Istana Pulau Es Jilid 18

Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 18

PANGLIMA BESAR itu meloncat dari tempat duduknya dan cepat menjura. "Selamat datang, Lihiap!" Dan kepada anak buahnya ia membentak, "Lihat apakah yang telah kalian lakukan, orang-orang tolol! Menawan dan membelenggu penolong kami! Seolah-olah belenggu kalian itu ada artinya bagi Lihiap yang sakti?!" Kemudian ia membentak makin nyaring, "Hayo cepat berlutut, minta ampun kepada Lihiap!"

Enam orang itu, yang dua tertendang tadi sudah ikut naik, cepat menjatuhkan diri dan seperti burung-burung saling sahut mereka berseru, "Mohon maaf kepada Lihiap, karena kami tidak tahu maka..."

Maya menggerakkan tangannya. "Sudahlah! Salahku sendiri yang kurang pandai berenang sehingga mudah kalian bekuk!"

"Lihiap, silakan duduk!" Panglima muda yang brewok cepat menyerahkan kursinya dan ia memandang kagum. Ketika ditolong dari tangan Si Dampit yang lihai, dia tidak dapat melihat jelas wajah penolongnya. Kini ia kagum bukan main melihat bahwa penolongnya hanyalah seorang dara remaja yang masih amat muda lagi cantik jelita seperti bidadari!

"Lekas ambil pakaian bersih dan kering untuk Lihiap! Dan sediakan meja perjamuan!" Panglima besar itu memberi perintah. Sibuklah anak buahnya mempersiapkan barang-barang yang diperintahkan itu.

"Lihiap, silakan berganti pakaian kering dulu. Nanti kita bicara," Panglima tua itu mempersilakan. Tanpa sungkan-sungkan Maya lalu memasuki kamar di perahu yang ditunjuk dan berganti pakaian. Panglima besar itu berbisik-bisik dengan wajah serius dengan pembantunya, panglima muda brewok.

"Wah, betapa lucunya aku berpakaian seperti ini!" Maya yang sudah selesai berganti pakaian dan keluar dari kamar tertawa memandangi pakaian panglima yang dipakainya.

"Engkau gagah sekali dan patut dalam pakaian itu, Lihiap. Hanya kurang pedangnya. Silakan memakai pedangku." Panglima tua itu menyambut dan meloloskan sabuk pedangnya kemudian menghampiri Maya dan memakaikan sabuk pedang itu di punggung Maya sehingga dara itu tampak makin gagah perkasa.



Atas ajakan penuh hormat dari kedua orang panglima itu, Maya kini dijamu dan sambil makan minum mereka bercakap-cakap. Atas pertanyaan panglima tua itu, Maya menjawab, “Namaku Maya dan kuharap Ciangkun jangan menanyakan siapa guruku dan dari mana asal-usulku karena hal itu takkan dapat kuterangkan. Seandainya aku tidak melihat sendiri betapa pasukan Ciangkun bertempur melawan pasukan-pasukan Sung, tentu aku tidak akan dapat duduk semeja dengan kalian. Ciangkun siapakah, dan mengapa pula pasukan Ciangkun bertempur melawan Pasukan Sung yang menjadi musuhku?”

Wajah panglima tua itu berseri mendengar bahwa dara perkasa yang menjadi penolongnya ini menganggap Kerajaan Sung sebagai musuhnya. Dia menyuguhkan secawan arak, dan setelah arak yang disuguhkan sebagai penghormatan itu diminum, dia berkata, “Namaku Bu Gi Hoat, dan dia ini adalah pembantuku, Panglima Muda Lai Sek. Tadinya aku adalah seorang panglima besar Kerajaan Sung yang ditugaskan memimpin armada menjaga pantai timur. Kini kami menjadi musuh Kerajaan Sung yang makin menyuram dan penuh kelaliman.”

“Hemm... jadi Ciangkun memberontak terhadap Kerajaan Sung? Mengapa?”

Panglima she Bu itu menarik napas panjang. “Selama beberapa keturunan, nenek moyangku adalah pembesar-pembesar militer yang setia kepada kerajaan. Akan tetapi sekarang ini Kerajaan Sung mengalami kesuraman hebat karena kelemahan Kaisar yang dipengaruhi oleh menteri-menteri dorna, thaikam-thaikam dan panglima-panglima jahat macam Suma-goanswe. Karena itu banyak sekali panglima yang memberontak, pembesar-pembesar daerah yang berdiri sendiri. Aku pun tidak dapat tinggal diam, apa lagi semenjak Menteri Kam yang amat kami hormati itu difitnah dan tewas oleh kekejian Kerajaan Sung. Kami harus membunuh Kaisar dan kaki tangannya yang lalim dan membentuk kerajaan baru yang bebas dari pada penindasan para pembesar korup.”

Maya mengangguk-angguk. Diam-diam ia merasa girang karena kini mendapat kesempatan untuk membasmi musuh-musuhnya, terutama Kerajaan Sung! Apa lagi karena jelas bahwa panglima ini bersetia kawan dengan pek-hu-nya, Menteri Kam. Tanpa ragu-ragu lagi ia berkata, “Kalau begitu, aku siap membantumu, Ciangkun!”

Bukan main girangnya hati panglima itu. Ia mengisi cawan arak dan mengajak Maya minum kemudian berkata, “Sungguh sudah menjadi kehendak Tuhan agaknya bahwa Kerajaan Sung yang buruk itu mesti hancur sehingga hari ini Tuhan sendiri yang mengirim Lihiap untuk membantu kami! Belum juga aku berani mengutarakan maksud hatiku minta bantuanmu, engkau telah menyatakan hendak membantu. Terima kasih, Lihiap, terima kasih!”

“Ah, engkau terlalu sungkan, Ciangkun. Memang aku pun berniat membasmi Kerajaan Sung yang kubenci sehingga kebetulan sekali kerja sama ini. Kalau Bu-ciangkun setuju, berilah aku pasukan yang cukup banyak dan kuat, dan sekarang juga aku akan membawa pasukan itu menyerbu ke kota raja Sung!”

Hampir saja kedua orang panglima perang itu tertawa bergelak mendengar ucapan ini. Betapa dangkalnya pengetahuan dara ini tentang perang. Begitu mudahnya hendak membawa pasukan menyerbu ke kota raja, seolah-olah jalan ke kota raja Sung itu halus lunak tanpa rintangan. Sebelum perjalanan ribuan li ditempuh seper-sepuluhnya sudah akan menghadapi pasukan-pasukan besar musuh yang amat banyak jumlahnya.

Dara ini bicara tentang perang seperti orang membalikkan tangan saja mudahnya! Akan tetapi karena maklum bahwa tentu saja dara semuda ini sama sekali tidak mengerti tentang perang, dan agar jangan menyinggung perasaan, kedua orang panglima itu hanya saling pandang dan menahan kegelian hati mereka.

“Lihiap, serahkan urusan perang kepadaku karena perang melawan Kerajaan Sung tidaklah semudah itu. Mereka masih memiliki bala tentara yang kuat dan besar jumlahnya. Akan tetapi, kau akan kuangkat menjadi panglima muda dan kuserahi pasukan yang hendaknya kau gembleng menjadi pasukan istimewa yang kuat dan percayalah kami hanya mengandalkan kegagahan Lihiap dengan pasukanmu untuk mendobrak pihak musuh di garis depan.”

Maya mengangguk. “Terserah kepadamu, Ciangkun. Bagiku, asal aku mendapat kesempatan membasmi pasukan Sung, cukuplah. Lebih banyak lebih baik.”

“Bagus! Mulai sekarang engkau adalah seorang panglima dan sudah selayaknya kalau engkau sebagai pembantuku yang kupercaya, sebagai pembantu utama di samping Lai-ciangkun, tahu akan kedudukan dan siasat kita.”

Dengan panjang lebar Bu-ciangkun lalu memberi tahu kepada pembantunya yang baru ini bahwa dia telah mengadakan kontak dengan bala tentara Mancu yang besar dan kuat agar bersama-sama mereka dapat menyerang ke selatan. Mendengar ini Maya tidak ambil peduli. Baginya bersekutu dengan Mancu pun tidak menjadi soal asal dia dapat membalas kepada Kerajaan Sung, Yucen dan Mongol!

“Boleh saja bersekutu dengan orang Mancu. Bu-tai-ciangkun. Asal jangan bersekutu dengan orang-orang Mongol dan Yucen saja. Kedua bangsa itu pun masih musuhku!”

Bu-ciangkun tertawa bergelak. Gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa sekali, akan tetapi tidak berpengalaman sama sekali, bahkan masih memiliki sifat kekanak-kanakan dan jujur, “Ha-ha-ha! Jangan khawatir, Li-ciangkun (Panglima Wanita)! Kami tidak mempunyai hubungan dengan bangsa Mongol! Sedangkan bangsa Yucen yang sekarang telah mendirikan Kerajaan Cin juga merupakan musuh kita karena dia merupakan penjajah yang mengancam bangsa dan negara. Di dalam pertempuran yang akan kau hadapi, engkau bahkan akan melawan Bangsa Yucen dan juga pasukan Kerajaan Sung.”

“Bagus!” Maya, girang sekali. “Lekas siapkan pasukan untukku, Tai-ciangkun. Akan kulatih mereka!”

