seorang yang tampak bergerak amat cepat.
"Paman, orang itu... orang itu..." tunjuk Roro dengan wajah pucat.
"Siapa orang itu, Roro?"
"Orang itu yang membunuh kakang Pandu dan Paman-paman yang lain..." sahut Roro gemetar.
Belum lagi habis kata-kata Roro Intan, Bayu telah melesat dengan kecepatan tinggi ke arah orang itu.
"Yeaaah...!"
Namun orang asing yang rambutnya terurai bebas itu tak kalah gesit. Nalurinya cepat mengetahui sesuatu ketika tubuhnya langsung berbalik menyambut serangan Bayu, Pendekar Pulau Neraka dan meninggalkan dua lawan terakhirnya yang terluka parah.
"Graungrrr...!"
"Plak! Plak!"
Bayu tersentak kaget ketika tangannya beradu. Kulit orang itu keras bagai baja. Dan yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah sambaran kuku-kuku tangannya yang panjang dan runcing. Kuku-kuku itu seperti bukan layaknya kuku seorang manusia, tapi lebih menyerupai cakar harimau dengan bentuk yang lebih panjang serta lebih kuat.
"Siapa kau sebenarnya? Dan apa maksudmu melakukan pembantaian selama ini?" tanya Bayu ketika tubuhnya terpental, namun dengan manis hinggap di atas kedua telapak kakinya.
"Graungrrr...!"
Bukannya jawaban yang diberikan orang asing itu, tapi malah menerjangnya sambil melompat dengan gaya seekor harimau menerkam mangsa. Aumannya terdengar dahsyat. Bahkan lebih dahsyat dibandingkan dengan harimau biasa. Bayu, si Pendekar Pulau Neraka sempat terkejut ketika memperhatikan lawannya. Tubuhnya biasa saja, dengan rambut gondrong sebatas punggung di lepas serta mengenakan pakaian serba hitam. Tapi bukan itu yang membuatnya terkejut, melainkan melihat sepasang mata yang merah nyalang penuh nafsu membunuh. Dua buah taring terlihat disudut bibirnya kala dia menyeringai buas dengan air liur yang bertetesan. Tubuhnya agak membungkuk ketika dia bersiap menyerang lawan.
"Hup!"
"Begkh!"
"Ukh...!"
Sosok tubuh yang tingkah lakunya mirip dengan seekor harimau mengeluh pelan ketika tubuhnya kena dihantam Bayu. Meski terhuyung-huyung, dia cepat bangkit dan kembali melompat menerkam lawan.
"Astaga! Manusia macam apa dia ini?" tanya batin Bayu seperti tak percaya bahwa pukulannya tadi yang mampu melumpuhkan banteng liar hanya membuat lawannya terhuyung-huyung.
"Auuum...!"
"Heh?!"
"Cras!"
Bayu mengeluh pelan ketika lengan kirinya disambar dengan cepat oleh cakar lawan. Masih untung dia terus jungkir balik menghindari serangan berikutnya. Kaki kanannya menendang ke kepala lawan, namun dengan gesit orang itu menghindar. Lalu dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa, cakar tangan kirinya menghantam dada Pendekar Pulau Neraka.
"Uts, haaa...!" Dengan tidak terduga, tubuh Bayu mencelat ke atas kaki kirinya kembali menghantam telak ke dada lawan.
"Thak!"
Akibat tendangan itu sungguh hebat terlihat. Lawannya terjungkal sejauh dua tombak, namun mampu berdiri di atas kedua kakinya meski dengan tubuh limbung. Sepasang matanya bertambah nyalang menatap ke arah Bayu.
Saat itu pula Bayu telah bersiap menghantamkan pukulan yang berisi tenaga dalam kuat ketika terdengar teriakan nyaring dari arah sampingnya.
"Hiyaaa...!"
"Ratna, jangaaaan...!" teriak Bayu kaget dan bermaksud mencegah Ratna Puspa berbuat nekad dengan menyerang lawannya.
Tapi peringatan itu agaknya sedikit terlambat. Melihat ada orang mendekat dengan sikap mengancam, manusia siluman langsung menerkam sambil mengeluarkan auman dahsyat. Walaupun Bayu masih sempat menyelamatkan nyawa Ratna, namun tak urung satu sabetan cakar lawan berhasil merobek pinggang Ratna Puspa.
"Cras!"
"Begkh!"
"Aaaakh...!"
Ratna Puspa menjerit. Pedang yang tadi sempat dipungutnya untuk menyerang lawan terpental entah ke mana. Bersamaan dengan itu Roro Intan berteriak sambil berlari kecil menghampiri Ratna Puspa, Kakaknya.
Sedangkan Bayu dan lawannya masing-masing terhuyung-huyung setelah keduanya saling menyarangkan pukulan. Tangan kiri Bayu memapaki pergelangan tangan lawan yang hendak mencakar lawan, sedang tinju kanannya bersarang di dada lawan. Walau demikian sebelah tangan lawan yang bebas sempat merobek kulit dadanya.
"Hiyaaa...!"
Meski dalam keadaan terhuyung-huyung, lawan langsung berbalik dan melompat hendak menyambar Ratna Puspa kembali. Dalam pada itu tak ada waktu lagi bagi Bayu untuk menyelamatkan gadis itu. Tangan kanannya langsung dikibaskan ke atas.
"Zwiiing!"
Seberkas sinar keperakan dari Cakra Maut langsung menghantam ke arah lawan.
"Thakr !
"Hei...?!"
Bayu tersentak kaget. Cakra Maut itu sama sekali tak berhasil melukai lawan. Bahkan ketika senjata itu kembali melesat dan menghantam, tetap saja tak berhasil menggores kulit lawan. Bukan main herannya Pendekar Pulau Neraka. Selama ini senjatanya malang melintang di dunia persilatan dan menjadi momok yang menakutkan. Jarang ada yang lolos dari sambarannya. Tak heran bila telah banyak tokoh yang tewas oleh senjata itu.
"Graungrrr...!"
Walau pun tak mampu melukai kulit tubuh lawan namun Cakra Maut itu cukup merepotkannya. Tenaga dorongan senjata itu mampu membuatnya terhuyung-huyung. Bukan mustahil bila keadaannya terus begitu dia akan kerepotan sendiri. Belum lagi Bayu yang mulai bangkit dan mencecarnya habis-habisan.
"Hiyaaa...!"
"plak!"
"Bekgh!"
"Hugkh...!"
Satu pukulan telak yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka menghantam dada lawan. Manusia siluman itu terdorong sejauh tiga tombak. Terlihat kali ini dari sudut bibirnya menetes darah kental. Bayu tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Begitu tangannya terkibas ke atas, Cakra Maut kembali melesat ke arah lawan. Bersamaan dengan tubuhnya mengikuti dari belakang dengan satu serangan yang mengandung tenaga dalam kuat.
"Graungrrr...!"
Dengan tak disangka-sangka lawan melompat tinggi dan terus kabur dari tempat itu.
"Keparat! Jangan harap kau bisa kabur seenaknya!" bentak Bayu geram.
"Paman...! Paman...." Roro Intan berteriak memanggil dengan suara cemas.
Mau tak mau terpaksa Bayu membatalkan niatnya mengejar Manusia Siluman itu. Roro Intan menangis terisak sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ratna Puspa yang sudah tak sadarkan diri karena kehilangan banyak darah. Buru-buru Bayu menghampiri dan menotok beberapa jalan darah di tubuh Ratna Puspa untuk menghentikan pendarahan yang terlalu banyak lagi.
"Paman... apakah Kak Ratna masih bisa di tolong?" tanya Roro Intan cemas.
"Tenanglah Roro.... Kakakmu pasti akan sembuh!" Bayu berusaha menenangkan hati Roro Intan. Sebenarnya dia pun tak tahu, apakah gadis itu bisa tertolong atau tidak. Keadaannya sangat kritis karena darahnya banyak terkuras. Tengah Bayu merenung, dua orang yang tersisa dari gerombolan Persekutuan Iblis Merah mendekat ke arahnya.
***
LIMA
"Terima kasih atas pertolongan Anda, Kisanak..." kata salah seorang di antara mereka.
Bayu melirik sekilas. Yang berkata itu adalah seorang gadis cantik dengan baju ketat. Dialah yang memimpin Persekutuan Iblis Merah. Mereka pun agaknya tak luput dari luka akibat cakaran lawannya tadi. Bisa jadi mereka memiliki ilmu silat dan tenaga dalam yang lumayan sehingga mampu bertahan.
"Kalau kalian setuju, ikutlah dengan kami. Ketua kami punya seorang tabib yang mungkin bisa mengobati luka teman gadismu itu..." lanjut wanita itu menawarkan jasa.
Bayu berpikir sejenak sebelum mengangguk setuju.
"Paman, mereka orang jahat. Kenapa Paman mau saja ikut mereka?" protes Roro Intan dengan wajah masam.
"Tidak semua orang selamanya akan menjadi jahat, bukan? Kalau mereka berniat baik mau menolong, apakah kita harus curiga? Hal itu tidak baik, Roro. Paman yakin mereka benar-benar bermaksud baik kali ini," jelas Bayu.
Meski Roro Intan itu nampaknya kurang senang, namun ketika mereka melangkah dia mengekor juga dari belakang. Bayu memondong tubuh Ratna Puspa sementara wanita anggota Persekutuan Iblis Merah yang tak lain Dewi Sukma Wening itu berjalan di sebelahnya. Roro sendiri tampak enggan beriringan dengan yang lainnya. Untunglah ada Tiren yang menemaninya hingga membuatnya sedikit terhibur.
"Dia muncul begitu saja dan langsung menyerang kami tanpa sebab..." jelas Dewi Sukma Wening tanpa diminta ketika dalam perjalanan mereka lebih banyak membisu.
Bayu meliriknya sekilas. Wajah cantik itu kini lebih berbinar kalau dia bersikap lemah lembut seperti ini. Kesan binalnya yang tadi tampak seolah sirna. Bayu cuma tersenyum sendiri.
"Kalau Anda tak muncul, entah apa yang akan terjadi pada kami. Mungkin kami akan gagal menjalankan tugas, tapi... ahh, sebenarnya kali ini pun kami telah gagal menjalankan tugas dari beliau..." lanjut Dewi Sukma Wening itu lirih.
"Tugas apa yang diberikan ketua kalian?"
"Beberapa hari lalu sepuluh anggota kami tewas dengan seluruh tubuh terkoyak seperti di cakar harimau...."
"Jadi kalian ditugaskan untuk menangkap harimau itu?"
"Tidak. Ketua kami yakin bahwa itu bukan perbuatan binatang, melainkan seorang tokoh persilatan yang menggunakan senjata seperti cakar harimau. Tapi tak disangka setelah bertemu dengannya kami tak bisa berbuat apa-apa. Ilmu silatnya hebat dan gerakannya pun amat cepat. Lebih dari itu dia tak mempan senjata tajam," kata Dewi Sukma Wening.
"Hmmm... jadi kalian yakin dia pelakunya?" "Ya...!" Bayu terdiam sejenak dengan wajah geram.
Agaknya perubahan wajah Pendekar Pulau Neraka itu tak luput dari perhatian gadis itu.
"Apakah Anda punya urusan dengannya?"
"Ya. Dia telah membunuh banyak anak buah Paman bocah ini. Aku berjanji padanya untuk menyelesaikan urusan ini sampai tuntas!"
"Kalau saja kita bisa bekerjasama...." Dewi Sukma Wening tak melanjutkan kata katanya.
"Kenapa?"
"Ehhh... tidak!"
"Kalian ingin aku bekerja sama?"
Dewi Sukma Wening tak langsung menjawab. "Ka... kalau Anda tak keberatan, ketua kami tentu akan merasa senang dan merasa dihormati sekali...."
"Hmmm...!"
"Tapi tentu saja kami tak akan memaksa..." buru-buru Dewi Sukma Wening melarat ketika mendengar Bayu bergumam.
"Siapa ketua kalian?"
"Beliau dikenal sebagai si Selendang Maut...."
Bayu bergumam. Nama itu pernah dikenalnya sebagai seorang tokoh wanita yang berilmu tinggi. Setiap kali kemunculannya, ilmu silatnya seperti bertambah. Entah sekarang barangkali kepandaiannya mungkin berlipat ganda. Terutama senjata utamanya berupa selendang yang mampu kaku bagai sebilah pedang panjang, dan kembali lemas bagai tak bertenaga.
"Kenapa? Apakah Anda pernah mengenalnya?"
"Ya. Beliau termasuk tokoh hebat...."
"Anda terlalu melebihkan, Ki sanak. Di banding dengan nama Pendekar Pulau Neraka mungkin beliau tak ada apa-apanya," sahut Dewi Sukma Wening itu sedikit merendah.
Bayu tersenyum.
"Kepandaianku tak seberapa di banding dengan yang lain, masih banyak tokoh-tokoh yang berilmu tinggi dan sulit diukur. Eh, rasanya lebih baik Anda memanggilku dengan sebutan Bayu saja...."
"Bayu...? Hmm, baiklah kalau memang anda tak keberatan. Anda pun cukup memanggilku dengan Dewi. Namaku Dewi Sukma Wening...."
"Dewi Sukma Wening...? Nama yang bagus," puji Bayu.
Gadis itu tersenyum manis di puji demikian. Belum lama mereka berjalan, tiba-tiba terlihat seseorang yang mendekat dari arah samping. Seorang laki-laki separuh baya dengan wajah bersih berkesan ramah. Rambutnya yang sebagian telah memutih di gelung ke atas. Melihat Bayu memondong tubuh seorang gadis yang terluka parah, laki-laki itu langsung menegur dengan sikap ramah.
***
"Kisanak, kulihat kawanmu terluka parah? Namaku Jaladara dan mengerti sedikit soal obat-obatan. Kalau tak keberatan biarlah ku coba untuk mengobatinya."
Sepasang alis Pendekar Pulau Neraka berkerut. Laki-laki ini tak sedikit pun mengesankan bahwa dia mempunyai maksud-maksud tertentu dari niat baiknya itu. Beda halnya dengan Dewi Sukma Wening. Gadis itu menaruh curiga melihat ada orang yang tak di kenal dengan tiba-tiba saja menawarkan jasa baiknya. Tapi dia tak berkata apa-apa ketika melihat bahwa Bayu sedikit percaya dengan orang ini.
"Paman Jaladara, kalau kau mampu mengobatinya aku akan sangat berterima kasih sekali. Tapi...."
"Apakah kalian curiga padaku? He he he..., itu memang kusadari. Kita baru saling mengenal dan dunia ini penuh dengan tipu muslihat manusia, tapi percayalah, aku bermaksud baik. Pengetahuanku tentang obat-obatan harus ku sumbangkan untuk kepentingan orang banyak. Kalau tidak demikian rasanya hidupku tiada guna menyimpan kepandaian sendiri sementara orang lain banyak yang menderita," sahut Jaladara.
Mendengar itu mau tak mau Bayu mesti percaya. Paling tidak untuk keselamatan Ratna Puspa sendiri. Kalau mesti mengikuti Dewi Sukma Wening ke markasnya, belum tentu keadaan Ratna Puspa akan lebih baik. Apalagi perjalanan mereka agak jauh. Sementara ada orang lain yang menawarkan jasa dan kelihatannya yakin mampu menyembuhkan luka Ratna Puspa, apa salah di coba?
"Baiklah..." sahut Bayu.
"Bayu, apakah kau akan percaya begitu saja pada kata-katanya? Siapa tahu dia bermaksud lain," sergah Dewi Sukma Wening tanpa basa-basi lagi.
Agaknya tadi dia berpikir bahwa Bayu punya pikiran yang sama dengannya tentang laki-laki itu, yaitu menaruh curiga dan menolak niatnya itu. Tapi dengan tiada di sangka ternyata pemuda itu malah menyambut baik niat laki-laki bernama Jaladara itu.
"Dewi, seperti aku percaya dengan niat baikmu, begitu juga aku percaya pada Paman Jaladara. Nyawa Ratna Puspa harus ditolong secepatnya. Siapa tahu beliau mampu menolongnya, sahut Bayu.
"Terserah padamu saja. Tapi kami akan meneruskan perjalanan ke markas. Selamat jalan, mudah-mudahan temanmu itu cepat sembuh."
Bayu mengangguk. Diliriknya gadis itu sejenak sebelum mereka melangkah pergi. Dewi Sukma Wening pun agaknya berbuat hal yang sama. Setelah melangkah beberapa tindak, dia melirik ke arah Bayu sambil tersenyum. Kemudian berlalu tanpa menoleh lagi.
"Temanmu itu agaknya terlalu menaruh curiga pada orang lain," gumam Paman Jaladara.
Bayu tak menyahut. Paman Jaladara tersenyum, kemudian mengajak mereka ke pondoknya yang tak jauh dari tempat itu. Sebenarnya tuduhan Dewi Sukma Wening tak benar bila Bayu sendiri pun tak menaruh curiga pada Paman Jaladara. Tapi dia lebih mengutamakan keselamatan Ratna Puspa. Walau demikian dia sama sekali tak melepaskan perhatian terhadap gerak-gerik laki-laki itu. Namun sejauh ini tak terlihat tanda-tanda bahwa orang itu punya niat buruk.
Jaladara ternyata memang tabib yang hebat. Tak berapa lama setelah mencekoki Ratna Puspa dengan ramuan obatnya, gadis itu mulai siuman.
"Ohhh... di manakah aku ini...?"
"Ratna... kau berada di dekat kami, jangan banyak bergerak dulu. Lukamu sedang dibalut." kata Bayu pelan.
"Kak Ratna...!" panggil Roro Intan lirih.
Ratna Puspa menatap satu persatu. Ketika terakhir menatap laki-laki separuh baya yang mengobatinya, wajahnya membias ragu. Bayu melihat perubahan di wajah Ratna, lalu cepat menjelaskannya.
"Paman Jaladara inilah yang mengobatimu...."
"Terima kasih, Paman...."
"Sudahlah... ini sudah menjadi kewajiban manusia untuk saling tolong menolong bukan? Ehh.... Kisanak..." panggil Paman Jaladara ragu.
"Panggil saja saya Bayu, Paman...."
"Bayu... begini. Luka temanmu ini akan mengering beberapa hari lagi. Kalau kalian sudi, kalian boleh tinggal di sini selama beberapa hari menungguinya. Atau kalau hendak mengantarkannya pulang, aku mempunyai sebuah pedati. Kalian bisa memakainya...."
"Terima kasih, Paman. Ini sungguh merepotkan. Biarlah dia kugendong saja," sahut Bayu.
"Yah, terserah saja...."
"Paman akan menggendong Kak Ratna?" Roro tersenyum malu.
"Kenapa?!"
"Tidak apa-apa...." Roro masih tersenyum lucu. Bocah itu memalingkan wajah ke Ratna Puspa, kakaknya.
"Kakak nanti di gendong Paman Bayu saja, ya?" Ratna Puspa tak memberikan jawaban. Wajahnya terlihat jengah dan ragu. Bayu tersenyum kecil.
"Ya, ya... baiklah. Kalau Paman Jaladara tak keberatan, kami bermaksud meminjam pedatimu saja. Nanti sekembalinya akan ku pulangkan lagi ke sini."
"Tentu saja aku tak keberatan. Bukankah tadi telah kutawarkan pada kalian?"
"Terima kasih, Paman...?"
***
Wanita itu tadinya sudah menunjukkan sikap garang. Namun setelah Dewi Sukma Wening menceritakan seluruh kejadian yang mereka alami, perlahan-lahan terlihat parasnya berubah datar.
"Aku memang salah, Nini, dan tak becus apa-apa. Kalau Nini bermaksud menghukum, aku pun siap menerimanya," kata Dewi Sukma Wening pasrah.
"Sudahlah. Aku tak akan bertindak begitu kejam pada anak buahku sendiri. Ceritakanlah lagi padaku tentang mereka, dan apa saja yang kau ketahui tentang orang itu?" kata wanita itu dengan nada sedikit memerintah yang berusia sekitar empat puluh tahun itu.
"Raut wajah orang itu seperti harimau, Nini. Pada jari-jari kaki dan tangannya, tumbuh kuku-kuku yang kuat lagi runcing. Tubuhnya tak mempan senjata tajam. Bahkan Cakra Maut pun tak melukainya."
"Jadi dengan cara bagaimana si Pendekar Pulau Neraka mengalahkannya?"
"Pertarungan mereka belum selesai. Pendekar Pulau Neraka berhasil mendesak orang itu. Namun dia terpaksa membiarkan lawannya kabur karena teman gadisnya terluka parah." jelas Dewi Sukma Wening.
"Tadi kau katakan orang itu memiliki ilmu silat yang hebat, bahkan mampu menghajar si Pendekar Pulau Neraka. Bagaimana mungkin akhirnya dia yang terdesak dan kabur?"
"Benar, Nini. Walau Cakra Maut pendekar itu tak mampu melukai lawan, namun dia dan senjatanya lambat laun mendesak dan merepotkan orang itu. Aku yakin, kalau pertarungan mereka dilanjutkan lawannya itu pasti mampu ditaklukkannya.
Wanita setengah baya yang dalam dunia persilatan di kenal sebagai Selendang Maut itu menganggukkan kepala.
"Kalau si Pendekar Pulau Neraka berhasil mendesaknya, dia tentu harus mampus di tanganku!" desis wanita itu geram.
"Nini...!"
"Kenapa? Kau meragukan kemampuanku? Apa kau beranggapan si Pendekar Pulau Neraka memiliki ilmu silat lebih tinggi di bandingkan denganku?!"
"Bukan begitu, Nini. Tapi lawan kita kali ini bukan orang sembarangan. Dalam pertarungan itu bukan saja tubuhnya kebal terhadap senjata tajam, bahkan pukulan-pukulan si Pendekar Pulau Neraka yang menggunakan tenaga dalam hebat pun seperti tak berarti apa-apa baginya...."
"Diam kau, Dewi! Tak seorang pun boleh meremehkan kemampuan si Selendang Maut!" bentak wanita itu sambil bangkit dari tempat duduknya.
"Ampun Nini...!"
"Sudah! Sekarang siapkan anak buahmu yang lain. Biar kali ini aku yang pimpin langsung rombongan. Kau tak becus dan selalu menuruti kemauan anak buahmu. Melihat gadis cantik saja, kalian langsung lupa pada tujuan semula!"
"Sebenarnya aku tak bermaksud demikian, Nini...."
"Ya, ya... aku tahu. Kau hanya bermaksud menyenangkan anak buahmu bukan? Tapi itu tindakan salah. Kalau kau senang, ya urusi dirimu sendiri baru anak buahmu kau pikirkan. Bukankah selama ini mereka selalu mampu mencari kepuasan sendiri? Mereka bukan anak kecil yang selalu harus di suapi."
"Iya, Nini!"
Dewi Sukma Wening langsung meninggalkan tempat itu dan mengumpulkan anak buahnya yang lain. Setelah berkumpul, mereka langsung berangkat untuk mencari orang yang di maksud. Selendang Maut sebenarnya bukan semata-mata geram pada orang yang telah menewaskan beberapa anak buahnya, melainkan ada maksud tertentu.
Selama malang melintang di dunia persilatan, tak seorang pun yang pernah mengalahkannya. Namanya amat di segani dan di takuti bukan saja karena ketinggian ilmu silatnya tapi juga karena kesadisannya dalam membunuh lawan. Sudah lama sekali dia mendengar sepak terjang Pendekar Pulau Neraka dan bermaksud menjajal kepandaian pendekar itu.
Namun belum ada kesempatan untuk bertemu dengannya. Mendengar bahwa pendekar itu terlibat dalam usaha pencarian terhadap tokoh yang menewaskan anak buahnya, si Selendang Maut bersemangat untuk menemuinya dengan memimpin sendiri anak buahnya.
Kalaupun dia tak bertemu dengan pendekar itu, tapi tokoh yang diceritakan Dewi Sukma Wening mampu menandingi pendekar itu. Ini sudah merupakan tantangan yang tak bisa dielakkannya sebagai orang yang merasa kepandaiannya tiada yang menandingi.
***
ENAM
Ratna Puspa dan Roro Intan sebenarnya tak suka mereka dikembalikan kepada Paman Patisena. Tapi Bayu tak punya pilihan lain. Dalam kondisi tubuh yang lemah, Ratna Puspa lebih banyak menghambat perjalanannya ketimbang memperlancar.
"Tapi Paman sudah janji mau mengajak Roro...." kata Roro Intan dengan wajah cemberut.
"Bagaimana kalau kapan-kapan saja? Kali ini Paman menghadapi tugas yang bisa mencelakakan mu nantinya."
"Paman bohong!" bantah Roro Intan sambil berlari ke kamarnya.
Bayu menghela nafas pendek. Dia segera mohon pamit setelah segala sesuatunya beres. Namun tanpa diketahuinya, Ratna Puspa kembali menyelinap lewat jalan belakang dan mengikuti langkahnya dari jarak jauh. Bayu sendiri sebenarnya merasa ada seseorang yang mengikutinya dari jarak yang jauh tapi tak terpikir kalau itu langkah kaki seorang gadis yang dikenalnya.
Menjelang sore hari Bayu sampai di tepi hutan tempat tabib itu berada. Setelah mengembalikan pedati yang dipinjamnya tadi, Bayu mulai mengitari daerah sekitar hutan itu. Agaknya dia menduga bahwa orang yang dicarinya bersembunyi tak jauh dari tempat itu. Tapi sampai malam tiba, yang dicarinya tak kunjung terlihat.
"Ahhh... sebaiknya kita istirahat di sini dulu Tiren. Kau tentu lelah bukan?" tanyanya pada monyet kecil sahabatnya yang selalu berada di dekatnya.
"Nguk! Nguuuk...!"
"Nah, istirahatlah. Aku akan membuat api dan menangkap kelinci hutan untuk mengisi perutku yang sudah keroncongan."
