CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 31
Siauw Bwee tidak berniat membunuh lawannya, akan tetapi kalau sampai dia tidak berani menerima pukulan sinkang ini, tentu orang-orang itu menyangka takut. Oleh karena itu, dia tidak mengelak, bahkan kini dia mendorongkan kedua lengannya ke depan menyambut datangnya pukulan jarak jauh yang amat dahsyat ini. Diam-diam dia menggunakan sinkang yang dilatihnya bersama Kam Han Ki dan Maya di Pulau Es sehingga dari kedua tangannya menyambar hawa dingin sekali yang menyambut hawa pukulan Dailuba.
“Wussshhhh... desss!”
Mereka berdiri berhadapan dengan kedua tangan dilonjorkan, jarak antara kedua pasang tangan itu ada dua kaki, akan tetapi mereka merasa seolah-olah telapak tangan mereka bertemu. Tubuh Dailuba bergoyang-goyang, kemudian menggigil kedinginan. Tiba-tiba Siauw Bwee mencelat ke atas sambil menarik kedua lengannya dan... tubuh Dailuba terbawa oleh dorongannya sendiri ketika dia mengerahkan seluruh tenaganya, jatuh menelungkup!
Kalau Siauw Bwee menghendaki, di saat itu tentu saja dia dapat memukul kepala lawannya dari atas. Akan tetapi untuk membuktikan kemenangannya, dia hanya merenggut penutup kepala lawannya dan meloncat turun dengan ringan di belakang Dailuba. Panglima tinggi besar ini terengah-engah, tubuhnya masih terguncang dan menggigil, kemudian melompat bangun dan memutar tubuh, dengan mata terbelalak memandang Siauw Bwee yang tersenyum sambil memegangi topi yang tadi berada di atas kepalanya.
“Terimalah kembali penutup kepalamu!” Siauw Bwee berkata sambil melontarkan benda terbuat dari kain itu ke arah Dailuba. Orang tinggi besar itu menyambar topi dengan tangannya, akan tetapi...
“Wushhhh!” benda itu seperti berubah menjadi burung terbang, mengelak dari sambarannya, melayang ke atas dan jatuh di atas kepalanya.
“Hebat...! Ahhh, sungguh ajaib! Betapa mungkin kepandaian seorang murid keponakan jauh melampaui tingkat supek-nya sendiri? Nona, aku kagum sekali dan marilah kita saling menguji kepandaian kita. Aku akan merasa gembira sekali berkenalan dengan Nona setelah kita saling mengenal kelihaian masing-masing!” Koksu berkata dan tubuhnya sudah mencelat ke depan Siauw Bwee.
Hemm, biar akan menimbulkan geger, sekali ini dia akan memberi hajaran keras kepada orang yang telah pernah menawan dia bersama suci-nya, Maya. Pikiran ini membuat Siauw Bwee menjawab lantang.
“Pek-mau Seng-jin, biar pun aku masih muda, sudah banyak aku mendengar namamu yang besar.”
“Apa? Engkau sudah mengenal namaku? Jadi engkau tahu siapa aku ini?” Kakek berambut putih itu bertanya, alisnya berkerut.
Siauw Bwee tersenyum mengejek sambil mengangguk. Alis putih itu makin berkerut. Celaka, pikir Pek-mau Seng-jin. Kalau gadis ini sudah mengenalnya, berarti tahu bahwa dia adalah Koksu dari Yucen, rahasia penyamaran dan perjalanannya telah terbuka! Gadis ini harus ditarik sebagai sekutunya, atau... kalau tidak mau, harus dienyahkan sebagai musuh yang berbahaya!
Namun, sikap kakek itu masih tenang saja dan dia bertanya, ”Nona, engkau sudah mengenalku. Sudah sepatutnya kalau aku mengetahui siapakah engkau yang semuda ini telah memiliki kepandaian amat tinggi.”
“Aku seorang perantau. Sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga. Akan tetapi kalian memaksa kami untuk bertanding. Kami telah memenuhi permintaan kalian, hanya karena terpaksa, bukan sekali-kali untuk berkenalan. Nah, kita lanjutkan atau tidak?”
“Ha-ha-ha, pantas saja engkau angkuh dan tinggi hati, karena memang engkau lihai sekali. Biarlah, kita main-main sebentar dengan taruhan bahwa kalau engkau kalah, biar pun engkau tidak mau menjadi sahabat kami, engkau harus memperkenalkan namamu kepadaku. Bagaimana?”
“Aku tidak sudi berjanji apa-apa. Dengan pertandingan yang kau paksakan ini, kalau aku kalah, terserah kepadamu mau berbuat apa. Akan tetapi kalau engkau kalah dan tewas di tanganku, jangan menyalahkan aku!”
“Aduh sombongnya! Baiklah, Nona. Sudah lama aku tidak ketemu lawan yang setanding. Melihat cara engkau mengalahkan pembantuku, ternyata engkau cukup berharga untuk menjadi kawanku. Bersiaplah engkau!”
“Majulah!” Siauw Bwee sudah memasang kuda-kuda dengan kedua kaki tegak, agak terbuka dan kedua tangannya tergantung lemas di kedua samping tubuhnya, matanya tajam mengawasi lawan dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi serangan yang bagaimana pun juga.
Melihat cara persiapan dan kedudukan tubuh dara itu, kembali Pek-mau Seng-jin kagum dan dia tidak berani memandang rendah. Dara ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali sehingga dapat bersikap seperti itu, tanpa memasang kuda-kuda teguh seperti yang biasa dilakukan ahli-ahli silat.
“Sambutlah, Nona!”
Pek-mau Seng-jin mulai dengan serangan pertama. Tangan kirinya bergerak menyambar dari samping menuju ke arah leher Siauw Bwee. Angin pukulan yang panas sekali menyambar, diikuti oleh lengan baju yang menampar muka, kemudian dalam detik berikutnya disusul pula oleh jari-jari tangan yang melakukan totokan-totokan ke arah lima jalan darah di kedua pundak kanan kiri leher dan tenggorokan! Bukan main hebatnya serangan ini yang sekali gerak telah mengandung lima serangan. Baru angin pukulan itu saja sudah amat berbahaya, tidak kalah bahayanya dengan tamparan ujung lengan baju atau totokan-totokan itu sendiri yang rerupakan inti serangan!
Namun Siauw Bwee tidak menjadi gentar. Tanpa menggeser kaki, tubuh atasnya meliuk ke belakang dan lengan kanannya yang kecil menangkap dengan berani.
“Plakk! Brettt...!”
Pek-mau Seng-jin meloncat ke belakang dengan mata terbelalak heran. Dia tidak mengenal gerak tangan Siauw Bwee tadi yang amat cepat dan hal ini tidak aneh karena dara ini menggunakan ilmu gerak tangan kilat yang merupakan kepandaian khusus dari kaum kaki buntung! Dengan gerakan kilatnya, sambil menangkis serangan tadi, jarinya dapat digerakkan dengan pemutaran pergelangan tangan cepat sekali sehingga dari samping ia berhasil melubangi ujung lengan baju kakek berambut putih itu!
“Kau... apakah engkau dara perkasa yang telah membunuh panglima dampit dari Kerajaan Sung?”
Siauw Bwee terkejut dan kagum. Agaknya Koksu Yucen ini mempunyai banyak mata-mata yang telah menyelundup ke dalam gedung pembesar Sian-yang sehingga mengetahui pula peristiwa itu.
“Kalau betul demikian, mengapa?” tanyanya dengan tenang.
“Aihh..., Nona yang perkasa! Kita sepaham dan sehaluan! Marilah engkau bekerja sama dengan kami menghadapi bangsa Mancu yang biadab dan Kerajaan Sung yang sudah hampir roboh!”
“Pek-mau Seng-jin, aku tidak mau mencampuri urusan negara dan perang. Kalau kau tidak ingin melanjutkan pertandingan gila ini, biarkan aku dan Supek pergi.”
“Engkau keras kepala! Apa kau kira akan mampu menandingi Pek-mau Sengjin? Jaga serangan!”
Kini kakek itu mengeluarkan seruan keras dan nyaring sekali, seruan yang dikeluarkan dengan tenaga khikang sehingga melengking tinggi dan mengejutkan semua orang, bahkan para pembantunya hampir tidak kuat bertahan kalau tidak cepat mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan lengking itu. Pemilik warung dan para pelayannya yang masih bersembunyi, seketika roboh pingsan!
Namun Siauw Bwee tetap tenang. Melihat kini kakek itu menerjangnya dengan dahsyat, ia cepat mengelak dengan gerakan kakinya yang lincah sambil balas memukul dari samping dengan pengerahan sinkang yang mengandung tenaga Im-kang kuat sekali. Pek-mau Seng-jin menangkis.
“Dukkk!” keduanya terlempar ke belakang. Akan tetapi kalau Siauw Bwee tidak merasakan sesuatu, hanya terpental saking kuatnya lawan, adalah Pek-mau Seng-jin menggoyang tubuhnya mengusir hawa dingin yang menyusup ke tulang-tulangnya!
Pada saat itu terdengar seruan nyaring. “Tahan! Di antara sahabat sendiri tidak boleh bertanding!”
Tampak bayangan berkelebat dan Suma Hoat telah berdiri di tempat itu, memandang kepada Koksu dan Siauw Bwee, kemudian cepat menjura kepada Pek-mau Seng-jin sambil berkata, “Seng-jin, dia adalah Coa Leng Bu, suheng-ku sendiri. Harap jangan melanjutkan perkelahian!”
Pek-mau Seng-jin tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, kau salah sangka, Suma-sicu! Kami bukan berkelahi, melainkan saling menguji kepandaian dan Nona ini benar-benar luar biasa lihainya. Kiranya masih Coa-sicu ini suheng-mu sendiri, dan Nona ini, apakah dia juga murid keponakanmu?”
“Murid keponakan...? Saya tidak mengenalnya, biar pun kami pernah saling berjumpa.”
Sementara itu Siauw Bwee terheran-heran melihat pemuda tarnpan yang pernah menolongnya lari dari Sian-yang. Jadi pemuda yang lihai dan mahir Ilmu Jit-goat-sinkang itu adalah sute dari Coa Leng Bu? Dia mengerutkan alisnya dan makin tidak mengerti ketika mendengar pemuda itu disebut Suma-sicu oleh Pek-mau Seng-jin. Pemuda itu bernama keluarga Suma! Apa artinya ini?
Ketika dia menoleh kepada Coa Leng Bu, kakek ini menarik napas panjang dan berkata, “Sute, sesungguhnya tidak ada perkelahian dan biarkan kami berdua pergi lebih dulu. Kalau engkau mengenal mereka ini, harap jelaskan bahwa kami bukanlah orang yang suka terlibat dalam urusan negara. Sampai jumpa, Sute.” Coa Leng Bu lalu mengajak Siauw Bwee pergi dari situ dan sekali ini rombongan Pek-mau Seng-jin tidak mencegah mereka.
Setelah keluar dari dusun itu, Siauw Bwee tidak dapat menahan hatinya. “Supek, pemuda itu adalah orang yang menolongku keluar dari Sian-yang. Benarkah dia itu sute-mu?”
“Memang begitulah. Tadinya Suhu Bu-tek Lo-jin hanya mempunyai tiga orang murid, yaitu Twa-suheng Lie Soan Hu yang menjadi ketua lembah memimpin orang-orang penderita kusta, kedua aku sendiri, dan ke tiga adalah Sute Ouw Teng. Akan tetapi belum lama ini, Suhu mengangkat seorang murid baru yang biar pun paling muda, namun memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Dia adalah Suma-sute tadi yang sebelum menerima ilmu Jit-goat-sinkang dan lain-lain dari Suhu, telah memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari pada kami bertiga. Sungguh tidak kuduga bahwa dia mengenal rombongan Pek-mau Seng-jin tadi. Betapa pun juga, kedatangannya menghentikan bahaya yang mengancam kita. Sekarang aku ingin sekali tahu, bagaimana engkau mengenal Pek-mau Seng-jin dan siapakah dia sebenarnya?”
“Dia itu bukan lain adalah Koksu Negara Yucen.”
“Aihhhh...!” Wajah Coa Leng Bu berubah pucat. “Pantas saja dia lihai bukan main. Dan Suma-sute agaknya mengenal balk mereka itu! Apa artinya ini?”
Siauw Bwee menarik napas panjang. “Agaknya aku dapat menduga apa artinya, Supek. Koksu Negara Yucen itu tentu melakukan penyelidikan dan mencari bantuan orang-orang pandai, mengingat akan pesatnya gerakan kerajaan itu menyerbu ke selatan. Tadi dia mengajak aku membantunya ketika mendengar bahwa aku menewaskan Panglima Sung, tentu dia mengira aku memusuhi Sung dan Mancu. Dan melihat sikap sute-mu tadi, aku tidak akan meragukan kalau dia termasuk di antara orang-orang gagah yang kena terbujuk untuk bersekutu dengannya.”
Coa Leng Bu mengangguk-angguk. “Hemm, agaknya begitulah. Aku bertemu dengan dia di Sian-yang dan akulah yang minta dia mencarimu dan memberi tahu bahwa aku menanti di pintu gerbang selatan. Aku tidak mencampuri urusan pribadinya, namun aku sebagai suheng-nya berhak untuk mengingatkannya bahwa tidaklah baik membantu bangsa asing memerangi bangsa sendiri.”
Siauw Bwee teringat akan suci-nya, Maya. Mengapa suci-nya itu juga membantu pasukan Mancu? Maka dia lalu berkata, “Dalam keadaan negara kacau seperti ini, memang banyak orang merasa serba salah, Supek. Kerajaan Sung makin merosot pamornya, banyak pembesar yang buruk dan jahat. Timbullah Kerajaan bangsa Yucen dan bangsa Mancu, membuat banyak orang menjadi ragu-ragu dan timbul harapan baru untuk melihat munculnya kerajaan baru yang akan dapat mengamankan negara dan memakmurkan kehidupan rakyat. Betapa pun juga, tentu saja aku tidak setuju kalau orang mengharapkan kemakmuran dari penjajahan bangsa asing!”
“Cocok, Khu-lihiap! Demikian pula pendapatku, maka kalau aku bertemu dengan dia, akan kuperingatkan dia.”
“Supek, siapakah nama sute-mu itu? Aku mendengar tadi disebut Suma-sicu oleh Koksu Yucen.”
“Memang dia she Suma, namanya Hoat.”
“Suma Hoat...?” Siauw Bwee mengerutkan alisnya, mengingat-ingat karena dia seperti pernah mendengar nama itu.
“Apakah engkau sudah mengenal namanya pula?”
Siauw Bwee mengangguk. “Nama itu tidak asing bagiku... akan tetapi aku lupa lagi...”
Dia benar-benar tidak ingat lagi, akan tetapi dia menduga bahwa tentu pemuda tampan itu masih ada hubungan dengan Panglima Suma Kiat, musuh besar yang telah menjadi biang keladi tewasnya ayahnya dan Menteri Kam Liong! Ketika hal ini terjadi, dia masih terlalu muda dan memang dia tidak pernah memperhatikan atau mendengar keadaan keluarga Suma Kiat sehingga dia tidak tahu bahwa pemuda berusia tiga puluh tahun yang telah menolongnya itu bukan lain adalah putera tunggal musuh besarnya itu!
Mereka melanjutkan perjalanan dan bermalam di sebuah kota kecil. “Kita menanti Sute di sini. Aku ingin sekali mendengar apakah betul dia menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen.”
Siauw Bwee mengangguk setuju. Dia pun ingin sekali menyelidiki, apakah hubungan sute dari supek-nya itu, yang mengingat akan kedudukannya terhitung masih susiok-nya (paman gurunya) sendiri, dengan musuh besarnya, Suma Kiat!
Sementara itu, setelah menyadarkan pemilik warung dan mengganti semua kerusakan dengan hadiah banyak, rombongan Pek-mau Seng-jin mengajak Suma Hoat keluar dari dusun karena mereka tidak mau menarik perhatian penduduk yang sudah panik dengan adanya pertandingan di dalam warung tadi. Di dalam hutan di luar dusun itu mereka bercakap-cakap.
Memang benarlah dugaan Siauw Bwee, Suma Hoat telah menjadi kaki tangan Koksu dari Yucen. Seperti telah kita ketahui, pemuda yang merasa amat menyesal dan berduka karena dia telah membikin lumpuh Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau melawannya, kemudian makin menyesal karena dia telah menghina kedua orang bibinya sendiri, yaitu Kam Siang Hui dan Kam Siang Kui, bersama Im-yang Seng-cu menyerbu markas besar Hoat Bhok Lama di Pegunungan Heng-toan-san di lembah Sungai Cin-sha. Dia melihat kedua orang wanita itu tewas dan dia bertemu dengan Bu-tek Lo-jin yang kemudian mengajaknya membunuh Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, kemudian mengangkatnya sebagai murid.
