Bu Kek Siansu Jilid 11

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-kek Sian-su Jilid 11 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa
SEPERTI telah dituturkan di bagian depan, Sin Liong dan Swat Hong saling bertemu kembali di lereng puncak Gunung Awan Merah tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw. Setelah mendengar tentang Bu-tong-pai yang dikuasai oleh The Kwat Lin yang memang sedang mereka cari-cari, Sin Liong bersama Swat Hong lalu meninggalkan lereng Awan Merah, turun gunung dan dengan cepat pergi menuju ke pegunungan Bu-tong-san.

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-kek Sian-su Karya Kho Ping Hoo
Biar pun kedua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini telah menggunakan ilmu berlari cepat dan hanya mengaso apabila mereka merasa lapar dan terlalu lelah saja, namun karena jaraknya yang amat jauh, kurang lebih sebulan kemudian barulah mereka tiba di lereng Pegunungan Bu-tong-san. Di kaki gunung tadi mereka telah memperoleh petunjuk dari seorang petani di mana letak Bu-tong-pai, yaitu di atas salah satu di antara puncak-puncak pegunungan Bu-tong-san.

"Hati-hatilah, sumoi, kita sudah tiba di daerah Bu-tong-pai," Sin Liong berkata ketika mereka berhenti sebentar di bawah pohon untuk melepas lelah sambil menghapus keringat dari dahi dan leher.

"Hemm, kita hanya berurusan dengan The Kwat Lin, urusan pribadi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Bu-tong-pai. Kita harus menyatakan ini kepada semua orang Bu-tong-pai, kalau mereka tidak mau mengerti dan hendak membela The Kwat Lin, kita hantam mereka pula!"

Hati Sin Liong merasa khawatir sekali. Memang akibatnya amat berlawanan setelah bertemu dengan sumoi-nya ini. Girang dan juga khawatir. Serba susah. Dia tentu saja girang sekali dapat bertemu dengan sumoi-nya dalam keadaan selamat dan sehat. Akan tetapi di samping rasa girang ini, juga dia kini selalu dilanda kekhawatiran akan sifat Swat Hong.

Andai kata dia sendiri saja yang datang ke Bu-tong-pai, tentu dia akan membujuk agar The Kwat Lin mengembalikan pusaka-pusaka Pulau Es dan dia tidak akan menuntut hal ini. Akan tetapi, setelah pergi bersama Swat Hong, dia tahu bahwa tentu gadis ini akan menimbulkan keributan. Tentu Swat Hong akan memusuhi The Kwat Lin yang dianggapnya menjadi penyebab kesengsaraan ayah-bundanya. 

Hal ini menaruh dia di tempat yang amat tidak menyenangkan. Membantu Swat Hong memusuhi The Kwat Lin berlawanan dengan batinnya karena dia tidak ingin memusuhi siapa pun juga. Tidak membantu, tentu Swat Hong terancam bahaya dan tentu akan marah dan benci kepadanya!

Mereka sudah mendekati puncak di mana tampak dinding tembok Bu-tong-pai yang tinggi.

"Sumoi, kau serahkan saja kepadaku untuk bicara dengan orang-orang Bu-tong-pai. Kurasa mereka akan suka menerima alasan kita kalau mereka mendengar apa yang telah dilakukan oleh ketua baru mereka."

Swat Hong mengangguk. "Baiklah, terserah kepadamu, Suheng. Akan tetapi kalau sudah tiba saatnya, kuharap engkau jangan mencegah aku membunuh iblis betina itu!"

Sin Liong tidak menjawab, hanya menghela napas panjang. "Mari kita mendekati pintu gerbang itu. Heran sekali, mengapa sunyi amat? Bukankah kabarnya Bu-tong-pai merupakan perkumpulan yang besar dan mempunyai banyak anak murid?"

Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu gerbang yang tertutup, tiba-tiba saja pintu gerbang yang lebar itu terbuka dari dalam, terpentang lebar-lebar. Tampaklah lima belas orang laki-laki tua, di antaranya beberapa orang tosu, melangkah keluar dengan sikap tenang namun penuh wibawa dan memandang tajam penuh selidik kepada Sin Liong dan Swat Hong!

Setelah para tokoh Bu-tong-pai itu keluar dan berhadapan dengan mereka, Sin Liong cepat menjura dengan hormat sambil berkata, "Apakah kami berhadapan dengan para Lo-cianpwe dari Bu-tong-pai?"

Dengan pandang mata curiga, belasan orang itu memandang Sin Liong. Tosu tua yang berada paling depan lalu bertepuk tangan dan berteriak, "Kalian keluarlah dan jangan melakukan sesuatu sebelum diperintah!"

Sebagai jawaban kata-kata ini, berlompatanlah delapan belas orang laki-laki gagah perkasa yang tadi bersembunyi di balik pohon-pohon dan rumpun di luar pintu gerbang. Mereka lalu membuat gerakan mengepung dan mereka siap dengan tangan di gagang pedang masing-masing.

Melihat ini timbul kemarahan di hati Swat Hong. "Bukan maling mengapa dikepung? Apakah kalian hendak menantang berkelahi? Aku ingin bertemu dengan ketua Bu-tong-pai. Lekas panggil dia keluar!"

Melihat sikap galak ini, kakek tosu yang agaknya memimpin mereka, berkata, "Siancai... kiranya Nona hendak bertemu dengan ketua Bu-tong-pai? Pinto (saya) ketuanya. Tidak tahu siapakah Nona dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan pinto?"

Swat Hong terbelalak. Ia memandang kaget dan heran. "Eh...? Benarkah ini? Kami... kami tidak datang mencari Totiang...."

Para tosu dan semua orang itu saling pandang. Seorang di antara mereka, seorang tosu pula yang tinggi besar bermuka hitam, tidak setua kakek pertama, kemudian bertanya, "Kalau begitu, siapakah yang Nona cari?"

"Kami mencari The Kwat Lin...."

Baru selesai Swat Hong berkata demikian, kakek muka hitam itu sudah berteriak keras dan menubruk maju. Tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Swat Hong sedangkan tangan kanannya menotok ke arah leher.

Swat Hong terkejut dan marah. Serangan kakek itu benar-benar amat ganas, kejam dan berbahaya sekali. Apa lagi ketika terasa olehnya betapa dari kedua tangan yang panjang dan besar itu menyambar hawa pukulan yang menandakan bahwa kakek itu memiliki tenaga yang kuat. "Heiiittt...!!" dia melengking panjang, kedua tangannya bergerak cepat menyambut.

"Dukkkk... plakkk...!!"

Tangan yang mencengkeram ke arah ubun-ubunnya dapat dia tangkis dengan kuat, sedangkan tangan yang menotok lehernya itu dielakkan dengan menundukkan kepala sedikit, kemudian jari tangannya mendahului sehingga dia berhasil menyambut serangan itu dengan totokan kepada pergelangan tangan.

Pada detik berikutnya, selagi tosu muka hitam itu menyeringai kesakitan karena tangkisan itu membuat lengannya tergetar dan totokan itu melumpuhkan lengan satunya, kaki Swat Hong sudah bergerak menendang.

"Desss...!!" tubuh tosu muka hitam itu terjengkang dan jatuh terbanting ke atas tanah dengan cukup keras!

Semua orang terkejut, juga tosu tua itu mengerutkan alisnya. Tosu muka hitam itu adalah sute-nya, tingkat kepandaiannya sudah tinggi, bagaimana dapat dirobohkan oleh nona muda itu dalam segebrakan saja? Tak salah lagi, tentu kedua orang ini adalah orang-orang sebangsa The Kwat Lin yang pernah merampas kedudukan ketua Bu-tong-pai, demikian tosu tua yang bukan lain adalah Kui Tek Tojin itu berpikir. Hanya orang-orang sebangsa iblis betina The Kwat Lin saja yang memiliki ilmu kepandaian seperti setan itu.

Melihat tosu muka hitam roboh, para tosu dan tokoh Bu-tong-pai lainnya lalu serentak menyerbu, didahului oleh delapan belas orang murid Kui Tek Tojin yang bukan lain adalah Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong itu. Karena mengira bahwa Swat Hong tentulah mempunyai hubungan dengan The Kwat Lin, serta merta mereka maju menyerbu dengan pedang di tangan.

"Hemm, kalian benar-benar mengajak berkelahi? Bagus, majulah semua! Hayo, jangan ada seorang pun yang tinggal. Suruh semua orang Bu-tong-pai maju mengeroyokku kalau kalian membela The Kwat Lin!" Swat Hong mencabut pedangnya dan matanya memancarkan cahaya seperti hendak menyebarkan maut.

Tiba-tiba Sin Liong membentak. "Tahan senjata...!!"

Tubuhnya berkelebat dan berloncatan di antara orang-orang Bu-tong-pai dan segera terdengar seruan-seruan kaget ketika tiba-tiba di mana saja bayangan pemuda itu berkelebat, senjata yang terpegang tangan terlepas dan berjatuhan ke atas tanah tanpa mereka ketahui sebabnya!

Sin Liong sudah berhadapan dengan Kui Tek Tojin, menjura dan berkata, "Harap Totiang berlaku sabar dan maafkan Sumoi. Ketahuilah, kami berdua datang ke Bu-tong-pai ini sama sekali bukan hendak berurusan dengan Bu-ting-pai karena kami tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai. Kami datang untuk mencari The Kwat Lin, untuk urusan pribadi yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Bu-tong-pai. Harap Cuwi Totiang dan sekalian orang gagah Bu-tong-pai dapat mengerti ini dan jangan secara membuta membela The Kwat Lin tanpa lebih dulu mengetahui urusannya."

"Apa...? Membela The Kwat Lin? Bukankah Ji-wi ini sahabat-sahabat wanita iblis itu?"

"Bicara lancang dan ngawur!" Swat Hong membentak. "Aku datang untuk membunuh The Kwat Lin dan kalau kalian hendak membelanya, jelas bahwa kalian bukan manusia baik-baik dan biarlah kubunuh sekalian!"

"Siancai...! Siancai...!" Kui Tek Tojin berseru dan ia tersenyum memperlihatkan mulut yang tidak bergigi lagi. "Maafkan pinto dan semua murid Bu-tong-pai! Karena tidak tahu maka terjadi kesalah-pahaman ini. Semua ini gara-gara wanita iblis yang telah merusak nama baik Bu-tong-pai dan membuat kami selalu menaruh curiga kepada siapa pun. Silakan masuk, Sicu dan Nona. Marilah bicara di dalam!"

Sin Liong dan Swat Hong lalu diiringkan masuk ke dalam bangunan yang menjadi pusat Bu-tong-pai itu dan dipersilakan duduk di ruangan tamu. Setelah menerima suguhan minuman, Kui Tek Tojin bertanya, "Bolehkan pinto mengetahui siapa adanya Ji-wi dan mengapa menanam bibit permusuhan dengan The Kwat Lin? Pinto melihat ilmu kepandaian Ji-wi hebat sekali, mengingatkan pinto kepada kepandaian The Kwat Lin sehingga hal itu menambah lagi kecurigaan kami tadi."

“Kiranya tidaklah perlu kami memperkenalkan diri," jawab Sin Liong yang memang ingin menghindarkan diri sejauh mungkin dengan urusan kang-ouw sehingga lebih baik kalau tidak memperkenalkan diri. "Akan tetapi kami berdua mempunyai urusan pribadi dengan The Kwat Lin, dan mendengar bahwa dia telah menjadi ketua Bu-tongpai, maka kami berdua menyusul ke sini."

Kui Tek Tojin mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. Diam-diam dia dapat menduga bahwa dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa ini tentu ada hubungannya pula dengan Pulau Es! Akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya. Kui Tek Tojin kemudian menceritakan betapa The Kwat Lin yang merasa bekas murid Bu-tong-pai itu dengan kekerasan merampas kedudukan ketua dan diam-diam mengatur pemberontakan terhadap Kaisar. Karena usahanya menyelundupkan muridnya ke istana gagal, dia menjadi seorang buruan pemerintah.

"Betapa pun lihainya, iblis betina itu tidak berani menghadapi pasukan pemerintah, maka dia lalu melarikan diri bersama para pengikutnya, meninggalkan Bu-tong-pai. Kami mengambil alih Bu-tong-pai kembali dan belum lama ini, hampir saja kami menjadi sasaran penyerbuan pemerintah. Baiknya kami telah dapat menceritakan keadaan kami dan sekarang, mau tidak mau, untuk membuktikan bahwa Bu-tong-pai tidak bersekutu dengan pemberontak, terpaksa kami harus membantu pemerintah. Hari ini pun Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, murid-murid pinto, terpaksa akan berangkat ke utara melakukan tugas penyelidikan terhadap pemberontakan An Lu Shan."

Mendengar ini, Sin Liong dan Swat Hong merasa kecewa sekali. Jauh-jauh mereka menyusul ke Bu-tong-san, hanya untuk mendengar bahwa The Kwat Lin tidak berada lagi di tempat itu dan sekarang telah menjadi orang buruan pemerintah.

"Aihhh... ke mana kita harus mencarinya?" Swat Hong berkata kesal sambil menoleh kepada Sin Liong.

"Nona, untuk menebus kesalahan kami tadi, baiklah kami beri-tahukan bahwa kalau tidak salah dugaan kami, The Kwat Lin melarikan diri ke tempat kediaman Kiam-mo Cai-li. Kalau Ji-wi mencarinya ke sana, tentu akan setidaknya mendengar lebih jauh tentang wanita itu."

"Kiam-mo Cai-li? Siapa dia? Dan di mana tempat tinggalnya?" Swat Hong mendesak dan wajahnya berseri karena timbul pengharapan lagi di dalam hatinya.

“Dia adalah seorang datuk kaum sesat, sorang wanita yang tinggi ilmunya dan telah bersekutu dengan The Kwat Lin untuk membantu pemberontak. Kiam-mo Cai-li tinggal di Rawa Bangkai, di kaki pegunungan Lu-liang-san, tidak begitu jauh dari sini."

"Suheng, tunggu apa lagi? Mari kita cepat pergi ke Lu-liang-san!" Swat Hong dengan penuh semangat sudah bangkit berdiri.

Sin Liong terpaksa juga bangkit berdiri, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai itu berkata, "Harap Ji-wi berhati-hati. Rawa Bangkai merupakan daerah yang sangat berbahaya. Selain dua wanita itu amat sakti, juga Kiam-mo Cai-li mempunyai banyak anak buah. Bahkan kaki tangan The Kwat Lin yang tadinya berada di sini sekarang pun ikut pergi bersamanya."

"Terima kasih atas peringatan Lo-cianpwe," kata Sin Liong sambil memberi hormat dan karena dia pun merasa amat tidak enak telah mengganggu orang-orang tua di Bu-tong-pai ini, dia cepat mengajak sumoi-nya pergi dari situ. Setelah berpamit, sekali berkelebat saja dua orang muda itu lenyap.

Kui Tek Tojin menghela napas dan mengelus jenggotnya, "Siancai..... dua orang muda yang amat luar biasa. Pinto yakin bahwa mereka tentulah orang-orang dari Pulau Es juga. Gerakan mereka aneh seperti gerakan Kwat Lin, akan tetapi kalau Pulau Es telah membuat Kwat Lin menjadi seperti iblis, dua orang muda itu seperti dewa!"

"Suheng, bukankah di lereng puncak yang sana itu tempatnya?"

"Kalau tidak salah memang di sana, Sumoi. Akan tetapi sekali ini kita melakukan pekerjaan yang amat berbahaya, maka kuharap Sumoi suka bersikap tenang dan sabar, tidak tergesa-gesa."

Swat Hong mengangguk, mengeluarkan sapu-tangan sutera dan menghapus keringat dari leher dan dahinya. Mukanya kemerahan, pipinya seperti buah tomat masak, matanya bersinar-sinar penuh semangat, rambutnya agak kusut dan anak rambut di dahinya basah oleh keringat.

