CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 08
TIBA-TIBA panglima besar Kerajaan Yucen yang bertubuh tinggi besar, bercambang bauk, matanya tajam dan sikapnya gagah sekali, berpakaian perang yang megah mewah, mengangkat tangan ke atas dan memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki ke arah Kaisar, suaranya terdengar garang dan kereng.
“Perkenankan hamba menghaturkan selamat kepada Kaisar yang ternyata memiliki banyak menteri dan jenderal yang pandai dan setia. Kalau tidak demikian, hamba rasa kegembiraan malam ini takkan kita rasakan bersama akibat perbuatan seorang Menteri Sung yang tidak patut terhadap Kerajaan Yucen. Hamba sebagai utusan Sri Baginda di Yucen sama sekali tidak menyalahkan Kerajaan Sung, karena hamba tahu bahwa yang menjadi biang keladi hanyalah seorang menteri yang bersikap lancang seolah-olah lebih berkuasa dari pada kaisarnya sendiri!”
Semua yang hadir menahan napas, menghentikan percakapan dan makan, menanti dengan jantung berdebar karena utusan itu menginggung hal yang gawat. Semua orang mengerti siapa yang dimaksudkan oleh panglima besar Yucen itu. Menteri Kam dan Khu Tek San saling pandang sejenak, akan tetapi keduanya masih bersikap tenang-tenang saja.
Kaisar sendiri mengerutkan keningnya mendengar ucapan itu. Tak senang hatinya dan untuk menjawab, lidahnya terasa berat. Tiba-tiba Jenderal Suma Kiat sudah membuka mulut berkata, “Tai-ciangkun dari Yucen benar-benar seorang yang jujur dan berhati polos! Setelah Tai-ciangkun tidak menyinggung atau menyalahkan Kaisar, sebaiknya menunjuk secara jujur menteri mana yang dimaksudkan agar tidak membikin hati para menteri di sini menjadi tidak enak.”
“Ha-ha-ha, Suma-goanswe pun menyukai sikap jujur seperti kami. Bagus sekali! Yang kami maksudkan adalah Menteri Kam Liong yang telah melakukan perbuatan tidak patut sekali, mengirim muridnya dan menyelundupkannya menjadi panglima kerajaan kami untuk melakukan pekerjaan mata-mata! Bukankah perbuatan itu amat busuk? Untung Sri Baginda Kerajaan Sung amat bijaksana, kalau tidak, bukankah perbuatan licik Menteri Kam itu cukup berbahaya untuk mencetuskan perang?”
Kembali keadaan di ruangan itu sunyi sekali dan hati semua orang makin bimbang dan tegang. Sri Baginda sendiri, yang tentu saja menyetujui akan penyelundupan Khu-ciangkun ke Yucen, kini hanya dapat memandang kepada Menteri Kam Liong.
Sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba tampak seorang panglima bertubuh jangkung memasuki ruangan itu dan terdengar suaranya nyaring. “Rombongan utusan Yucen ini datang membawa perdamaian ataukah mencari pertentangan? Menghina seorang menteri berarti menghina Kaisar dan kerajaan!”
Semua orang terkejut sekali melihat munculnya seorang panglima muda tinggi kurus yang tidak terkenal ini. Seorang pengawal Yucen yang berdiri menjaga di belakang Sri Panglima Besar sudah menghadang ke depan, melintangkan tombaknya memandang panglima tinggi kurus itu.
“Eh, eh, mau apa engkau?” Panglima tinggi kurus itu membentak Si Pengawal Yucen sambil melangkah maju mendekat.
Pengawal itu mengira bahwa Panglima Sung ini akan menyerang majikannya, maka cepat menggerakkan tombaknya menodong. Tiba-tiba kedua tangan panglima yang kurus itu bergerak menyambar tombak dan semua orang memandang terbelalak ketika tiba-tiba bagian perut panglima kurus itu bergerak ke depan seperti kaki tangan yang bertubi-tubi mengirim tendangan dan pukulan.
“Buk-buk...!” Pukulan-pukulan aneh yang keluar dari perut itu mengenai tubuh Si Pengawal yang sama sekali tidak menduga. Siapa akan menduga lawan memukul dengan perut yang bisa bergerak seperti kaki tangan itu? Biar pun pukulan-pukulan itu tidak keras, namun Si Pengawal terhuyung mundur saking kagetnya dan tombaknya terlepas!
Panglima besar Yucen dan guru negara marah sekali. Mereka sudah bangkit berdiri memandang panglima itu dan Koksu (Guru Negara) Yucen yang berjenggot panjang berambut putih berseru.
“Beginikah caranya menerima utusan kerajaan calon besan?”
Semua orang, termasuk Kaisar sendiri masih terlalu heran dan bingung menyaksikan munculnya panglima tinggi kurus yang aneh itu sehingga mereka tak dapat menjawab. Kaisar sendiri mulai marah dan sudah membuat gerakan memerintahkan pengawal menangkap panglima tinggi kurus itu ketika Menteri Kam tiba-tiba meloncat dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar.
“Mohon Paduka sudi mengampunkan hamba dan mengijinkan hamba untuk menyelesaikan urusan ini agar perdamaian tetap dipertahankan.”
Kaisar mengangguk.
“Cu-wi Ciangkun dan Taijin dari Yucen harap suka memaafkan karena dia ini hanyalah seorang anak kecil yang bertindak menurutkan perasaan dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kerajaan. Mengenai urusan yang diajukan oleh Te-i-ciangkun dari Yucen tadi, biarlah saya akan memberi penjelasan.”
“Menteri Kam Liong! Apakah engkau hendak melindungi pula seorang panglima yang bersikap begitu lancang dan membikin malu kerajaan?” Tiba-tiba Suma Kiat berkata marah.
“Pertanyaan yang tepat!” Panglima Besar Yucen berseru. “Dan siapa mau menerima alasan bahwa dia ini masih seorang anak kecil? Alasan yang dicari-cari untuk menyelamatkan diri!”
Menteri Kam Liong dengan sikap tenang lalu bangkit dan menghampiri panglima kurus yang masih berdiri tegak itu, tangannya meraih dan mulutnya menegur, “Maya, jangan kurang ajar, hayo cepat minta ampun kepada Hong-siang!”
Panglima kurus itu mencoba menghindar, namun terlambat dan jubahnya telah direnggut robek oleh tangan Menteri Kam Liong yang kuat. Berbareng dengan robeknya jubah, tampaklah penglihatan yang aneh dan membuat semua orang menjadi geli. Kiranya panglima tinggi kurus itu adalah dua orang anak perempuan, yang seorang berdiri di atas pundak temannya. Pantas saja tadi dari ‘perut’ panglima itu keluar kaki tangan yang menyerang dari dalam jubah!
Maya segera meloncat turun dari pundak Siauw Bwee. Tadi sewaktu semua panglima menonton tegang, dia dan Siauw Bwee diam-diam telah melakukan penyamaran mereka lagi, tentu saja atas desakan Maya yang ingin menolong Menteri Kam! Sebagai seorang puteri Kerajaan Khitan, tentu saja Maya mengerti akan tata susila istana, demikian pula Siauw Bwee yang menjadi puteri seorang panglima terkenal. Mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar dan dengan suara halus mohon ampun.
Kam Han Ki tak dapat menahan ketawanya dan untung bahwa pada saat itu, Kaisar sendiri pun tertawa disusul oleh para pembesar yang hadir di situ. Memang amat lucu setelah melihat bahwa yang berbuat lancang kurang ajar itu ternyata hanyalah dua orang anak perempuan!
“Siauw Bwee... !” Khu Tek San menegur dan biar pun Panglima ini hanya memanggil namanya, Siauw Bwee mengenal bahwa ayahnya amat marah dan dia menoleh ke arah ayahnya dengan muka pucat.
Akan tetapi Maya cepat berkata lantang, “Mohon Paman Khu, juga Sri Baginda dan semua orang tidak menyalahkan adik Siauw Bwee atau siapa saja karena semua ini sayalah yang bertanggung jawab!”
Bukan main kagum rasa hati Kaisar melihat sikap Maya. Bocah ini bukan anak sembarangan, pikirnya. Kepada Menteri Kam, Kaisar bertanya, “Siapakah mereka ini?”
“Ampunkan mereka, karena mereka itu adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Hamba bersedia menerima hukumannya. Maya ini adalah anak keponakan hamba, sedangkan Khu Siauw Bwee adalah puteri Khu Tek San.”
Kaisar mengangguk-angguk. Pantas, pikirnya. Dia sudah tahu bahwa menterinya, Kam Liong, adalah seorang yang sakti, putera dari Pendekar Suling Emas, tidak aneh kalau kemenakannya sehebat bocah cantik itu. Dan gadis cilik yang seorang lagi memang pantas menjadi puteri Panglima Khu Tek San yang terkenal sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia, berkepandaian tinggi karena panglima itu adalah murid Menteri Kam Liong!
Sambil tertawa Kaisar berkata, “Dua orang bocah yang bersemangat, tabah dan lucu sekali. Kami memaafkan kenakalan mereka, Heii, kalian terimalah ini!”
Kaisar menyambar dua butir buah apel merah dan menyambitkan dua butir buah itu ke arah Siauw Bwee dan Maya. Bukan sambitan biasa melainkan sambitan untuk menguji. Dengan cekatan sekali Siauw Bwee dan Maya berhasil menangkap buah apel yang menyambar ke arah mereka. Kemudian mereka menghaturkan terima kasih.
“Bagus! Mereka ini kelak akan menjadi pendekar-pendekar wanita yang hebat!” Kaisar berkata. “Akan tetapi kalian sekarang harus pergi. Tidak boleh ada anak-anak kecil hadir dalam pertemuan yang penting ini.”
Bukan main gembiranya hati Menteri Kam Liong. Kiranya Kaisar dapat mengampunkan sedemikian mudahnya. Maka ia cepat memerintahkan Han Ki untuk mengantar kedua orang bocah itu pergi meninggalkan ruangan. Keadaan menjadi tenteram kembali setelah Maya dan Siauw Bwee pergi, sungguh pun para panglima di ruangan luar masih terheran-heran, terutama sekali para pengawal yang tadi kena diakali oleh dua orang anak perempuan itu.
Biar pun pihak Kaisar dan para pembesar Sung telah menjadi tenang dan lega, sebaliknya para utusan Yucen merasa terhina dan mendapat malu. Betapa pun juga, telah disaksikan semua orang betapa seorang pengawal Yucen dengan mudah dapat dikalahkan oleh dua orang anak perempuan nakal! Juga Suma Kiat menjadi tidak senang, maka diam-diam ia memberi tanda kedipan mata kepada Panglima Besar Yucen. Panglima ini maklum dan berkata dengan suara lantang.
“Kami utusan Kerajaan Yucen merasa makin kagum menyaksikan kebijaksanaan Kaisar yang besar! Dan kami bukanlah anak-anak kecil yang merasa tersinggung oleh perbuatan dua orang bocah. Akan tetapi, kami yang menjunjung tinggi janji yang keluar dari mulut seorang gagah! Tadi kami mendengar akan kesanggupan Menteri Kam Liong yang akan membereskan persoalan. Terus terang saja, kami seluruh pembesar Yucen merasa penasaran kalau mengingat betapa Menteri Kam telah mempermainkan kami dengan mengirimkan muridnya sebagai penyelundup dan memata-matai kami!”
Kam Liong dengan sikapnya yang masih tetap tenang, menjawab. “Tuduhan Tai-ciangkun dari Kerajaan Yucen tidak dapat disangkal dan memanglah sesungguhnya saya mengaku bahwa saya telah mengutus murid saya dan Panglima Sung yang bernama Khu Tek San untuk menyelundup ke Yucen dan menjadi panglima di sana sambil mengawasi gerak-gerik dan mempelajari keadaan di Yucen untuk mengenal kerajaan itu. Akan tetapi, bukankah hal ini sudah wajar dan lumrah, Ciangkun? Setiap negara tentu akan mengirim penyelidik-penyelidik untuk mengetahui keadaan negara tetangga. Biar pun secara bersembunyi, saya tahu bahwa banyak pula penyelidik-penyelidik dari Yucen yang menyelidiki dan bekerja sebagai mata-mata di Kerajaan Sung. Muridku sedikit banyak berjasa bagi Yucen, dan tidak menimbulkan kerugian, hanya memang benar dia menyelidiki keadaan Yucen dan melaporkan kepada saya. Tanpa mengenal sedalam-dalamnya, bagaimana kami akan tahu tentang kerajaan lain terhadap kerajaan kami? Sekianlah jawaban saya.”
Panglima Besar Yucen tertawa. “Kiranya Kam-taijin pandai bersilat lidah! Sejak dahulu semua orang tahu siapakah Kerajaan Yucen, dan bagaimana macamnya, perlu apa mesti diselidiki dengan cara menyelundupkan seorang panglima? Keadaan di Yucen sudah pasti, kerajaannya sudah ada dan pemerintahannya berjalan terus seperti ini. Perlu apa diselidiki lagi?” Panglima Yucen itu mengeluarkan sebuah bola besi sebesar kepalan tangan dan menyambung. “Bangsa kami terkenal sebagai bangsa besi yang sudah ada beratus tahun yang lalu, seperti senjata peluru besi ini. Apakah Kam-taijin juga akan menyelidiki bola besiku ini?”
Sambil tertawa Panglima Yucen itu melontarkan bola besi ke atas dan... semua orang memandang kaget, heran dan kagum melihat betapa bola besi itu berputaran cepat sekali dan menyambar ke kanan kiri seperti dikendalikan, kemudian menyambar ke arah Menteri Kam Liong!
Keahlian mempergunakan bola besi sebagai senjata itu membuktikan betapa kuatnya tenaga sinkang Panglima Besar Yucen ini dan semua ahli yang hadir di situ menjadi khawatir akan keselamatan Menteri Kam Liong. Hanya Khu Tek San seorang yang memandang dengan wajah tidak berubah karena panglima gagah ini yakin bahwa permainan sinkang seperti itu hanya merupakan permainan kanak-kanak bagi gurunya.
Memang demikianlah. Menteri Kam Liong bersikap tenang, tangan kanannya sudah tampak mermegang sebuah kipas dan sekali ia menggerakkan kipasnya dan mengebut, bola besi itu berputaran di atas kepalanya, dekat dengan kipas yang dikebut-kebutkan seperti seekor kupu-kupu mendekati bunga, seolah-olah ada daya tarik yang keluar dari gerakan kipas itu yang membuat bola besi ikut terputar-putar.
Sambil mempermainkan kipasnya menguasai bola besi, Kam Liong berkata, “Tai-ciangkun. Bola besi ini memang sebuah bola besi, akan tetapi siapakah yang tahu akan keadaan dalamnya tanpa memeriksanya lebih dulu? Apakah dalamnya kosong? Ataukah berisi? Serupa ataukah lain dengan keadaan luarnya? Saya kira Ciangkun sendiri tak dapat menjawab tepat, bukan? Memang sukar menjawab tepat tanpa melihat dalamnya. Marilah kita bersama melihat apa isi bola besi ini sesungguhnya!”
Setelah berkata demikian, kipas di tangan kanan Menteri Kam itu bergerak cepat sekali, menyambar tiga kali ke arah bola besi. Terdengar suara keras tiga kali dan... bola besi itu telah terbabat malang-melintang tiga kali sehingga. terpotong menjadi delapan, seperti sebuah jeruk dipotong-potong pisau tajam dan kini delapan potong besi itu diterima tangan kiri Menteri Kam Liong yang dengan tenang lalu meletakkan potongan potongan bola besi itu di atas meja depan panglima besar dari Yucen!
“Ah, ternyata isinya padat dan tetap besi, sama seperti di luarnya. Cocok sekali dengan keadaan Kerajaan Yucen, bukan? Akan tetapi baru diketahui setelah diselidiki dalamnya seperti yang telah kami lakukan dengan mengirimkan murid kami ke Yucen.”
