CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 07
Khu Tak San maklum bahwa orang itu sengaja mempergunakan nama ‘Istana kaisar’ untuk menggertak kalau-kalau ada niat jahat hendak merampok kereta, maka ia tersenyum dan berkata, “Harap Cu-wi tidak usah khawatir. Aku orang she Khu bukanlah perampok, maka tidaklah perlu Cu-wi menyebut nama istana Kaisar. Ha-ha-ha!”
Akan tetapi pemimpin piauwsu itu cepat berkata dengan suara tegas, “Kami harap Khu-sicu tidak mentertawakan kami karena sesungguhnyalah bahwa yang kami kawal adalah barang-barang sumbangan dari para pedagang dan pembesar daerah kami untuk Kaisar.”
Tertariklah hati Khu Tek San. Ia adalah seorang panglima dan bahkan seorang yang mempunyai kedudukan cukup penting di kota raja, sebagai pembantu Menteri Kam, maka cepat dia bertanya, “Maafkan kalau tadi aku salah duga. Akan tetapi ada terjadi urusan apakah di kota raja maka para pedagang dan pembesar mengirim sumbangan kepada Kaisar?”
“Aihhh! Agaknya Sam-wi telah lama meninggalkan selatan!” Pimpinan piauwsu itu berseru heran. “Kota raja telah ramai dan dalam keadaan pesta-pora karena Kaisar akan merayakan pernikahan seorang di antara puteri-puteri istana. Siapakah yang tidak mendengar bahwa Kaisar akan menghadiahkan puteri tercantik, kembangnya istana, Puteri Song Hong Kwi kepada Raja Yucen?”
“Ouhhh...!”
“Susiok...! Kau.... kau... kenapakah....?”
Tiba-tiba Tek San meloncat turun dari kudanya dan menangkap kendali kuda yang diduduki Han Ki karena tiba-tiba saja pemuda itu duduk miring di atas kudanya dan kudanya hendak lari karena kendalinya tidak dikuasai Han Ki.
“Ahhh... tidak apa-apa...” Han Ki berkata. Ia sudah dapat menguasai kembali hatinya yang terguncang hebat mendengar keterangan piauwsu itu. Akan tetapi wajahnya menjadi pucat sekali dan dahinya berkeringat. “Mari... kita melanjutkan perjalanan secepatnya!”
Khu Tek San masih merasa heran menyaksikan pemuda itu yang tiba-tiba menjadi pucat dan muram wajahnya. Akan tetapi dia tidak berani bertanya dan mendengar ajakan Han Kit dia berkata, “Rombongan piauwsu ini mengawal barang-barang sumbangan untuk istana. Sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu mereka menyelamatkan barang-barang ini sampai ke istana. Sebaiknya kita melakukan perjalanan bersama mereka.”
Alasan itu kuat sekall dan Han Ki yang tidak ingin terbuka rahasia hatinya mengangguk. Tujuh orang piauwsu itu girang sekali ketika rmendengar pengakuan Khu Tek San bahwa dia adalah seorang Panglima Sung dan hendak memperkuat pengawalan atas barang-barang yang hendak disumbangkan kepada Kaisar. Maka berangkatlah rombongan yang kini terdiri dari sepuluh orang itu.
Di sepanjang perjalanan Maya mendapat kenyataan betapa terjadi perubahan besar sekali atas diri Han Ki. Dia membenci pemuda yang dianggapnya sombong itu, akan tetapi entah mengapa dia selalu memperhatikan Han Ki. Tanpa disadarinya, dia selalu memandang dan memperhatikan pemuda yang ‘dibencinya’ itu sehingga delapan orang teman seperjalan dan yang lain seolah-olah tidak tampak lagi olehnya! Karena selalu menaruh perhatian secara diam-diam inilah yang membuat Maya dapat mellhat perubahan hebat atas diri Han Ki.
Pemuda itu kelihatan murung sekali dan seperti bunga melayu dan mengering kekurangan air. Pemuda itu tidak lagi mau bercakap-cakap, selalu menjauhkan diri di waktu mereka beristirahat, duduk menjauh lalu termenung dengan alis berkerut. Bahkan Han Ki jarang sekali mau makan kalau tidak didesak-desak oleh Tek San yang juga merasa heran dan khawatir akan keadaan pemuda itu yang selalu mengelak kalau ditanya. Di waktu malam Maya melihat betapa Han Ki tidak pernah tidur, duduk melamun menggigit kuku jari tangan atau menggigiti sebatang rumput yang dicabutnya dari dekat kaki.
Bahkan sering kali Maya mendengar dia menarik napas panjang dan mengeluh lirih, keluhan yang mengandung rintihan seolah-olah pemuda itu merasa berduka sekali, rasa duka yang ditahan-tahan dan hendak disembunyikan dari orang lain. Kadang-kadang Maya melihat pemuda itu mengusapkan punggung tangannya ke depan mata sehingga ia dapat menduga bahwa pemuda itu telah menangis sungguh pun tak pernah ia dapat melihat air matanya.
Memang amat berat penanggungan yang diderita di hati Han Ki. Ketika mendengar penuturan piauwsu tentang hendak dinikahkannya Puteri Sung Hong Kwi, seolah-olah ada petir menyambar kepalanya, langsung memasuki jantung, menghanguskan hati dan menghancurkan perasaannya. Hong Kwi, kekasihnya itu akan dikawinkan dengan Raja Yucen! Membayangkan wanita satu-satunya di dunia ini yang dicintanya sepenuh hati dan nyawanya menjadi isteri orang lain membuat Han Ki merasa tertusuk perasaannya dan ia seolah-olah kehilangan gairah hidup.
Kalau saja Hong Kwi adalah seorang gadis biasa, tentu dia tidak akan segelisah itu. Kalau sudah sama mencinta, tentu dia akan dapat mengajak Hong Kwi pergi jauh meninggalkan segala keruwetan dunia. Akan tetapi Hong Kwi adalah seorang puteri Kaisar! Mencintanya saja sudah merupakan hal yang langka, meminangnya akan merupakan hal yang amat sukar dan dia hanya dapat mengandalkan bantuan Menteri Kam. Kini Hong Kwi sudah dijodohkan dengan orang lain, bukan sembarang orang melainkan Raja Yucen sendiri! Bagaimana mungkin ia akan dapat berdaya memiliki kekasihnya? Mengajaknya lari? Tidak mungkin! Habis, apa yang akan ia lakukan? Han Ki tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri dan dia makin gelisah, berduka dan putus harapan.
Keadaan Han Ki yang makin pucat dan makin berduka serta wajahnya yang selalu murung itu mendatangkan perasaan aneh sekali di hati Maya. Kini melihat keadaan pemuda itu, lenyap sama sekali rasa benci di hati gadis cilik ini, berubah menjadi perasaan iba dan khawatir! Ia seakan-akan terseret ke dalam lembah duka, terbawa oleh arus kedukaan yang ditimbulkan Han Ki. Berkali-kali secara berbisik-bisik ia bertanya kepada Khu Tek San, namun panglima ini pun tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda itu kelihatan begitu bersedih. Untuk bertanya, dia tidak berani.
Sebagai seorang yang berpengalaman Khu Tek San maklum bahwa seorang pemuda aneh seperti Han Ki, kalau menyimpan rahasia, biar dipaksa sampai mati sekali pun tidak akan membuka rahasianya itu, dan kalau ditanya, tentu akan menimbulkan ketidaksenangan. Maka dia hanya memandang dengan khawatir, diam-diam mengambil keputusan untuk melaporkan sikap Han Ki yang penuh duka itu kepada gurunya kelak.
Malam itu rombongan terpaksa bermalam di dalam sebuah hutan yang besar karena hujan turun sebelum mereka dapat keluar dari hutan mencapai sebuah dusun. Untung bagi mereka bahwa di hutan itu terdapat pegunungan karang yang banyak goanya sehingga mereka dapat berteduh di dalam goa sambil mengobrol di dekat api unggun. Beberapa orang di antara mereka memasak air dan menghangatkan bekal makanan.
Hujan telah mereda dan akhirnya terhenti sama sekali ketika rombongan itu mulai makan. Seperti biasa, Khu Tek San dan Maya mendapat bagian dari mereka, akan tetapi kembali Han Ki tidak mau makan, malah keluar dari goa dan duduk menyendiri di atas batu di bawah pohon. Dia duduk melamun di bawah sinar bulan yang mulai muncul setelah awan habis menimpa bumi menjadi air hujan dan angkasa menjadi bersih membiru.
Hawa udara malam itu amat dingin sehingga hawa dingin masih terasa oleh mereka yang duduk dekat api unggun di dalam goa. Namun Han Ki duduk termenung tanpa membuat api unggun dan dia tidak kelihatan kedinginan. Hal ini adalah karena Han Ki telah memiliki sinkang yang amat kuat di tubuhnya sehingga dia dapat membuat tubuhnya terasa hangat melawan hawa dingin dari luar tubuh.
Biar pun sedang melamun dan semangatnya seperti melayang-layang jauh, namun panca indranya yang terlatih itu membuat Han Ki sadar bahwa ada orang melangkah mendekat dari belakangnya. Langkah yang ringan namun bukan langkah seorang musuh, maka dia diam saja biar pun seluruh urat syaraf di tubuhnya, seperti biasa siap menghadapi segala bahaya.
“Paman Han Ki...”
Alis Han Ki berkerut makin dalam sehingga sepasang alis itu seperti akan bersambung. Kiranya Maya yang datang dan panggilan itu benar menambah panas hatinya yang sedang mengkal. Selama dalam perjalanan semenjak ‘percekcokan’ mereka dahulu, gadis cantik itu tidak pernah menegurnya, bahkan tidak pernah mau memandang langsung dan cepat-cepat membuang pandang matanya kalau kebetulan pandang mata mereka bersilang. Anak yang manja, nakal, galak dan angkuh! Akan tetapi sekarang tiba-tiba datang dan memanggilnya paman!
“Aku bukan pamanmu! Lupa lagikah engkau?” Han Ki berkata ketus, tanpa menoleh.
Akan tetapi Maya melanjutkan langkahnya dan kini berdiri di depan Han Ki yang duduk di atas batu, menunduk. “Memang kita orang lain. Biarlah kusebut saja namamu. Han Ki, aku datang membawa makanan untukmu. Makanlah!”
Han Ki terkejut dan terheran sehingga di luar kesadarannya ia mengangkat muka memandang. Gadis cilik ini benar-benar amat cantik jelita. Masih kecil sudah jelas tampak kecantikannya. Wajah yang tertimpa sinar bulan itu demikian cantik seperti bukan wajah manusia. Pantasnya seorang bidadari! Dan Maya berdiri menunduk, memandangnya dangan sikap seorang ibu terhadap seorang puteranya dengan sikap hendak menghibur!
Panas rasa perut Han Ki dan ia menjawab ketus. “Aku tidak mau makan! Kalau aku ingin makan, masa aku menanti kau datang membawakan makanan untukku? Pergilah dan bawa makanan itu, kau makan sendiri!”
Han Ki merasa pasti bahwa jawaban ini tentu akan membuat marah gadis cilik yang galak itu dan memang demikian yang ia kehendaki agar bocah ini segera pergi, tidak mengganggu dia yang sedang melamun. Akan tetapi sungguh mengherankan, Maya tidak menjadi marah! Tidak melangkah pergi, masih berdiri di situ memegang mangkok makanan, bahkan terdengar ia berkata lirih.
“Han Ki, engkau selalu berduka, tidak makan tidak tidur. Wajahmu pucat, tubuhmu kurus dan engkau selalu muram dan layu. Mengapakah?”
Han Ki merasa makin jengkel. Bocah ini benar-benar lancang mulut. Bocah seperti dia ini berani bertanya-tanya tentang urusan yang menjadi rahasia hatinya! Kalau dia tidak ingat bahwa anak perempuan yang berdiri di depannya ini adalah puteri Raja Khitan, tentu sudah ditamparnya!
“Engkau cerewet benar! Pergilah dan jangan tanya-tanya hal yang tiada sangkut-pautnya dangan dirimu!” la membentak lirih agar jangan terdengar oleh orang-orang lain di dalam goa.
“Hemmmm, di dunia ini tidak ada peristiwa yang aneh! Segala yang terjadi adalah wajar, siapa yang memaksa kita harus bersuka atau berduka? Yang telah terjadi tetap terjadi, peristiwa yang sudah terjadi merupakan hal yang telah lewat dan tidak mungkin dapat dirubah lagi, seperti lewatnya matahari dari timur kemudian lenyap di barat. Tergantung kepada kita bagaimana menerima terjadinya peristiwa itu. Mau diterima dangan duka atau dengan suka, tidak ada yang memaksa dan tidak akan mempengaruhi atau merubah kejadian itu. Karena itu, mengapa berduka? Muka yang berduka tidak sedap dipandang! Dari pada menangis, lebih baik tertawa! Dari pada berduka lebih baik bersuka kalau keduanya tidak merubah nasib!”
Han Ki meloncat bangun seolah-olah kepalanya disiram air es! la memandang gadis cilik itu dangan mata terbelalak dan mulut ternganga, hampir tidak percaya bahwa kata-kata yang keluar tadi adalah ucapan Maya.
“Kau... kau... sekecil ini... sudah berpendapat sedalam itu??”
Maya tersenyum, girang melihat betapa ucapannya seolah-olah menyadarkan Han Ki dari alam duka. “Aku hanya mendengar wejangan mendiang Ayah... eh, Pamanku Raja Khitan. Akan tetapi wejangan itu menjadi peganganku ketika aku dilanda malapetaka dan sengsara. Ayah bundaku telah tiada, Raja dan Ratu Khitan yang menjadi ayah bunda angkat dan yang kucinta melebihi ayah bunda kandungku sendiri yang tak pernah kukenal, telah gugur semua. Kerajaan Khitan hancur. Semua milikku, semua keluargaku terbasmi habis. Adakah kesengsaraan yang lebih hebat dari pada yang kualami? Namun aku tidak terpendam atau tenggelam kedukaan seperti engkau! Karena aku berpegang kepada wejangan Raja Khitan tadi. Biar aku menangis dengan air mata darah, semua milikku takkan kembali, semua keluargaku takkan hidup lagi. Maka, perlu apa menangis?”
Sejenak Han Ki memejamkan matanya dan teringatlah ia akan semua nasihat dan wejangan Bu Kek Siansu, gurunya. Terbukalah mata hatinya dan sadarlah dia betapa selama ini ia benar-benar telah bersikap bodoh dan lemah! Ia terharu sekali dan tiba-tiba ia memegang pinggang Maya dengan kedua tangan, mengangkat tinggi-tinggi tubuh Maya sambil tertawa bergelak!
“Ha-ha-ha-ha! Seorang paman baru sadar setelah mendengar nasihat keponakannya! Betapa lucunya! Terima kasih, Maya, anak manis! Terima kasih banyak!”
Akan tetapi tubuh Maya meronta dan kedua kakinya menendang-nendang marah. “Turunkan aku! Aku bukan anak kecil!”
Han Ki tersenyum dan menurunkan tubuh Maya. Benar-benar anak ini luar biasa sekali. Sikapnya aneh, kadang-kadang bersikap seperti orang dewasa!
“Dan aku bukan keponakanmu. Ingat Han Ki. Engkau bukan pamanku melainkan sahabatku. Sahabat baik! Nah, makanlah!”
Han Ki duduk di atas batu sambil tersenyum, menerima mangkok itu dan makan dangan lahapnya. Maya pergi dari situ dan kembali lagi membawa makanan lebih banyak yang semua disikat habis oleh Han Ki. Pemuda itu baru sekarang merasa betapa lapar perutnya dan betapa tubuhnya amat membutuhkan makanan. Kemudian, setelah minum air dan arak yang disediakan Maya sehingga perutnya terasa penuh kekenyangan, dia merebahkan diri telentang dan tidur pulas! Dia tidak tahu betapa Maya duduk di dekatnya, memandang wajahnya sambil tersenyurm puas! Tidak tahu betapa Maya membuat api unggun tidak jauh dari situ sebelum meninggalkannya, masuk ke dalam goa untuk tidur ditemani Khu Tek San.
