CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 15
Memang hebat! Sukarlah menentukan siapa di antara keduanya yang lebih cantik. Kadang-kadang tampak Maya lebih cantik, akan tetapi kadang-kadang Siauw Bwee lebih manis dan jelita. Hanya diam-diam ia harus mengakui bahwa sepasang mata Maya amat hebat, luar biasa hebatnya dan menyinarkan kehangatan yang membuat ia kadang-kadang merasa jantungnya berdebar, apa lagi ditambah bibir yang seolah-olah mengandung senyum penuh arti itu.
Gerakan halus di belakangnya pada saat itu amat dikenalnya. Berkat latihan yang tekun, tanpa menengok pun Han Ki maklum bahwa Maya telah berada dalam kamar kerjanya membuat arca. Dia mengenal benar gerakan halus kedua orang sumoi-nya, malah dapat membedakannya. Apa lagi ada keharuman yang khas pada diri masing-masing dara itu karena keduanya suka memakai bunga yang berlainan, bunga-bunga yang sering kali dipetiknya dari pulau-pulau lain, yang dia cari untuk kedua orang sumoi-nya karena dia tahu bahwa semua wanita menyukai bunga dan bau-bau harum.
“Suheng...”
Han Ki menoleh tersenyum. “Sudah hampir jadi arca-arca kita, Sumoi. Hanya tinggal menghaluskannya saja, dalam sehari saja tentu selesai.”
Maya berlutut di dekat suheng-nya. “Suheng, arca siapakah yang terindah di antara tiga buah arca ini?”
Pertanyaan kanak-kanak, pikir Han Ki sambil tersenyum dan dia menjawab, suaranya menggoda, “Tentu saja arcaku sendiri!”
“Ah, Suheng sombong!”
Han Ki hanya tertawa.
“Suheng, kalau dua yang lain ini, mana lebih cantik?”
Han Ki mengerutkan alisnya, sejenak tak dapat menjawab. Akan tetapi kemudian terdengar suaranya menggoda karena dia terpaksa melayani pertanyaan yang manja itu, “Wah, tentu saja arcamu lebih cantik.”
Wajah yang manis itu berseri. Pandang mata yang biasanya hangat itu lebih panas lagi, senyumnya manis memikat. “Suheng...,” Maya menyentuh lengan suheng-nya, “Benarkah engkau anggap aku paling cantik?”
Han Ki menatap wajah sumoi-nya dan memang dia harus mengakui bahwa wajah itu luar biasa cantiknya, kecantikan khas, yang sukar dilukiskan karena memiliki ciri tersendiri dan mempunyai daya pikat yang amat kuat. Terpaksa ia mengangguk dan menjawab sungguh-sungguh, “Engkau memang cantik jelita, Sumoi.”
“Tidak ada wanita di dunia ini yang melebihi kecantikanku?” Pertanyaan ini makin manja dan Maya mendekatkan mukanya. Tampak garis-garis muka yang amat indah itu, bulu matanya panjang lentik melengkung, agak merapat karena mata itu memandang setengah terpejam, bibir itu terbuka sedikit, tampak sederetan gigi putih dan napas dara itu seperti agak terengah.
Han Ki hanyalah seorang laki-laki yang masih muda pula. Jantungnya berdebar dan jakunnya bergerak ketika ia menelan ludah, “Engkau cantik sukar dicari bandingnya di dunia ini, Maya.”
Maya memandang dengan sinar mata penuh arti, tangannya memegang lengan Han Ki, suaranya menggetar berbisik, “Suheng, engkau pun bagiku merupakan pria yang paling hebat di dunia ini.”
“Maya...!” Han Ki membantah kaget.
Akan tetapi Maya yang sudah mabok oleh perasaannya sendiri itu melanjutkan. “Suheng, bukankah aku lebih cantik pula dibandingkan dengan Sung Hong Kwi?”
“Maya-sumoi...!”
Maya sudah menjatuhkan diri ke dalam pelukan suheng-nya dan berbisik, “Suheng, aku bersedia menjadi pengganti Hong Kwi... aku... Suheng, bukankah engkau mencintaku seperti aku cinta padamu...?”
Kali ini benar-benar Han Ki terkejut karena di luar kesadarannya ia telah memeluk tubuh itu penuh dendam rindu terhadap Sung Hong Kwi yang selama lima tahun ditahan-tahannya, bahkan muka Maya yang tengadah itu dekat sekali dengan mukanya sehingga napas yang keluar dari hidung dara itu menyentuh pipinya. Bagaikan sinar kilat tampak wajah gurunya dan Han Ki melepaskannya, bangkit berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi Maya, memejamkan mata mengheningkan hati dan pikirannya mengusir gairah nafsu yang menyesakkan dada.
“Suheng...!” Maya juga bangkit berdiri dan memeluk pinggangnya.
“Maya-sumoi, jangan...!” Han Ki berkata dan melepas kedua lengan yang merangkul pinggang itu, melangkah maju dua langkah sambil membalikkan tubuh menghadapi sumoi-nya. Kini ia telah menguasai nafsunya dan matanya memancarkan pandang mata penuh teguran.
“Sumoi, mulai detik ini jangan engkau ulangi semua sikap dan kata-katamu tadi!”
“Suheng..., Aku... cinta padamu, Suheng...”
“Diam! Keluarlah engkau sebelum kutampar!”
Maya memandang dengan mata terbelalak lebar, seperti mata kelinci yang ketakutan, napasnya terengah dan naiklah sedu-sedan dari dadanya, kemudian membalik dan lari ke luar sambil terisak.
Han Ki memejamkan mata, menarik napas panjang dan kedua kaki yang lemas itu berlutut, dan kemudian ia memandangi arca-arca itu. Maya mencintainya! Dan biar pun Siauw Bwee tidak pernah memperlihatkan sikap dengan terang-terangan, namun ia dapat menduga bahwa Siauw Bwee juga mencintanya! Dan dia? Ah, cintanya sudah habis, sudah terbang pergi bersama Hong Kwi. Betapa mungkin ia jatuh cinta lagi?
Namun ahhh.... dia bergidik kalau teringat tadi betapa nafsu birahi menguasainya, membuat ia ingin memeluk ketat tubuh itu, ingin mencium bibir dan mata itu, ingin membelai merayu. Ah, betapa mudahnya ia jatuh cinta kepada Maya, dan... ketika ia memandang arca Siauw Bwee, dia pun tahu bahwa akan amat mudah pula, semudah tadi, ia jatuh hati kepada Khu Siauw Bwee yang halus wataknya. Celaka!
“Kau... kau mata keranjang!” Han Ki menampar kepalanya sendiri.
Terbayanglah wajah Hong Kwi dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Sampai lama ia termenung seperti itu, berjam-jam dan hanya dengan kekuatan batinnya yang hebat saja akhirnya ia dapat menindas perasaannya. Kemudian, seperti orang mabok ia melanjutkan pekerjaannya memperhalus tiga buah arca itu, tidak mempedulikan apa-apa. Bahkan ketika dua kali Siauw Bwee menjenguknya, kemudian mengajaknya makan setelah bertanya mengapa dia tidak tidur, dia hanya menjawab tanpa menoleh.
“Aku tidak lapar dan tidak mengantuk. Aku ingin menyelesaikan ini, Khu-siauwmoi, tinggalkan aku sendiri.”
Pada jengukannya yang ke dua, Siauw Bwee ragu-ragu dan memandang suheng-nya, kemudian berkata, “Ini tentu kesalahan suci entah apa sebabnya!”
Han Ki terkejut, akan tetapi menindas perasaannya dan menoleh. “Mengapa engkau, berpendapat demikian?”
“Kulihat Suci menangis, dia pun tidak mau makan, tidak mau tidur. Ketika aku bertanya dan menghiburnya dia malah membentakku agar aku tidak mencampuri urusannya. Suheng, apakah yang terjadi?”
“Tidak apa-apa. Aku pun tidak tahu dia mengapa? Sudahlah, tinggalkan aku sendiri, Sumoi!”
Sejenak Siauw Bwee berdiri di belakangnya, ragu-ragu. Kemudian terdengar ucapannya lirih, “Engkau kelihatan berduka, Suheng. Kenapakah?”
“Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!”
“Suheng, selama lima tahun kita tinggal di sini, baru sekarang kulihat engkau berduka dan Suci menangis. Suheng, engkau... engkau satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini, di samping ibuku yang entah berada di mana. Suheng, kalau engkau berduka, aku ikut berduka...”
Han Ki memejamkan mata, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Akan tetapi hanya sebentar ia telah dapat menguasai dirinya. Ia menoleh, memaksa diri tersenyum dan berkata, “Engkau ini aneh-aneh saja, Sumoi. Aku tidak apa-apa, hanya tekun menyelesaikan arca-arca ini. Eh, bagaimana dengan perahu yang kau buat? Telah selesaikah?” Dia sengaja membelokkan percakapan untuk mengalihkan perhatian sumoi-nya itu.
“Sudah, Suheng. Layar yang kau beri sudah kujahit dan kupasang. Besok pagi akan kucoba. Aku ingin mengunjungi pulau yang kulihat di sebelah selatan itu!”
Han Ki tersenyum. “Itu Pulau Kijang. Pulau kosong akan tetapi banyak binatang kijang di sana.”
“Aku ingin menagkap kijang.”
”Boleh, akan tetapi kalau memburu kijang, cari yang sudah tua agar pembiakannya tidak terganggu.”
“Aku ingin menangkap seekor anak kijang, tidak membunuhnya. Aku ingin memeliharanya, untuk teman di sini.”
Han Ki berdiri, membalikkan tubuh dan memandang sumoi-nya. “Apa? Di sini ada aku dan suci-mu, dan engkau hendak mencari kijang untuk teman?”
Siauw Bwee menunduk dan terdengar suaranya lemah seperti berbisik, “Aku... aku kadang-kadang merasa kesepian, Suheng, terutama sekali... sekarang ini....” Setelah berkata demikian Siauw Bwee membalikkan tubuhnya dan lari pergi.
“Hei...! Khu-sumoi...?” Han Ki memanggil akan tetapi dara itu tidak menoleh dan lapat-lapat Han Ki mendengar sumoi-nya itu terisak! Han Ki berdiri termangu-mangu kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Perempuan...!” gumamnya dengan hati terheran-heran dan tidak mengerti.
Hatinya makin bingung dan makin berduka karena perasaannya membisikkan bahwa mulai saat itu ia hanya akan menjumpai kesulitan-kesulitan dengan kedua sumoi-nya itu. Untuk melupakan perasaannya, semalam suntuk dia tidak tidur dan memperhalus ukiran tiga buah arcanya.
Pada keesokan harinya barulah pekerjaannya selesai dan selagi ia hendak beristirahat, tiba-tiba ia terlonjak bangun karena mendengar suara desir angin yang aneh dan yang dikenalnya baik-baik. Itulah suara pukulan-pukulan dengan tenaga sinkang yang kuat. Biasanya desir angin pukulan itu terdengar di waktu kedua sumoi-nya berlatih, akan tetapi sekali ini desir angin hebat itu diseling suara bentakan-bentakan nyaring orang bertempur.
Ia merasa heran dan khawatir sekali, cepat meloncat bangun dan melesat ke luar dari Istana Pulau Es. Ketika tiba di luar, ia berdiri kaget melihat betapa kedua orang sumoi-nya sudah saling serang dengan hebatnya! Pohon tumbang dan batu berhamburan dilanggar angin pukulan kedua sumoi-nya yang berkelahi dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan semua ilmu yang selama ini mereka latih. Sekali ini mereka bukan sedang berlatih, melainkan sedang saling serang sungguh-sungguh, setiap serangan mendatangkan maut. Sekelebatan saja ia dapat mengerti bahwa dalam perkelahian itu, Siauw Bwee masih bersikap mengalah dan lebih banyak mengelak, akan tetapi Maya menyerang seperti seekor singa betina kehilangan anaknya.
“Maya...! Siauw Bwee...! Berhenti...!” Han Ki berteriak sambil lari menghampiri.
Akan tetapi ia tertegun dan menghentikan larinya ketika melihat kini kedua orang dara itu saling serang dari jarak dekat, tidak hanya mengandalkan sinkang seperti tadi, melainkan menggunakan jari-jari tangan mereka yang lihai dan yang merupakan cengkeraman-cengkeraman maut, totokan-totokan yang mengancam nyawa! Akan tetapi yang membuat Han Ki tertegun adalah jeritan mereka yang saling menuduh.
“Engkaulah yang membuat suheng berduka! Engkau sungguh seorang adik yang tidak mengenal budi!”
“Dan engkau... engkau yang menjadi biang keladinya sehingga dia tidak dapat menerima cintaku!” Maya membalas dengan teriakan marah.
“Begitukah? Kalau benar dia mencintaku, sepatutnya kau tahu diri!” balas Siauw Bwee.
“Kau perempuan tak bermalu!”
“Engkau yang tidak tahu malu!”
“Sumoi... ! Jangan berkelahi!” Han Ki berteriak keras dan tubuhnya mencelat menangkis sambil mengerahkan tenaga. Akibatnya, tubuh Maya dan Siauw Bwee terlempar ke belakang, terpental dan terhuyung-huyung.
“Kau... membelanya...!” Siauw Bwee berkata sambil menangis.
“Kau... kau... melemparku dahulu, kau... benar-benar mencinta bocah kurang ajar ini!” Maya juga menangis.
“Ahh, Maya-sumoi dan Khu-sumoi, apakah kalian berdua telah menjadi gila? Hentikan permusuhan gila ini! Aku... aku... ahhh...!” Han Ki menjambak rambutnya sendiri dan ingin pula dia menangis!
“Suheng! Berterus teranglah, apakah engkau mencinta Maya-suci?” Siauw Bwee bertanya.
“Suheng, engkau bilang aku paling cantik di dunia ini! Bukankah engkau mencintaku? Ataukah... engkau cinta kepada Sumoi?” Maya juga menuntut jawaban pasti.
Wajah Han Ki menjadi pucat. Kemudian ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya karena pandang matanya terasa berkunang-kunang. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Aku tidak tahu... aku tidak tahu. Kalian adalah kedua orang sumoi-ku, seperti adik-adikku sendiri... aku tidak cinta siapa-siapa...!”
Ia hanya mendengar isak tertahan dan mendengar berkelebatnya gerakan tubuh mereka pergi dari situ. Dia tidak peduli, bagi dia asalkan kedua orang dara itu tidak saling serang pada saat itu, cukuplah. Akan tetapi ketika sampai lama dia tidak mendengar gerakan mereka, ia membuka kedua tangannya dan memandang. Kedua orang dara itu tidak tampak lagi dan keadaan di sekelilingnya sunyi. Sunyi dan dingin karena angin yang bertiup membawa datang salju-salju tipis.
Ia mulai merasa khawatir, lalu melangkahkan kaki mencari kedua orang sumoi-nya, khawatir kalau-kalau mereka itu pergi untuk melanjutkan pertandingan mati-matian di bagian lain dari pulau itu. Akan tetapi mereka tidak ada di pulau dan betapa kaget hatinya ketika melihat dua buah perahu berlayar, jauh dari pantai, yang sebuah ke barat, yang sebuah lagi selatan. Ia mengenal perahu lama dengan layar hitam itu membawa Maya menuju ke barat, sedangkan yang sebuah lagi adalah perahu buatan Siauw Bwee, dengan layar kuning meluncur pergi membawa dara itu ke selatan!
Han Ki berlari ke pantai, berteriak nyaring, “Sumoiiii...!”
Akan tetapi samar-samar dia hanya melihat kedua orang sumoi-nya itu menoleh dan melambaikan tangan, kemudian tangan yang melambai itu menyentuh muka, seperti menghapus air mata! Tak terasa lagi kedua mata Han Ki menjadi basah dan dia memandang sampai kedua buah perahu itu lenyap dari pandang matanya. Di dalam hatinya, semenjak tinggal di situ dia sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke dunia ramai. Akan tetapi kini kedua orang sumoi-nya, dua orang yang paling dicintainya di dunia ini, meninggalkan Pulau Es, menempuh hidup menghadapi dunia ramai yang penuh bahaya.
Teringat dia akan cita-cita kedua orang sumoi-nya membalas dendam, dan terbayanglah dia betapa sumoi-sumoi-nya itu akan menghadapi bahaya-bahaya besar. Betapa mungkin ia mendiamkan saja kedua orang yang dikasihinya itu terancam bahaya di sana? Tidak, dia harus pergi menyusul, membantu mereka dan kalau mungkin mengakurkan mereka. Akan tetapi mungkinkah ini? Betapa pun juga, dia harus menyusul mereka dan berusaha.
