PERISTIWA seperti inilah yang membuat hati Sin Liong memberontak. Dia amat cinta dan kagum kepada suhunya, akan tetapi peraturan hukum di Pulau Es ini dianggapnya terlalu kejam.
Sebaliknya Han Ti Ong yang maklum akan kekecewaan hati muridnya yang dia kagumi dan cintai, berusaha menyenangkan hati muridnya itu dengan menurunkan ilmu-ilmu simpanannya sehingga dalam waktu setahun lagi saja ilmu kepandaian pemuda yang berusia lima belas tahun itu menjadi makin hebat. Boleh dibilang dialah orang satu-satunya yang menjadi pewaris ilmu-ilmu Pulau Es.
Biar pun Permaisuri juga mewarisi banyak ilmu dahsyat, namun dibandingkan dengan Sin Liong dia kalah bakat sehingga kalah sempurna gerakannya. Apa lagi dalam hal tenaga sinkang, dia kalah jauh. Hal ini adalah karena Sin Liong adalah seorang yang pada dasarnya memiliki batin kuat dan tidak pernah terseret oleh nafsu, sebaliknya The Kwat Lin adalah seorang wanita yang dibangkitkan nafsunya semenjak dia diperkosa oleh Pat-jiu Kai-ong.
Dan pada suatu hari terjadilah suatu hal yang sudah lama diduga-duga akan terjadi. Hal yang menjadi akibat daripada keadaan yang ditekan-tekan di dalam istana yang dimulai dengan masuknya The Kwat Lin ke Pulau Es dan kini telah menjadi permaisuri itu....
Pagi hari itu, Sin Liong tengah duduk seorang diri di tempat yang menjadi tempat kesukaannya bersama Swat Hong, yaitu di tepi pantai yang paling sunyi. Pantai yang tak pernah tertutup salju karena pasir berwana putih yang terjadi dari pecahan batu karang dan segala macam kulit kerang dan kepompong itu seolah-olah selalu mengeluarkan hawa hangat.
Selagi dia duduk termenung itu terdengarlah olehnya suara tambur dipukul gencar, tanda bahwa pagi hari itu diadakan persidangan pengadilan yang amat penting. Sidang ini diadakan kurang lebih tiga bulan semenjak tiga orang pesakitan terakhir itu di buang ke Pulau Neraka.
Suara tambur itu seolah-olah menghantami isi dada Sin Liong, karena suara itu suara yang paling tidak disukainya. Suara ini menandakan bahwa akan ada orang lagi yang dihukum! Maka dia tidak bergerak, mengambil keputusan tidak akan menonton karena menonton berarti hanya akan menghadapi hal yang menyakitkan hatinya. Akan tetapi dia meloncat bangun ketika mendengar suara panggilan Swat Hong, suara panggilan yang lain dari biasanya karena suara dara itu mengandung isak tangis yang mengejutkan.
"Kwa-suheng...!!"
Sin Liong terkejut melihat dara itu berlari-lari kepadanya sambil menangis dan dengan wajah yang pucat sekali.
"Ada apakah, Sumoi?" tegurnya sebelum dara itu tiba di depannya.
"Suheng..., celaka... Ibuku...."
Biar pun hatinya berdebar penuh kaget dan kejut, Sin Liong bersikap tenang ketika di memegang kedua pundak Sumoi-nya dan bertanya, "Ada apakah dengan Ibumu? Tenanglah, Sumoi."
Swat Hong menahan isaknya. "Mereka... mereka menangkap Ibuku dan membawanya ke sidang pengadilan...."
Sin Liong mengerutkan alisnya. “Sudah keterlaluan ini,” pikirnya.
Rasa penasaran membuat dia berlaku agak kasar. Digandengnya tangan Sumoi-nya, lalu ditariknya dara itu sambil berkata, "Mari kita lihat!"
Ketika dua orang itu tiba di ruangan pengadilan, mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan berlainan sekali dengan sidang pengadilan yang sudah-sudah karena suasana amat sunyi. Tidak ada seorang pun diperbolehkan mendekati ruangan pengadilan, bahkan ketika Sin Liong dan Swat Hong tiba di situ, mereka dihadang oleh beberapa orang penjaga.
"Maaf, atas perintah Sri Baginda, tidak ada yang boleh memasuki ruang sidang pengadilan hari ini," kata mereka.
Dengan kedua tangan di kepal, Swat Hong melompat maju. Matanya melotot dan mukanya merah sekali, "Apa kalian bilang?! Kalian berani melarang aku memasuki ruangan? Apakah kalian sudah bosan hidup?!"
Sin Liong cepat memegang lengan sumoi-nya karena dia maklum bahwa kalau sumoi-nya ini sudah marah, tentu akan hebat akibatnya. Juga para penjaga itu mundur ketakutan karena mereka mengerti betapa lihainya Sang Puteri ini.
"Harap Saudara sekalian melaporkan kepada atasan Saudara bahwa kami akan memasuki ruang sidang," kata Sin Liong dengan tenang kepada para penjaga.
"Akan tetapi kami hanya mentaati perintah. Bagaimana kami berani melanggar?" jawab kepala penjaga dengan muka bingung.
"Aku tahu. Ibuku yang diadili, bukan? Nah, dengar kalian! Apa pun yang akan terjadi dengan ibuku, aku harus hadir. Kalau perlu aku akan bunuh kalian semua agar dapat masuk!" kembali Swat Hong membentak.
"Saudara sekalian harap mundur dan biarkan kami masuk. Akibatnya biarkan kami berdua yang menanggungnya," kembali Sin Liong berkata dan keduanya memaksa masuk.
Para penjaga tidak ada yang berani melarang, akan tetapi mereka cepat-cepat lari untuk melapor ke dalam. Han Ti Ong mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong dan Swat Hong memasuki ruang sidang, akan tetapi dia hanya mengangguk kepada para penjaga yang kebingungan. Hal ini melegakan hati para penjaga dan mereka cepat-cepat meninggalkan ruangan itu untuk menjaga di luar, karena mereka pun tidak boleh mendengarkan sidang yang sedang mengadili isteri raja!
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Swat Hong melihat ibunya dengan tenang berlutut di depan meja pengadilan bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian sebagai pelayan dalam istana. Hatinya menduga-duga dan dia merasa ngeri karena melihat ibunya dan pemuda itu berlutut di situ. Dia seolah-olah melihat Sia Gin Hwa dan Lu Kiat, dua orang pesakitan yang saling berjinah itu! Akan tetapi dia tidak percaya! Tak mungkin ibunya...!
Akan tetapi Swat Hong menjadi lemas dan menurut saja ketika Sin Liong menariknya dan mengajaknya duduk di deretan kursi pinggiran yang sekali ini sama sekali kosong. Di belakang meja panjang hanya duduk jaksa, hakim, Raja Han Ti Ong, permaisurinya, dan Han Bu Ong, bocah berusia delapan tahun yang mengenakan pakaian indah dan duduk dengan agungnya di dekat ibunya. Mata Han Bu Ong memandang kearah Sin Liong dan Swat Hong dengan angkuh.
Kemudian terdengarlah suara nyaring Sang Jaksa, suara yang bagi telinga Swat Hong terdengar seperti sambaran pedang yang menusuk-nusuk hatinya dan bagi Sin Liong seperti guntur di tengah hari!
"Liu Bwee, sebagai bekas istri Sri Baginda, dari seorang anak nelayan biasa menjadi seorang mulia terhormat, ternyata kau membalas budi Sri Baginda dengan aib dan noda yang hina. Dia telah ditangkap karena melakukan perjinahan dengan seorang pelayan muda. Dosa ini amat besar, karena selain menimbulkan aib dan malu kepada Sri Baginda, juga kalau diketahui dunia luar akan mencemarkan nama Kerajaan Pulau Es. Oleh karena itu, sepatutnya dia dijatuhi hukuman yang seberat mungkin."
"Bohong...! Ibu tidak mungkin...." Swat Hong menjerit dan hendak melompat maju menyerang jaksa yang berani mengeluarkan ucapan menuduh ibunya seperti itu, akan tetapi Sin Liong menangkap lengannya untuk mencegah sumoi-nya bergerak.
"Swat Hong! Berani engkau kurang ajar di depan Ayah?!" terdengar Han Ti Ong membentak dengan penuh wibawa.
"Ayah, tuduhan itu fitnah belaka! Tidak mungkin Ibu melakukan hal yang kotor itu. Mana buktinya? Siapa saksinya?" kembali Swat Hong menjerit-jerit.
