CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 04
MELIHAT keluarga itu berduka dan berkabung, Menteri Kam Liong pun berpamit. Di sepanjang jalan ia menyesali nasib keluarganya.
Setibanya di rumah, Suma Hoat jatuh sakit. Dia diserang demam tinggi, setiap hari mengigau dan menyebut-nyebut nama Kim Hwa, kadang-kadang memaki-maki semua perempuan yang disebutnya tidak setia, bercinta palsu dan lain-lain. Sampai sebulan lebih Suma Hoat jatuh sakit, tidak sadar akan keadaan sekelilingnya. Ayahnya, Panglima Suma Kiat yang amat menyayang putera tunggalnya tentu saja menjadi bingung dan mengundang semua tabib yang ahli untuk mengobati puteranya.
Pada suatu malam, Suma Hoat sadar dari tidurnya. Dia sudah mulai sembuh dan mulai sadar. Tanpa membuka matanya ia mengenang semua peristiwa yang menimpanya, terkenang kembali kepada Kim Hwa. Dia mengeluh panjang dan berkata lirih, “Semua perempuan palsu cintanya, yang murni pun tidak setia, malah meninggal pergi!”
Tiba-tiba terdengar suara halus di dekat pembaringan. “Tidak semua perempuan palsu cintanya, Suma Hoat. Betapa mudahnya mencinta seorang pemuda seperti engkau. Aku pun... kalau diberi kesempatan...!” Jari tangan yang halus menyentuh dahinya dengan mesra, dan sapu tangan yang harum dipergunakan oleh jari-jari itu mengusap peluh di dadanya.
Suma Hoat membuka mata, terbelalak menandang wajah seorang wanita yang amat cantik, wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, akan tetapi yang luar biasa cantiknya! Cantik melebihi Kim Hwa! Muka yang halus itu kemerahan, matanya bergerak-gerak lincah penuh pengertian, mulutnya seolah-olah selalu menantang cium!
WANITA yang matang, menggairahkan, dan gerak-geriknya menunjukkan seorang ahli silat! Wanita cantik jelita yang tidak dikenalnya, namun yang jelas kini merayunya dengan sikap dan kata-katanya, terutama sekali dengan sinar matanya yang penuh nafsu, yang seolah-olah hendak menelanjanginya!
“Kau... siapakah...?” Suma Hoat bertanya, diam-diam kagum melihat wajah itu.
“Aku? Namaku Bu Ci Goat, aku... baru setengah bulan di sini. Aku selir ayahmu yang paling baru.”
“Oohhh...!” Tanpa disadari seruan ini mengandung kekecewaan.
“Mengapa? Tidak girangkah engkau mempunyai seorang ibu muda baru seperti aku?” Bu Ci Goat mendekatkan mukanya hingga hampir menyentuh hidung Suma Hoat yang mencium bau harun sekali.
Jantung Suma Hoat berdebar dan ia menegur. “Kalau engkau selir Ayah, mengapa di sini? Mau apa?”
Wanita itu tersenyum dan memegang tangan Suma Hoat. “Engkau sakit, dan sudah sepatutnya aku menengok dan menjaga. Aku pun seorang ahli mengobati penyakit, dan melihat penyakitmu, mudah saja obatnya!”
“Apa?”
“Ini...!” Berkata demikian, wanita itu menarik tangan Suma Hoat dan merapatkan tangan pemuda itu ke dadanya, sehingga terasalah oleh pemuda itu gumpalan daging yang hangat.
“Ahh... jangan...!” Suma Hoat menarik tangannya akan tetapi terkejut karena ternyata tangan yang memegangnya itu amat kuat! Tahulah dia bahwa biar pun belum tentu wanita ini memiliki kepandaian silat tinggi, namun yang jelas memiliki tenaga yang kuat!
“Mengapa tidak? Engkau menderita pukulan batin akibat sakit asmara, dan penyakit rindu obatnya hanya satu! Dan aku... percayalah, cintaku tidak palsu, Suma Hoat. Boleh kau buktikan sendiri!” Setelah berkata demikian, wanita itu lalu merangkul leher Suma Hoat, menciumi dan membelainya.
Jari-jari tangannya yang ahli dan cekatan itu telah membukai pakaian Suma Hoat, juga pakaiannya sendiri seperti telah terbuka sendiri sehingga tampak bagian tubuhnya yang menggairahkan. Karena kesadarannya belum pulih benar, tanpa diketahuinya bagaimana mula-mulanya, Suma Hoat mendapatkan dirinya dipeluk dan ditindih oleh Bu Ci Goat yang menyerangnya dengan hebat, serangan ciuman dan belaian yang benar-benar membangkitkan semangat pemuda itu!
Ketika itu Suma Hoat mulai terangsang dan lupa diri. Ia seolah-olah menemukan pegangan baru setelah dirinya hanyut dalam kegagalan cinta, setelah merasa betapa wanita ini benar-benar menggairahkan, berbeda dengan para pelacur, bahkan hampir menandingi kemesraan Kim Hwa. Tiba-tiba daun pintu terbuka dan muncullah Suma Kiat, ayahnya!
“Bocah setan! Mengganggu selir ayahmu sendiri? Benar-benar kurang ajar, tak tahu malu! Engkau benar-benar mencemarkan nama baik keluarga Suma. Pergi! Hayo minggat dari sini! Engkau tidak patut menjadi puteraku!”
Wajah Suma Hoat menjadi pucat sekali dan ia meloncat turun dari pembaringan, membereskan pakaiannya yang ‘dilucuti’ oleh Bu Ci Goat tadi.
Bu Ci Goat dengan tersenyum-senyum juga membereskan pakaiannya kemudian menghampiri suaminya, memegang lengan Suma Kiat dengan sikap manja, mengelus pipi Suma Kiat sambil berkata, suaranya merayu, “Mengapa kau marah-marah? Aku hanya berusaha untuk mengobati sakitnya, dia menderita sakit rindu yang hebat...”
Wajah Suma Kiat yang tadinya marah dan kemerahan dengan matanya yang beringas itu menjadi lunak ketika ia menunduk dan memandang wajah selirnya yang termuda, selir baru yang amat dikasihinya. Ia lalu berkata, “Maksudmu baik Ci Goat, akan tetapi tidak tepat. Kau tahu betapa aku amat mencintaimu, dan aku tidak suka melihat cintamu kepadaku terbagi, biar pun dengan puteraku!”
Menyaksikan semua ini, kemarahan Suma Hoat tak dapat tertahan lagi. Ia lalu berkata nyaring, “Baik! Aku pergi! Aku muak melihat semua ini! Muak hidup di neraka ini!” Pemuda itu lalu melompat ke luar dari kamarnya dan pergi. Semenjak saat itu, Suma Hoat tidak pernah kembali ke rumah ayahnya!
Dan mulai saat itu pula, di dunia kang-ouw muncul seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan, dengan kepandaiannya yang hebat, dengan keberaniannya yang mendirikan bulu roma para penjahat. Akan tetapi di samping sepak terjangnya yang hebat, pendekar muda ini memiliki kebiasaan yang keji sekali yaitu dia selalu mengganggu wanita!
Dia sering kali terdapat dalam kamar-kamar wanita cantik, isteri orang-orang, gadis remaja, siapa saja asal dia wanita cantik dan sukar didapat. Dan hebatnya, sebagian besar wanita-wanita itu tidak menolak kedatangan penjahat pemetik bunga yang tampan, gagah dan memiliki kepandaian merayu wanita secara istimewa sekali ini!
Dialah Suma Hoat yang menganggap bahwa wanita tidak dapat dipercaya, bahwa wanita hanya lebih pantas dijadikan benda permainan belaka, bahwa wanita hanyalah sekedar alat pemuas nafsunya! Kebenciannya terhadap wanita yang dimulai dengan kepatahan hatinya karena kematian Kim Hwa, disusul sikap Bu Ci Goat dan ayahnya, membentuk watak yang seperti iblis terhadap wanita dalam dirinya! Seorang pendekar pembela kaum tertindas menentang kejahatan, namun juga seorang pemerkosa nomor satu di dunia sehingga beberapa tahun kemudian, terkenallah nama penjahat pemetik bunga (pemerkosa) Jai-hwa-sian atau Dewa Pemerkosa!