Semenjak malam itu Han Ki dapat menguasai dirinya lagi. Dia makan dan tidur seperti biasa sesuai dangan kebutuhan tubuhnya, tidak lagi kehilangan semangat sehingga wajahnya tidak pucat lagi, tubuhnya juga pulih. Kini hubungannya dangan Maya menjadi baik dan bahkan akrab, sering kali mereka duduk bercakap-cakap dan Han Ki menceritakan pengalaman-pengalamannya yang luar biasa di dunia kang-ouw, atau kadang-kadang memberi petunjuk ilmu kepada gadis cilik itu.
Akan tetapi tak mungkin dia dapat melupakan hal yang mengecewakan hatinya, yaitu tentang Sung Hong Kwi yang akan dikawinkan dangan Raja Yucen. Kalau teringat kepada kekasihnya, mau tidak mau Han Ki termenung. Hanya kelincahan Maya saja yang selalu membuyarkan kedukaan ini dan mendatangkan kegembiraan di hatinya.
Sementara itu, rombongan telah melakukan perjalanan jauh dan pada suatu hari mereka memasuki sebuah hutan besar di sebelah utara tapal batas kota raja. Hutan ini sudah lama terkenal sebagai daerah yang berbahaya karena di situ sering kali dihuni oleh perampok-perampok ganas yang menghadang perjalanan yang menghubungkan kota raja dangan daerah utara. Khu Tek San yang mengenal daerah ini segera memperingatkan para piauwsu.
Para piauwsu itu tertawa dan berkata, “Setelah kami ditemani oleh Khu-ciangkun, masa perlu takut menghadapi gangguan perampok? Nama Gin-to Piauw-kiok bukan tidak terkenal di antara kaum liok-lim dan kang-ouw. Sungguh kebetulan sekali kami bertemu dangan Ciangkun, pertemuan yang menguntungkan kedua pihak, karena kita dapat bekerja sama saling bantu, bukan? Keselamatan barang kawalan kami dan keselamatan dua orang keluarga Ciangkun dapat sama-sama kita lindungi!”
Mendengar ini Khu Tek San hanya mengangguk-angguk. Di hatinya merasa geli sebab ia tahu bahwa para piauwsu ini memandang rendah kepada Kam Han Ki yang dianggapnya sebagai orang yang patut dilindungi! Dengan pendengarannya yang tajam sekali, Han Ki yang berada agak jauh dari mereka juga mendengar kata-kata pemimpin piauwsu, akan tetapi dia tidak peduli dan melanjutkan percakapannya dangan Maya sambil menjalankan kuda perlahan-lahan.
Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di sebuah tikungan dan tiba-tiba terdengar suara lengkingan-lengkingan panjang dari depan, kanan dan kiri tempat itu. Para piauwsu cepat menghentikan kereta kawalan mereka, mencabut golok dan siap karena mereka maklum bahwa suara itu adalah tanda-tanda yang dikeluarkan oleh para perampok. Dengan golok di tangan, tujuh orang piauwsu itu kelihatan gagah sekali. Golok mereka terbuat dari pada perak, mengkilap putih tertimpa sinar matahari. Tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang golok melintang depan dada, kedua kaki berdiri tegak di kanan kiri agak melebar, mata mereka bergerak-gerak mengerling ke kanan kiri penuh kewaspadaan.
Melihat semua piauwsu telah turun dari kuda, Khu Tek San juga meloncat turun dan menggiring semua kuda mereka ke pinggir, mencancangnya pada pohon. Kam Han Ki bersikap tidak peduli, malah membawa kudanya ke kanan, meloncat turun dan duduk di atas batu di bawah pohon dengan kepala menunduk.
Maya memandang tegang kepada para piauwsu. Gadis cilik ini pun maklum bahwa tentu akan terjadi serbuan para perampok, maka dia juga turun dari kuda, mengikat kendali kudanya dan kuda Han Ki di pohon, kemudian ia berdiri tak jauh dari Han Ki. Jantungnya berdebar karena dia ingin sekali melihat bagaimana sepak terjang Khu Tek San dan Han Ki. Akan tetapi dia kecewa melihat Han Ki sama sekali tidak ambil peduli, bahkan kini pemuda itu menundukkan mukanya seperti orang mengantuk!
Suara suitan melengking makin berisik dan dekat, kemudian muncullah dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang laki-laki berjubah berwarna merah. Mukanya brewok, matanya lebar dan liar seperti mata singa! Berbeda dengan para anak buahnya yang semua memakai topi kain dikerudungkan di atas kepala sampai menutupi leher, pemimpin itu sendiri tidak bertopi. Rambutnya yang panjang diikat ke belakang. Kalau semua anak buahnya memegang senjata pedang, golok atau tombak, Si Pemimpin ini bertangan kosong dan sikapnya angkuh sekali.
Khu Tek San yang melihat dandanan para perampok segera dapat menduga bahwa mereka bukanlah perampok-perampok biasa, melainkan pasukan yang terlatih, pasukan yang memakai pakaian seragam. Dia tidak tahu dan tidak dapat menduga, entah dari mana datangnya pasukan itu yang kini telah menjadi gerombolan perampok.
Akan tetapi Maya dapat mengenal mereka sebagai suku bangsa Kerait yang terkenal ganas dan kejam kalau sudah berperang melawan musuh! Dan memang dugaan Maya ini benar. Pasukan yang kini telah berubah menjadi gerombolan perampok itu adalah bekas pasukan Kerait yang terpukul hancur oleh pasukan Mongol. Sisa pasukan yang cerai-berai itu kemudian dipimpin oleh kakek brewok ini dan menjadi gerombolan perampok yang ganas.
“Ha-ha-ha-ha! Segerobak benda-benda berharga yang berat! Dan dijaga oleh tujuh orang piauwsu Gin-to Piauwkiok! Bagus! Bagus! Selain kami dapat bertanding secara menggembirakan, juga akan mendapat hadiah segerobak harta!” Kakek Brewok berjubah merah itu tertawa bergelak.
Pemimpin piauwsu melangkah maju, menjura dan berkata. “Maaf, sobat. Kami adalah piauwsu-piauwsu Gin-to Piauwkiok yang selamanya tidak permah bentrok dengan sobat-sobat dari liok-lim. Karena kami tidak pernah mendengar namamu maka tidak tahu dan lewat tanpa memberi kabar lebih dulu. Harap suka memaafkan dan suka memperkenalkan namamu agar kami dapat mengirim bingkisan kehormatan. Aku yang memimpin rombongan ini dan namaku adalah Chi Kan.”
Si Brewok itu mengelus jenggotnya yang pendek akan tetapi memenuhi mukanya itu, tangan kirinya bertolak pinggang. la mengangguk-angguk dan berkata dengan suara nyaring, matanya yang lebar melirik-lirik ke arah kereta, kemudian ke arah Maya yang berdiri tenang.
“Bagus! Bagus! Gin-to Plauw-kiok memang dapat menghargai persahabatan! Kami pun bukan orang-orang yang tak tahu kebaikan orang, maka kami tidak akan mengganggu kalian asal kalian meninggalkan kereta dan gadis itu untuk kami. Nyawa kalian sembilan orang di tukar dengan segerobak benda mati dan seorang gadis kecil mungil. Sudah cukup adil dan menguntungkan bagi kalian, bukan?”
Jawaban ini tentu saja merupakan jawaban yang sengaja mencari perkara, maka Chi Kan, pemimpin piauwsu itu menjadi merah mukanya. Dengan sikap gagah ia berkata, “Hemm, agaknya kalian hendak memilih jalan keras. Baiklah perkenalkan namamu dan nama gerombolanmu sebelum kami mengambil keputusan atas permintaanmu tadi.”
Si Brewok kembali tertawa sambil menengadahkan mukanya ke langit. “Ha-ha-ha! Pantas kalau kalian belum mengenalku, memang perang dan kekacauan yang merubah kami menjadi begini! Aku adalah bekas perwira pasukan Kerait dan mereka ini adalah anak buahku!”
“Ah, kalau begitu lebih baik lagi! Sebagai seorang perwira Kerait yang tidak memusuhi Kerajaan Sung, tidak boleh engkau mengganggu barang kawalanku. Hendaknya diketahui bahwa barang-barang ini adalah barang sumbangan dari pedagang dan pembesar setempat untuk pernikahan puteri Kaisar Dengan Raja Yucen!” kata Chi Kan yang hendak menggunakan nama Kerajaan Sung dan Yucen untuk mengundurkan orang-orang Kerait itu tanpa pertempuran.
Akan tetapi pemimpin rombongan piauwsu ini kecelik karena orang brewokan itu tertawa bergelak mendengar ucapannya dan menjawab. “Kebetulan sekali kalau begitu! Bangsa Yucen adalah musuh kami, dan Kerajaan Sung bukanlah sahabat kami. Serahkan saja gerobak dan gadis cilik itu, dan kalian boleh pergi dengan aman!”
“Perampok busuk!” Chi Kan menjadi marah sekali dan tampak sinar berkilauan ketika golok peraknya menyambar ke arah leher Si Brewok, mengeluarkan angin yang berdesingan bunyinya.
Kakek bangsa Kerait itu sambil tertawa miringkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak cepat menangkis ke arah sinar putih itu dengan jari terbuka.
“Krekkk!!”
Chi Kan terkejut bukan main dan sambil berseru kaget ia meloncat ke belakang, memandang golok peraknya yang sudah patah! Dia adalah murid kepala dari Gin-to Piauw-kiok, akan tetapi dalam segebrakan saja orang Kerait itu telah mematahkan goloknya hanya dengan tangkisan tangan kosong! Sekarang dapat dimengerti mengapa bekas perwira Kerait itu berani maju dengan tangan kosong, kiranya tangannya itu memiliki keampuhan melebihi golok atau pedang!
“Ha-ha-ha, bangsa piauwsu rendahan berani membantah perintahku?” orang brewok itu berkata sambil tertawa. “Aku adalah Ganya, jagoan Kerait yang belum permah bertemu tanding!”
Para piauwsu menjadi gentar, akan tetapi mereka tentu saja tidak akan menyerahkan gerobak yang mereka kawal dan akan melindunginya dengan nyawa mereka. Ada pun Khu Tek San yang menyaksikan kelihaian orang Kerait yang bernama Ganya itu dan mendengar namanya, teringatlah ia karena ketika ia menjadi panglima di Yucen, pernah ia mendengar nama ini yang kabarnya memiliki kepandaian hebat dan tenaga yang luar biasa. la maklum bahwa para piauwsu takkan marmpu menang menghadapi orang kuat itu, maka ia meloncat maju dan membentak.
“Manusia sombong, akulah lawanmu!” Sambil meloncat, Khu Tek San sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebuah kipas! Sebagai murid Menteri Kam Liong, tentu saja ia mewarisi ilmu silat yang ampuh ini.
Di antara keturunan Suling Emas, yang menuruni kedua ilmu silat sakti pendekar itu hanyalah Menteri Kam Liong, yaitu ilmu silat suling emas Pat-sian Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan ilmu silat Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Karena kedua ilmu ini adalah ilmu yang hebat-hebat dan sukar dipelajari, maka Khu Tek San hanya memperdalam ilmu kipasnya saja sehingga dia menjadi seorang ahli ilmu silat kipas Lohai San-hoat.
Ilmu silat Lo-hai San-hoat ini bukanlah ilmu sembarangan. Biar pun hanya dimainkan dengan sebuah kipas, namun kipas itu lebih berbahaya dari pada senjata tajam yang bagaimana pun juga. Gagang dan batang-batang kipas itu merupakan alat-alat penotok jalan darah yang banyak jumlahnya, sedangkan kain kipasnya sendiri dapat dikebutkan dan mendatangkan angin yang mengacaukan lawan. Terbuka mau pun tertutup kipas itu dapat menjadi alat penyerang mau pun penangkis yang ampuh, apa lagi kalau dimainkan oleh seorang ahli seperti Khu Tek San yang memiliki limu kepandaian hebat!
Begitu mellhat senjata aneh ini menyarmbar, Ganya berseru kaget. Sebagai seorang berilmu tinggi, dia pun sudah mengerti akan kehebatan lawan. Maka tidak seperti tadi, kini dia sama sekaii tidak berani menangkis, hanya mengelak kemudian kedua tangannya bergerak, yang kiri menangkis lengan lawan yang memegang kipas karena dia tidak berani menangkis kipasnya, yang kanan mencengkeram ke arah muka lawan. Gerakannya cepat dan mantap, tanda bahwa kepandaiannya memang tinggi dan tenaganya besar.
Melihat cara lawan mengelak dan balas menyerang, Khu Tek San berlaku hati-hati. Dia maklum bahwa lawannya memang benar-benar hebat, maka ia membalikkan kipasnya dengan pemutaran pergelangan tangan, menggunakan ujung cabang kipas menotok telapak tangan kiri Si Brewok, sedangkan lengan kirinya sengaja ia gerakkan menangkis cengkeraman tangan kanan Ganya.
“Dukkk!” Ganya dapat menyelamatkan tangan kirinya yang tertotok, akan tetapi dia sengaja mengadu lengan kanannya dengan lengan kiri lawan.
Dua buah lengan yang sama kuat dan mengandung getaran tenaga sinkang bertemu, membuat keduanya terhuyung ke belakang! Ganya memandang terbelalak dan kaget, sebaliknya Khu Tek San memandang kagum. Jarang ada orang yang dapat mengimbangi tenaga sinkang-nya, akan tetapi lawan ini agaknya tidak kalah kuat olehnya. Maka ia menerjang lagi dan terjadilah pertandingan yang amat dahsyat dan seru antara kedua orang gagah itu.
Melihat betapa pemimpin mereka sudah bertanding, anak buah perampok itu berteriak dan maju menyerbu, disambut oleh Chi Kan yang sudah mengambil senjata baru dan enam orang temannya. Perang kecil terjadi dengan ramainya. Senjata tajam berdencingan bertemu lawan, teriakan-teriakan dan maki-makian saling susul menyeling suara berdebuknya kaki mereka yang sedang bertanding mengadu nyawa.
Maya berdiri memandang dengan kagum ke arah Khu Tek San. Hebat memang penolongnya itu, permainan kipasnya indah sekali dan gerakannya amat kuat. Akan tetapi ia menjadi gemas dan penasaran melihat betapa Kam Han Ki masih saja duduk di atas batu di bawah pohon seperti tadi, malah kini pemuda itu menggigiti rumput yang dicabutnya dari dekat kakinya, duduk menggigiti batang rumput sambil termenung dengan alis berkerut. Memang saat itu Han Ki kembali teringat akan kekasihnya yang makin sering diingatnya setelah perjalanan mendekati kota raja.
“Eh, kenapa engkau malah melamun saja?” Maya yang tidak sabar lagi mendekati Han Ki, menegur dan mengguncang pundaknya. “Lihat, Paman Khu Tek San melawan seorang yang lihai sekali sedangkan para piauwsu dikeroyok banyak perarmpok!”
Han Ki seperti baru sadar dari alam mimpi. Akan tetapi ia hanya menoleh ke kanan memandang pertandingan antara Khu Tek San dan Ganya. Pada saat itu seorang anggota perampok yang agaknya ingin membantu pemimpinnya dan menyerbu Tek San dari belakang kena disambar dadanya oleh ujung batang kipas sehingga perampok ini terbanting ke belakang, roboh dan merintih-rintih.
“Khu-Ciangkun tidak akan kalah!” kata Han Ki setelah memandang sebentar, lalu kembali menunduk menggigiti batang rumput.
Memang di dalam hatinya pemuda ini merasa enggan untuk membantu para piauwsu menghadapi perampok-perampok itu. Yang akan dirampok adalah benda-benda yang akan dijadikan barang sumbangan atas menikahnya Raja Yucen dan... Sung Hong Kwi, kekasihnya! Karena itu dia tidak peduli. Kalau mau dirampas para perampok barang-barang yang menyebalkan hatinya itu, biarlah!
Kembali Maya mengguncang pundaknya. “Han Ki, lihatlah! Para perampok hendak merampas gerobak!”
Han Ki menoleh dan benar saja, kini sebagian dari pada anak buah perampok ada yang mendekati gerobak berisi barang-barang berharga, bahkan di antara mereka berkata nyaring sambil terkekeh, “Mari kita naikkan gadis itu ke atas kereta dan sekalian kita bawa pergi!”
Kini lima orang perampok tinggi besar sambil tersenyum menyeringai datang menghampiri Maya yang berdiri tegak dan siap melakukan perlawanan! Melihat ini. Han Ki menggerakkan tangan ke bawah, menggenggam pasir kasar dan mengayun tangan itu ke arah para perampok. Akibatnya hebat!