Demikianlah, mulai hari itu Maya mengepalai lima ratus orang pasukan dengan sepuluh orang perwira pembantunya. Dara ini dahulu adalah seorang Puteri Khitan dan dia sudah sering kali melihat, bahkan mengikuti cara ayahnya dan para panglima Khitan melatih tentaranya, maka kini dengan baik sekali ia dapat melatih pasukan di bawah perintahnya. Mereka dia beri pelajaran ilmu berkelahi dengan menurunkan beberapa jurus yang lihai dari ilmu silatnya. Juga para perwira pembantunya ia latih sendiri dengan beberapa jurus ilmu silat sehingga mereka pun menjadi lihai.

Mula-mula Bu-ciangkun terkejut dan terheran-heran, juga girang menyaksikan cara Maya melatih pasukannya. Diam-diam ia lalu menyebar para penyelidik dan tak lama kemudian dia mendengar bahwa puteri Raja Khitan yang bernama Maya tidak ketahuan ke mana perginya semenjak ikut bersama Menteri Kam Liong yang tewas dikeroyok oleh tentara Sung.

Diam-diam ia menjadi girang dan kagum sekali. Tidak salah lagi, melihat bentuk wajahnya, Maya yang kini menjadi panglimanya itulah Puteri Maya, puteri Khitan dari Raja Khitan dan keponakan dari mendiang Menteri Kam Liong! Akan tetapi karena dara itu sudah menyatakan tidak akan menceritakan riwayatnya, ia pun diam-diam saja, bahkan tidak memberitahukan dugaannya itu kepada siapa pun juga.

Setelah selesai menggembleng pasukan di tepi pantai sampai dua bulan lamanya, pada suatu pagi Bu-ciangkun mengumpulkan para panglimanya yang berjumlah lima orang.

“Barisan Mancu yang menjadi sekutu kita berjanji akan menyambut kita di pantai ini untuk bergabung kemudian bergerak ke selatan. Akan tetapi, telah sebulan mereka terlambat dan kurirnya juga belum tampak. Aku khawatir kalau-kalau ada perubahan keadaan, maka sebaiknya seorang di antara kalian harus membawa pasukan untuk menghubungi mereka di perbatasan Mancu. Akan tetapi selain perjalanan itu jauh, melalui daerah-daerah yang kering dan sukar, juga ada bahayanya akan bertemu dengan pasukan-pasukan Mongol, terutama sekali pasukan Kerajaan Cin. Siapakah di antara kalian yang sanggup melakukan tugas berat ini?”

Seperti telah diduganya, dan juga diharapkannya maka dia sengaja menyebutkan bahaya pasukan Mongol dan Yucen. Maya segera berdiri sigap dan menjawab, “Aku sanggup!”

Empat orang panglima yang lain telah mengenal kelihaian panglima wanita itu, maka mereka tidak berani berebut, bahkan Li-ciangkun yang brewok dan dapat menangkap isi hati panglimanya segera berkata, “Memang tugas berat ini paling tepat dilakukan oleh Li-ciangkun dengan pasukan mautnya.”

Bu-ciangkun mengangguk-angguk. “Akan kubuatkan surat untuk pimpinan barisan Mancu yang berada di perbatasan. Li-ciangkun tentu maklum bahwa suratku ini sama harganya dengan nyawa.”

“Baiklah, Tai-ciangkun. Akan kujaga dengan taruhan nyawaku sendiri. Harap jangan khawatir.”

“Selain mengadakan hubungan dengan mereka dan menyerahkan suratku, di sepanjang jalan harap Li-ciangkun mencari tenaga-tenaga dari rakyat yang sekiranya akan dapat memperkuat kedudukan kita dan dapat membantu perjuangan kita.”

“Baik!” jawab Maya yang teringat akan rakyat Khitan.

Kalau dia bisa bertemu dengan rakyat Khitan dan membujuk mereka masuk menjadi prajurit di bawah pimpinannya, betapa akan senang hatinya. Diam-diam timbul keinginan hatinya melihat rakyatnya bangkit di bawah pimpinannya untuk membangun kembali Kerajaan Khitan yang besar dan jaya!

Karena persediaan kuda amat terbatas, pasukan yang dipimpin Maya sebanyak lima ratus orang itu hanya membawa seratus ekor kuda. Maya dan sepuluh orang perwiranya tentu saja mempunyai masing-masing seekor kuda, ada pun seratus ekor kuda itu akan ditunggangi lima ratus orang secara bergilir, lima orang prajurit untuk setiap kuda seekor.

Maka berangkatlah pasukan itu dengan megahnya, dipimpin oleh Panglima Muda Maya yang menunggang kuda putih berada di depan, diapit dua orang pengawal pembawa bendera. Amat gagah dan barisan itu pun bergerak rapi, yang berjalan kaki di depan, seratus orang yang berkuda di belakang. Bu-ciangkun sendiri mengantar berangkatnya pasukan istimewa ini sampai di luar daerah perkemahan.

Dua buah bendera itu berkibar-kibar. Yang sebuah bertuliskan nama pasukan yang diberi oleh Bu-ciangkun sendiri, yaitu ‘Pasukan Maut’. Dan bendera yang sebuah lagi bertuliskan nama panglimanya, yaitu Panglima Wanita Maya!

Perjalanan ke barat dimulai. Oleh gemblengan-gemblengan keras Maya selama dua bulan, tubuh anak buah pasukan kuat-kuat dan semangat mereka juga besar. Mereka semua merasa bangga menjadi prajurit Pasukan Maut, mempunyai seorang panglima yang mereka tahu amat sakti, melebihi kegagahan Bu-tai-ciangkun sendiri, seperti seekor naga betina.

Belasan hari kemudian, pasukan itu telah tiba di daerah kering tandus dan di sana-sini mereka melalui padang pasir yang tidak berapa luas. Ketika mereka tiba di daerah pegunungan yang mulai memperlihatkan kesuburan, tiba-tiba mereka diserbu oleh pasukan Yucen yang berjaga di situ karena daerah itu sebagian telah dikuasai oleh tentara Yucen.

“Basmi anjing-anjing Yucen!” Maya berteriak, suaranya melengking tinggi mengatasi semua kegaduhan dan terdengar oleh semua anak buahnya sehingga mereka bertempur seperti harimau-harimau kelaparan.

Pasukan Yucen yang terdiri dari tiga ratus orang lebih dan mengira bahwa yang mereka serbu adalah pasukan Sung yang dianggap melanggar wilayah menjadi kewalahan. Apa lagi ketika Maya sendiri turun dari kudanya dan mengamuk, pedangnya membabati tentara musuh seperti orang membabat rumput saja, pasukan Yucen menjadi makin gentar saja.

Komandan Yucen mengeluarkan aba-aba untuk mundur, akan tetapi dengan gerakan kilat Maya melompat. Pedangnya memenggal leher seorang perwira musuh dan tangan kirinya mencengkeram leher baju Panglima Yucen itu, terus menariknya dari atas kuda. Panglima itu terkejut dan meronta, heran dan kaget melihat bahwa yang menawannya adalah seorang dara jelita yang masih muda. Akan tetapi keringatnya mengucur deras ketika ia mendengar dara itu mendesis bengis, “Engkau Panglima Yucen keparat. Ingatkah kepada ayahku Raja Talibu dari Khitan?”

Wajah panglima itu pucat dan ia menggeleng-gelengkan kepala, “Aku... aku tidak...!”

Akan tetapi kata-katanya terhenti dan lehernya terbabat putus oleh pedang Maya. Dara perkasa ini melompat ke atas batu besar, membawa kepala Panglima Yucen sambil berseru, “Heii... anjing-anjing Yucen! Lihat kepala siapa ini?”

Suaranya yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang amat nyaringnya dan makin paniklah tentara Yucen mendengar dan melihat kepala pemimpin mereka. Sebaliknya makin bersemangatlah Pasukan Maut itu sehingga mereka mengamuk, membunuhi musuh yang kocar-kacir dan lari berserabutan.

“Hidup Maya Li-ciangkun!” Sorak para prajurit dan mereka mengejar musuh yang melarikan diri.

Hanya setelah ada perintah Maya saja para prajurit berhenti mengejar. Ketika Maya memerintahkan para perwira menghitung, dalam perang pertama ini pasukannya kehilangan dua puluh orang akan tetapi membunuh lebih dari seratus orang musuh. Ini merupakan kemenangan besar dan prajurit yang terluka dirawat baik-baik, sedangkan yang tewas lalu dikubur. Mayat-mayat para prajurit Yucen dibiarkan saja berserakan. Maya lalu memerintahkan pasukannya bergerak maju lagi dan beristirahat serta bermalam di atas bukit, di sebelah hutan.

Biar pun baru saja Maya mendapatkan kemenangan yang gemilang, namun dia tidak menjadi lengah. Teringat ia akan nasehat ayahnya dahulu kepada para panglimanya bahwa saat-saat sehabis mendapat kemenangan adalah saat-saat yang berbahaya. Anak buah menjadi mabuk kemenangan, bangga dan terlalu percaya kepada kekuatan sendiri, dan menimbulkan kelengahan dan biasanya musuh menggunakan kesempatan itu untuk menyerang.