* * *

SIN LIONG memandang sumoi-nya dan diam-diam dia menaruh hati iba kepada sumoi-nya. Seorang dara muda seperti sumoi-nya sudah harus mengalami hidup merantau dan sengsara seperti ini! Padahal seorang dara muda seperti sumoi-nya itu sepatutnya berada di dalam rumah bersama keluarga, hidup aman tenteram dan penuh kegembiraan, bermain-main di dalam taman bunga yang indah, bersendau-gurau, tertawa, bernyanyi, membaca sajak, atau jari-jari tangan yang kecil meruncing itu menggerakkan alat-alat menyulam. Tidak seperti sekarang ini, setiap saat menghadapi bahaya, selalu bermain dengan pedang dan maut! Dia menarik napas panjang.

Mereka berdua duduk di bawah pohon yang tinggi besar, berteduh di dalam bayangan pohon. Hari itu amat panasnya dan mereka telah melakukan perjalanan jauh sejak pagi tadi seharian itu.

"Suheng...," sesuatu dalam suara dara itu membuat Sin Liong cepat menengok dan dia melihat wajah yang cantik itu menunduk. Aneh sekali! Ada apa lagi gadis ini bersikap seperti orang malu?

"Ada apakah, Sumoi?" Swat Hong mencabut sebatang rumput, mempermainkannya dengan jari-jari tangannya, kemudian dalam keadaan tidak sadar meremas rumput itu sampai hancur di tangannya. "Suheng, setelah selesai tugas kita memenuhi pesan terakhir Ayah, lalu bagaimana?"

Tersentuh hati Sin Liong. Baru saja dia membayangkan nasib dara itu dan sekarang agaknya Swat Hong juga membayangkan masa depannya. "Kalau kita sudah berhasil memenuhi pesan Suhu, kita akan mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Pulau Es."

"Hemm, kemudian?' Swat Hong masih tetap menunduk dan kini dia bahkan telah mencabut lagi sebatang rumput dan dimasukkan ke dalam mulutnya yang kecil dan rumput itu digigit-gigitnya.

"Kemudian? Aku akan membantumu mencari ibumu sampai dapat, Sumoi. Akan kita jelajahi seluruh pulau-pulau di sekitar Pulau Es, dan kalau tidak berhasil, kita akan mendarat lagi di daratan besar dan mencari sampai ketemu. Sebelum bertemu dengan ibumu, aku tidak akan berhenti mencari."

Lama tiada kata-kata keluar dari mulut yang menggigit-gigit rumput itu. Akhirnya Swat Hong bertanya juga, "Kalau sudah bertemu dengan ibu?"

"Kalau sudah ketemu?" Sin Liong mengulang pertanyaan itu dengan heran, karena hal itu terasa aneh kalau ditanyakan. "Tentu saja engkau hidup bersama ibumu...."

"Dan kau?"

"Aku? Aku... aku agaknya akan pergi merantau karena tidak ada apa-apa lagi yang mengikatku, tidak ada tugas. Aku bebas seperti burung di udara, terbang ke mana pun angin membawaku."

Kembali suasana hening, bahkan kini Sin Liong terpengaruh oleh pertanyaan itu dan merenung seolah sudah merasakan betapa nikmatnya bebas terbang di udara tanpa beban tugas sedikit pun.

"Suheng...."

"Hemmm....?"

"Kalau bertemu dengan ibu engkau akan meninggalkan kami?"

"Sudah kukatakan begitu, bukankah kau sudah aman kalau berada di samping Ibumu?"

"Bagaimana kalau... kalau kita gagal mencari ibu? Bagaimana kalau sampai tidak bertemu? Bagaimana pula andai kata Ibu... ibu sudah meninggal?"

Sin Liong terkejut. Hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan. Dihadapkan dengan kemungkinan kenyataan ini dia terkejut dan bingung, sejenak tidak mampu menjawab. Dia berpikir, kemudian menjawab tanpa keraguan sedikit pun juga, "Kalau begitu, tentu saja aku tidak akan meninggalkanmu, Sumoi."

"Kita tinggal di mana?"

"Di mana saja sesukamu."

"Kita berkumpul?"

"Ya."

"Sampai kapan?"

Kembali Sin Liong termangu-mangu dan tak dapat menjawab.

Swat Hong berkata lagi, "Kalau demikian, aku jadi merepotkanmu, Suheng. Aku merampas kebebasan yang kau idam-idamkan tadi."

"Ah, tidak! Tidak sama sekali! Di dalam kebebasan seorang diri di dunia itu memang terdapat kenikmatan, akan tetapi di dalam melakukan sesuatu untuk orang, terutama untukmu, juga terdapat kenikmatan besar."

"Engkau menjadi seperti seekor burung yang terikat kakimu dengan kakiku, Suheng."

"Tidak, tidak begitu! Kita seperti dua ekor burung bebas yang melakukan penerbangan bersama!"

"Untuk selamanya, Suheng?"

Kembali Sin Liong termangu-mangu. "Aihh, tentu saja tidak. Engkau harus menikah, dan aku akan menjadi wakil orang tuamu. Aku yang akan meneliti, memilihkan calon suami, sampai engkau berhasil menjadi isteri seorang laki-laki yang patut menjadi suamimu."

"Tidak sudi!!" Tiba-tiba Swat Hong bangkit berdiri, menjauh dan membelakangi Sin Liong. Tak terasa lagi rumput di mulutnya sudah dikunyah-kunyah!

Sin Liong terbelalak memandang tubuh belakang sumoi-nya. Dia benar-benar terkejut dan heran sekali mengapa sumoi-nya mendadak marah seperti itu, padahal dia bicara dengan setulus hatinya, menyatakan keinginannya yang baik terhadap sumoi-nya yang akan dibelanya itu. "Sumoi...!" dia memanggil dan gadis itu membalikan tubuh.

Untuk kedua kalinya Sin Liong terbelalak. Sumoi-nya itu, biar pun tidak sesenggukan, tapi telah menangis. Sepasang pipinya basah air mata dan masih ada butiran air mata yang bergerak menurun dari pelupuk matanya.

"Suheng, engkau... engkau kejam...!" dan sekarang Swat Hong menangis betul-betul, sesenggukan dan menjatuhkan dirinya ke atas rumput, menutupi muka dengan kedua tangan, membiarkan air matanya membanjir ke luar dari celah-celah jari tangannya.

Sin Liong mengerutkan alisnya, lalu menggeleng kepala. "Kejam...?" Dia seperti hendak bertanya kepada bayangan sendiri, mengapa dia yang akan membela gadis itu bahkan dimaki kejam.

Swat Hong memeras air matanya, menghapus muka dengan sapu-tangan, kemudian mengangkat mukanya memandang. "Suheng, kau memang kejam. Kau mau enakmu sendiri saja! Kau hendak membiarkan aku sengsara, meninggalkan aku kepada orang lain agar kau dapat bebas merantau seorang diri. Padahal engkau pun tahu bahwa aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku hanya mempunyai engkau seperti engkau mempunyai aku. Akan tetapi... uh-uh-uh... kau ingin sekali mencampakkan aku agar dapat bebas. Kalau begitu, tinggalkan saja aku sekarang...!"

"Eh-eh, Sumoi..., bagaimana pula ini? Siapa yang akan memberikanmu kepada orang lain? Tentang pernikahan itu.... tentu saja kalau engkau sudah bertemu dengan jodohmu, dengan seorang pria yang kau cinta. Aku berniat baik, sama sekali tidak ada keinginan hatiku untuk meninggalkanmu, sampai engkau berhasil memperoleh pilihan hatimu. Kalau engkau sudah menikah, apa kau kira aku harus menungguimu saja?"

"Tidak! Aku tidak akan menikah kalau hanya agar kau dapat bebas! Aku hanya akan menikah kalau engkau sudah menikah lebih dulu!" Kini Swat Hong bicara penuh semangat, seolah-olah dia merasa penasaran.

Sin Liong membelalakkan matanya memandang. "Eh? Mengapa begitu? Aku... aku selamanya tidak akan menikah, Sumoi!"

Swat Hong menampar tanah. "Tass!!" lalu memandang dengan muka merah kepada suheng-nya, disambung kata-kata nyaring, "Aku pun tidak akan menikah!"

"Wah, mana bisa? Aku seorang pria, Sumoi. Tidak menikah selamanya pun tidak apa-apa, akan tetapi engkau seorang wanita...."

"Apa bedanya? Kalau pria bisa tidak menikah selamanya, apakah wanita tidak bisa? Pendeknya, aku tidak akan menikah sebelum engkau menikah, Suheng!"

Sin Liong menarik napas panjang dan duduk bersandar pohon, tidak menjawab lagi. Gadis ini sedang marah, tidak baik kalau dilayani, pikirnya. Dia yakin bahwa ucapan sumoi-nya itu hanyalah terdorong oleh kemarahan. Kalau kelak sumoi-nya bertemu dengan seorang pemuda yang baik dan mereka saling mencinta, tentu pendirian sumoi-nya tentang pernikahan tidak seperti sekarang.

Dia tidak mungkin dapat membayangkan seorang dara seperti sumoi-nya, cantik jelita, keturunan raja, pandai dan sukar dicari keduanya, sampai menjadi perawan tua atau bahkan tidak menikah sama sekali. Ngeri dia memikirkan ini!

Melihat sampai lama suheng-nya hanya duduk termenung, agaknya Swat Hong mulai menyesali sikapnya. Air matanya sudah kering, sisanya dihapus dengan sapu-tangan dan dia pindah duduk dekat suheng-nya. Mereka berhadapan, akan tetapi Sin Liong pura-pura tidak memperhatikan ulah sumoi-nya.

"Suheng...."

"Hemmm...?"

"Kau marah kepadaku?"

Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan memandang wajah itu. Pada saat seperti itu, terasa benar olehnya betapa dia amat sayang kepada Swat Hong, sayang dan kasihan. "Kalau ada seorang yang marah di sini, agaknya engkaulah yang marah, Sumoi, bukan aku."

"Suheng, katakanlah. Mengapa engkau tidak mau menikah?"

Pertanyaan ini merupakan serangan tiba-tiba yang membuat Sin Liong bingung bagaimana untuk menjawabnya. Dia mengerutkan alisnya, mengosok-gosok dagunya sebelum menjawab, kemudian terpaksa menjawab juga karena sepasang mata bintang yang memandang tajam kepadanya itu sudah menanti jawaban dengan tidak sabar lagi.

"Aku tidak ingin menikah karena bagiku, pernikahan merupakan ikatan, sumoi. Aku ingin bebas, bebas lahir batin dan betapa mungkin aku dapat bebas kalau aku menikah, berkeluarga dan mempunyai anak isteri? Bagaimana aku dapat bebas kalau aku memiliki harta benda, kedudukan dan lain ikatan duniawi lagi?"

Swat Hong termangu-mangu, agaknya tertegun mendengar jawaban suheng-nya. Sampai lama dia diam saja, kemudian tiba-tiba bertanya, "Suheng, apakah engkau ingin menjadi pertapa?"

Sin Liong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Seorang pertapa berarti mengikatkan diri dengan pertapaannya. Tidak, Sumoi. Aku ingin bebas dari segala-galanya."

"Suheng kita... kita... dahulu dijodohkan oleh Ayah, bukan?"

Sin Liong terkejut. Tak disangkanya bahwa Swat Hong akan menyinggung masalah ini. Dia hanya mengangguk sambil memandang wajah sumoi-nya penuh selidik. Apa lagi yang akan dikemukaan sumoi-nya ini?

"Dahulu kita sudah bicara di perahu itu dan memutuskan bahwa orang hanya dapat mengikat jodoh jika saling mencinta. Suheng..., apakah... apakah engkau tidak mencinta seorang wanita?"

Sin Liong cepat menggelengkan kepalanya.

"Aku tahu bahwa Soan Cu mencintamu, Suheng! Apakah engkau tidak mencintanya? Dia cantik jelita dan pandai...."

"Tidak, Sumoi, kalau yang kau maksudkan adalah cinta birahi."

"Akan tetapi Suheng menolongnya, membela dan melindunginya. Bukankah itu membuktikan bahwa Suheng mencintainya?"

"Memang aku mencintanya seperti aku mencinta orang lain, akan tetapi bukanlah cinta umum yang mendorong untuk menikah, kemudian setelah menikah berusaha memiliki isterinya lahir batin sehingga timbullah siksaan batin dan kesengsaraan, pertentangan, bahkan mungkin cemburu dan kebencian. Tidak, aku tidak mencinta Soan Cu seperti yang kau maksudkan itu."

"Dan bagaimana dengan Siangkoan Hui? Dia manis sekali dan dia terang-terangan mengaku cintanya kepadamu, Suheng. Apakah engkau tidak ingin mengambilnya sebagai isteri?"

"Hemmm, sama sekali tidak. Apa lagi aku mendengar bahwa dia telah bertunangan dengan orang lain."

"Jadi tidak ada wanita yang kau pilih untuk menjadi isterimu, Suheng?"

Sin Liong menggelengkan kepala, hatinya tidak enak membicarakan soal ini.

"Tidak ada dara yang kau cintai?"

Sin Liong menggeleng lagi.

"Termasuk aku...?"

Sin Liong terkejut. Sungguh bingung dia memikirkan sumoi-nya ini. Ketika dia mengangkat muka memandang, dia melihat sumoi-nya juga sedang memandangnya dengan sikap aneh. Mata sumoi-nya yang biasanya tajam lebar dan amat indahnya itu kini agak terpejam, seperti mata mengantuk, sinar matanya sayu dan seperti orang mau menangis, bibirnya tersenyum tipis akan tetapi seperti orang menahan rasa nyeri, cuping hidungnya agak kembang kempis dan jelas tampak dadanya naik turun diburu pernapasan.

"Sumoi, kau tahu bahwa aku cinta kepadamu, aku mencintamu seperti seorang Sumoi, seperti seorang adik, seperti seorang sahabat dan aku rela untuk mempertaruhkan nyawa membela dan melindungimu. Aku merasa sebagai pengganti ayah-bundamu. Aku akan merasa berbahagia kalau bisa melihatmu bahagia, Sumoi, karena itu, percayalah bahwa aku tidak akan meninggalkanmu sebelum...."

"Sudahlah... sudahlah...! Mari kita melanjutkan perjalanan, tugas kita masih belum selesai!" Swat Hong sudah meloncat bangun dan berlari cepat mendaki puncak yang menjulang tinggi itu.

"Sumoi, perlahan dulu...! Hati-hatilah...!" Sin Liong melompat dan terpaksa harus mengerahkan ilmunya untuk menyusul sumoi-nya yang lari seperti setan itu.

Karena agaknya Swat Hong berlari secara ngawur saja, asal cepat dan naik ke puncak, untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya, maka mereka tersesat jalan, bukan menuju ke Rawa Bangkai yang berada di lereng timur, melainkan memasuki hutan lebat di lereng barat!

Mereka tidak tahu bahwa ada banyak pasang mata mengintai ketika mereka memasuki hutan itu dan tiba-tiba bermunculan banyak orang yang mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring.

Sin Liong dan Swat Hong berdiri tegak memandang ke sekeliling dan Swat Hong membelalakkan matanya saking herannya. Mereka berdua telah dikurung oleh puluhan orang yang tubuhnya katai, pendek sekali. Yang tertinggi di antara mereka hanyalah setinggi dada Swat Hong! 

Kalau saja tidak melihat muka orang-orang itu, tentu Swat Hong mengira bahwa mereka berdua dikurung oleh serombongan anak nakal. Akan tetapi wajah mereka yang penuh kumis pendek dan penuh keriput itu jelas adalah wajah orang-orang yang sudah dewasa, bahkan wajah laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun!

Karena tubuh mereka yang kerdil itu amat pendek, mereka kelihatan kuat dan kokoh. Wajah mereka keruh dan marah, mengandung kekejaman dan di tangan mereka tampak senjata yang bermacam-macam, senjata yang aneh-aneh tidak lumrah senjata umumnya. Gerakan mereka ketika mengurung dan bergerak mengelilingi Swat Hong juga amat aneh, kadang-kadang tumit mereka diangkat, kadang-kadang mereka bergerak sambil berjongkok sehingga menjadi makin pendek seperti katak, kadang-kadang berloncatan!

"Kalian mau apa? Pergi...!!" Swat Hong membentak dan mengirim tendangan berantai ke arah empat orang katai terdekat.

Akan tetapi betapa herannya ketika melihat empat kali tendangannya yang beruntun itu mengenai angin kosong. Dengan gerakan yang aneh dan cekatan sekali, empat orang kerdil itu telah mampu mengelak, bahkan hampir saja ujung sepatu kiri Swat Hong terbabat sebatang pedang yang bentuknya seperti gergaji!