Lima orang perampok yang sudah mendekati Maya itu roboh berpelantingan ke kanan kiri, mengaduh-aduh karena pasir-pasir kasar itu menembus kulit dan menancap di dalam daging lengan-lengan mereka! Perih pedih panas gatal rasanya. Teriakan-teriakan kesakitan ini disusul pula oleh tujuh orang perampok yang berada di dekat gerobak sehingga dua kali mengayun tangan yang menggenggam pasir, Han Ki telah berhasil membuat dua belas orang perampok roboh tak dapat berkelahi lagi!
Maya berdiri terbelalak. Dia menjadi heran dan bingung. Hanya melihat ada sinar kehitaman menyambar dua kali dibarengi desingan angin yang datang dari arah Han Ki dan perampok-perampok itu sudah roboh! Ilmu sihirkah ini? Gerakan Han Ki sedemikian cepatnya sehingga Maya tidak dapat mengikutinya dengan pandang mata.
Menyaksikan robohnya dua belas orang kawan mereka secara aneh itu, para perampok yang lain menjadi gentar dan marah. Demikian pula pimpinan perampok, Si Brewok yang lihai itu. Perhatiannya terpecah ketika ia mendengar pekik-pekik kesakitan dan melihat robohnya banyak anak buahnya tanpa melakukan pertandingan. Sebagai seorang ahli yang pandai, ia dapat melihat gerakan Han Ki dan diam-diam menjadi terkejut bukan main. Kiranya orang muda yang duduk melamun itu memiliki kepandaian yang lebih dahsyat lagi dari pada orang gagah yang dilawannya. Karena perhatiannya terpecah dan hatinya gentar, Khu Tek San dapat melihat ‘lowongan’ dan memasuki lowongan itu dengan pukulan kipasnya ke arah leher lawan. Ganya terkejut, cepat mengelak, akan tetapi terlambat.
“Krekk!” tulang pundak kiri kepala perampok ini patah dan ia mencelat mundur sambil bersuit keras memberi tanda kepada anak buahnya untuk mundur!
Sebagai bekas pasukan yang berdisiplin, anak buah perampok yang masih bertempur itu segera melompat ke belakang dan melarikan diri, meninggalkan dua belas orang teman yang masih mengaduh-aduh dan bergulingan di atas tanah! Tujuh orang piauwsu menjadi lega sekali karena para perampok pergi dan di antara mereka hanya ada dua orang yang terluka ringan. Melihat dua belas orang perampok bergulingan itu, mereka menjadi gemas dan menggerakkan golok-golok perak mereka untuk membunuh.
“Cring-cring-cring...!”
Para piauwsu terkejut dan berteriak sambil terhuyung ke belakang. Kiranya golok-golok mereka telah tertangkis oleh kerikil-kerikil kecil yang disambitkan secara tepat mengenai golok mereka dan dengan tenaga yang amat kuat sehingga golok mereka tergetar! Ketika mereka menoleh, kiranya Han Ki yang tadi mencegah mereka dan kini pemuda itu bangkit berdiri.
“Para piauwsu harap jangan melakukan pembunuhan! Barang-barang telah diselamatkan, lebih baik melanjutkan perjalanan, mengapa mau membunuh orang?”
Mendengar teguran Han Ki ini, Chi Kan membantah. “Akan tetapi penjahat ini tadinya hendak merampok gerobak dan Siocia, dan tentu akan membunuh kita semua. Mengapa sekarang tidak boleh kami bunuh? Orang-orang jahat seperti mereka ini kalau tidak dibasmi, kelak tentu akan menimbulkan mala-petaka kepada orang lain.”
Han Ki menggeleng kepala. “Belum tentu, Chi-piauwsu! Ada akibat tentu ada sebabnya. Mereka ini dulunya bukan perampok dan kalau sekarang menjadi perampok tentu bersebab. Kalau saja pasukan mereka tidak dipukul hancur, kalau saja mereka tidak dipengaruhi seorang pemimpin yang jahat, kalau saja Kaisar Sung tidak menikahkan puterinya, kalau saja kalian tidak mengantar barang-barang berharga ke kota raja dan masih banyak kalau-kalau lagi, kiranya mereka ini tidak menjadi perampok. Pula, aku yang merobohkan mereka, karenanya aku pula yang berhak memutuskan. Mereka ini tidak boleh dibunuh!”
Melihat betapa para piauwsu masih penasaran, Khu Tek San segera berkata, “Cu-wi Piauwsu harap jangan banyak membantah lagi. Kalau tadi Siauw-susiok tidak turun tangan, bukankah gerobak dan nyawa kalian akan hilang? Mari kita melanjutkan perjalanan dan meninggalkan mereka yang terluka ini!’
Para piauwsu tadi sudah menyaksikan kegagahan Khu Tek San, maka biar pun mereka masih penasaran karena tiada seorang pun menyaksikan bahwa Han Ki yang merobohkan dua belas orang perampok itu, tidak banyak bicara lagi dan perjalanan dilanjutkan menuju ke kota raja.
Ketika rombongan itu memasuki kota raja, semua menjadi gembira, kecuali Han Ki. Terutama sekali Maya menjadi gembira bukan main dan amat kagum menyaksikan rumah-rumah besar dan kota yang dihias indah itu. Jelas bahwa kota raja menyambut pernikahan puteri Kaisar secara besar-besaran! Namun keadaan kota raja itu membuat hati Han Ki terasa makin perih seperti ditusuk-tusuk pedang. Hiasan-hiasan indah dengan bunga-bunga dan kertas-kertas berwarna-warni itu seolah-olah mengejeknya, mengejek atas kepatahan hatinya dan terputusnya ikatan cinta kasih antara dia dan Sung Hong Kwi!
Setelah menghaturkan terima kasih, rombongan piauwsu memisahkan diri. Khu Tek San mengajak Maya dan Han Ki langsung menghadap Menteri Kam. Dengan ramah dan gembira Menteri Kam menerima kedatangan mereka bertiga itu di dalam ruangan sebelah dalam.
“Suhu.... !” Khu Tek San berlutut memberi hormat kepada gurunya.
Han Ki berdiri lesu dan Maya juga berdiri akan tetapi dia terbelalak memandang ke arah laki-laki tua yang berpakaian seperti pembesar, kakek yang berwajah penuh kesabaran namun pandang matanya tajam penuh wibawa. Dia segera mengenal kakek ini! Ketika dia dahulu ditawan sepasang iblis dari India, kakinya digantung di pohon oleh Mahendra dan hampir saja ia disembelih seperti seekor ayam, kakek itulah yang menolongnya! Jadi kakek inilah guru penolongnya? Dan kakek inikah saudara tua Raja Khitan, ayah angkatnya?
“Bagus sekali, engkau dapat pulang dengan selamat, Tek San. Dan engkau telah melakukan tugasmu dengan baik, Han Ki! Akan tetapi anak perempuan ini... siapakah dia?” Menteri Kam Liong memang tidak ingat lagi akan anak perempuan yang dulu ditolongnya dari tangan Mahendra, sehingga kini tidak mengenal Maya. Apa lagi dahulu ia hanya melihat wajah anak yang digantung itu dari jauh dan mengira anak dusun biasa.
“Maaf, Suhu. Hampir saja teecu mengalami kegagalan dan tewas dalam tugas kalau tidak tertolong oleh Susiok yang amat lihai. Ada pun anak ini bukan lain adalah puteri dari mendiang Raja dan Ratu Khitan.”
Menteri Kam Liong terbelalak memandang Maya. “Aiihhh..., kasihan sekali engkau Anakku...!” Kam Liong turun dari bangkunya, memegang lengan Maya, ditariknya dan dirangkulnya anak itu. “Aku adalah uwamu sendiri, Maya.”
Akan tetapi Maya tidak merasa terharu. Dia memiliki hati yang keras, dan kini timbullah rasa tidak senangnya kepada Menteri Kam. Kalau benar orang tua ini uwanya, kalau benar memiliki kepandaian tinggi dan kedudukan tinggi berpengaruh, kenapa tidak sejak dahulu membantu dan melindungi keselamatan keluarga Raja Khitan? Uwa macam apa ini?
“Tidak, aku tidak mempunyai uwa, tidak mempunyai saudara atau keluarga. Keluargaku habis terbasmi di Khitan. Dan aku pun bukan puteri Raja Khitan, hanya anak angkat! Harap kau orang tua tidak mengaku keluarga hanya untuk menghiburku.”
“Maya...!” Khu Tek San menegur kaget dan marah.
Akan tetapi Menteri Kam Liong tersenyum pahit. Dia mempunyai pandangan tajam dan dapat menyelami hati bocah itu. Dia sendiri pun merasa nelangsa hatinya mengapa tidak dapat menyelamatkan saudara-saudaranya di Khitan. Maka ia pun tidak tersinggung ketika Maya melepaskan pelukannya, melangkah mundur dekat Han Ki dan tadi mengeluarkan ucapan seperti itu. Dia memandang kagum. Biar pun dia tahu bahwa bocah ini memang bukan puteri kandung Raja dan Ratu Khitan, namun bocah ini patut menjadi puteri mereka, patut menjadi keponakan Mutiara Hitam karena memiliki watak yang khas dimiliki wanita gagah perkasa Mutiara Hitam, adik tirinya itu!
Hati Tek San tidak enak sekali menyaksikan sikap Maya terhadap gurunya. Dia cepat berkata, “Kalau Suhu memperbolehkan, biarlah Maya tinggal di tempat teecu karena di sana dia dapat bermain-main dengan anak teecu Siauw Bwee.”
Menteri Kam Liong mengangguk-angguk. “Sebaiknya begitu, kalau dia mau. Maukah engkau tinggal di rumah Tek San, Maya? Apakah ingin tinggal di sini bersama uwamu?”
“Aku ingin tinggal bersama Paman Khu!” jawab Maya tegas.
“Kalau begitu, engkau pulanglah lebih dulu, Tek San dan bawa Maya bersamamu. Akan tetapi engkau segera kembali ke sini karena banyak hal penting yang ingin kubicarakan dengan engkau dan Han Ki!”
Khu Tek San memberi hormat, lalu mengajak Maya keluar dari gedung itu menuju ke rumahnya sendiri. Ternyata panglima itu pun memiliki sebuah rumah gedung yang cukup mewah. Maya mendapat kenyataan pula bahwa penolongnya ini bukan sembarang orang, dan tentu memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Hal ini bukan hanya terbukti dari rumah gedungnya yang mentereng, melainkan juga terbukti dari sikap para perwira yang bertemu di jalan. Semua menghormat kepada Panglima Khu yang masih berpakaian preman itu.
Para pelayan menyambut kedatangan panglima ini penuh hormat, akan tetapi Khu Tek San yang sudah tidak sabar untuk dapat segera bertemu dengan anak isterinya menggandeng tangan Maya dan setengah berlari memasuki gedung. Di sebelah dalam disambutlah dia oleh seorang wanita cantik dan seorang anak gadis cilik yang cantik jelita pula.
“Ayahhh...!” Anak perempuan yang usianya lebih muda dua tahun dari pada Maya itu dengan sikap manja lari menghampiri ayahnya.
Tek San tertawa. Disambarnya anak itu dan diangkatnya tinggi-tinggi, lalu dipeluk dan dicium pipinya. “Ha-ha-ha, Siauw Bwee, engkau sudah begini besar sekarang!”
Kemudian suami ini saling pandang dengan isterinya, penuh kerinduan dan penuh kemesraan yang tak dapat mereka perlihatkan di depan dua orang anak perempuan itu. Hanya pandang mata mereka yang saling melekat mesra mewakili tubuh mereka.
“Maya, inilah bibimu!” kata Tek San yang melanjutkan. “Niocu, dia ini adalah Puteri Maya, puteri mendiang Raja dan Ratu Khitan.”
“Aihhh...!” Isteri Khu-ciangkun menghampiri dan mengelus rambut kepala Maya.
Anak ini menahan-nahan air matanya yang hendak runtuh sejak tadi. Melihat betapa Siauw Bwee disambut mesra oleh kasih sayang ayahnya, dia teringat akan nasib diri sendiri. Dahulu pun ayahnya, Raja Khitan, amat cinta kepadanya. Akan tetapi sekarang? Dia tidak punya siapa-siapa! Ia menjadi makin terharu setelah tangan halus bibinya mengusap rambutnya.
“Maya, inilah Siauw Bwee, anakku. Bermainlah dengan dia dan anggap dia adikmu sendiri. Siauw Bwee, inilah Cici mu, Maya.”
Siauw Bwee diturunkan dari pondongan ayahnya. Gadis cilik ini tersenyum manis dan ramah kepada Maya, menghampirinya dan memegang tangannya. “Enci Maya...!”
Begitu bertemu hati Maya telah tertarik dan suka sekali kepada Siauw Bwee. Dia pun lupa akan kedukaannya, merangkul pundak Siauw Bwee dan berkata, “Adik Siauw Bwee...!”
“Enci Maya, mari kita main-main di taman. Di kolam taman terdapat ikan baru. Lucu sekali, sisiknya seperti emas, ekornya seperti selendang sutera, tubuhnya seperti katak dan kedua matanya membengkak dan menjendol ke luar di atas selalu memandang langit!” Dua orang anak perempuan itu tertawa-tawa dan berlarian menuju ke taman.
Setelah kedua orang anak itu pergi, barulah suami isteri yang saling mencinta dan sudah berpisah lama ini dapat menumpahkan rasa rindu mereka. Mereka saling menubruk, berciuman, dan tanpa berkata-kata Tek San melingkarkan lengan kanan di pinggang yang ramping itu kemudian mereka berdua berjalan memasuki kamar.
Tak lama kemudian Khu Tek San sudah kembali ke gedung Menteri Kam yang duduk berdua dengan Han Ki. Pemuda itu kelihatan lebih murung lagi, wajahnya pucat dan matanya sayu.
“Aku sudah mendengar penuturan Han ki tentang peristiwa yang terjadi dan menimpa kalian,” Menteri Kam berkata setelah muridnya duduk. “Memang semua itu telah diatur oleh... hemmm, Suma Kiat!”
Khu Tek San mengangguk-angguk. “Suhu, kalau tidak salah dugaan teecu, semua perbuatan yang dilakukan oleh Siangkoan Lee terhadap teecu hanyalah untuk memukul Suhu. Betulkah?”
Menteri itu menghela napas panjang dan mengangguk. “Benar demikian. Orang itu sampai kini masih saja belum dapat melenyapkan rasa benci dan dendam yang meracuni hidupnya sendiri. Diam-diam dia telah bersekongkol dengan pasukan-pasukan asing, berusaha memburukkan namaku di depan Kaisar dengan bermacam cara. Untung tak pernah berhasil dan Kaisar masih tetap percaya kepadaku. Akan tetapi, Suma Kiat masih belum puas juga dan siasatnya yang terakhir ini benar-benar menjengkelkan dan membahayakan.”
“Siasat apa lagi, Suhu?” tanya Khu Tek San dengan kening berkerut dan hati khawatir. Mempunyai seorang musuh seperti Jenderal Suma Kiat benar-benar amat berbahaya karena selain ia tahu betapa tinggi ilmu kepandaian jenderal itu, juga Jenderal Suma Kiat amat licik, curang dan mempunyai pengaruh di antara para thaikam dan menteri-menteri yang tidak setia.
“Dia berhasil membujuk Kaisar untuk menyerahkan puteri selirnya kepada Raja Yucen!” Menteri tua itu menggeleng-geleng kepala dan memandang Han Ki yang menundukkan muka.
“Hal itu apa sangkut-pautnya dengan kita, Suhu?”
“Ah, kau tidak tahu, muridku, Suma Kiat amat cerdik dan pandai mengatur siasat untuk merobohkan lawan-lawan dan musuh-musuhnya. Ketika usaha muridnya yang bernama Siangkoan Lee itu gagal untuk menangkap dan membunuhmu, muridnya cepat pulang ke kota raja. Raja Yucen marah-marah karena dibakar hatinya oleh murid itu, mengirim protes kepada Kaisar mengapa seorang Panglima Sung diselundupkan untuk menjadi mata-mata di Kerajaan Yucen! Dan kembali Suma Kiat yang memberikan jasa-jasa baiknya untuk mengangkat diri sendiri di depan Kaisar sambil sekaligus berusaha menjatuhkan aku! Dia menyalahkan aku mengenai kemarahan Raja Yucen kemudian membujuk Kaisar agar menyerahkan puteri selirnya yang tercantik untuk menjadi isteri muda Raja Yucen. Sengaja dia mengusulkan agar Puteri Sung Hong Kwi yang dihadiahkan!”