Karena itu dia mengatur penjagaan ketat, penjaga-penjaga yang bersembunyi disebar sampai jauh di lereng bukit itu secara bergilir. Juga ia tidak melupakan para penjaga ini yang dikirimi ransum, bahkan mereka ini menerima pesan Maya pribadi agar tidak lengah dan tetap waspada menjaga kemungkinan musuh menyergap selagi mereka beristirahat.

Perhitungan Maya memang tepat. Benar saja, menjelang tengah malam, datanglah para penjaga lereng utara yang mengabarkan bahwa ia menyaksikan gerakan barisan besar yang datang dari utara. Mereka datang dengan jalan kaki dan memasang obor, bahkan tidak menimbulkan suara berisik, tanda bahwa mereka hendak menyergap tempat istirahat mereka secara mendadak. Berita itu diterima dengan kaget oleh para perwira dan anak buah mereka yang berada di situ. Mereka sudah meloncat bangun menyambar senjata tajam masing-masing.

Maya membentak, “Mengapa kalian? Panik? Lupakah akan nasehatku bahwa kepanikan ini merupakan jalan menuju kekalahan? Dengarkan siasatku!”

Ia menuding kepada empat orang pembantu berturut-turut. “Kalian berempat, cepat membawa pasukan diam-diam meninggalkan puncak dari jurusan selatan, barat dan timur, lalu bersembunyi dan menanti sampai ada tanda keleneng segera mengepung puncak! Dan kelian berempat,” ia menuding kepada empat orang perwira lain. “Dalam jarak tiga ratus meter dari sini, pasanglah tali-tali atas di tanah satu kaki tingginya, hubungkan tali itu dengan keleneng-keleneng kuda yang dipasang di atas pohon. Cepat kalian delapan orang lakukan perintahku ini.”

Delapan orang perwira itu memberi hormat dan berlari ke luar. Maya memandang kepada dua orang perwiranya. Ia tersenyum dengan sepasang matanya berkilat tertimpa sinar api unggun. “Dan kalian berdua kumpulkan pasukan pengawalku ke sini, buat api unggun yang besar, nyalakan semua lampu penerangan, bawa dua guci arak wangi, guci besar itu, dan suruh para pengawal membawa alat tetabuhan dan mainkan musik di sini!”

Perintah itu terdengar aneh sekali sehingga beberapa detik lamanya kedua orang perwira itu memandang pimpinan mereka sambil melongo.

“Cepat!” Maya membentak, dan berulah dua orang itu bergegas pergi melakukan perintah.

Tak lama kemudian tampak api unggun yang besar dan terdengarlah bunyi musik yang-khim, gembreng dan suling memecahkan kesunyian puncak bukit itu, dan bau arak wangi memenuhi udara. Para pengawal yang jumlahnya dua puluh orang itu bermain musik sambil bernyanyi-nyanyi, akan tetapi hati mereka berdebar-debar tegang dan mata mereka melotot ketika melihat Maya menyiram-nyiramkan arak wangi di tempat itu sehingga bau arak itu menyengat hidung!

Pasukan Maut diam-diam telah melakukan gerakan cepat, dan tanpa mengeluarkan suara meninggalkan puncak bukit seperti yang diperintahkan Maya. Ketika mereka mendengar suara musik dan nyanyian, mencium bau arak wangi dari puncak, mereka melongo dan saling pandang. Sudah gilakah pemimpin yang hebat itu?

Pasukan disuruh lari turun puncak, hal ini dapat dimengerti untuk menghindarkan sergapan pihak musuh yang besar jumlahnya. Akan tetapi, pemimpin mereka tinggal di puncak, hanya ditemani oleh dua puluh orang pengawal, dua orang perwira dan prajurit-prajurit yang terluka siang tadi, kini berpesta pora minum arak wangi dan bernyanyi-nyanyi bermain musik! Akan tetapi delapan orang perwira itu, setelah empat orang selesai memimpin pasukan memasang tali dan kelenengan, percaya penuh kepada panglima mereka dan dengan diam-diam mereka siap melakukan gerakan mengurung puncak.

Kalau prajurit Pasukan Maut terheran-heran mendengar bunyi musik nyanyian dan mencium bau arak wangi, sebaliknya para panglima, perwira dan prajurit Yucen menjadi girang sekali. “Bersenang-senanglah, berpestalah karena kemenanganmu siang tadi,” pikir mereka puas, “dan berpestalah untuk kematian kalian karena sebentar lagi kalian akan terbasmi habis,” demikian pikir mereka sambil melakukan gerakan mengurung puncak, merayap dengan hati-hati.

Pasukan mereka terdiri dari lima ratus orang pilihan dan mereka sudah memperhitungkan bahwa lima ratus orang tentara musuh tentu telah berkurang dalam perang tadi, dan selain kelelahan juga mereka itu mabuk kemenangan dan lengah.

Pengurungan mereka telah dekat dengan puncak. Perintah berbisik telah dikeluarkan panglima yang membagi-bagi pasukan kubu-kubu lawan. Dari tempat mereka sudah tampak api unggun besar di depan kemah panglima, tampak bendera panglima musuh berkibar di atas kemah besar dan ketika mereka merayap maju lagi, tampak bayangan orang bermain musik, bernyanyi-nyanyi, bahkan ada yang menari-nari.

Mereka tidak mau menyerang dengan anak panah karena keadaan terlalu gelap, dan itu hanya akan membikin musuh sempat mempersiapkan diri. Mereka hendak menyerbu diam-diam dan tinggal menyembelihi saja musuh yang sedang enak-enak tidur atau yang sudah mabuk arak wangi! Hal ini sudah diperhitungkan Maya ketika dara perkasa ini mengatur siasatnya.

Tiba-tiba para prajurit Yucen yang berjalan di depan mengeluarkan suara perlahan dan disusullah oleh bunyi kelenengan riuh rendah. Kaget dan paniklah para prajurit Yucen karena mengira ada banyak kuda datang menyerang mereka. Dan pada saat itu, semua lampu penerangan di puncak padam, bahkan api unggun juga padam. Selagi para prajurit Yucen bingung dan masih belum tahu mengapa tiba-tiba banyak kelenengan berbunyi dan mengira bahwa musuh menyerang dengan naik kuda, Pasukan Maut sudah mengurung dari bawah dan pada saat itu melengkinglah suara merdu seorang wanita, melengking nyaring seperti datang dari langit.

”Pasukan Maut yang gagah perkasa. Serbu...!!”

Barulah pasukan Yucen itu menjadi panik benar-benar. Suara perintah itu datang dari atas puncak dan mereka dapat menduga bahwa itu tentulah suara panglima wanita yang menurut cerita prajurit Yucen yang melarikan diri memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan. Akan tetapi, serbuan itu datangnya bukan dari puncak, melainkan dari bawah, dari belakang mereka!

Terjadilah perang tanding yang jauh lebih hebat mengerikan dari pada tadi, akan tetapi lebih celaka lagi akibatnya bagi tentara Yucen karena mereka berada dalam keadaan panik dan siasat mereka hancur sehingga mereka berada di pihak yang diserang. Keadaan yang sama sekali di luar perhitungan mereka ini, yang membuat keadaan menjadi berbalik secara tiba-tiba, membuat para komandan pasukan itu tidak sempat lagi memikirkan siasat, maka satu-satunya jalan adalah melawan dan mempertahankan diri secara kacau-balau dan mencari selamat sendiri-sendiri!

Di lain pihak, tentara Pasukan Maut yang bergerak secara terpimpin dan teratur, ditambah kegembiraan mereka karena baru sekarang mereka tahu akan kelihaian siasat pimpinan mereka, tumbuh semangatnya dan terjadilah penyembelihan besar-besaran seperti yang semula direncanakan pasukan Yucen, akan tetapi sekarang merekalah yang menjadi domba-dombanya dan pihak musuh yang menjadi jagalnya! Banyak di antara mereka terbunuh, bukan hanya oleh senjata Pasukan Maut, akan tetapi juga yang terjun ke jurang dan tewas dalam usaha mereka menyelamatkan diri, dan hanya ada dua ratus orang saja yang sempat melarikan diri menerobos kepungan musuh dan terus lari sipat-kuping ke bawah bukit!

Pertempuran yang berat sebelah itu berlangsung sampai pagi dan dengan hati penuh kegembiraan Maya mendapat kenyataan bahwa dalam perang kedua kalinya ini pasukannya membasmi hampir tiga ratus orang musuh sedangkan dia hanya kehilangan tiga puluh orang, itu pun tidak semua tewas dan masih ada yang dapat tertolong karena hanya menderita luka-luka saja! Kemenangan yang membesarkan hatinya dan hati anak buahnya itu sekali ini benar-benar dirayakan mereka dengan tertawa-tawa dan bersendau-gurau menceritakan pengalaman masing-masing dalam pertempuran semalam!

Maya membawa pasukannya turun bukit dan beristirahat setengah hari lamanya di padang rumput yang luas sehingga mereka tidak akan dibokong musuh. Kemudian perjalanan ke barat dilanjutkan dengan semangat penuh. Maya tidak selalu menunggang kuda di depan pasukannya, kadang-kadang membiarkan pasukannya lewat sambil dia mengucapkan kata-kata bersemangat dan menyapa anak buahnya sehingga semua anak buahnya merasa bangga dan dekat dengan panglima ini. Banyak di antara mereka yang ketika panglima di atas kuda putihnya itu menjajari mereka, berkata terang-terangan,

“Hidup Maya Li-ciangkun! Kami siap mati membelamu!”

