Bu Kek Siansu Jilid 09

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-kek Sian-su Jilid 09 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

PANGERAN TANG SIN ONG adalah seorang pangeran di kota raja yang mempersiapkan pemberontakan pula. Saingan besar dari An Lu San ini merupakan pangeran yang dihubungi oleh Kwat Lin.

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-kek Sian-su Karya Kho Ping Hoo

Baru saja dia mengirim berita tentang hari dan tempat di mana Yang Kui Hui akan ikut dengan Kaisar yang hendak berburu binatang dalam hutan, sebuah di antara kesenangan Kaisar. Saat inilah yang dinanti-nanti oleh The Kwat Lin dan Pangeran Tang Sin Ong untuk menjalankan siasat yang telah lama mereka rencanakan.

Beberapa hari kemudian, tibalah saatnya Kaisar bersama Yang Kui Hui bersenang-senang di dalam hutan di kaki pegunungan Fu niu san, tidak jauh dari kota raja. Seperti biasa, di waktu mengadakan perburuan tempat itu dijaga oleh para pengawal.

Ada pula pasukan yang tugasnya hanya mencari dan menggiring binatang hutan agar binatang-binatang yang ketakutan itu berlarian menuju ke dekat tempat Kaisar dan Permaisurinya menanti sehingga dengan mudah Kaisar dapat melepaskan anak panah ke arah binatang-binatang itu. Sekali ini, selain beberapa orang pembesar penting, Kaisar juga ditemani oleh Pangeran Tang Sin Ong....

Seperti biasa Kaisar dan selirnya yang tercinta menanti di dalam pondok yang memang tersedia di situ, di tengah-tengah hutan. Para pembesar dan Pangeran Tang Sin Ong menanti di luar pondok sambil bercakap-cakap. Mereka menanti sampai datangnya binatang-binatang yang akan digiring oleh pasukan yang sudah menyusup-nyusup ke dalam hutan lebat di depan.

Para pengawal menjaga di sekeliling tempat itu, terdiri dari pengawal Kaisar dan pengawal Pangeran Tang Sin Ong karena pangeran ini mempunyai pasukan pengawal sendiri. Mereka tidak usah lama menanti. Segera terdengar sorak-sorai dari jauh, makin lama makin mendekat. Itulah suara pasukan yang bertugas menggiring binatang hutan menuju ke tempat penyembelihan itu, di mana para pembesar telah menanti dengan gendewa bersama dengan anak panahnya siap di tangan.

Mendengar suara ini, kaisar sudah keluar dari pondok sambil tersenyum-senyum gembira membawa sebatang gendewa. Seorang thaikam yang menjadi kepercayan dan pelayannya mengikuti Kaisar sambil membawa tempat anak panah. Tak lama kemudian, mulailah bermunculan binatang-binatang hutan yang panik ketakutan karena dikejar-kejar dan digiring oleh pasukan di belakang mereka yang bersorak-sorai itu.

Dan mulailah Kaisar bersama Pangeran Tang Sin Ong dan para pembesar lainnya menghujankan anak panah mereka ke arah binatang-binatang itu. Tidak ada seorang pun melihat ketika dari rombongan pengawal Pangeran Tang Sin Ong, tiba-tiba seorang pengawal menyelinap ke dalam semak-semak. Orang ini lalu menanggalkan pakaian dan menyelinap memasuki pondok Kaisar dari samping, meloncat masuk dari jendela yang terbuka.

Dengan kecepatan kilat, laki-laki setengah tua ini menyergap Yang Kui Hui yang sedang berdiri menonton di ambang pintu depan. Terdengar selir cantik itu menjerit, akan tetapi tubuhnya menjadi lemas ketika dia tertotok. Pada saat semua orang menoleh karena mendengar jeritan itu, Yang kui Hui telah dipondong dan dibawa lari oleh laki-laki itu.

"Penculik...!"

"Penjahat...!"

"Jangan lepas anak panah, bisa salah sasaran...!!" tiba-tiba Pangeran Tang Sin Ong berseru keras.

Mendengar ini, Kaisar yang sudah pucat mukanya cepat berseru, "Benar! Jangan lepas anak panah. Kejar dan tangkap! Selamatkan dia...!"

Semua orang, pengawal, pembesar, pangeran Tang Sin Ong, bahkan Kaisar sediri, segera mengejar penculik yang memiliki gerakan yang amat gesit itu. Dengan beberapa loncatan saja penculik itu telah lari jauh sekali.

"Cepat kejar... tolong dia.... Ahhh, Kui Hui...!!" kaisar berteriak dengan muka pucat.

Tiba-tiba tampak dua sosok bayangan orang berkelebat menghadang penculik itu. Dari jauh kelihatan jelas bahwa dua orang itu adalah wanita-wanita cantik yang gerakannya cepat luar biasa. Wanita yang lebih tua sudah menerjang maju dan dengan serangan mendadak berhasil memukul roboh penculik dan merampas Yang Kui Hui, disusul kemudian wanita ke dua yang muda dan cantik menggerakkan pedangnya menusuk.

Terdengar jerit melengking yang nyaring sekali ketika pedang itu menembus dada penculik itu yang berkelojotan, terbelalak dan menudingkan telunjuknya kepada wanita pertama seolah-olah hendak berkata sesuatu, akan tetapi sebuah tendangan yang mengenai kepalanya membuat penculik itu tak dapat bergerak lagi dan tewas seketika!

Kaisar dan rombongannya sudah tiba di situ. Dengan tepukan perlahan wanita perkasa yang lebih tua itu membebaskan totokan Yang Kui Hui. Selir ini mengeluh dan menangis sambil menubruk Kaisar yang memeluknya. Kaisar memandang kepada dua orang wanita cantik yang sudah berlutut di depan kakinya dengan perasaan bersyukur dan berterima kasih.

"Untung sekali kalian berdua yang gagah perkasa datang menolong!" kata kaisar dengan penuh rasa syukur, suaranya masih gemetar karena ketegangan hebat yang baru saja dialaminya. "Siapakah kalian?"

"Hamba adalah Ketua Bu-tong-pai bernama The Kwat Lin," berkata wanita cantik itu, lalu menuding kepada dara muda yang cantik jelita dan tinggi semampai di sebelahnya. "Dan ini adalah Bu Liang Cu murid hamba."

"Ahhh, kiranya ketua Bu-tong-pai yang terkenal!" kata Kaisar sambil tersenyum lebar. "Pantas saja demikian lihai! Kalian telah berjasa, telah menyelamatkan kekasih kami dan membunuh penculik jahat. Kalian pantas diberi hadiah besar."

Yang Kui Hui sudah menghentikan tangisnya, dan kini dia pun memandang kedua orang wanita itu dengan mata berseri. "Kalian datanglah ke istana, aku akan memberi hadiah kepada kalian."

The Kwat Lin menyembah dengan hormat. "Hamba berdua hanya melakukan tugas hamba sebagai rakyat yang setia kepada junjungannya. Hamba berdua tidak mengharapkan balas jasa, hanya apabila Paduka sudi menerima, biarlah murid hamba ini bekerja sebagai pengawal pribadi Paduka. Sekarang banyak orang jahat, tanpa pengawalan yang kuat tentu membahayakan Paduka.”

Girang bukan main hati Yang Kui Hui. "Baik sekali! Siapa namamu tadi?" tanyanya kepada gadis cantik yang menunduk sejak tadi.

Gadis itu kini mengangkat mukanya, dan dengan sepasang mata yang bersinar-sinar dia menjawab, "Nama hamba Bu Liang Cu.”

Saking girangnya, Yang Kui Hui mencabut tusuk konde dari emas berhiaskan permata dan menghadiahkan benda itu kepada The Kwat Lin, dan dia menerima pula gadis murid Bu-tong-pai itu sebagai pengawal pribadinya. Mulai saat ini gadis yang bernama Bu Liang Cu itu ikut bersama rombongan Kaisar, selalu mengawal di belakang Yang Kui Hui, kembali ke istana.

Ada pun The Kwat Lin segera kembali ke Bu-tong-san dengan hati girang karena siasatnya berjalan dengan baik sekali, sungguh pun untuk itu dia terpaksa harus mengorbankan nyawa seorang anggotanya. Penculik itu bukan lain adalah seorang anggotanya sendiri, seorang bekas penjahat yang memiliki ginkang tinggi. Penculik itu hanya diperintah untuk melarikan Yang Kui Hui dengan janji akan dibantunya kalau sampai mengalami bahaya.

Akan tetapi, penculik itu baru tahu bahwa dia dikhianati oleh ketuanya sendiri setelah dia roboh dengan pedang menembus dadanya. Baru ia tahu bahwa dia dikorbankan untuk suatu siasat licik dari The Kwat Lin, namun pengetahuan ini tiada gunanya karena dia keburu mati sebelum dapat mengeluarkan suara.

Siapakah gadis cantik yang kini menjadi pengawal Yang Kui Hui? Tadinya, untuk tugas ini The Kwat Lin menunjuk muridnya, Bu Swi Nio. Akan tetapi betapa marahnya ketua Bu-tong-pai ini ketika dia menghadapi penolakan muridnya!

"Teecu tidak berani, Subo. Perintahlah teecu untuk melakukan hal lainnya. Biar disuruh membasmi penjahat yang bagaimana pun, biar harus mempertaruhkan nyawa, teecu tidak akan mundur dan pasti akan memenuhi perintah Subo! Akan tetapi ini... ah, teecu tidak mau terlibat dalam... pemberontakan...," jawab Swi Nio sambil berlutut dan menundukkan mukanya.

Hampir saja Kwat Lin menampar kepala muridnya itu saking marah dan kecewanya. Dan pada saat itu, Swi Liang yang melihat adiknya terancam bahaya kemarahan subonya, cepat maju dan berkata, "Subo, kalau Moi-moi tidak berani, biarlah teecu yang melakukannya."

"Kau seorang pria... mana mungkin...?"

"Teecu bisa saja menyamar sebagai seorang gadis. Dahulu di waktu kecil sering-kali teecu mengenakan pakaian Moi-moi dan bermain-main seperti seorang anak perempuan."

Mendengar ini Kwat Lin termenung. Betapa pun juga dia lebih percaya kepada muridnya sekaligus kekasihnya ini. Selama ini Swi Nio selalu memperlihatkan sikap dingin dan kadang-kadang menentang. Berbeda dengan Swi Liang yang selalu menuruti kehendaknya, bahkan pemuda itu mau pula melayani nafsu birahinya!

Pekerjaan yang direncanakan ini amat berbahaya kalau sampai bocor, maka sebaiknya kalau dilakukan oleh orang yang paling dipercayainya. Memaksa Swi Nio amat berbahaya karena siapa tahu kalau-kalau murid perempuan ini akan mengkhianatinya kelak.

"Hemm, kita coba saja!" katanya.

Setelah melihat Swi Liang berpakaian wanita dan bergaya, Kwat Lin menjadi girang sekali. Agaknya murid itu memang mempunyai bakat bermain sandiwara, maka ketika berpakaian wanita dan beraksi, dia sendiri hampir pangling dan mengira bahwa Swi Liang adalah Sawi Nio! Demikianlah rencana siasat itu dijalankan dengan baik. Swi Liang yang menyamar sebagai seorang gadis cantik bernama Bu Liang Cu berhasil menyusup ke dalam istana sebagai pengawal pribadi dari Yang Kui Hui!

Memang itulah tujuan pokok dari siasat Kwat Lin, yaitu memikat hati Yang Kui Hui. Pemikatan dengan cara menolong selir itu dari bahaya telah berjalan cukup baik, akan tetapi akan lebih berhasil lagi kalau muridnya itu berhasil menjatuhkan hati selir itu dengan ketampanannya!

Kalau sampai berhasil Swi Liang menjadi kekasih Yang Kui Hui, akan mudah saja melakukan gerakan pemberontakan dari dalam! Inilah sebabnya maka dia setuju muridnya itu menyamar sebagai wanita. Dia rela memberikan kekasihnya ini kepada Yang Kui Hui demi tercapainya cita-citanya.

Berbeda dengan kakaknya yang telah mabuk bujukan gurunya, Swi Nio makin lama merasa makin tidak enak tinggal di Bu-tong-san. Dia sama sekali tidak senang dan hatinya menentang menyaksikan semua perbuatan subonya. Tadinya memang dia rela menjadi murid subonya karena wanita sakti itu yang menolong dia dan kakaknya, juga yang telah membunuh Pat-jiu Kai-ong, musuh besar yang telah membunuh ayah mereka.

Akan tetapi semenjak menyaksikan betapa subonya itu menguasai Bu-tong-pai dengan kekerasan, melihat subonya melawan susiok sendiri dan bahkan membuat para tokoh Bu-tong-pai mengundurkan diri dari Bu-tong-pai, hatinya sudah merasa tidak senang. Apa-lagi melihat masuknya anggota-anggota baru Bu-tong-pai yang terdiri dari orang-orang kasar yang dia ketahui adalah bekas-bekas penjahat, dia merasa penasaran.

Semua itu masih ditambah lagi kenyataan yang membuatnya merasa malu dan hina, yaitu melihat kakaknya menjadi kekasih subonya. Sering-kali secara diam-diam Swi Nio menasehati kakaknya, bahkan menganjurkan kakaknya untuk bersama dia melarikan diri saja dari Bu-tong-pai, namun semua itu tidak diacuhkan oleh Swi Liang. Swi Nio menderita batin seorang diri, sering-kali menangis di dalam kamarnya.

Melihat munculnya Kiam-mo Cai-li, hatinya menjadi makin gelisah. Dia dahulu sudah mendengar dari mendiang ayahnya bahwa Kiam-mo Cai-li adalah seorang datuk kaum sesat yang amat kejam. Namun kenyataannya, subonya menjadi sekutu iblis itu, bahkan diakui sebagai pemimpin!

Pagi hari itu, setelah merasa kehilangan kakaknya yang pergi tanpa pamit bersama subonya, dan kemudian melihat subonya pulang sendiri tanpa kakaknya, Swi Nio tak dapat menahan kegelisahan hatinya lagi. Dia memberanikan diri memasuki kamar subonya di mana subonya sedang bercakap-cakap dengan Kiam-mo Cai-li yang kebetulan datang ke Bu-tong-san.

"Subo, teecu (murid) tidak melihat adanya Liang-koko yang tadinya pergi bersama Subo selama beberapa hari lamanya. Ke manakah dia, Subo? Apakah yang terjadi dengan kakakku itu?" tanyanya dengan wajah agak pucat karena beberapa malam dia kurang tidur memikirkan kakaknya.

The Kwat Lin mengerutkan alisnya. Hatinya memang sudah tidak senang pada muridnya ini, apalagi ketika Swi Nio terang-terangan berani menolak perintahnya sehingga tugas itu digantikan oleh Swi Liang. Biar pun pemuda itu berhasil baik, betapa pun juga The Kwat Lin merasa kehilangan, apalagi di waktu malam yang sunyi dan dingin!

"Kau tidak perlu tahu!" jawabnya membentak.

"Tapi... Subo, dia adalah kakak teecu...," Swi Nio membantah.

"Hemm, dia bertugas di kota raja. Sudah, pergilah dan jangan kau mengganggu kami yang sedang bicara!"

Swi Nio bangkit berdiri dari atas lantai dan memandang gurunya dengan mata terbelalak dan muka pucat. "Jadi... dia... dia telah menyelundup ke dalam istana...?"

The Kwat Lin bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke muka Swi Nio sambil membentak marah. "Gara-gara engkaulah! Apa kau kira kalau tidak terpaksa aku suka membiarkan dia melakukan tugas berbahaya itu? Mestinya engkau yang bertugas, akan tetapi engkau telah menolak. Dia seorang murid yang amat baik, tidak seperti engkau yang tak mengenal budi!"

Swi Nio membalikkan tubuhnya, menutupi muka dan menangis sambil mengeluh, "Liang-koko... ah, Koko...!"

Setelah dara itu berlari pergi, Kwat Lin lalu duduk kembali. Dengan wajah keruh dia mengomel, "Murid yang murtad! Sungguh menjengkelkan saja dia itu!"