Khu Tek San mendengar tarikan napas panjang dari Han Ki dan ia mengerling ke arah permuda itu. Heranlah hatinya melihat pemuda itu mengepal tinju dan marah sekali. Sudah lama ia melihat sikap Han Ki yang penuh duka, dan kini ia menjadi makin ingin tahu apa gerangan yang menyusahkan hati pemuda sakti ini.
Menteri Kam agaknya tahu akan isi hati Khu Tek San, maka ia lalu berkata tenang. “Karena engkau merupakan orang sendiri, kiranya Han Ki tidak perlu menyembunyikan lagi rahasianya. Ketahuilah, Tek San. Puteri Sung Hong Kwi yang akan dijodohkan dengan Raja Yucen itu adalah kekasih Han Ki. Dia ingin minta aku mengajukan pinangan kepada Kaisar, akan tetapi ternyata telah didahului Suma Kiat karena aku yakin benar mengapa dia justeru mengusulkan agar puteri itu yang dihadiahkan kepada Raja Yucen. Agaknya hubungan cinta kasih antara Han Ki dan puteri itu telah bocor dan diketahui Suma Kiat, maka kembali dia melakukan hal itu untuk memukul Han Ki dan tentunya yang dijadikan sasaran terakhir adalah aku sendiri karena Han Ki adalah saudara sepupuku!”
“Hemm, sungguh mengherankan sekali sikap Suma-goanswe itu. Bukankah beliau itu masih ada hubungan keluarga dengan Suhu?” tanya Tek San penasaran.
Gurunya mengelus jenggot dan menghela napas panjang melihat betapa Han Ki juga memandangnya dengan sinar mata penuh pertanyaan. “Memang begitulah, antara Suma Kiat dan aku terdapat pertalian keluarga. Ibunya bernama Kam Sian Eng dan ibunya itu adalah adik kandung Kam Bu Sin, ayah Han Ki ini. Mereka berdua adalah adik tiri ayahku, Kam Bu Song pendekar sakti Suling Emas. Memang ada hubungan keluarga, dan dia itu masih misanku sendiri. Namun menurut riwayat nenek moyang, keluarga Suma memang selalu memusuhi keluarga kami. Sungguh menyedihkan kalau diingat.”
“Habis bagaimana sekarang baiknya, Suhu?”
Menteri itu menggerakkan pundaknya. “Bagaimana baiknya? Kita menanti dan melihat saja bagaimana perkembangannya. Kota raja sudah dalam keadaan pesta karena perjodohan itu telah diumumkan, bahkan besok akan tiba utusan dari Raja Yucen, diikuti oleh panglima besar dan guru negara sendiri, yaitu utusan untuk meresmikan hari pernikahan. Engkau harus hadir pula, Tek San, untuk memperlihatkan kepada Kaisar bahwa engkau benar-benar berdiri di pihak Kerajaan Sung. Dan kehadiranmu malah merupakan ujian bagi ketulusan sikap orang-orang Yucen. Kalau memang mereka menghendaki hubungan baik, setelah Kaisar menyerahkan puterinya tentu mereka tidak akan berani bicara lagi tentang penyelundupan di Yucen. Kalau terjadi sebaliknya, berarti mereka itu masih mendendam dan tidak mempunyai itikad baik terhadap Kerajaan Sung. Dan engkau harus hadir pula dalam perjamuan menyambut para tamu agung itu, Han Ki, sebagai pengawalku.”
Tek San dan Han Ki menyatakan persetujuan mereka, namun di dalam hatinya Han Ki merasa makin berduka. Dia harus hadir dalam perjamuan menyambut utusan calon suami Hong Kwi! Bahkan tak salah lagi, dia pun harus pula ikut minum arak untuk menghaturkan selamat kepada pengantin.....
******************
“Enci Maya, aku sudah minta perkenan Ayah, akan tetapi tetap tidak boleh! Katanya keramaian yang diadakan di istana untuk menyambut dan menghormati utusan Raja Yucen, yang hadir adalah Kaisar sendiri dan para menteri, para thaikam dan orang-orang besar saja. Anak-anak mana boleh turut?” Khu Siauw Bwee berkata dengan muka kecewa kepada Maya yang membujuknya agar dia minta perkenan ayahnya diperbolehkan ikut menonton keramaian di istana.
Khu Siauw Bwee adalah puteri tunggal Khu Tek San, lebih muda satu dua tahun dari Maya. Dia seorang anak perempuan yang cantik mungil, dengan pandang mata lembut namun tajam sekali menandakan bahwa dia memiliki kecerdikan. Sikapnya tidak manja karena memang ayah bundanya pandai mendidik. Seperti juga Maya, sejak kecil Siauw Bwee digembleng ilmu silat dan ilmu sastra oleh ayah bundanya. Berkat ketajaman otaknya, biar pun masih kecil, belum sepuluh tahun usianya, Siauw Bwee telah memiliki ketabahan dan kepandaian silat yang membuat tubuhnya lincah dan kuat.
Maya merasa kecewa ketika mendengar mereka tidak boleh ikut. “Ahh, sayang sekali. Aku ingin melihat bagaimana sih rupanya Kaisar Sung dan puteri-puterinya, juga ingin sekali melihat utusan Yucen. Terutama sekali melihat puteri-puteri istana yang kabarnya cantik-cantik seperti bidadari.”
“Ihhhh, seperti apa sih kecantikan mereka? Kulihat mereka itu tidak ada yang lebih cantik dari pada engkau, Enci Maya. Engkau barulah boleh disebut seorang gadis yang cantik!” Siauw Bwee berkata sungguh-sungguh sambil memandang wajah Maya yang amat mengagumkan hatinya.
“Aihhh, sudahlah jangan menggoda, Adikku. Dahulu di istana orang tuaku, aku boleh melakukan apa saja. Sekarang melihat ayahmu melarang engkau padahal hanya ingin menonton keramaian, sungguh-sungguh aku merasa penasaran sekali. Apa sih buruk dan ruginya kalau kita ikut menonton? Hemm, aku ada akal baik, Moi-moi. Kalau kau suka, kita akan dapat bergembira sekali dan... hemm, kau dengar baik-baik....” Maya lalu berbisik-bisik di dekat telinga Siauw Bwee.
Wajah Siauw Bwee berubah dan matanya terbelalak. “Ihh, Enci Maya! bagaimana kalau sampai ketahuan?”
Dengan ibu jari tangan kanannya, Maya menuding dadanya sendiri. “Akulah yang akan bertanggung jawab, jangan engkau khawatir!”
Sambil tertawa terkekeh-kekeh kedua orang anak perempuan itu memasuki kamar mereka dan mengunci pintu. Terdengar mereka berdua masih tertawa-tawa, entah apa yang mereka lakukan dan bicarakan.....
**Kho***Ping***Hoo**
APA YANG menjadi dugaan Menteri Kam ketika ia menceritakan kepada muridnya memang tepat. Peristiwa yang menimpa diri Khu Tek San di Yucen, yaitu pecahnya rahasianya sebagai mata-mata kemudian tertangkapnya oleh rekan-rekannya sendiri di perbatasan, adalah akibat perbuatan Siangkoan Lee yang memenuhi perintah gurunya, Suma Kiat. Memang Jenderal Suma Kiat ini tidak pernah dapat melupakan sakit hatinya dan kebenciannya terhadap keturunan Suling Emas.
Ketika ia mendapat laporan dari Siangkoan Lee betapa usaha muridnya itu semua gagal oleh Mutiara Hitam, kemudian oleh Kam Han Ki, hatinya menjadi makin marah dan penasaran. Maka diaturnyalah siasat baru untuk memukul Han Ki dan Menteri Kam Liong yaitu membujuk Kaisar agar mengambil hati Raja Yucen dengan menyerahkan seorang di antara puteri selirnya.
“Puteri Paduka Sung Hong Kwi terkenal sebagai bunga istana, hal ini bahkan terkenal sampai ke Yucen. Kalau Paduka menghadiahkan puteri itu kepada Raja Yucen, Paduka akan memetik tiga keuntungan,” demikian antara lain bujukan yang diucapkan Suma Kiat yang didukung oleh para thaikam.
“Tiga keuntungan yang bagaimana engkau maksudkan?” Kaisar bertanya.
“Pertama, puteri Paduka akan terangkat sebagai seorang junjungan yang dihormati di Yucen dan mengingat akan keadaan Permaisuri Yucen yang lemah dan sakit-sakit, banyak harapan beliau akan dapat menjadi permaisuri. Kedua, dengan menarik Raja Yucen sebagai mantu paduka, mantu yang rendah karena hanya menikah dengan puteri selir, berarti Paduka mengangkat kedudukan Paduka jauh lebih tinggi dari pada Raja Yucen. Kemudian ketiga, dengan ikatan jodoh itu, tentu saja Yucen tidak akan memusuhi Sung, bahkan setiap saat dapat diharapkan bantuan mereka.”
Tentu saja Jenderal Suma Kiat tidak menyatakan rahasia hatinya bahwa kalau perjodohan itu dilakukan, terutama sekali karena ia ingin menghancurkan hati Kam Han Ki yang ia tahu dari para penyelidiknya mempunyai hubungan cinta kasih dengan puteri itu, dan karenanya ingin pula ia menghantam Menteri Kam melalui Han Ki!
Demikianlah, secara cepat sekali ikatan jodoh diadakan dan hari itu kota raja telah berpesta merayakan perjodohan itu. Penduduk yang tidak tahu apa-apa hanya ikut merasa germbira bahwa Kaisar hendak mantu, apa lagi yang akan mempersunting Puteri Sung Hong Kwi adalah Raja Yucen sehingga hal ini dapat diartikan bahwa kota raja terhindar dari satu di antara bahaya serbuan musuh-musuhnya.
Rombongan utusan Raja Yucen tiba dan mendapat sambutan meriah, bahkan malamnya istana mengadakan perjamuan meriah untuk menghormati mereka. Sesuai pula dengan kebiasaan di Yucen, maka ruangan di istana diatur dengan bangku-bangku kecil tanpa tempat duduk karena memang mereka itu biasa makan minum sambil duduk di lantai, menghadapi bangku kecil di mana terdapat makanan.
Mereka terdiri dari dua puluh orang lebih, dipimpin oleh guru negara dan panglima besar Yucen, duduk berjajar-jajar menghadapi bangku masing-masing merupakan barisan keliling yang saling berhadapan. Juga Kaisar sendiri bersama menteri-menteri yang berkedudukan tinggi hadir dalam perjamuan itu, di antaranya tampak Menteri Kam Liong, Panglima Khu Tek San, Kam Han Ki pengawal pribadi Menteri Kam, Jenderal Suma Kiat, dan lain pembesar penting lagi. Kaisar sendiri menghadapi bangkunya di tempat yang lebih tinggi dan dilayani para thaikam dan pelayan.
Panglima-panglima yang pangkatnya belum cukup tinggi hanya dipersilakan duduk di ruangan sebelah, di atas kursi-kursi berjajar, ada lima puluh kursi banyaknya. Mereka yang memenuhi ruangan ini hanya ikut makan minum, ikut mendengarkan percakapan dan menonton pesta orang-orang besar di ruangan dalam, akan tetapi tidak berhak ikut dalam percakapan.
Selagi perjamuan itu mulai ramai dan gembira karena pihak tamu mau pun dari pihak tuan rumah berkali-kali diadakan penghormatan dengan mengisi cawan arak dan minum demi keselamatan masing-masing pihak, terjadi sedikit keributan di sebelah luar, di pintu ruangan para panglima rendahan. Enam orang pengawal yang menjaga pintu sedang ribut mulut dengan seorang berpakaian panglima yang bertubuh tinggi kurus berwajah tampan sekali. Para pengawal tidak mengenal panglima muda ini, maka mereka menolaknya untuk memasuki ruangan itu. Si Panglima Muda marah-marah dan memaki-maki.
“Kalian ini serombongan pengawal berani menolak seorang panglima? Aku adalah seorang panglima kerajaan, masa tidak boleh menonton keramaian menyambut utusan calon besan Kaisar? Apakah kalian ingin dipecat dan dihukum?” Suara Panglima itu nyaring dan bening.
Pemimpin pengawal menjadi gugup, akan tetapi berusaha membantah, “Maaf, Ciangkun, akan tetapi hamba... tidak mengenal Ciangkun, bahkan belum permah melihat Ciangkun.”
“Goblok! Mana mungkin kalian dapat mengenal semua panglima yang amat banyaknya dan yang banyak bertugas di luar kota? Cukup kalau kalian mengenal pakaian dan tanda-tanda pangkat yang kupakai! Awas, aku adalah panglima yang dipercaya oleh Menteri Kam!”
Mendengar disebutnya Menteri Kam, para pengawal mundur ketakutan dan terpaksa mempersilakan panglima muda itu memasuki ruangan yang disediakan bagi para panglima rendahan yang tidak diundang ke ruangan dalam ikut menyambut tamu-tamu agung! Enam orang pengawal ini saling pandang, kemudian mereka berbisik-bisik, membicarakan panglima muda itu dengan hati heran. Panglima yang masih begitu muda yang tampan sekali, bertubuh jangkung dan galaknya bukan main! Kalau saja para pengawal itu berani mengikuti Si Panglima tampan ini, tentu keheranan mereka akan bertambah beberapa kali lipat melihat Si Panglima itu kini telah berubah menjadi dua orang bocah yang duduk di baris terdepan!
Memang bukan orang lain, panglima itu sebenarnya adalah Maya dan Siauw Bwee! Akal bulus Maya membuat mereka dapat memasuki istana melalui beberapa tempat penjagaan dengan menyamar sebagai seorang panglima, menggunakan pakaian Khu Tek San! Dua orang gadis cilik ini sejak kecil digembleng ilmu silat, maka bukan merupakan hal yang aneh dan sukar bagi mereka untuk penyamaran itu. Maya berdiri di atas pundak Siauw Bwee sehingga tubuh mereka yang bersambung ini, setelah ditutup pakaian Khu Tek San, berubah menjadi tubuh seorang panglima yang jangkung kurus dan berwajah tampan sekali, wajah Maya.
Setelah berhasil mengelabui penjagaan terakhir di depan ruangan itu, Maya dan Siauw Bwee girang sekali. Pakaian luar panglima itu segera mereka copot. Maya meloncat turun dan kedua orang anak perempuan yang berani itu menyelinap dan memilih tempat duduk di bagian paling depan sehingga mereka dapat menonton ke ruangan dalam di mana Kaisar sedang menjamu tamu-tamunya! Para panglima yang melihat munculnya dua orang gadis cilik dekat mereka menjadi heran dan ada yang menegur.
Maya mendahului Siauw Bwee yang sudah mulai agak gelisah. “Dia adalah puteri Panglima Khu yang hadir di situ, dan aku adalah keponakan Menteri Kam yang hadir pula di situ. Kami ikut dengan mereka dan ditempatkan di sini. Apakah Cu-wi Ciangkun berkeberatan?”
Memang hebat sekali, amat tabah dan cerdik. Sekecil itu dia sudah dapat ‘berdiplomasi’ dan menggunakan kata-kata yang menyudutkan para panglima itu. Tentu saja tidak ada seorang pun di antara mereka berani menyatakan keberatan menerima puteri Panglima Khu yang terkenal, apa lagi keponakan Menteri Kam! Bahkan mereka tersenyum-senyum gembira karena biar pun masih kecil, dua orang bocah itu merupakan ‘pemandangan’ yang menarik dan memiliki kecantikan yang mengagumkan.
Para utusan Kerajaan Yucen sudah mulai merah mukanya oleh pengaruh arak wangi dan percakapan mulai lebih bebas dan berani. Menteri Kam yang duduk tak jauh dari Kaisar bersikap tenang saja dan beberapa kali mengerling ke arah Jenderal Suma Kiat yang duduk dekat panglima besar dan Guru Negara Yucen. Sejak tadi Jenderal Suma ini bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan kedua orang tamu agung, bahkan sering kali berbisik-bisik, kelihatannya akrab sekali.