Wajah Panglima Yucen menjadi merah sekali, matanya terbelalak. Juga wajah Jenderal Suma Kiat menjadi pucat. Yang diperlihatkan oleh Menteri Kam tadi adalah kesaktian yang amat luar biasa, tenaga sinkang yang hebat dan keampuhan kipas pusaka yang keramat!
Koksu Negara Yucen maklum akan hal ini, maka dia lalu berkata, “Hebat sekali kepandaian Kam-taijin. Dan keterangannya cukup jelas. Menurut pendapat saya tidak perlu memperpanjang urusan kecil itu selagi urusan besar masih belum dibicarakan selesai.” Ucapan ini melegakan hati setiap orang dan perundingan untuk menentukan hari pertemuan pengantin dilanjutkan sambil diseling makan minum dan hiburan tari nyanyi oleh seniwati-seniwati istana.
Berkat sikap Menteri Kam yang bijaksana, pesta menyambut utusan Yucen itu berlangsung dengan tenteram dan lancar. Menteri Kam sendiri kelihatan lega, akan tetapi di dalam hatinya, dia merasa amat khawatir karena dia telah mendengar dari Han Ki akan hubungan pemuda itu dengan Sung Hong Kwi, dan ia dapat menduga betapa hancur perasaan hati adik sepupunya itu. Kalau ia pikir-pikir dan kenangkan segala peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, Menteri Kam merasa berduka sekali.
Kerajaan Khitan hancur, adik tirinya tewas, dan kini Kam Han Ki kembali mengalami nasib buruk, kekasihnya direbut orang! Kalau teringat akan itu sermua, hati Menteri Kam menjadi dingin, semangatnya mengendur dan timbul keinginannya untuk mengajak muridnya sekeluarga, Han Ki dan Maya pergi saja mengundurkan diri menjauhi keramaian kota raja, bahkan sebaliknya menyusul ayahnya, Suling Emas yang bertapa dengan ibu tirinya, bekas Ratu Yalina.
Makin menyesal lagi kalau ia memandang kepada Suma Kiat yang kini nampak makan minum dengan gembira melayani para tamu. Suma Kiat itu sebenarmya masih merupakan keluarga dekat dengannya. Tidak hanya keluarga karena terikat hubungan antara ayahnya, Suling Emas, dan ibu Suma Kiat yaitu Kam Sian Eng yang menjadi adik Suling Emas. Juga dari pihak ibunya dan ayah Suma Kiat terdapat hubungan dekat, yaitu kakak beradik. lbunya, Suma Ceng, adalah adik kandung Suma Boan, ayah Suma Kiat. Dia dan Suma Kiat adalah keluarga dekat, namun Suma Kiat selalu membencinya dan selalu memusuhinya, sungguh pun tidak berani berterang.
“Susiok-couw (Paman Kakek Guru), apakah perbuatan kami tadi akan menimbulkan bencana...?” ketika diantar oleh Han Ki dalam perjalanan pulang bersama Maya, Siauw Bwee bertanya kepada pemuda itu.
“Aihhh! Kau benar-benar terlalu sekali, Siauw Bwee! Masa Han Ki yang masih muda, patut menjadi kakek kita, kau sebut Susiok-couw? Benar-benar terlalu menyakitkan hati sebutan itu!” Maya mencela.
“Habis bagaimana?” Siauw Bwee membantah, “Memang dia itu paman guru ayahku, tentu saja aku menyebutnya Susiok-couw! Atau Susiok-kong?”
“Wah, tidak patut! Tidak patut! Jangan mau disebut kakek, Han Ki!” Maya berkata lagi.
Mau tidak mau Han Ki tersenyum. “Kalian berdua ini seperti langit dengan bumi, jauh bedanya akan tetapi sama anehnya! Maya terhitung masih keponakanku, menyebutku dengan nama begitu saja seperti kepada seorang kawan. Sebaliknya, Siauw Bwee terlalu memegang peraturan sehingga aku disebut kakek guru! Kalau benar kalian menganggap aku sebagai kakak, biarlah kalian menyebut kakak saja.”
“Bagus kalau begitu! Aku menyebutmu Han Ki Koko,” Maya berseru girang.
“Koko, engkau kelihatan begini berduka, apakah kesalahan aku dan Enci Maya tadi tertalu hebat sehingga engkau khawatir kalau-kalau ayahku dan Menteri Kam akan tertimpa bencana akibat perbuatan kami?” Siauw Bwee mengulang pertanyaannya, kini ia menyebut koko (kakak).
Han Ki menggeleng kepalanya. “Kurasa tidak. Kakakku, Menteri Kam bukanlah seorang yang dapat dicelakakan begitu saja oleh lawan. Aku tidak khawatir...”
“Akan tetapi, mengapa wajahmu begini muram? Engkau kelihatan berduka sekali, tidak benarkah dugaanku, Enci Maya?”
Maya mengangguk. “Memang hatinya hancur lebur, patah berkeping-keping dan luka parah bermandi darah, siapa yang tidak tahu?”
Han Ki memandang Maya, alisnya berkerut dan ia membentak, “Engkau tahu apa?”
Maya tersenyum. “Tahu apa? Tahu akan rahasia hatimu yang remuk karena setangkai kembang itu akan dipetik orang lain!”
Han Ki terkejut sekali, menghentikan langkahnya dan menghardik. “Maya! Dari mana kau tahu?!”
Siauw Bwee juga memandang dengan mata terbelalak, masih belum mengerti betul apa yang diartikan oleh Maya dan mengapa Han Ki kelihatan kaget dan marah.
“Dari mana aku tahu tidak menjadi soal penting,” jawab Maya yang tidak mau berterus terang karena dia mendengar tentang hal itu dari percakapan antara ayah bunda Siauw Bwee yang ia dengar dari luar jendela kamar. “Yang penting adalah sikapmu menghadapi urusan ini. Kenapa kau begini bodoh, menghadapi peristiwa ini dengan berduka dan meremas hancur perasaan hati sendiri tanpa mencari jalan ke luar yang menguntungkan? Mengapa kau begini lemah, Koko?”
Han Ki terbelalak. “Bodoh? Lemah? Apa... apa maksudmu, Maya? Jangan kau kurang ajar dan mempermainkan aku!”
“Siapa mempermainkan siapa? Engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Koko, sungguh pun aku belum yakin benar akan hal itu. Kalau engkau memiliki kepandaian, apa sukarnya bagimu untuk pergi mengunjungi kekasihmu itu? Dan kalau benar dia itu mencintaimu seperti yang ku... eh, kuduga, tentu dia akan lebih suka ikut minggat bersamamu dari pada menerima nasib menjadi permainan Raja Yucen yang liar!”
Han Ki memandang Maya dengan mata terbelalak, terheran-heran. Akan tetapi harus ia akui bahwa ‘nasihat’ Maya itu cocok benar dengan isi hatinya. “Sudahlah jangan bicara lagi urusan itu. Mari kuantar pulang cepat-cepat karena aku masih mempunyai banyak urusan lain.”
Maya bertolak pinggang. “Koko, engkau memang orang yang kurang penerima! Kalau engkau setuju dengan omonganku, mengapa pakai pura-pura segala? Kau langsung pergilah menemui kekasihmu sebelum terlambat. Ada pun kami berdua, kami bukanlah anak-anak kecil yang tidak bisa pulang sendiri. Tadi pun kami pergi berdua, masa untuk pulang harus kau temani? Pergilah, kami dapat pulang sendiri. Benar tidak, Adik Siauw Bwee?”
Siauw Bwee mengangguk. Han Ki menarik napas panjang. “Baiklah, kalian pulang berdua, akan tetapi harus langsung pulang dan jangan berkeliaran lagi. Siauw Bwee, jangan engkau selalu menuruti permintaan Maya. Bocah ini memang liar!” Setelah berkata demikian, Han Ki cepat-cepat meloncat pergi, tidak memberi kesempatan kepada Maya untuk membalas makiannya.
“Awas dia kalau bertemu lagi denganku!” Maya membanting-banting kaki dengan gemas.
“Dia... dia hebat sekali, ya Enci Maya?” Siauw Bwee berkata lirih memandang ke arah lenyapnya bayangan Han Ki.
“Hebat apanya, manusia sombong itu!” Maya mendangus marah. “Mari kita pergi, Siauw Bwee.”
Malam telah larut dan sunyi sekali di sepanjang jalan. Semua rumah telah menutup daun pintu dan sebagian besar penghuni kota raja sudah tidur nyenyak. Ketika mereka tiba di jembatan Ayam Putih yang panjang menyeberangi sungai yang menghubungkan kota raja dengan saluran besar ke selatan, mereka melihat seorang laki-laki tua di tengah jembatan yang sunyi. Maya dan Siauw Bwee adalah anak yang tabah sekali. Akan tetapi ketika mereka melihat dan mengenal kakek yang menghadang itu, mereka menjadi terkejut juga. Kakek itu adalah kakek berambut putih berjenggot panjang yang hadir di istana, yaitu Koksu Negara Kerajaan Yucen!
Maya menggandeng tangan Siauw Bwee dan berjalan terus tanpa memandang seolah-olah dia tidak mengenal kakek ltu.
Akan tetapi kakek itu tertawa dan berkata, “Anak-anak setan kalian hendak ke mana? Hayo ikut bersama kami!”
Maya sudah menaruh curiga bahwa tentu kakek itu tidak mengandung niat baik, maka begitu kakek itu melangkah datang, ia sudah membalikkan tubuh dan mengirim pukulan ke arah lambungnya! Siauw Bwee juga memiliki reaksi yang cepat sekali karena tanpa berunding lebih dulu dia sudah dapat cepat menyusul gerakan Maya, mengirim pukulan ke arah perut kakek itu.
“Buk! Bukk!” Kakek itu sama sekali tidak mengelak dan membiarkan dua orang anak perempuan itu memukulnya.
Maya dan Siauw Bwee berseru kaget karena lambung dan perut yang mereka pukul itu seperti bola karet yang membuat pukulan mereka membalik. Sebelum mereka dapat mengelak, kakek itu telah mencengkeram pundak mereka, membuat mereka menjadi lemas. Kemudian Koksu dari Yucen itu sambil tertawa melemparkan tubuh Maya dan Siauw Bwee melalui langkan (pagar pembatas berupa kisi-kisi yang tingginya kurang lebih satu meter) jembatan melemparkannya ke sungai!
Maya dan Siauw Bwee terkejut setengah mati. Tubuh mereka tak dapat digerakkan dan kini melayang menuju ke sungai yang amat dalam. Akan tetapi tiba-tiba tubuh mereka disambar tangan yang kuat dan kiranya di bawah jembatan telah menanti dua orang laki-laki di atas perahu. Mereka inilah yang menyambar tubuh Maya dan Siauw Bwee.
“Bawa mereka pergi sekarang juga!” terdengar Koksu Yucen berteriak dari atas jembatan kepada dua orang itu. “Dia merupakan hadiah sumbanganku untuk Coa-bengcu yang berulang tahun. Ha-ha-ha!”
Maya dan Siauw Bwee yang tadinya merasa girang karena mengira bahwa mereka tertolong, menjadi makin marah karena kini mereka tahu bahwa dua arang di perahu ini adalah pembantu-pembantu koksu itu! Malam gelap, perahu itu pun gelap dan mereka tidak dapat melihat muka dua orang laki-laki itu. Perahu digerakkan meluncur ke selatan. Maya dan Siauw Bwee dibelenggu kaki tangannya sehingga setelah mereka terbebas dari totokan, mereka tetap saja tidak mampu bergerak, hanya rebah miring di atas perahu dengan hati penuh kemarahan.
Setelah malam berganti pagi barulah kedua orang anak perempuan itu dapat itu melihat wajah dua orang laki-laki yang menawan mereka. Maya memperhatikan wajah kedua orang itu dan menurut penglihatannya dua orang itu bukanlah orang jahat, maka timbullah harapannya.
“Eh, Paman yang baik. Kalian adalah orang baik-baik, melihat wajah, pakaian dan sikap kalian. Mengapa kalian mau membantu koksu jahat yang menangkap kami dua orang anak perempuan yang tidak berdosa?”
Dua orang laki-laki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, bersikap gagah dan golok besar tergantung di punggung mereka. Mendengar ucapan Maya, mereka saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang mempunyai tahi lalat di pipi kanan, berkata, “Kami hanyalah pelaksana-pelaksana tugas yang dibebankan kepada kami. Kami tidak tahu siapa kalian dan mengapa kalian ditawan, akan tetapi kami harus menaati perintah atasan.”
Maya belum cukup dewasa, akan tetapi dia memiliki kecerdikan luar biasa dan ia dapat menangkap rasa tidak senang dan sungkan di balik ucapan laki-laki bertahi lalat itu. Maka ia menjadi makin berani dan berkata. “Ah, kiranya Paman berdua juga menjadi anak buah Yucen?” la berhenti sebentar, lalu mengirim serangan halus dengan kata-kata, “Heran sekali, bukankah Paman berdua ini orang-orang Han? Mengapa kini membantu kerajaan asing?”
“Kau anak kecil tahu apa!” Tiba-tiba orang ke dua yang mukanya kuning membentak. Ucapan ini sama benar dengan ucapan Han Ki yang pernah menjengkelkan hati Maya, akan tetapi sekali ini ia menangkap rasa sakit hati di balik kata-kata itu, rasa hati yang tersinggung dan yang menyatakan betapa tepatnya ucapannya tadi.
“Biar pun aku anak kecil, akan tetapi aku tahu betapa seorang gagah selalu mengutamakan kegagahan, membela negara dan menentang yang lalim,” Maya melanjutkan.
Si Tahi Lalat kini berkata, “Hemm, kulihat engkau bukan anak sembarangan. Ketahuilah bahwa kami berdua telah dibikin sakit hati oleh perbuatan anak buah Jenderal Suma Kiat sehingga keluarga kami terbasmi habis. Karena itu, apa perlunya kami mengabdi pemerintah Sung? Pula kami menjadi anak buah dari Koksu Negara Yucen yang memiliki ilmu kesaktian tinggi, sehingga tidaklah memalukan di dunia kang-ouw karena kami mengabdi kepada seorang tokoh besar yang jarang ada bandingannya.”
Biar pun tubuhnya masih terbelenggu dan ia rebah miring, Maya mengangguk-angguk dan berkata mengejek “Hemm... bicara tentang kesaktian dan kegagahan ya? Buktinya, koksu itu pengecut hanya berani melawan dua orang anak perempuan. Dan sukar bagiku untuk mengatakan kalian ini orang gagah macam apa, menawan dua orang anak perempuan kecil masih perlu membelenggu seperti ini! Apakah kalau kami tidak dibelenggu kalian takut kalau-kalau kami akan membunuh kalian?”
Maya memang pandai sekali bicara dan amat cerdik. Kata-katanya lebih runcing dari pada pedang dan lebih tajam dari pada golok, secara tepat menusuk perasaan dan kegagahan dua orang laki-laki itu.
“Bocah, engkau benar-benar bermulut lancang!” bentak yang bermuka kuning.
“Aku tentu tidak berani bicara kalau tidak ada kenyataannya. Coba, kalau berani membebaskan belenggu kami, barulah aku percaya bahwa kalian tidak takut kepada kami.”
Si Tahi Lalat segera mencabut goloknya yang berkelebat empat kali, dan semua belenggu pada kaki tangan Maya dan Siauw Bwee menjadi putus. “Nah, apakah kalian sekarang hendak menyerang kami?” tanyanya menyeringai.
Maya dan Siauw Bwee bangun, duduk dan menggosok-gosok pergelangan kaki tangan yang terasa nyeri. “Terima kasih,” kata Maya. “Kami tidak akan menyerang karena tak mungkin kami dapat menang.”
“Kami pun tidak suka membelenggu kalian dua orang anak perempuan, akan tetapi disiplin di pasukan kami keras sekali. Kalau sampai kami tidak berhasil mengantar kalian sampai di tempat yang ditentukan, tentu kami berdua harus menebus dengan nyawa kami. Itulah sebabnya kami membelenggu kalian, tidak ada maksud lain!”
