CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 16
MENDENGAR ucapan yang bernada mengejek ini, pemuda itu makin membelalakkan mata saking marahnya. Tangannya keluar dari celah-celah jala menuding ke arah muka Siauw Bwee, mulutnya terbuka lebar mengeluarkan kata-kata keras. “Eh, bocah cilik nakal! Apakah ini perbuatanmu? Jangan main-main kau! Aku bukan harimau atau beruang yang boleh kau jerat seperti ini. Hayo lepaskan aku, kalau tidak aku akan...”
“Kau akan apa? Melepaskan diri sendiri pun tidak mampu, masih banyak lagak hendak mengancam orang!” Siauw Bwee makin suka menggoda menyaksikan orang kasar itu. “Dan biar pun engkau bukan harimau atau monyet, akan tetapi engkau adalah seekor burung tolol yang mudah dijerat, hi-hik!”
“Eh, bocah! Lepaskan aku! Jangan main-main kau. Apakah engkau ini bocah yang baru turun di dunia kang-ouw sehingga tidak mengenal julukanku Hui-eng yang sudah terkenal di seluruh jagad?”
Siauw Bwee tidak membenci orang itu. Malah sebaliknya, dia suka kepada orang yang kasar, jujur dan agaknya memiliki kepandaian lumayan ini dan berniat menolongnya. Kalau tadi ia menggodanya adalah karena tertarik melihat sikap orang itu. Akan tetapi, ketika ia berniat meloncat turun dan menolong membebaskan orang yang meronta-ronta dan berteriak-teriak itu, tiba-tiba telinganya mendengar gerakan banyak orang mendatangi dari jauh. Ia cepat memutar kudanya dan pergi dari situ.
“Heee! Siluman betina! Kau hendak pergi ke mana? Lepaskan dulu aku, baru boleh pergi. Kalau pergi dulu, siapa yang akan membebaskan aku? Aku... aku ngeri melihat ke bawah...!” Akan tetapi Siauw Bwee tidak peduli dan cepat membawa kudanya bersembunyi, lalu ia kembali ke tempat itu, menyelinap di antara pohon-pohon dan mengintai.
Tak lama kemudian, di tempat itu telah datang serombongan orang yang membuat Siauw Bwee bengong keheranan memandang mereka. Mereka itu terdiri dari dua belas orang, sembilan laki-laki dan tiga orang wanita. Melihat sikap mereka membayangkan bahwa mereka memiliki kepandaian tinggi, dan pakaian mereka pun biasa saja. Akan tetapi yang amat luar biasa adalah bahwa mereka semua hanya berkaki satu, alias buntung kaki kanan mereka! Sebagai pengganti kaki, mereka itu memakai tongkat bercagak yang mereka kempit di ketiak kanan. Biar pun mereka itu semua berkaki satu, namun mereka dapat melangkah cepat dan gerakan mereka sigap sekali, bahkan ketika mereka berdiri di bawah Hui-eng Liem Hok Sun yang tergantung di pohon, mereka berdiri tegak dengan sikap penuh wibawa.
Liem Hok Sun Si Garuda Terbang juga memandang ke bawah dan kini mulailah dia mengerti bahwa agaknya bukan Si Dara Jelita tadi yang menjeratnya, melainkan orang-orang berkaki buntung ini. Dia memang kasar, akan tetapi tidak bodoh dan dia pun maklum bahwa orang-orang buntung itu lihai sekali. Karena tidak mempunyai permusuhan dengan mereka bahkan tidak mengenal mereka, dia diam menutup mulut dan menanti perkembangan selanjutnya.
“Susiok, kita kesalahan menjerat orang lain!” Seorang di antara tiga wanita itu berkata kepada seorang kakek berusia lima puluh tahun yang agaknya menjadi pimpinan rombongan.
Kakek itu memandang tajam penuh perhatian kepada Liem Hok Sun, kemudian mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Sayang sekali bukan seorang anggota mereka yang terjerat. Akan tetapi karena dia sudah berkeliaran di sini sampai terjerat, siapa tahu dia adalah bala bantuan dan mata-mata yang dikirim kaum tangan satu. Kita bawa dia menghadap Suhu.”
Mendengar percakapan itu, Hok Sun berteriak-teriak, “Hei, saudara-saudara yang di bawah, dengarlah! Aku Hui-eng Liem Hok Sun, selamanya tidak ada permusuhan dengan kalian, juga tidak tahu-menahu siapa itu golongan lengan satu dan kaki satu! Lepaskan aku dan biarkan aku pergi!”
“Pergilah kalau bisa!” Seorang berkaki buntung yang kelihatannya juga kasar dan berwatak dogol berkata. Dalam persembunyiannya Siauw Bwee menahan ketawanya. Nah ketemu batunya kau, orang kasar, pikirnya.
Hok Sun melotot. “Sudah terang terjerat, mana bisa pergi? Totol amat kau! Coba lepaskan jerat ini, tentu aku akan dapat pergi!”
Orang kasar berkaki satu itu tertawa bergelak, “Benarkah? Baru ada aku seorang saja di sini, engkau si goblok ini mana bisa pergi, apa lagi di sini sekarang terdapat Sam-susiok! Coba kita lihat, bagaimana engkau akan pergi!” Setelah berkata demikian, tubuh yang berkaki satu mencelat ke atas, tongkatnya membabat dan....
“Brettt!” tali yang menggantung tubuh Hok Sun putus dan tubuh Si Kasar itu melayang jatuh ke bawah.
Akan tetapi ternyata ginkang Hok Sun sudah cukup tinggi sehingga dia tidak terbanting jatuh, melainkan turun dengan kedua kakinya ringan menyentuh tanah. Setelah membuang jerat dari tubuhnya, Hok Sun menggerakkan tubuh hendak meloncat pergi karena dia tidak ingin membalas kepada belasan orang yang ia tahu lihai itu. Akan tetapi, begitu meloncat tampak sinar berkelebat dan tongkat kakek kaki buntung bergerak, tahu-tahu tubuh Hok Sun jatuh tersungkur! Si Kaki Buntung yang kasar tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha! Pergilah! Pergilah, hendak kulihat bagaimana engkau dapat pergi!”
Liem Hok Sun meloncat bangun, mukanya merah saking marahnya. “Eh kalian ini orang-orang buntung kaki mengapa begini tidak tahu aturan? Apakah kalian mau menantang berkelahi?”
Kakek yang menjadi susiok rombongan itu manjawab, suaranya halus namun nadanya kereng. “Kami tidak ingin berkelahi, akan tetapi engkau harus ikut bersama kami, untuk sementara menjadi tawanan kami sebelum menerima keputusan ketua kami.”
“Aku tidak peduli keputusan ketua kalian! Apa salahku kalian hendak menangkapku?” bantah Hok Sun.
“Kau sudah melanggar wilayah kami, masih pura-pura bodoh ataukah memang engkau ini bodoh melebihi kerbau?”
“Kalian sungguh tidak memandang aku Si Garuda Terbang!” bentak Hok Sun dan ia sudah menerjang Si Kaki Buntung yang kasar.
Dari tempat persembunyiannya Siauw Bwee mendapat kenyataan bahwa julukan si kasar itu bukanlah kosong belaka. Gerakannya tangkas penuh tenaga dan terjangannya memang seperti seekor garuda terbang, menyerang lawan dari atas. Dan memang orang kasar berjuluk garuda tebang ini adalah seorang murid pertapa di Gobi-san yang lihai, wataknya kasar, dogol dan jujur, akan tetapi ilmu kepandaiannya juga tinggi.
Menghadapi serangan ini, Si Kaki Buntung yang juga sama kasarnya itu cepat menangkis dengan lengan kiri ke arah kaki Hok Sun yang menendang, sedangkan tongkatnya sudah menotok ke arah leher. Namun Hok Sun benar-benar memiliki ginkang yang hebat. Biar pun tubuhnya masih terapung di udara dan sekaligus lawannya menangkis sambil menyerang, namun dia tidak menjadi gugup. Tubuhnya sudah berjungkir balik dan dengan gerakan tangkas dia telah berhasil menangkap ujung tongkat yang menotok lehernya, kemudian sambil meluncur turun ia mengerahkan tenaganya menarik sehingga lawannya roboh tersungkur!
“Hemm, manusia bandel!” Kakek yang menjadi pimpinan rombongan sudah mencelat ke depan.
Siauw Bwee yang menyaksikan kecepatan gerakan kakek itu menjadi kagum. Memang hebat sekali gerakannya. Sekaligus kakek buntung ini menggerakkan kedua lengannya, jari-jari tangannya sudah mengirim serangan totokan bertubi-tubi dengan kecepatan yang membingungkan Hok Sun. Biar pun murid dari Gobi-san ini berusaha menangkis dan mengelak namun ia kalah cepat, apa lagi memang gerakan kedua tangan kakek yang menyerang sambil mengempit tongkatnya itu luar biasa anehnya sehingga tahu-tahu Hok Sun sudah tertotok dan roboh tak dapat berkutik lagi!
“Curang! Kalian manusia-manusia curang. Main keroyokan!” Liem Hok Sun berteriak-teriak, akan tetapi rombongan itu tidak mempedulikan. Dia digotong seperti seekor celeng (babi hutan) yang meraung-raung, dibawa pergi dari tempat itu.
Ada yang menarik dalam gerak-gerik para orang buntung itu dan yang membuat Siauw Bwee menahan keinginan hatinya untuk menolong si manusia kasar Hok Sun. Sikap para orang buntung itu bukan seperti sikap orang-orang jahat yang kejam melainkan seperti sikap anak buah perkumpulan yang berdisiplin. Pula dia tertarik menyaksikan gerak tangan kakek buntung tadi, gerak silat yang amat aneh sehingga dia ingin lebih banyak mengetahui tentang orang-orang ini sebelum menolong Si Garuda Terbang. Maka ia tidak tergesa-gesa menolongnya, melainkan mengikuti rombongan yang menggotong tubuh Hok Sun itu dari jauh.
Mereka menyeberangi hutan yang besar dan lebat sekali, kemudian memasuki hutan kecil yang menyambung hutan itu di kaki bukit. Di tengah hutan kecil itu terdapat bangunan yang bentuknya aneh sekali. Hanya ada sebuah, tidak terlalu besar dan dari jauh kelihatan seperti bukit gundul setengah bundar. Ke arah bangunan inilah rombongan itu membawa Hok Sun. Siauw Bwee mengintai penuh perhatian, melihat betapa rombongan orang itu mendekati bangunan aneh, kemudian melompat dan lenyap! Kakek pimpinan rombongan mengempit tubuh Hok Sun, melompat lebih dulu dan lenyap pula.
Setelah semua orang tidak tampak lagi, Siauw Bwee berindap menghampiri bangunan itu dan ia terheran-heran. Bangunan itu merupakan dinding batu yang amat tebal dan kuat, berbentuk bundar dan sama sekali tidak ada lubangnya! Namun, semua orang tadi begitu meloncat terus lenyap! Siauw Bwee merasa penasaran sekali. Ia melayang ke atas bangunan, merayap sampai ke puncak, memeriksa seluruh permukaan yang setengah bundar, akan tetapi tetap saja dia tidak melihat adanya lubang sedikit pun! Ke manakah perginya rombongan orang kaki buntung tadi? Tentu ada pintu rahasianya, pikir Siauw Bwee. Akan tetapi, andai kata ada pintu rahasianya, bagaimana begitu banyak orang dapat masuk semua ke bangunan kecil ini!
Tiba-tiba Siauw Bwee melayang turun dengan cepat, lalu mencari tempat sembunyi. Dari atas puncak bangunan itu dia tadi melihat serombongan orang berjalan cepat menghampiri bangunan. Ia menyelinap dan mengintai, sekali ini Siauw Bwee benar-benar tak dapat menahan keheranan hatinya.
“Ohh... tidak...! Mimpi burukkah aku...?” Dia mencubit pahanya sendiri, terasa panas. Tidak, dia tidak mimpi.
Akan tetapi adakah yang lebih aneh dari pada semua ini? Tadi ia melihat serombongan orang buntung sebelah kaki kanan, semua buntung dan begitu sama keadaannya seolah-olah kebuntungan mereka merupakan keseragaman! Dan orang-orang berkaki buntung itu mempunyai tempat yang begini aneh, begitu kecil tanpa lubang pintu atau jendela, namun dapat menampung begitu banyak orang!
Dan sebelum semua keanehan itu terbuka rahasianya, kini ia menyaksikan lima orang, empat laki-laki dan seorang wanita, yang kesemuanya buntung lengan kirinya! Begitu sama keadaannya, lengan kiri buntung sebatas pundak, dengan lengan baju sebelah kiri kosong kempis tergantung lepas. Mengerikan!
Seorang di antara lima orang lengan buntung itu membawa sebatang tongkat yang biasa dipakai anak buah rombongan kaki buntung, dan dia agaknya menjadi pemimpin rombongan, karena selain dia paling tua berjenggot panjang dan bersikap angker, juga gerakan kedua kakinya paling ringan dan lincah. Ada pun di belakang kakek ini tampak seorang laki-laki muda tinggi besar yang juga buntung lengan kirinya, menggunakan lengan kanan mengempit tubuh seorang anggota rombongan kaki buntung!
Diam-diam Siauw Bwee memandang penuh perhatian, dan ia mendapat kenyataan bahwa gerakan kaki lima orang itu luar biasa sekali. Ringan dan langkah mereka teratur, begitu tegap, begitu kuat dan kokoh, namun begitu ringan membuat dia kagum bukan main!
Kakek berjenggot yang memegang tongkat Si Kaki Buntung dan menjadi pemimpin rombongan itu menggunakan ujung tongkat mengetuk tujuh kali ke atas dinding bangunan bundar, kemudian meloncat ke belakang. Tak lama kemudian terbukalah lubang di sebelah atas depan bangunan itu dan dari dalam lubang melayang ke luar tiga orang berkaki buntung, yang paling depan adalah kakek yang memimpin rombongan penawan Liem Hok Sun tadi. Kemudian dari belakang bangunan itu keluar pula beberapa orang berkaki buntung, agaknya keluar dari lubang rahasia lain di sebelah belakang. Suasana menjadi tegang dan Siauw Bwee memandang penuh perhatian.
Laki-laki tangan buntung yang tinggi besar tadi melemparkan tubuh Si Kaki Buntung yang dikempitnya sehingga Si Kaki Buntung itu terguling di atas tanah, dan secepat kilat pimpinan rombongan lengan buntung menodongkan ujung tongkatnya, yaitu tongkat Si Kaki Buntung yang tertawan, ke jalan darah di punggung orang berkaki buntung itu yang jatuh berlutut dan tidak berani berkutik. Keadaan masih hening, tidak ada seorang pun dari kedua pihak orang-orang bercacat itu yang mengeluarkan suara. Yang paling merasa tegang adalah Siauw Bwee yang mengintai dan melihat semua itu dari tempat persembunyiannya.
Tiba-tiba wanita berkaki buntung yang ikut meloncat ke luar menggerakkan tangan kirinya, dan ternyata bahwa dialah yang mewakili pihak tuan rumah, karena ia sudah menegur dengan suara penuh kebencian, keras dan dingin, “Apakah kaum lengan buntung kini sudah menambah sebuah watak buruk baru lagi, tidak mematuhi janji? Hari pertandingan masih tiga bulan lagi, kenapa sekarang sudah turun tangan memancing keributan dengan menawan seorang anggota kami?”
Kakek yang menodong punggung orang berkaki buntung yang dibawa mereka sebagai tawanan itu tersenyum mengejek, lalu menjawab dengan suara tidak kalah keras dan dinginnya, mengandung kebencian yang sama, “Agaknya di dalam pondok kalian yang buruk tidak terdapat cermin sehingga kalian orang-orang berkaki buntung suka menjelekkan kami yang berlengan buntung. Memang mudah melontarkan tuduhan, mudah menunjuk cacat orang tanpa melihat akan besarnya cacat sendiri, semudah menggoyang lidah yang tidak bertulang. Kami kaum lengan buntung bukanlah orang-orang hina yang suka melanggar janji, melainkan kalianlah yang tidak memenuhi janji sendiri. Memang tepat sekali, hari pertandingan masih tiga bulan lagi, akan tetapi mengapa seorang anggota kalian yang tidak terhormat ini melanggar wilayah kami dan melakukan penyelidikan?”