Maya tersenyum mengangguk dan berkata dengan suara merdu, “Aku pun siap mati membela Pasukan Maut! Setiap orang dari Pasukan Maut adalah seperti kaki dan tanganku sendiri!” Tentu saja ucapan panglima wanita remaja yang cantik jelita ini disambut sorak-sorai gembira.

Ketika pasukan pada beberapa hari kemudian melalui padang rumput, tiba-tiba pasukan berhenti. Maya yang sedang berada di belakang membalapkan kudanya menuju ke depan. Kiranya di depan pasukannya menghadang ribuan ekor domba. Ia mengerutkan keningnya dan memerintahkan perwiranya mengurus hal itu. Akan tetapi sampai agak lama pasukan masih belum bergerak maju, maka dia menjadi tidak sabar dan cepat ia menuju ke bagian depan.

Seorang perwira melaporkan bahwa para perwira dan pengawal cekcok dengan para penggembala domba, bahkan terjadi perkelahian. Maya terkejut, cepat ia menghampiri dan ketika melihat betapa enam orang perwira roboh dan terluka, dia marah sekali dan cepat meloncat turun dari atas kudanya dan lari ke depan.

Dilihatnya bahwa para perwiranya sedang berkelahi melawan pimpinan penggembala domba. Dia tertarik sekali menyaksikan kelihaian seorang di antara para penggembala itu. Agaknya dia itu pemimpinnya, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, bertubuh tinggi tegap, tangan kanan memegang sebatang pecut kulit hitam, lengan kiri memondong seekor anak domba.

Gerakan penggembala muda ini hebat dan cepat sekali dan pecutnya itu menyambar-nyambar ganas, merobohkan dua orang perwira sekaligus dan yang masih menandinginya adalah Kwa-huciang, seorang di antara perwiranya yang paling lihai. Kwa-huciang bersenjata pedang dan kini terjadilah pertandingan antara kedua orang itu.

Maya menghampiri dan memandang penuh perhatian, diam-diam kagum menyaksikan kegagahan pemuda penggembala muda itu. Setelah bertanding belasan jurus, tiba-tiba penggembala yang melawan Kwa-huciang sambil memondong domba itu berseru keras, pecutnya melibat pedang Kwa-huciang, lalu dibetot hingga perwira itu terlempar. Kakinya menendang lutut Si Perwira yang jatuh terpelanting dan kini penggembala itu menginjakkan kaki kanannya di atas dada Kwa-huciang sambil berkata nyaring,

“Hayo lekas perintahkan pasukanmu mengambil jalan memutar, kalau tidak akan kuinjak hancur dadamu!”

“Eh, galak amat!” Maya berseru sambil melompat maju. “Penggembala berbau domba, kau sombong sekali. Mengapa engkau dan kawan-kawanmu mengamuk dan merobohkan para perwiraku?”

Penggembala domba itu menengok dan kelihatan tercengang lalu menjawab, “Domba kami banyak yang terinjak mati, sebagian lari kocar-kacir ketakutan. Domba-domba kami sedang makan rumput, mengapa pasukan kalian mengganggu? Mengapa tidak mengambil jalan memutar? Lihat, domba kecil ini sampai patah kakinya!” Ia menoleh ke arah domba yang dipondongnya. Kemudian ia memandang lagi kepada Maya sambil bertanya, “Eh, engkau ini prajurit wanita, mau apa?”

Maya tersenyum. “Orang kasar, agaknya engkau lebih pandai bergaul dengan domba dari pada dengan manusia.”

“Tentu saja! Apa sih baiknya manusia? Palsu dan berpura-pura, ganas dan kejam melebihi serigala. Domba-domba adalah makhluk yang lemah, selalu mengalah dan...”

“Dan engkau lupa bahwa kau sendiri juga seorang manusia!” Maya memotong. “Ataukah barang kali engkau ini pun seekor domba yang menyamar manusia?”

Pemuda itu gelagapan, merasa kalah bicara maka ia membentak, “Kau siapa dan mau apa?”

“Aku adalah panglima Pasukan Maut ini!” jawab Maya dengan sikap kereng.

Tiba-tiba penggembala domba yang muda itu melepaskan injakan kakinya sehingga Kwa-huciang mampu bernapas lagi dan Si Penggembala tertawa bergelak sampai tubuhnya berguncang-guncang dan mukanya memandang langit.

“Ha-ha-ha-ha! Panglimanya seorang bocah perempuan belasan tahun yang halus dan cantik! Pasukan macam apa ini? Pantas saja para perwiranya lebih lemah dari pada domba!”

Kwa-huciang marah sekali. Dia sudah bangkit duduk dan kini ia bangun sambil membentak, “Penggembala kurang ajar! Apakah kau sudah bosan hidup berani menghina Li-ciangkun?”

Akan tetapi Maya menggoyang tangan berkata, “Kwa-huciang, kau mundurlah dan biar aku sendiri yang memberi hajaran kepada bocah nakal bau domba ini. Hei, bocah! Engkau kira bahwa engkau sudah paling jempolan setelah mengalahkan beberapa orang perwiraku yang memang sudah kelelahan dan kehabisan tenaga. Coba kau melawan aku! Lihat, aku akan tetap berdiri di sini, sedikit pun tidak akan memindahkan kedua kakiku. Kau boleh menyerangku, kalau sampai aku merubah kedudukan kedua kakiku, aku mengaku kalah padamu!”

“Kalau hanya mengaku kalah saja apa gunanya bagiku?” Pemuda itu membantah dan memandang Maya penuh selidik, seolah-olah ia dapat merasa bahwa biar pun hanya seorang wanita muda, panglima itu agaknya tidak boleh dibuat sembrono. Kalau tidak berkepandaian tinggi, mana mungkin bersikap demikian takabur?

Kembali Maya tersenyum. “Eh, pecinta domba. Kalau sampai kau dapat merubah kedudukan kakiku, selain aku mengaku kalah, aku akan memerintahkan pasukanku mengambil jalan memutar dan akan kuganti harganya semua dombamu yang terluka atau hilang. Akan tetapi bagaimana kalau kau tidak mampu merubah kedudukan kakiku malah kau akan roboh olehku kurang dari sepuluh jurus? Apa yang akan kau pertaruhkan?”

Mata yang lebar penuh kepolosan itu terbelalak. “Aku? Roboh dalam waktu kurang dari sepuluh jurus olehmu? Mana mungkin ini? Kalau sampai begitu, aku akan berlutut dan menyembah seratus kali kepadamu!”

“Kalau hanya disembah seratus kali oleh orang seperti kau saja apa gunanya bagiku?” Maya membalas bantahan pemuda penggembala itu.

Pemuda itu kembali merasa kalah bicara. Sudah jelas bahwa dalam hal silat lidah ia bukan tandingan gadis jelita yang perkasa itu. “Habis, kau minta apa? Aku seorang miskin, hanya menjadi buruh menggembala domba bersama teman-temanku, gajinya sebulan dimakan dua puluh hari. Aku tidak punya apa-apa untuk dipertaruhkan!”

Maya mengangguk-angguk. “Engkau punya banyak sekali. Kepandaianmu, kegagahanmu, kekasaranmu, kejujuran, kesetiaan. He, penggembala domba yang gagah. Kalau dalam sepuluh jurus aku merobohkan engkau tanpa menggerakkan kaki pindah dari sini, engkau harus suka menjadi seorang perwira Pasukan Mautku!”

Pemuda penggembala itu mengerutkan keningnya yang tebal. Sebetulnya, tidak ada sedikit pun hasrat hatinya menjadi perwira atau prajurit. Akan tetapi, ditantang seperti itu, dia menjadi penasaran. Pula, kalau benar panglima wanita muda ini dapat merobohkannya dalam sepuluh jurus tanpa mengangkat kedua kaki, berarti panglima ini bukan manusia, melainkan dewa dan dia tentu akan suka sekali menjadi pembantu panglima dewa atau dewi!

“Baiklah! Nah, rasakan lihainya pecutku!” Penggembala itu melangkah maju menghampiri Maya, pecutnya ia gerakkan, diputar-putar di atas kepalanya sehingga terdengar suara ledakan-ledakan kecil yang nyaring.

Ketika sinar hitam pecut itu melalui atas kepala Maya karena Si Penggembala memang mengeluarkan gerakan ancaman, dia cepat mengangkat tangan kiri dan... pecut itu sudah berada di tangannya, yaitu ujung pecut dia pegang. Penggembala itu terheran-heran melihat betapa ujung pecutnya tadi seolah-olah tertarik oleh sesuatu sehingga terbang ke arah tangan panglima wanita itu. Melihat ujung pecutnya sebelum dipakai menyerang sudah terpegang lawan, ia menjadi penasaran dan berusaha melepaskan dengan membetot keras.

Maya tersenyum. “Aku hanya menahan sebentar seranganmu, untuk memberi kesempatan padamu melepaskan dombamu. Lepaskan dulu domba itu biar gerakanmu menjadi leluasa!”