"Hong-ji, jangan begitu. Ibumu tidak berdosa, akan tetapi kita harus tunduk kepada peraturan dan hukum, anakku. Tenanglah." Ucapan ini keluar dari mulut Liu Bwee yang menoleh kearah Swat Hong, suaranya lirih dan jelas, namun mengandung kedukaan yang merobek hati.
"Liu Bwee, engkau telah mendengar tuduhan atas dirimu. Apakah pembelaanmu?" terdengar suara hakim tua itu dengan halus dan lirih seperti biasanya, namun penuh wibawa karena dalam sidang ini dialah orang yang paling berkuasa.
"Saya tidak akan membela diri. Hanya seperti dikatakan anakku tadi, agar tidak mendatangkan penasaran, harap suka disebutkan siapa saksinya dan apa buktinya yang memperkuat tuduhan terhadap diriku," kata Liu Bwee dengan tenang dan suara halus.
Jaksa ini termasuk orang di antara anggota keluarga raja yang tidak senang kepada Liu Bwee karena dia dahulu pun mengharapkan agar Han Ti Ong memilih anak perempuannya. Segera ia berkata lantang, "Buktinya? Engkau ditangkap ketika berada di dalam kamar dengan A Kiu, padahal dia bukanlah pelayanmu. Apalagi yang kalian kerjakan kalau bukan berjinah? Seorang wanita dan seorang laki-laki yang tidak ada hubungan apa-apa berada di dalam kamar berdua saja! Selain itu, perjinahan kalian juga telah ada yang menyaksikan."
Wajah Swat Hong sebentar pucat dan sebentar merah. Tak dapat dia menahan kemarahannya. Ibunya dituduh berjinah dengan seorang pelayan!
"Bohong! itu bukan bukti!! Kalau memang ada yang menyaksikan, hayo siapa yang menyaksikan?" teriaknya tanpa memperdulikan cegahan Sin Liong yang masih memegang lengannya karena khawatir kalau-kalau dara ini mengamuk.
"Akulah saksinya!" tiba-tiba terdengar suara kecil merdu dan Han Bu Hong telah bangkit berdiri dengan sikap menantang. Mulut anak ini tersenyum mengejek dan matanya bersinar-sinar. "Enci Hong, akulah yang telah melihat ibumu dan pelayan itu di atas ranjang...."
"Ssttt, diam...!" Permaisuri menarik puteranya.
Akan tetapi hakim telah berkata lagi, "Sudah terbukti kesalahan besar yang dilakukan Liu Bwee. Kesalahan paling besar yang dapat dilakukan oleh seorang wanita...."
"Nanti dulu!" dengan muka pucat sekali Swat Hong memotong kata-kata hakim. "Tidak adil kalau begini! Kita belum mendengar keterangan A Kiu. Hai, A Kiu, aku percaya bahwa engkau seorang manusia yang menjunjung kegagahan. Tidak mungkin seorang pria penghuni Pulau Es seperti engkau menjatuhkan fitnah sebagai seorang pengecut hina dina. Hayo ceritakan, sesungguhnya apa yang terjadi?!" suara Swat Hong ini nyaring sekali.
Muka A Kiu menjadi pucat, kepalanya makin menunduk. Suasana menjadi hening dan akhirnya terpecah oleh suara Raja.
"A Kiu, kau diperkenankan untuk bicara!"
Tubuh itu menggigil. Muka yang tampan itu pucat sekali ketika diangkat memandang Raja, kemudian melirik ke arah Liu Bwee yang masih bersikap tenang dan agung berlutut di sebelahnya. Ketika dia melirik ke arah Swat Hong yang berdiri dengan sikap angkuh memandang kepadanya, A Kiu mengeluh lirih, kemudian menelungkup dan berkata dengan suara mengandung isak.
"Hamba tidak berdaya... hamba memang berada di kamar itu... tapi... tidak seperti kesaksian Pangeran Kecil... hamba terpaksa karena...."
"Berani kau mengatakan puteraku bohong?" jeritan ini keluar dari mulut permaisuri dan hawa pukulan yang dahsyat sekali menyambar ketika permaisuri menggerakkan tangan kirinya ke arah A Kiu.
"Desss...! Aughhh...!" tubuh A Kiu terlempar bergulingan dan rebah tak bernyawa lagi, dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah.
Hebat sekali pukulan jarak jauh yang di lakukan permaisuri itu, tepat mengenai kepala A Kiu yang tentu saja tidak kuat menahannya. Hakim dan jaksa saling pandang, sedangkan Raja menegur Permaisurinya, "Kau terlalu lancang...."
"Apakah aku harus diam saja kalau seorang rendah macam dia menghina putera kita?" Permaisuri membantah dengan suara agak ketus.
Raja diam saja dan menarik napas panjang. Dia merasa bingung dan berduka sekali harus menghadapi perkara ini. Akhirnya Raja memberi isyarat kepada hakim sambil berkata, "Lanjutkan."
Hakim menelan ludah beberapa kali, kemudian berkata lantang, "Saksi utama yang menjadi pelaku perjinahan telah terbunuh karena berani menghina Pangeran. Akan tetapi dia mengaku telah berada di kamar itu, maka sudah jelas dosa yang dilakukan oleh Liu Bwee. Karena itu sudah adil kalau dia harus dijatuhi hukuman berat. Liu Bwee, pengadilan memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepadamu!"
"Ibuuu...!!" Swat Hong meronta dan melepaskan diri dari Sin Liong, meloncat dan menubruk ibunya.
"Ssstt..., tenanglah, Hong-ji...," ibunya terbisik dengan sikap masih tenang saja, sungguh pun wajahnya kelihatan makin berduka.
"Tenang? Tidak! ibu tidak boleh dihina sampai begini!" Swat Hong lalu bangkit berdiri, menghadapi ayahnya dan berkata lantang, "Ibuku telah dijatuhi hukuman tanpa bukti dan saksi yang jelas. Akan tetapi keputusan telah dijatuhkan dan saya tidak rela melihat Ibu dibuang ke Pulau Neraka. Saya sebagai anak tunggalnya, yang takkan mampu membalas budinya dengan nyawa, saya yang akan mewakilinya, memikul hukuman itu. Saya yang akan menjadi penggantinya ke Pulau Neraka, maka harap Sri Baginda bersikap bijaksana, membiarkan ibu yang sudah mulai tua ini menghabiskan usianya di Pulau Es. Ibu, selamat tinggal!"
"Hong-ji...!" ibunya memekik, akan tetapi Swat Hong sudah meloncat dan lari ke luar dari tempat itu dengan cepat.
Sin Liong memandang dengan alis berkerut. Tak disangkanya hal yang sudah dikhawatirkannya akan terjadi, sesuatu yang tidak menyenangkan, suatu yang ternyata akan meledak sehebat ini.
"Hong-ji... ah, Hong-ji, Anakku...!" Liu Bwee tak dapat menahan tangisnya lagi.
Dia maklum tidak mungkin dapat mengejar anaknya karena kepandaian puterinya itu sudah tinggi sekali. Sebagai seorang pesakitan, dia juga tentu saja tidak berani melanggar hukum dan lari dari tempat itu. "Aduh, anakku... Swat Hong... Swat Hong... apa yang mereka lakukan atas dirimu...?" ibu yang hancur hati ini meratap.
Hakim menjadi bingung dan beberapa kali menoleh kearah Raja, seolah-olah hendak minta keputusan Han Ti Ong. Raja ini menggigit bibir, jengkel dan marah karena tak disangkanya bahwa urusan akan berlarut-larut seperti ini. Ketika menerima laporan tentang Liu Bwee, istri pertamanya, yang berjinah dengan seorang pelayan muda, hatinya panas dan marah sekali. Akan tetapi dia masih hendak membawa perkara ini ke pengadilan agar diambil keputusan yang seadil-adilnya.
Siapa mengira terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Permaisurinya membunuh pelayan muda, kemudian kini Swat Hong membela ibunya, bahkan menggantikan ibunya ‘membuang diri’ ke Pulau Neraka. Maka kini melihat betapa hakim menjadi bingung dan minta keputusannya, dia memukulkan kepalan kanan ke telapak kiri sambil berkata, "Sudahlah, sudahlah! Biar kupenuhi permintaan Swat Hong. Anak yang keras kepala itu sudah menggantikan ibunya ke Pulau Neraka. Sudah saja! Aku perkenankan Liu Bwe tinggal terus di sini!"
Setelah berkata demikian, dia menggandeng tangan Bu Ong dan permaisurinya, bangkit berdiri dan hendak meninggalkan tempat yang tidak menyenangkan itu. Akan tetapi Liu Bwee juga bangkit berdiri.