Kiam-mo-Cai-li tersenyum. "Mengapa pusing-pusing menghadapi seorang gadis seperti itu? Kalau dibiarkan saja, tentu dia akan terus merongrongmu dan boleh jadi kelak akan membahayakan perjuangan kita. Dia harus ditundukkan!"

"Hemm, maksudmu menggunakan kekerasan?"

"Ah, aku mengenal gadis seperti itu. Wataknya keras dan kalau digunakan kekerasan, sampai mati pun dia tidak akan tunduk. Kalau sampai dia mati, amat tidak baik bagi kakaknya yang kita butuhkan tenaganya. Dia harus dilawan dengan cara halus."

"Bagaimana maksudmu? Membujuknya?"

Kiam-mo Cai-li menggelengkan kepalanya. "Dibujuk pun takkan berhasil. Akan tetapi sekali dia telah jadi isteri orang, tentu dia akan menurut segala kehendak suaminya."

"Ihhh! Aku tidak pernah memikirkan hal itu. Dengan siapa?"

"Kita harus cerdik, kita harus memakai siasat sekali tepuk memperoleh dua ekor lalat atau menggunakan pedang yang bermata dua. Di satu fihak, kita harus menyenangkan hati Pangeran Tang Sin Ong yang aku tahu memiliki watak mata keranjang. Dia tentu akan berterima kasih sekali kepadamu kalau kau rela memberikan muridmu yang cantik manis itu kepadanya, menjadi seorang selirnya yang tercinta dan dapat diandalkan. Ke dua, kalau muridmu itu sudah menjadi selir Pangeran Tang Sin Ong, tentu dia akan tidak banyak membantah lagi!"

The Kwat Lin mengangguk-angguk. Diam-diam dia memuji kecerdikan temannya ini. "Siasatmu memang baik sekali, Cai-li! Akan tetapi... biar pun sudah pasti sekali Pangeran akan menerima penawaran ini dengan kedua tangan terbuka, kukira belum tentu Swi Nio akan mau dijadikan selir pangeran itu. Kalau dia menolak, lalu bagaimana?"

Kiam-mo Cai-li tertawa. "Hi-hi-hik, tidak usah khawatir, Pangcu. Aku yang tanggung-jawab dia tentu tidak akan menolak...." dia lalu mendekatkan mulutnya ke telinga The Kwat Lin berbisik-bisik.

Kwat Lin mengangguk-angguk. " Hemm, kalau dia merupakan seorang murid yang baik dan taat, tentu aku tidak tega. Akan tetapi... demi suksesnya perjuangan kita, agar dia tidak menjadi penghalang malah kelak mungkin dapat membantu, biarlah... kita atur secepatnya agar Pangeran dapat berkunjung ke sini."

"Tentu mudah saja dan tidak akan menimbulkan kecurigaan. Bukankah peristiwa di hutan itu membuat nama Bu-tong-pai terangkat tinggi dalam pandangan kerajaan? Kalau seorang Pangeran berkunjung ke sini, menemui penolong selir Yang Kui Hui, hal itu sudah semestinya! Hi-hi-hik."

"Kau memang cerdik sekali, Cai-li!" The Kwat Lin memuji dan kedua orang wanita berkepandaian tinggi itu sambil tersenyum-senyum minum arak wangi yang berada di dalam cawan-cawan perak mereka.

Beberapa hari kemudian, sesuai dengan siasat mereka itu, datanglah rombongan tamu agung dari kota raja. Pangeran Tang Sin Ong! Inilah hasil pertama dari siasat The Kwat Lin menolong Yang Kui Hui. Sebelum peristiwa itu, hubungannya dengan pangeran itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, itu pun berupa pertemuan rahasia yang diadakan hanya melalui kurir (utusan).

Akan tetapi sekarang, setelah siasat di hutan itu sekaligus mengangkat nama Bu-tong-pai, Pangeran Tang Sin Ong berani datang secara berterang, bahkan sebelum berangkat pangeran itu menerima titipan bingkisan hadiah yang dikirim oleh Yang Kui Hui sendiri melalui pangeran itu.

Tentu saja keadaan di Bu-tong-san seperti dalam pesta. Semua anak buah Bu-tong-pai mengenakan pakaian baru dan rombongan tamu agung itu disambut dengan meriah seperti sambutan terhadap seorang pengantin. Dengan penuh kehormatan para tamu agung dijamu di ruangan yang lebar dari Bu-tong-pai, dan pesta pora diadakan di ruangan yang biasa dipergunakan sebagai Lian-bu-thia (ruang belajar silat). Sambutan resmi dilakukan dan pangeran menyerahkan bingkisan dari Yang Kui Hui serta menyerahkan pula bingkisan dari dirinya sendiri kepada ketua Bu-tong-pai.

Malam harinya, sebagai penghormatan khusus, Pangeran Tang Sin Ong seorang diri dijamu oleh The Kwat Lin di ruangan dalam. Kali ini sang ketua hanya ditemani oleh Kiam-mo Cai-li dan Bu Swi Nio! Sebenarnya dara ini hadir karena setengah dipaksa oleh subonya untuk menemaninya menjamu pangeran itu. Biar pun di dalam hatinya Bu Swi Nio tidak setuju, namun dia tidak berani membantah. Pula, di dalam hatinya dia ingin sekali mendengar percakapan mereka yang tentu akan menyangkut pula keadaan kakaknya di kota raja.

Ketika pengeran ini dipersilakan duduk menghadapi meja yang sudah penuh hidangan, The Kwat Lin memperkenalkan Kiam-mo Cai-li Liok Si sebagai pemilik istana Rawa Bangkai. Setelah itu baru dia memperkenalkan Bu Swi Nio pula sebagai muridnya yang terkasih.

Pangeran itu memandang Kiam-mo Cai-li dan Bu Swi Nio, lalu tertawa gembira dan berkata, "Sungguh beruntung sekali Pangcu mendapatkan seorang pembantu seperti Liok Toanio ini yang saya yakin tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan muridmu ini... aaihh... penerangan ini menjadi makin bercahaya, suasana menjadi makin gembira dan segar, hidangan menjadi bertambah lezat. Sungguh saya merasa berbahagia sekali bahwa Nona Bu suka menemani saya makan minum, untuk ini saya harus menghaturkan arak penghormatan sebanyak tiga cawan!"

Pangeran itu tentu saja tadinya sudah diberi-tahu oleh Kwat Lin bahwa ketua ini hendak menghadiahkan muridnya kepadanya. Maka begitu melihat Swi Nio yang masih amat muda dan cantik jelita itu, hati Sang Pangeran sudah jatuh dan gairahnya sudah bernyala-nyala.

Wajah Swi Nio menjadi merah padam. Dia merasa malu sekali menyaksikan sikap dan mendengar kata-kata yang penuh pujian ini. Dia tidak biasa berhadapan dengan pria seperti ini. Hatinya berdebar tegang dan khawatir, akan tetapi untuk menolak, tentu saja dia tidak berani.

Sambil menunduk dan membisikan kata-kata terima kasih dia menerima tiga cawan arak berturut-turut. Biar pun dia tidak biasa minum banyak arak, akan tetapi terpaksa tiga cawan arak itu diminumnya tanpa banyak membantah.

Melihat ini The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li tertawa girang. Dari seberang meja, The Kwat Lin mengedipkan sebelah matanya kepada Tang Sin Ong. Sang Pangeran mengerti akan isyarat ini, maka dia lalu melepas seuntai kalung emas bertaburan permata yang tergantung di lehernya, bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan yang memegang kalung itu kepada Swi Nio.

"Nona Bu, kalung ini sama sekali tidak dapat mengimbangi kecantikan Nona, akan tetapi karena pada saat ini yang ada pada saya hanya kalung ini, maka sudilah Nona menerimanya sebagai tanda penghormatan saya kepada seorang Nona secantik dewi!" kata Pangeran itu.

Bu Swi Nio terkejut sekali dan cepat dia menoleh kepada subonya. Menurutkan kata hatinya, ingin dia menolak keras dan mencela sikap pangeran yang terlalu berani itu.

Akan tetapi dia melihat subonya mengangguk dan berkata, "Swi Nio, Pangeran telah bermurah hati kepadamu, mengapa tidak lekas menerima dan menghaturkan terima kasih?"

Bu Swi Nio merasa terdesak. Dengan suara gemetar dia berkata, "Hamba... hamba... tidak berani menerimanya...."

"Swi Nio...!" The Kwat Lin menegur.

"Bu Swi Nio, mengapa kau menolak kemurahan hati Pangeran?" Kiam-mo Cai-li juga ikut menegur.

Pangeran Tang Sin Ong tertawa. "Ahh, tentu saja Nona Bu merasa malu-malu, tidak seperti gadis-gadis yang haus akan harta benda. Hal ini malah menonjolkan kecemerlangan watak seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa! Nona, biarlah aku mengalungkan hadiah ini di lehermu."

Berkata demikian, Sang Pangeran lalu bangkit berdiri dan mengalungkan kalung emas itu melingkari leher Swi Nio yang menundukan kepalanya. Karena tak dapat menolak lagi maka kalung yang lebar itu dalam sekejap sudah mengalungi lehernya.

Dengan muka sebentar pucat sebentar merah Swi Nio menjura, "Banyak terima kasih hamba haturkan..."

"Aahhh, jangan sungkan-sungkan," Pangeran itu tertawa, kedua orang wanita sakti itu pun tertawa. Secara bergantian mereka kemudian menyuguhkan arak kepada Sang Pangeran dan juga Bu Swi Nio.

"Muridku, karena pangeran telah bermurah hati kepadamu, tidak saja menyuguhkan arak tetapi juga menghadiahkan kalung, mengapa kau tidak bersikap sebagai seorang muridku yang tahu aturan dan mengenal budi? Hayo cepat suguhkan tiga cawan kepada Pangeran sebagai penghormatanmu!"

Muka Swi Nio menjadi merah. Dia tidak membantah kebenaran ucapan ini, maka secara terpaksa dia bangkit berdiri, dipandang oleh pangeran yang tersenyum-senyum dan mengelus jenggotnya. Swi Nio menghampiri pangeran dan menuangkan arak ke cawan Sang Pangeran dari guci emas.

"Silakan Paduka minum arak sebagai tanda kehormatan hamba, Pangeran," kata Swi Nio dengan malu-malu.

"Ha-ha-ha, terima kasih, Nona. Akan tetapi, aku tidak mau minum kalau tidak kau temani. Hayo untukmu juga secawan!"

Kembali Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li ikut membujuk dan terpaksa akhirnya Swi Nio kembali minum tiga cawan arak bersama Sang Pangeran. Karena tidak biasa minum arak, kini diloloh banyak arak yang diam-diam telah dicampuri bubuk putih yang dilepas secara lihai oleh Kiam-mo Cai-li ke dalan cawan gadis itu, akhirnya Swi Nio menjadi mabuk. Dia mulai tersenyum dengan lepas, memperlihatkan deretan gigi yang putih, dan mulai berani mengangkat muka memandang pangeran yang pandai bicara itu.

"Ha-ha-ha, setelah ditemani makan minum oleh Nona Bu, aku lupa semua wanita di istanaku! Hemm, bagaimana aku dapat berpisah lagi darimu, Nona?" kata Pangeran itu.

Mendengar ini Swi Nio mengerutkan alisnya, akan tetapi karena kepalanya sudah pening dan pandang matanya sudah berkunang, hanya sebentar saja dia merasa betapa kata-kata itu tidak pada tempatnya dan dia hanya tersenyum!

"Bu Swi Nio, muridku yang baik. Pangeran telah berkenan mencintaimu! Kau akan diambilnya sebagai selir yang tercinta. Cepat kau berlutut dan haturkan terima kasih, muridku."

Sepasang mata dara itu terbelalak. "Tidak...! Ah, tidak...!"

Terdengar suara pangeran, "Nona, kau cantik sekali... kau gagah perkasa, aku cinta padamu dan marilah kau ikut bersamaku ke kota ke kota raja. Kau akan menjadi selirku yang paling tercinta, menjadi pengawal pribadiku...."

"Tidak...! Ahhh, tidak mau... oughh....!"

Swi Nio yang tadinya bangkit berdiri serentak itu tiba-tiba terhuyung. Dia kembali menjatuhkan diri di atas bangku karena melihat betapa kamar itu berputar-putar dan dirinya merasa seperti terayun-ayun. Karena tidak tahan lagi, Swi Nio merebahkan kepalanya di atas kedua lengan yang berada di atas meja, hanya menggoyang kepalanya tanda menolak. Terdengar olehnya lapat-lapat suara gurunya.

"Jangan bodoh, Swi Nio. Engkau akan menjadi seorang nyonya Pangeran yang terhormat, dan di kota raja kau dapat bekerja sama dengan kakakmu...."

"Aku tidak mau... ah, tidak mau...." Swi Nio membuka matanya dan melihat wajah yang dekat sekali dengan mukanya. Wajah Sang Pangeran Tang Sin Ong, wajah seorang laki-laki yang cukup tampan gagah, akan tetapi sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya. Dia merasa ngeri, takut dan akhirnya dia tidak ingat apa-apa-lagi. Obat bubuk yang dicampurkan di araknya oleh Kiam-mo Cai-li telah bekerja dengan baik, dia tertidur dan tidak merasa apa-apa-lagi.

Swi Nio mengeluh dan mengerang. Dia mimpi. Seolah-olah dia berada di dalam sebuah perahu berdua saja bersama Pangeran Tang Sin Ong. Lalu perahu itu diserang badai, terguling dan dia meronta-ronta hendak melawan gulungan ombak yang menggelutnya.

Namun dia merasa tubuhnya lemas, dia terseret, tenggelam, gelagapan dan seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, kepalanya pening. Sebentar dia timbul, lalu tenggelam lagi, dan lapat-lapat dia mendengar suara Pangeran Tang Sin Ong yang menyatakan cinta kasihnya.

Jauh lewat tengah malam Swi Nio mengeluh dan merintih perlahan, lalu membuka matanya. Mimpi itu teringat lagi olehnya, membuat dia bergidik ngeri. “Untung hanya mimpi,” pikirnya.

Ketika membuka mata, dia mendapatkan dirinya telah rebah di atas pembaringannya sendiri di dalam kamarnya. "Oughhh...!" kepalanya masih pening sekali.

Dia bangkit duduk dan hampir dia menjerit kaget ketika melihat bahwa dia tidak berpakaian sama sekali! Dia teringat bahwa dia menemani subonya, Kiam-mo Cai-li, dan Pangeran Tang Sin Ong makan minum. Teringat betapa dia terlalu banyak minum dan mabuk. Mengapa dia tahu-tahu berda di pembaringannya tanpa pakaian? Dia memeriksa keadaan tubuhnya, melihat kalung yang masih bergantung di lehernya, dan tiba-tiba tahulah dia akan semua yang telah terjadi atas dirinya!

"Keparat...!" dia bangkit akan tetapi terguling lagi. Selain kepalanya pening sekali, tubuhnya juga panas dan lemas seolah-olah kehabisan tenaga. Dia tidak tahu bahwa itulah pengaruh obat bubuk, racun yang diminumnya bersama arak, yang membuat dia pulas sehingga tidak dapat melawan ketika Pangeran Tang Sin Ong membawanya ke dalam kamar dan menggagahinya.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dari luar. Swi Nio menahan napas, mengambil keputusan untuk mengerahkan seluruh tenaganya membunuh Pangeran itu. Dia sudah maklum bahwa dirinya diperkosa Pangeran itu.

"Selamat, muridku. Engkau telah menjadi isteri Pangeran! Besok Pangeran Tang Sin Ong akan menjemputmu secara resmi dan membawamu ke kota raja sebagai selirnya terkasih...."

"Tidak sudi! Aku harus membunuhnya!" Swi Nio meloncat turun tanpa mempedulikan tubuhnya yang telanjang bulat, kedua tangannya dikepal.

"Plak!" Swi Nio terlempar dan terbanting di atas pembaringannya lagi ketika kena tamparan tangan gurunya.

