CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 36
Ada pun empat orang yang berdiri di belakangnya adalah orang-orang yang berpakaian mewah. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bu-koksu ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Pek-mau Seng-jin, Koksu dari Kerajaan Yucen, sedangkan para pengikutnya itu adalah Suma Hoat, Panglima Dailuba yang brewok bermata lebar dan bertubuh tinggi besar, Thai-lek Siauw-hud yang gendut pendek dan tertawa-tawa, dan seorang Yucen yang berpakaian indah dan berwajah tampan, yaitu Pangeran Dhanu yang memiliki kedudukan penting di Kerajaan Yucen!
“Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu dan aneh! Bu-koksu sebagai pimpinan tertinggi pada saat ini dalam benteng pertahanan di Siang-tan, kiranya masih sempat berkeliaran di dalam hutan!” Pek-mau Seng-jin mengejek sungguh pun dia mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan.
Pada waktu itu Kerajaan Yucen sedang berkembang dan sudah menguasai sebagian besar Tiongkok Utara, bahkan terpaksa Kerajaan Sung pindah ke selatan dan mengakui Kerajaan Yucen ini. Untuk ikatan persahabatan, bahkan Puteri Sung Hong Kwi telah diserahkan untuk menjadi isteri Pangeran Dhanu sebagaimana telah diceritakan di bagian depan cerita ini. Akan tetapi, hanya pada lahirnya saja kedua kerajaan ini bersahabat, sebetulnya di dalam hatinya saling menganggap musuh besar.
Bu-koksu cepat membalas dengan penghormatan selayaknya, kemudian menjawab dengan suara halus namun mengandung ejekan balasan pula, “Selamat berjumpa, Pek-mau Seng-jin! Tempat ini termasuk wilayah kerajaan kami, maka tidaklah mengherankan apa bila sebagai Koksu negara mengadakan pemeriksaan sendiri di sini. Barulah aneh namanya kalau Koksu Negara Yucen bersama panglima dan pangeran berada di sini bukan sebagai tamu negara yang resmi. Karena pertemuan ini tidak diduga-duga lebih dulu, maka biarlah saya mewakili negara untuk mengundang Cu-wi sekalian sebagai tamu terhormat kami di Siang-tan.”
“Ha-ha-ha! Saya mendengar bahwa Bu-koksu amat lihai kepandaiannya kiranya sekarang lihai juga bicaranya! Terima kasih, Bu-koksu. Akan tetapi, ada sebuah hal yang memaksa pertemuan antara kita ini menimbulkan rasa tidak enak kepada kedua pihak. Sungguh menyesal sekali.”
Hati Bu-koksu berdebar dan dia sudah menduga bahwa persoalan itu tentu menyangkut kedua orang tawanannya. Akan tetapi ia tetap bersikap tenang dan bertanya, ”Di pihak kami, tidak ada persoalan dan sungguh pun jelas bahwa Cu-wi melanggar wilayah kami bukan sebagai tamu, kami masih bersikap ramah dengan mengundang Cu-wi sebagai tamu kami. Hal ini agaknya juga diketahui dengan jelas oleh Suma-kongcu, yang entah bagaimana bisa menemani Koksu dan Pangeran."
Mendengar ini dan melihat pandang mata Bu-koksu ditujukan kepadanya dengan sinar tajam menyelidik, Suma Hoat tersenyum saja dan matanya memandang ke arah Siauw Bwee yang tubuhnya dibelenggu dan dipanggul di atas pundak Thian Ek Cinjin. Dia tidak mau menjawab dan hanya mengandalkan kepada jawaban Pek-mau Seng-jin sekutu ayahnya.
“Maafkan, kalau kami melanggar wilayahmu, Bu-koksu. Hanya kami rasa bahwa sebagai sahabat-sahabat, tiada salahnya kalau kami melihat-lihat keadaan wilayah selatan ini. Kebetulan sekali kita bertemu, akan tetapi tidak kebetulan bahwa kami melihat kalian memperlakukan sahabat kami sebagai tawanan, sungguh amat tidak enak bagi kami. Maka, mengingat akan hubungan antara kita, saya harap sukalah Bu-koksu memandang muka kami dan membebaskan kedua orang tawanan ini.”
Berkerut alis Bu-koksu. Dia sudah menduga bahwa tentu kedua orang tawanan itu yang akan dipersoalkan. Akan tetapi dia masih penasaran dan cepat berkata, “Maaf, Pek-mau Seng-jin! Kedua orang ini adalah orang-orang Han, dan urusan kami dengan mereka tidak ada sangkut-pautnya dengan Koksu dan Kerajaan Yucen. Harap Koksu suka mempertimbangkan dan tidak mencampuri urusan pribadi sendiri.”
“Ha-ha-ha, melihat sahabat-sahabat baik diperlakukan tidak hormat, bagaimana kami dapat tinggal diam saja? Ingatkah Koksu akan peribahasa yang mengatakan bahwa sahabat lebih berat dari pada tangan kiri? Mereka adalah sahabat-sahabat kami, tentu saja kami tidak suka melihat mereka mengalami penghinaan seperti itu.”
“Pek-mau Seng-jin!” Bu-koksu berkata marah. “Saya tidak melihat hubungan antara mereka ini dengan kalian! Saya rasa kalian tidak mengenal kedua orang ini, apa lagi bersahabat!”
“Bukan sahabat saya pribadi, akan tetapi sahabat baik Pangeran Dhanu. Silakan menjawab Pangeran,” Pek-mau Seng-jin berkata dan Pangeran Dhanu melangkah ke depan sambil berkata,
”Bu-koksu, ketahuilah bahwa Kam Han Ki itu adalah seorang sahabatku, sahabat pribadi yang amat baik. Bahkan dia pernah memukul mundur pasukan-pasukan Mancu untuk menolong kami, bagaimana aku dapat membiarkan dia kau perlakukan seperti itu? Oleh karena itu, aku sebagai mantu dari kaisarmu, kuminta supaya kau suka memandang mukaku dan membebaskan Kam Han Ki sahabatku.”
“Dan gadis ini?” Bu-koksu yang diam-diam merasa terkejut dan gelisah itu bertanya penasaran.
“Gadis ini adalah Khu Siauw Bwee, sahabat baik sekali dari Suma-kongcu. Karena Suma-kongcu merasa sungkan mengajukan permintaan dan menentang Koksu sebagai rekan sendiri, maka biarlah saya yang mewakilinya dan mintakan agar Nona Khu kau beri kebebasan pula.”
Merah muka Bu-koksu mendengar ini. “Kedua orang ini adalah orang-orang tangkapan kami karena mereka merupakan pemberontak-pemberontak, betapa mungkin kami membebaskannya? Kalau Koksu dan Pangeran ingin membelanya dan mohon pembebasannya, harap suka mengajukan permintaan resmi agar diputuskan oleh Kaisar sendiri. Saya tidak berani lancang mengambil keputusan dan menyerahkan dua orang tawanan penting di tengah jalan begitu saja kepada Cu-wi!”
“Hemm, jawaban itu berarti bahwa Bu-koksu tidak memandang kami sebagai sahabat!” Pek-mau Seng-jin berkata dengan suara getir.
“Saya cukup menghargai persahabatan antara kita, akan tetapi tentu saja saya lebih menghargai tugas dan kedudukan saya.”
“Kalau kami memaksa?”
“Terserah, kami akan mempertahankan!”
“Ha-ha-ha! Bu-koksu sungguh tak tahu diri. Keadaan kota Siang-tan sedang terancam pasukan Mancu, siapa lagi yang akan dapat menolong kalau bukan pasukan kami? Akan tetapi Bu-koksu lebih mementingkan urusan pribadi. Baiklah, urusan pribadi kita selesaikan secara pribadi pula. Sudah lama aku mendengar bahwa Bu-koksu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, terutama sekali ilmu goloknya yang belum pernah bertemu tanding. Kesempatan ini hendak kugunakan untuk mengenal ilmu golok Bu-koksu! Kalian berempat, kami pun akan maju berempat dan siapa menang dalam pertandingan ini berhak atas kedua orang tawanan itu!”
“Bukan kami yang memancing permusuhan, kami hanya mempertahankan diri. Silakan, Pek-mau Seng-jin, jangan mengira bahwa aku takut kepadamu!” Bu-koksu yang sudah marah sekali lalu mencabut goloknya sehingga terdengar bunyi berkerincingan nyaring.
Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin juga sudah menurunkan tubuh tawanan yang mereka panggul tadi, siap menghadapi lawan, sedangkan Ang Hok Cu cepat mendekati kedua orang tawanan untuk menjaga agar mereka tidak dirampas orang.
Thian Ek Cinjin dan Pat-jiu Sin-kauw sebetulnya adalah dua orang anak buah Pek-mau Seng-jin sendiri! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang yang bergabung dengan Coa-bengcu di pantai Po-hai ini diam-diam telah mengadakan hubungan dengan Kerajaan Yucen. Atas permintaan Pek-mau Seng-jin, kedua orang ini berhasil menyelundup dengan membawa Kam Han Ki yang pingsan, menyerahkannya kepada Bu-koksu sehingga mereka berdua diangkat menjadi pengawal! Karena inilah maka Pek-mau Seng-jin girang sekali melihat kedua orang sekutunya itu kini mengawal Bu-koksu dan diam-diam ia memberi tanda dengan kejapan mata kepada mereka.
Thian Ek Cinjin meloncat ke depan, berhadapan dengan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee Si Gendut Pendek yang tertawa-tawa, yang sebetulnya adalah temannya sendiri. Tanpa banyak cakap lagi mereka sudah bertanding, Thai-lek Siauw hud menggunakan sebatang golok besar sedangkan Thian Ek Cinjin menggunakan sebatang pedang.
Juga Pat-jiu Sin-kauw sudah saling berkedip dengan Panglima Dailuba yang menyambutnya. Mereka pun tanpa banyak cakap sudah saling bertanding, menggunakan tangan kosong karena kedua orang ini merupakan ahli-ahli silat tangan kosong. Pertempuran terjadi dengan seru dan karena pandainya mereka berempat bersandiwara, Bu-koksu sendiri tidak pernah menyangka bahwa mereka itu tidaklah bertanding sungguh-sungguh.
“Ha-ha-ha, dua orangmu telah bertempur melawan dua orang pembantuku. Tinggal kita berdua. Marilah kita coba-coba, Bu-koksu!” kata Pek-mau Seng-jin sambil menggerakkan tongkatnya menusuk.
“Cring-cring-tranggg!”
Keduanya terpental ke belakang ketika tongkat itu tertangkis oleh golok bergelang. Kemudian keduanya maju lagi saling serang dengan dahsyat. Gerakan Bu-koksu amat dahsyat dan kuat, goloknya mengeluarkan bunyi mengerikan dan golok yang berat itu diputar sampai berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata. Namun gerakan tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin lebih cepat lagi, tampak sinar keemasan bergulung-gulung menyelubungi gulungan sinar golok, bahkan dalam hal tenaga sinkang, tingkat Pek-mau Seng-jin masih lebih tinggi sehingga lewat empat puluh jurus, Bu-koksu selalu terdesak dan terhimpit!
Ang Hok Ci yang sedang gelisah menyaksikan betapa Bu-koksu dan dua orang pengawalnya terdesak mengambil keputusan untuk membunuh saja dua orang tawanan yang berbahaya itu. Dia sudah mencabut goloknya, langsung dia bacokkan ke arah leher Kam Han Ki.
“Trangggg!”
Ang Hok Ci terkejut dan melompat mundur, memandang Suma Hoat yang sudah menangkis goloknya dengan pedang.
“Suma-kongcu! Apa yang kau lakukan ini? Apakah engkau hendak memberontak dan membela musuh?”
Suma Hoat tecsenyum. “Hemm, orang she Ang, ini bukan urusan negara, melainkan urusan pribadi! Sudah dijanjikan bahwa siapa yang keluar sebagai pemenang, berhak atas diri kedua orang tawanan ini. Mengapa engkau hendak bersikap curang dan membunuh tawanan?”
“Bagus! Ayahmu tentu akan senang sekali mendengar akan pengkhianatanmu ini!” Ang Hok Ci memaki dan menyerang dengan golok menyambar ke arah leher Suma Hoat, sedangkan tangan kirinya melancarkan pululan dengan tenaga Jit-goat-sinkang ke arah dada Suma Hoat.
“Cringggg... dukkkk!”
Tubuh Ang Hok Ci terlempar ke belakang, ketika goloknya tertangkis oleh pedang Suma Hoat, sedangkan pukulan dengan tenaga Jit-goat-sinkang tadi ditangkis pula oleh Suma Hoat dengan ilmu yang sama, akan tetapi jauh lebih kuat. Hal ini dapat dimengerti karena kalau Ang Hok Ci memperoleh Ilmu Jit-goat-sinkang dari hasil curian ketika dia menyelundup ke lembah orang kusta, adalah Suma Hoat menerima gemblengan langsung dari Bu-tek Lo-jin, bahkan dia merupakan murid terpandai! Dengan pedangnya Suma Hoat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan Siauw Bwee dan membebaskan totokannya.
“Terima kasih, ternyata engkau seorang sahabat yang baik, Suma Hoat!” Siauw Bwee berkata singkat lalu meloncat mendekati suheng-nya yang masih pingsan, membukakan belenggu kaki tangan Han Ki dan membebaskan totokan.