Wanita ini berkata lantang sambil menatap wajah suaminya dengan mata tajam. "Biar pun anakku telah menebus dosa yang tidak kulakukan, dan aku telah diperbolehkan tinggal di sini, akan tetapi apa artinya hidup di sini bagiku setelah anakku pergi ke Pulau Neraka? Tidak, aku tidak akan sudi tinggal di sini lagi. Aku mulai saat ini tidak menganggap diriku sebagai penghuni Pulau Es. Aku juga mau pergi dari sini!"
Setelah berkata demikian, Liu Bwee lalu meloncat dan pergi. Setelah dia bukan pesakitan lagi, setelah dia bukan lagi terhukum, dia berani pergi, bahkan dengan sikap tidak menghormat lagi kepada Raja yang pernah menjadi suami dan pujaan hatinya selama bertahun-tahun itu.
"Hmm, sesukamulah!' kata Han Ti Ong perlahan dan dengan wajah muram raja ini memasuki istana bersama permaisuri dan Pangeran Bu Ong.
Sampai ruangan persidangan itu kosong dan mayat A Kiu dibawa pergi, Sin Liong masih duduk di situ. Di dalam hatinya, dia merasa menyesal melihat sikap Raja Han Ti Ong, gurunya yang dicintainya itu. Tahulah dia bahwa perubahan pada diri gurunya itu terutama sekali terjadi karena hadirnya The Kwat Lin yang kini telah menjadi permaisurinya. Diam-diam dia merasa menyesal sekali. Bukankah dia sendiri yang dahulu minta kepada gurunya membawa pendekar wanita Bu-tong-pai itu ke Pulau Es?
Mula-mula wanita itu menjadi selir gurunya. Setelah itu The Kwat Lin menjadi permaisuri, maka kebahagiaan ibu Swat Hong menjadi musnah! Bahkan kini berekor seperti ini, dengan larinya Swat Hong menggantikan ibunya ke Pulau Neraka, sedang ibu dara itu sendiri pergi entah ke mana! Dialah yang bertanggung-jawab, langsung atau tidak langsung.
Akan tetapi tidak mungkin dia menegur gurunya, juga permaisuri tidak dapat dipersalahkan. Betapapun juga, dia harus memperlihatkan tanggung-jawabnya atas kerusakan hidup Swat Hong dan ibunya. Kalau dia mendiamkan saja, seolah-olah dia ikut pula persekutuan untuk merusak hidup ibu dan anak itu.
"Pulau Neraka kabarnya merupakan tempat berbahaya sekali. Aku harus menyusul Swat Hong dan melindunginya," demikian dia mengambil keputusan dalam hatinya.
Dia tidak lagi berpamit kepada gurunya karena maklum gurunya sedang berada dalam kedukaan dan kepusingan. Pula Sin Liong sudah biasa meninggalkan pulau itu mencari tetumbuhan obat, maka kepergiannya meninggalkan Pulau Es dengan sebuah perahu tidak ada yang menaruh curiga. Dengan tenaganya yang amat kuat Sin Liong mendayung perahunya sehingga perahu meluncur amat cepatnya menuju ke Pulau Neraka.
Dia sudah tahu di mana letaknya pulau itu dari keterangan yang diperolehnya ketika dia bertanya-tanya kepada para penghuni Pulau Es. Bahkan diam-diam pernah pula seorang diri mendayung perahu mendekati Pulau Neraka ini, akan tetapi hanya melihat dari jauh dan dia merasa ngeri sekali. Pulau itu dari jauh tampak kehitaman seperti pulau yang pantas di huni oleh setan dan iblis. Pantainya penuh dengan batu-batu karang yang runcing dan tajam, amat berbahaya apalagi kalau ombak sedang besar. Sama sekali tidak tampak ada penghuninya.
Ketika itu Sin Liong menduga-duga bahwa orang-orang buangan yang dibuang dari Pulau Es, jika tidak tewas di jalan, tentu tewas di atas pulau itu. Maka dia menentang keras dalam hatinya kalau melihat di Pulau Es diadakan pengadilan dan diputuskan hukuman buang ke Pulau Neraka. Baginya, dibuang ke Pulau Neraka sama dengan menghadapi kematian yang mengerikan, baik di dalam perjalanan menuju ke pulau itu atau setelah berhasil mendarat.
Kini Swat Hong telah pergi ke Pulau Neraka mewakili ibunya! Dia kagum dan khawatir. Kagum akan keberanian dan kebaktian sumoi-nya terhadap ibunya, akan tetapi khawatir sekali akan keselamatan sumoi-nya yang belum dewasa benar itu. Sumoi-nya baru berusia empat belas tahun! Biar pun dia tahu bahwa ilmu kepandaian sumoi-nya sudah hebat dan cukup untuk dipakai menjaga diri, namun betapa pun juga sumoi-nya itu masih kanak-kanak! Sin Liong sama sekali tidak ingat bahwa usianya sendiri hanya satu tahun lebih tua dari pada usia Swat Hong!
Perjalanan dari Pulau Es ke Pulau Neraka melalui lautan yang penuh dengan gumpalan-gumpalan es yang mengapung di permukaan laut. Gumpalan es itu kadang-kadang sebesar gunung, dan celakalah kalau sampai perahu tertumbuk oleh gumpalan es menggunung itu yang kadang-kadang bergerak, karena digerakkan oleh angin.
Celaka pula kalau sampai terjepit di antara dua gumpalan es, yang begitu saling menempel tentu akan melekat dan membuat perahu terjepit di tengah-tengah. Akan tetapi, Sin Liong sudah banyak mendengar tentang ini maka dia tahu pula caranya menghindarkan perahunya dan tidak mendekat gumpalan-gumpalan es yang berbahaya, melainkan mencari jalan di celah-celah yang agak lebar.
Kemudian dia tiba di daerah lautan yang penuh dengan ikan hiu. Ratusan ikan hiu yang hanya tampak siripnya itu berenang di kanan-kiri dan belakang perahunya. Betapa pun tinggi ilmunya, ngeri juga hati Sin Liong karena dia tahu bahwa sekali perahunya terguling, kepandaiannya tidak akan berguna banyak dalam melawan ratusan ikan buas itu di dalam air!
Cepat ia mengeluarkan bungkusan yang sudah dibawanya sebagai bekal, membuka bungkusan dan menaburkan sedikit bubuk hitam di kanan-kiri, serta depan belakang perahunya. Tak lama kemudian, ikan-ikan hiu itu berenang pergi dengan cepat seperti ketakutan setelah mencium bau bubukan hitam yang disebarkan oleh Sin Liong. Pemuda ini sudah mendengar akan bahaya ikan-ikan buas, maka dia telah membawa bekal racun bubukan hitam yang sering kali dipergunakan oleh para penghuni Pulau Es untuk mengusir ikan-ikan buas di waktu mereka mencari ikan.
Beberapa jam kemudian kembali dia menghadapi ancaman ikan-ikan kecil yang banyak sekali jumlahnya, mungkin laksaan. Ikan-ikan sebesar ibu jari kaki, akan tetapi keganasannya melebihi ikan hiu. Ikan-ikan ini bahkan berani menyerang orang di atas perahu dengan jalan meloncat dan menggigit. Sekali mulut yang penuh gigi runcing seperti gergaji itu mengenai tubuh, tentu sebagian daging dan kulit terobek dan terbawa moncongnya! Apalagi kalau sampai orang jatuh ke dalam air.
Dalam waktu beberapa menit saja tentu sudah habis tinggal tulangnya akibat dikeroyok laksaan ikan buas ini. Kembali Sin Liong dengan cepat menyebar obat bubuk hitam beracun itu. Ikan-ikan kecil itu pun lari cerai-berai tidak berani lagi mendekat sampai perahu meluncur meninggalkan daerah berbahaya itu.
Setelah melalui perjalanan yang amat sulit, menjelang senja akhirnya sampai juga perahu Sin Liong di pantai Pulau Neraka. Tetapi seperti dugaannya, pulau itu memang mengerikan sekali. Hutan yang terdapat di pulau itu amat besar dan liar. Pohon-pohon aneh dan menghitam warnanya memenuhi hutan yang kelihatannya sunyi dan mati.
Namun dibalik kesunyian itu, Sin Liong merasakan seolah-olah banyak mata mengamatinya dan maut tersembunyi di sana-sini, siap untuk mencengkeram siapa pun yang berani mendarat! Melihat keadaan pulau ini makin berdebar hati Sin Liong, penuh kekhawatiran terhadap keselamatan Swat Hong. Apakah dara itu sudah berasil mendarat?