Setelah dua buah perahu itu tidak tampak lagi, Han Ki mengalami perasaan yang selama hidupnya belum pernah dirasainya, yaitu perasaan hati kosong dan nelangsa, seolah-olah semangat dan segala gairah hidupnya terbang melayang dibawa pergi bayangan dua buah perahu yang ditumpangi Maya dan Siauw Bwee. Lenyaplah semua gairah dan kegembiraan hidup, seolah-olah kegembiraan hidupnya selama ini berada di tangan kedua sumoi-nya itu. Han Ki menjatuhkan diri duduk di pantai. Ia termenung, hatinya kosong, sedangkan pikirannya melayang-layang jauh mencari-cari dan terkenanglah ia akan keadaan hidupnya selama ini.
Semenjak kecil ia sudah sebatang kara, seorang diri di dunia ini dan selama itu ia selalu gembira, tidak pernah merasa kehilangan sesuatu. Kemudian pengikatan cinta kasihnya dengan Sung Hong Kwi membuat ia merasa sengsara dan menderita kehilangan karena dipisahkan dari orang yang dicintanya itu. Namun rasa sengsara itu terobati ketika ia tinggal di pulau ini bersama kedua orang sumoi-nya. Semua rasa sayangnya ia curahkan kepada kedua orang sumoi-nya itu. Dan sekarang timbul pula keruwetan karena cinta, dan akhirnya dia menderita lebih hebat lagi setelah kedua orang itu pergi meninggalkan Pulau Es, meninggalkan dia! Maka teringatlah ia akan petuah-petuah Bu Kek Siansu, gurunya yang bijaksana.
“Han Ki, segala hal yang menimpa dirimu kelak, jangan kau persalahkan keadaan di luar dirimu, karena sesungguhnya yang menjadi sebab dari pada akibat yang menimpa diri berada di dalam diri sendiri. Carilah sebab-sebabnya pada dirimu sendiri dan dengan jalan itu engkau akan dapat memperbaiki diri dan mengenal kekotoran diri sendiri. Mengenal cacat diri pribadi jauh lebih penting dan berharga dari pada mengenal cacat selaksa orang lain.”
Teringat akan petuah ini, Han Ki mengangguk-angguk, kemudian termenung lagi karena dalam menderita kekosongan hati dan kehilangan ini lapat-lapat terngiang di telinganya petuah gurunya mengenai hal ini.
“Segala peristiwa merupakan mata rantai yang tak dapat dipisah-pisahkan, karena saling menyambung, saling mengikat dan saling menjadi sebab. Segala macam perasaan suka-duka, gembira, marah, puas, kecewa dan lain-lain hanyalah permainan dari pada rasa sayang diri dan iba diri. Yang mau bersuka tentu akan bertemu dengan duka. Ingatlah, Han Ki, bahwa senang bergandeng tangan dengan susah. Hanya dia yang memiliki saja yang akan kehilangan! Memiliki itu bersifat senang, akan tetapi memiliki membawa datang kewajiban paksa yaitu menjaga karena di depannya terbentang mengerikan jurang kehilangan. Karena ada dan tiada itu saling mengait, yang ada tentu akan tiada, sebaliknya yang tiada tentu akan ada, maka yang memiliki tentu akan kehilangan! Dan dia yang merasa suka di waktu memiliki, sudah tentu saja akan menderita duka di waktu kehilangan. Oleh karena itu, Han Ki, berbahagialah si bijaksana yang tidak memiliki apa-apa, karena dia akan bebas dari pada suka mau pun duka!”
Han Ki termenung mengerutkan alisnya. Betapa tepat petuah gurunya itu, betapa cocok dengan keadaan hidupnya. Bahkan ia yakin bahwa wejangan itu cocok pula dengan kehidupan semua manusia.
Orang yang tidak mempunyai apa-apa takkan khawatir kehilangan. Si pembesar khawatir kehilangan kedudukannya, si hartawan khawatir kehilangan hartanya, si terkenal khawatir kehilangan kesohorannya, dan kalau sampai kemudian terjadi kehilangan, itu akan menimbulkan duka.
Seperti dia sekarang, karena dia memiliki kedua orang sumoi-nya, mencintainya, maka kini kehilangan dan menimbulkan duka nestapa di hatinya, menyesal kecewa dan suka! Dahulu pun, karena dia memiliki Sung Hong Kwi, mencintainya, dia menjadi berduka ketika kehilangan. Andai kata dia tidak memiliki kesemuanya itu, pasti sekarang dia akan tetap hidup tenang gembira!
“Janganlah kita sampai dikuasai nafsu, Han Ki. Sebaliknya kita harus menguasai nafsu perasaan sehingga kita mempunyai tanpa memiliki. Pada lahirnya kita mempunyai namun batin kita tidak terikat sehingga batin kita tidak tergoncang sewaktu yang kita punyai itu hilang, karena hal itu sudah wajar. Mata batin yang sadar sudah menjadi waspada, melihat sesuatu berlandaskan kewajaran sehingga tidak lagi menjadi kaget, tidak menjadi duka karenanya. Menang dan kalah sudah menjadi rangkaian maka wajarlah. Berkumpul dan berpisah wajar pula. Tidak ada hal aneh di dunia ini yang patut disesalkan.”
Han Ki menghela napas panjang. Melamun dan mengenangkan kembali semua wejangan gurunya yang merupakan obat yang amat mujarab karena kini dia merasa hatinya ringan, tidak seberat tadi, sungguh pun gundah gulana yang menyesak dada tidak mungkin dapat lenyap. Bukan hanya karena kehilangan dua orang yang dicintainya, melainkan karena kedua orang sumoi-nya itu membawa ganjalan hati yang rumit, membawa dendam dan permusuhan karena cinta, cinta dua orang dara remaja terhadap dirinya!
Mulai saat itu bangkitlah semangat Han Ki dan dia lalu membuat sebuah perahu. Beberapa pekan kemudian berangkatlah Han Ki menaiki perahunya yang kecil sederhana, meninggalkan Pulau Es, meninggalkan tiga buah arca yang seolah-olah kini menggantikan mereka menghuni Istana Pulau Es yang mereka tinggalkan.
Kalau hati Han Ki merana karena ditinggal pergi dua orang yang dikasihinya sehingga dunia terasa kosong olehnya, hati Maya pun merana penuh kekecewaan dan penuh cemburu terhadap sumoi-nya. Dia mencintai suheng-nya. Melihat sikap suheng-nya selama lima tahun dia tinggal di Pulau Es, dia pun merasa yakin bahwa suheng-nya mencintainya. Bukan hanya mencinta seperti seorang suheng terhadap sumoi-nya, melainkan cinta seorang pemuda terhadap seorang dara!
Hal ini diketahuinya benar atau diduganya penuh keyakinan. Menyaksikan sikap dan pandang mata Han Ki, juga ketika suheng-nya mengukir arcanya, jari-jari tangan suheng-nya itu penuh perasaan dan amat mesra, sehingga ketika ia menonton suheng-nya bekerja menyelesaikan arcanya, dia merasa seolah-olah jari tangan suheng-nya itu bukan meraba-raba arca, melainkan meraba dan membelai tubuhnya sendiri, membuat ia merasa mesra dan nikmat. Akan tetapi, mengapa suheng-nya tidak mau mengaku cinta? Apakah karena di sampingnya ada Siauw Bwee?
Hatinya kecewa, penasaran, dan mengkal. Maka larilah dara ini kepada cita-citanya. Dia harus memenuhi cita-citanya. Dia harus membalas dendam keluarganya. Membalas kematian ayah bundanya, membalas kehancuran kerajaan ayahnya. Dia akan membalas dendam kepada Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung, terutama sekali Kerajaan Sung karena selain kerajaan ini ikut bertanggung jawab atas kehancuran Kerajaan Khitan dan tewasnya ayah bundanya, juga Kerajaan Sung telah menewaskan pek-hu-nya, Menteri Kam Liong, dan telah membikin sengsara pula kepada suheng-nya, Kam Han Ki.
Dia harus membalas Kerajaan Sung, inilah tugasnya yang paling penting. Biar pun dia tidak tahu bagaimana caranya membalas dendam kepada sebuah kerajaan, namun dia akan mencari cara itu, dan tidak akan berhenti sebelum cita-citanya tercapai. Dia percaya bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi dan dia tidak takut menghadapi siapa pun juga di Kerajaan Sung!
Perahunya berlayar terus ke barat. Sampai keesokan harinya, dia belum melihat daratan besar, hanya bertemu dengan pulau-pulau kecil yang kosong. Akan tetapi pada keesokan harinya, menjelang tengah hari, ia terkejut melihat sebuah mayat manusia terbawa ombak berlalu di dekat perahunya. Mayat seorang laki-laki yang berpakaian tentara! Maya cepat lari ke pinggir perahu dan kini tampaklah olehnya bahwa bukan hanya sebuah itu saja mayat yang terapung di laut karena segera tampak banyak sekali mayat manusia di samping bagian-bagian perahu yang pecah dan peralatan perang yang terbawa hanyut oleh ombak. Siapakah mereka?
Tentara mana dan mengapa perahu mereka pecah dan mereka semua tewas? Pada tubuh mayat-mayat itu tampak luka-luka bekas senjata tajam. Agaknya terjadi pertempuran yang mengakibatkan semua ini, pikirnya. Tiba-tiba ia makin terkejut melihat asap membubung tinggi di sebelah kiri perahu, agak jauh dari situ.
Maya cepat mengatur kemudi dan membelokkan perahunya menuju ke arah asap yang membubung tinggi. Perahunya melawan ombak dan tak lama kemudian tampaklah olehnya penyebab asap itu. Kiranya ada beberapa buah perahu terbakar dan di atas lautan yang bergelombang itu tampak olehnya pertempuran yang dahsyat antara dua pasukan di atas perahu-perahu besar dan kecil yang bergerak-gerak naik turun oleh ombak. Udara yang digelapkan oleh asap itu penuh dengan anak panah yang beterbangan ke sana-sini mengeluarkan bunyi bersuitan dan amat banyak bagaikan hujan saling menyerang musuh kedua pihak.
Tampak pula panah-panah yang dipasangi kain berminyak yang bernyala-nyala menyambar perahu-perahu dan terbakarlah perahu-perahu yang terkena panah berapi ini. Dahsyat dan mengerikan, bising oleh suara anak panah, suara api memakan perahu, dan suara teriakan-teriakan manusia sedang berjuang melawan maut. Mayat-mayat bergelimpangan di atas perahu-perahu, ada yang terapung-apung, ada pula yang terluka dan belum mati terlempar ke laut. Teriakan mereka melolong-lolong karena ngeri menghadapi maut di laut, sungguh menyayat hati.
Banyak sekali di antara prajurit yang tadinya dengan gagah berani menghadapi maut melawan musuh, setelah kini berada dalam cengkeraman maut yang berada di tengah gelombang lautan, menjerit-jerit dan minta tolong seperti seorang pengecut yang penakut. Memang ada kalanya orang yang berani mati menghadapi ancaman maut di tangan senjata tajam musuh menjadi ketakutan menghadapi ancaman maut ditelan air.
Maya memandang semua itu dengan hati tertarik. Aneh-aneh sekali. Dia tidak merasa ngeri atau takut! Pengalaman-pengalamannya setelah Kerajaan Khitan hancur, ketika dia dibawa pasukan Khitan yang berkhianat di bawah pimpinan bekas pengawal Bhutan, amatlah hebatnya sehingga perang bukan merupakan hal yang baru baginya.
Dia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri, bahkan tertarik hatinya untuk ikut pula berperang! Dia tidak tahu siapa yang berperang, akan tetapi dia ingin membantu pihak yang terdesak! Karena itu Maya mempercepat perahunya menghampiri daerah perang yang mengerikan itu, dan matanya memandang penuh perhatian. Ketika ia melihat sebuah perahu besar seperti perahu perang dikepung oleh banyak perahu-perahu kecil, ia mendekatkan perahunya ke tempat itu.
Kagum hatinya menyaksikan beberapa orang berpakaian perwira dan anak buahnya mempertahankan perahu besar itu. Setiap kali ada prajurit dari perahu-perahu kecil itu berhasil meloncat ke atas perahu besar, tentu orang ini roboh lagi dengan tubuh terluka. Gerakan para perwira di atas perahu besar menunjukkan bahwa mereka memiliki kegagahan dan kepandaian lumayan. Akan tetapi serangan anak panah yang seperti hujan lebatnya telah merobohkan banyak anak buah perahu besar sehingga di atas dek perahu besar itu telah bertumpukan mayat-mayat prajurit.
Hanya beberapa orang perwira yang masih sempat mempertahankan diri, menggunakan golok besar atau pedang untuk menangkis semua anak panah yang menyambar ke arah diri mereka. Di antara beberapa orang perwira itu, ada dua orang yang amat mengagumkan hati Maya.
Mereka itu amat gagah perkasa, bukan hanya melindungi diri sendiri namun juga orang ini membagi-bagi perintah dan berusaha melindungi anak buah mereka dengan pedang mereka yang panjang. Seorang di antara mereka yang berpakaian amat indah dan gagahnya dapat ia kenal dari pakaiannya sebagai seorang panglima besar, berjenggot panjang dan sudah putih.
Ada pun orang kedua adalah seorang berpakaian panglima muda yang brewok dan gagah perkasa, yang berjuang bahu-membahu dengan Si Panglima Besar. Namun keadaan mereka itu amat terdesak, tidak hanya karena pihak musuh yang amat banyak jumlahnya, yang meloncat dari perahu-perahu kecil yang mengepung perahu besar, akan tetapi juga karena para anak buah mereka itu sibuk memadamkan perahu besar yang sudah terbakar sebagian!
“Gak-goanswe (Jenderal Gak), engkau sudah memberontak terhadap Kerajaan Sung, dan sekarang telah terkepung. Menyerahlah!” terdengar teriakan dari perahu-perahu kecil.
Mendengar ini segera timbul rasa suka di hati Maya terhadap jenderal yang agaknya memberontak terhadap pemerintah Sung ini. Inilah kesempatannya untuk membalas, pikirnya. Yang berperahu besar itu adalah seorang jenderal dengan anak buahnya yang memberontak dan lawan mereka adalah tentara Kerajaan Sung yang harus dibasminya!
Dengan dayungnya, Maya lalu mendayung perahunya menuju ke tengah medan pertempuran. Ada anak panah yang menyeleweng dan menyambar ke arahnya, akan tetapi hanya dengan kebutan tangan ia berhasil meruntuhkan semua anak panah dan akhirnya ia dapat mendekatkan perahunya ke perahu besar setelah melalui kobaran api yang memakan perahu. Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet, tubuhnya mencelat ke atas perahu besar.
“Basmi tentara Sung yang lalim!” teriaknya dan sekali menggerakkan kaki tangan, tiga orang tentara Sung yang mengeroyok panglima besar pemberontak itu roboh.
Dengan cekatan sekali Maya merampas sebatang golok dan sebatang pedang, lalu mengamuklah sang dara perkasa ini yang membuat Si Jenderal melongo. Baru sekarang ini ia menyaksikan seorang dara jelita yang masih remaja, bersilat secara aneh, tangan kiri mainkan golok dengan ilmu golok sedangkan tangan kanan mainkan pedang dengan ilmu pedang.
Dalam waktu beberapa menit saja, lima orang pengeroyok roboh dan tubuh mereka mencelat ke luar dari perahu besar, terjatuh ke laut karena ditendang kaki-kaki yang kecil mungil itu! Setelah kepungan terhadap diri Sang Jenderal itu berkurang sehingga Sang Jenderal dengan leluasa dapat bergerak melindungi dirinya, Maya lalu meninggalkannya untuk mengamuk dan membabati tentara musuh yang mulai membakar layar perahu besar.
Amukannya hebat sekali dan setelah golok dan pedang rampasannya yang buruk itu rusak-rusak, ia menangkap tengkuk leher seorang perwira Sung yang berhasil naik ke perahu besar, kemudian merampas pedang dan sarung pedangnya yang indah, dan sekali menggerakkan tangan ia melempar tubuh sang perwira Sung dari perahu besar pula. Kini dara perkasa itu mengamuk dengan pedang di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri.
Akan tetapi di sebelah belakang perahu besar terjadi keributan hebat. Maya cepat menengok dan alangkah kagetnya ketika ia menyaksikan pemandangan aneh. Dua orang laki-laki yang tubuhnya menempel satu sama lain, dua orang dampit, mengamuk dan membantu tentara kerajaan Sung! Gerakan mereka tangkas dan aneh sekali. Maya segera teringat akan cerita suheng-nya akan sepasang manusia dampit yang amat lihai, bersembunyi di tempat keramat Pulau Nelayan. Pada saat itu perwira pemberontak yang brewok, yang gagah perkasa menerjang marah kepada sepasang orang dampit yang merobohkan banyak anak buahnya.