Alis empat orang berkaki buntung itu berkerut dan Si Wanita bersama Si Kakek memandang kepada anak buah mereka dengan mata penuh pertanyaan. Tawanan itu kelihatan ketakutan dan diam-diam Siauw Bwee merasa heran sekali. Tadi ketika menjadi tawanan kaum lengan buntung, tawanan itu tidak kelihatan begitu takut. Dia dapat menduga bahwa tentu kaum kaki buntung itu mempunyai peraturan dan hukum yang keras sekali terhadap anak buahnya yang melanggar peraturan.
“Tidak... tidak... Suci... dan Suheng... aku tidak melanggar wilayah mereka. Aku tidak melakukan penyelidikan seperti yang mereka tuduhkan. Aku sedang memburu hewan seperti biasa. Aku berhasil melukai seekor kijang yang masih dapat berlari maka aku melakukan pengejaran. Tahu-tahu mereka ini merobohkan aku dengan jalan mengeroyok dan menawanku!” Si Tawanan membantah.
Kakek berlengan satu tertawa mengejek, “Hemm, mana ada maling mau mengaku?”
Si Wanita Berkaki Satu menggerakkan tangan kirinya ke atas dan berkata, suaranya mantap dan berwibawa, “Menghadapi perkara tidak boleh mendengar keterangan sepihak saja. Kalau keterangan dua pihak berlawanan, satu-satunya jalan hanya melihat bukti!”
“Baik!” kata kakek lengan satu. “Mari kita lihat buktinya di mana kami menawan anak buahmu!” Tanpa banyak cakap lagi, rombongan lengan buntung sebanyak lima orang dan rombongan kaki buntung yang bersama Si Bekas Tawanan juga berjumlah lima orang sudah pergi meninggalkan tempat itu memasuki hutan!
Siauw Bwee tertarik sekali dan ingin menyaksikan kelanjutan perkara itu. Akan tetapi mengingat akan nasib Si Garuda Terbang yang dibawa masuk ke dalam bangunan bundar, dan melihat kesempatan baik selagi lubang itu belum tertutup, Siauw Bwee cepat meloncat dan sekaligus menerobos masuk ke dalam lubang itu. Ketika ia turun di sebelah dalam, ia tiba di ruangan berlantai dan di sudut terdapat dua buah anak tangga yang menurun ke bawah. Tahulah ia sekarang bahwa kiranya bangunan di luar itu hanya merupakan ‘pintu gerbang’ saja yang menyembunyikan tempat tinggal yang agaknya luas sekali, yang tersembunyi di sebelah bawah!
Ia menjadi bingung. Tangga batu yang manakah yang akan membawanya ke tempat Si Kasar itu ditahan? Karena tidak ada jalan lain, Siauw Bwee lalu menuruni tangga yang sebelah kiri. Tak lama kemudian ia mendapat kenyataan bahwa tepat seperti diduganya, bagian bawah terdapat ruangan-ruangan yang luas sekali, lorong-lorong yang terbuat dari pada batu dan keadaan di bawah itu merupakan bangunan di bawah tanah seperti istana!
Siauw Bwee menuruni tangga dengan hati-hati sekali, akan tetapi dia tidak mendengar gerakan apa-apa, juga tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Jelas ia melihat rombongan yang menawan Liem Hok Sun tadi memasuki bangunan ini, sedangkan tadi yang keluar hanyalah empat orang. Di manakah adanya orang-orang lain? Apakah mereka telah keluar lagi dari pintu rahasia yang lain? Apakah tempat itu kosong?
Dengan sikap hati-hati ia melangkah terus dan tibalah dia di sebuah ruangan yang luas dan bersih sekali. Lantainya dari batu putih dan di sudut terdapat sebuah arca yang melukiskan seorang laki-laki tua bermuka kasar, berdiri dengan tegak akan tetapi kakinya hanya satu karena kaki kanan arca ini pun buntung. Melihat arca ini, Siauw Bwee menduga bahwa agaknya arca inilah arca nenek moyang kaum kaki buntung yang lihai ini.
Tiba-tiba terdengar gerakan halus. Siauw Bwee memutar tubuhnya, siap waspada dan ternyata dari sekeliling ruangan itu muncul dua puluh orang lebih, laki-laki dan perempuan, semua buntung kaki kanannya. Akan tetapi mereka itu hanya mengepung dan tidak bergerak, berdiri dibantu tongkat masing-masing dan sikap mereka menanti, menanti perintah seorang di antara mereka, yaitu seorang kakek buntung pula yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih dan sikapnya berwibawa sekali.
Siauw Bwee dapat menduga bahwa agaknya kakek inilah yang menjadi ketua mereka, maka ia cepat mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata, “Apakah Locianpwe ketua dari kaum... eh, kaki buntung ini?”
Kakek itu memandang tajam, mengerutkan keningnya dan menjawab singkat, “Benar. Aku adalah Liong Ki Bok, ketua kaum kaki buntung.”
“Maafkan kalau aku lancang memasuki tempat kediaman kalian ini, Liong-locianpwe. Kedatanganku tidak bermaksud buruk, hanya ingin minta pertimbanganmu agar kalian suka membebaskan si kasar Hui-eng Liem Hok Sun yang sesungguhnya tidak mempunyai kesalahan apa-apa.”
“Tidak mempunyai kesalahan? Hemm... hal itu harus diputuskan kelak setelah hari pertandingan. Kalau kelak ternyata diakui oleh pihak Si Lengan Buntung bahwa dia bukan mata-mata mereka, kami pun tidak akan mengganggu orang yang tidak berdosa. Akan tetapi, selama ini sampai hari pertandingan tiba di mana persoalan dibikin terang, dia akan menjadi tawanan kami. Juga engkau, Nona.”
Siauw Bwee mengerutkan alisnya, “Apa? Menjadi tawanan selama tiga bulan?”
“Terpaksa begitulah. Sekarang kami belum dapat mengetahui apakah dia dan engkau pembantu mereka atau bukan. Dia sudah kami tawan dan tak seorang pun dapat membebaskannya. Engkau pun sebaiknya menyerah menjadi tawanan kami.”
“Eh, nanti dulu! Liong-locianpwe, aku tidak mempunyai permusuhan dengan kaum kaki buntung, juga tidak mengenal siapa adanya kaum lengan buntung. Aku hanya minta kau membebaskan orang yang tidak bersalah, dan kalau engkau hendak menawanku, hemmm... kurasa tidak akan begitu mudah.”
Terdengar seruan-seruan marah dari semua kaum kaki buntung, dan sepasang mata kakek itu mengeluarkan sinar tajam, “Engkau siapa, Nona? Apakah engkau juga murid Gobi-san seperti orang she Liem itu? Dan dari aliran manakah engkau? Kami tidak ingin bermusuhan dengan partai lain, akan tetapi kami harus berhati-hati terhadap para pembantu kaum lengan buntung.”
“Aku bukan dari aliran atau partai apa pun, namaku Khu Siauw Bwee.”
“Bagus! Kalau begitu, harap kau suka menyerah saja menjadi tawanan kami, Nona. Aku sungguh merasa tidak enak kalau harus menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis muda.”
“Orang she Liong, kau terlalu sombong, tidak pantas dihormati! Kalau aku tidak mau menyerah, hendak kulihat engkau dapat berbuat apakah?”
“Suhu, biarkan teecu menawannya!” kata seorang wanita yang usianya sudah lima puluhan tahun dan agaknya dia adalah murid kepala. Kakek itu mengangguk dan berkata, “Hati-hatilah, jangan sampai membuat dia menderita luka parah. Dia hanya seorang bocah yang masih amat muda.”
Nenek itu mengangguk, kemudian tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat dan berdiri di depan Siauw Bwee. “Nona, kami tidak biasa menghina yang muda, maka sebaiknya engkau dapat menerima peraturan kami dan menyerahlah. Biar pun engkau menjadi tawanan, engkau akan kami perlakukan dengan baik. Sebaliknya, hendaknya kau ketahui bahwa entah sudah beberapa ratus orang tewas di tangan kami.”
Panas rasa hati Siauw Bwee. Jelas bahwa mereka, Si Ketua dan murid kepalanya ini, amat memandang rendah kepadanya. Ia tersenyum lebar dan menjawab, “Bagus sekali kalau kalian mempunyai pikiran tidak ingin menghina yang muda. Akan tetapi sebaliknya aku pun sama sekali tidak ingin menghina kaum tua, apa lagi yang bercacat. Maka sebaiknya kalau engkau membebaskan Si Kasar itu dan aku akan pergi dari sini agar hatiku tidak menjadi tak enak membikin repot orang-orang tua yang cacat saja.”
“Bocah sombong!” Nenek itu berteriak dan tahu-tahu tangan kirinya sudah menyambar dan mencengkeram ke arah pundak kiri Siauw Bwee.
Cepat bukan main gerakan itu. Akan tetapi Siauw Bwee, murid ke tiga dari Bu Kek Siansu yang telah mempelajari ilmu yang tinggi tingkatnya, cepat miringkan tubuh dan dari bawah jari tangannya menyambar dengan totokan ke arah telapak tangan nenek itu.
“Aihhh...!” Nenek itu berseru kaget, tangannya membuat gerakan membalik dan luputlah totokan Siauw Bwee.
Gerakan nenek itu aneh sekali dan tahu-tahu kini tongkatnya menyambar, menotok ke arah lutut kiri Siauw Bwee yang kalau mengenai sasarannya tentu akan membuat gadis itu bertekuk lutut. Namun Siauw Bwee yang sudah melihat betapa gerakan-gerakan nenek itu cepat dan aneh sekali, maklum bahwa lawannya memiliki gerak tangan yang hebat dalam bersilat. Maka ia berlaku hati-hati dan cepat menggeser kakinya. Ketika kembali tangan kiri nenek itu menusuk dengan jari-jari tangan terbuka ke arah lambungnya, disusul tongkat yang menyambar dengan totokan ke arah pundak, dia berkelebat ke kanan dan sengaja menggunakan telapak tangannya menerima tongkat yang menyambar.
“Plakk!”
“Aihhh...!” Nenek itu kembali berteriak kaget dan tubuhnya terhuyung, namun kembali tangan kirinya sudah mencengkeram disusul totokan tongkatnya, kini tidak kepalang dan dilakukan dengan kemarahan karena tongkat itu menyerang leher!
Diam-diam Siauw Bwee kagum sekali. Dalam keadaan terhuyung seperti itu Si Nenek yang kakinya hanya satu ini masih mampu mengirim serangan dua kali berturut-turut, sungguh merupakan hal yang luar biasa. Dia mengerti bahwa kiranya kaum kaki buntung ini memiliki ilmu silat yang amat aneh, cepat dan kuat sehingga ilmu silat tangan kiri dan tongkat ini dapat menutup kekurangan karena cacat kaki mereka!
Dia juga mengeluarkan kegesitannya dan bayangannya berkelebat lenyap. Biar pun dia agak bingung menghadapi serangan ilmu silat aneh dari nenek itu, namun karena dia menang dalam tenaga sinkang, pula dalam hal ginkang dia pun lebih unggul, maka dia masih mampu menyelamatkan diri dengan elakan cepat atau tangkisan kuat. Akan tetapi karena dia pun tahu bahwa kaum kaki buntung ini bukan orang-orang jahat, dan dia harus mengakui bahwa dalam pertentangan ini dialah yang telah mulai lebih dulu, Siauw Bwee tidak ingin mencelakai lawannya dan hanya ingin merobohkan atau mengalahkannya tanpa melukai.
“Hebat...! Luar biasa...! Sukar dipercaya!” Beberapa kali kakek yang menjadi ketua kaum kaki buntung itu memberi komentar penuh kekaguman menyaksikan gerakan Siauw Bwee.
Siauw Bwee adalah seorang dara remaja yang baru sekali itu mengadakan pertandingan sungguh-sungguh yang selamanya belum pernah ia lakukan, kecuali ketika melawan Maya, suci-nya. Maka kini mendengar pujian keluar dari mulut ketua kaum kaki buntung yang lihai ilmunya, dia menjadi bangga. Ingin dia memperlihatkan kelihaiannya, maka ketika tongkat nenek itu untuk kesekian kalinya menyambar dan kini menyambar ke arah pinggangnya, ia meloncat dan mengeluarkan teriakan keras, tubuhnya melayang ke atas dan kakinya menotol ujung tongkat lawan!
Perbuatan ini selain luar biasa dan membuktikan kemahiran ginkang yang istimewa, juga amat berbahaya. Maka terdengarlah seruan-seruan heran dan seruan kagum dari pada penonton termasuk ketuanya. Nenek itu penasaran sekali, merasa seperti dipermainkan, maka ia mengerahkan tenaga, menggerakkan ujung tongkatnya dan siap untuk memberi serangan susulan kalau tubuh dara itu telah terlepas dari ujung tongkat.
“Wuuuutttt!”
Tubuh dara itu memang terlepas dari tongkat, akan tetapi terlepas ke atas, ke arah langit-langit ruangan batu itu yang tingginya ada tiga ukuran tinggi manusia. Semua orang berdongak memandang terbelalak, melihat betapa dara itu mencapai langit-langit, punggungnya menempel ke langit-langit seolah-olah di punggungnya terdapat perekat ajaib yang melekatkan punggungnya dengan langit-langit.
Siauw Bwee tertawa-tawa mengejek. “Ah, kasihan engkau, nenek cacat. Lebih baik sudahilah saja, untuk apa susah payah melawan orang muda yang lebih panjang napasnya dan lebih kuat tubuhnya?”
Muka nenek itu menjadi merah sekali. Dia adalah murid kepala yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, hanya selisih sedikit dengan gurunya. Kini melawan seorang dara berusia belasan tahun yang tidak ternama, dia dipermainkan seperti itu.
“Bocah sombong keparat!” Ia berseru dan sekali kaki tunggalnya menggenjot lantai, tubuhnya sudah melayang ke atas dan tongkatnya siap menusuk tubuh yang menempel di langit-langit itu.
“Jangan...!” Sang Ketua berteriak ketika melihat serangan maut yang dilakukan muridnya. Dia sudah menyaksikan kehebatan Siauw Bwee, dan merasa khawatir sekali. Kalau seorang dara remaja sudah berkepandalan seperti itu, tentu dapat dibayangkan betapa hebat orang tua atau guru yang berdiri di belakangnya!
Akan tetapi seruannya terlambat dan nenek itu dalam kemarahannya telah menyerang ke atas. Memang saat inilah yang dinanti-nanti oleh Siauw Bwee. Begitu tubuh nenek itu meloncat, ia melepaskan punggungnya dari langit-langit, tubuhnya meluncur didahului kedua tangannya yang melakukan gerakan mendorong. Dari kedua telapak tangannya itu menyambar angin pukulan yang amat dingin!
“Aihhh...!” Nenek itu menggigil, tongkatnya terlepas dan tubuhnya sendiri terbanting ke bawah.
Untung tubuhnya disambut oleh seorang sutenya, akan tetapi begitu kedua tangan sutenya menyambut tubuh itu, ia merasakan pula getaran dingin yang membuatnya menggigil dan kedua kakinya tidak dapat menahan sehingga mereka berdua roboh bergulingan. Betapa pun juga, karena telah ditahan oleh kedua tangan sutenya, tubuh nenek itu tidak terbanting keras.
Baru saja Siauw Bwee turun, ia mendengar suara mencicit-cicit dan betapa kagetnya ketika suara itu keluar dari sepasang tangan kakek ketua kaum kaki buntung! Kakek itu telah menyerangnya tanpa menggunakan tongkat. Dengan sebelah kaki berloncatan kakek ini telah menyerangnya dengan kedua tangan, gerakannya luar biasa anehnya sehingga repotlah Siauw Bwee mengelak. Dara ini makin terdesak dan dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat dia kalah pengalaman, lagi pula harus menghadapi gerakan sepasang tangan yang begitu aneh.
Maka dia lalu mengerahkan tenaga di tangan kiri menangkis. Tubuh kakek itu sampai berputaran ketika lengannya tertangkis dan ternyata dia pun kalah kuat sinkang-nya oleh dara penghuni Pulau Es yang hebat ini. Akan tetapi, dalam perputaran ini kedua tangan kakek itu masih bergerak secara luar biasa, membingungkan Siauw Bwee sehingga tanpa dapat dicegah lagi, jalan darah di belakang pusar dara itu kena tertotok dengan tepat sekali.