Akan tetapi Han Ki masih pingsan, bukan karena totokan melainkan karena guncangan ketika pengobatan hampir berakhir tadi. Cepat Siauw Bwee menempelkan kedua telapak tangannya ke dada pemuda itu dan perlahan-lahan ia menyalurkan hawa sinkang ke dalam tubuh suheng-nya dengan amat hati-hati.
Ang Hok Ci sudah menerjang lagi, disambut oleh pedang Suma Hoat. Karena pemuda yang berjuluk Jai-hwa-sian ini memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi, dengan mudah ia mempermainkan Ang Hok Ci sambil tertawa-tawa.
”Suma-kongsu, bunuh saja tikus itu!” Tiba-tiba terdengar suara Pek-mau Seng-jin. “Dan aku yang akan membunuh tikus besar ini!”
Suma Hoat terkejut dan ragu-ragu. Biar pun dia harus mentaati perintah ayahnya yang bersekutu dengan Kerajaan Yucen, akan tetapi kalau harus membunuh seorang yang setia kepada Kerajaan Sung, hatinya masih merasa berat. Dan ketika ia menoleh, ia melihat betapa Bu-koksu terhimpit bahaya oleh tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin yang kini jelas bukan hanya memperoleh kemenangan untuk memperebutkan kedua orang tawanan, melainkan berniat membunuh Bu-koksu.
Ini hebat, pikir Suma Hoat yang menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Ketika ia memutar pedang menahan serangan-serangan golok lawan dan menoleh ke arah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin yang melawan Panglima Dailuba dan Thai-lek Siauw-hud, dia mendapat kenyataan bahwa pertempuran masih berlangsung ‘seru’ dan bahwa mereka itu ternyata hanya seperti sedang berlatih saja!
Suma Hoat amat cerdik, maka mengertilah dia bahwa dua orang pengawal dan pembantu Bu-koksu itu ternyata adalah anak buah Yucen pula! Diam-diam ia mengkhawatirkan keselamatan Bu-koksu. Betapa pun juga, dia tahu betul bahwa Bu-koksu adalah seorang yang amat setia kepada negara, seorang pahlawan sejati yang menjuruskan segala perbuatannya demi kepentingan Kerajaan Sung!
Dia masih terus mempermainkan Ang Hok Ci, tidak mau membunuhnya karena hendak melihat bagaimana perkembangan pertandingan antara kedua orang guru negara itu. Dia merasa serba salah. Untuk membantu Bu-koksu, berarti dia menentang Yucen dan hal ini tentu tidak akan disetujui ayahnya, sebaliknya, untuk membantu Pek-mau Seng-jin, hati nuraninya tidak mengijinkan.
Selain itu dia maklum pula bahwa ilmu kepandaian Pek-mau Seng-jin amat tinggi, tidak hanya lebih tinggi dari pada kepandaian Bu-koksu, juga lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya. Belum lagi diingat bahwa di situ terdapat panglima Dailuba, Pat-jiu Sin-kauw, Thai-lek Siauw-hud, dan Thian Ek Cinjin yang ternyata adalah kaki tangan Pek-mau Seng-jin. Dia tidak berdaya dan hanya menonton sambil menahan serangan golok Ang Hok Ci seenaknya.
Bu-koksu juga tahu akan perubahan gerakan tongkat lawan yang kini menjadi cepat sekali dan melancarkan serangan-serangan maut. Dia tidak menjadi gentar dan maklum bahwa persoalan merampas tawanan itu hanya sebagai pancingan saja, sedangkan niat di hati Koksu Negara Yucen itu untuk membunuhnya! Kalau berada di tempat ramai, tentu saja Pek-mau Seng-jin tidak akan berani melakukan hal ini, karena membunuh dia berarti pecah perang terbuka antara Kerajaan Sung dan Kerajaan Yucen. Akan tetapi kalau dia dan semua pembantunya terbunuh di situ, tidak akan ada yang tahu bahwa pembunuhnya adalah Koksu Yucen! Maka dia memutar goloknya melawan mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan segala kepandaiannya.
Betapa pun juga, tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin terlalu kuat baginya dan ketika goloknya menyambar dahsyat ke arah kepala lawan, Pek-mau Seng-jin hanya miringkan kepala sehingga sebagian rambutnya yang putih terbabat putus oleh golok besar itu, akan tetapi pada detik yang sama, ujung tongkat telah mengenai pundak kanannya sehingga golok besar itu terlepas dari tangan Bu-koksu. Cepat seperti kilat, tongkat itu telah menyambar turun, siap melakukan tusukan maut!
“Tahan! Jangan bunuh dia!” Teriakan ini disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu tongkat itu terpental ke belakang oleh desiran hawa pukulan yang amat panas!
Bu-koksu girang sekali dan cepat menyambar kembali goloknya. “Kam-siauwte, syukur engkau masih ingat kepadaku dan menolongku. Mari kita habiskan anjing-anjing Yucen ini!”
Akan tetapi betapa kagetnya ketika ia melihat sinar mata Kam Han Ki yang menyambar seperti dua titik api kepadanya. “Bu-koksu, aku memang teringat kepadamu, dan teringat akan segalanya! Engkau memang telah menolongku, merawatku, akan tetapi hanya untuk kau pengaruhi dengan racun sehingga di luar kesadaranku aku menjadi pengawalmu!”
”Kam-siauwte...!”
“Sudahlah, dan jangan menyebut siauwte kepadaku. Harap kau suka membawa semua anak buahmu pergi dari sini dan mudah-mudahan saja kita tidak akan saling bertemu kembali! Aku memaafkan segalanya!”
Bu-koksu maklum bahwa tidak ada gunanya lagi membujuk pemuda yang sudah sadar itu, maka dia menarik napas panjang dan berkata, “Betapa pun juga, Kam-siauwte, aku telah menyelamatkanmu dari hukuman sebagai seorang pemberontak. Aku hanya ingin membangkitkan semangatmu membela negara. Selamat tinggal! Dan engkau, Pek-mau Seng-jin, apakah dengan perbuatanmu tadi engkau sengaja hendak memancing perang antara kedua kerajaan kita?”
“Ha-ha-ha! Sudah kukatakan bahwa urusan ini adalah persoalan pribadi, kalau engkau hendak membawa-bawa kerajaan, terserah. Kerajaan Yucen tidak pernah takut terhadap ancaman Kerajaan Sung. Kurasa Kerajaan Sung tidak begitu bodoh untuk menambah musuh yang lebih kuat lagi di samping pasukan-pasukan Mancu, ha-ha-ha.”
“Mari kita pergi!” Bu-koksu berkata kepada para pembantunya dan Ang Hok Ci, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin segera meninggalkan tempat itu mengikuti Bu-koksu.
Di tengah perjalanan menuju ke Siang-tan, Ang Hok Ci berkata kepada kedua orang rekannya, “Aku tadi melihat betapa Ji-wi tidak bertanding sungguh-sungguh dengan kedua lawan Ji-wi!”
Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin terkejut, akan tetapi sambil tertawa Pat-jiu Sin-kauw berkata, “Kami sendiri tidak mengerti, Ang-siucai. Jelas bahwa kalau mereka menghendaki, kami tidak akan menang. Kepandaian Panglima Dailuba itu amat tinggi, terus terang saja aku tidak mampu menandinginya, sedangkan tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud masih menang sedikit dibandingkan dengan tingkat Thian Ek Cinjin. Akan tetapi karena kami anggap pertandingan itu hanya untuk menguji kepandaian, maka tidaklah mengherankan kalau mereka tidak berniat membunuh kami.”
“Hemmm, akan tetapi Si Rambut Putih itu jelas berniat buruk terhadap diriku,” Bu-koksu mengomel. Hatinya yang mengkal dan kesal itu membuat ia tidak memperhatikan lagi ucapan Ang Hok Ci yang penuh tuduhan dan kecurigaan.
Sementara itu, sambil memandang sumoi-nya yang kini berdiri di sampingnya, Kam Han Ki berkata, “Sekarang aku ingat semua, Sumoi. Kalau tidak ada engkau yang membantu, entah bagaimana jadinya dengan aku. Terima kasih, Sumoi dan... dan...,” tiba-tiba mukanya berubah merah sekali karena dia teringat akan sikap sumoi-nya yang berkali-kali menyatakan cinta kasihnya dan teringat betapa dalam keadaan ‘lupa diri’ dia pun membalas cinta sumoi-nya itu. Akan tetapi karena di situ terdapat banyak orang, tentu saja dia tidak berani melanjutkan kata-katanya dan hanya pandang mata mereka yang saling bicara banyak.
Saling pandang yang penuh arti dan amat mesra itu tidak terluput dari pandang mata Suma Hoat. Begitu melihat Siauw Bwee, sudah timbul kembali cintanya yang tak mungkin dapat padam di hatinya, maka tentu saja kemesraan antara pandang mata kedua orang itu merupakan ujung pedang yang menembus jantungnya. Namun karena maklum bahwa dia tidak akan mampu menghalangi atau bersaing terhadap pendekar yang sakti, penghuni Istana Pulau Es, murid Bu Kek Siansu itu, dia menekan perasaannya dan menjura kepada Kam Han Ki sambil berkata, “Saya menghaturkan selamat atas pulihnya kesehatan Kam-taihiap dan atas berkumpulnya kembali Taihiap dengan sumoi Taihiap, Nona Khu Siauw Bwee.”
Kam Han Ki memandang kepada pemuda tampan itu. “Hemm, siapakah engkau?”
“Suheng, dia adalah seorang... sahabat yang telah menolongku, dia juga sute dari... dari... ahhh, Coa-supek...!” Siauw Bwee teringat akan supek-nya dan menangis tersedu-sedu.
“Heiii... ada apakah, Sumoi?” Han Ki bertanya.
“Khu-lihiap... apa yang terjadi dengan Coa-suheng?”
“Dia mati terbunuh... tentu oleh Bu-koksu! Saudara Suma Hoat, harap kau suka mengurus jenazahnya, di hutan pohon pek...”
“Suma Hoat?” Kam Han Ki berseru kaget dan memandang pemuda tampan itu.
Suma Hoat menjura ke arah Han Ki dan berkata, “Benar, Kam-taihiap. Saya adalah Suma Hoat, seorang yang... hemmm, tidak baik dan putera dari seorang yang... tidak baik pula.”
Kam Han Ki mengerutkan alisnya. Pemuda ini adalah putera musuhnya, akan tetapi juga sute dari Coa Leng Bu yang telah menolongnya, bahkan menurut Siauw Bwee pemuda ini pernah menolong sumoi-nya itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dia mengalihkan perhatian, menjura kepada Pangeran Dhanu dan berkata, “Saya merasa berterima kasih atas pertolonganmu, Pangeran. Biar pun aku tidak melihat sendiri, aku dapat menduga bahwa tentu engkau yang telah menolongku dari tangan Bu-koksu.”
“Ah, di antara orang sendiri perlu apa menyebut-nyebut tentang pertolongan, Taihiap? Kebetulan sekali kami lewat di sini dan menyaksikan engkau dan Khu-lihiap ditawan Bu-koksu, maka kami turun tangan menentangnya,” kata Pek-mau Seng-jin.
Kam Han Ki memandang kakek berambut putih itu dan berkata, “Agaknya semua orang telah mengenal aku, akan tetapi aku sendiri tidak mengenal orang, kecuali Pangeran Dhanu. Siapakah Locianpwe?”
“Kam-taihiap, dia adalah Pek-mau Seng-jin, koksu kerajaan kami,” Pangeran Dhanu memperkenalkan.
Kam Han Ki mengangguk-angguk, memandang tajam kemudian berkata, “Sudah lama saya mendengar nama Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang terkenal.”
Pek-mau Seng-jin cepat mengangkat kedua tangan ke depan sebagai penghormatan sambil berkata, “Kam-taihiap terlalu memuji! Sebaliknya kami yang telah lama mendengar nama besar Taihiap semenjak Taihiap membantu mendiang Menteri Kam yang sakti. Sayang sekali, baru sekarang kita dapat saling berjumpa. Betapa banyaknya penderitaan yang dialami oleh Taihiap dan keluarga Kam yang gagah perkasa. Betapa menyedihkan sekali nasib keluarga Kam, keluarga pendekar sakti Suling Emas yang sejak dahulu berdarah pahlawan, namun selalu dikecewakan oleh sikap pemerintah Sung yang makin tampak kelalimannya. Dalam kesempatan ini, biarlah kami berlaku lancang mewakili pemerintah Yucen untuk mengundang Taihiap agar sudi membantu pemerintah kami yang lebih dapat menghargai jasa orang-orang gagah.”
Kam Han Ki tersenyum pahit dan menggeleng kepala, menjawab dengan suara tenang, “Banyak terima kasih atas perhatianmu, Pek-mau Seng-jin. Akan tetapi, apa pun yang terjadi kepadaku, dan apa pun yang telah dilakukan oleh negaraku terhadap diriku, tak mungkin menjadikan aku seorang pengkhianat bangsa dan negara.”
