Bu Kek Siansu Jilid 08

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-kek Sian-su Jilid 09 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa
APALAGI ketika Sin Liong datang untuk kedua kalinya, bahkan pemuda itu telah menolong Soan Cu, dan menolong Pulau Neraka yang diserbu bajak laut. Tentu saja dia tidak dapat memaksa pemuda itu untuk menjadi calon suami cucunya, akan tetapi dengan kesempatan melakukan perantauan bersama, dia harap akan timbul cinta di dalam hati pemuda itu terhadap cucunya yang dia tahu merupakan seorang gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi, juga berwatak baik....

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-kek Sian-su Karya Kho Ping Hoo
Demikianlah, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama Soan Cu dan juga beruang raksasa yang menjadi jinak itu. Dengan sebuah perahu yang disediakan oleh Ouw Kong Ek, berangkatlah mereka meninggalkan Pulau Neraka, berlayar melalui pulau-pulau di daerah itu.

Akhirnya, karena tidak berhasil menemukan Swat Hong yang dicari-carinya, juga tidak tampak seorang pun manusia tinggal di daerah lautan berbahaya itu, Sin Liong mengemudikan perahunya menuju ke arah barat, ke daratan besar.

"Besar kemungkinan Sumoi mendarat. Kalau sampai belasan tahun ayahmu tidak pernah pulang dan tidak ada beritanya, juga bukan tidak mungkin Ayahmu tinggal di sana," katanya kepada Soan Cu. "Mari kita mencari jejak mereka di daratan besar."

Soan Cu tidak membantah. Demikianlah akhirnya mereka mendarat, hanya beberapa hari lebih dulu dari pendaratan yang dilakukan oleh Swat Hong yang tersesat jalan dan mendarat jauh di selatan sehingga dia bertemu dengan Kwee Lun. 

Karena dari pantai ke barat banyak melalui daerah yang sunyi, pegunungan dan hutan, maka adanya beruang bersama mereka tidak terlalu mengganggu benar. Pula, binatang itu sudah jinak sekali, bahkan dapat disuruh untuk mencari buah-buahan, pandai pula mencari air di dalam hutan yang lebat.

Pada suatu hari, tibalah mereka di pegunungan Tai-hang-san. Tanpa mereka ketahui, mereka tiba di lereng puncak Awan Merah, daerah kekuasan Tee-tok. Ketika mereka memasuki sebuah hutan besar, tiba-tiba terdengar auman harimau yang amat keras sehingga suara itu menggetarkan hutan.

Mendengar auman ini, beruang itu menjadi marah sekali. Sin Liong cepat memegang dan memeluk binatang itu, khawatir kalau-kalau beruang itu akan lari dan berkelahi dengan harimau yang mengaum itu.

"Hai......! Ada harimau! Biar kutangkap dia!" Sian Cu sudah berlari-lari membawa senjatanya yang aneh dan istimewa, yaitu sebatang cambuk berduri yang menjadi senjata kesayangannya di samping pedang. Dia tertawa-tawa gembira sehingga Sin Liong tidak tega untuk melarangnya. Dara itu masih remaja, masih bersifat kanak-kanak dan hanya kadang-kadang saja tampak kedewasaanya.

Sin Liong maklum bahwa gadis yang sejak bayi dibesarkan di tempat seperti Pulau Neraka itu, tentu saja memiliki sifat-sifat liar, akan tetapi dia pun mengenal dasar-dasar baik dari hati Soan Cu. Selain membiarkan gadis itu bergembira, juga dia percaya penuh bahwa ilmu kepandaian Soan Cu sudah tinggi sekali, cukup tinggi untuk melindungi diri sendiri.

Soan Cu berlari cepat sekali, dan ketika berlari ini timbullah kegembiraan yang luar biasa di dalam hatinya. Di depan Sin Liong dia selalu harus menekan perasaannya karena sikap pemuda ini sungguh penuh wibawa dan membuat dia tunduk, takut dan hormat seolah-olah pemuda itu menjadi pengganti kakeknya. 

Akan tetapi sesunguhnya sejak dia meninggalkan Pulau Neraka, ada perasaan gembira yang disembunyikannya dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan untuk melepaskan kegembiraannya yang meluap-luap. Ingin dia bersorak gembira kalau saja tidak takut terdengar oleh Sin Liong! Maka kegembiraannya itu disalurkannya lewat kedua kakinya yang berloncatan dan berlari-lari menuju ke arah suara harimau yang mengaum.

Karena auman harimau itu keras sekali, mudah saja bagi Soan Cu untuk menuju ke tempat itu. Akhirnya dia melihat seekor harimau yang amat besar dan kuat, berbulu indah sekali, loreng-loreng hitam kuning sedang berdiri memandang ke arah seorang laki-laki tua yang berdiri ketakutan. 

Harimau itu membuka-buka moncongnya, seperti seorang anak kecil yang menggoda kakek itu, menakut-nakutinya, kadang-kadang mengaum. Tiap kali harimau itu mengaum, kedua kaki orang itu menggigil.

Kakek itu mencoba untuk bersembunyi di belakang sebatang pohon sambil berkata dengan suara yang terputus-putus, "Kakak harimau yang baik... saya... saya... A-siong pedagang kayu bakar... hendak mengirim kayu bakar kepada Lo-enghiong..., harap jangan mengganggu saya...."

Harimau itu sebetulnya adalah harimau peliharaan Tee-tok. Biasanya dia dikurung dalam kerangkeng dan hanya pada waktu-waktu tertentu saja dibiarkan berkeliaran di hutan. Agaknya penjaga harimau pada hari itu terlupa sehingga harimau itu tetap berkeliaran pada waktu A-siong sedang mengirim kayu bakar ke Puncak Awan Merah. A-siong adalah seorang di antara pedagang-pedagang kayu bakar yang suka menjual kayu bakar di tempat itu.

Melihat harimau itu, Soan Cu lalu berseru, "Kucing besar, kau nakal sekali!"

Harimau itu menggereng dan menoleh. Dia menggereng ketika melihat seorang wanita memegang cambuk. Cepat sekali dia sudah membalik dan menubruk, gerakannya sungguh gesit, berlawanan dengan tubuhnya yang besar.

"Celaka...!" A-siong berseru kaget, memeluk batang pohon dan menahan napas, membelalakan matanya.

Akan tetapi tanpa mengelak Soan Cu sudah menggerakkan cambuknya.

"Tar-tar!" ujung cambuk itu menyambar dan membelit kaki depan kanan harimau itu, dan sekali tarik, tubuh harimau yang sedang meloncat itu terbanting ke atas tanah.

Harimau itu menggereng dan kelihatan marah sekali. Kembali dia menubruk, akan tetapi sekali ini, Soan Cu yang sedang gembira meloncat ke kiri. Melihat tubuh harimau itu menyambar lewat, dengan tangan kirinya dia menangkap ekor harimau yang panjang, dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah berada di atas punggung harimau! Sambil tersenyum-senyum dan membuat gerakan seperti orang menunggang kuda, Soan Cu menggerak-gerakkan ujung cambuk menyabeti moncong harimau itu.

Tentu saja harimau itu merasa kesakitan karena ujung cambuk itu berduri. Dengan kemarahan meluap harimau itu berusaha mencakar dan menggigit ujung cambuk yang mungkin dikira seekor ular yang ganas, namun tak pernah berhasil, bahkan bagaikan buntut seekor ular, ujung cambuk itu terus melecuti hidung dan bibirnya sampai berdarah!

"Hayooo... kucing binal! Hayo jalan baik-baik!"

Seperti seorang pemain sirkus yang mahir, Soan Cu menunggangi harimau itu. Tangan kirinya mencengkeram kulit leher, tangan kanannya mempermainkan cambuknya. Sedangkan harimau itu melangkah perlahan-lahan, mengejar ujung cambuk yang digerak-gerakkan.

A-siong yang menonton sambil berusaha menyembunyikan diri di balik batang pohon, terbelalak dan hampir tak percaya kepada matanya sendiri. Beberapa kali tangan kirinya menggosok kedua matanya dengan ujung lengan baju karena dia mengira bahwa dia sedang dalam mimpi. Akan tetapi tetap saja penglihatan yang luar biasa itu masih tampak oleh kedua matanya.

"Soan Cu, turunlah...!" tiba-tiba terdengar suara teguran.

Mendengar dan mengenal suara Sin Liong, lenyaplah semua kegembiraan yang liar dari gadis itu. Dia masih tersenyum, akan tetapi matanya kehilangan sinar yang berapi-api dan liar tadi. "Liong-koko, dia... dia hendak menerkam orang...." ujarnya. Ucapannya ini bersifat membela diri. Dia ketakutan terhadap pemuda itu karena kedapatan sedang mengganggu harimau.

"Turunlah. Berbahaya sekali permainanmu itu!"

Soan Cu meloncat turun, dan tentu saja harimau yang marah itu cepat mencakar dengan kecepatan luar biasa. Namun dia hanya mencakar tempat kosong karena gerakan Soan Cu lebih cepat lagi. Dara ini telah meloncat ke dekat Sin Liong dan mengejek ke arah harimau dengan meruncingkan mulutnya dan mengeluarkan bunyi, "Hiii....! Hiiiiii...!!"

Sementara itu, beruang yang tadinya sudah dapat ditenangkan oleh Sin Liong dan diajak menyusul Soan Cu, timbul kembali kemarahannya setelah kini melihat harimau itu, bahkan lebih hebat dari-pada tadi. Pada saat Sin Liong lengah karena menegur gadis itu, tiba-tiba beruang itu melompat ke depan dan menggereng sambil memperlihatkan taringnya, memandang harimau dengan mata merah.

Harimau itu agaknya tidak merasa gentar menghadapi tantangan ini, dia pun menggereng dan menubruk. Akan tetapi beruang itu sudah siap. Ketika harimau itu menubruk dengan kedua kaki depan lebih dulu, dia menggerakkan kaki depan kanan yang amat kuat, memukul dari samping dan menangkis kedua kaki depan harimau. Karena tubuh harimau itu berada di udara, tentu saja dia kalah kuat dan tubuhnya terlempar ke bawah. Akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan siap untuk melanjutkan serangannya.

"Hushhh...! Beruang yang baik, jangan berkelahi!" Sin Liong sudah menangkap kaki depan beruangnya dan mengelus kepalanya, menenangkannya. Akan tetapi sekali ini agak sukar karena beruang itu marah sekali, meronta-ronta, apa-lagi melihat harimau itu masih menggereng hendak menyerangnya.

"Ihh, kucing licik! Hayo mundur kau!" Soan Cu melangkah maju, menggerakkan cambuknya ke depan untuk menghalau harimau itu.

"Tar-tar-tarr....!!"

Sang harimau merasa jeri menghadapi cambuk Soan Cu, akan tetapi bukan berarti dia takut. Dia masih menggereng-gereng memperlihatkan taringnya, dan matanya merah bersinar-sinar.

"Hayo pergi! Kalau tidak akan kuhajar kau!" Soan Cu membentak.

"Siapa dia berani kurang ajar hendak mengganggu harimau kami?!" tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan muncullah banyak orang di tempat itu.

Serombongan orang yang berpakaian seragam telah bergerak mengurung tempat itu. Orang yang berseru tadi adalah seorang kakek tinggi besar yang brewok, pakaiannya ringkas, tubuhnya membayangkan tenaga yang kuat. Matanya lebar membayangkan kekerasan dan kejujuran, akan tetapi tarikan bibirnya membayangkan kekejaman.

Di sampingnya berjalan seorang gadis yang cantik sekali dengan pakaian yang mewah dan indah. Rambutnya ditekuk ke atas dan diikat dengan kain kepala dari sutera merah, dihias dengan bunga emas permata. Pakaian yang indah itu membungkus ketat tubuhnya sehingga membayangkan lekuk lengkung tubuhnya yang padat dan ramping, di pinggang yang kecil ramping itu melibat sehelai sabuk sutera merah. Telinganya terhias anting-anting batu kemala panjang berwarna hijau, menambah kemanisan wajahnya yang bentuknya mendaun sirih itu.

Sin Liong cepat menjura dengan hormat. "Harap Lo-cianpwe sudi memaafkan kami yang secara tidak sengaja memasuki daerah ini," kata Sin Liong dengan halus sambil memegangi kaki depan beruangnya.

Kakek itu memandang tajam. Jawaban penuh kesopanan dan sepasang mata bersinar halus tanpa rasa takut sedikit pun itu mencengangkan hatinya. "Melanggar daerah ini masih bukan apa-apa, akan tetapi kalian berani mengganggu harimau peliharaanku. Apakah karena mempunyai beruang itu maka kalian menjadi sombong?"

"Kami tidak menggangu, Lo-cianpwe. Hanya karena harimau itu dan beruang kami akan berkelahi maka kami melerai dan mencegahnya."

"Hemm... dua ekor binatang akan berkelahi, apa anehnya? Hanya kalau manusia sudah mencampurinya, maka manusia itu lebih rendah dari-pada binatang!"

"Eh, tahan tuh mulut!" Soan Cu membentak dan menudingkan telunjuknya ke arah mulut kakek gagah itu. Dara ini tidak lagi dapat menahan kemarahan hatinya mendengar ucapan yang menghina tadi. "Kami melerai karena yakin bahwa kucing hutan busuk ini tentu akan mampus dirobek-robek oleh beruang kami. Engkau ini orang tua tidak berterima kasih, malah mengucapkan kata-kata menghina!"

Sepasang mata kakek itu besinar-sinar, bukan hanya marah akan tetapi juga kagum. Kakek ini memang orang aneh. Melihat keberanian orang, apa-lagi seorang dara muda seperti Soan Cu yang pada saat itu muncul kembali sifat liarnya karena marah, dia kagum bukan main. Kakek ini adalah Siangkoan Houw yang terkenal dengan julukan Tee-tok (Racun Bumi)! Ia seorang gagah yang jujur dan bersikap terbuka, maka perangainya kasar sekali, dan kalau dia sudah marah, kejamnya melebihi harimau peliharaannya.

Tee-tok terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang di antara tokoh-tokoh besar. Dia hidup di Puncak Awan Merah itu dengan tenteram bersama puteri tunggalnya, yaitu gadis cantik yang datang bersamanya dan yang sejak tadi diam saja. Tee-tok Siangkoan Houw sudah duda, dan hanya hidup berdua dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui.

Ada pun orang-orang lain yang berada di situ adalah para murid-muridnya yang juga menjadi anak buahnya, kurang lebih lima belas orang banyaknya. Salah satu di antaranya adalah seorang kakek yang usianya sebaya dengan dia dan rambutnya sudah putih semua. Kakek ini merupakan murid kepala dan telah memiliki kepandaian tinggi pula, namanya Thio Sam dan berjuluk Ang-in Mo-ko (Iblis Awan Merah).

"Bagus sekali!" kakek ini memuji. "Kalau begitu, mari kita adukan kedua binatang itu. Hendak kulihat apakah benar-benar beruangmu dapat mengalahkan harimauku?!"

"Boleh!" Soan Cu menjawab.

"Jangan! Soan Cu, tidak boleh begitu!" Sin Liong berseru, kemudian dia berkata kepada kakek itu, "Harap Lo-cianpwe suka memaafkan kami dan biarlah kami pergi dari sini sekarang juga. Bukan maksud kami untuk mengganggu siapa pun."

"Kucing belang macam itu saja, biar ada lima akan diganyang oleh beruang kami!" Soan Cu masih marah-marah. "Kakek sombong mengandalkan harimaunya menakut-nakuti orang. Kalau aku tidak cepat datang, agaknya harimau itu sudah makan orang tadi! Dia memang perlu diberi hajaran!"

"Hayo kita adukan mereka!" Tee-tok berteriak-teriak dengan kumis bangkit saking marahnya. "Sebelum kedua binatang peliharaan kita saling diadu, jangan harap kalian akan dapat pergi dari sini!"

"Kami tidak takut!" Soan Cu menjerit lagi.