“Celaka...!” Ketua kaki buntung itu berteriak kaget. Teriakan yang membayangkan kekagetan dan penyesalan besar.
Totokan yang dilakukan dalam keadaan tubuh terputar-putar itu memang mengenai jalan darah yang bagi lawan lain tentu akan menimbulkan kematian. Akan tetapi Siauw Bwee yang telah digembleng dengan latihan-latihan sinkang dan besemedhi secara istimewa oleh Han Ki sesuai dengan kitab Bu Kek Siansu, ketika tertotok hanya menjadi gemetar beberapa detik lamanya.
Tadinya dia sudah menjadi marah sekali karena dianggapnya kakek itu kejam, telah mengirim totokan para jalan darah yang menyebabkan kematian sehingga dia sudah mengerahkan sinkang istimewa memulihkan jalan darahnya kemudian dia hendak membalas dengan serangan hebat. Akan tetapi setelah mendengar seruan kakek itu, maklumlah dia bahwa kakek itu tidak sengaja hendak membunuhnya. Timbullah pikirannya untuk menyelidiki keadaan kaum kaki buntung yang aneh ini dan jalan satu-satunya hanyalah berpura-pura mati.
Ketika berlatih sinkang di Istana Pulau Es, suheng-nya telah membikin rahasia ilmu ‘mematikan raga’ yang luar biasa. Kini dia mengeluarkan kepandaiannya ini sehingga tubuhnya menjadi lemas, napasnya dan detik pada nadi tangannya berhenti. Tubuhnya benar-benar seperti dalam keadaan tak bernyawa lagi!
Kakek itu berlutut dengan satu kakinya dan memeriksa pergelangan tangan Siauw Bwee. “Aihh, celaka. Aku telah kesalahan tangan membunuhnya. Gadis ini luar biasa sekali, kepandaiannya sudah mencapai tingkat lebih tinggi dari pada kepandaianku sendiri! Kalau aku tidak memiliki ilmu silat gerak tangan kilat, agaknya aku sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya. Celaka, aku telah membunuhnya! Biar aku sendiri yang menyimpannya di dalam ruangan jenazah. Dia harus mendapatkan tempat terhormat.”
Setelah menghela napas berulang-ulang, kakek itu lalu memondong tubuh Siauw Bwee lalu dibawanya masuk melalui lorong yang panjang dan agak gelap. Anak buahnya hanya berdiri menonton, tak seorang pun mengeluarkan suara seperti ikut merasa berduka bersama pimpinan mereka.
Siauw Bwee yang berlagak mati itu diam-diam siap. Kalau sampai tubuhnya akan mengalami bahaya, tentu saja ia akan sadar kembali dan akan melawan untuk menyelamatkan diri. Tadinya dia sudah khawatir kalau-kalau ketua kaum kaki buntung ini membawa ‘jenazahnya’ keluar dari bangunan di bawah tanah, akan tetapi hatinya menjadi lega dan girang ketika kakek itu membawanya ke bagian dalam.
Ketua yang bernama Liong Ki Bok itu memasuki sebuah ruangan yang mendapat penerangan dari lubang yang merupakan celah-celah batu yang menjadi langit-langit ruangan itu. Terdengarlah gerengan menyeramkan. Siauw Bwee terkejut dan hampir dia lupa bahwa dia beraksi mati ketika melihat seekor beruang hitam yang besar menyambut kedatangan Sang Ketua. Akan tetapi ternyata binatang besar itu tidak menyerang, bahkan Liong Ki Bok berkata,
“Aku membawa mayat baru, Hek-mo. Mayat seorang yang terhormat dan sama sekali bukan musuh kita. Sayang aku telah kesalahan tangan membunuhnya. Bawa dan letakkan dia di peti teratas, tempat terhormat, peti yang disediakan untuk tubuhku sendiri.”
Beruang yang bernama Hek-mo (Setan Hitam) itu mengeluarkan suara gerengan. Bagaikan mengerti akan ucapan Sang Ketua, ia menerima tubuh Siauw Bwee dan memondongnya. Tiba-tiba dia mendengar dan merintih dan diam-diam Siauw Bwee terkejut. Manusia mengenal kematiannya hanya dari panas dan darah yang berhenti, akan tetapi binatang memiliki indera ke enam yang luar biasa. Jangan-jangan binatang ini tahu bahwa dia sebetulnya belum mati!
“Memang kasihan sekali dia, Hek-mo, dan aku akan menyesal selama hidupku hari ini telah kesalahan tangan membunuh seorang seperti dia. Cepatlah bawa dia, Hek-mo, aku tidak ingin lama-lama berada di situ melihat korban tanganku yang berdarah!”
Beruang itu lalu berjalan ke dalam diikuti kakek berkaki satu. Diam-diam Siauw Bwee bergidik ketika melihat ruangan sebelah dalam yang diterangi sebuah lampu. Siapa takkan menjadi ngeri dan merasa seram kalau melihat ruangan yang penuh mayat? Di sekelilingnya terdapat lubang-lubang pada dinding dan di setiap lubang berisi sebuah mayat yang sudah kering. Ada puluhan banyaknya lubang-lubang itu, ada yang sudah terisi dan ada pula yang masih kosong.
Beruang itu membawanya naik ke anak tangga batu, kemudian meletakkan tubuhnya ke dalam sebuah peti kaca yang indah, sebuah peti mati terindah yang berada di situ. Peti mati yang disediakan untuk Sang Ketua kalau kelak ketua itu mati! Sambil rebah di dalam peti, Siauw Bwee mengerling dan melihat ketua itu membalikkan tubuh, memandang sesosok mayat orang tinggi besar yang berdiri menyeramkan di sebalik lubang dekat anak tangga. Bibir Sang Ketua bergerak-gerak seperti orang bicara, akan tetapi suaranya perlahan sekali, berbisik-bisik. Dengan mengerahkan kepandaiannya, Siauw Bwee dapat menangkap bisikan-bisikan itu.
“Orang she Cia, tadinya kusangka bahwa engkaulah orang yang paling pandai yang pernah kutandingi. Kiranya hari ini sangkaanku ini terbantah dan gadis yang baru kubawa masuk ini jauh melampauimu. Ahhh, dan penyesalanku lebih besar dari pada ketika terpaksa membunuhmu.”
Setelah kakek itu melihat bahwa tubuh Siauw Bwee rebah di dalam peti mati kaca dengan baik, dia mengeluarkan sebuah botol dan menuangkan isi botol berupa benda cair berwarna kuning berbau harum ke atas tubuh Siauw Bwee. “Jenazah orang seperti engkau patut diawetkan, Nona yang bernasib malang...”
Kemudian kakek itu meninggalkan ruangan jenazah setelah mengelus kepala beruang sambil berkata, “Hek-mo, kau jagalah baik-baik pintu gerbang ruangan jenazah.”
Mereka keluar dari ruangan itu dan menutupkan pintu besi. Agaknya beruang itu bertugas menjaga ruangan di luar pintu gerbang. Penjaga yang kuat! Siauw Bwee tidak segera bergerak karena khawatir kalau kakek itu kembali lagi. Dia rebah dan diam memperhatikan keadaan ruangan jenazah yang cukup luas itu. Ketika matanya mengerling ke arah mayat tinggi besar yang tubuhnya juga tidak rusak, hanya memakai cawat dan kepalanya gundul, dia bergidik. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya gemetar, semua bulu di tubuhnya meremang dan matanya terbelalak ketika ia melihat mayat orang she Cia itu bergerak!
Tadinya dia tidak percaya ketika melihat mata mayat itu berkedip-kedip. Hampir saja ia lupa bahwa dia telah ‘mati’ dan tidak semestinya bergerak dan hampir meloncat saking kaget dan ngerinya ketika melihat mayat itu menggerakkan kaki tangannya dan melangkah ke luar dari dalam lubangnya! Mayat itu hidup kembali! Melihat seorang ‘mayat hidup’ di dalam kamar jenazah yang penuh jenazah-jenazah tengkorak dan mayat-mayat kering, tentu saja hal ini merupakan pemandangan yang terlalu berat menguji hati seorang gadis remaja, biar pun memiliki kesaktian seperti Siauw Bwee. Maka dara yang tadinya berpura-pura mati itu kini benar-benar menjadi pingsan!
Setelah siuman kembali, hal pertama yang dilakukan Siauw Bwee adalah melirik ke arah lubang mayat she Cia itu dengan harapan akan melihat mayat itu masih di situ dan tak bergerak, dan bahwa yang dialaminya tadi hanyalah dalam mimpi. Akan tetapi lubang itu kosong! Dengan napas terengah saking ngeri dan takut, Siauw Bwee gadis perkasa yang kini ketakutan seperti kanak-kanak melihat setan itu mengintai dari balik peti mati di mana ia direbahkan dan matanya melotot lebar ketika melihat mayat hidup itu bergerak cepat sekali, berkelebat datang dari sebelah belakang ruangan itu, tangan kanannya membawa sebuah panci besar terisi makanan.
Setelah tiba di ruangan itu, dia makan dengan lahapnya sambil berdiri saja. Akan tetapi tiba-tiba ia mengeluarkan suara gerengan seperti terkekeh, lalu ia menggerakkan kaki tangannya. Siauw Bwee menjadi makin ngeri, juga heran sekali menyaksikan bahwa mayat hidup itu memiliki kepandaian yang hebat. Ilmu silatnya luar biasa sekali, kedua tangan bergerak cepat dan tiba-tiba kedua tangan itu menyerang dengan gerakan menggunting dari atas kanan kiri disusul gerakan kaki menyapu dari bawah.
Agaknya jurus itu merupakan jurus terakhir dan mayat hidup itu kini kelihatan girang bukan main. Begitu girangnya sampai terkekeh-kekeh dan berjingkrak-jingkrak menari. Tangannya mengambil makanan dari panci yang tadi ia taruh di atas lantai ketika dia bersilat. Ketika ia mengambil makanan itu dimasukkan ke mulut, Siauw Bwee memandang jelas dan tiba-tiba Siauw Bwee merasa hendak muntah karena melihat bahwa yang dimakan oleh mayat hidup itu adalah tikus-tikus kecil yang berkulit merah!
Karena ingin muntah ini, Siauw Bwee mengeluarkan suara dari tenggorokannya dan tiba-tiba mayat hidup itu melesat seperti anak panah cepatnya dan tahu-tahu telah berdiri lagi di lubangnya seperti tadi. Akan tetapi, mungkin karena tergesa-gesa dan lupa, dia berdiri di tempatnya dengan panci di tangan kiri dan mulutnya masih menggigit seekor anak tikus yang buntutnya melambai ke bawah melalui bibirnya!
Aksi Si Mayat Hidup ini mengusir semua rasa takut dari hati Siauw Bwee. Tidak mungkin di dunia ini ada setan atau mayat hidup yang bersikap seperti itu! Begitu panik dan kembali ke lubangnya secara menggelikan. Hal seperti itu hanya dapat dilakukan orang hidup yang sedang ketakutan atau panik.
Siauw Bwee tertawa dan ia melangkah keluar dari dalam peti kaca. Ketika ia langsung melangkah menghampiri Si Mayat Hidup, hatinya menjadi makin geli melihat betapa ‘mayat hidup’ itu matanya melotot memandang kepadanya dengan kedua kaki menggigil. Siauw Bwee makin geli hatinya, maklum bahwa tentulah mayat hidup yang sebenarnya seorang manusia yang masih hidup itu kini menderita kengerian seperti dia tadi. Tentu orang ini mengira bahwa dialah yang kini menjadi mayat hidup!
Terdorong oleh rasa geli dan kelegaan hatinya mendapat kenyataan bahwa mayat hidup itu hanyalah seorang manusia hidup, timbul kenakalan Siauw Bwee. Dia sengaja menyeringai untuk menakut-nakuti, setelah tiba di depan mayat hidup itu ia tertawa dengan suara mengerikan, “He-he-hi-hi-hiiik! Bangkai ini masih baik, enak diganyang jantungnya!”
Dengan gerakan dibuat-buat, Siauw Bwee membentuk kedua tangannya seperti cakar setan dan melangkah maju.
“Hiiiihh!” Kini ‘mayat hidup’ itu tidak dapat menahan kengerian hatinya dan ia meloncat meninggalkan lubangnya, menjauhi Siauw Bwee dan berdiri dengan kedua kaki menggigil.
Siauw Bwee tak dapat bersandiwara terus dan ia tertawa terpingkal-pingkal. “Nah, kau tahu sekarang rasanya orang yang ketakutan menghadapi mayat hidup!” katanya. “Orang she Cia, mengapa engkau pura-pura mati dan berada di tempat ini?”
Orang yang tadinya berdiri menggigil itu menjadi begitu lega hatinya sehingga jatuh terduduk. “Aahhh... sungguh mati. Aku hampir pingsan ketakutan!” katanya. Suaranya besar dan agak parau, agaknya karena sudah lama tidak bicara.
“Aku sendiri tadi sampai pingsan saking takutku melihat engkau sebagai mayat hidup,” Siauw Bwee berkata sambil tertawa geli.
Orang itu meloncat bangun, gerakannya cepat sekali. “Eh, engkau tadi dibawa si ketua Liong Ki Bok itu ke sini dalam keadaan mati. Orang mati mana bisa pingsan dan mana mungkin sekarang engkau hidup lagi?”
Siauw Bwee menjebirkan bibirnya. “Tidak meraba kepalamu sendiri! Engkau pun masih hidup, mengapa berada di sini dan beraksi sebagai mayat?”
Sejenak laki-laki tinggi besar gundul itu memandang Siauw Bwee, kemudian menggeleng kepala dan menghela napas. “Sukar dipercaya... akan tetapi... Liong Ki Bok tadi sudah mengatakan sendiri bahwa kepandaianmu melebihi aku. Hemm, Nona, dengan cara bagaimanakah engkau dapat mengakali Liong Ki Bok yang lihai sehingga engkau disangka mati dan dibawa ke sini?”
“Mudah saja. Dengan Pi-ki-hoan-hiat (Menutupi Hawa Memindahkan Jalan Darah) aku bisa menghentikan napas dan memindahkan denyut perjalanan darah.”
Mata orang itu terbelalak. “Engkau? Semuda ini sudah pandai melakukan hal itu?”
“Jangan terlalu memuji, Sobat.” Siauw Bwee segera merasa suka kepada orang ini karena merasa ‘senasib’. “Engkau sendiri pun telah dapat mengakali Liong Ki Bok dan berpura-pura mati.”
“Aku lain lagi. Aku memang hampir mati ketika dibawa ke sini... eh, nanti dulu, Nona. Sebelum aku menceritakan rahasiaku, aku harus mengetahui lebih dulu siapakah Nona dan mengapa Nona menyelundup masuk seperti ini?”
Siauw Bwee maklum bahwa tentu orang ini mempunyai rahasia besar dan mungkin ia akan dapat menyelidiki keadaan kaum kaki buntung dengan mendengar keterangan orang ini tanpa melakukan penyelidikan sendiri. “Namaku Khu Siauw Bwee dan aku menyelundup ke sini karena hendak menolong seorang bernama Liem Hok Sun yang ditawan oleh orang-orang kaki buntung itu karena dianggap melanggar wilayah mereka.”
Orang itu mengangguk-angguk. “Engkau benar-benar memiliki keberanian luar biasa, Nona. Nah, dengarlah ceritaku. Seratus tahun lebih yang lalu, nenek moyang tiga empat keturunan dari kaum kaki satu dan lengan satu adalah dua orang saudara seperguruan yang berilmu tinggi. Entah mengapa, kedua saudara seperguruan itu bercekcok sehingga terjadilah pertempuran antara mereka berdua. Pertempuran hebat yang mengakibatkan seorang buntung kaki kanannya dan yang seorang lagi buntung lengan kirinya. Dendam antara kedua orang ini amat hebat. Mereka lalu mengasingkan diri melatih ilmu, juga masing-masing mengambil murid-murid, kemudian mereka berjanji untuk mengadu ilmu setiap tahun, untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara mereka. Karena makin lama jumlah mereka makin banyak, maka permusuhan itu menjadi berlarut-larut dan setiap tahun tentu diadakan pertandingan mengadu ilmu. Demikianlah, keturunan kedua orang itu melanjutkan permusuhan aneh ini dan terbentuklah kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung yang saling bermusuhan.”