"Swi Nio, apa yang kau ucapkan itu? Engkau suka sendiri melayani Pangeran, engkau menerima kalungnya, engkau tersenyum-senyum kepadanya. Setelah engkau dan dia bersenang-senang di dalam kamar ini, semestinya aku mengutukmu. Akan tetapi aku sayang kepadamu, aku tidak marah malah bersyukur bahwa engkau akan menjadi isteri muda seorang pangeran. Dan sekarang kau hendak memberontak? Hendak membikin malu Gurumu? Kau mau membunuh kekasihmu sendiri? Bocah setan tak kenal budi! Kalau tidak aku rubah pendirianmu, aku sendiri yang akan membunuhmu! Pikirkan ini baik-baik. Engkau sudah bukan perawan lagi, engkau milik Pangeran Tang Sin Ong!" 

The Kwat Lin meninggalkan kamar itu dan membanting keras-keras daun pintu kamar. Swi Nio menutupi mukanya dan menangis mengguguk, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan terisak-isak dan jari-jari tangan gemetar dia mengenakan pakaiannya yang bertumpuk di sudut pembaringan.

Kepalanya masih pening dan tenaganya habis. Tak mungkin dalam keadaan seperti itu dia melarikan diri. Tentu akan mudah tertangkap kembali oleh gurunya. Melawan pun tidak mampu, apa-lagi dia benar-benar merasa seperti tidak bertenaga lagi. Apa-lagi hendak membunuh pangeran itu yang selalu terkawal kuat!

"Ya Tuhan...!" dia menangis sesenggukan lagi. "Ayah... Koko..., apa yang harus aku lakukan...?"

Dia sudah ternoda. Mau atau tidak, dia harus menjadi selir Pangeran itu. Dia tidak sudi! Lebih baik mati! Mati!! Ya, matilah jalan satu-satunya, demikian pikiran yang ruwet itu mengambil keputusan. Dirabanya ikat pinggangnya. Tidak, dia seorang gadis gagah perkasa, tidak semestinya mati menggantung diri seperti wanita-wanita lemah.

Dihampirinya pedangnya yang tergantung di dinding. Biar pun tangannya gemetar dan tidak bertenaga dipaksanya tangan itu mencabut pedangnya, lalu sambil memejamkan matanya, dia mengayun pedang itu ke lehernya.

"Plakkk!!" lengan kanannya dipegang orang dan pedang itu dirampasnya.

Tadinya dia mengira bahwa subonya yang mencegahnya membunuh diri, maka dia terisak dan membalik. Betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa yang mencegahnya membunuh diri itu adalah seorang laki-laki muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya. Laki-laki ini tersenyum, wajahnya cukup tampan dan membayangkan kegagahan.

"Membunuh diri bukan perbuatan seorang gagah," bisik laki-laki itu. "Kalau sudah mati, mana mungkin dapat menghilangkan penasaran? Kalau masih hidup, selalu terbuka harapan untuk membalas dendam!"

Ucapan ini menyadarkan Swi Nio. "Siapa kau...?"

"Sssttt...,” bisik pula laki-laki itu. "Aku seorang mata-mata yang dikirim oleh Jenderal An Lu San. Nona, dari-pada engkau membunuh diri, mari kubantu kau keluar dari tempat ini dan kau ikut bersamaku. Dengan bekerja untuk An-goanswe, kelak kau berkesempatan untuk membalas kepada semua orang yang telah mendatangkan mala-petaka ini kepadamu."

Seperti kilat masuknya pikiran ini ke dalam kepala Swi Nio. Mengapa tidak? Mati bukan merupakan jalan yang memecahkan persoalan! Dia harus membalas kepada Pangeran itu! Dan kini, dia dapat menduga bahwa dia tentu pingsan karena pengaruh obat dari Kiam-mo Cai-li. Dia tahu bahwa wanita itu adalah seorang ahli tentang racun.

Kini dia mengerti semua. Dia sengaja dikorbankan oleh gurunya dan oleh wanita iblis itu, seperti seekor domba yang sengaja dikorbankan menjadi mangsa serigala, Si Pangeran itu! Dendamnya bertumpuk, kini terbuka jalan baginya, perlu apa mengambil jalan pendek membunuh diri?

"Baik, mari ikut aku...," bisiknya.

Dengan berindap-indap Swi Nio mengajak laki-laki itu melalui jalan rahasia. Akhirnya, menjelang pagi mereka berdua berhasil keluar dari tembok pagar Bu-tong-pai.

"Haiii...!!" tiba-tiba terdengar bentakan.

Lima orang anggota Bu-tong-pai muncul dari tempat penjagaan tersembunyi. Akan tetapi mereka terheran-heran ketika melihat Swi Nio, memandang kepada gadis itu lalu kepada orang asing yang keluar dari jalan rahasia bersama murid utama ketua mereka. Malam itu memang banyak datang tamu dari kota raja yang ikut dalam rombongan Pangeran, maka mereka mengira bahwa tentu orang ini adalah anggota rombongan pula. Akan tetapi sepagi itu, masih gelap, apakah yang akan dilakukan tamu ini bersama Swi Nio keluar dari Bu-tong-pai dengan diam-diam?

Tiba-tiba terdengar teriakan berturut-turut dan lima orang itu roboh dan tewas seketika. Mereka hanya mampu satu kali saja mengeluarkan teriakan karena tenggorokan mereka hampir putus disambar jari-jari yang amat kuat dari mata-mata itu yang bergerak dengan cepat luar biasa menyerang mereka.

Melihat kelihaian orang itu, Swi Nio tercengang. Dia makin kagum, kiranya mata-mata ini bukan orang biasa. Andai kata pelarian mereka ketahuan pun, orang ini akan menjadi lawan tangguh, sungguh pun tentu saja dia sangsi apakah orang ini akan mampu lolos kalau Kiam-mo Cai-li dan subonya turun tangan.

"Mari cepat...!" orang laki-laki itu berkata.

Melihat keadaan Swi Nio yang masih lemas, tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menyambar tubuh gadis itu, dipanggulnya dan berlarilah dia dengan amat cepatnya meninggalkan tempat yang berbahaya baginya itu....


Gadis bernama Liang Cu yang sebenarnya adalah penyamaran Bu Swi Liang kini bekerja di dalam istana sebagai pengawal pribadi Yang Kui Hui. Dia bertugas memikat hati selir Kaisar yang cantik jelita ini. Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati pemuda itu menyaksikan semua yang terjadi di dalam kamar Yang Kui Hui, melihat selir yang cantik jelita itu beristirahat, mandi, berganti pakaian dan lain-lain di depan matanya begitu saja karena dia dianggap wanita pula! Betapa tersiksa hati orang muda ini hidup di antara wanita-wanita cantik, yaitu para pelayan Yang Kui Hui.

Di istana bagian puteri ini tidak ada prianya. Walau pun terlihat sebagai pria, namun para thaikam yang bertugas di situ sesunguhnya tidak lagi dapat disebut sebagai pria. Swi Liang adalah seorang pemuda yang sedang berkobar nafsunya karena di Bu-tong-san dia diseret ke dalam kekuasaan nafsu birahi oleh subonya sendiri. Sebagai seorang pemuda yang baru gila birahi, kini berada ditengah-tengah para wanita cantik itu, tentu saja dia tidak kuat bertahan terlalu lama.

Dia belum berani melakukan tugasnya untuk memikat Yang Kui Hui karena kesempatannya belum tiba. Dia tidak berani bersikap kasar dan membuka rahasia penyamarannya begitu saja. Sekali gagal, dia tentu akan mati konyol. Akan tetapi untuk menunda lebih lama lagi menguasai nafsunya, dia tidak sanggup! Akan tetapi, Swi Liang menahan gelora hatinya sedapat mungkin. Dia harus bersabar menanti kesempatan baik. Tugasnya amat penting bagi perjuangan subonya, sama sekali tidak boleh gagal karena taruhannya adalah nyawanya.

Pada suatu senja belasan hari kemudian, Swi Liang diperbolehkan mengaso karena malam itu kaisar akan mengunjungi selirnya yang tercinta. Tempat itu penuh dengan pengawal-pengawal pribadi Kaisar sendiri. Swi Liang lalu mengundurkan diri ke dalam kamarnya, sebuah kamar yang amat indah dan berdekatan dengan kamar para pelayan utama atau pelayan pribadi selir Kaisar itu.

Selagi duduk melamun sendiri di dalam kamarnya, mencari akal bagaimana untuk memulai tugasnya merayu dan memikat hati Yang Kui Hui, tanpa sengaja dia membayangkan keadaan selir itu sehingga jantungnya berdebar penuh nafsu dan gairah. Selir itu memang cantik luar biasa, dan ketika mandi atau bertukar pakaian, dia dapat menyaksikan seluruh bagian tubuh yang padat dan amat menggairahkan itu.

Pernah dia membantu pelayan menyelimutkan kain setelah selir itu mandi. Jari-jari tangannya menyentuh kulit yang halus, lunak, dan hangat, dan tercium pula olehnya bau semerbak harum dari tubuh selir itu. Keharuman yang khas dan alangkah jauh bedanya antara kecantikan dan tubuh indah selir itu dibandingkan dengan subonya!

"Enci Liang Cu! kenapa melamun saja?" seorang gadis cantik berbaju hijau menegurnya sambil tertawa-tawa, di belakangnya masuk pula seorang gadis cantik berbaju merah. Mereka itu adalah dua orang pelayan pribadi Yang Kui Hui, dua orang gadis cantik jelita yang genit-genit.

"Ah, Enci Liang Cu orangnya pendiam amat sih, tidak mau bersenda-gurau dengan kami.”

Swi Liang tersenyum menekan jantungnya yang berdebar-debar dan menahan matanya agar jangan terlalu melotot melahap kecantikan dua orang gadis itu. "Ahh, aku lelah dan sedang beristirahat. Jarang ada kesempatan beristirahat seperti ini...," kata Swi Liang.

"Mari temani kami main thioki (kartu) di kamarku, Enci Liang Cu!" kata Si Baju Hijau.

"Ya, marilah, Enci Liang Cu. Tidak enak hanya bermain berdua. Marilah, sambil kita berkenalan lebih erat lagi. Kenapa sih? Bukankah kita ini rekan-rekan yang berkerja di sini?" kata Si Baju Merah sambil menarik tangan Swi Liang.

Tak dapat lagi Swi Liang menolak karena hal ini akan mendatangkan kecurigaan. Apa-lagi memang dia sudah rindu sekali akan sentuhan tangan wanita cantik setelah belasan hari berpisah dari subonya. Kedua orang gadis itu tertawa-tawa, menggandeng kedua tangan Swi Liang dan membawanya kedalam kamar Si Baju Hijau yang berbau harum.

Sebuah meja bundar rendah telah dipersiapkan di tengah kamar, di dekat pembaringan. Di sekeliling meja itu terdapat tikar yang ditilami kasur dan bantal. Selain kartu untuk main, juga di atas meja terdapat seguci arak wangi dan cawan-cawan kecil, juga beberapa macam kue kering.

"Duduklah, Enci Liang Cu. Mari kita main-main. Eh, kau bermalam saja di sini malam ini, ya?" Si Baju Hijau berkata sambil merangkul.

"Dan tubuhmu begini tegap dan kelihatan kuat, Enci Liang Cu," kata Si Baju Merah memegang-megang lengan pemuda itu. "Aihhh, tangan Enci Liang Cu kuat dan kasar!" kata Si Baju Merah sambil mengelus telapak tangan pemuda itu.

Swi Liang menarik tangannya. "Aahh, aku sejak kecil berlatih silat. Tentu saja aku seorang gadis yang kasar, mana bisa dibandingkan dengan kalian yang halus mungil?"

"Hi-hik, kau terlalu memuji, Enci!" kata Si Baju Merah sambil mencubit paha Swi Liang.

"Kalau engkau menjadi seorang laki-laki, tentu tampan dan gagah, Enci Liang Cu!" kata Si Baju Hilau.

Dapat dibayangkan betapa tubuh Swi Liang terasa panas dingin menghadapi godaan-godaan ini. Cepat-cepat dia mengajak mereka bermain kartu, karena kalau godaan mereka itu dilanjutkan, tentu dia takkan kuat lagi bertahan! Sudah timbul keinginan keras di hatinya untuk merangkul dan mendekap mereka, menciumi bibir yang merah dan lincah itu!

"Eh, untuk apa arak ini?" katanya setelah Si Baju Merah menuangkan secawan arak yang berbau wangi.

"Hi-hik, bermain thioki tanpa taruhan tidak menyenangkan. Siapa kalah harus menebus kekalahannya dengan minum secawan arak wangi!" kata Si Baju Hijau.

Mereka mulai bermain thioki sambil bercakap-cakap dan bersendau gurau, atau lebih tepat lagi, kedua orang gadis itu yang bercakap-cakap dan bersendau gurau sedangkan Swi Liang hanya mendengarkan dan kadang-kadang tersenyum saja. Karena dia tidak ingin dilolohi arak sehingga rahasianya dapat terbuka, maka Swi Liang bermain sungguh-sungguh sehingga dia jarang kalah dan yang kebagian minum arak adalah kedua orang gadis itulah! Mereka bermain terus sampai menjelang tengah malam dan akhirnya arak dalam guci kecil itu habis!

"Ahhh, hawanya panas sekali...!" kata Si Baju Hijau.

"Bukan panas, hanya engkau terlalu banyak minum, maka terasa panas," kata Swi Liang.

"Hemm, mungkin... aihhh, gerahnya," Si Baju Hijau membuka kancing bajunya dan mengebut-ngebut dengan kipas.

Swi Liang menelan ludah. Matanya memandang ke arah dada yang hanya tertutup pakaian dalam yang tipis sehingga membayangkan tonjolan-tonjolan yang memikat hati. Karena pandang matanya selalu tertarik ke arah dada Si Baju Hijau, maka permainan Swi Liang menjadi kalut dan sekali ini dia kalah. Akan tetapi arak telah habis!

"Wah, Enci Liang Cu jarang kalah, ketika sekarang kalah araknya justru terlanjur habis. Mana dia bisa menebus kekalahannya?" kata Si Baju Merah cemberut.

"Hi-hik, kalau arak habis dia harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Hijau.

"Hi-hi-hik, benar! Dia harus didenda dengan ciuman dan mulai sekarang, taruhannya dirubah. Karena arak habis, siapa kalah harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Merah.

Kedua orang gadis itu dari kanan-kiri lalu menyerbu dan mencium pipi Swi Liang dengan hidung mereka. Swi Liang memejamkan kedua matanya!

"Eh... eh..., kalian ini bagaimana? Ihh... malu, kan...?" katanya gelagapan.

"Enci Liang Cu, mengapa kau begitu kejam? Kita bertahun-tahun dikurung di tempat ini dan hanya dapat menyaksikan orang lain bermain cinta. Bertemu dengan pria pun merupakan hal yang tak mungkin bagi kita. Apa salahnya di antara kita saling menghibur dan saling mencumbu? Sekedar menghilangkan rindu...," kata Si Baju Merah.

Permainan dilanjutkan dan makin lama Swi Liang makin terseret oleh gelora nafsu birahinya sendiri. Ketika dia menang dan harus mencium, dia tidak mencium seperti biasa dengan hidung ke pipi, melainkan mencium mulut dua orang gadis itu dengan mulutnya! Dua orang gadis itu mengeluh dan balas mencium sehingga tanpa diperintah lagi permainan kartu itu bubar dan dilanjutkan dengan permainan saling mencumbu, saling peluk dan saling cium antara tiga orang itu!

"Aihh, Enci Liang Cu... kau hebat sekali...," keluh Si Baju Hijau.

"Enci Liang Cu... kalau saja engkau seorang pria...," bisik Si Baju Merah.

"Kalian senang?" Swi Liang berkata, sedikit terengah-engah. "Matikanlah lampunya, barangkali di dalam gelap aku akan dapat pian-hoa (bermain rupa) menjadi pria, siapa tahu?"