Keadaan keluarga Suma inilah yang membuat hati Menteri Kam Liong selalu prihatin sekali. Apa lagi ketika ia melakukan peninjauan ke Khitan, ia mendengar berita bahwa diam-diam Suma Kiat dan anak buahnya adalah tokoh-tokoh penting yang membujuk para panglima di utara yang membujuk Kaisar untuk memusuhi Khitan!
Sering kali menteri yang bijaksana ini termenung, memikirkan percampuran darah nenek moyangnya yang sebagian memiliki darah keturunan pendekar-pendekar hebat dan disegani di dunia kang-ouw seperti pendekar sakti Suling Emas, pendekar wanita Ratu Yalina, pendekar wanita Mutiara Hitam dan yang lain-lain. Akan tetapi, juga terkenal sekali darah keturunan orang-orang jahat yang mengalir ke tubuh mereka seperti keturunan keluarga Suma itu.
Dia pun tahu mengapa Suma Kiat membenci Khitan. Hal ini adalah karena dahulu di waktu mudanya, Suma Kiat jatuh cinta kepada puteri Suling Emas, atau adik tirinya, pendekar wanita Mutiara Hitam. Karena cinta tidak dibalas, maka dia mempunyai perasaan benci kepada Kerajaan Khitan atau sesungguhnya kepada keturunan Suling Emas. Hanya karena keturunan Suling Emas semua memliki kepandaian yang amat tinggi, maka dia tidak berani menyatakan kebenciannya secara berterang. Karena kebenciannya kepada Raja Khitan yang juga merupakan putera Suling Emas, maka dia berusaha keras untuk menghancurkan Khitan.
Sepasang orang laki-laki dan wanita berusia empat puluh tahunan berlari seperti terbang cepatnya, melalui padang-padang rumput di daerah Khitan. Yang laki-laki bertubuh tinggi kurus, berwajah tampan gagah dengan jenggot pendek meruncing dan kumis menggantung di kanan kiri bibirnya. Pakaiannya sederhana dan rambutnya diikat sehelai sapu tangan kuning. Wajah laki-laki ini selalu tersenyum-senyum dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan dan kejenakanaan. Ada pun yang wanita berwajah cantik dan gagah perkasa, pandang matanya membayangkan kekerasan hati sehingga membuat orang yang pertama kali bertemu tentu akan merasa tunduk dan jeri.
Mereka berdua tidak membawa senjata, namun melihat gerak-gerik mereka, tak dapat disangsikan lagi bahwa mereka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi. Memang tepat sekali dugaan ini, karena mereka itu adalah sepasang suami isteri yang apa bila disebut namanya akan membuat tokoh-tokoh kang-ouw terbelalak, dan membuat tokoh-tokoh dunia hitam gemetar. Laki-laki itu adalah pendekar yang dijuluki Pek-kong-to (Si Golok Sinar Putih) Tang Hauw Lam, sedangkan wanita itu adalah isterinya yang lebih terkenal lagi dan lebih ditakuti karena dia bukan lain adalah Kam Kwi Lan, Si Mutiara Hitam, puteri dari Suling Emas!
Semenjak menikah dengan Tang Hauw Lam, pemuda jenaka yang dipilihnya di antara banyak calon suami, Mutiara Hitam bersama suaminya lalu pergi merantau. Tepat seperti yang diduga oleh kakak tiri Mutiara Hitam, yaitu Menteri Kam Liong, suami isteri yang paling suka merantau ini telah menjelajah ke pelbagai negeri, jauh di utara dan barat.
Mereka melewati Pegunungan Himalaya yang amat berbahaya, mengunjungi dunia barat dan hidup di antara bangsa-bangsa aneh yang berkulit hitam seperti arang, kecoklat-coklatan dan ada yang kulitnya putih seperti salju dengan manik mata berwarna biru, coklat atau hijau, rambut kepala berwarna merah darah, kuning emas atau putih kebiruan! Tentu saja perantauan suami isteri pendekar selama belasan tahun ini selain menambah pengalaman mereka, juga memperdalam ilmu kepandaian mereka.
Suami isteri yang saling mencinta dan rukun ini hidup bahagia, akan tetapi hanya satu hal yang membuat mereka kadang-kadang melamun dan menghela napas panjang, yaitu bahwa selama belasan tahun menikah, mereka belum juga mempunyai keturunan! Hal ini merupakan kekecewaan yang kadang-kadang membuat Mutiara Hitam, si pendekar wanita yang gagah perkasa dan yang pantang mundur menghadapi lawan yang betapa ganas pun, kalau malam suka mencucurkan air mata!
Betapa indah pun keadaan dunia barat di sebelah sana Pegunungan Himalaya, akhirnya suami isteri itu rindu juga kepada tanah air sendiri. Maka pulanglah mereka ke timur melalui Pegunungan Himalaya yang aneh, penuh bahaya, dan amat sukar dilalui itu. Perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan dan biar pun suami isteri ini merupakan orang-orang gemblengan yang ulet dan kuat, namun perjalanan itu sungguh amat sukar ditempuh, penuh bahaya maut yang aneh-aneh.
Banyak mereka temui binatang liar yang aneh dan besar, ada orang hutan yang hidup di salju Pegunungan Himalaya, amat besar, dua kali bahkan tiga kali manusia. Banyak pula burung-burung raksasa yang tidak terdapat di tempat lain, kelompok manusia-manusia yang masih telanjang, belum mengenal peradaban sehingga kalau saja Mutiara Hitam dan suaminya tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu mereka itu sudah menjadi korban bahaya-bahaya maut yang mengerikan.
Setelah kembali ke tanah air, suami isteri ini melanjutkan kesukaan mereka merantau sampai jauh ke selatan, bahkan pada suatu hari mereka menyewa perahu dan menjelajah pulau-pulau di laut selatan! Dalam pelayaran inilah mereka melihat sebuah perahu besar yang dibajak oleh bajak-bajak laut bangsa Jepang. Mereka datang terlambat dan hanya berhasil menolong dua orang anak-anak laki dan perempuan yang dilempar ke laut oleh bajak-bajak itu.
Anak-anak itu baru berusia kurang lebih enam tahun ketika mereka menolongnya dan suami isteri yang tidak mempunyai keturunan ini lalu mengambil mereka sebagai murid. Anak laki-laki bernama Can Ji Kun, sedangkan yang perempuan bernama Ok Yan Hwa. Semenjak saat itu, kedua orang anak tadi selalu diajak merantau, hanya kadang-kadang saja mereka berempat tinggal di atas puncak sebuah gunung untuk selama satu atau dua tahun, lalu tempat itu ditinggalkan lagi karena suami isteri yang berdarah perantau itu tidak pernah merasa betah tinggal di suatu tempat untuk waktu yang terlalu lama.
Demikianlah, ketika mereka mendengar pergolakan yang terjadi di utara, Mutiara Hitam merasa khawatir akan nasib kerajaan kakak kembarnya, yaitu Raja Talibu di Khitan, lalu mereka berempat berangkat ke daerah utara. Pada pagi hari itu, Mutiara Hitam dan suaminya berlari-larian cepat sekali di daerah Khitan. Ketika tiba di pinggir hutan, mereka berhenti. Pek-kong-to Tang Hauw Lam menoleh ke belakang lalu berseru dengan suara nyaring bergema karena ia mengerahkan khikang-nya.
“Ji Kun... ! Yan Hwa...! Hayo cepat kalian menyusul ke sini!”
Mutiara Hitam berkata sambil menghela napas panjang. “Dua orang muda kita itu tiada hentinya bersaing dan berlomba, seperti anjing dengan kucing saja! Mengapa mereka tidak pernah kelihatan akur?”