Maya mengangguk-angguk. “Ahh, sekarang aku percaya bahwa kalian adalah orang-orang gagah yang terdesak oleh keadaan dan nasib buruk, seperti yang kami alami sekarang ini. Eh, Paman yang baik. Kami akan kau bawa ke manakah?”
“Nasib kalian tidaklah seburuk yang kalian khawatirkan,” kata Si Tahi Lalat. “Entah apa sebabnya sampai kaliah dimusuhi oleh Koksu, akan tetapi tentu kalian telah melakukan hal-hal yang amat tidak menyenangkan hatinya maka kalian ditangkap dan diserahkan kepada kami untuk membawa kalian pergi. Akan tetapi kalian sekarang merupakan sumbangan-sumbangan yang amat berharga karena kalian dijadikan sumbangan oleh Koksu, diberikan kepada seorang bengcu yang terkenal sakti dan berpengaruh di pantai Lautan Po-hai.”
“Sungguh lucu! Mengapa menyumbangkan dua orang anak perempuan? Apa maksudnya? Dan apa maksudmu mengatakan bahwa nasib kami tidak buruk? Apakah kalau kami diberikan sebagai sumbangan begitu saja merupakan nasib baik?” Maya mendesak terus.
”Sudahlah, kalian akan mengerti sendiri kalau kita sudah tiba di istana!” kata Si Tahi Lalat yang sikapnya segan menceritakan keadaan bengcu itu. “Hanya aku dapat memastikan bahwa kalian tidak akan dibunuh dan bahkan akan hidup dengan senang dan terhormat. Percayalah dan harap saja jangan kalian mencoba untuk memberontak karena kalau sampai terpaksa kami berdua menggunakan kekerasan, hal itu sesungguhnya bukan kehendak kami.”
“Kami tidak akan memberontak, kecuali kalau kami menghadapi bahaya. Bukankah begitu, Adik Siauw Bwee?”
Siaw Bwee mengangguk, kemudian anak yang lebih pendiam dibandingkan dengan Maya itu berkata, “Agaknya kedua Paman tidak tahu siapa kami, ya? Kalau tahu, kukira kalian berdua tidak akan lancang menawan kami, biar pun kalian melakukannya atas perintah Koksu Yucen.”
Dua orang laki-laki itu kini memandang penuh perhatian. “Siapakah kalian ini?”
“Aku sih hanya puteri Panglima Khu Tek San yang tidak ada artinya, akan tetapi enciku ini adalah Puteri Khitan, puteri Raja Khitan!” Siauw Bwee berkata tidak peduli akan tanda kedipan mata dari Maya yang hendak mencegahnya.
Dua orang itu kelihatan kaget sekali, saling pandang dan berkatalah Si Tahi Lalat. “Kami hanya melakukan perintah!” dengan kata-kata itu agaknya dia hendak membela diri.
Semenjak saat itu kedua orang itu tidak banyak bicara lagi melainkan bergegas mempercepat gerakan dayung mereka sehingga perahu meluncur cepat. Perahu itu keluar dari Terusan Besar, membelok ke kiri, yaitu ke timur memasuki sungai yang mengalir ke arah Lautan Po-hai.
Tidak jauh dari pantai Lautan Po-hai, mereka mendarat dan mengajak Maya dan Siauw Bwee memasuki sebuah hutan besar. Setelah melalui daerah pegunungan yang penuh hutan liar, tibalah mereka di sebuah pedusunan besar yang pada waktu itu sedang menampung banyak tamu dari empat penjuru, tamu-tamu penting karena mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw dan liok-lim. Tokoh-tokoh golongan putih dan hitam, atau kaum bersih dan sesat, yang pada saat itu dapat berkumpul dan saling jumpa karena mereka itu kesemuanya menghormati ulang tahun seorang tokoh besar yang pada hari itu merayakannya di dusun itu.
Tokoh besar ini lebih terkenal dengan sebutannya, yaitu Coa-bengcu (Pemimpin she Coa), tokoh yang sudah lama dikenal sebagai seorang pemimpin rakyat dan tidak mengakui kedaulatan Kaisar dengan alasan bahwa Kaisar amat lemah dan tidak memperhatikan keadaan rakyat yang makin menderita keadaannya. Coa-bengcu ini amat terkenal dan biar pun jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah menyaksikannya sendiri, namun menurut berita, ilmu kepandaian Coa-bengcu ini hebat sekali, baik kepandaian ilmu silatnya. mau pun ilmu perangnya. Dan perjuangannya yang gigih untuk membela rakyat membuat namanya menjulang tinggi sehingga para pembesar setempat tidak berani mengganggunya, bahkan tokoh-tokoh di seluruh dunia kang-ouw dan liok-lim menghormatinya.
Demikianlah, ketika Bengcu ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh, bukan hanya tokoh-tokoh golongan bersih dan kaum sesat yang datang untuk memberi hormat dan memberi selamat, bahkan Koksu Negara Yucen sendiri sampai berkenan mengirim utusan memberi selamat dan mempersembahkan dua orang gadis cilik! Dan sudah terkenal pula bahwa Coa-bengcu amat suka kepada orang-orang muda, baik laki-laki mau pun perempuan, terutama yang tampan-tampan dan yang cantik-cantik, untuk dididik menjadi murid-murid atau seperti dikatakannya sendiri, sebagai anak-anak angkatnya!
Siapakah sebenarnya Coa-bengcu ini? Dia adalah seorang pelarian bekas tokoh Im-yang-kauw yang dahulu berpusat di perbatasan barat dan telah dihancurkan oleh pemerintah. Biar pun mengadakan perlawanan gigih, para tokoh Im-yang-kauw terbasmi kocar-kacir dan lenyaplah perkumpulan Im-yang-kauw, yang tersisa hanya namanya saja sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah pada waktu itu.
Coa Sin Cu adalah seorang tokoh kelas dua dari Im-yang-kauw. Dia berhasil menyelamatkan diri dan lari ke timur. Untuk belasan tahun ia menggembleng diri dan berguru kepada orang-orang sakti sehingga kepandaiannya meningkat secara hebat. Setelah ilmu kepandaiannya meningkat tinggi, Coa Sin Cu mulai dengan gerakannya memimpin rakyat yang tertindas, menentang mereka yang mengandalkan kekuasaan memeras rakyat. Pengaruhnya makin besar, pengikutnya makin banyak, sehingga akhinya terkenallah sebutannya Coa-bengcu sampai ke seluruh pelosok. Hanya tokoh-tokoh lama saja yang mengenal Coa-bengcu ini sebagai Coa Sin Cu yang dulu menjadi tokoh Im-yang-kauw.
Di tengah dusun yang terletak di pegunungan tak jauh dari pantai Lautan Po-hai, terdapat sebuah bangunan yang tidak mewah, bahkan sederhana, namun kokoh kuat dan besar sekali. Mempunyai halaman yang amat luas dan yang terkurung dinding tembok tinggi seperti benteng atau asrama pasukan! Inilah tempat tinggal Coa-bengcu dan di situ pula pada hari itu diadakan keramaian merayakan hari ulang tahun Coa-bengcu.
Tuan rumah Coa-bengcu sendiri telah berada di ruangan depan menyambut datangnya para utusan atau wakil berbagai partai, juga para tokoh kang-ouw dan liok-lim yang datang sendiri untuk memberi selamat dan sumbangan-sumbangan. Isteri Bengcu adalah seorang wanita yang usianya setengah dari usia suaminya, kurang lebih tiga puluh tahun. Wanita ini cantik dan sikapnya gagah pula karena nyonya Bengcu ini pun bukan orang sembarangan, melainkan seorang murid Hoa-san-pai. Kini ia duduk di samping suaminya sambil tersenyum-senyum bangga menyaksikan pengaruh suaminya yang menarik datangnya semua orang gagah dari dua golongan itu.
Ada pun putera tunggal Coa-bengcu yang bermama Coa Kiong, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, anak tiri nyonya Bengcu yang sudah ditinggal mati ibu kandungnya, sibuk menerima barang-barang sumbangan yang ditumpuk di atas belasan buah meja besar di sudut ruangan. Tidak kurang dari lima puluh orang utusan pelbagai partai telah hadir dan duduk di atas kursi-kursi yang telah disediakan, menerima hidangan yang dilayani oleh anak-anak buah Coa-bengcu, pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang tampan-tampan dan cantik-cantik serta memiliki gerakan yang cekatan sekali.
Biar pun di antara para tamu itu terdapat banyak tokoh liok-lim, golongan bajak, perampok dan orang-orang yang biasa melakukan kejahatan, namun mereka tidak berani bersikap kurang ajar terhadap pelayan-pelayan wanita yang cantik-cantik itu karena semua orang maklum belaka bahwa pelayan-pelayan itu adalah anak buah atau murid-murid Coa-bengcu.
Banyak sekali barang sumbangan yang serba indah, perhiasan-perhiasan emas dan perak, ukiran naga dan burung hong terbuat dari batu-batu kemala, sutera-sutera yang indah sekali warnanya, bahkan ada pula senjata-senjata pusaka yang ampuh. Akan tetapi semua itu masih belum mengherankan karena ada pula orang-orang yang menyumbangkan benda-benda luar biasa anehnya.
Seorang tamu yang baru tiba, bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk, mukanya lebar, berseru dengan suara nyaring, “Saya Kiang Bu adalah seorang miskin, karena itu selain ucapan selamat kepada Coa-bengeu, tidak dapat menyumbangkan benda berharga kecuali barang hina tak berharga ini. Sudilah Bengcu menerimanya!”
Coa-bengcu memandang orang itu lalu tertawa. “Ha-ha-ha, Tho-tee-kong (Malaikat Bumi) sungguh berlaku sungkan sekali. Terima kasih atas ucapan selamat dan sumbangan yang amat berharga, harap menyerahkan sumbangan itu kepada Puteraku.”
Kiang Bu yang berjuluk Tho-tee-kong segera melangkah lebar dan menyerahkan sebuah bungkusan kepada Coa Kiong putera tuan rumah yang menerimanya dan meletakkannya di atas meja.
“Karena sumbanganku ini tidak berharga dan lain dari pada yang lain, harap Siauw-enghiong suka membukanya agar semua tamu dapat melihatnya,” kata pula Kiang Bu.
Ketika memandang ayahnya dan melihat ayahnya mengangguk tanda setuju, barulah Coa Kiong berani membuka bungkusan kain itu. Tiba-tiba wajahnya berubah dan matanya memandang Si Malaikat Bumi dengan marah, juga banyak tamu mengeluarkan seruan tertahan setelah melihat isi bungkusan. Siapa yang tidak akan menjadi kaget melihat bahwa bungkusan itu terisi sebuah kepala manusia yang masih belepotan darah?
“Apa... apa maksudmu ini?” Coa Kiong membentak dan tangan kanan pemuda ini sudah meraba gagang pedang, matanya terbelalak memandang kepala orang yang kini terletak di atas meja.
Tiba-tiba Coa-bengcu tertawa girang,”Ha-ha-ha! Barang hina tak berharga itu ternyata merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya bagiku. Terima kasih, Tho-tee-kong. Aku telah mengenal kepala Bhe-ciangkun dan memang sudah lama aku ingin melihat orang kejam dan penindas laknat itu kehilangan kepalanya! Kiong-ji, suruh pelayan membuang kepala itu dan memberikan kepada anjing-anjing agar digerogoti habis!”
Barulah semua orang termasuk Coa Kiong sendiri, tahu bahwa sumbangan itu benar-benar amat berharga karena Si Malaikat Bumi telah membunuh orang yang dibenci Coa-bengcu! Perwira she Bhe yang berkuasa di pantai Po-hai memang terkenal ganas dan kejam kekuasaannya seolah-olah melampaui kekuasaan Kaisar sendiri dan dia menjadi raja tanpa mahkota di daerah pantai Po-hai!
Dua orang yang membawa Maya dan Siauw Bwee tiba di tempat itu dan langsung mereka menghadap Coa-bengcu, memberi hormat dan berkata, “Kami berdua diutus oleh Koksu Kerajaan Yucen untuk menyampaikan ucapan selamat beliau kepada Bengcu, dan menyerahkan sumbangannya.”
Sejenak kakek yang dihormati itu memandang kepada dua orang itu, akan tetapi pandang matanya segera terarah kepada Maya dan Siauw Bwee, seolah-olah melekat dan tidak menyembunyikan rasa kekagumannya. Isterinya yang melihat keadaan suami itu lalu berbisik, “Mereka menanti jawaban!”
Barulah Coa-bengcu sadar dan ia tertawa bergelak sambil merangkap kedua tangan di depan dada. “Ha-ha-ha, sungguh Pek-mau Seng-jin mencurahkan kehormatan besar sekali kepada kami! Seorang koksu negara masih mau memperhatikan orang tiada harganya seperti aku benar-benar menunjukkan perbedaan antara Permerintah Yucen dan Permerintah Sung! Terima kasih, terima kasih. Tidak tahu, sumbangan apakah yang dikirim Pek-mau Seng-jin, Koksu Kerajaan Yucen itu yang akan membuat kami sekeluarga bahagia bukan main?”
“Sumbangan atau hadiah yang harus kami sampaikan kepada Bengcu adalah dua orang anak perempuan inilah!” kata Si Tahi Lalat.
Semua tamu kembali menjadi terheran dan keadaan menjadi tegang karena mereka menganggap bahwa sumbangan ini sama sekali tidak dapat dianggap berharga. Melihat sikap para tamu itu, dua orang utusan itu menjadi tidak enak hati, maka Si Muka Kuning cepat menyambung keterangan temannya.
“Hendaknya Bengcu mengetahui bahwa dua orang anak perempuan ini bukanlah anak sembarangan. Yang lebih besar ini bernama Maya, dia adalah puteri dari Raja dan Ratu Khitan, sedangkan yang lebih kecil bernama Khu Siauw Bwee, puteri Khu Tek San seorang panglima yang terkenal di Kerajaan Sung!”
Terdengar seruan-seruan kaget di sana-sini, dan wajah Coa-bengcu yang tadinya memang sudah berseri gembira, kini menjadi makin berseri penuh kagum. “Sungguh merupakan hadiah yang tak ternilai harganya!” katanya. Kemudian seperti kepada diri sendiri ia berkata, “Puteri Raja Khitan...? Puteri Panglima Khu...?”
Tiba-tiba seorang tamu meloncat bangun sambil berseru keras. “Mohon kebijaksanaan Bengcu agar saya boleh membunuh bocah she Khu itu untuk membalas anak buah saya yang dahulu dibasmi oleh Khu Tek San ayahnya!” Yang bicara ini adalah bekas kepala rampok yang kenamaan di Lembah Huang-ho perbatasan Propinsi Shan-tung.
“Puteri Khitan itu patut dibunuh!” Tiba-tiba seorang lain meloncat dan berseru nyaring memandang ke arah Maya dengan mata terbelalak marah.
“Kalau dia puteri Raja Khitan, berarti dia itu cucu Suling Emas yang sudah banyak menimbulkan malapetaka di kalangan kamil!” Yang bicara kali ini adalah seorang pendeta berambut panjang yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya hitam dan kotor seperti tubuhnya.
Dia adalah seorang tokoh dunia hitam yang tekenal dengan julukannya. saja, yaitu Pat-jiu Sin-kauw (Monyet Sakti Tangan Delapan). Dia amat terkenal dan ditakuti karena Pat-jiu Sin-kauw ini adalah murid dari seorang datuk hitam yang amat terkenal, yaitu Thai-lek Kauw-ong, seorang di antara lima datuk besar golongan sesat puluhan tahun yang lalu.
“Benar! Puteri Khu Tek San harus dibunuh! Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong dan siapakah menteri itu? Bukan lain putera Suling Emas pula!” teriak yang lain.
“Harap Bengcu serahkan saja puteri Khitan kepada saya!” teriak yang lain.