Han Ki yang berdiri di belakang Menteri Kam sebagai pengawal tidak bergerak seperti arca. Akan tetapi sinar matanya kadang-kadang layu, kadang-kadang berapi kalau memandang ke arah para utusan Raja Yucen. Khu Tek San juga duduk dengan tenang...
Akan tetapi pemimpin piauwsu itu cepat berkata dengan suara tegas, “Kami harap Khu-sicu tidak mentertawakan kami karena sesungguhnyalah bahwa yang kami kawal adalah barang-barang sumbangan dari para pedagang dan pembesar daerah kami untuk Kaisar.”
Tertariklah hati Khu Tek San. Ia adalah seorang panglima dan bahkan seorang yang mempunyai kedudukan cukup penting di kota raja, sebagai pembantu Menteri Kam, maka cepat dia bertanya, “Maafkan kalau tadi aku salah duga. Akan tetapi ada terjadi urusan apakah di kota raja maka para pedagang dan pembesar mengirim sumbangan kepada Kaisar?”
“Aihhh! Agaknya Sam-wi telah lama meninggalkan selatan!” Pimpinan piauwsu itu berseru heran. “Kota raja telah ramai dan dalam keadaan pesta-pora karena Kaisar akan merayakan pernikahan seorang di antara puteri-puteri istana. Siapakah yang tidak mendengar bahwa Kaisar akan menghadiahkan puteri tercantik, kembangnya istana, Puteri Song Hong Kwi kepada Raja Yucen?”
“Ouhhh...!”
“Susiok...! Kau.... kau... kenapakah....?”
Tiba-tiba Tek San meloncat turun dari kudanya dan menangkap kendali kuda yang diduduki Han Ki karena tiba-tiba saja pemuda itu duduk miring di atas kudanya dan kudanya hendak lari karena kendalinya tidak dikuasai Han Ki.
“Ahhh... tidak apa-apa...” Han Ki berkata. Ia sudah dapat menguasai kembali hatinya yang terguncang hebat mendengar keterangan piauwsu itu. Akan tetapi wajahnya menjadi pucat sekali dan dahinya berkeringat. “Mari... kita melanjutkan perjalanan secepatnya!”
Khu Tek San masih merasa heran menyaksikan pemuda itu yang tiba-tiba menjadi pucat dan muram wajahnya. Akan tetapi dia tidak berani bertanya dan mendengar ajakan Han Kit dia berkata, “Rombongan piauwsu ini mengawal barang-barang sumbangan untuk istana. Sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu mereka menyelamatkan barang-barang ini sampai ke istana. Sebaiknya kita melakukan perjalanan bersama mereka.”
Alasan itu kuat sekall dan Han Ki yang tidak ingin terbuka rahasia hatinya mengangguk. Tujuh orang piauwsu itu girang sekali ketika rmendengar pengakuan Khu Tek San bahwa dia adalah seorang Panglima Sung dan hendak memperkuat pengawalan atas barang-barang yang hendak disumbangkan kepada Kaisar. Maka berangkatlah rombongan yang kini terdiri dari sepuluh orang itu.
Di sepanjang perjalanan Maya mendapat kenyataan betapa terjadi perubahan besar sekali atas diri Han Ki. Dia membenci pemuda yang dianggapnya sombong itu, akan tetapi entah mengapa dia selalu memperhatikan Han Ki. Tanpa disadarinya, dia selalu memandang dan memperhatikan pemuda yang ‘dibencinya’ itu sehingga delapan orang teman seperjalan dan yang lain seolah-olah tidak tampak lagi olehnya! Karena selalu menaruh perhatian secara diam-diam inilah yang membuat Maya dapat mellhat perubahan hebat atas diri Han Ki.
Pemuda itu kelihatan murung sekali dan seperti bunga melayu dan mengering kekurangan air. Pemuda itu tidak lagi mau bercakap-cakap, selalu menjauhkan diri di waktu mereka beristirahat, duduk menjauh lalu termenung dengan alis berkerut. Bahkan Han Ki jarang sekali mau makan kalau tidak didesak-desak oleh Tek San yang juga merasa heran dan khawatir akan keadaan pemuda itu yang selalu mengelak kalau ditanya. Di waktu malam Maya melihat betapa Han Ki tidak pernah tidur, duduk melamun menggigit kuku jari tangan atau menggigiti sebatang rumput yang dicabutnya dari dekat kaki.
Bahkan sering kali Maya mendengar dia menarik napas panjang dan mengeluh lirih, keluhan yang mengandung rintihan seolah-olah pemuda itu merasa berduka sekali, rasa duka yang ditahan-tahan dan hendak disembunyikan dari orang lain. Kadang-kadang Maya melihat pemuda itu mengusapkan punggung tangannya ke depan mata sehingga ia dapat menduga bahwa pemuda itu telah menangis sungguh pun tak pernah ia dapat melihat air matanya.
Memang amat berat penanggungan yang diderita di hati Han Ki. Ketika mendengar penuturan piauwsu tentang hendak dinikahkannya Puteri Sung Hong Kwi, seolah-olah ada petir menyambar kepalanya, langsung memasuki jantung, menghanguskan hati dan menghancurkan perasaannya. Hong Kwi, kekasihnya itu akan dikawinkan dengan Raja Yucen! Membayangkan wanita satu-satunya di dunia ini yang dicintanya sepenuh hati dan nyawanya menjadi isteri orang lain membuat Han Ki merasa tertusuk perasaannya dan ia seolah-olah kehilangan gairah hidup.
Kalau saja Hong Kwi adalah seorang gadis biasa, tentu dia tidak akan segelisah itu. Kalau sudah sama mencinta, tentu dia akan dapat mengajak Hong Kwi pergi jauh meninggalkan segala keruwetan dunia. Akan tetapi Hong Kwi adalah seorang puteri Kaisar! Mencintanya saja sudah merupakan hal yang langka, meminangnya akan merupakan hal yang amat sukar dan dia hanya dapat mengandalkan bantuan Menteri Kam. Kini Hong Kwi sudah dijodohkan dengan orang lain, bukan sembarang orang melainkan Raja Yucen sendiri! Bagaimana mungkin ia akan dapat berdaya memiliki kekasihnya? Mengajaknya lari? Tidak mungkin! Habis, apa yang akan ia lakukan? Han Ki tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri dan dia makin gelisah, berduka dan putus harapan.
Keadaan Han Ki yang makin pucat dan makin berduka serta wajahnya yang selalu murung itu mendatangkan perasaan aneh sekali di hati Maya. Kini melihat keadaan pemuda itu, lenyap sama sekali rasa benci di hati gadis cilik ini, berubah menjadi perasaan iba dan khawatir! Ia seakan-akan terseret ke dalam lembah duka, terbawa oleh arus kedukaan yang ditimbulkan Han Ki. Berkali-kali secara berbisik-bisik ia bertanya kepada Khu Tek San, namun panglima ini pun tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda itu kelihatan begitu bersedih. Untuk bertanya, dia tidak berani.
Sebagai seorang yang berpengalaman Khu Tek San maklum bahwa seorang pemuda aneh seperti Han Ki, kalau menyimpan rahasia, biar dipaksa sampai mati sekali pun tidak akan membuka rahasianya itu, dan kalau ditanya, tentu akan menimbulkan ketidaksenangan. Maka dia hanya memandang dengan khawatir, diam-diam mengambil keputusan untuk melaporkan sikap Han Ki yang penuh duka itu kepada gurunya kelak.
Malam itu rombongan terpaksa bermalam di dalam sebuah hutan yang besar karena hujan turun sebelum mereka dapat keluar dari hutan mencapai sebuah dusun. Untung bagi mereka bahwa di hutan itu terdapat pegunungan karang yang banyak goanya sehingga mereka dapat berteduh di dalam goa sambil mengobrol di dekat api unggun. Beberapa orang di antara mereka memasak air dan menghangatkan bekal makanan.
Hujan telah mereda dan akhirnya terhenti sama sekali ketika rombongan itu mulai makan. Seperti biasa, Khu Tek San dan Maya mendapat bagian dari mereka, akan tetapi kembali Han Ki tidak mau makan, malah keluar dari goa dan duduk menyendiri di atas batu di bawah pohon. Dia duduk melamun di bawah sinar bulan yang mulai muncul setelah awan habis menimpa bumi menjadi air hujan dan angkasa menjadi bersih membiru.
Hawa udara malam itu amat dingin sehingga hawa dingin masih terasa oleh mereka yang duduk dekat api unggun di dalam goa. Namun Han Ki duduk termenung tanpa membuat api unggun dan dia tidak kelihatan kedinginan. Hal ini adalah karena Han Ki telah memiliki sinkang yang amat kuat di tubuhnya sehingga dia dapat membuat tubuhnya terasa hangat melawan hawa dingin dari luar tubuh.
Biar pun sedang melamun dan semangatnya seperti melayang-layang jauh, namun panca indranya yang terlatih itu membuat Han Ki sadar bahwa ada orang melangkah mendekat dari belakangnya. Langkah yang ringan namun bukan langkah seorang musuh, maka dia diam saja biar pun seluruh urat syaraf di tubuhnya, seperti biasa siap menghadapi segala bahaya.
“Paman Han Ki...”
Alis Han Ki berkerut makin dalam sehingga sepasang alis itu seperti akan bersambung. Kiranya Maya yang datang dan panggilan itu benar menambah panas hatinya yang sedang mengkal. Selama dalam perjalanan semenjak ‘percekcokan’ mereka dahulu, gadis cantik itu tidak pernah menegurnya, bahkan tidak pernah mau memandang langsung dan cepat-cepat membuang pandang matanya kalau kebetulan pandang mata mereka bersilang. Anak yang manja, nakal, galak dan angkuh! Akan tetapi sekarang tiba-tiba datang dan memanggilnya paman!
“Aku bukan pamanmu! Lupa lagikah engkau?” Han Ki berkata ketus, tanpa menoleh.
Akan tetapi Maya melanjutkan langkahnya dan kini berdiri di depan Han Ki yang duduk di atas batu, menunduk. “Memang kita orang lain. Biarlah kusebut saja namamu. Han Ki, aku datang membawa makanan untukmu. Makanlah!”
Han Ki terkejut dan terheran sehingga di luar kesadarannya ia mengangkat muka memandang. Gadis cilik ini benar-benar amat cantik jelita. Masih kecil sudah jelas tampak kecantikannya. Wajah yang tertimpa sinar bulan itu demikian cantik seperti bukan wajah manusia. Pantasnya seorang bidadari! Dan Maya berdiri menunduk, memandangnya dangan sikap seorang ibu terhadap seorang puteranya dengan sikap hendak menghibur!
Panas rasa perut Han Ki dan ia menjawab ketus. “Aku tidak mau makan! Kalau aku ingin makan, masa aku menanti kau datang membawakan makanan untukku? Pergilah dan bawa makanan itu, kau makan sendiri!”
Han Ki merasa pasti bahwa jawaban ini tentu akan membuat marah gadis cilik yang galak itu dan memang demikian yang ia kehendaki agar bocah ini segera pergi, tidak mengganggu dia yang sedang melamun. Akan tetapi sungguh mengherankan, Maya tidak menjadi marah! Tidak melangkah pergi, masih berdiri di situ memegang mangkok makanan, bahkan terdengar ia berkata lirih.
“Han Ki, engkau selalu berduka, tidak makan tidak tidur. Wajahmu pucat, tubuhmu kurus dan engkau selalu muram dan layu. Mengapakah?”
Han Ki merasa makin jengkel. Bocah ini benar-benar lancang mulut. Bocah seperti dia ini berani bertanya-tanya tentang urusan yang menjadi rahasia hatinya! Kalau dia tidak ingat bahwa anak perempuan yang berdiri di depannya ini adalah puteri Raja Khitan, tentu sudah ditamparnya!
“Engkau cerewet benar! Pergilah dan jangan tanya-tanya hal yang tiada sangkut-pautnya dangan dirimu!” la membentak lirih agar jangan terdengar oleh orang-orang lain di dalam goa.
“Hemmmm, di dunia ini tidak ada peristiwa yang aneh! Segala yang terjadi adalah wajar, siapa yang memaksa kita harus bersuka atau berduka? Yang telah terjadi tetap terjadi, peristiwa yang sudah terjadi merupakan hal yang telah lewat dan tidak mungkin dapat dirubah lagi, seperti lewatnya matahari dari timur kemudian lenyap di barat. Tergantung kepada kita bagaimana menerima terjadinya peristiwa itu. Mau diterima dangan duka atau dengan suka, tidak ada yang memaksa dan tidak akan mempengaruhi atau merubah kejadian itu. Karena itu, mengapa berduka? Muka yang berduka tidak sedap dipandang! Dari pada menangis, lebih baik tertawa! Dari pada berduka lebih baik bersuka kalau keduanya tidak merubah nasib!”
Han Ki meloncat bangun seolah-olah kepalanya disiram air es! la memandang gadis cilik itu dangan mata terbelalak dan mulut ternganga, hampir tidak percaya bahwa kata-kata yang keluar tadi adalah ucapan Maya.
“Kau... kau... sekecil ini... sudah berpendapat sedalam itu??”
Maya tersenyum, girang melihat betapa ucapannya seolah-olah menyadarkan Han Ki dari alam duka. “Aku hanya mendengar wejangan mendiang Ayah... eh, Pamanku Raja Khitan. Akan tetapi wejangan itu menjadi peganganku ketika aku dilanda malapetaka dan sengsara. Ayah bundaku telah tiada, Raja dan Ratu Khitan yang menjadi ayah bunda angkat dan yang kucinta melebihi ayah bunda kandungku sendiri yang tak pernah kukenal, telah gugur semua. Kerajaan Khitan hancur. Semua milikku, semua keluargaku terbasmi habis. Adakah kesengsaraan yang lebih hebat dari pada yang kualami? Namun aku tidak terpendam atau tenggelam kedukaan seperti engkau! Karena aku berpegang kepada wejangan Raja Khitan tadi. Biar aku menangis dengan air mata darah, semua milikku takkan kembali, semua keluargaku takkan hidup lagi. Maka, perlu apa menangis?”
Sejenak Han Ki memejamkan matanya dan teringatlah ia akan semua nasihat dan wejangan Bu Kek Siansu, gurunya. Terbukalah mata hatinya dan sadarlah dia betapa selama ini ia benar-benar telah bersikap bodoh dan lemah! Ia terharu sekali dan tiba-tiba ia memegang pinggang Maya dengan kedua tangan, mengangkat tinggi-tinggi tubuh Maya sambil tertawa bergelak!
“Ha-ha-ha-ha! Seorang paman baru sadar setelah mendengar nasihat keponakannya! Betapa lucunya! Terima kasih, Maya, anak manis! Terima kasih banyak!”
Akan tetapi tubuh Maya meronta dan kedua kakinya menendang-nendang marah. “Turunkan aku! Aku bukan anak kecil!”
Han Ki tersenyum dan menurunkan tubuh Maya. Benar-benar anak ini luar biasa sekali. Sikapnya aneh, kadang-kadang bersikap seperti orang dewasa!
“Dan aku bukan keponakanmu. Ingat Han Ki. Engkau bukan pamanku melainkan sahabatku. Sahabat baik! Nah, makanlah!”
Han Ki duduk di atas batu sambil tersenyum, menerima mangkok itu dan makan dangan lahapnya. Maya pergi dari situ dan kembali lagi membawa makanan lebih banyak yang semua disikat habis oleh Han Ki. Pemuda itu baru sekarang merasa betapa lapar perutnya dan betapa tubuhnya amat membutuhkan makanan. Kemudian, setelah minum air dan arak yang disediakan Maya sehingga perutnya terasa penuh kekenyangan, dia merebahkan diri telentang dan tidur pulas! Dia tidak tahu betapa Maya duduk di dekatnya, memandang wajahnya sambil tersenyurm puas! Tidak tahu betapa Maya membuat api unggun tidak jauh dari situ sebelum meninggalkannya, masuk ke dalam goa untuk tidur ditemani Khu Tek San.
Semenjak malam itu Han Ki dapat menguasai dirinya lagi. Dia makan dan tidur seperti biasa sesuai dangan kebutuhan tubuhnya, tidak lagi kehilangan semangat sehingga wajahnya tidak pucat lagi, tubuhnya juga pulih. Kini hubungannya dangan Maya menjadi baik dan bahkan akrab, sering kali mereka duduk bercakap-cakap dan Han Ki menceritakan pengalaman-pengalamannya yang luar biasa di dunia kang-ouw, atau kadang-kadang memberi petunjuk ilmu kepada gadis cilik itu.