"Hati-hati, Sumoi. Mereka bukanlah lawan lemah," Sin Liong berbisik dan pemuda ini sudah menyambar sebatang kayu dahan pohon, mematahkannya dan membuat sebatang alat pemukul sebesar lengan. "Kita hadapi mereka dengan saling melindungi," kembali Sin Liong berbisik.

Swat Hong adalah seorang dara yang keras hati dan tidak mengenal artinya takut. Akan tetapi melihat hasil tendangannya tadi, dia pun maklum bahwa rombongan orang kerdil ini tidak boleh di buat main-main, maka dia cukup cerdik untuk mentaati bisikan suheng-nya. Mereka lalu berdiri tegak, memasang kuda-kuda dengan punggung saling membelakangi hampir bersentuhan.

Swat Hong memegang pedang dengan tangan kanan yang diangkat, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka, miring di depan dada. Sin Liong pun memasang kuda-kuda yang sama, hanya bedanya, dia memegang alat pemukulnya dengan tangan kiri. Keduanya berdiri diam tak bergerak sama sekali, hanya mata mereka yang melirik ke kanan-kiri mengikuti setiap gerak-gerik para pengurung mereka.

"Harap Cuwi jangan salah paham," Sin Liong berseru nyaring, "Kami datang bukan untuk memusuhi Cuwi sekalian atau siapa pun juga di tempat ini. Kami datang karena tersesat hendak mencari Rawa Bangkai. Kalau Cuwi dapat memberi tahu di mana adanya Rawa Bangkai, kami akan berterima kasih sekali."

Akan tetapi, orang-orang kerdil itu tetap saja bergerak maju mengelilingi mereka sambil berjingkrak dan membuat gerakan aneh-aneh. Dua orang muda-mudi itu tetap berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak, namun semua urat syaraf di tubuh mereka menegang dalam persiapan.

Salah satu di antara orang kerdil itu bertanya sambil terus mengelilingi mereka berdua, "Mau apa kalian mencari Rawa Bangkai?"

Kini Swat Hong yang sudah hilang sabarnya itu menjawab dengan bentakan, "Orang-orang kerdil menjemukan! Kami mencari seorang yang bernama The Kwat Lin!"

Mata orang-orang itu melotot, namun mereka masih tetap mengelilingi dua orang muda itu. Orang yang memegang sebatang golok besar bercincin empat, agaknya pemimpin mereka, yang mukanya berseri dan kumisnya kecil melintang, bertanya lagi, "Mau apa mencari The Kwat Lin?"

"Mau kubunuh mampus!" jawaban Swat Hong ini seperti merupakan aba-aba saja.

Serentak terdengar mereka memekik aneh dan kedua orang itu terpaksa harus mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung karena pekik-pekik aneh itu merupakan penyerangan luar biasa melalui suara yang disertai khikang. Tentu saja dua orang muda yang memiliki kesaktian hebat dari Pulau Es itu tidak dapat begitu mudah dikalahkan hanya dengan pekik-pekik itu.

Melihat betapa dua orang muda itu sama sekali tidak terpengaruh, tiba-tiba si pemegang golok bercincin berteriak. Mulailah tiga puluh enam orang kerdil itu menyerang dengan cara aneh, yaitu mereka menyerang sambil lari, tampaknya sambil lalu saja akan tetapi karena banyak senjata yang menyerang, tentu saja amat berbahaya.

Sin Liong menggerakkan tongkat pendek melindungi diri, sedangkan Swat Hong juga menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.

"Trang-trang-cringgg...!!" bunyi senjata tajam bertemu.

Terdengar pekik kaget dari beberapa orang kerdil karena senjata mereka yang tertangkis oleh tongkat pendek dan pedang itu membalik, bahkan ada empat orang yang terpaksa melepaskan senjata dari pegangan tangan mereka yang terasa tergetar hebat dan panas itu.

Orang-orang kerdil itu ternyata cerdik sekali. Pertemuan senjata satu kali itu saja cukup membuat mereka maklum bahwa dua orang muda yang mereka keroyok itu memiliki kekuatan sinkang yang hebat, jauh melebihi mereka. Maka mereka lalu mengurung dan menyerang bertubi-tubi, bergantian tanpa mau mengadu senjata lagi. Setiap senjata mereka ditangkis, mereka menarik kembali senjata itu dan sudah ada temannya yang melanjutkan serangan dari arah lain.

"Suheng, biar kubasmi setan-setan pendek ini!" Swat Hong menjadi tidak sabar dengan cara suheng-nya yang hanya bertahan dan melindungi diri saja. Hal itu dianggapnya terlalu mengalah dan terlalu ‘memberi hati’ kepada para pengeroyok yang menjemukan hatinya itu.

Sebelum Sin Liong menjawab, Swat Hong sudah meloncat ke depan mengeluarkan suara melengking yang tinggi dan dahsyat. Pedangnya berkelebatan dan disusul dorongan tangan kiri yang mengandung tenaga Inti Salju, maka terdengarlah pekik berturut-turut dan robohlah lima orang kerdil, yang dua orang terkena sambaran pedang, yang tiga lagi roboh oleh dorongan tangan kiri dan terjangan kaki Swat Hong!

Kacaulah pengeroyokan itu karena dapat dibayangkan betapa kaget dan gentarnya hati para orang kerdil ketika dalam segebrakan saja setelah gadis itu membalas, di pihak mereka roboh lima orang! Belum lagi pemuda yang kelihatan lebih lihai itu bergerak menyerang! Kalau begini keadaannya, tentu mereka akan roboh semua. Si kerdil bergolok yang memimpin mereka segera mengeluarkan suitan aneh dan gerombolan itu lalu melarikan diri sambil membawa lima orang teman mereka yang terluka.

Si pemegang golok berteriak, "Hai, dua orang muda sombong, kalau memang gagah, ikutlah kami dan lawanlah majikan kami The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li!"

"Suruh mereka keluar menemui kami!" Swat Hong membentak.

"Heh-heh, engkau takut kami jebak, ya? Orang gagah macam apa kamu itu?" si pemegang golok mengejek.

"Keparat, siapa takut?" Swat Hong melompat dan mengejar.

"Sumoi...!" Sin Liong memperingatkan, akan tetapi Swat Hong tentu saja tidak mau peduli karena dia sudah marah sekali, apa lagi mendengar nama The Kwat Lin, dia sudah bersemangat dan ingin segera berhadapan dengan musuh besarnya itu.

Melihat sumoi-nya terus mengejar, terpaksa pula Sin Liong juga meloncat dan berlari cepat mengejar. Orang-orang kerdil itu berlari terus mendekati lereng bukit, keluar dari hutan memasuki daerah yang tandus berbatu-batu. Di tempat itu terdapat banyak goa batu yang besar-besar, dan dari luar tampak menghitam karena di sebelah dalam goa tidak memperoleh matahari sehingga amat gelap.

Dari belakang Sin Liong melihat betapa orang-orang kerdil itu bagaikan rombongan semut saja dengan sigapnya berloncatan memasuki goa-goa di sekitar itu, akan tetapi sebagian banyak memasuki sebuah goa terbesar dan yang berada di tengah-tengah di antara semua goa.

"Sumoi, berhenti dulu! Ini bukanlah sebuah rawa!" teriak pula Sin Liong, akan tetapi terlambat karena Swat Hong dengan penuh semangat telah menerjang masuk dan lenyap ke dalam goa besar.

"Ah, Sumoi terlalu bersemangat sehingga sikapnya sembrono dan berbahaya," Sin Liong mengomel dan terpaksa dia pun cepat mengejar memasuki goa besar itu. Goa itu gelap sekali, gelap dan sunyi. "Sumoi...!!" dia berteriak memanggil, akan tetapi hanya gema suaranya sendiri yang menjawab dari berbagai jurusan!

Sin Liong terkejut dan dapat menduga bahwa goa itu merupakan terowongan yang bercabang-cabang. Dia maju terus dan benar saja dugaannya, goa yang gelap itu merupakan lorong dan akhirnya tiba di depan terowongan yang bersimpang tiga!

"Sumoi...!!" dia berteriak lagi, dan jauh dari depan terdengar jawaban gema suaranya sendiri lima kali berturut-turut!

"Celaka," pikirnya. "Kita telah terjebak!"

Akan tetapi dia harus dapat menemukan sumoi-nya yang dia khawatirkan terjeblos ke dalam perangkap orang-orang kerdil. Sin Liong tanpa ragu-ragu memilih jalan ke kanan. Setelah kini matanya terbiasa, ternyata terowongan itu tidaklah terlalu gelap benar. Ada sinar matahari yang masuk dan memantul sampai ke dalam terowongan, entah dari mana masuknya sinar itu. Dia berjalan agak cepat ke depan dan terowongan yang dipilihnya itu ternyata berakhir pula dengan simpangan, kini simpang empat!

"Aihhh...!" dia mengeluh lalu mengerahkan khingkangnya berteriak memanggil, "Sumoi...!" gema suaranya mengaung dan membuat panggilannya itu tidak jelas lagi, mirip auman suara harimau marah!

Dia lari memasuki terowongan sebelah kiri setelah meneliti ke bawah. Tidak terlihat bekas tapak sepatu sumoi-nya saking banyaknya tapak kaki di situ, tapak kaki kecil-kecil dari orang-orang kerdil. Terowongan ini panjang sekali, menurut taksirannya tentu tidak kurang dari dua li jauhnya. Hatinya makin risau. Sudah begini lama dan jauh dia mengejar dan mencari Swat Hong, akan tetapi bekas dan jejaknya pun belum ditemukan.

"Sumoi...!!" dia berteriak lagi kuat-kuat ketika lorong itu berakhir di sebuah ruangan bawah tanah atau dalam gunung yang cukup lebar.

Sebagai jawabannya, tiba-tiba terdengar suara berdesingan, dan dari depan, kanan dan kiri menyambar sinar-sinar hitam. Pandang mata yang tajam dari Sin Liong dapat melihat bahwa benda-benda bersinar itu adalah anak panah-anak panah yang dilepas dari tempat rahasia. 

Cepat dia memutar tongkat pendek yang berubah menjadi segulung sinar yang melindungi seluruh tubuhnya. Sampai beberapa lama dia menangkis dan akhirnya penyerang gelap itu pun berhenti. Di ruang itu kini penuh dengan anak panah hitam yang agaknya beracun. Dia bergidik. Bagaimana nasib sumoi-nya di tempat berbahaya ini?

"Sumoi...!!"

Sambil berteriak dia segera membalikkan tubuhnya karena ruangan itu merupakan jalan buntu, lalu berlari kembali melalui terowongan yang panjangnya ada dua li itu, sampai dia tiba di jalan simpang empat tadi. Kini dia melihat terowongan kedua sambil berteriak-teriak memanggil nama sumoi-nya. "Swat Hong...! Han Swat Hong...!!"

Panggilan ini dia lakukan dengan pengerahan khikang sekuatnya sehingga dinding terowongan itu menjadi tergetar karenanya. Namun tidak ada jawaban melainkan gema suaranya sendiri yang melengking panjang. Sin Liong menjadi panik, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Baru sekali ini dia merasa sedemikian gelisahnya dan dia menyesali diri sendiri mengapa dia tadi tidak melarang sumoi-nya memasuki goa-goa rahasia penuh jebakan ini, kalau perlu melarang dengan kekerasan!

Dia berlari terus dengan hati gelisah, akan tetapi dengan penuh kewaspadaan karena dia maklum bahwa tempat itu merupakan tempat rahasia yang amat berbahaya, perpaduan antara kekuasaan alam dan manusia. Tak mungkin tangan manusia membuat goa-goa dan lorong-lorong batu dalam gunung ini, akan tetapi hasil ciptaan alam ini dipergunakan oleh manusia, diperbaiki dan bahkan dipasang jebakan-jebakan yang jahat!

"Haiiitttt!" Sin Liong cepat meloncat ke atas, lalu meluncur kembali ke belakang sambil berjungkir balik dan jatuh berdiri kembali di jalan yang telah dilalui.

Ia terbelalak memandang ke depan. Kiranya secara tiba-tiba sekali, tentu digerakkan oleh alat rahasia yang terinjak olehnya tadi ketika berlari, di depannya telah terbuka lubang yang panjangnya ada tiga meter, terbuka secara tiba-tiba. Kalau dia tadi tidak berhasil meloncat dan lari terus, tentu akan terjeblos ke dalam jurang itu. Terdengar suara mendesis-desis dari dalam lubang yang hitam gelap, akan tetapi desis itu dan bau amis membuat Sin Liong bergidik. Tahulah dia bahwa di dalam lubang itu terdapat banyak ular berbisa! Jebakan yang amat keji!

"Keparat...!" desisnya dengan marah melihat kekejaman manusia kerdil itu yang tidak segan mempergunakan cara yang amat menjijikkan untuk mengalahkan lawan.

Dia melompati lubang itu dan melanjutkan larinya. Ketika dia berjalan satu li lebih, lorong itu pun berhenti di jalan buntu yang merupakan sebuah ruangan besar pula. Bahkan ruangan ini cuacanya cukup terang, entah memperoleh sinar dari mana, agaknya ada lubang-lubang dari mana sinar matahari dapat masuk.

Tiba-tiba, seolah-olah muncul dari dalam dinding batu, tampak seorang kerdil yang luar biasa. Bentuknya pendek tegap seperti orang-orang kerdil yang tadi, akan tetapi wajahnya menandakan bahwa dia sudah tua dan sepasang matanya seperti bintang pagi, tajam bersinar-sinar. Kumis dan jenggotnya panjang, sedangkan bentuk pakaiannya lebih mewah dari yang lain. Kakek kerdil ini memegang sebatang pedang yang bersinar-sinar tanda bahwa pedang itu adalah sebuah benda pusaka yang ampuh.

Selagi Sin Liong memandang penuh perhatian dan maklum bahwa tentu di dinding kiri ini terdapat pintu rahasianya yang tadi terbuka cepat untuk dilewati kakek ini, tiba-tiba terdengar suara dari sebelah kiri dan kembali secara tiba-tiba muncul seorang kerdil lain yang tubuhnya amat tegap dan besar membayangkan kekuatan. Juga orang kerdil ke dua ini pakaiannya mewah, sikapnya gagah dan mukanya penuh dengan brewok tebal menghitam.

Kedua orang ini dari tubuh atas sampai ke pinggang ukurannya seperti manusia biasa, akan tetapi dari pinggang ke bawah amatlah pendeknya sehingga kelihatan aneh dan lucu. Orang kedua yang brewok dan mukanya membayangkan kekerasan dan kegagahan ini memegang sebatang toya yang lebih panjang dari-pada tubuhnya sendiri. Juga toya ini bersinar-sinar tanda sebatang senjata yang baik.

Sin Liong yang selalu bersikap sabar dan tidak menghendaki permusuhan, biar pun dilanda kekhawatiran, masih dapat menekan perasaannya dan menjura dengan penuh hormat, "Harap Jiwi-lo-cianpwe sudi memaafkan kalau saya lancang tanpa diundang memasuki daerah kekuasaan Jiwi ini. Akan tetapi saya kehilangan Sumoi di sini dan kalau Jiwi sudi berlaku demikian baik hati untuk mengembalikan Sumoi kepada saya, saya berjanji akan meninggalkan tempat ini bersama Sumoi dan tidak akan berani mengganggu lagi."

Dua orang kakek itu saling pandang. Mereka kemudian tertawa melihat betapa Sin Liong mengamat-amati dinding yang kini telah tertutup kembali dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa di situ ada pintu rahasianya. Kakek berjenggot yang rambutnya sudah mulai ada ubannya itu berkata, "Orang muda, kalian memusuhi The-lihiap dan bilang tidak ada permusuhan dengan kami? Ha-ha, orang muda, siapakah engkau? Dan siapa pula Sumoi-mu itu?"

"Namaku Kwa Sin Liong dan... sesungguhnya kami tidak mempunyai permusuhan dengan Cuwi di tempat ini."

"Kalau begitu mengapa mencari The Kwat Lin Lihiap?"

"Kami mempunyai urusan pribadi dengan dia, hanya urusan yang sama sekali tidak menyangkut diri orang lain."