Tentu Swat Hong dapat mencapai pulau ini karena dara itu pun tahu jalan ke situ, dan mengerti pula tempat-tempat berbahaya yang dilaluinya tadi sehingga seperti juga dia, tentu Swat Hong telah membawa bekal obat pengusir ikan-ikan buas tadi dengan cukup. Akan tetapi dia tidak melihat sebuah pun perahu di pantai Pulau Neraka.
Apakah ada penghuninya? Atau semua orang buangan telah mati terkena racun yang kabarnya memenuhi pulau ini? Karena khawatir kemalaman sebelum dapat menemukan Swat Hong, Sin Liong lalu meloncat ke darat dan menarik perahunya ke atas. Kemudian dia membalik dan memasuki hutan.
Baru saja dia berjalan beberapa langkah, terdengar suara berdengung-dengung dan entah dari mana datangnya, tampak ratusan ekor lebah berwarna putih menyambar-nyambar dan mengeroyoknya! Dari bau yang tercium olehnya, tahulah Sin Liong bahwa lebah-lebah itu mengandung racun yang amat jahat, maka tentu saja dia terkejut sekali! Cepat dia lari dari tempat itu, namun lebah-lebah itu mengejar terus, beterbangan sambil mengeluarkan suara berdengung-dengung yang mengerikan.
Sin Liong cepat menanggalkan jubah luarnya dan memutar jubah itu di sekeliling tubuhnya. Dari putaran jubah ini menyambar angin dahsyat sehingga lebah-lebah itu terdorong jauh oleh hawa yang menyambar dari putaran jubah. Sin Liong tidak tega untuk membunuh lebah-lebah itu, maka dia hanya menggunakan hawa putaran jubahnya untuk mengusir.
Namun binatang-binatang kecil itu hanya tidak mampu mendekati dan menyerang tubuh Sin Liong, akan tetapi sama sekali tidak terusir, bahkan kini makin banyak dan terbang mengelilingi Sin Liong dari jarak jauh sehingga tidak terjangkau oleh hawa pukulan jubah.
Melihat ini, Sin Liong kaget. Betapa pun kuatnya tidak mungkin baginya untuk berdiri di situ sambil memutar jubahnya semalam suntuk, bahkan selamanya sampai lebah-lebah itu terbang pergi! Lalu teringatlah dia akan senjata yang paling ampuh. Api! Dengan tangan kiri terus memutar jubah melindungi tubuhnya, Sin Liong lalu mengumpulkan daun kering dan mencari batu yang keras.
Dengan pengerahan tenaganya, dia menggosok dua batu itu sehingga timbul percikan bunga api yang membakar daun kering. Diambilnya sebatang ranting kering dan dibakarnya ranting ini. Benar saja. Dengan ranting yang ujungnya menyala ini dipegang tinggi di atas kepala, tidak ada lebah yang berani mendekatinya.
Sin Liong melanjutkan perjalanan dan terus menerus menyalakan api di ujung ranting yang dikumpulkan dan dibawanya. Dapat dibayangkan betapa ngeri hatinya ketika melihat banyak sekali binatang berbisa di sepanjang jalan. Ular-ular kecil, kalajengking, lebah-lebah dan sebangsanya merayap-rayap lari ketika dia datang dengan obor di tangan.
Untung dia membawa ranting bernyala. Semua binatang berbisa itu takut terhadap api. Andai kata dia tidak membawa api tentu dia telah dikeroyok oleh binatang-binatang kecil yang semuanya berbisa itu, dari atas dan bawah!
Lebah-lebah itu terus mengikutinya, akan tetapi dari jarak jauh, terbukti dari suara yang berdengung-dengung itu masih terus berada di belakangnya. Tiba-tiba terdengar suara bersuit panjang dan lebah-lebah itu beterbangan makin dekat, kembali mengurungnya dan kelihatan seperti marah. Bahkan ada beberapa ekor yang meluncur dekat sekali, akan tetapi menjauh lagi ketika Sin Liong menggunakan api di ujung ranting untuk mengusirnya.
Suitan terdengar berkali-kali dan lebah-lebah itu makin marah dan mengamuk. Tampak pula oleh Sin Liong betapa binatang kecil lainnya yang banyak terdapat di hutan itu mulai mendekatinya, namun masih takut-takut oleh api di ujung ranting.
"Siuuut...!" tiba-tiba tampak benda hitam menyambar kearah ujung rantingnya.
Maklumlah Sin Liong bawa sambitan yang amat kuat itu bermaksud memadamkan api di ujung ranting. Tentu saja dia tidak mau hal ini terjadi. Maka cepat ia menarik ranting terbakar itu ke bawah, lalu menggunakan tangan kirinya menyambar benda yang dilontarkan. Kiranya segumpal tanah hitam! Mengertilah dia bahwa ada orang yang membokongnya dan orang itu agaknya yang besuit-suit tadi. Suitan yang agaknya merupakan perintah kepada binatang-binatang itu untuk mengeroyoknya!
"Haiii, saudara penghuni Pulau Neraka! Harap jangan menyerang. Aku Kwa Sin Liong datang dengan maksud baik! Aku hanya mau mencari Sumoi ku di sini!"
Hening sejenak. Suitan-suitan tidak terdengar lagi dan lebah-lebah itu kembali menjauh, demikian pula ular, kelabang dan binatang kecil lainnya. Terdengar bunyi tapak kaki menginjak daun-daun kering, dan tak lama kemudian muncullah belasan orang yang bertelanjang kaki dan berpakaian tidak karuan. Muka mereka menyeramkan, kotor dan tidak terawat, mata mereka merah dan bergerak liar seperti mata orang-orang gila. Dengan gerakan perlahan dan pandang mata penuh curiga, belasan orang itu menghampiri dan mengurung Sin Liong.
Pemuda itu tersenyum ramah dan bersikap tenang. Ranting menyala diangkatnya tinggi-tinggi untuk memperhatikan wajah mereka. "Harap Cuwi (Anda Sekalian) sudi memaafkan kedatanganku yang tiba-tiba ini. Akan tetapi sesungguhnya aku, Kwa Sin Liong, tidak berniat buruk terhadap Pulau Neraka, apalagi terhadap penghuninya. Aku datang untuk mencari sumoi-ku yang bernama Han Swat Hong, yang mungkin sudah mendarat di pulau ini."
Seorang di antara mereka melangkah maju, mukanya penuh brewok sehingga yang tampak hanya matanya dan sedikit hidungnya. Orang ini lalu menegur dengan suaranya parau dan kasar, "Kau dari mana?"
"Dari Pulau Es...."
Belasan orang itu mendengus dan kelihatan marah sekali. Si Brewok mengangkat tinggi senjata golok besarnya dan membentak, "Kalau begitu kau harus mampus!"
"Nanti dulu, harap Cuwi bersabar," Sin Liong cepat berseru dan mengangkat tangan kirinya ke atas, "Aku bukan musuh dari Cuwi. Sudah kukatakan bahwa aku datang bukan untuk bermusuh, mengapa Cuwi hendak membunuhku?"
Pada saat itu muncul pula lima orang, dan terdengar seruan heran dari seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar, "Ehh, bukankah ini Kwa-kongcu dari Pulau Es?"
Sin Liong memandang dan merasa girang sekali ketika mengenal orang itu yang bukan lain adalah Bouw Tang Kui, penghuni Pulau Es yang dihukum buang ke Pulau Neraka karena telah mencuri batu mustika hijau!
"Bouw-lopek!" serunya girang. "Aku datang untuk mencari Swat Hong yang juga sudah dibuang ke sini!"
"Apa?!" Bouw Tang Kui berteriak, lalu berkata kepada Si Brewok yang agaknya menjadi pemimpin rombongan itu. "Dia adalah seorang yang telah membelaku, membela Lu Kiat dan Sia Gin Hwa ketika dijatuhi hukuman buang. Dia seorang pemuda yang tak setuju dengan hukum di Pulau Es, biar pun dia adalah murid Raja Han Ti Ong sendiri."
"Apa...?!" mereka kelihatan terkejut mendengar ini. "Muridnya...?"
"Benar," jawab Bouw Tang Kui. "Dan kita bukanlah lawannya."
Si Brewok meragu. "Kalau begitu, kita bawa dia kepada Tocu (Majikan Pulau)!"
Bouw Tang Kui melangkah maju. "Harap Kongcu menurut saja kami hadapkan kepada Tocu sehingga Kongcu dapat bicara sendiri dengannya."
Sin Liong terdiam sejenak sambil berpikir. Memang berbahaya sekali menghadapi orang-orang kasar ini karena mereka sukar diajak bicara. Kalau dia dapat bicara dengan Majikan Pulau yang tentu merupakan tokoh yang paling pandai, dia akan dapat minta keterangan apakah Swat Hong telah berada di pulau itu.