Hati Dewa Pemetik Bunga ini penuh dengan penyesalan akan semua perbuatannya yang lalu, penyesalan yang timbul setelah dia membuat lumpuh kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai, yaitu Kian Ti Hosiang. Penyesalan ini membuat dia mengasingkan diri dan tekun berlatih ilmu silat yang ia peroleh dari Bu-tek Lo-jin yang hanya beberapa bulan saja mengajarkan ilmu-ilmu silat dan Jit-goat-sinkang kepadanya, kemudian kakek aneh itu pergi lagi meninggalkannya. Dengan tekun sekali Suma Hoat menggembleng diri dengan ilmu-ilmu itu sambil berusaha melupakan kesenangannya, yaitu bermain asmara dengan wanita-wanita cantik yang membuatnya dijuluki Jai-hwa-sian.
Gurunya menceritakan kepadanya bahwa dia mempunyai tiga orang suheng yang tinggal di tebing Lembah Kaum Kusta. Ketika dia mengunjungi mereka ke sana, dia hanya bertemu dengan Coa Leng Bu, suheng-nya yang kedua, dan dia enggan menjumpai twa-suheng-nya dan sam-suheng-nya ketika mendengar dari Ji-suheng ini bahwa mereka itu menjadi ketua dari kaum liar dan kaum penderita kusta. Apa lagi karena ia mendapat kenyataan bahwa biar pun disebut Ji-suheng, kepandaian Coa Leng Bu tidaklah lebih tinggi dari padanya.
Setelah meninggalkan Ji-suheng-nya, Suma Hoat lalu teringat kepada ayahnya. Benar bahwa dia telah disakiti hatinya, telah diusir tanpa salah, karena bukankah permainan asmara dengan Bu Ci Goat adalah karena rayuan ibu tirinya itu? Betapa pun juga, dia adalah anak tunggal, dia harus menghadap ayahnya yang sudah tua. Dia harus membantu ayahnya setelah kini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Teringat akan ayahnya, Suma Hoat merasa dirinya makin berdosa dan semua ini adalah gara-gara wanita! Gara-gara Ciok Kim Hwa!
Kalau dia tidak patah hati karena Ciok Kim Hwa membunuh diri, tentu dia tidak sampai bentrok dan diusir ayahnya sehingga kemudian dia membalas dendamnya kepada para wanita dan menjadi seorang pemerkosa dengan Julukan Jai-hwa-sian! Bahkan kemudian membuat dia melakukan hal yang amat keji, yaitu membuat Ketua Siauw-lim-pai yang sakti dan berbudi mulia itu menjadi cacat, lumpuh kedua kakinya. Dia harus menebus semua dosanya itu dengan jalan berbakti kepada ayahnya, berbakti kepada negara, dan berbakti kepada kemanusiaan.
Dengan pikiran inilah Suma Hoat mencari ayahnya, menahan nafsu birahinya yang kadang-kadang bergejolak setiap ia melihat wanita cantik, dan akhirnya dia berhasil bertemu dengan ayahnya, Suma Kiat di kota raja. Akan tetapi, biar pun dia girang sekali mendapat sambutan gembira dari ayahnya dan ibu tirinya, Bu Ci Goat, di dalam hatinya dia terkejut karena ayahnya segera memberi tahu bahwa ayahnya diam-diam telah membuat persekutuan dengan Kerajaan Yucen, dan membuat persiapan untuk membantu Kerajaan Yucen dari dalam untuk menjatuhkan pemerintah lama!
Biar pun di dalam hatinya terasa panas dan tidak setuju, namun dia tidak mau mengecewakan ayahnya dan akhirnya dia menjalankan tugas yang diperintahkan ayahnya untuk menemui Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang sedang melakukan penyelidikan tentang gerakan tentara Mancu.
Dengan membawa surat ayahnya, Suma Hoat berhasil bertemu dengan Pek-mau Seng-jin, kemudian dia malah menerima tugas penyelundupan ke dalam kota Sian-yang untuk menghubungi kaki tangan Pek-mau Seng-jin dan menyelidiki keadaan pasukan Mancu yang menduduki kota itu. Telah ada kata sepakat antara Suma Kiat dan Pek-mau Seng-jin untuk membiarkan pasukan-pasukan Sung berperang melawan pasukan-pasukan Mancu sehingga kedua pihak itu akhirnya menjadi lemah dan mudah dihancurkan oleh pasukan Yucen.
Demikianlah, ketika ia menyelundup ke Sian-yang, Suma Hoat bertemu dengan Ji-suheng-nya, Coa Leng Bu, dan ia disuruh membantu dan memberitahukan jalan ke luar kepada nona yang menjadi murid keponakan Ji-suheng-nya. Suma Hoat berhasil membantu Siauw Bwee dan begitu bertemu dengan dara itu, jantung Suma Hoat berdebar keras, sekaligus dia tertarik seperti sebatang jarum tertarik oleh besi sembrani! Ketangkasan dan kelihaian gadis itu, kecantikannya, bentuk tubuhnya, suaranya, segala-galanya membuat jantung Suma Hoat seperti akan dicopot.
Dia telah banyak berjumpa dengan wanita cantik, telah banyak mempermainkan wanita, namun belum pernah dia mengalami getaran jantung seperti ketika bertemu dengan Siauw Bwee, padahal baru dia lihat sebentar saja di malam itu, di antara sinar obor. Seolah-olah dia bertemu dengan Ciok Kim Hwa, bahkan lebih lagi karena dalam pandang matanya, Siauw Bwee jauh melampaui daya tarik Kim Hwa!
Dia telah jatuh cinta, bukan cinta birahi seperti kalau dia bertemu wanita-wanita cantik yang dipermainkan dan diperkosanya, melainkan cinta kasih yang membuat dia ingin selamanya berdampingan dan hidup berdua dengan gadis itu, menghentikan semua petualangan asmaranya!
Di dalam hutan kecil, Pek-mau Seng-jin dan kaki tangannya berunding. “Biarkan pasukan Mancu yang kuat itu menyerbu terus ke selatan,” antara lain Pek-mau Seng-jin berkata. “Setelah pasukan-pasukan Mancu jauh meninggalkan induknya, dan tentara Sung mengalami pukulan hebat, baru kita mengerahkan bala bantuan untuk memotong jalan, menghancurkan tentara Mancu dan menyerbu terus ke kota raja Sung Selatan. Suma-sicu, gadis tadi memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Sungguh aku merasa heran sekali mengapa murid keponakanmu dapat memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebat. Siapakah dia sebenarnya?”
“Saya sendiri belum mengenalnya, Seng-jin,” jawab Suma Hoat sejujurnya. “Ji-suheng hanya mengatakan bahwa gadis itu adalah anak angkat dari Sam-suheng karena itulah maka menyebut Ji-suheng sebagai supek-nya.”
“Hemm, akan menguntungkan sekali kalau saja dia dapat kita tarik menjadi pembantu. Suma-sicu, dapatkah kau membujuknya untuk berplhak kepada kita?”
“Akan saya coba, Seng-jin.”
“Baik, kalau begitu harap kau suka menyusulnya. Biarkan dia memilih, langsung membantuku atau membantu ayahmu. Dengan tenaga-tenaga lihai seperti dia, perjuangan kita akan makin berhasil. Kami akan kembali dan mempersiapkan pasukan untuk memberi pukulan-pukulan terakhir setelah Mancu dan Sung berhantam sendiri di selatan.”
Mereka berpisah dan Suma Hoat cepat pergi mengejar Ji-suheng-nya dan gadis jelita yang telah memikat hatinya. Mendengar betapa dara itu dipuji-puji Pek-mau Seng-jin, dia menjadi makin tertarik. Benar-benar seorang dara pilihan, pikirnya. Dahulu, dia tergila-gila kepada Ciok Kim Hwa, seorang gadis lemah. Sekarang dara yang datang bersama Ji-suheng-nya itu, selain memiliki daya tarik lebih hebat dari pada Ciok Kim Hwa juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Pantas menjadi kawan hidupnya. Untuk mendapatkan gadis seperti itu sebagai isterinya, dia siap meninggalkan cara hidupnya yang lalu, yang penuh petualangan dan dosa!
Demikianlah, dapat dibayangkan betapa girang hati Suma Hoat ketika dia bertemu dengan Coa Leng Bu dan Khu Siauw Bwee yang memang menantinya di kota kecil itu. Kedua orang itu sedang makan pagi di sebuah warung ketika Suma Hoat datang.
“Ahhh, Ji-suheng! Untung sekali aku dapat menyusul kalian di sini!” katanya sambil menatap wajah Siauw Bwee dengan jantung berdebar.
Bukan main! Pagi ini gadis itu tampak makin cantik mempesonakan. Biar pun mulut Suma Hoat mengeluarkan kata-kata gembira seperti itu, namun dia berdiri terpesona memandang Siauw Bwee, seolah-olah kedua kakinya tidak kuat menaiki anak tangga rumah makan itu!
Menyaksikan sikap pemuda itu, Siauw Bwee mengerutkan alisnya dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah. Pandang mata pemuda itu dengan jelasnya memancarkan isi hatinya kepadanya! Siauw Bwee tidak mampu melawan pandang mata seperti itu lebih lama lagi dan ia menunduk.
Coa Leng Bu yang melihat sikap sutenya ini lalu menegur, “Sute, mari duduklah. Kenapa berdiri saja di situ?”
Suma Hoat sadar, kedua pipinya menjadi merah, jantungnya berdenyut aneh dan ia merasa heran sekali. Dia yang sudah bermain cinta dengan banyak gadis cantik dari segala golongan, kenapa sekarang sama sekali tidak berdaya menghadapi gadis ini? Ia lalu menaiki anak tangga, dan duduk di atas bangku berhadapan dengan Siauw Bwee, di sebelah kiri suheng-nya.
“Ji-suheng, aku mendengar bahwa kau terluka pundakmu. Bagaimana lukamu? Apakah sudah sembuh?”
“Hanya luka daging, tidak berbahaya, Sute.”
“Suheng, Nona ini adalah yang kau suruh aku bantu di Sian-yang tempo hari. Siapakah dia? Harap Suheng memperkenalkan.”
Siauw Bwee mengangkat muka dan kini dia menatap wajah orang muda itu penuh perhatian. Wajah yang tampan, pikirnya, dan sikap yang gagah sekali. Dia sudah hampir lupa lagi bagaimana wajah Panglima Suma Kiat, akan tetapi dia mendengar bahwa panglima tua itu pun dahulunya seorang yang tampan. Orang muda di depannya ini memiliki sikap yang gagah perkasa, agaknya tidak patut menjadi seorang jahat, akan tetapi pandang matanya begitu tajam, seolah-olah pandang mata itu menjenguk ke dalam hatinya, bahkan seolah-olah pandang mata itu menelanjanginya!
Diam-diam Siauw Bwee bergidik. Laki-laki yang jantan dan berbahaya sekali! Kalau saja cinta kasih di hatinya tidak sebulatnya tertuju kepada suheng-nya, pria di depannya ini memiliki daya tarik luar biasa dan tidak anehlah kalau dia tertarik!
Mendengar ucapan sutenya, Coa Leng Bu tertawa, “Ahhh, aku sampai lupa memperkenalkan. Sute, Khu-lihiap ini adalah puteri angkat dari mendiang Ouw-sute, jadi masih terhitung murid keponakanmu sendiri. Khu-lihiap, ini adalah Suma-sute, masih susiok-mu sendiri.”
Siauw Bwee bangkit berdiri dan memberi hormat. “Susiok...!” katanya perlahan dan sederhana.
Suma Hoat cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatan dara itu sambil berkata, “Aihh, Nona. Harap jangan menyebut Susiok kepadaku. Kepandaian Nona begitu tinggi, kalau menyebut Susiok kepadaku hanya membuat aku menjadi malu saja. Nona, namaku adalah Suma Hoat dan kuharap Nona tidak menyebut Susiok, sebut saja Twako karena kita telah menjadi sahabat, bukan?”
Ucapan dan sikap Suma Hoat demikian ramah dan wajar, sama sekali tidak memperlihatkan sikap kurang ajar sehingga Siauw Bwee tersenyum. Senyum yang membuat Suma Hoat hampir terjengkang saking kagum dan girangnya.
“Baiklah, Suma-twako.”
Mereka duduk kembali dan Leng Bu cepat memberi isyarat kepada pelayan untuk menambah hidangan dan minuman.
“Nona, engkau she Khu akan tetapi belum memperkenalkan diri.”
Sambil tersenyum memandang orang muda yang polos itu, Siauw Bwee menjawab, “Namaku Khu Siauw Bwee.” Berkata demikian, ia memandang tajam untuk melihat apakah orang muda she Suma itu mengenal namanya. Kalau dia keluarga Suma Kiat, tentu akan mengenal bahwa dia adalah puteri mendiang Panglima Khu Tek San!
Akan tetapi tidak tampak perubahan sesuatu pada wajah yang tampan itu dan memang sesungguhnya Suma Hoat tidak mengenal nama ini. Peristiwa yang menimpa Khu Tek San dan Menteri Kam Liong terjadi ketika dia sudah meninggalkan kota raja.
Sambil makan minum mereka bercakap-cakap. Beberapa kali Suma Hoat memancing untuk mengetahui keadaan Khu Siauw Bwee, namun gadis itu seolah-olah hendak menyembunyikan keadaannya.
“Nona, kepandaianmu begitu hebat. Siapakah sebetulnya gurumu?” Akhirnya dia bertanya secara langsung.
“Aku sendiri tidak tahu dan tidak dapat memberi tahu tentang itu, Suma-twako. Aku hanya belajar sedikit-sedikit di sana-sini, dan mula-mula aku belajar di bawah bimbingan suheng dan suci-ku sendiri,” Siauw Bwee tetap saja mengelak.
“Ahh, kalau begitu, suheng dan suci-mu tentu sakti bukan main! Bolehkah aku mengenal mereka?”
“Maaf, Twako. Suheng dan suci merahasiakan diri mereka sehingga aku tidak boleh menyebut nama mereka. Harap kau suka memaklumi watak orang-orang aneh seperti mereka itu.”
Suma Hoat kecewa akan tetapi dia mengangguk. Heran sekali gadis ini, sikapnya penuh rahasia. Akan tetapi biar pun kecewa, dia tidak merasa menyesal! Padahal biasanya dia merasa paling benci kalau menghadapi gadis yang angkuh.
“Aku mengerti, Nona, dan maafkan kelancanganku bertanya tadi. Bukan maksudku untuk mengetahui rahasia orang lain, akan tetapi... aku kagum sekali kepadamu, maka timbul keinginanku untuk mengenalmu lebih baik dengan mengetahui riwayatmu. Maafkan aku.”
“Tidak apa, Twako, akulah yang minta maaf,” kata Siauw Bwee, tidak enak juga hatinya menyaksikan sikap yang amat ramah, sopan dan baik dari orang muda itu.
“Sute, sekarang aku ingin sekali bertanya kepadamu. Sesungguhnya karena hal inilah maka aku menantimu di sini. Bagaimana engkau dapat mengenal Koksu Negara Yucen dan rombongannya?”
Pertanyaan yang tiba-tiba datangnya ini mengejutkan hati Suma Hoat. Tak disangkanya bahwa suheng-nya tahu akan hal itu. Suheng-nya sudah lama mengasingkan diri, tak mungkin mengenal Pek-mau Seng-jin sebagai Koksu Kerajaan Yucen. Tak salah lagi, tentulah Khu Siauw Bwee yang mengenal kakek berambut putih itu, maka dia menjadi makin kagum dan heran. Dara ini selain berilmu tinggi, juga agaknya berpemandangan luas dan berpengalaman dalam dunia kang-ouw.
“Jadi Suheng sudah mengenal Koksu Yucen? Terus terang saja, Suheng. Aku bekerja sama dengan Kerajaan Yucen dan bersekutu dengan Pek-mau Seng-jin.”
Diam-diam Coa Leng Bu kagum akan ketepatan pandangan Siauw Bwee. Dia melirik gadis itu yang bersikap tidak mengacuhkan, kemudian berkata, “Sute, aku tidak bermaksud untuk mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi selagi negara dalam keadaan terancam malah mengadakan persekutuan dengan bangsa lain, bukankah hal itu dipantang oleh orang-orang gagah?”