Perwira muda itu menerjang dengan pedang panjangnya, menyerang dua orang yang tubuhnya menjadi satu dan bersambung di bagian punggung. Akan tetapi Si Dampit itu lihai bukan main karena empat buah tangan mereka bergerak secara berbareng dan tahu-tahu pedang di tangan panglima muda itu telah dirampas, pundak Si Panglima Muda dicengkeram dan di lain saat Sang Panglima Muda pemberontak sudah ditawan dan dikempit dalam keadaan lumpuh tertotok!
“Tawan dan bawa dia ke sini!” terdengar perintah dari sebuah di antara perahu kecil.
Maya menjadi marah sekali. Begitu melihat sepasang manusia dampit, sudah timbul kebenciannya, apa lagi melihat mereka telah menawan panglima muda pemberontak yang sedang dibelanya. Maka ia pun merobohkan para pengeroyok dengan pedangnya yang digerakkan secara luar biasa cepatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke arah sepasang orang dampit, pedangnya menyambar, sekaligus membabat dua buah kepala orang dampit itu.
“Wuuuuttt... tranggg...!”
Maya terkejut karena tenaga manusia-manusia dampit itu ternyata amat kuat sehingga pedangnya tergetar. Namun manusia dampit itu lebih kaget lagi karena pedang dara yang ditangkis itu kini telah melakukan gerakan melengkung dan tahu-tahu sudah menyambar ke arah empat buah kaki mereka. Cepat mereka meloncat ke atas dan Maya mendapat kenyataan bahwa dua orang dampit itu tidak saja kuat sinkang-nya, akan tetapi juga amat lihai ginkang-nya.
“Lepaskan dia...!” Maya membentak dan mengirim serangan bertubi-tubi.
Selama berada di Pulau Es, dia dan sumoi-nya paling tekun mempelajari ilmu pedang dan ilmu pedang yang mereka latih bersama Han Ki adalah ilmu pedang ciptaan Bu Kek Siansu, hebatnya bukan main. Baru sinar pedangnya saja sudah berbahaya sekali, dapat merobohkan lawan, apa lagi kini ia mendesak dari jarak dekat!
Sepasang manusia dampit itu tadinya memandang rendah dan mengandalkan tiga buah tangan mereka untuk melawan Maya, karena yang sebuah mengempit tubuh Si Panglima Muda. Namun sepasang senjata di kedua tangan Maya, yaitu pedang dan sarung pedangnya, amatlah hebat gerakannya. Selain aneh gerakannya juga cepat bukan main dan mengandung tenaga sinkang yang dingin menusuk tulang. Setiap kali senjata kedua orang dampit itu bertemu pedang di tangan Maya, kedua orang itu menggigil dan terdengar seorang di antara mereka yang kepalanya botak, berseru,
“Gadis siluman!”
Orang ke dua yang berambut riap-riapan berseru, “Loncat turun, bawa dia lari!”
Si Kepala Botak yang mengempit tubuh panglima muda dengan tangan kanannya membuat gerakan maut, dibantu oleh kaki Si Rambut Panjang yang juga mengenjot tubuhnya. Karena loncatan mereka digerakkan oleh enjotan empat buah kaki, tubuh mereka melayang cepat ke luar dari perahu besar. Mereka meloncat ke atas atap sebuah perahu kecil dan terus melompat dari situ ke perahu lain, agaknya hendak membawa tawanan mereka ke perahu dari mana tadi terdengar suara perintah pemimpin mereka.
Akan tetapi Maya juga meloncat, gerakannya seperti burung walet, amat cepatnya melakukan pengejaran. “Ke mana kau hendak lari, setan dampit?” bentaknya, pedangnya berkelebat menyambar dari belakang.
Si Rambut Panjang yang berada di sebelah belakang menangkis dengan pedangnya, kemudian sisihannya sudah melompat lagi, kini tidak melompat ke perahu, melainkan melompat ke... air! Maya terkejut, mengira bahwa Si Dampit hendak terjun ke air, hal yang tentu saja tak dapat ia lakukan karena biar pun dia pandai berenang, namun kepandaiannya di air tidaklah boleh diandalkan untuk melawan musuh lihai seperti Si Dampit itu.
Akan tetapi ternyata bahwa Si Dampit itu tidak menceburkan diri ke air, melainkan hinggap di atas mayat seorang tentara yang sudah mati, yang mengapung di air dengan menelungkup! Maya menyambar cepat, hinggap di atas kayu pecahan perahu dan pedangnya menyambar, akan tetapi Si Dampit sudah melompat lagi menggunakan mayat itu sebagai tempat loncatan. Dari perbuatan ini saja dapat dibayangkan betapa lihai Si Dampit ini dan betapa tinggi ginkang-nya. Namun Maya tidak kalah cepat dan terus loncat mengejar, bahkan menyusul, dan selagi tubuh mereka di udara, ujung pedangnya yang menyambar dengan cepat menusuk lengan Si Botak yang mengempit tubuh perwira yang melawan itu.
“Aduhhh...!” Si Botak berteriak dan tentu saja kempitannya terlepas.
Maya yang menangkis serangan pedang Si Rambut Panjang dengan sarung pedangnya berjungkir balik di udara, menggigit pedangnya dan tangan kanannya dengan gerakan seperti seekor burung elang menyambar kelinci sudah mencengkeram leher baju Si Panglima Muda dan kembali berjungkir balik, tubuhnya melayang ke atas sebuah perahu. Dari situ kembali ia berloncatan menggunakan pecahan perahu, mayat-mayat tentara, dan atap-atap perahu yang sedang terbakar, langsung ke perahu besar. Dia masih sempat membebaskan totokan Si Panglima Muda dan melemparkan tubuhnya itu ke atas dek perahu, kemudian memutar senjatanya menghadapi para musuh yang mengeroyok sambil berkata,
“Tai-ciangkun, lekas putar perahu dan tinggalkan tempat ini. Biar aku yang menghadapi anjing-anjing Sung ini!” Panglima tinggi yang merasa bersyukur melhat pembantunya selamat merasa kagum bukan main. Ia lalu berkata, “Li-hiap... harap memperkenalkan nama yang mulia...”
“Cepat putar perahu!” Maya menjawab tanpa memperkenalkan nama.
Dia mengamuk amat hebat sehingga para pengeroyok menjadi gentar dan mereka berlompatan meninggalkan perahu besar yang mulai diputar kemudinya. Perahu itu telah dapat dipadamkan dari bahaya kebakaran, sedangkan sisa pasukan musuh pun sudah berloncatan ke air! Mereka tak memperhitungkan lagi, pokoknya mereka dapat lari dari dara perkasa yang seperti setan itu!
Kegembiraan besar karena dia dapat membunuhi tentara-tentara Sung membuat Maya seperti seekor harimau haus darah. Dia meloncat pula meninggalkan perahu besar, mengejar dan mengamuk dari perahu ke perahu sehingga pasukan Sung menjadi kacau-balau dan terdengarlah perintah menyuruh perahu-perahu kecil untuk mundur!
Akhirnya tempat itu menjadi sunyi. Perahu besar panglima yang memberontak sudah pergi jauh, perahu-perahu kecil pasukan Sung sudah pergi semua. Yang tampak hanya perahu-perahu terbakar, pecahan-pecahan perahu, mayat-mayat manusia yang mulai bergoyang-goyang karena kakinya disambari ikan hiu, dan rintih tangis mereka yang terluka dan masih belum mati. Ada yang meronta-ronta di air berusaha berenang menyelamatkan diri, ada yang terapung di pecahan-pecahan perahu.
Maya berdiri di atas sebuah balok pecahan tiang perahu, pedang di tangan, berdiri tegak dengan wajah berseri, dadanya turun naik, napasnya agak memburu karena dia telah mengeluarkan banyak tenaga. Baru sekarang terasa betapa lelahnya tubuhnya, dan betapa perih kaki di paha kirinya karena serempetan golok para pengeroyok yang ketika ia mengamuk tadi tidak dirasakannya.
Tiba-tiba dara perkasa itu menjerit kaget. Balok yang diinjaknya terbalik dan terseret ke bawah dan tentu saja tubuhnya terlempar ke air! Ia gelagapan dan pedang serta sarung pedang terpaksa dibuangnya karena ia membutuhkan kedua tangannya untuk berenang. Akan tetapi tiba-tiba kakinya terpegang atau tergigit sesuatu, lalu tubuhnya diseret ke dalam air. Ia berusaha meronta, akan tetapi karena memang bukan ahli di air, ia gelagapan, minum air laut dan tak lama kemudian tubuhnya tenggelam.
******************
Kita tinggalkan dulu Maya yang terancam bahaya maut tanpa ia ketahui sebabnya dan kita tengok keadaan Pek-kong-to Tang Hauw Lam Si Golok Sinar Putih, suami Mutiara Hitam yang tekun menggembleng kedua orang muridnya, yaitu Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Pekerjaan ini dilakukan dengan amat tekun oleh Tang Hauw Lam yang seolah-olah sudah mati perasaan dan kemauannya akan hal lain. Memang sejak ditinggal mati isterinya yang tercinta, Mutiara Hitam yang gugur ketika berusaha membalas kematian kakak kembarnya Raja Talibu dari Kerajaan Khitan, dan menyerbu Kerajaan Mongol, Tang Hauw Lam kehilangan gairah hidup. Kalau saja tidak ada dua orang muridnya dan tidak hendak memenuhi pesan terakhir isterinya tercinta agaknya pendekar ini lebih baik memilih mati menyusul isterinya.
Kini ia mencurahkan seluruh kepandaiannya mengajar kedua orang muridnya yang dilatih sesuai dengan kitab-kitab peninggalan isterinya sehingga dalam waktu lima tahun saja kedua orang murid itu telah memperoleh kemajuan hebat dan telah dapat mewarisi hampir semua kepandaian Mutiara Hitam! Tentu saja mereka masih jauh kalau dibandingkan dengan mendiang subo mereka, kalah latihan dan kalah pengalaman. Namun tidaklah terlalu dilebih-lebihkan kalau dikatakan bahwa pada masa itu, sukarlah dicari pemuda-pemudi remaja yang memiliki ilmu kepandaian setinggi kedua orang murid Mutiara Hitam ini.
Akan tetapi dalam keadaan tiada semangat dan selalu terbenam kedukaan dan kerinduan terhadap isterinya seperti itu, tubuh Tang Hauw Lam menjadi kurus kering dan wajahnya selalu muram dan pucat. Bekas pendekar besar ini tiada bersemangat pula untuk memperhatikan kedua muridnya kecuali dalam pelajaran ilmu silat yang ia turunkan, sama sekali tidak memperhatikan hal lain dan sama sekali tidak memperhatikan soal pendidikan. Bekas pendekar besar yang sekarang seperti pohon layu kekeringan itu lupa bahwa kedua orang muridnya telah mulai dewasa, dan bahwa dalam usia seperti itu mereka bukan lagi kanak-kanak, perlu pembatasan di dalam pergaulan mereka.
Setelah mendapat kenyataan bahwa tingkat kepandaian kedua orang muridnya itu telah cukup tinggi, mulailah dia menurunkan ilmu pedang yang dahulu membuat Mutiara Hitam terkenal sekali, yaitu Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum). Ilmu pedang yang diturunkannya kepada murid perempuannya Ok Yan Hwa ini telah ia pelajari dari kitab peninggalan Mutiara Hitam, dan dalam melatih ilmu pedang ini Tang Hauw Lam sengaja menyerahkan Pedang Iblis yang betina kepada Yan Hwa.
Pada waktu yang sama, ia menyerahkan Pedang Iblis yang jantan kepada Can Ji Kun dan mengajarkan ilmu pedang yang bersumber dari Ilmu goloknya yang dahulu membuatnya amat terkenal, yaitu Ilmu Golok Pek-kong To-hoat (Ilmu Golok Sinar Putih). Dengan tingkat kepandaiannya yang amat tinggi, bekas pendekar besar ini mampu mengubah ilmu goloknya menjadi ilmu pedang dan menurunkan ilmu pedang ini kepada Ji Kun. Akan tetapi tentu saja untuk melengkapi ilmu kedua orang muridnya, dia mengajarkan kedua ilmu pedang itu kepada mereka, hanya berpesan agar Yan Hwa khusus memperdalam Siang-bhok Kiam-sut, sedangkan Ji Kun memperdalam Pek-kong Kiam-sut.
Setahun lamanya kedua orang muda itu menggembleng diri sehingga akhirnya mereka dapat menguasai ilmu pedang masing-masing dan sepasang pedang yang kini diserahkan kepada mereka itu benar-benar amat luar biasa. Kalau mereka berlatih, terdengar bunyi berdesingan dan tampaklah kilat menyambar-nyambar menyilaukan mata.
Tang Hauw Lam benar-benar tidak peduli sama sekali akan pendidikan moral murid-muridnya. Di samping mengajarkan ilmu silat, ia hanya selalu tekun besemedhi. Sebab itu bekas pendekar ini tidak tahu akan perubahan-perubahan yang terjadi dalam perhubungan kedua orang muridnya.
Kekuasaan alam menguasai dua orang yang telah dewasa itu dan mulailah mereka itu saling tertarik. Masa kanak-kanak mereka lewat sudah. Menjelang kedewasaan mereka, masing-masing merupakan daya tarik yang luar biasa dan karena mereka hidup terasing, maka tanpa pengawasan terjadilah hal yang tidak aneh, yaitu kedua orang suheng dan sumoi ini mulai bermain dengan asmara!
Tang Hauw Lam baru terkejut bukan main ketika pada suatu malam, secara tidak sengaja ia mendapatkan kedua orang muridnya itu sedang saling bermain cinta, saling bercumbu seperti kelakuan dua orang suami isteri!
“Ji Kun! Yan Hwa!” bentaknya dengan muka pucat sekali, matanya terbelalak lebar penuh kemarahan.
Kedua orang muda itu terkejut, saling melepaskan pelukan dan menjatuhkan diri berlutut di depan suhu mereka yang marah. Sampai lama Tang Hauw Lam tak dapat berkata-kata, kemudian kemarahannya mereda dan jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya karena apa yang dilakukan kedua orang muridnya itu menimbulkan rindu yang makin hebat, mengingatkan ia akan isterinya yang telah tiada.
“Ahhh... dua orang muridku...? Ahhh, betapa isteriku akan kecewa sekali... aku... aku telah gagal mendidik kalian....” Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya. Dengan terhuyung ia memasuki kamar di pondoknya dan bersila, memejamkan mata melawan kehancuran hatinya.
Pada keesokan harinya Tang Hauw Lam dikejutkan suara ribut-ribut beradunya pedang dan angin pukulan yang berdesir-desir. Ia menjadi kaget. Kalau berlatih, bukan seperti itu gerakan pedang kedua orang muridnya. Sekali ini kedua pedang itu bergerak dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, gerakan orang bertempur mati-matian.
Ia meloncat. Tubuhnya terhuyung lemah karena pukulan batin yang diterimanya selama ini membuat tubuh bekas pendekar yang sudah lemah itu menjadi makin lemah. Ketika ia tiba di luar pondok, Tang Hauw Lam terkejut bukan main melihat kedua orang muridnya itu telah bertanding mati-matian dengan pedang di tangan. Sepasang pedang iblis itu mereka pergunakan untuk saling serang dengan hebat! Apakah yang telah terjadi dengan sepasang orang muda yang semalam saling melimpahkan kasih sayangnya satu sama lain?
Ternyata bahwa ketika gurunya mempergoki perbuatan mereka dan mengundurkan diri dengan penuh kemarahan dan kedukaan, dua orang ini lalu saling menyalahkan. Semalam suntuk mereka bercekcok, saling menuduh telah mulai dengan permainan cinta mereka, menuduh masing-masing lebih dulu mulai merayu dan memikat.
Percekcokan menjadi makin sengit ketika masing-masing menyatakan bahwa ilmu pedangnya lebih lihai, pedang masing-masing lebih ampuh. Karena pertengkaran itu makin memuncak sehingga kemarahan mereka melampaui besarnya cinta kasih mereka, tak dapat dicegah lagi kedua orang muda yang masih berdarah panas ini lalu saling membuktikan keunggulan masing-masing dengan jalan mengadu ilmu secara mati-matian!
Baru sekali ini mereka bertanding sungguh-sungguh, dan anehnya, begitu kedua pedang mereka saling bentrok, seolah-olah ada kekuasaan gaib yang membuat mereka menjadi makin penasaran dan tidak akan merasa puas sebelum memperoleh kemenangan. Seolah-olah mereka menjadi lebih marah dan lebih panas hatinya, timbul keinginan untuk keluar sebagai pemenang tanpa memperhitungkan lagi bagaimana harus mengalahkan lawan, kalau perlu membunuhnya! Anehnya, setelah bertanding, seolah-olah lenyap semua cinta kasih di antara mereka, bahkan lenyap pula semua persoalan saling menyalahkan sehingga malam tadi mereka kepergok suhu mereka. Kini yang ada hanyalah ingin menang! Ingin membuktikan bahwa ilmu pedangnya lebih tinggi dan pedang di tangannya lebih ampuh!