Pek-mau Seng-jin mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, kemudian berkata perlahan seperti kepada dirinya sendiri, “Kalau negara sudah ditakdirkan akan berkembang menjadi negara besar, kaisarnya tentu pandai menghargai orang. Akan tetapi kalau kaisarnya lalim, hanya di waktu negara terancam bahaya mengandalkan tenaga bantuan rakyat, akan tetapi di waktu negara makmur sibuk menggendutkan perut sendiri dan bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Itulah tanda-tanda bahwa negara akan hancur. Kam-taihiap telah menderita penghinaan di waktu negara tidak membutuhkan tenaga Taihiap. Sekarang, di waktu tenaga Taihiap dibutuhkan, Koksunya tidak segan-segan untuk menggunakan siasat keji untuk memperoleh tenaga bantuan Taihiap.”
Dibakar dengan kata-kata demikian, Han Ki tak dapat menjawab, karena memang demikianlah keadaannya. Biar pun dia sama sekali tidak menaruh dendam terhadap kerajaan yang pada waktu itu memegang tampuk pemerintahan, namun hatinya mendongkol juga diingatkan akan kepincangan ketidak-adilan itu.
“Pek-mau Seng-jin, apa engkau kira akan mampu mempengaruhi hati seorang gagah perkasa dengan kata-kata manis menyembunyikan racun? Kam-suheng adalah seorang laki-laki sejati, mana mungkin tunduk menghadapi bujukan palsu dari kaki tangan negara asing yang memusuhi bangsa sendiri? Pek-mau Seng-jin, apakah engkau lupa betapa dahulu engkau telah menculik aku dan Suci Maya, kemudian engkau menghadiahkan kami dua orang anak perempuan yang tak berdaya kepada Coa Sin Cu sehingga kami dipakai berebutan di antara orang-orang kang-ouw?” Siauw Bwee membentak.
Pek-mau Seng-jin terkejut sekali. Tentu saja dia tidak mengenal lagi Siauw Bwee yang kini telah menjadi seorang dara remaja yang telah dewasa dan jelita. Bahkan ucapan Siauw Bwee tadi pun masih belum menyadarkannya.
“Maafkan saya yang telah tua dan pandang mataku tidak tajam lagi sehingga tidak mengenal Nona. Siapakah Nona yang telah mengenal saya?”
“Pek-mau Seng-jin, lupakah engkau ketika dahulu berkunjung sebagai utusan Yucen membicarakan tentang perjodohan antara Pangeran Dhanu dan puteri Kaisar, dan pada malam hari itu engkau telah menculik dua orang anak perempuan? Seorang adalah Suci Maya puteri Raja Talibu dari Khitan, sedangkan anak kedua adalah aku sendiri, anak dari Panglima Khu Tek San.”
Sekarang teringatlah Pek-mau Seng-jin, bahkan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee dan Panglima Dailuba mengeluarkan suara tertahan. Mereka teringat akan peristiwa belasan tahun yang lalu, peristiwa amat hebat bagi dunia kang-ouw, yaitu munculnya manusia dewa Bu Kek Siansu yang menolong kedua anak perempuan itu!
“Aaahhhh...!” Pek-mau Seng-jin tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, wajahnya berubah dan dia merasa tidak enak sekali, terutama terhadap Kam Han Ki yang disebut suheng oleh dara itu.
“Pek-mau Seng-jin, mengingat bahwa engkau tadi telah menolong Suheng, biarlah aku melupakan urusan lama karena betapa pun juga harus diakui bahwa engkau telah berjasa dengan perbuatanmu yang tidak pantas itu, yaitu memungkinkan kami bertemu dengan Suhu. Nah, pertolonganmu tadi berarti telah menebus kesalahanmu dan urusan lama itu telah beres hari ini. Harap engkau jangan tidak tahu diri, hendak menciptakan urusan baru dengan membujuk Kam-suheng menjadi pengkhianat. Di antara kita tidak ada sangkut-paut lagi!”
Lega sekali hati Pek-mau Seng-jin. Setelah kini dia mendengar bahwa gadis itu adalah sumoi Kam Han Ki dan mereka itu murid-murid Bu Kek Siansu, tentu saja dia tidak berani untuk menentang mereka. Hawa pukulan dari Han Ki tadi ketika menyelamatkan nyawa Bu-koksu dan membuat senjatanya terpental sudah cukup membuktikan betapa hebat sinkang pemuda itu.
Maka dia lalu memberi isyarat dengan pandang mata kepada Pangeran Dhanu yang menjura kepada Han Ki sambil berkata, “Kalau begitu, kita berpisah di sini saja, Kam-taihiap. Aku hanya dapat menyatakan sayang bahwa di antara kita yang senasib sependeritaan ini tidak dapat bekerja sama.”
Han Ki menggigit bibirnya, tidak mau menjawab, hanya balas memberi hormat kepada rombongan Pangeran itu. Memang benarlah kalau Pangeran itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah senasib sependeritaan, karena keduanya mencinta Sung Hong Kwi, dan keduanya menderita oleh cinta kasih mereka itu! Dia kini hanya memandang dengan tenang sambil menekan segala macam perasaan mengenai urusan pribadinya, memandang kepada rombongan yang pergi meninggalkan tempat itu dipimpin oleh Koksu Negara Yucen.
Dapat dibayangkan betapa malu rasa hati Suma Hoat ketika ia melihat dan mendengar semua itu. Biar pun tidak ada orang yang langsung menuduhnya, namun melihat sikap Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee sebagai orang-orang gagah yang biar pun telah diperlakukan penuh penghinaan sehingga mengalami penderitaan oleh Kerajaan Sung, namun masih menunjukkan kesetiaan terhadap negara dan bangsa.
Ada pun dia, biar pun keluarga Suma sejak dahulu mendapatkan banyak kemuliaan dalam Kerajaan Sung, karena terpaksa oleh ayahnya kini telah menjadi pengkhianat dan diam-diam mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Yucen untuk menggulingkan Kerajaan Sung! Dia merasa rendah sekali, rendah dan kotor kalau dibandingkan dengan Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee. Dan orang seperti dia telah berani jatuh cinta kepada Khu Siauw Bwee!
“Biarlah aku pergi lebih dulu mengurus jenazah Coa-suheng.” Suma Hoat berkata sambil pergi meninggalkan sepasang orang muda yang sakti itu.
Kam Han Ki tidak mempedulikan pemuda itu, sedangkan Siauw Bwee hanya balas memandang dan mengangguk singkat. Setelah kini melihat suheng-nya sembuh sama sekali dari pengaruh racun perampas ingatan, hatinya girang bukan main, kegirangan yang amat besar dan yang menutupi semua urusan lain, termasuk kedukaan karena kematian Coa Leng Bu.
Kini mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan untuk beberapa lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata. Teringat akan cinta kasih di antara mereka pada waktu Han Ki belum sembuh dan masih belum terbuka kembali ingatannya, wajah Siauw Bwee menjadi merah sekali, akan tetapi ada rasa khawatir dan tegang di hatinya melihat betapa sinar mata pemuda itu kini berbeda dari sebelum pemuda itu sembuh.
Sinar mata itu masih tajam, bahkan lebih tajam dari sebelumnya, mengandung wibawa yang amat kuat, masih penuh dengan kasih sayang. Akan tetapi bukankah sejak dahulu di Pulau Es, Han Ki menaruh kasih sayang kepada kedua orang sumoi-nya? Sekarang ada sesuatu yang lenyap dari sinar mata itu. Kemesraan! Sebelum sembuh, suheng-nya yang terang-terangan menyatakan cinta kasih kepadanya itu kalau memandangnya, tampak jelas kemesraan di dalam sinar matanya dan kini dia seolah-olah tidak menemukan lagi kemesraan itu.
Han Ki menghela napas panjang. “Khu-sumoi, betapa banyaknya orang-orang yang telah melepas budi kebaikan kepadaku. Terutama sekali Coa-lo-enghiong yang telah mengorbankan nyawa untukku dan yang terutama adalah engkau sendiri. Betapa engkau sudah banyak menderita, semua untuk menolongku belaka.”
“Aihh, Suheng. Di antara kita, mana bisa disebut tolong-menolong? Apa artinya semua yang telah kulakukan kalau dibandingkan dengan budimu terhadap aku semenjak dahulu? Biar kupertaruhkan jiwa ragaku untukmu masih belum cukup untuk membalas semua budi kebaikanmu terhadapku, Suheng. Suheng, sudah terlalu lama kita berpisah, sudah terlalu lama kita merantau dan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Di dunia ramai ini banyak sekali kepalsuan dan kejahatan sehingga ke mana pun kita pergi, selalu kita bertemu dengan orang jahat dan mengalami kesulitan. Karena itu, marilah Suheng, marilah kita berdua kembali ke Pulau Es. Aku rindu sekali kepada tempat kita itu, rindu akan ketenangan, ketenteraman yang penuh damai di sana.”
“Sumoi, setelah segala peristiwa yang kualami, engkau tidak dapat membayangkan betapa rinduku kepada Pulau Es. Bahkan, kembali dan tinggal di sana seumur hidupku menjadi cita-cita dan harapanku satu-satunya. Akan tetapi, tinggal di sana seorang diri dengan membiarkan engkau dan Maya-sumoi pergi, merupakan siksa yang tak tertahankan olehku. Tentu saja aku girang sekali untuk pulang ke Pulau Es bersamamu dan Maya-sumoi, akan tetapi dia...”
Berkerut alis Siauw Bwee mendengar ini. Sudah dikhawatirkannya akan demikianlah pendapat suheng-nya kalau suheng-nya sudah pulih kembali ingatannya! Hampir saja timbul pikiran bahwa dia akan merasa senang sekali kalau suheng-nya tidak pernah mendapatkan kembali ingatannya sehingga hanya mencinta dia seorang, tidak teringat lagi kepada Maya! Akan tetapi cepat-cepat ditekannya perasaan yang dia tahu amat tidak baik ini, hanya mementingkan kesenangan diri pribadi tanpa mempedulikan keadaan orang lain!
“Kam-suheng, apakah Suheng lupa akan sikap Maya-suci kepadaku? Kalau kita mengajak dia kembali ke Pulau Es, apakah dia tidak hanya akan menimbulkan keributan belaka? Suheng, Maya-suci membenciku...”
Han Ki menggeleng kepala dan tersenyum pahit. “Tidak membencimu Khu-sumoi, hanya....” dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
“Hanya karena dia mencintaimu maka dia cemburu kepadaku dan ingin membunuhku, ingin melenyapkan aku agar tidak menjadi penghalang bagi cintanya?”
“Sumoi, engkau tentu maklum betapa tersiksa hatiku kalau teringat akan kalian berdua. Akan tetapi, celakanya, aku pun tidak dapat membiarkan kalian berdua meninggalkan aku tanpa kuketahui bahwa kalian berdua dalam keadaan selamat. Baru akan tenang hidupku kalau kalian sudah kembali bersamaku ke Pulau Es. Sekarang aku akan berusaha agar kalian berdua hidup dengan rukun, sebagai saudara seperguruan yang saling mencinta.”
“Kam-suheng, katakanlah sesungguhnya, apakah pernyataan cintamu terhadap aku hanya palsu belaka dan engkau menyatakannya untuk membalas budi pertolonganku, saja?”
Han Ki memandang dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat. Kemudian ia menarik napas panjang dan menjawab, “Sumoi, sampai hati benar engkau menuduh aku seperti itu. Engkau tentu sudah yakin akan cintaku kepadamu, akan tetapi... harap engkau jangan besikap seperti Maya-sumoi yang hanya mementingkan diri sendiri saja. Kalau aku hanya menurutkan hati cinta dan ingin hidup senang sendiri saja, betapa mungkin hatiku akan tenteram dan tenang? Tidak, Khu-sumoi. Aku baru akan dapat bicara tentang cinta, dapat bicara tentang masa depan kalau kita bertiga sudah kembali ke Pulau Es. Aku tidak akan menentang perpisahan di antara kita bertiga karena hidup memang selalu berubah, ada waktu berkumpul tentu ada waktu berpisah, akan tetapi hendaknya perpisahan itu terjadi dalam keadaan baik dan tidak seperti yang lalu, saling berpisah dalam keadaan permusuhan.”
“Suheng, kita sama mengetahui bahwa Maya-suci mencintamu seperti aku mencintamu pula. Betapa pun beratnya bagimu, engkau harus mengambil keputusan siapa di antara kami berdua yang kau cinta. Tanpa keputusan itu, engkau hanya akan menciptakan permusuhan di antara kami berdua.”
“Sumoi, kita tunda dahulu urusan cinta ini. Yang penting sekarang kita bertiga harus kembali ke Pulau Es. Maya-sumoi adalah saudara kita. Sekarang dia telah menyeleweng demi pembalasan dendamnya dan rela menjadi seorang Panglima Mancu. Apakah mungkin aku mendiamkannya saja? Tidak, Sumoi. Aku harus menginsyafkannya dan harus mengajaknya pulang ke Pulau Es. Dengan demikian, barulah aku tidak merasa berdosa kepada Suhu dan tidak menyia-nyiakan pesan Suhu.”
Siauw Bwee merasa terdesak. Dara jelita ini menarik napas panjang dan berkata, “Hemmm, agaknya engkau yang lebih benar, Suheng, dan agaknya akulah yang buta oleh cemburu. Baiklah, engkau boleh mencoba untuk membujuknya pulang ke Pulau Es, akan tetapi engkau harus lebih dulu mengantarku ke Pulau Es, baru kau pergi mencari Suci. Kalau sekarang engkau mencarinya dan mengajaknya kembali ke Pulau Es, dia tentu akan menolak kalau dia melihat aku bersamamu.”