Mendengar ucapan kakek itu, Sin Liong menyesal bukan main. Kalau dia tidak membolehkan beruang diadu, tentu kakek itu bersama teman-temannya akan menghalangi dia dan Soan Cu pergi dan akibatnya pasti lebih hebat lagi. Maka dia menghela napas dan berkata, "Baiklah, mari kita lepaskan mereka dan melihat apakah mereka memang mau berkelahi. Kuharap saja setelah ini, kami diperbolehkan pergi."

"Koko, lepaskan beruang kita, biar dia hancur-lumatkan kucing keparat itu.”

“Tar-tar-tarrr...!!" Soan Cu sudah membunyikan cambuknya di udara berkali-kali.

Sin Liong melepaskan beruangnya dan dia menghampiri Soan Cu, memegang lengannya dan berbisik, "Soan Cu, kau tenangkanlah hatimu, jangan marah-marah. Ingat, kita tidak mau melibatkan diri dalam permusuhan dengan siapa pun juga, bukan?"

Dipegang lengannya secara demikian halus oleh Sin Liong, seketika api yang bernyala dalam hati Soan Cu padam seperti tertimpa hujan, semangat dan tubuhnya lemas dan dia menunduk sambil menganggukan kepalanya. Dia seperti seekor harimau liar yang tiba-tiba menjadi jinak!

Sementara itu, setelah keduanya kini dilepas dan tidak ada yang menghalangi, dua ekor binatang itu mengeluarkan suara auman dan gerengan yang dahsyat dan menggetarkan. Mula-mula mereka saling pandang dan masing-masing hendak menggetarkan lawan dengan kekuatan suara, kemudian harimau yang ganas itulah yang mulai menerjang maju!

Dengan berdiri di atas kedua kaki belakangnya, harimau itu menubruk dan menerkam. Akan tetapi dengan gerakannya yang agak lamban dan tenang, namun kuat dan tetap sekali, beruang menangkis terkaman itu. Beruang lalu balas mencengkeram dengan kuku jari kakinya yang biar pun tidak seruncing kuku harimau, namun tidak kalah kuatnya. Segera harimau terguling-guling akibat terkena tamparan beruang yang amat kuat itu!

Sepasang mata Soan Cu bersinar-sinar girang, akan tetapi dara ini tidak berani berkutik di dekat Sin Liong. Ingin hatinya bersorak dan mulutnya mengeluarkan kata-kata mengejek melihat betapa harimau itu terguling-guling, namun dia merasa segan terhadap Sin Liong.

Harimau itu meloncat lagi dan menerkam makin dahsyat. Terjadilah perkelahian yang amat dahsyat ditengah-tengah suara gerengan yang menggetarkan seluruh bukit. Pada saat itulah koki warung yang menemani sudara misannya mengantar kayu bakar mendapat kesempatan menonton harimau bertanding melawan beruang, akan tetapi karena merasa ngeri dan takut, dia cepat meninggalkan tempat itu dan berlari turun lagi.

Perkelahian yang dahsyat, seru dan mati-matian. Beruang itu sudah menderita banyak luka di tubuhnya akibat cakaran dan gigitan harimau. Akan tetapi akhirnya dia berhasil mencengkeram kepala harimau, menindihnya dan menggigit leher harimau sampai robek, terus luka di leher itu dirobeknya sampai ke perut! Tentu saja harimau itu berkelojotan dan mati tak lama kemudian.

"Heiii...!" Soan Cu berteriak, namun terlambat.

Selarik sinar hitam menyambar ke arah leher beruang. Pada detik itu pula binatang ini mengeluarkan pekik mengerikan, lalu roboh dan tak bergerak lagi, mati di atas bangkai harimau yang tadi menjadi lawannya.

"Kau membunuh beruang kami!" Soan Cu melompat dan menuding dengan marah kepada kakek yang tadi menyerang beruang dengan Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun).

"Dia pun membunuh harimau kami!" Tee-tok menjawab dengan mata mendelik saking marahnya.

"Manusia curang kau!" Soan Cu sudah menerjang maju dan cambuknya mengeluarkan suara meledak-ledak di udara.

"Tar-tar-cring-tranggggg....!!" bunga api berpijar ketika cambuk itu tertangkis oleh sepasang pedang yang bersinar hitam, itulah pedang Ban-tok-siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun) yang ampuh dari Tee-tok.

Akan tetapi bukan main kagetnya Tee-tok ketika tadi pedangnya menangkis cambuk duri. Dia merasakan lengannya tergetar, tanda bahwa dara muda itu memiliki sinkang yang amat kuat.

"Heii, jangan bertempur....!" Sin Liong cepat menegur.

Akan tetapi sekali ini Soan Cu pura-pura tidak menengarnya, apa-lagi kakek itu pun sudah marah dan sudah membalas serangannya dengan sepasang pedangnya. Terjadi pertempuran hebat sekali antara gadis itu dan Tee-tok.

Melihat gerakan sepasang pedang itu lihai bukan main dan ada hawa yang kuat menyambar dari lawannya, Soan Cu tidak berani memandang ringan, dan tangan kanannya sudah mencabut pedangnya. Pedang di tangan gadis ini adalah pemberian kakeknya, ketua Pulau Neraka dan seperti juga cambuknya, pedang ini aneh dan ampuh sekali.

Bentuk pedang itu juga berduri seperti cambuknya dan namanya pun Coa-kut-kiam (Pedang Tulang Ular), terbuat dari-pada tulang ular beracun yang telah dikeraskan dan diperkuat dalam rendaman tetumbuhan beracun sehingga keras seperti baja.

Sedangkan cambuknya itu pun bukan cambuk biasa karena terbuat dari ekor ikan hiu yang istimewa dan hanya terdapat di pantai Pulau Neraka. Seperti juga pedangnya, cambuk itu pun mengandung bisa yang tidak dapat diobati, kecuali oleh dia sendiri yang selalu membawa obat penolaknya!

Sin Liong sudah mengenal kakek itu ketika muncul tadi, tapi dia memang tadinya tidak mau memperlihatkan bahwa dia telah mengenalnya. Tentu saja dia mengenal kakek yang dahulu pernah pula membujuknya untuk ikut dan menjadi muridnya, ketika para tokoh kang-ouw datang memperebutkan dia di lereng pegunungan Jeng-hoa-san. Kini, melihat betapa Soan Cu sudah bertanding mati-matian melawan kakek itu, dia menjadi khawatir sekali. Cepat dia berkata,

"Lo-cianpwe, seorang tokoh besar yang berjuluk Tee-tok dan disegani di seluruh dunia Kang-ouw, benar-benar mengecewakan dan merendahkan nama besarnya kalau sekarang melayani bertanding melawan seorang dara remaja!"

Mendengar ucapan itu, Tee-tok menjadi merah mukannya. Dia menangkis pedang Soan Cu sekuat tenaga sampai pedang itu hampir terlepas dari tangan Soan Cu, lalu melompat mudur dan menghadapi Sin Liong. "Hemm, orang muda! Kau sudah mengenal aku, kalau begitu majulah kau menggantikan gadis itu!"

Sin Liong menjura. "Bukan maksudku dengan kata-kata itu menantangmu, Lo-cianpwe. Saya hanya hendak mengatakan bahwa kami berdua sama sekali bukan datang untuk bertanding."

"Tapi kalian datang dan mengakibatkan harimau peliharaan kami mati. Kalau kalian tidak datang mengacau, mana biasa harimau kami mati?"

"Dia mampus karena kalah dalam pertandingan yang adil!" Soan Cu membentak, akan tetapi menjadi tenang kembali karena Sin Liong mendekatinya dan minta gadis itu menyimpan pedang dan cambuknya kembali.

"Siangkoan Lo-cianpwe, memang kami akui bahwa harimau peliharaan Lo-cianpwe mati karena beruang kami, akan tetapi Lo-cianpwe telah membalas kematian itu dengan membunuh beruang kami. Bukankah itu artinya sudah lunas?"

"Tidak!" Tee-tok yang masih marah itu membentak. "Biar pun beruangnya sudah mati, akan tetapi pemiliknya belum dihukum!"

Soan Cu tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Dihukum apa? Kau hendak membunuh kami?"

"Tak perlu dibunuh! Pelanggaran ke dalam daerah ini sudah merupakan kesalahan, dan matinya harimau tidak cukup ditebus dengan kematian beruang. Pemiliknya harus dihukum rangket seratus kali, baru adil!"

"Keparat!"

"Soan Cu!" Sin Liong berkata dan memegang lengan dara itu sehingga Soan Cu menelan kembali kata-katanya. "Soan Cu, aku mita kepadamu agar kau sekarang juga meninggalkan tempat ini. Biarkan aku yang berurusan dengan Siangkoan Lo-cianpwe. Kau turunlah dan kau tunggu aku di dusun itu. Mengerti?"

Soan Cu mengerutkan alisnya dan matanya memandang ragu. Akan tetapi melihat sinar mata Sin Liong yang tegas dan halus itu, dia tidak dapat menolak dan akhirnya kepalanya mengangguk.

"Berangkatlah, dan tunggu aku di sana." Sin Liong berkata lagi sambil tersenyum.

Soan Cu membanting kakinya, lalu melotot ke arah Siangkoan Houw. Setelah itu baru dia meloncat pergi, meninggalkan isak tertahan.

Semua orang memandang dengan kagum akan keberanian dara itu, yang sekali meloncat lenyap dari situ. Akan tetapi terutama sekali mereka kagum kepada Sin Liong yang bersikap demikian tenang dan halus, namun memiliki wibawa demikian besarnya sehingga gadis liar seperti itu menjadi demikian jinak dan taat.

Setelah Soan Cu pergi jauh dan tidak tampak lagi bayangannya, Sin Liong lalu menyodorkan kedua lengannya. Sambil tersenyum tenang dia berkata, "Nah, Lo-cianpwe. Tidak ada yang perlu diributkan lagi. Aku sudah mengaku bersalah telah memasuki tempat ini dan menimbulkan keributan. Biarlah aku menerima hukuman rangket seratus kali agar hatimu puas."

Sikap yang tenang dan halus ini diterima keliru oleh Siangkoan Houw. Matanya terbelalak lebar dan dia menganggap pemuda itu menantangnya, menantang ancaman hukumannya.

"Belenggu kedua lengannya!" bentaknya kepada para muridnya.

Empat orang muridnya menyerbu dan Sin Liong hanya tersenyum saja ketika bajunya dibuka, kedua pergelangan lengannya diikat dengan tali yang diikatkan pula pada cabang pohon sehingga tubuhnya setengah tergantung.

"Ayah...!" tiba-tiba dara cantik jelita yang sejak tadi hanya menonton dan selalu memandang ke arah Sin Liong penuh kagum, berkata kepada Tee-tok, "Apakah tidak berlebihan perbuatan kita ini? Harap Ayah berpikir lagi dengan matang sebelum melakukan suatu kesalahan."

"Dipikir apa-lagi? Kita telah dihina orang. Kalau tidak memperlihatkan kekuatan, bukankah akan menjadi bahan tetawaan orang sedunia?"

Mendengar kata-kata orang tua itu, Siangkoan Hui, gadis itu, menunduk dan melirik ke arah Sin Liong yang telah siap menerima hukuman.

"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Nona. Akan tetapi biarlah, aku sudah siap menghadapi hukuman. Dengan begini, habislah segala urusan dan Ayahmu takkan marah lagi."

"Diam kau!" Tee-tok membentak, kemudian menuding kepada seorang muridnya yang bertubuh tinggi besar. "Ambil cambuk dan rangket dia seratus kali!"

Murid itu berlari pergi dan tak lama kemudian sudah datang kembali membawa sebatang cambuk hitam yang besar dan panjang. Setelah menerima isyarat gurunya, murid tinggi besar ini mengayun cambuknya. Terdengar suara meledak-ledak dan cambuk itu menyambar ke bawah, melecut tubuh atas Sin Liong yang telanjang itu.

"Tar...! Tar...! Tarrr...!"

Semua orang terbelalak memandang penuh heran. Cambuk itu menyambar bertubi-tubi, melecuti tubuh itu, mukanya, lehernya, lengannya, dada, dan punggungnya, namun sama sekali tidak membekas pada kulit halus putih itu! Hanya dahi pemuda itu yang berkeringat, akan tetapi dahi si pemegang cambuk lebih banyak lagi peluhnya!

Sampai seratus kali cambuk itu menyambar tubuh Sin Liong dan ujungnya sudah pecah-pecah. Namun jangankan sampai ada darah yang menetes dari kulit tubuh Sin Liong, bahkan tampak merah saja tidak ada, seolah-olah cambuk itu bukan melecut kulit pembungkus daging, melainkan melecut baja saja!

Setelah menghitung sampai seratus kali, Si Algojo itu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan dia menggosok-gosok telapak tangan kanannya yang terasa panas dan lecet-lecet. Mukanya pucat dan matanya terbelalak penuh keheranan dan kengerian. Semua anak buah atau murid Tee-tok terbelalak dan pucat.

Akan tetapi muka Tee-tok sendiri menjadi merah sekali. Tahulah dia bahwa pemuda itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tadi telah menggunakan sinkang-nya sehingga tubuhnya kebal, tentu saja lecutan cambuk itu tidak membekas! Hal ini menambah kemarahan hatinya. Dia merasa dihina dan ditantang. Dengan kemarahan meluap dia menyambar senjata aneh, yaitu tanduk rusa yang kering itu.

Tanduk rusa itu bukanlah sebuah senjata sembarangan. Tee-tok merupakan seorang ahli racun. Dia telah menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai daya ampuh untuk melawan kekebalan. Tanduk ini mengandung racun yang tak dapat ditahan oleh kekebalan yang bagaimana kuat pun. Kini dalam kemarahannya dia hendak menghajar pemuda ini dengan tanduk rusa ini!

* * *

Pada saat itulah Swat Hong datang dan mengintai dengan mata terbelalak keheranan. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah tegang dan dia sudah hampir meloncat ke luar untuk menolong suheng-nya. Namun tiba-tiba dia melihat seorang gadis datang berlari dan berlutut di depan kakek yang memegang senjata tanduk rusa itu. Melihat ini, Swat Hong menahan diri dan terus mengintai.

"Ayah, jangan... jangan pukul dia dengan ini...!"

"Hui-ji (Anak Hui), mundurlah kau! Dia telah menghina kita, memperlihatkan dan memamerkan kekebalannya! Hemm, hendak kulihat sampai di mana kekebalannya kalau dia merasai pukulanku dengan ini!" dia mengamangkan senjata aneh itu.

"Jangan, Ayah! Jangan...! Aku akan melindunginya kalau Ayah memaksa! Ayah bersalah, dia... dia orang gagah yang budiman, luar biasa.... Mengapa Ayah tak bisa melihat orang...?"

Siangkoan Houw menundukkan mukanya. Ia melihat wajah puterinya yang pucat, mata yang sayu dan tampak dua titik air mata di pipi puterinya. Dia terkejut dan terheran-heran, kemudian marah sekali. Puterinya telah jatuh cinta kepada pemuda itu!

"Hemm..." suaranya penuh geram. "Lupakah kau kepada putera Lu-san Lojin...?!"

"Ayahhh...!" Siangkoan Hui berseru dan menangis terisak sambil memeluk kedua kaki ayahnya.

Betapa pun bengisnya, Tee-tok yang hanya mempunyai seorang anak itu, tentu saja merasa tidak tega kepada anaknya. Hatinya mencair ketika dia melihat puterinya menangis sambil memeluk kedua kakinya. Dia menghela napas panjang. Pandang matanya yang ditujukan kepada Sin Liong kini kehilangan kekejaman dan kemarahannya, hanya terheran dan ragu-ragu. Puterinya mencintai pemuda ini?

“Hemm...., seorang pemuda yang amat tampan,” pikirnya.

Harus diakuinya bahwa biar pun pemuda itu kelihatan halus seperti seorang lemah, namun pemuda itu gagah perkasa, penuh ketenangan dan keberanian. Dan kekebalannya itu pun membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia belum melihat putera Lu-san Lojin, entah bagaimana setelah dewasa sekarang. Apakah sebaik pemuda ini?