Sebagai seorang ahli, sekali pandang saja Tang Hauw Lam maklum bahwa kedua orang muridnya itu tidaklah sedang berlatih atau main-main, melainkan saling serang dengan dahsyat dan mati-matian. Pandang matanya berkunang, kepalanya pening karena apa yang disaksikannya ini merupakan pukulan batin ke dua yang hebat, yang menimbulkan kemarahan, kedukaan, penasaran dan kekecewaan. Juga dia terkejut bukan main karena dia seolah-olah tidak melihat kedua orang muridnya yang bertanding, melainkan Mahendra dan Nila Dewi, dua orang tokoh India yang membuat Sepasang Pedang blis itu! Wajah kedua orang muridnya itu mengeluarkan sinar yang sama, sinar mengerikan yang haus darah!
“Ji Kun! Yan Hwa! Berhenti bertanding...!” Ia berseru sambil lari cepat menghampiri kedua orang muridnya.
Akan tetapi seruannya itu sekali ini tidak seperti biasa pengaruhnya. Biasanya setiap seruannya tentu akan diperhatikan dan ditaati oleh kedua orang muridnya itu. Akan tetapi seruan dan perintahnya sekali ini sama sekali tidak dlgubris, tidak ditaati, bahkan kedua orang muridnya saling menyerang semakin dahsyat.
“Ji Kun! Yan Hwa! Kalian masih tidak mau berhenti?” Tang Hauw Lam yang menjadi marah sekali ini meloncat ke depan dan menerjang maju. Ia melihat betapa kedua pedang muridnya itu membuat gerakan saling menusuk. Ia tidak peduli dan cepat menerjang di tengah-tengah antara mereka sambil mendorongkan kedua tangannya ke kanan kiri.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa mengeluarkan pekik tertahan. Tubuh mereka terlempar ke belakang dan masing-masing memandang suhu mereka yang berdiri tegak, kedua tangan mendekap lambung kanan kiri yang masih menyemburkan darah melalui celah-celah jari tangan yang menutup kedua luka itu!
“Suhu...!” Kedua orang muda yang agaknya seperti baru sadar dari mimpi itu menjerit berbareng dan keduanya menangis terisak-isak.
“Suhu... harap Suhu bunuh saja teecu...” Can Ji Kun meratap.
“Suhu, bunuhlah teecu yang berdosa...!” Ok Yan Hwa juga berkata dengan suara merintih.
Sepasang mata Tang Hauw Lam melotot memandang ke arah sepasang pedang di atas tanah. Pedang itu dilepas oleh kedua orang muridnya setengah dilempar seolah-olah mereka jijik menyaksikan pedang yang berlumuran darah suhu mereka dan sepasang pedang yang terjatuh dalam jarak berpisahan satu meter itu tiba-tiba sudah bergerak seperti saling tarik dan kini bagian gagang mereka saling melekat! Dia memang tahu akan sifat pedang-pedang itu, yaitu bagian mata pedang saling tolak akan tetapi bagian gagang saling tarik!
“Sepasang Pedang iblis! Pedang-pedang terkutuk... aaahhhh...!”
“Suhu... teecu berdosa...!” Ji Kun berkata pula, penuh penyesalan.
“Suhu, bunuh saja teecu...!” Yan Hwa juga meratap lagi.
Tang Hauw Lam menunduk, memandang kedua muridnya. Kemarahannya lenyap dan kini ia tersenyum! “Tidak, kalian tidak sengaja... dan... dan terima kasih... aku girang sekali... akan dapat berjumpa dengan subo kalian... akan tetapi kalian... ahh, hati-hatilah... pedang-pedang itu terkutuk... aaahhh!” Wajah yang berseri itu memucat, matanya memandang ke atas, lalu ia tersenyum lebar. “Kwi Lan... isteriku, engkau masih menunggu aku...? Ha-ha, tunggulah, kekasihku, aku datang...!” Tubuhnya terguling.
Kedua orang muridnya menubruk dan ternyata Tang Hauw Lam telah tewas, matanya terbuka, mulutnya tersenyum dan tarikan wajahnya berseri penuh bahagia!
“Suhu...!” Ok Yan Hwa terguling roboh pingsan dan Can Ji Kun hanya dapat menangis, sebentar memeluk mayat suhu-nya, kemudian bingung hendak menyadarkan sumoi-nya.
Tiga hari kemudian setelah mengubur jenazah suhu mereka yang mereka bawa ke Bukit Merak di Khitan dan dikuburkan di sebuah makam bersama Mutiara Hitam, kedua orang ini berpamit dari Gu Toan si bongkok yang menjaga kuburan keluarga itu dan yang membantu mereka mengubur jenazah Tang Hauw Lam sambil menghela napas penuh duka. Ji Kun dan Yan Hwa lalu berpisah, membawa pedang masing-masing.
“Sumoi, mengapa kita harus berpisah? Engkau tahu bahwa kalau kita berpisah, kita berdua akan menderita, akan saling merindukan...” Can Ji Kun mencoba untuk membujuk sumoi-nya setelah berhari-hari ia membujuk dengan sia-sia.
Yan Hwa menggeleng kepala dengan duka. “Tidak, kita telah berdosa. Dosa yang timbul karena kita berkumpul menjadi satu. Kalau dekat denganmu, aku akan selalu teringat akan dosaku terhadap Suhu, Suheng. Sebaiknya kita berpisah.” Ucapan itu dikeluarkan dengan suara tegas, namun mengandung kedukaan.
“Sumoi, bukankah engkau cinta padaku seperti besarnya cintaku kepadamu?”
Yan Hwa mengangguk. “Tidak kusangkal, akan tetapi cinta kita baru bersih dan membawa bahagia kalau engkau sudah mengakui keunggulan ilmu pedang dan po-kiam-ku (pedang pusakaku).”
Tiba-tiba sinar mata penuh kasih sayang lenyap dari mata pemuda itu, terganti sinar penasaran. “Akan tetapi, Sumoi. Mana bisa itu? Jelas bahwa ilmuku lebih tinggi darimu, pedangku juga tidak kalah. Ingat, aku suhengmu, sudah semestinya lebih lihai darimu!”
“Hemm, kita lihat saja! Ingin bukti? Mau melanjutkan yang dahulu?”
Ji Kun bergidik, teringat betapa pertemuan di antara mereka mengorbankan nyawa suhu mereka. Sungguh pun hal itu terjadi tanpa mereka sengaja karena keduanya sedang diamuk penasaran dan kemarahan dan mereka juga tidak mengira bahwa suhu mereka demikian lemah dan lambat gerakannya sehingga termakan pedang mereka, namun peristiwa ini takkan pernah terlupa dan tetap akan menjadi tekanan batin dan perasaan berdosa.
“Cukuplah, Sumoi. Kalau engkau menghendaki perpisahan di antara kita, baiklah. Akan tetapi, kita akan menderita...”
“Aku akan kembali kepadamu setelah kuperdalam ilmuku, kembali untuk mengalahkan engkau dan setelah kau mengakui keunggulanku, baru aku suka menyambung kembali hubungan cinta kita.”
“Gila...!” Ji Kun berseru akan tetapi ia pun merasa betapa yang gila dan berbeda pendapat seperti itu bukan hanya sumoi-nya, melainkan dia sendiri juga! Dia baru akan merasa puas dan cintanya takkan terganggu apa bila sumoi-nya mau tunduk dan mengaku kalah terhadapnya.
Maka berpisahlah kedua orang muda yang saling mencinta itu, sama sakali mereka tidak sadar bahwa mereka telah berada dalam cengkeraman kekuasaan gaib dari Sepasang Pedang Iblis yang seolah-olah telah kemasukan roh dari Mahendra dan Nila Dewi. Dan pada waktu itu, kembali dunia kang-ouw kemasukan dua orang muda yang berilmu tinggi, yang mengambli jalan masing-masing, namun yang keduanya memiliki pedang pusaka yang haus darah, memiliki sebatang Pedang Iblis!
******************
Agar tidak tertinggal terlalu lama dan jauh, marilah kita ikuti perjalanan Khu Siauw Bwee, seorang dara lain yang melakukan perjalanan seorang diri meninggalkan Istana Pulau Es dan meninggalkan hatinya pula yang seolah-olah tertinggal di pulau itu menemani suheng-nya yang diam-diam ia cinta sepenuh hatinya, Kam Han Ki! Dengan hati merana dan kosong, Siauw Bwee melayarkan perahu buatannya, menuju ke selatan. Seperti juga suci-nya ia ingin mengobati sakit hatinya dengan pelaksanaan cita-citanya.
Pertama, dia ingin mencari ibunya yang dahulu mengungsi ketika ayahnya, mendiang Panglima Khu Tek San yang gagah perkasa, bersama suhu-nya, Menteri Kam Liong yang sakti melakukan usaha nekat, yaitu membebaskan Kam Han Ki dari dalam penjara istana. Kemudian ia akan menuntut balas atas kematian ayahnya. Akan tetapi dia tidak berpemandangan sepicik suci-nya, tidak mendendam kepada Kerajaan Sung, melainkan kepada Suma Kiat, jenderal yang lalim itu bersama semua kaki tangannya.
Setelah melakukan palayaran selama belasan hari, barulah ia melihat daratan luas membentang di sebelah barat, maka ia lalu mendayung perahunya ke pantai. Dia berniat memasuki dunia ramai di daratan yang luas itu, maka perahunya sedianya akan ia tinggalkan begitu saja. Akan tetapi, ketika perahunya tiba di pantai ia melihat banyak nelayan di pantai, maka berkatalah ia kepada para nelayan yang datang menyambutnya dengan heran karena melihat seorang dara remaja dan jelita mendarat seorang diri, “Paman sekalian tentu dapat menggunakan dan memanfaatkan perahu ini. Aku suka menukarnya dengan seekor kuda yang baik. Siapa suka?”
Para nelayan membelalakkan mata. Sebuah perahu yang biar pun amat sederhana namun kuat buatannya itu ditukar dengan kuda? Tentu saja banyak yang mau, maka berlarianlah mereka yang memiliki kuda dan tak lama kemudian di situ telah terdapat belasan ekor kuda yang dituntun oleh pemiliknya masing-masing.
Siauw Bwee memilih seekor kuda berbulu hitam yang besar. “Aku memilih kuda ini. Pemiliknya boleh mendapatkan perahuku.”
Pemilik kuda itu seorang petani tua. Dengan wajah berseri ia menyerahkan kudanya kepada Siauw Bwee. “Nona, banyak terima kasih. Penukaran ini amat menguntungkan aku. Akan tetapi, hati seorang tua seperti aku akan selalu merasa tidak enak kalau tidak berterus terang. Nona, apakah Nona pandai menunggang kuda?”
Nelayan itu jujur sekali tampaknya dan Siauw Bwee juga menjawab secara jujur, “Aku tidak pandai, Lopek. Akan tetapi ketika masih kecil dahulu, lima tahun yang lalu, aku pernah belajar menunggang kuda.”
Nelayan tua itu menggeleng kepala. “Kalau begitu, biar pun hatiku amat menyesal karena tidak jadi mendapat keuntungan, aku tidak dapat melakukan penukaran ini, Nona. Silakan memilih lain kuda saja.”
Siauw Bwee memandang heran. “Mengapa, Lopek?”
“Kudaku ini adalah kuda liar, Nona. Belum lama kutangkap dari hutan. Amat sukar ditunggangi karena belum jinak. Aku sendiri, dan semua teman yang di sini belum ada yang mampu menundukkan dan menjinakkannya. Aku khawatir kalau Nona dilemparkan jatuh.”
Siauw Bwee mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji kejujuran nelayan ini. Tahulah dia bahwa watak orang-orang pantai seperti juga orang-orang dusun di pegunungan yang sederhana dan dianggap bodoh ternyata jauh lebih baik dari watak orang-orang kota yang menganggap diri pintar! Ia tersenyum manis dan berkata, “Lopek, aku memerima kudamu ini dan aku tidak akan menyesal andai kata aku sampai dilemparkan dan mati sekali pun.”
“Nona...!” Beberapa mulut para nelayan berseru mencegah.
“Biarlah kucoba keliarannya!” Siauw Bwee berkata, memegang kendali kuda dan bagaikan seekor burung, tubuhnya sudah meloncat naik ke punggung kuda hitam besar itu.
Benar saja kata-kata Si Nelayan. Kuda itu meringkik, lalu meloncat tinggi, melengkungkan punggungnya mengipat-ngipatkan tubuh. Ketika nona itu masih tetap duduk di atas punggungnya, ia lalu berdiri di atas kedua kaki belakang, menggoyang-goyang tubuh dan meringkik-ringkik, berusaha menoleh untuk menggigit orang yang menduduki punggungnya.
Para nelayan berlari menjauhi, takut tergigit atau tertendang. Akan tetapi mereka melongo menyaksikan betapa nona jelita itu masih tetap di atas punggung kuda dengan tegak duduk menggunakan kedua kaki menjepit perut kuda. Ketika kepala kuda menoleh hendak menggigit, tangan Siauw Bwee bergerak menamparnya. Setiap kali menoleh kuda itu ditampar dengan pengerahan sedikit sinkang, sementara tubuhnya ditekan sehingga kuda itu tidak kuat menahan dan roboh mendeprok dengan penunggangnya masih tetap di atas punggung!
“Dia jinak, Lopek,” kata Siauw Bwee sambil melompat turun. Kini kuda itu dapat berdiri lagi, empat buah kakinya gemetaran, akan tetapi dia menundukkan kepala dengan mata melirik takut ketika Siauw Bwee mengelus bulu di kepalanya.
“Hebat... bukan main... siapakah... siapakah Nona...?” tanya nelayan itu. Kini mukanya, seperti muka teman-temannya, memperlihatkan sikap hormat dan takut.
“Selamat tinggal Lopek!” Siauw Bwee meloncat ke atas punggung kudanya yang meringkik perlahan dan melambaikan tangan. “Lupakan aku, aku hanya seorang gadis pengembara biasa!” Ia menyepak perut kudanya dan kuda itu meringkik lagi lebih keras, lalu meloncat ke depan dan lari cepat sekali, diikuti pandang mata para nelayan yang melongo.
Hati Siauw Bwee girang sekali. Kuda itu ternyata kuat dan tangkas, dapat berlari cepat dan tidak pernah mogok atau rewel. Biar pun melalui padang rumput yang hijau dan gemuk ia tidak berhenti sebelum dihentikan. Berhari-hari Siauw Bwee menunggang kuda, naik turun gunung dan masuk keluar hutan lebat.
Pada suatu hari ia melihat seorang laki-laki berlari di sebelah depan. Ia heran dan juga girang. Heran melihat di tempat sunyi itu, di dalam hutan, ada seorang yang memiliki ilmu berlari cepat cukup lumayan, dan girang karena dia yang mulai merasa bingung karena tidak mengenal jalan dan sudah berhari-hari tidak pernah bertemu manusia atau dusun kini bertemu orang yang tentu akan dapat ia tanyai arah ke kota raja Kerajaan Sung.
Ia mempercepat larinya kuda untuk mengejar orang itu. Akan tetapi tiba-tiba orang itu menghilang di sebuah tikungan yang penuh pohon. Siauw Bwee mengejar sampai ke tempat itu dan menghentikan kudanya. Orang itu hilang tanpa meninggalkan jejak! Ia memandang ke kanan kiri, kemudian mendengar makian nyaring dari atas!
“Setan! Siluman! Keluarlah kalau memang kalian memiliki kegagahan dan lawanlah aku, Hui-eng Liem Hok Sun!”
Siauw Bwee mengangkat muka memandang dan ia terheran-heran. Orang yang dikejarnya tadi kini telah terjerat dalam sebuah jala dan tergantung di dahan pohon besar, meronta-ronta dan memaki-maki kalang-kabut. Diam-diam Siauw Bwee merasa geli hatinya melihat orang yang berjuluk Hui-eng (Garuda Terbang) itu kini seperti seekor garuda dalan sebuah sangkar!
Orang yang terjerat itu melihat Siauw Bwee melotot dan siap memaki-maki, akan tetapi ia melongo ketika melihat bahwa yang datang menunggang kuda adalah seorang dara remaja yang cantik jelita.