Suaminya tertawa dan kalau sudah tertawa, Tang Hauw Lam ini nampak masih seperti seorang pemuda! “Ha-ha-ha, mengapa disusahkan? Hal itu malah baik sekali, karena persaingan menimbulkan kemajuan! Maka sebaiknya kalau mereka itu kita latih secara terpisah pula, biar aku melatih Ji Kun dan engkau melatih Yan Hwa. Dengan demikian, persaingan di antara mereka akan makin menghebat dan mereka akan berlomba saling mengalahkan sehingga memperoleh kemajuan pesat.”
Mutiara Hitam mengerutkan keningnya. Hemm, aku sangsi apakah cara itu akan membawa kebaikan. Jangan-jangan mereka akan menyeret kita dalam persaingan dan percekcokan di antara mereka!”
“He-heh-heh! Kita terbawa dan saling cekcok? Jangan khawatir, isteriku, sampai bagaimana pun juga, mana bisa aku menangkan engkau?”
Mutiara Hitam memandang suaminya dan mau tidak mau ia tertawa juga. Hidup di samping suaminya yang selalu berwatak jenaka itu mana bisa ia merasa bosan dan susah? “Sesukamulah, akan tetapi engkau pun harus menurunkan ilmu-ilmu yang kau miliki kepada Ji Kun.”
“Tentu saja... tentu... Jangan khawatir, mereka berdua kelak akan terkenal sebagai murid Mutiara Hitam! Ilmu keturunan keluarga Suling Emas tidak boleh terhenti begitu saja!”
Pada saat itu tampak dua titik hitam dan kiranya mereka adalah dua orang anak laki-laki dan perempuan yang berlari secepatnya ke tempat itu. Tepat seperti dugaan suami isteri pendekar ini, kedua orang anak itu bukan sembarangan berlari, melainkan berlomba lari, berdulu-duluan sampai ke tempat guru mereka! Ketika tiba di situ, Ji Kun menang beberapa meter dan hal ini diterima oleh Yan Hwa dengan muka cemberut, sungguh pun seperti juga Ji Kun, napasnya sudah senin kemis tinggal satu-satu!
“Kita sudah memasuki daerah Khitan, perang terjadi di mana-mana. Jangan kalian terlalu jauh terpisah dari kami!” Mutiara Hitam menegur kedua orang muridnya.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan memasuki daerah Khitan dan dapat dibayangkan betapa sedih hati Mutiara Hitam menyaksikan keadaan Khitan yang rusak. Apa lagi ketika ia mendengar bahwa Kerajaan Khitan sudah hancur, dan terutama sekali ketika mendengar bahwa Raja dan Ratu Khitan telah gugur dalam perang, Mutiara Hitam tak dapat menahan kesedihannya dan lari ke tempat sunyi untuk menangis! Dua orang muridnya hendak lari menyusul namun mereka ditahan oleh suhu mereka yang maklum bahwa pada saat seperti itu, isterinya tidak mau diganggu oleh siapa pun juga. Pula, merupakan pantangan bagi isterinya untuk terlihat orang lain bahwa dia menangis.
Setelah beberapa lama membiarkan isterinya menangis di tempat sunyi seorang diri dan memesan kedua orang muridnya agar jangan pergi dari situ, Tang Hauw Lam lalu menghampiri isterinya, perlahan-lahan ia duduk di dekat isterinya yang masih sesenggukan, lalu berkata halus.
“Kwi Lan, hentikanlah tangismu. Menurut kepercayaan lama, roh-roh orang yang meninggal akan menjadi gelisah kalau ditangisi oleh keluarga dekat yang dicintanya! Raja Talibu dan isterinya gugur sebagai raja dan ratu yang gagah perkasa. Lupakah kau akan cerita orang-orang Khitan tadi itu? Mereka tewas dengan senjata di tangan, mempertahankan kerajaan hingga titik darah terakhir! Betapa hebat dan perkasa kakak kembarmu itu! Aku benar-benar kagum bukan main dan aku pun ingin sekali kelak dapat mengakhiri hidup seperti itu! Roh mereka itu tentu mendapat tempat yang layak bagi orang-orang gagah seperti mereka, apakah kini engkau hendak mengusik dan membikin gelisah mereka dengan tangismu?”
Mendengar ucapan suaminya ini, Mutiara Hitam menghentikan tangisnya. Akan tetapi, ketika menoleh memandang wajah suaminya yang biasanya berseri itu kini muram, pandang mata yang biasanya berseri itu kini sayu dan penuh iba kepadanya, dia terisak dan menjatuhkan diri di atas dada suaminya sambil menangis lagi.
Tang Hauw Lam memeluk tubuh isterinya, mengelus-elus rambutnya dan menepuk- nepuk pundaknya. “Hemm, tenanglah... tenang, isteriku. Lihat... kau membikin aku ikut menitikkan air mata! Ah, betapa memalukan kalau pendekar yang berjuluk Pek-kong-to berubah menjadi seorang laki-laki cengeng!”
Mutiara Hitam menghentikan tangisnya, berpegang tangan dengan suaminya seolah-olah dalam keadaan hati menderita itu dia minta bantuan kekuatan suaminya, kemudian sambil merenung jauh ia mengepal tinju kiri dan berkata, “Aku harus membalaskan kematian mereka! Si keparat bangsa Yucen!”
“Wah-wah-wah, sabarkan hatimu, isteriku. Pergunakanlah akal budi dan pertimbangan pikiranmu, jangan dikeruhkan oleh nafsu mendendam. Kakakmu dan isterinya gugur dalam perang, tentu saja tidak dapat diketahui siapa yang menewaskan mereka. Gugur dalam perang berbeda dengan dibunuh perorangan, maka tidak mungkin bicara tentang sakit hati dan balas dendam. Apakah kita harus memusuhi seluruh bangsa Yucen dan berusaha membunuhi mereka? Betapa piciknya kalau begitu, sungguh tidak sesuai dengan jiwa kependekaran kita! Pendirian kita adalah menentang kejahatan manusia. Di dalam perang bagaimana bicara tentang kejahatan bangsa? Mereka yang berperang itu hanya memenuhi tugas, seperti juga kakakmu dan isterinya. Dan sejak dahulu, engkau sudah menyatakan tidak suka mengikatkan diri dengan urusan kerajaan dan pemerintah, bukan?”
Teringatlah Mutiara Hitam dan kemarahannya mereda. “Heran sekali, mengapa Ayah dan Ibu diam saja dan tidak muncul membantu Kakak Talibu?” katanya perlahan.
“Agaknya aku dapat meraba pendirian Gak-hu dan Gak-bo (Ayah dan Ibu Mertua). Beliau berdua adalah orang-orang yang telah mengasingkan diri, tidak mencampuri urusan dunia, apa lagi urusan kerajaan. Kalau mereka itu kini mencampuri, bukankah akan sia-sia saja mereka menyucikan diri? Pula, kerajaan telah diserahkan kepada mendiang kakakmu, Raja Talibu, maka menjadi tanggung-jawabnyalah semua urusan kerajaan, maju mundurnya, jatuh bangunnya. Dan harus diingat bahwa segala sesuatu telah dikehendaki oleh Thian. Kerajaan seperti juga manusia, ada waktunya lahir ada waktunya mati. Yang penting harus kita selidiki, bagaimana dengan nasib puteri kakakmu? Bukankah menurut cerita orang-orang Khitan itu mereka mempunyai seorang puteri?”
“Benar!” Mutiara Hitam kelihatan bersemangat. “Namanya Puteri Maya yang kabarnya lenyap bersama pasukan pengawal. Agaknya Kakak Talibu sudah membuat persiapan dan tentu saja anak itu disuruh antar para pengawal mencari Ayah dan Ibu di Puncak Gobi-san!”
Tang Hauw Lam mengangguk-angguk. “Tidak ada dugaan lain lagi, tentu begitulah. Agaknya sudah pasti bahwa keponakan kita itu diantar oleh pasukan ke puncak Gobi-san. Kalau benar demikian, selamatlah keponakan kita itu dan dia bahkan akan mewarisi kepandaian Gak-hu dan Gak-bo yang sakti.”