“Akan tetapi, mengapa mereka itu masing-masing dapat mengumpulkan orang-orang kaki buntung dan orang-orang lengan buntung sebanyak itu? Siauw Bwee bertanya heran.
“Bukan dikumpulkan, Nona. Melainkan dibuat, sengaja dibikin buntung!”
Mata Siauw Bwee terbelalak lebar. “Apa? Murid-murid mereka dibuntungi sebelah kaki atau lengannya?”
Orang itu mengangguk. “Begitulah. Syarat pertama menjadi murid kedua kaum ini haruslah dibuntungi kaki atau lengannya.”
“Apakah mereka gila? Mengapa mau saja dibuntungi kaki atau lengan agar bisa menjadi murid mereka?”
“Memang banyak orang gila di dunia ini, Nona. Ilmu kaum kaki buntung dan lengan buntung amat terkenal, maka banyak yang tergila-gila dan rela menjadi seorang berkaki buntung atau berlengan buntung asal diterima menjadi murid mereka. Kaum berkaki buntung tinggal di dalam istana bawah tanah ini sedangkan kaum lengan buntung tinggal di balik gunung, di dalam goa-goa batu karang. Kaum kaki buntung ini diketuai oleh Liong Ki Bok, keturunan ke tiga atau empat dari seorang di antara kedua saudara seperguruan yang bermusuhan itu, tentu saja yang menjadi buntung kakinya dalam pertandingan itu. Ada pun kaum lengan buntung diketuai oleh The Bian Le, seorang kakek yang sama lihainya dengan Liong Ki Bok dan juga keturunan dari tokoh yang seorang lagi. Sampai sekarang mereka tetap bermusuhan dan setiap tahun selalu diadakan pertandingan antara mereka.”
Siauw Bwee mengangguk-angguk, kemudian memandang orang itu. “Dan engkau sendiri, kulihat kaki dan tanganmu lengkap, tidak ada yang buntung. Mengapa engkau sampai bermusuhan dengan kaum kaki buntung dan berada di sini?”
”Aku bernama Cia Cen Thok, dan aku adalah kakak ipar ketua kaum lengan buntung. Isteri The Bian Le adalah adik perempuanku. Karena percaya akan kepandaianku, iparku minta tolong kepadaku untuk menyelidiki dan mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat kaum kaki buntung. Karena hanya dengan mengetahui rahasia ilmu silat gerak tangan kilat, maka kaum lengan buntung akan dapat menundukkan musuh keturunan mereka ini.”
“Hemm, apakah kaum lengan buntung kalah lihai oleh kaum kaki buntung?”
Cia Cen Thok menghela napas panjang. “Kalah lihai sih tidak. Engkau harus ingat bahwa nenek moyang mereka adalah saudara seperguruan, maka tentu saja dasar ilmu silat juga sesumber dan kepandaian para keturunan ini pun seimbang. Justeru karena keseimbangan ilmu inilah yang membuat pembunuhan tiada habisnya. Tahun ini pihak yang satu kalah, tahun kemudian pihak yang lain kalah dan begitu seterusnya. Kaum lengan buntung yang hanya mempunyai sebuah lengan telah menciptakan ilmu gerak kaki kilat yang luar biasa. Di lain pihak, kaum kaki buntung, untuk mengimbangi karena kaki mereka hanya sebuah, telah menciptakan ilmu gerak tangan kilat. Ilmu silat tangan mereka yang diperpadukan dengan tongkat, benar-benar amat hebat.”
Siauw Bwee mengangguk-angguk. “Memang hebat gerakan tangan mereka, cepat dan aneh.”
“Itulah sebabnya, tiga tahun yang lalu aku memenuhi permintaan adik iparku, The Bian Le ketua kaum lengan buntung untuk menyelundup ke sini dan mempelajari rahasia gerak tangan kilat pihak musuh. Akan tetapi aku kepergok dan dalam perkelahian mati-matian aku roboh dan dihajar habis-habisan, disangka mati lalu ditaruh di ruangan jenazah ini.”
“Tiga tahun?” Siauw Bwee bergidik.
“Ya, tiga tahun kurang lebih.”
“Akan tetapi engkau telah berhasil kulihat tadi. Engkau telah mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat mereka!”
Cia Cen Thok memandang kagum. “Engkau awas sekali, Nona. Akan tetapi, biar pun aku percaya bahwa engkau tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dan aku pun telah mulai dapat mempelajari rahasia gerak tangan kilat mereka, aku masih sangsi apakah kita berdua akan dapat keluar dari tempat ini dengan selamat. Jumlah mereka banyak, dan di samping Liong Ki Bok yang lihai juga mereka mempunyai jago-jago berkepandaian tinggi, yaitu beberapa orang murid kepala yang kepandaiannya sudah hampir setingkat dengan kepandaian Si Ketua sendiri.”
“Berapakah jumlah mereka?”
“Kalau tidak salah, ada tiga puluh enam orang. Sedangkan pihak kaum lengan satu berjumlah tiga puluh orang.”
“Aku tidak takut! Aku tentu akan dapat membebaskan orang kasar Hui-eng Liem Hok Sun itu.”
“Apamukah dia itu, Nona?”
“Hemm... bukan apa-apa. Kenal pun tidak. Akan tetapi aku melihat sifat baik di balik sikapnya yang kasar, juga dia murid Gobi-san yang ilmunya lumayan. Aku percaya bahwa dia pun tentu akan menolong orang yang menjadi tawanan di sini.”
“Aahhh, hatimu terlalu baik, Nona. Aku sendiri tidak percaya bahwa dia itu akan suka mempertaruhkan nyawa untuk menolong orang yang belum dikenalnya seperti yang telah kau lakukan ini.”
Tiba-tiba terdengar gerengan keras, gerengan beruang yang menjaga di luar pintu, disusul suara gedebukan dan tak lama kemudian pintu itu terbuka dari luar dan muncullah orang yang mereka bicarakan, yaitu Hok Sun sendiri yang memegang sebatang pedang di tangannya. Melihat Siauw Bwee, dia segera menyerahkan pedangnya sambil berkata,
“Nona, kau pergunakan pedang ini. Mari kita menerjang ke luar. Kesempatan baik sekali selagi ketuanya dan pembantu-pembantunya tidak berada di dalam!” Tiba-tiba ia menoleh, melihat Cia Cen Thok dan meloncat ke belakang seperti diserang ular. “Dia... eh, dia... siapa ini...?”
“Dia seorang sahabat senasib. Apakah engkau datang sengaja hendak menolongku? Bagaimana kau bisa bebas?”
Liem Hok Sun hilang kagetnya dan ia tertawa, “Aku akali Si Buntung Kaki itu! Ha-ha! Aku pura-pura lemah, ketika mereka memberi makan, aku memberontak dan berhasil merobohkan Si Pengantar Makanan, kemudian aku lari dan mendapatkan pedang ini di jalan. Dari percakapan mereka aku mendengar bahwa mereka telah membunuh seorang dara muda. Aku penasaran, ingin melihat sendiri ke sini dan kiranya engkaulah orang yang mereka bunuh itu, dan masih hidup. Syukurlah. Mari kita cepat menerjang ke luar sebelum terlambat!”
Siauw Bwee tersenyum dan memandang kepada Cia Cen Thok dengan penuh arti. Kakek bekas mayat hidup itu mengangguk-angguk mengerti. “Saudara Liem Hok Sun, engkau seorang gagah sejati!”
“Eh, kau mengenal aku?”
“Aku yang memberitahukan namamu kepadanya,” kata Siauw Bwee.
“Engkau? Engkau Nona penunggang kuda itu. Aku belum pernah memperkenalkan diri..., ohhh, sekarang aku ingat! Aku pernah mengakui namaku ketika kau kusangka pemasang jerat. Hayo, lekaslah kita keluar. Eh, sahabat aneh, apakah engkau pun akan lari ke luar?”
Cia Cen Thok mengangguk. “Keluarlah kalian lebih dulu, aku menyusul belakangan.”
Siauw Bwee dan Liem Hok Sun berlari keluar dan Siauw Bwee melihat beruang itu sudah menggeletak dengan kepala pecah, tentu kena pukulan tangan Si Garuda Terbang. Dia merasa kasihan karena menganggap beruang itu bukan binatang jahat, akan tetapi dalam keadaan seperti itu dia diam saja dan terus berlari ke luar didahului Liem Hok Sun sebagai pembuka jalan.
Ketika mereka sudah tiba di ruangan paling depan, dari kanan kiri meloncat ke luar empat orang berkaki buntung dan mereka ini menyerang Hok Sun dan Siauw Bwee tanpa banyak tanya lagi.
Siauw Bwee menggerakkan kakinya menangkis dan tangan kirinya memukul dengan dorongan penuh tenaga sinkang. Dua orang di antara mereka berteriak dan roboh terjengkang, berusaha merayap bangun kembali. Hok Sun melawan dengan kedua tangan kosong. Ia berhasil menangkap tongkat seorang penyerang, membetot dan mematahkan tongkat itu, kemudian kakinya menendang. Lawannya menangkis dan orang ke dua sudah menotokkan tongkatnya ke arah lambung Hok Sun.
“Trakk!” Tongkat itu patah ketika tertangkis pedang Siauw Bwee yang sudah cepat membantu. Kemudian pukulan tangan Hok Sun merobohkan orang yang tongkatnya patah itu.
“Wah, kepandaianmu hebat sekali, Nona!” Ia memuji, kagum dan juga kaget karena tidak menyangka bahwa nona yang disangkanya hanya berkepandaian silat biasa itu ternyata telah merobohkan dua orang pengeroyok dengan cepat, bahkan telah menolongnya!
“Hayo cepat keluar!” Siauw Bwee berkata.
Kini dialah yang mendahului lari ke depan karena ia tahu bahwa kalau mereka berdua dikeroyok di sebelah dalam, keadaan mereka berbahaya sekali. Dengan gerakan ringan dan indah tubuh Siauw Bwee melayang naik dan menerobos ke luar dari lubang kecil yang merupakan ‘pintu kamar’ bangunan setengah bundar di atas tanah itu. Kembali Hok Sun memuji. Gerakan nona itu benar amat ringan dan tahulah dia bahwa nona itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampaui tingkatnya sendiri.
Begitu Siauw Bwee dan Hok Sun tiba di luar, mereka segera dikepung oleh para anak buah kaum kaki buntung yang sudah berjaga di luar dan yang mengejar dari dalam. Tetapi seperti yang diceritakan oleh Cia Cen Thok, biar pun Siauw Bwee dapat menangkan mereka dalam hal sinkang, ginkang, mau pun ilmu silat, namun gerakan tangan mereka benar-benar amat lihai, cepat bagaikan kilat dan tidak tersangka-sangka.
Untuk dapat mengatasi lawan yang seperti ini memang jalan satu-satunya hanya mempelajari dan membuka rahasia ilmu tangan kilat mereka itu. Siauw Bwee tidak ingin melakukan pembunuhan, maka gerakan pedangnya hanya untuk menghalau tongkat-tongkat mereka yang lihai, dan ia hanya berusaha merobohkan mereka dengan dorongan-dorongan tangan dengan tenaga sinkang. Karena inilah maka dia segera dikurung dan didesak hebat.
Ada pun Hok Sun keadaannya lebih terdesak lagi. Beberapa kali terdengar suara bak-bik-buk dan tubuhnya sudah terkena hantaman-hantaman tongkat pada bahu, pinggul dan pahanya. Untung bahwa Si Garuda Terbang ini memiliki tubuh yang kebal sehingga hantaman-hantaman itu tidak sampai meremukkan tulang dan tertahan oleh daging dan urat-uratnya yang kokoh kuat, sungguh pun cukup mendatangkan rasa nyeri membuatnya berkaok-kaok kesakitan.
Untung bagi mereka bahwa pada saat itu, benar seperti keterangan Hok Sun, tidak tampak murid-murid lain yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kelas satu. Kalau mereka itu ikut mengeroyok, tak tahulah bagaimana jadinya dengan nasib mereka berdua.
“Saudara Liem, cepat ke sini! Kita melawan dengan saling melindungi!” teriak Siauw Bwee sambil berputaran dan mendekati Si Pemuda Kasar yang sudah berteriak-teriak kesakitan.
Hok Sun bukan seorang bodoh. Dia mengerti apa yang dimaksudkan dara perkasa itu, maka dia pun lalu meloncat dan di lain saat dia telah melakukan perlawanan dengan beradu punggung bersama Siauw Bwee. Dengan cara ini mereka berdua tidak dapat dikurung lagi dan hanya menghadapi lawan dari depan.
“Awas...!” Siauw Bwee berbisik, “aku akan melontarkanmu ke kiri melalui kepala mereka. Engkau harus cepat melarikan diri, biar aku yang menahan mereka...!”
“Ahhh, mana bisa...?” Hok Sun menjawab dengan bantahannya, dan tidak seperti Siauw Bwee yang berbisik, pemuda itu bicara nyaring, “Aku bukan seorang pengecut yang ingin selamat sendiri dan meninggalkan kau sendirian dikepung oleh para....”
Siauw Bwee menjadi gemas dan sambil menangkis tusukan tongkat seorang lawan wanita, ia sengaja menggerakkan pinggul.
“Auhhh...! Apakah pinggulmu dari baja, Nona?” Hok Sun berteriak kesakitan ketika pinggulnya dihantam dari belakang. Ia menggosok-gosok pinggulnya sehingga tidak sempat menghindar ketika ada tongkat memukul kepalanya dari atas. Untung Siauw Bwee melihat atau lebih tepat mendengar gerakan itu, maka ia cepat mendorongkan tangan kirinya ke belakang.
“Aihhh...!” Hok Sun terhuyung, akan tetapi hantaman tongkat itu luput. “Bagaimana sih engkau ini, Nona? Kawan ataukah lawan?”
“Bodoh!” Siauw Bwee berbisik gemas. “Kalau engkau sudah bebas, bagiku apa sih sukarnya melarikan diri? Awas, akan kulontarkan kau. Lekas lari!” Tiba-tiba Hok Sun merasa tubuhnya terbang ke atas ketika Siauw Bwee mencengkeram punggung bajunya dan mendorong dengan tenaga yang hebat bukan main.
Tubuh Hok Sun terlempar melalui atas kepala para pengeroyoknya dan ia terus melompat jauh untuk melarikan diri. Diam-diam ia makin kagum bukan main terhadap Siauw Bwee.
Setelah Si Dogol itu terbebas, Siauw Bwee bernapas lega, memutar pedangnya bagaikan kitiran cepatnya sehingga lenyaplah tubuh dara perkasa ini, yang tampak hanya gulungan sinar pedangnya. Dari dalam gulungan sinar pedang yang menangkis datangnya semua serangan tongkat itu, menyambar keluar tenaga dahsyat dari telapak tangan kirinya yang mengirim dorongan-dorongan. Para pengeroyoknya banyak yang terjengkang, akan tetapi segera meloncat bangun lagi dan mengeroyok makin nekat. Ketika Siauw Bwee memandang ke arah larinya Hok Sun, ia melihat pemuda itu kembali sudah dikepung enam orang kaki buntung! Siauw Bwee gemas sekali.
Tentu Si Dogol itu masih tetap keras kepala dan tidak rela lari meninggalkannya. Kalau begitu terus, Hok Sun bisa celaka, padahal kini jaraknya sudah jauh sehingga tak mungkin lagi dia dapat menolong jika Hok Sun terancam bahaya seperti tadi. Akan tetapi tiba-tiba enam orang pengeroyok Hok Sun itu cerai-berai ketika sesosok bayangan berkelebat dan Cia Cen Thok sudah membantu Hok Sun. Melihat laki-laki bercawat ini, terdengar teriakan-teriakan kaget dan para pengeroyok mereka berdiri terbelalak seperti arca dengan muka pucat.....