Suma Hoat tersenyum. “Untuk memberi pandangan tentang perjuangan bangsa, harus lebih dulu mengetahui keadaan sesungguhnya. Suheng melihat sendiri betapa kerajaan terancam oleh pasukan-pasukan Mancu yang kuat sekali. Biar pun semua orang gagah membantu Kerajaan Sung, kiranya kerajaan itu takkan dapat dipertahankan lagi. Jalan satu-satunya yang tepat adalah mengharapkan bantuan bala tentara Yucen dengan maksud menghadapi Mancu, bukanlah hal itu demi keselamatan negara kita?”
Diam-diam Siauw Bwee dapat mengerti kebenaran ini, dan Coa Leng Bu hanya menarik napas panjang. “Aku tidak tahu tentang politik negara, Sute, hanya kuharap Sute tidak akan menyimpang dari pada garis yang dilalui orang-orang gagah, jangan sampai kelak dikenal sebagai seorang pengkhianat bangsa.”
“Tidak mungkin, Suheng. Sampai mati pun aku tidak sudi menjadi pengkhianat. Kalau sekarang aku berbaik dengan Koksu Negara Yucen, hal itu semata-mata untuk menarik pihak Yucen menolong Kerajaan Sung yang terancam oleh pihak Mancu.”
Keterangan ini memuaskan hati Leng Bu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Suma Hoat untuk mengajak mereka mencontoh sikapnya. “Kuharap Suheng dan Nona Khu dapat melihat kenyataan itu dan marilah kalian ikut bersamaku membantu kerajaan dengan bekerja sama dengan Koksu Yucen, dengan jalan ini kita akan dapat menyelamatkan negara dari ancaman Mancu.”
“Aku tidak mempunyai hasrat untuk melibatkan diri dengan perang, Sute,” jawab Leng Bu dengan suara dingin.
“Dan bagaimana dengan pendapatmu, Nona?”
“Aku juga tidak suka mencampuri urusan negara, aku benci akan perang! Dan selain itu, aku mempunyai urusan pribadi yang lebih penting. Biarlah kita mengambil jalan kita masing-masing, Suma-twako. Supek, marilah kita melanjutkan perjalanan ke selatan.”
Siauw Bwee ingin sekali segera dapat bertemu dengan Kam Han Ki dan Leng Bu yang maklum akan hal hati dara itu berkata, “Sebaiknya besok pagi-pagi saja kita berangkat. Kota Sian-tan merupakan benteng kuat dan menjadi pertahanan pasukan Sung, kurasa ke sanalah kita harus menuju. Akan tetapi, mengingat akan peristiwa di Sian-yang, kita harus berhati-hati memasuki kota itu.”
Siauw Bwee maklum bahwa setelah mereka berdua mengacau di Sian-yang sebelum pasukan Mancu tiba di sana, tentu mereka akan dimusuhi oleh tentara Sung, dan akan ditangkap oleh Bu-koksu karena dia telah membunuh panglima dampit. Maka ia mengangguk dan menyatakan setuju.
“Suheng dan Nona Khu. Aku telah mendengar akan sepak terjang kalian di Sian-yang. Bukankah engkau yang telah membunuh panglima dampit dan menimbulkan kekacauan di sana? Kalau benar demikian, amat berbahaya kalau kalian memasuki kota Siang-tan. Pula, bolehkah aku bertanya apa tujuan Nona pergi ke sana?”
“Aku ingin mencari seseorang, urusan pribadi, Twako. Maaf, aku tidak dapat memberi penjelasan kepadamu.”
Suma Hoat mengangguk, kembali merasa kecewa akan tetapi tidak menyesal. Bahkan dia ingin sekali membantu Nona ini karena dia dapat merasa bahwa tentu ada rahasia yang mengganggu hati nona ini. Dia akan diam-diam menyelidiki dan kalau perlu melindungi dan membantu Nona yang telah menjatuhkan hatinya ini.
“Kalau begitu aku setuju dengan pendapat Ji-suheng. Lebih baik berangkat besok pagi, dan sedapat mungkin memasuki kota di waktu malam, menyelinap di antara kaum pengungsi sehingga tidak akan mudah dikenal.”
Siauw Bwee makin suka kepada pemuda ini. Seorang yang jujur, ramah, sopan dan tahu diri sehingga tidak terus bertekad mengetahui rahasia orang, bahkan dapat menghargai dan memaklumi rahasia orang.
“Suma-twako, aku pernah mendengar nama besar seorang Panglima Sung yang bernama Suma Kiat. Tidak tahu apakah persamaan she antara Twako dan dia berarti ada hubungan keluarga?”
Kembali Suma Hoat terkejut, akan tetapi dia dapat menekan hatinya dan tidak memperlihatkan pada wajahnya. Dia tersenyum dan berkata, “Kebetulan sekali aku adalah puteranya, Nona.”
“Ohhh...!” Siauw Bwee tak dapat menyembunyikan kekagetannya.
Untung dia dapat menahan kemarahannya dengan pendapat bahwa pemuda ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perbuatan Suma Kiat. Buktinya, pemuda ini tidak mengenalnya dan agaknya tidak tahu menahu tentang perbuatan jahat ayahnya yang telah mengakibatkan kematian Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Betapa pun juga, sukar baginya untuk dapat duduk semeja lagi dengan putera musuh besarnya, maka ia lalu bangkit dan berkata, “Supek, aku ingin mengaso dulu. Besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan.”
Kepada Suma Hoat dia hanya menjura tanpa memandang wajahnya, kemudian meninggalkan mereka dan pergi memasuki kamarnya di mana dia duduk dan mengatur pernapasan untuk menekan hatinya yang menggelora karena marah. Dia dapat menyabarkan hatinya ketika mengingat betapa Suma Hoat adalah seorang laki-laki yang baik, tidak seperti ayahnya. Dia tidak akan mencontoh suci-nya, yang membawa-bawa dendam kepada seluruh keluarga, bahkan bangsa! Tidak, dendamnya hanya tertuju kepada Suma Kiat, dia tidak akan memusuhi Suma Hoat yang sedikit banyak telah menarik hatinya.
Suma Hoat merasa heran akan sikap gadis itu, akan tetapi dia tidak menduga sama sekali akan isi hati Siauw Bwee. Dia melanjutkan bercakap-cakap dengan suheng-nya, dan di pihak Coa Leng Bu, dia sama sekali tidak mengenal siapa adanya sutenya ini. Puluhan tahun dia menyembunyikan diri, mengasingkan diri dan tidak pernah tahu akan keadaan dunia ramai.
Tentu saja dia tidak tahu akan sepak terjang Suma Kiat, bahkan dia tidak tahu bahwa sutenya ini adalah Jai-hwa-sian, karena nama Jai-hwa-sian pun belum pernah didengarnya. Dia hanya merasa kagum kepada sutenya yang selain memiliki kepandaian lebih tinggi dari padanya, juga ternyata putera seorang Panglima Sung! Dia malah merasa malu sendiri bahwa tadi dia telah menegur sutenya, siapa kira sutenya adalah putera panglima yang tentu saja lebih tahu akan keadaan negara.
Karena Suma Hoat juga hendak melanjutkan perjalanan besok, maka pemuda ini menyewa kamar di rumah penginapan yang didiami Leng Bu dan Siauw Bwee. Melihat Siauw Bwee tidak pernah keluar lagi dari kamarnya, Suma Hoat juga siang-siang sudah memasuki kamar, berusaha melupakan Siauw Bwee namun tak berhasil. Makin dilupa, wajah gadis itu makin jelas kelihatan di depan mata. Setiap gerak-gerik gadis itu, lirikan mata, gerak bibirnya kalau bicara, kejapan matanya, senyum dikulum, aihh, dia benar tergila-gila! Harus kunyatakan sekarang, pikirnya. Tidak akan ada kesempatan, lagi. Berhasil atau gagal, sekarang, malam ini!
Malam ini amat sunyi. Suara penduduk kota kecil yang biasanya memecahkan kesunyian, malam itu tidak terdengar lagi. Dan sudah beberapa malam yang lalu, semenjak pasukan-pasukan Mancu menyerbu ke selatan, kota kecil ini menjadi sunyi sekali di waktu malam. Sebagian besar penduduknya sudah mengungsi ke selatan, mencari tempat yang jauh dari kemungkinan dilanda perang, dan sebagian kecil yang tertinggal, sore-sore sudah masuk tidur, tidur yang tidak pulas karena sedikit suara saja cukup membuat mereka terbangun dan bersiap-siap melarikan diri jika ada bahaya perang mengancam.
Bulan sepotong menciptakan keindahan ajaib, pemandangan remang-remang antara terang dan gelap, seakan-akan menambah kesunyian karena tiada yang menikmati dan mengaguminya. Hanya belalang, jengkerik, kutu-kutu dan burung malam yang dapat menikmati malam sunyi itu. Makin sunyi, makin menyenangkan bagi mereka. Mereka dapat bebas mengeluarkan suara, mungkin suara rindu si jantan mengundang si betina, suara untuk melindungi telur atau anak-anak mereka dari bahaya, namun bagi telinga manusia, suara binatang-binatang itu seolah-olah bernyanyi. Aneh, akan tetapi demikianlah kenyataannya bahwa suara-suara berirama ini bahkan menambah rasa sunyi dan hening sang malam yang menciptakan rasa takut dalam hati manusia-manusia yang sudah gelisah oleh bayangan mereka sendiri itu.
Kesunyian terasa benar oleh Siauw Bwee yang berada di dalam kamarnya. Dia rebah sambil termenung, gelisah memikirkan suheng-nya. Bagaimanakah kalau benar pendapat Coa Leng Bu bahwa suheng-nya menjadi korban racun perampas semangat? Bagaimana kalau sampai tak dapat disembuhkan? Ngeri dia memikirkan bahwa suheng-nya takkan dapat mengenalnya selamanya!
Berkali-kali Siauw Bwee menarik napas panjang dan dia merasa kesunyian, perasaan yang selalu menggoda hatinya semenjak dia meninggalkan Pulau Es. Kegelisahan dan kesunyian hatinya membuat dia dapat mendengarkan suara binatang malam dengan jelas. Dalam pendengarannya, suara malam itu seperti keluh-kesah yang menggema dari lubuk hatinya.
Tiba-tiba dia bangun, duduk di atas pembaringannya. Suara binatang malam terhenti ketika terdengar suara tiupan suling melengking. Mula-mula suara suling itu rendah seperti keluhan seekor binatang yang terluka, kemudian makin meninggi dan melagu. Lengking suling yang merdu mengalun, naik turun dengan lika-liku yang halus, suaranya menggetar seolah-olah hawa yang keluar dari mulut peniupnya mengandung hati yang merana.
Siauw Bwee terpesona. Seperti juga semua belalang, jengkerik, dan kutu-kutu malam yang semua diam terpesona, dia pun diam tak bergerak. Seluruh semangatnya seperti terbetot, terbawa melayang-layang di angkasa, memasuki dunia lamunan. Suara itu mendatangkan perasaan aneh dan penuh rahasia. Seperti perasaan orang kalau mendengarkan dengan penuh perhatian suara angin bersilir mempermainkan daun-daun pohon. Seperti dendang anak sungai dengan airnya yang bercanda dengan batu-batu sungai, suara air hujan rincik-rincik menimpa permukaan bumi, suara guntur di angkasa di musim hujan, suara air laut bergemuruh menghantam karang. Sejenak membuat perasaan pikiran menjadi hampa, sunyi, penuh damai, bebas dari pada permainan suka duka.
Namun, suara tiupan suling yang melagu itu menghanyutkannya ke lembah keharuan, mengingatkan dia akan segala kesunyian dan kegelisahannya, membuat Siauw Bwee tanpa disadarinya sendiri berlinang air mata. Ketika merasa dua titik air hangat mengalir turun di atas pipinya, barulah dia tersadar. Cepat dihapusnya air matanya, dan ia terheran-heran. Siapakah yang meniup suling seperti itu? Seolah-olah dia mendengar keluh kesah, rintihan dan ratap tangis bersembunyi di dalam lengking merdu itu.
Siauw Bwee turun dari pembaringan, membereskan pakaian tanpa mempedulikan rambutnya yang awut-awutan, kemudian dia keluar dari kamarnya, terus keluar dari rumah penginapan, menuju ke belakang dari mana terdengar suara suling itu. Bulan sepotong masih mengambang tinggi di atas kepala, sinarnya menciptakan cahaya remang-remang, agak kebiruan, agak kekuningan, mendatangkan hawa yang sejuk dan menimbulkan suasana yang penuh rahasia dan keajaiban. Pohon-pohon yang menjadi permainan cahaya redup dan kegelapan, seolah-olah kehilangan bentuk aslinya dan berubah menjadi bentuk yang penuh rahasia.
Siauw Bwee terus melangkah memasuki sebuah kebun yang kosong, dan tiba-tiba tampaklah olehnya seorang yang duduk membelakanginya, duduk di atas sebuah batu, meniup suling. Dia adalah seorang laki-laki, akan tetapi sukar dikenal siapa karena selain membelakanginya, juga laki-laki itu duduk terlindung dalam bayangan sebatang pohon. Kedua tangan memegang suling, kepalanya agak miring ketika meniup lubang suling, kedua pundaknya bidang.
Siauw Bwee berhenti melangkah. Setelah keluar dari dalam kamar, kini suara suling terdengar makin merdu, seolah-olah melayang-layang di angkasa, bermain-main dengan bayangan, membubung tinggi melalui sinar bulan redup, seperti hendak mencapai bulan. Teringatlah dia kini dan dia mengenal lagu yang dimainkan suling itu.
Ketika dia masih tinggal bersama orang tuanya di kota raja, Siauw Bwee pernah mempelajari seni suara dan dia mengenal lagu itu, sebuah lagu kuno yang berjudul ‘Merindukan Bulan’. Bahkan dia masih teringat akan kata-kata nyanyian lagu itu. Bagaikan dalam mimpi, ketika tiupan suling itu mengulangi lagi nyanyian itu, dia bernyanyi, perlahan, akan tetapi karena dia memiliki tenaga khikang yang hebat, suara nyanyian menggetar dan bergelombang sampai jauh, merdu seperti bisikan bulan sendiri melalui cahaya yang kebiruan.
Bulan...
tunggulah aku wahai bulan
jangan kau tinggalkan aku sendiri!
Bulan...
hanya engkaulah pengganti dia
hanya engkaulah pencermin wajahnya
Bulan...
ke mana engkau lari?
ke mana engkau sembunyi?
Bulan...
kasihanilah aku wahai bulan
jangan kau pergi... jangan...
Tak terasa lagi, kembali dua titik air mata membasahi pipi Siauw Bwee. Dia berhenti bernyanyi, dan suara suling itu pun melambat, menurun, akhirnya berhenti sama sekali. Sejenak sunyi, tiada sedikit pun suara menyusul penghentian lengking suling. Kemudian, tiba-tiba, suara binatang malam saling sahut lagi, seolah-olah mereka itu berseru memuji.
Seperti dalam mimpi, Siauw Bwee melihat penyuling itu bangkit, menghampirinya dan tiba-tiba orang itu menjatuhkan diri berlutut di depannya.
“Nona... engkau benar-benar datang... terima kasih kepada Thian...! Betapa hatiku menggetarkan suara merindumu, memanggilmu... dan ternyata engkau dapat menangkap getaran ini... ahhh, Nona, adakah... adakah harapan di hatiku yang kering ini?”
Siauw Bwee terbelalak memandang ketika sadar kembali dan terbebas dari hikmat keajaiban malam dan mengenal orang itu yang bukan lain adalah Suma Hoat. Hampir dia menjerit kalau saja tidak cepat-cepat dia mendekap mulut sendiri dengan telapak tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mendekap dada kiri seolah-olah menahan debaran jantungnya.
“Ihhh... engkau... engkau... apa maksudmu? Apa artinya semua ini...?”
Suma Hoat yang sudah tergila-gila itu menjatuhkan diri menelungkup dan mencium ujung sepatu Siauw Bwee. Gadis itu menjadi makin sadar dan cepat melompat ke belakang.
“Suma Hoat! Apakah engkau sudah gila?” bentaknya.
“Nona Khu Siauw Bwee, memang aku sudah gila. Tidak dapatkah engkau menangkap kegilaanku dari suara sulingku, dari sinar mataku kalau memandangmu, dan debar jantungku kalau mendengar suaramu, dari...”
“Kau... kau gila...!” Siauw Bwee membentak, wajahnya menjadi merah sekali.
“Benar, aku gila, aku tergila-gila kepadamu, Nona. Aku cinta padamu... biarlah kau bunuh aku kalau kau merasa terhina, aku rela mati di tanganmu, aku cinta padamu, Khu Siauw Bwee,” Suma Hoat berkata sambil berlutut, hanya sekali ini, tidaklah seperti biasa kalau dia merayu wanita lain. Belum pernah dia merendahkan diri seperti itu, biasanya dia malah angkuh sekali berhadapan dengan wanita. Dan baru dua kali ini selama hidupnya dia mengaku cinta dengan setulus hatinya.
