CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 13
Han Ki lalu pergi memasuki ruangan dalam untuk melanjutkan usahanya. yang sudah ia kerjakan kurang lebih setahun lamanya, yaitu menuliskan ilmu-ilmu silat tinggi yang ia gabungkan dari ilmu-ilmu yang dipelajarinya selama ini ke dalam sebuah kitab. Bu Kek Siansu telah berpesan kepadanya bahwa setelah kitab-kitab yang ditinggalkannya di istana itu habis dipelajari, kitab-kitab itu harus dibakar.
“Kitab-kitab pelajaran ilmu silat tidak baik ditinggalkan begitu saja,” kata gurunya. “Ilmu silat merupakan ilmu yang amat berguna jika terjatuh ke tangan orang yang baik-baik, akan tetapi sekali terjatuh ke tangan orang yang hatinya gelap tersesat, amatlah berbahaya. Karena itu, setelah isinya dapat dipelajari dengan kedua orang sumoimu, kitab-kitab itu harus dibakar.”
Karena inilah maka Han Ki terpaksa membakar dan memusnahkan kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang telah mereka pelajari, dan karena dia tidak ingin melupakan ilmu-ilmunya, maka dia sendiri lalu merangkai kitab yang berisikan ilmu-ilmu yang digabungnya sendiri dari banyak ilmu silat yang telah ia pelajari.
Tiba-tiba Han Ki mendengar suara ribut-ribut di belakang istana. Suara Maya dan Siauw Bwee seperti orang bertengkar. Cepat ia menghentikan tulisannya dan lari ke belakang. Dilihatnya Siauw Bwee dan Maya bertanding memperebutkan batu putih! Ketika Han Ki tiba di situ, perebutan mencapai puncaknya. Maya berusaha merampas burung batu itu dari tangan Siauw Bwee yang mempertahankan. Keduanya memegang burung batu itu, bersitegang hendak menarik dan mengerahkan tenaga.
“Prakkk!” burung batu itu pecah menjadi perkeping-keping dan jatuh berhamburan ke atas tanah!
“Ohhh...! Burungku... aiihh, burungku pecah...!” Siauw Bwee berlutut, menangis memandang burung batu yang sudah pecah berantakan di depan lututnya.
Melihat munculnya Han Ki dan akibat perebutan itu, Maya menjadi pucat dan dia mencela, “Ahh, begitu saja menangis. Cengeng...!”
“Maya-sumoi!” Apa yang kau lakukan itu?” Han Ki membentak, marah kepada Maya dan kasihan kepada Siauw Bwee.
“Aku hanya ingin meminjam dan melihat sebentar. Dasar dia kikir, manja dan cengeng!”
“Tidak! Dia memang hendak merampasnya!” Siauw Bwee membantah, terisak-isak.
“Maya-sumoi, tidak baik meminjam milik orang lain dengan paksa,” Han Ki kembali menegur, tidak senang karena melihat Maya mulai bersikap keras dan memaksa kepada Siauw Bwee.
“Suheng, engkau yang tidak adil, pilih kasih! Kau membuatkan mainan kepada Sumoi, akan tetapi tidak kepadaku.”
Han Ki mengerutkan keningnya. “Sumoi, burung batu itu kubuat atas permintaan Khu-sumoi, bukan semata-mata aku membuatkan untuknya. Kalau engkau juga menginginkan sebuah, mengapa tidak minta saja kubuatkan dan malah merampas kepunyaan Khu-sumoi? Perbuatanmu itu tidak benar. Kau harus minta maaf kepada Khu-sumoi!”
“Sudahlah, Suheng. Suci tidak merusak burung batuku.” Siauw Bwee bangun berdiri dan mengusap air matanya. Melihat betapa Maya dimarahi Han Ki, timbul rasa kasihan di hati Siauw Bwee.
“Lihat, Khu-sumoi begini baik kepadamu, akan tetapi engkau selalu nakal, Maya-sumoi,” Han Ki kembali menegur.
Sejenak sepasang mata yang indah itu menatap wajah Han Ki, kemudian menoleh kepada Siauw Bwee. Tiba-tiba Maya terisak dan air matanya mengucur. “Memang aku selalu nakal! Memang aku paling jahat! Lebih baik aku pergi saja agar jangan mengganggu Sumoi dan membikin marah Suheng!” Maya membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Han Ki dan Siauw Bwee.
“Suci, kau hendak ke mana?” Siauw Bwee hendak mengejar akan tetapi Han Ki memegang lengannya mencegah.
“Kalau dia sedang marah, dikejar dan dibujuk pun percuma. Biarkan dia, nanti kalau sudah mendingin hatinya, tentu dia kembali sendiri.” Karena di dalam hatinya Han Ki masih marah kepada Maya, maka dia sengaja membiarkan saja karena dipikirnya, ke mana Maya dapat pergi? Pulau itu tidak berapa luas.
Akan tetapi, setelah malam tiba dan Maya belum juga kembali, mulailah hati Han Ki menjadi gelisah. Juga Siauw Bwee merasa khawatir sekali dan mereka berdua mulai mencari, mengelilingi pulau dari dua jurusan. Akan tetapi mereka bertemu kembali dengan tangan hampa.
“Kucari kemana-mana tidak ada. Suheng, jangan-jangan dia....”
“Tidak bisa pergi dari sini. Perahu kita masih ada. Entah di mana anak nakal itu!”
“Suheng, Suci tidak nakal! Ahh... dia harus dapat ditemukan kembali. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan dia? Suheng, aku khawatir sekali....”
“Tenanglah. Kau persiapkan saja makan malam. Aku akan mencari Maya sampai dapat.”
Han Ki pergi lagi mencari, kini dia tidak menyembunyikan kekhawatiran hatinya dan mulai berteriak-teriak nyaring memanggil nama Maya.
“Mayaaaaa...! Sumoi..., keluarlah...! Di mana engkau...?”
Suara Han Ki bergema di seluruh permukaan pulau karena dia mengerahkan tenaga dari dalam perutnya, mempergunakan khikang yang kuat sekali. Mendengar suara itu Siauw Bwee merasa makin khawatir. Dia melanjutkan persiapannya membuat makan malam untuk mereka bertiga dan dia mendengarkan gema suara Han Ki dari jauh.
“Maya...! Maya...! Maya...!”
Tidak ada orang lain mendengar suara nyaring bergema ini kecuali Siauw Bwee dan tentu saja Maya yang bersembunyi! Maya tersenyum, hatinya puas. Memang dia sejak tadi bersembunyi dan memang itulah keinginan hatinya, bersembunyi tidak mau keluar lagi agar Han Ki susah payah mencarinya, agar suheng-nya dan sumoi-nya cemas memikirkannya, terutama sekali suheng-nya!
Ia tersenyum mendengar suara Han Ki memanggil-manggil namanya dan ia tahu bahwa suheng-nya tentu mencarinya di seluruh permukaan pulau itu. Tentu saja dia tidak bodoh bersembunyi di pulau yang kosong itu. Dia bersembunyi di tempat yang tidak akan disangka-sangka oleh suheng dan sumoi-nya, yaitu di dalam ruangan bawah istana!
Biar dia tahu rasa, demikian pikir Maya. Hatinya gemas sekali kalau mengingat betapa Han Ki membuatkan mainan untuk sumoi-nya dan dalam pertengkaran tadi jelas bahwa suheng-nya membela sumoi-nya, bahkan memarahinya di depan sumoi-nya. Hatinya sakit sekali. Biar sekarang dia mencariku setengah mati, aku tidak akan kembali kepada mereka!
Akan tetapi, ke mana dia dapat pergi? Kalau terus bersembunyi di dalam ruangan bawah itu, tentu suheng dan sumoi-nya akan dapat menemukannya. Maya mencari-cari tempat sembunyi. Melihat arca batu yang tadinya mereka pakai sebagai alat melatih tiam-hoat, yang kini sudah pecah dan hanya tinggal kaki dan pinggangnya saja yang masih berdiri di situ, hatinya makin sakit, teringat ia betapa dalam latihan itu pun ia dimarahi suheng-nya karena membikin pecah arca. Ahh, pecahan arca itu masih berada di situ.
Kalau dia tumpuk di depan rak senjata, tentu merupakan tempat sembunyi yang baik, yaitu di belakang tumpukan, di bawah kolong rak senjata. Berpikir demikian, Maya lalu menghampiri arca yang tinggal setengah badan bagian bawah, kemudian ia memeluk kaki arca itu, mengerahkan tenaga untuk mengangkatnya. Namun arca itu sama sekali tidak dapat ia gerakkan!
Ia berdiri memandang penuh penasaran. Sinkang-nya sudah kuat, masa dia tidak dapat mengangkat batu ini? Menurut ukurannya, biar arca itu masih utuh sekali pun pasti dia akan kuat mengangkatnya. Mengapa kaki arca ini tak dapat dia angkat sedikit pun? Ia menjadi penasaran, kembali membungkuk, memeluk kedua kaki arca dan mengerahkan tenaga, menarik, membetot dan memutar.
Sisa arca itu tidak terangkat akan tetapi tergeser dan betapa heran rasa hati Maya ketika melihat bahwa di bawah landasan kaki arca itu lantainya berlubang. Akan tetapi keheranannya berganti kegirangan dan ia berkata, “Inilah tempat sembunyi yang baik!”
Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memasuki lubang itu dan kembali dia terheran-heran karena di bawah lubang terdapat anak tangga dari batu. Dengan penuh keheranan, lupa akan niatnya bersembunyi sehingga dia tidak menutup lagi kaki arca di atas lubang, dengan hati-hati Maya menuruni anak tangga batu itu, terus ke bawah. Kiranya di bawah arca itu terdapat sebuah lorong rahasia ke bawah tanah!
Dengan hati-hati akan tetapi sedikit pun juga tidak merasa takut, Maya melanjutkan perjalanannya menuruni lorong kecil. Dia dapat menduga bahwa lorong ini memang sengaja dibuat orang, berada di bawah istana dan hal ini selain terbukti dari adanya anak tangga batu, juga karena lorong ini tidaklah gelap, melainkan mendapat penerangan dari atas, yaitu datang dari sinar penerangan melalui lubang-lubang rahasia.
Akan tetapi karena penerangan di malam itu hanya datang dari beberapa buah kamar saja di atas, yaitu kamarnya, kamar Siauw Bwee dan kamar Han Ki, juga di dapur, maka makin ia turun ke bawah makin gelaplah cuaca. Maya berhenti dan duduk mengaso.
Teringatlah ia kembali akan tujuannya semula, yaitu bersembunyi. Ah, tempat sembunyi yang baik dan tidak mungkin Han Ki dapat mencarinya di sini. Ia tersenyum puas, akan tetapi mulai merasa ngeri karena tak lama kemudian tempat itu menjadi gelap sekali. Hal ini karena adalah penerangan di dapur yang letaknya di atas tempat itu dipadamkan oleh Siauw Bwee yang sudah selesai memasak.
“Dia tidak ada!” Kata Han Ki sambil menghela napas panjang, kini penuh kekhawatiran.
“Begini gelap, tentu sukar mencarinya,” kata Siauw Bwee.
“Besok akan kucari lagi sampai dapat. Heran sekali, ke mana perginya anak nakal itu?”
“Dia tidak nakal, Suheng...”
Kembali pemuda itu menghela napas, “Hemm, dia sering kali mengganggumu dan kau selalu melayaninya, akan tetapi sekarang kau selalu membelanya. Kau makanlah, Sumoi.”
“Marilah, Suheng.”
“Makanlah, aku tidak lapar.”
“Suheng mengkhawatirkan keselamatan Suci?”
“Tentu saja. Entah di mana anak itu. Aku bertanggung jawab atas keselamatannya. Dia lenyap, bagaimana aku tidak khawatir?”
“Kalau Suheng tidak mau makan, aku pun tidak makan.”
“Makanlah, Sumoi, aku akan pergi lagi mencarinya.” Han Ki berkelebat ke luar untuk mencari lagi sumoi-nya yang hilang.
Siauw Bwee berdiri menghadapi makanan, alisnya berkerut. “Dia... dia mencintai Suci!” Tiba-tiba ia menjatuhkan diri di atas bangku dan menyandarkan muka berbantal lengan di atas meja, pundaknya bergoyang-goyang. Siauw Bwee menangis!
Semalam itu Siauw Bwee tidak tidur, gelisah di dalam kamarnya. Makanan yang telah dibuatnya dan disediakan di ruangan belakang di atas meja tidak tersentuh. Juga Han Ki tidak tidur, bahkan semalaman itu ia tidak kembali ke istana karena dia terus mencari Maya di seluruh Pulau Es. Beberapa kali mengelilingi pulau sehingga setiap tempat yang mungkin dijadikan tempat sembunyi sumoi-nya itu dijenguknya sampai dua tiga kali. Namun hasilnya sia-sia belaka.
Setelah matahari terbit, ia berdiri termenung di tepi laut. Tiba-tiba ia menepuk kepalanya sendiri. Ah, ke mana Maya dapat pergi? Tidak mungkin dapat meninggalkan pulau tanpa perahu! Tentu berada di pulau dan karena semalam penuh ia mencari di luar istana, tentu sumoi-nya itu bersembunyi di dalam istana! Mengapa dia begini bodoh?
Bergegas ia lari memasuki bangunan besar itu dan mencari-cari. Semua kamar dimasukinya dan akhirnya ia memasuki ruangan bawah, tempat mereka berlatih tiam-hiat-hoat. Begitu masuk, ia mencium sesuatu yang aneh, harum-harum dan amis, juga tampak olehnya lubang di atas lantai dekat kaki arca yang pecah! Ia terbelalak heran, kemudian tanpa ragu-ragu lagi ia merayap memasuki lubang itu.
Maya yang tertidur sambil duduk bersandar dinding batu, terbangun dan melihat betapa tempat yang gelap itu kini menjadi terang. Ia dapat menduga bahwa tentu malam telah terganti pagi karena sinar yang masuk dari atas adalah sinar matahari. Timbul keinginan hatinya untuk melanjutkan penyelidikannya, maka ia terus berjalan turun, menuruni anak tangga batu.
Dari jauh ia sudah mencium bau harum yang aneh di sebelah bawah. Ketika ia tiba di akhir anak tangga batu dan melihat ke depan, ternyata bahwa anak tangga itu berakhir di dalam sebuah ruangan yang lebar dan di atas lantai tampak uap mengebul memenuhi ruangan. Ia tertarik dan mendekat.
Tiba-tiba ia menjerit dan membalikkan tubuh hendak lari naik karena kini matanya yang sudah biasa dapat melihat di balik uap putih itu terdapat banyak sekali ular merah. Puluhan, bahkan ratusan ekor banyaknya! Ular-ular berkulit merah berdesis-desis saling belit dan agaknya ular-ular itu melihat kedatangannya karena ular-ular itu mengangkat kepala memandang kepadanya dengan lidah bergerak-gerak cepat keluar masuk mulut yang kebiruan.
Dengan hati penuh kengerian Maya melangkah hendak lari menaiki anak tangga dan pergi dari tempat yang menyeramkan itu. Akan tetapi tiba-tiba kepalanya terasa pusing, pandang matanya berkunang dan seluruh tubuhnya panas, kakinya gemetar lemas dan akhirnya gadis cilik ini terguling roboh di atas anak tangga.
Ratusan ekor ular merayap perlahan menghampirinya, akan tetapi karena anak tangga itu terbuat dari batu dan licin, maka ular-ular itu tidak dapat merayap naik, baru sampai dekat kaki Maya sudah terpeleset jatuh kembali ke bawah. Akan tetapi uap putih harum amis yang keluar dari mulut mereka makin tebal memenuhi ruangan. Maya tidak melihat kengerian ini karena dia sudah pingsan, rebah terlentang di atas anak tangga.
“Maya...!” Han Ki terkejut dan cemas sekali menyaksikan tubuh Maya menggeletak di atas anak tangga, sedangkan di bawahnya ratusan ekor ular merah berusaha untuk merayap naik.
Cepat pemuda yang banyak pengalaman dan maklum bahwa uap putih harum itu adalah hawa beracun, menahan napas dan menyambar tubuh Maya, dibawanya lari naik menjauhi gumpalan uap. Kemudian ia menurunkan tubuh Maya di atas lantai lorong yang rata, memeriksa nadi pergelangan tangan Maya. Ia bernapas lega. Jalan darah sumoi-nya tidak berubah, pernapasannya biasa, hanya tubuhnya agak panas dan mungkin sumoi-nya pingsan karena kaget. Cepat ia memijit beberapa jalan darah di tengkuk dan pundak Maya.
Maya mengeluh, bergerak perlahan, membuka mata dan napasnya mulai terengah-engah! Hal ini mengherankan hati Han Ki, juga mendatangkan rasa khawatir. Ia memeluk tubuh sumoi-nya, mengangkat kepala gadis cilik itu dan mengguncang-guncangnya.