Han Ki mengangguk-angguk. Memang tepat kata-kata sumoi-nya ini. Watak Maya amat keras. Dia masih dapat membujuk dan membikin lunak hati Siauw Bwee, akan tetapi sukar sekali baginya untuk membujuk Maya kalau sumoi-nya itu melihat Siauw Bwee bersama dia.
“Baiklah, Sumoi. Mari kita segera berangkat.”
Dua orang itu segera mempergunakan ilmu kepandaian mereka berlari cepat menuju ke pantai untuk melanjutkan perjalanan melalui laut, menggunakan sebuah perahu kecil menyeberang ke Pulau Es.
Di dalam perjalanan yang dilakukan dengan cepat ini, Siauw Bwee tidak dapat menahan keinginan tahunya akan dendam dan sakit hati mereka terhadap musuh-musuh yang telah mencelakakan keluarga mereka. Dia mengajukan pertanyaan kepada suheng-nya dengan suara bersungguh-sungguh dan pandang mata tajam menyelidik.
“Suheng, engkau agaknya berkeinginan keras untuk mengajak aku dan Suci kembali ke Pulau Es, dan kalau aku tidak salah menduga, engkau ingin sekali melihat kita bertiga kembali tinggal di Pulau Es dan tidak meninggalkan tempat itu lagi. Benarkah dugaanku itu?”
Wajah Han Ki berseri mendengar ini, kemudian dia mengangguk. “Memang demikianlah, Sumoi. Alangkah bahagia rasa hatiku kalau kalian berdua mau berbaik kembali dan kita bertiga hidup tenang dan tenteram penuh kebahagiaan seperti dahulu di Istana Pulau Es.”
Siauw Bwee mengerutkan alisnya. “Akan tetapi, Suheng. Apakah engkau telah lupa akan dendam di hati kita? Apakah engkau telah melupakan musuh-musuh besar kita? Apakah semangat membalas dendam telah padam di hatimu?”
“Sumoi, kita tidak boleh melupakan ajaran Suhu yang banyak disebut dalam kitab-kitabnya. Dendam adalah nafsu yang paling buruk dan jahat, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan antara manusia. Dendam adalah sifat yang paling menonjol dari iba diri dan kalau kita dimabokkan olehnya, hati dan pikiran kita akan menjadi gelap karena dendam menimbulkan benci dan kebencian menimbulkan kekejaman. Khu-sumoi, katakanlah, siapakah yang kau anggap musuh besarmu, yang mendatangkan dendam sakit hati padamu?”
“Siapa lagi kalau bukan manusia jahat Suma Kiat? Dia telah menyebabkan kehancuran keluarga ayahku! Manusia itu harus kubunuh untuk membalas dendam keluargaku!”
Han Ki menarik napas panjang. “Sumoi, engkau telah dapat bersikap baik kepada puteranya, Suma Hoat, mengapa engkau tidak dapat bersikap sama baiknya kepada ayahnya?”
“Suma Hoat seorang yang baik dan dia bersikap baik kepadaku, sedangkan ayahnya adalah musuh besarku!”
“Hemmm, betapa tepat wejangan Suhu dahulu! Hutang budi dan dendam hanya merupakan bunga dari sifat sayang diri belaka. Sumoi, andai kata Suma Kiat tidak berbuat yang merugikan keluargamu, andai kata dia melakukan hal yang baik seperti yang dilakukan puteranya, tentu dia takkan kau anggap musuh. Jadi, sama sekali bukan pribadinya yang membuat engkau mendendam, melainkan perbuatannya terhadap dirimu! Kalau perbuatan itu baik dan menguntungkan dirimu, maka engkau merasa berhutang budi! Kalau perbuatannya buruk bagimu dan merugikan dirimu, tentu akan kau anggap sebagai dendam sakit hati yang harus dibalas. Dengan demikian, maka terciptalah rantai yang tiada putusnya berupa balas membalas, baik membalas budi mau pun membalas dendam!”
“Bukankah itu sudah seharusnya demikian, Suheng? Sudah adil kalau budi dendam dibalas sehingga menjadi adil namanya? Bukankah sudah demikian pada umumnya hukum karma?”
Han Ki menggeleng kepalanya. “Memang demikianlah pendapat umum yang telah menjadi tradisi usang. Karena kepercayaan dan pendapat turun-temurun seperti inilah membuat kita terseret ke dalam arus yang dibuat manusia sendiri dan dinamakan karma. Mata rantai itu terbentuk dari perbuatan-perbuatan yang menghendaki akhiran yang menyenangkan, perbuatan-perbuatan yang bertujuan, berpamrih. Apakah artinya perbuatan baik mau pun buruk kalau didasari tujuan tertentu, berpamrih yang bukan lain hanya pencetusan dari rasa sayang diri belaka? Perbuatan demikian itu, baik mau pun buruk adalah perbuatan yang tidak wajar, yang palsu dan karenanya selalu berkelanjutan dan berekor tiada kunjung putus dan menjadi hukum karma. Layaknya kalau hidup kita ini hanya kita isi dengan perbuatan-perbuatan palsu yang lebih patut disebut hutang-pihutang? Tiada kebebasan, tiada kewajaran sama sekali!”
Siauw Bwee terkejut dan juga terheran mendengar pendapat yang baru sama sekali ini, yang belum pernah didengarnya. Ia memandang suheng-nya dengan alis berkerut dan dia membantah, “Akan tetapi, Suheng! Apakah engkau hendak menganjurkan agar kita tidak usah mengenal dan membalas budi? Suheng! Orang yang tidak mengenal budi adalah orang yang rendah dan tidak baik!”
Kembali Han Ki menggeleng kepalanya, memandang sumoi-nya dengan tajam lalu berkata, suaranya bersungguh-sungguh. “Ucapanmu itu mencerminkan pandangan umum, namun sesungguhnya pandangan seperti itu adalah tidak tepat, Sumoi.”
’’Mengapa tidak tepat? Orang harus selalu mengingat budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya dan berusaha untuk membalas budi itu!”
’’Cobalah renungkan dalam-dalam dan dengarkan baik-baik kata-kataku ini, Sumoi. Orang yang mengingat dan membalas budi orang lain adalah orang yang menghendaki agar budinya diingat dan dibalas orang lain pula!”
’’Apa salahnya dengan itu? Saling membalas budi adalah perbuatan orang sopan dan baik!”
’’Kalau sudah dijadikan keharusan balas-membalas, berarti bayar-membayar dan perbuatan itu tidak patut disebut budi lagi, melainkan semacam hutang-pihutang! Dengan mengingat dan membalas budi orang lain berarti merendahkan orang itu, merendahkan pula nilai perbuatannya yang hanya disamakan dengan hutang! Renungkan baik-baik, Sumoi. Bukankah begitu?”
Siauw Bwee tercengang, kemudian menarik napas panjang dan mengangguk perlahan. “Wahh, kebenaran pendapatmu tak dapat dibantah memang, Suheng. Akan tetapi sungguh janggal, sungguh aneh dan menyimpang dari pendapat umum.”
’’Bukan pendapatku, Sumoi. Setiap pendapat dari siapa pun juga datangnya, tidak dapat dibenarkan, karena pendapat hanya memancing pertentangan. Kalau yang kau dengar tadi kau sebut sebagai pendapaku dan kau anggap benar, tentu akan muncul orang lain yang menganggapnya tidak benar, maka terjadilah pertentangan. Aku hanya mengajak engkau bersamaku mempelajari hal itu dan bersama mencari tahu apa artinya membalas dendam. Sudah jelas sekarang bahwa budi dan dendam hanyalah pencetusan dari sayang diri yang menciptakan karma, menciptakan sebab dan akibat. Kalau kita tersesat, takkan pernah kita dapat membebaskan diri dan hidup ini menjadi sia-sia, menjadi permainan sebab akibat. Karena Si Akibat sendiri pun berekor dan menjadi sebab dari akibat yang lain lagi. Sedangkan Si Sebab pun menjadi akibat dari sebab yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau kita membebaskan diri dari ikatan mata rantai yang tiada kunjung putus itu?”
“Akan tetapi, Suheng! Manusia jahat macam Suma Kiat telah mengakibatkan kematian ayahku, kehancuran keluarga Ayah. Mana mungkin aku tinggal diam saja tidak membalas dendam yang hebat ini?”
”Membalas dendam dengan cara bagaimana, Sumoi?”
”Tentu saja dengan membunuh manusia laknat itu!”
”Hemmm, Sumoi. Engkau bilang bahwa Suma Kiat jahat karena menyebabkan kematian ayahmu, dan engkau hendak membalas dengan membunuhnya! Kalau dia membunuh ayahmu kemudian engkau membunuhnya, lalu siapakah di antara kalian berdua yang baik dan jahat? Mana mungkin melenyapkan kejahatan dengan kejahatan pula? Mana bisa merubah kekerasan dengan kekerasan pula? Engkau bilang bahwa putera orang yang kau anggap musuh besarmu itu, adalah seorang yang baik dan bersikap baik kepadamu. Kalau engkau membunuh ayahnya, biar pun engkau menganggapnya sebagai akibat perbuatan Suma Kiat, bukankah perbuatanmu itu berubah menjadi sebab dendam baru, yaitu dendam di hati puteranya, Suma Hoat yang akan membalas kematian ayahnya?”
”Aku tidak takut!”
”Bukan soal takut atau tidak takut yang kita selidiki, Sumoi. Melainkan soal tepat tidaknya terseret ke dalam mata rantai dendam-mendendam.”
Siauw Bwee menundukkan mukanya. Tak dapat ia membantah kebenaran baru dan aneh yang dikemukakan suheng-nya ini. Kematian ayahnya, kehancuran rumah tangga ayahnya memang akibat perbuatan Suma Kiat. Akan tetapi Suma Kiat tidak akan semata-mata melakukan hal itu tanpa sebab-sebab tertentu! Dia telah mendengar betapa Suma Kiat amat membenci keluarga Suling Emas, amat membenci Menteri Kam Liong putera Suling Emas. Dan karena ayahnya, Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong, tentu saja terlibat dalam urusan dendam-mendendam itu dan menjadi korban dalam membela gurunya.
”Aku tidak dapat menyangkal kebenaran ucapanmu, Suheng. Aku menurut saja apa yang akan kau lakukan asal saja engkau...”
Melihat keraguan sumoi-nya, Han Ki bertanya, “Asal saja aku mengapa, Sumoi?”
”Asal engkau tidak melupakan... cinta kasih di antara kita...”
Han Ki tersenyum, akan tetapi hatinya perih. Dia mencinta Siauw Bwee, bukan hanya cinta seorang suheng terhadap sumoi-nya, melainkan terutama sekali cinta seorang pria terhadap seorang wanita dan tidak ada cita-cita yang lebih nikmat dan akan membahagiakan hatinya dari pada hidup sebagai suami isteri untuk selamanya dengan sumoi-nya ini. Akan tetapi, di sana masih ada Maya! Sebelum urusan dengan Maya dapat diatasi, bagaimana mungkin cita-cita itu dapat terlaksana tanpa gangguan?
”Mana mungkin manusia melupakan cintanya, Sumoi? Yang dapat dilupakan adalah cinta palsu, cinta birahi belaka yang sama sekali tidak ada harganya untuk dibicarakan. Nah, kau tinggallah di istana Pulau Es lebih dahulu, Sumoi. Aku akan kembali ke darat dan mengajak pulang Maya-sumoi.” Mereka telah tiba di tepi Pulau Es.
Siauw Bwee meloncat ke darat, memandang suheng-nya yang masih tinggal di dalam perahu, berkata penuh keraguan, “Bagaimana kalau dia tidak mau, Suheng? Dia mau atau tidak, engkau... tentu akan kembali secepatnya ke sini, bukan?”
”Dia tentu dan harus mau!” jawab Han Ki sambil mendayung perahunya dengan cepat ke tengah laut menuju ke barat, diikuti pandang mata Siauw Bwee yang penuh dengan keraguan dan kegelisahan.
Dia maklum akan perasaan hati suheng-nya. Dia tahu bahwa suheng-nya mencintanya, akan tetapi tahu pula bahwa suheng-nya tidak mungkin dapat berbahagia, tidak dapat hidup tenteram sebelum membereskan urusan Maya! Dia bertambah gelisah karena Siauw Bwee juga maklum bahwa suci-nya itu pun mencinta Han Ki. Betapa pun juga, dia telah menang dalam perebutan cinta kasih itu! Suheng-nya mencintanya! Pikiran ini melegakan hati Siauw Bwee dan dia membalikkan tubuh perlahan-lahan berjalan ke tengah pulau, menuju ke Istana Pulau Es yang telah bertahun-tahun ditinggalkannya itu.....
******************
"Heeii, berhenti dulu! Kalian mau apa menerobos masuk tanpa permisi?” para pengawal penjaga gedung Panglima Suma Kiat membentak dan mereka sudah memalangkan tombak menodong pasukan pengawal berseragam biru yang masuk ke halaman gedung seenaknya itu.
"Minggir kalian dan biarkan kami masuk!" Komandan pasukan itu balas membentak sambil meraba gagang pedangnya.
"Apa? Kalian pun hanya pasukan pengawal, sama dengan kami. Biar pun engkau komandan pasukan, akan tetapi kau bukan komandan kami. Siapapun tidak boleh masuk sebelum ada perkenan dari Suma-tai-ciangkun!"