Siauw Bwee tersenyum geli dan hatinya lega melihat Hok Sun dan Cia Cen Thok sudah berhasil melarikan diri, menggunakan kesempatan selagi para pengeroyok mereka terkejut dan diam tak bergerak. Tentu saja anak buah kaki buntung itu kaget setengah mati melihat dan mengenal orang yang telah tiga tahun menjadi mayat di kamar mayat, kini tahu-tahu telah hidup lagi dan mengamuk!
“Kau akan apa? Melepaskan diri sendiri pun tidak mampu, masih banyak lagak hendak mengancam orang!” Siauw Bwee makin suka menggoda menyaksikan orang kasar itu. “Dan biar pun engkau bukan harimau atau monyet, akan tetapi engkau adalah seekor burung tolol yang mudah dijerat, hi-hik!”
“Eh, bocah! Lepaskan aku! Jangan main-main kau. Apakah engkau ini bocah yang baru turun di dunia kang-ouw sehingga tidak mengenal julukanku Hui-eng yang sudah terkenal di seluruh jagad?”
Siauw Bwee tidak membenci orang itu. Malah sebaliknya, dia suka kepada orang yang kasar, jujur dan agaknya memiliki kepandaian lumayan ini dan berniat menolongnya. Kalau tadi ia menggodanya adalah karena tertarik melihat sikap orang itu. Akan tetapi, ketika ia berniat meloncat turun dan menolong membebaskan orang yang meronta-ronta dan berteriak-teriak itu, tiba-tiba telinganya mendengar gerakan banyak orang mendatangi dari jauh. Ia cepat memutar kudanya dan pergi dari situ.
“Heee! Siluman betina! Kau hendak pergi ke mana? Lepaskan dulu aku, baru boleh pergi. Kalau pergi dulu, siapa yang akan membebaskan aku? Aku... aku ngeri melihat ke bawah...!” Akan tetapi Siauw Bwee tidak peduli dan cepat membawa kudanya bersembunyi, lalu ia kembali ke tempat itu, menyelinap di antara pohon-pohon dan mengintai.
Tak lama kemudian, di tempat itu telah datang serombongan orang yang membuat Siauw Bwee bengong keheranan memandang mereka. Mereka itu terdiri dari dua belas orang, sembilan laki-laki dan tiga orang wanita. Melihat sikap mereka membayangkan bahwa mereka memiliki kepandaian tinggi, dan pakaian mereka pun biasa saja. Akan tetapi yang amat luar biasa adalah bahwa mereka semua hanya berkaki satu, alias buntung kaki kanan mereka! Sebagai pengganti kaki, mereka itu memakai tongkat bercagak yang mereka kempit di ketiak kanan. Biar pun mereka itu semua berkaki satu, namun mereka dapat melangkah cepat dan gerakan mereka sigap sekali, bahkan ketika mereka berdiri di bawah Hui-eng Liem Hok Sun yang tergantung di pohon, mereka berdiri tegak dengan sikap penuh wibawa.
Liem Hok Sun Si Garuda Terbang juga memandang ke bawah dan kini mulailah dia mengerti bahwa agaknya bukan Si Dara Jelita tadi yang menjeratnya, melainkan orang-orang berkaki buntung ini. Dia memang kasar, akan tetapi tidak bodoh dan dia pun maklum bahwa orang-orang buntung itu lihai sekali. Karena tidak mempunyai permusuhan dengan mereka bahkan tidak mengenal mereka, dia diam menutup mulut dan menanti perkembangan selanjutnya.
“Susiok, kita kesalahan menjerat orang lain!” Seorang di antara tiga wanita itu berkata kepada seorang kakek berusia lima puluh tahun yang agaknya menjadi pimpinan rombongan.
Kakek itu memandang tajam penuh perhatian kepada Liem Hok Sun, kemudian mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Sayang sekali bukan seorang anggota mereka yang terjerat. Akan tetapi karena dia sudah berkeliaran di sini sampai terjerat, siapa tahu dia adalah bala bantuan dan mata-mata yang dikirim kaum tangan satu. Kita bawa dia menghadap Suhu.”
Mendengar percakapan itu, Hok Sun berteriak-teriak, “Hei, saudara-saudara yang di bawah, dengarlah! Aku Hui-eng Liem Hok Sun, selamanya tidak ada permusuhan dengan kalian, juga tidak tahu-menahu siapa itu golongan lengan satu dan kaki satu! Lepaskan aku dan biarkan aku pergi!”
“Pergilah kalau bisa!” Seorang berkaki buntung yang kelihatannya juga kasar dan berwatak dogol berkata. Dalam persembunyiannya Siauw Bwee menahan ketawanya. Nah ketemu batunya kau, orang kasar, pikirnya.
Hok Sun melotot. “Sudah terang terjerat, mana bisa pergi? Totol amat kau! Coba lepaskan jerat ini, tentu aku akan dapat pergi!”
Orang kasar berkaki satu itu tertawa bergelak, “Benarkah? Baru ada aku seorang saja di sini, engkau si goblok ini mana bisa pergi, apa lagi di sini sekarang terdapat Sam-susiok! Coba kita lihat, bagaimana engkau akan pergi!” Setelah berkata demikian, tubuh yang berkaki satu mencelat ke atas, tongkatnya membabat dan....
“Brettt!” tali yang menggantung tubuh Hok Sun putus dan tubuh Si Kasar itu melayang jatuh ke bawah.
Akan tetapi ternyata ginkang Hok Sun sudah cukup tinggi sehingga dia tidak terbanting jatuh, melainkan turun dengan kedua kakinya ringan menyentuh tanah. Setelah membuang jerat dari tubuhnya, Hok Sun menggerakkan tubuh hendak meloncat pergi karena dia tidak ingin membalas kepada belasan orang yang ia tahu lihai itu. Akan tetapi, begitu meloncat tampak sinar berkelebat dan tongkat kakek kaki buntung bergerak, tahu-tahu tubuh Hok Sun jatuh tersungkur! Si Kaki Buntung yang kasar tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha! Pergilah! Pergilah, hendak kulihat bagaimana engkau dapat pergi!”
Liem Hok Sun meloncat bangun, mukanya merah saking marahnya. “Eh kalian ini orang-orang buntung kaki mengapa begini tidak tahu aturan? Apakah kalian mau menantang berkelahi?”
Kakek yang menjadi susiok rombongan itu manjawab, suaranya halus namun nadanya kereng. “Kami tidak ingin berkelahi, akan tetapi engkau harus ikut bersama kami, untuk sementara menjadi tawanan kami sebelum menerima keputusan ketua kami.”
“Aku tidak peduli keputusan ketua kalian! Apa salahku kalian hendak menangkapku?” bantah Hok Sun.
“Kau sudah melanggar wilayah kami, masih pura-pura bodoh ataukah memang engkau ini bodoh melebihi kerbau?”
“Kalian sungguh tidak memandang aku Si Garuda Terbang!” bentak Hok Sun dan ia sudah menerjang Si Kaki Buntung yang kasar.
Dari tempat persembunyiannya Siauw Bwee mendapat kenyataan bahwa julukan si kasar itu bukanlah kosong belaka. Gerakannya tangkas penuh tenaga dan terjangannya memang seperti seekor garuda terbang, menyerang lawan dari atas. Dan memang orang kasar berjuluk garuda tebang ini adalah seorang murid pertapa di Gobi-san yang lihai, wataknya kasar, dogol dan jujur, akan tetapi ilmu kepandaiannya juga tinggi.
Menghadapi serangan ini, Si Kaki Buntung yang juga sama kasarnya itu cepat menangkis dengan lengan kiri ke arah kaki Hok Sun yang menendang, sedangkan tongkatnya sudah menotok ke arah leher. Namun Hok Sun benar-benar memiliki ginkang yang hebat. Biar pun tubuhnya masih terapung di udara dan sekaligus lawannya menangkis sambil menyerang, namun dia tidak menjadi gugup. Tubuhnya sudah berjungkir balik dan dengan gerakan tangkas dia telah berhasil menangkap ujung tongkat yang menotok lehernya, kemudian sambil meluncur turun ia mengerahkan tenaganya menarik sehingga lawannya roboh tersungkur!
“Hemm, manusia bandel!” Kakek yang menjadi pimpinan rombongan sudah mencelat ke depan.
Siauw Bwee yang menyaksikan kecepatan gerakan kakek itu menjadi kagum. Memang hebat sekali gerakannya. Sekaligus kakek buntung ini menggerakkan kedua lengannya, jari-jari tangannya sudah mengirim serangan totokan bertubi-tubi dengan kecepatan yang membingungkan Hok Sun. Biar pun murid dari Gobi-san ini berusaha menangkis dan mengelak namun ia kalah cepat, apa lagi memang gerakan kedua tangan kakek yang menyerang sambil mengempit tongkatnya itu luar biasa anehnya sehingga tahu-tahu Hok Sun sudah tertotok dan roboh tak dapat berkutik lagi!
“Curang! Kalian manusia-manusia curang. Main keroyokan!” Liem Hok Sun berteriak-teriak, akan tetapi rombongan itu tidak mempedulikan. Dia digotong seperti seekor celeng (babi hutan) yang meraung-raung, dibawa pergi dari tempat itu.
Ada yang menarik dalam gerak-gerik para orang buntung itu dan yang membuat Siauw Bwee menahan keinginan hatinya untuk menolong si manusia kasar Hok Sun. Sikap para orang buntung itu bukan seperti sikap orang-orang jahat yang kejam melainkan seperti sikap anak buah perkumpulan yang berdisiplin. Pula dia tertarik menyaksikan gerak tangan kakek buntung tadi, gerak silat yang amat aneh sehingga dia ingin lebih banyak mengetahui tentang orang-orang ini sebelum menolong Si Garuda Terbang. Maka ia tidak tergesa-gesa menolongnya, melainkan mengikuti rombongan yang menggotong tubuh Hok Sun itu dari jauh.
Mereka menyeberangi hutan yang besar dan lebat sekali, kemudian memasuki hutan kecil yang menyambung hutan itu di kaki bukit. Di tengah hutan kecil itu terdapat bangunan yang bentuknya aneh sekali. Hanya ada sebuah, tidak terlalu besar dan dari jauh kelihatan seperti bukit gundul setengah bundar. Ke arah bangunan inilah rombongan itu membawa Hok Sun. Siauw Bwee mengintai penuh perhatian, melihat betapa rombongan orang itu mendekati bangunan aneh, kemudian melompat dan lenyap! Kakek pimpinan rombongan mengempit tubuh Hok Sun, melompat lebih dulu dan lenyap pula.
Setelah semua orang tidak tampak lagi, Siauw Bwee berindap menghampiri bangunan itu dan ia terheran-heran. Bangunan itu merupakan dinding batu yang amat tebal dan kuat, berbentuk bundar dan sama sekali tidak ada lubangnya! Namun, semua orang tadi begitu meloncat terus lenyap! Siauw Bwee merasa penasaran sekali. Ia melayang ke atas bangunan, merayap sampai ke puncak, memeriksa seluruh permukaan yang setengah bundar, akan tetapi tetap saja dia tidak melihat adanya lubang sedikit pun! Ke manakah perginya rombongan orang kaki buntung tadi? Tentu ada pintu rahasianya, pikir Siauw Bwee. Akan tetapi, andai kata ada pintu rahasianya, bagaimana begitu banyak orang dapat masuk semua ke bangunan kecil ini!
Tiba-tiba Siauw Bwee melayang turun dengan cepat, lalu mencari tempat sembunyi. Dari atas puncak bangunan itu dia tadi melihat serombongan orang berjalan cepat menghampiri bangunan. Ia menyelinap dan mengintai, sekali ini Siauw Bwee benar-benar tak dapat menahan keheranan hatinya.
“Ohh... tidak...! Mimpi burukkah aku...?” Dia mencubit pahanya sendiri, terasa panas. Tidak, dia tidak mimpi.
Akan tetapi adakah yang lebih aneh dari pada semua ini? Tadi ia melihat serombongan orang buntung sebelah kaki kanan, semua buntung dan begitu sama keadaannya seolah-olah kebuntungan mereka merupakan keseragaman! Dan orang-orang berkaki buntung itu mempunyai tempat yang begini aneh, begitu kecil tanpa lubang pintu atau jendela, namun dapat menampung begitu banyak orang!
Dan sebelum semua keanehan itu terbuka rahasianya, kini ia menyaksikan lima orang, empat laki-laki dan seorang wanita, yang kesemuanya buntung lengan kirinya! Begitu sama keadaannya, lengan kiri buntung sebatas pundak, dengan lengan baju sebelah kiri kosong kempis tergantung lepas. Mengerikan!
Seorang di antara lima orang lengan buntung itu membawa sebatang tongkat yang biasa dipakai anak buah rombongan kaki buntung, dan dia agaknya menjadi pemimpin rombongan, karena selain dia paling tua berjenggot panjang dan bersikap angker, juga gerakan kedua kakinya paling ringan dan lincah. Ada pun di belakang kakek ini tampak seorang laki-laki muda tinggi besar yang juga buntung lengan kirinya, menggunakan lengan kanan mengempit tubuh seorang anggota rombongan kaki buntung!
Diam-diam Siauw Bwee memandang penuh perhatian, dan ia mendapat kenyataan bahwa gerakan kaki lima orang itu luar biasa sekali. Ringan dan langkah mereka teratur, begitu tegap, begitu kuat dan kokoh, namun begitu ringan membuat dia kagum bukan main!
Kakek berjenggot yang memegang tongkat Si Kaki Buntung dan menjadi pemimpin rombongan itu menggunakan ujung tongkat mengetuk tujuh kali ke atas dinding bangunan bundar, kemudian meloncat ke belakang. Tak lama kemudian terbukalah lubang di sebelah atas depan bangunan itu dan dari dalam lubang melayang ke luar tiga orang berkaki buntung, yang paling depan adalah kakek yang memimpin rombongan penawan Liem Hok Sun tadi. Kemudian dari belakang bangunan itu keluar pula beberapa orang berkaki buntung, agaknya keluar dari lubang rahasia lain di sebelah belakang. Suasana menjadi tegang dan Siauw Bwee memandang penuh perhatian.
Laki-laki tangan buntung yang tinggi besar tadi melemparkan tubuh Si Kaki Buntung yang dikempitnya sehingga Si Kaki Buntung itu terguling di atas tanah, dan secepat kilat pimpinan rombongan lengan buntung menodongkan ujung tongkatnya, yaitu tongkat Si Kaki Buntung yang tertawan, ke jalan darah di punggung orang berkaki buntung itu yang jatuh berlutut dan tidak berani berkutik. Keadaan masih hening, tidak ada seorang pun dari kedua pihak orang-orang bercacat itu yang mengeluarkan suara. Yang paling merasa tegang adalah Siauw Bwee yang mengintai dan melihat semua itu dari tempat persembunyiannya.
Tiba-tiba wanita berkaki buntung yang ikut meloncat ke luar menggerakkan tangan kirinya, dan ternyata bahwa dialah yang mewakili pihak tuan rumah, karena ia sudah menegur dengan suara penuh kebencian, keras dan dingin, “Apakah kaum lengan buntung kini sudah menambah sebuah watak buruk baru lagi, tidak mematuhi janji? Hari pertandingan masih tiga bulan lagi, kenapa sekarang sudah turun tangan memancing keributan dengan menawan seorang anggota kami?”
Kakek yang menodong punggung orang berkaki buntung yang dibawa mereka sebagai tawanan itu tersenyum mengejek, lalu menjawab dengan suara tidak kalah keras dan dinginnya, mengandung kebencian yang sama, “Agaknya di dalam pondok kalian yang buruk tidak terdapat cermin sehingga kalian orang-orang berkaki buntung suka menjelekkan kami yang berlengan buntung. Memang mudah melontarkan tuduhan, mudah menunjuk cacat orang tanpa melihat akan besarnya cacat sendiri, semudah menggoyang lidah yang tidak bertulang. Kami kaum lengan buntung bukanlah orang-orang hina yang suka melanggar janji, melainkan kalianlah yang tidak memenuhi janji sendiri. Memang tepat sekali, hari pertandingan masih tiga bulan lagi, akan tetapi mengapa seorang anggota kalian yang tidak terhormat ini melanggar wilayah kami dan melakukan penyelidikan?”