"Hai, orang muda. Siapakah namamu?"

Sin Liong memandang kepada kakek itu dan menjawab halus, "Nama saya Kwa Sin Liong, Lo-cianpwe."

"Bagaimana engkau bisa mengenal aku?"

"Siapa yang tidak mengenal Lo-cianpwe yang terkenal di dunia kang-ouw? Lo-cianpwe adalah Tee-tok Siangkoan Houw yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, dan saya pernah bertemu dengan Lo-cianpwe...." tiba-tiba Sin Liong berhenti bicara karena baru dia teringat bahwa sebenarnya tidak ada perlunya menyebut-nyebut hal itu.

"Bertemu? Di mana?"

Karena sudah terlanjur bicara, Sin Liong merasa tidak enak untuk membohong lagi. Maka dia berkata, "Di lereng Jeng-hoa-san. Bahkan Lo-cianpwe pernah membujuk saya menjadi murid...."

"Astaga...! Engkaukah ini? Engkaukah anak ajaib? Engkau Sin-tong...?" Tee-tok berseru dan cepat melangkah maju. "Benar, engkaulah Sin-tong! Aihh.... maafkan kami. Di antara kita telah timbul salah pengertian besar!"

Dia cepat meloncat dan merenggut lepas tali yang mengikat kedua lengan Sin Liong, bahkan cepat meneriaki muridnya untuk menyerahkan kembali baju Sin Liong.

Sin Liong tersenyum. "Tidak mengapa, Lo-cianpwe. Memang saya mengaku salah, telah menimbulkan keributan dan mengakibatkan kematian harimaumu."

"Aihh... hei, matamu tajam sekali, Hui-ji! Engkau benar! Dia anak baik, bukan hanya baik saja. Aduh, betapa dahulu aku mati-matian memperebutkan anak ini! Hui-ji, dia Sin-tong! Betapa girangku dia tiba-tiba muncul di sini!"

Dengan girang Tee-tok menggandeng lengan Sin Liong dan menariknya. "Hayo masuk ke rumah kami, kita bicara!"

"Tapi, Lo-cianpwe. Saya ingin melanjutkan...."

"Nanti dulu, kita bicara! Sejak engkau dibawa oleh... eh, di mana dia sekarang...?" kakek itu menengok kekanan-kiri, seolah-olah merasa ngeri karena dia teringat akan Pangeran Han Ti Ong yang sakti. Siapa tahu pangeran yang luar biasa itu tahu-tahu muncul pula di situ.

"Lo-cianpwe maksudkan Suhu? Saya hanya datang berdua dengan adik Soan Cu."

"Mari kita bicara. Ah, pertemuan ini sungguh menggirangkan hati!"

Melihat sikap kakek itu begitu gembira, Sin Liong tidak tega untuk menolak terus. Urusan telah selesai dengan baik, dan Soan Cu tentu sedang menanti di dusun di kaki bukit. Terlambat sedikit pun tidak mengapa dari-pada memaksa menolak dan menimbulkan kemarahan kakek yang berangasan ini.

Siangkoan Hui memandang kepada Sin Liong dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh kekaguman. Ketika ayahnya menggandeng pemuda itu dengan tangan kanan, kemudian tangan kiri ayahnya menggandeng dirinya, dia pun tersenyum dan meronta melepaskan diri karena malu, kemudian berlari-lari kecil meninggalkan mereka.

"Ha-ha-ha! Hui-ji... ha-ha-ha-ha! Engkau benar. Dia ini seorang pemuda pilihan, seorang pemuda hebat!"

Dengan penuh kegembiraan Tee-tok menjamu Sin Liong.

"Siapakah Nona yang lihai dan berani itu?"

"Dia adalah Ouw Soan Cu, seorang sahabat baik saya, Lo-cianpwe. Dia sedang mencari ayahnya dan saya membantunya."

"Mana dia? Karena dia sahabatmu, dia pun sahabat kami. Biar aku menyuruh orang mengundangnya."

"Tidak usah, Lo-cianpwe. Wataknya aneh dan keras, jangan-jangan malah menimbulkan salah paham."

"Ha-ha-ha, aku suka kepadanya! Sejak pertemuan pertama aku kagum kepada anak itu! Keras, aneh dan berani! Hebat dia! Aihh, Sin-tong...."

"Lo-cianpwe, nama saya Kwa Sin Liong."

"Tidak apa, aku tetap menyebutmu Sin-tong. Engkau memang anak ajaib, luar biasa sekali. Apakah engkau telah menjadi murid pangeran Han Ti Ong?”

Sin Liong mengangguk dan merasa agak gugup. "Benar, akan tetapi saya dilarang untuk bicara tentang Suhu...."

"Ha-ha-ha, aku tahu. Dia bukan manusia biasa! Aku girang sekali bertemu dengan muridnya, apa-lagi muridnya adalah engkau, Sin-tong! Ahhh... kegirangan yang bercampur dengan kekecewaan sebesar gunung!"

Tiba-tiba kakek itu meremas cawan araknya. Cawan arak yang terbuat dari-pada perak itu seperti tanah lihat saja, di dalam kepalannya berubah menjadi perak yang pletat- pletot, lenyap bentuk cawannya.

Sin Liong terkejut, namun tidak berani bertanya.

Kakek itu melempar cawan yang sudah tidak karuan itu ke bawah meja dan berteriak kepada muridnya minta diberi sebuah cawan baru. Kemudian dia berkata, "Siapa tidak kecewa? Anakku hanya seorang, perempuan lagi. Celakanya, dia sudah ditunangkan sejak kecil!" kakek ini memang selalu bicara keras, kasar dan jujur, tak pernah mau menyembunyikan sesuatu!

Sin Liong menjadi makin terheran. "Telah ditunangkan sejak kecil adalah baik sekali, mengapa celaka, Lo-cianpwe?”

"Kalau ditunangkan dengan engkau, tentu saja baik sekali! Akan tetapi bukan denganmu, dengan orang lain yang tak kunjung datang! Dan karena telah ditunangkan itu, mana mungkin aku dapat mengambil engkau sebagai mantuku? Padahal aku tahu, Hui-ji suka padamu, dia jatuh cinta padamu. Ha-ha, anak pintar itu, matanya tajam sekali."

Tentu saja Sin Liong menjadi terkejut dan malu. Ia menunduk dan tidak berani bicara lagi.

"Engkau tentu belum bertunangan, bukan?"

Sin Liong hanya menggeleng kepalanya.

"Kalau begitu, mudah saja ! Engkau menjadi mantuku, menikah saja dengan Hui-ji..."

"Lo-cianpwe, ingatlah bahwa Siocia telah bertunangan. Ada pun aku... aku sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk menikah."

Kakek itu menarik napas panjang. "Engkau betul, memang tidak patut kalau diputuskan begitu saja dari satu pihak. Aihhh, Lu-san Lojin. Engkau tua bangka sekali ini benar-benar membuat hatiku kesal! Baru-baru ini aku telah pergi ke sana dan dia bersama puteranya itu, juga bersama seorang puterinya, menurut penuturan penduduk di sekitar Lu-san, telah pergi entah ke mana! Aihh, betapa kesal hatiku...."

"Harap Lo-cianpwe menenangkan pikiran. Mungkin mereka sedang mencari Lo-cianpwe. Kalau sudah jodoh, tentu kelak akan dipertemukan."

Kembali kakek itu mengangguk-angguk. Memang dia tertarik dan terkejut sekali setelah mendengar bahwa pemuda yang tadinya akan dibunuhnya itu ternyata adalah Sin-tong, yang dahulu dibawa oleh Pangeran Han Ti Ong tokoh Pulau Es. 

Bukan hanya untuk mencoba menarik pemuda itu menjadi mantunya, akan tetapi juga untuk keperluan lain yang amat penting. Dia masih ragu-ragu untuk membicarakan urusan ini, maka dia menanti kesempatan baik dan hendak menjajaki lebih dulu, di fihak manakah pemuda ini berdiri.

Sementara itu, Siangkoan Hui merasa malu sekali. Dia sudah mengenal baik watak ayahnya yang kasar dan jujur. Tentu kalau dia ikut masuk ke dalam rumah menemui pemuda itu, ayahnya akan bicara yang bukan-bukan tanpa tedeng aling-aling lagi! Dia merasa malu dan... girang bukan main. Tak dapat ia menipu hatinya sendiri. Dia memang telah jatuh cinta kepada pemuda itu!

Pemuda yang amat luar biasa, bukan hanya tampan dan gagah, namun memiliki watak yang amat hebat. Belum pernah dia bertemu dengan pemuda segagah itu, begitu halus, begitu budiman, begitu tabah dan mengalah, akan tetapi juga amat lihai sehingga seratus kali rangketan itu tidak membekas sama sekali di kulit tubuhnya yang putih halus dan padat membayangkan tenaga yang luar biasa! Dia sudah jatuh cinta! Dan ayahnya sudah mengetahui akan hal ini. Tentu ayahnya akan bicara terang-terangan kepada pemuda itu. Akan tetapi, bagaimana dengan tunangannya?

Teringat akan ini, tiba-tiba Siangkoan Hui menjadi lemas. Dia duduk bersandar pohon dan termenung, menanggalkan sabuk sutera merah yang melibat pinggangnya. Kiranya sabuk itu hanya sabuk tambahan dan dapat dipergunakan sebagai sapu-tangan, karena di pinggang itu telah terdapat sabuk lain yang berwarna kuning. Sambil menggigit-gigit ujung sabuk sutera merah, Siangkoan Hui termenung, mukanya sebentar pucat sebentar merah, tanda bahwa hatinya kacau tidak karuan oleh jalan pikirannya.

Dara ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada bayangan yang mengikutinya, bayangan seorang gadis lain yang memandangnya dengan sinar mata berapi-api penuh kemarahan! Gadis ini bukan lain adalah Han Swat Hong! Tadinya Swat Hong mengintai dan hampir saja dia melompat ke luar untuk menolong suheng-nya.

Akan tetapi kemunculan Siangkoan Hui yang melarang ayahnya menggunakan tanduk rusa memukul Sin Liong, membuat dia membatalkan niatnya menolong Sin Liong. Apa-lagi melihat betapa usaha pertolongan dara cantik puteri kakek berangasan itu berhasil!

Hatinya terasa panas sekali, seperti dibakar dan serta merta dia merasa benci kepada Siangkoan Hui! Kebencian yang membuat dia diam-diam mengikuti dara itu dengan niat untuk membunuhnya! Swat Hong sendiri tidak mengerti mengapa dia selalu marah dan tidak senang kalau melihat ada gadis memperlihatkan sikap baik dan mencinta kepada Sin Liong. Dia sendiri tidak tahu bahwa hatinya diamuk cemburu!

Melihat Siangkoan Hui yang dibayanginya itu duduk seorang diri di tempat sunyi itu, menggigit ujung sabuk merah dengan wajah sebentar pucat sebentar merah, melamun dan kadang-kadang tersenyum manis, Swat Hong merasa perutnya seperti dibakar!

"Perempuan tak tahu malu!" bentaknya

Dia sudah melompat ke luar, mencabut pedangnya dan menyilangkan pedang itu di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri, memasang kuda-kuda dan kembali membentak, "Bersiaplah untuk mampus di tangan Nonamu!"

Siangkoan Hui adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi oleh ayahnya, maka begitu melihat bayangan berkelebat tadi, dia sudah meloncat bangun. Kini melihat bahwa yang muncul dan datang-datang memakinya itu adalah seorang gadis cantik yang tidak dikenalnya, dia melongo. "Eh-eh, apakah kau ini orang gila?"

Tentu saja pertanyaan ini membuat Swat Hong menjadi makin marah. Kedua pipinya merah seperti udang direbus dan sepasang matanya yang jeli itu mengeluarkan sinar berapi-api. Sukar dikatakan siapa di antara kedua orang dara itu yang lebih menarik. Keduanya sama muda, sama cantik jelita dan pada saat itu sama marahnya!

"Kau... kau... perempuan rendah! Perempuan macam engkau berani jatuh cinta kepada Suheng-ku?!" Swat Hong memaki.

Siangkoan Hui terkejut sekali, akan tetapi perutnya juga sudah panas dibakar kemarahan mendengar dirinya dimaki-maki orang. "Apa? Kau ini mengaku Sumoi-nya? Sungguh tidak patut! Seekor naga mana bisa mempunyai Sumoi seekor cacing?"

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati yang keras seorang dara seperti Swat Hong mendengar ini. Ingin dia mencaci maki habis-habisan, ingin dia menjerit-jerit, akan tetapi dia tak pandai cekcok dengan suara. Dia hanya mengeluarkan suara melengking nyaring dan pedangnya sudah menerjang ke arah dada Siangkoan Hui!

"Singgg... Wuuttt.....!"

Siangkoan Hui juga mengeluarkan pekik kemarahan. Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas dan dari atas sabuk sutera merahnya yang ternyata adalah senjatanya yang ampuh itu menyambar ke bawah dengan serangan balasannya yang tidak kalah berbahaya.

"Plakkk!!" sarung pedang di tangan kiri Swat Hong berhasil menangkis serangan itu.

Swat Hong terkejut juga menyaksikan kelincahan lawan. Tahulah Swat Hong bahwa lawannya tak boleh dipandang ringan dan memiliki ginkang yang amat hebat, maka dia memutar pedangnya dengan kecepatan kilat. Repotlah Siangkoan Hui menghadapi permainan pedang lawannya yang amat luar biasa itu.

Sebetulnya tingkat kepandaian Siangkoan Hui sudah tinggi, dan pada jaman itu, sukar dicari tandingannya. Sebagai puteri tunggal, Tee-tok telah menurunkan semua ilmu simpanannya dan selain memiliki senjata istimewa berupa sabuk sutera, juga dara ini adalah seorang ahli racun seperti ayahnya. Ayahnya adalah seorang tokoh yang berjuluk Racun Bumi, tentu saja dia mempelajari pula penggunaan racun-racun yang ampuh.

Setelah mendapat kenyataan betapa permainan pedang lawannya benar-benar amat lihai dan berbahaya, tiba-tiba Siangkoan Hui membentak dan dari tangan kirinya menyambar sinar-sinar merah. Swat Hong mengeluarkan suara mendengus dari hidung dan mengejek, sinar pedangnya berkelebatan dan bergulung-gulung sehingga jarum-jarum merah yang dilepas Siangkoan Hui secara lihai itu semua dapat dipukul runtuh.

"Haiittt...!!"

Swat Hong meluncur ke depan. Didahului sinar pedangnya, pedang itu menusuk lalu disambung membabat ke kanan-kiri, sedangkan sarung pedangnya masih bergerak menghantam dari atas. Semua jalan ke luar seolah-olah telah ditutupnya dan tidak memungkinkan lawan untuk mengelak lagi!

"Hiaaaaahhhh!!" Siangkoan Hui memekik nyaring, sabuknya berubah menjadi sebatang benda keras yang diputar-putar melindungi tubuhnya.

Pada saat pedang tertangkis, tiba-tiba dari ujung sabuk merah itu menyambar dua batang paku merah yang meluncur tanpa tersangka-sangka dan dengan cepat sekali meluncur ke arah tenggorokan Swat Hong!

"Aihhh...!!" Swat Hong menjerit.

Tidak ada jalan lain baginya kecuali membuka mulutnya yang kecil dan ‘menangkap’ dua batang paku merah itu dengan gigitan giginya yang kecil-kecil dan putih berderet rapi itu! Siangkoan Hui terkejut dan kagum bukan main. Pada saat itu, Swat Hong telah meniupkan dua batang paku ke arah tubuh lawan. Tentu saja Siangkoan Hui dapat mengelakkan senjata rahasianya sendiri ini dengan mudah.

Akan tetapi kini Swat Hong sudah marah sekali dan pedangnya bergerak untuk membunuh! Jurus-jurus terhebat dari Pulau Es dimainkannya dan tentu saja Siangkoan Hui terdesak hebat. Ujung sabuk Siangkoan Hui sudah robek dicium ujung pedang Swat Hong!