Kembali dua orang kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, aku Ji Bhong dan semua anak buahku, kami bangsa kerdil memang tidak ada urusan denganmu, akan tetapi sekali kalian memusuhi The-lihiap, berarti kalian adalah musuh kami juga. Menyerahlah, orang muda, kalau kau tidak ingin mengalami keksengsaraan seperti Sumoi-mu."

Sin Liong terkejut sekali, bukan hanya karena mendengar bahwa mereka ini ternyata adalah kaki tangan The Kwat Lin, terutama sekali mendengar akan sumoi-nya. "Di mana Sumoi? Apa yang kalian lakukan dengan dia?!" bentaknya.

"Ha-ha-ha, menyerahlah dan baru kita bicara!" Ji Bhong, kakek yang menjadi ketua bangsa kerdil itu menjawab.

Tentu saja Sin Liong menjadi gelisah sekali. Dia lalu menerjang maju dengan tongkat pendeknya.

"Sing... siuuut... trang-trang...!!" Dua orang kakek itu sudah menggerakkan pedang dan toya, cepat dan kuat sekali gerakan mereka.

Namun kini kedua orang itu berhadapan dengan Kwa Sin Liong, murid utama Raja Pulau Es yang telah mewarisi ilmu yang hebat-hebat. Dalam keadaan penuh kekhawatiran itu, Sin Liong sudah menggerakkan tongkat pendeknya sedemikian rupa sehingga ketika menangkis, dua orang kakek itu berteriak keras karena merasa betapa ada hawa dingin menyusup ke dalam lengan mereka melalui senjata, membuat lengan mereka seperti hampir membeku! Namun keduanya memang lihai. Cepat mereka memindahkan senjata di tangan kiri dan mengirim serangan bertubi-tubi.

Biar pun berada dalam keadaan gelisah dan marah, Sin Liong masih merasa tidak tega untuk membunuh orang. Maka dia mengeluarkan suara melengking keras, tongkatnya dibuang ke bawah dan dengan dua tangan kosong dia memapaki pedang dan toya yang menyambarnya dari kanan-kiri, lalu dengan berani dia menangkap dua senjata itu dengan kedua tangan kosong!

Dua orang kakek itu terbelalak. Kalau orang menangkap toya dengan tangan kosong hal ini masih biasa saja. Akan tetapi menangkap pedang pusaka dengan tangan telanjang? Benar-benar berani mati karena tangan yang bagaimana kuat pun tentu akan tersayat!

Ji Bhong berteriak dan mengerahkan tenaga membetot kembali pedangnya untuk menyayat tangan lawan yang menggenggamnya. Akan tetapi betapa pun ia mengerahkan tenaga, pedang itu tetap tidak bergerak sedikit pun dari genggaman Sin Liong. Demikian pula kakek brewok yang membetot-betot toyanya, percuma saja.

Sin Liong kembali memekik keras, kedua tangannya bergerak sedikit dan... tubuh kedua orang kakek itu terlempar membentur dinding kanan-kiri! Hawa pukulan yang dingin dan kuat sekali keluar melalui kedua senjata itu, lalu menyerang melalui lengan mereka masing-masing dan memukul dada, membuat dada terasa sakit dan napas mereka sesak. Keduanya bersandar di dinding, terengah-engah dan terbelalak memandang pemuda luar biasa itu. Tiba-tiba mereka lenyap melalui pintu kecil yang terbuka secara aneh.

"Kalian hendak lari ke mana?" Sin Liong meloncat dan mengejar ke kiri, namun dinding itu sudah tertutup kembali dan kakek berjenggot panjang dan kakek brewok itu telah lenyap dari dinding kanan-kiri.

Sin Liong menancapkan pedang di atas lantai, lalu menggunakan toya rampasannya menghantami dinding kiri, namun hanya batu permukaan saja yang remuk, sedangkan dinding tebal itu tetap utuh. Akhirnya Sin Liong membuang toyanya, menghapus peluhnya dan mengerutkan alis. Tempat ini amat berbahaya dan sukar dilalui, bagaimana dia akan dapat menolong Swat Hong?

Teringat akan sumoi-nya ini, dia menjadi panik lagi. Andai kata sumoi-nya berada di sampingnya saat itu, tentu pemuda ini tidak menjadi bingung dan akan tetap tenang saja. Akan tetapi membayangkan betapa sumoi-nya terancam bahaya, benar-benar menggelisahkan hatinya. Dia merasa bertanggung-jawab akan keselamatan sumoi-nya, dan dia merasa seolah-olah mendengar suara ayah-bunda dara itu mencelanya, mengapa dia sampai membiarkan dara itu terancam bahaya.

Sin Liong menghampiri dinding kiri, lalu memeriksa, tangannya meraba-raba. Lebih satu jam dia menyelidiki, akhirnya secara tidak sengaja tangannya meraba sebuah di antara puluhan batu menonjol di dinding itu! Cepat dia menyambar pedang rampasannya dan sekali bergerak, tubuhnya sudah menyelinap melalui lubang rahasia itu dan... dia bingung lagi karena kiranya di sebelah sana dinding batu itu pun hanya merupakan sebuah lorong lain lagi! Dan tidak tampak jejak kekek yang menjadi ketua bangsa kerdil tadi.

Kembali dia berjalan dengan ngawur, tidak tahu akan dibawa ke mana oleh lorong yang dilaluinya ini. Entah berapa banyak lorong yang dilaluinya dan kini dia bahkan tidak tahu lagi mana jalan ke luar. Dia pun tidak ingin keluar sebelum dapat menolong Swat Hong! Dan cuaca makin gelap, dia pun teringat bahwa mungkin sekarang di ‘dunia luar’ sudah mulai senja. Bagaimana pun juga, dia tidak akan keluar sebelum menemukan Swat Hong.

Sin Liong berjalan terus, ke mana saja asal bergerak. Dia mulai memperhatikan lorong yang dilaluinya agar jangan melalui sebuah lorong untuk kedua kalinya. Keadaan makin gelap dan akhirnya dia hanya dapat melangkah maju dengan meraba-raba. Tiba-tiba tampak sinar terang di depan, menembus kegelapan yang mengerikan itu. Sin Liong melangkah maju menuju ke sinar terang tadi. Akan tetapi tiba-tiba dia menahan langkahnya. Tidak salah lagi, sinar terang itu tentulah api yang sengaja dibuat orang kerdil untuk memancing dan menjebaknya. Betapa pun juga, dia tidak takut!

Dengan hati-hati dia bergerak lagi melangkah maju menghampiri sinar yang ternyata kini tampak olehnya adalah sebatang obor yang gagangnya tertancap di dinding. Dan anehnya, kakinya yang melangkah hati-hati tidak menemui jebakan apa-apa sampai dia tiba di tempat obor itu. 

Apa artinya ini? Mengapa mereka memberi sebatang obor itu kepadaku? Sin Liong tidak peduli, lalu mengambil obor itu dan diam-diam berterima kasih sekali karena memang keadaan cuaca yang amat gelap itu membuat dia butuh sekali akan sebatang obor. Kini dia dapat melanjutkan usahanya mencari Swat Hong.

Selagi dia berjalan maju dengan hati-hati, dia mendengar suara mendengung dari belakang. Sin Liong cepat menoleh akan tetapi tidak melihat apa-apa. Sinar obor itu hanya mendatangkan cahaya dalam jarak terbatas sekali dan di sebelah sana kelihatan hitam pekat.

Akan tetapi suara itu makin lama makin keras dan akhirnya tampaklah meluncur masuk ke dalam cahaya obor benda-benda hitam kecil yang mengeluarkan suara berdengung-dengung. Lebah! Banyak sekali lebah hitam yang datang berterbangan, seakan berlomba untuk mencapai sinar terang itu. Sinar api obor itulah yang menarik lebah-lebah itu.

Sin Liong sekarang maklum mengapa mereka memberikan sebatang obor. Tentu untuk menarik lebah-lebah itu, dan kalau lebah-lebah itu cukup berharga untuk dipancing mereka, tentu merupakan lebah berbahaya, lebah yang sengatannya mengandung bisa yang mematikan. Dia sudah tahu akan lebah-lebah beracun seperti ini. Sin Liong cepat mengambil sehelai sapu-tangan, menyelipkan pedang di pinggangnya, dan menggunakan sapu-tangan yang diputar-putar untuk mengusir lebah-lebah itu.

Namun, tertarik oleh sinar api obor di antara kegelapan yang luar biasa, lebah-lebah itu seperti gila dan sama sekali tidak takut akan usiran menggunakan sapu-tangan ini. Biar pun mereka tidak dapat menyerang Sin Liong karena terhalang sapu-tangan, namun mereka tetap beterbangan di sekeliling Sin Liong, menanti saat baik untuk menyerang!

“Celaka,” pikir Sin Liong.

Tidak mungkin dia harus berdiri di situ semalaman hanya untuk berkelahi melawan lebah-lebah ini. Apa gunanya ada obor kalau hanya mendatangkan kerepotan ini? Sambil tetap melindungi tubuhnya dengan putaran sapu-tangan, Sin Liong menancapkan gagang obor pada celah-celah batu dinding, lalu pergi menjauh. Ternyata lebah-lebah itu tidak lagi mepedulikannya setelah dia tidak memegang obor. Kini binatang-binatang kecil itu beterbangan menyambar ke arah obor.

Sin Liong duduk bersandar dinding, memandang dari jauh. Dilihatnya banyak lebah yang mati karena menyerbu api, makin lama makin banyak. Hatinya tidak tega. Binatang-binatang itu tidak berdosa. Entah mengapa mereka dapat dibikin marah dan menyerbu api seperti gila itu. Dia harus menghentikan bunuh diri massal yang mengerikan itu. Diremasnya batu-batu dari dinding dan ditimpuknya ke arah obor sambil berteriak-teriak, "Aduh...! Aduh, mati aku...!"

Ini adalah siasatnya yang timbul sebelum memadamkan obor. Mereka itu sengaja memberi obor untuk memancing lebah-lebah. Baiklah, dia akan pura-pura menjadi korban sengatan lebah beracun. Kiranya hanya dengan cara ini dia akan dapat memancing orang-orang kerdil itu. Kalau mereka menggunakan siasat memancing dan menjebak, biarlah demi keselamatan Swat Hong dia pun mempergunakan siasat itu!

Semalaman Sin Liong berada di dalam gelap. Tidak ada orang datang mengintai atau menjenguknya. Ketika inilah dia pergunakan untuk beristirahat, biar pun sama sekali dia tidak dapat tidur. Mana mungkin dia tidur kalau hatinya gelisah memikirkan Swat Hong seperti itu? Betapa pun juga, dia dapat melepaskan lelah dan memulihkan tenaga, dan terbayanglah percakapan dengan Swat Hong di dalam hutan.

Dia menghela napas panjang. Biar pun di depan gadis itu dia berpura-pura tidak mengerti, sesungguhnya dia tahu belaka bahwa dara yang tadinya angkuh dan keras hati itu, kini agaknya mulai menyatakan cinta kasihnya kepadanya. Dia dapat menduga pula bahwa cinta kasih di hati gadis itu bersemi karena memperoleh pupuk cemburu, mencemburukan dia dengan Soan Cu dan Siangkoan Hui! 

Hal ini membuat hatinya terasa seperti ditusuk, perih dan duka. Tentu saja dia tidak mungkin mau menyakit hati Swat Hong dengan menyatakan bahwa dia tidak mencinta gadis itu, tidak mencinta seperti harapan gadis itu. Tidak mungkin dia mau melibatkan diri ke dalam cinta kasih seperti itu, yang telah begitu banyak contohnya hanya mendatangkan kesengsaraan belaka.

Lihat saja kehidupan ayah Swat Hong, Raja Han Ti Ong yang menjadi rusak dan hancur lebur karena Raja yang bijaksana dan perkasa itu takluk kepada cinta kasih birahi seperti itu. Lihat saja penghidupan ayah Soan Cu, yang menjadi gila karena kematian isterinya yang tercinta, juga merupakan cinta memiliki yang hanya akan berakhir dengan kesengsaraan. Masih banyak lagi contoh-contoh.

Cinta kasih yang terdorong oleh birahi dan kesengsaran ini pasti akan disusul dengan keinginan memiliki, menguasai dan mengikat. Pengikatan diri inilah yang akan mencelakakan, yang akan menimbulkan duka karena kehilangan, perpisahan atau kekecewaan karena cemburu dan lain-lain. Pengikatan diri kepada sesuatu memang menimbulkan kenikmatan duniawi, menimbulkan kesenangan lahir yang hanya sementara saja sifatnya, kemudian diakhiri dengan bermacam duka dan kesengsaraan.

Yang paling menimbulkan sesal dalam hati Sin Liong adalah kenyataan bahwa penolakannya terhadap cinta kasih gadis-gadis itu tentu akan mendatangkan kekecewaan kepada mereka. Namun dia pun yakin bahwa kekecewaan itu pun hanya akan sementara saja sifatnya. Kalau mereka, termasuk Swat Hong, sudah tertarik kepada seorang laki-laki lain, kekecewaan itu pun akan lenyap tanpa bekas lagi.

Cuaca tidak segelap tadi, tanda bahwa agaknya malam telah terganti pagi. Untuk melanjukan siasatnya, Sin Liong lalu merebahkan diri di bawah obor yang telah padam, rebah di antara bangkai-bangkai lebah yang hangus. Tak lama kemudian jantungnya berdebar karena telinganya yang menempel lantai mendengar suara-suara gerakan kaki. Ada orang-orang datang menghampirinya!

Tepat seperti yang diharapkannya, muncullah dua orang kakek itu bersama enam orang kerdil lain. Mereka segera menghampiri dan merubungnya, bahkan ada tangan yang menyentuh dada dan pergelangan tangannya. Cepat Sin Liong menggunakan ilmunya, menghentikan detak jantung dan pernapasannya.

"Dia telah mati...!!" terdengar suara di atasnya. Dia tidak melihat siapa yang bicara karena dia rebah miring.

"Kita laporkan kepada Lihiap!" terdengar suara kekek berjenggot panjang.

Pada saat itu pula Sin Liong membalikkan tubuhnya. Tangannya menyambar dan dia telah menangkap lengan seorang kerdil, lalu menotoknya roboh. Tujuh orang kerdil yang lain terkejut sekali, berloncatan dan lenyap di balik dinding melalui pintu-pintu rahasia, meninggalkan si kerdil yang telah roboh tertotok. Memang Sin Liong hanya membutuhkan seorang saja.

Sin Liong lalu mengangkat bangun orang itu, membebaskan totokannya dan menghardik, "Hayo tunjukkan aku di mana teman wanitaku itu ditawan!"

Orang kerdil itu menjadi pucat dan menggeleng-geleng kepalanya. "Aku... aku tidak tahu...."

"Bohong! Hayo katakan, aku hanya ingin menolong dan membebaskannya. Kalau kau mengaku terus terang, aku akan membebaskanmu."

"Aku... aku tidak berani...," kata orang itu kemudian, suaranya mengandung rasa takut dan dia menoleh ke kanan-kiri seolah-olah takut kata-katanya terdengar oleh dinding di kanan-kirinya.

"Hemm, aku tahu. Kalau kau mengaku, engkau takut dihukum oleh atasanmu. Akan tetapi kau menunjukkan tempat itu karena kupaksa dan mereka tentu tahu akan hal itu."

"Aku... aku takut... takut disiksa...," orang itu berkata setengah menangis.

Sin Liong menjadi gemas. Orang yang pengecut ini memaksa dia harus mengeraskan hati. Apa boleh buat, demi keselamatan Swat Hong! Dia lalu menggunakan jarinya memijit tengkuk orang itu, memijit jalan darah sambil berkata, "Kau hanya takut kepada mereka dan tidak takut kepadaku? Nah, kau tunjukan atau kubiarkan kau tersiksa seperti ini selama hidupmu!"

Orang itu menyeringai, makin lama makin lebar. Tubuhnya mengeliat-geliat menahan rasa nyeri yang menyerang tubuhnya. Akan tetapi, rasa nyeri itu tidak dapat ditahannya lagi dan dia roboh terguling, menggeliat dan berkelojotan seperti orang sekarat, mulutnya merintih, "Bebaskan aku... atau bunuh aku saja...."