Sambil terkekeh genit, Si Baju Hijau meniup pandam lampu di meja dan mereka bertiga pindah ke pembaringan, melanjutkan permainan yang mengasyikkan hati mereka itu. Mereka merasa semakin bebas setelah keadaan di dalam kamar itu menjadi gelap, mereka dapat mencurahkan seluruh nafsu mereka tanpa malu-malu lagi. Tak lama kemudian terdengar jerit tertahan, disusul teriakan-teriakan yang lebih menyerupai bisikan kaget bercampur girang.

"Eh... kau...?"

"Hemm, diamlah sayang...," terdengar suara Swi Liang.

Selanjutnya kamar itu sunyi, tidak terdengar suara keras lagi sehingga kalau didengar dari luar kamar, seolah-olah tiga orang ‘gadis’ itu sedang tidur pulas. Padahal tentu saja keadaannya jauh dari-pada itu, bahkan sebaliknya.

Menjelang pagi terdengar suara Si Baju Hijau, suara yang berbisik dan agak serak karena semalam tidak tidur rupanya, "Engkau... setiap malam harus menemani kami... ya, koko yang baik?"

"Harus, kalau tidak... hemm, kami akan melaporkan bahwa kau adalah seorang pria sejati...," bisik pula Si Baju Merah dengan nada manja mengancam.

Sunyi mengikuti kata-kata bisikan itu, kemudian terdengar jerit tertahan dan tak lama kemudian, tampak Swi Liang dalam pakaian seperti Liang Cu meloncat ke luar dari dalam kamar itu memondong tubuh dua orang pelayan itu yang sudah menjadi mayat! Dengan tergesa-gesa Swi Liang membawa dua mayat itu ke kebun, menggali lubang, mengubur dengan cepat sekali, kemudian kembali ke kamarnya dengan badan penuh keringat dan muka pucat. Akan tetapi hatinya lega.

Diam-diam dia menyesali perbuatannya sendiri. Mengapa dia begitu lemah sehingga tidak dapat menahan diri terjatuh ke dalam rayuan dua orang gadis cantik itu? Dia terpaksa membunuh mereka, sungguh pun hal itu dilakukannya dengan perasaan penuh penyesalan. Tugasnya lebih penting dan kalau sampai gagal, dia akan tewas, akan mati konyol.

Dengan membuka rahasianya kepada dua orang gadis itu, keadaannya tentu saja terancam hebat. Belum apa-apa dua orang gadis itu telah ‘memerasnya’ untuk setiap malam melayani mereka dengan ancaman akan dibuka rahasianya! Tentu saja dia terpaksa harus membunuh mereka demi keselamatan dirinya sendiri.

Lenyapnya dua orang pelayan itu hanya menimbulkan sedikit keributan di istana bagian puteri. Betapa pun juga, mereka itu hanyalah dua orang pelayan. Akhirnya Yang Kui Hui hanya memerintahkan para pengawal untuk melakukan pengejaran karena dikira bahwa mereka itu tentu melarikan diri, dan kalau sampai dapat ditangkap agar supaya dijatuhi hukuman berat.

Mengertilah kini Swi Liang bahwa dia harus cepat-cepat turun tangan kalau tidak mau terjadi gangguan lain lagi. Mulailah dia mendekati Yang Kui Hui. Setiap kali ada kesempatan, dia membantu para pelayan yang memandikan selir jelita itu, menggosok punggungnya, mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaiannya. 

Bahkan pada suatu malam, ketika Yang Kui Hui merebahkan diri seorang diri dengan mata merem melek seperti seekor kucing malas, ia mendekatinya, berlutut dan menggunakan tangannya untuk memijit-mijit kaki selir itu dengan perlahan, meniru perbuatan pelayan yang suka memijit tubuh selir itu.

Jantungnya berdebar keras sekali. Nafsu hatinya ditekannya keras sekali. Dia merasa betapa api birahi telah membakar dadanya dan api itu menyala dari ujung jari tangannya yang bersentuhan dengan kulit kaki yang halus lunak dan hangat.

"Ehhmmm...," Yang Kui Hui menggeliat seperti seekor kucing dan membuka sedikit matanya untuk melihat siapa yang memijit kakinya. Matanya terbuka agak lebar dan tersenyum. "Aihhh, kiranya engkau, Liang Cu? Engkau pandai pula memijit? Ahhh, tanganmu kuat sekali. Nah, kau lanjutkanlah, tubuhku memang sedang pegal-pegal....."

Selir itu sudah memejamkan matanya, kembali rebah terlentang di depan Swi Liang. Pemuda itu melanjutkan pekerjaannya memijit betis mengendurkan urat yang kaku dan pandang matanya melahap wajah yang menengadah itu. Betapa cantik jelitanya, demikian rangsangan hatinya. Rambut yang hitam agak mengeriting itu terurai di atas bantal, anak rambutnya melingkar-lingkar menghias dahi dan pelipis sampai ke bawah telinga.

Dahi yang melengkung halus sekali seperti lilin diraut, berkulit putih bersih itu nampak makin putih terhias anak rambut yang menghitam. Sepasang alis yang hitam sekali, melengkung seperti dilukis, melindungi mata yang terpejam sehingga tampak bulu mata yang panjang. Bayangan bulu mata menggelapkan pipi sebelah atas, menyembunyikan warna kemerahan yang menyegarkan. Hidung yang mancung, dengan dua cuping hidung yang tipis, agak bergerak terdorong napas yang keluar masuk.

Di bawah hidung itu, sepasang bibir yang kemerahan dan agak basah, kelihatan menebal sebelah bawahnya karena selir itu tersenyum. Sebuah lesung pipit menghias di ujung mulut sebelah kiri. Manis dan cantik jelita! Kemudian leher itu, dan dada itu, pinggang itu...!

Swi Liang menelan ludahnya berkali-kali dan jari-jari tangannya yang memijit kaki itu agak menggigil. Agaknya Yang Kui Hui dapat merasakan tangan yang menggigil ini, maka dia membuka sedikit matanya.

"Ada apakah Liang Cu? Tanganmu gemetar...," tanyanya.

"Ahhh... tidak apa-apa, hanya... Paduka demikian cantik jelita... hamba sampai merasa terharu memandangi Paduka....."

"Aihhh...., hi-hik, kau aneh, Liang Cu. Coba kau tutup dan kunci pintu kamar itu, dan beri-tahukan kepada penjaga di luar bahwa aku tidak ingin diganggu malam ini, hendak beristirahat. Oya, suruh penghubung laporkan kepada Sri Baginda agar tidak datang ke kamarku. Setelah itu, kau temani aku di sini, pijati tubuhku sampai aku tidur."

Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan gairah, Swi Liang mentaati perintah itu. Setelah itu dia menutup dan memalang daun pintu sehingga mereka hanya berdua saja di dalam kamar yang mewah dan harum itu. Swi Liang segera berlutut lagi di depan pembaringan dan melanjutkan pekerjaannya memijit betis yang berdaging gempal, lunak, halus dan hangat itu.

"Nanti dulu, Liang Cu. Coba kau bantu aku membuka pakaian luarku. Setelah pintu ditutup, kamar ini menjadi agak panas...," kata Yang Kui Hui sambil bangkit duduk di atas pembaringannya yang bertilam sutera merah berkembang.

Swi Liang tidak mampu menjawab karena merasa lehernya seperti tercekik. Dengan jari-jari tangan gemetar dia membantu puteri itu membuka pakaian luarnya. Kini Yang Kui Hui hanya memakai pakaian dalam yang amat tipis dan tembus pandang sehingga terbayanglah lekuk lengkung tubuh yang amat menggairahkan.

Begitu pakaian luarnya dibuka, Swi Liang memejamkan mata sebentar sambil menarik napas panjang. Tercium olehnya bau harum yang memabukan, keharuman yang membuat selir Kaisar itu terkenal sekali di samping kecantikannya yang sukar dicari bandingannya.

"Hi-hik... mengapa kau seperti patung dan memejamkan matamu, Liang Cu?" suara terkekeh halus dan teguran itu menyadarkan Swi Liang yang segera membuka matanya.

"Ampunkan hamba... hamba... silau, seolah-olah melihat bidadari turun dari langit...."

Selir Kaisar itu tertawa senang. "Aihh, kata-katamu seperti seorang laki-laki saja! Hayo pijiti aku lagi dan jangan bersikap seperti orang gila!"

Swi Liang segera melakukan perintah ini dengan penuh gairah. Jari-jari tangannya kembali memijit betis dan paha, makin ke atas makin tersiksalah hatinya apa-lagi mendengar puteri itu terkekeh kegelian.

"Hi-hi-hik, kau begitu kuat, jari tanganmu juga tegang dan kuat seperti tangan laki-laki membelai...!"

Yang Kui Hui membalikkan tubuhnya dan kini rebah terlentang. Karena pakaian dalam yang tipis itu tersingkap, Swi Liang hampir tidak kuat menahan lagi. Cahaya kemerahan dari lampu merah di dalam kamar membuat tubuh yang membayang di balik pakaian tipis itu seolah-olah telanjang bulat di depannya!

"Nah kau pijiti pahaku, pegal-pegal rasanya. Akan tetapi jangan kuat-kuat, perlahan saja, Liang Cu."

Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati seorang pemuda yang sudah menjadi lemah karena dikuasai nafsu birahi seperti Swi Liang menghadapi Yang Kui Hui yang tanpa disengaja telah menimbulkan godaan dan tantangan yang demikian menggairahkan hati pria.

Namun tentu saja Swi Liang tidak berani bertindak sembrono. Sambil menguatkan hatinya dan menundukkan mukanya yang menjadi merah, menyembunyikan dadanya yang bergelombang dengan menunduk dan menahan nafsunya yang memburu, dia memijit paha yang gempal itu.

Jari-jari tangannya seolah-olah bertemu langsung dengan kulit paha karena hanya tertutup sutera tipis. Setiap sentuhan jarinya seolah-olah mendatangkan aliran hawa panas yang menjalar naik ke dada dan kepala melalui lengannya. Makin lama dia makin gelisah, tubuhnya panas dingin dan sama sekali dia tidak berani memandang wajah puteri itu karena takut kalau-kalau Sang Puteri marah.

Betapa pun nafsu birahi telah menyundul sampai ke ubun-ubunnya, namun Swi Liang tidaklah demikian nekat untuk berani bertindak kurang ajar, tidak berani melakukan langkah pertama dan hanya menanti uluran tangan Sang Puteri. Dia sangat maklum, bahwa sekali keliru bertindak tebusannya adalah nyawanya di samping kegagalan tugasnya.

"Kau memang aneh, Liang Cu. Benar kata-kata beberapa orang pelayan yang selama ini tidak kau perhatikan. Sekarang baru aku melihat sendiri. Kau seorang gadis yang aneh. Apakah seorang gadis kalau sudah mempelajari ilmu silat tinggi lalu berubah sifatnya, menjadi kejantan-jantanan? Kau patut menjadi seorang laki-laki. Suaramu agak berat, gerak-gerikmu kaku, tanganmu kuat dan kasar, dan pandang matamu... hemmm..., engkau seolah-olah hendak menelanku bulat-bulat setiap kali kau melihatku! Hi-hik, aku sampai merasa sungkan dan malu!"

Swi Liang terkejut sekali. Sambil membungkuk rendah dia berkata dan berusaha sedapatnya untuk meninggikan nada suaranya, "Harap Paduka ampunkan semua kekurangan hamba."

"Ah, tidak apa-apa, Liang Cu. Engkau sudah berjasa besar, dan... hemm... keadaanmu yang kejantan-jantanan itu bukanlah hal yang tidak menyenangkan. Sayang sekali, kau seorang wanita dan sifat kejantananmu hanya karena kau seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat tinggi. Kalau engkau seorang pria sejati, hi-hik, betapa lucunya... tentu akan lebih menyenangkan hatiku...."

Seketika terhenti jari-jari tangan yang tadi menari-nari dan memijiti paha kenyal itu. Jantung Swi Liang seperti berhenti berdetak mendengar ucapan Sang Puteri, kemudian berdebar-debar dengan kerasnya sehingga suara detak jantungnya memasuki kedua telinganya dengan amat nyaring.

Kesempatan baik telah terbuka! Selir jelita ini telah membuka rahasia hatinya! Begitu menantang, seperti setangkai bunga yang tinggal memetik saja, tinggal mengulur tangan dan akan terpenuhilah kedua cita-citanya, yaitu menikmati tubuh yang telah membuat tergila-gila ini dan sekaligus menyempurnakan tugasnya memikat hati Yang Kui Hui demi suksesnya siasat yang sedang dilakukan oleh subonya!

Tiba-tiba Swi Liang berlutut dan menempelkan dahinya di lantai dekat pembaringan. "Hamba... hamba rela mengorbankan nyawa demi Paduka, dan hamba siap sedia melakukan apa saja untuk menyenangkan hati Paduka. Akan hamba lakukan dengan taruhan nyawa dan hamba siap menanti perintah Paduka...."

“Hi-hik, Liang Cu. Engkau memang aneh. Betapa pun juga, mana mungkin engkau menjadi laki-laki sejati?"

"Kalau Paduka kehendaki, pasti dapat terjadi. Perintah Paduka merupakan keputusan bagi hamba, seperti perintah dari langit."

Yang Kui Hui menjadi terheran-heran. Dia bangkit duduk, membiarkan pakaian dalamnya tersingkap lebar, tidak hanya pada pahanya, akan tetapi juga pada pundaknya sehingga setengah dadanya tampak jelas, putih halus membusung. "Apa... apa maksudmu, Liang Cu?"

"Hamba telah mempelajari ilmu kesaktian dari Subo, sehingga kalau Paduka menghendaki, hamba dapat pian-hoa (mengubah diri) menjadi seorang pria sejati."

“Ehhh...?!" mata yang bening indah itu terbelalak. Mulut yang kecil itu ternganga sehingga bibir merah membasah itu membentuk lingkaran memperlihatkan lidah yang meruncing merah, dan rongga mulut yang lebih merah lagi terhias deretan gigi seperti mutiara.

Sinar mata Yang Kui Hui menjelajahi tubuh pembantunya yang berlutut itu, akhirnya dia dapat berkata, "Benarkah itu? Sungguh aneh dan luar biasa! Coba kau buktikan omonganmu, Liang Cu. Coba kau pian-hoa menjadi seorang pria!"

Swi Liang menekan jantungnya yang berdebar tegang, mengangkat mukanya dan berkata, "Hamba... hamba... mana berani kurang ajar...?"

"Lakukanlah, ini merupakan perintah! Berdirilah dan pian-hoalah!" Yang Kui Hui berkata penuh nafsu karena dia ingin sekali menyaksikan apakah benar gadis ini dapat pian-hoa menjadi pria, hal yang hanya pernah didengar dalam dongeng kuno saja.

"Kalau Paduka memerintahkan, hamba tidak berani membantah." Swi Liang lalu bangkit berdiri dan membungkuk. "Maafkan hamba...."

Dia lalu melepas gelung rambutnya, menggosok bedak dan yanci dari mukanya, kemudian dengan wajah merah berseri dia berkata, "Hamba telah berubah menjadi seorang pria," suaranya kini besar, suara seorang laki-laki tulen!

Yang Kui Hui memandang terbelalak. "Aihhh, mana aku bisa percaya? Hanya suaramu yang berubah. Mukamu tanpa bedak dan yanci memang seperti muka pria, akan tetapi mana buktinya bahwa kau pria?"

Swi Liang mengerutkan alisnya. "Paduka ingin bukti? Baiklah, maafkan kelancangan hamba!" Dia lalu merenggut pakaiannya, baju di bagian atas sehingga tanggal kancing-kancingnya dan terbukalah dadanya. Sebuah dada yang tegap dan bidang, tidak berbuah, dada seorang laki-laki tulen!

Wajah Yang Kui Hui berseri-seri, mulutnya tersenyum lebar ketika dia memandang dada yang bidang, tegap dan berkulit putih bersih itu. "Memang tidak salah lagi, tubuhmu bagian atas memang tubuh seorang pria. Akan tetapi aku belum puas, Liang Cu. Buka semua pakaianmu!"