Alis empat orang berkaki buntung itu berkerut dan Si Wanita bersama Si Kakek memandang kepada anak buah mereka dengan mata penuh pertanyaan. Tawanan itu kelihatan ketakutan dan diam-diam Siauw Bwee merasa heran sekali. Tadi ketika menjadi tawanan kaum lengan buntung, tawanan itu tidak kelihatan begitu takut. Dia dapat menduga bahwa tentu kaum kaki buntung itu mempunyai peraturan dan hukum yang keras sekali terhadap anak buahnya yang melanggar peraturan.
“Tidak... tidak... Suci... dan Suheng... aku tidak melanggar wilayah mereka. Aku tidak melakukan penyelidikan seperti yang mereka tuduhkan. Aku sedang memburu hewan seperti biasa. Aku berhasil melukai seekor kijang yang masih dapat berlari maka aku melakukan pengejaran. Tahu-tahu mereka ini merobohkan aku dengan jalan mengeroyok dan menawanku!” Si Tawanan membantah.
Kakek berlengan satu tertawa mengejek, “Hemm, mana ada maling mau mengaku?”
Si Wanita Berkaki Satu menggerakkan tangan kirinya ke atas dan berkata, suaranya mantap dan berwibawa, “Menghadapi perkara tidak boleh mendengar keterangan sepihak saja. Kalau keterangan dua pihak berlawanan, satu-satunya jalan hanya melihat bukti!”
“Baik!” kata kakek lengan satu. “Mari kita lihat buktinya di mana kami menawan anak buahmu!” Tanpa banyak cakap lagi, rombongan lengan buntung sebanyak lima orang dan rombongan kaki buntung yang bersama Si Bekas Tawanan juga berjumlah lima orang sudah pergi meninggalkan tempat itu memasuki hutan!
Siauw Bwee tertarik sekali dan ingin menyaksikan kelanjutan perkara itu. Akan tetapi mengingat akan nasib Si Garuda Terbang yang dibawa masuk ke dalam bangunan bundar, dan melihat kesempatan baik selagi lubang itu belum tertutup, Siauw Bwee cepat meloncat dan sekaligus menerobos masuk ke dalam lubang itu. Ketika ia turun di sebelah dalam, ia tiba di ruangan berlantai dan di sudut terdapat dua buah anak tangga yang menurun ke bawah. Tahulah ia sekarang bahwa kiranya bangunan di luar itu hanya merupakan ‘pintu gerbang’ saja yang menyembunyikan tempat tinggal yang agaknya luas sekali, yang tersembunyi di sebelah bawah!
Ia menjadi bingung. Tangga batu yang manakah yang akan membawanya ke tempat Si Kasar itu ditahan? Karena tidak ada jalan lain, Siauw Bwee lalu menuruni tangga yang sebelah kiri. Tak lama kemudian ia mendapat kenyataan bahwa tepat seperti diduganya, bagian bawah terdapat ruangan-ruangan yang luas sekali, lorong-lorong yang terbuat dari pada batu dan keadaan di bawah itu merupakan bangunan di bawah tanah seperti istana!
Siauw Bwee menuruni tangga dengan hati-hati sekali, akan tetapi dia tidak mendengar gerakan apa-apa, juga tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Jelas ia melihat rombongan yang menawan Liem Hok Sun tadi memasuki bangunan ini, sedangkan tadi yang keluar hanyalah empat orang. Di manakah adanya orang-orang lain? Apakah mereka telah keluar lagi dari pintu rahasia yang lain? Apakah tempat itu kosong?
Dengan sikap hati-hati ia melangkah terus dan tibalah dia di sebuah ruangan yang luas dan bersih sekali. Lantainya dari batu putih dan di sudut terdapat sebuah arca yang melukiskan seorang laki-laki tua bermuka kasar, berdiri dengan tegak akan tetapi kakinya hanya satu karena kaki kanan arca ini pun buntung. Melihat arca ini, Siauw Bwee menduga bahwa agaknya arca inilah arca nenek moyang kaum kaki buntung yang lihai ini.
Tiba-tiba terdengar gerakan halus. Siauw Bwee memutar tubuhnya, siap waspada dan ternyata dari sekeliling ruangan itu muncul dua puluh orang lebih, laki-laki dan perempuan, semua buntung kaki kanannya. Akan tetapi mereka itu hanya mengepung dan tidak bergerak, berdiri dibantu tongkat masing-masing dan sikap mereka menanti, menanti perintah seorang di antara mereka, yaitu seorang kakek buntung pula yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih dan sikapnya berwibawa sekali.
Siauw Bwee dapat menduga bahwa agaknya kakek inilah yang menjadi ketua mereka, maka ia cepat mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata, “Apakah Locianpwe ketua dari kaum... eh, kaki buntung ini?”
Kakek itu memandang tajam, mengerutkan keningnya dan menjawab singkat, “Benar. Aku adalah Liong Ki Bok, ketua kaum kaki buntung.”
“Maafkan kalau aku lancang memasuki tempat kediaman kalian ini, Liong-locianpwe. Kedatanganku tidak bermaksud buruk, hanya ingin minta pertimbanganmu agar kalian suka membebaskan si kasar Hui-eng Liem Hok Sun yang sesungguhnya tidak mempunyai kesalahan apa-apa.”
“Tidak mempunyai kesalahan? Hemm... hal itu harus diputuskan kelak setelah hari pertandingan. Kalau kelak ternyata diakui oleh pihak Si Lengan Buntung bahwa dia bukan mata-mata mereka, kami pun tidak akan mengganggu orang yang tidak berdosa. Akan tetapi, selama ini sampai hari pertandingan tiba di mana persoalan dibikin terang, dia akan menjadi tawanan kami. Juga engkau, Nona.”
Siauw Bwee mengerutkan alisnya, “Apa? Menjadi tawanan selama tiga bulan?”
“Terpaksa begitulah. Sekarang kami belum dapat mengetahui apakah dia dan engkau pembantu mereka atau bukan. Dia sudah kami tawan dan tak seorang pun dapat membebaskannya. Engkau pun sebaiknya menyerah menjadi tawanan kami.”
“Eh, nanti dulu! Liong-locianpwe, aku tidak mempunyai permusuhan dengan kaum kaki buntung, juga tidak mengenal siapa adanya kaum lengan buntung. Aku hanya minta kau membebaskan orang yang tidak bersalah, dan kalau engkau hendak menawanku, hemmm... kurasa tidak akan begitu mudah.”
Terdengar seruan-seruan marah dari semua kaum kaki buntung, dan sepasang mata kakek itu mengeluarkan sinar tajam, “Engkau siapa, Nona? Apakah engkau juga murid Gobi-san seperti orang she Liem itu? Dan dari aliran manakah engkau? Kami tidak ingin bermusuhan dengan partai lain, akan tetapi kami harus berhati-hati terhadap para pembantu kaum lengan buntung.”
“Aku bukan dari aliran atau partai apa pun, namaku Khu Siauw Bwee.”
“Bagus! Kalau begitu, harap kau suka menyerah saja menjadi tawanan kami, Nona. Aku sungguh merasa tidak enak kalau harus menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis muda.”
“Orang she Liong, kau terlalu sombong, tidak pantas dihormati! Kalau aku tidak mau menyerah, hendak kulihat engkau dapat berbuat apakah?”
“Suhu, biarkan teecu menawannya!” kata seorang wanita yang usianya sudah lima puluhan tahun dan agaknya dia adalah murid kepala. Kakek itu mengangguk dan berkata, “Hati-hatilah, jangan sampai membuat dia menderita luka parah. Dia hanya seorang bocah yang masih amat muda.”
Nenek itu mengangguk, kemudian tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat dan berdiri di depan Siauw Bwee. “Nona, kami tidak biasa menghina yang muda, maka sebaiknya engkau dapat menerima peraturan kami dan menyerahlah. Biar pun engkau menjadi tawanan, engkau akan kami perlakukan dengan baik. Sebaliknya, hendaknya kau ketahui bahwa entah sudah beberapa ratus orang tewas di tangan kami.”
Panas rasa hati Siauw Bwee. Jelas bahwa mereka, Si Ketua dan murid kepalanya ini, amat memandang rendah kepadanya. Ia tersenyum lebar dan menjawab, “Bagus sekali kalau kalian mempunyai pikiran tidak ingin menghina yang muda. Akan tetapi sebaliknya aku pun sama sekali tidak ingin menghina kaum tua, apa lagi yang bercacat. Maka sebaiknya kalau engkau membebaskan Si Kasar itu dan aku akan pergi dari sini agar hatiku tidak menjadi tak enak membikin repot orang-orang tua yang cacat saja.”
“Bocah sombong!” Nenek itu berteriak dan tahu-tahu tangan kirinya sudah menyambar dan mencengkeram ke arah pundak kiri Siauw Bwee.
Cepat bukan main gerakan itu. Akan tetapi Siauw Bwee, murid ke tiga dari Bu Kek Siansu yang telah mempelajari ilmu yang tinggi tingkatnya, cepat miringkan tubuh dan dari bawah jari tangannya menyambar dengan totokan ke arah telapak tangan nenek itu.
“Aihhh...!” Nenek itu berseru kaget, tangannya membuat gerakan membalik dan luputlah totokan Siauw Bwee.
Gerakan nenek itu aneh sekali dan tahu-tahu kini tongkatnya menyambar, menotok ke arah lutut kiri Siauw Bwee yang kalau mengenai sasarannya tentu akan membuat gadis itu bertekuk lutut. Namun Siauw Bwee yang sudah melihat betapa gerakan-gerakan nenek itu cepat dan aneh sekali, maklum bahwa lawannya memiliki gerak tangan yang hebat dalam bersilat. Maka ia berlaku hati-hati dan cepat menggeser kakinya. Ketika kembali tangan kiri nenek itu menusuk dengan jari-jari tangan terbuka ke arah lambungnya, disusul tongkat yang menyambar dengan totokan ke arah pundak, dia berkelebat ke kanan dan sengaja menggunakan telapak tangannya menerima tongkat yang menyambar.
“Plakk!”
“Aihhh...!” Nenek itu kembali berteriak kaget dan tubuhnya terhuyung, namun kembali tangan kirinya sudah mencengkeram disusul totokan tongkatnya, kini tidak kepalang dan dilakukan dengan kemarahan karena tongkat itu menyerang leher!
Diam-diam Siauw Bwee kagum sekali. Dalam keadaan terhuyung seperti itu Si Nenek yang kakinya hanya satu ini masih mampu mengirim serangan dua kali berturut-turut, sungguh merupakan hal yang luar biasa. Dia mengerti bahwa kiranya kaum kaki buntung ini memiliki ilmu silat yang amat aneh, cepat dan kuat sehingga ilmu silat tangan kiri dan tongkat ini dapat menutup kekurangan karena cacat kaki mereka!
Dia juga mengeluarkan kegesitannya dan bayangannya berkelebat lenyap. Biar pun dia agak bingung menghadapi serangan ilmu silat aneh dari nenek itu, namun karena dia menang dalam tenaga sinkang, pula dalam hal ginkang dia pun lebih unggul, maka dia masih mampu menyelamatkan diri dengan elakan cepat atau tangkisan kuat. Akan tetapi karena dia pun tahu bahwa kaum kaki buntung ini bukan orang-orang jahat, dan dia harus mengakui bahwa dalam pertentangan ini dialah yang telah mulai lebih dulu, Siauw Bwee tidak ingin mencelakai lawannya dan hanya ingin merobohkan atau mengalahkannya tanpa melukai.
“Hebat...! Luar biasa...! Sukar dipercaya!” Beberapa kali kakek yang menjadi ketua kaum kaki buntung itu memberi komentar penuh kekaguman menyaksikan gerakan Siauw Bwee.
Siauw Bwee adalah seorang dara remaja yang baru sekali itu mengadakan pertandingan sungguh-sungguh yang selamanya belum pernah ia lakukan, kecuali ketika melawan Maya, suci-nya. Maka kini mendengar pujian keluar dari mulut ketua kaum kaki buntung yang lihai ilmunya, dia menjadi bangga. Ingin dia memperlihatkan kelihaiannya, maka ketika tongkat nenek itu untuk kesekian kalinya menyambar dan kini menyambar ke arah pinggangnya, ia meloncat dan mengeluarkan teriakan keras, tubuhnya melayang ke atas dan kakinya menotol ujung tongkat lawan!
Perbuatan ini selain luar biasa dan membuktikan kemahiran ginkang yang istimewa, juga amat berbahaya. Maka terdengarlah seruan-seruan heran dan seruan kagum dari pada penonton termasuk ketuanya. Nenek itu penasaran sekali, merasa seperti dipermainkan, maka ia mengerahkan tenaga, menggerakkan ujung tongkatnya dan siap untuk memberi serangan susulan kalau tubuh dara itu telah terlepas dari ujung tongkat.
“Wuuuutttt!”
Tubuh dara itu memang terlepas dari tongkat, akan tetapi terlepas ke atas, ke arah langit-langit ruangan batu itu yang tingginya ada tiga ukuran tinggi manusia. Semua orang berdongak memandang terbelalak, melihat betapa dara itu mencapai langit-langit, punggungnya menempel ke langit-langit seolah-olah di punggungnya terdapat perekat ajaib yang melekatkan punggungnya dengan langit-langit.
Siauw Bwee tertawa-tawa mengejek. “Ah, kasihan engkau, nenek cacat. Lebih baik sudahilah saja, untuk apa susah payah melawan orang muda yang lebih panjang napasnya dan lebih kuat tubuhnya?”
Muka nenek itu menjadi merah sekali. Dia adalah murid kepala yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, hanya selisih sedikit dengan gurunya. Kini melawan seorang dara berusia belasan tahun yang tidak ternama, dia dipermainkan seperti itu.
“Bocah sombong keparat!” Ia berseru dan sekali kaki tunggalnya menggenjot lantai, tubuhnya sudah melayang ke atas dan tongkatnya siap menusuk tubuh yang menempel di langit-langit itu.
“Jangan...!” Sang Ketua berteriak ketika melihat serangan maut yang dilakukan muridnya. Dia sudah menyaksikan kehebatan Siauw Bwee, dan merasa khawatir sekali. Kalau seorang dara remaja sudah berkepandalan seperti itu, tentu dapat dibayangkan betapa hebat orang tua atau guru yang berdiri di belakangnya!
Akan tetapi seruannya terlambat dan nenek itu dalam kemarahannya telah menyerang ke atas. Memang saat inilah yang dinanti-nanti oleh Siauw Bwee. Begitu tubuh nenek itu meloncat, ia melepaskan punggungnya dari langit-langit, tubuhnya meluncur didahului kedua tangannya yang melakukan gerakan mendorong. Dari kedua telapak tangannya itu menyambar angin pukulan yang amat dingin!
“Aihhh...!” Nenek itu menggigil, tongkatnya terlepas dan tubuhnya sendiri terbanting ke bawah.
Untung tubuhnya disambut oleh seorang sutenya, akan tetapi begitu kedua tangan sutenya menyambut tubuh itu, ia merasakan pula getaran dingin yang membuatnya menggigil dan kedua kakinya tidak dapat menahan sehingga mereka berdua roboh bergulingan. Betapa pun juga, karena telah ditahan oleh kedua tangan sutenya, tubuh nenek itu tidak terbanting keras.
Baru saja Siauw Bwee turun, ia mendengar suara mencicit-cicit dan betapa kagetnya ketika suara itu keluar dari sepasang tangan kakek ketua kaum kaki buntung! Kakek itu telah menyerangnya tanpa menggunakan tongkat. Dengan sebelah kaki berloncatan kakek ini telah menyerangnya dengan kedua tangan, gerakannya luar biasa anehnya sehingga repotlah Siauw Bwee mengelak. Dara ini makin terdesak dan dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat dia kalah pengalaman, lagi pula harus menghadapi gerakan sepasang tangan yang begitu aneh.
Maka dia lalu mengerahkan tenaga di tangan kiri menangkis. Tubuh kakek itu sampai berputaran ketika lengannya tertangkis dan ternyata dia pun kalah kuat sinkang-nya oleh dara penghuni Pulau Es yang hebat ini. Akan tetapi, dalam perputaran ini kedua tangan kakek itu masih bergerak secara luar biasa, membingungkan Siauw Bwee sehingga tanpa dapat dicegah lagi, jalan darah di belakang pusar dara itu kena tertotok dengan tepat sekali.