Akhirnya Siauw Bwee yang membuka mulut lebih dulu, bertanya sambil tersenyum, “Sobat, kau sedang apa di situ? Mengapa terjala seperti ikan? Ataukah engkau memang seekor burung dalam kurungan?” Godaan Siauw Bwee ini timbul ketika mendengar julukan orang itu dan melihat bahwa orang itu adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, mukanya memperlihatkan kekasaran seorang yang jujur dan penuh keberanian...
Gerakan halus di belakangnya pada saat itu amat dikenalnya. Berkat latihan yang tekun, tanpa menengok pun Han Ki maklum bahwa Maya telah berada dalam kamar kerjanya membuat arca. Dia mengenal benar gerakan halus kedua orang sumoi-nya, malah dapat membedakannya. Apa lagi ada keharuman yang khas pada diri masing-masing dara itu karena keduanya suka memakai bunga yang berlainan, bunga-bunga yang sering kali dipetiknya dari pulau-pulau lain, yang dia cari untuk kedua orang sumoi-nya karena dia tahu bahwa semua wanita menyukai bunga dan bau-bau harum.
“Suheng...”
Han Ki menoleh tersenyum. “Sudah hampir jadi arca-arca kita, Sumoi. Hanya tinggal menghaluskannya saja, dalam sehari saja tentu selesai.”
Maya berlutut di dekat suheng-nya. “Suheng, arca siapakah yang terindah di antara tiga buah arca ini?”
Pertanyaan kanak-kanak, pikir Han Ki sambil tersenyum dan dia menjawab, suaranya menggoda, “Tentu saja arcaku sendiri!”
“Ah, Suheng sombong!”
Han Ki hanya tertawa.
“Suheng, kalau dua yang lain ini, mana lebih cantik?”
Han Ki mengerutkan alisnya, sejenak tak dapat menjawab. Akan tetapi kemudian terdengar suaranya menggoda karena dia terpaksa melayani pertanyaan yang manja itu, “Wah, tentu saja arcamu lebih cantik.”
Wajah yang manis itu berseri. Pandang mata yang biasanya hangat itu lebih panas lagi, senyumnya manis memikat. “Suheng...,” Maya menyentuh lengan suheng-nya, “Benarkah engkau anggap aku paling cantik?”
Han Ki menatap wajah sumoi-nya dan memang dia harus mengakui bahwa wajah itu luar biasa cantiknya, kecantikan khas, yang sukar dilukiskan karena memiliki ciri tersendiri dan mempunyai daya pikat yang amat kuat. Terpaksa ia mengangguk dan menjawab sungguh-sungguh, “Engkau memang cantik jelita, Sumoi.”
“Tidak ada wanita di dunia ini yang melebihi kecantikanku?” Pertanyaan ini makin manja dan Maya mendekatkan mukanya. Tampak garis-garis muka yang amat indah itu, bulu matanya panjang lentik melengkung, agak merapat karena mata itu memandang setengah terpejam, bibir itu terbuka sedikit, tampak sederetan gigi putih dan napas dara itu seperti agak terengah.
Han Ki hanyalah seorang laki-laki yang masih muda pula. Jantungnya berdebar dan jakunnya bergerak ketika ia menelan ludah, “Engkau cantik sukar dicari bandingnya di dunia ini, Maya.”
Maya memandang dengan sinar mata penuh arti, tangannya memegang lengan Han Ki, suaranya menggetar berbisik, “Suheng, engkau pun bagiku merupakan pria yang paling hebat di dunia ini.”
“Maya...!” Han Ki membantah kaget.
Akan tetapi Maya yang sudah mabok oleh perasaannya sendiri itu melanjutkan. “Suheng, bukankah aku lebih cantik pula dibandingkan dengan Sung Hong Kwi?”
“Maya-sumoi...!”
Maya sudah menjatuhkan diri ke dalam pelukan suheng-nya dan berbisik, “Suheng, aku bersedia menjadi pengganti Hong Kwi... aku... Suheng, bukankah engkau mencintaku seperti aku cinta padamu...?”
Kali ini benar-benar Han Ki terkejut karena di luar kesadarannya ia telah memeluk tubuh itu penuh dendam rindu terhadap Sung Hong Kwi yang selama lima tahun ditahan-tahannya, bahkan muka Maya yang tengadah itu dekat sekali dengan mukanya sehingga napas yang keluar dari hidung dara itu menyentuh pipinya. Bagaikan sinar kilat tampak wajah gurunya dan Han Ki melepaskannya, bangkit berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi Maya, memejamkan mata mengheningkan hati dan pikirannya mengusir gairah nafsu yang menyesakkan dada.
“Suheng...!” Maya juga bangkit berdiri dan memeluk pinggangnya.
“Maya-sumoi, jangan...!” Han Ki berkata dan melepas kedua lengan yang merangkul pinggang itu, melangkah maju dua langkah sambil membalikkan tubuh menghadapi sumoi-nya. Kini ia telah menguasai nafsunya dan matanya memancarkan pandang mata penuh teguran.
“Sumoi, mulai detik ini jangan engkau ulangi semua sikap dan kata-katamu tadi!”
“Suheng..., Aku... cinta padamu, Suheng...”
“Diam! Keluarlah engkau sebelum kutampar!”
Maya memandang dengan mata terbelalak lebar, seperti mata kelinci yang ketakutan, napasnya terengah dan naiklah sedu-sedan dari dadanya, kemudian membalik dan lari ke luar sambil terisak.
Han Ki memejamkan mata, menarik napas panjang dan kedua kaki yang lemas itu berlutut, dan kemudian ia memandangi arca-arca itu. Maya mencintainya! Dan biar pun Siauw Bwee tidak pernah memperlihatkan sikap dengan terang-terangan, namun ia dapat menduga bahwa Siauw Bwee juga mencintanya! Dan dia? Ah, cintanya sudah habis, sudah terbang pergi bersama Hong Kwi. Betapa mungkin ia jatuh cinta lagi?
Namun ahhh.... dia bergidik kalau teringat tadi betapa nafsu birahi menguasainya, membuat ia ingin memeluk ketat tubuh itu, ingin mencium bibir dan mata itu, ingin membelai merayu. Ah, betapa mudahnya ia jatuh cinta kepada Maya, dan... ketika ia memandang arca Siauw Bwee, dia pun tahu bahwa akan amat mudah pula, semudah tadi, ia jatuh hati kepada Khu Siauw Bwee yang halus wataknya. Celaka!
“Kau... kau mata keranjang!” Han Ki menampar kepalanya sendiri.
Terbayanglah wajah Hong Kwi dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Sampai lama ia termenung seperti itu, berjam-jam dan hanya dengan kekuatan batinnya yang hebat saja akhirnya ia dapat menindas perasaannya. Kemudian, seperti orang mabok ia melanjutkan pekerjaannya memperhalus tiga buah arca itu, tidak mempedulikan apa-apa. Bahkan ketika dua kali Siauw Bwee menjenguknya, kemudian mengajaknya makan setelah bertanya mengapa dia tidak tidur, dia hanya menjawab tanpa menoleh.
“Aku tidak lapar dan tidak mengantuk. Aku ingin menyelesaikan ini, Khu-siauwmoi, tinggalkan aku sendiri.”
Pada jengukannya yang ke dua, Siauw Bwee ragu-ragu dan memandang suheng-nya, kemudian berkata, “Ini tentu kesalahan suci entah apa sebabnya!”
Han Ki terkejut, akan tetapi menindas perasaannya dan menoleh. “Mengapa engkau, berpendapat demikian?”
“Kulihat Suci menangis, dia pun tidak mau makan, tidak mau tidur. Ketika aku bertanya dan menghiburnya dia malah membentakku agar aku tidak mencampuri urusannya. Suheng, apakah yang terjadi?”
“Tidak apa-apa. Aku pun tidak tahu dia mengapa? Sudahlah, tinggalkan aku sendiri, Sumoi!”
Sejenak Siauw Bwee berdiri di belakangnya, ragu-ragu. Kemudian terdengar ucapannya lirih, “Engkau kelihatan berduka, Suheng. Kenapakah?”
“Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!”
“Suheng, selama lima tahun kita tinggal di sini, baru sekarang kulihat engkau berduka dan Suci menangis. Suheng, engkau... engkau satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini, di samping ibuku yang entah berada di mana. Suheng, kalau engkau berduka, aku ikut berduka...”
Han Ki memejamkan mata, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Akan tetapi hanya sebentar ia telah dapat menguasai dirinya. Ia menoleh, memaksa diri tersenyum dan berkata, “Engkau ini aneh-aneh saja, Sumoi. Aku tidak apa-apa, hanya tekun menyelesaikan arca-arca ini. Eh, bagaimana dengan perahu yang kau buat? Telah selesaikah?” Dia sengaja membelokkan percakapan untuk mengalihkan perhatian sumoi-nya itu.
“Sudah, Suheng. Layar yang kau beri sudah kujahit dan kupasang. Besok pagi akan kucoba. Aku ingin mengunjungi pulau yang kulihat di sebelah selatan itu!”
Han Ki tersenyum. “Itu Pulau Kijang. Pulau kosong akan tetapi banyak binatang kijang di sana.”
“Aku ingin menagkap kijang.”
”Boleh, akan tetapi kalau memburu kijang, cari yang sudah tua agar pembiakannya tidak terganggu.”
“Aku ingin menangkap seekor anak kijang, tidak membunuhnya. Aku ingin memeliharanya, untuk teman di sini.”
Han Ki berdiri, membalikkan tubuh dan memandang sumoi-nya. “Apa? Di sini ada aku dan suci-mu, dan engkau hendak mencari kijang untuk teman?”
Siauw Bwee menunduk dan terdengar suaranya lemah seperti berbisik, “Aku... aku kadang-kadang merasa kesepian, Suheng, terutama sekali... sekarang ini....” Setelah berkata demikian Siauw Bwee membalikkan tubuhnya dan lari pergi.
“Hei...! Khu-sumoi...?” Han Ki memanggil akan tetapi dara itu tidak menoleh dan lapat-lapat Han Ki mendengar sumoi-nya itu terisak! Han Ki berdiri termangu-mangu kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Perempuan...!” gumamnya dengan hati terheran-heran dan tidak mengerti.
Hatinya makin bingung dan makin berduka karena perasaannya membisikkan bahwa mulai saat itu ia hanya akan menjumpai kesulitan-kesulitan dengan kedua sumoi-nya itu. Untuk melupakan perasaannya, semalam suntuk dia tidak tidur dan memperhalus ukiran tiga buah arcanya.
Pada keesokan harinya barulah pekerjaannya selesai dan selagi ia hendak beristirahat, tiba-tiba ia terlonjak bangun karena mendengar suara desir angin yang aneh dan yang dikenalnya baik-baik. Itulah suara pukulan-pukulan dengan tenaga sinkang yang kuat. Biasanya desir angin pukulan itu terdengar di waktu kedua sumoi-nya berlatih, akan tetapi sekali ini desir angin hebat itu diseling suara bentakan-bentakan nyaring orang bertempur.
Ia merasa heran dan khawatir sekali, cepat meloncat bangun dan melesat ke luar dari Istana Pulau Es. Ketika tiba di luar, ia berdiri kaget melihat betapa kedua orang sumoi-nya sudah saling serang dengan hebatnya! Pohon tumbang dan batu berhamburan dilanggar angin pukulan kedua sumoi-nya yang berkelahi dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan semua ilmu yang selama ini mereka latih. Sekali ini mereka bukan sedang berlatih, melainkan sedang saling serang sungguh-sungguh, setiap serangan mendatangkan maut. Sekelebatan saja ia dapat mengerti bahwa dalam perkelahian itu, Siauw Bwee masih bersikap mengalah dan lebih banyak mengelak, akan tetapi Maya menyerang seperti seekor singa betina kehilangan anaknya.
“Maya...! Siauw Bwee...! Berhenti...!” Han Ki berteriak sambil lari menghampiri.
Akan tetapi ia tertegun dan menghentikan larinya ketika melihat kini kedua orang dara itu saling serang dari jarak dekat, tidak hanya mengandalkan sinkang seperti tadi, melainkan menggunakan jari-jari tangan mereka yang lihai dan yang merupakan cengkeraman-cengkeraman maut, totokan-totokan yang mengancam nyawa! Akan tetapi yang membuat Han Ki tertegun adalah jeritan mereka yang saling menuduh.
“Engkaulah yang membuat suheng berduka! Engkau sungguh seorang adik yang tidak mengenal budi!”
“Dan engkau... engkau yang menjadi biang keladinya sehingga dia tidak dapat menerima cintaku!” Maya membalas dengan teriakan marah.
“Begitukah? Kalau benar dia mencintaku, sepatutnya kau tahu diri!” balas Siauw Bwee.
“Kau perempuan tak bermalu!”
“Engkau yang tidak tahu malu!”
“Sumoi... ! Jangan berkelahi!” Han Ki berteriak keras dan tubuhnya mencelat menangkis sambil mengerahkan tenaga. Akibatnya, tubuh Maya dan Siauw Bwee terlempar ke belakang, terpental dan terhuyung-huyung.
“Kau... membelanya...!” Siauw Bwee berkata sambil menangis.
“Kau... kau... melemparku dahulu, kau... benar-benar mencinta bocah kurang ajar ini!” Maya juga menangis.
“Ahh, Maya-sumoi dan Khu-sumoi, apakah kalian berdua telah menjadi gila? Hentikan permusuhan gila ini! Aku... aku... ahhh...!” Han Ki menjambak rambutnya sendiri dan ingin pula dia menangis!
“Suheng! Berterus teranglah, apakah engkau mencinta Maya-suci?” Siauw Bwee bertanya.
“Suheng, engkau bilang aku paling cantik di dunia ini! Bukankah engkau mencintaku? Ataukah... engkau cinta kepada Sumoi?” Maya juga menuntut jawaban pasti.
Wajah Han Ki menjadi pucat. Kemudian ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya karena pandang matanya terasa berkunang-kunang. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Aku tidak tahu... aku tidak tahu. Kalian adalah kedua orang sumoi-ku, seperti adik-adikku sendiri... aku tidak cinta siapa-siapa...!”
Ia hanya mendengar isak tertahan dan mendengar berkelebatnya gerakan tubuh mereka pergi dari situ. Dia tidak peduli, bagi dia asalkan kedua orang dara itu tidak saling serang pada saat itu, cukuplah. Akan tetapi ketika sampai lama dia tidak mendengar gerakan mereka, ia membuka kedua tangannya dan memandang. Kedua orang dara itu tidak tampak lagi dan keadaan di sekelilingnya sunyi. Sunyi dan dingin karena angin yang bertiup membawa datang salju-salju tipis.
Ia mulai merasa khawatir, lalu melangkahkan kaki mencari kedua orang sumoi-nya, khawatir kalau-kalau mereka itu pergi untuk melanjutkan pertandingan mati-matian di bagian lain dari pulau itu. Akan tetapi mereka tidak ada di pulau dan betapa kaget hatinya ketika melihat dua buah perahu berlayar, jauh dari pantai, yang sebuah ke barat, yang sebuah lagi selatan. Ia mengenal perahu lama dengan layar hitam itu membawa Maya menuju ke barat, sedangkan yang sebuah lagi adalah perahu buatan Siauw Bwee, dengan layar kuning meluncur pergi membawa dara itu ke selatan!
Han Ki berlari ke pantai, berteriak nyaring, “Sumoiiii...!”
Akan tetapi samar-samar dia hanya melihat kedua orang sumoi-nya itu menoleh dan melambaikan tangan, kemudian tangan yang melambai itu menyentuh muka, seperti menghapus air mata! Tak terasa lagi kedua mata Han Ki menjadi basah dan dia memandang sampai kedua buah perahu itu lenyap dari pandang matanya. Di dalam hatinya, semenjak tinggal di situ dia sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke dunia ramai. Akan tetapi kini kedua orang sumoi-nya, dua orang yang paling dicintainya di dunia ini, meninggalkan Pulau Es, menempuh hidup menghadapi dunia ramai yang penuh bahaya.
Teringat dia akan cita-cita kedua orang sumoi-nya membalas dendam, dan terbayanglah dia betapa sumoi-sumoi-nya itu akan menghadapi bahaya-bahaya besar. Betapa mungkin ia mendiamkan saja kedua orang yang dikasihinya itu terancam bahaya di sana? Tidak, dia harus pergi menyusul, membantu mereka dan kalau mungkin mengakurkan mereka. Akan tetapi mungkinkah ini? Betapa pun juga, dia harus menyusul mereka dan berusaha.