Akhirnya Sin Liong mengangguk dan beberapa orang penghuni Pulau Neraka lalu menyalakan obor. Sin Liong sendiri membuang rantingnya, mengenakan lagi jubahnya dan mengikuti rombongan belasan orang itu memasuki hutan. Di sepanjang jalan dia melihat tempat-tempat berbahaya. Lumpur-lumpur yang tertutup rumput tinggi, pasir-pasir berpusing yang dapat menyedot apa saja yang menginjaknya, pohon-pohon yang aneh dengan buah-buah yang kelihatan lezat namun dari baunya dia tahu bahwa buah itu mengandung racun jahat, dan lain-lain.
“Benar-benar pulau yang amat aneh dan berbahaya,” pikirnya. “Pantas tempat ini disebut Pulau Neraka.”
Diam-diam dia mencela kekejaman Kerajaan Pulau Es yang membuang orang-orang bersalah ke tempat seperti ini. Dari keadaan orang-orang yang menangkapnya ini, hanya Bouw Tang Kui seorang yang kelihatan masih normal. Hal ini mungkin karena raksaksa ini baru beberapa bulan saja dibuang ke sini. Sedangkan yang lain-lain, biar pun dapat mempertahankan hidupnya namun telah berubah menjadi orang-orang liar yang agaknya telah berubah pula watak dan ingatannya!
Selain menjadi orang-orang yang tidak normal agaknya mereka telah menguasai ilmu yang dahsyat dan mengerikan, yaitu ilmu menguasai binatang-binatang berbisa di pulau itu. Buktinya, biar pun mereka berjalan di hutan penuh binatang berbisa itu tanpa sepatu, tapi tidak ada seekor pun yang berani menyerang mereka. Akhirnya dengan menggunakan ketajaman pandang mata dan penciuman hidungnya, Sin Liong maklum bahwa orang-orang ini telah menggunakan semacam obat yang agaknya digosok-gosokan ke seluruh kaki mereka sehingga binatang itu menyingkir begitu mereka mendekat.
Tak disangkanya sama sekali, ketika mereka tiba di tengah jalan, di situ terdapat tanah lapang yang luas dan tampak sebuah rumah besar yang dikelilingi pondok-pondok kayu sederhana. Lampu-lampu dinyalakan terang dan Sin Liong dibawa ke sebuah ruangan yang luas di mana telah menanti ketua pulau itu yang disebut Tocu (Majikan Pulau).
Ruangan itu luasnya lebih dari sepuluh meter persegi, dikelilingi banyak orang yang memegang bermacam senjata dan yang sikapnya semua penuh curiga dan permusuhan, kecuali Bouw Tang Kui, Sia Gin Hwa, Lu Kiat dan belasan orang lagi yang belum lama dibuang kesitu sehingga mereka ini mengenal Sin Liong sebagai murid Han Ti Ong yang selalu baik kepada mereka, bahkan banyak di antara mereka yang pernah diobati oleh pemuda ini.
"Hayo berlutut di depan Tocu!" kata Si Brewok sambil mendorong Sin Liong ke depan.
Akan tetapi Sin Liong dengan tenang berdiri di depan Tocu itu dan memandang penuh perhatian. Orang ini sudah tua, sedikitnya tentu ada enam puluh tahun usianya. Kepalanya besar sekali, tubuhnya kurus kecil sehingga kelihatan lucu, seperti seekor singa jantan yang duduk di kursi! Sepasang matanya bersinar-sinar, mulutnya menyeringai.
Sebetulnya wajahnya tampan, akan tetapi karena sikapnya yang ganas itu membuat wajahnya kelihatan menyeramkan dan menakutkan. Pakaiannya tidak seperti pakaian sebagian besar penghuni Pulau Neraka yang butut, melainkan pakaian dari kain yang baru dan bersih. Kursinya terbuat dari tulang-tulang berukir, dan di kedua lengan kursinya dihiasi dengan rangka ular dengan moncongnya ternganga lebar memperlihatkan gigi yang runcing melengkung.
Di sebelah kanan ketua Pulau Neraka ini duduk seorang anak perempuan yang tadinya hampir membuat Sin Liong salah kira. Anak itu usianya sebaya dengan Swat Hong, seorang anak perempuan yang cantik dan tersenyum-senyum, sikapnya kelihatan gembira. Mungkin karena sebaya maka kelihatannya mirip dengan Swat Hong. Hampir saja Sin Liong tadi memanggilnya ketika mula-mula memasuki ruangan. Ketika melihat betapa pemuda tawanan itu memandangnya penuh perhatian, anak perempuan itu tersenyum-senyum.
Melihat Sin Liong tidak mau berlutut di depannya, kakek itu memandang tajam, kemudian berkata perlahan dengan suara rendah, "Hemmm, kau tidak mau berlutut, ya? Hendak kulihat kalau kedua lututmu patah, kau berlutut atau tidak?"
Selesai berkata demikian, tiba-tiba tangan kakek itu menyambar sebatang toya dari tangan seorang penjaga. Ia menekuk toya itu sehingga patah tengahnya dan sekali dia menggerakkan tangan, sepasang potong toya itu menyambar ke arah kedua kaki Sin Liong!
Pemuda itu terkejut, akan tetapi bersikap tenang. Dia maklum bahwa ketua Pulau Neraka itu bermaksud menggunakan lemparan tongkat untuk membikin sambungan lututnya terlepas. Maka dia cepat menggerakkan kedua kakinya, meloncat ke atas, kemudian setelah melihat kedua toya berkelebat ke bawah kaki dia menggunakan kedua kakinya menginjak. Sepasang tongkat pendek itu menancap di atas lantai dan pemuda itu berdiri di atas kedua ujung tongkat dengan tubuh tegak dan bersikap seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu!
"Waduhhh, dia hebat sekali, Kongkong (Kakek)!" anak perempuan yang tadi tersenyum-senyum itu bersorak penuh kagum, padahal anak buah Pulau Neraka memandang marah karena mengangap bahwa pemuda itu mengejek ketua mereka.
"Hebat apa?! Permainan kanak-kanak seperti itu!" kakek berkepala besar itu mendengus marah.
"Kongkong juga bisa? Ajarkan aku kalau begitu!" anak prempuan itu berkata dengan sikap dan suara manja.
"Hushh! Diamlah kau!" kakek itu membentak. Sejak tadi matanya tidak pernah berpindah dari Sin Liong.
Dibentak seperti itu, anak perempuan itu cemberut dan mukanya merah menahan tangis.
Sin Liong merasa kasihan, lalu meloncat turun dan berkata menghibur, "Adik yang manis, jangan berduka. Biarlah kalau ada kesempatan aku akan mengajarkannya kepadamu."
Anak perempuan itu memandang Sin Liong dengan mata terbelalak, kemudian lenyaplah kemuraman wajahnya yang manja menjadi berseri-seri kembali.
"Orang muda yang bersikap dan bermulut lancang! Siapa engkau yang mengandalkan sedikit kepandaian untuk mengacau Pulau Neraka?" kakek itu membentak, menahan kemarahannya karena dia merasa direndahkan sekali ketika serangan sepasang tongkatnya tadi gagal dan dihadapi oleh pemuda itu secara luar biasa.
Sin Liong cepat memberi hormat dengan menjura dalam-dalam, kemudian dia berkata dengan suara tenang, "Harap Tocu suka memaafkan kedatanganku ke Pulau Neraka ini. Seperti telah kukatakan kepada semua penghuni Pulau Neraka, kedatanganku sama sekali tidak mengandung niat buruk atau hendak bermusuhan. Aku bernama Kwa Sin Liong dan...."
"Dia murid Han Ti Ong!" tiba-tiba Si Brewok berkata lantang.
Ucapan ini disambut dengan suara berisik dari semua oang yang berada di situ karena mereka sudah menjadi marah sekali. Semua orang yang berada di situ adalah orang-orang buangan dari Pulau Es semenjak raja pertama sehingga sudah tinggal di situ selama tiga keturunan. Ada orang buangan baru dan ada pula yang merupakan turunan dari orang-orang buangan lama, akan tetapi kesemuanya mempunyai rasa benci dan dendam pada satu nama, yaitu Pulau Es!
Maka begitu mendengar pemuda tampan dan tenang ini adalah murid Han Ti Ong, raja terakhir dari Pulau Es, dapat dibayangkan kemarahan hati mereka. Pandang mata mereka yang liar seolah hendak mencabik-cabik dan membunuh pemuda yang dianggapnya seorang musuh besar itu. Andai kata mereka tidak takut kepada ketua mereka, tentu mereka telah menyerbu untuk melaksanakan niat yang terbayang dalam pandang mata mereka itu.