“Celaka...!” Ketua kaki buntung itu berteriak kaget. Teriakan yang membayangkan kekagetan dan penyesalan besar.
Totokan yang dilakukan dalam keadaan tubuh terputar-putar itu memang mengenai jalan darah yang bagi lawan lain tentu akan menimbulkan kematian. Akan tetapi Siauw Bwee yang telah digembleng dengan latihan-latihan sinkang dan besemedhi secara istimewa oleh Han Ki sesuai dengan kitab Bu Kek Siansu, ketika tertotok hanya menjadi gemetar beberapa detik lamanya.
Tadinya dia sudah menjadi marah sekali karena dianggapnya kakek itu kejam, telah mengirim totokan para jalan darah yang menyebabkan kematian sehingga dia sudah mengerahkan sinkang istimewa memulihkan jalan darahnya kemudian dia hendak membalas dengan serangan hebat. Akan tetapi setelah mendengar seruan kakek itu, maklumlah dia bahwa kakek itu tidak sengaja hendak membunuhnya. Timbullah pikirannya untuk menyelidiki keadaan kaum kaki buntung yang aneh ini dan jalan satu-satunya hanyalah berpura-pura mati.
Ketika berlatih sinkang di Istana Pulau Es, suheng-nya telah membikin rahasia ilmu ‘mematikan raga’ yang luar biasa. Kini dia mengeluarkan kepandaiannya ini sehingga tubuhnya menjadi lemas, napasnya dan detik pada nadi tangannya berhenti. Tubuhnya benar-benar seperti dalam keadaan tak bernyawa lagi!
Kakek itu berlutut dengan satu kakinya dan memeriksa pergelangan tangan Siauw Bwee. “Aihh, celaka. Aku telah kesalahan tangan membunuhnya. Gadis ini luar biasa sekali, kepandaiannya sudah mencapai tingkat lebih tinggi dari pada kepandaianku sendiri! Kalau aku tidak memiliki ilmu silat gerak tangan kilat, agaknya aku sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya. Celaka, aku telah membunuhnya! Biar aku sendiri yang menyimpannya di dalam ruangan jenazah. Dia harus mendapatkan tempat terhormat.”
Setelah menghela napas berulang-ulang, kakek itu lalu memondong tubuh Siauw Bwee lalu dibawanya masuk melalui lorong yang panjang dan agak gelap. Anak buahnya hanya berdiri menonton, tak seorang pun mengeluarkan suara seperti ikut merasa berduka bersama pimpinan mereka.
Siauw Bwee yang berlagak mati itu diam-diam siap. Kalau sampai tubuhnya akan mengalami bahaya, tentu saja ia akan sadar kembali dan akan melawan untuk menyelamatkan diri. Tadinya dia sudah khawatir kalau-kalau ketua kaum kaki buntung ini membawa ‘jenazahnya’ keluar dari bangunan di bawah tanah, akan tetapi hatinya menjadi lega dan girang ketika kakek itu membawanya ke bagian dalam.
Ketua yang bernama Liong Ki Bok itu memasuki sebuah ruangan yang mendapat penerangan dari lubang yang merupakan celah-celah batu yang menjadi langit-langit ruangan itu. Terdengarlah gerengan menyeramkan. Siauw Bwee terkejut dan hampir dia lupa bahwa dia beraksi mati ketika melihat seekor beruang hitam yang besar menyambut kedatangan Sang Ketua. Akan tetapi ternyata binatang besar itu tidak menyerang, bahkan Liong Ki Bok berkata,
“Aku membawa mayat baru, Hek-mo. Mayat seorang yang terhormat dan sama sekali bukan musuh kita. Sayang aku telah kesalahan tangan membunuhnya. Bawa dan letakkan dia di peti teratas, tempat terhormat, peti yang disediakan untuk tubuhku sendiri.”
Beruang yang bernama Hek-mo (Setan Hitam) itu mengeluarkan suara gerengan. Bagaikan mengerti akan ucapan Sang Ketua, ia menerima tubuh Siauw Bwee dan memondongnya. Tiba-tiba dia mendengar dan merintih dan diam-diam Siauw Bwee terkejut. Manusia mengenal kematiannya hanya dari panas dan darah yang berhenti, akan tetapi binatang memiliki indera ke enam yang luar biasa. Jangan-jangan binatang ini tahu bahwa dia sebetulnya belum mati!
“Memang kasihan sekali dia, Hek-mo, dan aku akan menyesal selama hidupku hari ini telah kesalahan tangan membunuh seorang seperti dia. Cepatlah bawa dia, Hek-mo, aku tidak ingin lama-lama berada di situ melihat korban tanganku yang berdarah!”
Beruang itu lalu berjalan ke dalam diikuti kakek berkaki satu. Diam-diam Siauw Bwee bergidik ketika melihat ruangan sebelah dalam yang diterangi sebuah lampu. Siapa takkan menjadi ngeri dan merasa seram kalau melihat ruangan yang penuh mayat? Di sekelilingnya terdapat lubang-lubang pada dinding dan di setiap lubang berisi sebuah mayat yang sudah kering. Ada puluhan banyaknya lubang-lubang itu, ada yang sudah terisi dan ada pula yang masih kosong.
Beruang itu membawanya naik ke anak tangga batu, kemudian meletakkan tubuhnya ke dalam sebuah peti kaca yang indah, sebuah peti mati terindah yang berada di situ. Peti mati yang disediakan untuk Sang Ketua kalau kelak ketua itu mati! Sambil rebah di dalam peti, Siauw Bwee mengerling dan melihat ketua itu membalikkan tubuh, memandang sesosok mayat orang tinggi besar yang berdiri menyeramkan di sebalik lubang dekat anak tangga. Bibir Sang Ketua bergerak-gerak seperti orang bicara, akan tetapi suaranya perlahan sekali, berbisik-bisik. Dengan mengerahkan kepandaiannya, Siauw Bwee dapat menangkap bisikan-bisikan itu.
“Orang she Cia, tadinya kusangka bahwa engkaulah orang yang paling pandai yang pernah kutandingi. Kiranya hari ini sangkaanku ini terbantah dan gadis yang baru kubawa masuk ini jauh melampauimu. Ahhh, dan penyesalanku lebih besar dari pada ketika terpaksa membunuhmu.”
Setelah kakek itu melihat bahwa tubuh Siauw Bwee rebah di dalam peti mati kaca dengan baik, dia mengeluarkan sebuah botol dan menuangkan isi botol berupa benda cair berwarna kuning berbau harum ke atas tubuh Siauw Bwee. “Jenazah orang seperti engkau patut diawetkan, Nona yang bernasib malang...”
Kemudian kakek itu meninggalkan ruangan jenazah setelah mengelus kepala beruang sambil berkata, “Hek-mo, kau jagalah baik-baik pintu gerbang ruangan jenazah.”
Mereka keluar dari ruangan itu dan menutupkan pintu besi. Agaknya beruang itu bertugas menjaga ruangan di luar pintu gerbang. Penjaga yang kuat! Siauw Bwee tidak segera bergerak karena khawatir kalau kakek itu kembali lagi. Dia rebah dan diam memperhatikan keadaan ruangan jenazah yang cukup luas itu. Ketika matanya mengerling ke arah mayat tinggi besar yang tubuhnya juga tidak rusak, hanya memakai cawat dan kepalanya gundul, dia bergidik. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya gemetar, semua bulu di tubuhnya meremang dan matanya terbelalak ketika ia melihat mayat orang she Cia itu bergerak!
Tadinya dia tidak percaya ketika melihat mata mayat itu berkedip-kedip. Hampir saja ia lupa bahwa dia telah ‘mati’ dan tidak semestinya bergerak dan hampir meloncat saking kaget dan ngerinya ketika melihat mayat itu menggerakkan kaki tangannya dan melangkah ke luar dari dalam lubangnya! Mayat itu hidup kembali! Melihat seorang ‘mayat hidup’ di dalam kamar jenazah yang penuh jenazah-jenazah tengkorak dan mayat-mayat kering, tentu saja hal ini merupakan pemandangan yang terlalu berat menguji hati seorang gadis remaja, biar pun memiliki kesaktian seperti Siauw Bwee. Maka dara yang tadinya berpura-pura mati itu kini benar-benar menjadi pingsan!
Setelah siuman kembali, hal pertama yang dilakukan Siauw Bwee adalah melirik ke arah lubang mayat she Cia itu dengan harapan akan melihat mayat itu masih di situ dan tak bergerak, dan bahwa yang dialaminya tadi hanyalah dalam mimpi. Akan tetapi lubang itu kosong! Dengan napas terengah saking ngeri dan takut, Siauw Bwee gadis perkasa yang kini ketakutan seperti kanak-kanak melihat setan itu mengintai dari balik peti mati di mana ia direbahkan dan matanya melotot lebar ketika melihat mayat hidup itu bergerak cepat sekali, berkelebat datang dari sebelah belakang ruangan itu, tangan kanannya membawa sebuah panci besar terisi makanan.
Setelah tiba di ruangan itu, dia makan dengan lahapnya sambil berdiri saja. Akan tetapi tiba-tiba ia mengeluarkan suara gerengan seperti terkekeh, lalu ia menggerakkan kaki tangannya. Siauw Bwee menjadi makin ngeri, juga heran sekali menyaksikan bahwa mayat hidup itu memiliki kepandaian yang hebat. Ilmu silatnya luar biasa sekali, kedua tangan bergerak cepat dan tiba-tiba kedua tangan itu menyerang dengan gerakan menggunting dari atas kanan kiri disusul gerakan kaki menyapu dari bawah.
Agaknya jurus itu merupakan jurus terakhir dan mayat hidup itu kini kelihatan girang bukan main. Begitu girangnya sampai terkekeh-kekeh dan berjingkrak-jingkrak menari. Tangannya mengambil makanan dari panci yang tadi ia taruh di atas lantai ketika dia bersilat. Ketika ia mengambil makanan itu dimasukkan ke mulut, Siauw Bwee memandang jelas dan tiba-tiba Siauw Bwee merasa hendak muntah karena melihat bahwa yang dimakan oleh mayat hidup itu adalah tikus-tikus kecil yang berkulit merah!
Karena ingin muntah ini, Siauw Bwee mengeluarkan suara dari tenggorokannya dan tiba-tiba mayat hidup itu melesat seperti anak panah cepatnya dan tahu-tahu telah berdiri lagi di lubangnya seperti tadi. Akan tetapi, mungkin karena tergesa-gesa dan lupa, dia berdiri di tempatnya dengan panci di tangan kiri dan mulutnya masih menggigit seekor anak tikus yang buntutnya melambai ke bawah melalui bibirnya!
Aksi Si Mayat Hidup ini mengusir semua rasa takut dari hati Siauw Bwee. Tidak mungkin di dunia ini ada setan atau mayat hidup yang bersikap seperti itu! Begitu panik dan kembali ke lubangnya secara menggelikan. Hal seperti itu hanya dapat dilakukan orang hidup yang sedang ketakutan atau panik.
Siauw Bwee tertawa dan ia melangkah keluar dari dalam peti kaca. Ketika ia langsung melangkah menghampiri Si Mayat Hidup, hatinya menjadi makin geli melihat betapa ‘mayat hidup’ itu matanya melotot memandang kepadanya dengan kedua kaki menggigil. Siauw Bwee makin geli hatinya, maklum bahwa tentulah mayat hidup yang sebenarnya seorang manusia yang masih hidup itu kini menderita kengerian seperti dia tadi. Tentu orang ini mengira bahwa dialah yang kini menjadi mayat hidup!
Terdorong oleh rasa geli dan kelegaan hatinya mendapat kenyataan bahwa mayat hidup itu hanyalah seorang manusia hidup, timbul kenakalan Siauw Bwee. Dia sengaja menyeringai untuk menakut-nakuti, setelah tiba di depan mayat hidup itu ia tertawa dengan suara mengerikan, “He-he-hi-hi-hiiik! Bangkai ini masih baik, enak diganyang jantungnya!”
Dengan gerakan dibuat-buat, Siauw Bwee membentuk kedua tangannya seperti cakar setan dan melangkah maju.
“Hiiiihh!” Kini ‘mayat hidup’ itu tidak dapat menahan kengerian hatinya dan ia meloncat meninggalkan lubangnya, menjauhi Siauw Bwee dan berdiri dengan kedua kaki menggigil.
Siauw Bwee tak dapat bersandiwara terus dan ia tertawa terpingkal-pingkal. “Nah, kau tahu sekarang rasanya orang yang ketakutan menghadapi mayat hidup!” katanya. “Orang she Cia, mengapa engkau pura-pura mati dan berada di tempat ini?”
Orang yang tadinya berdiri menggigil itu menjadi begitu lega hatinya sehingga jatuh terduduk. “Aahhh... sungguh mati. Aku hampir pingsan ketakutan!” katanya. Suaranya besar dan agak parau, agaknya karena sudah lama tidak bicara.
“Aku sendiri tadi sampai pingsan saking takutku melihat engkau sebagai mayat hidup,” Siauw Bwee berkata sambil tertawa geli.
Orang itu meloncat bangun, gerakannya cepat sekali. “Eh, engkau tadi dibawa si ketua Liong Ki Bok itu ke sini dalam keadaan mati. Orang mati mana bisa pingsan dan mana mungkin sekarang engkau hidup lagi?”
Siauw Bwee menjebirkan bibirnya. “Tidak meraba kepalamu sendiri! Engkau pun masih hidup, mengapa berada di sini dan beraksi sebagai mayat?”
Sejenak laki-laki tinggi besar gundul itu memandang Siauw Bwee, kemudian menggeleng kepala dan menghela napas. “Sukar dipercaya... akan tetapi... Liong Ki Bok tadi sudah mengatakan sendiri bahwa kepandaianmu melebihi aku. Hemm, Nona, dengan cara bagaimanakah engkau dapat mengakali Liong Ki Bok yang lihai sehingga engkau disangka mati dan dibawa ke sini?”
“Mudah saja. Dengan Pi-ki-hoan-hiat (Menutupi Hawa Memindahkan Jalan Darah) aku bisa menghentikan napas dan memindahkan denyut perjalanan darah.”
Mata orang itu terbelalak. “Engkau? Semuda ini sudah pandai melakukan hal itu?”
“Jangan terlalu memuji, Sobat.” Siauw Bwee segera merasa suka kepada orang ini karena merasa ‘senasib’. “Engkau sendiri pun telah dapat mengakali Liong Ki Bok dan berpura-pura mati.”
“Aku lain lagi. Aku memang hampir mati ketika dibawa ke sini... eh, nanti dulu, Nona. Sebelum aku menceritakan rahasiaku, aku harus mengetahui lebih dulu siapakah Nona dan mengapa Nona menyelundup masuk seperti ini?”
Siauw Bwee maklum bahwa tentu orang ini mempunyai rahasia besar dan mungkin ia akan dapat menyelidiki keadaan kaum kaki buntung dengan mendengar keterangan orang ini tanpa melakukan penyelidikan sendiri. “Namaku Khu Siauw Bwee dan aku menyelundup ke sini karena hendak menolong seorang bernama Liem Hok Sun yang ditawan oleh orang-orang kaki buntung itu karena dianggap melanggar wilayah mereka.”
Orang itu mengangguk-angguk. “Engkau benar-benar memiliki keberanian luar biasa, Nona. Nah, dengarlah ceritaku. Seratus tahun lebih yang lalu, nenek moyang tiga empat keturunan dari kaum kaki satu dan lengan satu adalah dua orang saudara seperguruan yang berilmu tinggi. Entah mengapa, kedua saudara seperguruan itu bercekcok sehingga terjadilah pertempuran antara mereka berdua. Pertempuran hebat yang mengakibatkan seorang buntung kaki kanannya dan yang seorang lagi buntung lengan kirinya. Dendam antara kedua orang ini amat hebat. Mereka lalu mengasingkan diri melatih ilmu, juga masing-masing mengambil murid-murid, kemudian mereka berjanji untuk mengadu ilmu setiap tahun, untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara mereka. Karena makin lama jumlah mereka makin banyak, maka permusuhan itu menjadi berlarut-larut dan setiap tahun tentu diadakan pertandingan mengadu ilmu. Demikianlah, keturunan kedua orang itu melanjutkan permusuhan aneh ini dan terbentuklah kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung yang saling bermusuhan.”
