CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 26
PEDANGNYA selalu mencong arahnya, menyeleweng ketika ujungnya mendekati tubuh Si Sastrawan, seolah-olah ada tenaga tak tampak yang mendorong senjatanya ke samping! Hal ini membuktikan sinkang yang amat kuat, dan untung baginya bahwa sinkang kuat yang dimiliki orang-orang ini, terutama Si Sastrawan, hanya mereka kuasai untuk melindungi tubuh saja. Kalau sinkang yang sedemikian kuatnya itu dapat mereka pergunakan untuk menyerang, agaknya dia sendiri belum tentu akan mampu menandingi pengeroyokan orang-orang yang sehebat itu tenaga sinkang-nya!
“Tangkap mereka dengan jala!” tiba-tiba Si Sastrawan mengeluarkan aba-aba.
“Wuuuuttt! Wuuuuutttt!” Para pengeroyok itu dengan cepat sekali telah mengeluarkan jala yang istimewa.
Jala ini amat lebar dan ringan, namun demikian kuat sehingga dengan jala ini mereka biasanya menangkap binatang-binatang buas seperti harimau, beruang dan lain-lain! Juga agaknya mereka ahli mainkan jala-jala itu yang kedua ujungnya dipegang oleh dua orang, kemudian mereka mengayun dan menggerakkan jala-jala itu seperti orang bermain tari naga. Bagaikan dua ekor naga besar, kini dua buah jala yang dimainkan empat orang itu menyerang Siauw Bwee dan Yu Goan. Sedangkan para pengeroyok lain masih tetap mengeroyoknya, terutama Si Sastrawan yang melancarkan pukulan-pukulan berat kepada Yu Goan, sedangkan Siauw Bwee dikeroyok sisa-sisa orang liar itu.
Yu Goan menggerakkan pedangnya membacok sekuat tenaga untuk memutus jala yang melayang-layang ringan di atas kepalanya itu. Akan tetapi betapa kaget hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa pedangnya tidak mampu membikin putus tali jala. Kiranya jala itu terbuat dari pada benang-benang yang amat luar biasa, berwarna hitam mengkilap dan amat ringan, halus dan ulet sekali, dapat mulur sehingga bacokan senjata tajam itu sama sekali tidak berbekas. Yu Goan merasa seolah-olah senjatanya membacok asap saja!
Sementara itu, jala yang melayang-layang itu menyambar turun. Yu Goan cepat meloncat jauh ke kiri untuk mengelak. Dua orang pengeroyok menubruknya dari kanan kiri dan dia berhasil membuat mereka terhuyung-huyung dengan pukulan tangan kiri dan sabetan pedang ke arah kaki orang kedua.
“Dukkk!” Pukulan Si Sastrawan menyerempet punggungnya.
Yu Goan terhuyung, pandang matanya berkunang. Biar pun pukulan itu tidak tepat kenanya, namun karena mengandung tenaga sinkang yang hebat, dia merasa tubuhnya tergetar dan cepat-cepat pemuda ini mengatur pernapasan. Pada saat itu bayangan jala sudah melayang turun lagi menimpa ke arah kepalanya!
Yu Goan melempar tubuhnya ke bawah dan berusaha mengelak dengan cara bergulingan ke atas tanah. Akan tetapi ternyata dua orang yang memegang jala itu adalah ahli-ahli yang cekatan sekali. Jala mereka sudah melayang dan kalau tadi bergulung-gulung kini jala itu terbuka dan terbentang selebarnya, langsung menutup tubuh Yu Goan yang tidak mungkin mengelak lagi.
Yu Goan makin kaget dan cepat ia mengerahkan ginkang-nya, meloncat bangun dan memutar pedangnya. Akan tetapi jala itu seperti hidup, bergerak menggulungnya dan makin keras ia meloncat, makin keras pula ia terbanting karena jala itu bersifat mulur seperti karet namun kuat melebihi baja. Tubuh Yu Goan tergulung jala dan pedangnya terlepas, jauh di luar jala. Ketika Yu Goan hendak mengambilnya, pedang itu sudah disambar oleh seorang pengeroyok. Kemudian jala itu terus diguling-gulingkan sehingga tubuh Yu Goan terbelit-belit ketat dan tak dapat berkutik pula!
MELIHAT ini Siauw Bwee kaget dan marah sekali. Dengan sinkang-nya yang istimewa kuatnya itu pun Siauw Bwee tidak mampu membikin putus jala dengan pedangnya. Akan tetapi dengan ginkang-nya yang membuat dia bergerak seperti kilat itu membuat mereka yang menggunakan jala tidak mungkin dapat menangkapnya!
Dara itu mencelat ke sana sini, dikejar bayangan jala sehingga kelihatannya seperti dia bermain-main, di antara dua orang pemegang jala, bermain loncat-loncatan dengan gaya yang indah sekali! Kini keadaannya berubah. Melihat Yu Goan tertawan, Siauw Bwee mengeluarkan suara melengking nyaring, pedangnya bergerak ke depan dan robohlah seorang pemegang jala dengan kulit dada robek dari kiri ke kanan, lukanya cukup dalam karena dalam penyerangannya sekali ini Siauw Bwee menambah tenaganya.
“Bebaskan dia, kalau tidak, aku akan membunuh kalian semua!” bentaknya.
Didahului sinar pedangnya yang berkelebat, bagai seekor burung garuda menyambar, tubuhnya sudah melayang ke arah Si Sastrawan. Sastrawan itu cepat mengelak, akan tetapi....
“Brettt!” kedua helai pita rambut sastrawan itu yang panjang terbabat putus!
“Kalau tidak kau lepaskan dia, lehermu yang akan putus!” Siauw Bwee yang sudah marah sekali itu membentak.
Tiba-tiba sastrawan itu menggulingkan tubuhnya, bergulingan dan tahu-tahu ia sudah berada di dekat Yu Goan yang sudah terbelenggu seluruh tubuhnya oleh jala dan tak dapat bergerak itu.
“Bergeraklah dan sahabatmu ini akan kubunuh lebih dulu!” Si Sastrawan berseru sambil menodongkan pedang Yu Goan ke punggung pemuda yang rebah miring itu.
Siauw Bwee terkejut, terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Tak disangkanya bahwa Si Sastrawan itu ternyata amat cerdik dan licik. Pada saat dia terkejut dan berdiri termangu itu, tiba-tiba sebuah jala melayang dari atas dan tahu-tahu tubuhnya sudah tertutup jala.
Siauw Bwee kaget dan cepat ia mencelat ke atas. Jala itu terbawa melayang ke atas dan ketika kedua orang pemegangnya menggerakkan tangan, jala itu terputar-putar dengan tubuh Siauw Bwee di dalamnya. Akan tetapi tiba-tiba dara perkasa itu berseru keras dan tubuhnya dalam jala meluncur dengan kekuatan yang luar biasa sehingga dua orang pemegang jala di kanan kiri itu tidak dapat bertahan dan mereka ikut tertarik, roboh terseret ke depan!
Para pengeroyok, dan juga Si Sastrawan yang meninggalkan Yu Goan untuk membantu teman-temannya menundukkan dara yang amat lihai itu, datang menyerbu ke arah tubuh Siauw Bwee yang sudah mulai tergulung jala. Akan tetapi biar pun tubuhnya sudah dibelit-belit jala, Siauw Bwee masih memegang pedangnya. Begitu tubuhnya mencelat ke depan, robohlah tiga orang pengeroyok termasuk Si Sastrawan yang kena ditendang dadanya, seorang dipukul kepalanya dan seorang lagi hampir putus pahanya terkena pedang dara perkasa itu yang meluncur keluar dari dalam jala!
“Tahan...!” tiba-tiba terdengar seruan halus.
Mendengar seruan ini, para pengeroyok seketika menghentikan sernua gerakan mereka dan menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, kecuali Si Sastrawan yang berdiri dengan muka tunduk ke arah kakek yang tiba-tiba muncul di tempat itu.
“Lepaskan mereka berdua! Buka jala-jala itu!” Kembali kakek itu berseru halus dan para pengeroyok tadi kini sibuk membuka jala dari kanan kiri dan melepaskan belitan-belitan yang amat kuat itu.
Yu Goan yang sudah terbebas dari dalam jala menyambar pedang dan sarung pedangnya yang dilempar di atas tanah oleh Si Sastrawan, kemudian pemuda itu berdiri dekat Siauw Bwee yang sudah bebas lebih dulu. Mereka berdiri memandang kakek yang datang itu dan siap menghadapi segala kemungkinan tanpa mengeluarkan suara. Ketika mereka mengerling kiranya di situ sudah berkumpul banyak sekali orang-orang liar itu.
Ada pun kakek yang muncul itu agaknya adalah ketua mereka, melihat dari sikap hormat dan takut semua orang liar, kecuali Si Sastrawan yang kelihatannya bersikap takut hormat buatan. Sikapnya yang palsu ini diam-diam tidak terlepas dari pandang mata Yu Goan dan Siauw Bwee.
Kakek itu sudah tua sekali, jenggot dan rambutnya yang tidak terpelihara baik-baik itu sudah putih. Matanya cekung dan tubuhnya yang jangkung itu amat kurus, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar yang aneh, lebih mencorong dari pada mata orang-orang liar itu! Pakaiannya juga sederhana sekali sehingga tampak jelas betapa bedanya dengan pakaian Si Sastrawan.
“Jala-jala itu kubikin untuk menangkap binatang buas, untuk memenuhi kebutuhan perut kita. Mengapa sekarang kalian pergunakan untuk menangkap manusia-manusia? Bukankah aku sudah melarang kalian bertanding dengan orang luar?”
Para pengeroyok tadi tidak ada yang menjawab, hanya berlutut dan menundukkan muka, akan tetapi beberapa orang di antara mereka melirik ke arah Si Sastrawan, seolah-olah menyerahkan jawabannya kepada sastrawan itu.
Kakek itu dapat menangkap sikap anak buahnya ini, maka dia menoleh ke arah sastrawan itu dan berkata, “Ang-siucai, engkau adalah tamu terhormat di sini, mengapa membawa anak buah kami untuk mengeroyok dua orang muda ini?”
Sastrawan itu menjura dan menjawab dengan suara tenang, “Harap Pangcu (Ketua) suka memaafkan saya. Karena dua orang ini melanggar wilayah Pangcu dan sikap mereka mencurigakan, maka saya mengusulkan kepada kawan-kawan untuk menangkap mereka dan membawa mereka ke depan Pangcu untuk diadili. Akan tetapi mereka berdua tidak mau menyerah, bahkan melawan sehingga terjadilah pertempuran.”
Kakek itu mengerutkan keningnya. “Hemmm, tidak pernah aku memerintahkan untuk mengganggu orang yang lewat, asal mereka tidak mengganggu kami. Biarlah sekali ini aku tidak akan menghukum anak buahku. Dan kuharap Ang-siucai suka ingat agar tidak melakukan hal seperti ini pula, karena kalau demikian, terpaksa aku tidak akan dapat menganggap engkau sebagai tamu terhormat dan sahabat baik lagi. Nah, harap kalian semua kembali lebih dulu!”
Anak buah orang-orang liar itu bersama Si Sastrawan lalu bangkit dan pergi dari situ dengan kepala menunduk. Mereka itu semua kelihatan patuh dan sama sekali tidak memperlihatkan muka penasaran, akan tetapi dengan kerling matanya Siauw Bwee dapat menangkap ketidak-puasan membayang di wajah sastrawan itu, bahkan mulut sastrawan itu membayangkan senyum mengejek. Hemm, orang itu bukan seorang baik-baik, pikir Siauw Bwee. Akan tetapi karena urusan orang-orang itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dia, maka dia pun diam saja dan hanya memandang kakek yang masih berdiri di depannya.
Kakek itu sejenak memandang kepada Yu Goan, kemudian memandang lebih lama dan penuh perhatian kepada Siauw Bwee, kemudian membungkuk dan berkata, “Harap Ji-wi suka memaafkan kekerasan anak buahku yang tidak berpendidikan. Melihat gerakan-gerakan Lihiap tadi, aku percaya bahwa Lihiap tentulah seorang pendekar muda yang menjadi murid seorang sakti.”
Siauw Bwee tersenyum. Biar pun sederhana keadaannya, kakek ini tidaklah sebodoh orang-orang kasar tadi, maka dia pun mengangkat kedua tangan memberi horrnat seperti yang dilakukan Yu Goan lalu berkata, “Kami berdua hanya kebetulan saja lewat di hutan sana, akan tetapi malam tadi anak buahmu mengintai kami. Kami menjadi curiga dan mengikuti jejak mereka sampai di sini dan tiba-tiba kami dikeroyok. Pangcu siapakah dan perkumpulan apakah yang Pangcu pimpin, dan di bawah tebing sana itu... apakah ada hubungannya dengan Pangcu?”
Tiba-tiba wajah kakek itu berubah agak pucat. Ia cepat menggeleng kepala sambil berkata, “Harap Lihiap tidak bertanya-tanya lebih banyak lagi. Aku sudah mohon maaf atas kelancangan anak buahku. Sudahlah, aku minta dengan hormat sukalah Ji-wi meninggalkan tempat ini dan harap jangan menceritakan orang lain akan keadaan kami, dan jangan pula kembali ke tempat ini. Percayalah, aku seorang tua yang bicara demi kebaikan Ji-wi sendiri.”
Tiba-tiba kakek itu mengerutkan keningnya, menyentuh dahi dengan tangan kanan. Mukanya berubah pucat membiru, matanya dipejamkan, mulutnya menyeringai dan seluruh tubuh tergetar menggigil seperti orang kedinginan hebat. Giginya saling beradu dan akhirnya kakek itu menjatuhkan diri di atas tanah, mengeluh dan mengerang kedinginan, mukanya makin membiru.
“Pangcu...”
“Sssttt...!” Yu Goan mencegah Siauw Bwee dan ketika nona ini memandang temannya, pemuda itu mendekati ketua itu dan memandang penuh perhatian dengan alis berkerut.
Kini wajah kakek itu mulai putih kembali, dari biru menjadi putih dan tubuhnya tidak menggigil lagi. Dia dapat duduk bersila tenang dan wajahnya yang pucat itu mulai kemerahan. Akan tetapi betapa terkejut hati Siauw Bwee ketika melihat bahwa muka itu makin lama makin merah dan tubuh kakek itu seolah-olah mengeluarkan hawa panas yang sampai terasa olehnya. Kakek itu kembali tersiksa, kini seperti seekor cacing terkena abu panas, bergulingan di atas tanah!
“Pangcu...” Kembali Siauw Bwee melangkah maju.
“Jangan, biarkan saja. Dia sedang terancam jiwanya oleh penyakit yang amat berat, aku sedang mempelajari penyakitnya.”
Seperti tadi Yu Goan mendekat dan memandang penuh perhatian. Siauw Bwee merasa heran dan juga kagum. Kiranya pernuda itu, yang sudah ia saksikan ilmu silatnya yang sungguh tak boleh dikatakan masih rendah tingkatnya, bahkan amat tinggi mutunya, memiliki pula ilmu kepandaian pengobatan! Pemuda yang aneh dan mengagumkan!
Kurang lebih satu jam lamanya kakek itu menderita, akhirnya keadaannya tenang kembali. Dia membuka mata, mengeluh dan meloncat bangun, menghapus keringat dari dahi dan lehernya, memandang kepada dua orang muda itu dan berkata perlahan, “Maafkan... ah, aku telah membuat Ji-wi kaget saja. Sedikit gangguan kesehatanku...”
“Gangguan kesehatan? Aihh, Pangcu tidak tahukah Pangcu bahwa yang Pangcu ceritakan ini bukan sekedar gangguan kesehatan, melainkan ancaman jiwa Pangcu? Pangcu telah menderlta keracunan hebat sekali, racun yang menimbulkan hawa meresap ke dalam pusar dan mempengaruhi seluruh tubuh Pangcu!”
Kakek itu menjadi pucat wajahnya. “Bagaimana Sicu bisa tahu?”
“Sedikit-sedikit aku tahu akan ilmu pengobatan, Pangcu. Bolehkah aku memeriksanya?”
Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian duduk bersila dan Yu Goan mempersilakan dia membuka bajunya. Dengan gerakan tangan tetap pemuda itu lalu memeriksa denyut nadi, kemudian menempelkan telapak tangan ke pusar dan ke atas kedua dada kakek itu. Keningnya berkerut tanda bahwa pemuda itu memusatkan pikiran, kemudian berkata, “Benar seperti dugaanku. Pangcu terkena racun yang amat hebat. Bukankah kadang-kadang hawa sinkang di tubuh Pangcu tak dapat dikendalikan, di pusar terasa sakit seperti ditusuk, dada sesak dan kadang-kadang terasa amat dingin ada kalanya amat panas hampir tak tertahankan? Pandangan mata menjadi berkunang telinga terdengar bunyi melengking?”
Kakek itu terbelalak. “Sicu benar! Ahh, kiranya Sicu seorang ahli yang pandai. Bolehkah aku mengetahui siapa guru Sicu?”
“Aku mendapat ilmu pengobatan dari kakekku sendiri yang berjuluk Yok-sanjin.”
“Ahh, kiranya Si Raja Obat Song Hai?” kakek itu berseru girang, lalu merangkap kedua tangannya. “Mohon pertolongan Sicu untuk mengobati dan menolong nyawaku.”
“Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menolong sesamanya yang menderita, Pangcu. Akan tetapi mengobati Pangcu tidaklah mudah, membutuhkan tenaga sinkang yang amat besar dan pula bukan di sini tempatnya.”
“Ahh, aku berlaku kurang hormat. Marilah, silakan Ji-wi datang ke tempat kami!”
Yu Goan mengangguk dan Siauw Bwee memandang kepadanya dengan penuh rasa kagum. Mereka berdua mengikuti kakek itu pergi meninggalkan tebing menuju ke dalam hutan.
Di tengah jalan Siauw Bwee berkata, “Wah, kiranya engkau seorang ahli pengobatan yang lihai, Yu-twako.”
“Ahh, pengertianku hanya dangkal saja, Lihiap. Pula aku merasa sangsi, apakah aku akan cukup kuat untuk menyembuhkan orang tua ini.”
“Harap Sicu jangan khawatir. Berhasil atau tidak bukanlah soal bagiku. Aku tetap berterima kasih kepada Sicu yang telah sudi melimpahkan budi dan berusaha menolong aku, padahal tadi anak buahku telah mengganggu Ji-wi. Bolehkah aku mengetahui Ji-wi yang gagah? Aku sendiri bernama Ouw Teng dan sudah belasan tahun menjadi ketua di sini.”
Siauw Bwee dan Yu Goan menjura dan pemuda itu berkata, “Lihiap ini adalah Khu Siauw Bwee, dan aku bernama Yu Goan.”
Biar pun kakek itu belum pernah mendengar nama dua orang muda itu, namun karena sudah lama dia tidak muncul di dunia kang-ouw, dia percaya bahwa mereka itu tentulah tokoh-tokoh muda murid orang pandai, maka ia bersikap menghormat sekali. Setelah melalul jalan berliku-liku, akhirnya tibalah mereka di perkampungan yang sederhana, di tengah hutan gelap akan tetapi tanah di daerah ini amat subur dan sebagian dari hutan itu telah berubah menjadi sawah dan kebun sayur.
“Daerah kami ini jarang didatangi orang luar dan kami hidup tenang di sini, tidak pernah kekurangan makan. Di dalam kesederhanaan kami, kami tidak membutuhkan apa-apa, karena itu kami hidup cukup bahagia,” kata Ouw-pangcu sambil mempersilakan kedua orang muda itu memasuki pondok terbesar yang menjadi rumahnya.
Orang-orang yang berpakaian sederhana seperti yang mengeroyok mereka tadi nampak hilir mudik dan sibuk bekerja. Agaknya mereka semua telah mendengar tentang kedua orang muda itu, maka mereka memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani membuka suara karena kini dua orang muda itu datang bersama ketua mereka.
Diam-diam Yu Goan tersentuh oleh ucapan ketua itu. Terbukti kebenaran pelajaran yang pernah ia dengar dari kakeknya bahwa kebahagiaan hanya dapat dirasakan oleh orang yang tidak membutuhkan apa-apa! Bahkan tidak membutuhkan kebahagiaan itu sendiri! Keinginan timbul karena panca indera ditempeli pikiran yang membayangkan dan mengenang segala pengalaman kenikmatan jasmani dan kesenangan.
Kalau keinginan sudah timbul, maka memuaskan keinginan itulah yang menciptakan kebutuhan. Ada kebutuhan disusul dengan usaha pencarian, yaitu mencari apa yang dibutuhkan. Sungguh berlika-liku dan sulit ditempuh, padahal setelah mencapai apa yang dicari, hahya mendatangkan kesenangan sesaat saja, kemudian dilupakan untuk disambung kebutuhan lainnya yang tak kunjung habis, tak kunjung henti karena kebutuhan itu diciptakannya sendiri tanpa sadar.
Betapa mungkin manusia yang selalu dikejar-kejar kebutuhan yang diciptakan sendiri oleh kehausan dan kerakusan akan kenikmatan duniawi dapat merasakan kebahagiaan? Kebahagiaan bukanlah senang bukan pula susah, bukan untung bukan pula rugi, karena itu tidak ada kebalikannya, tidak ada perbandingannya. Jika masih dapat dibandingkan, itu bukanlah bahagia!
Pondok tempat tinggal Ouw Pangcu cukup besar, akan tetapi amatlah sederhana. Dindingnya terbuat dari pada bata bertumpuk-tumpuk secara kasar, daun pintunya dari kayu dengan bentuk bersahaja. Pembaringan kakek ini pun hanya merupakan sebuah dipan bambu! Belum pernah selama hidupnya dua orang muda itu melihat seorang ketua semiskin ini!
Yu Goan dan Ouw-pangcu duduk berhadapan di atas dipan, ada pun Siauw Bwee duduk di atas bangku tak jauh dari situ, mendengarkan percakapan dua orang itu. Dia sendiri tidak mengerti ilmu pengobatan, maka dia hanya ingin menonton bagaimana sahabatnya itu mengobati Ouw-pangcu.
“Bagaimanakah aku sampai keracunan? Aku sama sekali tidak pernah bertanding dengan orang lihai dan tidak pernah kena pukul,” kata kakek itu menyatakan keheranannya, biar pun dia tidak meragukan keterangan Yu Goan yang cocok dengan penderitaannya.
”Engkau tidak terluka oleh pukulan, Pangcu. Akan tetapi karena makanan atau minum sesuatu yang dicampuri racun. Dan racun ini mengacaukan hawa murni di tubuhmu. Karena engkau telah melatih diri dengan sinkang yang tinggi dan aneh, yang agaknya telah dapat kau kuasai sedemikian rupa sehingga engkau mampu mempergunakan Im-kang dan Yang-kang yang amat kuat, maka kini kedua hawa yang sifatnya bertentangan itu saling menggempur tubuhmu sendiri.”
Kakek itu membelalakkan matanya. “Betapa mungkin makanan atau minumanku diracuni orang? Akan tetapi... keteranganmu tepat sekali, Sicu. Memang aku telah melatih diri dengan sinkang yang... yang...,” kakek itu kelihatan ragu-ragu.
“Hemm, bukankah engkau melatih Im-yang-sinkang secara berbareng dan pandai pula menggunakan kedua sinkang itu secara berbareng?” tiba-tiba Siauw Bwee menyambung ketika melihat kakek itu agak ragu-ragu untuk memberi tahu.
Kakek itu makin kaget dan memandang Siauw Bwee penuh kagum. “Engkau tahu akan hal itu, Nona? Bukan main! Agaknya di dunia ini penuh dengan orang-orang muda yang berilmu tinggi! Tidak salah, sesungguhnya ilmuku ini merupakan rahasia. Akan tetapi heran sekali, mengapa engkau dapat menduga begitu tepat, dan Sicu ini dapat pula memberi keterangan yang cocok.”
“Hemm, apa anehnya Pangcu?” Siauw Bwee berkata. “Anak buahmu tidak pandai ilmu silat tinggi, namun mereka rata-rata memiliki sinkang yang amat kuat. Dan juga sastrawan itu...”
Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat. “Aihh! Apakah bisa jadi...?”
“Apa yang hendak kau katakan, Pangcu?” Yu Goan berkata.
“Racun itu...! Anak buahku tidak mungkin meracuniku, akan tetapi dia... Ang-siucai itu... dia banyak mengajarkan ilmu masakan kepada para koki kami! Dan anggur yang dibuatnya itu...!” Tiba-tiba ia menarik napas panjang, kemudian melanjutkan dengan suara lirih hampir berbisik. “Ah, aku sudah membuka rahasia. Akan tetapi agaknya keadaan gawat, dan entah mengapa, timbul kepercayaan besar di hatiku terhadap Ji-wi. Biarlah kuceritakan keadaan kami sebelum engkau mencoba mengobatiku, Sicu.”
Kakek ini dengan suara perlahan lalu menceritakan keadaan orang-orang di situ yang dipimpinnya. Dahulu di tempat itu tinggal sekelompok orang, kurang lebih dua ratus orang jumlahnya, yang hidupnya masih terbelakang dan jarang bertemu dengan orang luar. Mereka hidup sederhana, bahkan masih setengah liar. Kemudian muncullah seorang kakek sakti yang aneh dan berilmu seperti dewa. Melihat keadaan sekelompok manusia yang wajar dan sederhana ini, kakek itu lalu memimpin mereka dan mengajarkan ilmu kepandaian agar mereka itu dapat menjaga diri dan dapat mengalahkan segala tantangan hidup dalam dunia yang masih liar itu.
“Karena pimpinan Locianpwe itulah maka kami memiliki sedikit ilmu kepandaian sehingga kami dapat menangkap binatang buas yang bagaimana kuat pun. Akan tetapi, sungguh celaka, nasib buruk menimpa kami. Tidak lama setelah Locianpwe itu berada di sini dan beliau suka sekali hidup di antara orang-orang yang masih sederhana, wajar dan liar seperti kami, mala-petaka menimpa kami, yaitu berupa penyakit yang menyeramkan.”
“Penyakit apakah, Pangcu?” Siauw Bwee bertanya, hatinya tertarik sekali mendengar penuturan itu dan menduga-duga siapa gerangan kakek sakti itu.
“Penyakit kusta.”
“Kusta...?” Yu Goan sebagai seorang ahli pengobatan tentu saja merasa ngeri mendengar penyakit yang belum pernah dapat diobati itu. “Lalu bagaimana, Pangcu?”
“Inilah sebetulnya rahasia besar kami yang sekarang kubuka kepada Ji-wi karena Ji-wi sudah kuanggap bukan orang lain. Mereka yang terkena penyakit itu terpaksa harus menjauhkan diri agar jangan sampai menular kepada orang lain. Hal ini diatur oleh Locianpwe itu dan mereka itu ditempatkan di lembah.”
“Di bawah sana itu? Jadi orang-orang di bawah itu adalah penderita-penderita penyakit kusta?” tanya Siauw Bwee.
“Benar, jadi di antara mereka dan kami sebenarnya masih ada hubungan erat, bahkan masih keluarga, dan lebih lagi, di antara mereka yang menderita itu terdapat ketua kami yang dahulu dipilih oleh Locianpwe itu sehingga sampai sekarang pun, tingkat kedudukan mereka lebih tinggi dari pada kami orang-orang penghuni hutan di bukit ini. Karena penderitaan mereka itulah, Locianpwe menurunkan ilmu melatih sinkang yang disebut Jit-goat-sinkang (Hawa Sakti Matahari Bulan). Hanya mereka yang berada di lembah saja yang memperoleh ilmu itu, dan di atas sini hanya ketuanya, yaitu aku sendiri yang mendapatkan ilmu itu. Aku melatih sinkang itu dengan mengambil tenaga sakti matahari dan bulan, kulatih bertahun-tahun. Siapa mengira, sekarang aku menjadi korban dari sinkang itu sendiri.”
“Kenapa engkau keracunan, Pangcu? Dan agaknya ada orang yang sengaja meracunimu,” kata Yu Goan.
“Tentu orang yang tahu akan Jit-goat-sinkang, dan satu-satunya... hemmm, hanya Ang-siucai yang kuberi tahu akan rahasia ilmu itu untuk membalas budinya. Setelah Locianpwe itu pergi beberapa tahun yang lalu, datanglah Ang-siucai sebagai utusan pemerintah yang bersikap baik sekali kepada kami, mengajarkan masak dan baca tulis.
Mungkinkah dia...? Aihh, jangan-jangan sikap beberapa orang anak buahku yang berubah ini pun hasil perbuatannya! Celaka, dan aku terluka. Ah, Sicu, tolonglah aku agar aku dapat menyelidiki hal ini dan mencegah terjadinya hal yang lebih hebat lagi. Aku khawatir kalau-kalau akan terjadi pemberontakan di sini. Dalam beberapa bulan ini aku sudah melihat gejala-gejala perlawanan dan sikap tidak mau menaati perintahku, termasuk penyerangan mereka kepada Ji-wi tadi.”
“Baik, Pangcu. Akan kucoba. Silakan Pangcu duduk bersila dan aku akan membantu membersihkan hawa beracun yang mengacaukan sinkang di tubuhmu.” kata Yu Goan.
Pemuda ini lalu duduk bersila di atas dipan, di belakang kakek itu. Ia kemudian menempelkan kedua telapak tangannya di atas punggung yang telanjang itu, mengerahkan sinkang-nya. Tak lama kemudian, Yu Goan berteriak keras dan tubuhnya terpelanting jatuh dari atas dipan, mukanya pucat penuh keringat dan matanya terbelalak. Siauw Bwee cepat menyambar lengan Yu Goan dan membantu pemuda itu berdiri.
Kakek itu menoleh dan mengerutkan alisnya yang putih. “Bagaimana, Sicu?”
“Bagaimana, Twako? Kenapa kau jatuh?” Siauw Bwee juga bertanya.
Yu Goan mengusap peluhnya dan menggeleng kepala. “Percuma. Agaknya Jit-goat-sinkang yang kau miliki itu luar biasa kuatnya, Pangcu. Aku tidak kuat menahan. Untuk mengobatimu membutuhkan orang yang memiliki sinkang jauh lebih tinggi dari pada kekuatanmu sendiri. Sinkang-mu yang dua macam saling berlawanan itu mana mungkin dilawan orang biasa seperti aku? Yang mengobati harus membagi tenaganya, sebagian untuk menahan penolakan Jit-goat-sinkang yang berlawanan itu, sebagian untuk mengirim hawa murni ke pusarmu dan membantumu menguasai kembali sinkang-mu dan bersama-sama mengusir hawa beracun. Tak mungkin aku melakukannya, bahkan seluruh sinkang-ku masih tidak kuat menghadapl pergolakan Jit-goat-sinkang yang saling berlawanan itu, apa lagi untuk mengusir hawa beracun.”
“Aihh, sudah nasibku. Untuk menghadapi maut, bagiku bukan apa-apa, karena aku pun sudah cukup tua. Akan tetapi kalau yang kukhawatirkan terjadi, kalau sampai timbul pemberontakan, celakalah anak buahku semua...” Kakek itu mengeluh dengan air muka berduka sekali.
“Pangcu, jangan khawatir. Aku akan membantumu mengobati penyakitmu. Twako, jelaskan apa yang harus kulakukan?”
“Khu-lihiap..., hal itu... berbahaya sekali. Jit-goat-sinkang di tubuhnya liar dan amat kuatnya. Salah-salah engkau akan terluka parah di sebelah dalam tubuhmu!”
“Sicu benar, Lihiap. Harap jangan main-main dan mengorbankan diri sendiri untukku,” Ouw-pangcu juga berkata dengan hati tulus.
Siauw Bwee tersenyum. “Kalau belum dicoba mana kita tahu, Twako? Biarlah aku mencobanya.”
“Khu-lihiap, ini bukan main-main, mana boleh dicoba-coba? Aku tahu bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi dari pada tingkatku. Aku tidak hendak mengatakan bahwa sinkang-mu lebih lemah dari pada sinkangku, akan tetapi betapa pun, tak mungkin dapat melawan Jit-goat-sinkang yang liar di tubuh Ouw-pangcu.”