Akan tetapi tak mungkin dia dapat melupakan hal yang mengecewakan hatinya, yaitu tentang Sung Hong Kwi yang akan dikawinkan dangan Raja Yucen. Kalau teringat kepada kekasihnya, mau tidak mau Han Ki termenung. Hanya kelincahan Maya saja yang selalu membuyarkan kedukaan ini dan mendatangkan kegembiraan di hatinya.
Sementara itu, rombongan telah melakukan perjalanan jauh dan pada suatu hari mereka memasuki sebuah hutan besar di sebelah utara tapal batas kota raja. Hutan ini sudah lama terkenal sebagai daerah yang berbahaya karena di situ sering kali dihuni oleh perampok-perampok ganas yang menghadang perjalanan yang menghubungkan kota raja dangan daerah utara. Khu Tek San yang mengenal daerah ini segera memperingatkan para piauwsu.
Para piauwsu itu tertawa dan berkata, “Setelah kami ditemani oleh Khu-ciangkun, masa perlu takut menghadapi gangguan perampok? Nama Gin-to Piauw-kiok bukan tidak terkenal di antara kaum liok-lim dan kang-ouw. Sungguh kebetulan sekali kami bertemu dangan Ciangkun, pertemuan yang menguntungkan kedua pihak, karena kita dapat bekerja sama saling bantu, bukan? Keselamatan barang kawalan kami dan keselamatan dua orang keluarga Ciangkun dapat sama-sama kita lindungi!”
Mendengar ini Khu Tek San hanya mengangguk-angguk. Di hatinya merasa geli sebab ia tahu bahwa para piauwsu ini memandang rendah kepada Kam Han Ki yang dianggapnya sebagai orang yang patut dilindungi! Dengan pendengarannya yang tajam sekali, Han Ki yang berada agak jauh dari mereka juga mendengar kata-kata pemimpin piauwsu, akan tetapi dia tidak peduli dan melanjutkan percakapannya dangan Maya sambil menjalankan kuda perlahan-lahan.
Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di sebuah tikungan dan tiba-tiba terdengar suara lengkingan-lengkingan panjang dari depan, kanan dan kiri tempat itu. Para piauwsu cepat menghentikan kereta kawalan mereka, mencabut golok dan siap karena mereka maklum bahwa suara itu adalah tanda-tanda yang dikeluarkan oleh para perampok. Dengan golok di tangan, tujuh orang piauwsu itu kelihatan gagah sekali. Golok mereka terbuat dari pada perak, mengkilap putih tertimpa sinar matahari. Tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang golok melintang depan dada, kedua kaki berdiri tegak di kanan kiri agak melebar, mata mereka bergerak-gerak mengerling ke kanan kiri penuh kewaspadaan.
Melihat semua piauwsu telah turun dari kuda, Khu Tek San juga meloncat turun dan menggiring semua kuda mereka ke pinggir, mencancangnya pada pohon. Kam Han Ki bersikap tidak peduli, malah membawa kudanya ke kanan, meloncat turun dan duduk di atas batu di bawah pohon dengan kepala menunduk.
Maya memandang tegang kepada para piauwsu. Gadis cilik ini pun maklum bahwa tentu akan terjadi serbuan para perampok, maka dia juga turun dari kuda, mengikat kendali kudanya dan kuda Han Ki di pohon, kemudian ia berdiri tak jauh dari Han Ki. Jantungnya berdebar karena dia ingin sekali melihat bagaimana sepak terjang Khu Tek San dan Han Ki. Akan tetapi dia kecewa melihat Han Ki sama sekali tidak ambil peduli, bahkan kini pemuda itu menundukkan mukanya seperti orang mengantuk!
Suara suitan melengking makin berisik dan dekat, kemudian muncullah dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang laki-laki berjubah berwarna merah. Mukanya brewok, matanya lebar dan liar seperti mata singa! Berbeda dengan para anak buahnya yang semua memakai topi kain dikerudungkan di atas kepala sampai menutupi leher, pemimpin itu sendiri tidak bertopi. Rambutnya yang panjang diikat ke belakang. Kalau semua anak buahnya memegang senjata pedang, golok atau tombak, Si Pemimpin ini bertangan kosong dan sikapnya angkuh sekali.
Khu Tek San yang melihat dandanan para perampok segera dapat menduga bahwa mereka bukanlah perampok-perampok biasa, melainkan pasukan yang terlatih, pasukan yang memakai pakaian seragam. Dia tidak tahu dan tidak dapat menduga, entah dari mana datangnya pasukan itu yang kini telah menjadi gerombolan perampok.
Akan tetapi Maya dapat mengenal mereka sebagai suku bangsa Kerait yang terkenal ganas dan kejam kalau sudah berperang melawan musuh! Dan memang dugaan Maya ini benar. Pasukan yang kini telah berubah menjadi gerombolan perampok itu adalah bekas pasukan Kerait yang terpukul hancur oleh pasukan Mongol. Sisa pasukan yang cerai-berai itu kemudian dipimpin oleh kakek brewok ini dan menjadi gerombolan perampok yang ganas.
“Ha-ha-ha-ha! Segerobak benda-benda berharga yang berat! Dan dijaga oleh tujuh orang piauwsu Gin-to Piauwkiok! Bagus! Bagus! Selain kami dapat bertanding secara menggembirakan, juga akan mendapat hadiah segerobak harta!” Kakek Brewok berjubah merah itu tertawa bergelak.
Pemimpin piauwsu melangkah maju, menjura dan berkata. “Maaf, sobat. Kami adalah piauwsu-piauwsu Gin-to Piauwkiok yang selamanya tidak permah bentrok dengan sobat-sobat dari liok-lim. Karena kami tidak pernah mendengar namamu maka tidak tahu dan lewat tanpa memberi kabar lebih dulu. Harap suka memaafkan dan suka memperkenalkan namamu agar kami dapat mengirim bingkisan kehormatan. Aku yang memimpin rombongan ini dan namaku adalah Chi Kan.”
Si Brewok itu mengelus jenggotnya yang pendek akan tetapi memenuhi mukanya itu, tangan kirinya bertolak pinggang. la mengangguk-angguk dan berkata dengan suara nyaring, matanya yang lebar melirik-lirik ke arah kereta, kemudian ke arah Maya yang berdiri tenang.
“Bagus! Bagus! Gin-to Plauw-kiok memang dapat menghargai persahabatan! Kami pun bukan orang-orang yang tak tahu kebaikan orang, maka kami tidak akan mengganggu kalian asal kalian meninggalkan kereta dan gadis itu untuk kami. Nyawa kalian sembilan orang di tukar dengan segerobak benda mati dan seorang gadis kecil mungil. Sudah cukup adil dan menguntungkan bagi kalian, bukan?”
Jawaban ini tentu saja merupakan jawaban yang sengaja mencari perkara, maka Chi Kan, pemimpin piauwsu itu menjadi merah mukanya. Dengan sikap gagah ia berkata, “Hemm, agaknya kalian hendak memilih jalan keras. Baiklah perkenalkan namamu dan nama gerombolanmu sebelum kami mengambil keputusan atas permintaanmu tadi.”
Si Brewok kembali tertawa sambil menengadahkan mukanya ke langit. “Ha-ha-ha! Pantas kalau kalian belum mengenalku, memang perang dan kekacauan yang merubah kami menjadi begini! Aku adalah bekas perwira pasukan Kerait dan mereka ini adalah anak buahku!”
“Ah, kalau begitu lebih baik lagi! Sebagai seorang perwira Kerait yang tidak memusuhi Kerajaan Sung, tidak boleh engkau mengganggu barang kawalanku. Hendaknya diketahui bahwa barang-barang ini adalah barang sumbangan dari pedagang dan pembesar setempat untuk pernikahan puteri Kaisar Dengan Raja Yucen!” kata Chi Kan yang hendak menggunakan nama Kerajaan Sung dan Yucen untuk mengundurkan orang-orang Kerait itu tanpa pertempuran.
Akan tetapi pemimpin rombongan piauwsu ini kecelik karena orang brewokan itu tertawa bergelak mendengar ucapannya dan menjawab. “Kebetulan sekali kalau begitu! Bangsa Yucen adalah musuh kami, dan Kerajaan Sung bukanlah sahabat kami. Serahkan saja gerobak dan gadis cilik itu, dan kalian boleh pergi dengan aman!”
“Perampok busuk!” Chi Kan menjadi marah sekali dan tampak sinar berkilauan ketika golok peraknya menyambar ke arah leher Si Brewok, mengeluarkan angin yang berdesingan bunyinya.
Kakek bangsa Kerait itu sambil tertawa miringkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak cepat menangkis ke arah sinar putih itu dengan jari terbuka.
“Krekkk!!”
Chi Kan terkejut bukan main dan sambil berseru kaget ia meloncat ke belakang, memandang golok peraknya yang sudah patah! Dia adalah murid kepala dari Gin-to Piauw-kiok, akan tetapi dalam segebrakan saja orang Kerait itu telah mematahkan goloknya hanya dengan tangkisan tangan kosong! Sekarang dapat dimengerti mengapa bekas perwira Kerait itu berani maju dengan tangan kosong, kiranya tangannya itu memiliki keampuhan melebihi golok atau pedang!
“Ha-ha-ha, bangsa piauwsu rendahan berani membantah perintahku?” orang brewok itu berkata sambil tertawa. “Aku adalah Ganya, jagoan Kerait yang belum permah bertemu tanding!”
Para piauwsu menjadi gentar, akan tetapi mereka tentu saja tidak akan menyerahkan gerobak yang mereka kawal dan akan melindunginya dengan nyawa mereka. Ada pun Khu Tek San yang menyaksikan kelihaian orang Kerait yang bernama Ganya itu dan mendengar namanya, teringatlah ia karena ketika ia menjadi panglima di Yucen, pernah ia mendengar nama ini yang kabarnya memiliki kepandaian hebat dan tenaga yang luar biasa. la maklum bahwa para piauwsu takkan marmpu menang menghadapi orang kuat itu, maka ia meloncat maju dan membentak.
“Manusia sombong, akulah lawanmu!” Sambil meloncat, Khu Tek San sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebuah kipas! Sebagai murid Menteri Kam Liong, tentu saja ia mewarisi ilmu silat yang ampuh ini.
Di antara keturunan Suling Emas, yang menuruni kedua ilmu silat sakti pendekar itu hanyalah Menteri Kam Liong, yaitu ilmu silat suling emas Pat-sian Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan ilmu silat Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Karena kedua ilmu ini adalah ilmu yang hebat-hebat dan sukar dipelajari, maka Khu Tek San hanya memperdalam ilmu kipasnya saja sehingga dia menjadi seorang ahli ilmu silat kipas Lohai San-hoat.
Ilmu silat Lo-hai San-hoat ini bukanlah ilmu sembarangan. Biar pun hanya dimainkan dengan sebuah kipas, namun kipas itu lebih berbahaya dari pada senjata tajam yang bagaimana pun juga. Gagang dan batang-batang kipas itu merupakan alat-alat penotok jalan darah yang banyak jumlahnya, sedangkan kain kipasnya sendiri dapat dikebutkan dan mendatangkan angin yang mengacaukan lawan. Terbuka mau pun tertutup kipas itu dapat menjadi alat penyerang mau pun penangkis yang ampuh, apa lagi kalau dimainkan oleh seorang ahli seperti Khu Tek San yang memiliki limu kepandaian hebat!
Begitu mellhat senjata aneh ini menyarmbar, Ganya berseru kaget. Sebagai seorang berilmu tinggi, dia pun sudah mengerti akan kehebatan lawan. Maka tidak seperti tadi, kini dia sama sekaii tidak berani menangkis, hanya mengelak kemudian kedua tangannya bergerak, yang kiri menangkis lengan lawan yang memegang kipas karena dia tidak berani menangkis kipasnya, yang kanan mencengkeram ke arah muka lawan. Gerakannya cepat dan mantap, tanda bahwa kepandaiannya memang tinggi dan tenaganya besar.
Melihat cara lawan mengelak dan balas menyerang, Khu Tek San berlaku hati-hati. Dia maklum bahwa lawannya memang benar-benar hebat, maka ia membalikkan kipasnya dengan pemutaran pergelangan tangan, menggunakan ujung cabang kipas menotok telapak tangan kiri Si Brewok, sedangkan lengan kirinya sengaja ia gerakkan menangkis cengkeraman tangan kanan Ganya.
“Dukkk!” Ganya dapat menyelamatkan tangan kirinya yang tertotok, akan tetapi dia sengaja mengadu lengan kanannya dengan lengan kiri lawan.
Dua buah lengan yang sama kuat dan mengandung getaran tenaga sinkang bertemu, membuat keduanya terhuyung ke belakang! Ganya memandang terbelalak dan kaget, sebaliknya Khu Tek San memandang kagum. Jarang ada orang yang dapat mengimbangi tenaga sinkang-nya, akan tetapi lawan ini agaknya tidak kalah kuat olehnya. Maka ia menerjang lagi dan terjadilah pertandingan yang amat dahsyat dan seru antara kedua orang gagah itu.
Melihat betapa pemimpin mereka sudah bertanding, anak buah perampok itu berteriak dan maju menyerbu, disambut oleh Chi Kan yang sudah mengambil senjata baru dan enam orang temannya. Perang kecil terjadi dengan ramainya. Senjata tajam berdencingan bertemu lawan, teriakan-teriakan dan maki-makian saling susul menyeling suara berdebuknya kaki mereka yang sedang bertanding mengadu nyawa.
Maya berdiri memandang dengan kagum ke arah Khu Tek San. Hebat memang penolongnya itu, permainan kipasnya indah sekali dan gerakannya amat kuat. Akan tetapi ia menjadi gemas dan penasaran melihat betapa Kam Han Ki masih saja duduk di atas batu di bawah pohon seperti tadi, malah kini pemuda itu menggigiti rumput yang dicabutnya dari dekat kakinya, duduk menggigiti batang rumput sambil termenung dengan alis berkerut. Memang saat itu Han Ki kembali teringat akan kekasihnya yang makin sering diingatnya setelah perjalanan mendekati kota raja.
“Eh, kenapa engkau malah melamun saja?” Maya yang tidak sabar lagi mendekati Han Ki, menegur dan mengguncang pundaknya. “Lihat, Paman Khu Tek San melawan seorang yang lihai sekali sedangkan para piauwsu dikeroyok banyak perarmpok!”
Han Ki seperti baru sadar dari alam mimpi. Akan tetapi ia hanya menoleh ke kanan memandang pertandingan antara Khu Tek San dan Ganya. Pada saat itu seorang anggota perampok yang agaknya ingin membantu pemimpinnya dan menyerbu Tek San dari belakang kena disambar dadanya oleh ujung batang kipas sehingga perampok ini terbanting ke belakang, roboh dan merintih-rintih.
“Khu-Ciangkun tidak akan kalah!” kata Han Ki setelah memandang sebentar, lalu kembali menunduk menggigiti batang rumput.
Memang di dalam hatinya pemuda ini merasa enggan untuk membantu para piauwsu menghadapi perampok-perampok itu. Yang akan dirampok adalah benda-benda yang akan dijadikan barang sumbangan atas menikahnya Raja Yucen dan... Sung Hong Kwi, kekasihnya! Karena itu dia tidak peduli. Kalau mau dirampas para perampok barang-barang yang menyebalkan hatinya itu, biarlah!
Kembali Maya mengguncang pundaknya. “Han Ki, lihatlah! Para perampok hendak merampas gerobak!”
Han Ki menoleh dan benar saja, kini sebagian dari pada anak buah perampok ada yang mendekati gerobak berisi barang-barang berharga, bahkan di antara mereka berkata nyaring sambil terkekeh, “Mari kita naikkan gadis itu ke atas kereta dan sekalian kita bawa pergi!”
Kini lima orang perampok tinggi besar sambil tersenyum menyeringai datang menghampiri Maya yang berdiri tegak dan siap melakukan perlawanan! Melihat ini. Han Ki menggerakkan tangan ke bawah, menggenggam pasir kasar dan mengayun tangan itu ke arah para perampok. Akibatnya hebat!