"Sumoi, jangan...!!!" tiba-tiba terdengar seruan.

Sin Liong melompat memasuki lapangan pertandingan, menolak lengan sumoi-nya dengan tangan kiri. "Sumoi...! Syukur kita dapat saling bertemu di sini...!" Sin Liong berseru girang bukan main.

Akan tetapi perut Swat Hong terasa panas saking mendongkolnya. Tadi dia sudah berhasil mendesak lawan dan belasan jurus lagi saja dia tentu akan menang. Siapa tahu suheng-nya muncul dan lawannya itu dapat meloncat ke luar dan kini berdiri di belakang kakek yang menjadi ayahnya!

"Aku harus membunuhnya!" bentaknya dan dia hendak melompat ke arah Siangkoan Hui.

"Sumoi, jangan serang orang!"

"Kalau begitu, serang kau saja!" dan gadis itu lalu menyerang Sin Liong kalang kabut dengan pedangnya!

"Eh-eh...! Ohhh...! Sumoi, mengapa kau marah-marah?" Sin Liong terpaksa mengelak dengan berlompatan ke sana-sini karena sambaran pedang di tangan sumoi-nya itu bukan main-main!

"Kenapa kau membelanya? Kenapa?" Swat Hong berkata perlahan dan menyerang terus tanpa mempedulikan seruan suheng-nya.

Pada saat itu tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri Kwee Lun dan Soan Cu. Bagaimana dua orang muda ini dapat datang bersama?

* * *


Telah kita ketahui bahwa Soan Cu disuruh pergi oleh Sin Liong. Karena gadis ini amat taat kepada Sin Liong, dengan hati berat dia meninggalkan puncak itu hendak turun ke dusun kembali. Dan telah diceritakan pula di bagian depan betapa Kwee Lun melakukan penyelidikan bersama Swat Hong dan mereka berpencar. Kwee Lun mengambil jalan dari kiri.

Kebetulan sekali ketika pemuda ini sedang berindap-indap melakukan penyelidikan, dia melihat seorang gadis cantik berjalan seorang diri keluar dari pagar. Tentu saja dia mengira bahwa gadis itu adalah seorang musuh. Timbul dalam pikirannya untuk menangkap gadis ini dan memaksanya mengaku apa yang telah terjadi di sebelah dalam.

Hal ini akan lebih memudahkan penyelidikannya, dari-pada menyelidiki dari luar tak berketentuan. Dengan pikiran ini, Kwe Lun tiba-tiba meloncat ke luar dari tempat sembunyinya dan langsung dia menubruk dan memeluk Soan Cu!

Dapat dibayangkan betapa marahnya dara ini. Ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki keluar dari semak-semak dan dengan gerakan secepat kilat menyergap dan memeluknya, tentu saja dia mengira bahwa ini tentulah anak buah Tee-tok yang hendak menangkapnya atau hendak berkurang ajar.

"Setan keparat jahanam terkutuk!!" bentaknya dan dia mengerahkan tenaganya, meronta dan menggerakkan kaki tangannya, menyepak dan menampar.

"Plak-plak-plak...!”

“Wah-wah... galak benar!" Kwee Lun kewalahan dan terpaksa melepaskan rangkulannya karena tulang kering kakinya kena ditendang, pipinya dicakar dan dagunya ditampar!

Kini mereka berhadapan dan saling pandang. Keduanya kelihatan tertegun karena sama-sama tidak menyangka. Kwee Lun sama sekali tidak menyangka bahwa yang ditangkapnya tadi, dipeluknya karena disangkanya seorang pelayan wanita, kiranya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Sedangkan Soan Cu yang terkejut melihat seorang pemuda yang begitu tampan gagah perkasa. Sejenak keduanya saling pandang.

Sesaat kemudian timbul kegalakan Soan Cu yang menjadi marah. Dia memang sudah mendongkol disuruh pergi oleh Sin Liong. Hatinya gelisah memikirkan Sin Liong, biar pun dia yakin pemuda itu akan mampu menjaga dirinya. Kini ada orang yang betapa gagahnya pun, namun telah berlaku kurang ajar. "Setan alas! Siapa kau? Tentu kaki tangan Tee-tok, ya? Hendak menangkap aku? Keparat jahanam! Engkau sudah bosan hidup!"

"Tar-tar-tar...!!" cambuk buntut ikan hiu itu sudah meledak-ledak di atas kepala Kwee Lun.

Soan Cu mengira bahwa sekali serang saja kepala pemuda gagah itu tentu akan pecah. Seberapa hebat sih kepandaian anak buah Tee-tok? Akan tetapi betapa herannya ketika dia melihat pemuda tinggi besar itu dapat mengelak dengan amat cepatnya, bahkan telapak tangan pemuda itu berhasil menepuk lengannya yang memegang cambuk.

"Plakkk!"

Pemuda itu terheran. Tamparannya tidak membuat cambuk itu terlepas! "Aihhh... nanti dulu, jangan menyerang begitu. Aku bukan anak buah Tee-tok atau racun mana pun juga!"

Namun Soan Cu sudah merasa penasaran sekali. Kembali dia menyerang dan kini cambuknya berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar-nyambar dibarengi suara meledak-ledak. Akan tetapi Kwee Lun tetap dapat mengelak dan meloncat ke sana-sini, bahkan kadang-kadang dia berani menangkis cambuk itu dengan telapak tangannya!

Hal ini tentu saja mengagumkan hati Soan Cu. Dia tidak tahu bahwa pemuda itu menggunakan ilmu Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) yang mengandung sinkang tingkat tinggi yang membuat telapak tangannya menjadi lemas seperti kapas dan karenanya tidak terluka oleh benda keras!

"Nona cantik tapi galak seperti kucing lapar!" Kwee Lun balas memaki ketika melihat nona itu menyerang terus sambil memaki-maki. "Berhentilah dulu dan kita bicara!"

"Iblis raksasa, kau yang kelaparan!" Soan Cu membentak makin marah dan kini dia sudah mencabut pedangnya, pedang Coa-kut-kiam! Dengan kedua senjatanya ini, dia menyerang kalang kabut!

"Wah, runyam! Perempuan galak dan ganas!" Kwee Lun terancam bahaya maut dan dia pun terpaksa lalu mencabut pedangnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang kipas gagang perak.

"Tringgg...! Cringgg-tranggg...!" bunga api berpijar.

Keduanya terdorong ke belakang oleh pertemuan senjata yang hebat itu tadi. Kipas bertemu dengan cambuk dan pedang bertemu dengan pedang. Masing-masing menjadi terkejut dan terheran. Tenaga sinkang mereka seimbang!

"Bagus! Mari kita bertanding sampai selaksa jurus!" Soan Cu sudah menerjang lagi.

"Tranggg...! Tranggg...!!"

Kembali Kwee Lun menangkis sekuatnya dan mereka terdorong mudur. "Sombongnya! Manusia mana kuat bertanding sampai selaksa jurus? Makan waktu berapa bulan? Tunggu dulu, mengapa kau marah-marah kepadaku seperti orang kebakaran jenggot?"

"Ngaco! Jenggotmu yang kebakaran!"

"Eh, ohhh! Kau bikin aku bingung! Benar, kau tidak berjenggot. Eh, kenapa kau marah-marah begini? Dan kau lihai bukan main! Senjatamu mengerikan!"

“Cerewet!" Soan Cu sudah hendak menerjang lagi, sekarang terdorong oleh rasa penasaran bahwa dia tidak mampu mengalahkan pemuda ini.

"Nanti dulu! Kita bicara dulu, baru kita bertanding selaksa.... eh, seratus jurus saja! Aku salah menduga, kukira kau tadi seorang pelayan di sini!"

"Menghina kamu ya? Orang macam aku ini pelayan? Kalau kau baru pantaslah menjadi jongos! Atau jagal babi!"

"Maafkanlah. Aku tadi melihat dari jauh. Aku sedang menyelidiki.... Wah, celaka! Kau tentu puteri Tee-tok!" Kwee Lun terkejut dan menyesali kebodohannya. Mengapa dia tidak menduganya lebih dulu? Siapa-lagi kalau bukan puteri Tee-tok yang begini lihai?

"Aku bukan anak racun bumi, bukan anak racun bau! Aku malah musuhnya!"

"Wah, benarkah? Kalau begitu kita cocok! Aku pun sedang melakukan penyelidikan. Aku mendengar ada beruang diadu dengan harimau. Pemilik beruang itu adalah sahabatku, eh, maksudku, sahabatnya sahabatku!"

Soan Cu menjadi bingung. "Bicaramu seperti orang sinting!”

"Memang betul, sahabatnya, eh, malah Suheng-nya sahabatku. Kau siapa?"

"Aku baru saja meninggalkan pemilik beruang itu yang menjadi sahabat baikku."

Dengan singkat Soan Cu menuturkan betapa Sin Liong mengalah dan malah menyuruh dia pergi dan ingin menerima hukuman!

"Wah, kenapa kau sudah begini besar masih begini tolol?"

"Siapa? Siapa tolol?" Soan Cu melangkah maju dan sepasang senjatanya sudah menggetar di tangannya.

"Siapa-lagi kalau bukan engkau? Mengapa kau meninggalkan sahabatmu itu menghadapi hukuman? Kau tidak tahu siapa itu Tee-tok Siangkoan Houw? Dari julukannya saja sudah mudah diketahui. Dia Racun Bumi, kejamnya bukan main. Sahabatmu itu, Suheng sahabatku, pemilik beruang, tentu akan dibunuhnya!"

"Apa...?!" Wajah Soan Cu menjadi pucat sekali. "Celaka...!"

"Hayo cepat kita kesana, barangkali belum terlambat!"

Demikianlah, kedua orang itu seperti berlomba lari saja, bersicepat lari kembali ke puncak. Dan mereka tiba di tempat yang tepat di mana mereka melihat Swat Hong sedang menyerang kalang kabut kepada Sin Liong yang mengelak ke sana-sini.

* * *

Ketika itu Kwee Lun melihat sahabatnya menerjang seorang pemuda dengan mati-matian. Dia mendapat kenyataan betapa pemuda itu lihai bukan main, biar pun bertangan kosong namun pedang di tangan Swat Hong sama sekali tidak pernah menyentuhnya. Dia sudah menggerakkan pedang dan kipasnya, meloncat maju sambil membentak, "Berani kau menghina Hong-moi?"

"Trangg-cringgg...!!"

Kwee Lun terdorong ke belakang dan matanya terbelalak melihat bahwa yang menangkisnya adalah sepasang senjata di tangan... Soan Cu yang mendelik dan memaki, "Kerbau tolol! Berani kau mencampuri urusan Liong-koko?"

Setelah berkata demikian Soan Cu menyerang kalang kabut, dan kembali mereka saling serang dengan serunya! Melihat ini, otomatis Swat Hong menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah meloncat ke belakang.

"Jangan bertempur! Soan Cu, mundurlah...!" seru Sin Liong.

"Liong-ko, biarkan aku bertempur dengan gajah ini sampai selaksa....... eh, seratus jurus!"

"Kwee-koko, mundur! Orang sendiri...!"

"Hehhh...? Orang sendiri...? Dia ini...." Kwee Lun terkejut dan terheran-heran, sebentar memandang kepada Sin Liong, lalu kepada Soan Cu.

"Kwee-koko, inilah Suheng-ku yang kucari-cari." Swat Hong memperkenalkan.

"Eh... akan tetapi, mengapa kau menyerangnya...??"

Sin Liong cepat berkata, "Saudara yang gagah, Sumoi-ku ini memang kalau lama tidak bertemu lalu ingin mengajakku berlatih."

Mendengar ini, merah wajah Swat Hong. Setelah ketahuan oleh semua orang betapa dia marah-marah dan menyerang suheng-nya sendiri, baru dia teringat dan menjadi malu.

Sementara itu, dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati Siangkoan Hui ketika itu. Kiranya dara cantik yang amat lihai ini adalah Sumoi dari Kwa Sin Liong, dan melihat sikapnya, dia dapat menduga bahwa dara yang galak ini cemburu kepadanya. Maka dia sudah melangkah maju dan menjura sambil berkata, "Ah, harap maafkan. Kiranya Cici adalah Sumoi dari Kwa-taihiap...."

"Hemmm.... sudahlah!" Swat Hong berkata malu, kemudian memperkenalkan kepada suheng-nya, "Suheng, dia ini adalah Saudara Kwee Lun, murid dari Lam-hai Sengjin."

"Ha-ha-ha! Kiranya murid majikan Pulau Kura-kura? Selamat datang! Dan Nona adalah Sumoi dari Kwa-taihiap? Aihhh..... sungguh hari ini kami kedatangan banyak tokoh besar!" Kemudian berkata kepada Soan Cu yang masih cemberut. "Baik sekali Nona sudah datang kembali. Mari... mari orang-orang muda yang gagah perkasa, marilah kita duduk dan bicara di dalam."

Tee-tok Siangkoan Houw lalu mempersilakan mereka semua memasuki gedungnya. Dia menjamu mereka dengan hidangan mewah, dibantu oleh puterinya, Siangkoan Hui yang merasa kagum sekali kepada Swat Hong, akan tetapi juga merasa iri hati dan berduka.

Tidaklah demikian dengan perasaan Soan Cu. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa gadis Pulau Neraka ini amat tertarik kepada Sin Liong yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang luar biasa dan amat mengagumkan hatinya.

Akan tetapi, selama dalam perjalanan ini Sin Liong jelas memperlihatkan sikap bahwa pemuda itu sama sekali tidak tertarik kepadanya, juga bahwa sikap baiknya itu lebih mendekati sikap baik seorang kakak terhadap adiknya. Pula, dia melihat bahwa sesungguhnya Swat Hong, sumoi pemuda itu, juga mencintai suheng-nya. Soan Cu maklum bahwa tidaklah mungkin dia membiarkan cintanya terhadap Sin Liong berlarut-larut.

Pertemuannya dengan Kwee Lun telah mengubah seluruh perasaan hatrinya. Pemuda raksasa ini amat hebat, amat menarik dan jelas lebih cocok dengan dia! Kwee Lun merupakan seorang pemuda yang jujur, terus terang, gagah perkasa dan biar pun baru sekali bertemu saja, mereka telah saling serang sampai dua kali! Oleh karena itu, ketika mereka semua makan bersama mengelilingi meja besar, perhatian Soan Cu lebih banyak tertuju kepada pemuda perkasa itu.

Setelah mereka makan minum, berkatalah Tee-tok Siangkoan Houw, suaranya sungguh-sungguh dan kata-katanya ditujukan kepada Sin Liong dan Swat Hong. "Saya tidak tahu dengan jelas apakah Ji-wi mempunyai hubungan dengan Pulau Es. Akan tetapi mengingat bahwa Kwa-taihiap adalah murid dari Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es, maka agaknya apa yang hendak saya bicarakan ini akan menarik perhatian Ji-wi. Dan sesungguhnya saya, atas nama para orang gagah di dunia kang-ouw, saya amat mengharapkan bantuan Sin-tong!"

"Ah, mengapa Lo cianpwe terlalu sungkan dan merendahkan diri? Harap diceritakan ada urusan apakah yang kiranya dapat kami bantu, dan harap jangan membawa-bawa nama Pulau Es."

"Justru karena urusan ini menyangkut Pulau Es."

"Heiii...? Ada urusan apakah yang menyangkut Pulau Es?" Swat Hong bertanya penuh semangat.

Mendengar ini Tee-tok tersenyum dan memandang. "Sebagai Sumoi dari Sin-tong, tentu Nona juga dari Pulau Es, bukan? Gerakan pedang Nona tadi hebat bukan main...."

“Siapa pun tidak perlu tahu, apakah aku dari Pulau Es atau tidak,” jawab Swat Hong tegas. “Tapi kalau ada urusan Pulau Es, kami ingin mendengar.”

"Lo-cianpwe, harap ceritakan kepada kami dan maafkanlah sikap Sumoi yang selalu tegas dan singkat. Perlu saya beritahukan bahwa memang amatlah penting artinya bagi kami kalau ada urusan yang menyangkut Pulau Es."