Perintah ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh Swi Liang. Biar pun sudah lama dia menghendaki terjadinya hal yang hanya dalam mimpi ini, namun sebagai seorang laki-laki, dia merasa jengah dan malu juga menerima perintah agar dia bertelanjang bulat seperti itu!

Akan tetapi gairah yang meluap-luap dan kegembiraannya mengusir semua rasa malu. Dengan jari tangan gemetar Swi Liang menanggalkan semua sisa pakaiannya sehingga tak lama kemudian dia telah berdiri membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pria sejati di depan selir jelita itu.

"Ahhh... Liang Cu..., ke sinilah kau! Sungguh hebat... tak kusangka sama sekali. Rebahlah kau di sini, di sisiku, manis!"

Tanpa diperitah kedua kalinya, karena memang itulah yang diinginkannya selama ini, Swi Liang lalu naik ke pembaringan dan merebahkan dirinya di sisi selir cantik itu. Yang Kui Hui terkekeh genit, lalu menyambutnya dengan peluk cium ganas, menerkamnya seperti seekor harimau kelaparan, atau seperti seekor ular yang memagutnya dan membelit-belitnya.

Manusia, baik laki-laki atau wanita, kaya atau miskin, dari golongan ningrat maupun jembel terlantar, sekali dikuasai nafsu birahi akan menjadi lupa diri dan lupa segala. Pada saat seperti itu, lenyaplah duka, lenyap pula takut, hilang segala pertimbangan dan akal, yang ada hanyalah tindakan sebagai akibat dorongan nafsu birahi yang minta dilampiaskan....

Hebatnya, makin dipenuhi dorongan nafsu, makin berkobarlah birahi, seperti nyala api, makin dibiarkan makin membesar dan takkan padam sebelum habis bahan bakarnya! Hanya manusia yang selalu sadar akan keadaan dirinya, akan gerak-gerik dirinya lahir mau pun batin, yang takkan kehilangan kewaspadaan dan kebijaksanaan, yang takkan dapat dicengkeram oleh nafsu dalam bentuk apa pun.

Hal ini bukan berarti bahwa manusia bijaksana menolak nikmat hidup yang didatangkan oleh gairah nafsu, sama sekali tidak. Bahkan hanya manusia sadar sajalah yang benar-benar akan dapat menikmati hidup karena baginya nafsu kesenangan hanyalah pelengkap hidup, bukan hal yang mutlak dan tidak harus dikejar-kejarnya. Dialah orang yang menguasai nafsu, bukan nafsu yang menguasai dia.

Menguasai nafsu dengan kewaspadaan dan mengenal akan keadaan diri sendiri seperti apa adanya, lahir mau pun batinnya, bukan menguasai nafsu dengan cara pengekangan dan penyiksaan diri. Dengan cara pengamatan yang sewajarnya, penuh kesadaran, pengamatan terhadap nafsu dan gerak-geriknya, tanpa celaan tanpa pujian, maka nafsu akan kehilangan kekuasaannya sendiri terhadap diri pribadi.

Sebaliknya, menggunakan kemauan untuk menekan dan mengekang nafsu tidak akan ada gunanya. Boleh jadi nafsu akan dapat dibendung pada saat itu, namun sewaktu-waktu nafsu yang masih menguasai diri itu dapat meluap. Bagaikan api dalam sekam, sewaktu-waktu akan dapat menyala lagi, demikianlah kalau orang menguasai nafsu dengan pengekangan yang berarti menguasainya dengan kekerasan.

Dengan pengamatan waspada, nafsu yang seperti api itu akan padam dengan sendirinya. Namun dengan pengekangan, api itu hanya membara dan tidak tampak, akan tetapi sewaktu-waktu dapat menyala lagi, karena yang mengekang nafsu adalah nafsu juga. Mengekang berarti menggunakan kekerasan menuruti keinginan!

Menjelang pagi, Yang Kui Hui yang kekenyangan melampiaskan nafsu birahinya, terlena di pembaringan. Wajahnya yang agak pucat menoleh kepada Swi Liang yang tidur pulas di sampingnya, lalu wanita cantik itu tersenyum. Jari-jari tangannya yang halus itu bergerak membelai dada telanjang dari pemuda itu, lalu ditariknya kembali tangannya dan dia menghela napas panjang.

Setelah kekenyangan, barulah dia dapat berpikir dan barulah selir Kaisar ini sadar betapa bodohnya dia membiarkan dirinya terseret oleh nafsu birahi. Pemuda ini tentu seorang pria sejati yang menyamar sebagai wanita. Hal ini sudah jelas! Dan di balik penyamaran ini tentulah ada suatu rahasia! Kesadaran ini mengejutkan hatinya dan menimbulkan kekhawatirannya. Dia adalah selir yang cerdik sekali. Yang Kui Hui bangkit duduk.

Dengan perlahan-lahan dia mengenakan pakaiannya, agar jangan membangunkan pemuda itu. Matanya tak pernah berpindah dari wajah Swi Liang. Sambil memakai pakaiannya, dia mengenangkan semua yang mereka lakukan semalam ketika mereka bermain cinta tanpa mengenal puas sampai akhirnya tertidur kelelahan.

Betapa pun juga, pemuda itu terlalu halus. Bagi wanita macam Yang Kui Hui yang sudah banyak pengalaman bermain cinta dengan pria, kejantanan Swi Liang kurang memuaskan hatinya. Betapa jauhnya dibandingkan dengan An Lu Shan! An Lu Shan barulah boleh disebut seorang laik-laki sejati!

Dengan kekudukannya yang tinggi dan pengaruhnya yang besar, dengan tubuhnya yang tinggi besar, tenaganya yang seperti singa, dengan permainan cintanya yang liar kasar dan wajar, menonjolkan kejantanan yang amat hebat!

Sedangkan pemuda ini terlalu halus, masih hijau dan kurang pengalaman, dan yang lebih berbahaya lagi, pemuda ini tentulah seorang mata-mata musuh! Yang Kui Hui bergidik ngeri. Betapa bodohnya dia, mudah terbujuk dan terseret oleh nafsunya sendiri dan terkena rayuan seorang mata-mata. Untung mata-mata ini belum bertindak terlalu jauh. Bagaimana kalau semalam dia dibunuhnya?

Yang Kui Hui bergidik dan bergegas turun dari pembaringan, dengan hati-hati dia mengambil pedang bersarung indah yang diletakan oleh Swi Liang di atas tumpukan pakaiannya, kemudian selir Kaisar itu berindap-indap menuju ke pintu kamar, membuka pintu dan keluar setelah menutupkan kembali daun pintu perlahan-lahan.

Tak lama kemudian dia telah berbisik-bisik dengan beberapa orang pengawal pribadinya, kemudian memasuki kamar lain setelah merasa yakin bahwa para pengawalnya yang kini telah berkumpul itu akan melaksanakan perintahnya dengan baik.

Swi Liang terbagun dari tidur nyenyak, menggeliat dan tersenyum penuh bahagia ketika dia teringat akan keadaan dirinya. Dirabanya kasur di mana dia rebah dan hidungnya kembang kempis, masih penuh oleh keharuman tubuh Yang Kui Hui. Baru saja terbangun dari tidur, teringat akan wanita cantik itu, berkobar lagi nafsunya, lenyap semua kelelahan tubuhnya.

Dia membalik ke kanan, lengan kirinya dan kaki kirinya merangkul memeluk. Dia membuka matanya ketika tangan dan kakinya bertemu dengan kasur yang kosong, lalu bangkit duduk, menoleh ke kanan-kiri, mencari-cari. Yang Kui Hui telah pergi dari kamar itu!

Swi Liang merasa heran dan juga terkejut, kemudian timbul kekhawatiran di dalam hatinya. “Ke manakah perginya wanita itu sepagi ini?” pikirnya. Karena khawatir kalau-kalau ada pelayan memasuki kamar dan memergoki keadaannya, bergegas dia menyambar dan cepat mengenakan pakaiannya, pakaian wanita penyamarannya.

Dengan tergesa-gesa dia menghampiri meja rias Yang Kui Hui, menggunakan bedak dan yanci untuk memulas mukanya yang semalam telah menjadi muka pria aslinya sedangkan sisa-sisa bedak di mukanya telah terhapus sama sekali oleh ciuman-ciuman Yang Kui Hui. Kemudian dia mencari pedangnya dan betapa heran dan terkejut hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa pedangnya tidak berada di dalam kamar itu!

Akan tetapi dia segera tersenyum menenangkan hatinya sendiri. Tentu Yang Kui Hui sengaja hendak main-main dengan dia! Tak mungkin wanita itu melakukan hal yang bukan-bukan dan merugikannya setelah apa yang mereka nikmati bersama semalam! Tentu Yang Kui Hui sudah bertekuk lutut dan mencintanya setelah dia membuktikan kejantanannya semalam, pikir Swi Liang dengan bangga. Dengan hati ringan dia lalu melangkah ke pintu, membuka daun pintu hendak mencari kekasihnya itu.

Sunyi di luar kamar itu, padahal biasanya penuh dengan pengawal. Kemudian muncul seorang pelayan wanita yang bertugas membersihkan kamar Yang Kui Hui setiap pagi. Melihat pelayan ini, Swi Liang dengan suara biasa lalu menanyakan di mana adanya majikan mereka yang cantik itu.

"Beliau tadi memerintahkan bahwa kalau Liang-lihiap sudah bangun agar Lihiap suka pergi menyusul ke dalam pondok di taman. Beliau menanti di sana."

Mendengar kata-kata ini, Swi Liang bergegas pergi ke taman, hatinya girang sekali. Tak salah dugaannya. Yang Kui Hui telah bertekuk lutut di depan kakinya! Selir yang angkuh dan cantik itu telah jatuh cinta kepadanya sehingga kini selir itu ingin melanjutkan permainan cinta mereka di dalam pondok taman, tentu agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan para pelayan lain!

"Ha-ha-ha, kau cerdik sekali, manis," kata hatinya penuh kegembiraan, "untuk kecerdikanmu itu akan kuberi upah ciuman hangat!"

Sambil tersenyum-senyum Swi Liang melangkah lebar ke dalam taman yang indah dan luas itu. Dia membayangkan segala kemesraan yang akan dialaminya sebentar lagi di dalam pondok taman. Taman itu sunyi karena hari masih amat pagi. Memang biasanya pun taman itu hanya dikunjungi para puteri istana setelah matahari naik tinggi sehingga mereka dapat menghirup hawa segar di situ. Bahkan tidak tampak seorang pun juru taman yang biasanya sepagi itu tentu telah membersihkan taman.

Ketika melewati tempat di mana dia malam-malam beberapa hari yang lalu mengubur mayat dua orang pelayan wanita, Swi Liang menggerakkan pundaknya untuk menenteramkan hatinya yang agak terguncang. Salah kalian sendiri, pikirnya. Dan untuk menekan perasaannya, dia telah menginjak kuburan yang tidak kentara dan tak dikenal orang lain kecuali dia itu.

Dia kini sudah berdiri di depan pintu pondok, lalu mengetuk pintu pondok sambil berkata dengan suara biasa, suara pria, halus dan penuh rayuan, "Dewiku yang cantik jelita, bidadari dari sorga. Manis, bukalah pintu, aku sudah amat rindu kepadamu...!"

Daun pintu pondok merah itu terbuka dari dalam dan... Swi Liang meloncat ke belakang sambil menahan seruan kagetnya ketika dia melihat bahwa dari dalam pondok itu keluar dua puluh orang lebih pengawal yang memegang senjata di tangan! "Menyerahlah engkau, Liang Cu. Kami mendapat perintah untuk menangkapmu!" komandan pengawal berkata keren.

Seketika pucat muka Swi Liang dan otomatis tangan kanannya meraba pinggang, hanya untuk diingatkan bahwa pedangnya telah lenyap dari dalam kamar tadi! "Apa... apa... dosaku..?" dia bertanya gagap. Saking bingungnya dia lupa menyembunyikan suara laki-laki yang keluar dari mulutnya.

Dua puluh lebih pengawal itu tertawa dan sang komandan membentak, "Lekas berlutut dan menyerah!"

Swi Liang maklum bahwa rahasianya tentu telah terbuka. Dia tidak tahu apa yang terjadi dan siapa yang telah membuka rahasianya. Sampai saat itu dia sama sekali tidak menyangka bahwa Yang Kui Hui yang telah mengkhianatinya. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia tertangkap, tentu dia akan celaka.

"Mampuslah!" bentaknya sambil menerjang ke depan. Swi Liang menghantam komandan dengan kepalan tangan kanan sedangkan kepalan tangan kiri menghantam pengawal ke dua yang berdiri di dekatnya.

Komandan itu memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi, maka dia dapat menangkis biar pun dia menjadi terhuyung-huyung. Akan tetapi pengawal yang terkena hantaman tangan kiri Swi Liang mengeluarkan teriakan keras dan roboh terguling, muntah-muntah darah karena pukulan yang mengenai dadanya tadi amat kuat.

Segera Swi Liang dikeroyok oleh dua puluh orang lebih. Para pengawal itu rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Karena mereka semua bersenjata, repot jugalah Swi Liang yang harus membela diri dengan tangan kosong!

"Jangan bunuh dia! Kita harus menangkapnya hidup-hidup!" beberapa kali komandan berteriak.

Swi Liang mengamuk sekuatnya. Namun setelah tubuhnya terkena beberapa kali bacokan dan tusukan, akhirnya dia terguling dan teringkus. Dalam keadaan luka-luka dan setengah pingsan dia diseret ke dalam kamar tahanan. Sementara itu, Yang Kui Hui segera mengadu kepada Kaisar bahwa pelayan wanita yang dahulu menolongnya itu ternyata adalah seorang pemuda dan mungkin mata-mata musuh yang sengaja menyelundup.

Mendengar ini, Kaisar memerintahkan agar Swi Liang disiksa dan dipaksa untuk mengakui keadaannya. Pada hari itu juga, di dalam kamar tahanan yang dirahasiakan, Swi Liang dikompres untuk mengaku. Ada beberapa macam semangat yang mendorong seseorang menjadi prajurit.

Semangat patriotik sebagai pengabdian kepada negara dan bangsa, semangat mencari kedudukan dan kemuliaan, dan semangat yang timbul dari keadaan lain pula. Di antara semua itu, hanya prajurit yang didorong semangat mengabdi kepada negara dan bangsa sajalah yang akan berani mempertaruhkan nyawa dengan rela, karena dia merasa yakin bahwa apa yang diperjuangkan dalam hidupnya itu benar!

Kebenaran seseorang yang tentu saja mengharapkan sesuatu, misalnya nama sebagai seorang pahlawan atau ‘tempat baik’ di alam baka! Betapapun juga, lepas dari-pada tepat tidaknya kebenaran semacam itu, harus diakui bahwa hanya prajurit yang bersemangat demikian sajalah yang akan menghadapi kematian dan siksaan dengan berani dan gagah.

Tidaklah demikian dengan Swi Liang. Dia melakukan tugasnya karena dorongan subo-nya yang juga menjadi kekasihnya, karena keinginannya untuk kelak memperoleh kedudukan tinggi jika cita-cita subo-nya terlaksana. Kalau putera subo-nya sampai bisa menjadi kaisar seperti yang dicita-citakan subo-nya, dia tentu setidaknya akan menjadi seorang menteri! Karena semangat seperti ini yang mendorongnya berjuang, maka begitu gagal patahlah semangatnya.

Begitu dia disiksa, keluarlah pengakuan dari mulut Swi Liang bahwa dia adalah kaki tangan subo-nya, The Kwat Lin Ratu Pulau Es yang kini menjadi ketua Bu-tong-pai dan yang bersekutu dengan Pangeran Tang Sin Ong, dan tugasnya adalah memikat hati Yang Kui Hui agar selir itu kelak mau membantu pemberontakan mereka.