"Kaaakh...!"
"Hush, jangan ribut!"
Tiren langsung mencelat ke salah satu cabang pohon dan menghilang ke cabang pohon yang lain untuk mencari buah-buahan pelengkap santap malam mereka. Malam hampir larut ketika Tiren tiba-tiba mencelat ke arah Bayu dan mencolek pemuda itu.
"Ada apa?" tanya Bayu pelan ketika melihat Tiren menyeringai lebar.
"Nguk!" Tiren menunjuk ke satu arah. Bayu cepat mengerti dan memberi isyarat padanya untuk tidak berisik.
"Ssssst... jangan berisik. Nanti dia lari!"
Tiren mengangguk pelan. Dengan segera Bayu mematikan api unggun, lalu bersamaan melesat ke arah yang tadi ditunjuk Tiren.
"Hiyaaa...!"
"Krusaaak!"
"Auw...!"
Bayu tersentak kaget ketika sesosok tubuh yang tadi dicengkeramnya dari balik semak-semak menjerit keras seperti suara seorang wanita. Cepat-cepat Bayu menghampiri asal suara itu dan....
"Ratna Puspa?! Apa yang kau lakukan malam-malam di sini?"
"Aku.... Aku...."
Ratna Puspa tergagap dan tak mampu melanjutkan kata-katanya. Bayu menggelengkan kepala dan langsung mengajaknya ke tempat tadi dia menyalakan api unggun, lalu mulai menyalakan lagi api yang sempat dimatikannya.
"Ada apa kau sampai ke sini? Bukankah tabib itu mengatakan kau harus banyak istirahat? Lukamu belum kering, kalau kau banyak bergerak lukamu bukan semakin membaik tapi bisa bertambah parah!"
"Aku tak perduli...!"
"Jadi apa yang kau pedulikan?"
"Orang itu harus mati di tanganku!" desis Ratna Puspa geram.
Bayu Hanggara menggelengkan kepala mendengar kata-kata itu.
"Ratna, kau bicara apa? Dengan keadaanmu yang sehat saja kau tak akan mampu melawannya, apalagi dengan tubuhmu yang lemah seperti sekarang ini. Itu sama saja artinya kau mengantarkan nyawa secara percuma."
"Aku rela mengorbankan nyawa asalkan si keparat itu juga mati!"
"Nyawamu belum cukup untuk membuat kematiannya."
"Aku tak perduli! Hidupku pun toh sudah tak berarti lagi. Untuk apa lama-lama menderita kalau tiada guna? Lebih baik mati tapi berguna bagi orang banyak."
"Kematianmu tak akan merubah apa-apa bagi kebaikan, malah kau akan meninggalkan penderitaan bagi orang lain seperti Roro dan Pamanmu, Patisena, yang menyayangimu."
"Mereka tak menyayangiku!"
"Kau salah. Mereka justru teramat sayang padamu. Roro Intan, tak mungkin dia berkeras ingin ikut denganku kalau saja kasih sayangnya padamu terbalas. Paman Patisena, mana mungkin dia tak sayang padamu karena sejak kecil telah mengurus kalian. Sekarang pikirkan olehmu baik-baik, dengan dasar apa kenekatanmu ini kau lakukan? Apakah bukan karena kekasihmu yang tewas di tangan orang itu, sehingga kau rela mengorbankan orang-orang yang mencintaimu, menyayangimu, masa depanmu, serta segalanya yang masih mampu kau raih di depan mata?!"
Ratna Puspa terdiam beberapa saat lamanya mendengar kata-kata Bayu. Lama dia menundukkan wajah ketika kembali terdengar Bayu berkata.
"Sadarlah, Ratna. Jangan turuti hawa nafsu yang membabi buta seperti itu. Pulanglah, dan hidup bahagia bersama Paman dan adikmu. Biar orang satu ini menjadi urusanku...."
"Aku tak akan pulang...!"
"Kenapa? Kau belum tahu juga bahwa masih ada sesuatu yang lebih baik kau lakukan daripada memikirkan soal dendam yang sebetulnya bukan urusanmu."
"Bukan begitu...."
"Lalu?"
"Paling tidak aku dapat melihat kematiannya. Itu sudah membuat hatiku lega."
"Dengan cara bagaimana?"
Ratna Puspa menatap Bayu sekilas, kemudian mengalihkan pandangan pada api unggun di depannya. Terdengar suara lirih.
"Bukankah kau bermaksud untuk mengejar dan menyelesaikan persoalan ini sampai tuntas?"
"Ya...?"
"Dan itu berarti kau harus bertarung dengannya. Aku yakin kau mampu mengatasi. Dan....
"Dan kenapa?"
"Kalau kau tak keberatan, aku ingin melihat saat itu....
"Itu sama saja kau mengikutiku!"
"Aku sudah mengatakan, kalau kau tak keberatan. Kalau kau merasa bahwa nanti aku membebani langkahmu, biarlah kau tak usah peduli dengan keselamatanku dan jangan larang aku untuk mengikutimu...."
Bayu berpikir keras. Mendengar kata-kata Ratna Puspa, agaknya niat gadis itu tak bisa dihalangi lagi. Selama dia bisa diatur, barangkali tak begitu menyulitkan.
"Baiklah... kau boleh ikut denganku dengan syarat, harus mengikuti perintahku!" ujar Bayu akhirnya. Ratna Puspa tersenyum dan mengangguk cepat.
***
Geger yang dilakukan oleh seorang tokoh yang tingkah lakunya mirip harimau liar itu sungguh hebat. Banyak sudah yang menjadi korbannya, namun tak seorang pun yang mampu menaklukkannya. Kemunculannya selalu tiba-tiba, dan menghilang bagai sapuan angin tanpa seorang pun yang mengetahuinya. Begitu juga halnya tentang asal-usul tokoh itu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya tentang siapa dan apa tujuannya menewaskan banyak orang begitu. Tokoh ini tak pernah bicara, karena dia langsung menyerang orang yang menjadi sasarannya tanpa sebab.
Sudah tentu hal ini membuat gentar beberapa kalangan yang merasa ilmu silat mereka tak seberapa, dan sekaligus membuat geram beberapa tokoh persilatan yang merasa orang terdekat mereka menjadi korban.
Sementara itu nama Tabib Jaladara lambat laun mulai terkenal karena keampuhannya mengobati tokoh-tokoh yang terluka akibat keganasan tokoh yang tingkah lakunya menyerupai harimau itu. Dalam waktu singkat saja berduyun-duyun orang datang kepadanya untuk berobat, yang pada akhirnya tidak cuma terbatas pada luka akibat serangan tokoh itu tapi juga penyakit-penyakit yang lain.
Siang ini terlihat beberapa orang tampak sedang melakukan perjalanan di dekat hutan. Daerah itu tak begitu jauh dari kediaman Tabib Jaladara. Tiga orang menunggang kuda di bagian depan. Wajah mereka seram dengan masing-masing golok besar di punggungnya. Sementara di bagian belakang terdapat sebuah pedati yang berjalan lambat. Dari dalam terdengar suara erangan orang yang kesakitan.
"Diamlah kau, Kudungga! Sebentar lagi kita akan sampai ke tempat tabib itu," kata salah seorang penunggang kuda yang paling depan.
"Guru, aku khawatir...." ujar orang yang ada di samping kiri.
"Kenapa?"
"Pada hari ini biasanya Tabib Jaladara tak mau diganggu. Banyak orang yang sudah tahu hal ini."
"Hmmm... kalau saja dia tak mau mengobati anakku, akan kupenggal kepalanya!" desis orang yang dipanggil guru tadi dengan geram.
"Tapi guru...."
"Tidak usah banyak bicara lagi. Diam saja!"
Si penunggang kuda yang berada di sebelah kirinya itu terdiam dan tak bicara sepatah kata lagi. Pikirannya menerawang jauh. Memang putra bungsu gurunya ini tengah sakit parah hampir sebulan lamanya. Dia selalu mengerang-ngerang tanpa tahu di mana letak rasa sakitnya. Untuk itulah ketika mendengar nama Tabib Jaladara yang telah banyak menyembuhkan berbagai penyakit, mereka langsung berangkat. Tapi hari ini seperti biasanya Tabib Jaladara tak mau menerima pasien. Dan hal itu dipatuhi betul oleh mereka yang hendak berobat. Apa jadinya kalau setibanya di sana mereka memaksa tabib itu?
"Masih jauh lagi tempat tabib itu, Gondar?" tanya orang yang di depan.
"Sebentar lagi kita sampai, Guru," sahut penunggang kuda yang berada di sebelah kirinya yang dipanggil Gondar.
"Hmmm... apa yang kau takutkan? Kau takut pada tabib itu?!" tanya orang pertama yang dipanggil Gondar dengan sebutan Guru, seperti mengetahui apa yang sedang berkecamuk dipikiran muridnya.
"Ti... tidak, Guru...!"
"Jawabanmu tak memuaskanku. Kau dengar Gondar, nama Tunggadewa amat disegani di rimba persilatan. Begitu juga halnya dengan perguruan kita Rajawali Perak. Jadi untuk apa takut? Tujuan kita benar. Kalau si tabib tak mau mengobati anakku, berarti dia bukanlah orang pemurah yang membiarkan orang menderita di depan matanya begitu saja. Sangat tidak sesuai dengan apa yang kau dengar tentang kemurahan hatinya, bukan?"
Gondar cuma mengangguk. Dia tahu betul, gurunya yang bernama Tunggadewa ini memang agak sombong dan sering sesumbar tentang kehebatannya. Tak ada gunanya berdebat, toh dia tak akan menyurutkan niatnya semula. Dalam pada itu tiba-tiba melesat satu sosok bayangan di depan mereka. Gerakannya ringan dan langsung menyerang diiringi auman dahsyat bagai seekor harimau lapar.
"Auuum...!"
***
"Awasss...!" Tunggadewa memberi peringatan pada murid-muridnya. Namun walau dia telah memberi peringatan, tak urung seorang muridnya yang berada di sebelah kanan terkena sambaran.
"Cras!"
"Aaaakh...!"
"Badar!" teriak Gondar cemas melihat sahabatnya menjerit kesakitan sambil memegangi dadanya yang robek lebar.
Tapi Gondar tak sempat lagi memperhatikan temannya karena orang asing itu kembali melesat menyerang mereka berdua dengan kecepatan tinggi.
"Sreeet!"
Tunggadewa dan Gondar langsung mencabut senjata dan langsung membabat menyerang ke tubuh lawannya.
"Thak!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Tunggadewa terperanjat kaget. Pedang mereka tak mampu melukai lawan sedikit pun. Bahkan dengan sekali kibas, tubuh Gondar terjengkang sejauh tiga tombak dengan dada remuk. Ketua Perguruan Rajawali Perak itu mulai khawatir. Dengan waktu singkat dua muridnya tidak ketahuan nasibnya apakah masih hidup atau sudah tewas karena dia sendiri tak sempat untuk melihat keadaan mereka. Menyesal dia mengapa tak membawa murid-muridnya yang lain.
"Siapa kau? Kau akan menyesal berhadapan denganku!" bentak Tunggadewa keras dengan nada tak senang.
Namun sosok Manusia Siluman yang sepintas mirip seekor harimau itu tak menyahut, melainkan terus menerjang ke arahnya sambil mengaum keras.
"Graungrrr...!"
"Hup!"
"Bangsat!"
Tunggadewa bukan main kesalnya melihat hal itu. Percuma saja dia bertanya dan memaki-maki, tapi lawan tetap diam membisu dan terus menyerangnya dengan tiada henti.
Dua jurus baru berlangsung dan Tunggadewa merasa bahwa nyawanya sedang berada di ujung tanduk. Beberapa kali ujung kuku-kuku tangan dan kaki lawan yang runcing bagai mata pisau menyambar kulit tubuhnya. Beberapa bagian tubuhnya luka hebat. Hanya karena ilmu peringan tubuhnya yang telah mencapai tingkat sempurna yang menyelamatkan nyawanya sesaat. Tapi itu tak berlangsung lama. Keadaannya terus terdesak. Rasanya lima kali gerakan lagi dia berkelit, kuku-kuku lawan akan menembus jantung dan perutnya.
"Auuum...!"
Manusia siluman itu mengaum hebat ketika lompatannya dapat dihindari lawan dengan untung-untungan. Sepasang matanya yang merah menyala-nyala memancarkan dendam dan kebencian, serta nafsu membunuh.
"Itu dia! Itu dia...!"
"Serang...!"
Pada saat kritis bagi Tunggadewa, tiba-tiba muncul banyak orang di tempat itu. Melihat dari cara berpakaian, agaknya mereka adalah tokoh-tokoh persilatan. Beberapa orang di antara mereka sempat dikenalnya.
"Ruksadana, kau pun ada di sini?!" serunya pada seorang laki-laki tua yang bersenjatakan arit.
"Ya, kita punya urusan yang sama. Si keparat ini punya hutang nyawa. Dia telah banyak membunuh murid-muridku!" geram laki-laki tua bernama Ruksadana, atau lebih dikenal sebagai Clurit Sakti Bulan Terbelah.
"Kalau demikian, mari kita bahu membahu!" sahut Tunggadewa bersemangat.
"Bagus! Jahanam itu mesti mampus hari ini juga!"
"Tapi jangan gegabah. Ilmu silatnya hebat dan gerakannya pun luar biasa. Lebih dari itu dia tak mempan senjata tajam, dan waspada terhadap kuku-kuku kaki dan tangannya!" Tunggadewa memberikan nasehatnya.
Tapi agaknya dia terlambat memberi peringatan pada yang lain. Karena pada saat itu juga terdengar jeritan menyayat. Dua orang pengeroyok Manusia Siluman itu tewas dengan dada robek. Seorang lagi menyusul begitu tubuhnya melesat sambil melompat dan mengaum keras. Agaknya sosok makhluk itu semakin murka saja melihat kedatangan orang-orang yang bermaksud mengeroyoknya.
"Hiyaaa...!"
Ruksadana melompat sambil membabatkan arit ke leher lawan. Bersamaan dengan itu tubuh Tunggadewa pun mencelat sambil membabatkan golok besarnya ke pinggang lawan.
"Graungrrr...!"
"Thak! Thaaak...!"
"Cres! Cress!"
"Ukhhh...!"
Ruksadana dan Tunggadewa mengeluh pelan. Senjata mereka tak mampu melukai lawan. Dengan seenaknya lawan menangkis dan tangannya yang lain menyambar dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa ke perut keduanya.
"Yeaaah...!"
Beberapa orang pengeroyoknya yang lain langsung menghadang dan menyerang ke arah lawannya. Dengan demikian selamatlah nyawa Ruksadana dan Tunggadewa dari serangan berikut yang dilancarkan tokoh yang tengah mereka keroyok itu.
"Bedebah! Dia seperti bukan manusia saja!" desis Ruksadana.
"Sulit rasanya bagi kita untuk membunuhnya. Selain tak mengenal lelah, gerakan serta kekuatannya seperti tidak pernah berkurang," sahut Tunggadewa.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ruksadana.
"Sebaiknya kita serang lagi sambil mencari kelemahannya."
"Baiklah...!"
Keduanya kembali melompat dan menggabungkan diri dengan yang lainnya menyerang lawan. Di antara sekian banyak pengeroyok itu memang terlihat bahwa kepandaian Ruksadana dan Tunggadewa lebih menonjol. Ujung golok besar Tunggadewa mencecar ke arah mata, sementara arit Ruksadana mengarah ke bagian tenggorokan.
"Hiyaaa...!"
Namun walau begitu terlihat Manusia Siluman itu begitu tangkas melindungi sepasang matanya, dan ketika senjata Ruksadana beberapa kali sempat menghantam leher tetap tak berhasil melukai. Bahkan serangan balik dari Manusia Siluman itu yang secara tak terduga membuat keduanya kembali terlempar dengan luka-luka akibat cakaran yang lebih parah.
"Graungrrr...!"
"Cres! Cras!"
"Aaaa...!"
Tiga orang termasuk Tunggadewa dan Ruksadana robek perutnya dihajar cakaran orang asing itu. Kali ini agaknya dia tak memberi kesempatan sekali lagi pada mereka berdua untuk menyelamatkan diri. Sebelum keduanya menyentuh tanah, Manusia Siluman itu kembali melompat dengan auman dahsyat.
"Auuuum...."
"Yeaaa...!"
"Bekgh!"
***
TUJUH
Secara tak terduga tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Bersamaan dengan itu menderu angin kencang ke arah Manusia Siluman itu dan membuatnya jungkir balik di udara. Namun dengan gesit dia bersalto dan hinggap di tanah dengan kedua kaki dalam posisi berdiri. Sepasang matanya tajam menatap pada rombongan baru yang muncul tiba-tiba. Berdiri paling depan adalah seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun dengan selendang panjang warna hitam melilit di pinggang.
"Huh, inikah orangnya yang sangat menghebohkan itu?" desis wanita itu yang tak lain dari si Selendang Maut beserta anak buahnya.
Berbeda dengan lawan-lawan sebelumnya, Manusia Siluman itu tak menyerang langsung. Dia terdiam beberapa saat menatap ke arah wanita itu dengan seksama, sehingga kali ini semua yang berada di situ dapat melihat dengan jelas. Wajahnya yang berkerut dengan sepasang mata merah yang nyalang mirip seekor harimau. Pada kedua ujung bibirnya tampak sepasang taring. Rambutnya yang sebagian memutih dibiarkan lepas begitu saja sepanjang punggung. Berdirinya agak bungkuk, dan kedua tangannya terus membentuk cakar dengan kuku-kuku yang runcing serta kelihatan keras.
"Ayo, seranglah aku! Bukankah kau terkenal ganas dan memiliki ilmu yang tiada tandingan?!" ejek si Selendang Maut sambil tersenyum sinis.
"Grrr...!"
"Kenapa? Apakah kali ini kau takut menghadapiku? Atau kebiasaanmu cuma mengaum?"
"Nini Selendang Maut, hati-hati! Dia ganas dan tak kenal ampun sama sekali!" teriak Tunggadewa memperingatkan.
"Huh, ingin kulihat sampai di mana keganasannya?" dengus si Selendang Maut sambil meloloskan selendang di pinggangnya.
"Ctar!"
Si Selendang Maut melecutkan selendangnya ke arah lawan. Suaranya terdengar nyaring bagai petir membelah angkasa. Manusia Siluman itu sempat terkejut dan mundur beberapa langkah. Namun sesudahannya dia menggeram dahsyat.
"Graungrrr...!"
"Ayo, seranglah aku! Pergunakan cakar-cakar mu yang hebat itu untuk merencah tubuhku?" ejek si Selendang Maut sambil melecutkan kembali senjatanya.
Kali ini tantangan wanita itu agaknya diterima si orang asing. Dengan didahului auman dahsyat, tubuhnya melompat dengan kecepatan bagai kilat menyerang lawan.
"Hiyaaa...!"
"Ctar!"
Selendang di tangan wanita itu menghajar telak tubuh Manusia Siluman itu. Jangankan tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang, sebongkah batu besar sebesar kerbau pun mungkin akan hancur dihantam ujung selendang yang disalurkan tenaga dalam hebat itu. Tapi orang asing itu cuma menggeram ketika tubuhnya kembali terlontar ke belakang. Dan ketika kedua kakinya menjejak tanah, secepat itu pula dia kembali menyerang.
"Graungrrr...!"
"Hmmm... kebal juga badanmu. Coba sekarang kau tahan pukulanku ini!"
"Yeaaa...!"
"Bet!"
"Plak!"
Dengan selendang di tangan kanan yang meliuk-liuk menyambar tubuh lawan, telapak tangan kirinya siap menghantam. Tapi lawan kali ini ternyata telah memperhitungkannya. Tubuhnya bergerak lincah menghindari sambaran senjata lawan. Lalu ketika telapak kiri si Selendang Maut menghantam ke arah dada, tubuh orang asing itu mencelat ke atas. Kaki kanannya menghantam wajah lawan. Masih untung si Selendang Maut mampu berkelit dan menghantamkan tinju kanan untuk menangkis.
"Sialan! Rupanya kau bukan manusia biasa. Kulitmu keras seperti batu!" umpat si Selendang Maut sambil mengeluh pelan merasakan tangan kanannya yang kesemutan.
Tapi agaknya si Selendang Maut kali ini tak memberi kesempatan sedikit pun untuk berleha-leha. Manusia Siluman itu menyerang seperti tiada henti. Sambaran kedua cakarnya nyaris merobek kulit tubuh lawan kalau saja Selendang Maut tidak cepat berkelit. Untuk beberapa saat si Selendang Maut dibuat kewalahan.
Memasuki jurus kedua terlihat si Selendang Maut menggeram sambil mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Selendang di tangannya kini bukan lagi semata-mata seperti lecutan sebuah cambuk, namun sekali-kali berubah kaku bagai pedang panjang yang menyapu dalam sekejap berubah lemas meliuk-liuk, ujungnya menyambar seperti hendak melilit.
"Graungrrr...!"
Dengan satu lompatan manis, Manusia Siluman itu menerjang ke arah lawannya. Si Selendang Maut terkesiap dan tak menyangka makhluk itu mampu bergerak begitu cepat, dan...
"Cras!"
"Begkh!"
"Ukhhh...!"
Bahu kiri si Selendang Maut robek dicakar Manusia Siluman itu. Dia meringis kesakitan. Namun satu pukulan telak tinju kanannya berhasil menghantam perut Manusia Siluman itu dan membuatnya terjungkal beberapa tombak. Ketika dia bangkit sambil menggeram, terlihat dari sudut bibirnya menetes darah kental. Agaknya pukulan yang dibarengi tenaga dalam sepenuhnya itu mampu melukai tubuh lawan.
"Nini...!" teriak Dewi Sukma Wening yang sejak tadi berdiam diri sambil memburu ke arah Selendang Maut.
"Jangan mendekat! Kembali ke tempatmu. Aku tak apa-apa!" bentak Selendang Maut.
"Tapi Nini... kau terluka!"
"Kukatakan kembali ke tempatmu semula!" bentak Selendang Maut lagi.
Dewi Sukma Wening tak bisa membantah lagi selain kembali ke tempatnya semula. Sudah menjadi kebiasaan ketuanya itu bahwa dia tak suka dibantu bila sedang bertarung. Kecuali oleh suatu sebab, misalnya dia tewas barulah anak buahnya boleh turun tangan.
"Auuum...!"
Manusia Siluman itu telah kembali melompat ke arah Selendang Maut, sementara si Selendang Maut telah bersiap pula dengan senjatanya.
***
"Ctar!"
"Beeet!"
"Kreeet...!"
Ujung selendang wanita itu berhasil melibat tubuh Manusia Siluman itu dan menyentaknya hingga tubuhnya melambung jauh. Namun pada saat itu juga orang asing itu berhasil merobek selendang lawan. Si Selendang Maut terkejut sambil terhuyung ke belakang.
Selama ini tak seorang pun yang berhasil merobek senjata andalannya itu. Selain terbuat dari serat sutra halus yang kuat, senjata itu pun dipergunakan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Kalau ada yang berhasil merobek Selendang Mautnya, sama artinya berhasil memukul tenaga dalamnya. Dan hal itu yang telah dilakukan oleh Manusia Siluman itu.
"Tap!"
"Graungrrr...!"
Begitu kedua kakinya menyentuh tanah, se cepat itu pula Manusia Siluman yang tingkahnya menyerupai harimau itu kembali melesat menyerang lawan setelah mencabik-cabik sebagian Selendang Maut yang melilit tubuhnya.
"Nini...!" jerit Dewi Sukma Wening cemas melihat keadaan ketuanya. Tapi terlambat. Cakar Manusia Siluman itu berhasil merobek perut si Selendang Maut.
"Aaaa...!"
"Graungrrr...!"
"Seraaaang...!" perintah Dewi Sukma Wening ketika melihat Manusia Siluman itu bermaksud melancarkan serangan berikutnya.
"Ayo, Ruksadana! Ini kesempatan kita untuk menghajar Manusia Siluman itu kembali!" teriak Tunggadewa.
Sebenarnya tanpa dikomando pun tubuh Ruksadana telah melesat begitu ucapan Tunggadewa selesai. Bersama dengan yang lain, kembali mereka mengerubuti orang asing itu.
"Auuum...!"
"Cras! Crass!"
"Aaaa...!"
Namun kali ini terlihat Manusia Siluman semakin liar. Sekali dia berkelebat paling tidak dua atau tiga orang tewas dalam keadaan yang mengerikan. Kalau tidak dada robek, maka perut dengan isinya yang terburai keluar atau leher yang nyaris putus. Tak heran bila dalam sekejap saja korban banyak berjatuhan.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu melesat cepat ke arah Tunggadewa yang langsung memapaki dengan kelebatan golok besarnya.
"Tunggadewa, awas...!" teriak Ruksadana memperingatkan.
"Tak!"
"Cras!"
"Aaaa...!"
Golok di tangan Tunggadewa ditangkis oleh sebelah tangan Manusia Siluman itu, sementara tangan yang lain menghantam leher lawan. Tunggadewa tak sempat terpekik ketika lehernya robek dicakar Manusia Siluman itu
"Biadab!" maki Ruksadana sambil terus mencelat membabatkan aritnya. Bersamaan dengan itu Dewi Sukma Wening pun melompat menghajar lawan beserta beberapa orang anak buahnya yang masih tersisa.
"Hiyaaa...!"
"Tak! Tak!"
"Breeet!"
"Aaaakh...!"