Tee-tok menarik napas panjang. "Kalau dibicarakan sungguh membuat orang menjadi penasaran sekali. Ji-wi (Anda Berdua) tentu telah mendengar nama besar Bu-tong-pai, bukan? Nah, semua orang gagah dari dunia kang-ouw bersepakat untuk menentang Bu-tong-pai mati-matian."

"Haiii...? Mengapakah? Maaf kalau aku mencampuri, akan tetapi sungguh hatiku penasaran sekali mendengar Bu-tong-pai dimusuhi orang kang-ouw. Bukankah anak murid Bu-tong-pai adalah orang-orang gagah yang dihormati oleh dunia kang-ouw? Mengapa sekarang hendak dimusuhi?" Kwee Lun berseru lantang, matanya terbelalak lebar karena penasaran.

"Ha-ha-ha, agaknya gurumu, si tua bangka Lam-hai Sengjin masih belum mendengar berita ini. Dia selalu bertapa di pulaunya sehingga engkau pun belum tahu, orang muda yang gagah, Bu-tong-pai telah beberapa bulan ini dikuasai oleh seorang ketua baru!"

"Soal pengangkatan ketua baru Bu-tong-pai, kurasa adalah urusan dalam Bu-tong-pai sendiri!" kata pula Kwee Lun.

"Memang demikian kalau ketua baru itu orang dalam Bu-tong-pai pula. Akan tetapi ketua baru itu mengaku dirinya sebagai Ratu Pulau Es dan telah melakukan perbuatan sewenang-wenang, melanggar peraturan kang-ouw, mengalahkan banyak tokoh kang-ouw dan kabarnya bahkan bersekutu dengan pemberontak!"

"Ihhh...!" Swat Hong berseru. "Kiranya dia di sana...!"

Ketika Swat Hong berseru tadi, Sin Liong juga ikut berseru kaget.

Mendengar seruan dua orang muda sakti dari Pulau Es itu, Tee-tok cepat memandang penuh selidik. "Ji-wi mengenal wanita itu?"

Sin Liong mengangguk tenang. "Agaknya begitulah. Dan sekarang juga kami berdua minta diri karena kami harus segera berangkat ke Bu-tong-pai."

"Tapi biarlah kami membantumu, dan kalau perlu kita memberi-tahukan teman-teman di dunia kang-ouw agar...."

"Tidak usah, Lo-cianpwe. Ini adalah urusan antara kami sendiri. Bukankah begitu, Sumoi?"

"Benar! Harus kami berdua saja yang berangkat ke sana. Kwee-koko, terima kasih atas bantuanmu mencari Suheng. Setelah kini aku bertemu Suheng dan kami ada urusan yang amat penting, terpaksa aku akan meninggalkanmu. Kita berpisah sampai di sini, Kwee-koko."

Kwee Lun mengangguk dan berkata dengan suara lirih setelah menarik napas panjang. "Aku mengerti, Hong-moi."

"Soan Cu, aku harap engkau suka menanti dulu di sini dan harap Siangkoan Lo-enghiong melimpahkan kebaikan hati dengan menerima Soan Cu di sini untuk beberapa hari sampai saya selesai berurusan dengan Bu-tong-pai."

"Tentu saja! Dengan senang hati! Biarlah Ouw-siocia tinggal di sini dulu ditemani oleh anakku."

"Tidak, Liong-koko! Aku... aku... akan pergi saja melanjutkan usahaku mencari Ayah. Kau pergilah menyelesaikan urusanmu dengan Swat Hong...," kata Soan Cu sambil menekan perasaannya. "Urusan kita memang berlainan. Selamat tinggal, aku pergi lebih dulu!" setelah berkata demikian, Soan Cu lalu bangkit berdiri dan berlari pergi tanpa menoleh lagi.

Kwee Lun juga bangkit berdiri. "Kalau begitu aku pun pamit. Biarlah aku membantu dia kalau dia mau." Kwee Lun lalu berlari sambil berseru, "Nona...., tunggu dulu...!!"

Namun Soan Cu tidak menengok lagi dan berlari cepat sehingga Kwee Lun terpaksa harus mengerahkan ginkang-nya untuk mengejar. Sebentar saja kedua orang muda yang berkejaran itu sudah lenyap dari pandangan mata.

Sin Liong dan Swat Hong juga berpamit dan meninggalkan Tee-tok bersama puterinya yang mengantar mereka sampai di pintu depan. Setelah kedua orang itu berjalan pergi dan tidak nampak lagi, terdengar Siangkoan Hui terisak dan menutupi matanya dengan ujung lengan bajunya. Siangkoan Houw menghela napas dan merangkulnya. Dara itu makin berduka, menangis sesenggukan di dada ayahnya.

Tee-tok menepuk-nepuk pundak puterinya dan berkata, "Hemm, tidak patut anak Tee-tok begini lemah hatinya! Aku tahu bahwa kau jatuh cinta kepadanya, Hui-ji. Memang dia seorang pemuda luar biasa! Akan tetapi, aku melihat sesuatu yang aneh pada diri Sin-tong itu. Aku akan merasa heran kalau sampai mendengar dia itu menikah! Dia tidak seperti manusia biasa! Dia dari Pulau Es, demikian pula Sumoi-nya. Mereka itu berbeda dengan kita. Selain itu, engkau adalah tunangan putera Lu-san Lojin Bu Si Kang. Engkau sejak kecil telah dijodohkan dengan Bu Swi Liang. Biarlah aku akan mencari mereka lagi!"

Siangkoan Hui tidak menjawab dan dia menurut saja ketika diajak masuk ke rumah oleh ayahnya yang amat menyayanginya. Sebetulnya sukar dikatakan apakah Siangkoan Hui benar-benar jatuh cinta kepada Sin Liong. Kiranya lebih tepat dikatakan kalau dia tertarik dan suka menyaksikan wajah dan sikap pemuda yang halus budi itu. Untuk dikatakan jatuh cinta, kiranya masih terlalu pagi!

* * *

Keadaan di Bu-tong-pai mengalami perubahan hebat semenjak The Kwat Lin menjadi ketua partai persilatan besar itu. Bukan hanya perubahan di luar, yang nampak jelas karena adanya banyak anggota perkumpulan golongan hitam dan sepak terjang mereka yang kasar dan ugal-ugalan, mengandalkan kepandaian untuk menentang siapa saja, akan tetapi juga terjadi perubahan di sebelah dalam yang tidak diketahui oleh orang luar.

Terjadi hal yang membuat Swi Nio sering-kali menangis seorang diri di dalam kamarnya! Peristiwa yang memalukan hati dara itu, yaitu ketika dia melihat betapa kakaknya, Swi Liang, telah menjadi kekasih dari subo mereka sendiri! Tadinya tentu saja hal itu terjadi secara sembunyi-sembunyi, akan tetapi kini dia melihat sendiri betapa subonya dan kakaknya itu berjinah secara terang-terangan, tidak bersembunyi lagi.

Biar pun pada siang hari di mana banyak mata para anggota Bu-tong-pai menyaksikannya, dengan seenaknya ketua Bu-tong-pai itu memasuki kamar Bu Swi Liang, atau sebaliknya pemuda itu memasuki kamar subonya kemudian pintu kamar ditutup dari dalam! Hati Swi Nio memberontak, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan kecuali menangis?

Dan memang sungguh menyedihkan sekali kenyataan bahwa seorang pemuda seperti Bu Swi Liang kini terjebak oleh nafsu birahi dan menjadi hamba nafsu birahi, juga menjadi hamba subonya sendiri yang membuatnya tergila-gila! Hal ini tidak amat mengherankan, mengingat bahwa Swi Liang adalah seorang pemuda yang masih hijau. Seorang pemuda remaja yang tentu saja tidak kuat menahan godaan dan rayuan seorang wanita yang sudah matang seperti The Kwat Lin pula.

Memang rasa kagum seorang muda terhadap lawan kelaminnya yang lebih tua dengan mudah menyeretnya ke dalam perangkap cinta nafsu. Di lain pihak, peristiwa itu bukanlah dapat diartikan bahwa The Kwat Lin adalah seorang wanita yang gila laki-laki atau gila birahi. Sama sekali tidak. Dia adalah seorang yang normal, dan hanya keadaanlah yang membuat dia menjadi seorang penyeleweng besar.

The Kwat Lin adalah seorang wanita yang belum tua benar, baru tiga puluh tahun usianya, berwajah cantik dan bertubuh sehat. Setelah menjadi janda dan hidupnya menyendiri, wajarlah kalau dia merindukan cinta asmara, merindukan kehangatan rasa sayang seorang pria. Ada pun pria yang sudah dewasa dan yang dekat dengannya adalah Bu Swi Liang, maka tidak pula mengherankan apa bila dia tertarik dan jatuh hati kepada muridnya sendiri ini.

Karena pemuda ini masih hijau, tentu saja dia tidak berani mulai dengan langkah pertama. Maka The Kwat Lin yang menggunakan perasaan kewanitaannya untuk membuka pintu dan menggerakkan kaki dalam langkah pertama. Dialah yang memikat dan merayu sehingga akhirnya Swi Liang jatuh dan mabok. Sekali saja hubungan jinah dilakukan, maka membuat orang menjadi mencandu. Yang pertama kali segera disusul oleh yang ke dua, ke tiga, kemudian mereka menjadi ketagihan dan seolah-olah tidak dapat lagi hidup tanpa kelanjutan hubungan gelap mereka!

Tentu saja hal ini dapat terjadi karena keadaan hidup Kwat Lin. Andai kata dia masih seorang pendekar wanita seperti belasan tahun yang lalu, tentu perbuatan ini sampai mati pun tak kan dia lakukan. Akan tetapi kini keadaannya lain. Dia menjadi seorang wanita yang berhati keras oleh sakit hati, kemudian menjadi tak peduli oleh keadaannya sebagai seorang ketua paksaan dari Bu-tong-pai, seorang yang bercita-cita untuk mencarikan kedudukan setingginya bagi puteranya. Kedudukannya memberi dia perasaan lebih dan berkuasa, maka timbul sifat untuk bertindak sewenang-wenang tanpa mempedulikan orang lain lagi.

Akan tetapi, selain hubungan gelap dengan muridnya yang tersayang ini, Kwat Lin juga mulai dengan langkah-langkah ke arah tercapainya cita-citanya. Dia mulai memperkuat Bu-tong-pai dengan mengadakan hubungan dengan para pembesar di kota raja melalui anggota-anggota barunya, yaitu para pembesar yang mempunyai cita-cita yang sama, para pembesar calon pemberontak. Kedudukan Bu-tong-pai makin kuat setelah terjadi peristiwa hebat pada beberapa hari yang lalu....

Pada beberapa hari yang lalu, pagi-pagi sekali, anak buah Bu-tong-pai gempar dengan munculnya dua orang laki-laki di pintu gerbang Bu-tong-pai. Tidak ada seorang pun anak buah Bu-tong-pai yang berani sembarangan turun tangan ketika mendengar dan mengenal bahwa dua orang ini adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan.

Ketika seorang di antara mereka, yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, kumis dan jenggotnya sudah putih, mengatakan bahwa mereka minta berjumpa dengan ketua Bu-tong-pai yang baru, para anak murid Bu-tong-pai cepat memberi kabar kepada The Kwat Lin yang pada saat itu masih enak-enak pulas dalam pelukan muridnya, sekaligus juga kekasihnya, Bu-swi Liang!

Terkejutlah dia ketika pintu kamarnya diketuk dan mendengar laporan seorang murid bahwa di luar pintu gerbang terdapat dua orang tamu, ayah dan anak she Coa dari dusun Koan-teng di kaki Pegunungan Bu-tong-san yang minta bertemu dengan sang ketua!

"Suruh mereka menanti di luar! Aku segera datang!" kata Kwat Lin dengan marah.

Tak lama kemudian, Kwat Lin yang ditemani oleh Swi Liang dan Swi Nio, juga ikut pula Han Bu Ong yang usianya hampir sebelas tahun, keluar dari pintu gerbang menemui dua orang itu. Senyum mengejek menghias bibir ketua Bu-tong-pai yang cantik itu.

Semenjak dia merampas kedudukan ketua dengan paksa, sudah lima kali dia didatangi tokoh-tokoh kang-ouw yang agaknya datang karena permintaan para tosu Bu-tong-pai yang mengundurkan diri. Para tokoh ini merasa penasaran dan membela para tokoh Bu-tong-pai. Dengan mudahnya semua tokoh yang datang berturut-turut itu dirobohkan oleh Kwat Lin, ada yang tewas seketika, ada yang terpaksa pergi membawa luka-luka berat! Dan kini, ayah dan anak yang datang itu merupakan tokoh-tokoh yang datang ke enam kalinya.

Swi Liang dan Swi Nio yang menggandeng tangan Bu Ong segera minggir dan membiarkan subo mereka seorang diri menghadapi dua orang tamu itu. Dengan pakaian yang mewah dan indah, dandanan seperti puteri kerajaan, The Kwat Lin tampak sebagai seorang wanita bangsawan agung yang memiliki wibawa. Dengan sikap angkuh dia melangkah maju menghadapi dua orang itu sambil tersenyum.

Kedua orang itu berpakaian sederhana, namun dari sikap mereka yang tenang jelas tampak kegagahan mereka sebagai pendekar-pendekar penentang kejahatan. Kakek itu biar pun sudah tua, namun masih kelihatan sehat dan kuat. Jenggot dan kumisnya yang putih menambah keangkeran wajahnya. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang dan dia memandang ketua Bu-tong-pai dengan sinar mata penuh selidik.

Orang ke dua masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya, bertubuh tegap dan berwajah tampan gagah. Ada kemiripan pada wajah kakek dan laki-laki ini karena memang mereka itu adalah ayah dan anak yang terkenal sekali namanya sebagai pendekar-pendekar dari dusun Koan-teng yang menjadi sahabat-sahabat baik dari para tosu Bu-tong-pai.

Kakek Coa Hok memiliki ilmu pedang turunan keluarga Coa yang amat lihai, dan ilmu pedang ini sudah diturunkan pula kepada puteranya itu yang bernama Coa Khi. Ketika ayah dan anak ini mendengar akan mala-petaka yang menimpa para pemimpin Bu-tong-pai, yaitu munculnya orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap, seorang wanita yang merampas kedudukan ketua, kemudian mendengar betapa banyak sahabat-sahabat kang-ouw yang membela mereka telah roboh di tangan wanita itu, mereka berdua menjadi marah sekali.

Sebagai orang-orang yang biasa menentang kejahatan mereka tidak mempedulikan berita tentang kesaktian wanita itu. Berangkatlah mereka meninggalkan rumah, berbekal pedang, semangat dan kebenaran, naik ke Bu-tong-san menjumpai ketua Bu-tong-pai itu.

The Kwat Lin bukan seorang bodoh. Setiap kali ada tokoh naik ke Bu-tong-san dan hendak menantangnya, dia selalu membujuk mereka untuk berdamai dan bekerja sama. Selama cita-citanya belum tercapai, dia membutuhkan bantuan sebanyak mungkin orang pandai.

Maka setiap kali ada orang gagah datang dengan maksud menantangnya dan membela para bekas pimpinan Bu-tong-pai, dia selalu menyambut mereka dengan bujukan manis. Hanya karena bujukannya tidak berhasil dan mereka itu berkeras, terpaksa dia turun tangan menerima tantangan mereka.

Memang demikianlah sifat orang-orang yang mempunyai cita-cita besar, cita-cita yang sesungguhnya hanyalah nafsu keinginan untuk kesenangan diri pribadi. Demi tercapainya cita-cita yang merupakan pamrih bagi diri peribadi ini, orang tidak segan untuk bersikap palsu, membujuk orang sebanyaknya untuk membantunya demi tercapainya cita-cita itu. Orang-orang yang tidak membantu di anggap musuh dan perlu dibasmi agar jangan menjadi penghalang cita-citanya.