"Wuuuuttt... ciattt!" Komandan pasukan pengawal istana Suma-tai-ciangkun itu roboh dengan leher hampir putus disambar sinar yang tiba-tiba menyerangnya...
“Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu dan aneh! Bu-koksu sebagai pimpinan tertinggi pada saat ini dalam benteng pertahanan di Siang-tan, kiranya masih sempat berkeliaran di dalam hutan!” Pek-mau Seng-jin mengejek sungguh pun dia mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan.
Pada waktu itu Kerajaan Yucen sedang berkembang dan sudah menguasai sebagian besar Tiongkok Utara, bahkan terpaksa Kerajaan Sung pindah ke selatan dan mengakui Kerajaan Yucen ini. Untuk ikatan persahabatan, bahkan Puteri Sung Hong Kwi telah diserahkan untuk menjadi isteri Pangeran Dhanu sebagaimana telah diceritakan di bagian depan cerita ini. Akan tetapi, hanya pada lahirnya saja kedua kerajaan ini bersahabat, sebetulnya di dalam hatinya saling menganggap musuh besar.
Bu-koksu cepat membalas dengan penghormatan selayaknya, kemudian menjawab dengan suara halus namun mengandung ejekan balasan pula, “Selamat berjumpa, Pek-mau Seng-jin! Tempat ini termasuk wilayah kerajaan kami, maka tidaklah mengherankan apa bila sebagai Koksu negara mengadakan pemeriksaan sendiri di sini. Barulah aneh namanya kalau Koksu Negara Yucen bersama panglima dan pangeran berada di sini bukan sebagai tamu negara yang resmi. Karena pertemuan ini tidak diduga-duga lebih dulu, maka biarlah saya mewakili negara untuk mengundang Cu-wi sekalian sebagai tamu terhormat kami di Siang-tan.”
“Ha-ha-ha! Saya mendengar bahwa Bu-koksu amat lihai kepandaiannya kiranya sekarang lihai juga bicaranya! Terima kasih, Bu-koksu. Akan tetapi, ada sebuah hal yang memaksa pertemuan antara kita ini menimbulkan rasa tidak enak kepada kedua pihak. Sungguh menyesal sekali.”
Hati Bu-koksu berdebar dan dia sudah menduga bahwa persoalan itu tentu menyangkut kedua orang tawanannya. Akan tetapi ia tetap bersikap tenang dan bertanya, ”Di pihak kami, tidak ada persoalan dan sungguh pun jelas bahwa Cu-wi melanggar wilayah kami bukan sebagai tamu, kami masih bersikap ramah dengan mengundang Cu-wi sebagai tamu kami. Hal ini agaknya juga diketahui dengan jelas oleh Suma-kongcu, yang entah bagaimana bisa menemani Koksu dan Pangeran."
Mendengar ini dan melihat pandang mata Bu-koksu ditujukan kepadanya dengan sinar tajam menyelidik, Suma Hoat tersenyum saja dan matanya memandang ke arah Siauw Bwee yang tubuhnya dibelenggu dan dipanggul di atas pundak Thian Ek Cinjin. Dia tidak mau menjawab dan hanya mengandalkan kepada jawaban Pek-mau Seng-jin sekutu ayahnya.
“Maafkan, kalau kami melanggar wilayahmu, Bu-koksu. Hanya kami rasa bahwa sebagai sahabat-sahabat, tiada salahnya kalau kami melihat-lihat keadaan wilayah selatan ini. Kebetulan sekali kita bertemu, akan tetapi tidak kebetulan bahwa kami melihat kalian memperlakukan sahabat kami sebagai tawanan, sungguh amat tidak enak bagi kami. Maka, mengingat akan hubungan antara kita, saya harap sukalah Bu-koksu memandang muka kami dan membebaskan kedua orang tawanan ini.”
Berkerut alis Bu-koksu. Dia sudah menduga bahwa tentu kedua orang tawanan itu yang akan dipersoalkan. Akan tetapi dia masih penasaran dan cepat berkata, “Maaf, Pek-mau Seng-jin! Kedua orang ini adalah orang-orang Han, dan urusan kami dengan mereka tidak ada sangkut-pautnya dengan Koksu dan Kerajaan Yucen. Harap Koksu suka mempertimbangkan dan tidak mencampuri urusan pribadi sendiri.”
“Ha-ha-ha, melihat sahabat-sahabat baik diperlakukan tidak hormat, bagaimana kami dapat tinggal diam saja? Ingatkah Koksu akan peribahasa yang mengatakan bahwa sahabat lebih berat dari pada tangan kiri? Mereka adalah sahabat-sahabat kami, tentu saja kami tidak suka melihat mereka mengalami penghinaan seperti itu.”
“Pek-mau Seng-jin!” Bu-koksu berkata marah. “Saya tidak melihat hubungan antara mereka ini dengan kalian! Saya rasa kalian tidak mengenal kedua orang ini, apa lagi bersahabat!”
“Bukan sahabat saya pribadi, akan tetapi sahabat baik Pangeran Dhanu. Silakan menjawab Pangeran,” Pek-mau Seng-jin berkata dan Pangeran Dhanu melangkah ke depan sambil berkata,
”Bu-koksu, ketahuilah bahwa Kam Han Ki itu adalah seorang sahabatku, sahabat pribadi yang amat baik. Bahkan dia pernah memukul mundur pasukan-pasukan Mancu untuk menolong kami, bagaimana aku dapat membiarkan dia kau perlakukan seperti itu? Oleh karena itu, aku sebagai mantu dari kaisarmu, kuminta supaya kau suka memandang mukaku dan membebaskan Kam Han Ki sahabatku.”
“Dan gadis ini?” Bu-koksu yang diam-diam merasa terkejut dan gelisah itu bertanya penasaran.
“Gadis ini adalah Khu Siauw Bwee, sahabat baik sekali dari Suma-kongcu. Karena Suma-kongcu merasa sungkan mengajukan permintaan dan menentang Koksu sebagai rekan sendiri, maka biarlah saya yang mewakilinya dan mintakan agar Nona Khu kau beri kebebasan pula.”
Merah muka Bu-koksu mendengar ini. “Kedua orang ini adalah orang-orang tangkapan kami karena mereka merupakan pemberontak-pemberontak, betapa mungkin kami membebaskannya? Kalau Koksu dan Pangeran ingin membelanya dan mohon pembebasannya, harap suka mengajukan permintaan resmi agar diputuskan oleh Kaisar sendiri. Saya tidak berani lancang mengambil keputusan dan menyerahkan dua orang tawanan penting di tengah jalan begitu saja kepada Cu-wi!”
“Hemm, jawaban itu berarti bahwa Bu-koksu tidak memandang kami sebagai sahabat!” Pek-mau Seng-jin berkata dengan suara getir.
“Saya cukup menghargai persahabatan antara kita, akan tetapi tentu saja saya lebih menghargai tugas dan kedudukan saya.”
“Kalau kami memaksa?”
“Terserah, kami akan mempertahankan!”
“Ha-ha-ha! Bu-koksu sungguh tak tahu diri. Keadaan kota Siang-tan sedang terancam pasukan Mancu, siapa lagi yang akan dapat menolong kalau bukan pasukan kami? Akan tetapi Bu-koksu lebih mementingkan urusan pribadi. Baiklah, urusan pribadi kita selesaikan secara pribadi pula. Sudah lama aku mendengar bahwa Bu-koksu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, terutama sekali ilmu goloknya yang belum pernah bertemu tanding. Kesempatan ini hendak kugunakan untuk mengenal ilmu golok Bu-koksu! Kalian berempat, kami pun akan maju berempat dan siapa menang dalam pertandingan ini berhak atas kedua orang tawanan itu!”
“Bukan kami yang memancing permusuhan, kami hanya mempertahankan diri. Silakan, Pek-mau Seng-jin, jangan mengira bahwa aku takut kepadamu!” Bu-koksu yang sudah marah sekali lalu mencabut goloknya sehingga terdengar bunyi berkerincingan nyaring.
Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin juga sudah menurunkan tubuh tawanan yang mereka panggul tadi, siap menghadapi lawan, sedangkan Ang Hok Cu cepat mendekati kedua orang tawanan untuk menjaga agar mereka tidak dirampas orang.
Thian Ek Cinjin dan Pat-jiu Sin-kauw sebetulnya adalah dua orang anak buah Pek-mau Seng-jin sendiri! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang yang bergabung dengan Coa-bengcu di pantai Po-hai ini diam-diam telah mengadakan hubungan dengan Kerajaan Yucen. Atas permintaan Pek-mau Seng-jin, kedua orang ini berhasil menyelundup dengan membawa Kam Han Ki yang pingsan, menyerahkannya kepada Bu-koksu sehingga mereka berdua diangkat menjadi pengawal! Karena inilah maka Pek-mau Seng-jin girang sekali melihat kedua orang sekutunya itu kini mengawal Bu-koksu dan diam-diam ia memberi tanda dengan kejapan mata kepada mereka.
Thian Ek Cinjin meloncat ke depan, berhadapan dengan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee Si Gendut Pendek yang tertawa-tawa, yang sebetulnya adalah temannya sendiri. Tanpa banyak cakap lagi mereka sudah bertanding, Thai-lek Siauw hud menggunakan sebatang golok besar sedangkan Thian Ek Cinjin menggunakan sebatang pedang.
Juga Pat-jiu Sin-kauw sudah saling berkedip dengan Panglima Dailuba yang menyambutnya. Mereka pun tanpa banyak cakap sudah saling bertanding, menggunakan tangan kosong karena kedua orang ini merupakan ahli-ahli silat tangan kosong. Pertempuran terjadi dengan seru dan karena pandainya mereka berempat bersandiwara, Bu-koksu sendiri tidak pernah menyangka bahwa mereka itu tidaklah bertanding sungguh-sungguh.
“Ha-ha-ha, dua orangmu telah bertempur melawan dua orang pembantuku. Tinggal kita berdua. Marilah kita coba-coba, Bu-koksu!” kata Pek-mau Seng-jin sambil menggerakkan tongkatnya menusuk.
“Cring-cring-tranggg!”
Keduanya terpental ke belakang ketika tongkat itu tertangkis oleh golok bergelang. Kemudian keduanya maju lagi saling serang dengan dahsyat. Gerakan Bu-koksu amat dahsyat dan kuat, goloknya mengeluarkan bunyi mengerikan dan golok yang berat itu diputar sampai berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata. Namun gerakan tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin lebih cepat lagi, tampak sinar keemasan bergulung-gulung menyelubungi gulungan sinar golok, bahkan dalam hal tenaga sinkang, tingkat Pek-mau Seng-jin masih lebih tinggi sehingga lewat empat puluh jurus, Bu-koksu selalu terdesak dan terhimpit!
Ang Hok Ci yang sedang gelisah menyaksikan betapa Bu-koksu dan dua orang pengawalnya terdesak mengambil keputusan untuk membunuh saja dua orang tawanan yang berbahaya itu. Dia sudah mencabut goloknya, langsung dia bacokkan ke arah leher Kam Han Ki.
“Trangggg!”
Ang Hok Ci terkejut dan melompat mundur, memandang Suma Hoat yang sudah menangkis goloknya dengan pedang.
“Suma-kongcu! Apa yang kau lakukan ini? Apakah engkau hendak memberontak dan membela musuh?”
Suma Hoat tecsenyum. “Hemm, orang she Ang, ini bukan urusan negara, melainkan urusan pribadi! Sudah dijanjikan bahwa siapa yang keluar sebagai pemenang, berhak atas diri kedua orang tawanan ini. Mengapa engkau hendak bersikap curang dan membunuh tawanan?”
“Bagus! Ayahmu tentu akan senang sekali mendengar akan pengkhianatanmu ini!” Ang Hok Ci memaki dan menyerang dengan golok menyambar ke arah leher Suma Hoat, sedangkan tangan kirinya melancarkan pululan dengan tenaga Jit-goat-sinkang ke arah dada Suma Hoat.
“Cringggg... dukkkk!”
Tubuh Ang Hok Ci terlempar ke belakang, ketika goloknya tertangkis oleh pedang Suma Hoat, sedangkan pukulan dengan tenaga Jit-goat-sinkang tadi ditangkis pula oleh Suma Hoat dengan ilmu yang sama, akan tetapi jauh lebih kuat. Hal ini dapat dimengerti karena kalau Ang Hok Ci memperoleh Ilmu Jit-goat-sinkang dari hasil curian ketika dia menyelundup ke lembah orang kusta, adalah Suma Hoat menerima gemblengan langsung dari Bu-tek Lo-jin, bahkan dia merupakan murid terpandai! Dengan pedangnya Suma Hoat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan Siauw Bwee dan membebaskan totokannya.
“Terima kasih, ternyata engkau seorang sahabat yang baik, Suma Hoat!” Siauw Bwee berkata singkat lalu meloncat mendekati suheng-nya yang masih pingsan, membukakan belenggu kaki tangan Han Ki dan membebaskan totokan.
Akan tetapi Han Ki masih pingsan, bukan karena totokan melainkan karena guncangan ketika pengobatan hampir berakhir tadi. Cepat Siauw Bwee menempelkan kedua telapak tangannya ke dada pemuda itu dan perlahan-lahan ia menyalurkan hawa sinkang ke dalam tubuh suheng-nya dengan amat hati-hati.