Ributlah keadaan di ruangan itu karena banyak sekali tokoh dunia hitam yang ingin mendapatkan dua orang anak perempuan itu setelah mereka ketahui bahwa Maya adalah cucu Suling Emas sedangkan Siauw Bwee adalah cucu murid pendekar sakti itu.
Coa-bengcu bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya ke atas untuk minta para tamunya agar jangan membuat gaduh. Setelah suasana meredup terdengarlah suaranya lantang, “Aku mengerti apa yang terkandung di hati Saudara-saudara yang menaruh dandam. Akan tetapi dua orang anak perempuan ini adalah sumbangan dari Koksu Yucen kepadaku, bagaimana aku dapat memberikan begitu saja kepada orang lain? Bukannya aku orang she Coa bersikap kukuh, melainkan aku harus menghormat kepada Koksu Yucen. Kalau aku menyerahkan begitu saja dua orang anak ini, bukankah berarti aku kurang menaruh penghargaan? Karena itu, biarlah dua orang anak ini kuanggap benda-benda yang amat berharga dan sudah sewajarnyalah kalau untuk dapat memiliki benda amat berharga, diadakan sayembara!” Memang Coa-bengcu ini orangnya cerdik sekali.
Dia memiliki kedudukan yang tinggi dan berpengaruh, namun dia tahu bahwa kalau terjadi bentrokan antara dia dengan pemerintah, dia harus mengandalkan bantuan orang-orang pandai ini, baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitam terutama sekali. Dia sayang kepada dua orang gadis cilik yang jelas memiliki kelebihan mencolok kalau dibandingkan dengan murid-muridnya perempuan yang mana pun juga. Kalau dia berkukuh menahan, tentu dia akan menimbulkan rasa tidak senang kepada para tamunya.
Kalau dia berikan begitu saja, selain dia merasa tidak enak kepada Koksu Yucen, juga dia merasa sayang sekali. Maka dia mengusulkan diadakan sayembara, karena dengan demikian masih ada harapan baginya untuk mendapatkan dua orang gadis itu tanpa menimbulkan rasa tidak suka di hati orang lain.
“Apakah yang Bengcu maksudkan dengan sayembara?” beberapa suara terdengar dan semua orang menanti jawaban dengan dugaan yang sama.
Coa-bengcu tertawa. “Perlukah kujelaskan lagi? Apakah yang paling diandalkan orang-orang golongan kita kecuali sedikit ilmu sliat? Maka hanya orang terpandai di antara kita sajalah yang berhak memiliki dua orang anak ini. Yang minta begini banyak bagaimana dapat kuberikan kecuali dengan jalan beradu menguji kepandaian? Pula dua orang anak ini bukan anak sembarangan, melainkan keturunan orang-orang pandai seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu. Kalau yang bertanggung jawab atas diri kedua orang bocah ini tidak memiliki kepandaian tinggi, mana mungkin dapat menghadapi mereka? Setujukah Cu-wi sekalian?”
“Setuju! Akur! Tepat sekali!” Para tamu berteriak, yaitu mereka yang ingin sekali mendapatkan Maya dan Siauw Bwee.
Ada pun tokoh-tokoh wakil partai-partai yang termasuk golongan bersih atau putih, diam saja karena mereka ini tidak ingin mendapatkan kedua orang anak perempuan, juga tidak ingin mencampuri urusan mereka yang menaruh dandam kepada nenek moyang anak-anak itu.
Kembali Coa-bengcu mengangkat kedua tangan minta agar semua orang tidak berteriak-teriak membuat berisik. Setelah semua orang diam, tiba-tiba terdengar Maya berkata.
“Kalian ini orang-orang gagah macam apa? Berunding seenak perut sendiri untuk memperebutkan aku dan adikku tanpa bertanya persetujuan kami yang tersangkut! Sudah jelas bahwa kami adalah dua orang manusia pula, masa kalian hendak menganggap sebagai benda mati? Beginikah sikap orang-orang gagah? Ataukah kalian ini semua bangsa penjahat yang tidak mengenal perikemanusiaan?”
Semua orang menjadi merah mukanya dan kembali mereka membuat gaduh dengan teriakan-teriakan memaki Maya, yaitu mereka yang membenci keluarga Raja Khitan dan keluarga Suling Emas.
Setelah mereka mereda, Coa-bengcu berkatat “Kita tidak perlu mendengarkan ucapan bocah ini. Sebagai tawanan tentu saja mereka berdua tidak berhak untuk bicara. Kita semua menerima sebagai pemberian hadiah Koksu Yucen! Cu-wi sekalian. Karena jumlah kita terlalu banyak, maka untuk mempersingkat waktu dan mempermudah jalannya pibu kami akan mengadakan syarat-syarat yang berat lebih dulu. Hanya mereka yang memenuhi syarat-syarat itu barulah dapat memasuki pibu. Syaratnya dua macam dan akan kulakukan untuk memberi contoh.”
Setelah semua orang menyatakan setuju, Coa-bengcu membisikkan perintah kepada murid-muridnya. Tak lama kemudian, dari pintu belakang tampak dua belas orang murid laki-laki yang muda-muda dan bertubuh kuat memikul sebuah arca besi berupa seekor singa.
Pemuda-pemuda itu adalah orang-orang yang kuat, namun mereka membutuhkan tenaga dua belas orang untuk menggotong arca itu, dapat dibayangkan betapa beratnya singa besi itu. Ketika singa besi itu diturunkan di atas lantai ruangan, lantai itu tergetar sehingga sebagian besar para tamu baru melihat saja sudah ngeri dan di dalam hatinya mundur teratur. Mereka maklum bahwa tuan rumah yang lihai itu tentu hendak menggunakan benda berat ini untuk mengukur calon pengikut sayembara memperebutkan dua orang gadis cilik.
Memang benar dugaan para tamu itu. Coa-bengcu melangkah maju mendekati arca besi itu lalu berkata sambil tersenyum. “Nama besar Suling Ermas sudah terkenal di seluruh dunia, juga puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam. Sayang sekali bahwa puluhan tahun pendekar ini mengasingkan diri, juga di dunia kang-ouw tidak pernah lagi terdengar Mutiara Hitam. Sudah amat lama aku ingin sekali dapat bertemu dan menguji mereka, sungguh pun aku benar-benar meragukan kebisaan sendiri untuk menandingi mereka. Kini secara kebetulan, dua orang keturunannya berada di sini dan menjadi rebutan. Maka, hanya mereka yang benar-tenar pandai saja yang dapat diharapkan akan dapat mampu menandingi Suling Emas dan keturunannya apa bila kelak keluarganya datang mencari dua orang anak ini. Nah, untuk memilih calon pengikut sayembara, syarat pertama adalah mengangkat singa besi ini sampai ke atas pundak seperti yang akan kulakukan sekarang!”
Setelah berkata demikian dan memberi hormat kepada para tamu, Coa-bengcu yang pada hari itu tepat berusia enam puluh tahun itu menggulung lengan baju lalu membungkuk memegang singa besi pada kaki depan dan belakang, kemudian mengeluarkan seruan keras sekali dan... ia telah berhasil mengangkat singa besi itu, bukan hanya sampai ke pundak, bahkan sampai ke atas kepala! Kedua tangannya tergetar, kedua kakinya menggigil sedikit, dan kembali kakek yang kuat itu berseru keras lalu menurunkan singa besi ke bawah sehingga lantai tergetar ketika benda berat itu jatuh berdebuk di atas lantai sampai melesak ke bawah sedalam beberapa senti meter! Tepuk sorak para tamu menyambut demonstrasi tenaga yang amat kuat itu.
“Cu-wi sekalian, silakan kalau ada yang merasa sanggup mengangkat singa besi ini. Ada pun syarat ke dua adalah mengambil sebatang paku yang kutancapkan di balok melintang penyangga langit-langit itu!” Setelah berkata demikian, tangan kakek itu merogoh saku dan bergerak.
“Cuat-cuat-cuat...!” Sinar hitam tampak berkelebatan menyambar ke atas dan ternyata di atas balok yang amat tinggi itu telah menancap belasan batang paku yang berjajar rapi!
Kemudian kakek itu menggerakkan kakinya, tubuhnya ringan sekali melayang ke atas dan tangannya mencabut sebatang di antara paku-paku itu lalu ia turun kembali, kakinya menginjak lantai tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Kembali semua orang bertepuk tangan memuji karena kakek itu telah mendemonstrasikan ilmu ginkang yang amat tinggi. Balok melintang di atas itu amat tinggi sehingga seorang yang tidak memiliki kepandaian tinggi tentu tidak akan dapat mencabut paku itu.
“Sekarang kami mempersilakan Cu-wi mencoba,” kata Coa-bengcu sambil melangkah kembali ke tempat duduknya.
Maya membanting kakinya dengan marah dan gemas, akan tetapi maklum bahwa dia tidak akan dapat melarikan diri. Setelah dilepas ia lalu menarik tangan Siaw Bwee dan kembali ke tempat tadi, malah kini mengajak Siauw Bwee duduk di atas kursi yang masih kosong dekat Coa-bengcu. Kalau tidak bisa lari dan terpaksa menonton biarlah mereka berdua menonton yang enak dan mengaso di atas kursi, demikian Maya menghibur diri sendiri. Bahkan ketika melihat di meja terdapat hidangan, tanpa malu-malu dan tanpa permisi Maya menyambar dua potong roti, juga memberikan sebuah kepada Siauw Bwee lalu makan roti, juga menuangkan minuman pada dua buah cawan.
Orang-orang yang menyaksikan sikap Maya ini diam-diam menjadi kagum dan di dalam hati memuji ketabahan anak perempuan itu yang jelas amat berbeda dengan anak-anak biasa. Akan tetapi para tamu itu lebih tertarik untuk melihat siapa kiranya di antara mereka yang akan dapat mengangkat singa besi dan meloncat setinggi itu.
Suara ketawa mereka riuh-rendah menyambut kegagalan empat orang yang berturut-turut mencoba untuk mengangkat singa besi. Jangankan sampai terangkat melewati pundak, yang dua orang hanya dapat mengangkat singa besi itu setinggi lutut dan melepas kembali, sedangkan yang dua setelah mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh dan menarik-narik singa besi itu, sedikit pun tak dapat menggerakkannya!
Menyaksikan kegagalan empat orang berturut-turut, empat orang yang kelihatan kuat sekali, hati para tamu menjadi keder dan banyak yang tidak berani mencoba, khawatir gagal dan hal itu sedikit banyak akan menurunkan derajat nama mereka. Dan memang inilah yang dikehendaki oleh Coa-bengcu, yaitu agar pibu dapat diselesaikan dengan singkat dan mudah di antara sedikit orang-orang yang memang memiliki kepandaian tinggi!
“Hemm? biarkan aku mencobanya!” terdengar suara keras dan ketika bayangan orang itu berhenti bergerak di dekat singa besi, kiranya dia adalah bekas kepala perampok di lembah Huang-ho yang dahulu gerombolannya dibasmi oleh Khu Tek San.
Kepala rampok ini bertubuh tinggi kurus. Kini dia sudah membungkuk memegang singa besi dengan kedua tangan, mengerahkan tenaganya dan terangkatlah singa besi itu sampai ke atas pundaknya, kemudian cepat ia melepaskannya kembali hingga singa besi itu jatuh berdebuk di atas lantai depan kakinya.
Biar pun demikian, bekas kepala rampok ini telah lulus dalam ujian pertama karena dia telah berhasil mengangkat benda itu sampai ke pundak. Tepuk sorak menyambut hasil orang pertama yang memasuki sayembara itu dan Siauw Bwee memandang dengan mata penuh kekhawatiran. Tadi dia sudah mendengar bahwa orang ini adalah musuh ayahnya, maka kalau orang ini sampai menang dan dia terjatuh ke tangannya, tentu akan celaka nasibnya.
Melihat sikap Siauw Bwee ini, Maya berbisik, “Dia memang kuat, akan tetapi tidak sekuat Coa-bengcu, harap kau jangan khawatir.”
Kini kepala rampok itu mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya meloncat tinggi akan tetapi hampir saja ia gagal kalau tidak cepat-cepat mengulur tangan dan dua ujung jari tengah dan telunjuknya berhasil menjepit dan mencabut sebatang paku. Kembali ia disambut dengan sorakan memuji.
Setelah kepala perampok ini, maju seorang laki-laki gendut pendek yang melangkah penuh gaya. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan mukanya berseri-seri, mulutnya tersenyum-senyum penuh aksi, apa lagi kalau dia memandang ke arah gadis-gadis cantik murid Bengcu yang melayani para tamu dan kini menonton sambil berdiri berjajar di pinggir. Terang bahwa langkahnya dibuat-buat, berlenggang-lenggok meniru langkah seekor harimau supaya kelihatan gagah menyeramkan. Akan tetapi karena tubuhnya gemuk sekali dan agak pendek, langkahnya tidak mendatangkan kegagahan melainkan mendatangkan pemandangan yang lucu, bukan seperti langkah harimau melainkan seperti langkah seekor babi buntung!
“Heh-heh-heh, maafkan...! Sebetulnya saya tidak berani berlaku lancang. Akan tetapi karena sayembara ini memperebutkan hadiah yang luar biasa, dua orang nona kecil mungil yang jelita itu, tak dapat saya menahan hasrat hati saya untuk meramaikan sayembara. Ehemm, saya hanya memiliki sedikit kermampuan, dan kalau nanti mengecewakan, harap Cu-wi tidak mentertawakan saya. Nama saya Ngo Kee, julukan saya adalah Tai-lek Siauw-hud (Babi Tertawa Bertenaga Besar).”
Melihat semua tamu tersenyum dan ada yang tertawa karena memang lagaknya amat lucu seperti seorang badut, Si Gendut yang berjuluk hebat itu kelihatan makin senang, mengerling ke arah Maya dan Siauw Bwee dengan lagak memikat, membasahi bibir bawah dengan lidahnya yang bundar sehingga makin lucu tampaknya. Ia kemudian membungkuk dan memegang kedua kaki singa besi, kemudian mengerahkan tenaga dan... kiranya orang lucu ini bukan membual kosong karena singa besi itu telah dapat diangkatnya! Semua orang tercengang dan bertepuk tangan. Hal ini membuat Si Gendut makin bangga. la mengerahkan seluruh tenaganya, tidak mau mengangkat sampai di situ saja, menahan napas dan mendorongkan kedua lengannya ke atas!
“Uhhh... brooooottt!!”
Si Gendut cepat menurunkan singa besi ke atas lantai dan semua tamu tertawa geli. Para pelayan murid Bengcu menutupi mulut dengan tangan agar jangan tampak mereka tertawa. Maya sendiri terpingkal-pingkal dan Siauw Bwee juga tertawa, memijat hidung sendiri sehingga membuat Maya makin terpingkal-pingkal. Kiranya karena terlalu mengerahkan tenaga sebagian hawa yang memenuhi perut gendut itu menerobos ke luar melalui pintu belakang tanpa dapat dicegah lagi. Si Gendut mengeluarkan kentut besar.
Biar pun merasa jengah dan mukanya menjadi merah, namun Ngo Kee ini tertawa-tawa dan menyoja ke kanan kiri sebagai tanda terima kasih atas pujian semua orang dengan lagak merendah seperti seorang jagoan keluar kalangan dengan kemenangan! Kemudian ia memandang ke atas, ke arah paku-paku yang menancap di balok melintang. la lalu melepas sepatunya, menghampiri dinding dan... mulailah ia merayap naik melalui dinding seperti seekor cecak!
Ia menggunakan kedua telapak kaki telanjang itu merayap cepat melalui dinding sampai ke atas, kemudian dengan mudah menggunakan tangan kirinya mencabut sebatang paku. Setelah tercabut, Si Gendut ini bukan merayap turun kembali, melainkan melepaskan dirinya jatuh ke bawah seperti sebongkah batu! Semua orang terkejut sekali, menduga bahwa tubuh itu tentu akan terbanting remuk. Akan tetapi sungguh aneh, ketika tubuh itu tiba di atas lantai, tubuh itu terus menggelundung dan sama sekali tidak terbanting keras, bahkan kini dia sudah meloncat bangun sambil mengangkat paku itu tinggi-tinggi! ...