Sebaliknya, mereka yang mati-matian membantunya, jika cita-cita itu sudah tercapai sebagian besar dilupakannya begitu saja! Atau kalau teringat pun, hanya diberi pahala sekedarnya karena yang dipentingkan bukan orang-orang yang membantunya, melainkan dirinya sendiri!

Begitu berhadapan dengan ayah dan anak itu, The Kwat Lin mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil berkata. "Kiranya Ji-wi Coa-enghiong (Kedua Pendekar she Coa) yang datang. Sudah lama kami mendengar Ji-wi yang terkenal gagah perkasa, maka kami merasa beruntung sekali hari ini dapat bertemu. Apa-lagi mendengar bahwa Ji-wi adalah sahabat baik dari Bu-tiong-pai...."

"The Kwat Lin!" kakek Coa membentak dengan telunjuk kiri menuding ke arah muka ketua baru Bu-tongpai itu. "Aku mengenalmu sebagai seorang di antara Cap-sha Sin-hiap yang gagah perkasa, sebagai seorang murid Bu-tong-pai yang selalu menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai. Aku telah puluhan tahun bersahabat dengan Bu-tong-pai dan telah mendengar akan namamu. Akan tetapi, mengapa setelah menghilang bertahun-tahun, engkau kembali ke sini dan menjadi seorang murid murtad? Mengapa engkau merampas kedudukan ketua mengandalkan kekerasan dan kepandaian? Aku sebagai seorang sahabat Bu-tong-pai tentu saja tidak mungkin dapat mendiamkan hal penasaran ini tanpa turun tangan!"

Kwat Lin tersenyum manis dan melirik ke arah Coa Khi yang berwajah tampan, akan tetapi Coa Khi mengerutkan alis dan memandang penuh kemarahan.

"Coa-lo-enghiong agaknya kena dibujuk orang! Memang benar saya menjadi ketua Bu-tong-pai, akan tetapi hal itu adalah demi kebaikan Bu-tong-pai, demi cinta saya kepada Bu-tong-pai. Saya ingin menjadikan Bu-tong-pai perkumpulan terbesar dan terkuat di dunia kang-ouw, dan saya ingin menarik semua orang gagah menjadi sahabat yang dapat bekerja sama. Karena itu, saya harap Ji-wi dapat membuka mata melihat kenyataan dan saya persilakan Ji-wi untuk datang sebagai sahabat dan untuk minum arak persahabatan bersama kami."

"Perempuan murtad! Jangan mengira dapat menyogok kami dengan omongan manis!" kakek itu membentak marah.

Kedua alis yang hitam kecil dan panjang itu bergerak-gerak. Biar pun mulut yang berbibir tipis itu masih tersenyum, namun kata-kata yang keluar mengandung nada dingin, "Habis apa yang kalian akan lakukan?"

"Sing! Singgg!!" ayah dan anak itu telah mencabut pedang.

Kakek Coa lalu berkata, "Hanya ada dua pilihan bagi engkau dan kami. Pertama engkau pergi meninggalkan Bu-tong-pai dan kami akan berterima kasih kepadamu yang mengembalikan Bu-tong-pai kepada para pimpinan Bu-tong-pai, atau kalau engkau berkeras, terpaksa kami ayah dan anak turun tangan menggunakan pedang membela kehormatan sahabat-sahabat dari Bu-tong-pai!"

"Hi-hik! Betapa gagahnya keluarga Coa! Apakah Ilmu Pedang Hok-liong-kiam-sut sehebat sikap mereka, perlu ditonton terlebih dulu!" tiba-tiba terdengar suara yang lantang dan merdu ini, jelas suara seorang wanita.

Semua orang menengok, juga The Kwat Lin yang menjadi terkejut melihat ada orang datang tanpa diketahuinya. Hal itu saja membuktikan bahwa wanita yang muncul ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Ayah dan anak itu juga menengok dengan kaget, apa-lagi mendengar nama ilmu pedang turunan mereka disebut-sebut.

Wanita itu pakaiannya mentereng. Biar pun usianya sudah kurang lebih setengah abad, namun harus diakui bahwa dia adalah seorang wanita cantik. Rambutnya hitam gemuk dan panjang, dibiarkan terurai sampai ke pinggulnya yang menonjol di balik celana yang ketat. Tangan kanannya memanggul sebatang payung hitam dan wanita itu tahu-tahu telah berdiri di situ dengan gaya lemah lembut.

Dia seorang wanita yang masih kelihatan cantik dengan tubuh padat, akan tetapi ada sesuatu yang dingin mengerikan keluar dari sikapnya, terutama sekali sepasang matanya yang amat tajam itu karena mata itu terbelalak memandang hampir tak pernah berkejap!

Melihat wanita ini, kakek Coa terkejut bukan main dan otomatis dia berseru keras. "Kiam-mo Cai-li...!!"

Puteranya, Coa Khi juga terkejut. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, nama seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal sebagai seorang iblis betina yang selain kejam dan ganas, juga amat tinggi ilmu kepandaiannya.

Kakek Coa merasa heran sekali mengapa iblis betina yang sudah bertahun-tahun tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan kabarnya hanya bertapa di tempat kediamannya, yaitu di Rawa Bangkai di kaki pegunungan Lu-liang-san itu tahu-tahu kini muncul di situ. Dan biasanya, di mana pun iblis itu muncul, tentu akan terjadi mala-petaka hebat!

The Kwat Lin juga sudah mendengar nama itu, yaitu sepuluh tahun yang lalu ketika dia masih menjadi seorang di antara Cap-sha Sin-hiap. Ketika itu, nama Kiam-mo Cai-li (Wanita Cerdik Berpedang Payung) sudah amat terkenal. Akan tetapi dia belum pernah bertemu dengan iblis betina itu dan sekarang dia melirik ke arah wanita itu dengan senyum mengejek. Dengan kepandaiannya seperti sekarang ini, dia tidak perlu takut menghadapi iblis yang mana pun juga!

"Kiam-mo Cai-li, apakah kedatanganmu tanpa diundang ini pun hendak menantang aku sebagai ketua Bu-tong-pai? Kalau memang demikian, jangan kepalang tanggung, majulah kau bersama kedua orang She Coa ini agar lebih cepat aku menghadapi kalian!"

Ucapan yang keluar dengan tenangnya dari mulut ketua Bu-tong-pai itu mengejutkan hati kedua orang ayah dan anak She Coa itu. Berani bukan main wanita ini menantang Kiam-mo Cai-li seperti itu! Menyuruh datuk kaum sesat itu untuk mengeroyok!

Akan tetapi Kiam-mo Cai-li tertawa lebar sehingga tampaklah deretan giginya yang putih dan rapi, "Hi-hi-hik, hebat sekali mulut ketua baru Bu-tong-pai! Pantas kau disebut-sebut di dunia kang-ouw, kiranya memang memilki keberanian yang hebat! Hanya karena mendengar engkau adalah Ratu Pulau Es, maka aku terpaksa meninggalkan tempatku yang aman dan tenteram. Kalau tidak karena nama ini, biar siapa pun yang akan menduduki Bu-tong-pai, aku peduli apa? Sekarang hendak kulihat bagaimana kau menghadapi pewaris-pewaris Ilmu Pedang Hok-liong-kiam-sut yang terkenal ini. Kalau kau memang berharga untuk melawanku, barulah kita nanti bicara lagi!"

The Kwat Lin tersenyum mengejek dan mendenguskan suara dari hidung. "Hemm, kau merasa terlalu tinggi untuk mengeroyok? Baiklah, kalau begitu tunggu saja sampai aku membereskan dua orang ini. Di sini tidak ada bangku, duduklah di sini!"

Setelah berkata demikian, Kwat Lin menghampiri sebatang pohon. Sekali tangan kirinya bergerak menyabet dengan telapak tangan miring, terdengar suara keras dan pohon itu tumbang. Hebatnya, batang pohon itu putus seperti dibabat pedang tajam saja, rata dan halus sehingga sisanya merupakan sebuah bangku!

"Hi-hi-hik, memang hebat sinkang-mu! Terima kasih, aku menanti di sini," kata Kiam-mo Cai-li Liok Si. Sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas batang pohon yang merupakan bangku bermuka halus itu. Dia duduk bertumpang kaki dan menunjang dagu dengan sebelah tangan, seperti seorang yang akan menikmati suatu tontonan yang menarik.

Ayah dan anak she Coa itu saling pandang. Di dalam pandang mata yang bertemu ini mereka seperti sudah saling bicara, menyatakan bahwa mereka menghadapi lawan yang amat lihai. Akan tetapi, jiwa pendekar kedua orang ini membuat mereka sama sekali tidak merasa gentar. Mereka bukan saja membela sahabat-sahabat mereka Kui Tek Tojin dan para tokoh Bu-tong-pai, akan tetapi juga menuntut balas atas kematian dan kekalahan para tokoh kang-ouw yang datang lebih dulu dari mereka membela Bu-tong-pai.

Selain itu mereka sudah datang sebagai dua orang penuntut kebenaran. Kalau sekarang mereka harus mundur melihat kehebatan lawan, hal ini akan membuat mereka menjadi pengecut. Bagi dua orang pendekar seperti mereka yang namanya sudah terkenal harum selama beberapa keturunan, lebih baik mati sebagai orang gagah dari-pada hidup menjadi pengecut hina!

"Kalau begitu, The Kwat Lin, bersiaplah engkau!" teriak kakek Coa.

Pedang di tangan kanan kakek Coa sudah melintang di depan dada. Gerakan ini diturut oleh Coa Khi, lalu kedua orang itu berdiri berjajar dengan memasang kuda-kuda yang kuat.

Kwat Lin menggerakkan tangan kanannya dan tongkat pusaka ketua Bu-tong-pai yang selalu dipegangnya itu menancap di atas tanah di depannya. Tongkat itu baginya diperlukan untuk menghadapi orang-orang Bu-tong-pai yang menghormati tongkat itu dan menganggapnya sebagai benda keramat lambang kedudukan tertinggi di Bu-tong-pai. Kini menghadapi dua orang luar, sengaja dia tidak mau mempergunakannya, sekaligus untuk memamerkan kepandaiannya. Dia hendak menghadapi dua orang itu dengan tangan kosong!

"Ceppp!" tongkat itu amblas setengahnya ke dalam tanah.

Sekali Kwat Lin menggerakkan ke dua kakinya, tubuhnya mencelat ke depan dua orang gagah She Coa itu. "Mulailah!" katanya.

"Sing-singgg... wut-wut-wut-wutttt...!!" bertubu-tubi kedua pedang itu menyambar dengan kekuatan dan kecepatan dahsyat sehingga tampak sinar-sinar berkilauan dibarengi suara bersiutan ketika kedua pedang membelah udara.

Diam-diam Kwat Lin terkejut dan harus memuji kehebatan dan keindahan gerakan ilmu pedang mereka itu. Namun, tentu saja dengan latihan yang didapatnya dari Pulau Es, gerakannya lebih cepat lagi. Dengan mudah dia dapat mengelak ke sana-sini, menghindarkan diri dari sambaran sinar kedua pedang itu dengan gerakan yang cepat dan indah.

Tiba-tiba Kwat Lin tersenyum manis. Kini dia telah merasa yakin, bahwa betapa pun indah dan lihainya ilmu pedang mereka, namun dia masih memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi dalam hal sinkang. Bagaikan seekor kucing mempermainkan dua ekor tikus, dia sengaja selalu mengelak ke sana ke mari memamerkan kegesitan tubuhnya, bukan hanya kepada dua orang itu melainkan terutama sekali kepada wanita yang dianggapnya merupakan calon lawan yang lebih lihai, yaitu Kiam-mo Cai-li yang menonton pertandingan itu.

Mendadak Kwat Lin mengeluarkan seruan tertahan. Ketika matanya melirik, segera dia maklum bahwa ada dua orang bekas anak buah Bu-tong-pai yang mendekati tongkat pusaka itu dan berusaha mencabut tongkat pusaka dari dalam tanah. Peristiwa itu terjadi cepat sekali, tetapi Kwat Lin yang cerdik lebih cepat lagi mengambil kesimpulan bahwa dua orang itu tentulah pengkhianat-pengkhianat yang berpura-pura takluk kepadanya, namun diam-diam mencari kesempatan untuk mencuri tongkat pusaka, tentu dengan maksud mengembalikan tongkat itu kepada Kui Tek Tojin!

Pada saat itu, dua pedang ayah dan anak itu menusuk dari depan dan belakang dengan cepatnya. Gerakan Kwat Lin tentu saja agak terlambat karena perhatian yang terpecah tadi. Maka dia cepat menggulingkan tubuhnya, mengelak dari tusukan pedang di depan, sedangkan tusukan pedang dari belakang yang masih mengancamnya di tangkisnya dengan lengan kiri yang dilindungi gelang-gelang emas.

"Cringgg...!!"

Coa Khi terkejut bukan main ketika lengan yang memegang pedang itu tergetar hebat dan hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan ketika bertemu dengan gelang di pergelangan tangan kiri ketua Bu-tong-pai itu! Ketika dia dan ayahnya memandang, ternyata wanita itu telah lenyap dan tahu-tahu terdengar jerit-jerit mengerikan dari kiri. Ketika mereka memandang, ternyata wanita itu telah merobohkan dua orang laki-laki yang tadi mencoba mencuri tongkat pusaka. Dua orang laki-laki itu roboh dengan kepala pecah disambar jari-jari tangan Kwat Lin yang marah.

Setelah membunuh kedua orang itu, sekali meloncat Kwat Lin sudah kembali menghadapi dua orang lawannya. Kini dialah yang menerjang, menyerang dengan kedua tangan terbuka, cepatnya bukan main sehingga ayah dan anak itu terpaksa mudur sambil melindungi tubuhnya dengan pedang.

Seru dan indah dipandang pertandingan itu. Tubuh Kwat Lin lenyap dan hanya kadang-kadang saja tampak, bergerak-gerak di antara gulungan dua sinar pedang. Dia seolah-olah seorang penari yang amat indah dan lemah gemulai gerakannya, seperti sedang bermain-main dengan gulungan sinar pedang yang dipandang sepintas lalu seperti dua helai selendang yang dimainkan oleh wanita itu.

Tiba-tiba kedua orang ayah dan anak itu mengeluarkan pekik yang menggetarkan bumi. Tampak mereka menerjang secara berbareng dari depan dengan pedang terangkat ke atas dan membacok sambil meloncat. Inilah jurus paling ampuh dari ilmu pedang yang mereka lakukan dengan berbareng, jurus terakhir dari Hok-liong- kiam-sut (Ilmu Pedang Naga). Serangan ini demikian dahsyatnya sehingga tidak memungkinkan lawan yang diserangnya untuk mengelak lagi karena jalan keluar sudah tertutup dan ke mana pun lawan mengelak, ujung pedang tentu akan mengejar terus.

Akan tetapi, sambil tersenyum Kwat Lin tidak menghindarkan diri sama sekali. Ia tidak mengelak, bahkan menubruk ke depan! Tiba-tiba ketika tubuh Coa Khi yang meloncat ke atas itu sudah dekat dan pedang pemuda itu sudah menyambar ke arah kepalanya, dia menjatuhkan diri ke bawah. Dalam kedudukan berjongkok kedua tangannya menyambar ke atas dan depan dengan jari-jari terbuka.

"Hyaaaattt...!!" pekik melengking yang keluar dari mulut Kwat Lin ini dahsyat sekali dan kedua tangan yang mengandung sepenuhnya tenaga Inti Salju yang ampuh itu telah menyambar perut kedua orang laawannya.

"Plak! Plak!" tamparan jari-jari tangan yang mengandung tenaga sinkang mukjijat ini tepat mengenai perut Coa Khi yang sedang melayang di atas dan Coa Hok yang berada di depan.

Ayah dan anak itu mengeluarkan jerit tertahan yang mengerikan. Mereka merasa tubuh mereka dimasuki hawa dingin yang tak tertahankan hebatnya dan robohlah ayah dan anak itu, roboh tanpa dapat berkutik lagi karena mereka telah tewas dengan muka membiru. Darah mereka telah membeku terkena pukulan yang mengandung Swat-im-sinkang yang hebat dari Pulau Es!