"Akan tetapi dia selalu menentang Han Ti Ong, menentang pembuangan ke Pulau Neraka!" terdengar suara beberapa orang membela, yaitu suara Bouw Tang Kui, Lu Kiat, Sia Gin Hwa dan beberapa orang buangan baru yang lain.
"Bunuh saja dia!"
"Seret murid Han Ti Ong!"
"Jadikan dia mangsa ular!"
Kakek bekepala besar itu mengangkat kedua lengannya ke atas dan membentak, "Diam...!!"
Sin Liong kembali terkejut. Ketika mengeluarkan suara bentakan tadi, ketua Pulau Neraka agaknya telah mengerahkan khikangnya sehingga dia sendiri yang berdiri di depan kakek itu merasa betapa kedua kakinya tergetar! Mengertilah dia bahwa ketua Pulau Neraka ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tahulah dia bahwa dia telah memasuki sarang naga dan berada dalam keadaan terancam. Namun Sin Liong tidak merasa takut sedikit pun juga karena dia merasa bahwa dia tidak melakukan suatu kesalahan terhadap mereka ini.
Maka kembali dia menjura kepada ketua Pulau Neraka sambil berkata, "Tocu, sekali lagi kujelaskan bahwa kedatanganku ini sama sekali tidak mengandung niat buruk. Kalau tidak ada keperluan mendesak pasti aku tidak akan berani menginjakkan kaki ke pulau ini. Aku datang untuk mencari sumoi-ku yang bernama Han Swat Hong puteri Suhu...." Sin Liong menghentikan kata-katanya karena teringat bahwa dia telah kelepasan bicara, akan tetapi karena sudah terlanjur maka tak mungkin kata-kata itu ditariknya kembali.
"Putera Han Ti Ong...?!" ketua Pulau Neraka berseru keras sekali sampai mengagetkan semua orang. "Kau mencari puteri Han Ti Ong di sini?!"
Sin Liong berkata, "Benar, Tocu. Karena aku menduga bahwa dia berada di sini maka aku menyusul ke sini."
"Tangkap puteri Han Ti Ong!"
"Bunuh dia!"
"Gantung puterinya!"
Kini Sin Liong mengangkat kedua lengannya, dan sambil mengerahkan khikang-nya dia beseru, "Harap Cuwi diam!"
Dan diamlah semua orang. Di antara mereka yang memiliki kepandaian tinggi, termasuk ketua Pulau Neraka, kagum sekali karena orang muda yang belum dewasa benar ini ternyata memiliki kekuatan khikang yang amat hebat!
"Harap Tocu tidak salah sangka. Puteri Han Ti Ong itu juga menjadi orang buangan."
Ucapan Sin Liong ini tentu saja mengejutkan dan mengherankan hati semua orang sehingga mereka tidak dapat mengeluarkan kata-kata, melainkan hanya memandang kepada Sin Liong dengan mata terbelalak.
"Kau bohong!" kakek berkepala besar itu menghardik. "Mana mungkin Han Ti Ong membuang puterinya sendiri ke Pulau Neraka?"
"Agaknya Tocu telah mengerti akan kerasnya peraturan hukum di Pulau Es. Sebetulnya yang dianggap melanggar hukum adalah istri suhu sendiri, istri tua, yang aku yakin hanyalah karena fitnah belaka. Suhu telah menjatuhkan hukuman kepada Subo, dan Sumoi lalu mewakili ibunya untuk membuang diri ke Pulau Neraka, maka aku menyusul ke sini untuk mengajaknya pulang ke Pulau Es."
Tiba-tiba ketua Pulau Neraka tertawa bergelak, tertawa penuh kegembiraan sampai kedua matanya mengeluarkan air mata. "Huah-ha-ha-ha! Ha-ha-ha, betapa lucunya! Rasakan kau sekarang Han Ti Ong, Raja keparat! Rasakan kau betapa perihnya orang tertimpa kesengsaraan karena keluarga berantakan. Ha ha ha!"
Semua orang yang melihat dan mendengar kata-kata ketua Pulau Neraka ini, kontan tertawa-tawa semua, mentertawakan Raja Pulau Es! Biar pun mereka belum sempat membalas dendam kepada Raja Pulau Es, mendengar nasib buruk Raja itu sudah merupakan hiburan besar yang amat menyenangkan hati mereka. Hanya anak perempuan itu saja yang tidak ikut tertawa karena dia agaknya tidak mengerti apa-apa, dan pada saat itu dia hanya saling pandang dengan Sin Liong yang juga terheran-heran.
"Hei, Kwa Sin Liong! Betapa baiknya ceritamu, akan tetapi aku masih belum percaya kalau tidak melihat sendiri puteri Han Ti Ong datang ke pulau ini. Kita tunggu dan lihat saja. Setelah aku melihat puteri Han Ti Ong berada di pulau ini, barulah kita akan bicara lagi. Tangkap dia dan masukan dalam kamar tahanan sambil menanti munculnya puteri Han Ti Ong!"
Si Brewok dan beberapa orang yang agaknya menjadi pembantu utama ketua Pulau Neraka sudah melangkah menghampiri Sin Liong dengan sikap mengancam. Pemuda ini maklum, bahwa tidak ada jalan lain kecuali menyerah sambil menanti munculnya sumoi-nya, karena sebelum dia bertemu dengan sumoi-nya, melawan hanya akan menimbulkan permusuhan yang tidak ada artinya saja.
Maka Sin Liong mengangkat kedua tangannya dan berkata, "Aku tidak akan melawan, kecuali kalau kalian menggunakan kekerasan. Aku menyerah dan mau menanti di kamar tahanan sampai sumoi ku muncul."
Melihat sikap tenang dan ucapan yang berwibawa ini, belasan orang yang mengurung Sin Liong dengan sikap mengancam tadi kelihatan ragu-ragu.
Akan tetapi Sin Long lalu melangkah ke depan dan berkata, "Marilah bawa aku ke kamar tahanan."
"Jangan ganggu dia. Biar dia mengaso di kamar tahanan dan layani baik-baik sampai puteri Han Ti Ong mucul. Kalau dia membohong, hemm, baru kita akan berpesta membunuhnya!" ketua Pulau Neraka berkata sambil terkekeh-kekeh.
Hati ketua Pulau Neraka senang sekali mendengar betapa Han Ti Ong sampai membuang istrinya sendiri ke Pulau Neraka, kemudian puterinya malah membuang diri ke Pulau Neraka. Biar pun dia belum percaya benar akan cerita ini sebelum dia menyaksikan buktinya, namun berita itu saja sudah mendatangkan rasa senang di dalam hatinya.
Dengan sikap gagah dan tenang sekali Sin Liong digiring ke dalam kamar tahanan, diikuti oleh pandang mata penuh khawatir dari anak perempuan tadi.
Setelah rombongan itu lenyap, anak perempuan itu mencela ketua Pulau Neraka, "Kongkong kenapa dia ditahan? Dia luar biasa, berani dan pandai sekali!"
"Hushh! Dia orang Pulau Es, dia murid Han Ti Ong, karena itu dia adalah musuh kita. Mengerti?"
Anak perempuan itu cemberut, lalu meninggalkan kakek itu sambil bersungut-sungut, sedangkan kakeknya tertawa bergelak dengan hati senang. Dia lalu memberi isyarat memanggil seorang kepercayaannya, lalu berbisik-bisik sambil tersenyum-senyum. Pembantunya juga tertawa, mengangguk-angguk lalu pergi. Kakek ini, ketua Pulau Neraka yang memiliki kepandaian tinggi, sama sekali tidak curiga kepada cucunya sendiri. Ia tidak tahu bahwa cucunya itu tadi menyelinap dan mendengarkan perintah yang dia berikan kepada orang kepercayaannya.
Sin Liong adalah seorang pemuda yang tidak pernah mempunyai prasangka buruk terhadap orang lain. Dia belum banyak mengenal kepalsuan watak manusia, maka biar pun terhadap orang-orang Pulau Neraka, dia tetap menaruh kepercayaan. Sebab itu dia pun percaya penuh akan kata-kata ketua Pulau Neraka dan dengan suka rela dia menyerahkan diri, tidak melawan ketika digiring memasuki kamar tahanan!