Bukan main heran hati penggembala itu, akan tetapi makin keras dugaannya bahwa seorang yang dapat bersikap sedingin itu, setenang itu, sudah pasti memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Maka ia pun tidak menjadi sungkan-sungkan lagi, dilepaskannya perlahan domba yang dipondong lengan kirinya. Maya juga melepaskan ujung pecut itu dan memandang tersenyum melihat pemuda itu mulai menghampirinya, dengan gerak langkah satu-satu, memasang kuda-kuda, langkah seperti seekor harimau menghampiri calon mangsanya.

Maya memandang kagum. Bukan main gagahnya pemuda kasar ini. Pakaiannya kasar sederhana, kepalanya ditutupi topi bulu domba, pasangan kuda-kudanya kokoh kuat, tangan yang memegang pecut melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas kepala dengan jari terbuka dan telapak tangan menghadap langit, sepasang matanya yang lebar memandang tanpa berkedip ke arah pundak Maya. Sikap seorang ahli silat yang kuat!

Sementara itu, pemuda penggembala yang sudah banyak mengalami hidup penuh kesukaran dan di tempat yang liar sehingga untuk menjaga keselamatan banyak mengandalkan kekuatan, juga telah mempelajari banyak macam ilmu silat utara dari beberapa orang pertapa di pegunungan utara, bersikap hati-hati. Dari para gurunya ia pernah mendengar bahwa lawan yang patut dihadapi dengan waspada justeru adalah lawan yang kelihatannya lemah. Orang-orang tua lemah, pendeta-pendeta lemah lembut, dan wanita-wanita.

Orang-orang lemah ini kalau sudah berani menghadapi lawan berarti mereka telah memiliki ilmu kepandaian tinggi karena mereka tidak dapat mengandalkan tenaga mereka yang lemah. Pula, karena keadaan mereka yang kelihatan lemah, lawan menjadi lengah dan memandang rendah. Maka dia tidak segera menerjang secara ngawur, apa lagi karena dia harus dapat mempertahankan diri selama sepuluh jurus, maka setiap jurus serangannya harus diperhitungkan benar-benar.

Mengingat pula akan janji wanita muda itu tidak akan merubah kedudukan kedua kakinya, maka Si Penggembala lalu melangkah perlahan-lahan memutari tubuh Maya dengan maksud menyerang dari belakang! Kalau diserang dari belakang, mau tidak mau lawannya itu tentu akan membalik tubuh dan dengan sendirinya tentu akan merubah kedudukan kedua kakinya, atau setidaknya tentu akan mengangkat sebelah kaki. Dan kalau hal ini terjadi, berarti dia menang!

Ia lalu menerjang dari belakang dengan sabetan yang amat kuat, yang diserang adalah kedua kaki Maya! Memang dia cerdik, tidak saja menyerang dari tempat aman agar dia tidak dapat dirobohkan sampai jurus ke sepuluh, akan tetapi juga dalam jurus terakhir ini dia menyerang kaki lawan. Tak mungkin engkau mengelak atau menangkis, kecuali dengan merubah kedudukan kaki, pikirnya. Untuk menangkis, tentu tangan dara itu tidak sampai ke bawah, dan kaki yang tak boleh digerakkan itu mana bisa mengelak!

Akan tetapi Maya sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis, melainkan menerima saja sabetan itu sambil mengerahkan sinkang ke arah kedua kakinya, kemudian pinggangnya berputar, tangan kanannya mendorong dengan pukulan jarak jauh.

“Brettt... dessss...! Auggghhh...!” Pecut itu mengenai kedua kaki Maya dan melibat-libat kaki, akan tetapi sedikit pun kaki itu tidak tergoyang, dan ketika hawa pukulan Maya yang mengandung Im-kang amat kuat itu mengenai dada Si Penggembala, tak dapat ditahannya pula tubuhnya terjengkang dan terbanting ke belakang dan dia menggigil!

Para perwira dan prajurit bersorak menyambut kemenangan panglima mereka itu. Akan tetapi Maya mengangkat tangan menyuruh mereka diam, kemudian ia berkata kepada penggembala itu, “Engkau sudah kalah, harus memenuhi janji menjadi pembantuku. Kerugian domba akan kuganti agar diberikan oleh kawan-kawanmu kepada pemilik domba.”

Di dalam hatinya pemuda gembala itu sudah tunduk dan kagum sekali kepada Maya. Dia lalu berlutut di depan Maya sambil berkata, “Saya Cia Kim Seng adalah seorang laki-laki sejati yang tidak akan mengingkari janji. Mulai saat ini saya akan membantu Li-ciangkun dan siap melakukan semua perintah dengan taruhan nyawa!”

Wajah Maya berseri gembira dan ia menoleh kepada para perwira dan prajurit. “Para perwira dan prajurit Pasukan Maut yang gagah perkasa. Kita menerima Cia Kim Seng sebagai seorang perwira pembantuku, sebagai seorang anggota pasukan kita yang jaya!”

Terdengar sorak-sorai riuh-rendah dan para perwira yang tadinya dirobohkan Kim Seng menghampiri pemuda gembala itu dan memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya dengan keramahan seorang rekan. Tentu saja pemuda itu menjadi girang sekali dan ia merasa beruntung berada di tengah-tengah pasukan yang demikian kuat dengan seorang pemimpin yang demikian sakti, muda dan jelita.

Tiba-tiba semua orang tertegun ketika melihat para penggembala, teman-teman Cia Kim Seng, menjatuhkan diri berlutut dan ada yang menangis. Kim Seng melompat dan membentak mereka, “Eh, eh, apakah kalian sudah gila? Kenapa menangis?”

“Kalau engkau masuk menjadi anggota Pasukan Maut yang hebat ini, bagaimana dengan kami? Kami mohon diterima pula menjadi anggota pasukan di bawah pimpinan Li-ciangkun yang sakti!” kata seorang di antara mereka.

Maya tertawa gembira, “Bagus! Bagus! Kumpulkan semua kawan-kawan kalian yang suka membantuku. Aku menerima kalian!”

Para penggembala bersorak dan berdatanganlah penggembala-penggembala yang bertubuh kuat itu dan jumlahnya ada dua puluh tiga orang. Maya menerima mereka dan menyerahkan ganti kerugian kepada dua orang penggembala tua yang tidak ikut masuk. Kemudian pasukannya bergerak maju bersama Cia Kim Seng dan teman-temannya yang ikut berbaris dengan langkah tegap dan dada membusung ke depan. Dari penggembala menjadi prajurit Pasukan Maut, hati siapa tidak akan menjadi bangga dan besar?

Di sepanjang jalan Maya melatih ilmu pedang kepada Cia Kim Seng dan giranglah hatinya melihat betapa ‘muridnya’ ini benar-benar memiliki bakat yang baik sekali di samping kekuatan besar, keringanan tubuh, dan keberanian yang luar biasa. Juga para penggembala itu ternyata menjadi prajurit-prajurit yang baik dan kuat. Di sepanjang perjalanan, Maya berhasil mengumpulkan beberapa puluh tenaga sukarela terdiri dari pemuda-pemuda gunung dan dusun sehingga beberapa pekan kemudian pasukan yang tadinya hanya tinggal empat ratus lima puluh orang, kini menjadi lima ratus lebih, meningkat jumlahnya dibanding dengan ketika dia berangkat.

Pada suatu hari, pasukan telah tiba di perbatasan daerah Mancu dan mereka membangun perkemahan di tempat itu karena Maya berniat menghentikan gerakan dan berdiam di situ, menanti beberapa orang utusan yang ia kirim menyeberangi perbatasan mengadakan kontak dengan bala tentara Mancu.

Beberapa hari lewat tanpa ada peristiwa penting. Para prajurit setiap hari berlatih olah yuda (perang) di bawah pimpinan para perwira, sedangkan para perwira sendiri berlatih silat di bawah petunjuk-petunjuk Maya. Yang mengagumkan adalah Kim Seng, karena ilmu pedangnya menjadi makin hebat saja sehingga dalam latihan dengan kayu, ia sanggup menandingi pengeroyokan sepuluh orang perwira rekannya! Pemuda ini merasa berterima kasih sekali terhadap Maya yang dia anggap sebagai panglimanya, gurunya, dan orang yang paling dijunjung tinggi, dihormati dan dicintainya!

Akan tetapi pada malam ke empat, Cia Kim Seng menghadap Maya dan berkata lirih, “Li-ciangkun, saya melihat berkelebatnya bayangan asing dan agaknya ada mata-mata menyelundup. Sudah saya cari, akan tetapi tidak dapat saya temukan. Karena khawatir maka saya datang menghadap dan melapor.”

Sepasang alis Maya berkerut. “Hemm, sungguh berani mati sekali! Mari kita cari dia sampai dapat. Kita geledah semua kemah. Dia harus dapat ditangkap hidup-hidup karena aku ingin tahu siapa yang menyuruhnya memata-matai keadaan kita.”

Karena tidak ingin menimbulkan kekacauan dan kepanikan di antara para pasukan, diam-diam Maya bersama sebelas orang perwiranya mulai melakukan penggeledahan. Semua kemah dimasukinya, dan para prajurit yang mengira bahwa panglima mereka melakukan pemeriksaan seperti biasa, menyambut dengan hormat dan gembira karena ke mana saja Maya datang, tentu akan terlepas kata-kata ramah terhadap semua prajurit sehingga mereka menjadi gembira dan bangga.