Kembali Siauw Bwee tersenyum. “Ouw-pangcu, Locianpwe yang kau sebutkan tadi, apakah dia seorang kakek bertubuh kecil seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar sekali dan namanya Bu-tek Lo-jin?”
Ouw-pangcu begitu kaget mendengar ini sampai dia meloncat turun dari dipan dan memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak. “Ini... ini... rahasia besar... bagaimana Lihiap bisa tahu...?” tanyanya gugup.
Yu Goan juga terkejut. Dia pernah mendengar dari ayahnya akan nama Bu-tek Lo-jin itu, seorang manusia setengah dewa yang sakti dan aneh sekali, bahkan lebih terkenal dari pada nama Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, dua orang kakek beradik yang tidak lumrah manusia itu dan hanya kalah kebesaran dan keanehannya oleh Bu Kek Siansu!
“Karena engkau telah mempercayakan rahasiamu kepadaku, Pangcu, dan karena aku sudah percaya penuh kepada Yu-twako, maka tidak perlu aku menyembunyikan rahasia diriku lagi. Aku mendengar nama besar Bu-tek Lo-jin dari suheng-ku ketika aku digemblengnya di Pulau Es.”
“Pulau Es...?” Kini seruan itu keluar hampir berbareng dari mulut Yu Goan dan Ouw-pangcu.
“Khu-lihiap, jadi engkau... murid penghuni Istana Pulau Es? Engkau murid manusia dewa Bu Kek Siansu...?” Yu Goan bertanya dengan mata terbelalak.
Siauw Bwee tersenyum, mengangguk. “Aku murid beliau, akan tetapi beliau tidak ikut bersama kami ke Pulau Es dan yang mengajarku adalah Suheng. Penghuni Pulau Es hanyalah kami bertiga, aku, suci-ku dan suheng-ku.”
“Ah, aku bersikap kurang hormat...!” Ouw-pangcu cepat menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi baru setengahnya, tangan Siauw Bwee telah menangkap lengannya dan sekali tarik, tubuh kakek itu telah melayang ke atas dipan!
Kakek itu duduk bersila dan memejamkan mata sambil berkata, “Khu-lihiap penghuni Istana Pulau Es, aku menyerahkan nyawaku ke tangan Lihiap!”
”Jangan terlalu sungkan, Ouw-pangcu. Aku pun belum dapat menentukan apakah aku akan dapat menyembuhkanmu. Twako, jangan banyak pujian dan sungkan-sungkan lagi, lekas terangkan bagaimana caranya mengobati luka Ouw-pangcu.”
Dengan keheranan dan kekaguman masih menyelubungi hatinya, Yu Goan lalu memberi petunjuk. Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar, suara beradunya senjata dan teriakan anak buah Ouw-pangcu, “Pemberontak! Pengkhianat! Manusia palsu Ang Hok Ci!”
Ouw-pangcu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dengan tenang Siauw Bwee berkata, “Twako, kau menjaga di pintu, biar aku mengobatinya.” Lalu dara perkasa ini menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung kakek itu.
Ouw-pangcu hendak melawan karena ingin dia menghadapi para pemberontak, akan tetapi sungguh aneh, tenaga Jit-goat-sinkang di tubuhnya tiba-tiba bertemu dengan sinkang yang amat kuat, juga sinkang yang keluar dari kedua tangan dara itu merupakan dua macam sinkang, panas dan dingin. Dia terheran-heran. Apakah dara ini pandai pula Jit-goat-sinkang?
Sebenarnya bukanlah demikian. Siauw Bwee tidak pernah melakukan ilmu sinkang dari inti hawa sakti matahari dan bulan, akan tetapi dia berlatih di Pulau Es di bawah petunjuk Han Ki dan menurut kitab-kitab pelajaran Bu Kek Siansu tentu saja dia menguasai Yang-kang dan Im-yang dengan baiknya.
Sementara itu, di luar pondok terjadi perang yang amat seru. Anak buah yang masih setia kepada Ouw-pangcu diserbu anak buah lain yang telah dipengaruhi Ang Hok Ci atau Ang-siucai. Kiranya diam-diam Ang-siucai selama setengah tahun berada di situ telah menurunkan ilmu silat kepada para kawanan yang dipengaruhinya sehingga dalam pertempuran itu, anak buah Ouw-pangcu banyak yang roboh dan tewas.
“Bunuh Ouw-pangcu!” terdengar teriakan Ang-siucai.
Ternyata bahwa kini selain Ang-siucai dan para anak buah yang dapat dipengaruhinya, muncul pula beberapa orang kawan Ang-siucai yang datang dari luar dan pada saat itu sudah menyerbu masuk perkampungan itu untuk membantu pemberontakan yang dicetuskan oleh sastrawan itu! Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan Ang-siucai sendiri sekarang pun tidak pura-pura.
Biasanya dia menyembunyikan kepandaiannya, maka ia selalu bergerak dengan kaku seperti orang-orang di situ. Akan tetapi sekarang, di samping tenaga Jit-goat-sinkang yang telah dimilikinya walau pun belum mencapai tingkat tinggi, dia juga menggunakan ilmu silatnya sendiri yang ternyata cukup hebat. Seorang demi seorang robohlah para pengikut Ouw-pangcu dan sebagian kini menyerbu ke pondok tempat tinggal Ouw-pangcu!
Daun pintu dibobol dari luar dan Yu Goan cepat menggerakkan pedangnya, merobohkan orang pertama yang menyerbu masuk. Pemuda itu maklum bahwa selagi Siauw Bwee mengobati Ouw-pangcu, kedua orang itu tidak berdaya untuk membantunya. Bahkan kalau mereka berdua diganggu, amat berbahaya bagi keselamatan mereka. Selain itu, cara pengobatan menggunakan sinkang itu tidak dapat dihentikan di tengah jalan karena hal ini akan membahayakan yang diobati. Dia harus dapat bertahan seorang diri sampai Siauw Bwee selesai mengobati kakek itu.
Dua orang dengan gerakan liar menyerbu masuk dengan tangan memegang golok. Mereka menyerang berbareng ke arah Yu Goan. Pemuda ini sudah melolos pedang dari sarung pedangnya karena dia maklum akan menghadapi pengeroyokan banyak lawan. Melihat datangnya dua batang golok yang digerakkan dengan tenaga kuat itu, ia menangkis dengan pedang dan sarung pedangnya.
Untung baginya bahwa dua orang itu hanya memiliki tenaga sinkang yang amat kuat akan tetapi gerakan mereka sama sekali tidak berbahaya, maka begitu menangkis, pedangnya terus berkelebat ke kanan kiri menusuk dada dan menyabet perut. Dua orang itu berteriak keras, akan tetapi benar-benar tubuh mereka kebal, karena tusukan ke arah dada itu meleset dan hanya mendatangkan luka pada kulit, sedangkan sabetan pada perut hanya merobek baju dan kulit.
Dua orang itu sambil berteriak kaget sudah menerjang lagi dengan buas. Akan tetapi Yu Goan yang melihat betapa di belakang dua orang itu menyerbu banyak sekali lawan, bergerak cepat sekali. Serangan orang di sebelah kanannya ia elakkan sehingga orang itu terhuyung ke belakang. Cepat pedangnya dibalik dan secara tiba-tiba pedangnya menusuk ke belakang dan tepat menancap pada punggung lawan yang langsung menjerit dan muntahkan darah segar dari mulutnya, kemudian terjungkal. Ada pun penyerangnya dari kiri ia sambut dengan totokan sarung pedang pada pergelangan tangan orang itu sehingga goloknya terlempar karena tangan itu menjadi lumpuh.
Pedang Yu Goan menyambar, kini mengarah leher. Biar pun leher itu juga kebal, namun goresan itu mengenai jalan darah di leher sehingga tampak tergetar ketika bertemu dengan golok yang dipegang seorang berpakaian seperti orang Han, yang dahinya lebar sekali dan gerakan goloknya aneh dan tangkas. Bersama orang ini, menyerbu pula enam orang liar dan Yu Goan segera dikeroyok di depan pintu.
Pemuda ini memutar pedang dan sarung pedangnya. Namun kepandaian orang Han yang menjadi kawan Ang-siucai itu benar-benar tak dapat dipandang ringan sehingga Yu Goan harus bersikap hati-hati sekali. Dia memutar pedang dan sarung pedang, berloncatan ke sana-sini tanpa meninggalkan posisinya melindungi Siauw Bwee yang sedang mengobati Ouw-pangcu di sebelah belakangnya. Dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok pula, akan tetapi kini Ang-siucai sendiri bersama teman-temannya datang, dan Yu Goan terkurung oleh delapan orang termasuk Ang-siucai dan dua orang Han yang lihai!
Yu Goan bukanlah seorang pendekar muda biasa. Dia adalah putera tunggal pendekar besar Yu Siang Ki, keturunan langsung dari tokoh-tokoh besar Ketua Khong-sim Kai-pang, perkumpulan pengemis pendekar yang amat terkenal itu. Ayahnya sendiri yang telah menggemblengnya dalam ilmu silat, bahkan ayahnya yang menjadi seorang ahli ilmu tongkat keluarga Yu, telah mengubah ilmu pedang dari ilmu tongkatnya itu. Kini, Yu Goan mainkan pedang di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri yang dipergunakan sebagai tongkat, dapat menangkis dan juga menotok jalan darah lawan!
Namun, jumlah pengeroyok terlalu banyak. Roboh dua maju empat orang dan sebentar saja banyak lawan menyerobot masuk sehingga Yu Goan menjadi sibuk dan bingung juga karena dia harus melindungi Siauw Bwee dan Ouw-pangcu. Andai kata dia tidak harus melindungi dua orang itu, tentu saja sejak tadi dia sudah meloncat ke luar mencari tempat yang lebih luas agar enak dia mengamuk.
Kini di tempat sempit itu, dan separuh perhatiannya ia tujukan untuk melindungi Siauw Bwee dan Ouw-pangcu, tentu saja dia kurang menjaga diri sendiri sehingga beberapa kali dia terkena sambaran senjata yang bagaikan hujan datangnya. Pundaknya, pangkal lengan kirinya dan paha kanannya sudah terluka, namun Yu Goan tak pernah berhenti bergerak menahan musuh yang seolah-olah air bah mengancam Siauw Bwee dan Ouw-pangcu.
“Kurung dia rapat-rapat!” Ang-siucai berseru.
Kini dua belas orang mengepung Yu Goan. Pemuda ini bingung sekali karena dia tidak dapat lagi melindungi Siauw Bwee. Baginya hanyalah Siauw Bwee yang penting maka kembali dia terkena tusukan ujung golok pada dada kanannya yang mengakibatkan luka lumayan dalamnya. Hal ini dapat terjadi karena dia nekat meloncat ke luar dari kepungan mendekati Siauw Bwee. Pada saat itu, dua orang liar telah dekat di belakang Siauw Bwee, telah mengangkat golok hendak membacok wanita muda yang duduk bersila dan memejamkan mata, kedua telapak tangan menempel di punggung Ouw-pangcu itu.
“Trang-trang! Cepp! Cepp!”
Dalam kemarahan dan kegelisahannya, Yu Goan menangkis golok dari belakang, kemudian dua kali pedangnya amblas memasuki lambung dua orang itu yang tidak sempat mengerahkan sinkang karena serangan itu datangnya amat cepatnya.
“Bukkk!”
Tubuh Yu Goan terguling ketika pukulan tangan kiri Ang-siucai mengenai punggungnya. Belasan batang golok dan pedang menghujam ke bawah mengarah tubuh pemuda ini. Akan tetapi dengan sikap seperti seekor burung terbang, tubuh Yu Goan sudah mencelat ke atas dan terdengar bunyi nyaring ketika pedang dan sarung pedangnya menangkis sekian banyaknya senjata!
Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang Han pembantu Ang-siucai untuk menerjang Siauw Bwee dari belakang. Mereka telah melihat Siauw Bwee dan diam-diam mereka ini tergila-gila, maka ketika mereka menerjang, mereka tidak ingin membunuh dara jelita itu, melainkan ingin menangkapnya. Tanpa berunding lebih dulu karena memang mereka mempunyai nafsu hati yang sama, dua orang ini menubruk, seorang mencengkeram pundak kiri Siauw Bwee dan orang kedua mencengkeram pundak kanan. Niat hati mereka, dara itu akan ditangkap, dipeluk, dipondong dan dibawa lari!
“Auugghhh!”
“Aiiighhh!”
Begitu menyentuh pundak Siauw Bwee, dua orang ini terpelanting dan terbanting ke atas lantai. Yang memegang pundak kiri seketika menjadi kejang, mula-mula menggigil lalu mati kaku dengan muka dan tubuh membiru karena darahnya telah membeku terserang Im-kang yang dahsyat. Ada pun yang menyentuh pundak kanan tadi menjadi hitam seluruh tubuhnya dan mati seperti orang terbakar karena darahnya telah terbakar oleh Yang-kang!
“Ihhhh...!” Ang-siucai berteriak kaget dan memberi aba-aba kepada para kawannya agar tidak menyerang nona itu, namun terlambat. Dua orang pembantunya, anak buah Ouw-pangcu yang memberontak telah menusukkan golok mereka ke punggung Siauw Bwee. Begitu ujung golok menyentuh punggung, keduanya memekik dan terjengkang ke belakang dan mati seketika!
Pada saat itu Siauw Bwee sedang mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya, dan tenaga itu bercampur dengan tenaga Jit-goat-sinkang dari Ouw-pangcu, maka dahsyatnya bukan kepalang. Tenaga itu seolah-olah melindungi tubuh mereka berdua dan tentu saja penyerang yang kurang kuat sinkang-nya akan mati seketika seperti yang dialami empat orang sembono itu.
Ang-siucai membawa teman-temannya keluar dan kini pertandingan dilanjutkan di luar. Pihak pengikut Ouw-pangcu terdesak hebat. Yu Goan masih mengamuk dalam keadaan terkurung dan terdesak karena pemuda perkasa ini sudah menderita banyak luka. Keadaannya berbahaya sekali, namun Yu Goan sedikit pun tidak menjadi gentar dan bertekad melawan sampai detik terakhir.
Ouw-pangcu menghela napas panjang, tubuhnya bergerak dan ia berkata dengan suara nyaring, “Terima kasih, Lihiap. Budimu takkan kulupakan dan ternyata Lihiap tidak kecewa menjadi murid Bu Kek Siansu!”
“Tidak perlu berterima kasih, Pangcu. Lebih baik lekas kita membantu Yu-twako.”
Kedua orang ini meloncat ke luar. Ouw-pangcu masih bertelanjang baju dan tangannya sudah menyambar goloknya yang tadi tergantung di dinding. Begitu tiba di luar, Siauw Bwee dan Ouw-pangcu mengamuk. Terutama sekali Ouw-pangcu yang masih sempat menyaksikan Yu Goan menderita banyak luka dan orangnya banyak yang tewas. Ketua ini mengamuk seperti harimau terluka dan banyak kaum pemberontak roboh dan tewas di ujung golok atau di bawah telapak tangan kirinya.
Namun, ketika para pemberontak melemparkan senjata dan berlutut minta ampun, di antara mereka tidak terdapat Ang-siucai dan kawan-kawannya yang telah lebih dulu melarikan diri. Hanya dua orang Han yang menyerang Siauw Bwee tadi yang tewas, selebihnya telah berhasil melarikan diri semua. Ouw-pangcu yang merasa penasaran, mengerahkan orang-orangnya untuk melakukan pengejaran, namun Ang-siucai dan teman-temannya lenyap seperti ditelan bumi. Dengan hati penuh penasaran dan duka Ouw-pangcu memimpin anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan dan mengobati yang terluka.
Yu Goan menderita luka, namun tidak ada yang berbahaya. Setelah mengobati dirinya sendiri, pemuda perkasa ini lalu sibuk mengobati anak buah Ouw-pangcu yang terluka.
Hati Ouw-pangcu menjadi terharu sekali. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan Siauw Bwee dan Yu Goan. Ketika dua orang itu menolak dan membujuknya untuk berdiri, dia berkata, “Aku tidak mau berdiri kalau Ji-wi tidak suka menjadi anak-anak angkatku!”
Yu Goan dan Siauw Bwee saling pandang dan akhirnya keduanya mengangguk.
“Baiklah, Gihu!”