Melihat sikap ini, lenyaplah kemarahan dari hati Siauw Bwee. Dia terharu karena sikap laki-laki ini jelas bukanlah rayuan kosong belaka! Timbul pertentangan di hatinya, antara kasihan yang menimbulkan keharuan dan kebencian karena mengingat bahwa pria ini adalah putera musuh besarnya.
“Suma Hoat, cukuplah sikapmu yang gila ini. Aku tidak mau menerima cintamu, tidak bisa menerima cinta siapa pun juga.”
Suma Hoat memejamkan matanya. Aihh, tidak... tidak...” Apakah dia harus kembali mengalami kegagalan cinta? Cinta yang tulus ihklas, cinta yang bukan terdorong birahi semata, melainkan cinta karena daya tarik dari seluruh pribadi wanita itu?
“Kau... kau... sudah mencinta orang lainkah...?” tanyanya lemah.
“Bukan urusanmu itu, Suma Hoat. Dengarlah, kalau aku tidak melihat sikapmu yang baik, tentu sudah sejak kemarin aku mencarimu dan membunuhmu!”
Suma Hoat terkejut bukan main. Dia melompat bangun, memandang gadis itu dengan mata terbelalak lebar. “Nona, demikian besarkah dosaku? Demikian besarkah dosa seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita seperti Nona? Sehingga timbul kebencianmu dan keinginanmu untuk membunuhku?”
“Bukan karena itu, melainkan karena kenyataan bahwa engkau adalah putera musuh besarku, putera si keparat Suma Kiat.”
“Ya Tuhan...! Mengapa, Nona? Mengapa engkau memusuhi ayahku?”
“Buka telingamu baik-baik. Suma Hoat! Aku adalah puteri tunggal dari mendiang Khu Tek San! Dan engkau tahu bahwa ayahku dan Menteri Kam Liong, guru ayahku, tewas gara-gara kekejian ayahmu!”
Suma Hoat makin kaget. Dia tidak melihat peristiwa itu, akan tetapi akhir-akhir ini dia sudah mendengar akan hal itu. Dengan muka pucat dia memandang gadis itu, lalu berkata lemah, “Sungguh buruk nasibku... Tuhan mengutukku karena perbuatan ayah... dan... dari perbuatanku sendiri. Nona, kalau begitu, kau bunuhlah aku, aku takkan melawanmu...”
“Hemmm, kalau aku hendak membunuhmu, apa kau kira engkau mampu melawanku?”
“Khu Siauw Bwee, aku tahu bahwa engkau lihai, akan tetapi harap jangan memandang rendah orang laln. Dan jangan engkau mencari ayahku, karena selain ayahku berilmu tinggi dan mempunyai banyak pasukan, juga aku bersedia menebus kesalahan ayah kepadamu. Aku cinta padamu, Nona. Sungguh, aku bersumpah, aku cinta padamu. Lebih baik engkau membalas dendammu kepadaku dan aku rela mati di tangan wanita yang kucinta dengan seluruh tubuh dan nyawaku.”
“Engkau gila! Siapa percaya omonganmu? Engkau perayu. Mana mungkin orang baru berjumpa dua kali sudah menyatakan cinta seperti engkau? Selain itu, aku tidak akan membunuhmu, aku bukan orang yang membabi buta dalam pembalasan dendamnya. Hanya ayahmu yang bersalah dan ke mana pun dia bersembunyi, aku akan dapat mencari dan membunuhnya. Kalau tidak, percuma saja aku bertahun-tahun belajar ilmu di Pulau Es!” Saking marahnya, Siauw Bwee lupa diri dan menyebut Pulau Es.
Suma Hoat makin kaget. “Apa...? Engkau... engkau... penghuni Istana Pulau Es...?”
“Benar! Dan kalau engkau hendak membela ayahmu, majulah agar aku mempunyai alasan untuk menghajarmu!”
Lemas rasa seluruh tubuh Suma Hoat. Bukan lemas karena takut, melainkan lemas karena maklum bahwa harapan cintanya musnah sama sekali. Gadis jelita ini adalah penghuni Istana Pulau Es, selain memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa, juga agaknya mencintai orang lain, bahkan menjadi musuh ayahnya. Tak mungkin dara ini sudi membalas cintanya.
“Aku... aku tidak akan melawanmu, Nona. Betapa pun juga, aku tetap mencintamu... dan agaknya sudah menjadi nasibku untuk selalu kecewa dalam cinta kasih murni, dan hanya dapat mengecap kenikmatan cinta palsu yang hampa. Maafkan aku, Nona. Hanya sebuah hal yang kumohon kepadamu untuk mengaku. Benarkah dugaanku bahwa Nona telah mencinta orang lain?”
Menyaksikan sikap yang begitu menderita dan suara yang menggetar seperti hendak menangis, Siauw Bwee, yang berperasaan halus itu kembali merasa kasihan. “Benar dugaanmu, karena itu aku tidak mungkin dapat mendengar pernyataan cinta kasih dari pria lain yang mana pun juga!”
Suma Hoat menunduk, jari-jari tangannya meremas.
“Krekkk!” sulingnya hancur berkeping-keping.
“Selamat tinggal, Nona. Betapa pun juga, cintaku takkan pernah padam dan harapanku takkan pernah musnah. Aku akan menanti, siapa tahu..., Thian akan menaruh iba kepadaku... dan kelak... kelak kita masih akan dipertemukan kembali dengan harapan baik bagiku... selamat tinggal.”
Tubuh Suma Hoat melesat cepat meninggalkan tempat itu, dan Siauw Bwee berdiri termangu-mangu, menghela napas panjang. Teringat ia kepada Yu Goan, pemuda tampan gagah perkasa yang juga jatuh cinta kepadanya dan terpaksa ditolaknya pula. Akan tetapi, hatinya tidak seberat ketika menghadapi pernyataan cinta kasih Suma Hoat. Diam-diam dia harus mengaku di dalam hatinya bahwa andai kata Suma Hoat bukan putera Suma Kiat, agaknya tidak sukar baginya untuk memperhatikan pernyataan cinta kasih pemuda itu! Andai kata....
“Khu-lihiap, apa yang kau lakukan malam-malam di sini? Hawanya begini dingin...”
Siauw Bwee sadar dari lamunannya dan membalikkan tubuh. “Ah, aku tak dapat tidur, Supek.”
“Sebaiknya tidur sekarang, besok kita berangkat pagi-pagi. Aku akan membicarakan rencana kita dengan Sute karena dia agaknya lebih mengenal keadaan kota Siang-tan agar lebih mudah kita memasuki kota yang menjadi benteng pertahanan pasukan Sung itu.”
”Dia sudah pergi, Supek.”
“Apa? Siapa maksudmu?”
“Suma-twako, dia sudah pergi.” Setelah berkata demikian, Siauw Bwee kembali ke penginapan dan memasuki kamarnya.
Coa Leng Bu masih tidak percaya dan membuka pintu kamar sute-nya. Ternyata kamar itu telah kosong. Dia hanya melongo dan tidak mengerti. Diam-diam ia menghela napas dan menduga bahwa tentu terjadi sesuatu antara Siauw Bwee dan sute-nya itu, akan tetapi dia tidak tahu apa yang terjadi dan tidak berani bertanya. Ia pun lalu memasuki kamarnya dan tidur.
Pasukan Mancu yang menduduki kota Sian-yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Bharigan, dan tentu saja karena jasa Pasukan Maut yang dipimpin oleh Panglima Wanita Maya maka benteng itu dapat direbut dengan mudah. Setelah berhasil menduduki kota dan mengamankan keadaan, Pangeran Bharigan mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan Pasukan Mancu. Jasa Maya dan pembantu-pembantunya, terutama kedua orang murid Mutiara Hitam, dipuji-puji oleh Pangeran Bharigan yang biar pun cintanya ditolak Maya, masih selalu mengharapkan perubahan hati dara itu.
Biar pun keadaan mengharuskan dia bergembira, namun Maya merasa masih belum puas, apa lagi kalau dia mengingat akan suheng-nya yang tempo hari membantu pasukan Yucen. Dia tidak akan merasa puas kalau belum menumpas Kerajaan Sung untuk membalas dendam kematian Menteri Kam Liong, kemudian menumpas bangsa Mongol dan Yucen untuk membalas kematian ayah bundanya, Raja dan Ratu Khitan.
Maka untuk menghentikan puji-pujian itu, dia menjawab, “Kemenangan kita adalah jasa para prajurit dan kemenangan ini belum ada artinya karena benteng yang berada di depan jauh lebih kuat. Saya mendengar bahwa benteng musuh di kota Siang-tan amat kuatnya.”
“Menurut para penyelidik memang benar demikian, Li-ciangkun,” kata Pangeran Bharigan. “Oleh karena itu, kita pun jangan tergesa-gesa melakukan penyerangan. Sambil memberi waktu kepada para anak buah pasukan untuk mengaso, sebaiknya kalau kita mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka. Kita harus mengetahui kelemahan-kelemahan mereka di samping kekuatan mereka agar pukulan kita tidak akan gagal.”
“Sebaiknya demikian, Pangeran. Akan tetapi tidaklah mudah untuk menyelidiki kota besar yang merupakan benteng kuat itu. Oleh karena itu, saya mohon perkenan Pangeran untuk pergi menyelidiki sendiri dengan beberapa orang pembantu yang berkepandalan cukup tinggi.”
Pangeran Bharigan mengangguk-angguk. Memang sebaiknya begitu dan kalau panglima wanita yang sakti itu pergi menyelidiki sendiri, tentu hasilnya akan jauh lebih baik dari pada mengirim penyelidik biasa. Biar pun hatinya khawatir kalau-kalau wanita perkasa yang menarik hatinya dan diharapkan dapat menjadi calon isterinya itu mengalami mala-petaka, namun dia tahu bahwa merupakan pantangan bagi Maya untuk bersikap penakut.
“Saya tidak dapat menolak permintaanmu, Li-ciangkun. Kalau memang kau anggap penting bahwa engkau sendiri yang pergi, terserah. Silakan memilih pembantu-pembantumu, dan apakah perlu dengan pasukan?”
Maya menggeleng kepala. “Saya hanya memerlukan bantuan Ok Yan Hwa, Can Ji Kun, Kwa-huciang dan Theng-ciangkun. Kami berlima akan menyamar sebagai pengungsi dan memasuki kota Siang-tan. Besok pagi-pagi kita berangkat. Kalau Pangeran setuju, kuharap kalian berempat suka bersiap-siap malam ini.”
Pangeran Bharigan menyetujui dan bersiaplah lima orang itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali di waktu cuaca makin gelap, mereka menyelundup ke luar dan berpakaian sebagai penduduk biasa, membawa buntalan pakaian, kemudian menyelinap di antara rombongan pengungsi yang berbondong-bondong menuju ke Siang-tan. Tidak begitu banyak yang memasuki kota Siang-tan, karena sebagian pengungsi ada yang berhenti di dusun-dusun dan kota-kota sebelum mencapai Siang-tan.
Perjalanan jauh membuat pakaian dan rambut mereka kusut sehingga kecantikan Ok Yan Hwa, terutama sekali Maya, tidaklah begitu menonjol, apa lagi mereka sengaja membiarkan sinar matahari membakar kulit muka dan tangan mereka yang biasanya halus dan putih kuning itu. Kulit mereka menjadi kecoklatan seperti kulit para wanita petani. Pula, di antara para pengungsi terdapat pula wanita-wanita bangsawan dan hartawan yang dalam perjalanan mengungsi itu tak pernah lupa untuk bersolek, sehingga dipandang sepintas lalu, Yan Hwa dan Maya yang membiarkan kulit mereka dihanguskan matahari, membiarkan pakaian dan rambut mereka kusut, tidak kelihatan cantik luar biasa.
Ketika memasuki pintu gerbang sebelah utara bersama rombongan pengungsi, Maya dan empat orang pembantunya melihat betapa penjagaan di sepanjang tembok kota amat kuat dan rapi. Para penjaga berbaris dengan lapisan yang ketat, sedangkan setiap orang pengungsi diawasi dengan cermat, bahkan kereta-kereta yang masuk diperiksa dan pengungsi yang membawa senjata dirampas.
Diam-diam Maya harus mengakui bahwa penjagaan bagian pintu gerbang di kota Siang-tan ini jauh lebih kuat dari pada penjagaan di kota Sian-yang dan di atas tembok kota penuh pula dengan pasukan penjaga yang selalu siap dengan busur dan anak panah mereka. Juga di sekeliling tembok dipasangi jebakan-jebakan dengan barisan-barisan pendam yang tidak tampak dari jauh. Semua ini dicatat dalam hati oleh Maya. Setelah memasuki kota, Maya dan teman-temannya menyaksikan barisan Sung telah memasang persiapan membentuk pasukan-pasukan peronda, sedangkan induk pasukan yang berada di markas, yang tampak dari luar, kelihatan segar-segar dan penuh semangat.
Banyak sekali rombongan pengungsi yang membanjiri kota ini semenjak beberapa hari yang lalu sehingga semua rumah penginapan penuh oleh para pengungsi yang beruang. Karena kehabisan kamar, terpaksa Maya dan teman-temannya bermalam di dalam sebuah gedung besar rumah perkumpulan yang oleh para dermawan kota itu disediakan untuk menampung para pengungsi yang tidak dapat menyewa kamar, yang tidak berkeluarga di kota itu, dan yang tidak kebagian kamar penginapan lagi. Saking banyaknya orang yang memasuki gedung ini, sebagiaan besar mereka terpaksa berjubel di dalam ruangan terbuka yang luas.
Di tempat ini mereka beristirahat. Laki-laki wanita, tua muda, kanak-kanak, ada yang duduk mengobrol, ada yang tidur di lantai. Di sana-sini terdengar suara anak-anak kecil menangis diiringi suara makian atau hiburan orang tuanya, ada pula suara keluh-kesah wanita yang teringat akan rumah dan segala miliknya yang terpaksa ditinggalkan. Di dalam ruangan ini Maya dan empat orang temannya duduk di sudut, memperhatikan percakapan-percakapan antara para pengungsi karena percakapan-percakapan itu pun merupakan sumber keterangan yang amat penting bagi mereka.
Menyaksikan sikap para pengungsi, melihat wajah mereka tidaklah sekeruh tadi ketika melakukan perjalanan, bahkan kini setelah bercakap-cakap mereka tersenyum-senyum dan sama sekali tidak tampak berduka, diam-diam Maya teringat akan penuturan suheng-nya yang sering kali ketika mereka berada di Pulau Es membicarakan filsafat yang banyak diketahui suheng-nya itu. Diam-diam dia dapat melihat kenyataan akan watak manusia pada umumnya seperti yang pernah ia dengar dari suheng-nya.
Di dalam segala macam hal, dalam susah mau pun senang, manusia selalu bergerak dan bersikap di atas dorongan sifat sayang diri. Betapa pun dukanya hati seseorang karena mengalami derita tertimpa kemalangan, hatinya yang duka itu akan terhibur apa bila melihat manusia lain menderita pula, apa lagi kalau penderitaan manusia lain itu lebih besar dari pada penderitaannya sendiri. Dia dapat membayangkan betapa akan hancur dan sengsara hati setiap orang diri para pengungsi ini andai kata dia seorang yang mengalami nasib buruk seperti itu! Akan tetapi, bertemu dan berkumpul dengan banyak orang lain yang senasib, maka mereka itu merasa terhibur!
Sebaliknya, setiap kesenangan dan keuntungan yang datang selalu ingin dikuasai oleh seorang saja sehingga dijadikan perebutan! Sifat sayang diri dan iba diri inilah yang mengusir cinta kasih antara manusia jauh-jauh dari hati manusia sehingga di mana-mana, bahkan di dalam hati masing-masing manusia, timbul pertentangan-pertentangan.
Padahal, dengan cinta kasih yang mendalam, setiap kedukaan akan terasa ringan apa bila dipikul bersama, sebaliknya di setiap kesukaan akan terasa lebih nikmat apa bila dinikmati bersama. Hal ini akan dapat dirasakan oleh setiap orang dalam sebuah keluarga yang penuh cinta kasih, di mana setiap kedukaan menjadi ringan dan setiap kesukaan menjadi besar karena selalu dirasakan oleh seluruh keluarga yang mengandung cinta kasih di dalam hati masing-masing.