Sin Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi dia mengeraskan hatinya. "Aku tidak akan membunuhmu dan juga tidak akan menyembuhkanmu. Kalau kau tidak mau menunjukkan tempat sahabatku itu, selama hidup kau akan menderita seperti ini!"

"Tolong... aduhhh.... Baik, kutunjukkan tempatnya... tapi... tapi bebaskan dulu aku...."

Girang bukan main rasa hati Sin Liong. Dengan beberapa totokan dia membebaskan orang itu yang segera menggeliat dan memijit-mijit dadanya, kemudian memandang kepada Sin Liong penuh rasa takut dan ngeri.

"Aku akan menunjukkan tempatnya, akan tetapi... kau harus tahu bahwa kalau gadis itu sudah mati, maka bukanlah aku pembunuhnya."

Tentu saja kata-kata ini membuat Sin Liong terkejut bukan main. Dia tidak mau banyak bicara lagi, melainkan berkata dengan suara terengah, "Lekas... tunjukkan...!" dan dia menyambar pergelangan tangan orang itu agar jangan sampai melarikan diri melalui tempat-tempat rahasia.

Orang kerdil itu mengajak Sin Liong berlari melalui lorong-lorong. Ternyata lorong-lorong itu amat ruwet bangunannya, berbelit-belit dan banyak sekali persimpangannya.

“Pantas saja aku tidak berhasil,” pikir Sin Liong dengan rasa kagum.

Lorong rahasia ini memang amat hebat. Akhirnya setelah melalui jarak yang kurang lebih lima li jauhnya, tibalah mereka di dalam lorong yang tidak rata. Dindingnya lebar sempit, di lantainya banyak terdapat gundukan-gundukan batu pedang, serta dari atas bergantungan pula batu-batu yang runcing. Mereka berada di dalam goa-goa besar yang berbeda sekali dengan goa-goa dari mana Sin Liong dan Swat Hong masuk.

"Di mana tempatnya?" Sin Liong bertanya, suaranya gemetar karena dia merasa tegang sekali.

Benarkah bahwa Swat Hong terancam nyawanya dan mungkin sekali sudah tewas? Hampir dia memekik untuk melampiaskan kekhawatirannya. Tidak! Tidak mungkin! Tidak boleh!

"Di mana dia? Hayo katakan!" dia mengguncang tangan orang kerdil itu.

Tubuh orang itu menggigil. "Dia... di dalam goa sana itu.... Lihat, di sana ada lubang besar, bukan?"

"Hayo kita ke sana!"

"Tidak... tidak, aku takut...! Mereka menjebaknya di sana. Tempat itu adalah sarang laba-laba raksasa yang mengerikan. Kurasa dia sudah tewas...."

Sin Liong tidak peduli dan menyeret orang itu menuju ke lubang besar yang berada di sebelah kiri lorong, melalui batu-batu menonjol yang ujungnya seruncing pedang. Setelah tiba di situ, tiba-tiba dia mendengar suara lirih.

"Sumoi...!" Sin Liong berteriak.

"Suheng... aihhh... Suheng...!" terdengar suara tangis. Swat Hong yang menangis.

Masih hidup! Hampir Sin Liong bersorak saking girangnya dan dia mendorong orang kerdil itu sampai terguling-guling lima meter jauhnya. Orang kerdil itu merangkak dan pergi akan tetapi Sin Liong tidak mempedulikannya lagi. Dia sudah memasuki goa dan terus ke dalam, membelok ke kiri, ke arah suara Swat Hong. Tiba-tiba dia terbelalak, otomatis dia memasang kuda-kuda dengan pedang diangkat tinggi-tinggi dan tangan kiri siap di depan dada.

Matanya yang terbelalak memandang tajam kepada seekor laba-laba raksasa sebesar kerbau, dengan sepasang anggota bulat seperti mata melotot kepadanya. Di belakang laba-laba itu tampak sarang laba-laba yang bukan main besarnya. Benang sarang laba-laba itu sebesar jari-jari tangan, nampak kuat sekali dan di tengah-tengah sarang itu, tubuh Swat Hong menempel dengan kedua lengan terpentang, juga kakinya agak terpentang dan bagian tubuh dara itu agaknya melekat kepada sarang itu, tak dapat dilepaskan lagi.

Gadis itu menangis ketika melihatnya dan hanya dapat berkata, "Suheng..., cepat kau bunuh binatang menjijikan itu...!"

Sin Liong mencium bau harum yang aneh dan keras, dan maklumlah dia bahwa tempat itu penuh dengan hawa beracun! Laba-laba ini selain besar sekali juga beracun. Heran dia mengapa Swat Hong masih dapat hidup. Akan tetapi dia tidak mempedulikan atau memusingkan hal itu, yang penting adalah menolong sumoi-nya.

"Tenanglah, Sumoi. Aku segera menolongmu," katanya dengan suara gemetar saking girang dan terharunya.

Laba-laba itu memandang buas. Begitu melihat Sin Liong, dia merangkak maju dengan cepat sekali dan tiba-tiba, berbarengan dengan gerakan kaki depan dan mulutnya, sinar putih menyambar ke arah Sin Liong. Itulah benang besar yang mengandung daya lekat luar biasa sekali. Sin Liong menggerakkan pedang rampasannya dan tali putih itu terbabat putus. Kemudian dia melangkah maju, mengelak dari sambaran tali ke dua, lalu dari samping dia menggerakkan kaki menendang.

"Desss...!!" Betapa besar pun ukuran tubuh binatang itu, namun dia terlempar setelah terkena tendangan kaki Sin Liong, terbanting pada dinding batu, terhuyung-huyung lalu menghamburkan banyak benang putih ke arah Sin Liong.

Pemuda perkasa ini meloncat untuk mengelak dan ketika dia memandang lagi, ternyata laba-laba itu telah lari menghilang melalui sebuah lubang di celah-celah dinding batu. Cepat Sin Liong menghampiri Swat Hong, berusaha menurunkan tubuh gadis itu, akan tetapi ternyata sukar sekali karena sarang itu mengandung daya lekat yang dapat merobek pakaian Swat Hong. 

Sin Liong menggerakkan pedangnya karena dia melihat bahwa sarang itu tergantung pada benang-benang pokok terbesar yang malang melintang dan melekat pada tanah dan pada langit-langit guha. Pedangnya menyambar-nyambar dan runtuhlah sarang itu, membawa tubuh Swat Hong terjatuh ke bawah.

Gadis itu telah lemas sekali, dan tentu akan terbanting kalau saja tidak disambar oleh Sin Liong. Pemuda itu membersihkan benang-benang laba-laba itu dan memondong tubuh sumoi-nya yang lemas menjauhi tempat itu. Ketika dia tiba di bagian yang lebar dari lorong itu, dia menurunkan sumoi-nya yang duduk bersandar batu.

"Bagaimana keadaanmu, Sumoi?" tanyanya sambil memeriksa nadi lengan sumoi-nya. Detak jantungnya lemah, mukanya pucat dan tenaganya habis, akan tetapi yang mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa sumoi-nya itu telah keracunan!

"Untung... untung kau datang, Suheng... Kalau tidak... aku sudah hampir tidak kuat...." Gadis itu tiba-tiba merangkul dan menangis dipundak Sin Liong.

Pemuda itu membiarkan saja Swat Hong menangis. Tak lama kemudian dia berkata, "Laba-laba itu beracun, kau terkena hawa beracun. Akan tetapi, berapa lama kau tertawan seperti itu?"

"Sejak malam tadi.... ahhhh, mengerikan sekali, Suheng...."

"Sudahlah, mari aku membantu engkau mengusir hawa beracun yang mengeram di tubuhmu."

"Nanti dulu aku harus menceritakan dulu kepadamu...." Swat Hong berkata terengah-engah. "Ceritaku akan dapat mengusir kengerian yang masih mencengkeram hatiku, Suheng."

Sin Liong mengangguk. Menurut hasil penyelidikan tadi, biar pun terserang hawa beracun namun keadaan Swat Hong tidak berbahaya, dan malah ketegangan dan pukulan batin yang dideritanya selama satu malam itu lebih berbahaya. Memang menceritakan kengerian yang mencengkeram merupakan obat mujarab pula, seolah-olah kengerian yang ditahan-tahan itu memperoleh jalan ke luar dan dapat meringankan hati yang tertekan.

"Aku mengejar mereka dan mereka itu lenyap. Aku penasaran dan mencari terus, selalu tampak berkelebatnya bayangan mereka sehingga pengejaranku terarah. Aku sama sekali tidak mengira bahwa mereka memang memancingku ke tempat ini. Ketika aku melihat bahwa cuaca mulai gelap, aku melihat pula sinar api di depan dan terus aku mengejarnya. Kemudian, di antara sinar obor aku melihat beberapa orang kerdil lari memasuki goa ini. Aku cepat mengejar dan melihat bayangan mereka dekat sekali. Kupikir asal dapat menangkap seorang di antara mereka dan memaksanya menjadi petunjuk jalan, tentu beres. Maka melihat bayangan mereka begitu dekat di dalam goa ini, aku menerjang dan melompat maju, bermaksud menangkap seorang di antara mereka."
Sin Liong mendengarkan penuh perhatian. Diam-diam dia membandingkan pengalaman sumoi-nya dengan pengalamannya sendiri. Ternyata jalan pikiran mereka untuk menawan seorang lawan adalah sama, hanya sayangnya, sumoi-nya tidak tahu bahwa dia sedang dipancing memasuki jebakan yang amat mengerikan.

"Ketika aku meloncat itu, aku tidak tahu bahwa di depanku terdapat sarang laba-laba itu. Tubuhku tertangkap, aku meronta-ronta namun laba-laba itu terus menambah tali-tali mengerikan itu yang mempunyai daya melekat luar biasa. Aku meronta terus sampai kehabisan napas dan melihat laba-laba itu begitu dekat, seolah-olah hendak menjilatku dan hendak menggigit. Aku pingsan entah beberapa kali."

"Hemm, engkau masih untung dapat terhindar, Sumoi. Sungguh pun aku merasa heran sekali...."

"Dapat kau bayangkan betapa ngeriku, Suheng. Ketika aku siuman, tak jauh dari situ terdapat obor yang mendatangkan cahaya remang-remang amat mengerikan, dan aku terjerat sama sekali tak mampu bergerak, dan laba-laba itu... mendekati aku, lalu mundur kembali, mendekati lagi seperti ragu-ragu.... Ihh, melihat kaki yang berbulu itu, meraba-raba....." Swat Hong kembali menutupi mukanya dan terisak-isak.

"Memang hebat sekali pengalamanmu, Sumoi. Akan tetapi, yang penting engkau dapat terhindar. Hanya satu hal aku tidak mengerti, mengapa selama itu laba-laba raksasa tadi tidak menggigitmu? Padahal dia amat berbisa."

"Berkat inilah," Swat Hong mengeluarkan sebuah batu sebesar kepalanya, batu yang berkilauan mengeluarkan cahaya hijau.

"Ah kiranya engkau membawa bekal Batu Mustika Hijau? Pantas! Tentu saja binatang itu tidak berani menggigitmu, bahkan setiap kali mendekat menjadi ketakutan dan mundur kembali. Untung sekali, Sumoi. Sekarang, marilah kubantu engkau mengusir hawa beracun dari tubuhmu."

"Baik, Suheng... aku.... ahhhh...." Tiba-tiba napasnya menjadi sesak dan Swat Hong terguling pingsan!

Sin Liong cepat menyambar tubuh sumoi-nya dan memeriksanya. Dia merasa heran sekali karena begitu memeriksa, dia mendapat kenyataan bahwa keadaan sumoi-nya tidak seringan yang diduganya semula. Hal ini adalah karena tadi sumoi-nya meletakkan Batu Mustika Hijau itu di pinggangnya, maka ketika pada pemeriksaan pertama, hawa beracun agak tertolak oleh mustika itu sehingga kelihatannya hanya ringan. Sekarang, setelah batu itu dikeluarkan, daya tolak racun dari batu itu meninggalkan tubuh Swat Hong dan hawa beracun yang amat jahat itu menyerang sepenuhnya membuat Swat Hong roboh pingsan.

Sin Liong tidak ragu-ragu lagi, cepat dia memijat tengkuk dan mengurut kedua urat besar di pundak. Swat Hong mengeluh lirih dan membuka matanya.

"Sumoi, kau ternyata terluka cukup hebat di sebelah dalam tubuhmu oleh hawa beracun itu. Lekas kau buka baju atas, aku harus mengerahkan sinkang, menempelkan tangan di punggungmu, langsung tidak tertutup pakaian," suara Sin Liong sungguh-sungguh.

Swat Hong juga mengerti akan keadaannya yang berbahaya. Dia merasa penting dan dadanya sesak sekali, maka tanpa membuang waktu lagi dia lalu membuka bajunya, duduk membelakangi Sin Liong dan membiarkan punggungnya terbuka sama sekali. "Aughhh... ahhh, panas sekali... Ah, Suheng, badanku seperti dibakar rasanya...." Swat Hong merintih sambil memegangi bajunya dan mencegah baju itu merosot.

"Tenanglah, Sumoi. Biar kumulai, kau menerima sajalah hawa sinkang dariku."

Sambil duduk bersila di belakang Swat Hong, Sin Liong lalu menyalurkan tenaga sinkang yang dingin, menempelkan telapak tangan pada pungung yang berkulit putih mulus, halus dan pada saat itu panas sekali. Setelah telapak tangannya menempel, baru Sin Liong tahu betapa hawa beracun itu mendatangkan hawa panas yang makin lama makin hebat. Ahh, dia terlalu semberono, mengira luka sumoi-nya tadi ringan saja sehingga tidak segera mengobati sumoi-nya.

Swat Hong merasa tersiksa, mulutnya terbuka dan dia merintih-rintih. Hawa panas luar biasa yang menyerang dari dalam membuatnya berpeluh, akan tetapi kini terasa olehnya betapa dari telapak tangan di punggungnya itu masuk perlahan-lahan hawa dingin, sedikit demi sedikit. Dia ingin membatu Sin Liong akan tetapi diurungkannya niat itu. Biarlah, dia ingin melihat sampai di mana pemuda itu akan membelanya.

Dia tahu bahwa mengerahkan Swat-im-sinkang untuk mengusir hawa beracun yang panas itu membutuhkan pengerahan tenaga yang kuat, apa lagi harus dilakukan sedikit demi sedikit dengan hati-hati sehingga akan menghabiskan tenaga. Pula, begitu merasa telapak tangan pemuda itu di punggungnya yang telanjang, semacam perasaan aneh memasuki hatinya dan dia ingin agar telapak tangan suheng-nya itu tidak lekas dilepaskan dari pungungnya! Karena itulah dia tidak mau membantu, membiarkan suheng-nya mengerahkan tenaga sendiri untuk mengusir hawa beracun itu.

Sin Liong tidak menaruh curiga, hanya mengira bahwa sumoinya terlalu lelah sehingga tidak kuat membantunya. Hal ini malah membuat dia makin bersemangat mengerahkan tenaganya. Mukanya mulai meneteskan keringat dan dia memejamkan matanya, memusatkan seluruh hati dan pikirannya ke dalam usaha pengobatan itu. 

Dia tidak tahu betapa sumoi-nya tersiksa, bukan hanya tersiksa oleh bentrokan antara tenaga Swat-im-sinkang yang mengusir hawa beracun panas, melainkan juga tersiksa oleh perasaannya sendiri yang tidak karuan. Sin Liong tidak melihat betapa Swat Hong mengepal tangan kirinya, mulutnya terbuka terengah-engah, dan di mukanya tidak hanya peluh yang menetes, melainkan juga air mata!

Juga kedua orang muda ini tidak tahu betapa di tempat itu muncul bayangan seorang kakek yang berdiri tegak memandang mereka sambil mengelus jenggotnya. Kakek ini berpakaian rapi dan sederhana bentuknya, namun yang terbuat dari kain yang mahal. Jenggotnya yang panjang terpelihara rapi, sudah banyak putihnya, dan rambutnya yang putih juga tersisir rapi dan digelung ke atas, diikat dengan pembungkus rambut sutera biru dan ditusuk dengan tusuk konde emas.

