Istana Pulau Es Jilid 32

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 32

Maya saling pandang dengan teman-temannya, dan berbisiklah Ok Yan Hwa, ”Tentu dia itu orangnya...”

Maya dan yang lain-lain mengangguk. Mereka sudah mendengar penuturan Ok Yan Hwa betapa ada seorang gadis lihai bukan main yang hendak kabur keluar dari kota Sian-yang di malam hari dan dalam pengepungan terhadap dara lihai itu, Yan Hwa sendiri tidak berhasil mengalahkannya. Tadinya Maya juga terheran, akan tetapi ketika mendengar bahwa Yan Hwa baru bertanding beberapa gebrakan saja melawan pelarian itu, dia masih belum yakin benar akan ada seorang gadis yang dapat menandingi Yan Hwa.

Akan tetapi ketika sekarang mendengar bahwa gadis itu dapat membunuh Panglima Dampit dalam pertandingan, Maya benar-benar terkejut bukan main. Dia maklum akan kelihaian Panglima Dampit, yang amat terkenal dan sukar dikalahkan itu, dan kini dua orang dampit yang lihai itu tewas di tangan gadis itu. Diam-diam terbayanglah wajah sumoi-nya, Khu Siauw Bwee di dalam mata Maya. Yan Hwa melihat dara itu di dalam gelap sehingga tidak dapat menceritakan dengan jelas bagaimana wajah gadis itu.

Akan tetapi melihat keadaannya, di dunia ini sukar sekali didapat seorang gadis cantik yang mampu mengalahkan Panglima Dampit, bahkan Yan Hwa sendiri belum tentu akan mampu mengalahkan dua orang dampit itu. Kalau pun ada, agaknya hanya dia sendiri atau Siauw Bwee! Dia lalu berbisik kepada Ji Kun.

Pemuda ini mengangguk lalu mendekati orang-orang yang sedang bicara tentang peristiwa di gedung yang ditinggali Bu-ciangkun itu, kemudian bertanya, “Lopek, benarkah Panglima Dampit terbunuh oleh seorang gadis? Betapa anehnya dan sukar dipercaya. Siapa yang tidak mengenal kelihaian Panglima Dampit?”

Kakek itu memandang Ji Kun dan mengerutkan alisnya. “Memang benar dia lihai sekali. Akan tetapi menurut penuturan keponakanku yang menjadi pengawal dan pada waktu itu menyaksikan sendiri pertandingan itu, Panglima Dampit benar-benar tewas dalam keadaan mengerikan di tangan gadis yang mempunyai kepandaian seperti dewi itu.”

“Aih, sungguh hebat dan menarik sekali. Lopek, untuk melupakan kesengsaraan kita, sukakah kau menceritakan kejadian itu? Si Dampit adalah panglima, betapa mungkin sampai terbunuh, dan bagaimana dengan Koksu dan panglima-panglima lainnya?”

Dengan wajah gembira karena mendapat kesempatan menceritakan peristiwa penting yang tidak sembarangan orang dapat mengetahuinya, kakek itu menghisap huncwe (pipa tembakau) sampai paru-parunya penuh asap, kemudian dengan uluran napas panjang ia mengeluarkan asap tambahan yang hilang sarinya itu melalui hidungnya, menikmati pandang mata semua orang di sekelilingnya yang bergantung kepada bibirnya. Barulah dia menjawab,

“Engkau tidak tahu, orang muda. Pertandingan itu memang disengaja oleh Koksu yang hendak menguji kepandaian gadis perkasa itu. Gadis itu bersama seorang laki-laki tua memasuki ruangan dan entah mengapa, para pengawal tidak ada yang mengerti, dia mengamuk. Menyaksikan kelihaian gadis itu, Koksu menyuruh panglimanya maju bergantian, akan tetapi apa yang terjadi? Benar keponakanku yang mengatakan bahwa gadis itu agaknya bukan manusia biasa melainkan seorang dewi, baik karena kecantikannya yang luar biasa, tubuhnya yang berbentuk menggairahkan, mau pun kepandaiannya yang sukar dipercaya. Kalian tahu? Seorang demi seorang para panglima pengawal itu roboh olehnya!”

“Aihhhh...!”

“Ayaaaaaa... lihai sekali!”

“Tsk-tsk-tskk...!”

“Melihat semua panglimanya roboh, Bu-koksu lalu menyuruh adik angkatnya sendiri, pengawal pribadinya yang penuh rahasia, yang hanya dikenal sebagai Kam-busu untuk maju menghadapi gadis itu!”

“Aihhhh...!” Sekali ini teriakan kaget keluar dari mulut Maya.

Disebutnya nama Kam-busu yang katanya paling lihai di antara para panglima membuat hatinya berdebar tegang. Seorang she Kam menjadi adik angkat Koksu dan paling lihai di antara para panglima pengawal? Siapa lagi kalau bukan Kam Han Ki? Ah, akan tetapi sungguh tidak mungkin hal itu terjadi. Suheng-nya menjadi pengawal pribadi Koksu? Tak masuk akal! Suheng-nya adalah seorang buruan, seorang pelarian yang dimusuhi Kerajaan Sung, mana bisa sekarang menjadi pengawal pribadi Koksu?

Pula kalau betul dugaannya bahwa dara yang lihai sekali itu adalah sumoi-nya, Khu Siauw Bwee, mana mungkin bertanding melawan Kam Han Ki? Tentu seorang di antara keduanya itu yang bukan sumoi-nya atau suheng-nya. Kalau gadis itu betul Siauw Bwee, tentu pengawal itu bukan Han Ki. Sebaliknya, kalau pengawal itu Han Ki, pasti gadis itu bukan Siauw Bwee. Betapa pun juga, dia hampir yakin bahwa tentu gadis itu sumoi-nya, sedangkan pengawal itu bukan suheng-nya, biar pun mempunyai she Kam.

Kakek itu melanjutkan ceritanya setelah melotot kepada Maya sebagai teguran karena teriakannya tadi. “Terjadilah pertandingan yang amat luar biasa, mengejutkan semua orang dan agaknya sukar ditentukan siapa di antara mereka itu yang akan menang kalau pertandingan itu dilanjutkan. Sayang, pada saat itu kota mulai dikacau musuh sehingga Koksu terpaksa meninggalkan ruangan itu dikawal oleh Kam-busu, dan Koksu memerintahkan Panglima Dampit bersama para panglima lain dan para pengawal untuk menangkap atau membunuh gadis ini bersama temannya. Dalam pertempuran inilah gadis jelita yang lihai itu membunuh Panglima Dampit dan banyak pengawal lain. Untung keponakanku hanya mengalami kepala benjol saja dan tidak mati. Gadis yang sepak terjangnya seperti seekor naga betina itu berhasil lolos dari kepungan para pengawal, bahkan menolong pula temannya.”

Semua orang tercengang dan cara Si Kakek bercerita yang disertai gerakan kedua tangannya mendatangkan kesan mendalam terhadap para pendengarnya, terutama sekali kepada Maya dan teman-temannya, tentu saja. Maya merasa yakin kini bahwa gadis itu tentulah Siauw Bwee. Gadis mana lagi di dunia ini yang memiliki ilmu kepandaian selihai itu? Dia maklum bahwa kepandaian sumoi-nya amat tinggi, tidak banyak selisihnya dengan dia sendiri, bahkan dia tidak berani memastikan bahwa dia akan dapat memenangkan sumoi-nya itu!

Selagi dia hendak bertanya kepada kakek itu lebih jelas tentang diri Kam-busu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di sebelah luar gedung itu. Suara teriakan-teriakan orang berkelahi! Mendengar ini, otomatis para pengungsi menjadi pucat wajahnya. Mereka bergegas menyiapkan barang-barang bawaan, ada yang segera menggendong anaknya. Tak seorang pun berani membuka suara sehingga keadaan yang sunyi itu membuat suara gaduh di luar makin terdengar jelas. Tak salah lagi, ada dua orang tengah berkelahi sambil saling memaki.

“Hendak lari ke mana kau, keparat?” terdengar bentakan disusul gedebak-gedebuknya kaki berlari memasuki gedung. Kembali terdengar suara perkelahian, di dalam gedung, dekat dengan ruangan itu.