Akan tetapi, biar pun semua perkemahan telah dimasuki dan diperiksa, Maya dan para pembantunya tetap saja tidak dapat menemukan jejak mata-mata yang dicarinya. Maya mengerutkan alisnya. Apakah mata-mata itu sedemikian lihainya sehingga dapat memasuki perkemahan tanpa terlihat penjaga, bahkan tidak diketahui para prajurit yang demikian banyaknya? Kalau dia mencampurkan diri dengan para prajurit, hal itu tidaklah mungkin karena para prajuritnya tentu akan mengenal orang asing yang menyelundup. Untuk itu mereka sudah cukup terlatih dan di antara para prajurit ada banyak macam kode rahasia yang hanya mereka ketahui sehingga penyelundupan orang luar tentu akan segera diketahui.

“Cia-ciangkun, jangan-jangan engkau hanya melihat bayangan burung saja,” kata Kwa-huciang, kepala perwira pembantu utama Maya kepada perwira muda yang baru itu.

“Tak mungkin salah penglihatan Cia Kim Seng,” bantah Maya mendahului sebelum pembantu mudanya yang keras hati itu tersinggung. “Mata-mata itu tentu amat cerdik dan kalau tidak salah dugaanku, saat ini tentu dia berada di dalam kemahku sendiri.”

“Hahhh...?” Para perwira terkejut, juga Kim Seng memandang panglimanya dengan heran.

“Bagaimanakah Li-ciangkun menduga begitu?” tanya Kim Seng.

Maya tersenyum, “Seorang mata-mata yang pintar akan memancing harimau keluar sarang. Setelah aku dan kalian keluar, tentu dia akan menggeledah kemahku, karena pekerjaan mata-mata tentulah menyelidiki keadaan panglima dari sebuah pasukan. Mari kita ke sana!”

Akan tetapi ketika dengan bergegas mereka memasuki kemah besar yang menjadi tempat tinggal Maya, tidak terdapat perubahan dan tak tampak bayangan manusia. Para pengawal yang bertugas menjaga di luar pintu kemah masih berdiri tegak dengan tombak di tangan, tanda bahwa mereka pun tidak melihat orang memasuki kemah itu.

Selagi para perwira mengerutkan alis dan memandang Maya penuh pertanyaan, panglima wanita itu menyuruh mereka diam, matanya agak terpejam, kulit di antara keningnya berkerut tanda bahwa dia sedang mengerahkan seluruh perhatiannya. Tiba-tiba wanita sakti ini berdongak memandang langit-langit tenda, kemudian memberi isyarat kepada Cia Kim Seng, menuding ke atas.

Bekas penggembala domba ini memandang ke atas dan kalau tidak ditunjukkan oleh panglimanya, tentu dia tidak akan tahu. Kini tampaklah betapa kain tenda di bagian itu bergoyang-goyang sedikit, seolah-olah ada seekor tikus atau kucing di atas sana! Akan tetapi dia tahu bahwa panglimanya takkan salah duga, tentu Si Mata-mata berada di atas itu. Ia mencabut pedangnya dan memandang Maya yang tersenyum mengangguk.

Isyarat ini cukup bagi Kim Seng dan berserulah ia nyaring, “Mata-mata keparat, turunlah!” bentakan ini disusul loncatan tubuhnya ke atas, pedangnya membabat.

“Brettt!” Kain tenda itu robek besar terbabat ujung pedang Kim Seng dan dari atas melayang turunlah tubuh seorang laki-laki muda yang tampan. Kim Seng yang masih berada di atas itu melanjutkan babatan pedangnya, kini ke arah tubuh yang melayang turun.

“Cringgg...!” Dua pedang bertemu dan tangan Kim Seng tergetar.

Laki-laki yang melayang turun itu dalam keadaan terjatuh dari atas masih mampu menangkis serangan Kim Seng, bahkan kini tubuhnya berjungkir balik ringan dan lincah sekali, meluncur cepat seperti burung terbang dan tahu-tahu telah berdiri di depan Maya. Maya kaget bukan main. Inilah seorang lawan yang berat! Tak boleh disamakan dengan kepandaian para perwiranya atau bahkan kepandaian Kim Seng sekali pun.

Karena itu, ketika ia melihat Kim Seng dengan penasaran hendak menerjang orang itu ia memberi isyarat dengan matanya. Setiap gerak-gerik Maya dari gerak tangan, mulut dan mata, sudah dikenal benar oleh Kim Seng, maka isyarat mata itu sudah cukup baginya dan ia mundur dengan pedang di tangan.

Laki-laki itu dengan sikap angkuh dan sama sekali tidak mempedulikan sikap Kim Seng yang hendak menyerangnya tadi, kini menyarungkan pedangnya. Pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah Maya, kemudian dengan tenang sekali ia bertanya, “Engkaukah yang bernama Maya?”

Maya sudah menyelidiki dengan pandang matanya dan sudah menilai laki-laki ini. Ilmu kepandaiannya tinggi dan pedangnya tadi hebat sekali, mengeluarkan cahaya kilat dan mempunyai wibawa menyeramkan. Laki-laki tampan ini agaknya amat percaya kepada kepandaiannya sendiri dan memandang rendah orang lain. Ia menjawab, suaranya dingin, “Akulah Panglima Wanita Maya yang memimpin Pasukan Maut ini!”

Tiba-tiba laki-laki itu tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha! Sudah banyak aku mendengar tentang Pasukan Maut yang hebat dan terutama panglima wanitanya yang berilmu tinggi seperti dewi. Siapa kira bahwa memang wajahnya jelita seperti dewi. Maya..., Maya..., tadinya kukira mengenal nama ini... hemm, apakah engkau puteri...”

Maya memotong dengan suara tajam seperti pedang menyambar, “Seorang gagah tidak mengandalkan kepandaian bicara! Engkau siapakah dan mengapa engkau menyelundup seperti maling ke sini?”

“Ha-ha-ha! Nama Maya itulah yang menarikku untuk menyelidiki, di samping nama Pasukan Maut yang terkenal! Aku bernama Can Ji Kun, dan aku sengaja datang hendak menyaksikan sendiri keadaan Pasukan Maut dan hendak menyaksikan sampai di mana kebenaran nama besar Maya yang katanya lihai seperti dewi!”

Hampir saja Maya berseru saking kagetnya. Kini ingatlah dia akan pemuda angkuh ini. Tentu saja dia mengenal seorang di antara murid Mutiara Hitam, bibinya! Dan pemuda itu masih ingat namanya, akan tetapi agaknya pangling karena dia kini telah menjadi seorang dara dewasa yang berpakaian panglima. Dia pun kini tidak merasa perlu lagi menyembunyikan keadaan dirinya karena apakah salahnya kalau diketahui bahwa dia adalah Puteri Khitan? Yang dipimpinnya adalah pasukan yang memberontak terhadap Kerajaan Sung.

“Can Ji Kun, kiranya engkau yang lancang masuk ke sini. Bagaimana dengan keadaan bibiku?”

Mata Can Ji Kun terbelalak dan ia berseru, “Aihhh! Kiranya benar engkau Maya yang dahulu itu? Ahhh...”

“Can Ji Kun, bagaimana kabarnya dengan bibiku Mutiara Hitam?”

Wajah yang tampan gagah itu menjadi muram dan ia menjawab dengan suara berduka, “Subo... Subo telah tewas di Kerajaan Mongol ketika beliau berusaha membalas kematian ayahmu. Abu jenazahnya dikirim oleh Raja Mongol dan telah dikubur di Bukit Merak, di samping kuburan Suhu...”

Wajah Maya berubah pucat dan kemudian merah sekali saking marahnya dan saking bencinya kepada orang Mongol. “Jadi, Paman Tang Hauw Lam juga...”

Wajah Ji Kun menunduk dan ia mengangguk. “Suhu... Suhu... meninggal dunia karena duka dan... sakit...”

Maya mengira bahwa jawaban tersendat-sendat itu adalah karena duka, maka ia menghela napas. Barulah ia tahu bahwa para pembantunya memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh pertanyaan, agaknya terheran-heran mendengar percakapan itu, apa lagi ketika mendengar pemimpin mereka menyebut ‘bibi’ kepada pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang namanya tentu saja sudah mereka dengar.

Melihat ini, Maya memandang mereka dan berkata, “Tak perlu kusembunyikan lagi. Aku adalah Puteri Maya, puteri Kerajaan Khitan yang sudah hancur. Karena itulah maka aku memusuhi Kerajaan Sung, Kerajaan Yucen dan bangsa Mongol yang biadab! Ada pun dia ini adalah Can Ji Kun, murid Mutiara Hitam.”

Sebelas orang perwira itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Maya dengan penuh hormat dan kini mereka lebih bangga lagi menjadi pembantu-pembantu Puteri Maya, puteri Raja Talibu yang terkenal dan keponakan dari Mutiara Hitam!

“Maya, engkau kini telah menjadi seorang panglima yang terkenal. Hemm... betapa aneh dan mengagumkan.”

Maya mengerutkan kening. Dahulu ketika masih kecil, agaknya dia tentu akan ikut dengan bibinya Mutiara Hitam kalau saja di sana tidak ada Ji Kun dan Yan Hwa yang dianggapnya angkuh dan tidak menyenangkan hatinya. Sampai sekarang ternyata Can Ji Kun masih seangkuh dulu.