“Perkenankan hamba menghaturkan selamat kepada Kaisar yang ternyata memiliki banyak menteri dan jenderal yang pandai dan setia. Kalau tidak demikian, hamba rasa kegembiraan malam ini takkan kita rasakan bersama akibat perbuatan seorang Menteri Sung yang tidak patut terhadap Kerajaan Yucen. Hamba sebagai utusan Sri Baginda di Yucen sama sekali tidak menyalahkan Kerajaan Sung, karena hamba tahu bahwa yang menjadi biang keladi hanyalah seorang menteri yang bersikap lancang seolah-olah lebih berkuasa dari pada kaisarnya sendiri!”
Semua yang hadir menahan napas, menghentikan percakapan dan makan, menanti dengan jantung berdebar karena utusan itu menginggung hal yang gawat. Semua orang mengerti siapa yang dimaksudkan oleh panglima besar Yucen itu. Menteri Kam dan Khu Tek San saling pandang sejenak, akan tetapi keduanya masih bersikap tenang-tenang saja.
Kaisar sendiri mengerutkan keningnya mendengar ucapan itu. Tak senang hatinya dan untuk menjawab, lidahnya terasa berat. Tiba-tiba Jenderal Suma Kiat sudah membuka mulut berkata, “Tai-ciangkun dari Yucen benar-benar seorang yang jujur dan berhati polos! Setelah Tai-ciangkun tidak menyinggung atau menyalahkan Kaisar, sebaiknya menunjuk secara jujur menteri mana yang dimaksudkan agar tidak membikin hati para menteri di sini menjadi tidak enak.”
“Ha-ha-ha, Suma-goanswe pun menyukai sikap jujur seperti kami. Bagus sekali! Yang kami maksudkan adalah Menteri Kam Liong yang telah melakukan perbuatan tidak patut sekali, mengirim muridnya dan menyelundupkannya menjadi panglima kerajaan kami untuk melakukan pekerjaan mata-mata! Bukankah perbuatan itu amat busuk? Untung Sri Baginda Kerajaan Sung amat bijaksana, kalau tidak, bukankah perbuatan licik Menteri Kam itu cukup berbahaya untuk mencetuskan perang?”
Kembali keadaan di ruangan itu sunyi sekali dan hati semua orang makin bimbang dan tegang. Sri Baginda sendiri, yang tentu saja menyetujui akan penyelundupan Khu-ciangkun ke Yucen, kini hanya dapat memandang kepada Menteri Kam Liong.
Sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba tampak seorang panglima bertubuh jangkung memasuki ruangan itu dan terdengar suaranya nyaring. “Rombongan utusan Yucen ini datang membawa perdamaian ataukah mencari pertentangan? Menghina seorang menteri berarti menghina Kaisar dan kerajaan!”
Semua orang terkejut sekali melihat munculnya seorang panglima muda tinggi kurus yang tidak terkenal ini. Seorang pengawal Yucen yang berdiri menjaga di belakang Sri Panglima Besar sudah menghadang ke depan, melintangkan tombaknya memandang panglima tinggi kurus itu.
“Eh, eh, mau apa engkau?” Panglima tinggi kurus itu membentak Si Pengawal Yucen sambil melangkah maju mendekat.
Pengawal itu mengira bahwa Panglima Sung ini akan menyerang majikannya, maka cepat menggerakkan tombaknya menodong. Tiba-tiba kedua tangan panglima yang kurus itu bergerak menyambar tombak dan semua orang memandang terbelalak ketika tiba-tiba bagian perut panglima kurus itu bergerak ke depan seperti kaki tangan yang bertubi-tubi mengirim tendangan dan pukulan.
“Buk-buk...!” Pukulan-pukulan aneh yang keluar dari perut itu mengenai tubuh Si Pengawal yang sama sekali tidak menduga. Siapa akan menduga lawan memukul dengan perut yang bisa bergerak seperti kaki tangan itu? Biar pun pukulan-pukulan itu tidak keras, namun Si Pengawal terhuyung mundur saking kagetnya dan tombaknya terlepas!
Panglima besar Yucen dan guru negara marah sekali. Mereka sudah bangkit berdiri memandang panglima itu dan Koksu (Guru Negara) Yucen yang berjenggot panjang berambut putih berseru.
“Beginikah caranya menerima utusan kerajaan calon besan?”
Semua orang, termasuk Kaisar sendiri masih terlalu heran dan bingung menyaksikan munculnya panglima tinggi kurus yang aneh itu sehingga mereka tak dapat menjawab. Kaisar sendiri mulai marah dan sudah membuat gerakan memerintahkan pengawal menangkap panglima tinggi kurus itu ketika Menteri Kam tiba-tiba meloncat dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar.
“Mohon Paduka sudi mengampunkan hamba dan mengijinkan hamba untuk menyelesaikan urusan ini agar perdamaian tetap dipertahankan.”
Kaisar mengangguk.
“Cu-wi Ciangkun dan Taijin dari Yucen harap suka memaafkan karena dia ini hanyalah seorang anak kecil yang bertindak menurutkan perasaan dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kerajaan. Mengenai urusan yang diajukan oleh Te-i-ciangkun dari Yucen tadi, biarlah saya akan memberi penjelasan.”
“Menteri Kam Liong! Apakah engkau hendak melindungi pula seorang panglima yang bersikap begitu lancang dan membikin malu kerajaan?” Tiba-tiba Suma Kiat berkata marah.
“Pertanyaan yang tepat!” Panglima Besar Yucen berseru. “Dan siapa mau menerima alasan bahwa dia ini masih seorang anak kecil? Alasan yang dicari-cari untuk menyelamatkan diri!”
Menteri Kam Liong dengan sikap tenang lalu bangkit dan menghampiri panglima kurus yang masih berdiri tegak itu, tangannya meraih dan mulutnya menegur, “Maya, jangan kurang ajar, hayo cepat minta ampun kepada Hong-siang!”
Panglima kurus itu mencoba menghindar, namun terlambat dan jubahnya telah direnggut robek oleh tangan Menteri Kam Liong yang kuat. Berbareng dengan robeknya jubah, tampaklah penglihatan yang aneh dan membuat semua orang menjadi geli. Kiranya panglima tinggi kurus itu adalah dua orang anak perempuan, yang seorang berdiri di atas pundak temannya. Pantas saja tadi dari ‘perut’ panglima itu keluar kaki tangan yang menyerang dari dalam jubah!
Maya segera meloncat turun dari pundak Siauw Bwee. Tadi sewaktu semua panglima menonton tegang, dia dan Siauw Bwee diam-diam telah melakukan penyamaran mereka lagi, tentu saja atas desakan Maya yang ingin menolong Menteri Kam! Sebagai seorang puteri Kerajaan Khitan, tentu saja Maya mengerti akan tata susila istana, demikian pula Siauw Bwee yang menjadi puteri seorang panglima terkenal. Mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar dan dengan suara halus mohon ampun.
Kam Han Ki tak dapat menahan ketawanya dan untung bahwa pada saat itu, Kaisar sendiri pun tertawa disusul oleh para pembesar yang hadir di situ. Memang amat lucu setelah melihat bahwa yang berbuat lancang kurang ajar itu ternyata hanyalah dua orang anak perempuan!
“Siauw Bwee... !” Khu Tek San menegur dan biar pun Panglima ini hanya memanggil namanya, Siauw Bwee mengenal bahwa ayahnya amat marah dan dia menoleh ke arah ayahnya dengan muka pucat.
Akan tetapi Maya cepat berkata lantang, “Mohon Paman Khu, juga Sri Baginda dan semua orang tidak menyalahkan adik Siauw Bwee atau siapa saja karena semua ini sayalah yang bertanggung jawab!”
Bukan main kagum rasa hati Kaisar melihat sikap Maya. Bocah ini bukan anak sembarangan, pikirnya. Kepada Menteri Kam, Kaisar bertanya, “Siapakah mereka ini?”
“Ampunkan mereka, karena mereka itu adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Hamba bersedia menerima hukumannya. Maya ini adalah anak keponakan hamba, sedangkan Khu Siauw Bwee adalah puteri Khu Tek San.”
Kaisar mengangguk-angguk. Pantas, pikirnya. Dia sudah tahu bahwa menterinya, Kam Liong, adalah seorang yang sakti, putera dari Pendekar Suling Emas, tidak aneh kalau kemenakannya sehebat bocah cantik itu. Dan gadis cilik yang seorang lagi memang pantas menjadi puteri Panglima Khu Tek San yang terkenal sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia, berkepandaian tinggi karena panglima itu adalah murid Menteri Kam Liong!
Sambil tertawa Kaisar berkata, “Dua orang bocah yang bersemangat, tabah dan lucu sekali. Kami memaafkan kenakalan mereka, Heii, kalian terimalah ini!”
Kaisar menyambar dua butir buah apel merah dan menyambitkan dua butir buah itu ke arah Siauw Bwee dan Maya. Bukan sambitan biasa melainkan sambitan untuk menguji. Dengan cekatan sekali Siauw Bwee dan Maya berhasil menangkap buah apel yang menyambar ke arah mereka. Kemudian mereka menghaturkan terima kasih.
“Bagus! Mereka ini kelak akan menjadi pendekar-pendekar wanita yang hebat!” Kaisar berkata. “Akan tetapi kalian sekarang harus pergi. Tidak boleh ada anak-anak kecil hadir dalam pertemuan yang penting ini.”
Bukan main gembiranya hati Menteri Kam Liong. Kiranya Kaisar dapat mengampunkan sedemikian mudahnya. Maka ia cepat memerintahkan Han Ki untuk mengantar kedua orang bocah itu pergi meninggalkan ruangan. Keadaan menjadi tenteram kembali setelah Maya dan Siauw Bwee pergi, sungguh pun para panglima di ruangan luar masih terheran-heran, terutama sekali para pengawal yang tadi kena diakali oleh dua orang anak perempuan itu.
Biar pun pihak Kaisar dan para pembesar Sung telah menjadi tenang dan lega, sebaliknya para utusan Yucen merasa terhina dan mendapat malu. Betapa pun juga, telah disaksikan semua orang betapa seorang pengawal Yucen dengan mudah dapat dikalahkan oleh dua orang anak perempuan nakal! Juga Suma Kiat menjadi tidak senang, maka diam-diam ia memberi tanda kedipan mata kepada Panglima Besar Yucen. Panglima ini maklum dan berkata dengan suara lantang.
“Kami utusan Kerajaan Yucen merasa makin kagum menyaksikan kebijaksanaan Kaisar yang besar! Dan kami bukanlah anak-anak kecil yang merasa tersinggung oleh perbuatan dua orang bocah. Akan tetapi, kami yang menjunjung tinggi janji yang keluar dari mulut seorang gagah! Tadi kami mendengar akan kesanggupan Menteri Kam Liong yang akan membereskan persoalan. Terus terang saja, kami seluruh pembesar Yucen merasa penasaran kalau mengingat betapa Menteri Kam telah mempermainkan kami dengan mengirimkan muridnya sebagai penyelundup dan memata-matai kami!”
Kam Liong dengan sikapnya yang masih tetap tenang, menjawab. “Tuduhan Tai-ciangkun dari Kerajaan Yucen tidak dapat disangkal dan memanglah sesungguhnya saya mengaku bahwa saya telah mengutus murid saya dan Panglima Sung yang bernama Khu Tek San untuk menyelundup ke Yucen dan menjadi panglima di sana sambil mengawasi gerak-gerik dan mempelajari keadaan di Yucen untuk mengenal kerajaan itu. Akan tetapi, bukankah hal ini sudah wajar dan lumrah, Ciangkun? Setiap negara tentu akan mengirim penyelidik-penyelidik untuk mengetahui keadaan negara tetangga. Biar pun secara bersembunyi, saya tahu bahwa banyak pula penyelidik-penyelidik dari Yucen yang menyelidiki dan bekerja sebagai mata-mata di Kerajaan Sung. Muridku sedikit banyak berjasa bagi Yucen, dan tidak menimbulkan kerugian, hanya memang benar dia menyelidiki keadaan Yucen dan melaporkan kepada saya. Tanpa mengenal sedalam-dalamnya, bagaimana kami akan tahu tentang kerajaan lain terhadap kerajaan kami? Sekianlah jawaban saya.”
Panglima Besar Yucen tertawa. “Kiranya Kam-taijin pandai bersilat lidah! Sejak dahulu semua orang tahu siapakah Kerajaan Yucen, dan bagaimana macamnya, perlu apa mesti diselidiki dengan cara menyelundupkan seorang panglima? Keadaan di Yucen sudah pasti, kerajaannya sudah ada dan pemerintahannya berjalan terus seperti ini. Perlu apa diselidiki lagi?” Panglima Yucen itu mengeluarkan sebuah bola besi sebesar kepalan tangan dan menyambung. “Bangsa kami terkenal sebagai bangsa besi yang sudah ada beratus tahun yang lalu, seperti senjata peluru besi ini. Apakah Kam-taijin juga akan menyelidiki bola besiku ini?”
Sambil tertawa Panglima Yucen itu melontarkan bola besi ke atas dan... semua orang memandang kaget, heran dan kagum melihat betapa bola besi itu berputaran cepat sekali dan menyambar ke kanan kiri seperti dikendalikan, kemudian menyambar ke arah Menteri Kam Liong!
Keahlian mempergunakan bola besi sebagai senjata itu membuktikan betapa kuatnya tenaga sinkang Panglima Besar Yucen ini dan semua ahli yang hadir di situ menjadi khawatir akan keselamatan Menteri Kam Liong. Hanya Khu Tek San seorang yang memandang dengan wajah tidak berubah karena panglima gagah ini yakin bahwa permainan sinkang seperti itu hanya merupakan permainan kanak-kanak bagi gurunya.
Memang demikianlah. Menteri Kam Liong bersikap tenang, tangan kanannya sudah tampak mermegang sebuah kipas dan sekali ia menggerakkan kipasnya dan mengebut, bola besi itu berputaran di atas kepalanya, dekat dengan kipas yang dikebut-kebutkan seperti seekor kupu-kupu mendekati bunga, seolah-olah ada daya tarik yang keluar dari gerakan kipas itu yang membuat bola besi ikut terputar-putar.
Sambil mempermainkan kipasnya menguasai bola besi, Kam Liong berkata, “Tai-ciangkun. Bola besi ini memang sebuah bola besi, akan tetapi siapakah yang tahu akan keadaan dalamnya tanpa memeriksanya lebih dulu? Apakah dalamnya kosong? Ataukah berisi? Serupa ataukah lain dengan keadaan luarnya? Saya kira Ciangkun sendiri tak dapat menjawab tepat, bukan? Memang sukar menjawab tepat tanpa melihat dalamnya. Marilah kita bersama melihat apa isi bola besi ini sesungguhnya!”
Setelah berkata demikian, kipas di tangan kanan Menteri Kam itu bergerak cepat sekali, menyambar tiga kali ke arah bola besi. Terdengar suara keras tiga kali dan... bola besi itu telah terbabat malang-melintang tiga kali sehingga. terpotong menjadi delapan, seperti sebuah jeruk dipotong-potong pisau tajam dan kini delapan potong besi itu diterima tangan kiri Menteri Kam Liong yang dengan tenang lalu meletakkan potongan potongan bola besi itu di atas meja depan panglima besar dari Yucen!
“Ah, ternyata isinya padat dan tetap besi, sama seperti di luarnya. Cocok sekali dengan keadaan Kerajaan Yucen, bukan? Akan tetapi baru diketahui setelah diselidiki dalamnya seperti yang telah kami lakukan dengan mengirimkan murid kami ke Yucen.”
Wajah Panglima Yucen menjadi merah sekali, matanya terbelalak. Juga wajah Jenderal Suma Kiat menjadi pucat. Yang diperlihatkan oleh Menteri Kam tadi adalah kesaktian yang amat luar biasa, tenaga sinkang yang hebat dan keampuhan kipas pusaka yang keramat!