Akan tetapi Mutiara Hitam mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Aku masih khawatir. Ayah dan Ibu tidak pernah memberitahukan siapa juga di mana tempat mereka bertapa. Aku sangsi apakah pasukan pengawal itu akan berhasil menemukan tempat pertapaan mereka. Sebaiknya kalau kita susul, syukur kalau Maya sudah tiba di sana, sekalian kita menghadap Ayah Bunda yang sudah belasan tahun tidak kita temui. Aku sudah rindu kepada mereka.”
“Baiklah, sebaiknya begitu. Juga akan berguna bagi pengalaman murid-murid kita.”
Suami isteri pendekar itu bersama dua orang murid mereka lalu berangkat meninggalkan daerah Khitan menuju ke barat, ke arah Pegunungan Gobi-san yang mempunyai daerah luas sekali. Di sepanjang perjalanan menuju ke Gobi-san, mereka bertemu dengan daerah-daerah di mana perang terjadi. Mereka selalu menghindarkan diri dari perang antar suku itu, di mana bangsa Yucen makin lama makin berkembang menjadi kuat di samping bangsa Mongol yang juga sudah memperkembangkan sayapnya di daerah utara dan timur.
Telah lama kita meninggalkan Puteri Maya yang berhasil melarikan diri dari cengkeraman sepasang manusia iblis dari India ketika Nila Dewi masih dalam keadaan tertotok dan Mahendra sedang bertanding mati-matian melawan Menteri Kam Liong. Gadis cilik ini cepat melarikan diri dengan kedua tangan masih terikat menuju ke barat, memasuki sebuah hutan yang luas dan liar. Setelah kedua kakinya tidak kuat lagi dipakai lari dan napasnya hampir putus, barulah ia menjatuhkan diri berguling di atas rumput, terengah-engah.
Kemudian dihampirinya sebuah batu besar, dicarinya pinggiran batu yang tajam dan mulailah ia menggosok-gosokkan tali pergikat kedua tangannya pada pinggiran batu yang tajam itu. Sampai panas rasanya kedua pergelangan tangannya, akan tetapi akhirnya tali pengikat tangannya itu putus dan ia bebas! Karena khawatir kalau-kalau dua orang manusia iblis itu mengejarnya, Maya lalu meloncat bangun dan berlari lagi, terus ke barat memasuki hutan makin dalam.
Hutan itu luas dan liar, penuh dengan pohon-pohon raksasa dan batu-batu besar. Maya hanya berani berhenti sebentar untuk minum jika dia melewati sebuah anak sungai, kemudian lari terus tanpa tujuan, pokoknya asal sejauh mungkin dari kedua orang manusia iblis yang mengerikan itu.
Hampir sehari ia berlari-larian terus di dalam hutan itu sampai akhirnya ia keluar dari hutan, tiba di daerah padang rumput yang luas. Ia berlari terus sampai tiba di bagian yang berbatu-batu di kaki gunung. Tiba-tiba ia mendengar suara banyak orang tertawa-tawa. Maya terkejut sekali dan berdiri termangu-mangu, mencari tempat sembunyi, kemudian lari hendak bersembunyi di balik pegunungan batu. Akan tetapi mendadak berkelebat bayangan banyak orang dan terasa olehnya angin menyambar-nyambar ketika bayangan itu berkelebat, disusul suara ketawa-tawa dan tahu-tahu dia telah dikurung oleh beberapa orang aneh!
Maya memandang terbelalak, penuh rasa takut karena orang-orang ini keadaannya lebih aneh dan menyeramkan dari pada sepasang manusia iblis India! Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, ada yang masih muda yang sudah tua, bahkan ada pula beberapa orang anak-anak, akan tetapi muka mereka rata-rata buruk dan menyeramkan!
Yang pria banyak gundul tidak rata, atau kalau ada yang berambut pun rambutnya gimbal menjadi satu seperti sapu serat terkena lumpur! Muka mereka selalu menyeringai seperti sekumpulan bocah nakal, tubuh atas tak berbaju dan perut mereka rata-rata gendut biar pun tubuh mereka ada yang kurus kering, seperti tubuh anak cacingan!
Celana mereka dari kulit, tidak karuan bentuknya, dan bagian bawahnya yang sepanjang lutut itu robek-robek. Para perempuannya lebih mengerikan lagi. Ada yang menutupi tubuh atas, akan tetapi banyak tubuh atasannya dibiarkan telanjang begitu saja sehingga buah dada mereka yang panjang-panjang itu bergantungan seperti buah pepaya.
Rambut mereka riap-riapan, juga kelihatan kotor sekali. Tubuh bawah ditutup kain sampai ke lutut, juga terbuat dari kulit kayu dan kulit binatang. Ada pula yang memakai hiasan kalung terbuat dari... batu kerikil biasa! Yang kanak-kanak hanya memakai cawat, sukar dibedakan mana anak laki-laki mana anak perempuan karena rambut mereka dikelabang dan melintang di kanan kiri, lucu sekali, lucu namun mengerikan seperti kalau orang berada di dalam rumah sakit gila!
Mereka itu mengurung Maya sambil berloncat-loncatan, menari-nari dan berlari-lari memutarinya, mengeluarkan suara aneh, akan tetapi ada sebagian kata-kata bahasa Khitan yang dapat ia tangkap. “Kejar...! Tangkap...!”
Mereka tertawa-tawa dan ada yang menuding-nuding ke arah Maya sambil mengitari gadis cilik ini. Maya menjadi bingung sekali, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Pada saat itu, anak-anak kecil yang berada di luar lingkaran juga bersorak-sorak dan kembali Maya mendengar suara, “Kejar dan tangkap!”
Malah ada beberapa orang kakek dan nenek aneh yang berlarian mendatangi seperti anak-anak kecil, tertawa-tawa gembira. “Ikut... Ikut...!”
Mereka ini juga ikut mengelilinginya dan bersorak-sorak. “Kejar! Tangkap!”
Akhirnya, dari gerak-gerik mereka dan dari beberapa kata-kata bahasa Khitan itu, mengertilah Maya bahwa dia diajak main ‘kucing-tikus’, yaitu dia menjadi kucingnya dan harus menangkap seorang di antara mereka. Kalau ada yang tertangkap, maka yang tertangkap itulah yang akan menggantikan kedudukannya menjadi kucing.
Permainan anak kecil! Biar pun ia merasa heran sekali mengapa kakek-kakek dan nenek-nenek, paman-paman dan bibi-bibi setua itu masih suka bermain seperti ini, namun dia segera berusaha menangkap seorang di antara mereka, seorang wanita terdekat. Ia menubruk dengan menggunakan ginkang-nya.
“Wusss!”
Luput! Maya hampir tidak dapat percaya. Wanita itu memiliki gerakan yang luar biasa cepat dan ringannya sehingga biar pun dalam jarak begitu dekat, dia tidak berhasil menangkapnya karena wanita itu telah meloncat ke kiri dan sambil tertawa-tawa terus berlari mengelilinginya seperti yang lain! Aihh, sungguh tidak kira di antara rombongan orang gila ini ada yang memiliki kelincahan begitu hebat!
Ia lalu menubruk ke arah seorang laki-laki gundul, akan tetapi kembali ia terkejut karena laki-laki ini pun dengan gerakan secepat kilat telah dapat meloncat dan mengelak! Maya menjadi penasaran dan dicobanya semua orang yang mengelilingi, namun sampai nenek-nenek pun memiliki gerakan yang bukan main cepatnya sehingga dia kagum dan terheran-heran! Kiranya dia berada di antara gerombolan orang gila yang memiliki ginkang istimewa!
Karena disoraki dan ditertawai, timbul kemarahan di hati Maya. Akan tetapi betapa pun ia mencoba menangkap, tangannya selalu menangkap angin. Celaka, pikirnya, kalau aku tidak dapat menangkap, apakah selamanya dia akan menjadi kucing kelaparan? Timbullah akalnya. Dia melihat bahwa orang-orang tua ini berwatak seperti anak kecil, dan agaknya kecerdikannya pun tidak akan lebih dari pada seorang anak-anak biasa, anak-anak yang lebih kecil dari padanya karena dia sendiri sudah tidak suka akan permainan seperti itu, yang pantasnya dimainkan anak-anak berusia enam tujuh tahun!