“Maya-sumoi...!”
Maya memandang kepada Han Ki. Pemuda ini terkejut. Sepasang mata yang indah itu kini mengandung sinar yang amat luar biasa, seolah-olah mengeluarkan api. Wajah yang jelita itu menjadi kemerahan, mengingatkan ia akan wajah kekasihnya dahulu, yaitu puteri Sung Hong Kwi di waktu berlomba asmara dengan dia!
“Maya...”
Han Ki tidak dapat melanjutkan kata-katanya saking kagetnya ketika tiba-tiba Maya merangkul lehernya dengan kedua lengan, merangkul erat-erat dan menyembunyikan muka ke dadanya, didekapkan kuat-kuat sambil berbisik, “Suheng... ah, Suheng...!” Kemudian gadis cilik itu menangis! “Suheng... apakah kau sayang kepadaku...?”
Hati Han Ki menjadi lega karena tangis menandakan bahwa Maya tidak menderita sesuatu, akan tetapi sikap dan pertanyaan Maya membuat ia merasa aneh.
“Tentu saja aku sayang padamu, Sumoi,” jawabnya dengan cepat karena memang tentu saja dia sayang kepada sumoi-nya, baik Maya mau pun Siauw Bwee.
Jawaban ini dijawab dengan rangkulan yang lebih ketat lagi sehingga ia merasa tidak enak sendiri, lalu berusaha melepaskan rangkulan Maya. Akan tetapi, kedua lengan itu merangkul makin ketat dan mulut Maya berbisik, “Peluklah aku erat-erat... Suheng..., jangan lepaskan lagi...!”
“Maya...!” Han Ki berseru kaget dan jantungnya berdebar.
“Suheng... aku cinta padamu, Suheng... ahhh...!” Kini Maya mengangkat mulutnya dan membuat gerakan hendak mencium pipi Han Ki.
Pemuda itu terkejut seperti diserang ular berbisa. Melihat mata yang penuh gairah dari sumoi-nya, ia mengerti bahwa tentu uap putih harum itu yang mengandung racun aneh sehingga mempengaruhi watak Maya yang luar biasa ini, seolah-olah gadis cilik itu berubah menjadi seorang wanita yang penuh nafsu birahi! Cepat ia menotok tubuh sumoi-nya sehingga Maya mengeluh dan terkulai lemas, kemudian ia memondongnya dan membawanya lari naik.
“Suheng..., Suci kenapa...?” Siauw Bwee ternyata mencari suci-nya dan berhasil menemukan lubang rahasia, lalu memasukinya. Kini dia melihat Han Ki berlari naik dari bawah memondong tubuh suci-nya yang terkulai lemas.
“Khu-sumoi, lekas kembali! Di sini berbahaya!” kata Han Ki.
Ucapan ini mengejutkan Siauw Bwee dan bersama-sama mereka lari naik dan keluar dari lubang di lantai ruangan bawah. Karena lubang itu kecil, maka Siauw Bwee yang keluar lebih dahulu membantu tubuh Maya yang didorong keluar dari bawah oleh Han Ki. Kemudian Han Ki memondong tubuh itu dibawa ke dalam kamar Maya yang berada di sebelah kamar Siauw Bwee.
“Di bawah banyak ular merah beracun. Agaknya dia terkena racun uap putih yang keluar dari mulut ular-ular itu,” kata Han Ki sambil menotok beberapa jalan darah di tubuh Maya. Gadis itu segera tertidur pulas. “Dia perlu beristirahat, biarkan dia tidur agar hawa beracun lenyap dari tubuhnya.”
Sehari semalam Maya tidur pulas, bahkan dia tidak terbangun ketika Siauw Bwee menuangkan air obat yang dibuat oleh Han Ki. Setelah memberi obat, Han Ki duduk bersila dan menempelkan telapak tangannya di punggung Maya, menggunakan sinkang-nya untuk ‘membersihkan’ tubuh sumoi-nya dari pengaruh hawa beracun. Pada keesokan harinya Maya terbangun dan ia bangkit duduk, mengusap-usap matanya dan memandang kepada Siauw Bwee.
“Ular... banyak sekali... ular merah...!” katanya gugup.
Siauw Bwee merangkulnya dengan hati lega. “Engkau sudah aman, Suci. Suheng menyelamatkanmu.”
“Aku di sini, Sumoi.” Han Ki memasuki kamar, menekan perasaannya agar guncangan hatinya tidak terlihat di wajahnya. Dia pun menekan kemarahannya atas perbuatan Maya yang membingungkan dia dan Siauw Bwee semalam suntuk.
“Ahhh, kini aku teringat... lubang rahasia di bawah arca... lorong di bawah tanah... dan ular-ular merah! Hiiih, menjijikkan! Suheng, kau maafkan aku, ya?”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi. Aku girang bahwa engkau selamat. Ular-ular itu berbahaya sekali, entah bagaimana bisa berada di bawah sana. Harus dibasmi.”
“Aku ikut, Suheng!” Siauw Bwee berkata penuh semangat.
“Aku juga ikut!” kata Maya sambil melompat turun dari pembaringan. Han Ki tersenyum. Maya telah pulih kembali, telah memperlihatkan sikap tidak mau mengalah seperti biasa.
“Memang aku akan mengajak kalian, akan tetapi kita makan dulu. Siapakah yang sudah makan malam tadi?”
“Aku belum!” jawab Maya, mendadak merasa betapa perutnya lapar sekali. “Bukan hanya semalam, sudah dua hari dua malam aku tidak makan!”
“Aku juga belum sama sekali!” Siauw Bwee berkata.
“Aihh! Mengapa Sumoi?” Maya bertanya.
“Dia gelisah memikirkanmu, mana bisa makan?” Han Ki berkata.
Maya memandang Siauw Bwee, lalu merangkul dan mencium pipi sumoi-nya. Melihat ini Han Ki berdebar, teringat akan perbuatan Maya seperti itu terhadapnya ketika Maya dikuasai racun ular.
“Sumoi, kau baik sekali! Aku sungguh sayang kepadamu, Sumoi!”
Siauw Bwee balas memeluk. “Maka jangan kau pergi lagi, Suci. Aku tidak bisa makan dan tidur kalau kau pergi,” jawab Siauw Bwee.
Tiba-tiba Maya menoleh kepada Han Ki. “Dan engkau pun tidak makan tidak tidur, Suheng?”
Jantung Han Ki berdebar. Ia seperti melihat betapa sinar mata Maya ini berbeda dari biasanya, bukan pandang mata kanak-kanak lagi, melainkan pandang mata seorang gadis yang sudah mulai dewasa, pandang mata seorang wanita! Ia menekan debar jantungnya dan memasang muka cemberut, menjawab, “Aku setengah mati mencarimu, mana ingat makan dan tidur?”
“Aihh! Aku membikin susah kalian! Maafkan saja. Biar kumasakkan yang enak untuk kalian!” Maya berlari ke dapur.
Siauw Bwee tertawa, menoleh kepada Han Ki dan berkata, “Lihat! Suci begitu baik, mana bisa dibilang nakal?” Dan ia pun lari mengejar untuk membantu Maya mempersiapkan makanan.
Setelah makan, tiga orang itu lalu bersama memasuki lorong rahasia di bawah tanah. Tadinya Siauw Bwee dan Maya membawa sebatang pedang karena mereka bermaksud untuk membunuh ular-ular berbahaya itu. Akan tetapi mereka dilarang oleh Han Ki yang berkata,
“Ular-ular itu berbahaya sekali. Baru uap yang keluar dari mulut mereka saja sudah amat berbahaya. Tidak mungkin kita dapat mendekati binatang-blnatang itu untuk membunuhnya.”
“Habis, bagaimana baiknya, Suheng?” tanya Maya yang masih belum tahu bahwa dia nyaris menjadi korban uap beracun. Bahkan sesungguhnya, akibat racun ular merah itu masih belum lenyap sama sekali dari tubuhnya, yang membuat ia kini merasa ada sesuatu yang aneh dalam hatinya terhadap Han Ki, yang mendatangkan gairah dan rangsangan birahi namun belum dimengerti benar oleh hatinya yang masih belum matang.
“Aku akan menggunakan api. Tidak mungkin ular-ular itu berada di sana tadinya. Suhu tentu tidak akan membiarkan ular-ular berbahaya itu memenuhi ruangan. Tentu ular-ular itu datang dari lain tempat, maka biarlah kuusir mereka itu dari ruangan bawah tanah. Kalau tidak mau pergi, binatang-binatang itu akan kubasmi dengan api.”
Selama tinggal di Pulau Es, Han Ki beberapa kali pergi menggunakan perahu untuk mencari bahan makanan, binatang buruan, buah-buahan dan sayur-sayuran, juga ranting-ranting kering untuk bahan bakar dari pulau-pulau yang berdekatan. Kini ia membawa ranting-ranting dan daun kering serta menyalakan obor memasuki lorong rahasia itu bersama kedua orang sumoi-nya yang juga membawa ranting-ranting kering.
Dengan hati-hati mereka menuruni anak tangga, dan dari atas tampaklah oleh mereka ular-ular itu dengan uap yang harum.
“Kita nyalakan ranting-ranting dan melemparkan ke bawah. Akan tetapi hati-hatilah, kalau mendekat ke sana harus menahan napas. Jika sudah tidak tertahan, segera naik lagi dan bernapas di tempat yang tak ada uap putihnya. Uap itu berbahaya sekali!” Han Ki berkata, “Akan tetapi, lemparkan ranting-ranting berapi di dekat anak tangga agar jangan sampai menimbulkan kebakaran. Kulihat di sudut ruangan itu ada lemari dan meja, jangan sampai barang-barang itu terbakar. Siapa tahu kalau-kalau Suhu menyimpan sesuatu di sana.”
Tiga orang itu membakar ranting dan melemparkan ke bawah. Melihat menyambarnya ranting-ranting berapi itu, beberapa ekor ular lalu menerjang dan tentu saja mereka bertemu dengan api dan seketika mereka berkelojotan. Han Ki dan kedua orang sumoi-nya melemparkan lagi beberapa batang ranting berapi. Kembali ular-ular itu menyerang sambil mendesis-desis dan begitu bertemu api, binatang-binatang itu berkelojotan dan menyerang kawan sendiri membabi buta. Akhirnya mereka itu agaknya baru tahu bahwa benda-benda bernyala itu berbahaya. Mulailah ular-ular itu menjadi panik, bergerak saling terjang, saling belit dan berlomba lari memasuki sebuah lubang yang terdapat di sudut ruangan itu.
Dua tiga kali Maya dan Siauw Bwee meloncat naik ke atas menjauhi uap beracun untuk bernapas, sedangkan Han Ki yang lebih kuat masih bertahan terus.
“Lihat, mereka lari dari sebuah lubang. Sudah kuduga, tentu ada lubangnya yang menembus ruangan itu. Mereka menggunakan ruangan itu sebagai sarang!”
Dengan hati penuh rasa jijik dan ngeri Maya dan Siauw Bwee melihat ular-ular itu bergerak pergi dan tak lama kemudian, di ruangan itu hanya tinggal belasan ekor ular yang mati dan ada yang masih berkelojotan. Uap putih yang tadi memenuhi ruangan bawah itu kini telah lenyap pula, keluar dari lubang-lubang di atas dari mana sinar matahari menerobos masuk. Agaknya lubang-tubang di atas itu memang sengaja dibuat untuk lubang hawa dan lubang memasukkan sinar matahari.
“Heii, di lemari itu ada kitab-kitab!” Maya berseru dan hendak berlari turun.
Akan tetapi, Han Ki memegang lengannya mencegah. “Hati-hati, Sumoi. Biar pun ular-ular telah pergi dan uap telah lenyap, tempat masih amat berbahaya, penuh racun bekas ular. Biarkan aku saja yang turun membersihkan tempat itu dan memeriksa kitab-kitab.”
Setelah berkata demikian, dengan hati-hati Han Ki menuruni anak tangga dan menggunakan kakinya melempar-lemparkan bangkai dan tubuh ular yang berkelojotan keluar dari lubang kecil di sudut ruangan. Kemudian pemuda ini mencabut pedang, memotong dinding batu yang cukup besar lalu menggunakan sebongkah batu itu menutupi lubang dari mana ular-ular tadi meninggalkan ruangan.
Dengan pengerahan tenaganya, ia mendorongkan batu sebesar lubang itu lebih dulu sebagai penyumbat, baru meletakkan batu besar itu di luar lubang. Kemudian ia menghampiri lemari yang daun pintunya terbuka separuh memperlihatkan beberapa jilid kitab tua. Akan tetapi baru saja tiba di depan lemari, ia melihat bahwa lemari itu tadinya tertutup dan ‘disegel’ dengan sepotong kain sutera yang ada tulisannya.
Agaknya karena tua dan lapuk, terutama sekali karena bisa ular, kain itu robek dan daun pintunya terbuka separuh. Han Ki mengenal tulisan di atas kain, yaitu tulisan tangan suhu-nya dengan huruf-huruf kembang yang amat rapi, maka dia tidak berani berlaku lancang. Dipegangnya kain sutera itu, disambungkannya kembali baru dibaca. Kagetlah ia ketika membaca tulisan suhu-nya itu!
‘Ilmu-ilmu silat dalam kitab-kitab ini amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka, tidak patut dipelajari pembela-pembela kebenaran dan keadilan.’
Membaca tulisan suhu-nya itu, Han Ki cepat menutupkan kembali daun pintu lemari, kemudian ia meloncat naik menghampiri kedua orang sumoi-nya yang memandang dengan heran.
“Suheng, kitab-kitab apakah itu?” Siauw Bwee bertanya tidak sabar. Seperti juga suci-nya, dia selalu ingin sekali melihat dan mempelajari ilmu-ilmu baru dari kitab-kitab yang berada di istana itu.
“Kenapa tidak diambil, bahkan tidak kau periksa isinya, Suheng?” Maya juga bertanya.
“Mari kita kembali ke atas, nanti kuceritakan,” kata Han Ki dan kedua orang sumoi-nya tidak banyak bertanya lagi karena melihat wajah serius suheng mereka. Setelah tiba di atas, barulah Han Ki menarik napas panjang dan berkata. “Memang ruangan di bawah itu hanya pantas menjadi sarang ular. Kitab-kitab itu ternyata lebih berbahaya dari pada sekumpulan ular berbisa itu.”
“Ah, kitab-kitab apakah itu, Suheng?” tanya Maya.
“Kitab-kitab itu sengaja disembunyikan oleh Siansu agar jangan dibaca orang, dan lemari itu tadinya dipasangi tulisan Suhu yang melarang orang membaca kitab-kitab yang katanya amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka dan tidak patut dipelajari oleh orang-orang gagah pembela kebenaran dan keadilan.”
“Orang buangan di Pulau Neraka? Siapakah itu, Suheng?” Siauw Bwee bertanya.
“Aku sendiri pun tidak tahu jelas, Akan tetapi ada disebut sedikit di dalam kitab yang kubaca di tempat keramat penghuni Pulau Nelayan. Ketika kerajaan kecil di Pulau Es ini masih berdiri, yang istananya kini kita tempati, terdapat orang-orang yang melanggar peraturan dan dihukum buang ke sebuah pulau yang merupakan neraka dunia, yang amat sukar, bahkan tak mungkin orang hidup di sana, disebut Pulau Neraka. Tentu hanya orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan keji saja yang dibuang di sana. Melihat betapa rakyat Pulau Es itu saja sudah amat lihai seperti kita buktikan pada keturunan mereka di Pulau Nelayan, maka para penjahatnya amat lihai. Kitab-kitab dalam lemari itu adalah ciptaan orang-orang yang menjadi tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka, tentu saja amat lihai akan tetapi keji bukan main. Setelah Suhu kita sendiri melarang, perlu apa kita melihat kitab-kitab keji seperti itu?”
Sekali ini kedua orang gadis remaja itu tidak membantah. Akan tetapi diam-diam Maya merasa penasaran dan tidak setuju. Apa sih kejinya ilmu? Tergantung kepada orangnya! Akan tetapi ia takut untuk membantah, apa lagi mengingat bahwa terdapat larangan oleh suhu-nya sendiri.
Semenjak peristiwa itu, Maya tidak banyak rewel seperti biasa akan tetapi ada perubahan yang membuat hati Han Ki makin khawatir, yaitu bahwa sering kali pandang mata Maya kepadanya mengingatkan ia akan pandang mata Puteri Sung Hong Kwi, kekasihnya, memandangnya penuh cinta kasih! Dia tidak tahu bahwa diam-diam, sesuai dengan wataknya yang halus, Siauw Bwee juga sering kali memandangnya seperti itu.