Setelah berada di dalam kamar bawah tanah yang sempit itu, dengan jendela dari besi, dan ruji baja yang kuat memenuhi jendela sebagai jalan hawa, dia segera duduk besila. Dia tak menaruh khawatir akan keadaan dirinya, akan tetapi dia merasa gelisah mengapa sumoi-nya belum tiba di Pulau Neraka? Dia percaya bahwa ketua Pulau Neraka tidak membohonginya. Kalau benar bahwa Swat Hong telah berada di Pulau Neraka, tentu tidak seperti ini sikap mereka terhadap dirinya. Kalau begitu, jelas bahwa Sumoi-nya belum tiba di Pulau Neraka, padahal telah berangkat lebih dahulu. Ke manakah perginya sumoi-nya itu?
Tengah malam telah lewat dan keadaan sunyi sekali dalam kamar tahanan itu. Tidak ada penjaga di luar pintu atau jendela, akan tetapi dia tahu bahwa di pintu masuk lorong tahanan itu terdapat beberapa orang penjaga yang selalu siap dengan senjata di tangan.
Tiba-tiba dia mendengar suara wanita yang marah-marah di sebelah luar dan suara para penjaga ketakutan. "Kalian berani melarangku masuk?" terdengar suara wanita itu.
"Nona, tahanan ini adalah orang penting! Dan...."
"Dan kau anggap aku bukan orang penting? Kau kira aku mau apa? Aku mau mengejek dan memakinya, dia adalah musuh besarku. Apakah kau berani melarangku? Coba kau melarang dan aku akan mengatakan kepada Kongkong bahwa kalian berani kurang ajar kepadaku hendak menggodaku. Aku mau melihat apakah kepala kalian masih akan menempel di leher?!"
"Ah, tidak... bukan begitu...."
"Maafkan, Nona...."
"Silakan masuk, silakan...."
"Awas kalau ada yang mengikuti aku dan mengintai, berarti dia mau kurang ajar dan akan kuberitahukan kepada Kongkong!"
Sin Liong sudah menduga siapa wanita yang bicara di luar dan ribut-ribut dengan para penjaga itu, akan tetapi begitu dara itu muncul di bawah sinar lampu di luar ruji jendelanya, hampir saja dia berteriak memanggil karena mengira bahwa Swat Hong yang muncul itu. Di bawah sinar lampu yang tidak begitu terang memang gadis cucu ketua Pulau Neraka ini hampir sama dengan Swat Hong.
Setelah melihat jelas bahwa yang datang adalah cucu ketua Pulau Neraka dan mengingat akan kata-kata gadis ini di luar tadi bahwa kedatangannya dengan niat mengejek dan memakinya, Sin Liong tetap duduk bersila dan bahkan memejamkan matanya, pura-pura tidur.
"Sssttt..."
Sin Liong tidak menjawab, bergerak sedikit pun tidak. Perlu apa melayani seorang bocah yang hanya datang hendak mengejek dan memakinya? Demikian pikirnya, sungguh pun hatinya terasa tidak enak juga harus mendiamkan saja orang yang susah payah datang sampai ribut mulut dengan para penjaga. Tentu akan kecewa hatinya, pikir Sin Liong dan diam-diam dia mengintai dari balik bulu matanya yang direnggangkanya sedikit.
"Psssttt... kau tidak tidur, bulu matamu bergerak-gerak, jangan kau tipu aku...," anak perempuan itu berkata lagi dengan suara bisik-bisik dan meruncingkan bibirnya di antara ruji-ruji jendela.
Sin Liong menarik napas panjang dan membuka matanya. "Hah, kau boleh mengejek dan memaki sesukamu, kemudian pergilah agar aku dapat mengaso benar-benar," katanya.
"Hi-hik!" Gadis itu menahan ketawanya, menutupi mulutnya yang kecil. "Kiranya engkau sama bodohnya dengan para penjaga itu, percaya saja apa yang kukatakan di luar tadi!"
Sin Liong bangkit berdiri dan menghampiri jendela kamar tahanan. Mereka saling berhadapan dan saling pandang melalui ruji-ruji jendela.
"Apa yang kau maksudkan, Nona?"
Mulut yang tersenyum itu kini cemberut dan terdengar suaranya manja, "Kau tadi menyebutkan Adik yang manis. Mengapa sekarang menjadi Nona? kau benar pandai mengecewakan hati orang!"
Mau tidak mau Sin Liong tersenyum. Bocah ini manja dan lincah, mengingatkan dia kepada Han Swat Hong. Banyak persamaan antara kedua orang perempuan itu. “Baiklah, Adik yang manis. Sebenarnya, mau apa kau datang ke sini kalau bukan untuk mengejek dan memaki aku yang dianggap musuh oleh kakekmu?"
"Aku datang untuk bercakap-cakap."
"Hemm, waktu dan tempatnya tidak tepat untuk bercakap-cakap. Aku adalah seorang tahanan dan engkau adalah cucu Tocu di sini. Tempat ini pun kamar tahanan yang kotor dan sempit, sedangkan sekarang sudah lewat tengah malam. Harap engkau kembali ke kamarmu dan tidur yang nyenyak. jangan-jangan kau akan dimarahi Kongkong mu."
"Aku tidak takut! Aku sengaja datang ke sini untuk bercakap-cakap denganmu. Siapa berani melarangku?" sikapnya menjadi galak, matanya bersinar-sinar.
Sin Liong menarik napas panjang. Sejak lama dia memperoleh kenyataan betapa ganjilnya watak wanita. Dia melihat watak-watak yang aneh dan sukar dimengerti yang dilihatnya pada diri Sia Gin Hwa yang menyeleweng dari suaminya, berjinah dengan Lu Kiat, pada diri Liu Bwee ibu Swat Hong yang tadinya periang lalu berubah pemurung dan berhati begitu sabar dan mengalah terhadap suaminya yang menyakitkan hatinya, pada diri The Kwat Lin yang juga amat berubah setelah menjadi istri raja, pada diri Swat Hong yang telah nekad membuang diri ke Pulau Neraka, dan kini dia berhadapan dengan seorang gadis yang juga berwatak aneh sekali.
"Baiklah, jangan marah karena tidak ada yang melarangmu di sini. Kalau kau ingin bercakap-cakap, nah, bercakaplah dan aku akan mendengarkan."
Gadis itu melongo. "Bercakap apa?"
Diam-diam Sin Liong merasa geli. Benar-benar seorang gadis yang masih seperti kanak-kanak dan mungkin semua sikapnya tadi, ketika bergembira dan ketika marah, tidaklah setulus hatinya, maka demikian mudah berubah.
"Bercakap apa saja sesukamu, misalnya siapa namamu, siapa pula nama Kongkong-mu dan keadaan di pulau ini dan lain-lain."
Wajah itu berseri kembali, gembira setelah ingat bahwa sesungguhnya banyak sekali bahan untuk dibicarakan.
"Namaku Soan Cu, Ouw Soan Cu...."
"Namamu indah." Sin Liong memuji untuk menyenangkan hatinya si nona kecil.
Dan memang hati Soan Cu senang sekali mendengar pujian ini. "Benarkah? Benarkah namaku indah?" Dengan penuh gairah dia lalu menceritakan riwayatnya secara singkat.
Ketua atau Majikan Pulau Neraka itu bernama Ouw Kong Ek, bukanlah seorang buangan dari Pulau Es, melainkan keturunan orang buangan yang semenjak ratusan tahun menjadi ketua di situ karena memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kakek dari Ouw Kong Ek, seorang buangan dari Pulau Es yang berilmu tinggi, adalah seorang pertama yang menjadi ‘Ketua’ di Pulau Neraka, kemudian menurunkan kedudukan ini kepada anaknya sampai kepada Ouw Kong Ek.
Ouw Kong Ek sendiri mengambil seorang buangan dari Pulau Es, seorang bekas pelayan permaisuri Raja Pulau Es yang dijatuhi hukuman buang karena difitnah akibat dia tidak mau melayani seorang pangeran yang tergila-gila kepadanya, menjadi istrinya dan mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Ouw Sian Kok.
Akan tetapi istrinya meninggal dunia ketika Ouw Sian Kok menikah dengan seorang gadis Pulau Neraka dan Ketua Pulau Neraka ini tinggal menduda. Dia mencurahkan pengharapanya kepada putera tunggalnya yang mewarisi semua ilmunya dan kelak diharapkan akan menggantikan kedudukannya kalau dia sudah mengundurkan diri.
Namun nasib buruk menimpa keluarga Ouw. Ketika istri Ouw Sian Kok melahirkan seorang anak, yaitu Soan Cu, ibu muda ini meninggal dunia. Ouw Sian Kok demikian berduka sehingga ingatannya terganggu, menjadi gila dan melarikan diri dari Pulau Neraka. Tak seorang pun tahu kemana perginya orang gila itu....