Mendengar suara perkelahian ini makin dekat dengan ruangan itu, seorang kakek yang pucat ketakutan cepat menutupkan daun pintu yang menembus ruangan itu kemudian bergegas ia duduk kembali. Semua mata terbelalak memandang kepada pintu yang tertutup itu dan dari balik pintu terdengar suara perkelahian, kini berdesingnya senjata. Jantung mereka menjadi makin tegang dan berdebar.

“Brakkkkk!” Daun pintu pecah berantakan dan tubuh seorang laki-laki tinggi besar yang tadi terlempar menubruk daun pintu, jatuh terjengkang di atas daun pintu di sebelah dalam ruangan.

Anak-anak menjerit, juga para wanita, dan semua orang terbelalak memandang, akan tetapi menjadi agak lega ketika melihat bahwa yang berkelahi bukanlah tentara, berarti bahwa di luar tidak terjadi perang. Yang berkelahi hanyalah dua orang laki-laki setengah tua. Kini orang yang jatuh cepat mencelat ke samping ketika lawannya, seorang kakek berjenggot pendek menubruknya.

Kakek berjenggot pendek itu ternyata lihai sekali. Biar pun dia bertangan kosong, ternyata lawannya yang memegang sebatang golok telah terlempar sampai tubuhnya membobol daun pintu. Kini kakinya melayang menyusul tubrukannya yang tak berhasil tadi. Lawannya berseru marah, tangannya tertendang sehingga goloknya terlepas. Dengan gerengan seperti seekor beruang terluka, orang yang memakai topi bulu domba ini membalas dengan pukulan-pukulan dahsyat dan bertandinglah kedua orang itu di tempat yang amat sesak dengan para pengungsi itu!

Maya dan teman-temannya tetap duduk dengan sikap tenang. Mereka mendapat kenyataan bahwa kedua orang yang berkelahi itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Gerakan mereka tangkas sekali dan biar pun tempat itu penuh sesak dengan pengungsi, mereka dapat bertanding dengan berloncatan ke sana-sini, melewati kepala orang, bahkan kadang-kadang menggunakan kaki mereka meloncat dari pundak dan kepala para pengungsi, lalu melesat ke kanan kiri!

Tentu saja para pengungsi menjadi geger dan melihat bahwa yang berkelahi hanya dua orang biasa, mereka yang kena injak dan yang memiliki kepandaian, melawan dan memukul. Namun dua orang itu lihai sekali sehingga setiap serangan dari para pengungsi yang marah karena dikacau dua orang itu, dalam dua tiga gebrakan saja sudah terpukul roboh dan mereka berdua melanjutkan perkelahian mereka!

Melihat ini Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa sudah marah sekali, hendak meraba pedang yang mereka sembunyikan di balik baju. Akan tetapi Maya menyentuh lengan mereka, berkedip dan menggoyang kepala sehingga mereka terpaksa menelan kemarahan mereka terhadap dua orang yang benar-benar tidak mengenal tempat dan keadaan, berkelahi di antara bagitu banyak orang sehingga menimbulkan kepanikan.

Tiba-tiba orang yang bertopi bulu domba itu mengelak sambil meloncat ke tempat rombongan Maya. Seperti tidak disengaja, dia turun dan hendak menginjak pundak Can Ji Kun untuk dipergunakan sebagai landasan! Tentu saja Ji Kun tidak sudi pundaknya diinjak. Dia miringkan tubuh, tangannya menyambar ke atas menotok lutut orang dan sambil berteriak kaget orang itu roboh terguling!

Lawannya yang berjenggot pendek menerjang maju, melampaui kepala Yan Hwa, dan gadis itu pun menampar ke atas, mengenai tulang betis Si Jenggot Pendek yang terjungkal pula menimpa tubuh lawannya. Mereka berdua sudah cepat meloncat bangun, menahan rasa nyeri pada lutut dan tulang betis, kemudian keduanya tiba-tiba bersuit keras sambil meloncat ke pintu.

“Tangkap mereka!” Kedua orang itu berseru dan dari luar masuklah puluhan orang tentara yang bersenjata lengkap, sedangkan di luar pintu masih tampak banyak sekali anggota tentara. Jumlah mereka ada seratus orang lebih!

“Berpencar! Lari...!” Maya berbisik.

Maklumlah dia bahwa perkelahian antara dua orang tadi hanyalah sandiwara belaka. Agaknya mereka adalah panglima-panglima yang menyamar dan melakukan penyelidikan. Kota Sian-yang di utara telah kebobolan karena adanya penyelundupan mata-mata musuh yang lihai, maka kini Koksu Bu Kok Tai tidak mau membiarkan hal itu terulang di kota Siang-tan. Dia maklum bahwa mata-mata musuh hanya dapat menyelinap masuk di antara pengungsi, maka dia mengatur rencana itu untuk mengetahui siapa di antara pengungsi-pengungsi yang berkepandaian tinggi dan mereka itu harus ditangkap untuk diperiksa.

Kalau ternyata mata-mata, tentu akan dihukum mati, sebaliknya kalau bukan mata-mata, akan dapat dipergunakan untuk membantu mempertahankan kota. Siasat ini dilakukan pada saat yang sama dan sandiwara perkelahian itu bukan hanya terjadi di tempat Maya dan teman-temannya berkumpul saja, akan tetapi juga di tempat-tempat lain di mana para pengungsi berkumpul. Pada saat pasukan-pasukan menyerbu ke ruangan itu, di lain tempat juga terjadi hal yang sama, yaitu penangkapan-penangkapan atas diri orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, yang terkena pancingan perkelahian palsu tadi!

Maya dan empat orang temannya cepat meloncat dan menyerbu ke luar. Dua orang yang tadi bersandiwara cepat memerintahkan pasukan mengurung lima orang ini dan terjadilah pertandingan yang jauh berbeda dengan perkelahian antara dua orang tadi. Pertandingan sekali ini adalah pertempuran sesungguhnya, bahkan mati-matian karena kalau Maya berlima tidak akan menyerah sampai mati, adalah para pimpinan pasukan itu ketika menyaksikan kelihaian lima orang itu menjadi makin curiga bahkan hampir yakin bahwa lima orang itu tentulah mata-mata musuh.

Pengepungan dilakukan ketat sekali, namun Maya, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa melayang naik, membobol langit-langit dengan kepandaian mereka dan dari atas mereka melempar-lemparkan genteng ke bawah untuk membantu Kwa-huciang dan Theng-ciangkun yang menerjang ke luar melalui pintu. Kepandaian kedua orang panglima pembantu Maya ini hebat sekali, terutama Kwa-huciang yang hanya tinggal sebelah lengannya. Semenjak lengannya buntung, panglima yang setia ini menerima gemblengan ilmu dari Maya sehingga dia malah lebih lihai dari pada sebelum lengannya buntung sebelah.

Kacau-balaulah pihak tentara Sung. Dari atas ada hujan genteng yang dilepas dengan sambitan keras sekali, siapa yang terkena pasti roboh dengan kepala pecah atau tubuh terluka parah, sedangkan dua orang laki-laki itu mengamuk seperti dua ekor singa. Akhirnya kedua orang itu berhasil membobol ke luar dari gedung itu.

Ternyata malam hari itu di seluruh kota terjadi geger karena penyergapan di tempat-tempat pengungsi yang dilakukan serentak. Kepanikan penduduk dan kegelapan malam membuka kesempatan baik bagi Kwa-huciang dan Theng-ciangkun sehingga dengan berpencar mereka akhirnya dapat melarikan diri dari para pengejarnya. Maya, Yan Hwa dan Ji Kun yang berada di atas genteng segera diserbu oleh anak panah yang dilepas oleh para anggota pasukan panah dari bawah.

“Kita berpencar,” Maya cepat berkata setelah meruntuhkan semua anak panah yang menyambar ke arahnya seperti yang dilakukan oleh dua orang pembantunya pula, “Jangan lupa, pada hari yang ditentukan berkumpul di kuil tua itu!” Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya melesat, Maya telah lenyap dari situ ditelan kegelapan malam.