“Bangkitlah sekarang, Gihu!” kata pula Siauw Bwee yang mencontoh Yu Goan menyebut gihu (ayah angkat) kepada kakek itu.
Ouw-pangcu melompat bangun, tertawa bergelak dan merangkul pundak kedua orang muda itu, memandang muka mereka saling berganti penuh kebanggaan. “Ha-ha-ha-ha! Mempunyai dua orang anak angkat seperti kalian, biar sekarang mati pun aku akan mati dengan senyum bahagia!”
Siauw Bwee dan Yu Goan menjadi terharu sekali dan diam-diam mereka tidak menyesal, bahkan bangga mempunyai seorang ayah angkat yang demikian gagah perkasa, jujur, dan hidup dalam keadaan wajar. “Marilah, anak-anakku. Marilah kuajarkan ilmu melatih sinkang untuk memperoleh tenaga inti matahari dan bulan. Kebetulan bulan sedang purnama malam ini, kau bisa mulai.”
Bagi Yu Goan tentu saja ilmu ini merupakan keuntungan besar bukan main dan dengan tekun ia mulai melatih diri. Bagi Siauw Bwee, sesungguhnya dia memiliki sinkang yang lebih dahsyat dari pada yang dimililki Ouw-pangcu, akan tetapi ketika dia mempelajari teori pelajaran ini, dia mendapat kenyataan bahwa kalau orang dapat mencapai tingkat tertinggi dari ilmu ini, bukan saja akan memliiki sinkang yang dahsyat, juga akan dapat memetik hawa mukjizat dari matahari dan bulan! Maka dia pun lalu mempelajari dengan teliti dan mulai berlatih bersama Yu Goan.
Ouw Teng, ketua penghuni tebing dan hutan itu bersikap amat baik kepada Yu Goan dan Siauw Bwee. Kakek ini tidak mempunyai isteri atau anak, dan rasa terima kasih membuat dia berusaha sedapatnya untuk menyenangkan hati kedua orang anak angkatnya. Dia menceritakan segala hal mengenai keadaan para penghuni di situ tanpa menyimpan rahasia.
Anak buahnya, yaitu para penghuni tebing dan hutan, tadinya berjumlah seratus orang lebih. Mereka membentuk keluarga di situ dan beranak bini. Tetapi pemberontakan itu menewaskan belasan orang anak buahnya, sedangkan yang terbujuk oleh Ang-siucai dan tewas serta melarikan diri ada tiga puluh orang.
Setelah tinggal di tempat itu selama dua bulan, Siauw Bwee dan Yu Goan mendapat kenyataan betapa orang-orang itu sesungguhnya hidup jauh lebih bahagia dari pada orang-orang kota. Dan sesungguhnya mereka hidup dengan tenang, tenteram dan penuh damai. Tidak pernah ada percekcokan. Tidak pernah ada pencurian karena mereka tidak mengenal istilah mencuri. Semua benda yang terdapat di situ adalah milik mereka bersama dan siapa yang membutuhkan boleh mengambilnya. Tidak ada iri hati karena keadaan hidup mereka sama, bahkan Ouw-pangcu sendiri hidupnya tidak berbeda dengan mereka.
Melihat keadaan ini, Siauw Bwee diam-diam membenarkan Bu-tek Lo-jin yang menaruh kasihan dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Hidup secara liar seperti itu tentu saja lebih membutuhkan kekuatan untuk melawan ancaman binatang buas, penyakit yang timbul dari hawa udara dan lain ancaman lagi. Karena melihat bahwa mereka itu hanya memiliki kekebalan, Siauw Bwee lalu mengajarkan beberapa jurus ilmu pukulan dan ilmu meringankan tubuh.
Kini ia mendapat kenyataan bahwa ketika malam-malam mereka mengintai dia dan Yu Goan, mereka itu melenyapkan diri bukan karena memiliki gerakan cepat, melainkan karena mempunyai tempat persembunyian di hutan-hutan yang tentu saja sudah mereka kenal betul keadaannya. Pula, karena mata mereka mengeluarkan cahaya mencorong berkat sinkang mereka, maka begitu mereka memejamkan mata dan mendekam di tempat gelap, Siauw Bwee tidak dapat melihat mereka.
Bagi Siauw Bwee yang sudah mengalami banyak hal aneh, bahkan pernah tinggal di Pulau Es yang sunyi, kini tinggal di dalam hutan di antara orang-orang yang demikian sederhana hidupnya, ia merasakan ketenteraman hati yang amat menyenangkan. Ia merasa kerasan di tempat itu, hidup di antara pohon-pohon dan tanaman-tanaman liar, tidak pernah terlihat kemewahan kota, tidak pernah melihat kesibukan manusia mengejar uang, tidak pernah melihat percekcokan-percekcokan.
Juga Yu Goan, di samping tekun melatih diri dengan Ilmu Jit-goat-sinkang, juga merasa amat senang tinggal di situ. Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Siauw Bwee, pemuda ini maklum bahwa jangankan tinggal di tempat yang tenang itu, biar tinggal di dalam neraka sekali pun dia akan merasa senang kalau di situ terdapat Siauw Bwee di sampingnya!
Pemuda ini menyadari sedalamnya bahwa dia telah jatuh cinta kepada dara jelita yang sakti itu. Jatuh bertekuk lutut, mencinta Khu Siauw Bwee bukan hanya dengan jiwa raganya, melainkan seluruh hidupnya seakan-akan kini ia tujukan demi cinta kasihnya kepada dara itu! Dia tidak berani mengeluarkan isi hatinya, akan tetapi setiap pandang matanya, suaranya, gerak-geriknya jelas membayangkan cintanya yang amat mendalam.
Siauw Bwee sendiri bukan tidak tahu akan perasaan pemuda itu, dan hal ini amat mengganggu hatinya. Dia suka kepadanya. Yu Goan yang ia tahu adalah seorang pemuda yang amat halus budi pekertinya, seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, bukan hanya dalam ilmu silat, juga dalam kesusastraan dan ilmu pengobatan, sopan-santun dan jujur, pendeknya seorang pemuda pilihan. Akan tetapi, hatinya yang sudah jatuh cinta kepada suheng-nya Kam Han Ki, tidak mungkin mencinta pria lain. Dia merasa kasihan kepada Yu Goan, terharu kalau melihat betapa sinar mata pemuda itu memandangnya penuh kasih. Ia mengambil keputusan untuk mengakhiri penderitaan pemuda itu dengan satu-satunya jalan yang ia ketahui, yaitu memisahkan diri dari pemuda itu.
Pagi itu mereka berdua berlatih di waktu matahari mulai naik tinggi, duduk bersila dan melatih sinkang menerima cahaya matahari dan membiarkan sinar matahari yang mengandung inti hawa panas yang menjadi sumber segala hawa panas itu meresap ke dalam tubuh mereka. Setelah mereka menghentikan latihan mereka dan tubuh mereka basah oleh peluh, mereka mengaso di bawah pohon yang teduh sambli menghapus peluh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw Bwee untuk mengutarakan keinginan hatinya.
”Yu-twako, kurasa kita sudah cukup memahami cara melatih diri dengan Jit-goat-sinkang. Kini yang penting hanya tinggal melatih diri yang dapat kita lakukan di mana pun juga. Sudah terlalu lama kita tinggal di tempat ini.”
Yu Goan menoleh dan memandang dara itu dengan matanya yang lembut. Kemudian ia berkata, “Ucapanmu benar, Lihiap...”
“Aihh, sudah berapa kali aku minta agar engkau tidak menyebutku dengan lihiap, Twako. Bukankah sejak lama aku menyebutmu Twako?”
“Terima kasih, ...eh, Bwee-moi. Sesungguhnya engkau baik sekali dan aku merasa amat beruntung diperbolehkan menyebutmu adik. Akan tetapi, engkau adalah seorang pendekar wanita yang tiada keduanya di dunia ini, dan aku... aku merasa terlalu rendah untuk menyebutmu adik.”
“Omongan apakah ini? Aku hanya seorang manusia biasa, Twako. Kalau kau tidak menyebutku adik, aku tidak mau menjawabnya.”
“Baiklah, Bwee-moi. Maafkan aku. Apa yang kau katakan tadi benar bahwa kita sudah memahami Jit-goat-sinkang dan sudah terlalu lama tinggal di sini mengganggu ayah angkat kita. Akan tetapi..., kita akan pergi ke manakah?”
Inilah yang berat bagi Siauw Bwee dan semua tadi ia ucapkan hanya untuk dipergunakan sebagai alasan belaka. Maksudnya hanya untuk mencari jalan agar ia dapat memisahkan diri dari pemuda ini.
“Aku akan melakukan perjalananku mencari suci dan suheng, Twako. Kita berpisah di sini, aku melanjutkan perjalanan dan engkau pun melanjutkan perjalananmu sendiri.”
Dengan hati perih Siauw Bwee melihat betapa wajah yang tampan itu menjadi pucat, mata itu memandangnya dengan sinar mata penuh permohonan. “Bwee-moi..., mengapa... mengapa kita harus saling berpisah? Bukankah kita dapat melakukan perjalanan bersama? Aku akan membantumu mencari suheng dan suci-mu sampai engkau dapat bertemu dengan mereka!”
Siauw Bwee menggeleng kepalanya. “Twako, engkau baik sekali dan percayalah bahwa aku selamanya tidak akan melupakan engkau sebagai seorang sahabat yang paling baik, bahkan sebagai saudara angkat karena setelah kita berdua menjadi anak-anak angkat Ouw-pangcu, kita pun menjadi saudara angkat. Akan tetapi, tidak baik kalau kita melakukan perjalanan bersama, apa lagi aku tidak ingin menyusahkanmu. Urusan pribadiku masih amat banyak, dan engkau sendiri tentu mempunyai urusan pribadi. Biarlah kita berpisah di sini dan tentu kelak kita masih akan dapat saling berjumpa kembali.”
Yu Goan menggunakan kedua tangan menutupi mukanya untuk menyembunyikan kedukaan yang membayang di wajahnya. “Ah, Bwee-moi... aku mohon kepadamu, jangan aku harus berpisah darimu... jangan kita saling berpisah lagi...”
Siauw Bwee tentu saja sudah menduga akan isi hati pemuda ini, akan tetapi ia mengeraskan hati, memandang dengan alis berkerut dan bertanya dengan suara nyaring mendesak, “Twako! Apa maksudmu dengan kata-kata itu?”
Yu Goan menurunkan kedua tangannya dan memandang wajah dara itu dengan muka pucat namun sinar mata membayangkan isi hatinya tanpa disembunyikan lagi. Suaranya menggetar, namun ia memaksa diri untuk menggunakan saat itu mengeluarkan semua isi hatinya.
“Bwee-moi, dengarlah. Semenjak saat pertama aku melihatmu, kemudian mendengar bahwa engkau adalah puteri dari mendiang pahlawan Khu Tek San, cucu murid Menteri Kam Liong, kemudian dilanjutkan melihat sepak terjangmu, menyaksikan kelihaian ilmu kepandaianmu dan watakmu yang amat mulia, aku telah jatuh cinta kepadamu! Tidak tahukah engkau, Bwee-moi? Aku cinta kepadamu, Bwee-moi, dan aku tidak akan dapat hidup kalau harus berpisah dari sampingmu. Engkau telah menjadi separuh nyawaku dan aku...”
“Cukup, Twako!” Siauw Bwee berkata keras, tidak marah, hanya sengaja memperkeras sikapnya untuk ‘mengobati’ penyakit yang menyerang hati pemuda itu. “Aku bukan seorang buta yang tidak melihat tanda-tanda itu semua, dari sinar matamu, dari suara dan gerak-gerikmu. Aku tahu bahwa engkau sudah jatuh cinta kepadaku. Akan tetapi, karena aku tahu pula bahwa amat tidak mungkin bagiku untuk membalas perasaan hatimu itu, aku mengambil keputusan bahwa kita harus saling berpisah sebelum penyakitmu menjadi makin berat.”
Yu Goan memandang dengan mata terbelalak kosong, sekosong hatinya yang mengalami pukulan hebat. Wajahnya yang pucat, matanya yang memandang kosong, mulutnya yang agak terbuka seolah-olah sukar mengeluarkan suara, merupakan ujung pedang yang menusuk hati Siauw Bwee.
“Meng... mengapa tidak mungkin..., Bwee-moi?” Suara ini lebih mirip rintihan yang membuat Siauw Bwee memejamkan mata sejenak.
Ketika Siauw Bwee membuka matanya kembali, dua titik air mata menetes turun. Sejenak dia memandang wajah Yu Goan yang pucat, rambutnya yang mawut, matanya yang sayu, mulutnya yang tertarik derita hatinya. Ahhh, betapa mudahnya jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti ini, pikiran ini seperti kilat memasuki kepalanya. Akan tetapi di sana ada Kam Han Ki dan dia tidak mau menukar suheng-nya itu dengan pria lain yang mana pun juga, betapa tampan dan baik pun!
“Yu-twako, aku suka kepadamu, aku menganggap engkau sebagai sahabat terbaik, bahkan sebagai saudara, akan tetapi tidak mungkin aku membalas cintamu karena... karena cinta kasihku telah dimiliki pria lain, Twako.”
Yu Goan terbelalak, kemudian kedua lengannya bergerak ke atas, yang kanan menjambak rambut sendiri, yang kiri menutupi muka, tubuhnya gemetar dan suaranya menggetar, “Ahhhh... maafkan aku, Bwee-moi... maafkan aku...!”
Siauw Bwee memegang kedua tangan Yu Goan dan menariknya turun. Ia memandang air mata yang menetes-netes turun di wajah yang pucat itu, menahan air matanya sendiri dan mengeraskan suaranya, “Twako! Begini lemahkan engkau? Seorang pemuda gagah perkasa, begini sajakah kekuatan batinmu?”
Yu Goan memandang dara itu, lalu memejamkan mata dan menundukkan mukanya. “Maafkan aku... maafkan...”
Siauw Bwee mengguncang kedua lengan pemuda itu. “Yu-twako! Engkau mengatakan bahwa engkau cinta kepadaku, akan tetapi kalau ternyata bahwa engkau menderita batin karena aku tidak bisa membalas cintamu, berarti bahwa engkau bukan mencinta aku, melainkan mencinta dirimu sendiri!”
Yu Goan mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang terbelalak. “Apa maksudmu, Bwee-moi?”
“Di balik cintamu itu tersembunyi nafsu mementingkan diri sendiri, tersembunyi keinginan untuk menyenangkan diri sendiri. Kau ingin dicinta, ingin memiliki, itu bukanlah cinta sejati, Twako, melainkan cinta diri yang bergelimang nafsu. Karena di balik cintamu bersembunyi hal-hal itulah maka engkau menjadi berduka dengan merasa sengsara ketika mendengar bahwa aku tidak dapat membalas cintamu! Renungkanlah, Twako, siapakah yang kau cinta itu? Aku ataukah dirimu sendiri?”
Yu Goan termenung, tangannya mengusap air mata yang membasahi pipi, kemudian ia mengangguk. “Akan tetapi... adakah cinta yang murni, tanpa keinginan untuk tidak berpisah lagi selamanya dari orang yang dicintanya?”
“Tentu saja ada, Twako. Cinta murni melupakan keinginan hati sendiri, hanya ingin melihat orang yang dicintanya bahagia. Karena kita yakin bahwa aku tidak mungkin membalas cinta kasihmu, rubahlah cintamu itu, bersihkan dari pada nafsu birahi. Lihatlah, aku memegang tanganmu, tanpa getaran nafsu, akan tetapi dengan rasa cinta sepenuhnya, cinta saudara. Dapatkah engkau merasakan itu, Twako?”
Yu Goan memandang tajam, kemudian menghela napas panjang dan mengangguk. “Aku mengerti, Bwee-moi.”
Ia lalu meraih tubuh dara itu dan mencium dahinya, ciuman yang lembut dan bersih dari pada nafsu, jauh dari pada kemesraan kasih sayang lawan kelamin. Siauw Bwee dapat melaksanakan pula hal ini, maka dia tidak kaget, tidak membantah, dan diam-diam ia merasa bersyukur dan kagum bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang memiliki budi pekerti yang bersih.