"Bagus sekali...!!" Kiam-mo Cai-li Liok Si memuji dan melayang turun dari atas batang pohon, kemudian berdiri berhadapan dengan ketua Bu-tong-pai itu.

Keduanya sama cantik dan sama mewah pakaiannya. Sejenak mereka saling pandang seperti hendak mengukur kelebihan lawan dengan pandang mata.

"Hebat kepandaianmu, Pangcu (Ketua)! Melihat tingkatmu, engkau pantas menjadi lawanku bertanding. Mari kita coba-coba, siapa diantara kita yang lebih lihai!"

The Kwat Lin mengerutkan alisnya dan bertanya, "Kiam-mo Cai-li, di antara kita tidak pernah ada urusan sesuatu. Apakah engkau menantangku demi membela para tosu Bu-tong-pai yang sudah mengundurkan diri?"

"Hi-hi-hik!" wanita yang sudah hampir nenek-nenek namun masih amat genit itu terkekeh. "Aku membela tosu Bu-tong-Pai? Jangan bicara ngaco! Bagi aku, siapa pun yang akan menjadi ketua Bu-tong-pai, masa bodoh! Akan tetapi hatiku tertarik mendengar bahwa yang mengetuai Bu-tong-pai disebut Ratu Pulau Es. Sekarang melihat engkau benar-benar lihai, makin ingin hatiku menguji kelihaianmu dan bertanya, apakah benar engkau Ratu Pulau Es?"

Kwat Lin mengangguk. "Benar, aku adalah bekas Ratu Pulau Es! Kiam-mo Cai-li, kalau engkau tidak membela tosu-tosu Bu-tong-pai, perlu apa kita bertanding? Ketahuilah, aku sedang membangun Bu-tong-pai dan aku membutuhkan kerja sama dengan orang-orang pandai, terutama sekali engkau. Apakah seorang dengan kepandaian seperti engkau ini tidak pula mempunyai cita-cita tinggi untuk mencapai matahari dan bulan? Ataukah hanya menanti kematian begitu saja, membusuk di tempat pertapaanmu di Rawa Bangkai?"

"Hi-hi-hik, aku sudah mendengar pula akan usahamu yang bercita-cita luhur! Karena itu pula aku tertarik dan datang ke sini. Akan tetapi sebelum kita bicara tentang kerja sama dan cita-cita, kita harus menentukan dulu siapa di antara kita yang patut memimpin dan siapa pula yang harus taat."

"Maksudmu?" The Kwat Lin memandang tajam dengan alis berkerut.

"Kita bekerja sama, itu pasti! Dan kalau kita berdua sudah bekerja sama, di tangan kita kaum wanita, tentu segalanya akan berhasil baik! Lihat saja keadaan di istana kerajaan. Seorang selir mampu mengemudikan seluruh kendali pemerintahan! Akan tetapi untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya di antara kita, perlu diketahui sekarang juga."

"Bagus! Dengan lain kata-kata engkau menantang untuk kita mengadu kepandaian, ya? Kiam-mo Cai-li, engkau seperti seekor katak dalam sumur! Majulah!" Kwat Lin membanting kakinya ke atas tanah dekat pusaka Bu-tong-pai dan.... tongkat yang menancap setengahnya lebih itu mencelat ke atas seperti didorong dari bawah tanah, lalu tongkat itu disambar dan dipegangnya.

Kiam-mo Cai-li menganguk-angguk. "Hebat memang sinkang-mu, Pangcu. Akan tetapi jangan kau salah sangka. Sekali ini aku benar-benar menyadari bahwa usiaku sudah makin tua dan aku perlu memperoleh kedudukan yang akan menjamin masa tuaku sampai mati. Kita hanya mengukur kepandaian, bukan bertanding sebagai musuh, hanya untuk menentukan tingkat siapa yang lebih tinggi di antara kita berdua."

Mendengar kata-kata ini, berkurang panas hati Kwat Lin dan teringat lagi dia bahwa betapa pun juga, dia membutuhkan tenaga bantuan wanita iblis yang terkenal sebagai datuk kaum sesat ini. Kalau dia dapat menarik wanita ini sebagai pembantu, tentu akan banyak tokoh kaum sesat yang dapat ditariknya untuk membantu tercapainya cita-citanya.

"Baiklah kalau begitu, Kiam-mo Cai-li. Mari kita mulai!"

"Pangcu, awas serangan pedang payungku!" Kiam-mo Cai-li berseru.

Belum selesai ucapannya, tubuh Kiam-mo Cai-li sudah menerjang ke depan, didahului oleh bayangan hitam dari pedang payungnya yang terbuka dan menyembunyikan gerakannya. Ujung payung berbentuk pedang itu menusuk, sedang payung itu sendiri berputar mengaburkan pandangan mata lawan.

Namun dengan tenang saja Kwat Lin menggerakkan tangan kirinya. Dengan telapak tangan terbuka dia mendorong ke depan sehingga hawa pukulan sinkang yang hebat menyambar dan membuat payung itu seperti tertiup angin keras dan menahan daya serang ujung payung yang seperti pedang, kemudian disusul dengan gerakan tongkat pusaka di tangan Kwat Lin yang menyambar dari samping dengan dahsyatnya.

"Plakk...! Cringg-cringgg...!!"

Tongkat itu mula-mula ditangkis dengan kuku tangan Kiam-mo Cai-li yang tadinya hendak mencengkeram dan merampas tongkat. Namun tongkat sudah ditarik kembali dan langsung mengirim hantaman dua kali berturut-turut yang dapat ditangkis kembali, kali ini oleh pedang di ujung payung. Maklum akan kehebatan lawannya, Kiam-mo Cai-li bergerak cepat sekali dan dia sudah mainkan ilmu pedangnya yang luar biasa, yaitu Tiat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Payung Besi).

Kalau saja Kwat Lin belum mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi tingkatnya dari Pulau Es, tentu dia bukanlah lawan Kiam-mo Cai-li yang lihai sekali itu. Akan tetapi, karena The Kwat Lin kini telah menjadi seorang yang berilmu tinggi, maka dia dapat mengimbangi permainan lawannya dan terjadilah pertandingan yang amat seru dan seimbang.

Kiam-mo Cai-li memang luar biasa lihainya. Tidak percuma dia menjadi seorang datuk kaum sesat, seorang tokoh golongan hitam yang ditakuti seperti seorang iblis betina yang kejam dan berilmu tinggi. Tidak hanya ilmu pedangnya yang lain dari-pada yang lain. Permainan pedang dengan gerakan tangan yang terlindung dan tersembunyi oleh payung hitam itu jauh lebih praktis dan berbahaya dari-pada menggunakan perisai.

Di samping ilmu pedangnya, tangan kirinya juga merupakan senjata yang amat berbahaya dengan kuku-kukunya yang panjang dan mengandung racun. Ini semua masih dilengkapi lagi dengan rambutnya yang hitam panjang, karena rambutnya ini seperti ular-ular hidup, dapat dipergunakan untuk menotok, melecut, atau melibat!

Akan tetapi, tidak percuma pula The Kwat Lin pernah menjadi isteri seorang manusia yang disohorkan seperti setengah dewa, yaitu Han Ti Ong yang sukar diukur lagi tingkat kepandaiannya. Tidak percuma selama sepuluh tahun bekas murid Bu-tong-pai ini digembleng di Pulau Es, apa-lagi telah mewarisi kitab-kitab pusaka Pulau Es yang telah dilarikannya.

Yang jelas, dalam hal tenaga sinkang, dia masih menang setingkat dibandingkan dengan Kiam-mo Cai-li. Tenaga sinkang-nya adalah hasil latihan di Pulau Es, maka dia telah dapat menyedot tenaga inti salju, yaitu Swat-im Sinkang. Tenaga sinkang ini mengandung hawa dingin, sehingga dapat membekukan darah lawan yang kurang kuat ketika beradu tenaga dalam. Selain menang dalam tenaga sinkang, juga dasar ilmu silatnya lebih sempurna dari-pada dasar ilmu silat Kiam-mo Cai-li yang sesungguhnya merupakan gabungan ilmu silat campur-aduk.

Demikianlah, pertandingan itu berlangsung sampai seratus jurus lebih dengan amat serunya. Kiam-mo Cai-li menang keanehan senjatanya dan menang pengalaman bertanding. Akan tetapi kelebihannya ini menjadi tidak berarti karena dia kalah tenaga sinkang, sehingga setiap serangan dan desakannya dapat dibuyarkan oleh hawa sinkang dari dorongan telapak tangan The Kwat Lin. Akhirnya iblis betina ini harus mengakui keunggulan lawan. Sebagai seorang ahli dia maklum, bahwa kalau dilanjutkan, salah-salah dia akan menjadi korban hawa Swat-im Sinkang yang mukjijat.

Maka dia meloncat ke belakang dan berseru, "Cukup, Pangcu! Kepandaianmu hebat, engkau pantas menjadi Ratu Pulau Es, pantas menjadi ketua Bu-tong-pai dan biarlah aku membantumu dalam kerja sama kita!"

Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Kwat Lin mendengar ini. Dia lalu menghampiri Kiam-mo Cai-li, menggandeng tangan wanita itu dan memperkenalkan kepada Swi Liang, Swi Nio, dan Han Bu Ong. Kemudian dia mengajak sahabat baru itu memasuki gedungnya, dan sambil menghadapi hidangan lezat kedua orang wanita lihai ini bercakap-cakap dan mengadakan perundingan untuk bekerja sama.

Ternyata mereka cocok sekali dan memang keduanya merindukan kedudukan yang mulia dan terhormat, maka dalam perundingan ini Kiam-mo Cai-li dianggap sebagai pembantu utama dan tangan kanan Kwat Lin. Bahkan Rawa Bangkai yang terletak di kaki pegunungan Lu-liang-san itu dijadikan markas kedua, di mana kelak akan dilakukan semua pertemuan dan perundingan rahasia.

Benar saja seperti yang diharapkan. Setelah Kiam-mo Cai-li menjadi pembantunya, banyaklah kaum sesat yang bergabung dan menyatakan suka bekerja sama. Biar pun tidak resmi, mulai saat itu The Kwat Lin bukan hanya menjadi ketua Bu-tong-pai, akan tetapi juga diakui sebagai datuk kaum sesat nomor satu!

Hubungan rahasia yang diadakan oleh The Kwat Lin dengan para pembesar kota raja menjadi makin luas. Diam-diam persekutuan ini mulai mengatur rencana pemberontakan untuk menggulingkan Kaisar! Dari para pembesar yang mengharapkan bantuan orang-orang kang-ouw inilah Kwat Lin memperoleh bantuan keuangan sehingga Bu-tong-pai menjadi makin kuat, dan wanita lihai ini dapat menarik banyak tenaga bantuan orang pandai dengan mempergunakan uang sebagai pancingan.

* * *

Keadaan kerajaan Tang di masa itu memang sedang diancam pergolakan hebat. Saat itu yang duduk berkuasa di singgasana adalah Kaisar Beng Ong, atau yang terkenal juga dengan sebutan Kaisar Hian Tiong. Tak dapat disangkal lagi, di bawah pemerintahan Kaisar Beng ini Kerajaan Tang mengalami perkembangan yang amat pesat sehingga menjadi sebuah kerajaan yang luas sekali wilayahnya.

Di jaman pemerintahannya inilah (712-756) di Tiongkok bermunculan sastrawan-sastrawan dan pelukis-pelukis yang menjadi terkenal sekali dalam sejarah, seperti Li Tai-po, Tu Fu, Wang Wei dan lain-lain.

Namun disayangkan bahwa kebijaksanaan Beng Ong dalam mengemudikan roda pemerintahan ini mengalami godaan hebat yang meruntuhkan segala-galanya. Seperti sering-kali telah terjadi, di jaman apa pun dan di negara mana pun juga, Beng Ong yang hatinya teguh menghadapi godaan segala macam keduniawian, ternyata lumpuh ketika menghadapi seorang wanita!

Sudah banyak dibuktikan oleh sejarah, betapa pria-pria yang hebat, pandai, gagah perkasa dan kuat hatinya, menjadi luluh dan tak berdaya begitu bertemu dengan seorang wanita yang berkenan di hatinya.

Peristiwa itu terjadi pada tahun 745. Ketika itu Raja Beng Ong sudah berusia enam puluh tahun lebih, sebenarnya sudah tua dan sudah kakek-kakek. Namun seperti telah terbukti dari jaman dahulu sampai sekarang, laki-laki betapa pun tuanya, ketika menghadapi wanita akan menjadi seperti seorang kanak-kanak yang hijau dan lemah.

Salah seorang di antara begitu banyak pangeran, yaitu putera Kaisar yang terlahir dari banyak selirnya, adalah Pangeran Su. Pangeran ini mempunyai seorang isteri yang amat cantik jelita, bahkan menurut kabar angin, wanita ini cantiknya melebihi bidadari kahyangan. Wanita ini bernama Yang Kui Hui, yang memang memiliki kecantikan yang amat luar biasa sehingga terkenal di seluruh penjuru dunia.

Ketika Kaisar Beng Ong dalam suatu kesempatan bertemu dan melihat Yang Kui Hui, seketika hati Kaisar tua itu tergila-gila. Ratusan orang selir cantik dan pelayan-pelayan muda yang masih perawan tidak lagi menarik hatinya. Setiap saat yang tampak di depan matanya hanyalah bayangan wajah Yang Kui Hui yang cantik jelita.

Akhirnya Kaisar tidak dapat lagi menahan nafsu hatinya. Dengan kekerasan dia memaksa puteranya sendiri, Pangeran Su, untuk menceraikan isterinya dan mengawinkan pangeran ini dengan seorang wanita lain. Ada pun Yang Kui Hui, tentu saja, segera dimasukan ke dalam istana, di dalam kumpulan harem (rombongan selir) di istana.

Setelah Yang Kui Hui pada malam pertama melayani Kaisar Beng Ong, bekas ayah mertuanya, sejak saat itulah terjadi lembar baru dalam sejarah Kerajaan Tang. Kaisar Beng Ong yang tadinya giat mengurus pemerintahan, memperhatikan segala urusan pemerintahan sampai ke soal yang sekecil-kecilnya, kini mulai tidak acuh dan menyerahkan semua urusan ke tangan para Thaikam (Orang Kebiri Kepercayaan Raja) dan para pembesar yang berwenang. Dia sendiri dari pagi sampai jauh malam tak pernah meninggalkan tempat tidur di mana Yang Kui Hui menghiburnya dengan penuh kemesraan.

Dalam beberapa bulan saja, selir yang tercinta ini berhasil menguasai hati Kaisar seluruhnya sehingga apa pun yang dilakukan oleh Yang Kui Hui selalu benar, dan apa pun yang diminta oleh selir ini, tidak ada yang ditolak oleh Kaisar tua yang sudah dimabok cinta itu. Yang Kui Hui bukanlah seorang wanita bodoh. Sama sekali bukan.

Tentu saja hatinya menaruh dendam kepada kaisar Beng Ong karena dia dipisahkan dari suaminya yang tercinta. Sudah pasti sekali dalam melayani semua nafsu birahi Kaisar tua itu, ada tersembunyi niat yang lain lagi, bukan semata-mata karena dia membalas cinta kasih Kaisar yang sudah tua itu. Dia tidak menyia-nyikan kesempatan amat baik itu.

Setelah membuat Kaisar tergila-gila dan seolah-olah bertekuk lutut di depan kakinya yang kecil mungil, mulailah Yang Kui Hui memetik hasil pengorbanan diri dan hatinya. Dia menggunakan pengaruhnya terhadap Kaisar, menarik keluarganya menduduki tempat-tempat penting dalam pemerintahan!

Bahkan kakaknya yang bernama Yang Kok Tiong diangkat menjadi menteri pertama dari Kerajaan Tang setelah menteri yang lama dicopot secara menyedihkan oleh Kaisar, tentu saja atas bujukan Yang Kui Hui! Dan masih banyak lagi anggota keluarga selir yang cantik jelilta ini memperoleh kedudukan yang tinggi sekali yang sebelumnya tak pernah termimpikan oleh mereka.