Ji Kun dan Yan Hwa juga cepat menggunakan ginkang mereka, berloncatan di atas rumah-rumah penduduk kota dan menghilang. Maka gegerlah keadaan kota, pasukan-pasukan dikerahkan untuk mencari lima orang mata-mata musuh itu.

Dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya, Maya lari seorang diri ke arah timur. Selama dia menjadi panglima, dara perkasa itu tiada henti-hentinya melatih diri dengan ilmu silatnya, bahkan kecerdasannya membuat dia mampu mengembangkan dan memperbaiki jurus-jurus simpanannya sehingga dari jurus-jurus ilmu silatnya dia dapat menciptakan banyak sekali jurus silat yang aneh dan juga amat lihai. Dari banyak pertandingan yang dialaminya ketika berperang melawan musuh, dia dapat menemukan banyak gerakan-gerakan aneh dari macam-macam lawan dan semua ini ditampungnya, diolah dan karena dia berbakat mencipta, maka tanpa disadari, Maya telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya.

Apa lagi ketika ia menerima buah sian-tho dari Pangeran Bharigan, semacam buah yang langka, yang didapat jauh dari utara dekat kutub dan merupakan barang pusaka dari Kerajaan Mancu, maka dara ini memperoleh tenaga sinkang yang dahsyat. Buah sian-tho ini bagi orang biasa mengandung khasiat daya pengobatan yang lebih mujarab dari pada jin-som, akan tetapi bagi seorang ahli sinkang seperti Maya, dapat membangkitkan hawa sakti yang membuat sinkang-nya yang dilatih secara istimewa di Pulau Es itu menjadi lebih kuat lagi.

Maya tidak berani berhenti dan berputaran mencari tempat yang baik untuk memulai dengan penyelidikannya. Dia harus dapat menemukan markas di mana tinggal Koksu dan para panglima agar dia dapat mengintai dan mendengarkan rencana siasat mereka. Hanya inilah jalan yang paling baik, karena untuk menyelidiki sendiri keadaan pertahanan musuh, selain berbahaya juga akan memakan waktu lama sekali.

Kota itu amat besar, dan dia tidak tahu di antara gedung-gedung yang banyak sekali itu, yang mana menjadi tempat tinggal Koksu dan para panglimanya. Dia harus bekerja dengan hati-hati sekali. Koksu Bu Kok Tai bukanlah orang sembarangan, dan dia maklum akan kelihaian para panglima pengawalnya, sungguh pun Panglima Dampit telah tewas.

Menjelang pagi, Maya menuju ke pinggir tembok kota sebelah timur ketika ia mendengar suara ribut-ribut di sana. Disangkanya bahwa seorang di antara anak buahnya menghadapi bahaya, maka dia cepat menuju ke tempat itu dan siap untuk menolong kalau benar seperti yang dikhawatirkannya. Dia mendekam di atas sebuah wuwungan dan melihat seorang laki-laki sedang dikeroyok oleh banyak tentara.

Laki-laki itu tidak tampak jelas mukanya di dalam cuaca yang gelap, akan tetapi gerakannya hebat sekali! Bukan Kwa-huciang, juga bukan Theng-ciangkun, akan tetapi gerakannya malah lebih lihai dari pada kedua orang pembantunya. Bahkan mungkin tidak di sebelah bawah kelihaian Can Ji Kun sendiri! Diam-diam Maya menjadi heran sekali. Orang itu lihai, pikirnya, dan kenyataannya bahwa dia dikeroyok tentara-tentara Sung membuktikan bahwa orang itu tentulah seorang penyelundup dari luar pula. Akan tetapi dari mana?

”Mundur kalian semua! Orang-orang tolol tidak mengenal orang! Aku adalah putera seorang panglima!” Laki-laki itu mengamuk, merobohkan para pengeroyok sambil membentak-bentak.

“Ha-ha-ha, di kota berkeliaran mata-mata dan biar kau mengaku putera raja sekali pun, siapa mau percaya? Kami tidak pernah bertemu denganmu!” Pimpinan pasukan yang mengeroyok tertawa dan pengeroyokan menjadi makin ketat.

Mendengar bahwa orang lihai itu mengaku sebagai putera Panglima, Maya mendapatkan sebuah akal yang cerdik dan berani. Kalau dia bisa menolong dan mengikat persahabatan dengan orang itu, tentu amat berguna bagi penyelidikannya, pikirnya dan dia lalu melompat turun langsung menyerbu para tentara yang mengurung pria itu.

“Heiii... kau... ehhh... !” Pria itu bukan lain adalah Suma Hoat!

Ketika dia menyusul ayahnya di kota Siang-tan dan menyaksikan kekacauan malam itu, dia sengaja keluar untuk melihat apa yang terjadi. Dalam penyelidikannya inilah dia dicurigai dan dikepung oleh pasukan yang memang belum pernah melihat pemuda yang belum lama kembali ke tempat asalnya itu.

Maya tidak mempedulikan seruan pemuda itu. Pada waktu itu banyak panglima berpakaian preman untuk menjadi penyelidik dan menangkapi mata-mata. Seorang panglima yang berpakaian preman menyerangnya dari belakang dengan sebatang pedang. Dengan mudah saja Maya membalikkan tubuh, membiarkan pedang lawan dan sekali tangan kanannya bergerak, pedang itu telah dirampasnya dan sebuah tamparan tangan kirinya membuat Panglima Sung itu terpelanting dan roboh telentang di depannya.

“Heiiii... kau... Nona... siapa dan mengapa...?” Suma Hoat mengelak dari sebuah tusukan tombak dan menoleh kepada Maya, tergagap saking herannya ketika melihat seorang dara yang demikian cantik jelita tahu-tahu datang membantunya!

Melihat wajah Maya ia tepesona dan terbelalak. Dia telah gila! Mengapa sekarang dia pun terpesona, jantungnya berdebar tidak karuan menyaksikan wajah dara ini? Sungguh mati dia harus mengakui bahwa getaran jantungnya ketika melihat wajah itu sama sekali berbeda dengan getaran nafsu kalau dia melihat wanita-wanita cantik! Wajah ini... luar biasa sekali, lebih cantik dari pada mendiang Ciok Kim Hwa, lebih jelita dari pada wajah Khu Siauw Bwee! Mungkinkah dia begitu mudah jatuh cinta sekarang?

Apakah setelah beberapa bulan ini dia menghentikan petualangannya sebagai Jai-hwa-sian, dia lalu mudah tergila-gila dan jatuh cinta dalam arti kata yang murni terhadap setiap gadis cantik yang dijumpainya?

Akan tetapi, kalau tadi dia terpesona oleh wajah itu, oleh kecantikannya, kini dia terpesona menyaksikan betapa pedang rampasan di tangan dara jelita itu berkelebatan merupakan gulungan sinar yang luar biasa sekali dan semua senjata para pengurungnya patah disambar sinar yang bergulung-gulung. Hebat bukan main! Mengapa dia selalu bertemu dengan dara-dara yang seperti bidadari namun memiliki kepandaian seperti iblis?!

Biar pun Maya mengamuk, namun dia berhati-hati sekali, tidak mau membunuh seorang pun tentara yang kalau dalam perang tentu akan dibasminya sebanyak mungkin itu. Dia tidak mau menghadapi kesulitan yang tentu timbul kalau sampai dia melakukan pembunuhan.

“Bunuh mata-mata... !” terdengar teriakan keras.

Seorang panglima lain yang mukanya seperti tengkorak, berpakaian preman, melayang turun dari atas genteng, terjun ke dalam medan pertempuran itu. Setelah dekat, ternyata muka seperti tengkorak itu lebih mirip muka kuda. Suma Hoat membalikkan tubuhnya dan orang bermuka kuda itu terbelalak, lalu berseru, “Kongcu...!”

“Eh, Siangkoan Lee! Engkau di sini...?” Suma Hoat juga berseru.

“Saya mengawal kereta Taijin, itu di sana...” Siangkoan Lee, pelayan dan juga murid Suma Kiat itu cepat membentak, “Tahan senjata! Apakah kalian sudah buta? Kongcu ini adalah putera Suma-goanswe (Jenderal Suma)!”