Pengakuan ini tentu saja menimbulkan geger. Pangeran Tang Sin Ong ditangkap dan beberapa hari kemudian, Swi Liang dan Pangeran Tang Sin Ong dijatuhi hukuman penggal kepala di tempat umum agar menjadi peringatan bagi siapa saja yang hendak memberontak.

Kaisar lalu mengirim pasukan untuk menangkap ketua Bu-tong-pai yang memberontak. Habislah riwayat hidup Bu Swi Liang, putera Lu-san Lojin Bu Si Kang yang gagah perkasa itu. Memang patut disayangkan karena sebenarnya dahulu Bu Swi Liang adalah seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa, yang dididik oleh ayahnya sejak kecil agar menjadi seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan.

Memang keadaan sekeliling amat mempengaruhi jalan hidup seseorang. Tapi hal ini tidaklah berarti bahwa sekeliling yang bersalah sehingga menyeret seseorang ke jalan sesat seperti halnya Bu Swi Liang. Sebetulnya, yang bersalah adalah dirinya sendiri!

Orang yang mengenal diri sendiri akan selalu dalam keadaan waspada dan sadar sehingga berada di dalam lingkungan apa pun juga dia akan selalu mengamati tingkah laku sendiri lahir batin setiap saat, tak mungkin terseret atau ternoda. Seperti emas murni atau bunga teratai, biar berada di lumpur akan tetapi tetap bersih! Sebaliknya, orang yang tidak mau mengamati dirinya sendiri setiap saat, akan mudah lupa diri karena terlalu menonjolkan ‘akunya’.

Si Aku ini memang selalu ingin menang sendiri, ingin enak dan senang sendiri, sehingga untuk memenuhi segala keinginannya itu, diri terseret dan mudah terjeblos ke dalam jurang penuh dengan ular-ular berbisa bernama iri, dendam, benci, sombong, duka, dan lain-lain yang kesemuanya berakhir dengan kesengsaraan.

Hari itu di Bu-tong-san telah tiba pasukan yang kuat dan dipimpin seorang perwira tinggi yang membawa perintah penangkapan dari Kaisar sendiri. Namun mereka terlambat. The Kwat Lin, ketua Bu-tong-pai yang baru dan hendak ditangkap itu telah melarikan diri bersama anak buah yang setia kepadanya.

Tentu saja hal ini tidaklah mengherankan. Sebelum Swi Liang membuka rahasia pemberontakannya, The Kwat Lin telah lebih dulu mendengar bahwa muridnya telah gagal dan ditangkap. Dia merasa kecewa sekali, akan tetapi dia juga maklum akan bahaya yang mengancam dirinya.

Kalau sampai pasukan pemerintah menyerang Bu-tong-pai, tentu saja dia tidak mungkin dapat melawan pasukan yang besar itu. Maka diam-diam dia lalu meloloskan diri dari Bu-tong-san. Bersama anak buahnya yang setia dia lalu melarikan diri ke Rawa Bangkai yang menjadi markas ke dua dari komplotan ini.

Seperti di ketahui, Kiam-mo Cai-li Liok Si yang menjadi datuk kaum sesat itu telah ditaklukkannya sehingga menjadi sekutunya. Tempat tinggal datuk wanita ini, Rawa Bangkai di kaki pengunungan Luliang-san, kemudian menjadi markas ke dua. Ketika menghadapi bahaya penangkapan dari kota raja, tentu saja Kwat Lin lalu melarikan diri ke tempat yang merupakan daerah rahasia dan berbahaya itu.

Pelarian dari Bu-tong-pai ini diterima dengan baik oleh Kiam-mo Cai-li Liok Si yang memperoleh kesempatan untuk menonjolkan jasanya. Segera Rawa Bangkai dijaga dengan kuat sekali dan Liok Si menghibur The Kwat Lin atas kegagalan muridnya.

"Aku hanya merasa kecewa sekali mengenangkan murid-muridku," kata The Kwat Lin dengan suara gemas. "Swi Nio telah mengkhianatiku, lari dengan seorang mata-mata musuh entah dari mana dan pengharapanku tadinya tinggal kepada Swi Liang. Dia sampai terbuka rahasianya dan tertangkap, hal itu katakanlah sebagai suatu kegagalan yang menyedihkan.

Akan tetapi mengapa dia membocorkan rahasia Pangeran Tang Sin Ong sehingga Pangeran itu pun dihukum mati? Dengan matinya Pangeran Tang Sin Ong habislah harapan kita!" The Kwat Lin menghela napas panjang dan mengepal tinjunya dengan hati gemas.

"Aihhh, seorang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Pangcu, mengapa mudah sekali putus asa?" Liok Si mencela.

"Hem, Cai-li, jangan kau menyebutku Pangcu lagi. Aku bukan lagi ketua Bu-tong-pai setelah kini menjadi pelarian pemerintah. Dan aku tidak membutuhkan perkumpulan itu. Siapa yang tidak akan putus asa? Cita-cita kita kandas setengah jalan. Betapa pun tinggi kepandaian kita, menghadapi pasukan pemerintah yang puluhan laksa banyaknya, kita dapat berbuat apa?"

Kiam-mo Cai-li tersenyum. Dia maklum bahwa wanita yang amat lihai ini memiliki cita-cita yang besar sekali. "The-pangcu... eh, Lihiap, seorang dengan kepandaian seperti engkau tentu dapat mencari kedudukan dengan mudah sekali."

"Hemm, mana mungkin? Pemerintah telah menganggapku sebagai pemberontak dan aku akan selalu menjadi pelarian dan buruan pemerintah. Pula, aku adalah seorang bekas ratu. Oleh karena itu cita-citaku hanya satu, ialah aku akan berusaha sekuat tenaga agar puteraku memperoleh kedudukan yang sepadan dengan darah keturunannya."

Kiam-mo Cai-li mengangguk-angguk. "Memang sepatutnya... sudah sepatutnya..., dan aku bersedia membantumu asal kelak kau tidak akan melupakan bantuanku."

The Kwat Lin memegang tangan datuk wanita itu dan memandang tajam. "Kiam-mo Cai-li, kita bukan anak-anak kecil lagi. Kita sama-sama wanita dan kita saling mengetahui isi hati masing-masing. Engkau sudah banyak menolongku, masihkah engkau menyangsikan bahwa aku menganggapmu sebagai tangan dan kaki sendiri dan kita akan senasib sependeritaan, bahkan sehidup-semati?"

Kiam-mo Cai-li tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita yang selain berilmu tinggi, juga berkemauan keras dan bercita-cita tinggi, The-lihiap. Kita tidak perlu putus asa dengan kegagalan muridmu. Masih ada jalan lain yang kurasa akan lebih menguntungkan kita."

"Bagaimana?"

"Bersekutu dengan An Lu Shan!"

The Kwat Lin memandang wajah Kiam-mo Cai-li dengan alis berkerut. Majikan Rawa Bangkai itu tersenyum dan diam-diam The Kwat Lin harus memuji bahwa wanita yang usianya sudah lima puluh tahun itu kalau tersenyum kelihatan masih muda dan masih cantik.

Kata-kata Kiam-mo Cai-li mengejutkan hatinya dan sekaligus menimbulkan kecurigaannya. Sudah terang bahwa mereka menjadi saingan An Lu Shan, bagaimana sekarang dapat bersekutu dengan Panglima itu? Bahkan yang menyalakan api pemberontakan dalam dada Pangeran Tang Sin Ong adalah karena merasa iri hati kepada An Lu Shan yang disuka oleh Kaisar dan selalu dibela oleh Yang Kui Hui. Dan sekarang, sekutunya ini mengusulkan untuk bersekutu dengan An Lu Shan!

"Cai-li, apa maksudmu?" tanyanya. Suaranya membentak dan matanya memandang tajam menyelidik.

"Aih, The-lihiap, aku tahu mengapa engkau terkejut. Akan tetapi bukankah para cerdik pandai jaman dahulu pernah berkata bahwa orang cerdik harus pandai memilih kawan? Demi tercapainya cita-cita, kalau perlu kawan menjadi lawan dan lawan berbalik menjadi kawan!"

Berseri wajah The Kwat Lin dan dia memandang kagum. "Kau benar, Cai-li. Kau benar dan cerdik sekali! Akan tetapi, mungkinkah dia mau?"

"Jangan khawatir. Aku sudah lama mengenal baik panglima kasar itu. Di balik semua langkahnya menjilat Kaisar dan Yang Kui Hui, dia bercita-cita merebut kekuasaan Kaisar. Dan pada waktu ini dia amat membutuhkan bantuan orang-orang pandai, tentu saja dia akan menerima kita dengan tangan terbuka."

The Kwat Lin berdebar-debar dan menggosok-gosok pipinya yang berkulit halus itu dengan tangannya. Tampaknya wanita ini ragu-ragu. "Akan tetapi, bagaimana kita dapat mengadakan hubungan?"

"Aku akan menyuruh anak buahku. Harap kau suka tulis surat untuk disampaikan kepada An Lu Shan. Sebaiknya begini isinya...."

Wanita cerdik Kiam-mo Cai-li berunding dengan The Kwat Lin, mengulurkan tangan kepada An Lu Shan mengajak bersekutu melalui sehelai surat yang ditulis oleh tangan halus The Kwat Lin. Dalam hal menggunakan siasat, kiranya wanita lebih cerdik dari-pada pria, dan hal ini dibuktikan oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li Liok Si.

Sebulan kemudian tampak lima orang muncul di tepi rawa yang sunyi itu. Mereka ini terdiri dari empat orang pria dan seorang wanita, kesemuanya kelihatan gagah perkasa dan tangkas.

Rawa ini amat luas, sunyi dan terkenal berbahaya sekali. Kelihatannya tidak berbahaya, hanya merupakan genangan air yang amat luas seperti telaga besar, namun air itu tertutup oleh rumput dan bermacam tetumbuhan kecil sehingga kadang-kadang tidak nampak airnya. Bahkan seolah-olah tertutup oleh lapisan tanah tipis dan inilah yang berbahaya sekali.

Manusia mau pun binatang yang berani mendekati rawa dan salah injak, mengira bahwa tanah berumput itu keras, akan terperosok ke dalam air berlumpur yang mempunyai daya penyedot sehingga sekali kaki terbenam, akan disedot ke bawah dan sukar ditarik ke atas lagi. Air berlumpur itu dalam sekali. Karena amat lembek, maka seolah-olah menyedot kaki, padahal kaki orang atau binatang itu yang terus tenggelam secara perlahan-lahan.

Lumpur di rawa ini memang mempunyai daya lekat sehingga kaki seolah-olah disedot dan ditahan, sukar untuk ditarik kembali ke atas. Selain bahaya yang merupakan perangkap-perangkap maut dari alam ini, juga di situ terdapat banyak ular dan binatang berbisa lain yang bersembunyi di antara rumput-rumput dan tetumbuhan lain.

Karena sering-kali terdapat bangkai-bangkai binatang-binatang yang terperosok ke dalam perangkap alam sekitar rawa, juga bahkan kadang-kadang tampak mayat mausia-manusia yang sampai membusuk dimakan lumpur, maka terkenallah rawa itu dengan sebutan Rawa Bangkai!

Jauh dari rawa, tampak di tengah-tengah rawa itu sebuah pulau dan di situ terdapat bangunan-bangunan yang tampak dari jauh. Namun tidak ada orang dari luar rawa yang berani mencoba untuk mendekati pulau ini. Selain jalan menuju ke situ harus menyeberangi rawa maut itu, juga telah terkenal bahwa bangunan-bangunan itu adalah sarang dari iblis betina yang ditakuti semua orang, yaitu Kiam-mo Cai-li.

Karena Kiam-mo-Cai-li yang cerdik itu melarang para anak buahnya untuk mengganggu rakyat di sekitar tempat itu, maka tidak akan ada alasan bagi alat pemerintah untuk memusuhinya, pula pembesar setempat merasa ngeri untuk menentang iblis betina itu. Dengan demikian, datuk kaum sesat ini hidup aman dan tenteram di kaki pegunungan Lu-liang-san itu, dan tempat ini menjadi tempat pesembunyian yang baik sekali bagi The Kwat Lin dan anak buahnya.

Kita kembali kepada lima orang yang pada hari itu berada di tepi rawa. Tiga orang di antara mereka laki-laki tua berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun. Seorang lagi adalah laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan gagah dan bertubuh tegap, sedangkan wanita itu masih muda, seorang gadis berusia paling banyak enam belas tahun, tubuhnya langsing dan wajahnya manis namun sepasang matanya mengandung sinar keras.

Wanita itu bukan lain adalah Bu Swi Nio dan laki-laki muda tampan gagah itu adalah penolongnya ketika dia hendak membunuh diri setelah malam itu dia diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong! Bagaimana dia sekarang bersama laki-laki dan tiga orang kakek dapat berada di tepi Rawa Bangkai?


Malam itu, setelah diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong dalam keadaan mabuk dan tidak sadar, Swi Nio hendak membunuh diri dengan pedang. Akan tetapi dia dicegah oleh laki-laki yang ternyata adalah seorang mata-mata dari An Lu Shan. Dia dapat diingatkan oleh laki-laki itu bahwa membunuh diri bukanlah jalan terbaik untuk membalas sakit hati. Maka Swi Nio lalu ikut dengan orang itu dan menjadi petunjuk jalan sehingga mata-mata itu berhasil menyelamatkan diri bersama Swi Nio, keluar dari tembok Bu-tong-pai.

Kedua orang ini tanpa bicara melarikan diri terus dengan cepatnya sampai matahari naik tinggi. Ketika tiba di kaki pegunungan Bu-tong-san, barulah mereka berhenti mengaso di dalam sebuah hutan lebat. Begitu duduk di bawah pohon melepaskan lelah, Swi Nio teringat akan nasib yang menimpa dirinya, maka serta merta dia menangis mengguguk.

Laki-laki itu memandang ke arahnya dan menghela napas panjang, mengepal tinju dan hanya mendiamkannya saja karena pengalamannya membuat dia mengerti bahwa dalam keadaan berduka seperti itu, tidak ada obat yang lebih baik bagi gadis itu kecuali tangis dan air mata yang bercucuran. Setelah agak mereda tangis Swi Nio, dia berkata,

"Nona, seperti aku katakan pagi tadi, tidak perlulah hal yang telah terjadi dan yang telah lalu ditangisi dan disedihkan. Yang penting, kita melihat ke depan. Jalan hidup masih lebar dan terbentang luas di depan kita. Mengubur diri dengan kedukaan saja tidak ada artinya dan pula hanya akan melemahkan semangat kita yang perlu kita pupuk untuk dapat membalas kepada orang-orang yang telah merusak hidup kita."

Kata-kata yang dikeluarkan dengan suara gagah ini membuat Swi Nio mengangkat mukanya yang pucat dan basah. Mereka berdua saling pandang sejenak, keduanya baru melihat nyata akan wajah masing-masing. Wajah pria itu menimbulkan kepercayaan di hati Swi Nio sedangkan wajah gadis itu membuat jantung laki-laki itu berdebar dan tertarik.

"Kau siapakah?" akhirnya Swi Nio bertanya.

"Sudah kukatakan kepadamu, aku adalah seorang mata-mata, seorang kepercayaan Jenderal An Lu Shan. Namaku Liem Toan Kie. Dalam penyelidikanku di Bu-tong-pai, aku telah mengenal namamu, Nona. Engkau adalah Nona Bu Swi Nio, bersama kakakmu Bu Swi Liang engkau adalah murid dari Ketua Bu-tong-pai yang baru. Aku pun telah mengetahui akan nasibmu semalam...."

"Ahhh...! Si Jahanam Tang Sin Ong...!" Engkau benar! Aku tidak perlu berputus asa, aku tidak perlu mengubur diri dalam kedukaan, aku harus berusaha untuk membalas semua penghinaan ini. Akan kubunuh Si Jahanam Tang Sin Ong!" gadis itu mengepal kedua tangannya dengan penuh kemarahan.