Ang Hok Ci sudah menerjang lagi, disambut oleh pedang Suma Hoat. Karena pemuda yang berjuluk Jai-hwa-sian ini memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi, dengan mudah ia mempermainkan Ang Hok Ci sambil tertawa-tawa.
”Suma-kongsu, bunuh saja tikus itu!” Tiba-tiba terdengar suara Pek-mau Seng-jin. “Dan aku yang akan membunuh tikus besar ini!”
Suma Hoat terkejut dan ragu-ragu. Biar pun dia harus mentaati perintah ayahnya yang bersekutu dengan Kerajaan Yucen, akan tetapi kalau harus membunuh seorang yang setia kepada Kerajaan Sung, hatinya masih merasa berat. Dan ketika ia menoleh, ia melihat betapa Bu-koksu terhimpit bahaya oleh tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin yang kini jelas bukan hanya memperoleh kemenangan untuk memperebutkan kedua orang tawanan, melainkan berniat membunuh Bu-koksu.
Ini hebat, pikir Suma Hoat yang menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Ketika ia memutar pedang menahan serangan-serangan golok lawan dan menoleh ke arah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin yang melawan Panglima Dailuba dan Thai-lek Siauw-hud, dia mendapat kenyataan bahwa pertempuran masih berlangsung ‘seru’ dan bahwa mereka itu ternyata hanya seperti sedang berlatih saja!
Suma Hoat amat cerdik, maka mengertilah dia bahwa dua orang pengawal dan pembantu Bu-koksu itu ternyata adalah anak buah Yucen pula! Diam-diam ia mengkhawatirkan keselamatan Bu-koksu. Betapa pun juga, dia tahu betul bahwa Bu-koksu adalah seorang yang amat setia kepada negara, seorang pahlawan sejati yang menjuruskan segala perbuatannya demi kepentingan Kerajaan Sung!
Dia masih terus mempermainkan Ang Hok Ci, tidak mau membunuhnya karena hendak melihat bagaimana perkembangan pertandingan antara kedua orang guru negara itu. Dia merasa serba salah. Untuk membantu Bu-koksu, berarti dia menentang Yucen dan hal ini tentu tidak akan disetujui ayahnya, sebaliknya, untuk membantu Pek-mau Seng-jin, hati nuraninya tidak mengijinkan.
Selain itu dia maklum pula bahwa ilmu kepandaian Pek-mau Seng-jin amat tinggi, tidak hanya lebih tinggi dari pada kepandaian Bu-koksu, juga lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya. Belum lagi diingat bahwa di situ terdapat panglima Dailuba, Pat-jiu Sin-kauw, Thai-lek Siauw-hud, dan Thian Ek Cinjin yang ternyata adalah kaki tangan Pek-mau Seng-jin. Dia tidak berdaya dan hanya menonton sambil menahan serangan golok Ang Hok Ci seenaknya.
Bu-koksu juga tahu akan perubahan gerakan tongkat lawan yang kini menjadi cepat sekali dan melancarkan serangan-serangan maut. Dia tidak menjadi gentar dan maklum bahwa persoalan merampas tawanan itu hanya sebagai pancingan saja, sedangkan niat di hati Koksu Negara Yucen itu untuk membunuhnya! Kalau berada di tempat ramai, tentu saja Pek-mau Seng-jin tidak akan berani melakukan hal ini, karena membunuh dia berarti pecah perang terbuka antara Kerajaan Sung dan Kerajaan Yucen. Akan tetapi kalau dia dan semua pembantunya terbunuh di situ, tidak akan ada yang tahu bahwa pembunuhnya adalah Koksu Yucen! Maka dia memutar goloknya melawan mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan segala kepandaiannya.
Betapa pun juga, tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin terlalu kuat baginya dan ketika goloknya menyambar dahsyat ke arah kepala lawan, Pek-mau Seng-jin hanya miringkan kepala sehingga sebagian rambutnya yang putih terbabat putus oleh golok besar itu, akan tetapi pada detik yang sama, ujung tongkat telah mengenai pundak kanannya sehingga golok besar itu terlepas dari tangan Bu-koksu. Cepat seperti kilat, tongkat itu telah menyambar turun, siap melakukan tusukan maut!
“Tahan! Jangan bunuh dia!” Teriakan ini disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu tongkat itu terpental ke belakang oleh desiran hawa pukulan yang amat panas!
Bu-koksu girang sekali dan cepat menyambar kembali goloknya. “Kam-siauwte, syukur engkau masih ingat kepadaku dan menolongku. Mari kita habiskan anjing-anjing Yucen ini!”
Akan tetapi betapa kagetnya ketika ia melihat sinar mata Kam Han Ki yang menyambar seperti dua titik api kepadanya. “Bu-koksu, aku memang teringat kepadamu, dan teringat akan segalanya! Engkau memang telah menolongku, merawatku, akan tetapi hanya untuk kau pengaruhi dengan racun sehingga di luar kesadaranku aku menjadi pengawalmu!”
”Kam-siauwte...!”
“Sudahlah, dan jangan menyebut siauwte kepadaku. Harap kau suka membawa semua anak buahmu pergi dari sini dan mudah-mudahan saja kita tidak akan saling bertemu kembali! Aku memaafkan segalanya!”
Bu-koksu maklum bahwa tidak ada gunanya lagi membujuk pemuda yang sudah sadar itu, maka dia menarik napas panjang dan berkata, “Betapa pun juga, Kam-siauwte, aku telah menyelamatkanmu dari hukuman sebagai seorang pemberontak. Aku hanya ingin membangkitkan semangatmu membela negara. Selamat tinggal! Dan engkau, Pek-mau Seng-jin, apakah dengan perbuatanmu tadi engkau sengaja hendak memancing perang antara kedua kerajaan kita?”
“Ha-ha-ha! Sudah kukatakan bahwa urusan ini adalah persoalan pribadi, kalau engkau hendak membawa-bawa kerajaan, terserah. Kerajaan Yucen tidak pernah takut terhadap ancaman Kerajaan Sung. Kurasa Kerajaan Sung tidak begitu bodoh untuk menambah musuh yang lebih kuat lagi di samping pasukan-pasukan Mancu, ha-ha-ha.”
“Mari kita pergi!” Bu-koksu berkata kepada para pembantunya dan Ang Hok Ci, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin segera meninggalkan tempat itu mengikuti Bu-koksu.
Di tengah perjalanan menuju ke Siang-tan, Ang Hok Ci berkata kepada kedua orang rekannya, “Aku tadi melihat betapa Ji-wi tidak bertanding sungguh-sungguh dengan kedua lawan Ji-wi!”
Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin terkejut, akan tetapi sambil tertawa Pat-jiu Sin-kauw berkata, “Kami sendiri tidak mengerti, Ang-siucai. Jelas bahwa kalau mereka menghendaki, kami tidak akan menang. Kepandaian Panglima Dailuba itu amat tinggi, terus terang saja aku tidak mampu menandinginya, sedangkan tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud masih menang sedikit dibandingkan dengan tingkat Thian Ek Cinjin. Akan tetapi karena kami anggap pertandingan itu hanya untuk menguji kepandaian, maka tidaklah mengherankan kalau mereka tidak berniat membunuh kami.”
“Hemmm, akan tetapi Si Rambut Putih itu jelas berniat buruk terhadap diriku,” Bu-koksu mengomel. Hatinya yang mengkal dan kesal itu membuat ia tidak memperhatikan lagi ucapan Ang Hok Ci yang penuh tuduhan dan kecurigaan.
Sementara itu, sambil memandang sumoi-nya yang kini berdiri di sampingnya, Kam Han Ki berkata, “Sekarang aku ingat semua, Sumoi. Kalau tidak ada engkau yang membantu, entah bagaimana jadinya dengan aku. Terima kasih, Sumoi dan... dan...,” tiba-tiba mukanya berubah merah sekali karena dia teringat akan sikap sumoi-nya yang berkali-kali menyatakan cinta kasihnya dan teringat betapa dalam keadaan ‘lupa diri’ dia pun membalas cinta sumoi-nya itu. Akan tetapi karena di situ terdapat banyak orang, tentu saja dia tidak berani melanjutkan kata-katanya dan hanya pandang mata mereka yang saling bicara banyak.
Saling pandang yang penuh arti dan amat mesra itu tidak terluput dari pandang mata Suma Hoat. Begitu melihat Siauw Bwee, sudah timbul kembali cintanya yang tak mungkin dapat padam di hatinya, maka tentu saja kemesraan antara pandang mata kedua orang itu merupakan ujung pedang yang menembus jantungnya. Namun karena maklum bahwa dia tidak akan mampu menghalangi atau bersaing terhadap pendekar yang sakti, penghuni Istana Pulau Es, murid Bu Kek Siansu itu, dia menekan perasaannya dan menjura kepada Kam Han Ki sambil berkata, “Saya menghaturkan selamat atas pulihnya kesehatan Kam-taihiap dan atas berkumpulnya kembali Taihiap dengan sumoi Taihiap, Nona Khu Siauw Bwee.”
Kam Han Ki memandang kepada pemuda tampan itu. “Hemm, siapakah engkau?”
“Suheng, dia adalah seorang... sahabat yang telah menolongku, dia juga sute dari... dari... ahhh, Coa-supek...!” Siauw Bwee teringat akan supek-nya dan menangis tersedu-sedu.
“Heiii... ada apakah, Sumoi?” Han Ki bertanya.
“Khu-lihiap... apa yang terjadi dengan Coa-suheng?”
“Dia mati terbunuh... tentu oleh Bu-koksu! Saudara Suma Hoat, harap kau suka mengurus jenazahnya, di hutan pohon pek...”
“Suma Hoat?” Kam Han Ki berseru kaget dan memandang pemuda tampan itu.
Suma Hoat menjura ke arah Han Ki dan berkata, “Benar, Kam-taihiap. Saya adalah Suma Hoat, seorang yang... hemmm, tidak baik dan putera dari seorang yang... tidak baik pula.”
Kam Han Ki mengerutkan alisnya. Pemuda ini adalah putera musuhnya, akan tetapi juga sute dari Coa Leng Bu yang telah menolongnya, bahkan menurut Siauw Bwee pemuda ini pernah menolong sumoi-nya itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dia mengalihkan perhatian, menjura kepada Pangeran Dhanu dan berkata, “Saya merasa berterima kasih atas pertolonganmu, Pangeran. Biar pun aku tidak melihat sendiri, aku dapat menduga bahwa tentu engkau yang telah menolongku dari tangan Bu-koksu.”
“Ah, di antara orang sendiri perlu apa menyebut-nyebut tentang pertolongan, Taihiap? Kebetulan sekali kami lewat di sini dan menyaksikan engkau dan Khu-lihiap ditawan Bu-koksu, maka kami turun tangan menentangnya,” kata Pek-mau Seng-jin.
Kam Han Ki memandang kakek berambut putih itu dan berkata, “Agaknya semua orang telah mengenal aku, akan tetapi aku sendiri tidak mengenal orang, kecuali Pangeran Dhanu. Siapakah Locianpwe?”
“Kam-taihiap, dia adalah Pek-mau Seng-jin, koksu kerajaan kami,” Pangeran Dhanu memperkenalkan.
Kam Han Ki mengangguk-angguk, memandang tajam kemudian berkata, “Sudah lama saya mendengar nama Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang terkenal.”
Pek-mau Seng-jin cepat mengangkat kedua tangan ke depan sebagai penghormatan sambil berkata, “Kam-taihiap terlalu memuji! Sebaliknya kami yang telah lama mendengar nama besar Taihiap semenjak Taihiap membantu mendiang Menteri Kam yang sakti. Sayang sekali, baru sekarang kita dapat saling berjumpa. Betapa banyaknya penderitaan yang dialami oleh Taihiap dan keluarga Kam yang gagah perkasa. Betapa menyedihkan sekali nasib keluarga Kam, keluarga pendekar sakti Suling Emas yang sejak dahulu berdarah pahlawan, namun selalu dikecewakan oleh sikap pemerintah Sung yang makin tampak kelalimannya. Dalam kesempatan ini, biarlah kami berlaku lancang mewakili pemerintah Yucen untuk mengundang Taihiap agar sudi membantu pemerintah kami yang lebih dapat menghargai jasa orang-orang gagah.”
Kam Han Ki tersenyum pahit dan menggeleng kepala, menjawab dengan suara tenang, “Banyak terima kasih atas perhatianmu, Pek-mau Seng-jin. Akan tetapi, apa pun yang terjadi kepadaku, dan apa pun yang telah dilakukan oleh negaraku terhadap diriku, tak mungkin menjadikan aku seorang pengkhianat bangsa dan negara.”
Pek-mau Seng-jin mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, kemudian berkata perlahan seperti kepada dirinya sendiri, “Kalau negara sudah ditakdirkan akan berkembang menjadi negara besar, kaisarnya tentu pandai menghargai orang. Akan tetapi kalau kaisarnya lalim, hanya di waktu negara terancam bahaya mengandalkan tenaga bantuan rakyat, akan tetapi di waktu negara makmur sibuk menggendutkan perut sendiri dan bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Itulah tanda-tanda bahwa negara akan hancur. Kam-taihiap telah menderita penghinaan di waktu negara tidak membutuhkan tenaga Taihiap. Sekarang, di waktu tenaga Taihiap dibutuhkan, Koksunya tidak segan-segan untuk menggunakan siasat keji untuk memperoleh tenaga bantuan Taihiap.”