Kedua senjata Ruksadana dan Dewi Sukma Wening menghantam telak di punggung dan tengkuk lawan. Tapi percuma saja, sebab tak sedikit pun mampu menggores kulit tubuh lawan. Apalagi sampai melukainya. Namun serangan balasan yang diluncurkan dari Manusia Siluman itu sungguh mengagetkan. Cakar mautnya kembali meminta korban. Perut Ruksadana kena disabet hingga terlihat isinya yang terburai keluar. Ruksadana meraung kesakitan. Sementara tiga orang lainnya mengalami nasib yang sama. Termasuk Dewi Sukma Wening yang sedikit beruntung kehilangan lengan kirinya tidak sampai merenggut nyawanya.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu kembali menggeram dan mengamuk sejadi-jadinya pada sisa sisa pengeroyoknya. Jerit kematian kembali terdengar ketika beberapa tubuh melayang dalam keadaan terkoyak.
"Keparat! Kali ini aku akan mengadu jiwa denganmu!" desis si Selendang Maut sambil membalut pinggangnya yang robek dengan selendang.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring wanita itu melompat cepat mengirim satu pukulan jarak jauh. Di seputar tempat itu terasa angin menderu kuat tertuju ke arah Manusia Siluman tersebut. Cabang-cabang serta dedaunan pada pohon-pohon yang berada di dekatnya bergoyang kencang bagai disapu angin topan.
"Argkhhh...!"
Manusia Siluman itu mengeluarkan suara kesakitan yang parau dari kerongkongannya. Namun dengan cepat tubuhnya yang terpelanting kembali melesat ke arah lawan saat menyentuh tanah.
"Graungrrr...!"
"Yeaaa...!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Aaaakh...!"
Si Selendang Maut kembali menjerit kesakitan. Ketika dia bermaksud memapaki serangan lawan, telapak tangan kanannya berhasil menghantam dada lawan. Namun sebaliknya cakar lawan merobek perutnya. Keduanya terhuyung-huyung beberapa saat.
"Auuum...!"
"Nini, awassss...!"
Dewi Sukma Wening berteriak memperingatkan sambil melesat menghadang Manusia Siluman itu yang seperti tak merasakan sakit di tubuhnya. Padahal saat itu si Selendang Maut tengah melilitkan selendangnya untuk menutupi bagian pinggang serta perutnya yang robek. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhnya yang gemetar melawan rasa sakit yang bukan kepalang. Namun demikian sorot matanya masih memancarkan kegarangan serta dendam membara.
Sementara itu walaupun Dewi Sukma Wening berusaha mencegah lawan untuk membinasakan ketuanya, usahanya hanya sia-sia belaka. Tak banyak yang dapat dia lakukan untuk mengulur-ulur waktu agar ketuanya dapat terhindar dari kematian Manusia Siluman itu. Namun pada saat-saat kritis itu tiba-tiba melesat satu bayangan yang bergerak bagai kilat memapaki serangan Manusia Siluman itu.
"Hiyaaa...!"
***
DELAPAN
"Plak!"
"Ukh...!"
Terdengar keluh kesakitan. Keduanya terpental bersamaan. Dan seperti biasanya Manusia Siluman itu kembali mendarat di atas kedua kakinya. Tak jauh di hadapannya berdiri gagah seorang pemuda berambut gondrong dengan baju rompi terbuat dari kulit harimau yang pernah dikenalnya beberapa hari lalu dalam sebuah pertarungan.
"Grrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram. Seperti halnya berhadapan dengan si Selendang Maut, kali ini dia pun tak langsung menyerang. Mungkin karena pernah bertarung dan merasakan bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang sempurna hingga membuatnya harus berhati-hati.
"Bayu, hati-hati...!" ingat Ratna Puspa yang juga sudah berada di tempat itu.
Pendekar Pulau Neraka mengangguk pelan.
"Nguk! Nguuuk...!"
Tampak Tiren melompat-lompat dengan wajah gelisah.
"Tenang Tiren, aku tak apa-apa. Kau jagalah Ratna Puspa baik-baik..." ujar Bayu.
Walaupun sepasang matanya tak luput memperhatikan setiap gerakan yang dibuat lawan, namun Bayu sempat melirik sekilas ke arah Dewi Sukma Wening. Dilihatnya gadis itu tersenyum seperti mengucapkan kata terima kasih atas pertolongannya di saat yang tepat tadi.
"Ayo, Kisanak? Bukankah kau ingin melumatkan setiap orang? Nah, kenapa kau hanya diam saja?" tanya Bayu pada lawannya.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram buas. Sepasang matanya menyipit seperti menyiratkan kebencian luar biasa. Kemudian dengan satu lompatan ringan tubuhnya mencelat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
"Auuum...!"
"Uta, haaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka dengan ringan berkelit ke samping dan kemudian menghantamkan pukulan ke tengkuk lawan. Tapi Manusia Siluman itu mampu menghindar dengan menekuk tubuhnya. Kemudian dengan tiba-tiba Manusia Siluman itu balik berguling di udara, cakar tangan kanannya nyaris merobek leher Bayu.
"Bet!"
Bayu mendengus geram. Nyaris saja dia terluka kalau tak buru-buru membuang diri ke bawah. Namun gerakan lawan cepat bukan main. Rasanya Bayu belum sempat mengatur nafas, tiba-tiba serangan lawan kembali menuju ke arahnya. Pendekar Pulau Neraka melentik seperti ikan di darat. Tubuhnya mengapung setinggi hampir dua tombak dalam keadaan berdiri.
"Graungrrr...!"
"Hiyaaa...!"
Manusia Siluman itu dengan cepat menyusul ke atas sambil menggeram buas. Bersamaan dengan itu tubuh Bayu meluncur ke bawah memapaki dengan pengerahan tenaga dalam kuat.
"Plak!"
"Begkh!"
"Bret!"
"Ukh...!"
Pendekar Pulau Neraka meringis ketika kulit dadanya tercakar lawan. Namun tinju kanannya pun sempat menghantam telak. Terlihat lawan menjerit kesakitan dengan tubuh terlempar sejauh tiga tombak. Kali ini Manusia Siluman jatuh tidak di atas kedua kakinya. Ketika berusaha bangkit terlihat darah kental keluar dari mulutnya. Walau demikian sama sekali tak memperdulikan rasa sakit yang diderita.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu kembali mencelat menyerang Bayu. Bayu terkesiap. Rasanya mustahil tubuh manusia mampu menahan pukulannya yang bertenaga dalam kuat itu. Kalau pun dia memiliki tenaga dalam tinggi, paling tidak gerakannya akan terhambat oleh rasa sakit yang dideritanya. Tapi Manusia Siluman itu seperti tak terpengaruh oleh luka dalamnya sedikit pun. Gerakannya masih tetap gesit seperti semula.
"Keparat! Manusia atau silumankah kau ini?" desis Bayu seperti tak percaya pada penglihatannya sendiri. Pendekar Pulau Neraka langsung mengibaskan tangan kanannya ke atas.
"Zwiing!"
"Tak!"
"Uts!"
Walau sadar bahwa Cakra Maut tak mampu melukai kulit lawan, tapi Bayu mencoba mengarahkan senjata mautnya itu ke arah mata. Dengan sigap lawan mengibaskan tangan menangkis, lalu tubuhnya meluncur menyambar wajah Bayu. Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas, kemudian bersalto dengan gerakan indah menyambar Cakra Mautnya. Pada saat itu pula lawan berbalik menyerang setelah serangan pertamanya gagal.
"Auuum...!"
Justru pada saat itu si Selendang Maut mencuri kesempatan dan melesat dengan gerakan cepat menghantam Manusia Siluman itu dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya.
"Yeaaa...!"
Dewi Sukma Wening terkejut dan berteriak memperingatkan.
"Nini...!"
***
"Graungrrr...!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Duk!"
"Aaaa...!"
Manusia Siluman itu berbalik dan dengan gesit menangkis serangan Selendang Maut. Wanita itu terpekik ketika perutnya robek di cakar lawan. Namun pada saat yang bersamaan Pendekar Pulau Neraka menyarangkan pukulan keras ke dada lawan. Kedua tubuh itu terpental jauh.
"Nini...?!" Dewi Sukma Wening memburu Selendang Maut yang sekarat menahan menunggu ajal.
"De.... Dewi...!"
"Tenanglah Nini, aku akan memanggil Tabib Jaladara. Mudah-mudahan kau bisa tertolong!"
"Ti... tidak perlu...." sahut si Selendang Maut terbata-bata.
"Tapi Nini...."
"Tak perlu... kau ingat-ingat saja pesanku ini. Ca...cari anak-anakku yang tempo hari... ku ceritakan padamu." lanjut Selendang Maut.
Dewi Sukma Wening mendekatkan telinga ke bibir Selendang Maut mendengar pesan-pesannya lebih lanjut. Sementara. itu Bayu semakin geram saja melihat lawannya yang kuat luar biasa. Walaupun tubuhnya terlempar di hajarnya dengan pukulan yang mengandung tenaga dalam kuat, namun dia masih bisa bangkit dan menyerang kembali.
"Keparat! Kau terimalah ini!" desis Bayu sambil mengibaskan Cakra Maut di tangannya.
"Zwiiing!"
Senjata berwarna keperakan itu mendesing ke arah Manusia Siluman. Kali ini Bayu berharap bahwa senjatanya itu mampu mencari titik kelemahan lawan, sebab dirasakannya betul. Berada pada jarak dekat dengan lawan amat membahayakan. Maka ketika lawan menyerang ke arahnya, Bayu lebih banyak menghindar sambil terus menghajar dengan Cakra Maut.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram dahsyat. Sepertinya dia mengerti bahwa kali ini lawan tak bermaksud mengadakan kontak tubuh pada jarak dekat dengannya, maka dia berusaha mendekat ke arah Bayu. Tapi Cakra Maut yang saat ini terus menghantam pada setiap juru pada tubuhnya membuat dia agak kerepotan.
"Hiyaaa...!"
Bayu melompat cepat ke bawah tubuh lawan ketika Manusia Siluman itu menerjang ke arahnya. Sambil bergulingan di tanah dia mengibaskan Cakra Maut kembali. Dengan berharap penuh Bayu menghantam pada telapak kaki lawan. Kalau kali ini tak berhasil juga, tipis sudah harapannya sebab seluruh tubuh yang lain sama sekali kebal terhadap senjatanya. Malah pada sepasang mata lawan terlihat tak begitu ketat dilindungi seperti memberi isyarat bahwa di bagian itu bukan merupakan titik kelemahannya.
"Crab!"
"Aaaa...!"
"Hei...?!"
Bayu tersentak kaget. Lawannya menjerit setinggi langit dan ambruk di tanah sambil menggelepar-gelepar. Darah mengucur deras dari sebelah telapak kakinya yang di tembus Cakra Maut. Bayu tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Sebelum lawan berusaha bangkit, kembali Cakra Maut melesat dan menghantam telapak kaki yang satunya lagi. Dan saat itu juga terdengar lolongan panjang.
"Mampuslah kau bersama dengan dosa-dosa-mu!" desis Bayu geram.
Namun Bayu sempat terkesima. Diperhatikannya dengan seksama, tubuh Manusia Siluman itu berubah perlahan-lahan. Wajahnya yang tadi berkerut sadis dan menyeramkan mirip seekor harimau liar, berubah menjadi bersih dengan senyum ramah. Matanya tak lagi merah dan memancarkan kegarangan, tapi kembali normal sebagaimana layaknya manusia biasa. Kedua taring di sudut bibirnya pun kembali menjadi biasa. Lalu kuku-kukunya yang runcing dan kuat berubah menjadi kuku biasa. Dalam keadaan begitu Bayu betul-betul bisa mengenali siapa orang itu.
"Tabib Jaladara?!" teriaknya kaget.
Mereka yang berada di situ tersentak kaget mendengar ucapan Pendekar Pulau Neraka.
"Astaga?!" ucap Dewi Sukma Wening.
"Ooooh...!" desah Ratna Puspa sambil mendekat ke arah Bayu.
Bayu belum sempat bertanya ketika tiba-tiba terdengar panggilan lirih si Selendang Maut.
"Wisnupaksi, kaukah itu...?"
Tabib Jaladara yang sedang sekarat itu menoleh pelan. Wajahnya terlihat pucat.
"Sur.... Surtiningsih?! Kau... kau... ohh, apa yang kulakukan padamu?"
Bayu belum paham melihat kenyataan itu. Begitu juga yang lain. Bayu hanya menuruti saja ketika Tabib Jaladara minta didekatkan dengan Selendang Maut. Kedua manusia yang tengah menjelang maut itu saling meremas jari sambil tersenyum.
"Wisnupaksi akhirnya kita dipertemukan juga..." lirih suara Selendang Maut yang dipanggil Surtiningsih itu.
"Ya... hanya keadaannya kini berubah lain. Maafkan aku Surti...."
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Kita sama-sama salah karena saling mengagulkan kepandaian masing-masing. Semuanya jadi rusak karena nafsu ingin menjadi orang yang tak tertandingi...."
"Begitu juga aku. Dalam pengembaraanku setelah kita berpisah, aku menemukan sebuah kitab tentang ilmu yang mempelajari gerakan Siluman Harimau. Tapi ternyata aku salah mempelajarinya. Ilmu itu tak mampu ku kendalikan. Sewaktu-waktu aku menjelma dan merasakan diriku sebagai seekor harimau lapar yang haus darah yang tak bisa ku tahan. Pada saat itu aku tak bisa mengenali siapa-siapa...."
"Kenapa kau tak berusaha mencari jalan keluarnya?"
"Sudah. Baik dengan cara bertapa atau dengan ramuan obat. Itulah sebabnya pada saat-saat sadar aku rajin mempelajari ilmu pengobatan dan mengganti namaku menjadi Jaladara agar tak di kenali orang lain. Tapi hasilnya tetap nihil...." Tabib Jaladara atau Wisnupaksi menggeleng lemah. Kemudian dia menatap ke arah Selendang Maut sambil berkata lirih.
"Bagaimana nasib kedua anak kita...?"
"Itulah yang kusesalkan. Setelah kita berpisah karena masing-masing merasa memiliki kepandaian yang hebat, aku menitipkannya pada Patisena. Kau masih ingat bukan? Pembantu setia kita yang dipungut keluargaku ketika masih kecil?"
"Ya, ya... aku ingat. Apakah kau sudah menemui mereka? Barangkali mereka sudah besar sekarang, dan... dan Ratna Puspa tentu sudah menjadi gadis ang sangat cantik sepertimu...."
"Kakang Wisnupaksi, sebenarnya ketika kau pergi aku sedang mengandung saat itu. Dan lahir bayi perempuan yang mungil dan manis...."
"Ooooh... anakku...."
"Ya... aku memberinya nama Roro Intan!"
***
Ratna Puspa yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka tersentak kaget. Buru-buru dia menunduk dengan wajah berbinar-binar.
"A... apakah yang kalian maksud aku dan adikku, Roro Intan yang dititipkan pada Paman Patisena sejak kecil...?"
Keduanya menatap Ratna Puspa. Surtiningsih atau Selendang Maut yang lebih dulu tersenyum dengan wajah penuh luapan kegembiraan.
"Kau... kau anakku Ratna Puspa?!"
"Ibu...!" pekik Ratna Puspa sambil memeluk tubuh wanita separuh baya itu.
"Dan... dan apakah kau ayahku?" lanjutnya dengan wajah tak percaya.
"Aku ayahmu, Nak..." sahut Wisnupaksi lirih.
"Ayah...?" ragu-ragu Ratna memeluk lelaki itu. Selagi mereka melampiaskan perasaan suka cita karena telah sekian tahun berpisah, Bayu meninggalkan tempat itu secara diam-diam bersama Tiren. Tapi baru saja Bayu melangkah beberapa tindak, seseorang menegurnya.
"Apakah kau tak bermaksud pamit pada mereka?"
"Dewi Sukma Wening...?" Dewi Sukma Wening menunduk sambil memandangi tangan kirinya yang buntung.
"Mengharukan, bukan...? Beruntunglah mereka dibandingkan dengan diriku..." lanjutnya lirih. Bayu merasakan kedukaan yang dalam pada nada bicara Dewi Sukma Wening. Tanpa sadar dia mendekat dan duduk di sebelahnya.
"Ya... memang sangat mengharukan. Aku merasa bersalah...."
"Kenapa merasa begitu?"
"Kalau saja orang tua itu tak mati di tangan ku...."
"Kaulah yang akan mati di tangannya. Lagi pula dengan demikian mereka selamanya tak akan pernah bertemu. Paling tidak kau punya jasa dalam mempertemukan mereka."
"Entahlah... aku tak tahu. Tapi yang ku rasakan betul adalah kedukaan di batin gadis itu. Baru saja dia bertemu dengan kedua orang tuanya, tak lama lagi harus berpisah...."
"Itu sudah takdir. Aku pun bisa merasakan kehilangan kedua orang tuaku sejak masih kecil..." lirih suara Dewi Sukma Wening.
Bayu tersenyum getir.
"Rasanya kehilangan kedua orang tua terlalu banyak di alami umat manusia. Dahulu kukira cuma aku saja yang merasakannya...."
"Apakah kedua orang tuamu pun telah tiada?" Bayu tak sempat menjawab. Ketika itu terdengar jerit tangis Ratna Puspa semakin keras. Keduanya menoleh dan melihat bahwa dua insan yang saling menyintai telah meninggal dalam pelukan Ratna Puspa dengan wajah tenang.
"Sebaiknya kau bujuk dia..." ujar Dewi Sukma Wening.
Bayu melangkah pelan. Tiren mengikuti dari belakang. Lama Bayu membujuk gadis itu dan menentramkan hatinya. Tak lama kemudian mereka mengangkat kedua mayat itu dan meletakkannya ke dalam pedati yang berada di situ. Bayu telah berjanji pada Ratna Puspa untuk menemaninya beberapa hari di tempat Paman Patisena. Sekaligus untuk menepati janjinya pada Roro Intan.
Pedati itu mulai Bergerak pelan. Bayu masih sempat melambaikan tangan pada Dewi Sukma Wening yang tak bersedia ikut dengan mereka. Gadis itu bermaksud mengembara mengikuti ke mana saja kakinya melangkah.
Dari jauh terlihat angin mempermainkan rambutnya bersama dengan dedaunan kuning yang berguguran. Harumnya sampai di hati Pendekar Pulau Neraka. Bayu tersenyum, dan menarik nafas pendek sambil melirik ke arah Ratna Puspa. Kemudian menghela kudanya.
"Heaaa...!"
"Kaaaakh...!"
"Hei...!"
Bayu terkejut mendengar suara itu, Dan menggelengkan kepala ketika dilihatnya Tiren kembali sambil menenteng daun pisang kering yang dibuat seperti keranjang. Di dalamnya penuh berisi buah-buahan segar. Wajah hewan kecil itu tampak meringis sambil menahan berat bawaannya…
"Makanya, kalau untuk urusan perut jangan serakah...."
"Nguk! Nguuuk…!"
"Daging kelinci ini kan cukup untuk kita berdua."
"Kaaakh...!"
Tiren jungkir balik di tanah setelah meletakkan bawaannya. Kemudian menuding-nuding Bayu dan daging kelinci yang sedang dipanggang bergantian.
"Ha ha ha ha...!"
"Nguk!"
"Maaf Tiren, aku cuma bercanda. Kau tentu tak suka daging kelinci ini bukan?"
Tiren menganggukkan kepala, kemudian mulai menggerogoti buah-buahan yang tadi dibawanya. Dilemparnya beberapa buah ke arah Bayu.
"Hup!"
"Aaaah, segar betul rasanya...."
Bayu menepuk-nepuk perutnya. Daging kelinci tadi telah tandas semua. Dan setelah habis buah-buahan mereka berdua, Bayu merebahkan tubuh di bawah sebuah batang pohon besar. Tiren sendiri tampak masih bergelantungan di cabang-cabang pohon sambil bermain-main. Angin bertiup semilir membuat suasana siang yang terik itu menambah rasa kantuk Bayu.
"Keaaakh...!"
"Heh?!"
Bayu tersentak kaget. Tiren berdiri di depannya sambil berjingkrak-jingkrak dengan. suara ribut. Tangannya menunjuk pada satu arah.
"Ada apa Tiren?"
"Nguk! Nguuuk...!"
Tiren menarik-narik lengan Bayu seperti hendak menunjukkan sesuatu. Dengan malas Bayu bangkit dan mengikuti langkah Tiren.
"Nguk!"
"Sebentar, mataku masih mengantuk. Ada apa buru-buru? Seperti dikejar harimau saja kau ini."
Tapi Tiren seperti tak perduli. Monyet kecil itu terus menarik-narik tangan Bayu sambil terus melompat ke cabang pohon. Bayu cepat mengerti. Dia segera menggenjot tubuh, dan sebentar saja telah melesat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lain seperti berlomba dengan monyet kecil itu.
Tiba di satu dataran yang agak luas, Bayu terkejut. Belasan ekor burung nazar berkeliling di angkasa. Di bawahnya terlihat pemandangan yang mengenaskan dari puluhan orang yang tergeletak tanpa nyawa.
"Astaga! Apa yang telah terjadi pada mereka?!"
"Nguk!"
Bayu langsung mendekat sambil memeriksa mayat-mayat yang bergelimpangan itu satu persatu. Tubuh mereka terkoyak-koyak seperti dicabik binatang buas. Dari pakaian serta beberapa gerobak yang terdapat di situ dia menduga mereka adalah para pengantar barang.
"Hus... hus!"
Diusirnya beberapa ekor burung pemakan bangkai yang akan mematuk-matuk mayat-mayat itu sambil terus memeriksa kalau saja ada di antara mereka yang masih hidup.
"Nguk! Nguuuk...!"
"Ada apa Tiren?"
Bayu mendekat pada sebuah gerobak yang ditemukan Tiren. Di antara tumpukan barang terlihat seorang bocah kecil berusia sekitar tujuh tahun merintih lemah. Buru-buru Bayu menggendong bocah itu dan dibawanya ke luar. Ternyata bocah itu perempuan.
"Tiren, coba kau carikan air untuknya. Agaknya bocah ini masih bisa diselamatkan."
"Nguuuk...!" Tiren monyet kecil cerdik itu cepat menjalankan perintah.
Bayu mengurut-urut beberapa bagian tubuh bocah perempuan itu beberapa saat kemudian. Ketika bocah itu mulai menggeliat lemah, buru-buru dituangkan beberapa teguk air.
"Gluk! Aaaaah...!"
"Ayo bocah, minum air ini yang banyak agar tubuhmu terasa lebih segar."
Bocah perempuan itu membuka kelopak matanya. Yang pertama dilihatnya seorang pemuda berambut gondrong berwajah tampan dan keras.
"Siapa...?"
"Jangan takut, Bocah. Namaku Bayu, dan ini kawanku, Tiren," jelas Bayu sambil tersenyum ramah.
"Nguk! Nguuk!"
Monyet kecil itu melompat-lompat di tanah sambil menyeringai lebar menunjukkan tanda persahabatannya.
"Mana Paman-paman yang lain?"
"Paman? Siapa yang kau maksud dengan Paman-pamanmu? Apakah mereka yang tewas itu?"
"Apa? Mereka telah tewas?!" Bocah perempuan itu segera bangkit dan memperhatikan ke sekitarnya.
"Paman! Paman!" panggilnya sambil berlari kecil ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan itu.
"Ooh, kenapa jadi begini? Bangun, Paman...! Bangun...!"
"Sudahlah adik manis, mereka tak mungkin bangkit lagi," bujuk Bayu menarik lengan bocah perempuan itu yang berusaha berontak.
"Tidak! Tidaaak! Mereka harus bangun, Paman! Mereka harus bangun dan mengantarkan ku pulang!"
"Pulang? Memangnya rumahmu di mana? Biar Paman yang akan mengantarkanmu pulang."
Bocah perempuan itu menatap wajah Bayu beberapa saat kemudian.
Wajah itu menunjukkan ketabahan luar biasa. Bola matanya jernih berbinar-binar. Dan rasanya bocah ini adalah bocah periang sebelum kejadian ini. Kasihan, seharusnya dia kini sedang bersuka ria sambil tertawa-tawa. Walau tak merasa takut terhadap Bayu, namun ada rasa curiga di hatinya terhadap orang asing di hadapannya itu.
"Paman melarangku untuk percaya pada orang yang tidak dikenal. Banyak orang yang bermaksud baik tapi sebenarnya berhati jahat...."
"Kalau demikian biarlah aku yang bermaksud jahat tapi berhati baik? Kau tentu percaya bukan?"
Bocah perempuan itu berdiam sesaat, kemudian tersenyum manis.
"Orang yang bermaksud jahat biasanya sering melakukan niat jahatnya itu. Mungkin Paman juga akan begitu nantinya...." sahut bocah yang kelihatan cerdik itu.
Bayu menggelengkan kepala sambil terkekeh kecil.
"Kau cerdik sekali adik manis, tapi ingat, setiap orang yang akan bermaksud jahat pada kita pasti ada sesuatu yang diinginkannya. Entah berupa harta benda atau tebusan kepada orang tuanya. Tapi kalau Paman ingin berbuat jahat padamu, apa yang Paman incar? Paman tidak tahu orang tuamu kaya atau miskin, Paman juga tidak melihat ada benda berharga yang kau bawa. Nah, mana mungkin Paman akan berniat jahat padamu?"
Bocah kecil itu sejak pembicaraan mereka tak henti-hentinya menatap Bayu. Seolah ingin meyakinkan pada hatinya sendiri akan kebaikan hati Bayu. Kemudian kembali ia tersenyum gemas.
"Sungguhkah Paman akan mengantarkan ku pulang?"
"Tentu saja."
"Tapi bagaimana dengan barang-barang ini?"
"Nanti akan kita bawa bersama. Eh, ngomong-ngomong kau belum memperkenalkan nama adik kecil. Siapa namamu?"
"Namaku Juminten, Paman."
"Juminten?" Bayu berpikir sejenak. Melihat penampilan dan caranya berbicara bocah perempuan ini bukan berasal dari kaum petani. Paling tidak dia anak seorang hartawan. Tapi kok namanya Juminten Seperti nama anak petani?