Percakapan antara tiga orang laki-laki tua di sebelah kirinya amat menarik hati Maya dan empat orang kawannya. Mereka itu bercerita tentang keributan di dalam gedung kepala daerah kota Sian-yang, di mana Koksu Negara menjadi tamu. Keributan yang ditimbulkan oleh seorang dara perkasa yang bertanding melawan pengawal-pengawal Koksu, bahkan yang berhasil membunuh pengawal Koksu yang paling terkenal, yaitu Panglima Dampit...
“Wussshhhh... desss!”
Mereka berdiri berhadapan dengan kedua tangan dilonjorkan, jarak antara kedua pasang tangan itu ada dua kaki, akan tetapi mereka merasa seolah-olah telapak tangan mereka bertemu. Tubuh Dailuba bergoyang-goyang, kemudian menggigil kedinginan. Tiba-tiba Siauw Bwee mencelat ke atas sambil menarik kedua lengannya dan... tubuh Dailuba terbawa oleh dorongannya sendiri ketika dia mengerahkan seluruh tenaganya, jatuh menelungkup!
Kalau Siauw Bwee menghendaki, di saat itu tentu saja dia dapat memukul kepala lawannya dari atas. Akan tetapi untuk membuktikan kemenangannya, dia hanya merenggut penutup kepala lawannya dan meloncat turun dengan ringan di belakang Dailuba. Panglima tinggi besar ini terengah-engah, tubuhnya masih terguncang dan menggigil, kemudian melompat bangun dan memutar tubuh, dengan mata terbelalak memandang Siauw Bwee yang tersenyum sambil memegangi topi yang tadi berada di atas kepalanya.
“Terimalah kembali penutup kepalamu!” Siauw Bwee berkata sambil melontarkan benda terbuat dari kain itu ke arah Dailuba. Orang tinggi besar itu menyambar topi dengan tangannya, akan tetapi...
“Wushhhh!” benda itu seperti berubah menjadi burung terbang, mengelak dari sambarannya, melayang ke atas dan jatuh di atas kepalanya.
“Hebat...! Ahhh, sungguh ajaib! Betapa mungkin kepandaian seorang murid keponakan jauh melampaui tingkat supek-nya sendiri? Nona, aku kagum sekali dan marilah kita saling menguji kepandaian kita. Aku akan merasa gembira sekali berkenalan dengan Nona setelah kita saling mengenal kelihaian masing-masing!” Koksu berkata dan tubuhnya sudah mencelat ke depan Siauw Bwee.
Hemm, biar akan menimbulkan geger, sekali ini dia akan memberi hajaran keras kepada orang yang telah pernah menawan dia bersama suci-nya, Maya. Pikiran ini membuat Siauw Bwee menjawab lantang.
“Pek-mau Seng-jin, biar pun aku masih muda, sudah banyak aku mendengar namamu yang besar.”
“Apa? Engkau sudah mengenal namaku? Jadi engkau tahu siapa aku ini?” Kakek berambut putih itu bertanya, alisnya berkerut.
Siauw Bwee tersenyum mengejek sambil mengangguk. Alis putih itu makin berkerut. Celaka, pikir Pek-mau Seng-jin. Kalau gadis ini sudah mengenalnya, berarti tahu bahwa dia adalah Koksu dari Yucen, rahasia penyamaran dan perjalanannya telah terbuka! Gadis ini harus ditarik sebagai sekutunya, atau... kalau tidak mau, harus dienyahkan sebagai musuh yang berbahaya!
Namun, sikap kakek itu masih tenang saja dan dia bertanya, ”Nona, engkau sudah mengenalku. Sudah sepatutnya kalau aku mengetahui siapakah engkau yang semuda ini telah memiliki kepandaian amat tinggi.”
“Aku seorang perantau. Sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga. Akan tetapi kalian memaksa kami untuk bertanding. Kami telah memenuhi permintaan kalian, hanya karena terpaksa, bukan sekali-kali untuk berkenalan. Nah, kita lanjutkan atau tidak?”
“Ha-ha-ha, pantas saja engkau angkuh dan tinggi hati, karena memang engkau lihai sekali. Biarlah, kita main-main sebentar dengan taruhan bahwa kalau engkau kalah, biar pun engkau tidak mau menjadi sahabat kami, engkau harus memperkenalkan namamu kepadaku. Bagaimana?”
“Aku tidak sudi berjanji apa-apa. Dengan pertandingan yang kau paksakan ini, kalau aku kalah, terserah kepadamu mau berbuat apa. Akan tetapi kalau engkau kalah dan tewas di tanganku, jangan menyalahkan aku!”
“Aduh sombongnya! Baiklah, Nona. Sudah lama aku tidak ketemu lawan yang setanding. Melihat cara engkau mengalahkan pembantuku, ternyata engkau cukup berharga untuk menjadi kawanku. Bersiaplah engkau!”
“Majulah!” Siauw Bwee sudah memasang kuda-kuda dengan kedua kaki tegak, agak terbuka dan kedua tangannya tergantung lemas di kedua samping tubuhnya, matanya tajam mengawasi lawan dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi serangan yang bagaimana pun juga.
Melihat cara persiapan dan kedudukan tubuh dara itu, kembali Pek-mau Seng-jin kagum dan dia tidak berani memandang rendah. Dara ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali sehingga dapat bersikap seperti itu, tanpa memasang kuda-kuda teguh seperti yang biasa dilakukan ahli-ahli silat.
“Sambutlah, Nona!”
Pek-mau Seng-jin mulai dengan serangan pertama. Tangan kirinya bergerak menyambar dari samping menuju ke arah leher Siauw Bwee. Angin pukulan yang panas sekali menyambar, diikuti oleh lengan baju yang menampar muka, kemudian dalam detik berikutnya disusul pula oleh jari-jari tangan yang melakukan totokan-totokan ke arah lima jalan darah di kedua pundak kanan kiri leher dan tenggorokan! Bukan main hebatnya serangan ini yang sekali gerak telah mengandung lima serangan. Baru angin pukulan itu saja sudah amat berbahaya, tidak kalah bahayanya dengan tamparan ujung lengan baju atau totokan-totokan itu sendiri yang rerupakan inti serangan!
Namun Siauw Bwee tidak menjadi gentar. Tanpa menggeser kaki, tubuh atasnya meliuk ke belakang dan lengan kanannya yang kecil menangkap dengan berani.
“Plakk! Brettt...!”
Pek-mau Seng-jin meloncat ke belakang dengan mata terbelalak heran. Dia tidak mengenal gerak tangan Siauw Bwee tadi yang amat cepat dan hal ini tidak aneh karena dara ini menggunakan ilmu gerak tangan kilat yang merupakan kepandaian khusus dari kaum kaki buntung! Dengan gerakan kilatnya, sambil menangkis serangan tadi, jarinya dapat digerakkan dengan pemutaran pergelangan tangan cepat sekali sehingga dari samping ia berhasil melubangi ujung lengan baju kakek berambut putih itu!
“Kau... apakah engkau dara perkasa yang telah membunuh panglima dampit dari Kerajaan Sung?”
Siauw Bwee terkejut dan kagum. Agaknya Koksu Yucen ini mempunyai banyak mata-mata yang telah menyelundup ke dalam gedung pembesar Sian-yang sehingga mengetahui pula peristiwa itu.
“Kalau betul demikian, mengapa?” tanyanya dengan tenang.
“Aihh..., Nona yang perkasa! Kita sepaham dan sehaluan! Marilah engkau bekerja sama dengan kami menghadapi bangsa Mancu yang biadab dan Kerajaan Sung yang sudah hampir roboh!”
“Pek-mau Seng-jin, aku tidak mau mencampuri urusan negara dan perang. Kalau kau tidak ingin melanjutkan pertandingan gila ini, biarkan aku dan Supek pergi.”
“Engkau keras kepala! Apa kau kira akan mampu menandingi Pek-mau Sengjin? Jaga serangan!”
Kini kakek itu mengeluarkan seruan keras dan nyaring sekali, seruan yang dikeluarkan dengan tenaga khikang sehingga melengking tinggi dan mengejutkan semua orang, bahkan para pembantunya hampir tidak kuat bertahan kalau tidak cepat mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan lengking itu. Pemilik warung dan para pelayannya yang masih bersembunyi, seketika roboh pingsan!
Namun Siauw Bwee tetap tenang. Melihat kini kakek itu menerjangnya dengan dahsyat, ia cepat mengelak dengan gerakan kakinya yang lincah sambil balas memukul dari samping dengan pengerahan sinkang yang mengandung tenaga Im-kang kuat sekali. Pek-mau Seng-jin menangkis.
“Dukkk!” keduanya terlempar ke belakang. Akan tetapi kalau Siauw Bwee tidak merasakan sesuatu, hanya terpental saking kuatnya lawan, adalah Pek-mau Seng-jin menggoyang tubuhnya mengusir hawa dingin yang menyusup ke tulang-tulangnya!
Pada saat itu terdengar seruan nyaring. “Tahan! Di antara sahabat sendiri tidak boleh bertanding!”
Tampak bayangan berkelebat dan Suma Hoat telah berdiri di tempat itu, memandang kepada Koksu dan Siauw Bwee, kemudian cepat menjura kepada Pek-mau Seng-jin sambil berkata, “Seng-jin, dia adalah Coa Leng Bu, suheng-ku sendiri. Harap jangan melanjutkan perkelahian!”
Pek-mau Seng-jin tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, kau salah sangka, Suma-sicu! Kami bukan berkelahi, melainkan saling menguji kepandaian dan Nona ini benar-benar luar biasa lihainya. Kiranya masih Coa-sicu ini suheng-mu sendiri, dan Nona ini, apakah dia juga murid keponakanmu?”
“Murid keponakan...? Saya tidak mengenalnya, biar pun kami pernah saling berjumpa.”
Sementara itu Siauw Bwee terheran-heran melihat pemuda tarnpan yang pernah menolongnya lari dari Sian-yang. Jadi pemuda yang lihai dan mahir Ilmu Jit-goat-sinkang itu adalah sute dari Coa Leng Bu? Dia mengerutkan alisnya dan makin tidak mengerti ketika mendengar pemuda itu disebut Suma-sicu oleh Pek-mau Seng-jin. Pemuda itu bernama keluarga Suma! Apa artinya ini?
Ketika dia menoleh kepada Coa Leng Bu, kakek ini menarik napas panjang dan berkata, “Sute, sesungguhnya tidak ada perkelahian dan biarkan kami berdua pergi lebih dulu. Kalau engkau mengenal mereka ini, harap jelaskan bahwa kami bukanlah orang yang suka terlibat dalam urusan negara. Sampai jumpa, Sute.” Coa Leng Bu lalu mengajak Siauw Bwee pergi dari situ dan sekali ini rombongan Pek-mau Seng-jin tidak mencegah mereka.
Setelah keluar dari dusun itu, Siauw Bwee tidak dapat menahan hatinya. “Supek, pemuda itu adalah orang yang menolongku keluar dari Sian-yang. Benarkah dia itu sute-mu?”
“Memang begitulah. Tadinya Suhu Bu-tek Lo-jin hanya mempunyai tiga orang murid, yaitu Twa-suheng Lie Soan Hu yang menjadi ketua lembah memimpin orang-orang penderita kusta, kedua aku sendiri, dan ke tiga adalah Sute Ouw Teng. Akan tetapi belum lama ini, Suhu mengangkat seorang murid baru yang biar pun paling muda, namun memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Dia adalah Suma-sute tadi yang sebelum menerima ilmu Jit-goat-sinkang dan lain-lain dari Suhu, telah memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari pada kami bertiga. Sungguh tidak kuduga bahwa dia mengenal rombongan Pek-mau Seng-jin tadi. Betapa pun juga, kedatangannya menghentikan bahaya yang mengancam kita. Sekarang aku ingin sekali tahu, bagaimana engkau mengenal Pek-mau Seng-jin dan siapakah dia sebenarnya?”
“Dia itu bukan lain adalah Koksu Negara Yucen.”
“Aihhhh...!” Wajah Coa Leng Bu berubah pucat. “Pantas saja dia lihai bukan main. Dan Suma-sute agaknya mengenal balk mereka itu! Apa artinya ini?”
Siauw Bwee menarik napas panjang. “Agaknya aku dapat menduga apa artinya, Supek. Koksu Negara Yucen itu tentu melakukan penyelidikan dan mencari bantuan orang-orang pandai, mengingat akan pesatnya gerakan kerajaan itu menyerbu ke selatan. Tadi dia mengajak aku membantunya ketika mendengar bahwa aku menewaskan Panglima Sung, tentu dia mengira aku memusuhi Sung dan Mancu. Dan melihat sikap sute-mu tadi, aku tidak akan meragukan kalau dia termasuk di antara orang-orang gagah yang kena terbujuk untuk bersekutu dengannya.”
Coa Leng Bu mengangguk-angguk. “Hemm, agaknya begitulah. Aku bertemu dengan dia di Sian-yang dan akulah yang minta dia mencarimu dan memberi tahu bahwa aku menanti di pintu gerbang selatan. Aku tidak mencampuri urusan pribadinya, namun aku sebagai suheng-nya berhak untuk mengingatkannya bahwa tidaklah baik membantu bangsa asing memerangi bangsa sendiri.”
Siauw Bwee teringat akan suci-nya, Maya. Mengapa suci-nya itu juga membantu pasukan Mancu? Maka dia lalu berkata, “Dalam keadaan negara kacau seperti ini, memang banyak orang merasa serba salah, Supek. Kerajaan Sung makin merosot pamornya, banyak pembesar yang buruk dan jahat. Timbullah Kerajaan bangsa Yucen dan bangsa Mancu, membuat banyak orang menjadi ragu-ragu dan timbul harapan baru untuk melihat munculnya kerajaan baru yang akan dapat mengamankan negara dan memakmurkan kehidupan rakyat. Betapa pun juga, tentu saja aku tidak setuju kalau orang mengharapkan kemakmuran dari penjajahan bangsa asing!”
“Cocok, Khu-lihiap! Demikian pula pendapatku, maka kalau aku bertemu dengan dia, akan kuperingatkan dia.”
“Supek, siapakah nama sute-mu itu? Aku mendengar tadi disebut Suma-sicu oleh Koksu Yucen.”
“Memang dia she Suma, namanya Hoat.”
“Suma Hoat...?” Siauw Bwee mengerutkan alisnya, mengingat-ingat karena dia seperti pernah mendengar nama itu.
“Apakah engkau sudah mengenal namanya pula?”
Siauw Bwee mengangguk. “Nama itu tidak asing bagiku... akan tetapi aku lupa lagi...”
Dia benar-benar tidak ingat lagi, akan tetapi dia menduga bahwa tentu pemuda tampan itu masih ada hubungan dengan Panglima Suma Kiat, musuh besar yang telah menjadi biang keladi tewasnya ayahnya dan Menteri Kam Liong! Ketika hal ini terjadi, dia masih terlalu muda dan memang dia tidak pernah memperhatikan atau mendengar keadaan keluarga Suma Kiat sehingga dia tidak tahu bahwa pemuda berusia tiga puluh tahun yang telah menolongnya itu bukan lain adalah putera tunggal musuh besarnya itu!
Mereka melanjutkan perjalanan dan bermalam di sebuah kota kecil. “Kita menanti Sute di sini. Aku ingin sekali mendengar apakah betul dia menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen.”
Siauw Bwee mengangguk setuju. Dia pun ingin sekali menyelidiki, apakah hubungan sute dari supek-nya itu, yang mengingat akan kedudukannya terhitung masih susiok-nya (paman gurunya) sendiri, dengan musuh besarnya, Suma Kiat!
Sementara itu, setelah menyadarkan pemilik warung dan mengganti semua kerusakan dengan hadiah banyak, rombongan Pek-mau Seng-jin mengajak Suma Hoat keluar dari dusun karena mereka tidak mau menarik perhatian penduduk yang sudah panik dengan adanya pertandingan di dalam warung tadi. Di dalam hutan di luar dusun itu mereka bercakap-cakap.
Memang benarlah dugaan Siauw Bwee, Suma Hoat telah menjadi kaki tangan Koksu dari Yucen. Seperti telah kita ketahui, pemuda yang merasa amat menyesal dan berduka karena dia telah membikin lumpuh Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau melawannya, kemudian makin menyesal karena dia telah menghina kedua orang bibinya sendiri, yaitu Kam Siang Hui dan Kam Siang Kui, bersama Im-yang Seng-cu menyerbu markas besar Hoat Bhok Lama di Pegunungan Heng-toan-san di lembah Sungai Cin-sha. Dia melihat kedua orang wanita itu tewas dan dia bertemu dengan Bu-tek Lo-jin yang kemudian mengajaknya membunuh Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, kemudian mengangkatnya sebagai murid.