Yu Goan menekan keharuannya dan melepaskan pelukannya. Mereka hanya duduk berhadapan, saling berpegang tangan. Kini terbayang senyum di bibir Yu Goan biar pun pada matanya yang biasanya tajam penuh kegembiraan itu kini berganti pandang sayu tanda bahwa hatinya terluka oleh ujung anak panah Dewa Cinta yang beracun...
“Tangkap mereka dengan jala!” tiba-tiba Si Sastrawan mengeluarkan aba-aba.
“Wuuuuttt! Wuuuuutttt!” Para pengeroyok itu dengan cepat sekali telah mengeluarkan jala yang istimewa.
Jala ini amat lebar dan ringan, namun demikian kuat sehingga dengan jala ini mereka biasanya menangkap binatang-binatang buas seperti harimau, beruang dan lain-lain! Juga agaknya mereka ahli mainkan jala-jala itu yang kedua ujungnya dipegang oleh dua orang, kemudian mereka mengayun dan menggerakkan jala-jala itu seperti orang bermain tari naga. Bagaikan dua ekor naga besar, kini dua buah jala yang dimainkan empat orang itu menyerang Siauw Bwee dan Yu Goan. Sedangkan para pengeroyok lain masih tetap mengeroyoknya, terutama Si Sastrawan yang melancarkan pukulan-pukulan berat kepada Yu Goan, sedangkan Siauw Bwee dikeroyok sisa-sisa orang liar itu.
Yu Goan menggerakkan pedangnya membacok sekuat tenaga untuk memutus jala yang melayang-layang ringan di atas kepalanya itu. Akan tetapi betapa kaget hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa pedangnya tidak mampu membikin putus tali jala. Kiranya jala itu terbuat dari pada benang-benang yang amat luar biasa, berwarna hitam mengkilap dan amat ringan, halus dan ulet sekali, dapat mulur sehingga bacokan senjata tajam itu sama sekali tidak berbekas. Yu Goan merasa seolah-olah senjatanya membacok asap saja!
Sementara itu, jala yang melayang-layang itu menyambar turun. Yu Goan cepat meloncat jauh ke kiri untuk mengelak. Dua orang pengeroyok menubruknya dari kanan kiri dan dia berhasil membuat mereka terhuyung-huyung dengan pukulan tangan kiri dan sabetan pedang ke arah kaki orang kedua.
“Dukkk!” Pukulan Si Sastrawan menyerempet punggungnya.
Yu Goan terhuyung, pandang matanya berkunang. Biar pun pukulan itu tidak tepat kenanya, namun karena mengandung tenaga sinkang yang hebat, dia merasa tubuhnya tergetar dan cepat-cepat pemuda ini mengatur pernapasan. Pada saat itu bayangan jala sudah melayang turun lagi menimpa ke arah kepalanya!
Yu Goan melempar tubuhnya ke bawah dan berusaha mengelak dengan cara bergulingan ke atas tanah. Akan tetapi ternyata dua orang yang memegang jala itu adalah ahli-ahli yang cekatan sekali. Jala mereka sudah melayang dan kalau tadi bergulung-gulung kini jala itu terbuka dan terbentang selebarnya, langsung menutup tubuh Yu Goan yang tidak mungkin mengelak lagi.
Yu Goan makin kaget dan cepat ia mengerahkan ginkang-nya, meloncat bangun dan memutar pedangnya. Akan tetapi jala itu seperti hidup, bergerak menggulungnya dan makin keras ia meloncat, makin keras pula ia terbanting karena jala itu bersifat mulur seperti karet namun kuat melebihi baja. Tubuh Yu Goan tergulung jala dan pedangnya terlepas, jauh di luar jala. Ketika Yu Goan hendak mengambilnya, pedang itu sudah disambar oleh seorang pengeroyok. Kemudian jala itu terus diguling-gulingkan sehingga tubuh Yu Goan terbelit-belit ketat dan tak dapat berkutik pula!
MELIHAT ini Siauw Bwee kaget dan marah sekali. Dengan sinkang-nya yang istimewa kuatnya itu pun Siauw Bwee tidak mampu membikin putus jala dengan pedangnya. Akan tetapi dengan ginkang-nya yang membuat dia bergerak seperti kilat itu membuat mereka yang menggunakan jala tidak mungkin dapat menangkapnya!
Dara itu mencelat ke sana sini, dikejar bayangan jala sehingga kelihatannya seperti dia bermain-main, di antara dua orang pemegang jala, bermain loncat-loncatan dengan gaya yang indah sekali! Kini keadaannya berubah. Melihat Yu Goan tertawan, Siauw Bwee mengeluarkan suara melengking nyaring, pedangnya bergerak ke depan dan robohlah seorang pemegang jala dengan kulit dada robek dari kiri ke kanan, lukanya cukup dalam karena dalam penyerangannya sekali ini Siauw Bwee menambah tenaganya.
“Bebaskan dia, kalau tidak, aku akan membunuh kalian semua!” bentaknya.
Didahului sinar pedangnya yang berkelebat, bagai seekor burung garuda menyambar, tubuhnya sudah melayang ke arah Si Sastrawan. Sastrawan itu cepat mengelak, akan tetapi....
“Brettt!” kedua helai pita rambut sastrawan itu yang panjang terbabat putus!
“Kalau tidak kau lepaskan dia, lehermu yang akan putus!” Siauw Bwee yang sudah marah sekali itu membentak.
Tiba-tiba sastrawan itu menggulingkan tubuhnya, bergulingan dan tahu-tahu ia sudah berada di dekat Yu Goan yang sudah terbelenggu seluruh tubuhnya oleh jala dan tak dapat bergerak itu.
“Bergeraklah dan sahabatmu ini akan kubunuh lebih dulu!” Si Sastrawan berseru sambil menodongkan pedang Yu Goan ke punggung pemuda yang rebah miring itu.
Siauw Bwee terkejut, terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Tak disangkanya bahwa Si Sastrawan itu ternyata amat cerdik dan licik. Pada saat dia terkejut dan berdiri termangu itu, tiba-tiba sebuah jala melayang dari atas dan tahu-tahu tubuhnya sudah tertutup jala.
Siauw Bwee kaget dan cepat ia mencelat ke atas. Jala itu terbawa melayang ke atas dan ketika kedua orang pemegangnya menggerakkan tangan, jala itu terputar-putar dengan tubuh Siauw Bwee di dalamnya. Akan tetapi tiba-tiba dara perkasa itu berseru keras dan tubuhnya dalam jala meluncur dengan kekuatan yang luar biasa sehingga dua orang pemegang jala di kanan kiri itu tidak dapat bertahan dan mereka ikut tertarik, roboh terseret ke depan!
Para pengeroyok, dan juga Si Sastrawan yang meninggalkan Yu Goan untuk membantu teman-temannya menundukkan dara yang amat lihai itu, datang menyerbu ke arah tubuh Siauw Bwee yang sudah mulai tergulung jala. Akan tetapi biar pun tubuhnya sudah dibelit-belit jala, Siauw Bwee masih memegang pedangnya. Begitu tubuhnya mencelat ke depan, robohlah tiga orang pengeroyok termasuk Si Sastrawan yang kena ditendang dadanya, seorang dipukul kepalanya dan seorang lagi hampir putus pahanya terkena pedang dara perkasa itu yang meluncur keluar dari dalam jala!
“Tahan...!” tiba-tiba terdengar seruan halus.
Mendengar seruan ini, para pengeroyok seketika menghentikan sernua gerakan mereka dan menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, kecuali Si Sastrawan yang berdiri dengan muka tunduk ke arah kakek yang tiba-tiba muncul di tempat itu.
“Lepaskan mereka berdua! Buka jala-jala itu!” Kembali kakek itu berseru halus dan para pengeroyok tadi kini sibuk membuka jala dari kanan kiri dan melepaskan belitan-belitan yang amat kuat itu.
Yu Goan yang sudah terbebas dari dalam jala menyambar pedang dan sarung pedangnya yang dilempar di atas tanah oleh Si Sastrawan, kemudian pemuda itu berdiri dekat Siauw Bwee yang sudah bebas lebih dulu. Mereka berdiri memandang kakek yang datang itu dan siap menghadapi segala kemungkinan tanpa mengeluarkan suara. Ketika mereka mengerling kiranya di situ sudah berkumpul banyak sekali orang-orang liar itu.
Ada pun kakek yang muncul itu agaknya adalah ketua mereka, melihat dari sikap hormat dan takut semua orang liar, kecuali Si Sastrawan yang kelihatannya bersikap takut hormat buatan. Sikapnya yang palsu ini diam-diam tidak terlepas dari pandang mata Yu Goan dan Siauw Bwee.
Kakek itu sudah tua sekali, jenggot dan rambutnya yang tidak terpelihara baik-baik itu sudah putih. Matanya cekung dan tubuhnya yang jangkung itu amat kurus, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar yang aneh, lebih mencorong dari pada mata orang-orang liar itu! Pakaiannya juga sederhana sekali sehingga tampak jelas betapa bedanya dengan pakaian Si Sastrawan.
“Jala-jala itu kubikin untuk menangkap binatang buas, untuk memenuhi kebutuhan perut kita. Mengapa sekarang kalian pergunakan untuk menangkap manusia-manusia? Bukankah aku sudah melarang kalian bertanding dengan orang luar?”
Para pengeroyok tadi tidak ada yang menjawab, hanya berlutut dan menundukkan muka, akan tetapi beberapa orang di antara mereka melirik ke arah Si Sastrawan, seolah-olah menyerahkan jawabannya kepada sastrawan itu.
Kakek itu dapat menangkap sikap anak buahnya ini, maka dia menoleh ke arah sastrawan itu dan berkata, “Ang-siucai, engkau adalah tamu terhormat di sini, mengapa membawa anak buah kami untuk mengeroyok dua orang muda ini?”
Sastrawan itu menjura dan menjawab dengan suara tenang, “Harap Pangcu (Ketua) suka memaafkan saya. Karena dua orang ini melanggar wilayah Pangcu dan sikap mereka mencurigakan, maka saya mengusulkan kepada kawan-kawan untuk menangkap mereka dan membawa mereka ke depan Pangcu untuk diadili. Akan tetapi mereka berdua tidak mau menyerah, bahkan melawan sehingga terjadilah pertempuran.”
Kakek itu mengerutkan keningnya. “Hemmm, tidak pernah aku memerintahkan untuk mengganggu orang yang lewat, asal mereka tidak mengganggu kami. Biarlah sekali ini aku tidak akan menghukum anak buahku. Dan kuharap Ang-siucai suka ingat agar tidak melakukan hal seperti ini pula, karena kalau demikian, terpaksa aku tidak akan dapat menganggap engkau sebagai tamu terhormat dan sahabat baik lagi. Nah, harap kalian semua kembali lebih dulu!”
Anak buah orang-orang liar itu bersama Si Sastrawan lalu bangkit dan pergi dari situ dengan kepala menunduk. Mereka itu semua kelihatan patuh dan sama sekali tidak memperlihatkan muka penasaran, akan tetapi dengan kerling matanya Siauw Bwee dapat menangkap ketidak-puasan membayang di wajah sastrawan itu, bahkan mulut sastrawan itu membayangkan senyum mengejek. Hemm, orang itu bukan seorang baik-baik, pikir Siauw Bwee. Akan tetapi karena urusan orang-orang itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dia, maka dia pun diam saja dan hanya memandang kakek yang masih berdiri di depannya.
Kakek itu sejenak memandang kepada Yu Goan, kemudian memandang lebih lama dan penuh perhatian kepada Siauw Bwee, kemudian membungkuk dan berkata, “Harap Ji-wi suka memaafkan kekerasan anak buahku yang tidak berpendidikan. Melihat gerakan-gerakan Lihiap tadi, aku percaya bahwa Lihiap tentulah seorang pendekar muda yang menjadi murid seorang sakti.”
Siauw Bwee tersenyum. Biar pun sederhana keadaannya, kakek ini tidaklah sebodoh orang-orang kasar tadi, maka dia pun mengangkat kedua tangan memberi horrnat seperti yang dilakukan Yu Goan lalu berkata, “Kami berdua hanya kebetulan saja lewat di hutan sana, akan tetapi malam tadi anak buahmu mengintai kami. Kami menjadi curiga dan mengikuti jejak mereka sampai di sini dan tiba-tiba kami dikeroyok. Pangcu siapakah dan perkumpulan apakah yang Pangcu pimpin, dan di bawah tebing sana itu... apakah ada hubungannya dengan Pangcu?”
Tiba-tiba wajah kakek itu berubah agak pucat. Ia cepat menggeleng kepala sambil berkata, “Harap Lihiap tidak bertanya-tanya lebih banyak lagi. Aku sudah mohon maaf atas kelancangan anak buahku. Sudahlah, aku minta dengan hormat sukalah Ji-wi meninggalkan tempat ini dan harap jangan menceritakan orang lain akan keadaan kami, dan jangan pula kembali ke tempat ini. Percayalah, aku seorang tua yang bicara demi kebaikan Ji-wi sendiri.”
Tiba-tiba kakek itu mengerutkan keningnya, menyentuh dahi dengan tangan kanan. Mukanya berubah pucat membiru, matanya dipejamkan, mulutnya menyeringai dan seluruh tubuh tergetar menggigil seperti orang kedinginan hebat. Giginya saling beradu dan akhirnya kakek itu menjatuhkan diri di atas tanah, mengeluh dan mengerang kedinginan, mukanya makin membiru.
“Pangcu...”
“Sssttt...!” Yu Goan mencegah Siauw Bwee dan ketika nona ini memandang temannya, pemuda itu mendekati ketua itu dan memandang penuh perhatian dengan alis berkerut.
Kini wajah kakek itu mulai putih kembali, dari biru menjadi putih dan tubuhnya tidak menggigil lagi. Dia dapat duduk bersila tenang dan wajahnya yang pucat itu mulai kemerahan. Akan tetapi betapa terkejut hati Siauw Bwee ketika melihat bahwa muka itu makin lama makin merah dan tubuh kakek itu seolah-olah mengeluarkan hawa panas yang sampai terasa olehnya. Kakek itu kembali tersiksa, kini seperti seekor cacing terkena abu panas, bergulingan di atas tanah!
“Pangcu...” Kembali Siauw Bwee melangkah maju.
“Jangan, biarkan saja. Dia sedang terancam jiwanya oleh penyakit yang amat berat, aku sedang mempelajari penyakitnya.”
Seperti tadi Yu Goan mendekat dan memandang penuh perhatian. Siauw Bwee merasa heran dan juga kagum. Kiranya pernuda itu, yang sudah ia saksikan ilmu silatnya yang sungguh tak boleh dikatakan masih rendah tingkatnya, bahkan amat tinggi mutunya, memiliki pula ilmu kepandaian pengobatan! Pemuda yang aneh dan mengagumkan!
Kurang lebih satu jam lamanya kakek itu menderita, akhirnya keadaannya tenang kembali. Dia membuka mata, mengeluh dan meloncat bangun, menghapus keringat dari dahi dan lehernya, memandang kepada dua orang muda itu dan berkata perlahan, “Maafkan... ah, aku telah membuat Ji-wi kaget saja. Sedikit gangguan kesehatanku...”
“Gangguan kesehatan? Aihh, Pangcu tidak tahukah Pangcu bahwa yang Pangcu ceritakan ini bukan sekedar gangguan kesehatan, melainkan ancaman jiwa Pangcu? Pangcu telah menderlta keracunan hebat sekali, racun yang menimbulkan hawa meresap ke dalam pusar dan mempengaruhi seluruh tubuh Pangcu!”
Kakek itu menjadi pucat wajahnya. “Bagaimana Sicu bisa tahu?”
“Sedikit-sedikit aku tahu akan ilmu pengobatan, Pangcu. Bolehkah aku memeriksanya?”
Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian duduk bersila dan Yu Goan mempersilakan dia membuka bajunya. Dengan gerakan tangan tetap pemuda itu lalu memeriksa denyut nadi, kemudian menempelkan telapak tangan ke pusar dan ke atas kedua dada kakek itu. Keningnya berkerut tanda bahwa pemuda itu memusatkan pikiran, kemudian berkata, “Benar seperti dugaanku. Pangcu terkena racun yang amat hebat. Bukankah kadang-kadang hawa sinkang di tubuh Pangcu tak dapat dikendalikan, di pusar terasa sakit seperti ditusuk, dada sesak dan kadang-kadang terasa amat dingin ada kalanya amat panas hampir tak tertahankan? Pandangan mata menjadi berkunang telinga terdengar bunyi melengking?”