Cinta kasih bersemi di dalam lubuk hati kedua orang gadis remaja itu terhadap suheng mereka. Dan perlombaan di antara mereka dahulu untuk menarik perhatian suheng mereka, kini diam-diam mereka melanjutkan dengan perlombaan mencinta pemuda itu!
Hal ini terjadi dengan diam-diam karena kedua orang gadis yang berangkat dewasa itu mempunyai perasaan kewanitaan yang halus, yang membuat mereka saling mengerti bahwa mereka mencinta Han Ki, bukan kasih sayang seorang sumoi terhadap suheng-nya, melainkan kasih sayang seorang wanita terhadap seorang pria.
Biar pun keduanya tidak pernah membuka rahasia hati dari mulut mereka, namun keduanya saling mengerti. Hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Han Ki, dan masih ada lagi hal yang tidak diketahui Han Ki, yaitu bahwa diam-diam Maya telah turun ke dalam ruangan rahasia itu dan diam-diam membuka dan membaca kitab-kitab ciptaan tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka!
Yang diketahui oleh Han Ki hanyalah bahwa kedua orang sumoi-nya itu belajar ilmu dengan amat tekunnya sehingga mereka memperoleh kemajuan pesat dan semua ini membuat hatinya gembira sekali karena ia merasa bahwa dia telah memenuhi tugas yang dibebankan suhu-nya dengan baik.
Waktu berjalan dengan amat cepatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka bertiga telah tinggal di atas Pulau Es selama lima tahun. Kini Maya telah menjadi seorang dara jelita berusia delapan belas tahun sedangkan Siauw Bwee menjadi seorang gadis cantik berusia tujuh belas tahun. Biar pun mereka bertiga tinggal di atas pulau yang kosong, namun untuk kepentingan mereka, Han Ki pergi menggunakan perahunya membeli bahan-bahan pakaian untuk mereka sehingga mereka selalu dapat berpakaian dengan baik.
Seperti telah dapat diduga sebelumnya oleh Han Ki, setelah kini kepandaian kedua orang sumoi-nya itu menjadi matang, Siauw Bwee memiliki ginkang yang luar biasa sekali, yang memungkinkannya bergerak seperti seekor burung walet dan pandai pula menggerakkan tenaga sinkang-nya menjadi tenaga halus yang memungkinkan dara ini mempergunakan telapak tangannya menghadapi senjata lawan yang keras dan tajam.
Di lain pihak, Maya juga memperoleh kemajuan luar biasa. Tenaga sinkang-nya mengagumkan, kuat sekali, terutama sekali tenaga Yang-kang sehingga kalau Maya memainkan ilmu silat yang sifatnya panas, dari kedua telapak tangannya menyambar hawa yang panas seperti api membara! Juga Maya dapat bersilat dengan gerakan indah seperti menari-nari sehingga dara yang memiliki kecantikan luar biasa dan khas Khitan itu tampak seperti bidadari kahyangan menari-nari.
Han Ki sendiri memperoleh kemajuan yang sukar diukur lagi. Dia menjadi seorang pendekar sakti yang sukar dicari tandingnya di waktu itu. Usianya sudah tiga puluh tahun, namun sikapnya sudah seperti seorang tua, pendiam dan sering kali bersemedhi. Di samping kepandaian silatnya, juga kepandaiannya mengukir batu memperoleh kemajuan karena sering ia latih. Dan pada waktu kedua orang sumoi-nya telah menjadi dara-dara dewasa, Han Ki mencari tiga bongkah batu karang yang seperti batu pualam putih dan amat indah. Mulailah ia mengukir batu-batu itu, membuat tiga buah arca mereka dengan penuh ketelitian dan hati-hati.
******************
"Jangan tinggalkan aku... ohhh, Koko... jangan tinggalkan aku..., bawalah aku pergi...!" Rintihan ini keluar dari mulut seorang wanita muda, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita, yang pakaiannya setengah telanjang dan dicobanya membetulkan letak pakaian ketika ia turun dari pembaringan menghampiri seorang laki-laki yang sedang berkemas membetulkan pakaian di dekat pintu kamar.
Kamar itu mewah dan indah, kamar seorang puteri bangsawan atau hartawan, bersih dan harum semerbak. Dara itu amat cantik, kulit muka dan lengannya putih seperti salju, halus seperti sutera. Rambutnya terurai lepas, hitam dan panjang agak berombak, berbau harum sari bunga. Pakaian yang dipakainya, yang sedang dibetulkan letaknya, juga terbuat dari sutera halus dan mahal. Di atas meja dekat pembaringan tampak hiasan-hiasan baju dan hiasan-hiasan rambut dari pada emas dan batu kumala, serba indah, dan mahal.
Mudah diduga bahwa dara berusia delapan belas tahun ini adalah puteri seorang bangsawan atau seorang hartawan. Ada pun pria yang sedang membetulkan pakaian dengan sikap tidak acuh itu adalah seorang laki-laki yang tampan dan sikapnya gagah perkasa, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya juga indah dan pesolek sekali sikapnya ketika membetulkan baju dan membereskan rambutnya.
“Aku harus pergi sekarang juga dan engkau tidak boleh ikut, bahkan tidak boleh mengingat aku lagi. Pertemuan kita hanya sekali ini dan untuk terakhir kali, sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi di antara kita.”
Dara itu memandang terbelalak, seolah-olah tidak percaya kepada telinganya sendiri. Benarkah ucapan yang tadi penuh rayuan, yang manis dan sedap didengar, yang membahagiakan hatinya semalam suntuk, keluar dari mulut laki-laki ini pula yang sekarang bicara dengan sikap demikian dingin?
Ah, tidak mungkin! Dara itu lari ke depan dan menubruk laki-laki itu, merangkul pinggangnya dari belakang dan menjatuhkan diri berlutut, “Koko..., jangan tinggalkan aku..., ahhh, tidakkah engkau mencintaku? Bukankah tadi telah kau bisikkan kata-kata cinta kepadaku? Mungkinkah orang seperti engkau akan begitu tega meninggalkan aku? Ahh, Koko!”
“Hemm, cinta telah mati di hatiku. Mati karena cinta palsu perempuan-perempuan sepertimu.”
“Koko... aku... aku cinta padamu... uhu-uhu, dengan seluruh jiwa ragaku...!” Dara itu menangis.
“Engkau? Perempuan? Mencinta dengan seluruh jiwa raga? Ha-ha-ha!” Laki-laki itu tertawa, akan tetapi suara tawanya mengandung kepahitan.
“Koko..., sudah kubuktikan tadi cinta kasihku kepadamu. Bukankah sudah kuberikan kepadamu tubuhku, cintaku, segala-galanya...?”
“Ha-ha-ha, itukah buktinya cinta? Seperti semua perempuan yang telah kukenal. Bagimu, bukti cinta adalah penyerahan tubuhmu? Ha-ha-ha, pergilah, dan biarkan aku pergi!
”Tidak...! Tidak...! Koko, jangan tinggalkan aku. Aku cinta padamu, aku mau meninggalkan semua ini, aku mau ikut bersamamu, ke mana pun kau pergi!”
Tiba-tiba laki-laki itu menggerakkan kakinya ke belakang dan tubuh dara itu terlempar ke atas pembaringan. Dia terbanting ringan dan gerakan laki-laki itu cukup menjadi bukti akan kelihaiannya. Si Dara terbanting telentang di atas pembaringan dan menangis terisak-isak memandang laki-laki itu yang perlahan menoleh sambil berkata,
“Tidak ada cinta lagi bagiku! Aku tidak percaya akan cinta. Yang ada hanyalah nafsu, kebutuhan tubuh. Yang kau berikan kepadaku tadi juga nafsu! Kita saling berjumpa, saling memberi dan meminta untuk mernuaskan nafsu, dan habis perkara. Tidak ada bakas-bekasnya lagi. Engkau tahu aku siapa?”
“Engkau seorang pendekar yang perkasa, yang kucinta...!”
“Ha-ha-ha! Sama sekali bukan, Nona manis. Aku adalah seorang yang dikutuk banyak orang, yang dianggap sejahat-jahatnya. Aku dijuluki Jai-hwa-sian! Engkau tahu artinya? Jai-hwa-sian Si Dewa Pemerkosa Wanita! Entah sudah berapa banyak bunga kupetik, akan tetapi bukan kupatahkan tangkainya melainkan kupetik atas kerelaan si bunga sendiri. Ha-ha-ha! Aku penjahat besar Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga) dan engkau seorang di antara ratusan orang korbanku. Mau ikut? Mencintaku? Ha-ha, menggelikan sekali. Selamat tinggal, Nona manis. Apa yang terjadi semalam itu hanya menjadi kenangan manis.”
Sekali berkelebat, laki-laki itu telah lenyap dari dalam kamar yang mewah. Hanya bayangan saja tampak melayang ke luar dari jendela kamar yang seketika menjadi sunyi senyap, kemudian disusul dengan isak tangis tertahan dara itu. Terbayanglah semua yang terjadi oleh dara jelita itu.....
Tiga hari yang lalu, ketika dia bersama ayahnya berpesiar naik perahu di telaga, perahunya bertumbukan dengan perahu lain dan terguling. Untung dari perahu yang menumbuknya itu meloncat ke luar seorang pemuda tampan dan gagah yang menyambar dia dan ayahnya, bahkan membalikkan perahu sekaligus, dan menurunkan mereka di atas perahu. Ayahnya seorang kaya raya dan tentu saja para pelayan yang berada di perahu lain cepat memberi pertolongan. Akan tetapi andai kata tidak ada pemuda itu, agaknya ayahnya dan dia akan mengalami kekagetan dan basah kuyup sebelum tertolong.
Setelah menolong, pemuda itu tidak menanti ucapan terima kasih, langsung meloncat ke perahunya sendiri yang didayung pergi dengan cepat, tidak mempedulikan teriakan ayahnya. Akan tetapi ketika tadi menolongnya, menyambar tubuhnya, ia mendengar bisikan pemuda itu di telinganya, “Malam nanti aku menerima terima kasihmu di dalam kamarmu, Nona manis.”
Sehari itu Si Dara gelisah, akan tetapi kadang-kadang kedua pipinya menjadi merah dan jantungnya berdebar tidak karuan kalau ia terbayang akan wajah yang tampan, bentuk tubuh yang gagah dan sikap yang halus dari pemuda itu. Dan dia tidak berani menceritakan tentang bisikan itu kepada orang tuanya. Benarkah pemuda itu membisikkan kata-kata seperti itu? Ah, tidak mungkin! Betapa pun juga, hatinya menjadi gelisah dan malam itu ia mengunci semua jendela dan pintu kamarnya.
Setelah merebahkan diri dan menjelang malam baru pulas dengan hati lega akan tetapi juga kecewa, lega karena yang dlkhawatirkan tidak terjadi akan tetapi juga kecewa mengapa tidak terjadi (wanita memang aneh), tertidurlah Si Dara manis.
Akan tetapi, belum lama pulas ia terbangun dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda yang dibayangkan setiap detik sebelum pulas tadi kini telah rebah di sampingnya! Dia memang ada mengharapkan hal ini, akan tetapi setelah benar-benar terjadi ia kaget dan takut, lalu membuka mulut hendak menjerit.
Akan tetapi sekali bergerak, jari tangan pemuda itu telah menotok jalan darah di lehernya membuat dia tak dapat mengeluarkan suara. Kemudian dengan halus dan menarik pemuda itu mencumbu rayu, membujuk-bujuk dengan halus sehingga ketika totokannya dibebaskan, dara ini sama sekali tidak menjerit atau melawan. Jangankan melawan, bahkan dia membalas setiap rayuan laki-laki yang telah menjatuhkan hatinya itu. Dia jatuh dan mabok, menyerahkan segalanya dengan hati rela karena dia merasa yakin bahwa pemuda itu mencintanya, maka tentu akan meminangnya.
“Aahhh...!” Dara itu menangis makin sedih ketika teringat akan itu semua. Kiranya dia menjadi korban seorang laki-laki yang keji! Dan tidak lama kemudian, terdengar suara aneh dari dalam kamar itu, seperti suara leher dicekik, suara yang akan menggegerkan seisi rumah pada esok harinya karena suara itu keluar dari kerongkongan dara yang tadi menggantung diri di kamarnya!
Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan, karena patah hati sebagai akibat terputusnya cinta kasihnya dengan Ciok Kun Hwa, kemudian ditambah lagi dengan peristiwa bersama ibu tirinya sehingga dia diusir oleh ayahnya sendlri, Suma Hoat menjadi seorang laki-laki yang suka mempermainkan cinta wanita.
Mula-mula dia hanya ingin membalaskan sakit hatinya kepada wanita, akan tetapi lama-kelamaan hal itu menjadi kebiasaan dan menjadi penyakit sehingga dia berubah menjadi seorang yang selalu mencari korban, seperti seekor burung elang yang selalu kelaparan mengintai dari angkasa mencari anak ayam! Karena ilmu kepandaiannya tinggi dan tidak pernah ia dapat ditangkap, bahkan banyak orang gagah yang roboh ketika berusaha menangkapnya, Suma Hoat diberi julukan Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga), bahkan nama aslinya dilupakan orang.
Nona hartawan yang menggantung diri di kamarnya itu adalah korban yang entah ke berapa ratus. Begitu keluar dari kamar, Jai-hwa-sian tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan diri dara yang telah menjadi korbannya. Dia tahu bahwa banyak di antara mereka yang membunuh diri untuk lari dari aib dan malu, ada pula yang diam-diam merahasiakan peristiwa satu malam itu, akan tetapi dia tidak peduli dan juga tidak ingin tahu. Begitu keluar dari kamar, dianggapnya bahwa di antara dia dan korbannya sudah tidak ada sangkut-paut lagi, tidak ada hubungan atau urusan apa-apa lagi.
Sudah lebih dari lima tahun ia meninggalkan kota raja, meninggalkan orang tuanya dan selama perantauannya di dunia kang-ouw, ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri sepak terjang orang-orang gagah dan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang golongan hitam. Biar pun dia sendiri tidak berani menganggap dirinya sebagai orang gagah atau pendekar budiman, namun di lubuk hatinya ia selalu merasa kagum kepada para pendekar itu dan muak menyaksikan kelakuan tokoh-tokoh dunia hitam.
Mulailah terbuka mata hatinya betapa ayahnya selama ini melakukan perbuatan-perbuatan sewenang-wenang dan mulailah ia menaruh penghargaan kepada Menteri Kam, paman tuanya yang amat ia takuti itu. Dan ia berjanji di dalam hatinya untuk berusaha menjadi atau sedikitnya mencontoh perbuatan-perbuatan para orang gagah. Karena itu pemuda ini selalu mengulurkan tangan kepada pihak yang tertindas dan menentang golongan dunia hitam, sungguh pun ia tidak dapat meninggalkan kesukaannya merayu wanita-wanita untuk menjadi korbannya, bahkan kalau perlu menggunakan kekerasan!
Ia maklum bahwa perbuatannya itu tidak baik, akan tetapi dia sudah mencandu dan tidak dapat menghentikannya, terutama sekali kalau ia ingat akan sakit hati dan patah hatinya. Inilah sebabnya, di samping kebiasaannya memperkosa wanita, ia pun sering kali menolong orang-orang lemah tertindas sehingga dia di samping julukan Pemetik Bunga (Pemerkosa) juga di juluki Dewa!
Pada masa itu terjadilah perubahan besar. Setelah Kerajaan Khitan dihancurkan, terutama sekali oleh Kerajaan Yucen yang menjadi makin kuat, kemudian malah barisan Mongol ikut pula menyerbu, diam-diam dibantu oleh pasukan-pasukan Sung yang berada dalam kekuasaan Jenderal Suma Kiat, maka Kerajaan Yucen boleh dibilang tidak ada lagi saingannya di daerah utara di luar tembok besar. Benar bahwa bangsa Mongol sudah mulai memperlihatkan kekuatannya, namun bangsa ini sedang membangun dan menyusun kekuatan mengatasi bentrokan-bentrokan di dalam, di antara bangsa sendiri. Maka bangsa Yucen menjadi makin kuat sehingga bangsa ini mendirikan sebuah wangsa baru yang disebut Wangsa Cin.
Namun segera menjadi kenyataan pahit bagi Kerajaan Sung bahwa Kerajaan Cin yang baru ini ternyata lebih bengis dan sewenang-wenang dari pada Kerajaan Khitan yang sudah runtuh. Biar pun dahulu Kerajaan Khitan juga merupakan kerajaan kuat yang selalu menjadi ancaman untuk Kerajaan Sung, dan setiap tahun Kerajaan Sung mengirim upeti sebagai tanda persahabatan, namun Raja Talibu dari Kerajaan Khitan yang masih ingat akan darahnya yang separuh darah Han tidak terlalu mendesak dan selalu memperlihatkan sikap yang bersahabat dan saling menghormat. Kini bangsa Cin yang tahu akan kelemahan Sung menuntut upeti yang lebih besar dan yang sifatnya memaksa, seolah-olah upeti harus dlberikan sebagai tanda pengakuan kebesaran kerajaan baru Cin.