Dibakar dengan kata-kata demikian, Han Ki tak dapat menjawab, karena memang demikianlah keadaannya. Biar pun dia sama sekali tidak menaruh dendam terhadap kerajaan yang pada waktu itu memegang tampuk pemerintahan, namun hatinya mendongkol juga diingatkan akan kepincangan ketidak-adilan itu.
“Pek-mau Seng-jin, apa engkau kira akan mampu mempengaruhi hati seorang gagah perkasa dengan kata-kata manis menyembunyikan racun? Kam-suheng adalah seorang laki-laki sejati, mana mungkin tunduk menghadapi bujukan palsu dari kaki tangan negara asing yang memusuhi bangsa sendiri? Pek-mau Seng-jin, apakah engkau lupa betapa dahulu engkau telah menculik aku dan Suci Maya, kemudian engkau menghadiahkan kami dua orang anak perempuan yang tak berdaya kepada Coa Sin Cu sehingga kami dipakai berebutan di antara orang-orang kang-ouw?” Siauw Bwee membentak.
Pek-mau Seng-jin terkejut sekali. Tentu saja dia tidak mengenal lagi Siauw Bwee yang kini telah menjadi seorang dara remaja yang telah dewasa dan jelita. Bahkan ucapan Siauw Bwee tadi pun masih belum menyadarkannya.
“Maafkan saya yang telah tua dan pandang mataku tidak tajam lagi sehingga tidak mengenal Nona. Siapakah Nona yang telah mengenal saya?”
“Pek-mau Seng-jin, lupakah engkau ketika dahulu berkunjung sebagai utusan Yucen membicarakan tentang perjodohan antara Pangeran Dhanu dan puteri Kaisar, dan pada malam hari itu engkau telah menculik dua orang anak perempuan? Seorang adalah Suci Maya puteri Raja Talibu dari Khitan, sedangkan anak kedua adalah aku sendiri, anak dari Panglima Khu Tek San.”
Sekarang teringatlah Pek-mau Seng-jin, bahkan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee dan Panglima Dailuba mengeluarkan suara tertahan. Mereka teringat akan peristiwa belasan tahun yang lalu, peristiwa amat hebat bagi dunia kang-ouw, yaitu munculnya manusia dewa Bu Kek Siansu yang menolong kedua anak perempuan itu!
“Aaahhhh...!” Pek-mau Seng-jin tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, wajahnya berubah dan dia merasa tidak enak sekali, terutama terhadap Kam Han Ki yang disebut suheng oleh dara itu.
“Pek-mau Seng-jin, mengingat bahwa engkau tadi telah menolong Suheng, biarlah aku melupakan urusan lama karena betapa pun juga harus diakui bahwa engkau telah berjasa dengan perbuatanmu yang tidak pantas itu, yaitu memungkinkan kami bertemu dengan Suhu. Nah, pertolonganmu tadi berarti telah menebus kesalahanmu dan urusan lama itu telah beres hari ini. Harap engkau jangan tidak tahu diri, hendak menciptakan urusan baru dengan membujuk Kam-suheng menjadi pengkhianat. Di antara kita tidak ada sangkut-paut lagi!”
Lega sekali hati Pek-mau Seng-jin. Setelah kini dia mendengar bahwa gadis itu adalah sumoi Kam Han Ki dan mereka itu murid-murid Bu Kek Siansu, tentu saja dia tidak berani untuk menentang mereka. Hawa pukulan dari Han Ki tadi ketika menyelamatkan nyawa Bu-koksu dan membuat senjatanya terpental sudah cukup membuktikan betapa hebat sinkang pemuda itu.
Maka dia lalu memberi isyarat dengan pandang mata kepada Pangeran Dhanu yang menjura kepada Han Ki sambil berkata, “Kalau begitu, kita berpisah di sini saja, Kam-taihiap. Aku hanya dapat menyatakan sayang bahwa di antara kita yang senasib sependeritaan ini tidak dapat bekerja sama.”
Han Ki menggigit bibirnya, tidak mau menjawab, hanya balas memberi hormat kepada rombongan Pangeran itu. Memang benarlah kalau Pangeran itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah senasib sependeritaan, karena keduanya mencinta Sung Hong Kwi, dan keduanya menderita oleh cinta kasih mereka itu! Dia kini hanya memandang dengan tenang sambil menekan segala macam perasaan mengenai urusan pribadinya, memandang kepada rombongan yang pergi meninggalkan tempat itu dipimpin oleh Koksu Negara Yucen.
Dapat dibayangkan betapa malu rasa hati Suma Hoat ketika ia melihat dan mendengar semua itu. Biar pun tidak ada orang yang langsung menuduhnya, namun melihat sikap Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee sebagai orang-orang gagah yang biar pun telah diperlakukan penuh penghinaan sehingga mengalami penderitaan oleh Kerajaan Sung, namun masih menunjukkan kesetiaan terhadap negara dan bangsa.
Ada pun dia, biar pun keluarga Suma sejak dahulu mendapatkan banyak kemuliaan dalam Kerajaan Sung, karena terpaksa oleh ayahnya kini telah menjadi pengkhianat dan diam-diam mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Yucen untuk menggulingkan Kerajaan Sung! Dia merasa rendah sekali, rendah dan kotor kalau dibandingkan dengan Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee. Dan orang seperti dia telah berani jatuh cinta kepada Khu Siauw Bwee!
“Biarlah aku pergi lebih dulu mengurus jenazah Coa-suheng.” Suma Hoat berkata sambil pergi meninggalkan sepasang orang muda yang sakti itu.
Kam Han Ki tidak mempedulikan pemuda itu, sedangkan Siauw Bwee hanya balas memandang dan mengangguk singkat. Setelah kini melihat suheng-nya sembuh sama sekali dari pengaruh racun perampas ingatan, hatinya girang bukan main, kegirangan yang amat besar dan yang menutupi semua urusan lain, termasuk kedukaan karena kematian Coa Leng Bu.
Kini mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan untuk beberapa lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata. Teringat akan cinta kasih di antara mereka pada waktu Han Ki belum sembuh dan masih belum terbuka kembali ingatannya, wajah Siauw Bwee menjadi merah sekali, akan tetapi ada rasa khawatir dan tegang di hatinya melihat betapa sinar mata pemuda itu kini berbeda dari sebelum pemuda itu sembuh.
Sinar mata itu masih tajam, bahkan lebih tajam dari sebelumnya, mengandung wibawa yang amat kuat, masih penuh dengan kasih sayang. Akan tetapi bukankah sejak dahulu di Pulau Es, Han Ki menaruh kasih sayang kepada kedua orang sumoi-nya? Sekarang ada sesuatu yang lenyap dari sinar mata itu. Kemesraan! Sebelum sembuh, suheng-nya yang terang-terangan menyatakan cinta kasih kepadanya itu kalau memandangnya, tampak jelas kemesraan di dalam sinar matanya dan kini dia seolah-olah tidak menemukan lagi kemesraan itu.
Han Ki menghela napas panjang. “Khu-sumoi, betapa banyaknya orang-orang yang telah melepas budi kebaikan kepadaku. Terutama sekali Coa-lo-enghiong yang telah mengorbankan nyawa untukku dan yang terutama adalah engkau sendiri. Betapa engkau sudah banyak menderita, semua untuk menolongku belaka.”
“Aihh, Suheng. Di antara kita, mana bisa disebut tolong-menolong? Apa artinya semua yang telah kulakukan kalau dibandingkan dengan budimu terhadap aku semenjak dahulu? Biar kupertaruhkan jiwa ragaku untukmu masih belum cukup untuk membalas semua budi kebaikanmu terhadapku, Suheng. Suheng, sudah terlalu lama kita berpisah, sudah terlalu lama kita merantau dan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Di dunia ramai ini banyak sekali kepalsuan dan kejahatan sehingga ke mana pun kita pergi, selalu kita bertemu dengan orang jahat dan mengalami kesulitan. Karena itu, marilah Suheng, marilah kita berdua kembali ke Pulau Es. Aku rindu sekali kepada tempat kita itu, rindu akan ketenangan, ketenteraman yang penuh damai di sana.”
“Sumoi, setelah segala peristiwa yang kualami, engkau tidak dapat membayangkan betapa rinduku kepada Pulau Es. Bahkan, kembali dan tinggal di sana seumur hidupku menjadi cita-cita dan harapanku satu-satunya. Akan tetapi, tinggal di sana seorang diri dengan membiarkan engkau dan Maya-sumoi pergi, merupakan siksa yang tak tertahankan olehku. Tentu saja aku girang sekali untuk pulang ke Pulau Es bersamamu dan Maya-sumoi, akan tetapi dia...”
Berkerut alis Siauw Bwee mendengar ini. Sudah dikhawatirkannya akan demikianlah pendapat suheng-nya kalau suheng-nya sudah pulih kembali ingatannya! Hampir saja timbul pikiran bahwa dia akan merasa senang sekali kalau suheng-nya tidak pernah mendapatkan kembali ingatannya sehingga hanya mencinta dia seorang, tidak teringat lagi kepada Maya! Akan tetapi cepat-cepat ditekannya perasaan yang dia tahu amat tidak baik ini, hanya mementingkan kesenangan diri pribadi tanpa mempedulikan keadaan orang lain!
“Kam-suheng, apakah Suheng lupa akan sikap Maya-suci kepadaku? Kalau kita mengajak dia kembali ke Pulau Es, apakah dia tidak hanya akan menimbulkan keributan belaka? Suheng, Maya-suci membenciku...”
Han Ki menggeleng kepala dan tersenyum pahit. “Tidak membencimu Khu-sumoi, hanya....” dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
“Hanya karena dia mencintaimu maka dia cemburu kepadaku dan ingin membunuhku, ingin melenyapkan aku agar tidak menjadi penghalang bagi cintanya?”
“Sumoi, engkau tentu maklum betapa tersiksa hatiku kalau teringat akan kalian berdua. Akan tetapi, celakanya, aku pun tidak dapat membiarkan kalian berdua meninggalkan aku tanpa kuketahui bahwa kalian berdua dalam keadaan selamat. Baru akan tenang hidupku kalau kalian sudah kembali bersamaku ke Pulau Es. Sekarang aku akan berusaha agar kalian berdua hidup dengan rukun, sebagai saudara seperguruan yang saling mencinta.”
“Kam-suheng, katakanlah sesungguhnya, apakah pernyataan cintamu terhadap aku hanya palsu belaka dan engkau menyatakannya untuk membalas budi pertolonganku, saja?”
Han Ki memandang dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat. Kemudian ia menarik napas panjang dan menjawab, “Sumoi, sampai hati benar engkau menuduh aku seperti itu. Engkau tentu sudah yakin akan cintaku kepadamu, akan tetapi... harap engkau jangan besikap seperti Maya-sumoi yang hanya mementingkan diri sendiri saja. Kalau aku hanya menurutkan hati cinta dan ingin hidup senang sendiri saja, betapa mungkin hatiku akan tenteram dan tenang? Tidak, Khu-sumoi. Aku baru akan dapat bicara tentang cinta, dapat bicara tentang masa depan kalau kita bertiga sudah kembali ke Pulau Es. Aku tidak akan menentang perpisahan di antara kita bertiga karena hidup memang selalu berubah, ada waktu berkumpul tentu ada waktu berpisah, akan tetapi hendaknya perpisahan itu terjadi dalam keadaan baik dan tidak seperti yang lalu, saling berpisah dalam keadaan permusuhan.”
“Suheng, kita sama mengetahui bahwa Maya-suci mencintamu seperti aku mencintamu pula. Betapa pun beratnya bagimu, engkau harus mengambil keputusan siapa di antara kami berdua yang kau cinta. Tanpa keputusan itu, engkau hanya akan menciptakan permusuhan di antara kami berdua.”
“Sumoi, kita tunda dahulu urusan cinta ini. Yang penting sekarang kita bertiga harus kembali ke Pulau Es. Maya-sumoi adalah saudara kita. Sekarang dia telah menyeleweng demi pembalasan dendamnya dan rela menjadi seorang Panglima Mancu. Apakah mungkin aku mendiamkannya saja? Tidak, Sumoi. Aku harus menginsyafkannya dan harus mengajaknya pulang ke Pulau Es. Dengan demikian, barulah aku tidak merasa berdosa kepada Suhu dan tidak menyia-nyiakan pesan Suhu.”
Siauw Bwee merasa terdesak. Dara jelita ini menarik napas panjang dan berkata, “Hemmm, agaknya engkau yang lebih benar, Suheng, dan agaknya akulah yang buta oleh cemburu. Baiklah, engkau boleh mencoba untuk membujuknya pulang ke Pulau Es, akan tetapi engkau harus lebih dulu mengantarku ke Pulau Es, baru kau pergi mencari Suci. Kalau sekarang engkau mencarinya dan mengajaknya kembali ke Pulau Es, dia tentu akan menolak kalau dia melihat aku bersamamu.”
Han Ki mengangguk-angguk. Memang tepat kata-kata sumoi-nya ini. Watak Maya amat keras. Dia masih dapat membujuk dan membikin lunak hati Siauw Bwee, akan tetapi sukar sekali baginya untuk membujuk Maya kalau sumoi-nya itu melihat Siauw Bwee bersama dia.