Lima orang perampok yang sudah mendekati Maya itu roboh berpelantingan ke kanan kiri, mengaduh-aduh karena pasir-pasir kasar itu menembus kulit dan menancap di dalam daging lengan-lengan mereka! Perih pedih panas gatal rasanya. Teriakan-teriakan kesakitan ini disusul pula oleh tujuh orang perampok yang berada di dekat gerobak sehingga dua kali mengayun tangan yang menggenggam pasir, Han Ki telah berhasil membuat dua belas orang perampok roboh tak dapat berkelahi lagi!
Maya berdiri terbelalak. Dia menjadi heran dan bingung. Hanya melihat ada sinar kehitaman menyambar dua kali dibarengi desingan angin yang datang dari arah Han Ki dan perampok-perampok itu sudah roboh! Ilmu sihirkah ini? Gerakan Han Ki sedemikian cepatnya sehingga Maya tidak dapat mengikutinya dengan pandang mata.
Menyaksikan robohnya dua belas orang kawan mereka secara aneh itu, para perampok yang lain menjadi gentar dan marah. Demikian pula pimpinan perampok, Si Brewok yang lihai itu. Perhatiannya terpecah ketika ia mendengar pekik-pekik kesakitan dan melihat robohnya banyak anak buahnya tanpa melakukan pertandingan. Sebagai seorang ahli yang pandai, ia dapat melihat gerakan Han Ki dan diam-diam menjadi terkejut bukan main. Kiranya orang muda yang duduk melamun itu memiliki kepandaian yang lebih dahsyat lagi dari pada orang gagah yang dilawannya. Karena perhatiannya terpecah dan hatinya gentar, Khu Tek San dapat melihat ‘lowongan’ dan memasuki lowongan itu dengan pukulan kipasnya ke arah leher lawan. Ganya terkejut, cepat mengelak, akan tetapi terlambat.
“Krekk!” tulang pundak kiri kepala perampok ini patah dan ia mencelat mundur sambil bersuit keras memberi tanda kepada anak buahnya untuk mundur!
Sebagai bekas pasukan yang berdisiplin, anak buah perampok yang masih bertempur itu segera melompat ke belakang dan melarikan diri, meninggalkan dua belas orang teman yang masih mengaduh-aduh dan bergulingan di atas tanah! Tujuh orang piauwsu menjadi lega sekali karena para perampok pergi dan di antara mereka hanya ada dua orang yang terluka ringan. Melihat dua belas orang perampok bergulingan itu, mereka menjadi gemas dan menggerakkan golok-golok perak mereka untuk membunuh.
“Cring-cring-cring...!”
Para piauwsu terkejut dan berteriak sambil terhuyung ke belakang. Kiranya golok-golok mereka telah tertangkis oleh kerikil-kerikil kecil yang disambitkan secara tepat mengenai golok mereka dan dengan tenaga yang amat kuat sehingga golok mereka tergetar! Ketika mereka menoleh, kiranya Han Ki yang tadi mencegah mereka dan kini pemuda itu bangkit berdiri.
“Para piauwsu harap jangan melakukan pembunuhan! Barang-barang telah diselamatkan, lebih baik melanjutkan perjalanan, mengapa mau membunuh orang?”
Mendengar teguran Han Ki ini, Chi Kan membantah. “Akan tetapi penjahat ini tadinya hendak merampok gerobak dan Siocia, dan tentu akan membunuh kita semua. Mengapa sekarang tidak boleh kami bunuh? Orang-orang jahat seperti mereka ini kalau tidak dibasmi, kelak tentu akan menimbulkan mala-petaka kepada orang lain.”
Han Ki menggeleng kepala. “Belum tentu, Chi-piauwsu! Ada akibat tentu ada sebabnya. Mereka ini dulunya bukan perampok dan kalau sekarang menjadi perampok tentu bersebab. Kalau saja pasukan mereka tidak dipukul hancur, kalau saja mereka tidak dipengaruhi seorang pemimpin yang jahat, kalau saja Kaisar Sung tidak menikahkan puterinya, kalau saja kalian tidak mengantar barang-barang berharga ke kota raja dan masih banyak kalau-kalau lagi, kiranya mereka ini tidak menjadi perampok. Pula, aku yang merobohkan mereka, karenanya aku pula yang berhak memutuskan. Mereka ini tidak boleh dibunuh!”
Melihat betapa para piauwsu masih penasaran, Khu Tek San segera berkata, “Cu-wi Piauwsu harap jangan banyak membantah lagi. Kalau tadi Siauw-susiok tidak turun tangan, bukankah gerobak dan nyawa kalian akan hilang? Mari kita melanjutkan perjalanan dan meninggalkan mereka yang terluka ini!’
Para piauwsu tadi sudah menyaksikan kegagahan Khu Tek San, maka biar pun mereka masih penasaran karena tiada seorang pun menyaksikan bahwa Han Ki yang merobohkan dua belas orang perampok itu, tidak banyak bicara lagi dan perjalanan dilanjutkan menuju ke kota raja.
Ketika rombongan itu memasuki kota raja, semua menjadi gembira, kecuali Han Ki. Terutama sekali Maya menjadi gembira bukan main dan amat kagum menyaksikan rumah-rumah besar dan kota yang dihias indah itu. Jelas bahwa kota raja menyambut pernikahan puteri Kaisar secara besar-besaran! Namun keadaan kota raja itu membuat hati Han Ki terasa makin perih seperti ditusuk-tusuk pedang. Hiasan-hiasan indah dengan bunga-bunga dan kertas-kertas berwarna-warni itu seolah-olah mengejeknya, mengejek atas kepatahan hatinya dan terputusnya ikatan cinta kasih antara dia dan Sung Hong Kwi!
Setelah menghaturkan terima kasih, rombongan piauwsu memisahkan diri. Khu Tek San mengajak Maya dan Han Ki langsung menghadap Menteri Kam. Dengan ramah dan gembira Menteri Kam menerima kedatangan mereka bertiga itu di dalam ruangan sebelah dalam.
“Suhu.... !” Khu Tek San berlutut memberi hormat kepada gurunya.
Han Ki berdiri lesu dan Maya juga berdiri akan tetapi dia terbelalak memandang ke arah laki-laki tua yang berpakaian seperti pembesar, kakek yang berwajah penuh kesabaran namun pandang matanya tajam penuh wibawa. Dia segera mengenal kakek ini! Ketika dia dahulu ditawan sepasang iblis dari India, kakinya digantung di pohon oleh Mahendra dan hampir saja ia disembelih seperti seekor ayam, kakek itulah yang menolongnya! Jadi kakek inilah guru penolongnya? Dan kakek inikah saudara tua Raja Khitan, ayah angkatnya?
“Bagus sekali, engkau dapat pulang dengan selamat, Tek San. Dan engkau telah melakukan tugasmu dengan baik, Han Ki! Akan tetapi anak perempuan ini... siapakah dia?” Menteri Kam Liong memang tidak ingat lagi akan anak perempuan yang dulu ditolongnya dari tangan Mahendra, sehingga kini tidak mengenal Maya. Apa lagi dahulu ia hanya melihat wajah anak yang digantung itu dari jauh dan mengira anak dusun biasa.
“Maaf, Suhu. Hampir saja teecu mengalami kegagalan dan tewas dalam tugas kalau tidak tertolong oleh Susiok yang amat lihai. Ada pun anak ini bukan lain adalah puteri dari mendiang Raja dan Ratu Khitan.”
Menteri Kam Liong terbelalak memandang Maya. “Aiihhh..., kasihan sekali engkau Anakku...!” Kam Liong turun dari bangkunya, memegang lengan Maya, ditariknya dan dirangkulnya anak itu. “Aku adalah uwamu sendiri, Maya.”
Akan tetapi Maya tidak merasa terharu. Dia memiliki hati yang keras, dan kini timbullah rasa tidak senangnya kepada Menteri Kam. Kalau benar orang tua ini uwanya, kalau benar memiliki kepandaian tinggi dan kedudukan tinggi berpengaruh, kenapa tidak sejak dahulu membantu dan melindungi keselamatan keluarga Raja Khitan? Uwa macam apa ini?
“Tidak, aku tidak mempunyai uwa, tidak mempunyai saudara atau keluarga. Keluargaku habis terbasmi di Khitan. Dan aku pun bukan puteri Raja Khitan, hanya anak angkat! Harap kau orang tua tidak mengaku keluarga hanya untuk menghiburku.”
“Maya...!” Khu Tek San menegur kaget dan marah.
Akan tetapi Menteri Kam Liong tersenyum pahit. Dia mempunyai pandangan tajam dan dapat menyelami hati bocah itu. Dia sendiri pun merasa nelangsa hatinya mengapa tidak dapat menyelamatkan saudara-saudaranya di Khitan. Maka ia pun tidak tersinggung ketika Maya melepaskan pelukannya, melangkah mundur dekat Han Ki dan tadi mengeluarkan ucapan seperti itu. Dia memandang kagum. Biar pun dia tahu bahwa bocah ini memang bukan puteri kandung Raja dan Ratu Khitan, namun bocah ini patut menjadi puteri mereka, patut menjadi keponakan Mutiara Hitam karena memiliki watak yang khas dimiliki wanita gagah perkasa Mutiara Hitam, adik tirinya itu!
Hati Tek San tidak enak sekali menyaksikan sikap Maya terhadap gurunya. Dia cepat berkata, “Kalau Suhu memperbolehkan, biarlah Maya tinggal di tempat teecu karena di sana dia dapat bermain-main dengan anak teecu Siauw Bwee.”
Menteri Kam Liong mengangguk-angguk. “Sebaiknya begitu, kalau dia mau. Maukah engkau tinggal di rumah Tek San, Maya? Apakah ingin tinggal di sini bersama uwamu?”
“Aku ingin tinggal bersama Paman Khu!” jawab Maya tegas.
“Kalau begitu, engkau pulanglah lebih dulu, Tek San dan bawa Maya bersamamu. Akan tetapi engkau segera kembali ke sini karena banyak hal penting yang ingin kubicarakan dengan engkau dan Han Ki!”
Khu Tek San memberi hormat, lalu mengajak Maya keluar dari gedung itu menuju ke rumahnya sendiri. Ternyata panglima itu pun memiliki sebuah rumah gedung yang cukup mewah. Maya mendapat kenyataan pula bahwa penolongnya ini bukan sembarang orang, dan tentu memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Hal ini bukan hanya terbukti dari rumah gedungnya yang mentereng, melainkan juga terbukti dari sikap para perwira yang bertemu di jalan. Semua menghormat kepada Panglima Khu yang masih berpakaian preman itu.
Para pelayan menyambut kedatangan panglima ini penuh hormat, akan tetapi Khu Tek San yang sudah tidak sabar untuk dapat segera bertemu dengan anak isterinya menggandeng tangan Maya dan setengah berlari memasuki gedung. Di sebelah dalam disambutlah dia oleh seorang wanita cantik dan seorang anak gadis cilik yang cantik jelita pula.
“Ayahhh...!” Anak perempuan yang usianya lebih muda dua tahun dari pada Maya itu dengan sikap manja lari menghampiri ayahnya.
Tek San tertawa. Disambarnya anak itu dan diangkatnya tinggi-tinggi, lalu dipeluk dan dicium pipinya. “Ha-ha-ha, Siauw Bwee, engkau sudah begini besar sekarang!”
Kemudian suami ini saling pandang dengan isterinya, penuh kerinduan dan penuh kemesraan yang tak dapat mereka perlihatkan di depan dua orang anak perempuan itu. Hanya pandang mata mereka yang saling melekat mesra mewakili tubuh mereka.
“Maya, inilah bibimu!” kata Tek San yang melanjutkan. “Niocu, dia ini adalah Puteri Maya, puteri mendiang Raja dan Ratu Khitan.”
“Aihhh...!” Isteri Khu-ciangkun menghampiri dan mengelus rambut kepala Maya.
Anak ini menahan-nahan air matanya yang hendak runtuh sejak tadi. Melihat betapa Siauw Bwee disambut mesra oleh kasih sayang ayahnya, dia teringat akan nasib diri sendiri. Dahulu pun ayahnya, Raja Khitan, amat cinta kepadanya. Akan tetapi sekarang? Dia tidak punya siapa-siapa! Ia menjadi makin terharu setelah tangan halus bibinya mengusap rambutnya.
“Maya, inilah Siauw Bwee, anakku. Bermainlah dengan dia dan anggap dia adikmu sendiri. Siauw Bwee, inilah Cici mu, Maya.”
Siauw Bwee diturunkan dari pondongan ayahnya. Gadis cilik ini tersenyum manis dan ramah kepada Maya, menghampirinya dan memegang tangannya. “Enci Maya...!”
Begitu bertemu hati Maya telah tertarik dan suka sekali kepada Siauw Bwee. Dia pun lupa akan kedukaannya, merangkul pundak Siauw Bwee dan berkata, “Adik Siauw Bwee...!”
“Enci Maya, mari kita main-main di taman. Di kolam taman terdapat ikan baru. Lucu sekali, sisiknya seperti emas, ekornya seperti selendang sutera, tubuhnya seperti katak dan kedua matanya membengkak dan menjendol ke luar di atas selalu memandang langit!” Dua orang anak perempuan itu tertawa-tawa dan berlarian menuju ke taman.
Setelah kedua orang anak itu pergi, barulah suami isteri yang saling mencinta dan sudah berpisah lama ini dapat menumpahkan rasa rindu mereka. Mereka saling menubruk, berciuman, dan tanpa berkata-kata Tek San melingkarkan lengan kanan di pinggang yang ramping itu kemudian mereka berdua berjalan memasuki kamar.
Tak lama kemudian Khu Tek San sudah kembali ke gedung Menteri Kam yang duduk berdua dengan Han Ki. Pemuda itu kelihatan lebih murung lagi, wajahnya pucat dan matanya sayu.
“Aku sudah mendengar penuturan Han ki tentang peristiwa yang terjadi dan menimpa kalian,” Menteri Kam berkata setelah muridnya duduk. “Memang semua itu telah diatur oleh... hemmm, Suma Kiat!”
Khu Tek San mengangguk-angguk. “Suhu, kalau tidak salah dugaan teecu, semua perbuatan yang dilakukan oleh Siangkoan Lee terhadap teecu hanyalah untuk memukul Suhu. Betulkah?”
Menteri itu menghela napas panjang dan mengangguk. “Benar demikian. Orang itu sampai kini masih saja belum dapat melenyapkan rasa benci dan dendam yang meracuni hidupnya sendiri. Diam-diam dia telah bersekongkol dengan pasukan-pasukan asing, berusaha memburukkan namaku di depan Kaisar dengan bermacam cara. Untung tak pernah berhasil dan Kaisar masih tetap percaya kepadaku. Akan tetapi, Suma Kiat masih belum puas juga dan siasatnya yang terakhir ini benar-benar menjengkelkan dan membahayakan.”
“Siasat apa lagi, Suhu?” tanya Khu Tek San dengan kening berkerut dan hati khawatir. Mempunyai seorang musuh seperti Jenderal Suma Kiat benar-benar amat berbahaya karena selain ia tahu betapa tinggi ilmu kepandaian jenderal itu, juga Jenderal Suma Kiat amat licik, curang dan mempunyai pengaruh di antara para thaikam dan menteri-menteri yang tidak setia.
“Dia berhasil membujuk Kaisar untuk menyerahkan puteri selirnya kepada Raja Yucen!” Menteri tua itu menggeleng-geleng kepala dan memandang Han Ki yang menundukkan muka.
“Hal itu apa sangkut-pautnya dengan kita, Suhu?”
“Ah, kau tidak tahu, muridku, Suma Kiat amat cerdik dan pandai mengatur siasat untuk merobohkan lawan-lawan dan musuh-musuhnya. Ketika usaha muridnya yang bernama Siangkoan Lee itu gagal untuk menangkap dan membunuhmu, muridnya cepat pulang ke kota raja. Raja Yucen marah-marah karena dibakar hatinya oleh murid itu, mengirim protes kepada Kaisar mengapa seorang Panglima Sung diselundupkan untuk menjadi mata-mata di Kerajaan Yucen! Dan kembali Suma Kiat yang memberikan jasa-jasa baiknya untuk mengangkat diri sendiri di depan Kaisar sambil sekaligus berusaha menjatuhkan aku! Dia menyalahkan aku mengenai kemarahan Raja Yucen kemudian membujuk Kaisar agar menyerahkan puteri selirnya yang tercantik untuk menjadi isteri muda Raja Yucen. Sengaja dia mengusulkan agar Puteri Sung Hong Kwi yang dihadiahkan!”