Hati Dewa Pemetik Bunga ini penuh dengan penyesalan akan semua perbuatannya yang lalu, penyesalan yang timbul setelah dia membuat lumpuh kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai, yaitu Kian Ti Hosiang. Penyesalan ini membuat dia mengasingkan diri dan tekun berlatih ilmu silat yang ia peroleh dari Bu-tek Lo-jin yang hanya beberapa bulan saja mengajarkan ilmu-ilmu silat dan Jit-goat-sinkang kepadanya, kemudian kakek aneh itu pergi lagi meninggalkannya. Dengan tekun sekali Suma Hoat menggembleng diri dengan ilmu-ilmu itu sambil berusaha melupakan kesenangannya, yaitu bermain asmara dengan wanita-wanita cantik yang membuatnya dijuluki Jai-hwa-sian.
Gurunya menceritakan kepadanya bahwa dia mempunyai tiga orang suheng yang tinggal di tebing Lembah Kaum Kusta. Ketika dia mengunjungi mereka ke sana, dia hanya bertemu dengan Coa Leng Bu, suheng-nya yang kedua, dan dia enggan menjumpai twa-suheng-nya dan sam-suheng-nya ketika mendengar dari Ji-suheng ini bahwa mereka itu menjadi ketua dari kaum liar dan kaum penderita kusta. Apa lagi karena ia mendapat kenyataan bahwa biar pun disebut Ji-suheng, kepandaian Coa Leng Bu tidaklah lebih tinggi dari padanya.
Setelah meninggalkan Ji-suheng-nya, Suma Hoat lalu teringat kepada ayahnya. Benar bahwa dia telah disakiti hatinya, telah diusir tanpa salah, karena bukankah permainan asmara dengan Bu Ci Goat adalah karena rayuan ibu tirinya itu? Betapa pun juga, dia adalah anak tunggal, dia harus menghadap ayahnya yang sudah tua. Dia harus membantu ayahnya setelah kini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Teringat akan ayahnya, Suma Hoat merasa dirinya makin berdosa dan semua ini adalah gara-gara wanita! Gara-gara Ciok Kim Hwa!
Kalau dia tidak patah hati karena Ciok Kim Hwa membunuh diri, tentu dia tidak sampai bentrok dan diusir ayahnya sehingga kemudian dia membalas dendamnya kepada para wanita dan menjadi seorang pemerkosa dengan Julukan Jai-hwa-sian! Bahkan kemudian membuat dia melakukan hal yang amat keji, yaitu membuat Ketua Siauw-lim-pai yang sakti dan berbudi mulia itu menjadi cacat, lumpuh kedua kakinya. Dia harus menebus semua dosanya itu dengan jalan berbakti kepada ayahnya, berbakti kepada negara, dan berbakti kepada kemanusiaan.
Dengan pikiran inilah Suma Hoat mencari ayahnya, menahan nafsu birahinya yang kadang-kadang bergejolak setiap ia melihat wanita cantik, dan akhirnya dia berhasil bertemu dengan ayahnya, Suma Kiat di kota raja. Akan tetapi, biar pun dia girang sekali mendapat sambutan gembira dari ayahnya dan ibu tirinya, Bu Ci Goat, di dalam hatinya dia terkejut karena ayahnya segera memberi tahu bahwa ayahnya diam-diam telah membuat persekutuan dengan Kerajaan Yucen, dan membuat persiapan untuk membantu Kerajaan Yucen dari dalam untuk menjatuhkan pemerintah lama!
Biar pun di dalam hatinya terasa panas dan tidak setuju, namun dia tidak mau mengecewakan ayahnya dan akhirnya dia menjalankan tugas yang diperintahkan ayahnya untuk menemui Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang sedang melakukan penyelidikan tentang gerakan tentara Mancu.
Dengan membawa surat ayahnya, Suma Hoat berhasil bertemu dengan Pek-mau Seng-jin, kemudian dia malah menerima tugas penyelundupan ke dalam kota Sian-yang untuk menghubungi kaki tangan Pek-mau Seng-jin dan menyelidiki keadaan pasukan Mancu yang menduduki kota itu. Telah ada kata sepakat antara Suma Kiat dan Pek-mau Seng-jin untuk membiarkan pasukan-pasukan Sung berperang melawan pasukan-pasukan Mancu sehingga kedua pihak itu akhirnya menjadi lemah dan mudah dihancurkan oleh pasukan Yucen.
Demikianlah, ketika ia menyelundup ke Sian-yang, Suma Hoat bertemu dengan Ji-suheng-nya, Coa Leng Bu, dan ia disuruh membantu dan memberitahukan jalan ke luar kepada nona yang menjadi murid keponakan Ji-suheng-nya. Suma Hoat berhasil membantu Siauw Bwee dan begitu bertemu dengan dara itu, jantung Suma Hoat berdebar keras, sekaligus dia tertarik seperti sebatang jarum tertarik oleh besi sembrani! Ketangkasan dan kelihaian gadis itu, kecantikannya, bentuk tubuhnya, suaranya, segala-galanya membuat jantung Suma Hoat seperti akan dicopot.
Dia telah banyak berjumpa dengan wanita cantik, telah banyak mempermainkan wanita, namun belum pernah dia mengalami getaran jantung seperti ketika bertemu dengan Siauw Bwee, padahal baru dia lihat sebentar saja di malam itu, di antara sinar obor. Seolah-olah dia bertemu dengan Ciok Kim Hwa, bahkan lebih lagi karena dalam pandang matanya, Siauw Bwee jauh melampaui daya tarik Kim Hwa!
Dia telah jatuh cinta, bukan cinta birahi seperti kalau dia bertemu wanita-wanita cantik yang dipermainkan dan diperkosanya, melainkan cinta kasih yang membuat dia ingin selamanya berdampingan dan hidup berdua dengan gadis itu, menghentikan semua petualangan asmaranya!
Di dalam hutan kecil, Pek-mau Seng-jin dan kaki tangannya berunding. “Biarkan pasukan Mancu yang kuat itu menyerbu terus ke selatan,” antara lain Pek-mau Seng-jin berkata. “Setelah pasukan-pasukan Mancu jauh meninggalkan induknya, dan tentara Sung mengalami pukulan hebat, baru kita mengerahkan bala bantuan untuk memotong jalan, menghancurkan tentara Mancu dan menyerbu terus ke kota raja Sung Selatan. Suma-sicu, gadis tadi memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Sungguh aku merasa heran sekali mengapa murid keponakanmu dapat memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebat. Siapakah dia sebenarnya?”
“Saya sendiri belum mengenalnya, Seng-jin,” jawab Suma Hoat sejujurnya. “Ji-suheng hanya mengatakan bahwa gadis itu adalah anak angkat dari Sam-suheng karena itulah maka menyebut Ji-suheng sebagai supek-nya.”
“Hemm, akan menguntungkan sekali kalau saja dia dapat kita tarik menjadi pembantu. Suma-sicu, dapatkah kau membujuknya untuk berplhak kepada kita?”
“Akan saya coba, Seng-jin.”
“Baik, kalau begitu harap kau suka menyusulnya. Biarkan dia memilih, langsung membantuku atau membantu ayahmu. Dengan tenaga-tenaga lihai seperti dia, perjuangan kita akan makin berhasil. Kami akan kembali dan mempersiapkan pasukan untuk memberi pukulan-pukulan terakhir setelah Mancu dan Sung berhantam sendiri di selatan.”
Mereka berpisah dan Suma Hoat cepat pergi mengejar Ji-suheng-nya dan gadis jelita yang telah memikat hatinya. Mendengar betapa dara itu dipuji-puji Pek-mau Seng-jin, dia menjadi makin tertarik. Benar-benar seorang dara pilihan, pikirnya. Dahulu, dia tergila-gila kepada Ciok Kim Hwa, seorang gadis lemah. Sekarang dara yang datang bersama Ji-suheng-nya itu, selain memiliki daya tarik lebih hebat dari pada Ciok Kim Hwa juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Pantas menjadi kawan hidupnya. Untuk mendapatkan gadis seperti itu sebagai isterinya, dia siap meninggalkan cara hidupnya yang lalu, yang penuh petualangan dan dosa!
Demikianlah, dapat dibayangkan betapa girang hati Suma Hoat ketika dia bertemu dengan Coa Leng Bu dan Khu Siauw Bwee yang memang menantinya di kota kecil itu. Kedua orang itu sedang makan pagi di sebuah warung ketika Suma Hoat datang.
“Ahhh, Ji-suheng! Untung sekali aku dapat menyusul kalian di sini!” katanya sambil menatap wajah Siauw Bwee dengan jantung berdebar.
Bukan main! Pagi ini gadis itu tampak makin cantik mempesonakan. Biar pun mulut Suma Hoat mengeluarkan kata-kata gembira seperti itu, namun dia berdiri terpesona memandang Siauw Bwee, seolah-olah kedua kakinya tidak kuat menaiki anak tangga rumah makan itu!
Menyaksikan sikap pemuda itu, Siauw Bwee mengerutkan alisnya dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah. Pandang mata pemuda itu dengan jelasnya memancarkan isi hatinya kepadanya! Siauw Bwee tidak mampu melawan pandang mata seperti itu lebih lama lagi dan ia menunduk.
Coa Leng Bu yang melihat sikap sutenya ini lalu menegur, “Sute, mari duduklah. Kenapa berdiri saja di situ?”
Suma Hoat sadar, kedua pipinya menjadi merah, jantungnya berdenyut aneh dan ia merasa heran sekali. Dia yang sudah bermain cinta dengan banyak gadis cantik dari segala golongan, kenapa sekarang sama sekali tidak berdaya menghadapi gadis ini? Ia lalu menaiki anak tangga, dan duduk di atas bangku berhadapan dengan Siauw Bwee, di sebelah kiri suheng-nya.
“Ji-suheng, aku mendengar bahwa kau terluka pundakmu. Bagaimana lukamu? Apakah sudah sembuh?”
“Hanya luka daging, tidak berbahaya, Sute.”
“Suheng, Nona ini adalah yang kau suruh aku bantu di Sian-yang tempo hari. Siapakah dia? Harap Suheng memperkenalkan.”
Siauw Bwee mengangkat muka dan kini dia menatap wajah orang muda itu penuh perhatian. Wajah yang tampan, pikirnya, dan sikap yang gagah sekali. Dia sudah hampir lupa lagi bagaimana wajah Panglima Suma Kiat, akan tetapi dia mendengar bahwa panglima tua itu pun dahulunya seorang yang tampan. Orang muda di depannya ini memiliki sikap yang gagah perkasa, agaknya tidak patut menjadi seorang jahat, akan tetapi pandang matanya begitu tajam, seolah-olah pandang mata itu menjenguk ke dalam hatinya, bahkan seolah-olah pandang mata itu menelanjanginya!
Diam-diam Siauw Bwee bergidik. Laki-laki yang jantan dan berbahaya sekali! Kalau saja cinta kasih di hatinya tidak sebulatnya tertuju kepada suheng-nya, pria di depannya ini memiliki daya tarik luar biasa dan tidak anehlah kalau dia tertarik!
Mendengar ucapan sutenya, Coa Leng Bu tertawa, “Ahhh, aku sampai lupa memperkenalkan. Sute, Khu-lihiap ini adalah puteri angkat dari mendiang Ouw-sute, jadi masih terhitung murid keponakanmu sendiri. Khu-lihiap, ini adalah Suma-sute, masih susiok-mu sendiri.”
Siauw Bwee bangkit berdiri dan memberi hormat. “Susiok...!” katanya perlahan dan sederhana.
Suma Hoat cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatan dara itu sambil berkata, “Aihh, Nona. Harap jangan menyebut Susiok kepadaku. Kepandaian Nona begitu tinggi, kalau menyebut Susiok kepadaku hanya membuat aku menjadi malu saja. Nona, namaku adalah Suma Hoat dan kuharap Nona tidak menyebut Susiok, sebut saja Twako karena kita telah menjadi sahabat, bukan?”
Ucapan dan sikap Suma Hoat demikian ramah dan wajar, sama sekali tidak memperlihatkan sikap kurang ajar sehingga Siauw Bwee tersenyum. Senyum yang membuat Suma Hoat hampir terjengkang saking kagum dan girangnya.
“Baiklah, Suma-twako.”
Mereka duduk kembali dan Leng Bu cepat memberi isyarat kepada pelayan untuk menambah hidangan dan minuman.
“Nona, engkau she Khu akan tetapi belum memperkenalkan diri.”
Sambil tersenyum memandang orang muda yang polos itu, Siauw Bwee menjawab, “Namaku Khu Siauw Bwee.” Berkata demikian, ia memandang tajam untuk melihat apakah orang muda she Suma itu mengenal namanya. Kalau dia keluarga Suma Kiat, tentu akan mengenal bahwa dia adalah puteri mendiang Panglima Khu Tek San!
Akan tetapi tidak tampak perubahan sesuatu pada wajah yang tampan itu dan memang sesungguhnya Suma Hoat tidak mengenal nama ini. Peristiwa yang menimpa Khu Tek San dan Menteri Kam Liong terjadi ketika dia sudah meninggalkan kota raja.
Sambil makan minum mereka bercakap-cakap. Beberapa kali Suma Hoat memancing untuk mengetahui keadaan Khu Siauw Bwee, namun gadis itu seolah-olah hendak menyembunyikan keadaannya.
“Nona, kepandaianmu begitu hebat. Siapakah sebetulnya gurumu?” Akhirnya dia bertanya secara langsung.
“Aku sendiri tidak tahu dan tidak dapat memberi tahu tentang itu, Suma-twako. Aku hanya belajar sedikit-sedikit di sana-sini, dan mula-mula aku belajar di bawah bimbingan suheng dan suci-ku sendiri,” Siauw Bwee tetap saja mengelak.
“Ahh, kalau begitu, suheng dan suci-mu tentu sakti bukan main! Bolehkah aku mengenal mereka?”
“Maaf, Twako. Suheng dan suci merahasiakan diri mereka sehingga aku tidak boleh menyebut nama mereka. Harap kau suka memaklumi watak orang-orang aneh seperti mereka itu.”
Suma Hoat kecewa akan tetapi dia mengangguk. Heran sekali gadis ini, sikapnya penuh rahasia. Akan tetapi biar pun kecewa, dia tidak merasa menyesal! Padahal biasanya dia merasa paling benci kalau menghadapi gadis yang angkuh.
“Aku mengerti, Nona, dan maafkan kelancanganku bertanya tadi. Bukan maksudku untuk mengetahui rahasia orang lain, akan tetapi... aku kagum sekali kepadamu, maka timbul keinginanku untuk mengenalmu lebih baik dengan mengetahui riwayatmu. Maafkan aku.”
“Tidak apa, Twako, akulah yang minta maaf,” kata Siauw Bwee, tidak enak juga hatinya menyaksikan sikap yang amat ramah, sopan dan baik dari orang muda itu.
“Sute, sekarang aku ingin sekali bertanya kepadamu. Sesungguhnya karena hal inilah maka aku menantimu di sini. Bagaimana engkau dapat mengenal Koksu Negara Yucen dan rombongannya?”
Pertanyaan yang tiba-tiba datangnya ini mengejutkan hati Suma Hoat. Tak disangkanya bahwa suheng-nya tahu akan hal itu. Suheng-nya sudah lama mengasingkan diri, tak mungkin mengenal Pek-mau Seng-jin sebagai Koksu Kerajaan Yucen. Tak salah lagi, tentulah Khu Siauw Bwee yang mengenal kakek berambut putih itu, maka dia menjadi makin kagum dan heran. Dara ini selain berilmu tinggi, juga agaknya berpemandangan luas dan berpengalaman dalam dunia kang-ouw.
“Jadi Suheng sudah mengenal Koksu Yucen? Terus terang saja, Suheng. Aku bekerja sama dengan Kerajaan Yucen dan bersekutu dengan Pek-mau Seng-jin.”
Diam-diam Coa Leng Bu kagum akan ketepatan pandangan Siauw Bwee. Dia melirik gadis itu yang bersikap tidak mengacuhkan, kemudian berkata, “Sute, aku tidak bermaksud untuk mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi selagi negara dalam keadaan terancam malah mengadakan persekutuan dengan bangsa lain, bukankah hal itu dipantang oleh orang-orang gagah?”
Suma Hoat tersenyum. “Untuk memberi pandangan tentang perjuangan bangsa, harus lebih dulu mengetahui keadaan sesungguhnya. Suheng melihat sendiri betapa kerajaan terancam oleh pasukan-pasukan Mancu yang kuat sekali. Biar pun semua orang gagah membantu Kerajaan Sung, kiranya kerajaan itu takkan dapat dipertahankan lagi. Jalan satu-satunya yang tepat adalah mengharapkan bantuan bala tentara Yucen dengan maksud menghadapi Mancu, bukanlah hal itu demi keselamatan negara kita?”