Kakek itu terbelalak. “Sicu benar! Ahh, kiranya Sicu seorang ahli yang pandai. Bolehkah aku mengetahui siapa guru Sicu?”
“Aku mendapat ilmu pengobatan dari kakekku sendiri yang berjuluk Yok-sanjin.”
“Ahh, kiranya Si Raja Obat Song Hai?” kakek itu berseru girang, lalu merangkap kedua tangannya. “Mohon pertolongan Sicu untuk mengobati dan menolong nyawaku.”
“Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menolong sesamanya yang menderita, Pangcu. Akan tetapi mengobati Pangcu tidaklah mudah, membutuhkan tenaga sinkang yang amat besar dan pula bukan di sini tempatnya.”
“Ahh, aku berlaku kurang hormat. Marilah, silakan Ji-wi datang ke tempat kami!”
Yu Goan mengangguk dan Siauw Bwee memandang kepadanya dengan penuh rasa kagum. Mereka berdua mengikuti kakek itu pergi meninggalkan tebing menuju ke dalam hutan.
Di tengah jalan Siauw Bwee berkata, “Wah, kiranya engkau seorang ahli pengobatan yang lihai, Yu-twako.”
“Ahh, pengertianku hanya dangkal saja, Lihiap. Pula aku merasa sangsi, apakah aku akan cukup kuat untuk menyembuhkan orang tua ini.”
“Harap Sicu jangan khawatir. Berhasil atau tidak bukanlah soal bagiku. Aku tetap berterima kasih kepada Sicu yang telah sudi melimpahkan budi dan berusaha menolong aku, padahal tadi anak buahku telah mengganggu Ji-wi. Bolehkah aku mengetahui Ji-wi yang gagah? Aku sendiri bernama Ouw Teng dan sudah belasan tahun menjadi ketua di sini.”
Siauw Bwee dan Yu Goan menjura dan pemuda itu berkata, “Lihiap ini adalah Khu Siauw Bwee, dan aku bernama Yu Goan.”
Biar pun kakek itu belum pernah mendengar nama dua orang muda itu, namun karena sudah lama dia tidak muncul di dunia kang-ouw, dia percaya bahwa mereka itu tentulah tokoh-tokoh muda murid orang pandai, maka ia bersikap menghormat sekali. Setelah melalul jalan berliku-liku, akhirnya tibalah mereka di perkampungan yang sederhana, di tengah hutan gelap akan tetapi tanah di daerah ini amat subur dan sebagian dari hutan itu telah berubah menjadi sawah dan kebun sayur.
“Daerah kami ini jarang didatangi orang luar dan kami hidup tenang di sini, tidak pernah kekurangan makan. Di dalam kesederhanaan kami, kami tidak membutuhkan apa-apa, karena itu kami hidup cukup bahagia,” kata Ouw-pangcu sambil mempersilakan kedua orang muda itu memasuki pondok terbesar yang menjadi rumahnya.
Orang-orang yang berpakaian sederhana seperti yang mengeroyok mereka tadi nampak hilir mudik dan sibuk bekerja. Agaknya mereka semua telah mendengar tentang kedua orang muda itu, maka mereka memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani membuka suara karena kini dua orang muda itu datang bersama ketua mereka.
Diam-diam Yu Goan tersentuh oleh ucapan ketua itu. Terbukti kebenaran pelajaran yang pernah ia dengar dari kakeknya bahwa kebahagiaan hanya dapat dirasakan oleh orang yang tidak membutuhkan apa-apa! Bahkan tidak membutuhkan kebahagiaan itu sendiri! Keinginan timbul karena panca indera ditempeli pikiran yang membayangkan dan mengenang segala pengalaman kenikmatan jasmani dan kesenangan.
Kalau keinginan sudah timbul, maka memuaskan keinginan itulah yang menciptakan kebutuhan. Ada kebutuhan disusul dengan usaha pencarian, yaitu mencari apa yang dibutuhkan. Sungguh berlika-liku dan sulit ditempuh, padahal setelah mencapai apa yang dicari, hahya mendatangkan kesenangan sesaat saja, kemudian dilupakan untuk disambung kebutuhan lainnya yang tak kunjung habis, tak kunjung henti karena kebutuhan itu diciptakannya sendiri tanpa sadar.
Betapa mungkin manusia yang selalu dikejar-kejar kebutuhan yang diciptakan sendiri oleh kehausan dan kerakusan akan kenikmatan duniawi dapat merasakan kebahagiaan? Kebahagiaan bukanlah senang bukan pula susah, bukan untung bukan pula rugi, karena itu tidak ada kebalikannya, tidak ada perbandingannya. Jika masih dapat dibandingkan, itu bukanlah bahagia!
Pondok tempat tinggal Ouw Pangcu cukup besar, akan tetapi amatlah sederhana. Dindingnya terbuat dari pada bata bertumpuk-tumpuk secara kasar, daun pintunya dari kayu dengan bentuk bersahaja. Pembaringan kakek ini pun hanya merupakan sebuah dipan bambu! Belum pernah selama hidupnya dua orang muda itu melihat seorang ketua semiskin ini!
Yu Goan dan Ouw-pangcu duduk berhadapan di atas dipan, ada pun Siauw Bwee duduk di atas bangku tak jauh dari situ, mendengarkan percakapan dua orang itu. Dia sendiri tidak mengerti ilmu pengobatan, maka dia hanya ingin menonton bagaimana sahabatnya itu mengobati Ouw-pangcu.
“Bagaimanakah aku sampai keracunan? Aku sama sekali tidak pernah bertanding dengan orang lihai dan tidak pernah kena pukul,” kata kakek itu menyatakan keheranannya, biar pun dia tidak meragukan keterangan Yu Goan yang cocok dengan penderitaannya.
”Engkau tidak terluka oleh pukulan, Pangcu. Akan tetapi karena makanan atau minum sesuatu yang dicampuri racun. Dan racun ini mengacaukan hawa murni di tubuhmu. Karena engkau telah melatih diri dengan sinkang yang tinggi dan aneh, yang agaknya telah dapat kau kuasai sedemikian rupa sehingga engkau mampu mempergunakan Im-kang dan Yang-kang yang amat kuat, maka kini kedua hawa yang sifatnya bertentangan itu saling menggempur tubuhmu sendiri.”
Kakek itu membelalakkan matanya. “Betapa mungkin makanan atau minumanku diracuni orang? Akan tetapi... keteranganmu tepat sekali, Sicu. Memang aku telah melatih diri dengan sinkang yang... yang...,” kakek itu kelihatan ragu-ragu.
“Hemm, bukankah engkau melatih Im-yang-sinkang secara berbareng dan pandai pula menggunakan kedua sinkang itu secara berbareng?” tiba-tiba Siauw Bwee menyambung ketika melihat kakek itu agak ragu-ragu untuk memberi tahu.
Kakek itu makin kaget dan memandang Siauw Bwee penuh kagum. “Engkau tahu akan hal itu, Nona? Bukan main! Agaknya di dunia ini penuh dengan orang-orang muda yang berilmu tinggi! Tidak salah, sesungguhnya ilmuku ini merupakan rahasia. Akan tetapi heran sekali, mengapa engkau dapat menduga begitu tepat, dan Sicu ini dapat pula memberi keterangan yang cocok.”
“Hemm, apa anehnya Pangcu?” Siauw Bwee berkata. “Anak buahmu tidak pandai ilmu silat tinggi, namun mereka rata-rata memiliki sinkang yang amat kuat. Dan juga sastrawan itu...”
Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat. “Aihh! Apakah bisa jadi...?”
“Apa yang hendak kau katakan, Pangcu?” Yu Goan berkata.
“Racun itu...! Anak buahku tidak mungkin meracuniku, akan tetapi dia... Ang-siucai itu... dia banyak mengajarkan ilmu masakan kepada para koki kami! Dan anggur yang dibuatnya itu...!” Tiba-tiba ia menarik napas panjang, kemudian melanjutkan dengan suara lirih hampir berbisik. “Ah, aku sudah membuka rahasia. Akan tetapi agaknya keadaan gawat, dan entah mengapa, timbul kepercayaan besar di hatiku terhadap Ji-wi. Biarlah kuceritakan keadaan kami sebelum engkau mencoba mengobatiku, Sicu.”
Kakek ini dengan suara perlahan lalu menceritakan keadaan orang-orang di situ yang dipimpinnya. Dahulu di tempat itu tinggal sekelompok orang, kurang lebih dua ratus orang jumlahnya, yang hidupnya masih terbelakang dan jarang bertemu dengan orang luar. Mereka hidup sederhana, bahkan masih setengah liar. Kemudian muncullah seorang kakek sakti yang aneh dan berilmu seperti dewa. Melihat keadaan sekelompok manusia yang wajar dan sederhana ini, kakek itu lalu memimpin mereka dan mengajarkan ilmu kepandaian agar mereka itu dapat menjaga diri dan dapat mengalahkan segala tantangan hidup dalam dunia yang masih liar itu.
“Karena pimpinan Locianpwe itulah maka kami memiliki sedikit ilmu kepandaian sehingga kami dapat menangkap binatang buas yang bagaimana kuat pun. Akan tetapi, sungguh celaka, nasib buruk menimpa kami. Tidak lama setelah Locianpwe itu berada di sini dan beliau suka sekali hidup di antara orang-orang yang masih sederhana, wajar dan liar seperti kami, mala-petaka menimpa kami, yaitu berupa penyakit yang menyeramkan.”
“Penyakit apakah, Pangcu?” Siauw Bwee bertanya, hatinya tertarik sekali mendengar penuturan itu dan menduga-duga siapa gerangan kakek sakti itu.
“Penyakit kusta.”
“Kusta...?” Yu Goan sebagai seorang ahli pengobatan tentu saja merasa ngeri mendengar penyakit yang belum pernah dapat diobati itu. “Lalu bagaimana, Pangcu?”
“Inilah sebetulnya rahasia besar kami yang sekarang kubuka kepada Ji-wi karena Ji-wi sudah kuanggap bukan orang lain. Mereka yang terkena penyakit itu terpaksa harus menjauhkan diri agar jangan sampai menular kepada orang lain. Hal ini diatur oleh Locianpwe itu dan mereka itu ditempatkan di lembah.”
“Di bawah sana itu? Jadi orang-orang di bawah itu adalah penderita-penderita penyakit kusta?” tanya Siauw Bwee.
“Benar, jadi di antara mereka dan kami sebenarnya masih ada hubungan erat, bahkan masih keluarga, dan lebih lagi, di antara mereka yang menderita itu terdapat ketua kami yang dahulu dipilih oleh Locianpwe itu sehingga sampai sekarang pun, tingkat kedudukan mereka lebih tinggi dari pada kami orang-orang penghuni hutan di bukit ini. Karena penderitaan mereka itulah, Locianpwe menurunkan ilmu melatih sinkang yang disebut Jit-goat-sinkang (Hawa Sakti Matahari Bulan). Hanya mereka yang berada di lembah saja yang memperoleh ilmu itu, dan di atas sini hanya ketuanya, yaitu aku sendiri yang mendapatkan ilmu itu. Aku melatih sinkang itu dengan mengambil tenaga sakti matahari dan bulan, kulatih bertahun-tahun. Siapa mengira, sekarang aku menjadi korban dari sinkang itu sendiri.”
“Kenapa engkau keracunan, Pangcu? Dan agaknya ada orang yang sengaja meracunimu,” kata Yu Goan.
“Tentu orang yang tahu akan Jit-goat-sinkang, dan satu-satunya... hemmm, hanya Ang-siucai yang kuberi tahu akan rahasia ilmu itu untuk membalas budinya. Setelah Locianpwe itu pergi beberapa tahun yang lalu, datanglah Ang-siucai sebagai utusan pemerintah yang bersikap baik sekali kepada kami, mengajarkan masak dan baca tulis.
Mungkinkah dia...? Aihh, jangan-jangan sikap beberapa orang anak buahku yang berubah ini pun hasil perbuatannya! Celaka, dan aku terluka. Ah, Sicu, tolonglah aku agar aku dapat menyelidiki hal ini dan mencegah terjadinya hal yang lebih hebat lagi. Aku khawatir kalau-kalau akan terjadi pemberontakan di sini. Dalam beberapa bulan ini aku sudah melihat gejala-gejala perlawanan dan sikap tidak mau menaati perintahku, termasuk penyerangan mereka kepada Ji-wi tadi.”
“Baik, Pangcu. Akan kucoba. Silakan Pangcu duduk bersila dan aku akan membantu membersihkan hawa beracun yang mengacaukan sinkang di tubuhmu.” kata Yu Goan.
Pemuda ini lalu duduk bersila di atas dipan, di belakang kakek itu. Ia kemudian menempelkan kedua telapak tangannya di atas punggung yang telanjang itu, mengerahkan sinkang-nya. Tak lama kemudian, Yu Goan berteriak keras dan tubuhnya terpelanting jatuh dari atas dipan, mukanya pucat penuh keringat dan matanya terbelalak. Siauw Bwee cepat menyambar lengan Yu Goan dan membantu pemuda itu berdiri.
Kakek itu menoleh dan mengerutkan alisnya yang putih. “Bagaimana, Sicu?”
“Bagaimana, Twako? Kenapa kau jatuh?” Siauw Bwee juga bertanya.
Yu Goan mengusap peluhnya dan menggeleng kepala. “Percuma. Agaknya Jit-goat-sinkang yang kau miliki itu luar biasa kuatnya, Pangcu. Aku tidak kuat menahan. Untuk mengobatimu membutuhkan orang yang memiliki sinkang jauh lebih tinggi dari pada kekuatanmu sendiri. Sinkang-mu yang dua macam saling berlawanan itu mana mungkin dilawan orang biasa seperti aku? Yang mengobati harus membagi tenaganya, sebagian untuk menahan penolakan Jit-goat-sinkang yang berlawanan itu, sebagian untuk mengirim hawa murni ke pusarmu dan membantumu menguasai kembali sinkang-mu dan bersama-sama mengusir hawa beracun. Tak mungkin aku melakukannya, bahkan seluruh sinkang-ku masih tidak kuat menghadapl pergolakan Jit-goat-sinkang yang saling berlawanan itu, apa lagi untuk mengusir hawa beracun.”
“Aihh, sudah nasibku. Untuk menghadapi maut, bagiku bukan apa-apa, karena aku pun sudah cukup tua. Akan tetapi kalau yang kukhawatirkan terjadi, kalau sampai timbul pemberontakan, celakalah anak buahku semua...” Kakek itu mengeluh dengan air muka berduka sekali.
“Pangcu, jangan khawatir. Aku akan membantumu mengobati penyakitmu. Twako, jelaskan apa yang harus kulakukan?”
“Khu-lihiap..., hal itu... berbahaya sekali. Jit-goat-sinkang di tubuhnya liar dan amat kuatnya. Salah-salah engkau akan terluka parah di sebelah dalam tubuhmu!”
“Sicu benar, Lihiap. Harap jangan main-main dan mengorbankan diri sendiri untukku,” Ouw-pangcu juga berkata dengan hati tulus.
Siauw Bwee tersenyum. “Kalau belum dicoba mana kita tahu, Twako? Biarlah aku mencobanya.”
“Khu-lihiap, ini bukan main-main, mana boleh dicoba-coba? Aku tahu bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi dari pada tingkatku. Aku tidak hendak mengatakan bahwa sinkang-mu lebih lemah dari pada sinkangku, akan tetapi betapa pun, tak mungkin dapat melawan Jit-goat-sinkang yang liar di tubuh Ouw-pangcu.”
Kembali Siauw Bwee tersenyum. “Ouw-pangcu, Locianpwe yang kau sebutkan tadi, apakah dia seorang kakek bertubuh kecil seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar sekali dan namanya Bu-tek Lo-jin?”
Ouw-pangcu begitu kaget mendengar ini sampai dia meloncat turun dari dipan dan memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak. “Ini... ini... rahasia besar... bagaimana Lihiap bisa tahu...?” tanyanya gugup.