“Lihat ular besar...!” Tiba-tiba Maya berteriak dalam bahasa Khitan sambil menudingkan telunjuknya ke arah pohon di depan. Semua orang kaget dan menoleh. Pada saat itulah Maya lalu menubruk wanita yang buah dadanya panjang di dekatnya sambil tertawa, memegangi lengannya dan berkata, “Tangkap...!”
Orang-orang itu terbelalak heran, kemudian tertawa-tawa dan wanita itu memeluk Maya, juga orang-orang itu memeluk dan menepuk-nepuk pundak Maya, memuji-muji dalam bahasa Khitan campuran. Kini wanita itu yang menjadi kucing dan Maya harus menjadi seorang di antara tikus-tikus yang dikejar. Maya berlari mengitari wanita itu seperti yang lain. Wanita itu lalu bergerak cepat, menubruk ke sana sini dan gerakan mereka yang berkejaran itu sedemikian cepatnya sehingga pandang mata Maya menjadi berkunang-kunang dan tahu-tahu lengannya telah ditangkap oleh wanita itu yang tertawa-tawa.
“Tertangkap! Tertangkap!” mereka berteriak-teriak dan mentertawakan Maya.
Celaka, pikir Maya. Kalau permainan ini diteruskan, tentu dia yang akan selalu menjadi kucing karena gerakannya jauh kalah cepat oleh orang-orang aneh ini. Maka dia lalu mencari akal. Dia berdiri di tengah lingkaran dan mengangkat tangan kanan ke atas, yang kiri bertolak pinggang, kemudian berkata nyaring. “Dengarlah kalian! Aku adalah puteri Maya, puteri dari Raja Khitan!”
Akan tetapi orang-orang itu hanya saling pandang dan menggerakkan pundak, bengong dan lengang-lengong menggemaskan hati Maya. Seorang di antara mereka, wanita tua yang memakai kalung dari kerikil-kerikil besar diuntai, menjawab, “Raja Khitan? Kami tidak kenal. Namamu Maya?”
“Benar!” jawab Maya kesal.
Orang-orang itu sudah berlarian lagi mengitarinya sambil berteriak-teriak, “Kejar! Tangkap!”
Maya merasa mendongkol sekali dan kembali ia mengangkat tangan menyuruh mereka berhenti. “Dengar. Aku mempunyai permainan yang lebih bagus dari ini.”
Orang-orang itu memandangnya, ada yang melongo bodoh ada yang kecewa karena permainan dihentikan. Akan tetapi, nenek yang agaknya menjadi pemimpin mereka dan yang agaknya lebih ‘cerdik’ dari pada mereka atau lebih tepat tidak begitu goblok, berkata, “Permainan apa?”
“Yang jenderal berada di tengah dan....”
“Apa jenderal?” semua bertanya, termasuk nenek-nenek berkalung.
“Jenderal... ya jenderal! Goblok kamu!” Maya membentak dan orang-orang itu menyeringai, tertawa-tawa dan agaknya bangga dan senang dikatakan goblok!
Melihat ini Maya menjadi kasihan sendiri dan melanjutkan, “Yang jadi jenderal mengeluarkan perintah yang harus cepat-cepat kalian turut. Siapa yang paling lambat menurut perintah, dialah yang harus menggantikan aku jadi jenderal. Kalau aku bilang tertawa kalian harus cepat tertawa, kalau bilang menangis kalian cepat menangis. Mengerti?”
Ada di antara mereka yang belum mengerti, sehingga ramailah mereka saling bertanya-tanya. Akhirnya mereka tertawa-tawa dan bersorak tanda bahwa mereka telah mengerti dan suka akan permainan baru itu. Melihat ini lega hati Maya dan dia pun ikut pula merasa gembira, lupa akan kemengkalan dan kemuakan karena orang-orang itu baunya... ledis dan apek sekali, tanda tak pernah mengenal air rupanya!
“Nah, bersiaplah!” kata Maya sambil bertolak pinggang. Tiba-tiba ia membentak.
“Berjongkok...!”
Semua orang terperanjat, ada yang tertawa ada yang menangis, karena mengira bahwa Maya akan memerintahkan itu. Kemudian berturut-turut mereka menjatuhkan diri berjongkok sampai ada yang terjengkang dan terbukalah penutup tubuh mereka. Maya tertawa terpingkal-pingkal dan dalam keadaan kacau-balau itu sukar dilihat siapa yang paling terlambat melakukan perintah. Mereka juga tertawa-tawa gembira sekali.
“Wah, tidak beres!” kata Maya. “Kalian jangan tergesa-gesa, harus mendengarkan perintahku baik-baik, baru berlomba mentaati perintah. Yang paling lambat menjadi jenderal. Mengerti?” Mereka semua mengangguk sambil terkekeh-kekeh.
“Awas, ya sekarang?” Maya bertolak pinggang lagi, kemudian tiba-tiba ia membentak, sengaja menghentikan perintahnya atau menahannya di tengah-tengah. “Ber....”
Baru saja bilang “ber...” semua orang sudah terpelanting karena berlomba untuk berjongkok.
“...lari...!” Maya melanjutkan perintahnya.
Tentu saja orang-orang yang tadinya berlomba jongkok itu kini menjadi kacau-balau, meloncat dan lari saling bertubrukan sambil tertawa-tawa. Maya sendiri terpingkal-pingkal menyaksikan tingkah-polah mereka itu.
Maya mengajarkan bermacam permainan kanak-kanak kepada mereka sehingga orang-orang itu menjadi amat girang dan menganggap Maya sebagai anggota keluarga mereka sendiri. Mereka bermain-main di tempat itu sampai malam tiba, kemudian mereka itu mengajak Maya untuk pulang.
“Pulang? Pulang ke mana?” Maya bertanya.
Wanita tua berkalung menggandeng tangannya, “Mari, ikutlah. Kita pulang dan makan!”
Setelah berkata demikian, nenek ini lalu menggerakkan kedua kakinya berlari, diikuti oleh semua anak buahnya.
Maya hampir menjerit saking kagetnya ketika tubuhnya seperti dibawa terbang saja. Luar biasa sekali cepatnya lari mereka itu. Mereka membawanya ke lereng sebuah bukit yang berbatu-batu, kemudian mereka memasuki goa yang amat dalam, merupakan terowongan batu. Kiranya di sebelah dalam amat luas dan orang-orang aneh ini tinggal di dalam perut gunung!
Jumlah mereka ada tiga puluh orang lebih dan pemimpinnya adalah nenek itulah. Sederhana sekali kehidupan mereka, namun mereka itu setiap saat selalu bergembira dan bermain-main. Ketika tiba di depan goa, serombongan anjing serigala menyambut dengan liar dan menggonggong berisik. Tadinya Maya sudah siap-siap untuk menjaga diri karena gerombolan binatang itu bukanlah anjing-anjing jinak, melainkan serigala-serigala yang liar dan buas. Akan tetapi, sekali saja nenek itu mengeluarkan suara menggereng dan menyalak seperti anjing, gerombolan serigala itu mendekam ketakutan, kemudian seorang anak-anak berusia sepuluh tahun menggiring mereka dengan cambuk ranting pohon. Gerombolan serigala itu pergi dengan patuhnya, seperti sekumpulan anjing yang terlatih baik!
Di dalam ruangan yang luas di perut gunung itu. Maya diajak makan minum oleh mereka. Yang mereka makan adalah buah-buahan dan daging dipanggang begitu saja, entah daging apa, akan tetapi rasanya enak. Minumnya air biasa. Karena perutnya amat lapar dan tubuhnya lelah, Maya makan dengan lahap dan nikmatnya sehingga perutnya menjadi penuh dan dia tertidur di tempat makan itu.