Para komandan pasukan mengenal Siangkoan Lee, maka tentu saja mereka terkejut mendengar ini dan mengeluarkan aba-aba untuk menghentikan pengeroyokan. Sementara itu, ketika Maya melihat munculnya Siangkoan Lee, dan mendengar bahwa pemuda tampan yang dibantu itu adalah putera Suma Kiat, menjadi kaget setengah mati. Celaka, pikirnya. Dia telah salah pilih! Tanpa berkata sesuatu dia sudah meloncat ke atas genteng dan menghilang di dalam gelap.

“Heiiii, Nona...” Tunggu...!” Melihat dara perkasa yang telah mengguncang jantungnya itu melompat pergi, Suma Hoat cepat meloncat pula mengejar.

“Apakah dia mata-mata?” tanya Siangkoan Lee.

“Mata-mata hidungmu!” Suma Hoat memaki. “Dia sahabatku! Katakan kepada Ayah nanti aku datang menghadap!” Tanpa menoleh Suma Hoat melanjutkan pengejarannya terhadap bayangan hitam yang meloncat-loncat ke atas genteng rumah-rumah penduduk itu.

“Heii, Nona! Tunggu, aku mau bicara...!”

Maya mengerutkan kening. Kalau dia menggunakan ginkang-nya, biar pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, tak mungkin pemuda itu dapat menyusulnya. Juga kalau dia menghadapi pemuda itu, biar pun dia tahu bahwa pemuda itu cukup lihai namun dia percaya akan dapat membunuhnya. Akan tetapi, kalau hal itu terjadi, Si Pemuda tentu akan mengejar dan berteriak-teriak, dan kalau sampai dia kedapatan oleh para penjaga, padahal malam telah hampir pagi, dia bisa celaka. Maya mengigit bibir menahan kesabaran hatinya, demi keselamatannya sendiri. Mengingat bahwa pemuda ini adalah putera Suma Kiat yang amat dibencinya, ingin dia menggerakkan pedang membunuhnya!

Dia terpaksa berhenti dan membalikkan tubuh. “Engkau mau bicara apakah?”

Kebetulan sekali mereka berhenti di atas genteng rumah yang terkena sorotan sinar dari bawah sehingga wajah dara itu tampak jelas di bawah sinar remang-remang. Sekali lagi jantung di dalam dada Suma Hoat seperti jungkir-balik. Wajah ini... luar biasa cantiknya. Kecantik-jelitaan yang aneh, asing dan belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang gadis berwajah seperti ini.

“Nona, maafkan aku... setelah Nona tadi menolongku, bagaimana aku dapat membiarkan kau pergi begitu saja sebelum aku menghaturkan terima kasih?”

“Aku tidak mengharapkan terima kasih,” jawab Maya singkat.

“Akan tetapi, setelah Nona menolongku, tidak mungkin aku bersikap begitu tak kenal budi. Setidaknya, harap Nona sudi berkenalan. Namaku Suma Hoat, dan siapakah Nona yang cantik jelita seperti bidadari namun berkepandaian setinggi langit?”

Berkerut alis Maya. Laki-laki ceriwis, pikirnya, sungguh pun dia harus mengakui bahwa putera Jenderal Suma Kiat ini ternyata amat tampan, suaranya halus gerak-geriknya menarik.

“Aku melihat seorang dikeroyok, lalu datang membantu. Hal itu biasa saja. Aku melakukannya bukan untuk memancing terima kasih, bukan pula mengharapkan perkenalan. Sudahlah...!”

Melihat gadis itu sekali mencelat melayang ke wuwungan di depan, Suma Hoat terkejut dan takut kalau-kalau takkan dapat bertemu lagi, maka dia pun cepat mengejar sambil berseru, “Nona, tunggu...!”

Maya berhenti dan membalikkan tubuh, membentak, “Engkau mau apa lagi?!”

Suma Hoat kini sudah tergila-gila benar menyaksikan sikap yang demikian keras, sifat yang liar dan penuh kewibawaan, namun juga amat manis. Maka dia mengambil keputusan untuk dapat berkenalan dengan dara ini. Cinta kasihnya yang pertama terhadap Ciok Kim Hwa putus, kemudian cinta kasihnya yang kedua, cinta kasih murni terhadap Khu Siauw Bwee juga gagal karena gadis itu telah mencinta orang lain dan dia tidak berani bermain gila terhadap gadis yang ternyata adalah penghuni Istana Pulau Es itu. Kini dia merasa jatuh cinta untuk ke tiga kalinya, bukan cinta birahi seperti terhadap semua wanita yang pernah dipermainkannya, melainkan cinta sungguh-sungguh! Dia tidak mau gagal lagi sekarang.

“Nona, aku berniat baik, mengapa Nona menolak perkenalan? Kalau aku tidak berniat baik terhadap dirimu, tentu aku sudah berteriak bahwa Nona adalah seorang mata-mata dan Nona akan dikepung oleh ribuan orang tentara!”

“Hemm, begitukah? Kalau begitu mampuslah engkau!” Pedang rampasan di tangan Maya menyambar ganas merupakan sinar kilat menyambar ke arah leher Suma Kiat.

Pemuda ini terkejut bukan main. “Aahhhh...!”

Ia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik dengan cepat. Kembali sinar pedang menyambar dan keringat dingin keluar membasahi dahi Suma Hoat ketika dengan pengerahan ginkang sekuatnya kembali dia melempar diri ke kiri sambil mengebutkan ujung lengan bajunya ke belakang.

“Brettt!” Ujung lengan baju itu buntung karena benar seperti dugaannya, sinar pedang itu kembali telah menerjangnya untuk ketiga kalinya dengan gerakan yang bukan main cepatnya.

“Tahan, Nona...!” Ia meloncat ke belakang, loncatan yang indah sekali karena tubuhnya masih menghadap kepada Maya. “Aku sudah memperlihatkan niat baik dengan tidak membuka rahasiamu, apakah engkau seorang yang begitu kejam dan tidak mengenal budi, membalas iktikad baik orang dengan serangan maut?”

Maya diam-diam kagum juga. Tiga kali dia menyerang sungguh-sungguh, dengan jurus-jurus maut, namun pemuda itu masih mampu menyelamatkan diri, hal itu berarti bahwa pemuda itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Can Ji Kun. Dan ucapan yang halus penuh teguran itu, betapa pun juga membuat kedua pipinya merah. Ingin dia memperkenalkan diri dan terus menyerang, membunuh pemuda ini karena bagi dia, seluruh keluarga Suma Kiat harus dibunuh!

Akan tetapi dia teringat akan pekerjaannya sebagai penyelidik, maka dia berkata angkuh, “Aku tidak membutuhkan iktikad baikmu, dan aku pun tidak takut kalau engkau hendak membuka rahasia!”

Bukan main, pikir Suma Hoat. Gadis ini benar-benar angkuh, seperti seorang puteri kaisar saja! Seorang dara yang ilmu kepandaiannya amat tinggi, wajahnya amat cantik jelita, dan wataknya amat tinggi pula!

“Dengarlah dulu, Nona. Nona adalah seorang mata-mata, berarti Nona memusuhi Kerajaan Sung, dan aku pun adalah seorang yang tidak memihak Kerajaan Sung. Dengan demikian, kita berada di satu pihak. Dan penjagaan di sini amat ketat dan kuat. Nona tidak dapat bergerak leluasa, apa yang akan dapat Nona selidiki? Bahkan banyak bahayanya Nona akan terkepung dan celaka. Akan tetapi aku dapat bergerak leluasa dan aku dapat menyelidiki dan memberi tahu kepadamu apa yang kau ingin ketahui. Aku suka membantumu, Nona. Nah, apakah Nona masih hendak membunuhku?”

Maya memutar otaknya. Pemuda putera musuh besar ini harus dibunuh, akan tetapi apa yang dikatakannya mengandung kebenaran. Dia harus bersikap cerdik. Sebagai seorang panglima perang yang sudah biasa menahan perasaan pribadi demi siasat dan keuntungan pihaknya, Maya lalu berkata, “Begitukah? Ucapanmu harus dibuktikan lebih dulu. Sekarang apa yang hendak kau lakukan dengan aku, setelah engkau tahu bahwa aku adalah seorang mata-mata?”