Pada jaman itulah muncul seorang yang akan menjadi terkenal sekali dalam sejarah Tiongkok. Orang ini bukan lain adalah An Lu San, seorang yang tadinya dari keturunan tak berarti. An Lu San dilahirkan di Mancuria Selatan, di luar Tembok Besar, yaitu di Liao-tung. Orang tuanya berdarah Turki dari suku bangsa Khitan, keturunan keluarga yang bersahaja dan terbelakang.

Ketika An Lu San menjadi seorang pemuda remaja, sebagai seorang budak belian, dia dijual kepada seorang perwira Kerajaan Tang yang bertugas di utara, di Tembok Besar. Mulai saat itulah bintangnya menjadi terang.

Sebagai kacung seorang perwira, dia ikut pula ke medan perang. Ternyata bocah ini membuktikan dirinya sebagai seorang yang gagah berani dan cerdik sekali, memiliki keahlian dalam pertempuran sehingga beberapa kali dia membuat jasa pada pasukan yang dipimpin oleh majikannya.

Maka diangkatlah dia menjadi prajurit dan dalam waktu singkat saja dia membuat jasa-jasa besar sehingga dia diangkat terus, lalu dinaikkan menjadi perwira. Beberapa tahun kemudian, setelah dia memenangkan beberapa peperangan melawan musuh dari luar sehingga berjasa besar bagi Kerajaan Tang, dia akhirnya diangkat menjadi jenderal!

Mulailah jenderal An Lu San ini mendekati Kaisar. Setelah pangkatnya setinggi itu, tentu saja terbuka kemungkinan baginya untuk berhadapan dengan Kaisar yang waktu itu sedang tergila-gila kepada Yang Kui Hui yang telah memperoleh kedudukan tinggi. An Lu San memang seorang yang amat cerdik.

Menyaksikan pengaruh dan kekuasaan selir yang cantik jelita itu terhadap Kaisar, dia melihat kesempatan baik sekali untuk mengangkat diri sendiri ke tempat yang lebih tinggi. Dengan sikapnya yang lucu dan ugal-ugalan, pembawaan watak liarnya, dia berhasil menyenangkan hati Kaisar dan memancing kegembiraan Yang Kui Hui sendiri.

Selir yang setiap hari harus melayani seorang pria yang sudah tua dan sudah lemah, tentu saja bangkit gairahnya melihat jenderal yang tegap, gembira dan kasar liar itu! Terjadilah ‘main mata’ antara kedua insan ini. Akhirnya, dengan bujukan dan rayuannya, Yang Kui Hui memuji-muji kesetiaan dan jasa-jasa An Lu San sehingga Kaisar menjadi semakin suka kepada jenderal ini. Bahkan Yang Kui Hui dengan akalnya yang licik telah mengangkat An Lu San sebagai ‘putera angkatnya’.

Hal ini tidak dijadikan keberatan oleh Kaisar. Bahkan Kaisar memuji selirnya sebagai seorang selir yang cerdik, selir yang mencinta dan yang setia. Perbuatan Yang Kui Hui itu dianggapnya sebagai taktik untuk menyenangkan hati seorang pahlawan sehingga dengan demikian memperkuat kedudukan Kaisar.

Kaisar Beng Ong yang terkenal pandai dan bijaksana itu ternyata menjadi lemah tak berdaya, sama lemahnya dengan seuntai rambut lemas hitam dari Yang Kui Hui yang setiap saat dapat dipermainkan oleh jari-jari tangan halus dari selir yang cantik jelita itu.

Tentu saja setiap sukses dari seseorang, baik didapatkan dengan jalan apa pun juga, akan melahirkan iri hati kepada orang-orang lain. Biar pun tidak ada yang berani secara terang-terangan menentang selir cantik yang amat dikasihi Kaisar tua itu, namun diam-diam banyak anggota keluarga kerajaan yang merasa iri hati dan membenci Yang Kui Hui, terutama sekali para selir lainnya yang kini seolah-olah diabaikan oleh Kaisar yang setiap malam selalu dibuai dalam pelukan Yang Kui Hui.

Pada suatu malam Kaisar beristirahat di dalam kamarnya sendiri. Betapa pun dia tergila-gila kepada Yang Kui Hui, namun karena dia sudah tua sekali, tenaganya tidak mengijinkan dia setiap malam mengunjungi selirnya yang masih muda, penuh nafsu dan panas itu. Malam itu merupakan malam istirahatnya dan dia tidak mendekati selirnya yang tercinta. 

Tubuhnya terasa lelah setelah sore tadi dia berpesta makan minum dan menikmati tari-tarian yang disuguhkan untuk kehormatan jenderal An Lu San yang datang berkunjung ke istana. Setelah mengijinkan jenderal perkasa itu mengundurkan diri ke kamar tamu yang disediakan, Kaisar yang merasa lelah itu berbisik kepada selirnya tercinta bahwa malam itu dia ingin beristirahat karena merasa lelah, kemudian langsung menuju ke kamarnya sendiri.

Menjelang tengah malam, Kaisar terbangun dan ternyata yang mengganggu tidurnya adalah seorang selir muda belia yang cantik seperti selir-selir lain. Selir ini bernama Yauw Cui, masih berdarah bangsawan dan termasuk selir termuda sebelum Kaisar mengambil Yang Kui Hui yang merupakan selir terakhir.

"Hemmm, apa maksudmu datang mengganggu?" Kaisar berkata tanpa marah karena dia pun pernah mencinta selir yang cantik ini, bahkan tangannya lalu diulur untuk membelai dagu yang berkulit putih halus itu.

"Hamba mohon Sri Baginda mengampunkan hamba," selir itu berkata dengan suara agak gemetar. "Sebetulnya hamba tidak berani mengganggu Paduka yang sedang beristirahat, akan tetapi...."

Kaisar yang tua itu tersenyum dan salah menyangka. Dikiranya selir muda ini merindukan curahan kasihnya karena sudah lama dia tidak mengunjungi kamar selirnya ini dan tidak pula memerintahkan selirnya itu datang melayaninya. "Aihh, manis, naiklah ke sini dan kau pijiti punggungku...," katanya sebagai uluran tangan. Karena membayangkan hasrat selirnya ini, sudah bangkit pula birahinya.

Yauw Cui tidak berani membantah. Segera ia bangkit dari lantai di mana dia berlutut, dan jari-jari tangannya yang halus mulai menari-nari di atas punggung tua yang pegal-pegal itu. Akan tetapi selir ini berkata lagi, "Rasa penasaran memaksa hamba memberanikan diri mengunjungi Paduka. Hamba tidak ingin melihat Paduka yang hamba junjung tinggi ditipu dan dihina orang!"

Tangan Kaisar yang mulai membelai tubuh selirnya itu tiba-tiba terhenti. Dengan pandang mata penuh selidik Kaisar Beng Ong bertanya, "Apa maksudmu? Siapa yang berani menipu dan menghinaku?"

Yauw Cui menangis, dan dengan suara terisak-isak dia berkata, "Hamba... secara tidak sengaja... mendengar... An-goanswe (jenderal An) berada di dalam kamar... Yang Kui Hui...."

Seketika Kaisar bangkit duduk dengan mata terbelalak. Dengan alis berkerut dia memandang selirnya yang masih menangis itu. Hatinya tidak percaya sama sekali karena memang sudah sering-kali Yang Kui Hui difitnah orang lain yang merasa iri hati. "Hemmm, jangan bicara sembarangan saja karena terdorong iri hati."

"Tidak... hamba rela untuk dihukum mati, rela diapakan saja kalau hamba membohong.... Tidak berani hamba menjatuhkan fitnah.... Hamba hanya merasa penasaran melihat Paduka dihina, maka hamba memberanikan diri melapor...."

"Pengawal...!!" Kaisar berseru sambil mendorong selirnya turun dari pembaringan.

Pintu terbuka dan enam orang pengawal pribadi meloncat masuk. Mereka langsung berlutut setelah melihat bahwa Kaisar tidak dalam bahaya.

Kaisar menyambar jubah luarnya. "Antar kami ke kamar Yang Kui Hui," kata Kaisar singkat sambil memberi isyarat dengan matanya agar Yauw Cui ikut pula bersamanya.

Pada saat Yauw Cui melapor kepada Kaisar, kamar Yang Kui Hui sudah gelap remang-remang, dan pada saat itu memang selir yang cantik jelita ini sedang bersama An Lu San. Mereka seperti mabok nafsu birahi. Tentu saja segala pertahanan di hati Yang Kui Hui runtuh menghadapi jenderal yang tegap dan gagah perkasa ini, yang masih memiliki sifat-sifat liar dan kasar dari tempat asalnya.

Selama tujuh tahun Yang Kui Hui menekan kekecewaan hatinya melayani seorang kakek-kakek lemah. Kini bertemu dengan An Lu San dan berkesempatan menikmati rayuan laki-laki yang jantan dan jauh lebih muda dari Kaisar ini, tentu saja dia terbuai dan lupa segalanya.

Tiba-tiba sesosok bayangan menyelinap ke dalam kamar itu dan berbisik di luar kelambu pembaringan. Bisikan itu merubah suasana di dalam kamar itu. Yang Kui Hui dan An Lu San dalam waktu beberapa menit saja telah memakai pakaian yang rapi, duduk menghadapi meja yang diterangi dengan beberapa batang lilin, dan di atas meja terdapat gambar peta daerah utara.

Di ujung-ujung kamar itu terdapat pengawal dan pelayan berdiri seperti patung, hanya memandang saja ketika An Lu San dengan suara lantang sedang menjelaskan tentang situasi dan keadaan pertahanan di perbatasan utara.

Demikianlah, ketika Kaisar yang diiringi Yauw Cui dan para pengawal memasuki kamar itu dengan sikap kasar, dia melihat selirnya yang tercinta itu memang benar duduk berdua dengan An Lu San, akan tetapi bukanlah berjinah seperti yang dilaporkan Yauw Cui, melainkan sedang bicara urusan pertahanan!

"Hamba sedang mempelajari keadaan kekuatan pertahanan kita di utara dari An Lu San," antara lain Yang Kui Hui membela diri ketika Kaisar menyatakan kecurigaannya. "Paduka terlalu mempercayai mulut seorang wanita yang cemburu dan iri hati setengah mati kepada hamba."

Karena semua pengawal dan pelayan yang berada di kamar itu merupakan saksi yang kuat bahwa selir tercinta itu tidak bermain gila dengan putera angkatnya, tentu saja Kaisar menjadi marah kepada Yauw Cui.

Selir muda ini mengerti bahwa dia berbalik kena fitnah oleh madunya yang lihai itu, maka maklum bahwa tidak ada lagi harapan baginya. Dia menudingkan telunjuknya kepada Yang Kui Hui sambil berteriak nyaring, "Kau wanita Iblis! Karena engkaulah kerajaan ini akan hancur!" dan sebelum para pengawal yang diperintah oleh Kaisar yang marah-marah itu sempat menangkapnya, Yauw Cui lari membenturkan kepalanya di dinding kamar itu sehingga kepalanya pecah dan dia tewas di saat itu juga!

Tentu saja pada hari berikutnya, ada seorang pelayan yang menerima hadiah banyak sekali dari Yang Kui Hui, yaitu pelayan yang membisikinya semalam sehingga menyelamatkannya. Semenjak peristiwa itu, kepercayaan Kaisar terhadap Yang Kui Hui dan An Lu San makin besar. Tentu saja kesempatan baik ini tidak dibiarkan lewat percuma oleh Yang Kui Hui dan An Lu San yang mengadakan hubungan gelap sepuas hati mereka.

Karena pengaruh Yang Kui Hui di depan Kaisar, maka An Lu San memperoleh kehormatan yang besar, bahkan diangkat menjadi gubernur di Propinsi Liao Tung. Dengan demikian, An Lu San menguasai pasukan-pasukan terbaik dari kerajaan dan menjaga di propinsi yang merupakan perbatasan timur.

Kehormatan ke dua diterimanya tak lama kemudian, tentu saja atas desakan dan bujukan Yang Kui Hui, yaitu ketika dia dianugrahi gelar Pangeran Tingkat Dua. Kehormatan yang besar sekali karena biasanya, gelar ini hanya diberikan kepada keluarga kerajaan yang berdarah bangsawan!

Memang An Lu San seorang yang berasal dari suku bangsa terbelakang, namun dia diberkahi dengan kecerdikan luar biasa. Melihat betapa kaisar bertekuk lutut di depan kedua kaki yang mungil dari selir kaisar Yang Kui Hui, dia mengeluarkan semua kepandaian untuk mengambil hati selir ini. Ternyata semua muslihatnya berhasil baik sehingga dia memperoleh kedudukan yang tinggi sekali.

Akan tetapi tentu saja banyak pula orang merasa iri hati dan tidak suka kepada An Lu San. Di antara mereka ini adalah kakak kandung Yang Kui Hui sendiri, yaitu Yang Kok Tiong yang menjadi Menteri Pertama.

Dengan kedudukannya yang tinggi, Yang Kok Tiong lalu melakukan penyelidikan. Saat dia memperoleh berita bahwa An Lu San mempersiapkan pemberontakan, segera dia berunding dengan Putera Mahkota dan melapor kepada Kaisar. Kaisar tidak percaya dan menganggap pelaporan ini omong kosong belaka. Tetapi atas desakan para pangeran, akhirnya Kaisar memanggil An Lu San.

Jenderal ini memang benar telah mempersiapkan suatu pemberontakan, namun belum dijalankan karena merasa keadaannya belum cukup kuat. Dia menghadap Kaisar dan dengan air mata bercucuran. Dia memprotes, menyatakan kesetiaanya terhadap Kaisar dan dalam hal ini kembali pengaruh Yang Kui Hui membantunya. Selir ini pun mencela Kaisar yang mudah saja dipermainkan orang yang merasa iri hati, bahkan Yang Kui Hui mengambil contoh selir Yauw Cui yang iri hati kepadanya.

"Hendaknya Paduka ingat bahwa An Lu San adalah seorang pahlawan kerajaan yang jasanya sudah amat besar. Tidak mungkin dia memberontak, dan andai kata dia benar mempunyai niat memberontak tentu dia tidak akan datang memenuhi panggilan Paduka! Kedatangannya ini sudah merupakan bukti akan kebersihan dan kesetiaannya! Kabar tentang niat pemberontakan itu tentu ditiup-tiupkan oleh mereka yang merasa iri hati kepadanya."

Seperti biasa, hati Kaisar luluh dan lenyaplah semua kecurigaan dan keraguannya, dia malah menjamu An Lu San. Malam itu pula, dengan amat pandainya An Lu San ‘membalas budi’ Yang Kui Hui, dengan sepenuh hatinya, di dalam kamar selir Kaisar itu, aman karena terjaga oleh orang-orang kepercayaan mereka. Demikianlah, pada saat cerita ini terjadi, An Lu San sudah kembali ke utara dengan penuh kebesaran dan kebanggaan, dan diam-diam dia makin mempercepat persiapannya untuk memberontak!

Dan demikian pula dengan keadaan kerajaan Tang pada waktu itu. Kelemahan Kaisar yang jatuh di bawah telapak kaki halus dari Yang Kui Hui, menimbulkan ketidak-puasan pada banyak pembesar sehingga di sana-sini timbul niat untuk memberontak. Keadaan yang lemah dari kerajaan Tang inilah dipergunakan oleh The Kwat Lin untuk mulai dengan petualangannya, untuk memenuhi cita-citanya mencarikan kedudukan tinggi untuk puteranya!

* * *

Pada suatu hari, datanglah seorang utusan dari kota raja mendaki Pegunungan Bu-tong-san, menghadap ketua Bu-tong-pai. Melihat bahwa utusan ini adalah utusan dari Pangeran Tang Sin Ong dari kota raja, Kwat Lin cepat menerimanya di kamar rahasia. Setelah utusan itu menyampaikan tugasnya dia cepat pergi lagi meninggalkan Bu-tong-pai dan terjadilah kesibukan di Bu-tong-pai.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.