“Baiklah, Sumoi. Mari kita segera berangkat.”
Dua orang itu segera mempergunakan ilmu kepandaian mereka berlari cepat menuju ke pantai untuk melanjutkan perjalanan melalui laut, menggunakan sebuah perahu kecil menyeberang ke Pulau Es.
Di dalam perjalanan yang dilakukan dengan cepat ini, Siauw Bwee tidak dapat menahan keinginan tahunya akan dendam dan sakit hati mereka terhadap musuh-musuh yang telah mencelakakan keluarga mereka. Dia mengajukan pertanyaan kepada suheng-nya dengan suara bersungguh-sungguh dan pandang mata tajam menyelidik.
“Suheng, engkau agaknya berkeinginan keras untuk mengajak aku dan Suci kembali ke Pulau Es, dan kalau aku tidak salah menduga, engkau ingin sekali melihat kita bertiga kembali tinggal di Pulau Es dan tidak meninggalkan tempat itu lagi. Benarkah dugaanku itu?”
Wajah Han Ki berseri mendengar ini, kemudian dia mengangguk. “Memang demikianlah, Sumoi. Alangkah bahagia rasa hatiku kalau kalian berdua mau berbaik kembali dan kita bertiga hidup tenang dan tenteram penuh kebahagiaan seperti dahulu di Istana Pulau Es.”
Siauw Bwee mengerutkan alisnya. “Akan tetapi, Suheng. Apakah engkau telah lupa akan dendam di hati kita? Apakah engkau telah melupakan musuh-musuh besar kita? Apakah semangat membalas dendam telah padam di hatimu?”
“Sumoi, kita tidak boleh melupakan ajaran Suhu yang banyak disebut dalam kitab-kitabnya. Dendam adalah nafsu yang paling buruk dan jahat, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan antara manusia. Dendam adalah sifat yang paling menonjol dari iba diri dan kalau kita dimabokkan olehnya, hati dan pikiran kita akan menjadi gelap karena dendam menimbulkan benci dan kebencian menimbulkan kekejaman. Khu-sumoi, katakanlah, siapakah yang kau anggap musuh besarmu, yang mendatangkan dendam sakit hati padamu?”
“Siapa lagi kalau bukan manusia jahat Suma Kiat? Dia telah menyebabkan kehancuran keluarga ayahku! Manusia itu harus kubunuh untuk membalas dendam keluargaku!”
Han Ki menarik napas panjang. “Sumoi, engkau telah dapat bersikap baik kepada puteranya, Suma Hoat, mengapa engkau tidak dapat bersikap sama baiknya kepada ayahnya?”
“Suma Hoat seorang yang baik dan dia bersikap baik kepadaku, sedangkan ayahnya adalah musuh besarku!”
“Hemmm, betapa tepat wejangan Suhu dahulu! Hutang budi dan dendam hanya merupakan bunga dari sifat sayang diri belaka. Sumoi, andai kata Suma Kiat tidak berbuat yang merugikan keluargamu, andai kata dia melakukan hal yang baik seperti yang dilakukan puteranya, tentu dia takkan kau anggap musuh. Jadi, sama sekali bukan pribadinya yang membuat engkau mendendam, melainkan perbuatannya terhadap dirimu! Kalau perbuatan itu baik dan menguntungkan dirimu, maka engkau merasa berhutang budi! Kalau perbuatannya buruk bagimu dan merugikan dirimu, tentu akan kau anggap sebagai dendam sakit hati yang harus dibalas. Dengan demikian, maka terciptalah rantai yang tiada putusnya berupa balas membalas, baik membalas budi mau pun membalas dendam!”
“Bukankah itu sudah seharusnya demikian, Suheng? Sudah adil kalau budi dendam dibalas sehingga menjadi adil namanya? Bukankah sudah demikian pada umumnya hukum karma?”
Han Ki menggeleng kepalanya. “Memang demikianlah pendapat umum yang telah menjadi tradisi usang. Karena kepercayaan dan pendapat turun-temurun seperti inilah membuat kita terseret ke dalam arus yang dibuat manusia sendiri dan dinamakan karma. Mata rantai itu terbentuk dari perbuatan-perbuatan yang menghendaki akhiran yang menyenangkan, perbuatan-perbuatan yang bertujuan, berpamrih. Apakah artinya perbuatan baik mau pun buruk kalau didasari tujuan tertentu, berpamrih yang bukan lain hanya pencetusan dari rasa sayang diri belaka? Perbuatan demikian itu, baik mau pun buruk adalah perbuatan yang tidak wajar, yang palsu dan karenanya selalu berkelanjutan dan berekor tiada kunjung putus dan menjadi hukum karma. Layaknya kalau hidup kita ini hanya kita isi dengan perbuatan-perbuatan palsu yang lebih patut disebut hutang-pihutang? Tiada kebebasan, tiada kewajaran sama sekali!”
Siauw Bwee terkejut dan juga terheran mendengar pendapat yang baru sama sekali ini, yang belum pernah didengarnya. Ia memandang suheng-nya dengan alis berkerut dan dia membantah, “Akan tetapi, Suheng! Apakah engkau hendak menganjurkan agar kita tidak usah mengenal dan membalas budi? Suheng! Orang yang tidak mengenal budi adalah orang yang rendah dan tidak baik!”
Kembali Han Ki menggeleng kepalanya, memandang sumoi-nya dengan tajam lalu berkata, suaranya bersungguh-sungguh. “Ucapanmu itu mencerminkan pandangan umum, namun sesungguhnya pandangan seperti itu adalah tidak tepat, Sumoi.”
’’Mengapa tidak tepat? Orang harus selalu mengingat budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya dan berusaha untuk membalas budi itu!”
’’Cobalah renungkan dalam-dalam dan dengarkan baik-baik kata-kataku ini, Sumoi. Orang yang mengingat dan membalas budi orang lain adalah orang yang menghendaki agar budinya diingat dan dibalas orang lain pula!”
’’Apa salahnya dengan itu? Saling membalas budi adalah perbuatan orang sopan dan baik!”
’’Kalau sudah dijadikan keharusan balas-membalas, berarti bayar-membayar dan perbuatan itu tidak patut disebut budi lagi, melainkan semacam hutang-pihutang! Dengan mengingat dan membalas budi orang lain berarti merendahkan orang itu, merendahkan pula nilai perbuatannya yang hanya disamakan dengan hutang! Renungkan baik-baik, Sumoi. Bukankah begitu?”
Siauw Bwee tercengang, kemudian menarik napas panjang dan mengangguk perlahan. “Wahh, kebenaran pendapatmu tak dapat dibantah memang, Suheng. Akan tetapi sungguh janggal, sungguh aneh dan menyimpang dari pendapat umum.”
’’Bukan pendapatku, Sumoi. Setiap pendapat dari siapa pun juga datangnya, tidak dapat dibenarkan, karena pendapat hanya memancing pertentangan. Kalau yang kau dengar tadi kau sebut sebagai pendapaku dan kau anggap benar, tentu akan muncul orang lain yang menganggapnya tidak benar, maka terjadilah pertentangan. Aku hanya mengajak engkau bersamaku mempelajari hal itu dan bersama mencari tahu apa artinya membalas dendam. Sudah jelas sekarang bahwa budi dan dendam hanyalah pencetusan dari sayang diri yang menciptakan karma, menciptakan sebab dan akibat. Kalau kita tersesat, takkan pernah kita dapat membebaskan diri dan hidup ini menjadi sia-sia, menjadi permainan sebab akibat. Karena Si Akibat sendiri pun berekor dan menjadi sebab dari akibat yang lain lagi. Sedangkan Si Sebab pun menjadi akibat dari sebab yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau kita membebaskan diri dari ikatan mata rantai yang tiada kunjung putus itu?”
“Akan tetapi, Suheng! Manusia jahat macam Suma Kiat telah mengakibatkan kematian ayahku, kehancuran keluarga Ayah. Mana mungkin aku tinggal diam saja tidak membalas dendam yang hebat ini?”
”Membalas dendam dengan cara bagaimana, Sumoi?”
”Tentu saja dengan membunuh manusia laknat itu!”
”Hemmm, Sumoi. Engkau bilang bahwa Suma Kiat jahat karena menyebabkan kematian ayahmu, dan engkau hendak membalas dengan membunuhnya! Kalau dia membunuh ayahmu kemudian engkau membunuhnya, lalu siapakah di antara kalian berdua yang baik dan jahat? Mana mungkin melenyapkan kejahatan dengan kejahatan pula? Mana bisa merubah kekerasan dengan kekerasan pula? Engkau bilang bahwa putera orang yang kau anggap musuh besarmu itu, adalah seorang yang baik dan bersikap baik kepadamu. Kalau engkau membunuh ayahnya, biar pun engkau menganggapnya sebagai akibat perbuatan Suma Kiat, bukankah perbuatanmu itu berubah menjadi sebab dendam baru, yaitu dendam di hati puteranya, Suma Hoat yang akan membalas kematian ayahnya?”
”Aku tidak takut!”
”Bukan soal takut atau tidak takut yang kita selidiki, Sumoi. Melainkan soal tepat tidaknya terseret ke dalam mata rantai dendam-mendendam.”
Siauw Bwee menundukkan mukanya. Tak dapat ia membantah kebenaran baru dan aneh yang dikemukakan suheng-nya ini. Kematian ayahnya, kehancuran rumah tangga ayahnya memang akibat perbuatan Suma Kiat. Akan tetapi Suma Kiat tidak akan semata-mata melakukan hal itu tanpa sebab-sebab tertentu! Dia telah mendengar betapa Suma Kiat amat membenci keluarga Suling Emas, amat membenci Menteri Kam Liong putera Suling Emas. Dan karena ayahnya, Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong, tentu saja terlibat dalam urusan dendam-mendendam itu dan menjadi korban dalam membela gurunya.
”Aku tidak dapat menyangkal kebenaran ucapanmu, Suheng. Aku menurut saja apa yang akan kau lakukan asal saja engkau...”
Melihat keraguan sumoi-nya, Han Ki bertanya, “Asal saja aku mengapa, Sumoi?”
”Asal engkau tidak melupakan... cinta kasih di antara kita...”
Han Ki tersenyum, akan tetapi hatinya perih. Dia mencinta Siauw Bwee, bukan hanya cinta seorang suheng terhadap sumoi-nya, melainkan terutama sekali cinta seorang pria terhadap seorang wanita dan tidak ada cita-cita yang lebih nikmat dan akan membahagiakan hatinya dari pada hidup sebagai suami isteri untuk selamanya dengan sumoi-nya ini. Akan tetapi, di sana masih ada Maya! Sebelum urusan dengan Maya dapat diatasi, bagaimana mungkin cita-cita itu dapat terlaksana tanpa gangguan?
”Mana mungkin manusia melupakan cintanya, Sumoi? Yang dapat dilupakan adalah cinta palsu, cinta birahi belaka yang sama sekali tidak ada harganya untuk dibicarakan. Nah, kau tinggallah di istana Pulau Es lebih dahulu, Sumoi. Aku akan kembali ke darat dan mengajak pulang Maya-sumoi.” Mereka telah tiba di tepi Pulau Es.
Siauw Bwee meloncat ke darat, memandang suheng-nya yang masih tinggal di dalam perahu, berkata penuh keraguan, “Bagaimana kalau dia tidak mau, Suheng? Dia mau atau tidak, engkau... tentu akan kembali secepatnya ke sini, bukan?”
”Dia tentu dan harus mau!” jawab Han Ki sambil mendayung perahunya dengan cepat ke tengah laut menuju ke barat, diikuti pandang mata Siauw Bwee yang penuh dengan keraguan dan kegelisahan.
Dia maklum akan perasaan hati suheng-nya. Dia tahu bahwa suheng-nya mencintanya, akan tetapi tahu pula bahwa suheng-nya tidak mungkin dapat berbahagia, tidak dapat hidup tenteram sebelum membereskan urusan Maya! Dia bertambah gelisah karena Siauw Bwee juga maklum bahwa suci-nya itu pun mencinta Han Ki. Betapa pun juga, dia telah menang dalam perebutan cinta kasih itu! Suheng-nya mencintanya! Pikiran ini melegakan hati Siauw Bwee dan dia membalikkan tubuh perlahan-lahan berjalan ke tengah pulau, menuju ke Istana Pulau Es yang telah bertahun-tahun ditinggalkannya itu.....
"Heeii, berhenti dulu! Kalian mau apa menerobos masuk tanpa permisi?” para pengawal penjaga gedung Panglima Suma Kiat membentak dan mereka sudah memalangkan tombak menodong pasukan pengawal berseragam biru yang masuk ke halaman gedung seenaknya itu.
"Minggir kalian dan biarkan kami masuk!" Komandan pasukan itu balas membentak sambil meraba gagang pedangnya.
"Apa? Kalian pun hanya pasukan pengawal, sama dengan kami. Biar pun engkau komandan pasukan, akan tetapi kau bukan komandan kami. Siapapun tidak boleh masuk sebelum ada perkenan dari Suma-tai-ciangkun!"
"Wuuuuttt... ciattt!" Komandan pasukan pengawal istana Suma-tai-ciangkun itu roboh dengan leher hampir putus disambar sinar yang tiba-tiba menyerangnya...