Wajah Suma Hoat girang bukan main. “Pertama-tama, Nona harus mempunyai tempat persembunyian yang baik dan aku mempunyai sebuah rumah kecil yang kosong dan yang takkan ada yang berani mengganggu atau memasukinya. Nona boleh mempergunakan rumahku itu sebagai tempat bersembunyi. Hanya di waktu malam saja Nona dapat melakukan penyelidikan dan di waktu siangnya Nona boleh bersembunyi di situ. Kemudian, aku dapat membantu mencari keterangan yang sekiranya tak dapat Nona peroleh sendiri. Bagaimana?”

Maya kembali terdiam dan berpikir, kemudian dia berkata sambil menurunkan pedangnya, “Kalau aku tidak dengar tadi bahwa engkau adalah putera Jenderal Suma Kiat yang kutahu bukanlah seorang pembesar yang setia terhadap Kerajaan Sung, tentu aku tidak percaya omonganmu. Betapa pun juga, ketahuilah bahwa di samping aku menerima penawaranmu, aku tetap tidak percaya kepadamu dan sedikit saja engkau memperlihatkan sikap mencurigakan, aku pasti akan membunuhmu. Jangan engkau kira bahwa aku tidak dapat melakukannya! Nah, tunjukkan di mana rumah itu!”

“Mari, Nona! Aku tak perlu bersumpah, akan tetapi Suma Hoat bukanlah seorang yang biasa mengeluarkan kata-kata yang berlainan dengan isi hati! Bukan seorang pengecut yang untuk menolong nyawa sendiri melakukan penipuan-penipuan rendah!” Dia meloncat dan dara perkasa itu pun meloncat di belakangnya.

Untuk menguji nona itu, Suma Hoat mengerahkan seluruh ilmunya berlari cepat, namun betapa pun cepatnya dia berloncatan dan berlari, bayangan gadis itu tetap berada di belakangnya! Diam-diam dia makin kagum, dan di lain pihak, Maya juga kagum karena pemuda ini benar-benar lihai sekali.

Rumah kecil itu memang milik Jenderal Suma Kiat yang mempunyai banyak rumah di kota Siang-tan. Rumah itu kosong dan sebagai rumah pembesar itu, tentu saja tidak akan ada yang berani mengganggunya.

Setelah mereka memasuki rumah itu dan duduk berhadapan di ruangan dalam, Suma Hoat berkata, “Siang ini harap Nona bersembunyi di sini. Nona sudah mengenalku, harap Nona suka memperkenalkan diri dan menceritakan kedudukan Nona agar aku dapat mencarikan keterangan yang Nona kehendaki.”

Maya mengerutkan alisnya. Malam telah berganti pagi dan sinar matahari yang mulai menyinari ruangan itu membuat ia dapat melihat wajah Suma Hoat dengan jelas. Wajah yang tampan dan sama sekali tidak kelihatan jahat, bahkan wajah yang akan menarik hati wanita mana pun! Akan tetapi pertanyaan itu tidak menyenangkan hatinya. Dia tidak mungkin mengakui dirinya sebagai Panglima Pasukan Maut, hal ini terlalu berbahaya karena kalau Suma Hoat mengetahui, belum tentu dia mau memegang janji. Dia terlalu penting bagi Kerajaan Sung yang akan mempertaruhkan apa saja untuk menangkap panglima wanita yang telah banyak merugikan Kerajaan Sung itu.

“Suma Hoat, ingatlah bahwa bukan aku yang menghendaki kerja sama ini, melainkan engkau! Aku hanya berjanji bahwa kelak aku akan memperkenalkan diri kepadamu, akan tetapi untuk saat ini, cukup untuk kau ketahui bahwa aku adalah seorang mata-mata dari barisan Mancu, tanpa nama! Masih belum terlambat bagimu untuk kau menarik diri, aku pun tidak terlalu mengharapkan bantuanmu!”

Suma Hoat terbelalak, bukan hanya oleh kata-kata yang keras dan penuh keangkuhan ini, melainkan juga karena terpesona oleh wajah yang kini tampak jelas olehnya. Kulit muka itu agak kecoklatan karena tertimpa sinar matahari, namun wajah itu benar-benar luar biasa cantiknya, terutama sekali matanya yang bersinar-sinar seperti bintang pagi, mulutnya yang manis dalam gerakan apa pun juga. Dari seluruh kepribadian gadis ini mengakibatkan getaran di hatinya, getaran yang dirasainya ketika ia bertemu dengan Khu Siauw Bwee. Tak salah lagi, dia jatuh cinta untuk ketiga kalinya, dan mungkin yang terakhir ini paling parah! Rasanya dia rela berkorban apa pun juga untuk dapat menjadi suami gadis ini!

“Baiklah, aku tidak boleh terlalu banyak mengharap sebelum memperlihatkan kemauan baikku, Nona. Hanya aku yakin bahwa Nona bukanlah seorang berbangsa Mancu, dan juga bukan seorang gadis Han...”

“Cukup semua ini. Kalau kau memang hendak membantuku, aku ingin mengetahui kekuatan yang menjaga benteng Siang-tan ini, berapa besar bala tentaranya, siapa komandan-komandannya, dari mana akan didatangkan bala tentara kalau benteng terdesak, dan apa macamnya jebakan-jebakan dan barisan pendam di luar tembok benteng, dari mana datangnya pasukan inti kalau musuh datang, di mana ditempatkannya barisan panah.”

Suma Hoat melongo. Benar-benar seorang mata-mata yang hebat, pikirnya, dan agaknya menguasai benar pekerjaan perang!

”Aku akan berusaha mendapatkan keterangan-keterangan itu, Nona. Di kamar belakang sebelah kanan terdapat bahan-bahan makan dan minum untukmu. Aku akan pergi mencari keterangan untukmu, malam nanti aku akan datang. Harap Nona jangan meninggalkan tempat ini sebelum gelap.”

Maya mengangguk, akan tetapi sebelum Suma Hoat tiba di pintu dia memanggil. ”Tunggu dulu!”

Suma Hoat membalik dan menatap wajah itu, beberapa kali menelan ludah. Bibir itu! Mata itu! Ingin dia berlutut dan menyatakan cinta kasihnya di saat itu juga! Akan tetapi, menghadapi seorang wanita seperti ini, dia tidak boleh lancang dan sembrono. Dan sekali ini dia tidak boleh gagal, cinta kasihnya harus mendapat sambutan, kalau tidak, dia tidak dapat membayangkan apa yang terjadi kalau kembali cintanya berantakan!

“Ada pesan apakah, Nona?”

“Hanya sebuah pertanyaan yang kuminta kau jawab dengan sebenarnya, karena kalau kau membohong tiada gunanya. Kenapa engkau melakukan ini semua? Kenapa engkau membantu aku, padahal aku tahu pasti bahwa engkau bukanlah seorang sekutu Kerajaan Mancu?” Setelah bertanya demikian, sambil menanti jawaban Maya memandang dengan sinar mata tajam yang seolah-olah menembus dan menjenguk isi hati pemuda itu.

Suma Hoat merasa silau dan karena memang dia tidak menyembunyikan sesuatu, memang perasaannya terhadap gadis itu sudah jelas dan wajar, maka dia menentang sinar mata tajam itu sambil menjawab dengan hati terbuka sehingga suaranya tenang dan jujur. “Aku sengaja membantumu bukan karena engkau mata-mata Mancu, Nona, juga bukan karena dalih dan pamrih apa pun juga, melainkan semata-mata karena aku ingin membantumu karena aku kagum kepadamu, dan karena ada dorongan di hatiku yang membuat aku ingin berkorban apa juga demi untukmu. Nah, sampai jumpa!”

Suma Hoat membalikkan tubuhnya tanpa menanti reaksi dari pertanyaannya yang hampir membuka rahasia hatinya itu. Dia sudah nekat dan pasrah andai kata gadis itu menjadi marah dan menyerangnya. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu, sehingga ketika tiba di luar rumah hati Suma Hoat lega bukan main, bukan lega karena dia tidak diserang atau dibunuh, melainkan lega penuh harapan karena kalau gadis itu tidak marah, berarti dia sudah menang separuh!