Yu Goan juga terkejut. Dia pernah mendengar dari ayahnya akan nama Bu-tek Lo-jin itu, seorang manusia setengah dewa yang sakti dan aneh sekali, bahkan lebih terkenal dari pada nama Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, dua orang kakek beradik yang tidak lumrah manusia itu dan hanya kalah kebesaran dan keanehannya oleh Bu Kek Siansu!
“Karena engkau telah mempercayakan rahasiamu kepadaku, Pangcu, dan karena aku sudah percaya penuh kepada Yu-twako, maka tidak perlu aku menyembunyikan rahasia diriku lagi. Aku mendengar nama besar Bu-tek Lo-jin dari suheng-ku ketika aku digemblengnya di Pulau Es.”
“Pulau Es...?” Kini seruan itu keluar hampir berbareng dari mulut Yu Goan dan Ouw-pangcu.
“Khu-lihiap, jadi engkau... murid penghuni Istana Pulau Es? Engkau murid manusia dewa Bu Kek Siansu...?” Yu Goan bertanya dengan mata terbelalak.
Siauw Bwee tersenyum, mengangguk. “Aku murid beliau, akan tetapi beliau tidak ikut bersama kami ke Pulau Es dan yang mengajarku adalah Suheng. Penghuni Pulau Es hanyalah kami bertiga, aku, suci-ku dan suheng-ku.”
“Ah, aku bersikap kurang hormat...!” Ouw-pangcu cepat menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi baru setengahnya, tangan Siauw Bwee telah menangkap lengannya dan sekali tarik, tubuh kakek itu telah melayang ke atas dipan!
Kakek itu duduk bersila dan memejamkan mata sambil berkata, “Khu-lihiap penghuni Istana Pulau Es, aku menyerahkan nyawaku ke tangan Lihiap!”
”Jangan terlalu sungkan, Ouw-pangcu. Aku pun belum dapat menentukan apakah aku akan dapat menyembuhkanmu. Twako, jangan banyak pujian dan sungkan-sungkan lagi, lekas terangkan bagaimana caranya mengobati luka Ouw-pangcu.”
Dengan keheranan dan kekaguman masih menyelubungi hatinya, Yu Goan lalu memberi petunjuk. Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar, suara beradunya senjata dan teriakan anak buah Ouw-pangcu, “Pemberontak! Pengkhianat! Manusia palsu Ang Hok Ci!”
Ouw-pangcu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dengan tenang Siauw Bwee berkata, “Twako, kau menjaga di pintu, biar aku mengobatinya.” Lalu dara perkasa ini menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung kakek itu.
Ouw-pangcu hendak melawan karena ingin dia menghadapi para pemberontak, akan tetapi sungguh aneh, tenaga Jit-goat-sinkang di tubuhnya tiba-tiba bertemu dengan sinkang yang amat kuat, juga sinkang yang keluar dari kedua tangan dara itu merupakan dua macam sinkang, panas dan dingin. Dia terheran-heran. Apakah dara ini pandai pula Jit-goat-sinkang?
Sebenarnya bukanlah demikian. Siauw Bwee tidak pernah melakukan ilmu sinkang dari inti hawa sakti matahari dan bulan, akan tetapi dia berlatih di Pulau Es di bawah petunjuk Han Ki dan menurut kitab-kitab pelajaran Bu Kek Siansu tentu saja dia menguasai Yang-kang dan Im-yang dengan baiknya.
Sementara itu, di luar pondok terjadi perang yang amat seru. Anak buah yang masih setia kepada Ouw-pangcu diserbu anak buah lain yang telah dipengaruhi Ang Hok Ci atau Ang-siucai. Kiranya diam-diam Ang-siucai selama setengah tahun berada di situ telah menurunkan ilmu silat kepada para kawanan yang dipengaruhinya sehingga dalam pertempuran itu, anak buah Ouw-pangcu banyak yang roboh dan tewas.
“Bunuh Ouw-pangcu!” terdengar teriakan Ang-siucai.
Ternyata bahwa kini selain Ang-siucai dan para anak buah yang dapat dipengaruhinya, muncul pula beberapa orang kawan Ang-siucai yang datang dari luar dan pada saat itu sudah menyerbu masuk perkampungan itu untuk membantu pemberontakan yang dicetuskan oleh sastrawan itu! Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan Ang-siucai sendiri sekarang pun tidak pura-pura.
Biasanya dia menyembunyikan kepandaiannya, maka ia selalu bergerak dengan kaku seperti orang-orang di situ. Akan tetapi sekarang, di samping tenaga Jit-goat-sinkang yang telah dimilikinya walau pun belum mencapai tingkat tinggi, dia juga menggunakan ilmu silatnya sendiri yang ternyata cukup hebat. Seorang demi seorang robohlah para pengikut Ouw-pangcu dan sebagian kini menyerbu ke pondok tempat tinggal Ouw-pangcu!
Daun pintu dibobol dari luar dan Yu Goan cepat menggerakkan pedangnya, merobohkan orang pertama yang menyerbu masuk. Pemuda itu maklum bahwa selagi Siauw Bwee mengobati Ouw-pangcu, kedua orang itu tidak berdaya untuk membantunya. Bahkan kalau mereka berdua diganggu, amat berbahaya bagi keselamatan mereka. Selain itu, cara pengobatan menggunakan sinkang itu tidak dapat dihentikan di tengah jalan karena hal ini akan membahayakan yang diobati. Dia harus dapat bertahan seorang diri sampai Siauw Bwee selesai mengobati kakek itu.
Dua orang dengan gerakan liar menyerbu masuk dengan tangan memegang golok. Mereka menyerang berbareng ke arah Yu Goan. Pemuda ini sudah melolos pedang dari sarung pedangnya karena dia maklum akan menghadapi pengeroyokan banyak lawan. Melihat datangnya dua batang golok yang digerakkan dengan tenaga kuat itu, ia menangkis dengan pedang dan sarung pedangnya.
Untung baginya bahwa dua orang itu hanya memiliki tenaga sinkang yang amat kuat akan tetapi gerakan mereka sama sekali tidak berbahaya, maka begitu menangkis, pedangnya terus berkelebat ke kanan kiri menusuk dada dan menyabet perut. Dua orang itu berteriak keras, akan tetapi benar-benar tubuh mereka kebal, karena tusukan ke arah dada itu meleset dan hanya mendatangkan luka pada kulit, sedangkan sabetan pada perut hanya merobek baju dan kulit.
Dua orang itu sambil berteriak kaget sudah menerjang lagi dengan buas. Akan tetapi Yu Goan yang melihat betapa di belakang dua orang itu menyerbu banyak sekali lawan, bergerak cepat sekali. Serangan orang di sebelah kanannya ia elakkan sehingga orang itu terhuyung ke belakang. Cepat pedangnya dibalik dan secara tiba-tiba pedangnya menusuk ke belakang dan tepat menancap pada punggung lawan yang langsung menjerit dan muntahkan darah segar dari mulutnya, kemudian terjungkal. Ada pun penyerangnya dari kiri ia sambut dengan totokan sarung pedang pada pergelangan tangan orang itu sehingga goloknya terlempar karena tangan itu menjadi lumpuh.
Pedang Yu Goan menyambar, kini mengarah leher. Biar pun leher itu juga kebal, namun goresan itu mengenai jalan darah di leher sehingga tampak tergetar ketika bertemu dengan golok yang dipegang seorang berpakaian seperti orang Han, yang dahinya lebar sekali dan gerakan goloknya aneh dan tangkas. Bersama orang ini, menyerbu pula enam orang liar dan Yu Goan segera dikeroyok di depan pintu.
Pemuda ini memutar pedang dan sarung pedangnya. Namun kepandaian orang Han yang menjadi kawan Ang-siucai itu benar-benar tak dapat dipandang ringan sehingga Yu Goan harus bersikap hati-hati sekali. Dia memutar pedang dan sarung pedang, berloncatan ke sana-sini tanpa meninggalkan posisinya melindungi Siauw Bwee yang sedang mengobati Ouw-pangcu di sebelah belakangnya. Dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok pula, akan tetapi kini Ang-siucai sendiri bersama teman-temannya datang, dan Yu Goan terkurung oleh delapan orang termasuk Ang-siucai dan dua orang Han yang lihai!
Yu Goan bukanlah seorang pendekar muda biasa. Dia adalah putera tunggal pendekar besar Yu Siang Ki, keturunan langsung dari tokoh-tokoh besar Ketua Khong-sim Kai-pang, perkumpulan pengemis pendekar yang amat terkenal itu. Ayahnya sendiri yang telah menggemblengnya dalam ilmu silat, bahkan ayahnya yang menjadi seorang ahli ilmu tongkat keluarga Yu, telah mengubah ilmu pedang dari ilmu tongkatnya itu. Kini, Yu Goan mainkan pedang di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri yang dipergunakan sebagai tongkat, dapat menangkis dan juga menotok jalan darah lawan!
Namun, jumlah pengeroyok terlalu banyak. Roboh dua maju empat orang dan sebentar saja banyak lawan menyerobot masuk sehingga Yu Goan menjadi sibuk dan bingung juga karena dia harus melindungi Siauw Bwee dan Ouw-pangcu. Andai kata dia tidak harus melindungi dua orang itu, tentu saja sejak tadi dia sudah meloncat ke luar mencari tempat yang lebih luas agar enak dia mengamuk.
Kini di tempat sempit itu, dan separuh perhatiannya ia tujukan untuk melindungi Siauw Bwee dan Ouw-pangcu, tentu saja dia kurang menjaga diri sendiri sehingga beberapa kali dia terkena sambaran senjata yang bagaikan hujan datangnya. Pundaknya, pangkal lengan kirinya dan paha kanannya sudah terluka, namun Yu Goan tak pernah berhenti bergerak menahan musuh yang seolah-olah air bah mengancam Siauw Bwee dan Ouw-pangcu.
“Kurung dia rapat-rapat!” Ang-siucai berseru.
Kini dua belas orang mengepung Yu Goan. Pemuda ini bingung sekali karena dia tidak dapat lagi melindungi Siauw Bwee. Baginya hanyalah Siauw Bwee yang penting maka kembali dia terkena tusukan ujung golok pada dada kanannya yang mengakibatkan luka lumayan dalamnya. Hal ini dapat terjadi karena dia nekat meloncat ke luar dari kepungan mendekati Siauw Bwee. Pada saat itu, dua orang liar telah dekat di belakang Siauw Bwee, telah mengangkat golok hendak membacok wanita muda yang duduk bersila dan memejamkan mata, kedua telapak tangan menempel di punggung Ouw-pangcu itu.
“Trang-trang! Cepp! Cepp!”
Dalam kemarahan dan kegelisahannya, Yu Goan menangkis golok dari belakang, kemudian dua kali pedangnya amblas memasuki lambung dua orang itu yang tidak sempat mengerahkan sinkang karena serangan itu datangnya amat cepatnya.
“Bukkk!”
Tubuh Yu Goan terguling ketika pukulan tangan kiri Ang-siucai mengenai punggungnya. Belasan batang golok dan pedang menghujam ke bawah mengarah tubuh pemuda ini. Akan tetapi dengan sikap seperti seekor burung terbang, tubuh Yu Goan sudah mencelat ke atas dan terdengar bunyi nyaring ketika pedang dan sarung pedangnya menangkis sekian banyaknya senjata!
Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang Han pembantu Ang-siucai untuk menerjang Siauw Bwee dari belakang. Mereka telah melihat Siauw Bwee dan diam-diam mereka ini tergila-gila, maka ketika mereka menerjang, mereka tidak ingin membunuh dara jelita itu, melainkan ingin menangkapnya. Tanpa berunding lebih dulu karena memang mereka mempunyai nafsu hati yang sama, dua orang ini menubruk, seorang mencengkeram pundak kiri Siauw Bwee dan orang kedua mencengkeram pundak kanan. Niat hati mereka, dara itu akan ditangkap, dipeluk, dipondong dan dibawa lari!
“Auugghhh!”
“Aiiighhh!”
Begitu menyentuh pundak Siauw Bwee, dua orang ini terpelanting dan terbanting ke atas lantai. Yang memegang pundak kiri seketika menjadi kejang, mula-mula menggigil lalu mati kaku dengan muka dan tubuh membiru karena darahnya telah membeku terserang Im-kang yang dahsyat. Ada pun yang menyentuh pundak kanan tadi menjadi hitam seluruh tubuhnya dan mati seperti orang terbakar karena darahnya telah terbakar oleh Yang-kang!
“Ihhhh...!” Ang-siucai berteriak kaget dan memberi aba-aba kepada para kawannya agar tidak menyerang nona itu, namun terlambat. Dua orang pembantunya, anak buah Ouw-pangcu yang memberontak telah menusukkan golok mereka ke punggung Siauw Bwee. Begitu ujung golok menyentuh punggung, keduanya memekik dan terjengkang ke belakang dan mati seketika!
Pada saat itu Siauw Bwee sedang mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya, dan tenaga itu bercampur dengan tenaga Jit-goat-sinkang dari Ouw-pangcu, maka dahsyatnya bukan kepalang. Tenaga itu seolah-olah melindungi tubuh mereka berdua dan tentu saja penyerang yang kurang kuat sinkang-nya akan mati seketika seperti yang dialami empat orang sembono itu.
Ang-siucai membawa teman-temannya keluar dan kini pertandingan dilanjutkan di luar. Pihak pengikut Ouw-pangcu terdesak hebat. Yu Goan masih mengamuk dalam keadaan terkurung dan terdesak karena pemuda perkasa ini sudah menderita banyak luka. Keadaannya berbahaya sekali, namun Yu Goan sedikit pun tidak menjadi gentar dan bertekad melawan sampai detik terakhir.
Ouw-pangcu menghela napas panjang, tubuhnya bergerak dan ia berkata dengan suara nyaring, “Terima kasih, Lihiap. Budimu takkan kulupakan dan ternyata Lihiap tidak kecewa menjadi murid Bu Kek Siansu!”
“Tidak perlu berterima kasih, Pangcu. Lebih baik lekas kita membantu Yu-twako.”
Kedua orang ini meloncat ke luar. Ouw-pangcu masih bertelanjang baju dan tangannya sudah menyambar goloknya yang tadi tergantung di dinding. Begitu tiba di luar, Siauw Bwee dan Ouw-pangcu mengamuk. Terutama sekali Ouw-pangcu yang masih sempat menyaksikan Yu Goan menderita banyak luka dan orangnya banyak yang tewas. Ketua ini mengamuk seperti harimau terluka dan banyak kaum pemberontak roboh dan tewas di ujung golok atau di bawah telapak tangan kirinya.
Namun, ketika para pemberontak melemparkan senjata dan berlutut minta ampun, di antara mereka tidak terdapat Ang-siucai dan kawan-kawannya yang telah lebih dulu melarikan diri. Hanya dua orang Han yang menyerang Siauw Bwee tadi yang tewas, selebihnya telah berhasil melarikan diri semua. Ouw-pangcu yang merasa penasaran, mengerahkan orang-orangnya untuk melakukan pengejaran, namun Ang-siucai dan teman-temannya lenyap seperti ditelan bumi. Dengan hati penuh penasaran dan duka Ouw-pangcu memimpin anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan dan mengobati yang terluka.
Yu Goan menderita luka, namun tidak ada yang berbahaya. Setelah mengobati dirinya sendiri, pemuda perkasa ini lalu sibuk mengobati anak buah Ouw-pangcu yang terluka.
Hati Ouw-pangcu menjadi terharu sekali. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan Siauw Bwee dan Yu Goan. Ketika dua orang itu menolak dan membujuknya untuk berdiri, dia berkata, “Aku tidak mau berdiri kalau Ji-wi tidak suka menjadi anak-anak angkatku!”
Yu Goan dan Siauw Bwee saling pandang dan akhirnya keduanya mengangguk.
“Baiklah, Gihu!”
“Bangkitlah sekarang, Gihu!” kata pula Siauw Bwee yang mencontoh Yu Goan menyebut gihu (ayah angkat) kepada kakek itu.