Koksu Negara Yucen maklum akan hal ini, maka dia lalu berkata, “Hebat sekali kepandaian Kam-taijin. Dan keterangannya cukup jelas. Menurut pendapat saya tidak perlu memperpanjang urusan kecil itu selagi urusan besar masih belum dibicarakan selesai.” Ucapan ini melegakan hati setiap orang dan perundingan untuk menentukan hari pertemuan pengantin dilanjutkan sambil diseling makan minum dan hiburan tari nyanyi oleh seniwati-seniwati istana.
Berkat sikap Menteri Kam yang bijaksana, pesta menyambut utusan Yucen itu berlangsung dengan tenteram dan lancar. Menteri Kam sendiri kelihatan lega, akan tetapi di dalam hatinya, dia merasa amat khawatir karena dia telah mendengar dari Han Ki akan hubungan pemuda itu dengan Sung Hong Kwi, dan ia dapat menduga betapa hancur perasaan hati adik sepupunya itu. Kalau ia pikir-pikir dan kenangkan segala peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, Menteri Kam merasa berduka sekali.
Kerajaan Khitan hancur, adik tirinya tewas, dan kini Kam Han Ki kembali mengalami nasib buruk, kekasihnya direbut orang! Kalau teringat akan itu sermua, hati Menteri Kam menjadi dingin, semangatnya mengendur dan timbul keinginannya untuk mengajak muridnya sekeluarga, Han Ki dan Maya pergi saja mengundurkan diri menjauhi keramaian kota raja, bahkan sebaliknya menyusul ayahnya, Suling Emas yang bertapa dengan ibu tirinya, bekas Ratu Yalina.
Makin menyesal lagi kalau ia memandang kepada Suma Kiat yang kini nampak makan minum dengan gembira melayani para tamu. Suma Kiat itu sebenarmya masih merupakan keluarga dekat dengannya. Tidak hanya keluarga karena terikat hubungan antara ayahnya, Suling Emas, dan ibu Suma Kiat yaitu Kam Sian Eng yang menjadi adik Suling Emas. Juga dari pihak ibunya dan ayah Suma Kiat terdapat hubungan dekat, yaitu kakak beradik. lbunya, Suma Ceng, adalah adik kandung Suma Boan, ayah Suma Kiat. Dia dan Suma Kiat adalah keluarga dekat, namun Suma Kiat selalu membencinya dan selalu memusuhinya, sungguh pun tidak berani berterang.
“Susiok-couw (Paman Kakek Guru), apakah perbuatan kami tadi akan menimbulkan bencana...?” ketika diantar oleh Han Ki dalam perjalanan pulang bersama Maya, Siauw Bwee bertanya kepada pemuda itu.
“Aihhh! Kau benar-benar terlalu sekali, Siauw Bwee! Masa Han Ki yang masih muda, patut menjadi kakek kita, kau sebut Susiok-couw? Benar-benar terlalu menyakitkan hati sebutan itu!” Maya mencela.
“Habis bagaimana?” Siauw Bwee membantah, “Memang dia itu paman guru ayahku, tentu saja aku menyebutnya Susiok-couw! Atau Susiok-kong?”
“Wah, tidak patut! Tidak patut! Jangan mau disebut kakek, Han Ki!” Maya berkata lagi.
Mau tidak mau Han Ki tersenyum. “Kalian berdua ini seperti langit dengan bumi, jauh bedanya akan tetapi sama anehnya! Maya terhitung masih keponakanku, menyebutku dengan nama begitu saja seperti kepada seorang kawan. Sebaliknya, Siauw Bwee terlalu memegang peraturan sehingga aku disebut kakek guru! Kalau benar kalian menganggap aku sebagai kakak, biarlah kalian menyebut kakak saja.”
“Bagus kalau begitu! Aku menyebutmu Han Ki Koko,” Maya berseru girang.
“Koko, engkau kelihatan begini berduka, apakah kesalahan aku dan Enci Maya tadi tertalu hebat sehingga engkau khawatir kalau-kalau ayahku dan Menteri Kam akan tertimpa bencana akibat perbuatan kami?” Siauw Bwee mengulang pertanyaannya, kini ia menyebut koko (kakak).
Han Ki menggeleng kepalanya. “Kurasa tidak. Kakakku, Menteri Kam bukanlah seorang yang dapat dicelakakan begitu saja oleh lawan. Aku tidak khawatir...”
“Akan tetapi, mengapa wajahmu begini muram? Engkau kelihatan berduka sekali, tidak benarkah dugaanku, Enci Maya?”
Maya mengangguk. “Memang hatinya hancur lebur, patah berkeping-keping dan luka parah bermandi darah, siapa yang tidak tahu?”
Han Ki memandang Maya, alisnya berkerut dan ia membentak, “Engkau tahu apa?”
Maya tersenyum. “Tahu apa? Tahu akan rahasia hatimu yang remuk karena setangkai kembang itu akan dipetik orang lain!”
Han Ki terkejut sekali, menghentikan langkahnya dan menghardik. “Maya! Dari mana kau tahu?!”
Siauw Bwee juga memandang dengan mata terbelalak, masih belum mengerti betul apa yang diartikan oleh Maya dan mengapa Han Ki kelihatan kaget dan marah.
“Dari mana aku tahu tidak menjadi soal penting,” jawab Maya yang tidak mau berterus terang karena dia mendengar tentang hal itu dari percakapan antara ayah bunda Siauw Bwee yang ia dengar dari luar jendela kamar. “Yang penting adalah sikapmu menghadapi urusan ini. Kenapa kau begini bodoh, menghadapi peristiwa ini dengan berduka dan meremas hancur perasaan hati sendiri tanpa mencari jalan ke luar yang menguntungkan? Mengapa kau begini lemah, Koko?”
Han Ki terbelalak. “Bodoh? Lemah? Apa... apa maksudmu, Maya? Jangan kau kurang ajar dan mempermainkan aku!”
“Siapa mempermainkan siapa? Engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Koko, sungguh pun aku belum yakin benar akan hal itu. Kalau engkau memiliki kepandaian, apa sukarnya bagimu untuk pergi mengunjungi kekasihmu itu? Dan kalau benar dia itu mencintaimu seperti yang ku... eh, kuduga, tentu dia akan lebih suka ikut minggat bersamamu dari pada menerima nasib menjadi permainan Raja Yucen yang liar!”
Han Ki memandang Maya dengan mata terbelalak, terheran-heran. Akan tetapi harus ia akui bahwa ‘nasihat’ Maya itu cocok benar dengan isi hatinya. “Sudahlah jangan bicara lagi urusan itu. Mari kuantar pulang cepat-cepat karena aku masih mempunyai banyak urusan lain.”
Maya bertolak pinggang. “Koko, engkau memang orang yang kurang penerima! Kalau engkau setuju dengan omonganku, mengapa pakai pura-pura segala? Kau langsung pergilah menemui kekasihmu sebelum terlambat. Ada pun kami berdua, kami bukanlah anak-anak kecil yang tidak bisa pulang sendiri. Tadi pun kami pergi berdua, masa untuk pulang harus kau temani? Pergilah, kami dapat pulang sendiri. Benar tidak, Adik Siauw Bwee?”
Siauw Bwee mengangguk. Han Ki menarik napas panjang. “Baiklah, kalian pulang berdua, akan tetapi harus langsung pulang dan jangan berkeliaran lagi. Siauw Bwee, jangan engkau selalu menuruti permintaan Maya. Bocah ini memang liar!” Setelah berkata demikian, Han Ki cepat-cepat meloncat pergi, tidak memberi kesempatan kepada Maya untuk membalas makiannya.
“Awas dia kalau bertemu lagi denganku!” Maya membanting-banting kaki dengan gemas.
“Dia... dia hebat sekali, ya Enci Maya?” Siauw Bwee berkata lirih memandang ke arah lenyapnya bayangan Han Ki.
“Hebat apanya, manusia sombong itu!” Maya mendangus marah. “Mari kita pergi, Siauw Bwee.”
Malam telah larut dan sunyi sekali di sepanjang jalan. Semua rumah telah menutup daun pintu dan sebagian besar penghuni kota raja sudah tidur nyenyak. Ketika mereka tiba di jembatan Ayam Putih yang panjang menyeberangi sungai yang menghubungkan kota raja dengan saluran besar ke selatan, mereka melihat seorang laki-laki tua di tengah jembatan yang sunyi. Maya dan Siauw Bwee adalah anak yang tabah sekali. Akan tetapi ketika mereka melihat dan mengenal kakek yang menghadang itu, mereka menjadi terkejut juga. Kakek itu adalah kakek berambut putih berjenggot panjang yang hadir di istana, yaitu Koksu Negara Kerajaan Yucen!
Maya menggandeng tangan Siauw Bwee dan berjalan terus tanpa memandang seolah-olah dia tidak mengenal kakek ltu.
Akan tetapi kakek itu tertawa dan berkata, “Anak-anak setan kalian hendak ke mana? Hayo ikut bersama kami!”
Maya sudah menaruh curiga bahwa tentu kakek itu tidak mengandung niat baik, maka begitu kakek itu melangkah datang, ia sudah membalikkan tubuh dan mengirim pukulan ke arah lambungnya! Siauw Bwee juga memiliki reaksi yang cepat sekali karena tanpa berunding lebih dulu dia sudah dapat cepat menyusul gerakan Maya, mengirim pukulan ke arah perut kakek itu.
“Buk! Bukk!” Kakek itu sama sekali tidak mengelak dan membiarkan dua orang anak perempuan itu memukulnya.
Maya dan Siauw Bwee berseru kaget karena lambung dan perut yang mereka pukul itu seperti bola karet yang membuat pukulan mereka membalik. Sebelum mereka dapat mengelak, kakek itu telah mencengkeram pundak mereka, membuat mereka menjadi lemas. Kemudian Koksu dari Yucen itu sambil tertawa melemparkan tubuh Maya dan Siauw Bwee melalui langkan (pagar pembatas berupa kisi-kisi yang tingginya kurang lebih satu meter) jembatan melemparkannya ke sungai!
Maya dan Siauw Bwee terkejut setengah mati. Tubuh mereka tak dapat digerakkan dan kini melayang menuju ke sungai yang amat dalam. Akan tetapi tiba-tiba tubuh mereka disambar tangan yang kuat dan kiranya di bawah jembatan telah menanti dua orang laki-laki di atas perahu. Mereka inilah yang menyambar tubuh Maya dan Siauw Bwee.
“Bawa mereka pergi sekarang juga!” terdengar Koksu Yucen berteriak dari atas jembatan kepada dua orang itu. “Dia merupakan hadiah sumbanganku untuk Coa-bengcu yang berulang tahun. Ha-ha-ha!”
Maya dan Siauw Bwee yang tadinya merasa girang karena mengira bahwa mereka tertolong, menjadi makin marah karena kini mereka tahu bahwa dua arang di perahu ini adalah pembantu-pembantu koksu itu! Malam gelap, perahu itu pun gelap dan mereka tidak dapat melihat muka dua orang laki-laki itu. Perahu digerakkan meluncur ke selatan. Maya dan Siauw Bwee dibelenggu kaki tangannya sehingga setelah mereka terbebas dari totokan, mereka tetap saja tidak mampu bergerak, hanya rebah miring di atas perahu dengan hati penuh kemarahan.
Setelah malam berganti pagi barulah kedua orang anak perempuan itu dapat itu melihat wajah dua orang laki-laki yang menawan mereka. Maya memperhatikan wajah kedua orang itu dan menurut penglihatannya dua orang itu bukanlah orang jahat, maka timbullah harapannya.
“Eh, Paman yang baik. Kalian adalah orang baik-baik, melihat wajah, pakaian dan sikap kalian. Mengapa kalian mau membantu koksu jahat yang menangkap kami dua orang anak perempuan yang tidak berdosa?”
Dua orang laki-laki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, bersikap gagah dan golok besar tergantung di punggung mereka. Mendengar ucapan Maya, mereka saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang mempunyai tahi lalat di pipi kanan, berkata, “Kami hanyalah pelaksana-pelaksana tugas yang dibebankan kepada kami. Kami tidak tahu siapa kalian dan mengapa kalian ditawan, akan tetapi kami harus menaati perintah atasan.”
Maya belum cukup dewasa, akan tetapi dia memiliki kecerdikan luar biasa dan ia dapat menangkap rasa tidak senang dan sungkan di balik ucapan laki-laki bertahi lalat itu. Maka ia menjadi makin berani dan berkata. “Ah, kiranya Paman berdua juga menjadi anak buah Yucen?” la berhenti sebentar, lalu mengirim serangan halus dengan kata-kata, “Heran sekali, bukankah Paman berdua ini orang-orang Han? Mengapa kini membantu kerajaan asing?”
“Kau anak kecil tahu apa!” Tiba-tiba orang ke dua yang mukanya kuning membentak. Ucapan ini sama benar dengan ucapan Han Ki yang pernah menjengkelkan hati Maya, akan tetapi sekali ini ia menangkap rasa sakit hati di balik kata-kata itu, rasa hati yang tersinggung dan yang menyatakan betapa tepatnya ucapannya tadi.
“Biar pun aku anak kecil, akan tetapi aku tahu betapa seorang gagah selalu mengutamakan kegagahan, membela negara dan menentang yang lalim,” Maya melanjutkan.
Si Tahi Lalat kini berkata, “Hemm, kulihat engkau bukan anak sembarangan. Ketahuilah bahwa kami berdua telah dibikin sakit hati oleh perbuatan anak buah Jenderal Suma Kiat sehingga keluarga kami terbasmi habis. Karena itu, apa perlunya kami mengabdi pemerintah Sung? Pula kami menjadi anak buah dari Koksu Negara Yucen yang memiliki ilmu kesaktian tinggi, sehingga tidaklah memalukan di dunia kang-ouw karena kami mengabdi kepada seorang tokoh besar yang jarang ada bandingannya.”
Biar pun tubuhnya masih terbelenggu dan ia rebah miring, Maya mengangguk-angguk dan berkata mengejek “Hemm... bicara tentang kesaktian dan kegagahan ya? Buktinya, koksu itu pengecut hanya berani melawan dua orang anak perempuan. Dan sukar bagiku untuk mengatakan kalian ini orang gagah macam apa, menawan dua orang anak perempuan kecil masih perlu membelenggu seperti ini! Apakah kalau kami tidak dibelenggu kalian takut kalau-kalau kami akan membunuh kalian?”
Maya memang pandai sekali bicara dan amat cerdik. Kata-katanya lebih runcing dari pada pedang dan lebih tajam dari pada golok, secara tepat menusuk perasaan dan kegagahan dua orang laki-laki itu.
“Bocah, engkau benar-benar bermulut lancang!” bentak yang bermuka kuning.
“Aku tentu tidak berani bicara kalau tidak ada kenyataannya. Coba, kalau berani membebaskan belenggu kami, barulah aku percaya bahwa kalian tidak takut kepada kami.”
Si Tahi Lalat segera mencabut goloknya yang berkelebat empat kali, dan semua belenggu pada kaki tangan Maya dan Siauw Bwee menjadi putus. “Nah, apakah kalian sekarang hendak menyerang kami?” tanyanya menyeringai.
Maya dan Siauw Bwee bangun, duduk dan menggosok-gosok pergelangan kaki tangan yang terasa nyeri. “Terima kasih,” kata Maya. “Kami tidak akan menyerang karena tak mungkin kami dapat menang.”
“Kami pun tidak suka membelenggu kalian dua orang anak perempuan, akan tetapi disiplin di pasukan kami keras sekali. Kalau sampai kami tidak berhasil mengantar kalian sampai di tempat yang ditentukan, tentu kami berdua harus menebus dengan nyawa kami. Itulah sebabnya kami membelenggu kalian, tidak ada maksud lain!”