Demikianlah, puteri Raja Khitan yang biasanya hidup penuh kemuliaan dan kemewahan itu kini diterima menjadi anggota keluarga atau teman segerombolan manusia liar yang belum mengenal peradaban! Mereka merupakan sekumpulan anak-anak yang sudah tua, karena hanya tubuhnya saja yang sudah dewasa dan tua, namun watak dan jalan pikiran mereka masih seperti kanak-kanak di bawah sepuluh tahun! Maya terpaksa tinggal bersama mereka karena di tempat itulah yang ia anggap paling aman, karena dia masih khawatir kalau-kalau dua orang manusia iblis India itu masih mencarinya,
Selama beberapa hari tinggal dan bermain-main dengan mereka, Maya memperhatikan mereka itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu rata-rata, dari yang kecil sampai yang tua sekali memiliki keringanan tubuh dan kecepatan gerak yang amat luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Akan tetapi, biar pun tenaga mereka kuat-kuat berkat cara hidup yang liar itu, namun mereka tidak pandai ilmu silat!
Dia benar-benar merasa heran sekali. Pada suatu pagi, ketika anak-anak berloncatan mengambil buah-buah yang tergantung tinggi di pohon dengan cara meloncat dan menyambar buah-buah itu dengan tangan, ia bertanya kepada seorang anak-anak, anak perempuan yang sebaya dengannya.
“Dari mana kalian mempelajari gerakan yang demikian ringan dan cepat?”
Mula-mula anak perempuan itu tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Maya, akan tetapi ketika Maya mengajaknya meloncat-loncat dan ternyata loncatan Maya jauh kalah tinggi, anak perempuan itu kelihatan takut-takut. Maya mendesak dan anak itu menoleh ke kanan kiri, kemudian menggandeng tangan Maya dan ditariknya Maya lari pergi dari dalam perut gunung.
“Eh-eh, perlahan dulu... wah, bisa jatuh aku...!” Maya terengah-engah karena temannya itu berlari cepat sekali melalui terowongan yang amat curam, tebing yang berada di punggung goa itu dan yang agaknya tidak bisa didatangi manusia kecuali dari jalan terowongan dalam tubuh gunung itu.
“Makan itu!” Anak itu berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah sebatang pohon yang tumbuh di lereng tebing yang curam tadi. Setelah berkata demikian, anak itu lari meninggalkan Maya sambil berkata, “Aku takut! Takut!” dan sebentar saja dia sudah lenyap, lari pergi melalui terowongan tadi, agaknya hendak kembali.
Jantung Maya berdebar tegang. Takut apakah? Apa ada bahaya di situ? Ia memandang dan ternyata sunyi saja di situ, sunyi yang aneh sekali karena agaknya tidak terdapat mahluk hidup di tebing itu. Bahkan tidak tampak burung terbang seekor pun. Tempat apakah ini? Ia memandang ke arah pohon yang ditunjuk oleh anak tadi. Pohon apakah itu? Daunnya lebat hijau kebiruan, batangnya tinggi sekali seperti pohon raksasa. Disuruh makan itu? Apa maksudnya anak tadi? Apanya yang dimakan?
Maya termenung dan memutar otaknya, berusaha menyelami kata-kata dan pikiran anak yang ia tahu amat sederhana jalan pikirannya itu. Tadi ia bertanya tentang ginkang mereka, kemudian anak itu kelihatan takut-takut, menoleh ke sana-sini. Hal ini tentu berarti bahwa anak itu takut untuk bicara tentang ginkang mereka, atau mungkin sekali bahwa kepandaian mereka yang khas itu merupakan rahasia mereka. Agaknya mereka mengerti bahwa keringanan tubuh dan kecepatan gerakan mereka itu amat berguna dan penting bagi mereka, untuk mengejar binatang buruan, atau untuk melarikan diri dari bahaya.
Kemudian anak itu mengajaknya ke tempat aneh ini yang belum pernah ia kunjungi, menunjuk ke arah pohon dan menyuruh dia makan itu lalu melarikan diri karena takut! Hemm, kiranya tidak salah lagi. Gerakan ginkang mereka tidak mengandung dasar ilmu silat, melainkan keringanan tubuh sewajarnya yang timbul dalam tubuh mereka. Tentu pohon itulah yang menjadi rahasianya. Makan apanya? Tentu buahnya ataukah daunnya? Dan anak itu lari ketakutan karena mungkin pohon itu merupakan rahasia besar keluarganya. Karena telah membawa Maya ke situ, tentu saja dia takut kalau mendapat hukuman.
Maya mulai mempelajari keadaan tebing. Pohon itu jauh di bawah, sedikitnya ada lima ratus kaki jauhnya dari pinggir tebing. Dia mencari-cari jalan turun, akan tetapi tidak ada sama sekali. Kalau dia hendak pergi ke pohon itu, dia harus merayap turun! Padahal tebing itu curam bukan main, dasarnya tidak tampak, jauh di bawah pohon itu. Dindingnya curam dan licin, rata, hanya ada lubang-lubang di permukaan batu yang menjadi dinding tebing, mana mungkin memanjat turun? Sekali terpeleset dan terpelanting ke bawah, sama halnya jatuh dari langit!
Maya bergidik ngeri. Betapa mengerikan! Mengerikan? Masa menghadapi yang begini saja mengerikan? Setelah semua yang pernah ia alami, dipaksa mengikuti gerombolan manusia iblis yang dipimpin Bhutan, menyaksikan perkosaan dan pembunuhan sambil menghadapi bahaya maut berkali-kali, setelah terkubur di bawah tumpukan mayat-mayat manusia, mandi darah mereka, setelah ia terancam maut secara mengerikan dalam tangan sepasang manusia iblis dari India, apa artinya menuruni tebing macam itu? Tidak seberapa!
Kenangan akan segala bahaya yang pernah ia alami, semua kengerian yang telah dihadapinya, hati Maya mengeras dan ketika ia kembali memandang ke bawah tebing, dia tidak merasa ngeri lagi! Keberaniannya timbul kembali, semangatnya bangkit. Kalau benar pohon itu mendatangkan ginkang sehebat yang dimiliki orang-orang itu, dia harus mendatanginya. Bahaya terpeleset yang dihadapinya akan sepadan dengan pahala yang akan diperolehnya kalau dia berhasil! Soalnya hanya mati atau hidup! Dan mati atau hidup bukan dia yang menentukan! Asal dia berhati-hati, kalau sampai gagal dan mati pun tidak akan penasaran lagi!
Dengan hati-hati sekali mulailah Maya menuruni tebing itu. Ia merayap seperti seekor kera, sedikit demi sedikit turun ke bawah. Kakinya meraba-raba mencari injakan, disusul tangannya yang mencari pegangan. Memang sukar dan amat berbahaya. Di sana-sini terdapat akar-akar atau batu menonjol yang dapat dipergunakan sebagai injakan kaki dan pegangan tangan, akan tetapi ia harus berhati-hati dan menguji lebih dulu kekuatan akar atau batu itu sebelum dipergunakan untuk menahan tubuhnya. Sekali akar putus atau terlepas, dia akan melayang ke bawah, hancur lebur di dasar yang tak tampak dari situ saking dalamnya! Begitu hati-hati dan lambat Maya merangkak menuruni tebing itu sehingga jarak yang hanya lima ratus kaki itu ditempuhnya dalam waktu lebih dari dua jam!
Akan tetapi akhirnya ia dapat sampai juga ke pohon besar dengan napas terengah-engah dan tubuh penuh keringat. Kaki tangannya menggigil gemetar saking lelahnya. Namun wajahnya berseri-seri ketika memandang ke atas pohon karena tampak olehnya buah-buah berbentuk bulat lonjong yang berwarna merah!
Setelah mengatur napasnya dan kaki tangannya tidak gemetaran lagi, Maya lalu memanjat pohon itu. Jantungnya berdebar ketika tangannya meraba buah-buah merah. Dipetiknya lima butir buah yang paling besar dan paling merah, lalu ia membawa buah-buah itu turun ke bawah pohon. Tanah di bawah pohon itu terjepit batu-batu dan luasnya ada tiga empat meter sehingga tempat ini merupakan tempat yang paling aman.
Tanpa mempedulikan lagi akibatnya, dia lalu mulai makan sebutir buah. Bukankah anak perempuan itu mengatakan “makan itu”? Rasa buah itu manis-manis masam dan mengandung rasa keras seperti arak. Akan tetapi amat lezat bagi Maya yang sudah haus dan lapar itu, apa lagi disertai harapan bahwa buah ini mengandung khasiat yang luar biasa untuk meningkatkan ginkangnya. Habislah lima butir buah itu dan Maya merasa kenyang sekali.
Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya, menekan-nekan perutnya karena perutnya terasa mulas sekali, makin lama makin hebat, melilit-lilit seperti diremas-remas. Maya merintih-rintih ketika perutnya mengeluarkan bunyi. Tak tertahan lagi rasa nyeri perutnya. Cepat Maya menggunakan kedua lengannya yang gemetar untuk membukai pakaiannya. Sambil merintih-rintih dan setengah sadar, dia menguras perutnya sampai tubuhnya terasa lemas dan habis kekuatannya.
Setelah isi perutnya terkuras ke luar semua, agak reda rasa nyeri di perutnya, akan tetapi kini tulang-tulang di tubuhnya mulai terasa nyeri dan kuku-kuku jari, sambungan-sambungan tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan. Sakitnya bukan main dan akhirnya, dalam keadaan setengah telanjang. Maya roboh pingsan di bawah pohon!
Dia tidak tahu berapa lamanya ia pingsan. Ketika sadar, ia segera mencuci tubuh dan pakaiannya yang kotor dengan air yang mengucur ke luar dari celah-celah batu dekat pohon. Tubuhnya terasa sehat akan tetapi lemas sekali, dan perutnya berbunyi terus minta diisi, lapar bukan main. Setelah tubuh dan pakaiannya tercuci bersih, Maya kembali memanjat pohon.
Dia berlaku nekat. Kalau buah pohon itu benar-benar mempunyai khasiat dan mendatangkan keuntungan bagi dirinya, syukurlah. Kalau sebaliknya akan meracuni tubuhnya, biarlah! Apa pun akibatnya dia harus makan buah pohon itu karena di situ tidak ada benda lain yang boleh dimakan, sedangkan perutnya amat lapar, tenaganya habis sehingga tanpa dipulihkan tenaganya, tidak mungkin ia kembali memanjat ke atas. Baru turunnya saja sudah begitu sukar, apa lagi kakinya dan tubuhnya begitu lemah pula.
Kenekatan hati Maya ini ternyata amat menguntungkannya. Kalau dia jeri setelah menderita hebat akibat makan buah itu sehingga tidak berani makan lagi, tentu dia akan kehabisan tenaga di tempat itu dan tidak dapat naik lagi. Setelah kini ia makan buah itu lagi dengan hati-hati, hanya menghabiskan sebutir, perutnya kenyang dan tubuhnya terasa enak sekali, nyaman dan ringan, ringan! Ia mencoba berloncatan. Benar-benar ringan! Bukan main! Dia dapat meloncat dua kali lebih tinggi dari pada biasa!
Bukan main girangnya hati Maya. Selama tiga malam dia berada di bawah pohon itu, setiap hari hanya makan buah merah dan minum air pancuran. Pada hari ke empat, ia mulai merasa khawatir. Betapa pun bodoh orang-orang itu, kalau akhirnya mereka melihatnya di pohon yang mereka rahasiakan, dia bisa celaka. Dia harus naik dan kembali kepada mereka. Maya mengambil lima butir buah merah, mengantunginya dan kemudian mencoba untuk memanjat naik. Hampir ia berteriak saking girangnya karena sekarang pekerjaan ini dapat ia lakukan dengan amat mudahnya!
Bahkan ia dapat setengah berlari memanjat naik, berpegang kepada lubang-lubang dan akar-akar di permukaan dinding tebing. Hal ini adalah karena beberapa sebab. Pertama memang khasiat buah-buah yang dimakannya selama tiga hari itu membuat gerakannya ringan dan gesit, dan kedua, kakinya di dalam pendakian, naik lebih mudah dari pada turun. Kalau turun, selain harus melihat ke bawah yang menimbulkan rasa ngeri, juga yang mencari jalan adalah kaki, maka tentu saja amat sukar. Sebaliknya, kalau naik, mata kita mudah saja mencari pegangan batu dan kita tidak terganggu oleh pemandangan yang mengerikan di bawah.
Kini dalam waktu beberapa menit saja Maya telah tiba di atas! Ia membalik dan tersenyum-senyum memandang pohon yang tumbuh jauh di bawah itu. Ingin ia menari-nari saking girangnya, akan tetapi begitu teringat kepada orang-orang aneh yang berada di dalam perut bukit, lenyap kegembiraannya, terganti kekhawatiran. Bagaimana sikap mereka nanti kalau melihat dia kembali setelah menghilang selama tiga hari?
Maya memasuki terowongan dan berlari cepat sekali. Setelah tiba di ruangan luas dalam bukit, di situ sunyi sekali, tidak tampak seorang pun. Tentu mereka sedang bermain-main di luar, pikirnya. Karena perutnya lapar sekali, makan buah merah terus-menerus selama tiga hari tidak dapat mengenyangkan perutnya lagi, maka dia lalu menyerbu sisa makanan yang berada di ruangan itu, daging panggang yang masih hangat dan buah-buahan lain yang mengenyangkan perut. Setelah kenyang, barulah ia berlari melalui terowongan yang menuju ke luar.
Benar saja seperti dugaannya, tiga puluh lima orang itu semua berkumpul di depan goa dan bermain-main, bahkan kini rombongan serigala yang dua puluh ekor lebih jumlahnya ikut pula bermain-main di situ, ‘dipimpin’ oleh seorang anak laki-laki yang memegang ranting pohon. Masih heran hati Maya menyaksikan betapa binatang-binatang serigala yang buas dan yang di dunia ramai merupakan binatang paling sukar dijinakkan kini lebih jinak dari pada anjing-anjing pilihan di bawah ancaman sebatang ranting di tangan seorang kanak-kanak!
Akan tetapi ia terkejut bukan main, memandang terbelalak dan menahan napas ketika ia memandang ke arah orang-orang tua yang berkumpul di sebelah kanan. Di antara mereka itu ada yang sedang menari-nari berjingkrakan seperti biasa, akan tetapi ada pula yang sibuk menyayat-nyayat daging dan memanggang daging itu. Kalau yang disayat-sayat dagingnya itu bangkai seekor binatang buruan, tentu Maya tidak akan melongo. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa yang disayat-sayat dan diambil dagingnya yang dipanggang itu adalah... mayat manusia! Dan tak jauh dari situ tampak seekor kuda yang dicancang. Celaka! Mereka agaknya membunuh manusia dan kini memanggang dagingnya! Maya bergidik dan perutnya terasa mual hendak muntah. Cepat ia berlari ke arah mereka dan bertanya kepada nenek pemimpin mereka.
“Apa ini? Mengapa kalian membunuh orang?”
Nenek itu memandang kepadanya, berteriak girang. “Heeiii, Maya telah kembali!”
Semua orang bersorak-sorak girang dan menari-nari mengelilingi Maya, akan tetapi gadis cilik ini membanting kaki dan membentak.
“Kenapa kalian membunuh orang ini?” Dia menuding ke arah mayat yang sudah tak karuan macamnya karena daging pada lengan, dada, pinggul, paha dan betis telah diambil dan dipanggang!
“Dia membunuh, kami pun membunuh. Sama!” Nenek itu menerangkan sambil menunjuk ke arah bangkai seekor serigala. Mengertilah kini Maya. Kiranya orang asing yang datang menunggang kuda ini telah membunuh seekor di antara serigala-serigala peliharaan mereka, maka orang-orang aneh itu lalu mengeroyok dan membunuhnya, bahkan mulai memanggang dagingnya!
“Wah, tidak boleh! Tidak boleh makan dagingnya...!”
Tiba-tiba sebutir buah merah meloncat ke luar dari kantungnya ketika ia membanting kaki. Buah itu menggelinding ke dekat kaki nenek pemimpin yang seketika berteriak kaget, mengambil buah itu, mengangkatnya tinggi-tinggi dan ia menjerit-jerit penuh kemarahan, jeritan yang tidak dimengerti artinya oleh Maya.