"Nah, itu baru gagah dan bersemangat! Akan tetapi, tidak semudah itu membunuh seorang Pangeran, apa-lagi dia sahabat baik gurumu yang amat lihai. Jalan satu-satunya, marilah ikut aku, mengabdi kepada Jenderal An Lu Shan. Hanya itulah jalannya sehingga kelak engkau akan dapat membalas dendam."

"Kau... kau seorang prajurit bawahan Jenderal itu?"

Toan Ki menggelengkan kepalanya. "Bukan, aku bukan prajurit. Aku orang luar yang telah menggabungkan diri dengan An-goanswe dan mendapatkan kepercayaannya untuk menyelidiki Bu-tong-pai. Aku disuruh menyelidiki rencana apa yang diadakan oleh Pangeran Tang Sin Ong dan Bu-tong-pai. An-goanswe adalah seorang yang amat cerdik. Dia biarkan pemberontakan lain agar kedudukan Kaisar makin lemah, namun dia harus tahu segala gerak-gerik musuh, baik gerak-gerik Kaisar mau pun pemberontak lain. Sekarang aku tahu bahwa rencana mereka adalah melemahkan Kaisar melalui Yang Kui Hui, dan sekarang aku akan kembali dan melaporkan hasil penyelidikanku kepada An-goanswe. Kau ikutlah, akan kuperkenalkan dan engkau tentu akan diterima, karena engkau memiliki kepandaian yang lumayan di samping dendammu kepada Tang Sin Ong."

"Aku... aku tidak suka menjadi pemberontak."

"Hemm, apakah kau kira aku suka menjadi pemberontak, Nona? Tidak! Aku membantu An Lu Shan bukan karena aku suka menjadi pemberontak, melainkan karena aku pun sakit hati terhadap pemerintah."

"Eh?" Swi Nio tertarik dan memandang wajah yang gagah itu. "Mengapa?"

"Hampir sama nasib kita, Nona, hanya berbeda jalannya saja. Ketahuilah, dahulu aku adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang tentu saja tak mau mencampuri urusan politik dan pemberontakan, bahkan condong untuk setia kepada pemerintah. Akan tetapi pada suatu hari terjadilah hal yang amat hebat... yang merubah seluruh jalan hidupku...."

Swi Nio teringat akan nasibnya sendiri. Dia mendekat lalu berkata, "Liem-twako, kau ceritakanlah!"

Sejenak mereka berpandangan, lalu Toan Ki menceritakan riwayatnya secara singkat. Dia tinggal di kota Ma-kiu-bun, sebuah kota yang cukup ramai di tepi sungai Huangho. Hidupnya tenang dan bahagia dengan isterinya yang baru dinikahinya selama tiga bulan. Dengan membuka toko obat dan mengajar ilmu silat, dia hidup lumayan.

Namun isterinya merasa kecewa karena setelah tiga bulan menikah, belum juga ada tanda-tanda mengandung. Maka Toan Ki mengijinkan isterinya untuk bersembahyang ke kelenteng untuk minta berkah agar isterinya dapat memperoleh keturunan secepatnya.

Akan tetapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Menjelang senja, setelah pergi sejak pagi, barulah isterinya pulang dan turun dari joli dalam keadaan payah, mukanya pucat dan basah air mata. Sambil menangis sesenggukan isterinya lari ke dalam rumah, menjatuhkan diri dan berlutut di depan kakinya sambil menceritakan bahwa ketika tadi bersembahyang di kelenteng, kebetulan di kelenteng itu terdapat putera bangsawan Lui yang bermain catur dengan para hwesio. Melihat dia, putera bangsawan menyeretnya ke dalam kamar di kelenteng dan memperkosanya!

Setelah mengucapkan pengakuan yang hebat itu, isterinya lari ke dalam kamar sambil menangis sesenggukan. Hati Toan Ki terasa tidak enak. Tadi dia termangu-mangu seperti patung saking marah dan dukanya mendengar penuturan isterinya sehingga dia agak lalai membiarkan isterinya lari. Cepat dia mengejar, dan melihat pintu kamar isterinya dipalang dari dalam, ia lalu menendang pecah daun pintu! Dia berdiri pucat dan terbelalak. Apa yang dilihatnya?

"Isteriku telah rebah mandi darah di lantai! Pedangku ia pergunakan untuk membunuh diri, menusuk dadanya hampir tembus!" dia mengakhiri ceritanya sambil menutupkan kedua tangan di depan mukanya.

"Ohhh...!!" Swi Nio menjadi pucat sekali. Dia menyentuh lengan Toan Ki dengan penuh perasaan terharu. "Putera bangsawan dan hwesio-hwesio keparat itu harus dihukum! Dan aku akan membantumu, Liem-twako!"

Toan Ki menurunkan tangannya, memegang tangan Swi Nio dengan erat. Mereka saling berpegangan dan saling menggenggam tangan. "Kita senasib, Nona. Karenanya ada kecocokan di antara kita dan karenanya aku menolongmu pagi tadi. Akan tetapi, bicara soal bantu-membantu, akulah yang akan membantumu kelak kalau saatnya tiba untuk membalaskan sakit hatimu. Sedangkan sakit hatiku sendiri sudah kubalas impas dan lunas. Pemuda bangsawan keparat itu telah kubunuh bersama semua hwesio kelenteng itu! Karena itu aku menjadi buronan dan aku terpaksa lari kepada Jenderal An Lu Shan yang segera menerimaku karena dia membutuhkan bantuan kepandaianku."

"Ahhh, engkau baik sekali, Twako. Dan engkau bernasib buruk sekali seperti aku. Aku merasa beruntung dapat bertemu dan dapat bersahabat denganmu. Baiklah, aku akan ikut bersamamu menghadap Jenderal An Lu Shan."

Demikianlah, Swi Nio ikut bersama Toan Ki. Benar saja seperti dikatakan laki-laki gagah itu, dia diterima dengan baik di dalam rombongan orang-orang gagah, bukan prajurit yang menjadi pembantu-pembantu An Lu Shan. Persahabatan Bu Swi Nio dengan Liem Toan Ki menjadi makin akrab dan bahkan tumbuh benih-benih cinta kasih di antara kedua orang yang sama nasibnya ini.

Liem Toan Ki kehilangan isterinya yang dikawininya baru tiga bulan lamanya, sedangkan Swi Nio kehilangan keperawanannya karena diperkosa oleh seorang pangeran. Akhirnya keduanya bersepakat untuk mengikat perjodohan, namun Swi Nio mengatakan bahwa dia baru mau melangsungkan pernikahan secara resmi apabila sakit hatinya telah terbalas semua!

Maka kedua orang ini hidup sebagai dua orang tunangan yang saling mencinta, apa-lagi karena perjodohan mereka itu direstui oleh An Lu Shan yang pandai mengambil hati orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat dibutuhkan bantuannya. Pada suatu hari An Lu Shan memanggil Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio bersama tiga orang tokoh lain yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi di antara para pembantu An Lu Shan.

Yang seorang bernama Tan Goan Kok, seorang kakek tinggi besar yang yang terkenal di utara sebagai seorang ahli gwakang yang hebat. Kabarnya Tan Goan Kok ini biar pun usianya sudah lima puluh tahun lebih, tapi dapat menggunakan kekuatan otot tubuhnya untuk mengangkat seekor kerbau bunting. Di samping tenaganya yang besar, juga dia memiliki ilmu silat toya yang sukar dicari bandingannya.

Kakek kedua adalah Pat-jiu Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Delapan), seorang kakek yang berusia enam puluh tahun. Pakaiannya penuh tambalan biar pun bersih dan baru dan selalu memegang sebatang tongkat butut. Semua orang bahkan termasuk An Lu Shan sendiri menyebutnya Pangcu (Ketua), padahal kakek jembel ini hanyalah seorang ketua yang tidak mempunyai anak buah!

Pat-jiu Mo-kai tidak memimpin suatu perkumpulan pengemis, namun nama besarnya sedemikian terkenal sehingga setiap orang pengemis di mana pun juga akan selalu menyebutnya Pangcu! Sampai ketua para perkumpulan pengemis juga menyebutnya Pangcu! Ilmu tongkatnya amat tinggi dan kabarnya belum pernah kakek ini dikalahkan lawan selama dalam perantauannya sampai akhirnya dia dapat dibujuk membantu An Lu Shan.

Orang ke tiga berusia lima puluh tahun lebih dan berpakaian tosu. Dia memang seorang penganut Agama To, seorang kakek perantau yang disebut Siok Tojin. Berbeda dengan kedua orang kakek pertama, Siok Tojin orangnya pendiam, tidak terkenal, namun ilmu pedangnya amat hebat sehingga ketika dia diuji, ilmu pedangnya itu bahkan mampu menandingi tongkat Pat-jiu Mo-kai!

Setelah Liem Toan Ki, Bu Swi Nio, dan tiga orang kakek itu menghadap An Lu Shan yang memanggilnya, Jenderal pemberontak ini lalu menceritakan akan surat dari The Kwat Lin, bekas ketua Bu-tong-pai yang mengajak kerjasama dalam menentang Kaisar.

"Aku sengaja mengutus Ngo-wi (kalian berlima) untuk menjajaki hati wanita berilmu tinggi ini, apakah benar-benar dia hendak bersekutu? Bu Swi Nio adalah muridnya, maka aku mengutusnya untuk mengukur hati gurunya. Kalau dia benar-benar hendak bersekutu, tentu dia tidak akan marah kepada muridnya yang telah melarikan diri dan menjadi pembantuku. Kau menemani dan menjaga tunanganmu, Toan Ki. Dan Pangcu bersama dua orang Lo-enghiong hendaknya menguji kepandaian mereka yang hendak bersekutu, di samping melindungi mereka berdua ini kalau-kalau terancam bahaya."


Demikianlah maka pada pagi hari itu, lima orang kaki tangan An Lu Shan ini telah berada di tepi Rawa Bangkai. Mereka memandang ke arah pulau di tengah-tengah rawa yang tampak dari tempat itu dalam jarak yang cukup jauh, kemudian memandang permukaan rawa dengan wajah membayangkan kengerian. Sudah banyak mereka mendengar akan bahayanya melintasi rawa itu.

"Saya hanya baru satu kali mengunjungi tempat ini bersama Subo," terdengar Swi Nio menerangkan ketika dia ditanya oleh teman-temannya. "Ketika itu kami mengikuti Kiam-mo Cai-li yang membawa kami berlompatan dari tempat ini ke pulau itu. Setiap lompatannya membawanya ke tanah keras dan aman. Akan tetapi tentu saja aku tidak bisa mengingat lagi karena dia melompat-lompat ke kanan kiri, kadang-kadang membalik lagi."

"Hemmm, tentu merupakan jalan rahasia yang sukar diketahui orang luar," kata Pat-jiu Mo-kai sambil meraba-raba dagunya yang berjenggot panjang.

"Menurut Kiam-mo Cai-li, katanya meleset sedikit saja merupakan bahaya maut karena di sepanjang jalan penuh dengan jebakan alam. Kadang-kadang dia membawa kami meloncat ke bagian yang ada airnya, sampai saya merasa ngeri, akan tetapi ternyata bagian itu airnya hanya semata kaki. Sedangkan tanah yang kelihatan kering di dekatnya, menurut keterangannya, bahkan merupakan tempat berbahaya sekali. Ketika pulang ke Bu-tong-san, Subo sendiri mengatakan bahwa dia tidak akan berani lancang menempuh jalan ini sendirian saja karena dia pun tidak dapat mengingat kembali jalan berliku-liku itu."

"Bagaimana kalau kita menggunakan tali yang panjang? Biar kau tidak hafal jalan itu, setidaknya kau pernah melaluinya dan dapat kau mencarinya, Moi-moi. Kita berempat mengikuti dari belakang, menggunakan tali yang ditalikan di pinggangmu sehingga andai kata kau salah jalan dan masuk perangkap, kita dapat menolongmu dengan menarik tali itu," kata Liem Toan Ki kepada kekasihnya.

"Begitu pun boleh. Aku akan coba mengingat-ingat, akan tetapi harus kau sendiri yang memegang ujung tali, Koko, karena aku ngeri!"

"Ah, aku tidak setuju! Usul itu tidak tepat, Liem Sicu!" tiba-tiba Tan Goan Kok berkata dengan suaranya yang parau dan nyaring.

"Akan tetapi aku tidak takut, Tan-lo-enghiong!" Swi Nio membantah. "Pula, kalau Liem-koko yang memegang ujung talinya, aku tidak takut apa-apa lagi. Andai kata aku terjeblos, tentu akan dapat cepat ditariknya naik lagi."

"Bukan tidak setuju karena takut, melainkan karena kalau hal itu diketahui mereka, tentu akan menjadi bahan ejekan. Perlu apa kita harus mencari-cari jalan rahasia yang disembunyikan orang? Kita harus mencari jalan masuk yang lebih gagah, tidak mencuri-curi seperti segerombolan maling."

Bu Swi Nio mengerti dan membenarkan pendapat ini. Mereka berlima lalu duduk di tepi rawa sambil mengerutkan alis, mencari akal bagaimana mereka akan dapat mengunjungi pulau di tengah rawa itu sebagai tamu-tamu yang datang secara gagah.

Karena kalau usul Liem Toan Ki dan Swi Nio tadi dilanjutkan, dan sampai terjadi Swi Nio terjebak ke dalam perangkap alam, tentu hal ini akan membuat mereka memandang rendah saja. Akan tetapi, betapa pun banyak pengalaman mereka dan betapa pun tinggi ilmu kepandaian mereka, belum pernah mereka menghadapi kesukaran seperti sekarang ini.

Siok Tojin yang sejak tadi tidak ikut bicara, akhirnya mengeluarkan suara mengomel, kemudian berkata, "Dapat! Aku teringat akan orang-orang Mongol yang menggunakan akal mencari ikan di rawa-rawa seperti ini!"

Empat orang kawannya memandang ke arah tosu ini dengan wajah gembira dan penuh harapan. "Lekas katakan, Totiang, bagaimanakah akal itu?" Tan Goan Kok bertanya.

"Mereka menggunakan bambu-bambu sebagai perahu."

"Ahh, mana mungkin? Menggunakan perahu menyeberangi rawa ini? Tentu akan mogok di tengah jalan kalau bertemu dengan air yang tertutup tanah dan rumput," bantah Pat-jiu Mo-kai sambil memandang ke rawa dengan alis berkerut.

"Kita jangan meniru mereka yang membuat rakit dari bambu. Kita masing-masing menggunakan sebatang bambu saja, ujungnya dibikin runcing," kata Siok Tojin singkat, akan tetapi maksudnya sudah dapat ditangkap oleh teman-temannya.

"Bagus sekali! Tentu kita berhasil! Dengan bambu runcing, kita dapat meluncur melalui apa saja!" Tan Goan Kok berteriak girang.

"Hemm, kusangka tidak semudah itu. Kita harus hati-hati, benar-benar mengerahkan ginkang dan sinkang. Kalau sampai tergelincir tentu kita celaka dan akan makin berbahaya bila kemudian tertawan pula. Betapa pun juga, akal itu baik sekali. Mari kita mencari bambu dan membuat dayung," kata Pat-jiu Mo-kai yang bersama Siok Tojin dianggap orang tertua dan tertinggi ilmunya.

Tak lama kemudian, tampaklah lima orang itu meluncur di atas Rawa Bangkai yang terkenal sukar dilalui orang itu. Dilihat dari jauh, seolah-olah lima orang itu terbang meluncur di atas air rawa! Akan tetapi kalau orang melihat dari dekat barulah tampak bahwa kaki mereka menginjak sebatang bambu besar yang kedua ujungnya telah diperuncing dan mereka menggunakan dayung kayu untuk mendorong bambu yang mereka injak itu meluncur ke tengah.

Orang yang tidak memiliki ginkang dan sinkang jangan mencoba-coba untuk menyebrang menggunakan cara seperti ini. Bambu sebatang yang diinjak kaki itu tentu saja amat berbahaya, selain licin juga dapat berputar sehingga kaki dapat terpeleset.