“Akan tetapi, mengapa mereka itu masing-masing dapat mengumpulkan orang-orang kaki buntung dan orang-orang lengan buntung sebanyak itu? Siauw Bwee bertanya heran.
“Bukan dikumpulkan, Nona. Melainkan dibuat, sengaja dibikin buntung!”
Mata Siauw Bwee terbelalak lebar. “Apa? Murid-murid mereka dibuntungi sebelah kaki atau lengannya?”
Orang itu mengangguk. “Begitulah. Syarat pertama menjadi murid kedua kaum ini haruslah dibuntungi kaki atau lengannya.”
“Apakah mereka gila? Mengapa mau saja dibuntungi kaki atau lengan agar bisa menjadi murid mereka?”
“Memang banyak orang gila di dunia ini, Nona. Ilmu kaum kaki buntung dan lengan buntung amat terkenal, maka banyak yang tergila-gila dan rela menjadi seorang berkaki buntung atau berlengan buntung asal diterima menjadi murid mereka. Kaum berkaki buntung tinggal di dalam istana bawah tanah ini sedangkan kaum lengan buntung tinggal di balik gunung, di dalam goa-goa batu karang. Kaum kaki buntung ini diketuai oleh Liong Ki Bok, keturunan ke tiga atau empat dari seorang di antara kedua saudara seperguruan yang bermusuhan itu, tentu saja yang menjadi buntung kakinya dalam pertandingan itu. Ada pun kaum lengan buntung diketuai oleh The Bian Le, seorang kakek yang sama lihainya dengan Liong Ki Bok dan juga keturunan dari tokoh yang seorang lagi. Sampai sekarang mereka tetap bermusuhan dan setiap tahun selalu diadakan pertandingan antara mereka.”
Siauw Bwee mengangguk-angguk, kemudian memandang orang itu. “Dan engkau sendiri, kulihat kaki dan tanganmu lengkap, tidak ada yang buntung. Mengapa engkau sampai bermusuhan dengan kaum kaki buntung dan berada di sini?”
”Aku bernama Cia Cen Thok, dan aku adalah kakak ipar ketua kaum lengan buntung. Isteri The Bian Le adalah adik perempuanku. Karena percaya akan kepandaianku, iparku minta tolong kepadaku untuk menyelidiki dan mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat kaum kaki buntung. Karena hanya dengan mengetahui rahasia ilmu silat gerak tangan kilat, maka kaum lengan buntung akan dapat menundukkan musuh keturunan mereka ini.”
“Hemm, apakah kaum lengan buntung kalah lihai oleh kaum kaki buntung?”
Cia Cen Thok menghela napas panjang. “Kalah lihai sih tidak. Engkau harus ingat bahwa nenek moyang mereka adalah saudara seperguruan, maka tentu saja dasar ilmu silat juga sesumber dan kepandaian para keturunan ini pun seimbang. Justeru karena keseimbangan ilmu inilah yang membuat pembunuhan tiada habisnya. Tahun ini pihak yang satu kalah, tahun kemudian pihak yang lain kalah dan begitu seterusnya. Kaum lengan buntung yang hanya mempunyai sebuah lengan telah menciptakan ilmu gerak kaki kilat yang luar biasa. Di lain pihak, kaum kaki buntung, untuk mengimbangi karena kaki mereka hanya sebuah, telah menciptakan ilmu gerak tangan kilat. Ilmu silat tangan mereka yang diperpadukan dengan tongkat, benar-benar amat hebat.”
Siauw Bwee mengangguk-angguk. “Memang hebat gerakan tangan mereka, cepat dan aneh.”
“Itulah sebabnya, tiga tahun yang lalu aku memenuhi permintaan adik iparku, The Bian Le ketua kaum lengan buntung untuk menyelundup ke sini dan mempelajari rahasia gerak tangan kilat pihak musuh. Akan tetapi aku kepergok dan dalam perkelahian mati-matian aku roboh dan dihajar habis-habisan, disangka mati lalu ditaruh di ruangan jenazah ini.”
“Tiga tahun?” Siauw Bwee bergidik.
“Ya, tiga tahun kurang lebih.”
“Akan tetapi engkau telah berhasil kulihat tadi. Engkau telah mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat mereka!”
Cia Cen Thok memandang kagum. “Engkau awas sekali, Nona. Akan tetapi, biar pun aku percaya bahwa engkau tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dan aku pun telah mulai dapat mempelajari rahasia gerak tangan kilat mereka, aku masih sangsi apakah kita berdua akan dapat keluar dari tempat ini dengan selamat. Jumlah mereka banyak, dan di samping Liong Ki Bok yang lihai juga mereka mempunyai jago-jago berkepandaian tinggi, yaitu beberapa orang murid kepala yang kepandaiannya sudah hampir setingkat dengan kepandaian Si Ketua sendiri.”
“Berapakah jumlah mereka?”
“Kalau tidak salah, ada tiga puluh enam orang. Sedangkan pihak kaum lengan satu berjumlah tiga puluh orang.”
“Aku tidak takut! Aku tentu akan dapat membebaskan orang kasar Hui-eng Liem Hok Sun itu.”
“Apamukah dia itu, Nona?”
“Hemm... bukan apa-apa. Kenal pun tidak. Akan tetapi aku melihat sifat baik di balik sikapnya yang kasar, juga dia murid Gobi-san yang ilmunya lumayan. Aku percaya bahwa dia pun tentu akan menolong orang yang menjadi tawanan di sini.”
“Aahhh, hatimu terlalu baik, Nona. Aku sendiri tidak percaya bahwa dia itu akan suka mempertaruhkan nyawa untuk menolong orang yang belum dikenalnya seperti yang telah kau lakukan ini.”
Tiba-tiba terdengar gerengan keras, gerengan beruang yang menjaga di luar pintu, disusul suara gedebukan dan tak lama kemudian pintu itu terbuka dari luar dan muncullah orang yang mereka bicarakan, yaitu Hok Sun sendiri yang memegang sebatang pedang di tangannya. Melihat Siauw Bwee, dia segera menyerahkan pedangnya sambil berkata,
“Nona, kau pergunakan pedang ini. Mari kita menerjang ke luar. Kesempatan baik sekali selagi ketuanya dan pembantu-pembantunya tidak berada di dalam!” Tiba-tiba ia menoleh, melihat Cia Cen Thok dan meloncat ke belakang seperti diserang ular. “Dia... eh, dia... siapa ini...?”
“Dia seorang sahabat senasib. Apakah engkau datang sengaja hendak menolongku? Bagaimana kau bisa bebas?”
Liem Hok Sun hilang kagetnya dan ia tertawa, “Aku akali Si Buntung Kaki itu! Ha-ha! Aku pura-pura lemah, ketika mereka memberi makan, aku memberontak dan berhasil merobohkan Si Pengantar Makanan, kemudian aku lari dan mendapatkan pedang ini di jalan. Dari percakapan mereka aku mendengar bahwa mereka telah membunuh seorang dara muda. Aku penasaran, ingin melihat sendiri ke sini dan kiranya engkaulah orang yang mereka bunuh itu, dan masih hidup. Syukurlah. Mari kita cepat menerjang ke luar sebelum terlambat!”
Siauw Bwee tersenyum dan memandang kepada Cia Cen Thok dengan penuh arti. Kakek bekas mayat hidup itu mengangguk-angguk mengerti. “Saudara Liem Hok Sun, engkau seorang gagah sejati!”
“Eh, kau mengenal aku?”
“Aku yang memberitahukan namamu kepadanya,” kata Siauw Bwee.
“Engkau? Engkau Nona penunggang kuda itu. Aku belum pernah memperkenalkan diri..., ohhh, sekarang aku ingat! Aku pernah mengakui namaku ketika kau kusangka pemasang jerat. Hayo, lekaslah kita keluar. Eh, sahabat aneh, apakah engkau pun akan lari ke luar?”
Cia Cen Thok mengangguk. “Keluarlah kalian lebih dulu, aku menyusul belakangan.”
Siauw Bwee dan Liem Hok Sun berlari keluar dan Siauw Bwee melihat beruang itu sudah menggeletak dengan kepala pecah, tentu kena pukulan tangan Si Garuda Terbang. Dia merasa kasihan karena menganggap beruang itu bukan binatang jahat, akan tetapi dalam keadaan seperti itu dia diam saja dan terus berlari ke luar didahului Liem Hok Sun sebagai pembuka jalan.
Ketika mereka sudah tiba di ruangan paling depan, dari kanan kiri meloncat ke luar empat orang berkaki buntung dan mereka ini menyerang Hok Sun dan Siauw Bwee tanpa banyak tanya lagi.
Siauw Bwee menggerakkan kakinya menangkis dan tangan kirinya memukul dengan dorongan penuh tenaga sinkang. Dua orang di antara mereka berteriak dan roboh terjengkang, berusaha merayap bangun kembali. Hok Sun melawan dengan kedua tangan kosong. Ia berhasil menangkap tongkat seorang penyerang, membetot dan mematahkan tongkat itu, kemudian kakinya menendang. Lawannya menangkis dan orang ke dua sudah menotokkan tongkatnya ke arah lambung Hok Sun.
“Trakk!” Tongkat itu patah ketika tertangkis pedang Siauw Bwee yang sudah cepat membantu. Kemudian pukulan tangan Hok Sun merobohkan orang yang tongkatnya patah itu.
“Wah, kepandaianmu hebat sekali, Nona!” Ia memuji, kagum dan juga kaget karena tidak menyangka bahwa nona yang disangkanya hanya berkepandaian silat biasa itu ternyata telah merobohkan dua orang pengeroyok dengan cepat, bahkan telah menolongnya!
“Hayo cepat keluar!” Siauw Bwee berkata.
Kini dialah yang mendahului lari ke depan karena ia tahu bahwa kalau mereka berdua dikeroyok di sebelah dalam, keadaan mereka berbahaya sekali. Dengan gerakan ringan dan indah tubuh Siauw Bwee melayang naik dan menerobos ke luar dari lubang kecil yang merupakan ‘pintu kamar’ bangunan setengah bundar di atas tanah itu. Kembali Hok Sun memuji. Gerakan nona itu benar amat ringan dan tahulah dia bahwa nona itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampaui tingkatnya sendiri.
Begitu Siauw Bwee dan Hok Sun tiba di luar, mereka segera dikepung oleh para anak buah kaum kaki buntung yang sudah berjaga di luar dan yang mengejar dari dalam. Tetapi seperti yang diceritakan oleh Cia Cen Thok, biar pun Siauw Bwee dapat menangkan mereka dalam hal sinkang, ginkang, mau pun ilmu silat, namun gerakan tangan mereka benar-benar amat lihai, cepat bagaikan kilat dan tidak tersangka-sangka.
Untuk dapat mengatasi lawan yang seperti ini memang jalan satu-satunya hanya mempelajari dan membuka rahasia ilmu tangan kilat mereka itu. Siauw Bwee tidak ingin melakukan pembunuhan, maka gerakan pedangnya hanya untuk menghalau tongkat-tongkat mereka yang lihai, dan ia hanya berusaha merobohkan mereka dengan dorongan-dorongan tangan dengan tenaga sinkang. Karena inilah maka dia segera dikurung dan didesak hebat.
Ada pun Hok Sun keadaannya lebih terdesak lagi. Beberapa kali terdengar suara bak-bik-buk dan tubuhnya sudah terkena hantaman-hantaman tongkat pada bahu, pinggul dan pahanya. Untung bahwa Si Garuda Terbang ini memiliki tubuh yang kebal sehingga hantaman-hantaman itu tidak sampai meremukkan tulang dan tertahan oleh daging dan urat-uratnya yang kokoh kuat, sungguh pun cukup mendatangkan rasa nyeri membuatnya berkaok-kaok kesakitan.
Untung bagi mereka bahwa pada saat itu, benar seperti keterangan Hok Sun, tidak tampak murid-murid lain yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kelas satu. Kalau mereka itu ikut mengeroyok, tak tahulah bagaimana jadinya dengan nasib mereka berdua.
“Saudara Liem, cepat ke sini! Kita melawan dengan saling melindungi!” teriak Siauw Bwee sambil berputaran dan mendekati Si Pemuda Kasar yang sudah berteriak-teriak kesakitan.
Hok Sun bukan seorang bodoh. Dia mengerti apa yang dimaksudkan dara perkasa itu, maka dia pun lalu meloncat dan di lain saat dia telah melakukan perlawanan dengan beradu punggung bersama Siauw Bwee. Dengan cara ini mereka berdua tidak dapat dikurung lagi dan hanya menghadapi lawan dari depan.
“Awas...!” Siauw Bwee berbisik, “aku akan melontarkanmu ke kiri melalui kepala mereka. Engkau harus cepat melarikan diri, biar aku yang menahan mereka...!”
“Ahhh, mana bisa...?” Hok Sun menjawab dengan bantahannya, dan tidak seperti Siauw Bwee yang berbisik, pemuda itu bicara nyaring, “Aku bukan seorang pengecut yang ingin selamat sendiri dan meninggalkan kau sendirian dikepung oleh para....”
Siauw Bwee menjadi gemas dan sambil menangkis tusukan tongkat seorang lawan wanita, ia sengaja menggerakkan pinggul.
“Auhhh...! Apakah pinggulmu dari baja, Nona?” Hok Sun berteriak kesakitan ketika pinggulnya dihantam dari belakang. Ia menggosok-gosok pinggulnya sehingga tidak sempat menghindar ketika ada tongkat memukul kepalanya dari atas. Untung Siauw Bwee melihat atau lebih tepat mendengar gerakan itu, maka ia cepat mendorongkan tangan kirinya ke belakang.
“Aihhh...!” Hok Sun terhuyung, akan tetapi hantaman tongkat itu luput. “Bagaimana sih engkau ini, Nona? Kawan ataukah lawan?”
“Bodoh!” Siauw Bwee berbisik gemas. “Kalau engkau sudah bebas, bagiku apa sih sukarnya melarikan diri? Awas, akan kulontarkan kau. Lekas lari!” Tiba-tiba Hok Sun merasa tubuhnya terbang ke atas ketika Siauw Bwee mencengkeram punggung bajunya dan mendorong dengan tenaga yang hebat bukan main.
Tubuh Hok Sun terlempar melalui atas kepala para pengeroyoknya dan ia terus melompat jauh untuk melarikan diri. Diam-diam ia makin kagum bukan main terhadap Siauw Bwee.
Setelah Si Dogol itu terbebas, Siauw Bwee bernapas lega, memutar pedangnya bagaikan kitiran cepatnya sehingga lenyaplah tubuh dara perkasa ini, yang tampak hanya gulungan sinar pedangnya. Dari dalam gulungan sinar pedang yang menangkis datangnya semua serangan tongkat itu, menyambar keluar tenaga dahsyat dari telapak tangan kirinya yang mengirim dorongan-dorongan. Para pengeroyoknya banyak yang terjengkang, akan tetapi segera meloncat bangun lagi dan mengeroyok makin nekat. Ketika Siauw Bwee memandang ke arah larinya Hok Sun, ia melihat pemuda itu kembali sudah dikepung enam orang kaki buntung! Siauw Bwee gemas sekali.
Tentu Si Dogol itu masih tetap keras kepala dan tidak rela lari meninggalkannya. Kalau begitu terus, Hok Sun bisa celaka, padahal kini jaraknya sudah jauh sehingga tak mungkin lagi dia dapat menolong jika Hok Sun terancam bahaya seperti tadi. Akan tetapi tiba-tiba enam orang pengeroyok Hok Sun itu cerai-berai ketika sesosok bayangan berkelebat dan Cia Cen Thok sudah membantu Hok Sun. Melihat laki-laki bercawat ini, terdengar teriakan-teriakan kaget dan para pengeroyok mereka berdiri terbelalak seperti arca dengan muka pucat.....
Siauw Bwee tersenyum geli dan hatinya lega melihat Hok Sun dan Cia Cen Thok sudah berhasil melarikan diri, menggunakan kesempatan selagi para pengeroyok mereka terkejut dan diam tak bergerak. Tentu saja anak buah kaki buntung itu kaget setengah mati melihat dan mengenal orang yang telah tiga tahun menjadi mayat di kamar mayat, kini tahu-tahu telah hidup lagi dan mengamuk!