Semua orang lari berdatangan, cepat sekali dan makin ramailah mereka berteriak-teriak, bahkan ada yang seperti menangis sehingga Maya menjadi bingung sekali. Tiba-tiba nenek itu mengeluarkan suara menggereng dan menggonggong yang aneh sekali. Dan segerombolan serigala itu membalas dengan gonggongan meraung-raung, kemudian lari mendatangi. Nenek itu menuding ke arah Maya dan... serigala-serigala itu langsung saja menyerang Maya!
Maya terkejut, cepat melompat menghindar. Orang-orang itu sejenak memandangnya, kemudian berserabutan mereka lari memasuki goa, meninggalkan Maya yang diserbu oleh gerombolan serigala buas. Agaknya semua orang itu berlomba memasuki goa dan sikap mereka cemas dan marah. Maya yang kembali diserbu serigala-serigala buas itu cepat menendang seekor serigala terdepan, kemudian ia membalikkan tubuh dan lari.
Sambil menyalak-nyalak, dua puluh ekor serigala mengejarnya. Maya teringat akan kuda yang berada tak jauh dari situ, maka cepat ia lari menghampiri, meloncat ke punggung kuda, merenggut kendali yang dicancang, lalu membalapkan kuda itu. Akan tetapi rombongan serigala itu tetap mengejar dengan kecepatan luar biasa. Kuda meringkik-ringkik ketakutan, berusaha lari cepat, akan tetapi sebentar saja dapat disusul dan diserang kedua kaki belakangnya. Kuda terpekik dan terguling.
Maya cepat mendahului meloncat dan ia bergidik ngeri ketika melihat betapa gerombolan serigala itu kini menerkam tubuh kuda seperti serombongan semut mengeroyok seekor jangkerik. Memperoleh kesempatan selagi gerombolan serigala itu berpesta memperebutkan bangkai kuda, Maya lalu lari lagi, bukan lari menjauh melainkan, kembali ke bukit karena lari ke depan yang merupakan padang rumput amatlah berbahaya, tidak ada tempat sembunyi.
Ia berlari cepat, akan tetapi tiba-tiba dari samping bukit muncul serombongan serigala lain, dan dari belakang pun serigala-serigala yang tadi sudah mengejar lagi. Celaka, pikirnya. Mengapa aku begini bodoh? Kalau tadi meloncat ke atas pohon, tentu selamat. Kini ia telah terjepit dari depan dan belakang, tidak ada pohon di situ, yang ada hanyalah batu-batu karang bertumpuk-tumpuk. Tiba-tiba ia melihat celah-celah di antara batu karang yang merupakan sebuah goa kecil. Hanya itulah tempat ia dapat sembunyi, maka tanpa berpikir panjang lagi Maya lalu berlutut dan merangkak hendak memasuki goa yang amat kecil.
“Brett!” Ujung bajunya robek digigit seekor serigala dari belakang!
“Wekkk!” Celana di lutut kanan juga robek.
“Setan!!” Maya menjadi marah. Segera ia membalikkan tubuh, menendang serigala yang menggigit celananya sehingga binatang itu terlempar, kemudian tangannya yang sudah menyambar batu itu bergerak.
“Prakk! Kainggg... kainggg...!” Serigala kedua memekik-mekik dan berkelojotan dengan kepala hampir remuk.
Segera dia diserbu kawan-kawannya sendiri yang haus darah itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Maya untuk menyusupkan tubuhnya ke dalam goa kecil, kemudian tumit kakinya menendang-nendang batu yang menonjol di atas sehingga batu akhirnya terlepas dan jatuh menutup goa kecil!
Maya terus merangkak maju, makin lama makin gelap dan sempit, akan tetapi ia tidak mau berhenti. Siapa tahu serigala-serigala itu dapat membuka penutup goa dan tentu saja mereka dapat merangkak lebih cepat. Kalau sampai dia tersusul di tempat sempit ini, apa yang dapat ia lakukan? Membalikkan tubuh tidak bisa, bagaimana mungkin melawan binatang-binatang itu dengan dua tumit kaki? Tentu kakinya akan habis digerogoti, lalu sepasang daging pinggulnya! Bulu tengkuknya meremang dan ia bergidik membayangkan semua itu.
Akan tetapi tidak ada serigala yang mengejarnya. Maya tidak tahu bahwa sebangsa serigala paling takut memasuki lubang yang tidak dikenalnya, hanya menyalak-nyalak dari luar menantang dan memancing penghuni lubang untuk keluar. Mungkin binatang ini takut kalau-kalau ada bahaya, misalnya serangan ular yang akan menyambut mereka di dalam lubang yang gelap.
Akhirnya terowongan kecil itu membawa Maya ke dalam terowongan besar yang menuju ke ruangan tempat tinggal orang-orang aneh. Akan tetapi keadaan di situ sunyi sekali. Maya terheran-heran dan cepat ia berdiri melalui terowongan itu ke dalam ruangan besar. Tak seorang pun nampak di situ. Ke manakah mereka? Tiba-tiba Maya mendapat pikiran bahwa mungkin sekali mereka itu beramai-ramai menuju ke pohon rahasia mereka untuk melihat bagaimana keadaan pohon itu setelah diketemukan Maya.
Karena di luar menanti bahaya berupa anjing-anjing serigala, Maya lalu mengambil keputusan untuk menyusul orang-orang itu. Setelah mereka melihat bahwa dia tidak mengganggu pohon, tentu mereka tidak akan marah lagi, pikirnya. Dia tidak suka kepada mereka, apa lagi setelah melihat mereka membunuh dan makan daging manusia. Akan tetapi pada saat itu, tidak ada jalan lain kecuali berbaik dengan mereka dan kelak mencari kesempatan untuk meninggalkan mereka.
Maya mendengar sorak-sorai mereka, maka ia mempercepat larinya dan akhirnya ia tiba di tebing yang curam. Tak tampak seorang pun di situ, akan tetapi suara mereka datang dari bawah tebing! Ia terheran-heran dan cepat menghamplrl tebing dan memandang ke bawah. Kiranya tiga puluh lima orang itu semua berada di sana, di pohon itu! Dan hebatnya, besar kecil tua muda semua memanjat pohon dan beramai-ramai mengambil buah sambil bersorak-sorak!
“Kraaaakkkk...!”
Seketika wajah Maya menjadi pucat. “Celaka!” serunya ketika melihat dari atas betapa pohon itu tumbang berikut akar-akarnya, kemudian melayang kebawah membawa tiga puluh lima orang yang masih bersorak-sorak, agaknya tidak sadar bahwa maut mengerikan menanti mereka jauh di bawah, di dasar yang tidak tampak!
Maya memandang dengan wajah pucat sampai pohon yang melayang-layang turun itu tidak kelihatan lagi. Ia memejamkan matanya, napasnya memburu. Pemandangan tadi terlampau hebat, terlalu mengerikan. Kemudian ia termenung di pinggir tebing dan mengenangkan semua peristiwa itu. Dia kini mengerti bahwa agaknya, setelah pohon yang mempunyai khasiat luar biasa itu dia ketahui, orang-orang itu merasa khawatir kalau-kalau ia akan ‘menghabiskan’ buah itu! Betapa bodohnya! Karena kekhawatiran itulah agaknya maka mereka semua, tanpa kecuali, lalu mendatangi pohon untuk mengambil semua buahnya, baik yang merah mau pun yang masih hijau, yang besar mau pun yang masih pentil.
Karena tidak kuat menahan tubuh tiga puluh orang yang semua memanjat dan mengenjot-ngenjot dahan sambil bersorak-sorak, akhirnya pohon itu tumbang, jebol berikut akar-akarnya yang tidak dapat mencengkeram tanah terlalu kuat karena terhalang batu-batu karang! Maka habislah riwayat orang-orang aneh itu, dan habis pula riwayat pohon yang mempunyai khasiat begitu luar biasa. Teringat ini, Maya meraba kantungnya. Ia merasa menyesal sekali bahwa dari lima butir buah yang dibawanya, kini tinggal sebutir lagi, yang empat entah lenyap di mana. Tentu terjatuh ketika dia dikejar-kejar gerombolan serigala...