"Baiklah, Juminten. Mari kita berangkat sekarang." Bayu bersiap-siap menuju gerobak yang dianggapnya masih baik dan memindahkan isi gerobak lain ke situ. Tapi Juminten masih ragu dan mematung di tempatnya tadi. Terpaksa Bayu menghampirinya kembali.
"Ada apa lagi? Kau tidak mau pulang?"
"Bukan. Tapi bagaimana dengan nasib Paman-paman ini?" tunjuknya pada mayat-mayat yang bergelimpangan itu.
"Nanti juga ada yang mengurusinya."
"Siapa? Apakah burung-burung pemakan bangkai itu? Aku tak akan pergi sebelum kita menguburkan mayat-mayat ini!" sentak Juminten.
Bayu menghela nafas. Buatnya tak jadi masalah, apakah mayat-mayat itu harus dikubur atau tidak. Yang jadi masalah hanya bila dia mengubur mayat-mayat itu tentu tenaganya banyak terkuras, dan hal itu akan sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak? Mayat-mayat itu saja jumlahnya tak kurang dari tiga belas orang.
"Mereka satukan saja dalam satu lubang besar ya?"
"Tidak, Paman! Aku tak tega mereka berhimpit-himpitan!"
"Orang yang sudah mati tak akan merasakan apa-apa, adik kecil."
"Pokoknya tidak mau! Mereka harus dikubur sendiri-sendiri!" bantah Juminten.
Bayu menggelengkan kepala sambil mendesah kesal. Tiren sendiri sudah sejak tadi menjerit kecil berkali-kali sambil melompat kesatu cabang pohon dan menggaruk-garuk kepalanya, bahkan Tiren seperti tahu akan kekesalan hati Bayu. Dia berulang kali mendekat dan menarik-narik lengan baju Pendekar Pulau Neraka seperti hendak mengajaknya untuk cepat-cepat pergi saja dari situ. Bayu bukannya tak mengerti, tapi dia betul-betul tak tega meninggalkan Juminten seorang diri di tempat ini.
"Ayolah, Paman. Kita kuburkan mereka satu persatu. Aku kuat menggali lubang buat mereka!"
"Kau kuat? Nah, buatlah lubangnya dulu baru nanti Paman yang angkat mereka." sahut Bayu sekenanya.
Juminten cemberut dengan wajah kesal.
"Aku kuat kalau untuk mengeluarkan tanahnya sedikit-sedikit, tapi yang membuat lubang yah harus Paman!"
"Memangnya mereka itu apamu?"
"Paman-paman ku! Bukankah tadi sudah kuceritakan pada Paman?"
"Heh?!"
Bayu tiba-tiba saja tersentak ketika ingat sesuatu.
"Juminten, kau belum menceritakan padaku, kejadian apa yang menimpa mereka? Apakah kalian dibegal oleh sekawanan Perampok atau diserang harimau buas?"
Mendengar pertanyaan itu, Juminten terdiam beberapa saat lamanya. Rasa ketakutan mulai membayang diwajahnya, dan bocah perempuan itu seperti tergagap ketika mulutnya bergetar hebat.
"Tenang Juminten, kau aman bersamaku. Ceritakanlah, apa yang telah menimpa kalian?" bujuk Bayu meyakinkan bocah kecil itu.
"Paman, aku takut sekali...." Juminten tiba-tiba memeluk tubuh kekar itu sambil berusaha meleburkan ketakutan hatinya di pelukan Bayu. Bayu sendiri mengelus-elus rambut Juminten sambil terus berusaha menenangkan hatinya.
"Kau tak perlu takut. Paman akan menjagamu sampai kau tiba di rumah orang tuamu. Nah, sekarang ceritakanlah. Apa sebenarnya yang terjadi dengan rombongan kalian?"
Perlahan-lahan Juminten melepaskan pelukannya sambil menghapus airmata yang tadi merembang dikedua kelopak matanya.
"Kami... kami dihadang oleh...."
"Ha ha ha ha...!"
Terdengar tawa yang menggelegar menghentikan kata-kata Juminten. Keduanya tersentak kaget. Tiren sampai mencelat ke pundak Bayu. Tak jauh dari mereka berdiri tiga sosok tubuh kekar. Wajah mereka garang dan tak bersahabat. Dua orang memegang sebilah golok besar, dan seorang lagi terlihat sebuah keris terselip di pinggang kiri.
"Siapa kalian, Kisanak. Dan ada keperluan apa datang dengan tiba-tiba?" tanya Bayu dengan nada datar.
Walau batinnya mengatakan mereka bermaksud buruk, tapi Bayu mencoba bersikap bersahabat.
"Namaku Reksopati, dan kedua orang ini adalah anak buahku, Drupala dan Drupali. Kami bertiga terkenal dengan gelar Jagal Maut Alas Roban. Siapa pun yang memasuki kawasan hutan ini harus membayar upeti kalau ingin nyawanya selamat!" jelas orang yang berada di tengah.
Sikap orang itu sombong sekali kelihatannya. Apalagi ketika dia berkacak pinggang. Sepasang matanya melotot garang dengan kumis tipis yang turun naik seirama dengan nada suaranya. Orang inilah yang memiliki senjata keris di pinggangnya.
"Hem, kalian rupanya yang punya gelar hebat itu?" sindir Bayu sambil tersenyum kecil.
"Apa yang kalian mau dari kami?"
"Serahkan isi gerobak-gerobak itu!"
Bayu melirik ke arah Juminten, kemudian katanya sambil berbisik.
"Apakah isi gerobak-gerobak itu barang-barang berharga, Juminten?"
"Kalau pun bukan barang-barang berharga, tapi barang-barang itu harus sampai pada pemiliknya yang sah. Kalau tidak usaha paman ku nanti tak akan dipercaya orang lagi." sahut Juminten tegas.
"Kau benar, Juminten. Lagipula orang-orang itu sombong sekali. Baiknya kita hajar saja ya...?"
Juminten memandang pemuda itu yang tersenyum kecil padanya. Dasar bocah nakal, dia malah mengangguk setuju sambil berseru girang.
"Iya, Paman. Hajar saja orang itu! Aku pun sebal melihat tingkahnya yang sombong."
"Nah, Kisanak. Kalian dengar bukan? Kami keberatan memberikan barang-barang ini begitu saja, kecuali kau bisa melangkahi mayatku," teriak Bayu pada ketiganya.
Mendengar itu tampak wajah ketiganya semakin garang. Orang yang bersenjatakan keris itu mengaku bernama Reksopati langsung memberi isyarat pada temannya untuk menghabisi kedua orang yang mereka anggap menghalangi niatnya.
"Kalau begitu mampuslah kalian!"
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Bayu berkelit sambil mendorong tubuh Juminten menjauh. Bocah perempuan itu agaknya tak takut melihat pertarungan. Dengan tenang dia duduk tak jauh dari pertarungan ditemani oleh Tiren.
"Ayo Paman, hajar mereka! Hajar mereka biar tahu rasa!" teriaknya sambil bertepuk tangan.
"Kaaakh...!"
Melihat tingkah bocah itu Tiren berteriak nyaring sambil ikut-ikutan bertepuk tangan. Monyet kecil itu kemudian jungkir balik berkali-kali.
"Monyet kecil, kau yakin Paman Bayu akan berhasil menghajar mereka?"
"Nguk! Nguuuk...!" Tiren menyeringai lebar, kemudian dia menggerak-gerakkan sebelah tangan ke atas. Kedua kakinya melompat-lompat sambil menginjak-injak sebatang ranting kecil. Melihat itu Juminten terkekeh.
"Ha ha ha ha...! Kau benar. Tentu sebentar lagi mereka akan bertekuk lutut di kaki Paman Bayu." sahut Juminten seperti mengerti apa yang dimaksud monyet kecil itu.
Sebenarnya kata-kata Juminten tanpa diucapkan pun akan terbukti, sebab dalam beberapa gebrakan saja Bayu dapat merasakan bahwa mereka hanya memiliki ilmu silat kacang. Kalau pun tadi Bayu memuji kehebatan nama mereka, itu hanya untuk menyindir belaka. Tapi agaknya mereka salah terima dan menganggap Bayu itu menjadi takut.
"Hiyaaa...."
"Plak! Plak!"
"Hughk!"
Kedua orang itu terdesak dengan mata melotot keluar. Dalam satu serangan mendadak, kedua tangan Bayu menghantam masing-masing pergelangan tangan mereka hingga senjatanya terpental jauh. Kemudian dengan gerakan yang tak terduga, kedua kakinya berputar sambil mengapung di udara dan tepat menghantam kerongkongan keduanya.
"Horeee...! Paman menang! Paman menang!" teriak Juminten girang kemudian bertepuk tangan lebih kencang.
Tiren yang ada di sebelahnya pun tak mau tinggal diam. Dia jungkir balik beberapa kali, kemudian mengangkat kedua tangan ke atas sambil bertepuk tangan.
Sementara itu Reksopati bukan main garang melihat kedua temannya dapat dijatuhkan dengan begitu mudah. Padahal dia yakin betul, pemuda berbaju kulit harimau itulah yang dalam sekejap akan tewas.
"Bedebah! Kau harus membayar perbuatanmu itu, bocah!" makinya garang.
"Apa? Kau ingin semaput seperti mereka?" sahut Bayu pura-pura tuli sambil tersenyum mengejek.
"Bangsat!"
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Bayu berkelit cepat ketika ujung keris Reksopati nyaris merobek tenggorokannya. Tangan kirinya coba menghantam ke pergelangan tangan lawan, namun orang yang memiliki mata juling itu cepat berkelit. Bahkan secara tak terduga mengirim satu tendangan kilat ke selangkangan Pendekar Pulau Neraka.
"Uts, haaa...!"
Dengan gerakan manis tubuh Bayu mencelat ke atas setinggi setengah tombak. Gerakan itu ternyata berputar, hingga posisinya terbalik dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas.
"Mampus kau!" bentak Reksopati menghunuskan keris melihat peluang baik itu.
"Kaulah yang akan mampus!" desis Bayu dengan penuh kejengkelan. Dua jari tangan kanannya menjepit keris lawan dengan kuat, dan tangan kirinya menghantam ke arah dada.
"Begkh!"
"Hugkh!"
Seperti kedua temannya, tubuh Reksopati sempoyongan dan ambruk sambil mendekap dada. Nafasnya megap-megap dan terasa sesak. Bayu memang belum bermaksud menghabisi mereka bertiga. Tapi kali ini kejengkelannya telah memuncak. Dan bersiap mengangkat tangan untuk menghabisi ketiga orang itu.
"Paman, hentikan!" teriak Juminten berlari kecil menghampiri.
"Ada apa Juminten?"
"Ng... sebaiknya jangan dibunuh Paman. Kata orang membunuh sesama manusia itu tidak baik. Lagipula mereka masih berguna untuk kita."
"Juminten, mereka orang jahat. Kalau tidak kita bunuh sekarang, mungkin nanti mereka yang akan membunuh kita di saat kita lengah."
"A... Aden, ampunilah kami. Kami... berjanji tak akan melakukan itu padamu...." Reksopati memohon sambil merangkak kedekat Bayu.
Bayu jadi ragu menghabisi mereka. Lebih lebih ketika Juminten kembali angkat bicara.
"Paman, ampunilah mereka. Menghadapi kehebatan Paman tentu mereka tak akan berani macam-macam. Kalau Paman masih bisa dikelabui oleh mereka, tentu Paman masih bodoh dan merekalah yang pintar."
"Sial...!" dengus Bayu dalam hati.
Bayu berpikir sesaat. Kata-kata Juminten ada benarnya walau terasa memanas-manasi hatinya. Siapa sudi disebut orang bodoh? Apalagi dibandingkan dengan ketiga cecurut itu.
"Baiklah. Tapi apa gunanya mereka buat kita?"
"Paman, kita cuma punya seekor kuda yang masih hidup, sedangkan barang-barang ini belum tentu bisa diangkut dengan satu gerobak...."
"Aku mengerti maksudmu!" potong Bayu cepat.
"Syukurlah...." sahut Juminten terkekeh.
"Nah, kalian dengar bukan? Kali ini kuampuni nyawa kalian, tapi sebagai gantinya kalian harus menarik sebuah gerobak berisi barang-barang itu. Awas, jangan coba-coba kabur! Kalau tidak ingin mampus."
"Ba... baik, Den...." sahut ketiganya serentak. Walau gondok dan kesal, namun ketiganya terpaksa melakukan apa yang diperintahkan Bayu, yaitu menarik sebuah gerobak seperti seekor kuda saja. Hanya kali ini beban mereka agak ringan karena dipikul bertiga.
Ratna Puspa termenung di beranda depan. Pikirannya menerawang jauh tiada terhingga. Gadis berusia sekitar tujuh belas tahun itu baru tersentak kaget ketika pamannya berdehem keras.
"Ehhh.... Paman."
"Sudah lama kau berada di sini? Memikirkan siapa? Kedua orang tuamu lagi? Atau... Pandu Sukma?" selidik laki-laki separuh baya itu sambil tersenyum kecil.
"Ah, Paman bisa saja. Kalau memikirkan kedua orang tuaku itu sudah tentu, tapi kalau... Kakang Pandu...." suara gadis itu agak ragu melanjutkan kata-katanya.
"Kalau Pandu kenapa, Ratna?" Gadis itu terdiam beberapa saat lamanya. Seharusnya rombongan itu sudah pulang. Jarak yang mereka tempuh adalah empat hari perjalanan pulang pergi. Itupun sudah termasuk beristirahat selama di perjalanan, tapi ini sudah hari yang kelima. Mungkinkah mereka mendapat halangan di jalan?
"Betul kan? Kali ini kau tidak lagi memikirkan kedua orang tuamu yang cerai berai entah di mana, tapi memikirkan Pandu yang tak kunjung pulang juga...." goda Paman Patisena lagi.
"Paman, sudahlah! Aku tak mau dengar lagi!" seru Ratna sambil berlari ke dalam. Wajahnya tampak bersemu merah.
Laki-laki separuh baya itu menghela nafas pendek. Senyum kecilnya menghilang. Kalau Ratna memikirkan pujaan hatinya, itu tak salah. Tapi dia pun punya beban pikiran yang hampir sama. Beberapa hari berselang Pandu Sukma dipercayakan untuk memimpin rombongan pengantar barang yang merupakan pegawai-pegawai Patisena, atau Paman dari Ratna Puspa. Pemuda itu sudah lama bekerja padanya, dan kali ini Patisena percaya akan keberanian dan kejujurannya. Tapi mereka seharusnya sudah tiba kemarin. Dan paling lambat sore harinya. Tapi menjelang sore hari ini tak juga terlihat tanda-tanda kehadiran mereka. Patisena mulai was-was. Apakah mereka mengalami hambatan? Atau...?
"Tak mungkin Pandu berkhianat!" bantahnya menghalau praduga buruk tentang pemuda itu.
"Selama ini dia begitu jujur padaku dan teman-temannya. Tapi...?"
"Paman mencurigai Kakang Pandu?" Terdengar pertanyaan halus menusuk dari belakang. Patisena tersentak. Ratna Puspa telah berdiri lagi di belakangnya dengan tatapan dingin.
"Paman tidak bermaksud demikian, Ratna."
"Ratna telah mendengar kata-kata Paman tadi...." potong gadis itu dengan suara halus.
"Dengarlah dulu, Ratna. Paman tak bermaksud menuduhnya. Tapi barang-barang itu sangat berharga. Kemungkinan saja orang bisa khilaf, atau dia dan teman-temannya mengalami halangan. Entah itu dari perampok-perampok atau yang sebangsanya...."
"Kakang Pandu bukan orang yang lemah, Paman. Dia pasti bisa mengatasi perampok-perampok itu!"
"Paman pun berharap begitu. Tapi tak semua perampok berilmu rendah. Ada juga yang berasal dari tokoh-tokoh persilatan golongan sesat. Pandu memang berilmu tinggi, tapi...."
"Maksud Paman, dia tak mampu mengungguli mereka?"
Patisena mengangguk pelan.
"Ohhh...."
Ratna Puspa tiba-tiba teringat sesuatu. Tadi malam dia bermimpi aneh sekali. Mereka berkejar-kejaran berdua, lalu Pandu terpeleset dan berguling-gulingan hingga jatuh ke jurang yang tak ketahuan dasarnya. Dia cuma bisa menjerit-jerit sampai akhirnya terjaga. Dan pagi ini kata-kata Pamannya semakin membuat hatinya resah. Walau Pandu berilmu tinggi, tapi di luar sana masih banyak mereka yang berilmu lebih tinggi. Kalau salah seorang di antara mereka yang merampok rombongan yang dipimpin Pandu... ohhh, apakah dia bisa selamat?
Lalu kalau Pandu sampai celaka dan tewas, siapa lagikah kini yang paling memperhatikannya setelah kedua orang tuanya pergi entah ke mana?
Cuma ada Paman Patisena. Tapi laki-laki itu terlalu sibuk dengan usahanya, dan tak punya banyak waktu untuk memperhatikannya. Ratna Puspa tersentak. Dari kejauhan terlihat abu mengepul di udara. Wajahnya seketika gembira.
"Paman, mereka kembali!" teriak Ratna Puspa girang.
Patisena cuma mengangguk sambil tersenyum. Dilihatnya gadis itu berlari-lari kecil menyongsongnya. Namun semakin dekat jarak mereka, jantungnya berdetak terasa berdetak lebih kencang. Yang terlihat justru pemandangan yang sangat aneh. Tiga orang bertampang seram sedang menarik gerobak yang paling depan sambil berlari. Dan di belakangnya mengikuti gerobak lain yang ditarik seekor kuda. Saisnya seorang pemuda berwajah tampan dan keras dengan seorang bocah perempuan mungil. Bocah perempuan itu langsung berteriak begitu mengetahui siapa yang sedang menyongsong mereka.
"Kak Ratna!"
"Roro Intan...?!"
Bocah kecil itu tiba-tiba melompat ketika gerobak yang dinaikinya berjalan pelan. Pemuda tampan di sebelahnya langsung menarik tali kekang.
"Heaaah...!"
Diperhatikannya mereka sesaat sebelum dia melangkah ke gerobak yang berada di depan dan menyuruh ketiga orang penariknya pergi dari tempat itu.
"Te... terima kasih, Den...." kata mereka serentak sambil berjalan tertatih-tatih memegang punggungnya yang lecet.
"Hmmm...."
Pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara alias si Pendekar Pulau Neraka itu cuma bergumam kecil memperhatikan mereka. Kemudian dia bersandar dan mengalihkan perhatian pada bocah kecil yang masih berangkulan dengan seorang gadis berwajah jelita.
"Ehem!"
"Ehhh...."
"Maaf mengagetkan Kisanak. Siapakah anda dan apa yang terjadi dengan mereka?" tanya Patisena yang tadi mendehem mengagetkan Bayu.
"Kisanak siapa?"
"Namaku Patisena, dan gerobak-gerobak ini adalah milikku. Gadis kecil itu adalah keponakanku. Nah, Kisanak...."
"Namaku Bayu, Paman Patisena," sahut Bayu memotong kata-kata Patisena.
"Oh, Bayu. Kalau boleh tahu, apa yang terjadi dan di mana mereka sekarang?"
"Maaf Paman. Aku sendiri tak tahu apa yang telah terjadi. Saat kutemukan, mereka telah menjadi mayat.
Dan kini ku tumpuk di gerobak ini...."
Belum habis kata-kata Bayu, tiba-tiba gadis berwajah jelita itu berteriak histeris sambil berlari kecil ke arah gerobak di dekatnya.
"Kakang Pandu...!"
Bayu tak mengerti ketika gadis itu tiba-tiba menyeruak ke dalam gerobak dan memeriksa mayat-mayat di dalamnya satu per satu. Tapi ketika gadis itu menemukan sesosok mayat yang agaknya telah ditemukannya gadis itu menangis semakin keras sambil meratapinya. Bayu mulai mengerti. Saat dilihatnya laki-laki yang tadi juga bercakap-cakap dengannya seperti hanyut dalam suasana itu, perlahan-lahan dia meninggalkan tempat itu.
"Paman...!"
Bayu menoleh. Dilihatnya bocah perempuan yang tadi bersamanya berdiri tegak dengan wajah sedih menatap kepergiannya.
"Ada apa Juminten?"
"Paman mau ke mana?"
"Aku harus pergi...."
"Pergi ke mana?"
"Ke mana saja kaki melangkah tentunya."
"Aku ikut, Paman...."
Wajah bocah perempuan itu tampak sendu. Perlahan-lahan dia mendekat dan menundukkan kepala ketika telah berada dekat di depan Bayu.
"Aku ikut denganmu, Paman. Bawalah aku pergi ke mana saja...."
Bayu berjongkok dan mengangkat wajah Juminten sampai mereka saling bertatapan.
"Perjalanan Paman jauh dan melelahkan. Kau tentu tak kuat. Bukankah di sini kau cukup aman? Ada Pamanmu dan... gadis itu yang akan merawatmu...."
"Aku tak punya kawan. Paman selalu sibuk, dan Kak Ratna tak pernah lagi memperhatikan sejak berkawan dengan Kakang Pandu...."
"Siapa Kakang Pandu itu? Apakah mayat yang sedang diratapinya itu?"
Juminten mengangguk pelan. Bayu menghela nafas pendek. Kemudian ditatapnya kembali wajah bocah itu.
"Tapi kini dia pasti akan lebih memperhatikanmu. Asalkan kau tidak nakal, selalu bersikap baik dan jujur."
"Aku selalu melakukan itu, tapi tetap saja mereka tak sayang!"
"Betul?"
"Betul!"
"Nah, sekarang saja kau telah berbohong, bagaimana mungkin seorang pembohong bisa berbuat baik?"
"Aku tak bohong, Paman!" bantah Juminten.
"Baiklah. Kalau kau tidak bohong, kenapa kau memperkenalkan dirimu dengan nama Juminten, sedangkan tadi kakakmu memanggil dengan sebutan Roro Intan?"
"Itu... itu...."
"Ayo, bukankah kau tak mau berbohong? Kalau kau memberi jawaban bohong berarti telah dua kali kau lakukan. Dan aku paling benci dengan anak yang suka membohong."
"Dia tidak berbohong. Yang ada cuma salah pengertian...." Lagi-lagi Paman Patisena ikut bicara.
"Persoalannya panjang, Nak Bayu. Kalau tak keberatan, mampirlah ke pondok. Kami tentu akan senang sekali menjamu Anda."
"Terima kasih, Paman. Tapi...."
Sebenarnya Bayu hendak menolak ajakan laki-laki itu, namun ketika melihat wajah Juminten atau Roro Intan yang menghiba, dia tak sampai hati. Bayu pun akhirnya mengangguk. Setelah mereka menguburkan mayat-mayat itu satu persatu, Patisena dan Bayu terlibat obrolan santai di ruang tengah. Malam telah tiba, dan di luar terlihat beberapa orang berjaga-jaga. Kebanyakan dari mereka adalah orang yang bekerja pada Patisena. Dan sebagian lagi jago-jago bayaran yang khusus untuk mengawal barang-barang berharga. Usaha yang dijalankan Patisena memang menuntut orang-orang seperti mereka.
"Menurut apa yang diceritakan Roro Intan, pelakunya cuma satu orang. Dia sendiri tak melihat persis. Cuma terdengar auman dahsyat seperti harimau mengamuk."
"Harimau?!"
Patisena mengangguk dengan wajah ragu. Diperhatikan pemuda di hadapannya itu pun terlihat tak percaya.
"Memang mustahil, tapi itulah kenyataannya. Yang mengganggu perasaanku saat ini, tak mungkin mereka bisa dilumpuhkan begitu mudah oleh seekor harimau. Pasti ada seorang tokoh sakti yang bersenjatakan cakar berbentuk harimau yang terbuat dari pisau-pisau tajam."
"Kenapa Paman berpikir begitu?"
"Pandu yang memimpin rombongan itu memang bukan termasuk tokoh kelas satu, tapi dulu sebelum bergabung denganku dia adalah seorang pengembara dan pernah menewaskan seekor harimau. Rasanya mustahil kali ini dia sampai tewas oleh seekor harimau. Apalagi jumlah mereka cukup banyak."
Bayu menganggukkan kepala. Apa yang dikatakan Patisena mungkin bisa diterima akal. Biasanya para pengawal barang seperti mereka memiliki ilmu silat yang lumayan. Dan jumlah yang segitu banyak bukan tak mungkin menaklukkan seekor harimau.
"Lalu siapa menurut Paman pelakunya?"
"Seingatku mungkin ada dua. Yang pertama ada yang ingin merampok barang-barang yang mereka bawa, dan yang kedua adalah saingan kami dalam usaha ini."
"Saingan? Apakah Paman punya saingan dalam menjalankan usaha ini?"
"Ada. Namanya Aria Menda."
"Aria Menda? Siapa orang itu?"
"Dia merupakan saingan kami yang utama. Orang itu ingin menguasai sendiri usaha ini di wilayah bagian barat. Dia banyak menyewa jago-jago bayaran tangguh. Tapi karena kami sering tepat waktu dan barang-barang selalu utuh ditujuan, maka usaha kami lebih maju. Dulu dia pernah iri, dan mencari gara-gara dengan mengancam beberapa orang-orangku. Dan barangkali ancamannya di lakukan sekarang...."
"Apakah Paman yakin?"
"Siapa lagi kalau bukan dia?!"
Bayu menghela nafas pendek. Diliriknya sekilas Roro Intan yang sedang bercanda dengan Tiren. Wajah bocah itu tampak riang. Sesekali dia tertawa lepas.
"Kasihan mereka...." gumam Patisena pelan.
"Ke mana orang tua mereka Paman?"
Paman Patisena menarik nafas agak panjang sebelum bercerita.