Diam-diam Siauw Bwee dapat mengerti kebenaran ini, dan Coa Leng Bu hanya menarik napas panjang. “Aku tidak tahu tentang politik negara, Sute, hanya kuharap Sute tidak akan menyimpang dari pada garis yang dilalui orang-orang gagah, jangan sampai kelak dikenal sebagai seorang pengkhianat bangsa.”
“Tidak mungkin, Suheng. Sampai mati pun aku tidak sudi menjadi pengkhianat. Kalau sekarang aku berbaik dengan Koksu Negara Yucen, hal itu semata-mata untuk menarik pihak Yucen menolong Kerajaan Sung yang terancam oleh pihak Mancu.”
Keterangan ini memuaskan hati Leng Bu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Suma Hoat untuk mengajak mereka mencontoh sikapnya. “Kuharap Suheng dan Nona Khu dapat melihat kenyataan itu dan marilah kalian ikut bersamaku membantu kerajaan dengan bekerja sama dengan Koksu Yucen, dengan jalan ini kita akan dapat menyelamatkan negara dari ancaman Mancu.”
“Aku tidak mempunyai hasrat untuk melibatkan diri dengan perang, Sute,” jawab Leng Bu dengan suara dingin.
“Dan bagaimana dengan pendapatmu, Nona?”
“Aku juga tidak suka mencampuri urusan negara, aku benci akan perang! Dan selain itu, aku mempunyai urusan pribadi yang lebih penting. Biarlah kita mengambil jalan kita masing-masing, Suma-twako. Supek, marilah kita melanjutkan perjalanan ke selatan.”
Siauw Bwee ingin sekali segera dapat bertemu dengan Kam Han Ki dan Leng Bu yang maklum akan hal hati dara itu berkata, “Sebaiknya besok pagi-pagi saja kita berangkat. Kota Sian-tan merupakan benteng kuat dan menjadi pertahanan pasukan Sung, kurasa ke sanalah kita harus menuju. Akan tetapi, mengingat akan peristiwa di Sian-yang, kita harus berhati-hati memasuki kota itu.”
Siauw Bwee maklum bahwa setelah mereka berdua mengacau di Sian-yang sebelum pasukan Mancu tiba di sana, tentu mereka akan dimusuhi oleh tentara Sung, dan akan ditangkap oleh Bu-koksu karena dia telah membunuh panglima dampit. Maka ia mengangguk dan menyatakan setuju.
“Suheng dan Nona Khu. Aku telah mendengar akan sepak terjang kalian di Sian-yang. Bukankah engkau yang telah membunuh panglima dampit dan menimbulkan kekacauan di sana? Kalau benar demikian, amat berbahaya kalau kalian memasuki kota Siang-tan. Pula, bolehkah aku bertanya apa tujuan Nona pergi ke sana?”
“Aku ingin mencari seseorang, urusan pribadi, Twako. Maaf, aku tidak dapat memberi penjelasan kepadamu.”
Suma Hoat mengangguk, kembali merasa kecewa akan tetapi tidak menyesal. Bahkan dia ingin sekali membantu Nona ini karena dia dapat merasa bahwa tentu ada rahasia yang mengganggu hati nona ini. Dia akan diam-diam menyelidiki dan kalau perlu melindungi dan membantu Nona yang telah menjatuhkan hatinya ini.
“Kalau begitu aku setuju dengan pendapat Ji-suheng. Lebih baik berangkat besok pagi, dan sedapat mungkin memasuki kota di waktu malam, menyelinap di antara kaum pengungsi sehingga tidak akan mudah dikenal.”
Siauw Bwee makin suka kepada pemuda ini. Seorang yang jujur, ramah, sopan dan tahu diri sehingga tidak terus bertekad mengetahui rahasia orang, bahkan dapat menghargai dan memaklumi rahasia orang.
“Suma-twako, aku pernah mendengar nama besar seorang Panglima Sung yang bernama Suma Kiat. Tidak tahu apakah persamaan she antara Twako dan dia berarti ada hubungan keluarga?”
Kembali Suma Hoat terkejut, akan tetapi dia dapat menekan hatinya dan tidak memperlihatkan pada wajahnya. Dia tersenyum dan berkata, “Kebetulan sekali aku adalah puteranya, Nona.”
“Ohhh...!” Siauw Bwee tak dapat menyembunyikan kekagetannya.
Untung dia dapat menahan kemarahannya dengan pendapat bahwa pemuda ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perbuatan Suma Kiat. Buktinya, pemuda ini tidak mengenalnya dan agaknya tidak tahu menahu tentang perbuatan jahat ayahnya yang telah mengakibatkan kematian Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Betapa pun juga, sukar baginya untuk dapat duduk semeja lagi dengan putera musuh besarnya, maka ia lalu bangkit dan berkata, “Supek, aku ingin mengaso dulu. Besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan.”
Kepada Suma Hoat dia hanya menjura tanpa memandang wajahnya, kemudian meninggalkan mereka dan pergi memasuki kamarnya di mana dia duduk dan mengatur pernapasan untuk menekan hatinya yang menggelora karena marah. Dia dapat menyabarkan hatinya ketika mengingat betapa Suma Hoat adalah seorang laki-laki yang baik, tidak seperti ayahnya. Dia tidak akan mencontoh suci-nya, yang membawa-bawa dendam kepada seluruh keluarga, bahkan bangsa! Tidak, dendamnya hanya tertuju kepada Suma Kiat, dia tidak akan memusuhi Suma Hoat yang sedikit banyak telah menarik hatinya.
Suma Hoat merasa heran akan sikap gadis itu, akan tetapi dia tidak menduga sama sekali akan isi hati Siauw Bwee. Dia melanjutkan bercakap-cakap dengan suheng-nya, dan di pihak Coa Leng Bu, dia sama sekali tidak mengenal siapa adanya sutenya ini. Puluhan tahun dia menyembunyikan diri, mengasingkan diri dan tidak pernah tahu akan keadaan dunia ramai.
Tentu saja dia tidak tahu akan sepak terjang Suma Kiat, bahkan dia tidak tahu bahwa sutenya ini adalah Jai-hwa-sian, karena nama Jai-hwa-sian pun belum pernah didengarnya. Dia hanya merasa kagum kepada sutenya yang selain memiliki kepandaian lebih tinggi dari padanya, juga ternyata putera seorang Panglima Sung! Dia malah merasa malu sendiri bahwa tadi dia telah menegur sutenya, siapa kira sutenya adalah putera panglima yang tentu saja lebih tahu akan keadaan negara.
Karena Suma Hoat juga hendak melanjutkan perjalanan besok, maka pemuda ini menyewa kamar di rumah penginapan yang didiami Leng Bu dan Siauw Bwee. Melihat Siauw Bwee tidak pernah keluar lagi dari kamarnya, Suma Hoat juga siang-siang sudah memasuki kamar, berusaha melupakan Siauw Bwee namun tak berhasil. Makin dilupa, wajah gadis itu makin jelas kelihatan di depan mata. Setiap gerak-gerik gadis itu, lirikan mata, gerak bibirnya kalau bicara, kejapan matanya, senyum dikulum, aihh, dia benar tergila-gila! Harus kunyatakan sekarang, pikirnya. Tidak akan ada kesempatan, lagi. Berhasil atau gagal, sekarang, malam ini!
Malam ini amat sunyi. Suara penduduk kota kecil yang biasanya memecahkan kesunyian, malam itu tidak terdengar lagi. Dan sudah beberapa malam yang lalu, semenjak pasukan-pasukan Mancu menyerbu ke selatan, kota kecil ini menjadi sunyi sekali di waktu malam. Sebagian besar penduduknya sudah mengungsi ke selatan, mencari tempat yang jauh dari kemungkinan dilanda perang, dan sebagian kecil yang tertinggal, sore-sore sudah masuk tidur, tidur yang tidak pulas karena sedikit suara saja cukup membuat mereka terbangun dan bersiap-siap melarikan diri jika ada bahaya perang mengancam.
Bulan sepotong menciptakan keindahan ajaib, pemandangan remang-remang antara terang dan gelap, seakan-akan menambah kesunyian karena tiada yang menikmati dan mengaguminya. Hanya belalang, jengkerik, kutu-kutu dan burung malam yang dapat menikmati malam sunyi itu. Makin sunyi, makin menyenangkan bagi mereka. Mereka dapat bebas mengeluarkan suara, mungkin suara rindu si jantan mengundang si betina, suara untuk melindungi telur atau anak-anak mereka dari bahaya, namun bagi telinga manusia, suara binatang-binatang itu seolah-olah bernyanyi. Aneh, akan tetapi demikianlah kenyataannya bahwa suara-suara berirama ini bahkan menambah rasa sunyi dan hening sang malam yang menciptakan rasa takut dalam hati manusia-manusia yang sudah gelisah oleh bayangan mereka sendiri itu.
Kesunyian terasa benar oleh Siauw Bwee yang berada di dalam kamarnya. Dia rebah sambil termenung, gelisah memikirkan suheng-nya. Bagaimanakah kalau benar pendapat Coa Leng Bu bahwa suheng-nya menjadi korban racun perampas semangat? Bagaimana kalau sampai tak dapat disembuhkan? Ngeri dia memikirkan bahwa suheng-nya takkan dapat mengenalnya selamanya!
Berkali-kali Siauw Bwee menarik napas panjang dan dia merasa kesunyian, perasaan yang selalu menggoda hatinya semenjak dia meninggalkan Pulau Es. Kegelisahan dan kesunyian hatinya membuat dia dapat mendengarkan suara binatang malam dengan jelas. Dalam pendengarannya, suara malam itu seperti keluh-kesah yang menggema dari lubuk hatinya.
Tiba-tiba dia bangun, duduk di atas pembaringannya. Suara binatang malam terhenti ketika terdengar suara tiupan suling melengking. Mula-mula suara suling itu rendah seperti keluhan seekor binatang yang terluka, kemudian makin meninggi dan melagu. Lengking suling yang merdu mengalun, naik turun dengan lika-liku yang halus, suaranya menggetar seolah-olah hawa yang keluar dari mulut peniupnya mengandung hati yang merana.
Siauw Bwee terpesona. Seperti juga semua belalang, jengkerik, dan kutu-kutu malam yang semua diam terpesona, dia pun diam tak bergerak. Seluruh semangatnya seperti terbetot, terbawa melayang-layang di angkasa, memasuki dunia lamunan. Suara itu mendatangkan perasaan aneh dan penuh rahasia. Seperti perasaan orang kalau mendengarkan dengan penuh perhatian suara angin bersilir mempermainkan daun-daun pohon. Seperti dendang anak sungai dengan airnya yang bercanda dengan batu-batu sungai, suara air hujan rincik-rincik menimpa permukaan bumi, suara guntur di angkasa di musim hujan, suara air laut bergemuruh menghantam karang. Sejenak membuat perasaan pikiran menjadi hampa, sunyi, penuh damai, bebas dari pada permainan suka duka.
Namun, suara tiupan suling yang melagu itu menghanyutkannya ke lembah keharuan, mengingatkan dia akan segala kesunyian dan kegelisahannya, membuat Siauw Bwee tanpa disadarinya sendiri berlinang air mata. Ketika merasa dua titik air hangat mengalir turun di atas pipinya, barulah dia tersadar. Cepat dihapusnya air matanya, dan ia terheran-heran. Siapakah yang meniup suling seperti itu? Seolah-olah dia mendengar keluh kesah, rintihan dan ratap tangis bersembunyi di dalam lengking merdu itu.
Siauw Bwee turun dari pembaringan, membereskan pakaian tanpa mempedulikan rambutnya yang awut-awutan, kemudian dia keluar dari kamarnya, terus keluar dari rumah penginapan, menuju ke belakang dari mana terdengar suara suling itu. Bulan sepotong masih mengambang tinggi di atas kepala, sinarnya menciptakan cahaya remang-remang, agak kebiruan, agak kekuningan, mendatangkan hawa yang sejuk dan menimbulkan suasana yang penuh rahasia dan keajaiban. Pohon-pohon yang menjadi permainan cahaya redup dan kegelapan, seolah-olah kehilangan bentuk aslinya dan berubah menjadi bentuk yang penuh rahasia.
Siauw Bwee terus melangkah memasuki sebuah kebun yang kosong, dan tiba-tiba tampaklah olehnya seorang yang duduk membelakanginya, duduk di atas sebuah batu, meniup suling. Dia adalah seorang laki-laki, akan tetapi sukar dikenal siapa karena selain membelakanginya, juga laki-laki itu duduk terlindung dalam bayangan sebatang pohon. Kedua tangan memegang suling, kepalanya agak miring ketika meniup lubang suling, kedua pundaknya bidang.
Siauw Bwee berhenti melangkah. Setelah keluar dari dalam kamar, kini suara suling terdengar makin merdu, seolah-olah melayang-layang di angkasa, bermain-main dengan bayangan, membubung tinggi melalui sinar bulan redup, seperti hendak mencapai bulan. Teringatlah dia kini dan dia mengenal lagu yang dimainkan suling itu.
Ketika dia masih tinggal bersama orang tuanya di kota raja, Siauw Bwee pernah mempelajari seni suara dan dia mengenal lagu itu, sebuah lagu kuno yang berjudul ‘Merindukan Bulan’. Bahkan dia masih teringat akan kata-kata nyanyian lagu itu. Bagaikan dalam mimpi, ketika tiupan suling itu mengulangi lagi nyanyian itu, dia bernyanyi, perlahan, akan tetapi karena dia memiliki tenaga khikang yang hebat, suara nyanyian menggetar dan bergelombang sampai jauh, merdu seperti bisikan bulan sendiri melalui cahaya yang kebiruan.
Bulan...
tunggulah aku wahai bulan
jangan kau tinggalkan aku sendiri!
Bulan...
hanya engkaulah pengganti dia
hanya engkaulah pencermin wajahnya
Bulan...
ke mana engkau lari?
ke mana engkau sembunyi?
Bulan...
kasihanilah aku wahai bulan
jangan kau pergi... jangan...
Tak terasa lagi, kembali dua titik air mata membasahi pipi Siauw Bwee. Dia berhenti bernyanyi, dan suara suling itu pun melambat, menurun, akhirnya berhenti sama sekali. Sejenak sunyi, tiada sedikit pun suara menyusul penghentian lengking suling. Kemudian, tiba-tiba, suara binatang malam saling sahut lagi, seolah-olah mereka itu berseru memuji.
Seperti dalam mimpi, Siauw Bwee melihat penyuling itu bangkit, menghampirinya dan tiba-tiba orang itu menjatuhkan diri berlutut di depannya.
“Nona... engkau benar-benar datang... terima kasih kepada Thian...! Betapa hatiku menggetarkan suara merindumu, memanggilmu... dan ternyata engkau dapat menangkap getaran ini... ahhh, Nona, adakah... adakah harapan di hatiku yang kering ini?”
Siauw Bwee terbelalak memandang ketika sadar kembali dan terbebas dari hikmat keajaiban malam dan mengenal orang itu yang bukan lain adalah Suma Hoat. Hampir dia menjerit kalau saja tidak cepat-cepat dia mendekap mulut sendiri dengan telapak tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mendekap dada kiri seolah-olah menahan debaran jantungnya.
“Ihhh... engkau... engkau... apa maksudmu? Apa artinya semua ini...?”
Suma Hoat yang sudah tergila-gila itu menjatuhkan diri menelungkup dan mencium ujung sepatu Siauw Bwee. Gadis itu menjadi makin sadar dan cepat melompat ke belakang.
“Suma Hoat! Apakah engkau sudah gila?” bentaknya.
“Nona Khu Siauw Bwee, memang aku sudah gila. Tidak dapatkah engkau menangkap kegilaanku dari suara sulingku, dari sinar mataku kalau memandangmu, dan debar jantungku kalau mendengar suaramu, dari...”
“Kau... kau gila...!” Siauw Bwee membentak, wajahnya menjadi merah sekali.
“Benar, aku gila, aku tergila-gila kepadamu, Nona. Aku cinta padamu... biarlah kau bunuh aku kalau kau merasa terhina, aku rela mati di tanganmu, aku cinta padamu, Khu Siauw Bwee,” Suma Hoat berkata sambil berlutut, hanya sekali ini, tidaklah seperti biasa kalau dia merayu wanita lain. Belum pernah dia merendahkan diri seperti itu, biasanya dia malah angkuh sekali berhadapan dengan wanita. Dan baru dua kali ini selama hidupnya dia mengaku cinta dengan setulus hatinya.