Namun, dengan kekuatan sinkang, telapak kaki mereka seolah-olah melekat pada batang bambu sehingga tidak dapat berputar lagi, dan dengan ginkang mereka dapat memperingan tubuh mereka sehingga bambu yang mereka injak itu meluncur cepat ke tengah rawa.

Mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Yang paling rendah tingkatannya di antara mereka adalah Bu Swi Nio, padahal wanita ini sudah amat lihai karena semenjak kecil dia telah digembleng pula oleh wanita sakti The Kwat Lin, ratu dari Pulau Es! Diam-diam, dari berbagai tempat persembunyian, banyak pasang mata mengintai dan memandang dengan kagum ketika lima orang itu meluncur datang ke arah pulau di tengah Rawa Bangkai.

Melihat lima orang itu menggunakan sebatang bambu yang diinjak, melihat mereka itu menggunakan kepandaian membunuh ular dan binatang berbisa lain yang menghadang di tengah perjalanan itu, orang-orang Rawa Bangkai menjadi kagum dan segera melaporkan kepada Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin akan kedatangan lima orang itu.

Kedua orang wanita sakti ini segera berunding sambil menanti kedatangan mereka. Melihat bahwa Bu Swi Nio berada di antara mereka, The Kwat Lin menjadi marah sekali.

"Keparat," desisnya marah. "Murid itu mengantarkan nyawanya ke sini!"

"Ahhh, The-lihiap, mengapa marah? Harap diingat bahwa dia bukanlah muridmu yang dahulu, melainkan seorang pembantu An Lu Shan yang dipercaya. Karena itu, untuk memulai dengan hubungan persekutuan, amatlah tidak baik memusuhi utusan An Lu Shan," kata Kiam-mo Cai-li.

The Kwat Lin tercengang dan teringat akan cita-citanya. Memang benar, urusan pribadi harus di kesampingkan kalau dia ingin agar cita-citanya yang amat tinggi untuk putranya itu akan dapat terlaksana. Maka dia lalu mengajak Kiam-mo Cai-li berunding bagaimana cara untuk menghadapi lima orang itu, utusan-utusan An Lu Shan di mana termasuk bekas muridnya itu. Kiam-mo Cai-li yang amat cerdik lalu memberi nasehat-nasehat sehingga keduanya dapat mengatur siasat.

Biar pun penyeberangan itu amat sukar dan mereka berlima harus membunuh banyak ular berbisa, saling bantu-membantu ketika batang bambu mereka itu menemui banyak halangan, akhirnya lima orang itu berhasil juga melompat ke atas pulau di mana telah berdiri serombongan orang yang ditugaskan menyambut mereka. Melihat dua puluh lebih orang yang berdiri seperti pasukan menyambut mereka, Pat-jiu Mo-kai segera tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, sungguh bagus sekali penyambutan Rawa Bangkai terhadap utusan dari An Goan-swe!" kata Pat-jiu Mo-kai.

Seorang di antara anggota pasukan itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit, melangkah maju dan memberi hormat. "Selamat datang di Rawa Bangkai! Karena kami tidak tahu bahwa Cuwi yang terhormat datang berkunjung, maka kami tidak mengadakan penyambutan di luar rawa. Akan tetapi Cuwi telah memperlihatkan kegagahan yang membuat kami tunduk dan kagum. Sekarang, silakan Cuwi semua ikut dengan kami menghadap Hong-houw (Ratu)."

Diam-diam lima orang itu terkejut juga sungguh pun mereka tahu siapa yang dimaksudkan dengan sebutan ratu itu. Benar-benar bekas ketua Bu-tong-pai adalah seorang wanita yang angkuh dan hendak menerima mereka sebagai seorang ratu!

Akan tetapi karena mereka berada di sarang yang berbahaya, mereka tidak banyak cakap melainkan mengikuti pasukan itu menuju ke tengah pulau, di mana terdapat bangunan- bangunan yang kuat dan cukup indah. Lima orang utusan An Lu Shan itu diterima oleh The Kwat Lin, Kiam-mo Cai-li Liok Shi, dan Han Bu Ong putra The Kwat Lin, di dalam sebuah ruangan yang luas.

Muka Swi Nio agak pucat dan otomatis dia menyentuh tangan Liem Toan Ki yang membalas dengan genggaman seolah-olah hendak menghibur kegelisahan calon istrinya itu. Tentu saja Swi Nio merasa takut karena dia sudah mengenal watak subo-nya yang keras dan kejam, juga maklum betapa lihainya subo-nya itu. Dia tahu bahwa andai kata subo-nya berniat buruk, mereka berlima tentu akan tewas semua di tempat itu.

"Ibu, itu Swi-suci yang telah minggat datang kembali!" tiba tiba Han Bu Ong berkata sambil menudingkan telunjuknya ke muka Swi Nio.

Swi Nio tidak dapat berdiam diri lebih lama lagi. Dia maju menjatuhkan diri berlutut sambil berkata, "Subo, teecu harap subo sudi mengampunkan teecu."

The Kwat Lin memandang tajam sejenak, lalu menghela napas dan menggerakkan tangannya. Dia cukup bermata tajam untuk dapat melihat betapa empat orang laki laki yang datang bersama Swi Nio itu bersikap siap siaga. Kalau dia menurutkan hati panas, lalu turun tangan mengganggu muridnya itu, tentu empat orang utusan An Lu Shan itu akan membela Swi Nio mati-matian. Hal ini sama sekali tidak diharapkannya dan sudah dibicarakannya tadi bersama Kiam-mo Cai-li.

Maka The Kwat Lin menekan perasaannya dan berkata, "Bangkitlah, engkau pergi dan menjadi kepercayaan An-goanswe, tidak terlalu mengecewakan."

Lega bukan main hati Swi Nio. Dia bangkit berdiri lalu berkata kepada Bu Ong, "Sute engkau baik baik saja, bukan?"

Han Bu Ong yang biar pun masih kecil namun sikapnya sudah seperti orang dewasa itu mencibirkan bibirnya. Ia mendengus seperti orang mengejek, lalu berkata, "Suci, baik sekali engkau, ya? Suheng dibunuh orang, dan ibu sampai lari ke sini, akan tetapi engkau malah minggat dan enak enak saja!"

"Bu Ong, diamlah engkau!" The Kwat Lin berkata, lalu melanjutkan kepada Swi Nio, "Swi Nio, tahukah engkau bahwa kakakmu telah tewas?"

Swi Nio mengangguk. Air matanya yang bercucuran segera diusapnya. "Teecu sudah mendengar akan hal itu, Subo."

"Kalau begitu kita sama-sama mendendam kepada pemerintah. Kita lupakan saja semua urusan lama, Swi Nio, dan baik sekali kalau kita dapat bekerja sama. Agaknya engkau kini sudah dipercaya menjadi utusan An-goanswe, ya?"

Swi Nio cepat menjawab dan memperkenalkan teman-temannya. "Teecu hanya menjadi pembantu dan penunjuk jalan saja bersama... dia ini...." Swi Nio menunjuk kepada Liem Toan Ki dan mukanya menjadi merah.

"Siapa dia?" The Kwat Lin memandang tajam kepada Liem Toan Ki.

Toan Ki cepat maju menjura dengan hormat. "Maafkan, Pangcu...."

"Aku bukan ketua Bu-tong-pai lagi, aku adalah bekas Ratu Pulau Es!" jawab Kwat Lin ketus.

"Maaf, saya bernama Liem Toan Ki dan Bu-moi adalah calon istri saya."

"Ibu, dia ini yang pernah menyerbu Bu-tong-pai dan dialah tentunya yang membawa minggat Suci!" tiba-tiba Bu Ong berkata.

Toan Ki diam-diam memuji kecerdikan anak laki-laki itu dan dia terkejut sekali. "Benar demikian, saya yang dahulu menjadi petugas An-goanswe menyelidiki Bu-tong-pai dan kemudian mengajak pergi Bu-moi yang sekarang menjadi calon istri saya."

The Kwat Lin mengerutkan alisnya. Laki-laki ini sebenarnya telah menghinanya sebagai bekas ketua Bu-tong-pai dan sebagai guru Swi Nio. Akan tetapi diam-diam dia menerima isyarat mata Kiam-mo Cai-li, maka dia menoleh kepada Swi Nio sambil bertanya, "Benarkah kau menjadi calon isterinya?"

Muka Swi Nio menjadi merah sekali. "Benar, Subo. Kami saling mencinta, akan tetapi teecu dan dia berjanji hanya akan melangsungkan pernikahan setelah dendam saya terbalas, yaitu setelah kerajaan sekarang jatuh dan dikuasai An-goanswe."

"Hemm, sudahlah. Kalau kau dan calon suamimu ini hanya membantu, siapa yang menjadi utusan An-goanswe menghadap padaku?"

"Mereka inilah," Swi Nio menunjuk kepada tiga orang teman-temannya. “Dia adalah Pat-jiu Mo-kai, dan Totiang ini adalah Siok Tojin, Lo-enghiong itu adalah Tan Goan Kok. Mereka bertiga yang menjadi utusan An-goanswe.”

The Kwat Lin memandang tajam kepada tiga orang itu seolah-olah hendak menimbang bobot mereka dengan matanya. Pat-jiu Mo-kai adalah orang tertua di antara ketiga utusan An-goanswe. Selain itu dia juga memiliki kemampuan bicara yang lebih pandai bila dibandingkan dengan Tan Goan Kok yang kasar dan jujur, apa-lagi terhadap Siok Tojin yang jarang sekali membuka mulut. Tak heran An Lu Shan menunjuknya sebagai pemimpin rombongan ini sekaligus juga sebagai juru bicara.

Melihat pandangan tajam The Kwat Lin, Pat-jiu Mo-kai segera tertawa. "Ha-ha-ha, kami bertiga pun hanyalah pembantu-pembantu rendahan saja dari An-goanswe, akan tetapi kami menerima kehormatan untuk menjadi utusan beliau menghadap Toanio The Kwat Lin yang namanya terkenal sebagai Ratu Pulau Es dan ketua Bu-tong-pai, juga menghadap Kiam-mo Cai-li yang juga amat terkenal di dunia Kang-ouw sebagai seorang wanita yang amat lihai dan cerdas sekali. Kami merasa amat terhormat dapat menjadi tamu-tamu di Rawa Bangkai ini."

Kiam-mo Cai-li Liok Si yang memang amat cerdas, kini mendahului Kwat Lin dan berkata, "Tidak tahu apakah kedatangan Cuwi ada hubungannya dengan pesan kami kepada An-goanswe?"

"Dugaan Cai-li benar sekali. Kami berlima adalah utusan An-goanswe untuk menghadap dan bicara dengan Jiwi. An-goanswe telah menerima pesan Jiwi dan sebagai jawaban An-goanswe mengutus kami untuk bicara."

"Lalu bagaimana keputusan An-goanswe tentang ajakan kami untuk bekerja sama?" The Kwat Lin bertanya.

"An-goanswe merasa amat senang menerima surat Jiwi dan tentu saja An-goanswe menerima dengan kedua tangan terbuka uluran kerja sama Jiwi itu. Sudah lama An-goanswe merasa kagum, terutama sekali melihat siasat gemilang yang berhasil baik sehingga Jiwi sekalian dapat menyelundupkan orang menjadi kepercayaan Yang Kui Hui. Hanya sayang, pada saat terakhir siasat gemilang itu mengalami kegagalan karena orang kepercayaan Jiwi tidak dapat menahan nafsu birahinya. Kami diutus oleh An-goanswe untuk menyampaikan pesan bahwa jika Jiwi suka membantu dari dalam, yaitu berusaha menanam tenaga-tenaga bantuan di dalam kota raja, dan kalau mungkin di dalam istana agar kelak memudahkan penyerbuan ke kota raja apabila saatnya yang tepat tiba, maka An-goanswe akan berterima kasih sekali."

Mendengar pesan An Lu Shan yang di sampaikan oleh Pat-jiu Mo-kai ini, hati kedua orang wanita itu menjadi girang sekali sungguh pun kegirangan itu tidak terbaca di wajah mereka. "Kami yang tidak mempunyai pasukan besar memang tahu diri dan tentu saja hanya akan membantu dari dalam seperti yang diusulkan An-goanswe. Kami dapat menerima usul itu dan sebaiknya kita rencanakan siasat-siasatnya bersama." The Kwat Lin berkata.

"Sebelum kita berunding dan mengatur siasat agar dapat kami sampaikan kepada An-goanswe, terlebih dahulu kami harus menyampaikan semua pesan beliau untuk Jiwi. Selain usul itu juga An-goanswe mengatakan bahwa pekerjaan membantu dari dalam itu merupakan pekerjaan yang amat rumit, sulit, dan berbahaya. Hanya orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi saja yang akan dapat berhasil dan An-goanswe ingin memperoleh keyakinan bahwa para pembantunya tidak akan gagal."

Mendengar kata-kata kakek berpakaian tambalan itu, merahlah wajah The Kwat Lin dan hatinya menjadi panas. "Hemm, ucapanmu itu berarti bahwa kalian hendak menguji kepandaian kami?"

Sambil tertawa Kiam-mo Cai-li yang melihat kemarahan kawannya itu bangkit berdiri dan meloncat ke tengah ruangan yang luas itu sambil berkata,

"Memang sudah seharusnya demikian! An-goanswe adalah seorang Jenderal besar yang cerdik pandai, tentu akan menguji setiap orang sekutu atau pembantunya. Nah, biarlah aku yang lebih dulu memperlihatkan kepandaian. Siapakah di antara Cuwi berlima yang hendak menguji?" dengan lagak memandang rendah Kiam-mo Cai-li berdiri dan memandang ke arah lima orang utusan itu.

Tentu saja Bu Swi Nio tidak berani bergerak, juga Liem Toan Ki yang sudah maklum akan kehebatan ilmu kepandaian wanita Majikan Rawa Bangkai itu, mengerti bahwa dia bukanlah tandingannya.

Melihat wanita yang usianya lima puluh tahun namun masih cantik menarik itu memegang sebatang payung dan berdiri dengan sikap memandang rendah, Siok Tojin yang sejak tadi diam saja sudah bangkit. Ilmu kepandaian tosu ini amat tinggi terutama ilmu pedangnya. Di dalam rombongan itu dia merupakan orang ke dua yang terpandai.

"Biarlah pinto yang akan menguji," katanya.

Pat-jiu Mo-kai mengangguk. Memang yang akan menjadi tukang menguji kepandaian dua orang wanita itu adalah mereka bertiga. Dia sudah mendengar bahwa kepandaian bekas Ratu Pulau Es itu lebih hebat dari-pada kepandaian Kiam-mo Cai-li, maka memang sebaiknya kalau Siok Tojin yang menghadapi Kiam-mo Cai-li, sedangkan dia nanti yang akan menghadapi The Kwat Lin.

Kiam-mo Cai-li memandang tosu itu penuh perhatian, kemudian sambil tersenyum dia berkata, "Kalau aku hanya mampu menandingi Siok Tojin, agaknya belumlah patut aku menjadi tangan kanan Ratu Pulau Es dan akan menjadi kepercayaan An-goanswe. Akan tetapi hendak kuperlihatkan bahwa aku akan dapat mengalahkan totiang dalam sepuluh jurus. Kalau sampai dalam sepuluh jurus aku tidak mampu mengalahkan Totiang, anggap saja aku tidak becus dan aku akan mengundurkan diri!"

Ucapan ini mengejutkan semua utusan itu. Biar pun mereka sudah lama mendengar nama besar datuk wanita yang merupakan iblis betina ini, namun Siok Tojin bukan orang sembarangan. Ilmu pedangnya amat tangkas, hebat dan kuat. Bagaimana wanita itu berani bersombong mengatakan hendak mengalahkannya dalam sepuluh jurus?

Namun The Kwat Lin tenang-tenang saja. Dengan pandang matanya yang tajam dia dapat menilai orang. Juga Kiam-mo Cai-li bukanlah menyobongkan diri secara ngawur, melainkan dia pun sudah dapat menilai kepandaian tosu itu dari gerakannya, maka dia berani menantang akan mengalahkannya dalam sepuluh jurus.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.