“Can Ji Kun, setelah engkau tahu bahwa akulah yang menjadi panglima di sini, lalu... engkau mau apa?”

“Heh-heh-heh, tidak apa-apa. Tadinya aku tertarik sekali akan nama besar Panglima Maya dan ingin mengadu kepandaian, akan tetapi setelah ternyata bahwa hanya engkaulah sebenarnya orang itu, hemmm..., baiklah aku pergi saja!”

“Tahan!” Maya membentak, menahan kemarahannya.

Dia marah sekali akan sikap angkuh pemuda ini, akan tetapi betapa pun juga, Ji Kun adalah murid bibinya, jadi masih dekat hubungannya dengan dirinya. Di samping itu, dia tadi melihat bahwa murid bibinya ini lihai. Kalau dia bisa menariknya menjadi pembantu alangkah baiknya, amat menguntungkan bagi terlaksananya cita-citanya.

Ji Kun yang sudah membalikkan tubuh itu berhenti dan menoleh. “Engkau mau apa?” tanyanya, sikapnya congkak sekali.

“Can Ji Kun, tak baik membatalkan niat hati setengah jalan. Engkau menganggap aku tidak patut menjadi Panglima Pasukan Maut. Baiklah, mari kita berpibu, aku pun ingin sekali melihat sampai di mana engkau mewarisi ilmu kepandaian bibi yang amat hebat. Dan mari kita berjanji, Ji Kun. Kalau aku kalah dalam adu pibu ini, aku akan meninggalkan kedudukanku sebagai panglima dan akan memperdalam kepandaian sampai aku patut menjadi panglima pasukan ini. Sebaliknya, kalau engkau yang kalah, engkau harus mengakui aku sebagai panglimamu dan engkau menjadi seorang di antara pembantu-pembantuku. Bagaimana?”

“Li-ciangkun! Mana bisa diadakan peraturan ini? Li-ciangkun tidak mungkin akan meninggalkan Pasukan Maut!” Kwa-huciang membantah kaget, juga para perwira yang lain menjadi gelisah, bahkan Kim Seng segera berkata,

“Mengapa Li-ciangkun melayani pengacau ini?”

Melihat para perwira mengkhawatirkan kekalahan Maya, Ji Kun yang memang berwatak angkuh dan percaya bahwa dia tentu akan menang dengan mudah, sudah berkata sambil tertawa, “Sudah adil! Pertaruhan itu adil sekali. Maya, jangankan hanya engkau sendirian, biar dibantu sebelas orang perwiramu ini aku tentu akan menang!”

“Sombong!” bentak Kim Seng dan bersama sepuluh orang rekannya ia sudah melangkah maju.

“Menggelindinglah kalian!” tiba-tiba Can Ji Kun membentak.

Tubuhnya berputaran seperti gasing, kedua tangannya mendorong dengan tenaga sinkang-nya yang ampuh. Kim Seng kena disambar pukulan sinkang, terhuyung-huyung ke belakang sedangkan sepuluh orang perwira lainnya terguling roboh! Kesombongan Ji Kun menjadi-jadi dan ia tertawa bergelak.

“Ji Kun, ternyata engkau hanya mewarisi kepandaian Bibi, tidak mewarisi wataknya yang gagah!” bentak Maya. “Majulah!”

Ji Kun berseru nyaring, kini kedua lengannya dilonjorkan mengirim pukulan sinkang ke arah Maya. Maya mengerahkan sinkang-nya, tangan kiri masih bertolak pinggang dan dia hanya menyambut dorongan kedua tangan Ji Kun dengan tangan kanannya.

“Desss!” dua tenaga sinkang raksasa bertemu di udara dan akibatnya tubuh Ji Kun terdorong ke belakang sampai dua langkah! Dia terkejut sekali, cepat menahan napas mengerahkan sinkang melawan hawa dingin yang menyesak dada sambil memandang dengan mata terbelalak.

Maya masih berdiri bertolak pinggang dan tersenyum mengejek. Para perwira yang maklum bahwa yang bertanding adalah ahli-ahli tingkat tinggi, mengundurkan diri mepet pada kemah dan menonton dengan mata di buka lebar-lebar, tentu saja dengan hasrat hati ingin melihat panglima mereka menang.

Can Ji Kun merasa penasaran sekali. Sinkang-nya amat kuat dan semenjak ia berpisah dari sumoi-nya, turun gunung dan malang-melintang di dunia kang-ouw menggegerkan dunia penjahat karena kelihaian dan kekerasannya yang tidak mengenal ampun. Tidak pernah ada lawan yang mampu menandingi kekuatan sinkang-nya, apa lagi ilmu pedangnya. Akan tetapi dorongan kedua tangannya hanya dilawan dengan sebelah tangan saja oleh Puteri Khitan ini dan dia kalah tenaga! Dengan marah dan penasaran dia lalu menerjang maju, kedua tangannya bergerak cepat dan kuat, tulang-tulang lengannya mengeluarkan bunyi berkerotakan ketika sinkang-nya bekerja.

“Wut-wut... plak-plak...!” Untuk kedua kalinya tubuh Ji Kun terlempar ke belakang, kini malah sampai lima langkah dan hampir saja ia jatuh. Kedua lengannya yang bergerak cepat melakukan pukulan-pukulan dahsyat tadi kena ditangkis oleh sepasang lengan yang lunak halus itu namun yang mengandung tenaga mukjizat yang membuatnya tergetar, kedinginan dan terhuyung ke belakang hampir jatuh.

Rasa penasaran dan malu membuat Ji Kun marah sekali. Keangkuhannya tersinggung, dan dia mengeluarkan suara pekik melengking, kemudian tubuhnya bergerak aneh dan cepat, menerjang maju dan menyerang Maya yang masih berdiri tersenyum-senyum. Biar pun mulutnya tersenyum, akan tetapi Maya bersikap tenang dan hati-hati sekali menyaksikan gerak serangan yang dahsyat itu. Jurus serangan yang dilakukan Ji Kun benar-benar berbahaya sekali. Sepuluh buah jari tangan pemuda itu bergerak-gerak melakukan totokan dan cengkeraman.

Itulah jurus yang disebut Tok-hiat-coh-kut (Meracuni Darah Melepaskan Tulang) dari ilmu silat yang paling luar biasa dari Mutiara Hitam, yaitu Cap-sha Sin-kun (Tiga Belas Jurus Sakti)! Menghadapi serangan ini, Maya maklum bahwa dia tidak boleh lengah. Dia lalu mempergunakan ginkang-nya, tubuhnya berkelebat cepat sekali, mengelak ke sana-sini kemudian kedua lengannya diputar di depan badan sehingga tampak gulungan sinar biru dari warna lengan bajunya, membentuk payung yang menolak dan menangkis semua serangan lawan.

Ji Kun makin marah dan tiba-tiba ia merubah gerakannya. Sekali ini memutar tubuhnya seperti tadi ketika ia merobohkan sebelas orang perwira sekaligus, tubuhnya berputar seperti gasing mengejar lawan dan dari putaran itu kadang-kadang kedua tangannya mengirim pukulan-pukulan berbahaya yang tak tersangka-sangka. Inilah jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Bepusing Mengeluarkan Kilat), juga sebuah di antara Tiga Belas Jurus Sakti!

Maya terkejut sekali. Akan tetapi dia adalah murid Bu Kek Siansu yang sudah digembleng secara tekun dan hebat oleh Kam Han Ki, maka menghadapi jurus aneh ini dia tidak menjadi bingung. Dia berdiri tegak, tidak menghiraukan bayangan tubuh lawan yang berpusing itu, hanya pada waktu tampak berkelebatnya lengan tangan dari putaran itu menyambar, dia memapaki dengan telapak tangannya, menggunakan dorongan dengan tenaga saktinya.

Ketika Ji Kun terpaksa mengakhiri jurus ini karena tidak mempan terhadap lawannya yang lihai, tiba-tiba tubuh Maya berkelebat lenyap dari depannya. Sebagai murid seorang sakti, Ji Kun maklum bahwa lawannya menggunakan ginkang yang amat hebat, yang lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri, maka cepat ia membalikkan tubuh. Dan memang benar, tahu-tahu Maya telah berada di belakangnya.

Cepat Ji Kun melakukan gerakan menangkis, akan tetapi Maya mengeluarkan bentakan menggeledek yang menggetarkan seluruh ruangan itu, bahkan sebelas orang perwiranya seketika merasa kakinya lumpuh dan jatuh berlutut, sedangkan Ji Kun yang menangkis tadi terdorong ke belakang dan hampir saja ia roboh terbanting kalau tidak cepat-cepat meloncat ke atas dan berjungkir-balik. Dia tidak jatuh, akan tetapi wajahnya sebentar pucat sebentar merah dan tiba-tiba tampak sinar kilat menyilaukan mata ketika murid Mutiara Hitam ini sudah mencabut pedangnya!

Melihat ini Maya terkejut sekali dan menegur, “Ji Kun, perlukah pibu dilanjutkan dengan senjata? Belum terbukakah matamu bahwa tingkat kepandaianku sekarang ini takkan terlawan olehmu dan mungkin hanya mendiang Bibi Mutiara Hitam saja yang akan dapat menandingiku?”

“Kalau kau belum mengalahkan pedangku, aku tetap belum mengaku kalah, Maya!” jawab Can Ji Kun dengan keras kepala.