"Mereka telah lama berpisah sejak Ratna Puspa masih kecil dan Roro Intan masih bayi. Keduanya adalah tokoh persilatan yang gila mendalami ilmu silat. Mereka belum puas sebelum menguasai segala ilmu silat tingkat tinggi. Dan puncaknya adalah saat kelahiran Roro Intan, mereka berpisah dan sampai sekarang belum ketahuan lagi kabar beritanya," ujar Paman Patisena mengakhiri ceritanya. Bayu menganggukkan kepalanya.
"Sungguh kasihan mereka...." gumam Bayu.
Bayu tiba-tiba teringat akan keadaan dirinya sendiri. Sejak bayi pun dia tak pernah tahu siapa ayah dan ibunya. Yang dikenalnya cuma Eyang Gardika yang telah mengasuhnya dari bayi hingga dewasa. Mungkin apa yang dialami Roro Intan saat ini sama dengan apa yang dirasakannya. Rasa rindu dan ingin berjumpa dengan kedua orang tua yang melahirkannya. Kalau dia barangkali hanya ada dalam bayangannya karena hal itu tak mungkin. Kedua orang tuanya telah tiada, tapi Roro Intan masih ada harapan.
Pagi-pagi sekali Bayu terbangun, dia terkejut ketika melihat di halaman depan rumah Paman Patisena telah ramai orang-orang berkumpul lengkap dengan senjata masing-masing seperti akan terjadi pertarungan besar. Diintipnya lewat lubang di dinding kamar, Patisena turun perlahan dari undakan tangga. Belasan anak buahnya telah menunggu dan bersiap melindungi.
Sementara tak jauh di depan mereka tampak sekitar dua puluh orang telah menunggu dengan sikap tak sabar. Salah seorang duduk di atas sebuah pedati yang ditarik kuda. Tubuhnya besar dan berbaju mewah. Wajahnya ditumbuhi cambang bawuk lebat. Orang inilah yang bernama Aria Menda, saingan usaha Patisena.
"Pagi-pagi kau berada di sini sungguh kebetulan sekali. Apakah kau bermaksud mohon ampunan dariku?" sindir Patisena dengan suara ditekan sedemikian mungkin.
"Puih...! Patisena keparat! Jangan banyak omong kau! Hari ini ingin kudengar pembelaanmu yang telah membantai anak buahku?!" sahut Aria Menda dengan nada geram.
Mendengar itu bukan main panasnya hati Patisena. Dalam sangkaannya tentulah Aria Menda bermaksud lempar batu sembunyi tangan, pura-pura menuduh untuk lepas dari tuduhannya.
"Aria Menda, jangan keterlaluan kau! Apa maksudmu menuduh kami berbuat begitu? Sudah jelas kalianlah yang telah melakukan pembantaian terhadap anak buahku!"
"Dasar culas, tetap saja kali ini mau berkelit!" dengus Aria Menda semakin garang dituduh demikian.
"Jangan sembarangan menuduh kau Aria Menda! Kau lihat kuburan-kuburan itu, itulah mayat-mayat anak buahku yang kau bantai secara biadab!" tunjuk Patisena pada beberapa gundukan tanah yang tak jauh dari situ.
Aria Menda cuma mendengus sinis melihat hal itu, kemudian kembali berpaling masih dengan wajah berang.
"Huh, bisa saja kau melakukan tipu muslihat itu. Tapi untukku kau tak akan lepas dari tanggung jawab. Saat ini juga kau harus mampus untuk menebus kematian anak buahku!" Aria Menda menggerakkan sebelah tangannya.
Saat itu juga mencelat dua orang bertubuh besar dari samping pedatinya, dan langsung menyerang Patisena dengan senjata golok masing-masing. Tapi dipihak Patisena sendiri pun tak tinggal diam. Dua orang anak buahnya yang terpercaya segera menghadang dan yang lainnya melindungi majikan mereka.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
"Trak! Trak!"
Pertarungan di antara kedua belah pihak tak dapat dihindari lagi saat ini. Keduanya betul-betul bernafsu untuk menghabisi lawannya. Tak heran bila pertarungan semakin ramai ketika yang lainnya juga mencari lawan masing-masing. Dalam keadaan demikianlah tiba-tiba terdengar bentakan yang keras.
"Berhenti...!"
Semuanya tersentak kaget. Dan dengan sendirinya menghentikan pertarungan. Tak jauh dari situ muncul seorang pemuda berambut gondrong berwajah tampan dan keras, serta berbaju kulit harimau. Di pundak kanannya terdapat seekor monyet kecil berbulu hitam menyeringai lebar pada mereka. Aria Menda yang lebih dulu bertanya garang.
"Siapa kau?"
"Aku cuma seorang tamu di sini. Namaku Bayu Hanggara...!"
Aria Menda mungkin tak begitu mengenal nama itu, tapi para jago-jago bayarannya yang terdiri dari orang-orang persilatan, tentu saja tahu betul siapa tokoh yang bernama itu. Demikian juga halnya dengan anak buah Patisena. Tanpa sadar mereka berdesis menyebut gelar pemuda itu.
"Pendekar Pulau Neraka...!"
"Pendekar Pulau Neraka? Siapa sebenarnya pemuda itu?" tanya Aria Menda berbisik pada salah seorang anak buahnya.
"Dia seorang tokoh hebat, Den. Ilmunya tinggi dan namanya belakangan ini amat menggemparkan dunia persilatan."
"Hmmm... kalau dia ikut campur habisi saja!"
"A... aaa, tidak Den! Tidak! Kami lebih baik berhenti bekerja kalau Tuan memaksa kami agar kami melawannya," sahut anak buahnya dengan tubuh gemetar.
"Pengecut! Apa kau yakin dia tidak berbohong untuk mengelabui kita?"
"Pendekar Pulau Neraka selalu membawa-bawa monyet serta memiliki senjata Cakra Maut di tangan kanannya. Ciri-ciri itu persis sama dengan pemuda ini."
"Kenapa tidak kalian coba saja? Siapa tahu dia cuma pepesan kosong yang mengaku-ngaku dengan nama pendekar itu."
"Ti... tidak, Den. Kami tidak berani. Pendekar itu terkenal ganas dan tak kenal ampun. Kami tak mau mati sia-sia...."
"Brengsek! Kalian ku gaji bukan untuk menjadi pengecut, tapi untuk melindungi serta barang-barang ku dan harus patuh pada perintahku!" dengus Aria Menda kesal.
Sementara itu Bayu angkat bicara. Ditatapnya mereka satu persatu.
"Ki sanak semua, kudengar kalian saling tuduh menuduh tentang peristiwa yang menimpa anak buah kalian. Aku tidak bermaksud memihak pada Paman Patisena karena memang tiada guna menyelesaikan persoalan ini. Kedatanganku ke sini justru membawa mayat-mayat anak buahnya yang tewas secara mengenaskan. Akulah yang menjadi saksi atas tewasnya anak buah Paman Patisena. Nah, jawaban apa yang kalian bisa berikan untuk melepaskan tuduhan dari pihak Paman Patisena kalau bukan kalian pelakunya?"
"Kapan peristiwa itu terjadi?" tanya Aria Menda dengan nada masih tak bersahabat.
"Kira-kira kurang dari dua hari yang lalu...." "Saat itu sebagian besar anak buahku sedang mengantar barang ke tempat kediaman Bupati yang baru diangkat baginda raja."
"Bagaimana kau membuktikannya?"
"Kau boleh tanyakan sendiri pada Kanjeng Bupati. Kalau ternyata aku berdusta, penggallah leherku!"
"Hmmm...." Bayu bergumam pelan. Kemudian dia menatap ke arah Patisena.
"Paman Patisena, aku percaya pada kata-kata orang ini. Dia tak melakukan apa yang paman tuduhkan."
"Bagaimana kau bisa berkata demikian Bayu?"
"Kalau terbukti dia yang melakukannya, aku sendiri yang akan datang ke tempatnya!" sahut Bayu meyakinkan.
Patisena tak bisa berkata apa-apa mendengar jawaban itu. Bayu pun kemudian berpaling lagi pada Aria Menda.
"Nah, Ki sanak. Demikian juga halnya Paman Patisena. Beliau tidak melakukan apa yang kau tuduhkan. Aku tidak berpihak. Jika ternyata kelak Paman Patisena melakukan perbuatan keji itu aku pun akan datang kembali ke sini dan meminta pertanggung-jawabannya."
"Bagaimana mungkin kami mempercayai omongan mu?" tanya Aria Menda masih kurang puas.
Salah seorang anak buahnya pun menimpali.
"Ki sanak, bukankah kau yang bergelar Pendekar Pulau Neraka?"
"Tak salah. Demikianlah orang-orang menyebutku."
"Kami bukan tak percaya padamu. Tapi kau pergi mengembara ke mana-mana. Bagaimana mungkin kau bisa menyelesaikan masalah ini dengan adil kalau kau sendiri tak ada di tempat?"
"Siapa yang mengatakan aku tak ada di tempat? Aku akan turun tangan menyelidikinya di samping kalian!" ujar Bayu tegas.
"Syukurlah kalau kau berniat begitu. Dengan adanya pendekar seperti kau mudah-mudahan titik terang akan kita peroleh bersama dan si pelakunya dapat ditangkap untuk dihukum sesuai dengan perbuatannya," sahut orang itu lagi merasa lega.
Tak berapa lama Aria Menda dan anak buahnya kembali pulang. Bayu menghela nafas pendek. Dia bermaksud meninggalkan tempat itu secepatnya ketika Paman Patisena memanggilnya.
"Bayu, kami sangat berterima kasih atas apa yang kau lakukan. Tapi yakinkah kau bahwa bukan mereka pelakunya?"
"Paman, aku pun belum yakin benar. Ini hanya dugaan. Melihat dari sikap dan gerak-gerik mereka, tentulah mereka bukan sedang berpura-pura."
"Maksudmu mereka pun mengalami hal yang sama seperti kematian anak buahku?"
Bayu mengangguk pelan.
"Siapa kira-kira orang keparat itu?" tanya Paman Patisena dengan wajah geram.
"Aku sendiri pun tak tahu, Paman. Kita pun tak bisa menduga hal itu dilakukan oleh manusia. Siapa tahu sekawanan serigala atau beruang."
"Tak mungkin Bayu!" bantah Paman Patisena cepat.
Patisena menjelaskan perbedaan antara cakaran harimau dengan serigala maupun beruang dengan sesuatu cakar palsu yang terbuat dari bilah-bilah besi tajam seperti pisau yang kuat. Bayu mengangguk mendengar penjelasan itu.
"Mungkin juga. Tapi walau bagaimana pun aku telah berjanji akan menyelidikinya. Mau tak mau hal ini harus kujalankan...."
"Terimakasih, Bayu. Kalau sudi bawalah beberapa anak buahku untuk membantumu!"
"Tidak usah, Paman. Mereka lebih dibutuhkan disini untuk menjaga Paman, Ratna dan Roro Intan. Oh ya, ke mana mereka? Sejak tadi aku tak melihatnya?!"
"Aaaah... sungguh bandel anak-anak itu! Pasti mereka main lagi di kebun belakang dekat sungai."
"Tak mengapa, Paman. Salam buat mereka. Aku pergi sekarang!" kata Bayu sambil berlalu meninggalkan tempat itu.
Patisena hanya bisa menatap punggung pemuda bertubuh kekar itu yang semakin lama semakin menjauh dan menghilang. Baru saja tiba di ujung jalan, Bayu terkesiap. Dua sosok tubuh menunggunya di situ!
"Ratna! Roro...! Apa yang kalian kerjakan di sini?!" tanyanya kaget.
Keduanya memang orang yang sudah dikenal Bayu sebagai keponakan Paman Patisena. Di pundak mereka masing-masing membawa buntalan seperti orang yang siap merantau jauh.
"Apa yang kalian kerjakan di sini?" ulang Bayu ketika tak ada sahutan dari mereka. Keduanya masih tetap menundukkan wajah.
"Roro, sedang apa di sini?" tanya Bayu pada bocah kecil itu sambil berjongkok dan menjawil dagunya. Gadis itu melirik sekilas pada kakaknya, kemudian menatap Bayu lekat-lekat.
"Roro mau ikut Paman, tapi Kak Ratna malah minta ikut juga...."
"Bohong! Kamulah yang minta ikut!" bantah Ratna cepat.
"Roro sudah bilang sebelumnya pada Paman ini...."
"Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan!"
"Kenapa tidak? Untuk apa tinggal di situ tanpa ada orang yang menyayangi?"
"Kata siapa tak ada yang menyayangimu?"
"Tidak kata siapa-siapa, tapi Roro sendiri yang merasakannya!"
Mendengar kata-kata Roro Intan, Ratna Puspa seperti tersentak hatinya. Ditatapnya Roro Intan dalam-dalam. Betulkah selama ini dia mengabaikan adiknya?
Perlahan-lahan Ratna mendekat lalu berjongkok sambil mendekap pundaknya ketika Bayu menepi.
"Roro, siapa bilang di rumah tak ada yang menyayangimu? Kakak sangat menyayangimu!"
"Kakak selalu menyayangi Kakang Pandu!
"Tapi bukan berarti kakak melupakanmu.
"Bohong!"
"Roro, Kakak berkata yang sebenarnya. Kakak betul-betul menyayangimu...."
"Bohong! Kalau kakak betul-betul sayang padaku, pulanglah kembali ke rumah Paman Patisena dan biarkan aku ikut dengan Paman Bayu ke mana saja kakiku melangkah."
Setelah berkata begitu, Roro melangkah ke arah Bayu dan bersembunyi di belakang tubuh pemuda itu. Ratna baru saja akan mengejar kalau tak ingat bahwa di situ ada Bayu. Dia salah tingkah dan membuang muka dengan wajah gelisah. Bayu memang sengaja mendiamkannya saja karena dia belum mengerti betul apa yang mereka ributkan. Yang sedikit diketahuinya adalah Roro seperti kurang kasih sayang tinggal di rumah pamannya itu.
"Tuan pendekar...!" panggil Ratna dengan suara gemetar.
"Panggil saja namaku, Bayu!"
"Bayu... ng... eh, bisakah kita bicara tanpa diketahui Roro?"
"Tidak! Tidak mau! Kak Ratna tentu akan membujuk Paman Bayu agar aku tak boleh ikut!" sentak Roro sambil mendekap kaki Bayu erat-erat.
"Tidak, Roro. Kakak hanya ingin bicara sedikit dengan Paman Bayu...." bujuk Ratna Puspa.
"Bohong!"
Ratna menghela nafas dengan wajah kecewa. Tampaknya Roro Intan curiga sekali bahwa dirinya akan mengakali agar dia tak ikut dengan Bayu.
"Roro, bukankah kau mau ikut dengan Paman?"
Gadis kecil itu mengangguk ketika Bayu bertanya sambil tersenyum.
"Nah, sekarang bermainlah dulu bersama Tiren. Paman berjanji tak akan meninggalkanmu. Di mana ada Paman di situ ada Tiren. Paman tak mungkin pergi tanpa Tiren. Kalau dia bermain denganmu, sudah pasti Paman akan menunggunya kembali. Dengan begitu Paman tidak bisa menipumu bukan?"
Roro Intan adalah gadis yang cerdik. Sekilas saja dia dapat menangkap apa yang dimaksud Bayu. Maka sambil mengajak Tiren bermain agak jauh dari tempat itu, dia tersenyum kecil.
"Nguk! Nguuuk...!"
Tiren pun agaknya senang juga dapat punya kawan seperti Roro Intan. Terbukti dengan semangat dia mengikuti ajakan bocah kecil itu.
"Nah, apa yang ingin kau bicarakan padaku?" tanya Bayu setelah Roro sudah berada agak jauh dari mereka berdua.
Ratna Puspa tak buru-buru menjawab. Dia menghela nafas beberapa kali sambil membuang pandangan. Agaknya berat baginya mengatakan apa yang terkandung dalam hati. Tapi akhirnya keluar juga meski dengan suara pelan.
"Kudengar Anda ingin membantu Paman Patisena menyelidiki peristiwa itu?"
"Ya...!"
"Siapa pun adanya, dia harus mati di tanganku!" tekad Ratna Puspa dengan sorot mata tajam berapi-api penuh dendam.
Bayu menatapnya sekilas. Wajah gadis ini cantik menawan. Lebih lagi bila dia tersenyum. Dan dalam keadaan mendendam begini pun kecantikannya seperti tak pudar. Tapi bukan hal itu yang membuatnya harus memandang gadis ini agak lama, melainkan ingin meyakinkan atas dasar apa Ratna Puspa memiliki tekad demikian?
"Kebathilan harus dilenyapkan di muka bumi ini! Bukankah begitu niat dari setiap pendekar pembela kebenaran?" tangkisnya ketika Bayu menanyakan hal itu.
"Betul apa yang kau katakan. Tapi niatmu bukan itu. Kau tidak usah menipu dirimu sendiri. Tekadmu cuma sebatas ketidak relaan mu melihat nasib Pandu yang tewas dengan cara demikian. Balas dendammu hanya akan mencelakakan dirimu sendiri."
"Apa maksudmu?!"
"Lebih baik kau berada di rumah bersama Paman Patisena."
"Tidak. Walau bagaimana pun harus kucari orang itu!"
Bayu memandang Ratna Puspa sekilas, kemudian mengalihkan pandangan sambil bersuit nyaring.
"Suiiit...."
Tak berapa lama terlihat Tiren, sahabat kecilnya itu berlari-lari kecil menghampiri diikuti oleh Roro Intan. Begitu dekat, Tiren langsung melompat ke atas pundak Bayu.
"Apakah kita akan pergi sekarang?" tanya Roro Intan.
Bayu tersenyum. Tubuhnya membungkuk, dan menjawil dagu gadis kecil itu.
"Ya, Paman harus pergi sekarang. Kau harus temani kakakmu dan Paman Patisena ya...."
"Tidak! Aku akan ikut dengan Paman Bayu!"
"Roro, kau masih kecil. Perjalanan Paman jauh dan penuh bahaya. Tinggallah di rumah, kapan-kapan Paman akan berkunjung lagi...."
"Tidak! Tidak mau!" teriak Roro Intan.
Gadis kecil itu berteriak histeris dan bermaksud memeluk tubuh Bayu. Tapi dalam sekejapan mata Pendekar Pulau Neraka raib dari hadapannya.
Ratna Puspa sendiri kaget melihat kecepatan bergerak pemuda berambut gondrong itu. Walau dia memiliki sedikit ilmu silat, rasanya sulit untuk bergerak sedemikian cepat. Gadis itu baru tersentak sadar dari kekagumannya ketika Roro Intan menjerit keras sambil berlari sekuat tenaganya menyusul kepergian Bayu.
"Paman Bayu...!"
"Roro... kembali! Kembali...!" teriak Ratna Puspa ikut mengejar adiknya.
"Roro, kembali...!"
"Paman Bayu...!"
"Roro, mari kita pulang!" teriak Ratna Puspa ketika sedikit lagi berhasil mengejar lari adiknya.
"Tidak mau! Tidak mau! Aku mau menyusul Paman Bayu!" teriak Roro Intan histeris dan berusaha berontak ketika Ratna Puspa sudah berhasil menangkapnya.
"Paman Bayu sudah pergi, dan kau tak mungkin menyusulnya!"
"Aku tak perduli! Akan kucari ke mana pun Paman pergi!"
"Mau mencari di mana?"
"Di mana saja!"
"Roro, jangan membandel. Bukankah Paman Bayu telah mengatakan bahwa dia akan mengunjungimu kapan-kapan...."
"Tidak mau! Pokoknya aku tak mau kembali lagi ke rumah, kalian tak ada yang sayang padaku. Aku mau menyusul ayah dan ibu!"
"Roro, kau tak tahu di mana mereka sekarang...."
"Aku akan minta Paman Bayu mencarinya. Dia pasti mau!"
Ratna Puspa tak tahu lagi harus dengan cara apa dia membujuk adiknya pulang. Dalam pada itulah entah dari mana datangnya serombongan orang yang tiba-tiba saja telah mengelilingi mereka. Ratna Puspa tersentak kaget, dan mundur beberapa langkah. Namun ketika dia menoleh ke belakang, tempat itu seperti telah dipagar oleh barisan orang-orang tak dikenal. Salah seorang gadis berambut panjang dengan wajah ayu mendekatinya perlahan. Bajunya kembang-kembang merah dengan dasar putih, melekat erat hingga dadanya yang membusung terlihat menonjol. Di punggungnya terselip sebatang pedang. Sorot matanya tajam manakala menatap Ratna Puspa dari ujung kaki hingga kepala.
"Hmmm... wajahmu amat ayu, bocah. Melihat dari caramu tentu kau anak desa yang sedang ke sasar di hutan. Mari ikut dengan kami."
"Siapa kalian?" tanya Ratna Puspa curiga.
"Namaku Dewi Sukma Wening, dan mereka ini adalah anak buahku. Kami akan mengantar kalian berdua pulang ke rumah," sahut wanita itu dengan senyum genit.
Hal itu tentu saja menambah kecurigaan di hati Ratna Puspa. Wajah mereka liar, dan sudah tentu bukan orang baik-baik. Lebih dari dua puluh orang laki-laki mengelilingi tempat itu tak satu pun dilihatnya mencerminkan sikap mereka sebagai orang baik-baik. Dan wanita ini dengan segala niat busuknya bersembunyi dalam wajah cantiknya yang terkesan binal.
"Tidak, terimakasih. Kami bisa pulang sendiri..,.
"Ah, tidak baik menolak niat orang yang akan berbuat baik pada kalian. Ayolah, mari ikut kami...."
"Jangan mendekat!" sentak Ratna Puspa ketika dilihatnya wanita itu melangkah mendekati sambil mengulurkan tangan.
Mendengar itu paras wajah Dewi Sukma Wening berubah. Kini terlihat kemarahannya.
"Sudahlah, Nini Dewi. Untuk apa membujuk segala. Kita tangkap dia lalu bawa pergi dari sini, bereskan? Hitung-hitung sebagai hiburan karena buruan kita belum juga ketemu!" sahut salah seorang anak buahnya yang kelihatan sudah tak sabar.
Wajah Ratna Puspa semakin gelisah dan berubah pucat. Diliriknya orang itu sekilas. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Orang itu menyeringai penuh nafsu mengisyaratkan nafsu setannya yang berkobar-kobar. Ketika dia melirik pada beberapa orang yang lain, rata-rata mereka pun memiliki niat yang sama. Tak terasa tubuhnya semakin gemetar.
"Baiklah kalau kau tak mau diperlakukan secara baik, kami terpaksa memaksamu. Seno, dan kau Kimung. Tangkap mereka! Bawa gadis molek itu dan singkirkan bocah pentil itu!" perintah Dewi Sukma Wening.
"Siap...!"
Kedua orang yang bertubuh besar itu langsung melompat hendak menangkap Ratna Puspa dan Roro Intan sambil menyeringai lebar. Namun saat itulah terdengar bentakan nyaring yang menggema di sekitar tempat itu.
"Bajingan laknat! Hentikan niat kotor kalian!"
Sesosok bayangan tiba-tiba melesat di hadapan Ratna Puspa dan Roro Intan. Seorang pemuda berambut gondrong berbaju kulit harimau berdiri tegak. Wajahnya tampan dan keras. Di pundaknya terdapat seekor monyet kecil berbulu hitam yang langsung menyeringai dengan sikap mengancam pada orang-orang asing itu. Melihat siapa yang datang, Roro Intan langsung berteriak girang sambil menghambur memeluk pemuda itu.
"Paman Bayu...!"
"Tenanglah, Roro. Mereka tak akan mengganggumu..." bujuk pemuda yang baru muncul itu yang tak lain dari Bayu Hanggara.
"Paman, mereka akan berniat jahat pada kami."
Bayu menatap mereka satu per satu. Kedua orang tadi yang bersiap hendak menangkap Ratna Puspa dan Roro Intan menghentikan langkah dan mendengus dengan sikap mengancam.
"Siapa kau? Pergilah cepat dari sini sebelum kami merencahmu hidup-hidup!" kata salah seorang yang bertubuh agak tinggi. Di tangannya tergenggam sebatang pedang yang tajam berkilat.
"Siapa aku, bukan masalah. Sebaiknya kalianlah yang pergi dan jangan mengganggu mereka!"
"Bedebah! Agaknya kau belum mengenal Persekutuan Iblis Merah. Cepat tinggalkan tempat ini dan jangan campuri urusan kami. Kalau tidak kau akan pulang tinggal nama!" gertak orang itu lagi.
Bayu tersenyum sinis.
"Kisanak, ancamanmu boleh juga. Tapi hanya pantas buat menakut-nakuti tikus got. Tapi jangan coba-coba kalian lakukan padaku," sahut Bayu dingin.
"Keparat!"
"Hiyaaa...!"
Dua orang itu langsung menerjang Bayu dengan serangan kilat menebas leher dan pinggangnya. Tapi Bayu hanya berkelit sedikit dan begitu merasakan sambaran pedang mereka yang dianggapnya tak memiliki tenaga dalam hebat, dua buah jari masing-masing tangannya langsung menangkap senjata lawan dan menyentaknya kuat hingga terpental dalam keadaan patah dua.
"Hup!"
"Tak!"
Keduanya tersentak. Waktu yang sekian detik cukup bagi Bayu untuk menghajar mereka satu persatu.
"Begkh!"
"Duk!"
"Aaaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan. Tubuh keduanya terlempar dua tombak sambil muntah darah. Bukan main murkanya Dewi Sukma Wening melihat hal itu. Sepasang matanya menatap tajam ke arah Pendekar Pulau Neraka dari atas sampai ke bawah seolah hendak mengukur sampai di mana kemampuan pemuda berambut gondrong itu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanyanya dengan suara lunak.
"Kalian tak perlu tahu siapa aku. Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini!" sahut Bayu dingin nada mengancam.
Dewi Sukma Wening tersenyum sinis.