Kalau dahulu bangsa Khitan tidak pernah mengganggu Kerajaan Sung, kini Kerajaan Cin mulai memperlihatkan keserakahannya, bersikap menghina kepada bangsa Han, bahkan sedikit demi sedikit daerah-daerah di utara yang termasuk wilayah Sung dirampas dengan kekerasan. Kerajaan Sung tak dapat mempertahankan daerah ini dan selalu didesak mundur ke selatan.
Melihat keadaan ini, bangsa Han pada umumnya, terutama sekali kaum patriot dan orang gagah, menjadi cemas dan kecewa sekali. Tentu saja kekecewaan ini terutama mereka tujukan kepada pemerintah Sung yang amat lemah. Kaisar telah berada dalam cengkeraman para pembesar tinggi yang korup. Hidup Kaisar dan keluarganya terlalu mewah, yang diperhatikan hanyalah kesenangan-kesenangan pribadi saja, seolah-olah tidak mempedulikan betapa rakyatnya di sebelah utara ditindas, dirampok, ditawan dan dipaksa oleh bangsa Yucen yang kini mempunyai Kerajaan Cin yang makin kuat. Pesta pora, bersenang-senang, melakukan pemilihan dara-dara muda jelita setiap bulan memperbanyak isi haremnya dengan dara-dara cantik, membuang-buang kakayaan semena-mena tanpa mempedulikan bahwa semua itu adalah hasil keringat rakyat jelata, hanya inilah yang dikerjakan oleh kaisar dan keluarganya setiap saat.
Di luar istana, pembesar-pembesar korup berbuat sekehendak hatinya, merajalela tanpa ada pengawasan. Masing-masing mempunyai kekuasaan seperti raja-raja kecil di daerah masing-masing, mempergunakan kekuasannya untuk melakukan apa saja demi kesenangan diri pribadi, memeras, memaksa, merampas dan mengadakan peraturan-peraturan yang menekan bawahan. Setiap protes dan nasehat dianggap melawan kekuasaan dan terjadilah penangkapan-penangkapan dan hukuman-hukuman serta pembunuhan-pembunuhan sewenang-wenang.
Di sebelah dalam istana sendiri, Kaisar hanya seperti boneka hidup yang tenggelam dalam pelukan dara-dara muda jelita, dalam arak-arak wangi dan hidangan serba lezat, mabok oleh tubuh ramping berlenggak-lenggok menari, terbuai suara musik dan nyanyian-nyanyian merdu, dan terlena oleh bisik dan bujuk rayu kaum penjilat. Kekuasaan yang sesungguhnya tidak lagi terletak di tangan Kaisar, melainkan dipegang oleh para pembesar thaikam (orang kebiri) melalui lidah dan tubuh menggairahkan para selir.
Sedemikian besar kekuasaan dan pengaruh para thaikam dan selir muda itu sehingga boleh dibilang seluruh urusan kerajaan merekalah yang memutuskannya. Urusan pengangkatan pembesar-pembesar, baik sipil mau pun militer tergantung kepada mereka. Mereka mengajukan usul dan Kaisar menelannya begitu saja. Karena ini, timbullah sistim konco-isme, keluarga-isme, dan sogok-isme, sogokan yang berupa apa saja, benda mati mau pun benda hidup, benda mati berupa emas permata dan sutera-sutera halus, benda hidup berupa dara-dara jelita!
Keadaan semacam ini tentu saja mengakibatkan makin lemahnya Kerajaan Sung. Para tokoh kang-ouw, para partai-partai persilatan dan perkumpulan-perkumpulan orang gagah merasa marah sekali dan kecewa bukan main sehingga mereka mulai membenci kerajaan yang dipimpin oleh orang-orang lalim itu. Mereka ini lalu terpecah-pecah, mendukung dan membantu pembesar-pembesar dan raja-raja muda yang menguasai daerah-daerah, dan yang mulai memberontak dan tidak mengakui kedaulatan pemerintah Kerajaan Sung pusat.
Yang paling dibenci oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan oleh pembesar-pembesar daerah, di antara para pembesar daerah, di antara pembesar pusat yang korup, adalah Jenderal Suma Kiat. Kebencian mereka memuncak ketika pera pembesar daerah ini mendengar akan perbuatan Suma Kiat terhadap Menteri Kam yang mereka hormati, mereka percaya sepenuhnya sebagai penegak keadilan dan satu-satunya pembesar yang paling berani dalam menentang perbuatan lalim para thaikam dan kaisar sendiri. Bukan hanya para pembesar daerah yang membenci Suma Kiat, juga terutama sekali para tokoh kang-ouw yang menaruh hormat kepada putera Suling Emas itu menjadi sakit hati dan berusaha untuk membalas kematian Menteri Kam.
Mulailah terjadi kesimpang-siuran dan bentrokan-bentrokan ketika para pembesar daerah ini berkuasa dan berdaulat di daerah masing-masing dan mulailah penghidupan para pembesar kerajaan Sung menjadi tidak aman, setiap saat mereka terancam oleh pembunuhan-pembunuhan yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw dan juga mata-mata para pembesar daerah.
Hampir semua partai persilatan mengadakan aksi anti Kaisar dan anti Kerajaan Sung, kecuali Siauw-lim-pai. Pada waktu itu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai adalah seorang hwesio tua yang amat tinggi ilmunya, yaitu Kian Ti Hosiang. Ketika para muridnya menyatakan pendapat menghadapi kekacauan di Kerajaan Sung, ketua mereka, Kian Ti Hosiang merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada sambil berkata,
“Omitohud.... Segala peristiwa telah dikehendaki Yang Maha Kuasa dan menjadi akibat dari pada sepak terjang manusia yang selalu dikuasai nafsu pribadinya! Kita adalah orang-orang beragama yang bertugas menyebarkan agama, ada sangkut-paut apakah dengan urusan kerajaan? Siapa pun yang menjadi pembesar, bagi kita sama saja, mereka adalah manusia-manusia yang belum sadar dan sudah menjadi kewajiban kita untuk memberi penerangan. Mengikuti perputaran dan pertentangan kerajaan, berarti terjatuh ke dalam api permusuhan dan hal ini sungguh bertentangan dengan sifat kita. Tidak, Siauw-lim-pai tidak boleh terbawa-bawa dan kalian semua pinceng larang untuk mencampuri pertentangan di antara pembesar-pembesar daerah, orang-orang kangouw dan pemerintah pusat.”
“Maaf, Supek, teecu sekalian tentu saja mentaati pesan Supek dan semua nasehat Supek benar belaka,” kata seorang hwesio yang menjadi murid kepala, yaitu Ceng San Hwesio yang dianggap sebagai seorang hwesio yang paling ‘maju’ dan yang diharapkan kelak menggantikan kedudukan Ketua Siauw-lim-pai setelah ketua sekarang yang terhitung supeknya itu mengundurkan diri. “Akan tetapi apa bila badai mengamuk, semua pohon besar kecil akan diamuk badai. Binatang-binataang kecil seperti burung sekali pun akan berusaha menyelamatkan diri, apakah kita harus mandah saja menjadi korban keganasan badai?”
Dengan ucapannya ini, Ceng San Hwesio hendak mengatakan bahwa pertentangan antara para pembesar daerah dibantu orang kang-ouw dengan pemerintah pusat tentu akan mendatangkan perang dan mereka tentu akan terlanda akibat perang.
Kian Ti Hosiang mengangguk-angguk, ia maklum bahwa para murid Siauw-lim-pai, di samping menjadi kaum beragama, juga merupakan orang kuat yang memiliki kepandaian, penegak kebenaran dan tentu saja merasa penasaran menyaksikan kelaliman merajalela.
“Pohon akan tunduk oleh kekuasaan alam dan akan condong ke mana angin bertiup tanpa perlawanan. Mencontoh sifat pohon bukanlah hal yang mudah, akan tetapi kalau kalian tidak dapat mencontohnya tirulah sifat burung dilanda badai, yaitu mencari perlindungan dan keselamatan diri tanpa merusak dan merugikan pihak lain. Nah, kalian tentu mengerti dan laksanakanlah pesan pinceng ini.”
Setelah berkata demikian, Kian Ti Hosiang bersila dan memejamkan matanya. Ini merupakan tanda bagi para murid bahwa ketua itu mengakhiri wawancara dan telah mulai bersemedhi. Maka mereka pun bubaran.
Demikian sikap Ketua Siauw-lim-pai ini dijadikan pegangan oleh para murid, juga oleh semua cabang-cabang Siauw-lim-pai yang tersebar di mana-mana. Sikap ini adalah tidak ingin mencampuri pertentangan dan menjauhkan diri dari urusan kerajaan, tidak melakukan perbuatan permulaan ke arah permusuhan, namun hanya boleh bertindak menyelamatkan orang lain.
Cabang Siauw-lim-pai di kota Lo-kiu juga melakukan politik seperti itu. Para hwesio Siauw-lim-pai di cabang itu melakukan tugas mereka sehari-hari di dalam kelenteng dengan tekun dan tenteram, menyebar pelajaran tentang kasih sayang dan membantu rakyat yang membutuhkan bantuan. Beberapa kali mereka didatangi tokoh-tokoh kang-ouw, kaki tangan para pembesar daerah, dan petugas-petugas pembesar pusat untuk menarik mereka yang merupakan tenaga kuat untuk berpihak, namun semua permintaan ditolak dengan halus oleh Gin Sin Hwesio, ketua kelenteng Siauw-lim-pai di Lo-kiu itu.
Pada waktu itu memang belum ada terjadi perang terbuka, namun telah ada bentrokan-bentrokan kecil antara kaki tangan masing-masing pihak dan di mana-mana, termasuk di Lo-kiu, terdapat pertentangan paham dan diam-diam terdapat mata-mata semua pihak yang saling menyelidiki. Namun seperti biasa, rakyat yang sudah kenyang akan pertentangan itu masih melanjutkan usaha mereka seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Perdagangan masih tetap ramai, bahkan restoran-restoran masih penuh tamu yang datang untuk makan minum sambil bercakap-cakap.
Di tempat-tempat seperti inilah sering kali dijadikan tempat pertemuan antara teman golongan masing-masing sehingga tidak jarang pula terjadi bentrokan-bentrokan yang mengakibatkan luka-luka dan kematian. Akan tetapi hal yang amat mengherankan dan mengagumkan adalah, pihak yang melakukan bentrokan selalu mengganti kerugian pemilik restoran atau rakyat yang menderita rugi akibat bentrokan-bentrokan itu.
Hal ini adalah karena masing-masing golongan bukan hanya saling bermusuhan, akan tetapi juga berlomba untuk merebut hati rakyat yang amat diperlukan dukungannya. Karena itulah maka pemilik restoran-restoran tidak khawatir akan terjadinya bentrokan-bentrokan, bahkan sebagai pedagang-pedagang cerdik, setiap terjadi bentrokan yang merusakkan perabot restoran, mereka berkesempatan menarik keuntungan dengan menaikkan jumlah penafsiran ganti rugi! Juga para pembesar setempat selalu bersikap bijaksana, tidak mencampuri bentrokan-bentrokan itu karena sekali mereka ini mencampuri dan berat sebelah, berarti mereka akan menanam permusuhan!
Pada suatu pagi, restoran itu sudah hampir penuh oleh tamu yang datang berbelanja. Seorang pemuda tampan yang gagah sekali sikapnya, dan pakaiannya indah dengan pedang bergantung di punggung memasuki restoran. Pelayan menyambutnya dengan ramah dan mempersilakan duduk di meja sudut sebelah dalam yang kosong. Pemuda ini bukan lain adalah Suma Hoat.
Semenjak meninggalkan gadis yang kemudian membunuh diri dua hari yang lalu, dia belum bertemu dengan wanita yang menggerakkan birahinya sehingga hatinya menjadi kesal. Ia memasuki kota Lo-kiu juga dengan niat mencari calon korbannya, akan tetapi wanita di daerah ini tidak ada yang menarik hatinya.
Ia menanggalkan pedang dan buntalan pakaiannya, meletakkan di atas meja dan memesan makanan dan minuman. Setelah pelayan pergi untuk melayani pesanannya, pemuda ini menyapu ruangan restoran dengan pandang matanya. Tamu yang memenuhi tempat itu terdiri dari bermacam-macam golongan, dan ramailah mereka itu bercakap-cakap dengan teman masing-masing yang duduk semeja. Tidak ada yang menarik perhatian Suma Hoat, karena mereka itu terdiri dari pedagang-pedagang dan pelancong-pelancong. Melihat betapa para pedagang dan pelancong memenuhi restoran sambil bercakap-cakap dan bersendau-gurau, keadaan nampaknya tenang tenteram dan damai.
Akan tetapi ketika seorang tamu baru memasuki restoran, perhatian Suma Hoat segera tertarik sekali. Orang ini adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengannya, paling tinggi dua puluh lima tahun usianya. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan yang amat mencolok adalah kakinya yang tidak bersepatu, telanjang sama sekali!
Laki-laki ini memanggul sebuah tongkat dan ujung tongkat tampak sebuah buntalan kain kuning yang agaknya berisi pakaian. Wajah laki-laki ini kurus seperti tubuhnya, dan tidak ada keanehan menonjol pada dirinya, kecuali kaki telanjang itu dan sinar matanya yang tajam, serta senyumnya yang seolah-olah mengejek pada keadaan di sekitarnya. Rambutnya diikat ke atas dan dia lebih mirip seorang tosu perantau, hanya pakaiannya tidak seperti pendeta To-kauw (Agama To), melainkan seperti seorang petani yang bangkrut!
Tidaklah mengherankan apa bila pelayan restoran menyambut tamu istimewa ini dengan alis berkerut, hati curiga dan pandang mata pelayan itu naik turun melalui pakaian sederhana dan kaki telanjang.
Laki-laki itu mengikuti pandang mata Si Pelayan lalu berkata, “Bung Pelayan, engkau tidak melayani pakaian dan sepatu, bukan? Yang kau layani bukan pula orangnya, melainkan uangnya, bukan? Nah, aku mempunyai uang itu, maka jangan ragu-ragu melayani uangku!” Setelah berkata demikian, laki-laki itu menepuk-nepuk bungkusan di ujung tongkatnya dan terdengarlah suara berkerincingnya perak.
Pelayan itu cepat membungkuk dan mempersilakan tamu aneh itu duduk tidak jauh dari meja Suma Hoat. Ketika melewati meja ini, laki-laki tadi melirik ke arah pedang yang terletak di meja Suma Hoat, mengerling tajam ke arah Suma Hoat, lalu tersenyum dan membungkuk. Akan tetapi betapa pun tertarik hatinya, Suma Hoat pura-pura tidak melihatnya. Di dalam hatinya ia merasa geli dan menganggap betapa tepatnya ucapan orang aneh itu.
Memang tidak dapat disangkal betapa palsu sikap manusia yang matanya sudah tertutup oleh bayangan perak dan emas, silau oleh harta dunia sehingga setiap gerakan mereka merupakan pengabdian terhadap harta dunia!
Orang menilai orang lain bukan dari orangnya, melainkan dari pakaian, kekayaan, dan kedudukannya, pendeknya yang dinilai adalah hal-hal yang sekiranya dapat mendatangkan kesenangan dan keuntungan bagi yang menilai! Buktinya tersebar di mana-mana.
Datanglah ke rumah seseorang dengan pakaian butut dan nama tak terkenal, maka engkau akan disambut dengan penuh curiga, pandang rendah dan penghinaan karena Si Tuan Rumah menganggap bahwa engkau hanya akan mendatangkan kerugian dan ketidak-senangan belaka. Sebaliknya, kalau engkau datang dengan pakaian serba indah, dengan kekayaan berlimpah, dengan kereta mewah dan dengan nama besar serta kedudukan, tentu engkau akan disambut dengan terbongkok-bongkok dan tersenyum-senyum karena engkau dianggap akan mendatangkan keuntungan atau kesenangan! Hal ini tak mungkin dapat dibantah lagi karena memang kenyataannya demikianlah
Maka biar pun sikapnya tak acuh, diam-diam Suma Hoat memperhatikan laki-laki itu dan menduga bahwa orang itu tentulah bukan orang sembarangan, sungguh pun tak tampak sebatang pun senjata pada dirinya. Timbul kegembiraannya karena ada sesuatu yang menarik hatinya dan di dalam hatinya timbul pula keyakinan bahwa munculnya seorang tokoh luar biasa seperti ini tentu akan disusul dengan peristiwa yang menarik. Akan tetapi ia meragu. Jangan-jangan orang yang masih muda ini hanya berlagak saja, karena pada waktu itu memang tidak jarang orang berlagak dengan pakaian dan sikap yang aneh-aneh agar dianggap orang aneh, atau setidaknya agar dianggap bahwa dia adalah lain dari pada yang lain!