Setelah dua buah perahu itu tidak tampak lagi, Han Ki mengalami perasaan yang selama hidupnya belum pernah dirasainya, yaitu perasaan hati kosong dan nelangsa, seolah-olah semangat dan segala gairah hidupnya terbang melayang dibawa pergi bayangan dua buah perahu yang ditumpangi Maya dan Siauw Bwee. Lenyaplah semua gairah dan kegembiraan hidup, seolah-olah kegembiraan hidupnya selama ini berada di tangan kedua sumoi-nya itu. Han Ki menjatuhkan diri duduk di pantai. Ia termenung, hatinya kosong, sedangkan pikirannya melayang-layang jauh mencari-cari dan terkenanglah ia akan keadaan hidupnya selama ini.
Semenjak kecil ia sudah sebatang kara, seorang diri di dunia ini dan selama itu ia selalu gembira, tidak pernah merasa kehilangan sesuatu. Kemudian pengikatan cinta kasihnya dengan Sung Hong Kwi membuat ia merasa sengsara dan menderita kehilangan karena dipisahkan dari orang yang dicintanya itu. Namun rasa sengsara itu terobati ketika ia tinggal di pulau ini bersama kedua orang sumoi-nya. Semua rasa sayangnya ia curahkan kepada kedua orang sumoi-nya itu. Dan sekarang timbul pula keruwetan karena cinta, dan akhirnya dia menderita lebih hebat lagi setelah kedua orang itu pergi meninggalkan Pulau Es, meninggalkan dia! Maka teringatlah ia akan petuah-petuah Bu Kek Siansu, gurunya yang bijaksana.
“Han Ki, segala hal yang menimpa dirimu kelak, jangan kau persalahkan keadaan di luar dirimu, karena sesungguhnya yang menjadi sebab dari pada akibat yang menimpa diri berada di dalam diri sendiri. Carilah sebab-sebabnya pada dirimu sendiri dan dengan jalan itu engkau akan dapat memperbaiki diri dan mengenal kekotoran diri sendiri. Mengenal cacat diri pribadi jauh lebih penting dan berharga dari pada mengenal cacat selaksa orang lain.”
Teringat akan petuah ini, Han Ki mengangguk-angguk, kemudian termenung lagi karena dalam menderita kekosongan hati dan kehilangan ini lapat-lapat terngiang di telinganya petuah gurunya mengenai hal ini.
“Segala peristiwa merupakan mata rantai yang tak dapat dipisah-pisahkan, karena saling menyambung, saling mengikat dan saling menjadi sebab. Segala macam perasaan suka-duka, gembira, marah, puas, kecewa dan lain-lain hanyalah permainan dari pada rasa sayang diri dan iba diri. Yang mau bersuka tentu akan bertemu dengan duka. Ingatlah, Han Ki, bahwa senang bergandeng tangan dengan susah. Hanya dia yang memiliki saja yang akan kehilangan! Memiliki itu bersifat senang, akan tetapi memiliki membawa datang kewajiban paksa yaitu menjaga karena di depannya terbentang mengerikan jurang kehilangan. Karena ada dan tiada itu saling mengait, yang ada tentu akan tiada, sebaliknya yang tiada tentu akan ada, maka yang memiliki tentu akan kehilangan! Dan dia yang merasa suka di waktu memiliki, sudah tentu saja akan menderita duka di waktu kehilangan. Oleh karena itu, Han Ki, berbahagialah si bijaksana yang tidak memiliki apa-apa, karena dia akan bebas dari pada suka mau pun duka!”
Han Ki termenung mengerutkan alisnya. Betapa tepat petuah gurunya itu, betapa cocok dengan keadaan hidupnya. Bahkan ia yakin bahwa wejangan itu cocok pula dengan kehidupan semua manusia.
Orang yang tidak mempunyai apa-apa takkan khawatir kehilangan. Si pembesar khawatir kehilangan kedudukannya, si hartawan khawatir kehilangan hartanya, si terkenal khawatir kehilangan kesohorannya, dan kalau sampai kemudian terjadi kehilangan, itu akan menimbulkan duka.
Seperti dia sekarang, karena dia memiliki kedua orang sumoi-nya, mencintainya, maka kini kehilangan dan menimbulkan duka nestapa di hatinya, menyesal kecewa dan suka! Dahulu pun, karena dia memiliki Sung Hong Kwi, mencintainya, dia menjadi berduka ketika kehilangan. Andai kata dia tidak memiliki kesemuanya itu, pasti sekarang dia akan tetap hidup tenang gembira!
“Janganlah kita sampai dikuasai nafsu, Han Ki. Sebaliknya kita harus menguasai nafsu perasaan sehingga kita mempunyai tanpa memiliki. Pada lahirnya kita mempunyai namun batin kita tidak terikat sehingga batin kita tidak tergoncang sewaktu yang kita punyai itu hilang, karena hal itu sudah wajar. Mata batin yang sadar sudah menjadi waspada, melihat sesuatu berlandaskan kewajaran sehingga tidak lagi menjadi kaget, tidak menjadi duka karenanya. Menang dan kalah sudah menjadi rangkaian maka wajarlah. Berkumpul dan berpisah wajar pula. Tidak ada hal aneh di dunia ini yang patut disesalkan.”
Han Ki menghela napas panjang. Melamun dan mengenangkan kembali semua wejangan gurunya yang merupakan obat yang amat mujarab karena kini dia merasa hatinya ringan, tidak seberat tadi, sungguh pun gundah gulana yang menyesak dada tidak mungkin dapat lenyap. Bukan hanya karena kehilangan dua orang yang dicintainya, melainkan karena kedua orang sumoi-nya itu membawa ganjalan hati yang rumit, membawa dendam dan permusuhan karena cinta, cinta dua orang dara remaja terhadap dirinya!
Mulai saat itu bangkitlah semangat Han Ki dan dia lalu membuat sebuah perahu. Beberapa pekan kemudian berangkatlah Han Ki menaiki perahunya yang kecil sederhana, meninggalkan Pulau Es, meninggalkan tiga buah arca yang seolah-olah kini menggantikan mereka menghuni Istana Pulau Es yang mereka tinggalkan.
Kalau hati Han Ki merana karena ditinggal pergi dua orang yang dikasihinya sehingga dunia terasa kosong olehnya, hati Maya pun merana penuh kekecewaan dan penuh cemburu terhadap sumoi-nya. Dia mencintai suheng-nya. Melihat sikap suheng-nya selama lima tahun dia tinggal di Pulau Es, dia pun merasa yakin bahwa suheng-nya mencintainya. Bukan hanya mencinta seperti seorang suheng terhadap sumoi-nya, melainkan cinta seorang pemuda terhadap seorang dara!
Hal ini diketahuinya benar atau diduganya penuh keyakinan. Menyaksikan sikap dan pandang mata Han Ki, juga ketika suheng-nya mengukir arcanya, jari-jari tangan suheng-nya itu penuh perasaan dan amat mesra, sehingga ketika ia menonton suheng-nya bekerja menyelesaikan arcanya, dia merasa seolah-olah jari tangan suheng-nya itu bukan meraba-raba arca, melainkan meraba dan membelai tubuhnya sendiri, membuat ia merasa mesra dan nikmat. Akan tetapi, mengapa suheng-nya tidak mau mengaku cinta? Apakah karena di sampingnya ada Siauw Bwee?
Hatinya kecewa, penasaran, dan mengkal. Maka larilah dara ini kepada cita-citanya. Dia harus memenuhi cita-citanya. Dia harus membalas dendam keluarganya. Membalas kematian ayah bundanya, membalas kehancuran kerajaan ayahnya. Dia akan membalas dendam kepada Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung, terutama sekali Kerajaan Sung karena selain kerajaan ini ikut bertanggung jawab atas kehancuran Kerajaan Khitan dan tewasnya ayah bundanya, juga Kerajaan Sung telah menewaskan pek-hu-nya, Menteri Kam Liong, dan telah membikin sengsara pula kepada suheng-nya, Kam Han Ki.
Dia harus membalas Kerajaan Sung, inilah tugasnya yang paling penting. Biar pun dia tidak tahu bagaimana caranya membalas dendam kepada sebuah kerajaan, namun dia akan mencari cara itu, dan tidak akan berhenti sebelum cita-citanya tercapai. Dia percaya bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi dan dia tidak takut menghadapi siapa pun juga di Kerajaan Sung!
Perahunya berlayar terus ke barat. Sampai keesokan harinya, dia belum melihat daratan besar, hanya bertemu dengan pulau-pulau kecil yang kosong. Akan tetapi pada keesokan harinya, menjelang tengah hari, ia terkejut melihat sebuah mayat manusia terbawa ombak berlalu di dekat perahunya. Mayat seorang laki-laki yang berpakaian tentara! Maya cepat lari ke pinggir perahu dan kini tampaklah olehnya bahwa bukan hanya sebuah itu saja mayat yang terapung di laut karena segera tampak banyak sekali mayat manusia di samping bagian-bagian perahu yang pecah dan peralatan perang yang terbawa hanyut oleh ombak. Siapakah mereka?
Tentara mana dan mengapa perahu mereka pecah dan mereka semua tewas? Pada tubuh mayat-mayat itu tampak luka-luka bekas senjata tajam. Agaknya terjadi pertempuran yang mengakibatkan semua ini, pikirnya. Tiba-tiba ia makin terkejut melihat asap membubung tinggi di sebelah kiri perahu, agak jauh dari situ.
Maya cepat mengatur kemudi dan membelokkan perahunya menuju ke arah asap yang membubung tinggi. Perahunya melawan ombak dan tak lama kemudian tampaklah olehnya penyebab asap itu. Kiranya ada beberapa buah perahu terbakar dan di atas lautan yang bergelombang itu tampak olehnya pertempuran yang dahsyat antara dua pasukan di atas perahu-perahu besar dan kecil yang bergerak-gerak naik turun oleh ombak. Udara yang digelapkan oleh asap itu penuh dengan anak panah yang beterbangan ke sana-sini mengeluarkan bunyi bersuitan dan amat banyak bagaikan hujan saling menyerang musuh kedua pihak.
Tampak pula panah-panah yang dipasangi kain berminyak yang bernyala-nyala menyambar perahu-perahu dan terbakarlah perahu-perahu yang terkena panah berapi ini. Dahsyat dan mengerikan, bising oleh suara anak panah, suara api memakan perahu, dan suara teriakan-teriakan manusia sedang berjuang melawan maut. Mayat-mayat bergelimpangan di atas perahu-perahu, ada yang terapung-apung, ada pula yang terluka dan belum mati terlempar ke laut. Teriakan mereka melolong-lolong karena ngeri menghadapi maut di laut, sungguh menyayat hati.
Banyak sekali di antara prajurit yang tadinya dengan gagah berani menghadapi maut melawan musuh, setelah kini berada dalam cengkeraman maut yang berada di tengah gelombang lautan, menjerit-jerit dan minta tolong seperti seorang pengecut yang penakut. Memang ada kalanya orang yang berani mati menghadapi ancaman maut di tangan senjata tajam musuh menjadi ketakutan menghadapi ancaman maut ditelan air.
Maya memandang semua itu dengan hati tertarik. Aneh-aneh sekali. Dia tidak merasa ngeri atau takut! Pengalaman-pengalamannya setelah Kerajaan Khitan hancur, ketika dia dibawa pasukan Khitan yang berkhianat di bawah pimpinan bekas pengawal Bhutan, amatlah hebatnya sehingga perang bukan merupakan hal yang baru baginya.
Dia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri, bahkan tertarik hatinya untuk ikut pula berperang! Dia tidak tahu siapa yang berperang, akan tetapi dia ingin membantu pihak yang terdesak! Karena itu Maya mempercepat perahunya menghampiri daerah perang yang mengerikan itu, dan matanya memandang penuh perhatian. Ketika ia melihat sebuah perahu besar seperti perahu perang dikepung oleh banyak perahu-perahu kecil, ia mendekatkan perahunya ke tempat itu.
Kagum hatinya menyaksikan beberapa orang berpakaian perwira dan anak buahnya mempertahankan perahu besar itu. Setiap kali ada prajurit dari perahu-perahu kecil itu berhasil meloncat ke atas perahu besar, tentu orang ini roboh lagi dengan tubuh terluka. Gerakan para perwira di atas perahu besar menunjukkan bahwa mereka memiliki kegagahan dan kepandaian lumayan. Akan tetapi serangan anak panah yang seperti hujan lebatnya telah merobohkan banyak anak buah perahu besar sehingga di atas dek perahu besar itu telah bertumpukan mayat-mayat prajurit.
Hanya beberapa orang perwira yang masih sempat mempertahankan diri, menggunakan golok besar atau pedang untuk menangkis semua anak panah yang menyambar ke arah diri mereka. Di antara beberapa orang perwira itu, ada dua orang yang amat mengagumkan hati Maya.
Mereka itu amat gagah perkasa, bukan hanya melindungi diri sendiri namun juga orang ini membagi-bagi perintah dan berusaha melindungi anak buah mereka dengan pedang mereka yang panjang. Seorang di antara mereka yang berpakaian amat indah dan gagahnya dapat ia kenal dari pakaiannya sebagai seorang panglima besar, berjenggot panjang dan sudah putih.
Ada pun orang kedua adalah seorang berpakaian panglima muda yang brewok dan gagah perkasa, yang berjuang bahu-membahu dengan Si Panglima Besar. Namun keadaan mereka itu amat terdesak, tidak hanya karena pihak musuh yang amat banyak jumlahnya, yang meloncat dari perahu-perahu kecil yang mengepung perahu besar, akan tetapi juga karena para anak buah mereka itu sibuk memadamkan perahu besar yang sudah terbakar sebagian!
“Gak-goanswe (Jenderal Gak), engkau sudah memberontak terhadap Kerajaan Sung, dan sekarang telah terkepung. Menyerahlah!” terdengar teriakan dari perahu-perahu kecil.
Mendengar ini segera timbul rasa suka di hati Maya terhadap jenderal yang agaknya memberontak terhadap pemerintah Sung ini. Inilah kesempatannya untuk membalas, pikirnya. Yang berperahu besar itu adalah seorang jenderal dengan anak buahnya yang memberontak dan lawan mereka adalah tentara Kerajaan Sung yang harus dibasminya!
Dengan dayungnya, Maya lalu mendayung perahunya menuju ke tengah medan pertempuran. Ada anak panah yang menyeleweng dan menyambar ke arahnya, akan tetapi hanya dengan kebutan tangan ia berhasil meruntuhkan semua anak panah dan akhirnya ia dapat mendekatkan perahunya ke perahu besar setelah melalui kobaran api yang memakan perahu. Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet, tubuhnya mencelat ke atas perahu besar.
“Basmi tentara Sung yang lalim!” teriaknya dan sekali menggerakkan kaki tangan, tiga orang tentara Sung yang mengeroyok panglima besar pemberontak itu roboh.
Dengan cekatan sekali Maya merampas sebatang golok dan sebatang pedang, lalu mengamuklah sang dara perkasa ini yang membuat Si Jenderal melongo. Baru sekarang ini ia menyaksikan seorang dara jelita yang masih remaja, bersilat secara aneh, tangan kiri mainkan golok dengan ilmu golok sedangkan tangan kanan mainkan pedang dengan ilmu pedang.
Dalam waktu beberapa menit saja, lima orang pengeroyok roboh dan tubuh mereka mencelat ke luar dari perahu besar, terjatuh ke laut karena ditendang kaki-kaki yang kecil mungil itu! Setelah kepungan terhadap diri Sang Jenderal itu berkurang sehingga Sang Jenderal dengan leluasa dapat bergerak melindungi dirinya, Maya lalu meninggalkannya untuk mengamuk dan membabati tentara musuh yang mulai membakar layar perahu besar.
Amukannya hebat sekali dan setelah golok dan pedang rampasannya yang buruk itu rusak-rusak, ia menangkap tengkuk leher seorang perwira Sung yang berhasil naik ke perahu besar, kemudian merampas pedang dan sarung pedangnya yang indah, dan sekali menggerakkan tangan ia melempar tubuh sang perwira Sung dari perahu besar pula. Kini dara perkasa itu mengamuk dengan pedang di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri.
Akan tetapi di sebelah belakang perahu besar terjadi keributan hebat. Maya cepat menengok dan alangkah kagetnya ketika ia menyaksikan pemandangan aneh. Dua orang laki-laki yang tubuhnya menempel satu sama lain, dua orang dampit, mengamuk dan membantu tentara kerajaan Sung! Gerakan mereka tangkas dan aneh sekali. Maya segera teringat akan cerita suheng-nya akan sepasang manusia dampit yang amat lihai, bersembunyi di tempat keramat Pulau Nelayan. Pada saat itu perwira pemberontak yang brewok, yang gagah perkasa menerjang marah kepada sepasang orang dampit yang merobohkan banyak anak buahnya.