Melihat sikap ini, lenyaplah kemarahan dari hati Siauw Bwee. Dia terharu karena sikap laki-laki ini jelas bukanlah rayuan kosong belaka! Timbul pertentangan di hatinya, antara kasihan yang menimbulkan keharuan dan kebencian karena mengingat bahwa pria ini adalah putera musuh besarnya.
“Suma Hoat, cukuplah sikapmu yang gila ini. Aku tidak mau menerima cintamu, tidak bisa menerima cinta siapa pun juga.”
Suma Hoat memejamkan matanya. Aihh, tidak... tidak...” Apakah dia harus kembali mengalami kegagalan cinta? Cinta yang tulus ihklas, cinta yang bukan terdorong birahi semata, melainkan cinta karena daya tarik dari seluruh pribadi wanita itu?
“Kau... kau... sudah mencinta orang lainkah...?” tanyanya lemah.
“Bukan urusanmu itu, Suma Hoat. Dengarlah, kalau aku tidak melihat sikapmu yang baik, tentu sudah sejak kemarin aku mencarimu dan membunuhmu!”
Suma Hoat terkejut bukan main. Dia melompat bangun, memandang gadis itu dengan mata terbelalak lebar. “Nona, demikian besarkah dosaku? Demikian besarkah dosa seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita seperti Nona? Sehingga timbul kebencianmu dan keinginanmu untuk membunuhku?”
“Bukan karena itu, melainkan karena kenyataan bahwa engkau adalah putera musuh besarku, putera si keparat Suma Kiat.”
“Ya Tuhan...! Mengapa, Nona? Mengapa engkau memusuhi ayahku?”
“Buka telingamu baik-baik. Suma Hoat! Aku adalah puteri tunggal dari mendiang Khu Tek San! Dan engkau tahu bahwa ayahku dan Menteri Kam Liong, guru ayahku, tewas gara-gara kekejian ayahmu!”
Suma Hoat makin kaget. Dia tidak melihat peristiwa itu, akan tetapi akhir-akhir ini dia sudah mendengar akan hal itu. Dengan muka pucat dia memandang gadis itu, lalu berkata lemah, “Sungguh buruk nasibku... Tuhan mengutukku karena perbuatan ayah... dan... dari perbuatanku sendiri. Nona, kalau begitu, kau bunuhlah aku, aku takkan melawanmu...”
“Hemmm, kalau aku hendak membunuhmu, apa kau kira engkau mampu melawanku?”
“Khu Siauw Bwee, aku tahu bahwa engkau lihai, akan tetapi harap jangan memandang rendah orang laln. Dan jangan engkau mencari ayahku, karena selain ayahku berilmu tinggi dan mempunyai banyak pasukan, juga aku bersedia menebus kesalahan ayah kepadamu. Aku cinta padamu, Nona. Sungguh, aku bersumpah, aku cinta padamu. Lebih baik engkau membalas dendammu kepadaku dan aku rela mati di tangan wanita yang kucinta dengan seluruh tubuh dan nyawaku.”
“Engkau gila! Siapa percaya omonganmu? Engkau perayu. Mana mungkin orang baru berjumpa dua kali sudah menyatakan cinta seperti engkau? Selain itu, aku tidak akan membunuhmu, aku bukan orang yang membabi buta dalam pembalasan dendamnya. Hanya ayahmu yang bersalah dan ke mana pun dia bersembunyi, aku akan dapat mencari dan membunuhnya. Kalau tidak, percuma saja aku bertahun-tahun belajar ilmu di Pulau Es!” Saking marahnya, Siauw Bwee lupa diri dan menyebut Pulau Es.
Suma Hoat makin kaget. “Apa...? Engkau... engkau... penghuni Istana Pulau Es...?”
“Benar! Dan kalau engkau hendak membela ayahmu, majulah agar aku mempunyai alasan untuk menghajarmu!”
Lemas rasa seluruh tubuh Suma Hoat. Bukan lemas karena takut, melainkan lemas karena maklum bahwa harapan cintanya musnah sama sekali. Gadis jelita ini adalah penghuni Istana Pulau Es, selain memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa, juga agaknya mencintai orang lain, bahkan menjadi musuh ayahnya. Tak mungkin dara ini sudi membalas cintanya.
“Aku... aku tidak akan melawanmu, Nona. Betapa pun juga, aku tetap mencintamu... dan agaknya sudah menjadi nasibku untuk selalu kecewa dalam cinta kasih murni, dan hanya dapat mengecap kenikmatan cinta palsu yang hampa. Maafkan aku, Nona. Hanya sebuah hal yang kumohon kepadamu untuk mengaku. Benarkah dugaanku bahwa Nona telah mencinta orang lain?”
Menyaksikan sikap yang begitu menderita dan suara yang menggetar seperti hendak menangis, Siauw Bwee, yang berperasaan halus itu kembali merasa kasihan. “Benar dugaanmu, karena itu aku tidak mungkin dapat mendengar pernyataan cinta kasih dari pria lain yang mana pun juga!”
Suma Hoat menunduk, jari-jari tangannya meremas.
“Krekkk!” sulingnya hancur berkeping-keping.
“Selamat tinggal, Nona. Betapa pun juga, cintaku takkan pernah padam dan harapanku takkan pernah musnah. Aku akan menanti, siapa tahu..., Thian akan menaruh iba kepadaku... dan kelak... kelak kita masih akan dipertemukan kembali dengan harapan baik bagiku... selamat tinggal.”
Tubuh Suma Hoat melesat cepat meninggalkan tempat itu, dan Siauw Bwee berdiri termangu-mangu, menghela napas panjang. Teringat ia kepada Yu Goan, pemuda tampan gagah perkasa yang juga jatuh cinta kepadanya dan terpaksa ditolaknya pula. Akan tetapi, hatinya tidak seberat ketika menghadapi pernyataan cinta kasih Suma Hoat. Diam-diam dia harus mengaku di dalam hatinya bahwa andai kata Suma Hoat bukan putera Suma Kiat, agaknya tidak sukar baginya untuk memperhatikan pernyataan cinta kasih pemuda itu! Andai kata....
“Khu-lihiap, apa yang kau lakukan malam-malam di sini? Hawanya begini dingin...”
Siauw Bwee sadar dari lamunannya dan membalikkan tubuh. “Ah, aku tak dapat tidur, Supek.”
“Sebaiknya tidur sekarang, besok kita berangkat pagi-pagi. Aku akan membicarakan rencana kita dengan Sute karena dia agaknya lebih mengenal keadaan kota Siang-tan agar lebih mudah kita memasuki kota yang menjadi benteng pertahanan pasukan Sung itu.”
”Dia sudah pergi, Supek.”
“Apa? Siapa maksudmu?”
“Suma-twako, dia sudah pergi.” Setelah berkata demikian, Siauw Bwee kembali ke penginapan dan memasuki kamarnya.
Coa Leng Bu masih tidak percaya dan membuka pintu kamar sute-nya. Ternyata kamar itu telah kosong. Dia hanya melongo dan tidak mengerti. Diam-diam ia menghela napas dan menduga bahwa tentu terjadi sesuatu antara Siauw Bwee dan sute-nya itu, akan tetapi dia tidak tahu apa yang terjadi dan tidak berani bertanya. Ia pun lalu memasuki kamarnya dan tidur.
Pasukan Mancu yang menduduki kota Sian-yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Bharigan, dan tentu saja karena jasa Pasukan Maut yang dipimpin oleh Panglima Wanita Maya maka benteng itu dapat direbut dengan mudah. Setelah berhasil menduduki kota dan mengamankan keadaan, Pangeran Bharigan mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan Pasukan Mancu. Jasa Maya dan pembantu-pembantunya, terutama kedua orang murid Mutiara Hitam, dipuji-puji oleh Pangeran Bharigan yang biar pun cintanya ditolak Maya, masih selalu mengharapkan perubahan hati dara itu.
Biar pun keadaan mengharuskan dia bergembira, namun Maya merasa masih belum puas, apa lagi kalau dia mengingat akan suheng-nya yang tempo hari membantu pasukan Yucen. Dia tidak akan merasa puas kalau belum menumpas Kerajaan Sung untuk membalas dendam kematian Menteri Kam Liong, kemudian menumpas bangsa Mongol dan Yucen untuk membalas kematian ayah bundanya, Raja dan Ratu Khitan.
Maka untuk menghentikan puji-pujian itu, dia menjawab, “Kemenangan kita adalah jasa para prajurit dan kemenangan ini belum ada artinya karena benteng yang berada di depan jauh lebih kuat. Saya mendengar bahwa benteng musuh di kota Siang-tan amat kuatnya.”
“Menurut para penyelidik memang benar demikian, Li-ciangkun,” kata Pangeran Bharigan. “Oleh karena itu, kita pun jangan tergesa-gesa melakukan penyerangan. Sambil memberi waktu kepada para anak buah pasukan untuk mengaso, sebaiknya kalau kita mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka. Kita harus mengetahui kelemahan-kelemahan mereka di samping kekuatan mereka agar pukulan kita tidak akan gagal.”
“Sebaiknya demikian, Pangeran. Akan tetapi tidaklah mudah untuk menyelidiki kota besar yang merupakan benteng kuat itu. Oleh karena itu, saya mohon perkenan Pangeran untuk pergi menyelidiki sendiri dengan beberapa orang pembantu yang berkepandalan cukup tinggi.”
Pangeran Bharigan mengangguk-angguk. Memang sebaiknya begitu dan kalau panglima wanita yang sakti itu pergi menyelidiki sendiri, tentu hasilnya akan jauh lebih baik dari pada mengirim penyelidik biasa. Biar pun hatinya khawatir kalau-kalau wanita perkasa yang menarik hatinya dan diharapkan dapat menjadi calon isterinya itu mengalami mala-petaka, namun dia tahu bahwa merupakan pantangan bagi Maya untuk bersikap penakut.
“Saya tidak dapat menolak permintaanmu, Li-ciangkun. Kalau memang kau anggap penting bahwa engkau sendiri yang pergi, terserah. Silakan memilih pembantu-pembantumu, dan apakah perlu dengan pasukan?”
Maya menggeleng kepala. “Saya hanya memerlukan bantuan Ok Yan Hwa, Can Ji Kun, Kwa-huciang dan Theng-ciangkun. Kami berlima akan menyamar sebagai pengungsi dan memasuki kota Siang-tan. Besok pagi-pagi kita berangkat. Kalau Pangeran setuju, kuharap kalian berempat suka bersiap-siap malam ini.”
Pangeran Bharigan menyetujui dan bersiaplah lima orang itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali di waktu cuaca makin gelap, mereka menyelundup ke luar dan berpakaian sebagai penduduk biasa, membawa buntalan pakaian, kemudian menyelinap di antara rombongan pengungsi yang berbondong-bondong menuju ke Siang-tan. Tidak begitu banyak yang memasuki kota Siang-tan, karena sebagian pengungsi ada yang berhenti di dusun-dusun dan kota-kota sebelum mencapai Siang-tan.
Perjalanan jauh membuat pakaian dan rambut mereka kusut sehingga kecantikan Ok Yan Hwa, terutama sekali Maya, tidaklah begitu menonjol, apa lagi mereka sengaja membiarkan sinar matahari membakar kulit muka dan tangan mereka yang biasanya halus dan putih kuning itu. Kulit mereka menjadi kecoklatan seperti kulit para wanita petani. Pula, di antara para pengungsi terdapat pula wanita-wanita bangsawan dan hartawan yang dalam perjalanan mengungsi itu tak pernah lupa untuk bersolek, sehingga dipandang sepintas lalu, Yan Hwa dan Maya yang membiarkan kulit mereka dihanguskan matahari, membiarkan pakaian dan rambut mereka kusut, tidak kelihatan cantik luar biasa.
Ketika memasuki pintu gerbang sebelah utara bersama rombongan pengungsi, Maya dan empat orang pembantunya melihat betapa penjagaan di sepanjang tembok kota amat kuat dan rapi. Para penjaga berbaris dengan lapisan yang ketat, sedangkan setiap orang pengungsi diawasi dengan cermat, bahkan kereta-kereta yang masuk diperiksa dan pengungsi yang membawa senjata dirampas.
Diam-diam Maya harus mengakui bahwa penjagaan bagian pintu gerbang di kota Siang-tan ini jauh lebih kuat dari pada penjagaan di kota Sian-yang dan di atas tembok kota penuh pula dengan pasukan penjaga yang selalu siap dengan busur dan anak panah mereka. Juga di sekeliling tembok dipasangi jebakan-jebakan dengan barisan-barisan pendam yang tidak tampak dari jauh. Semua ini dicatat dalam hati oleh Maya. Setelah memasuki kota, Maya dan teman-temannya menyaksikan barisan Sung telah memasang persiapan membentuk pasukan-pasukan peronda, sedangkan induk pasukan yang berada di markas, yang tampak dari luar, kelihatan segar-segar dan penuh semangat.
Banyak sekali rombongan pengungsi yang membanjiri kota ini semenjak beberapa hari yang lalu sehingga semua rumah penginapan penuh oleh para pengungsi yang beruang. Karena kehabisan kamar, terpaksa Maya dan teman-temannya bermalam di dalam sebuah gedung besar rumah perkumpulan yang oleh para dermawan kota itu disediakan untuk menampung para pengungsi yang tidak dapat menyewa kamar, yang tidak berkeluarga di kota itu, dan yang tidak kebagian kamar penginapan lagi. Saking banyaknya orang yang memasuki gedung ini, sebagiaan besar mereka terpaksa berjubel di dalam ruangan terbuka yang luas.
Di tempat ini mereka beristirahat. Laki-laki wanita, tua muda, kanak-kanak, ada yang duduk mengobrol, ada yang tidur di lantai. Di sana-sini terdengar suara anak-anak kecil menangis diiringi suara makian atau hiburan orang tuanya, ada pula suara keluh-kesah wanita yang teringat akan rumah dan segala miliknya yang terpaksa ditinggalkan. Di dalam ruangan ini Maya dan empat orang temannya duduk di sudut, memperhatikan percakapan-percakapan antara para pengungsi karena percakapan-percakapan itu pun merupakan sumber keterangan yang amat penting bagi mereka.
Menyaksikan sikap para pengungsi, melihat wajah mereka tidaklah sekeruh tadi ketika melakukan perjalanan, bahkan kini setelah bercakap-cakap mereka tersenyum-senyum dan sama sekali tidak tampak berduka, diam-diam Maya teringat akan penuturan suheng-nya yang sering kali ketika mereka berada di Pulau Es membicarakan filsafat yang banyak diketahui suheng-nya itu. Diam-diam dia dapat melihat kenyataan akan watak manusia pada umumnya seperti yang pernah ia dengar dari suheng-nya.
Di dalam segala macam hal, dalam susah mau pun senang, manusia selalu bergerak dan bersikap di atas dorongan sifat sayang diri. Betapa pun dukanya hati seseorang karena mengalami derita tertimpa kemalangan, hatinya yang duka itu akan terhibur apa bila melihat manusia lain menderita pula, apa lagi kalau penderitaan manusia lain itu lebih besar dari pada penderitaannya sendiri. Dia dapat membayangkan betapa akan hancur dan sengsara hati setiap orang diri para pengungsi ini andai kata dia seorang yang mengalami nasib buruk seperti itu! Akan tetapi, bertemu dan berkumpul dengan banyak orang lain yang senasib, maka mereka itu merasa terhibur!
Sebaliknya, setiap kesenangan dan keuntungan yang datang selalu ingin dikuasai oleh seorang saja sehingga dijadikan perebutan! Sifat sayang diri dan iba diri inilah yang mengusir cinta kasih antara manusia jauh-jauh dari hati manusia sehingga di mana-mana, bahkan di dalam hati masing-masing manusia, timbul pertentangan-pertentangan.
Padahal, dengan cinta kasih yang mendalam, setiap kedukaan akan terasa ringan apa bila dipikul bersama, sebaliknya di setiap kesukaan akan terasa lebih nikmat apa bila dinikmati bersama. Hal ini akan dapat dirasakan oleh setiap orang dalam sebuah keluarga yang penuh cinta kasih, di mana setiap kedukaan menjadi ringan dan setiap kesukaan menjadi besar karena selalu dirasakan oleh seluruh keluarga yang mengandung cinta kasih di dalam hati masing-masing.
Percakapan antara tiga orang laki-laki tua di sebelah kirinya amat menarik hati Maya dan empat orang kawannya. Mereka itu bercerita tentang keributan di dalam gedung kepala daerah kota Sian-yang, di mana Koksu Negara menjadi tamu. Keributan yang ditimbulkan oleh seorang dara perkasa yang bertanding melawan pengawal-pengawal Koksu, bahkan yang berhasil membunuh pengawal Koksu yang paling terkenal, yaitu Panglima Dampit...