“Kitab-kitab pelajaran ilmu silat tidak baik ditinggalkan begitu saja,” kata gurunya. “Ilmu silat merupakan ilmu yang amat berguna jika terjatuh ke tangan orang yang baik-baik, akan tetapi sekali terjatuh ke tangan orang yang hatinya gelap tersesat, amatlah berbahaya. Karena itu, setelah isinya dapat dipelajari dengan kedua orang sumoimu, kitab-kitab itu harus dibakar.”
Karena inilah maka Han Ki terpaksa membakar dan memusnahkan kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang telah mereka pelajari, dan karena dia tidak ingin melupakan ilmu-ilmunya, maka dia sendiri lalu merangkai kitab yang berisikan ilmu-ilmu yang digabungnya sendiri dari banyak ilmu silat yang telah ia pelajari.
Tiba-tiba Han Ki mendengar suara ribut-ribut di belakang istana. Suara Maya dan Siauw Bwee seperti orang bertengkar. Cepat ia menghentikan tulisannya dan lari ke belakang. Dilihatnya Siauw Bwee dan Maya bertanding memperebutkan batu putih! Ketika Han Ki tiba di situ, perebutan mencapai puncaknya. Maya berusaha merampas burung batu itu dari tangan Siauw Bwee yang mempertahankan. Keduanya memegang burung batu itu, bersitegang hendak menarik dan mengerahkan tenaga.
“Prakkk!” burung batu itu pecah menjadi perkeping-keping dan jatuh berhamburan ke atas tanah!
“Ohhh...! Burungku... aiihh, burungku pecah...!” Siauw Bwee berlutut, menangis memandang burung batu yang sudah pecah berantakan di depan lututnya.
Melihat munculnya Han Ki dan akibat perebutan itu, Maya menjadi pucat dan dia mencela, “Ahh, begitu saja menangis. Cengeng...!”
“Maya-sumoi!” Apa yang kau lakukan itu?” Han Ki membentak, marah kepada Maya dan kasihan kepada Siauw Bwee.
“Aku hanya ingin meminjam dan melihat sebentar. Dasar dia kikir, manja dan cengeng!”
“Tidak! Dia memang hendak merampasnya!” Siauw Bwee membantah, terisak-isak.
“Maya-sumoi, tidak baik meminjam milik orang lain dengan paksa,” Han Ki kembali menegur, tidak senang karena melihat Maya mulai bersikap keras dan memaksa kepada Siauw Bwee.
“Suheng, engkau yang tidak adil, pilih kasih! Kau membuatkan mainan kepada Sumoi, akan tetapi tidak kepadaku.”
Han Ki mengerutkan keningnya. “Sumoi, burung batu itu kubuat atas permintaan Khu-sumoi, bukan semata-mata aku membuatkan untuknya. Kalau engkau juga menginginkan sebuah, mengapa tidak minta saja kubuatkan dan malah merampas kepunyaan Khu-sumoi? Perbuatanmu itu tidak benar. Kau harus minta maaf kepada Khu-sumoi!”
“Sudahlah, Suheng. Suci tidak merusak burung batuku.” Siauw Bwee bangun berdiri dan mengusap air matanya. Melihat betapa Maya dimarahi Han Ki, timbul rasa kasihan di hati Siauw Bwee.
“Lihat, Khu-sumoi begini baik kepadamu, akan tetapi engkau selalu nakal, Maya-sumoi,” Han Ki kembali menegur.
Sejenak sepasang mata yang indah itu menatap wajah Han Ki, kemudian menoleh kepada Siauw Bwee. Tiba-tiba Maya terisak dan air matanya mengucur. “Memang aku selalu nakal! Memang aku paling jahat! Lebih baik aku pergi saja agar jangan mengganggu Sumoi dan membikin marah Suheng!” Maya membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Han Ki dan Siauw Bwee.
“Suci, kau hendak ke mana?” Siauw Bwee hendak mengejar akan tetapi Han Ki memegang lengannya mencegah.
“Kalau dia sedang marah, dikejar dan dibujuk pun percuma. Biarkan dia, nanti kalau sudah mendingin hatinya, tentu dia kembali sendiri.” Karena di dalam hatinya Han Ki masih marah kepada Maya, maka dia sengaja membiarkan saja karena dipikirnya, ke mana Maya dapat pergi? Pulau itu tidak berapa luas.
Akan tetapi, setelah malam tiba dan Maya belum juga kembali, mulailah hati Han Ki menjadi gelisah. Juga Siauw Bwee merasa khawatir sekali dan mereka berdua mulai mencari, mengelilingi pulau dari dua jurusan. Akan tetapi mereka bertemu kembali dengan tangan hampa.
“Kucari kemana-mana tidak ada. Suheng, jangan-jangan dia....”
“Tidak bisa pergi dari sini. Perahu kita masih ada. Entah di mana anak nakal itu!”
“Suheng, Suci tidak nakal! Ahh... dia harus dapat ditemukan kembali. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan dia? Suheng, aku khawatir sekali....”
“Tenanglah. Kau persiapkan saja makan malam. Aku akan mencari Maya sampai dapat.”
Han Ki pergi lagi mencari, kini dia tidak menyembunyikan kekhawatiran hatinya dan mulai berteriak-teriak nyaring memanggil nama Maya.
“Mayaaaaa...! Sumoi..., keluarlah...! Di mana engkau...?”
Suara Han Ki bergema di seluruh permukaan pulau karena dia mengerahkan tenaga dari dalam perutnya, mempergunakan khikang yang kuat sekali. Mendengar suara itu Siauw Bwee merasa makin khawatir. Dia melanjutkan persiapannya membuat makan malam untuk mereka bertiga dan dia mendengarkan gema suara Han Ki dari jauh.
“Maya...! Maya...! Maya...!”
Tidak ada orang lain mendengar suara nyaring bergema ini kecuali Siauw Bwee dan tentu saja Maya yang bersembunyi! Maya tersenyum, hatinya puas. Memang dia sejak tadi bersembunyi dan memang itulah keinginan hatinya, bersembunyi tidak mau keluar lagi agar Han Ki susah payah mencarinya, agar suheng-nya dan sumoi-nya cemas memikirkannya, terutama sekali suheng-nya!
Ia tersenyum mendengar suara Han Ki memanggil-manggil namanya dan ia tahu bahwa suheng-nya tentu mencarinya di seluruh permukaan pulau itu. Tentu saja dia tidak bodoh bersembunyi di pulau yang kosong itu. Dia bersembunyi di tempat yang tidak akan disangka-sangka oleh suheng dan sumoi-nya, yaitu di dalam ruangan bawah istana!
Biar dia tahu rasa, demikian pikir Maya. Hatinya gemas sekali kalau mengingat betapa Han Ki membuatkan mainan untuk sumoi-nya dan dalam pertengkaran tadi jelas bahwa suheng-nya membela sumoi-nya, bahkan memarahinya di depan sumoi-nya. Hatinya sakit sekali. Biar sekarang dia mencariku setengah mati, aku tidak akan kembali kepada mereka!
Akan tetapi, ke mana dia dapat pergi? Kalau terus bersembunyi di dalam ruangan bawah itu, tentu suheng dan sumoi-nya akan dapat menemukannya. Maya mencari-cari tempat sembunyi. Melihat arca batu yang tadinya mereka pakai sebagai alat melatih tiam-hoat, yang kini sudah pecah dan hanya tinggal kaki dan pinggangnya saja yang masih berdiri di situ, hatinya makin sakit, teringat ia betapa dalam latihan itu pun ia dimarahi suheng-nya karena membikin pecah arca. Ahh, pecahan arca itu masih berada di situ.
Kalau dia tumpuk di depan rak senjata, tentu merupakan tempat sembunyi yang baik, yaitu di belakang tumpukan, di bawah kolong rak senjata. Berpikir demikian, Maya lalu menghampiri arca yang tinggal setengah badan bagian bawah, kemudian ia memeluk kaki arca itu, mengerahkan tenaga untuk mengangkatnya. Namun arca itu sama sekali tidak dapat ia gerakkan!
Ia berdiri memandang penuh penasaran. Sinkang-nya sudah kuat, masa dia tidak dapat mengangkat batu ini? Menurut ukurannya, biar arca itu masih utuh sekali pun pasti dia akan kuat mengangkatnya. Mengapa kaki arca ini tak dapat dia angkat sedikit pun? Ia menjadi penasaran, kembali membungkuk, memeluk kedua kaki arca dan mengerahkan tenaga, menarik, membetot dan memutar.
Sisa arca itu tidak terangkat akan tetapi tergeser dan betapa heran rasa hati Maya ketika melihat bahwa di bawah landasan kaki arca itu lantainya berlubang. Akan tetapi keheranannya berganti kegirangan dan ia berkata, “Inilah tempat sembunyi yang baik!”
Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memasuki lubang itu dan kembali dia terheran-heran karena di bawah lubang terdapat anak tangga dari batu. Dengan penuh keheranan, lupa akan niatnya bersembunyi sehingga dia tidak menutup lagi kaki arca di atas lubang, dengan hati-hati Maya menuruni anak tangga batu itu, terus ke bawah. Kiranya di bawah arca itu terdapat sebuah lorong rahasia ke bawah tanah!
Dengan hati-hati akan tetapi sedikit pun juga tidak merasa takut, Maya melanjutkan perjalanannya menuruni lorong kecil. Dia dapat menduga bahwa lorong ini memang sengaja dibuat orang, berada di bawah istana dan hal ini selain terbukti dari adanya anak tangga batu, juga karena lorong ini tidaklah gelap, melainkan mendapat penerangan dari atas, yaitu datang dari sinar penerangan melalui lubang-lubang rahasia.
Akan tetapi karena penerangan di malam itu hanya datang dari beberapa buah kamar saja di atas, yaitu kamarnya, kamar Siauw Bwee dan kamar Han Ki, juga di dapur, maka makin ia turun ke bawah makin gelaplah cuaca. Maya berhenti dan duduk mengaso.
Teringatlah ia kembali akan tujuannya semula, yaitu bersembunyi. Ah, tempat sembunyi yang baik dan tidak mungkin Han Ki dapat mencarinya di sini. Ia tersenyum puas, akan tetapi mulai merasa ngeri karena tak lama kemudian tempat itu menjadi gelap sekali. Hal ini karena adalah penerangan di dapur yang letaknya di atas tempat itu dipadamkan oleh Siauw Bwee yang sudah selesai memasak.
“Dia tidak ada!” Kata Han Ki sambil menghela napas panjang, kini penuh kekhawatiran.
“Begini gelap, tentu sukar mencarinya,” kata Siauw Bwee.
“Besok akan kucari lagi sampai dapat. Heran sekali, ke mana perginya anak nakal itu?”
“Dia tidak nakal, Suheng...”
Kembali pemuda itu menghela napas, “Hemm, dia sering kali mengganggumu dan kau selalu melayaninya, akan tetapi sekarang kau selalu membelanya. Kau makanlah, Sumoi.”
“Marilah, Suheng.”
“Makanlah, aku tidak lapar.”
“Suheng mengkhawatirkan keselamatan Suci?”
“Tentu saja. Entah di mana anak itu. Aku bertanggung jawab atas keselamatannya. Dia lenyap, bagaimana aku tidak khawatir?”
“Kalau Suheng tidak mau makan, aku pun tidak makan.”
“Makanlah, Sumoi, aku akan pergi lagi mencarinya.” Han Ki berkelebat ke luar untuk mencari lagi sumoi-nya yang hilang.
Siauw Bwee berdiri menghadapi makanan, alisnya berkerut. “Dia... dia mencintai Suci!” Tiba-tiba ia menjatuhkan diri di atas bangku dan menyandarkan muka berbantal lengan di atas meja, pundaknya bergoyang-goyang. Siauw Bwee menangis!
Semalam itu Siauw Bwee tidak tidur, gelisah di dalam kamarnya. Makanan yang telah dibuatnya dan disediakan di ruangan belakang di atas meja tidak tersentuh. Juga Han Ki tidak tidur, bahkan semalaman itu ia tidak kembali ke istana karena dia terus mencari Maya di seluruh Pulau Es. Beberapa kali mengelilingi pulau sehingga setiap tempat yang mungkin dijadikan tempat sembunyi sumoi-nya itu dijenguknya sampai dua tiga kali. Namun hasilnya sia-sia belaka.
Setelah matahari terbit, ia berdiri termenung di tepi laut. Tiba-tiba ia menepuk kepalanya sendiri. Ah, ke mana Maya dapat pergi? Tidak mungkin dapat meninggalkan pulau tanpa perahu! Tentu berada di pulau dan karena semalam penuh ia mencari di luar istana, tentu sumoi-nya itu bersembunyi di dalam istana! Mengapa dia begini bodoh?
Bergegas ia lari memasuki bangunan besar itu dan mencari-cari. Semua kamar dimasukinya dan akhirnya ia memasuki ruangan bawah, tempat mereka berlatih tiam-hiat-hoat. Begitu masuk, ia mencium sesuatu yang aneh, harum-harum dan amis, juga tampak olehnya lubang di atas lantai dekat kaki arca yang pecah! Ia terbelalak heran, kemudian tanpa ragu-ragu lagi ia merayap memasuki lubang itu.
Maya yang tertidur sambil duduk bersandar dinding batu, terbangun dan melihat betapa tempat yang gelap itu kini menjadi terang. Ia dapat menduga bahwa tentu malam telah terganti pagi karena sinar yang masuk dari atas adalah sinar matahari. Timbul keinginan hatinya untuk melanjutkan penyelidikannya, maka ia terus berjalan turun, menuruni anak tangga batu.
Dari jauh ia sudah mencium bau harum yang aneh di sebelah bawah. Ketika ia tiba di akhir anak tangga batu dan melihat ke depan, ternyata bahwa anak tangga itu berakhir di dalam sebuah ruangan yang lebar dan di atas lantai tampak uap mengebul memenuhi ruangan. Ia tertarik dan mendekat.
Tiba-tiba ia menjerit dan membalikkan tubuh hendak lari naik karena kini matanya yang sudah biasa dapat melihat di balik uap putih itu terdapat banyak sekali ular merah. Puluhan, bahkan ratusan ekor banyaknya! Ular-ular berkulit merah berdesis-desis saling belit dan agaknya ular-ular itu melihat kedatangannya karena ular-ular itu mengangkat kepala memandang kepadanya dengan lidah bergerak-gerak cepat keluar masuk mulut yang kebiruan.
Dengan hati penuh kengerian Maya melangkah hendak lari menaiki anak tangga dan pergi dari tempat yang menyeramkan itu. Akan tetapi tiba-tiba kepalanya terasa pusing, pandang matanya berkunang dan seluruh tubuhnya panas, kakinya gemetar lemas dan akhirnya gadis cilik ini terguling roboh di atas anak tangga.
Ratusan ekor ular merayap perlahan menghampirinya, akan tetapi karena anak tangga itu terbuat dari batu dan licin, maka ular-ular itu tidak dapat merayap naik, baru sampai dekat kaki Maya sudah terpeleset jatuh kembali ke bawah. Akan tetapi uap putih harum amis yang keluar dari mulut mereka makin tebal memenuhi ruangan. Maya tidak melihat kengerian ini karena dia sudah pingsan, rebah terlentang di atas anak tangga.
“Maya...!” Han Ki terkejut dan cemas sekali menyaksikan tubuh Maya menggeletak di atas anak tangga, sedangkan di bawahnya ratusan ekor ular merah berusaha untuk merayap naik.
Cepat pemuda yang banyak pengalaman dan maklum bahwa uap putih harum itu adalah hawa beracun, menahan napas dan menyambar tubuh Maya, dibawanya lari naik menjauhi gumpalan uap. Kemudian ia menurunkan tubuh Maya di atas lantai lorong yang rata, memeriksa nadi pergelangan tangan Maya. Ia bernapas lega. Jalan darah sumoi-nya tidak berubah, pernapasannya biasa, hanya tubuhnya agak panas dan mungkin sumoi-nya pingsan karena kaget. Cepat ia memijit beberapa jalan darah di tengkuk dan pundak Maya.
Maya mengeluh, bergerak perlahan, membuka mata dan napasnya mulai terengah-engah! Hal ini mengherankan hati Han Ki, juga mendatangkan rasa khawatir. Ia memeluk tubuh sumoi-nya, mengangkat kepala gadis cilik itu dan mengguncang-guncangnya.
“Maya-sumoi...!”