Maya mengangguk-angguk. “Ahh, sekarang aku percaya bahwa kalian adalah orang-orang gagah yang terdesak oleh keadaan dan nasib buruk, seperti yang kami alami sekarang ini. Eh, Paman yang baik. Kami akan kau bawa ke manakah?”
“Nasib kalian tidaklah seburuk yang kalian khawatirkan,” kata Si Tahi Lalat. “Entah apa sebabnya sampai kaliah dimusuhi oleh Koksu, akan tetapi tentu kalian telah melakukan hal-hal yang amat tidak menyenangkan hatinya maka kalian ditangkap dan diserahkan kepada kami untuk membawa kalian pergi. Akan tetapi kalian sekarang merupakan sumbangan-sumbangan yang amat berharga karena kalian dijadikan sumbangan oleh Koksu, diberikan kepada seorang bengcu yang terkenal sakti dan berpengaruh di pantai Lautan Po-hai.”
“Sungguh lucu! Mengapa menyumbangkan dua orang anak perempuan? Apa maksudnya? Dan apa maksudmu mengatakan bahwa nasib kami tidak buruk? Apakah kalau kami diberikan sebagai sumbangan begitu saja merupakan nasib baik?” Maya mendesak terus.
”Sudahlah, kalian akan mengerti sendiri kalau kita sudah tiba di istana!” kata Si Tahi Lalat yang sikapnya segan menceritakan keadaan bengcu itu. “Hanya aku dapat memastikan bahwa kalian tidak akan dibunuh dan bahkan akan hidup dengan senang dan terhormat. Percayalah dan harap saja jangan kalian mencoba untuk memberontak karena kalau sampai terpaksa kami berdua menggunakan kekerasan, hal itu sesungguhnya bukan kehendak kami.”
“Kami tidak akan memberontak, kecuali kalau kami menghadapi bahaya. Bukankah begitu, Adik Siauw Bwee?”
Siaw Bwee mengangguk, kemudian anak yang lebih pendiam dibandingkan dengan Maya itu berkata, “Agaknya kedua Paman tidak tahu siapa kami, ya? Kalau tahu, kukira kalian berdua tidak akan lancang menawan kami, biar pun kalian melakukannya atas perintah Koksu Yucen.”
Dua orang laki-laki itu kini memandang penuh perhatian. “Siapakah kalian ini?”
“Aku sih hanya puteri Panglima Khu Tek San yang tidak ada artinya, akan tetapi enciku ini adalah Puteri Khitan, puteri Raja Khitan!” Siauw Bwee berkata tidak peduli akan tanda kedipan mata dari Maya yang hendak mencegahnya.
Dua orang itu kelihatan kaget sekali, saling pandang dan berkatalah Si Tahi Lalat. “Kami hanya melakukan perintah!” dengan kata-kata itu agaknya dia hendak membela diri.
Semenjak saat itu kedua orang itu tidak banyak bicara lagi melainkan bergegas mempercepat gerakan dayung mereka sehingga perahu meluncur cepat. Perahu itu keluar dari Terusan Besar, membelok ke kiri, yaitu ke timur memasuki sungai yang mengalir ke arah Lautan Po-hai.
Tidak jauh dari pantai Lautan Po-hai, mereka mendarat dan mengajak Maya dan Siauw Bwee memasuki sebuah hutan besar. Setelah melalui daerah pegunungan yang penuh hutan liar, tibalah mereka di sebuah pedusunan besar yang pada waktu itu sedang menampung banyak tamu dari empat penjuru, tamu-tamu penting karena mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw dan liok-lim. Tokoh-tokoh golongan putih dan hitam, atau kaum bersih dan sesat, yang pada saat itu dapat berkumpul dan saling jumpa karena mereka itu kesemuanya menghormati ulang tahun seorang tokoh besar yang pada hari itu merayakannya di dusun itu.
Tokoh besar ini lebih terkenal dengan sebutannya, yaitu Coa-bengcu (Pemimpin she Coa), tokoh yang sudah lama dikenal sebagai seorang pemimpin rakyat dan tidak mengakui kedaulatan Kaisar dengan alasan bahwa Kaisar amat lemah dan tidak memperhatikan keadaan rakyat yang makin menderita keadaannya. Coa-bengcu ini amat terkenal dan biar pun jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah menyaksikannya sendiri, namun menurut berita, ilmu kepandaian Coa-bengcu ini hebat sekali, baik kepandaian ilmu silatnya. mau pun ilmu perangnya. Dan perjuangannya yang gigih untuk membela rakyat membuat namanya menjulang tinggi sehingga para pembesar setempat tidak berani mengganggunya, bahkan tokoh-tokoh di seluruh dunia kang-ouw dan liok-lim menghormatinya.
Demikianlah, ketika Bengcu ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh, bukan hanya tokoh-tokoh golongan bersih dan kaum sesat yang datang untuk memberi hormat dan memberi selamat, bahkan Koksu Negara Yucen sendiri sampai berkenan mengirim utusan memberi selamat dan mempersembahkan dua orang gadis cilik! Dan sudah terkenal pula bahwa Coa-bengcu amat suka kepada orang-orang muda, baik laki-laki mau pun perempuan, terutama yang tampan-tampan dan yang cantik-cantik, untuk dididik menjadi murid-murid atau seperti dikatakannya sendiri, sebagai anak-anak angkatnya!
Siapakah sebenarnya Coa-bengcu ini? Dia adalah seorang pelarian bekas tokoh Im-yang-kauw yang dahulu berpusat di perbatasan barat dan telah dihancurkan oleh pemerintah. Biar pun mengadakan perlawanan gigih, para tokoh Im-yang-kauw terbasmi kocar-kacir dan lenyaplah perkumpulan Im-yang-kauw, yang tersisa hanya namanya saja sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah pada waktu itu.
Coa Sin Cu adalah seorang tokoh kelas dua dari Im-yang-kauw. Dia berhasil menyelamatkan diri dan lari ke timur. Untuk belasan tahun ia menggembleng diri dan berguru kepada orang-orang sakti sehingga kepandaiannya meningkat secara hebat. Setelah ilmu kepandaiannya meningkat tinggi, Coa Sin Cu mulai dengan gerakannya memimpin rakyat yang tertindas, menentang mereka yang mengandalkan kekuasaan memeras rakyat. Pengaruhnya makin besar, pengikutnya makin banyak, sehingga akhinya terkenallah sebutannya Coa-bengcu sampai ke seluruh pelosok. Hanya tokoh-tokoh lama saja yang mengenal Coa-bengcu ini sebagai Coa Sin Cu yang dulu menjadi tokoh Im-yang-kauw.
Di tengah dusun yang terletak di pegunungan tak jauh dari pantai Lautan Po-hai, terdapat sebuah bangunan yang tidak mewah, bahkan sederhana, namun kokoh kuat dan besar sekali. Mempunyai halaman yang amat luas dan yang terkurung dinding tembok tinggi seperti benteng atau asrama pasukan! Inilah tempat tinggal Coa-bengcu dan di situ pula pada hari itu diadakan keramaian merayakan hari ulang tahun Coa-bengcu.
Tuan rumah Coa-bengcu sendiri telah berada di ruangan depan menyambut datangnya para utusan atau wakil berbagai partai, juga para tokoh kang-ouw dan liok-lim yang datang sendiri untuk memberi selamat dan sumbangan-sumbangan. Isteri Bengcu adalah seorang wanita yang usianya setengah dari usia suaminya, kurang lebih tiga puluh tahun. Wanita ini cantik dan sikapnya gagah pula karena nyonya Bengcu ini pun bukan orang sembarangan, melainkan seorang murid Hoa-san-pai. Kini ia duduk di samping suaminya sambil tersenyum-senyum bangga menyaksikan pengaruh suaminya yang menarik datangnya semua orang gagah dari dua golongan itu.
Ada pun putera tunggal Coa-bengcu yang bermama Coa Kiong, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, anak tiri nyonya Bengcu yang sudah ditinggal mati ibu kandungnya, sibuk menerima barang-barang sumbangan yang ditumpuk di atas belasan buah meja besar di sudut ruangan. Tidak kurang dari lima puluh orang utusan pelbagai partai telah hadir dan duduk di atas kursi-kursi yang telah disediakan, menerima hidangan yang dilayani oleh anak-anak buah Coa-bengcu, pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang tampan-tampan dan cantik-cantik serta memiliki gerakan yang cekatan sekali.
Biar pun di antara para tamu itu terdapat banyak tokoh liok-lim, golongan bajak, perampok dan orang-orang yang biasa melakukan kejahatan, namun mereka tidak berani bersikap kurang ajar terhadap pelayan-pelayan wanita yang cantik-cantik itu karena semua orang maklum belaka bahwa pelayan-pelayan itu adalah anak buah atau murid-murid Coa-bengcu.
Banyak sekali barang sumbangan yang serba indah, perhiasan-perhiasan emas dan perak, ukiran naga dan burung hong terbuat dari batu-batu kemala, sutera-sutera yang indah sekali warnanya, bahkan ada pula senjata-senjata pusaka yang ampuh. Akan tetapi semua itu masih belum mengherankan karena ada pula orang-orang yang menyumbangkan benda-benda luar biasa anehnya.
Seorang tamu yang baru tiba, bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk, mukanya lebar, berseru dengan suara nyaring, “Saya Kiang Bu adalah seorang miskin, karena itu selain ucapan selamat kepada Coa-bengeu, tidak dapat menyumbangkan benda berharga kecuali barang hina tak berharga ini. Sudilah Bengcu menerimanya!”
Coa-bengcu memandang orang itu lalu tertawa. “Ha-ha-ha, Tho-tee-kong (Malaikat Bumi) sungguh berlaku sungkan sekali. Terima kasih atas ucapan selamat dan sumbangan yang amat berharga, harap menyerahkan sumbangan itu kepada Puteraku.”
Kiang Bu yang berjuluk Tho-tee-kong segera melangkah lebar dan menyerahkan sebuah bungkusan kepada Coa Kiong putera tuan rumah yang menerimanya dan meletakkannya di atas meja.
“Karena sumbanganku ini tidak berharga dan lain dari pada yang lain, harap Siauw-enghiong suka membukanya agar semua tamu dapat melihatnya,” kata pula Kiang Bu.
Ketika memandang ayahnya dan melihat ayahnya mengangguk tanda setuju, barulah Coa Kiong berani membuka bungkusan kain itu. Tiba-tiba wajahnya berubah dan matanya memandang Si Malaikat Bumi dengan marah, juga banyak tamu mengeluarkan seruan tertahan setelah melihat isi bungkusan. Siapa yang tidak akan menjadi kaget melihat bahwa bungkusan itu terisi sebuah kepala manusia yang masih belepotan darah?
“Apa... apa maksudmu ini?” Coa Kiong membentak dan tangan kanan pemuda ini sudah meraba gagang pedang, matanya terbelalak memandang kepala orang yang kini terletak di atas meja.
Tiba-tiba Coa-bengcu tertawa girang,”Ha-ha-ha! Barang hina tak berharga itu ternyata merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya bagiku. Terima kasih, Tho-tee-kong. Aku telah mengenal kepala Bhe-ciangkun dan memang sudah lama aku ingin melihat orang kejam dan penindas laknat itu kehilangan kepalanya! Kiong-ji, suruh pelayan membuang kepala itu dan memberikan kepada anjing-anjing agar digerogoti habis!”
Barulah semua orang termasuk Coa Kiong sendiri, tahu bahwa sumbangan itu benar-benar amat berharga karena Si Malaikat Bumi telah membunuh orang yang dibenci Coa-bengcu! Perwira she Bhe yang berkuasa di pantai Po-hai memang terkenal ganas dan kejam kekuasaannya seolah-olah melampaui kekuasaan Kaisar sendiri dan dia menjadi raja tanpa mahkota di daerah pantai Po-hai!
Dua orang yang membawa Maya dan Siauw Bwee tiba di tempat itu dan langsung mereka menghadap Coa-bengcu, memberi hormat dan berkata, “Kami berdua diutus oleh Koksu Kerajaan Yucen untuk menyampaikan ucapan selamat beliau kepada Bengcu, dan menyerahkan sumbangannya.”
Sejenak kakek yang dihormati itu memandang kepada dua orang itu, akan tetapi pandang matanya segera terarah kepada Maya dan Siauw Bwee, seolah-olah melekat dan tidak menyembunyikan rasa kekagumannya. Isterinya yang melihat keadaan suami itu lalu berbisik, “Mereka menanti jawaban!”
Barulah Coa-bengcu sadar dan ia tertawa bergelak sambil merangkap kedua tangan di depan dada. “Ha-ha-ha, sungguh Pek-mau Seng-jin mencurahkan kehormatan besar sekali kepada kami! Seorang koksu negara masih mau memperhatikan orang tiada harganya seperti aku benar-benar menunjukkan perbedaan antara Permerintah Yucen dan Permerintah Sung! Terima kasih, terima kasih. Tidak tahu, sumbangan apakah yang dikirim Pek-mau Seng-jin, Koksu Kerajaan Yucen itu yang akan membuat kami sekeluarga bahagia bukan main?”
“Sumbangan atau hadiah yang harus kami sampaikan kepada Bengcu adalah dua orang anak perempuan inilah!” kata Si Tahi Lalat.
Semua tamu kembali menjadi terheran dan keadaan menjadi tegang karena mereka menganggap bahwa sumbangan ini sama sekali tidak dapat dianggap berharga. Melihat sikap para tamu itu, dua orang utusan itu menjadi tidak enak hati, maka Si Muka Kuning cepat menyambung keterangan temannya.
“Hendaknya Bengcu mengetahui bahwa dua orang anak perempuan ini bukanlah anak sembarangan. Yang lebih besar ini bernama Maya, dia adalah puteri dari Raja dan Ratu Khitan, sedangkan yang lebih kecil bernama Khu Siauw Bwee, puteri Khu Tek San seorang panglima yang terkenal di Kerajaan Sung!”
Terdengar seruan-seruan kaget di sana-sini, dan wajah Coa-bengcu yang tadinya memang sudah berseri gembira, kini menjadi makin berseri penuh kagum. “Sungguh merupakan hadiah yang tak ternilai harganya!” katanya. Kemudian seperti kepada diri sendiri ia berkata, “Puteri Raja Khitan...? Puteri Panglima Khu...?”
Tiba-tiba seorang tamu meloncat bangun sambil berseru keras. “Mohon kebijaksanaan Bengcu agar saya boleh membunuh bocah she Khu itu untuk membalas anak buah saya yang dahulu dibasmi oleh Khu Tek San ayahnya!” Yang bicara ini adalah bekas kepala rampok yang kenamaan di Lembah Huang-ho perbatasan Propinsi Shan-tung.
“Puteri Khitan itu patut dibunuh!” Tiba-tiba seorang lain meloncat dan berseru nyaring memandang ke arah Maya dengan mata terbelalak marah.
“Kalau dia puteri Raja Khitan, berarti dia itu cucu Suling Emas yang sudah banyak menimbulkan malapetaka di kalangan kamil!” Yang bicara kali ini adalah seorang pendeta berambut panjang yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya hitam dan kotor seperti tubuhnya.
Dia adalah seorang tokoh dunia hitam yang tekenal dengan julukannya. saja, yaitu Pat-jiu Sin-kauw (Monyet Sakti Tangan Delapan). Dia amat terkenal dan ditakuti karena Pat-jiu Sin-kauw ini adalah murid dari seorang datuk hitam yang amat terkenal, yaitu Thai-lek Kauw-ong, seorang di antara lima datuk besar golongan sesat puluhan tahun yang lalu.
“Benar! Puteri Khu Tek San harus dibunuh! Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong dan siapakah menteri itu? Bukan lain putera Suling Emas pula!” teriak yang lain.
“Harap Bengcu serahkan saja puteri Khitan kepada saya!” teriak yang lain.
Ributlah keadaan di ruangan itu karena banyak sekali tokoh dunia hitam yang ingin mendapatkan dua orang anak perempuan itu setelah mereka ketahui bahwa Maya adalah cucu Suling Emas sedangkan Siauw Bwee adalah cucu murid pendekar sakti itu.