Wajah kakek ini biar pun sudah tua namun masih kelihatan tampan dan bersih, ketampanan yang membayangkan kekejaman, apa lagi dari sinar mata dan tarikan mulutnya yang seperti orang mengejek. Kalau tidak melihat mulut dan sinar matanya, kakek ini tentu akan menimbulkan rasa hormat karena dia lebih pantas menjadi seorang pendeta atau pertapa yang agung.

Kakek itu mengelus jenggotnya dan pandang matanya tertuju kepada tubuh belakang Swat Hong yang telanjang. Sinar matanya seperti membelai-belai punggung yang melengkung indah itu, yang berakhir membesar di pinggul yang hanya tertutup sebagian oleh baju yang merosot. Dari samping punggung tampak membayang tonjolan buah dada yang gagal tertutup sama sekali oleh baju yang dipegang oleh tangan Swat Hong.

Dalam keadaan tanggung-tanggung ini, telanjang sama sekali bukan dan tertutup rapat juga bukan, keadaan Swat Hong mendatangkan daya tarik yang luar biasa, dan mudah membangkitkan birahi seorang pria yang memang benaknya penuh terisi oleh khayalan-khayalan cabul!

Siapakah kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun akan tetapi masih begitu tertarik melihat punggung telanjang seorang dara? Dia adalah seorang pertapa yang belum lama turun dari pertapaannya di lereng pegunungan Himalaya. Selama dua puluh tahun dia meninggalkan daratan besar, merantau ke barat dan akhirnya bertapa di lereng Himalaya, bertemu dengan pertapa-pertapa sakti dan mempelajari ilmu.

Dahulunya dia adalah seorang tosu yang ingin memperdalam ilmunya. Akan tetapi setibanya di Himalaya, dia bertemu dengan ahli ilmu hitam sehingga pelajaran Agama To diselewengkan menjadi pelajaran kebatinan yang penuh dengan ilmu sihir yang aneh-aneh. Karena di dalam dirinya memang belum benar-benar bersih, ilmu hitam yang dipelajarinya membuat semua kekotoran di dalam dirinya itu menonjol dan mencari jalan ke luar. Dengan bantuan ilmu sihirnya, pendeta Agama To ini menyeleweng menjadi seorang pertapa atau pendeta palsu yang tidak segan-segan melakukan apa pun demi mencapai kenikmatan dan kesenangan dunia.

Nama pendeta ini adalah Ouwyang Cin Cu, sorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, akan tetapi lebih-lebih lagi, memiliki kekuatan sihir yang membuat dia terpakai sekali tenaganya oleh Jenderal An Lu Shan. Berkat ilmu sihir dari Ouwyang Cin Cu inilah, yang merupakan obat ‘guna-guna’, maka An Lu Shan yang kasar itu berhasil memikat hati Yang Kui Hui!

Bertapa atau melakukan segala usaha penekanan terhadap nafsu adalah usaha sia-sia dan palsu belaka, karena tidak mungkin akan berhasil selama di dalam dirinya masih berkecamuk nafsu itu sendiri. Penekanan hanyalah akan menghentikan timbulnya nafsu itu sementara waktu saja, akan tetapi bukanlah berarti bahwa nafsu itu sudah mati. Sewaktu-waktu, jika penekanannya berkurang kuatnya, tentu akan meledaklah nafsu yang ditahan-tahan.

Seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu dapat membakar, karena yang menekan nafsu ini pun sesungguhnya adalah nafsu sendiri dalam lain bentuk atau lain nama yang kita berikan kepadanya. Keinginan tidak mungkin dilenyapkan dengan lain keinginan, karena akan menjadi lingkaran setan yang tiada berkeputusan.

Apa artinya bertapa di tempat sunyi, meninggalkan masyarakat agar tidak melihat lagi wanita dan timbul nafsu birahi kalau nafsu birahi itu sendiri masih bercokol di dalam batinnya, kalau dirinya sendiri setiap saat digerogoti oleh nafsu birahi yang masih bercokol di dalam batin itu!

Sebaliknya, biar pun hidup di antara seribu orang wanita cantik, kalau memang tidak ada nafsu birahi, di dalam hatinya sama sekali bersih, pasti tidak akan ada gangguan sesuatu di dalam batin. Jadi yang penting bukanlah mencari pelarian, bukanlah melarikan diri dari segala macam nafsu, dalam hal ini sebagai contoh adalah nafsu birahi, melainkan membebaskan diri dari nafsu birahi.

Kebebasan ini hanya dapat terjadi apabila kita mengerti benar, mengenal benar diri sendiri, mengenal nafsu birahi yang membakar kita, dan tak mungkin kita dapat mengenal tanpa kita mempelajari, mengawasi, mengamati dengan seksama tanpa usaha untuk menundukkannya! 

Dengan pengamatan ini maka segala akan tampak jelas, segala akan kita kenal dan dari pengamatan akan timbul pengertian, dari pengertian akan muncul suatu tindakan yang berlainan sama sekali dari tindakan palsu atau pelarian.

Demikianlah halnya dengan Ouwyang Cin Cu. Karena puluhan tahun lamanya dia menahan-nahan dan menekan nafsu, setelah kini dia menguasai ilmu yang tinggi, memperoleh jalan mudah untuk melampiaskan nafsu-nafsunya, dia membiarkan nafsu-nafsunya bersimaharajalela, seolah-olah untuk menebus pertapaannya yang selama puluhan tahun itu! Begitu turun gunung kembali ke timur untuk menikmati seluruh sisa hidupnya dengan segala macam kesenangan yang diinginkan tubuhnya, dia mendengar tentang pemberontakan An Lu Shan.

Memang dia seorang yang cerdik, maka tampaklah olehnya kesempatan terbuka baginya untuk mencari kedudukan tinggi, kemuliaan sebagai seorang penguasa. Dia mengunjungi An Lu Shan dan dengan demonstrasi kepandaiannya, baik silat mau pun sihir, dia diterima dengan tangan terbuka dan diberi kedudukan tinggi, yaitu penasehat urusan dalam dari Jenderal itu! 

Tentu saja dia tidak dapat menjadi penasehat urusan perang karena dia sama sekali tidak mengerti akan ilmu perang. Mulailah Ouwyang Cin Cu hidup mewah dan terhormat di dalam istana An Lu Shan, segala kehendaknya terlaksana. Kemewahan, kehormatan, dan pelampiasan nafsu birahinya karena disediakan banyak pelayan-pelayan wanita muda yang cantik-cantik untuk kakek ini!

Pada waktu itu, Ouwyang Cin Cu diutus oleh An Lu Shan untuk mengunjungi Rawa Bangkai, karena An Lu Shan yang sudah tahu akan kelihaian dua orang wanita The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li, mempunyai niat untuk menarik kedua wanita itu sebagai pembantu dalam dan pengawalnya.

Hal ini menunjukan kecerdikan Jenderal itu. Dia tahu bahwa The Kwat Lin adalah bekas Ratu Pulau Es, maka selain memiliki ilmu silat yang hebat, tentu juga memiliki ambisi-ambisi pribadi terhadap kerajaan yang hendak mereka gulingkan dan rampas. Kalau wanita seperti itu diberi kesempatan memperoleh kekuasaan dengan pasukan yang kuat, kelak tentu akan menjadi penghalang dan saingan belaka.

Berbeda kalau wanita itu ditugaskan mengawalnya, segala gerak-geriknya dapat diawasi selain tenaganya dapat dipergunakan untuk mengawalnya sehingga dia akan merasa lebih aman dan terjamin keselamatannya. Demikianlah, Ouwyang Cin Cu lalu diutusnya mengunjungi Rawa Bangkai setelah lima orang utusan pertama ke Rawa Bangkai yaitu Bi Swi Nio, Liem Toan Ki dan tiga orang kakek lain berhasil dengan baik mengunjungi Rawa Bangkai. Sekali ini, Ouwyang Cin Cu membawa surat pribadinya yang dengan ramah mengundang kedua orang wanita itu untuk mengunjungi istananya untuk mengadakan perundingan.

Kedatangan Ouwyang Cin Cu menimbulkan kegemparan, juga disambut dengan kagum oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li. Ketika lima orang utusan yang terdahulu datang, Kiam-mo Cai-li telah memberikan rahasia jalan menuju ke Rawa Bangkai tanpa menyeberangi rawa, yaitu melalui jalan terowongan di bawah tanah, dari balik gunung yang dijaga oleh orang-orang kerdil yang juga sudah takluk dan menjadi kaki tangannya. 

Maka kedatangan Ouwyang Cin Cu sekali ini tidaklah sukar, dan Ouwyang Cin Cu dengan kepandaiannya yang tinggi dapat menyelinap melalui terowongan dan menembus ke pulau di tengah rawa.

Betapa kagetnya semua orang ketika melihat seorang kakek datang menunggangi seekor harimau! The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li melompat ke depan, siap untuk menghadapi lawan, akan tetapi Ouwyang Cin Cu yang masih duduk di atas pungung harimau itu tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang masih lengkap.

"Apakah Jiwi yang bernama The-lihiap dan Kiam-mo Cai-li yang terkenal itu?"

"Benar, siapakah Totiang?" tanya The Kwat Lin hati-hati karena sikap tosu ini menunjukan bahwa dia adalah seorang yang berilmu tinggi.

"Ha-ha-ha, benar-benar tidak berlebihan yang pinto dengar. Kalian selain gagah perkasa juga amat cantik. Pinto adalah Ouwyang Cin Cu, utusan pribadi An-goanswe dan inilah surat beliau untuk Jiwi!" Dia menggosok kedua telapak tangannya dan tampaklah asap mengepul tinggi.

Asap itu membentuk bayangan seorang pelayan istana yang cantik, yang berjalan terbongkok-bongkok kepada kedua orang wanita itu dan menyerahkan sebuah sampul surat! Tentu saja The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li bengong terlongong menyaksikan permainan sulap yang hebat ini. The Kwat Lin menerima surat itu sambil mengerahkan sinkang-nya dan... wushhhh, wanita pelayan itu lenyap tanpa bekas!

"Ha-ha-ha, The-lihiap benar hebat!" Ouwyang Cin Cu berseru dan dia meloncat turun dari atas punggung harimau, lalu meniup ke arah harimau itu dan... harimau itu tertiup dan melayang tinggi lalu lenyap di angkasa!

Tentu saja semua ini adalah hasil sihir dari Ouwyang Cin Cu. Harimau dan pelayan wanita itu tentu saja tidak ada sesungguhnya, yang ada hanyalah Ouwyang Cin Cu yang mempergunakan kekuatan sihirnya mempengaruhi dua orang wanita itu sehingga mereka melihat apa yang dikhayalkan oleh Ouwyang Cin Cu! Padahal yang menyerahkan surat adalah pendeta itu sendiri yang datang dengan jalan kaki.

Kiam-mo Cai-li tertawa. "Hi-hik, kiranya utusan An-goanswe adalah seorang tukang sulap!"

Ouwyang Cin Cu memandang wanita itu sambil tersenyum. Mereka saling pandang dan sudah ada kecocokan di antara mereka. Kiam-mo Cai-li dapat melihat bahwa kakek itu, biar pun usianya sudah enam puluh tahun, namun masih tampan gagah dan matanya bersinar-sinar penuh nafsu birahi! Sebaliknya Ouwyang Cin Cu juga dapat mengenali Kiam-mo Cai-li, seorang wanita yang biar pun usianya sudah setengah abad lebih, namun memiliki nafsu yang besar dan awet muda karena terlalu banyak mempermainkan dan menghisap hawa muda dari banyak perjaka!

Ouwyang Cin Cu tersenyum makin lebar dan berkata, "Bukankah Cai-li suka akan ilmu sulap? Kita berdua suka bicara dan bersikap terang-terangan, tanpa menutupi badan sama sekali, bukan?"

Kalau bukan Kiam-mo Cai-li yang terkena sihir itu, tentu dia akan menjerit saking kaget dan ngerinya. Betapa tidak akan ngeri kalau tiba-tiba dia melihat dirinya sendiri dan Ouwyang Cin Cu tidak berpakaian sama sekali, telanjang bulat sama sekali di tengah-tengah orang banyak itu!

Akan tetapi, ketika dia melirik dan melihat bahwa The Kwat Lin dan yang lain-lain tidak mengadakan perubahan apa-apa, tahulah dia bahwa yang melihat mereka telanjang bulat itu hanyalah mereka berdua! Dia pun tersenyum dan menjelajahi tubuh telanjang kakek itu dengan pandang mata kagum, seperti yang dilakukan pula oleh Ouwyang Cin Cu kepadanya.

Pertapa cabul itu lalu diterima sebagai tamu terhormat, dijamu oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li. Seperti dapat diduga lebih dulu, di antara Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li segera terjadi hubungan gelap yang amat mesra. The Kwat Lin tahu akan hal ini dan diam-diam merasa geli, akan tetapi karena dia pun tahu akan kesukaan Kiam-mo Cai-li yang sering mengeram laki-laki muda di dalam kamarnya, dia pura-pura tidak tahu.

Persiapan lalu dibuat oleh kedua orang wanita itu untuk ikut Ouwyang Cin Cu mengunjungi An Lu Shan. Akan tetapi sebelum mereka berangkat, terjadilah peristiwa kedatangan Sin Liong dan Swat Hong yang dikabarkan oleh orang-orang kerdil kepada mereka. Ketika mendengar dengan jelas dan tahu bahwa yang datang menyerbu adalah Kwa Sin Liong dan Han Swat Hong, muka The Kwat Lin menjadi pucat sekali.

Dia tahu bahwa biar pun dia jarang bertemu tandingan di daratan besar setelah dia lari dari Pulau Es, namun menghadapi kedua orang muda itu dia tidak boleh main-main. Apa lagi menghadapi Sin Liong yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian hebat sekali, dapat dikatakan mewarisi seluruh kepandaian bekas suaminya, Han Ti Ong!

"Aihh... mereka datang...??" tak terasa lagi keluar seruan dari mulutnya.

Kiam-mo Cai-li dan Ouwyang Cin Cu yang sedang duduk berhadapan di meja makan bersama The Kwat Lin, memandang dengan kaget dan juga heran. Baru sekarang Cai-li menyaksikan sahabatnya itu kelihatan takut!

"Siapakah mereka, Lin-moi?" Persahabatan antara The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li telah menjadi sedemikian eratnya sehingga mereka saling menyebut moi-moi dan cici.

"Mereka?" Kwat Lin menjawab dan mukanya masih pucat. "Mereka adalah penghuni Pulau Es. Kwa Sin Liong adalah murid utama dari Han Ti Ong, sedangkan Han Swat Hong adalah puterinya!"

"Ahhh...." Kiam-mo Cai-li dapat menduga bahwa tentu kedatangan mereka itu mempunyai niat yang tidak baik.

"Habis, apa yang harus kita lakukan?"

"Kita harus siap menghadapi mereka. Mereka lihai sekali, terutama Sin Liong! Atur jebakan agar mereka terperosok. Kalau sampai mereka berhasil menerobos ke sini, berbahaya sekali!" kata Kwat Lin, masih tetap takut.

"Wah, Ibu. Mengapa bingung? Bukankah di sini terdapat Bibi Cai-li, juga ada Ouwyang Totiang, dan Ibu sendiri di samping puluhan orang anak buah. Biarkan mereka datang dan kita hancurkan mereka!" tiba-tiba Bu Ong berkata dengan gayanya yang jumawa.

Mendengar ini Ouwyang Cin Cu tertawa dan mengelus kepala pemuda tanggung itu. "Engkau hebat sekali, Han-kongcu! Masih sekecil ini sudah memiliki keberanian yang luar biasa. Benar puteramu, The-lihiap. Biarlah para orang kerdil menjebak mereka, kalau jebakan itu tidak berhail, biarlah pinto yang menghadapi mereka. Li-hiap dan Cai-li boleh siap-siap saja menyambut mereka sebagai tawanan atau sebagai mayat."

Kiam-mo Cai-li segera mengatur sendiri orang-orang kerdil untuk memancing dan menjebak Sin Liong dan Swat Hong, sedangkan Ouwyang Cin Cu mengintai dan membayangi gerakan dua orang muda itu. The Kwat Lin juga sudah siap-siap kalau kedua orang pembantu itu gagal. Demikianlah, setelah Sin Liong berhasil menyelamatkan Swat Hong dan sedang mengobatinya, muncul Ouwyang Cin Cu mengagumi ketelanjangan punggung Swat Hong yang berkulit putih mulus dan halus menggairahkan hatinya itu.