Maya memandang kepada Han Ki. Pemuda ini terkejut. Sepasang mata yang indah itu kini mengandung sinar yang amat luar biasa, seolah-olah mengeluarkan api. Wajah yang jelita itu menjadi kemerahan, mengingatkan ia akan wajah kekasihnya dahulu, yaitu puteri Sung Hong Kwi di waktu berlomba asmara dengan dia!
“Maya...”
Han Ki tidak dapat melanjutkan kata-katanya saking kagetnya ketika tiba-tiba Maya merangkul lehernya dengan kedua lengan, merangkul erat-erat dan menyembunyikan muka ke dadanya, didekapkan kuat-kuat sambil berbisik, “Suheng... ah, Suheng...!” Kemudian gadis cilik itu menangis! “Suheng... apakah kau sayang kepadaku...?”
Hati Han Ki menjadi lega karena tangis menandakan bahwa Maya tidak menderita sesuatu, akan tetapi sikap dan pertanyaan Maya membuat ia merasa aneh.
“Tentu saja aku sayang padamu, Sumoi,” jawabnya dengan cepat karena memang tentu saja dia sayang kepada sumoi-nya, baik Maya mau pun Siauw Bwee.
Jawaban ini dijawab dengan rangkulan yang lebih ketat lagi sehingga ia merasa tidak enak sendiri, lalu berusaha melepaskan rangkulan Maya. Akan tetapi, kedua lengan itu merangkul makin ketat dan mulut Maya berbisik, “Peluklah aku erat-erat... Suheng..., jangan lepaskan lagi...!”
“Maya...!” Han Ki berseru kaget dan jantungnya berdebar.
“Suheng... aku cinta padamu, Suheng... ahhh...!” Kini Maya mengangkat mulutnya dan membuat gerakan hendak mencium pipi Han Ki.
Pemuda itu terkejut seperti diserang ular berbisa. Melihat mata yang penuh gairah dari sumoi-nya, ia mengerti bahwa tentu uap putih harum itu yang mengandung racun aneh sehingga mempengaruhi watak Maya yang luar biasa ini, seolah-olah gadis cilik itu berubah menjadi seorang wanita yang penuh nafsu birahi! Cepat ia menotok tubuh sumoi-nya sehingga Maya mengeluh dan terkulai lemas, kemudian ia memondongnya dan membawanya lari naik.
“Suheng..., Suci kenapa...?” Siauw Bwee ternyata mencari suci-nya dan berhasil menemukan lubang rahasia, lalu memasukinya. Kini dia melihat Han Ki berlari naik dari bawah memondong tubuh suci-nya yang terkulai lemas.
“Khu-sumoi, lekas kembali! Di sini berbahaya!” kata Han Ki.
Ucapan ini mengejutkan Siauw Bwee dan bersama-sama mereka lari naik dan keluar dari lubang di lantai ruangan bawah. Karena lubang itu kecil, maka Siauw Bwee yang keluar lebih dahulu membantu tubuh Maya yang didorong keluar dari bawah oleh Han Ki. Kemudian Han Ki memondong tubuh itu dibawa ke dalam kamar Maya yang berada di sebelah kamar Siauw Bwee.
“Di bawah banyak ular merah beracun. Agaknya dia terkena racun uap putih yang keluar dari mulut ular-ular itu,” kata Han Ki sambil menotok beberapa jalan darah di tubuh Maya. Gadis itu segera tertidur pulas. “Dia perlu beristirahat, biarkan dia tidur agar hawa beracun lenyap dari tubuhnya.”
Sehari semalam Maya tidur pulas, bahkan dia tidak terbangun ketika Siauw Bwee menuangkan air obat yang dibuat oleh Han Ki. Setelah memberi obat, Han Ki duduk bersila dan menempelkan telapak tangannya di punggung Maya, menggunakan sinkang-nya untuk ‘membersihkan’ tubuh sumoi-nya dari pengaruh hawa beracun. Pada keesokan harinya Maya terbangun dan ia bangkit duduk, mengusap-usap matanya dan memandang kepada Siauw Bwee.
“Ular... banyak sekali... ular merah...!” katanya gugup.
Siauw Bwee merangkulnya dengan hati lega. “Engkau sudah aman, Suci. Suheng menyelamatkanmu.”
“Aku di sini, Sumoi.” Han Ki memasuki kamar, menekan perasaannya agar guncangan hatinya tidak terlihat di wajahnya. Dia pun menekan kemarahannya atas perbuatan Maya yang membingungkan dia dan Siauw Bwee semalam suntuk.
“Ahhh, kini aku teringat... lubang rahasia di bawah arca... lorong di bawah tanah... dan ular-ular merah! Hiiih, menjijikkan! Suheng, kau maafkan aku, ya?”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi. Aku girang bahwa engkau selamat. Ular-ular itu berbahaya sekali, entah bagaimana bisa berada di bawah sana. Harus dibasmi.”
“Aku ikut, Suheng!” Siauw Bwee berkata penuh semangat.
“Aku juga ikut!” kata Maya sambil melompat turun dari pembaringan. Han Ki tersenyum. Maya telah pulih kembali, telah memperlihatkan sikap tidak mau mengalah seperti biasa.
“Memang aku akan mengajak kalian, akan tetapi kita makan dulu. Siapakah yang sudah makan malam tadi?”
“Aku belum!” jawab Maya, mendadak merasa betapa perutnya lapar sekali. “Bukan hanya semalam, sudah dua hari dua malam aku tidak makan!”
“Aku juga belum sama sekali!” Siauw Bwee berkata.
“Aihh! Mengapa Sumoi?” Maya bertanya.
“Dia gelisah memikirkanmu, mana bisa makan?” Han Ki berkata.
Maya memandang Siauw Bwee, lalu merangkul dan mencium pipi sumoi-nya. Melihat ini Han Ki berdebar, teringat akan perbuatan Maya seperti itu terhadapnya ketika Maya dikuasai racun ular.
“Sumoi, kau baik sekali! Aku sungguh sayang kepadamu, Sumoi!”
Siauw Bwee balas memeluk. “Maka jangan kau pergi lagi, Suci. Aku tidak bisa makan dan tidur kalau kau pergi,” jawab Siauw Bwee.
Tiba-tiba Maya menoleh kepada Han Ki. “Dan engkau pun tidak makan tidak tidur, Suheng?”
Jantung Han Ki berdebar. Ia seperti melihat betapa sinar mata Maya ini berbeda dari biasanya, bukan pandang mata kanak-kanak lagi, melainkan pandang mata seorang gadis yang sudah mulai dewasa, pandang mata seorang wanita! Ia menekan debar jantungnya dan memasang muka cemberut, menjawab, “Aku setengah mati mencarimu, mana ingat makan dan tidur?”
“Aihh! Aku membikin susah kalian! Maafkan saja. Biar kumasakkan yang enak untuk kalian!” Maya berlari ke dapur.
Siauw Bwee tertawa, menoleh kepada Han Ki dan berkata, “Lihat! Suci begitu baik, mana bisa dibilang nakal?” Dan ia pun lari mengejar untuk membantu Maya mempersiapkan makanan.
Setelah makan, tiga orang itu lalu bersama memasuki lorong rahasia di bawah tanah. Tadinya Siauw Bwee dan Maya membawa sebatang pedang karena mereka bermaksud untuk membunuh ular-ular berbahaya itu. Akan tetapi mereka dilarang oleh Han Ki yang berkata,
“Ular-ular itu berbahaya sekali. Baru uap yang keluar dari mulut mereka saja sudah amat berbahaya. Tidak mungkin kita dapat mendekati binatang-blnatang itu untuk membunuhnya.”
“Habis, bagaimana baiknya, Suheng?” tanya Maya yang masih belum tahu bahwa dia nyaris menjadi korban uap beracun. Bahkan sesungguhnya, akibat racun ular merah itu masih belum lenyap sama sekali dari tubuhnya, yang membuat ia kini merasa ada sesuatu yang aneh dalam hatinya terhadap Han Ki, yang mendatangkan gairah dan rangsangan birahi namun belum dimengerti benar oleh hatinya yang masih belum matang.
“Aku akan menggunakan api. Tidak mungkin ular-ular itu berada di sana tadinya. Suhu tentu tidak akan membiarkan ular-ular berbahaya itu memenuhi ruangan. Tentu ular-ular itu datang dari lain tempat, maka biarlah kuusir mereka itu dari ruangan bawah tanah. Kalau tidak mau pergi, binatang-binatang itu akan kubasmi dengan api.”
Selama tinggal di Pulau Es, Han Ki beberapa kali pergi menggunakan perahu untuk mencari bahan makanan, binatang buruan, buah-buahan dan sayur-sayuran, juga ranting-ranting kering untuk bahan bakar dari pulau-pulau yang berdekatan. Kini ia membawa ranting-ranting dan daun kering serta menyalakan obor memasuki lorong rahasia itu bersama kedua orang sumoi-nya yang juga membawa ranting-ranting kering.
Dengan hati-hati mereka menuruni anak tangga, dan dari atas tampaklah oleh mereka ular-ular itu dengan uap yang harum.
“Kita nyalakan ranting-ranting dan melemparkan ke bawah. Akan tetapi hati-hatilah, kalau mendekat ke sana harus menahan napas. Jika sudah tidak tertahan, segera naik lagi dan bernapas di tempat yang tak ada uap putihnya. Uap itu berbahaya sekali!” Han Ki berkata, “Akan tetapi, lemparkan ranting-ranting berapi di dekat anak tangga agar jangan sampai menimbulkan kebakaran. Kulihat di sudut ruangan itu ada lemari dan meja, jangan sampai barang-barang itu terbakar. Siapa tahu kalau-kalau Suhu menyimpan sesuatu di sana.”
Tiga orang itu membakar ranting dan melemparkan ke bawah. Melihat menyambarnya ranting-ranting berapi itu, beberapa ekor ular lalu menerjang dan tentu saja mereka bertemu dengan api dan seketika mereka berkelojotan. Han Ki dan kedua orang sumoi-nya melemparkan lagi beberapa batang ranting berapi. Kembali ular-ular itu menyerang sambil mendesis-desis dan begitu bertemu api, binatang-binatang itu berkelojotan dan menyerang kawan sendiri membabi buta. Akhirnya mereka itu agaknya baru tahu bahwa benda-benda bernyala itu berbahaya. Mulailah ular-ular itu menjadi panik, bergerak saling terjang, saling belit dan berlomba lari memasuki sebuah lubang yang terdapat di sudut ruangan itu.
Dua tiga kali Maya dan Siauw Bwee meloncat naik ke atas menjauhi uap beracun untuk bernapas, sedangkan Han Ki yang lebih kuat masih bertahan terus.
“Lihat, mereka lari dari sebuah lubang. Sudah kuduga, tentu ada lubangnya yang menembus ruangan itu. Mereka menggunakan ruangan itu sebagai sarang!”
Dengan hati penuh rasa jijik dan ngeri Maya dan Siauw Bwee melihat ular-ular itu bergerak pergi dan tak lama kemudian, di ruangan itu hanya tinggal belasan ekor ular yang mati dan ada yang masih berkelojotan. Uap putih yang tadi memenuhi ruangan bawah itu kini telah lenyap pula, keluar dari lubang-lubang di atas dari mana sinar matahari menerobos masuk. Agaknya lubang-tubang di atas itu memang sengaja dibuat untuk lubang hawa dan lubang memasukkan sinar matahari.
“Heii, di lemari itu ada kitab-kitab!” Maya berseru dan hendak berlari turun.
Akan tetapi, Han Ki memegang lengannya mencegah. “Hati-hati, Sumoi. Biar pun ular-ular telah pergi dan uap telah lenyap, tempat masih amat berbahaya, penuh racun bekas ular. Biarkan aku saja yang turun membersihkan tempat itu dan memeriksa kitab-kitab.”
Setelah berkata demikian, dengan hati-hati Han Ki menuruni anak tangga dan menggunakan kakinya melempar-lemparkan bangkai dan tubuh ular yang berkelojotan keluar dari lubang kecil di sudut ruangan. Kemudian pemuda ini mencabut pedang, memotong dinding batu yang cukup besar lalu menggunakan sebongkah batu itu menutupi lubang dari mana ular-ular tadi meninggalkan ruangan.
Dengan pengerahan tenaganya, ia mendorongkan batu sebesar lubang itu lebih dulu sebagai penyumbat, baru meletakkan batu besar itu di luar lubang. Kemudian ia menghampiri lemari yang daun pintunya terbuka separuh memperlihatkan beberapa jilid kitab tua. Akan tetapi baru saja tiba di depan lemari, ia melihat bahwa lemari itu tadinya tertutup dan ‘disegel’ dengan sepotong kain sutera yang ada tulisannya.
Agaknya karena tua dan lapuk, terutama sekali karena bisa ular, kain itu robek dan daun pintunya terbuka separuh. Han Ki mengenal tulisan di atas kain, yaitu tulisan tangan suhu-nya dengan huruf-huruf kembang yang amat rapi, maka dia tidak berani berlaku lancang. Dipegangnya kain sutera itu, disambungkannya kembali baru dibaca. Kagetlah ia ketika membaca tulisan suhu-nya itu!
‘Ilmu-ilmu silat dalam kitab-kitab ini amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka, tidak patut dipelajari pembela-pembela kebenaran dan keadilan.’
Membaca tulisan suhu-nya itu, Han Ki cepat menutupkan kembali daun pintu lemari, kemudian ia meloncat naik menghampiri kedua orang sumoi-nya yang memandang dengan heran.
“Suheng, kitab-kitab apakah itu?” Siauw Bwee bertanya tidak sabar. Seperti juga suci-nya, dia selalu ingin sekali melihat dan mempelajari ilmu-ilmu baru dari kitab-kitab yang berada di istana itu.
“Kenapa tidak diambil, bahkan tidak kau periksa isinya, Suheng?” Maya juga bertanya.
“Mari kita kembali ke atas, nanti kuceritakan,” kata Han Ki dan kedua orang sumoi-nya tidak banyak bertanya lagi karena melihat wajah serius suheng mereka. Setelah tiba di atas, barulah Han Ki menarik napas panjang dan berkata. “Memang ruangan di bawah itu hanya pantas menjadi sarang ular. Kitab-kitab itu ternyata lebih berbahaya dari pada sekumpulan ular berbisa itu.”
“Ah, kitab-kitab apakah itu, Suheng?” tanya Maya.
“Kitab-kitab itu sengaja disembunyikan oleh Siansu agar jangan dibaca orang, dan lemari itu tadinya dipasangi tulisan Suhu yang melarang orang membaca kitab-kitab yang katanya amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka dan tidak patut dipelajari oleh orang-orang gagah pembela kebenaran dan keadilan.”
“Orang buangan di Pulau Neraka? Siapakah itu, Suheng?” Siauw Bwee bertanya.
“Aku sendiri pun tidak tahu jelas, Akan tetapi ada disebut sedikit di dalam kitab yang kubaca di tempat keramat penghuni Pulau Nelayan. Ketika kerajaan kecil di Pulau Es ini masih berdiri, yang istananya kini kita tempati, terdapat orang-orang yang melanggar peraturan dan dihukum buang ke sebuah pulau yang merupakan neraka dunia, yang amat sukar, bahkan tak mungkin orang hidup di sana, disebut Pulau Neraka. Tentu hanya orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan keji saja yang dibuang di sana. Melihat betapa rakyat Pulau Es itu saja sudah amat lihai seperti kita buktikan pada keturunan mereka di Pulau Nelayan, maka para penjahatnya amat lihai. Kitab-kitab dalam lemari itu adalah ciptaan orang-orang yang menjadi tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka, tentu saja amat lihai akan tetapi keji bukan main. Setelah Suhu kita sendiri melarang, perlu apa kita melihat kitab-kitab keji seperti itu?”
Sekali ini kedua orang gadis remaja itu tidak membantah. Akan tetapi diam-diam Maya merasa penasaran dan tidak setuju. Apa sih kejinya ilmu? Tergantung kepada orangnya! Akan tetapi ia takut untuk membantah, apa lagi mengingat bahwa terdapat larangan oleh suhu-nya sendiri.
Semenjak peristiwa itu, Maya tidak banyak rewel seperti biasa akan tetapi ada perubahan yang membuat hati Han Ki makin khawatir, yaitu bahwa sering kali pandang mata Maya kepadanya mengingatkan ia akan pandang mata Puteri Sung Hong Kwi, kekasihnya, memandangnya penuh cinta kasih! Dia tidak tahu bahwa diam-diam, sesuai dengan wataknya yang halus, Siauw Bwee juga sering kali memandangnya seperti itu.
Cinta kasih bersemi di dalam lubuk hati kedua orang gadis remaja itu terhadap suheng mereka. Dan perlombaan di antara mereka dahulu untuk menarik perhatian suheng mereka, kini diam-diam mereka melanjutkan dengan perlombaan mencinta pemuda itu!