Coa-bengcu bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya ke atas untuk minta para tamunya agar jangan membuat gaduh. Setelah suasana meredup terdengarlah suaranya lantang, “Aku mengerti apa yang terkandung di hati Saudara-saudara yang menaruh dandam. Akan tetapi dua orang anak perempuan ini adalah sumbangan dari Koksu Yucen kepadaku, bagaimana aku dapat memberikan begitu saja kepada orang lain? Bukannya aku orang she Coa bersikap kukuh, melainkan aku harus menghormat kepada Koksu Yucen. Kalau aku menyerahkan begitu saja dua orang anak ini, bukankah berarti aku kurang menaruh penghargaan? Karena itu, biarlah dua orang anak ini kuanggap benda-benda yang amat berharga dan sudah sewajarnyalah kalau untuk dapat memiliki benda amat berharga, diadakan sayembara!” Memang Coa-bengcu ini orangnya cerdik sekali.
Dia memiliki kedudukan yang tinggi dan berpengaruh, namun dia tahu bahwa kalau terjadi bentrokan antara dia dengan pemerintah, dia harus mengandalkan bantuan orang-orang pandai ini, baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitam terutama sekali. Dia sayang kepada dua orang gadis cilik yang jelas memiliki kelebihan mencolok kalau dibandingkan dengan murid-muridnya perempuan yang mana pun juga. Kalau dia berkukuh menahan, tentu dia akan menimbulkan rasa tidak senang kepada para tamunya.
Kalau dia berikan begitu saja, selain dia merasa tidak enak kepada Koksu Yucen, juga dia merasa sayang sekali. Maka dia mengusulkan diadakan sayembara, karena dengan demikian masih ada harapan baginya untuk mendapatkan dua orang gadis itu tanpa menimbulkan rasa tidak suka di hati orang lain.
“Apakah yang Bengcu maksudkan dengan sayembara?” beberapa suara terdengar dan semua orang menanti jawaban dengan dugaan yang sama.
Coa-bengcu tertawa. “Perlukah kujelaskan lagi? Apakah yang paling diandalkan orang-orang golongan kita kecuali sedikit ilmu sliat? Maka hanya orang terpandai di antara kita sajalah yang berhak memiliki dua orang anak ini. Yang minta begini banyak bagaimana dapat kuberikan kecuali dengan jalan beradu menguji kepandaian? Pula dua orang anak ini bukan anak sembarangan, melainkan keturunan orang-orang pandai seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu. Kalau yang bertanggung jawab atas diri kedua orang bocah ini tidak memiliki kepandaian tinggi, mana mungkin dapat menghadapi mereka? Setujukah Cu-wi sekalian?”
“Setuju! Akur! Tepat sekali!” Para tamu berteriak, yaitu mereka yang ingin sekali mendapatkan Maya dan Siauw Bwee.
Ada pun tokoh-tokoh wakil partai-partai yang termasuk golongan bersih atau putih, diam saja karena mereka ini tidak ingin mendapatkan kedua orang anak perempuan, juga tidak ingin mencampuri urusan mereka yang menaruh dandam kepada nenek moyang anak-anak itu.
Kembali Coa-bengcu mengangkat kedua tangan minta agar semua orang tidak berteriak-teriak membuat berisik. Setelah semua orang diam, tiba-tiba terdengar Maya berkata.
“Kalian ini orang-orang gagah macam apa? Berunding seenak perut sendiri untuk memperebutkan aku dan adikku tanpa bertanya persetujuan kami yang tersangkut! Sudah jelas bahwa kami adalah dua orang manusia pula, masa kalian hendak menganggap sebagai benda mati? Beginikah sikap orang-orang gagah? Ataukah kalian ini semua bangsa penjahat yang tidak mengenal perikemanusiaan?”
Semua orang menjadi merah mukanya dan kembali mereka membuat gaduh dengan teriakan-teriakan memaki Maya, yaitu mereka yang membenci keluarga Raja Khitan dan keluarga Suling Emas.
Setelah mereka mereda, Coa-bengcu berkatat “Kita tidak perlu mendengarkan ucapan bocah ini. Sebagai tawanan tentu saja mereka berdua tidak berhak untuk bicara. Kita semua menerima sebagai pemberian hadiah Koksu Yucen! Cu-wi sekalian. Karena jumlah kita terlalu banyak, maka untuk mempersingkat waktu dan mempermudah jalannya pibu kami akan mengadakan syarat-syarat yang berat lebih dulu. Hanya mereka yang memenuhi syarat-syarat itu barulah dapat memasuki pibu. Syaratnya dua macam dan akan kulakukan untuk memberi contoh.”
Setelah semua orang menyatakan setuju, Coa-bengcu membisikkan perintah kepada murid-muridnya. Tak lama kemudian, dari pintu belakang tampak dua belas orang murid laki-laki yang muda-muda dan bertubuh kuat memikul sebuah arca besi berupa seekor singa.
Pemuda-pemuda itu adalah orang-orang yang kuat, namun mereka membutuhkan tenaga dua belas orang untuk menggotong arca itu, dapat dibayangkan betapa beratnya singa besi itu. Ketika singa besi itu diturunkan di atas lantai ruangan, lantai itu tergetar sehingga sebagian besar para tamu baru melihat saja sudah ngeri dan di dalam hatinya mundur teratur. Mereka maklum bahwa tuan rumah yang lihai itu tentu hendak menggunakan benda berat ini untuk mengukur calon pengikut sayembara memperebutkan dua orang gadis cilik.
Memang benar dugaan para tamu itu. Coa-bengcu melangkah maju mendekati arca besi itu lalu berkata sambil tersenyum. “Nama besar Suling Ermas sudah terkenal di seluruh dunia, juga puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam. Sayang sekali bahwa puluhan tahun pendekar ini mengasingkan diri, juga di dunia kang-ouw tidak pernah lagi terdengar Mutiara Hitam. Sudah amat lama aku ingin sekali dapat bertemu dan menguji mereka, sungguh pun aku benar-benar meragukan kebisaan sendiri untuk menandingi mereka. Kini secara kebetulan, dua orang keturunannya berada di sini dan menjadi rebutan. Maka, hanya mereka yang benar-tenar pandai saja yang dapat diharapkan akan dapat mampu menandingi Suling Emas dan keturunannya apa bila kelak keluarganya datang mencari dua orang anak ini. Nah, untuk memilih calon pengikut sayembara, syarat pertama adalah mengangkat singa besi ini sampai ke atas pundak seperti yang akan kulakukan sekarang!”
Setelah berkata demikian dan memberi hormat kepada para tamu, Coa-bengcu yang pada hari itu tepat berusia enam puluh tahun itu menggulung lengan baju lalu membungkuk memegang singa besi pada kaki depan dan belakang, kemudian mengeluarkan seruan keras sekali dan... ia telah berhasil mengangkat singa besi itu, bukan hanya sampai ke pundak, bahkan sampai ke atas kepala! Kedua tangannya tergetar, kedua kakinya menggigil sedikit, dan kembali kakek yang kuat itu berseru keras lalu menurunkan singa besi ke bawah sehingga lantai tergetar ketika benda berat itu jatuh berdebuk di atas lantai sampai melesak ke bawah sedalam beberapa senti meter! Tepuk sorak para tamu menyambut demonstrasi tenaga yang amat kuat itu.
“Cu-wi sekalian, silakan kalau ada yang merasa sanggup mengangkat singa besi ini. Ada pun syarat ke dua adalah mengambil sebatang paku yang kutancapkan di balok melintang penyangga langit-langit itu!” Setelah berkata demikian, tangan kakek itu merogoh saku dan bergerak.
“Cuat-cuat-cuat...!” Sinar hitam tampak berkelebatan menyambar ke atas dan ternyata di atas balok yang amat tinggi itu telah menancap belasan batang paku yang berjajar rapi!
Kemudian kakek itu menggerakkan kakinya, tubuhnya ringan sekali melayang ke atas dan tangannya mencabut sebatang di antara paku-paku itu lalu ia turun kembali, kakinya menginjak lantai tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Kembali semua orang bertepuk tangan memuji karena kakek itu telah mendemonstrasikan ilmu ginkang yang amat tinggi. Balok melintang di atas itu amat tinggi sehingga seorang yang tidak memiliki kepandaian tinggi tentu tidak akan dapat mencabut paku itu.
“Sekarang kami mempersilakan Cu-wi mencoba,” kata Coa-bengcu sambil melangkah kembali ke tempat duduknya.
Maya membanting kakinya dengan marah dan gemas, akan tetapi maklum bahwa dia tidak akan dapat melarikan diri. Setelah dilepas ia lalu menarik tangan Siaw Bwee dan kembali ke tempat tadi, malah kini mengajak Siauw Bwee duduk di atas kursi yang masih kosong dekat Coa-bengcu. Kalau tidak bisa lari dan terpaksa menonton biarlah mereka berdua menonton yang enak dan mengaso di atas kursi, demikian Maya menghibur diri sendiri. Bahkan ketika melihat di meja terdapat hidangan, tanpa malu-malu dan tanpa permisi Maya menyambar dua potong roti, juga memberikan sebuah kepada Siauw Bwee lalu makan roti, juga menuangkan minuman pada dua buah cawan.
Orang-orang yang menyaksikan sikap Maya ini diam-diam menjadi kagum dan di dalam hati memuji ketabahan anak perempuan itu yang jelas amat berbeda dengan anak-anak biasa. Akan tetapi para tamu itu lebih tertarik untuk melihat siapa kiranya di antara mereka yang akan dapat mengangkat singa besi dan meloncat setinggi itu.
Suara ketawa mereka riuh-rendah menyambut kegagalan empat orang yang berturut-turut mencoba untuk mengangkat singa besi. Jangankan sampai terangkat melewati pundak, yang dua orang hanya dapat mengangkat singa besi itu setinggi lutut dan melepas kembali, sedangkan yang dua setelah mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh dan menarik-narik singa besi itu, sedikit pun tak dapat menggerakkannya!
Menyaksikan kegagalan empat orang berturut-turut, empat orang yang kelihatan kuat sekali, hati para tamu menjadi keder dan banyak yang tidak berani mencoba, khawatir gagal dan hal itu sedikit banyak akan menurunkan derajat nama mereka. Dan memang inilah yang dikehendaki oleh Coa-bengcu, yaitu agar pibu dapat diselesaikan dengan singkat dan mudah di antara sedikit orang-orang yang memang memiliki kepandaian tinggi!
“Hemm? biarkan aku mencobanya!” terdengar suara keras dan ketika bayangan orang itu berhenti bergerak di dekat singa besi, kiranya dia adalah bekas kepala perampok di lembah Huang-ho yang dahulu gerombolannya dibasmi oleh Khu Tek San.
Kepala rampok ini bertubuh tinggi kurus. Kini dia sudah membungkuk memegang singa besi dengan kedua tangan, mengerahkan tenaganya dan terangkatlah singa besi itu sampai ke atas pundaknya, kemudian cepat ia melepaskannya kembali hingga singa besi itu jatuh berdebuk di atas lantai depan kakinya.
Biar pun demikian, bekas kepala rampok ini telah lulus dalam ujian pertama karena dia telah berhasil mengangkat benda itu sampai ke pundak. Tepuk sorak menyambut hasil orang pertama yang memasuki sayembara itu dan Siauw Bwee memandang dengan mata penuh kekhawatiran. Tadi dia sudah mendengar bahwa orang ini adalah musuh ayahnya, maka kalau orang ini sampai menang dan dia terjatuh ke tangannya, tentu akan celaka nasibnya.
Melihat sikap Siauw Bwee ini, Maya berbisik, “Dia memang kuat, akan tetapi tidak sekuat Coa-bengcu, harap kau jangan khawatir.”
Kini kepala rampok itu mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya meloncat tinggi akan tetapi hampir saja ia gagal kalau tidak cepat-cepat mengulur tangan dan dua ujung jari tengah dan telunjuknya berhasil menjepit dan mencabut sebatang paku. Kembali ia disambut dengan sorakan memuji.
Setelah kepala perampok ini, maju seorang laki-laki gendut pendek yang melangkah penuh gaya. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan mukanya berseri-seri, mulutnya tersenyum-senyum penuh aksi, apa lagi kalau dia memandang ke arah gadis-gadis cantik murid Bengcu yang melayani para tamu dan kini menonton sambil berdiri berjajar di pinggir. Terang bahwa langkahnya dibuat-buat, berlenggang-lenggok meniru langkah seekor harimau supaya kelihatan gagah menyeramkan. Akan tetapi karena tubuhnya gemuk sekali dan agak pendek, langkahnya tidak mendatangkan kegagahan melainkan mendatangkan pemandangan yang lucu, bukan seperti langkah harimau melainkan seperti langkah seekor babi buntung!
“Heh-heh-heh, maafkan...! Sebetulnya saya tidak berani berlaku lancang. Akan tetapi karena sayembara ini memperebutkan hadiah yang luar biasa, dua orang nona kecil mungil yang jelita itu, tak dapat saya menahan hasrat hati saya untuk meramaikan sayembara. Ehemm, saya hanya memiliki sedikit kermampuan, dan kalau nanti mengecewakan, harap Cu-wi tidak mentertawakan saya. Nama saya Ngo Kee, julukan saya adalah Tai-lek Siauw-hud (Babi Tertawa Bertenaga Besar).”
Melihat semua tamu tersenyum dan ada yang tertawa karena memang lagaknya amat lucu seperti seorang badut, Si Gendut yang berjuluk hebat itu kelihatan makin senang, mengerling ke arah Maya dan Siauw Bwee dengan lagak memikat, membasahi bibir bawah dengan lidahnya yang bundar sehingga makin lucu tampaknya. Ia kemudian membungkuk dan memegang kedua kaki singa besi, kemudian mengerahkan tenaga dan... kiranya orang lucu ini bukan membual kosong karena singa besi itu telah dapat diangkatnya! Semua orang tercengang dan bertepuk tangan. Hal ini membuat Si Gendut makin bangga. la mengerahkan seluruh tenaganya, tidak mau mengangkat sampai di situ saja, menahan napas dan mendorongkan kedua lengannya ke atas!
“Uhhh... brooooottt!!”
Si Gendut cepat menurunkan singa besi ke atas lantai dan semua tamu tertawa geli. Para pelayan murid Bengcu menutupi mulut dengan tangan agar jangan tampak mereka tertawa. Maya sendiri terpingkal-pingkal dan Siauw Bwee juga tertawa, memijat hidung sendiri sehingga membuat Maya makin terpingkal-pingkal. Kiranya karena terlalu mengerahkan tenaga sebagian hawa yang memenuhi perut gendut itu menerobos ke luar melalui pintu belakang tanpa dapat dicegah lagi. Si Gendut mengeluarkan kentut besar.
Biar pun merasa jengah dan mukanya menjadi merah, namun Ngo Kee ini tertawa-tawa dan menyoja ke kanan kiri sebagai tanda terima kasih atas pujian semua orang dengan lagak merendah seperti seorang jagoan keluar kalangan dengan kemenangan! Kemudian ia memandang ke atas, ke arah paku-paku yang menancap di balok melintang. la lalu melepas sepatunya, menghampiri dinding dan... mulailah ia merayap naik melalui dinding seperti seekor cecak!
Ia menggunakan kedua telapak kaki telanjang itu merayap cepat melalui dinding sampai ke atas, kemudian dengan mudah menggunakan tangan kirinya mencabut sebatang paku. Setelah tercabut, Si Gendut ini bukan merayap turun kembali, melainkan melepaskan dirinya jatuh ke bawah seperti sebongkah batu! Semua orang terkejut sekali, menduga bahwa tubuh itu tentu akan terbanting remuk. Akan tetapi sungguh aneh, ketika tubuh itu tiba di atas lantai, tubuh itu terus menggelundung dan sama sekali tidak terbanting keras, bahkan kini dia sudah meloncat bangun sambil mengangkat paku itu tinggi-tinggi! ...