Ouw-pangcu melompat bangun, tertawa bergelak dan merangkul pundak kedua orang muda itu, memandang muka mereka saling berganti penuh kebanggaan. “Ha-ha-ha-ha! Mempunyai dua orang anak angkat seperti kalian, biar sekarang mati pun aku akan mati dengan senyum bahagia!”
Siauw Bwee dan Yu Goan menjadi terharu sekali dan diam-diam mereka tidak menyesal, bahkan bangga mempunyai seorang ayah angkat yang demikian gagah perkasa, jujur, dan hidup dalam keadaan wajar. “Marilah, anak-anakku. Marilah kuajarkan ilmu melatih sinkang untuk memperoleh tenaga inti matahari dan bulan. Kebetulan bulan sedang purnama malam ini, kau bisa mulai.”
Bagi Yu Goan tentu saja ilmu ini merupakan keuntungan besar bukan main dan dengan tekun ia mulai melatih diri. Bagi Siauw Bwee, sesungguhnya dia memiliki sinkang yang lebih dahsyat dari pada yang dimililki Ouw-pangcu, akan tetapi ketika dia mempelajari teori pelajaran ini, dia mendapat kenyataan bahwa kalau orang dapat mencapai tingkat tertinggi dari ilmu ini, bukan saja akan memliiki sinkang yang dahsyat, juga akan dapat memetik hawa mukjizat dari matahari dan bulan! Maka dia pun lalu mempelajari dengan teliti dan mulai berlatih bersama Yu Goan.
Ouw Teng, ketua penghuni tebing dan hutan itu bersikap amat baik kepada Yu Goan dan Siauw Bwee. Kakek ini tidak mempunyai isteri atau anak, dan rasa terima kasih membuat dia berusaha sedapatnya untuk menyenangkan hati kedua orang anak angkatnya. Dia menceritakan segala hal mengenai keadaan para penghuni di situ tanpa menyimpan rahasia.
Anak buahnya, yaitu para penghuni tebing dan hutan, tadinya berjumlah seratus orang lebih. Mereka membentuk keluarga di situ dan beranak bini. Tetapi pemberontakan itu menewaskan belasan orang anak buahnya, sedangkan yang terbujuk oleh Ang-siucai dan tewas serta melarikan diri ada tiga puluh orang.
Setelah tinggal di tempat itu selama dua bulan, Siauw Bwee dan Yu Goan mendapat kenyataan betapa orang-orang itu sesungguhnya hidup jauh lebih bahagia dari pada orang-orang kota. Dan sesungguhnya mereka hidup dengan tenang, tenteram dan penuh damai. Tidak pernah ada percekcokan. Tidak pernah ada pencurian karena mereka tidak mengenal istilah mencuri. Semua benda yang terdapat di situ adalah milik mereka bersama dan siapa yang membutuhkan boleh mengambilnya. Tidak ada iri hati karena keadaan hidup mereka sama, bahkan Ouw-pangcu sendiri hidupnya tidak berbeda dengan mereka.
Melihat keadaan ini, Siauw Bwee diam-diam membenarkan Bu-tek Lo-jin yang menaruh kasihan dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Hidup secara liar seperti itu tentu saja lebih membutuhkan kekuatan untuk melawan ancaman binatang buas, penyakit yang timbul dari hawa udara dan lain ancaman lagi. Karena melihat bahwa mereka itu hanya memiliki kekebalan, Siauw Bwee lalu mengajarkan beberapa jurus ilmu pukulan dan ilmu meringankan tubuh.
Kini ia mendapat kenyataan bahwa ketika malam-malam mereka mengintai dia dan Yu Goan, mereka itu melenyapkan diri bukan karena memiliki gerakan cepat, melainkan karena mempunyai tempat persembunyian di hutan-hutan yang tentu saja sudah mereka kenal betul keadaannya. Pula, karena mata mereka mengeluarkan cahaya mencorong berkat sinkang mereka, maka begitu mereka memejamkan mata dan mendekam di tempat gelap, Siauw Bwee tidak dapat melihat mereka.
Bagi Siauw Bwee yang sudah mengalami banyak hal aneh, bahkan pernah tinggal di Pulau Es yang sunyi, kini tinggal di dalam hutan di antara orang-orang yang demikian sederhana hidupnya, ia merasakan ketenteraman hati yang amat menyenangkan. Ia merasa kerasan di tempat itu, hidup di antara pohon-pohon dan tanaman-tanaman liar, tidak pernah terlihat kemewahan kota, tidak pernah melihat kesibukan manusia mengejar uang, tidak pernah melihat percekcokan-percekcokan.
Juga Yu Goan, di samping tekun melatih diri dengan Ilmu Jit-goat-sinkang, juga merasa amat senang tinggal di situ. Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Siauw Bwee, pemuda ini maklum bahwa jangankan tinggal di tempat yang tenang itu, biar tinggal di dalam neraka sekali pun dia akan merasa senang kalau di situ terdapat Siauw Bwee di sampingnya!
Pemuda ini menyadari sedalamnya bahwa dia telah jatuh cinta kepada dara jelita yang sakti itu. Jatuh bertekuk lutut, mencinta Khu Siauw Bwee bukan hanya dengan jiwa raganya, melainkan seluruh hidupnya seakan-akan kini ia tujukan demi cinta kasihnya kepada dara itu! Dia tidak berani mengeluarkan isi hatinya, akan tetapi setiap pandang matanya, suaranya, gerak-geriknya jelas membayangkan cintanya yang amat mendalam.
Siauw Bwee sendiri bukan tidak tahu akan perasaan pemuda itu, dan hal ini amat mengganggu hatinya. Dia suka kepadanya. Yu Goan yang ia tahu adalah seorang pemuda yang amat halus budi pekertinya, seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, bukan hanya dalam ilmu silat, juga dalam kesusastraan dan ilmu pengobatan, sopan-santun dan jujur, pendeknya seorang pemuda pilihan. Akan tetapi, hatinya yang sudah jatuh cinta kepada suheng-nya Kam Han Ki, tidak mungkin mencinta pria lain. Dia merasa kasihan kepada Yu Goan, terharu kalau melihat betapa sinar mata pemuda itu memandangnya penuh kasih. Ia mengambil keputusan untuk mengakhiri penderitaan pemuda itu dengan satu-satunya jalan yang ia ketahui, yaitu memisahkan diri dari pemuda itu.
Pagi itu mereka berdua berlatih di waktu matahari mulai naik tinggi, duduk bersila dan melatih sinkang menerima cahaya matahari dan membiarkan sinar matahari yang mengandung inti hawa panas yang menjadi sumber segala hawa panas itu meresap ke dalam tubuh mereka. Setelah mereka menghentikan latihan mereka dan tubuh mereka basah oleh peluh, mereka mengaso di bawah pohon yang teduh sambli menghapus peluh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw Bwee untuk mengutarakan keinginan hatinya.
”Yu-twako, kurasa kita sudah cukup memahami cara melatih diri dengan Jit-goat-sinkang. Kini yang penting hanya tinggal melatih diri yang dapat kita lakukan di mana pun juga. Sudah terlalu lama kita tinggal di tempat ini.”
Yu Goan menoleh dan memandang dara itu dengan matanya yang lembut. Kemudian ia berkata, “Ucapanmu benar, Lihiap...”
“Aihh, sudah berapa kali aku minta agar engkau tidak menyebutku dengan lihiap, Twako. Bukankah sejak lama aku menyebutmu Twako?”
“Terima kasih, ...eh, Bwee-moi. Sesungguhnya engkau baik sekali dan aku merasa amat beruntung diperbolehkan menyebutmu adik. Akan tetapi, engkau adalah seorang pendekar wanita yang tiada keduanya di dunia ini, dan aku... aku merasa terlalu rendah untuk menyebutmu adik.”
“Omongan apakah ini? Aku hanya seorang manusia biasa, Twako. Kalau kau tidak menyebutku adik, aku tidak mau menjawabnya.”
“Baiklah, Bwee-moi. Maafkan aku. Apa yang kau katakan tadi benar bahwa kita sudah memahami Jit-goat-sinkang dan sudah terlalu lama tinggal di sini mengganggu ayah angkat kita. Akan tetapi..., kita akan pergi ke manakah?”
Inilah yang berat bagi Siauw Bwee dan semua tadi ia ucapkan hanya untuk dipergunakan sebagai alasan belaka. Maksudnya hanya untuk mencari jalan agar ia dapat memisahkan diri dari pemuda ini.
“Aku akan melakukan perjalananku mencari suci dan suheng, Twako. Kita berpisah di sini, aku melanjutkan perjalanan dan engkau pun melanjutkan perjalananmu sendiri.”
Dengan hati perih Siauw Bwee melihat betapa wajah yang tampan itu menjadi pucat, mata itu memandangnya dengan sinar mata penuh permohonan. “Bwee-moi..., mengapa... mengapa kita harus saling berpisah? Bukankah kita dapat melakukan perjalanan bersama? Aku akan membantumu mencari suheng dan suci-mu sampai engkau dapat bertemu dengan mereka!”
Siauw Bwee menggeleng kepalanya. “Twako, engkau baik sekali dan percayalah bahwa aku selamanya tidak akan melupakan engkau sebagai seorang sahabat yang paling baik, bahkan sebagai saudara angkat karena setelah kita berdua menjadi anak-anak angkat Ouw-pangcu, kita pun menjadi saudara angkat. Akan tetapi, tidak baik kalau kita melakukan perjalanan bersama, apa lagi aku tidak ingin menyusahkanmu. Urusan pribadiku masih amat banyak, dan engkau sendiri tentu mempunyai urusan pribadi. Biarlah kita berpisah di sini dan tentu kelak kita masih akan dapat saling berjumpa kembali.”
Yu Goan menggunakan kedua tangan menutupi mukanya untuk menyembunyikan kedukaan yang membayang di wajahnya. “Ah, Bwee-moi... aku mohon kepadamu, jangan aku harus berpisah darimu... jangan kita saling berpisah lagi...”
Siauw Bwee tentu saja sudah menduga akan isi hati pemuda ini, akan tetapi ia mengeraskan hati, memandang dengan alis berkerut dan bertanya dengan suara nyaring mendesak, “Twako! Apa maksudmu dengan kata-kata itu?”
Yu Goan menurunkan kedua tangannya dan memandang wajah dara itu dengan muka pucat namun sinar mata membayangkan isi hatinya tanpa disembunyikan lagi. Suaranya menggetar, namun ia memaksa diri untuk menggunakan saat itu mengeluarkan semua isi hatinya.
“Bwee-moi, dengarlah. Semenjak saat pertama aku melihatmu, kemudian mendengar bahwa engkau adalah puteri dari mendiang pahlawan Khu Tek San, cucu murid Menteri Kam Liong, kemudian dilanjutkan melihat sepak terjangmu, menyaksikan kelihaian ilmu kepandaianmu dan watakmu yang amat mulia, aku telah jatuh cinta kepadamu! Tidak tahukah engkau, Bwee-moi? Aku cinta kepadamu, Bwee-moi, dan aku tidak akan dapat hidup kalau harus berpisah dari sampingmu. Engkau telah menjadi separuh nyawaku dan aku...”
“Cukup, Twako!” Siauw Bwee berkata keras, tidak marah, hanya sengaja memperkeras sikapnya untuk ‘mengobati’ penyakit yang menyerang hati pemuda itu. “Aku bukan seorang buta yang tidak melihat tanda-tanda itu semua, dari sinar matamu, dari suara dan gerak-gerikmu. Aku tahu bahwa engkau sudah jatuh cinta kepadaku. Akan tetapi, karena aku tahu pula bahwa amat tidak mungkin bagiku untuk membalas perasaan hatimu itu, aku mengambil keputusan bahwa kita harus saling berpisah sebelum penyakitmu menjadi makin berat.”
Yu Goan memandang dengan mata terbelalak kosong, sekosong hatinya yang mengalami pukulan hebat. Wajahnya yang pucat, matanya yang memandang kosong, mulutnya yang agak terbuka seolah-olah sukar mengeluarkan suara, merupakan ujung pedang yang menusuk hati Siauw Bwee.
“Meng... mengapa tidak mungkin..., Bwee-moi?” Suara ini lebih mirip rintihan yang membuat Siauw Bwee memejamkan mata sejenak.
Ketika Siauw Bwee membuka matanya kembali, dua titik air mata menetes turun. Sejenak dia memandang wajah Yu Goan yang pucat, rambutnya yang mawut, matanya yang sayu, mulutnya yang tertarik derita hatinya. Ahhh, betapa mudahnya jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti ini, pikiran ini seperti kilat memasuki kepalanya. Akan tetapi di sana ada Kam Han Ki dan dia tidak mau menukar suheng-nya itu dengan pria lain yang mana pun juga, betapa tampan dan baik pun!
“Yu-twako, aku suka kepadamu, aku menganggap engkau sebagai sahabat terbaik, bahkan sebagai saudara, akan tetapi tidak mungkin aku membalas cintamu karena... karena cinta kasihku telah dimiliki pria lain, Twako.”
Yu Goan terbelalak, kemudian kedua lengannya bergerak ke atas, yang kanan menjambak rambut sendiri, yang kiri menutupi muka, tubuhnya gemetar dan suaranya menggetar, “Ahhhh... maafkan aku, Bwee-moi... maafkan aku...!”
Siauw Bwee memegang kedua tangan Yu Goan dan menariknya turun. Ia memandang air mata yang menetes-netes turun di wajah yang pucat itu, menahan air matanya sendiri dan mengeraskan suaranya, “Twako! Begini lemahkan engkau? Seorang pemuda gagah perkasa, begini sajakah kekuatan batinmu?”
Yu Goan memandang dara itu, lalu memejamkan mata dan menundukkan mukanya. “Maafkan aku... maafkan...”
Siauw Bwee mengguncang kedua lengan pemuda itu. “Yu-twako! Engkau mengatakan bahwa engkau cinta kepadaku, akan tetapi kalau ternyata bahwa engkau menderita batin karena aku tidak bisa membalas cintamu, berarti bahwa engkau bukan mencinta aku, melainkan mencinta dirimu sendiri!”
Yu Goan mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang terbelalak. “Apa maksudmu, Bwee-moi?”
“Di balik cintamu itu tersembunyi nafsu mementingkan diri sendiri, tersembunyi keinginan untuk menyenangkan diri sendiri. Kau ingin dicinta, ingin memiliki, itu bukanlah cinta sejati, Twako, melainkan cinta diri yang bergelimang nafsu. Karena di balik cintamu bersembunyi hal-hal itulah maka engkau menjadi berduka dengan merasa sengsara ketika mendengar bahwa aku tidak dapat membalas cintamu! Renungkanlah, Twako, siapakah yang kau cinta itu? Aku ataukah dirimu sendiri?”
Yu Goan termenung, tangannya mengusap air mata yang membasahi pipi, kemudian ia mengangguk. “Akan tetapi... adakah cinta yang murni, tanpa keinginan untuk tidak berpisah lagi selamanya dari orang yang dicintanya?”
“Tentu saja ada, Twako. Cinta murni melupakan keinginan hati sendiri, hanya ingin melihat orang yang dicintanya bahagia. Karena kita yakin bahwa aku tidak mungkin membalas cinta kasihmu, rubahlah cintamu itu, bersihkan dari pada nafsu birahi. Lihatlah, aku memegang tanganmu, tanpa getaran nafsu, akan tetapi dengan rasa cinta sepenuhnya, cinta saudara. Dapatkah engkau merasakan itu, Twako?”
Yu Goan memandang tajam, kemudian menghela napas panjang dan mengangguk. “Aku mengerti, Bwee-moi.”
Ia lalu meraih tubuh dara itu dan mencium dahinya, ciuman yang lembut dan bersih dari pada nafsu, jauh dari pada kemesraan kasih sayang lawan kelamin. Siauw Bwee dapat melaksanakan pula hal ini, maka dia tidak kaget, tidak membantah, dan diam-diam ia merasa bersyukur dan kagum bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang memiliki budi pekerti yang bersih.
Yu Goan menekan keharuannya dan melepaskan pelukannya. Mereka hanya duduk berhadapan, saling berpegang tangan. Kini terbayang senyum di bibir Yu Goan biar pun pada matanya yang biasanya tajam penuh kegembiraan itu kini berganti pandang sayu tanda bahwa hatinya terluka oleh ujung anak panah Dewa Cinta yang beracun...