Hal ini terjadi dengan diam-diam karena kedua orang gadis yang berangkat dewasa itu mempunyai perasaan kewanitaan yang halus, yang membuat mereka saling mengerti bahwa mereka mencinta Han Ki, bukan kasih sayang seorang sumoi terhadap suheng-nya, melainkan kasih sayang seorang wanita terhadap seorang pria.
Biar pun keduanya tidak pernah membuka rahasia hati dari mulut mereka, namun keduanya saling mengerti. Hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Han Ki, dan masih ada lagi hal yang tidak diketahui Han Ki, yaitu bahwa diam-diam Maya telah turun ke dalam ruangan rahasia itu dan diam-diam membuka dan membaca kitab-kitab ciptaan tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka!
Yang diketahui oleh Han Ki hanyalah bahwa kedua orang sumoi-nya itu belajar ilmu dengan amat tekunnya sehingga mereka memperoleh kemajuan pesat dan semua ini membuat hatinya gembira sekali karena ia merasa bahwa dia telah memenuhi tugas yang dibebankan suhu-nya dengan baik.
Waktu berjalan dengan amat cepatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka bertiga telah tinggal di atas Pulau Es selama lima tahun. Kini Maya telah menjadi seorang dara jelita berusia delapan belas tahun sedangkan Siauw Bwee menjadi seorang gadis cantik berusia tujuh belas tahun. Biar pun mereka bertiga tinggal di atas pulau yang kosong, namun untuk kepentingan mereka, Han Ki pergi menggunakan perahunya membeli bahan-bahan pakaian untuk mereka sehingga mereka selalu dapat berpakaian dengan baik.
Seperti telah dapat diduga sebelumnya oleh Han Ki, setelah kini kepandaian kedua orang sumoi-nya itu menjadi matang, Siauw Bwee memiliki ginkang yang luar biasa sekali, yang memungkinkannya bergerak seperti seekor burung walet dan pandai pula menggerakkan tenaga sinkang-nya menjadi tenaga halus yang memungkinkan dara ini mempergunakan telapak tangannya menghadapi senjata lawan yang keras dan tajam.
Di lain pihak, Maya juga memperoleh kemajuan luar biasa. Tenaga sinkang-nya mengagumkan, kuat sekali, terutama sekali tenaga Yang-kang sehingga kalau Maya memainkan ilmu silat yang sifatnya panas, dari kedua telapak tangannya menyambar hawa yang panas seperti api membara! Juga Maya dapat bersilat dengan gerakan indah seperti menari-nari sehingga dara yang memiliki kecantikan luar biasa dan khas Khitan itu tampak seperti bidadari kahyangan menari-nari.
Han Ki sendiri memperoleh kemajuan yang sukar diukur lagi. Dia menjadi seorang pendekar sakti yang sukar dicari tandingnya di waktu itu. Usianya sudah tiga puluh tahun, namun sikapnya sudah seperti seorang tua, pendiam dan sering kali bersemedhi. Di samping kepandaian silatnya, juga kepandaiannya mengukir batu memperoleh kemajuan karena sering ia latih. Dan pada waktu kedua orang sumoi-nya telah menjadi dara-dara dewasa, Han Ki mencari tiga bongkah batu karang yang seperti batu pualam putih dan amat indah. Mulailah ia mengukir batu-batu itu, membuat tiga buah arca mereka dengan penuh ketelitian dan hati-hati.
"Jangan tinggalkan aku... ohhh, Koko... jangan tinggalkan aku..., bawalah aku pergi...!" Rintihan ini keluar dari mulut seorang wanita muda, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita, yang pakaiannya setengah telanjang dan dicobanya membetulkan letak pakaian ketika ia turun dari pembaringan menghampiri seorang laki-laki yang sedang berkemas membetulkan pakaian di dekat pintu kamar.
Kamar itu mewah dan indah, kamar seorang puteri bangsawan atau hartawan, bersih dan harum semerbak. Dara itu amat cantik, kulit muka dan lengannya putih seperti salju, halus seperti sutera. Rambutnya terurai lepas, hitam dan panjang agak berombak, berbau harum sari bunga. Pakaian yang dipakainya, yang sedang dibetulkan letaknya, juga terbuat dari sutera halus dan mahal. Di atas meja dekat pembaringan tampak hiasan-hiasan baju dan hiasan-hiasan rambut dari pada emas dan batu kumala, serba indah, dan mahal.
Mudah diduga bahwa dara berusia delapan belas tahun ini adalah puteri seorang bangsawan atau seorang hartawan. Ada pun pria yang sedang membetulkan pakaian dengan sikap tidak acuh itu adalah seorang laki-laki yang tampan dan sikapnya gagah perkasa, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya juga indah dan pesolek sekali sikapnya ketika membetulkan baju dan membereskan rambutnya.
“Aku harus pergi sekarang juga dan engkau tidak boleh ikut, bahkan tidak boleh mengingat aku lagi. Pertemuan kita hanya sekali ini dan untuk terakhir kali, sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi di antara kita.”
Dara itu memandang terbelalak, seolah-olah tidak percaya kepada telinganya sendiri. Benarkah ucapan yang tadi penuh rayuan, yang manis dan sedap didengar, yang membahagiakan hatinya semalam suntuk, keluar dari mulut laki-laki ini pula yang sekarang bicara dengan sikap demikian dingin?
Ah, tidak mungkin! Dara itu lari ke depan dan menubruk laki-laki itu, merangkul pinggangnya dari belakang dan menjatuhkan diri berlutut, “Koko..., jangan tinggalkan aku..., ahhh, tidakkah engkau mencintaku? Bukankah tadi telah kau bisikkan kata-kata cinta kepadaku? Mungkinkah orang seperti engkau akan begitu tega meninggalkan aku? Ahh, Koko!”
“Hemm, cinta telah mati di hatiku. Mati karena cinta palsu perempuan-perempuan sepertimu.”
“Koko... aku... aku cinta padamu... uhu-uhu, dengan seluruh jiwa ragaku...!” Dara itu menangis.
“Engkau? Perempuan? Mencinta dengan seluruh jiwa raga? Ha-ha-ha!” Laki-laki itu tertawa, akan tetapi suara tawanya mengandung kepahitan.
“Koko..., sudah kubuktikan tadi cinta kasihku kepadamu. Bukankah sudah kuberikan kepadamu tubuhku, cintaku, segala-galanya...?”
“Ha-ha-ha, itukah buktinya cinta? Seperti semua perempuan yang telah kukenal. Bagimu, bukti cinta adalah penyerahan tubuhmu? Ha-ha-ha, pergilah, dan biarkan aku pergi!
”Tidak...! Tidak...! Koko, jangan tinggalkan aku. Aku cinta padamu, aku mau meninggalkan semua ini, aku mau ikut bersamamu, ke mana pun kau pergi!”
Tiba-tiba laki-laki itu menggerakkan kakinya ke belakang dan tubuh dara itu terlempar ke atas pembaringan. Dia terbanting ringan dan gerakan laki-laki itu cukup menjadi bukti akan kelihaiannya. Si Dara terbanting telentang di atas pembaringan dan menangis terisak-isak memandang laki-laki itu yang perlahan menoleh sambil berkata,
“Tidak ada cinta lagi bagiku! Aku tidak percaya akan cinta. Yang ada hanyalah nafsu, kebutuhan tubuh. Yang kau berikan kepadaku tadi juga nafsu! Kita saling berjumpa, saling memberi dan meminta untuk mernuaskan nafsu, dan habis perkara. Tidak ada bakas-bekasnya lagi. Engkau tahu aku siapa?”
“Engkau seorang pendekar yang perkasa, yang kucinta...!”
“Ha-ha-ha! Sama sekali bukan, Nona manis. Aku adalah seorang yang dikutuk banyak orang, yang dianggap sejahat-jahatnya. Aku dijuluki Jai-hwa-sian! Engkau tahu artinya? Jai-hwa-sian Si Dewa Pemerkosa Wanita! Entah sudah berapa banyak bunga kupetik, akan tetapi bukan kupatahkan tangkainya melainkan kupetik atas kerelaan si bunga sendiri. Ha-ha-ha! Aku penjahat besar Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga) dan engkau seorang di antara ratusan orang korbanku. Mau ikut? Mencintaku? Ha-ha, menggelikan sekali. Selamat tinggal, Nona manis. Apa yang terjadi semalam itu hanya menjadi kenangan manis.”
Sekali berkelebat, laki-laki itu telah lenyap dari dalam kamar yang mewah. Hanya bayangan saja tampak melayang ke luar dari jendela kamar yang seketika menjadi sunyi senyap, kemudian disusul dengan isak tangis tertahan dara itu. Terbayanglah semua yang terjadi oleh dara jelita itu.....
Tiga hari yang lalu, ketika dia bersama ayahnya berpesiar naik perahu di telaga, perahunya bertumbukan dengan perahu lain dan terguling. Untung dari perahu yang menumbuknya itu meloncat ke luar seorang pemuda tampan dan gagah yang menyambar dia dan ayahnya, bahkan membalikkan perahu sekaligus, dan menurunkan mereka di atas perahu. Ayahnya seorang kaya raya dan tentu saja para pelayan yang berada di perahu lain cepat memberi pertolongan. Akan tetapi andai kata tidak ada pemuda itu, agaknya ayahnya dan dia akan mengalami kekagetan dan basah kuyup sebelum tertolong.
Setelah menolong, pemuda itu tidak menanti ucapan terima kasih, langsung meloncat ke perahunya sendiri yang didayung pergi dengan cepat, tidak mempedulikan teriakan ayahnya. Akan tetapi ketika tadi menolongnya, menyambar tubuhnya, ia mendengar bisikan pemuda itu di telinganya, “Malam nanti aku menerima terima kasihmu di dalam kamarmu, Nona manis.”
Sehari itu Si Dara gelisah, akan tetapi kadang-kadang kedua pipinya menjadi merah dan jantungnya berdebar tidak karuan kalau ia terbayang akan wajah yang tampan, bentuk tubuh yang gagah dan sikap yang halus dari pemuda itu. Dan dia tidak berani menceritakan tentang bisikan itu kepada orang tuanya. Benarkah pemuda itu membisikkan kata-kata seperti itu? Ah, tidak mungkin! Betapa pun juga, hatinya menjadi gelisah dan malam itu ia mengunci semua jendela dan pintu kamarnya.
Setelah merebahkan diri dan menjelang malam baru pulas dengan hati lega akan tetapi juga kecewa, lega karena yang dlkhawatirkan tidak terjadi akan tetapi juga kecewa mengapa tidak terjadi (wanita memang aneh), tertidurlah Si Dara manis.
Akan tetapi, belum lama pulas ia terbangun dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda yang dibayangkan setiap detik sebelum pulas tadi kini telah rebah di sampingnya! Dia memang ada mengharapkan hal ini, akan tetapi setelah benar-benar terjadi ia kaget dan takut, lalu membuka mulut hendak menjerit.
Akan tetapi sekali bergerak, jari tangan pemuda itu telah menotok jalan darah di lehernya membuat dia tak dapat mengeluarkan suara. Kemudian dengan halus dan menarik pemuda itu mencumbu rayu, membujuk-bujuk dengan halus sehingga ketika totokannya dibebaskan, dara ini sama sekali tidak menjerit atau melawan. Jangankan melawan, bahkan dia membalas setiap rayuan laki-laki yang telah menjatuhkan hatinya itu. Dia jatuh dan mabok, menyerahkan segalanya dengan hati rela karena dia merasa yakin bahwa pemuda itu mencintanya, maka tentu akan meminangnya.
“Aahhh...!” Dara itu menangis makin sedih ketika teringat akan itu semua. Kiranya dia menjadi korban seorang laki-laki yang keji! Dan tidak lama kemudian, terdengar suara aneh dari dalam kamar itu, seperti suara leher dicekik, suara yang akan menggegerkan seisi rumah pada esok harinya karena suara itu keluar dari kerongkongan dara yang tadi menggantung diri di kamarnya!
Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan, karena patah hati sebagai akibat terputusnya cinta kasihnya dengan Ciok Kun Hwa, kemudian ditambah lagi dengan peristiwa bersama ibu tirinya sehingga dia diusir oleh ayahnya sendlri, Suma Hoat menjadi seorang laki-laki yang suka mempermainkan cinta wanita.
Mula-mula dia hanya ingin membalaskan sakit hatinya kepada wanita, akan tetapi lama-kelamaan hal itu menjadi kebiasaan dan menjadi penyakit sehingga dia berubah menjadi seorang yang selalu mencari korban, seperti seekor burung elang yang selalu kelaparan mengintai dari angkasa mencari anak ayam! Karena ilmu kepandaiannya tinggi dan tidak pernah ia dapat ditangkap, bahkan banyak orang gagah yang roboh ketika berusaha menangkapnya, Suma Hoat diberi julukan Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga), bahkan nama aslinya dilupakan orang.
Nona hartawan yang menggantung diri di kamarnya itu adalah korban yang entah ke berapa ratus. Begitu keluar dari kamar, Jai-hwa-sian tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan diri dara yang telah menjadi korbannya. Dia tahu bahwa banyak di antara mereka yang membunuh diri untuk lari dari aib dan malu, ada pula yang diam-diam merahasiakan peristiwa satu malam itu, akan tetapi dia tidak peduli dan juga tidak ingin tahu. Begitu keluar dari kamar, dianggapnya bahwa di antara dia dan korbannya sudah tidak ada sangkut-paut lagi, tidak ada hubungan atau urusan apa-apa lagi.
Sudah lebih dari lima tahun ia meninggalkan kota raja, meninggalkan orang tuanya dan selama perantauannya di dunia kang-ouw, ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri sepak terjang orang-orang gagah dan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang golongan hitam. Biar pun dia sendiri tidak berani menganggap dirinya sebagai orang gagah atau pendekar budiman, namun di lubuk hatinya ia selalu merasa kagum kepada para pendekar itu dan muak menyaksikan kelakuan tokoh-tokoh dunia hitam.
Mulailah terbuka mata hatinya betapa ayahnya selama ini melakukan perbuatan-perbuatan sewenang-wenang dan mulailah ia menaruh penghargaan kepada Menteri Kam, paman tuanya yang amat ia takuti itu. Dan ia berjanji di dalam hatinya untuk berusaha menjadi atau sedikitnya mencontoh perbuatan-perbuatan para orang gagah. Karena itu pemuda ini selalu mengulurkan tangan kepada pihak yang tertindas dan menentang golongan dunia hitam, sungguh pun ia tidak dapat meninggalkan kesukaannya merayu wanita-wanita untuk menjadi korbannya, bahkan kalau perlu menggunakan kekerasan!
Ia maklum bahwa perbuatannya itu tidak baik, akan tetapi dia sudah mencandu dan tidak dapat menghentikannya, terutama sekali kalau ia ingat akan sakit hati dan patah hatinya. Inilah sebabnya, di samping kebiasaannya memperkosa wanita, ia pun sering kali menolong orang-orang lemah tertindas sehingga dia di samping julukan Pemetik Bunga (Pemerkosa) juga di juluki Dewa!
Pada masa itu terjadilah perubahan besar. Setelah Kerajaan Khitan dihancurkan, terutama sekali oleh Kerajaan Yucen yang menjadi makin kuat, kemudian malah barisan Mongol ikut pula menyerbu, diam-diam dibantu oleh pasukan-pasukan Sung yang berada dalam kekuasaan Jenderal Suma Kiat, maka Kerajaan Yucen boleh dibilang tidak ada lagi saingannya di daerah utara di luar tembok besar. Benar bahwa bangsa Mongol sudah mulai memperlihatkan kekuatannya, namun bangsa ini sedang membangun dan menyusun kekuatan mengatasi bentrokan-bentrokan di dalam, di antara bangsa sendiri. Maka bangsa Yucen menjadi makin kuat sehingga bangsa ini mendirikan sebuah wangsa baru yang disebut Wangsa Cin.
Namun segera menjadi kenyataan pahit bagi Kerajaan Sung bahwa Kerajaan Cin yang baru ini ternyata lebih bengis dan sewenang-wenang dari pada Kerajaan Khitan yang sudah runtuh. Biar pun dahulu Kerajaan Khitan juga merupakan kerajaan kuat yang selalu menjadi ancaman untuk Kerajaan Sung, dan setiap tahun Kerajaan Sung mengirim upeti sebagai tanda persahabatan, namun Raja Talibu dari Kerajaan Khitan yang masih ingat akan darahnya yang separuh darah Han tidak terlalu mendesak dan selalu memperlihatkan sikap yang bersahabat dan saling menghormat. Kini bangsa Cin yang tahu akan kelemahan Sung menuntut upeti yang lebih besar dan yang sifatnya memaksa, seolah-olah upeti harus dlberikan sebagai tanda pengakuan kebesaran kerajaan baru Cin.