"Tak sembarangan orang boleh menghina Persekutuan Iblis Merah. Kau akan kena batunya, Ki sanak!"
Selesai berkata demikian Dewi Sukma Wening langsung memberi isyarat. Dan saat berikutnya lima orang dari mereka mengepung Bayu dengan sikap menyerang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
Melihat mereka langsung menyerangnya dengan ganas, Bayu tak tinggal diam. Begitu tubuh mereka bergerak, dia langsung menerjang dengan kecepatan tinggi.
"Trak! Trak!"
"Begkh!"
"Des!"
Tiga orang langsung terjungkal dengan pedang di tangan terpental entah ke mana. Tubuh mereka melayang sejauh dua tombak sambil menjerit ke-sakitan dan muntah darah. Dua orang lagi segera menyusul. Bukan main kagetnya Dewi Sukma Wening melihat kedahsyatan sepak terjang Bayu. Dalam waktu sekejap mata dia mampu menumbangkan lima anak buahnya tanpa mengalami kesulitan.
Wanita itu mulai ragu apakah dia mampu meneruskan niatnya untuk menangkap Ratna Puspa dan menyingkirkan Roro Intan dengan terlebih dahulu menghabisi pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Pergilah sebelum aku bertambah muak melihat tampang kalian!" bentak Bayu mulai jengkel.
"Huh! Baru punya kepandaian segitu saja hendak berlagak di hadapanku. Jangankan cuma seorang, sepuluh orang sepertimu pun aku tak akan lari!" desis Dewi Sukma Wening geram.
Roro Intan yang mendengar percakapan itu sejak tadi, dan menyaksikan kehebatan Bayu, tiba-tiba saja menimpali dengan suara mengejek.
"Hi hi hi hi...! Kuntilanak jelek, mana mungkin kalian bisa menandingi Pamanku. Jangankan kalian, lebih banyak dari ini pun Pamanku dengan mudah membunuh kalian semua!"
"Nguk! Nguuuk...!"
"Betulkan Tiren?"
"Kaaakh...!"
Dewi Sukma Wening geram bukan main mendengar kata-kata bocah itu. Ingin rasanya saat itu juga diremasnya mulut mungil yang bijak itu. Tapi tiba-tiba terlintas satu ingatan dalam benaknya. Ditatapnya Bayu sekali lagi seolah ingin memastikan, bahwa pemuda di hadapannya ini adalah tokoh yang namanya menggetarkan rimba persilatan belakangan ini.
"Ki sanak, kalau tak salah bukankah kau yang bergelar Pendekar Pulau Neraka?!"
"Nah, setelah tahu gelar Pamanku, apakah kuntilanak sepertimu berani mengganggu kami lagi?" bentak Roro Intan dengan sikap nakal.
Kembali Dewi Sukma Wening bertambah geram mendengar kata-kata bocah itu. Tapi diam-diam di hatinya timbul sedikit rasa cemasnya. Apalagi ketika Bayu kemudian mengangguk.
"Tak salah dugaanmu. Begitulah orang-orang memanggilku...."
"Hmmm, kalau begitu ternyata kami sedang berhadapan dengan seorang pendekar kesohor. Maaf Ki sanak, mataku buta tak melihat gunung Mahameru menjulang tinggi di mata. Kalau demikian, biarlah persoalan ini selesai sampai di sini saja, dan kami akan berlalu...."
"Huh, enak saja mau pergi! Kalian pikir Pamanku akan membiarkan begitu saja?!" sentak Roro Intan.
"Heh?!"
Dewi Sukma Wening berbalik dan mendengus geram pada bocah itu. Tapi Bayu buru-buru menimpali.
"Begitu lebih baik daripada membuat perselisihan yang tak ada guna...."
"Tapi paman, orang jahat seperti mereka tak boleh dibiarkan begitu saja!" protes Roro Intan kesal.
"Nguk!" Tiren menimpali.
"Sudahlah, Roro. Biarkan mereka pergi. Kalau mereka sudah tidak lagi berniat jahat tak perlu lagi menghukum mereka," sahut Bayu.
Mendengar jawaban itu Roro Intan hanya bisa cemberut sambil memalingkan wajah. Bayu menghela nafas, kemudian berpaling pada Ratna Puspa yang menundukkan wajah.
"Kenapa kalian tak juga pulang?"
"Aku akan pulang setelah menemukan pembunuh biadab itu!" sahut Ratna Puspa pelan dengan nada pasti.
"Itu pekerjaan sia-sia. Kalian seperti menghadang bahaya besar di depan mata."
"Aku tak perduli!"
"Apakah kau juga tak perduli dengan keselamatan Roro?"
Ratna Puspa terdiam beberapa saat kemudian.
"Mari kuantar kalian pulang," ajak Bayu.
"Tak perlu! Kalau anda mau berbaik hati, antarlah Roro pulang. Aku akan terus pada niatku semula!" sahut Ratna Puspa berkeras.
Bayu menggelengkan kepala sambil mendesah kesal.
"Kau masih muda, masih punya masa depan yang terbentang. Paman kalian juga baik. Apakah hal seperti itu akan kau sia-siakan?"
"Apa pedulimu pada masa depanku?"
"Memang tak ada sangkut pautnya, tapi mana bisa aku mendiamkan kalian mendapat bahaya begitu saja."
"Kalau begitu kenapa Paman tidak mengijinkan kami ikut denganmu saja?" sela Roro Intan.
Bayu menghela nafas. Tatapannya jauh ke depan. Rombongan yang tadi menamakan dirinya sebagai Persekutuan Iblis Merah telah tak nampak batang hidungnya. Mereka pergi satu per satu. Pikirannya saat ini agak bingung. Kalau mereka di ajaknya, tentu perjalanannya akan terhambat, tapi kalau tidak diajaknya, tentu keselamatan mereka tidak terjamin. Walau dia tak pernah berkata akan melindungi mereka di hadapan Patisena, setidaknya saat dia kembali untuk melaporkan peristiwa yang akan diselidikinya itu, mana mungkin dia akan membawa berita buruk tentang mereka berdua.
"Baiklah, kalian boleh ikut denganku..." kata Bayu pelan.
"Horeee...!" Roro Intan bersorak girang.
"Nguk! Nguuuk...!" Tiren pun bersorak sambil bertepuk tangan di atas kepalanya. Agaknya monyet kecil itu memang suka sekali bermain dengan Roro Intan.
"Tapi harus ada syaratnya..." potong Bayu cepat.
"Apa paman?"
"Kalau nanti Kakakmu pulang, kau pun harus pulang. Bagaimana?"
"Ah, tidak mau! Aku mau ikut Paman terus!" "Kalau begitu Paman tidak bersedia mengajakmu sekarang!"
Roro Intan melirik kakaknya beberapa saat. Dan belum memberi jawaban sampai Bayu mengalihkan pandangan ke arah Ratna Puspa.
"Bagaimana? Kalian boleh ikut denganku, tapi setelah persoalan ini selesai, maka kau harus mengajak adikmu pulang?"
Ratna Puspa mengangguk cepat.
"Baiklah, mari kita berangkat!"
Mereka baru berjalan kurang lebih dua puluh langkah ketika terdengar jeritan nyaring yang sayup-sayup terdengar.
"Paman, apa itu?!"
"Sebaiknya coba kita lihat ke sana. Mari Roro!" sahut Bayu sambil menyambar tubuh Roro dan berlari cepat.
Tapi Bayu terpaksa memperlambat larinya ketika melihat Ratna Puspa terengah-engah jauh di belakang. Bayu terpaksa menunggu sambil menggelengkan kepala.
Arah jeritan itu datangnya dari tepi hutan yang agak lebat. Ketika mereka tiba di sana, terlihat pemandangan yang mengerikan. Sebagian besar anak buah Persekutuan Iblis. Merah yang memang mengambil jalan ke arah ini terkapar dalam keadaan mengenaskan. Tubuh mereka rusak berat seperti tercakar binatang buas. Sementara dua orang yang masih tersisa tampak berusaha menyelamatkan diri dari serangan seorang yang tampak bergerak amat cepat.
"Paman, orang itu... orang itu..." tunjuk Roro dengan wajah pucat.
"Siapa orang itu, Roro?"
"Orang itu yang membunuh kakang Pandu dan Paman-paman yang lain..." sahut Roro gemetar.
Belum lagi habis kata-kata Roro Intan, Bayu telah melesat dengan kecepatan tinggi ke arah orang itu.
"Yeaaah...!"
Namun orang asing yang rambutnya terurai bebas itu tak kalah gesit. Nalurinya cepat mengetahui sesuatu ketika tubuhnya langsung berbalik menyambut serangan Bayu, Pendekar Pulau Neraka dan meninggalkan dua lawan terakhirnya yang terluka parah.
"Graungrrr...!"
"Plak! Plak!"
Bayu tersentak kaget ketika tangannya beradu. Kulit orang itu keras bagai baja. Dan yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah sambaran kuku-kuku tangannya yang panjang dan runcing. Kuku-kuku itu seperti bukan layaknya kuku seorang manusia, tapi lebih menyerupai cakar harimau dengan bentuk yang lebih panjang serta lebih kuat.
"Siapa kau sebenarnya? Dan apa maksudmu melakukan pembantaian selama ini?" tanya Bayu ketika tubuhnya terpental, namun dengan manis hinggap di atas kedua telapak kakinya.
"Graungrrr...!"
Bukannya jawaban yang diberikan orang asing itu, tapi malah menerjangnya sambil melompat dengan gaya seekor harimau menerkam mangsa. Aumannya terdengar dahsyat. Bahkan lebih dahsyat dibandingkan dengan harimau biasa. Bayu, si Pendekar Pulau Neraka sempat terkejut ketika memperhatikan lawannya. Tubuhnya biasa saja, dengan rambut gondrong sebatas punggung di lepas serta mengenakan pakaian serba hitam. Tapi bukan itu yang membuatnya terkejut, melainkan melihat sepasang mata yang merah nyalang penuh nafsu membunuh. Dua buah taring terlihat disudut bibirnya kala dia menyeringai buas dengan air liur yang bertetesan. Tubuhnya agak membungkuk ketika dia bersiap menyerang lawan.
"Hup!"
"Begkh!"
"Ukh...!"
Sosok tubuh yang tingkah lakunya mirip dengan seekor harimau mengeluh pelan ketika tubuhnya kena dihantam Bayu. Meski terhuyung-huyung, dia cepat bangkit dan kembali melompat menerkam lawan.
"Astaga! Manusia macam apa dia ini?" tanya batin Bayu seperti tak percaya bahwa pukulannya tadi yang mampu melumpuhkan banteng liar hanya membuat lawannya terhuyung-huyung.
"Auuum...!"
"Heh?!"
"Cras!"
Bayu mengeluh pelan ketika lengan kirinya disambar dengan cepat oleh cakar lawan. Masih untung dia terus jungkir balik menghindari serangan berikutnya. Kaki kanannya menendang ke kepala lawan, namun dengan gesit orang itu menghindar. Lalu dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa, cakar tangan kirinya menghantam dada Pendekar Pulau Neraka.
"Uts, haaa...!" Dengan tidak terduga, tubuh Bayu mencelat ke atas kaki kirinya kembali menghantam telak ke dada lawan.
"Thak!"
Akibat tendangan itu sungguh hebat terlihat. Lawannya terjungkal sejauh dua tombak, namun mampu berdiri di atas kedua kakinya meski dengan tubuh limbung. Sepasang matanya bertambah nyalang menatap ke arah Bayu.
Saat itu pula Bayu telah bersiap menghantamkan pukulan yang berisi tenaga dalam kuat ketika terdengar teriakan nyaring dari arah sampingnya.
"Hiyaaa...!"
"Ratna, jangaaaan...!" teriak Bayu kaget dan bermaksud mencegah Ratna Puspa berbuat nekad dengan menyerang lawannya.
Tapi peringatan itu agaknya sedikit terlambat. Melihat ada orang mendekat dengan sikap mengancam, manusia siluman langsung menerkam sambil mengeluarkan auman dahsyat. Walaupun Bayu masih sempat menyelamatkan nyawa Ratna, namun tak urung satu sabetan cakar lawan berhasil merobek pinggang Ratna Puspa.
"Cras!"
"Begkh!"
"Aaaakh...!"
Ratna Puspa menjerit. Pedang yang tadi sempat dipungutnya untuk menyerang lawan terpental entah ke mana. Bersamaan dengan itu Roro Intan berteriak sambil berlari kecil menghampiri Ratna Puspa, Kakaknya.
Sedangkan Bayu dan lawannya masing-masing terhuyung-huyung setelah keduanya saling menyarangkan pukulan. Tangan kiri Bayu memapaki pergelangan tangan lawan yang hendak mencakar lawan, sedang tinju kanannya bersarang di dada lawan. Walau demikian sebelah tangan lawan yang bebas sempat merobek kulit dadanya.
"Hiyaaa...!"
Meski dalam keadaan terhuyung-huyung, lawan langsung berbalik dan melompat hendak menyambar Ratna Puspa kembali. Dalam pada itu tak ada waktu lagi bagi Bayu untuk menyelamatkan gadis itu. Tangan kanannya langsung dikibaskan ke atas.
"Zwiiing!"
Seberkas sinar keperakan dari Cakra Maut langsung menghantam ke arah lawan.
"Thakr !
"Hei...?!"
Bayu tersentak kaget. Cakra Maut itu sama sekali tak berhasil melukai lawan. Bahkan ketika senjata itu kembali melesat dan menghantam, tetap saja tak berhasil menggores kulit lawan. Bukan main herannya Pendekar Pulau Neraka. Selama ini senjatanya malang melintang di dunia persilatan dan menjadi momok yang menakutkan. Jarang ada yang lolos dari sambarannya. Tak heran bila telah banyak tokoh yang tewas oleh senjata itu.
"Graungrrr...!"
Walau pun tak mampu melukai kulit tubuh lawan namun Cakra Maut itu cukup merepotkannya. Tenaga dorongan senjata itu mampu membuatnya terhuyung-huyung. Bukan mustahil bila keadaannya terus begitu dia akan kerepotan sendiri. Belum lagi Bayu yang mulai bangkit dan mencecarnya habis-habisan.
"Hiyaaa...!"
"plak!"
"Bekgh!"
"Hugkh...!"
Satu pukulan telak yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka menghantam dada lawan. Manusia siluman itu terdorong sejauh tiga tombak. Terlihat kali ini dari sudut bibirnya menetes darah kental. Bayu tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Begitu tangannya terkibas ke atas, Cakra Maut kembali melesat ke arah lawan. Bersamaan dengan tubuhnya mengikuti dari belakang dengan satu serangan yang mengandung tenaga dalam kuat.
"Graungrrr...!"
Dengan tak disangka-sangka lawan melompat tinggi dan terus kabur dari tempat itu.
"Keparat! Jangan harap kau bisa kabur seenaknya!" bentak Bayu geram.
"Paman...! Paman...." Roro Intan berteriak memanggil dengan suara cemas.
Mau tak mau terpaksa Bayu membatalkan niatnya mengejar Manusia Siluman itu. Roro Intan menangis terisak sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ratna Puspa yang sudah tak sadarkan diri karena kehilangan banyak darah. Buru-buru Bayu menghampiri dan menotok beberapa jalan darah di tubuh Ratna Puspa untuk menghentikan pendarahan yang terlalu banyak lagi.
"Paman... apakah Kak Ratna masih bisa di tolong?" tanya Roro Intan cemas.
"Tenanglah Roro.... Kakakmu pasti akan sembuh!" Bayu berusaha menenangkan hati Roro Intan. Sebenarnya dia pun tak tahu, apakah gadis itu bisa tertolong atau tidak. Keadaannya sangat kritis karena darahnya banyak terkuras. Tengah Bayu merenung, dua orang yang tersisa dari gerombolan Persekutuan Iblis Merah mendekat ke arahnya.
"Terima kasih atas pertolongan Anda, Kisanak..." kata salah seorang di antara mereka.
Bayu melirik sekilas. Yang berkata itu adalah seorang gadis cantik dengan baju ketat. Dialah yang memimpin Persekutuan Iblis Merah. Mereka pun agaknya tak luput dari luka akibat cakaran lawannya tadi. Bisa jadi mereka memiliki ilmu silat dan tenaga dalam yang lumayan sehingga mampu bertahan.
"Kalau kalian setuju, ikutlah dengan kami. Ketua kami punya seorang tabib yang mungkin bisa mengobati luka teman gadismu itu..." lanjut wanita itu menawarkan jasa.
Bayu berpikir sejenak sebelum mengangguk setuju.
"Paman, mereka orang jahat. Kenapa Paman mau saja ikut mereka?" protes Roro Intan dengan wajah masam.
"Tidak semua orang selamanya akan menjadi jahat, bukan? Kalau mereka berniat baik mau menolong, apakah kita harus curiga? Hal itu tidak baik, Roro. Paman yakin mereka benar-benar bermaksud baik kali ini," jelas Bayu.
Meski Roro Intan itu nampaknya kurang senang, namun ketika mereka melangkah dia mengekor juga dari belakang. Bayu memondong tubuh Ratna Puspa sementara wanita anggota Persekutuan Iblis Merah yang tak lain Dewi Sukma Wening itu berjalan di sebelahnya. Roro sendiri tampak enggan beriringan dengan yang lainnya. Untunglah ada Tiren yang menemaninya hingga membuatnya sedikit terhibur.
"Dia muncul begitu saja dan langsung menyerang kami tanpa sebab..." jelas Dewi Sukma Wening tanpa diminta ketika dalam perjalanan mereka lebih banyak membisu.
Bayu meliriknya sekilas. Wajah cantik itu kini lebih berbinar kalau dia bersikap lemah lembut seperti ini. Kesan binalnya yang tadi tampak seolah sirna. Bayu cuma tersenyum sendiri.
"Kalau Anda tak muncul, entah apa yang akan terjadi pada kami. Mungkin kami akan gagal menjalankan tugas, tapi... ahh, sebenarnya kali ini pun kami telah gagal menjalankan tugas dari beliau..." lanjut Dewi Sukma Wening itu lirih.
"Tugas apa yang diberikan ketua kalian?"
"Beberapa hari lalu sepuluh anggota kami tewas dengan seluruh tubuh terkoyak seperti di cakar harimau...."
"Jadi kalian ditugaskan untuk menangkap harimau itu?"
"Tidak. Ketua kami yakin bahwa itu bukan perbuatan binatang, melainkan seorang tokoh persilatan yang menggunakan senjata seperti cakar harimau. Tapi tak disangka setelah bertemu dengannya kami tak bisa berbuat apa-apa. Ilmu silatnya hebat dan gerakannya pun amat cepat. Lebih dari itu dia tak mempan senjata tajam," kata Dewi Sukma Wening.
"Hmmm... jadi kalian yakin dia pelakunya?" "Ya...!" Bayu terdiam sejenak dengan wajah geram.
Agaknya perubahan wajah Pendekar Pulau Neraka itu tak luput dari perhatian gadis itu.
"Apakah Anda punya urusan dengannya?"
"Ya. Dia telah membunuh banyak anak buah Paman bocah ini. Aku berjanji padanya untuk menyelesaikan urusan ini sampai tuntas!"
"Kalau saja kita bisa bekerjasama...." Dewi Sukma Wening tak melanjutkan kata katanya.
"Kenapa?"
"Ehhh... tidak!"
"Kalian ingin aku bekerja sama?"
Dewi Sukma Wening tak langsung menjawab. "Ka... kalau Anda tak keberatan, ketua kami tentu akan merasa senang dan merasa dihormati sekali...."
"Hmmm...!"
"Tapi tentu saja kami tak akan memaksa..." buru-buru Dewi Sukma Wening melarat ketika mendengar Bayu bergumam.
"Siapa ketua kalian?"
"Beliau dikenal sebagai si Selendang Maut...."
Bayu bergumam. Nama itu pernah dikenalnya sebagai seorang tokoh wanita yang berilmu tinggi. Setiap kali kemunculannya, ilmu silatnya seperti bertambah. Entah sekarang barangkali kepandaiannya mungkin berlipat ganda. Terutama senjata utamanya berupa selendang yang mampu kaku bagai sebilah pedang panjang, dan kembali lemas bagai tak bertenaga.
"Kenapa? Apakah Anda pernah mengenalnya?"
"Ya. Beliau termasuk tokoh hebat...."
"Anda terlalu melebihkan, Ki sanak. Di banding dengan nama Pendekar Pulau Neraka mungkin beliau tak ada apa-apanya," sahut Dewi Sukma Wening itu sedikit merendah.
Bayu tersenyum.
"Kepandaianku tak seberapa di banding dengan yang lain, masih banyak tokoh-tokoh yang berilmu tinggi dan sulit diukur. Eh, rasanya lebih baik Anda memanggilku dengan sebutan Bayu saja...."
"Bayu...? Hmm, baiklah kalau memang anda tak keberatan. Anda pun cukup memanggilku dengan Dewi. Namaku Dewi Sukma Wening...."
"Dewi Sukma Wening...? Nama yang bagus," puji Bayu.
Gadis itu tersenyum manis di puji demikian. Belum lama mereka berjalan, tiba-tiba terlihat seseorang yang mendekat dari arah samping. Seorang laki-laki separuh baya dengan wajah bersih berkesan ramah. Rambutnya yang sebagian telah memutih di gelung ke atas. Melihat Bayu memondong tubuh seorang gadis yang terluka parah, laki-laki itu langsung menegur dengan sikap ramah.
"Kisanak, kulihat kawanmu terluka parah? Namaku Jaladara dan mengerti sedikit soal obat-obatan. Kalau tak keberatan biarlah ku coba untuk mengobatinya."
Sepasang alis Pendekar Pulau Neraka berkerut. Laki-laki ini tak sedikit pun mengesankan bahwa dia mempunyai maksud-maksud tertentu dari niat baiknya itu. Beda halnya dengan Dewi Sukma Wening. Gadis itu menaruh curiga melihat ada orang yang tak di kenal dengan tiba-tiba saja menawarkan jasa baiknya. Tapi dia tak berkata apa-apa ketika melihat bahwa Bayu sedikit percaya dengan orang ini.
"Paman Jaladara, kalau kau mampu mengobatinya aku akan sangat berterima kasih sekali. Tapi...."
"Apakah kalian curiga padaku? He he he..., itu memang kusadari. Kita baru saling mengenal dan dunia ini penuh dengan tipu muslihat manusia, tapi percayalah, aku bermaksud baik. Pengetahuanku tentang obat-obatan harus ku sumbangkan untuk kepentingan orang banyak. Kalau tidak demikian rasanya hidupku tiada guna menyimpan kepandaian sendiri sementara orang lain banyak yang menderita," sahut Jaladara.
Mendengar itu mau tak mau Bayu mesti percaya. Paling tidak untuk keselamatan Ratna Puspa sendiri. Kalau mesti mengikuti Dewi Sukma Wening ke markasnya, belum tentu keadaan Ratna Puspa akan lebih baik. Apalagi perjalanan mereka agak jauh. Sementara ada orang lain yang menawarkan jasa dan kelihatannya yakin mampu menyembuhkan luka Ratna Puspa, apa salah di coba?
"Baiklah..." sahut Bayu.
"Bayu, apakah kau akan percaya begitu saja pada kata-katanya? Siapa tahu dia bermaksud lain," sergah Dewi Sukma Wening tanpa basa-basi lagi.
Agaknya tadi dia berpikir bahwa Bayu punya pikiran yang sama dengannya tentang laki-laki itu, yaitu menaruh curiga dan menolak niatnya itu. Tapi dengan tiada di sangka ternyata pemuda itu malah menyambut baik niat laki-laki bernama Jaladara itu.
"Dewi, seperti aku percaya dengan niat baikmu, begitu juga aku percaya pada Paman Jaladara. Nyawa Ratna Puspa harus ditolong secepatnya. Siapa tahu beliau mampu menolongnya, sahut Bayu.
"Terserah padamu saja. Tapi kami akan meneruskan perjalanan ke markas. Selamat jalan, mudah-mudahan temanmu itu cepat sembuh."
Bayu mengangguk. Diliriknya gadis itu sejenak sebelum mereka melangkah pergi. Dewi Sukma Wening pun agaknya berbuat hal yang sama. Setelah melangkah beberapa tindak, dia melirik ke arah Bayu sambil tersenyum. Kemudian berlalu tanpa menoleh lagi.
"Temanmu itu agaknya terlalu menaruh curiga pada orang lain," gumam Paman Jaladara.
Bayu tak menyahut. Paman Jaladara tersenyum, kemudian mengajak mereka ke pondoknya yang tak jauh dari tempat itu. Sebenarnya tuduhan Dewi Sukma Wening tak benar bila Bayu sendiri pun tak menaruh curiga pada Paman Jaladara. Tapi dia lebih mengutamakan keselamatan Ratna Puspa. Walau demikian dia sama sekali tak melepaskan perhatian terhadap gerak-gerik laki-laki itu. Namun sejauh ini tak terlihat tanda-tanda bahwa orang itu punya niat buruk.
Jaladara ternyata memang tabib yang hebat. Tak berapa lama setelah mencekoki Ratna Puspa dengan ramuan obatnya, gadis itu mulai siuman.
"Ohhh... di manakah aku ini...?"
"Ratna... kau berada di dekat kami, jangan banyak bergerak dulu. Lukamu sedang dibalut." kata Bayu pelan.
"Kak Ratna...!" panggil Roro Intan lirih.
Ratna Puspa menatap satu persatu. Ketika terakhir menatap laki-laki separuh baya yang mengobatinya, wajahnya membias ragu. Bayu melihat perubahan di wajah Ratna, lalu cepat menjelaskannya.
"Paman Jaladara inilah yang mengobatimu...."
"Terima kasih, Paman...."
"Sudahlah... ini sudah menjadi kewajiban manusia untuk saling tolong menolong bukan? Ehh.... Kisanak..." panggil Paman Jaladara ragu.