Memang Maya tidak berbuat sesuatu. Gadis itu telalu heran mendengar jawaban yang ia yakin bukan bohong itu. Terlalu heran dan terlalu kaget sehingga dia hanya duduk melongo sampai pemuda itu lenyap dari depannya. Barulah ia sadar dan menarik napas panjang. Gila! Putera Suma Kiat menaruh hati cinta kepadanya! Hemmm, berkali-kali dia digoda cinta kasih pria, dari Can Ji Kun yang masih harus diragukan cintanya yang mungkin palsu, sampai Pangeran Bharigan yang tak dapat diragukan lagi cinta kasihnya. Namun mana mungkin dia memperhatikan, apa lagi membalas cinta kasih pria lain kalau hatinya sudah dia serahkan sebulatnya kepada suheng-nya, Kam Han Ki?

Hampir Maya menitikkan air mata ketika ia teringat akan suheng-nya, teringat betapa pertemuannya dengan suheng-nya amat menyakitkan hati. Dia sudah mengaku cinta, sudah rela meninggalkan semua ini, melupakan semua dendamnya, tidak lagi mencampuri urusan dunia, ikut sehidup semati dengan suheng-nya di Pulau Es, memadu cinta sampai hayat meninggalkan raga, asal saja suheng-nya tidak membagi kehidupan mereka berdua dengan kehadiran Siauw Bwee.

Akan tetapi suheng-nya tidak mau! Sungguh menyakitkan hatinya dan menurut patut, tidak seharusnya dia mati-matian mencinta orang yang begitu tak tahu dicinta! Sudah sepatutnya kalau dia memperhatikan, mungkin membalas cinta kasih yang murni dari Pangeran Bharigan, atau memperhatikan sinar mata mengandung kasih yang begitu mesra dan menggairahkan yang terpancar dari mata Suma Hoat!

“Alhh, Suheng..., Suheng...!” Ia mengeluh, hatinya merintih, namun kekerasan hatinya membuat dia pantang menitikkan air mata.

Ia melupakan kedukaan hatinya dengan mencurahkan pikiran kepada tugasnya sebagai mata-mata. Apa pun yang akan terjadi dengan gejolak hatinya, yang terang pekerjaannya akan berhasil baik dengan bantuan seorang putera jenderal! Bahkan kalau dia bisa mempengaruhi Suma Hoat untuk membujuk Jenderal Suma Kiat membantu penyerbuan pasukan Mancu dari dalam kota Siang-tan, tentu akan mudah menalukkan kota benteng yang amat kuat ini!

******************


Kedua orang panglima pembantu Maya yaitu Kwa-huciang dan Theng-ciangkun, berhasil menyelamatkan diri dari kepungan. Dengan menyamar sebagai pengemis mereka dapat menyelinap di antara banyak pengemis yang berkeliaran di kota itu, yang berkelompok di emper-emper kuil, di bawah jembatan, di pasar-pasar.

Berbeda dengan dua orang ini, Ji Kun dan Yan Hwa tidak sudi untuk menyamar sebagai ngemis dan bercampur dengan orang-orang yang berbaju kotor, berbadan kotor dan berbau apek itu. Di dalam keadaan terancam ini, timbul cinta kasih antara Ji Kun dan Yan Hwa sehingga ke mana pun mereka lari bersama, saling melindungi dan tak mau saling berpisah.

Memang demikianlah sifat dan watak kedua orang ini. Di waktu ada bahaya saling menolong dan saling melindungi tanpa mengingat akan keselamatan diri sendiri, namun dalam keadaan bebas dan damai, keduanya selalu bertengkar dan tak mau saling mengalah. Mereka sama sekali tidak sadar bahwa Sepasang Pedang Iblis yang berada di tangan mereka itu mengeluarkan pengaruh mukjizat dan jahat sekali, yang menambah persaingan di antara mereka karena dengan mengandalkan pedang masing-masing, mereka tidak mau mengalah dan hal inilah yang merupakan penghalang rasa cinta kasih mereka yang sebetulnya amat mendalam itu.

Ketika kedua orang murid Mutiara Hitam ini berhasil lolos dari kepungan para prajurit, mereka bersembunyi di wuwungan rumah lalu berunding sebentar. Tak lama kemudian mereka berhasil menyambar dua orang prajurit yang berada di tempat terpisah, melucuti pakaian mereka dan dengan mengenakan pakaian prajurit mereka menyelinap di dalam kegelapan malam, kemudian berhasil lolos ke luar dari kota melalui pintu gerbang sebelah selatan, yaitu pada saat diadakan penggantian penjaga. Barulah para penjaga tahu bahwa dua orang di antara mereka adalah palsu ketika Ji Kun dan Yan Hwa berlari cepat meninggalkan pintu gerbang. Pengejaran dilakukan, akan tetapi tak mungkin pasukan itu dapat menandingi ilmu lari cepat dua orang murid Mutiara Hitam ini. Apa lagi malam yang gelap segera menelan bayangan mereka.

Setelah berlari jauh, dua orang muda itu meninggalkan pakaian prajurit dan duduk mengaso dalam sebuah hutan, di atas akar pohon menonjol. Yan Hwa agak terengah-engah dan gadis ini membereskan rambutnya yang tadi awut-awutan karena tadi disembunyikan dalam topi prajurit. Melihat rambut sumoi-nya terurai, Ji Kun segera memeluknya dan menciumnya. Yan Hwa tertawa dan balas mencium dengan mesra. Pengalaman berbahaya tadi mendekatkan hati mereka dan ciuman-ciuman mereka menambah mesra perasaan hati. Akan tetapi ketika Ji Kun hendak berbuat lebih jauh lagi, Yan Hwa mendorong dadanya dengan halus.

“Ihhh...! Tugas belum selesai ingin yang bukan-bukan!”

Ji Kun tertawa. Buyarlah hasrat hatinya. Sambil mempermainkan rambut kekasihnya yang panjang hitam dan gemuk, dia berkata, “Kita telah bebas. Sungguh berbahaya sekali!”

“Malu kita melarikan diri terbirit-birit seperti dua ekor tikus. Enci Maya dan yang lain-lain tentu sedang sibuk melakukan penyelidikan di dalam kota, sedangkan kita berada jauh di luar kota, enak-enakan. Sungguh harus malu!” Yan Hwa mencela.

”Aihh, bukankah kita sudah bersepakat untuk lari keluar kota? Engkau tidak mau menyamar sebagai pengemis.”

“Ihh, jijik!”

“Kita terpaksa lari ke luar karena keadaan amat berbahaya. Dengan keributan seperti itu dan penjagaan amat ketat di dalam kota, biar pun kita berada di sana juga tak mungkin dapat bekerja. Pula, apakah hanya di dalam kota saja yang perlu diselidiki? Kurasa menyelidiki di luar tembok benteng tidak kalah pentingnya, menyelidiki barisan pendam mereka, dan pertahanan pertama mereka. Selain itu, kalau keadaan di kota sudah mereda, masuk lagi ke sana apa sukarnya bagi kita?”

“Habis, sekarang kita mau apa?” Yan Hwa bertanya.

Ji Kun tertawa, “Menanti sampai matahari terbit, baru nanti mencari jalan menyelidiki ke dekat tembok benteng. Sekarang, sambil menanti, mau apa lagi, Sumoi yang manis?”

Dia memeluk lagi dan sekali ini Yan Hwa juga timbul kasih sayangnya, melayani cumbu rayu suheng-nya. Keduanya tenggelam dalam gelombang asmara, akan tetapi Yan Hwa yang rebah dengan telinga menempel tanah tiba-tiba mendorong dada kekasihnya.

“Ada barisan datang...!”

Ji Kun terkejut. Keduanya melompat bangun, lalu dengan cekatan seperti dua ekor burung, mereka melompat ke atas, menyambar dahan pohon dan dalam beberapa detik saja dua orang yang lihai itu telah berada di puncak pohon tertinggi, mengintai ke sana-sini. Akhirnya mereka melihat lampu bergerak-gerak di selatan, dan akhirnya beberapa pasang lampu itu berhenti.

“Apakah itu?” Yan Hwa bertanya.