Perwira muda itu menerjang dengan pedang panjangnya, menyerang dua orang yang tubuhnya menjadi satu dan bersambung di bagian punggung. Akan tetapi Si Dampit itu lihai bukan main karena empat buah tangan mereka bergerak secara berbareng dan tahu-tahu pedang di tangan panglima muda itu telah dirampas, pundak Si Panglima Muda dicengkeram dan di lain saat Sang Panglima Muda pemberontak sudah ditawan dan dikempit dalam keadaan lumpuh tertotok!
“Tawan dan bawa dia ke sini!” terdengar perintah dari sebuah di antara perahu kecil.
Maya menjadi marah sekali. Begitu melihat sepasang manusia dampit, sudah timbul kebenciannya, apa lagi melihat mereka telah menawan panglima muda pemberontak yang sedang dibelanya. Maka ia pun merobohkan para pengeroyok dengan pedangnya yang digerakkan secara luar biasa cepatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke arah sepasang orang dampit, pedangnya menyambar, sekaligus membabat dua buah kepala orang dampit itu.
“Wuuuuttt... tranggg...!”
Maya terkejut karena tenaga manusia-manusia dampit itu ternyata amat kuat sehingga pedangnya tergetar. Namun manusia dampit itu lebih kaget lagi karena pedang dara yang ditangkis itu kini telah melakukan gerakan melengkung dan tahu-tahu sudah menyambar ke arah empat buah kaki mereka. Cepat mereka meloncat ke atas dan Maya mendapat kenyataan bahwa dua orang dampit itu tidak saja kuat sinkang-nya, akan tetapi juga amat lihai ginkang-nya.
“Lepaskan dia...!” Maya membentak dan mengirim serangan bertubi-tubi.
Selama berada di Pulau Es, dia dan sumoi-nya paling tekun mempelajari ilmu pedang dan ilmu pedang yang mereka latih bersama Han Ki adalah ilmu pedang ciptaan Bu Kek Siansu, hebatnya bukan main. Baru sinar pedangnya saja sudah berbahaya sekali, dapat merobohkan lawan, apa lagi kini ia mendesak dari jarak dekat!
Sepasang manusia dampit itu tadinya memandang rendah dan mengandalkan tiga buah tangan mereka untuk melawan Maya, karena yang sebuah mengempit tubuh Si Panglima Muda. Namun sepasang senjata di kedua tangan Maya, yaitu pedang dan sarung pedangnya, amatlah hebat gerakannya. Selain aneh gerakannya juga cepat bukan main dan mengandung tenaga sinkang yang dingin menusuk tulang. Setiap kali senjata kedua orang dampit itu bertemu pedang di tangan Maya, kedua orang itu menggigil dan terdengar seorang di antara mereka yang kepalanya botak, berseru,
“Gadis siluman!”
Orang ke dua yang berambut riap-riapan berseru, “Loncat turun, bawa dia lari!”
Si Kepala Botak yang mengempit tubuh panglima muda dengan tangan kanannya membuat gerakan maut, dibantu oleh kaki Si Rambut Panjang yang juga mengenjot tubuhnya. Karena loncatan mereka digerakkan oleh enjotan empat buah kaki, tubuh mereka melayang cepat ke luar dari perahu besar. Mereka meloncat ke atas atap sebuah perahu kecil dan terus melompat dari situ ke perahu lain, agaknya hendak membawa tawanan mereka ke perahu dari mana tadi terdengar suara perintah pemimpin mereka.
Akan tetapi Maya juga meloncat, gerakannya seperti burung walet, amat cepatnya melakukan pengejaran. “Ke mana kau hendak lari, setan dampit?” bentaknya, pedangnya berkelebat menyambar dari belakang.
Si Rambut Panjang yang berada di sebelah belakang menangkis dengan pedangnya, kemudian sisihannya sudah melompat lagi, kini tidak melompat ke perahu, melainkan melompat ke... air! Maya terkejut, mengira bahwa Si Dampit hendak terjun ke air, hal yang tentu saja tak dapat ia lakukan karena biar pun dia pandai berenang, namun kepandaiannya di air tidaklah boleh diandalkan untuk melawan musuh lihai seperti Si Dampit itu.
Akan tetapi ternyata bahwa Si Dampit itu tidak menceburkan diri ke air, melainkan hinggap di atas mayat seorang tentara yang sudah mati, yang mengapung di air dengan menelungkup! Maya menyambar cepat, hinggap di atas kayu pecahan perahu dan pedangnya menyambar, akan tetapi Si Dampit sudah melompat lagi menggunakan mayat itu sebagai tempat loncatan. Dari perbuatan ini saja dapat dibayangkan betapa lihai Si Dampit ini dan betapa tinggi ginkang-nya. Namun Maya tidak kalah cepat dan terus loncat mengejar, bahkan menyusul, dan selagi tubuh mereka di udara, ujung pedangnya yang menyambar dengan cepat menusuk lengan Si Botak yang mengempit tubuh perwira yang melawan itu.
“Aduhhh...!” Si Botak berteriak dan tentu saja kempitannya terlepas.
Maya yang menangkis serangan pedang Si Rambut Panjang dengan sarung pedangnya berjungkir balik di udara, menggigit pedangnya dan tangan kanannya dengan gerakan seperti seekor burung elang menyambar kelinci sudah mencengkeram leher baju Si Panglima Muda dan kembali berjungkir balik, tubuhnya melayang ke atas sebuah perahu. Dari situ kembali ia berloncatan menggunakan pecahan perahu, mayat-mayat tentara, dan atap-atap perahu yang sedang terbakar, langsung ke perahu besar. Dia masih sempat membebaskan totokan Si Panglima Muda dan melemparkan tubuhnya itu ke atas dek perahu, kemudian memutar senjatanya menghadapi para musuh yang mengeroyok sambil berkata,
“Tai-ciangkun, lekas putar perahu dan tinggalkan tempat ini. Biar aku yang menghadapi anjing-anjing Sung ini!” Panglima tinggi yang merasa bersyukur melhat pembantunya selamat merasa kagum bukan main. Ia lalu berkata, “Li-hiap... harap memperkenalkan nama yang mulia...”
“Cepat putar perahu!” Maya menjawab tanpa memperkenalkan nama.
Dia mengamuk amat hebat sehingga para pengeroyok menjadi gentar dan mereka berlompatan meninggalkan perahu besar yang mulai diputar kemudinya. Perahu itu telah dapat dipadamkan dari bahaya kebakaran, sedangkan sisa pasukan musuh pun sudah berloncatan ke air! Mereka tak memperhitungkan lagi, pokoknya mereka dapat lari dari dara perkasa yang seperti setan itu!
Kegembiraan besar karena dia dapat membunuhi tentara-tentara Sung membuat Maya seperti seekor harimau haus darah. Dia meloncat pula meninggalkan perahu besar, mengejar dan mengamuk dari perahu ke perahu sehingga pasukan Sung menjadi kacau-balau dan terdengarlah perintah menyuruh perahu-perahu kecil untuk mundur!
Akhirnya tempat itu menjadi sunyi. Perahu besar panglima yang memberontak sudah pergi jauh, perahu-perahu kecil pasukan Sung sudah pergi semua. Yang tampak hanya perahu-perahu terbakar, pecahan-pecahan perahu, mayat-mayat manusia yang mulai bergoyang-goyang karena kakinya disambari ikan hiu, dan rintih tangis mereka yang terluka dan masih belum mati. Ada yang meronta-ronta di air berusaha berenang menyelamatkan diri, ada yang terapung di pecahan-pecahan perahu.
Maya berdiri di atas sebuah balok pecahan tiang perahu, pedang di tangan, berdiri tegak dengan wajah berseri, dadanya turun naik, napasnya agak memburu karena dia telah mengeluarkan banyak tenaga. Baru sekarang terasa betapa lelahnya tubuhnya, dan betapa perih kaki di paha kirinya karena serempetan golok para pengeroyok yang ketika ia mengamuk tadi tidak dirasakannya.
Tiba-tiba dara perkasa itu menjerit kaget. Balok yang diinjaknya terbalik dan terseret ke bawah dan tentu saja tubuhnya terlempar ke air! Ia gelagapan dan pedang serta sarung pedang terpaksa dibuangnya karena ia membutuhkan kedua tangannya untuk berenang. Akan tetapi tiba-tiba kakinya terpegang atau tergigit sesuatu, lalu tubuhnya diseret ke dalam air. Ia berusaha meronta, akan tetapi karena memang bukan ahli di air, ia gelagapan, minum air laut dan tak lama kemudian tubuhnya tenggelam.
Kita tinggalkan dulu Maya yang terancam bahaya maut tanpa ia ketahui sebabnya dan kita tengok keadaan Pek-kong-to Tang Hauw Lam Si Golok Sinar Putih, suami Mutiara Hitam yang tekun menggembleng kedua orang muridnya, yaitu Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Pekerjaan ini dilakukan dengan amat tekun oleh Tang Hauw Lam yang seolah-olah sudah mati perasaan dan kemauannya akan hal lain. Memang sejak ditinggal mati isterinya yang tercinta, Mutiara Hitam yang gugur ketika berusaha membalas kematian kakak kembarnya Raja Talibu dari Kerajaan Khitan, dan menyerbu Kerajaan Mongol, Tang Hauw Lam kehilangan gairah hidup. Kalau saja tidak ada dua orang muridnya dan tidak hendak memenuhi pesan terakhir isterinya tercinta agaknya pendekar ini lebih baik memilih mati menyusul isterinya.
Kini ia mencurahkan seluruh kepandaiannya mengajar kedua orang muridnya yang dilatih sesuai dengan kitab-kitab peninggalan isterinya sehingga dalam waktu lima tahun saja kedua orang murid itu telah memperoleh kemajuan hebat dan telah dapat mewarisi hampir semua kepandaian Mutiara Hitam! Tentu saja mereka masih jauh kalau dibandingkan dengan mendiang subo mereka, kalah latihan dan kalah pengalaman. Namun tidaklah terlalu dilebih-lebihkan kalau dikatakan bahwa pada masa itu, sukarlah dicari pemuda-pemudi remaja yang memiliki ilmu kepandaian setinggi kedua orang murid Mutiara Hitam ini.
Akan tetapi dalam keadaan tiada semangat dan selalu terbenam kedukaan dan kerinduan terhadap isterinya seperti itu, tubuh Tang Hauw Lam menjadi kurus kering dan wajahnya selalu muram dan pucat. Bekas pendekar besar ini tiada bersemangat pula untuk memperhatikan kedua muridnya kecuali dalam pelajaran ilmu silat yang ia turunkan, sama sekali tidak memperhatikan hal lain dan sama sekali tidak memperhatikan soal pendidikan. Bekas pendekar besar yang sekarang seperti pohon layu kekeringan itu lupa bahwa kedua orang muridnya telah mulai dewasa, dan bahwa dalam usia seperti itu mereka bukan lagi kanak-kanak, perlu pembatasan di dalam pergaulan mereka.
Setelah mendapat kenyataan bahwa tingkat kepandaian kedua orang muridnya itu telah cukup tinggi, mulailah dia menurunkan ilmu pedang yang dahulu membuat Mutiara Hitam terkenal sekali, yaitu Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum). Ilmu pedang yang diturunkannya kepada murid perempuannya Ok Yan Hwa ini telah ia pelajari dari kitab peninggalan Mutiara Hitam, dan dalam melatih ilmu pedang ini Tang Hauw Lam sengaja menyerahkan Pedang Iblis yang betina kepada Yan Hwa.
Pada waktu yang sama, ia menyerahkan Pedang Iblis yang jantan kepada Can Ji Kun dan mengajarkan ilmu pedang yang bersumber dari Ilmu goloknya yang dahulu membuatnya amat terkenal, yaitu Ilmu Golok Pek-kong To-hoat (Ilmu Golok Sinar Putih). Dengan tingkat kepandaiannya yang amat tinggi, bekas pendekar besar ini mampu mengubah ilmu goloknya menjadi ilmu pedang dan menurunkan ilmu pedang ini kepada Ji Kun. Akan tetapi tentu saja untuk melengkapi ilmu kedua orang muridnya, dia mengajarkan kedua ilmu pedang itu kepada mereka, hanya berpesan agar Yan Hwa khusus memperdalam Siang-bhok Kiam-sut, sedangkan Ji Kun memperdalam Pek-kong Kiam-sut.
Setahun lamanya kedua orang muda itu menggembleng diri sehingga akhirnya mereka dapat menguasai ilmu pedang masing-masing dan sepasang pedang yang kini diserahkan kepada mereka itu benar-benar amat luar biasa. Kalau mereka berlatih, terdengar bunyi berdesingan dan tampaklah kilat menyambar-nyambar menyilaukan mata.
Tang Hauw Lam benar-benar tidak peduli sama sekali akan pendidikan moral murid-muridnya. Di samping mengajarkan ilmu silat, ia hanya selalu tekun besemedhi. Sebab itu bekas pendekar ini tidak tahu akan perubahan-perubahan yang terjadi dalam perhubungan kedua orang muridnya.
Kekuasaan alam menguasai dua orang yang telah dewasa itu dan mulailah mereka itu saling tertarik. Masa kanak-kanak mereka lewat sudah. Menjelang kedewasaan mereka, masing-masing merupakan daya tarik yang luar biasa dan karena mereka hidup terasing, maka tanpa pengawasan terjadilah hal yang tidak aneh, yaitu kedua orang suheng dan sumoi ini mulai bermain dengan asmara!
Tang Hauw Lam baru terkejut bukan main ketika pada suatu malam, secara tidak sengaja ia mendapatkan kedua orang muridnya itu sedang saling bermain cinta, saling bercumbu seperti kelakuan dua orang suami isteri!
“Ji Kun! Yan Hwa!” bentaknya dengan muka pucat sekali, matanya terbelalak lebar penuh kemarahan.
Kedua orang muda itu terkejut, saling melepaskan pelukan dan menjatuhkan diri berlutut di depan suhu mereka yang marah. Sampai lama Tang Hauw Lam tak dapat berkata-kata, kemudian kemarahannya mereda dan jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya karena apa yang dilakukan kedua orang muridnya itu menimbulkan rindu yang makin hebat, mengingatkan ia akan isterinya yang telah tiada.
“Ahhh... dua orang muridku...? Ahhh, betapa isteriku akan kecewa sekali... aku... aku telah gagal mendidik kalian....” Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya. Dengan terhuyung ia memasuki kamar di pondoknya dan bersila, memejamkan mata melawan kehancuran hatinya.
Pada keesokan harinya Tang Hauw Lam dikejutkan suara ribut-ribut beradunya pedang dan angin pukulan yang berdesir-desir. Ia menjadi kaget. Kalau berlatih, bukan seperti itu gerakan pedang kedua orang muridnya. Sekali ini kedua pedang itu bergerak dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, gerakan orang bertempur mati-matian.
Ia meloncat. Tubuhnya terhuyung lemah karena pukulan batin yang diterimanya selama ini membuat tubuh bekas pendekar yang sudah lemah itu menjadi makin lemah. Ketika ia tiba di luar pondok, Tang Hauw Lam terkejut bukan main melihat kedua orang muridnya itu telah bertanding mati-matian dengan pedang di tangan. Sepasang pedang iblis itu mereka pergunakan untuk saling serang dengan hebat! Apakah yang telah terjadi dengan sepasang orang muda yang semalam saling melimpahkan kasih sayangnya satu sama lain?
Ternyata bahwa ketika gurunya mempergoki perbuatan mereka dan mengundurkan diri dengan penuh kemarahan dan kedukaan, dua orang ini lalu saling menyalahkan. Semalam suntuk mereka bercekcok, saling menuduh telah mulai dengan permainan cinta mereka, menuduh masing-masing lebih dulu mulai merayu dan memikat.
Percekcokan menjadi makin sengit ketika masing-masing menyatakan bahwa ilmu pedangnya lebih lihai, pedang masing-masing lebih ampuh. Karena pertengkaran itu makin memuncak sehingga kemarahan mereka melampaui besarnya cinta kasih mereka, tak dapat dicegah lagi kedua orang muda yang masih berdarah panas ini lalu saling membuktikan keunggulan masing-masing dengan jalan mengadu ilmu secara mati-matian!
Baru sekali ini mereka bertanding sungguh-sungguh, dan anehnya, begitu kedua pedang mereka saling bentrok, seolah-olah ada kekuasaan gaib yang membuat mereka menjadi makin penasaran dan tidak akan merasa puas sebelum memperoleh kemenangan. Seolah-olah mereka menjadi lebih marah dan lebih panas hatinya, timbul keinginan untuk keluar sebagai pemenang tanpa memperhitungkan lagi bagaimana harus mengalahkan lawan, kalau perlu membunuhnya! Anehnya, setelah bertanding, seolah-olah lenyap semua cinta kasih di antara mereka, bahkan lenyap pula semua persoalan saling menyalahkan sehingga malam tadi mereka kepergok suhu mereka. Kini yang ada hanyalah ingin menang! Ingin membuktikan bahwa ilmu pedangnya lebih tinggi dan pedang di tangannya lebih ampuh!