"Panggil saja saya Bayu, Paman...."
"Bayu... begini. Luka temanmu ini akan mengering beberapa hari lagi. Kalau kalian sudi, kalian boleh tinggal di sini selama beberapa hari menungguinya. Atau kalau hendak mengantarkannya pulang, aku mempunyai sebuah pedati. Kalian bisa memakainya...."
"Terima kasih, Paman. Ini sungguh merepotkan. Biarlah dia kugendong saja," sahut Bayu.
"Yah, terserah saja...."
"Paman akan menggendong Kak Ratna?" Roro tersenyum malu.
"Kenapa?!"
"Tidak apa-apa...." Roro masih tersenyum lucu. Bocah itu memalingkan wajah ke Ratna Puspa, kakaknya.
"Kakak nanti di gendong Paman Bayu saja, ya?" Ratna Puspa tak memberikan jawaban. Wajahnya terlihat jengah dan ragu. Bayu tersenyum kecil.
"Ya, ya... baiklah. Kalau Paman Jaladara tak keberatan, kami bermaksud meminjam pedatimu saja. Nanti sekembalinya akan ku pulangkan lagi ke sini."
"Tentu saja aku tak keberatan. Bukankah tadi telah kutawarkan pada kalian?"
"Terima kasih, Paman...?"
Wanita itu tadinya sudah menunjukkan sikap garang. Namun setelah Dewi Sukma Wening menceritakan seluruh kejadian yang mereka alami, perlahan-lahan terlihat parasnya berubah datar.
"Aku memang salah, Nini, dan tak becus apa-apa. Kalau Nini bermaksud menghukum, aku pun siap menerimanya," kata Dewi Sukma Wening pasrah.
"Sudahlah. Aku tak akan bertindak begitu kejam pada anak buahku sendiri. Ceritakanlah lagi padaku tentang mereka, dan apa saja yang kau ketahui tentang orang itu?" kata wanita itu dengan nada sedikit memerintah yang berusia sekitar empat puluh tahun itu.
"Raut wajah orang itu seperti harimau, Nini. Pada jari-jari kaki dan tangannya, tumbuh kuku-kuku yang kuat lagi runcing. Tubuhnya tak mempan senjata tajam. Bahkan Cakra Maut pun tak melukainya."
"Jadi dengan cara bagaimana si Pendekar Pulau Neraka mengalahkannya?"
"Pertarungan mereka belum selesai. Pendekar Pulau Neraka berhasil mendesak orang itu. Namun dia terpaksa membiarkan lawannya kabur karena teman gadisnya terluka parah." jelas Dewi Sukma Wening.
"Tadi kau katakan orang itu memiliki ilmu silat yang hebat, bahkan mampu menghajar si Pendekar Pulau Neraka. Bagaimana mungkin akhirnya dia yang terdesak dan kabur?"
"Benar, Nini. Walau Cakra Maut pendekar itu tak mampu melukai lawan, namun dia dan senjatanya lambat laun mendesak dan merepotkan orang itu. Aku yakin, kalau pertarungan mereka dilanjutkan lawannya itu pasti mampu ditaklukkannya.
Wanita setengah baya yang dalam dunia persilatan di kenal sebagai Selendang Maut itu menganggukkan kepala.
"Kalau si Pendekar Pulau Neraka berhasil mendesaknya, dia tentu harus mampus di tanganku!" desis wanita itu geram.
"Nini...!"
"Kenapa? Kau meragukan kemampuanku? Apa kau beranggapan si Pendekar Pulau Neraka memiliki ilmu silat lebih tinggi di bandingkan denganku?!"
"Bukan begitu, Nini. Tapi lawan kita kali ini bukan orang sembarangan. Dalam pertarungan itu bukan saja tubuhnya kebal terhadap senjata tajam, bahkan pukulan-pukulan si Pendekar Pulau Neraka yang menggunakan tenaga dalam hebat pun seperti tak berarti apa-apa baginya...."
"Diam kau, Dewi! Tak seorang pun boleh meremehkan kemampuan si Selendang Maut!" bentak wanita itu sambil bangkit dari tempat duduknya.
"Ampun Nini...!"
"Sudah! Sekarang siapkan anak buahmu yang lain. Biar kali ini aku yang pimpin langsung rombongan. Kau tak becus dan selalu menuruti kemauan anak buahmu. Melihat gadis cantik saja, kalian langsung lupa pada tujuan semula!"
"Sebenarnya aku tak bermaksud demikian, Nini...."
"Ya, ya... aku tahu. Kau hanya bermaksud menyenangkan anak buahmu bukan? Tapi itu tindakan salah. Kalau kau senang, ya urusi dirimu sendiri baru anak buahmu kau pikirkan. Bukankah selama ini mereka selalu mampu mencari kepuasan sendiri? Mereka bukan anak kecil yang selalu harus di suapi."
"Iya, Nini!"
Dewi Sukma Wening langsung meninggalkan tempat itu dan mengumpulkan anak buahnya yang lain. Setelah berkumpul, mereka langsung berangkat untuk mencari orang yang di maksud. Selendang Maut sebenarnya bukan semata-mata geram pada orang yang telah menewaskan beberapa anak buahnya, melainkan ada maksud tertentu.
Selama malang melintang di dunia persilatan, tak seorang pun yang pernah mengalahkannya. Namanya amat di segani dan di takuti bukan saja karena ketinggian ilmu silatnya tapi juga karena kesadisannya dalam membunuh lawan. Sudah lama sekali dia mendengar sepak terjang Pendekar Pulau Neraka dan bermaksud menjajal kepandaian pendekar itu.
Namun belum ada kesempatan untuk bertemu dengannya. Mendengar bahwa pendekar itu terlibat dalam usaha pencarian terhadap tokoh yang menewaskan anak buahnya, si Selendang Maut bersemangat untuk menemuinya dengan memimpin sendiri anak buahnya.
Kalaupun dia tak bertemu dengan pendekar itu, tapi tokoh yang diceritakan Dewi Sukma Wening mampu menandingi pendekar itu. Ini sudah merupakan tantangan yang tak bisa dielakkannya sebagai orang yang merasa kepandaiannya tiada yang menandingi.
Ratna Puspa dan Roro Intan sebenarnya tak suka mereka dikembalikan kepada Paman Patisena. Tapi Bayu tak punya pilihan lain. Dalam kondisi tubuh yang lemah, Ratna Puspa lebih banyak menghambat perjalanannya ketimbang memperlancar.
"Tapi Paman sudah janji mau mengajak Roro...." kata Roro Intan dengan wajah cemberut.
"Bagaimana kalau kapan-kapan saja? Kali ini Paman menghadapi tugas yang bisa mencelakakan mu nantinya."
"Paman bohong!" bantah Roro Intan sambil berlari ke kamarnya.
Bayu menghela nafas pendek. Dia segera mohon pamit setelah segala sesuatunya beres. Namun tanpa diketahuinya, Ratna Puspa kembali menyelinap lewat jalan belakang dan mengikuti langkahnya dari jarak jauh. Bayu sendiri sebenarnya merasa ada seseorang yang mengikutinya dari jarak yang jauh tapi tak terpikir kalau itu langkah kaki seorang gadis yang dikenalnya.
Menjelang sore hari Bayu sampai di tepi hutan tempat tabib itu berada. Setelah mengembalikan pedati yang dipinjamnya tadi, Bayu mulai mengitari daerah sekitar hutan itu. Agaknya dia menduga bahwa orang yang dicarinya bersembunyi tak jauh dari tempat itu. Tapi sampai malam tiba, yang dicarinya tak kunjung terlihat.
"Ahhh... sebaiknya kita istirahat di sini dulu Tiren. Kau tentu lelah bukan?" tanyanya pada monyet kecil sahabatnya yang selalu berada di dekatnya.
"Nguk! Nguuuk...!"
"Nah, istirahatlah. Aku akan membuat api dan menangkap kelinci hutan untuk mengisi perutku yang sudah keroncongan."
"Kaaakh...!"
"Hush, jangan ribut!"
Tiren langsung mencelat ke salah satu cabang pohon dan menghilang ke cabang pohon yang lain untuk mencari buah-buahan pelengkap santap malam mereka. Malam hampir larut ketika Tiren tiba-tiba mencelat ke arah Bayu dan mencolek pemuda itu.
"Ada apa?" tanya Bayu pelan ketika melihat Tiren menyeringai lebar.
"Nguk!" Tiren menunjuk ke satu arah. Bayu cepat mengerti dan memberi isyarat padanya untuk tidak berisik.
"Ssssst... jangan berisik. Nanti dia lari!"
Tiren mengangguk pelan. Dengan segera Bayu mematikan api unggun, lalu bersamaan melesat ke arah yang tadi ditunjuk Tiren.
"Hiyaaa...!"
"Krusaaak!"
"Auw...!"
Bayu tersentak kaget ketika sesosok tubuh yang tadi dicengkeramnya dari balik semak-semak menjerit keras seperti suara seorang wanita. Cepat-cepat Bayu menghampiri asal suara itu dan....
"Ratna Puspa?! Apa yang kau lakukan malam-malam di sini?"
"Aku.... Aku...."
Ratna Puspa tergagap dan tak mampu melanjutkan kata-katanya. Bayu menggelengkan kepala dan langsung mengajaknya ke tempat tadi dia menyalakan api unggun, lalu mulai menyalakan lagi api yang sempat dimatikannya.
"Ada apa kau sampai ke sini? Bukankah tabib itu mengatakan kau harus banyak istirahat? Lukamu belum kering, kalau kau banyak bergerak lukamu bukan semakin membaik tapi bisa bertambah parah!"
"Aku tak perduli...!"
"Jadi apa yang kau pedulikan?"
"Orang itu harus mati di tanganku!" desis Ratna Puspa geram.
Bayu Hanggara menggelengkan kepala mendengar kata-kata itu.
"Ratna, kau bicara apa? Dengan keadaanmu yang sehat saja kau tak akan mampu melawannya, apalagi dengan tubuhmu yang lemah seperti sekarang ini. Itu sama saja artinya kau mengantarkan nyawa secara percuma."
"Aku rela mengorbankan nyawa asalkan si keparat itu juga mati!"
"Nyawamu belum cukup untuk membuat kematiannya."
"Aku tak perduli! Hidupku pun toh sudah tak berarti lagi. Untuk apa lama-lama menderita kalau tiada guna? Lebih baik mati tapi berguna bagi orang banyak."
"Kematianmu tak akan merubah apa-apa bagi kebaikan, malah kau akan meninggalkan penderitaan bagi orang lain seperti Roro dan Pamanmu, Patisena, yang menyayangimu."
"Mereka tak menyayangiku!"
"Kau salah. Mereka justru teramat sayang padamu. Roro Intan, tak mungkin dia berkeras ingin ikut denganku kalau saja kasih sayangnya padamu terbalas. Paman Patisena, mana mungkin dia tak sayang padamu karena sejak kecil telah mengurus kalian. Sekarang pikirkan olehmu baik-baik, dengan dasar apa kenekatanmu ini kau lakukan? Apakah bukan karena kekasihmu yang tewas di tangan orang itu, sehingga kau rela mengorbankan orang-orang yang mencintaimu, menyayangimu, masa depanmu, serta segalanya yang masih mampu kau raih di depan mata?!"
Ratna Puspa terdiam beberapa saat lamanya mendengar kata-kata Bayu. Lama dia menundukkan wajah ketika kembali terdengar Bayu berkata.
"Sadarlah, Ratna. Jangan turuti hawa nafsu yang membabi buta seperti itu. Pulanglah, dan hidup bahagia bersama Paman dan adikmu. Biar orang satu ini menjadi urusanku...."
"Aku tak akan pulang...!"
"Kenapa? Kau belum tahu juga bahwa masih ada sesuatu yang lebih baik kau lakukan daripada memikirkan soal dendam yang sebetulnya bukan urusanmu."
"Bukan begitu...."
"Lalu?"
"Paling tidak aku dapat melihat kematiannya. Itu sudah membuat hatiku lega."
"Dengan cara bagaimana?"
Ratna Puspa menatap Bayu sekilas, kemudian mengalihkan pandangan pada api unggun di depannya. Terdengar suara lirih.
"Bukankah kau bermaksud untuk mengejar dan menyelesaikan persoalan ini sampai tuntas?"
"Ya...?"
"Dan itu berarti kau harus bertarung dengannya. Aku yakin kau mampu mengatasi. Dan....
"Dan kenapa?"
"Kalau kau tak keberatan, aku ingin melihat saat itu....
"Itu sama saja kau mengikutiku!"
"Aku sudah mengatakan, kalau kau tak keberatan. Kalau kau merasa bahwa nanti aku membebani langkahmu, biarlah kau tak usah peduli dengan keselamatanku dan jangan larang aku untuk mengikutimu...."
Bayu berpikir keras. Mendengar kata-kata Ratna Puspa, agaknya niat gadis itu tak bisa dihalangi lagi. Selama dia bisa diatur, barangkali tak begitu menyulitkan.
"Baiklah... kau boleh ikut denganku dengan syarat, harus mengikuti perintahku!" ujar Bayu akhirnya. Ratna Puspa tersenyum dan mengangguk cepat.
Geger yang dilakukan oleh seorang tokoh yang tingkah lakunya mirip harimau liar itu sungguh hebat. Banyak sudah yang menjadi korbannya, namun tak seorang pun yang mampu menaklukkannya. Kemunculannya selalu tiba-tiba, dan menghilang bagai sapuan angin tanpa seorang pun yang mengetahuinya. Begitu juga halnya tentang asal-usul tokoh itu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya tentang siapa dan apa tujuannya menewaskan banyak orang begitu. Tokoh ini tak pernah bicara, karena dia langsung menyerang orang yang menjadi sasarannya tanpa sebab.
Sudah tentu hal ini membuat gentar beberapa kalangan yang merasa ilmu silat mereka tak seberapa, dan sekaligus membuat geram beberapa tokoh persilatan yang merasa orang terdekat mereka menjadi korban.
Sementara itu nama Tabib Jaladara lambat laun mulai terkenal karena keampuhannya mengobati tokoh-tokoh yang terluka akibat keganasan tokoh yang tingkah lakunya menyerupai harimau itu. Dalam waktu singkat saja berduyun-duyun orang datang kepadanya untuk berobat, yang pada akhirnya tidak cuma terbatas pada luka akibat serangan tokoh itu tapi juga penyakit-penyakit yang lain.
Siang ini terlihat beberapa orang tampak sedang melakukan perjalanan di dekat hutan. Daerah itu tak begitu jauh dari kediaman Tabib Jaladara. Tiga orang menunggang kuda di bagian depan. Wajah mereka seram dengan masing-masing golok besar di punggungnya. Sementara di bagian belakang terdapat sebuah pedati yang berjalan lambat. Dari dalam terdengar suara erangan orang yang kesakitan.
"Diamlah kau, Kudungga! Sebentar lagi kita akan sampai ke tempat tabib itu," kata salah seorang penunggang kuda yang paling depan.
"Guru, aku khawatir...." ujar orang yang ada di samping kiri.
"Kenapa?"
"Pada hari ini biasanya Tabib Jaladara tak mau diganggu. Banyak orang yang sudah tahu hal ini."
"Hmmm... kalau saja dia tak mau mengobati anakku, akan kupenggal kepalanya!" desis orang yang dipanggil guru tadi dengan geram.
"Tapi guru...."
"Tidak usah banyak bicara lagi. Diam saja!"
Si penunggang kuda yang berada di sebelah kirinya itu terdiam dan tak bicara sepatah kata lagi. Pikirannya menerawang jauh. Memang putra bungsu gurunya ini tengah sakit parah hampir sebulan lamanya. Dia selalu mengerang-ngerang tanpa tahu di mana letak rasa sakitnya. Untuk itulah ketika mendengar nama Tabib Jaladara yang telah banyak menyembuhkan berbagai penyakit, mereka langsung berangkat. Tapi hari ini seperti biasanya Tabib Jaladara tak mau menerima pasien. Dan hal itu dipatuhi betul oleh mereka yang hendak berobat. Apa jadinya kalau setibanya di sana mereka memaksa tabib itu?
"Masih jauh lagi tempat tabib itu, Gondar?" tanya orang yang di depan.
"Sebentar lagi kita sampai, Guru," sahut penunggang kuda yang berada di sebelah kirinya yang dipanggil Gondar.
"Hmmm... apa yang kau takutkan? Kau takut pada tabib itu?!" tanya orang pertama yang dipanggil Gondar dengan sebutan Guru, seperti mengetahui apa yang sedang berkecamuk dipikiran muridnya.
"Ti... tidak, Guru...!"
"Jawabanmu tak memuaskanku. Kau dengar Gondar, nama Tunggadewa amat disegani di rimba persilatan. Begitu juga halnya dengan perguruan kita Rajawali Perak. Jadi untuk apa takut? Tujuan kita benar. Kalau si tabib tak mau mengobati anakku, berarti dia bukanlah orang pemurah yang membiarkan orang menderita di depan matanya begitu saja. Sangat tidak sesuai dengan apa yang kau dengar tentang kemurahan hatinya, bukan?"
Gondar cuma mengangguk. Dia tahu betul, gurunya yang bernama Tunggadewa ini memang agak sombong dan sering sesumbar tentang kehebatannya. Tak ada gunanya berdebat, toh dia tak akan menyurutkan niatnya semula. Dalam pada itu tiba-tiba melesat satu sosok bayangan di depan mereka. Gerakannya ringan dan langsung menyerang diiringi auman dahsyat bagai seekor harimau lapar.
"Auuum...!"
"Awasss...!" Tunggadewa memberi peringatan pada murid-muridnya. Namun walau dia telah memberi peringatan, tak urung seorang muridnya yang berada di sebelah kanan terkena sambaran.
"Cras!"
"Aaaakh...!"
"Badar!" teriak Gondar cemas melihat sahabatnya menjerit kesakitan sambil memegangi dadanya yang robek lebar.
Tapi Gondar tak sempat lagi memperhatikan temannya karena orang asing itu kembali melesat menyerang mereka berdua dengan kecepatan tinggi.
"Sreeet!"
Tunggadewa dan Gondar langsung mencabut senjata dan langsung membabat menyerang ke tubuh lawannya.
"Thak!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Tunggadewa terperanjat kaget. Pedang mereka tak mampu melukai lawan sedikit pun. Bahkan dengan sekali kibas, tubuh Gondar terjengkang sejauh tiga tombak dengan dada remuk. Ketua Perguruan Rajawali Perak itu mulai khawatir. Dengan waktu singkat dua muridnya tidak ketahuan nasibnya apakah masih hidup atau sudah tewas karena dia sendiri tak sempat untuk melihat keadaan mereka. Menyesal dia mengapa tak membawa murid-muridnya yang lain.
"Siapa kau? Kau akan menyesal berhadapan denganku!" bentak Tunggadewa keras dengan nada tak senang.
Namun sosok Manusia Siluman yang sepintas mirip seekor harimau itu tak menyahut, melainkan terus menerjang ke arahnya sambil mengaum keras.
"Graungrrr...!"
"Hup!"
"Bangsat!"
Tunggadewa bukan main kesalnya melihat hal itu. Percuma saja dia bertanya dan memaki-maki, tapi lawan tetap diam membisu dan terus menyerangnya dengan tiada henti.
Dua jurus baru berlangsung dan Tunggadewa merasa bahwa nyawanya sedang berada di ujung tanduk. Beberapa kali ujung kuku-kuku tangan dan kaki lawan yang runcing bagai mata pisau menyambar kulit tubuhnya. Beberapa bagian tubuhnya luka hebat. Hanya karena ilmu peringan tubuhnya yang telah mencapai tingkat sempurna yang menyelamatkan nyawanya sesaat. Tapi itu tak berlangsung lama. Keadaannya terus terdesak. Rasanya lima kali gerakan lagi dia berkelit, kuku-kuku lawan akan menembus jantung dan perutnya.
"Auuum...!"
Manusia siluman itu mengaum hebat ketika lompatannya dapat dihindari lawan dengan untung-untungan. Sepasang matanya yang merah menyala-nyala memancarkan dendam dan kebencian, serta nafsu membunuh.
"Itu dia! Itu dia...!"
"Serang...!"
Pada saat kritis bagi Tunggadewa, tiba-tiba muncul banyak orang di tempat itu. Melihat dari cara berpakaian, agaknya mereka adalah tokoh-tokoh persilatan. Beberapa orang di antara mereka sempat dikenalnya.
"Ruksadana, kau pun ada di sini?!" serunya pada seorang laki-laki tua yang bersenjatakan arit.
"Ya, kita punya urusan yang sama. Si keparat ini punya hutang nyawa. Dia telah banyak membunuh murid-muridku!" geram laki-laki tua bernama Ruksadana, atau lebih dikenal sebagai Clurit Sakti Bulan Terbelah.
"Kalau demikian, mari kita bahu membahu!" sahut Tunggadewa bersemangat.
"Bagus! Jahanam itu mesti mampus hari ini juga!"
"Tapi jangan gegabah. Ilmu silatnya hebat dan gerakannya pun luar biasa. Lebih dari itu dia tak mempan senjata tajam, dan waspada terhadap kuku-kuku kaki dan tangannya!" Tunggadewa memberikan nasehatnya.
Tapi agaknya dia terlambat memberi peringatan pada yang lain. Karena pada saat itu juga terdengar jeritan menyayat. Dua orang pengeroyok Manusia Siluman itu tewas dengan dada robek. Seorang lagi menyusul begitu tubuhnya melesat sambil melompat dan mengaum keras. Agaknya sosok makhluk itu semakin murka saja melihat kedatangan orang-orang yang bermaksud mengeroyoknya.
"Hiyaaa...!"
Ruksadana melompat sambil membabatkan arit ke leher lawan. Bersamaan dengan itu tubuh Tunggadewa pun mencelat sambil membabatkan golok besarnya ke pinggang lawan.
"Graungrrr...!"
"Thak! Thaaak...!"
"Cres! Cress!"
"Ukhhh...!"
Ruksadana dan Tunggadewa mengeluh pelan. Senjata mereka tak mampu melukai lawan. Dengan seenaknya lawan menangkis dan tangannya yang lain menyambar dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa ke perut keduanya.
"Yeaaah...!"
Beberapa orang pengeroyoknya yang lain langsung menghadang dan menyerang ke arah lawannya. Dengan demikian selamatlah nyawa Ruksadana dan Tunggadewa dari serangan berikut yang dilancarkan tokoh yang tengah mereka keroyok itu.
"Bedebah! Dia seperti bukan manusia saja!" desis Ruksadana.
"Sulit rasanya bagi kita untuk membunuhnya. Selain tak mengenal lelah, gerakan serta kekuatannya seperti tidak pernah berkurang," sahut Tunggadewa.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ruksadana.
"Sebaiknya kita serang lagi sambil mencari kelemahannya."
"Baiklah...!"
Keduanya kembali melompat dan menggabungkan diri dengan yang lainnya menyerang lawan. Di antara sekian banyak pengeroyok itu memang terlihat bahwa kepandaian Ruksadana dan Tunggadewa lebih menonjol. Ujung golok besar Tunggadewa mencecar ke arah mata, sementara arit Ruksadana mengarah ke bagian tenggorokan.
"Hiyaaa...!"
Namun walau begitu terlihat Manusia Siluman itu begitu tangkas melindungi sepasang matanya, dan ketika senjata Ruksadana beberapa kali sempat menghantam leher tetap tak berhasil melukai. Bahkan serangan balik dari Manusia Siluman itu yang secara tak terduga membuat keduanya kembali terlempar dengan luka-luka akibat cakaran yang lebih parah.
"Graungrrr...!"
"Cres! Cras!"
"Aaaa...!"
Tiga orang termasuk Tunggadewa dan Ruksadana robek perutnya dihajar cakaran orang asing itu. Kali ini agaknya dia tak memberi kesempatan sekali lagi pada mereka berdua untuk menyelamatkan diri. Sebelum keduanya menyentuh tanah, Manusia Siluman itu kembali melompat dengan auman dahsyat.
"Auuuum...."
"Yeaaa...!"
"Bekgh!"
Secara tak terduga tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Bersamaan dengan itu menderu angin kencang ke arah Manusia Siluman itu dan membuatnya jungkir balik di udara. Namun dengan gesit dia bersalto dan hinggap di tanah dengan kedua kaki dalam posisi berdiri. Sepasang matanya tajam menatap pada rombongan baru yang muncul tiba-tiba. Berdiri paling depan adalah seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun dengan selendang panjang warna hitam melilit di pinggang.
"Huh, inikah orangnya yang sangat menghebohkan itu?" desis wanita itu yang tak lain dari si Selendang Maut beserta anak buahnya.
Berbeda dengan lawan-lawan sebelumnya, Manusia Siluman itu tak menyerang langsung. Dia terdiam beberapa saat menatap ke arah wanita itu dengan seksama, sehingga kali ini semua yang berada di situ dapat melihat dengan jelas. Wajahnya yang berkerut dengan sepasang mata merah yang nyalang mirip seekor harimau. Pada kedua ujung bibirnya tampak sepasang taring. Rambutnya yang sebagian memutih dibiarkan lepas begitu saja sepanjang punggung. Berdirinya agak bungkuk, dan kedua tangannya terus membentuk cakar dengan kuku-kuku yang runcing serta kelihatan keras.
"Ayo, seranglah aku! Bukankah kau terkenal ganas dan memiliki ilmu yang tiada tandingan?!" ejek si Selendang Maut sambil tersenyum sinis.
"Grrr...!"
"Kenapa? Apakah kali ini kau takut menghadapiku? Atau kebiasaanmu cuma mengaum?"
"Nini Selendang Maut, hati-hati! Dia ganas dan tak kenal ampun sama sekali!" teriak Tunggadewa memperingatkan.
"Huh, ingin kulihat sampai di mana keganasannya?" dengus si Selendang Maut sambil meloloskan selendang di pinggangnya.