Melihat betapa pemuda itu berhasil mengusir hawa beracun dengan pengerahan sinkang, dia menjadi kagum sekali kepada pemuda itu. Timbullah keinginan yang aneh dalam batin kakek yang penuh kecabulan itu. Birahinya yang tadi bergolak hanya dengan melihat punggung yang putih mulus dari Swat Hong itu kini berubah. Dia dapat melihat bahwa pemuda dan pemudi di dalam goa itu masih murni, maka timbullah keinginannya menyaksikan mereka itu bermain cinta!

Memang demikianlah! Kecabulan bukan hanya keinginan untuk berjinah sendiri dengan orang yang menimbulkan birahinya, melainkan juga dapat berbentuk keinginan untuk menyaksikan orang lain bermain cinta. Hal ini juga timbul karena kekagumannya menyaksikan pemuda itu sanggup mengusir hawa beracun dengan sinkang, tanda bahwa pemuda itu merupakan lawan tangguh.

Jika dia berhasil menggunakan sihir dan guna-guna untuk membuat pemuda itu ‘jatuh’ tentu dalam keadaan seperti yang dikehendakinya itu, akan mudah saja menawan dua orang muda yang agaknya ditakuti oleh The Kwat Lin itu.

Bagaikan bayangan setan saja kakek itu menyelinap di balik batu. Tak lama kemudian tampak asap mengepul dari tiga batang hio (dupa) yang menyebarkan bau harum, sedangkan kakek itu sendiri sudah duduk bersila, kedua lengan diluruskan ke depan, ke arah muda-mudi itu dan sepasang matanya terbelalak memandang seperti sepasang mata setan!

Ilmu sihir yang dipergunakan oleh Ouwyang Cin Cu adalah ilmu hitam yang dikuasainya dengan latihan-latihan yang berat dan mengerikan. Di dalam ilmu ini terkandung kekuasaan mukjijat yang hanya dikenal oleh mereka yang memuja setan, iblis dan segala roh jahat yang mereka percaya, ditambah dengan kekuatan dari tenaga sakti (sinkang) dan latihan yang tekun, dicampur dengan bermacam mantra yoga.

Untuk melatih kekuatan matanya, bertahun-tahun Ouwyang Cin Cu bertapa menghadapi dupa membara sampai kekuatan pandang matanya dapat membuat api membara di ujung dupa itu membesar atau mengecil, mengepulkan asap atau tidak menurut kehendak pikiran yang disalurkan melalui pandangan matanya yang tajam itu. Kini, dibantu dengan bau asap dupa yang harum dan aneh, dia mulai menjatuhkan sihirnya. Matanya memandang dengan pengaruh yang amat dahsyat, bibirnya berkemak-kemik membaca mantra.

Mula-mula Swat Hong yang terpengaruh hawa mukjijat itu. Hal ini tidaklah mengherankan karena tentu saja Sin Liong memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan sumoi-nya, juga memang sebelumnya Swat Hong sudah tersiksa oleh perasaannya sendiri, perasaan mesra yang aneh dan sejak tadi menyelinap dan mengaduk hatinya ketika merasa betapa telapak tangan suheng-nya menyentuh punggungnya.

Karena memang sudah timbul perasaan wajar dari seorang gadis yang normal dan sehat, terdorong oleh rasa cintanya kepada suheng-nya itu, maka tidaklah mengherankan ketika diserang oleh kekuatan sihir, Swat Hong mudah sekali terkena. Dia mengeluh dan merintih lirih, tubuhnya gemetar semua, mukanya berubah merah seperti dibakar, napasnya terengah-engah, kedua tangannya mengepal dan dia tidak peduli lagi bajunya yang tadi ditahan dengan tangan di bagian depan dadanya, merosot dan terbuka. Setelah gelisah bergerak ke kanan-kiri, kemudian dia menoleh, memandang kepada suheng-nya yang masih duduk bersila dengan muka menunduk dan mata terpejam.

"Iihhh... aahhh... Suheng...!" Swat Hong mengeluh, lalu membalikkan tubuhnya dan serta merta merangkul leher Sin Liong sambil terengah-engah seperti orang hendak menangis.

Sin Liong membuka matanya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa sumoi-nya dalam keadaan setengah telanjang karena pakaian bagian atasnya terlepas setelah merangkulnya.

"Su... Sumoi!" dia berseru.

Barulah dia merasa betapa kepalanya seketika menjadi pening, pandang matanya menjadi berkunang dan hidungnya mencium bau yang harum dan aneh sekali. Baru sekarang terasa olehnya betapa tubuh sumoi-nya mendekap ketat dan jari-jari tangannya merasakan kulit yang lunak halus dan hangat. Jantungnya berdebar dan pada saat itu, dengan isak tertahan Swat Hong telah memperketat pelukannya dan menciumnya.

"Suheng...!"

Bagaikan dalam mimpi Sin Liong merasa seolah-olah dia terseret oleh arus yang amat dahsyat, yang membuat bibirnya membalas ciuman itu, yang memaksa kedua lengannya merangkul dan mendekap. Namun seketika itu juga timbul hawa panas dari pusat di pusarnya, hawa panas yang naik ke atas dan membuyarkan semua hal yang membuat dia pening dan seperti mabuk itu.

Memang pada dasarnya Sin Liong adalah seorang anak yang ajaib, yang sama sekali tidak pernah dipermainkan oleh lamunan yang bukan-bukan, yang bersih sama sekali, kebersihan yang khas dan wajar, tidak dibuat-buat dan memang pada dasarnya dia memiliki kekuatan batin yang tidak lumrah manusia biasa.

Maka begitu dia terserang oleh sihir yang amat mukjijat, biar pun dia sendiri belum tahu bahwa ada orang jahil yang mempermainkannya, namun secara otomatis kebersihan hatinya telah meninggalkan hawa panas menolak kekuasaan asing yang kotor itu.

Mata pemuda itu seperti terbuka begitu hawa panas naik dan membuyarkan pengaruh jahat. Baru tampak olehnya kepulan asap yang harum dan keadaan Swat Hong yang tidak wajar. Seketika tahulah dia bahwa keadaan ini bukan sewajarnya dan pasti dibuat oleh seorang yang jahat.

Begitu telinganya menangkap suara gerakan dari kiri, dia cepat menengok dan tampaklah olehnya seorang kakek tua yang duduk bersila dan meluruskan kedua lengannya ke arah mereka. Dari kedua lengan itu, juga dari kedua matanya, menyambar tenaga mukjijat ke arah mereka.

Lengking yang panjang dan nyaring dahsyat serta mengandung getaran tenaga sakti dari dalam pusarnya, keluar dari mulut Sin Liong dan dia sudah meloncat berdiri. Lengkingan yang dahsyat itu menyebar getaran yang sedemikian kuatnya sehingga kekuatan sihir yang dipergunakan Ouwyang Cin Cu buyar sama sekali, bahkan tubuh kekek itu tergetar. Swat Hong juga terbebas dari cengkeraman sihir itu. Dia menjadi pucat sekali, terbelalak, mengeluh perlahan lalu terguling roboh, pingsan!

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ouwyang Cin Cu ketika dia sedang menikmati hasil ilmu sihirnya, melihat betapa muda-mudi itu sudah mulai terpengaruh, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking sedemikian dahsyatnya sehingga dia merasa betapa jantungnya seperti akan copot! Melihat betapa pengaruh sihirnya buyar, dia segera bangkit berdiri.

"Manusia jahat, apa yang telah kau lakukan?" Sin Liong menegur dan melompat ke depan kakek itu.

Kakek itu mengerahkan tenaga mukjijatnya, disalurkan melalui tangan kanannya yang jari-jari tangannya terbuka dan diselonjorkan ke arah muka Sin Liong. Ia memandang tajam sambil berkata, "Orang muda berlututlah kau di depan Ouwyang Cin Cu...!"

Akan tetapi, untuk kedua kalinya kakek itu mengalami kekagetan. Biasanya, setiap orang lawan akan dapat dibikin tidak berdaya dengan kekuatan sihirnya. Akan tetapi sekali ini pemuda itu hanya memandang kepadanya dengan sinar mata jernih halus dan sama sekali tidak berlutut seperti yang diperintahkannya dengan suara berwibawa itu. Dia memperhebat pencurahan tenaga sihirnya, namun tetap saja pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh.

Tentu saja Sin Liong dapat merasakan serangan tenaga mukjijat ini. Dia merasa betapa ada hawa yang menyerangnya, keluar dari lengan dan pandang mata kekak itu, yang membuatnya tergetar dan seperti ada kekuatan mukjijat memaksanya agar dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Namun dia mengerti bahwa hal itu tidak semestinya dan tidak sewajarnya, maka dia tidak mau mentaati perintah itu, melainkan memandang dengan sinar mata tajam penuh teguran kepada kakek yang dianggapnya jahat itu.

Melihat betapa kekuatan sihirnya sekali ini tidak berhasil, Ouwyang Cin Cu menjadi penasaran sekali. Sihirnya boleh gagal, akan tetapi dia masih memiliki ilmu silat dan kekuatan yang dahsyat. Dara itu cantik menarik. Usahanya menikmati tontonan yang tidak senonoh gagal, maka sebaiknya pemuda ini dibunuh saja dan dara itu ditawan!

"Mampuslah kau!" bentaknya penasaran.

Kini dia tidak menggunakan ilmu sihir lagi, melainkan meloncat dan menerkam kepada Sin Liong seperti seekor serigala. Tangan kirinya mencengkeram ke arah dahi pemuda itu sedangkan sedangkan tangan kanannya dengan jari terbuka membacok ke arah dada kiri lawan.

"Plak! Desss...!" Sin Liong menangkis dengan kedua tangannya dan akibatnya tubuh kakek itu terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung.

Mata kakek itu terbelalak saking kagetnya. Tak disangkanya bahwa pemuda yang sanggup membuyarkan ilmu sihirnya ini juga berhasil menangkis serangan dan membuat tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh! Maklum bahwa dia berhadapan dengan sorang pemuda yang luar biasa, Ouwyang Cin Cu meloncat, membalikkan tubuhnya dan lari!

Teringat dia akan sikap takut yang tampak pada wajah bekas Ratu Pulau Es ketika mendengar akan kedatangan pemuda dan pemudi ini, dan baru sekarang dia tahu mengapa bekas Ratu itu kelihatan takut-takut. Kiranya pemuda ini memang memiliki kesaktian yang amat hebat! Dia perlu mencari bantuan, karena menghadapi seorang diri saja amat berbahaya.

Sin Liong yang ingin menangkap kakek itu dan mencari keterangan tentang The Kwat Lin, segera mengejar sambil berseru, "Orang tua jahat, kau hendak lari ke mana? Tunggu, kau harus menjawab beberapa pertanyaanku!"

Mendengar suara Sin Liong dekat sekali di belakangnya, Ouwyang Cin Cu mempercepat larinya, akan tetapi dengan gerakan yang lebih cepat lagi Sin Liong terus mengejarnya. Setelah keluar dari dalam jalan terowongan itu, di lapangan terbuka yang agak jauh letaknya dari goa di mana Sin Liong meninggalkan Swat Hong tadi, terpaksa Ouwyang Cin Cu tidak dapat melarikan diri lagi karena Sin Liong telah menyusul dekat sekali di belakangnya.

"Kakek jahat, berhenti dulu!" Sin Liong membentak.

"Haaeeehhhh!!"

Tiba-tiba Ouwyang Cin Cu membalikkan tubuhnya dan begitu membalik, segulung sinar biru menyambar ke arah pusar Sin Liong dan sinar putih menyambar ke antara kedua matanya. Sinar biru itu adalah sebatang pedang tipis yang biasanya dibelitkan di pinggang sebagai sabuk oleh kakek itu, sedangkan sinar putih itu adalah jenggot panjangnya yang ternyata dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat ampuh!

"Hemmm...!!"

Sin Liong yang sudah menduga bahwa kakek yang jahat itu tentu tidak segan-segan bermain curang, sudah menjaga diri. Maka begitu melihat menyambarnya sinar biru dan putih itu, cepat dia sudah mencelat ke atas. Demikian cepat gerakan pemuda ini sehingga Ouwyang Cin Cu melongo, mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang! Akan tetapi gerakan angin menyambar di belakangnya membuat dia membalik dan ternyata pemuda itu telah berada di belakangnya. 

Ternyata ketika mengelak tadi pemuda itu telah mempergunakan ginkang untuk meloncat melalui atas kepalanya. Akan tetapi gerakan pemuda itu sedemikian cepatnya sehingga dia sendiri sampai hampir tidak melihatnya, hanya melihat bayangan berkelebat dan pemuda itu lenyap.

Berdebar jantung kakek itu. Selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan lawan seperti ini! "Hiaaaahhh!!" dia mengusir rasa gentarnya.

Ouwyang Cin Cu mulai mainkan pedangnya dengan gerakan yang amat cepat. Pedang itu berubah menjadi gulungan sinar biru dan mengeluarkan suara bedesing-desing nyaring sekali. Serangan pedang ini masih dia selingi dengan pukulan-pukulan tangan kiri dengan telapak tangan terbuka, memukulkan hawa sinkang yang amat kuat.

Memang Ouwyang Cin Cu bukan orang sembarangan. Pertapa Himalaya ini selain pandai sihir, juga memiliki ilmu silat yang tinggi, tenaga sinkang-nya amat kuat dan pedang yang dipergunakannya adalah sebatang pedang tipis dari baja biru yang amat ampuh. Akan tetapi kali ini dia bertemu dengan batunya!

Tubuh Sin Liong berkelebatan. Ke mana pun pedang dan tangan kiri Ouwyang Cin Cu menyerang, selalu hanya bertemu dengan angin belaka. Dua puluh jurus lebih kakek itu menyerang bertubi-tubi sampai napasnya terengah-engah.

Tiba-tiba Sin Liong berseru, "Lepas pedang!"

"Plakk! Desss....!!"

"Aiiihhh...!!" pedang itu terlepas dari tangan Ouwyang Cin Cu dan jatuh ke atas tanah mengeluarkan suara berdenting nyaring.

Ternyata bahwa lengan kanan kakek tua itu kena ditampar oleh jari tangan Sin Liong, mendatangkan rasa nyeri yang amat hebat, bukan hanya nyeri, akan tetapi juga hawa dingin seolah-olah menggigit daging dan urat, membuat tangan kakek itu tidak kuat lagi memegang pedang. Untung bagi Ouwyang Cin Cu, pada saat pedangnya terlepas itu, muncul The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li!

Bagaikan dua sosok bayangan setan, dua orang wanita sakti ini sudah menerjang ke depan sambil meloncat dan terdengar suara melengking tinggi dari mulut Kiam-mo Cai-li ketika dia menyerang berbareng dengan The Kwat Lin yang juga menyerang tanpa mengeluarkan suara.

"Heeeiiiittttttttt!!! Wir-wirrr... singgg... singgg!!" pedang payung di tangan Kiam-mo Cai-li sudah bergerak menyambar menyusul lengkingannya, juga dibarengi menyambarnya rambut panjangnya dan kuku tangan kirinya yang sekaligus menerjang dengan serangan yang amat dahsyat!

Namun Sin Liong lebih memperhatikan sinar pedang merah yang menyambarnya tanpa suara itu. Dia tahu bahwa pedang Ang-bwe-kiam di tangan The Kwat Lin yang menyambar tanpa suara itu jauh lebih berbahaya dari-pada semua serangan Kiam-mo Cai-li yang banyak ribut itu.

"Hemmm...!" Sin Liong mendengus. Kaki tangannya bergerak menangkis rambut dan kuku, tubuhnya mencelat menghindari sinar merah pedang The Kwat Lin, dan ujung kakinya yang menendang pergelangan tangan Kiam-mo Cai-li berhasil menangkis tusukan pedang payung.

Pada saat itu, dari belakang, menyambar sinar biru dari pedang Ouwyang Cin Cu yang ternyata telah menyambar pula pedangnya yang tadi terlepas dan kini ikut mengeroyok.