Khu Tek San mendengar tarikan napas panjang dari Han Ki dan ia mengerling ke arah permuda itu. Heranlah hatinya melihat pemuda itu mengepal tinju dan marah sekali. Sudah lama ia melihat sikap Han Ki yang penuh duka, dan kini ia menjadi makin ingin tahu apa gerangan yang menyusahkan hati pemuda sakti ini.
Menteri Kam agaknya tahu akan isi hati Khu Tek San, maka ia lalu berkata tenang. “Karena engkau merupakan orang sendiri, kiranya Han Ki tidak perlu menyembunyikan lagi rahasianya. Ketahuilah, Tek San. Puteri Sung Hong Kwi yang akan dijodohkan dengan Raja Yucen itu adalah kekasih Han Ki. Dia ingin minta aku mengajukan pinangan kepada Kaisar, akan tetapi ternyata telah didahului Suma Kiat karena aku yakin benar mengapa dia justeru mengusulkan agar puteri itu yang dihadiahkan kepada Raja Yucen. Agaknya hubungan cinta kasih antara Han Ki dan puteri itu telah bocor dan diketahui Suma Kiat, maka kembali dia melakukan hal itu untuk memukul Han Ki dan tentunya yang dijadikan sasaran terakhir adalah aku sendiri karena Han Ki adalah saudara sepupuku!”
“Hemm, sungguh mengherankan sekali sikap Suma-goanswe itu. Bukankah beliau itu masih ada hubungan keluarga dengan Suhu?” tanya Tek San penasaran.
Gurunya mengelus jenggot dan menghela napas panjang melihat betapa Han Ki juga memandangnya dengan sinar mata penuh pertanyaan. “Memang begitulah, antara Suma Kiat dan aku terdapat pertalian keluarga. Ibunya bernama Kam Sian Eng dan ibunya itu adalah adik kandung Kam Bu Sin, ayah Han Ki ini. Mereka berdua adalah adik tiri ayahku, Kam Bu Song pendekar sakti Suling Emas. Memang ada hubungan keluarga, dan dia itu masih misanku sendiri. Namun menurut riwayat nenek moyang, keluarga Suma memang selalu memusuhi keluarga kami. Sungguh menyedihkan kalau diingat.”
“Habis bagaimana sekarang baiknya, Suhu?”
Menteri itu menggerakkan pundaknya. “Bagaimana baiknya? Kita menanti dan melihat saja bagaimana perkembangannya. Kota raja sudah dalam keadaan pesta karena perjodohan itu telah diumumkan, bahkan besok akan tiba utusan dari Raja Yucen, diikuti oleh panglima besar dan guru negara sendiri, yaitu utusan untuk meresmikan hari pernikahan. Engkau harus hadir pula, Tek San, untuk memperlihatkan kepada Kaisar bahwa engkau benar-benar berdiri di pihak Kerajaan Sung. Dan kehadiranmu malah merupakan ujian bagi ketulusan sikap orang-orang Yucen. Kalau memang mereka menghendaki hubungan baik, setelah Kaisar menyerahkan puterinya tentu mereka tidak akan berani bicara lagi tentang penyelundupan di Yucen. Kalau terjadi sebaliknya, berarti mereka itu masih mendendam dan tidak mempunyai itikad baik terhadap Kerajaan Sung. Dan engkau harus hadir pula dalam perjamuan menyambut para tamu agung itu, Han Ki, sebagai pengawalku.”
Tek San dan Han Ki menyatakan persetujuan mereka, namun di dalam hatinya Han Ki merasa makin berduka. Dia harus hadir dalam perjamuan menyambut utusan calon suami Hong Kwi! Bahkan tak salah lagi, dia pun harus pula ikut minum arak untuk menghaturkan selamat kepada pengantin.....
“Enci Maya, aku sudah minta perkenan Ayah, akan tetapi tetap tidak boleh! Katanya keramaian yang diadakan di istana untuk menyambut dan menghormati utusan Raja Yucen, yang hadir adalah Kaisar sendiri dan para menteri, para thaikam dan orang-orang besar saja. Anak-anak mana boleh turut?” Khu Siauw Bwee berkata dengan muka kecewa kepada Maya yang membujuknya agar dia minta perkenan ayahnya diperbolehkan ikut menonton keramaian di istana.
Khu Siauw Bwee adalah puteri tunggal Khu Tek San, lebih muda satu dua tahun dari Maya. Dia seorang anak perempuan yang cantik mungil, dengan pandang mata lembut namun tajam sekali menandakan bahwa dia memiliki kecerdikan. Sikapnya tidak manja karena memang ayah bundanya pandai mendidik. Seperti juga Maya, sejak kecil Siauw Bwee digembleng ilmu silat dan ilmu sastra oleh ayah bundanya. Berkat ketajaman otaknya, biar pun masih kecil, belum sepuluh tahun usianya, Siauw Bwee telah memiliki ketabahan dan kepandaian silat yang membuat tubuhnya lincah dan kuat.
Maya merasa kecewa ketika mendengar mereka tidak boleh ikut. “Ahh, sayang sekali. Aku ingin melihat bagaimana sih rupanya Kaisar Sung dan puteri-puterinya, juga ingin sekali melihat utusan Yucen. Terutama sekali melihat puteri-puteri istana yang kabarnya cantik-cantik seperti bidadari.”
“Ihhhh, seperti apa sih kecantikan mereka? Kulihat mereka itu tidak ada yang lebih cantik dari pada engkau, Enci Maya. Engkau barulah boleh disebut seorang gadis yang cantik!” Siauw Bwee berkata sungguh-sungguh sambil memandang wajah Maya yang amat mengagumkan hatinya.
“Aihhh, sudahlah jangan menggoda, Adikku. Dahulu di istana orang tuaku, aku boleh melakukan apa saja. Sekarang melihat ayahmu melarang engkau padahal hanya ingin menonton keramaian, sungguh-sungguh aku merasa penasaran sekali. Apa sih buruk dan ruginya kalau kita ikut menonton? Hemm, aku ada akal baik, Moi-moi. Kalau kau suka, kita akan dapat bergembira sekali dan... hemm, kau dengar baik-baik....” Maya lalu berbisik-bisik di dekat telinga Siauw Bwee.
Wajah Siauw Bwee berubah dan matanya terbelalak. “Ihh, Enci Maya! bagaimana kalau sampai ketahuan?”
Dengan ibu jari tangan kanannya, Maya menuding dadanya sendiri. “Akulah yang akan bertanggung jawab, jangan engkau khawatir!”
Sambil tertawa terkekeh-kekeh kedua orang anak perempuan itu memasuki kamar mereka dan mengunci pintu. Terdengar mereka berdua masih tertawa-tawa, entah apa yang mereka lakukan dan bicarakan.....
APA YANG menjadi dugaan Menteri Kam ketika ia menceritakan kepada muridnya memang tepat. Peristiwa yang menimpa diri Khu Tek San di Yucen, yaitu pecahnya rahasianya sebagai mata-mata kemudian tertangkapnya oleh rekan-rekannya sendiri di perbatasan, adalah akibat perbuatan Siangkoan Lee yang memenuhi perintah gurunya, Suma Kiat. Memang Jenderal Suma Kiat ini tidak pernah dapat melupakan sakit hatinya dan kebenciannya terhadap keturunan Suling Emas.
Ketika ia mendapat laporan dari Siangkoan Lee betapa usaha muridnya itu semua gagal oleh Mutiara Hitam, kemudian oleh Kam Han Ki, hatinya menjadi makin marah dan penasaran. Maka diaturnyalah siasat baru untuk memukul Han Ki dan Menteri Kam Liong yaitu membujuk Kaisar agar mengambil hati Raja Yucen dengan menyerahkan seorang di antara puteri selirnya.
“Puteri Paduka Sung Hong Kwi terkenal sebagai bunga istana, hal ini bahkan terkenal sampai ke Yucen. Kalau Paduka menghadiahkan puteri itu kepada Raja Yucen, Paduka akan memetik tiga keuntungan,” demikian antara lain bujukan yang diucapkan Suma Kiat yang didukung oleh para thaikam.
“Tiga keuntungan yang bagaimana engkau maksudkan?” Kaisar bertanya.
“Pertama, puteri Paduka akan terangkat sebagai seorang junjungan yang dihormati di Yucen dan mengingat akan keadaan Permaisuri Yucen yang lemah dan sakit-sakit, banyak harapan beliau akan dapat menjadi permaisuri. Kedua, dengan menarik Raja Yucen sebagai mantu paduka, mantu yang rendah karena hanya menikah dengan puteri selir, berarti Paduka mengangkat kedudukan Paduka jauh lebih tinggi dari pada Raja Yucen. Kemudian ketiga, dengan ikatan jodoh itu, tentu saja Yucen tidak akan memusuhi Sung, bahkan setiap saat dapat diharapkan bantuan mereka.”
Tentu saja Jenderal Suma Kiat tidak menyatakan rahasia hatinya bahwa kalau perjodohan itu dilakukan, terutama sekali karena ia ingin menghancurkan hati Kam Han Ki yang ia tahu dari para penyelidiknya mempunyai hubungan cinta kasih dengan puteri itu, dan karenanya ingin pula ia menghantam Menteri Kam melalui Han Ki!
Demikianlah, secara cepat sekali ikatan jodoh diadakan dan hari itu kota raja telah berpesta merayakan perjodohan itu. Penduduk yang tidak tahu apa-apa hanya ikut merasa germbira bahwa Kaisar hendak mantu, apa lagi yang akan mempersunting Puteri Sung Hong Kwi adalah Raja Yucen sehingga hal ini dapat diartikan bahwa kota raja terhindar dari satu di antara bahaya serbuan musuh-musuhnya.
Rombongan utusan Raja Yucen tiba dan mendapat sambutan meriah, bahkan malamnya istana mengadakan perjamuan meriah untuk menghormati mereka. Sesuai pula dengan kebiasaan di Yucen, maka ruangan di istana diatur dengan bangku-bangku kecil tanpa tempat duduk karena memang mereka itu biasa makan minum sambil duduk di lantai, menghadapi bangku kecil di mana terdapat makanan.
Mereka terdiri dari dua puluh orang lebih, dipimpin oleh guru negara dan panglima besar Yucen, duduk berjajar-jajar menghadapi bangku masing-masing merupakan barisan keliling yang saling berhadapan. Juga Kaisar sendiri bersama menteri-menteri yang berkedudukan tinggi hadir dalam perjamuan itu, di antaranya tampak Menteri Kam Liong, Panglima Khu Tek San, Kam Han Ki pengawal pribadi Menteri Kam, Jenderal Suma Kiat, dan lain pembesar penting lagi. Kaisar sendiri menghadapi bangkunya di tempat yang lebih tinggi dan dilayani para thaikam dan pelayan.
Panglima-panglima yang pangkatnya belum cukup tinggi hanya dipersilakan duduk di ruangan sebelah, di atas kursi-kursi berjajar, ada lima puluh kursi banyaknya. Mereka yang memenuhi ruangan ini hanya ikut makan minum, ikut mendengarkan percakapan dan menonton pesta orang-orang besar di ruangan dalam, akan tetapi tidak berhak ikut dalam percakapan.
Selagi perjamuan itu mulai ramai dan gembira karena pihak tamu mau pun dari pihak tuan rumah berkali-kali diadakan penghormatan dengan mengisi cawan arak dan minum demi keselamatan masing-masing pihak, terjadi sedikit keributan di sebelah luar, di pintu ruangan para panglima rendahan. Enam orang pengawal yang menjaga pintu sedang ribut mulut dengan seorang berpakaian panglima yang bertubuh tinggi kurus berwajah tampan sekali. Para pengawal tidak mengenal panglima muda ini, maka mereka menolaknya untuk memasuki ruangan itu. Si Panglima Muda marah-marah dan memaki-maki.
“Kalian ini serombongan pengawal berani menolak seorang panglima? Aku adalah seorang panglima kerajaan, masa tidak boleh menonton keramaian menyambut utusan calon besan Kaisar? Apakah kalian ingin dipecat dan dihukum?” Suara Panglima itu nyaring dan bening.
Pemimpin pengawal menjadi gugup, akan tetapi berusaha membantah, “Maaf, Ciangkun, akan tetapi hamba... tidak mengenal Ciangkun, bahkan belum permah melihat Ciangkun.”
“Goblok! Mana mungkin kalian dapat mengenal semua panglima yang amat banyaknya dan yang banyak bertugas di luar kota? Cukup kalau kalian mengenal pakaian dan tanda-tanda pangkat yang kupakai! Awas, aku adalah panglima yang dipercaya oleh Menteri Kam!”
Mendengar disebutnya Menteri Kam, para pengawal mundur ketakutan dan terpaksa mempersilakan panglima muda itu memasuki ruangan yang disediakan bagi para panglima rendahan yang tidak diundang ke ruangan dalam ikut menyambut tamu-tamu agung! Enam orang pengawal ini saling pandang, kemudian mereka berbisik-bisik, membicarakan panglima muda itu dengan hati heran. Panglima yang masih begitu muda yang tampan sekali, bertubuh jangkung dan galaknya bukan main! Kalau saja para pengawal itu berani mengikuti Si Panglima tampan ini, tentu keheranan mereka akan bertambah beberapa kali lipat melihat Si Panglima itu kini telah berubah menjadi dua orang bocah yang duduk di baris terdepan!
Memang bukan orang lain, panglima itu sebenarnya adalah Maya dan Siauw Bwee! Akal bulus Maya membuat mereka dapat memasuki istana melalui beberapa tempat penjagaan dengan menyamar sebagai seorang panglima, menggunakan pakaian Khu Tek San! Dua orang gadis cilik ini sejak kecil digembleng ilmu silat, maka bukan merupakan hal yang aneh dan sukar bagi mereka untuk penyamaran itu. Maya berdiri di atas pundak Siauw Bwee sehingga tubuh mereka yang bersambung ini, setelah ditutup pakaian Khu Tek San, berubah menjadi tubuh seorang panglima yang jangkung kurus dan berwajah tampan sekali, wajah Maya.
Setelah berhasil mengelabui penjagaan terakhir di depan ruangan itu, Maya dan Siauw Bwee girang sekali. Pakaian luar panglima itu segera mereka copot. Maya meloncat turun dan kedua orang anak perempuan yang berani itu menyelinap dan memilih tempat duduk di bagian paling depan sehingga mereka dapat menonton ke ruangan dalam di mana Kaisar sedang menjamu tamu-tamunya! Para panglima yang melihat munculnya dua orang gadis cilik dekat mereka menjadi heran dan ada yang menegur.
Maya mendahului Siauw Bwee yang sudah mulai agak gelisah. “Dia adalah puteri Panglima Khu yang hadir di situ, dan aku adalah keponakan Menteri Kam yang hadir pula di situ. Kami ikut dengan mereka dan ditempatkan di sini. Apakah Cu-wi Ciangkun berkeberatan?”
Memang hebat sekali, amat tabah dan cerdik. Sekecil itu dia sudah dapat ‘berdiplomasi’ dan menggunakan kata-kata yang menyudutkan para panglima itu. Tentu saja tidak ada seorang pun di antara mereka berani menyatakan keberatan menerima puteri Panglima Khu yang terkenal, apa lagi keponakan Menteri Kam! Bahkan mereka tersenyum-senyum gembira karena biar pun masih kecil, dua orang bocah itu merupakan ‘pemandangan’ yang menarik dan memiliki kecantikan yang mengagumkan.
Para utusan Kerajaan Yucen sudah mulai merah mukanya oleh pengaruh arak wangi dan percakapan mulai lebih bebas dan berani. Menteri Kam yang duduk tak jauh dari Kaisar bersikap tenang saja dan beberapa kali mengerling ke arah Jenderal Suma Kiat yang duduk dekat panglima besar dan Guru Negara Yucen. Sejak tadi Jenderal Suma ini bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan kedua orang tamu agung, bahkan sering kali berbisik-bisik, kelihatannya akrab sekali.
Han Ki yang berdiri di belakang Menteri Kam sebagai pengawal tidak bergerak seperti arca. Akan tetapi sinar matanya kadang-kadang layu, kadang-kadang berapi kalau memandang ke arah para utusan Raja Yucen. Khu Tek San juga duduk dengan tenang...