"Ctar!"
Si Selendang Maut melecutkan selendangnya ke arah lawan. Suaranya terdengar nyaring bagai petir membelah angkasa. Manusia Siluman itu sempat terkejut dan mundur beberapa langkah. Namun sesudahannya dia menggeram dahsyat.
"Graungrrr...!"
"Ayo, seranglah aku! Pergunakan cakar-cakar mu yang hebat itu untuk merencah tubuhku?" ejek si Selendang Maut sambil melecutkan kembali senjatanya.
Kali ini tantangan wanita itu agaknya diterima si orang asing. Dengan didahului auman dahsyat, tubuhnya melompat dengan kecepatan bagai kilat menyerang lawan.
"Hiyaaa...!"
"Ctar!"
Selendang di tangan wanita itu menghajar telak tubuh Manusia Siluman itu. Jangankan tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang, sebongkah batu besar sebesar kerbau pun mungkin akan hancur dihantam ujung selendang yang disalurkan tenaga dalam hebat itu. Tapi orang asing itu cuma menggeram ketika tubuhnya kembali terlontar ke belakang. Dan ketika kedua kakinya menjejak tanah, secepat itu pula dia kembali menyerang.
"Graungrrr...!"
"Hmmm... kebal juga badanmu. Coba sekarang kau tahan pukulanku ini!"
"Yeaaa...!"
"Bet!"
"Plak!"
Dengan selendang di tangan kanan yang meliuk-liuk menyambar tubuh lawan, telapak tangan kirinya siap menghantam. Tapi lawan kali ini ternyata telah memperhitungkannya. Tubuhnya bergerak lincah menghindari sambaran senjata lawan. Lalu ketika telapak kiri si Selendang Maut menghantam ke arah dada, tubuh orang asing itu mencelat ke atas. Kaki kanannya menghantam wajah lawan. Masih untung si Selendang Maut mampu berkelit dan menghantamkan tinju kanan untuk menangkis.
"Sialan! Rupanya kau bukan manusia biasa. Kulitmu keras seperti batu!" umpat si Selendang Maut sambil mengeluh pelan merasakan tangan kanannya yang kesemutan.
Tapi agaknya si Selendang Maut kali ini tak memberi kesempatan sedikit pun untuk berleha-leha. Manusia Siluman itu menyerang seperti tiada henti. Sambaran kedua cakarnya nyaris merobek kulit tubuh lawan kalau saja Selendang Maut tidak cepat berkelit. Untuk beberapa saat si Selendang Maut dibuat kewalahan.
Memasuki jurus kedua terlihat si Selendang Maut menggeram sambil mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Selendang di tangannya kini bukan lagi semata-mata seperti lecutan sebuah cambuk, namun sekali-kali berubah kaku bagai pedang panjang yang menyapu dalam sekejap berubah lemas meliuk-liuk, ujungnya menyambar seperti hendak melilit.
"Graungrrr...!"
Dengan satu lompatan manis, Manusia Siluman itu menerjang ke arah lawannya. Si Selendang Maut terkesiap dan tak menyangka makhluk itu mampu bergerak begitu cepat, dan...
"Cras!"
"Begkh!"
"Ukhhh...!"
Bahu kiri si Selendang Maut robek dicakar Manusia Siluman itu. Dia meringis kesakitan. Namun satu pukulan telak tinju kanannya berhasil menghantam perut Manusia Siluman itu dan membuatnya terjungkal beberapa tombak. Ketika dia bangkit sambil menggeram, terlihat dari sudut bibirnya menetes darah kental. Agaknya pukulan yang dibarengi tenaga dalam sepenuhnya itu mampu melukai tubuh lawan.
"Nini...!" teriak Dewi Sukma Wening yang sejak tadi berdiam diri sambil memburu ke arah Selendang Maut.
"Jangan mendekat! Kembali ke tempatmu. Aku tak apa-apa!" bentak Selendang Maut.
"Tapi Nini... kau terluka!"
"Kukatakan kembali ke tempatmu semula!" bentak Selendang Maut lagi.
Dewi Sukma Wening tak bisa membantah lagi selain kembali ke tempatnya semula. Sudah menjadi kebiasaan ketuanya itu bahwa dia tak suka dibantu bila sedang bertarung. Kecuali oleh suatu sebab, misalnya dia tewas barulah anak buahnya boleh turun tangan.
"Auuum...!"
Manusia Siluman itu telah kembali melompat ke arah Selendang Maut, sementara si Selendang Maut telah bersiap pula dengan senjatanya.
"Ctar!"
"Beeet!"
"Kreeet...!"
Ujung selendang wanita itu berhasil melibat tubuh Manusia Siluman itu dan menyentaknya hingga tubuhnya melambung jauh. Namun pada saat itu juga orang asing itu berhasil merobek selendang lawan. Si Selendang Maut terkejut sambil terhuyung ke belakang.
Selama ini tak seorang pun yang berhasil merobek senjata andalannya itu. Selain terbuat dari serat sutra halus yang kuat, senjata itu pun dipergunakan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Kalau ada yang berhasil merobek Selendang Mautnya, sama artinya berhasil memukul tenaga dalamnya. Dan hal itu yang telah dilakukan oleh Manusia Siluman itu.
"Tap!"
"Graungrrr...!"
Begitu kedua kakinya menyentuh tanah, se cepat itu pula Manusia Siluman yang tingkahnya menyerupai harimau itu kembali melesat menyerang lawan setelah mencabik-cabik sebagian Selendang Maut yang melilit tubuhnya.
"Nini...!" jerit Dewi Sukma Wening cemas melihat keadaan ketuanya. Tapi terlambat. Cakar Manusia Siluman itu berhasil merobek perut si Selendang Maut.
"Aaaa...!"
"Graungrrr...!"
"Seraaaang...!" perintah Dewi Sukma Wening ketika melihat Manusia Siluman itu bermaksud melancarkan serangan berikutnya.
"Ayo, Ruksadana! Ini kesempatan kita untuk menghajar Manusia Siluman itu kembali!" teriak Tunggadewa.
Sebenarnya tanpa dikomando pun tubuh Ruksadana telah melesat begitu ucapan Tunggadewa selesai. Bersama dengan yang lain, kembali mereka mengerubuti orang asing itu.
"Auuum...!"
"Cras! Crass!"
"Aaaa...!"
Namun kali ini terlihat Manusia Siluman semakin liar. Sekali dia berkelebat paling tidak dua atau tiga orang tewas dalam keadaan yang mengerikan. Kalau tidak dada robek, maka perut dengan isinya yang terburai keluar atau leher yang nyaris putus. Tak heran bila dalam sekejap saja korban banyak berjatuhan.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu melesat cepat ke arah Tunggadewa yang langsung memapaki dengan kelebatan golok besarnya.
"Tunggadewa, awas...!" teriak Ruksadana memperingatkan.
"Tak!"
"Cras!"
"Aaaa...!"
Golok di tangan Tunggadewa ditangkis oleh sebelah tangan Manusia Siluman itu, sementara tangan yang lain menghantam leher lawan. Tunggadewa tak sempat terpekik ketika lehernya robek dicakar Manusia Siluman itu
"Biadab!" maki Ruksadana sambil terus mencelat membabatkan aritnya. Bersamaan dengan itu Dewi Sukma Wening pun melompat menghajar lawan beserta beberapa orang anak buahnya yang masih tersisa.
"Hiyaaa...!"
"Tak! Tak!"
"Breeet!"
"Aaaakh...!"
Kedua senjata Ruksadana dan Dewi Sukma Wening menghantam telak di punggung dan tengkuk lawan. Tapi percuma saja, sebab tak sedikit pun mampu menggores kulit tubuh lawan. Apalagi sampai melukainya. Namun serangan balasan yang diluncurkan dari Manusia Siluman itu sungguh mengagetkan. Cakar mautnya kembali meminta korban. Perut Ruksadana kena disabet hingga terlihat isinya yang terburai keluar. Ruksadana meraung kesakitan. Sementara tiga orang lainnya mengalami nasib yang sama. Termasuk Dewi Sukma Wening yang sedikit beruntung kehilangan lengan kirinya tidak sampai merenggut nyawanya.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu kembali menggeram dan mengamuk sejadi-jadinya pada sisa sisa pengeroyoknya. Jerit kematian kembali terdengar ketika beberapa tubuh melayang dalam keadaan terkoyak.
"Keparat! Kali ini aku akan mengadu jiwa denganmu!" desis si Selendang Maut sambil membalut pinggangnya yang robek dengan selendang.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring wanita itu melompat cepat mengirim satu pukulan jarak jauh. Di seputar tempat itu terasa angin menderu kuat tertuju ke arah Manusia Siluman tersebut. Cabang-cabang serta dedaunan pada pohon-pohon yang berada di dekatnya bergoyang kencang bagai disapu angin topan.
"Argkhhh...!"
Manusia Siluman itu mengeluarkan suara kesakitan yang parau dari kerongkongannya. Namun dengan cepat tubuhnya yang terpelanting kembali melesat ke arah lawan saat menyentuh tanah.
"Graungrrr...!"
"Yeaaa...!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Aaaakh...!"
Si Selendang Maut kembali menjerit kesakitan. Ketika dia bermaksud memapaki serangan lawan, telapak tangan kanannya berhasil menghantam dada lawan. Namun sebaliknya cakar lawan merobek perutnya. Keduanya terhuyung-huyung beberapa saat.
"Auuum...!"
"Nini, awassss...!"
Dewi Sukma Wening berteriak memperingatkan sambil melesat menghadang Manusia Siluman itu yang seperti tak merasakan sakit di tubuhnya. Padahal saat itu si Selendang Maut tengah melilitkan selendangnya untuk menutupi bagian pinggang serta perutnya yang robek. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhnya yang gemetar melawan rasa sakit yang bukan kepalang. Namun demikian sorot matanya masih memancarkan kegarangan serta dendam membara.
Sementara itu walaupun Dewi Sukma Wening berusaha mencegah lawan untuk membinasakan ketuanya, usahanya hanya sia-sia belaka. Tak banyak yang dapat dia lakukan untuk mengulur-ulur waktu agar ketuanya dapat terhindar dari kematian Manusia Siluman itu. Namun pada saat-saat kritis itu tiba-tiba melesat satu bayangan yang bergerak bagai kilat memapaki serangan Manusia Siluman itu.
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Ukh...!"
Terdengar keluh kesakitan. Keduanya terpental bersamaan. Dan seperti biasanya Manusia Siluman itu kembali mendarat di atas kedua kakinya. Tak jauh di hadapannya berdiri gagah seorang pemuda berambut gondrong dengan baju rompi terbuat dari kulit harimau yang pernah dikenalnya beberapa hari lalu dalam sebuah pertarungan.
"Grrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram. Seperti halnya berhadapan dengan si Selendang Maut, kali ini dia pun tak langsung menyerang. Mungkin karena pernah bertarung dan merasakan bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang sempurna hingga membuatnya harus berhati-hati.
"Bayu, hati-hati...!" ingat Ratna Puspa yang juga sudah berada di tempat itu.
Pendekar Pulau Neraka mengangguk pelan.
"Nguk! Nguuuk...!"
Tampak Tiren melompat-lompat dengan wajah gelisah.
"Tenang Tiren, aku tak apa-apa. Kau jagalah Ratna Puspa baik-baik..." ujar Bayu.
Walaupun sepasang matanya tak luput memperhatikan setiap gerakan yang dibuat lawan, namun Bayu sempat melirik sekilas ke arah Dewi Sukma Wening. Dilihatnya gadis itu tersenyum seperti mengucapkan kata terima kasih atas pertolongannya di saat yang tepat tadi.
"Ayo, Kisanak? Bukankah kau ingin melumatkan setiap orang? Nah, kenapa kau hanya diam saja?" tanya Bayu pada lawannya.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram buas. Sepasang matanya menyipit seperti menyiratkan kebencian luar biasa. Kemudian dengan satu lompatan ringan tubuhnya mencelat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
"Auuum...!"
"Uta, haaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka dengan ringan berkelit ke samping dan kemudian menghantamkan pukulan ke tengkuk lawan. Tapi Manusia Siluman itu mampu menghindar dengan menekuk tubuhnya. Kemudian dengan tiba-tiba Manusia Siluman itu balik berguling di udara, cakar tangan kanannya nyaris merobek leher Bayu.
"Bet!"
Bayu mendengus geram. Nyaris saja dia terluka kalau tak buru-buru membuang diri ke bawah. Namun gerakan lawan cepat bukan main. Rasanya Bayu belum sempat mengatur nafas, tiba-tiba serangan lawan kembali menuju ke arahnya. Pendekar Pulau Neraka melentik seperti ikan di darat. Tubuhnya mengapung setinggi hampir dua tombak dalam keadaan berdiri.
"Graungrrr...!"
"Hiyaaa...!"
Manusia Siluman itu dengan cepat menyusul ke atas sambil menggeram buas. Bersamaan dengan itu tubuh Bayu meluncur ke bawah memapaki dengan pengerahan tenaga dalam kuat.
"Plak!"
"Begkh!"
"Bret!"
"Ukh...!"
Pendekar Pulau Neraka meringis ketika kulit dadanya tercakar lawan. Namun tinju kanannya pun sempat menghantam telak. Terlihat lawan menjerit kesakitan dengan tubuh terlempar sejauh tiga tombak. Kali ini Manusia Siluman jatuh tidak di atas kedua kakinya. Ketika berusaha bangkit terlihat darah kental keluar dari mulutnya. Walau demikian sama sekali tak memperdulikan rasa sakit yang diderita.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu kembali mencelat menyerang Bayu. Bayu terkesiap. Rasanya mustahil tubuh manusia mampu menahan pukulannya yang bertenaga dalam kuat itu. Kalau pun dia memiliki tenaga dalam tinggi, paling tidak gerakannya akan terhambat oleh rasa sakit yang dideritanya. Tapi Manusia Siluman itu seperti tak terpengaruh oleh luka dalamnya sedikit pun. Gerakannya masih tetap gesit seperti semula.
"Keparat! Manusia atau silumankah kau ini?" desis Bayu seperti tak percaya pada penglihatannya sendiri. Pendekar Pulau Neraka langsung mengibaskan tangan kanannya ke atas.
"Zwiing!"
"Tak!"
"Uts!"
Walau sadar bahwa Cakra Maut tak mampu melukai kulit lawan, tapi Bayu mencoba mengarahkan senjata mautnya itu ke arah mata. Dengan sigap lawan mengibaskan tangan menangkis, lalu tubuhnya meluncur menyambar wajah Bayu. Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas, kemudian bersalto dengan gerakan indah menyambar Cakra Mautnya. Pada saat itu pula lawan berbalik menyerang setelah serangan pertamanya gagal.
"Auuum...!"
Justru pada saat itu si Selendang Maut mencuri kesempatan dan melesat dengan gerakan cepat menghantam Manusia Siluman itu dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya.
"Yeaaa...!"
Dewi Sukma Wening terkejut dan berteriak memperingatkan.
"Nini...!"
"Graungrrr...!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Duk!"
"Aaaa...!"
Manusia Siluman itu berbalik dan dengan gesit menangkis serangan Selendang Maut. Wanita itu terpekik ketika perutnya robek di cakar lawan. Namun pada saat yang bersamaan Pendekar Pulau Neraka menyarangkan pukulan keras ke dada lawan. Kedua tubuh itu terpental jauh.
"Nini...?!" Dewi Sukma Wening memburu Selendang Maut yang sekarat menahan menunggu ajal.
"De.... Dewi...!"
"Tenanglah Nini, aku akan memanggil Tabib Jaladara. Mudah-mudahan kau bisa tertolong!"
"Ti... tidak perlu...." sahut si Selendang Maut terbata-bata.
"Tapi Nini...."
"Tak perlu... kau ingat-ingat saja pesanku ini. Ca...cari anak-anakku yang tempo hari... ku ceritakan padamu." lanjut Selendang Maut.
Dewi Sukma Wening mendekatkan telinga ke bibir Selendang Maut mendengar pesan-pesannya lebih lanjut. Sementara. itu Bayu semakin geram saja melihat lawannya yang kuat luar biasa. Walaupun tubuhnya terlempar di hajarnya dengan pukulan yang mengandung tenaga dalam kuat, namun dia masih bisa bangkit dan menyerang kembali.
"Keparat! Kau terimalah ini!" desis Bayu sambil mengibaskan Cakra Maut di tangannya.
"Zwiiing!"
Senjata berwarna keperakan itu mendesing ke arah Manusia Siluman. Kali ini Bayu berharap bahwa senjatanya itu mampu mencari titik kelemahan lawan, sebab dirasakannya betul. Berada pada jarak dekat dengan lawan amat membahayakan. Maka ketika lawan menyerang ke arahnya, Bayu lebih banyak menghindar sambil terus menghajar dengan Cakra Maut.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram dahsyat. Sepertinya dia mengerti bahwa kali ini lawan tak bermaksud mengadakan kontak tubuh pada jarak dekat dengannya, maka dia berusaha mendekat ke arah Bayu. Tapi Cakra Maut yang saat ini terus menghantam pada setiap juru pada tubuhnya membuat dia agak kerepotan.
"Hiyaaa...!"
Bayu melompat cepat ke bawah tubuh lawan ketika Manusia Siluman itu menerjang ke arahnya. Sambil bergulingan di tanah dia mengibaskan Cakra Maut kembali. Dengan berharap penuh Bayu menghantam pada telapak kaki lawan. Kalau kali ini tak berhasil juga, tipis sudah harapannya sebab seluruh tubuh yang lain sama sekali kebal terhadap senjatanya. Malah pada sepasang mata lawan terlihat tak begitu ketat dilindungi seperti memberi isyarat bahwa di bagian itu bukan merupakan titik kelemahannya.
"Crab!"
"Aaaa...!"
"Hei...?!"
Bayu tersentak kaget. Lawannya menjerit setinggi langit dan ambruk di tanah sambil menggelepar-gelepar. Darah mengucur deras dari sebelah telapak kakinya yang di tembus Cakra Maut. Bayu tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Sebelum lawan berusaha bangkit, kembali Cakra Maut melesat dan menghantam telapak kaki yang satunya lagi. Dan saat itu juga terdengar lolongan panjang.
"Mampuslah kau bersama dengan dosa-dosa-mu!" desis Bayu geram.
Namun Bayu sempat terkesima. Diperhatikannya dengan seksama, tubuh Manusia Siluman itu berubah perlahan-lahan. Wajahnya yang tadi berkerut sadis dan menyeramkan mirip seekor harimau liar, berubah menjadi bersih dengan senyum ramah. Matanya tak lagi merah dan memancarkan kegarangan, tapi kembali normal sebagaimana layaknya manusia biasa. Kedua taring di sudut bibirnya pun kembali menjadi biasa. Lalu kuku-kukunya yang runcing dan kuat berubah menjadi kuku biasa. Dalam keadaan begitu Bayu betul-betul bisa mengenali siapa orang itu.
"Tabib Jaladara?!" teriaknya kaget.
Mereka yang berada di situ tersentak kaget mendengar ucapan Pendekar Pulau Neraka.
"Astaga?!" ucap Dewi Sukma Wening.
"Ooooh...!" desah Ratna Puspa sambil mendekat ke arah Bayu.
Bayu belum sempat bertanya ketika tiba-tiba terdengar panggilan lirih si Selendang Maut.
"Wisnupaksi, kaukah itu...?"
Tabib Jaladara yang sedang sekarat itu menoleh pelan. Wajahnya terlihat pucat.
"Sur.... Surtiningsih?! Kau... kau... ohh, apa yang kulakukan padamu?"
Bayu belum paham melihat kenyataan itu. Begitu juga yang lain. Bayu hanya menuruti saja ketika Tabib Jaladara minta didekatkan dengan Selendang Maut. Kedua manusia yang tengah menjelang maut itu saling meremas jari sambil tersenyum.
"Wisnupaksi akhirnya kita dipertemukan juga..." lirih suara Selendang Maut yang dipanggil Surtiningsih itu.
"Ya... hanya keadaannya kini berubah lain. Maafkan aku Surti...."
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Kita sama-sama salah karena saling mengagulkan kepandaian masing-masing. Semuanya jadi rusak karena nafsu ingin menjadi orang yang tak tertandingi...."
"Begitu juga aku. Dalam pengembaraanku setelah kita berpisah, aku menemukan sebuah kitab tentang ilmu yang mempelajari gerakan Siluman Harimau. Tapi ternyata aku salah mempelajarinya. Ilmu itu tak mampu ku kendalikan. Sewaktu-waktu aku menjelma dan merasakan diriku sebagai seekor harimau lapar yang haus darah yang tak bisa ku tahan. Pada saat itu aku tak bisa mengenali siapa-siapa...."
"Kenapa kau tak berusaha mencari jalan keluarnya?"
"Sudah. Baik dengan cara bertapa atau dengan ramuan obat. Itulah sebabnya pada saat-saat sadar aku rajin mempelajari ilmu pengobatan dan mengganti namaku menjadi Jaladara agar tak di kenali orang lain. Tapi hasilnya tetap nihil...." Tabib Jaladara atau Wisnupaksi menggeleng lemah. Kemudian dia menatap ke arah Selendang Maut sambil berkata lirih.
"Bagaimana nasib kedua anak kita...?"
"Itulah yang kusesalkan. Setelah kita berpisah karena masing-masing merasa memiliki kepandaian yang hebat, aku menitipkannya pada Patisena. Kau masih ingat bukan? Pembantu setia kita yang dipungut keluargaku ketika masih kecil?"
"Ya, ya... aku ingat. Apakah kau sudah menemui mereka? Barangkali mereka sudah besar sekarang, dan... dan Ratna Puspa tentu sudah menjadi gadis ang sangat cantik sepertimu...."
"Kakang Wisnupaksi, sebenarnya ketika kau pergi aku sedang mengandung saat itu. Dan lahir bayi perempuan yang mungil dan manis...."
"Ooooh... anakku...."
"Ya... aku memberinya nama Roro Intan!"
Ratna Puspa yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka tersentak kaget. Buru-buru dia menunduk dengan wajah berbinar-binar.
"A... apakah yang kalian maksud aku dan adikku, Roro Intan yang dititipkan pada Paman Patisena sejak kecil...?"
Keduanya menatap Ratna Puspa. Surtiningsih atau Selendang Maut yang lebih dulu tersenyum dengan wajah penuh luapan kegembiraan.
"Kau... kau anakku Ratna Puspa?!"
"Ibu...!" pekik Ratna Puspa sambil memeluk tubuh wanita separuh baya itu.
"Dan... dan apakah kau ayahku?" lanjutnya dengan wajah tak percaya.
"Aku ayahmu, Nak..." sahut Wisnupaksi lirih.
"Ayah...?" ragu-ragu Ratna memeluk lelaki itu. Selagi mereka melampiaskan perasaan suka cita karena telah sekian tahun berpisah, Bayu meninggalkan tempat itu secara diam-diam bersama Tiren. Tapi baru saja Bayu melangkah beberapa tindak, seseorang menegurnya.
"Apakah kau tak bermaksud pamit pada mereka?"
"Dewi Sukma Wening...?" Dewi Sukma Wening menunduk sambil memandangi tangan kirinya yang buntung.
"Mengharukan, bukan...? Beruntunglah mereka dibandingkan dengan diriku..." lanjutnya lirih. Bayu merasakan kedukaan yang dalam pada nada bicara Dewi Sukma Wening. Tanpa sadar dia mendekat dan duduk di sebelahnya.
"Ya... memang sangat mengharukan. Aku merasa bersalah...."
"Kenapa merasa begitu?"
"Kalau saja orang tua itu tak mati di tangan ku...."
"Kaulah yang akan mati di tangannya. Lagi pula dengan demikian mereka selamanya tak akan pernah bertemu. Paling tidak kau punya jasa dalam mempertemukan mereka."
"Entahlah... aku tak tahu. Tapi yang ku rasakan betul adalah kedukaan di batin gadis itu. Baru saja dia bertemu dengan kedua orang tuanya, tak lama lagi harus berpisah...."
"Itu sudah takdir. Aku pun bisa merasakan kehilangan kedua orang tuaku sejak masih kecil..." lirih suara Dewi Sukma Wening.
Bayu tersenyum getir.
"Rasanya kehilangan kedua orang tua terlalu banyak di alami umat manusia. Dahulu kukira cuma aku saja yang merasakannya...."
"Apakah kedua orang tuamu pun telah tiada?" Bayu tak sempat menjawab. Ketika itu terdengar jerit tangis Ratna Puspa semakin keras. Keduanya menoleh dan melihat bahwa dua insan yang saling menyintai telah meninggal dalam pelukan Ratna Puspa dengan wajah tenang.
"Sebaiknya kau bujuk dia..." ujar Dewi Sukma Wening.
Bayu melangkah pelan. Tiren mengikuti dari belakang. Lama Bayu membujuk gadis itu dan menentramkan hatinya. Tak lama kemudian mereka mengangkat kedua mayat itu dan meletakkannya ke dalam pedati yang berada di situ. Bayu telah berjanji pada Ratna Puspa untuk menemaninya beberapa hari di tempat Paman Patisena. Sekaligus untuk menepati janjinya pada Roro Intan.
Pedati itu mulai Bergerak pelan. Bayu masih sempat melambaikan tangan pada Dewi Sukma Wening yang tak bersedia ikut dengan mereka. Gadis itu bermaksud mengembara mengikuti ke mana saja kakinya melangkah.
Dari jauh terlihat angin mempermainkan rambutnya bersama dengan dedaunan kuning yang berguguran. Harumnya sampai di hati Pendekar Pulau Neraka. Bayu tersenyum, dan menarik nafas pendek sambil melirik ke arah Ratna Puspa. Kemudian menghela kudanya.
"Heaaa...!"
Kisah selanjutnya Hantu Bukit Angsa