“Menurut suaranya tentu derap kaki kuda, dan lampu-lampu itu tak salah lagi, tentu lampu kendaraan kereta. Mereka berhenti di sana, hayo kita menyelidiki!”

Dengan cepat sekali, tanpa mengeluarkan suara, kedua orang muda itu mendekati tempat itu dan melihat bahwa rombongan yang berhenti itu adalah rombongan terdiri dari empat buah kereta yang dikawal ketat oleh pasukan pengawal sejumlah lima puluh orang. Ketika tenda-tenda kereta yang berkumpul itu tersingkap, dengan heran sekali Yan Hwa dan Ji Kun melihat gadis-gadis cantik yang duduk di dalam joli kereta, setiap kereta terisi enam orang gadis cantik. Mereka itu kelihatan berduka, ada pula yang menangis terisak.

Ji Kun dan Yan Hwa menyelinap di antara pohon-pohon, mendekati komandan dan para pembantunya yang duduk mengelilingi api unggun, mendengarkan percakapan mereka.

”Dalam keadaan terancam penyerbuan barisan Mancu, mengumpulkan siuli (gadis cantik calon selir pangeran atau raja), sungguh mementingkan kesenangan sendiri saja,” seorang perwira mengeluh.

“Hati-hati dengan mulutmu!” Komandan pasukan yang berpakaian panglima membentak bawahannya, “Bukan tidak ada gunanya kalau Suma-goanswe menyuruh kita mengumpulkan gadis-gadis cantik untuk Pangeran Ci Hok Ong di Siang-tan. Kita hanyalah pelaksana, perlu apa memusingkan sebab-sebabnya?”

“Akan tetapi, mengapa kita bermalam di sini, tidak langsung terus ke Siang-tan?” tanya seorang perwira lain.

“Hemm, orang-orang kang-ouw tentu tidak membiarkan perampasan wanita-wanita cantik ini, dan hutan-hutan di depan amat besar. Lebih aman melewatkan malam di sini, besok pagi baru melanjutkan perjalanan. Kalau kita disergap di dalam hutan, tentu akan sulit mempertahankan penumpang-penumpang itu. Jumlah mereka sudah dihitung, dan kita akan celaka kalau sampai hilang seorang saja. Suma-goanswe tentu akan menghukum kita!”

Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang di dalam gelap, kemudian Ji Kun mendekatkan mulutnya di telinga kekasihnya dan berbisik, “Kesempatan baik untuk kita!”

Ia lalu berbisik-bisik mengatur rencana. Sumoi-nya mengangguk-angguk, sehingga pipinya yang halus itu menyentuh dan mengusap hidung dan mulutnya, membuat Ji Kun tidak tahan untuk tidak mencium pipi itu. Sebuah cubitan dari Yan Hwa memperingatkannya dan mereka lalu berpencar, siap melaksanakan rencana yang dibisikkan Ji Kun tadi.

Tak lama kemudian terdengar pekik kesakitan dan seorang di antara pengawal yang sedang berdiri menjaga di sebelah kanan roboh. Keadaan menjadi kacau dan semua pengawal lari ke tempat itu di mana terdapat Ji Kun mengamuk di dalam gelap. Para perwira cepat menghunus golok dan mengepung, akan tetapi sekali melompat, Ji Kun telah lenyap ke dalam kegelapan hutan kecil itu karena dia melihat bayangan sumoi-nya yang berkelebat.

Memang seperti direncanakan semula, ternyata sumoi-nya telah berhasil menculik seorang di antara gadis siuli dari kereta terdepan. Terdengar jerit para siuli lainnya dan ketika para pengawal melihat bahwa yang terculik adalah gadis yang paling cantik, mereka menjadi bingung, marah dan khawatir bukan main.

Panglima pasukan marah-marah dan terdengar bentakan-bentakannya, “Hayo cari dia! Kalau tidak dapat terampas kembali, nyawa kita menjadi taruhan!”

Akan tetapi para pengawal sudah dibikin gentar oleh ketangkasan Ji Kun tadi dan mereka menyaksikan bayangan yang melarikan siuli tadi pun seperti iblis saja. Pula mereka berada di hutan yang gelap, ke mana harus mencari? Betapa pun juga karena takut kepada komandan mereka, takut pula kalau kehilangan itu akan dilimpahkan kepada mereka, dengan obor di tangan para pengawal itu mencari di sekitar tempat itu.
Namun Yan Hwa dan Ji Kun sudah berada jauh di tengah hutan besar dan gadis cantik itu kini tidak takut lagi. Bahkan dia menjatuhkan diri berlutut di depan Yan Hwa dan Ji Kun sambil berkata,

“Terima kasih atas pertolongan Ji-wi, entah bagaimana saya dapat membalas budi pertolongan Ji-wi yang membebaskan saya dari mala-petaka ini.”

Cuaca pagi kemerahan membuat Ji Kun dapat meneliti wajah gadis itu yang sesungguhnya cantik manis. Dia lalu memegang kedua pundak gadis itu, diangkatnya bangun sambil tersenyum. “Manis, kami tidak mengharapkan balasan dan aku akan cukup puas kalau engkau membalasnya dengan sebuah ciuman!” Berkata demikian, dia memeluk dan mengecup bibir gadis itu yang tentu saja menjadi tersipu-sipu, dan ketika Ji Kun melepaskan pelukannya, gadis itu terhuyung ke belakang dan menangis.

“Suheng! Engkau... engkau...!” Yan Hwa membentak marah tangannya meraba gagang pedang.

“Eiiitt, Sumoi. Engkau cemburu?”

“Tentu saja! Hanya sebegitukah cintamu kepadaku? Engkau pernah tergila-gila kepada Enci Maya dan sekarang... katakan, siapa yang kau cinta? Gadis ini?”

“Wah-wah, apakah engkau anak kecil? Tentu saja hanya engkau yang kucinta, sedangkan yang lain-lain termasuk gadis ini, hanya tubuhku saja yang tertarik, bukan hatiku. Apakah engkau tidak mernbolehkan suheng-mu bersenang-senang sedikit?”

“Hemmm... laki-laki ceriwis mata keranjang! Lihat saja nanti pembalasanku kalau ada kesempatan. Eh, bocah, kami telah menyelamatkanmu dan sekarang bersembunyilah di sini. Jangan pergi ke mana-mana sebelum lewat hari ini atau engkau akan tertawan lagi dan mendapat hukuman. Kami pergi!”

Yan Hwa dan Ji Kun meloncat dan berkelebat pergi meninggalkan gadis itu yang menjadi ketakutan sekali dan menangis di antara semak-semak belukar di mana dia ditinggalkan seorang diri. Dia seorang gadis yang lemah, dan biar pun dia kini telah dibebaskan, namun ditinggalkan seorang diri di tempat itu, tentu saja dia ketakutan dan tidak tahu ke mana harus pergi. Untuk kembali ke kampungnya, dia tidak mengenal jalan.

Ketika beberapa orang anak buah pasukan pengawal mencari-cari sampai pagi dan tiba di pinggir hutan besar, tiba-tiba mereka melihat seorang wanita muda yang cantik sedang sibuk mengumpulkan kayu kering. Wanita ini bukan lain adalah Ok Yan Hwa yang sengaja memperlihatkan sikap terkejut dan takut melihat datangnya tujuh orang pengawal berikut seorang perwira pengawal itu. Dia menjerit, melepaskan kayu-kayu kering yang dikumpulkannya lalu melarikan diri. Tentu saja dia berlari biasa seperti lari seorang gadis lemah dan sebentar saja ia telah tertangkap, kedua lengannya dipegang dari kanan kiri oleh dua orang pengawal.

“Ha-ha-ha-ha, engkau hendak lari ke mana?” Seorang di antara mereka berkata.

”Ehhh..., ini bukan dia!” Perwira pengawal berseru kaget setelah melihat Yan Hwa. “Dia hanya seorang gadis dusun, akan tetapi... hemmm, aku berani bertaruh dia tidak kalah cantik menarik dari pada siuli yang lenyap tadi!”

“Benar, dia jelita sekali!” Para anak buahnya berkata dan semua mata memandang Yan Hwa dengan kagum.