"Demikianlah riwayatku yang tidak menggembirakan," Soan Cu mengakhiri ceritanya. “Sejak kecil aku tidak pernah melihat wajah ibu dan ayahku. Ayah sampai sekarang tidak pulang dan tidak ada yang tahu berada di mana. Aku dipelihara dan dididik oleh Kongkong yang mengharapkan kelak aku menggantikan kedudukan ketua di sini. Akan tetapi aku tidak sudi!"
"Mengapa tidak sudi, Soan Cu?"
"Siapa sudi mengurusi orang-orang gila itu! Mereka semua gila dan jahat, karena itu aku suka kepadamu Sin Liong. Engkau lain dari pada mereka, engkau berani dan baik. Maka aku datang untuk menolongmu. Ketahuilah, sebentar lagi kalau kau dikira sudah tidur, engkau akan dibunuh!"
Sin Liong terkejut akan tetapi tetap bersikap tenang. "Benarkah? Mengapa aku dibunuh? Bukankah Kongkong-mu berjanji bahwa kita akan menunggu sampai sumoi-ku tiba di Pulau Neraka?"
"Uhh, kau percaya kepada Kongkong! Hmm, dia hanya membohong."
"Ah, mengapa begitu? Sebagai seorang ketua tidak sepatutnya kalau dia menipu."
"Membohong dan menipu merupakan pebuatan yang menguntungkan dan bahkan dianggap baik dan layak di sini! Itu adalah tanda dari kecerdikan seseorang!"
"Pantas kau tadi pun membohongi penjaga." Sin Liong mencela.
"Memang! Kalau tidak membohong, mana bisa aku masuk dengan mudah? Dan kau tentu akan celaka kalau aku tidak membohong."
"Hmmm..., alasan yang dicari-cari dan ngawur. Jadi mereka hendak membunuhku? Enak saja, apa dikira aku begitu mudah dibunuh?"
"Kau tidak tahu kecerdikan Kongkong, Sin Liong. Kalau mereka gunakan kekerasan, agaknya kau akan melawan dan aku sudah melihat kau tadi begitu lihai. Akan tetapi, mereka akan mengerahkan binatang-binatang berbisa untuk mengeroyokmu dan membunuhmu di kamar sempit ini! Kalau segala macam ular, kalajengking, kelabang, lebah dan lain binatang berbisa itu datang memenuhi tempat ini dan mengeroyokmu, apa yang akan dapat kau lakukan untuk menyelamatkan diri?"
"Hemm, aku akan berusaha membela diri. Kalau aku gagal, aku akan mati dan habis perkara. Tidak ada hal yang menggelisahkan hatiku."
"Kau sombong! Kau tidak mau minta tolong kepadaku?"
"Andai kata aku minta tolong juga, kalau kau tidak mau menolong, apa artinya? Tanpa kuminta sekali pun, kalau kau mau menolong, bagaimana caranya? Sudahlah, kau hanya akan menyusahkan dirimu sendiri saja, Soan Cu. Betapa pun juga terima kasih atas kedatanganmu dan kebaikan hatimu. Kau seorang dara yang cantik dan baik budi, sayang kau berada di antara orang-orang liar itu. Pergilah, jangan sampai kakekmu melihat engkau berada di sini."
Soan Cu mengeluarkan sebuah bungkusan. "Inilah yang akan menyelamatkanmu. Kau pergunakan obat bubuk ini untuk menggosok semua kulit tubuhmu yang tampak, dan sebarkan sebagian di sekelilingmu. Tidak akan ada seekor pun binatang berbisa yang berani datang mendekat, apalagi menggigitmu. Nah, sebetulnya kedatanganku hanya untuk menyerahkan ini, akan tetapi kita terlanjur ngobrol panjang lebar. Selamat tinggal, Sin Liong."
Sin Liong menerima bungkusan itu, mengulurkan tangan dari antara ruji jendela dan memegang lengan dara itu. "Nanti dulu, Soan Cu."
“Ada apa lagi?" gadis itu membalikkan tubuh dan mereka saling berpegangan tangan.
Hal ini dilakukan oleh Sin Liong karena dia merasa terharu juga oleh pertolongan yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. "Soan Cu, tahukah engkau apa yang akan terjadi padamu kalau sampai Kongkong-mu mengetahui akan perbuatanmu ini?"
"Menolong engkau? Ah, paling-paling dia akan membunuhku!"
"Hemm, begitu ringan kau memandang akibat itu? Soan Cu, mengapa kau melakukan ini untukku? Mengapa kau menolongku dengan mempertaruhkan nyawa?"
"Sudah kukatakan tadi. Kau lain dari pada semua orang yang kulihat di pulau ini. Aku suka padamu dan aku tidak ingin mendengar apalagi melihat engkau mati. Sudahlah, hati-hati menjaga dirimu, Sin Liong!" Gadis itu meloncat lalu berlari ke luar.
Sin Liong berdiri temenung sejenak, kemudian kembali ke tengah kamar tahanan dan duduk bersila menenangkan hatinya. Andai kata tidak ada Soan Cu yang datang memberikan obat penawar dan pengusir binatang berbisa, dia pun tidak akan gentar dan belum tentu akan celaka oleh binatang-binatang itu, sungguh pun dia sendiri belum mau membayangkan apa yang akan dilakukannya kalau serangan itu tiba. Apalagi sekarang ada obat bubuk itu.
Dia teringat betapa penghuni Pulau Neraka dapat menjelajahi hutan yang penuh binatang berbisa dengan enaknya karena tubuh mereka sudah memakai obat penawar. Agaknya inilah obat penawar itu. Dia membuka bungkusan dan melihat obat bubuk berwarna kuning muda yang tidak akan kentara kalau dioleskan di kulit tubuhnya.
Sin Liong bersila dan mengatur pernapasan, melakukan siulian (semedi) lagi. Pendengarannya menjadi amat terang dan tajam sehingga dia dapat menangkap suara mendesis dan suara yang dikenalnya sebagai suara lebah yang datang dari jauh, makin lama makin mendekat.
Tahulah dia bahwa apa yang diceritakan oleh Soan Cu memang tidak bohong. Sekali ini agaknya anak itu tidak berbohong! Maka dia lalu membuka bungkusan, menggosok kulit tubuhnya yang tidak tertutup pakaian dengan obat itu. Mukanya sampai ke leher, tangan dan kakinya, digosoknya sampai rata. Kemudian sambil membawa bungkusan yang terisi sisa obat itu, dia menanti. Tak lama kemudian, suara itu menjadi makin dekat dan tiba-tiba saja munculah mereka!
Diam-diam Sin Liong bergidik juga. Tentu dia akan melompat kalau saja dia tidak mempunyai obat penolak itu. Dari bawah pintu, puluhan ekor ular kecil dan kelabang besar, kalajengking yang besarnya sebesar ibu jari, merayap dengan cepat memasuki kamar, berlomba dengan lebah-lebah putih yang beterbangan masuk melalui jendela. Sin Liong cepat menyebarkan bubuk obat ke sekeliling di atas lantai, dan menaburkan sebagian ke atas, ke arah lebah-lebah yang berterbangan.
Dia tersenyum kagum melihat akibatnya. Semua binatang berbisa itu, dari yang paling kecil sampai yang paling besar, tiba-tiba serentak membalik saling terjang dan saling timpa, lari cerai-berai meninggalkan kamar. Lebah-lebah putih juga terbang dengan kacau, menabrak dinding dan banyak yang jatuh mati, yang sempat terbang ke luar jendela saling tabrak seperti mabok, dan sebentar saja suara binatang-binatang itu sudah menjauh.
Akan tetapi mendadak Sin Liong meloncat berdiri ketika medengar suara lain yang membuat jantungnya berdebar, yaitu suara seorang wanita memaki-maki,
"Iblis kalian semua! Manusia-manusia gila! Kalau tidak dapat membasmi kalian, jangan sebut aku Han Swat Hong!"
Sin Liong meloncat ke arah jendela. Kedua tangannya bergerak dan terdengar suara keras ketika ruji-ruji jendela jebol semua. Dia meloncat dan keluar dari kamarnya, terus berlari ke luar melalui lorong. Setibanya di luar, tampaklah olehnya Swat Hong berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang. Dua orang anggota Pulau Neraka roboh dan mengaduh-aduh di bawah, sedangkan belasan orang lain mengurung gadis itu.
Sin Liong menggeleng-geleng kepala. Sumoinya memang galak dan pemberani. Bukan main gagahnya. Dikurung oleh orang-orang Pulau Neraka itu masih enak-enak saja, bahkan tidak mencabut pedang, padahal semua yang mengurungnya memegang senjata.