"Ahhh!" Sin Liong berseru, membiarkan pedang lewat dekat sekali dengan lehernya karena dia memang sengaja berlaku lambat. Begitu pedang lewat, jari tangannya menyentil, kuku jari tangannya bertemu batang pedang biru itu.

"Tringgggg... Auuhhh...!" untuk kedua kalinya, pedang biru itu terlepas dari pegangan tangan Ouwyang Cin Cu dan kini melayang jauh dan lenyap kedalam semak-semak!

The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li sudah menerjang lagi, akan tetapi Sin Liong meloncat jauh ke belakang, lalu berkata kepada The Kwat Lin, "Subo, tunggu dulu!" Suaranya halus, akan tetapi penuh wibawa.

Tanpa disadarinya sendiri, Kiam-mo Cai-li menghentikan gerakannya, memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh cahaya kagum. Otomatis hatinya tergerak melihat pemuda yang luar biasa ini, pemuda yang wajahnya mengeluarkan cahaya lembut, sedikit pun tidak membayangkan kekerasan dan yang memiliki sepasang mata yang aneh dan indah.

"Hemmm, bocah kurang ajar! Engkau masih ingat bahwa aku adalah Subo-mu (Ibu Gurumu)!?" bentak The Kwat Lin dengan suaranya menyindir untuk menutupi guncangan hatinya.

"Subo adalah isteri Suhu, mana teecu berani kurang ajar? Kedatangan teecu bersama Sumoi adalah untuk memenuhi pesan Suhu."

Kembali hati The Kwat Lin terguncang penuh rasa takut dan ngeri, takut kalau-kalau suaminya yang dia tahu amat sakti itu muncul di situ. Akan tetapi mendengar bahwa Sin Liong datang memenuhi pesan suaminya, hatinya lega karena hal itu berarti bahwa suaminya tidak ikut datang!

"Hemm, pesan apakah dari Suhumu?"

Sin Liong yang memang berwatak polos dan tidak suka menyembunyikan sesuatu di dalam hatinya, berkata lantang, "Subo, Suhu minta agar supaya semua pusaka Pulau Es yang Subo bawa pergi, diserahkan kembali kepada teecu untuk teecu kembalikan ke Pulau Es."

Mendengar permintaan ini, tanpa menjawab lagi The Kwat Lin lalu menggerakkan pedangnya dan mengirim serangan langsung yang amat dahsyat. Gerakannya memang cekatan sekali. Pedangnya hanya tampak sebagai sinar merah yang meluncur seperti panah api menuju ke arah tubuh Sin Liong. Pemuda ini kembali mencelat ke belakang berjungkir balik dan berdiri dengan tenang.

"Subo harap dengarkan permintaan teecu. Pusaka-pusaka itu tidak boleh di bawa keluar dari Pulau Es. Teecu tidak suka melawan Subo, akan tetapi kalau Subo tidak mengembalikan pusaka-pusaka itu, terpaksa teecu...."

"Heiihhh, mampuslah!" bentak The Kwat Lin dan tubuhnya sudah melayang ke depan dengan cepat seperti seekor burung garuda terbang menyambar, didahului oleh sinar merah pedang Ang-bwe-kiam di tangannya.

Terpaksa Sin Liong mengelak sambil membalas dengan totokan tangan kirinya menuju ke pergelangan tangan yang memegang pedang. Namun bekas ibu gurunya itu dengan cepat telah menarik kembali pedangnya dan melanjutkan serangannya secara bertubi-tubi dengan jurus-jurus pilihan dari Ngo-heng Kiam-sut.

Ilmu pedang yang dimainkan oleh The Kwat Lin ini hebat bukan main karena diperkuat dengan latihan-latihannya di Pulau Es di bawah bimbingan suaminya, Han Ti Ong yang sakti. Juga berkat latihan sinkangnya di pulau dingin itu, tenaga yang menggerakkan pedang itu pun amat luar biasa sehingga Ang-bwe-kiam menyambar-nyambar dengan hawa dingin yang menyusup tulang lawannya biar pun tubuh belum sampai tercium pedang.

Tubuh Sin Liong lenyap dan yang tampak hanya bayangannya saja berkelebatan di antara dua sinar pedang yang bergulung-gulung mengurung dirinya. Pemuda itu terpaksa mengerahkan seluruh keringanan tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan ke sana-sini, kemudian mempercepat lagi gerakannya ketika Kiam-mo Cai-li sudah menerjang juga dengan kemarahan meluap karena kejatuhannya tadi dianggapnya amat memalukan. Tiga orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, ketiganya memegang senjata-senjata pusaka ampuh, mengeroyok Sin Liong dengan mati-matian!

Bukan main hebatnya pertandingan mati-matian itu! Sekali ini, baru sekali inilah, Sin Liong benar-benar diuji semua hasil jerih payahnya mempelajari ilmu silat tinggi di Pulau Es. Diuji hasil warisan hampir seluruh ilmu kepandaian Raja Pulau Es Han Ti Ong yang telah dikuasainya secara matang. Dengan tangan kosong saja dia menghadapi serbuan maut yang dilancarkan secara bertubi-tubi oleh tiga orang lawan yang sakti itu.

Dengan tingkat kepandaian Sin Liong yang sudah luar biasa tingginya, sukar lagi diukur sampai di mana tingkatnya, dengan mudah dia dapat mengikuti semua gerakan tiga orang lawannya, dan karena itu dia dapat menghindarkan diri dari semua serangan. Dengan ilmunya mengenal semua dasar gerakan ilmu silat yang dipelajarinya dari kitab kuno Inti Sari Gerakan Silat, sekali pandang saja dia dapat mengetahui perkembangan gerakan lawan dan bahkan dengan mudah dapat menirunya.

Akan tetapi ada dua hal penting yang membuat dia repot juga menghadapi pengeroyokan tiga orang lihai itu. Pertama, harus diakui bahwa biar pun tingkat ilmu silatnya lebih tinggi dan dia memiliki dasar lebih kuat dan lebih bersih sehingga sinkang-nya kuat sekali, namun dia kalah matang dalam latihan. Usianya masih terlalu muda. Dia belum mengalami banyak pertandingan, apa lagi melawan orang-orang yang ahli, tidak seperti tiga orang pengeroyoknya yang telah mempunyai pengalaman banyak sekali dalam pertandingan silat.

Hal kedua merupakan kenyataan yang paling hebat. Sin Liong memiliki dasar watak yang halus budi dan penuh belas kasihan. Wataknya ini membuat dia tidak tega menjatuhkan pukulan maut, apa lagi membunuh lawannya. Andai kata dia tidak memiliki dasar watak seperti ini, dengan kepandaiannya yang hebat, tentu dia akan mampu membunuh mereka seorang demi seorang. Tadi pun, kalau dia menghendaki, tentu Kiam-mo Cai-li sudah dapat dia robohkan untuk selamanya.

Kini menghadapi tiga orang lawan yang mengeroyoknya dan yang berusaha sungguh-sungguh untuk membunuhnya, Sin Liong menjadi repot juga. Apa lagi dia hanya mengelak, menangkis, dan kadang-kadang membalas serangan dengan gerakan yang diperlambat dan diperlunak karena takut kalau-kalau salah tangan membunuh orang. Dengan demikian, dia lebih banyak diserang dari-pada balas menyerang.

Seratus jurus telah lewat, dan pemuda yang luar biasa ini belum juga dapat dikalahkan oleh para pengeroyoknya. Hal ini membuat mereka bertiga menjadi penasaran, marah dan malu sekali. Biar pun di tempat itu tidak ada orang lain kecuali para anak buah mereka yang kini mulai bermunculan dan mengurung tempat itu, orang-orang katai dan juga para anak buah Rawa Bangkai, namun tiga orang itu tentu saja merasa malu bahwa mereka bertiga maju bersama dengan senjata lengkap sampai seratus jurus tidak mampu membekuk atau menewaskan seorang pemuda yang bertangan kosong!

The Kwat Lin selama ini merasa bahwa dia tidak menemukan tandingan. Biar pun tahu betapa lihainya murid bekas suaminya ini, namun dia telah dibantu oleh dua orang pandai dan belum juga dapat menang, maka dia merasa penasaran sekali. Kiam-mo Cai-li yang selama ini terkenal sebagai datuk kaum sesat yang lihai, selama hidupnya baru sekali ini dia mengeroyok seorang pemuda dengan dua orang teman yang kepandaiannya lebih tinggi dari dia sendiri, maka dia pun penasaran. 

Terutama sekali Ouwyang Cin Cu. Sebelum ini sukar membayangkan bahwa dia, yang memiliki ilmu-ilmu luar biasa, akan mengeroyok seorang pemuda seperti itu. Hal ini benar-benar menyakitkan hati dan menghancurkan kebanggaan hati mereka akan ilmu kepandaian mereka masing-masing yang sudah terkenal di dunia kang-ouw.

"Pemuda setan, mampuslah!!" Ouwyang Cin Cu berteriak keras.

Pedang birunya untuk ke sekian kalinya menyambar ganas ke arah leher Sin Liong, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut. Pada saat itu, Sin Liong baru saja menyingkirkan pedang di tangan The Kwat Lin yang menyambar kakinya dengan cara menendang pergelangan tangan bekas ibu gurunya itu sehingga The Kwat Lin terpaksa menarik kembali pedangnya dan meloncat ke samping.

"Hiaaattttt!!"

Kiam-mo Cai-li yang sudah memuncak kemarahannya itu pun membarengi serangan Ouwyang Cin Cu dari belakang. Kukunya mencengkeram ke arah punggung Sin Liong, sedangkan pedang payungnya berputar-putar mengancam tengkuk. Dalam detik berbahaya itu Sin Liong maklum akan datangnya ancaman maut dari depan dan belakang. Tiba-tiba dia berteriak, tubuhnya melesat ke atas dan tak dapat dicegah lagi, pedang payung bertemu dengan pedang biru.

"Cringgg...!!"

Pada saat itulah Sin Liong yang mencelat ke atas itu bergerak cepat bukan main. Tubuhnya sudah berjungkir balik, menukik turun dan kedua tangannya menyambar seperti sepasang garuda.

"Plak! Plak!"

Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li mengeluh. Kakek itu terhuyung dan memuntahkan darah segar, sedangkan Kiam-mo Cai-li terguling-guling, kemudian meloncat berdiri dengan muka pucat. Baju di pundak ke dua orang sakti ini robek terkena tamparan tangan Sin Liong!

"Orang muda, lihat ini...!!" tiba-tiba Ouwyang Cin Cu berseru aneh sekali.

Pedang birunya diputar-putar sehingga merupakan sinar biru bergulung-gulung di depannya. Sin Liong mengira bahwa kakek itu akan menyerangnya atau akan menggunakan senjata rahasia, maka dia memandang penuh perhatian. Terkejutlah dia ketika sekali memandang, berarti selanjutnya menuruti kata-kata kakek itu. Dia merasa betapa pandang matanya sukar dialihkan lagi dari gulungan sinar biru itu!

"Orang muda, engkau telah lelah, mengasolah... duduklah kau...!" kembali suara kakek itu mendengung dengan aneh dan mendatangkan pengaruh yang ajaib.

Sin Liong menggoyang-goyang kepalanya, berusaha mengusir pengaruh yang memaksanya untuk duduk itu. Seketika dia merasa tubuhnya lelah bukan main. Dia maklum bahwa kakek itu kembali menggunakan ilmu hitamnya. Kesadaran ini mendatangkan kekuatan kepada dirinya. Dia mengerahkan sinkang-nya untuk menolak pengaruh itu sehingga tubuhnya kadang-kadang diserang kelelahan, kemudian lenyap lagi, datang lagi, seolah-olah terjadi ‘pertandingan’ yang tidak tampak.

Akan tetapi, karena terlalu mencurahkan perhatiannya kepada kakek yang menyerangnya dengan sihir, dan menggunakan sinkang-nya untuk melawan pengaruh aneh itu, perhatian Sin Liong terhadap dua orang lawan lainnya menjadi berkurang banyak.

Dua orang wanita itu tentu saja tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Melihat betapa pemuda itu kelihatan bengong dan menghentikan gerakannya, Kiam-mo Cai-li cepat menyerang, akan tetapi dia didahului oleh The Kwat Lin yang sudah menusukkan Ang-bwe-kiam ke arah lambung Sin Liong, disusul oleh tusukan pedang payung dan cengkeraman kuku tangan kiri Kiam-mo Cai-li, kemudian disusul oleh hantaman tangan kiri The Kwat Lin yang mengandung im-kang amat dahsyatnya.

Ketika merasa adanya angin yang menyambar-nyambar menyerangnya, Sin Liong berusaha mengelak. Dengan kedua tangannya yang melakukan gerakan membalik, dia dapat memukul tangan Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin yang memegang pedang. Gerakannya ini hebat bukan main sehingga kedua wanita itu memekik dan pedang mereka terlepas dari pegangan! Akan tetapi kuku jari tangan Kiam-mo Cai-li yang beracun itu berhasil mencengkeram pundak dekat tengkuk Sin Liong dan pada saat yang hampir sama, tangan kiri The Kwat Lin menghantam punggungnya dengan hebat.

"Plakk! Desss...!!" dan tubuh Sin Liong terguling.

Cengkeraman kuku tangan Kiam-mo Cai-li belum tentu akan dapat merobohkan karena secara otomatis hawa sinkang di tubuhnya melindungi tempat yang dicengkeram. Akan tetapi hantaman tangan kiri The Kwat Lin yang mengandung tenaga im-kang yang dingin itu terlalu keras bagi Sin Liong yang pada saat itu sedang mencurahkan tenaga melawan sihir Ouwyang Cin Cu. Dia masih terlindung oleh sinkang-nya yang otomatis, sehingga tidak mengalami luka dalam yang terlalu parah, akan tetapi guncangan yang hebat akibat pukulan itu membuat dia pingsan!

Melihat pemuda yang membuatnya malu dan penasaran itu sudah roboh pingsan, dengan gemasnya ouwyang Cin Cu meloncat dekat, mengangkat tangan kirinya menghantam ke arah ubun-ubun kepala Sin Liong untuk membunuhnya.

"Wuuuttt... plakkk!”

“Ehhh?! Kiam-mo Cai-li, mengapa kau menangkis dan melindunginya?" Ouwyang Cin Cu membentak kaget dan melotot memandang kepada kekasih barunya ini.

Kiam-mo Cai-li tersenyum penuh arti. Matanya yang indah itu memandang dengan lirikan yang memikat. "Sayang sekali kalau dibunuh begitu saja!" katanya sambil mengusap dagu Sin Liong yang masih pingsan. "Dia adalah sin-tong. Kalau aku bisa mendapatkan dia, manfaatnya melebihi seratus orang jejaka lain..."

"Huh, kau memang cabul!" Ouwyang Cin Cu mencela, akan tetapi tidak berani turun tangan lagi.

"Tidak, dia harus dibunuh! Kalau dibiarkan hidup berbahaya sekali, akan tetapi juga jangan sampai ada bekasnya, jangan sampai ada yang tahu bahwa kita yang membunuhnya. Kita lempar dia di sumur ular, juga gadis itu. Mereka berdua harus mati, akan tetapi tidak boleh meninggalkan jejak!"

"Ah, ya... gadis itu...!" Ouwyang Cin Cu yang teringat kepada gadis berpunggung putih mulus itu segera berlari ke dalam goa terowongan untuk mencari Swat Hong. Tentu saja dia tidak akan membunuh gadis itu begitu saja sebelum melakukan kecabulan yang sama seperti yang berada di dalam benak Kiam-mo Cai-li! Akan tetapi tak lama kemudian dia kembali dengan muka berubah. "Dia... dia tidak ada!"

"Apa...?!" The Kwat Lin berseru dengan muka pucat.

"Kalau begitu... lekas kita lemparkan dia ini ke sumur ular, kemudian cari gadis itu sampai dapat...!”

The Kwat Lin sendiri menggotong tubuh Sin Liong yang masih pingsan itu dan beramai mereka menuju ke sebuah sumur di dalam goa terowongan. Sumur ini lebarnya hanya satu setengah meter, namun dalamnya sukar diukur karena amat gelap. Dari atas orang dapat menangkap suara mendesis-desis karena sumur itu penuh dengan ular-ular berbisa. Hawa yang memuakkan dapat tercium dari atas, bau yang harum aneh bercampur amis.


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.