Kedua pipi Yan Hwa menjadi merah dan dia pura-pura meronta sambil berteriak, “Kalian siapakah? Mengapa aku ditangkap?”

“Anak baik, engkau tinggal di mana?” Perwira itu bertanya.

“Aku tinggal di sebuah dusun di luar hutan di seberang sana. Aku mencari kayu bakar untuk di jual...” Yan Hwa menjawab ketakutan, matanya yang indah bening terbelalak.

”Apakah engkau melihat orang-orang di dalam hutan besar ini?”

Yan Hwa menggeleng kepala.

“Hemmm...,” Sang Perwira menggosok-gosok jenggot pendeknya. “Bawa dia kepada Ciangkun, kurasa jalan satu-satunya hanyalah menggantikan yang hilang dengan dia ini.”

Yan Hwa menjerit-jerit ketika dipaksa ikut bersama mereka menuju ke rombongan kereta dan di situ dia menjadi tontonan semua pengawal. Panglima yang memimpin pasukan pengawal mendengarkan laporan perwira dan mengangguk-angguk. “Memang tidak ada jalan lain yang lebih baik lagi. Eh, Nona muda. Siapa namamu?”

“Nama saya Yan Hwa, she Ok,” jawab Yan Hwa yang tidak khawatir memperkenalkan nama aslinya karena namanya memang tidak terkenal.

“Dengar, Ok Yan Hwa. Engkau ingin mati atau hidup?” Suara panglima itu terdengar kereng dan penuh ancaman.

Dengan sinkang-nya yang sudah tinggi tingkatnya, Yan Hwa dapat membuat jalan darahnya terhenti sehingga mukanya menjadi pucat. “Saya... saya ingin hidup, Tai-ongya...”

“Hushh! Aku bukan kepala perampok!” bentak Si Panglima yang disebut tai-ong (raja besar), sebutan yang biasa dipergunakan orang terhadap kepala perampok. “Sebut aku Tai-ciangkun, mengerti?”

“Baik, Tai-ciangkun...”

“Kalau engkau ingin hidup, mulai sekarang engkau harus menjadi seorang di antara gadis-gadis cantik di dalam kereta ini untuk dipersembahkan kepada Pangeran Ciu Hok Ong di Siang-tan. Engkau tidak boleh menceritakan tentang peristiwa malam ini kepada siapa pun juga. Katakan bahwa engkau adalah seorang di antara mereka yang kami pilih. Kalau engkau menurut, engkau akan hidup mewah dan mulia di istana Pangeran, mungkin menjadi selir Pangeran yang terkasih, sedikitnya menjadi pelayan istana. Kalau menolak, sekarang juga kusembelih lehermu sampai putus!”

“Iihhh... ampun... ampun, Tai-ciangkun... hamba tidak berani menolak, hanya... hamba harus memberi tahu ayah ibu dulu di dusun...”

“Tidak usah! Tinggal pilih, sekarang juga, ingin mati atau hidup?”

Yan Hwa menangis akan tetapi mengangguk-angguk. “Baik, Tai-ciangkun... hamba... hamba menurut...”

Yan Hwa disuruh memasuki kereta terdepan dan dipaksa berganti pakaian yang indah. Semua siuli memang diharuskan berpakaian indah dan panglima itu masih mempunyai beberapa potong pakaian untuk perlengkapan. Setelah itu, komandan pasukan mempersiapkan orang-orangnya untuk memberangkatkan rombongan kereta itu.

Akan tetapi, kembali terjadi kekacauan ketika rombongan itu baru saja berangkat. Tiba-tiba dua ekor kuda yang menarik kereta terdepan meringkik keras lalu membedal ke depan seperti dikejar setan. Sia-sia saja kusirnya berusaha menahan kedua kuda yang kabur itu, bahkan kini panglima itu sendiri bersama beberapa orang pembantunya membalapkan kuda untuk mengejar dan menyelamatkan kereta itu. Kalau sampai kereta terguling dan lima orang siuli di dalamnya celaka, benar-benar mereka menghadapi kesulitan besar!

Melihat panglima itu dan pembantu-pembantunya mengejar, dua ekor kuda penarik kereta yang kabur itu menjadi makin binal. Kusirnya berteriak-teriak dengan panik, menarik-narik kendali kuda, namun tetap tidak berhasil menghentikan kaburnya dua ekor kuda itu.

Tiba-tiba muncul seorang pemuda yang bukan lain adalah Ji Kun. Dia lari dari samping menangkap kendali kuda, meloncat ke atas punggung kuda. Diam-diam dia mencabut dan membuang dua buah duri yang tadi menancap di dekat ekor kuda, kemudian dia menarik kendali kuda dan menggunakan kekuatan tangan, diam-diam mengerahkan sinkang-nya, kakinya menjapit perut kuda.

Semua ini dilakukan oleh Ji Kun dengan mengurangi ketangkasannya sehingga dia tidak kelihatan sebagai seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, melainkan sebagai seorang ahli mengatasi kuda-kuda kabur. Setelah dua ekor kuda itu berhenti, dia pura-pura lemas dan ketika melompat turun, dia terhuyung dan hampir jatuh. Sambil mengusap keringatnya dia berkata, “Wah, bahaya sekali..., dua ekor kuda ini malam tadi tentu makan rumput merah dan menjadi binal!”

Panglima dan para perwira sudah tiba di situ dan melihat mereka, Ji Kun cepat menjatuhkan diri berlutut. Dengan pandang mata penuh kecurigaan panglima itu bertanya, “Engkau siapa?”

“Nama hamba Can Ji Kun, pekerjaan hamba sebagai ahli kuda. Dahulu di utara hamba pernah bekerja kepada seorang peternak kuda yang besar, kemudian karena perang hamba lari ke selatan dengan maksud mencari pekerjaan yang sesuai dengan kepandaian hamba. Kebetulan hamba melihat kereta dikaburkan kuda dan mengandalkan keahlian hamba, hamba lupa diri dan menolong. Harap Tai-ciangkun suka memaafkan kelancangan hamba.”

Hilanglah kecurigaan panglima itu dan dia mengangguk-angguk. “Bagus, kami berterima kasih, Ji Kun. Kalau engkau mencari pekerjaan, mulai sekarang kau boleh mengurus kuda dan mengusiri kereta ini. He kau turun!” Bentak Sang Panglima kepada kusir yang masih pucat wajahnya.

Dengan tubuh gemetar kusir itu turun dari atas kereta dan sekali mengulur tangan panglima itu telah merampas cambuk, kemudian mencambuki kusir itu sambil memaki-maki, “Manusia tolol! Goblok! Hampir saja engkau mencelakakan kita semua!”

Cambuk itu menari-nari di atas tubuh kusir yang berlutut dan minta-minta ampun. Pakaiannya robek-robek dan kulit tubuhnya babak-belur dan berdarah. Setelah puas, panglima itu berkata, “Kau harus jalan di belakang kereta, pengadilan akan menjatuhkan hukuman nanti di kota!”

Rombongan itu berangkat lagi dan kini Can Ji Kun duduk di tempat kusir, memegang cambuk dan mengendalikan kuda menarik kereta di mana duduk pula Ok Yan Hwa yang menjadi girang sekali melihat betapa siasat mereka berjalan lancar dan berhasil baik. Tentu saja dua ekor kuda itu tadi kabur ketika diam-diam Yan Hwa menyerangnya dari belakang dengan dua buah duri yang sudah dipersiapkannya sebelumnya, menyambitkan duri-duri itu mengenai pantat kuda yang menjadi kaget dan kesakitan lalu kabur.

Tak lama kemudian rombongan memasuki hutan besar yang ditakuti Sang Komandan. Tiba-tiba komandan ini berteriak, “Awas, di depan ada orang!”

Ji Kun yang berada di depan kereta pertama sudah melihat orang-orang itu, dan dia mengerutkan alisnya. Jelas tampak olehnya bahwa yang menghadang di depan itu tentulah orang-orang kang-ouw. Sikap mereka gagah dan bukanlah kasar seperti sikap perampok. Ada tujuh orang laki-laki yang menghadang di depan, berjajar memenuhi jalan.


BERSAMBUNG KE JILID 33


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.