Kalau dahulu bangsa Khitan tidak pernah mengganggu Kerajaan Sung, kini Kerajaan Cin mulai memperlihatkan keserakahannya, bersikap menghina kepada bangsa Han, bahkan sedikit demi sedikit daerah-daerah di utara yang termasuk wilayah Sung dirampas dengan kekerasan. Kerajaan Sung tak dapat mempertahankan daerah ini dan selalu didesak mundur ke selatan.
Melihat keadaan ini, bangsa Han pada umumnya, terutama sekali kaum patriot dan orang gagah, menjadi cemas dan kecewa sekali. Tentu saja kekecewaan ini terutama mereka tujukan kepada pemerintah Sung yang amat lemah. Kaisar telah berada dalam cengkeraman para pembesar tinggi yang korup. Hidup Kaisar dan keluarganya terlalu mewah, yang diperhatikan hanyalah kesenangan-kesenangan pribadi saja, seolah-olah tidak mempedulikan betapa rakyatnya di sebelah utara ditindas, dirampok, ditawan dan dipaksa oleh bangsa Yucen yang kini mempunyai Kerajaan Cin yang makin kuat. Pesta pora, bersenang-senang, melakukan pemilihan dara-dara muda jelita setiap bulan memperbanyak isi haremnya dengan dara-dara cantik, membuang-buang kakayaan semena-mena tanpa mempedulikan bahwa semua itu adalah hasil keringat rakyat jelata, hanya inilah yang dikerjakan oleh kaisar dan keluarganya setiap saat.
Di luar istana, pembesar-pembesar korup berbuat sekehendak hatinya, merajalela tanpa ada pengawasan. Masing-masing mempunyai kekuasaan seperti raja-raja kecil di daerah masing-masing, mempergunakan kekuasannya untuk melakukan apa saja demi kesenangan diri pribadi, memeras, memaksa, merampas dan mengadakan peraturan-peraturan yang menekan bawahan. Setiap protes dan nasehat dianggap melawan kekuasaan dan terjadilah penangkapan-penangkapan dan hukuman-hukuman serta pembunuhan-pembunuhan sewenang-wenang.
Di sebelah dalam istana sendiri, Kaisar hanya seperti boneka hidup yang tenggelam dalam pelukan dara-dara muda jelita, dalam arak-arak wangi dan hidangan serba lezat, mabok oleh tubuh ramping berlenggak-lenggok menari, terbuai suara musik dan nyanyian-nyanyian merdu, dan terlena oleh bisik dan bujuk rayu kaum penjilat. Kekuasaan yang sesungguhnya tidak lagi terletak di tangan Kaisar, melainkan dipegang oleh para pembesar thaikam (orang kebiri) melalui lidah dan tubuh menggairahkan para selir.
Sedemikian besar kekuasaan dan pengaruh para thaikam dan selir muda itu sehingga boleh dibilang seluruh urusan kerajaan merekalah yang memutuskannya. Urusan pengangkatan pembesar-pembesar, baik sipil mau pun militer tergantung kepada mereka. Mereka mengajukan usul dan Kaisar menelannya begitu saja. Karena ini, timbullah sistim konco-isme, keluarga-isme, dan sogok-isme, sogokan yang berupa apa saja, benda mati mau pun benda hidup, benda mati berupa emas permata dan sutera-sutera halus, benda hidup berupa dara-dara jelita!
Keadaan semacam ini tentu saja mengakibatkan makin lemahnya Kerajaan Sung. Para tokoh kang-ouw, para partai-partai persilatan dan perkumpulan-perkumpulan orang gagah merasa marah sekali dan kecewa bukan main sehingga mereka mulai membenci kerajaan yang dipimpin oleh orang-orang lalim itu. Mereka ini lalu terpecah-pecah, mendukung dan membantu pembesar-pembesar dan raja-raja muda yang menguasai daerah-daerah, dan yang mulai memberontak dan tidak mengakui kedaulatan pemerintah Kerajaan Sung pusat.
Yang paling dibenci oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan oleh pembesar-pembesar daerah, di antara para pembesar daerah, di antara pembesar pusat yang korup, adalah Jenderal Suma Kiat. Kebencian mereka memuncak ketika pera pembesar daerah ini mendengar akan perbuatan Suma Kiat terhadap Menteri Kam yang mereka hormati, mereka percaya sepenuhnya sebagai penegak keadilan dan satu-satunya pembesar yang paling berani dalam menentang perbuatan lalim para thaikam dan kaisar sendiri. Bukan hanya para pembesar daerah yang membenci Suma Kiat, juga terutama sekali para tokoh kang-ouw yang menaruh hormat kepada putera Suling Emas itu menjadi sakit hati dan berusaha untuk membalas kematian Menteri Kam.
Mulailah terjadi kesimpang-siuran dan bentrokan-bentrokan ketika para pembesar daerah ini berkuasa dan berdaulat di daerah masing-masing dan mulailah penghidupan para pembesar kerajaan Sung menjadi tidak aman, setiap saat mereka terancam oleh pembunuhan-pembunuhan yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw dan juga mata-mata para pembesar daerah.
Hampir semua partai persilatan mengadakan aksi anti Kaisar dan anti Kerajaan Sung, kecuali Siauw-lim-pai. Pada waktu itu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai adalah seorang hwesio tua yang amat tinggi ilmunya, yaitu Kian Ti Hosiang. Ketika para muridnya menyatakan pendapat menghadapi kekacauan di Kerajaan Sung, ketua mereka, Kian Ti Hosiang merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada sambil berkata,
“Omitohud.... Segala peristiwa telah dikehendaki Yang Maha Kuasa dan menjadi akibat dari pada sepak terjang manusia yang selalu dikuasai nafsu pribadinya! Kita adalah orang-orang beragama yang bertugas menyebarkan agama, ada sangkut-paut apakah dengan urusan kerajaan? Siapa pun yang menjadi pembesar, bagi kita sama saja, mereka adalah manusia-manusia yang belum sadar dan sudah menjadi kewajiban kita untuk memberi penerangan. Mengikuti perputaran dan pertentangan kerajaan, berarti terjatuh ke dalam api permusuhan dan hal ini sungguh bertentangan dengan sifat kita. Tidak, Siauw-lim-pai tidak boleh terbawa-bawa dan kalian semua pinceng larang untuk mencampuri pertentangan di antara pembesar-pembesar daerah, orang-orang kangouw dan pemerintah pusat.”
“Maaf, Supek, teecu sekalian tentu saja mentaati pesan Supek dan semua nasehat Supek benar belaka,” kata seorang hwesio yang menjadi murid kepala, yaitu Ceng San Hwesio yang dianggap sebagai seorang hwesio yang paling ‘maju’ dan yang diharapkan kelak menggantikan kedudukan Ketua Siauw-lim-pai setelah ketua sekarang yang terhitung supeknya itu mengundurkan diri. “Akan tetapi apa bila badai mengamuk, semua pohon besar kecil akan diamuk badai. Binatang-binataang kecil seperti burung sekali pun akan berusaha menyelamatkan diri, apakah kita harus mandah saja menjadi korban keganasan badai?”
Dengan ucapannya ini, Ceng San Hwesio hendak mengatakan bahwa pertentangan antara para pembesar daerah dibantu orang kang-ouw dengan pemerintah pusat tentu akan mendatangkan perang dan mereka tentu akan terlanda akibat perang.
Kian Ti Hosiang mengangguk-angguk, ia maklum bahwa para murid Siauw-lim-pai, di samping menjadi kaum beragama, juga merupakan orang kuat yang memiliki kepandaian, penegak kebenaran dan tentu saja merasa penasaran menyaksikan kelaliman merajalela.
“Pohon akan tunduk oleh kekuasaan alam dan akan condong ke mana angin bertiup tanpa perlawanan. Mencontoh sifat pohon bukanlah hal yang mudah, akan tetapi kalau kalian tidak dapat mencontohnya tirulah sifat burung dilanda badai, yaitu mencari perlindungan dan keselamatan diri tanpa merusak dan merugikan pihak lain. Nah, kalian tentu mengerti dan laksanakanlah pesan pinceng ini.”
Setelah berkata demikian, Kian Ti Hosiang bersila dan memejamkan matanya. Ini merupakan tanda bagi para murid bahwa ketua itu mengakhiri wawancara dan telah mulai bersemedhi. Maka mereka pun bubaran.
Demikian sikap Ketua Siauw-lim-pai ini dijadikan pegangan oleh para murid, juga oleh semua cabang-cabang Siauw-lim-pai yang tersebar di mana-mana. Sikap ini adalah tidak ingin mencampuri pertentangan dan menjauhkan diri dari urusan kerajaan, tidak melakukan perbuatan permulaan ke arah permusuhan, namun hanya boleh bertindak menyelamatkan orang lain.
Cabang Siauw-lim-pai di kota Lo-kiu juga melakukan politik seperti itu. Para hwesio Siauw-lim-pai di cabang itu melakukan tugas mereka sehari-hari di dalam kelenteng dengan tekun dan tenteram, menyebar pelajaran tentang kasih sayang dan membantu rakyat yang membutuhkan bantuan. Beberapa kali mereka didatangi tokoh-tokoh kang-ouw, kaki tangan para pembesar daerah, dan petugas-petugas pembesar pusat untuk menarik mereka yang merupakan tenaga kuat untuk berpihak, namun semua permintaan ditolak dengan halus oleh Gin Sin Hwesio, ketua kelenteng Siauw-lim-pai di Lo-kiu itu.
Pada waktu itu memang belum ada terjadi perang terbuka, namun telah ada bentrokan-bentrokan kecil antara kaki tangan masing-masing pihak dan di mana-mana, termasuk di Lo-kiu, terdapat pertentangan paham dan diam-diam terdapat mata-mata semua pihak yang saling menyelidiki. Namun seperti biasa, rakyat yang sudah kenyang akan pertentangan itu masih melanjutkan usaha mereka seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Perdagangan masih tetap ramai, bahkan restoran-restoran masih penuh tamu yang datang untuk makan minum sambil bercakap-cakap.
Di tempat-tempat seperti inilah sering kali dijadikan tempat pertemuan antara teman golongan masing-masing sehingga tidak jarang pula terjadi bentrokan-bentrokan yang mengakibatkan luka-luka dan kematian. Akan tetapi hal yang amat mengherankan dan mengagumkan adalah, pihak yang melakukan bentrokan selalu mengganti kerugian pemilik restoran atau rakyat yang menderita rugi akibat bentrokan-bentrokan itu.
Hal ini adalah karena masing-masing golongan bukan hanya saling bermusuhan, akan tetapi juga berlomba untuk merebut hati rakyat yang amat diperlukan dukungannya. Karena itulah maka pemilik restoran-restoran tidak khawatir akan terjadinya bentrokan-bentrokan, bahkan sebagai pedagang-pedagang cerdik, setiap terjadi bentrokan yang merusakkan perabot restoran, mereka berkesempatan menarik keuntungan dengan menaikkan jumlah penafsiran ganti rugi! Juga para pembesar setempat selalu bersikap bijaksana, tidak mencampuri bentrokan-bentrokan itu karena sekali mereka ini mencampuri dan berat sebelah, berarti mereka akan menanam permusuhan!
Pada suatu pagi, restoran itu sudah hampir penuh oleh tamu yang datang berbelanja. Seorang pemuda tampan yang gagah sekali sikapnya, dan pakaiannya indah dengan pedang bergantung di punggung memasuki restoran. Pelayan menyambutnya dengan ramah dan mempersilakan duduk di meja sudut sebelah dalam yang kosong. Pemuda ini bukan lain adalah Suma Hoat.
Semenjak meninggalkan gadis yang kemudian membunuh diri dua hari yang lalu, dia belum bertemu dengan wanita yang menggerakkan birahinya sehingga hatinya menjadi kesal. Ia memasuki kota Lo-kiu juga dengan niat mencari calon korbannya, akan tetapi wanita di daerah ini tidak ada yang menarik hatinya.
Ia menanggalkan pedang dan buntalan pakaiannya, meletakkan di atas meja dan memesan makanan dan minuman. Setelah pelayan pergi untuk melayani pesanannya, pemuda ini menyapu ruangan restoran dengan pandang matanya. Tamu yang memenuhi tempat itu terdiri dari bermacam-macam golongan, dan ramailah mereka itu bercakap-cakap dengan teman masing-masing yang duduk semeja. Tidak ada yang menarik perhatian Suma Hoat, karena mereka itu terdiri dari pedagang-pedagang dan pelancong-pelancong. Melihat betapa para pedagang dan pelancong memenuhi restoran sambil bercakap-cakap dan bersendau-gurau, keadaan nampaknya tenang tenteram dan damai.
Akan tetapi ketika seorang tamu baru memasuki restoran, perhatian Suma Hoat segera tertarik sekali. Orang ini adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengannya, paling tinggi dua puluh lima tahun usianya. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan yang amat mencolok adalah kakinya yang tidak bersepatu, telanjang sama sekali!
Laki-laki ini memanggul sebuah tongkat dan ujung tongkat tampak sebuah buntalan kain kuning yang agaknya berisi pakaian. Wajah laki-laki ini kurus seperti tubuhnya, dan tidak ada keanehan menonjol pada dirinya, kecuali kaki telanjang itu dan sinar matanya yang tajam, serta senyumnya yang seolah-olah mengejek pada keadaan di sekitarnya. Rambutnya diikat ke atas dan dia lebih mirip seorang tosu perantau, hanya pakaiannya tidak seperti pendeta To-kauw (Agama To), melainkan seperti seorang petani yang bangkrut!
Tidaklah mengherankan apa bila pelayan restoran menyambut tamu istimewa ini dengan alis berkerut, hati curiga dan pandang mata pelayan itu naik turun melalui pakaian sederhana dan kaki telanjang.
Laki-laki itu mengikuti pandang mata Si Pelayan lalu berkata, “Bung Pelayan, engkau tidak melayani pakaian dan sepatu, bukan? Yang kau layani bukan pula orangnya, melainkan uangnya, bukan? Nah, aku mempunyai uang itu, maka jangan ragu-ragu melayani uangku!” Setelah berkata demikian, laki-laki itu menepuk-nepuk bungkusan di ujung tongkatnya dan terdengarlah suara berkerincingnya perak.
Pelayan itu cepat membungkuk dan mempersilakan tamu aneh itu duduk tidak jauh dari meja Suma Hoat. Ketika melewati meja ini, laki-laki tadi melirik ke arah pedang yang terletak di meja Suma Hoat, mengerling tajam ke arah Suma Hoat, lalu tersenyum dan membungkuk. Akan tetapi betapa pun tertarik hatinya, Suma Hoat pura-pura tidak melihatnya. Di dalam hatinya ia merasa geli dan menganggap betapa tepatnya ucapan orang aneh itu.
Memang tidak dapat disangkal betapa palsu sikap manusia yang matanya sudah tertutup oleh bayangan perak dan emas, silau oleh harta dunia sehingga setiap gerakan mereka merupakan pengabdian terhadap harta dunia!
Orang menilai orang lain bukan dari orangnya, melainkan dari pakaian, kekayaan, dan kedudukannya, pendeknya yang dinilai adalah hal-hal yang sekiranya dapat mendatangkan kesenangan dan keuntungan bagi yang menilai! Buktinya tersebar di mana-mana.
Datanglah ke rumah seseorang dengan pakaian butut dan nama tak terkenal, maka engkau akan disambut dengan penuh curiga, pandang rendah dan penghinaan karena Si Tuan Rumah menganggap bahwa engkau hanya akan mendatangkan kerugian dan ketidak-senangan belaka. Sebaliknya, kalau engkau datang dengan pakaian serba indah, dengan kekayaan berlimpah, dengan kereta mewah dan dengan nama besar serta kedudukan, tentu engkau akan disambut dengan terbongkok-bongkok dan tersenyum-senyum karena engkau dianggap akan mendatangkan keuntungan atau kesenangan! Hal ini tak mungkin dapat dibantah lagi karena memang kenyataannya demikianlah
Maka biar pun sikapnya tak acuh, diam-diam Suma Hoat memperhatikan laki-laki itu dan menduga bahwa orang itu tentulah bukan orang sembarangan, sungguh pun tak tampak sebatang pun senjata pada dirinya. Timbul kegembiraannya karena ada sesuatu yang menarik hatinya dan di dalam hatinya timbul pula keyakinan bahwa munculnya seorang tokoh luar biasa seperti ini tentu akan disusul dengan peristiwa yang menarik. Akan tetapi ia meragu. Jangan-jangan orang yang masih muda ini hanya berlagak saja, karena pada waktu itu memang tidak jarang orang berlagak dengan pakaian dan sikap yang aneh-aneh agar dianggap orang aneh, atau setidaknya agar dianggap bahwa dia adalah lain dari pada yang lain!