Sebagai seorang ahli, sekali pandang saja Tang Hauw Lam maklum bahwa kedua orang muridnya itu tidaklah sedang berlatih atau main-main, melainkan saling serang dengan dahsyat dan mati-matian. Pandang matanya berkunang, kepalanya pening karena apa yang disaksikannya ini merupakan pukulan batin ke dua yang hebat, yang menimbulkan kemarahan, kedukaan, penasaran dan kekecewaan. Juga dia terkejut bukan main karena dia seolah-olah tidak melihat kedua orang muridnya yang bertanding, melainkan Mahendra dan Nila Dewi, dua orang tokoh India yang membuat Sepasang Pedang blis itu! Wajah kedua orang muridnya itu mengeluarkan sinar yang sama, sinar mengerikan yang haus darah!
“Ji Kun! Yan Hwa! Berhenti bertanding...!” Ia berseru sambil lari cepat menghampiri kedua orang muridnya.
Akan tetapi seruannya itu sekali ini tidak seperti biasa pengaruhnya. Biasanya setiap seruannya tentu akan diperhatikan dan ditaati oleh kedua orang muridnya itu. Akan tetapi seruan dan perintahnya sekali ini sama sekali tidak dlgubris, tidak ditaati, bahkan kedua orang muridnya saling menyerang semakin dahsyat.
“Ji Kun! Yan Hwa! Kalian masih tidak mau berhenti?” Tang Hauw Lam yang menjadi marah sekali ini meloncat ke depan dan menerjang maju. Ia melihat betapa kedua pedang muridnya itu membuat gerakan saling menusuk. Ia tidak peduli dan cepat menerjang di tengah-tengah antara mereka sambil mendorongkan kedua tangannya ke kanan kiri.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa mengeluarkan pekik tertahan. Tubuh mereka terlempar ke belakang dan masing-masing memandang suhu mereka yang berdiri tegak, kedua tangan mendekap lambung kanan kiri yang masih menyemburkan darah melalui celah-celah jari tangan yang menutup kedua luka itu!
“Suhu...!” Kedua orang muda yang agaknya seperti baru sadar dari mimpi itu menjerit berbareng dan keduanya menangis terisak-isak.
“Suhu... harap Suhu bunuh saja teecu...” Can Ji Kun meratap.
“Suhu, bunuhlah teecu yang berdosa...!” Ok Yan Hwa juga berkata dengan suara merintih.
Sepasang mata Tang Hauw Lam melotot memandang ke arah sepasang pedang di atas tanah. Pedang itu dilepas oleh kedua orang muridnya setengah dilempar seolah-olah mereka jijik menyaksikan pedang yang berlumuran darah suhu mereka dan sepasang pedang yang terjatuh dalam jarak berpisahan satu meter itu tiba-tiba sudah bergerak seperti saling tarik dan kini bagian gagang mereka saling melekat! Dia memang tahu akan sifat pedang-pedang itu, yaitu bagian mata pedang saling tolak akan tetapi bagian gagang saling tarik!
“Sepasang Pedang iblis! Pedang-pedang terkutuk... aaahhhh...!”
“Suhu... teecu berdosa...!” Ji Kun berkata pula, penuh penyesalan.
“Suhu, bunuh saja teecu...!” Yan Hwa juga meratap lagi.
Tang Hauw Lam menunduk, memandang kedua muridnya. Kemarahannya lenyap dan kini ia tersenyum! “Tidak, kalian tidak sengaja... dan... dan terima kasih... aku girang sekali... akan dapat berjumpa dengan subo kalian... akan tetapi kalian... ahh, hati-hatilah... pedang-pedang itu terkutuk... aaahhh!” Wajah yang berseri itu memucat, matanya memandang ke atas, lalu ia tersenyum lebar. “Kwi Lan... isteriku, engkau masih menunggu aku...? Ha-ha, tunggulah, kekasihku, aku datang...!” Tubuhnya terguling.
Kedua orang muridnya menubruk dan ternyata Tang Hauw Lam telah tewas, matanya terbuka, mulutnya tersenyum dan tarikan wajahnya berseri penuh bahagia!
“Suhu...!” Ok Yan Hwa terguling roboh pingsan dan Can Ji Kun hanya dapat menangis, sebentar memeluk mayat suhu-nya, kemudian bingung hendak menyadarkan sumoi-nya.
Tiga hari kemudian setelah mengubur jenazah suhu mereka yang mereka bawa ke Bukit Merak di Khitan dan dikuburkan di sebuah makam bersama Mutiara Hitam, kedua orang ini berpamit dari Gu Toan si bongkok yang menjaga kuburan keluarga itu dan yang membantu mereka mengubur jenazah Tang Hauw Lam sambil menghela napas penuh duka. Ji Kun dan Yan Hwa lalu berpisah, membawa pedang masing-masing.
“Sumoi, mengapa kita harus berpisah? Engkau tahu bahwa kalau kita berpisah, kita berdua akan menderita, akan saling merindukan...” Can Ji Kun mencoba untuk membujuk sumoi-nya setelah berhari-hari ia membujuk dengan sia-sia.
Yan Hwa menggeleng kepala dengan duka. “Tidak, kita telah berdosa. Dosa yang timbul karena kita berkumpul menjadi satu. Kalau dekat denganmu, aku akan selalu teringat akan dosaku terhadap Suhu, Suheng. Sebaiknya kita berpisah.” Ucapan itu dikeluarkan dengan suara tegas, namun mengandung kedukaan.
“Sumoi, bukankah engkau cinta padaku seperti besarnya cintaku kepadamu?”
Yan Hwa mengangguk. “Tidak kusangkal, akan tetapi cinta kita baru bersih dan membawa bahagia kalau engkau sudah mengakui keunggulan ilmu pedang dan po-kiam-ku (pedang pusakaku).”
Tiba-tiba sinar mata penuh kasih sayang lenyap dari mata pemuda itu, terganti sinar penasaran. “Akan tetapi, Sumoi. Mana bisa itu? Jelas bahwa ilmuku lebih tinggi darimu, pedangku juga tidak kalah. Ingat, aku suhengmu, sudah semestinya lebih lihai darimu!”
“Hemm, kita lihat saja! Ingin bukti? Mau melanjutkan yang dahulu?”
Ji Kun bergidik, teringat betapa pertemuan di antara mereka mengorbankan nyawa suhu mereka. Sungguh pun hal itu terjadi tanpa mereka sengaja karena keduanya sedang diamuk penasaran dan kemarahan dan mereka juga tidak mengira bahwa suhu mereka demikian lemah dan lambat gerakannya sehingga termakan pedang mereka, namun peristiwa ini takkan pernah terlupa dan tetap akan menjadi tekanan batin dan perasaan berdosa.
“Cukuplah, Sumoi. Kalau engkau menghendaki perpisahan di antara kita, baiklah. Akan tetapi, kita akan menderita...”
“Aku akan kembali kepadamu setelah kuperdalam ilmuku, kembali untuk mengalahkan engkau dan setelah kau mengakui keunggulanku, baru aku suka menyambung kembali hubungan cinta kita.”
“Gila...!” Ji Kun berseru akan tetapi ia pun merasa betapa yang gila dan berbeda pendapat seperti itu bukan hanya sumoi-nya, melainkan dia sendiri juga! Dia baru akan merasa puas dan cintanya takkan terganggu apa bila sumoi-nya mau tunduk dan mengaku kalah terhadapnya.
Maka berpisahlah kedua orang muda yang saling mencinta itu, sama sakali mereka tidak sadar bahwa mereka telah berada dalam cengkeraman kekuasaan gaib dari Sepasang Pedang Iblis yang seolah-olah telah kemasukan roh dari Mahendra dan Nila Dewi. Dan pada waktu itu, kembali dunia kang-ouw kemasukan dua orang muda yang berilmu tinggi, yang mengambli jalan masing-masing, namun yang keduanya memiliki pedang pusaka yang haus darah, memiliki sebatang Pedang Iblis!
Agar tidak tertinggal terlalu lama dan jauh, marilah kita ikuti perjalanan Khu Siauw Bwee, seorang dara lain yang melakukan perjalanan seorang diri meninggalkan Istana Pulau Es dan meninggalkan hatinya pula yang seolah-olah tertinggal di pulau itu menemani suheng-nya yang diam-diam ia cinta sepenuh hatinya, Kam Han Ki! Dengan hati merana dan kosong, Siauw Bwee melayarkan perahu buatannya, menuju ke selatan. Seperti juga suci-nya ia ingin mengobati sakit hatinya dengan pelaksanaan cita-citanya.
Pertama, dia ingin mencari ibunya yang dahulu mengungsi ketika ayahnya, mendiang Panglima Khu Tek San yang gagah perkasa, bersama suhu-nya, Menteri Kam Liong yang sakti melakukan usaha nekat, yaitu membebaskan Kam Han Ki dari dalam penjara istana. Kemudian ia akan menuntut balas atas kematian ayahnya. Akan tetapi dia tidak berpemandangan sepicik suci-nya, tidak mendendam kepada Kerajaan Sung, melainkan kepada Suma Kiat, jenderal yang lalim itu bersama semua kaki tangannya.
Setelah melakukan palayaran selama belasan hari, barulah ia melihat daratan luas membentang di sebelah barat, maka ia lalu mendayung perahunya ke pantai. Dia berniat memasuki dunia ramai di daratan yang luas itu, maka perahunya sedianya akan ia tinggalkan begitu saja. Akan tetapi, ketika perahunya tiba di pantai ia melihat banyak nelayan di pantai, maka berkatalah ia kepada para nelayan yang datang menyambutnya dengan heran karena melihat seorang dara remaja dan jelita mendarat seorang diri, “Paman sekalian tentu dapat menggunakan dan memanfaatkan perahu ini. Aku suka menukarnya dengan seekor kuda yang baik. Siapa suka?”
Para nelayan membelalakkan mata. Sebuah perahu yang biar pun amat sederhana namun kuat buatannya itu ditukar dengan kuda? Tentu saja banyak yang mau, maka berlarianlah mereka yang memiliki kuda dan tak lama kemudian di situ telah terdapat belasan ekor kuda yang dituntun oleh pemiliknya masing-masing.
Siauw Bwee memilih seekor kuda berbulu hitam yang besar. “Aku memilih kuda ini. Pemiliknya boleh mendapatkan perahuku.”
Pemilik kuda itu seorang petani tua. Dengan wajah berseri ia menyerahkan kudanya kepada Siauw Bwee. “Nona, banyak terima kasih. Penukaran ini amat menguntungkan aku. Akan tetapi, hati seorang tua seperti aku akan selalu merasa tidak enak kalau tidak berterus terang. Nona, apakah Nona pandai menunggang kuda?”
Nelayan itu jujur sekali tampaknya dan Siauw Bwee juga menjawab secara jujur, “Aku tidak pandai, Lopek. Akan tetapi ketika masih kecil dahulu, lima tahun yang lalu, aku pernah belajar menunggang kuda.”
Nelayan tua itu menggeleng kepala. “Kalau begitu, biar pun hatiku amat menyesal karena tidak jadi mendapat keuntungan, aku tidak dapat melakukan penukaran ini, Nona. Silakan memilih lain kuda saja.”
Siauw Bwee memandang heran. “Mengapa, Lopek?”
“Kudaku ini adalah kuda liar, Nona. Belum lama kutangkap dari hutan. Amat sukar ditunggangi karena belum jinak. Aku sendiri, dan semua teman yang di sini belum ada yang mampu menundukkan dan menjinakkannya. Aku khawatir kalau Nona dilemparkan jatuh.”
Siauw Bwee mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji kejujuran nelayan ini. Tahulah dia bahwa watak orang-orang pantai seperti juga orang-orang dusun di pegunungan yang sederhana dan dianggap bodoh ternyata jauh lebih baik dari watak orang-orang kota yang menganggap diri pintar! Ia tersenyum manis dan berkata, “Lopek, aku memerima kudamu ini dan aku tidak akan menyesal andai kata aku sampai dilemparkan dan mati sekali pun.”
“Nona...!” Beberapa mulut para nelayan berseru mencegah.
“Biarlah kucoba keliarannya!” Siauw Bwee berkata, memegang kendali kuda dan bagaikan seekor burung, tubuhnya sudah meloncat naik ke punggung kuda hitam besar itu.
Benar saja kata-kata Si Nelayan. Kuda itu meringkik, lalu meloncat tinggi, melengkungkan punggungnya mengipat-ngipatkan tubuh. Ketika nona itu masih tetap duduk di atas punggungnya, ia lalu berdiri di atas kedua kaki belakang, menggoyang-goyang tubuh dan meringkik-ringkik, berusaha menoleh untuk menggigit orang yang menduduki punggungnya.
Para nelayan berlari menjauhi, takut tergigit atau tertendang. Akan tetapi mereka melongo menyaksikan betapa nona jelita itu masih tetap di atas punggung kuda dengan tegak duduk menggunakan kedua kaki menjepit perut kuda. Ketika kepala kuda menoleh hendak menggigit, tangan Siauw Bwee bergerak menamparnya. Setiap kali menoleh kuda itu ditampar dengan pengerahan sedikit sinkang, sementara tubuhnya ditekan sehingga kuda itu tidak kuat menahan dan roboh mendeprok dengan penunggangnya masih tetap di atas punggung!
“Dia jinak, Lopek,” kata Siauw Bwee sambil melompat turun. Kini kuda itu dapat berdiri lagi, empat buah kakinya gemetaran, akan tetapi dia menundukkan kepala dengan mata melirik takut ketika Siauw Bwee mengelus bulu di kepalanya.
“Hebat... bukan main... siapakah... siapakah Nona...?” tanya nelayan itu. Kini mukanya, seperti muka teman-temannya, memperlihatkan sikap hormat dan takut.
“Selamat tinggal Lopek!” Siauw Bwee meloncat ke atas punggung kudanya yang meringkik perlahan dan melambaikan tangan. “Lupakan aku, aku hanya seorang gadis pengembara biasa!” Ia menyepak perut kudanya dan kuda itu meringkik lagi lebih keras, lalu meloncat ke depan dan lari cepat sekali, diikuti pandang mata para nelayan yang melongo.
Hati Siauw Bwee girang sekali. Kuda itu ternyata kuat dan tangkas, dapat berlari cepat dan tidak pernah mogok atau rewel. Biar pun melalui padang rumput yang hijau dan gemuk ia tidak berhenti sebelum dihentikan. Berhari-hari Siauw Bwee menunggang kuda, naik turun gunung dan masuk keluar hutan lebat.
Pada suatu hari ia melihat seorang laki-laki berlari di sebelah depan. Ia heran dan juga girang. Heran melihat di tempat sunyi itu, di dalam hutan, ada seorang yang memiliki ilmu berlari cepat cukup lumayan, dan girang karena dia yang mulai merasa bingung karena tidak mengenal jalan dan sudah berhari-hari tidak pernah bertemu manusia atau dusun kini bertemu orang yang tentu akan dapat ia tanyai arah ke kota raja Kerajaan Sung.
Ia mempercepat larinya kuda untuk mengejar orang itu. Akan tetapi tiba-tiba orang itu menghilang di sebuah tikungan yang penuh pohon. Siauw Bwee mengejar sampai ke tempat itu dan menghentikan kudanya. Orang itu hilang tanpa meninggalkan jejak! Ia memandang ke kanan kiri, kemudian mendengar makian nyaring dari atas!
“Setan! Siluman! Keluarlah kalau memang kalian memiliki kegagahan dan lawanlah aku, Hui-eng Liem Hok Sun!”
Siauw Bwee mengangkat muka memandang dan ia terheran-heran. Orang yang dikejarnya tadi kini telah terjerat dalam sebuah jala dan tergantung di dahan pohon besar, meronta-ronta dan memaki-maki kalang-kabut. Diam-diam Siauw Bwee merasa geli hatinya melihat orang yang berjuluk Hui-eng (Garuda Terbang) itu kini seperti seekor garuda dalan sebuah sangkar!
Orang yang terjerat itu melihat Siauw Bwee melotot dan siap memaki-maki, akan tetapi ia melongo ketika melihat bahwa yang datang menunggang kuda adalah seorang dara remaja yang cantik jelita.
Akhirnya Siauw Bwee yang membuka mulut lebih dulu, bertanya sambil tersenyum, “Sobat, kau sedang apa di situ? Mengapa terjala seperti ikan? Ataukah engkau memang seekor burung dalam kurungan?” Godaan Siauw Bwee ini timbul ketika mendengar julukan orang itu dan melihat bahwa orang itu adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, mukanya memperlihatkan kekasaran seorang yang jujur dan penuh keberanian...