Maya menghela napas. Untuk mendapatkan seorang sehebat ini memang tidak mudah. Dia maklum bahwa biar pun kepandaian Ji Kun amat tinggi, namun ilmu silatnya masih berada di atas tingkat Ji Kun, demikian pula ginkang dan sinkang-nya. Hanya melihat pedang itu, dia merasa ngeri.

“Pedangmu dahsyat dan mengandung hawa kejam, Ji Kun. Akan tetapi jangan kira bahwa aku takut menghadapi pedangmu. Marilah!” Maya menggerakkan tangan kanannya dan dia sudah mencabut pedang panjangnya, pedang panglima yang ia terima sebagai pemberian Bu-tai-ciangkun sendiri. Sebuah pedang yang amat baik, terbuat dari pada baja biru, akan tetapi bukanlah pedang pusaka seperti yang berada di tangan Ji Kun.

“Awaslah terhadap seranganku ini, Maya!” Ji Kun berseru dan tubuhnya menerjang maju, didahului oleh sinar putih yang menyilaukan mata dari pedangnya.

Maya tidak menjawab, melainkan mengelak jauh ke kiri sambil mengelebatkan pedangnya menusuk mata kaki lawan. Serangan seperti ini hanya dilakukan oleh seorang ahli pedang yang sudah tinggi tingkatnya sehingga Ji Kun cepat-cepat meloncat dan pedangnya sudah meluncur ke dada Maya.

Ji Kun mengerti bahwa entah siapa yang menjadi guru Maya, mungkin sekali Menteri Kam Liong yang ia dengar memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari Mutiara Hitam, maka dia pun mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan Ilmu Pedang Lan-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Jantan) yang merupakan perpaduan dari Siang-bhok-kiam dari Mutiara Hitam dan Pek-kong-To-hoat dari Tang Hauw Lam.

Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa biar pun dalam hal pengalaman masih kalah jauh oleh Menteri Kam Liong, namun dalam hal ilmu silat, tingkat Maya malah lebih tinggi dari pada tingkat menteri putera Suling Emas itu karena dara ini adalah penghuni Istana Pulau Es, murid tidak langsung dari Bu Kek Siansu!

Menghadapi ilmu pedang yang dimainkan Ji Kun demikian dahsyatnya, diam-diam Maya kagum sekali dan memuji kepandaian bibinya, maka ia bersikap tenang. Terutama sekali pedang pusaka di tangan Ji Kun membuat ia ngeri. Pedang itu mengeluarkan hawa maut yang menggetar dan dingin sekali. Kalau saja sinkang-nya tidak sudah amat kuat, agaknya dia akan terpengaruh oleh getaran itu yang akan mengacaukan permainan pedangnya. Dia pun tak berani mengadukan pedangnya dengan pedang lawan, dan ketika Ji Kun mendesaknya sedemikian rupa sehingga terpaksa sekali Maya mengelebatkan pedang menangkis, tak tercegah lagi kedua pedang bertemu.

“Takkk!” Maya terkejut bukan main karena pedangnya itu melekat pada pedang Ji Kun yang seolah-olah mempunyai daya tarik atau daya sedot yang mukjizat! Dan kesempatan ini dipergunakan Ji Kun untuk menggerakkan pedang ke bawah, membacok kepala Maya! Maya mengelak cepat.

“Breet!” Robek dan putuslah ujung pundak baju panglima wanita itu. Dia melompat mundur, Ji Kun tersenyum girang dan mendesak terus. Kini Maya mengerti bahwa pedang pusaka itu selain mempunyai wibawa ampuh, juga mempunyai daya menyedot. Pengetahuan ini membuat dia memutar otak mencari akal.

Ketika untuk kesekian kalinya sinar pedang yang ampuh itu terus mendesaknya dan mengirim tusukan, kembali ia menangkis. Kalau dibacok, dia tidak berani menangkis karena pertemuan langsung itu mungkin sekali akan merusakkan pedangnya. Akan tetapi kalau hanya tusukan, dia berani menangkis dari samping. Dia sengaja menangkis dari atas sehingga ketika pedangnya tersedot dan menempel, pedangnya berada di atas pedang lawan dan sebelum Ji Kun melanjutkan pedangnya untuk mengirim serangan mendadak, Maya telah mendorongkan tangan kirinya dengan pengerahan tenaga sinkang yang membentuk hawa pukulan dingin. Inilah pukulan inti es yang hebatnya bukan kepalang, yang oleh Han Ki disebut pukulan Swat-im Sin-jiu!

Tubuh Ji Kun seperti terkena aliran halilintar, menggigil dan pedangnya terlepas dari tangannya. Dia berusaha mempertahankan diri namun ia hanya dapat mencegah tubuhnya terguling, dan hanya jatuh duduk dengan muka pucat! Cepat ia bersila dan memejamkan matanya, mengerahkan hawa murni untuk melindungi isi dadanya yang terserang hawa dingin luar biasa. Semua perwira bengong terlongong dan tidak ada yang bergerak, semua terpesona oleh pertandingan yang sedemikian hebatnya, yang belum pernah mereka saksikan selama hidup mereka.

Maya menyimpan pedangnya, membungkuk dan mengambil pedang Ji Kun. Dia mengamati pedang itu dan tangannya menggigil. “Bukan main...!” serunya sambil menggeleng kepala. Memegang pedang itu, ia merasa seolah-olah pedang itu bernyawa dan mengeluarkan hawa maut yang amat kejam!

Can Ji Kun membuka matanya dan melotot memandang Maya. Jelas terbayang pada pandang matanya bahwa ia khawatir sekali kalau pedangnya dirampas Maya. Melihat ini Maya lalu melangkah maju dan menyerahkan pedang itu kepada Ji Kun sambil berkata, “Ji Kun, seorang murid Mutiara Hitam yang gagah perkasa tidak patut memiliki pedang seganas ini.”

Bayangan khawatir lenyap dari wajah Ji Kun, terganti rasa lega ketika ia menerima pedangnya. Ia bangkit berdiri, menyimpan pedangnya dan berkata, “Pedang ini adalah pedang Lam-mo-kiam pemberian Subo.”

“Ahhh... sungguh heran mengapa Bibi menyimpan pedang seperti itu,” kata Maya perlahan, kemudian sambil menatap tajam wajah murid bibinya itu ia bertanya, “Bagaimana sekarang, Ji Kun? Apakah engkau akan memenuhi janji dan membayar taruhanmu?”

Ji Kun membusungkan dadanya dan menjawab, “Li-ciangkun, mungkin sekali aku bukan seorang murid yang baik dari Suhu dan Subo, akan tetapi aku tetap adalah seorang gagah yang tidak akan mengingkari janji. Biarlah mulai saat ini aku menjadi pembantumu.”

Sebelas orang perwira bersorak dan menghampiri Ji Kun, berebut menjabat tangan pemuda itu saking girang hatinya. Ji Kun tersenyum masam, akan tetapi diam-diam kagum sekali kepada Maya dan harus ia akui bahwa kepandaiannya tidak dapat menandingi dara itu!

“Ji Kun, mulai sekarang engkau menjadi seorang perwira berpangkat huciang dan membantu Kwa-huciang. Dari mulai sekarang aku memanggilmu Can-huciang. Eh, aku teringat akan sumoimu, Ok Yan Hwa. Di manakah dia sekarang?”

Diingatkan kepada Ok Yan Hwa, sumoi-nya yang juga menjadi kekasihnya, akan tetapi juga musuhnya (betapa aneh) itu, wajah yang tampan itu menjadi muram. “Aku tidak tahu. Kami saling berpisah setelah Suhu meninggal dunia dan turun gunung.”

Mungkin karena gemblengan pengalaman-pengalaman pahit, semuda itu Maya sudah dapat menjenguk isi hati orang dengan melihat wajahnya. Ia tahu bahwa tentu ada apa-apa antara kedua murid bibinya itu dan bahwa bicara mengenai diri Yan Hwa tidak menyenangkan hati pembantu barunya ini, maka dia tidak bertanya lebih banyak.

Pada keesokan harinya, terdengarlah berita mengejutkan yang disampaikan oleh utusan yang menyeberang perbatasan bahwa bala tentara Mancu yang berada di tapal batas, yang tadinya hendak menyatukan diri dengan pasukan-pasukan Bu-tai-ciangkun di pantai untuk bersama-sama menyerbu ke selatan, telah lebih dulu dihancurkan oleh bala tentara Kerajaan Cin, yaitu tentara Yucen! Bala tentara Mancu terpaksa mundur dan melarikan diri ke barat, terancam bahaya terjepit oleh pasukan-pasukan Yucen dan pasukan Sung yang bergerak dari selatan.

Mendengar ini, Maya mengumpulkan dua belas orang pembantunya. "Karena sudah jelas bahwa barisan Mancu yang menjadi sekutu kita itu terancam oleh pihak Yucen dan Sung, terpaksa aku akan melanjutkan gerakan pasukan mengejar dan membantu mereka. Akan tetapi, kita harus mengirim laporan kepada Bu-tai-ciangkun yang masih menanti di pantai. Can-huciang, aku menugaskan engkau membawa lima puluh orang pasukan untuk menyampaikan laporan kepada Bu-tai-ciangkun!"...


BERSAMBUNG KE JILID 19


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.